Peristiwa Bulu Merak 2
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Bagian 2
melupakan duka-lara dan penderitaan di dunia ini, meski itu
bisa diperolehnya hanya sekejap.
Sayang manusia tetap manusia, bukan malaikat atau dewa,
umpama malaikat dan dewa, mungkin juga memiliki
penderitaan mereka sendiri, bahwa mereka tertawa lebar,
bukan mustahil hanya sengaja ditunjukkan kepada umat
manusia, demikian dia menghibur diri dalam hati.
Muka Pho Ang-soat yang pucat masih kelihatan berkerutmerut,
tubuhnya juga kelihatan bergerak, sekuatnya Binggwat-
sim menekan rasa sakit hatinya, mendadak dia berkata,
"Orang yang satu tadi, tentu kau pun sudah melihatnya."
"Sudah tentu kulihat."
Bing-gwat-sim berkata, "Tapi kau tidak memperhatikan dia
karena dia juga orang awam ..."
Orang biasa seperti buih di permukaan air, bagai sebutir
gabah di dalam beras, siapa pun jarang memperhatikan dia.
Tapi bila air sudah masuk ke tenggorokan, mendadak kau
akan sadar, buih itu sudah berubah menjadi jari hitam, dari
tenggorokan menusuk ke dalam jantungmu.
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, "Karena itu aku
selalu beranggapan orang semacam ini paling menakutkan,
jikalau tadi dia sendiri memperlihatkan belangnya, mungkin
sampai sekarang kau tetap tidak akan memperhatikan dia."
Pho Ang-soat mengakui hal ini, tapi kenapa orang itu
sengaja berbuat demikian"
Bing-gwat-sim berkata, "Karena dia hendak mencari tahu
jejak kita."
Ibu jari tentu sudah tahu adanya kereta yang berhenti di
seberang jalan dan sedang mengawasi gerak-geriknya, maka
dia sengaja menyembur basah kakinya, dengan tertawa serta
munduk-munduk membersihkan kaki orang, saat itulah dia
memberi kisikan kepadanya. Bahwa lelaki yang basah kakinya
ini sengaja jatuh di bawah kaki kuda, karena dia juga tahu
hanya dengan berbuat demikian baru bisa memaksa
penumpang di kabin kereta keluar.
Bing-gwat-sim tertawa getir, katanya, "Sekarang kita belum
tahu asal-usulnya, dia malah sudah bisa melihat kita, dalam
waktu satu jam tentu dia sudah berhasil menemukan tempat
Yan Lam-hwi."
Pho Ang-soat bertanya mendadak, "Tangan hitam juga
bermusuhan dengan Yan Lam-hwi?"
"Tidak," sahut Bing-gwat-sim, "mereka tidak pernah
membunuh orang lantaran permusuhan atau dendam pribadi."
"Lalu untuk apa mereka membunuh orang?"
"Perintah," pendek jawaban Bing-gwat-sim. Begitu perintah
tiba, mereka segera membunuh, siapa pun mereka bunuh.
"Jadi mereka juga mendengar perintah orang?"
"Hanya mendengar perintah seorang."
"Perintah siapa?"
"Perintah Kongcu Gi."
Mengencang genggaman tangan Pho Ang-soat.
"Kalau hanya lima orang anggota tangan hitam, belum
cukup mampu membentuk kekuatan mereka dalam satu
organisasi besar."
Mereka boleh dikata sudah menjaring seluruh pembunuh
bayaran dan manusia-manusia durjana, demikian pula Ngoheng-
siang-sat dan Kwi-gwa-po jelas masuk dalam anggota
organisasi itu. Padahal penghasilan mereka pribadi sudah
teramat tinggi, untuk menjaring atau menggaruk mereka jelas
tidak mudah. "Di kolong langit ini, hanya ada satu orang saja yang
menggenggam kekuatan besar ini," Bing-gwat-sim mendesis
lirih. "Kongcu Gi maksudmu?" Pho Ang-soat menegas.
"Ya, hanya dia seorang."
Pho Ang-soat mengawasi jari-jari tangan sendiri yang
menggenggam gagang golok, pelupuk matanya memicing dan
mulai kedutan pula.
Bing-gwat-sim juga berdiam diri, agak lama kemudian baru
bersuara lagi, "Membunuh untuk mencegah pembunuhan, tadi
seharusnya kau sudah membunuh orang itu."
Pho Ang-soat tertawa dingin.
"Aku tahu selamanya kau tidak sembarangan mencabut
golokmu, tapi orang yang satu ini cukup setimpal untuk kau
mencabut senjata."
"Jadi kau beranggapan bahwa dia itulah Bu-bing-cay?"
Perlahan Bing-gwat-sim mengangguk, katanya, "Aku malah
curiga bahwa dia itu si Merak."
"Merak?"
"Merak adalah sejenis burung, burung yang elok dan cantik,
terutama bulunya?"
"Tapi merak yang kau maksud justru bukan burung."
"Ya, yang kumaksud memang bukan burung, tapi manusia,
seorang yang menakutkan," pelupuk matanya ternyata juga
kedutan, suaranya makin perlahan, mengandung perasaan
ngeri, "Malah aku berpendapat bahwa dia orang yang paling
menakutkan di jagat ini."
"Kenapa?"
"Karena dia memiliki Bulu merak."
Bulu merak. Waktu mengucap kedua kata ini, sorot matanya mendadak
menampilkan rasa hormat, takut dan juga ngeri.
Rona muka Pho Ang-soat ternyata juga berubah.
Merak memang punya bulu, seperti kambing punya tanduk,
bukan saja berharga juga kelihatan indah. Tapi Bulu merak
yang dibicarakan di sini bukan bulu merak seekor burung,
bukan bulu benar-benar bulu, tapi Bulu merak yang dimaksud
di sini adalah sejenis Am-gi, senjata rahasia yang indah tapi
juga amat misterius, senjata rahasia yang mengerikan.
Tiada orang yang bisa melukiskan keindahannya, juga
tiada seorang pun di jagat ini yang dapat meluputkan diri dari
serangan Am-gi ini, menangkis pun tidak.
Di kala Am-gi itu disambitkan, keindahannya yang semarak
dan cemerlang begitu misterius, bukan saja dapat membuat
orang terpesona, pusing dan pandangan kabur, malah bisa
membuat orang lupa takut akan kematian yang mengancam
jiwanya. Konon setiap korban yang mati oleh Am-gi ini wajahnya
tentu menampilkan senyuman lucu yang misterius, sehingga
banyak orang berpendapat bahwa dia suka rela mati oleh Amgi
itu. Umpama orang-orang kebanyakan, meski tahu
kembang mawar itu ada durinya, tapi justru memetiknya.
Karena keindahan yang semarak itu, jelas tak mungkin
dilawan oleh kekuatan manusia lumrah.
"Tentu kau juga tahu Bulu merak itu."
"Ya, aku tahu."
"Tapi kau pasti tidak tahu, bahwa Bulu merak sekarang
sudah tidak berada di Khong-jiok-san-ceng (perkampungan
merak)." Biasanya jarang Pho Ang-soat terpengaruh oleh keadaan
sekelilingnya, hatinya seperti beku, kapan dia pernah goyah
keteguhan imannya, namun waktu dia mendengar berita ini,
jelas kelihatan dia agak kaget. Bukan saja dia tahu Bulu
merak, malah dia pun pernah berkunjung ke perkampungan
merak itu. Perasaan hatinya waktu itu, seperti seorang umat saleh
berada di tempat suci.
Waktu itu permulaan musim rontok, suatu malam di musim
rontok. Selama hidup belum pernah dia lihat perkampungan
megah, angker dan seindah itu. Meski dironai tabir malam,
namun keindahan perkampungan merak itu sungguh
menyerupai istana dewa di dalam dongeng.
"Di sini ada sembilan lapis pekarangan atau taman, di
antaranya sudah dibangun sejak tiga ratus tiga puluh tahun
yang lalu, mengalami beberapa generasi, baru tempat ini
kelihatan bentuknya seperti sekarang."
Orang yang menerima kedatangannya adalah adik
kandung Khong-jiok-san-ceng Cengcu yang paling kecil, Jiu
Cui-jing. Jiu Cui-jing adalah seorang yang pandai menyimpan
rahasia setiap kali berbicara. Yang benar bukan saja tempat
ini teramat megah, besar dan jaya, bahwa perkampungan ini
bisa berdiri juga sudah merupakan keajaiban. Memang suatu
keajaiban, karena setelah mengalami beberapa kali perang,
tempat ini tetap aman sentosa, tidak pernah terlanda oleh api
peperangan. Dinding kaca yang terletak di pekarangan paling belakang
tampak mengkilap, di atasnya tergantung dua belas lampion
warna-warni, cahaya lampion yang terang-temaram menyinari
sebuah gambar lukisan raksasa di atas kaca itu. Puluhan
lelaki berwajah bengis dan buas, bergaman aneka ragam
senjata, sorot mata mereka tampak kaget, bingung dan
ketakutan, karena seorang pemuda pelajar berwajah putih
memegang sebuah bumbung kuning emas, dari bumbung
emas inilah memancar cahaya cemerlang laksana pelangi
yang berwarna-warni. Warna yang lebih semarak, lebih indah
dari lembayung.
"Sudah lama berselang peristiwa ini terjadi, waktu itu dalam
golongan hitam terdapat tiga puluh enam manusia durjana,
untuk menghancurkan tempat ini, mereka berserikat dan
berkomplot menyerbu dengan kekuatan gabungan mereka
yang besar, konon bila tiga puluh enam orang ini bergabung,
jarang ada musuh yang mampu melawan mereka. Akan tetapi,
tiada satu pun dari ketiga puluh enam orang itu yang bisa
pergi dari sini, semuanya tertumpas. Sejak peristiwa itulah,
tiada golongan atau aliran, entah itu organisasi penjahat yang
terbesar sekalipun tiada yang berani mengganggu
perkampungan merak. Sejak itu adalah Bulu merak
menggetarkan dan disegani di kolong langit."
Sampai sekarang apa yang pernah diuraikan Jiu Cui-jing
dahulu, seperti masih terngiang di telinganya. Mimpi pun tidak
terpikir olehnya bahwa Bulu merak sekarang sudah tidak
berada di perkampungan merak lagi.
"Itulah sebuah rahasia," ujar Bing-gwat-sim. "Selamanya
tiada orang tahu akan rahasia ini di kalangan Kangouw."
Ternyata Bulu merak lenyap dari tangan majikan generasi
ketiga belas keluarga Jiu di puncak Thay-san.
"Sampai sekarang baru rahasia ini mulai diketahui orang
luar karena secara mendadak Bulu merak tahu-tahu telah
muncul di kalangan Kangouw. Pernah muncul dua kali, dan
membunuh dua tokoh yang amat terkenal, pembunuhnya
justru bukan anak didik keluarga Jiu maupun warga
perkampungan merak.
"Selama Bulu merak masih ada, tiada seorang pun dari
kalangan Kangouw yang berani meluruk ke perkampungan
merak, kalau tidak, tempat megah ini tentu sudah hancur lebur
sejak lama. Perkampungan merak sudah berdiri sejak tiga
ratus tahun lebih, dengan bangunannya mencapai delapan
puluh li, dengan penghuni lima ratus jiwa lebih, seluruh benda
yang ada, baik yang hidup maupun yang mati dalam
perkampungan merak ini berdiri dan ditunjang hanya oleh Bulu
merak yang kecil dan indah."
Akan tetapi Bulu merak itu sudah terjatuh ke tangan
seorang yang tidak dikenal asal-usulnya. Maka Pho Ang-soat
bertanya, "Jadi orang itu adalah Merak."
"Benar."
Badak dibunuh karena orang ingin mengambil culanya,
kuburan dibongkar karena pencuri ingin mengeduk harta
peninggalan dalam layon, si lemah yang miskin dan
sederhana jarang tertimpa bencana, gadis yang molek
mukanya, jauh lebih mudah mempertahankan kesucian
perawannya. Karena itu hanya mereka yang terlalu biasa,
terlalu awam atau orang yang tidak punya nama, baru bisa
mempertahankan senjata ampuh macam Bulu merak itu.
'Merak' maklum akan hal ini. Sebetulnya dia bukan manusia
jenis ini, seperti juga orang kebanyakan, dia pun
mendambakan harta benda, kekayaan dan nama besar.
Sejak peristiwa di malam musim panas dulu, menyaksikan
gadis yang dicintainya ditindih dan ternoda kesuciannya oleh
seorang yang kaya di atas tanah berumput, dalam hati dia
sudah berkeputusan, dia ingin mengejar dan mendapatkan
kekayaan dan kebesaran yang selalu diimpi-impikan orang
lain. Dan harapannya ternyata tidak sia-sia, barang yang
diperolehnya ternyata jauh lebih berharga dari apa yang dia
impikan sendiri, dia menemukan Bulu merak. Maka tekadnya
berubah, karena dia seorang pintar, dia tidak ingin menjadi
badak yang terbunuh dan diambil culanya.
Justru sebaliknya, dia ingin membunuh orang. Setiap kali
dia teringat adegan di malam musim panas itu, terbayang
betapa gadis itu merintih, meronta dengan napas ngos-ngosan
dan keringat yang bercucuran, maka timbul keinginannya
membunuh orang.
ooooOOoooo Hari ini dia tidak membunuh orang, bukan dia tidak punya
keinginan, tapi dia tidak berani. Berhadapan dengan orang
yang bermuka pucat, sorot matanya yang kaku dingin, entah
mengapa hatinya mendadak menjadi jeri dan takut.
Sejak dia memiliki Bulu merak, baru pertama kali dia
merasa takut terhadap seseorang. Bukan golok hitam itu yang
ditakuti, tapi orang yang memegang golok itu, meski orang ini
hanya berdiri diam, namun dia jauh lebih tajam dari golok
kebanyakan yang terlolos dari sarungnya.
Melihat tatapan matanya, jantungnya lantas berdetak,
hingga dia kembali ke rumahnya, jantung masih kebat-kebit,
bukan lantaran tegang atau takut, tapi lantaran bergairah.
Sungguh ingin sekali dia mencoba, apakah Bulu merak
mampu membunuh orang yang satu ini, akan tetapi dia justru
tidak punya keberanian untuk mencobanya.
Itulah rumah sederhana, hanya ada satu ranjang, satu meja
dan satu kursi. Begitu masuk kamar lantas dia ambruk,
ambruk di atas ranjang yang dingin dan keras, rebah di atas
ranjang ternyata tidak memberikan ketenangan baginya,
mendadak dia menyadari sesuatu benda telah tegak berdiri di
selangkangannya.
Dia memang terlalu bergairah, terlalu bernafsu, karena dia
ingin membunuh orang, terbayang pula peristiwa di malam
musim panas dulu ... keinginan membunuh ternyata
mendorong pula napsu birahinya, hal ini dia sendiri pun
merasa luar biasa. Dan payahnya, bila napsu ini sudah
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkobar, maka dia tidak kuasa membendung atau
menahannya. Dia tidak punya teman perempuan, selamanya dia tidak
mau percaya lagi pada orang perempuan, perempuan mana
pun pantang mendekati dirinya, dan untuk melampiaskam
napsunya ini dia hanya membunuh orang.
Sayang sekali orang yang ingin dia bunuh justru adalah
orang yang tidak berani dia bunuh. Sore hari di musim semi,
ternyata berubah sepanas musim panas, perlahan dia
mengulur tangannya yang sudah berkeringat ... sekarang
terpaksa dia menyelesaikan dengan tangan, lalu dia rebah
mendekam di atas ranjang, mendadak dia muntah, muntah
sambil mengucurkan air mata.
Menjelang senja, namun senja belum tiba.
Seorang mendorong pintu pelan-pelan tanpa mengeluarkan
suara, lalu menyelinap masuk secara diam-diam,
perawakannya meski gendut dan lamban, namun gerakgeriknya
ternyata seenteng kucing.
Khong-jiok atau Merak masih rebah diam di atas ranjang
tanpa bergerak, dingin-dingin saja dia mengawasi orang ini,
selama ini dia paling tidak suka kepada si gendut yang dungu
ini, apalagi dalam keadaan seperti dirinya sekarang, timbul
rasa muak dan benci dalam benaknya, karena orang ini
hanyalah seorang sida-sida, laki-laki yang sudah dikebiri
'anu'nya, lelaki tak berguna, lebih tepat kalau dianggap babi.
Akan tetapi babi yang satu ini tak pernah disiksa oleh
kobaran nafsu birahi, maka selama hidup dia tidak akan
pernah merasakan derita yang mendesak itu. Mengawasi
wajah bundar yang tertawa menyengir ini, sungguh hampir tak
tertahan ingin dia menggenjot pecah hidungnya.
Tapi dia dipaksa untuk menahan diri, karena babi ini adalah
koleganya, karena dia ini Ibu jari.
Ibu jari masih tertawa, langsung mendekati ranjang,
katanya, "Aku tahu kau cukup mampu memancing mereka
keluar, terbukti kau belum pernah gagal dalam menunaikan
tugas." Tawar suara Merak, "Kau melihat mereka?"
Ibu jari manggut-manggut, katanya, "Yang perempuan
adalah Bing-gwat-sim, yang lelaki ialah Pho Ang-soat." Pho
Ang-soat. Jari-jari tangan Merak mengepal kencang, dia pernah
mendengar nama ini, tahu orangnya, lebih jelas tentang
goloknya, golok kilat yang tiada bandingannya di dunia.
Ibu jari berkata, "Bahwa Yan Lam-hwi bisa bertahan hidup
sampai sekarang adalah gara-gara Pho Ang-soat, maka
Mendadak Merak berjingkrak berdiri, katanya, "Maka untuk
membunuh Yan Lam-hwi, harus membunuh Pho Ang-soat
lebih dulu." Mukanya merah bersemangat, kedua matanya
menyala. Ibu jari menatapnya dengan kaget, selama ini tiada orang
yang pernah melihat dia begitu bergairah, begitu emosi. Merak
yang tabah, Merak yang tak terkenal, Merak bukan sembarang
merak, Merak yang ini mampu membunuh orang.
Ibu jari coba bertanya, "Kau ingin membunuh Pho Angsoat?"
Merak tertawa, katanya, "Selama ini aku suka membunuh
orang, Pho Ang-soat kan juga manusia."
"Tapi dia bukan manusia kebanyakan, untuk membunuhnya
bukan suatu hal yang gampang."
"Aku tahu, maka aku tidak akan turun tangan sendiri."
"Kalau kau sendiri tidak berani, memangnya siapa yang
berani mengusik dia?"
Merak tertawa, katanya, "Aku tidak akan bergerak hanya
karena aku ini bukan orang ternama, aku pun tidak ingin
terkenal."
Ibu jari tertawa, tertawa dengan mata memicing, "Kau ingin
menyuruh Toh Lui mengadu jiwa dulu dengan dia, lalu kau
akan memungut keuntungan dari belakang?"
"Peduli siapa di antara mereka yang mati, aku tidak akan
berduka." Bing-gwat-sim amat tersiksa. Tersiksa seperti keong yang
sudah lama bersembunyi di dalam cangkangnya dan tidak
bisa berjemur di bawah sinar matahari.
Topeng yang sekarang dipakainya ini dia beli tahun lalu
waktu di kelenteng ada perayaan, bikinannya memang bagus
dan halus, tapi jikalau dipakai terlalu lama, mukanya terasa
gatal dan kepanasan. Bila kulit muka sudah terasa gatal dan
tidak bisa digaruk, maka sekujur badan ikut merasa gatal dan
risi. Tapi tiada niatnya menanggalkan topeng itu, sekarang
agaknya dia jadi takut bila Pho Ang-soat melihat mukanya.
Waktu mereka beranjak masuk, sinar surya yang sudah
mendoyong ke barat tetap menyinari mawar merah di pinggir
jendela, mawar yang baru saja tersiram hujan, maka
warnanya kelihatan elok dan segar.
Air muka Yan Lam-hwi justru amat pucat bagai kertas.
"Yan-kongcu pernah siuman tidak?"
"Tidak," nona cilik bermata bundar besar itu tetap berjaga di
samping Yan Lam-hwi.
"Kau sudah memberi minum obat?"
"Juga tidak," sahut nona cilik sambil mendekap mulut dan
tertawa cekikikan. "Tanpa pesan nona, menyentuh pun aku
tidak berani."
"Kenapa?"
"Karena..." nona cilik cekikikan genit, "karena aku kuatir
nona cemburu."
Bing-gwat-sim melototinya gemas, lalu berpaling serta
bertanya kepada Pho Ang-soat, "Apakah sekarang sudah
saatnya makan obat?"
Menghadap ke arah jendela, Pho Ang-soat mengangguk
perlahan. Sinar surya yang mendoyong miring menyorot masuk
memenuhi kamar, kertas hias di jendela masih baru, demikian
pula kayu jendela juga baru saja dicat, hingga mengkilap
bersih laksana kaca. Kedua daun jendela terbentang miring
kedua arah berlawanan, kertas kaca yang tertempel di atas
jendela memetakan gambar kembang mawar yang sedang
mekar di sebelah kanan, sementara di kertas kaca sebelah kiri
memetakan gambar terbalik yang ada di dalam kamar,
bayangan si nona cilik dan Bing-gwat-sim terlihat jelas di
dalamnya. Bing-gwat-sim duduk di pinggir ranjang, tangannya
memegang botol kayu yang berisi obat, dituangnya sebutir pil
serta dicairkan dengan air putih. Gerak-geriknya kelihatan
amat prihatin, seperti takut bila obat itu tumpah dari sendok
hingga mengurangi kadar obatnya. Akan tetapi obat yang
sudah cair di dalam sendok tidak dia cekokan ke mulut Yan
Lam-hwi. Pho Ang-soat masih berdiri membelakangi mereka, sekilas
dia mencuri lirik kepadanya, mendadak obat di dalam sendok
itu dia buang ke dalam lengan baju nona cilik, lalu dia purapura
memapah Yan Lam-hwi dan mendekatkan sendok
kosong itu ke dekat mulutnya.
Apa maksudnya"
Bing-gwat-sim mengundang Pho Ang-soat adalah untuk
menolong jiwa Yan Lam-hwi, akan tetapi jiwa yang sekarat
siapa pun takkan bisa menyelamatkan.
Pho Ang-soat masih tetap berdiri di tempatnya, diam tidak
memberi reaksi. Walau dia tidak menoleh, kejadian di
belakangnya juga dapat disaksikan dari bayangan kertas kaca
di jendela, namun sedikitpun dia tidak memberi reaksi.
Diam-diam Bing-gwat-sim meliriknya sekali, lalu pelanpelan
menurunkan Yan Lam-hwi, gumamnya, "Setelah makan
obat sekali ini, bila tidur nyenyak cukup lama kukira besok
pagi juga dia sudah siuman."
Padahal dalam hati dia tahu, Yan Lam-hwi tidak mungkin
bisa siuman. Di mulut bicara penuh harap dengan helaan
napas rawan, sorot matanya justru seterang sinar rembulan,
mimik mukanya seperti mengulum senyum nakal.
Pada saat itulah, seorang mendadak berteriak di luar pintu,
"Ada surat untuk Pho-tayhiap."
Kertas surat dan sampulnya mudah dibeli di toko buku
dimana saja asal berani bayar, sebab kertas surat itu dari jenis
kertas termahal.
Cekak dan sederhana sekali surat itu, gaya tulisannya juga
rajin. "Besok siang, di kebun keluarga Ni, di luar gardu
pemandangan, bawalah golokmu, satu orang, satu golok."
Pho Ang-soat tidak memeriksa tanda tangan penulis surat
ini, dia sudah tahu yang menulis pasti adalah seorang yang
patuh akan tata tertib dan kebersihan, namun dia juga suka
pamer kekayaan dan kepintarannya. Pandangan Pho Angsoat
memang tidak meleset.
Bing-gwat-sim menghembuskan napas panjang, katanya,
"Aku sudah menduga Toh Lui pasti akan menantangmu, tak
nyana begini cepat tantangannya datang."
Dengan sebelah tangannya yang tidak memegang golok,
Pho Ang-soat melempit kertas surat itu, lalu tanyanya, "Kebun
keluarga Ni terletak dimana?"
"Tuh, di seberang rumah sana."
"Bagus sekali."
"Apanya yang bagus?"
Dingin suara Pho Ang-soat, "Aku ini seorang timpang,
sebelum berduel aku tidak ingin menempuh perjalanan jauh."
"Jadi kau sudah siap menerima tantangannya?"
"Ya, sudah pasti."
"Pergi sendirian?"
"Satu orang, satu golok."
Bing-gwat-sim mendadak tertawa dingin, katanya, "Bagus
sekali." Ucapan yang sukar dimengerti, jengek tawanya juga ganjil,
Pho Ang-soat tidak habis mengerti, tapi dia tidak bertanya.
Bing-gwat-sim berkata, "Malam ini kau boleh tidur nyenyak
menyegarkan badan, besok pagi setelah sarapan, cukup
beberapa langkah kau akan sudah berada di kebun keluarga
Ni yang sudah lama telantar itu, masih ada banyak waktu
untuk memeriksa dan meneliti setiap jengkal dan keadaan di
sana." Duel antara dua jago kosen, siapa dapat menguasai situasi
dan kondisi, merupakan unsur penting untuk mencapai
kemenangan. "Orang jenis apa Toh Lui itu, kau sudah melihatnya sendiri,
dia sebaliknya tidak tahu tentang seluk-beluk dirimu. Bisa tahu
kekuatan lawan untuk mengukur kemampuan sendiri, jelas hal
ini jauh lebih penting daripada tahu lebih dulu akan situasi dan
kondisi arena. "Maka dalam duel nanti kau sudah menempatkan diri pada
posisi yang lebih unggul, tiba waktunya asal kau mencabut
golokmu, hanya dua belas orang yang akan tercantum di
dalam daftar orang-orang yang ternama. Umpama kau tidak
punya kegemaran membunuh orang, tapi peristiwa itu patut
dibuat girang."
Mendadak dia tertawa dingin, suaranya meninggi, "Tetapi
bagaimana dengan Yan Lam-hwi" Apa kau tidak memikirkan
dirinya?" Tawar suara Pho Ang-soat, "Orang yang akan berduel kan
bukan dia."
"Tapi orang yang akan mati sudah pasti adalah dia."
"Ya, pasti."
"Ibu jari dan Merak sekarang tentu sudah tahu dimana dia
berada, bila kau memasuki kebun keluarga Ni, mereka pasti
akan menerobos masuk kemari."
Otot hijau tampak merongkol di punggung tangan Pho Angsoat
yang menggenggam gagang golok.
Bing-gwat-sim menatapnya, suaranya sinis, "Mungkin
sebelum ini kau pernah menolong jiwanya, akan tetapi kali ini
umpama tiada kau di sini, kemungkinan dia malah bisa
bertahan hidup lebih lama."
Otot hijau di punggung tangan Pho Ang-soat tampak lebih
mengencang, mendadak dia mengajukan pertanyaan yang
semestinya bukan dia yang bertanya, "Apa benar kau
memperhatikan dia?"
"Memangnya harus diragukan," seru Bing-gwat-sim,
jawabannya reflek, spontan, tanpa pikir dulu, jawaban yang
wajar. Kejadian membuang obat dalam sendok ke dalam
lengan baju nona cilik tadi, seolah-olah tidak pernah terjadi
atau tiada sangkut-pautnya dengan dia.
Pho Ang-soat tidak melihat mimik mukanya, umpama dia
menoleh juga tidak akan melihatnya, karena Bing-gwat-sim
masih mengenakan topengnya yang tertawa lebar itu, lalu
perempuan macam apakah sebenarnya yang tersembunyi di
balik topeng lucu itu"
Agak lama kemudian baru Pho Ang-soat bersuara, "Jadi
aku tidak usah pergi."
"Sudah tentu kau harus pergi!"
"Tapi......"
"Tapi sebelum kau berangkat, kau harus mengantarnya ke
suatu tempat yang aman."
"Tempat mana yang aman?"
"Perkampungan merak."
Tiada manusia di jagat ini yang mampu meluputkan diri dari
serangan Am-gi itu, Am-gi yang memancarkan cahaya
cemerlang dan semarak melebihi cahaya pelangi.
Perlahan Pho Ang-soat menghela napas, katanya, "Kau
pernah bilang, Bulu merak sekarang sudah tidak berada di
perkampungan merak, lalu ada siapa pula di perkampungan
itu?" "Di sana masih ada Jiu Cui-jing," sahut Bing-gwat-sim.
Seorang lelaki besar yang pendiam, namanya yang terkenal
cukup disegani orang.
"Walau selamanya dia amat hati-hati dan pandai
menyimpan rahasia, tapi yakin dia tidak akan menolak
kedatanganmu dan orang yang kau antar ke sana."
"Ah, masakah begitu?"
"Betul, karena dia banyak berhutang terhadapmu."
"Hutang apa?"
"Hutang jiwa," seperti tidak memberi kesempatan kepada
Pho Ang-soat bicara, "walaupun jarang engkau menolong
orang, tapi kau pernah menolong jiwanya, malah
menolongnya dua kali, pertama di pesisir Wu-cui, kedua kali di
puncak Thay-san."
Pho Ang-soat tidak dapat menyangkal karena apa yang
diketahui Bing-gwat-sim memang terlalu lengkap.
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang dia sudah menjadi Cengcu perkampungan
merak itu, dia sudah punya kemampuan untuk membalas
hutangnya kepadamu."
"Tapi dia tidak punya Bulu merak."
Bila Bulu merak tidak ada, bukan mustahil perkampungan
merak itupun bakal dihancurkan.
"Banyak orang beranggapan bahwa perkampungan merak
bisa berdiri, jaya dan bertahan sampai ratusan tahun adalah
karena Bulu merak, hingga sekarang baru banyak orang tahu
bahwa Jiu Cui-jing ternyata jauh lebih menakutkan daripada
Bulu merak."
"Alasanmu?"
"Bahwa Bulu merak terjatuh ke tangan orang luar, berita ini
sudah tersiar luas di kalangan Kangouw. Tidak sedikit jumlah
musuh besar perkampungan merak, selama dua tahun ini, ada
enam rombongan musuh yang menyerbu perkampungan
merak," dengan suara kalem dia meneruskan, "enam
rombongan seluruhnya berjumlah tujuh puluh sembilan orang,
setiap orang memiliki kepandaian khas yang lihai."
"Bagaimana akhirnya?"
"Tujuh puluh sembilan gembong-gembong silat itu begitu
masuk ke perkampungan merak, seperti bata yang tenggelam
di lautan, tiada terdengar berita mereka lagi."
"Rombongan terakhir meluruk ke sana di waktu perayaan
Tiong-yang tahun lalu, sejak itu tiada insan persilatan yang
berani coba-coba menyerbu lagi ke perkampungan merak itu."
Pho Ang-sat masih membungkam.
Bing-gwat-sim mengerling ke arahnya, katanya pula, "Letak
perkampungan merak itu tidak jauh dari sini, bila naik kereta
yang berlari kencang, besok sebelum tengah hari pasti sudah
putar balik."
Pho Ang-soat tidak memberi jawaban tapi juga tidak
menentang, lama sekali baru dia berkata, "Tidak takut dicegat
mereka di tengah jalan?"
"Insan persilatan yang ada di Kangouw sekarang, siapa
yang berani mencegat kau?"
"Sedikitnya ada seorang."
"Siapa?"
"Merak yang membawa Bulu merak."
"Dia pasti tidak akan berani turun tangan."
"Kenapa?"
"Walau Bulu merak adalah Am-gi yang tiada keduanya di
kolong langit ini, tapi orang itu bukan tokoh kosen yang tiada
bandingannya di dunia, dia takut golokmu lebih cepat dari dia."
