Perjodohan Busur Kumala 1
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 1
"13 Perjodohan Busur Kumala(Yun Hai Yu Gong Yuan)
Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT
Jilid 1 Keindahan alam di Kanglam selama musim semi tersohor
sekali, apapula, di bulan ketiga, di saat rumput-rumput tinggi
dan bunga-bunga mekar permai serta burung-burung ngoceh
tak hentinya. Terutama mentakjubkan ialah untuk mereka
yang belum pernah menginjak wilayah Selatan itu. Demikian
sudah terjadi dengan seorang muda, yang usianya kurang
lebih dua puluh tahun, air muka siapa nampak seperti ke
kanak-kanakan begitu pula tingkah polahnya. Berada di
sebuah tanjakan bukit, ia bergembira sekali, matanya
memandang kelilingan, tangannya saban-saban digerak-geraki
dan kakinya kadang-kadang berjingkrakan. Seorang diri dia
berkata bagaikan berseru: "Pantaslah ketika tuan tua masih
ada di Sakya, setiap hari dia memikiri untuk pulang ke
kampung halamannya, kiranya Kanglam ini Hingguh-sungguh
suatu tempat yang indah! Ya, Kanglam indah, Kanglam, indah
sekali!" Di belakang anak muda ini ada mengintil serombongan
bocah, mengintil sembari tertawa haha-hihi. Salah satu bocah,
yang paling besar, lantas menunjuk hidungnya sambil berkatakata
dengan suaranya yang berlagu: "Tidak tahu malu, tidak
tahu malu! Tikus tua terjatuh ke dalam timbangan, dia memuli
muji dirinya sendiri!"
"Hai, kurang ajar!" berseru pemuda kekanak-kanakan itu,
romannya dibikin gusar. "Hai, setan cilik, mengapa kau
mengatai aku tikus tua?"
"Bukankah tidak keruan-keruan kau memuji dirimu sendiri?"
si bocah membaliki.
"Barusan kau sendiri yang membilang 'Kanglam indah!
Kanglam indah!' Tak sudahnya! Dengan memuji diri sendiri,
apakah kau bukan si tikus tua yang jatuh ke dalam
timbangan?"
Anak muda itu tertawa.
"Kalau begitu, kamu keliru mengerti!" katanya. "Aku hanya
memuji bahwa tempatmu ini, wilayah Kanglam, indah sekali,
aku bukan maksudkan diriku! Tapi, aku sendiri, aku si Kang
Lam, juga bukannya buruk!..."
Anak-anak itu lantas pada mengawasi.
Pemuda ini, yang belum pernah menginjak wilayah
Kanglam, bernama Kang Lam. Nama wilayah Kanglam dan
namanya, Kang Lam, semua hurufnya sama dan sama juga
suara bacanya, karena itu, terjadilah salah mengerti di antara
bocah-bocah itu. Kang Lam memuji Kanglam, tetapi bocah itu
mengira Kanglam ialah Kang Lam. Ialah Kang Lam si bocah
yang kita kenal dalam cerita "Peng Coan Titian Lie" atau
"Bidadari dari Sungai Es". Karena ia adalah kacungnya Tan
Thian Oe putera dari Tan Teng Kie.
Tan Teng Kie berpangkat soan-wiesu, atau amban,
pembesar untuk suku bangsa, di Sakya, Tibet. Sebenarnya
pangkat itu pangkat dalam pembuangan, dan pangkat itu ia
jabat selama lebih daripada sepuluh tahun. Kemudian, karena
berjasa dalam hal menyambut guci emas dan ditolong oleh
satu menteri, yang mengajukan permohonan keampunan
baginya, oleh raja ia dipanggil pulang ke kota raja untuk
memegang kembali kedudukannya sebagai giesu atau censor.
Dua tahun ia menjabat pula pangkatnya ini, lantas ia
meletakinya dan pulang ke kampung halamannya, la
menggunai alasan sudah berusia lanjut sedang sebenarnya,
tidak bisa ia melihati suasana busuk di dalam pemerintahan.
Kampung halamannya itu ialah dusun Bok-tok, letaknya kirakira
lima atau enam puluh lie dari kota Souwciu, Kangsouw,
dan rumahnya menghadapi telaga Thay Ouw yang tersohor
indah panoramanya.
Sekarang ini kedudukannya Kang Lam beda daripada
kedudukannya tadinya. Mulanya ia menjadi kacung tukang
melayani majikan mudanya, Thian Oe. Nama Kang Lam itu
diberikan majikannya, Teng Kie, untuk memperingati wilayah
kampung halamannya, Kanglam. Ia telah berjasa dalam hal
membawa surat majikannya ke kota raja, maka itu, Teng Kie
telah mengambil ia sebagai gieeu, yaitu anak pungut, hingga
ia tak lagi menjadi kacung. Hanya, lantaran ia sederhana dan
tidak bertingkah, sifatnya tidak berubah. Demikian ketika ia
turut "majikannya" pulang ke
Kanglam-baru dua bulan ia tiba di Boktok-ia gemar bergaul
sama bocah-bocah sekampung, hingga mereka menjadi
sahabat-sahabat erat.
Sembari tertawa Kang Lam lantas membagi-bagi kembang
gula kepada kawan-kawan bocah itu, yang menerimanya
dengan gembira.
"Nah, bagaimana kamu lihat!" katanya tertawa pula. "Aku si
Kang Lam, aku tidak buruk, bukan?"
Bocah-bocah itu tidak menggoda lagi.
"Kang Lam baik! Kang Lam baik!" mereka bahkan memuji,
terus mereka bersorak-sorai.
"Eh, mari aku tanya kau!" kemudian tiba-tiba Kang Lam
menanya. "Di dalam kampung kamu ini ada atau tidak
seorang nona yang gemar meniup terompet huchia?"
Ditanya begitu, anak-anak itu menjadi gembira sekali. Anak
yang besaran, dengan mengejek, lantas tertawa haha-hihi dan
berkata: "Lihat, lihat! Engko Kang Lam lagi memikirkan si nona
manis!" "Hus, jangan ngaco!" membentak si anak muda. "Aku
menanyai benar-benar! Kamu kasih tahu padaku, besok aku
pergi ke kota Suowciu, nanti aku belikan kembang gula!"
Anak-anak itu lantas saja mengilar hanya mereka bingung
dengan pertanyaan itu.
"Apa itu huchia" Huchia itu barang apa?" demikian mereka
pada menanya. "Itulah terompet yang terbuat dari daun," Kang Lam
menerangkan sambil memetakan.
"Kalau ditiup, terompet itu bersuara nyaring dan tajam."
Anak-anak itu tetap tidak mengerti. Inilah tidak heran
karena huchia itu ada terompet istimewa suku bangsa di luar
perbatasan, umpama bangsa Tartar, dan anak-anak di
Kanglam belum pernah melihat atau mendengarnya. Hanya
karena disebutnya nona yang meniup huchia, mereka lantas
menyebutkan beberapa nama dari nona-nona yang suka
meniup seruling!
Kang Lam masgul berbareng lucu.
"Aneh!" katanya di dalam hatinya. "Taruh kata benar aku
salah mendengar tetapi kongcu tidak mungkin! Tadi malam
terang-terang kita mendengar suara terompet huchia itu!"
Dengan "kongcu" itu, Kang Lam maksudkan majikannya
yang muda, Thian Oe.
Justeru ketika itu, dari kejauhan ada terdengar suara
terompet mengalun, agaknya tajam dan menyayatkan. Anakanak
itu pun turut mendapat dengar, maka mereka pada
memasang kuping.
Kang Lam adalah yang perhatiannya paling tertarik. Itulah
suara huchia-tidak salah lagi! Maka melupakan kawankawannya
itu, ia lari ke arah tanjakan dari mana suara itu
datang terbawa angin. Ia berlari-lari. Anak-anak itu lari
menyusul. Hingga mereka melihat datangnya dua penunggang
kuda. "Engko Kang Lam!" memanggil seorang bocah, yang
besaran. "Jangan ganggu mereka itu! Merekalah tukangtukang
pukulnya Ong Loo Houw!"
Sudah kira-kira dua bulan Kang Lam tinggal di tempat
kediamannya ini, ia tahu Ong Loo Houw itu ialah seorang okpa
atau jago untuk kecamatan Gouwkoan, bahkan katanya dia
pun, menjadi hiocu atau ketua dari sebuah perkumpulan. Ia
tidak takut Ong Loo Houw apa pula baru dua tukang pukulnya.
Ia memang ada anak Jenaka dan berani, berandalan juga. Ia
pun melihat dua orang itu rupanya lagi mencari si peniup
huchia itu! Di matanya Kang Lam, tanah pegunungan di sekitar kota
Souw-ciu ini dipandang seperti tumpukan-tumpukan tanah
saja, maka itu, lari belum lama, ia sudah sampai di kaki bukit
Tentu sekali, ia tidak mengarah kedua tukang pukul itu hanya
si nona peniup huchia.
Malam tadi kira jam tiga, Kang Lam bersama kongcu-nya,
yang sekarang menjadi kakak angkatnya itu, yaitu Tan Thian
Oe, tengah membicarakan pelbagai pengalaman mereka di
Sakya tatkala kuping mereka mendengar suara huchia,
sebentar nyata, sebentar lenyap. Mulanya Kang Lam menduga
kepada Kim Sie Ie si pengemis kusta, atau Tokciu Hongkay, si
Pengemis Edan Berbisa, tetapi Thian Oe menyangka kepada
seorang nona. Sangkaan Thian Oe ini didasarkan tekukannya
irama seruling itu. Kang Lam hendak keluar malam-malam,
guna mencari peniup huchia itu, tetapi Thian Oe mencegah
karena kuatir ayah mereka kaget. Inilah sebabnya maka
besokannya, Kang Lam lantas pergi mencari nona itu hingga ia
digerembengi banyak bocah kawan-kawannya itu.
Segera juga terlihat si nona peniup huchia itu dan dia
benarlah orang yang dikejar si kedua penunggang kuda,
hanya muka nona itu tidak dapat terlihat. Si nona mengenai
cala hitam. Tepat Kang Lam tiba di kaki bukit, ketiga orang itu
melintas di hadapannya, bahkan salah satu tukang pukul itu,
yang tertawa menyeringai, mendadak menyerang si nona
dengan bandring gaetan!
Dengan melihat tampangnya saja, hebat serangannya si
tukang pukul itu. Dia pun percaya betul, sambarannya akan
mengenakan sasarannya. Hanya selagi dia menyambar itu,
telinganya mendengar tertawa Jenaka hihi-hihi, lantas dia
merasakan tangannya sakit bagaikan dipotong, menyusul
mana sendirinya dia terguling roboh dari atas kudanya!
Itulah iseng tangannya Kang Lam! Ketika bandring
ditimpukkan, ia menyambar itu untuk terus ia lilitkan kepada
pohon di dekatnya, karena si penunggang kuda kabur terus,
dia tertarik tertahan bandringnya sendiri, tangannya terasa
sangat nyeri, hingga sedetik itu, habislah tenaganya dan
sebab tubuhnya turut terbetot, dia roboh seketika!
Kagetlah si kawan, lantas dia menahan kudanya, untuk
berlompat turun, guna menghampirkan kawannya itu, untuk
dipimpin bangun.
Lantas tukang pukul yang roboh itu berkaok-kaok saking
mendongkolnya, matanya melotot terhadap Kang Lam.
Anak muda itu tertawa.
"Eh, kenapa kau marah-marah terhadapku?" ia menegur.
"Kau terguling sendiri, ada apa sangkutannya itu dengan aku"
Siapa suruh kau membandring pohon" Memangnya pohon itu
bermusuh denganmu" Hm! Hm! Kau mencaci siapa ya?"
Kawan yang tidak roboh itu agakknya sabar.
"Jangan!" ia membujuk kawannya seraya terus ia berpaling
kepada si anak muda dan menanya: "Sahabat, kau sahabat
dari golongan mana?"
Kang Lam menggeleng kepala, ia tertawa.
"Aku tidak kenal kamu!" katannya lucu. "Siapa mempunyai
hubungan keuangan denganmu?" Sengaja ia berlagak tuli,
orang menyebut "golongan" (sian), ia mengartikan "cian"
(uang). Ia sarukan "sian" dengan "cian".
"He, binatang cilik, kau benar-benar tolol atau kau berpurapura
saja?" orang itu membentak. "Kau tahu tidak kami ialah
sebawahannya Ong Hiocu dari Hayyang Pang?"
"Aku tidak tahu!" menjawab Kang Lam. Ia tidak
menggubris orang menyebut-nyebut nama partainya Hayyang
Pang, atau partai Laut Samudera.
