Pencarian

Memanah Burung Rajawali 1

Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Bagian 1


Memanah Burung Rajawali (Sia Tiaw Eng Hiong)
Merupakan novel pertama dari Trilogi Pendekar Rajawali.
Karya Jin Yong (Chin Yung) yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia a.l. :
01. Memanah Burung Rajawali (Sia Tiaw Eng Hiong)
02. Si Rajawali Sakti & Pasangan Pendekar (Sin Tiauw Hiap Lu)
03. Pendekar Rajawali Sakti (Sin Tiauw Thay Hiap)
04. Kisah Membunuh Naga (I Thian To Liong)
05. Golok Pembunuh Naga (To Liong To)
06. Pedang Ular Emas (Kim Coa Kiam)
07. Pangeran Menjangan
08. Darah Pahlawan
09. Puteri Harum & Kaisar (Su Kiam In Kiu Lok)
10. Kisah Si Rase Terbang (Hui Ho Gwa Toan)
11. Kisah Para Pendekar (Hiap Kek Heng)
12. Medali Wasiat (Xia Ke Xing)
13. Rebutan Kalung Pusaka
14. Hina Kelana (Siauw Go Kang Ouw)
15. Pedang Hati Suci (Soh Sim Kiam)
16. Sepasang Golok Mustika (Wan Yo Too)
17. Kuda Putih (Pek Ma Siauw Si Hong)
18. Pendekar Negeri Tayli (Thian Liong Pat Pou)
19. Pedang Nona Giok (Giok Lie Kiam)
20. Seruling Kumala
21. Pedang Gadis Yueh
Pengantar Di luar gunung ada lagi gunung hijau,
di luar lauwteng ada pula lauwteng lainnya,
Nyanyian-nyanyian dan tari-tarian di Telaga Barat1,
hingga kapankah itu akan berhenti"
Penghidupan mewah di Selatan telah membuat mabuk
kepada pelancong-pelancong tetamu,
Hingga kota Hangciu dianggapnya sebagai kota Pianciu2!
Syair di atas adalah lukisan dari peristiwa pada delapan ratus tahun yang lampau. Ketika itu kerajaan Song telah menjadi sedemikian lemahnya hingga kedua kaisar Hwie Cong dan Kim Cong sudah kena ditawan bangsa Kim (Kin), karena mana itu pangeran Kong Ong lalu menyeberang ke Selatan, menerima tahta kerajaan di kota Lim-an3, menjadi Kaisar Kho Cong. Dalam waktu sesulit itu, selagi musuh mengancam di tapal batas, setelah separuh dari negara berada di dalam tangan musuh itu, sudah selayaknya satu kaisar bangkit bangun untuk membuat perlawanan, akan tetapi tidak demikian dengan Kaisar kho cong ini. Dia justru jeri terhadap bangsa Kim itu yang dipandangnya sebagai harimau saja, berbareng dengan itu dia pun khawatir kalau kedua Kaisar Hwie Cong dan Kim Cong nanti kembali dari tawanan hingga dia tak dapat terus bercokol di atas singasana naga. Maka dengan itu menurut perkataannya dorna Cin Kwee4, dia titahkan membunuh Jenderal Gak Hui, pendekar yang menentang musuh Kim itu, sesudah mana itu dengan merendahkan martabat sendiri ia mengajukan permohonan damai dengan bangsa Kim.
Inilah pengharapan bangsa Kim yang disaat itu tengah gelisah sebab telah berulangkali mereka memperoleh labrakan dari Jenderal Gak Hui, hingga semangatnya terpukul hebat, sementara di wilayah Utara mereka terancam pemberontakan tentera rakyat sukarela. Begitu di dalam bulan pertama tahun kerajaan Ciauw-hin ke-12 (1138 masehi) perdamaian telah ditandatangani dengan syarat tapal batas kedua negara Song dan Kim adalah aliran tengah dari sungai Hoay-sui.
Perdamaian itu namanya saja perdamaian, kenyataannya adalah penaklukan dari Kaisar Kho Cong itu (yang bernama Tio Kouw adalah putra ke-9 dari Kaisar Hwie Cong). Sebab di dalam suratnya, Kho Cong menyatakan dan mengaku sudah terima budi kebaikan dari raja Kim, karena mana turun temurun ia akan menjadi "menteri yang setia" serta berjanji setiap hari lahirnya, "Kaisar" demikian ia menyebut raja Kim itu " begitu juga setiap tahun, ia akan kirim utusan guna memberi selamat sambil menghanturkan upeti uang perak duapuluh lima laksa tail dan cita duapuluh lima laksa balok.
Demikian macam martabatnya seorang Kaisar, ia sungguh memalukan, maka ketika tentera dan rakyat negeri mengetahui hal itu, semuanya menjadi murka dan berbareng berduka. Lebih bersedih adalah rakyat di wilayah utara sungai Hoay-sui itu, karena mereka menjadi tidak mempunyai harapan lagi akan bangunnya negara. Dipihak lain, Kho Cong menganggap itu adalah jasa besar dari dorna Cin Kwee, maka juga dorna yang sudah tinggi pangkatnya, yaitu Siaupo Copoksia merangkap Kie-bit-su gelar Pangeran Louw-kokong, dinaiki pula menjadi Taysu, hingga kedudukannya telah mencapai puncaknya kebesaran suatu menteri!
Semenjak itu bangsa Kim menduduki separuh dari wilayah Tiongkok. Walaupun demikian pemerintahan di Hangciu malah bertambah buruk, raja dan menteri-menterinya, setiap hari berpelesiran saja, berpesta pora, tidak memikirkan lagi kepentingan negara, sedang beberapa menteri atau perwira yang setia, umumnya kalah pengaruh dan tidak berdaya, hingga mereka pada menutup mata karena mereras.
Demikan syair di atas, gambaran dari kaisar yang lemah dan buruk tapi pecandu pelisir!
-------------------------------
1) Telaga Barat " See Ouw (Si Hu)
2) Piancu " Kaifeng (Kayhong), ibukota propinsi Honan. Bekas kotaraja.
3) Lim-an " Hangciu (Hangchow), ibukota Chekiang, inilah yang dimaksud dengan Selatan (Kanglam)
4) Dorna Cin Kwee " Di Hangciu telah dibuat patungnya sebagai tanda peringatan dari khianatnya terhadap negara dan ada satu waktu yang patungnya itu telah diperhina dengan ludah maupun kotoran manusia.
Bab 1. Pertempuran di Tanah Bersalju
Beberapa tahun telah berselang, Kaisar Kho Cong itu digantikan oleh Kaisar Hauw Cong. Kaisar Hauw Cong digantikan Kaisar Kong Cong, lalu Kaisar Leng Cong. Pada tahun Keng-goan ke-5 dari Kaisar ini, selagi musim dingin, telah turun hujan salju lebat selama dua hari berturut-turut, hingga Hangciu, ibukota Kerajaan Song itu seperti bermandikan air perak, bercahaya berkilau, indah dipandang. Dan diwaktu begitu, Kaisar dan menteri-menterinya dengan duduk mengelilingi perapian, bersenang-senang menenggak air kata-kata......
* * * Di luar kota Hangciu, di sebelah timurnya, di dusun Gu-kee-cun, dua orang gagah pun tengah minum arak putih sambil duduk berhadapan, oleh karena mereka adalah bagaikan saudara sejati. Dari mereka itu, yang satu bernama Kwee Siauw Thian, yang lainnya Yo Tiat Sim, kedua-duanya adalah turunan orang-orang kenamaan.
Siauw Thian itu adalah turunan dari Say-Jin-Kui Kwee Seng, itu adalah salah satu jago dari seratus delapan orang kosen dari gunung Liang San yang kesohor dengan ilmu silat tombaknya, hanya setelah tiba pada dia ini, tombak yang panjang itu diganti dengan sepasang tombak pendek dan bergaetan (siangkek). Sementara Yo Tiat Sim itu adalah turunan dari Panglima Yo Cay Hin, salah seorang bawahan Jenderal Gak Hui dan ilmu tombaknya adalah warisan leluhurnya. Mulanya kedua orang ini bertemu dalam pengembaraan, setelah merasa cocok, maka mereka mengangkat saudara, kemudian bersama-sama mereka pindah dan tinggal di dusun ini. Kebiasaan mereka adalah duduk berkumpul, pasang omong dan menyakinkan ilmu silat.
Demikian juga pada hari itu, selagi salju turun, mereka duduk minum arak dan berbicara dengan asyiknya, tempo mereka omong hal nasibnya negera, keduanya menjadi berduka dan berdongkol, tiba-tiba saja Tiat Sim mengeprak meja dengan kerasnya. Justru saat itu ada seorang keluar dari ruang dalam, apabila gorden tersingkap, terlihatlah seorang wanita yang cantik sekali, tangannya memegang nenampan di atas mana ada terdapat masakan daging sapi serta ayam.
"Hai, urusan apa lagi yang membuat kamu berdua saudara marah?" tanya wanita itu sambil tertawa.
"Kami tengah membicarakan urusan yang gila-gila dari negara!" sahut Siauw Thian. "Enso, mari kau pun minum satu cawan!"
Wanita itu adalah Pauw-sie, istri dari Yo Tiat Sim. Di Lam-an ini, dia adalah merupakan wanita tercantik dan halus budi pekertinya, hingga ia tepat dengan romannya. Siapa yang melihat dia, pasti kagumlah hatinya. Dengan Tiat Sim, belum lama ia menikah, tetapi dia itu orangnya luwes dan dapat dengan gampang bergaul dengan kaum pria-dalam halnya dengan Siauw Thian, iparnya itu. Begitulah, setelah ia meletakkan barang makanan-nya, ia mengambil cawan dan mengisinya, sesudah itu mengambil kursi dan meminum araknya itu.
"Kemarin selagi aku berada di dalam warung teh di Tong Lam di ujung jembatan Cong An Kio, aku mendengar orang membicarakan halnya Han To Cu si perdana menteri keparat itu!" Tiat Sim menyahuti pertanyaan istrinya tadi. "Rapi pembicaraan itu, hingga aku percaya itu bukanlah omong kosong belaka. Orang itu bilang, pembesar siapa juga, jikalau dia hendak mengajukan laporan, apabila di ujung sampulnya tidak disertai keterangan dia menghadiahkan sesuatu, pasti perdana keparat itu tidak akan memeriksanya!"
Siauw Thian menghela napas. "Ada rajanya, ada menterinya" katanya masgul. "Ada menterinya, ada pembesar-pembesar bawahannya.Lihat saja Tio Tayjin, residen dari kota Lim-an kita ini. Hari itu Han To Cu pesiar di luar kota dengan diiringi banyak pembesar. Kebetulan aku lagi mencari kayu di dekat situ. Tentu saja aku tidak ambil mumat padanya itu. Lalu aku mendengar dia menghela napas dan berkata seorang diri: "Di sini rumah-rumah berpagar bambu dan beratap, sungguh suatu desa yang indah menarik hati, hanya sayang sekali, disini tidak terdengar suara ayam berkokok dan anjing menggonggong?" Belum lagi dia menutup mulutnya lalu terdengar gongongan anjing dari dalam semak-semak!"
Pauw-sie bertepuk tangan sambil tertawa. "Sungguh anjing yang tahu diri!" katanya.
"Memang anjing yang sangat tahu diri!" sahut Siauw Thian. "Setelah menggonggong, dia muncul dari semak-semak itu! Enso tahu, anjing apakah itu" Dialah Tio Tayjin, residen kita!"
Pauw-sie menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Tiat Sim dan Siauw Thian pun tertawa.
Mereka minum terus hingga terlihat salju turun makin lebat.
"Nanti aku undang enso minum bersama,!" kata Pauw-sie kemudian.
"Tidak usah," Siauw Thian mencegah. "Selama beberapa hari ini, dia merasa kurang sehat"."
Pauw-sie terkejut, "Ah, mengapa aku tidak tahu!" katanya. "Nanti aku tengok!"
Siauw Thian tidak bilang apa-apa lagi, dia malah tersenyum. Menampak hal itu, legalah hati Tiat Sim. Itu artinya nyonya Kwee tidak berat sakitnya.
Tak lama, nyonya Yo kembali sambil tersenyum-senyum. Ia isikan satu cawan, lalu mengansurkan cawan itu kepada suaminya.
"Lekas minum sampai habis!" katanya. "Inilah tanda hormat kepada Toako!"
"Eh, apakah artinya ini?" tanya Tiat Sim tidak mengerti.
"Minum, lekas minum!" desak Pauw-sie. "Habis minum nanti baru aku beri keterangan!" katanya kemudian.
Tiat Sim lalu meminum kering cawan itu.
"Nah, Toako, kau biacaralah sendiri!" kata Pauw-sie sambil tertawa kepada Siauw Thian.
Orang she Kwee itu tersenyum dan berkata, "Selama sebulan ini dia senantiasa mengeluh pinggangnya pegal dan sakit. Baru kemarin dia pergi ke Thio Ie-seng di dalam kota, kata tabib itu dia sudah mengandung selama tiga bulan"."
Tiat Sim menjadi girang sekali. "Kiong hie, Toako!" katanya sambil memberi selamat.
Lalu ketiganya meneguk arak mereka, masing-masing tiga cawan. Tentu saja dengan meminum sebanyaknya itu, sedikitnya arak itu telah mempengaruhi mereka.
Pada saat itu di arah timur kelihatan satu tosu atau imam sedang mendatangi. Dia memakai tudung bambu dan tubuhnya di tutupi dengan baju rumput, yang seluruhnya penuh dengan salju. Ia bertindak dengan tegap dan cepat. Segera tertampak di punggungnya ada tergantung sebatang pedang, yang roncenya kuning dan memain di antara tiupan angin yang keras.
"Adik, imam ini pasti mengerti ilmu silat," Siauw Thian bilang. "Entah dari mana dia datang. Coba kita dapat berkenalan dengannya. Sayang kita belum tahu namanya?"".."
"Benar," sahut Tiat Sim. "Baik kita undang dia minum untuk ikat persahabatan?""
Keduanya segera berbangkit dan pergi keluar. Ketika itu karena cepat jalannya, si imam sudah lewat beberapa puluh tombak.
Siauw Thian dan Tiat Sim saling melihat dengan herannya. "Totiang, tunggu sebentar!" Tiat Sim segera memanggil.
Cepat sekali si imam memutar tubuh dan mengangguk.
"Salju turun dengan lebatnya dan hawa pun sangat dingin," kata Tiat Sim pula, "Sudilah Totiang mampir untuk minum beberapa cawan guna melawan hawa dingin."
Iman itu menyahuti dengan tertawa dingin, lalu ia bertindak menghampir " cepat sekali tindakannya.
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua sangat terperanjat dan heran guna menyaksikan muka orang yang berwajah sangat dingin sekali.
"Kamu pandai bergaul, eh!" katanya tawar
Tiat Sim masih muda dan dia tidak senang dengan sikap orang. "Dengan baik hati aku mengundang kau minum, kenapa kau begini tidak tahu aturan?" pikirnya. Maka ia menjadi diam saja.
Siauw Thian sebaliknya lantas memberi hormat. "Totiang, harap anda tidak marah dengan sikap saudaraku ini. "Kami sedang minum arak, melihat Totiang melawan salju, dia besarkan nyali untuk mengundang Totiang minum bersama"."
Imam itu memutar matanya. "Baik,baik!" katanya. "Minum arak ya minum arak!" Dan dengan tindakan lebar ia menuju ke dalam.