Betapapun lihainya sesuatu Am-gi, bila tidak sempat
dilancarkan, apa bedanya dengan barang rongsokan, hal ini
memang benar, Pho Ang-soat terkancing mulurnya.
"Kalau kau tidak ingin dia mati di tangan orang lain, maka
sekarang juga kau harus membawa kami ke sana."
Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan, "Aku boleh
saja membawa kalian ke sana, tapi ada satu hal ingin aku
tanya kau."
"Silakan bertanya."
Dingin suara Pho Ang-soat, "Jika kau benar-benar
memperhatikan dia, kenapa obat itu kau lemparkan ke dalam
lengan baju orang lain?" Tanpa menoleh dia lantas menduga
bahwa Bing-gwat-sim tidak akan mampu menjawabnya.
Bing-gwat-sim memang terlongong, dia memang tidak
menjawab, juga tidak mau menjawab. Dengan mendelong
terpaksa dia mengawasi Pho Ang-soat yang beranjak keluar,
meski jalannya lambat, namun tidak berhenti. Bila dia sudah
mulai berjalan, pasti tidak akan berhenti.
Sinar surya sudah makin guram seterang sinar rembulan.
Sinar mentari yang guram kebetulan menyinari wajah Yan
Lam-hwi. Angin menghembus datang dari puncak gunung,
membawa bau harumnya kayu dan daun. Dari tempat Binggwat-
sim berdiri memandang keluar, pemandangan tampak
menghijau permai di alam pegunungan nan jauh di sana, tapi
pandangannya sekarang tertuju ke wajah Yan Lam-hwi.
Yan Lam-hwi sudah keracunan parah dan selama ini masih
tetap pingsan, tak terduga mendadak membuka kedua
matanya, balas menatapnya, ternyata Bing-gwat-sim
sedikitpun tidak merasa heran.
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, "Sudah kubilang, sejak
mula sudah kukatakan, bukan soal mudah untuk menipu dia."
"Aku tahu memang tidak mudah, tapi aku ingin
mencobanya."
"Sekarang kau sudah mencobanya."
"Ya, aku sudah mencobanya."
"Bagaimana pendapatmu?"
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya dengan tertawa
getir, "Aku hanya merasa untuk menipunya memang bukan
soal gampang."
"Tapi aku justru ingin mencobanya sekali lagi," demikian
ujar Yan Lam-hwi.
Bersinar mata Bing-gwat-sim, mata Yan Lam-hwi juga
menyala. Kenapa mereka mau menipu Pho Ang-soat" Apa
tujuan mereka"
Mentari sudah hampir tenggelam.
Pho Ang-soat berdiri di bawah pancaran sinar surya,
seolah-olah di mayapada ini hanya tinggal dia seorang yang
masih hidup. Memangnya Pho Ang-soat adalah seorang yang
sebatangkara, orang yang suka menyendiri.
Bab 6. Sebelum Duel
Pho Ang-soat. Usia: Sekitar tiga puluh tujuh tahun.
Ciri: Kaki kanan timpang, golok tak pernah lepas dari
tangan. Kungfu: Tanpa guru atau aliran mana pun, merupakan
aliran tersendiri. Gamannya golok, serangannya bagai kilat, di
kalangan Kangouw diakui sebagai golok kilat nomor satu.
Riwayat: Kelahiran kurang jelas, sejak dilahirkan diasuh
oleh Pek-hong Kongcu dari Mo-kau, maka dia mahir cara
membunuh, menggunakan racun dan senjata gelap, sejauh ini
masih bujangan, empat penjuru lautan adalah rumahnya,
berkelana ke seluruh dunia.
Sifat: Kaku dingin dan nyentrik, malang melintang seorang
diri. Bahan-bahan yang ditulis Toh Lui di atas secarik kertas dia
sodorkan ke hadapan Ibu jari, wajahnya tidak memperlihatkan
perubahan perasaan.
"Kau sudah membacanya?" tanya Ibu jari.
"Ehm, sudah," sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, "Aku tahu, kau tidak
akan puas dengan keterangan yang kudapat ini, tapi bahan itu
saja yang dapat kami peroleh, maklum tiada seorang lain pun
yang bisa tahu lebih banyak dari bahan-bahan yang kami
dapatkan ini."
"Bagus sekali."
Ibu jari mengedipkan mata, tanyanya memancing, "Berguna
tidak bahan-bahan itu untukmu?"
"Tidak."
"Sedikitpun tidak berguna?"
Toh Lui mengangguk, berdiri lalu mondar-mandir sekejap,
lalu duduk pula, katanya dingin, "Masih ada dua hal yang
paling penting."
"Ah, masa betul?" seru Ibu jari.
"Dulu pernah dia tertipu oleh seorang perempuan, sehingga
nasibnya begitu mengenaskan."
"Siapakah perempuan itu?"
"Seorang pelacur bernama Jui Nong," sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, "Selalu aku merasa
heran, kenapa lelaki yang pintar selalu tertipu oleh pelacur?"
Merak tiba-tiba menyela, "Karena lelaki yang pintar hanya
menyukai perempuan yang cerdik, perempuan yang cerdik
kebanyakan suka jadi pelacur."
Toh Lui menjengek, "Kukira dia ini pasti pernah tertipu juga
oleh pelacur."
Berubah air muka Merak, namun dia masih bisa tertawa,
tanya, "Apa pula hal kedua yang tidak lengkap dalam data
itu?" "Dia mengidap penyakit," ujar Toh Lui.
"Penyakit apa?"
"Penyakit ayan."
Bersinar mata Ibu jari, katanya, "Bila penyakitnya itu kumat,
apakah dia juga bergelimpangan dan mengejang serta berbuih
mulutnya?"
"Ya, penyakit ayan hanya satu macam," ucap Toh Lui.
Ibu jari menghela napas gegetun, katanya, "Seorang
timpang yang berpenyakit ayan ternyata mampu meyakinkan
golok kilat yang tiada bandingannya di jagat ini."
Toh Lui berkata, "Dia pernah menggembleng diri, konon
sedikitnya empat jam waktu yang digunakan untuk berlatih
golok, sejak berusia lima tahun setiap hari sedikitnya dia
mencabut goloknya sebanyak dua belas ribu kali."
Ibu jari menyengir kuda, katanya, "Sungguh tak nyana kau
lebih jelas tentang seluk-beluknya daripada kami."
Tawar suara Toh Lui, "Setiap tokoh yang tercantum di
dalam daftar nama tokoh tersohor sudah kuketahui selukbeluk
mereka dengan jelas, karena aku sudah menghabiskan
lima bulan untuk mencari bahan-bahan tentang mereka, lima
bulan aku menyelidiki dan menyelami seluk-beluknya."
"Jerih payahmu untuk menyelidiki riwayat Pho Ang-soat aku
yakin lebih besar daripada yang lain." Toh Lui mengakui.
"Apa hasil jerih payahmu itu?" tanya Ibu jari.
"Golok itu tidak pernah terlepas karena golok itulah
gamannya. Paling sedikit sudah dua puluh tahun dia
menggunakan golok itu sehingga golok itu seolah-olah sudah
menjadi salah satu anggota badannya, sedemikian lincah dan
leluasa dia menggunakan golok itu, jauh lebih leluasa dari jari
orang lain menggunakan jari-jari tangan sendiri," demikian
ucap Toh Lui. "Tapi aku tahu," ujar Ibu jari, "golok yang dia gunakan itu
tidak terlalu bagus."
"Golok yang dapat membunuh manusia pasti adalah golok
baik," Toh Lui menegaskan.
Bagi Pho Ang-soat golok itu bukan lagi sebatang golok
biasa, karena antara golok dan jiwanya itu senyawa, sudah
punya ikatan batin yang tidak mungkin dirasakan dan diselami
orang lain. Walau Toh Lui tidak menjelaskan hal ini lebih jauh,
tapi Ibu jari sudah maklum apa yang dimaksud.
Sejak tadi Merak menepekur, katanya tiba-tiba, "Jikalau kita
bisa mendapatkan goloknya itu ..."
"Tiada manusia yang mampu memegang goloknya itu," ujar
Toh Lui. "Segala sesuatu di dunia ini pasti ada kecualinya," Merak
tertawa. "Tapi untuk yang satu ini tidak ada," Toh Lui menjawab
tegas. Merak tidak mendebatnya lagi, tanyanya malah, "Kapan
penyakitnya itu sering kumat?"
"Bila amarah dan rasa pilu hatinya tidak terbendung lagi,
penyakitnya akan kumat."
"Jika kau bisa turun tangan di saat penyakitnya itu
kumat...."
Toh Lui menarik muka, katanya menjengek dingin,
"Memangnya kau kira aku ini orang apa!"
Merak tertawa tergelak, katanya, "Aku tahu kau tidak sudi
melakukan hal serendah itu, tapi apa salahnya kita suruh
orang lain melakukannya, umpamanya kita mencari seorang
untuk membuatnya marah supaya dia..."
Toh Lui berjingkrak berdiri, katanya dingin, "Aku hanya
ingin supaya kalian tahu akan satu hal."
Merak pasang kuping, Ibu jari juga siap mendengarkan.
"Inilah duel antara aku dan dia, duel antara dua lelaki
jantan, lelaki sejati, siapa pun yang akan menang atau kalah
dalam duel ini tiada sangkut-pautnya dengan orang lain."
Mendadak Ibu jari bertanya, "Apa tiada sangkut-pautnya
dengan Kongcu?"
Tangan Toh Lui yang memegang golok mendadak
mencengkeram kencang.
Ibu jari segera mendesak, "Bila kau belum melupakan
Kongcu, maka kau harus melakukan satu hal."
"Satu hal apa?" Toh Lui menegas.
"Biarkan dia menunggu, menunggu lebih lama beberapa
kejap, biar menunggu hingga hatinya risau dan pikiran ruwet
baru kau muncul," dengan tersenyum lalu menambahkan,
"dalam duel ini kau akan menang atau bakal mampus
memang tiada sangkut-pautnya dengan kami, kami pun tidak
ambil peduli, namun kami tidak ingin mengubur jenazahmu."
Tengah hari di taman bobrok keluarga Ni.
Cahaya mentari tepat menyinari atap gardu, di luar gardu
berdiri seseorang dengan sebilah golok hitam, sarung yang
legam. Perlahan Pho Ang-soat menyusuri jalanan kecil di dalam
taman yang sudah ditumbuhi rumput liar, tangannya
menggenggam kencang gagang golok. Cat gardu sudah luntur
dan banyak yang mengelupas, namun paya-paya kembang di
pinggir sana masih utuh, di siang hari bolong yang benderang
ini kelihatan masih kokoh dan semarak.
Tempat ini dahulu memang punya masa depan yang
cemerlang, masa jaya dan semarak, kenapa sekarang
berubah menjadi belukar dan tidak terurus"
Sepasang burung walet terbang dari tempat jauh, hinggap
di atas pohon tak jauh di luar gardu, seolah-olah sedang
mencari dan berusaha menemukan impian lama yang masih
menjadi kenangan terukir dalam kalbu. Sayang sekali pohon
ini masih tumbuh subur, namun keadaan sekelilingnya sudah
banyak berubah, walet datang pergi pula, entah berapa kali
dia pulang-pergi" Pohon subur itu tidak bisa bersuara, pohon
itu tidak kenal cinta kasih, tidak tahu apa artinya belas
kasihan. Mendadak Pho Ang-soat merasakan jantungnya sakit.
Sejak lama dia sudah mempelajari sifat pohon yang diam,
kalem dan meyakinkan, namun dia selalu bertanya-tanya
kapan baru dia bisa belajar pada sifat pohon yang tidak kenal
belas kasihan. Walet itu terbang jauh pula. Darimanakah walet itu kemari"
Taman ini sudah telantar, lalu milik siapakah taman ini"
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pho Ang-soat berdiri menjublek, seolah-olah dia sudah lupa
akan kehidupan dirinya. Dimana" Dan darimana" Hal Ini tak
sempat dipikirnya pula, karena mendadak dia mendengar
seseorang sedang tertawa, tawa cekikikan genit yang merdu
nyaring laksana kicau burung kenari, berkumandang dari
semak rumput yang tumbuh tinggi.
Seorang anak perempuan mendadak berdiri di semak
rumput yang tinggit itu, mengawasi Pho Ang-soat sambil
tertawa manis cekikikan. Begitu elok senyuman, wajahnya
lebih cantik lagi, rambutnya yang panjang terurai mayang
hitam legam dan mengkilap selembut sutra.
Rambut yang terurai mayang ternyata tidak disisir, dia
biarkan begitu saja rambutnya yang panjang menjuntai lemas
dan tersebar di kedua pundaknya. Gadis rupawan ini ternyata
juga tidak bersolek, seenaknya saja dia mengenakan
seperangkat jubah panjang, entah terbuat dari kain apa, yang
terang bukan sutra juga bukan satin, justru mirip rambutnya
yang panjang. Mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya ternyata
mengandung senyum lebar dan ramah, katanya mendadak,
"Tidak kau tanya kenapa aku tertawa?"
Pho Ang-soat diam saja, tidak bertanya.
"Aku geli melihatmu," senyumannya makin manis. "Melihat
kau berdiri di sini, aku jadi geli, karena kau mirip seorang
pikun, seorang linglung."
Pho Ang-soat tidak bersuara.
"Kau juga tidak tanya siapakah aku?"
"Siapa kau?" ternyata Pho Ang-soat bertanya, sebetulnya
dia tidak ingin bertanya. Tak nyana baru saja dia ingin
bertanya, anak perempuan itu sudah melompat dan bersorak.
"Memangnya aku sedang menunggu pertanyaanmu ini,"
waktu dia melompat, garangnya seperti seekor kucing yang
marah, "Tahukah kau, tanah dimana kau sekarang berdiri milik
siapa" Berdasarkan apa kau berani mondar-mandir seenak
udelmu di tanah ini?"
Pho Ang-soat menatapnya dingin, menunggu ocehannya
lebih lanjut. "Tempat ini milik keluarga Ni," dengan jari telunjuknya
menuding hidung sendiri, "aku inilah nona kedua dari keluarga
Ni, bila aku mau, sembarang waktu bisa saja mengusirmu."
Terpaksa Pho Ang-soat hanya bungkam, seorang
keluyuran di rumah orang, mendadak kepergok oleh tuan
rumah, apa pula yang bisa dia katakan.
Ni-jisiocia melototinya dengan gemas, mendadak dia
tertawa, tertawa manis, "Tapi aku tentu tidak akan
mengusirmu, karena Matanya berkedip-kedip, "Karena aku
menyukaimu."
Pho Ang-soat hanya mendengarkan.
Boleh saja kau tidak menyukai orang lain, tapi tak dapat
melarang orang lain menyukaimu.
Tapi cepat Ni-jisiocia telah berubah hatinya, "Aku bilang
aku menyukaimu, sebenarnya hanya omong kosong saja."
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Aku tidak segera
mengusirmu karena aku tahu aku bukan tandinganmu."
Tak tertahan Pho Ang-soat bertanya, "Kau tahu diriku?"
"Sudah tentu tahu."
"Apa saja yang kau ketahui?"
"Bukan saja aku tahu kau mahir kungfu, aku juga tahu
siapa namamu" Pokoknya jelas deh," dengan menggendong
kedua tangan, dia melangkah keluar dari semak rumput
dengan sikap angkuh, matanya plirak-plirik mengawasi Pho
Ang-soat dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas.
"Orang lain bilang kau ini makhluk aneh, tapi pendapatku
sebaliknya, bukan saja kau ini tidak aneh, malah tampangmu
cukup ganteng."
Perlahan Pho Ang-soat memutar badan berjalan ke arah
gardu yang disinari matahari, tiba-tiba dia bertanya, "Hanya
kau seorang di tempat ini?"
"Kalau seorang diri memangnya kenapa?" bantahnya
dengan mata berputar, "apa kau berani menganiaya aku?"
"Biasanya kau tidak berada di sini?"
"Kenapa seorang diri aku harus berada di tempat seperti
sarang setan ini?"
Mendadak Pho Ang-soat menoleh, katanya menatap tajam,
"Sekarang kenapa tidak lekas kau menyingkir?"
Ni-jisiocia berjingkrak dan berteriak, "Ini kan rumahku,
terserah aku mau di sini atau mau pergi, memangnya perlu
aku runduk kepada orang lain?"
Kembali Pho Ang-soat bungkam.
Ni-jisiocia melotot gusar sambil bertolak pinggang, namun
kejap lain mendadak dia tertawa sendiri, katanya, "Sebetulnya
tidak pantas aku bertengkar dengan kau, kalau baru
permulaan aku sudah bertengkar dengan kau, bagaimana
kelak?" Kelak" Tahukah kau ada sementara orang yang tidak
punya kelak"
Perlahan langkah Pho Ang-soat waktu menaiki undakan,
pandangannya tertuju ke tempat jauh walau sinar mentari
menimpa wajahnya, wajahnya masih kelihatan pucat sekali.
Hanya satu harapannya, yaitu semoga Toh Lui lekas
datang. Tapi Ni-jisiocia bertanya lagi, "Aku tahu kau bernama Pho
Ang-soat, kenapa tidak kau tanya siapa namaku?"
Karena Pho Ang-soat diam saja, terpaksa dia
memperkenalkan diri sendiri, "Aku bernama Ni Hwi."
Mendadak dia melompati pagar dan berdiri di depan Pho Angsoat,
lalu ucapnya agak aseran, "Ayahku memberi nama Hwi
berarti cerdik, karena sejak kecil aku paling pintar dan banyak
akal." Pho Ang-soat tidak menghiraukan ocehannya.
"Kau tidak percaya?" tangannya bertolak pinggang,
sanggulnya hampir menyentuh hidung Pho Ang-soat, "Bukan
saja aku tahu apa maksudmu datang kemari, aku malah tahu
siapa yang sedang kau tungggu di sini. Kau kemari pasti ingin
mengadu jiwa dengan seorang, melihat rona mukamu, aku
lantas dapat menebaknya."
"Ah, masa?"
"Ya, karena kau membawa hawa membunuh."
Bocah cilik centil yang cerewet ini apa benar tahu apa
artinya hawa membunuh"
"Aku juga tahu yang sedang kau tunggu pasti Toh Lui,"
nada Ni Hwi seperti yakin bahwa ucapannya pasti betul.
"Karena dalam lingkungan ratusan li di daerah ini, orang yang
mampu dan setimpal berduel dengan Pho Ang-soat hanya
Toh Lui seorang saja."
Memang tidak sedikit yang diketahui cewek cilik ini.
Mengawasi mata orang yang lincah, Pho Ang-soat bertanya
dingin, "Kalau kau tahu, seharusnya kau lekas pergi."
Nadanya tetap dingin, tapi tatapan matanya tidak sedingin
biasanya, bentuk matanya seolah-olah telah berubah lembut
dan hangat. Ni Hwi tertawa, katanya lembut, "Apakah kau sudah mulai
memperhatikan aku?"
Pho Ang-soat menarik muka, katanya, "Aku suruh kau pergi
karena aku membunuh orang bukan untuk ditonton."
Ni Hwi mencibir bibir, katanya, "Umpama kau mau
mengusirku juga tidak perlu tergesa-gesa. Toh Lui tidak akan
datang lebih dini."
Pho Ang-soat mengangkat kepala, mentari tepat di tengah
angkasa. "Dia pasti berbuat seenaknya supaya kau menunggu,
menunggu dan menunggu sehingga hatimu risau, semakin
risau hatimu, kesempatannya menggorok lehermu menjadi
lebih besar." Dengan tertawa dia berkata pula, "Ini termasuk
strategi perang, jagoan tukang berkelahi seperti dirimu
seharusnya sudah memikirkan hal ini."
Tapi mendadak dia menggeleng, lalu melanjutkan, "Tapi
kau pasti tidak mau memikirkan hal ini, karena kau seorang
Kungcu, laki-laki sejati, aku bukan, maka boleh aku memberi
sebuah akal kepadamu, cara yang tepat untuk menghadapi
musuh serendah dia."
Cara apa" Pho Ang-soat tidak bertanya, namun dia juga
tidak pantang mendengar.
"Kalau dia ingin kau menunggu, maka kau pun bisa
membuat dia menunggu," Ni Hwi berkata.
Gigit menggigit, dengan cara orang memperlakukan dirimu,
maka kau pun bisa menggunakan cara itu untuk
memperlakukan orang itu. Itulah cara yang paling kuno, cara
kuno umumnya amat manjur.
Ni Hwi berkata pula, "Marilah kita bertamasya di taman ini
atau boleh juga kita bermain catur, sambil minum dua poci
arak supaya dia menunggumu di sini, menunggumu sampai
mampus saking gelisah."
Pho Ang-soat tidak memberi reaksi.
"Akan kubawa kau ke tempat kami menyimpan arak, bila
nasib kita lagi mujur, bukan mustahil dapat menemukan
seguci Li-ji-ang peninggalan bibi waktu dia menikah dahulu,"
agaknya minatnya terlalu besar minum arak, sebelum Pho
Ang-soat memberi reaksi, dia sudah mengulur tangan menarik
lengannya, lengan tangan yang memegang golok.
Tiada orang bisa menyentuh tangannya itu. Jari-jarinya
yang halus baru saja menyentuh tangannya, mendadak terasa
ada suatu tenaga besar yang aneh menggetar pergi jari
tangannya. Begitu hebat arus getaran tenaga itu sehingga
tubuhnya melenting seperti digontok, ingin berdiri juga tidak
kuasa lagi, akhirnya dia jatuh terduduk, pantatnya terbanting
cukup keras. Kali ini mulutnya ternyata tidak ribut karena matanya merah
dan berkaca-kaca, suaranya terisak, "Aku hanya ingin
bersahabat dengan kau, ingin melakukan sesuatu, kenapa kau
bersikap sekasar ini terhadapku." Punggung tangannya
mengucek-ngucek hidung seperti akan pecah tangisnya.
Kelihatannya dia memang seperti anak perempuan yang
harus dikasihani, aleman tapi juga jenaka.
Pho Ang-soat tidak mengawasinya, melirik pun tidak,
namun suaranya dingin, "Bangun, dalam rumput ada ular."
Ni Hwi makin memelas, katanya, "Tulang seluruh badanku
seperti remuk, bagaimana aku bisa berdiri." Dengan tangan
mengucek hidung dan mata, ia melanjutkan, "Biarlah aku
digigit ular di sini saja."
Wajah Pho Ang-soat yang pucat tetap tidak berubah, tapi
dia sudah beranjak menghampiri. Dia tahu tenaga yang dia
salurkan tadi, bukan seluruhnya tenaga yang tersalur dari
badannya, karena tangannya memegang golok, dari batang
goloknya itupun bisa mengeluarkan kekuatan, golok itu berada
di tangannya, golok itu seperti memiliki jiwa, ada sukmanya,
ada jiwa pasti ada tenaga, tenaga terpendam untuk
menunjang jimat.
Perbawa kekuatannya itu boleh dikata sudah hampir mirip
dengan Kiam-khi (hawa pedang) yang amat menakutkan,
hawa pedang yang tak mungkin ditahan atau dilawan apa pun.
Memang pantas bila dia tidak menggunakan tenaga itu untuk
menghadapi cewek jenaka ini.
Ni Hwi duduk meronta-ronta di atas rumput, kedua
tangannya menutup muka, jari-jari tangan yang halus dan
putih. Akhirnya Pho Ang-soat mengulur tangan menariknya,
tangan yang tidak memegang golok. Ternyata Ni Hwi tidak
melawan, juga tidak menyingkir, tangannya terasa empuk
hangat. Sudah lama Pho Ang-soat tidak menyentuh tangan seorang
perempuan. Dia menekan hawa nafsu jauh lebih tuntas dari
setiap padri saleh yang suci, menderita dalam ajaran
agamanya. Akan tetapi dia adalah lelaki, laki-laki tulen, lakilaki
yang belum tua.
Seperti anak domba yang penurut dia merangkak bangun
sambil merintih perlahan, waktu Pho Ang-soat hendak
membimbingnya, tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke dalam
pelukannya malah, badannya yang montok padat lebih
hangat, lebih menggairahkan, lebih empuk.
Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang,
sudah tentu Ni Hwi juga merasakan detak jantungnya yang
memburu. Anehnya pada sekejap itulah, mendadak timbul
suatu firasat yang aneh. Terasa adanya nafsu membunuh,
firasatnya memang tajam, pada saat itulah Ni Hwi telah
mencabut sebilah pisau, pisau panjang tujuh dim, langsung
ditusukkan ke lambung samping bawah ketiaknya.
Wajah nan molek jenaka mirip cewek kecil yang mungil,
namun serangan yang dilancarkan jauh lebih jahat dari
pagutan ular beracun. Sayang tusukannya gagal, pisaunya
menusuk angin. Entah bagaimana mendadak tubuh Pho Ang-soat
mengkeret, jelas dan yakin bahwa pisau tajamnya itu sudah
menusuk ke perut orang, namun kenyataannya hanya
menyerempet pinggir kulitnya. Sedetik itu
pula Ni Hwi juga menyadari bahwa tusukan pisaunya gagal,
maka kakinya menjejak, tubuhnya pun sudah melejit ke atas.
Seperti ular berbisa yang sembarang waktu mampu melenting
ke udara dari semak rumput, baru saja tubuhnya melejit di
tengah udara sudah bersalto. Sekali bersalto disusul salto
yang kedua, ujung kakinya sudah menutul atap gardu. Begitu
ujung kakinya meminjam tenaga, tubuhnya sudah melambung
pula ke belakang, kini sudah berada di pucuk pohon sejauh
lima tombak. Sebetulnya Ni Hwi ingin menyingkir lebih jauh, tapi karena
Pho Ang-soat tidak mengejar, maka dia tidak berlari lebih jauh,
dengan sebelah kakinya dia berdiri di pucuk sebatang dahan
yang memantul enteng, mulutnya ternyata masih menerocos
bagai burung berkicau.
Ginkangnya memang tinggi, cara dia memaki orang juga
tidak rendah. "Baru sekarang aku tahu kenapa cewekmu dulu itu
meninggalkan engkau, karena hakikatnya kau bukan laki-laki,
bukan saja kakimu cacad, jiwamu ternyata juga tidak normal,"
caci-makinya tidak kasar, namun setiap patah katanya laksana
jarum yang menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.
Wajah Pho Ang-soat yang merah mendadak bersemu
merah, warna merah yang ganjil, jari-jari tangannya
tergenggam kencang. Hampir saja dia mencabut golok, tapi
dia tidak bergerak, karena mendadak dia menyadari derita
batinnya sekarang tidak lagi separah dan seberat apa yang
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipikirnya. Setiap senyumannya, setiap tetas air matanya, setiap
limpahan cinta dan setiap patah katanya yang bohong, sudah
terukir dalam sanubarinya. Segala perasaan itu sudah lama
terpendam dalam sanubarinya. Hingga dia berhadapan
dengan Bing-gwat-sim, seluruh derita yang terbenam dalam
kenangan itu kembali terpampang di depan matanya secara
hidup-hidup. Maka pukulan batin yang dideritanya pada saat
itu, pasti takkan bisa dibayangkan, tak bisa diresapi oleh siapa
pun dan satu hal yang tidak terduga adalah setelah
mengalami siksa derita ini, penderitaan batinnya malah
menjadi tawar, penderitaan yang semula tidak berani
dipikirkan, dibayangkan atau dihadapi sekarang sudah dapat
ditantangnya dengan tabah.
Penderitaan manusia memang mirip borok yang sudah
membusuk, bila kau diamkan saja borok itu makin parah,
makin membusuk. Bila kau tega mengoreknya dengan pisau
sehingga darah dan nanah meleleh keluar, bukan mustahil dia
malah akan segera sembuh.
Waktu Pho Ang-soat mengangkat kepala, keadaannya
sudah pulih seperti sedia kala, tenang, mantap dan dingin.
Ni Hwi masih berpantul di pucuk pohon, pandangannya
tampak kaget dan heran, Pho Ang-soat tidak mencabut
goloknya, suaranya terdengar tawar, "Pergilah kau."
Sang surya sudah doyong ke barat, bayangan gardu itu
sudah terpeta di atas tanah berumput liar.
Pho Ang-soat tidak bergerak, gayanya pun tidak berubah.
Dia tetap berdiri di tempat semula, bayangannya makin
panjang dan panjang, Pho Ang-soat tetap tidak bergerak,
orangnya tidak bergerak, hatinya pun tidak tergerak.
Bila seseorang sudah biasa hidup dalam kesunyian
seorang diri, maka menunggu dan menunggu itu baginya
sudah bukan suatu penderitaan, suatu hal yang tidak perlu
dirisaukan. Untuk menunggu golok tercabut pertama kali, dia
sudah menunggu tujuh belas tahun, padahal pertama kali dia
mencabut golok dahulu, hakikatnya tiada faedahnya, tidak
punya arti dan tidak membawa akibat apa pun. Selama tujuh
belas tahun dia menunggu hanya untuk membunuh, ya,
membunuh demi menuntut balas kematian ayah bundanya.
Akan tetapi setelah dia mencabut golok, baru dia sadar
bahwa dirinya hakikatnya bukan keturunan keluarga itu,
bahwasanya tiada sangkut-pautnya dengan persoalan dan
pertikaian itu. Ini bukan melulu merupakan suatu sindiran
pedas. Bagi siapa pun, sindiran seperti ini terlampau tajam,
terlampau keji. Tapi Pho Ang-soat telah mengalami dan
menerima sebab akibatnya, karena dia dipaksa harus
menerima tempaan hidup ini. Maka selanjutnya dia pun belajar
bertahan, berhasil menahan sabar.
Bila Toh Lui maklum akan hal ini, mungkin dia tidak akan
membiarkan Pho Ang-soat menunggu terlalu lama. Bila kau
ingin aku menunggu, bukanlah kau sendiri juga sedang
menunggu. Banyak persoalan di dunia ini memang mirip dua mata
pedang yang sama tajamnya, bila kau ingin melukai orang
lain, sering kali kau sendiri pun bisa terluka. Celakanya lukaluka
yang kau derita kemungkinan justru lebih berat dari
lawanmu. Perlahan Pho Ang-soat menghembuskan napas dari
mulutnya, terasa hati tenang, dada lapang, pikiran jernih.
Sekarang jam sudah menunjukkan angka tiga.
Gubuk yang lembab itu terletak di ujung gang yang gelap,
pemiliknya semula adalah seorang tua kikir yang
berpenyakitan, konon setelah mayatnya membusuk baru
diketahui orang.
Sekarang Merak justru menyewa rumah ini, bukan karena
dia pun kikir. Padahal dia cukup mampu menginap di hotel
kelas satu, namun dia rela tinggal di tempat yang jorok ini.
Merak, julukan ini sebetulnya juga suatu sindiran bagi dirinya,
Karena pribadinya bukan seorang yang berharga untuk
disanjung dan dikagumi seperti indahnya bulu merak yang
sedang mekar, sebaliknya dia justru lebih mirip seekor
kelelawar yang takut dan tak berani terkena sinar matahari.
Waktu Ibu jari berjalan masuk, dia sedang rebah di atas
dipan yang keras dan dingin. Sebuah jendela kecil satusatunya
yang ada dari bilik ini sudah dipaku kencang dan
dipalang selembar papan sehingga bilik ini bukan saja lembab
dan guram, juga berbau apek mirip liang kelelawar yang
busuk. Begitu duduk Ibu jari lantas menghela napas, tak pernah
dia mau tahu kenapa Merak mau dan sudi tinggal di tempat
seperti ini. Jangankan menoleh, melirik pun tidak, Merak tidak
menyambut kehadirannya. Setelah dengus napasnya mulai
mereda baru dia bertanya, "Mana Toh Lui?"
"Dia masih menunggu," sahut Ibu jari.