"Habis, kau tahu atau tidak aluran kaum kangouw?"
membentak pula tukang pukul itu. "Ini anak perempuan ada
orang dari lain tempat, dia asing, dia tidak ketahuan asalusulnya,
maka itu Ong Hiocu hendak menawannya, untuk
memeriksa dia! Nah, mengapa kau menghalang-halangi
kami?" "Ah, inilah aneh!" kata si anak muda. "Ong Hiocu itu
makhluk apa" Apakah dia sama besar pangkatnya dengan
seorang wedana" Aku pernah bertemu dengan tidak sedikit
orang berpangkat akan tetapi aku belum pernah mendengar
ada pangkat hiocu itu! Pula belum pernah aku mendengar soal
oleh karena orang tidak terang asal-usulnya dia lantas dihajar
dan mau ditangkap untuk diperiksa!"
"Hm!" berseru si tukang pukul sangat mendelu. "Kau
sebenarnya makhluk campur baur asal mana?"
Kang Lam tidak memperdulikan cacian itu.
"Aku juga asal lain daerah, apakah hiocu kamu mau
menangkap aku untuk diperiksa?" ia tanya, mengejek.
"Sudahlah!" membentak si tukang pukul, yang tadi
terguling dari kudanya. "Terang-terang bocah ini tengah
mempermainkan kita! Jikalau dia tidak dikasih rasa, dia tidak
tahu keliehayan kita! Jangan layani dia ngaco belo! Mari
maju!" "Hai, kamu terlalu!" membentak Kang Lam. "Sudah kamu
mengatakan aku binatang cilik, sekarang kamu mengatakan
juga makhluk campur baur! Biarnya satu taytiang-hu, dia tidak
dapat menahan sabar lagi! Kau lihatlah... tanganku!"
Kata-kata '"lihatlah... tanganku!" dilagukan sebagai juga
seorang peran dari sandiwara Peking lagi beraksi, sudah
mulutnya bergerak, berirama, juga kaki dan tangannya turut
digerak-geraki. Melihat itu kawanan bocah, yang telah
menyusul, pada gelak tertawa.
Dua tukang pukul itu gusar bukan kepalang, dua-duanya
lantas turun tangan. Ialah yang satu menampar muka, yang
lain menjambret lengan. Tapi dua-dua mereka tidak
memperoleh hasil, sebaliknya, dengan suara plak-plok dua kali
yang keras dan nyaring, mereka menjadi gelagapan, sebab di
luar sangka mereka, tangannya si anak muda telah mampir di
pipi mereka! Pula hebat gaplokan itu, sampai mereka pusing.
Kawanan bocah itu heran tetapi mereka bersorak.
Dipermainkan begitu, kedua tukang pukul itu menjadi
penasaran sekali. Dengan lantas keduanya maju pula, untuk
mengulangi serangan mereka. Sebenarnya mereka mesti
menginsyafi yang mereka bukan lawan si "binatang cilik atau
makhluk campur baur" itu tetapi mereka melupakan itu.
Kang Lam mendak ketika ia diserbu berbareng, sambil
berkelit, ia menyambar tangan baju mereka itu, terus ditarik
dengan keras, maka mereka itu jadi saling tubruk, tangan
mereka mengenai masingmasing tubuh mereka! Kembali
mereka merasa kepala mereka pusing di samping tubuh
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka nyeri. "Nah, kamu lihat!" berkata Kang Lam tertawa. "Kamu saling
menghajar sendiri, dan semua itu sahabat cilik menjadi
saksinya! Maka jangan kamu persalahkan aku!"
Dua orang itu mengawasi dengan mata melotot.
"Kamu mementang mata dan mengasih bangun alis kamu,
kamu mau apa?" tanya Kang Lam tertawa. "Apakah kamu
merasa saling gebuk kamu masih belum cukup" Apakah kamu
masih ketagihan" Apakah kamu mau bertempur lagi sama
aku?" Baru sekarang kedua tukang pukul itu kuncup hatinya,
mendadak saja mereka memutar tubuh untuk lari ngiprit!
Maka, ger! Ramailah tertawanya kawanan si bocah.
Tapi bukan cuma kawanan bocah itu yang tertawa ramai
itu, masih ada serombongan lain, hanya mereka ini orangorang
dewasa, yang datangnya kesitu seperti tidak ketahuan.
Mereka semua ada membekal pelbagai macam senjata tajam.
Mulanya Kang Lam terkejut hingga ia melengak. la
menduga kepada kaum Hayyang Pang, yang hendak
membantui dua kawannya itu. Tiba-tiba salah satunya, yang
menjadi kepala, maju untuk memberi hormat sambil memuji:
"Kau muda dan gagah, sungguh mengagumkan!"
Belum pernah Kang Lam mendapat pujian seperti itu, ia
girang. "Siapa bilang aku gagah?" katanya tertawa. "Orang seperti
kongcu-ku serta beberapa sahabatnya barulah orang-orang
gagah dari jaman ini!"
Orang itu berdiam, ia agaknya berpikir.
"Maaf, maaf," katanya kemudian, lagi-lagi ia memberi
hormat. "Jangan kau bicara dulu, kau biarkan aku mendugaduga
siapa kongcu-mu itu! Ah, dapat aku menebak sekarang!
Dia tentulah Tan Thian Oe! Dan kau, pastilah kau Kang Lam!"
Kembali si anak muda girang sekali.
"Kau betul!" bilangnya. "Sebenarnya, bagaimana kau
ketahui itu?"
"Aku dan kongcu-mu itu ada sahabat-sahabat untuk banyak
tahun, bagaimana aku tidak tahu?" menjawab orang itu. Ia
berhenti sejenak. "Beberapa sahabatnya kongcu-mu itu juga
kenal dengan kami, dan salah satu yang persahabatannya
paling erat bernama Tong Keng Thian."
"Benar, benar!" Kang Lam memotong. "Tong Tayhiap dan
kongcu-ku paling erat pergaulannya, melebihi saudara
kandung! Aku tidak sangka ia pun sahabatmu itu! Eh, ya,
masih ada seorang lain lagi. Kamu kenalkah Kim Sie Ie?"
"Kim Sie Ie" Ya, ya, tidak salah! Pernah aku bertemu
dengannya beberapa kali."
Mendengar jawaban itu, Kang Lam sangat tertarik hatinya.
"Kapankah pertemuan kamu paling belakang dengannya?"
ia tanya. "Di manakah?"
"Itulah di kaki gunung Nyen-chin Dangla, selagi kami
mengunjungi Tong Keng Thian, kebetulan kami bertemu
dengannya. Kemudian kami berangkat ke Kanglam. Kemarin
kira setengah tahun yang lalu."
Kang Lam girang tidak terkira.
"Kalau begitu, Kim Sie Ie menjadi belum mati?"
"Usia Kim Sie Ie rada lanjut akan tetapi kesehatannya
masih baik sekali," kata pula orang itu. "Menurut
penglihatanku, ia masih dapat hidup sedikitnya sepuluh tahun
lagi. Mana bisa dia gampang-gampang mati?"
Kang Lam tercengang, pikirannya lantas bekerja.
"Usia Kim Sie Ie berimbang sama usia kongcu-ku," pikirnya,
"tahun ini paling tinggi ia baru berumur dua puluh lima tahun,
kenapa dia ini membilang sudah lanjut. Kalau ia berhasil
mendapatkan ilmu dalam dari Thiansan Pay hingga ia bisa
menyembuhkan latihannya yang sesat, mana bisa ia hidup lagi
hanya sepuluh tahun" Orang ini membilang bersahabat kekal
sekali dengan Tong Keng Thian dan kenal juga dengan Kim
Sie Ie, umpama kata Kim Sie le tidak membilanginya sendiri,
mustahil Tong Keng Thian berdiam saja dan tidak
memberitahukan umurnya Kim Sie Ie itu''"
Mendadak pemuda ini menjadi bercuriga. Hanya sebentar,
lantas ia berpikir pula: "Mungkin juga dia ini benar. Kim Sie Ie
paling pandai menyamar. Ia pernah menjadi si penderita
kusta, ia pernah menyamar menjadi seorang tua bangka.
Bahkan dia kenal belum lama, baru beberapa kali bertemu
katanya, jadi persahabatannya masih tipis" Mungkin juga
Tong Keng Thian tidak bicara banyak tentang Kim Sie Ie
kepadanya. Hanya, mereka ini katanya sahabat-sahabat kekal
dari kongcu, mengapa aku tidak kenal sekalipun satu saja di
antaranya?"
Orang itu seperti dapat mem-bade hatinya anak muda ini.
"Ketika dulu hari itu Tan Kongcu menyambut guci emas,
kami pernah membantu dia," ia berkata pula. "Kalau tidak
salah, sampai sekarang ini peristiwa itu sudah enam atau
tujuh tahun lamanya."
"Sayang ketika itu kongcu tidak mengajak aku," berkata
Kang Lam. "Katanya peristiwa sangat ramai, telah datang
orang-orang gagah dari empat penjuru. Kiranya kamu kenal
kongcu di waktu itu, pantas aku tidak kenal kamu..."
Kang Lam mengawasi, ia menghitung. Rombongan itu
terdiri dari tiga belas orang, nampaknya mereka bekas habis
melakukan perjalanan jauh, mungkin mereka berasal
perbatasan negara. Karena ini, lenyaplah sebagian dari
kecurigaannya. Orang itu berkata pula: "Kau tidak kenal kami tetapi kami
telah mendengar namamu yang besar."
Kembali si anak muda menjadi kegirangan.
"Benarkah?" katanya. "Pastilah kongcu yang
memberitahukannya! Kongcu paling gemar memuji aku."
"Tidak salah! Tan Kongcu bilang kaulah kacungnya yang
paling dihargakan, kau pintar dan cerdik, kau pandai bekerja!
Pendeknya, kau sempurna!"
Kang Lam sinting karena pujian itu.
"Eh, kamu masih belum ketahui," katanya, "sekarang ini
aku bukannya kacung lagi. Aku bersyukur kepada kongcu,
yang menghargai aku, maka sekarang kongcu telah
mengangkat aku menjadi saudaranya!"
Orang itu repot memberi hormatnya.
"Oh Tan Jiekongcu!" ujarnya. "Maaf, maaf!"
"Kamu datang dari tempat jauh, apakah kamu ingin aku
membantu sesuatu untukmu?" kemudian si anak muda tanya.
Karena dipanggil jiekongcu, yaitu kongcu yang kedua, ia
lantas meniru sikap menghormat dari kongcu-nya yang halus
budi pekertinya.
"Benar," orang itu menyahut. "Kami mau minta kau tolong
mengantarkan kami. Bukankah Tan Toakongcu ada di
rumah?" "Ada, ada, pasti ada di rumah!" sahut Kang Lam cepat.
"Sebenarnya baru dua bulan kami mengiringi looya pulang ke
kampung halamannya ini. Cepat sekali kamu mendapat
kabar!" Lantas pemuda ini bertindak, untuk menjadi pengantar.
Tapi baru satu tindak, atau ia sudah merandak. Ia ingat suatu
apa. "Kamu tunggu sebentar!" katanya. "Eh, mana si nona
peniup huchia itu?"
Rombongan orang itu pun tidak memperhatikannya, setelah
mendengar perkataan si anak muda, mereka berpaling.
Benarlah, disitu tidak ada si nona yang tadi dike-pung-kepung
dua gundalnya Ong Loo Houw.
"Mungkin nona itu kaget dan ketakutan hingga nyalinya
pecah maka dia sudah lantas lari kabur," kata orang yang
menjadi kepala rombongan itu, yang tertawa. "Apakah Tan
Jiekongcu mencari dia" Inilah gampang. Sebentar, sehabisnya
menemui toakongcu, kami nanti berpencaran membantu
mencari dia itu."
Kang Lam heran. Ia melihat ke-letakan tempat yang datar,
sedang di belakang sana ada sebuah bukit kecil. Kalau si nona
lari ke belakang, mungkin mereka ini melihatnya, dan kalau
dia lari ke depan, ia pasti mendapat tahu. Ia tahu matanya
awas. Maka, kemana perginya nona itu" Mungkinkah dia mahir
ilmu ringan tubuh dan telah membolos selagi barusan ia
kurang perdata" Mestinya dalam sebentar saja nona itu dapat
melalui belasan lie...
Karena terpaksa, anak muda ini berjalan terus. Ia diiring
tiga belas orang itu. Sebenarnya ia berhati tidak tenang, tetapi
di sepanjang jalan orang tak hentinya memuji padanya, ia
menjadi gembira juga.
"Kamu pemah mendaki gunung Nyenchin Dangla," katanya
kemudian, "kamu pernah bertemu sama Tong Tayhiap suami
isteri, maka itu, tahukah kamu kongcu-ku ini dengan Tong
Tayhiap itu pernah sanak dekat?"
"Begitu?" kata si ketua rombongan.
