Pencarian

Pendekar Wanita Penyebar Bunga 6

Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 6


suratnya Tiauw Im Hweeshio.
"Ie Siangkong, kau datang di saat yang tepat!" ia berkata.
Ia memanggil siangkong tuan muda karena Sin Cu tetap
dandan sebagai seorang pemuda. "Sepanjang pesisir Tayciu
baru saja didatangi dua rombongan baru perompak-perompak
bangsa kate (pendek) itu dan keadaannya tentara rakyat
sedang terancam. Benar bala bantuan masih belum sampai
tetapi surat ini, kabar dari Pit Toaliongtauw, pastilah akan
merupakan obat penenang hati mereka. Asal pasukan kita
mendapat semangat maka tak usahlah kita berkuatir lagi!"
Lantas Thio Hek siapkan perahu kecilnya, untuk
mengantarkan pembawa surat ini. Kuda putih ditunda di
rumahnya tukang perahu ini lantaran binatang itu tidak dapat
dinaiki ke dalam perahu yang kecil itu. Pandai Thio Hek
memegang kemudi, kendaraannya itu laju pesat sekali.
Sin Cu berdiri di kepala perahu, matanya memandang ke
depan. Kembali ia merasakan hatinya terbuka. Tapi ia
sekarang mendapat kawan, ia ambil kesempatan akan
berbicara sama Thio Hek mengenai sepak terjang kaum
perompak. "Tukang perahu! Tukang perahu!" demikian panggilan dari
tepian selagi perahu laju.
Itulah seorang mahasiswa muda yang memanggil-manggil,
yang tangannya menggape-gape.
340 Thio Hek tahu tugasnya, ia berpura-pura tidak mendengar,
ia menggayu terus perahunya itu.
Mahasiswa itu berlari-lari, kembali ia memanggil-manggil.
"Tolongilah dia," kata Sin Cu, yang tak sampai hati. "Kami
kaum perjalanan harus menolongi satu sama lain..."
"Tetapi dunia ka-ngouw banyak bahayanya, siangkong,"
Thio Hek bilang. "Tugas kita penting sekali, kalau yang naik
ada satu telur busuk, apakah itu tidak berbahaya dan kita bisa
gagal?" "Segala mahasiswa lemah, apakah yang dibuat takut?" Sin
Cu tertawa. Mendengar begitu, Thio Hek ke pinggirkan perahunya.
Mahasiswa itu lari terus ke pinggiran, ia singsatkan jubahnya
yang panjang, lalu ia pegang ujung penggayu yang Thio Hek
ulur kepadanya, sambil pegangan, ia lompat ke lantai perahu.
Kendaraan air itu bergerak, tubuh si mahasiswa terhuyung,
sebelah kakinya kejeblos, hampir dia kecemplung ke air, tapi
Sin Cu samber tangannya, sengaja dipegang keras, untuk
menguji. Karena tubuhnya terhuyung, hampir mahasiswa itu
nubruk dada si nona dalam penyamaran. Baru setelah itu, dia
dapat berdiri tetap.
"Dia bukan cuma tak mengerti silat, dia pun lemah sekali,"
Sin Cu berpikir. "Thio Hek berkuatir berlebihan..."
Anak muda itu bernapas memburu, mukanya bermandikan
peluh, ia keluarkan sapu tangannya untuk menyeka peluhnya
itu. "Terima kasih!" katanya kemudian.
341 Sin Cu undang orang berduduk, lalu ia memberi hormat
sekalian menanyakan she dan nama orang serta maksudnya
menyeberang. "Siauwtee Tiat Keng Sim," menyahut anak muda itu.
"Ayahku lagi sakit, hendak aku menjenguknya. Kami tinggal di
Tayciu." Sin Cu tertawa di dalam hatinya.
"Mahasiswa ini lemah lembut, ia tak surup dengan shenya,"
pikir ia. Pemuda itu she Tiat yang artinya besi. Ia tidak
bilang suatu apa, ia hanya berkata: "Kebetulan, siauwtee juga
hendak menuju ke Tayciu."
"Kalau begitu kebetulan sekali!" berkata si mahasiswa.
"Dengan begini, setelah mendarat, tujuan kita tetap sama.
Bolehlah aku mengetahui she mulia dan nama besar dari
hengtay?" Ia memanggil hengtay, artinya kakak yang
dihormati. Tanpa kuatirkan apa-apa, Sin Cu perkenalkan diri. Baru
setelah itu, ia seperti ingat suatu apa. Ia lantas saja menanya:
"Katanya perompak lagi mengacau di Tayciu, aku kuatir tidak
aman di jalanan?"
"Memang juga aku telah dengar perompak kate (pendek)
lagi mengganas di pesisir Tayciu," sahut si mahasiswa, "dan
walaupun betul kota Tayciu masih berada di tangan tentara
negeri, bahaya bukannya tidak ada. Ayahku lagi sakit, sebagai
anak, tidak dapat aku tidak menjenguknya..."
Sin Cu terharu, ia jadi ingat ayahnya sendiri. Diam-diam ia
menghela napas.
342 "Kenapa kau menghela napas, hengtay?" si mahasiswa
menanya. "Aku terharu untuk nasibnya penduduk pesisir timur
selatan," menjawab Sin Cu. "Di sana kaum perompak
mengganas, pemerintah tidak dapat menolongi mereka..."
"Kau mulia sekali, hengtay," kata si anak muda, yang
memuji kebaikan hati orang. Ia berkata seraya menoleh ke
lain arah. "Apakah hengtay gemar menikmati pemandangan alam
indah di sini?" kemudian Sin Cu menanya lain hal.
Mahasiswa itu mengusap mukanya dengan tangan bajunya,
ia berpaling kembali.
"Maafkan aku," ia menyahut. "Mataku kurang sehat,
terkena angin sungai, aku telah mengeluarkan air mata."
Sin Cu lihat mata orang merah dan masih ada sisa air
matanya. Ia sebenarnya tidak perhatikan itu, sampai ia dibikin
bercuriga oleh nada orang yang agaknya berbicara seperti
menahan tangisan. Kapan ia mengawasi pula, ia tampak satu
muka yang tampan, kecuali alisnya menunjuki tekukan dari
kedukaan. "Mungkin ia berduka karena ia memikirkan sakitnya
ayahnya," pikir Sin Cu.
Nona Ie ingin menghibur mahasiswa ini ketika ia batal
karena perhatiannya tertarik sebuah perahu, yang mendatangi
dari hulu sungai. Perahu itu besar sekali dan kepalanya
berukiran naga-nagaan. Tubuh perahu juga tinggi, karena
undakannya, yang merupakan lauwteng di atas mana rupanya
ada terdapat banyak penumpangnya. Dari atas itu terdengar
343 suara tetabuan berikut nyanyiannya. Mungkin orang tengah
berpesta. Gurunya Sin Cu terpelajar dalam segala hal, si nona
sedikitnya dapat mewariskan kepandaian guru itu, maka juga
ia bisa mengenali suara tetabuan itu, yang bukannya tetabuan
Tionghoa. Kapan perahu besar itu sudah datang terlebih dekat,
terlihat nyata di atas lauwteng-nya ada banyak orang, yang
semua bertubuh kasar.
"Ini toh orang-orang Nippon?" Sin Cu kata sambil tertawa.
"Dari mana datangnya mereka begini banyak?"
Terdengarlah suara nyanyian, yang kasar tetapi berirama
sedih. Si nona memasang kupingnya, sia-sia saja, ia tidak
mengarti, samar-samar ia mendengarnya.
Tiba-tiba saja si mahasiswa nyanyi seorang diri:
"Bunga itu walaupun harum tetapi ia terbang terbawa angin
tanpa perlindungan... Inilah nyanyian Nippon bunga sakura..."
Thio Hek sudah lantas berhenti menggayu.
"Tidak salah, inilah perahu upeti bangsa kate (pendek)!"
katanya. Sin Cu terperanjat saking heran.
"Kenapa perahu mereka dapat berlayar dengan merdeka di
sungai Tiangkang?" katanya.
"Siangkong tidak tahu," sahut Thio Hek. "Bangsa kate
(pendek) itu sangat licin, di satu pihak mereka membajak, di
344 lain pihak dengan berpura-pura mengantar upeti mereka
berusaha dengan menyelundup."
"Begitu?"
Si tukang perahu menghela napas.
"Malah pembesar pabean kita telah memperlakukan mereka
sebagai tetamu yang dihormati!"
Di jaman kerajaan Beng itu, sewaktu tahun Cengtong atau
Kaisar Eng Cong, untuk Nippon adalah "jaman perang
saudara" dan di pelbagai tempat di mana ada raja muda yang
berkuasa dengan angkatan perangnya, raja-raja muda itu
berebut mengirim upeti ke Tionggoan, dengan
mengangkutnya dengan perahu-perahu besarnya itu. Menurut
aturan kerajaan Beng di masa itu, kalau utusan asing datang
mengantar upeti, barang-barang pribadinya bebas dari cukai.
Ketika ini dipakai pelbagai raja muda itu untuk
menyelundupi barang-barangnya. Kalau pemerintah Beng
menegur pemerintah Nippon tentang kawanan perompaknya,
dijawabnya mereka itu ada golongan bangsa 11 ronin" yang
pemerintah Nippon tidak berdaya untuk mengurusnya. Sedang
sebenarnya, rombongan ronin itu dapat tunjangan pelbagai
raja muda itu atau yang langsung ditugaskan membajak.
"Mereka itu merampok, membakar dan membunuh, kenapa
pembesar negeri setempat membiarkan saja?" tanya pula Sin
Cu. "Bukankah itu disebabkan hasil keuntungan besar?" Thio
Hek balik bertanya. "Mereka itu menggunai kedudukannya
sebagai utusan pengantar upeti. Telah ditetapkan pemerintah,
waktu mengantar upeti adalah tiga tahun sekali dan jumlah
rombongan utusan pun dibataskan, tetapi pelbagai raja muda
itu berebut mengantar upeti dan semua rombongan itu
345 menyogok pembesar maka mereka dapat datang dan pergi
dengan merdeka."
Si nona menggeleng-geleng kepala, ia menjadi sangat
masgul. "Mari kita menyingkir," kata Thio Hek selagi perahu di
depan datang semakin dekat.
Darahnya si nona menjadi naik.
"Kenapa kita mesti menyingkir?" katanya sengit. "Kita
justeru papaki dia!"
Thio Hek mengedipi mata.
"Siangkong," ia memberi ingat, "bukankah kau hendak
menyebrang untuk satu urusan" Perahu upeti itu biasanya
galak dan jahat, satu kali kita papaki dia, onar bakal terbit dan
itulah bukannya permainan."
Nona Ie murka tapi nasihat Thio Hek membuatnya ia diam.
Thio Hek lantas mengubah tujuannya, tetapi di lain pihak
belasan tombak dari perahu upeti itu, ada sebuah perahu
nelayan yang muatannya adalah seorang nelayan tua serta
seorang anaknya perempuan, perahu nelayan itu dapat dilihat
orang-orang dari perahu besar, lantas mereka berkaok-kaok
menggunai penggayu, untuk mengejar.
"Celaka!" seru si mahasiswa, kaget. "Mereka hendak
tangkap itu nona nelayan!"
Kembali naik darahnya Sin Cu.
346 "Thio Hek, biar bagaimana juga, mari kita hampirkan
mereka!" dia berteriak. "Lekas kau menggayu balik!"
Di pihak sana, perahu besar sudah mendekati perahu
nelayan, ada dilemparkan dua rantai gaetan, untuk membangkol
perahu nelayan itu. Justeru itu, perahunya Thio Hek
dapat menyandak, dan Sin Cu, dengan pedangnya, lantas
membabat kutung rantainya gaetan seperti jangkar itu.
Di atas perahu besar, orang kaget dan gusar, lalu terdengar
teriakan mereka "Bagero" berulang-ulang. Bahkan dua orang,
yang membekal golok, sudah lantas lompat turun ke
perahunya Thio Hek.
Ie Sin Cu memang sudah bersiap sedia, ia menyambut
mereka dengan ayunan tangan, yang membuatnya dua
bunga emasnya terbang menyamber. Satu ronin kena dihajar,
dia roboh ke dalam air, kawannya dapat menaruh kaki di
perahu tapi dia ini segera dibabat dengan pedang. Dia gunai
goloknya, untuk menangkis. Untuk kagetnya, goloknya
terpapas kutung, sedang tadinya dia tertawa lebar.
Ronin itu ada dan ke empat, ia percaya goloknya yang
tajam, ia tidak pandang mata kepada nona ini, yang
macamnya sebagai seorang pemuda lemah, baru ia kaget
sesudah goloknya itu terkutung.
Selagi orang tercengang, sambil membentak, Sin Cu kirim
tikaman mautnya seraya kakinya membarengi menendang,
maka selain dada orang itu ditembuskan pedang hingga di
punggungnya, dia pun roboh ke dalam air, tubuhnya dibawa
hanyut air yang menjadi merah karena darahnya.
Dari atas perahu besar segera terdengar pula riuh teriakan
bagero tapi sekarang dibarengi pujian, pujian untuk caranya
347 Sin Cu merobohkan kedua lawannya, tidak perduli lawan itu
ada kawan atau bangsanya sendiri.
Thio Hek memutar pula kepala perahunya, untuk mencoba
menyingkir, atau lagi dua musuh lompat ke atas perahunya
itu, mereka ini sangat lincah, dan ketika mereka telah
menaruh kaki di lantai perahu, perahu lantas saja kelam
sedikit. Hatinya Sin Cu menjadi besar menyaksikan bagaimana
dengan gampang sekali ia berhasil menyingkirkan dua lawan
yang pertama itu, ia terus menyambut lawan yang baru ini.
Dengan gerakan pedangnya "Secara mendusta membagi
emas," ia menikam mereka saling susul, berganti dari yang
satu kepada yang lain.
Kedua lawan itu berseru, mereka membabat dengan
pedang mereka yang panjang. Dengan terpaksa, Sin Cu
menarik pulang pedangnya seraya mundur. Hampir berbareng
dengan itu, ia dengar jeritan, terus ia tampak tubuh Thio Hek
terlempar ke air.
Tukang perahu itu hendak membantui si nona, selagi kedua
musuh menyerang, ia membokong satu musuh dengan
penggayunya. Musuh itu kebetulan ada jago dan ke enam, dia
lihat serangan, dia berkelit, justeru tubuh Thio Hek terjerunuk
ke arahnya, dengan menggunai satu jurus yudo, dia tangkap
tangannya Thio Hek untuk diteruskan dilemparkan. Saking
kaget, Thio Hek menjerit.
Sin Cu lantas menyerang pula, tempo ia diserang kembali,
ia punahkan serangan mereka itu. Kedua musuh ini, yang ada


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ke enam dan ke lima, menjadi kagum mengetahui si nona
liehay, karenanya, mereka berkelahi dengan ati-ati. Nona Ie
didesak, ia tidak mau mundur, sebaliknya, ia membalas
merangsak. Ia berhasil membuatnya orang mundur ke kepala
348 perahu tetapi ia tidak dapat lantas merobohkan mereka itu.
Mereka itu cerdik, tahu si nona memegang pedang mustika,
mereka selalu menghindarkan bentrokan senjata.
Selagi begitu, perahu besar mulai mendekati perahu Thio
Hek. Dari atas perahu besar itu segera dilonjorkan belasan
batang gaetan. Asal saja kedua perahu telah datang dekat
sekali, pasti gaetan akan bekerja dan perahunya si nona bakal
kena tergaet. Inilah berbahaya. Perahu kecil itu tanpa tukang
kemudinya. Si nona sendiri tidak pandai berenang.
