Peristiwa Merah Salju 10
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 10
Sekarang kemana pun Yap Kay pergi, di situ pula dia berada, bahwa tadi dia tidak muncul
karena dia bertugas mengawasi orang-orang yang menghuni rumah pelacuran ini, bukan dia kuatir
mereka melakukan apa-apa yang merugikan dirinya, tapi dia tidak suka Yap Kay melihat mereka,
demikian pula sebaliknya. Mau tidak mau dia sendiri mengakui bahwa dirinya perempuan yang
paling cemburu.
"Kau kira sebelum ini dia bukan manusia?"
"Sedikitnya aku belum pernah melihat orang seperti dia," ujar Ting Hun-pin. "Selamanya tidak
pernah terpikir olehku, dia bisa begitu tersiksa karena Cui-long."
Yap Kay tiba-tiba tertawa, katanya, "Kau kira derita dan siksa itu benar-benar lantaran dia?"
"Memangnya bukan?" Yap Kay geleng-geleng.
"Lalu apa anggapanmu?"
"Dia selalu merasa dirinya lebih tinggi, lebih suci lebih bersih dari Cui-long, selalu dia merasa
Cui-long tidak setimpal dengan dirinya."
"Ya, sedikit pun tidak salah."
"Oleh karena itu setelah Cui-long meninggalkan dirinya, baru dia amat tersiksa, karena dia
merasa Cui-long seharusnya selalu mengikut di belakangnya seperti anjing setia mengikuti setiap
langkah majikannya."
"Jadi anggap dia tersiksa karena dia merasa pamor dan gengsinya terpukul?"
"Sudah tentu lantaran dia pun merasa dirinya tertipu, laki-laki mana pun bila merasa dirinya
tertipu oleh perempuan pasti dirinya amat sedih, umpama dia tidak mencintai dia, dia pun akan
merasa tersiksa."
"Lalu kau pun beranggapan bahwasanya dia tidak mencintai Cui-long?"
"Bukan begitu yang kumaksud."
"Lalu apa maksudnya?"
"Maksudku bila Cui-long tidak meninggalkan dia, akan datang suatu ketika dia yang akan
meninggalkan Cui-long, pada saat itu dia pasti tidak akan menderita lagi."
"Kenapa?"
"Karena dia tumbuh dewasa dalam buaian dendam dan sakit hati maka....."
"Umpama benar dia mencintai Cui-long, dia tetap takkan melupakan dendamnya."
Yap Kay mengawasi setitik bintang jauh di angkasa raya, katanya, "Aku pernah bertemu
dengan seseorang."
"Seseorang yang bagimana?"
"Seorang yang aneh, jika ada malaikat di dunia ini, maka dia itulah malaikatnya."
"Jadi orang itulah yang merubah jalan hidupmu?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Dia laki-laki atau perempuan?"
"Kalau dia perempuan, semua orang di dunia ini bakal jadi kaum hawa."
"Apa maksudmu?"
Terunjuk rasa hormat pada sorot mata Yap Kay, katanya, "Aku pernah melihat berbagai macam
manusia, tapi hanya dia, baru boleh dikatakan sebagai laki-laki sejati."
Ting Hun-pin cekikikan.
"Belum pernah aku melihat orang yang lebih agung dan besar daripada dia."
"Kau mengaguminya?"
"Bukan hanya kagum saja, umpama dia suruh aku segera mampus, aku pun akan menerima
dengan suka rela. Tapi dia tidak akan membiarkan aku mati, selamanya dia hanya memikirkan
orang lain mengorbankan dirinya sendiri."
"Siapa dia sebenarnya?"
"Seharusnya kau pernah mendengar namanya."
"O. Siapa?"
"Dia she Li...."
"Apakah Siau Li Tham-hoa?" teriak Ting Hun-pin. "Sudah tentu aku pernah mendengar
namanya, memang siapa orang di dunia ini yang tidak pernah mendengar namanya?"
"Sepak terjangnya memang meninggalkan kesan mendalam bagi semua pihak."
"Terutama pertempurannya melawan Siangkoan Kim-hong dulu, tiada orang yang menyaksikan
duel itu, tapi ceritanya yang tersiar di kalangan Kangouw sungguh lebih menarik dari dongeng
rakyat." "Paling sedikit aku pernah mendengar lima ratus kali orang membicarakan duel itu, cerita
masing-masing berlainan."
"Demikian pula yang pernah kudengar, satu sama lain tiada yang cocok, tapi mereka
mempertahankan bahwa ceritanya sendiri pasti boleh dipercaya."
"Paling tidak ada satu hal, siapa pun mau tidak mau harus mengakuinya."
"Satu hal apa?"
"Siau Li si pisau terbang selamanya tidak pernah meleset!" bersinar biji mata Yap Kay "Sampai
sekarang di kolong langit ini, belum ada seorang pun yang mampu meluputkan diri dari timpukan
pisaunya. Bersinar pula muka Ting Hun-pin, katanya, "Sayang sekali pisaunya itu kini sudah menjadi
kenangan nyata saja, kita tentu takkan bisa menyaksikannya lagi."
"Siapa bilang?"
"Kabarnya setelah dia membunuh Siangkoan Kim-hong, dia lantas menyimpan pisaunya dan
mengasingkan diri, selanjutnya tidak mencampuri urusan Kangouw."
Yap Kay malah tertawa saja.
"Kalau dia tidak tetirah di suatu tempat yang sepi, kenapa tiada orang pernah mendengar kabar
ceritanya lagi di kalangan Kangouw" Apakah kau tahu kabarnya?"
"Sudah tentu aku tahu."
"Lekaslah kau ceritakan kapadaku."
"Sayang sekali, sekarang aku tidak punya waktu."
"Kenapa?"
"Karena sekarang aku harus menyusul ke Ho-han-ceng "
"Ho-han-ceng?"
"Ho-han-ceng adalah Si-keh-ceng."
"Tempat kelahiran Si Toa-han, maksudmu?"
"Cengcu Ho-han-ceng adalah ayah Si Toa-han yang bernama Si Bu."
"Kau hendak ke sana memberi kabar duka cita kematian putranya."
"Aku bukan burung gagak."
"Lalu untuk apa kau tergesa-gesa ke sana?"
"Kalau rekaanku tidak salah, sekarang Pho Ang-soat sedang menuju ke sana."
"Kalau dia pergi, kau lantas hendak mengikutinya?" Ting Hun-pin bersungut-sungut, "kenapa
begitu besar perhatianmu kepadanya?"
Yap Kay hanya tersenyum saja.
"Lapat-lapat terasa olehku, kau seolah-olah mempunyai sesuatu hubungan istimewa dengan
dia, sebetulnya hubungan apakah?"
"Masa kau juga cemburu kepadanya" Apa kau sudah lupa dia itu laki-laki."
"Laki-laki memangnya kenapa" Laki-laki dan laki-laki sering melakukan ...." belum habis dia
bicara, dia sudah cekikikan geli dengan muka merah.
Yap Kay justru amat prihatin katanya, "Waktu mudanya dulu Si Bu adalah seorang yang gagah,
senjata kampak kunonya seolah-olah bisa membelah langit membuka bumi, sebanyak seratus
delapan jurus pernah menyapu Thay-hing-san, entah bagaimana perbawanya sekarang?"
"Apa kau kuatir Pho Ang-soat bukan tandingannya, maka kau susul dia ke sana hendak
membantu dia?"
"Kalau golok Pho Ang-soat bukan tandingannya, apa pula gunanya aku menyusul ke sana?"
"Apakah kepandaianmu juga bukan tandingan Pho Ang-soat?"
"Menurut apa yang kutahu, kecepatan gerak permainan goloknya, di jagat raya ini tiada orang
yang menandinginya."
"Tapi aku sering mendengar banyak orang bilang, kau pun memiliki pisau yang amat
menakutkan. Malah pisaumu senjata yang tak pernah terlihat oleh mata telanjang."
Yap Kay hanya bersuara dalam mulut.
"Jangan kau pura-pura pikun, ingin kutanya, apakah pisaumu itu hasil gemblengan atau didikan
Siau Li si pisau terbang?"
"Siau Li si pisau terbang tetap si pisau terbang, kecuali Siau Li Tham-hoa, tiada kedua lagi."
"Kenapa begitu?"
"Karena pisau seperti itu bukan sembarang orang bisa mempelajarinya. Tahu tidak."
"Dan kau?"
"Kalau satu persen saja aku bisa mempelajari kepandaiannya, aku sudah puas."
"Tak hanya kau rendah hati, sayang kau bicara tidak sejujurnya."
"Oleh karena itu lebih baik jangan kau menguntit aku, kalau penyakitku kambuh, bukan
mustahil aku mendadak memperkosa kau "
Merah muka Ting Hun-pin, sejenak dia menggigit bibir, dengan ujung mata dia mengerling
kepada Yap Kay, katanya, "Kalau kau tidak berani, kau ini adalah kura-kura "
0oo0 BAB 33. SUKMA DI UJUNG GOLOK
"Aku tidak ingin pergi, tapi terpaksa aku harus pergi."
Begitu tersentak bangun dari tidurnya, teringat oleh Cui-long akan kata-kata Pho Ang-soat
semalam. Pho Ang-soat yang semalam tidur di sampingnya sudah tak kelihatan lagi.
Rasa ketakutan dan terpencil tiba-tiba memenuhi rongga dada Cui-long, hatinya serasa
tenggelam. Masih segar dalam ingatannya semalam Pho Ang-soat bilang, "Ada sementara
persoalan walau tidak ingin kau kerjakan, tapi terpaksa kau harus menyelesaikan." Sekarang baru
dia menyadari apa maksud kata-kata Pho Ang-soat ini.
Angin pagi menghembus masuk lewat jendela, terasa dingin segar, dengan mendelong dia
mengawasi keluar, dia tidak mengalirkan air mata, tapi sekujur badannya dingin.
0oo0 Pho Ang-soat tengah beranjak di jalan persawahan, tangan mencekal kencang gagang golok.
Hatinya mendelu, tetapi dia tidak begitu menderita dan tersiksa karena kali ini dia yang pergi
meninggalkan si dia, dengan setulus hati dia ucapkan kata-katanya itu. Karena dia masih ingat
akan tanggung jawabnya menuntut balas.
Langkah Pho Ang-soat amat pelan, tapi tidak pernah berhenti. Selewat sebidang hutan yang
hampir gundul daun-daunnya itu, di sanalah letak Ho-han-ceng.
0oo0 Keadaan Ho-han-ceng sekarang sudah mirip keadaan majikannya, loyo dan renta.
Dindingnya sudah menguning hijau berlumut, daun-daun jendelanya bergetar mengeluarkan
suara berisik bila dihembus angin.
Sinar surya menyorot masuk ke dalam, kebetulan menyinari sebilah kampak besar di atas rak
senjata. Kampak besar seberat enam puluh tiga kati.
Dengan menggendong tangan Si Bu berdiri di bawah cahaya matahari, mengawasi kampak
kebanggaannya dulu. Bagi dirinya kampak itu bukan saja sebagai gamannya, namun juga kawan
seperjuangan di medan laga yang ikut mati dan hidup kembali. Tiga puluh tahun yang lalu,
kampak ini pernah ikut dirinya terjun ke dalam Liong-tam (rawa naga), menerjang ke sarang
harimau, menyapu bersih seluruh Thay-hing-san. Sekarang kampak ini masih tetap mengkilap kuat
dan gagah seperti tiga puluh tahun yang lalu. Tapi bagaimana dengan majikan atau pemiliknya"
Si Bu menutup mulut dengan tangannya, batuk perlahan-lahan, cahaya matahari baru
menyinari badannya, tapi nalurinya merasa sinar matahari sedemikian terik membara. Masa-masa
emas waktu yang lampau sudah berselang. Jiwanya kini sedang berada dalam kelam.
0oo0 Di atas meja terdapat secarik kertas.
Itulah secarik surat yang dikirim oleh anak buahnya dari kota dengan burung pos.
Sekarang dia sudah tahu bahwa teman dan putranya sudah ajal di bawah golok seorang
pemuda. Pemuda yang bernama Pho Ang-soat.
Si Bu tahu nama ini tentu bukan nama aslinya. Yang jelas dia she Pek. Golok yang dipakai oleh
keluarga Pek seluruhnya serba hitam, sarung hitam, gagang hitam pula.
Si Bu tahu golok macam apakah yang dibawa si pemuda, karena dulu dia sendiri pernah
menyaksikan golok seperti itu, dalam sekejap mata beruntun membunuh tiga tokoh kosen dari Bulim.
Malah sekarang pada badannya masih terdapat. bekas-bekas bacokan golok, dari tenggorokan
sampai ke pusarnya. Jika dirinya tidak amat beruntung, lawan sudah kehabisan tenaga, bacokan
golok itu mungkin sudah membelah badannya. Meski peristiwa itu sudah puluhan tahun berselang,
terbayang akan bacokan golok waktu itu, sekujur tubuhnya masih gemetar dan berkeringat dingin.
Ada kalanya dalam mimpinya dia sering terjaga bangun, seolah-olah dirinya sudah terbelah
menjadi dua. Dan sekarang kenyataan orang itu benar-benar meluruk datang!
0oo0 Disingsingnya lengan bajunya, dengan kencang dia pegang kampaknya, pelan-pelan lalu
diayunkan. Dengan kampak ini dulu dia membabat habis tiga puluh perampok kejam yang
mengganas di daerah Thay-hing-san.
Namun kampak ini sekarang rasanya semakin berat, ada kalanya dia tidak kuasa memainkan
seratus delapan jurus ilmu kampaknya sampai habis.
Kini dia bertekad hendak mencobanya sekali lagi.
Ruang pendopo ini amat luas. Dengan mengayun kampaknya, kaki bergerak dengan lincah,
seketika bayangan kampak seperti memenuhi ruangan yang luas ini, angin menderu bagai angin
badai, perbawanya memang hebat dan tidak bernama kosong, bahwa kehebatan ilmu kampak ini
dulu pernah menyapu habis perampok-perampok yang mengganas itu. Akan tetapi Si Bu sendiri
mengerti, kini tenaganya sudah tidak memadai lagi.
Baru sampai jurus ketujuh puluh delapan, napasnya sudah ngos-ngosan seperti sapi disembelih,
ini baru latihan seorang diri, jika berhadapan dengan musuh, mungkin sepuluh jurus saja tidak
kuasa mempertahankan diri.
Terpaksa dia berhenti dengan menurunkan kampaknya, di atas meja tersedia arak. Dengan
napas tersengal-sengal dia duduk, lalu ditenggaknya habis secangkir. Sekarang dia menyadari lagi
takaran minumnya sudah jauh berkurang juga dibanding dulu. Dulu sekaligus dia kuat
menghabiskan puluhan poci, sekarang paling tiga cangkir mukanya sudah merah padam dan
hampir mabuk. Seorang laki-laki tua dengan rambut ubanan, dengan langkah pelan menunduk melangkah
masuk. Waktu mudanya orang tua ini adalah pelayan Si Bu yang melayani sekolah, sudah enam
puluh tahun dia bekerja di rumah keluarga Si. Waktu mudanya dia pun seorang pemuda yang
kekar, dia pun kuat memainkan kampak seberat tiga puluh kati, pernah membunuh entah berapa
banyak orang-orang jahat.
Tapi sekarang bukan saja punggungnya tumbuh punuk, punggungnya pun bungkuk, otot
daging badannya yang kekar kenyal kini sudah mengendor, lebih celaka lagi dia terjangkit asma,
untuk berjalan saja dia sudah mendenguskan napas seperti kuda menarik beban berat.
Mengawasi orang, Si Bu lantas bertanya, "Tugas yang kupesan kepadamu, sudah kau
selesaikan belum?"
Dengan meluruskan kedua tangannya si tua bungkuk menjawab, "Cengteng, tukang kuda, para
dayang dan bu inang, semua pembantu berjumlah tiga puluh lima orang, semuanya sudah
kusuruh pulang ke kampung halaman masing-masing, setiap orang kebagian lima ratus tahil
perak, cukup untuk berdagang kecil-kecilan, untuk hidup sepanjang umurnya."
"Baik sekali," ujar Si Bu.
"Kini sisa uang kas tinggal seribu lima ratus tiga puluh tahil."
"Baiklah, boleh kau ambil semua dan pergilah."
"Aku ...." orang tua itu tertunduk, "aku tidak akan pergi."
"Kenapa?" tanya Si Bu.
Raut muka si orang tua yang penuh keriput tidak menunjukkan mimik perasaan apa-apa,
katanya tawar, "Tahun ini aku berusia enam puluh delapan. Hendak kemana aku pergi?"
Si Bu tidak bicara lagi. Dia tahu mereka berdua sudah menemukan jalan buntu. "Kemarilah"
katanya kemudian, "marilah duduk minum bersama."
Orang tua itu tidak menolak, tanpa bicara dia menghampiri, lalu duduk di depannya, dia isi dulu
cangkir majikannya lalu mengisi lagi secangkir untuk dirinya sendiri. Tangannya kelihatan gemetar.
"Masih segar dalam ingatanku kau memang sudah berusia enam puluh delapan tahun, usiamu
sama dengan aku "
Si orang tua bungkuk mengiakan.
"Enam puluh tahun, sekejap saja sudah enam puluh tahun, cepat benar hari berlalu."
Kembali si orang tua bungkuk mengiakan.
"Tentunya kau masih ingat, selama hidupmu berapa banyak kau bunuh orang?"
"Seluruhnya kira-kira tiga puluh orang."
"Berapa perempuan yang kau gauli?"
Ujung mata si bungkuk yang keriputan menampilkan senyuman, sahutnya, "Soal ini tidak
kuingat lagi."
Si Bu tersenyum, katanya, "Aku tahu budak kecil yang datang tahun lalu itu kau gagahi juga,
jangan kau kira aku tidak tahu."
Si bungkuk tidak menyangkal, katanya tersenyum. "Walau budak itu bukan gadis baik-baik, tapi
secara diam-diam tadi ku tambah seratus tahil untuk dirinya."
"Terhadap perempuan biasanya kau tidak kikir, hal ini aku cukup tahu "
"Hal ini aku belajar dari Loya."
"Meski aku lebih banyak membunuh orang dibanding kau, perempuan yang pernah kau gauli
tentunya tidak lebih sedikit pula."
"Sudah tentu."
"Oleh karena itu kini kita terhitung sudah berkecukupan hidup."
"Ya, sudah lebih dari cukup."
"Mari kita habiskan dua cangkir."
Mereka baru menghabiskan dua cangkir. Setelah cangkir ketiga diisi penuh, mereka lalu melihat
seseorang pelan-pelan melangkah masuk ke dalam pekarangan. Muka nan pucat, golok yang
hitam. 0oo0 Berdiri di bawah pohon kenari, Pho Ang-soat menggenggam kencang gagang goloknya.
Si Bu pun sedang mengawasinya, mengawasi golok serba hitam itu, sikapnya semakin tenang.
"Kau she Si?" tiba-tiba Pho Ang-soat bertanya.
Si Bu mengangguk-angguk. "Si Toa-han adalah putramu?"
Si Bu mengangguk-angguk. "Sembilan belas tahun yang lalu ...."
Tiba-tiba Si Bu menyeletuk, "Kau tak usah bertanya, orang yang hendak kau cari adalah aku "
"Jadi kau?"
"Hujan salju malam itu amat lebat," kata Si Bu menarik napas panjang.
"Kau ... masih ingat akan kejadian malam itu?"
"Sudah tentu masih ingat, setiap kejadian kuingat benar."
"Coba tuturkan."
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Malam itu waktu aku tiba di Bwe-hoa-am, di sana sudah banyak orang menunggu."
"Siapa saja mereka?"
"Aku tidak tahu, setiap orang mengenakan kedok muka, masing-masing tidak bersuara," tutur
Si Bu. "Aku yakin mereka pun tiada yang mengenalku, karena aku tidak bergaman kampak saktiku
ini, tapi aku membekal golok besar berkepala setan."
"Di alam bersalju itu kami lama menunggu, hawa begitu dingin, tiba-tiba kami mendengar ada
orang bersuara, katanya orang-orang sudah datang lengkap."
"Apakah Be Khong-cun yang bersuara?"
"Bukan! Saat itu Be Khong-cun sedang minum arak di dalam Bwe-hoa-am."
"Lalu siapa yang bicara" Darimana dia tahu berapa jumlah orang yang menunggu di luar"
Memangnya dia salah satu dari perencana peristiwa berdarah itu?"
Si Bu tertawa, tawa misterius, katanya, "Umpama aku tahu, tidak akan kuberitahu kepadamu."
Lekas sekali dia menyambung ceritanya, "Tak lama kemudian, keluarga Pek berbondong-bondong
keluar dari dalam Bwe-hoa-am. Semuanya mabuk dengan langkah sempoyongan, seperti amat
senang." "Siapa yang turun tangan lebih dulu?"
"Yang turun tangan lebih dulu ada beberapa orang yang pandai menggunakan senjata rahasia,
tapi mereka tiada satu pun yang berhasil."
"Selanjutnya bagaimana?"
"Serempak semua orang menyerbu maju, Be Khong-cun yang memapak maju paling dulu, tapi
mendadak dia membalik membacok Pek THian-ih dengan goloknya."
Beringas muka Pho Ang-soat, katanya mendesis dengan mengertak gigi, "Dia tidak akan lolos
dari tanganku."
"Dia lolos atau tidak tiada sangkut-pautnya dengan aku."
"Kau pun jangan harap bisa lolos."
"Bahwasanya aku tiada niat hendak melarikan diri. aku memang sedang menunggumu."
"Apa pula yang masih ingin kau katakan?"
"Hanya sepatah kata saja," ditenggak habis araknya, katanya menyambung, "Walau perbuatan
kami waktu itu harus dicela, tapi jika sekarang kembali pada sembilan belas tahun yang lalu, aku
tetap melakukan apa yang pernah kulakukan dulu."
"Kenapa?"
"Karena Pek Thian-ih sebetulnya memang bukan manusia baik-baik."
"Kau keluar!" hardik Pho Ang-soat dengan muka merah padam.
"Kenapa aku harus keluar?"
"Keluarkan kampakmu."
"Kukira tidak perlu lagi" mendadak dia tertawa, dengan tersenyum dia berpaling kepada si
bungkuk, katanya, "Tibalah saatnya."
"Ya, sudah tiba saatnya," sahut si bungkuk.
"Apa pula yang ingin kau katakan?"
"Hanya sepatah kata," sahut si bungkuk, tiba-tiba dia tertawa, katanya tandas, "Pek Thian-ih
memang bukan manusia baik-baik "
Habis kata-katanya, laksana burung walet, tahu-tahu Pho Ang-soat sudah menerobos masuk
lewat jendela. Tapi sudah terlambat.
Si Bu dan si bungkuk sudah terjungkal roboh Roboh dengan tertawa lebar. Dada mereka
tertusuk sebilah golok. Golok tajam yang pendek. Gagang golok masih tercekal di tangan mereka.
0oo0 Dengan goloknya sendiri Si Bu memutuskan dendam sakit hati sembilan belas tahun yang lalu.
Sekarang tiada orang yang dapat menuntut balas kepadanya lagi.
Pho Ang-soat hanya mengawasi dengan mendelong Lama kelamaan dia bergidik sendiri bila
teringat tuduhan orang-orang dilemparkan kepada ayahnya. Mau tidak mau timbul pula rasa
curiga dalam benaknya. "Kenapa begitu banyak tokoh kosen yang punya kedudukan tinggi, tanpa
segan-segan mempertaruhkan keluarga, gengsi dan pamornya, tanpa menghiraukan segala
akibatnya bersekongkol ingin membunuhnya?" Memangnya siapa yang mampu memberi jawaban"
Siapa pula yang sudi memberi penjelasan" Lama kelamaan menghadapi dua mayat yang tak
bernyawa, badan Pho Ang-soat jadi gemetar.
Dilihatnya muka dua mayat yang semakin dingin ini berubah begitu mengerikan, mata mereka
memang sudah melotot, kini darah merembes keluar dari panca indranya, dan yang membuatnya
merinding adalah darah yang mengalir itu ternyata berwarna hitam mengkilap.
Telapak tangan Pho Ang-soat menjadi basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba dia ingin menerjang
keluar, lekas meninggalkan tempat ini. Tapi baru saja dia putar badan, matanya segera melihat
Yap Kay. Setan gentayangan.
0oo0 Yap Kay mengawasi kedua mayat yang terkapar di lantai, roman mukanya mengunjuk mimik
yang lugu. Ting Hun-pin berdiri jatuh di belakangnya, perhatiannya tertuju ke tempat lain.
Agaknya dia ngeri melihat kematian orang yang begitu mengerikan.
"Kau datang lagi."
"Ya, aku datang lagi."
"Kenapa kau selalu membuntuti aku?"
"Memangnya kau sendiri yang boleh berada di tempat ini?"
Pho Ang-soat tidak bicara lagi. Segera dia beranjak keluar.
"Tunggu dulu," seru Yap Kay.
Biasanya Pho Ang-soat tidak pernah berhenti, tapi kali ini dia justru berhenti, malah membalik
badan. "Kedua orang ini bukan kau yang membunuh."
Pho Ang-soat manggut-manggut. "Mereka pun tidak bunuh diri."
"Tidak bunuh diri?"
"Terang bukan!"
Terbelalak heran Pho Ang-soat dibuatnya, dia tahu Yap Kay bukan laki-laki yang suka
sembarang bicara.
"Tapi aku saksikan sendiri dia menikam dada dengan goloknya itu."
"Umpama mereka tidak menusuk diri dengan golok, mereka toh bakal mati juga. Karena
mereka sudah keracunan lebih dulu."
"Arak itu beracun?"
"Racun yang amat lihai dan amat aneh sekali "
"Kalau mereka sudah minum racun, buat apa menikam diri pula?"
"Karena mereka sendiri tidak sadar bahwa dirinya sudah keracunan."
"Jadi orang lain yang menggunakan racun" Siapa dia?"
"Aku sendiri pun belum bisa menyimpulkan," ujar Yap Kay menghela napas. "Orang yang bisa
menaruh racun di dalam arak Si Bu, tentu orang yang sudah dikenal dan amat hapal dengan
situasi rumah ini. Apalagi Si Bu sudah tahu kau bakal datang, dia sudah bertekad akan gugur,
maka seluruh keluarga pembantu rumahnya dia ungsikan atau bubarkan seluruhnya."
Memang di tengah jalan Pho Ang-soat bertemu dengan orang-orang yang keluar dari Ho-hanceng.
Berkata Yap Kay lebih lanjut "Si Bu sudah tahu bahwa dirinya akan mati, buat apa dia menaruh
racun di dalam araknya?" Sulit menjelaskan persoalan ini.
"Mungkin Si Bu sendiri yang menaruh racun."
"Tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Tidak perlu dia bertindak begitu bodoh."
"Mungkin dia kuatir dirinya tiada kesempatan membela diri."
"Untuk membunuhmu, sudah tentu dia tidak punya kesempatan melawan, tapi bila seseorang
ingin mati, kesempatan itu sembarang waktu bisa saja dia dapatkan. Dan yang penting, Si Bu
terang takkan memiliki racun seperti ini."
"Kenapa?"
"Selama hidupnya dia mengagulkan diri sebagai laki-laki gagah, selama hidupnya tidak pernah
menggunakan senjata rahasia, terutama membenci orang-orang yang menggunakan racun, orang
seperti dia masakah sudi menggunakan racun untuk membunuh diri?" Tanpa memberi waktu Pho
Ang-soat bicara, dia melanjutkan, "Apalagi racun jenis ini jarang ada, malah amat menakutkan, tak
peduli racun ini ditaruh dalam arak atau air, tanpa menimbulkan tanda-tanda mencurigakan, tidak
berwarna tidak berbau, malahan alat perak pun tidak bisa membedakan kadar racunnya."
"Kau mengenal racun apa yang digunakan ini?" tanya Pho Ang-soat.
"Seluruh jenis racun yang ada di dunia ini, sedikit jumlahnya yang tidak kukenal."
"Jadi racun jenis ini hanya bisa dicoba dengan batu jade kuno saja?"
Untuk menjajal sesuatu apakah beracun, biasanya menggunakan alat-alat perak. Kalau
menggunakan jade kuno adalah di luar kebiasaan.
"Jadi kau pun tahu cara itu?" tanya Yap Kay.
Pho Ang-soat berkata dingin, "Tidak banyak jenis racun yang kuketahui, tapi racun yang bisa
membinasakan aku tidak banyak jenisnya."
Yap Kay tertawa, ia tahu Pho Ang-soat bukan mengagulkan diri. Bahwa Pek-hong Kongcu,
ibunya, adalah putri sulung Mo-kau Kaucu, dia sendiri pun seorang ahli dalam menggunakan
racun. Sudah tentu putranya takkan bisa terbunuh oleh racun.
Mungkin Pho Ang-soat tidak ahli menggunakan racun, atau mungkin juga tidak pernah melihat
orang mati keracunan, tapi cara untuk membedakan jenis dan kadar racun sudah tentu dia jauh
lebih tahu. Sayangnya pengalamannya saja yang tidak luas.
"Jadi menurut analisamu, Si Bu tidak menaruh racun dalam araknya sendiri."
"Pasti tidak."
"Kalau orang lain tahu dia pasti mati, tidak perlu dia memberi racun dalam arak. Lalu darimana
racun ini?"
"Setelah kupikir-pikir hanya ada satu kemungkinan" ujar Yap Kay lebih lanjut. "Penaruh racun
pasti kuatir dia membocorkan sesuatu di hadapanmu, maka dia hendak meracunnya mati lebih
dulu sebelum kau kemari."
"Tapi waktu aku datang, dia belum mati."
"Mungkin karena kedatanganmu terlalu cepat, atau mungkin kematiannya terlambat."
"Waktu aku datang, sedikitnya dia sudah minum empat-lima cangkir."
"Waktu arak disuguhkan sudah bercampur racun, tak berselang lama kemudian baru Si Bu
mulai minum, maka racun dalam arak sudah mengendap ke bawah. Maka arak yang dia minum
terdahulu kadar racunnya tidak berat."
"Maka waktu aku datang, dia masih hidup dan sempat mengucapkan banyak persoalan."
Yap Kay manggut-manggut.
"Tapi kau belum membongkar rahasia seseorang yang patut dicurigai."
"Coba kau pikir-pikir dulu."
Pho Ang-soat menepekur, katanya kemudian, "Dia memberitahu, cukup lama mereka
menunggu di luar Bwe-hoa-am, mendadak ada orang bilang semua orang sudah lengkap."