"Kenapa begitu?" kata Kang
Lam. "Isterinya kongcu-ku, jadinya Nyonya Tan, tadinya
ialah pelayannya Pengcoan Thianlie Jangan kamu memandang
enteng yang dia asalnya seorang pelayan. Dia sebenarnya
puterinya seorang menteri besar di dalam negara Pengcoan
Thianlie. Dia bukan saja pintar ilmu surat dan mengerti ilmu
pedang, dia juga mempunyai peluru inti es Pengpok Sintan
hadiah dari nona majikannya itu! Kamu tahu sendiri, peluru
inti es itu hanya berada di dalam Istana Es dan di kolong
langit ini tidak ada keduanya."
Kang Lam doyan bicara semenjak masih kecil, maka juga di
Sakya, hamba-hamba kantornya Tan Teng Kie memberi dia
gelaran "Kang Lam si banyak bacot". Sekarang, masuk usia
dewasa, ia belum bisa buang kebiasaannya itu.
Si ketua rombongan saling lirik dengan kawan-kawannya.
"Begitu" Bagus!" katanya bersenyum.
Kang Lam melengak. Perkataan orang itu mengherankan ia.
Ia tadinya hendak menegaskan ketika ia mendapat kenyataan
ia sudah tiba di depan rumahnya.
Pengawal pintu, yang dipanggil Ong Kongkong, heran
melihat jie-kongcu-nya itu mengajak orang, dia lantas
menghampirkan dan menanya.
"Lekas pergi mengabarkan kongcu!" kata si anak muda
cepat. "Kau bilangi bahwa serombongan sahabatnya dari
perbatasan negara datang menyambangi!"
Dalam kegembiraannya itu. tanpa memikir untuk menanti
Thian Oe muncul, Kang Lam hendak mengundang rombongan
itu lantas masuk ke pekarangan dalam. Atau mendadak ia
menampak Thian Oe berdiri di tangga lorak dengan air muka
kaget dan muram!
Si kepala rombongan lantas tertawa lebar dan berkata
kepada tuan rumahnya itu: "Tan Kongcu, niseayalah kau tidak
pernah memikirnya yang kami dapat begini lekas datang
menyambangi kau?"
Thian Oe menjadi gusar sekali.
"Tio Leng Kun, kau menghendaki apa?" ia menegur.
"Kau ditunjang Tong Keng Thian, mana kita berani
menghendaki apa-apa dari kau?" berkata orang yang dipanggil
Tio Leng Kun itu. "Kami hanya memikir untuk minta kau
mencoba-coba merasai bagaimana enaknya kalau tulang
piepee-mu ditusuk dilubangi!"
Tulang piepee ialah tulang selangka di pundak.
Kang Lam menjadi sangat kaget. Itulah pembicaraan yang
ia tidak sangka sekali-kali.
"Jadi kamulah musuh-musuhnya kongcu-ku?" ia berseru. Ia
lantas berlompat untuk menyerang lehernya orang itu.
Orang yang diserang menyambut sambil menendang.
"Sungguh liehay!" Kang Lam berseru. Dalam keadaan
terpong-gok seperti itu, ia berlompat memutar tubuh, maka
tepat sekali kempolannya kena ditendang. Kalau ia ditendang
dadanya, mungkin ia bercelaka.
Pastilah Kang Lam tidak kenal rombongan ini, yang
dipimpin oleh Tio Leng Kun itu, ialah ciang-bunjin atau ketua
partai persilatan Khongtong Pay, yang sekarang datang untuk
mencari balas. Pada enam tahun dulu, rombongan Tio Leng Kun ini sudah
mengepung Lui Cin Cu dari partai persilatan Butong Pay.
Pengepungan terjadi di luar kota Chalun di Tibet. Kebetulan
itu waktu mereka bertemu sama Tan Thian Oe berdua Yu
Peng, mereka ini membantui Lui Cin Cu. Dengan Pengpok
Sintan, Yu Peng melukai matanya Tio Leng Kun. Kemudian
lagi, Tong Keng Thian juga membantui pihak Butong Pay itu.
Dengan tiga belas batang Thiansan Sinbong, senjata rahasia
yang liehay, yang terbikin dari semacam rumput berujung
tajam dari gunung Thiansan, Keng Thian telah melukai dua
belas adik seperguruan dari Tio Leng Kun itu, yang terluka
tulang selangkanya, hingga hilanglah ilmu silat mereka,
sesudah mana mereka itu diusir keluar dari wilayah Tibet.
Sebenarnya siapa terlukakan tulang selangkanya, dia sukar
diobati sembuh, umpama kata dia mendapat pertolongan
tabib pandai, untuk kesembuhannya perlu tempo sepuluh
tahun, tetapi Tio Leng Kun beramai bernasib baik, mereka
telah bertemu seorang saudagar bangsa Persia, yang menjual
obat penyambung luka, yaitu sioktoan yang katanya tuanya
seribu tahun, maka dengan memakai obat itu, yang dibantu
urutan menyambung tulang warisan Khongtong Pay, mereka
berhasil sembuh dalam tempo lima tahun, dari itu, selain
sembuh, ilmu silat mereka pun bertambah maju. Begitulah
timbul keinginan mereka untuk menuntut balas. Untuk segera
mencari Tong Keng Thian suami isteri, mereka bersangsi,
maka mereka hendak mencari dulu musuh yang lebih ringan.
Sungguh kebetulan, baru satu tahun mereka
mencari-dari Utara mereka menuju ke Selatan disini secara
kebetulan mereka bertemu sama Kang Lam, hingga mereka
dapat mencari Tan Thian Oe.
Ketika Kang Lam berlompat bangun habis ditendang roboh
lawannya, ia mendapatkan Thian Oe sudah bertempur sama
rombongan musuhnya itu. yang main mengeroyok. Maka
berisiklah suara bentroknya senjata-senjata mereka.
Tan Thian Oe membela diri di undakan tangga. Ia mau
mencegah orang menyerbu ke dalam rumahnya. Dengan satu
tikaman ia berhasil menusuk satu musuhnya tetapi justeru itu,
Tio Leng Kun kena merobek ujung bajunya.
Kang Lam tidak dapat menonton lama-lama. Ia jalan mutar
lari ke dalam, guna meminta bantuan.
Tan Thian Oe gagah tetapi melayani tiga belas musuh
Khongtong Pay yang tangguh itu, lama-lama ia menjadi
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kewalahan. Kembali ia kena ditinju Tio Leng Kun. Ia menjadi
mendongkol sekali, ia lantas membalas menyerang dengan
hebat. Leng Kun dapat berkelit. Celaka adalah saudaranya,
yang berada di belakangnya, dia ini terpapas jeriji tangannya.
Tapi Leng Kun menyerang pula, atas mana Thian Oe
terhuyung. Justeru begitu, ia disusuli bacokan golok seorang
musuhnya yang lain, maka pundaknya terluka dan
mengeluarkan darah.
Di saat Thian Oe terancam bahaya itu, disitu terdengar
cacian seorang yang suaranya dalam menandakan usianya
yang sudah lanjut: "Oh, kawanan bangsat anjing..." Hanya
baru sampai disitu, orang itu lantas roboh sendirinya,
caciannya itu berhenti sendirinya.
Dialah Tan Teng Kie, ayahnya Thian Oe. Dia mendengar
suara berisik, dia keluar. Dia mendamprat di saat anaknya
terluka, karena kaget, tidak dapat diam, mendamprat terus,
tidak kuat dia mempertahankan diri, maka robohlah dia, roboh
sendirinya. Tio Leng Kun tertawa nyaring.
"Kau berani mencaci aku?" katanya. "Inilah namanya
pembalasan! Hayo, tusuk tulang piepeenya tua bangka ini!"
Thian Oe tengah terluka, tidak dapat ia mempertahankan
garis pembelaannya itu, maka lantas ada beberapa musuhnya
yang bisa menerobos melewati ia, melewati undakan tangga,
guna menyerbu ke arah ayahnya itu. Mau tidak mau, ia
menjadi mencaci musuh. Ini justeru kehendaknya Leng Kun,
agar musuhnya marah besar, hingga ia jadi tidak bisa
berkelahi dengan betul.
Orang-orang Khongtong Pay itu telah dimaki, bukannya
mereka turut menjadi gusar dan membalas, mereka malah
tertawa semakin keras.
"Siapa berani mengganggu kongkong-ku?" sekonyongkonyong
terdengar suara halus tetapi nyaring, yang
menyebut-nyebut "kongkong", atau mertua, lalu terus terlihat
sinar-sinar berkeredepan, menyusul mana, beberapa orang
yang lagi tertawa itu, suara tertawanya berhenti dengan tibatiba,
bahkan mereka jadi kelabakan!
Itulah Yu Peng, yang muncul dengan mendadak, yang
lantas menyerang dengan Pengpok Sintan, peluru inti es.
Kalau kawan-kawannya yang lagi tertawa itu terkena peluru
es, tidak demikian dengan Tio Leng Kun. Dia sudah lantas
menyerang, untuk membela diri.
Tio Leng Kun ketahui liehay-nya peluru es, ia berdaya
untuk melawannya. Ia lantas meyakinkan Bweehoa ciam, yaitu
jarum rahasia Bunga Bwee. Sekarang ini saatnya tiba, ia
membela diri sambil melakukan penyerangan, yaitu
sebelumnya peluru es mengenai sasarannya. Maka runtuhlah
peluru yang mengarah tubuhnya, cuma terasa sedikit
hawanya yang dingin, yang ia dapat lawan.
"Hahaha!" ia tertawa menantang. "Berapa banyak peluru
esmu" Apakah kau hendak meminta lagi dari Pengcoan
Thianlie?"
Memang peluru es itu Yu Peng dapatkan dari Pengcoan
Thianlie, nona majikannya, siapa mendapatkan pula dari
kedung yang ribuan tombak dalamnya. Ia membawa sama
sekali seratus butir tetapi setelah lewat banyak waktu,
sekarang tinggal dua puluh delapan bocah. Barusan ia merabu
dengan sepuluh butir, dari itu, sisanya tidak ada dua puluh
butir lagi. Di lain pihak.
musuh berjumlah tiga belas orang. Maka itu, ditantang
musuh yang tangguh ini. Nyonya Tan Thian Oe menjadi
bercekat hati. Ia memikir untuk menyimpan guna saat-saat
terakhir. Karena ini, karena ia terlambat, ia pun lantas
dikurung musuh-musuhnya.
Sambil berseru, Yu Peng menghunus pedangnya, pedang
Han-giok Kiam, yang terbuatnya bukan dari emas atau besi
hanya dari batu kumala yang sudah terpendam ribuan tahun
dalam sumber di dalam lembah. Pedang ini tidak dapat
disamakan dengan pedang Pengpok Hankong Kiam dari
Pengcoan Thianlie tetapi toh bersinar terang dan berhawa
dingin, siapa belum mahir ilmu tenaga dalamnya, tak dapat
dia melawan hawa dinginnya itu. Begitu bergebrak, beruntun
ia menggunai dua jurus-mulanya
"Banlie huisong" atau "Es terbang selaksa lie" dan lalu
"Ciansan lok-yap" atau "Daun rontok di ribuan gunung". Kedua
jurus itu mendatangkan juga serangannya hawa dingin yang
keluar dari pedang itu.
Tio Leng Kun lantas maju guna melawan nyonya ini.
Dengan kebutan tangan bajunya ia membuatnya pedang
tersampok. Selagi isterinya itu menerjang, Thian Oe berlompat, guna
mengundurkan musuh-musuhnya, dengan begitu ia menjadi
memperojeh kesempatan akan mendekati sang isteri, untuk
bertempur berdampingan. Bersama-sama, mereka menggunai
Pengcoan Kiamhoat yaitu ilmu pedang Sungai Es.
Untuk sementara, Leng Kun beramai tidak dapat mendesak.
Tapi Yu Peng masih lemah latihan tenaga dalamnya, ia tidak
dapat bertahan lama. Sekarang ia cuma mengandalkan
pedangnya, sedang pelurunya ia masih tahan saja. Maka itu,
lama-lama ia menjadi repot juga.
Thian Oe jauh lebih unggul daripada isterinya itu akan
tetapi ia telah terluka, ia juga lantas menjadi repot, napasnya
sengal-sengal, peluhnya membasahkan sekujur tubuhnya.
Demikian atas desakan lawan, bersama isterinya ia mesti
mundur dari dua undakan tangga lorak.
Yu Peng menikam Tio Leng Kun, ia tidak mendapat hasil,
sebaliknya selagi ia menikam, satu musuh menusuk padanya,
hingga ia mesti segera berkelit, la masih mempunyai
kesehatan hingga ujung pedang lawan cuma tiba nempel di
pundaknya. Tio Leng Kun lantas berkata dengan ejekannya: "Kamu
bilang, kamu menghendaki tulang selangkamu ditusuk tembus
atau hanya batang lehermu yang harus dipenggal?"
Thian Oe dan Yu Peng tidak menjawab, hanya mereka
mengambil kesempatan untuk saling melirik, untuk
membulatkan tekad akan melawan terus mati atau hidup.
