Pencarian

Pendekar Wanita Penyebar Bunga 2

Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 2


hendak berikan kepada siauwtit (keponakan)?"
Thio Hong Hu tertawa bergelak-gelak."Budi dan sakit hati
sudah terbalas semuanya, ada apa lagi yang aku dapat
memesan?" kata ia. "Hm! Hanya satu! Kau dengarlah!"
"Bret!" ia membeset bajunya yang penuh darah. "Bawalah
sobekan baju ini dan golokku dan pergilah kau mencari Thio
Tan Hong!" kata sang paman. "Sesudah perak dapat diambil
pulang, suruh Khoan Kie segera meletakkan jabatannya!"
Dengan air mata bercucuran. Hoan Eng menyambuti
sobekan baju dan golok mustika itu. "Ada apa lagi?" ia
menanya. "Ketika datang di sini, apakah kau tidak bertemu Siauw
Houwcu?" menanya Hong Hu.
"Siauw Houwcu pergi mencari Pehpeh," jawabnya.
Tubuhnya Hong Hu bergemetar, tapi parasnya tetap
tenang. Dalam menghadapi maut, orang gagah itu sama sekali
tak menjadi gentar dan Hoan Eng merasa kagum sekali.
Bagaikan api lilin yang mendadak terang sebelum padam
sama sekali, Hong Hu tiba-tiba membuka kedua matanya.
"Jika Siauw Houwcu masih hidup," katanya dengan suara
terburu-buru, seolah-olah kuatir keburu mati. "Serahkanlah
70 golokku kepadanya dan suruhlah ia mengangkat Thio Tan
Hong sebagai guru." Sehabis berkata begitu, ia mengebas
tangannya dan menyambung perkataannya: "Dengan
penduduk dusun, aku mempunyai hubungan yang sangat baik.
Jenazahku tentu dirawat baik-baik oleh mereka. Kau sendiri
boleh segera berangkat. Dengan tangan sendiri, aku telah
membalas segala sakit hatiku, sehingga meskipun mati, aku
mati dengan mata meram. Hanya... satu... penyesalan... aku
tak dapat... bertemu pula... dengan Ie Kokloo... Thio Tan
Hong..." Suaranya semakin lama, semakin lemah dan sesudah
mengucapkan perkataan "Hong", ia meramkan kedua
matanya. Hoan Eng loncat dan meraba dadanya. Ahli Silat
Nomor Satu di seluruh kota raja sudah tiada lagi dalam dunia!
Hoan Eng menangis tersedu-sedu. Ia tak nyana, bahwa jago
yang begitu disegani orang, harus menutup mata dalam
sebuah kamar batu, tanpa disaksikan oleh puteranya sendiri.
Sesudah kenyang menangis, Hoan Eng segera berlutut
diha-dapan jenazahnya sang paman, sebagai pemberian
hormat yang penghabisan kali.
Mendadak, kupingnya jang tajam mendengar suara
kresekan. "Ah, memang juga aku tak boleh berdiam lamalama
di sini." katanya di dalam hati. Buru-buru ia masukkan
sobekkan bajunya Hong Hu ke dalam saku dan sambil
menenteng Bianto, ia berjalan keluar dari kamar itu.
Suara yang didengar Hoan Eng, ternyata adalah suaranya
kedua perwira itu, yang sesudah menunggu lama di luar
dengan tidak sabaran, coba melongok-longok ke dalam buat
mencari tahu, bagaimana kesudahan pertemuan Hoan Eng
dengan Thio Hong Hu. Melihat Hoan Eng berjalan keluar
dengan menenteng golok yang sinarnya berkilauan, mereka
terkejut. 71 "Loohoan, bagaimana?" menanya satu antaranya.
"Sebulan kemudian, kalian tunggui aku di tepi telaga
Thayouw," jawabnya dengan pendek.
"Apa?" menegasi mereka.
"Thio Tayjin sudah meluluskan permohonanmu," sahutnya.
"Satu bulan kemudian, dihitung dari hari ini, kalian berdua
tunggui aku di tepi telaga Thayouw untuk mendapat tahu
kesudahannya."
"Sebulan kemudian" Bagaimana kami dapat menunggu
begitu lama?" kata mereka.
Hoan Eng jadi naik darah. "Jika kalian tak dapat menunggu,
aku pun tak dapat menolong lagi," katanya dengan suara
keras. Sehabis berkata begitu, ia lantas berjalan dengan
tindakan cepat.
Kedua perwira itu mengudak sembari berteriak-teriak, tapi,
sesaat kemudian, di bawah sinar rembulan, mereka hanya
dapat melihat bayangan Hoan Eng yang kaburkan kudanya
keras sekali. Mereka tak berani balik ke rumah Hong Hu dan dengan
menunggang kuda, mereka coba menyusul, tapi Hoan Eng
sudah meninggalkan mereka jauh sekali dan terus kaburkan
tunggangannya ke arah utara.
Mereka kaget tercampur heran. "Dia kata, di pinggir
Thayouw, tapi kenapa dia pergi ke utara dan bukan ke
selatan?" kata satu antaranya. "Apa bukan dia guyon-guyon?"
Mereka tahan tunggangannya dengan perasaan duka sekali.
Sungguh mereka tak mengerti perkataan Hoan Eng.
72 * * * Empat hari kemudian, kota raja mendapat kunjungan
seorang tamu yang pakaiannya penuh debu. Orang itu adalah
Hoan Eng. Dengan membedal kudanya siang malam, dalam
empat hari, ia sudah tiba di kota raja.
Di jalan-jalan di seluruh kota Pakkhia, ia melihat berdiri
pintu-pintu gerbang indah dengan tengloleng beraneka warna.
Pada saban pintu gerbang, terdapat tulisan yang bunyinya
seperti berikut: "Sianghong kembali ke atas takhta, seantero
rakyat memberi selamat."
Akan tetapi, paja-ngannya adalah pajangan pesta,
suasananya adalah suasana kesedihan. Siapa yang tak buta
akan dapat melihat paras duka pada mukanya setiap orang.
Hoan Eng naik ke loteng sebuah rumah makan besar. Di
atas tembok, ia melihat pemberiantahu dengan tulisan:
"Jangan bicarakan urusan negara."
Di situ hanya terdapat beberapa tamu yang sedang bicara
satu dengan yang lain sambil berbisik-bisik.
Hoan Eng teriaki pelayan dan minta arak putih dengan dua
kati daging sapi. Sambil makan, ia memasang kupingnya.
Beberapa tamu itu ternyata sedang membicarakan halnya Ie
Kiam. Pem-beriantahu di atas tembok ternyata tidak digubris
mereka. Dari rumah makan itu, Hoan Eng pergi ke beberapa tempat
yang biasanya ramai. Dari penyelidikannya itu, kasar-kasar ia
sudah mendapat satu gambaran tentang keadaan di kota raja
pada waktu itu.
73 Apa yang dikatakan oleh Liok Tian Peng, adalah benar.
Sesuai dengan rencananya, Kie Tin sudah berhasil merebut
kembali takhta kerajaan.
Sebagaimana diketahui, sedari pulang ke Tiongkok, ia
sudah di penjarakan di Lamkiong oleh adiknya (Kie Giok),
yang sungkan mengembalikan takhta itu kepadanya.
Untuk menjaga kakaknya, Kie Giok merasa perlu
menggunakan tenaganya seorang jenderal yang berpangkat
Cengwanpek, Ong Kie namanya.
Tapi, tak dinyana, semua kewaspadaan itu tak dapat
mencegah persekutuan Kie Tin. Perlahan-lahan, Kie Tin
bersekutu dengan para menteri dan pada akhirnya, ia malahan
berhasil menarik Ong Kie ke dalam persekutuannya.
Demikianlah, pada Kengthay tahun ke-8, yaitu tahun ke
delapan semenjak Kie Giok naik ke takhta, pada malam kedua
dari perayaan Goansiauw (Capgomeh), Ong Kie membuka
pintu Lamkiong lebar-lebar dan membiarkan tentaranya Kie
Tin masuk, yang lantas saja mengepung keraton kaizar. Pada
besok hari, Kie Tin sudah kembali ke takhtanya dengan
didukung oleh menteri-menteri yang sudah bersekutu dengan
ia. Berbareng dengan itu, ia mengumumkan, bahwa Kie Giok
sudah "wafat".
Kie Tin bertindak cepat. Ia mengumumkan nama
"Thiansun" sebagai nama pemerintahannya, memberi
pengampunan umum kepada persakitan di seluruh negeri, dan
pada hari pengampunan itu, ia jebluskan Ie Kiam ke dalam
penjara istana!
Rakyat di kota raja berduka bukan main. Banyak, banyak
sekali rakyat, secara diam-diam memasang meja sembahyang
74 di rumahnya untuk memohon kepada Tuhan, agar
keselamatan Ie Kiam dilindungi.
Macam-macam desas-desus tersiar di seluruh kota. Banyak
orang mengatakan, bahwa sejumlah hiapsu (pendekar)
sedang bersiap-siap untuk membongkar penjara.
* * * Malam itu, di dekat penjara istana kelihatan berkelebat
bayangan orang. Orang itu adalah Hoan Eng.
Di luar penjara, serdadu-serdadu penjaga mundar-mandir
tak henti-hentinya. Hoan Eng mengawasi dengan mata tajam,
sedang otaknya diasah guna mencari jalan untuk masuk ke
dalam. Tiba-tiba terdengar suara terompet. Berbareng dengan
itu, di atas genteng muncul banyak bayangan hitam yang
segera menuju ke arah utara barat dengan berbondongbondong.
Hoan Eng merasa heran. Ia tak tahu, apa artinya itu
semua. Akan tetapi, itu adalah kesempatan luar biasa baginya.
Buru-buru ia mengeluarkan dua butir batu hui-hongsek dari
sakunya dan melontarkan batu-batu itu ke tengah-tengah
udara. Begitu berbentrok, kedua batu itu mengeluarkan suara
keras. Dua penjaga loncat keluar untuk menyelidiki suara itu.
Tanpa bersangsi, Hoan Eng mengenjot badan dan hinggap di
atas tembok. Malam itu adalah malam tak berbintang. Dengan
pakaiannya yang berwarna hitam dan dengan ilmu entengkan
badannya yang cukup tinggi, gerakan Hoan Eng sama sekali
tak dapat dilihat oleh kedua penjaga itu yang kepandaiannya
masih sangat rendah.
Hati-hati, Hoan Eng merangkak di atas genteng. Sayupsayup
ia mendengar teriakan-teriakan di tempat jauh. Baru
saja melewati dua wuwungan, tiba-tiba ia dibentak dengan
75 perkataan "Thiansun".Hoan Eng tahu, bahwa "Thiansun"
adalah kata-kata rahasia yang digunakan pada malam itu.
Dengan suara tak terang, ia menjawab dengan dua perkataan
pula. "Apa?" membentak orang itu. "Lebih keras sedikit!"
Hoan Eng meloncat, panah tangannya menyambar
tenggorokan orang itu. Tanpa bersuara ia roboh di atas
genteng. Hoan Eng lalu membuka pakaian penjaga itu yang
lantas saja dipakai olehnya sendiri. Sesudah itu, ia loncat
turun dan bersembunyi di tempat gelap.
Beberapa saat kemudian, seorang penjaga lain mendatangi
sambil menengteng lentera. Hoan Eng meloncat dan kebaskan
goloknya di muka orang itu. "Di mana Ie Kokloo di
penjarakan?" ia membentak dengan suara perlahan.
Penjaga penjara yang tadi kaget setengah mati, mendadak
tertawa girang. "Kau mau menolong Ie Kokloo?" ia menegasi.
"Di kamar (sel) persakitan yang mendapat hukuman mati,
kamar nomor delapan. Dari sini jalan terus, sampai di ujung
biluk ke kanan. Hitung saja, kamar yang ke delapan adalah
kamarnya Ie Kokloo."
Hoan Eng masukkan Bianto ke dalam sarung, tapi, selagi ia
mau bertindak, penjaga penjara itu berkata pula: "Eh, tanda
rahasia malam ini adalah Thiansun Banlian (Thiansun berlaksa
tahun). Ingatlah!"
Sesuai dengan petunjuk itu, dengan hati tetap, Hoan Eng
masuk ke dalam. Setiap bentakan "Thiansun", dijawabnya
dengan "Banlian" dan dapat berjalan terus tanpa rintangan.
Antara sipir-sipir itu, terdapat satu dua orang yang merasa
curiga oleh karena suara Hoan Eng yang agak asing, akan
tetapi, mereka diam-diam saja.
76 Di depan kamar nomor delapan berdiri seorang penjaga
dengan menyekal pedang terhunus. Mendadak, Hoan Eng
menubruk, sambil mengayun golok. Tapi orang itu gesit luar
biasa. Walaupun di-bokong, ia mash dapat berkelit. "Celaka!"
Hoan Eng mengeluarkan seruan tertahan.
Penjaga itu memutar badan, tapi aneh sungguh, sebaliknya
dari menyerang ia bersenyum!
"Lekas bacok diriku, di tempat yang tidakmembinasakan,"
katanya. Hoan Eng terkesiap, tapi lantas saja ia menjadi sadar.
Penjaga penjara itu pun ingin menolong Ie Kiam!
Mengingat kemulian orang. Hoan Eng jadi terharu,
sehingga ia tak tega untuk menurunkan tangan.
"Lekas!" kata penjaga itu. "Setengah jam lagi, tukar
penjaga." Sambil mengeraskan hati, Hoan Eng mengangkat goloknya
dan menggurat kaki orang itu. "Jangan begitu! Lebih dalam
sedikit!" kata penjaga itu sembari cekal tangannya Hoan Eng
yang memegang golok dan membacok dengkulnya sendiri.
Sesudah itu, ia menotok jalan darah Ahhiat (jalanan darah
yang membikin orang jadi gagu) di pinggangnya sendiri. Di
lain saat, ia roboh sambil menahan sakit, tapi mukanya
terlukis senyuman!
Sembari menghela napas panjang, Hoan Eng membacok
kunci yang lantas saja jatuh berarakan di atas lantai, tiba-tiba
ia dengar suara seorang tua yang bersyair dengan suara
perlahan: 77 "Di antara laksaan serangan ku munculkan diri, api
membakar ku tak perduii, badan hancur 'ku tak takuti, asai
nama bersih dalam dunia ini."
Itulah suatu syair, yang pada peristiwa "Tobokpo", telah
digunakan oleh Ie Kiam untuk memperlihatkan kebersihan
dirinya. Dengan perlahan Hoan Eng menolak pintu, kedua
tangannya meraba-raba kamar yang gelap itu.
"Siapa" Apa Cu-jie (anak Cu)?" menanya Ie Kiam. "Kenapa
kau tak turut omongan ayah dan kembali datang ke sini?"
Oleh karena keadaan mendesak, Hoan Eng tak sempat
menanyakan siapa adanya "Cu-jie". Buru-buru ia menyalakan
bahan api yang dibawanya dan berbisik: "e Kokloo, apa kau
terluka" Ijinkanlah aku menggendong kau untuk keluar dari
sini." Di bawah penerangan yang remang-remang, Ie Kiam, yang
rambutnya sudah putih semua, duduk bersila dengan kedua
tangan diborgol. Dalam keadaannya yang menyedihkan itu,


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua matanya tetap bersinar dan keangkerannya tetap tidak
berkurang. "Siapa?" ia membentak.
Hati Hoan Eng berdebar keras, air matanya mengucur
deras. Sambil menekuk lututnya, ia menjawab dengan suara
perlahan: "Ayahku adalah Siewie Hoan Cun, dahulu pernah
jadi pengikut Kokloo."