"Waktu berpisah dengan aku tadi kira-kira sudah jam tiga,
berapa lama lagi dia ingin Pho Ang-soat menunggunya?" kata
Merak. "Sudah kuberitahu kepadanya, paling cepat jam 4 baru
boleh dia berangkat," ujar Ibu jari.
Ujung mulut Merak menampilkan senyuman sadis, katanya,
"Berdiri beberapa jam di tempat seperti sarang setan itu
rasanya pasti juga cukup menyiksa batinnya."
Ibu jari justru mengerut kening, katanya, "Aku justru
menguatirkan satu hal."
"Hal apa?"
"Walau Pho Ang-soat sedang menunggu, Toh Lui sendiri
juga sedang menunggu, aku justru kuatir dia lebih tidak bisa
menahan emosi daripada Pho Ang-soat."
"Jika dia mampus di bawah golok Pho Ang-soat. Apakah
kau menderita rugi?"
"Tidak."
"Lalu apa yang kau harus kau kuatirkan?"
Ibu jari tertawa, dengan ujung lengan bajunya dia menyeka
keringat, katanya pula, "Masih ada sebuah berita baik ingin
kusampaikan kepadamu."
Merak diam saja, dia sedang mendengarkan.
"Yan Lam-hwi memang betul keracunan, malah racunnya
amat jahat."
"Darimana kau peroleh berita ini?"
"Kubeli dengan harga lima ratus tahil perak."
Mencorong mata Merak, katanya, "Berita senilai lima ratus
tahil perak umumnya memang patut dipercaya."
"Karena itu setiap saat boleh kita pergi membunuhnya."
"Sekarang juga kita boleh berangkat." Saat itu tepat
menunjukan jam tiga sore.
Meski lewat lohor, tapi cahaya mentari masih terasa terik,
musim semi akan segera berlalu, musim panas sudah di
ambang pintu. Pho Ang-soat paling benci musim panas, musim panas
umumnya milik anak-anak, sejak pagi hari mereka
bertelanjang mandi di sungai atau di empang, berguling dan
bergelut di tanah rumput, menangkap kupu-kupu, bermain
kucing-kucingan. Bila malam tiba, duduk berkerumun di bawah
barak sambil makan semangka yang sudah direndam di dalam
sumur, mendengar cerita orang-orang tua tentang kaum
pendekar menangkap setan, mengantongi kunang-kunang
sebanyak mungkin untuk ditukar dengan beberapa biji
permen. Musim panas laksana emas, masa keemasan di waktu
anak-anak, selalu diliputi kegembiraan, tidak pernah tahu apa
artinya duka dan lara.
Pho Ang-soat justru tidak pernah mengalami kehidupan
yang senang dan gembira di musim panas, sehari pun tak
pernah menjadi miliknya untuk hidup dalam ketenteraman.
Dalam kenangannya, musim panas hanya cucuran keringat
atau darah, kalau tidak bersembunyi di dalam hutan dengan
pepohonan pendek, tentu berlatih mencabut golok, maka dia
pasti berada di tengah padang rumput di bawah terik matahari
bersiap mencabut goloknya.
Mencabut golok, sekali dua kali, mencabut dan mencabut
lagi, tak pernah berhenti, gerakan yang aneh, gerakan
sederhana ini ternyata menjadi salah satu segi kehidupannya,
segi kejiwaan yang paling penting.
Kapan pula gogok akan dicabut" Golok itu perlambang
kematian. Di saat golok tercabut, saat itulah kematian tiba.
Bila goloknya tercabut pula, siapa pula yang akan ajal" Pho
Ang-soat menunduk, menatap jari-jari tangan sendiri yang
memegang golok, jari-jari yang pucat dan dingin, golok itu
lebih dingin, tangan makin putih, golok makin legam.
Jam tiga sore pun tiba.
ooooOOoooo Bab 7. Duel Di pojok taman sebelah timur ada sebuah pintu kecil. Tadi
Pho Ang-soat masuk dari sana. Sekarang Toh Lui pun masuk
dari pintu kecil itu.
Mereka tidak melompati tembok. Jalanan kecil berliku
sudah lenyap ditelan suburnya rumput-rumput liar, bila
beranjak melewati rerumputan, jaraknya pun akan lebih
pendek, tapi mereka justru lebih suka menyusuri jalanan kecil
yang berliku-liku.
Langkah mereka perlahan, begitu berjalan pasti tidak akan
berhenti. Dipandang dari berbagai sudut, kedua orang ini
mempunyai beberapa persamaan, tapi jelas mereka bukan
manusia sejenis, ini terbukti dari golok mereka, bila melihat
golok mereka, maka tampak jelas perbedaannya.
Sarung golok Toh Lui dihiasi zamrud dan permata yang
kemilau, golok Pho Ang-soat berwarna hitam legam. Tapi
masih ada titik persamaan dari kedua golok ini, keduanya
adalah golok, golok untuk membunuh orang. Lalu adakah
persamaan pula di antara kedua orang ini" Ada, keduanya
adalah manusia, manusia yang ingin membunuh manusia.
Jam empat belum tiba, namun saat mencabut golok sudah
tiba. Golok tercabut jiwa pun melayang, kalau bukan kau yang
mampus, akulah yang mati.
Langkah Toh Lui akhirnya berhenti, berhadapan dengan
Pho Ang-soat, berhadapan dengan golok Pho Ang-soat yang
tiada bandingannya di kolong langit ini. Besar tekadnya untuk
membunuh orang yang satu ini di bawah goloknya, namun
satu-satunya orang yang dihormati, dikagumi juga adalah
musuh yang dihadapinya sekarang.
Seolah-olah Pho Ang-soat berada di suatu tempat yang
amat jauh, jauh di ufuk langit, saat segumpal mega kebetulan
menutupi matahari, sang surya telah lenyap, tidak kelihatan,
tapi matahari selamanya tidak pernah mati.
Bagaimana dengan manusia"
Akhirnya Toh Lui bersuara, "Aku she Toh bernama Lui."
"Aku tahu," sahut Pho Ang-soat.
"Aku datang terlambat."
"Aku tahu."
"Aku sengaja supaya kau menunggu, supaya kau tidak
sabar dan risau sehingga aku lebih leluasa membunuhmu."
"Aku tahu."
Mendadak Toh Lui tertawa, katanya, "Sayang aku
melupakan satu hal." Tawanya getir, katanya pula, "Waktu aku
membuat kau menunggu kedatanganku, aku sendiri juga
menunggu."
"Aku tahu."
"Apa pun kau tahu?"
"Paling sedikit aku masih tahu satu hal."
"Coba katakan."
"Sekali golokku berkelebat, jiwamu pasti melayang." Jarijari
Toh Lui mendadak mengencang, kelopak matanya juga
mengkerut, lama kemudian baru ia bertanya, "Kau yakin?"
"Yakin sekali."
"Kalau begitu kenapa kau tidak segera mencabut
golokmu?" Beberapa menit telah berselang, mega mendung sehingga
cahaya mentari tidak kelihatan lagi, cuaca buruk menjadikan
hawa menjadi lembab dan dingin.
Inilah saat yang paling tepat untuk membunuh orang.
Bing-gwat-sim berada di Bing-gwat-lau, berada di Binggwat-
kong (jalan bulan purnama).
Waktu Ibu jari dan Merak memasuki Bing-gwat-kong,
kebetulan serangkum angin menyampuk muka mereka, angin
yang dingin namun menyejukkan.
Ibu jari menarik napas dalam, katanya tersenyum, "Cuaca
hari ini sungguh bagus sekali untuk membunuh orang,
sekarang juga saat yang paling baik untuk melaksanakan
pembunuhan itu. Setelah membunuh orang, aku masih bisa
mandi air panas dengan santai, lalu minum arak sepuasnya,"
Merak berkata, "Lalu mencari pelacur untuk diajak tidur."
Ibu jari tertawa riang, matanya menyipit, "Ada kalanya aku
sampai perlu ditemani dua tiga orang sekaligus."
Merak ikut tertawa, katanya, "Kau pernah bilang Bing-gwatsim
juga seorang pelacur."
"Siapa bilang dia bukan?"
"Malam ini apakah kau tidak ingin mencarinya."
"Malam ini tidak."
"Lho, kenapa?"
Ibu jari tidak menjawab secara langsung, katanya, "Pelacur
itu ada bermacam-macam."
"Dia termasuk macam yang mana?"
"Kebetulan dia termasuk macam yang tidak kusukai. Aku
tidak punya selera terhadapnya."
"Wah, kenapa?" Merak menegas.
Ibu jari menghela napas, katanya sambil tertawa getir,
"Karena di antara banyak perempuan yang pernah kulihat,
pernah kuajak main di ranjang, yang paling menakutkan justru
dia, bila aku memejamkan mata, dia pasti akan membunuhku."
"Kalau kau tidak memejamkan mata?"
"Umpama aku tidak memejamkan mata, dia tetap akan
membunuhku."
"Aku tahu kungfumu amat hebat."
"Akan tetapi sedikitnya masih ada dua perempuan di dunia
ini yang mampu membunuhku."
"Bing-gwat-sim satu di antaranya" Lalu siapa yang kedua?"
"Ni-jisioca, Ni Hwi."
Baru saja dia habis bicara, lantas terdengar suara tertawa
nyaring yang menghambur merdu laksana kelintingan.
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gang panjang ini dipagari tembok tinggi, di atas tembok
tumbuh rerumputan dan pohon-pohon mini. Musim semi
belum lewat, maka tetumbuhan pun subur meski tumbuh di
atas tembok. Tawa nyaring berkumandang dari balik
pepohonan mini sana.
"Gendut edan, bagaimana kau tahu kalau aku mendengar
percakapanmu?"
"Aku tidak tahu," segera Ibu jari menyangkal.
"Eh, lalu kenapa kau menjilat pantat?" suaranya merdu,
orangnya cantik, gerakan Ginkangnya jauh lebih indah,
mempesona lagi. Waktu dia melangkah turun dari atas tembok
laksana segumpal mega, seperti kelopak kembang. Kelopak
kembang mawar yang baru saja melayang jatuh karena
hembusan angin sejuk.
Waktu Ibu jari melihat bayangannya, tahu-tahu orangnya
telah lenyap. Bayangan Ni-jisiocia menyelinap hilang di balik
rimbunnya pepohonan, Ibu jari tetap memicingkan mata,
namun senyumnya makin lebar, tambah riang.
"Dia itukah Ni-jisiocia?" Ibu jari memperkenalkan.
"Kenapa dia mendadak muncul lalu lenyap pula," tanya
Merak. "Karena dia ingin memberitahu, dia lebih tinggi, lebih
unggul dari Bing-gwat-sim," sorot mata Ibu jari masih tertuju ke
arah dimana bayangan tadi lenyap, "oleh karena itu
selanjutnya kita boleh tak usah kuatir berhadapan dengan Yan
Lam-hwi." "Masih ada satu hal aku tidak mengerti."
"Hal apa?"
"Kenapa kita harus membunuh Yan Lam-hwi?" Merak
seperti mengorek keterangan. "Siapakah dia sebetulnya"
Kenapa tiada insan persilatan di Kangouw yang jelas tentang
asal-usulnya?"
"Lebih baik kau jangan banyak bertanya," sikap Ibu jari
mendadak serius, "jika kau betul-betul ingin tahu, kuanjurkan
sebelumnya kau mempersiapkan satu barang."
"Aku harus mempersiapkan apa?"
"Peti mati."
Merak tidak bertanya lagi, waktu dia mengangkat kepala,
kebetulan mega hitam menutupi bulan purnama.
Waktu mega itu menyelimuti gang putri malam, Bing-gwatsim
juga sedang duduk menghadap jendela menyulam
kembang. Yang disulam juga kembang mawar, seperti mawar
yang lagi mekar di luar jendela, mawar yang mekar di musim
semi, memang kelihatan segar semerbak.
Yan Lam-hwi tidur telentang di atas ranjang tanpa
bergerak, wajahnya kelihatan pucat seperti muka Pho Angsoat.
Angin menghembus di luar jendela, angin malam mulai
dingin. Mendadak Bing-gwat-sim mendengar suara mereka,
langkah mereka lebih ringan dari angin, suara mereka lebih
dingin dari angin malam.
"Lekas suruh Yan Lam-hwi turun, kalau dia tidak turun, biar
kami yang ke atas."
Bing-gwat-sim menghela napas, dia tahu Yan Lam-hwi
tidak mungkin turun, maka dia tahu mereka pasti akan naik ke
atas loteng. Karena bukan Yan Lam-hwi yang ingin membunuh mereka,
justru mereka yang ingin membunuh Yan Lam-hwi, karena itu
Yan Lam-hwi boleh tidur santai dan nyaman di atas ranjang,
mereka justru harus membawa senjata, menyusuri jalan raya
memasuki gang, mengetuk pintu dan naik tangga ke loteng,
supaya tidak kehilangan kesempatan baik membunuh orang,
mereka harus bekerja kilat.
Siapakah sebetulnya yang lebih agung antara yang
membunuh dan yang dibunuh" Siapa pula yang yang lebih
kotor dan hina" Siapa pun tiada yang bisa menjawab.
Bing-gwat-sim menunduk melanjutkan sulamannya. Dia
tidak mendengar suara langkah, juga tidak mendengar
ketukan pintu, namun dia sudah tahu ada orang di luar pintu.
"Silakan masuk!" kepala tidak terangkat, badannya tidak
bergerak, "pintu tidak terpalang, dorong saja."
Pintu hanya dirapatkan, jelas sekali dorong pun akan
terpentang lebar, tapi orang justru tidak berani mendorongnya.
"Kalian kemari hendak membunuh orang, memangnya
orang yang bakal menjadi korban kalian yang harus
membukakan pintu menyambut kalian?"
Suaranya lembut, namun bagi pendengaran Ibu jari dan
Merak ternyata setajam jarum.
Cuaca hari ini baik untuk membunuh orang, saat inipun
tepat untuk membunuh orang, hati mereka memang sedang
riang, sedang berselera. Akan tetapi sekarang mereka justru
seperti tidak senang, karena korban yang akan mereka bunuh
justru kelihatan lebih kalem, tidak ambil peduli, sikapnya lebih
luwes, maka mereka berdiri mematung seperti orang linglung
di luar pintu, jantung mereka pun berdetak satu kali lipat lebih
cepat. Kenyataan membunuh orang bukan suatu tugas yang
menyenangkan. Merak menatap Ibu jari, Ibu jari juga mengawasi Merak,
kedua orang ini seperti sedang bertanya kepada diri sendiri,
"Apakah benar Yan Lam-hwi keracunan" Apakah dalam
rumah ada perangkap untuk menjebloskan mereka?"
Padahal mereka tahu, asal pintu didorong terbuka, segala
persoalan juga akan segera terjawab dan beres. Akan tetapi
mereka tidak mengulur tangan.
"Bila kalian masuk, tolong jangan membuat ribut," suara
Bing-gwat-sim lebih lembut, "Yan-kongcu sudah keracunan,
sekarang sedang tidur nyenyak, jangan sampai kalian
membuatnya siuman."
Mendadak Ibu jari tertawa, katanya, "Dia teman Yan Lamhwi,
dia tahu kita datang untuk membunuh Yan Lam-hwi,
agaknya justru kuatir bila kita tidak berani masuk membunuh
Yan Lam-hwi, coba katakan bagaimana pendapatmu?"
Dingin suara Merak, "Karena dia seorang perempuan,
kapan saja perempuan siap menjual atau mengingkari lelaki
yang dicintainya."
"Tidak benar."
"Coba katakan apa sebabnya?"
"Karena dia tahu semakin dia mengoceh begitu, kita
semakin curiga dan tidak berani masuk malah."
"Ya, masuk akal, agaknya kau selalu lebih unggul tentang
perempuan."
"Lalu apa pula yang kita tunggu?"
"Kutunggu kau membuka pintu."
"Kau yang ingin membunuh orang," kata Ibu jari.
"Kau yang membuka pintu."
"Apakah selamanya kau tidak mau menempuh bahaya?"
tanya Ibu jari sambil tertawa.
"Ya, memang begitu." sahut Merak.
"Kerja sama dengan orang sejenismu memang
menyenangkan, karena kelak kau pasti lebih panjang umur,
bila aku sudah mati, paling tidak kau masih bisa mengubur
mayatku." Sembari tersenyum dia mengulur tangan dan
mendorong perlahan, pintu pun terbuka. Bing-gwat-sim tetap
menyulam di pinggir jendela, seperti orang mampus Yan Lamhwi
rebah di atas ranjang.
Ibu jari menghela napas lega, katanya, "Silakan masuk."
"Kau tidak mau masuk?"
"Tugasku hanya membuka pintu, kaulah yang ingin
membunuh orang, tugasku sudah selesai, sekarang tiba
giliranmu bekerja."
Merak menatapnya lama, katanya tiba-tiba, "Ada satu hal
ingin aku beritahukan kepadamu."
"Sekarang boleh kau katakan," ujar Ibu jari.
Dingin suara Merak, "Setiap kali melihat tampangmu, hatiku
lantas jijik, ingin muntah, paling sedikit tiga kali pernah timbul
hasratku ingin membunuhmu."
Ternyata Ibu jari masih bisa tertawa, katanya, "Syukur yang
hendak kau bunuh sekarang bukan aku, tapi adalah Yan Lamhwi."
Merak diam saja.
Maka Ibu jari memperlebar daun pintu dan mendesak,
"Silakan."
Ketenangan menyelimuti rumah ini, cuaca agak guram,
rembulan pun bersembunyi-di balik mega.
Sekarang jam empat hampir tiba.
Akhirnya Merak melangkah masuk, waktu kakinya beranjak
ke dalam, tangannya sudah tersembunyi di dalam lengan baju,
jari-jarinya sudah menyiapkan Khong-jiok-ling. Khong-jiok-ling
yang halus mengkilap dan dingin, senjata rahasia terampuh di
dunia untuk membunuh manusia. Mendadak keyakinan
menambah tebal kepercayaan pada diri sendiri.
Mendadak Bing-gwat-sim mengangkat kepala
menatapnya, senyum manis menghiasi wajahnya waktu dia
menyapa, "Kau inikah Merak?"
"Apakah Merak menggelikan?" Jengek Merak. "Tapi kau
tidak mirip merak, betul-betul tidak mirip."
"Kau juga tak mirip pelacur." Bing-gwat-sim tertawa manis.
"Menjadi pelacur juga bukan sesuatu yang menggelikan."
"Kecuali itu justru ada satu hal yang menggelikan."
"Apakah itu?"
"Kau tidak mirip Khong-jiok (Merak), tapi kau adalah Khongjiok.
Aku tidak mirip pelacur, tapi aku tulen adalah pelacur,
keledai memang mirip kuda, tapi bukan kuda," lalu dengan
tersenyum dia menambahkan, "masih banyak kemiripankemiripan
yang sama di dunia ini."
"Sebetulnya apa yang ingin kau katakan?" ujar Merak.
"Umpamnya," kata Bing-gwat-sim, "Am-gi yang kau bawa jelas
mirip Khong-jiok-ling (bulu merak), tapi kenyataan justru
bukan." Merak tertawa lebar, tertawa tergelak-gelak. Hanya
seseorang yang mendengar sesuatu yang benar-benar
menggelikan, sesuatu yang brutal dan tidak masuk akal baru
akan tertawa sebinggar ini.
Bing-gwat-sim berkata, "Sebetulnya hatimu sendiri juga
curiga akan hal ini, karena sejak mula kau sudah merasakan
kekuatan dan perbawanya tidak sehebat itu dan lebih
menakutkan seperti yang tersiar luas di luaran, karena itu tidak
berani kau gunakan Am-gimu itu untuk menghadapi Pho Angsoat."
Kalau Merak masih tertawa, tapi mimik tawanya kelihatan
kaku, tawa yang dipaksakan.
Bing-gwat-sim berkata pula, "Sayang sekali, curiga yang
terpendam di dalam benakmu itu selama ini tidak bisa
dibuktikan, tidak berani dibuktikan."
Merak bertanya, "Apakah kau mampu?"
"Aku bisa membuktikan, hanya aku yang bisa, karena..."
"Karena apa?"
Tawar suara Bing-gwat-sim, "Khong-jiok-ling seperti yang
kau bawa itu, di sini aku masih punya beberapa biji, setiap
saat bila kau mau, masih bisa kuberi satu atau dua
kepadamu."
Berubah air muka Khong-jiok atau Merak.
Ibu jari yang di luar pintu juga berubah air mukanya.
"Sekarang juga aku bisa memberimu satu biji, nah ambil,"
dari dalam lengan bajunya sekali ulur tangan memang
dikeluarkan sebuah bumbung bundar kuning emas yang
mengkilap, seenaknya saja dia lempar bumbung emas itu
kepada Merak, serupa orang yang banyak duit melempar
sekeping uang kepada pengemis yang minta sedekah.
Merak mengulur tangan meraihnya, hanya dipandang dua
kali dan dibolak-balik tiga kali, mimik mukanya seperti seorang
yang perutnya ditendang secara telak.
"Coba kau periksa apakah Khong-jiok-ling yang kau pegang
itu mirip dengan milikmu yang kau simpan itu?"
Khong-jiok tidak menjawab, tidak usah menjawab. Siapa
pun bila melihat tampangnya sekarang, pasti dapat meraba
jawabannya. Diam-diam Ibu jari menyurut mundur.
Mendadak Merak menoleh, katanya sambil menatap tajam,
"Kenapa tidak kau turun tangan membunuhku?"
Ibu jari tertawa meringis, katanya, "Kita kan kawan
sehaluan, kenapa aku harus membunuh engkau?"
"Karena aku hendak membunuhmu, sebetulnya aku ingin
membunuhmu, maka sekarang kau harus kubunuh."
"Tapi sebaliknya aku justru tidak ingin membunuhmu,
karena bahwasanya aku sendiri tidak perlu turun tangan,"
ternyata Ibu jari masih bisa tertawa, tertawa sambil
memicingkan mata. "Di kalangan Kangouw hanya ada
seorang yang tahu bahwa kau bukan Merak asli, tidak lebih
dari tiga jam, kau akan menjadi Merak yang sudah mati."
"Sayang sekali kau melupakan satu hal," sinis suara Merak.
"Aku melupakan apa?" Ibu jari melengak.
"Umpama benar Khong-jiok-ling di tanganku ini tiruan, tapi
untuk membunuhmu kurasa cukup berlebihan."
Seketika mengejang tawa Ibu jari, mendadak tubuhnya
menerobos keluar, reaksinya sudah amat cepat, sayang masih
terlambat sedetik.
Bumbung kuning emas di tangan Merak tiba-tiba
menyemburkan cahaya benderang yang menyilaukan mata.
Laksana pancaran mentari sebelum terbenam, seindah
lembayung yang menghias angkasa sehabis hujan.
Tubuh Ibu jari yang buntak itu masih terapung di udara
sudah terbenam ditelan cahaya yang indah semarak itu,
seumpama segulung pasir yang jelek mendadak tergulung
oleh damparan ombak yang indah mempesona. Bila cahaya
benderang menakjubkan itu sirna, jiwanya pun melayang.
Umpama guntur menggelegar di angkasa, rintik hujan pun
berhamburan dari tengah mega.
Akhirnya Bing-gwat-sim menghela napas, katanya,
"Ucapanmu memang benar, meski Khong-jiok-ling ini palsu,
kekuatannya masih mampu untuk membunuh orang."
Merak membalik badan, menatapnya dan berkata, "Oleh
karena itu aku pun bisa membunuhmu dengan bulu merak ini."
"Aku tahu, Ibu jari pun telah kau bunuh untuk menyumbat
mulutnya, maka kau pun tidak akan membebaskan diriku."
"Bila kau sudah mati, tiada orang tahu bahwa Khong-jiokling
ini adalah tiruan."
"Kecuali aku memang tiada orang tahu rahasia ini."
"Toh Lui akan menepati janji setelah jam tiga, setelah
kubunuh kau, masih ada waktu bagiku memburu ke sana,
siapa yang bakal menang dalam duel itu tidak menjadi soal,
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia pun akan mati di tanganku."
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, "Rencanamu
memang cermat, sayang sekali aku pun melupakan satu hal."
Merak tutup mulut, dia sedang menunggu keterangan lebih
lanjut. "Kenapa kau lupa tanya kepadaku bagaimana aku bisa
tahu kalau Khong-jiok-ling itu tiruan?"
"Ya, bagaimanan aku bisa tahu?" Merak segera bertanya.
Tawar suara Bing-gwat-sim, "Hanya aku yang tahu rahasia
ini, karena pencipta Khong-jiok-ling tiruan ini adalah aku."
Merak terlongong.
"Kalau aku mampu menciptakan Khong-jiok-ling tiruan dan
sembarangan kuserahkan sebuah kepadamu, sudah tentu aku
punya cara yang manjur untuk memecahkannya."
Pucat muka Merak, tangan pun mulai gemetar. Dia bisa
membunuh orang, mungkin bukan lantaran dia mempunyai
Khong-jiok-ling, tapi lantaran dia mempunyai keyakinan hati
dan tangan yang mantap. Sekarang kedua bekalnya ini sudah
hancur. "Sengaja aku membiarkan kesempatan itu supaya kau
menemukan Khong-jiok-ling yang pertama itu, sudah lama aku
memilih beberapa calon, pilihan akhirnya jatuh pada dirimu
untuk kujadikan Merak, karena tidak banyak insan persilatan
di Kangouw yang memenuhi syarat untuk kujadikan Merak,
dan kau orang yang terbanyak memenuhi beberapa syarat itu,
karena itu aku pun tidak akan membiarkan kau mati begitu
saja, namun sorot matanya mendadak berubah setajam pisau,
"Bila kau ingin melanjutkan menjadi Merak, maka kau harus
tunduk kepadaku, seperti Merak patuh kepada majikannya,
Jika kau sangsi, sekarang boleh kau coba menyerangku."
Kedua tangan Merak saling genggam memegang bumbung
kuning emas itu, namun masih terus gemetar. Mengawasi
kedua tangan sendiri, mendadak dia membungkuk dan
muntah-muntah. "Aku tidak mencabut golok, karena aku yakin aku pasti
menang," suara Pho Ang-soat seperti berkumandang dari
balik mega yang jauh di angkasa, "seseorang bila mau
membunuh orang, sering kali dia seperti memohon sesuatu
kepada orang, perbuatannya menjadi hina dan kotor, karena
dia tidak betul-betul yakin pasti menang, maka dia akan gugup
dan gelisah, kuatir kehilangan kesempatan."
Jarang dia bicara sebanyak dan sepanjang ini, sepatah
demi sepatah diucapkan perlahan seperti kuatir Toh Lui tidak
tahu artinya, karena dia tahu setiap patah kata yang
diucapkan laksana sebilah pisau mengiris sanubari Toh Lui.
Tubuh Toh Lui memang mengejang, sampai pun suaranya
juga serak, "Jadi kau yakin pasti menang, maka kau tidak
gelisah?" Pho Ang-soat mengangguk.
"Lalu sampai kapan baru kau akan mencabut golokmu?"
tanya Toh Lui. "Bila kau mencabut golokmu."
"Jika aku tidak mencabut golokku?"
"Kau pasti akan mencabut golokmu, malah besar hasratmu
untuk segera mencabutnya."
Karena kau yang ingin membunuh aku, bukan aku yang
ingin membunuh kau, maka kau akan benar-benar mati,
jiwamu akan melayang seketika bukan di saat aku mencabut
golok, tapi di saat kau mencabut golokmu sendiri.
Otot hijau sudah menghias punggung tangan Toh Lui yang
menggenggam golok. Sekarang dia belum mencabut golok,
namun dia tahu, cepat atau lambat dia pasti akan
mencabutnya. Air hujan yang dingin menetes di atas badannya, menetes
di mukanya, dia berhadapan dengan Pho Ang-soat,
berhadapan dengan jago golok sakti yang tiada bandingannya
di kolong langit ini, alam pikirannya mendadak terbayang pula
akan masa lalu, masa kanak-kanaknya dulu, masa kanakkanak
yang jorok penuh kemiskinan.
Bila hujan turun, jalanan becek, dengan kaki telanjang dia
harus berlari-lari di tanah becek itu, karena di belakangnya
ada orang sedang mengejarnya. Waktu itu dia lari dari sebuah
Piau-kiok, karena dia mencuri sepasang sepatu milik seorang
Piausu yang baru saja dibeli, sepatu itu teramat besar bagi
dia, belum jauh dia melarikan diri, sepatu itu sudah terlepas
terbang dan tertinggal. Namun Piausu itu memberi ampun
kepadanya, begitu kecandak, dirinya lantas dibelejeti dan
digantung di atas pohon, dengan rotan sekujur badannya
dihajar babak-belur.
Sekarang dia berhadapan dengan Pho Ang-soat, kembali
hatinya merasakan derita yang menyiksa seperti waktu dirinya
dihajar dulu. Derita dan gejolak hati yang tidak akan bisa
terlupakan selama hidup.
Hujan makin lebat, tanah di sekitar mereka sudah mulai
becek. Mendadak dia mencopot sepasang sepatu yang baru
dibelinya seharga delapan belas tahil, dengan telanjang kaki
dia berdiri di tengah tanah yang becek.
Pho Ang-soat seolah-olah sudah berubah menjadi Piausu
yang menghajarnya dengan rotan dulu, merupakan
perlambang derita dan gejolak perasaan.
Mendadak dia berteriak, menyobek hancur pakaian sendiri,
keadaannya mirip orang gila. Dengan bertelanjang dada ia
mencak-mencak dan berteriak-teriak kalap di tengah tanah
becek. Belenggu dan tekanan batin yang selama ini terbenam
dalam sanubarinya, dalam sekejap ini telah bebas dan lepas,
maka dia mencabut golok.
Saat dia mencabut golok adalah saatnya kematian, maka
dia pun mati. Mati bukan saja suatu gejolak, suatu derita dan
tak mungkin selama hidup bakal diperolehnya sekaligus,
hanya setelah dia mengalami kematian baru akan
mendapatkan segalanya.
ooooOOoooo Hujan sudah reda.
Jalanan kecil itu tetap becek, Pho Ang-soat beranjak di atas
jalanan kecil, tangannya tetap memegang golok. Golok sudah
kembali ke sarungnya, darah sudah dibersihkan, golok tetap
hitam legam. Matanya juga gelap, pekat dan dalam, cukup
untuk menyembunyikan rasa kasihan dan duka-lara hatinya.
Secercah sinar mentari menembus gumpalan mega,
mungkin itulah secercah cahaya terakhir untuk hari ini.
Cahaya mentari menyinari pucuk tembok, seorang
terdengar tertawa cekikikan di balik tembok, suaranya merdu
nyaring, namun membawa nada sindiran.
Ni Hwi muncul di bawah pancaran mentari.
"Tidak baik, jelek."
Apa yang jelek"
Pho Ang-soat tidak bertanya, langkahnya pun tidak
berhenti. Tapi kemana dia pergi, Ni Hwi selalu mengintil.
"Duel kalian pun tidak menarik, sebetulnya ingin kusaksikan
permainan golokmu, tak nyana kau justru menggunakan
muslihat."
Tanpa ditanya dia langsung menjelaskan, "Kau suruh Toh
Lui mencabut goloknya lebih dulu, kelihatannya kau mengalah
kepadanya, padahal itu adalah muslihatmu."
Kenapa dikatakan muslihat" Walau tidak bertanya, namun
langkah Pho Ang-soat sudah berhenti.