Maka itu, ketika mereka mendesak, Leng Kun kena dipaksa
mundur satu tindak. Hanya sayang untuk mereka, tenaga
mereka telah menyampaikan batasnya, sebentar kemudian,
mereka terdesak pula hingga mereka mesti mundur melewati
undakan tangga yang ketiga.
Selagi pertempuran itu berjalan hebat, sekonyong-konyong
hidung Thian Oe mendapat mencium hembusan bau harum
yang luar biasa. Ia menjadi heran.
"Entah dari mana datangnya harum bunga Mokwie hoa
ini?" ia tanya di dalam hatinya. Selama di Tibet, pernah ia
mendengar keterangannya Liong Leng Kiauw bahwa di dalam
lembah es di gunung Himalaya ada tumbuh semacam bunga
asiulo atau asura, dan asura itu, yang ada bahasa Sansekerta,
berarti hantu atau mokwie, maka bunga asura itu disebut
bunga hantu. Seorang biasa, apabila dia kena mencium bau
bunga itu, dia akan tak sadarkan diri. Siapa mahir tenaga
dalamnya, ia dapat bertahan sekian lama, atau ia bakal
menjadi lemas sendirinya, hingga habislah ilmu silatnya. Liong
Leng Kiauw pernah menjadi korban bunga itu hingga dia kena
ditawan busu, atau pahlawan, Nepal. Maka itu, heranlah Thian
Oe. Tio Leng Kun juga sudah lantas dapat mencium bau, hanya
dia tertawa dingin dan berkata: "Kiranya Tan Kongcu juga
dapat menggu-nai asap pulas kaum kangouw golongan
rendah! Tapi kau salah melihat! Kami mana takut dengan asap
pulasmu ini!"
Justeru Leng Kun mengejek, justeru Thian Oe berteriak:
"Lekas gunai Pengpok Sintan!"
Yu Peng berlompat naik satu undakan tangga, sambil
berlompat ia mengayun tangannya, menimpuk dengan peluru
esnya. Ia menimpuk dengan jurus "Thianlie san-hoa" atau
"Bidadari menyebar bunga". Dengan begitu, ia menyerang
jalan darah musuh.
Tio Leng Kun berlaku sebat, ia pun menyerang dengan
jarum rahasianya. Ia berhasil memecahkan Pengpok Sintan,
akan tetapi kesudahannya ada di luar dugaannya. Peluru inti
es itu hancur terhajar jarum, pelurunya hancur, tetapi hawa
dinginnya tidak buyar musnah, bahkan menjadi terlebih dingin
lagi, berlipat kali kuatnya. Ia mahir tenaga dalamnya, toh ia
menggigil, sedang tadi-pertama kali ia meruntuhkan peluru es
ia tidak terserang hawa dingin sehebat ini. Beberapa
saudaranya sudah lantas roboh tak sadarkan diri.
"Hai, mengapa aku jadi begini tidak berguna?" tanya Leng
Kun kepada dirinya sendiri. Ia tidak menginsyafi bahwa ia
telah menyedot baunya bunga asura hingga jalan napasnya
menjadi seperti tertutup, hingga tenaga dalamnya itu
berkurang sendirinya.
Thian Oe dan Yu Peng tidak takuti hawa dingin itu, kesatu
mereka memang telah mempelajari daya melawannya
menurut ajaran Pengcoan Thianlie, kedua mereka sudah siap
sedia, ialah mereka menahan napas bekerja. Bahkan ketika
baik ini dipergunakan mereka untuk menerjang hebat, hingga
mereka dapat mendesak akan menduduki pula undakan
tangga yang tadi terampas musuh.
Tio Leng Kun dan saudara-saudaranya yang belum roboh
merasakan diri mereka terancam hebat, sudah tubuh mereka
menjadi lemah, mereka pun pada bergemetaran.
Lima orang telah lantas kena tertikam dan roboh seketika.
Leng Kun sendiri telah terbabat dua jari tangannya. Oleh
karena ini, terpaksa ia memberi tanda untuk saudarasaudaranya
mengundurkan diri, siapa yang masih kuat, dia
memanggul kabur saudaranya yang roboh.
Lekas juga pertempuran berhenti. Thian Oe dan Yu Peng
tidak dapat mengejar semua lawannya itu. Mereka menang
tetapi mereka terbenam dalam keheranan. Itulah kemenangan
yang luar biasa.
Yu Peng mengasih masuk pedangnya ke dalam sarungnya,
ia mengebut berulang-ulang dengan tangan bajunya, akan
membuyarkan sisa hawa dingin, kemudian ia merobek ujung
tangan bajunya, guna segera membalut luka suaminya.
"Entah orang berilmu siapa yang telah dengan cara diamdiam
membantu kita," berkata isteri ini. "Sakit atau tidak?"
"Syukur lukanya tidak mengenai tulang," menyahut sang
suami. "Tibanya harum bunga asura ini luar biasa sekali..."
Yu Peng tidak kenal bunga itu, ia hendak menanyakan
keterangan suaminya, atau ia melihat muncul Kang Lam, yang
berlari berlompatan romannya ketakutan. Setibanya, bocah itu
berkata: "Kongcu, aku telah bersalah sudah mengajak musuhmusuhmu
datang kemari! Kongcu, kau hukumlah aku..."
Thian Oe mengerutkan kening. "Lain kali kau harus berhatihati!"
katanya. "Sekarang lekas suruh orang menyapu dan
mencuci bersih tanda-tanda darah. Tentang pertempuran ini,
aku larang kau omongkan kepada orang luar!"
"Baik, kongcu," menyahut Kang Lam, yang tapinya lantas
berdiri bagaikan terpaku, matanya mendelong ke pojok
tembok pekarangan.
Yu Peng heran, ia lantas mengawasi ke arah pandangannya
Kang Lam itu. Maka di pojok tembok itu, di bawahnya sebuah
pohon hoay, tampak seorang wanita muda yang mukanya
tertutup cala, tangannya memegangi setangkai bunga yang
sudah layu, bunganya putih dan merah. Selama di Istana Es ia
pernah lihat banyak macam bunga tetapi tidak ada yang
seperti ini. Hanya sejenak ia menduga: "Mungkinkah itu bunga
asura?" Nona itu nampak luar biasa. Ia duduk dengan rambut kusut
dan tubuhnya menggigil. Lembaran-lembaran bunga juga
belarakan di tanah di depannya itu. Ia seperti tak kuat
menahan hawa dingin, hingga mungkin tubuhnya, akan
menjadi beku "Dia! Dia!" mendadak Kang Lam berseru. Ia rupanya baru
ingat. "Dialah si nona yang meniup huchia!...'"
Thian Oe terkejut hingga ia mengasih dengar seruan
tertahan. Yu Peng gesit sekali, dengan segera ia lari pada nona itu.
"Enci, aku membilang terima kasih atas bantuanmu
mengundurkan musuh," katanya sambil ia mengeluarkan pel
Yanghoo Wan, obat untuk melawan hawa dingin dari pengpok
sintan. Ia bicara dengan halus dan tangannya diangsurkan ke
mulut nona itu. Ia pun ingin menyingkap cala si nona, supaya
nona itu dapat lantas makan obatnya Itu.
Sekonyong-konyong nona tidak dikenal itu berlompat
bangun sambil mulutnya memperdengarkan suara tertawa
yang luar biasa, yang seperti dapat nnemecahkan hati,
menyusul mana Yu Peng menjerit keras dan roboh terguling
sebab di dadanya tertancap sebatang anak panah pendek
yang hitam bergemerlapan, gagang panah itu bergoyanggoyang....
Thian Oe kaget hingga ia tercengang.
Nona itu tertawa pula, lantas dia kata nyaring: ?"Barang
yang aku tidak bisa dapatkan, kau juga tidak bakal
mendapatkan untuk selama-lamanya"'"
Thian Oe sadar, ia berlompat kepada si nona, pundak siapa
ia sambar, dengan suara menggetar ia menanya: ?"Kau!.,. Kau
siapa?" Kenapa kau berlaku begini kejam...?" Cuma sebegitu
ia bisa bilang, lantas tubuhnya roboh seraya menarik si nona
hingga mereka terguling bersama!!
Itulah sudah terjadi sebab Thian Oe habis bertempur keras,
dia terluka lain dia terkena bau bunga asura yang
melemahkan tubuhnya, karena dia berlompat dan
mengerahkan tenaga istimewa, habislah tenaganya.
Nona itu merobek calanya, dengan mata yang berlinangkan
air, ia mengawasi Thian Oe, air mukanya menunjuk ia
menangis bukan tertawa pun bukan, ia berdiam saja. Thian
Oe pun memandang nona itu, ia kaget bagaikan ia bertemu
iblis "Kau... kau.. kah Shanpii" ia menanya
Nona itu tertawa bergelak.
"Tidak salah!" sahutnya selang sesaat. "Kau telah
mengenali aku. Tunanganmu mencari padammu! Nah, mari
kita pergi bersama!!"
Kata nona itu diikuti dengan dihunusnya sebatang panah
pendek, yang terus ditikamkan ke tenggorokan kongcu she
Tan ini..... Kang Lamm kaget, ia berlompat hendak menolongi.
Muka Thian Oe pucat.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dosa....dosa..." katanya perlahan. Ia menutup rapat
matanya, untuk menanti kematiannya. Tapinya ia tidak
tertikam panah itu, hanya kupingnya mendengar suara
nancapnya...... nancap di dada si nona sebagaimana ia
melihatnya tatkala ia membuka matanya.
Nona itu menghela napas..
"Thian Oe, bagus..." katannya lemah. "Kau tidak suka pergi
bersamaku " Baiklah! Aku telah membunuh dia, maka itu
biarlah kau seorang diri hidup bersengsara... Thian Oe, Thian
Oe, mari biarkan aku mengikat pula tali sepatumu..."
Kata-katanya nona ini jadi makin lemah, tubuhnya lemah
juga, sebab segera tubuh itu roboh sendirinya di depan
dengkul si anak muda, kedua tangannya memegang sepatu
orang... Bukan main masgulnya Thian Oe. Nona itu ialah Shanpii,
puterinya touwsu dari Sakya. Semasa ayahnya masih
menjabat soanwie-su di Sakya, Tibet, Thian Oe telah terdesak
touwsu itu untuk menikah dengan puterinya si touwsu. Thian
Oe tidak setujui perjodohan itu, karenanya, ia buron.
Perjodohan menjadi buras ketika kemudian touwsu itu
terbinasakan Chena, seorang nona Tsang. Urusan telah lewat
buat banyak tahun, maka Thian Oe tidak menduga sama
sekali, sekarang di kampung halamannya ini, ia telah disusul si
nona. Sebenarnya Shanpii hendak membinasakan Thian Oe, di
saat terakhir, ia tidak tega, tetapi karena ia sudah putus asa,
ia lantas membunuh diri sendiri.
Dengan perlahan Thian Oe menyingkirkan tubuh si nona. Ia
melihat tali sepatunya telah terbuka, rupanya tidak keburu
diikat pula si nona, napas nona itu telah berhenti berjalan.
Menurut kebiasaan bangsa Tibet, wanita mengikat tali sepatu
pria berarti ia telah menyerahkan dirinya kepada pria itu. Dulu
hari di kantor touwsu, Shanpii pernah mengikat tali sepatu
Thian Oe. Ketika itu Thian Oe masih belum ketahui kebiasaan
bangsa Tibet itu. Shanpii tidak dapat melupakan peristiwa itu,
ia tetap mau menjadi isteri Thian Oe, maka itu, ia telah
mencoba akan mengikat pula tali sepatu si anak muda.
Thian Oe lari pada isterinya. Yu Peng rebah dengan kedua
mata merem dan mukanya sangat pucat, baju di pundaknya
robek, pada pundak itu nampak tanda hitam. Panah pendek
nancap di dadanya, racun panah itu melulahan ke pundak dan
lengan. Untuk sejenak, suami ini berdiri menjublak. Tiba-tiba ia
mencabut pedangnya, untuk dipakai menikam lehernya sendiri
Kang Lam berada di samping kongcu-nya itu, menampak
demikian, ia mengangkat kakinya, menendang pedang hingga
terpental. "Lihat, kongcu!" berkata kacung yang setia ini. "Lihat,
kepala siauwnaynay masih bergerak!"
Thian Oe melengak, segera ia menoleh. Ia melihat rambut
isterinya tertiup angin. Mendadak ia sadar
"Memang, aku mesti menolongi dia!" pikirnya. Ia lantas
menyuruh Kang Lam lari masuk, guna mengambil obat-obatan
pemunah racun, la tidak berani lantas mencabut anak panah
beracun itu, ia hanya mencekali erat-erat kedua tangan
isterinya. Napas Yu Peng berjalan perlahan sekali.
Dengan lekas Kang Lam telah muncul pula dengan ruparupa
obat. Thian Oe bekerja sebat sekali. Ia mengambil obat
pulung dan obat bubuk yang isterinya bawa dari Keraton Es, ia
menyekoki dan memborehkan isterinya itu, kemudian ia
menguruti, supaya racunnya tertolak mundur, agar darahnya
berjalan lurus.