78 "Oh!" berkata Ie Kiam. "Kalau begitu, kau adalah
keponakannya Hoan Tiong, puteranya Hoan Cun. Untuk apa
kau datang kemari?"
"Aku datang untuk menolong Kokloo keluar dari tempat
ini," sahutnya sembari mencabut Bianto untuk membabat
borgolan. "Inilah pekakas menghukum dari kerajaan, tak dapat
sembarangan diganggu," berkata orang tua itu.
Hoan Eng menjadi bingung. "Jika borgolan tidak
diputuskan, cara bagaimana kita dapat melarikan diri?" kata
ia. "Aku adalah seorang menteri besar dari kerajaan Beng!" Ie
Kiam membentak dengan mata melotot. "Cara bagaimana aku
dapat melarikan diri dengan jalan kabur dari penjara?"
Hoan Eng tak menduga, orang tua itu sedemikian "tolol".
"Tayjin!" ia berkata dengan suara bingung. "Jika Tayjin
sungkan kabur, penasaranmu akan tetap merupakan suatu
penasaran."
Ie Kiam tertawa terbahak-bahak. "Jika aku takut mati,
dahulu hari aku tentu tidak perintah In Tiong pergi ke Watzu
untuk menyambut Hongsiang," katanya dengan suara nyaring.
"Aku memang sudah menduga bakal ada kejadian seperti di
ini hari. Hoan Hiantit! Kau pergilah!"
Tetapi manalah Hoan Eng mau gampang-gampang berlalu.
"Aku sudah mengambil putusan pasti," berkata Ie Kiam
dengan gusar. "Aku bersumpah tak akan melarikan diri!"
79 "Kokloo!" berkata Hoan Eng dengan suara memohon.
"Apakah Kokloo tidak merasa kasihan kepada rakyat di seluruh
negeri?" "Usiaku sekarang sudah enam puluh tahun lebih, sehingga
meskipun tidak lantas mati, aku adalah seperti lampu yang
sudah kehabisan minyak," berkata orang tua itu sambil
menghela napas. "Di antara putera dan puteri Tiongkok,
jumlah ksatria tak dapat dihitung berapa banyaknya. Satu Ie
Kiam mati, ratusan atau ribuan Ie Kiam munculkan diri. Tak
dapat kau bicara begitu."
"Akan tetapi, mati secara Kokloo, adalah mati secara tidak
berharga!" berkata Hoan Eng dengan bernapsu.
"Kenapa tidak berharga?" menanya Ie Kiam. "Jika matiku
tidak berharga, maka matinya Gak bubok ong (Gak Hui) juga
tidak berharga. Ketika itu, dalam tangannya ia memegang
kekuasaan atas ratusan laksa serdadu, tapi ia toh masih
sungkan melanggar undang-undang kerajaan dan rela
menerima hukuman. Meskipun aku tak berani menelad
contohnya, tapi sedikitnya aku pun sungkan melanggar
undang-undang!"
Harus diingat, bahwa semenjak muda sehingga menjabat
pangkat yang sangat tinggi, dalam alam pikirannya, Ie Kiam
hanya mengetahui, bahwa seorang menteri yang setia harus
tunduk pada kemauan sang jungjungan. Cara berpikir yang
sedemikian sudah melekat dalam otaknya selama beberapa
puluh tahun, sehingga Hoan Eng tentu saja tidak dapat merubahnya
dalam tempo yang sangat pendek itu.
Hoan Eng masih ingin membujuk terus, akan tetapi,
kupingnya mendadak mendengar suara bergulingan dari si
penjaga penjara yang barusan sudah melukai dirinya sendiri.
80 Ia mengetahui, bahwa itu adalah satu peringatan, supaya ia
bekerja terlebih cepat.
"Tayjin... Tayjin..." ia mengeluh.
"Pergi!" membentak Ie Kiam. "Jika kau tak menurut, aku
akan benturkan kepala di tembok, supaya binasa di
hadapanmu!"
Hoan Eng menghela napas panjang. "Kokloo," katanya
dengan suara duka sekali. "Apa Kokloo mempunyai pesanan
apa-apa?" "Aku tak pernah berdosa terhadap Tuhan, tak pernah
menyakiti sesama manusia," kata orang tua itu dengan suara
tenang. "Ada apa yang aku harus memesan" Pergilah!"
Dengan air mata mengucur, Hoan Eng memutar badan dan
bertindak keluar.
"Ada satu urusan, harap kau tolong menyampaikannya,?"
Ie Kiam mendadak berkata.
Hoan Eng hentikan tindakannya.
"Pergilah ke telaga Thayouw dan cari Thio Tan Hong,"
memesan Ie Kiam. "Suruh ia lekas-lekas melarikan diri."
"Kokloo legakan hati," kata Hoan Eng. "Pesanan ini aku
akan segera jalankan."
Baru habis ia berkata begitu, pintu penjara kedengaran
ditendang terpental. "Ada orang membongkar penjara!"
demikian teriakan beberapa orang.
81 Begitu loncat keluar dari kamar Ie Kiam, Hoan Eng
putarkan goloknya dan menerjang beberapa musuh yang
sudah tiba dihadapan-nya. Dengan suara "trang!" senjata
beberapa orang itu sudah terbabat putus oleh Bianto yang
tajam luar biasa. Mereka mundur dengan kaget, dan tanpa
sia-siakan ketika bagus, Hoan Eng loncat naik ke atas
genteng. "Jangan lari!" satu bentakan terdengar, disusul dengan
kesiuran angin tajam di belakang kepala Hoan Eng.
Hoan Eng berkelit sembari menyampok dengan goloknya.
Dengan satu suara keras, lelatu api berhamburan. Hoan Eng
terkesiap oleh karena bukan saja Bianto tak dapat
menguntungkan senjata musuh, malahan tangannya sendiri
terasa sakit dan kesemutan. Ia mengawasi dan ternyata
musuhnya adalah seorang Wiesu (pahlawan istana) yang
berseragam hitam dan bersenjata golok besar yang beratnya
kira-kira lima puluh kati.
Golok itu adalah senjata yang biasanya digunakan dalam
peperangan dengan menunggang kuda.
Bahwa Wiesu tersebut dapat menggunakannya dalam
pertempuran di atas genteng yang memerlukan loncatanloncatan
tinggi, dapatlah dibayangkan berapa liehaynya
pahlawan itu. Hoan Eng kaget, tapi musuhnya pun tidak kurang
kagetnya. ia adalah seorang Giecian Siewie (pengawal pribadi
kaizar) kelas satu yang ditugaskan untuk menjaga penjara
istana. Begitu golok besarnya kebentrok dengan Bianto yang tipis
kecil, ia merasakan tangannya kesemutan dan goloknya pun
82 sempoak sebagian. "Hei! Mana yang lain! Lekas datang!" ia
berteriak. Dengan gerakan Tiangcoa Cueng (Ular keluar dari lubang),
Hoan Eng membacok. Sekonyong-konyong, berbareng dengan
satu bentakan, dua bola besi menyambar mukanya. Hoan Eng
menundukkan kepalanya dengan gerakan Honghong Tiamtauw
(Burung Hong manggutkan kepala) sambil menyampok
dengan goloknya. Dengan satu suara "trang!" kedua bola besi
itu sudah ditarik pulang. Dengan satu lirikan, Hoan Eng dapat
kenyataan, bahwa di sebelah kirinya sudah muncul seorang
Wiesu lain yang berseragam hitam. Dua bola besi itu bukan
senjata rahasia, tapi kepalanya senjata Liancu tui, atau
bandringan. Liancu tui adalah semajam senjata yang sukar
digunakan. Bahwa Wiesu itu dapat menggunakannya secara
begitu leluasa, dapatlah dibayangkan, bahwa ia itu bukannya
seorang lawan enteng.
Dalam jarak kurang lebih setombak, Wiesu itu segera
menyerang dengan bandringannya. Panjang rantai Liancu tui
ada delapan kaki lebih dan jika diputar, kedua bola besinya
dapat menghantam segala apa yang berada dalam jarak satu
tombak. Oleh karena itu, untuk sementara, Hoan Eng tak
dapat menoblos keluar.
Sementara itu, Wiesu yang bersenjata golok sudah
menyabet pinggangnya. Hoan Eng berkelit, sembari
menyampok dengan Bianto.
Tiba-tiba di sebelah kanan kembali terdengar bentakan dan
lagi bayangan hitam berkelebat masuk ke dalam gelanggang
pertempuran. Begitu musuh baru itu menggerakkan
tangannya, dua kesiuran angin tajam menyambar jalan darah
Kiankeng hiat, di kedua pundak Hoan Eng. Dengan gerakan
Huihong payliu (Angin meniup pohon liu), Hoan Eng buru-buru
membungkuk, goloknya menyampok Liancu tui, kakinya
83 menendang golok musuh, disusul dengan satu loncatan ke
samping. Musuh ketiga yang baru datang itu adalah seorang yang
berbadan kecil dan kate (pendek), sedang dalam kedua
tangannya ia menyekal sepasang Poankoan pit yang panjang
hanya delapan dim. Tak usah disangsikan lagi, bahwa seorang
yang dapat menggunakan senjata sedemikian kecil, pastilah
seorang ahli menotok jalan darah.
Andaikata kepandaian Hoan Eng dua kali lipat lebih tinggi,
ia masih tak akan gampang-gampang meloloskan diri. Ketiga
Wiesu itu adalah Giecian siewie kelas satu, sedang masingmasing
senjatanya mempunyai ke-liehayan yang berbedabeda.
Golok besar adalah senjata berat yang tak takut
membentur golok mustika, Liancu tui adalah senjata yang
dapat menghantam dari jauh dan dari dekat, sedang
Poankoan pit selalu menyambar jalan darah. Tiga rupa senjata
itu, dengan tiga macam serangannya, sudah membikin Hoan
Eng bingung sekali.
Sesudah bergebrak kurang lebih tiga puluh jurus, Hoan Eng
sudah merasa tak tahan lagi. Sementara itu, di bawah genteng
sudah terdengar teriakan-teriakan dari para penjaga penjara.
Belasan orang yang dapat meloncat tinggi, sudah naik ke
genteng dan mengurung di empat penjuru.
Hoan Eng kertek giginya dan berkelahi bagaikan banteng
edan tanpa memperdulikan lagi keselamatan dirinya. Pada
detik yang sangat berbahaya, di wuwungan sebelah tiba-tiba
berkelebat bayangan orang yang mengenakan pakaian serba
putih dan melihat gerakan-gerakannya, Hoan Eng merasa
seperti sudah pernah bertemu dengan orang itu.
Saat itu, Wiesu yang bersenjata Poankoan pit mendadak
menghantam dengan senjatanya sembari berseru: "Kena!"
84 Oleh karena goloknya sedang menyampok Liancu tui, Hoan
Eng tidak sempat menyambut Poankoan pit musuh, dan dalam
keadaan kedesak, buru-buru ia mengerahkan pernapasannya
guna menutup semua jalan darahnya. Di lain saat,
pinggangnya kesemutan oleh karena jalan darah Cengpek hiat
sudah terkena totokan.
Dan, berbareng dengan itu, Wiesu yang bersenjata golok
besar membacok kepalanya dengan senjatanya yang berat.
Walaupun mengerti ilmu Piekie huhiat (Menutup hawa
melindungi jalan darah), tenaga dalam Hoan Eng belum
mencapai puncaknya. Maka itu, begitu pinggangnya terkena
totokan, tenaga lengannya segera berkurang. Ia mengetahui,
bahwa tenaganya tidak cukup untuk menyambut golok musuh
yang beratnya kira-kira lima puluh kati. Akan tetapi, lantaran
tiada jalan lain, apa boleh buat ia mengangkat Bianto untuk
menyambut. "Matilah aku!" ia mengeluh.
Tapi, pada detik Bianto dan golok besar hampir beradu, tak
diduga-duga Wiesu itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan
goloknya terpental dari tangannya. Dan secara kebetulan
sekali, golok yang terpental itu menghantam Liancu tui dan,
berbareng dengan satu suara keras, bandringan itupun jatuh
ke bawah genteng.
Satu suara tertawa nyaring yang sangat merduh tiba-tiba
terdengar. Hoan Eng mengawasi dan mendapat kenyataan,
bahwa bayangan putih yang barusan berkelebat di wuwungan
seberang adalah seorang pemuda. Di lain saat, pemuda itu
mengayun tangannya dan belasan Kimhoa (Bunga emas) yang
berkredep melesat ke tengah-tengah udara yang gelap itu.
Para Wiesu tak pernah mengimpi, bahwa dalam dunia
terdapat senjata rahasia yang begitu liehay. Siapa juga yang
kelanggar Bunga emas itu, badannya lantas lemas dan roboh
di atas genteng. Dalam tempo sekejap, sebagian besar dari
85 belasan Wiesu yang mengurung sudah pada rebah tanpa
berkutik. Bunga emas itu ternyata tak membedakan kawan
atau lawan. Satu antaranya menyambar lengan Hoan Eng dan
tangan kanannya lantas saja tak dapat digunakan lagi.
"Lekas panggil Yo Tayjin!" berseru
Wiesu yang bersenjata Poankoan pit. Baru habis ia berseru
begitu, sekuntum bunga menyambar dan ia rubuh sesudah
sempoyongan beberapa tindak.
Hoan Eng tak berani berlaku ayal. Sambil memindahkan
goloknya ke tangan kiri, ia menarik napas dalam-dalam dan
lalu kabur dengan menggunakan ilmu entengkan badan.
Sesudah melewati dua wuwungan, ia menoleh ke belakang.
Di atas genteng kelihatan dua bayangan yang sedang ubarubaran
dan satu antaranya adalah si pemuda, pemuda
penyebar Kimhoa.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah menghilang ke
jurusan utara barat.
Hoan Eng berdiam sejenak sambil meng-mengingat-ingat.
Tertawa yang nyaring, gerakan yang bagaikan kilat... ah, ia
sekarang ingat! Pemuda itu bukan lain dari pada si anak
sekolah berkuda putih yang telah mempermainkan Siauw
Houwcu! Saat itu, ratusan obor sudah dipasang terang-terang,
sedang di atas genteng kelihatan berlari-lari puluhan orang,
beberapa antaranya sudah memburu ke arahnya. Hoan Eng
menghela napas. Dengan lengan mendapat luka dan
kepandaian yang masih sangat rendah, ia tahu tak akan dapat
berbuat apa-apa.
86 "Ah, biarlah tugas menolong Kokloo aku serahkan kepada si
pemuda penyebar bunga," katanya di dalam hati dan lain


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kabur dengan menggunakan ilmu entengkan badan Lioktee
huiteng (Terbang di atas bumi).
Ia tiba di rumah penginapan pada jam empat pagi. Ia
membuka bajunya dan untung, lukanya hanya luka di luar.
Baru saja memakai obat luka, tiba-tiba kepalanya puyeng dan
matanya berkunang-kunang, lalu rubuh di atas pembaringan.
Tak tahu sudah lewat berapa lama, barulah Hoan Eng sadar
dari pingsannya. Ia membuka mata dan melihat api lampu
yang kelak-kelik. Di lain saat, ia terkesiap sebab Tiamsiauwjie
(pelayan) dengan mengenakan pakaian berkabung, sedang
berdiri di kepala ranjang sambil mengucurkan air mata.
"Eh, aku toh belum mati! Kenapa kau menangis?" ia
menanya. "e Tayjin..." sahutnya. "e Tayjin sudah pulang kealam
baka!" "Apa benar?" Hoan Eng berseru, matanya dibuka lebarlebar.