Tanpa kemudi, perahu kecil itu terumbang-ambing, dan
dengan di atasnya ada tiga orang lagi bertarung, terumbang
ambingnya menjadi terlebih keras. Gubuk perahu juga telah
terbabat golok -goloknya musuh.
Lantas juga Sin Cu menjadi berkuatir. Goncangan keras dari
perahu membuatnya repot, kesatu untuk melayani musuh,
kedua guna memperteguh kuda-kudanya. Celakanya,
kepalanya terasa pusing, hingga matanya pun bagaikan kabur.
Ia terganggu apa yang dinamakan "mabuk laut."
Di perahu besar, rombongan ronin berteriak-teriak, belasan
gaetan mereka digerak-geraki. Melihat gaetan itu, Sin Cu
menjadi bingung. Justeru itu, sambil berseru, dua lawannya
menyerang dengan berbareng. Bahkan musuh yang di kiri.
habis menggertak, hendak menyergap, guna menangkap
tangan si nona, guna dilemparkan ke sungai.
Dalam saat yang berbahaya itu, Sin Cu masih dapat melihat
tegas. Ia lantas mem-bulang-balingkan pedangnya, guna
menangkis. Ia geraki jurusnya "Kuda sungai menggendol
gambar." Tiba-tiba musuh yang di kanan menjerit keras, sebelah
tangannya lantas dikasi turun. Ketika baik ini digunai Sin Cu
349 untuk berkelit dari musuh yang di kiri, yang hendak mencekuk
padanya. Setelah berkelit, ia menikam ke bawah. Musuh itu
lantas menjerit, karena perutnya menjadi sasaran pedang.
Syukur untuknya, dia tidak terluka parah, maka bisa dia terjun
ke air untuk menolong dirinya. Dia lantas ditelad kawannya,
yang tangannya terus dibabat pula si nona hingga kutung.
Untuk sejenak, hatinya Sin Cu lega, tetapi segera ia
diancam belasan gaetan, yang bisa-bisa menyamber tubuhnya
atau perahunya. Sekonyong-konyong saja perahu kecil itu
memutar tujuan, lalu melesat menjauhkan diri beberapa
tombak, hingga ancaman itu buyar!
Dengan cepat Sin Cu berpaling ke belakang, hingga ia bisa
tampak wajahnya si mahasiswa, yang bagaikan bersenyum,
hanya begitu lekas sinar mata mereka bentrok, pemuda itu
lantas tunduk, tinggal kedua tangannya saja yang memegang
kemudi, mengendalikan perahu mereka.
"Terima kasih!" berkata Sin Cu, hatinya ingat sesuatu.
"Terima kasih apa," sahut si mahasiswa, tenang. "Lekas
masuk ke dalam gubuk!"
Kata-kata ini disusuli damparannya gelombang, hingga
perahu menjadi miring.
Dengan sekonyong-konyong dari dalam gelombang terlihat
satu orang lompat mencelat, di mulutnya tergigit sebatang
golok Nippon, kedua tangannya menengteng masing-masing
sebuah kepala orang. Dia lompat naik ke perahu kecil karena
dialah Thio Hek si tukang perahu.
Sebelum membilang apa-apa kepada si nona atau si
pemuda, Thio Hek melemparkan kedua kepala manusia itu ke
perahu besar, lalu setelah ambil golok dari mulutnya, ia
350 berseru: "Siapa berani menyusul kami, inilah contohnya!"
Kemudian baru ia menoleh, sembari tertawa ia kata: "Ini dia
yang dibilang, orang tulen tidak mengentarakan diri, yang
mengentarakan diri bukanlah orang tulen! Tiat Siangkong,
kaulah si orang gagah yang menyimpan kepandaian liehay!"
Thio Hek adalah tukang perahu, sebagai tukang perahu
pastilah ia pandai berenang, maka itu tempo ia dilemparkan
ke sungai, ia tidak mendapat bahaya apa-apa. Ia hanya tidak
segera muncul pula di permukaan air, hanya dari dalam air, ia
ikuti perahunya, sampai ia dapatkan dua musuh nyebur ke
sungai. Ia lantas serang mereka itu, yang sudah terluka,
dengan gampang ia bisa bunuh mereka, yang kepalanya ia
kutungi. Selama di dalam air, ia dapatkan dua batang pisau
belati nancap di dada kedua musuh itu, karena ia tahu, Sin Cu
menggunai bunga emas, ia lantas menduga si mahasiswa.
Thio Hek terus ambil penggayunya, untuk membantui si
mahasiswa, dengan begitu, perahu kecil itu lantas laju pesat.
Baru saja Sin Cu merasa lega betul-betul, atau ia telah
menjadi kaget pula.
"Celaka!" tiba-tiba Thio Hek berseru, matanya mendelong
ke dasar perahu.
Si nona mengikuti tujuan mata orang, maka itu ia
mendapat lihat papan perahu pecah di dua tempat dan air
merubul masuk. Thio Hek lepaskan penggayunya, ia menimbakan air. Di lain
pihak, perahu besar, yang memasang layar, datang menyusul.
Di kepala perahu, seorang yang tubuhnya besar perdengarkan
suaranya yang nyaring dan bengis. Orang tidak mengarti apa
yang dia bilang, sedang sebenarnya dia mencaci: "Telur busuk
yang besar!"
351 Menyusul itu, dengan menghitung "It ni san," dia
menimpuk dengan sebuah jangkar besar ke arah perahu kecil.
Berat jangkar mungkin dua tiga ratus kati, tidak dapat Sin Cu
tanggapi itu atau menangkisnya. Tapi jangkar sudah melayang
datang, dengan terpaksa si nona berlompat, untuk pergi ke
kepala perahu, guna paksa menyanggapi juga. Justeru itu, ia
merasakan ada orang tarik ia dari belakang, lalu seorang
melesat mendahulukan dia, tepat itu waktu, jangkar pun
tibalah! Dalam ancaman bahaya itu, orang yang mendahulukan Sin
Cu, ialah si mahasiswa, sudah lantas mengulur kedua
tangannya, dengan tenang ia menyanggapi jangkar, lantas ia
berseru: "Kehormatan tidak dibalas itulah bukan kehormatan!"
Menyusuli itu, ia ayun kedua tangannya, maka sekejab saja,
jangkar telah terlempar balik ke arah perahu besar!
Orang-orang di perahu besar, yang pada berdiri di tepian,
menjadi kaget, serentak mereka lari mundur karena ancaman
jangkar mereka itu. Tapi seorang, yang ternyata ada dari dan
ke tujuh, majukan diri untuk pasang kuda-kuda, guna
mengulur kedua tangannya, guna menyanggapi jangkar.
Tanpa dia berbuat demikian, jangkar itu dapat merusak lantai
perahu mereka. Dia berhasil menyanggapi, dia terus letaki
jangkar itu, hanya, berbareng dengan terlepasnya jangkar dari
tangannya, ia muntahkan darah hidup dari dalam mulutnya!
Itulah karena lemparan yang disebabkan tenaga besar luar
biasa dari si pemuda. Semua orang di dalam perahu besar itu
menjadi kaget sekali. Di dalam perahu itu ada sama sekali
dua jago dan ke tujuh, dua dari dan ke enam, dan enam atau
tujuh lainnya dari dan ke empat dan dan ke lima, dengan
dari dan ke enam telah terbinasa satu orang, dari dan ke
lima satu orang, dan dari dan ketiga atau ke empat dua
orang, sekarang dari dan ke tujuh luka parah satu orang,
352 semua penghuni perahu besar itu menjadi bingung. Lantas
banyak suara mengusulkan untuk berhenti mengejar.
"Jangan!" berteriak jago dari dan ke tujuh yang tinggal
satu-satunya. Dia bermata awas dan dia dapat melihat
perahunya Thio Hek kemasukan air. "Apakah pahlawanpahlawannya
Tenno mesti kehilangan keangkarannya" Kejar
mereka, lepaskan panah!"
Sin Cu tidak mengarti apa yang orang ucapkan itu, tidak
demikian dengan Thio Hek dan si mahasiswa, yang hidup di
sepanjang pesisir. Mereka ini menjadi kaget. Perahu mereka
bocor dan menjadi semakin besar, kalau mereka dihujani anak
panah, mana mereka dapat membela diri" Sedikitnya perahu
kecil itu bakal karam!
Thio Hek mengertak gigi.
"Mari kita adu jiwa!" katanya kemudian, sengit. "Sayang
kabaran kita tidak dapat sampai di kuping Yap Toako...."
"Yap Toako yang mana?" bertanya si mahasiswa.
"Toako Yap Cong Liu pemimpin dari tentara suka rela di
Tayciu," sahut si tukang perahu. "Kita hendak menyampaikan
kabar kepadanya."
Thio Hek omong secara terbuka. Ia percaya si mahasiswa
adalah orang kaum sendiri. Mahasiswa itu mengasi dengar
suara tertahan, lalu ia mengibas tangannya.
"Lekas menggayu dan menyingkir!" ia berkata. "Pergi kamu
mengambil jalan kecil untuk tiba di Tayciu!"
Ia lantas menepuk kepada pinggangnya, dari mana ia
loloskan sebatang joangin kiam atau pedang lemas, setelah itu
353 ia mencelat hingga tubuhnya terlihat berkelebat seperti
terbangnya seekor burung ho.
Sementara itu riuh suara teriakan di perahu besar, panah
mereka lantas ditarik dan dilepaskan ke arah perahu kecil itu,
tetapi si mahasiswa putar pula gegamannya itu yang istimewa,
ia membuatnya setiap batang anak panah mental balik dan
jatuh ke air. Perahu besar pun telah datang dekat, maka
tubuh si anak muda sudah mencelat naik ke atasnya, di
tingkat yang kedua.
Penumpang-penumpang perahu besar itu menjadi heran
menyaksikan kepandaian orang hingga mereka jadi berdiri
tercengang, kecuali dua jago dari dan ke empat, mereka maju
untuk memapaki lawan, yang mereka terus serang.
Si mahasiswa berlaku awas dan sebat sekali. Ia sebenarnya
seperti dibokong, karena orang tidak hendak berikan ia ketika
untuk menaruh kaki. Syukur saking gesitnya, kakinya itu telah
mendahului tiba, maka ia bisa lantas menangkis serangan itu.
Ia tidak melainkan menangkis, dengan kecepatan yang luar
biasa, ia membalas menyerang.
Kedua musuh itu tidak menyangka, mereka kaget, tetapi
justeru mereka tergugu, mereka lantas menjadi kurbannya
pedang perak yang lemas dari lawannya ini. Mereka roboh
dengan lukanya masing-masing.
Jago dan ke tujuh menjadi gusar sekali. Ia justeru ada
murid terpandai dari Egukhi Fujiki, dan ke sembilan dan jago
kendo kenamaan dari Nippon. Ia lantas menghunus
pedangnya, sambil memasang kuda-kuda, ia menantang.
Melihat sikapnya jago ini, yang lain-lain, dengan senjata
mereka terhunus juga, lantas mengambil sikap mengurung,
siap sedia untuk mengeroyok bila saatnya telah tiba.
354 Si mahasiswa tidak menjadi jeri walaupun ia sudah
terkurung, dengan matanya yang bersinar tajam dan bengis,
ia menyapu semua lawan itu. Sikapnya ini membuat musuhmusuh
gentar hati. Bukankah tadi mereka telah menyaksikan
sendiri orang telah menyambuti jangkar dan melemparnya
balik serta barusan saja dia telah menghalau hujan anak
panah" *** "Panggillah juru bahasa kamu!" membentak si mahasiswa.
Ia mengarti bahasa Nippon akan tetapi dihadapan bangsa itu
ia tidak suka menggunai bahasa orang itu. Di antara
rombongan ronin itu ada sejumlah yang mengarti bahasa
Tionghoa, salah satu di antaranya lantas menyahuti.
"Aku lihat kau ada satu orang kosen," katanya, "maka kalau
kau ada pesan apa-apa, sampaikanlah itu kepada kami! Perlu
apa mesti pakai juru bahasa lagi?"
Si mahasiswa pentang lebar kedua matanya, ia tertawa
bergelak. "Aku telah naik ke atas perahu kamu ini, itu artinya aku
sudah mengambil ketetapan untuk pulang tanpa nyawa!" ia
menyahuti. "Hanya untuk berpulang itu, mesti aku
mengundang dan mengajak kamu pergi bersama ke noraka!"
Kata-kata ini ditutup dengan berkelebatnya pedangnya
dengan tiba-tiba, maka itu dua jago dan ke empat, yang
pedangnya diajukan ke depan, kena terbabat kutung, hingga
mereka itu menjadi kaget. Jago dan ke tujuh itu menjadi
murka sekali, sambil berseru, ia menikam.
355 Si anak muda menangkis, hingga senjata mereka bentrok
hingga memuntahkan lelatu api. Anak muda ini tidak cuma
menangkis, ia pun mesti berlompat, karena hampir berbareng
beberapa pedang lain membabat kakinya!
Jago dan ke tujuh itu tidak hendak mensia-siakan ketikanya,
selagi orang belum menaruh kaki, ia menyerang. Si
mahasiswa dapat melihat orang menyerang, sembari turun ia
menangkis, lalu dengan sebat ia membalas menyerang. Maka
itu ia lantas jadi bertempur sama penyerangnya itu.
Banyak musuh menjadi kagum terhadap si mahasiswa,
bukannya berkelahi, mereka justeru menonton. Adalah
kemudian, beberapa di antaranya maju pula. Dengan
sekonyong-konyong, si mahasiswa berseru keras. Ia bertubuh
kecil dan kurus, romannya juga lemah, akan tetapi sekali ia
berseru, ia perdengarkan suara mengguntur, sampai orang
kaget, tak terkecuali si jago dan ke tujuh. Semua orang
merasakan telinga mereka seperti berbunyi mengaung...
Mahasiswa itu pandai menggunai ketikanya. Tempo ia
didesak rapat oleh dua musuh dan ketiga, ia sampok senjata
mereka, ia mendesak, lalu tangan kirinya menyamber seraya
terus dilemparkan. Dua kali ia bergerak secara demikian, dua
musuh kena ditangkap dan dilempar, celaka untuk mereka ini,
mereka dilemparkan ke arah jago dan ke tujuh, justeru selagi
dia ini menerjang. Sia-sia saja dia mencoba mengelakkan
pedangnya, dua kawannya itu kena tertikam urat kakinya
hingga urat-urat itu putus.
Walaupun ia telah berhasil, si mahasiswa tidak berhenti
sampai di situ. Bukankah ia berada di dalam perahu musuh
dan musuh itu berjumlah besar" Maka ia mesti bekerja terus.
Begitulah selagi merangsak, ia dapat menendang dua musuh
hingga mereka itu terjungkal ke luar perahu, tercebur ke
dalam sungai. 356

Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jago dan ke tujuh itu pun maju terus, tapi sekarang ia
tampak musuh tengah menyender di loneng besi, tangannya
dibulang-balingkan tak hentinya, hingga pedangnya itu
mengasi dengar suara angin santer, mengaung tak hentinya.
"Baiklah, siapa akan temani aku pergi ke noraka!" teriak
pemuda itu, sikapnya menantang. Ia jadi semakin berani
karena di belakangnya ada hanya sungai Tiangkang, tak usah
kuatir ia nanti ada yang bokong.