Tiat Sim merasa dongkol, ia ulurkan tangannya hendak mencekal tangan kiri si imam untuk ditarik ke samping. "Aku belum belajar kenal dengan Totiang!" katanya. Tapi tiba-tiba ia merasa kaget. Ia merasai tangan orang sangat licin. Ketika ia berniat menarik pulang tangannya, tahu-tahu tangan itu bagaikan terjepit dengan keras, rasanya sakit dan panas. Ia kerahkan tenaganya untuk melawan. Justru dengan berbuat demikian ia merasakan tangannya hilang tenaga dan sakit sekali, rasa sakitnya sampai ke ulu hati.
Siauw Thian tampak wajah saudaranya merah dan pucat, ia tahu saudaranya ini tentu telah "ketemu batunya". Ia mengerti gelagat yang kurang baik itu dan sangsi turun tangan untuk membantu.
"Totiang, mari silakan duduk di sini!" ia mengundang.
Dua kali si imam kasih dengar tertawanya yang dingin itu, baru ia lepaskan cekalannya atas tangan Tiat Sim. Hal ini membuat orang she Yo itu mendongkol dan heran, ia terus masuk ke dalam, akan diberitahukannya istrinya tentang imam itu.
"Dia sangat aneh, pergi temani dulu," kata Pauw-sie. "Jangan turun tangan, perlahan-lahan saja kita cari tahu tentang dirinya?"
Tiat Sim menuruti perkataan istrinya itu.
Pauw-sie segera menyiapkan arak dan barang hidangan dan menyuruh Tiat Sim membawa keluar.
"Tunggu sebentar!" memanggil sang istri. Tiat Sim pun memutar kembali.
Pauw-sie menurunkan sebuah pisau belati yang tajam mengkilap, yang tergantung pada tembok, ia memasukkan belati itu ke dalam saku suaminya.
Tiat Sim pun kemudian keluar membawa barang hidangan itu dan mengaturnya di meja. Ia menuangkan tiga cawan, terus ia mengundang tamunya untuk minum. Ia juga meneguk satu cawan, habis minum ia berdiam saja.
Imam itu memandang keluar jendela dan mengawasi salju. Ia tidak meminum araknya dan ia pun tidak membuka mulutnya melainkan hanya tertawa dingin saja.
Siauw Thian menduga si imam tentu curigai araknya, ia mengambil cawan arak di hadapan imam itu, terus ia cegluk di hadapan imam itu. Ia menyambuti, terus diminumnya.
"Arakmu telah dingin Totiang, nanti aku tukar dengan yang baru," katanya. Dan ia mengisikan pula.
Si imam dapat mencium bau harum dari arak itu, ia menyambuti dan terus diminumnya. "Walaupun arak ini di campuri dengan obat pulas, tidak nanti aku kena diracuni!" katanya.
Tiat Sim menjadi hilang sabar. "Kita undang kau minum dengan maksud baik, mustahil kami hendak mencelakai kau!" tegurnya. "Totiang, kau omong tidak karuan, silakan lekas keluar! Arak kita tidak bakalan menjadi rusak dan sayur kita tak nanti tak ada yang memakannya!"
"Hm!" bersuara si imam itu. Tak lebih. Ia jemput poci arak dan menuang arak itu sendiri, lalu ia tenggak habis tiga cawan. Habis itu dia buka baju luarnya dan letaki tudungnya.
Sekarang baru Tiat Sim dan Siauw Thian dapat melihat dengan tegas wajah orang. Mereka menduga si imam baru berumur tiga puluh tahun lebih, sepasang alisnya panjang lancip, kulit mukanya merah segar, mukanya lebar dan kupingnya besar. Ia bukan sembarang imam. Ketika ia kasih turun kantung di punggungnya, ia terus lempar barang itu ke atas meja hingga terbitlah suatu suara yang keras, hingga kedua tuan rumah itu menjadi kaget sekali. Sebab yang menerbitkan suara nyaring itu yang menggelinding keluar dari dalam kantung itu adalah kepala manusia yang masih berlumuran darah, hingga tak nampak jelas raut mukanya.
Tiat Sim meraba pisau belati dalam kantungnya.
Si imam menukik pula kantungnya, kali ini dikeluarkannya dua potong daging yang penuh darah juga, karena itu adalah hati dan jantung manusia.
"Jahanam!" teriak Tiat Sim yang sudah tak tahan sabar lagi, sedang tangannya melayang ke dada si imam.
"Kebetulan, aku memang menghendaki barang ini!" seru si imam sambil tertawa. Ia tidak menghiraukan tikaman itu, hanya ketika si orang she Yo itu datang mendekat, ia menggempur dengan tangan kirinya, hingga seketika juga Tiat Sim merasa bahunya tergetar, lalu tiba-tiba saja pisau belatinya kena dirampas orang!
Siauw Thian kaget bukan kepalang. Ia tahu lihaynya adik angkatnya itu, yang cuma kalah sedikit dengannya. Tidak disangka, demikian gampang imam ini merampas senjata orang. Itulah ilmu silat "Khong-ciu toat pek-jin" atau "Tangan kosong merampas senjata tajam" yang lihay, yang baru pernah ia saksikan. Meskipun ia kaget, ia toh segera bersiap dengan memegang bangku, guna membela diri umpama kata si imam terus menyerang. Akan tetapi dugaannya ini salah adanya. Imam itu tidak menyerang siapa juga, ia hanya lantas gunai pisau itu untuk memotong-motong hati dan jantung manusia itu, lalu dengan tangan kiri mencekal poci arak, dengan tangan kanan ia jumputi potongan daging satu demi satu, untuk dimasukkan ke dalam mulutnya, buat dikuyah dan ditelan, saban-saban dia selang itu dengan tenggakan arak pada pocinya. Cepat daharnya, sebentar lagi habis sudah makanan yang rupanya sangat lezat itu!
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua saling mengawasi dengan tercengang. Sungguh aneh imam ini. Akan tetapi itu masih belum semua. Habis dahar, imam itu berdongak, lalu ia bersiul nyaring sekali, umpama kata genting sampai bergetar, kemudian tangan kanannya menyerang ke meja, hingga piring dan cawan berlompat! Yang hebat adalah sasaran serangan itu, ialah kepala manusia itu, yang remuk seketika! Sedang ujung meja turut sempal sedikit?"..
Selagi dua saudara angkat itu berdiam, wajah si imam yang tadinya bermuram durja dan bengis, tiba-tiba berubah menjadi penuh dengan air mata, dengan air mata bercucuran ia lalu menangis dengan meraung-raung!
"Kiranya dia seorang yang edan"!" bisik Siauw Thian kepada adik angkatnya, yang ujung bajunya ia tarik. "Dia lihay sekali, jangan kita ladeni dia"."
Tiat Sim mengangguk, ia awasi imam itu. Sekarang tidak lagi ia gusur, sebaliknya ia merasa kasihan. Sedih tangisnya si imam ini, ilmu silat siapa sebaliknya ia kagumi. Maka kemudian ia lari ke dalam untuk mengambil semangkok kuwah yang masih panas.
"Totiang, mari minum kuwah ini!" katanya. Ia letaki mangkok itu di atas meja.
Si imam bukan menerima kuwah iru, ia sebaliknya menggebrak meja hingga mangkok itu terbang berikut mejanya. Ia pun berseru :"Kawanan tikus, hari ini toyamu membuka pantangan membunuh!"
Menampak itu, meluaplah amarah Tiat Sim, maka ia melompat ke ujung ruang untuk menyambar tombaknya, lalu ia terus lari keluar, ke depan pintu dimana salju terhampar luas.
"Mari, mari!" ia menantang. "Mari belajar kenal dengan tombak keluarga Yo!"
Imam itu tersenyum. "Tikus, pantaskah kau menggunai ilmu silat tombak keluarga Yo?" tanyanya. Ia bersuara sambil tubuhnya melompat keluar.
Melihat keadaan mengancam itu, Siauw Thian lari untuk mengambil sepasang gaetannya, dengan lekas ia berbalik kembali.
Imam berdiri tanpa menghunus pedangnya, Cuma sang angin menyampok-nyampok ujung bajunya.
"Hunus pedangmu!" seru Tiat Sim.
"Ah, dua tikus, kamu berdua majulah berbareng!" sahut si imam. "Toya kamu akan layani kamu dengan tangan kosong!"
Takabur bukan main orang pertapaan ini, hingga Tiat Sim tidak berayal sejenak juga untuk segera menikam dengan tombaknya yang beronce merah itu. Ia gunai tipu silatnya "Tok liong cut tong" atau "Naga berbisa keluar dari gua"
"Bagus!" seru si imam kagm menampak serangan itu yang menuju ke dadanya. Ia berkelit ke samping, tangan kirinya bergerak, untuk sambar kepala tombak itu.
Lihay ilmu silat tombak keluarga Yo itu " Yo-kee Chio-hoat. Ketika Yo Cay Hin bersama tigaratus serdadunya " tentara kerajaan Song menghadapi empat laksa serdadu Kim, seorang diri ia telah membinasakan dua ribu lebih serdadu musuh berikut banyak perwiranya, sebelum akhirnya ia roboh karena terkena banyak panah, waktu ia binasa dan bangsa Kim membakar tubuhnya, dari dalam tubuhnya itu kedapatan banyak ujung panah, sebab selagi ia terpanah, gagang panah ia patahkan. Karena ini bangsa Kim menjadi jeri dan mengaguminya. Tiat Sim tidak segagah leluhurnya itu tetapi ilmu silatnya cukup sempurna, begitulah ia mencoba mendesak si imam tidak di kenal itu yang senantiasa lolos dari tikaman, tempo habis sudah dijalankan semua tujuh puluh dua jurus ilmu tombak itu, dia tidak kurang sesuatu apa. Baru sekarang si anak muda menjadi gentar, terpaksa ia seret tombaknya untuk keluar dari kalangan.
Imam itu mengejar apabila ia dapatkan lawannya itu lari.
Sekonyong-konyong Tiat Sim berseru keras, tubuhnya berputar balik, berbareng dengan itu, dengan kedua tangannya memegangi gagang tombak, ia menikam dengan hebat sekali. Itulah tipu silat "Cwie-pek po-kian" atau "menggempur tembok". Dengan tipu itu, musuh dibikin tidak menyangka dan menjadi kaget. Dengan tipu ini juga dulu Yo Cay Hin membikin rubuh Gak Hoan, adiknya Gak Hui.
"Bagus!" seru si imam buat kedua kalinya. Ia tidak menjadi gugup, justru ketika ujung tombak sampai, ia menyambutnya dengan kedua telapak tangan dirangkap, ditempel menjadi satu dengan keras, hingga ujung tombak itu kena terjepit.
Tiat Sim kaget bukan kepalang. Ia mendorong dengan keras, tombaknya itu tak dapat maju melewati telapak tangan lawan. Ketika ia menarik dengan sekuat tenaga, betotannya pun sia-sia belaka, tombaknya tak terlepas dari cekalan lawannya itu, kuda-kuda si imam juga nancap bagaikan terpaku. Tiga kali ia mencoba menarik tanpa hasil, mukanya menjadi merah.
Tiba-tiba saja si imam tertawa, lalu jepitan tangannya terlepas. Tapi ia tidak Cuma melepas, tempo tombak tertarik pulang, ia membacok dengan tangan kanannya kepada tombak, hingga dengan bersuara nyaring, tombak besi itu patah menjadi dua potong!
Imam itu segera tertawa pula, lalu ia berkata. Kali ini dengan suara manis. "Tuan, benar lihay ilmu silat tombakmu!" katanya. "Maaf untuk perbuatanku ini! Mohon ku tanya she tuan"
"Aku yang rendah she Yo bernama Tiat Sim," sahut Tiat Sim, selagi ia belum dapat tenangkan diri. Ia kesakitan pada kedua tangannya, ia pun heran sekali.
"Pernah apakah Tuan dengan Ciangkun Yo Cay Hin?" tanya si imam.
"Ia adalah leluhur saya," jawab Tiat Sim pula.
Mandadak si imam itu menjura kepada saudara angkat itu, sikapnya hormat sekali.
"Maaf, barusan aku menyangka Tuan-tuan adalah orang jahat," ia berkata dengan pengakuannya. "Aku tidak sangka Tuan-tuan adalah turunan orang-orang setia. Boleh kutanya she Tuan?" ia lanjuti kepada Siauw Thian.
Dengan cara hormat Siauw Thian perkenalkan dirinya.
"Tuan ini kakak angkatku, dia adalah keturunan dari Say Jin Kui Kwee Seng dari gunung Liang San," Tiat Sim menambahkan.
"Bagus!" berkata si imam, ia pun minta maaf pada pemuda she Kwee itu. Kembali ia menjura.
Tiat Sim berdua membalas hormatnya.
"Silahkan Totiang minum arak pula," ia mengundang pula kemudian.
"Memang kuingin minum dengan puas bersama jiwi!" kata si imam denagn tertawa.
Tiat Sim dan Siauw Thian undang orang masuk pula ke dalam.
Pauw-sie menyaksikan pertempuran dari muka pintu, girang ia mengetahui kesudahannya orang menjadi sahabat, ia terus lari ke dalam, untuk menyiapkan pula arak dan barang hidangan.
Kali ini Tiat Sim dan Siauw Thian tanya gelaran si imam.
"Pinto she Khu bernama Cie Kee," sahut imam itu.
Siauw Thian terperanjat mendengar nama itu. "Oh, apa bukannya Tiang Cun Cinjin?" ia menyela.
"Itulah nama pemberian rekan-rekanku, pinto malu menerimanya," kata Cie Kee sambil tertawa.
Siauw Thian segera berkata kepada adik angkatnya: "Adik, totiang ini adalah orang gagah nomor satu di ini jaman! Sungguh beruntung kita dapat berjumpa dengannya!"
"Oh!" Tiat Sim berseru kaget. Lalu berdua, mereka berlutut di depan imam itu.
Khu Cie Kee tertawa, ia memimpin bangun orang. "Hari ini pinto telah membunuh seorang jahat, karenanya para pembesar negeri sedang mencari aku," ia berkata. "Barusan pinto lewat di sini, pinto lihat kamu berdua lagi minum arak. Di sini adalah kota raja dan kamu kelihatannya bukan sembarang orang, dari itu pinto menjadi curiga sendiri"."
"Keliru adalah saudaraku ini, yang tabiatnya keras," Siauw Thian bilang. "Totiang lihat sendiri, dia suruh lantas turun tangan, pantas kalau Totiang jadi curiga karenanya."
Siauw Thian dan Tiat Sim tertawa. Begitulah mereka lalu minum dan dahar dengan gembiranya.
"Sebenarnya pinto adalah orang utara," kemudian Tian Cun Cinjin berkata pula. "Rumah tanggaku hancur lebur karena kejahatan bangsa Kim, sedang pemerintah selalu mencari muka daripadanya, dari itu pinto telah sucikan diri." Ia terus tuding kepala manusia yang remuk dan yang tergeletak di lantai itu. "Dia itu adalah Ong To Kian, si pengkhianat besar. Pada tahun yang lalu kaisar mengutus dia kepada raja Kim, buat memberi selamat ulang tahun raja itu. Ketika itu digunai ia untuk bersekongkol, supaya bangsa Kim bisa menyerbu ke Kanglam. Pinto susul dia selama sepuluh hari, baru ia dapat dicandak, lalu pinto membunuhnya. Pikiranku sedang kacau maka juga tadi pinto berlaku tidak selayaknya."
Siauw Thian dan Tiat Sim membilang tidak apa. Mereka memang kagumi imam ini yang kesohor lihay ilmu silatnya. Sekarang ternyata orangpun menyinta negara, mereka lebih-lebih lagi menghormatinya. Lalu mereka mohon pengajaran silat. Khu Cie Kee tidak keberatan, lalu ia memberi beberapa petunjuk.
