Pencarian

Kisah Si Rase Terbang 5

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 5


musuh yang turun ke bawah " turun satu, bunuh satu, turun dua, bunuh sepasang."
Semua orang terkesiap. Mereka benar-benar tengah menghadapi kebinasaan. Di atas, tak ada
makanan, di bawah, menunggu setan pembetot jiwa.
Dalam permusuhan antara keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian, masih ada beberapa hal yang
belum terang bagi Biauw Yok Lan, yang ingin sekali mengorek rahasia dengan menggunakan
kesempatan tersebut. Maka itu, ia berkata, "Ouw siheng mengatakan, bahwa semua orang yang
berada di sini bermusuhan dengan dirinya. Tapi permusuhan itu berbeda-beda tingkatannya, ada
berat, ada enteng. Pembalasan sakit hatinya pun berbeda-beda, berat terhadap yang berat dan
enteng terhadap yang enteng. Supaya tidak mencelakai orang secara serampangan, ia minta aku
menanya kalian, mengapa kalian berkumpul di tempat ini" Apakah kalian ingin mengeroyok dia?"
Kecuali Po Si, semua orang lantas saja membantah. Mereka menolak anggapan itu. Sedang
nama "Soat San Hui Ho" baru pernah didengar mereka, sedang mereka pun tidak pernah
bermusuhan dengan si Rase Terbang, perlu apa mereka mengeroyok pemuda itu"
Sesudah semua orang mengeluarkan bantahannya, Yok Lan menengok ke arah To Pek Swee
dan berkata, "To pehpeh, ada sesuatu yang tidak terang bagi titli (keponakan perempuanmu) dan
titli hendak mengajukan sebuah pertanyaan. Apa boleh?"
"Tentu saja boleh," jawabnya.
"Tadi," kata si nona, "Peng Ah Si Peng siya memberitahukan, bahwa Ouw It To Ouw pehpeh
telah minta bantuan Po Si Taysu untuk menyampaikan tiga hal kepada ayahku. Tapi thia-thia
belum pernah menyebutkan hal itu. Barusan To pehpeh menyatakan bahwa pehpeh tahu sebabmusababnya.
Apakah pehpeh sudi memberitahukan sebab-musabab itu kepadaku?"
"Ya," jawabnya. "Biarpun nona tidak menanya, aku memang mau memberitahukan." Sambil
menuding Whi Su Tiong, In Kiat, Co Hun Ki dan yang lain-lain, ia berteriak, "Jago-jago Thian Liong
Bun itu telah menuduh, bahwa puteraku telah mencelakai Tian Kui Long cinkee! Huh-huh!" Suara
si tua memang nyaring. Dalam gusarnya, suaranya lebih nyaring lagi. Sesudah berdiam sejenak
untuk meredakan napasnya yang memburu, ia berkata pula, "Aku akan berceritera dari kepala
sampai di buntut. Aku ingin minta pendapat kalian, siapa yang salah, siapa yang benar."
"Bagus!" kata In Kiat. "Kami memang ingin minta penjelasan dari To loocianpwee."
"Di waktu masih muda, dengan Tian Kui Long, aku jual-beli tanpa modal," demikian To Pek
Swee mulai. Semua orang tahu, bahwa To Pek Swee seorang liok lim (rimba hijau artinya kalangan
perampok), toaceecu (pemimpin pertama) dari sarang perampok Eng Ma Coan. Tapi mereka
belum pernah mendengar, bahwa dahulu Tian Kui Long pun pernah menjadi perampok. Semua
orang kaget dan saling mengawasi dengan sorot mata menanya.
"Justa!" teriak Co Hun Ki, "Guruku adalah seorang gagah dalam Rimba Persilatan. Jangan
ngaco! Tak boleh kau menodai nama baik guruku!"
"Kau memandang rendah orang-orang gagah dari hek to (jalanan hitam atau perampok), tapi
para enghiong dari hek to pun memandang rendah segala orang gagah bebodoran yang
bermacam seperti kau!" kata si tua dengan suara keras. "Kami mencari nafkah dengan golok dan
pedang. Apa bedanya dengan orang-orang seperti kamu yang menjadi centeng, piauwsu dan
sebagainya?"
Co Hun Ki berbangkit dengan darah meluap, tapi sebelum ia membuka mulut lagi. Tian Ceng
Hun sudah menarik tangan bajunya seraya berkata "Suko, sudahlah! Biarkan dia menutur terus."
Dengan muka merah-padam, Co Hun Ki mengawasi To Pek Swee, tapi perlahan-lahan ia duduk
kembali. "Sedari kecil aku To Pek Swee menjadi perampok dan aku belum pernah membohong," kata
pula si tua, "Seorang laki-laki, berani berbuat, berani menanggung akibatnya."
"To pehpeh," kala Yok Lan, "ayahku juga pernah mengatakan, bahwa di dalam rimba hijaupun
terdapat enghiong dan hoohan (orang gagah), yang tidak boleh dipandang rendah, oleh siapa pun
jua. Sekarang sebaiknya pehpeh meneruskan ceritera mengenai Tian sioksiok."
"Kau dengarlah!" kata To Pek Swee sambil menuding Co Hun Ki. "Biauw Tayhiap sendiri
mengatakan begitu. Apa kau lebih pintar daripada Biauw Tayhiap?"
Co Hun Ki mengeluarkan suara di hidung, tapi tidak mengatakan suatu apa lagi.
"Aku dan Tian Kui Long telah melakukan banyak perampokan besar dan sesudah menikah,
barulah kita mencuci tangan," kata si tua dengan suara terlebih sabar. "Kalau dia memandang
rendah orang-orang hek to, tak nanti ia sudi menjodohkan puteri tunggalnya dengan puteraku.
Tapi ... entahlah. Memang mungkin sekali ia berbesan denganku bukan karena baik hati. Bisa jadi
dia mempunyai maksud tertentu. Mungkin ia ingin menutup mulutku, supaya aku tidak membuka
satu rahasia besar."
"Pada waktu Tian Kui Long dan Hoan Pangcu mencegat suami-isteri Ouw It To di Congciu, aku
menjadi pembantu Tian Kui Long. Di antara orang-orang yang ditimpuk jalan darahnya dengan
kim chi piauw oleh Ouw It To dari kereta, terdapat To Pek Swee. Belakangan, dalam pertempuran
di atas genteng, Ouw Hujin telah merobohkan banyak orang dengan selendang sutera dan di
antara orang-orang yang roboh juga terdapat To Pek Swee."
Mendengar sampai di situ, tanpa merasa nona Biauw mengeluarkan seruan "ah!"
To Pek Swee melanjutkan penuturannya, 'Aku turut menyaksikan meninggalnya suami-isteri
Ouw It To. Kejadian itu sesuai dengan penuturan nona Biauw dan Peng Ah Si. Ceritera Po Si Taysu
hanya omong-kosong. Nona Biauw bertanya, jika Biauw Tayhiap mengetahui, bahwa Ouw It To
bukan musuh yang telah membunuh ayahnya, mengapa ia tetap mencari Ouw It To untuk
bertanding" Kalian pasti akan menduga, bahwa semua itu karena gara-gara Po Si yang tidak
menyampaikan pesan Ouw It To kepada Biauw Tayhiap."
Semua orang memang menduga begitu, tapi sebab Po Si berada di situ, mereka tak berani
mengiakan. To Pek Swee menggeleng-gelengkan kepalanya. "Salah, salah sekali jika kalian menduga
begitu," katanya. "Pikirlah. Giam Ki hanya seorang tabib, sebenarnya bukan tabib, hanya tukang
mengobati luka-luka yang kedudukannya sangat rendah. Mana dia berani main gila di hadapan
kedua jago itu" Ia telah menjalankan perintah, sesuai dengan keinginan Ouw It To. Hanya Biauw
Tayhiap tidak pernah mendengar ceriteranya. Waktu dia pergi ke gedung itu, Biauw Tayhiap
kebetulan keluar dan dia diterima oleh Tian Kui Long. Kepada Tian Kui Long-lah, dia
menyampaikan ketiga hal yang dipesan Ouw It To. 'Baiklah, kau pulang saja" kata Tian Kui Long.
Aku akan memberitahukan ketiga hal itu kepada Biauw Tayhiap. Kalau kau bertemu dengan Biauw
Tayhiap, janganlah disebut-sebut lagi. Jika ditanya Ouw It To, katakan saja, bahwa kau sudah
menyampaikan pesannya kepada Biauw Tayhiap.' Sehabis berkata begitu, ia menghadiahkan
tigapuluh tahil perak. Melihat uang, mulut Giam Ki lantas saja bungkam."
"Mengapa Biauw Tayhiap tetap cari Ouw It To" Karena Tian Kui Long tidak menyampaikan
ketiga hal itu kepada Biauw Tayhiap. Mengapa Tian Kui Long tidak menyampaikan" Kalian pasti
akan menjawab begini, sebab Tian Kui Long bermusuhan dengan Ouw It To, maka dia ingin
meminjam tangan Biauw Tayhiap untuk membinasakan Ouw It To. Jawaban itu hanya benar
sebagian. Memang benar, Tian Kui Long mengharapkan binasanya Ouw It To. Tapi dia lebih-lebih
ingin meminjam tangan Ouw It To untuk membunuh Biauw Tayhiap,"
Keterangan itu diterima dengan rasa sangsi oleh para hadirin. Tian Kui Long ingin meminjam
tangan Biauw Jin Hong untuk membunuh Ouw It To, guna membalas sakit hati. Ini memang
masuk akal. Tapi terlalu gila jika dikatakan, bahwa dia mengharapkan kebinasaannya Biauw Jin
Hong. "Kalian tak percaya?" tanya To Pek Swee. "Baiklah. Aku akan memberi penjelasannya. Biauw
Tayhiap ..."
"To pehpeh, tak usah diceriterakan lagi," memutus nona Biauw. 'Aku tahu mengapa dia ingin
membunuh ayahku."
"Hml ... memang lebih baik aku tidak menjelaskan," kata si tua. "Secara diam-diam Tian Kui
Long menyerahkan secepuk racun kepadaku dan minta supaya aku berusaha untuk melabur racun
itu di senjata Ouw It To dan Biauw Tayhiap. Sebab sukar, aku segera menyerahkannya kepada
Giam Ki. Coba kalian pikir. Ouw It To adalah seorang gagah yang jarang tandingan. Jika kena
racun biasa, mana bisa ia gampang-gampang mati" Giam Ki hanya tukang mengobati luka-luka.
Dia tentu tak punya racun yang lihay dan mahal harganya. Kalian pasti akan menanya, Ouw It To
kena racun apa" Racun Thian Liong Bun yang tiada keduanya dalam dunia ini. Pasti Tui Beng Tok
Liong Cui yang sangat ditakuti, mendapat nama besarnya karena racun itu."
Mendengar sampai di situ, orang-orang yang semula bersangsi lantas saja mulai percaya.
Mereka melirik Whi Su Tiong, Co Hun Ki dan lain-lain anggauta Thian Liong Bun, yang biarpun
gusar, tidak berani mengumbar napsu amarahnya.
Sesudah berdiam sejenak, To Pek Swee melanjutkan penuturannya, 'Hari itu, pada waktu Tian
Kui Long menutup pintu dan menyimpan pedang dan mengadakan perjamuan besar, ia
mengundang ratusan orang gagah dalam dunia Kang Ouw. Sebagai besan, aku tiba beberapa hari
lebih dahulu dari tamu biasa untuk memberi bantuan sekedarnya. Menurut peraturan Thian Liong
Bun, sesudah pemimpin Pak Cong menyimpan pedang, maka kitab pedang, Cong Tiap dan kotak
besi yang menjadi pusaka partai, harus diserahkan kepada Lam Cong. In heng, apakah aku tidak
salah?" In Kiat mengangguk beberapa kali.
"In toacaycu (hartawan) yang bergelar 'Wi Cin Thian Lam' adalah Ciang Bun dari Lam Cong,"
kata pula To Pek Swee. "Seperti aku, ia pun tiba terlebih siang di gedung Tian Kui Long. Apakah
Tian Kui Long menyerahkan kitab pedang, Cong Tiap dan kotak besi kepada Lam Cong, sebaiknya
diceriterakan oleh In heng sendiri."
Sesudah batuk-batukbeberapa kali, In Kiat berbangkit. "Jika urusan ini tidak dibuka oleh To
ceecu, aku sungkan membicarakannya di hadapan orang luar," katanya. "Urusan ini berbelit-belit
dan memang juga, kalau aku terus menutup mulut, mungkin sekali para suheng dari Pak Cong
akan merasa curiga. Beginilah kejadiannya, hari itu, sesudah menjamu para tamu, Tian suheng
masuk ke ruangan dalam. Menurut peraturan partai, ia sekarang sudah boleh mengumpulkan
anggauta-anggauta Pak Cong dan Lam Cong dan sesudah bersembahyang di hadapan sinwi Cwan
Ong, ia harus segera menyerahkan kotak besi kepadaku. Tapi sesudah masuk ke ruangan dalam,
ia tidak keluar lagi. Aku menunggu sampai tengah malam, sampai semua tamu bubar. Tiba-tiba
Tian Ceng Bun titli keluar dan memberitahukan, bahwa karena kurang enak badan, maka
penyerahan pusaka partai akan dilakukan pada keesokan harinya.
'Aku merasa sangat heran. Tadi, waktu melayani tamu, Tian suheng tidak memperlihatkan
tanda-tanda sakit. Mengapa mendadak ia kurang enak badan" Di samping itu, penyerahan pusaka
sangat sederhana " hanya perlu bersembahyang. Mengapa harus ditunda sampai besok" Apa
Tian suheng tidak rela menyerahkannya?"
"In suheng, dugaanmu tidak benar," sela Whi Su Tiong. "Jika tujuanmu hanya untuk menerima
kitab dan kotak, Tian suko tentu sudah siang-siang menyerahkannya kepadamu. Perlu apa kau
mengajak begitu banyak jago" Kau tentu mengandung maksud yang kurang baik."
In Kiat tertawa dingin. "Hrn! Maksud jelek apa bisa dipunyai olehku?" tanyanya
"Aku tahu segala niatanmu," jawabnya. "Begitu lekas kitab dan kotak berada dalam tanganmu,
kau akan menggunakan kekerasan untuk mempersatukan Pak Cong dan Lam Cong, supaya kau
bisa menjadi Ciang Bun Jin dari seluruh Thian Liong Bun."
Paras muka In Kiat berubah merah. "Bahwa Thian Liong Bun dipecah menjadi Pak Cong dan
Lam Cong asal-mulanya adalah untuk memudahkan pengurusan partai," katanya "Waktu
memegang pimpinan atas Pak Cong, Tian suheng sendiri juga ingin sekali mempersatukan kedua
bagian itu. Dalam usahaku, tujuanku yang satu-satunya adalah untuk memakmurkan partai kita
dan menurut pendapatku, maksud ini maksud yang baik. Biar bagaimana pun jua, tindakanku
banyak lebih terhormat daripada tindakan Whi suheng yang kasak-kusuk dengan Hun Ki untuk
merampas kedudukan Ciang Bun Jin."
Mendengar kedua belah pihak saling membuka rahasia busuk, semua orang tertawa di dalam
hati. Yok Lan yang sungkan mendengar lebih jauh perebutan kekuasaan itu, lantas saja berkata,
"Habis bagaimana?"
'Aku segera pergi ke kamarku dan berdamai dengan para sutee," jawab In Kiat. "Mereka
berpendapat, bahwa Tian suheng pasti bermaksud tidak baik dan mereka mendesak supaya aku
menyelidiki. "Aku segera pergi ke kamar tidur Tian suheng dengan berlagak mau menanya penyakitnya. Aku
bertemu dengan Tian Ceng Bun titli, yang dengan mata merah karena menangis, berdiri di
ambang pintu. Ayah sudah tidur. In siokhu kembali saja. Terima kasih atas kebaikanmu,' katanya.
Melihat sikapnya yang luar biasa, aku jadi heran. Andaikata Tian suheng benar sakit, ia pun tak
perlu menangis begitu hebat. Aku segera balik ke kamarku dan berselang setengah jam, sesudah
menyalin pakaian, aku kembali dan berdiri di depan pintu kamar Tian suheng untuk menengok
penyakitnya..."
"Buk!" Whi Su Tiong menumbuk meja. "Huh! Menengok penyakit!" bentaknya. 'Apakah seorang
yang mau menengok kawan yang sakit, berdiri di luar pintu?"