"Pagi ini beliau berpulang," sahut si pelayan sambil manggutkan
kepalanya. "Seluruh penduduk Pakkhia, kecuali
kawanan menteri bangsat, berkabung semuanya!"
Dengan satu teriakan menyayatkan hati, Hoan Eng kembali
pingsan! Setelah sadar, si pelayan ternyata masih duduk di kepala
ranjang. "Jam berapa ini?" menanya Hoan Eng.
87 "Kau pingsan sehari dan setengah malam," jawabnya. "Ini
adalah malam hari kedua."
Hati Hoan Eng seperti diiris-iris. Ia tak nyana, bahwa kaizar
bebodoran itu berani mengambil jiwa Ie Kiam, seorang
menteri utama yang sudah menolong kerajaan Beng dari
kemusnahan. "Hoan Giesu (ksatria)," kata si pelayan. "Bagaimana kau
rasakan" Jika bisa jalan, baik kau segera meninggalkan kota
raja ini."
Mendengar si pelayan memanggil ia "Giesu", Hoan Eng
terkejut. "Apa kau kata?" ia menanya.
"Giesu, jangan kau berkuatir," sahutnya. "Kemarin malam,
ketika kau pulang, golokmu masih bernoda darah."
Berita tentang percobaan membongkar penjara pada
malamnya, sudah tersiar luas pada besok paginya. Melihat
pingsannya Hoan Eng dan goloknya yang bernoda darah,
ditambah dengan pertanyaannya mengenai Ie Kiam pada
siang harinya, si pelayan lantas saja menduga, bahwa
tetamunya itu adalah orang yang sudah menyatroni penjara.
Ia segera minta pertolongan seorang tabib yang dapat
dipercaya, guna memeriksa keadaan Hoan Eng. Tapi Hoan
Eng hanya mendapat luka di luar yang tidak berbahaya.
Bahwa ia pingsan begitu lama, adalah lantaran kelelahannya
yang melewati batas. Sesudah mengaso sehari dan setengah
malam, keadaannya segera pulih kembali.
Hoan Eng segera mengambil goloknya yang lantas
dibersihkan dari segala tanda-tanda darah. "Hm!" ia menggerendeng.
"Sungguh sayang aku tak dapat mampuskan lebih
banyak manusia jahat."
88 "Giesu," berbisik si pelayan. "Hebat benar desas-desus di
luaran. Katanya, segala orang yang mempunyai hubungan
dengan Ie Kokloo sudah ditangkap. Giesu, lebih baik kau
menyingkirkan diri."
Hoan Eng menghela papas sambil mengusap-usap Bianto.
"Dengan membikin ribut di penjara, sebaliknya dari menolong,
aku sudah mempercepat kebinasaannya Ie Kokloo," katanya.
"Ah, apa guna aku hidup lebih lama lagi!"
"Giesu tak boleh berpikir begitu," kata pula si pelayan.
"Matinya satu ksatria berarti negara kehilangan satu tenaga
berharga. Ie Kokloo yang sudah meninggal dunia, tak akan
bisa hidup lagi. Giesu yang masih hidup, haruslah menjaga diri
baik-baik."
Mendengar kata-kata si pelayan, Hoan Eng jadi kaget.
"Siapa kau?" ia menanya.
"Aku hanya satu pelayan rendah dari rumah penginapan
ini," jawabnya.
Lagi-lagi si Brewok menarik napas. "Ah! Dalam dewan
kerajaan hanya berjajar kawanan penjilat, sebaliknya di antara
rakyat jelata, orang masih dapat menemukan ksatria-ksatria
sejati," katanya. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya:
"Apa jenazah Ie Kokloo sudah dirawat?"
"Menurut katanya orang, Hongsiang sudah perintah Tan Kui
merawat jenazah Ie Kokloo, tapi kepalanya masih terpancer di
pintu kota sebelah timur," menerangkan si pelayan.
Hoan Eng berjingkrak sambil mengeluarkan teriakan keras.
Kedua matanya terputar dan badannya gemetar, saking
gusarnya. 89 "Berikan aku sedikit makanan," ia memerintah.
Si pelayan segera berjalan keluar dan balik dengan
membawa sekati arak putih dan dua kati daging sapi. Tanpa
berkata suatu apa, Hoan Eng sapu bersih makanan itu dan
kemudian lalu membayar uang sewa kamar dan makanan.
"Terima kasih untuk segala budi kebaikanmu, harap saja di
lain hari kita akan dapat bertemu pula," kata ia sembari
membuka jendela dan di lain saat, ia sudah menghilang di
antara gelapnya sang malam.
Dengan menggunakan ilmu entengkan badan, Hoan Eng
menuju ke pintu kota sebelah timur. Malam itu adalah malam
yang gelap, sang rembulan yang melengkung bagaikan alisnya
seorang gadis, hanya memberi penerangan remang-remang.
Hoan Eng dongakkan kepalanya. Ia melihat, di atas tembok
kota berdiri sebatang tihang bendera dan di ujung tihang
tergantung serupa benda bundar yang bentuknya seperti
kepala manusia.
Hoan Eng tak dapat mempertahankan dirinya lagi. Ia lantas
menangis tersedu-sedu. Tanpa memperdulikan segala bahaya
yang mengancam, sekali mengenjot badan ia sudah hinggap
di atas tembok dan lalu menyabet tihang bendera itu dengan
goloknya. "Digantungnya kepala Ie Kiam di atas pintu kota,
merupakan satu jebakan yang dipasang oleh Kie Tin yang
kejam. Maka itu, manalah Hoan Eng bisa gampang-gampang
mencapai maksudnya. Baru saja ia mengangkat golok,
berbareng dengan suara tertawa dingin, dua bayangan hitam
sudah menerjang dari tempat gelap. Hoan Eng meloncat tinggi
untuk menghindari sepasang Kautiam khio (tombak yang ada
90 gae-tannya), sedang goloknya memapas ke bawah untuk
menyampok sambarannya sebatang tongkat besi.
"Ha-ha!" tertawa seorang lawannya. "Tepat sekali
perhitungannya Yo Tayjin. Satu kodok buduk bau sudah
masuk ke dalam jaring!"
Bukan main gusarnya Hoan Eng. Dengan gerakan Pekho
liangcie (Bango putih mementang sayap), ia mengirim dua
bacokan hebat. "Bagus benar golokmu!" berkata orang yang bersenjata
Kauw-liam khio. "Aku ampuni jiwamu, jika kau menyerahkan
golokmu dan menakluk."
"Kau mau golok?" membentak Hoan Eng. "Inih!" Ia
membacok dengan sepenuh tenaga, sehingga lawannya
terpaksa menggulingkan diri.
Dengan mengandalkan senjatanya yang berat, orang yang
bersenjata tongkat besi segera maju menerjang. Tapi, begitu
kedua senjata kebentrok, tangannya kesemutan dan hampirhampir
tongkatnya terlepas. Hoan Eng mendesak, sambil
menendang. Mendadak, betisnya sakit luar biasa. Ternyata, Siewie yang
barusan menggulingkan diri, sudah menggait betisnya dengan
Kauw-liam khio.
Pada saat yang sangat berbahaya, tanpa memperdulikan
keselamatannya lagi, Hoan Eng mengenjot badannya, sembari
memapas dengan goloknya. Orang yang menggait tidak
menduga, bahwa Hoan Eng masih dapat mengirim serangan
membalas yang begitu hebat, dalam bingungnya, ia
melepaskan senjatanya dan menggulingkan diri. Sambil
merapatkan gigi, Hoan Eng mencabut Kauwliam khio itu dari
91 betisnya dan lantas ditimpukkan ke arah Siewie yang
bersenjata tongkat. Siewie itu berkelit dan Kauwliam khio
membentur tembok, akan kemudian jatuh ke bawah.
Melihat musuhnya berkelahi seperti harimau edan, Siewie
yang bersenjata tongkat, jadi merasa gentar.
"Masa kau takut kodok buduk pincang!" berseru kawannya
yang bersenjata Kauwliam khio. "Tempel pundak dan hantam
padanya!" Walaupun sudah kehilangan sebelah senjatanya,
tapi serangan Siewie itu tak berkurang hebatnya. Sesudah
mendapat bantuan semangat dari kawannya. Siewie yang
bersenjata tongkat besi jadi lebih mantap hatinya dan ia pun
segera menyerang secara dahsyat. Dikepung secara begitu,
Hoan Eng yang sudah terluka, lambat laun jatuh di bawah
angin. Hoan Eng berkelahi dengan mata merah. Sesudah lewat
beberapa jurus lagi, ia sengaja membuka satu lowongan untuk
memancing musuhnya. Sembari tertawa menyeramkan, Siewie
yang bersenjata Kauwliam khio segera menyodok dada Hoan
Eng. Bagaikan kilat, Hoan Eng mengegos dan, dibarengi
dengan bentakan keras, ia membacok sekuat tenaga.
"Trangl", suara beradunya senjata memecah kesunyian
malam. Siewie itu terkesiap. Ternyata ujung Kauwliam khio
melengkung, sedang tangannya berdarah! Tapi ia pun bukan
orang sembarangan, sebab, meskipun dihantam begitu keras,
senjatanya masih tetap tercekal dalam tangannya.
Hoan Eng menggeram bagaikan harimau terluka dan
segera menerjang pula. Sekonyong-konyong dari tempat
gelap, di bawah tihang bendera, meloncat keluar seorang lain.
"Manusia tolol!" ia membentak. "Kodok buduk pincang saja
kau orang tak mampu bereskan. Mundur!"
92 Hoan Eng mengawasi. Musuh itu mengenakan seragam
perwira Gielimkun dan tangannya menyekal sebilah golok
melengkung, model golok Arab.
Tiba-tiba ia merandek dan berkata: "Eh! Bianto Thio Hong
Hu cara bagaimana bisa berada dalam tanganmu?"
"Thio Hong Hu pinjamkan senjatanya kepadaku dan
perintah aku ambil jiwamu!" jawabnya, sembari membacok.
Perwira itu bukan main gusarnya. "Kebinasaan sudah
berada depan matamu, kau masih berani ngaco belo!" ia
berseru. Tanpa berkata apa-apa lagi, Hoan Eng segera menyerang
dengan seru. Beruntun-runtun ia mengirim bacokan-bacokan
yang membinasakan, tapi semuanya dengan gampang sudah
dipunahkan oleh lawannya.
"Kalau tidak diberi sedikit hajaran, kau tak tahu liehaynya
Tong-hong Lok," kata perwira itu dengan suara dingin.
Dengan penuh amarah, Hoan Eng mengerahkan tenaga
dalamnya dan lalu membacok sekuat tenaga. Secara tenang,
Tonghong Lok mengangkat goloknya untuk menyambut golok
musuh. Tenaganya Hoan Eng luar biasa besar dan dalam
perhitungannya, bacokannya yang hebat itu tak akan dapat
disambut oleh musuhnya. Tapi tak dinyana, begitu kedua
golok kebentrok, goloknya Tonghong Lok terus menempel
kepada Bianto. Hoan Eng terkesiap. Tonghong Lok tertawa berkakakan,
sedang goloknya yang dibulang balingkan ke kiri kanan terus
"mengikat" Bianto, Hoan Eng yang belum mahir dalam ilmu
silat golok, tak mengetahui cara bagaimana harus melepaskan
goloknya dari "katan" itu. Mau tak mau, goloknya terus
93 mengikuti golok musuh berputar-putar dan, dalam sekejap,
kedua matanya sudah-sudah berkunang-kunang.
Dalam bingungnya, secara mendadak Hoan Eng
menendang dua kali beruntun dengan kaki kanan dan kiri, dan
berbareng dengan itu, tangan kirinya membabat musuh.
Senjata yang biasa digunakan Hoan Eng adalah kampak dan
pukulan tersebut, yang membabat bagaikan babatan kampak
adalah pukulan simpanannya, sedang tendangannya yang
barusan adalah Lianhoan tui (Tendangan berantai) yang
sangat hebat. Tonghong Lok terkejut, ia tak menduga lawannya
mempunyai "bekalan" yang serupa itu.
Tonghong Lok adalah Hutongleng Gielimkun, yaitu
pembantunya Liok Tian Peng yang telah dibinasakan oleh Thio
Hong Hu. Walaupun pangkatnya lebih rendah setingkat, tapi
kepandaiannya kira-kira setanding dengan Lio Tian Peng dan
berada jauh di atas Hoan Eng.
Untuk menyambut serangan Hoan Eng, sebenarnya ia
dapat menggunakan tipu Bengtek hianto (Beng-tek
mempersembahkan golok), yaitu membalik tangannya dan
menyabet lehernya musuh. Akan tetapi, jika ia menggunakan
tipu tersebut, Hoan Eng pasti akan binasa. Ia bengong sejenak
dan lalu berkelit ke samping.
Dengan berlaku begitu, bukan sekali-kali Tonghong Lok
merasa kasihan atau sengaja mengampuni Hoan Eng. Yang
menjadi sebab adalah golok Bianto. Ia mengetahui, bahwa
Bianto adalah miliknya Thio Hong Hu yang tidak nanti
meminjamkan golok mustikanya kepada orang lain.
Kemungkinan satu-satunya ialah Hong Hu sudah binasa dan
golok itu jatuh ke dalam tangannya Hoan Eng. Perginya Liok
Tian Peng guna mencari Hong Hu, tentu saja diketahui oleh
94 Tonghong Lok. Maka itu, demikian ia memikir, jika Hong Hu
sudah binasa, golok itu tentulah jatuh ke dalam tangannya
Liok Tian Peng. Tapi kenapa Bianto sekarang berada
ditangannya si Brewok"
Ia memang sedang bercuriga, kenapa sampai sekarang
Liok Tian Peng belum juga balik ke kota raja. Apa ia celaka"
Dalam kesangsiannya itu,
Tonghong Lok segera mengambil putusan untuk
menangkap Hoan Eng hidup-hidup guna mengorek keterangan
dari mulutnya. Akan tetapi, dengan berkelahi secara nekat, tidaklah
gampang-gampang Hoan Eng dapat ditawan. Sesudah
bertempur kurang lebih dua puluh jurus, Tonghong Lok


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil menggores pundak lawannya dengan goloknya dan
berbareng dengan itu, tendangannya mengenakan jitu lutut
Hoan Eng. Sembari berteriak, Hoan Eng segera
menggulingkan diri.
"Bekuk padanya!" Tonghong Lok memintah kedua Wiesu
tadi. Akan tetapi, sebelum mereka bergerak, satu suara nyaring
yang luar biasa hebat, mendadak terdengar. Suara itu
ternyata disebabkan oleh seorang yang gerakannya cepat
bagaikan kilat. Begitu munculkan diri, dengan beberapa
loncatan saja, ia sudah berada di atas tembok, dan dengan
sekali menghantam dengan toyanya, tihang bendera patah
dua dengan mengeluarkan suara yang sangat nyaring itu.
Tihang bendera itu dibuat dari tembaga murni yang tak
akan dapat diputuskan dengan bacokan kampak atau golok.
Bahwa dengan sekali hantam saja, orang itu dapat
95 merobohkan tihang tersebut, dapatlah dibayangkan berapa
besar tenaga dalamnya!
Dua Wiesu yang hendak membekuk Hoan Eng, telah dibikin
kesima oleh suara itu, dan tanpa sia-siakan kesempatan baik,
dengan gerakan Leehie Tateng (Ikan gabus meletik), Hoan
Eng loncat bangun sembari mengayun golok. Tapi, ia terkejut
bukan main oleh karena pundaknya, yang barusan kena
digores, sakit luar biasa dan lengannya tidak menurut
kemauannya lagi.