Pihak penyerang itu beragu-ragu. Mereka kuatir, umpama
kata musuh dapat disingkirkan, mungkin di pihak mereka
sendiri bakal jatuh terlalu banyak kurban. Ini pun menjadi
pikirannya utusan yang mengantar upeti. Selagi keadaan
mandek itu, dari dalam perahu terlihat munculnya satu orang
dengan seragamnya sebagai pembesar kerajaan Beng. Ia
memang ada utusannya tiehu atau wedana dari Tayciu untuk
menyambut dan mengawani si utusan, yang akan menuju ke
kota raja. Kapan pembesar ini telah melihat nyata si
mahasiswa, mukanya lantas saja berubah menjadi pucat.
"Tiat Kongcu..." katanya pelahan.
"Siapa kau?" membentak si mahasiswa yang dipanggil Tiat
Kongcu itu seraya dia menuding dengan pedangnya.
Pembesar itu memberi hormat.
"Aku adalah Siupie Uy Tay Keng dari Tayciu," ia menyahut,
memperkenalkan diri sebagai siupie atau kapten. "Aku kenal
ayahmu untuk banyak tahun..."
"Itulah terlebih baik lagi!" berkata si anak muda. "Kabarnya
kamu tengah mencari aku?"
357 "Aku tidak berani," menyahut siupie itu seraya menjura.
"Kenapa kau tidak berani" Sekarang ini aku justeru hendak
menyerahkan diri! Kau beritahu kepada budak-budak kate
(pendek) ini, karena aku hendak menyerahkan diri ke Tayciu,
suruh mereka sediakan aku sebuah perahu kecil, untuk
mengantarkan aku. Umpama kau tidak bertentaram hati, kau
boleh utus beberapa pahlawan untuk mereka menemani aku!
Sebaliknya, jikalau mereka hendak menangkap dan
membunuh aku di sini, boleh saja, aku bersedia untuk
melayani mereka! Asal kau maklum bahwa pedang tidak ada
matanya dan tidak mengenal kasihan, seandainya aku mesti
membuang jiwa di sungai Tiangkang ini, utusan ini juga
jangan harap dia dapat tertanggung keselamatannya hingga di
Pakkhia untuk mempersembahkan upetinya!"
Kembali si mahasiswa kebaskan pedangnya, yang lalu
berbunyi pula. Utusan pembawa upeti itu mengarti sedikit bahasa
Tionghoa, ia kaget berbareng girang. Ia tarik si kapten ke
samping, lalu ia kata dengan pelahan sekali: "Kiranya dia ini si
pembunuh dan perampas, yang nyalinya besar berani
merobek bendera matahari kami" Dia ini Tiat Keng Sim?"
"Dia bilang..." berkata si siupie.
"Aku tahu apa yang dia bilang!" si utusan memotong. "Aku
hendak tanya kau, apakah benar-benar dia hendak
menyerahkan diri?"
"Sasterawan Tionghoa paling menjunjung rajanya dan
berbakti kepada orang tuanya, aku lihat dia rupanya
bersungguh-sungguh hati," menyahut si supie.
Utusan itu mengangguk.
358 "Baik," .bilangnya. "Aku pun menghargai dia sebagai
seorang kosen. Sekarang kita atur begini saja. Sebentar aku
sediakan sebuah perahu kulit, Otonu dan kau boleh bawa
padanya. Sekarang undang dulu dia bersantap."
Otonu adalah si jago dan ke tujuh. Uy Siupie sampaikan
perkataannya si utusan kepada si mahasiswa, dia ini lantas
tertawa lebar. "Mati pun aku tidak takut, kenapa aku mesti jeri untuk arak
kamu?" katanya. "Nah, suruhlah dia keluarkan barang
makanannya dan dia boleh temani aku minum!"
Nyaring tertawanya pemuda ini hingga itu terdengar jauh,
sampai juga di telinganya Ie Sin Cu.
Sebenarnya perahu kecil si nona, yang digayu Thio Hek,
sudah terpisah jauh dari perahu besar, akan tetapi mendengar
suara tertawa itu, nona ini berdiri di kepala perahu, ia
memandang ke arah perahu besar itu. Ia heran waktu ia dapat
lihat samar-samar si anak muda, yang dikurung perompak,
tengah menenggak poci arak.
"Kenapa barusan dia berkelahi mati-matian dan sekarang
dia minum arak bersama musuh?" ia tanya dirinya sendiri
saking heran. Ia jadi berkuatir yang si pemuda telah kena
diakali musuh. "Mari kita kembali!" ia mengajak si tukang
perahu. "Kita ada punya urusan penting, mana dapat kita kembali?"
jawab Thio Hek sambil tertawa. "Laginya perahu kita bocor,
untuk menyingkir jauh saja masih belum tentu kita keburu,
apapula untuk balik kembali..."
359 Dengan sebenarnya, air sungai nerobos semakin besar.
Thio Hek tidak tahu bocor itu disebabkan tadi dua musuh
memakai sepatu yang ada pakunya dan di waktu menaruh
kaki, mereka itu sengaja menginjak dengan keras. Di tengah
sungai itu tidak ada jalan untuk menutup liang itu.
Sin Cu tidak bisa berenang sekarang pun sepatunya telah
basah kerendam air, hatinya gentar juga. Karena ini, ia tidak
berani memaksa. Tentu saja ia menjadi merasa tak enak
bukan main mengingat si mahasiswa berada di tangan
musuh... Belum lagi perahu ini laju jauh, tiba-tiba terlihat sebuah
perahu kecil lagi mendatangi dengan pesat, malah segera
ternyata, itulah perahunya si nelayan tua. Begitu perahu itu
sudah datang dekat, si nelayan menjura kepada Sin Cu.
"Siangkong, terima kasih banyak-banyak untuk budimu
sudah menolongi kami," ia berkata, "Silahkan siangkong
pindah ke perahu kami untuk kami ayah dan anak
menghunjuk hormat padamu."
Di waktu begitu, Sin Cu tidak dapat menampik pertolongan.
Thio Hek pun segera mengajak ia pindah. Tak lama dari
kepindahan mereka, perahu mereka lantas karam.
Perahu nelayan itu lantas digayu oleh Thio Hek dibantu si
nona nelayan, Sin Cu sendiri duduk di dalam gubuk ditemani si
nelayan tua. Nelayan itu ada penduduk asli dari Tayciu, tempo
Sin Cu omong perihal perompak asing, ia menghela napas. Ia
kata: "Kota Tayciu sekarang ini, walaupun di sini ada tiehu
yang menjadi wakil pemerintah, sebenarnya si perompak kate
(pendek) yang menjadi rajanya! Jangan kata rakyat jelata,
sekalipun pembesar negeri jeri terhadap mereka itu..."
"Sampai begitu ganasnya perompak itu?" Sin Cu tanya.
360 "Memang! Baru bulan yang sudah terjadi satu peristiwa.
Sebuah perahu penyelundup kate (pendek) berlayar ke
Hayleng. Di Hayleng itu ada seorang saudagar yang kemaruk,
dia berhubungan sama pihak penyelundup itu, lantas dia kena
makan pancing. Selama pembicaraan di pelabuan sudah
dijelaskan, mereka kedua pihak akan saling tukar barang,
tetapi kenyataannya, pihak sana main gila. Caranya ialah,
barang mereka dipasang harganya tinggi sekali, barang si
saudagar sebaliknya ditaksir rendah.
Saudagar itu tidak mau mengarti. Berani sekali pihak
penyelundup itu. Mereka menuduh si saudagar melanggar
janji, lantas mereka menganiaya hingga saudagar itu setengah
mati, barangnya dirampas, perahunya ditenggelamkan! Tapi
itu belum semua. Di dalam perahu ada isteri dan gadisnya si
saudagar, nyonya dan nona itu diambil mereka, katanya
sebagai barang pengganti kerugian. Saudagar itu tidak
berdaya, saking putus asa, dia terjun ke sungai dan binasa
karenanya. Kejadian itu membangkitkan amarah umum,
banyak orang berseru-seru untuk menyerbu. Berbareng
dengan itu, pihak penyelundup pun berselisih sama belasan
kuli Tionghoa, yang upahnya tak hendak diperhitungkan,
hingga kesudahannya kuli-kuli itu bersatu sama orang banyak.
Ada ronin di dalam perahu penyelundup itu, mereka akhirnya
menghunus golok, sembari menunjuk benderanya, yang
dipancar di kepala perahu, mereka buka mulut besar, sambil
tertawa mereka kata: "Dengan ada bendera ini, kami dapat
malang melintang di pelbagai tempat dari Tiongkok!
Pembesar-besar kamu, kapan mereka lihat bendera kami ini,
mereka lantas menyambut kami dengan segala kehormatan!
Beranikah kamu membikin ribut di depan bendera ini?"
Kawanan kuli itu dan orang banyak tidak mau mengarti,
mereka tetap berkeras. Ronin itu benar ganas, mereka lantas
turun tangan, mereka menyerang kalang kabutan. Pihak kuli
tidak bersenjata, mereka terpukul mundur, belasan yang
361 terluka. Pihak ronin masih hendak mengejar, sampai di antara
orang ramai ada satu pemuda yang muncul seraya
membentak: "Apakah benar dengan adanya bendera kamu ini
boleh kamu malang melintang?" Dia lantas lompat maju, dia
lompat naik ke perahu penyelundup, bagaikan kera, dia panjat
tihang bendera, untuk mengasi turun benderanya, yang terus
dirobek empat! Seorang ronin membacok, goloknya ditangkis
hingga kutung menjadi dua potong. Setelah itu si pemuda
menghajar roboh belasan ronin, golok mereka dibabat kutung,
kutungnya dibuang ke sungai! Setelah itu, isteri dan gadisnya
si saudagar ditolongi. Di akhirnya, sembari tertawa, dia angkat
kaki." Sin Cu gembira mendengar penuturan itu, meskipun
mulanya ia mendongkol.
"Bagus, bagus!" serunya. "Siapakah pemuda gagah itu?"
"Sebenarnya kita semua tidak tahu siapa pemuda itu,
sampai belakangan, setahu dengan jalan bagaimana, satu
pengkhianat telah dapat mengusutnya," sahut si nelayan tua.
"Dia adalah puteranya satu bekas giesu yang telah pulang
berpensiun di Tayciu. Giesu itu she Tiat, namanya Hong.
Untuk kota Tayciu ialah penduduk kenamaan, memang telah
turun temurun ia memangku pangkat. Giesu itu katanya ada
dari tingkat kedua. Ia baru saja tahun yang selam meletaki
jabatannya dan pulang ke kampung halamannya. Pengkhianat
itu lantas memberi kisikan kepada wakil bangsa kate
(pendek) di Tayciu itu, yang biasa mengurus soal-soal
perdagangan bangsanya. Wakil perdagangan itu lantas
mendesak kepada tiehu dari Tayciu, meminta anak muda itu.
Ketika itu, si anak muda telah lenyap tak keruan paran. Tapi
tiehu tidak kurang akal, dia tangkap giesu tua itu, yang terus
dia tahan secara halus, untuk memaksa si giesu menyerahkan
puteranya. Perkara itu menggemparkan kota Tayciu, sampai
sekarang masih belum beres. Lihat, bukankah perompak kate
362 (pendek) itu menjadi raja di sini, sampai tiehu pun jeri
terhadapnya?"
Habis menutur, nelayan itu menghela napas pula.
Sin Cu lantas ingat si mahasiswa, ia terkejut.
"Bukankah dia putera giesu itu?" serunya seorang diri.
"Kau bicara dari dia siapa, siangkong?" tanya si nelayan,
heran. "Dialah si pemuda yang tadi menempur bangsa kate
(pendek)," jawab Sin Cu.
"Kalau begitu, dia benar-benar gagah!" berkata si nelayan.
"Di bawah desakan bangsa kate (pendek), tiehu memang
berniat menawan dia, sekarang dia pulang dan sendirian saja
dia menaiki perahu musuh, apa itu bukan berarti dia antari diri
ke dalam perangkap?"
Sin Cu berdiam. Entah kenapa, ia menjadi pepat hatinya.
Setibanya di seberang, Sin Cu berpisah dari si nelayan dan
gadisnya, bersama Thio Hek, ia lantas mendarat, untuk
melakukan perjalanannya. Selang beberapa hari, tibalah ia di
kota Tayciu, yang letaknya di pesisir propinsi Ciatkang, dan di
desa-desa sekitarnya justeru lagi dikacau perompak,
penduduk terbenam dalam ketakutan, pasar menjadi sepi,
walaupun di siang hari, dari sepuluh toko atau warung, enam
atau tujuh yang menutup pintunya.
Thio Hek bawa Sin Cu langsung ke rumah kawannya,
bersiap untuk berangkat nanti setelah ada perhubungan sama
pihak tentara rakyat.
363 Baru saja lewat dua hari, kota Tayciu gempar dengan warta
bahwa Tiat Kongcu, yaitu puteranya Tiat Hong si bekas giesu
atau censor raja, telah datang menyerahkan diri di
kewedanaan, tetapi ada juga yang bilang dia dibawa datang
oleh bangsa Nippon.
"Coba tolong mencari keterangan," Sin Cu minta kepada
Thio Hek. Tukang perahu itu pergi dengan cepat. Ia ada punya
banyak kenalan sekalipun di kantor negeri. Sesudah sore
barulah ia pulang, dengan kabar yang memastikan, ia pun
dapat keterangan, sekarang ini kongcu itu ditahan di dalam
kantor, sebab ada kemungkinan, lagi tiga hari dia bakal
diserahkan pada pihak Nippon. Katanya, sebab kongcu itu ada
puteranya Tiat Hong, dia tidak ditahan di penjara hanya di
sebuah ingin aku ketahui, penahanan itu dilakukan atas
undang-undang fatsal ke berapa?"
Kembali mukanya si wedana menjadi merah. Ia rangkapi
kedua tangannya, untuk menjura.
"Harap kau tidak gusar, kongcu," ia bilang. "Apa yang aku
lakukan ini sebenar-benarnya saking terpaksa. Kongcu,
haraplah kau, kau maafkan kesulitanku..."
"Sebenarnya kau pembesarnya pemerintah atau hambanya
si perompak kate (pendek)?" Tiat Keng Sim menanya pula.
"Terang aku ada pembesarnya pemerintah," sahut si tiehu
cepat. "Tetapi, kongcu, kau sendiri bukannya tak ketahui,
bahagian luar dari kota Tayciu sekarang ini adalah dunianya
perompak kate (pendek) itu sedang di bahagian dalamnya,
perwakilan Nippon telah sangat mendesak padaku. Pemerintah
kita sama sekali tidak mengirim pasukan perang untuk
menindas kaum perompak itu. Di samping itu, pembesar
364 pabean telah menyambut hormat sekali kepada utusan
perupetian Nippon itu. Maka, kongcu, kau, kau hendak suruh
aku berbuat bagaimana" Ah, siapakah yang dapat mengarti
kesulitanku ini?"
Menampak wajahnya tiehu, biar bagaimana, Sin Cu
berkasihan juga kepada pembesar lemah ini yang tidak


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdaya, kalau tadinya ia ingin memenggal batang leher
orang, sekarang kemarahannya, kebenciannya, tumplak
semua kepada perompak kate (pendek).
"Ya, aku mengarti!" berkata Keng Sim, tapi hatinya panas.
"Sekarang kau hendak berbuat apa terhadapku?"
Tiehu mengurut-urut kumisnya yang sudah ubanan.
"Perwakilan Nippon di kota ini pasti sekali ingin
mendapatkan kau, kongcu," ia menyahut, pelahan, "maka itu
dengan memandang kepada keselamatannya penduduk
Tayciu, aku minta sukalah kongcu sedikit merendahkan diri
untuk besok pindah tempat..."