In Kiat bersenyum tawar. "Kalau aku mencuri dengar pembicaraan, mau apa kau?" tanyanya
dengan kaku. "Benar aku bersembunyi di depan jendela dan mendengari pembicaraan di dalam
kamar. 'Kau tak usah mendesak aku,' kata Tian suheng. 'Hari ini aku menutup pintu dan
menyimpan pedang dan di hadapan semua orang gagah, aku sudah menyerahkan kedudukan
Ciang Bun Jin dari Pak Cong Thian Liong Bun kepada Hun Ki. Pengumuman ini tak dapat diubah
lagi.' Di lain saat kudengar Whi Su Tiong, Whi suheng, berkata, 'Bagaimana aku berani mendesak
suko" Tapi sesudah Hun Ki dan Tian Ceng Bun berlaku begitu busuk " sehingga mereka
mendapat anak " mana bisa orang-orang kita takluk terhadapnya"'"
Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan. Ternyata, Tian Ceng Bun jatuh bersamasama
kursi dan ia rebah dalam keadaan pingsan.
Tanpa mengatakan suatu apa, To Cu An segera membacok kepala Co Hun Ki dengan goloknya.
Karena tidak bersenjata, Hun Ki menangkis dengan kursi Mendengar calon menantunya melakukan
perbuatan yang sebusuk itu, To Pek Swee berteriak-teriak bagaikan kalap
Ia mengangkat kursi dan turut menyerang Co Hun Ki.
Terhadap luar, orang-orang Thian Long Bun biasanya bersatu-padu. Tapi sekarang, karena
yang bertempur adalah orang-orang sendiri yang saling membuka rahasia busuk, tak satu pun
yang bergerak. Keadaan lantas saja menjadi kalut.
"Berhenti!" teriak Biauw Yok Lan. "Semua orang berhenti! Duduk!"
Entah mengapa, perkataan si nona mempunyai pengaruh luar biasa. To Cu An kelihatan
terkejut dan segera menarik pulang goloknya, tapi To Pek Swee masih mengamuk terus dengan
kursinya. Sambil mencekel kursi itu, To Cu An berkata, "Thia, berhentilah dahulu. Biarlah semua
orang mendengar ceritera ini sampai di akhirnya, supaya mereka bisa menimbang, siapa salah,
siapa benar." Mendengar perkataan puteranya, si tua lantas berhenti mengamuk.
"Khim Ji," kata pula Yok Lan, "Ajaklah nona Tian ke kamar untuk mengaso." Perlahan-lahan
Tian Ceng Bun tersadar. Dengan paras muka pucat, ia berjalan masuk ke ruangan dalam sambil
menundukkan kepala. Semua orang lantas saja mengawasi In Kiat dan mengharap supaya ia
meneruskan penuturannya.
Kata In Kiat, "Kudengar Tian suheng menghela napas dan berkata, 'Pembalasan! Inilah
pembalasan!' Sesudah menghela napas lagi berulang-ulang, barulah ia berkata dengan suara
perlahan, 'Biarlah kita berdamai lagi besok. Pergilah! Minta Cu An datang kemari. Aku ingin bicara
dengan dia.'"
Seraya mengawasi ayah dan anak she To itu, In Kiat melanjutkan penuturannya,
"Whi suheng masih mau bertengkar, tapi Tian suheng sudah lantas menepuk ranjang dan
membentak dengan gusar. Apa kau mau mendesak sampai aku mampus"' Dibentak begitu Whi
suheng tidak berani bersuara lagi dan sambil berjalan keluar lalu membuka pintu. Karena aku
mencuri dengar pembicaraan orang dan juga sebab pembicaraan itu tiada sangkut-pautnya
dengan Lam Cong, maka buru-buru aku kembali ke kamarku supaya jangan sampai berpapasan
dengan Whi suheng."
Whi Su Tiong tertawa dingin dan berkata, "Malam itu, begitu bertindak keluar, kulihat
berkelebatnya bayangan hitam. Anjing dari mana berani mencuri dengar pembicaraan orang"'
bentakku. Aku tidak mendapat jawaban dan aku menduga, bahwa bayangan itu adalah bayangan
sebangsa anjing geladak. Tak dinyana, orang itu In suheng adanya. Maaf, maafkan aku." Seraya
berkata begitu, ia menyoja.
Walaupun mulutnya meminta maaf, ia sebenarnya mencaci In Kiat yang paras mukanya lantas
saja berubah. Tapi In Kiat sabar luar biasa. Ia membalas hormat dan berkata sambil tertawa,
"Tidak tahu tidak bersalah. Whi suheng jangan berlaku begitu sungkan."
"Sekarang giliranku," kata To Cu An. "Sesudah beramai-ramai membuka rahasia, aku pun mau
membuka mulut. Aku ... aku____" Ia tidak bisa meneruskan perkataannya karena hatinya
bergoncang keras, sedang air mata mengalir turun di kedua pipinya. Melihat menangisnya seorang
pemuda gagah, semua orang jadi merasa kasihan. Mereka melirik Co Hun Ki dengan rasa sedikit
mendongkol. "Kau sungguh tolol! Perlu apa kau memperlihatkan kelemahanmu di sini?" bentak sang ayah.
"Untung juga kau belum menikah, sehingga perbuatan terkutuk itu tidak menodai keluarga kita."
Sesudah menyusut air mata dengan tangan bajunya, To Cu An berkata pula, "Dulu-dulu, setiap
kali aku datang berkunjung ke rumah ... ke rumah ... Tian pehhu Mendengar Cu An menggunakan
panggilan "pehhu" (paman) dan bukan "gakhu" (mertua), diam-diam Co Hun Ki merasa girang.
"Aku girang bocah itu tidak mengakui Ceng moay sebagai isterinya," katanya di dalam hati.
To Cu An melanjutkan penuturannya, "Kalau ada orang, Ceng moay selalu menyingkir jauh-jauh
dengan paras muka kemerah-merahan dan tidak mau bicara denganku. Tapi kalau tak ada orang
lain, ia mau beromong-omong dengan sikap menyinta. Saban aku memberikan sesuatu
kepadanya, ada saja balasannya, misalnya dompet uang, baju ma kwa dan sebagainya____"
Muka Co Hun Ki tak enak dilihat. Ia mendongkol mendengai pengakuan saingannya.
"Waktu Tian pehhu bikin pesta, dengan penuh kegembiraan, aku mengikuti ayah," kata pula To
Cu An. "Begitu melihat Ceng moay, aku kaget. Mukanyu pucat dan kurus, seperti baru saja
sembuh dari penyakit berat. Aku merasa kasihan dan di mana ada kesempatan, aku selalu coba
menghibur padanya. Aku tanya ia sakit apa. Bermula jawabannya tak terang. Belakangan, waktu
aku mendesak, ia jadi gusar dan menyemprot aku dengan perkataan pedas dan kemudian tak mau
meladeni aku lagi. Aku bingung dan jengkel. Tentu saja aku tak punya kegembiraan untuk makanminum.
Secara kebetulan aku bertemu dengan ia di taman bunga. Ia ternyata baru habis
menangis " kedua matanya merah. Aku segera meminta maaf. 'Ceng moay, akulah yang salah,'
kataku. Kau jangan marah' Tiba-tiba ia bergusar. 'Jangan rewel! Aku ingin mati!' bentaknya. Aku
makin bingung. Waktu kembali ke kamarku, hatiku makin tak enak. Aku memutar otak untuk
mencari sebab-musabab dari kegusarannya. Perlahan-lahan aku bangun dan pergi ke kamarnya.
Aku mengetuk tiga kali di bawah jendela. Itulah pertandaan yang digunakan kalau kita ingin saling
bertemu. Tapi kali ini, sesudah mengetuk berulang-ulang, aku tidak mendapat jawaban. Aku
menarik jendela yang ternyata tidak dikunci dan lantas terbuka. Kamar gelap-gulita. Karena sangat
ingin bicara dengannya, aku segera masuk dengan melompati jendela____"
"Perlu apa kau masuk ke kamar seorang gadis di tengah malam buta?" bentak Co Hun Ki.
Sebelum To Cu An keburu menjawab, Khim Ji sudah mendahului, "Perlu apa kau campurcampur"
Mereka adalah tunangan."
Sambil mengawasi budaknya Yok Lan, To Cu An manggut-manggut dan lalu berkata pula, "Di
depan ranjang kulihat sepasang sepatu. Dengan memberanikan hati aku menyingkap kelambu dan
meraba-raba. Tiba-tiba tanganku menyentuh satu bungkusan, tapi Ceng moay sendiri tidak berada
di ranjang itu. Rasa heranku makin menjadi-jadi dan aku lalu meraba-raba lagi bungkusan itu.
Tiba-tiba hatiku mencelos. Bayi! ... Mayat bayi yang sudah mati lama juga, karena badannya


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah dingin. Rupanya bayi itu mati mengap"
"Trang!" cangkir teh yang dicekel Yok Lan jatuh dan paras muka si nona berubah pucat.
"Kalian kaget?" tanya To Cu An. "Kalau sekarang kalian kaget, kagetku di waktu itu lebih-lebih
lagi. Hampir-hampir aku berteriak. Sekonyong-konyong kudengar tindakan kaki dan seorang
masuk ke dalam kamar. Buru-buru aku bersembunyi di kolong ranjang. Orang itu, yang ternyata
bukan lain daripada Ceng moay sendiri, duduk di pinggir ranjang dan menangis. Ia mendukung
mayat bayi dan menciumnya berulang-ulang. Anak, janganlah kau gusari ibumu yang sudah
membunuh kau. Hati ibumu seperti disayat pisau. Tapi kalau kau hidup, ibu tak bisa hidup. Ibumu
memang kejam.' Bulu romaku bangun semua. Dengan anjing geladak dari mana dia membikin
perhubungan rahasia" Akhirnya, dia bangun dan sesudah menutup bayi itu dengan mantel, ia
keluar dari kamarnya. Aku pun merangkak keluar dari kolong ranjang dan mengikuti dari belakang.
Waktu itu, aku sedih dan marah. Aku mengambil keputusan untuk mencari tahu siapa
kecintaannya. Ia pergi ke belakang taman dan keluar dengan melompati tembok. Dari jauh aku
menguntit terus. Sesudah berjalan kira-kira setengah li, ia tiba di satu tempat pekuburan. Dari
bawah mantel ia mengeluarkan cangkul pendek. Baru saja mau mencangkul, tiba-tiba terdengar
suara benterokan antara besi dan batu. Ada seorang lain menggali tanahl Ia kaget dan buru-buru
mendekam. Selang beberapa saat, ia merangkak dan mendekati suara itu. Indap-indap aku
mengikuti dari belakang. Tak lama kemudian kulihat sebuah lentera di samping satu kuburan dan
dengan pertolongan sinar lentera, kulihat satu bayangan hitam sedang menggali tanah.
Orang itu membuat lubang. 'Apa dia juga mau mengubur bayi"' tanyaku di dalam hati. Sesudah
beres menggali, orang itu menjemput sebuah bungkusan panjang dari atas tanah, bentuk
bungkusan sangat menyerupai mayat bayi. Ia menaruh bungkusan itu di dalam lubang dan
kemudian menguruknya dengan tanah. Tiba-tiba ia menengok ke jurusanku. Aku terkesiap sebab
orang itu bukan lain daripada 'Hui Liong Kiam' Ciu Hun Jang, Ciu suheng."
Muka Ciu Hun Jang yang sedari tadi sudah pucat, sekarang jadi makin pucat.
To Cu An melanjutkan penuturannya, 'Aku sungguh bingung. Apa bangsat she Ciu itu yang
main gila dengan Ceng moay" Mengapa ia pun mengubur bayi" Melihat dia, Ceng moay buru-buru
merebahkan dirinya di tanah dan tidak maju lagi. Sementara itu, Ciu suheng menginjak-injak
tanah urukan, menanam rumput di atasnya dan menyebar batu-batu di atas rumput, supaya orang
tidak mengenali galian itu. Sesudah beres, barulah ia menyingkir. Begitu lekas Ciu suheng berlalu,
cepat-cepat Ceng moay menggali lubang dan mengubur bayinya. Sesudah itu, ia menghampiri
kuburan yang tadi dibuat Ciu suheng dan lalu menggalinya untuk menyelidiki benda yang berisi di
dalamnya. Apa celaka, baru saja Ceng moay mencangkul beberapa kali, Ciu suheng balik kembali.
'Ceng moay bikin apa kau"' tanyanya. Ternyata ia seorang yang sangat berhati-hati. Tadi ia hanya
berlagak menyingkir dan sekarang balik kembali untuk memeriksa tanamannya. Ceng moay kaget
dan melompat, ia melemparkan cangkul di tanah dan tidak dapat menjawab pertanyaan Ciu
suheng. Ciu suheng tertawa dingin. Adik Ceng Bun,' katanya. 'Kau tahu aku tanam apa, aku pun
tahu kau tanam apa Kalau rahasia mau disimpan, kita menyimpan bersama-sama. Kalau mau
dibuka, kita membuka bersama-sama.' 'Baik,' kata Cengmoay. Kalau begitu, kau bersumpahlah.'
Ciu suheng lantas saja bersumpah, begitu juga Ceng moay. Sesudah itu, mereka segera kembali
ke gedung. Melihat lagak kedua orang itu, aku tersangsi. Kutak tahu perhubungan apa terdapat di antara
mereka Diam-diam aku menguntit dengan tangan menggenggam senjata rahasia beracun. Aku
mengambil keputusan, asal mereka menunjukkan lagak seperti kecintaan atau mengeluarkan
perkataan yang tidak enak didengar, aku akan segera menimpuk. Tapi mereka bernasib baik. Dari
pekuburan ke gedung, mereka berjalan dengan terpisah jauh satu sama lain dan mereka tidak
mengeluarkan sepatah kata. Ceng moay kembali ke kamarnya dengan menangis segak-seguk.
Sambil berdiri di bawah jendela, macam-macam niatan masuk ke dalam otakku. Aku ingin
menerobos masuk dan membacok mampus dadanya, aku ingin membakar perkampungan
keluarga Tian sampai menjadi rata dengan bumi, aku ingin membeber rahasianya Akhirnya aku
mengambil satu keputusan. Sebelum bertindak lebih jauh, aku akan menyelidiki siapa adanya
lelaki bangsat itu.
Dengan badan dingin aku balik ke kamarku. Ayah sudah menggeros. Aku berdiri seperti patung.
Entah sudah lewat berapa lama, tiba-tiba Whi susiok memanggil aku dan memberitahukan, bahwa
Tian pehhu ingin bicara denganku. 'Inilah dia!' kataku di dalam hati. 'Coba kudengar apa yang
akan dikatakan olehnya. Apa dia mau membujuk supaya aku membatalkan pernikahan" Apa dia
akan berlagak pilon"' Sesudah menyampaikan keinginan Tian pehhu, Whi susiok segera berlalu.
Karena kuatir terjadi sesuatu yang hebat, aku membangunkan ayah dan minta supaya ia berjagajaga.
Dengan membawa senjata dan senjata rahasia, bahkan gendewa dan anak panah yang
disembunyikan dalam jubah, aku segera menuju ke kamar Tian pehhu.
Begitu masuk, kulihat Tian pehhu rebah di ranjang dengan mata mengawasi langit-langit
pembaringan. Ia mencekel selembar kertas putih dalam tangannya dan ia rupanya tak tahu
masuknya aku. Aku batuk-batuk dan menegur, A-thia!' Ia kelihatan kaget dan buru-buru
memasukkan kertas putih itu di bawah kasur. Ah, Cu An, kau"' katanya. Aku mendongkol.
Bukankah dia sendiri yang memanggil aku" Tapi melihat mukanya, aku yakin, bahwa ia benarbenar
sedang ketakutan hebat. Ia menyuruh aku memalang pintu, tapi belakangan meminta aku
mementang jendela, sebab ia kuatir ada orang yang bersembunyi di luar jendela. 'Cu An,' katanya.
'Jiwaku terancam dan aku minta pertolonganmu.'"
Sekonyong-konyong Co Hun Ki berbangkit dan membentak seraya menuding Cu An, "Omong
kosong! Tak bisa jadi guruku meminta bantuan bocah cilik seperti kau! Apa kepandaianmu?"
Tanpa meladeni bentakan itu, Cu An meneruskan penuturannya, "Mendengar perkataan itu,
aku kaget. 'Gakhu, apa pun jua yang diperintah olehmu, biarpun mesti masuk di dalam api, aku
pasti tak akan menolak.' Tian pehhu manggut-manggutkan kepalanya. Dari bawah selimut, ia
mengeluarkan satu bungkusan sutera sulam yang panjang dan memberikannya kepadaku.
'Bawalah barang ini dan malam ini juga kau pergi keluar Tembok Besar,' katanya. 'Pendamlah di
tempat yang tidak ada manusianya. Jika tidak diketahui orang, mungkin sekali kau akan bisa
menolong jiwaku.'
"Aku menyambuti. Bungkusan itu ternyata berat sekali, seperti juga besi. 'Gakhu, apa ini"'
tanyaku. 'Siapa yang maui jiwamu"' Tian pehhu mengibas tangannya Ia kelihatannya lelah sekali.
'Pergi lekas-lekas!' katanya 'Malah kepada ayahmu sendiri, kau tidak boleh beritahukan hal ini.