"Golok terbenam di dalam sarung dan jarang terlihat, siapa
pun tiada yang tahu apakah golokmu tajam atau tumpul, bila
golok sudah keluar, ketajamannya pun telah nyata, siapa pun
tak berani melawan ketajamannya, karena itu sebilah golok
hanya akan terasa bobotnya di saat dia akan dicabut dan
belum tercabut." Lekas dia menambahkan pula, "Tentu kau
jelas dan mengerti akan hal ini, maka kau suruh Toh Lui
mencabut lebih dulu ..."
Pho Ang-soat mendengarkan dengan cermat, mendadak
dia menukas, "Itupun ilmu golok, bukan muslihat."
"Bukan. Kau bilang bukan?"
"Ilmu golok berbeda dan masing-masing memiliki
keunggulan, namun kegunaannya justru sama dan hanya
satu." Sikap Ni Hwi serius, katanya, "Apakah begitu puncak
kemahiran ilmu golok?"
"Kurasa bukan."
"Harus mencapai taraf apa baru terhitung mencapai puncak
kemahiran ilmu golok?"
Pho Ang-soat mengancing mulut, beranjak lebih jauh.
Sinar surya benderang, hanya sinar mentari terakhir terasa
paling cemerlang, demikian pula jiwa manusia.
Lama Ni Hwi terlongong di atas tembok, lalu menggumam
sendiri, "Apakah ilmu goloknya telah mencapai taraf tanpa
perubahan?"
Sinar surya yang benderang mendadak menjadi guram
pula. Tanpa perubahan, bukankah berarti telah mencapai taraf
tertinggi adanya perubahan itu" Maka golok itu sendiri apakah
masih ada harganya untuk dipertahankan"
Pho Ang-soat menghela napas, karena soal ini dia pun
tidak mampu menjawab.
Kalau sang surya sudah terbenam di ujung barat, bayangan
Ni Hwi telah lenyap tak keruan parannya. Tapi surya tetap
ada, demikian pula Ni Hwi tetap hidup, yang lenyap dalam
sekejap ini hanyalah kesannya saja, kesan dalam benak Pho
Ang-soat secara pribadi.
Pho Ang-soat mendorong daun pintu kecil di pojok tembok
sana, lalu melangkah keluar perlahan, baru saja dia
mengangkat kepala, dilihatnya Bing-gwat-soat di atas loteng.
Lekas Pho Ang-soat menunduk pula.
"Kau menang?" mendadak Bing-gwat-sim bertanya.
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia masih hidup, itulah
jawabannya. Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, "Buat apa, ya,
buat apa?"
"Buat apa?" Pho Ang-soat tidak mengerti.
"Kau tahu kau pasti menang, buat apa kau pergi" Dia tahu
jiwanya bakal mampus, buat apa dia datang?" persoalan yang
perlu dipecahkan dengan memeras keringat dan
mengencerkan otak ini, ternyata mampu dijawab oleh Pho
Ang-soat, "Karena dia adalah Toh Lui dan aku adalah Pho
Ang-soat."
Penjelasannya seumpama golok miliknya, sekali tabas
telak mengenai sasaran yang tepat dari persoalan ini.
Bing-gwat-sim ternyata belum puas, katanya, "Apakah
lantaran di dunia ini ada Pho Ang-soat, maka Toh Lui harus
mati," "Bukan," pendek dan tegas jawaban Pho Ang-soat.
"Jadi maksudmu....."
"Kalau di dunia ini ada Toh Lui, maka Toh Lui harus mati."
Walau jawabannya kelihatannya susah dimengerti,
sebenarnya justru teramat sederhana, tapi juga masuk akal.
Kalau tiada kehidupan, darimana datangnya kematian" Kalau
sudah ada kehidupan pasti juga akan terjadi kematian"
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, "Agaknya
terhadap persoalan mati hidup manusia, pandanganmu terlalu
tawar." Pho Ang-soat tidak menyangkal.
"Hidup mati orang lain sudah tentu kau memandangnya
tawar, maka kau tinggalkan Yan Lam-hwi di sini."
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, baru perlahan dia
bertanya, "Apakah Merak pernah kemari."
"Ehm," Bing-gwat-sim bersuara dalam mulut. "Bukankah
Yan Lam-hwi masih hidup?" Kembali Bing-gwat-sim
mengiakan. "Kutinggalkan dia di sini, mungkin karena aku tahu bahwa
dia tidak akan mati."
"Tapi kau ...."
"Asal maksud kalian semula belum berubah, janjiku semula
juga tidak akan berubah."
"Janji apa yang pernah kau berikan kepadaku?"
"Akan kubawa kalian ke Khong-jiok-san-ceng." Bersinar
mata Bing-gwat-sim, "Sekarang juga berangkat?"
"Sekarang juga berangkat."
Bing-gwat-sim berjingkrak, berpaling pula dan berkata
dengan tertawa manis, "Apakah aku harus tetap mengenakan
topeng ini?"
Dingin suara Pho Ang-soat, "Bukankah sekarang kau
sudah mengenakan topengmu?"
ooooOOoooo Bab 8. Khong-Jiok-San-Ceng
Wajah manusia memangnya juga sebuah topeng, topeng
yang mudah berubah menyesuaikan situasi dari yang
empunya. Siapa pula yang dapat menebak rahasia yang terbenam di
dalam sanubari orang dari mimik mukanya" Adakah topeng
yang benar-benar bagus sebagus wajah manusia" Manusia
yang punya kedudukan makin tinggi yang terpandang dan
diagungkan, dengan adanya topeng yang dikenakan di
wajahnya justru makin sukar orang melihatnya.
Waktu berhadapan dengan Jiu Cui-jing, dalam hati Binggwat-
sim bertanya kepada diri sendiri, "Topeng macam
apakah yang dikenakan di mukanya?"
Peduli topeng apa yang dipakainya, bahwa majikan Khongjiok-
san-ceng sendiri keluar menyambut kedatangan mereka,
betapapun adalah suatu hal yang menggembirakan.
Bulu merak yang indah, Khong-jiok-san-ceng nan megah.
Gentingnya berwarna hijau pupus, ditimpa sinar mentari
menjelang magrib kelihatan lebih mengkilap laksana zamrud,
undakan panjang yang bersusun seindah batu jade masuk
melalui tembok-tembok tinggi laksana emas, tempat ini
seolah-olah tersusun dari kepingan-kepingan mutiara atau
permata lainnya.
Di bawah pohon dalam taman, beberapa ekor merak
sedang mondar-mandir, di tengah empang angsa sedang
berenang santai. Beberapa gadis berpakaian kain kembang
warna-warni berjalan-jalan di atas rerumputan yang empuk,
menghilang di tengah gerombolan kembang, lenyap ditelan
keindahan taman yang berwarna-warni.
Hembusan angin membawa bau harum yang memabukkan,
di kejauhan seperti ada seorang meniup seruling, mayapada
ini seperti diliputi kedamaian.
Tiga lapis pintu besar di luar maupun di dalam
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkampungan terpentang lebar, tiada seorang pun yang
menjaganya. Jiu Cui-jing berdiri di undakan terbawah di depan pintu,
mengawasi Pho Ang-soat dengan tenang. Dia seorang yang
serba hati-hati, serba kolot, bicara atau bekerja pantang
membocorkan rahasia, umpama hatinya amat senang, juga
tidak pernah diperlihatkan di wajahnya.
Melihat kedatangan Pho Ang-soat, dia hanya tertawa tawar,
sapanya, "Aku tidak menduga kau bakal kemari, tapi
kedatanganmu memang kebetulan."
"Kenapa kebetulan?" tanya Pho Ang-soat.
"Malam ini tempat ini akan kedatangan tamu, kebetulan
bukan tamu sembarangan."
"Siapa?"
"Kongcu Gi."
Pho Ang-sot mengancing mulut, wajahnya tidak
menampilkan perubahan perasaan, demikian pula Bing-gwatsim
ternyata juga adem-ayem.
Jiu Cui-jing meliriknya sekali lalu mengawasi Yan Lam-hwi
yang digotong masuk.
"Mereka ini temanmu?" tanyanya.
Pho Ang-soat tidak menjawab, tapi juga tidak menyangkal.
Bahwasanya mereka kawan atau lawan" Mereka sendiri pun
sukar membedakan.
Ternyata Jiu Cui-jing juga tidak banyak bertanya, sedikit
miringkan tubuh dia berkata, "Silakan, silakan masuk."
Dua orang menggotong Yan Lam-hwi menaiki undakan
panjang, Bing-gwat-sim mengikut di belakang, tiba-tiba dia
berhenti menatap Jiu Cui-jing, katanya, "Kenapa Cengcu tidak
bertanya untuk apa kami kemari?"
Jiu Cui-jing menggeleng kepala. Kalau kalian adalah teman
Pho Ang-soat, maka aku tidak perlu bertanya, kalau tidak mau
bertanya, maka tak usah buka mulut. Biasanya dia memang
tidak suka berbicara.
Bing-gwat-sim justru tidak mau menutup mulut, katanya,
"Umpama Cengcu tidak bertanya, akulah yang akan
menerangkan."
Karena dia bicara, terpaksa Jiu Cui-jing mendengarkan.
"Kedatangan kami kemari, pertama, untuk
menyembunyikan diri dari bencana, kedua, mohon
pengobatan, entah Cengcu sudi tidak memeriksa dulu
penyakitnya?"
Akhirnya Jiu Cui-jing bertanya, "Penyakit apa?"
"Penyakit hati."
Jiu Cui-jing mendadak menoleh dan menatapnya, "Sakit
hati hanya dapat disembuhkan dengan kebatinan."
"Aku tahu Baru dua patah kata terucap dari mulut Bing-gwat-sim, Yan
Lam-hwi yang berada di atas gotongan mendadak melompat
bangun terus menerjang dengan kecepatan kilat. Demikian
pula Bing-gwat-sim pun turun tangan.
Seorang berdiri di depan Jiu Cui-jing yang lain berdiri di
belakangnya, jadi dari depan dan belakang menyergap, sekali
turun tangan jalan mundur Jiu Cui-jing telah dicegatnya buntu.
Bahwasanya tiada jurus silat apa pun di dunia ini yang serba
sempurna, namun sergapan kedua orang ini justru amat
sempurna, amat tepat dan telak. Tiada seorang pun yang
mampu melawan atau menyingkir, bahwasanya tiada seorang
pun yang mengira bahwa mereka mendadak bakal
menyergap. Gerakan mereka sudah menjamin bahwa sergapan ini tak
lain merupakan suatu rencana yang sudah dipikir masakmasak
dan teliti, sergapan itu sendiri pasti juga sudah dilatih
bersama berulangkali sehingga mahir betul.
Oleh karena itu majikan Khong-jiok-san-ceng yang
menggetar dunia ini tak memiliki kesempatan untuk bergerak,
tahu-tahu sudah dibekuk di depan pintu gerbang rumah
sendiri. Hanya dalam sekejap mata mereka sudah menutuk
delapan Hiat-to penting di sendi tulang antara kedua lengan
dan kakinya. Jiu Cui-jing juga tidak terjungkal jatuh, karena mereka
memapahnya berdiri. Walau tubuhnya kaku mengejang,
sikapnya ternyata masih tenang, orang yang masih bisa
bersikap setenang ini dalam keadaan seperti ini, dicari di
seluruh pelosok dunia juga sukar menemukan sepuluh orang.
Sergapan mereka berhasil gemilang namun telapak tangan
Bing-gwat-sim berkeringat dingin, perlahan dia
menghembuskan napas, lalu melanjutkan perkataannya yang
belum selesai tadi, "Karena aku juga tahu cara pengobatan
seperti apa yang kau ucapkan tadi, maka kami kemari
mencarimu."
Ternyata melirik pun Jiu Cui-jing tidak ke arahnya, matanya
mantap dingin ke arah Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat sendiri juga diam tidak menunjukkan reaksi.
"Kau tahu untuk apa mereka kemari?" tanya Jiu Cui-jing.
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
"Tapi kau justru membawa mereka kemari."
"Karena aku juga ingin melihat untuk apakah sebetulnya
mereka kemari."
Hanya beberapa patah tanya jawab ini, suasana yang
semula diliputi kedamaian di dalam taman ini seketika berubah
diliputi hawa membunuh. Hawa membunuh yang keluar dari
empat puluh sembilan batang pedang dan golok, bayangan
pedang dan golok tampak bergerak, namun orangnya tiada
yang bergeming. Kalau Cengcu mereka sudah dibekuk
musuh, dijadikan sandera, siapa berani bertindak secara
gegabah. Tiba-tiba Jiu Cui-jing menghela napas, katanya; "Yan Lamhwi,
Yan Lam-hwi, kenapa kau melakukan perbuatan ini?"
Di luar dugaan Yan Lam-hwi melengak, katanya, "Kau
sudah tahu siapa diriku?"
"Delapan puluh li daerah sekitar perkampungan merupakan
daerah terlarang perkampungan merak, begitu kau memasuki
daerah terlarang, aku lantas tahu asal-usul dan riwayatmu."
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Kelihatannya
Khong-jiok-san-ceng memang bukan tempat yang boleh
sembarangan dibuat mondar-mandir."
"Karena aku tahu jelas seluk-belukmu, maka kau
bertindak."
"Kau tidak menduga, bukan?"
"Sesungguhnya memang tidak kuduga."
"Sebenarnya aku sendiri tidak menduga," ucap Yan Lamhwi
tertawa getir. Lekas Bing-gwat-sim menimbrung, "Soalnya juga
terpaksa, penyakitnya memang cukup parah."
"Aku punya obat untuk menyembuhkan dia?" tanya Jiu Cuijing.
"Kau punya, hanya kau yang punya," sahut Bing-gwat-sim.
"Obat apakah itu?"
"Sebuah rahasia."
"Rahasia" Rahasia apa?"
"Rahasia Bulu merak."
Terkancing mulut Jiu Cui-jing.
"Bukan maksud kami hendak mengancam dan menekan
kau, kami hanya ingin barter."
"Dengan apa kau hendak barter?"
"Juga sebuah rahasia, rahasia tentang Bulu merak."
ooooOOoooo Malam telah tiba, lampu pun menyala.
Rumah itu amat tenang dan bersih serba rapi, ini
menandakan bahwa Jiu Cui-jing seorang pengagum seni, seni
dekorasi, perabotnya serba antik dan mewah. Sayang sekali
para tamunya ini tiada yang punya hasrat menikmati dekorasi
rumahnya yang megah ini.
Begitu masuk rumah, Bing-gwat-sim lantas bicara ke titik
persoalan, "Sebenarnya aku juga tahu, Khong-jiok-ling (bulu
merak) sudah hilang sejak moyangmu pada generasi Jiu
Hong-go." Inipun sebuah rahasia, rahasia yang tidak diketahui oleh
insan persilatan mana pun di dunia ini.
Pertama kali melihat Jiu Cui-jing terkesiap, katanya,
"Darimana kau tahu?"
Bing-gwat-sim berkata, "Karena Jiu Hong-go pernah
membawa sketsa gambar Khong-jiok-ling mencari seorang,
minta bantuannya untuk membikin sebuah Khong-jiok-ling."
Sketsa gambar Khong-jiok-ling itu sendiri juga merupakan
suatu rahasia, karena dalam sketsa itu dilukiskan bentuk dan
rahasia pembuatan Khong-jiok-ling.
Tiada orang tahu Khong-jiok-ling ada lebih dulu atau sketsa
gambar merak itu ada lebih dulu" Tapi siapa pun akan
berpendapat dengan adanya sketsa gambar merak itu,
dengan mudah akan bisa dibuat pula sebuah atau berapa saja
yang dikehendaki Khong-jiok-ling yang sama.
"Tapi cara berpikir demikian sebetulnya keliru," ujar Binggwat-
sim. "Darimana kau tahu kalau cara berpikir begitu salah?"
"Menciptakan Am-gi yang menggunakan peralatan rahasia
merupakan ilmu yang rumit, tinggi dan mendalam. Bukan saja
penciptanya harus mempunyai jari-jari tangan yang tahu cara
bagaimana mencampur kadar logam dan seluk-beluk tentang
Am-gi yang akan dibuatnya."
"Yang dicari Jiu Hong-go sudah tentu adalah seorang
pandai besi yang ahli, malah pandai besi nomor satu di jagat
ini," ujar Bing-gwat-sim.
Jiu Cui-jing berkata, "Pandai besi nomor satu sejagat pada
masa itu, konon justru seorang perempuan, yaitu Ji-hujin dari
keluarga Tong dari Sujwan.
"Racun dan Am-gi keluarga Tong konon sudah menjagoi
dunia selama empat ratus tahun, kepandaiannya sudah
menjadi tradisi yang diturunkan kepada menantu, tidak kepada
putri kandung sendiri. Ji-hujin adalah menantu tertua keluarga
Tong masa itu, karya sulamannya dan buatan Am-ginya waktu
itu diagulkan sebagai kepandaian tunggal yang tiada taranya,
maka waktu itu dia dijuluki Siang-coat."
Bing-gwat-sim berkata, "Namun Ji-hujin berjerih-payah
selama enam tahun hingga rambut kepalanya pun ubanan
karena terlalu banyak memeras otak, namun tidak mampu dia
membikin sebuah Khong-jiok-ling yang mirip aslinya."
Jiu Cui-jing mengawasinya, menunggu ceritanya lebih
lanjut. Bing-gwat-sim mengeluarkan sebuah bumbung bundar
mengkilap kuning emas, lalu melanjutkan, "Selama enam
tahun, walau dia berhasil membuat empat pasang Khong-jiokling,
luarnya dan susunan peralatan di dalamnya meski mirip
dengan gambar aslinya, sayang sekali hasil karyanya itu tidak
digdaya seperti Khong-jiok-ling yang tulen, karena Khong-jiokling
yang tulen mempunyai kekuatan hebat yang tidak
mungkin bisa diterima oleh nalar manusia lumrah, kekuatan
magis." "Itukah salah satu di antaranya?" tanya Jiu Cui-jing
mengawasi bumbung kuning di tangan Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim mengangguk sambil mengiakan.
"Belakangan ini di kalangan Kangouw muncul seorang
yang menamakan diri Merak."
"Bulu merak miliknya itu juga salah satu di antaranya."
"Kaukah yang memberikan kepadanya?"
"Secara tidak langsung kuberikan kepadanya, namun
secara kebetulan saja kubiarkan dia menemukan."
"Karena kau sengaja supaya orang-orang Kangouw tahu
rahasia tentang hilangnya bulu merak itu."
Bing-gwat-sim mengaku.
Jika Khong-jiok-ling muncul di tangan orang, sudah tentu
bulu merak itu sudah tidak berada di perkampungan merak
pula. "Kenapa kau berbuat demikian?" tanya Jiu Cui-jing.
"Karena sejak mula aku curiga akan satu hal."
"Hal apa yang kau curigai?"
"Bulu merak merupakan urat jantung kehidupan, kejayaan
perkampungan merak, para Cengcu Khong-jiok-san-ceng
turun-temurun beberapa generasi semuanya adalah orang
teliti, tabah dan cakap, maka?"."
"Maka kau tidak percaya bahwa Khong-jiok-ling itu hilang."
Bing-gwat-sim mengangguk, "Konon bulu merak itu hilang
dari tangan Jiu It-hong, ayah kandung Jiu Hong-go, Jiu It-hong
berbakat besar, berilmu tinggi serba pandai, bagaimana
mungkin dia melakukan kecerobohan yang berakibat fatal ini"
Dia sengaja berbuat demikian, mungkin hanya untuk menguji
sampai dimana taraf reaksi putranya."
Walau analisanya masuk akal, namun tak mungkin bisa
dibuktikan. Maka dia berkata lebih lanjut, "Sengaja aku
membocorkan rahasia ini, supaya musuh-musuh Khong-jioksan-
ceng yang sudah turun-temurun itu berlomba datang
menyerbu kemari."
"Yang datang tetap tiada yang bisa hidup dan keluar dari
sini," dingin suara Jiu Cui-jing, bangga namun juga sinis.
"Oleh karana itu aku yakin bahwa dugaanku tidak meleset,
Khong-jiok-ling pasti masih berada di tanganmu."
Jiu Cui-jing tutup mulut, namun sepasang matanya setajam
mata burung elang menatap wajah Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim segera menambahkan, "Kemudian Jiu Honggo
tidak menemui Ji-hujin lagi, karena dia sudah menemukan
pula Khong-jiok-ling yang asli."
Lama Jiu Cui-jing menepekur, katanya kemudian perlahan,
"Semestinya dia tidak perlu menemui Ji-hujin."
"Tapi Jiu Hong-go percaya kepada Ji-hujin, sebelum Jihujin
menikah, mereka sudah lama berhubungan sebagai
kawan." Jiu Cui-jing tertawa dingin, jengeknya, "Memang tidak
sedikit orang yang mau menjual kawan sendiri dalam dunia
ini." "Tapi Ji-hujin tidak mengingkari persahabatan mereka,
kecuali beberapa tertua dari keluarga Tong yang lurus, tiada
orang lain tahu akan rahsia ini."
Makin mencorong cahaya mata Jiu Cui-jing, katanya, "Dan
kau" Pernah apa pula kau dengan keluarga Tong?"
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Waktu aku membeberkan
rahasia ini, memang aku sudah siap membeber pula rahasia
diriku." Lalu perlahan dia menyambung, "Aku adalah putri
sulung keluarga Tong angkatan tertua, nama asliku adalah
Tong Lam."
"Anak keturunan keluarga Tong kenapa sudi hidup di
kalangan pelacuran?"
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Walau keluarga Tong kami menggunakan racun dan Amgi,
namun peraturan keluarga kami jauh lebih ketat, lebih
keras dan disiplin dibanding tujuh perguruan besar dari aliran
lurus, putra-putri keluarga Tong, selamanya suka mencampuri
urusan Bu-lim yang tidak semestinya," suaranya tenang tapi
tegas. "Tapi kami sudah bertekad untuk melakukan sesuatu
yang menggemparkan."
"Apa tujuan kalian?"
"Kelaliman, hanya itu tujuan kami."
"Menentang kelaliman?"
"Betul, menentang kelaliman."
"Kami tidak berani melanggar peraturan keluarga, supaya
gerakan kita leluasa, terpaksa aku bersembunyi dalam
kalangan pelacuran, selama tiga tahun ini, kami sudah
menghimpun suatu kekuatan besar untuk menentang
kelaliman, sayang sekali sejauh ini kekuatan kita pun belum
memadai." Yan Lam-hwi tiba-tiba menimbrung, "Karena organisasi
lawan lebih ketat dan keras, kekuatan mereka pun lebih
besar." "Siapa pemimpin mereka?" tanya Jiu Cui-jing.
"Seorang yang pantas dibunuh."
"Dia itulah penyakit hatimu."
Yan Lam-hwi diam, diam artinya mengakui.
"Kau hendak memakai Khong-jiok-ling milikku untuk
membunuhnya?"
"Kelaliman ditumpas dengan kelaliman, pembunuhan
dicegah dengan membunuh."
Jiu Cui-jing menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat pula,
mendadak dia berkata, "Bukalah Hiat-to di kakiku, mari ikuti
aku." Setelah melewati gambar dinding besar dan indah itu,
mereka menerobos hutan bambu serta rumpun kembang
anggrek, melewati jembatan bambu sembilan liku, maju lebih
jauh pula, sinar pelita mulai jarang-jarang. Taman yang gelap
terasa sepi lengang dan seram, sehingga sinar api pun
menjadi guram gelap. Dibanding gedung-gedung berloteng
yang megah dan angker di bilangan depan, di sini seperti
berada di dunia yang lain.
Rumah besar di sini juga serba gelap, dingin lembab dan
menggiriskan. Di dalam rumah dipasang ratusan dian, sinar
api yang kelap-kelip seumpama api setan, di belakang setiap
dian berdiri sebuah Ling-pay, di atas Ling-pay tertulis namanama
almarhum, nama tokoh besar yang belum lama ini
masih malang melintang di Kangouw. Melihat deretan Lingpay
ini, sikap Bing-gwat-sim kelihatan serius dan khidmat.
Dia tahu mereka adalah para korban yang mati di bawah
Khong-jiok-ling, dia mengharap di sini akan ditambah lagi
sebuah Ling-pay dengan satu nama, "Kongcu Gi".
"Leluhur kita kuatir bila anak cucunya terlalu ganas
membunuh manusia, maka di sini didirikan tempat
penyimpanan perabuan mereka, supaya arwah mereka
tenteram dan masuk surga."
Maka selanjutnya mereka mulai memasuki urat nadi
Khong-jiok-san-ceng, mereka masuk lewat sebuah lorong,
lorong yang berbelak-belok, terali besi yang mereka lewati
entah ada berapa lapis.
Tanpa bersuara mereka terus beranjak di belakangnya,
seolah-olah mereka sedang memasuki sebuah kuburan
raksasa peninggalan raja-raja pada dinasti ribuan tahun yang
lampau, gelap dingin, lembab juga serba misterius.
Pintu besi terakhir ternyata terbuat dari papan baja setebal
tiga kaki, beratnya ada laksaan kati.
Di atas pintu ini terdapat tiga belas lubang kunci.
"Semula tiga belas kunci berada di tangan tiga belas orang,
tapi sekarang teman yang patut dipercaya betul-betul makin
jarang. Maka sekarang mereka tinggal enam orang, semua
adalah orang-orang tua yang sudah beruban, di antaranya ada
keturunan dekat atau famili keluarga Khong-jiok-san-ceng
sendiri, ada pula sesepuh dunia persilatan yang sudah
kenamaan di Bu-lim. Asal-usul dan kedudukan mereka
berbeda, namun persahabatan mereka serta loyalitasnya
terhadap Khong-jiok-san-ceng cukup membuat Jiu Cui-jing
percaya kepada mereka. Demikian pula kungfu kalian lebih
meyakinkan lagi," Jiu Cui-jing menjelaskan.
Cukup Jiu Cui-jing menepuk tangannya dua kali, enam
orang segera muncul seperti gerakan setan, pendatang yang
paling cepat ternyata bermata tajam bagai mata elang, gerakgeriknya
juga seringan dan setangkas elang, mukanya yang
sudah tergembleng di bawah hujan dan terik matahari penuh
dihiasi codet bekas bacokan yang malang melintang tidak
keruan, kalau tidak salah, dia bukan lain adalah Put-si-sin-eng
Kongsun To yang dahulu pernah menggetarkan padang pasir
di luar perbatasan.
Kunci terikat pada rantai di atas badannya, kunci terakhir
ternyata berada di tangan Jiu Cui-jing.
Dengan cermat Bing-gwat-sim memperhatikan dia
membuka kunci terakhir, waktu dia menoleh pula, bayangan
keenam orang itu sudah tidak kelihatan, seumpama setan
dedemit yang sengaja diutus dari neraka oleh para leluhur
keluarga Jiu yang berkuasa di perkampungan ini.
Di belakang pintu besi tebal ternyata adalah sebuah rumah
batu, dindingnya sudah lumutan, di sini tersulut enam lentera.
Cahaya api guram dingin dan menyeramkan, di empat
penjuru terdapat rak senjata, seperti pajangan saja terdapat
berbagai jenis senjata tajam, di antaranya malah ada yang
belum pernah terlihat oleh Yan Lam-hwi, entah itu senjata
yang pernah digunakan leluhur keluarga Jiu atau gaman yang
dipakai musuh mereka, bahwa senjata itu masih utuh dan
tersimpan di sini, namun jiwa raga mereka sudah tiada, tulangbelulangnya
pun sudah tak tersisa lagi.
Jiu Cui-jing mendorong sebuah batu raksasa pula, di dalam
dinding batu ternyata tersembunyi sebuah almari besi, apakah
Khong-jiok-ling tersimpan di dalam almari besi ini"
Semua menahan napas, mengawasinya membuka almari
besi itu, lalu dengan laku hormat mengeluarkan sebuah kotak
kayu cendana yang berukir indah dan kuno. Tiada yang
menduga bahwa yang tersimpan di dalam kotak kayu bukan
Khong-jiok-ling, tapi adalah selembar kulit tipis yang sudah
kuning seperti malam.
Bing-gwat-sim tidak ingin menyimpan rasa kecewanya,
katanya sambil mengerut alis, "Apakah ini?"
Sikap Jiu Cui-jing serius dan hormat, sahutnya kereng,
"Inilah wajah seorang."
Bing-gwat-sim terkesiap, tanyanya, "Apakah kulit yang
dibeset dari wajah seseorang?"
Jiu Cui-jing manggut-manggut, sorot matanya diliputi
kedukaan, katanya rawan, "Karena orang ini kehilangan suatu
barang yang amat penting, merasa malu untuk hidup lebih
lanjut, sebelum bunuh diri dia meninggalkan pesan, menyuruh
orang membeset kulit mukanya sebagai peringatan bagi anak
keturunannya kelak."
Dia tidak menjelaskan nama orang itu namun semua tahu
siapa yang dia maksud. Bahwa Jiu It-hong dikabarkan
mendadak mati, peristiwa ini pernah menimbulkan rasa curiga
kaum persilatan masa itu, sampai sekarang baru rahasia itu
dibongkar oleh Jiu Cui-jing.
Merinding sekujur badan Bing-gwat-sim, agak lama
kemudian baru dia menghela napas panjang, katanya,
"Peristiwa ini sebetulnya tidak perlu kau beberkan di hadapan
kita." "Sebetulnya memang pantang untuk kubeberkan," ucap Jiu
Cui-jing dengan suara berat, "tapi aku ingin supaya kalian
percaya, bahwa sejak lama Khong-jiok-ling sudah tidak berada
di Khong-jiok-san-ceng."
Bing-gwat-sim bertanya, "Tapi bagaimana dengan orangorang
yang mati di perkampungan merak ini."
"Membunuh orang banyak caranya," Jiu Cui-jing menukas
dingin, "tidak pasti harus menggunakan Khong-jiok-ling."
Mengawasi kulit manusia di dalam kotak kayu cendana,
terbayang dalam benak Bing-gwat-sim bagaimana orang itu
gugur secara ksatria untuk menebus dosa kesalahannya, lalu
timbul penyesalan dalam hatinya, semestinya dirinya tidak
kemari saja. Demikian pula Yan Lam-hwi, dia kelihatan juga
amat menyesal. Pada saat itulah terdengar suara "Blam" yang cukup keras,
pintu besi setebal itu telah menutup sendiri. Menyusul
terdengar pula suara "Klik, klik, klik" secara beruntun tiga
belas kali, tiga belas lubang kunci di sebelah luar ternyata
sudah digembok.
Berubah air muka Bing-gwat-sim.
Yan Lam-hwi juga menghela napas, katanya, "Bukan saja
tidak pantas kami kemari, juga tidak patut tahu rahasia ini,
lebih tidak pantas lagi secara sembrono main terobos di
hadapan arwah para Cianpwe yang menghuni tempat ini, kami
memang patut mampus."
Jiu Cui-ing mendengarkan dengan tenang, tiada perubahan
di wajahnya. Yan Lam-hwi berkata pula, "Tapi jiwaku ini sudah menjadi
milik Pho Ang-soat, Pho Ang-soat tidak pantas ikut mati sini."
"Aku juga tidak harus mati," jengek Jui Cui-jing tiba-tiba.
Yan Lam-hwi melotot dengan kaget. Bing-gwat-sim menyela,
"Ini bukan kehendakmu?"
"Bukan," sahut Jiu Cui-jing tegas.
Bing-gwat-sim makin kaget, serunya, "Lalu siapa yang
mengunci pintu dari luar" Tempat serahasia ini, orang luar
mana bisa masuk kemari?"
"Sedikitnya masih ada enam orang," sahut Jiu Cui-jing.
"Tapi mereka adalah sahabatmu."
"Aku pernah bilang, tidak sedikit manusia di dunia ini yang
mau menjual kawan."
Sekarang baru Pho Ang-soat bersuara, "Satu di antara
Hikmah Pedang Hijau 17 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pendekar Pemetik Harpa 30
melupakan duka-lara dan penderitaan di dunia ini, meski itu
bisa diperolehnya hanya sekejap.