Selang sekian lama, bibir Yu Peng bergerak-gerak, kedua
matanya pun terbuka.
Thian Oe mendekati kupingnya ke mulut isterinya itu.
"Jangan kau ganggu dia..." Itulah perkataan pertama dari
Yu Peng, suaranya sangat lemah. Tentu sekali, ia maksudkan
Shanpii. "Dia telah mati..." sahut Thian Oe berduka.
"Jangan kau membenci dia," kata pula Yu Peng. "Kau kubur
dia sebagai juga dialah isterimu. Kalau aku mati, kau kubur
aku di pinggir kuburannya!..."
Thian Oe menangis, air matanya mengalir.
"Tidak, adik Peng, kau tidak bisa mati..." katanya.
Ketika itu terdengar suara berisik dari dalam rumah.
"Looya bagaimana?" Thian Oe tanya Kang Lam. Ia baru
ingat kepada ayahnya, yang tadi pingsan tetapi lekas ditolongi
Kang Lam dan yang lainnya, dibawa masuk ke dalam.
"Looya kaget dan menjadi sakit karenanya," Kang Lam
menjawab. Thian Oe pondong isterinya, untuk dibawa ke kamarnya,
setelah merebahkannya, ia lari ke kamar ayahnya itu. Syukur
sekali, Teng Kie cuma kaget, ia tidak kurang suatu apa. Ia
hanya turut berkuatir dan berduka.
Untuk beberapa hari, Thian Oe repot tidak keruan. Ia
senantiasa mendampingi isterinya. la tidak tahu, bagaimana
harus menghalau racun panahnya Shanpii itu. Obat-obatan
dari Keraton Es cuma dapat membendung menjalarnya. Maka
ia terpaksa membantu dengan tenaga dalamnya, setiap pagi
dan sore ia membuang tempo tiga jam untuk membantu
tenaga dalam isterinya itu.
Di dalam tempo empat hari, Yu Peng nampak mendingan,
nadinya dapat jalan lebih keras, ia pun bisa menelan tajin.
Tinggal saat gentingnya yang belum lewat.
Pada suatu hari isteri ini mengawasi muka suaminya, ia
menghela napas.
Thian Oe letih merawat isteri dan ayahnya, ia kurang tidur
dan tidak beristirahat secara teratur, romannya menjadi perok
dan lesu. "Kau menderita begini rupa, lebih baik aku mati saja," kata
isteri ini. "Obat-obatan dari Keraton Es tidak dapat menolong,
maka itu mana ada tabib yang bisa menyembuhkan aku"
Selama hidupku beberapa tahun ini, aku telah merasakan
keberuntungan, maka kalau aku mati, aku puas..."
"Jangan pikir yang bukan-bukan!" Thian Oe kata. "Kau
tidak bakal mati!"
Di mulut suami ini mengatakan demikian, hatinya
sebenarnya kecil.
"Apakah kau telah selesai membuat kuburannya Shanpii?"
tanya Yu Peng. "Sejak dua hari yang lalu aku telah menitahkan Kang Lam
mengurusnya," sahut sang suami.
"Dia kejam tetapi itu disebabkan cintanya," berkata Yu
Peng, "maka itu jangan kau mensia-siakan dia..."
"Aku telah turut pesanmu, aku telah kubur ia dengan baik."
"Bagus. Kalau nanti aku bertemu dia, hatiku tenang .."
"Untukku, maukah kau tidak mengucap demikian" Kau
telah makan obat Keraton Es dan itu dibantu tenaga dalammu,
meski sekarang kau belum sembuh, kau toh bakal sehat
kembali..."
Yu Peng bersenyum sedih.
"Setiap hari kau menghadapi orang bagaikan mayat, kau
sendiri tidak bosan, aku sendiri tidak tahan..." katanya pula. Ia
berhenti sebentar. "Sebegitu lama, aku ingat, belum pernah
aku omong satu hal padamu. Itulah halnya Tong Keng Thian
dulu hari, selama di Keraton Es. Untuk puteri yang mulia dan
beberapa budaknya, ia telah membuat syair. Syair untukku
ialah: 'Lembah sunyi, gunung belukar, sinar rembulan menindih
lain-lain warna. Batang peng daun teratai, suara hujan
menutup suara teratai.'
Maka itu rupanya sudah selayaknya aku berdiam di dalam
lembah yang sunyi dan gunung belukar. Aku telah dibawa kau
ke dunia yang ramai, cuma-cuma aku membuatnya kau setiap
hari mendengari saja suara hujan, untukku kau berduka
selalu..."
Yu Peng menerangkan demikian karena namanya itu-Yu
Peng--berarti "peng yang sunyi". Peng itu pohon kapu-kapu,
sedang Yu ialah sunyi.
Mendengar itu sedih hatinya Thian Oe. Dalam kedukaannya
itu, mendadak ia tertawa.
"Kau benar!" serunya tiba-tiba. "Kenapa aku tidak
mengingatnya" Kang Lam! Kang Lam!"
"Kau ingat apa?" tanya sang isteri heran.
"Tong Keng Thian!" sahut suami itu. "Aku ingat soatlian
dari Thiansan! Bukankah teratai salju dari gunung itu dapat
mengobati segala macam racun" Syukur kau menyebutnyebut
nama Tong Keng Thian! Sekarang, apa lagi yang harus
dikuatirkan?"
Yu Peng tertawa sedih.
"Berapakah jauhnya letak Thiansan dari sini?" ia tanya.
"Kalau kita memakai kuda yang larinya cepat, pergi dan
pulang paling juga setengah tahun!" sahut sang suami.
"Selama setengah tahun itu kita nanti menanti, selama itu
terus aku merawati kau, tidak nanti penyakitmu berubah
buruk..." Ketika itu Kang Lam sudah muncul. Dia datang sambil
berlari-lari. "Kang Lam, aku hendak minta dua hal dari kau!" kata sang
majikan, atau saudara angkat, kepada itu kacung atau adik
pungutnya. Kang Lam kaget.
"Oh, kongcu!" serunya. "Kenapa kongcu mengucap begini"
Kongcu baik sekali kepadaku, maka itu apabila ada sesuatu,
perintahlah aku! Mengapa kongcu main minta" Aku nanti pergi
sekalipun ke dalam air atau api, tidak nanti aku mengerutkan
keningku!"
"Aku mau minta kau pergi ke Keraton Es," berkala Thian
Oe. "Disana kau minta soatlian dari Tong Keng Thian. Kau
mengerti sendiri yang kau mesti lekas pergi dan cepat
pulang." Kang Lam girang sekali meskipun ia tahu tugas itu sangat
berat. "Kongcu jangan kuatir, Kang Lam nanti bekerja baik
untukmu!" katanya. Inilah ketikanya ia menebus dosa.
Bukankah ia tidak ditegur karena ia telah membawa datang
bahaya untuk majikan itu"
"Perjalanan jauh dan sukar, kau mesti berhati-hati," pesan
si majikan. "Aku tahu. Umpama kata aku dipegat berandal, aku akan
menjauhkan diri, atau aku akan melawan mati-matian!"
sahutnya. "Aku tahu, aku pun tidak kuatir. Aku tidak takut kau
diganggu penjahat, kesatu kau tidak membawa harta, kedua,
kepandaianmu sudah cukup untuk melayani segala berandal
kelas dua atau kelas tiga. Apa yang aku mau minta ialah kau
jangan menerbitkan gara-gara."
"Baik, kongcu. Aku nanti berlagak tidak mengerti ilmu silat,
biar orang maki dan gebuk aku, aku tidak akan melawan.
Kecuali aku digebuk hingga aku tidak sanggup bertahan
lagi..." "Tidak nanti orang memaki atau menghajar kau tanpa
alasan. Cukup asal kau tidak menerbitkan gara-gara." Ia
berhenti sebentar, lalu ia berkata pula: "Sekarang aku hendak
minta satu lagi..."
"Titahkan saja! Aku nanti dengar kau, kongcu!"
"Aku menghendaki kau ingat peribahasa 'Kalau bicara,
bicaralah tiga bagian, jangan mengeluarkan seluruh isi hati.' Di
dalam dunia kangouw terdapat segala macam manusia jahat.
Kau gemar ngobrol, inilah tabiatmu yang kau mesti robah!"
Mukanya si bocah menjadi merah. Itu memang
penyakitnya. "Baik, kongcu," katanya. "Kalau orang tanya aku dua, aku
menjawab satu, kalau orang menanya sepuluh, aku menyahuti
dua, atau aku akan berlagak tuli dan gagu! Pasti aku tidak
akan menggagalkan urusan, kongcu!"
Yu Peng lagi sakit tetapi mendengar pembicaraan mereka
itu, ia tertawa. Ia anggap Kang Lam lucu sekali.
"Sekarang aku masih berada di rumah, tidak apa aku
omong beberapa kata-kata," kata Kang Lam kemudian.
"Siauwhujin, aku minta kau suka menenangkan diri. Setibanya
aku di tengah jalan, aku akan jadi buli-buli yang mulutnya
disumpal!"
Thian Oe pun bersenyum.
"Aku tahu kesetiaan kau," bilangnya, "untuk itu, aku
berterima kasih. Kau bukan lagi kacungku, maka itu lain kali
jangan kau panggil kongcu lagi padaku."
"Nanti saja, sepulangnya aku habis mengambil soatlian
baru panggilan ini dirobah," kata Kang Lam. "Sekarang ada
pesan apa lagi, kongcu?"
"Tidak ada lagi kecuali di sepanjang jalan kau tolong
dengar-dengar tentang Kim Sie I e," sahut Thian Oe.
Majikan atau saudara pungut ini lantas memberikan uang
bekal tiga ratus tail perak serta mengijinkan kudanya, kuda
asal Ferghana, untuk Kang Lam, kemudian setelah orang siap,
ia mengantari sampai di mulut dusun.
Kang Lam mentaati pesan kongcu-nya, di sepanjang jalan
ia tidak berani banyak omong. Setiap hari ia berangkat pagipagi,
setiap langit sudah gelap baru ia singgah. Ia melarikan
kuda sekerasnya bisa. Maka baru lima hari, ia sudah melalui
seribu lie. la telah berpikir, dengan jalan cara demikian, tak
usah sampai setengah tahun, mungkin baru empat bulan, ia
akan sudah kembali. Hanya ia tidak memikir, dunia kangouw
banyak sekali peristiwanya...
Di hari ke enam, seperti biasa, pagi sebelum embun kering,
Kang Lam sudah mengaburkan kudanya. Tengah hari, selagi
panas terik, ia mencari tempat bersinggah. Kudanya telah
mandi keringat dan mulutnya berbusa. Ia sendiri sangat
berdahaga. Maka itu, begitu melihat paseban di tepi jalan, ia
lantas mampir. Disitu ada orang menjual teh. Setelah turun
dari kudanya dan menambatnya, ia bertindak ke dalam
paseban itu yang terbuat dari batu dan luas, ada dua tiang
batunya serta lonengnya dari kayu merah.
"Di Tionggoan, segala apa beda," pikir anak muda ini.
"Segala paseban saja begini indah jauh lebih baik daripada
rumah hartawan di Tibet..."
Tukang teh ada seorang tua, ia menyuguhkan satu cangkir
air teh yang dicampuri bunga
Kang Lam memuji setelah ia minum seecgluk.
"Tempat ini apa namanya?" ia tanya kemudian.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah dusun Peng-ouw kecamatan Tongpeng koan."
"Oh, jadi sudah wilayah Shoa-tang! Bukankah disini ada
telaga Tongpeng Ouw?"
Tukang teh itu mengangguk.
"Apakah engko kecil pernah datang ke mari?"
Hati Kang Lam tergerak.
"Kiranya aku telah tiba di kampung halamannya..." pikirnya.
Maka di batok kepalanya berbayang seorang nona, ialah Cee
Ciang Hee anak gadisnya Yo Liu Ceng.
Pernah Yo liu ceng mengajak anaknya itu pergi ke Sinkiang
dan Tibet mencari Tong Siauw Lan, di tengah jalan Kang Lam
berkenalan sama mereka. Itulah kejadian pada kira lima tahun
yang lalu "Setelah beberapa tahun tidak kelihatan, dia tentu telah
menjadi besar dan menjadi seorang nona yang pemaluan..."
pikirnya. Ciang Hee lebih muda dua tahun, ketika ia bertemu
sama Kang Lam, merekalah bocah-bocah sedang nakalnya,
hanya mereka sangat cocok satu dengan lain dan Ciang Hee
telah memberitahukan kampung halamannya dan Kang Lam
masih mengingatnya.