Kalau terlambat, mungkin tak keburu lagi. Aku melarang keras kau membuka bungkusan itu.' Aku
tidak berani menanya lagi. Aku memutar badan dan segera bertindak keluar. Tapi baru tiba di
ambang pintu, Tian pehhu mendadak berkata, 'Cu An, apa yang disembunyikan di dalam
jubahmu"' Aku terkesiap. Matanya sungguh lihay! 'Senjata, gendewa dan anak panah,' jawabku.
'Sebab hari ini banyak tamu dan karena kuatir ada orang jahat, maka aku membekal senjata untuk
menjaga terjadinya sesuatu.' Ia mengangguk dan berkata, Bagus. Kau sangat hati-hati. Kalau Hun
Ki bisa turut ketelitianmu, aku akan merasa terlebih senang. Serahkanlah gendewa dan anak
panah itu kepadaku.'
Aku segera mengeluarkan dan menyerahkan apa yang diminta Ia mengambil sebatang anak
panah, yang sesudah dibulak-balik beberapa kali, lalu dipasang pada gendewa. 'Kau pergilah!'
katanya Melihat paras mukanya, aku sangat berkuatir. Kukuatir, selagi berjalan keluar, ia
memanah punggungku! Maka itu, dengan berlagak memberi hormat sambil membungkuk, aku
jalan mundur dan sesudah keluar dari pintu, dengan mendadak aku memutar badan dan berjalan
cepat-cepat. Sebab kepingin tahu, sekali lagi aku menengok.
Ternyata, ia menjuju anak panah ke arah mulut jendela
Dengan penuh kecurigaan, aku balik ke kamarku. Di samping rasa ketakutan, dari paras
mukanya, Tian pehhu seperti juga sedang menyembunyikan sesuatu. Aku merasa pasti, ia
mengandung maksud tak baik terhadapku. Maka itu, aku segera menceritakan pengalamanku
kepada ayah. Tapi sebab kuatir ia marah, maka halnya Ceng Bun moaycu tidak disebut-sebut
olehku. 'Paling benar kita buka bungkusan itu,' kata ayah. Aku menyetujui dan kami segera
membukanya. Di dalam bungkusan ternyata berisi kotak besi itu.
Kotak besi itu adalah mustika dari Thian Liong Bun.
Aku sudah pernah mendengar penuturan Ceng moay. Ayah dan Tian pehhu adalah kawan lama
dan dengan mata sendiri, pernah lihat, cara bagaimana Tian pehhu merampasnya dari tangan ahli
waris Ouw It To. Belakangan ia menaruh golok komando Cwan Ong di dalam kotak ini. 'Sungguh
mengherankan,' kata ayah. 'Mengapa dia menyerahkan kotak ini kepadamu.' Ayah tahu, bahwa
pada kotak ini di pasang anak panah yang bisa melesat sendiri dan juga tahu cara membuka
kotak. Ia segera membukanya. Di lain saat, kami mengawasi dengan mata membelalak tanpa bisa
mengeluarkan sepatah kata. Ternyata kotak itu kosong. Apa artinya ini"' kata ayah. Aku sudah
menduga artinya. Aku menduga pasti, bahwa Tian pehhu ingin mencelakai diriku. Ia
menyembunyikan golok mustika di tempat lain dan menyerahkan kotaknya kepadaku. Ia tentu
sudah memerintahkan orang mencegat dan membekuk aku di tengah jalan. Aku tentu akan
dituduh mencuri golok dan jika aku tidak bisa mengeluarkan golok mustika itu, aku pasti akan
dibunuh. Dengan demikian, pernikahanku dengan Ceng moay akan batal sendirinya dan Ceng
moay bisa menikah dengan Co suheng. Ayah yang belum tahu latar belakang itu, tentu saja tidak
bisa menduga maksud Tian pehhu."
"Justa!" teriak Co Hun Ki. "Kau sudah membinasakan guruku dan mencuri golok mustika.
Sekarang kau mengeluarkan omongan gila-gila"
To Cu An tertawa dingin. "Biarpun Tian pehhu sudah meninggal dunia, aku masih memegang
bukti," katanya.
Co Hun Ki berjingkrak-jingkrak bahna gusarnya. "Bukti?" teriaknya. "Bukti apa" Keluarkan,
supaya semua orang bisa melihatnya!"
"Kalau sudah tiba waktunya aku pasti akan mengeluarkan bukti itu," jawabnya dengan tenang.
"Tuan-tuan, sebab Co suheng selalu memutuskan penuturanku, maka lebih baik dia saja yang
menggantikan bicara."
"Co Hun Ki," kata Po Si. "Tadi kau coba menggulingkan loolap ke bawah gunung dan loolap
belum berhitungan denganmu."
Pemuda itu ketakutan dan tidak berani membuka mulut lagi.
Cu An melanjutkan penuturannya, "Kutahu keadaan sudah mendesak. Begitu keluar dari pintu
keluarga Tian dengan membawa kotak besi, aku bisa mati. Bukan saja mati, namaku pun akan
menjadi rusak. 'Thia, hal ini ada latar belakangnya yang berbelit-belit,' kataku. 'Paling selamat aku
mengembalikannya kepada Gakhu.' Aku segera membungkus lagi kotak itu dengan bungkusannya
dan menyiapkan beberapa perkataan untuk menyentil Tian pehhu. Tapi waktu tiba di depan
kamarnya, lampu sudah dipadamkan dan jendela tertutup rapat 'Gakhu! Gakhu!' aku memanggil.
Tapi tak dapat jawaban. Aku bercuriga. Tian pehhu memiliki kepandaian tinggi dan biarpun lagi
pulas, ia tentu sudah tersadar kalau dipanggil-panggil. Apa dia sengaja tidak mau. meladeni aku"
Makin lama aku makin ketakutan. Apa murid-murid Thian Liong Bun sudah bersembunyi di
sekitar aku dan akan segera menyergap aku" Maka itu, sambil mengetuk-ngetuk pintu, aku
berkata, 'Gakhu! Aku pulangkan bungkusan. Kami mempunyai urusan penting dan tidak bisa
menjalankan perintahmu.' Tapi tetap tidak terdengar jawaban. Aku bingung. Dengan golok aku
mengorek palang pintu dan sesudah pintu teihuka. aku masuk ke kamal yang gelap gulita Aku
segera menyalakan api dari menyulut lilin. Tiba-tiba aku terkesiap. Kulihat Tian pehhu-rebah di
pembaringan tanpa bernyawa lagi, sedang di dadanya tertangkap sebatang anak panah yaitu anak
panahku yang barusan kuberikan kepadanya. Mukanya menakuti, seperti juga ia telah melihat
pemandangan hebat pada sebelum menutup mata.
Untuk beberapa saat, aku berdiri bagaikan patung. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana
Jendela terkunci. Cara bagaimana pembunuh bisa masuk ke dalam kamar" Aku mendongak, tapi
semua genteng tetap utuh Hal ini membuktikan, bahwa pembunuh tidak menggunakan jalan dari
atas genteng. Baru saja aku mau menyelidiki lagi, tiba tiba kudengar tindakan kaki beberapa orang
di lorong di luar kamar. Aku kaget. Tian pehhu mati dengan dada tertancap sebatang anak
panahku. Jika ada orang masuk ke kamar, bagaimana aku bisa meloloskan diri" Buru-buru aku
mengambil gendewa yang menggeletak di atas selimut Baru saja aku mau mencabut anak panah
yang menancap di dada, dengan bantuan sinar lilin kulihat dua rupa benda di atas pembaringan.
Hatiku mencelos, tanganku bergemetaran, ciaktay jatuh dan lilin padam.
Apakah kalian bisa menebak kedua benda yang dilihat olehku" Kalian pasti tak akan bisa
menebak. Yang satu golok mustika, yang lain mayat yang mati dikubur oleh Ceng moay! Dalam
otakku berkelebat anggapan, bahwa bayi itu keluar dari kuburannya untuk minta ganti jiwa karena
penasaran. Dalam bingung, aku menjemput golok mustika dan lantas kabur. Baru saja tiba di
ambang pintu, mendadak kuingat serupa hal. Dengan memberanikan hati, aku kembali lagi dan
meraba-raba di bawah kasur Tian pehhu. Benar saja aku dapatkan selembar kertas putih. Aku
merasa pasti, bahwa kertas itu mempunyai sangkut-paut dengan kebinasaan Tian pehhu. Aku tak
berani menyalakan lilin lagi dan segera memasukkan kertas itu ke dalam saku. Selagi
mengangsurkan tangan untuk mencabut anak panah, kupingku menangkap suara tindakan kaki
dan tiga orang bertindak ke ambang pintu. Celaka! Jika ketahuan, aku pasti akan binasa, pikirku.
Dalam menghadapi bahaya, bagaikan kilat aku masuk ke kolong ranjang. Ketiga orang itu
mendorong pintu dan lantas masuk. Mereka adalah Whi susiok, Co suheng dan Ciu suheng. 'Suko!'
memanggil Whi susiok. Karena tak dijawab, ia segera menyuruh Ciu suheng menyulut lilin. Aku
ketakutan setengah mati. Begitu lekas lilin menyala, mereka akan tahu kebinasaan Tian pehhu dan
kalau mereka menggeledah kamar, jiwaku pasti akan melayang. Mengingat begitu, jalan satusatunya
bagiku adalah coba kabur waktu kamar masih gelap.
Whi susiok dan Co suko memiliki kepandaian tinggi. Seorang diri, aku pasti tak akan bisa
melawan mereka Tapi jika kukabur dengan tiba-tiba, mungkin sekali aku masih bisa meloloskan
diri. Aku tidak boleh bersangsi lagi. Perlahan-lahan aku merangkak ke pinggir ranjang. Baru saja
aku mau melompat keluar, tanganku mendadak menyentuh muka seorang! Ada seorang lain yang
bersembunyi di situ! Karena kaget, hampir hampir aku berteriak. Bagaikan kilat, orang itu
menyengkerani nadiku. Aku mengeluh. Tapi dia segera menulis huruf-huruf begini di telapak
tanganku, 'Kita keluar bersama-sama.' Aku girang. Selesai itu, kamar terang benderang " Ciu
suko menenteng sebuah teng.
Dari kolong ranjang orang itu melepaskan senjata rahasia yang berhasil memadamkan lilin
teng. Dengan sekali membalik tangan, ia merampas golok mustika yang dicekal olehku. Dengan
bergulingan aku keluar dari kolong ranjang dan lalu kabur sekuat tenagaku. Orang itu juga turut
keluar. 'Bangsat!' bentak Whi susiok sambil menghantam. Whi susiok berkepandaian tinggi. Orang
itu mungkin tak akan bisa meloloskan diri. Dengan terbirit-birit aku kembali ke kamar,
membangunkan ayah dan malam-malam kami meninggalkan gedung keluarga Tian.
Itulah pengalamanku.
Kotak besi itu telah diberikan kepadaku oleh Tian pehhu yang memerintahkan, supaya aku
memendamnya di luar Tembok Kosar. Aku sudah melakukan perintah itu. Di lain pihak, karena
menemukan anak panahku di dada Tian pehhu, para susiok dan suheng dari Thian Liong Hun
sudah menduga bahwa Tian pehhu dibunuh olehku. Aku tidak dapat menyalahkan mereka. Hanya
sayang aku tak tahu siapa adanya orang yang bersembunyi di kolong ranjang bersama-sama aku.
Kalau kutahu, aku tentu bisa mencarinya untuk dijadikan saksi. Tapi biarpun begitu, aku tahu
siapa yang sudah membunuh Tian pehhu. Tuan-tuan, sekarang lihatlah. Selembar kertas yang
akan segera dikeluarkan olehku adalah kertas yang disembunyikan di bawah kasur oleh Tian
pehhu. Sebab takut dibunuh oleh musuhnya, ia mementang gendewa yang ditujukan ke jendela.
Yang ditunggu olehnya adalah orang itu. Tapi orang itu toh datang juga dan Tian pehhu tak bisa
terlolos." Seraya berkata begitu, ia mengeluarkan satu kantong sulam dari sakunya. Semua orang
tahu, bahwa kantong itu yang sangat indah sulamannya, dibuat oleh Tian Ceng Bun. Tanpa
merasa mereka menengok ke arah Co Hun Ki. To Cu An membuka kantong dan mengeluarkan
selembar kertas. Semula ia bergerak untuk menyerahkannya kepada Po Si, tapi sesudah bersangsi
sejenak, ia mengangsurkan kertas itu kepada Biauw Yok Lan.
Si nona segera membuka lipatan kertas dan begitu melihatnya, ia mengeluarkan seruan kaget.
Ternyata, di atas kertas itu tertulis dua baris huruf.
"Selamat kepada Tian loocianpwee yang hari ini menutup pintu dan menyimpan pedang.
Kekayaan dan umur semua berpulang. Boanpwee Ouw Hui akan datang untuk memberi hormat."
Huruf-huruf itu indah sekali, tiada bedanya dengan huruf-huruf di atas tiap yang diantar oleh
sepasang bocah. Tak bisa salah lagi, itulah tulisan tangan dari "Soat San Hui Ho" Ouw Hui.
Dengan tangan agak bergemetar Yok Lan memegang kertas itu "Apa dia?" katanya dengan suara
hampir tak kedengaran.
Whi Su Tiong mengambil kertas itu dari tangan Yok Lan dan sesudah membaca, ia berkata,
"Benar tulisan Ouw Hui. Dengan begini kita sudah salah menyangka Cu An." Tiba-tiba ia berpaling
kepada Lauw Goan Ho dan berkata, "Lauw Tayjin, perlu apa kau bersembunyi di kolong ranjang
Tian sutee" Apa kau disuruh oleh 'Soat San Hui Ho'?"
Semua orang kaget, berikut juga Co Hun Ki dan Ciu Hun Jang. Malam itu, orang yang
bersembunyi di kolong ranjang telah bertempur beberapa jurus dengan Whi Su Tiong, tapi
akhirnya dia bisa melarikan diri. Sebegitu lama, mereka tidak bisa menebak siapa adanya orang
itu. Mengapa sekarang Whi Su Tiong mendadak menuduh Lauw Goan Ho"
Lauw Goan Ho sendiri tertawa dingin, tapi tidak menjawab pertanyaan Whi Su Tiong.
"Malam itu, dalam kegelapan, aku tak bisa lihat mukanya," kata pula Whi Su Tiong. 'Aku
merasa sangat takluk akan kepandaiannya yang sangat tinggi. Kami bertiga, paman guru dan dua
keponakan murid, tidak berhasil membekuknya Bukan saja begitu, kami bahkan tak tahu siapa
manusianya Tapi hari ini, dalam pertempuran di atas salju, aku telah mendapat kehormatan untuk
melayani Lauw Tayjin beberapa jurus. Ternyata, Lauw Tayjin adalah orang yang dahulu
bersembunyi di kolong ranjang. Huh-huh! Selamat bertemu. Sungguh sayang) Sungguh sayang!"
Ciu Hun Yang mengerti, bahwa untuk mencaci Lauw Goan Ho, paman gurunya harus mendapat
bantuan. Maka itu ia lantas saja bertanya, "Susiok, sayang apa?"
"Sayang sungguh, bahwa seorang yang berkedudukan begitu tinggi sebagai 'Gi Cian Si Wi'
Lauw Tayjin bisa melakukan perbuatan sebagai seorang pencuri ayam atau anjing." teriaknya.
Lauw Goan Ho tertawa terbahak-bahak. "Tepat sungguh cacian Whi toako!" katanya. "Orang
yang malam itu bersembunyi di kolong ranjang Tian Kui Long memang aku sendiri. Tak salah
kalau kau mencaci aku sebagai pencuri ayam atau anjing." Berkata sampai di situ, paras mukanya
berseri-seri. "Tapi aku mencuri ayam atau anjing, atas perintah Hongsiang (Kaisar)!" ia
menambahkan."
Semua orang kaget tak kepalang. Semula mereka anggap Lauw Goan Ho omong kosong, tapi di
lain saat, mereka ingat, bahwa memang benar dia seorang si wi, pengawal kaisar dalam keraton,
sehingga pengakuannya itu bukan hal yang tidak bisa jadi. Mungkin sekali ia telah menerima
firman untuk menghadapi Thian Liong Bun. Orang-orang Eng Ma Coan yang memang berseteru
dengan pembesar negeri, tidak menjadi gentar. Tapi para anggauta Thian Liong Bun rata-rata
mempunyai rumah tangga dan perusahaan, lebih-lebih In Kiat yang dikenal sebagai hartawan
besar dalam propinsi Kwitang dan Kwisay, sehingga tidaklah heran, kalau keterangan Lauw Goan
Ho sudah membuat mereka kaget tercampur takut.