Seketika bersinar biji mata Yap Kay, katanya, "Darimana dia bisa tahu bila orangnya sudah
lengkap" Darimana dia tahu berapa jumlah seluruhnya" Hal ini sebetulnya hanya diketahui Be
Khong-cun sendiri "
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tapi waktu itu Be Khong-cun pasti masih berada di dalam Bwe-hoa-am minum arak."
"Si Bu pun berkata demikian."
"Lalu siapa yang mengatakan" Si Bu tidak memberitahu?"
Pho Ang-soat geleng-geleng kepala. "Katanya umpama dia tahu juga tnkkan memberitahu
kepadaku."
"Jadi besar kemungkinan orang yang bersuara di luar Bwe-hoa-am itulah orang yang menaruh
racun dalam arak Si Bu ini."
Belum Pho Ang-soat bersuara, Ting Hun-pin sudah menukas, "Sudah pasti dia adanya."
"Karena tahu bahwa Si Bu sudah tahu akan rahasia dirinya, maka Si Bu dibunuhnya untuk
menutup mulut," Yap Kay menambahkan.
"Sayang dia salah menilai Si Bu," Ting Hun-pin menghela napas, "ternyata Si Bu adalah seorang
sahabat yang setia kawan."
"Oleh karena Si Bu adalah sahabat karibnya, maka walau dia mengenakan kedok, Si Bu tetap
masih mengenali suaranya."
"Betul."
"Jadi kalau dia datang sendiri kemari, mustahil Si Bu tidak tahu."
"Mungkin saja dia menyuruh orang lain menaruh racun?"
"Mustahil," Yap Kay menggeleng setelah termenung sejenak, "tugas ini amat rahasia, siapa
yang dia tugasi untuk melakukan hal itu?"
"Tentu saja orang kepercayaannya."
"Sahabat karib macam Si Bu saja tak dipercaya, siapa yang bisa dia percayai?"
"Mungkin saja suami atau istrinya, orang tuanya, saudaranya, hubungan semacam ini pasti
lebih akrab ketimbang hubungan teman." Yap Kay menghela napas panjang.
"Sayang tak seorang pun bisa ditemukan di keluarga Si sekarang sulit bagi kita untuk
melacaknya."
"Biarpun anggota keluarga Si telah pergi semua, toh mereka belum mampus."
Yap Kay manggut manggut, diambilnya sisa arak dari dalam teko dan diendusnya sesaat,
kemudian katanya lagi, "Arak ini sudah lama disimpan dalam gudang, bahkan belum lama dibuka."
"Kau tak perlu berlagak," tukas Ting Hun-pin sambil tertawa, "aku tahu, pengetahuanmu
tentang arak memang hebat... heran, kau selalu punya pengetahuan luas terhadap perbuatan
busuk." "Sayang aku tak tahu siapa pengurus gudang arak keluarga Si," sahut Yap Kay tertawa getir.
"Selama dia masih hidup, suatu ketika pasti akan kita temukan, hakikatnya bukan hal yang
sulit." Pelan-pelan sambungnya, "Kenapa kau menaruh perhatian khusus terhadap hal ini, apa
sangkut-pautnya dengan dirimu?"
Tiba-tiba Pho Ang-soat membalik badan, dengan tajam dia pandang Yap Kay, katanya.
"Persoalan ini tak ada sangkut-pautnya dengan kau, sejak semula sudah kuperingatkan kepadamu
jangan kau ikut mencampuri urusan ini."
Yap Kay meringis, sahutnya, "Aku hanya tertarik saja."
Pho Ang-soat menyeringai dingin, pelan-pelan dia melangkah pergi.
Tiba-tiba Ting Hun-pin berseru, "Tunggu dulu, aku ingin tanya suatu hal kepadamu."
Pho Ang-soat tidak berhenti, hanya melambatkan langkahnya.
"Mana dia?" tanya Ting Hun-pin.
"Dia siapa?" jawab Pho Ang-soat sambil menghentikan langkahnya.
"Perempuan yang selalu mengikutimu."
Paras Pho Ang-soat yang putih memucat berkerut kencang, tanpa menjawab dia berlalu dari
situ. 0oo0 11ok BAB 34. TONGCU GOLOK SAKTI
Memandangi Pho Ang-soat yang semakin menjauh, Ting Hun-pin menghela napas panjang,
katanya, "Kau benar, tidak seharusnya Cui-long mencari dirinya, sekarang malah dia yang
meninggalkannya."
Setelah geleng-geleng kepala gegetun, dia melanjutkan, "Dia masih seperti yang dulu,
hakikatnya tidak mirip manusia."
"Dia tetap adalah manusia, bukan setan."
"Kalau dia manusia, tidak sepantasnya dia meninggalkan Cui-long."
"Justru seharusnya memang begitu."
"Kenapa?"
"Dia merasa sudah banyak mengalami siksa derita, menanggung beban yang berat, bila dia
masih bersama Cui-long, akibatnya pasti banyak penderitaan yang bakal mereka alami."
"Oleh karena itu dia lebih suka orang lain yang menderita?" jengek Ting Hun-pin.
"Dia sendiri pasti sangat menderita, bagaimana pun juga dia memang harus meninggalkannya,"
kata Yap Kay menghela napas pula.
"Kenapa?"
"Kalau Cui-long boleh meninggalkan dirinya, kenapa pula dia tidak boleh?"
"Karena... karena...."
"Karena Cui-long perempuan dan dia laki, begitu maksudmu?"
"Kan tidak seharusnya laki-laki memperlakukan perempuan begitu."
"Laki-laki kan juga manusia," katanya sambil tertawa getir. "Penyakit paling besar kaum
perempuan adalah selalu menganggap kaum lelaki barang mainan, manusia yang sepantasnya
menderita dan tersiksa seumur hidup, bekerja keras, berkorban dan mampus demi kaum
perempuan."
Mendengar kata-kata ini, tak tahan Ting Hun-pin cekikikan geli, "Siapa bilang kaum lelaki tidak
sepantasnya mampus demi kaum perempuan?" Terus saja ditubruknya tubuh Yap Kay, dipeluknya
dengan kencang, lalu digigitnya kuping Yap Kay dengan gemas. Lalu katanya pula, "Sekali pun
semua kaum lelaki di dunia ini mampus semua juga tak menjadi soal bagiku, aku tak akan
menangis atau bersedih, kecuali kau tetap hidup, tetap hidup di sampingku dan berbahagia
sepanjang masa ...."
Angin berhembus kencang. Kembali dia seorang diri.
Dimanakah perempuan yang mengikut di belakangnya itu"
Pelan-pelan Pho Ang-soat beranjak ke depan, ia tahu di belakangnya sudah tidak ada yang
mengikutinya, tak ada lagi perempuan di belakangnya yang berjalan dengan kepala tertunduk.
Dia sudah biasa menyendiri, tapi sekarang terasa hatinya kosong, seakan-akan kehilangan
sesuatu. Ada kalanya ingin dia menengok sekejap ke belakang.
Dimanakah dia sekarang"
Apa yang sedang dilakukannya sekarang"
Sedang menangis seorang diri"
Atau sudah pergi dengan lelaki lain"
Kembali Pho Ang-soat merasa hatinya sakit sekali, seperti ditusuk-tusuk jarum.
Kini dia telah meninggalkannya, tidak seharusnya masih memikirkannya, dia pun tidak
seharusnya menderita lagi.
Tapi sekarang justru dia selalu memikirkannya, rela menanggung derita.
Pada dasarnya manusia mempunyai sifat suka menyiksa diri sendiri. Dia bisa menyiksa orang
lain, tetapi mengapa pula harus menyiksa diri sendiri"
Walau dia bisa bersembunyi di tempat yang tak bisa ditemukan perempuan itu. namun dia
sendiri juga akan menderita oleh karenanya.
Di kala seorang diri, terkadang Pho Ang-soat suka mengucurkan air mata. Sekarang, belum lagi
ia mengucurkan air mata, didengarnya isak tangis seseorang. Isak tangis seorang laki-laki.
Suara tangisannya keras dan memedihkan hati, jarang ada lelaki menangis secara demikian,
seakan suami yang ditinggal mati istrinya.
Walau Pho Ang-soat tidak suka mencampuri urusan orang lain, tak urung dia merasa heran
juga. Tentu dia tidak akan ke sana menengoknya lebih-lebih bertanya kepada orang itu mengapa
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis. Suara tangisan berasal dari dalam sebuah hutan, tapi dia justru berjalan keluar menjauhi hutan.
Tapi pada saat itulah ia dengar orang itu menangis sambil sesambatan tiada hentinya.
"Pek-tayhiap, mengapa kau mati" Siapakah yang telah mencelakai kau" Mengapa kau tidak
memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi?"
Ketika mendengar perkataan itu, mendadak Pho Ang-soat menghentikan langkah dan berbalik
masuk hutan badan.
Dilihatnya seorang lelaki berbaju berkabung dari kain belacu sedang berlutut di dalam hutan, di
hadapannya terdapat sebuah meja kecil di atas meja terletak orang-orangan dan kuda-kudaan dari
kertas, selain itu tampak pula sebilah golok dari kertas putih, hanya bagian gagangnya saja yang
diwarnai hitam.
Lelaki pertengahan umur itu bertubuh kekar dan tegap, dari rona mukanya menunjukkan
kekerasan hatinya, seorang lelaki yang tegar dan tidak gampang menangis.
Tetapi mengapa sekarang dia menangis dengan begitu memilukan"
Tampak lelaki itu sedang membakar benda-benda yang terbuat dari kertas di atas meja itu,
matanya masih mengembeng air mata.
Pho Ang-soat berjalan menghampiri, berdiri di sampingnya dan mengawasi gerak-geriknya
dengan tenang. Orang itu tidak berpaling, sibuk mengawasi benda-benda yang dibakarnya, air mata masih
bercucuran membasahi pipinya. Dia mengambil secawan arak dan disiramkan di atas api, lalu
sisanya ditenggak habis.
"Pek-tayhiap," dia bergumam, "aku tak punya apa-apa yang dapat dipersembahkan kepadamu,
semoga di alam baka arwahmu memperoleh ketenangan Belum selesai dia bergumam, air mata
kembali bercucuran, tangisan bertambah sedih.
Menanti lelaki itu menghentikan tangisannya, baru Pho Ang-soat menegur, "He, siapa yang kau
tangisi?" Lelaki itu terkejut dan berpaling, dipandangnya Pho Ang-soat dengan terkesima. Setelah raguragu
sejenak, ia pun menyahut, "Aku menangisi lelaki sejati yang tiada taranya di dunia ini,
pendekar besar yang termashyur di kolong langit, sayang kalian anak-anak muda tidak tahu
siapakah dia."
Jantung Pho Ang-soat berdebar keras, ia berusaha mengendalikan gejolak perasaannya.
Setelah merandek sejenak, tanyanya pula, "Lalu kenapa kau tangisi?"
"Karena dialah tuan penolong hidupku, tidak pernah kuterima budi kebaikan orang lain kecuali
dia seorang. Dia telah menyelamatkan jiwaku."
"Cara bagaimana dia telah menyelamatkan jiwamu?"
Setelah menghela napas panjang, kata lelaki itu, "Dua puluh tahun lalu, sebenarnya aku adalah
seorang piau-su, waktu itu aku sedang mengawal barang kawalan yang berharga melewati tempat
ini" "Di tempat ini?" tukas Pho Ang-soat.
Lelaki itu manggut-manggut, lalu ia melanjutkan penuturannya, "Karena tanggung jawab
pengawalan, maka aku ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuan, namun sampai di tempat ini
aku lupa memberitahukan kepada penguasa wilayah ini, penguasa Ho-han-ceng, yaitu Si Bu."
"Jadi semua orang yang lewat di tempat ini harus meminta izin dahulu kepadanya?"
"Ya, begitulah, setiap orang yang lewat harus menyambanginya, minum arak di rumahnya dan
menghaturkan sedikit upeti kepadanya, kalau tidak, maka hal ini merupakan penghinaan bagi Si
Bu." Bicara sampai di sini sorot matanya merah membara, mengunjuk kemarahan yang berkobarkobar,
setelah tertawa dingin, ia melanjutkan, "Si Bu adalah penguasa daerah ini, maka tiada
orang berani mencari gara-gara kepadanya."
"Jadi kau telah menyinggung perasaannya?"
"Betul, oleh karena itu dengan membawa kampak gedenya dia mencari gara-gara kepadaku."
"Apa yang dia kehendaki?"
"Dia suruh aku meninggalkan barang kawalan, kemudian menyuruhku mengundang pemilik
Piaukiok untuk berkunjung ke Ho-han-ceng dan meminta maaf kepadanya."
"Kau tidak mau?"
Kembali lelaki itu menghela napas, sahutnya,- "Kalau hanya untuk meminta maaf sih bukan
masalah, tapi barang kawalan itu kan harus diantar tepat waktu, kalau tidak, bagaimana papan
nama perusahaan akan dapat kami tegakkan."
Setelah berhenti sejenak dan membusungkan dada, ia pun melanjutkan, "Apalagi aku, Tio Tayhong,
jelek-jelek juga sudah punya nama, tentu saja aku menjadi tak tahan menghadapi
perlakuannya itu."
"Maka kalian bertempur?"
Sekali lagi Tio Tay-hong menghela napas, tuturnya pula, "Ai, memang permainan kampak
gedenya itu luar biasa hebatnya, aku memang bukan tandingannya. Dalam keadaan marah besar,
dia hendak membacok aku dengan kampaknya itu, untung saja pada saat itu ada seseorang yang
mencegahnya, dia segera turun tangan menghalangi."
Bicara sampai di sini, rona mukanya sedikit mengunjuk rasa senang, katanya kemudian.
"Setelah mengetahui duduknya perkara, orang yang telah menolongku itu memaki Si Bu kalangkabut,
bahkan menyuruh Si Bu segera melepas diriku."
"Lalu?"
"Tentu saja Si Bu tidak mandah terima dicaci-maki, dia pun turun tangan, namun di hadapan
penolongku itu kampak gedenya itu seakan-akan hanya mainan anak-anak saja."
Sekali lagi Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang ....
Kemali Tio Tay-hong melanjutkan, "Selama hidup belum pernah aku menyaksikan seorang yang
mempunyai kepandaian begitu lihai, seorang yang gigih membela kebenaran dan keadilan,
sayang...."
"Sayang bagaimana?" tanya Pho Ang-soat.
"Sayang, akhirnya pendekar besar itu harus wafat dalam keadaan tidak jelas oleh siasat busuk
kaum kurcaci dunia persilatan," kata Tio Tay-hong sedih.
Air matanya kembali jatuh berlinang membasahi wajahnya, ia melanjutkan kembali katakatanya,
"Sayang sekali dimanakah letak kuburan pendekar besar itupun tidak kuketahui, oleh
karena itu setiap tahun bila tiba saatnya ketika peristiwa itu terjadi, aku pun datang kemari untuk
bersembahyang bagi arwahnya, tiap kali teringat akan kegagahannya di masa lalu, teringat
kebaikan-kebaikan yang telah ia berikan kepadaku, aku selalu tak kuasa menahan diri dan
menangis."
Pho Ang-soat mengepal kencang tangannya. "Siapakah namanya?" tanyanya.
"Sekalipun namanya kusebutkan juga belum tentu kau ketahui, apalagi kaum muda seperti
kalian," kata Tio Tay-hong sedih.
"Coba kau katakan."
"Dia she Pek ...." jawab Tio Tay-hong ragu-ragu.
"Si golok sakti Pek-tayhiap?"
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Tio Tay-hong agak terperanjat.
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaan itu, tangannya masih mengepal kencang, katanya
lagi, "Sesungguhnya dia manusia macam apa?"
"Sudah kukatakan tadi, dia adalah seorang lelaki sejati berbudi luhur dan arif bijaksana, dia
seorang Enghiong Hohan yang luar biasa selama seratus tahun belakangan ini."
"Apakah karena dia telah menolongmu, maka kau mengatakan demikian?"
Dengan wajah bersungguh-sungguh Tio Tay-hong menjawab, "Sekalipun dia tidak menolongku,
aku tetap akan berkata demikian. Manusia mana di dunia ini yang tidak mengetahui nama si golok
sakti Pek-tayhiap" Siapa pula yang tidak kagum kepadanya?"
"Tapi..."
"Hanya manusia jahat, kaum laknat berhati buas dan manusia tak tahu aturan saja yang benci
kepadanya, sebab Pek-tayhiap adalah seorang yang benci segala macam kejahatan, dan lagi dia
berjiwa pendekar, bila bertemu suatu kejadian yang tidak adil, dia pasti akan ikut campur."
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Misalnya Si Bu, sudah pasti dia amat membenci
dirinya, sudah pasti dia akan mengucapkan kata-kata busuk di belakangnya, tapi...."
Perasaan Pho Ang-soat yang sudah dingin, tiba-tiba panas kembali.
Apa yang kemudian dikatakan Tio Tay-hong boleh dibilang sama sekali tidak terdengar lagi
olehnya, hati kecilnya tiba-tiba saja diliputi napsu membalas dendam, bahkan perasaan ini jauh
lebih hebat daripada sebelumnya.
Akhirnya dia mengerti, sebenarnya ayahnya manusia macam apa.
Sekarang dia sudah yakin, membalas dendam bagi ayahnya adalah tindakan benar, walau
harus mengorbankan segalanya.
Terhadap orang-orang yang ikut membunuh ayahnya, dia semakin benci. Terutama terhadap
Be Khong-cun! Dia bersumpah hendak mencari Be Khong-cun sampai ketemu! Dia bersumpah tak akan
mengampuni jiwa pembunuh yang melakukan pembunuhan terhadap ayahnya.
Sekujur badannya gemetar keras saking gusarnya, rasa dendamnya menyala-nyala.
Dengan terperanjat Tio Tay-hong memandangnya, ia tidak habis mengerti apa sebabnya
pemuda itu berubah begitu secara tiba-tiba.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Pernahkah kau dengar tentang Be Khong-cun?"
Tio Tay-hong tidak menjawab, hanya mengangguk.
"Tahukah kau, sekarang dia berada dimana?" tanya Pho Ang-soat lagi.
Tio Tay-hong menggelengkan berulang kali, sementara sorot matanya dialihkan dari wajahnya
ke arah golok yang berada dalam genggamannya itu.
Golok hitam, sarung golok hitam dan gagang golok hitam pula.
Golok yang tak terlupakan oleh Tio Tay-hong untuk selamanya ....
Tiba-tiba dia melompat bangun dan berseru tertahan. "Kau ... kau ... apakah kau adalah ...."
"Ya, memang akulah orangnya!" jawab Pho Ang-soat.
Dia pun tidak berucap lagi, pelan-pelan membalikkan badan dan beranjak keluar hutan.
^?"?^ Angin berhembus kencang.
Dengan termangu-mangu Tio Tay-hong memperhatikan ke arahnya, ia pun beranjak keluar,
memburu ke arah Pho Ang-soat dan berlutut di hadapannya.
"Pek-tayhiap menaruh budi kebaikan yang tinggi kepadaku," teriaknya, "walaupun dia orang tua
sudah meninggal, tapi kau ... kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi
kebaikan ini."
"Tidak usah."
"Tapi aku...."
"Anggap saja apa yang barusan kau katakan kepadaku sebagai balas budi kebaikan yang
pernah kau terima."
"Tapi tadi tak kukatakan aku tak tahu kabar tentang orang she Be itu."
"Kau?"
"Sekarang walaupun aku sudah berhenti bekerja sebagai Piausu, tapi teman-temanku di masa
lalu masih banyak sekali, banyak pula di antara mereka yang masih melakukan perjalanan sudah
pasti mereka akan lebih tajam pendengarannya daripada aku, mereka pasti akan mencarikan
berita untuk kau."
Pho Ang-soat menundukkan kepala, memandang golok dalam genggamannya.
Kemudian dia bertanya, "Kau tinggal dimana?"
^?"?^ Rumah itu amat sederhana, tapi bersih dan rapi, di atas dinding ruangan yang berwarna putih
bersih tergantung sebuah lukisan.
Lukisan seorang yang tidak mirip manusia, lebih menyerupai dewa. Itulah lukisan seorang lelaki
setengah umur berwajah putih bersih tanpa jenggot dan bermata tajam, dia sedang
mendongakkan kepala berdiri di luar hutan, tubuhnya tegap.
Dia mengenakan jubah berwarna merah, sebilah golok tersoreng di pinggangnya.
Golok berwarna hitam.
Di depan lukisan terdapat sebuah meja sembahyangan, di atas meja tampak sesajian, sedang
pada papan nama yang terbuat dari kayu putih tertera beberapa huruf: "Tempat arwah In-kong
Pek-tayhiap".
Di sinilah Tio Tay-hong berdiam.
Tio Tay-hong memang seseorang yang mengerti bagaimana cara berterima kasih kepada orang
lain, dia memang seorang laki sejati yang tahu diri.
Sekarang dia sedang keluar rumah mencari kabar buat Pho Ang-soat.
Sedang Pho Ang-soat sendiri sedang duduk di tepi meja sambil mengawasi lukisan ayahnya.
Di tangannya tergenggam sebilah golok yang sama, golok hitam bersarung dan bergagang
hitam. Sudah empat hari, setiap hari dia datang ke situ.
Selama empat hari ini, setiap hari dia hanya duduk termenung di sana, duduk termangu-mangu
sambil mengawasi lukisan ayahnya.
Sekujur tubuhnya dingin, tapi darah yang mengalir panas dan mendidih.
"Dia seorang lelaki sejati yang arif bijaksana, pendekar berbudi luhur, seorang Enghiong Hohan
yang luar biasa". Kata-kata ini sudah cukup baginya.
Entah beberapa banyak penderitaan yang harus dialami, entah berapa besar pengorbanan yang
harus diberikan, ucapan ini sudah lebih dari cukup.
Dia tak boleh membiarkan arwah ayahnya di alam baka menganggap dia seorang anak yang
tak bersemangat dan tidak memiliki keberanian ....
Dia harus mencuci bersih dendam kesumat ini, walau harus membayar dengan mahal.
Malam sudah menjelang, dia memasang lampu dan duduk termenung seorang diri di bawah
lentera. Selama beberapa hari ini, dia hampir melupakan Cui-long, tapi bila malam sudah tiba, di tengah
keheningan yang mencekam dan memandang sinar lentera yang bergoyang-goyang, seakan-akan
dia telah menyaksikan kerlingan mata Cui-long.
Sambil mengertak gigi, dia berusaha tidak memikirkan perempuan itu.
Berada di depan lukisan ayahnya, berpikir tentang hal itu adalah tabu, memalukan.
Pada saat itulah dari luar pintu terdengar suara langkah kaki orang.
Lorong dimana rumah itu berada amat sepi dan lenggang, hanya beberapa rumah saja di
sepanjang gang sempit itu, kecil kemungkinan orang berkunjung ke rumah itu.
Ternyata yang datang adalah Tio Tay-hong, pemilik rumah.
Pho Ang-soat segera bertanya, "Sudah ada beritanya?"
Tio Tay-hong menunduk dan menghela napas panjang, ia tidak berkata apa-apa.
Pho Ang-soat tidak menantikan jawabannya lagi, dari mimik mukanya yang murung dan sedih,
ia telah memperoleh jawaban.
Angin di luar jendela berhembus kencang, daun-daun rontok ke tanah seolah-olah suara orang
yang sedang menghela napas.
Pelan-pelan Pho Ang-soat bangkit berdiri, kemudian katanya, "Kau tah usah sedih, aku tak akan
menyalahkan dirimu."
"Kau ... kau akan pergi?" tanya Tio Tay-hong sambil mengangkat kepala.
"Aku sudah menunggu selama empat hari."
"Sekalipun kau hendak pergi, sepantasnya kalau menunggu sampai besok pagi," ucap Tio Tayhong
sambil menggenggam kencang tangannya.
"Kenapa?"
"Karena malam nanti ada orang yang akan berkunjung kemari."
"Siapa?"
"Seorang manusia aneh."
Pho Ang-soat berkerut kening, namun ia tidak berkata-kata.
Tio Tay-hong kelihatan semakin gembira, semakin bersemangat.
"Bukan cuma aneh, malah boleh dibilang orang sinting, tapi dia adalah orang sinting yang
paling tajam pendengarannya."
"Darimana kau bisa tahu kalau dia akan datang kemari?" tanya Pho Ang-soat ragu-ragu.
"Dia sendiri yang mengatakan."
"Kapan dia berkata?"
"Tiga tahun berselang!"
Sekali lagi Pho Ang-soat mengerut kening.
Tio Tay-hong segera berkata lagi, "Sekalipun diucapkan pada tiga puluh tahun berselang pun,
aku tetap percaya hari ini dia pasti akan datang, sekalipun ada orang memenggal kakinya, dia pun
akan merangkak datang kemari."
"Andaikata dia mati?" tanya Pho Ang-soat dingin.
"Dia pasti akan menyuruh orang menggotong jenazahnya kemari!"
"Kau begitu percaya kepadanya?"
"Aku memang sangat mempercayainya, sebab belum sekali pun dia ingkar janji."
Pelan-pelan Pho Ang-soat duduk kembali di kursi.
Tio Tay-hong bertanya lagi, "Kau selamanya tak pernah minum arak?"
Pho Ang-soat menggeleng kepala berulang kali, lamat-lamat dirasakan hatinya amat sakit.
Tio Tay-hong sama sekali tidak melihat penderitaannya ini, malah ia berkata lagi sambil
tertawa, "Tapi si edan itu justru seorang setan arak, paling tidak harus menyediakan dua guci arak
baginya." "Kuharap kedua guci arak itu tak ada yang meneguknya lebih dahulu," sambung Pho Ang-soat
dingin Arak telah diletakkan di atas meja, dua guci banyaknya.
Malam pun makin semakin kelam.
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara kentongan, sudah mendekati tengah malam.
Tengah malam sudah lewat, namun belum juga ada yang datang.
Tio Tay-hong masih duduk di sana dengan tenang, perasaan gelisah atau cemas sedikit pun tak
nampak. Dia memang sangat mempercayai sahabatnya itu.
Pho Ang-soat juga duduk tak bergerak, dia pun tidak bertanya apa-apa lagi.
Akhirnya Tio Tay-hong lah yang memecah keheningan, ujarnya sambil tersenyum, "Dia bukan
cuma seorang sinting, juga seorang setan arak, bahkan seorang perampok yang bekerja sendiri,
meski begitu belum pernah kujumpai seorang yang lebih bisa dipercaya daripada dirinya ...."
Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, hanya mendengarkan.
Kembali Tio Tay-hong berkata, "Kendati dia seorang perampok ulung, namun seorang
perampok budiman yang suka menolong kaum miskin, tiap kali memperoleh hasil rampokan, dia
selalu membagikan kepada fakir miskin, seringkah dia sendiri malah tak kebagian."
Pho Ang-soat tidak heran, ia pernah menjumpai orang macam begini. Konon Yap Kay termasuk
jenis yang ini.
"Dia she Kim orang-orang memanggilnya Kim si sinting," Tio Tay-hong menerangkan, "lantaran
begitu tersohornya nama Kim si sinting, lambat-laun orang lupa pada nama aslinya."
Pho Ang-soat seakan tidak mendengar ucapannya. Pada saat itulah terdengar berkumandang
suara langkah dari lorong.
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Langkah kaki itu amat berat, langkah kaki dua orang.
Tio Tay-hong mendengar pula, tapi segera dia menggeleng kepala berulang kali.
"Yang datang sudah pergi pasti bukan dia," katanya.
"O!" "Sudah kukatakan tadi, dia adalah seorang perampok yang berkerja sendiri, selamanya luntanglantung
seorang diri." Setelah tertawa, ia melanjutkan, "Sebagai perampok ulung, tak mungkin
suara langkah kakinya berat "
Pho Ang-soat merasa uraian ini masuk akal, tapi langkah kaki itu justru berhenti di depan
rumah ini. Tio Tay-hong mengerut dahi. Terdengar ada orang mengetuk pintu.
Kembali Tio Tay-hong bergumam dengan kening berkerut, "Sudah pasti bukan dia, selamanya
dia tak pernah mengetuk pintu."
Tapi mau tak mau dia harus membuka pintu Di depan pintu benar-benar berdiri dua orang, dua
orang yang menggotong sebuah peti mati besar
0oo0 Malam sudah makin kelam, bintang bertaburan di angkasa.
Cahaya bintang yang redup menyoroti wajah dua orang itu.
Paras mereka biasa saja dan bersahaja, pakaian yang dikenakan juga kain kasar dengan sepatu
rumput. Siapa pun yang melihat kedua orang itu, akan menduga mereka adalah kuli-kuli panggul kasar.
"Kau she Tio?" tanya mereka.
Tio Tay-hong manggut-manggut.
"Ada orang menyuruh kami mengantar peti mati ini untukmu."
Mereka meletakkan peti mati itu dalam ruangan, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata
pun segera membalik badan dan tinggal pergi, seakan-akan kuatir kepergian mereka kurang
cepat. Sebetulnya Tio Tay-hong ingin mengejar keluar, tapi setelah memandang peti mati itu sekejap,
niatnya itu diurungkan.
Dia tetap berdiri di tempat, memandang peti mati itu dengan wajah termangu-mangu.
Air mata seolah-olah meleleh keluar dari matanya, dengan sedih dia berkata, "Telah kukatakan,
mati pun dia akan menyuruh orang menggotong peti matinya kemari."
Pho Ang-soat merasakan hatinya seakan-akan tenggelam.
Meski dia tidak menaruh harapan terlalu besar pada persoalan ini, bagaimana pun juga toh dia
mengharap juga setitik harapan. Tapi sekarang harapannya kembali buyar.
Menyaksikan Tio Tay-hong bersedih bagi kematian temannya, hatinya ikut mendelu.
Sayang dia tak pernah menghibur orang, sekarang dia hanya ingin minum arak, secara tiba-tiba
ingin minum arak .... Arak terletak di atas meja.
Tio Tay-hong menghela napas sedih, katanya tiba-tiba, "Tampaknya kedua guci arak ini benarbenar
tak ada yang minum."
"Kalau tak ada yang minum, itu baru aneh," tiba-tiba terdengar seseorang berteriak.
Ternyata suara itu berasal dari dalam peti mati.
Menyusul kemudian, terdengar "Blamm!", penutup peti mati terbuka dan seseorang melompat
keluar dari dalam peti mati itu. Seorang lelaki berwajah penuh cambang, bertelanjang dada dan
mengenakan celana hitam bersulam bunga berwarna merah, sepatunya masih baru.
Sambil tertawa terbahak-bahak Tio Tay-hong segera berseru, "Kau memang benar-benar
sinting, aku sudah tahu kalau kau tak akan mampus."
"Kalau ingin mampus, paling tidak juga harus menghabiskan dulu kedua guci arak ini," sahut
Kim si sinting.