Sesaat itu, Wiesu yang bersenjata Kauwliam khio dan
tongkat besi sudah menerjang padanya. Dengan sebelah
lengan yang baru sembuh dari lukanya dan lengan lain tak
dapat digerakkan lagi, Hoan Eng mengawasi menyambarnya
senjata musuh dengan hati mencelos dan menduga, bahwa
sekali itu, ia tak akan lolos pula dari kebinasaan.
Akan tetapi, di luar segala dugaan, pada detik yang sangat
berbahaya, kedua Wiesu itu mendadak mengeluarkan jeritan
dan rubuh di atas genteng. Di lain saat, Hoan Eng dapat
kenyataan, bahwa Tonghong Lok sudah bertempur seru
dengan seorang bertopeng di kaki tihang bendera.
Hoan Eng heran berbareng kagum. "Siapa ia?" ia menanya
dirinya sendiri. "Cara bagaimana, dari situ senjata rahasianya
masih dapat melukakan musuh?"
Harus diketahui, bahwa jarak antara Hoan Eng dan tihang
bendera, paling sedikit ada empat tombak. Ia sungguh tidak
mengerti, dari jarak begitu jauh, cara bagaimana orang itu
masih dapat membinasakan kedua Wiesu dengan senjata
rahasianya! Selain daripada itu, dalam pertempuran antara
jago dan jago, masing-masing pihak tidak dapat memecah
perhatiannya ketempat lain. Maka itu, ia jadi lebih-lebih
merasa kagum, cara bagaimana, sedang dirinya sendiri tengah
96 dikurung oleh sinar golok Tonghong Lok, orang itu masih
dapat melepaskan senjata rahasia yang menyambarnya
begitu jitu! Mendadak saja semangat Hoan Eng terbangun. Ia
memindahkan Bianto dari tangan kanan ke tangan kiri dan
berniat lantas menyerbu ke gelanggang pertempuran.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan Tonghong Lok yang
terbirit-birit loncat ke bawah tembok, akan kemudian
menghilang di tempat gelap.
Orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak. Dengan
tangan kanan menengteng toya dan tangan kiri menyekal
kepala Ie Kokloo, ia mengenjot badannya dan tubuhnya
melayang ke bawah bagaikan seekor burung.
Hoan Eng terkesiap. Didengar dari suara tertawanya dan
dilihat gerak-gerakannya, orang itu adalah si penjahat
bertopeng yang telah merampas tiga puluh laksa tahil perak di
propinsi Shoatang!
Hoan Eng kemudian menunduk dan mengawasi kedua
Wiesu itu yang menggeletak tanpa berkutik lagi. Begitu
melihat, hatinya jadi lebih kaget lagi. Pada jalan darah
Tayyang hiat mereka, terlihat nyata bekas Kimhoa! Bunga
emas, atau Kimhoa, adalah senjata rahasia si pemuda baju
putih. Apakah pemuda baju putih itu adalah si penjahat
bertopeng" Akan tetapi, hal itu tak mungkin, oleh karena
potongan badan si baju putih berbeda dengan badan si
penjahat. Apakah si penjahat juga dapat menggunakan
senjata rahasia Kimhoa" Demikianlah Hoan Eng berdiri
bengong, tanpa dapat memecahkan "cangkeriman" itu.
Tiba-tiba, kesunyian sang malam dipecahkan suara
bentrokan dua kuntum Kimhoa! Dan hampir berbareng
97 dengan itu, dihadapan Hoan Eng berdiri si pemuda baju putih!
Hoan Eng adalah seorang yang berkepandaian cukup tinggi
dan sudah kawakan dalam dunia Kangouw. Akan tetapi, ia
sama sekali tidak mengetahui, dari mana datangnya pemuda
itu. Begitu terdengar suara bentrokan senjata rahasia, begitu
ia muncul dihadapannya! Dapatlah dibayangkan, betapa cepat
gerakan orang itu.
Pemuda itu tertawa nyaring, nyaring bagaikan kelenengan
perak. "Apakah orang bertopeng itu sahabatmu?" ia menanya.
"Bukan!" jawab Hoan Eng.
Paras muka si baju putih berobah dengan mendadak. "Ah!"
katanya sembari memutarkan badan dan menjejek kedua
kakinya. "Hiapkek (pendekar)! Bolehkah kau memberitahukan she
dan namamu yang mulia?" berseru Hoan Eng.
Tapi ia tidak menjawab, badannya sudah melayang turun
ke bawah tembok.
* * * Pada besok paginya, masih remang-remang, dengan seekor
kuda dan sebatang golok, Hoan Eng sudah berangkat.
Sesudah kepala Ie Kokloo dicuri orang, atas nasehat si
pelayan hotel, Hoan Eng meninggalkan Pakkhia secepat
mungkin untuk pergi ke Thayouw guna mencari Thio Tan
Hong. Tunggangannya adalah kuda pilihan yang larinya cepat
sekali dan kira-kira tengah hari, ia sudah melalui seratus lie
98 lebih. Sesudah melewati Lamwan, lalu lintas tidak begitu ramai
lagi dan ia dapat kaburkan tunggangannya tanpa banyak
rintangan. Selagi larikan kudanya, ia mendapat kenyataan, bahwa di
belakangnya mengikuti seorang lain. Dilihat dari dandanannya,
orang itu adalah seorang saudagar. Ia menunggang seekor
kuda belang dan pada pelana tergantung dua tas kulit yang
tidak terlalu besar. Semula Hoan Eng tidak memperhatikannya
dan menduga, bahwa ia itu adalah seorang saudagar biasa.
Di waktu magrib, ia tiba disuatu kota kecil, yaitu kota
Liulieho, yang terpisah dua ratus lima puluh lie lebih dari
Pakkhia. Sesudah Hoan Eng masuk ke dalam kota dan berhenti di
depan sebuah rumah penginapan, secara tidak di sengaja ia
menoleh ke belakang dan melihat saudagar itu sedang
mengikuti dari sebelah kejauhan. Ia terkejut. Cara bagaimana,
tunggangan saudagar itu, yang kelihatan seperti kuda
pasaran, dapat menyusul ia" Ketika masuk ke dalam hotel, ia
sangat berwaspada, tapi segera juga ia tertawa sendiri oleh
karena saudagar itu mengambil penginapan lain.
Hoan Eng adalah seorang yang sudah kawakan dalam
dunia Kangouw. Walaupun saudagar itu tidak terlalu
menyurigakan, akan tetapi, pikirnya lebih berhati-hati ada
lebih baik. Memikir begitu, sesudah mengobati lukanya, yang
untung juga hanya luka di luar, ia bersamedhi untuk
memelihara semangat dan kemudian tidur dengan
menggunakan goloknya sebagai bantal kepala. Besoknya,
sebelum jam lima pagi, ia sudah bangun, bayar uang sewa
kamar dan lalu berangkat.
Pada jaman itu terdapat satu nasehat untuk mereka yang
melakukan perjalanan: "Sebelum malam mengasolah di rumah
99 penginapan, sesudah terang tanah barulah berjalan." Maka
itu, si pelayan merasa agak heran melihat Hoan Eng sudah
berangkat sebelum fajar menyingsing.
Sekeluarnya dari kota kecil itu, Hoan Eng mendongak.
Bulan sabit dan beberapa bintang masih memancarkan
sinarnya yang remang-remang, sedang kawanan burung
masih tidur nyenyak dalam sarangnya. Ia senyum dan lalu
kaburkan tunggangannya.
Kira-kira tengah hari, ia sudah berada di tempat yang
terpisah kurang lebih seratus lima puluh lie dari Liulieho. Ia
menahan kudanya dan menengok ke belakang. Ia kaget oleh
karena saudagar itu ternyata sedang mengikuti dari jauh.
"Apakah ia sengaja menguntit aku?" ia menanya pada diri
sendiri. Muka orang itu agak berminyak, kepalanya memakai
topi kulit, sedang di punggungnya menggemblok sebentuk
tudung. Dilihat dari mukanya dan dipandang dari kudanya, ia
hanyalah seorang saudagar biasa. Hoan Eng sangat bersangsi.
Siapa orang itu dan apa maunya"
Sesudah melirik lagi sekali, ia menyabet kudanya dan
binatang itu lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Si saudagar
tenang-tenang saja, sama sekali tidak mengunjukkan
keinginan untuk sengaja menyusul Hoan Eng. Dalam sekejap,
saudagar itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi
dan Hoan Eng menjadi lega hatinya.
Hoan Eng adalah seorang yang sangat berhati-hati.
Sesudah larikan lagi kudanya beberapa lama, ia mem-biluk ke
suatu jalan kecil dan di waktu magrib, tibalah ia di kota
Pekkouw yang terletak seratus lie lebih di sebelah timur kota
Poteng. Dalam kota itu, yang terlebih kecil daripada Liulieho,
hanya terdapat sebuah rumah penginapan.
100 Sesudah mendapat kamar dan bersantap malam, ia merasa
pasti si saudagar tidak akan mengikutinya ke kota kecil itu.
Tapi, tak dinyana, baru saja ia memikir begitu, di luar sudah
terdengar suara berbengernya kuda dan saudagar itu sudah
berada di depan pintu hotel.
Sekarang benar-benar ia kaget. Sudah tak dapat
disangsikan lagi, orang itu sedang menguntit ia. Sebelum
orang itu masuk, dengan cepat ia masuk ke dalam kamarnya,
di mana ia mendengar saudagar itu memesan makanan dan
minta air cuci muka, tiada beda dengan seorang pelancong
biasa. Sesudah makan, saudagar itu masuk ke kamarnya yang
berhadapan dengan kamar Hoan Eng.
Hoan Eng merasa sangat tidak enak hatinya, ia bersamedhi
sembari menyekal golok. Tapi sesudah menung-kuli setengah
malam, sama sekali tidak terjadi kejadian luar biasa. "Jika
orang itu mempunyai niatan kurang baik, dalam dua hari ia
tentu sudah menyerang," pikirnya. "Jika maksudnya baik,
siang-siang tentu ia sudah menegur aku. Tapi kenapa, tanpa
menyerang atau menegur, ia menguntit terus menerus" Apa
kawan, apa lawan?"
Jam tiga sudah lewat, tapi tetap tak ada pembahan luar
biasa. Mendadak Hoan Eng ingin kencing dan sembari
menengteng golok, ia pergi ke kakus yang terletak di pojok
pekarangan hotel.
Selagi kencing, dari sela-sela pintu kakus, ia melihat satu
bayangan manusia mendekam di atas genteng. Begitu ia
keluar dari kamar kecil, bayangan itu menghilang dengan
gerakan cepat luar biasa.
"Sahabat dari mana di situ?" membentak Hoan Eng dengan
suara perlahan. "Lekas keluar!" Ia menimpuk dengan sebutir
batu kecil, tapi bayangan itu tetap tak muncul lagi.
101 Dengan penuh kecurigaan, cepat-cepat Hoan Eng kembali
ke kamarnya dan membesarkan api lampu. Pembahan besar
tak ada tapi toh ia terkejut bukan main, oleh karena
buntalannya yang tadi berada di tengah-tengah meja
sekarang sudah berkisar ke kiri dan bentuk ikatan buntalan
pun sudah berobah. Sebagai seorang yang biasa berkelana di
kalangan Kangouw, ia selalu berhati-hati dan semua
barangnya ditaroh di tempat tertentu, malah ada juga yang
diberi tanda, sehingga tergeser sedikit saja, ia pasti akan
mengetahuinya. Ia yakin, bahwa dalam tempo yang sangat
pendek, yaitu selagi ia pergi ke kakus, buntalannya sudah
dibuka orang. Buru-buru ia membuka buntalan itu dan
ternyata beberapa stel pakaiannya tidak diganggu.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Hoan Eng
mengambil putusan buat mabur secepat mungkin. Ia
meninggalkan sepotong perak di atas meja sebagai
pembayaran sewa kamar dan kemudian cemplak kudanya
yang lantas saja dikaburkan sekeras-kerasnya. Sesudah
berjalan kurang lebih setengah jam, di sebelah depan
kelihatan hutan yang melintang menutup jalan. Ia loncat turun
dari tunggangannya dan masuk ke dalam hutan dengan
menuntun kudanya.
Belum berapa lama ia berjalan, ketika tiba-tiba di sebelah
belakangnya terdengar suara berbengernya seekor kuda.
Ternyata si saudagar sudah mengubar sampai di situ dan
tanpa menghiraukan larangan Kangouw yang berbunyi:
"Bertemu hutan, janganlah masuk", dikepraknyalah kudanya
yang lantas menerobos masuk ke dalam hutan.
Melihat orang itu tidak berkawan, hati Hoan Eng jadi
mantep. Ia memutarkan badan dan sambil menyekal
goloknya keras-keras, ia menanya: "Kenapa tuan terus
menerus menguntit aku?"
102 Orang itu tertawa dingin. Dengan sekali menggoyangkan
tangan kirinya, ia menyalakan bahan api yang lantas
dilemparkan kerumput kering, sehingga rumput itu lantas jadi
terbakar. Sesudah menyapu dengan matanya ke kiri kanan,
barulah ia berkata: "Kau jalan di jalanmu, akupun jalan di
jalanku sendiri. Kenapa tuan menjadi curiga?"
Hoan Eng mengetahui orang itu membakar rumput lantaran
kuatir adanya musuh yang bersembunyi. Dari sini dapat
diketahui, bahwa orang itu benar-benar sudah kawakan dalam
kalangan Kangouw dan dapat memikir begitu cepat dalam
tempo yang begitu pendek.
Sambil melintangkan goloknya, Hoan Eng lantas saja
tertawa terbahak-bahak.
"Bahwa tuan meneruskan perjalanan di tengah malam


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buta, adalah satu kejadian yang sungguh-sungguh
mengherankan aku!" katanya dengan suara nyaring.
Orang itu turut tertawa berkakakan seraya berkata: "Kalau
begitu, apakah kelakuan tuan yang juga kaburkan kuda di
tengah malam buta, tidak sama mengherankannya?"
"Sekarang lebih baik kita bicara terus terang saja," berkata
Hoan Eng. "Aku adalah seorang pemburon. Dan siapakah
adanya kau?"
"Kau pemburon, aku adalah orang yang menguntit
pemburon!" jawabnya.
"Jika begitu, kau tentunya orang dari istana," kata Hoan
Eng sembari tertawa tawar. "Baiklah! Aku siap sedia untuk
melayani kau!"
103 "Bukan aku, tapi kau yang berkata begitu," kata orang itu.
"Siapa yang mau berkelahi denganmu" Jika kau pemburon,
kenapa tidak cepat-cepat kabur?"
Hoan Eng terkejut. "Siapa sebenarnya kau?" ia membentak.
"Di hadapan ksatria, orang tidak berjusta." kata si
saudagar. "Dan kau, siapa sebenarnya kau?"
"Bukankah aku sudah memberitahukan?" jawab Hoan Eng.
"Lantaran apa kau menjadi pemburon?" menanya pula
orang itu. "Kedosaan apakah yang sudah kau lakukan?"
"Aku menyatroni penjara istana untuk menolong Ie Kiam!"
jawabnya dengan berani.
"Siapa yang curi kepala Ie Kiam?" orang itu menanya lagi.
"Aku sudah bicara terus terang, sekarang adalah giliranmu.
Siapa kau?" tanya Hoan Eng dengan perasaan mendongkol
oleh karena orang itu terus mencecer dengan pertanyaanpertanyaan,
tanpa ia sendiri mau berterus terang.