"Totiang, sunggguh beruntung kami dapat bertemu dengan Totiang," kemudian Tiat Sim utarakan isi hatinya, "Maka itu sudilah Totiang berdiam untuk beberapa hari di gubuk kami ini."
Imam itu hendak menjawab tuan rumah itu, ketika mendadak air mukanya berubah.
"Ada orang datang mencari aku," ia bilang, "Ingat, tidak peduli bagaimana denganku, sebentar kamu tidak boleh munculkan diri! Mengerti"!"
Siauw Thian dan Tiat Sim heran akan tetapi mereka lantas mengangguk.
Cie Kee lantas sambar kepalanya Ong To Kian, dengan cepat ia bertindak keluar, lalu gesit bagaikan burung terbang ia loncat naik ke atas sebuah pohon besar di dalam pekarangan, di situ ia umpatkan dirinya.
Siauw Thian berdua heran bukan buatan. Kecuali deruan angin, mereka tidak dengar suara lainnya, mereka pun tidak nampak apa-apa. Baharu kemudian, sesudah memasang kuping dan angin pun lewat, mereka dengar tindakan kaki kuda.
"Sungguh jeli kuping cinjin!" puji Tiat Sim
Suara kuda itu datang semakin mendekat, dan kemudian tampaklah belasan penunggang kuda, setiap penunggangnya mengenakan pakaian hitam dan kopiah hitam. Mereka itu menghampiri pintu, setelah tiba, orang yang pertama pecahkan kesunyian: "Sampai di sini bekas-bekas kakinya, lalu lenyap!"
Beberapa orang lompat turun dari kudanya, mereka periksa tapak kakinya Khu Cie Kee.
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua sembunyi di dalam rumah, dari mana mereka mengintai di antara sela-sela jendela. Mereka dapat kenyataan orang semuanya gesit, suatu tanda dia orang mengerti ilmu silat dengan baik.
"Masuki rumah itu dan geledah!" terdengar memerintah orang yang maju di muka itu.
Dua orang segera lompat turun dari kuda mereka, untuk itu lantas hampiri rumahnya Tiat Sim untuk menggedornya. Justru itu dari atas pohon menyambar sebuah benda, yang jitu sekali mengenai batok kepalanya satu di antara dua orang itu, hingga dia ini rubuh dengan kepalanya pecah hancur. Hingga kawannya menjadi kaget dan berteriak, hingga yang lain-lainnya turut berteriak pula, lebih-lebih setelah diketahui, benda yang dipakai menimpuk itu adalah kepalanya "Ong Tayjin". Dengan lantas itu mereka mengurung pohon dari mana serangan itu datang.
Orang yang menjadi pemimpin menghunus goloknya yang panjang, untuk memegang pimpinan, atas perintahnya lima orang menggunai panah untuk menyerang ke arah atas pohon!
Yo Tiat Sim sambar sebatang golok dari pojok rumahnya, hendak dia menerjang keluar untuk membantu si imam, akan tetapi Siauw Thian menariknya.
"Jangan!" katanya. "Totiang telah pesan kita jangan keluar! Kalau ternyata dia tidak sanggup melawan, baru kita turun tangan?"."
Selagi orang she Kwee ini berbicara, Khu Cie Kee sudah beraksi. Dia sambut empat batang anak panah itu lalu ia pakai itu untuk menimpuk ke bawah, tubuhnya sendiri turut lompat turun, hingga akibatnya dua musuh menjerit dan rubuh binasa kena tikaman pedang.
"Imam bangsat, kiranya kau!" berseru si pemimpin, yang bajunya hitam. Dia perdengarkan suaranya seraya tangkis anak panah yang ditimpukkan ke arahnya, kemudian ia keprak kudanya maju untuk menyerang untuk mana tiga batang panah di tangannya telah mendahului majunya itu.
Belum Cie Kee menyerang ini pemimpin, dia telah rubuhkan lagi dua musuh, hingga sebentar saja ia telah minta lima korban.
Tiat Sim kagum hingga ia tergugu. Dia telah belajar silat belasan tahun, tetapi sedikit juga ia tidak dapat tandingi imam itu, yang gesit dan lihay sekali. Maka ia merasa ngeri waktu ia ingat tadi ia telah berani lawan imam yang lihay itu.
Sekarang Cie Kee tengah layani si pemimpin, yang bengis sekali, meski demikian selang sesaat, Siauw Thian dan Tiat Sim segera mengerti bahwa sang imam tengah mempermainkan orang, sebab di lain pihak, saban-saban imam ini gunai ketika akan rubuhkan lain orang " ialah orang-orang yang mengepungnya. Terang si imam lagi gunai siasat, guna menumpas semua penyerangnya itu. Kalau dia lekas-lekas rubuhkan si pemimpin, mungkin bawahannya nanti lari kabur semua.
Selang tak lama, imam itu dikepung hanya tujuh orang, yang ilmu silatnya paling baik. Menampak ini, si pemimpin menjadi kecil hatinya, dari itu, dengan tiba-tiba ia keprak kudanya, buat dikasih berbalik untuk lari pergi.
Sang imam ada sangat jeli matanya dan cepat gerakannya, selagi kuda berputar, ia menyambar dengan tangan kirinya, akan cekal ekornya kuda itu, untuk ditarik. Sembari menarik ia enjot tubuhnya, untuk melompat naik, tetapi belum lagi ia bercokol di atas kuda itu, pedangnya sudah menikam tembus punggung si pemimpin, tembus dari belakang ke depan, hingga tubuh orang itu rubuh ke depan. Demikian dengan menunggang kuda, sekarang si imam ini bisa serang lain-lain musuhnya. Ia tidak membutuhkan banyak waktu untuk membikin setiap kuda tanpa penumpangnya, sebaliknya mayat-mayat bergelimpangan di tanah bersalju itu, yang menjadi merah karena berlumuran darah mereka itu".
Seorang diri si imam tertawa. "Puas aku dengan pertempuran ini!" katanya kepada Siauw Thian dan Tiat Sim, yang telah lantas muncul. Hanya hati mereka masih kebat-kebit.
"Totiang, siapakah mereka ini?" tanya Siauw Thian.
"Kau geledah saja tubuh mereka!" sahut si imam.
Siauw Thian menghampiri mayatnya si pemimpin, untuk memeriksa sakunya. Ia dapatkan sepotong surat titah, dari Tio Tayjin si residen Lim-an yang bisa "menggonggong" sebagai anjing itu. Itu juga adalah titah rahasia untuk membekuk pembunuhnya Ong To Kian, untuk mana si residen bekerja sama dengan pihak bangsa Kim, sebab ia telah di desak oleh utusan negara Kim.
Mengetahui itu, orang she Kwee ini menjadi sangat mendingkol. Sedang begitu, Tiat Sim telah perdengarkan seruan seraya tangannya menyekal beberapa potong yauw-pay, yang dia dapatkan dari beberapa mayat. Yauw-pay itu adalah tanda kedudukan atau pangkat beberapa mayat itu, karena huruf-huruf yang kedapatan adalah huruf bahasa Kim, menjadi nyata, di antara orang-orangnya residen Lim-an itu adalah orang bangsa Kim.
"Celaka betul!" teriak Siauw Thian dalam murkanya. "Tentara Kim main bunuh orang di wilayah kita, sekarang pembesar kita boleh disuruh-suruh dan diperintah olehnya. Negara kita ini menjadi negara apa"!"
Khu Cie Kee sebaliknya tertawa. "Sebenarnya orang suci sebagai aku mestinya berlaku murah hati dan berbelas kasihan," katanya, "Akan tetapi menyaksikan kebusukan segala pembesar dan orang-orang jahat, tak dapat aku memberi ampun pula!"
"Memang, memang mesti begitu!" seru dua saudara angkat she Kwee dan she Yo itu. "Begini barulah puas!"
Kemudian Tiat Sim ambil pacul dan sekop, untuk menggali laing, guna pendam belasan mayat itu. Didalam hal ini ia tidak kuatir ada orang yang melihat kejadian ini, sebab desa itu sedikit penduduknya dan itu waktu lagi turun salju dengan lebatnya, tak ada orang yang sudi berkeliaran di luaran.
Habis itu nyonya rumah sapui sisa darah di atas salju. Nyonya ini rupanya tak dapat menahan bau bacin dari darah, ia rupanya bekerja keras, tiba-tiba saja ia rasai kepalanya pusing, matanya kabur, lalu ia rubuh.
Tiat Sim terkejut, ia tubruk istrinya, untuk diangkat bangun. "Kau kenapa?" tanya suaminya ini beberapa kali.
Pauw-sie berdiam, kedua matanya tertutup rapat, mukanya pucat pias, kaki tangannya dingin seperti es. Tentu saja suaminya itu menjadi kaget dan berkhawatir.
Cie Kee pegang nadi si nyonyi, lantas ia tertawa. "Kionghie! Kionghie!" ia memberi selamat.
"Apa, Totiang?" tanya Tiat Sim heran.
Justru itu Pauw-sie mennjerit, ia sadarkan diri. Mulanya ia heran di kerumuni tiga orang, habis itu ia likat, ia lari ke dalam.
"Istrimu lagi hamil!" kata Cie Kee kemudian.
"Benarkah itu, Totiang?" Tiat Sim tegaskan.
"Tidak salah!" si imam pastikan. "Banyak ilmu yang pinto yakinkan, tiga yang memuaskan hatiku, ialah pertama ilmu tabib, kedua syair, dan ketiga ialah ilmu silat kucing kaki tiga ?""
Dengan kata-kata "kucing tiga kaki" atau tidak ada artinya, imam ini merendahkan diri.
"Totiang begini lihay tetapi totiang menyebutkan kepandaianmu sendiri sebagai kucing kaki tiga, kalau begitu kepandaian kami berdua pastilah kepastiannya si tikus berkaki tunggal!" katanya. Cie Kee tersenyum, begitu pula dengan Tiat Sim.
Kemudian mereka bertiga masuk pula ke dalam untuk lanjuti minum arak. Dua saudara angkat itu sangat kagumi tetamu mereka, yang bertempur hebat tetapi tubuhnya tak berkeciprukan darah. Tiat Sim minum dengan gembira sekali. Ia ingat akan hamilnya istrinya.
"Kwee Toako," katanya kemudian. "Enso pun lagi berisi, maka aku pikir baiklah kita minta totiang yang memberi nama kepada anak-anak kita nanti!"
Siauw Thian berikan kesetujuannya atas saran itu.
Cie Kee pun tidak menampik, ia berpikir sebentar lantas ia bilang: "Anak Kwee Toako baik diberi nama Ceng, yaitu Kwee Ceng, dan anak Yo Toako diberinama Kong, yaitu Yo Kong. Nama-nama ini dapat juga diberikan sekalianpun untuk anak perempuan."
"Bagus!" seru Siauw Thian. "Aku mengerti, totiang tentu tidak melupai peristiwa Ceng-kong yang memalukan, untuk memperingati ditawannya kedua raja kita."
"Benar begitu!" sang imam mengakui. Terus ia merogoh sakunya, untuk kasih keluar dua potong pedang pendek, yang ia letaki di atas meja. Pedang itu sama panjang pendeknya dan besar kecilnya, sarungnya dari kulit hijau, gagangnya dari kayu hitam. Kemudian ia ambil pisaunya Tiat Sim, untuk dipakai mengukir gagang kedua pedang pendek itu. Ia mengukir masing-masing dua huruf "Kwee Ceng" dan "Yo Kong".
Dua-duanya Siauw Thian dan Tiat Sim kagum menyaksikan kepandaiannya si imam mengukir huruf-huruf itu, cepat dan indah hurufnya.
"Diwaktu berkelana seperti ini aku tidak punya barang apa-apa, pedang pendek ini saja aku berikan sebagai tanda mata untuk anak-anak kedua toako nanti!" kata si imam.
Dua saudara angkat itu terima bingkisan itu, keduanya mengucapkan terima kasih.
Tiat Sim mencoba menghunus pedangnya, ia menjadi kagum. Pedang itu berkilau dan memberikan hawa dingin. Demikian pun pedangnya Siauw Thian. Jadinya kedua pedang itu bukan sembarang pedang, meskipun badan pedang ada tipis sekali.
Cie Kee pegang pedang yang satu, ia adu itu dengan pisau belatinya, dengan memberikan satu suara, ujungnya pisau belati itu putus menjadi dua potong.
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua menjadi terkejut. "Totiang, tak berani kami menerima hadiah ini!" kata mereka. Sebab kedua pedang itu adalah semacam pedang mustika.
Tiang Cun Cinjin tertawa. "Dua pedang ini pinto dapatkan secara kebetulan saja, walaupun benar untuk itu pinto mesti keluarkan sedikit tenaga," ia berkata. "Untukku, senjata ini tidak ada perlunya, sebaliknya adalah besar faedahnya apabila dibelakang hari anak-anak itu pakai untuk membela negeri, guna melabrak musuh!"
Dua saudara angkat itu masih mencoba menampik hingga mereka membangkitkan amarahnya si imam itu.
"Aku anggap kamu adalah turunan orang-orang kenamaan, maka itu aku hargakan kamu, kenapa sekarang kamu begini tidak bersemangat?" ia menegur.
Baharu sekarang Siauw Thian dan Tiat Sim tidak menolak lagi, mereka lantas menghanturkan terima kasih.
Cie Kee berkata pula, dengan sungguh-sungguh: "Kedua pedang ini adalah benda usia beberapa ratus tahun tua, setahu sudah berapa banyak orang terbunuh dan berapa banyak darah telah dihirupnya, maka mengertilah kamu, siapa saja yang mengerti ilmu silat melihat ini lantas matanya menjadi merah! Kamu pun mesti menginsafinya, seorang bocah yang ilmu silatnya tidak sempurna dengan menggunai pedang ini, dia Cuma dapat memperbahayakan dirinya sendiri, dari itu kamu mesti berhati-hati! Kamu ingatlah baik-baik!"
Siauw Thian dan Tiat Sim berdua saling mengawasi, hati mereka tidak tentram.
Khu Cie Kee tertawa panjang. "Sepuluh tahun sejak ini, apabila pinto masih ada di dalam dunia ini, mesti pinto datang pula ke mari untuk ajarkan anak-anak itu ilmu silat," ia berkata, "Setujukah kamu?"
Dua saudara angkat itu menjadi girang sekali. "Terima kasih totiang, terima kasih!" mereka mengucap.
"Sekarang ini bangsa Kim sedang mengincar negara kita, terhadap rakyat dia sangat telengas," berkata pula si imam, "Karena mestinya tidak lama lagi bangsa itu turun tangan, dari itu pinto harap jiwi jaga diri baik-baik"."
Dia angkat cawannya, untuk tenggat habis isinya, setelah itu dia buka pinti, untuk bertindak keluar. Siauw Thian berdua berniat meminta si imam berdiam lebih lama, siapa tahu tindakan orang cepat sekali, tahu-tahu imam itu sudah pergi jauh.
"Begitulah kelakuan orang berilmu, ia datang dan pergi tak ketentuannya," kata Siauw Thian sambil menghela napas. "Kita dapat bertemu dia tetapi sayang, kita tidak dapat meminta pengajaran daripadanya?".."
Tiat Sim sebaliknya tertawa. "Toako, hebat cara bertempurnya totiang hari ini!" ia bilang. "Dengan menonton saja, sedikitnya terumbar juga hati pepat kit!" ia lantas buat main pedang yang satu, sampai ia lihat ukiran dua huruf Yo Kong. Lantas ia berkata "Toako ada satu pikiran cepat dari aku, entah kau setuju atau tidak?"