"Jikalau bukannya ada urusan penting, seharusnya aku
pergi menjenguk dia," pikir pemuda ini. Ia juga hendak
menanyakan keterangan hal nona itu atau ia ingat pesan
kongcu-nya untuk jangan banyak omong, ia lantas menguati
hati akan menguasai dirinya. Maka setelah bicara beberapa
kata-kata lagi, ia tunduk untuk menghirup tehnya. Ketika ia
memandang ke arah kudanya, ia mendapatkan kuda itu masih
mengorong. Maka itu, ia lantas mengawasi ke sekitarnya.
Dengan begitu, ia menjadi mendapat lihat hal yang menarik
perhatiannya. Di sebelah timur, tiang ada tanda bekas
bacokan, dan di barat, pilar ada tapak tangannya. Beberapa
kali ia hendak membuka mulutnya, akan menanya si tukang
teh, guna minta keterangan, setiap kalinya ia menahan diri.
Karena ini, bibirnya sering bergerak-gerak, ia bagaikan orang
lagi sakit mulut...
Si empee tukang teh melihat kelakuan orang itu, dia
menjadi heran, sembari tertawa hihi-hihi, ia menghampirkan.
"Tuan, apakah kau heran melihat tapak golok dan tapak
tangan itu?" tanyanya. "Ah, hari itu, sungguh aku kaget
hingga hampir aku mati..."
"Inilah dia yang bicara, bukannya aku," pikir Kang Lam.
Maka ia mengawasi orang tua itu, mengharap-harap kata-kata
orang terlebih jauh.
Si penjual teh berhenti sampai disitu.
"Tuan, tehmu sudah dingin, apa kau ingin aku seduhkan
yang baru?" dia tanya.
"Boleh jugalah," Kang Lam menyahut.
"Aku memang doyan bicara," kata si orang tua, "biasanya,
orang suka dengar atau tidak, aku suka bicara sendiri. Hanya
di dalam ini dua hari, oranglah yang selalu bertanya-tanya
padaku." Kang Lam tidak kuat melawan lagi hatinya.
"Sebenarnya, kejadian bagaimanakah itu?" akhirnya ia
tanya. "Lekas kau bercerita!"
Tukang teh itu tertawa pula.
"Tuan, tehmu dingin!" katanya.
Kang Lam sadar, maka ia mengeluarkan uang satu tangchie
dan menyodorkannya.
"Ini uang teh aku bayar lebih dulu, tehnya boleh diseduh
belakangan," ia kata. "Coba kau tuturkan duduknya kejadian
itu." "Terima kasih!" kata empee itu, yang menyambut uang
untuk disimpan. Ia berlaku ayal-ayalan. "Tuan, aku lihat kau
mirip dengan orang yang biasa hidup dalam dunia kangouw..."
"Tidak, kau salah lihat," kata Kang Lam lekas. Ia ingat
pesannya Thian Oe. "Aku ada satu pedagang kecil..."
Dengan memiringkan kepalanya, orang tua itu mengawasi
tetamunya. Ia tertawa.
"Kalau begitu, aku salah mata," katanya. "Baiklah, aku akan
memulai. Orang-orang yang lewat disini, orang kangouw atau
bukan, tentu dia sudah pernah mendengar satu nama-ialah
namanya seorang yang terkenal untuk kecamatan kami,
kecamatan Tongpeng ini. Itulah kejadian pada tiga puluh
tahun yang telah lampau..."
Kang Lam tertawa.
"Pada tiga puluh tahun dulu itu, aku masih belum
terlahir!..." katanya. Ia berhenti dengan tiba-tiba. Ia ingat
janjinya akan jangan banyak bicara. "Nah, bagaimana
duduknya itu?"
"Untuk kecamatan kita ini, dialah seorang yang terkenal
sekali," kata pula si empee. "Dia pernah menjadi ketua dari
ikatan kaum Rimba Persilatan lima propinsi Utara. Dia
bernama... bernama..."
"Tiateiang Sintan Yo Tiong Eng!" Kang Lam meneruskan.
"Benar! Maka itu juga aku bilang, kau tentunya pernah
mendengarnya!" katanya si empee sangat puas, kipasnya
digoyang-goyang.
"Yo Tiong Eng sudah menutup mata banyak tahun,
mungkinkah kejadian ini ada hubungannya dengannya?" Kang
Lam heran. Ia berhenti pula secara tiba-tiba. Ia mengaku
bukan orang kangouw tetapi ia tahu hal ikhwalnya kaum
kangouw... "Memang ada hubungannya," menyahut si tukang teh.
"Tiateiang Sintan sudah menutup mata tetapi ia mempunyai
anak perempuannya, namanya..."
Kang Lam dapat menguasai dirinya, ia tidak meneruskan
menyebut nama orang seperti tadi ia mendahului si empee,
yang omongnya ayal-ayalan.
Orang tua itu berpikir.
"Namanya ialah Yo Liu Ceng..." ia meneruskan.
"Sebenarnya kita tidak berani menyebutkan namanya itu, ia
sendiri lebih suka girang memanggilnya Yo Toasiocia, yaitu si
nona gede. Ia telah menikah, ia sudah menjadi ibu orang, .toh
orang tetap memanggil ia toasiocia..."
"Ah tua bangka ini, ayal sekali ceritanya..." pikir Kang Lam,
yang menjadi tidak sabaran. Ia mencela orang sedang ia
sendiri ada kalanya suka berbuat demikian.
Tukang teh itu berhenti sebentar, baru ia meneruskan:
"Pada beberapa hari yang lalu Yo Toasiocia bersama gadisnya
pulang habis maybong, mereka singgah disini untuk minum
teh. Eh ya, aku lupa beritahu padamu. Paseban ini dulunya
dibangun dengan uang derma Yo Tiong Eng itu. Lihat itu batu
hijau yang dipakai, semuanya batu pilihan. Sekarang paseban
ini menjadi tempat aku mencari uang untuk hidupku, maka itu
sudah seharusnya aku berterima kasih kepada keluarga Yo
itu..." Hatinya Kang Lam ketarik. Jadi baru beberapa hari yang
lalu orang mampir di kedai teh ini.
"Habis bagaimana?" ia menanya.
"Ibu dan anaknya itu berbicara sama aku," si empee
melanjuti. "Yang dibicarakan ialah hal ikhwalnya Yo Tiong Eng
semasa hidupnya. Lantas Yo Toasiocia menjanjikan akan
menderma pula untuk memperbaiki paseban ini..."
"Kalau begitu, itulah cerita dari kejadian hari-hari saja..."
"Tidak, tuan. Selagi kita pasang omong, ada seorang
pendeta datang ke mari. Aku tengah asyik bicara, aku tidak
tahu kapan datangnya pendeta itu, aku baru mendusin ketika
aku melihat air muka toasiocia berubah. Kiranya si pendeta
duduk madapi dia dan matanya mengincar tajam kepada
toasiocia. Si nona anaknya toasiocia lantas berkata: 'Ibu,
pendeta ini sesat! Kau lihat matanya!' Mendadak toasiocia
berbangkit dan berkata padaku: 'Ong Lootauw, untuk
pasebanmu ini aku hendak meninggalkan tanda mata!' Tahutahu
sebatang golok terbangnya melayang!"
Baik sekali aksinya si empee, Kang Lam sampai terperanjat.
"Apakah golok terbangnya Yo Liu Ceng itu membinasakan
si pendeta?" ia tanya.
"Tidak! Golok terbang meninggalkan tanda di tiang itu!"
"Hebat tabiatnya Yo Liu Ceng," pikir si anak muda. "Kalau
ada orang nikah puterinya, bagaimana harus melayani mertua
seperti dia"... Tapi, golok terbangnya itu tentu dipakai
mengancam pendeta itu." Maka ia terus menanya:
"Bagaimana dengan si pendeta?"
"Si pendeta tidak membilang apa-apa, habis itu dia
berbangkit dan dia meninggalkan tapak tangannya itu di pilar
itu..." "Jadi itulah tapak jari si pendeta..."
"Habis berbuat begitu, dengan dingin si pendeta kata
padaku: 'Aku pun meninggalkan tanda mata kepadamu.' Habis
berkata, dia ngeloyor pergi. Toasiocia berteriak: 'Tunggu!'..."
"Lantas mereka bertarung?" tanya Kang Lam.
"Mereka bertengkar..."
"Apa kata mereka?"
"Mereka bicara nyeruos seperti petasan, tak mengerti aku,
hanya aku duga, di antara mereka rupanya ada permusuhan.
Cuma kemudian aku mendengar toasiocia mengatakan tegas:
'Baiklah, pasti aku menantikan di rumah untuk menerima
pengajaranmu!'"
"Apakah kau dengar ada disebutkan hari atau tanggalnya?"
"Aku tidak mendengar jelas..."
Kang Lam berpikir keras "Mestinya mereka menjanjikan
hari dan waktunya. Melihat tapak tangan ini, yang dalam, si
pendeta tentu liehay melebihkan Yo liu ceng. Seharusnya aku
membantui itu ibu dan anak... Sayang tidak ketahuan tanggal
harinya..."
Segera Kang Lam ingat pesannya Thian Oe. Segera ia ingat
Ciang Hee. Maka bingunglah ia. Itu waktu ada datang dua
tetamu lain, si empee pergi melayani mereka itu. Mereka
menggantung golok di pinggang mereka, agaknya mereka
royal. Dengan lantas mereka melemparkan dua potong uang
tangchie. "Orang tua, inilah uang tehmu!" kata yang seorang.
Orang tua itu tertawa.
"Inilah terlalu banyak, mana berani aku terima..."
bilangnya. "Jangan banyak omong, lekas simpan!" kata tetamu tadi.
"Aku hendak tanya kau, dalam beberapa hari ini ada atau
tidak orang asing datang ke mari?"
"Ada juga seorang pendeta..."
Empee ini mau menjelaskan, atau si tetamu memotong:
"Kecuali si pendeta, ada siapa lagi?" Orang tua itu agaknya
berpikir. "Tidak," sahutnya.
"Barangkali ada yang menanya tentang keluarga Yo?"
Empee itu tertawa.
"Penduduk sini ketahui Keluarga Yo, buat apa orang main
tanya-tanya lagi..."
"Hm! Nah, seduhlah teh Ie-cian!"
Kedua orang itu mengambil tempat duduk di depan Kang
Lam. Yang satu lantas berkata: "Aku sungguh tidak mengerti
kenapa tuu kita memandang urusan kecil ini sebagai urusan
sangat besar"..."
Hati Kang Lam terkesiap. Kebetulan mereka itu mengawasi,
ia mengangkat cangkir tehnya untuk dihirup.
Kedua orang itu melihat hanya 'seorang bocah, mereka
tidak memperhatikan, hanya setelah itu, mereka bicara dalam
bahasa rahasia kaum kangouw.
Kang Lam mengerti juga sedikit bahasa rahasia itu, acuh
tak acuh, ia memasang kupingnya.
Kata yang seorang: "Dia hanya seorang perempuan, dia
juga cuma mengandal nama besar almarhum ayahnya, berapa
sukarnya menghadapi dia" Mengapa tuu memandang urusan
ini berat sekali?"
"Itulah justeru karena nama besar ayahnya itu " kata yang
lain, yang tubuhnya kurus. "Ayahnya pernah menjadi ketua
ikatan kaum Rimba Persilatan di lima propinsi, karenanya, dia
tentu banyak hubungannya, banyak sahabatnya. Mustahil
perempuan itu tidak mengundang bala bantuan" Karena ini,
aku jadi rada berkuatir untuk tuu. Kenapa tuu tidak mau lekas
turun tangan" Bagaimana kalau sampai si pendeta
mendahuluinya?"
"Kau belum tahu hasilnya kalau Keluarga Yo itu dapat
dirobohkan," kata si kawan, yang tubuhnya gemuk. "Itu
artinya nama tuu lantas naik tinggi, dia menjadi jago sendiri di
Shoatang ini! Kau tahu siapa pendeta itu?"
"Tidak. Aku justeru mau menanya kau."
"Aku tidak tahu nama atau gelarannya hanya tuu pernah
membilang, meskipun Tong Siauw Lan masih jeri terhadapnya.
Lihat saja, berapa hebat tapak tangannya itu?"
"Kalau begitu, buat berurusan sama turunan Tiateiang
Sintan benar-benar tidak dapat kita memandang enteng. Nah,
marilah kita pergi mengundang orang!"
Mereka lantas minum, terus mereka berangkat, yang satu
ke timur, yang lain ke barat. Mereka menunggang kuda.
Hati Kang Lam menjadi tegang sendiri. Tidak dapat ia tidak
membantui Keluarga Yo itu, meski ia bersangsi akan sanggup
melawan si pendeta. Ia ingat pembilangannya Thian Oe
bahwa siapa belajar silat, perlu dia membantu kawannya yang
dalam kesusahan. Maka ia mengeringi tehnya. Ia tanya si
empee di mana rumahnya keluarga Yo itu.
Tukang teh itu tertawa.
"Jitulah terkaanku!" katanya.