Sayang manusia tetap manusia, bukan malaikat atau dewa,
umpama malaikat dan dewa, mungkin juga memiliki
penderitaan mereka sendiri, bahwa mereka tertawa lebar,
bukan mustahil hanya sengaja ditunjukkan kepada umat
manusia, demikian dia menghibur diri dalam hati.
Muka Pho Ang-soat yang pucat masih kelihatan berkerutmerut,
tubuhnya juga kelihatan bergerak, sekuatnya Binggwat-
sim menekan rasa sakit hatinya, mendadak dia berkata,
"Orang yang satu tadi, tentu kau pun sudah melihatnya."
"Sudah tentu kulihat."
Bing-gwat-sim berkata, "Tapi kau tidak memperhatikan dia
karena dia juga orang awam ..."
Orang biasa seperti buih di permukaan air, bagai sebutir
gabah di dalam beras, siapa pun jarang memperhatikan dia.
Tapi bila air sudah masuk ke tenggorokan, mendadak kau
akan sadar, buih itu sudah berubah menjadi jari hitam, dari
tenggorokan menusuk ke dalam jantungmu.
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, "Karena itu aku
selalu beranggapan orang semacam ini paling menakutkan,
jikalau tadi dia sendiri memperlihatkan belangnya, mungkin
sampai sekarang kau tetap tidak akan memperhatikan dia."
Pho Ang-soat mengakui hal ini, tapi kenapa orang itu
sengaja berbuat demikian"
Bing-gwat-sim berkata, "Karena dia hendak mencari tahu
jejak kita."
Ibu jari tentu sudah tahu adanya kereta yang berhenti di
seberang jalan dan sedang mengawasi gerak-geriknya, maka
dia sengaja menyembur basah kakinya, dengan tertawa serta
munduk-munduk membersihkan kaki orang, saat itulah dia
memberi kisikan kepadanya. Bahwa lelaki yang basah kakinya
ini sengaja jatuh di bawah kaki kuda, karena dia juga tahu
hanya dengan berbuat demikian baru bisa memaksa
penumpang di kabin kereta keluar.
Bing-gwat-sim tertawa getir, katanya, "Sekarang kita belum
tahu asal-usulnya, dia malah sudah bisa melihat kita, dalam
waktu satu jam tentu dia sudah berhasil menemukan tempat
Yan Lam-hwi."
Pho Ang-soat bertanya mendadak, "Tangan hitam juga
bermusuhan dengan Yan Lam-hwi?"
"Tidak," sahut Bing-gwat-sim, "mereka tidak pernah
membunuh orang lantaran permusuhan atau dendam pribadi."
"Lalu untuk apa mereka membunuh orang?"
"Perintah," pendek jawaban Bing-gwat-sim. Begitu perintah
tiba, mereka segera membunuh, siapa pun mereka bunuh.
"Jadi mereka juga mendengar perintah orang?"
"Hanya mendengar perintah seorang."
"Perintah siapa?"
"Perintah Kongcu Gi."
Mengencang genggaman tangan Pho Ang-soat.
"Kalau hanya lima orang anggota tangan hitam, belum
cukup mampu membentuk kekuatan mereka dalam satu
organisasi besar."
Mereka boleh dikata sudah menjaring seluruh pembunuh
bayaran dan manusia-manusia durjana, demikian pula Ngoheng-
siang-sat dan Kwi-gwa-po jelas masuk dalam anggota
organisasi itu. Padahal penghasilan mereka pribadi sudah
teramat tinggi, untuk menjaring atau menggaruk mereka jelas
tidak mudah. "Di kolong langit ini, hanya ada satu orang saja yang
menggenggam kekuatan besar ini," Bing-gwat-sim mendesis
lirih. "Kongcu Gi maksudmu?" Pho Ang-soat menegas.
"Ya, hanya dia seorang."
Pho Ang-soat mengawasi jari-jari tangan sendiri yang
menggenggam gagang golok, pelupuk matanya memicing dan
mulai kedutan pula.
Bing-gwat-sim juga berdiam diri, agak lama kemudian baru
bersuara lagi, "Membunuh untuk mencegah pembunuhan, tadi
seharusnya kau sudah membunuh orang itu."
Pho Ang-soat tertawa dingin.
"Aku tahu selamanya kau tidak sembarangan mencabut
golokmu, tapi orang yang satu ini cukup setimpal untuk kau
mencabut senjata."
"Jadi kau beranggapan bahwa dia itulah Bu-bing-cay?"
Perlahan Bing-gwat-sim mengangguk, katanya, "Aku malah
curiga bahwa dia itu si Merak."
"Merak?"
"Merak adalah sejenis burung, burung yang elok dan cantik,
terutama bulunya?"
"Tapi merak yang kau maksud justru bukan burung."
"Ya, yang kumaksud memang bukan burung, tapi manusia,
seorang yang menakutkan," pelupuk matanya ternyata juga
kedutan, suaranya makin perlahan, mengandung perasaan
ngeri, "Malah aku berpendapat bahwa dia orang yang paling
menakutkan di jagat ini."
"Kenapa?"
"Karena dia memiliki Bulu merak."
Bulu merak. Waktu mengucap kedua kata ini, sorot matanya mendadak
menampilkan rasa hormat, takut dan juga ngeri.
Rona muka Pho Ang-soat ternyata juga berubah.
Merak memang punya bulu, seperti kambing punya tanduk,
bukan saja berharga juga kelihatan indah. Tapi Bulu merak
yang dibicarakan di sini bukan bulu merak seekor burung,
bukan bulu benar-benar bulu, tapi Bulu merak yang dimaksud
di sini adalah sejenis Am-gi, senjata rahasia yang indah tapi
juga amat misterius, senjata rahasia yang mengerikan.
Tiada orang yang bisa melukiskan keindahannya, juga
tiada seorang pun di jagat ini yang dapat meluputkan diri dari
serangan Am-gi ini, menangkis pun tidak.
Di kala Am-gi itu disambitkan, keindahannya yang semarak
dan cemerlang begitu misterius, bukan saja dapat membuat
orang terpesona, pusing dan pandangan kabur, malah bisa
membuat orang lupa takut akan kematian yang mengancam
jiwanya. Konon setiap korban yang mati oleh Am-gi ini wajahnya
tentu menampilkan senyuman lucu yang misterius, sehingga
banyak orang berpendapat bahwa dia suka rela mati oleh Amgi
itu. Umpama orang-orang kebanyakan, meski tahu
kembang mawar itu ada durinya, tapi justru memetiknya.
Karena keindahan yang semarak itu, jelas tak mungkin
dilawan oleh kekuatan manusia lumrah.
"Tentu kau juga tahu Bulu merak itu."
"Ya, aku tahu."
"Tapi kau pasti tidak tahu, bahwa Bulu merak sekarang
sudah tidak berada di Khong-jiok-san-ceng (perkampungan
merak)." Biasanya jarang Pho Ang-soat terpengaruh oleh keadaan
sekelilingnya, hatinya seperti beku, kapan dia pernah goyah
keteguhan imannya, namun waktu dia mendengar berita ini,
jelas kelihatan dia agak kaget. Bukan saja dia tahu Bulu
merak, malah dia pun pernah berkunjung ke perkampungan
merak itu. Perasaan hatinya waktu itu, seperti seorang umat saleh
berada di tempat suci.
Waktu itu permulaan musim rontok, suatu malam di musim
rontok. Selama hidup belum pernah dia lihat perkampungan
megah, angker dan seindah itu. Meski dironai tabir malam,
namun keindahan perkampungan merak itu sungguh
menyerupai istana dewa di dalam dongeng.
"Di sini ada sembilan lapis pekarangan atau taman, di
antaranya sudah dibangun sejak tiga ratus tiga puluh tahun
yang lalu, mengalami beberapa generasi, baru tempat ini
kelihatan bentuknya seperti sekarang."
Orang yang menerima kedatangannya adalah adik
kandung Khong-jiok-san-ceng Cengcu yang paling kecil, Jiu
Cui-jing. Jiu Cui-jing adalah seorang yang pandai menyimpan
rahasia setiap kali berbicara. Yang benar bukan saja tempat
ini teramat megah, besar dan jaya, bahwa perkampungan ini
bisa berdiri juga sudah merupakan keajaiban. Memang suatu
keajaiban, karena setelah mengalami beberapa kali perang,
tempat ini tetap aman sentosa, tidak pernah terlanda oleh api
peperangan. Dinding kaca yang terletak di pekarangan paling belakang
tampak mengkilap, di atasnya tergantung dua belas lampion
warna-warni, cahaya lampion yang terang-temaram menyinari
sebuah gambar lukisan raksasa di atas kaca itu. Puluhan
lelaki berwajah bengis dan buas, bergaman aneka ragam
senjata, sorot mata mereka tampak kaget, bingung dan
ketakutan, karena seorang pemuda pelajar berwajah putih
memegang sebuah bumbung kuning emas, dari bumbung
emas inilah memancar cahaya cemerlang laksana pelangi
yang berwarna-warni. Warna yang lebih semarak, lebih indah
dari lembayung.
"Sudah lama berselang peristiwa ini terjadi, waktu itu dalam
golongan hitam terdapat tiga puluh enam manusia durjana,
untuk menghancurkan tempat ini, mereka berserikat dan
berkomplot menyerbu dengan kekuatan gabungan mereka
yang besar, konon bila tiga puluh enam orang ini bergabung,
jarang ada musuh yang mampu melawan mereka. Akan tetapi,
tiada satu pun dari ketiga puluh enam orang itu yang bisa
pergi dari sini, semuanya tertumpas. Sejak peristiwa itulah,
tiada golongan atau aliran, entah itu organisasi penjahat yang
terbesar sekalipun tiada yang berani mengganggu
perkampungan merak. Sejak itu adalah Bulu merak
menggetarkan dan disegani di kolong langit."
Sampai sekarang apa yang pernah diuraikan Jiu Cui-jing
dahulu, seperti masih terngiang di telinganya. Mimpi pun tidak
terpikir olehnya bahwa Bulu merak sekarang sudah tidak
berada di perkampungan merak lagi.
"Itulah sebuah rahasia," ujar Bing-gwat-sim. "Selamanya
tiada orang tahu akan rahasia ini di kalangan Kangouw."
Ternyata Bulu merak lenyap dari tangan majikan generasi
ketiga belas keluarga Jiu di puncak Thay-san.
"Sampai sekarang baru rahasia ini mulai diketahui orang
luar karena secara mendadak Bulu merak tahu-tahu telah
muncul di kalangan Kangouw. Pernah muncul dua kali, dan
membunuh dua tokoh yang amat terkenal, pembunuhnya
justru bukan anak didik keluarga Jiu maupun warga
perkampungan merak.
"Selama Bulu merak masih ada, tiada seorang pun dari
kalangan Kangouw yang berani meluruk ke perkampungan
merak, kalau tidak, tempat megah ini tentu sudah hancur lebur
sejak lama. Perkampungan merak sudah berdiri sejak tiga
ratus tahun lebih, dengan bangunannya mencapai delapan
puluh li, dengan penghuni lima ratus jiwa lebih, seluruh benda
yang ada, baik yang hidup maupun yang mati dalam
perkampungan merak ini berdiri dan ditunjang hanya oleh Bulu
merak yang kecil dan indah."
Akan tetapi Bulu merak itu sudah terjatuh ke tangan
seorang yang tidak dikenal asal-usulnya. Maka Pho Ang-soat
bertanya, "Jadi orang itu adalah Merak."
"Benar."
Badak dibunuh karena orang ingin mengambil culanya,
kuburan dibongkar karena pencuri ingin mengeduk harta
peninggalan dalam layon, si lemah yang miskin dan
sederhana jarang tertimpa bencana, gadis yang molek
mukanya, jauh lebih mudah mempertahankan kesucian
perawannya. Karena itu hanya mereka yang terlalu biasa,
terlalu awam atau orang yang tidak punya nama, baru bisa
mempertahankan senjata ampuh macam Bulu merak itu.
'Merak' maklum akan hal ini. Sebetulnya dia bukan manusia
jenis ini, seperti juga orang kebanyakan, dia pun
mendambakan harta benda, kekayaan dan nama besar.
Sejak peristiwa di malam musim panas dulu, menyaksikan
gadis yang dicintainya ditindih dan ternoda kesuciannya oleh
seorang yang kaya di atas tanah berumput, dalam hati dia
sudah berkeputusan, dia ingin mengejar dan mendapatkan
kekayaan dan kebesaran yang selalu diimpi-impikan orang
lain. Dan harapannya ternyata tidak sia-sia, barang yang
diperolehnya ternyata jauh lebih berharga dari apa yang dia
impikan sendiri, dia menemukan Bulu merak. Maka tekadnya
berubah, karena dia seorang pintar, dia tidak ingin menjadi
badak yang terbunuh dan diambil culanya.
Justru sebaliknya, dia ingin membunuh orang. Setiap kali
dia teringat adegan di malam musim panas itu, terbayang
betapa gadis itu merintih, meronta dengan napas ngos-ngosan
dan keringat yang bercucuran, maka timbul keinginannya
membunuh orang.
ooooOOoooo Hari ini dia tidak membunuh orang, bukan dia tidak punya
keinginan, tapi dia tidak berani. Berhadapan dengan orang
yang bermuka pucat, sorot matanya yang kaku dingin, entah
mengapa hatinya mendadak menjadi jeri dan takut.
Sejak dia memiliki Bulu merak, baru pertama kali dia
merasa takut terhadap seseorang. Bukan golok hitam itu yang
ditakuti, tapi orang yang memegang golok itu, meski orang ini
hanya berdiri diam, namun dia jauh lebih tajam dari golok
kebanyakan yang terlolos dari sarungnya.
Melihat tatapan matanya, jantungnya lantas berdetak,
hingga dia kembali ke rumahnya, jantung masih kebat-kebit,
bukan lantaran tegang atau takut, tapi lantaran bergairah.
Sungguh ingin sekali dia mencoba, apakah Bulu merak
mampu membunuh orang yang satu ini, akan tetapi dia justru
tidak punya keberanian untuk mencobanya.
Itulah rumah sederhana, hanya ada satu ranjang, satu meja
dan satu kursi. Begitu masuk kamar lantas dia ambruk,
ambruk di atas ranjang yang dingin dan keras, rebah di atas
ranjang ternyata tidak memberikan ketenangan baginya,
mendadak dia menyadari sesuatu benda telah tegak berdiri di
selangkangannya.
Dia memang terlalu bergairah, terlalu bernafsu, karena dia
ingin membunuh orang, terbayang pula peristiwa di malam
musim panas dulu ... keinginan membunuh ternyata
mendorong pula napsu birahinya, hal ini dia sendiri pun
merasa luar biasa. Dan payahnya, bila napsu ini sudah
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkobar, maka dia tidak kuasa membendung atau
menahannya. Dia tidak punya teman perempuan, selamanya dia tidak
mau percaya lagi pada orang perempuan, perempuan mana
pun pantang mendekati dirinya, dan untuk melampiaskam
napsunya ini dia hanya membunuh orang.
Sayang sekali orang yang ingin dia bunuh justru adalah
orang yang tidak berani dia bunuh. Sore hari di musim semi,
ternyata berubah sepanas musim panas, perlahan dia
mengulur tangannya yang sudah berkeringat ... sekarang
terpaksa dia menyelesaikan dengan tangan, lalu dia rebah
mendekam di atas ranjang, mendadak dia muntah, muntah
sambil mengucurkan air mata.
Menjelang senja, namun senja belum tiba.
Seorang mendorong pintu pelan-pelan tanpa mengeluarkan
suara, lalu menyelinap masuk secara diam-diam,
perawakannya meski gendut dan lamban, namun gerakgeriknya
ternyata seenteng kucing.
Khong-jiok atau Merak masih rebah diam di atas ranjang
tanpa bergerak, dingin-dingin saja dia mengawasi orang ini,
selama ini dia paling tidak suka kepada si gendut yang dungu
ini, apalagi dalam keadaan seperti dirinya sekarang, timbul
rasa muak dan benci dalam benaknya, karena orang ini
hanyalah seorang sida-sida, laki-laki yang sudah dikebiri
'anu'nya, lelaki tak berguna, lebih tepat kalau dianggap babi.
Akan tetapi babi yang satu ini tak pernah disiksa oleh
kobaran nafsu birahi, maka selama hidup dia tidak akan
pernah merasakan derita yang mendesak itu. Mengawasi
wajah bundar yang tertawa menyengir ini, sungguh hampir tak
tertahan ingin dia menggenjot pecah hidungnya.
Tapi dia dipaksa untuk menahan diri, karena babi ini adalah
koleganya, karena dia ini Ibu jari.
Ibu jari masih tertawa, langsung mendekati ranjang,
katanya, "Aku tahu kau cukup mampu memancing mereka
keluar, terbukti kau belum pernah gagal dalam menunaikan
tugas." Tawar suara Merak, "Kau melihat mereka?"
Ibu jari manggut-manggut, katanya, "Yang perempuan
adalah Bing-gwat-sim, yang lelaki ialah Pho Ang-soat." Pho
Ang-soat. Jari-jari tangan Merak mengepal kencang, dia pernah
mendengar nama ini, tahu orangnya, lebih jelas tentang
goloknya, golok kilat yang tiada bandingannya di dunia.
Ibu jari berkata, "Bahwa Yan Lam-hwi bisa bertahan hidup
sampai sekarang adalah gara-gara Pho Ang-soat, maka
Mendadak Merak berjingkrak berdiri, katanya, "Maka untuk
membunuh Yan Lam-hwi, harus membunuh Pho Ang-soat
lebih dulu." Mukanya merah bersemangat, kedua matanya
menyala. Ibu jari menatapnya dengan kaget, selama ini tiada orang
yang pernah melihat dia begitu bergairah, begitu emosi. Merak
yang tabah, Merak yang tak terkenal, Merak bukan sembarang
merak, Merak yang ini mampu membunuh orang.
Ibu jari coba bertanya, "Kau ingin membunuh Pho Angsoat?"
Merak tertawa, katanya, "Selama ini aku suka membunuh
orang, Pho Ang-soat kan juga manusia."
"Tapi dia bukan manusia kebanyakan, untuk membunuhnya
bukan suatu hal yang gampang."
"Aku tahu, maka aku tidak akan turun tangan sendiri."
"Kalau kau sendiri tidak berani, memangnya siapa yang
berani mengusik dia?"
Merak tertawa, katanya, "Aku tidak akan bergerak hanya
karena aku ini bukan orang ternama, aku pun tidak ingin
terkenal."
Ibu jari tertawa, tertawa dengan mata memicing, "Kau ingin
menyuruh Toh Lui mengadu jiwa dulu dengan dia, lalu kau
akan memungut keuntungan dari belakang?"
"Peduli siapa di antara mereka yang mati, aku tidak akan
berduka." Bing-gwat-sim amat tersiksa. Tersiksa seperti keong yang
sudah lama bersembunyi di dalam cangkangnya dan tidak
bisa berjemur di bawah sinar matahari.
Topeng yang sekarang dipakainya ini dia beli tahun lalu
waktu di kelenteng ada perayaan, bikinannya memang bagus
dan halus, tapi jikalau dipakai terlalu lama, mukanya terasa
gatal dan kepanasan. Bila kulit muka sudah terasa gatal dan
tidak bisa digaruk, maka sekujur badan ikut merasa gatal dan
risi. Tapi tiada niatnya menanggalkan topeng itu, sekarang
agaknya dia jadi takut bila Pho Ang-soat melihat mukanya.
Waktu mereka beranjak masuk, sinar surya yang sudah
mendoyong ke barat tetap menyinari mawar merah di pinggir
jendela, mawar yang baru saja tersiram hujan, maka
warnanya kelihatan elok dan segar.
Air muka Yan Lam-hwi justru amat pucat bagai kertas.
"Yan-kongcu pernah siuman tidak?"
"Tidak," nona cilik bermata bundar besar itu tetap berjaga di
samping Yan Lam-hwi.
"Kau sudah memberi minum obat?"
"Juga tidak," sahut nona cilik sambil mendekap mulut dan
tertawa cekikikan. "Tanpa pesan nona, menyentuh pun aku
tidak berani."
"Kenapa?"
"Karena..." nona cilik cekikikan genit, "karena aku kuatir
nona cemburu."
Bing-gwat-sim melototinya gemas, lalu berpaling serta
bertanya kepada Pho Ang-soat, "Apakah sekarang sudah
saatnya makan obat?"
Menghadap ke arah jendela, Pho Ang-soat mengangguk
perlahan. Sinar surya yang mendoyong miring menyorot masuk
memenuhi kamar, kertas hias di jendela masih baru, demikian
pula kayu jendela juga baru saja dicat, hingga mengkilap
bersih laksana kaca. Kedua daun jendela terbentang miring
kedua arah berlawanan, kertas kaca yang tertempel di atas
jendela memetakan gambar kembang mawar yang sedang
mekar di sebelah kanan, sementara di kertas kaca sebelah kiri
memetakan gambar terbalik yang ada di dalam kamar,
bayangan si nona cilik dan Bing-gwat-sim terlihat jelas di
dalamnya. Bing-gwat-sim duduk di pinggir ranjang, tangannya
memegang botol kayu yang berisi obat, dituangnya sebutir pil
serta dicairkan dengan air putih. Gerak-geriknya kelihatan
amat prihatin, seperti takut bila obat itu tumpah dari sendok
hingga mengurangi kadar obatnya. Akan tetapi obat yang
sudah cair di dalam sendok tidak dia cekokan ke mulut Yan
Lam-hwi. Pho Ang-soat masih berdiri membelakangi mereka, sekilas
dia mencuri lirik kepadanya, mendadak obat di dalam sendok
itu dia buang ke dalam lengan baju nona cilik, lalu dia purapura
memapah Yan Lam-hwi dan mendekatkan sendok
kosong itu ke dekat mulutnya.
Apa maksudnya"
Bing-gwat-sim mengundang Pho Ang-soat adalah untuk
menolong jiwa Yan Lam-hwi, akan tetapi jiwa yang sekarat
siapa pun takkan bisa menyelamatkan.
Pho Ang-soat masih tetap berdiri di tempatnya, diam tidak
memberi reaksi. Walau dia tidak menoleh, kejadian di
belakangnya juga dapat disaksikan dari bayangan kertas kaca
di jendela, namun sedikitpun dia tidak memberi reaksi.
Diam-diam Bing-gwat-sim meliriknya sekali, lalu pelanpelan
menurunkan Yan Lam-hwi, gumamnya, "Setelah makan
obat sekali ini, bila tidur nyenyak cukup lama kukira besok
pagi juga dia sudah siuman."
Padahal dalam hati dia tahu, Yan Lam-hwi tidak mungkin
bisa siuman. Di mulut bicara penuh harap dengan helaan
napas rawan, sorot matanya justru seterang sinar rembulan,
mimik mukanya seperti mengulum senyum nakal.
Pada saat itulah, seorang mendadak berteriak di luar pintu,
"Ada surat untuk Pho-tayhiap."
Kertas surat dan sampulnya mudah dibeli di toko buku
dimana saja asal berani bayar, sebab kertas surat itu dari jenis
kertas termahal.
Cekak dan sederhana sekali surat itu, gaya tulisannya juga
rajin. "Besok siang, di kebun keluarga Ni, di luar gardu
pemandangan, bawalah golokmu, satu orang, satu golok."
Pho Ang-soat tidak memeriksa tanda tangan penulis surat
ini, dia sudah tahu yang menulis pasti adalah seorang yang
patuh akan tata tertib dan kebersihan, namun dia juga suka
pamer kekayaan dan kepintarannya. Pandangan Pho Angsoat
memang tidak meleset.
Bing-gwat-sim menghembuskan napas panjang, katanya,
"Aku sudah menduga Toh Lui pasti akan menantangmu, tak
nyana begini cepat tantangannya datang."
Dengan sebelah tangannya yang tidak memegang golok,
Pho Ang-soat melempit kertas surat itu, lalu tanyanya, "Kebun
keluarga Ni terletak dimana?"
"Tuh, di seberang rumah sana."
"Bagus sekali."
"Apanya yang bagus?"
Dingin suara Pho Ang-soat, "Aku ini seorang timpang,
sebelum berduel aku tidak ingin menempuh perjalanan jauh."
"Jadi kau sudah siap menerima tantangannya?"
"Ya, sudah pasti."
"Pergi sendirian?"
"Satu orang, satu golok."
Bing-gwat-sim mendadak tertawa dingin, katanya, "Bagus
sekali." Ucapan yang sukar dimengerti, jengek tawanya juga ganjil,
Pho Ang-soat tidak habis mengerti, tapi dia tidak bertanya.
Bing-gwat-sim berkata, "Malam ini kau boleh tidur nyenyak
menyegarkan badan, besok pagi setelah sarapan, cukup
beberapa langkah kau akan sudah berada di kebun keluarga
Ni yang sudah lama telantar itu, masih ada banyak waktu
untuk memeriksa dan meneliti setiap jengkal dan keadaan di
sana." Duel antara dua jago kosen, siapa dapat menguasai situasi
dan kondisi, merupakan unsur penting untuk mencapai
kemenangan. "Orang jenis apa Toh Lui itu, kau sudah melihatnya sendiri,
dia sebaliknya tidak tahu tentang seluk-beluk dirimu. Bisa tahu
kekuatan lawan untuk mengukur kemampuan sendiri, jelas hal
ini jauh lebih penting daripada tahu lebih dulu akan situasi dan
kondisi arena. "Maka dalam duel nanti kau sudah menempatkan diri pada
posisi yang lebih unggul, tiba waktunya asal kau mencabut
golokmu, hanya dua belas orang yang akan tercantum di
dalam daftar orang-orang yang ternama. Umpama kau tidak
punya kegemaran membunuh orang, tapi peristiwa itu patut
dibuat girang."
Mendadak dia tertawa dingin, suaranya meninggi, "Tetapi
bagaimana dengan Yan Lam-hwi" Apa kau tidak memikirkan
dirinya?" Tawar suara Pho Ang-soat, "Orang yang akan berduel kan
bukan dia."
"Tapi orang yang akan mati sudah pasti adalah dia."
"Ya, pasti."
"Ibu jari dan Merak sekarang tentu sudah tahu dimana dia
berada, bila kau memasuki kebun keluarga Ni, mereka pasti
akan menerobos masuk kemari."
Otot hijau tampak merongkol di punggung tangan Pho Angsoat
yang menggenggam gagang golok.
Bing-gwat-sim menatapnya, suaranya sinis, "Mungkin
sebelum ini kau pernah menolong jiwanya, akan tetapi kali ini
umpama tiada kau di sini, kemungkinan dia malah bisa
bertahan hidup lebih lama."
Otot hijau di punggung tangan Pho Ang-soat tampak lebih
mengencang, mendadak dia mengajukan pertanyaan yang
semestinya bukan dia yang bertanya, "Apa benar kau
memperhatikan dia?"
"Memangnya harus diragukan," seru Bing-gwat-sim,
jawabannya reflek, spontan, tanpa pikir dulu, jawaban yang
wajar. Kejadian membuang obat dalam sendok ke dalam
lengan baju nona cilik tadi, seolah-olah tidak pernah terjadi
atau tiada sangkut-pautnya dengan dia.
Pho Ang-soat tidak melihat mimik mukanya, umpama dia
menoleh juga tidak akan melihatnya, karena Bing-gwat-sim
masih mengenakan topengnya yang tertawa lebar itu, lalu
perempuan macam apakah sebenarnya yang tersembunyi di
balik topeng lucu itu"
Agak lama kemudian baru Pho Ang-soat bersuara, "Jadi
aku tidak usah pergi."
"Sudah tentu kau harus pergi!"
"Tapi......"
"Tapi sebelum kau berangkat, kau harus mengantarnya ke
suatu tempat yang aman."
"Tempat mana yang aman?"
"Perkampungan merak."
Tiada manusia di jagat ini yang mampu meluputkan diri dari
serangan Am-gi itu, Am-gi yang memancarkan cahaya
cemerlang dan semarak melebihi cahaya pelangi.
Perlahan Pho Ang-soat menghela napas, katanya, "Kau
pernah bilang, Bulu merak sekarang sudah tidak berada di
perkampungan merak, lalu ada siapa pula di perkampungan
itu?" "Di sana masih ada Jiu Cui-jing," sahut Bing-gwat-sim.
Seorang lelaki besar yang pendiam, namanya yang terkenal
cukup disegani orang.
"Walau selamanya dia amat hati-hati dan pandai
menyimpan rahasia, tapi yakin dia tidak akan menolak
kedatanganmu dan orang yang kau antar ke sana."
"Ah, masakah begitu?"
"Betul, karena dia banyak berhutang terhadapmu."
"Hutang apa?"
"Hutang jiwa," seperti tidak memberi kesempatan kepada
Pho Ang-soat bicara, "walaupun jarang engkau menolong
orang, tapi kau pernah menolong jiwanya, malah
menolongnya dua kali, pertama di pesisir Wu-cui, kedua kali di
puncak Thay-san."
Pho Ang-soat tidak dapat menyangkal karena apa yang
diketahui Bing-gwat-sim memang terlalu lengkap.
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang dia sudah menjadi Cengcu perkampungan
merak itu, dia sudah punya kemampuan untuk membalas
hutangnya kepadamu."
"Tapi dia tidak punya Bulu merak."
Bila Bulu merak tidak ada, bukan mustahil perkampungan
merak itupun bakal dihancurkan.
"Banyak orang beranggapan bahwa perkampungan merak
bisa berdiri, jaya dan bertahan sampai ratusan tahun adalah
karena Bulu merak, hingga sekarang baru banyak orang tahu
bahwa Jiu Cui-jing ternyata jauh lebih menakutkan daripada
Bulu merak."
"Alasanmu?"
"Bahwa Bulu merak terjatuh ke tangan orang luar, berita ini
sudah tersiar luas di kalangan Kangouw. Tidak sedikit jumlah
musuh besar perkampungan merak, selama dua tahun ini, ada
enam rombongan musuh yang menyerbu perkampungan
merak," dengan suara kalem dia meneruskan, "enam
rombongan seluruhnya berjumlah tujuh puluh sembilan orang,
setiap orang memiliki kepandaian khas yang lihai."
"Bagaimana akhirnya?"
"Tujuh puluh sembilan gembong-gembong silat itu begitu
masuk ke perkampungan merak, seperti bata yang tenggelam
di lautan, tiada terdengar berita mereka lagi."
"Rombongan terakhir meluruk ke sana di waktu perayaan
Tiong-yang tahun lalu, sejak itu tiada insan persilatan yang
berani coba-coba menyerbu lagi ke perkampungan merak itu."
Pho Ang-sat masih membungkam.
Bing-gwat-sim mengerling ke arahnya, katanya pula, "Letak
perkampungan merak itu tidak jauh dari sini, bila naik kereta
yang berlari kencang, besok sebelum tengah hari pasti sudah
putar balik."
Pho Ang-soat tidak memberi jawaban tapi juga tidak
menentang, lama sekali baru dia berkata, "Tidak takut dicegat
mereka di tengah jalan?"
"Insan persilatan yang ada di Kangouw sekarang, siapa
yang berani mencegat kau?"
"Sedikitnya ada seorang."
"Siapa?"
"Merak yang membawa Bulu merak."
"Dia pasti tidak akan berani turun tangan."
"Kenapa?"
"Walau Bulu merak adalah Am-gi yang tiada keduanya di
kolong langit ini, tapi orang itu bukan tokoh kosen yang tiada
bandingannya di dunia, dia takut golokmu lebih cepat dari dia."