"Apakah itu, Saudaraku?" Siauw Thian balik bertanya.
"Inilah mengenai anak-anak kita nanti," Tiat Sim beri keterangan. "Umpama anak kita laki-laki semua, biarlah mereka menjadi saudara satu dengan yang lain, apabila mereka adalah perempuan, biarlah mereka menjadi enci dan adik?""."
"Jikalau mereka adalah laki-laki dan perempuan, biarlah mereka menjadi suami-istri!" Siauw Thian menyela.
Keduanya lantas menjabat tangan, mereka tertawa terbahak. Itulah janji mereka.
Justru pada saat itu Pauw-sie muncul. "Eh, kenapa kamu menjadi girang begini?" tanya si nyonya.
"Kami baru saja membuat janji," sahut Tiat Sim, yang lantas tuturkan kecocokan mereka berdua.
"Cis!" si nyonya meludah. Tetapi di dalam hati, ia pun girang.
"Sekarang marilah kita saling tukar pedang dahulu," Tiat Sim berkata pula. "Ini adalah semacam tanda mata. Kalau mereka ada laki-laki atau perempuan, biarlah mereka jadi saudara satu dengan yang lain, kalau?".."
"Kalau begitu, kedua pedang ini akan berkumpul di rumah kakak!" Siauw Thian bilang.
"Mungkin akan berkumpul di rumahmu, Saudara!" kata Pauw-sie.
Lantas mereka tukar kedua pedang itu. Sampai disitu, Siauw Thian pulang dengan membawa pedang itu, untuk memberitahukan kepada istrinya, Lie-sie.
Tiat Sim ada gembira sekali, masih ia minum seorang diri, hingga ia mabuk.
Pauw-sie pimpin suaminya ke kamar tidur, lalu ia benahkan piring mangkok dan cawan, habis mana melihat hari sudah mendekati sore, ia pergi ke belakang untuk kurungi ayamnya. Setibanya ia di pintu belakang, ia menjadi terkejut. Di situ, di atas salju, ia tampak tanda-tanda darah, yang melintas di luar pintu belakang itu.
"Kiranya di sini masih ada tanda darah yang belum dilenyapkan," pikirnya heran. "Kalau pembesar negeri melihat ini, inilah bahaya"."
Maka ia cari sapu, lantas ia menyapu pula.
Tanda darah itu menuju ke belakang rumah dimana ada pepohonan lebat. Di sini ia lihat tanda darah dari orang yang rupanya jalan merayap. Ia jadi bertambah heran, saking curiga, ia ikuti terus tanda darah itu, yang sampai di belakang sebuah kuburan tua. Di situ ia lihat suatu benda hitam yang tergeletak di tanah. Kapan ia sudah datang mendekat, ia kembali jadi terkejut. Itu adalah tubuhnya satu orang dengan pakaian serba hitam, ialh salah satu orang yang tadi mengepung Khu Cie Kee. Rupanya habis terluka, ia tidak terbinasa, ia lari ke belakang rumah.
Selagi berpikir, Pauw-sie ingat untuk panggil suaminya, buat kubur orang itu. Ia belum bertindak tempo ia ingat, adalah berbahaya kalau ia tinggal pergi, sebab mungkin nanti diketemui lain orang yang kebetulan lewat di situ. Ia jadi beranikan diri, ia menghampiri orang itu dengan niat menyeret, guna dipindahkan ke dalam rujuk, setelah mana baru ia baru hendak panggil suaminya. Benar disaat ia cekal tubuh orang untuk ditarik, mendadakan tubuh itu bergerak, lau terdengar suara merintihnya. Ia menjadi sangat kaget, ia jadi berdiri bagaikan terpaku, sedang sebenarnya ingin ia lari pulang.
Lewat sesaat, tubuh itu terdiam pula. Dengan beranikan hati, Pauw-sie pakai sesapu, untuk bentur tubuh orang. Maka sekali lagi ia dengar suara rintihan perlahan.
Bab 2. Berlalunya Dua Sahabat Kekal
Sekarang Pauw-sie dapat kenyataan orang belum mati dan pundaknya dia itu tertancapkan sebatang anak panah. Batang patah juga berbelepotan darah.
Nyonya ini bernama Sek Yok, nama ini tepat sama sifatnya, yang selalu berhati murah. Nama itu pun berarti "menyayangi yang lemah". Begitulah diwaktu masih kecil, kalau ia lihat burung gereja atau ayam terluka, atapun kutu seperti semut, tentu ia mengobatinya, sampai binatang itu sembuh, kalau tidak, ia buatnya berduka. Karena ini, dikamarnya ia rawat banyak kutu. Sifat ini tidak berubah sampai ia menikah, dari itu kebetulan untuknya Yo Tiat Sim, suaminya tidak menentangi padanya, maka juga di belakang rumahnya ia ada pelihara banyak burung dan binatang peliharaan lainnya. Suatu sifat lagi ialah Pauw-sie tidak tega menyembelih binatang piaraannya untuk suaminya dahar ayam, ia sengaja beli di pasar, ayamnya sendiri ia pelihara hingga matinya ayam itu.
Demikian kali ini, menampak orang terluka parah timbul rasa kasihannya, walaupun ia tahu orang bukannya orang baik-baik. Cuma bersangsi sejenak, lantas ia lari pulang, niatnya untuk mengasih bangun suaminya. Tiat Sim lagi tidur nyenyak, mungkin disebabkan mabuk arak, ia tak mendusin kendati istrinya sudah gonyang-gonyang tubuhnya.
Pauw-sie menjadi sibuk. Ia tahu orang perlu lekas ditolongi. Akhirnya dengan terpaksa ia ambil obat-obatan suaminya, dengan bawa pisau kecil dan sepotong cita, juga arak yang hangat, ia kembali pada si luka. Biasa merawat binatang, ia jadi juga bisa merawat orang luka. Begitu setelah belek sedikit daging di dekat panah nancap, dengan sekeras tenaga, ia cabut anak panah itu. Si luka menjerit, lalu pingsan. Panahnya tercabut, darahnya muncrat mengenai bajunya si nyonya.
Dengan hati memukul sendirinya, Pauw-sie lantas obati luka itu, ia bungkus dengan rapi.
Selang sekian lama, si luka sadar pula, tapi ia sangat lemah, rintihannya pun sangat perlahan.
Pauw-sie tidak kuat angkat tubuh orang, tetapi ia dapat akal, ia pulang untuk ambil sehelai papan pintu, ia letaki itu diatas salju, lalu ia tarik orang ke atas papan itu, lantas ia tarik sekuat-kuatnya. Ia tempatkan si luka di gudang kayu.
Sampai ia telah salin pakaian, hati Pauw-sie masih belum tentram betul. Ia masak daging kuwah semangkok, lalu ia bawa ke belakang. Hari sudah gelap, ia bawa lilin. Sejak di depan pintu gudang, ia sudah dengar suara bernapas perlahan. Jadi orang itu tidak mati. Ia masuk ke dalam, ia berikan daging kuwah itu.
Si luka makan sekira setengah mangkok, lalu ia batuk-batuk keras.
Dengan bantuan api lilin, pauw-sie awasi muka orang. Ia dapatkan satu pemuda yang tampan, hidungnya mancung. Karena tangannya gemetar, tanpa ia merasa ia kena bikin tetesan lilin jatuh ke muka orang itu, yang lantas buka kedua matanya. Kaget ia akan lihat si nyonya cantik, sinar matanya jernih, kulitnya merah dadu.
"Apa yang kau rasakan baikan?" Pauw-sie toh menanya. "Mari makan habis daging kuwah ini".."
Orang itu ulur tangannya, akan sambuti mangkok, tetapi ia lemah, hampir ia bikin mangkok itu terlepas. Maka terpaksa Pauw-sie bawa mangkok itu kemulutnya.


Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Habis makan kuwah, nampaknya orang itu segaran. Dengan mata bersinar, ia awasi si nyonya, agaknya ia berterima kasih.
Pauw-sie likat diawasi orang itu, maka lekas-lekas ia ambil rumput, akan tutupi tubuh orang itu, lalu dengan membawa lilinnya, ia balik ke kamarnya. Ia tidak dapat tidur tenang, diwaktu pulas, ia mimpi yang hebat-hebat, umpamanya suaminya tombak mati orang itu atau dua ekor harimau kejar padanya sampai ia tak tahu mesti lari ke mana. Beberapa kali ia mimpi, beberapa kali ia sadar, dengan hati tergoncang. Ketika akhirnya ia mendusin diwaktu pagi, ia dapatkan suaminya lagi gosok tombaknya. Ia ingat kejadian semalam, ia jadi kaget sendirinya. Diam-diam tapi dengan lekas, ia pergi ke belakang, ke gudang kayu. Selekasnya ia membuka pintu gudang, ia jadi terlebih kaget lagi. Di sana tak ada si luka, rumputnya teruwar kalang kabutan! Ia lantas pergi ke pintu belakang, ia lihat pintu cuma dirapatkan, di atas salju terlihat bekas orang merayap pergi, tujuannya ke arah barat. Ia mengawasi ke arah itu, pikirannya tidak karuan. Sampai sekian lama, setelah mukanya ditiup angin dingin, baru ia sadar. Itu waktu ia pun merasai pinggangnya ngilu dan lemas, ia jadi lelah sekali, maka itu, ia lantas kembali ke dalam.
Tiat Sim masak bubur putih, yang diletaki di atas meja. "Kau lihat!" kata suaminya dengan tertawa. "Bubur masakanku tak ada celaannya, bukan?"
Istri itu tertawa, ia tahu karena ia sedang hamil, suaminya itu yang sangat menyayangi ia telah masaki ia bubur. Ia lantas dahar bubur itu. Itu waktu ia telah ambil keputusan akan tutup mulut tentang si terluka yang ia tolongi itu, sebab ia tahu kebencian suaminya terhadap orang jahat, apabila suaminya diberitahukan, pasti ia bakal binasakan orang itu.
Sejak itu beberapa bulan telah berlalu; dengan lewatnya sang waktu, Pauw-sie juga telah lupai itu peristiwa yang ia sudah tolongi orang yang luka.
Pada suatu hari, Tiat Sim dan istrinya pergi ke rumah Siauw Thian, untuk bersantap dan minum arak, sorenya mereka pulang, akan terus masuk tidur. Tepat tengah malam, tiba-tiba Pauw-sie mendusin dan melihat suaminya telah bangun juga dan sedang duduk di atas pembaringan. Ada sesuatu yang mengejutkan suaminya itu hingga ia jadi terjaga dari tidurnya. Dan istri ini masih lungu-lungu ketika kupingnya dapat tangkap suara samar-samar dari tindakan kaki kuda di atas es, makin lama makin nyata, datangnya dari barat ke timur, kemudian itu disusul sama suara serupa yang datangnya dari arah timur. Ia menjadi kaget pula apabila ia dengar pula suara dari selatan dan utara.
"Toako!" katanya pada suaminya sambil bangun untuk berduduk, "Kenapa ada suara kuda dari empat penjuru?"
Tiat Sim tidak menyahuti, ia hanya segera turun dari pembaringan untuk rapikan pakaiannya.
Tindakan kuda dari empat penjuru datang semakin dekat, lalu disusul sama gongongan anjing kampung yang menyahutnya.
"Kita kena dikurung" kata Tiat Sim kemudian.
Pauw-sie terkejut. "Untuk apakah?" tanyanya
"Entahlah!" jawab suaminya itu. Ia terus serahkan pedang pengasihan dari Khu Cie Kee seraya memesan: "Kau pegang ini untuk jaga dirimu!"
Tiat Sim buka jendela, untuk melihat keluar, karena itu suara kuda sudah datang mendekat sekali. Ia lihat tegas kampungnya telah dikurung oleh sejumlah tentera, kurungannya berlapis. Ia dapat melihat karena tentera itu ada membawa obor yang diangkat tinggi-tinggi. Perwira yang memegang pemimpin ada tujuh atau delapan orang.
"Tangkap pengkhianat! Jangan kasih dia lolos!" demikian tentara itu mulai berseru-seru.
"Apakah ada pengkhianat yang lolos kemari?" Tiat Sim menduga-duga. Ia cekal tombaknya untuk melihat gelagat.
Tiba-tiba satu perwira berseru: "Kwee Siauw Thian! Yo Tiat Sim! Kamu berdua pemberontak, lekas muncul untk terima diringkus!"
Tiat Sim menjadi kaget, sedang Pauw-sie menjadi pucat mukanya.
"Entah kenapa pembesar negeri menfitnah rakyat," kata Tiat Sim kemudian, "Tidak ada jalan lain, kita mesti menerobos keluar! Kau jangan takut, walaupun musuh berjumalh puluhan ribu, akan aku lindungi padamu!"
Dasar turunan orang peperangan. Tiat Sim tidak menjadi kacau pikirannya. dengan tenang tetapi sebat, ia siapkan panahnya, terus ia pegangi tangan kanan istrinya.
"Nanti aku berbenah dulu?" kata Pauw-sie.
"Apa lagi yang hendak dibenahkan?" kata suaminya itu. "Apa juga tak dapat.
Lemah hatinya istri itu, lalu tiba-tiba ia menangis. "Dan rumah ini?" katannya.
"Asal kita dapat lolos, nanti di lain tempat kita membangun pula rumah kita!" sahut sang suami.
"Dan itu anak-anak ayam dan anak-anak kucing?" istri itu menanya pula.
Tiat Sim menghela napas. "Ah, orang tolol, kamu masih memikirkan segala binatang itu! Mana dapat?"
Baru Tiat Sim mengucap demikian, di luar kembali terdengar seruan berisik dan api terlihat berkobar. Dua ruang di depan telah dibakar, lalu dua orang serdadu Song mulai menyulut payon rumah.
Bukan main mendelunya Tiat Sim. Ia buka pintu dan muncul. "Aku Yo Tiat Sim!" ia perkenalkan diri. "Kamu hendak bikin apa?"
Dua serdadu itu kaget, mereka memutar tubuh, sembari melemparkan obornya, mereka lari balik.
Di antara cahya api, satu perwira maju dengan kudanya. "Kamu Yo Tiat Sim" Bagus!" ia berkata. "Mari ikut kami menghadap pembesar kami! Tangkap!"
Lima serdadu lantas merangsak.
Tiat Sim geraki tombaknya, dalam jurus "Ouw liong pa bwee", atau " Naga hitam menggoyang ekor," lalu tiga serdadu roboh terguling, kemudian dengan susulannya "Cun lui cin nouw" atau "Geledak musim semi murka," ia rubuhkan satu yang lain, yang tubuhnya ia lempar balik ke dalam barisannya.
"Untuk menangkap orang, kamu mesti lebih dahulu beritahukan kedosaannya!" ia membentak.
"Pemberontak bernyali besar!" teriak si perwira. "Kanu berani melawan"!"
Mesti begitu ia gentar hari, tak berani ia maju mendekati. Adalah satu perwira lain yang berada dibelakangnya, mewakilkan ia maju. Berkatalah perwira ini: "Baik-baik saja ikut kami ke kantor, kau akan bebas dari kedosaan berat. Di sini ada surat titah!"
"Kasih aku lihat!" bentak Tiat Sim.
"Masih ada satu pemberontak lainnya, yang she Kwee"!" kata perwira itu.
"Kwee Siauw Thian ada di sini!" sahut Siauw Thian yang tiba-tiba muncul di muka jendela, panahnya telah siap sedia.
Perwira itu terkejut, hatinya ciut.
"Letkai panahmu," katanya. "Nanti aku bacakan surat titah ini"."
"Lekas baca!" bentak Siauw Thian, yang justru tarik semakin melengkung gandewanya itu.