Begitu melompat ke depan, segera dia hancurkan penutup guci arak dan segera meneguknya
dengan lahap. Pho Ang-soat duduk di sana, tapi sekejap pun dia tidak memandang ke arahnya, seakan-akan
dalam ruangan itu tiada kehadiran orang ini.
Tampaknya orang ini memang rada sinting.
Tapi Pho Ang-soat tidak marah, dia sendiri pun seringkali tidak memandang ke arah orang lain.
Dalam waktu singkat Kim si sinting sudah menghabiskan setengah guci arak itu, kemudian baru
berhenti dan menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
arak bagus, benar-benar arak bagus, hitung-hitung tidak sia-sia kedatanganku kali ini."
"Kalau ingin datang, datang saja kemari, mengapa harus bermain macam begini?" seru Tio Tayhong.
"Siapa yang bermain setan dengan kau?" seru Kim si sinting dengan mata melotot.
"Kalau bukan lagi bermain setan, mengapa kau bersembunyi di dalam peti mati dan menyuruh
orang menggotong kemari?"
"Karena aku malas berjalan sendiri."
Jawaban bagus, juga sinting, tapi ketika mengucapkan kata-katanya ini, sorot matanya seakanakan
memperlihatkan perasaan murung dan takut.
Oleh karena itu cepat dia mengambil guci araknya dan kembali meneguk sampai habis.
Tio Tay-hong segera menarik tangannya.
"Mau apa kau?" seru Kim si sinting, "apakah tidak rela kuminum arakmu ini?"
Tio Tay-hong menghela napas panjang, katanya kemudian, "Kau tak usah mencoba mengelabui
aku, aku tahu kau pasti sedang menghadapi kesulitan."
"Kesulitan apa?"
"Kau pasti telah menyalahi seseorang, untuk menghindari pengejarannya, maka kau
menyembunyikan diri dalam peti mati."
Kim si sinting melotot, teriaknya, "Mengapa aku harus bersembunyi dari kejaran orang" Aku
Kim si sinting pernah takut kepada siapa?"
Terpaksa Tio Tay-hong menutup mulutnya, dia tahu tak ada untungnya berdebat masalah ini
dengan seorang sinting, sekali pun Kim si sinting menghadapikesulitan yang bagaimana pun
besarnya, dia tak akan menunjukkan hal itu di depan orang.
Akhirnya dia baru teringat dalam ruangan masih ada orang ketiga, maka dengan wajah berseri
katanya, "Ah, benar, aku lupa memperkenalkan kalian, temanku ini adalah ...."
"Dia temanmu, bukan temanku?" tukas Kim si sinting cepat.
Belum selesai berkata, mulutnya sudah disumpa guci arak.
Terpaksa Tio Tay-hong tertawa getir, katanya kemudian dengan nada minta maaf, "Sejak tadi
sudah kukatakan, dia adalah seorang sinting."
"Sinting pun ada baiknya juga," kata Pho Ang-soat.
Mendadak Kim si sinting meletakkan guci araknya keras-keras ke atas meja, kemudian dengan
mata melotot serunya, "Apa baiknya orang sinting?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, bahkan menggubris pun tidak.
"Kau anggap orang sinting itu baik, jangan-jangan kau sendiri pun sinting?" seru Kim si sinting
lagi. Pho Ang-soat masih saja membungkam, sama sekali tidak menggubrisnya.
Mendadak Kim si sinting mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, orang
ini benar-benar menarik, benar-benar menarik...."
Diam-diam Tio Tay-hong menarik ujung bajunya, lalu tertawa paksa katanya, "Mungkin kau
belum tahu siapakah dia, dia adalah ...."
"Memangnya aku tidak tahu siapa dia?" tukas Kim si sinting dengan mata melotot.
"Kau tahu?"
"Begitu melangkah masuk rumah ini, aku sudah tahu siapa dia."
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Tio Tay-hong kaget dan tercengang.
"Sekalipun aku tidak kenal orangnya, pasti akan kukenali dari goloknya itu, aku Kim si sinting
sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia persilatan, kau anggap aku hanya luntang-lantung
saja tanpa hasil?"
Tio Tay-hong segera menarik muka dan berseru, "Kalau sudah kau ketahui, tidak sepantasnya
bila kau bersikap begitu tak tahu adat."
"Aku ingin mencoba dirinya."
"Mencoba dirinya?"
"Orang lain mengatakan dia pun seorang aneh, aku ingin tahu dia lebih aneh atau aku yang
lebih aneh."
"Aneh dalam hal apa?"
Kim si sinting mengangkat sepasang sepatu barunya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, "Konon
dalam menghadapi persoalan dia dapat menahan diri, asal kau bukan musuh besarnya, sekali pun
kau menampar wajahnya, dia tak akan membalas."
"Dalam hal ini ada baiknya jangan kau coba-coba," kata Tio Tay-hong sambil menarik muka.
Kim si sinting segera tertawa terbahak-bahak, "Walaupun aku seorang sinting, tapi hingga
sekarang aku tetap seorang sinting, oleh karena itu aku baru dapat memperoleh banyak berita."
"Berita apa?" Tio Tay-hong segera bertanya.
Kim si sinting sama sekali tidak menggubrisnya, dia malah membalik badan dan melotot ke arah
Pho Ang-soat, tiba-tiba katanya, "Bukankah kau ingin tahu Be Khong-cun berada dimana?"
Pho Ang-soat mengepal kencang, kemudian katanya, "Kau tahu?"
"Yang kuketahui memang banyak sekali."
"Dia ... dia berada dimana?" suara Pho Ang-soat menjadi parau saking tegangnya.
Tiba-tiba Kim si sinting menutup mulut, tidak bicara lagi Tio Tay-hong segera memburu ke
depan dan memegang bahu rekannya, ujarnya, "Bila kau memang tahu, mengapa tidak kau
katakan?" "Mengapa aku harus mengatakan?" Kim si sinting balik bertanya.
"Karena dia adalah keturunan tuan penolongku, juga sahabatku." "Aku sudah bilang, dia adalah
sahabatmu, bukan temanku "
"Apakah kau bukan temanku?" seru Tio Tay-hong gusar.
"Sekarang masih, karena sekarang aku masih hidup."
"He, apa maksudmu?"
"Seharusnya kau mengerti."
"Apakah kau bakal mati bila mengatakan hal itu?"
Kim si sinting menggeleng kepala berulang kali, "Bukan begitu maksudku."
"Lalu apa maumu?"
"Ya, hanya ada satu syarat."
"Apa itu?"
"Aku minta kau pergi membunuh seseorang bagiku!"
"Membunuh siapa?"
"Membunuh seorang yang sudah tak ingin kujumpai lagi."
"Jadi kau bersembunyi dalam peti mati, karena berusaha menghindarkan diri dari
pengejarannya?"
Kim si sinting tidak menjawab, dia bungkam seribu bahasa.
"Siapa orang itu?" tanya Pho Ang-soat kemudian.
"Seseorang yang sama sekali tidak kau kenal, dengan kau tiada budi maupun dendam, juga
tiada sakit hati."
"Mengapa aku harus membunuhnya?" tanya Pho Ang-soat.
"Karena kau ingin tahu Be Khong-cun berada dimana "
Pho Ang-soat menundukkan kepala mengawasi goloknya, bila dia sedang berpikir, begitulah
sikapnya. Menyaksikan hal itu, Tio Tay-hong tak tahan bertanya pula. "Mengapa kau ingin dia membunuh
orang itu?"
"Sebab dia hendak membunuhku," jawab Kim si sinting.
"Dia mampu membunuhmu?"
"Mampu!"
"Tidak banyak orang di dunia ini yang sanggup membunuhmu?" kata Tio Tay-hong dengan
wajah berubah. "Orang yang mampu membunuhnya juga tidak banyak!" Diawasinya golok di tangan Pho Angsoat,
kemudian pelan-pelan melanjutkan, "Mungkin hanya golok ini yang mampu membunuhnya!"
Pho Ang-soat menggenggam goloknya kencang-kencang.
"Aku tahu kau tak mau pergi membunuhnya!" kata Kim si sinting lagi. "Ya, siapa yang mau
membunuh orang yang tidak dikenalnya?"
"Tapi aku harus menemukan Be Khong-cun."
"Oleh karena itu kau harus membunuhnya?"
Pho Ang-soat kembali menggenggam goloknya kencang-kencang.
Apa yang dikatakan Kim si sinting memang benar, siapa pun takkan mau membunuh orang
yang tidak dikenal.
Tapi dendam kesumat yang terukir dalam hatinya selama sembilan belas tahun bagaikan
sebatang rumput beracun yang berakar dalam hatinya. Bila dendam kesumat sudah berakar dalam
hati, maka tiada kekuatan di dunia ini yang sanggup mencabutnya.
Wajah Pho Ang-soat tetap pucat, peluh dingin bercucuran membasahi jidatnya.
Kim si sinting memandang ke arahnya, kemudian katanya, "Wan Chiu-hun juga bukan musuh
besarmu, kau sebenarnya tidak kenal dengannya, kau toh sudah membunuhnya."
Pho Ang-soat menengadah.
Dengan suara hambar Kim si sinting melanjutkan, "Siapa pun yang bermaksud membalas
dendam, dia akan membunuh lebih banyak orang, biasanya orang-orang yang terbunuh itu tidak
dikenalnya sama sekali."
Tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Darimana aku tahu setelah kubunuh dia, aku pasti akan
menemukan Be Khong-cun?"
"Karena aku yang bilang "
Apa yang telah diucapkannya selamanya tak pernah diingkari, mau tak mau Pho Ang-soat harus
percaya. Dalam keadaan terancam, orang masih ingat akan janji pertemuan tiga tahun yang lalu.
sungguh tidak mudah untuk melakukannya.
Kembali Pho Ang-soat menundukkan kepala, memandang golok di tangannya, kemudian pelanpelan
berkata, "Sekarang aku hanya ingin kau memberitahukan satu hal kepadaku."
"Hal apa."
"Dimana orang itu berada?" ucap Pho Ang-soat sepatah demi sepatah. Mencorong terang mata
Kim si sinting.
Bahkan Tio Tay-hong pun ikut mengunjukkan perasaan gembira, dia adalah teman mereka, dia
berharap mereka berdua sama-sama bisa memperoleh apa yang diharapkan.
Kim si sinting berkata, "Berjalanlah empat-lima li ke utara, di situ ada sebuah kota kecil, dalam
kota kecil itu terdapat sebuah rumah makan kecil, besok sebelum senja orang itu pasti berada di
dalam rumah makan itu."
"Kota apa" Apa pula nama rumah makan itu?"
"Dari sini menuju ke utara hanya terdapat sebuah dusun kecil, di dusun itu hanya terdapat
sebuah rumah makan, kau pasti dapat menemukannya."
"Darimana kau tahu sebelum senja besok dia pasti sudah berada disitu?"
"Aku kan sudah bilang, banyak persoalan yang kuketahui," jawab Kim si sinting sambil tertawa.
"Macam apa pula orang itu?"
Kim si sinting berpikir sebentar, lalu sahutnya, "Seorang laki-laki."
"Lelaki pun banyak macamnya."
"Lelaki aneh, asal kau bertemu dengannya, kau pasti akan tahu dia berbeda dengan orang
lain." "Berapa umurnya?"
"Seharusnya tiga-empat puluh tahunan, tapi ada kalanya kelihatan masih sangat muda, tiada
orang yang mengetahui berapa usia sesungguhnya."
"Dia she apa?"
"Kau tak usah tahu dia she apa."
"Aku harus tahu dia she apa, dengan demikian aku baru bisa bertanya kepadanya, apakah dia
memang benar-benar orang yang hendak kubunuh
"Aku menyuruh kau pergi membunuhnya, bukan menyuruh km berkenalan dengannya ...." seru
Kim si sinting.
"Jadi kau harap aku langsung membunuhnya begitu berjumpa orang itu?"
"Sebaiknya begitu, tak perlu banyak bicara dan jangan biarkan di? tahu kalau kau bermaksud
membunuhnya."
"Aku tak dapat membunuh orang dengan cara begitu."
"Harus bisa,kalau tidak, kemungkinan besar kaulah yang akan mati di tangannya." Setelah
tertawa, katanya lagi, "Bila kau mati di tangannya, siapa lagi akan membalas dendam bagi
kematian Pek-tayhiap?"
Pho Ang-soat termenung beberapa saat, kemudian pelan-pelan berkata, "Siapa pun takkan mau
membunuh orang yang tak dikenalnya "
"Kan sudah kukatakan."
"Aku sudah bersedia, tapi kan tidak boleh salah membunuh."
"Aku pun tidak mengharap kau salah membunuh."
"Paling tidak kan aku harus tahu bentuk wajah dan tubuhnya."
Kim si sinting termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian menjawab, "Orang ini
mempunyai ciri-ciri khas, setelah kau lihat tentu kau akan tahu."
"Apa ciri-cirinya!"
"Pertama, sorot matanya lain dari sorot mata orang umumnya."
"Lain bagaimana?"
"Sorot matanya seperti sorot mata binatang liar, hanya binatang liar saja yang memiliki sorot
mata semacam ini."
"Selain itu?"
"Kalau sedang makan, dia makan dengan pelan sekali, caranya mengunyah pun amat lambat,
seakan-akan untuk bersantap semangkuk nasi saja entah sampai kapan baru habis, seakan-akan
merasa sayang terhadap hidangannya yang sedang dimakan."
"Selanjutnya..."
"Bila sedang seorang diri tak pernah meneguk arak. tapi dihadapannya pasti tersedia sepoci
arak." Pho Ang-soat hanya membungkam, dia mendengarkan semua keterangan itu dengan seksama.
"Di pinggangnya selalu terselip sebatang tongkat."
"Tongkat macam apa?"
"Sebuah tongkat yang sederhana, panjangnya kurang lebih tiga kaki "
"Ia tidak membawa senjata lain?"
"Tidak."
"Tongkat itu senjatanya?"
"Ya, boleh dibilang senjata paling menakutkan yang pernah kusaksikan sepanjang hidupku."
Tiba-tiba Tio Tay-hong menimbrung sambil tertawa. "Tentu senjata itu tak akan menangkan
golokmu, belum ada senjata di dunia ini yang sanggup menandingi kehebatan golokmu itu!"
Pho Ang-soat termenung beberapa saat sambil mengawasi goloknya kemudian mendongakkan
memandang pula golok pada lukisan itu.
Dia takkan membiarkan orang memandang rendah golok ini, tak dapat ia biarkan golok ini
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada di tangan orang lain pula.
Kim si sinting sedang mengawasi wajahnya dengan seksama, kemudian ujarnya, "Sekarang
tentu kau sudah tahu manusia macam apa dirinya?"
Pho Ang-soat manggut-manggut, "Ya, dia memang seorang aneh."
"Kujamin setelah kau bunuh dirinya, takkan ada orang bersedih."
"Mungkin hanya aku." Kim si sinting segera tertawa.
"Tapi setelah kau berhasil menemukan Be Khong-cun, yang bakal susah adalah dia."
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat, lama kemudian baru berkata, "Siapa yang mengatakan
kau sinting?"
"Orang banyak."
"Mereka keliru, aku lihat kau jauh lebih sadar dari mereka "
Kim si sinting tertawa, mengangkat guci arak dan meneguk habis arak itu
Tio Tay-hong yang menyaksikan hal itu tersenyum, katanya, "Kebaikan terbesar orang ini
adalah di kala sadar dia tak akan mabuk, sebaliknya bila mabuk dia pun tak sadar ...."
0oo0 Fajar menyingsing.
Kini Kim si sinting sudah mabuk, mabuk di atas meja sambil mendengkur.
"Aku pun harus beristirahat sebentar ...." gumam Pho Ang-soat.
"Benar, hari ini kau harus memelihara kekuatanmu sebaik-baiknya."
"Apakah membunuh orang pun harus mempunyai semangat dan segar?"
"Kau harus mengerti, orang itu bukanlah seorang yang mudah dihadapi, tidakkah kau
perhatikan apa yang dikatakan Kim si sinting tadi?"
Pho Ang-soat mengawasi golok pada lukisan, tiba-tiba sekulum senyuman angkuh tersungging
di ujung bibirnya, pelan-pelan dia berkata "Tapi aku tidak percaya di dunia ini terdapat tongkat
yang mampu melawan golok ini!"
Dia memang tidak percaya.
Sewaktu Pek Thian-ih masih hidup, dia pun tidak percaya. Tapi sekarang dia sudah mati.
0oo0 BAB 35 TOKOH HEBAT ANGKATAN TUA
Orang asing tak boleh dipercaya, sebab biasanya dia adalah seorang berbahaya.
Orang ini adalah seorang asing.
Belum pernah dia melihat orang ini. juga belum pernah ia saksikan orang macam ini.
Padahal dia bukan seorang aneh.
Wajahnya tampan, bersih, seharusnya merupakan seorang yang disenangi orang banyak.
Dan lagi dia masih muda, kulitnya bersinar, hampir seluruh tubuhnya terdiri dari otot-otot yang
gempal. Dia tidak membawa sesuatu senjata yang bisa membuat orang takut.
Tapi kenyataan dia memang seorang yang menakutkan ....
Ketenangan dan kemantapannya sudah cukup menakutkan orang.
Tidak berbicara belum tentu tenang, tapi yang menakutkan justru ketenangan dan
kelembutannya. Sudah lama dia duduk di sana, bukan saja tidak bicara, juga tidak bergerak, padahal semua
orang tahu hal ini merupakan suatu pekerjaan yang amat sukar.
Dilihat dari gerak-geriknya nampak begitu santai, sekan-akan dia memang sering duduk tak
bergerak seperti itu.
Di atas meja ada arak, juga ada cawan arak. Namun sama sekali tidak dia sentuh sedikit pun.
Seolah-olah arak itu dipesan bukan untuk dirinya, melainkan dipesan untuk dilihat saja. Tapi
setiap kali dia memandang poci itu, dari balik sorot matanya yang dingin segera terpancar sinar
kelembutan. Apakah poci ini dapat membuatnya teringat seorang teman, teman yang sering dibayangkan"
Pakaian yang dikenakan adalah pakaian kasar yang amat sederhana, tapi bersih, pada ikat
pinggangnya yang berwarna sama dengan pakaian yang dikenakan, terselip sebuah tongkat
pendek. Tongkat pendek bukanlah sesuatu yang menakutkan.
Yang menakutkan justru adalah sepasang matanya.
Sepasang matanya tampak jeli dan bersinar tajam
Banyak orang yang mempunyai mata amat tajam, tapi sepasang matanya ini luar biasa
tajamnya, jauh lebih tajam dari sorot mata siapa pun.
Demikian tajamnya seakan-akan bisa menembus isi hatimu yang diliputi kegelapan.
Siapa saja yang dipandang oleh matanya itu, dia akan merasa seperti semua rahasianya telah
dilihat olehnya.
Sekarang dia telah memesan semangkuk bakmi.
Dia mulai bersantap, bersantap dengan pelan, mengunyah dengan cermat, seolah-olah
semangkuk mi yang berada dihadapannya sekarang merupakan yang terenak yang pernah
disantapnya, seakan-akan semangkuk bakmi yang merupakan bakmi terakhir yang bisa dimakan
olehnya. Tangannya yang memegang sumpit terlihat kering dan mantap, jari tangannya panjang,
kukunya digunting pendek.
Di kala ia sedang bersantap itulah, Pho Ang-soat beranjak masuk ke dalam ruangan.
Begitu masuk, segera Pho Ang-soat melihat orang ini.
Dilihatnya mata orang itu memandang ke arahnya, seolah-olah dia sudah tahu bakal ada orang
macam begini masuk kemari.
Dipandang oleh matanya itu, terasa perasaan Pho Ang-soat timbul sedikit rasa takut dan ngeri.
Belum pernah dia merasakan perasaan semacam ini.
Dia seperti merasa masuk ke dalam suatu tempat yang gelap gulita dan secara tiba-tiba
menyaksikan ada seekor serigala sedang menanti kedatangannya.
Pelan-pelan dia berjalan masuk, sengaja tidak memandang orang itu. Tangannya masih
menggenggam golok dengan kencang, siap dilolosnya.
Orang itu tetap duduk dengan santainya, sebenarnya setiap saat Pho Ang-soat dapat
mengayunkan golok memenggal kepalanya.
Dia yakin akan kecepatan goloknya.
Dia pun yakin akan serangannya, yakin akan berhasil.
Tapi kali ini tiba-tiba saja dia merasa seperti kehilangan pegangan, seakan keyakinan itu sudah
lenyap. Sekalipun orang hanya duduk santai seperti itu, tapi sebagai seorang persilatan tentu telah
mempersiapkan pertahanan, hampir tidak dijumpai titik kelemahan.
Belum pernah Pho Ang-soat menjumpai orang semacam ini.
Langkahnya amat lambat, kaki kirinya maju selangkah lebih dulu, kemudian kaki kanan baru
pelan-pelan diseret ke depan.
Dia sedang menunggu kesempatan terbaik untuk melancarkan serangan.
Orang itu masih memandang ke arahnya, tiba-tiba dia berkata, "Silakan duduk!"
Pho Ang-soat menghentikan langkahnya, seakan-akan tidak mendengar orang mempersilakan
dia untuk duduk.
Kembali orang itu menuding kursi di hadapannya dengan sumpit, katanya lagi, "Silakan duduk."
Pho Ang-soat ragu-ragu sejenak, namun akhirnya dia pun duduk di hadapannya.
"Minum arak?" tanya orang itu.
"Tidak!"
"Selamanya tak pernah minum?"
"Sekarang tidak minum."
Tiba-tiba sekulum senyuman aneh tersungging di ujung bibir orang, katanya lagi pelan,
"Sepuluh tahun sudah ...."
Pho Ang-soat hanya mendengarkan, dia tidak mengerti apa maksud ucapannya itu.
Pelan-pelan orang asing itu telah melanjutkan, "Selama sepuluh tahun ini, belum pernah ada
orang ingin membunuh aku."
Jantung Pho Ang-soat berdebar keras, seperti tambur yang dipukul bertalu-talu.
Orang itu kembali menatapnya lekat-lekat, kemudian berkata dengan hambar, "Tapi hari ini kau
datang untuk membunuhku!"
Pho Ang-soat merasa jantungnya berdebar makin keras
Dia benar-benar tidak mengerti, darimana orang bisa tahu maksud kedatangannya.
Orang itu masih mengawasinya lekat-lekat, kemudian bertanya pula, "Benar bukan?"
"Benar!"
Orang itu tertawa, "Aku pun tahu kau adalah seorang yang tidak pandai berbohong."
"Walau tidak pandai berbohong, tapi aku dapat membunuh orang."
"Berapa orang yang telah kau bunuh?"
"Tidak sedikit"
Kelopak mata orang itu berkerut kencang, pelan-pelan tanyanya lagi, "Kau merasa membunuh
orang adalah suatu pekerjaan yang menarik?"
"Bukan disebabkan hal itu."
"Lantas karena apa?"
"Aku tidak perlu memberitahu kepadamu."
Mendadak terpancar sinar mata sedih pada mata orang, sahutnya sambil menghela napas
panjang, "Benar, orang membunuh tentu mempunyai alasan dan tidak perlu diberitahukan kepada
orang lain ...."
"Darimana kau bisa tahu aku datang kemari hendak membunuhmu?" tak tahan Pho Ang-soat
bertanya. "Kau mempunyai hawa membunuh."
"Kau dapat melihatnya?"
"Hawa membunuh tak dapat dilihat dengan mata, tapi semacam orang yang dapat
merasakannya."
"Apakah kau termasuk orang jenis itu?"
"Ya, benar!"
Kembali sorot matanya dialihkan ke tempat jauh sana, kemudian melanjutkan, "Justru karena
aku mempunyai perasaan demikian, maka sampai sekarang aku masih bisa hidup."
"Sekarang kau memang masih hidup," kata Pho Ang-soat.
"Kau yakin mampu membunuhku?"
"Tiada orang yang tak bisa dibunuh di dunia ini."
"Kau yakin akan berhasil?"
"Bila tidak yakin, aku tak akan kemari."
Lagi-lagi orang itu tertawa. Suara tawanya misterius dan aneh seakan-akan segulung angin
hangat yang berhembus di atas bukit bersalju dan melumerkan bunga-bunga salju.
Katanya lagi sambil tersenyum, "Aku menyukai orang macam kau."
"Tapi aku tetap akan membunuhmu."
"Mengapa?"
"Tiada alasan."
"Masakan tanpa alasan lantas ingin membunuh orang?"
Dari balik sorot mata Pho Ang-soat segera terpancar sinar penderitaan, katanya kemudian,
"Sekalipun ada alasan, aku juga tak dapat memberitahukan kepadamu."
"Apakah kau bersikeras hendak membunuhku?"
"Benar."
"Sayang ...." orang itu menghela napas panjang.
"Sayang" Apa yang perlu disayangkan?"
"Sudah lama aku tidak membunuh orang."
"O." "Karena aku punya prinsip hidup, bila kau tak ingin membunuhku aku pun tak akan membunuh
kau " "Bila aku bersikeras hendak membunuhmu?"
"Terpaksa kau harus mati."
"Mungkin yang mati adalah kau."
"Ya, mungkin ...."
Berbicara sampai di situ, dia baru memandang golok dalam genggaman Pho Ang-soat,
kemudian katanya lagi, "Tampaknya golokmu amat cepat?"
"Ya, cukup cepat."
"Bagus sekali!"
Mendadak ia melanjutkan kembali melahap mi, dia makan sangat pelan, mengunyah dengan
seksama. Tangannya yang sebelah memegang sumpit, tangan yang lain memegang mangkuk.
Tampaknya asal Pho Ang-soat mencabut goloknya, maka mata golok segera akan membelah
batok kepalanya.
Pada hakikatnya dia sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menangkis ancaman itu.
Tapi golok Pho Ang-soat masih berada dalam sarungnya, sarung golok hitam.
Ia tidak mencabut goloknya karena di hadapan orang itu, tiba-tiba saja dia tidak mengetahui
serangan itu harus diayunkan ke arah mana.
Berada di hadapan orang itu, dia seperti terhadap oleh selapis dinding baja yang tak tertembus.
Orang itu tidak lagi memandang ke arahnya, pelan-pelan dia berkata lirih "Membunuh orang
bukan suatu pekerjaan yang menarik, dibunuh lebih-lebih tidak menarik lagi."
Pho Ang-soat tidak menjawab, bungkam dalam seribu bahasa. Sebab orang itu seperti bukan
lagi bercakap-cakap dengan dirinya.
Kembali orang itu berkata, "Aku tidak suka kepada orang yang ingin membunuh tanpa alasan,
terutama orang muda, sebagai orang muda tidak seharusnya memiliki kebiasaan semacam ini."
"Aku bukan datang kemari untuk mendengar nasehatmu," seru Pho Ang-soat cepat
"Golok toh sudah berada di tanganmu, setiap saat kau dapat mencabutnya."
Pelan-pelan dia melanjutkan kembali santapannya menghabiskan bakmi yang masih tersisa,
sikapnya masih tetap santai, enteng dan leluasa.
Tapi sekujur badan Pho Ang-soat, semua otot dan syarafnya seakan-akan menegang keras.
Dia tahu, sekarang sudah tiba saatnya untuk mencabut golok melancarkan serangan.
Bila golok itu sudah dicabut maka satu di antara mereka berdua pasti akan roboh.
Tiba-tiba saja rumah makan itu berubah menjadi kosong melompong.
Semua penghuni diam-diam sudah mengeluyur keluar dari situ, bahkan orang yang memasang
lentera pun tak ada.
Cahaya matahari senja yang remang-remang mencorong masuk lewat jendela....
Waktu itu benar-benar merupakan senja yang mengenaskan.
Pho Ang-soat duduk tak berkutik di tempatnya, tubuhnya terasa kosong. Seluruh kekuatan dan
tenaga yang dimilikinya telah dihimpun dalam lengan kanannya.
Gagang golok hitam sudah berada dalam genggamannya, otot-otot tangannya yang
menggenggam golok sudah merongkol.
Sebaliknya tongkat orang itu masih terselip di pinggangnya ... tongkat sederhana, terbuat dari
kayu. Pho Ang-soat hendak mencabut golok!
0oo0 Tiada cahaya golok.
Golok belum sempat dicabut.
Ketika Pho Ang-soat siap mencabut goloknya, mendadak dari luar pintu melayang masuk
seseorang, ketika ia berkelit ke samping, orang itu segera terjatuh di sampingnya.
Tampak seorang lelaki tinggi besar, bertelanjang dada dan mengenakan celana hitam bersulam
bunga berwarna merah.
Sepatu larasnya yang masih baru tinggal sebuah saja yang masih dikenakan.
Kim si sinting!
Si perampok tunggal yang sinting dan aneh kini terkapar di tanah seperti seekor cacing,
wajahnya mengunjukkan rasa kesakitan yang hebat tubuhnya meringkuk, untuk merangkak
bangun pun tak mampu
Mengapa secara tiba-tiba dia pun kemari" Mengapa pula bisa berubah menjadi begini rupa"
Dalam keadaan begini, bagaimana mungkin Pho Ang-soat bisa membunuh orang"
Orang itu telah menghabiskan bakminya, sumpit telah diletakkan ke meja, terhadap semua
perubahan yang secara tiba-tiba, wajahnya sama sekali tidak mengunjuk rasa kaget atau
tercengang. Bahkan berkedip pun tidak, sekarang dia sedang memandang ke arah pintu.
Dari luar pintu berjalan masuk seseorang. Yap Kay! Si sukma gentayangan.
Orang itu memandang ke arah Yap Kay, dari balik sorot matanya yang dingin terpancar keluar
sinar kehangatan.
Yap Kay menatap orang itu, sikapnya amat menghormat. Belum pernah dia bersikap begini
hormat terhadap siapa pun.
Tiba-tiba orang itu bertanya, "Dia adalah sahabatmu?"
"Benar."
"Orang macam apakah dirinya?"
"Seorang yang gampang ditipu orang."
"Apakah seseorang yang setiap saat bisa membunuh orang."
"Tidak."
"Jadi dia mempunyi alasan untuk membunuh aku?"
"Ya, ada."
"Apakah suatu alasan yang baik?"
"Bukan, tapi alasannya pantas untuk dimaafkan ...."
"Baik, sudah cukup."
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan tertawa ke arah Yap Kay, katanya, "Aku tahu kau suka menjamu
orang, hari ini boleh kau traktir aku."
"Tentu," ucap Yap Kay sambil tertawa.
Orang itu lalu beranjak keluar warung
"Tunggu dulu!" mendadak Pho Ang-soat membentak.