Melihat perkataannya sudah berhasil menindih semua orang, Lauw Goan Ho jadi lebih girang
lagi. "Sebab keadaan sudah menjadi begini, biarlah aku pun turut bicara." katanya. "Mungkin
sekali kalian belum pernah lihat barang ini." Seraya berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan
sebuah amplop besar yang berwarna kuning dan yang di atasnya tertulis dua huruf, "Perintah
Rahasia." Ia membuka mulut amplop, menarik keluar selembar kertas kuning dan membacanya
dengan suara nyaring, "Berdasarkan firman Seri Baginda, Lauw Goan Ho, Gi Cian Si Wi kelas satu
yang bersenjata golok, diperintah bekerja sesuai dengan siasat yang telah diberikan Congkoan
Say." Sesudah membaca, ia meletakkan kertas itu di atas meja supaya semua orang bisa
memeriksanya.

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In Kiat, To Pek Swee dan beberapa orang lain yang berpengalaman lantas saja mengetahui,
bahwa yang menandatangani perintah itu adalah Congkoan (Kepala) dari para si wi, yang
bernama Say Siang Gok. Say Congkoan dikenal sebagai ahli silat utama dari suku-bangsa Boan
dan sangat disayang oleh Kaisar Kian Liong.
"Whi toako," kata Lauw Goan Ho, "kau tak usah mendelik-delik terhadapku. Kalau mau
diceriterakan, asal-mula urusan ini sebenarnya adalah karena gara-garanya suhengmu juga, yaitu
Tian Kui Long. Kejadiannya adalah begini, pada suatu hari, Say Congkoan menjamu delapan belas
si wi di gedungnya. Oleh sahabat-sahabat, delapan belas si wi ini digelarkan sebagai 'Delapan
belas ahli silat yang berkepandaian tinggi dalam istana'. Sebenar-benarnya mereka hanya
mempunyai kepandaian pasaran. Mana bisa dinamakan 'ahli silat yang berkepandaian tinggi"' Tapi
sebab gelaran itu diberikan oleh sahabat-sahabat yang ingin menempelkan emas di muka kami,
maka kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah begitu"
Begitu tiba di gedung Say Congkoan, pemimpin itu lantas saja mengatakan, bahwa hari ini kami
akan diperkenalkan dengan seorang tokoh, terkemuka dalam Rimba Persilatan. Kami segera
menanyakan siapa adanya pentolan itu, tapi Say Congkoan hanya bersenyum dan tidak mau
memberitahukan. Sesudah perjamuan dibuka, ia mengajak seorang pria yang potongan badannya
kekar masuk ke dalam. Biarpun rambut di kedua pelipisnya sudah beruban, orang itu, yang
berparas sangat tampan, masih gagah sekali. 'Saudara-saudara,' kata Say Congkoan, 'inilah Ciang
Bun dari Thian Liong Bun bagian Pak Cong, Tian Kui Long, Tian toako, gunung Thay San atau
bintang Pak Tauw dalam Rimba Persilatan.'
Kami agak terkejut. Nama besarnya Tian Kui Long sudah didengar kami. Tapi sebegitu jauh
Thian Liong Bun tidak pernah berhubungan dengan pembesar negeri. Entah bagaimana Say
Congkoan sudah berhasil mengundang jago itu. Dalam perjamuan, dengan bergiliran kami
mengangkat cawan untuk menghormatinya. Tian toako bersikap sangat sungkan. Dengan
perkataan-perkataan manis, ia merendahkan diri dan memuji-muji kami. Tapi tak satu perkataan
pun keluar dari mulutnya yang menunjuk sebab-musabab dari kunjungannya ke kota-raja.
Sesudah selesai bersantap, Say Congkoan mengundang kami ke kamar samping sebelah timur
untuk minum teh. Di situlah mereka baru memberitahukan kami tentang maksud kedatangan Tian
toako. "Ternyata, meskipun Tian toako pernah menjadi perampok, kesetiaannya terhadap negeri tidak
lebih kurang daripada kami, orang-orang yang menjadi pegawai negeri. Kedatangannya ke kotaraja
adalah untuk mempersembahkan sebuah harta karun kepada Hongsiang (Kaisar). Harta ini
ialah harta yang telah dikumpulkan oleh pengkhianat Li Cu Seng pada waktu ia menduduki Pakkhia
Menurut katanya Tian toako, untuk mendapatkan harta ini, orang harus memperoleh dua rupa
petunjuk. Kedua petunjuk itu harus dipersatukan. Yang satu adalah golok komando Li Cu Seng.
Golok itu berada dalam tangan Thian Liong Bun dan sekarang turut dibawanya. Petunjuk yang
satunya lagi agak sukar didapatkan. Petunjuk tersebut merupakan peta bumi gudang harta yang,
dari satu turunan, disimpan oleh keluarga Biauw Kee Kiam. Kalau orang bisa mendapatkan kedua
petunjuk itu. maka harta tersebut bisa dicari secara mudah, seperti orang merogo saku sendiri.
Biarpun kami pegawai negeri, tapi sebagai orang dari Rimba Persilatan, kami mengenal nama
'Biauw Kee Kiam'. Kami tahu lihaynya 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu' Biauw Jin Hong. Siapa
berani main gila terhadapnya"
Melihat paras muka kami yang menunjuk rasa putus harapan, Tian toako bersenyum. 'Jika aku
belum mempunyai daya untuk menghadapi Biauw Jin Hong, mana berani aku datang mengganggu
kalian"' katanya. Dengan suara perlahan ia segera menuturkan tipu-dayanya. Kami menganggukangguk
tipu itu memang bagus sekali. Nanti, kalau sudah tiba waktunya, kalian akan tahu apa
adanya tipu-daya Tian toako. Sekarang aku tak usah menceriterakan.
Besoknya Tian toako meninggalkan Pakkhia. Say Congkoan segera memerintahkan kami untuk
bekerja sesuai dengan tipu Tian toako. Belakangan, sesudah memikir bulak-balik, Say Congkoan
merasa sangsi. Dalam mempersembahkan tipu-dayanya, Tian toako tidak menghendaki pangkat
dan juga tidak bermaksud untuk mengeduk keuntungan. Ia mengantarkan hadiah besar itu secara
cuma-cuma. Dalam dunia, di mana ada manusia yang begitu mulia" Mungkin sekali, di dalam
urusan ini terselip sesuatu yang tidak diketahui. Memikir begitu, Say Congkoan diam-diam
memerintahkan beberapa orang untuk pergi menyelidiki, antaranya aku sendiri. Baru saja
meninggalkan kota-raja, aku segera mendengar, bahwa Tian toako mengadakan pesta untuk
merayakan hari menutup pintu dan menyimpan pedang. Aku lantas saja menyediakan barang
antaran dan datang berkunjung.
Bertemu dengan aku, Tian toako girang sekali. Ia menarik tanganku ke tempat yang sepih dan
dengan bisik-bisik meminta bantuanku. In toako, kuharap kau tidak marah. Ia minta bantuanku
untuk melaporkan kepada pembesar negeri, menjatuhkan tuduhan berat atas dirimu, supaya kau
dipenjarakan."
In Kiat mencelat dari kursinya. "Tian suheng dapat melakukan perbuatan yang sebusuk itu?"
tanyanya dengan mata membelalak. "Untung sungguh Lauw Tayjin menaruh belas kasihan dari
aku pasti akan membalas budi yang besar."
"Bagus, bagus," kata Lauw Goan Ho. "Ketika itu aku segera menanya, apa di antara Tian toako
dan In toako terdapat permusuhan. Permusuhan tidak ada, jawabnya, tapi menurut peraturan
Thian Liong Bun, pada hari Ciang Bun Jin Pak Cong menutup pintu dan menyimpan pedang, maka
golok komando Li Cu Seng harus diserahkan kepada Lam Cong. Kalau golok itu jatuh ke tangan In
toako, maka sukar sekali bisa diambil pulang," katanya.
"Walaupun keterangan itu masuk akal, kecurigaanku jadi makin besar. Aku segera memberi
jawaban samar-samar, tidak mengiakan dan juga tidak menolak. Aku segera memasang mata.
Malam itu, aku menyaksikan pertengkaran antara Tian toako dan In toako karena urusan
penyerahan golok komando. Tiba-tiba satu pikiran berkelebat dalam otakku, untuk membantu Tian
toako. Jika kucuri golok itu, Tian toako tidak akan bisa menyerahkannya kepada In toako. Biar pun
In toako bergusar, ia tak akan bisa berbuat apa pun jua. Di samping itu, aku sendiri berjasa besar
untuk membalas budinya Hongsiang. Memikir begitu, diam-diam aku masuk ke kamar Tian toako.
Tapi baru saja aku mau cari golok mustika itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki dan Tian
toako kembali ke kamarnya. Sebab tidak bisa melarikan diri lagi, aku segera menyembunyikan diri
di kolong ranjang.
Begitu masuk di kamarnya, Tian toako membuka sebuah peti kayu dan mengeluarkan satu
kotak besi. Mendadak ia berseru, 'Ih! ... Di mana golok itu"' la pasti tidak berpura-pura sebab nada
suaranya menunjuk rasa kaget yang sangat hebat. Dengan lantas ia memanggil puterinya, Tian
Kouwnio, dan menanyakan. Tian Kouwnio, yang tidak tahu apa-apa, juga turut bingung. Beberapa
saat kemudian, Whi toako masuk. Karena urusan mengangkat Ciang Bun Jin baru, antara kedua
saudara seperguruan terjadi percekcokan hebat. Dengan gusar Tian Kouwnio keluar dari kamar
itu, sebab urusan percintaannya dengan Co Hun Ki Co siheng disebut-sebut. Belakangan To Cu An,
To siheng, dipanggil dan Tian toako menyerahkan kotak besi kosong kepadanya, dengan
permintaan supaya ia mengubur kotak itu di luar Tembok Besar. Dengan berdiam di kolong
ranjang, aku bisa mendengar setiap perkataan. Diam-diam aku merasa geli karena To siheng
benar-benar tolol dan sudah masuk dalam jebakan. Sesudah To siheng keluar, kudengar Tian
toako menghela napas berulang-ulang dan berkata seorang diri
'Ouw It To! Biauw Jin Hong!'
Ketika itu aku hanya menduga, bahwa ia jengkel sebab Biauw Jin Hong sudah mencuri
goloknya. Kutak tahu, bahwa ia telah menerima tiap dari Ouw Hui putera Ouw It To dan ia
merasa, bahwa ia tak akan bisa terlolos lagi.
Selang beberapa lama Tian Kouwnio masuk lagi dengan tersipu-sipu. 'Thia aku tahu di mana
adanya golok mustika itu,' katanya Tian toako melompat bangun dan bertanya, 'Di mana"' Tian
Kouwnio mendekati dan berbisik, 'Dicuri Ciu suheng.' Apa benar"' menegas Tian toako. 'Di mana
dia sekarang" Di mana golok itu"' Jawab Tian Kouwnio, 'Dengan mata sendiri kulihat dia
memendamnya di satu tempat.' 'Bagus,' kata Tian toako, 'kau ambillah sekarang juga.' Tian
Kouwnio berkata, 'Thia, aku mau melakukan sesuatu dan kuharap kau tidak gusar.'
Apa,' tanya Tian toako. 'Kau panggil Ciu suheng kemari dan aku akan bersembunyi di belakang
pintu,' jawabnya 'Begitu berhadapan, kau tanya, apa benar dia curi golok itu. Kalau dia mengaku,
aku akan segera menimpuk dengan Tok Liong Cui.'
'Aku bergidik. Jahat benar perempuan itu,' pikirku. 'Patahkan saja kedua tulang betisnya, tak
usah kita mengambil jiwanya,' kata Tian toako. Kata Tian Kouwnio, 'Jika kau tidak mau menuruti
kehendakku, aku tak akan ambil golok itu.' Sesudah berpikir sejenak, Tian toako berkata, 'Baiklah.
Pergilah ambil. Sesudah kau memperlihatkannya kepadaku, kau boleh berbuat sesuka hati.' Tian
Kouwnio lantas saja berlalu. Waktu itu aku menduga, bahwa di antara Tian Kouwnio dan
suhengnya terdapat permusuhan hebat. Hari ini, sesudah mendengar penuturan To siheng,
barulah kutahu, bahwa Tian Kouwnio mau membunuh kakak seperguruannya untuk menutup
mulut kakak itu, supaya dia tidak bisa membuka rahasia tentang penguburan bayi Tian Kouwnio.
Aku berdiam terus di kolong ranjang. Kuingin menyaksikan akhirnya sandiwara ini. Aku pun
mau menunggu kembalinya golok mustika. Di samping itu, dengan Tian toako di atas ranjang,
mana bisa aku keluar" Tak lama kemudian Tian Kouwnio balik dengan tindakan cepat. 'Thia,'
katanya dengan suara bergemetar, 'golok itu sudah diambil dia Aku sungguh bodoh. Aku
terlambat. Dia juga ... juga____'
'Dia kenapa"' tanya Tian toako. Tian Kouwnio sebenarnya ingin mengatakan, 'Orokku turut
dikeduk juga.' tapi kata-kata itu tak dapat keluar dari mulutnya. Ia bengong beberapa saat dan
kemudian berseru, 'Aku cari dia!' Ia loncat keluar, tapi roboh di pinggir pintu, mungkin sebab
kegoncangan hati yang melewati batas.
Bukan main mendongkolnya hatiku. Ketika itu, aku sebetulnya ingin sekali padamkan
penerangan dan kabur, akan tetapi, melihat puterinya roboh, Tian toako sama sekali tidak
bergerak dari pembaringannya, ia Cuma menghela napas panjang. Perlahan-perlahan Tian
Kouwnio bangun berdiri sambil pegangi pinggiran pintu. Beberapa saat kemudian, Tian toako
turun dari pembaringannya dan sesudah kunci pintu kamar, ia lalu duduk di atas kursi. Ia taroh
pedangnya di atas meja, tangannya menyekal busur dan anak panah, sedang mukanya yang pucat
pias menakuti sekali. Hatiku berdebar-debar. Jika ia mengetahui aku bersembunyi di kolong
ranjang, jiwaku mungkin tak akan dapat ditolong lagi.
Sesudah selang setengah jam, lilin sudah jadi pendek sekali. Selama setengah jam itu, Tian
toako duduk menjublek di kursinya, badannya tak bergerak bagaikan patung, cuma kedua
matanya berkilat-kilat. Keadaan sunyi-senyap, cuma kadang-kadang kesunyian malam dipecahkan
oleh suara menyalaknya anjing di tempat jauh. Mendadak seekor anjing kedengaran
menggonggong di tempat yang sangat dekat, disusul dengan satu jeritan hebat dan lalu berhenti
menyalak. Rupanya binatang itu dipukul mati. Tian toako loncat berdiri, dibarengi dengan suara
terketuknya pintu. Sungguh cepat kedatangannya orang itu! Barusan saja anjing itu terkuing-kuing
dan ia sudah tiba di depan pintu!
Suara Tian toako seram ketika ia menanya, 'Ouw Hui, kau datang juga"' Tapi jawabnya orang
itu begini, 'Tian Kui Long, kau kenal aku siapa"' Mukanya Tian toako jadi pucat bagaikan mayat.
'Biauw ... Biauw Tayhiap!' katanya tergugu. 'Benar, aku!' jawab orang yang di luar. 'Biauw
Tayhiap, untuk apa kau datang di sini"' tanya Tian toako. 'Kau toh sudah berjanji tak akan
celakakan aku.' 'Hm!' kata orang itu. 'Aku bukan mau celakakan kau, aku cuma ingin kasikan
serupa barang padamu.' Tian toako agak bersangsi, tapi sesaat kemudian, ia taruh busur dan anak
panahnya dan membuka pintu.
Seorang yang berbadan tinggi-kurus dan bermuka kuning masuk ke dalam. Aku mengintip dari
kolong ranjang. Angker sekali paras mukanya orang itu, yang dikenal sebagai jago nomor satu
dalam Rimba Persilatan. Tangannya menyekal dua rupa barang yang panjang, yang lalu ditaruh di
atas meja. 'Ini golok wasiatmu, ,ini, cucu luarmu (gwasun)!' kata ia.
Badannya Tian toako gemeteran dan roboh di atas kursi. 'Muridmu telah pedayai kau dan
pendam golok itu,' kata Biauw Tayhiap. 'Puterimu kelabui kau dan pendam anak haramnya. Semua
dilihat olehku dan sekarang aku bayar pulang.' 'Terima kasih,' sahut Tian toako. Aku... keluargaku
tak beruntung. Kejadian itu sungguh memalukan.' Kedua matanya Biauw Tayhiap merah, seperti
orang mau menangis. Tiba-tiba parasnya berubah, paras pembunuhan yang menyeramkan.
'Bagaimana caranya dia binasa"' tanya Biauw Tayhiap dengan keluarkan perkataannya satu demi
satu." Mendadak terdengar suara nyaring. Semua orang berpaling dan lihat cangkir tehnya Biauw
Yok Lan jatuh hancur. Heran sungguh, kenapa seorang yang begitu tenang sebagai Yok Lan, tak
dapat pertahankan dirinya setelah mendengar penuturan itu.