"Aku adalah seorang yang secara diam-diam sudah
melindungi kau," jawabnya. "Kita semua adalah sahabatsahabat
dari satu jalan. Aku ingin sekali bertemu dengan
Giesu (pendekar) yang sudah mencuri kepala Ie Kiam dan
dengan memandang persahabatan, aku mohon kau suka
mengantarkan aku kepada orang itu."
Biji mata Hoan Eng bergerak beberapa kali, hatinya
sungguh merasa sangsi. "Dilihat dari gerak-geriknya, ia bukan
mau menangkap aku," katanya di dalam hati. "Tapi kenapa ia
begitu ingin menemui si pencuri kepala?"
104 "Apa kau masih merasa sangsi?" tanya orang itu. "Cobalah
pikir. Jika aku orang pemerintah, masakah sesudah menguntit
dua hari dua malam, aku belum juga turun tangan?"
Hoan Eng tak menyahut, tapi lantas mendekati kuda orang
itu, yang sedang makan rumput. Melihat seorang asing datang
padanya, hewan itu mengangkat kepalanya dan berbe-nger
keras. "Macam tunggangan tuan tidak terlalu garang, tapi
sungguh cepat larinya," memuji Hoan Eng sembari
mengangsurkan sebelah tangannya dan membetot les.
"Mau apa kau?" bentak orang itu.
Begitu dibetot, kuda itu berjingkrak dan menendang. Hoan
Eng berjongkok dan menangkap satu kakinya. Sekali melirik
saja, ia sudah melihat, bahwa pada besi kaki kuda tercetak
empat huruf: "Toalwee Giema" (Kuda Istana Kaizar). Hampir
berbareng, ia menggulingkan diri dan molos di antara kaki
kuda itu. "Ha-ha-ha!" Hoan Eng tertawa berkaka-kan. "Sekarang aku
tahu siapa adanya tuan!"
Sebagaimana diketahui, ia adalah seorang yang sangat
berhati-hati. Dengan matanya yang sangat tajam, ia
menduga, bahwa kuda itu sudah mendapat latihan istimewa.
Ia mengetahui, bahwa semua kuda istana diberi tanda pada
besi kakinya. Maka itu, ia segera mengambil putusan untuk
mencoba dan benar saja percobaannya berhasil.
Orang itu adalah pahlawan istana yang dengan menyamar
sudah menguntit Hoan Eng. Ia tidak lantas turun tangan oleh
karena menduga, bahwa si pencuri kepala adalah kawan Hoan
Eng dan dari Hoan Eng, ia mengharap akan mendapatkan
105 keterangan yang diingininya, supaya dengan sekali menyapu,
ia bisa membinasakan kedua-duanya.
Ia bukan Wiesu (pahlawan) biasa dan setelah kedoknya dilocoti,
sebaliknya dari ketakutan, ia tertawa terbahak-bahak.
"Mata tuan sungguh awas sekali!" katanya. "Dari ini saja, tuan
sudah cukup berharga untuk menjadi sahabatku." Ia berhenti
sejenak dan kemudian membentak: "Apakah kau pernah
mendengar nama Yang Cong Hay" Jika kau ingin aku berlaku
murah hati, lekas antarkan aku kepada penjahat yang mencuri
kepala Ie Kiam!"
Hoan Eng terkesiap. Pada jaman itu, kiamkek (ahli pedang)
yang kesohor di wilayah Tiongkok adalah: "Di Selatan Thio
Tan Hong, di Utara Ouw Bong Hu, di Barat Yang Cong Hay,
sedang di Timur adalah Cio Keng Tauw. Thio Tan Hong dan
Ouw Bong Hu sudah lama mengundurkan diri dari pergaulan
umum, Cio Keng Tauw kabur ke seberang laut sebagai
pemburon lantaran merampok pedang mustika dari istana dan
hanya Yang Cong Hay yang masih malang melintang di daerah
Tiongkok Barat daya, di mana ia sudah melakukan banyak
perbuatan terkutuk. Sepanjang warta, ia adalah jago Cengshia
pay (Partai kota hijau), tapi para tetua partai itu ternyata tak
sanggup mengendalikan lagi tingkah lakunya. Dengan
menunggang seekor Toalwee Giema, sudah terang ia
sekarang menjadi kaki tangan kaizar dan "Yang Tayjin" itu
yang disebut-sebut oleh para Wiesu, tentulah ia adanya.
Hoan Eng menyedot napas dalam-dalam untuk
menenteramkan hatinya. "Baiklah!" katanya. "Aku akan
mengantar kau!" Ia maju setindak dan sekali membalik
tangan, golok Bianto sudah menyambar. Bacokan itu yang
dilakukan secara tidak diduga-duga, sudah cepat luar biasa,
tapi Yang Cong Hay tidak kalah cepatnya. Sembari tertawa
dingin, ia mementil dengan kedua jerijinya. Beratnya sabetan
Hoan Eng ada beberapa ratus kati, tapi, begitu terpentil, golok
106 itu mental! Dan pada saat itu, Yang Cong Hay sudah
menghunus pedangnya seraya membentak: "Rasakan
pedangku!"
Hoan Eng yang sudah kenyang menghadapi lawan-lawan
berat, lalu melancarkan serangan berantai, dengan
tendangan, sabetan tangan dan bacokan yang semua
merupakan serangan mati-matian. Yang Cong Hay kembali
tertawa dingin dan berkelit sembari menikam. "Bret", pundak
Hoan Eng tergores pedang! Dengan tikaman itu, Yang Cong
Hay sudah berlaku murah hati lantaran ia ingin sekali dapat
membekuk Hoan Eng hidup-hidup guna mengorek keterangan
dari mulutnya. Jika mau, dengan mudah ia dapat menobloskan
tulang pundak musuh.
Dulu, paman Hoan Eng mempunyai kedudukan setingkat
dengan Thio Hong Hu dan dikenal sebagai salah seorang dari
"Tiga Jago Kota Raja." Dengan mewarisi ilmu silat turunan, ia
mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Begitu pundaknya
tergores, ia meloncat mundur dan selagi Yang Cong Hay mau
menikam pula, tiba-tiba ia membentak keras sambil
membacok dan menendang. Pukulan ini sangat tersohor dan
dinamakan pukulan Houwwiekak Tiongmato (Tendangan
buntut harimau bacokan kuda kabur). Orang yang bisa
mengelit bacokannya, tak nanti mampu mengegosi
tendangannya. Akan tetapi, Yang Cong Hay bukan lawan biasa
dan dengan meloncat mundur, ia dapat menyingkir dari dua
serangan itu. Di lain pihak, sembari membacok dan menendang, Hoan
Eng terus menubruk ke depan dan menerobos keluar dari
kurungan api. Selagi meloncat, ia menyembat dua batang
cabang pohon yang berkobar-kobar untuk menimpuk
musuhnya. Yang Cong Hay me-ngebas dengan tangannya dan
kedua batang itu jatuh di tempat yang terpisah kira-kira tujuh
kaki dari badannya. Akan tetapi, perbuatan Hoan Eng ini ada
107 hasilnya juga, yaitu sudah membikin binal kuda Yang Cong
Hay. Ketika akhirnya hewan itu dapat dibikin jinak,
Hoan Eng sudah lari agak jauh.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, Yang Cong
Hay bernyali besar dan ia lantas saja mengubar.
"Kawan! Hayo membantu!" berseru Hoan Eng.
"Keluar! Aku tak takut!" berteriak Yang Cong Hay dengan
suara mengejek.
Sekonyong-konyong di luar hutan terdengar suara
berbengernya kuda. Yang Cong Hay mengeluarkan suara "hm"
dan menduga, Hoan Eng benar-benar mempunyai kawan. Ia
mengempos semangat dan mengubar seperti kilat cepatnya,
dengan tujuan lebih dulu membinasakan Hoan Eng dan
kemudian baru melayani musuh yang masih berada di luar
hutan. Dengan menggunakan siasat "main petak" dan lari
membiluk-biluk di antara pohon-pohon, Hoan Eng dapat
menyelamatkan diri. Beberapa kali, lantaran terdesak, ia
terpaksa melawan sejurus dua jurus, akan kemudian kabur
lagi. Meskipun ilmu silat Yang Cong Hay jauh lebih tinggi, ia
tak akan dapat merobohkan Hoan Eng dalam hanya dua atau
tiga jurus. Bukan main gusarnya Cong Hay. Dengan mata merah, ia
mengudak terus sembari mengeluarkan seraup Thielian cie
(Biji teratai besi) yang lantas ditimpukkan ke arah dua belas
jalan darah musuh. Dengan lari berbelit-belit, Hoan Eng dapat
menyingkir dari sejumlah senjata rahasia itu. Tiba-tiba, sambil
membentak "kenal", Cong Hay menendang rubuh sebatang
pohon kecil. Begitu pohon itu, yang merupakan tedeng bagi
108 badan Hoan Eng rubuh, ia menimpuk dengan beruntun dan
sebuah Thielian cie tepat mengenakan jalan darah Thianhian
hiat, di punggung Hoan Eng.
Hoan Eng berteriak kesakitan sembari meloncat dan
menyampok beberapa Thielian cie lain dengan goloknya.
Ketika itu, ia sudah sampai di tengah-tengah hutan lebat yang
penuh dengan pohon-pohon berduri. Dengan nekat ia
menerobos terus dan membuka jalan dengan Bianto-nya.
Yang Cong Hay mengejar terus, sering pakaiannya tercangkol
duri. Lantaran pedangnya tidak setajam Bianto, ia harus
menggunakan lebih banyak tempo untuk membabat pohonpohon
duri itu, sehingga semakin lama ia jadi ketinggalan
semakin jauh. Selain itu, sebab gelap gulita ia sekarang tak
dapat melihat lagi di mana adanya Hoan Eng. Dengan gusar ia
menyalakan bahan api yang lantas dilemparkan dan begitu
mengenakan cabang-cabang kering, api lantas berkobarkobar.
Sesudah itu dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan Tengpeng touw-sui (Menginjak rumput
menyeberang sungai), ia mengubar dengan berlari-lari di atas
pohon-pohon berduri, tanpa memperdulikan pakaian dan
kakinya yang tertusuk duri. Saban kali keadaan sudah terlalu
gelap, ia lalu membakar hutan lagi sehingga tidak lama
kemudian, di beberapa belas tempat sudah terbit kebakaran.
Semakin lama, Yang Cong Hay sudah semakin dekat pada
korbannya. Sementara itu, beberapa kali terdengar suara
berbengernya kuda di luar hutan. Secara mati-matian,
akhirnya Hoan Eng dapat juga menerobos ke luar dari hutan
itu yang panjangnya kira-kira tiga lie. Melihat musuhnya sudah
berada di tempat terbuka, Yang Cong Hay tertawa bergelakgelak.
"Sekarang mau lari ke mana kau?" ia berseru sembari
menimpuk dengan tiga butir Thielian cie.
Hoan Eng menyampok jatuh peluru pertama dengan
goloknya dan berkelit dari peluru kedua yang menyambar
109 tenggorokannya, tapi Thielian cie yang ketiga tak dapat
dielakkan lagi dan tepat mengenakan lututnya, sehingga ia
jatuh berlutut seketika itu juga.
Ketika itu, dengan adanya sinar api dan sinar bulan,
keadaan di situ menjadi cukup terang. Yang Cong Hay
bergirang hati dan kembali ia tertawa besar, akan kemudian
menghampiri korbannya untuk ditelikung.
Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara tindakan
kuda yang berlari cepat sekali. Yang Cong Hay terkesiap dan
mengawasi ke jurusan itu. Bagaikan kilat sesosok bayangan
putih melesat mendatangi dan dalam sekejap mata, seekor
kuda berbulu putih sudah berada dihada-pannya dan
penunggangnya, seorang pemuda berbaju putih, segera
meloncat turun. Dilihat dari mukanya yang sangat cakap,
pemuda itu baru berusia kurang lebih tujuh belas tahun,
badannya langsing kecil, sehingga jika dipandang sekelebatan,
seolah-olah ia hanya satu bocah yang baru keluar dari rumah
sekolah. Pemuda itu melirik dan berkata: "Ah! Tak tahunya Yang
Toacongkoan, Yang Tayjin! Untuk apa kau mengubar-ubar
ia?" Yang Cong Hay terkejut sebab sekali membuka mulut, si
bocah sudah melocoti kedoknya.
"Siapa kau?" bentaknya sembari menuding dengan
pedangnya. "Jangan menyampuri urusan orang lain!"
Si pemuda senyum tawar dan menjawab: "Urusan dalam
dunia harus diurus oleh manusia yang hidup dalam dunia.
Siauwya-mu (Siauwya = Tuan kecil) paling senang
menyampuri urusan ganjil!"
110 Yang Cong Hay mendongkol tercampur geli mendengar
kata-kata itu. "Urusan ganjil apa?" ia menanya sembari
tertawa. "Yang besar menindas yang kecil, kau sudah menghinakan
orang!" jawabnya.
Perkataan si bocah yang belum hilang bau pupuknya itu
sudah mengilik-ngilik hati Yang Cong Hay. Ia lantas meladeni
terus dan sama sekali tidak kuatir Hoan Eng, yang sudah kena
Thielian cie akan melarikan diri. "Ah! Perkataanmu tak masuk
diakal," katanya sembari tertawa geli. "Dia sudah cukup besar
dan bukan seperti kau yang masih bau daun deringo. Tak
dapat kau mengetakan: Yang besar menindas yang kecil!"
Si baju putih tertawa tawar.
"Sebagai kiamkek kenamaan dan seorang yang bergelar
Tayjin, kau sudah melukakan seorang piauwkek biasa dengan
senjata rahasia," katanya dengan suara mengejek.
"Apakah ini bukan yang kuat menghina yang lemah, yang


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar menindih yang kecil" Sesudah dilihat olehku, urusan
ganjil ini tak dapat aku tak menyampuri!"
Sembari menggosok-gosok lututnya dan mengempos
semangat untuk membuka jalan darahnya, Hoan Eng
mendapat kenyataan bahwa si baju putih adalah pemuda yang
sudah mempermainkan Thio Houwcu dan yang sudah
melukakan dua Siewie dengan senjata rahasia bunga emas. Ia
jengah bukan main ketika mendengar dirinya dinamakan
sebagai "piauwkek biasa".
Hati Yang Cong Hay jadi seperti semakin dikitik-kitik. "Jika
aku sampai turun tangan terhadapmu, bukankah soal yang
111 besar menindas yang kecil-kecil jadi terulang pula?" katanya
sembari tertawa berkakakan.
"Sebagai kiamkek kenamaan, kau sungguh mengecewakan
aku," kata si baju putih. "Sungguh aku tak nyana, otakmu
kosong melongpong!"
"Apa?" menegasi Yang Cong Hay.
"Apa gunanya mempunyai badan yang seperti kerbau atau
kuda besarnya?" kata pula pemuda itu. "Apakah kuat dan
lemah, besar atau kecil, diukur dengan ukuran usia" Aku
sekarang bicara terus terang kepadamu: Jika kau bukannya
seorang Toacongkoan (Pengurus besar dalam istana kaizar),
masih sungkan aku mengadu tanganku dengan cecongormu!"
Mendengar omongan temberang itu yang menyebut-nyebut
juga soal tingkatan, Yang Cong Hay jadi lebih-lebih sungkan
bertempur dengan si bocah. Harus diketahui, bahwa dalam
Rimba Persilatan, soal tingkatan diperhatikan benar. Jika,
sebagai seorang yang mempunyai tingkatan tinggi, ia sampai
mengukur tenaga dengan satu bocah, semua orang gagah
dalam Rimba Persilatan tentu akan mentertawakan-nya.