Orang itu sama sekali tidak menggubris, ia berjalan sangat pelan, seakan-akan tidak ada
urusan di dunia ini yang mampu membuatnya berjalan cepat.
Ting Hun-pin berdiri di luar pintu.
Ketika menyaksikan orang berjalan di sampingnya, mendadak dia berseru, "Kuhadiahkan
kelintingan ini untukmu."
Selesai bicara, tiga buah kelintingan yang melingkar di pergelangan tangannya telah meluncur
ke depan. Kelintingan adalah benda begitu digoyang mudah mengeluarkan bunyi nyaring, tapi begitu
meluncur ke depan tadi, kelintingan itu justru tidak berbunyi, sebab gerakan luncur kelintingan itu
terlampau cepat.
Ketiga buah kelintingan itu segera menghajar punggung orang.
Orang itu sama sekali tidak berpaling, juga tidak bermaksud menghindarkan, dia pun tidak
menggerakkan tangan menyambut datangnya ancaman
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia masih meluncur ke depan, sepintas gerakannya tampak seperti tidak terlampau cepat, tapi
anehnya, ketiga buah keliningan yang meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi itu justru tak
sanggup menghantam punggungnya, benda itu selalu berada empat-lima inci di belakang
punggungnya. Sekejap saja dia sudah berjalan ke depan beberapa tombak ...
Kelintingan yang semula tidak berbunyi kini mulai berbunyi dan akhirnya satu per satu jatuh ke
tanah. Kelintingan memancarkan cahaya keemasan di atas tanah, namun orang aneh itu sudah lenyap.
Ting Hun-pin tertegun menyaksikan kejadian itu.
Pho Ang-soat juga tertegun.
Sebaliknya Yap Kay malah tersenyum, di balik senyumannya terselip rasa hormat dan kagum.
Mendadak Ting Hun-pin menghampirinya, menarik tangannya dan berseru, "Sebenarnya orang
itu manusia atau setan?"
"Menurut kau?"
"Aku tak dapat melihatnya."
"Mengapa tak bisa melihat?"
"Tak mungkin di dunia ini ada orang semacam ini, juga tak mungkin ada setan semacam ini."
Yap Kay tertawa mendengarnya.
"Dia adalah temanmu?" tiba-tiba Pho Ang-soat bertanya.
"Aku berharap demikian, asal dia bersedia menganggap diriku sebagai teman, apa pun akan
kulakukan."
"Kau tahu aku hendak membunuhnya?"
"Baru saja tahu."
"Maka kau segera memburu kemari?"
"Kau anggap aku datang untuk menolong dirinya?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, hanya tertawa dingin.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Aku tahu golokmu cukup cepat, aku pernah melihatnya,
tapi di hadapannya belum lagi golokmu dilolos, tongkat pendeknya mungkin sudah melubangi
tenggorokanmu."
Pho Ang-soat diam saja, tetap tertawa dingin.
"Aku tahu kau tak percaya, karena kau belum tahu siapa dia?"
"Siapa dia?"
"Sekalipun dia bukan orang yang turun tangan paling cepat di dunia ini tapi di dunia ini hanya
ada satu orang yang bisa melebihi kecepatan."
"O." "Tapi jelas bukan kau."
"Siapa?"
Di wajah Yap Kay segera terpancar rasa hormat yang muncul dari sanubarinya, pelan-pelan dia
berkata pula, "Siau-li si pisau terbang!"
Ucapannya seperti memiliki daya kekuatan iblis, bisa membuat peredaran darah dan napas
orang berhenti.
Beberapa lama kemudian, Pho Ang-soat menghembuskan napas panjang, katanya, "Apakah dia
A Fei?" "Di dunia ini hanya ada seorang A Fei."
Tangan Pho Ang-soat yang menggenggam kencang goloknya, "Aku tahu dia selalu
menggunakan pedang."
"Sekarang dia sudah tak perlu menggunakan pedang lagi, sebab tongkat pendek di tangannya
telah menjadi pedang yang paling menakutkan di dunia ini."
Paras muka Pho Ang-soat berubah pucat-pasi seperti mayat. "Oleh karena itu kau datang untuk
menolong aku?"
"Aku tidak berkata demikian."
Tidak menunggu Pho Ang-soat buka suara, dia bertanya lagi, " Tahukah kau siapa yang
tergeletak di atas tanah sekarang ...?"
"Dia mengaku dirinya bernama Kim si sinting."
"Bukan, di dunia ini mana ada orang bernama Kim si sinting."
"Lantas siapa dia?"
"Dia adalah Siau-tat-cu."
"Siau-tat-cu?"
"Belum pernah kau mendengar nama Siau-tat-cu?" Setelah tertawa, lanjutnya, "Tentu saja tak
pernah kau dengar, karena kau belum pernah datang ke ibukota, setiap orang yang pernah ke
ibukota pasti mengenal namanya, karena tiada orang yang bisa menandingi kehebatan Siau-tatcu."
"Siapa dia?"
Kembali Yap Kay tertawa, "Dia memang seorang berbakat, berperan sebagai apa pun dia dapat
memerankannya dengan baik."
Sekali lagi Pho Ang-soat tertegun.
"Sekarang dia berperan sebagai orang sinting yang pegang janji, bahkan seorang aneh dunia
persilatan yang mempunyai pendengaran luas, permainannya memang bagus."
Mau tak mau Pho Ang-soat harus mengakui hal ini.
"Permainannya ini dinamakan Siang-cuan-tau (sepasang gelang jebakan)," kata Yap Kay,
"sedang pengatur lakunya adalah Gi Toa-keng."
"Gi Toa-keng?" paras muka Pho Ang-soat agak berubah.
Yap Kay manggut-manggut, dia membungkuk dan mengeluarkan sejilid kitab kecil dari saku
Kim si sinting.
Kitab kecil itu dilapisi kulit tebal, berisi kata-kata dialog yang amat rumit.
Antara lain berbunyi: "Tengah malam, suruh orang menggotongmu dalam peti mati, tunggu
sampai kukatakan 'Arak ini tak ada orang yang minum'. Maka kau boleh melompat keluar dari
dalam peti mati, kemudian berkatalah sambil tertawa, 'Aneh namanya kalau arak itu tak ada yang
minum, kemudian....'."
Cukup dibacakan beberapa bagian, paras muka Pho Ang-soat yang pucat telah berubah
menjadi merah padam karena malu dan gusar.
Kini telah dia sadari apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Ternyata segala sesuatu yang berlangsung selama ini merupakan sandiwara belaka, ternyata
naskah sandiwara itu memang sudah disusun orang dengan rapi. Berarti sejak dia menyaksikan
Tio Tay-hong menangis dalam hutan, selangkah demi selangkah dia sudah terjebak dalam
permainan orang.
Dan rupanya sandiwara itu akan berakhir di ujung tongkat pendek ... tongkat pendek yang
sanggup menembus tenggorokan siapa pun.
Kim si sinting masih tergeletak di atas tanah sambil merintih, suaranya menandakan
penderitaan luar biasa.
Entah siapa yang memasang lampu, di bawah sinar lampu, paras mukanya kelihatan pucatpasi.
Ujung baju dan bibirnya masih mengejang terus tiada hentinya, membuat wajahnya turut
berubah menjadi amat menakutkan.
Akhirnya Pho Ang-soat mendongakkan kepala, kemudian katanya, "Yang kau maksud sebagai
Gi Toa-keng itu apakah Thi-jiu-kuncu (lelaki sejati bertangan besi) Gi Toa-keng?"
"Betul , Thi-jiu-kuncu Gi Toa-keng tidak lain adalah Tio Tay-hong yang kau kenal itu."
Dengan penuh kebencian Pho Ang-soat berseru, Semua orang persilatan mengatakan Gi Toakeng
adalah seorang Kuncu, lelaki sejati, tak kusangka dia sesungguhnya adalah seorang Kuncu
semacam ini."
"Di dunia ini memang banyak kuncu gadungan."
"Mengapa dia berbuat begitu?"
"Karena dia hendak membunuhmu?"
Tentu saja Pho Ang-soat tahu, sesungguhnya tak perlu dia bertanya.
"Tapi dia pun tahu betapa cepat golokmu itu," lanjut Yap Kay lebih jauh, "di dunia ini memang
jarang ada yang sanggup menandingi kecepatan golokmu itu."
Tanpa terasa Pho Ang-soat teringat orang asing itu, yang aneh, santai dan begitu tenang.
Cukup berbicara soal ini saja, rasanya jarang ada orang bisa menandinginya.
"Benarkah sebelum golokku tercabut, tongkat pendeknya sanggup menembus tenggorokanku?"
Pho Ang-soat benar-benar tak percaya, dia pun enggan mempercayai hal ini.
Hampir saja dia tak tahan untuk mengejar orang itu dan mencoba untuk bertanding, siapakah
di antara mereka yang sesungguhnya lebih cepat.
Bagaimana pun juga dia tidak bisa mengaku kalah begitu saja.
Cuma dia pun tahu, bila orang sudah berniat pergi, tiada orang sanggup menghalanginya, juga
tiada orang dapat menyusul dirinya.
Tangannya yang memegang golok mulai gemetar.
Yap Kay memandang tangannya sekejap, kemudian ujarnya setelah menghela napas panjang,
"Sekarang mungkin kau masih belum percaya bahwa gerakannya jauh lebih cepat daripada
gerakanmu, tapi...."
Mendadak Pho Ang-soat menukas, "Percaya atau tidak adalah urusanku, urusanku sama sekali
tiada hubungannya dengan kau."
Yap Kay hanya bisa membungkam, hanya tertawa getir.
"Karena itu lebih baik kau jangan ikut campur!" seru Pho Ang-soat. Kembali Yap Kay tertawa
getir. "Mengapa kau selalu mengikutiku secara diam-diam?"
"Aku tidak mengikutimu."
"Jika kau tidak mengikutiku, mengapa bisa mengetahui kejadian ini?"
"Karena secara kebetulan aku bertemu Gi Toa-keng," Yap Kay menerangkan.
"Banyak orang juga bertemu dia."
"Tapi hanya aku yang tahu dia adalah Gi Toa-keng yang tidak seharusnya berada di sini, juga
tidak seharusnya dia berdandan seperti itu, dia sangat memperhatikan pakaian serta
dandanannya"
"Hal ini toh tiada sangkut-pautnya dengan dirimu ...."
"Tapi bagiku kejadian ini sesuatu yang aneh."
"Maka kau pun menguntitnya?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Sudah dua hari aku menguntitnya, tapi selalu tidak berhasil menemukan dimana dia menginap,
aku tak berani menguntitnya terlampau dekat, sebab aku tahu gerak-geriknya amat licin bagai
seekor rase."
"Ehm!"
"Tapi aku tahu dia telah mengundang Siau-tat-cu dari ibukota, maka aku pun berganti arah
mulai menguntit Siau-tat-cu ...." Setelah tertawa getir, dia menambahkan, "Tapi kemudian Siautat-
cu pun tak nampak lagi batang hidungnya ...."
0oo0 BAB 36. HIDUP MANUSIA BAGAI PANGGUNG SANDIWARA
"Rupanya ada juga pekerjaan yang tak sanggup kau lakukan."
"Untung kemudian aku bertemu dengan kedua orang penggotong peti mati itu, mereka adalah
anak buah Siau-tat-cu dalam permainan sandiwaranya, datang ke sana bersama Siau-tat-cu,
selamanya Siau-tat-cu memang sangat baik terhadap anak buahnya."
Peristiwa ini memang penuh lika-liku, mau tak mau Pho Ang-soat harus memperhatikannya
dengan seksama.
"Waktu itu mereka sedang membereskan perbekalan siap meninggalkan kota, setelah
kutemukan mereka, dengan menggunakan kekerasan kupaksa mereka mengaku, akhirnya kutanya
mereka kemana Siau-tat-cu mereka kirim."
"Maka kau pun berhasil menemukan tempat itu?"
"Sewaktu aku ke sana. kau tidak ada, yang ada di rumah hanya Gi Toa-keng serta Siau-tat-cu."
"Tentu saja Gi Toa-keng tak akan memberitahu rahasia ini kepadamu.."
"Tentu saja tidak, aku pun belum tentu bisa memaksanya buka suara atau tidak, sayang sekali
walau rencananya cukup matang, tindakannya justru keji."
Pho Ang-soat tidak memberi komentar, hanya mendengarkan belaka.
"Ternyata dia telah mencampuri racun dalam arak, dia bermaksud membunuh Siau-tat-cu dan
menghilangkan jejak!"
Sekarang Pho Ang-soat baru tahu, penderitaan yang dialami Siau-tat-cu bukan lantaran terluka,
melainkan karena keracunan.
"Ketika aku sampai di sana, rasa sakit Siau-tat-cu baru mulai kambuh, setelah kubongkar
perbuatan keji Gi Toa-keng, tentu saja dia benci setengah mati pada orang she Gi."
"Maka dia pun membongkar rencana keji Gi Toa-keng kepadamu?" sambung Pho Ang-soat.
Yap Kay menghela napas panjang.
"Bila Gi Toa-keng tidak terlampau kejam, rahasia ini selamanya mungkin tak akan kuketahui,
dia berlagak seakan tenaga dalamnya telah mencapai puncaknya, hampir saja aku terkecoh,
malahan aku menganggapnya seorang kuncu sejati, aku ingin minta maaf kepadanya, tapi sayang
dia telah pergi."
Tak tahan Ting Hun-pin juga menghela napas, katanya, "Kalau dia menjadi pemain panggung,
pasti namanya akan lebih tersohor daripada Siau-tat-cu."
"Tadi aku dengar kau memanggilnya sebagai paman Gi?" sindir Yap Kay.
Dengan gemas Ting Hun-pin melotot sekejap ke arahnya, kemudian katanya sambil cemberut,
"Dia sebenarnya teman ayahku, wajahnya ramah dan halus budi, siapa sangka dia lelaki munafik,
Kuncu gadungan?"
Yap Kay ikut-ikutan menghela napas. "Maka perlu kau manusia rendah semacam diriku jauh
lebih baik daripada seorang Kuncu gadungan."
"Hal ini sudah lama kupahami," kata Ting Hun-pin sambil tersenyum manis.
Yap Kay tertawa getir.
"Lebih baik selamanya tidak kau pahami."
Dengan gemas Ting Hun-pin melotot sekejap ke arahnya, tiba-tiba dia berkata, "Aku tetap tidak
paham akan satu hal!"
Yap Kay hanya diam saja, menantikan kata-kata si gadis.
"Pendekar seperti Li Sun-hoan, A Fei dan lain-lain sudah lama tidak ditemukan lagi jejaknya,
darimana Gi Toa-keng bisa tahu hari ini dia berada di sini?"
Yap Kay termenung sebentar, kemudian sahutnya, "Ya, jejak Hui-kiam-khek (jago pedang
terbang) memang susah dicari, bahkan Siau-li si pisau terbang pun belum tentu tahu."
"Itulah sebabnya aku pun merasa heran."
"Tapi sejak Pek-hiau-seng meninggal di dunia persilatan masih ada tiga orang manusia yang
paling tajam pendengarannya, salah seorang di antaranya adalah Gi Toa-keng ini."
"Memang pernah aku mendengar, konon tiap hari dia banyak menerima tamu."
"Mungkin saja dia mendengar bila A Fei akan kemari, maka dia menunggunya lebih dulu disini?"
"Kalau begitu rumah inipun sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya?" kata Ting Hun-pin.
"Benar, setelah itu dia baru berusaha mencari akal untuk menipu Pho Ang-soat datang kesana."
Dengan ujung matanya Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Pho Ang-soat, setelah itu katanya,
"Itu bukan suatu pekerjaan sukar "
"Setiap hari dia keluar rumah, mungkin tujuannya adalah mencari berita Hui-kiam-khek," kata
Yap Kay "Tapi orang justru mengira dia pergi mencari kabar Be Khong-cun." Yap Kay meringis.
"Cara kerja orang ini cukup rahasia dan rapi, rasanya tiada seorang pun yang sanggup
menandinginya."
Selama ini Pho Ang-soat hanya termenung saja, tiba-tiba katanya, "Dimanakah dia sekarang?"
"Sudah pergi!"
"Mengapa kau lepaskan dia?"
"Mengapa aku harus bersamanya?" Yap Kay balik bertanya sambil tertawa, "apakah dia tak bisa
pergi sendiri?"
"Kau tidak berusaha menghalangi kepergiannya?"
"Kau anggap aku pasti mampu menghalanginya?"
Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, hanya tertawa dingin.
Tiba-tiba Ting Hun-pin juga tertawa dingin, sindirnya, "Sekalipun Siau Yap tidak
menghalanginya, paling tidak dia tidak tertipu olehnya."
Paras muka Pho Ang-soat segera berubah hebat, dia segera membalik badan. Tapi Ting Hunpin
segera berjalan ke hadapannya, kemudian katanya pula, "Sekalipun kau tidak menganggap
Siau Yap sebagai teman, tapi sikapnya terhadap dirimu cukup baik bukan?"
Pho Ang-soat menolak menjawab, dia membungkam.
"Sikapnya terhadap dirimu., seperti sikap bapak terhadap anaknya, sekalipun kau tidak
berterima kasih kepadanya, paling tidak janganlah menganggap dia sebagai musuh."
Kembali Pho Ang-soat membungkam, dia tidak menjawab.
Ting Hun-pin tertawa dingin, katanya pula, "Aku tahu kau tak sudi bicara denganku, terus
terang saja kukatakan biasanya jangankan mengajak bicara, terhadap manusia macam kau,
kendati kau menyembah belum tentu aku sudi memandangmu."
Pho Ang-soat tertawa dingin, namun dia tetap bungkam.
"Ada beberapa terpaksa harus kutanyakan kepadamu."
Pho Ang-soat tetap diam, menantikan pertanyaannya.
"Mengapa semakin baik orang bersikap kepadamu, justru kau semakin galak kepadanya"
Apakah kau takut orang lain berbuat baik kepadamu" Apakah kau punya penyakit?"
Paras muka Pho Ang-soat yang pucat tiba-tiba berubah merah padam, sekujur badannya mulai
gemetar. Dari sorot matanya yang dingin tiba-tiba memancarkan sinar penderitaan, hingga tak
kuasa menahan diri. Ting Hun-pin tertegun dibuatnya.
Dia benar-benar tidak menyangka secara tiba-tiba Pho Ang-soat berubah menjadi begitu, tak
tega dia memandangnya lagi, dengan kepala tertunduk katanya pelan-pelan, "Aku kan cuma
bergurau saja, masakah kau anggap sungguhan" Janganlah marah."
Pho Ang-soat Cuma diam tak bergerak.
Ting Hun-pin juga tidak bicara lagi, merasa rikuh dan tak mampu melanjutkan kata-katanya.
0oo0 Di atas meja tersedia arak Ternyata ia duduk dan minum arak.
Yap Kay membangunkan Siau-tat-cu, seakan-akan tidak tahu ada persoalan di antara mereka
Wajah Siau-tat-cu masih penuh air mata, katanya dengan sesenggukan.
"Aku ... aku tak lebih hanya seorang pemain sandiwara, siapa memberi uang, aku pun bermain
untuknya."
"Aku tahu."
"Aku masih belum ingin mati ...." air mata Siau-tat-cu jatuh bercucuran makin deras.
"Kau tak bakal mati."
"Benarkah aku masih dapat tertolong?"
"Aku telah meluluskan permintaanmu, kau sudah minum obat penawar."
Siau-tat-cu terengah-engah dan duduk, perasaannya telah tenang.
Sambil menghela napas Yap Kay berkata, "Padahal siapa pula yang tidak bermain sandiwara"
Bukankah kehidupan manusia di dunia ini sesungguhnya adalah panggung sandiwara?"
Waktu itu perasaan Pho Ang-soat telah tenang kembali, tiba-tiba dia membalikkan badan dan
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melotot ke arah Siau-tat-cu, kemudian ujarnya, "Kau tahu Gi Toa-keng pergi kemana?"
Pucat-pasi wajah Siau-tat-cu karena ketakutan, sahutnya tergagap, "Aku ... mungkin dia sudah
pulang." "Dimana rumahnya?"
"Konon rumahnya berada di perkampungan Cong-keng-ban-coan-ceng, aku belum pernah ke
sana, tapi banyak orang persilatan yang tahu."
Pho Ang-soat membalikkan badan dan pelan-pelan beranjak keluar. Jangankan menegur Yap
Kay, memandang sekejap ke arahnya pun tidak.
"Eh, tunggu sebentar," seru Yap Kay, "masih ada satu hal perlu keberitahukan kepadamu."
Pho Ang-soat tidak berhenti, menggubris pun tidak.
"Istri Gi Toa-keng she Lok!" seru Yap Kay.
Pho Ang-soat tetap tidak menggubris.
"Dia semarga dengan Lok Siau-ka!" seru Yap Kay lebih lanjut.
Pho Ang-soat masih saja tidak menggubris, namun otot-otot hijau pada lengannya merongkol.
Dia tidak berpaling, selangkah demi selangkah berjalan keluar.
0oo0 Malam makin kelam....
"Bukankah kehidupan manusia pun mirip panggung sandiwara, siapa pula yang tidak sedang
bermain sandiwara?"
Lalu bagaimana cara membawakan peranan dalam sandiwara itu" Apakah ingin berperan dalam
lelakon yang menyedihkan" Ataukah kau lebih suka berperan dan kisah gembira" Apakah kau
tidak ingin mendapat tepuk tangan penonton" Atau juga ingin dilempari tomat busuk"
0oo0 Tomat belum membusuk.
Musim gugur adalah musim panen buah tomat.
Ting Hun-pin menyodorkan sebiji tomat ke hadapan Yap Kay, ujarnya dengan lembut, "Tomat
termasuk buah menyegarkan, bila minum arak sambil makan tomat, maka orang tidak gampang
mabuk!" "Darimana kau tahu kalau aku tak ingin mabuk?" tanya Yap Kay dengan tawar.
"Bila seorang ingin mabuk, walau minum arak sambil makan apa saja, akhirnya akan mabuk
juga." Dia menjejalkan tomat itu ke mulut Yap Kay, katanya pula sambil tertawa, "Oleh karena itu
makanlah buah ini kemudian baru bicara."
Terpaksa Yap Kay memakan tomat itu.
Dia bukan manusia yang terbuat dari kayu, dia pun memahami perasaan kasih sayang Ting
Hun-pin terhadapnya, bahkan ia merasa amat berterima kasih kepadanya.
Walaupun gadis ini agak binal dan tak tahu aturan, namun dia bersikap lembut, hangat dan
menyenangkan, ditemani gadis semacam dia, sudah pasti hati akan merasa puas.
Pemuda itu sudah menghabiskan tomat yang disodorkan kepadanya, Ting Hun-pin menghela
napas, ujarnya. "Untung kau bukan Pho Ang-soat, semakin baik orang bersikap kepadanya,
semakin jelek sikapnya kepada orang itu."
Yap Kay juga menghela napas.
"Bila kau menganggap dia adalah orang macam itu, maka pendapatmu itu keliru besar."
"Bagian mana aku salah?"
"Ada orang yang justru enggan memperlihatkan perasaannya."
"Kau anggap dia termasuk manusia jenis ini?"
"Ya, itulah sebabnya di kala seorang bersikap baik kepadanya, dia justru menampilkan sikap tak
berperasaan, karena dia kuatir orang lain mengetahui perasaannya."
"Oleh karena itu kau pun menganggap dia bersikap baik kepadamu?"
Yap Kay tidak menjawab, hanya tertawa.
"Tapi sikapnya terhadap Cui-long ...."
Belum selesai Ting Hun-pin berkata, Yap Kay telah menukas, "Tadi sikapnya tiba-tiba berubah,
karena kau telah menyentuh luka hatinya, membuat ia teringat Cui-long."
"Jika benar dia bersikap baik terhadap Cui-long, mengapa justru meninggalkannya?"
"Bila ia tidak bersikap baik kepadanya, mengapa pula dia terlihat begitu menderita?"
Ting Hun-pin terbungkam, ia tak sanggup menjawab
Sambil menghela napas Yap Kay kembali berkata, "Hanya orang yang benar-benar tak
berperasaan yang tidak mengenal arti penderitaan. Tak aku mengagumi orang macam itu."
"Kenapa?"
"Karena manusia semacam ini pada hakikatnya bukan manusia "
Ting Hun-pin menghela napas, katanya, "Kalian orang laki-laki memang benar-benar memiliki
perasaan aneh."
"Ya, memang aneh, seaneh pikiran kalian orang-orang perempuan," sambung Yap Kay.
Apa yang dikatakan memang benar.
Yang paling aneh dan paling sukar diraba di dunia ini sesungguhnya adalah perasaan manusia,
baik dia lelaki maupun perempuan.
Sambil tersenyum Ting Hun-pin segera berkata. "Untung aku telah mengerti akan dirimu."
"O ya."
"Walaupun di luar kau mirip orang tak berperasaan, sesungguhnya kau sangat baik kepadaku."
Sambil menarik muka, Yap Kay ingin mengucapkan sesuatu, tapi baru saja dia membuka mulut,
kembali Ting Hun-pin menjejalkan sebiji tomat ke mulutnya.
^"^ Malam sudah semakin kelam
Siau-tat-cu telah minum sebungkus obat dan tertidur di atas kursi panjang di sudut ruangan.
Pelayan rumah makan itupun mulai menguap mengantuk.
Ingin dia mengusir orang-orang itu dari sana, tapi ia tak berani ... biasanya orang-orang begini
memang berbahaya.
Ting Hun-pin memenuhi cawan arak Yap Kay, kemudian berkata, "Tampaknya perkampungan
Cong-keng-ban-coan-ceng tidak terlampau jauh dari sini."
"Ya, memang tidak terlalu jauh."
"Menurut pendapatmu, benarkah Gi Toa-keng pulang ke rumah?"
"Dia tak mungkin bisa melarikan diri."
"Mengapa?"
"Sebab dia tak perlu kabur, jika kabur akan menambah curiga orang."
"Bagaimana pun juga sekarang Pho Ang-soat pasti menduga dia salah seorang di antara
pembunuh gelap di luar kuil Bwe-hoa-am tempo hari, maka itulah ia menyusun rencana dan
perangkap keji untuk mencelakai Pho Ang-soat."'
"Pho Ang-soat bukan orang tolol."
"Siapa tahu orang yang meracuni Si Bu juga Gi Toa-keng?"
"Bukan."
"Mengapa?"
"Sebab racun yang dicampurkan ke dalam arak Siau-tat-cu adalah jenis yang berbeda."
"Apakah dia tak bisa membawa obat penawar masing-masing racun?"
"Orang yang mengerti cara khusus mengerjai orang, dia pasti punya obat racun khusus yang
paling sering dipakai, kebiasaan semacam ini seperti juga kebiasaan orang perempuan
menggunakan pupur dan gincu."
Ting Hun-pin tidak mengerti apa maksudnya.
Kembali Yap Kay menerangkan, "Tentu kau pernah menggunakan lebih dari satu macam pupur
bukan?" Ting Hun-pin berpikir sebentar, kemudian manggut-manggut.
"Bila kau akan keluar rumah, mungkinkah kau membawa kedua macam pupur yang berbeda?"
kembali Yap Kay bertanya.
Ting Hun-pin menggeleng berulang kali, lalu mengerling sekejap ke arahnya, katanya dingin,
"Tampaknya tidak sedikit persoalan kaum wanita yang kau pahami."
"Ah, aku hanya sedikit lebih tahu tentang sifat orang yang menggunakan obat racun, soal
perempuan boleh dibilang aku tidak tahu sama sekali."
"Aneh jika kau tak tahu."
Tiba-tiba dia sambar cawan arak yang disodorkan kepada Yap Kay, sekaligus ditenggaknya
habis. Menyaksikan itu, Yap Kay tertawa.
Kembali Ting Hun-pin mengerling ke arahnya, katanya, "Aku heran, kenapa kau masih bisa
bergembira duduk di sini sambil minum arak."
"Mengapa tidak?"
"Kalau Gi Toa-keng sudah pulang ke rumah, sudah pasti Pho Ang-soat akan ke sana
mencarinya."
Yap Kay manggut-manggut membenarkan.
"Ka-lau Lok Siau-ka adalah iparnya, tentu juga akan berada di sekitar tempat ini, siapa tahu
saat inipun dia berada di rumahnya" kata Ting Hun-pin lagi.
"Ya, mungkin begitu."
"Kau tidak kuatir Pho Ang-soat dicelakai mereka" Bukankah kau selalu menguatirkan
keselamatannya?"
"Tapi kali ini aku justru merasa lega."
"Sungguh?"
"Tentu saja sungguh, karena aku tahu pada hakikatnya mereka tak mungkin bertarung."
"Mengapa?" Yap Kay tertawa.
"Bila kau memahami orang macam apa Gi Toa-keng, kau akan segera tahu mengapa bisa
demikian."
"Setan yang bisa memahami dirinya."
"Seumur hidup orang ini tak pernah bermusuhan dengan orang secara terang-terangan,
sekalipun orang pergi mencari ke rumahnya, ia akan berusaha orang menganggapnya seorang
Kuncu." "Namun sekalipun mengalah dan bersabar juga tiada gunanya."
"Tapi ia masih bisa menggunakan cara lain."
"Cara apa?"
"Ia bisa menyangkal keterlibatannya dalam masalah ini, tidak mengakui telah terjadi peristiwa
semacam itu."
"Tapi kenyataan kan sudah di depan mata, sekalipun menyangkal juga tak ada gunanya."
"Bisa saja bilang tak pernah meninggalkan Cong-keng-ceng, bahkan ia dapat beralasan sakit
payah." "Memangnya Pho Ang-soat akan mempercayainya begitu saja" Dia bukan orang tolol."
"Gi Toa-keng pasti sudah mengumpulkan banyak tokoh persilatan di rumahnya sebagai saksi,
orang macam dia, melakukan pekerjaan apa saja, entah itu bakal berhasil atau tidak, pasti dia
akan menyiapkan jalan mundur lebih dulu."
"Kesaksian orang lain belum tentu dipercaya Pho Ang-soat."
"Orang yang dicari Gi Toa-keng sudah pasti orang-orang yang ternama dan punya kedudukan
tinggi dalam dunia persilatan, sehingga setiap ucapannya pasti berbobot, orang tak mau percaya
pun percaya juga."
"Apakah dia bersedia mambantu membohongi orang lain?" kata Ting Hun-pin.
"Dia pasti tak akan menyuruh mereka berbohong, mereka hanya disuruh menjadi saksi."
"Bersaksi bahwa dia tak pernah keluar rumah?"