Khim Ji buru-buru keluarkan sapu-tangan untuk menyeka air teh yang berhamburan di bajunya
Yok Lan. "Siocia," katanya, "Pergi mengasohlah, jangan dengar lagi segala cerita itu."
"Tidak," sahut si nona. 'Aku hendak dengar sampai akhirnya"
Lauw Goan Ho lirik Yok Lan dan teruskan penuturannya, "Mendengar pertanyaan itu, Tian
toako menyahut, 'Hari itu ia dilanggar pilek dengan sedikit batuk-batuk. Aku panggil tabib dan
tabib bilang tidak kenapa, cuma kelanggar pilek sedikit, makan sebungkus obat juga sudah
sembuh. Tak dinyana, ia buang obat yang sudah dimasak dengan mengatakan obat itu terlalu
pahit dan juga tak mau menelan nasi. Dengan begitu, penyakitnya menjadi berat. Aku panggil
tabib lagi, tapi ia tetap tak mau makan obat dan makan nasi."
Mendengar sampai di situ, Yok Lan menangis dengan perlahan. Him Goan Hian dan yang lain-lain
merasa heran. Mereka tak tahu siapa adanya wanita itu dan hubungan apa terdapat antara wanita
tersebut dan Tian Kui Long serta Biauw Tayhiap. Tapi To Pek Swee ayah dan anak serta orangorang
Thian Liong Bun mengetahui, bahwa wanita itu adalah isteri Tian Kui Long. Mereka hanya
tidak mengetahui, ada hubungan apa antara nyonya itu dengan Biauw Tayhiap dan kenapa Yok
Lan jadi begitu sedih. Apa nyonya Tian anggauta keluarga Biauw"
Sementara itu, Lauw Goan Ho kembali sambung ceritanya, "Ketika itu aku merasa sangat
mendongkol, lantaran tak tahu, siapa yang mereka maksudkan. 'Kalau begitu, ia sendiri yang
sudah bosan hidup"' tanya Biauw Tayhiap. Jawab Tian toako, 'Yah! Aku berlutut di hadapannya
dan memohon-mohon, tapi sedikit pun ia tak menggubris.' 'Apa ia tinggalkan pesanan"' Biauw
Tayhiap menanya pula. 'Ia minta jenazahnya dibakar dan abunya disebar di tengah jalan, supaya
diinjak-injak orang,' sahutnya. Biauw Tayhiap loncat seraya membentak, 'Dan kau turut"' Aku turut
sebagian,' sahut Tian toako. 'Jenazahnya aku bakar, tapi abunya ada di sini.' Ia hampiri
pembaringan dan keluarkan satu guci, yang lantas ditaroh di atas meja. Biauw Tayhiap lirik guci
itu dengan paras sedih dan gusar, la cuma melirik satu kali, sesudah itu, ia pelengoskan mukanya.
Tian toako rogo sakunya dan keluarkan satu tusuk konde burung hong yang tertata mutiara. Ia
taroh perhiasan itu di atas meja dan berkata, 'Ia minta aku pulangkan tusuk konde ini kepada kau
atau kepada Tian Kouwnio. Ia kata, barang ini adalah miliknya keluarga Biauw.'"
Semua mata segera ditujukan kepada Yok Lan. Di kondenya nona Biauw kelihatan tertancap
tusuk konde burung hong yang indah dengan beberapa butir mutiara yang bundar dan besar.
"Biauw Tayhiap ambil tusuk konde itu," demikian Lauw Goan Ho. "Ia cabut selembar rambutnya
yang lantas ditusukkan ke dalam mulutnya burung hong dan rambut itu tembus. Ia pegang kedua
ujung rambut dan tarik dengan perlahan. Mendadak sebagian kepala burung terbuka! Biauw
Tayhiap tunggingkan tusuk konde itu dan segumpal kertas loncat keluar dari lubang itu. Ia buka
kertas itu dan berkata dengan suara dingin, 'Kau lihatlah!' Mukanya Tian toako jadi semakin pucat.
Lewat beberapa saat, ia menghela napas panjang.
'Siang-malam tak hentinya kau putar otak buat coba rampas peta bumi ini,' kata Biauw
Tayhiap. 'Tapi ia tak sudi membuka rahasia dan akhirnya pulangkan barang ini kepada keluarga
Biauw. Peta bumi harta karun tersimpan dalam perhiasan ini ... hm! Mungkin ngimpi pun kau tak
pernah mengimpi!'
Ia masukkan pula kertas itu ke dalam kepala burung dan tarik rambutnya sehingga lubangnya
tertutup pula. Ia taroh tusuk konde itu di atas meja seraya berkata, 'Kau sudah tahu cara
membuka kepala burung. Ambillah dan carilah harta karun itu!' Tapi Tian toako mana berani
ambil" Di kolong ranjang, hatiku berdebar-debar. Peta bumi dan golok sudah berada bersamasama,
tapi dapat dilihat, tak dapat dipegang.
Adalah pada ketika itu, Biauw Tayhiap lakukan satu perbuatan mengejutkan. Ia buka guci,
tuang air teh ke dalamnya dan lalu minum isinya!"
Mukanya Biauw Yok Lan jadi pias. Ia mendekam di atas meja sambil menangis sesenggukan.
Lewat beberapa saat, Lauw Goan Ho berkata pula, "Sesudah Biauw Tayhiap hirup isinya guci,
Tian toako tepuk meja dan berkata dengan suara nyaring, 'Biauw Tayhiap, bunuhlah aku! Sedikit
pun aku tak merasa menyesal.' Biauw Tayhiap tertawa terbahak-bahak. 'Kenapa juga aku mesti
membunuh kau"' katanya. 'Manusia hidup belum tentu lebih beruntung dari manusia mati. Tempo
hari, beberapa hari beruntun aku telah bertempur melawan Ouw It To dan akhirnya kedua suamiisteri
itu jadi binasa Aku sendiri hidup terus, tapi selama hidup, aku menderita. Ouw It To suamiisteri
hidup bersama-sama dan mati bersama-sama dan sungguh-sungguh mereka lebih beruntung
daripada aku. Hm! Harta sudah berada dalam tanganmu, toh kau pulangkan kepadaku. Buat apa
aku bunuh kau" Biarlah kau menyesal seumur hidupmu! Bukankah itu lebih baik daripada ambil
jiwamu"' Sehabis berkata begitu, ia sembat tusuk konde itu dan keluar dengan tindakan lebar.
Sesaat kemudian terdengar pula suara terkuing-kuingnya sang anjing. Ternyata, binatang itu
bukan dibinasakan, tapi cuma ditotok jalan darahnya, dan sembari lewat, Biauw Tayhiap rupanya
sudah buka totokannya.
Tian toako menghela napas beberapa kali. Ia taroh mayat orok dan golok di atas pembaringan
dan lalu mengunci pintu. 'Manusia hidup belum tentu lebih beruntung dari manusia mati,' ia
menggerendeng. Lama ia duduk di atas ranjang. 'Lan! Ah, Lan"katanya dengan suara menyayatkan
hati. 'Untukku, kau terpleset. Untuk kau, aku terpleset. Benar-benar kita menderita!' Berbareng
dengan itu terdengar suara serupa benda masuk di daging, disusul dengan berkelejetnya Tian
toako dan kemudian tidak terdengar apa-apa lagi.
Aku kaget, buru-buru keluar dari kolong ranjang. Di dadanya Tian toako tertancap sebatang
anak panah dan napasnya sudah berhenti. Saudara-saudara, Tian toako mati bunuh diri, bukannya
dipanah mati oleh siapa juga. Bukan dibinasakan oleh To Cu An atau Ouw Hui. Ia binasa dengan
tangannya sendiri! Ia sama sekali tak menyintai To Cu An atau Ouw Hui dan tentu tak dapat
dikatakan ingin membela mereka.
Aku tiup lilin dan niat kabur dengan membawa golok itu. Tapi, sebelum maksudnya
kesampaian, To siheng mengetuk pintu. Terpaksa aku menyelesap pula ke kolong ranjang.
Kejadian selanjutnya sudah dituturkan oleh To siheng. Ia ambil golok wasiat itu dan kabur ke
Kwan Gwa. Sesudah mengetahui segala rahasia, cara bagaimana aku bisa berpeluk tangan?"
Sehabis berkata begitu, ia keprik-keprik bajunya dengan kedua tangan, seperti juga mau
membersihkan debu yang menempel waktu bersembunyi di kolong ranjang. Ia cegluk dua cangkir
teh dan ia kelihatannya legah sekali.
Sesudah mendengar cerita panjang-lebar itu, perasaan herannya semua orang sudah hilang
sebagian besar, diganti dengan rasa lapar. Semakin banyak minum teh, semakin lapar rasanya.
"Sekarang semua orang sudah mengetahui, bahwa golok itu telah diserahkan kepada anakku
oleh Tian Kui Long sendiri," kata To Pek Swee dengan suara keras. "Maka itu, saudara-saudara tak
berhak coba merebut pula."
"Apa yang diserahkan kepada To siheng oleh Tian toako adalah kotak besi kosong," kata Lauw
Goan Ho sembari tertawa. "Jika kau inginkan kotak kosong, aku sama-sekali tidak berkeberatan.
Tapi golok wasiat bukannya bagianmu"
"Tak usah direwelkan lagi, golok itu mesti pulang kepada Thian Liong Lam Cong (cabang
selatan dari Thian Liong)" kata In Kiat.
"Mana boleh?" membantah Whi Su Tiong. "Sebelum dibikin upacara penyerahan golok oleh Tian
suheng, golok itu masih jadi miliknya cabang utara."
Demikian mereka tarik urat, masing-masing sungkan mengalah.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara-saudara!" Po Si mendadak berseru dengan keras. "Aku mau tanya, Apakah
sebenarnya tujuan perebutan golok itu?"
Mendengar pertanyaan itu, semua orang jadi bungkam.
"Dahulu, kalian cuma tahu, golok itu berharga besar sekali, tapi tak mengetahui, bahwa pada
golok tersebut tersimpan rahasia dari suatu harta karun," berkata pula Po Si. "Sekarang, sesudah
rahasia terbuka, setiap orang jadi mata merah, ingin punyakan harta tersebut. Tapi, aku kembali
mau menanya, tanpa peta buminya, apa gunanya golok itu?"
Semua orang terkejut. Benar sekali perkataannya Po Si dan semua matanya lantas ditujukan
kepada tusuk kondenya Biauw Yok Lan.
Yok Lan adalah suatu gadis lemah. Sekali gerakkan tangan, tusuk konde itu pasti dapat
dirampas. Akan tetapi, setiap orang mengetahui, ayahnya Yok Lan tak boleh dibuat gegabah. Jika
ayahnya datang, siapa berani melawan" Maka itu, walaupun mudah dirampas, tak barang satu
orang berani meraba.
Lauw Goan Ho melirik, pada parasnya terlukis kesombongan. Ia hampiri Yok Lan, tangan
kanannya bergerak dan tusuk konde itu sudah pindah ke dalam tangannya. Yok Lan malu
tercampur gusar, ia mundur dua tindak dengan muka pucat. Semua orang kaget melihat
keberaniannya Lauw Goan Ho.
'Aku datang ke sini dengan membawa firmannya Kaisar," kata Lauw Goan Ho dengan suara
nyaring. "Takuti apa segala Biauw Tayhiap" Hm! Buat bicara terang-terangan, sekarang ini, orang
yang bergelar 'Kim Bian Hud" itu belum ketentuan mati-hidupnyal"
"Kenapa begitu?" beberapa orang menanya dengan berbareng.
Lauw Goan Ho nyengir. 'Andaikata 'Kim Bian Hud' masih hidup, sepuluh-sembilan ia sudah
terborgol kaki-tangannya. dan sedang mendekam di dalam penjara istana," katanya dengan suara
angkuh. Yok Lan terkesiap. Hatinya berdebar-debar. "Cobalah kau bicara secara lebih terang," meminta
Po Si. Mendengar itu, Lauw Goan Ho jadi ingat pengalamannya ketika naik ke puncak itu, cara
bagaimana ia sudah menerima hinaan di atas salju. Tapi begitu dengar ia datang dengan
perintahnya firman Kaisar, sikapnya Po Si segera berubah dan majukan permintaan itu.
Hatinya girang bukan main, hampir-hampir ia membuka rahasia. "Po Si Taysu," ia berseru.
"Terlebih dahulu aku mau tanya, siapakah adanya majikan tempat ini?"
Semua orang yang belum mengetahui siapa adanya majikan tempat itu, sangat menyetujui
pertanyaan Goan Ho.
"Jika kalian bicara terus-terang, loolap pun harus bicara terus-terang," sahut Po Si sembari
tertawa. "Majikan tempat ini she Touw bernama Sat Kauw, seorang yang sangat lihay dalam
Rimba Persilatan."
Semua orang jadi saling lihat-lihatan, oleh karena mereka belum pernah dengar nama itu.
PoSi mesem dan berkata pula, "Tingkatannya Touw enghiong sangat tinggi dan sungkan
bergaul dengan sembarangan orang. Oleh karena begitu, meskipun ilmu silatnya sangat tinggi,
orang biasa tak pernah dengar namanya. Tapi jago-jago kelas satu dari kalangan Kang Ouw,
semuanya kagumi ia."
Ucapannya Po Si yang mengandung hinaan, sudah membikin semua orang jadi kurang senang.
Mukanya In Kiat, Whi Su Tiong dan yang lain-lain jadi berubah merah.
Antara mereka, adalah Lauw Goan Ho yang bicara paling dahulu. "Pada waktu kita naik ke sini,"
katanya, "pengurus ini memberitahu, bahwa majikannya telah pergi ke Leng Ko Tha untuk
mengundang 'Kim Bian Hud' dan ke Pakkhia guna mengundang Hoan Pangcu dari Kay Pang.
Keterangan ini agak aneh dan tak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya, oleh karena siauwtee
mengetahui, Hoan Pangcu sudah kena dibekuk di kota Kayhong, propinsi Holam, dan dalam
peristiwa itu, siauwtee malahan sudah turut menyumbang sedikit tenaga."
"Hoan Pangcu ditangkap?" menegasi beberapa orang dengan terkejut.
"Ini semua adalah berkat tangannya Say Congkoan," menerangkan Lauw Goan Ho dengan
sikap menengik "Kita membekuk Hoan Pangcu cuma guna dijadikan dia sebagai umpan, untuk
pancing seekor ikan emas. Ikan emas itu adalah Biauw Jin Hong. Majikan di sini katanya pergi ke
Leng Ko Tha guna mengundang Biauw Jin Hong, tapi tujuan yang sebenarnya adalah pergi ke
Pakkhia untuk menolongi Hoan Pangcu. Hm! Di Pakkhia Say Congkoan sudah pasang Thian Loo
Tee Bong (Jaring Langit Jala Bumi) untuk tunggu kedatangannya Biauw Jin Hong! Kalau dia tak
masuk jebakan, yah kami pun tak berdaya untuk membekuknya. Tapi kalau dia berani datang di
Pakkhia, hm! Ini namanya burung masuk di jaring!"
Ketika Yok Lan mau berpisahan dengan ayahnya, memang juga Biauw Jin Hong sedang mau
berangkat ke Pakkhia untuk mengurus serupa urusan. Ketika itu, sang ayah pesan, supaya ia pergi
dahulu ke Soat Hong (Puncak Salju). Mendengar perkataan Lauw Goan Ho, hatinya si nona jadi
bergoncang keras dan menduga ayahnya tentu sudah masuk dalam perangkap. Mendadak,
matanya gelap, kakinya lemas dan ia jatuh duduk di atas kursi.
Melihat penderitaan si nona.
Lauw Goan Ho senang benar hatinya. "Sekarang kita sudah mempunyai peta bumi dan sudah
mempunyai juga golok wasiat," kata ia. "Sekarang juga kita harus pergi untuk menggali harta
karunnya Li Cu Seng dan mempersembahkan itu kepada Hongsiang (Kaisar). Saudara-saudara
yang berada di sini. sudah tentu akan mendapat ganjaran dan pangkat yang setimpal"
Sehabis berkata begitu, matanya menyapu semua orang. Ia lihat ada yang berparas girang, tapi
ada juga yang mengunjukkan kesangsian. Ia mengetahui, bahwa orang-orang seperti To Pek
Swee memandang harta lebih penting daripada pangkat, dan oleh karena begitu, lantas saja ia
berkata pula, "Harta karun itu katanya bertumpuk-tumpuk bagaikan gunung. Setibanya di situ,
tidak halangan kalau kita masing-masing mengambil seorang sedikit guna menjaga hari tua.
Bukankah baik begitu?" Satu sorakan terdengar, sebagai tanda menyetujui usul yang bagus itu.