"Hayo!" membentak si baju putih sembari menghunus
sebatang pedang pendek. Begitu dihunus, pedang itu
mengeluarkan sinar yang menyilaukan, sehingga Yang Cong
Hay jadi terkesiap. Jika tidak melihat dengan mata sendiri,
sungguh ia tak percaya bahwa bocah yang belum hilang bau
pupuknya itu mempunyai kuda dan pedang mustika.
Tapi biar bagaimanapun juga, ia tentu tak memandang
sebelah mata si bocah itu. "Benar-benar kau mau turut
campur urusan ini?" ia menanya.
112 "Jangan rewel!" si baju putih membentak. "Hayo, seranglah
sesukamu!"
"Bocah!" berkata Yang Cong Hay yang sudah mulai
mendongkol. "Pergilah pulang kepada gurumu dan belajar lagi
beberapa tahun. Seorang yang seperti aku sebenarnya tidak
harus mempunyai pandangan seperti kau bocah cilik."
"Eh! Kau mau menyerang atau tidak?" mendesak si baju
putih. "Kalau kau tetap tidak bergerak, aku tak akan berlaku
sungkan lagi."
"Coba kau bersilat sejurus, aku mau lihat siapa gurumu,"
kata Yang Cong Hay akhirnya.
"Baik. Awas!" berseru pemuda itu, sembari menikam.
Dengan tenang Cong Hay mengangkat dua jerijinya untuk
mementil senjata yang sedang menyambar. Tak dinyana,
tikaman itu yang kelihatan seperti tikaman biasa, aneh sekali
perobahan-nya. Di tengah jalan, pedang itu mendadak
berobah arahnya, dari menikam jadi membabat dan jika kedua
jeriji Yang Cong Hay tidak ditarik kembali, sudah pasti dua-dua
akan terbabat putus.
Tak malu Yang Cong Hay dikenal sebagai kiamkek
kawakan. Pada saat pedang itu hanya tinggal terpisah lima dim dari
jerijinya, ia masih keburu membalik tangannya dan dengan
gerakan Liongheng coanciang (Gerakan naga menembus
tangan), ia coba merampas pedang itu.
Hampir pada detik itu juga, pedang si baju putih lewat di
pinggir kuping Yang Cong Hay, sedang tangan Cong Hay
menyambar lengan si baju putih. Dalam pertempuran antara
jago melawan jago, menang kalah hanya berdasarkan
113 perbedaan bagai rambut sehelai dibelah tujuh. Pada detik itu,
dari berada di bawah angin, Yang Cong Hay berbalik berada di
atas angin, sehingga, dengan sekali menyodok, lengan si baju
putih akan dapat dirusaknya. Hoan Eng terkesiap dan
berteriak: "Celaka!" Tanpa memperdulikan lututnya yang
masih lemas, ia menepuk tanah dengan kedua tangannya dan
badannya lantas melesat ke dalam gelanggang pertempuran.
Tapi, sedang badan Hoan Eng masih berada di tengah
udara, tiba-tiba Yang Cong Hay berteriak: "h!" Ternyata, pada
detik itu, si baju putih sudah menarik pulang tangannya dan
menggunakan gagang pedang untuk menotok lengan
lawannya. Jika Yang Cong Hay tidak menghentikan
pukulannya, lengan kedua belah pihak tentu akan patah
bersama-sama. Cepat bagaikan kilat, Yang Cong Hay loncat
minggir dan kedua lawan itu sama-sama terlolos dari bahaya.
Sesaat itu, Hoan Eng hinggap diatas tanah, dengan napas
lega. Tapi siapa nyana, satu gelombang baru lewat, lain
gelombang sudah menyusul. Menurut kebiasaan, jika dalam
satu pertempuran, dua musuh berpencar, masing-masing
pihak lebih dulu memperbaiki kedudukannya, kemudian baru
maju lagi untuk bertempur pula. Akan tetapi, baik Yang Cong
Hay, maupun si baju putih ketika itu mempunyai pikiran yang
sama, yaitu: Mendahului menyerang sebelum sang lawan
dapat memperbaiki kedudukannya. Dalam hal ini, Cong Hay
yang mempunyai lebih banyak pengalaman, sudah bertindak
lebih cepat dari pada lawannya. Baru saja pedang si baju putih
bergerak, kedua tangan Cong Hay sudah membuat satu
lingkaran dan menerobos masuk ke dalam garis pembelaan si
baju putih, yang kedua tangannya lantas saja "terkunci" dan
tak dapat mengerahkan tenaga lagi.
Yang Cong Hay adalah ahli waris Cengshia pay yang sudah
mendapat segala rahasia ilmu silat partai tersebut. Setiap
114 pukulannya mengandung "kekerasan" dan "kelembekan" serta
dapat berubah-ubah secara di luar dugaan. Walaupun tak
mengenal rahasia ilmu silat Cengshia pay, akan tetapi Hoan
Eng mengetahui, bahwa dengan sekali menggerakkan tangan.
Yang Cong Hay dapat mencelakakan si baju putih. Ia tahu,
biar bagaimanapun juga, ia tak akan dapat memberi
pertolongan dan tanpa merasa, sekali lagi ia berteriak:
"Celaka!"
Dan hampir berbareng dengan teriakan Hoan Eng, Yang
Cong Hay dan si baju putih bersama-sama menjerit. Mata
Hoan Eng kabur, ia tak tahu kedua pihak menggunakan
pukulan apa. Ia hanya melihat lengan baju Cong Hay robek
dan badannya sempoyongan."Sahabat kecil! Bagus! Sungguh
bagus!" Hoan Eng berteriak bagaikan kalap lantaran
kegirangan. Ia tidak mengetahui, bahwa pergelangan tangan
si pemuda juga sudah terpukul dan jika dihitung-hitung,
adalah si baju putih yang menderita kerugian terlebih besar.
Sekarang muka Toacongkoan itu berubah merah padam, ia
merasakan dadanya seperti mau meledak lantaran
gusarnya. Mengimpi pun ia tak pernah, bahwa tangan bajunya
bisa dirobek oleh satu bocah yang belum hilang bau
pupuknya. Selagi lawannya ber-gusar, si baju putih lantas saja
mencecer dengan serangan-serangan hebat. Dalam keadaan
tenang, sebenarnya Cong Hay masih dapat melayani pemuda
itu dengan tangan kosong. Tapi begitu darahnya naik,
semangatnya tak dapat lagi dipusatkan dan dalam sekejap, ia
sudah terdesak, sehingga ia jadi kaget dan bingung. Tanpa
memperdulikan lagi tingkatannya yang tinggi, ia segera
menghunus pedangnya yang menggemblok di punggungnya.
"Nah! Sedari tadi aku sudah perintahkan kau mencabut
senjata," mengejek si baju putih sembari tertawa. "Tapi kau
115 tetap membandel. Sekarang bagaimana?" Sedang mulutnya
berbicara, tangannya bekerja terus dan menikam tenggorokan
Yang Cong Hay bagaikan kilat. Pedang si baju putih cepat, tapi
gerakan Cong Hay lebih cepat lagi. Dengan sekali mengegos,
ia sudah mengelit tikaman itu dan lalu balas menyerang.
Sesudah bergebrak beberapa-apa jurus, dengan gerakan
Souwcin pweekiam (Souwcin menggendong pedang), Cong
Hay menggerakan pedangnya, yang dengan mengeluarkan
suara mengaung, sudah "mengunci" bagian atas, tengah dan
bawah pemuda itu. "Bagus!" berseru si baju putih. Bukannya
berkelit atau mengegos, sebaliknya dengan ilmu Lie Kong
siaciok (Lie Kong memanah batu), ia malah menikam dada
Yang Cong Hay. Gerakan itu sungguh-sungguh di luar dugaan. Menurut ilmu
pedang yang biasa, seorang yang sudah "dikunci" secara
begitu, harus berusaha menolong diri. Tapi dalam keadaan
yang sangat berbahaya itu, si pemuda sudah balas
menyerang. Saat itu, Cong Hay terkesiap, sebab ia mendadak
teringat, bahwa pedang lawannya adalah pedang mustika.
Menurut perhitungan, dalam bentrokan antara kedua pedang
itu, pedang si baju putih mesti jatuh terpental. Tapi pedang
Cong Hay bukan pedang mustika, sehingga, dalam bentrokan
itu, meskipun pedang si baju putih mungkin terpental jatuh,
tapi pedangnya sendiri pasti akan putus menjadi dua. Sebagai
seorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Rimba
Persilatan, ia tentu akan menjadi buah tertawaan umum, jika
pedangnya sampai diputuskan oleh satu bocah.
Biar bagaimanapun juga, bentrokan antara kedua pedang
itu sudah tak dapat dielakkan lagi. Berbareng dengan suara
"trangl", kedua lawan itu segera berpencar. Barusan, begitu
kedua pedang mereka beradu, Cong Hay menarik pulang
tenaga Yangkong (tenaga "keras") dan mengeluarkan tenaga
Imjiu (tenaga "lembek"), sehingga pedangnya hanya
116 menempel pedang lawan dan lalu mental kembali. Akan tetapi,
walaupun begitu, pedang Yang Cong Hay somplak juga
sedikit. Demikianlah, dalam gebrakan itu, si baju putih telah
mendapat kemenangan gemilang.
Tapi sebagai seorang muda, ia tak mengenal batas. Dengan
cepat, ia membacok lagi dan berusaha untuk mengadu pula
pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu berbentrok, tapi...
aneh sungguh, sekali ini bentrokan itu tidak mengeluarkan
suara! Hoan Eng kaget dan heran. Ia membuka kedua matanya
lebar-lebar untuk mencari tahu, apa sebabnya.
Di lain saat, pedang si baju putih seolah-olah sudah kena
"dihisap" oleh pedang Yang Cong Hay. Beberapa kali ia
berkutet, tapi pedang itu tetap tak dapat ditarik pulang.
Ternyata, kali ini Yang Cong Hay sudah mengerahkan
tenaga Imjiu yang sangat tinggi guna "menghisap" pedang
lawannya. Beberapa saat kemudian, keringat sudah mengucur dari
dahi si baju putih.
"Bagaimana?" mengejek Cong Hay.
"Tak apa!" sahut si baju putih sembari senyum tawar. Tak
tahu dengan ilmu apa, tiba-tiba badan si baju putih mencelat
dap pedangnya sudah terlepas dari "katan" musuh. Kejadian
itu adalah karena salah Yang Cong Hay sendiri. Barusan,
sesudah berhasil "menghisap" senjata musuh, dalam sejenak
ia memandang rendah lawannya dan lalu mengejek, dan
selagi bicara, perhatiannya terpecah. Si baju putih, yang liehay
117 luar biasa, sungkan mensia-siakan ketika baik ini dan dengan
sekali membetot, ia melepaskan pedangnya dari "hisapan"
tenaga Imjiu. Berbareng dengan itu ia meloncat ke samping
Cong Hay dan menikam sekali.
Dengan sangat menyesal, Yang Cong Hay berkelit dengan
gerakan Tuipo lianhoan (Mundur berantai) dan kemudian
membabat dengan pedangnya dalam usaha untuk
"menghisap" pula pedang musuh. Tapi kali ini si baju putih tak
dapat dijebak lagi. Dengan gerakannya yang sangat gesit,
bagaikan kupu-kupu yang berterbangan di antara bungabunga,
ia melayani Toacongkoan itu. Yang Cong Hay menjadi
kaget, heran dan kagum dengan berbareng. Beberapa kali,
pedangnya hampir menempel pedang si baju putih, akan
tetapi, pada detik yang terakhir bocah itu selalu dapat
meloloskan senjatanya dari "katan". Mendadak Cong Hay
tergoncang hatinya. Sesudah memperhatikan ilmu pedang si
bocah, mendadak ia ingat akan seorang Tayhiap (pendekar)
yang sekarang sudah mengundurkan diri dari pergaulan
umum. Apakah bocah ini ahli waris dari pendekar tersebut"
Sesudah bertempur lagi beberapa lama, Yang Cong Hay
menjadi sadar dan mendapat jalan untuk menghadapi
musuhnya. Ia segera merobah cara bersi-latnya dan
mengutamakan pembelaan diri. Akan tetapi, dalam pembelaan
diri itu, ia berlaku sangat awas dan segera balas menyerang,
begitu ada kesempatan. Dilayani secara begitu, dengan
perlahan si baju putih menjadi lelah dan napasnya mulai
tersengal-sengal.
Sementara itu, Hoan Eng mengawasi jalannya pertempuran
dengan hati berdebar-debar. Kedua orang itu sedang
bertempur dengan menggunakan ilmu pedang yang paling
tinggi dan sekali salah tangan, jiwa bisa melayang. Walaupun
tidak terlalu paham akan ilmu pedang, ia mengetahui, bahwa
si baju putih berada di bawah angin. Ketika itu, dengan
118 mengatur jalan pernapasannya, Hoan Eng sudah pulihkan
kembali aliran darahnya dan perasaan kesemutan sudah
menjadi hilang. Maka itu, sambil membentak keras, ia
menjumput Bianto-nya dan bergerak untuk menyerbu ke
dalam gelanggang pertempuran.
Sebagai seorang berpengalaman, Yang Cong Hay sangat
awas matanya. Begitu Hoan Eng bergerak, ia pindahkan
pedangnya ke tangan kiri dan merogo sakunya dengan tangan
kanan. Sembari membacok dengan tangan kiri sehingga si
baju putih terpaksa mundur dua tindak, ia mengayun tangan
kanannya dan melepaskan sejumlah Thielian cie ke arah
kedua lawannya. Sekarang Toacongkoan ini sudah tidak
menghiraukan lagi soal tingkatan dan dalam kekuatirannya
akan dikerubuti, ia malah tidak merasa malu untuk
menggunakan juga senjata rahasia. Hoan Eng, yang baru


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka kakinya, tak begitu gesit gerakannya, sehingga dua
butir Thielian cie mampir di lehernya dan ia kembali jatuh
terguling. Begitu rubuh, ia meloncat bangun lagi dengan gerakan
Leehie Tateng (Ikan gabus meletik) dan pada detik itu, ia
mendengar si baju putih berteriak: "Bagus!"
Di lain saat, seperti hujan gerimis, belasan bunga emas
yang berbentuk Bweehoa menyambar ke arah Yang Cong Hay.
"Bagus!" teriak Hoan Eng, kegirangan.
Dengan gerakan Pe-kho ciongthian (Burung Ho putih
menembus awan), Cong Hay meloncat ke atas sambil
mengebas dengan pedangnya. Dengan suara "tring! trang!",
sejumlah bunga emas kena dibikin terpental, tapi dua
antaranya menyambar terus. "Kena kau!" berteriak si baju
putih sambil meloncat menikam.
119 Biar bagaimana liehay pun, Cong Hay tak dapat berkelit lagi
dari dua bunga emas itu yang menyambar kedua pundaknya.
"Bagus!" ia berseru sambil mengerahkan tenaga dalamnya dan
menggoyang pundaknya. Dua bunga emas itu tepat
mengenakan sasarannya, tapi lantas jatuh ke tanah lantaran
kena ditolak tenaga dalam Yang Cong Hay, yang, berbareng
dengan itu sudah mengangkat pedangnya untuk menyambut
serangan si baju putih.
Si pemuda kaget tak kepalang. Bahwa sepuluh antara dua
belas bunga emasnya kena dipukul jatuh, sudah cukup
mengagumkan. Tapi menolak senjata rahasia itu dengan
tenaga dalam, adalah kejadian yang tak pernah didugaduganya.