Pendekar Bodoh 12 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Kisah Si Rase Terbang 10
Sekarang kemana pun Yap Kay pergi, di situ pula dia berada, bahwa tadi dia tidak muncul
karena dia bertugas mengawasi orang-orang yang menghuni rumah pelacuran ini, bukan dia kuatir
mereka melakukan apa-apa yang merugikan dirinya, tapi dia tidak suka Yap Kay melihat mereka,
demikian pula sebaliknya. Mau tidak mau dia sendiri mengakui bahwa dirinya perempuan yang
paling cemburu.
"Kau kira sebelum ini dia bukan manusia?"
"Sedikitnya aku belum pernah melihat orang seperti dia," ujar Ting Hun-pin. "Selamanya tidak
pernah terpikir olehku, dia bisa begitu tersiksa karena Cui-long."
Yap Kay tiba-tiba tertawa, katanya, "Kau kira derita dan siksa itu benar-benar lantaran dia?"
"Memangnya bukan?" Yap Kay geleng-geleng.
"Lalu apa anggapanmu?"
"Dia selalu merasa dirinya lebih tinggi, lebih suci lebih bersih dari Cui-long, selalu dia merasa
Cui-long tidak setimpal dengan dirinya."
"Ya, sedikit pun tidak salah."
"Oleh karena itu setelah Cui-long meninggalkan dirinya, baru dia amat tersiksa, karena dia
merasa Cui-long seharusnya selalu mengikut di belakangnya seperti anjing setia mengikuti setiap
langkah majikannya."
"Jadi anggap dia tersiksa karena dia merasa pamor dan gengsinya terpukul?"
"Sudah tentu lantaran dia pun merasa dirinya tertipu, laki-laki mana pun bila merasa dirinya
tertipu oleh perempuan pasti dirinya amat sedih, umpama dia tidak mencintai dia, dia pun akan
merasa tersiksa."
"Lalu kau pun beranggapan bahwasanya dia tidak mencintai Cui-long?"
"Bukan begitu yang kumaksud."
"Lalu apa maksudnya?"
"Maksudku bila Cui-long tidak meninggalkan dia, akan datang suatu ketika dia yang akan
meninggalkan Cui-long, pada saat itu dia pasti tidak akan menderita lagi."
"Kenapa?"
"Karena dia tumbuh dewasa dalam buaian dendam dan sakit hati maka....."
"Umpama benar dia mencintai Cui-long, dia tetap takkan melupakan dendamnya."
Yap Kay mengawasi setitik bintang jauh di angkasa raya, katanya, "Aku pernah bertemu
dengan seseorang."
"Seseorang yang bagimana?"
"Seorang yang aneh, jika ada malaikat di dunia ini, maka dia itulah malaikatnya."
"Jadi orang itulah yang merubah jalan hidupmu?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Dia laki-laki atau perempuan?"
"Kalau dia perempuan, semua orang di dunia ini bakal jadi kaum hawa."
"Apa maksudmu?"
Terunjuk rasa hormat pada sorot mata Yap Kay, katanya, "Aku pernah melihat berbagai macam
manusia, tapi hanya dia, baru boleh dikatakan sebagai laki-laki sejati."
Ting Hun-pin cekikikan.
"Belum pernah aku melihat orang yang lebih agung dan besar daripada dia."
"Kau mengaguminya?"
"Bukan hanya kagum saja, umpama dia suruh aku segera mampus, aku pun akan menerima
dengan suka rela. Tapi dia tidak akan membiarkan aku mati, selamanya dia hanya memikirkan
orang lain mengorbankan dirinya sendiri."
"Siapa dia sebenarnya?"
"Seharusnya kau pernah mendengar namanya."
"O. Siapa?"
"Dia she Li...."
"Apakah Siau Li Tham-hoa?" teriak Ting Hun-pin. "Sudah tentu aku pernah mendengar
namanya, memang siapa orang di dunia ini yang tidak pernah mendengar namanya?"
"Sepak terjangnya memang meninggalkan kesan mendalam bagi semua pihak."
"Terutama pertempurannya melawan Siangkoan Kim-hong dulu, tiada orang yang menyaksikan
duel itu, tapi ceritanya yang tersiar di kalangan Kangouw sungguh lebih menarik dari dongeng
rakyat." "Paling sedikit aku pernah mendengar lima ratus kali orang membicarakan duel itu, cerita
masing-masing berlainan."
"Demikian pula yang pernah kudengar, satu sama lain tiada yang cocok, tapi mereka
mempertahankan bahwa ceritanya sendiri pasti boleh dipercaya."
"Paling tidak ada satu hal, siapa pun mau tidak mau harus mengakuinya."
"Satu hal apa?"
"Siau Li si pisau terbang selamanya tidak pernah meleset!" bersinar biji mata Yap Kay "Sampai
sekarang di kolong langit ini, belum ada seorang pun yang mampu meluputkan diri dari timpukan
pisaunya. Bersinar pula muka Ting Hun-pin, katanya, "Sayang sekali pisaunya itu kini sudah menjadi
kenangan nyata saja, kita tentu takkan bisa menyaksikannya lagi."
"Siapa bilang?"
"Kabarnya setelah dia membunuh Siangkoan Kim-hong, dia lantas menyimpan pisaunya dan
mengasingkan diri, selanjutnya tidak mencampuri urusan Kangouw."
Yap Kay malah tertawa saja.
"Kalau dia tidak tetirah di suatu tempat yang sepi, kenapa tiada orang pernah mendengar kabar
ceritanya lagi di kalangan Kangouw" Apakah kau tahu kabarnya?"
"Sudah tentu aku tahu."
"Lekaslah kau ceritakan kapadaku."
"Sayang sekali, sekarang aku tidak punya waktu."
"Kenapa?"
"Karena sekarang aku harus menyusul ke Ho-han-ceng "
"Ho-han-ceng?"
"Ho-han-ceng adalah Si-keh-ceng."
"Tempat kelahiran Si Toa-han, maksudmu?"
"Cengcu Ho-han-ceng adalah ayah Si Toa-han yang bernama Si Bu."
"Kau hendak ke sana memberi kabar duka cita kematian putranya."
"Aku bukan burung gagak."
"Lalu untuk apa kau tergesa-gesa ke sana?"
"Kalau rekaanku tidak salah, sekarang Pho Ang-soat sedang menuju ke sana."
"Kalau dia pergi, kau lantas hendak mengikutinya?" Ting Hun-pin bersungut-sungut, "kenapa
begitu besar perhatianmu kepadanya?"
Yap Kay hanya tersenyum saja.
"Lapat-lapat terasa olehku, kau seolah-olah mempunyai sesuatu hubungan istimewa dengan
dia, sebetulnya hubungan apakah?"
"Masa kau juga cemburu kepadanya" Apa kau sudah lupa dia itu laki-laki."
"Laki-laki memangnya kenapa" Laki-laki dan laki-laki sering melakukan ...." belum habis dia
bicara, dia sudah cekikikan geli dengan muka merah.
Yap Kay justru amat prihatin katanya, "Waktu mudanya dulu Si Bu adalah seorang yang gagah,
senjata kampak kunonya seolah-olah bisa membelah langit membuka bumi, sebanyak seratus
delapan jurus pernah menyapu Thay-hing-san, entah bagaimana perbawanya sekarang?"
"Apa kau kuatir Pho Ang-soat bukan tandingannya, maka kau susul dia ke sana hendak
membantu dia?"
"Kalau golok Pho Ang-soat bukan tandingannya, apa pula gunanya aku menyusul ke sana?"
"Apakah kepandaianmu juga bukan tandingan Pho Ang-soat?"
"Menurut apa yang kutahu, kecepatan gerak permainan goloknya, di jagat raya ini tiada orang
yang menandinginya."
"Tapi aku sering mendengar banyak orang bilang, kau pun memiliki pisau yang amat
menakutkan. Malah pisaumu senjata yang tak pernah terlihat oleh mata telanjang."
Yap Kay hanya bersuara dalam mulut.
"Jangan kau pura-pura pikun, ingin kutanya, apakah pisaumu itu hasil gemblengan atau didikan
Siau Li si pisau terbang?"
"Siau Li si pisau terbang tetap si pisau terbang, kecuali Siau Li Tham-hoa, tiada kedua lagi."
"Kenapa begitu?"
"Karena pisau seperti itu bukan sembarang orang bisa mempelajarinya. Tahu tidak."
"Dan kau?"
"Kalau satu persen saja aku bisa mempelajari kepandaiannya, aku sudah puas."
"Tak hanya kau rendah hati, sayang kau bicara tidak sejujurnya."
"Oleh karena itu lebih baik jangan kau menguntit aku, kalau penyakitku kambuh, bukan
mustahil aku mendadak memperkosa kau "
Merah muka Ting Hun-pin, sejenak dia menggigit bibir, dengan ujung mata dia mengerling
kepada Yap Kay, katanya, "Kalau kau tidak berani, kau ini adalah kura-kura "
0oo0 BAB 33. SUKMA DI UJUNG GOLOK
"Aku tidak ingin pergi, tapi terpaksa aku harus pergi."
Begitu tersentak bangun dari tidurnya, teringat oleh Cui-long akan kata-kata Pho Ang-soat
semalam. Pho Ang-soat yang semalam tidur di sampingnya sudah tak kelihatan lagi.
Rasa ketakutan dan terpencil tiba-tiba memenuhi rongga dada Cui-long, hatinya serasa
tenggelam. Masih segar dalam ingatannya semalam Pho Ang-soat bilang, "Ada sementara
persoalan walau tidak ingin kau kerjakan, tapi terpaksa kau harus menyelesaikan." Sekarang baru
dia menyadari apa maksud kata-kata Pho Ang-soat ini.
Angin pagi menghembus masuk lewat jendela, terasa dingin segar, dengan mendelong dia
mengawasi keluar, dia tidak mengalirkan air mata, tapi sekujur badannya dingin.
0oo0 Pho Ang-soat tengah beranjak di jalan persawahan, tangan mencekal kencang gagang golok.
Hatinya mendelu, tetapi dia tidak begitu menderita dan tersiksa karena kali ini dia yang pergi
meninggalkan si dia, dengan setulus hati dia ucapkan kata-katanya itu. Karena dia masih ingat
akan tanggung jawabnya menuntut balas.
Langkah Pho Ang-soat amat pelan, tapi tidak pernah berhenti. Selewat sebidang hutan yang
hampir gundul daun-daunnya itu, di sanalah letak Ho-han-ceng.
0oo0 Keadaan Ho-han-ceng sekarang sudah mirip keadaan majikannya, loyo dan renta.
Dindingnya sudah menguning hijau berlumut, daun-daun jendelanya bergetar mengeluarkan
suara berisik bila dihembus angin.
Sinar surya menyorot masuk ke dalam, kebetulan menyinari sebilah kampak besar di atas rak
senjata. Kampak besar seberat enam puluh tiga kati.
Dengan menggendong tangan Si Bu berdiri di bawah cahaya matahari, mengawasi kampak
kebanggaannya dulu. Bagi dirinya kampak itu bukan saja sebagai gamannya, namun juga kawan
seperjuangan di medan laga yang ikut mati dan hidup kembali. Tiga puluh tahun yang lalu,
kampak ini pernah ikut dirinya terjun ke dalam Liong-tam (rawa naga), menerjang ke sarang
harimau, menyapu bersih seluruh Thay-hing-san. Sekarang kampak ini masih tetap mengkilap kuat
dan gagah seperti tiga puluh tahun yang lalu. Tapi bagaimana dengan majikan atau pemiliknya"
Si Bu menutup mulut dengan tangannya, batuk perlahan-lahan, cahaya matahari baru
menyinari badannya, tapi nalurinya merasa sinar matahari sedemikian terik membara. Masa-masa
emas waktu yang lampau sudah berselang. Jiwanya kini sedang berada dalam kelam.
0oo0 Di atas meja terdapat secarik kertas.
Itulah secarik surat yang dikirim oleh anak buahnya dari kota dengan burung pos.
Sekarang dia sudah tahu bahwa teman dan putranya sudah ajal di bawah golok seorang
pemuda. Pemuda yang bernama Pho Ang-soat.
Si Bu tahu nama ini tentu bukan nama aslinya. Yang jelas dia she Pek. Golok yang dipakai oleh
keluarga Pek seluruhnya serba hitam, sarung hitam, gagang hitam pula.
Si Bu tahu golok macam apakah yang dibawa si pemuda, karena dulu dia sendiri pernah
menyaksikan golok seperti itu, dalam sekejap mata beruntun membunuh tiga tokoh kosen dari Bulim.
Malah sekarang pada badannya masih terdapat. bekas-bekas bacokan golok, dari tenggorokan
sampai ke pusarnya. Jika dirinya tidak amat beruntung, lawan sudah kehabisan tenaga, bacokan
golok itu mungkin sudah membelah badannya. Meski peristiwa itu sudah puluhan tahun berselang,
terbayang akan bacokan golok waktu itu, sekujur tubuhnya masih gemetar dan berkeringat dingin.
Ada kalanya dalam mimpinya dia sering terjaga bangun, seolah-olah dirinya sudah terbelah
menjadi dua. Dan sekarang kenyataan orang itu benar-benar meluruk datang!
0oo0 Disingsingnya lengan bajunya, dengan kencang dia pegang kampaknya, pelan-pelan lalu
diayunkan. Dengan kampak ini dulu dia membabat habis tiga puluh perampok kejam yang
mengganas di daerah Thay-hing-san.
Namun kampak ini sekarang rasanya semakin berat, ada kalanya dia tidak kuasa memainkan
seratus delapan jurus ilmu kampaknya sampai habis.
Kini dia bertekad hendak mencobanya sekali lagi.
Ruang pendopo ini amat luas. Dengan mengayun kampaknya, kaki bergerak dengan lincah,
seketika bayangan kampak seperti memenuhi ruangan yang luas ini, angin menderu bagai angin
badai, perbawanya memang hebat dan tidak bernama kosong, bahwa kehebatan ilmu kampak ini
dulu pernah menyapu habis perampok-perampok yang mengganas itu. Akan tetapi Si Bu sendiri
mengerti, kini tenaganya sudah tidak memadai lagi.
Baru sampai jurus ketujuh puluh delapan, napasnya sudah ngos-ngosan seperti sapi disembelih,
ini baru latihan seorang diri, jika berhadapan dengan musuh, mungkin sepuluh jurus saja tidak
kuasa mempertahankan diri.
Terpaksa dia berhenti dengan menurunkan kampaknya, di atas meja tersedia arak. Dengan
napas tersengal-sengal dia duduk, lalu ditenggaknya habis secangkir. Sekarang dia menyadari lagi
takaran minumnya sudah jauh berkurang juga dibanding dulu. Dulu sekaligus dia kuat
menghabiskan puluhan poci, sekarang paling tiga cangkir mukanya sudah merah padam dan
hampir mabuk. Seorang laki-laki tua dengan rambut ubanan, dengan langkah pelan menunduk melangkah
masuk. Waktu mudanya orang tua ini adalah pelayan Si Bu yang melayani sekolah, sudah enam
puluh tahun dia bekerja di rumah keluarga Si. Waktu mudanya dia pun seorang pemuda yang
kekar, dia pun kuat memainkan kampak seberat tiga puluh kati, pernah membunuh entah berapa
banyak orang-orang jahat.
Tapi sekarang bukan saja punggungnya tumbuh punuk, punggungnya pun bungkuk, otot
daging badannya yang kekar kenyal kini sudah mengendor, lebih celaka lagi dia terjangkit asma,
untuk berjalan saja dia sudah mendenguskan napas seperti kuda menarik beban berat.
Mengawasi orang, Si Bu lantas bertanya, "Tugas yang kupesan kepadamu, sudah kau
selesaikan belum?"
Dengan meluruskan kedua tangannya si tua bungkuk menjawab, "Cengteng, tukang kuda, para
dayang dan bu inang, semua pembantu berjumlah tiga puluh lima orang, semuanya sudah
kusuruh pulang ke kampung halaman masing-masing, setiap orang kebagian lima ratus tahil
perak, cukup untuk berdagang kecil-kecilan, untuk hidup sepanjang umurnya."
"Baik sekali," ujar Si Bu.
"Kini sisa uang kas tinggal seribu lima ratus tiga puluh tahil."
"Baiklah, boleh kau ambil semua dan pergilah."
"Aku ...." orang tua itu tertunduk, "aku tidak akan pergi."
"Kenapa?" tanya Si Bu.
Raut muka si orang tua yang penuh keriput tidak menunjukkan mimik perasaan apa-apa,
katanya tawar, "Tahun ini aku berusia enam puluh delapan. Hendak kemana aku pergi?"
Si Bu tidak bicara lagi. Dia tahu mereka berdua sudah menemukan jalan buntu. "Kemarilah"
katanya kemudian, "marilah duduk minum bersama."
Orang tua itu tidak menolak, tanpa bicara dia menghampiri, lalu duduk di depannya, dia isi dulu
cangkir majikannya lalu mengisi lagi secangkir untuk dirinya sendiri. Tangannya kelihatan gemetar.
"Masih segar dalam ingatanku kau memang sudah berusia enam puluh delapan tahun, usiamu
sama dengan aku "
Si orang tua bungkuk mengiakan.
"Enam puluh tahun, sekejap saja sudah enam puluh tahun, cepat benar hari berlalu."
Kembali si orang tua bungkuk mengiakan.
"Tentunya kau masih ingat, selama hidupmu berapa banyak kau bunuh orang?"
"Seluruhnya kira-kira tiga puluh orang."
"Berapa perempuan yang kau gauli?"
Ujung mata si bungkuk yang keriputan menampilkan senyuman, sahutnya, "Soal ini tidak
kuingat lagi."
Si Bu tersenyum, katanya, "Aku tahu budak kecil yang datang tahun lalu itu kau gagahi juga,
jangan kau kira aku tidak tahu."
Si bungkuk tidak menyangkal, katanya tersenyum. "Walau budak itu bukan gadis baik-baik, tapi
secara diam-diam tadi ku tambah seratus tahil untuk dirinya."
"Terhadap perempuan biasanya kau tidak kikir, hal ini aku cukup tahu "
"Hal ini aku belajar dari Loya."
"Meski aku lebih banyak membunuh orang dibanding kau, perempuan yang pernah kau gauli
tentunya tidak lebih sedikit pula."
"Sudah tentu."
"Oleh karena itu kini kita terhitung sudah berkecukupan hidup."
"Ya, sudah lebih dari cukup."
"Mari kita habiskan dua cangkir."
Mereka baru menghabiskan dua cangkir. Setelah cangkir ketiga diisi penuh, mereka lalu melihat
seseorang pelan-pelan melangkah masuk ke dalam pekarangan. Muka nan pucat, golok yang
hitam. 0oo0 Berdiri di bawah pohon kenari, Pho Ang-soat menggenggam kencang gagang goloknya.
Si Bu pun sedang mengawasinya, mengawasi golok serba hitam itu, sikapnya semakin tenang.
"Kau she Si?" tiba-tiba Pho Ang-soat bertanya.
Si Bu mengangguk-angguk. "Si Toa-han adalah putramu?"
Si Bu mengangguk-angguk. "Sembilan belas tahun yang lalu ...."
Tiba-tiba Si Bu menyeletuk, "Kau tak usah bertanya, orang yang hendak kau cari adalah aku "
"Jadi kau?"
"Hujan salju malam itu amat lebat," kata Si Bu menarik napas panjang.
"Kau ... masih ingat akan kejadian malam itu?"
"Sudah tentu masih ingat, setiap kejadian kuingat benar."
"Coba tuturkan."
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Malam itu waktu aku tiba di Bwe-hoa-am, di sana sudah banyak orang menunggu."
"Siapa saja mereka?"
"Aku tidak tahu, setiap orang mengenakan kedok muka, masing-masing tidak bersuara," tutur
Si Bu. "Aku yakin mereka pun tiada yang mengenalku, karena aku tidak bergaman kampak saktiku
ini, tapi aku membekal golok besar berkepala setan."
"Di alam bersalju itu kami lama menunggu, hawa begitu dingin, tiba-tiba kami mendengar ada
orang bersuara, katanya orang-orang sudah datang lengkap."
"Apakah Be Khong-cun yang bersuara?"
"Bukan! Saat itu Be Khong-cun sedang minum arak di dalam Bwe-hoa-am."
"Lalu siapa yang bicara" Darimana dia tahu berapa jumlah orang yang menunggu di luar"
Memangnya dia salah satu dari perencana peristiwa berdarah itu?"
Si Bu tertawa, tawa misterius, katanya, "Umpama aku tahu, tidak akan kuberitahu kepadamu."
Lekas sekali dia menyambung ceritanya, "Tak lama kemudian, keluarga Pek berbondong-bondong
keluar dari dalam Bwe-hoa-am. Semuanya mabuk dengan langkah sempoyongan, seperti amat
senang." "Siapa yang turun tangan lebih dulu?"
"Yang turun tangan lebih dulu ada beberapa orang yang pandai menggunakan senjata rahasia,
tapi mereka tiada satu pun yang berhasil."
"Selanjutnya bagaimana?"
"Serempak semua orang menyerbu maju, Be Khong-cun yang memapak maju paling dulu, tapi
mendadak dia membalik membacok Pek THian-ih dengan goloknya."
Beringas muka Pho Ang-soat, katanya mendesis dengan mengertak gigi, "Dia tidak akan lolos
dari tanganku."
"Dia lolos atau tidak tiada sangkut-pautnya dengan aku."
"Kau pun jangan harap bisa lolos."
"Bahwasanya aku tiada niat hendak melarikan diri. aku memang sedang menunggumu."
"Apa pula yang masih ingin kau katakan?"
"Hanya sepatah kata saja," ditenggak habis araknya, katanya menyambung, "Walau perbuatan
kami waktu itu harus dicela, tapi jika sekarang kembali pada sembilan belas tahun yang lalu, aku
tetap melakukan apa yang pernah kulakukan dulu."
"Kenapa?"
"Karena Pek Thian-ih sebetulnya memang bukan manusia baik-baik."
"Kau keluar!" hardik Pho Ang-soat dengan muka merah padam.
"Kenapa aku harus keluar?"
"Keluarkan kampakmu."
"Kukira tidak perlu lagi" mendadak dia tertawa, dengan tersenyum dia berpaling kepada si
bungkuk, katanya, "Tibalah saatnya."
"Ya, sudah tiba saatnya," sahut si bungkuk.
"Apa pula yang ingin kau katakan?"
"Hanya sepatah kata," sahut si bungkuk, tiba-tiba dia tertawa, katanya tandas, "Pek Thian-ih
memang bukan manusia baik-baik "
Habis kata-katanya, laksana burung walet, tahu-tahu Pho Ang-soat sudah menerobos masuk
lewat jendela. Tapi sudah terlambat.
Si Bu dan si bungkuk sudah terjungkal roboh Roboh dengan tertawa lebar. Dada mereka
tertusuk sebilah golok. Golok tajam yang pendek. Gagang golok masih tercekal di tangan mereka.
0oo0 Dengan goloknya sendiri Si Bu memutuskan dendam sakit hati sembilan belas tahun yang lalu.
Sekarang tiada orang yang dapat menuntut balas kepadanya lagi.
Pho Ang-soat hanya mengawasi dengan mendelong Lama kelamaan dia bergidik sendiri bila
teringat tuduhan orang-orang dilemparkan kepada ayahnya. Mau tidak mau timbul pula rasa
curiga dalam benaknya. "Kenapa begitu banyak tokoh kosen yang punya kedudukan tinggi, tanpa
segan-segan mempertaruhkan keluarga, gengsi dan pamornya, tanpa menghiraukan segala
akibatnya bersekongkol ingin membunuhnya?" Memangnya siapa yang mampu memberi jawaban"
Siapa pula yang sudi memberi penjelasan" Lama kelamaan menghadapi dua mayat yang tak
bernyawa, badan Pho Ang-soat jadi gemetar.
Dilihatnya muka dua mayat yang semakin dingin ini berubah begitu mengerikan, mata mereka
memang sudah melotot, kini darah merembes keluar dari panca indranya, dan yang membuatnya
merinding adalah darah yang mengalir itu ternyata berwarna hitam mengkilap.
Telapak tangan Pho Ang-soat menjadi basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba dia ingin menerjang
keluar, lekas meninggalkan tempat ini. Tapi baru saja dia putar badan, matanya segera melihat
Yap Kay. Setan gentayangan.
0oo0 Yap Kay mengawasi kedua mayat yang terkapar di lantai, roman mukanya mengunjuk mimik
yang lugu. Ting Hun-pin berdiri jatuh di belakangnya, perhatiannya tertuju ke tempat lain.
Agaknya dia ngeri melihat kematian orang yang begitu mengerikan.
"Kau datang lagi."
"Ya, aku datang lagi."
"Kenapa kau selalu membuntuti aku?"
"Memangnya kau sendiri yang boleh berada di tempat ini?"
Pho Ang-soat tidak bicara lagi. Segera dia beranjak keluar.
"Tunggu dulu," seru Yap Kay.
Biasanya Pho Ang-soat tidak pernah berhenti, tapi kali ini dia justru berhenti, malah membalik
badan. "Kedua orang ini bukan kau yang membunuh."
Pho Ang-soat manggut-manggut. "Mereka pun tidak bunuh diri."
"Tidak bunuh diri?"
"Terang bukan!"
Terbelalak heran Pho Ang-soat dibuatnya, dia tahu Yap Kay bukan laki-laki yang suka
sembarang bicara.
"Tapi aku saksikan sendiri dia menikam dada dengan goloknya itu."
"Umpama mereka tidak menusuk diri dengan golok, mereka toh bakal mati juga. Karena
mereka sudah keracunan lebih dulu."
"Arak itu beracun?"
"Racun yang amat lihai dan amat aneh sekali "
"Kalau mereka sudah minum racun, buat apa menikam diri pula?"
"Karena mereka sendiri tidak sadar bahwa dirinya sudah keracunan."
"Jadi orang lain yang menggunakan racun" Siapa dia?"
"Aku sendiri pun belum bisa menyimpulkan," ujar Yap Kay menghela napas. "Orang yang bisa
menaruh racun di dalam arak Si Bu, tentu orang yang sudah dikenal dan amat hapal dengan
situasi rumah ini. Apalagi Si Bu sudah tahu kau bakal datang, dia sudah bertekad akan gugur,
maka seluruh keluarga pembantu rumahnya dia ungsikan atau bubarkan seluruhnya."
Memang di tengah jalan Pho Ang-soat bertemu dengan orang-orang yang keluar dari Ho-hanceng.
Berkata Yap Kay lebih lanjut "Si Bu sudah tahu bahwa dirinya akan mati, buat apa dia menaruh
racun di dalam araknya?" Sulit menjelaskan persoalan ini.
"Mungkin Si Bu sendiri yang menaruh racun."
"Tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Tidak perlu dia bertindak begitu bodoh."
"Mungkin dia kuatir dirinya tiada kesempatan membela diri."
"Untuk membunuhmu, sudah tentu dia tidak punya kesempatan melawan, tapi bila seseorang
ingin mati, kesempatan itu sembarang waktu bisa saja dia dapatkan. Dan yang penting, Si Bu
terang takkan memiliki racun seperti ini."
"Kenapa?"
"Selama hidupnya dia mengagulkan diri sebagai laki-laki gagah, selama hidupnya tidak pernah
menggunakan senjata rahasia, terutama membenci orang-orang yang menggunakan racun, orang
seperti dia masakah sudi menggunakan racun untuk membunuh diri?" Tanpa memberi waktu Pho
Ang-soat bicara, dia melanjutkan, "Apalagi racun jenis ini jarang ada, malah amat menakutkan, tak
peduli racun ini ditaruh dalam arak atau air, tanpa menimbulkan tanda-tanda mencurigakan, tidak
berwarna tidak berbau, malahan alat perak pun tidak bisa membedakan kadar racunnya."
"Kau mengenal racun apa yang digunakan ini?" tanya Pho Ang-soat.
"Seluruh jenis racun yang ada di dunia ini, sedikit jumlahnya yang tidak kukenal."
"Jadi racun jenis ini hanya bisa dicoba dengan batu jade kuno saja?"
Untuk menjajal sesuatu apakah beracun, biasanya menggunakan alat-alat perak. Kalau
menggunakan jade kuno adalah di luar kebiasaan.
"Jadi kau pun tahu cara itu?" tanya Yap Kay.
Pho Ang-soat berkata dingin, "Tidak banyak jenis racun yang kuketahui, tapi racun yang bisa
membinasakan aku tidak banyak jenisnya."
Yap Kay tertawa, ia tahu Pho Ang-soat bukan mengagulkan diri. Bahwa Pek-hong Kongcu,
ibunya, adalah putri sulung Mo-kau Kaucu, dia sendiri pun seorang ahli dalam menggunakan
racun. Sudah tentu putranya takkan bisa terbunuh oleh racun.
Mungkin Pho Ang-soat tidak ahli menggunakan racun, atau mungkin juga tidak pernah melihat
orang mati keracunan, tapi cara untuk membedakan jenis dan kadar racun sudah tentu dia jauh
lebih tahu. Sayangnya pengalamannya saja yang tidak luas.
"Jadi menurut analisamu, Si Bu tidak menaruh racun dalam araknya sendiri."
"Pasti tidak."
"Kalau orang lain tahu dia pasti mati, tidak perlu dia memberi racun dalam arak. Lalu darimana
racun ini?"
"Setelah kupikir-pikir hanya ada satu kemungkinan" ujar Yap Kay lebih lanjut. "Penaruh racun
pasti kuatir dia membocorkan sesuatu di hadapanmu, maka dia hendak meracunnya mati lebih
dulu sebelum kau kemari."
"Tapi waktu aku datang, dia belum mati."
"Mungkin karena kedatanganmu terlalu cepat, atau mungkin kematiannya terlambat."
"Waktu aku datang, sedikitnya dia sudah minum empat-lima cangkir."
"Waktu arak disuguhkan sudah bercampur racun, tak berselang lama kemudian baru Si Bu
mulai minum, maka racun dalam arak sudah mengendap ke bawah. Maka arak yang dia minum
terdahulu kadar racunnya tidak berat."
"Maka waktu aku datang, dia masih hidup dan sempat mengucapkan banyak persoalan."
Yap Kay manggut-manggut.
"Tapi kau belum membongkar rahasia seseorang yang patut dicurigai."
"Coba kau pikir-pikir dulu."
Pho Ang-soat menepekur, katanya kemudian, "Dia memberitahu, cukup lama mereka
menunggu di luar Bwe-hoa-am, mendadak ada orang bilang semua orang sudah lengkap."
Seketika bersinar biji mata Yap Kay, katanya, "Darimana dia bisa tahu bila orangnya sudah
lengkap" Darimana dia tahu berapa jumlah seluruhnya" Hal ini sebetulnya hanya diketahui Be
Khong-cun sendiri "
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tapi waktu itu Be Khong-cun pasti masih berada di dalam Bwe-hoa-am minum arak."