Tian Ceng Bun yang bersembunyi dalam kamar dengan kemalu-maluan, juga dengar sorakan
itu. Ia tahu orang sudah tidak bicarakan lagi urusan busuknya, maka indap-indap ia keluar dan
berdiri di pinggir pintu.
Sesaat itu Lauw Goan Ho sudah cabut selembar rambutnya dan seperti contohnya Biauw Jin
Hong, ia kasi masuk rambut itu ke dalam mulut burung dari tusuk kondenya Yok Lan. Dengan
sekali tarik, sebagian kepala burung terbuka dan keluarlah segumpalan kertas. Ia buka kertas itu
dan beber di atas meja, dikerumuni oleh semua orang. Kertas itu, tipis bagaikan sayap tonggeret,
masih utuh, walaupun usianya sudah tua sekali. Di situ terlukis satu puncak gunung yang dan
lempeng, menjulang ke langit. Di sampingnya terdapat perkataan yang seperti berikut, "Di
belakangnya puncak Giok Pit Hong, gunung Ouw Lan San."
'Ah!" berteriak Po Si. "Sungguh kebetulan! Tempat ini, di mana sekarang kita ramai-ramai
berdiri, adalah puncak Giok Pit Hong dari gunung Ouw Lan San!"
Peta puncak yang tertulis di atas kertas itu, sedikit pun tiada bedanya dengan Puncak Salju
(Soat Hong). Tiga pohon siong tua yang tumbuh di pinggir tebing atas puncak, juga terdapat atas
peta itu. "Majikan dari perkampungan ini, Touw lounghiong, adalah seorang yang berpengetahuan luas
sekali," berkata pula Po Si. 'Apakah tak mungkin, Touw lounghiong sudah mengetahui rahasia itu
dan sengaja mendirikan perkampungan ini" Jika bukannya begitu, guna apa ia mau menempuh
kesukaran yang sedemikian besar?"
"Celaka!" berseru Lauw Goan Ho."Benar katamu! Perkampungan ini sudah didirikan lama sekali,
sehingga mungkin harta itu sudah dikuras habis!"
Po Si mesem dan berkata pula, 'Ah, belum tentu begitu. Lauw Tayjin, cobalah kau pikir. Kalau
benar harta itu sudah diketemukan, ia tentu sudah pindah ke lain tempat dan tak bisa jadi, ia mau
berdiam di sini terus-menerus."
Lauw Goan Ho tepuk dengkulnya keras-keras. "Benar! Benar!" katanya. "Hayo! Sekarang juga
kita pergi ke belakang gunung!"
"Bagaimana dengan Biauw Kouwnio dan para penghuni perkampungan ini?" tanya Po Si
sembari menunjuk Yok Lan.
Lauw Goan Ho balik badannya, tapi Ie koankee dan lain bujang sudah tak kelihatan matahidungnya.
Saat itu, Tian Ceng Bun munculkan diri dari belakang pintu seraya berkata, "Entah bagaimana,
semua penghuni di sini, lelaki dan perempuan, semuanya sudah pada menghilang."
Mendadak Lauw Goan Ho sembat sebatang golok dan hampiri Yok Lan seraya berkata, "Semua
pembicaraan kita sudah didengar olehnya. Tak dapat kita kasi dia tinggal hidup buat jadi bibit
penyakit di belakang hari." Ia angkat goloknya yang mau segera disabetkan ke kepalanya nona
Biauw. Sekonyong-konyong, satu bayangan manusia berkelebat. Bayangan itu adalah Khim Ji, yang
pada detik berbahaya, sudah lompat sambil memeluk, akan kemudian gigit pergelangan
tangannya Lauw Goan Ho. Diserang secara tak diduga, Lauw Goan Ho berteriak dan goloknya
jatuh di atas tanah.
"Manusia umur pendek!" Khim Ji mencaci secara berani. "Kalau kau berani langgar selembar
rambutnya siocia, Looyaku pasti akan cabut uratmu dan keset kulitmu! Semua manusia di sini tak
barang satu yang akan dapat selamatkan diri!"
Bukan main gusarnya Lauw Goan Ho. Ia angkat tangannya dan menjotos mukanya Khim Ji.
Tapi kepalan itu keburu disampok oleh Him Goan Hian yang lantas berkata, "Suko, yang paling
penting adalah cari harta itu. Untuk apa membunuh orang1?"
Kenapa Him Goan Hian kesudian menolong Khim Ji" Berbeda dengan Lauw Goan Ho yang
bekerja sebagai pengawal Kaisar dan pandang jiwa manusia bagaikan rumput, Him Goan Hian
adalah seorang piauwsu yang nyalinya kecil dan takut banyak urusan. Mendengar ancaman Khim
Ji, hatinya jadi keder. Andaikata ayahnya Yok Lan benar dapat loloskan diri, celakalah dia! In Kiat,
yang juga sependapat dengan Goan Hian, lantas turut membujuk. "Sudahlah Lauw suheng,"
katanya. "Mari kita cari harta karun itu."
Lauw Goan Ho melotot dan membentak sambil tuding Yok Lan, "Tapi, bagaimana harus kita
perlakukan binatang itu?"
Sembari mesem Po Si maju beberapa tindak dan totok jalanan darahnya si nona yang lantas
saja rebah di atas kursi. Ia gusar dan malu, tapi tak dapat bicara lagi. Khim Ji yang kuatir pendeta
itu celakakan siocianya, lantas menubruk dan cekal tangannya Po Si. Tapi dengan sekali membalik
tangan, pendeta itu sudah totok jalanan darahnya Khim Ji yang lantas juga rubuh seperti
majikannya. "Biauw moay duduk di situ tak begitu bagus kelihatannya," kata Tian Ceng Bun sambil
menghampiri dan pondong badan orang. "Enteng benar. Seperti tak bertulang," katanya, tertawa.
Ia pergi ke kamar di sebelah timur dan tolak pintunya. Kamar itu adalah kamar tetamu yang
diperaboti lengkap. Ceng Bun rebahkan nona Biauw di atas pembaringan, buka sepatunya dan
baju luarnya, sehingga hanya baju dalam yang menempel pada badannya, selimutkan padanya
dan kemudian turunkan kelambu. Biauw Yok Lan mengawasi dengan sorot mata gusar, tapi ia tak
dapat berbuat suatu apa.
Sesudah itu, sambil pegang baju orang, ia keluar seraya berkata dengan tertawa. 'Aku sudah
buka baju luarnya. Walaupun jalanan darahnya terbuka sendiri sesudah lewat tempo, ia tentu tak
berani keluar!" Semua orang jadi tertawa mendengar omongan itu.
"Berangkat!" Lauw Goan ho memberi perintah dengan suara yang dibuat-buat. Ia jalan paling
dahulu, diikut oleh yang lain-lain.
Selagi mau turut jalan, matanya Co Hun Ki mendadak dapat lihat golok wasiat itu yang
menggeletak di atas meja. "Coba aku lihat golok itu. Ada apanya sih?" kata ia sembari ambil golok
tersebut. Ia lihat, selain komando yang berbunyi, "Membunuh satu orang seperti membunuh ayahku,
menodai satu orang seperti menodai ibuku" dan "Cwan Ong Li" yang tertata di atas sarung tak
terdapat lain keistimewaan.
Dengan tangan kiri menyekal sarungdan tangan kanan memegang gagang, ia mencabut golok
itu. Sinar hijau yang berhawa dingin memencar ke empat penjuru sehingga tanpa merasa, ia
bergidik. 'Ah!" demikian terdengar seruan tertahan dari mulutnya beberapa orang. Mendengar
seruan itu, Lauw Goan Ho yang sudah berjalan sampai di ruangan tengah, lantas hentikan
tindakannya. Semua orang berkerumun meneliti golok itu. Di satu muka, golok itu licin, di lain mukanya,
terdapat guratan-guratan yang merupakan dua ekor naga, satu besar, satu kecil, lukisannya begitu
jelek, sehingga kalau dikatakan naga, bukannya naga, dikata ular bukannya ular, lebih mirip kalau
dikatakan semacam binatang berbulu. Akan tetapi, "ciu" (mutiara) yang diperebutkan oleh kedua
binatang itu sepotong giok (batu pualam) merah yang bersinar terang.
"Ada apa herannya ' kata Co Hun Ki
"Kedua binatang itu tentulah juga mempunyai sangkut paut dengan gudang harta," kata Po Si.
"Paling benar kita segera pergi ke gunung belakang guna menyelidiki. Serahkan padaku!" Ia
angsurkan tangannya guna menyambuti golok itu. Tanpa berkata suatu apa, Co Hun Ki mengebas
golok itu untuk melindungi diri dan lalu lari keluar.
Po Si gusar bukan main. "Mau kemana kau?" ia membentak sembari mengubar begitu keluar
dari pintu besar, Po Si mengayun tangan dan serenceng tasbih menyambar jalanan darah "Kian
Ceng Hiat", di pundaknya Co Hun Ki. Begitu kena, lengannya kesemutan dan golok itu jatuh di
atas salju. Dengan beberapa kali loncatan lebar, Po Si sudah memungut golok mustika itu. Co Hun
Ki tak berani banyak tingkah lagi dan dengan kemalu-maluan, ia minggir ke pinggir.
Demikianlah dengan jalan berendeng dengan Lauw Goan Ho, yang membawa peta bumi, Po Si
segera menuju ke gunung belakang sambil menengteng golok itu. Ketika itu, Whi Su Tiong, Tian
Ceng Bun dan yang lain-lain pun sudah keluar dari pintu tengah dan mengikuti dari belakang."
"Lauw Tayjin," berkata Po Si sembari tertawa. "Barusan loolap telah berlaku kurang ajar, harap
Tayjin tidak menjadi gusar."
Lauw Goan Ho jadi merasa girang sekali. "Ilmu silat Taysu tinggi sekali dan aku merasa sangat
kagum," ia memuji. "Di kemudian hari, satu ketika aku tentu perlu bantuan Taysu."
Po Si segera mengucapkan beberapa perkataan merendahkan diri dan mereka lalu berjalan
terus dengan riang-gembira.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, di pinggiran puncak sudah tidak terdapat jalanan lagi, di
seputar mereka hanya salju yang berwarna putih. Walaupun mengetahui, bahwa harta karun itu
tersimpan di puncak Giok Pit Hong, di mana mereka harus mencarinya" Andaikata mereka
menggunakan tenaganya ribuan orang, dalam setahun belum tentu mereka dapat memacul habis
es dan salju yang menutup puncak tersebut. Puluhan tahun Touw Sat Kauw berdiam di situ, tapi ia
pun belum berhasil mendapatkan gudang harta itu.
Mereka berdiri di bawah tebing dengan perasaan masgul dan putus harapan.
Tiba-tiba Tian Ceng Bun menuding satu gundukan salju yang merupakan bukit, di kaki puncak.
"Lihat!" ia berseru.
Semua mata ditujukan ke jurusan yang ditunjuk, tapi mereka tak dapat lihat apa-apa yang luar
biasa. "Coba kalian perhatikan bentuknya bukit itu," kata Tian Ceng Bun. "Bukankah mirip dengan
gurat-guratan yang terdapat di atas goloknya Cwan Ong?"
Semua orang lantas saja menjadi sadar. Mereka segera mengawasi dengan terliti. Di situ
ternyata terdapat dua rentetan bukit, yang satu dari utara timur menjurus ke selatan barat, yang
satunya lagi, dari selatan ke utara. Di tempat bertemunya kedua rentetan bukit tersebut, terdapat
satu puncak bundar yang tidak tinggi.
Po Si mengawasi bukit itu dan kemudian memperhatikan guratan di atas golok. Benar saja,
kedudukannya bukit-bukit itu bersamaan dengan lukisan dua ekor "naga", sedang puncak bundar
itu bersamaan duduknya dengan "cu" yang diberebuti oleh kedua "naga" itu.
"Tak salah" ia berseru dengan suara girang. "Harta karun itu tentu berada di puncak bundar!"
"Hayolah!" mengajak Lauw Goan Ho.
Ketika itu, semua orang bersatu hati untuk mencari gudang harta dan tidak lagi mempunyai
niatan untuk saling mencelakakan. Mereka segera membuka baju yang lalu disambung-sambung
sehingga merupakan tambang, dan dengan pegangan tambang itu mereka mulai turun gunung.
Yang paling dulu turun adalah Lauw Goan Ho, yang paling akhir In Kiat.
Dari jauh, puncak bundar itu kelihatannya dekat sekali.
Tapi, sesudah didekati, jaraknya masih kurang-lebih dua puluh li. Mereka semua adalah ahli
silat yang mempunyai ilmu entengkan badan tinggi dan belum cukup setengah jam, mereka sudah
berada di depan puncak. Mereka lalu berkeliaran di seputar itu, tapi sesudah mencari lama juga,
gudang harta yang dicari masih belum dapat diketemukan.
Mendadak To Cu An menunjuk ke barat sambil berseru, "Siapa itu?"
Semua orang menoleh dan lihat satu bayangan wanita abu abu yang melesat di atas salju
bagaikan anak panah cepatnya, dan dalam tempo sekejap, sudah tiba di kakinya Giok Pit Hong.
'"Soat San Hui Ho'!" Po Si berseru. "Tak dinyana anaknya Ouw It To begitu lihay!" Sehabis
berkata begitu, mukanya lantas saja berobah pucat.
Selagi semua orang berdiri bengong, Tian Ceng Bun mendadak menjerit. Semua orang buruburu
memutar badan ke arah jeritan itu. Pada tanjakan puncak bundar terlihat satu lubang,
sedang Tian Ceng Bun sudah tak kelihatan bayangannya lagi.
To Cu An dan Co Hun Ki, yang berdiri di dekat Ceng Bun, terkejut bukan main ketika lihat
wanita itu kejebelos ke dalam lubang. "Ceng moay!" mereka berteriak sembari bergerak untuk
loncat menolong.
To Pek Swee tarik tangan puteranya dan membentak, "Mau apa kau?"
Sang putera tidak meladeni, sambil menggentak tangannya, ia loncat ke lubang bersama-sama
Co Hun Ki. Tak dinyana, lubang itu sangat cetek. Kaki mereka menginjak badannya Ceng Bun dan ketiga
orang itu berteriak dengan berbareng. Kawannya yang menyaksikan, jadi merasa geli dan segera
tarik mereka ke atas.
"Mungkin harta karun itu berada di sini," berkata Po Si. "Tian Kouwnio, apakah yang kau lihat?"
"Gelap, tak kelihatan apa juga," sahutnya sembari mengusap-usap badannya yang kepukul
batu. Po Si loncat turun dan nyalakan bahan api. Lubang itu belum ada setombak dalamnya,
dindingnya adalah batu-batu dan es. Sesudah memeriksa beberapa lama, ia loncat naik pula.
Tiba-tiba terdengar suara teriakannya Ciu Hun Jang dan The Sam Nio yang mendadak
kejebelos ke dalam lubang. Whi Su Tiong dan Him Goan Hian, yang berdiri paling dekat, buru-buru
angkat mereka naik. Dilihat gejalanya, tempat itu agaknya penuh lubang, sehingga semua orang
yang kuatir turut kejebelos, tak berani berjalan sembarangan dan berdiri tetap di tempatnya.
"Puluhan tahun Touw chungcu berdiam di Giok Pit Hong, tapi ia masih belum dapat
menemukan gudang harta itu," berkata Po Si sambil menghela napas. "Sekarang kita sudah tahu
terang, bahwa harta itu tersimpan di dalam bukit ini, tapi toh kita pun tidak berdaya. Dibandingbanding,
kita masih lebih tolol daripada Touw chungcu."
Mereka semua sudah lelah sekali dan lalu pada duduk di atas salju. Sambil menggigit gigi, The
Sam Nio mengusap-usap dengkulnya yang luka dan sakit sekali. Tiba-tiba, ketika ia memutar
kepala, matanya mendapat lihat sinar berkilauan dari batu mustika di golok komando. Banyak
tahun ia mengikuti suaminya menjadi piauwsu dan macam-macam batu mustika ia sudah pernah
lihat. Tapi mustika di golok itu adalah lain dari yang lain. Hatinya jadi tergerak dan segera berkata,
"Taysu, bolehkah aku lihat golok itu?"
Po Si yang tidak takuti Sam Nio, segera angsurkan golok itu.
Sam Nio mengawasi dengan terliti. Matanya yang berpengalaman lantas saja mendapat tahu,
bahwa mustika itu "diikat" dengan "pantat" ke atas. (Sebagaimana diketahui, batu permata
biasanya mempunyai dua muka, yaitu "muka," yang seharusnya di atas, dan "pantat" yang


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seharusnya di bawah. Mustika di golok itu "diikat" dengan "pantat" menghadap ke atas. Matanya
orang biasa tak akan dapat mengetahui perbedaan tersebut, akan tetapi The Sam Nio yang
banyak pengalamannya sudah segera mendapat lihat keanehan itu).
"Taysu," katanya "Mustika ini diikat dengan pantat ke atas. Mungkin ada apa-apa yang
tersembunyi."