Keng Sim tertawa dingin ketika ia bilang: "Aku ada
rakyatnya kerajaan Beng, jikalau aku bersalah, seharusnya
kaulah yang memeriksa! Kau menyebut-nyebut undangundang
negara, sekarang aku tanya padamu, mana undangundangmu
itu" Apakah menurut undang-undang itu boleh
bangsa asing yang memeriksa rakyat negara kita?"
Dengan tergesa-gesa tiehu itu menjura.
"Kongcu, meskipun benar katamu itu, aku minta kau
sukalah ingat kesulitanku," ia berkata. "Jikalau aku tidak
iringkan kehendak mereka itu, pihak perwakilan Nippon itu
bisa memerintahkan kawanan perompak kate (pendek) di luar
kota datang menerjang kota kita ini. Kalau itu terjadi, tidakkah
365 penduduk kota menjadi bercelaka" Kongcu, kau ada seorang
yang sadar dan mengarti segala apa, aku minta sukalah kau,
kau, memaafkan kesukaranku ini..."
Keng Sim mendongkol bukan main.
"Kenapa aku tidak mengarti?" katanya dalam hatinya.
"Inilah semua sebab kau hendak lindungi kopia kebesaranmu,
karena kau bernyali kecil, kau kasi dirimu didesak-desak!"
Melihat roman orang, pemuda ini toh tidak tega untuk
menegur lebih jauh. Ia dapatkan tiehu itu, dengan sorot mata
minta dikasihani, terus mengawasi padanya. Akhirnya ia
angkat kepalanya.
"Baiklah kau ketahui, aku tidak menyayangi jiwaku, tetapi
dengan kau serahkan aku kepada si budak kate (pendek), ke
mana kau hendak letaki kehormatannya pemerintah kita?" ia
berkata. "Tapi kau berada dalam kesulitan. Baik begini saja:
Maukah kau aku carikan jalan yang ada dua kebaikannya
untukmu?" "Suka aku mendengarnya, kongcu," menyahut tiehu cepat.
"Dayaku itu begini," berkata pula Keng Sim, menjelaskan.
"Perkaraku ini kau sendiri yang periksa, kau ijinkan perwakilan
Nippon itu turut hadir untuk menyaksikan. Mereka itu mencari
aku, biarlah dia memanggil datang saksi-saksinya untuk
menuduh dan mendakwa aku. Di waktu dilakukan
peperiksaan, rakyat jelata penduduk Tayciu mesti diijinkan
turut menyaksikan juga."
"Ini... ini..."
"Ini, ini apa?" memotong si anak muda. "Inilah cara untuk
melindungi undang-undang pemerintah sekalian untuk
366 memberi muka kepada perwakilan Nippon itu! Dengan begini
kau dapat membersihkan dirimu dari tanggung jawab
terhadap pihak asing itu. Tidakkah ini bagus" Jikalau kau tidak
setuju, sudah, hendak aku mengangkat kaki dari sini! Apakah
kau kira ratusan atau ribuan perompak kate (pendek) itu
dapat mencegah aku" Apakah kau juga dapat
menghalanginya?"
Sengit ini anak muda hingga ia hajar ujung meja teh
dengan tangannya. Tiehu menjadi ketakutan. Ia memang tahu
anak muda ini liehay dan telah dengar bagaimana orang telah
tempur musuh. Dengan cepat ia menjura.
"Baiklah kalau kongcu memikir demikian," katanya,
terpaksa. "Besok akan aku bicarakan urusan ini dengan pihak sana.
Aku hanya harap sukalah kongcu ingat keselamatannya
penduduk kota kita."
Wajahnya tiehu ini menjadi sangat kucel, dengan lesu ia
mengundurkan diri.
Seberlalunya pembesar itu, Sin Cu lompat turun dari payon,
tanpa bersangsi pula, ia lompat menembrak jendela untuk
masuk ke dalam kamar.
Keng Sim tidak jadi kaget, bahkan ia menyambut sambil
tertawa. Katanya: "Bukankah telah lama kau datang ke mari
dan telah mendengar pembicaraan barusan?"
Sin Cu merasa heran dan kagum.
"Aku anggap aku datang di luar tahu siapa juga, tidak
dinyana dia telah mengetahuinya..." pikirnya. Belum lagi ia
367 menyahuti, anak muda itu sudah menambahkan: "Kau telah
dengar segala apa, untuk apa kau datang juga padaku?"
"Aku hendak menjenguk kau!" sahut si nona, agaknya ia
kurang puas. Keng Sim bersenyum.
"Itu hari di sungai Tiangkang kau telah sudi mengajak aku
menumpang perahumu," ia berkata, "sekarang selagi aku
dalam tahanan, kau pun menjenguk aku, saudara Ie, kau
sangat baik, aku berterima kasih padamu."
Habis berkata, dia menjura. Sin Cu mendongkol, tetapi
mendengar perkataan orang dan melihat tingkahnya itu, ia
tertawa. "Kau bilang tidak perlu aku datang ke mari, tetapi aku
anggap tidak perlu kau berdiam di sini!" ia kata.
"Eh, kenapa?" tanya pemuda itu.
"Ayahmu sudah dimerdekakan, kenapa kau kesudian
berdiam di sini untuk menjadi mendelu saja?" berkata si nona.
"Apakah benar-benar kau sudi menerima hinaan dengan
membiarkan si budak kate (pendek) bercokol di atas
menyaksikan kau diperiksa?"
Mendengar itu, Keng Sim membalas: "Apakah kurang jelas
bagimu maksudnya si tiehu?"
"Dia ketakutan sangat terhadap perompak kate (pendek),
dia sampai hilang semangatnya! Apakah kita, kau dan aku, jeri
juga" Bukankah sejak dahulu ada dibilang, Tentara datang,
panglima menangkisnya Air melanda, kita pakai tanah
membendungnya" Jikalau benar-benar perompak kate
368 (pendek) berani datang menyerang, apakah kita tak dapat
berdaya untuk memukul mundur pada mereka?"
Keng Sim tertawa. Ia mengawasi.
"Kita berdua memang tidak takuti perompak kate (pendek)
itu!" ia menyahut. "Tetapi kita berdua saja, dapatkah kita
memukul mundur pada mereka" Aku mohon tanya, umpama
kata kawanan perompak itu menerjang kota secara besarbesaran,
saudaraku ada punya daya apa untuk
menghancurkan mereka?"
Ie Sin Cu bicara dengan menuruti suara hatinya, hati yang
muda, ia tidak pernah memikir sampai begitu jauh. Tapi ia
tidak mau menyerah kalah mentah-mentah.
"Apakah kau benar rela diperiksa mereka?" ia tanya.
"Apakah kau telah punyakan daya untuk menghajar kawanan
perompak itu?"
Tiat Keng Sim tertawa.
"Menarik melengkung busur untuk memanah harimau dari
gunung Lam San, menggosok pedang guna menyingkirkan
ular naga dari laut Pak Hay," ia berkata. "Untuk memanah
harimau dan menyingkirkan ular naga kita perlu lebih dulu
menarik busur dan menggosok pedang, dari itu apa pula
untuk mengusir perompak yang terlebih garang daripada
harimau dan ular naga itu?"
Sin Cu menjadi berpikir mendengar jawab orang, yang
seperti telah mempunyakan daya upaya. Ia kata di dalam
hatinya: "Mungkinkah kerelaannya diperiksa ini disebabkan dia
seperti hendak menarik busur dan menggosok pedang, yaitu
dia telah menyiapkan sesuatu" Sungguh dia tak dapat diterka
hatinya..."
369 Ia awasi pemuda itu, ia dapatkan sinar mata yang tenang.
"Terima kasih yang kau telah datang menjenguk aku,"
berkata pula si anak muda sambil bersenyum. "Sekarang
sudah waktunya untuk kau kembali pulang! Nanti saja di hari
peperiksaan, kau datang pula melihat aku!"
Sin Cu masih merasa berat.
"Saudara Tiat, kau ada pesan apa lagi?" ia tanya. "Aku suka
berikan tenagaku yang lemah..."
Heran juga Keng Sim menyaksikan kelakuan orang itu.
"Baik sekali ini anak muda," ia berpikir. "Kita baru saja
bertemu, dia sudah lantas memandang aku sebagai sahabat
kekal." Ia menatap, hingga sinar mata mereka bentrok, hanya
sejenak saja, Sin Cu lantas melengos, wajahnya menjadi
merah sendirinya.
"Dasar bocah cilik!" kata Keng Sim di dalam hatinya. Ia
merasa lucu. "Barusan dia omong tampan, seperti orang
dewasa, sekarang dia malu sendirinya..."
Pemuda ini masih belum menduga bahwa orang ada satu
pemudi. "Terima kasih, saudaraku," katanya pula kemudian, sembari
tertawa. "Kalau begitu baiklah saudaraku tolong bawa saja
pesanku." "Untuk siapakah itu?" Sin Cu tanya.
370 "Terpisah tujuh atau delapan lie di timur kota ini ada
sebuah desa kecil yang dipanggil Peksee cun," menjawab
Keng Sim. "Di sebelah barat desa itu, seperti menyender pada
bukit, ada sebuah rumah. Di depan rumah itu ada tiga pohon
pekyang dan di depan pintunya ada sepasang singa batu. Ada
sangat gampang untuk mengenali rumah itu. Kalau nanti
saudaraku telah bertemu sama tuan rumah, tolong kau
tuturkan kepada dia semua apa yang kau dengar dan lihat
malam ini."
"Siapakah tuan rumah itu?" Sin Cu tanya. "Orang apakah
dia?" "Asal saudaraku bertemu dengannya, saudaraku bakal
ketahui sendiri," sahut Keng Sim. Dia bersenyum, agaknya dia
aneh. Sin Cu terima pesan itu, ia lantas berlalu. Sampai di
pondoknya, ia masih tidak dapat menerka artinya senyuman
pemuda itu. Besoknya, Sin Cu masih belum menerima balasan
kabar dari orang yang diutus Thio Hek untuk menghubungi
pihak tentara rakyat. Ia tidak menanti lebih lama, seorang diri
ia menuju ke Peksee cun, desa Pasir Putih.
Ketika itu ada di permulaan musim rontok, sawah-sawah di
luar kota memperlihatkan wajah kuning emas, tandanya
tanaman telah masak. Pemandangan alam itu ada menarik
hati, maka Sin Cu merasa puas. Hanya ketika itu, di situ
terdapat jarang sekali orang yang berlalu lintas. Ia menghela
napas, di dalam hatinya ia kata: "Coba tidak ada gangguan
perompak kate (pendek), tempat ini mirip dengan dunia punya
Taman Bungah Toh..."
Peksee cun terpisah dari kota tak ada sepuluh lie, maka itu
dengan tanya-tanya orang, Sin Cu lekas tiba di desa itu. Itulah
sebuah kampung kecil, yang penduduknya terdiri dari belasan
371 rumah, yang mencar satu dari lain. Ia jalan terus di jalan
pegunungan yang berliku-liku, sampai di selat di mana ia
dapatkan sebuah rumah yang berdiri di lamping bukit. Rumah
itu tidak punya tetangga. Di tanjakan terlihat tanaman
bunga kuihoa, yang harumnya terbawa siuran angin gunung.
Lega akan mendapatkan bau harum itu. Maka Sin Cu duga
penghuni rumah itu seorang yang halus budi pekertinya.
Setelah melintasi kebun bunga, Sin Cu dapat lihat sepasang
ciosay atau singa-singaan dari batu, yang bercokol di undakan
tangga rumah, dan di depan pintu rumah itu benar ada tiga
buah pohon pekyang, yang mengalingi satu pojoknya
lauwteng rumah.
"Tidak salah lagi inilah rumah yang Keng Sim pesan aku
mesti cari," memikir pemudi ini selagi ia mengawasi ke arah
rumah itu. "Kenapa Keng Sim tidak hendak memberitahukan
aku siapa pemilik rumah ini?"
Ia bertindak meng-hampirkan pintu, tindakannya pelahan,
niatnya untuk mengetok. Tiba-tiba ia merasakan samberan
angin di belakangnya, lalu ia dengar teguran yang nadanya
halus: "Siapa yang datang celingukan ke mari?" Ia lantas
menoleh, maka di hadapannya tampak satu nona yang manis,
bajunya bertangan pendek, warnanya kuning marong,
rambutnya dijadikan konde dua. Nampaknya nona itu masih
kebocah-bocahan walaupun usianya, ia taksir, tak berjauhan
dengan usianya sendiri. Nona itu bawa lagaknya seorang
dewasa. Untuk kagetnya, nona itu terus menyerang padanya,
dengan satu jurus Kimna ciu. Rupanya orang telah pandang ia
sebagai seorang panca longok!
Sebenarnya cukup untuk Sin Cu untuk berkelit seraya
menyebutkan nama Keng Sim, urusan sudah tidak ada lagi,
siapa tahu, ia pun bawa tabiatnya, ingin ia mencoba nona itu.
Ia lantas membikin punah serangan si nona itu dengan
372 jurusnya "Mega merah menampa rembulan." Kalau si nona
menyerang ia dengan tangan kiri seraya tangan kanan dipakai
melindungi diri, ia justeru menangkis dengan tangan kiri
sambil menjambak dengan tangan kanan.
Nona itu kaget hingga ia mengeluarkan seruan pelahan,
sebab sikutnya kena dibentur. Atas ini, ia lantas saja
menyerang pula dengan jurusnya "Tujuh bintang," mengarah
dada orang, karena mana, Sin Cu mesti menarik pulang
tangannya. Ia menjadi kagum untuk kegesitannya nona itu.
Lantas ia mengubah jurusnya tadi dengan jurus "Menarik
busur untuk memanah burung rajawali." Ia belum dapat
menguasai ilmu silat tangan kosong tetapi gurunya telah ajari
ia ilmu silat pedang "Pekpian Hian Kie Kiamhoat," maka itu, ia
lincah luar biasa. Begitulah selagi dengan tangan kiri ia tangkis
serangan si nona, dengan tangan kanan ia menyamber dada
orang, pada jalan darah lengkiu hiat.
Nona itu terkejut, mukanya menjadi merah, tetapi ia tidak
menangkis atau berkelit, ia buka mulutnya, untuk menggigit
tangan lawannya itu. Melihat itu, Sin Cu pun terperanjat. Ia
lantas ingat bahwa ia tengah menyamar sebagai satu pemuda
sedang lawannya itu satu nona remaja. Ia jadinya telah


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersikap ceriwis!
Pun luar biasa sekali cara bersilatnya nona itu, yang main
menggigit. Syukur Sin Cu sebat menarik pulang tangannya,
kalau tidak dua jerijinya bisa kutung terkacip gigi! Hanya, biar
bagaimana, ia merasa Jenaka juga...
Di saat Nona Ie memikir untuk bicara, nona itu sudah
menyerang pula padanya, secara bertubi-tubi, kedua
tangannya, kiri dan kanan, menyamber-nyamber saling susul,
kedua kakinya turut bergerak dengan cepat dan tetap untuk
mengimbangi hujan serangannya itu. Ia terpaksa menunjuki
kelincahannya akan menyingkir dari semua serangan itu, ia
373 main berkelit, dengan mengegos tubuh atau berlompat. Tapi
ia terus dirangsak, hingga tanpa merasa telah berlalu empat
puluh sembilan jurus, hingga, umpama kata, ia tak dapat
bernapas... "Heran," pikirnya. Nona itu kalah tenaga dalam tetapi ilmu
silatnya itu seperti melebih padanya.
Banyak sudah gurunya, Thio Tan Hong, menuturkan ia
tentang pelbagai macam ilmu silat partai lain tetapi belum
pernah ada yang semacam ini.