"Nama besar Yang Cong Hay sungguh bukan nama
kosong," ia memuji dalam hatinya. "Tak heran, dalam dunia
Kangouw ia mempunyai nama yang berendeng dengan nama
guruku." Melihat keadaan yang berbahaya, tanpa memperdulikan
lukanya, Hoan Eng kembali putarkan goloknya dan maju ke
medan pertempuran.
Sekonyong-konyong si baju putih bersiul panjang dan
nyaring. Di lain saat, bagaikan terbang, kuda putih itu sudah
lari ke arah mereka. Sembari menjambret baju Hoan Eng, si
pemuda menjejek kedua kakinya dan badannya melesat ke
atas, akan kemudian hinggap tepat di atas punggung kuda
yang terus kabur bagaikan kilat!
Buru-buru Yang Cong Hay cemplak tunggangannya dan
mengubar. Kuda itu bukan kuda sembara-ngan, akan tetapi,
dibanding dengan kuda putih si pemuda, ia masih kalah terlalu
jauh. Semakin lama jarak antara mereka jadi semakin jauh
dan akhirnya Yang Cong Hay hanya dapat melihat satu titik
putih yang dengan cepat lalu menghilang dari pemandangan.
120 Tentu saja Toacongkoan tidak dapat berbuat lain daripada
menghela napas berulang-ulang dan menahan kudanya.
Tiba-tiba ia merasakan pundaknya sakit. Buru-buru ia turun
dari tunggangannya dan pergi ke sebuah kolam sambil
membuka bajunya. Dengan berkaca di air, ia melihat dua
tapak bunga yang berwarna merah di kedua pundaknya.
Masih untung senjata-senjata itu tidak beracun. Kalau
beracun, kedua lengannya tentu tak akan dapat digunakan
lagi. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan dalam jengkelnya,
ia masih boleh merasa syukur.
* * * Hoan Eng yang menggemblok di punggung kuda,
merasakan seperti juga dibawa terbang di udara. Hatinya
berdebar-debar, ia tak nyana seekor kuda dapat berlari
sedemikian cepat. Selagi ia mau menengok ke belakang untuk
menghaturkan terima kasih kepada penolongnya, kuda itu
melompati suatu solokan dan hampir-hampir ia jatuh
terpelanting. Buru-buru ia menjepit perut kuda terlebih keras
dan tidak berani menengok ke belakang.
"Jangan bicara! Hati-hati!" membentak si baju putih
sembari memecut udara dan kuda itu lantas saja lari terlebih
keras. Tak lama kemudian, fajar sudah menyingsing dan si baju
putih menahan kudanya.
"Sekarang sudah boleh berhenti," katanya sembari
meloncat turun dari kudanya dengan paras muka tidak
berobah dan napasnya juga tidak tersengal-sengal.
121 "Kuda ini benar-benar kuda mustika yang jarang terdapat
dalam dunia," memuji Hoan Eng. "Apa sekarang aku boleh
mengetahui nama tuan yang mulia?"
Ia tak menyahut.
Mendadak tangannya dilonjorkan dan golok Bianto yang
tergantung di pinggangnya Hoan Eng, sudah pindah ke dalam
tangannya. Bagi seorang ahli silat, melindungi senjatanya
adalah satu kebiasaan yang otomatis. Begitu tangan si baju
putih menyambar, tangan Hoan Eng pun bergerak. Tapi ia
kalah cepat dan di lain saat, pemuda itu sudah menyekal
Bianto dan mengawasi senjata itu dengan paras muka
bersangsi. Hoan Eng terkejut.
"Dari mana kau dapat golok mustika ini?" menanya si baju
putih. "Ini adalah golok Thio Hong Hu," jawabnya.
"Kenapa Thio Hong Hu menyerahkan goloknya kepadamu?"
menanya pula pemuda itu.
Secara terus terang Hoan Eng segera menceritakan
kejadian pada malam itu, bagaimana Thio Hong Hu binasa
lantaran kekejaman kaizar. "Hanya menyesal aku Hoan Eng
tak punya guna dan tak dapat menolong Thio Pehpeh," kata ia
sembari menangis.
"Sesudah itu aku pergi ke kota raja dan lagi-lagi gagal
dalam usaha menolong Ie Kokloo yang kepalanya belakangan
kena dicuri orang."
122 Tiba-tiba si baju putih menghunus Bianto yang lalu
disabetkan keudara beberapa kali. Ia mendongak dan tertawa
berkakakan, tertawa yang nadanya menyayatkan hati.
"Bagus!" ia berseru. "Biar bagaimanapun juga, Thio Hong
Hu tidak binasa secara mengecewakan. Ia tidak... ia tidak
mensia-siakan penghargaan Ie Kokloo."
Hoan Eng tergoncang hatinya dan air matanya berhenti
mengucur. Didengar perkataannya, si baju putih agaknya
mempunyai hubungan rapet dengan Ie Kiam dan Thio Hong
Hu. Pemuda itu lalu masukkan Bianto ke dalam sarungnya dan
gantung senjata itu di pinggangnya sendiri.
"Mohon tuan sudi kasi pulang golok itu kepadaku," kata
Hoan Eng. "Kenapa?" ia menanya.
"Aku dapat mengerti jika Injin (tuan penolong) menyukai
golok ini," kata Hoan Eng. "Semenjak dulu orang kata: Golok
mustika harus diserahkan kepada orang gagah, pupur wangi
harus dipersembahkan kepada wanita cantik. Menurut pantas,
memang aku harus mempersembahkan senjata itu kepada
Injin. Hanya sayang, sungguh sayang, waktu mau
menghembuskan napasnya yang penghabisan, Thio Pehpeh
sudah memesan aku, supaya menyerahkan golok itu kepada
orang lain, dan di sebelah itu, di dalamnya tersembunyi satu
urusan besar."
"Urusan apa?" menanya si baju putih dengan suara tawar.
"Golok ini harus kuserahkan kepada Thio Tayhiap, Thio Tan
Hong!" jawabnya.
123 Pada jaman itu, nama Thio Tan Hong sangat kesohor dan
setiap orang yang pandai silat, tentu mengenal namanya. Jika
orang lain yang mendengar perkataan Hoan Eng, sepuluh
sembilan ia akan segera mengembalikan golok itu dengan
segala kehormatan. Akan tetapi, pemuda itu hanya melirik
dan lalu berkata: "Untuk apa diserahkan kepada Thio
Tayhiap?" "Selain golok, masih ada baju yang berlumuran darah,"
jawabnya. "Thio Hong Hu dan Thio Tan Hong adalah sahabat
rapat. Pada waktu mau menutup mata, Thio Pehpeh ingat
sahabatnya itu. Ia memesan aku supaya menyerahkan baju itu
kepada Thio Tan Hong agar, dengan melihat bajunya, Thio
Tayhiap jadi ingat sang sahabat yang sudah meninggal dunia
sebagai korban seorang kaizar kejam. Di samping itu, Thio
Pehpeh juga ingin minta supaya Thio Tayhiap berusaha
mencari pute-ranya dan jika bertemu, supaya Thio Tayhiap
sudi mengambil putera itu sebagai muridnya, dan di belakang
hari, supaya golok mustika itu diserahkan kepada puteranya
itu." "Apakah putera Thio Hong Hu adalah itu anak nakal yang
tempo hari bertemu dengan aku di pinggir kolam?" tanya si
baju putih. "Benar, namanya Thio Houwcu," jawab Hoan Eng.
"Mana itu baju berdarah" pemuda itu menanya pula.
"Ini dia," kata Hoan Eng sembari memperlihatkan baju itu.
Di luar dugaan, si baju putih mendadak menjambret dan
merampas baju itu.
124 "Kau... kau!" berseru Hoan Eng dengan suara kaget. "Apa
maksudmu" Kau adalah penolongku, tapi tak mungkin aku
menyerahkan golok dan baju itu!"
Dengan tenang si pemuda melipat baju itu yang lalu
dimasukkan ke dalam sakunya.
"Thio Tan Hong sungkan bertemu dengan orang luar,"
katanya. "Biarlah aku yang menyerahkan golok dan baju ini
kepadanya."
Hoan Eng jadi bingung dan berkata dengan suara terputusputus:
"Ini... ini..." Ia tak dapat meneruskan perkataannya
oleh karena si baju putih sudah mendorong dengan tangannya
dan menggaet dengan kakinya, sehingga tak ampun lagi ia
jatuh celentang. Pada saat itu, si baju putih loncat maju dan
sebelum badan Hoan Eng mengenakan tanah, ia kembali
mendorong. Begitu didorong, badan Hoan Eng terputar
beberapa kali dan kemudian berdiri tegak di tempat tadi. Dua
gerakan itu luar biasa cepatnya dan Hoan Eng menjadi kaget
berbareng gusar.
"Itulah Hiankie Cianghoat (Ilmu pukulan tangan kosong
dari Hiankie)," kata si baju putih dengan suara tawar.
"Meskipun kau belum pernah menyaksikan, rasanya kau sudah
pernah mendengar."
Hoan Eng terkesiap dan ingat penuturan Thio Hong Hu,
bahwa Thio Tan Hong mempunyai ilmu silat Hiankie Cianghoat
yang sangat dashyat.
"Bolehkah aku menanya, pernah apakah kau dengan Thio
Tayhiap?" menanya Hoan Eng.
Si baju putih tidak menjawab langsung pertanyaan orang,
ia hanya berkata: "Sesudah melihat Hiankie Cianghoat, apakah
125 kau masih menyangsikan aku" Golok dan baju biarlah aku
yang menyampaikan."
"Ini... ini..." kata Hoan Eng, tergugu.
"Ini apa?" membentak pemuda itu.
"Dengan membawa baju dan golok itu sebagai bukti, aku
ingin memohon pertolongan Thio Tayhiap untuk mengambil
pulang uang negara," menerangkan Hoan Eng.
Si pemuda mengerutkan alisnya dan menanya: "Uang
apa?" Dengan menahan sabar Hoan Eng lalu mengisahkan semua
kejadian, cara bagaimana ia sudah terpaksa membantu
melindungi uang itu dan akhirnya cara bagaimana uang
tersebut sudah dirampas oleh seorang perampok bertopeng di
wilayah Shoatang.
"Apa benar di Shoatang ada perampok semacam itu?"
tanya si baju putih.
"Perampok bertopeng itu adalah orang yang sudah mencuri
kepala Ie Tayjin," menerangkan Hoan Eng. "Tak dapat aku
menebak asal-usulnya dan oleh karena itu, mesti juga aku
minta pertolongan Thio Tayhiap."
Sekonyong-konyong paras muka pemuda itu berubah. "Dia
yang mencuri kepala Ie Kokloo?" katanya sembari berjingkrak.
"Baik. Urusan ini pun kau serahkan saja kepadaku. Mari kita
cari padanya. Naik!"
Selagi Hoan Eng bersangsi, badannya sudah diangkat dan
di dudukkan di atas punggung kuda yang lantas saja
dikaburkan. 126 Kira-kira tengah hari, mereka tiba di satu kota kecil.
"Tempat ini sudah termasuk dalam wilayah Shoatang," kata si
baju putih. "Tak usah tiga hari lagi, kita akan tiba di Bongim.
Biar aku membeli seekor kuda untukmu." Sesudah memesan
supaya Hoan Eng menunggu di rumah penginapan, ia lantas
berjalan keluar.
Baru saja Hoan Eng selesai bersantap, si baju putih sudah
kembali dengan tangan menuntun seekor kuda yang cukup
bagus dengan totol-totol putih pada empat kakinya.
Hoan Eng merasa sangat heran, cara bagaimana dalam
tempo begitu cepat, ia sudah dapat membeli seekor kuda
yang baik. "Hoan Toako," kata si baju putih. "Sebenarnya kita dapat
bersama-sama menunggang seekor kuda, akan tetapi, oleh
karena jalan akan menjadi terlebih ramai, aku kuatir orang
akan mentertawai kita."
Bagi Hoan Eng, urusan itu tak menjadi soal dan mendengar
keterangan si pemuda, hatinya merasa geli. Semenjak
bertemu, ia berusaha untuk mencari tahu siapa adanya si baju
putih, tapi sebegitu jauh ia belum berhasil. Sebagai seorang
yang mengenal baik kebiasaan dalam kalangan Kangouw, ia
tidak berani menanya melit-melit.
Pada hari ketiga, tibalah mereka di Bongim, yaitu tempat di
mana uang pemerintah telah dirampas oleh si perampok
bertopeng. Hoan Eng memberi keterangan, bahwa perampok
itu tak mungkin masih berada di Bongim, tapi si baju putih
tetap kukuh dan mau juga menyelidiki di kota itu. Benar saja,
tiga hari mereka membuang tenaga dengan percuma.
127 Pada hari ke empat, si baju putih masih juga mau
menyelidiki di daerah sekitar Bongim. "Tak gunanya kita
berdiam lama-lama di sini," berkata Hoan Eng dengan suara


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesal. Pemuda itu mendelik dan berkata dengan suara tawar:
"Kalau begitu, biarlah kau yang memimpin aku untuk
mencarinya."
"Seorang perampok yang seperti dia, biasanya tak
mempunyai tempat yang tentu," kata Hoan Eng. "Cara
bagaimana aku bisa mengetahui tempat sembunyinya?"
"Kalau begitu, biarlah sekali lagi kita pergi ke tempat
perampokan," kata si baju putih. Hoan Eng merasa tidak enak
untuk membantah terus dan lantas saja mang-gutkan
kepalanya. Tempat terjadinya perampokan itu adalah di pinggir hutan.
Si baju putih mencabut pedangnya yang digunakan untuk
menulis beberapa baris huruf-huruf besar di batang sebuah
pohon besar. Hoan Eng mengawasi tindak-tanduknya dan
lantas saja tertawa besar. Huruf-huruf itu berarti:
"Namanya saja penjahat besar, hatinya kecii seperti tikus.
Sesudah bekerja, tak berani munculkan kepala."
Caranya benar-benar seperti bocah.
Hari itu cape lelah mereka juga terbuang tanpa hasil.
Pada hari ke lima, pemuda itu mendadak berkata: "Tempat
ini adalah sebelah selatan gunung Thaysan. Menurut
pendapatku, sarang perampok bertopeng itu adalah di puncak
gunung ini."
128 "Aku rasa tidak begitu," kata Hoan Eng. "Daerah di sekitar
gunung Thaysan adalah tanah datar. Walaupun tinggi, gunung
itu tidak mempunyai tempat-tempat yang berbahaya,
sehingga semenjak dulu, jarang sekali perampok-perampok
besar bersarang di situ. Jika ingin menyaksikan pemandangan
indah, memang boleh pergi ke Thaysan. Akan tetapi, jika mau
mencari penjahat, aku rasa bukan tempatnya."
Tapi pemuda itu kukuh akan pendapatnya, sehingga
dengan terpaksa, Hoan Eng menuruti juga.
Thaysan adalah salah satu dari Ngogak (Lima gunung suci).
Dibandingkan dengan beberapa gunung besar dalam wilayah
Tiongkok, Thaysan sebenarnya tidak seberapa tinggi. Akan
tetapi, oleh karena terletak dalam propinsi Shoatang yang
tanahnya datar, gunung itu dianggap luar biasa angkernya
dan jumlah kuil yang terdapat di situ adalah lebih banyak
daripada di gunung-gunung lain. Setiap tahun, banyak sekali
pelancong mendaki gunung itu untuk bersembahyang atau
menikmati pemandangan alam yang indah. Di kaki gunung
terdapat banyak sekali rumah penginapan dan restoran untuk
menampung para pelancong itu.
Begitu tiba di kaki gunung, Hoan Eng dan si pemuda segera
memilih sebuah rumah penginapan dan mengambil dua
kamar. Begitu membuka mulut, pemuda itu menanya: "Apa aman
di atas gunung?"