Betapapun lihainya sesuatu Am-gi, bila tidak sempat
dilancarkan, apa bedanya dengan barang rongsokan, hal ini
memang benar, Pho Ang-soat terkancing mulurnya.
"Kalau kau tidak ingin dia mati di tangan orang lain, maka
sekarang juga kau harus membawa kami ke sana."
Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan, "Aku boleh
saja membawa kalian ke sana, tapi ada satu hal ingin aku
tanya kau."
"Silakan bertanya."
Dingin suara Pho Ang-soat, "Jika kau benar-benar
memperhatikan dia, kenapa obat itu kau lemparkan ke dalam
lengan baju orang lain?" Tanpa menoleh dia lantas menduga
bahwa Bing-gwat-sim tidak akan mampu menjawabnya.
Bing-gwat-sim memang terlongong, dia memang tidak
menjawab, juga tidak mau menjawab. Dengan mendelong
terpaksa dia mengawasi Pho Ang-soat yang beranjak keluar,
meski jalannya lambat, namun tidak berhenti. Bila dia sudah
mulai berjalan, pasti tidak akan berhenti.
Sinar surya sudah makin guram seterang sinar rembulan.
Sinar mentari yang guram kebetulan menyinari wajah Yan
Lam-hwi. Angin menghembus datang dari puncak gunung,
membawa bau harumnya kayu dan daun. Dari tempat Binggwat-
sim berdiri memandang keluar, pemandangan tampak
menghijau permai di alam pegunungan nan jauh di sana, tapi
pandangannya sekarang tertuju ke wajah Yan Lam-hwi.
Yan Lam-hwi sudah keracunan parah dan selama ini masih
tetap pingsan, tak terduga mendadak membuka kedua
matanya, balas menatapnya, ternyata Bing-gwat-sim
sedikitpun tidak merasa heran.
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, "Sudah kubilang, sejak
mula sudah kukatakan, bukan soal mudah untuk menipu dia."
"Aku tahu memang tidak mudah, tapi aku ingin
mencobanya."
"Sekarang kau sudah mencobanya."
"Ya, aku sudah mencobanya."
"Bagaimana pendapatmu?"
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya dengan tertawa
getir, "Aku hanya merasa untuk menipunya memang bukan
soal gampang."
"Tapi aku justru ingin mencobanya sekali lagi," demikian
ujar Yan Lam-hwi.
Bersinar mata Bing-gwat-sim, mata Yan Lam-hwi juga
menyala. Kenapa mereka mau menipu Pho Ang-soat" Apa
tujuan mereka"
Mentari sudah hampir tenggelam.
Pho Ang-soat berdiri di bawah pancaran sinar surya,
seolah-olah di mayapada ini hanya tinggal dia seorang yang
masih hidup. Memangnya Pho Ang-soat adalah seorang yang
sebatangkara, orang yang suka menyendiri.
Bab 6. Sebelum Duel
Pho Ang-soat. Usia: Sekitar tiga puluh tujuh tahun.
Ciri: Kaki kanan timpang, golok tak pernah lepas dari
tangan. Kungfu: Tanpa guru atau aliran mana pun, merupakan
aliran tersendiri. Gamannya golok, serangannya bagai kilat, di
kalangan Kangouw diakui sebagai golok kilat nomor satu.
Riwayat: Kelahiran kurang jelas, sejak dilahirkan diasuh
oleh Pek-hong Kongcu dari Mo-kau, maka dia mahir cara
membunuh, menggunakan racun dan senjata gelap, sejauh ini
masih bujangan, empat penjuru lautan adalah rumahnya,
berkelana ke seluruh dunia.
Sifat: Kaku dingin dan nyentrik, malang melintang seorang
diri. Bahan-bahan yang ditulis Toh Lui di atas secarik kertas dia
sodorkan ke hadapan Ibu jari, wajahnya tidak memperlihatkan
perubahan perasaan.
"Kau sudah membacanya?" tanya Ibu jari.
"Ehm, sudah," sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, "Aku tahu, kau tidak
akan puas dengan keterangan yang kudapat ini, tapi bahan itu
saja yang dapat kami peroleh, maklum tiada seorang lain pun
yang bisa tahu lebih banyak dari bahan-bahan yang kami
dapatkan ini."
"Bagus sekali."
Ibu jari mengedipkan mata, tanyanya memancing, "Berguna
tidak bahan-bahan itu untukmu?"
"Tidak."
"Sedikitpun tidak berguna?"
Toh Lui mengangguk, berdiri lalu mondar-mandir sekejap,
lalu duduk pula, katanya dingin, "Masih ada dua hal yang
paling penting."
"Ah, masa betul?" seru Ibu jari.
"Dulu pernah dia tertipu oleh seorang perempuan, sehingga
nasibnya begitu mengenaskan."
"Siapakah perempuan itu?"
"Seorang pelacur bernama Jui Nong," sahut Toh Lui.
Ibu jari menghela napas, katanya, "Selalu aku merasa
heran, kenapa lelaki yang pintar selalu tertipu oleh pelacur?"
Merak tiba-tiba menyela, "Karena lelaki yang pintar hanya
menyukai perempuan yang cerdik, perempuan yang cerdik
kebanyakan suka jadi pelacur."
Toh Lui menjengek, "Kukira dia ini pasti pernah tertipu juga
oleh pelacur."
Berubah air muka Merak, namun dia masih bisa tertawa,
tanya, "Apa pula hal kedua yang tidak lengkap dalam data
itu?" "Dia mengidap penyakit," ujar Toh Lui.
"Penyakit apa?"
"Penyakit ayan."
Bersinar mata Ibu jari, katanya, "Bila penyakitnya itu kumat,
apakah dia juga bergelimpangan dan mengejang serta berbuih
mulutnya?"
"Ya, penyakit ayan hanya satu macam," ucap Toh Lui.
Ibu jari menghela napas gegetun, katanya, "Seorang
timpang yang berpenyakit ayan ternyata mampu meyakinkan
golok kilat yang tiada bandingannya di jagat ini."
Toh Lui berkata, "Dia pernah menggembleng diri, konon
sedikitnya empat jam waktu yang digunakan untuk berlatih
golok, sejak berusia lima tahun setiap hari sedikitnya dia
mencabut goloknya sebanyak dua belas ribu kali."
Ibu jari menyengir kuda, katanya, "Sungguh tak nyana kau
lebih jelas tentang seluk-beluknya daripada kami."
Tawar suara Toh Lui, "Setiap tokoh yang tercantum di
dalam daftar nama tokoh tersohor sudah kuketahui selukbeluk
mereka dengan jelas, karena aku sudah menghabiskan
lima bulan untuk mencari bahan-bahan tentang mereka, lima
bulan aku menyelidiki dan menyelami seluk-beluknya."
"Jerih payahmu untuk menyelidiki riwayat Pho Ang-soat aku
yakin lebih besar daripada yang lain." Toh Lui mengakui.
"Apa hasil jerih payahmu itu?" tanya Ibu jari.
"Golok itu tidak pernah terlepas karena golok itulah
gamannya. Paling sedikit sudah dua puluh tahun dia
menggunakan golok itu sehingga golok itu seolah-olah sudah
menjadi salah satu anggota badannya, sedemikian lincah dan
leluasa dia menggunakan golok itu, jauh lebih leluasa dari jari
orang lain menggunakan jari-jari tangan sendiri," demikian
ucap Toh Lui. "Tapi aku tahu," ujar Ibu jari, "golok yang dia gunakan itu
tidak terlalu bagus."
"Golok yang dapat membunuh manusia pasti adalah golok
baik," Toh Lui menegaskan.
Bagi Pho Ang-soat golok itu bukan lagi sebatang golok
biasa, karena antara golok dan jiwanya itu senyawa, sudah
punya ikatan batin yang tidak mungkin dirasakan dan diselami
orang lain. Walau Toh Lui tidak menjelaskan hal ini lebih jauh,
tapi Ibu jari sudah maklum apa yang dimaksud.
Sejak tadi Merak menepekur, katanya tiba-tiba, "Jikalau kita
bisa mendapatkan goloknya itu ..."
"Tiada manusia yang mampu memegang goloknya itu," ujar
Toh Lui. "Segala sesuatu di dunia ini pasti ada kecualinya," Merak
tertawa. "Tapi untuk yang satu ini tidak ada," Toh Lui menjawab
tegas. Merak tidak mendebatnya lagi, tanyanya malah, "Kapan
penyakitnya itu sering kumat?"
"Bila amarah dan rasa pilu hatinya tidak terbendung lagi,
penyakitnya akan kumat."
"Jika kau bisa turun tangan di saat penyakitnya itu
kumat...."
Toh Lui menarik muka, katanya menjengek dingin,
"Memangnya kau kira aku ini orang apa!"
Merak tertawa tergelak, katanya, "Aku tahu kau tidak sudi
melakukan hal serendah itu, tapi apa salahnya kita suruh
orang lain melakukannya, umpamanya kita mencari seorang
untuk membuatnya marah supaya dia..."
Toh Lui berjingkrak berdiri, katanya dingin, "Aku hanya
ingin supaya kalian tahu akan satu hal."
Merak pasang kuping, Ibu jari juga siap mendengarkan.
"Inilah duel antara aku dan dia, duel antara dua lelaki
jantan, lelaki sejati, siapa pun yang akan menang atau kalah
dalam duel ini tiada sangkut-pautnya dengan orang lain."
Mendadak Ibu jari bertanya, "Apa tiada sangkut-pautnya
dengan Kongcu?"
Tangan Toh Lui yang memegang golok mendadak
mencengkeram kencang.
Ibu jari segera mendesak, "Bila kau belum melupakan
Kongcu, maka kau harus melakukan satu hal."
"Satu hal apa?" Toh Lui menegas.
"Biarkan dia menunggu, menunggu lebih lama beberapa
kejap, biar menunggu hingga hatinya risau dan pikiran ruwet
baru kau muncul," dengan tersenyum lalu menambahkan,
"dalam duel ini kau akan menang atau bakal mampus
memang tiada sangkut-pautnya dengan kami, kami pun tidak
ambil peduli, namun kami tidak ingin mengubur jenazahmu."
Tengah hari di taman bobrok keluarga Ni.
Cahaya mentari tepat menyinari atap gardu, di luar gardu
berdiri seseorang dengan sebilah golok hitam, sarung yang
legam. Perlahan Pho Ang-soat menyusuri jalanan kecil di dalam
taman yang sudah ditumbuhi rumput liar, tangannya
menggenggam kencang gagang golok. Cat gardu sudah luntur
dan banyak yang mengelupas, namun paya-paya kembang di
pinggir sana masih utuh, di siang hari bolong yang benderang
ini kelihatan masih kokoh dan semarak.
Tempat ini dahulu memang punya masa depan yang
cemerlang, masa jaya dan semarak, kenapa sekarang
berubah menjadi belukar dan tidak terurus"
Sepasang burung walet terbang dari tempat jauh, hinggap
di atas pohon tak jauh di luar gardu, seolah-olah sedang
mencari dan berusaha menemukan impian lama yang masih
menjadi kenangan terukir dalam kalbu. Sayang sekali pohon
ini masih tumbuh subur, namun keadaan sekelilingnya sudah
banyak berubah, walet datang pergi pula, entah berapa kali
dia pulang-pergi" Pohon subur itu tidak bisa bersuara, pohon
itu tidak kenal cinta kasih, tidak tahu apa artinya belas
kasihan. Mendadak Pho Ang-soat merasakan jantungnya sakit.
Sejak lama dia sudah mempelajari sifat pohon yang diam,
kalem dan meyakinkan, namun dia selalu bertanya-tanya
kapan baru dia bisa belajar pada sifat pohon yang tidak kenal
belas kasihan. Walet itu terbang jauh pula. Darimanakah walet itu kemari"
Taman ini sudah telantar, lalu milik siapakah taman ini"
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pho Ang-soat berdiri menjublek, seolah-olah dia sudah lupa
akan kehidupan dirinya. Dimana" Dan darimana" Hal Ini tak
sempat dipikirnya pula, karena mendadak dia mendengar
seseorang sedang tertawa, tawa cekikikan genit yang merdu
nyaring laksana kicau burung kenari, berkumandang dari
semak rumput yang tumbuh tinggi.
Seorang anak perempuan mendadak berdiri di semak
rumput yang tinggit itu, mengawasi Pho Ang-soat sambil
tertawa manis cekikikan. Begitu elok senyuman, wajahnya
lebih cantik lagi, rambutnya yang panjang terurai mayang
hitam legam dan mengkilap selembut sutra.
Rambut yang terurai mayang ternyata tidak disisir, dia
biarkan begitu saja rambutnya yang panjang menjuntai lemas
dan tersebar di kedua pundaknya. Gadis rupawan ini ternyata
juga tidak bersolek, seenaknya saja dia mengenakan
seperangkat jubah panjang, entah terbuat dari kain apa, yang
terang bukan sutra juga bukan satin, justru mirip rambutnya
yang panjang. Mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya ternyata
mengandung senyum lebar dan ramah, katanya mendadak,
"Tidak kau tanya kenapa aku tertawa?"
Pho Ang-soat diam saja, tidak bertanya.
"Aku geli melihatmu," senyumannya makin manis. "Melihat
kau berdiri di sini, aku jadi geli, karena kau mirip seorang
pikun, seorang linglung."
Pho Ang-soat tidak bersuara.
"Kau juga tidak tanya siapakah aku?"
"Siapa kau?" ternyata Pho Ang-soat bertanya, sebetulnya
dia tidak ingin bertanya. Tak nyana baru saja dia ingin
bertanya, anak perempuan itu sudah melompat dan bersorak.
"Memangnya aku sedang menunggu pertanyaanmu ini,"
waktu dia melompat, garangnya seperti seekor kucing yang
marah, "Tahukah kau, tanah dimana kau sekarang berdiri milik
siapa" Berdasarkan apa kau berani mondar-mandir seenak
udelmu di tanah ini?"
Pho Ang-soat menatapnya dingin, menunggu ocehannya
lebih lanjut. "Tempat ini milik keluarga Ni," dengan jari telunjuknya
menuding hidung sendiri, "aku inilah nona kedua dari keluarga
Ni, bila aku mau, sembarang waktu bisa saja mengusirmu."
Terpaksa Pho Ang-soat hanya bungkam, seorang
keluyuran di rumah orang, mendadak kepergok oleh tuan
rumah, apa pula yang bisa dia katakan.
Ni-jisiocia melototinya dengan gemas, mendadak dia
tertawa, tertawa manis, "Tapi aku tentu tidak akan
mengusirmu, karena Matanya berkedip-kedip, "Karena aku
menyukaimu."
Pho Ang-soat hanya mendengarkan.
Boleh saja kau tidak menyukai orang lain, tapi tak dapat
melarang orang lain menyukaimu.
Tapi cepat Ni-jisiocia telah berubah hatinya, "Aku bilang
aku menyukaimu, sebenarnya hanya omong kosong saja."
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Aku tidak segera
mengusirmu karena aku tahu aku bukan tandinganmu."
Tak tertahan Pho Ang-soat bertanya, "Kau tahu diriku?"
"Sudah tentu tahu."
"Apa saja yang kau ketahui?"
"Bukan saja aku tahu kau mahir kungfu, aku juga tahu
siapa namamu" Pokoknya jelas deh," dengan menggendong
kedua tangan, dia melangkah keluar dari semak rumput
dengan sikap angkuh, matanya plirak-plirik mengawasi Pho
Ang-soat dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas.
"Orang lain bilang kau ini makhluk aneh, tapi pendapatku
sebaliknya, bukan saja kau ini tidak aneh, malah tampangmu
cukup ganteng."
Perlahan Pho Ang-soat memutar badan berjalan ke arah
gardu yang disinari matahari, tiba-tiba dia bertanya, "Hanya
kau seorang di tempat ini?"
"Kalau seorang diri memangnya kenapa?" bantahnya
dengan mata berputar, "apa kau berani menganiaya aku?"
"Biasanya kau tidak berada di sini?"
"Kenapa seorang diri aku harus berada di tempat seperti
sarang setan ini?"
Mendadak Pho Ang-soat menoleh, katanya menatap tajam,
"Sekarang kenapa tidak lekas kau menyingkir?"
Ni-jisiocia berjingkrak dan berteriak, "Ini kan rumahku,
terserah aku mau di sini atau mau pergi, memangnya perlu
aku runduk kepada orang lain?"
Kembali Pho Ang-soat bungkam.
Ni-jisiocia melotot gusar sambil bertolak pinggang, namun
kejap lain mendadak dia tertawa sendiri, katanya, "Sebetulnya
tidak pantas aku bertengkar dengan kau, kalau baru
permulaan aku sudah bertengkar dengan kau, bagaimana
kelak?" Kelak" Tahukah kau ada sementara orang yang tidak
punya kelak"
Perlahan langkah Pho Ang-soat waktu menaiki undakan,
pandangannya tertuju ke tempat jauh walau sinar mentari
menimpa wajahnya, wajahnya masih kelihatan pucat sekali.
Hanya satu harapannya, yaitu semoga Toh Lui lekas
datang. Tapi Ni-jisiocia bertanya lagi, "Aku tahu kau bernama Pho
Ang-soat, kenapa tidak kau tanya siapa namaku?"
Karena Pho Ang-soat diam saja, terpaksa dia
memperkenalkan diri sendiri, "Aku bernama Ni Hwi."
Mendadak dia melompati pagar dan berdiri di depan Pho Angsoat,
lalu ucapnya agak aseran, "Ayahku memberi nama Hwi
berarti cerdik, karena sejak kecil aku paling pintar dan banyak
akal." Pho Ang-soat tidak menghiraukan ocehannya.
"Kau tidak percaya?" tangannya bertolak pinggang,
sanggulnya hampir menyentuh hidung Pho Ang-soat, "Bukan
saja aku tahu apa maksudmu datang kemari, aku malah tahu
siapa yang sedang kau tungggu di sini. Kau kemari pasti ingin
mengadu jiwa dengan seorang, melihat rona mukamu, aku
lantas dapat menebaknya."
"Ah, masa?"
"Ya, karena kau membawa hawa membunuh."
Bocah cilik centil yang cerewet ini apa benar tahu apa
artinya hawa membunuh"
"Aku juga tahu yang sedang kau tunggu pasti Toh Lui,"
nada Ni Hwi seperti yakin bahwa ucapannya pasti betul.
"Karena dalam lingkungan ratusan li di daerah ini, orang yang
mampu dan setimpal berduel dengan Pho Ang-soat hanya
Toh Lui seorang saja."
Memang tidak sedikit yang diketahui cewek cilik ini.
Mengawasi mata orang yang lincah, Pho Ang-soat bertanya
dingin, "Kalau kau tahu, seharusnya kau lekas pergi."
Nadanya tetap dingin, tapi tatapan matanya tidak sedingin
biasanya, bentuk matanya seolah-olah telah berubah lembut
dan hangat. Ni Hwi tertawa, katanya lembut, "Apakah kau sudah mulai
memperhatikan aku?"
Pho Ang-soat menarik muka, katanya, "Aku suruh kau pergi
karena aku membunuh orang bukan untuk ditonton."
Ni Hwi mencibir bibir, katanya, "Umpama kau mau
mengusirku juga tidak perlu tergesa-gesa. Toh Lui tidak akan
datang lebih dini."
Pho Ang-soat mengangkat kepala, mentari tepat di tengah
angkasa. "Dia pasti berbuat seenaknya supaya kau menunggu,
menunggu dan menunggu sehingga hatimu risau, semakin
risau hatimu, kesempatannya menggorok lehermu menjadi
lebih besar." Dengan tertawa dia berkata pula, "Ini termasuk
strategi perang, jagoan tukang berkelahi seperti dirimu
seharusnya sudah memikirkan hal ini."
Tapi mendadak dia menggeleng, lalu melanjutkan, "Tapi
kau pasti tidak mau memikirkan hal ini, karena kau seorang
Kungcu, laki-laki sejati, aku bukan, maka boleh aku memberi
sebuah akal kepadamu, cara yang tepat untuk menghadapi
musuh serendah dia."
Cara apa" Pho Ang-soat tidak bertanya, namun dia juga
tidak pantang mendengar.
"Kalau dia ingin kau menunggu, maka kau pun bisa
membuat dia menunggu," Ni Hwi berkata.
Gigit menggigit, dengan cara orang memperlakukan dirimu,
maka kau pun bisa menggunakan cara itu untuk
memperlakukan orang itu. Itulah cara yang paling kuno, cara
kuno umumnya amat manjur.
Ni Hwi berkata pula, "Marilah kita bertamasya di taman ini
atau boleh juga kita bermain catur, sambil minum dua poci
arak supaya dia menunggumu di sini, menunggumu sampai
mampus saking gelisah."
Pho Ang-soat tidak memberi reaksi.
"Akan kubawa kau ke tempat kami menyimpan arak, bila
nasib kita lagi mujur, bukan mustahil dapat menemukan
seguci Li-ji-ang peninggalan bibi waktu dia menikah dahulu,"
agaknya minatnya terlalu besar minum arak, sebelum Pho
Ang-soat memberi reaksi, dia sudah mengulur tangan menarik
lengannya, lengan tangan yang memegang golok.
Tiada orang bisa menyentuh tangannya itu. Jari-jarinya
yang halus baru saja menyentuh tangannya, mendadak terasa
ada suatu tenaga besar yang aneh menggetar pergi jari
tangannya. Begitu hebat arus getaran tenaga itu sehingga
tubuhnya melenting seperti digontok, ingin berdiri juga tidak
kuasa lagi, akhirnya dia jatuh terduduk, pantatnya terbanting
cukup keras. Kali ini mulutnya ternyata tidak ribut karena matanya merah
dan berkaca-kaca, suaranya terisak, "Aku hanya ingin
bersahabat dengan kau, ingin melakukan sesuatu, kenapa kau
bersikap sekasar ini terhadapku." Punggung tangannya
mengucek-ngucek hidung seperti akan pecah tangisnya.
Kelihatannya dia memang seperti anak perempuan yang
harus dikasihani, aleman tapi juga jenaka.
Pho Ang-soat tidak mengawasinya, melirik pun tidak,
namun suaranya dingin, "Bangun, dalam rumput ada ular."
Ni Hwi makin memelas, katanya, "Tulang seluruh badanku
seperti remuk, bagaimana aku bisa berdiri." Dengan tangan
mengucek hidung dan mata, ia melanjutkan, "Biarlah aku
digigit ular di sini saja."
Wajah Pho Ang-soat yang pucat tetap tidak berubah, tapi
dia sudah beranjak menghampiri. Dia tahu tenaga yang dia
salurkan tadi, bukan seluruhnya tenaga yang tersalur dari
badannya, karena tangannya memegang golok, dari batang
goloknya itupun bisa mengeluarkan kekuatan, golok itu berada
di tangannya, golok itu seperti memiliki jiwa, ada sukmanya,
ada jiwa pasti ada tenaga, tenaga terpendam untuk
menunjang jimat.
Perbawa kekuatannya itu boleh dikata sudah hampir mirip
dengan Kiam-khi (hawa pedang) yang amat menakutkan,
hawa pedang yang tak mungkin ditahan atau dilawan apa pun.
Memang pantas bila dia tidak menggunakan tenaga itu untuk
menghadapi cewek jenaka ini.
Ni Hwi duduk meronta-ronta di atas rumput, kedua
tangannya menutup muka, jari-jari tangan yang halus dan
putih. Akhirnya Pho Ang-soat mengulur tangan menariknya,
tangan yang tidak memegang golok. Ternyata Ni Hwi tidak
melawan, juga tidak menyingkir, tangannya terasa empuk
hangat. Sudah lama Pho Ang-soat tidak menyentuh tangan seorang
perempuan. Dia menekan hawa nafsu jauh lebih tuntas dari
setiap padri saleh yang suci, menderita dalam ajaran
agamanya. Akan tetapi dia adalah lelaki, laki-laki tulen, lakilaki
yang belum tua.
Seperti anak domba yang penurut dia merangkak bangun
sambil merintih perlahan, waktu Pho Ang-soat hendak
membimbingnya, tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke dalam
pelukannya malah, badannya yang montok padat lebih
hangat, lebih menggairahkan, lebih empuk.
Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang,
sudah tentu Ni Hwi juga merasakan detak jantungnya yang
memburu. Anehnya pada sekejap itulah, mendadak timbul
suatu firasat yang aneh. Terasa adanya nafsu membunuh,
firasatnya memang tajam, pada saat itulah Ni Hwi telah
mencabut sebilah pisau, pisau panjang tujuh dim, langsung
ditusukkan ke lambung samping bawah ketiaknya.
Wajah nan molek jenaka mirip cewek kecil yang mungil,
namun serangan yang dilancarkan jauh lebih jahat dari
pagutan ular beracun. Sayang tusukannya gagal, pisaunya
menusuk angin. Entah bagaimana mendadak tubuh Pho Ang-soat
mengkeret, jelas dan yakin bahwa pisau tajamnya itu sudah
menusuk ke perut orang, namun kenyataannya hanya
menyerempet pinggir kulitnya. Sedetik itu
pula Ni Hwi juga menyadari bahwa tusukan pisaunya gagal,
maka kakinya menjejak, tubuhnya pun sudah melejit ke atas.
Seperti ular berbisa yang sembarang waktu mampu melenting
ke udara dari semak rumput, baru saja tubuhnya melejit di
tengah udara sudah bersalto. Sekali bersalto disusul salto
yang kedua, ujung kakinya sudah menutul atap gardu. Begitu
ujung kakinya meminjam tenaga, tubuhnya sudah melambung
pula ke belakang, kini sudah berada di pucuk pohon sejauh
lima tombak. Sebetulnya Ni Hwi ingin menyingkir lebih jauh, tapi karena
Pho Ang-soat tidak mengejar, maka dia tidak berlari lebih jauh,
dengan sebelah kakinya dia berdiri di pucuk sebatang dahan
yang memantul enteng, mulutnya ternyata masih menerocos
bagai burung berkicau.
Ginkangnya memang tinggi, cara dia memaki orang juga
tidak rendah. "Baru sekarang aku tahu kenapa cewekmu dulu itu
meninggalkan engkau, karena hakikatnya kau bukan laki-laki,
bukan saja kakimu cacad, jiwamu ternyata juga tidak normal,"
caci-makinya tidak kasar, namun setiap patah katanya laksana
jarum yang menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.
Wajah Pho Ang-soat yang merah mendadak bersemu
merah, warna merah yang ganjil, jari-jari tangannya
tergenggam kencang. Hampir saja dia mencabut golok, tapi
dia tidak bergerak, karena mendadak dia menyadari derita
batinnya sekarang tidak lagi separah dan seberat apa yang
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipikirnya. Setiap senyumannya, setiap tetas air matanya, setiap
limpahan cinta dan setiap patah katanya yang bohong, sudah
terukir dalam sanubarinya. Segala perasaan itu sudah lama
terpendam dalam sanubarinya. Hingga dia berhadapan
dengan Bing-gwat-sim, seluruh derita yang terbenam dalam
kenangan itu kembali terpampang di depan matanya secara
hidup-hidup. Maka pukulan batin yang dideritanya pada saat
itu, pasti takkan bisa dibayangkan, tak bisa diresapi oleh siapa
pun dan satu hal yang tidak terduga adalah setelah
mengalami siksa derita ini, penderitaan batinnya malah
menjadi tawar, penderitaan yang semula tidak berani
dipikirkan, dibayangkan atau dihadapi sekarang sudah dapat
ditantangnya dengan tabah.
Penderitaan manusia memang mirip borok yang sudah
membusuk, bila kau diamkan saja borok itu makin parah,
makin membusuk. Bila kau tega mengoreknya dengan pisau
sehingga darah dan nanah meleleh keluar, bukan mustahil dia
malah akan segera sembuh.
Waktu Pho Ang-soat mengangkat kepala, keadaannya
sudah pulih seperti sedia kala, tenang, mantap dan dingin.
Ni Hwi masih berpantul di pucuk pohon, pandangannya
tampak kaget dan heran, Pho Ang-soat tidak mencabut
goloknya, suaranya terdengar tawar, "Pergilah kau."
Sang surya sudah doyong ke barat, bayangan gardu itu
sudah terpeta di atas tanah berumput liar.
Pho Ang-soat tidak bergerak, gayanya pun tidak berubah.
Dia tetap berdiri di tempat semula, bayangannya makin
panjang dan panjang, Pho Ang-soat tetap tidak bergerak,
orangnya tidak bergerak, hatinya pun tidak tergerak.
Bila seseorang sudah biasa hidup dalam kesunyian
seorang diri, maka menunggu dan menunggu itu baginya
sudah bukan suatu penderitaan, suatu hal yang tidak perlu
dirisaukan. Untuk menunggu golok tercabut pertama kali, dia
sudah menunggu tujuh belas tahun, padahal pertama kali dia
mencabut golok dahulu, hakikatnya tiada faedahnya, tidak
punya arti dan tidak membawa akibat apa pun. Selama tujuh
belas tahun dia menunggu hanya untuk membunuh, ya,
membunuh demi menuntut balas kematian ayah bundanya.
Akan tetapi setelah dia mencabut golok, baru dia sadar
bahwa dirinya hakikatnya bukan keturunan keluarga itu,
bahwasanya tiada sangkut-pautnya dengan persoalan dan
pertikaian itu. Ini bukan melulu merupakan suatu sindiran
pedas. Bagi siapa pun, sindiran seperti ini terlampau tajam,
terlampau keji. Tapi Pho Ang-soat telah mengalami dan
menerima sebab akibatnya, karena dia dipaksa harus
menerima tempaan hidup ini. Maka selanjutnya dia pun belajar
bertahan, berhasil menahan sabar.
Bila Toh Lui maklum akan hal ini, mungkin dia tidak akan
membiarkan Pho Ang-soat menunggu terlalu lama. Bila kau
ingin aku menunggu, bukanlah kau sendiri juga sedang
menunggu. Banyak persoalan di dunia ini memang mirip dua mata
pedang yang sama tajamnya, bila kau ingin melukai orang
lain, sering kali kau sendiri pun bisa terluka. Celakanya lukaluka
yang kau derita kemungkinan justru lebih berat dari
lawanmu. Perlahan Pho Ang-soat menghembuskan napas dari
mulutnya, terasa hati tenang, dada lapang, pikiran jernih.
Sekarang jam sudah menunjukkan angka tiga.
Gubuk yang lembab itu terletak di ujung gang yang gelap,
pemiliknya semula adalah seorang tua kikir yang
berpenyakitan, konon setelah mayatnya membusuk baru
diketahui orang.
Sekarang Merak justru menyewa rumah ini, bukan karena
dia pun kikir. Padahal dia cukup mampu menginap di hotel
kelas satu, namun dia rela tinggal di tempat yang jorok ini.
Merak, julukan ini sebetulnya juga suatu sindiran bagi dirinya,
Karena pribadinya bukan seorang yang berharga untuk
disanjung dan dikagumi seperti indahnya bulu merak yang
sedang mekar, sebaliknya dia justru lebih mirip seekor
kelelawar yang takut dan tak berani terkena sinar matahari.
Waktu Ibu jari berjalan masuk, dia sedang rebah di atas
dipan yang keras dan dingin. Sebuah jendela kecil satusatunya
yang ada dari bilik ini sudah dipaku kencang dan
dipalang selembar papan sehingga bilik ini bukan saja lembab
dan guram, juga berbau apek mirip liang kelelawar yang
busuk. Begitu duduk Ibu jari lantas menghela napas, tak pernah
dia mau tahu kenapa Merak mau dan sudi tinggal di tempat
seperti ini. Jangankan menoleh, melirik pun tidak, Merak tidak
menyambut kehadirannya. Setelah dengus napasnya mulai
mereda baru dia bertanya, "Mana Toh Lui?"
"Dia masih menunggu," sahut Ibu jari.