"Si Bu pun berkata demikian."
"Lalu siapa yang mengatakan" Si Bu tidak memberitahu?"
Pho Ang-soat geleng-geleng kepala. "Katanya umpama dia tahu juga tnkkan memberitahu
kepadaku."
"Jadi besar kemungkinan orang yang bersuara di luar Bwe-hoa-am itulah orang yang menaruh
racun dalam arak Si Bu ini."
Belum Pho Ang-soat bersuara, Ting Hun-pin sudah menukas, "Sudah pasti dia adanya."
"Karena tahu bahwa Si Bu sudah tahu akan rahasia dirinya, maka Si Bu dibunuhnya untuk
menutup mulut," Yap Kay menambahkan.
"Sayang dia salah menilai Si Bu," Ting Hun-pin menghela napas, "ternyata Si Bu adalah seorang
sahabat yang setia kawan."
"Oleh karena Si Bu adalah sahabat karibnya, maka walau dia mengenakan kedok, Si Bu tetap
masih mengenali suaranya."
"Betul."
"Jadi kalau dia datang sendiri kemari, mustahil Si Bu tidak tahu."
"Mungkin saja dia menyuruh orang lain menaruh racun?"
"Mustahil," Yap Kay menggeleng setelah termenung sejenak, "tugas ini amat rahasia, siapa
yang dia tugasi untuk melakukan hal itu?"
"Tentu saja orang kepercayaannya."
"Sahabat karib macam Si Bu saja tak dipercaya, siapa yang bisa dia percayai?"
"Mungkin saja suami atau istrinya, orang tuanya, saudaranya, hubungan semacam ini pasti
lebih akrab ketimbang hubungan teman." Yap Kay menghela napas panjang.
"Sayang tak seorang pun bisa ditemukan di keluarga Si sekarang sulit bagi kita untuk
melacaknya."
"Biarpun anggota keluarga Si telah pergi semua, toh mereka belum mampus."
Yap Kay manggut manggut, diambilnya sisa arak dari dalam teko dan diendusnya sesaat,
kemudian katanya lagi, "Arak ini sudah lama disimpan dalam gudang, bahkan belum lama dibuka."
"Kau tak perlu berlagak," tukas Ting Hun-pin sambil tertawa, "aku tahu, pengetahuanmu
tentang arak memang hebat... heran, kau selalu punya pengetahuan luas terhadap perbuatan
busuk." "Sayang aku tak tahu siapa pengurus gudang arak keluarga Si," sahut Yap Kay tertawa getir.
"Selama dia masih hidup, suatu ketika pasti akan kita temukan, hakikatnya bukan hal yang
sulit." Pelan-pelan sambungnya, "Kenapa kau menaruh perhatian khusus terhadap hal ini, apa
sangkut-pautnya dengan dirimu?"
Tiba-tiba Pho Ang-soat membalik badan, dengan tajam dia pandang Yap Kay, katanya.
"Persoalan ini tak ada sangkut-pautnya dengan kau, sejak semula sudah kuperingatkan kepadamu
jangan kau ikut mencampuri urusan ini."
Yap Kay meringis, sahutnya, "Aku hanya tertarik saja."
Pho Ang-soat menyeringai dingin, pelan-pelan dia melangkah pergi.
Tiba-tiba Ting Hun-pin berseru, "Tunggu dulu, aku ingin tanya suatu hal kepadamu."
Pho Ang-soat tidak berhenti, hanya melambatkan langkahnya.
"Mana dia?" tanya Ting Hun-pin.
"Dia siapa?" jawab Pho Ang-soat sambil menghentikan langkahnya.
"Perempuan yang selalu mengikutimu."
Paras Pho Ang-soat yang putih memucat berkerut kencang, tanpa menjawab dia berlalu dari
situ. 0oo0 11ok BAB 34. TONGCU GOLOK SAKTI
Memandangi Pho Ang-soat yang semakin menjauh, Ting Hun-pin menghela napas panjang,
katanya, "Kau benar, tidak seharusnya Cui-long mencari dirinya, sekarang malah dia yang
meninggalkannya."
Setelah geleng-geleng kepala gegetun, dia melanjutkan, "Dia masih seperti yang dulu,
hakikatnya tidak mirip manusia."
"Dia tetap adalah manusia, bukan setan."
"Kalau dia manusia, tidak sepantasnya dia meninggalkan Cui-long."
"Justru seharusnya memang begitu."
"Kenapa?"
"Dia merasa sudah banyak mengalami siksa derita, menanggung beban yang berat, bila dia
masih bersama Cui-long, akibatnya pasti banyak penderitaan yang bakal mereka alami."
"Oleh karena itu dia lebih suka orang lain yang menderita?" jengek Ting Hun-pin.
"Dia sendiri pasti sangat menderita, bagaimana pun juga dia memang harus meninggalkannya,"
kata Yap Kay menghela napas pula.
"Kenapa?"
"Kalau Cui-long boleh meninggalkan dirinya, kenapa pula dia tidak boleh?"
"Karena... karena...."
"Karena Cui-long perempuan dan dia laki, begitu maksudmu?"
"Kan tidak seharusnya laki-laki memperlakukan perempuan begitu."
"Laki-laki kan juga manusia," katanya sambil tertawa getir. "Penyakit paling besar kaum
perempuan adalah selalu menganggap kaum lelaki barang mainan, manusia yang sepantasnya
menderita dan tersiksa seumur hidup, bekerja keras, berkorban dan mampus demi kaum
perempuan."
Mendengar kata-kata ini, tak tahan Ting Hun-pin cekikikan geli, "Siapa bilang kaum lelaki tidak
sepantasnya mampus demi kaum perempuan?" Terus saja ditubruknya tubuh Yap Kay, dipeluknya
dengan kencang, lalu digigitnya kuping Yap Kay dengan gemas. Lalu katanya pula, "Sekali pun
semua kaum lelaki di dunia ini mampus semua juga tak menjadi soal bagiku, aku tak akan
menangis atau bersedih, kecuali kau tetap hidup, tetap hidup di sampingku dan berbahagia
sepanjang masa ...."
Angin berhembus kencang. Kembali dia seorang diri.
Dimanakah perempuan yang mengikut di belakangnya itu"
Pelan-pelan Pho Ang-soat beranjak ke depan, ia tahu di belakangnya sudah tidak ada yang
mengikutinya, tak ada lagi perempuan di belakangnya yang berjalan dengan kepala tertunduk.
Dia sudah biasa menyendiri, tapi sekarang terasa hatinya kosong, seakan-akan kehilangan
sesuatu. Ada kalanya ingin dia menengok sekejap ke belakang.
Dimanakah dia sekarang"
Apa yang sedang dilakukannya sekarang"
Sedang menangis seorang diri"
Atau sudah pergi dengan lelaki lain"
Kembali Pho Ang-soat merasa hatinya sakit sekali, seperti ditusuk-tusuk jarum.
Kini dia telah meninggalkannya, tidak seharusnya masih memikirkannya, dia pun tidak
seharusnya menderita lagi.
Tapi sekarang justru dia selalu memikirkannya, rela menanggung derita.
Pada dasarnya manusia mempunyai sifat suka menyiksa diri sendiri. Dia bisa menyiksa orang
lain, tetapi mengapa pula harus menyiksa diri sendiri"
Walau dia bisa bersembunyi di tempat yang tak bisa ditemukan perempuan itu. namun dia
sendiri juga akan menderita oleh karenanya.
Di kala seorang diri, terkadang Pho Ang-soat suka mengucurkan air mata. Sekarang, belum lagi
ia mengucurkan air mata, didengarnya isak tangis seseorang. Isak tangis seorang laki-laki.
Suara tangisannya keras dan memedihkan hati, jarang ada lelaki menangis secara demikian,
seakan suami yang ditinggal mati istrinya.
Walau Pho Ang-soat tidak suka mencampuri urusan orang lain, tak urung dia merasa heran
juga. Tentu dia tidak akan ke sana menengoknya lebih-lebih bertanya kepada orang itu mengapa
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis. Suara tangisan berasal dari dalam sebuah hutan, tapi dia justru berjalan keluar menjauhi hutan.
Tapi pada saat itulah ia dengar orang itu menangis sambil sesambatan tiada hentinya.
"Pek-tayhiap, mengapa kau mati" Siapakah yang telah mencelakai kau" Mengapa kau tidak
memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi?"
Ketika mendengar perkataan itu, mendadak Pho Ang-soat menghentikan langkah dan berbalik
masuk hutan badan.
Dilihatnya seorang lelaki berbaju berkabung dari kain belacu sedang berlutut di dalam hutan, di
hadapannya terdapat sebuah meja kecil di atas meja terletak orang-orangan dan kuda-kudaan dari
kertas, selain itu tampak pula sebilah golok dari kertas putih, hanya bagian gagangnya saja yang
diwarnai hitam.
Lelaki pertengahan umur itu bertubuh kekar dan tegap, dari rona mukanya menunjukkan
kekerasan hatinya, seorang lelaki yang tegar dan tidak gampang menangis.
Tetapi mengapa sekarang dia menangis dengan begitu memilukan"
Tampak lelaki itu sedang membakar benda-benda yang terbuat dari kertas di atas meja itu,
matanya masih mengembeng air mata.
Pho Ang-soat berjalan menghampiri, berdiri di sampingnya dan mengawasi gerak-geriknya
dengan tenang. Orang itu tidak berpaling, sibuk mengawasi benda-benda yang dibakarnya, air mata masih
bercucuran membasahi pipinya. Dia mengambil secawan arak dan disiramkan di atas api, lalu
sisanya ditenggak habis.
"Pek-tayhiap," dia bergumam, "aku tak punya apa-apa yang dapat dipersembahkan kepadamu,
semoga di alam baka arwahmu memperoleh ketenangan Belum selesai dia bergumam, air mata
kembali bercucuran, tangisan bertambah sedih.
Menanti lelaki itu menghentikan tangisannya, baru Pho Ang-soat menegur, "He, siapa yang kau
tangisi?" Lelaki itu terkejut dan berpaling, dipandangnya Pho Ang-soat dengan terkesima. Setelah raguragu
sejenak, ia pun menyahut, "Aku menangisi lelaki sejati yang tiada taranya di dunia ini,
pendekar besar yang termashyur di kolong langit, sayang kalian anak-anak muda tidak tahu
siapakah dia."
Jantung Pho Ang-soat berdebar keras, ia berusaha mengendalikan gejolak perasaannya.
Setelah merandek sejenak, tanyanya pula, "Lalu kenapa kau tangisi?"
"Karena dialah tuan penolong hidupku, tidak pernah kuterima budi kebaikan orang lain kecuali
dia seorang. Dia telah menyelamatkan jiwaku."
"Cara bagaimana dia telah menyelamatkan jiwamu?"
Setelah menghela napas panjang, kata lelaki itu, "Dua puluh tahun lalu, sebenarnya aku adalah
seorang piau-su, waktu itu aku sedang mengawal barang kawalan yang berharga melewati tempat
ini" "Di tempat ini?" tukas Pho Ang-soat.
Lelaki itu manggut-manggut, lalu ia melanjutkan penuturannya, "Karena tanggung jawab
pengawalan, maka aku ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuan, namun sampai di tempat ini
aku lupa memberitahukan kepada penguasa wilayah ini, penguasa Ho-han-ceng, yaitu Si Bu."
"Jadi semua orang yang lewat di tempat ini harus meminta izin dahulu kepadanya?"
"Ya, begitulah, setiap orang yang lewat harus menyambanginya, minum arak di rumahnya dan
menghaturkan sedikit upeti kepadanya, kalau tidak, maka hal ini merupakan penghinaan bagi Si
Bu." Bicara sampai di sini sorot matanya merah membara, mengunjuk kemarahan yang berkobarkobar,
setelah tertawa dingin, ia melanjutkan, "Si Bu adalah penguasa daerah ini, maka tiada
orang berani mencari gara-gara kepadanya."
"Jadi kau telah menyinggung perasaannya?"
"Betul, oleh karena itu dengan membawa kampak gedenya dia mencari gara-gara kepadaku."
"Apa yang dia kehendaki?"
"Dia suruh aku meninggalkan barang kawalan, kemudian menyuruhku mengundang pemilik
Piaukiok untuk berkunjung ke Ho-han-ceng dan meminta maaf kepadanya."
"Kau tidak mau?"
Kembali lelaki itu menghela napas, sahutnya,- "Kalau hanya untuk meminta maaf sih bukan
masalah, tapi barang kawalan itu kan harus diantar tepat waktu, kalau tidak, bagaimana papan
nama perusahaan akan dapat kami tegakkan."
Setelah berhenti sejenak dan membusungkan dada, ia pun melanjutkan, "Apalagi aku, Tio Tayhong,
jelek-jelek juga sudah punya nama, tentu saja aku menjadi tak tahan menghadapi
perlakuannya itu."
"Maka kalian bertempur?"
Sekali lagi Tio Tay-hong menghela napas, tuturnya pula, "Ai, memang permainan kampak
gedenya itu luar biasa hebatnya, aku memang bukan tandingannya. Dalam keadaan marah besar,
dia hendak membacok aku dengan kampaknya itu, untung saja pada saat itu ada seseorang yang
mencegahnya, dia segera turun tangan menghalangi."
Bicara sampai di sini, rona mukanya sedikit mengunjuk rasa senang, katanya kemudian.
"Setelah mengetahui duduknya perkara, orang yang telah menolongku itu memaki Si Bu kalangkabut,
bahkan menyuruh Si Bu segera melepas diriku."
"Lalu?"
"Tentu saja Si Bu tidak mandah terima dicaci-maki, dia pun turun tangan, namun di hadapan
penolongku itu kampak gedenya itu seakan-akan hanya mainan anak-anak saja."
Sekali lagi Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang ....
Kemali Tio Tay-hong melanjutkan, "Selama hidup belum pernah aku menyaksikan seorang yang
mempunyai kepandaian begitu lihai, seorang yang gigih membela kebenaran dan keadilan,
sayang...."
"Sayang bagaimana?" tanya Pho Ang-soat.
"Sayang, akhirnya pendekar besar itu harus wafat dalam keadaan tidak jelas oleh siasat busuk
kaum kurcaci dunia persilatan," kata Tio Tay-hong sedih.
Air matanya kembali jatuh berlinang membasahi wajahnya, ia melanjutkan kembali katakatanya,
"Sayang sekali dimanakah letak kuburan pendekar besar itupun tidak kuketahui, oleh
karena itu setiap tahun bila tiba saatnya ketika peristiwa itu terjadi, aku pun datang kemari untuk
bersembahyang bagi arwahnya, tiap kali teringat akan kegagahannya di masa lalu, teringat
kebaikan-kebaikan yang telah ia berikan kepadaku, aku selalu tak kuasa menahan diri dan
menangis."
Pho Ang-soat mengepal kencang tangannya. "Siapakah namanya?" tanyanya.
"Sekalipun namanya kusebutkan juga belum tentu kau ketahui, apalagi kaum muda seperti
kalian," kata Tio Tay-hong sedih.
"Coba kau katakan."
"Dia she Pek ...." jawab Tio Tay-hong ragu-ragu.
"Si golok sakti Pek-tayhiap?"
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Tio Tay-hong agak terperanjat.
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaan itu, tangannya masih mengepal kencang, katanya
lagi, "Sesungguhnya dia manusia macam apa?"
"Sudah kukatakan tadi, dia adalah seorang lelaki sejati berbudi luhur dan arif bijaksana, dia
seorang Enghiong Hohan yang luar biasa selama seratus tahun belakangan ini."
"Apakah karena dia telah menolongmu, maka kau mengatakan demikian?"
Dengan wajah bersungguh-sungguh Tio Tay-hong menjawab, "Sekalipun dia tidak menolongku,
aku tetap akan berkata demikian. Manusia mana di dunia ini yang tidak mengetahui nama si golok
sakti Pek-tayhiap" Siapa pula yang tidak kagum kepadanya?"
"Tapi..."
"Hanya manusia jahat, kaum laknat berhati buas dan manusia tak tahu aturan saja yang benci
kepadanya, sebab Pek-tayhiap adalah seorang yang benci segala macam kejahatan, dan lagi dia
berjiwa pendekar, bila bertemu suatu kejadian yang tidak adil, dia pasti akan ikut campur."
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Misalnya Si Bu, sudah pasti dia amat membenci
dirinya, sudah pasti dia akan mengucapkan kata-kata busuk di belakangnya, tapi...."
Perasaan Pho Ang-soat yang sudah dingin, tiba-tiba panas kembali.
Apa yang kemudian dikatakan Tio Tay-hong boleh dibilang sama sekali tidak terdengar lagi
olehnya, hati kecilnya tiba-tiba saja diliputi napsu membalas dendam, bahkan perasaan ini jauh
lebih hebat daripada sebelumnya.
Akhirnya dia mengerti, sebenarnya ayahnya manusia macam apa.
Sekarang dia sudah yakin, membalas dendam bagi ayahnya adalah tindakan benar, walau
harus mengorbankan segalanya.
Terhadap orang-orang yang ikut membunuh ayahnya, dia semakin benci. Terutama terhadap
Be Khong-cun! Dia bersumpah hendak mencari Be Khong-cun sampai ketemu! Dia bersumpah tak akan
mengampuni jiwa pembunuh yang melakukan pembunuhan terhadap ayahnya.
Sekujur badannya gemetar keras saking gusarnya, rasa dendamnya menyala-nyala.
Dengan terperanjat Tio Tay-hong memandangnya, ia tidak habis mengerti apa sebabnya
pemuda itu berubah begitu secara tiba-tiba.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Pernahkah kau dengar tentang Be Khong-cun?"
Tio Tay-hong tidak menjawab, hanya mengangguk.
"Tahukah kau, sekarang dia berada dimana?" tanya Pho Ang-soat lagi.
Tio Tay-hong menggelengkan berulang kali, sementara sorot matanya dialihkan dari wajahnya
ke arah golok yang berada dalam genggamannya itu.
Golok hitam, sarung golok hitam dan gagang golok hitam pula.
Golok yang tak terlupakan oleh Tio Tay-hong untuk selamanya ....
Tiba-tiba dia melompat bangun dan berseru tertahan. "Kau ... kau ... apakah kau adalah ...."
"Ya, memang akulah orangnya!" jawab Pho Ang-soat.
Dia pun tidak berucap lagi, pelan-pelan membalikkan badan dan beranjak keluar hutan.
^?"?^ Angin berhembus kencang.
Dengan termangu-mangu Tio Tay-hong memperhatikan ke arahnya, ia pun beranjak keluar,
memburu ke arah Pho Ang-soat dan berlutut di hadapannya.
"Pek-tayhiap menaruh budi kebaikan yang tinggi kepadaku," teriaknya, "walaupun dia orang tua
sudah meninggal, tapi kau ... kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi
kebaikan ini."
"Tidak usah."
"Tapi aku...."
"Anggap saja apa yang barusan kau katakan kepadaku sebagai balas budi kebaikan yang
pernah kau terima."
"Tapi tadi tak kukatakan aku tak tahu kabar tentang orang she Be itu."
"Kau?"
"Sekarang walaupun aku sudah berhenti bekerja sebagai Piausu, tapi teman-temanku di masa
lalu masih banyak sekali, banyak pula di antara mereka yang masih melakukan perjalanan sudah
pasti mereka akan lebih tajam pendengarannya daripada aku, mereka pasti akan mencarikan
berita untuk kau."
Pho Ang-soat menundukkan kepala, memandang golok dalam genggamannya.
Kemudian dia bertanya, "Kau tinggal dimana?"
^?"?^ Rumah itu amat sederhana, tapi bersih dan rapi, di atas dinding ruangan yang berwarna putih
bersih tergantung sebuah lukisan.
Lukisan seorang yang tidak mirip manusia, lebih menyerupai dewa. Itulah lukisan seorang lelaki
setengah umur berwajah putih bersih tanpa jenggot dan bermata tajam, dia sedang
mendongakkan kepala berdiri di luar hutan, tubuhnya tegap.
Dia mengenakan jubah berwarna merah, sebilah golok tersoreng di pinggangnya.
Golok berwarna hitam.
Di depan lukisan terdapat sebuah meja sembahyangan, di atas meja tampak sesajian, sedang
pada papan nama yang terbuat dari kayu putih tertera beberapa huruf: "Tempat arwah In-kong
Pek-tayhiap".
Di sinilah Tio Tay-hong berdiam.
Tio Tay-hong memang seseorang yang mengerti bagaimana cara berterima kasih kepada orang
lain, dia memang seorang laki sejati yang tahu diri.
Sekarang dia sedang keluar rumah mencari kabar buat Pho Ang-soat.
Sedang Pho Ang-soat sendiri sedang duduk di tepi meja sambil mengawasi lukisan ayahnya.
Di tangannya tergenggam sebilah golok yang sama, golok hitam bersarung dan bergagang
hitam. Sudah empat hari, setiap hari dia datang ke situ.
Selama empat hari ini, setiap hari dia hanya duduk termenung di sana, duduk termangu-mangu
sambil mengawasi lukisan ayahnya.
Sekujur tubuhnya dingin, tapi darah yang mengalir panas dan mendidih.
"Dia seorang lelaki sejati yang arif bijaksana, pendekar berbudi luhur, seorang Enghiong Hohan
yang luar biasa". Kata-kata ini sudah cukup baginya.
Entah beberapa banyak penderitaan yang harus dialami, entah berapa besar pengorbanan yang
harus diberikan, ucapan ini sudah lebih dari cukup.
Dia tak boleh membiarkan arwah ayahnya di alam baka menganggap dia seorang anak yang
tak bersemangat dan tidak memiliki keberanian ....
Dia harus mencuci bersih dendam kesumat ini, walau harus membayar dengan mahal.
Malam sudah menjelang, dia memasang lampu dan duduk termenung seorang diri di bawah
lentera. Selama beberapa hari ini, dia hampir melupakan Cui-long, tapi bila malam sudah tiba, di tengah
keheningan yang mencekam dan memandang sinar lentera yang bergoyang-goyang, seakan-akan
dia telah menyaksikan kerlingan mata Cui-long.
Sambil mengertak gigi, dia berusaha tidak memikirkan perempuan itu.
Berada di depan lukisan ayahnya, berpikir tentang hal itu adalah tabu, memalukan.
Pada saat itulah dari luar pintu terdengar suara langkah kaki orang.
Lorong dimana rumah itu berada amat sepi dan lenggang, hanya beberapa rumah saja di
sepanjang gang sempit itu, kecil kemungkinan orang berkunjung ke rumah itu.
Ternyata yang datang adalah Tio Tay-hong, pemilik rumah.
Pho Ang-soat segera bertanya, "Sudah ada beritanya?"
Tio Tay-hong menunduk dan menghela napas panjang, ia tidak berkata apa-apa.
Pho Ang-soat tidak menantikan jawabannya lagi, dari mimik mukanya yang murung dan sedih,
ia telah memperoleh jawaban.
Angin di luar jendela berhembus kencang, daun-daun rontok ke tanah seolah-olah suara orang
yang sedang menghela napas.
Pelan-pelan Pho Ang-soat bangkit berdiri, kemudian katanya, "Kau tah usah sedih, aku tak akan
menyalahkan dirimu."
"Kau ... kau akan pergi?" tanya Tio Tay-hong sambil mengangkat kepala.
"Aku sudah menunggu selama empat hari."
"Sekalipun kau hendak pergi, sepantasnya kalau menunggu sampai besok pagi," ucap Tio Tayhong
sambil menggenggam kencang tangannya.
"Kenapa?"
"Karena malam nanti ada orang yang akan berkunjung kemari."
"Siapa?"
"Seorang manusia aneh."
Pho Ang-soat berkerut kening, namun ia tidak berkata-kata.
Tio Tay-hong kelihatan semakin gembira, semakin bersemangat.
"Bukan cuma aneh, malah boleh dibilang orang sinting, tapi dia adalah orang sinting yang
paling tajam pendengarannya."
"Darimana kau bisa tahu kalau dia akan datang kemari?" tanya Pho Ang-soat ragu-ragu.
"Dia sendiri yang mengatakan."
"Kapan dia berkata?"
"Tiga tahun berselang!"
Sekali lagi Pho Ang-soat mengerut kening.
Tio Tay-hong segera berkata lagi, "Sekalipun diucapkan pada tiga puluh tahun berselang pun,
aku tetap percaya hari ini dia pasti akan datang, sekalipun ada orang memenggal kakinya, dia pun
akan merangkak datang kemari."
"Andaikata dia mati?" tanya Pho Ang-soat dingin.
"Dia pasti akan menyuruh orang menggotong jenazahnya kemari!"
"Kau begitu percaya kepadanya?"
"Aku memang sangat mempercayainya, sebab belum sekali pun dia ingkar janji."
Pelan-pelan Pho Ang-soat duduk kembali di kursi.
Tio Tay-hong bertanya lagi, "Kau selamanya tak pernah minum arak?"
Pho Ang-soat menggeleng kepala berulang kali, lamat-lamat dirasakan hatinya amat sakit.
Tio Tay-hong sama sekali tidak melihat penderitaannya ini, malah ia berkata lagi sambil
tertawa, "Tapi si edan itu justru seorang setan arak, paling tidak harus menyediakan dua guci arak
baginya." "Kuharap kedua guci arak itu tak ada yang meneguknya lebih dahulu," sambung Pho Ang-soat
dingin Arak telah diletakkan di atas meja, dua guci banyaknya.
Malam pun makin semakin kelam.
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara kentongan, sudah mendekati tengah malam.
Tengah malam sudah lewat, namun belum juga ada yang datang.
Tio Tay-hong masih duduk di sana dengan tenang, perasaan gelisah atau cemas sedikit pun tak
nampak. Dia memang sangat mempercayai sahabatnya itu.
Pho Ang-soat juga duduk tak bergerak, dia pun tidak bertanya apa-apa lagi.
Akhirnya Tio Tay-hong lah yang memecah keheningan, ujarnya sambil tersenyum, "Dia bukan
cuma seorang sinting, juga seorang setan arak, bahkan seorang perampok yang bekerja sendiri,
meski begitu belum pernah kujumpai seorang yang lebih bisa dipercaya daripada dirinya ...."
Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, hanya mendengarkan.
Kembali Tio Tay-hong berkata, "Kendati dia seorang perampok ulung, namun seorang
perampok budiman yang suka menolong kaum miskin, tiap kali memperoleh hasil rampokan, dia
selalu membagikan kepada fakir miskin, seringkah dia sendiri malah tak kebagian."
Pho Ang-soat tidak heran, ia pernah menjumpai orang macam begini. Konon Yap Kay termasuk
jenis yang ini.
"Dia she Kim orang-orang memanggilnya Kim si sinting," Tio Tay-hong menerangkan, "lantaran
begitu tersohornya nama Kim si sinting, lambat-laun orang lupa pada nama aslinya."
Pho Ang-soat seakan tidak mendengar ucapannya. Pada saat itulah terdengar berkumandang
suara langkah dari lorong.
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Langkah kaki itu amat berat, langkah kaki dua orang.
Tio Tay-hong mendengar pula, tapi segera dia menggeleng kepala berulang kali.
"Yang datang sudah pergi pasti bukan dia," katanya.
"O!" "Sudah kukatakan tadi, dia adalah seorang perampok yang berkerja sendiri, selamanya luntanglantung
seorang diri." Setelah tertawa, ia melanjutkan, "Sebagai perampok ulung, tak mungkin
suara langkah kakinya berat "
Pho Ang-soat merasa uraian ini masuk akal, tapi langkah kaki itu justru berhenti di depan
rumah ini. Tio Tay-hong mengerut dahi. Terdengar ada orang mengetuk pintu.
Kembali Tio Tay-hong bergumam dengan kening berkerut, "Sudah pasti bukan dia, selamanya
dia tak pernah mengetuk pintu."
Tapi mau tak mau dia harus membuka pintu Di depan pintu benar-benar berdiri dua orang, dua
orang yang menggotong sebuah peti mati besar
0oo0 Malam sudah makin kelam, bintang bertaburan di angkasa.
Cahaya bintang yang redup menyoroti wajah dua orang itu.
Paras mereka biasa saja dan bersahaja, pakaian yang dikenakan juga kain kasar dengan sepatu
rumput. Siapa pun yang melihat kedua orang itu, akan menduga mereka adalah kuli-kuli panggul kasar.
"Kau she Tio?" tanya mereka.
Tio Tay-hong manggut-manggut.
"Ada orang menyuruh kami mengantar peti mati ini untukmu."
Mereka meletakkan peti mati itu dalam ruangan, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata
pun segera membalik badan dan tinggal pergi, seakan-akan kuatir kepergian mereka kurang
cepat. Sebetulnya Tio Tay-hong ingin mengejar keluar, tapi setelah memandang peti mati itu sekejap,
niatnya itu diurungkan.
Dia tetap berdiri di tempat, memandang peti mati itu dengan wajah termangu-mangu.
Air mata seolah-olah meleleh keluar dari matanya, dengan sedih dia berkata, "Telah kukatakan,
mati pun dia akan menyuruh orang menggotong peti matinya kemari."
Pho Ang-soat merasakan hatinya seakan-akan tenggelam.
Meski dia tidak menaruh harapan terlalu besar pada persoalan ini, bagaimana pun juga toh dia
mengharap juga setitik harapan. Tapi sekarang harapannya kembali buyar.
Menyaksikan Tio Tay-hong bersedih bagi kematian temannya, hatinya ikut mendelu.
Sayang dia tak pernah menghibur orang, sekarang dia hanya ingin minum arak, secara tiba-tiba
ingin minum arak .... Arak terletak di atas meja.
Tio Tay-hong menghela napas sedih, katanya tiba-tiba, "Tampaknya kedua guci arak ini benarbenar
tak ada yang minum."
"Kalau tak ada yang minum, itu baru aneh," tiba-tiba terdengar seseorang berteriak.
Ternyata suara itu berasal dari dalam peti mati.
Menyusul kemudian, terdengar "Blamm!", penutup peti mati terbuka dan seseorang melompat
keluar dari dalam peti mati itu. Seorang lelaki berwajah penuh cambang, bertelanjang dada dan
mengenakan celana hitam bersulam bunga berwarna merah, sepatunya masih baru.
Sambil tertawa terbahak-bahak Tio Tay-hong segera berseru, "Kau memang benar-benar
sinting, aku sudah tahu kalau kau tak akan mampus."
"Kalau ingin mampus, paling tidak juga harus menghabiskan dulu kedua guci arak ini," sahut
Kim si sinting.