Terpaksa dengan ketakutan, perwira itu membaca. Itulah surat titah untuk menawan Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim dua penduduk Gu-kee-cun, yang dituduh berontak melawan negara, sudah bersekongkol sama penjahat besar.
"Surat titah ini datang dari kantor mana?" Siauw Thian tanya.
"Inilah surat titah tulisannya Han Sinsiang sendiri!" jawab perwira itu.
Dua-dua Siauw Thian dan Tiat Sim terkejut. "Hebat urusan, sampai Han Sinsiang sendiri yang turun tangan menulis surat titah?" mereka berpikir. "Mungkin ini disebabkan terbukanya rahasia Khu Cinjin telah membinasakan banyak hamba negara?"
"Siapakah yang mendakwa" Apa ada buktinya?" tanya Siauw Thian pula.
"Kita cuma mesti menawan orang!" kata si perwira. "Nanti di muka pembesar kamu boleh bicara!"
"Han Sinsiang gemar menfitnah orang baik-baik, siapa tidak tahu itu?" kata Tiat Sim. "Kami tak sudi kena jebak!"
Dengan perlahan Tiat Sim kata pada istrinya: "Pergi lapis bajumu, akan aku rampas kuda dia itu untukmu! Akan aku panah perwira itu, tenteranya bakal jadi kacau!" Dan terus ia tarik panahnya, maka setelah satu suara "Ser!" si perwira berkoak keras, tubuhnya terjungkal dari kudanya.
Semua serdadu lantas berteriak-teriak. "Maju! Tangkap!" berseru perwira yang satunya.
Sejumlah serdadu taati titah itu, akan tetapi selagi maju, mereka disambut busur-busurnya Siauw Thian dan Tiat Sim berdua, hingga enam atau tujuh diantaranya rubuh seketika. Akan tetapi jumlah mereka ini besar, dibawah anjuran pembesarnya, mereka maju terus.
Tiat Sim menjdai mendongkol, ia tukar panah dengan tombaknya, setelah ia lompat keluar pintu, ia sambut penyerang-penyerangnya. Rombongan serdadu itu kena terpukul mundur. Atas itu, Tiat Sim melompat kepada satu perwira yang menunggang seekor kuda putih, ia menyerangnya. Perwira itu menangkis dengan tombaknya. Ia tapinya tak kenal ilmu tombak keluarga Yo, pahanya kena ditikam, maka dengan satu gentakan, tubuhnya terpelanting ke tanah.
Dengan menekan tombaknya ke tanah, Tiat Sim lompat ke atas kuda putih, maka sesaat saja, ia sudah menerjang ke muka pintu rumahnya. Ia tikam rubuh satu serdadu Song, yang menghalangi dia, kemudian dengan satu jembretan, ia angkat tubuh istrinya naik ke kudanya. Itu waktu Pauw-sie sudah siap menanti padanya.
"Kwee Toako, mari turut aku!" orang she So itu teriaki saudara angkatnya.
Siauw Thian tengah menyerang seru dengan sepasang tombak pendeknya yang bercagak. Ia membuka jalan untuk istrinya Lie-sie yang bernama Peng.
Beberapa perwira tidak dapat mencegah kedua orang gagah itu, terpaksa mereka menitahkan menggunai anak panah.
"Enso, lekas naik!" seru Tiat Sim, yang hampiri Lie-sie. Ia pun lantas lompat turun dari kudanya.
"Tidak bisa"." berkata Lie-sie.
Diwaktu demikian, tidak ada lagi aturan sungkan, maka tanpa bilang suatu apa, Tiat Sim cekal tubuh iparnya, untuk segera diangkat naik ke punggung kuda, kemudian ia bersama Siauw Thian mengikuti dari belakang, untuk melindungi.
Lolos belum jauh, di sebelah depan mereka dicegat oleh satu pasukan lain. Riuh suara tentera itu, hebat serbuannya. Tiat Sim dan Siauw Thian mengeluh di dalam hati. Karena terpaksa, mereka jadi memikir untuk cari jalan lolos.
Sekonyong-konyong terdengar suara panah sar-ser, lalu Pauw-sie menjerit keras. Kuda putih terpanah, kaki depannya tertekuk, lalu tubuhnya ngusruk. Pauw-sie rubuh bersama Lie-sie, yang pun ikut berteriak.
Tiat Sim kaget tetapi ia tabah. "Toako, lindungi mereka, akan aku rampas kuda pula!" serunya. Lalu dengan memutar tombaknya, ia menerjang musuh.
Kwee Siauw Thian berpikir lain daripada saudara angkatnya itu.
"Terang kita berdua tidak bakal dapat menerobos kurungan musuh ini, atau istri kita sukar ditolongi. Karena kita tidak bersalah dosa, daripada antarkan jiwa disini, baiklah kita menemui pembesar negeri untuk berbicara dengannya."
Maka itu, ia teriaki adik angkatnya itu: "Adik, mari kita ikuti mereka ke kantor!"
Tiat Sim heran, akan tetapi ia hampiri saudaranya itu.
Perwira pemimpin tentera itu menitahkan menunda penyerangan, tetapi mereka mengurung rapat-rapat. "Letaki senjatamu, kami akan beri ampun jiwa kamu!" ia berteriak.
"Toako, jangan kena diperdayakan!" Tiat Sim memberi ingat.
Siauw Thian menggeleng kepala, ia lemparkan sepasang tombaknya.
Tiat Sim lihat istrinya ketakutan, hatinyapun menjadi lemah, maka seraya menghela napas, ia lemparkan panah dan tombaknya.
Atas itu belasan tombak tajam dipakai mengurung empat orang itu, kemudian delapan serdadu maju mendekati, untuk membelenggu mereka berempat.
Tiat Sim berdiri tegak, dia tertawa dingin. Sikap ini tidak menyenangi si pemimpin tentara, ia ayun cambuknya seraya mendamprat: "Pemberontak bernyali besar, benarkah kamu tidak takut mampus"!"
"Bagus!" kata jago she Yo itu. "Siapakah namamu"!"
Perwira itu menjadi semakin gusur, cambuknya disabetkan berulang-ulang. "Tuan besarmu tak pernah ubah she dan namanya!" katanya dengan jumawa. "Tuan besarmu she Toan namanya Thian Tek. Thian Tek itu berarti kebijaksanaan Tuhan, kau mengerti" Ingatkah kau" Supaya kapan nanti kau bertemu Giam Kun, kau boleh ajukan dakwaanmu!"
Tiat Sim tidak takut, ia malah mengawasi dengan bengis.
"Ingat olehmu, tuanmu ada cacat luka di jidatnya dan tanda biru di pipinya!" Thian Tek membentak pula. Ia angkat pula cambuknya.
Pauw-sie menangis. "Dia orang baik, ia belum pernah berbuat jahat, kenapa kau aniaya dia sampai begini?" tanya istri ini yang tidak tega melihat suaminya dicambuki.
Tiat Sim meludah tepat mengenai mukanya perwira she Toan itu. Dia menjadi sangat murka, ia lalu cabut golok di pinggangnya.
"Aku akan bunuh dulu padamu, pemberontak!" teriaknya.
Tiat Sim tidak sudi mandat dibacok, ia berkelit ke samping. Tapi segera ia merasa ada tombak-tombak yang menahan tubuhnya.
Thian Tek membacok pula.
Tiat Sim tidak melihat lain jalan, ia berkelit mundur dengan mengkeratkan tubuhnya.
Melihat bacokkannya kembali gagal, Thian Tek terus menikam. Kali ini goloknya yang tajam bagaikan gergaji dapat melukakan pundaknya orang she Yo itu. Dia tapinya belum puas, kembali ia ulangi bacokannya.
Siauw Thian lihat adik angkatnya terancam bahaya, ia lompat maju seraya mendupak.
Thian Tek terkejut, ia batal menyerang, terus dia menangkis.
Siauw Thian lihay, ia tarik kakinya untuk ayun kakinya yang lain. Itulah tendangan saling susl dari ilmu tendangan Wan-yo-twie, maka tak ampun lagi, perwira itu terjejak pinggangnya.
"Hajar mampus dia!" dia berseru.
Beberapa serdadu segera menyerang. Siauw Thian melawan, ia dapat menendang terguling dua serdadu, tetapi karena ia terbelenggu tangannya, akhirnya ia kena dibokong Thian Tek yang sambar ia dari belakang, hingga tangan kanannya terbacok kutung!
Bukan main panasnya hati Tiat Sim menampak kakaknya itu menjadi korban keganasan si perwira, entah darimana datangnya tenaganya ketika ia berteriak keras sekali, belengguan pada tangannya terputus terlepas, maka sambil melompat maju, ia hajar rubuh satu serdadu, untuk rampas tombaknya yang panjang dengan apa ia terus mengamuk.
Thian Tek menginsyafi bahaya, ia sudah mendahului mundur.
Yo Tiat Sim menyerang bagaikan kalap, matanya menjdi merah.
Semua serdadu mejadi kalah hati, dengan ketakutan mereka lari bubaran..
Tiat Sim tidak mengejar musuh, hanya ia menubruk kakak angkatnya yang telah mandi darah. Tanpa merasa ia kucurkan airmata.
"Adik sudah kau jangan pedulikan aku," kata Siauw Thian lemah. "Lekas, lekas kau singkirkan diri?"
"Akan aku merampas kuda, mari kita pergi bersama!" kata Tiat Sim.
Siauw Thian tidak menyahut, ia hanya pingsan.
Tiat Sim buka bajunya, hendak ia membalut luka kakak itu, tetapi lukanya lebar sekali, dari pundaknya merembet ke dada, sulit untuk membalutnya.
Siauw Thian sadar pula. " Adik, kau pergilah?" ia kata dengan suara yang sangat lemah. "Pergi kau tolong teehu serta ensomu"aku, aku sudah habis?" Dan ia meramkan matanya untuk selamanya.
Hampir Tiat Sim menyemburkan darah, sangking berduka dan mendongkol. Ia lantas berpaling ke arah di mana istrinya dan ensonya, istri Siauw Thian. Untuk kagetnya ia tidak dapat melihat mereka itu.
"Toako, aku akan balaskan sakit hatimu!" ia berteriak. Lalu dengan membawa tombaknya, ia lari kepada barisan serdadu, yang sekarang sudah berkumpul pula.
Toan Thian Tek memberi perintahnya, maka barisannya itu menyambut dengan hujan anak panah.
Tiat Sim maju terus seraya putar tombaknya, akan halau setiap busur. Ketika satu perwira dekati dia dan membacok, ia berkelit sambil mendak, akan nelusup ke bawahan perut kuda. Si perwira membacok sasaran kosong, hendak ia putar kudanya, tetapi tombaknya Tiat Sim tahu-tahu sudah menikam tepat kepadanya, maka ketika tubuhnya rubuh, orang she Yo itu gantikan ia lompat naik ke atas kudanya itu hingga dengan apa punya binatang tunggangan, Tiat Sim bisa menyerang dengan terlebih hebat.
Sekali lagi barisan serdadu itu lari buyar.
Tiat Sim mengejar, hingga ia lihat satu perwira lagi kabur sambil peluki seorang perempuan. Ia tidak mengejar, hanya ia lompat turun dari kudanya, akan rampas gendawanya satu serdadu Song lalu diantara terangnya api obor, ia panah perwira itu. Tepat panahnya ini, si perwira rubuh dari kudanya yang jatuh ngusruk. Dia rubuh bersama si wanita dalam pelukannya, hingga orang jadi terlepas.
Lagi sekali Tiat Sim memanah. Selagi orang merayap bnagun. Kali ini perwira itu rubuh pula untuk tidak dapat bangun lagi.
Tiat Sim lari kepada wanita itu untuk kegirangannya ia dapatkan pada istrinya.
Sek Yok kaget dan girang, ia lompat ke dalam rangkulan suaminya itu.
"Mana enso?" Tiat Sim tanya. Dia lantas ingat istrinya Siauw Thian.
"Ia ada di sebelah depan, ia pun dibawa lari serdadu jahanam itu!" sahut Pauw-sie.
Kapan Tiat Sim menoleh, ia tampak mendatanginya satu barisan lain.
"Toako telah menemui ajalnya, biar bagaimana aku mesti tolongi enso!" ini adik angkat ambil keputusan, ia bicara sama istrinya. "Turunan toako mesti dilindungi. Kalau Thian mengasihi kita, kita berdua dapat bertemu pula?"
Sek Yok rangkul keras leher suaminya itu, ia menangis menggerung-gerung.
"Tak dapat kita berpisah!" ia kata. "Kau yang bilang sendiri, kalau kita mesti binasa, kita mesti binasa bersama! Bukankah benar kau pernah mengatakan demikian?"
Tiat Sim peluki istrinya, hatinya karam. Tapi ia tiba-tiba keraskan hati, ia menolak dengan keras, ia sambar pula tombaknya, untuk lari. Ketika sudah lari beberapa puluh tindak, ia lihat istrinya menangis bergulingan di tanah, dan barisan serdadu yang mendatangi sudah mendekati istrinya itu. Ia usap mukanya, peluhnya bercampur sama darah muncratan. Ia lari pula. Telah bulat tekadnya untuk menolongi Lie-sie. Di sebelah depan, ia dapat rampas seekor kuda, maka itu ia jadi tambah semangat. Kebetulan ia dapat bekuk satu serdadu, atas pertanyaannya, serdadu itu bilang Lie-sie berada di sebelah depan. Maka ia kaburkan kudanya.
Tiba-tiba dari samping jalanan mana ada perpohonan lebat, terdengar cacian seorang wanita. Ia lekas tahan kudanya, yang ia putar untuk hampirkan tempat lebat itu. Dengan tombaknya ia menyingkap cabang-cabang pohon.Maka di hadapannya terlihat dua serdadu sedang menyeret-nyeret Lie-sie.
Tidak ampun lagi, Tiat Sim tikam mampus mereka satu demi satu.
Lie-sie berbangkit dengan rambut kusut dan pakaian penuh tanah tidak karuan. Diwaktu begitu, tidak ada ketika untuk omong banyak, maka Tiat Sim angkat tubuh iparnya itu, dikasih naik ke atas kudanya, untuk mereka menunggang bersama. Ia lari balik untuk cari istrinya di tempat dimana tadi mereka berpisah. Untuk kedukaannya ia tak dapatkan Pauw-sie, tempat itu sunyi senyap dari segala apa. Ia turun dari kudanya untuk memeriksa tanah. Ketika itu sudah fajar. Ia lihat tapak-tapak kaki dan tanda bekas orang diseret, maka sakitlah hatinya. Ia percaya istrinya telah jatuh pula ke dalam tangan musuh".
"Mari!" katanya seraya melompat naik ke atas kudanya yang ia terus kasih lari, perut kudanya pun dijepit hingga binatang itu kesakitan dan lari kabur.
Sedang kuda lari keras mendadak dari samping jalanan muncul belasan orang yang hitam semua pakaiannya, orang yang terdengar segera menyerang dengan toyanya.
Tiat Sim sempat menangkis, dapat ia menikam.
Orang itu sebat dan gesit, ketika ia membuat perlawanan, nyata permainan toyanya pun lihay. Hal ini membuat heran kepada orang she Yo itu.
Pernah Tiat Sim dan Siauw Thian berbicara tentang ilmu silat, bahwa dijamannya kawanan Liang San, Pek-lek-hwee Cin Beng adalah yang terlihay ilmu toyanya, tetapi dijaman itu orang Kim-lah yang terkenal. Maka itu sekarang ia curigai lawannya itu ada satu perwira Kim. Ia hanya heran, kenapa perwira Kim bisa muncul di situ. Tapi ia tidak bisa berpikir lama-lama, ia lantas menyerang dengan hebat. Kali ini ia berhasil membuat lawan itu terjungkal, karena mana barisan serdadunya lantas kabur.