"Aku menduga kau tentulah hendak membantui Keluarga
Yo!" "Kenapa kau bisa menebak?"
"Sebab sudah banyak sekali aku melihat orang! Begitu
melihat kau, aku tahu kau bukannya orang busuk! Kalau
busuk, mana kau sudi membantui pihak Yo itu" Sebenarnya,
dalam beberapa hari ini sudah banyak orang yang
menanyakan rumah keluarga itu dengan maksud membantu.
Sebaliknya dua orang barusan, mereka mesti manusia busuk,
maka itu, aku tidak suka memberi petunjuk pada mereka!"
Senang Kang Lam diangkat-angkat, maka juga ia
menambah uang tehnya, setelah menanya tegas jalanan, ia
berlalu dengan cepat.
Jalanan disitu rata, setelah mengawasi ke timur dan barat
dengan masih melihat punggung kedua orang tadi, ia pikir:
"Baik aku susul si gemuk!" Dan lantas ia mencambuk kudanya,
si kuda Ferghana yang dapat lari keras. Dengan cepat ia dapat
menyandak. "Eh tadi di kedai teh kau ketinggalan barangmu!" ia teriaki
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu setibanya ia di belakang orang.
Si gemuk menahan kudanya, ia heran.
"Barang apakah itu?" ia tanya.
"Lihat, apakah ini bukan dompetmu?" kata Kang Lam, yang
membikin kuda mereka berendeng, lalu mendadak tangannya
menyambar ke iga. Itulah jurus Tay-kimna yang pernah satu
hari Tong Keng Thian mengajarinya. Tapi ia gagal, ia cuma
merobek baju orang, sebaliknya ketika orang itu membalas,
segera ia roboh dari kudanya.
Si gemuk itu tertawa dan kata: "Hai, setan cilik, kau berani
main gila, di depanku! Benar-benar kau cari penyakitmu
sendiri!" Kang Lam rebah di tanah, matanya mendelik, ia merintihrintih.
"Segala kantung nasi masih berani membokong tuan
besarmu!" kata pula si gemuk tertawa menghina. "Kau
sungguh memalukan! Lekas bilang, siapakah yang menitahkan
kau berbuat begini?"
Kang Lam menyahuti tetapi suaranya tidak tegas.
"Aku cuma menotok jalan darahmu, aku tidak melukai
kulitmu atau mematahkan tulangmu," kata
si gemuk itu, "kenapa kau merintih tidak keruan hingga kau
tidak dapat membuka mulutmu" Hayo bicara lebih keras!"
Kang Lam tetap merintih, suaranya tetap tidak nyata. Si
gemuk menjadi gusar, dia lompat turun dari kudanya, untuk
menghampirkan, guna mencekuk, atau mendadak tubuh si
anak muda mencelat bangun, kedua jari tangannya bekerja,
maka segera dia roboh tak berkutik lagi!
Kang Lam tertawa terbahak.
"Dibanding sama aku, ilmu totokmu masih kacek jauh!"
ejeknya. Si gemuk berdiam.
"Mau atau tidak aku mengulangi perkataan kau barusan?"
Kang Lam Ikata tertawa. "Lekas bilang, siapakah yang
menitahkan kau berbuat begini" Lekas bilang, atau aku nanti
patahkan tulangmu dan keset kulitmu!"
Benar-benar bocah ini meniru aksi dan suara si gemuk tadi.
Saking mendongkol si gemuk membungkam terus.
"Baik, sekarang kau rasai dulu totokanku!" kata Kang Lam.
"Sesudah kau kenyang, baru aku patahkan tulangmu dan
keset kulitmu!"
Ancaman itu dibuktikan, atas mana si gemuk merasakan
seperti ia digigiti banyak ular kecil, hingga ia kesakitan bukan
main, hingga ia kelengar dan sadar beberapa kali, sakitnya itu
seperti kulitnya dikeset dan tulangnya dipatahkan...
Kali ini Kang Lam menggunai ilmu totok ajarannya Kim Sie
Ie. Ketika tadi pertama kali ia menotok iga si gemuk, ia pakai
ilmu ajarannya Hong Sek Toojin dari Khongtong Pay ketika
baru-baru ini imam itu memaksa ia menjadi murid selama
tujuh hari. Sedang ilmu totok Kim Sie Ie ini ada warisan dari
Tokliong Cuncia yang liehay suatu ilmu totok istimewa yang
beda daripada ilmu totoknya lain-lain partai, sebab, meskipun
liehay. ilmu totok ini gampang dipelajarinya, tak usah orang
mahir ilmu tenaga dalamnya, seperti terbukti, anak muda ini
dapat menggu-nainya.
Melihat orang bergulingan, Kang Lam menjadi tidak tega
sendirinya. Ia pikir: "Dia bertabiat keras, kalau tetap dia tidak
mau bicara, terpaksa aku mesti memerdekakannya... Masa
aku benar-benar mengeset kulitnya dan mematahkan
tulangnya?"
Justeru ia memikir begitu, justeru terdengar suara si
gemuk: "Aku suka bicara!..."
"Dasar kantung nasi!" berseru Kang Lam. Tapi segera ia
menambahkan: "Meskipun kau kantung nasi, sebab kau tahu
selatan, kau terhitung satu laki-laki juga!"
Sikap putar balik ini dapat membuat orang tertawa, tetapi
si gemuk lagi tersiksa, ia tidak ingat itu.
Bahkan dia kata pula: "Tuan kecil, kau tanyalah! Sepatah
kau tanya, sepatah aku menjawab..."
"Siapa memerintahkan kau pergi mengundang orang?"
Kang Lam lantas menanya.
"Tuu kami..."
"Fui!" Kang Lam membentak.
"Siapa kenal tuu kamu itu" Sebenarnya dia she apa dan
nama apa?"
"Dia Cek Tat Sam."
"Oh, jadinya dia ciangbunjin dari Taysan Pay, orang kelas
dua di wilayah Shoatang ini!" kata Kang Lam.
Pemuda ini hanya mengoceh. Sebenarnya ia tidak tahu
halnya Taysan Pay dan tidak tahu Tat Sam liehay sampai di
mana, hanya pernah ia mendengar pembicaraan di antara Tan
Thian Oe dengan Siauw Ceng Hong bahwa partai persilatan
itu, meski banyak rupanya, anggautanya yang paling banyak
hanya dari dua partai Siauwlim dan Butong, yang kedua
lainnya yaitu Ngobie Pay dan Cengshia Pay, sedang Thiansan
Pay, yang sedikit anggautanya, agaknya, ingin mengatasi
semua partai lainnya. Karena Thiansan Pay berada jauh di
Wilayah Barat dan jarang berhubungan sama partai-partai
persilatan di Tiong-goan, dia tidak banyak disebut. Tentang
partai lainnya tidak disebut jelas, maka itu ia-Kang Lam
anggap Taysan Pay tidak masuk hitungan, maka ia
mengatakannya Cek Tat Sam orang kelas dua, sedang
sebenarnya, untuk Shoatang, Tat Sam orang kelas satu.
Si gemuk mendongkol bukan main ketuanya dihinakan
secara begitu, tetapi ia telah tertotok dan tidak berdaya, ia
cuma bisa mendongkol saja.
"Sekarang bilang, siapa-siapa yang kamu telah undang?"
Kang Lam tanya pula.
"Tuu kami luas pergaulannya, banyak sekali sahabatnya,
maka aku tidak tahu seluruhnya."
"Kau bilang saja yang kau tahu."
"Ada Pekma Touw Peng, ada Kimtoo Teng Cit. Ada pula
Poan-liongkoay Khouw Tay Yu dan Tio Tiat Han pangcu dari
Cinsan Pang."
Semua nama itu belum pernah didengar Kang Lam tapi ia
mengasih dengar suaranya: "Hm! Semua dari kelas tiga atau
kelas empat!"
"Aku telah menjawab kau..." kata si gemuk. "Sekarang...
aduh!... aduh!..."
Memang totokan Kim Sie Ie itu, makin lama makin
mendatangkan rasa nyeri, maka sekarang si gemuk
bermandikan keringat, mukanya meringis-ringis menahan
sakit. "Baik, sekarang pertanyaan paling akhir!" kata Kang Lam.
"Kapan janji kamu dengan Keluarga Yo?"
"Malam ini!" menjawab si gemuk.
Kang Lam tertawa, terus ia menepuk punggung orang, atas
mana lenyap rasa nyerinya orang itu, cuma tubuhnya masih
belum dapat bangun, bahkan sekarang dia tidak dapat bicara.
Karena sambil membebaskan, anak muda itu membarengi
menotok urat gagunya berikul urat bekunya.
"Sekarang baik-baiklah kau tidur!" kata pula Kang Lam
sambil tertawa manis. "Kau tunggu sampai aku membuat
penyelidikan, setelah terbukti pengakuan kau benar semua,
baru aku akan datang pula untuk membebaskanmu!"
la lantas mengangkat tubuh orang, buat digabruki ke
tempat banyak rumput, kemudian tubuhnya diuruki, supaya
orang tidak dapat melihatnya. Habis itu baru ia ngeloyor pergi
sambil berpikir: "Bagus kejadian malam ini, aku jadi dapat
singgah disini. Karena cuma satu hari, aku tentu tidak akan
menggagalkan urusan kongcu..."
Ia hanya tidak memikir, bagaimana nanti duduknya
kejadian. Atau bagaimana kesudahannya apabila pihaknya
kalah... Di waktu magrib. Kang Lam sampai di luar kampung Yo
kee-chung yang besar, yang duduknya di pinggiran gunung,
belakangnya menghadapi telaga yang airnya jernih mirip kaca
rasa, pemandangannya indah.
"Pantas Ciang Hee cilok sekali," pikirnya.
Tidak leluasa untuk bertunggang kuda disitu, maka pemuda
ini lompat turun dari kudanya yang ia membiarkannya mencari
makan sendiri di tepi telaga. Kuda itu memangnya jinak, dapat
dilepas tanpa ditambat lagi. Dengan berhati-hati ia mendaki
bukit, agar orang tidak mempergokinya. Ia ingin menemui si
nona di luar sangkaan si nona, agar nona itu kaget
karenanya... "Dia tentu tidak menyangka aku datang untuk membantui
padanya," ia ngelamun terlebih jauh. "Haha, di saat kesukaran
barulah sahabat sejati terlihat tembaganya! Kang Lam
memangnya satu laki-laki!"
Ia gembira sekali, hampir ia tertawa sendirinya.
Selagi enak berjalan di tempat di mana rumput tinggi
hingga sedengkul, mendadak Kang Lam mendengar tindakan
kaki berat di sebelah belakangnya. Ia terkejut. Segera ia
mendekam, kupingnya dipasang.
"Shako, kenapa kau kena dikerjakan orang?" demikian ia
dengar. Suara itu seram. "Kenapa kau kena diuruki rumput"
Sungguh aku tidak percaya bocah itu demikian liehay..."
Mengenali suara orang, tahulah Kang Lam bahwa orang itu
si kurus tadi di paseban tukang teh, ialah kawan si gemuk
yang ia robohkan di tengah jalan. Ia hanya tidak tahu, kenapa
si kurus ini dapat lekas kembali bersama kawannya itu. Ia
mengangkat sedikit kepalanya, untuk mengintai ke belakang.
Maka ia melihat tiga orang: Yang jalan di depan seorang
bertubuh besar dan kekar, si gemuk jalan di tengah, dan si
kurus di belakang. Muka si gemuk merah disebabkan
pertanyaan si kurus itu. Entah siapa si tubuh besar dan kekar
itu, mungkin dia kawan yang diundang si kurus, dan selagi
menuju kemari, mungkin mereka mendengar rintihan si
gemuk, yang mereka lantas tolongi.
"Kau jangan memandang enteng bocah itu," kata si gemuk
kemudian. "Dia liehay sekali, hebat ilmu totoknya, mungkin
tak ada keduanya di kolong langit ini!"
Senang Kang Lam mendengar itu, meski ia tahu, orang
mengatakan demikian untuk menutup malu. Maka ia pikir:
"Tadi aku berbuat keterlaluan padanya..."
"Jadi kau takluk kepadanya?" si kurus menegaskan
kawannya. "Memangnya kalah, habis apa aku bisa bilang?" si gemuk
menghela napas. "Jangan kata kita, pang-cu sendiri mungkin
bukan lawannya. Menurut dia, pangcu cuma dari golongan
kelas dua!"
Orang yang ketiga itu, yang tubuhnya besar dan kekar,
menjadi gusar sekali. Ialah Tio Tiat Han pangcu dari Cinsan
Pang, sahabat kekal dari Cek Tat Sam pangcu dari Taysan
Pang. "Apakah bocah itu menanyakan kamu mengundang siapasiapa?"
ia tanya. "Apa kau ada menyebut-nyebut juga
namaku?" "Yang pertama aku sebutkan justeru nama kau, loojinkee.