Begitu melompat ke depan, segera dia hancurkan penutup guci arak dan segera meneguknya
dengan lahap. Pho Ang-soat duduk di sana, tapi sekejap pun dia tidak memandang ke arahnya, seakan-akan
dalam ruangan itu tiada kehadiran orang ini.
Tampaknya orang ini memang rada sinting.
Tapi Pho Ang-soat tidak marah, dia sendiri pun seringkali tidak memandang ke arah orang lain.
Dalam waktu singkat Kim si sinting sudah menghabiskan setengah guci arak itu, kemudian baru
berhenti dan menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
arak bagus, benar-benar arak bagus, hitung-hitung tidak sia-sia kedatanganku kali ini."
"Kalau ingin datang, datang saja kemari, mengapa harus bermain macam begini?" seru Tio Tayhong.
"Siapa yang bermain setan dengan kau?" seru Kim si sinting dengan mata melotot.
"Kalau bukan lagi bermain setan, mengapa kau bersembunyi di dalam peti mati dan menyuruh
orang menggotong kemari?"
"Karena aku malas berjalan sendiri."
Jawaban bagus, juga sinting, tapi ketika mengucapkan kata-katanya ini, sorot matanya seakanakan
memperlihatkan perasaan murung dan takut.
Oleh karena itu cepat dia mengambil guci araknya dan kembali meneguk sampai habis.
Tio Tay-hong segera menarik tangannya.
"Mau apa kau?" seru Kim si sinting, "apakah tidak rela kuminum arakmu ini?"
Tio Tay-hong menghela napas panjang, katanya kemudian, "Kau tak usah mencoba mengelabui
aku, aku tahu kau pasti sedang menghadapi kesulitan."
"Kesulitan apa?"
"Kau pasti telah menyalahi seseorang, untuk menghindari pengejarannya, maka kau
menyembunyikan diri dalam peti mati."
Kim si sinting melotot, teriaknya, "Mengapa aku harus bersembunyi dari kejaran orang" Aku
Kim si sinting pernah takut kepada siapa?"
Terpaksa Tio Tay-hong menutup mulutnya, dia tahu tak ada untungnya berdebat masalah ini
dengan seorang sinting, sekali pun Kim si sinting menghadapikesulitan yang bagaimana pun
besarnya, dia tak akan menunjukkan hal itu di depan orang.
Akhirnya dia baru teringat dalam ruangan masih ada orang ketiga, maka dengan wajah berseri
katanya, "Ah, benar, aku lupa memperkenalkan kalian, temanku ini adalah ...."
"Dia temanmu, bukan temanku?" tukas Kim si sinting cepat.
Belum selesai berkata, mulutnya sudah disumpa guci arak.
Terpaksa Tio Tay-hong tertawa getir, katanya kemudian dengan nada minta maaf, "Sejak tadi
sudah kukatakan, dia adalah seorang sinting."
"Sinting pun ada baiknya juga," kata Pho Ang-soat.
Mendadak Kim si sinting meletakkan guci araknya keras-keras ke atas meja, kemudian dengan
mata melotot serunya, "Apa baiknya orang sinting?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, bahkan menggubris pun tidak.
"Kau anggap orang sinting itu baik, jangan-jangan kau sendiri pun sinting?" seru Kim si sinting
lagi. Pho Ang-soat masih saja membungkam, sama sekali tidak menggubrisnya.
Mendadak Kim si sinting mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, orang
ini benar-benar menarik, benar-benar menarik...."
Diam-diam Tio Tay-hong menarik ujung bajunya, lalu tertawa paksa katanya, "Mungkin kau
belum tahu siapakah dia, dia adalah ...."
"Memangnya aku tidak tahu siapa dia?" tukas Kim si sinting dengan mata melotot.
"Kau tahu?"
"Begitu melangkah masuk rumah ini, aku sudah tahu siapa dia."
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Tio Tay-hong kaget dan tercengang.
"Sekalipun aku tidak kenal orangnya, pasti akan kukenali dari goloknya itu, aku Kim si sinting
sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia persilatan, kau anggap aku hanya luntang-lantung
saja tanpa hasil?"
Tio Tay-hong segera menarik muka dan berseru, "Kalau sudah kau ketahui, tidak sepantasnya
bila kau bersikap begitu tak tahu adat."
"Aku ingin mencoba dirinya."
"Mencoba dirinya?"
"Orang lain mengatakan dia pun seorang aneh, aku ingin tahu dia lebih aneh atau aku yang
lebih aneh."
"Aneh dalam hal apa?"
Kim si sinting mengangkat sepasang sepatu barunya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, "Konon
dalam menghadapi persoalan dia dapat menahan diri, asal kau bukan musuh besarnya, sekali pun
kau menampar wajahnya, dia tak akan membalas."
"Dalam hal ini ada baiknya jangan kau coba-coba," kata Tio Tay-hong sambil menarik muka.
Kim si sinting segera tertawa terbahak-bahak, "Walaupun aku seorang sinting, tapi hingga
sekarang aku tetap seorang sinting, oleh karena itu aku baru dapat memperoleh banyak berita."
"Berita apa?" Tio Tay-hong segera bertanya.
Kim si sinting sama sekali tidak menggubrisnya, dia malah membalik badan dan melotot ke arah
Pho Ang-soat, tiba-tiba katanya, "Bukankah kau ingin tahu Be Khong-cun berada dimana?"
Pho Ang-soat mengepal kencang, kemudian katanya, "Kau tahu?"
"Yang kuketahui memang banyak sekali."
"Dia ... dia berada dimana?" suara Pho Ang-soat menjadi parau saking tegangnya.
Tiba-tiba Kim si sinting menutup mulut, tidak bicara lagi Tio Tay-hong segera memburu ke
depan dan memegang bahu rekannya, ujarnya, "Bila kau memang tahu, mengapa tidak kau
katakan?" "Mengapa aku harus mengatakan?" Kim si sinting balik bertanya.
"Karena dia adalah keturunan tuan penolongku, juga sahabatku." "Aku sudah bilang, dia adalah
sahabatmu, bukan temanku "
"Apakah kau bukan temanku?" seru Tio Tay-hong gusar.
"Sekarang masih, karena sekarang aku masih hidup."
"He, apa maksudmu?"
"Seharusnya kau mengerti."
"Apakah kau bakal mati bila mengatakan hal itu?"
Kim si sinting menggeleng kepala berulang kali, "Bukan begitu maksudku."
"Lalu apa maumu?"
"Ya, hanya ada satu syarat."
"Apa itu?"
"Aku minta kau pergi membunuh seseorang bagiku!"
"Membunuh siapa?"
"Membunuh seorang yang sudah tak ingin kujumpai lagi."
"Jadi kau bersembunyi dalam peti mati, karena berusaha menghindarkan diri dari
pengejarannya?"
Kim si sinting tidak menjawab, dia bungkam seribu bahasa.
"Siapa orang itu?" tanya Pho Ang-soat kemudian.
"Seseorang yang sama sekali tidak kau kenal, dengan kau tiada budi maupun dendam, juga
tiada sakit hati."
"Mengapa aku harus membunuhnya?" tanya Pho Ang-soat.
"Karena kau ingin tahu Be Khong-cun berada dimana "
Pho Ang-soat menundukkan kepala mengawasi goloknya, bila dia sedang berpikir, begitulah
sikapnya. Menyaksikan hal itu, Tio Tay-hong tak tahan bertanya pula. "Mengapa kau ingin dia membunuh
orang itu?"
"Sebab dia hendak membunuhku," jawab Kim si sinting.
"Dia mampu membunuhmu?"
"Mampu!"
"Tidak banyak orang di dunia ini yang sanggup membunuhmu?" kata Tio Tay-hong dengan
wajah berubah. "Orang yang mampu membunuhnya juga tidak banyak!" Diawasinya golok di tangan Pho Angsoat,
kemudian pelan-pelan melanjutkan, "Mungkin hanya golok ini yang mampu membunuhnya!"
Pho Ang-soat menggenggam goloknya kencang-kencang.
"Aku tahu kau tak mau pergi membunuhnya!" kata Kim si sinting lagi. "Ya, siapa yang mau
membunuh orang yang tidak dikenalnya?"
"Tapi aku harus menemukan Be Khong-cun."
"Oleh karena itu kau harus membunuhnya?"
Pho Ang-soat kembali menggenggam goloknya kencang-kencang.
Apa yang dikatakan Kim si sinting memang benar, siapa pun takkan mau membunuh orang
yang tidak dikenal.
Tapi dendam kesumat yang terukir dalam hatinya selama sembilan belas tahun bagaikan
sebatang rumput beracun yang berakar dalam hatinya. Bila dendam kesumat sudah berakar dalam
hati, maka tiada kekuatan di dunia ini yang sanggup mencabutnya.
Wajah Pho Ang-soat tetap pucat, peluh dingin bercucuran membasahi jidatnya.
Kim si sinting memandang ke arahnya, kemudian katanya, "Wan Chiu-hun juga bukan musuh
besarmu, kau sebenarnya tidak kenal dengannya, kau toh sudah membunuhnya."
Pho Ang-soat menengadah.
Dengan suara hambar Kim si sinting melanjutkan, "Siapa pun yang bermaksud membalas
dendam, dia akan membunuh lebih banyak orang, biasanya orang-orang yang terbunuh itu tidak
dikenalnya sama sekali."
Tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Darimana aku tahu setelah kubunuh dia, aku pasti akan
menemukan Be Khong-cun?"
"Karena aku yang bilang "
Apa yang telah diucapkannya selamanya tak pernah diingkari, mau tak mau Pho Ang-soat harus
percaya. Dalam keadaan terancam, orang masih ingat akan janji pertemuan tiga tahun yang lalu.
sungguh tidak mudah untuk melakukannya.
Kembali Pho Ang-soat menundukkan kepala, memandang golok di tangannya, kemudian pelanpelan
berkata, "Sekarang aku hanya ingin kau memberitahukan satu hal kepadaku."
"Hal apa."
"Dimana orang itu berada?" ucap Pho Ang-soat sepatah demi sepatah. Mencorong terang mata
Kim si sinting.
Bahkan Tio Tay-hong pun ikut mengunjukkan perasaan gembira, dia adalah teman mereka, dia
berharap mereka berdua sama-sama bisa memperoleh apa yang diharapkan.
Kim si sinting berkata, "Berjalanlah empat-lima li ke utara, di situ ada sebuah kota kecil, dalam
kota kecil itu terdapat sebuah rumah makan kecil, besok sebelum senja orang itu pasti berada di
dalam rumah makan itu."
"Kota apa" Apa pula nama rumah makan itu?"
"Dari sini menuju ke utara hanya terdapat sebuah dusun kecil, di dusun itu hanya terdapat
sebuah rumah makan, kau pasti dapat menemukannya."
"Darimana kau tahu sebelum senja besok dia pasti sudah berada disitu?"
"Aku kan sudah bilang, banyak persoalan yang kuketahui," jawab Kim si sinting sambil tertawa.
"Macam apa pula orang itu?"
Kim si sinting berpikir sebentar, lalu sahutnya, "Seorang laki-laki."
"Lelaki pun banyak macamnya."
"Lelaki aneh, asal kau bertemu dengannya, kau pasti akan tahu dia berbeda dengan orang
lain." "Berapa umurnya?"
"Seharusnya tiga-empat puluh tahunan, tapi ada kalanya kelihatan masih sangat muda, tiada
orang yang mengetahui berapa usia sesungguhnya."
"Dia she apa?"
"Kau tak usah tahu dia she apa."
"Aku harus tahu dia she apa, dengan demikian aku baru bisa bertanya kepadanya, apakah dia
memang benar-benar orang yang hendak kubunuh
"Aku menyuruh kau pergi membunuhnya, bukan menyuruh km berkenalan dengannya ...." seru
Kim si sinting.
"Jadi kau harap aku langsung membunuhnya begitu berjumpa orang itu?"
"Sebaiknya begitu, tak perlu banyak bicara dan jangan biarkan di? tahu kalau kau bermaksud
membunuhnya."
"Aku tak dapat membunuh orang dengan cara begitu."
"Harus bisa,kalau tidak, kemungkinan besar kaulah yang akan mati di tangannya." Setelah
tertawa, katanya lagi, "Bila kau mati di tangannya, siapa lagi akan membalas dendam bagi
kematian Pek-tayhiap?"
Pho Ang-soat termenung beberapa saat, kemudian pelan-pelan berkata, "Siapa pun takkan mau
membunuh orang yang tak dikenalnya "
"Kan sudah kukatakan."
"Aku sudah bersedia, tapi kan tidak boleh salah membunuh."
"Aku pun tidak mengharap kau salah membunuh."
"Paling tidak kan aku harus tahu bentuk wajah dan tubuhnya."
Kim si sinting termenung dan berpikir beberapa saat, kemudian menjawab, "Orang ini
mempunyai ciri-ciri khas, setelah kau lihat tentu kau akan tahu."
"Apa ciri-cirinya!"
"Pertama, sorot matanya lain dari sorot mata orang umumnya."
"Lain bagaimana?"
"Sorot matanya seperti sorot mata binatang liar, hanya binatang liar saja yang memiliki sorot
mata semacam ini."
"Selain itu?"
"Kalau sedang makan, dia makan dengan pelan sekali, caranya mengunyah pun amat lambat,
seakan-akan untuk bersantap semangkuk nasi saja entah sampai kapan baru habis, seakan-akan
merasa sayang terhadap hidangannya yang sedang dimakan."
"Selanjutnya..."
"Bila sedang seorang diri tak pernah meneguk arak. tapi dihadapannya pasti tersedia sepoci
arak." Pho Ang-soat hanya membungkam, dia mendengarkan semua keterangan itu dengan seksama.
"Di pinggangnya selalu terselip sebatang tongkat."
"Tongkat macam apa?"
"Sebuah tongkat yang sederhana, panjangnya kurang lebih tiga kaki "
"Ia tidak membawa senjata lain?"
"Tidak."
"Tongkat itu senjatanya?"
"Ya, boleh dibilang senjata paling menakutkan yang pernah kusaksikan sepanjang hidupku."
Tiba-tiba Tio Tay-hong menimbrung sambil tertawa. "Tentu senjata itu tak akan menangkan
golokmu, belum ada senjata di dunia ini yang sanggup menandingi kehebatan golokmu itu!"
Pho Ang-soat termenung beberapa saat sambil mengawasi goloknya kemudian mendongakkan
memandang pula golok pada lukisan itu.
Dia takkan membiarkan orang memandang rendah golok ini, tak dapat ia biarkan golok ini
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada di tangan orang lain pula.
Kim si sinting sedang mengawasi wajahnya dengan seksama, kemudian ujarnya, "Sekarang
tentu kau sudah tahu manusia macam apa dirinya?"
Pho Ang-soat manggut-manggut, "Ya, dia memang seorang aneh."
"Kujamin setelah kau bunuh dirinya, takkan ada orang bersedih."
"Mungkin hanya aku." Kim si sinting segera tertawa.
"Tapi setelah kau berhasil menemukan Be Khong-cun, yang bakal susah adalah dia."
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat, lama kemudian baru berkata, "Siapa yang mengatakan
kau sinting?"
"Orang banyak."
"Mereka keliru, aku lihat kau jauh lebih sadar dari mereka "
Kim si sinting tertawa, mengangkat guci arak dan meneguk habis arak itu
Tio Tay-hong yang menyaksikan hal itu tersenyum, katanya, "Kebaikan terbesar orang ini
adalah di kala sadar dia tak akan mabuk, sebaliknya bila mabuk dia pun tak sadar ...."
0oo0 Fajar menyingsing.
Kini Kim si sinting sudah mabuk, mabuk di atas meja sambil mendengkur.
"Aku pun harus beristirahat sebentar ...." gumam Pho Ang-soat.
"Benar, hari ini kau harus memelihara kekuatanmu sebaik-baiknya."
"Apakah membunuh orang pun harus mempunyai semangat dan segar?"
"Kau harus mengerti, orang itu bukanlah seorang yang mudah dihadapi, tidakkah kau
perhatikan apa yang dikatakan Kim si sinting tadi?"
Pho Ang-soat mengawasi golok pada lukisan, tiba-tiba sekulum senyuman angkuh tersungging
di ujung bibirnya, pelan-pelan dia berkata "Tapi aku tidak percaya di dunia ini terdapat tongkat
yang mampu melawan golok ini!"
Dia memang tidak percaya.
Sewaktu Pek Thian-ih masih hidup, dia pun tidak percaya. Tapi sekarang dia sudah mati.
0oo0 BAB 35 TOKOH HEBAT ANGKATAN TUA
Orang asing tak boleh dipercaya, sebab biasanya dia adalah seorang berbahaya.
Orang ini adalah seorang asing.
Belum pernah dia melihat orang ini. juga belum pernah ia saksikan orang macam ini.
Padahal dia bukan seorang aneh.
Wajahnya tampan, bersih, seharusnya merupakan seorang yang disenangi orang banyak.
Dan lagi dia masih muda, kulitnya bersinar, hampir seluruh tubuhnya terdiri dari otot-otot yang
gempal. Dia tidak membawa sesuatu senjata yang bisa membuat orang takut.
Tapi kenyataan dia memang seorang yang menakutkan ....
Ketenangan dan kemantapannya sudah cukup menakutkan orang.
Tidak berbicara belum tentu tenang, tapi yang menakutkan justru ketenangan dan
kelembutannya. Sudah lama dia duduk di sana, bukan saja tidak bicara, juga tidak bergerak, padahal semua
orang tahu hal ini merupakan suatu pekerjaan yang amat sukar.
Dilihat dari gerak-geriknya nampak begitu santai, sekan-akan dia memang sering duduk tak
bergerak seperti itu.
Di atas meja ada arak, juga ada cawan arak. Namun sama sekali tidak dia sentuh sedikit pun.
Seolah-olah arak itu dipesan bukan untuk dirinya, melainkan dipesan untuk dilihat saja. Tapi
setiap kali dia memandang poci itu, dari balik sorot matanya yang dingin segera terpancar sinar
kelembutan. Apakah poci ini dapat membuatnya teringat seorang teman, teman yang sering dibayangkan"
Pakaian yang dikenakan adalah pakaian kasar yang amat sederhana, tapi bersih, pada ikat
pinggangnya yang berwarna sama dengan pakaian yang dikenakan, terselip sebuah tongkat
pendek. Tongkat pendek bukanlah sesuatu yang menakutkan.
Yang menakutkan justru adalah sepasang matanya.
Sepasang matanya tampak jeli dan bersinar tajam
Banyak orang yang mempunyai mata amat tajam, tapi sepasang matanya ini luar biasa
tajamnya, jauh lebih tajam dari sorot mata siapa pun.
Demikian tajamnya seakan-akan bisa menembus isi hatimu yang diliputi kegelapan.
Siapa saja yang dipandang oleh matanya itu, dia akan merasa seperti semua rahasianya telah
dilihat olehnya.
Sekarang dia telah memesan semangkuk bakmi.
Dia mulai bersantap, bersantap dengan pelan, mengunyah dengan cermat, seolah-olah
semangkuk mi yang berada dihadapannya sekarang merupakan yang terenak yang pernah
disantapnya, seakan-akan semangkuk bakmi yang merupakan bakmi terakhir yang bisa dimakan
olehnya. Tangannya yang memegang sumpit terlihat kering dan mantap, jari tangannya panjang,
kukunya digunting pendek.
Di kala ia sedang bersantap itulah, Pho Ang-soat beranjak masuk ke dalam ruangan.
Begitu masuk, segera Pho Ang-soat melihat orang ini.
Dilihatnya mata orang itu memandang ke arahnya, seolah-olah dia sudah tahu bakal ada orang
macam begini masuk kemari.
Dipandang oleh matanya itu, terasa perasaan Pho Ang-soat timbul sedikit rasa takut dan ngeri.
Belum pernah dia merasakan perasaan semacam ini.
Dia seperti merasa masuk ke dalam suatu tempat yang gelap gulita dan secara tiba-tiba
menyaksikan ada seekor serigala sedang menanti kedatangannya.
Pelan-pelan dia berjalan masuk, sengaja tidak memandang orang itu. Tangannya masih
menggenggam golok dengan kencang, siap dilolosnya.
Orang itu tetap duduk dengan santainya, sebenarnya setiap saat Pho Ang-soat dapat
mengayunkan golok memenggal kepalanya.
Dia yakin akan kecepatan goloknya.
Dia pun yakin akan serangannya, yakin akan berhasil.
Tapi kali ini tiba-tiba saja dia merasa seperti kehilangan pegangan, seakan keyakinan itu sudah
lenyap. Sekalipun orang hanya duduk santai seperti itu, tapi sebagai seorang persilatan tentu telah
mempersiapkan pertahanan, hampir tidak dijumpai titik kelemahan.
Belum pernah Pho Ang-soat menjumpai orang semacam ini.
Langkahnya amat lambat, kaki kirinya maju selangkah lebih dulu, kemudian kaki kanan baru
pelan-pelan diseret ke depan.
Dia sedang menunggu kesempatan terbaik untuk melancarkan serangan.
Orang itu masih memandang ke arahnya, tiba-tiba dia berkata, "Silakan duduk!"
Pho Ang-soat menghentikan langkahnya, seakan-akan tidak mendengar orang mempersilakan
dia untuk duduk.
Kembali orang itu menuding kursi di hadapannya dengan sumpit, katanya lagi, "Silakan duduk."
Pho Ang-soat ragu-ragu sejenak, namun akhirnya dia pun duduk di hadapannya.
"Minum arak?" tanya orang itu.
"Tidak!"
"Selamanya tak pernah minum?"
"Sekarang tidak minum."
Tiba-tiba sekulum senyuman aneh tersungging di ujung bibir orang, katanya lagi pelan,
"Sepuluh tahun sudah ...."
Pho Ang-soat hanya mendengarkan, dia tidak mengerti apa maksud ucapannya itu.
Pelan-pelan orang asing itu telah melanjutkan, "Selama sepuluh tahun ini, belum pernah ada
orang ingin membunuh aku."
Jantung Pho Ang-soat berdebar keras, seperti tambur yang dipukul bertalu-talu.
Orang itu kembali menatapnya lekat-lekat, kemudian berkata dengan hambar, "Tapi hari ini kau
datang untuk membunuhku!"
Pho Ang-soat merasa jantungnya berdebar makin keras
Dia benar-benar tidak mengerti, darimana orang bisa tahu maksud kedatangannya.
Orang itu masih mengawasinya lekat-lekat, kemudian bertanya pula, "Benar bukan?"
"Benar!"
Orang itu tertawa, "Aku pun tahu kau adalah seorang yang tidak pandai berbohong."
"Walau tidak pandai berbohong, tapi aku dapat membunuh orang."
"Berapa orang yang telah kau bunuh?"
"Tidak sedikit"
Kelopak mata orang itu berkerut kencang, pelan-pelan tanyanya lagi, "Kau merasa membunuh
orang adalah suatu pekerjaan yang menarik?"
"Bukan disebabkan hal itu."
"Lantas karena apa?"
"Aku tidak perlu memberitahu kepadamu."
Mendadak terpancar sinar mata sedih pada mata orang, sahutnya sambil menghela napas
panjang, "Benar, orang membunuh tentu mempunyai alasan dan tidak perlu diberitahukan kepada
orang lain ...."
"Darimana kau bisa tahu aku datang kemari hendak membunuhmu?" tak tahan Pho Ang-soat
bertanya. "Kau mempunyai hawa membunuh."
"Kau dapat melihatnya?"
"Hawa membunuh tak dapat dilihat dengan mata, tapi semacam orang yang dapat
merasakannya."
"Apakah kau termasuk orang jenis itu?"
"Ya, benar!"
Kembali sorot matanya dialihkan ke tempat jauh sana, kemudian melanjutkan, "Justru karena
aku mempunyai perasaan demikian, maka sampai sekarang aku masih bisa hidup."
"Sekarang kau memang masih hidup," kata Pho Ang-soat.
"Kau yakin mampu membunuhku?"
"Tiada orang yang tak bisa dibunuh di dunia ini."
"Kau yakin akan berhasil?"
"Bila tidak yakin, aku tak akan kemari."
Lagi-lagi orang itu tertawa. Suara tawanya misterius dan aneh seakan-akan segulung angin
hangat yang berhembus di atas bukit bersalju dan melumerkan bunga-bunga salju.
Katanya lagi sambil tersenyum, "Aku menyukai orang macam kau."
"Tapi aku tetap akan membunuhmu."
"Mengapa?"
"Tiada alasan."
"Masakan tanpa alasan lantas ingin membunuh orang?"
Dari balik sorot mata Pho Ang-soat segera terpancar sinar penderitaan, katanya kemudian,
"Sekalipun ada alasan, aku juga tak dapat memberitahukan kepadamu."
"Apakah kau bersikeras hendak membunuhku?"
"Benar."
"Sayang ...." orang itu menghela napas panjang.
"Sayang" Apa yang perlu disayangkan?"
"Sudah lama aku tidak membunuh orang."
"O." "Karena aku punya prinsip hidup, bila kau tak ingin membunuhku aku pun tak akan membunuh
kau " "Bila aku bersikeras hendak membunuhmu?"
"Terpaksa kau harus mati."
"Mungkin yang mati adalah kau."
"Ya, mungkin ...."
Berbicara sampai di situ, dia baru memandang golok dalam genggaman Pho Ang-soat,
kemudian katanya lagi, "Tampaknya golokmu amat cepat?"
"Ya, cukup cepat."
"Bagus sekali!"
Mendadak ia melanjutkan kembali melahap mi, dia makan sangat pelan, mengunyah dengan
seksama. Tangannya yang sebelah memegang sumpit, tangan yang lain memegang mangkuk.
Tampaknya asal Pho Ang-soat mencabut goloknya, maka mata golok segera akan membelah
batok kepalanya.
Pada hakikatnya dia sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menangkis ancaman itu.
Tapi golok Pho Ang-soat masih berada dalam sarungnya, sarung golok hitam.
Ia tidak mencabut goloknya karena di hadapan orang itu, tiba-tiba saja dia tidak mengetahui
serangan itu harus diayunkan ke arah mana.
Berada di hadapan orang itu, dia seperti terhadap oleh selapis dinding baja yang tak tertembus.
Orang itu tidak lagi memandang ke arahnya, pelan-pelan dia berkata lirih "Membunuh orang
bukan suatu pekerjaan yang menarik, dibunuh lebih-lebih tidak menarik lagi."
Pho Ang-soat tidak menjawab, bungkam dalam seribu bahasa. Sebab orang itu seperti bukan
lagi bercakap-cakap dengan dirinya.
Kembali orang itu berkata, "Aku tidak suka kepada orang yang ingin membunuh tanpa alasan,
terutama orang muda, sebagai orang muda tidak seharusnya memiliki kebiasaan semacam ini."
"Aku bukan datang kemari untuk mendengar nasehatmu," seru Pho Ang-soat cepat
"Golok toh sudah berada di tanganmu, setiap saat kau dapat mencabutnya."
Pelan-pelan dia melanjutkan kembali santapannya menghabiskan bakmi yang masih tersisa,
sikapnya masih tetap santai, enteng dan leluasa.
Tapi sekujur badan Pho Ang-soat, semua otot dan syarafnya seakan-akan menegang keras.
Dia tahu, sekarang sudah tiba saatnya untuk mencabut golok melancarkan serangan.
Bila golok itu sudah dicabut maka satu di antara mereka berdua pasti akan roboh.
Tiba-tiba saja rumah makan itu berubah menjadi kosong melompong.
Semua penghuni diam-diam sudah mengeluyur keluar dari situ, bahkan orang yang memasang
lentera pun tak ada.
Cahaya matahari senja yang remang-remang mencorong masuk lewat jendela....
Waktu itu benar-benar merupakan senja yang mengenaskan.
Pho Ang-soat duduk tak berkutik di tempatnya, tubuhnya terasa kosong. Seluruh kekuatan dan
tenaga yang dimilikinya telah dihimpun dalam lengan kanannya.
Gagang golok hitam sudah berada dalam genggamannya, otot-otot tangannya yang
menggenggam golok sudah merongkol.
Sebaliknya tongkat orang itu masih terselip di pinggangnya ... tongkat sederhana, terbuat dari
kayu. Pho Ang-soat hendak mencabut golok!
0oo0 Tiada cahaya golok.
Golok belum sempat dicabut.
Ketika Pho Ang-soat siap mencabut goloknya, mendadak dari luar pintu melayang masuk
seseorang, ketika ia berkelit ke samping, orang itu segera terjatuh di sampingnya.
Tampak seorang lelaki tinggi besar, bertelanjang dada dan mengenakan celana hitam bersulam
bunga berwarna merah.
Sepatu larasnya yang masih baru tinggal sebuah saja yang masih dikenakan.
Kim si sinting!
Si perampok tunggal yang sinting dan aneh kini terkapar di tanah seperti seekor cacing,
wajahnya mengunjukkan rasa kesakitan yang hebat tubuhnya meringkuk, untuk merangkak
bangun pun tak mampu
Mengapa secara tiba-tiba dia pun kemari" Mengapa pula bisa berubah menjadi begini rupa"
Dalam keadaan begini, bagaimana mungkin Pho Ang-soat bisa membunuh orang"
Orang itu telah menghabiskan bakminya, sumpit telah diletakkan ke meja, terhadap semua
perubahan yang secara tiba-tiba, wajahnya sama sekali tidak mengunjuk rasa kaget atau
tercengang. Bahkan berkedip pun tidak, sekarang dia sedang memandang ke arah pintu.
Dari luar pintu berjalan masuk seseorang. Yap Kay! Si sukma gentayangan.
Orang itu memandang ke arah Yap Kay, dari balik sorot matanya yang dingin terpancar keluar
sinar kehangatan.
Yap Kay menatap orang itu, sikapnya amat menghormat. Belum pernah dia bersikap begini
hormat terhadap siapa pun.
Tiba-tiba orang itu bertanya, "Dia adalah sahabatmu?"
"Benar."
"Orang macam apakah dirinya?"
"Seorang yang gampang ditipu orang."
"Apakah seseorang yang setiap saat bisa membunuh orang."
"Tidak."
"Jadi dia mempunyi alasan untuk membunuh aku?"
"Ya, ada."
"Apakah suatu alasan yang baik?"
"Bukan, tapi alasannya pantas untuk dimaafkan ...."
"Baik, sudah cukup."
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan tertawa ke arah Yap Kay, katanya, "Aku tahu kau suka menjamu
orang, hari ini boleh kau traktir aku."
"Tentu," ucap Yap Kay sambil tertawa.
Orang itu lalu beranjak keluar warung
"Tunggu dulu!" mendadak Pho Ang-soat membentak.