Segera Tiat Sim menoleh, hatinya lega akan dapatkan iparnya tak kurang satu apapun. Ia masih mengawasi iparnya itu ketika "Ser!" sebatang gendewa menyambar kepadanya, menyambar dari arah pepohonan yang lebat, hingga ia tidak sempat menagkis atau berkelit, busur itu tembus di punggungnya.
"Encek, kau kenapa?" tanya Lie-sie kaget.
Tiat Sim tidak menyahuti, hanya di dalam hatinya ia kata: "Aku tidak sangka bahwa aku bakal habis disini" Sebelum aku terbinasa, aku mesti labrak dulu musuh, supaya enso dapat lolos!" Ketika ia geraki tombaknya, ia menjadi kaget. Ia merasa sakit hingga ke peparunya.
"Cabut panah ini!" ia kata.
Lie-sie tapi hatinya lemah, tenaganya tidak ada, tak dapat ia menolong.
Tiat Sim lantas mendekam di atas kudanya, tangan kirinya diapakai mencekal gagang panah, dengan satu kali sentak, ia cabut busur itu terus ia pandangi.
Anak panah itu nancap dalam kira tiga dim, gagangnya memakai bulu burung rajawali, batangnya terbuat dari perunggu. Itu bukanlah sembarang busur. tempo ia memeriksa lebih jauh, pada gagang itu ada terukir tiga huruf "Wanyen Lieh" Ia terkejut.
"Wan-yen" itu adalah she, yaitu nama keluarga dari bangsa Kim, dari golongan keluarga raja. Biasanya dari raja hingga jenderalnya, bangsa itu memakai nama keluarga tersebut.
"Bagus!" serunya. "Benar-benar si pembesar jahanam itu telah bersekongkol sama bangsa asing, bersama-sama mereka mencelakai rakyat negeri!"
Ia serahkan busur itu kepada Lie-sie. "Enso ingat baik-baik nama ini!" ia pesan. "Pesanlah anakmu untuk menuntut balas".!"
Habis berkata, ia putar tombaknya, ia menerjang ke antara musuh, tetapi darah di punggungnya membanjir keluar, tiba-tiba matanya menjadi gelap, tak dapat ia menahan diri lagi, ia rubuh dari kudanya.
* * * Hatinya Pauw-sie sakit bagai disayat-sayat karena tolakan suaminya, tempo ia mengawasi suaminya itu, sang suami sudah lantas lenyap, di pihak lain, rombongan serdadau telah mendatangi ke arahnya. Ia mencoba lari, tetapi sudah kasep, ia kena kecandak dan ditawan, tubuhnya segara dikasih naik ke atas seekor kuda.
"Aku tidak sangka dua orang itu demikian kosen hingga mereka dapat mencelakai tak sedikit saudara-saudara kita!" berkata satu perwira sambil tertawa.
"Tapi sekarang kita toh peroleh hasil!" kata satu perwira lain. "Eh, sahabatku Ciong, untuk capekita ini kita bakal dapat persen tiga atau empat puluh tail perak!"
"Hm!" menyahut si Ciong itu. "Aku harap asal saja potongannya dikurangi sedikit"!" Terus ia menoleh kepada barisannya, akan beri titahnya: "Kumpulkan barisan!" Serdadu tukang terompet sudah lantas kasih dengar suara alat tiupnya
Pauw-sie menangis tersedu-sedu, ia lebih memikirkan suaminya yang ia tidak tahu bagaimana jadinya.
Ketika itu sang fajar telah tiba, dijalanan sudah ada beberapa orang yang berlalu lintas, akan tetapi mereka nampak serdadu, mereka lalu menyingkir jauh-jauh.
Mulanya Pauw-sie berkhawatir sangat kawanan serdadu itu nanti perlakukan kasar atau kurang ajar terhadapnya, kemudian ia merasa sedikit lega. Ia tidak saja tidak diganggu, ia malah diperlakukan dengan manis dan hormat.
Barisan ini baru berjalan beberapa lie, tiba-tiba mereka dicegat oleh belasan orang yang mengenakan pakaian serba hitam, yang semua berbekal senjata. Mereka itu muncul dengan tiba-tiba dari pinggir jalanan. Seorang yang berada di paling depan sudah lantas kasih dengar suaranya yang bengis: "Kawanan serdadu tak tahu malu dan kejam, tukang ganggu rakyat, kamu semua turun dari kuda kamu dan serahkan diri!"
Perwira yang pimpin barisan itu menjadi gusur. "Kawanan berandal dari mana ynag berani mengacau di wilayah kota raja"!" dia balas membentak. "Lekas menggelinding pergi!"
Pihak baju hitam itu tidak menggbris bentakan itu, sebaliknya mereka buktikan ancaman mereka, ialah tanpa bilang suatu apa lagi, mereka maju menerjang, dengan begitu pihak jadi bertempur kalut.
Kawanan baju hitam itu berjumlah lebih kecil akan tetapi mereka mengerti ilmu silat denag baik, dengan begitu pertempuran menjadi berimbang.
Menyaksikan pertempuran itu, diam-diam Pauw-sie bergirang. "Bukankah mereka ini dalah kawan-kawannya suamiku, yang mendengar kabar dan telah datang menolong?" demikian ia menduga-duga.
Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba satu busur nyasar menyambar punggung kudanya Pauw Sek Yok. Binatang itu kaget dan kesakitan, ia berlompat dan lari kabur.
Sek Yok kaget dan ketakutan, ia mendekam di kudanya itu yang lehernya ia peluki keras-keras. Ia takut jatuh.
Kuda itu kabur terus hingga beberapa lie, sampai di sebelah belakangnya, terdengar datangnya kuda lain, lalu tertampak satu penunggang kuda datang memburu. Cepat sekali larinya kuda pengejar ini segera ia menyandak dan lewat di samping Pauw-sie, si penunggangnya sendiri sambil melarikan kudanya itu memutar sehelai dadung panjang di atasan kepalanya, apabila ia melepaskan sebelah tangannya, dadung itu ialah lasso, lantas menyambar ke kudanya Sek Yok. Sekarang kedua kuda jadi lari berendeng, si penunggang kuda menahan dengan perlahan-lahan, dari itu sesaat kemudian kedua kuda itu larinya perlahan, akan akhirnya selang beberapa puluh lie, kuda si penunggang berhenti dengan tiba-tiba, sebab mulutnya penunggang itu perdengarkan tanda. Dengan begitu kuda Sek Yok pun berhenti seketika. Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya.
Pauw-sie kaget dan ketakutan, ia pun ngantuk dan lelah, karena kuda itu berlompat berdiri habislah tenaganya, tak dapat ia memeluki lagi leher kuda lantas saja ia rubub ke tanah dan pingsan. Ia mendusin setahu beberapa lama kemudian, ia hanya dapatkan tubuhnya rebah di atas sebuah pembaringan yang empuk kasurnya dan tubuhnya pun dikerebongi selimut kapas yang membuat ia merasa hangat. Ia buka matanya perlahan-lahan. Yang pertama ia lihat ialah langit kelambu kembang. Maka sadarlah ia yang ia telah tidur di atas pembaringan. Ia menoleh ke samping, ia dapatkan sebuah meja dan satu pelitanya. Di tepi pembaringan berduduk satu orang laki-laki dengan pakaian serba hitam.
Kapan pria itu melihat orang mendusin dan tubuhnya bergerak, lekas-lekas ia bangun berdiri, untuk singkap kelambu dan menggantungnya.
"Oh, kau sudah mendusin?" pria itu tanya, perlahan suaranya.
Biar bagaimana, Sek Yok belum sadar sepenuhnya. Samar-samar ia seperti kenal pria itu, maka ia mengawasi.
Si pria ulur tangannya, untuk meraba jidat si nyonya. "Oh, panas sekali!" katanya. "Tabib akan segera datang?"
Sek Yok meramkan pula matanya, terus ia tidur pula. Ia baru sadar tempo dengan samar-samar ia merasa orang pegang nadinya, disusul mana orang memberi ia makan obat. Ia masih tak sadar benar, malah ia bagaikan bermimpi dan mengigau ketika ia berteriak: " Engko Tiat! Engko Tiat!" Lalu ia merasa ada tangan pria yang dengan perlahan-lahan mengusap-usap pundaknya, yang menghiburi ia dengan lemah lembut.
Kapan kemudian Sek Yok mendusin pula, hari sudah terang. Ia merintih sebentar, lantas ia bangkit untuk berduduk.
Seorang menghampiri dia. "Minum bubur?" tanya ia itu dari luar kelambu.
Pauw-sie kasih dengar suara perlahan, atas mana pria itu singkap kelambunya.
Sekarang dua muka saling berhadapan, mata mereka saling mengawasi. Sekarang Sek Yok dapat melihat denagn tegas, maka ia menjadi terkejut. Ia tampak satu wajah yang tampan, yang tersungging senyuman manis. Itulah si anak muda yang beberapa bulan yang lalu ia tolongi selagi orang terluka dan rebah tak berdaya di atas salju, yang kemudian menghilang tidak keruan paran dari gudang kayu.
"Tempat ini tempat apa?" nyonya ini kemudian tanya. "Mana suamiku?"
Pemuda itu menggoyang tangan, melarang orang berbicara.
"Sebenarnya aku bersama beberapa kawan kebetulan lewat di sini," ia berkata dengan perlahan. "Menyaksikan rombongan serdadu itu berbuat sewenang-wenang, aku tidak puas, maka aku telah tolongi kau, nyonya. Rupanya roh suci atau malaikat yang telah menunjuki aku justru tolongi penolongku?" Ia berhenti sebentar, lalu ia melanjuti: "Sekarang ini rombongan serdadu sedang mencari Nyonya, kita sekarang bearad dirumahnya seorang petani,maka itu jangan Nyonya sembarang munculkan diri. Harap Ynonya maafkan aku, dengan lancang aku telah mengaku bahwa akulah suami Nyonya?"
Mukanya Sek Yok menjadi merah, akan tetapi ia mengangguk.
"Mana suamiku?" ia tanya.
"Sekarang kau letih dan lemah sekali, Nyonya," kata pula si anak muda. "Nanti saja setelah kesehatanmu pulih, aku berukan keteranganku. Sekarang baiklah kau beristirahat dulu."
Sek Yok terperanjat. Dari caranya orang berbicara, mungkin suaminya telah menampak sesuatu kecelakaan.
"Dia"dia kenapa, suamiku itu?" ia tanya, tangannya mencekal keras-keras pada ujung kasur.
"Nyonya, jangan bergelisah tidak karuan," orang itu menhibur, "Untukmu paling baik adalah merawat diri?"
"Apakah dia"dia telah meninggal dunia?" Sek Yok menanya.
Pemuda itu mengangguk.
"Ya, ia telah dibinasakan oleh rombongan serdadu itu?" ia beri pebyahutan.
Sek Yok kaget, ia lantas pingsan. Ketika kemudian ia sadar, ia menangis sesambatan.
"Sudahlah," si anak muda menghibur pula.
"Bagaimana caranya ia meninggal dunia?" Pauw-sie tanya.
"Bukankah suami Nyonya berumur duapuluh kurang lebih, tubuhnya tinggi dan lebar, yang bersenjatakan sebatang tombak panjang?" si anak muda tegaskan.
"Benar dia."
"Aku tengah melawan tiga musuh ketika satu musuh jalan mengitar ke belakangnya suamimu itu yang dia tombak punggungnya," si anak muda beritahu.
Lagi-lagi Sek Yok pingsan. Besar sangat cintanya kepada suaminya. Maka itu hari ia tidak dahar nasi atau minum. Ia berkeputusan nekad untuk binasa bersama suaminya itu.
Si pria kelihatan halus budi pekertinya, ia tidak memaksa, ia hanya dengan manis budi menghibur dan membujuki untuk nyonya legakan hati.
"Apa she dan nama Tuan?" kemudian Sek Yok menanya. Ia menjadi tak enak hati untuk bersikap tawar terus. "Kenapa kau ketahui kita terancam bahaya dan kau dapat menolongi?"
Pria itu bersangsi agaknya. ia telah buka mulutnya tetapi ia batal bicara. kemudian barulah ia bisa omong juga.
"Aku ada orang she Yen dan namaku Lieh. Rupanya karena jodoh kita telah dapat bertemu satu dengan lain." ia menyahut akhirnya
Merah mukanya Sek Yok akan dengar itu perkataan "jodoh", ia balik kepalanya ke sebelah dalam pembaringan. Tetapi hatinya bukan tidak bekerja. Maka tiba-tiba saja timbul kecurigaannya.
"Apakah kau dan tentera negeri itu datang dari satu jurusan?" ia tanya
"Ke"kenapa?" Yen Lieh tanya.
"Bukankah baru ini kau dapat luka karena kau bersama tentera negeri hendak mencoba menawan Khu Totiang?" Sek Yok tanya pula tanpa pedulikan pertanyaan pemuda itu.
"Kejadian hari itu sungguh membuat aku penasaran!" bsahut Yen Lieh. "Aku datang dari utara, hendak aku pergi ke Lim-an, selagi aku lewat di kampungmu itu, tiba-tiba sebatang busur nyasar telah menyambar pundakku. Coba tidak kau tolongi aku, Nyonya, pastilah aku terbinasa kecewa, tak tahu sebab musababnya. Sebenarnya imam siapa yang hendak mereka tawan itu?"
"Oh, kiranya kau kebenaran lewat saja dan bukannya dari satu rombongan dengan mereka itu?" berkata Sek Yok, romannya heran, "Aku tadinya menyangka kau juga hendak bantu menawan Khu Totiang, hingga pada mulanya tak ingin aku menolongi kau."
Sampai di situ, Pauw-sie tuturkan halnya Khu Cie Kee hendak ditawan tentera negeri, karena mana imam itu telah membuatnya perlawanan dahsyat.
Yen Lieh mengawasi orang berbicara, agaknya ia kesengsem. Sek Yok dapat lihat kelakuan orang itu.
"Eh, kau hendak dengari ceritaku atau tidak?" ia menegur.
Yen Lieh terkejut, lalu ia tertawa.
"Ya, ya aku tengah memikirkan cara bagaimana kita dapat meloloskan diri dari rombongna serdadu itu," ia menjawab. "Tidak ingin aku yang kita nanti kena di bekuk mereka?"
Sek Yok menangis.
"Suamiku telah terbinasa, untuk apa aku memikirkan hidup lebih lama?"" katanya. "Baik kau pergi sendiri saja?"
"Tetapi Nyonya!" peringatkan Yen Lieh. "Suamimu telah dibinasakan hamba negeri, sakit hatimu belum terbalas, bagaimana kau Cuma ingat kematian saja" Nanti suamimu, yang berada di tanah baka, matanya tak meram?"
Nyonya itu terkejut, tetapi ia lemah hatinya. "Aku seorang perempuan, bagaimana dapat aku membalas dendam?" tanyanya.
Yen Lieh kelihatannya murka. "Biarnya aku bodoh, akan aku coba membalas dendam untukmu, Nyonya!" katanya keras. "Apakah nyonya tahu, siapa musuh nyonya suamimu itu?"
Nyonya Yo Tiat Sim berpikir sejenak. "Dia itu yang menjadi perwira yang mengepalai barisannya, namanya Toan Thian Tek," sahutnya kemudian. "Dia mempunyakan tanda biru di mukanya."