"Waktu berpisah dengan aku tadi kira-kira sudah jam tiga,
berapa lama lagi dia ingin Pho Ang-soat menunggunya?" kata
Merak. "Sudah kuberitahu kepadanya, paling cepat jam 4 baru
boleh dia berangkat," ujar Ibu jari.
Ujung mulut Merak menampilkan senyuman sadis, katanya,
"Berdiri beberapa jam di tempat seperti sarang setan itu
rasanya pasti juga cukup menyiksa batinnya."
Ibu jari justru mengerut kening, katanya, "Aku justru
menguatirkan satu hal."
"Hal apa?"
"Walau Pho Ang-soat sedang menunggu, Toh Lui sendiri
juga sedang menunggu, aku justru kuatir dia lebih tidak bisa
menahan emosi daripada Pho Ang-soat."
"Jika dia mampus di bawah golok Pho Ang-soat. Apakah
kau menderita rugi?"
"Tidak."
"Lalu apa yang kau harus kau kuatirkan?"
Ibu jari tertawa, dengan ujung lengan bajunya dia menyeka
keringat, katanya pula, "Masih ada sebuah berita baik ingin
kusampaikan kepadamu."
Merak diam saja, dia sedang mendengarkan.
"Yan Lam-hwi memang betul keracunan, malah racunnya
amat jahat."
"Darimana kau peroleh berita ini?"
"Kubeli dengan harga lima ratus tahil perak."
Mencorong mata Merak, katanya, "Berita senilai lima ratus
tahil perak umumnya memang patut dipercaya."
"Karena itu setiap saat boleh kita pergi membunuhnya."
"Sekarang juga kita boleh berangkat." Saat itu tepat
menunjukan jam tiga sore.
Meski lewat lohor, tapi cahaya mentari masih terasa terik,
musim semi akan segera berlalu, musim panas sudah di
ambang pintu. Pho Ang-soat paling benci musim panas, musim panas
umumnya milik anak-anak, sejak pagi hari mereka
bertelanjang mandi di sungai atau di empang, berguling dan
bergelut di tanah rumput, menangkap kupu-kupu, bermain
kucing-kucingan. Bila malam tiba, duduk berkerumun di bawah
barak sambil makan semangka yang sudah direndam di dalam
sumur, mendengar cerita orang-orang tua tentang kaum
pendekar menangkap setan, mengantongi kunang-kunang
sebanyak mungkin untuk ditukar dengan beberapa biji
permen. Musim panas laksana emas, masa keemasan di waktu
anak-anak, selalu diliputi kegembiraan, tidak pernah tahu apa
artinya duka dan lara.
Pho Ang-soat justru tidak pernah mengalami kehidupan
yang senang dan gembira di musim panas, sehari pun tak
pernah menjadi miliknya untuk hidup dalam ketenteraman.
Dalam kenangannya, musim panas hanya cucuran keringat
atau darah, kalau tidak bersembunyi di dalam hutan dengan
pepohonan pendek, tentu berlatih mencabut golok, maka dia
pasti berada di tengah padang rumput di bawah terik matahari
bersiap mencabut goloknya.
Mencabut golok, sekali dua kali, mencabut dan mencabut
lagi, tak pernah berhenti, gerakan yang aneh, gerakan
sederhana ini ternyata menjadi salah satu segi kehidupannya,
segi kejiwaan yang paling penting.
Kapan pula gogok akan dicabut" Golok itu perlambang
kematian. Di saat golok tercabut, saat itulah kematian tiba.
Bila goloknya tercabut pula, siapa pula yang akan ajal" Pho
Ang-soat menunduk, menatap jari-jari tangan sendiri yang
memegang golok, jari-jari yang pucat dan dingin, golok itu
lebih dingin, tangan makin putih, golok makin legam.
Jam tiga sore pun tiba.
ooooOOoooo Bab 7. Duel Di pojok taman sebelah timur ada sebuah pintu kecil. Tadi
Pho Ang-soat masuk dari sana. Sekarang Toh Lui pun masuk
dari pintu kecil itu.
Mereka tidak melompati tembok. Jalanan kecil berliku
sudah lenyap ditelan suburnya rumput-rumput liar, bila
beranjak melewati rerumputan, jaraknya pun akan lebih
pendek, tapi mereka justru lebih suka menyusuri jalanan kecil
yang berliku-liku.
Langkah mereka perlahan, begitu berjalan pasti tidak akan
berhenti. Dipandang dari berbagai sudut, kedua orang ini
mempunyai beberapa persamaan, tapi jelas mereka bukan
manusia sejenis, ini terbukti dari golok mereka, bila melihat
golok mereka, maka tampak jelas perbedaannya.
Sarung golok Toh Lui dihiasi zamrud dan permata yang
kemilau, golok Pho Ang-soat berwarna hitam legam. Tapi
masih ada titik persamaan dari kedua golok ini, keduanya
adalah golok, golok untuk membunuh orang. Lalu adakah
persamaan pula di antara kedua orang ini" Ada, keduanya
adalah manusia, manusia yang ingin membunuh manusia.
Jam empat belum tiba, namun saat mencabut golok sudah
tiba. Golok tercabut jiwa pun melayang, kalau bukan kau yang
mampus, akulah yang mati.
Langkah Toh Lui akhirnya berhenti, berhadapan dengan
Pho Ang-soat, berhadapan dengan golok Pho Ang-soat yang
tiada bandingannya di kolong langit ini. Besar tekadnya untuk
membunuh orang yang satu ini di bawah goloknya, namun
satu-satunya orang yang dihormati, dikagumi juga adalah
musuh yang dihadapinya sekarang.
Seolah-olah Pho Ang-soat berada di suatu tempat yang
amat jauh, jauh di ufuk langit, saat segumpal mega kebetulan
menutupi matahari, sang surya telah lenyap, tidak kelihatan,
tapi matahari selamanya tidak pernah mati.
Bagaimana dengan manusia"
Akhirnya Toh Lui bersuara, "Aku she Toh bernama Lui."
"Aku tahu," sahut Pho Ang-soat.
"Aku datang terlambat."
"Aku tahu."
"Aku sengaja supaya kau menunggu, supaya kau tidak
sabar dan risau sehingga aku lebih leluasa membunuhmu."
"Aku tahu."
Mendadak Toh Lui tertawa, katanya, "Sayang aku
melupakan satu hal." Tawanya getir, katanya pula, "Waktu aku
membuat kau menunggu kedatanganku, aku sendiri juga
menunggu."
"Aku tahu."
"Apa pun kau tahu?"
"Paling sedikit aku masih tahu satu hal."
"Coba katakan."
"Sekali golokku berkelebat, jiwamu pasti melayang." Jarijari
Toh Lui mendadak mengencang, kelopak matanya juga
mengkerut, lama kemudian baru ia bertanya, "Kau yakin?"
"Yakin sekali."
"Kalau begitu kenapa kau tidak segera mencabut
golokmu?" Beberapa menit telah berselang, mega mendung sehingga
cahaya mentari tidak kelihatan lagi, cuaca buruk menjadikan
hawa menjadi lembab dan dingin.
Inilah saat yang paling tepat untuk membunuh orang.
Bing-gwat-sim berada di Bing-gwat-lau, berada di Binggwat-
kong (jalan bulan purnama).
Waktu Ibu jari dan Merak memasuki Bing-gwat-kong,
kebetulan serangkum angin menyampuk muka mereka, angin
yang dingin namun menyejukkan.
Ibu jari menarik napas dalam, katanya tersenyum, "Cuaca
hari ini sungguh bagus sekali untuk membunuh orang,
sekarang juga saat yang paling baik untuk melaksanakan
pembunuhan itu. Setelah membunuh orang, aku masih bisa
mandi air panas dengan santai, lalu minum arak sepuasnya,"
Merak berkata, "Lalu mencari pelacur untuk diajak tidur."
Ibu jari tertawa riang, matanya menyipit, "Ada kalanya aku
sampai perlu ditemani dua tiga orang sekaligus."
Merak ikut tertawa, katanya, "Kau pernah bilang Bing-gwatsim
juga seorang pelacur."
"Siapa bilang dia bukan?"
"Malam ini apakah kau tidak ingin mencarinya."
"Malam ini tidak."
"Lho, kenapa?"
Ibu jari tidak menjawab secara langsung, katanya, "Pelacur
itu ada bermacam-macam."
"Dia termasuk macam yang mana?"
"Kebetulan dia termasuk macam yang tidak kusukai. Aku
tidak punya selera terhadapnya."
"Wah, kenapa?" Merak menegas.
Ibu jari menghela napas, katanya sambil tertawa getir,
"Karena di antara banyak perempuan yang pernah kulihat,
pernah kuajak main di ranjang, yang paling menakutkan justru
dia, bila aku memejamkan mata, dia pasti akan membunuhku."
"Kalau kau tidak memejamkan mata?"
"Umpama aku tidak memejamkan mata, dia tetap akan
membunuhku."
"Aku tahu kungfumu amat hebat."
"Akan tetapi sedikitnya masih ada dua perempuan di dunia
ini yang mampu membunuhku."
"Bing-gwat-sim satu di antaranya" Lalu siapa yang kedua?"
"Ni-jisioca, Ni Hwi."
Baru saja dia habis bicara, lantas terdengar suara tertawa
nyaring yang menghambur merdu laksana kelintingan.
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gang panjang ini dipagari tembok tinggi, di atas tembok
tumbuh rerumputan dan pohon-pohon mini. Musim semi
belum lewat, maka tetumbuhan pun subur meski tumbuh di
atas tembok. Tawa nyaring berkumandang dari balik
pepohonan mini sana.
"Gendut edan, bagaimana kau tahu kalau aku mendengar
percakapanmu?"
"Aku tidak tahu," segera Ibu jari menyangkal.
"Eh, lalu kenapa kau menjilat pantat?" suaranya merdu,
orangnya cantik, gerakan Ginkangnya jauh lebih indah,
mempesona lagi. Waktu dia melangkah turun dari atas tembok
laksana segumpal mega, seperti kelopak kembang. Kelopak
kembang mawar yang baru saja melayang jatuh karena
hembusan angin sejuk.
Waktu Ibu jari melihat bayangannya, tahu-tahu orangnya
telah lenyap. Bayangan Ni-jisiocia menyelinap hilang di balik
rimbunnya pepohonan, Ibu jari tetap memicingkan mata,
namun senyumnya makin lebar, tambah riang.
"Dia itukah Ni-jisiocia?" Ibu jari memperkenalkan.
"Kenapa dia mendadak muncul lalu lenyap pula," tanya
Merak. "Karena dia ingin memberitahu, dia lebih tinggi, lebih
unggul dari Bing-gwat-sim," sorot mata Ibu jari masih tertuju ke
arah dimana bayangan tadi lenyap, "oleh karena itu
selanjutnya kita boleh tak usah kuatir berhadapan dengan Yan
Lam-hwi." "Masih ada satu hal aku tidak mengerti."
"Hal apa?"
"Kenapa kita harus membunuh Yan Lam-hwi?" Merak
seperti mengorek keterangan. "Siapakah dia sebetulnya"
Kenapa tiada insan persilatan di Kangouw yang jelas tentang
asal-usulnya?"
"Lebih baik kau jangan banyak bertanya," sikap Ibu jari
mendadak serius, "jika kau betul-betul ingin tahu, kuanjurkan
sebelumnya kau mempersiapkan satu barang."
"Aku harus mempersiapkan apa?"
"Peti mati."
Merak tidak bertanya lagi, waktu dia mengangkat kepala,
kebetulan mega hitam menutupi bulan purnama.
Waktu mega itu menyelimuti gang putri malam, Bing-gwatsim
juga sedang duduk menghadap jendela menyulam
kembang. Yang disulam juga kembang mawar, seperti mawar
yang lagi mekar di luar jendela, mawar yang mekar di musim
semi, memang kelihatan segar semerbak.
Yan Lam-hwi tidur telentang di atas ranjang tanpa
bergerak, wajahnya kelihatan pucat seperti muka Pho Angsoat.
Angin menghembus di luar jendela, angin malam mulai
dingin. Mendadak Bing-gwat-sim mendengar suara mereka,
langkah mereka lebih ringan dari angin, suara mereka lebih
dingin dari angin malam.
"Lekas suruh Yan Lam-hwi turun, kalau dia tidak turun, biar
kami yang ke atas."
Bing-gwat-sim menghela napas, dia tahu Yan Lam-hwi
tidak mungkin turun, maka dia tahu mereka pasti akan naik ke
atas loteng. Karena bukan Yan Lam-hwi yang ingin membunuh mereka,
justru mereka yang ingin membunuh Yan Lam-hwi, karena itu
Yan Lam-hwi boleh tidur santai dan nyaman di atas ranjang,
mereka justru harus membawa senjata, menyusuri jalan raya
memasuki gang, mengetuk pintu dan naik tangga ke loteng,
supaya tidak kehilangan kesempatan baik membunuh orang,
mereka harus bekerja kilat.
Siapakah sebetulnya yang lebih agung antara yang
membunuh dan yang dibunuh" Siapa pula yang yang lebih
kotor dan hina" Siapa pun tiada yang bisa menjawab.
Bing-gwat-sim menunduk melanjutkan sulamannya. Dia
tidak mendengar suara langkah, juga tidak mendengar
ketukan pintu, namun dia sudah tahu ada orang di luar pintu.
"Silakan masuk!" kepala tidak terangkat, badannya tidak
bergerak, "pintu tidak terpalang, dorong saja."
Pintu hanya dirapatkan, jelas sekali dorong pun akan
terpentang lebar, tapi orang justru tidak berani mendorongnya.
"Kalian kemari hendak membunuh orang, memangnya
orang yang bakal menjadi korban kalian yang harus
membukakan pintu menyambut kalian?"
Suaranya lembut, namun bagi pendengaran Ibu jari dan
Merak ternyata setajam jarum.
Cuaca hari ini baik untuk membunuh orang, saat inipun
tepat untuk membunuh orang, hati mereka memang sedang
riang, sedang berselera. Akan tetapi sekarang mereka justru
seperti tidak senang, karena korban yang akan mereka bunuh
justru kelihatan lebih kalem, tidak ambil peduli, sikapnya lebih
luwes, maka mereka berdiri mematung seperti orang linglung
di luar pintu, jantung mereka pun berdetak satu kali lipat lebih
cepat. Kenyataan membunuh orang bukan suatu tugas yang
menyenangkan. Merak menatap Ibu jari, Ibu jari juga mengawasi Merak,
kedua orang ini seperti sedang bertanya kepada diri sendiri,
"Apakah benar Yan Lam-hwi keracunan" Apakah dalam
rumah ada perangkap untuk menjebloskan mereka?"
Padahal mereka tahu, asal pintu didorong terbuka, segala
persoalan juga akan segera terjawab dan beres. Akan tetapi
mereka tidak mengulur tangan.
"Bila kalian masuk, tolong jangan membuat ribut," suara
Bing-gwat-sim lebih lembut, "Yan-kongcu sudah keracunan,
sekarang sedang tidur nyenyak, jangan sampai kalian
membuatnya siuman."
Mendadak Ibu jari tertawa, katanya, "Dia teman Yan Lamhwi,
dia tahu kita datang untuk membunuh Yan Lam-hwi,
agaknya justru kuatir bila kita tidak berani masuk membunuh
Yan Lam-hwi, coba katakan bagaimana pendapatmu?"
Dingin suara Merak, "Karena dia seorang perempuan,
kapan saja perempuan siap menjual atau mengingkari lelaki
yang dicintainya."
"Tidak benar."
"Coba katakan apa sebabnya?"
"Karena dia tahu semakin dia mengoceh begitu, kita
semakin curiga dan tidak berani masuk malah."
"Ya, masuk akal, agaknya kau selalu lebih unggul tentang
perempuan."
"Lalu apa pula yang kita tunggu?"
"Kutunggu kau membuka pintu."
"Kau yang ingin membunuh orang," kata Ibu jari.
"Kau yang membuka pintu."
"Apakah selamanya kau tidak mau menempuh bahaya?"
tanya Ibu jari sambil tertawa.
"Ya, memang begitu." sahut Merak.
"Kerja sama dengan orang sejenismu memang
menyenangkan, karena kelak kau pasti lebih panjang umur,
bila aku sudah mati, paling tidak kau masih bisa mengubur
mayatku." Sembari tersenyum dia mengulur tangan dan
mendorong perlahan, pintu pun terbuka. Bing-gwat-sim tetap
menyulam di pinggir jendela, seperti orang mampus Yan Lamhwi
rebah di atas ranjang.
Ibu jari menghela napas lega, katanya, "Silakan masuk."
"Kau tidak mau masuk?"
"Tugasku hanya membuka pintu, kaulah yang ingin
membunuh orang, tugasku sudah selesai, sekarang tiba
giliranmu bekerja."
Merak menatapnya lama, katanya tiba-tiba, "Ada satu hal
ingin aku beritahukan kepadamu."
"Sekarang boleh kau katakan," ujar Ibu jari.
Dingin suara Merak, "Setiap kali melihat tampangmu, hatiku
lantas jijik, ingin muntah, paling sedikit tiga kali pernah timbul
hasratku ingin membunuhmu."
Ternyata Ibu jari masih bisa tertawa, katanya, "Syukur yang
hendak kau bunuh sekarang bukan aku, tapi adalah Yan Lamhwi."
Merak diam saja.
Maka Ibu jari memperlebar daun pintu dan mendesak,
"Silakan."
Ketenangan menyelimuti rumah ini, cuaca agak guram,
rembulan pun bersembunyi-di balik mega.
Sekarang jam empat hampir tiba.
Akhirnya Merak melangkah masuk, waktu kakinya beranjak
ke dalam, tangannya sudah tersembunyi di dalam lengan baju,
jari-jarinya sudah menyiapkan Khong-jiok-ling. Khong-jiok-ling
yang halus mengkilap dan dingin, senjata rahasia terampuh di
dunia untuk membunuh manusia. Mendadak keyakinan
menambah tebal kepercayaan pada diri sendiri.
Mendadak Bing-gwat-sim mengangkat kepala
menatapnya, senyum manis menghiasi wajahnya waktu dia
menyapa, "Kau inikah Merak?"
"Apakah Merak menggelikan?" Jengek Merak. "Tapi kau
tidak mirip merak, betul-betul tidak mirip."
"Kau juga tak mirip pelacur." Bing-gwat-sim tertawa manis.
"Menjadi pelacur juga bukan sesuatu yang menggelikan."
"Kecuali itu justru ada satu hal yang menggelikan."
"Apakah itu?"
"Kau tidak mirip Khong-jiok (Merak), tapi kau adalah Khongjiok.
Aku tidak mirip pelacur, tapi aku tulen adalah pelacur,
keledai memang mirip kuda, tapi bukan kuda," lalu dengan
tersenyum dia menambahkan, "masih banyak kemiripankemiripan
yang sama di dunia ini."
"Sebetulnya apa yang ingin kau katakan?" ujar Merak.
"Umpamnya," kata Bing-gwat-sim, "Am-gi yang kau bawa jelas
mirip Khong-jiok-ling (bulu merak), tapi kenyataan justru
bukan." Merak tertawa lebar, tertawa tergelak-gelak. Hanya
seseorang yang mendengar sesuatu yang benar-benar
menggelikan, sesuatu yang brutal dan tidak masuk akal baru
akan tertawa sebinggar ini.
Bing-gwat-sim berkata, "Sebetulnya hatimu sendiri juga
curiga akan hal ini, karena sejak mula kau sudah merasakan
kekuatan dan perbawanya tidak sehebat itu dan lebih
menakutkan seperti yang tersiar luas di luaran, karena itu tidak
berani kau gunakan Am-gimu itu untuk menghadapi Pho Angsoat."
Kalau Merak masih tertawa, tapi mimik tawanya kelihatan
kaku, tawa yang dipaksakan.
Bing-gwat-sim berkata pula, "Sayang sekali, curiga yang
terpendam di dalam benakmu itu selama ini tidak bisa
dibuktikan, tidak berani dibuktikan."
Merak bertanya, "Apakah kau mampu?"
"Aku bisa membuktikan, hanya aku yang bisa, karena..."
"Karena apa?"
Tawar suara Bing-gwat-sim, "Khong-jiok-ling seperti yang
kau bawa itu, di sini aku masih punya beberapa biji, setiap
saat bila kau mau, masih bisa kuberi satu atau dua
kepadamu."
Berubah air muka Khong-jiok atau Merak.
Ibu jari yang di luar pintu juga berubah air mukanya.
"Sekarang juga aku bisa memberimu satu biji, nah ambil,"
dari dalam lengan bajunya sekali ulur tangan memang
dikeluarkan sebuah bumbung bundar kuning emas yang
mengkilap, seenaknya saja dia lempar bumbung emas itu
kepada Merak, serupa orang yang banyak duit melempar
sekeping uang kepada pengemis yang minta sedekah.
Merak mengulur tangan meraihnya, hanya dipandang dua
kali dan dibolak-balik tiga kali, mimik mukanya seperti seorang
yang perutnya ditendang secara telak.
"Coba kau periksa apakah Khong-jiok-ling yang kau pegang
itu mirip dengan milikmu yang kau simpan itu?"
Khong-jiok tidak menjawab, tidak usah menjawab. Siapa
pun bila melihat tampangnya sekarang, pasti dapat meraba
jawabannya. Diam-diam Ibu jari menyurut mundur.
Mendadak Merak menoleh, katanya sambil menatap tajam,
"Kenapa tidak kau turun tangan membunuhku?"
Ibu jari tertawa meringis, katanya, "Kita kan kawan
sehaluan, kenapa aku harus membunuh engkau?"
"Karena aku hendak membunuhmu, sebetulnya aku ingin
membunuhmu, maka sekarang kau harus kubunuh."
"Tapi sebaliknya aku justru tidak ingin membunuhmu,
karena bahwasanya aku sendiri tidak perlu turun tangan,"
ternyata Ibu jari masih bisa tertawa, tertawa sambil
memicingkan mata. "Di kalangan Kangouw hanya ada
seorang yang tahu bahwa kau bukan Merak asli, tidak lebih
dari tiga jam, kau akan menjadi Merak yang sudah mati."
"Sayang sekali kau melupakan satu hal," sinis suara Merak.
"Aku melupakan apa?" Ibu jari melengak.
"Umpama benar Khong-jiok-ling di tanganku ini tiruan, tapi
untuk membunuhmu kurasa cukup berlebihan."
Seketika mengejang tawa Ibu jari, mendadak tubuhnya
menerobos keluar, reaksinya sudah amat cepat, sayang masih
terlambat sedetik.
Bumbung kuning emas di tangan Merak tiba-tiba
menyemburkan cahaya benderang yang menyilaukan mata.
Laksana pancaran mentari sebelum terbenam, seindah
lembayung yang menghias angkasa sehabis hujan.
Tubuh Ibu jari yang buntak itu masih terapung di udara
sudah terbenam ditelan cahaya yang indah semarak itu,
seumpama segulung pasir yang jelek mendadak tergulung
oleh damparan ombak yang indah mempesona. Bila cahaya
benderang menakjubkan itu sirna, jiwanya pun melayang.
Umpama guntur menggelegar di angkasa, rintik hujan pun
berhamburan dari tengah mega.
Akhirnya Bing-gwat-sim menghela napas, katanya,
"Ucapanmu memang benar, meski Khong-jiok-ling ini palsu,
kekuatannya masih mampu untuk membunuh orang."
Merak membalik badan, menatapnya dan berkata, "Oleh
karena itu aku pun bisa membunuhmu dengan bulu merak ini."
"Aku tahu, Ibu jari pun telah kau bunuh untuk menyumbat
mulutnya, maka kau pun tidak akan membebaskan diriku."
"Bila kau sudah mati, tiada orang tahu bahwa Khong-jiokling
ini adalah tiruan."
"Kecuali aku memang tiada orang tahu rahasia ini."
"Toh Lui akan menepati janji setelah jam tiga, setelah
kubunuh kau, masih ada waktu bagiku memburu ke sana,
siapa yang bakal menang dalam duel itu tidak menjadi soal,
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia pun akan mati di tanganku."
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, "Rencanamu
memang cermat, sayang sekali aku pun melupakan satu hal."
Merak tutup mulut, dia sedang menunggu keterangan lebih
lanjut. "Kenapa kau lupa tanya kepadaku bagaimana aku bisa
tahu kalau Khong-jiok-ling itu tiruan?"
"Ya, bagaimanan aku bisa tahu?" Merak segera bertanya.
Tawar suara Bing-gwat-sim, "Hanya aku yang tahu rahasia
ini, karena pencipta Khong-jiok-ling tiruan ini adalah aku."
Merak terlongong.
"Kalau aku mampu menciptakan Khong-jiok-ling tiruan dan
sembarangan kuserahkan sebuah kepadamu, sudah tentu aku
punya cara yang manjur untuk memecahkannya."
Pucat muka Merak, tangan pun mulai gemetar. Dia bisa
membunuh orang, mungkin bukan lantaran dia mempunyai
Khong-jiok-ling, tapi lantaran dia mempunyai keyakinan hati
dan tangan yang mantap. Sekarang kedua bekalnya ini sudah
hancur. "Sengaja aku membiarkan kesempatan itu supaya kau
menemukan Khong-jiok-ling yang pertama itu, sudah lama aku
memilih beberapa calon, pilihan akhirnya jatuh pada dirimu
untuk kujadikan Merak, karena tidak banyak insan persilatan
di Kangouw yang memenuhi syarat untuk kujadikan Merak,
dan kau orang yang terbanyak memenuhi beberapa syarat itu,
karena itu aku pun tidak akan membiarkan kau mati begitu
saja, namun sorot matanya mendadak berubah setajam pisau,
"Bila kau ingin melanjutkan menjadi Merak, maka kau harus
tunduk kepadaku, seperti Merak patuh kepada majikannya,
Jika kau sangsi, sekarang boleh kau coba menyerangku."
Kedua tangan Merak saling genggam memegang bumbung
kuning emas itu, namun masih terus gemetar. Mengawasi
kedua tangan sendiri, mendadak dia membungkuk dan
muntah-muntah. "Aku tidak mencabut golok, karena aku yakin aku pasti
menang," suara Pho Ang-soat seperti berkumandang dari
balik mega yang jauh di angkasa, "seseorang bila mau
membunuh orang, sering kali dia seperti memohon sesuatu
kepada orang, perbuatannya menjadi hina dan kotor, karena
dia tidak betul-betul yakin pasti menang, maka dia akan gugup
dan gelisah, kuatir kehilangan kesempatan."
Jarang dia bicara sebanyak dan sepanjang ini, sepatah
demi sepatah diucapkan perlahan seperti kuatir Toh Lui tidak
tahu artinya, karena dia tahu setiap patah kata yang
diucapkan laksana sebilah pisau mengiris sanubari Toh Lui.
Tubuh Toh Lui memang mengejang, sampai pun suaranya
juga serak, "Jadi kau yakin pasti menang, maka kau tidak
gelisah?" Pho Ang-soat mengangguk.
"Lalu sampai kapan baru kau akan mencabut golokmu?"
tanya Toh Lui. "Bila kau mencabut golokmu."
"Jika aku tidak mencabut golokku?"
"Kau pasti akan mencabut golokmu, malah besar hasratmu
untuk segera mencabutnya."
Karena kau yang ingin membunuh aku, bukan aku yang
ingin membunuh kau, maka kau akan benar-benar mati,
jiwamu akan melayang seketika bukan di saat aku mencabut
golok, tapi di saat kau mencabut golokmu sendiri.
Otot hijau sudah menghias punggung tangan Toh Lui yang
menggenggam golok. Sekarang dia belum mencabut golok,
namun dia tahu, cepat atau lambat dia pasti akan
mencabutnya. Air hujan yang dingin menetes di atas badannya, menetes
di mukanya, dia berhadapan dengan Pho Ang-soat,
berhadapan dengan jago golok sakti yang tiada bandingannya
di kolong langit ini, alam pikirannya mendadak terbayang pula
akan masa lalu, masa kanak-kanaknya dulu, masa kanakkanak
yang jorok penuh kemiskinan.
Bila hujan turun, jalanan becek, dengan kaki telanjang dia
harus berlari-lari di tanah becek itu, karena di belakangnya
ada orang sedang mengejarnya. Waktu itu dia lari dari sebuah
Piau-kiok, karena dia mencuri sepasang sepatu milik seorang
Piausu yang baru saja dibeli, sepatu itu teramat besar bagi
dia, belum jauh dia melarikan diri, sepatu itu sudah terlepas
terbang dan tertinggal. Namun Piausu itu memberi ampun
kepadanya, begitu kecandak, dirinya lantas dibelejeti dan
digantung di atas pohon, dengan rotan sekujur badannya
dihajar babak-belur.
Sekarang dia berhadapan dengan Pho Ang-soat, kembali
hatinya merasakan derita yang menyiksa seperti waktu dirinya
dihajar dulu. Derita dan gejolak hati yang tidak akan bisa
terlupakan selama hidup.
Hujan makin lebat, tanah di sekitar mereka sudah mulai
becek. Mendadak dia mencopot sepasang sepatu yang baru
dibelinya seharga delapan belas tahil, dengan telanjang kaki
dia berdiri di tengah tanah yang becek.
Pho Ang-soat seolah-olah sudah berubah menjadi Piausu
yang menghajarnya dengan rotan dulu, merupakan
perlambang derita dan gejolak perasaan.
Mendadak dia berteriak, menyobek hancur pakaian sendiri,
keadaannya mirip orang gila. Dengan bertelanjang dada ia
mencak-mencak dan berteriak-teriak kalap di tengah tanah
becek. Belenggu dan tekanan batin yang selama ini terbenam
dalam sanubarinya, dalam sekejap ini telah bebas dan lepas,
maka dia mencabut golok.
Saat dia mencabut golok adalah saatnya kematian, maka
dia pun mati. Mati bukan saja suatu gejolak, suatu derita dan
tak mungkin selama hidup bakal diperolehnya sekaligus,
hanya setelah dia mengalami kematian baru akan
mendapatkan segalanya.
ooooOOoooo Hujan sudah reda.
Jalanan kecil itu tetap becek, Pho Ang-soat beranjak di atas
jalanan kecil, tangannya tetap memegang golok. Golok sudah
kembali ke sarungnya, darah sudah dibersihkan, golok tetap
hitam legam. Matanya juga gelap, pekat dan dalam, cukup
untuk menyembunyikan rasa kasihan dan duka-lara hatinya.
Secercah sinar mentari menembus gumpalan mega,
mungkin itulah secercah cahaya terakhir untuk hari ini.
Cahaya mentari menyinari pucuk tembok, seorang
terdengar tertawa cekikikan di balik tembok, suaranya merdu
nyaring, namun membawa nada sindiran.
Ni Hwi muncul di bawah pancaran mentari.
"Tidak baik, jelek."
Apa yang jelek"
Pho Ang-soat tidak bertanya, langkahnya pun tidak
berhenti. Tapi kemana dia pergi, Ni Hwi selalu mengintil.
"Duel kalian pun tidak menarik, sebetulnya ingin kusaksikan
permainan golokmu, tak nyana kau justru menggunakan
muslihat."
Tanpa ditanya dia langsung menjelaskan, "Kau suruh Toh
Lui mencabut goloknya lebih dulu, kelihatannya kau mengalah
kepadanya, padahal itu adalah muslihatmu."
Kenapa dikatakan muslihat" Walau tidak bertanya, namun
langkah Pho Ang-soat sudah berhenti.