Orang itu sama sekali tidak menggubris, ia berjalan sangat pelan, seakan-akan tidak ada
urusan di dunia ini yang mampu membuatnya berjalan cepat.
Ting Hun-pin berdiri di luar pintu.
Ketika menyaksikan orang berjalan di sampingnya, mendadak dia berseru, "Kuhadiahkan
kelintingan ini untukmu."
Selesai bicara, tiga buah kelintingan yang melingkar di pergelangan tangannya telah meluncur
ke depan. Kelintingan adalah benda begitu digoyang mudah mengeluarkan bunyi nyaring, tapi begitu
meluncur ke depan tadi, kelintingan itu justru tidak berbunyi, sebab gerakan luncur kelintingan itu
terlampau cepat.
Ketiga buah kelintingan itu segera menghajar punggung orang.
Orang itu sama sekali tidak berpaling, juga tidak bermaksud menghindarkan, dia pun tidak
menggerakkan tangan menyambut datangnya ancaman
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia masih meluncur ke depan, sepintas gerakannya tampak seperti tidak terlampau cepat, tapi
anehnya, ketiga buah keliningan yang meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi itu justru tak
sanggup menghantam punggungnya, benda itu selalu berada empat-lima inci di belakang
punggungnya. Sekejap saja dia sudah berjalan ke depan beberapa tombak ...
Kelintingan yang semula tidak berbunyi kini mulai berbunyi dan akhirnya satu per satu jatuh ke
tanah. Kelintingan memancarkan cahaya keemasan di atas tanah, namun orang aneh itu sudah lenyap.
Ting Hun-pin tertegun menyaksikan kejadian itu.
Pho Ang-soat juga tertegun.
Sebaliknya Yap Kay malah tersenyum, di balik senyumannya terselip rasa hormat dan kagum.
Mendadak Ting Hun-pin menghampirinya, menarik tangannya dan berseru, "Sebenarnya orang
itu manusia atau setan?"
"Menurut kau?"
"Aku tak dapat melihatnya."
"Mengapa tak bisa melihat?"
"Tak mungkin di dunia ini ada orang semacam ini, juga tak mungkin ada setan semacam ini."
Yap Kay tertawa mendengarnya.
"Dia adalah temanmu?" tiba-tiba Pho Ang-soat bertanya.
"Aku berharap demikian, asal dia bersedia menganggap diriku sebagai teman, apa pun akan
kulakukan."
"Kau tahu aku hendak membunuhnya?"
"Baru saja tahu."
"Maka kau segera memburu kemari?"
"Kau anggap aku datang untuk menolong dirinya?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, hanya tertawa dingin.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Aku tahu golokmu cukup cepat, aku pernah melihatnya,
tapi di hadapannya belum lagi golokmu dilolos, tongkat pendeknya mungkin sudah melubangi
tenggorokanmu."
Pho Ang-soat diam saja, tetap tertawa dingin.
"Aku tahu kau tak percaya, karena kau belum tahu siapa dia?"
"Siapa dia?"
"Sekalipun dia bukan orang yang turun tangan paling cepat di dunia ini tapi di dunia ini hanya
ada satu orang yang bisa melebihi kecepatan."
"O." "Tapi jelas bukan kau."
"Siapa?"
Di wajah Yap Kay segera terpancar rasa hormat yang muncul dari sanubarinya, pelan-pelan dia
berkata pula, "Siau-li si pisau terbang!"
Ucapannya seperti memiliki daya kekuatan iblis, bisa membuat peredaran darah dan napas
orang berhenti.
Beberapa lama kemudian, Pho Ang-soat menghembuskan napas panjang, katanya, "Apakah dia
A Fei?" "Di dunia ini hanya ada seorang A Fei."
Tangan Pho Ang-soat yang menggenggam kencang goloknya, "Aku tahu dia selalu
menggunakan pedang."
"Sekarang dia sudah tak perlu menggunakan pedang lagi, sebab tongkat pendek di tangannya
telah menjadi pedang yang paling menakutkan di dunia ini."
Paras muka Pho Ang-soat berubah pucat-pasi seperti mayat. "Oleh karena itu kau datang untuk
menolong aku?"
"Aku tidak berkata demikian."
Tidak menunggu Pho Ang-soat buka suara, dia bertanya lagi, " Tahukah kau siapa yang
tergeletak di atas tanah sekarang ...?"
"Dia mengaku dirinya bernama Kim si sinting."
"Bukan, di dunia ini mana ada orang bernama Kim si sinting."
"Lantas siapa dia?"
"Dia adalah Siau-tat-cu."
"Siau-tat-cu?"
"Belum pernah kau mendengar nama Siau-tat-cu?" Setelah tertawa, lanjutnya, "Tentu saja tak
pernah kau dengar, karena kau belum pernah datang ke ibukota, setiap orang yang pernah ke
ibukota pasti mengenal namanya, karena tiada orang yang bisa menandingi kehebatan Siau-tatcu."
"Siapa dia?"
Kembali Yap Kay tertawa, "Dia memang seorang berbakat, berperan sebagai apa pun dia dapat
memerankannya dengan baik."
Sekali lagi Pho Ang-soat tertegun.
"Sekarang dia berperan sebagai orang sinting yang pegang janji, bahkan seorang aneh dunia
persilatan yang mempunyai pendengaran luas, permainannya memang bagus."
Mau tak mau Pho Ang-soat harus mengakui hal ini.
"Permainannya ini dinamakan Siang-cuan-tau (sepasang gelang jebakan)," kata Yap Kay,
"sedang pengatur lakunya adalah Gi Toa-keng."
"Gi Toa-keng?" paras muka Pho Ang-soat agak berubah.
Yap Kay manggut-manggut, dia membungkuk dan mengeluarkan sejilid kitab kecil dari saku
Kim si sinting.
Kitab kecil itu dilapisi kulit tebal, berisi kata-kata dialog yang amat rumit.
Antara lain berbunyi: "Tengah malam, suruh orang menggotongmu dalam peti mati, tunggu
sampai kukatakan 'Arak ini tak ada orang yang minum'. Maka kau boleh melompat keluar dari
dalam peti mati, kemudian berkatalah sambil tertawa, 'Aneh namanya kalau arak itu tak ada yang
minum, kemudian....'."
Cukup dibacakan beberapa bagian, paras muka Pho Ang-soat yang pucat telah berubah
menjadi merah padam karena malu dan gusar.
Kini telah dia sadari apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Ternyata segala sesuatu yang berlangsung selama ini merupakan sandiwara belaka, ternyata
naskah sandiwara itu memang sudah disusun orang dengan rapi. Berarti sejak dia menyaksikan
Tio Tay-hong menangis dalam hutan, selangkah demi selangkah dia sudah terjebak dalam
permainan orang.
Dan rupanya sandiwara itu akan berakhir di ujung tongkat pendek ... tongkat pendek yang
sanggup menembus tenggorokan siapa pun.
Kim si sinting masih tergeletak di atas tanah sambil merintih, suaranya menandakan
penderitaan luar biasa.
Entah siapa yang memasang lampu, di bawah sinar lampu, paras mukanya kelihatan pucatpasi.
Ujung baju dan bibirnya masih mengejang terus tiada hentinya, membuat wajahnya turut
berubah menjadi amat menakutkan.
Akhirnya Pho Ang-soat mendongakkan kepala, kemudian katanya, "Yang kau maksud sebagai
Gi Toa-keng itu apakah Thi-jiu-kuncu (lelaki sejati bertangan besi) Gi Toa-keng?"
"Betul , Thi-jiu-kuncu Gi Toa-keng tidak lain adalah Tio Tay-hong yang kau kenal itu."
Dengan penuh kebencian Pho Ang-soat berseru, Semua orang persilatan mengatakan Gi Toakeng
adalah seorang Kuncu, lelaki sejati, tak kusangka dia sesungguhnya adalah seorang Kuncu
semacam ini."
"Di dunia ini memang banyak kuncu gadungan."
"Mengapa dia berbuat begitu?"
"Karena dia hendak membunuhmu?"
Tentu saja Pho Ang-soat tahu, sesungguhnya tak perlu dia bertanya.
"Tapi dia pun tahu betapa cepat golokmu itu," lanjut Yap Kay lebih jauh, "di dunia ini memang
jarang ada yang sanggup menandingi kecepatan golokmu itu."
Tanpa terasa Pho Ang-soat teringat orang asing itu, yang aneh, santai dan begitu tenang.
Cukup berbicara soal ini saja, rasanya jarang ada orang bisa menandinginya.
"Benarkah sebelum golokku tercabut, tongkat pendeknya sanggup menembus tenggorokanku?"
Pho Ang-soat benar-benar tak percaya, dia pun enggan mempercayai hal ini.
Hampir saja dia tak tahan untuk mengejar orang itu dan mencoba untuk bertanding, siapakah
di antara mereka yang sesungguhnya lebih cepat.
Bagaimana pun juga dia tidak bisa mengaku kalah begitu saja.
Cuma dia pun tahu, bila orang sudah berniat pergi, tiada orang sanggup menghalanginya, juga
tiada orang dapat menyusul dirinya.
Tangannya yang memegang golok mulai gemetar.
Yap Kay memandang tangannya sekejap, kemudian ujarnya setelah menghela napas panjang,
"Sekarang mungkin kau masih belum percaya bahwa gerakannya jauh lebih cepat daripada
gerakanmu, tapi...."
Mendadak Pho Ang-soat menukas, "Percaya atau tidak adalah urusanku, urusanku sama sekali
tiada hubungannya dengan kau."
Yap Kay hanya bisa membungkam, hanya tertawa getir.
"Karena itu lebih baik kau jangan ikut campur!" seru Pho Ang-soat. Kembali Yap Kay tertawa
getir. "Mengapa kau selalu mengikutiku secara diam-diam?"
"Aku tidak mengikutimu."
"Jika kau tidak mengikutiku, mengapa bisa mengetahui kejadian ini?"
"Karena secara kebetulan aku bertemu Gi Toa-keng," Yap Kay menerangkan.
"Banyak orang juga bertemu dia."
"Tapi hanya aku yang tahu dia adalah Gi Toa-keng yang tidak seharusnya berada di sini, juga
tidak seharusnya dia berdandan seperti itu, dia sangat memperhatikan pakaian serta
dandanannya"
"Hal ini toh tiada sangkut-pautnya dengan dirimu ...."
"Tapi bagiku kejadian ini sesuatu yang aneh."
"Maka kau pun menguntitnya?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Sudah dua hari aku menguntitnya, tapi selalu tidak berhasil menemukan dimana dia menginap,
aku tak berani menguntitnya terlampau dekat, sebab aku tahu gerak-geriknya amat licin bagai
seekor rase."
"Ehm!"
"Tapi aku tahu dia telah mengundang Siau-tat-cu dari ibukota, maka aku pun berganti arah
mulai menguntit Siau-tat-cu ...." Setelah tertawa getir, dia menambahkan, "Tapi kemudian Siautat-
cu pun tak nampak lagi batang hidungnya ...."
0oo0 BAB 36. HIDUP MANUSIA BAGAI PANGGUNG SANDIWARA
"Rupanya ada juga pekerjaan yang tak sanggup kau lakukan."
"Untung kemudian aku bertemu dengan kedua orang penggotong peti mati itu, mereka adalah
anak buah Siau-tat-cu dalam permainan sandiwaranya, datang ke sana bersama Siau-tat-cu,
selamanya Siau-tat-cu memang sangat baik terhadap anak buahnya."
Peristiwa ini memang penuh lika-liku, mau tak mau Pho Ang-soat harus memperhatikannya
dengan seksama.
"Waktu itu mereka sedang membereskan perbekalan siap meninggalkan kota, setelah
kutemukan mereka, dengan menggunakan kekerasan kupaksa mereka mengaku, akhirnya kutanya
mereka kemana Siau-tat-cu mereka kirim."
"Maka kau pun berhasil menemukan tempat itu?"
"Sewaktu aku ke sana. kau tidak ada, yang ada di rumah hanya Gi Toa-keng serta Siau-tat-cu."
"Tentu saja Gi Toa-keng tak akan memberitahu rahasia ini kepadamu.."
"Tentu saja tidak, aku pun belum tentu bisa memaksanya buka suara atau tidak, sayang sekali
walau rencananya cukup matang, tindakannya justru keji."
Pho Ang-soat tidak memberi komentar, hanya mendengarkan belaka.
"Ternyata dia telah mencampuri racun dalam arak, dia bermaksud membunuh Siau-tat-cu dan
menghilangkan jejak!"
Sekarang Pho Ang-soat baru tahu, penderitaan yang dialami Siau-tat-cu bukan lantaran terluka,
melainkan karena keracunan.
"Ketika aku sampai di sana, rasa sakit Siau-tat-cu baru mulai kambuh, setelah kubongkar
perbuatan keji Gi Toa-keng, tentu saja dia benci setengah mati pada orang she Gi."
"Maka dia pun membongkar rencana keji Gi Toa-keng kepadamu?" sambung Pho Ang-soat.
Yap Kay menghela napas panjang.
"Bila Gi Toa-keng tidak terlampau kejam, rahasia ini selamanya mungkin tak akan kuketahui,
dia berlagak seakan tenaga dalamnya telah mencapai puncaknya, hampir saja aku terkecoh,
malahan aku menganggapnya seorang kuncu sejati, aku ingin minta maaf kepadanya, tapi sayang
dia telah pergi."
Tak tahan Ting Hun-pin juga menghela napas, katanya, "Kalau dia menjadi pemain panggung,
pasti namanya akan lebih tersohor daripada Siau-tat-cu."
"Tadi aku dengar kau memanggilnya sebagai paman Gi?" sindir Yap Kay.
Dengan gemas Ting Hun-pin melotot sekejap ke arahnya, kemudian katanya sambil cemberut,
"Dia sebenarnya teman ayahku, wajahnya ramah dan halus budi, siapa sangka dia lelaki munafik,
Kuncu gadungan?"
Yap Kay ikut-ikutan menghela napas. "Maka perlu kau manusia rendah semacam diriku jauh
lebih baik daripada seorang Kuncu gadungan."
"Hal ini sudah lama kupahami," kata Ting Hun-pin sambil tersenyum manis.
Yap Kay tertawa getir.
"Lebih baik selamanya tidak kau pahami."
Dengan gemas Ting Hun-pin melotot sekejap ke arahnya, tiba-tiba dia berkata, "Aku tetap tidak
paham akan satu hal!"
Yap Kay hanya diam saja, menantikan kata-kata si gadis.
"Pendekar seperti Li Sun-hoan, A Fei dan lain-lain sudah lama tidak ditemukan lagi jejaknya,
darimana Gi Toa-keng bisa tahu hari ini dia berada di sini?"
Yap Kay termenung sebentar, kemudian sahutnya, "Ya, jejak Hui-kiam-khek (jago pedang
terbang) memang susah dicari, bahkan Siau-li si pisau terbang pun belum tentu tahu."
"Itulah sebabnya aku pun merasa heran."
"Tapi sejak Pek-hiau-seng meninggal di dunia persilatan masih ada tiga orang manusia yang
paling tajam pendengarannya, salah seorang di antaranya adalah Gi Toa-keng ini."
"Memang pernah aku mendengar, konon tiap hari dia banyak menerima tamu."
"Mungkin saja dia mendengar bila A Fei akan kemari, maka dia menunggunya lebih dulu disini?"
"Kalau begitu rumah inipun sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya?" kata Ting Hun-pin.
"Benar, setelah itu dia baru berusaha mencari akal untuk menipu Pho Ang-soat datang kesana."
Dengan ujung matanya Ting Hun-pin melirik sekejap ke arah Pho Ang-soat, setelah itu katanya,
"Itu bukan suatu pekerjaan sukar "
"Setiap hari dia keluar rumah, mungkin tujuannya adalah mencari berita Hui-kiam-khek," kata
Yap Kay "Tapi orang justru mengira dia pergi mencari kabar Be Khong-cun." Yap Kay meringis.
"Cara kerja orang ini cukup rahasia dan rapi, rasanya tiada seorang pun yang sanggup
menandinginya."
Selama ini Pho Ang-soat hanya termenung saja, tiba-tiba katanya, "Dimanakah dia sekarang?"
"Sudah pergi!"
"Mengapa kau lepaskan dia?"
"Mengapa aku harus bersamanya?" Yap Kay balik bertanya sambil tertawa, "apakah dia tak bisa
pergi sendiri?"
"Kau tidak berusaha menghalangi kepergiannya?"
"Kau anggap aku pasti mampu menghalanginya?"
Pho Ang-soat tidak berkata apa-apa, hanya tertawa dingin.
Tiba-tiba Ting Hun-pin juga tertawa dingin, sindirnya, "Sekalipun Siau Yap tidak
menghalanginya, paling tidak dia tidak tertipu olehnya."
Paras muka Pho Ang-soat segera berubah hebat, dia segera membalik badan. Tapi Ting Hunpin
segera berjalan ke hadapannya, kemudian katanya pula, "Sekalipun kau tidak menganggap
Siau Yap sebagai teman, tapi sikapnya terhadap dirimu cukup baik bukan?"
Pho Ang-soat menolak menjawab, dia membungkam.
"Sikapnya terhadap dirimu., seperti sikap bapak terhadap anaknya, sekalipun kau tidak
berterima kasih kepadanya, paling tidak janganlah menganggap dia sebagai musuh."
Kembali Pho Ang-soat membungkam, dia tidak menjawab.
Ting Hun-pin tertawa dingin, katanya pula, "Aku tahu kau tak sudi bicara denganku, terus
terang saja kukatakan biasanya jangankan mengajak bicara, terhadap manusia macam kau,
kendati kau menyembah belum tentu aku sudi memandangmu."
Pho Ang-soat tertawa dingin, namun dia tetap bungkam.
"Ada beberapa terpaksa harus kutanyakan kepadamu."
Pho Ang-soat tetap diam, menantikan pertanyaannya.
"Mengapa semakin baik orang bersikap kepadamu, justru kau semakin galak kepadanya"
Apakah kau takut orang lain berbuat baik kepadamu" Apakah kau punya penyakit?"
Paras muka Pho Ang-soat yang pucat tiba-tiba berubah merah padam, sekujur badannya mulai
gemetar. Dari sorot matanya yang dingin tiba-tiba memancarkan sinar penderitaan, hingga tak
kuasa menahan diri. Ting Hun-pin tertegun dibuatnya.
Dia benar-benar tidak menyangka secara tiba-tiba Pho Ang-soat berubah menjadi begitu, tak
tega dia memandangnya lagi, dengan kepala tertunduk katanya pelan-pelan, "Aku kan cuma
bergurau saja, masakah kau anggap sungguhan" Janganlah marah."
Pho Ang-soat Cuma diam tak bergerak.
Ting Hun-pin juga tidak bicara lagi, merasa rikuh dan tak mampu melanjutkan kata-katanya.
0oo0 Di atas meja tersedia arak Ternyata ia duduk dan minum arak.
Yap Kay membangunkan Siau-tat-cu, seakan-akan tidak tahu ada persoalan di antara mereka
Wajah Siau-tat-cu masih penuh air mata, katanya dengan sesenggukan.
"Aku ... aku tak lebih hanya seorang pemain sandiwara, siapa memberi uang, aku pun bermain
untuknya."
"Aku tahu."
"Aku masih belum ingin mati ...." air mata Siau-tat-cu jatuh bercucuran makin deras.
"Kau tak bakal mati."
"Benarkah aku masih dapat tertolong?"
"Aku telah meluluskan permintaanmu, kau sudah minum obat penawar."
Siau-tat-cu terengah-engah dan duduk, perasaannya telah tenang.
Sambil menghela napas Yap Kay berkata, "Padahal siapa pula yang tidak bermain sandiwara"
Bukankah kehidupan manusia di dunia ini sesungguhnya adalah panggung sandiwara?"
Waktu itu perasaan Pho Ang-soat telah tenang kembali, tiba-tiba dia membalikkan badan dan
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melotot ke arah Siau-tat-cu, kemudian ujarnya, "Kau tahu Gi Toa-keng pergi kemana?"
Pucat-pasi wajah Siau-tat-cu karena ketakutan, sahutnya tergagap, "Aku ... mungkin dia sudah
pulang." "Dimana rumahnya?"
"Konon rumahnya berada di perkampungan Cong-keng-ban-coan-ceng, aku belum pernah ke
sana, tapi banyak orang persilatan yang tahu."
Pho Ang-soat membalikkan badan dan pelan-pelan beranjak keluar. Jangankan menegur Yap
Kay, memandang sekejap ke arahnya pun tidak.
"Eh, tunggu sebentar," seru Yap Kay, "masih ada satu hal perlu keberitahukan kepadamu."
Pho Ang-soat tidak berhenti, menggubris pun tidak.
"Istri Gi Toa-keng she Lok!" seru Yap Kay.
Pho Ang-soat tetap tidak menggubris.
"Dia semarga dengan Lok Siau-ka!" seru Yap Kay lebih lanjut.
Pho Ang-soat masih saja tidak menggubris, namun otot-otot hijau pada lengannya merongkol.
Dia tidak berpaling, selangkah demi selangkah berjalan keluar.
0oo0 Malam makin kelam....
"Bukankah kehidupan manusia pun mirip panggung sandiwara, siapa pula yang tidak sedang
bermain sandiwara?"
Lalu bagaimana cara membawakan peranan dalam sandiwara itu" Apakah ingin berperan dalam
lelakon yang menyedihkan" Ataukah kau lebih suka berperan dan kisah gembira" Apakah kau
tidak ingin mendapat tepuk tangan penonton" Atau juga ingin dilempari tomat busuk"
0oo0 Tomat belum membusuk.
Musim gugur adalah musim panen buah tomat.
Ting Hun-pin menyodorkan sebiji tomat ke hadapan Yap Kay, ujarnya dengan lembut, "Tomat
termasuk buah menyegarkan, bila minum arak sambil makan tomat, maka orang tidak gampang
mabuk!" "Darimana kau tahu kalau aku tak ingin mabuk?" tanya Yap Kay dengan tawar.
"Bila seorang ingin mabuk, walau minum arak sambil makan apa saja, akhirnya akan mabuk
juga." Dia menjejalkan tomat itu ke mulut Yap Kay, katanya pula sambil tertawa, "Oleh karena itu
makanlah buah ini kemudian baru bicara."
Terpaksa Yap Kay memakan tomat itu.
Dia bukan manusia yang terbuat dari kayu, dia pun memahami perasaan kasih sayang Ting
Hun-pin terhadapnya, bahkan ia merasa amat berterima kasih kepadanya.
Walaupun gadis ini agak binal dan tak tahu aturan, namun dia bersikap lembut, hangat dan
menyenangkan, ditemani gadis semacam dia, sudah pasti hati akan merasa puas.
Pemuda itu sudah menghabiskan tomat yang disodorkan kepadanya, Ting Hun-pin menghela
napas, ujarnya. "Untung kau bukan Pho Ang-soat, semakin baik orang bersikap kepadanya,
semakin jelek sikapnya kepada orang itu."
Yap Kay juga menghela napas.
"Bila kau menganggap dia adalah orang macam itu, maka pendapatmu itu keliru besar."
"Bagian mana aku salah?"
"Ada orang yang justru enggan memperlihatkan perasaannya."
"Kau anggap dia termasuk manusia jenis ini?"
"Ya, itulah sebabnya di kala seorang bersikap baik kepadanya, dia justru menampilkan sikap tak
berperasaan, karena dia kuatir orang lain mengetahui perasaannya."
"Oleh karena itu kau pun menganggap dia bersikap baik kepadamu?"
Yap Kay tidak menjawab, hanya tertawa.
"Tapi sikapnya terhadap Cui-long ...."
Belum selesai Ting Hun-pin berkata, Yap Kay telah menukas, "Tadi sikapnya tiba-tiba berubah,
karena kau telah menyentuh luka hatinya, membuat ia teringat Cui-long."
"Jika benar dia bersikap baik terhadap Cui-long, mengapa justru meninggalkannya?"
"Bila ia tidak bersikap baik kepadanya, mengapa pula dia terlihat begitu menderita?"
Ting Hun-pin terbungkam, ia tak sanggup menjawab
Sambil menghela napas Yap Kay kembali berkata, "Hanya orang yang benar-benar tak
berperasaan yang tidak mengenal arti penderitaan. Tak aku mengagumi orang macam itu."
"Kenapa?"
"Karena manusia semacam ini pada hakikatnya bukan manusia "
Ting Hun-pin menghela napas, katanya, "Kalian orang laki-laki memang benar-benar memiliki
perasaan aneh."
"Ya, memang aneh, seaneh pikiran kalian orang-orang perempuan," sambung Yap Kay.
Apa yang dikatakan memang benar.
Yang paling aneh dan paling sukar diraba di dunia ini sesungguhnya adalah perasaan manusia,
baik dia lelaki maupun perempuan.
Sambil tersenyum Ting Hun-pin segera berkata. "Untung aku telah mengerti akan dirimu."
"O ya."
"Walaupun di luar kau mirip orang tak berperasaan, sesungguhnya kau sangat baik kepadaku."
Sambil menarik muka, Yap Kay ingin mengucapkan sesuatu, tapi baru saja dia membuka mulut,
kembali Ting Hun-pin menjejalkan sebiji tomat ke mulutnya.
^"^ Malam sudah semakin kelam
Siau-tat-cu telah minum sebungkus obat dan tertidur di atas kursi panjang di sudut ruangan.
Pelayan rumah makan itupun mulai menguap mengantuk.
Ingin dia mengusir orang-orang itu dari sana, tapi ia tak berani ... biasanya orang-orang begini
memang berbahaya.
Ting Hun-pin memenuhi cawan arak Yap Kay, kemudian berkata, "Tampaknya perkampungan
Cong-keng-ban-coan-ceng tidak terlampau jauh dari sini."
"Ya, memang tidak terlalu jauh."
"Menurut pendapatmu, benarkah Gi Toa-keng pulang ke rumah?"
"Dia tak mungkin bisa melarikan diri."
"Mengapa?"
"Sebab dia tak perlu kabur, jika kabur akan menambah curiga orang."
"Bagaimana pun juga sekarang Pho Ang-soat pasti menduga dia salah seorang di antara
pembunuh gelap di luar kuil Bwe-hoa-am tempo hari, maka itulah ia menyusun rencana dan
perangkap keji untuk mencelakai Pho Ang-soat."'
"Pho Ang-soat bukan orang tolol."
"Siapa tahu orang yang meracuni Si Bu juga Gi Toa-keng?"
"Bukan."
"Mengapa?"
"Sebab racun yang dicampurkan ke dalam arak Siau-tat-cu adalah jenis yang berbeda."
"Apakah dia tak bisa membawa obat penawar masing-masing racun?"
"Orang yang mengerti cara khusus mengerjai orang, dia pasti punya obat racun khusus yang
paling sering dipakai, kebiasaan semacam ini seperti juga kebiasaan orang perempuan
menggunakan pupur dan gincu."
Ting Hun-pin tidak mengerti apa maksudnya.
Kembali Yap Kay menerangkan, "Tentu kau pernah menggunakan lebih dari satu macam pupur
bukan?" Ting Hun-pin berpikir sebentar, kemudian manggut-manggut.
"Bila kau akan keluar rumah, mungkinkah kau membawa kedua macam pupur yang berbeda?"
kembali Yap Kay bertanya.
Ting Hun-pin menggeleng berulang kali, lalu mengerling sekejap ke arahnya, katanya dingin,
"Tampaknya tidak sedikit persoalan kaum wanita yang kau pahami."
"Ah, aku hanya sedikit lebih tahu tentang sifat orang yang menggunakan obat racun, soal
perempuan boleh dibilang aku tidak tahu sama sekali."
"Aneh jika kau tak tahu."
Tiba-tiba dia sambar cawan arak yang disodorkan kepada Yap Kay, sekaligus ditenggaknya
habis. Menyaksikan itu, Yap Kay tertawa.
Kembali Ting Hun-pin mengerling ke arahnya, katanya, "Aku heran, kenapa kau masih bisa
bergembira duduk di sini sambil minum arak."
"Mengapa tidak?"
"Kalau Gi Toa-keng sudah pulang ke rumah, sudah pasti Pho Ang-soat akan ke sana
mencarinya."
Yap Kay manggut-manggut membenarkan.
"Ka-lau Lok Siau-ka adalah iparnya, tentu juga akan berada di sekitar tempat ini, siapa tahu
saat inipun dia berada di rumahnya" kata Ting Hun-pin lagi.
"Ya, mungkin begitu."
"Kau tidak kuatir Pho Ang-soat dicelakai mereka" Bukankah kau selalu menguatirkan
keselamatannya?"
"Tapi kali ini aku justru merasa lega."
"Sungguh?"
"Tentu saja sungguh, karena aku tahu pada hakikatnya mereka tak mungkin bertarung."
"Mengapa?" Yap Kay tertawa.
"Bila kau memahami orang macam apa Gi Toa-keng, kau akan segera tahu mengapa bisa
demikian."
"Setan yang bisa memahami dirinya."
"Seumur hidup orang ini tak pernah bermusuhan dengan orang secara terang-terangan,
sekalipun orang pergi mencari ke rumahnya, ia akan berusaha orang menganggapnya seorang
Kuncu." "Namun sekalipun mengalah dan bersabar juga tiada gunanya."
"Tapi ia masih bisa menggunakan cara lain."
"Cara apa?"
"Ia bisa menyangkal keterlibatannya dalam masalah ini, tidak mengakui telah terjadi peristiwa
semacam itu."
"Tapi kenyataan kan sudah di depan mata, sekalipun menyangkal juga tak ada gunanya."
"Bisa saja bilang tak pernah meninggalkan Cong-keng-ceng, bahkan ia dapat beralasan sakit
payah." "Memangnya Pho Ang-soat akan mempercayainya begitu saja" Dia bukan orang tolol."
"Gi Toa-keng pasti sudah mengumpulkan banyak tokoh persilatan di rumahnya sebagai saksi,
orang macam dia, melakukan pekerjaan apa saja, entah itu bakal berhasil atau tidak, pasti dia
akan menyiapkan jalan mundur lebih dulu."
"Kesaksian orang lain belum tentu dipercaya Pho Ang-soat."
"Orang yang dicari Gi Toa-keng sudah pasti orang-orang yang ternama dan punya kedudukan
tinggi dalam dunia persilatan, sehingga setiap ucapannya pasti berbobot, orang tak mau percaya
pun percaya juga."
"Apakah dia bersedia mambantu membohongi orang lain?" kata Ting Hun-pin.
"Dia pasti tak akan menyuruh mereka berbohong, mereka hanya disuruh menjadi saksi."
"Bersaksi bahwa dia tak pernah keluar rumah?"
Pendekar Bodoh 12 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Kisah Si Rase Terbang 10