Baru setelah itu, Sin Cu "menutup" kedua tangannya si
nona dengan ilmu silatnya "Siauwthian cee" atau "Bintang
kecil." "Bagus!" ia pun memuji. "Sudah, sampai di sini saja, tidak
usah kita bertarung pula. Aku datang untuk membawa
kabar bagimu."
Nona itu berontak, tidak dapat ia membebaskan kedua
tangannya. Ia telah kerahkan tenaganya, masih sia-sia saja.
Sin Cu telah berhasil mewariskan kepandaian gurunya, siapa
sebaliknya telah dapat mengatasi warisan Pheng Hweeshio,
yang sudah meninggalkan surat wasiatnya yang berisi
pelajaran istimewa, pelajaran mana Tan Hong yakinkan
selama belasan tahun.
"Eh, kau bawa surat?" tanya nona itu heran. "Surat
apakah?" "Surat yang berupa pesan lisan dari Tiat Keng Sim," Sin Cu
menjawab. "Tiat Keng Sim meninggali pesan untukku?" si nona
menegaskan. "Di mana kau bertemu dengannya?"
374 "Di kantornya tiehu. Besok dia bakal diserahkan tiehu
kepada orang Nippon."
Nona itu agaknya terkejut, lalu nampak ia berduka, alisnya
berkerut. Setahu kenapa, menampak roman itu, Sin Cu merasa
sedikit iri hati...
"Benarkah Tiat Keng Sim meninggalkan pesan?" tiba-tiba si
nona menanya. "Kau siapa" Apakah namamu?"
"Aku she Ie dan namaku Sin Cu. Kau?"
"Ie Sin Cu" Belum pernah aku dengar..." kata nona itu.
"Kita ada sahabat-sahabat baru," Sin Cu jelaskan.
Tiba-tiba nona itu tertawa dingin.
"Mustahil Tiat Keng Sim mempunyai sahabat semacam
kau!" katanya. "Kau ceriwis! Kau tentu penipu! Rasai
pedangku!"
Sin Cu melayani orang bicara tanpa curiga, maka ketika
nona itu berontak dengan tiba-tiba, terlepaslah "tutupannya."
Cepat luar biasa, nona itu sudah menghunus pedangnya, dan
sama cepatnya, dia buktikan ancamannya, yang berupa
tikaman! Mau atau tidak, Sin Cu mesti berkelit, malah terus hingga
tiga kali sebab nona itu tikam ia berulang-ulang. Akhirnya, ia
jadi mendongkol juga. Di dalam hatinya ia kata: "Ilmu
pedangmu boleh liehay, apakah kau sangka aku jeri
terhadapmu?"
375 Di saat Nona Ie hendak mencabut pedangnya, guna
melayani, kupingnya dengar tindakan berlari-lari diarah
belakangnya, suara berlari-lari dari belakang bukit. Belum
sempat ia menoleh, si nona sudah menghentikan serangannya
sambil terus berseru: "Seng Jiekol"
"Jieko" itu ialah kakak yang nomor dua.
Ketika ini digunai oleh Sin Cu untuk berpaling ke belakang,
maka itu ia lantas dapat melihat dua orang tengah berlari,
yang satu di depan, yang lain di belakang, keduanya laki-laki,
yang di sebelah belakang adalah seorang perwira, dengan
pedang di tangan, dia tengah mengejar orang di depannya itu.
Laki-laki yang lagi diubar-ubar itu adalah seorang muda
yang alisnya gompiok dan matanya besar, bajunya tak
terkancing hingga nampak dadanya. Dia berkulit hitam.
Segera dia dapat dikenali sebagai seorang nelayan. Dia
bersenjatakan sebatang toya, dengan itu saban-saban dia
berpaling untuk menyerang pengejarnya itu.
Si perwira bersenjatakan sebatang golok melengkung,
bagus ilmu silat goloknya, selalu ia bisa singkirkan
serangannya si pemuda, ia cuma kalah ilmu ringan tubuh,
karena di jalanan pegunungan seperti itu, ia kalah cepat
larinya. Maka setiap menemui jalan yang sulit, ia mesti lari
nyimpang ke lain arah untuk dapat menyandak.
Si nona sudah lantas saja lari untuk mema-paki, karena
mana, Sin Cu turut berlari juga. Cepat sekali, mereka sudah
datang dekat satu pada lain. Kapan si perwira melihat Sin Cu,
ia menjadi heran.
"Hm, binatang, kau pun di sini?" dia menegur. "Kau pernah
apakah dengan si tua bangka she Cio?"
376 Sin Cu segera mengenali perwira itu, ialah Tonghong Lok,
hutongnia atau kepala yang kedua dari pasukan Gielimkun,
ketika di kota raja ia mencuri kepala ayahnya, ia telah
bertemu dan bertempur dengannya, jadi ia mengetahui orang
ada liehay. Ia tidak tahu siapa itu yang disebut tua bangka she
Cio, tetapi ia percaya datangnya kepala Gielimkun ini niscaya
bukan bermaksud baik, ia lantas bersiap akan bersama si nona
menempur padanya.
Nona itu sebat luar biasa, baru Sin Cu berpikir, dia sudah
mendahulukan berlompat, terus menikam perwira itu, hanya
berbareng menyerang, ia teriaki si pemuda yang dikejar-kejar
perwira itu: "Seng Jieko, kau layani itu bocah, dia berani
datang menghina aku, dia bukannya satu manusia baik-baik!"
Mendengar ini, Sin Cu tercengang.
Si anak muda dengar perkataannya si nona, ia tinggalkan si
perwira, ia lantas menghampirkan nona kita, untuk lantas
menekan pedang orang.
Tentu saja nona kita menjadi mendongkol.
"Kenapa kau begini sembrono?" ia menegur. "Aku datang
untuk membantu kamu!"
Ia lantas geraki pedangnya, akan bebaskan diri dari
tekanan. Pemuda itu heran, tetapi ia mengawasi dengan
tajam. "Kau siapa?" ia tanya, bengis.
"Seng Jieko, jangan dengari bujukannya!" si nona berkata,
sekalipun ia tengah melayani si perwira. "Tadi dia berlaku
kurang ajar terhadapku! Hajar dulu padanya!"
377 Pemuda itu menjadi gusar, ia lantas menyerang pula. Sin
Cu menjadi mendongkol sekali. Atas datangnya serangan, ia
bergerak dalam jurusnya "Menggeser tubuh, menukar
tindakan." Gesit luar biasa, ia mendak, akan nyelusup di
bawah toya. Ia ada bagaikan seekor ikan yang licin. Habis itu,
ia membalas menyerang, dengan sabetannya. Ia hanya tidak
menikam tubuh atau lain anggauta tubuh dari anak muda itu,
ia cuma membikin putus dua buah kancing baju!
Pemuda itu terkejut, justeru mana, Sin Cu tarik pulang
pedangnya, sambil tertawa dingin, si nona berkata: "Ini dia
yang dibilang, anjing menggigit Lu Tong Pin, kamu tidak kenal
kebaikan orang! Coba aku tidak menghargai Tiat Keng Sim,
pastilah aku telah membikin liang di dalam tubuhmu!"
Pemuda itu terkejut, ia heran.
"Tiat Keng Sim?" ia mengulangi. "Tiat Keng Sim yang
mana?" Sin Cu tertawa dingin.
"Mana ada Tiat Keng Sim lainnya lagi selainnya Tiat Keng
Sim yang sekarang tengah ditahan di kantor tiehu kota
Tayciu!" ia menyahut tawar.
"Jangan dengari ocehannya!" si nona mendahulukan si
anak muda. Ia lagi berkelahi, ia pun memasang kupingnya.
"Tiat Suko tidak nanti mempunyakan sahabat seperti dia ini!"
"Traang!" demikian suara yang menyusuli perkataan si
nona dan nona itu menjadi kaget. Justeru ia perdengarkan
suaranya, Tonghong Lok sudah hajar pedangnya, hingga
tangannya tergetar dan pedangnya itu terlepas dan terpental!
378 Pemuda itu terperanjat, ia tinggalkan Sin Cu, untuk
membantui si nona.
"Jangan pedulikan aku!" nona itu berseru, mencegah. "Aku
dapat bertahan! Kau hajar saja pemuda ceriwis itu!"
Nyata nona itu besar kepala dan tak suka menyerah kalah.
Si anak muda bersangsi sebentar, akhir-nya ia mendengar
kata. Maka kembali ia hadapi Nona Ie, ia lantas merabu ke
bawah. Sin Cu benar-benar mendongkol, ia berlompat, terus ia
membalas menyabet dengan tipu silat "Menjahit dengan jarum
emas." Ia ingin memapas pula kancing baju orang.
Kali ini si anak muda waspada, ia dapat egoskan tubuhnya.
Ia kalah gesit tapi menang tenaga, maka itu, ia lantas kurung
dirinya dengan toyanya.
Dalam mendongkolnya, Sin Cu menyerang dengan sengit,
sampai ia lewatkan belasan jurus, baru ia papas ujung toyanya
pemuda itu. Ia membarengi berkata: "Jikalau kau tidak
percaya aku, kau mesti percaya suheng-mu Tiat Keng Sim!"
Walaupun ia seorang kasar, pemuda itu tidak besar kepala
seperti si nona, adik seperguruannya itu. Ia pun polos. Maka
ia berpikir: "Ilmu silat orang ini tak ada di bawahan Tiat
Suheng, kalau dia bermaksud jahat, barusan mana dapat aku
membebaskan diri dari dua tikamannya?"
"Sebenarnya kau datang untuk urusan apa?" ia akhirnya
tanya. Ia tidak menyerang lebih jauh, ia berdiri sambil
mengawasi dengan tajam.
"Aku datang untuk menyampaikan pesan lisan dari suhengmu"
sahut Sin Cu. 379 "Pesan apakah itu?" si anak muda bertanya.
"Dia ditahan di kantor tiehu, besok dia hendak diserahkan
pada orang Nippon!" Sin Cu beritahu.
"Hm! Cuma sebegitu saja pesannya?" anak muda itu
menegasi. Agaknya ia seperti sudah ketahui kejadian atas diri
si anak muda. "Kau hendak menanya apa lagi?" Sin Cu balik menanya.
Anak muda itu berpikir, lalu ia angkat kepalanya.
"Menurut kau, jadinya Tiat Suheng-ku itu ditahan di kantor
tiehu ?" katanya.
"Benar!" sahut Sin Cu.
"Suheng-ku itu mempunyai kepandaian untuk menakluki
naga dan menundukkan harimau, dia pun pandai ilmu enteng
tubuh Terbang di atas rumput, kenapa dia bolehnya
membiarkan dirinya ditangkap tiehu untuk diserahkan pada
orang Nippon?" dia tanya pula.
"Itu adalah pikirannya sendiri, apa maksudnya, aku tidak
dapat tahu," menjawab nona Ie. "Dia cuma membacakan dua
baris syair kepadaku, ialah Menarik melengkung busur untuk
memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok pedang
guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay. Ruparupanya
dia sudah ketahui baik apa yang dia harus lakukan."
Mendengar itu, si anak muda lantas berseru: "Sumoay,
perkataannya orang ini benar! Benar-benar dia datang
membawa pesan lisan dari suheng kita!"
380 Nona itu tidak menjawab, maka Sin Cu menjadi heran. Ia
lantas berpaling.
Nyata nona itu tengah bertempur hebat sekali dengan
Tonghong Lok, gerakan tubuh mereka pesat sekali, sinar
pedang berkilauan. Tidak ada suara dari beradunya senjata,
cuma suara angin yang bersiuran keras. Sebab si nona
berkelahi dengan tangan kosong, melayani musuh yang
bersenjata. Dia mainkan sepasang kepalannya sama seperti
pedangnya tadi, dia menyerang bertubi-tubi, seperti tak
hentinya. Ilmu silatnya itu tetap tidak dapat dikenali Sin Cu.
Menghadapi nona itu, Tonghong Lok agaknya kewalahan,
bukan karena ia kalah, hanya sebab sukar untuk ia
memecahkan serangan berantai dari si nona.
"Coba tenaga dalam si nona lebih sempurna sedikit saja,
terang sudah Tonghong Lok bukan tandingannya," berpikir Sin
Cu kemudian. Ia terus memasang mata, hingga di akhirnya, ia
berseru kepada si anak muda di depannya: "Kamu toh
muridnya Cio Keng To?"
Anak muda itu terperanjat.
"Cara bagaimana kau kenal guru kami?" tanyanya heran.
Di jaman itu ada terdapat empat kiamkek atau ahli ilmu
silat pedang. Di selatan ialah Thio Tan Hong. Di utara yaitu
Ouw Bong Hu. Di barat yakni Yang Cong Hay, itu congkoan
kesohor dari istana kaisar. Dan di timur adalah Cio Keng To
yang disebutkan Sin Cu ini. Di antara mereka itu berempat,
Tan Hong yang usianya paling muda tetapi namanya paling
terkenal. Cio Keng To adalah yang tertua, sebaliknya yang
mengenal dia, tak banyak jumlahnya. Inilah disebabkan pada
dua puluh tahun yang lampau ia telah mencuri pedang di
dalam istana kaisar hingga ia menjadi melakukan
perlanggaran pidana besar, ia kabur ke luar batas negara dan
381 seterusnya mengumpatkan diri, hingga selama dua puluh
tahun orang tak dengar pula. Lantaran ini kaum muda tidak
banyak yang ketahui namanya. Tan Hong ketahui Keng To
pandai ilmu pedang "Keng To Kiamhoat" karena pernah Cio
Keng To datang berkunjung kepada kakek gurunya, untuk
sebagai yang muda memohon pengajaran. Tatkala itu Hian Kie
Itsu kebetulan telah selesai meyakinkan dua pedang Pekin
kiam dan Cengbeng kiam, maka dengan sembarangan ia
gunai Cengbeng kiam melayani Keng To. Di dalam sepuluh
jurus pedangnya Keng To kena dibikin sapat. Habis itu, di


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping memuji Keng To, Hian Kie pun menjelaskan
kekurangan orang. Hian Kie bicara dengan polos, ia
membeber dengan tedas, ia pun memberi penerangan dengan
jujur. Keng To malu atas kekalahannya itu, tapi berbareng ia
kagumi pedang orang. Ia percaya Hian Kie liehay, tetapi ia
kurang puas dengan kekalahannya. Ia anggap ia kalah
disebabkan ia kalah pedang. Ia tidak menginsafi akan latihan
sempurna dari Hian Kie, bahwa dengan pedang biasa juga,
pedangnya itu dapat dibikin kutung. Karena ini timbullah
niatnya mencuri pedang di istana kaisar itu.
Tadi telah Sin Cu lihat ilmu silatnya si nona, yang bergerak
bagaikan "gelombang kaget" (keng to) atau " "ombak
mengejutkan," ia kemudian dengar Tonghong Lok menyebutnyebut
"si tua bangka she Cio," ia lantas ingat Cio Keng To
dan dugaannya itu ternyata tepat. Hanya, belum lagi ia jawab
pertanyaan si anak muda, berdua mereka berpaling dengan
cepat ke arah pertempuran karena keduanya dengar suara
beradunya senjata nyaring sekali. Mereka masih sempat
melihat lelatu api, lalu si nona terdesak mundur. Terang
rupanya pedang si nona kena terhajar hebat goloknya
hutongnia dari pasukan raja.
Liehay permainan pedang dari si nona, kurang latihannya
dalam tenaga dalam, karena itu ia kalah ulet dari Tonghong
Lok. Hutongnia itu mungkin dapat melihat cacat si nona, dia
382 menunggu sampai nona itu selesai memainkan empat puluh
sembilan jurus, dengan mendadak dia melakukan
penyerangan membalas dan menghajar pedang orang itu.