"Dia telah diketahui she dan namanya, gampang untuk mencari dia," berkata si anak muda. Ia terus pergi ke dapur, untuk sendok semangkok bubur serta satu biji telur asin.
"Jikalau kita tidak pelihara kesehatanmu, cara bagaimana kau bisa menuntut balas?" katanya perlahan setelah ia bawakan bubur dan telu asin itu kepada si nyonya.
Pauw-sie anggap perkataan itu benar, ia sambuti bubur itu lalu ia dahar dengan perlahan-lahan.
Besok paginya, Pauw-sie turun dari pembaringannya, setelah rapikan pakaiannya ia hadapi kaca untuk sisiri rambutnya. Ia cari sepotong kain putih, ia gunting itu merupakan setangkai bunga, lalu ia selipkan di kondenya. Itulah tanda ia berkabung untuk suaminya. Kapan ia mengawasi kaca, ia tampak romannya yang cantik bagikan bunga akan tetapi npemiliknya telah tak ada " yang satu tetap menjadi seorang manusia, yang lain telah menjadi setan". Ia menjadi sedih sekali, maka ia menangis dengan mendekan di meja.
Yen Lieh bertindak masuk selagi si nyonya menangis, ia tunggu sampai orang sudah sedikit reda, ia berkata: "Tentera di luar sudah berlalu, mari kita berangkat."
Sek Yok susut air matanya, ia berhenti menangis, lalu ia turut keluar dari rumah itu.
Yen Lieh serahkan sepotong perak kepada tuan rumah, yang siapkan dua ekor kuda, satu diantaranya adalah kudanya Sek Yok, yang terkena panah, yang sekarang telah diobati lukanya.
"Kita menuju kemana?" tanya Pauw-sie.
Yen Lieh kedipi mata, untuk cegah si nyonya sembarang bicara di depan orang lain, kemudian ia membantui nyonya itu naik ke atas kuda, maka di lain saat, keduanya sudah jalankan kuda mereka berendeng menuju ke utara.
Belasan lie telah mereka lalui. "Kau hendak bawa aku kemana?" akhirnya Sek Yok menanya pula.
"Sekarang kita cari dahulu tempat sepi untuk tinggal sementara waktu," Yen Lieh jawab. "Kita tunggu sampai suasana sudah mulai reda, baru kita pergi cari jenazah suamimu, untuk dikubur dengan baik, kemudian baru kita pergi cari si Toan Thian tek si jahanam itu guna menuntut balas."
Sek Yok lemah hatinya, lemah lembut sikapnya, ia memang tak dapat berpikir apa-apa. Sekarang mendengar omongan yang beralasan dari pemuda ini, ia bukan saja suka menerima, malah ia bersyukur sekali.
"Yen, Yen Siangkong, bagaimana kau harus membalas budimu ini?" katanya.
"Jiwaku ini adalah nyonya yang tolongi," sahut Yen Liah, "Maka itu tubuhku ini aku serahkan kepada nyonya untuk nyonya suruh-suruh, walaupun badanku hancur dan tulang-tulangku remuk, meskipun mesti menyerbu api berkobar-kobar, itu sudah selayaknya saja."
Dua hari mereka berjalan, sore itu mereka singgah di dusun Tiang-an-tin. Kepada pengurus hotel, yang didatangi, Yen Lieh mengaku bahwa mereka berdua adalah suami-istri, karenanya ia meminta satu kamar.
Sek Yok tidak bilang suatu apa, akan tetapi hatinya tidak tentram, karena itu diwaktu bersantap, ia bungkam, diam-diam ia meraba pedang peninggalan Khu Cie Kee, didalam hatinya ia bilang: "Asal dia berlaku kurang ajar sedikit saja, akan aku bunuh diriku!"
Yen Lieh menitahkan jongos ambil dua ikat rumput kering, ia tunggu sampai si jongos itu sudah keluar, ia lantas kunci pintu, rumput kering itu ia delar di lantai, di situ ia rebahkan dirinya terus ia tutupi dengan gudri.
"Nyonya silakan tidur!" ia berkata, sesudah mana terus ia meramkan matanya.
Hatinya Nyonya Yo berdebar-debar, matanya memandang ke satu arah. Ia jadi ingat suaminya, hatinya menjadi sangat berduka. Ia tidak lantas rebahkan diri, untuk setengah jam ia masih duduk bercokol. Di akhirnya ia menghela napas panjang, habis padamkan api lilin, baru ia tidur tanpa buka pakaian luar lagi, pedang pendeknya tergenggam di tangannya.
Bab 3. Tujuh Orang Luar Biasa
Kapan besok paginya Pauw-sie bangun dari tidurnya, Yen Lieh sudah tidak ada di kamarnya, pemuda itu telah pergi siapkan kuda mereka dan sudah pesan jongos menyediakan barang makanan. Diam-diam nyonya ini jadi sangat bersyukur, ia menemui orang satu kuncu, laki-laki sejati. Oleh karena itu semakin kurang penjagaan dirinya.
Barang hidangan itu terdiri dari masakan ayam, daging asin, ikan dan bubur yang semuanya harum, sedap dan lezat. Akan tetapi mendahar ini, hatinya Pauw-sie kurang tenang. Ia ada dari satu keluarga sederhana, dan biasanya, dedaharannya setiap hari adalah sayur dan ikan asin, baru di hari raya atau tahun baru ia dapat hidangan istimewa.
Tak lama sehabisnya dahar, jongos datang menyerahkan satu bungkusan. Itu waktu, Yen Lieh sudah keluar dari kamar.
"Apakah itu?" tanya si nyonya.
"Inilah barang yang tadi pagi tuan belikan untuk Nyonya, ialah pakaian baru," jawab jongos itu. "Tuan pesan supaya nyonya suka salin pakaian."
Sek Yok buka bungkusan itu yang membuat dia melengak. Ia tampak seperangkat pakaian baru warna putih, berikut sepatu dan kaos kaki putih juga, yang lainnya ada pakaiaan dalam, baju pendek, sapu tangan dan handuk.
"Dia seorang pria, cara bagaimana ia dapat memikir begini sempurna?" katanya dalam hati, yang sangat bersyukur.
Memang ketika ia keluar dari rumah, pakaiannya tidak karuan, sesudah itu untuk satu malaman ia mesti lari-larian, maka pakaiannya jadi kotor dan pecah disana sini. Sekarang setelah tukar pakaian, ia berubah seperti seorang baru.
Perjalanan sudah lantas dilanjuti. Sore itu selagi mendekati dusun Kiap-sek-tin, tiba-tiba mereka mendengar jeritan hebat dari sebelah depan. Pauw-sie kaget sekali, ia putar balik kudanya untuk lari. Bukankah ia baru saja lolos dari bahaya yang menakuti"
"Jangan takut!" kata Lien Yeh sambil tertawa. "Mari kita liat!" Pemuda ini berlaku tenang, dengan begitu dapat ia menentramkan sedikit hati si nyonya kawan seperjalanannya itu.
Mereka maju terus, hingga di sebuah tikungan. Di situ terlihat lima serdadu, dengan mencekal golok panjang, lagi pegat seorang lelaki tua yang ada bersama satu anak muda serta satu nona. Dua serdadu lagi memeriksa mengaduk-aduk buntalannya si orang tua, yang uangnya dan lainnya barang mereka pindahkan ke saku mereka sendiri. Tiga serdadu lainnya tengah mengurung si nona yang mereka perlakukan dengan ceriwis. Si nona menangis. Dialah ynag tadi menjerit.
"Lagi-lagi serdadu mengganggu rakyat jelata," kata Sek Yok ketakutan. "Mari kita lekas menyingkir?"
Yen Lieh sebaliknya tersenyum simpul.
Satu serdadu segera hampiri dua orang ini yang mereka dapat lihat. "Diam!" dia membentak. "Kamu bikin apa?"
Yen Lieh benar-benar tidak takut, sebaliknya dari angkat kaki, ia justru maju mendekati. "Kamu ada bawahan siapa?" ia tanya, membentak. "Lekas pergi!"
Pada waktu itu tentera Song, kalau menghadapi musuh bangsa Kim, tentu mereka kalah dan lari, akan tetapi terhadap rakyat jelata, mereka galak bukan kepalang, malah mereka main merampas dan paksa. Maka itu melihat Yen Lieh cuma berdua dengan satu nyonya manis, mereka anggap inilah untung mereka. Serdadu itu lantas berseru, lalu ia maju mendekati, dituruti empat kawannya.
Sek Yok takut bukan main, ia mengeluh dalam hatinya. Tapi justru itu, kupingnya mendengar suara menyambar "Serr!" lalu satu serdadu menjerit dan rubuh, dadanya tertumblaskan sebatang busur. Segera si nyonya lihat di tangan kawannya ada gendewa yang bersinar kuning emas, malah gendewa itu dipakai memanah pula beruntun-runtun, hingga lagi tiga serdadu rubuh seperti rekannya yang pertama. Tinggal serdadu yang kelima, ia ketakutan, dia lalu putar tubuhnya untuk lari merat.
Menyaksikan orang lari ngiprit, Yen Lieh tertawa enteng. Ia lantas siapkan pula busurnya. Tepat orang lari kira enampuluh tindak, ia berpaling kepada si nyonya, sambil tertawa, ia berkata, "Tunggu sampai ia lari lagi tiga tindak, akan aku panah batang lehernya!"
Selagi pemuda ini berkata, si serdadu lari terus, maka gendewa ditarik, busur meleset mengejar dengan cepat sekali, tidak ada ampun lagi serdadu itu terpanah batang lehernya, ujung panah tembus ke tenggorokannya.
"Hebat!" memuji Sek Yok tanpa terasa.
Yen Lieh lompat turun dari kudanya, ia hampiri lima serdadu itu, untuk cabuti anak panahnya dari tubuh mereka, anak panah mana dikasih masuk ke dalam kantungnya, habis itu ia melompat naik pula ke atas kudanya. Ia tertawa girang sekali. Justru ia hendak ajak Pauw-sie melanjuti perjalanan, dari samping kiri muncul dengan tiba-tiba sepasukan serdadu dengan suara mereka yang berisik.
"Celaka!" Sek Yok menjerit karena kaget dan takut.
Yen Lieh cambuk punggung kuda si nyonya selagi ia pun kasih lari kudanya dengan begitu kedua ekor kuda segera lari keras.
"Tangkap!" berteriak tentera yang di belakang itu apabila mereka melihat mayat-mayat rekannya, lalu sambil terus berteriak-teriak, mereka mengejar.
Setelah lari serintasan, Pauw-sie menoleh ke belakang, lantas ia menjadi kaget sekali dan ketakutan, ia dapatkan sejumlah tentara pengejar lebih dari seribu jiwa, kopiahnya kopiah besi dan bajunya lapis besi juga. Seorang diri, mana bisa Yen Lieh melawan mereka itu walaupun pemuda ini lihay ilmu panahnya"
Celaka adalah kudanya si nyonya Yo ini. Karena lari terlalu keras, lukanya yang belum sembuh telah pecah pula dan mengeluarkan darah, larinya pun menjadi tambah perlahan. Kerananya ia jadi ketinggalan Yen Lieh.
Lagi selintasan, selagi tentera pengejar mendatangi semakin dekat, tiba-tiba Yen Lieh tahan kudanya, akan tunggu kudanya Pauw-sie rendengi ia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa mengucap sepatah kata, ia sambar si nyonya untuk ditarik dan dipindahkan ke kudanya, setelah mana ia kaburkan kudanya itu.
Akan tetapi ketika itu sudah terlambat. Karena tadi ia menunda kudanya, Yen Lieh kena dicandak pengejarnya, terutama oleh pengejar yang motong jalan dari samping. Segera ia tidak punya jalan lagi, maju tidak, nyampingpun tidak. Karena itu terpaksa ia tahan kudanya.
Pauw-sie takut bukan main, mukanya pucat pasi. Yen Lieh sebaliknya tenang.
Satu perwira yang bersenjatakan sebatang golok besar, maju menghampiri. "Kau tidak hendak turun dari kudamu untuk manda dibelenggu?" perwira itu menegur."Kau hendak tunggu apalagi?"
Sebaliknya daripada serahkan diri atau ketakutan, Yen Lieh tertawa gembira. "Apakah kamu adalah pengawal pribadi dari Han Sinsiang?" ia tanya.
Heran perwira itu, hingga ia tercengang. "Kau siapa!" ia membentak.


Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yen Lieh rogoh sakunya, akan keluarkan sepucuk surat. "Apakah kau tidak kenali aku?" dia bertanya. Dia tertawa pula. "Nah, kau lihatlah surat ini!"
Perwira itu melirik kepada satu serdadu di sampingnya. Ia mengedipi mata. Serdadu itu lantas sambuti surat itu untuk dihanturkan kepada pemimpinnya. Kapan perwira itu sudah membaca, mukanya menjadi pucat, dengan tergesa-gesa ia lompat turun dari kudanya untuk memberi hormat.
"Pie-cit, tidak kenali tayjin, dosaku berlaksa kali mati," katanya, "Pie-cit mohon diberi ampun"."
Tidak saja perwira itu membasakan dirinya "pie-cit" yang artinya "bawahan yang rendah", surat itu pun segera ia ancungkan ke atas kepalanya, selaku tanda hormat, dan wajahnya terus menunjuki ia bergelisah.
Yen Lieh sambuti kembali surat itu. "Nampaknya tentera mu kurang kenal tata tertib ketenteraan!" katanya sambil tertawa.
Sementara itu, Pauw-sie mengawasi kejadian denga hatinya heran bukan main.
Perwira itu menjura dalam. "Nanti pie-cit melakukan pemeriksaan untuk memberi hukuman," ia berkata, suaranya dan sikapnya sangat merendah.
Yen Lieh tertawa pula. "Kami masih kekurangan seekor kuda," katanya.
"Perwira itu tuntun kudanya sendiri. "Silahkan hujin pakai kudaku ini," pintanya. Ia bicara terhadap Pauw-sie.
Sek Yok heran yang ia dipanggil "hujin" atau nyonyanya si anak muda, mukanya menjadi merah.
Yen Lieh manggut perlahan ia lantas sambuti kudanya si perwiara. "Pergi kau sampaikan kepada Han Sinsiang," katanya. "Bilang aku ada punya urusan penting dan mesti pulang lantas, dari itu aku tak dapat pamitan lagi."
"Baik, baik, tayjin, pie-cit mengerti," kata perwira itu tetap dengan sangat hormat.
Yen Lieh tidak pedulikan lagi pemimpin pasukan itu, ia pondong Pauw-sie untuk dipindahkan ke kuda yang baru, lalu bersama-sama mereka lanjuti perjalanan mereka ke utara.
Sesudah jalan beberapa puluh tindak, Sek Yok menoleh ke belakang. Untuk herannya ia lihat si perwira dan barisannya masih belum pergi, agaknya mereka itu masih mengasih selamat jalan?".. Ia berpaling kepada si anak muda, ingin ia menanya, tapi anak muda itu, sambil tertawa mendahulukan dia.
"Walaupun Han To Cu sendiri yang melihat aku, dia jerih tiga bagian," katanya, "Maka itu, apapula segala perwira itu?"."
"Jikalau begitu, pastilah gampang untuk kau membalaskan sakit hatiku," kata Pauw-sie.
"Soal itu ada lain," sahut si anak muda. "Sekarang ini kita telah ketahuan siapa adanya, pihak tentera tentu telah membuatnya persediaan, apabila kita pergi menuntut balas sekarang juga, tidak melainkan kita bakal gagal, kita pun bisa mendapat celaka."
"Habis bagaimana?" si nyonya tanya pula. Ia tidak mengerti.