Po Si yang sedang tidak berdaya, lantas saja mengambil putusan untuk menyelidiki. Ia ambil
pulang golok itu dan mencabut pisau belatinya yang lantas digunakan untuk mengorek mustika itu
dari "ikatannya." Begitu dicongkel, mustika itu jatuh dan Po Si buru-buru memungut, lalu diteliti
dengan membulak-balik. Lama juga ia memperhatikan mustika itu, tapi tak dapat lihat apa juga
yang luar biasa Dengan perasaan putus harapan, ia mengawasi lubang "ikatan" mustika di golok
itu. Tiba-tiba ia berseru, 'Ah, di sini!"
Ternyata, dalam lubang "ikatan" itu terdapat guratan-guratan yang mengunjuk tempat
menyimpan harta. Di sebelah utara timur terlihat guratan huruf "Po" (mustika) yang sangat kecil.
Po Si menjadi sadar. Ia mengetahui, bahwa tengah lubang merupakan atasnya puncak bundar
itu. Lantas saja ia memperhatikan keadaan di seputarnya dan menghitung-hitung jaraknya
Setindak demi setindak ia berjalan maju dan benar saja, begitu sampai di tempat yang menurut
perhitungan adalah tempat menyimpan harta, kedua kakinya kejebelos di lubang. Po Si segera
nyalakan bahan api dan mengetahui, ia berada di depannya sebuah guha. Sesaat itu, Lauw Goan
Ho dan yang lain-lain pun sudah loncat ke bawah.
Belum jalan berapa jauh, obornya Po Si sudah menjadi padam. Guha itu amat panjang dan
belat-belit. "Tuan-tuan tunggulah di sini," kata Co Hun Ki. "Aku mau keluar untuk mengambil cabangcabang
kering." Ia lalu berjalan keluar dan balik kembali dengan seikat kayu kering, yang lalu
disulut. Co Hun Ki yang adatnya tidak sabaran, lantas saja jalan paling dulu dengan tindakan lebar. Di
seputar dinding guha melekat es yang ribuan tahun tak pernah lumer, dan di beberapa tempat,
kepingan-kepingan es berbentuk tajam bagaikan golok dan pedang. Dengan tangan menyekal satu
batu, sembari jalan To Pek Swee menggempur es yang tajam itu.
Baru saja mereka biluk di satu tikungan lagi, Tian Ceng Bun mendadak mengeluarkan seruan
kaget, sambil menuding serupa benda kecil berwarna kuning, yang menggeletak di sebelah
depannya Co Hun Ki.
Co Hun Ki membungkuk dan pungut benda itu yang ternyata adalah sebatang pit (pena
Tionghoa) kecil, dibuat dari emas murni, dan pada batangnya terukir satu huruf 'An." Pit itu tiada
bedanya dengan pit yang pernah dipegang oleh Tian Ceng Bun, sebelum mereka mendaki Giok Pit
Hong. Bukan main herannya Co Hun Ki. Ia berpaling kepada To Cu An, seraya berkata, "Hm! Kalau
begitu, kau sudah pernah datang ke sini!"
"Siapa bilang?" kata Cu An, mendongkol. "Kau toh lihat, sudah lama guha ini tak pernah
disatroni manusia!"
'Apa ini bukan milikmu?" menanya Co Hun Ki dengan aseran, sembari memperlihatkan pit emas
itu. "Di situ terang-terangan terukir namamu."
"Tidak, aku belum pernah lihat," jawabnya, sambil menggelengkan kepala.
Co Hun Ki jadi gusar sekali.
Ia melepaskan pit itu yang lantas jatuh di tanah dan menjambak bajunya Cu An. "Masih
menyangkal?" ia membentak dan meludahi muka orang. "Dengan mata sendiri, aku lihat dia (Tian
Ceng Bun) pegang itu pit yang kau berikan kepadanya."
Sempitnya guha itu membikin Cu An tidak dapat berkelit, sehingga ludanya Co Hun Ki mampir
tepat di kedua matanya. Bagaikan kalap, ia menendang dan jitu kempungannya Hun Ki dan
berbareng menghantam dengan kedua tangannya. Co Hun Ki lemparkan obornya dan mengirim
satu jotosan dengan tangan kanannya yang mengenakan tepat hidungnya To Cu An. Sesaat itu,
obor padam, sehingga guha jadi gelap-gulita. Mereka terus bertempur dengan seru dan akhirnya
bergulingan di atas tanah.
Semua orang jadi mendongkol, berbareng geli. Mereka coba membujuk, tapi mana didengar
oleh kedua orang yang sedang sengit"
Tiba-tiba Tian Ceng Bun berteriak dengan suara nyaring, "Siapa yang tidak mau berhenti, aku
tak akan bicara lagi dengan ia."
Co Hun Ki dan To Cu An terkejut, tanpa merasa mereka berhenti bertempur.
"Eh, kalian jangan gebuk aku, Him Goan Hian," demikian kedengaran suaranya orang she Him
di tempat gelap. 'Aku mau cari obor." Sesudah meraba-raba beberapa lama, ia mendapatkan obor
itu yang lalu disulut. Semua orang jadi geli, melihat Co Hun Ki dan To Cu An benapas sengalsengal,
dengan muka babak-belur dan matang-biru.
Sementara itu, Tian Ceng Bun mengeluarkan sebatang pit emas dari sakunya dan kemudian
memungut pit yang menggeletak di atas tanah. "Kedua pit ini benar sangat bersamaan," kata
Ceng Bun kepada Co Hun Ki. "Siapa yang beritahukan kau, bahwa dialah (To Cu An) yang
memberikan kepadaku?"
Co Hun Ki jadi tergugu. "Kalau bukan dia, dari mana kau dapatkan itu?" ia menanya.
"Ada sangkut-paut apa dengan kau?" menanya Ceng Bun dengan tawar.
Mukanya Co Hun Ki lantas saja berobah merah.
"Kau ... kau " katanya menuding Ceng Bun.
To Pek Swee ambil sebatang pit dari tangannya Ceng Bun dan lalu berkata kepada Co Hun Ki,
"Gurumu adalah Tian Kui Long. Siapa sucouwmu (kakek guru)?"
"Sucouw?" Co Hun Ki menegasi dengan perasaan kaget. "Sucouw adalah ayahnya suhu.
Namanya, di atas An, di bawah Pa."
"Benar! Tian An Pa!" kata To Pek Swee. "Senjata rahasia apa yang ia biasa gunakan?"
"Aku ... aku belum pernah bertemu sucouw," jawabnya dengan suara tak lampias.
"Yah, memang juga kau belum pernah bertemu dengan sucouwmu," kata pula To Pek Swee.
"Whi susiokmu telah menerima pelajaran ilmu silat dari Tian An Pa. Coba tanya dia."
"Hun Ki! Sudahlah jangan rewel," kata Whi Su Tiong. "Sepasang pit emas itu adalah senjata
rahasianya Sucouwmu."
Co Hun Ki tak dapat berkata apa-apa lagi, tapi hatinya sangsi bukan main.
"Jika kalian mau berkelahi, pergilah keluar!" berkata Po Si. "Yang lain mau mencari harta."
Mendengar perkataan Po Si, sambil mengangkat obor tinggi-tinggi, Him Goan Hian segera
bertindak paling dulu, diikut oleh yang lain-lain. Sesudah membiluk pula di satu tikungan, jalanan
jadi semakin sempit dan kate, sehngga mereka harus berjalan sembari membungkuk. Berjalan
sedikit jauh lagi, mereka sudah harus merangkak. Dengkul dan tangan mereka dirasakan sakit
oleh karena menempel dengan es, tapi harapan mendapat harta sudah membikin mereka lupakan
rasa sakit itu.
Sesudah merangkak kira-kira seminuman teh, jalanan depan terpepat dengan dua batu, satu
batu bundar di bawah, satu batu besar di atasnya, sedang di antara kedua batu itu, terdapat
lapisan es yang sangat keras.
Him Goan Hian menoleh ke belakang. "Bagaimana sekarang?" ia menanya Po Si. Po Si
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal tanpa memberi jawaban. Antara jagoan-jagoan itu,
In Kiat-lah yang paling cerdas otaknya. Sesudah memikir beberapa saat, ia berkata, "Dua batu
yang menempel itu, pasti dapat digerakkan. Persoalannya hanya terletak kepada es yang
memegang kedua batu itu."
"Benar," kata Po Si dengan girang. "Kita dapat melumerkan es itu dengan obor."
Him Goan Hian lantas saja mendekati obornya kepada dua batu itu untuk melumerkan es. Lauw
Goan Ho, Whi Su Tiong dan beberapa orang lain lantas merangkak keluar dan balik dengan
membawa lebih banyak cabang-cabang kering. Dengan bantuan bahan bakar baru, api jadi
semakin besar dan sepotong demi sepotong, kepingan-kepingan jatuh di atas tanah.
Sesudah sebagian besar es menjadi lumer, Po Si yang merasa tidak sabaran, segera
mendorong batu itu dengan kedua tangannya, tapi sedikitpun tidak bergerak. Pembakaran
dilangsungkan terus dan sesudah menunggu beberapa saat, Po Si mendorong pula. Sekali ini ia
berhasil! Setelah bergoyang-goyang beberapa kali, batu besar itu terdorong ke belakang dan
terbukalah satu pintu batu, buatan alam. Berbareng dengan terbukanya pintu itu, satu sorakan
girang memecah kesunyian guha.
Dari tumpukan api, Po Si sambar sebatang cabang yang menyala dan loncat masuk paling dulu,
diikut oleh kawan-kawannya yang masing-masing menyekal obor.
Begitu masuk di pintu, satu pemandangan yang sungguh-sungguh menakjubkan terbentang di
depan mata mereka! Sinar emas yang gilang-gemilang memancar ke empat penjuru, sehingga
matanya setiap orang menjadi silau. Mereka semua menahan napas dengan mulut ternganga.
Apakah yang mereka lihat"
Mereka berada dalam satu ruangan guha yang sangat besar dan luas. Di depan mereka
bertumpuk-tumpuk potongan-potongan emas dan perak, mutiara dan macam-macam batu
permata yang beraneka-warna, yang tak dapat dihitung berapa banyaknya! Akan tetapi, semua
barang berharga itu berada di dalam es. Dapat diduga, bahwa pada ketika orang-orangnya Cwan
Ong sudah menaruh emas-permata itu di dalam guha, mereka lalu menyiram dengan banyak
sekali air yang kemudian lalu membeku. Demikianlah sekarang harta karun itu seperti juga
tersimpan di bawahnya batu kristal raksasa.
Setiap orang mengawasi dengan mata mendelong. Mereka kesima dan untuk sejenak, tak
dapat mengeluarkan sepatah kata. Tiba-tiba, dengan serentak mereka bersorak, bagaikan kalap
menubruk es raksasa itu.
Mendadak Tian Ceng Bun mengeluarkan teriakan kaget. 'Ada orang!" ia berseru sambil
menunjuk ke dalam. Di bawah sinarnya obor, benar saja terlihat dua bayangan manusia yang
berdiri di dekat tembok.
Semua orang kaget bagaikan disambar geledek. Mereka tak mengimpi, bahwa dalam guha itu
terdapat lain manusia. Mereka segera mencabut senjata dan tanpa merasa, berkumpul menjadi
satu. Lewat beberapa saat, kedua bayangan hitam itu masih juga tidak bergerak.
"Siapa?" Po Si membentak, tapi tidak mendapat jawaban.
Semua orang jadi merasa terlebih heran. "Cianpwee (orang yang tingkatannya lebih tinggi)
siapakah yang berdiri di situ," berkata pula Po Si. "Harap suka keluar untuk berkenalan."
Suaranya Po Si yang nyaring berkumandang keras dalam ruangan itu, akan tetapi, kedua orang
itu tetap bungkam dan tidak bergerak.
Sambil mengangkat obor tinggi-tinggi, Po Si mendekati beberapa tindak. Setelah mengawasi
beberapa saat, ia dapat kenyataan, bahwa kedua bayangan hitam itu berdiri di sebelah luarnya
satu lapisan es, yang merupakan satu tembok kristal dan membagi ruangan itu menjadi dua, yaitu
ruangan depan dan ruangan belakang.
Sambil membesarkan nyali, ia maju pula beberapa tindak. Hatinya berani, tapi kakinya mau lari,
dan oleh karena begitu, ia berpaling dan berseru, "Eh, kalian mari! Ikut aku!"
Dengan diikuti kawan-kawannya, Po Si menghampiri tembok es dan menyuluhi mukanya kedua
orang itu. Begitu melihat tegas, bulu badannya bangun semua Ternyata kedua orang itu bukannya
manusia hidup, akan tetapi mayat-mayat yang sudah meninggal dunia dalam tempo lama.
Hampir berbareng The Sam Nio dan Tian Ceng Bun mengeluarkan teriakan kaget. Mereka
mendekati kedua mayat itu yang masing-masing tangannya menyekal sebilah pisau belati, yang
satu amblas di dada, yang satunya lagi menancap di kempungan.
Tiba-tiba Whi Su Tiong berlutut dan berkata sambil menangis, "Insu (guru yang budinya sangat
besar!) Tak dinyana, kau berada di sini."
Kawan-kawannya terkejut dan lalu ajukan berbagai pertanyaan. "Siapa dua orang ini?"
"Dia gurumu?"
"Kenapa bisa berada di sini?" dan lain-lain pertanyaan.
Sambil menyusut air-matanya, Whi Su Tiong menunjuk kepada mayat yang badannya lebih
kate. "Ia adalah guruku, An Pa," ia menerangkan. "Pit emas yang tadi dipungut oleh Hun Ki,
adalah miliknya."
Dari paras mukanya, Tian An Pa kelihatannya masih muda, belum cukup empatpuluh tahun
usianya, lebih muda dari Whi Su Tiong. Bermula semua orang merasa heran, akan tetapi segera
juga mereka sadar, bahwa kedua mayat itu sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan
pada beberapa puluh tahun berselang dan sudah membeku oleh karena hawa yang luar biasa
dingin, sehingga kelihatannya seperti juga baru meninggal satu-dua hari.
"Susiok," kata Co Hun Ki sembari menunjuk mayat yang satunya lagi. "Siapa dia" Kenapa dia
binasakan sucouw?" Sembari berkata begitu, ia menendang mayat itu yang potongan badannya
kurus-jangkung.
"Dia adalah ayahnya 'Kim Bian Hud'," menerangkan sang paman. Waktu masih kecil, ia panggil
ia Biauw ya dan hubungannya dengan guruku, sebenarnya baik sekali. Aku ingat, di tahun itu
mereka berdua sama-sama bikin perjalanan ke Kwan Gwa. Kami tak tahu, mereka pergi untuk
apa. Apa yang kami mengetahui, hanya mereka pergi dengan gembira sekali. Tapi sekali pergi,
mereka tidak balik kembali. Belakangan tersiar desas-desus, bahwa mereka berdua telah
dibinasakan oleh jago Liauw Long, Ouw It To. Itulah sebabnya, kenapa belakangan 'Kim Bian Hud'
dan Tian suheng sama-sama pergi mencari Ouw It To guna menuntut balas. Tak dinyana, ini ...
orang she Biauw telah dibikin gelap mata oleh harta karun ini dan sudah turunkan tangan jahat
terhadap Insu." Untuk mengunjuk rasa marahnya, sehabis berkata begitu, Whi Su Tiong
menendang mayat ayahnya 'Kim Bian Hud', tapi tak bergeming lantaran kakinya sudah menempel
keras dengan lantai, dengan bantuannya selapis es.
Mendengar omongannya Whi Su Tiong yang seenaknya saja, semua orang jadi mesem dalam
hatinya. "Siapa tahu bukan gurumu yang gelap mata dan turunkan tangan terlebih dulu?" pikir
mereka. Sementara itu, To Pek Swee menghela napas beberapa kali dan lalu berkata, "Dulu Ouw It To
pernah minta seorang sahabatnya memberitahu Biauw Tayhiap dan Tian Kui Liong, bahwa dia
(Ouw It To) mengetahui sebab-sebab kebinasaan kedua orang tua itu. Akan tetapi, oleh karena
cara binasanya kedua orang itu sangat menyedihkan dan memalukan, dia sungkan membuka
rahasia sendiri dan bersedia mengajak Biauw Tayhiap serta Tian Kui Long pergi melihat dengan
matanya sendiri. Sekarang ternyata, perkataannya Ouw It To tidaklah justa. Dilihat begini, Ouw It
To sendiri pernah datang ke guha ini, tapi sungguh heran, ia tidak angkut harta karun ini."
"Hari ini aku menemui satu urusan yang sangat mengherankan," menyeletuk Tian Ceng Bun.
"Apa?" menanya Whi Su Tiong.