Pedang telah mental balik, hampir si nona terlukai pedangnya
sendiri. "Celaka!" berseru si anak muda, yang melihat adik
seperguruannya terancam bahaya. Ia baru hendak berlompat
maju, guna membantui nona itu, atau Tonghong Lok telah
kerjakan pula goloknya, kali ini dia berhasil membuatnya
ujung baju si nona tersontek bolong!
Golok Tonghong Lok ada punya gigi bengkung model
rembulan, semacam gaetan, maka itu golok itu bisa dipakai
sebagai alat membangkol. Si nona sedang terdesak, ia tidak
berdaya menghadapi ancaman itu, ujung bajunya terus
tercantel. Sin Cu pun kaget tetapi ia tertawa, terus ia berseru: "Adik
yang baik, pergilah kamu dua saudara seperguruan
memasang omong, akan aku gantikan kau!" Habis itu, selagi
suara tertawanya belum lenyap di udara, ia mengayun
tangannya, menerbangkan bunga emasnya.
"Traang!" demikian satu suara nyaring dan goloknya
Tonghong Lok terhajar hingga miring. Lalu datang bunga
emas yang kedua, yang membuatnya ujung baju si nona
terbabat putus, hingga baju itu terlepas dari cantalan gigi
golok. Si nona gunai ketikanya akan menarik tangannya, untuk
terus menikam lawannya. Tonghong Lok kaget, ia berlompat
ke samping. Tapi di sini ia dirintangi Sin Cu, yang sehabisnya
menimpuk sudah lantas berlompat maju. Ketika si nona
hendak mengulangi serangannya, ia menjadi tercengang
383 sebab ia dapatkan musuhnya sudah bertempur dengan si
pemuda... Hebat cara berkelahinya Sin Cu, sejenak saja ia sudah
melalui tujuh atau delapan jurus.
Si anak muda menyeka peluhnya, lalu ia tarik tangan si
nona. "Aku lihat anak muda ini benar-benar hendak membantu
kita," ia kata pada itu sumoay atau adik seperguruan.
"Hm!" si nona perdengarkan suaranya, tetapi mukanya
merah. Ia membungkam.
"Dia membilangnya dia ada sahabat kekal dari Tiat Suko,
mungkin dia tidak mendusta," kata pula si anak muda.
"Bagaimana kau ketahui itu?" si nona menyahuti juga, tapi
suaranya menyatakan dia masih mendongkol.
Si anak muda tarik pula tangan sumoay ini, lalu ia bicara
pelahan sekali, bisik-bisik.
Sin Cu berkelahi dengan saban-saban menggunai ketika
akan melirik itu suheng dan sumoay berdua, ia lihat tingkah
laku orang, diam-diam ia tertawa di dalam hatinya. Tahulah
dia ada hubungan apa di antara suheng dan sumoay itu.
Karena ini, kalau tadinya ia mendongkol kepada si nona, yang
perlakukan ia kasar, sekarang ia mendapatkan kesan yang
baik. Ia merasa orang seperti kebocah-bocahan dan ia jadi
menyukainya. Ia hanya tidak memikir bahwa ia sendiri pun
masih membawa adatnya satu bocah...
Tidak benar untuk Nona Ie memecah perhatiannya selagi
ia menempur satu lawan yang tangguh, justeru lawan itu
384 berkelahi dengan sungguh-sungguh. Begitu ketika Tonghong
Lok melakukan penyerangan membalas, satu kali ujung
goloknya hampir mampir di tenggorokannya.
Si anak muda dapat lihat ancaman hanya untuk nona itu, ia
kaget hingga ia berseru, terus ia lompat maju, guna
menolongi. Tapi, belum ia sampai kepada si nona, ia dengar
satu suara nyaring, yang dibarengi dengan muncratnya lelatu
api. Nyata Sin Cu telah dapat membebaskan diri dari ancaman
malapetaka itu, malah dengan membabat podol dua buah
giginya goloknya lawannya itu.
Sin Cu masih muda, belum sempurna tenaga dalamnya,
akan tetapi di samping itu, sudah sering ia melakukan
pertempuran, pengalamannya jadi bertambah. Kepandaiannya
pun bertambah setelah ia peroleh pengajaran ilmu silat
Ngoheng Kun dari Hek Pek Moko, maka itu, ia tidak lagi dapat
disamakan sama waktu pertama kali ia bertempur sama
Tonghong Lok. Dulu hari itu, selama sepuluh jurus, keadaan
mereka berimbang. Karena ini, Tonghong Lok menjadi
memandang ringan kepada nona ini, biarnya mulanya ia
didesak, ia dapat membela diri dengan baik. Sebagai seorang
berpengalaman, hutongnia ini dapat mengambil ketikanya
yang baik. Demikian ia menyerang hebat sedangnya si nona
melirik itu suheng dan sumoay. Ia percaya bahwa ia bakal
berhasil. Di luar dugaannya, si nona liehay, matanya tajam,
gerakannya gesit, maka goloknya kena dipapas giginya. Coba
ia tidak berlaku sebat, mungkin ujung goloknya yang terbabat
buntung. "Bagus!" berseru si anak muda, yang dari kaget berbalik
menjadi memuji.
385 Si nona tidak turut memuji, akan tetapi di dalam hatinya,
diam-diam ia kagum.
"Kamu suheng dan sumoay sudah letih, baiklah kamu
beristirahat!" berkata Sin Cu, yang melihat mereka itu
menonton dengan asyik. Ia pun tertawa.
Mukanya si anak muda menjadi merah, ia melirik kepada
sumoaynya, yang berdiam saja.
Pertempuran berjalan terus. Tanpa merasa, mereka sudah
melalui kira-kira seratus jurus. Keduanya telah menggunai
tenaga tetapi mereka nampaknya berimbang. Sin Cu tetap
lincah seperti bermula, pedangnya berkelebatan tak
hentinya, sinarnya menyilaukan mata.
Di akhirnya, si nona menjadi kagum.
"Aku menyangka ilmu pedang Keng To Kiamhoat tidak ada
keduanya di kolong langit ini, siapa tahu sekarang ada yang
menandingi," pikirnya. Ia kagum tetapi toh ia merasakan
hatinya dingin, karena kejuma-waannya terguyur.
Tonghong Lok penasaran tidak dapat menjatuhkan
lawannya, yang ia pandang enteng itu. Ia heran kenapa
sekarang orang ada begini liehay. Di dalam halnya latihan dan
pengalaman, ia menang setingkat daripada si nona, yang
membuatnya ia sulit adalah pedang yang tajam dari nona itu,
hingga ia sungkan mengadu senjata. Untuk selalu mengegos
golok dari tabasan pedang ada meminta kecelian mata dan
kegesitan gerakan tangan, dan ini meminta banyak dari
hutongnia itu. Setelah seratus jurus, kelincahannya Sin Cu tidak jadi
berkurang. Sekarang ia menang di atas angin. Ia lantas
perkeras serangannya yang bertubi-tubi.
386 Si nona, yang terus menonton dengan perhatian, tanpa ia
merasa, lenyap kemen-dongkolannya terhadap itu pemuda
ceriwis. Ia sekarang dipengaruhkan kekagumannya untuk
kegagahan orang.
Si anak muda sebaliknya, di sebelah kekagumannya,
hatinya menjadi sangat lega. Bukankah pemuda itu sudah
bebas dari ancaman bahaya maut" Maka itu ia sempat tanya si
nona: "Sumoay, benarkah suhu sudah pulang?"
"Ya! ya!" si nona menyahut, tanpa ia berpaling, karena ia
sedang ketarik sekali menyaksikan gerakan terakhir dari Sin
Cu. Kelihatannya pedang si "pemuda" bergerak dari kiri ke
kanan, tetapi nyatanya, sebaliknya, ialah dari kanan ke kiri.
Gerakan ini sudah terjadi melulu disebabkan kelincahan.
Tonghong Lok tengah bertempur, akan tetapi ia dapat
dengar perkataannya itu pemuda dan pemudi, ia terkejut. Di
dalam hatinya, ia berkata: "Sudah terang ini beberapa
binatang ada murid-muridnya Cio Keng To, kalau mereka
sudah begini liehay, apapula si tua bangka sendiri! Kalau
sekarang dia sudah pulang, tidakkah aku menghadapi
ancaman bencana?" Dengan sendirinya, hatinya menjadi ciut.
Tonghong Lok datang dengan tugas untuk menawan Cio
Keng To, ia menerima titah langsung dari junjungannya. Ia
datang dengan hati besar, sebab ia percaya betul
kegagahannya. Benar ia ketahui Cio Keng To liehay tetapi
orang telah berusia lanjut, belum tentu jago tua itu dapat
menandingi padanya. Setibanya, ia lantas mendapat
pengalaman yang membuatnya ia mesti berpikir. Pertamatama
ia tidak sanggup bekuk si anak muda walaupun anak
muda itu sudah keteter. Kedua ia lantas mengadu kepandaian
sama si nona, yang ternyata bukan tandingan sembarang. Dan
sekarang ia menghadapi pula lain "pemuda," hatinya menjadi
387 goncang. Jangan kata untuk memperoleh kemenangan, guna
membela diri saja ia merasa sulit. Maka itu, mengetahui Cio
Keng To sudah pulang, ia kaget.
Justeru kepala Gielimkun itu kaget, justeru Sin Cu kirim
tusukannya yang liehay. Sia-sia saja Tonghong Lok membela
diri, pundaknya kena juga ditusuk, hingga tulang pundaknya
terpapas sebagian. Ia lantas berlompat, dengan melupakan
sakitnya, ia membuang dirinya ke tanah, untuk lari
bergulingan di tanah mudun.
Itulah tanda jeri yang berlebihan, sebab Sin Cu tidak
menguber, hanya sembari tertawa, dia putar tubuhnya untuk
menghampirkan si muda-mudi.
"Nah, sekarang tentulah kau percaya aku!" katanya pada si
nona. Nona itu tidak menyahuti, ia hanya mendelik!
Si pemuda maju, untuk memberi hormat.
"Terima kasih untuk bantuan kau!" ia berkata.
"Kita repot bertempur, sampai kita tak sempat belajar
kenal!" kata Sin Cu sembari ia membalas hormat. Ia bicara
sambil bersenyum.
Nona itu tetap membungkam. Adalah si pemuda, yang
menyahuti dengan cepat.
"Inilah sumoay-ku, Cio Bun Wan," ia memperkenalkan.
"Aku sendiri Seng Hay San. Sumoay-ku ini adalah puterinya
Cio Lookiam-kek, guruku."
Bun Wan menoleh dengan cepat.
388 "Kau toh bukan hendak berbesan dengannya, untuk apa
kau menjelaskan hal keluargaku!" katanya kepada si anak
muda. Sin Cu tidak menjadi kurang senang, sebaliknya, ia tertawa
geli. Bun Wan rupanya merasa bahwa ia sudah terlepasan
bicara, wajahnya lantas menjadi merah sendirinya.
Seng Hay San tidak layani sumoay itu.
"Orang toh sudah mengetahui namanya suhu?" katanya,
pelahan. "Ia pun bukannya orang lain, ada apa halangannya
untuk memberi penjelasan?"
"Aku bernama Ie Sin Cu," Sin Cu berkata, tak
memperdulikan suheng dan sumoay itu, yang ia anggap
Jenaka lagak lagunya. "Guruku ialah Thio Tan Hong. Dengan
sebenarnya kita bukanlah orang luar!"
Seng Hay San terkejut hingga ia mengeluarkan suara
tertahan dan lompat mencelat.
"Pantas kau begini liehay, kiranya kau muridnya Thio
Tayhiap!." ia berseru.
Si nona pun heran, ia sampai angkat kepalanya, akan awasi
"pemuda" itu.
"Thio Tan Hong kesohor gagah dan mulia, kenapa dia ambil
murid begini ceriwis?" ia kata dalam hati kecilnya.
Sin Cu tidak ambil perduli sikapnya dua orang itu.
"Guruku sudah lama mengagumi gurumu yang kesohor," ia
berkata, "sampai sebegitu jauh guruku tidak berjodoh untuk
389 membuat pertemuan dengan gurumu, maka itu sekarang
hendak aku mewakilkannya untuk menghadap Cio
Lookiamkek. Aku minta encie Bun Wan sukalah mengajak aku
menemuinya."
"Terima kasih, sebenarnya kita tidak berani menerima
kunjunganmu," berkata Hay San, yang mendahului si Nona
Cio. Thio Tan Hong benar masih muda dibanding sama gurunya
tetapi Sin Cu omong demikian merendah, Hay San menjadi
malu hati. Ia memang jujur dan polos sekali. Ia pun heran
atas sikap sumoaynya. Katanya di dalam hati: "Ini orang she
Ie begini halus dan sopan, kenapa sumoay bilang dia ceriwis?"
"Tarolah kata ayahku ada di rumah, dia pasti tidak nanti
menemui kau!" kata Nona Cio dingin. Agaknya hatinya
menjadi panas pula.
"Sumoay, kau kenapa..."
Hay San heran, ia tanya adik seperguruan itu, tapi ia
dipotong si sumoay. "Kau... kau apa?" Si nona pun mendelik.
Sebenarnya Hay San hendak menanya, kenapa adik itu
bersikap tak manis, karena ia dipegat, ia lantas merubah


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haluan. "Bukankah suhu sudah pulang ?" demikian ia tanya.
"Kenapa suhu tidak ada di rumah?"
"Siapa yang bilang ayah sudah pulang?" si nona membaliki,
suaranya tawar.
"Toh kau yang mengatakannya tadi..." katanya.
390 "Kau melihat memedi barangkali! Kapannya aku bilang
begitu?" Hay San menjadi heran sekali.
"Rupanya aku salah dengar," ia bilang. "Kuku garuda tadi
bilang suhu sudah pulang maka juga dia telah datang ke
mari." "Memang beberapa hari yang lalu ayah telah minta
pertolongan membawa surat, katanya lagi beberapa hari dia
bakal pulang dengan naik kapal," berkata si nona. "Sampai
sekarang ayah belum balik. Hm, kuku garuda itu liehay
kupingnya, maka pantaslah dia dapatkan tikamannya!..."
Tiba-tiba si nona berhenti bicara. Ia ingat bahwa yang
menikam si kuku garuda adalah si pemuda ceriwis...
"Jikalau begitu, aku tidak berjodoh untuk menemui Cio
Lookiamkek," berkat a Sin Cu. Ia agaknya menyesal.
Bun Wan masih bersikap tawar, ia tidak memberikan
penyahutan. Sin Cu berdiri dengan hati tak enak. Ia tahu sebabnya sikap
dingin dari si nona. Tadi ia telah kesalahan berbuat kurang
manis. Karena terpaksa, ia rangkap kedua tangannya seraya
berkata: "Pesan lisan dari Tiat Keng Sim telah aku sampaikan,
di sini sudah tidak ada urusan apa-apa lagi, aku meminta diri."
"Terima kasih untuk bantuan kau ini, saudara Ie," berkata
Hay San sambil ia membalas hormat.
"Tentang Tiat Suheng, kami sudah mendapat tahu.
Memang sengaja Tiat Suheng meminta kau menyampaikan
pe-sannya itu, supaya kami dapat berkenalan denganmu. Itu
391 pun menandakan, Tiat Suheng pandang kau bukan seperti
orang luar. Mengenai urusan Tiat Suheng itu, dari terancam
bahaya dia pasti bakal mendapatkan keselamatannya,
tentangnya tak usah saudara buat kuatir."