"Golok terbenam di dalam sarung dan jarang terlihat, siapa
pun tiada yang tahu apakah golokmu tajam atau tumpul, bila
golok sudah keluar, ketajamannya pun telah nyata, siapa pun
tak berani melawan ketajamannya, karena itu sebilah golok
hanya akan terasa bobotnya di saat dia akan dicabut dan
belum tercabut." Lekas dia menambahkan pula, "Tentu kau
jelas dan mengerti akan hal ini, maka kau suruh Toh Lui
mencabut lebih dulu ..."
Pho Ang-soat mendengarkan dengan cermat, mendadak
dia menukas, "Itupun ilmu golok, bukan muslihat."
"Bukan. Kau bilang bukan?"
"Ilmu golok berbeda dan masing-masing memiliki
keunggulan, namun kegunaannya justru sama dan hanya
satu." Sikap Ni Hwi serius, katanya, "Apakah begitu puncak
kemahiran ilmu golok?"
"Kurasa bukan."
"Harus mencapai taraf apa baru terhitung mencapai puncak
kemahiran ilmu golok?"
Pho Ang-soat mengancing mulut, beranjak lebih jauh.
Sinar surya benderang, hanya sinar mentari terakhir terasa
paling cemerlang, demikian pula jiwa manusia.
Lama Ni Hwi terlongong di atas tembok, lalu menggumam
sendiri, "Apakah ilmu goloknya telah mencapai taraf tanpa
perubahan?"
Sinar surya yang benderang mendadak menjadi guram
pula. Tanpa perubahan, bukankah berarti telah mencapai taraf
tertinggi adanya perubahan itu" Maka golok itu sendiri apakah
masih ada harganya untuk dipertahankan"
Pho Ang-soat menghela napas, karena soal ini dia pun
tidak mampu menjawab.
Kalau sang surya sudah terbenam di ujung barat, bayangan
Ni Hwi telah lenyap tak keruan parannya. Tapi surya tetap
ada, demikian pula Ni Hwi tetap hidup, yang lenyap dalam
sekejap ini hanyalah kesannya saja, kesan dalam benak Pho
Ang-soat secara pribadi.
Pho Ang-soat mendorong daun pintu kecil di pojok tembok
sana, lalu melangkah keluar perlahan, baru saja dia
mengangkat kepala, dilihatnya Bing-gwat-soat di atas loteng.
Lekas Pho Ang-soat menunduk pula.
"Kau menang?" mendadak Bing-gwat-sim bertanya.
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia masih hidup, itulah
jawabannya. Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, "Buat apa, ya,
buat apa?"
"Buat apa?" Pho Ang-soat tidak mengerti.
"Kau tahu kau pasti menang, buat apa kau pergi" Dia tahu
jiwanya bakal mampus, buat apa dia datang?" persoalan yang
perlu dipecahkan dengan memeras keringat dan
mengencerkan otak ini, ternyata mampu dijawab oleh Pho
Ang-soat, "Karena dia adalah Toh Lui dan aku adalah Pho
Ang-soat."
Penjelasannya seumpama golok miliknya, sekali tabas
telak mengenai sasaran yang tepat dari persoalan ini.
Bing-gwat-sim ternyata belum puas, katanya, "Apakah
lantaran di dunia ini ada Pho Ang-soat, maka Toh Lui harus
mati," "Bukan," pendek dan tegas jawaban Pho Ang-soat.
"Jadi maksudmu....."
"Kalau di dunia ini ada Toh Lui, maka Toh Lui harus mati."
Walau jawabannya kelihatannya susah dimengerti,
sebenarnya justru teramat sederhana, tapi juga masuk akal.
Kalau tiada kehidupan, darimana datangnya kematian" Kalau
sudah ada kehidupan pasti juga akan terjadi kematian"
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, "Agaknya
terhadap persoalan mati hidup manusia, pandanganmu terlalu
tawar." Pho Ang-soat tidak menyangkal.
"Hidup mati orang lain sudah tentu kau memandangnya
tawar, maka kau tinggalkan Yan Lam-hwi di sini."
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, baru perlahan dia
bertanya, "Apakah Merak pernah kemari."
"Ehm," Bing-gwat-sim bersuara dalam mulut. "Bukankah
Yan Lam-hwi masih hidup?" Kembali Bing-gwat-sim
mengiakan. "Kutinggalkan dia di sini, mungkin karena aku tahu bahwa
dia tidak akan mati."
"Tapi kau ...."
"Asal maksud kalian semula belum berubah, janjiku semula
juga tidak akan berubah."
"Janji apa yang pernah kau berikan kepadaku?"
"Akan kubawa kalian ke Khong-jiok-san-ceng." Bersinar
mata Bing-gwat-sim, "Sekarang juga berangkat?"
"Sekarang juga berangkat."
Bing-gwat-sim berjingkrak, berpaling pula dan berkata
dengan tertawa manis, "Apakah aku harus tetap mengenakan
topeng ini?"
Dingin suara Pho Ang-soat, "Bukankah sekarang kau
sudah mengenakan topengmu?"
ooooOOoooo Bab 8. Khong-Jiok-San-Ceng
Wajah manusia memangnya juga sebuah topeng, topeng
yang mudah berubah menyesuaikan situasi dari yang
empunya. Siapa pula yang dapat menebak rahasia yang terbenam di
dalam sanubari orang dari mimik mukanya" Adakah topeng
yang benar-benar bagus sebagus wajah manusia" Manusia
yang punya kedudukan makin tinggi yang terpandang dan
diagungkan, dengan adanya topeng yang dikenakan di
wajahnya justru makin sukar orang melihatnya.
Waktu berhadapan dengan Jiu Cui-jing, dalam hati Binggwat-
sim bertanya kepada diri sendiri, "Topeng macam
apakah yang dikenakan di mukanya?"
Peduli topeng apa yang dipakainya, bahwa majikan Khongjiok-
san-ceng sendiri keluar menyambut kedatangan mereka,
betapapun adalah suatu hal yang menggembirakan.
Bulu merak yang indah, Khong-jiok-san-ceng nan megah.
Gentingnya berwarna hijau pupus, ditimpa sinar mentari
menjelang magrib kelihatan lebih mengkilap laksana zamrud,
undakan panjang yang bersusun seindah batu jade masuk
melalui tembok-tembok tinggi laksana emas, tempat ini
seolah-olah tersusun dari kepingan-kepingan mutiara atau
permata lainnya.
Di bawah pohon dalam taman, beberapa ekor merak
sedang mondar-mandir, di tengah empang angsa sedang
berenang santai. Beberapa gadis berpakaian kain kembang
warna-warni berjalan-jalan di atas rerumputan yang empuk,
menghilang di tengah gerombolan kembang, lenyap ditelan
keindahan taman yang berwarna-warni.
Hembusan angin membawa bau harum yang memabukkan,
di kejauhan seperti ada seorang meniup seruling, mayapada
ini seperti diliputi kedamaian.
Tiga lapis pintu besar di luar maupun di dalam
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkampungan terpentang lebar, tiada seorang pun yang
menjaganya. Jiu Cui-jing berdiri di undakan terbawah di depan pintu,
mengawasi Pho Ang-soat dengan tenang. Dia seorang yang
serba hati-hati, serba kolot, bicara atau bekerja pantang
membocorkan rahasia, umpama hatinya amat senang, juga
tidak pernah diperlihatkan di wajahnya.
Melihat kedatangan Pho Ang-soat, dia hanya tertawa tawar,
sapanya, "Aku tidak menduga kau bakal kemari, tapi
kedatanganmu memang kebetulan."
"Kenapa kebetulan?" tanya Pho Ang-soat.
"Malam ini tempat ini akan kedatangan tamu, kebetulan
bukan tamu sembarangan."
"Siapa?"
"Kongcu Gi."
Pho Ang-sot mengancing mulut, wajahnya tidak
menampilkan perubahan perasaan, demikian pula Bing-gwatsim
ternyata juga adem-ayem.
Jiu Cui-jing meliriknya sekali lalu mengawasi Yan Lam-hwi
yang digotong masuk.
"Mereka ini temanmu?" tanyanya.
Pho Ang-soat tidak menjawab, tapi juga tidak menyangkal.
Bahwasanya mereka kawan atau lawan" Mereka sendiri pun
sukar membedakan.
Ternyata Jiu Cui-jing juga tidak banyak bertanya, sedikit
miringkan tubuh dia berkata, "Silakan, silakan masuk."
Dua orang menggotong Yan Lam-hwi menaiki undakan
panjang, Bing-gwat-sim mengikut di belakang, tiba-tiba dia
berhenti menatap Jiu Cui-jing, katanya, "Kenapa Cengcu tidak
bertanya untuk apa kami kemari?"
Jiu Cui-jing menggeleng kepala. Kalau kalian adalah teman
Pho Ang-soat, maka aku tidak perlu bertanya, kalau tidak mau
bertanya, maka tak usah buka mulut. Biasanya dia memang
tidak suka berbicara.
Bing-gwat-sim justru tidak mau menutup mulut, katanya,
"Umpama Cengcu tidak bertanya, akulah yang akan
menerangkan."
Karena dia bicara, terpaksa Jiu Cui-jing mendengarkan.
"Kedatangan kami kemari, pertama, untuk
menyembunyikan diri dari bencana, kedua, mohon
pengobatan, entah Cengcu sudi tidak memeriksa dulu
penyakitnya?"
Akhirnya Jiu Cui-jing bertanya, "Penyakit apa?"
"Penyakit hati."
Jiu Cui-jing mendadak menoleh dan menatapnya, "Sakit
hati hanya dapat disembuhkan dengan kebatinan."
"Aku tahu Baru dua patah kata terucap dari mulut Bing-gwat-sim, Yan
Lam-hwi yang berada di atas gotongan mendadak melompat
bangun terus menerjang dengan kecepatan kilat. Demikian
pula Bing-gwat-sim pun turun tangan.
Seorang berdiri di depan Jiu Cui-jing yang lain berdiri di
belakangnya, jadi dari depan dan belakang menyergap, sekali
turun tangan jalan mundur Jiu Cui-jing telah dicegatnya buntu.
Bahwasanya tiada jurus silat apa pun di dunia ini yang serba
sempurna, namun sergapan kedua orang ini justru amat
sempurna, amat tepat dan telak. Tiada seorang pun yang
mampu melawan atau menyingkir, bahwasanya tiada seorang
pun yang mengira bahwa mereka mendadak bakal
menyergap. Gerakan mereka sudah menjamin bahwa sergapan ini tak
lain merupakan suatu rencana yang sudah dipikir masakmasak
dan teliti, sergapan itu sendiri pasti juga sudah dilatih
bersama berulangkali sehingga mahir betul.
Oleh karena itu majikan Khong-jiok-san-ceng yang
menggetar dunia ini tak memiliki kesempatan untuk bergerak,
tahu-tahu sudah dibekuk di depan pintu gerbang rumah
sendiri. Hanya dalam sekejap mata mereka sudah menutuk
delapan Hiat-to penting di sendi tulang antara kedua lengan
dan kakinya. Jiu Cui-jing juga tidak terjungkal jatuh, karena mereka
memapahnya berdiri. Walau tubuhnya kaku mengejang,
sikapnya ternyata masih tenang, orang yang masih bisa
bersikap setenang ini dalam keadaan seperti ini, dicari di
seluruh pelosok dunia juga sukar menemukan sepuluh orang.
Sergapan mereka berhasil gemilang namun telapak tangan
Bing-gwat-sim berkeringat dingin, perlahan dia
menghembuskan napas, lalu melanjutkan perkataannya yang
belum selesai tadi, "Karena aku juga tahu cara pengobatan
seperti apa yang kau ucapkan tadi, maka kami kemari
mencarimu."
Ternyata melirik pun Jiu Cui-jing tidak ke arahnya, matanya
mantap dingin ke arah Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat sendiri juga diam tidak menunjukkan reaksi.
"Kau tahu untuk apa mereka kemari?" tanya Jiu Cui-jing.
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
"Tapi kau justru membawa mereka kemari."
"Karena aku juga ingin melihat untuk apakah sebetulnya
mereka kemari."
Hanya beberapa patah tanya jawab ini, suasana yang
semula diliputi kedamaian di dalam taman ini seketika berubah
diliputi hawa membunuh. Hawa membunuh yang keluar dari
empat puluh sembilan batang pedang dan golok, bayangan
pedang dan golok tampak bergerak, namun orangnya tiada
yang bergeming. Kalau Cengcu mereka sudah dibekuk
musuh, dijadikan sandera, siapa berani bertindak secara
gegabah. Tiba-tiba Jiu Cui-jing menghela napas, katanya; "Yan Lamhwi,
Yan Lam-hwi, kenapa kau melakukan perbuatan ini?"
Di luar dugaan Yan Lam-hwi melengak, katanya, "Kau
sudah tahu siapa diriku?"
"Delapan puluh li daerah sekitar perkampungan merupakan
daerah terlarang perkampungan merak, begitu kau memasuki
daerah terlarang, aku lantas tahu asal-usul dan riwayatmu."
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Kelihatannya
Khong-jiok-san-ceng memang bukan tempat yang boleh
sembarangan dibuat mondar-mandir."
"Karena aku tahu jelas seluk-belukmu, maka kau
bertindak."
"Kau tidak menduga, bukan?"
"Sesungguhnya memang tidak kuduga."
"Sebenarnya aku sendiri tidak menduga," ucap Yan Lamhwi
tertawa getir. Lekas Bing-gwat-sim menimbrung, "Soalnya juga
terpaksa, penyakitnya memang cukup parah."
"Aku punya obat untuk menyembuhkan dia?" tanya Jiu Cuijing.
"Kau punya, hanya kau yang punya," sahut Bing-gwat-sim.
"Obat apakah itu?"
"Sebuah rahasia."
"Rahasia" Rahasia apa?"
"Rahasia Bulu merak."
Terkancing mulut Jiu Cui-jing.
"Bukan maksud kami hendak mengancam dan menekan
kau, kami hanya ingin barter."
"Dengan apa kau hendak barter?"
"Juga sebuah rahasia, rahasia tentang Bulu merak."
ooooOOoooo Malam telah tiba, lampu pun menyala.
Rumah itu amat tenang dan bersih serba rapi, ini
menandakan bahwa Jiu Cui-jing seorang pengagum seni, seni
dekorasi, perabotnya serba antik dan mewah. Sayang sekali
para tamunya ini tiada yang punya hasrat menikmati dekorasi
rumahnya yang megah ini.
Begitu masuk rumah, Bing-gwat-sim lantas bicara ke titik
persoalan, "Sebenarnya aku juga tahu, Khong-jiok-ling (bulu
merak) sudah hilang sejak moyangmu pada generasi Jiu
Hong-go." Inipun sebuah rahasia, rahasia yang tidak diketahui oleh
insan persilatan mana pun di dunia ini.
Pertama kali melihat Jiu Cui-jing terkesiap, katanya,
"Darimana kau tahu?"
Bing-gwat-sim berkata, "Karena Jiu Hong-go pernah
membawa sketsa gambar Khong-jiok-ling mencari seorang,
minta bantuannya untuk membikin sebuah Khong-jiok-ling."
Sketsa gambar Khong-jiok-ling itu sendiri juga merupakan
suatu rahasia, karena dalam sketsa itu dilukiskan bentuk dan
rahasia pembuatan Khong-jiok-ling.
Tiada orang tahu Khong-jiok-ling ada lebih dulu atau sketsa
gambar merak itu ada lebih dulu" Tapi siapa pun akan
berpendapat dengan adanya sketsa gambar merak itu,
dengan mudah akan bisa dibuat pula sebuah atau berapa saja
yang dikehendaki Khong-jiok-ling yang sama.
"Tapi cara berpikir demikian sebetulnya keliru," ujar Binggwat-
sim. "Darimana kau tahu kalau cara berpikir begitu salah?"
"Menciptakan Am-gi yang menggunakan peralatan rahasia
merupakan ilmu yang rumit, tinggi dan mendalam. Bukan saja
penciptanya harus mempunyai jari-jari tangan yang tahu cara
bagaimana mencampur kadar logam dan seluk-beluk tentang
Am-gi yang akan dibuatnya."
"Yang dicari Jiu Hong-go sudah tentu adalah seorang
pandai besi yang ahli, malah pandai besi nomor satu di jagat
ini," ujar Bing-gwat-sim.
Jiu Cui-jing berkata, "Pandai besi nomor satu sejagat pada
masa itu, konon justru seorang perempuan, yaitu Ji-hujin dari
keluarga Tong dari Sujwan.
"Racun dan Am-gi keluarga Tong konon sudah menjagoi
dunia selama empat ratus tahun, kepandaiannya sudah
menjadi tradisi yang diturunkan kepada menantu, tidak kepada
putri kandung sendiri. Ji-hujin adalah menantu tertua keluarga
Tong masa itu, karya sulamannya dan buatan Am-ginya waktu
itu diagulkan sebagai kepandaian tunggal yang tiada taranya,
maka waktu itu dia dijuluki Siang-coat."
Bing-gwat-sim berkata, "Namun Ji-hujin berjerih-payah
selama enam tahun hingga rambut kepalanya pun ubanan
karena terlalu banyak memeras otak, namun tidak mampu dia
membikin sebuah Khong-jiok-ling yang mirip aslinya."
Jiu Cui-jing mengawasinya, menunggu ceritanya lebih
lanjut. Bing-gwat-sim mengeluarkan sebuah bumbung bundar
mengkilap kuning emas, lalu melanjutkan, "Selama enam
tahun, walau dia berhasil membuat empat pasang Khong-jiokling,
luarnya dan susunan peralatan di dalamnya meski mirip
dengan gambar aslinya, sayang sekali hasil karyanya itu tidak
digdaya seperti Khong-jiok-ling yang tulen, karena Khong-jiokling
yang tulen mempunyai kekuatan hebat yang tidak
mungkin bisa diterima oleh nalar manusia lumrah, kekuatan
magis." "Itukah salah satu di antaranya?" tanya Jiu Cui-jing
mengawasi bumbung kuning di tangan Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim mengangguk sambil mengiakan.
"Belakangan ini di kalangan Kangouw muncul seorang
yang menamakan diri Merak."
"Bulu merak miliknya itu juga salah satu di antaranya."
"Kaukah yang memberikan kepadanya?"
"Secara tidak langsung kuberikan kepadanya, namun
secara kebetulan saja kubiarkan dia menemukan."
"Karena kau sengaja supaya orang-orang Kangouw tahu
rahasia tentang hilangnya bulu merak itu."
Bing-gwat-sim mengaku.
Jika Khong-jiok-ling muncul di tangan orang, sudah tentu
bulu merak itu sudah tidak berada di perkampungan merak
pula. "Kenapa kau berbuat demikian?" tanya Jiu Cui-jing.
"Karena sejak mula aku curiga akan satu hal."
"Hal apa yang kau curigai?"
"Bulu merak merupakan urat jantung kehidupan, kejayaan
perkampungan merak, para Cengcu Khong-jiok-san-ceng
turun-temurun beberapa generasi semuanya adalah orang
teliti, tabah dan cakap, maka?"."
"Maka kau tidak percaya bahwa Khong-jiok-ling itu hilang."
Bing-gwat-sim mengangguk, "Konon bulu merak itu hilang
dari tangan Jiu It-hong, ayah kandung Jiu Hong-go, Jiu It-hong
berbakat besar, berilmu tinggi serba pandai, bagaimana
mungkin dia melakukan kecerobohan yang berakibat fatal ini"
Dia sengaja berbuat demikian, mungkin hanya untuk menguji
sampai dimana taraf reaksi putranya."
Walau analisanya masuk akal, namun tak mungkin bisa
dibuktikan. Maka dia berkata lebih lanjut, "Sengaja aku
membocorkan rahasia ini, supaya musuh-musuh Khong-jioksan-
ceng yang sudah turun-temurun itu berlomba datang
menyerbu kemari."
"Yang datang tetap tiada yang bisa hidup dan keluar dari
sini," dingin suara Jiu Cui-jing, bangga namun juga sinis.
"Oleh karana itu aku yakin bahwa dugaanku tidak meleset,
Khong-jiok-ling pasti masih berada di tanganmu."
Jiu Cui-jing tutup mulut, namun sepasang matanya setajam
mata burung elang menatap wajah Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim segera menambahkan, "Kemudian Jiu Honggo
tidak menemui Ji-hujin lagi, karena dia sudah menemukan
pula Khong-jiok-ling yang asli."
Lama Jiu Cui-jing menepekur, katanya kemudian perlahan,
"Semestinya dia tidak perlu menemui Ji-hujin."
"Tapi Jiu Hong-go percaya kepada Ji-hujin, sebelum Jihujin
menikah, mereka sudah lama berhubungan sebagai
kawan." Jiu Cui-jing tertawa dingin, jengeknya, "Memang tidak
sedikit orang yang mau menjual kawan sendiri dalam dunia
ini." "Tapi Ji-hujin tidak mengingkari persahabatan mereka,
kecuali beberapa tertua dari keluarga Tong yang lurus, tiada
orang lain tahu akan rahsia ini."
Makin mencorong cahaya mata Jiu Cui-jing, katanya, "Dan
kau" Pernah apa pula kau dengan keluarga Tong?"
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Waktu aku membeberkan
rahasia ini, memang aku sudah siap membeber pula rahasia
diriku." Lalu perlahan dia menyambung, "Aku adalah putri
sulung keluarga Tong angkatan tertua, nama asliku adalah
Tong Lam."
"Anak keturunan keluarga Tong kenapa sudi hidup di
kalangan pelacuran?"
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Walau keluarga Tong kami menggunakan racun dan Amgi,
namun peraturan keluarga kami jauh lebih ketat, lebih
keras dan disiplin dibanding tujuh perguruan besar dari aliran
lurus, putra-putri keluarga Tong, selamanya suka mencampuri
urusan Bu-lim yang tidak semestinya," suaranya tenang tapi
tegas. "Tapi kami sudah bertekad untuk melakukan sesuatu
yang menggemparkan."
"Apa tujuan kalian?"
"Kelaliman, hanya itu tujuan kami."
"Menentang kelaliman?"
"Betul, menentang kelaliman."
"Kami tidak berani melanggar peraturan keluarga, supaya
gerakan kita leluasa, terpaksa aku bersembunyi dalam
kalangan pelacuran, selama tiga tahun ini, kami sudah
menghimpun suatu kekuatan besar untuk menentang
kelaliman, sayang sekali sejauh ini kekuatan kita pun belum
memadai." Yan Lam-hwi tiba-tiba menimbrung, "Karena organisasi
lawan lebih ketat dan keras, kekuatan mereka pun lebih
besar." "Siapa pemimpin mereka?" tanya Jiu Cui-jing.
"Seorang yang pantas dibunuh."
"Dia itulah penyakit hatimu."
Yan Lam-hwi diam, diam artinya mengakui.
"Kau hendak memakai Khong-jiok-ling milikku untuk
membunuhnya?"
"Kelaliman ditumpas dengan kelaliman, pembunuhan
dicegah dengan membunuh."
Jiu Cui-jing menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat pula,
mendadak dia berkata, "Bukalah Hiat-to di kakiku, mari ikuti
aku." Setelah melewati gambar dinding besar dan indah itu,
mereka menerobos hutan bambu serta rumpun kembang
anggrek, melewati jembatan bambu sembilan liku, maju lebih
jauh pula, sinar pelita mulai jarang-jarang. Taman yang gelap
terasa sepi lengang dan seram, sehingga sinar api pun
menjadi guram gelap. Dibanding gedung-gedung berloteng
yang megah dan angker di bilangan depan, di sini seperti
berada di dunia yang lain.
Rumah besar di sini juga serba gelap, dingin lembab dan
menggiriskan. Di dalam rumah dipasang ratusan dian, sinar
api yang kelap-kelip seumpama api setan, di belakang setiap
dian berdiri sebuah Ling-pay, di atas Ling-pay tertulis namanama
almarhum, nama tokoh besar yang belum lama ini
masih malang melintang di Kangouw. Melihat deretan Lingpay
ini, sikap Bing-gwat-sim kelihatan serius dan khidmat.
Dia tahu mereka adalah para korban yang mati di bawah
Khong-jiok-ling, dia mengharap di sini akan ditambah lagi
sebuah Ling-pay dengan satu nama, "Kongcu Gi".
"Leluhur kita kuatir bila anak cucunya terlalu ganas
membunuh manusia, maka di sini didirikan tempat
penyimpanan perabuan mereka, supaya arwah mereka
tenteram dan masuk surga."
Maka selanjutnya mereka mulai memasuki urat nadi
Khong-jiok-san-ceng, mereka masuk lewat sebuah lorong,
lorong yang berbelak-belok, terali besi yang mereka lewati
entah ada berapa lapis.
Tanpa bersuara mereka terus beranjak di belakangnya,
seolah-olah mereka sedang memasuki sebuah kuburan
raksasa peninggalan raja-raja pada dinasti ribuan tahun yang
lampau, gelap dingin, lembab juga serba misterius.
Pintu besi terakhir ternyata terbuat dari papan baja setebal
tiga kaki, beratnya ada laksaan kati.
Di atas pintu ini terdapat tiga belas lubang kunci.
"Semula tiga belas kunci berada di tangan tiga belas orang,
tapi sekarang teman yang patut dipercaya betul-betul makin
jarang. Maka sekarang mereka tinggal enam orang, semua
adalah orang-orang tua yang sudah beruban, di antaranya ada
keturunan dekat atau famili keluarga Khong-jiok-san-ceng
sendiri, ada pula sesepuh dunia persilatan yang sudah
kenamaan di Bu-lim. Asal-usul dan kedudukan mereka
berbeda, namun persahabatan mereka serta loyalitasnya
terhadap Khong-jiok-san-ceng cukup membuat Jiu Cui-jing
percaya kepada mereka. Demikian pula kungfu kalian lebih
meyakinkan lagi," Jiu Cui-jing menjelaskan.
Cukup Jiu Cui-jing menepuk tangannya dua kali, enam
orang segera muncul seperti gerakan setan, pendatang yang
paling cepat ternyata bermata tajam bagai mata elang, gerakgeriknya
juga seringan dan setangkas elang, mukanya yang
sudah tergembleng di bawah hujan dan terik matahari penuh
dihiasi codet bekas bacokan yang malang melintang tidak
keruan, kalau tidak salah, dia bukan lain adalah Put-si-sin-eng
Kongsun To yang dahulu pernah menggetarkan padang pasir
di luar perbatasan.
Kunci terikat pada rantai di atas badannya, kunci terakhir
ternyata berada di tangan Jiu Cui-jing.
Dengan cermat Bing-gwat-sim memperhatikan dia
membuka kunci terakhir, waktu dia menoleh pula, bayangan
keenam orang itu sudah tidak kelihatan, seumpama setan
dedemit yang sengaja diutus dari neraka oleh para leluhur
keluarga Jiu yang berkuasa di perkampungan ini.
Di belakang pintu besi tebal ternyata adalah sebuah rumah
batu, dindingnya sudah lumutan, di sini tersulut enam lentera.
Cahaya api guram dingin dan menyeramkan, di empat
penjuru terdapat rak senjata, seperti pajangan saja terdapat
berbagai jenis senjata tajam, di antaranya malah ada yang
belum pernah terlihat oleh Yan Lam-hwi, entah itu senjata
yang pernah digunakan leluhur keluarga Jiu atau gaman yang
dipakai musuh mereka, bahwa senjata itu masih utuh dan
tersimpan di sini, namun jiwa raga mereka sudah tiada, tulangbelulangnya
pun sudah tak tersisa lagi.
Jiu Cui-jing mendorong sebuah batu raksasa pula, di dalam
dinding batu ternyata tersembunyi sebuah almari besi, apakah
Khong-jiok-ling tersimpan di dalam almari besi ini"
Semua menahan napas, mengawasinya membuka almari
besi itu, lalu dengan laku hormat mengeluarkan sebuah kotak
kayu cendana yang berukir indah dan kuno. Tiada yang
menduga bahwa yang tersimpan di dalam kotak kayu bukan
Khong-jiok-ling, tapi adalah selembar kulit tipis yang sudah
kuning seperti malam.
Bing-gwat-sim tidak ingin menyimpan rasa kecewanya,
katanya sambil mengerut alis, "Apakah ini?"
Sikap Jiu Cui-jing serius dan hormat, sahutnya kereng,
"Inilah wajah seorang."
Bing-gwat-sim terkesiap, tanyanya, "Apakah kulit yang
dibeset dari wajah seseorang?"
Jiu Cui-jing manggut-manggut, sorot matanya diliputi
kedukaan, katanya rawan, "Karena orang ini kehilangan suatu
barang yang amat penting, merasa malu untuk hidup lebih
lanjut, sebelum bunuh diri dia meninggalkan pesan, menyuruh
orang membeset kulit mukanya sebagai peringatan bagi anak
keturunannya kelak."
Dia tidak menjelaskan nama orang itu namun semua tahu
siapa yang dia maksud. Bahwa Jiu It-hong dikabarkan
mendadak mati, peristiwa ini pernah menimbulkan rasa curiga
kaum persilatan masa itu, sampai sekarang baru rahasia itu
dibongkar oleh Jiu Cui-jing.
Merinding sekujur badan Bing-gwat-sim, agak lama
kemudian baru dia menghela napas panjang, katanya,
"Peristiwa ini sebetulnya tidak perlu kau beberkan di hadapan
kita." "Sebetulnya memang pantang untuk kubeberkan," ucap Jiu
Cui-jing dengan suara berat, "tapi aku ingin supaya kalian
percaya, bahwa sejak lama Khong-jiok-ling sudah tidak berada
di Khong-jiok-san-ceng."
Bing-gwat-sim bertanya, "Tapi bagaimana dengan orangorang
yang mati di perkampungan merak ini."
"Membunuh orang banyak caranya," Jiu Cui-jing menukas
dingin, "tidak pasti harus menggunakan Khong-jiok-ling."
Mengawasi kulit manusia di dalam kotak kayu cendana,
terbayang dalam benak Bing-gwat-sim bagaimana orang itu
gugur secara ksatria untuk menebus dosa kesalahannya, lalu
timbul penyesalan dalam hatinya, semestinya dirinya tidak
kemari saja. Demikian pula Yan Lam-hwi, dia kelihatan juga
amat menyesal. Pada saat itulah terdengar suara "Blam" yang cukup keras,
pintu besi setebal itu telah menutup sendiri. Menyusul
terdengar pula suara "Klik, klik, klik" secara beruntun tiga
belas kali, tiga belas lubang kunci di sebelah luar ternyata
sudah digembok.
Berubah air muka Bing-gwat-sim.
Yan Lam-hwi juga menghela napas, katanya, "Bukan saja
tidak pantas kami kemari, juga tidak patut tahu rahasia ini,
lebih tidak pantas lagi secara sembrono main terobos di
hadapan arwah para Cianpwe yang menghuni tempat ini, kami
memang patut mampus."
Jiu Cui-ing mendengarkan dengan tenang, tiada perubahan
di wajahnya. Yan Lam-hwi berkata pula, "Tapi jiwaku ini sudah menjadi
milik Pho Ang-soat, Pho Ang-soat tidak pantas ikut mati sini."
"Aku juga tidak harus mati," jengek Jui Cui-jing tiba-tiba.
Yan Lam-hwi melotot dengan kaget. Bing-gwat-sim menyela,
"Ini bukan kehendakmu?"
"Bukan," sahut Jiu Cui-jing tegas.
Bing-gwat-sim makin kaget, serunya, "Lalu siapa yang
mengunci pintu dari luar" Tempat serahasia ini, orang luar
mana bisa masuk kemari?"
"Sedikitnya masih ada enam orang," sahut Jiu Cui-jing.
"Tapi mereka adalah sahabatmu."
"Aku pernah bilang, tidak sedikit manusia di dunia ini yang
mau menjual kawan."
Sekarang baru Pho Ang-soat bersuara, "Satu di antara
Hikmah Pedang Hijau 17 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pendekar Pemetik Harpa 30