"Pagi ini kita mengejar ia ..." sembari berkata begitu, ia monyongkan mulutnya ke jurusan To
Cu An, sedang mukanya, bersemu merah. "Susiok, kau mengejar paling dulu, sedang aku
mengikuti dari belakang____"
"Kudamu paling jempol, kenapa jadi kebelakangan?" membentak Co Hun Ki. "Kau ... kau
memang sungkan bertempur dengan manusia she To itu!"
Dengan sikap acuh tak acuh, Ceng Bun menyahut, "Kau sudah mencelakakan seluruh
penghidupanku, apa sekarang ingin mempersakiti pula diriku" Boleh! Boleh berbuat sesukamu! To
Cu An adalah suamiku! Aku memang sudah berlaku sangat tidak pantas terhadapnya. Walaupun
ia sudah tak menyintai aku, akan tetapi, selain ia, dalam lubuk hatiku tidak terdapat lain manusia."
'Aku tetap menyintai kau, Ceng moay! Aku tetap menyintai kaul" berseru To Cu An.
"Kau maui perempuan hina-dina itu?" membentak To Pek Swee. "Tapi aku tak sudi mempunyai
menantu yang macamnya begitu!"
"Binatang!" berteriak Co Hun Ki. "Kalau kau mempunyai kepandaian, bunuhlah aku terlebih
dulu!" Tian Ceng Bun menunduk mengawasi tanah dan sehabis mereka berteriak-teriak, barulah ia
berkata pula dengan suara perlahan, "Meskipun kau masih menyintai aku, aku sendiri tak ada
muka untuk mengikuti kau. Sesudah keluar dari guha ini, biarlah kita berdua jangan bertemu
muka lagi."
"Tidak, tidak, Ceng moay!" berkata Cu An dengan suara bingung. "Memang dia yang terlalu
busuk. Dia hinakan kau, persakiti kau. Biarlah aku binasakan padanya." Ia angkat goloknya dan
terjang Co Hun Ki.
"Eh!" Lauw Goan Ho loncat menyelak. "Kalau kau orang mau bertempur, pergilah keluar!" Ia
tangkap pergelangan tangannya To Cu An dan rampas goloknya yang lalu dilemparkan di atas
tanah. Co Hun Ki pun sudah loncat maju, tapi ia juga kena dihalangi oleh In Kiat.
Melihat caranya Ceng Bun mengadu dan mempermainkan kedua jagoan itu, semua orang jadi
merasa geli dalam hatinya.
"Tian kouwnio," berkata Po Si. "Kau merdeka untuk menikah dengan siapa juga, tapi kau tentu
tak akan mau menikah dengan aku, si hweeshio tua. Maka itu, aku hanya perlu menanya kau,
urusan heran apakah yang kau ketemui di pagi tadi?"
Semua orang tertawa terbahak-bahak, sedang Tian Ceng Bun pun jadi mesem simpul.
"Kudaku yang larinya perlahan tak dapat menyusul rombongan susiok," ia menerangkan.
"Selagi enak larikan kuda, mendadak aku dengar suara kaki kuda di sebelah belakang. Satu
tangannya penunggang kuda itu menyekal poci arak yang besar. Ia dongak dan gelokgok isinya
poci itu. Aku lihat, mukanya penuh brewok dan badannya bergoyang-goyang lantaran sinting.
Tanpa merasa, aku tertawa. 'Eh, apakah kau anak perempuannya Tian Kui Long"' mendadak ia
menanya. 'Benar,' jawabku. 'Siapakah tuan"' Tanpa menjawab, ia mementil dengan dua jerijinya
dan sebatang pit emas menyambar aku. Aku berkelit, tapi pit itu sudah sambar putus satu antingantingku.
Aku kaget bukan main, tapi orang itu sudah kaburkan kudanya. Hatiku heran, tak tahu
kenapa ia berikan pit itu kepadaku."
"Kau kenal dia siapa?" menanya Po Si.
Tian Ceng Bun manggutkan kepalanya. "Dia adalah 'Soat san Hui Ho' Ouw Hui yang tadi naik ke
gunung," katanya. "Ketika ia memberikan pit itu, aku tentu saja tak kenal padanya, Tapi tadi,
sesudah ia bicara dengan adik Biauw, aku kenali suaranya."
Co Hun Ki kembali jadi curiga. "Pit itu adalah miliknya sucouw," kata ia. "Dari mana Ouw Hui
dapatkan itu" Kenapa dia berikan kepadamu?"
Tian Ceng Bun yang selalu berlaku manis terhadap lain orang, lantas saja berobah paras
mukanya begitu mendengar perkataannya Hun Ki. Ia merengut dan tidak menjawab.
'Aku percaya Ouw It To pernah datang ke guha ini," kata Lauw Goan Ho. "Tentu juga ia
mendapatkan pit itu di atas tanah atau di badannya Tian An Pa. Akan tetapi, ia meninggal dunia
ketika Ouw Hui baru saja berusia beberapa hari. Cara bagaimana ia dapat mewarisi pit itu kepada
oroknya?" "Mungkin sekali Ouw It To tinggalkan pit itu di rumahnya dan sesudah Ouw Hui menjadi
dewasa, ia dapat menemukan senjata rahasia itu di antara barang-barang peninggalan ayahnya,"
Him Goan Hian ajukan pendapatnya.
"Yah, memang mungkin sekali," berkata Whi Su Tiong sambil manggutkan kepalanya. "Pit itu
berlubang di tengah-tengahnya dan kepalanya dapat ditekuk ke bawah. Ceng Bun, coba kau lihat
kalau-kalau di dalamnya tersimpan apa-apa yang luar biasa."
Tian Ceng Bun segera menekuk kepala pit yang didapat dari jalanan guha, tapi di dalamnya
tidak terdapat apa pun juga. Sesudah itu, barulah ia menekuk kepala pit yang diberikan Ouw Hui,
dan benar saja, di dalamnya terdapat segulung kecil kertas. Semua orang segera menghampiri
untuk melihat isinya kertas itu. Mereka merasa sjukur, bahwa Whi Su Tiong berada di situ, sebab
jika tidak, mereka tentu tidak mengetahui adanya alat rahasia yang sedemikian halus pada pit
tersebut. Ceng Bun lantas saja membuka gulungan kertas itu, yang ternyata terdapat tulisan yang
bunyinya seperti berikut, "Tuan-tuan dari Thian-liong, beramai-ramai datang di Liauw Tong,
datangnya menunggang kuda, pulangnya menunggang angin." Di bawahnya kertas itu terdapat


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gambar rase bersajap, sedang tulisannya adalah buah kalamnya "Soat San Hui Ho", atau si Rase
Terbang. Sesaat itu, paras mukanya Whi Su Tiong mengunjuk kegusaran hebat. "Hm!" katanya. "Belum
tentui" Tapi, sedang mulutnya berkata begitu, hatinya mengakui, bahwa kepandaiannya Ouw Hui
memang bukan main tingginya dan ia mengetahui segala gerak-geriknya orang-orang Thian Liong
Bun. Mengingat, ia bergidik dan bulu badannya bangun semua.
"susiok, apa artinya 'pulang menunggang angin"'" menanya Co Hun Ki.
"Hm! Dia mengatakan, kita semua akan binasa di Liauw Tong," menerangkan sang paman
guru. "Kita semua dikatakan bakal menjadi setan-setan yang akan pulang ke rumah dengan
menunggang angin."
"Binatang!" memaki Co Hun Ki.
Sedang orang-orang Thian Liong Bun mengawasi kertas kecil itu dengan perasaan mendongkol
dan berkuatir, adalah Po Si, To Pek Swee, Lauw Goan Ho dan yang lain-lain sudah memusatkan
perhatiannya kepada harta karun itu. Po Si segera mencabut golok dan membacok es beberapa
kali. Ia tertawa terbahak-bahak sambil menggenggam emas dan batu-batu permata.
Disoroti sinar obor, emas-permata itu mengeluarkan sinar berkilauan, sehingga tanpa
menunggu tempo lagi, yang lain-lain lantas mencabut senjata dan turut membacok kalangkabutan.
Sambil membacok, mereka masukkan "bebolehannya" ke dalam saku dan semakin padat
saku mereka, semakin giat mereka membacok. Tapi tak lama kemudian, golok dan pedang sudah
menjadi gompal dan bacokan-bacokannya tak begitu gencar lagi seperti tadi. Harus diketahui,
bahwa golok dan pedang itu adalah senjata-senjata biasa yang mereka sembat dari rumahnya
Touw Sat Kauw. Senjata mereka sendiri, sebagaimana diketahui, telah dikutungkan oleh sepasang
kacungnya Ouw Hui.
"Lebih baik kita ambil kayu bakar untuk melumerkan es ini," berkata Tian Ceng Bun.
Semua orang segera menyetujui. Cara tersebut sebenarnya sudah harus diingat sedari tadi,
akan tetapi, begitu melihat emas-permata, mata mereka berkunang-kucang dan lalu mengambil
jalan yang paling pendek. Usulnya Ceng Bun disetujui oleh semua orang, tapi tak ada satu pun
yang mau bergerak untuk mengambil kayu bakar. Setiap orang merasa kuatir, bahwa selagi pergi
mengambil kayu, orang lain sudah kantongi lebih banyak harta.
Po Si menyapu semua orang dengan matanya dan lalu memberi perintah, "Ciu siheng, To
siheng dan Him Piauw Thauw, kalian bertiga pergilah keluar mengambil kayu bakar. Yang
menunggu di sini semua mengaso, siapa juga tak diperbolehkan mengambil emas-permata ini."
Ketiga orang itu merasa sangsi, tapi oleh karena segani Po Si, dengan ogah-ogahan mereka lalu
berjalan keluar.
0oo0 "Soat San Hui Ho" Ouw Hui sudah berjanji dengan Touw Sat Kauw chungcu untuk bertanding di
puncak Giok Pit Hong pada sha gwee capgo (bulan ketiga, tanggal lima belas.) Ketika naik ke
puncak pertama kali, Touw chungcu belum pulang dan ia bertemu dengan Biauw Yok Lan.
Sesudah turun dari puncak, hatinya selalu berdebar-debar, paras mukanya Biauw Yok Lan
selalu berbayang di depan matanya, suara khim dan nyanyiannya si nona berkumandang dalam
telinganya. Bersama Peng Ah Si dan kedua kacungnya, ia mengaso di dalam satu guha dan makan
makanan kering yang dibawa. Lukanya Peng Ah Si berat, tapi tidak membahayakan jiwanya,
sehingga Ouw Hui jadi terhibur.
Ia rebahkan dirinya di atas tanah dan lalu meramkan kedua matanya. Begitu lekas meramkan
mata, paras dan gerak-geriknya nona Biauw kembali berbayang-bayang.
Dengan uring-uringan, ia membuka kedua matanya lebar-lebar dan mengawasi dinding batu
dari guha itu. Di lain saat, suara nyanyiannya Biauw Yok Lan sayup-sayup masuk ke dalam
telinganya, seperti juga keluar dari dinding batu itu.
Ouw Hui menghela napas. 'Ah, kenapa juga aku jadi seperti orang edan?" katanya di dalam
hati. 'Ayahnya adalah musuh besarku yang sudah membunuh ayahku. Meskipun waktu itu,
ayahnya tidak bermaksud membinasakan ayah, tetapi sama saja, ayahku sudah binasa lantaran
gara-gara ayahnya. Aku hidup sebatang kara, tak punya ayah, tak punya bunda, dan itu semua
adalah gara-gara ayahnya. Untuk apa aku pikiri dia?"
Tapi baru saj a memikir begitu, lain pikiran datang kepadanya. "Ketika itu, ia belum dilahirkan,"
pikir Ouw Hui. "Sakit hati itu mengenai orang tuanya dan tiada sangkut-pautnya dengan dia. Hai!
Dia adalah ciankim siocia (nona yang berharga ribuan tahil emas, berarti nona bangsawan atau
hartawan)! Sedang aku" Aku hanyalah lelaki gelandangan dari dunia Kang Ouw. Untuk apa aku
cari-cari urusan?"
Akan tetapi, walaupun hatinya berkata begitu, ibarat orang yang kejebelos di dalam lumpur,
semakin lama Ouw Hui tenggelam semakin dalam. Memang juga, jika ikatan cinta dapat
diputuskan dengan begitu saja, ikatan itu bukannya ikatan cinta.
Tak kurang sejam, Ouw Hui menggelisah. Macam-macam pikiran datang kepadanya. 'Apa tak
bisa jadi, lantaran takut keok, lawanku sudah memasang 'Bi Jin Kee' (tipu dengan menggunakan
wanita cantik)?" ia menanya dalam hatinya. Tapi segera juga ia sesalkan pikiran itu, yang seolaholah
menghina Biauw Yok Lan. "Tidak!" ia menggerendeng. "Dia mulia bagaikan dewi. Mana bisa
dia jadi begitu rendah" Tidak! Akulah yang picik, yang mempunyai pikiran rendah!" Ketika itu,
siang sudah mulai terganti dengan malam, la mendekati Peng Ah Si seraya berkata, "Sisiok, aku
mau naik ke puncak lagi. Kau mengasolah di sini."
Tanpa menunggu jawaban, badannya sudah melesat keluar dan lalu berlari-lari ke arah puncak
dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di kaki puncak
dan lalu naik dengan menggunakan tambang.
Begitu tiba di depan pintu, hatinya berdebar-debar. Ia masuk ke ruangan depan., tapi di situ
tidak terdapat barang satu manusia. Dengan heran, ia berseru, "Boanpwee (orang yang
tingkatannya lebih rendah) ingin berjumpa. Apakah Touw chungcu sudah pulang?"
Ia berteriak beberapa kali, tapi tak mendapat jawaban. Ia mesem dan berkata dalam hatinya,
"Percuma Touw Sat Kauw dikenal sebagai jagoan Liauw Tong. Biar pun kau memasang jebakan,
aku Ouw Hui sedikit pun tidak merasa jeri."
Ia duduk dengan niatan segera turun bukit, sesudah menulis beberapa perkataan untuk
mengejek Touw Sat Kauw. Tapi segera juga ia mengurungkan niatan untuk lantas turun. Entah
kenapa ia merasa berat untuk meninggalkan tempat itu.
Tanpa tujuan, ia pergi ke kamar samping yang letaknya di sebelah timur. Ia masuk ke dalam
kamar itu, yang ternyata adalah satu kamar buku yang diperaboti dengan indah sekali. Ia duduk,
ambil sejilid buku dan lalu coba membaca.
Tapi segera juga ia lepaskan buku itu oleh karena artinya tak dapat masuk ke dalam otaknya.
Tak lama kemudian, cuaca menjadi gelap dan Ouw Hui lalu mengeluarkam bahan api untuk
menyulut lilin. Mendadak, kupingnya menangkap suatu tindakan yang sangat enteng di atas salju.
Ia terkejut dan mengetahui, bahwa orang itu berkepandaian tinggi. Di atas tanah, dengan tidak
terlalu sukar, hampir setiap orang dapat berjalan tanpa mengeluarkan suara. Akan tetapi jika
seseorang berjalan di atas salju, biar bagaimana pun juga, ia tak akan dapat menghilangkan suara
tindakannya. Perbedaannya hanya terletak atas kepandaiannya, Jika ia berkepandaian tinggi,
tindakannya enteng dan suaranya halus, jika berkepandaian rendah, tindakannya berat dan
suaranya keras. Ouw Hui lantas saja urungkan niatan untuk menyulut lilin dan masukkan bahan
api itu ke dalam sakunya.
Sesaat kemudian, ia mengetahui, bahwa di belakangnya orang yang pertama, mengikuti
beberapa orang lain, yang semuanya mempunyai ilmu silat yang tidak rendah. Ouw Hui lalu
menghitung dan ternyata jumlah mereka adalah lima orang.
Tiba-tiba terdengar tiga tepukan tangan, yang disambut dengan tiga tepukan tangan pula dari
luar rumah. Tidak lama kemudian, di luar rumah itu datang enam orang lain.
Sebagai seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, nyalinya Ouw Hui sangat besar. Akan
tetapi, berkumpulnya sebelas orang yang rata-rata berilmu tinggi, sudah membikin ia menghitunghitung
juga. "Paling benar aku berlalu dulu dari rumah ini, supaya tidak masuk ke dalam jebakan,"
katanya di dalam hati. Ia lalu berjalan keluar, tapi pada sebelum menggenjot badan, di atas
genteng sekonyong-konyong terdengar suara kresekan dan dengan kupingnya yang sudah
terlatih, ia segera mengetahui, bahwa kembali ada beberapa tetamu yang datang berkunjung.
Buru-buru ia balik ke dalam kamar. Ia dapat kenyataan, bahwa rombongan yang baru datang
itu tidak kurang dari tujuh orang. Di atas genteng terdengar tiga tepukan tangan, dibalas dengan
tiga tepukan juga dari luar rumah Sesaat kemudian, tujuh orang itu melayang turun dan lalu
Hati Budha Tangan Berbisa 13 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Dewi Ular 1
^