Ada maksudnya kenapa Hay San menyebutkan Sin Cu
bukan orang lain. Perkataannya itu sebenarnya ditujukan
kepada Cio Bun Wan. Sin Cu sebaliknya menjadi heran.
Kenapa Tiat Keng Sim menyuruh ia menyampaikan pesannya
itu" Mengenai urusannya Keng Sim sendiri, rupanya pemuda
itu sudah mengatur segala apa. Apakah siasatnya itu" Ia tidak
tahu, Keng Sim ingin ia datang ke Peksee cun, untuk belajar
kenal sama Cio Bun Wan. Hanya sayang, kejadiannya ada di
luar dugaan Keng Sim. Sebab ia justeru bentrok sama Nona
Cio... Sin Cu kembali ke kota, bertemu sama Thio Hek, ia
tuturkan pengalamannya selama dua hari.
Thio Hek pun heran atas sikapnya Keng Sim itu, tak dapat
ia menerkanya. "Tentang Yap Toako , sudah datang beritanya," kemudian
ia pun memberi keterangan. Katanya nusa lagi bakal ada
datang orang untuk berhubungan sama kita. Cuma nusa lagi
itu ada harian pemeriksaan atas dirinya Tiat Keng Sim oleh
tiehu bersama pihak Nippon...
Sin Cu ketarik hati, ia agaknya heran.
"Bagaimana kau bisa ketahui halnya peperiksaan itu?" ia
tanya. "Tentang itu telah ada permaklumannya," menjawab Thio
Hek. "Banyak orang telah membilang hendak menonton
sidang itu."
392 Pemeriksaan secara terbuka itu ada keinginannya Tiat Keng
Sim, ia menang dari tiehu. Pihak Nippon menerima baik
permintaan itu karena kepercayaannya tak bakal terjadi
sesuatu. "Kalau begitu," berkata Sin Cu kemudian, "di harian sidang
itu, kau baik berdiam di rumah, untuk menanti orang yang
akan berhubungan dengan kita. Aku hendak pergi menonton."
Thio Hek terima baik pengaturan itu.
Sidang yang bakal dibuka itu adalah hal baru untuk kota
Tay-ciu. Ada luar biasa yang tiehu hendak periksa perkara
bersama-sama pihak asing, dan peperiksaan itu terbuka untuk
khalayak ramai. Tapi untuk kebanyakan penduduk, yang
mengarti keadaan, mereka itu mendongkol dan penasaran.
Mereka membenci pihak asing itu, mereka tak puas terhadap
tiehu, yang dikatakan pengecut sebab sudah membiarkan
pihak asing mencampuri tahu wewenangnya.
Demikian di harian peperiksaan, sejak pagi sudah
berkumpul banyak orang di muka kantor, untuk menyaksikan
sidang. Di antara orang banyak itu, Sin Cu menyelipkan
dirinya. Kira tengah hari, tiehu dari Tayciu muncul bersama seorang
pembesar Nippon yang tubuhnya gemuk. Melihat orang asing
itu, banyak orang mengangkat tangannya untuk menunjuk.
"Dialah wakil Nippon, namanya Takahashi!" kata seorang.
Takahashi itu datang bersama dua pengiring, salah satu di
antaranya Sin Cu kenali sebagai Egukhi, dan ke tujuh. Yang
satunya lagi, menurut katanya seorang penduduk, adalah
393 Segokhi, perwakilan militer Nippon di Tayciu, dan dia katanya
ada dan ke enam.
Kapan tiehu sudah duduk di muka meja pengadilan, ia
bawa aksinya. Ia menepuk meja, lantas ia mencabut sebatang
ciam, yang ia terus lemparkan.
"Bawa menghadap si orang jahat!" ia memberi titah. Ciam
itu ada tanda kekuasaannya untuk memanggil persakitan atau
terdakwa. Perintah itu di jalankan seorang hamba polisi, maka tak
lama kemudian, Tiat Keng Sim telah dibawa menghadap.
Pemuda itu bersikap gagah. Dia tidak bertekuk lutut,
sebaliknya dia berdiri tegar, sepasang matanya yang bersorot
bengis mengawasi ke arah si orang asing.
Takahashi gentar hatinya menyaksikan sikap gagah itu.
Tapi ia menggeprak meja.
"Orang jahat yang bernyali besar! Tahukah kau
kesalahanmu?" ia menegur. Ia mendahulukan tiehu. Ia bicara
dalam bahasanya, lalu ada juru bahasa yang
menterjemahkannya.
"Tidak tahu!" sahut Keng Sim keras.
"Kau telah membunuh orang dan merampas barang!"
bentakTakahashi. "Kau sudah pukul mati seorang kapten kapal
Nippon, kau telah rampas barang-barang dari kapal itu! Kau
juga sudah begitu berani merobek-robek bendera Matahari
Terbit kita! Kesalahanmu telah nyata, kau mesti dihukum
berat! Eh, tiehu, aku bilang, Tidak usah kau memeriksa lagi.
Biarlah Kolonel Segoshi yang menjalankan hukuman potong
kepadanya!"
394 Jumawa wakil ini. Kata-katanya yang belakangan itu
ditujukan kepada tiehu.
Keng Sim tertawa dingin. Ia kata: "Kau harus ketahui, lebih
dulu daripada itu Kapten kamu sudah bunuh orang Tionghoa,
sudah merampas barang-barangnya, dan di sebelah itu ada
belasan orang lain yang sudah dilukakan! Aku lakukan
perbuatanku itu untuk membela keadilan, umpama benar aku
telah membunuh orang, itu berarti satu jiwa ganti satu jiwa!
Barang-barang yang aku rampas itu asalnya ada barangbarangnya
kapal Tionghoa. Kapalmu sendiri itu hari juga
sudah lari menyingkir, mana dapat kamu menampak
kerugian!"
Takahashi menjadi gusar sekali, dia menoleh kepada tiehu.
"Tiehu, apakah boleh satu penjahat mengacau di muka
pengadilan?" ia menegur. "Bawa dia pergi!"
*** Tiehu kaget dan ketakutan, mukanya menjadi pucat dan
tubuhnya gemetaran. Ia telah cabut pula sebatang ciam tetapi
tidak berani ia melemparkannya, karena ia ditatap dengan
mata bengis oleh Tiat Keng Sim.
"Di muka sidang orang bicara dari hal keadilan!" Keng Sim
berkata. "Sebelum perkara jadi terang dan keadilan didapat,
siapa berani menangkap aku?"
Suara itu keren dan berpengaruh. Di antara orang banyak
pun terdengar seruan pujian, suatu tanda pemuda itu telah
peroleh bantuan semangat.
Takahashi mendongkol hingga mukanya menjadi merah
padam. 395 "Baik!" ia berseru. "Kau bilang kapten kapal kami
membunuh orang! Apakah buktinya" Dan kau, kenapakah kau
merobek bendera Matahari kami?"
Keng Sim kasi dengar suaranya yang nyaring: "Kapal
Nippon datang ke Tiongkok, dia mesti turut aturan kita!
Kaptennya itu telah membunuh orang dan merampas barang,
juga telah menyelundupi barang gelap, maka itu, kapal itu
mesti dipandang sebagai kapal perompak! Aku percaya,
negaranya juga tidak bakal akuhi kapal semacam itu sebagai
kapal pemerintahmu! Kapal itu kapal bajak, dia tapinya
mengerek bendera Nippon, itu artinya dia menghinakan
negaramu sendiri! Aku wakilkan kamu menyingkirkan bendera
itu, itu berarti aku telah melindungi kehormatan negaramu!
Maka itu selayaknya kamu berterima kasih padaku!"
Takahashi menepuk-nepuk meja.
"Kau mendustai Kau membela ngawur!" dia berteriakteriak.
Keng Sim tidak pedulikan bentakan itu.
"Bukankah barusan kau menyebut-nyebut tentang bukti?"
dia bertanya. "Aku ada punya buktinya! Di sini ada saksisaksinya!"
Baru si anak muda tutup mulutnya, dari antara orang
banyak muncul seorang wanita yang rambutnya kusut awutawutan,
sembari menangis ia jalan di antara orang banyak
untuk maju ke depan sidang.
"Aku mohon keadilan paduka!" ia berkata, masih ia
menangis. "Suamiku telah dibunuh mati, aku juga dilukai!
396 Barang-barangku telah dirampas semua, yang dapat dirampas
pulang tidak ada separahnya!..."
Dialah jandanya pemilik perahu yang kena dibajak.
Menyusuli nyonya ini, yang terus mengulun, ada belasan
orang lain yang maju ke muka sidang, setiap dua orang dari
mereka ada menggotong bale-bale papan di atas mana ada
rebah kurban-kurban pembajakan, ada yang tangannya
kutung, ada yang kakinya singkal, ada yang luka-lukanya
masih mengucurkan darah. Itulah kurban-kurban pembajakan
dan penganiayaan yang dimaksudkan.
"Inilah semua bukti!" seru Keng Sim. "Apa lagi kamu
hendak bilang?"
Takahashi tidak pernah menyangka orang bisa
menghadapkan bukti-bukti semacam itu, matanya menjadi
terpentang lebar. Sebenarnya ia masih hendak pentang aksi
lagi, untuk menegur, atau lantas datang lagi serombongan
orang dengan dakwaan mereka masing-masing. Satu nenek
ubanan mengadu anaknya kena dibunuh. Ada satu nyonya
yang mendakwa suaminya telah dibinasakan. Yang lainnya lagi
mengadu puteranya dianiaya hingga mati, anak gadisnya
dirampas. Pula ada yang mendakwa rumahnya sudah dibakar
musnah. Suara mereka itu berisik, wanitanya pada menangis.
Takahashi gusar, bingung dan berkuatir. Inilah hebat.
"Usir ini semua babi!" tiba-tiba ia berteriak. Rupanya ia
telah lantas dapat pulang ketabahannya.
Segoshi sudah lantas lompat bangun dari kursinya, untuk
meng-hampirkan para saksi itu, dengan bengis ia hajar roboh
seorang tua, setelah mana ia hampirkan si nenek-nenek.
397 Di lain pihak Egukhi lompat seraya menghunus pedangnya
dengan apa ia membabat Keng Sim.
Pemuda itu lihat bahaya mengancam, dengan gesit ia
berkelit, hingga pedang membabat tempat kosong. Ia tidak
lantas layani penyerangnya ini, hanya dengan berlompat, ia
hampirkan Segoshi, dengan dua tangannya ia jambak
bebokongnya orang yang hendak mencelakai si nenek, hingga
nenek itu menjadi dapat ditolong.
Segoshi pandai jujit-su, ia lantas melenggak, kedua
tangannya dibuang ke belakang, untuk menyekal keras atasan
sikut penyerangnya. Atas ini Keng Sim rapatkan tubuhnya.
Sejenak saja terlihat Keng Sim menggemblok di
punggungnya Segoshi, itu tandanya ia segera bakal dibanting
musuhnya itu. Celaka kalau ia terbanting ke undakan tangga
batu. Ie Sin Cu melihat tegas, ia kaget, dengan sendirinya ia
lompat, untuk menolongi si anak muda.
Egukhi melihat semua itu, ia girang bukan main. Ia tertawa
dan kata: "Binatang cilik, kiranya ada harinya yang kau roboh
di tangan jagoanku!" Ia tidak cuma mengejek, ia lantas geraki
pedangnya untuk membacok pemuda itu.
Sin Cu masih terpisah jauh, sia-sia ia mencoba menolong.
Orang banyak pun berteriak bahna kagetnya.
Hanya sekelebatan saja, terlihatlah tubuh Segoshi
terjerunuk ke arah Egukhi, menyambut datangnya pedang dan
ke tujuh itu. 398 Egukhi tengah menyerang, tidak dapat ia menarik pulang
pedangnya, maka itu tidak dapat dicegah lagi yang ujung
pedang nancap di dadanya Segoshi.
Segera terdengar tertawanya Keng Sim, yang tubuhnya
mencelat, menyusul mana kedua tangannya melayang ke
kedua kuping orang kupingnya Egukhi!
"Di muka sidang negaraku kau berani mengacau, apakah di
matamu masih ada undang-undang pemerintahku?" pemuda
itu menegur. Dalam keadaan tanggung seperti itu, tidak keburu Egukhi
menarik pedangnya untuk menangkis serangan. Ia pun kaget
dengan kesudahan itu. Ia tidak menyangka bahwa Keng Sim
berhasil membebaskan diri dan berbalik menjadi si pemenang.
Keng Sim ketahui lawan liehay, ketika kedua tangannya
ditangkap, ia sengaja segera menempelkan tubuhnya,
berbareng dengan itu, belum lagi ia sempat dibanting jeriji
tangannya sudah menotok punggungnya Segoshi, hingga dia


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini kaget, dia merasakan punggungnya itu sakit, gatal dan
kaku. Tentu saja, karenanya, tidak dapat dia meneruskan
gerakannya, untuk mengangkat dan membanting. Sebaliknya,
dia tidak berdaya sama sekali ketika si anak muda dorong
tubuhnya ke arah Egukhi. Maka jadilah dia kurban pedang
bangsanya itu. Habis dihajar kupingnya barulah Egukhi dapat mencabut
pedangnya. Atas itu Segoshi memperdengarkan jeritan hebat,
dari dadanya darah muncrat menyembur, tubuhnya terus
roboh. Egukhi kaget dan murka, maka ia lantas tumplaki
kemarahannya kepada Keng Sim. Tapi anak muda itu tidak
ada di hadapannya. Ia kaget bukan main.
399 "Celaka!" serunya. Ia tahu musuh sudah menggeser ke
belakangnya, dari itu dengan sebat ia memutar tubuh. Hanya
sayang untuknya, ia terlambat, selagi ia terlambat, selagi ia
berputar, tangannya yang memegang pedang telah didulukan
disamber Keng Sim. Cuma sekejab saja, tangan itu sudah
menjadi teklok, hingga pedangnya jatuh menggontrang di
lantai! Keng Sim berlaku cerdik dan sebat, setelah bikin Segoshi
mati kutunya, ia tolak tubuhnya orang itu ke arah Egukhi,
untuk pakai dia sebagai tameng hidup, lalu selagi pedang
nancap dan sukar ditarik, ia melesat ke belakang dan ke tujuh
itu, untuk tanpa menangkis ketika menyamber dengan orang
di saat ia diserang.
Justeru musuh sudah tidak berdaya, dengan satu sontekan
dengan kakinya, Keng Sim bikin pedang musuh itu meletik
naik, untuk ia sambut dengan tangannya. Tapi ia tidak gunai
pedang itu sebagai senjata, hanya dengan memegang itu
dengan kedua tangannya, ia mematahkannya, hingga pedang
menjadi dua potong.
Egukhi roboh karena kesakitan, ia merayap bangun, justeru
itu, ia menyaksikan pedangnya dibikin patah, maka habislah
dayanya. Keng Sim lemparkan kedua kutungan pedang.
"Budak-budak kate (pendek) ini ada sangat kurang ajar!" ia
lantas berkata dengan nyaring.
"Mereka bernyali sangat besar, berani menggunai pedang
di muka pengadilan, berani menganiaya orang di muka
khalayak ramai! Maka itu, tayjin, aku minta keadilanmu!"
400 Tiehu kaget dan takut sampai tubuhnya gemetaran,
mulutnya bungkam.
Justeru itu Takahashi menggeprak-geprak meja.
"Terbalik! Terbalik!" dia berteriak-teriak.