Yen Lieh berdiam sejenak. "Nyonya , dapatkah kau mempercayai aku?" bia tanya.
Pauw-sie mengangguk.
"Sekarang ini mari kita balik dahulu ke utara," Yen Lieh berkata. "Kita tunggu sampai suasana reda, baru kita berangkat pula ke selatan ini untuk maksud menuntut balas itu. Nyonya legakan hati, tentang sakit hati suamimu itu serahkan kepada tanggungjawabku seorang."
Sek Yok bingung tidak berdaya. Percaya saja ia ragu-ragu. Bukankah ia sudah rudin dan tak bersanak kandung juga" Kemana ia mesti pergi untuk pernahkan diri" Bukankah lebih baik ia turut pemuda ini" Tapi dia ada satu janda, orang pun bukan sahabat bukan sanak, cara bagaimana ia bisa terus ikuti pemuda itu" Dia jadi menjublak karena kesangsiannya itu.
"Jikalau nyonya anggap saranku kurang sempurna, silahkan kau beri petunjukmu," kata Yen Lieh melihat orang berdiam saja. "Akan aku turut segala titahmu."
Menampak sikap orang itu, Sek Yok menjadi tak enak sendirinya. "Baiklah, sesukamu?" katanya perlahan, sambil tunduk.
Yen Lieh menjadi girang sekali. "Budimu yang besar, Nyonya, tak nanti aku lupakan," dia bilang. "Nyonya"."
"Harap kau tidak sebut-sebut tentang budi?" kata Sek Yok.
"Baik, baik, Nyonya"."
Lantas keduanya larikan pula kuda mereka, kadang-kadang yang satu di depan yang lain di belakang, atau setempo dengan berendang. Hawa udara ada nyaman karena itu waktu pun ada di musim pertama yang indah. Di sepanjang jalan ada kedapatan pohon-pohon yangliu dan bunga.
Untuk melegakan hati si nyonya, Yen Lieh sering membuka pembicaraan.
Sek Yok heran dan kagum untuk si anak muda, ini kawan seperjalanannya yang sebenarnya asing untuknya. Ia dapati orang halus sikapnya dan menarik kata-katanya. Luas pengetahuannya si anak muda, pandai ia memilih bahan pembicaraan. Orang pun tampan dan menyenangkan untuk dipandang.
Pada tengah hari di hari ketiga, mereka tiba di Kee-hin, sebuah kota besar di Ciat-kang barat, kota dari sutera dan beras. Memangnya kota sudah ramai pada asalnya, sekarang ia terletak dekat dengan kota raja, keramaiannya menjadi bertambah sendirinya.
"Mari kita cari hotel untuk singgah dan beristirahat dulu," Yen Lieh mengajak.
"Hari masih siang, sebenarnya kita masih dapat melanjutkan perjalanan," Sek Yok mengutarakan pikirannya.
"Disini ada banyak toko, Nyonya," Yen Lieh bilang. "Pakaianmu sudah terpakai lama, nanti aku belikan yang baru."
Sek Yok melengak. "Bukankah ini baru dibeli?" tanyanya. "Apanya yang dibilang lama?"
"Kita jalan jauh dan ditengah jalan banyak debu," terangkan si anak muda, "Dengan dipakai baru satu dua hari, pakaianmu sudah tak mentereng lagi. laginya dengan wajah ini, Nyonya, mana boleh kau tidak memakai pakaian dari bahan yang terbaik?"
Diam-diam senang hatinya Sek Yok karena orang puji kecantikannya. "Aku tengah berkabung?" katanya perlahan.
"Terang itu aku tahu," Yen Lieh bilang.
Nyonya itu lantas membungkam.
Yen Lieh terus tanya-tanya orang, akhirnya ia ajak nyonya itu ke hotel Siu sui yang paling besar untuk kota Kee-hin. Di sini mereka paling dulu bersihkan tubuh, lalu duduk bersantap.
"Kau tunggu , Nyonya, hendak aku pergi berbelanja," kemudian kata si pemuda.
Pauw-sie mengangguk.
Yen Lieh lantas pergi keluar, baru ia sampai di muka hotel, ia lihat seorang mendatangi, orang mana menyolok perhatiannya. Orang mirip dengan satu sastrawan tetapi ia jalan sambil menyeret sepatu kulit, sepatu itu berbunyi ketrak-ketruk walaupun ia jalannya perlahan. Dia pun tidak karuan dandannya, ialah pakaiannya kotor, berminyak, kotor juga mukanya yang penuh debu. Mungkin sudah belasan hari ia tidak pernah mandi. Di tangannya ia mencekal satu kipas kertas minyak warna hitam yang sudah buntut, sembari jalan dia mengipas-ipas tak hentinya.
Yen Lieh ada apik, walaupun orang mirip sastrawan, tetapi karena orang demikian jorok, tak mau ia jalan di dekatnya, khawatir tubuhnya nanti kena terlanggar, maka itu sambil mengerutkan kening, ia gancangi tindakannya.
Tiba-tiba orang jorok itu tertawa, suaranya kering, bagaikan siulannya burung malam. Dia tertawa terus beberapa kali, tertawanya itu tajam menusuk telinga. Tepat ketika keduanya impas-impasan, si jorok itu ulur tangannya, dengan kipas bututnya dia tepuk pundaknya Yen Lieh.
Anak muda ini gagah, akan tetapi, atas tepukan itu tak keburu ia berkelit. Ia menjadi tidak senang.
"Eh, kau bikin apa`?" ia menegur.
Orang itu perdengarkan pula tertawanya yang kering itu, ia jalan terus, tindakan kakinya terus berbunyi ketrak-ketruk. Ketika ia tiba di ujung hotel, ia menoleh kepada jongos hotel seraya berkata dengan keras: "Eh, jongos, kau jangan pandang tak mata kepada baju tuanmu yang rubat-rabit ini! Kau tahu, tuan besarmu ada punya uang perak! Di pihak lain, ada bocah yang tersesat, dengan pakaiannya yang mentereng, dia pentang aksi untuk bikin orang silau guna menipu, untuk mengakali kaum wanita, buat anglap makanan dan hotel! Terhadap bocah begitu macam, kau mesti awas mata! Paling baik kau minta dia membayar uang sewa di muka!" Lalu dengan tak menantikan jawaban, dia ngeloyor terus, sepatunya terus berbunyi: "Truk! Truk! Truk"!"
Panas hatinya Yen Lieh. "Binatang!" katanya dalam hatinya, "Bukankah dia maksudkan aku?"
Jongos itu melirik kepada pemuda ini, mau tidak mau timbul kecurigaannya. Dengan lekas ia menghampiri. "Tuan, harap kau tidak kecil hati, bukannya aku kurang ajar?" katanya sambil memberi hormat.
Yen Lieh bisa duga hati orang. "Kau pegang uang ini!" katanya menyela. Sementara itu tangannya meragoh ke sakunya, tetapi segera ia melongo. Ia tahu, dia ada membekal uang empat atau lima puluh tail perak akan tetapi sekarang kantungnya kosong.
Jongos itu lihat air muka orang, ia jadi menduga terlebih keras. Sekarang ia tak sungkan-sungkan lagi. "Apa"! Kau tidak membawa uang?" katanya.
"Kau tunggu sebentar, hendak aku balik ke kamarku untuk mengambil," kata Yen Lieh. Ia mau menyangka tadi karena terburu-buru ia lupa bawa uangnya. Setibanya di dalam kamar, ia menjadi tercengang pula. Ia dapatkan buntalannya tidak ada uangnya. Ia heran, tak tahu ia di mana lenyapnya uangnya itu.
Jongos mengikuti ke kamar, ia tangal-tongol di muka pintu dengan begitu ia jadi dapat lihat orang tidak punya uang. Ia menjadi berani. "Apakah wanita ini benar istrimu?" dia tanya. "Apakah kau tengah menipu dia" Janganlah kau nanti rembet-rembet kami!"
Sek Yok tidak tahu apa yang sudah terjadi tetapi ia dapat menduga, mukanya menjadi merah. Ia malu dan bergelisah.
Dengan tiba-tiba Yen Lieh mencelat ke pintu dan tangannya menyambar. "Plok!" demikian suara di mukanya si jongos yang pipinya menjadi bengap dan giginya rontok beberapa biji. Tentu ia menjadi gusur, sambil pegangi pipinya dia menjerit: "Bagus, ya bagus betul! Kau sewa kamar tidak mau bayar, kau juga berani pukul orang!"
Dengan murkanya Yen Lieh mendupak, hingga orang itu jungkir balik.
"Mari kita lekas pergi!" Sek Yok mengajak. "Jangan kita nginap disini!"
"Jangan takut!" kata Yen Lieh. Kali ini ia tertawa. "Kita tidak punya uang tetapi kita boleh suruh mereka mengadakannya!"
Ia lantas sembat sebuah kursi yang ia letaki di ambang pintu. Di situ ia lantas bercokol.
Jongos tadi yang telah kabur keluar segera kembali bersama belasan orang, yang romannya seperti buaya darat, tangan mereka membawa toya dan ruyung, sikap mereka garang.
"Apakah kamu hendak berkelahi?" tanya Yen Lieh sambil tertawa. Kata-kata itu disusul sama mencelatnya tubuhnya, lalu tahu-tahu ia telah rampas toyanya satu orang denagn apa terus ia menghantam kalang kabutan.
Sekejap saja empat lima orang telah terguling rubuh. Menampak demikian, sisa yang lainnya lantas lemparkan senjata mereka dengan memutar tubuh, mereka sipat kuping, akan kemudian diturut oleh kawan-kawan yang telah terima hajarab, yang repot merayap bangun.
"Ah, urusan menjadi hebat, mungkin nanti datang pembesar negeri," kata SekYok dengan berkhawatir.
Yen Lieh tetap tertawa. "Itulah yang aku kehendaki!" sahutnya.
Nyonya Yo bungkam. Tak tahu ia maksudnya pemuda ini.
Untuk kira setengah jam, hotel menjadi sunyii. Pihak hotel atau tetamu, tidak ada yang berani banyak mulut lagi. Baharu kemudian, di luar terdengar suara berisik lalu muncul belasan orang polisi, yang bersenjatakan golok dan thie-cio, ialah ruyung pendek yang bercagar atau gagangnya bergaetan. Mereka pun bekal borgol yang rantainya berkontrangan.
"Sudah menipu wanita, masih berani galak, aturan dari mana?" demikian di antarannya pentang bacot. "Mana dia si penjahat!"
Yen Lieh bercokol tidak bergeming.
Menyaksikan sikap orang itu, rombongan oppas itu tidak berani lantang maju.
"Eh, kau she apa?" menegur yang menjadi kepala. "Mau apa kau datang ke Kee-hin ini?"
Yen Lieh tetap tidak bergerak. "Pergi kau panggil Khay Oen Cong kemari!" ia bilang, suaranya keren.
Hamba negeri itu terkejut. Khay Oen Cong itu adalah namanya pembesar mereka, tiehu atau residen dari Kee-hin. Kemudian mereka menjdi gusur.
"Apakah kau edan?" si kepala polisi tanya."Bagaimana kau berani sembarang sebut namanya Khay Toaya kami?"
Yen Lieh rogoh sakunya, untuk mengeluarkan sepucuk surat yang mana ia lemparkan ke atas meja, kemudian sambil matanya memandang mega, ia berkata: "Kau bawa suratku ini, kasihkan pada Khay Oen Cong. Hendak aku lihat, ia datang ke mari atau tidak!"
Orang polisi itu jumput surat itu, setelah membaca sampulnya ia terkejut, akan tetapi agaknya ia masih sangsi.
"Kamu jaga dia, jangan kasih dia buron?" pesannya pada orang-orangnya, lalu ia terus pergi.
Sek Yok saksikan itu semua, hatinya terus goncang. Tak tahu ia urusan bakal jadi bagaimana hebatnya. Karena ini, hebat ia menunggu kira setengah jam, sesudah mana di luar hotel terdengar pula suara berisik dari orang banyak. Itulah suara beberapa puluh orang polisi, yang mengiringi dua pembesar dengan pakaian dinasnya. Kapan mereka berdua sampai di depan Yen Lieh, keduanya lantas saja memberi hormat sambil tekuk lutut.
"Piecit adalah Khay Oen Cong, tiehu dari Kee-hin dan Kiang Bun Kay tiekoan dari Siu-sui-koan," berkata mereka."Piecit tidak ketahui tayjin tiba disini, kami tidak datang menyambut, harap tayjin suka memaafkannya."
Yen Lieh ulapkan tangannya, ia membungkuk sedikit. "Aku telah kehilangan uang di dalam kecamatan ini, aku mohon Tuan-tuan suka tolong periksa dan mencarinya," ia berkata, terutama terhadap Kiang Bun Kay si camat.
Khay Oen Cong menyahuti dengan cepat.
"Ya, ya," katanya, habis mana, ia menoleh ke belakang seraya geraki tangannya, atas mana muncul dua orang polisi yang membawa dua menampan-menampan, yang satu bermuatkan emas berkilau kuning dan yang satunya lagi bersis perak yang berkeredep putih.
"Di tempat kami ada penjahat yang main gila, itulah kealpaan kami," berkata Khay Oen Cong. "Sekarang ini sudilah kiranya Tayjin menerima dahulu ini jumlah yang tidak berarti."
Yen Lieh tertawa, ia mengangguk.
Dengan cara hormat, Khay Tiehu lantas angsurkan suratnya pemuda itu.
"Piecit telah siapkan tempat beristirahat, silahkan Tayin dan hujin singgah di sana," tiehu itu memohon kemudian.
"Tempat di sini lebih meyenangkan," berkata Yen Lieh. "Aku lebih suka tempat yang tenang. Kamu jangan ganggu aku." Dengan tiba-tiba wajah si anak muda menjadi keren.
"Baik, baiklah," kata Oen Cong dan Bun Kay dengan cepat. "Tayjin masih membutuhkan apalagi, tolong sebutkan, nanti piecit siapkan."
Yen Lieh dongak, ia tidak menyahuti, Cuma tangannya diulapkan.
Dengan tidak bilang apa-apa lagi, Oen Cong dan Bun Kay mengundurkan diri dengan hormat dan tanpa berisik semua polisi mengikuti mereka.
Jongos saksikan itu semua, mukanya menjadi pucat, lenyap darahnya. Bukankah residen dan camat pun mesti berlutut terhadap tetamunya itu" Tidak ayal lagi dengan dipimpin kuasa hotel, dia berlutut seraya memohon ampun.
Yen Lieh mengambil sepotong perak dari atas nenapam,, ia lemparkan itu ke atas tanah. "Aku persen ini kepadamu!" katanya sambil tertawa. "Lekas pergi!"
Jongos itu melengak, ia bersangsi, tetapi kapan kuasa hotel lihat wajah si tetamu tenang dan ramah, khawatir orang gusar, lekas-lekas ia pungut uang itu, ia berlutut dan manggut-manggut, lalu dengan cepat ia seret si jongos pergi.
Sampai disitu Pauw Sek Yok menjadi heran, hatinya pun lega, hingga ia bisa tertawa. "Sebenarnya suratmu itu wasiat apa?" ia tanya. "Satu pembesar sampai ketakutan demikian rupa!"
Yen Lieh tertawa. "Sebenarnya tidak ku niat pedulikan mereka," ia menyahut. "Pembesar itu sendirinya tak punya guna, orang-orang sebawahannya Tio Kong semua bangsa kantong nasi, kalau negara mereka tidak lenyap, benar-benar tidak pantas!"
Sek Yok heran. "Siapa itu Tio Kong?" tanyanya.
Bentrok Rimba Persilatan 2 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Pendekar Pemetik Harpa 4
^