Ditanya begitu, pelayan hotel terkejut dan menjawab:
"Kenapa tidak aman" Jika tak aman, apa kami bisa berusaha
terus di sini" Jika tuan-tuan ingin mendaki gunung untuk
melihat-lihat pemandangan, kami mempunyai penunjuk jalan
yang meminta upah sangat ringan. Dengan lima uang perak
129 saja, tuan-tuan akan diantar ke berbagai tempat yang indah
pemandangannya."
Hoan Eng manggut-manggutkan kepalanya sembari
senyum. Si pemuda pun turut manggutkan kepala seraya
berkata: "Bagus! Bagus!"
Waktu itu adalah permulaan musim semi. Ratusan macam
kembang sedang mekarnya dan ke mana juga orang pergi, ia
akan mengendus bau-bauan yang sangat harum. Sambil
mengikuti si penunjuk jalan, Hoan Eng dan pemuda itu putar
kayun ke tempat-tempat yang bersejarah dan indah
pemandangannya. Mereka menyeberangi Patsian kio
(Jembatan delapan dewa), melihat-lihat Ongbo tie
(Pengempang Ong Bo Nionio), menyaksikan Cuiliam tong
(Guha tirai air), mendaki puncak Goanpo hong dan
sebagainya. Si pemuda yang tidak mempunyai kegembiraan
untuk menikmati semua pemandangan itu, saban-saban
mendesak supaya si penunjuk jalan berjalan terlebih cepat.
Sesudah melewati pintu Tiongthian bun, tibalah mereka di
Ngotay husiong (lima pohon siong yang berpangkat Tayhu).
Sepanjang cerita, pada waktu mendaki Thaysan, kaizar
Cinsiehong pernah berdiri di bawah lima pohon siong itu guna
berlindung dari serangan hujan, sehingga belakangan kaizar
tersebut menganugerahkan pangkat Tayhu kepada lima pohon
tersebut. Lima pohon itu katanya sudah mati lama sekali,
sedang lima pohon yang ditanam belakangan untuk
menggantikannya, juga hanya ketinggalan tiga. Kecuali pohon,
di tempat itu tidak terdapat pemandangan lain yang berharga,
sehingga si pemuda jadi merasa sangat tidak sabar. Selagi ia
mau berjalan pergi, di sebelah belakang mendadak terdengar
suara tertawa dingin.
Hoan Eng menengok. Ia melihat seorang toosu (imam)
sedang mengawani seorang yang kelihatannya seperti
130 saudagar hartawan serta sedang berbicara sembari tunjaktunjuk,
seperti juga ia lagi menceritakan sejarah lima pohon
siong itu. "Ada orang mendaki gunung seperti juga sedang mengubar
maling," kata saudagar itu. "Daripada jalan-jalan secara
begitu, ada lebih baik tidur di rumah. Saudara Goan Jim,
benar tidak perkataanku?" Perkataan yang paling belakang
ditujukan kepada seorang kawannya.
"Benar! Benar!" sahut orang yang dipanggil Goan Jim.
"Sesudah berada di atas gunung, orang harus menikmati alam
permai sepuas hati."
Si pemuda baju putih mendadak mendelik dan berkata:
"Aku pergi sebentar."
"Jangan bikin gara-gara," kata Hoan Eng dengan terkejut.
Si pemuda sudah berlari-lari tanpa tercegah lagi, tapi ia
ternyata bukan mau mencari kerewelan, ia pergi kesuatu
tempat sepih, di belakang batu-batu gunung.
"Guna apa pergi jauh-jauh," gerendeng si penunjuk jalan.
"Mau kencing, boleh kencing saja di sembarang tempat."
Melihat lagak pemuda itu, Hoan Eng jadi merasa geli dalam
hatinya. Begitu kembali, si pemuda menarik Hoan Eng ke tempat
yang agak jauh dan kemudian menanya: "Eh, kau tahu
mereka manusia bagaimana?"
"Dalam matamu, setiap orang adalah kawan si penjahat
bertopeng," sahut Hoan Eng sembari tertawa.
131 Pemuda itu turut tertawa dan bungkam untuk beberapa
saat. "Manusia tak bisa dilihat dari macamnya," akhirnya ia
berkata. "Bukankah Yang Cong Hay pun berdandan seperti
satu saudagar?"
Hoan Eng terkejut. Ia menengok, akan tetapi beberapa
orang itu sudah pergi ke lain tempat.
Sesudah melewati pintu Lamthian bun, mereka mendaki
puncak Thiancu hong, yaitu puncak tertinggi dari gunung
Thaysan, di mana terdapat kuil Giok Hong Koan yang sangat
indah dan biasa digunakan sebagai tempat penginapan para
pelancong. Mereka tiba pada waktu magrib dan lantas saja minta
tempat untuk bermalam di kuil itu. Diam-diam Hoan Eng
berwaspada, akan tetapi orang-orang tadi ternyata tidak
datang di situ.
Pada besok paginya, si pemuda sebenarnya ingin lantas
turun gunung, tapi keinginan itu sudah dicegah si penunjuk
jalan, yang mengatakan, bahwa siapa juga yang sudah tiba di
situ, tak boleh tidak harus menikmati pemandangan matahari
terbit yang luar biasa indahnya. Hoan Eng menunjang usul
penunjuk jalan itu, sehingga, sesudah berpikir sebentar, si
pemuda terpaksa menyetujui juga.
Memandang matahari terbit dari puncak Thaysan,
sesungguhnya cukup berharga. Pada waktu Hoan Eng bertiga
tiba di tempat memandang sang matahari, di sebelah timur
hanya terlihat sinar putih seperti warna perut ikan, sedang di
antara awan terdapat sinar yang berwarna merah dadu. Jauh
di sebelah bawah, mereka melihat gelombang Laut Tong-hay
yang bermain di permukaan air bagaikan ribuan ikat pinggang
sutera berwarna putih.
132 Mendadak, mendadak saja, sang matahari yang bundar dan
berwarna merah seakan-akan meloncat keluar dari dalam laut.
Dalam sekejap, ia memencarkan sinarnya yang gilang
gemilang, sehingga seluruh jagat seperti juga mengenakan
kerodong merah pengantin perempuan.
Hoan Eng sudah kenyang berkelana di kalangan Kangouw,
akan tetapi, ia belum pernah menyaksikan pemandangan yang
begitu luar biasa. Ia melirik kawannya dan segera juga ia
tertawa dalam hatinya. Pemuda baju putih itu ternyata sedang
mengawasi pemandangan yang sangat indah itu tanpa
berkesip, sedang dari ujung kedua matanya mengetel turun
dua butir air mata.
"Ah, bocah ini masih seperti seekor anak burung yang
belum pernah terbang jauh," kata Hoan Eng dalam hatinya.
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa ramai. Hoan
Eng menengok. Mereka itu ternyata adalah rombongan lain
yang juga ingin menyaksikan matahari terbit dan di antara
mereka, terdapat si saudagar kemarin. Hoan Eng agak
terkejut dan meneliti orang-orang itu, tapi ia tidak
mendapatkan apa-apa yang luar biasa dan tidak lama
kemudian, mereka sudah naik ke tempat yang lebih tinggi.
Sesudah makan pagi, Hoan Eng bertiga lantas turun
gunung dan tiba di rumah penginapan kira-kira pada waktu
magrib. "Apa tuan-tuan mendapat banyak kegembiraan?" tanya
pelayan hotel. "Bagaimana dengan penunjuk jalan yang aku
pujikan" Apakah tuan-tuan merasa puas?"
Si pemuda hanya menggerendeng, sedang Hoan Eng
menjawab dengan gembira: "Puas, puas sekali!"
133 Begitu masuk ke kamar, pemuda itu lantas mencaci si
penjahat bertopeng yang dikatakan pengecut dan tidak berani
muncul. Hoan Eng menghampiri dan berkata dengan suara
membujuk: "Saudara, aku tahu kau mempunyai ilmu silat yang
sangat tinggi. Akan tetapi, rupanya kau belum mempunyai
banyak pengalaman di kalangan Kangouw. Orang kata,
tembok mempunyai kuping..."
"Hm!" si pemuda memutuskan perkataannya. "Jika aku
takut aku tentu tidak cari padanya. Aku sungguh ingin bangsa
tikus itu yang dikatakan penjahat besar, mendengar
perkataanku ini." Suaranya semakin lama jadi semakin keras,
sehingga Hoan Eng tidak dapat berbuat lain daripada tertawa
getir. Tiba-tiba di luar kamar terdengar suara ribut.
"Eh, ada apa?" kata Hoan Eng. "Galak benar suara tamu
itu. Mari kita keluar." Ia berkata begitu untuk menhen-tikan
cacian kawannya. Tiga tamu yang baru datang itu adalah
seorang toosu dan dua pengemis. Mereka berteriak-teriak oleh
karena pelayan hotel menolak untuk menerima mereka.
"Eh, kau ini rupanya hanya melihat pakaian, tidak melihat
manusia," kata si toosu dengan suara gusar. "Kenapa kami
tidak boleh menginap di sini?"
"Tooya," kata pelayan hotel. "Jika ingin menginap di sini,
kau boleh minta kamar. Akan tetapi, menurut peraturan hotel
kami, kami tak dapat menerima kedua tuan ini."
"Dusta!" toosu itu membentak. "Dalam dunia di mana ada
begitu?" 134 Kedua pengemis itu tertawa terbahak-bahak. "Tooya," kata
satu di antaranya. "Benar juga orang berkata, mata anjing
hanya dapat memandang rendah kepada orang." Sehabis
berkata begitu, mukanya berobah dan ia membentak: "Tuan
besarmu tidak memakai sutera, ada sangkut paut apakah
dengan kau!"
"Plak!" ia melemparkan sepotong perak ke atas meja.
"Perak pengemis juga sama putihnya seperti perak tuan-tuan
besar," ia membentak. "Buka matamu!"
Meskipua tidak ada peraturannya, akan tetapi dapatlah di
mengerti jika rumah-rumah penginapan sungkan menerima
tamu pengemis. Selain itu, sebegitu jauh belum pernah, atau
sedikitnya jarang sekali, seorang pengemis minta menginap di
dalam hotel. Melihat potongan perak yang beratnya kira-kira sepuluh
tahil, si pelayan jadi terperanjat.
Sesudah memikir beberapa saat, ia lantas saja berkata:
"Jika kedua Toaya (tuan) mau menginap juga di sini, boleh
juga dibikin pengecualian."
"Pengecualian apa?" bentak pengemis itu. "Bilang terus
terang: Mau atau tidak mau kau merawati tuan besarmu?"
"Mau! Mau!" jawabnya dengan cepat.
Tanpa banyak rewel lagi, ia lantas mengantar tiga tamunya
ke kamar kelas satu.
Dengan rasa geli, si pemuda kembali ke kamarnya bersama
Hoan Eng. "Sungguh menarik kedua pengemis itu," katanya.
"Enak benar ia memaki orang."
135 "Kalau bukan pendekar, orang semacam itu tentulah juga
penjahat besar," kata Hoan Eng dengan suara perlahan.
"Lebih baik kita jangan merundingkan mereka."
"Apa?" pemuda baju putih itu menegasi. "Kau menduga,
bahwa mereka kawan si penjahat bertopeng?"
"Mungkin," jawabnya.
"Bagus! Kalau begitu, sekarang juga aku mau mencaci
mereka." kata si pemuda.
"Dalam dunia ini terdapat banyak sekali orang luar biasa,"
kata Hoan Eng dengan cepat. "Belum tentu mereka adalah
konco-konco si penjahat bertopeng."
"Ah! Bagaimana sih!" kata pemuda itu dengan suara
jengkel. "Bicaramu sebentar lain, sebentar lain."
"Dengan sesungguhnya aku tak tahu, apa mereka konco si
penjahat atau bukan," kata Hoan Eng dengan suara sabar.
"Maksudku satu-satunya adalah, supaya kau jangan memaki


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang berdosa."
"Baiklah, aku tak memaki mereka," kata si pemuda sembari
tertawa. "Biar aku memaki saja bangsa cecurut itu yang
menamakan dirinya penjahat besar." Sehabis berkata begitu,
dengan suara keras ia mencaci habis-habisan, sehingga Hoan
Eng tidak dapat berbuat lain daripada tertawa getir.
Pada besok paginya, si pelayan datang dikamar pemuda
baju putih itu untuk minta uang sewa kamar. Saat itu, Hoan
Eng juga datang dengan me-nengteng buntalannya. Tiba-tiba
si pelayan mengangsurkan sebuah Payhap (kotak kayu yang
berisi surat undangan) seraya berkata: "Barusan datang orang
136 yang memberikan Payhap ini untuk diserahkan kepada kedua
Toaya." "Siapa yang kirim?" tanya Hoan Eng.
"Orang dari Bu keekhung," jawabnya.
"Hm," gerendeng Hoan Eng, tapi ia tidak membuka kotak
itu dan lantas membereskan uang sewa kamar.
"Terima kasih, terima kasih," kata si pelayan. "Harap Toaya
berdua selamat dalam perjalanan. Apakah masih ada perintah
untukku?" "Tidak," kata Hoan Eng, tapi pelayan itu belum juga mau
berlalu. "Eh," kata si pemuda. "Apa dua pengemis itu masih berada
di sini?" "Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat," jawabnya, "Ah!
Belum pernah aku bertemu dengan tamu yang begitu loyar.
Sepuluh tahil perak, tak mau mengambil pulangannya, semua
dikasikan kepadaku."
Mendengar begitu, Hoan Eng segera mengeluarkan
sepotong perak dari sakunya seraya berkata: "Nah, ini untuk
kau." Si pelayan menjadi girang sekali dan lantas berlalu sesudah
menghaturkan terima kasih berulang-ulang.
"Hoan Toako," kata si pemuda sembari tertawa. "Kau
rupanya mau adu keloyaran dengan pengemis itu."
137 "Semenjak mencari penjahat bertopeng itu, dalam dua hari
ini kita telah bertemu dengan orang-orang luar biasa dan
kejadian-kejadian luar biasa," kata Hoan Eng sembari
membalik-balik kotak merah.
"Kenapa tidak lantas dibuka?" tanya si pemuda dengan
suara tak mengerti.
Tanpa menyahut, Hoan Eng menutup pintu dan meletakkan
kotak itu di atas meja. Ia menarik pemuda itu ke pojok kamar
dan mengeluarkan sebilah belati.
"Hoan Toako, mau apa kau?" tanya pemuda itu.
Hoan Eng terus bungkam. Ia membuat setengah lingkaran
dan menimpuk dengan belati itu. Dengan satu suara "trak!"
kotak itu terbuka dan tutupnya terlempar jatuh di atas lantai.
Si pemuda merasa sangat tidak mengerti, kenapa
kawannya sudah berlaku begitu rewel untuk membuka kotak
tersebut. Hoan Eng menghampiri meja dan memungut surat
undangan yang terletak di dalam kotak. "Tulen," katanya
sembari tertawa.
"Tulen apa?" tanya si pemuda. "Dari siapa undangan itu?"
"Undangan Siauwkim-liong (si Naga emas kecil) Bu Cin
Tong," jawab Hoan Eng. "Sungguh mengherankan. Dengan
dia, aku hanya mengenal sele-watan, tapi ia sudah
mengundang aku untuk datang di rumahnya dan malahan
mengundang kau juga."
Bu Cin Tong adalah seorang kaya raya di Shoatang selatan.
138 Sepanjang warta, di waktu muda ia adalah perampok
Harpa Iblis Jari Sakti 26 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Jodoh Rajawali 8
^