Menyusuli suaranya wakil Nippon itu, dari pintu belakang
kantor itu muncul dengan mendadak sebarisan serdadu
Nippon yang semua bersenjatakan pedang yang panjang dan
mengkilap, sambil berseru mereka terus menerjang ke arah
Keng Sim. Barisan itu ada barisan pengawalnya Takahashi. Tidak
dapat mereka itu turut muncul di muka sidang, dari itu mereka
telah diatur bersembunyi di belakang kantor, apabila ada
tanda barulah mereka boleh keluar. Mereka memang bangsa
galak, begitu dengar suara Takahashi, mereka lantas
menyerbu. Di muka sidang itu, terus sampai di muka kantor, ada
berkumpul ratusan penduduk.
Semua mereka panas hatinya semenjak mereka saksikan
kejumawa-an pihak asing itu, yang tidak menghormati tiehu
dan tidak mengindahkan pengadilan. Mereka gusar melihat si
aki dan si nenek dianiaya, maka syukur mereka dapatkan
Keng Sim turun tangan. Mereka puas dengan kesudahannya
pertempuran itu. Tapi mereka kaget atas datangnya itu
barisan serdadu asing, bahkan beberapa anak muda lantas
mendidih darahnya, melupakan segala apa, mereka maju,
untuk bantu Keng Sim, guna menerjang pasukan asing itu.
Keng Sim tidak berdiam saja yang ia dikepung, ia membuat
perlawanan. Dengan cepat ia robohkan lima atau enam orang.
Tapi musuh berjumlah kira tiga puluh orang, semuanya
401 bersenjata, tidak gampang untuk cepat-cepat merobohkan
mereka semua. Di antara anak-anak muda yang maju,
beberapa orang pun terluka, malah satu orang terbacok
kutung sebelah lengannya.
Di dalam saat itu, Sin Cu telah maju menyerang. Lebih
dulu ia ayun sebelah tangannya melayangkan lima buah
bunga emasnya. Satu musuh dapat berkelit, empat yang
lainnya roboh sebagai kurban senjata rahasia itu.
Setelah itu, Sin Cu menghunus pedangnya, ia membekal
senjata rahasianya dalam jumlah berbatas, tidak dapat ia obral
itu. Maka ia lantas menggunai pedang. Dalam saat kacau itu,
dari arah pintu timur terdengar suara berisik, lalu tertampak
membuinya banyak orang, yang di kepalai oleh satu nona
dengan baju merah, yang tangannya mencekal pedang. Atas
datangnya mereka itu, orang banyak menyingkir ke kedua
belah, untuk memberi jalan. Rombongan itu terdiri dari orangorang
yang dandan sebagai nelayan, senjata mereka adalah
tempuling dan joran pancing besar. Pula lantas terlihat cara
berkelahi mereka yang luar biasa. Setiap dua nelayan menjadi
satu gabungan. Satu yang memegang tempuling menangkis
golok musuh, lantas yang satunya lagi merabu kaki musuh itu
dengan pancingnya, segera musuh itu roboh terguling. Cara
ini tidak pernah gagal, maka dalam tempo yang pendek,
semua musuh itu dapat diringkus, hingga pertempuran lantas
berakhir. Cuma pemimpinnya pasukan itu, yang nampaknya
kosen, mesti dirobohkan si nona dengan sebelah tangannya
ditabas kutung sesudah pertempuran beberapa jurus.
Sin Cu lantas saja kenali nona baju merah itu, ialah Cio Bun
Wan. Maka mengartilah ia sekarang akan duduknya hal.
Pantas Seng Hay San membilangi ia untuk ia jangan berkuatir,
kiranya mereka itu sudah siap sedia.
402 Baru sekarang Takahashi ketakutan. Ia berniat melarikan
diri tetapi kedua kakinya tidak sudi menuruti suara hatinya.
Selagi ia bergemetaran, Keng Sim seret ia dari kursinya, untuk
ditelikung, buat dihadapkan kepada tiehu.
"Budak-budak kate (pendek) ini menghina undang-undang
negara kita, di muka sidang pengadilan mereka mengacau dan
menyerbu, maka itu tiehu tayjin, yang berwenang membelai
negara, tidak dapat tayjin tidak mengurus mereka!" demikian
suara nyaring dari pemuda she Tiat ini.
Tiehu kaget dan ketakutan, sekian lama ia tidak dapat
bersuara. "Ini... ini..." katanya kemudian, suaranya terputus-putus.
"Bagaimana sekarang..." Kalau nanti perompak kate (pendek)
datang menyerbu kota, bagaimana kita bisa menangkisnya"
Tentara kita berjumlah sedikit sekali..."
Keng Sim tertawakan wedana itu.
"Di sini ada begini banyak orang, kenapa masih berkuatir
tidak ada orang yang menangkis mereka?" ia berkata.
Gedung pengadilan itu, atau lebih benar kantor tiehu, telah
dirumung banyak sekali orang.
"Kita bersedia untuk melawan mereka!" banyak suara
berseru. Tapi juga ada yang berteriak: "Jikalau tiehu tayjin
takut perompak, nah lekaslah angkat kaki, kabur dari sini,
urusan di Tayciu itu, kita yang nanti membereskannya!"
Tiehu berdebaran hatinya. Tahu ia, kalau ia berlaku
penakut terus, rakyat bakal berontak.
403 "Tiat Siangkong," ia lantas berkata, "urusan hari ini aku
serahkan saja padamu untuk menyelesaikannya."
"Untuk membela negara dan lindungi rakyat, itulah tugas
setiap manusia," berkata Keng Sim, "tetapi tayjin adalah
bapak rakyat, dari itu tidak dapat tayjin menyimpang dari
tugasmu. Sekarang marilah kita bekerja sama."
Tiehu tidak punya daya, ia menurut saja. Keng Sim segera
pilih beberapa penduduk yang kenamaan, yang ia tahu
hatinya jujur, maka mereka itu bersama-sama tiehu lantas
diajak berunding, mendamaikan cara untuk melawan kalau
ada serbuan musuh. Sedang semua musuh yang ditawan
berikut Takahashi, dijebluskan dalam penjara untuk ditahan.
Tiehu ingin Keng Sim terus berada bersama ia tetapi si
anak muda menolak.
"Aku masih ada punya urusan lain," pemuda itu memberi
alasan. Tiehu ingat orang sudah ditahan beberapa hari, mungkin
dia ingin menemui sahabat-sahabatnya, ia tidak dapat
memaksa. Lagi-nya ia kuatir hati si anak muda berubah kalau
ia menggunai paksaan.
Keng Sim segera bertindak keluar, diikuti oleh barisan
nelayan yang tadi dipimpin Cio Bun Wan. Mereka itu bersoraksorai
karena kegembiraannya. Rakyat pun turut bergembira,
sedang tadinya mereka berkuatir sekali menyaksikan aksi
pihak musuh yang garang itu.
Tanpa merasa Ie Sin Cu mengikuti keluar.
404 Bun Wan tidak perhatikan itu "pemuda," adalah Keng Sim
yang melihat orang, tangan siapa ia lantas tarik. Lebih dulu
daripada itu ia mengawasi dengan wajah tersenyum.
"Mari kita pergi bersama!" mengajak Keng Sim.
Karena orang berbicara, Bun Wan menoleh. Melihat si nona
berpaling, Sin Cu bersenyum kepadanya. Bun Wan membalas
mengangguk, ia hanya tetap tawar sikapnya. Sama sekali ia
tidak sudi bicara, hingga Sin Cu pun tidak dapat membuka
mulutnya. Sin Cu sendiri jengah, merah mukanya. Belum pernah
tangannya dipegangi seorang pria dan sekarang Keng Sim
mencekalnya dan ditarik. Syukur untuknya, mereka berada di
antara banyak orang dan Keng Sim juga tidak memperhatikan
padanya. Tiga muda-mudi ini berjalan bersama. Mereka diawasi
penduduk, yang berkumpul di jalan-jalan besar. Mereka itu
penduduk yang berdekatan, yang baru saja mendengar kabar
perihal huru-hara di kantor tiehu. Rata-rata orang puji Keng
Sim dan caci bangsa kate (pendek).
Supaya tidak terganggu orang banyak itu, Keng Sim ajak
dua kawannya ambil jalan kecil, untuk menghindarkan diri.
Sampai jauh ia masih dengar suara riuh dari rakyat jelata itu.
"Semakin perompak kejam, semakin naik amarahnya
rakyat," bilang Keng Sim sembari jalan. "Peristiwa hari ini ada
bukti nyata."
Mendengar itu, Ie Sin Cu berkata di dalam hatinya: "Inilah
rupanya sebab kenapa pemuda ini suka serahkan dirinya
ditawan. Dia hendak membangunkan semangat rakyat, dia
mengatur siasatnya itu."
405 Cuma Nona Ie masih belum tahu apa sebabnya selagi tiehu
dan panitya penduduk berunding di dalam kantor, untuk
membicarakan daya akan menghadapi musuh nanti, pemuda
itu meninggalkannya. Adakah urusan lebih penting daripada
daya perlawanan terhadap musuh"
Selagi Sin Cu ingin minta keterangan pada Keng Sim,
pemuda itu sendiri mengawasi ia dan Bun Wan sambil
tertawa. Dia kata: "Apakah kamu berdua telah saling
berkenalan?"
"Hm, bagus sahabatmu!" menyahut si Nona Cio.
Keng Sim heran.
"Saudara Ie ini sungguh satu sahabat sejati," ia bilang.
"Kita berdua berkenalan di permukaan sungai. Pertama kali
aku bertemu dia selagi dia melupakan segala bahaya untuk
menolong seorang nelayan ayah dan gadisnya."
"Dengan begitu dia benar seorang gagah dan mulia
hatinya, cuma..."
Bun Wan tidak melanjuti kata-katanya itu.
"Cuma"..." tanya Keng Sim.
"Cuma dia rada ceriwis..." si nona hendak menyahuti,
hanya karena memandang toasuheng itu, batal membuka
mulutnya. Ia kata saja: "Cuma dia terlalu muda sedikit..."
Keng Sim tertawa. Ia sebenarnya mengandung maksud,
ialah supaya sumoay itu mengikat jodoh dengan "pemuda" ini,
ia hanya tidak tahu, sumoay itu sudah menanam bibit
asmaranya terhadap Seng Hay San.
406 "Saudara Tiat, kau hendak pergi ke mana?" tanya Sin Cu,
yang tidak perdulikan sikapnya Bun Wan.
"Kau sendiri hendak pergi ke mana?" pemuda itu balik
menanya. "Pasti sekali, aku hendak pulang ke rumahku," jawab Sin
Cu. "Kalau begitu, aku juga hendak pergi ke rumahmu!" ujar si
anak muda. Sin Cu heran. Ia lihat orang tidak tengah bergurau. Ia
berpikir: "Dia kata kepada tiehu dia punya urusan penting,
kenapa sekarang dia punyakan tempo luangnya untuk ikut
padaku?" Ia masgul tetapi ia pun girang. Ia jalan terus, ke
rumahnya Thio Hek.
Tidak lama, tibalah mereka. Ketika Sin Cu dipapak Thio
Hek, yang baru keluar dari rumahnya, ia heran, bahkan
terperanjat, sebab nelayan itu ada bersama seorang yang ia
tidak sangka-sangka.
"Kau di sini?" katanya pada orang itu, siapa pun menegur:
"Oh, kiranya kau?"
"Ya, kiranya kau?" Keng Sim pun berkata.
Orang itu ada Seng Hay San, yang tetap dengan
dandanannya sebagai nelayan yang sederhana.
"Ini Seng Toako adalah utusannya Toako Yap Cong Liu,"
Thio Hek lantas mengajar kenal. "Seng Toako yang bakal
mengajak kita pergi kepada Yap Toako itu."
407 "Kapan kau kenal Yap Toako?" Keng Sim tanya sutee-nya
itu. "Kenapa aku tidak tahu" Sumoay membilangi aku, Yap
Toako ada mengirim utusan, aku tanya siapa utusan itu, ia
tidak hendak memberitahukan. Kiranya kau!"
"Selama beberapa bulan ini aku bersama sumoay berada
di tempatnya Yap Toako," Hay San memberikan jawaban,
"bahkan beberapa kali kita sudah pernah bertempur sama
rombongan perompak. Baru beberapa hari yang lalu kita


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang. Sudah beberapa bulan kau pesiar, suko, tidak ada
ketikanya untuk kita memberi keterangan padamu."
Keng Sim tertawa.
"Kamu telah menjadi dewasa, sekarang kamu pandai
bekerja!" ia bilang. "Aku tadinya menduga kamu masih
berdiam tetap di rumah, memain menangkap burung dan
mengail ikan!..."
Hay San pun tertawa.
"Dalam beberapa hari ini kita memang berdiam di rumah,"
ia mengasi tahu. "Syukur suko tidak ketahui yang kita pernah
meninggalkan rumah, jikalau tidak, kau tentu tidak bakal
mengutus ini saudara Ie datang ke Peksee cun untuk mencari
kita. Di samping itu aku juga menyangka yang saudara Ie ini
adalah bala bantuan yang diundang Yap Toako. Baru tadi aku
terima suaranya Yap Toako, yang menyuruh aku datang ke
mari untuk menyambut seorang gagah dari Shoatang yang
toako undang. Tadinya aku menduga kepada Toaliongtauw Pit
Kheng Thian, siapa tahu sebenarnya ini saudara Ie! Sungguh
kebetulan! Coba kemarin ini aku tidak bertemu sama saudara
Ie ini, pastilah aku dan sumoay telah kena dibekuk si kuku
garuda!" "Apakah kau pun kenal Pit Kheng Thian?" Sin Cu menyelak.
408 "Belum pernah aku bertemu sama dia," jawab Hay San,
"hanya namanya toaliongtauw dari lima propinsi Utara begitu
terkenal, siapakah yang belum pernah mendengarnya?"
Mendengar itu, Keng Sim mengerutkan kening.
"Nama orang, bayangan pohon," katanya, seperti kepada
dirinya sendiri, "kata-kata ini beralasan juga. Hanya belum
tentu semua orang sama dengan namanya yang kesohor itu.
Maka itu, janganlah kasi diri kita digetarkan oleh nama lain
orang. Aku dengar Pit Kheng Thian ada pemimpin partai Kaypang
di Utara, sekarang dia menjadi kepala kaum kangouw,
rupanya dia berhak juga memangku kedudukannya itu."
Seng Hay San tidak kenal Kheng Thian, ia berdiam saja,
tidak demikian dengan Ie Sin Cu. Biar ia tak berkesan baik
terhadap pemimpin kaum pengemis itu, ia kurang senang atas
pandangannya Keng Sim ini. Ia kata dalam hatinya:
"Kau belum pernah ketemu Pit Kheng Thian, kenapa kau
menimbang secara begini sembrono" Apa mungkin seorang
pemimpin pengemis tak dapat menjadi pemimpin kaum
kangouw seumumnya?"
Keng Sim ada dari keluarga berpangkat, ia pun pandai ilmu
surat berbareng ilmu silat, maka itu, pandangannya mengenai
orang kangouw ada sedikit berlainan, rada memandang
enteng. Sin Cu adalah lain. Nona ini benar ada puteri tunggal
dari satu menteri, tetapi Ie Kiam bukan sembarang orang
berpangkat, ia beda dari menteri-menteri lainnya. Ie Kiam
telah jadi menteri, tapi di rumahnya ia suka bekerja kasar, ia
tidak bawa lagaknya si menteri yang agung dan mulia. Sin Cu
mewariskan sifat ayahnya ini. Sudah begitu, ia pun
terpengaruh Thio Tan Hong, gurunya yang sederhana, yang
kenyang mengumbara dan pernah merasai pelbagai
409 penderitaan, sedang sahabat-sahabatnya adalah kaum
Raja Naga 7 Bintang 4 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Setia 10
^