Dia bilang... dia bilang... Ah, aku tidak berani
mengatakannya..."
"Mungkin dia mencaci aku, bukan" Kalau benar, itu tidak
ada hubungannya sama kau. Kau sebutkan lah!"
"Dia mencaci pun tidak, hanya dia bilang loojinkee dari
kelas tiga atau kelas empat..."
"Hm!" Tio Tiat Han menjadi gusar. "Kalau aku bertemu dia,
aku nanti patahkan tulang-tulangnya, aku nanti keset
kulitnya!"
Justeru itu Kang Lam tertawa tanpa tertahan lagi. Ia
anggap si gemuk sangat lucu.
"Nah, itu dianya!" seru si gemuk.
"Nanti aku lihat kau dari kelas berapa!" berseru si tubuh
besar, yang segera mencelat. Benar dia bertubuh besar tetapi
dia gesit sekali. Segera dia sampai di depan si anak muda dan
tinjunya lantas melayang!
Kang Lam berkelit, ia tertawa, dengan tangannya ia
menangkis. "Apakah kau tidak takut ilmu totokku yang di kolong langit
ini tanpa lawan?" ia tanya jenaka. Tapi ia kecele, sebab ketika
tangan mereka benterok, ia tidak berhasil menotok, bahkan
sebaliknya, ia merasai tangannya sakit. Untuk lima propinsi
Utara, Tiat Han bukan sembarang orang. Ia berhenti ketawa
dan menyeringai.
Si kurus lantas bersenyum. Tapi si gemuk kata: "Dia belum
mengeluarkan kepandaiannya. Lihat, dia dapat melayani Tio
Pangcu sampai tiga puluh jurus! Kau sendiri, mana kau
mampu!" Dipadu dengan Tio Tiat Han, Kang Lam kalah jauh, hanya
benar, Ilmu silatnya campur baur, ada ajarannya Kim Sie Ie,
ada ajarannya Tong Keng Thian dan Tan Thian Oe, tubuhnya
pun gesit, sedang di waktu bergebrak, Tiat Han berlaku
waspada sekali, dia jeri untuk ilmu totok yang disombongkan
si gemuk itu. Begitu, dalam sepuluh jurus dia masih tidak
berani mendesak, dia selalu menjaga agar si anak muda tidak
dapat merapati padanya
Setelah sampai ke jurus tiga puluh, baru Tiat Han merasa
aneh. "Bocah ini cuma pantas menjadi muridku," pikirnya, "hanya
jurusnya aneh-aneh dan lincahnya luar biasa, melebihi guruku.
Kenapa begini?"
Meski ia berpikir demikian dan merasa pasti ia tidak bakal
kalah, ia toh tetap waspada, hanya selewatnya itu, ia jadi
tertawa sendirinya. Jurusnya Kang Lam adalah itu-itu juga,
yang diulangi pergi pulang. Maka sekarang ia pikir, "Rupanya
bocah ini mencuri ilmu silat dari sana-sini..."
Sekarang barulah Tiat Han menyerang hebat, tangan
kirinya dengan ilmu silat Sutpay ciu, tangan kanannya dengan
Kimkong kun, kedua tangannya keras bagaikan besi, kudakudanya
tegar. Kang Lam kaget sekali.
"Celaka?" pikirnya, la insyaf bahwa rahasianya sudah
terbuka. Selagi ia sadar, kedua tangan Tiat Han mengurung
padanya. Lekas-lekas ia membebaskan diri dengar jurus
ajarannya Thian Oe, jurus "Wankiong siahouw" atau "Menarik
busur memanah harimau". Ia bergerak dengan baik tetapi ia
kalah tenaga, tidak dapat ia melawan tenaga lawannya ini.
"Kau lihat kepandaianku si kelas tiga!" kata Tiat Han
tertawa. Dengan tangan kirinya ia menekan kedua tangan si
bocah, tangan kanannya dipakai menyekek ke tonggorokan.
"He, kenapa dia tidak mengeluarkan kepandaiannya yang
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istimewa?" si kurus mengejek si gemuk.
Urat-urat jidatnya Kang Lam pada keluar. Ia mengerahkan
tenaganya tanpa berhasil, kerongkongannya pun macet
hingga ia tidak dapat bersuara...
"Kau berlutut dan mengangguk kepadaku tiga kali hingga
kepalamu terdengar nyaring!" kata Tiat Han tertawa
menghina. "Kau pun memanggil ayah padaku, nanti aku
lepaskan padamu! Kau mau atau tidak?"
"Aku mempunyai hanya satu ayah, kalau aku panggil dia
ayah, aku menghina ibuku," pikir Kang Lam. "Tidak, inilah
tidak bisa!" Maka ia menggelengkan kepala.
Tiat Han menggunai tenaganya lebih keras.
Kang Lam merasa napasnya mau putus tetapi ia
membandel. Di saat sangat berbahaya untuk si anak muda, mendadak
Tio Tiat Han berseru aneh, terus lidahnya diulur keluar, tangan
kanannya masih mencekek leher orang tetapi tenaganya
sudah kendor. Karena itu, si anak muda lantas dapat bernapas
pula. Selagi Kang Lam bingung, lidah Tiat Han terulur pula dan
rambutnya juga pada terlepas buyar, hingga dia mirip setan
gantung diri. Jadi bukan dia mencekek si anak muda, adalah si
anak muda yang seperti mencekek dia.
"He, kau bikin apa?" Kang Lam tanya. "Apa kau kira aku
kena ditakut-takuti?"
Ia mengatakan tidak takut, sebenarnya ia jerih.
Si kurus kaget, dia mengira Kang Lam menggunai
kepandaiannya, dalam takutnya, dia lantas lari, diturut si
gemuk! Tiat Han berseru pula, kali ini lepaslah cekalannya, maka
tubuhnya lantas roboh terkapar di tanah, dari mulutnya,
hidungnya, kupingnya, semua keluar darah mukanya pucat
bagaikan mayat.
"Oh, ibu!" seru Kang Lam, yang pun kaget, hingga ia turut
roboh. Bocah ini bermimpi luar biasa, la merasakan tubuhnya
melayang-layang di udara, matanya melihat tak kehitung
banyaknya iblis-iblis berkepala kerbau dan bermuka kuda. Ia
menjerit tapi suaranya tidak keluar. Dalam takutnya ia pikir
tentulah setan-setan yang mati menggantung diri hendak
membetot nyawanya. Tidak lama, lenyaplah segala iblis itu,
lalu kupingnya mendengar suara yang ia kenal baik sekali:
"Jangan bingung, jangan bingung, hari ini aku akan membuat
kau menjadi enghiong yang namanya tersohor di empat
penjuru lautan!" Kupingnya terus mendengar suara angin
mendesir, tubuhnya seperti naik ke udara, ke dalam mega
atau kabut, atau mendadak dia merasa jatuh dari udara itu.
Lantas segala apa sunyi-senyap...
"Ah, tempat apakah ini?" ia tanya dirinya ketika ia mencoba
membuka matanya, la lantas merasa tubuhnya seperti terjepit
papan hingga ia tidak dapat bergerak, sedang matanya
tersorot api dari dua jurusan. Ia berdiam, ia menetapi hati. Ia
lantas mulai sadar, tapi ia heran tidak terkira. Kiranya ia
berada di atas papan pian-gok, tubuhnya diam bagaikan bekas
ditotok. Pian-gok itu berada di dalam sebuah ruang besar di mana
teratur beberapa puluh meja persegi, di atas setiap meja ada
dua pui araknya. Ia heran hingga ia menyangka masih
bermimpi. Hingga ia mau percaya Giamloo Ong, atau Raja
Akherat, mengundang ia berpesta, la bagaikan disadarkan
ketika kupingnya mendengar nyaring tapi halus: "Ibu, malam
ini persiapan hebat sekali! Apakah bakal ada banyak orang
yang datang?"
Kang Lam melengak. Itulah suaranya nona Cee Ciang Hee,
yang muncul bersama ibunya. Ia menggigit lidahnya, ia
merasa sakit. Jadinya ia bukan lagi bermimpi. Maka heranlah
ia! Siapa membawa ia masuk ke ruang ini dan diletaki di atas
papan merek ruang itu" Ia menjadi bingung.
"Ah, anak, kau tidak tahu tahu langit tinggi dan bumi
tebal..." kata Yo Liu Ceng, si ibu. "Malam ini ialah malam pesta
Hongbun Hwee! Apakah kau kira kau bakal minum arak
pengantin?"
"Apakah ayah mengundang banyak orang untuk
membantui kita?" si anak dara tanya.
"Yang diundang bukannya sedikit, yang datang baru
sepuluh," menjawab sang ibu.
"Pihak sana, ibu?"
"Telah diterima tiga puluh empat lembar kartu nama, maka
menurut aturan, yang datang mestinya tiga puluh empat
orang. Coba kau hitung lagi, benarkah meja berjumlah dua
puluh empat bocah?"
"Benar, dua puluh empat bocah. Setiap meja untuk dua
orang, kita bertiga memakai satu meja lain, jadi masih ada
dua meja yang kosong."
"Ya, yang dua itu disediakan untuk tetamu yang tidak
diundang."
"Bukankah jumlah mereka dua kali lebih banyak daripada
pihak kita?"
"Demikianlah hangat dan dinginnya persahabatan..." kata
sang ibu menghela napas. "Coba kakek luarmu masih hidup,
biar yang tidak diundang juga, pasti dia datang! Lihat pian-gok
itu!" Kang Lam kaget. Ia mengira si nyonya melihat padanya.
"Kau tahu, pian-gok itu ialah ketika kakek luarmu berulang
tahun yang ke enam puluh, hadiah dari seratus dua puluh
empat orang gagah di lima propinsi Utara. Empat hurufnya
yang berair emas itu, yaitu Bu Lim Sek Bong, pujian untuk
kakekmu itu, yang dipuji sebagai orang gagah kenamaan.
Hingga sekarang ini, tiga puluh tahun telah lewat. Apa benar
pepatah yang membilang, dalam tiga puluh tahun itu,
keletakan tanah berputar?"
Yo Liu Ceng memikiri penghidupan manusia, yang dapat
berubah, jadi dia bukannya dapat melihat si anak muda.
"Biarnya jumlah kita lebih sedikit, tidak dapat kita
menghilangkan nama besar kakek luar!" berkata si nona,
bersemangat. "Itulah pasti! Kapannya ibumu pernah menyerah kalah?"
"Ibu, orang macam apa itu hwesio yang menantang kita?"
kemudian Ciang Hee tanya, perihal si pendeta.
"Pendeta liar itu aku melainkan ketahui nama asalnya yaitu
Cek Ho Ciang. Dia muridnya Taylek Sinmo Sat Thian Touw."
"Taylek Sinmo si Iblis Sakti?" mengulangi Ciang Hee. "Ah,
rasanya aku mengenal baik nama itu... Bukankah ayah pernah
membilang bahwa dialah si iblis yang setingkat dengan kakek
luar" Bukankah dia telah menutup mata?"
"Benar. Bahkan dari sekalian muridnya tinggal ini satu Cek
Ho Ciang. Taylek Sinmo Sat Thian Touw mempunyai satu
saudara kembar yaitu Sat Thian Cie gelar Patpek Sinmo si Iblis
Sakti Bertangan Delapan, dia juga mempunyai tinggal satu
murid." "Bukankah dialah Tang Tay Ceng yang juga menjadi
hwesio" Pada tiga puluh tahun dulu itu, dia juga telah dihajar
patah sebelah tangannya oleh kakek luar dan ketika pergi
mencari Paman Tong di Thiansan, kita juga menemukannya.
Aku mengerti sekarang, Cek Ho Ciang ini datang untuk
membalaskan sakit hatinya kakak seperguruannya itu."
"Ketika kita menemuinya itu, jikalau bukan dicegah Phang
Lim, tentulah aku telah hajar picak matanya! Tang Thay Ceng
sendiri tidak berani datang menuntut balas, sekarang Cek Ho
Ciang yang menggantikannya, tidakkah ini lucu?"
Kang Lam mendengar itu, di dalam hatinya ia kata: "Ah, ini
Bibi Yo jauh terlebih bisa meniup kerbau daripada aku!"
Dulu hari itu, Yo Liu Tieng bertemu sama Tang Thay Ceng
di sebuah rumah makan di tepi jalan, dengan sebelah
tangannya, Thay Ceng melayani sintan atau peluru "sakti" dari
si nyonya. Ketika, itu Kang Lam telah dapat menyaksikan
pertempuran itu. Kalau tidak Phang Lim tiba pada saatnya
yang tepat, mungkin Nyonya Yo itu roboh di tangannya Thay
Ceng. Kang Lam juga kata di dalam hatinya: "Mana bisa Tang
Thay Ceng datang untuk mencari balas lagi" Pasti tidak bisa
kecuali dia merayap keluar dari dalam peti matinya!... Eh,
ketika dia mati, peti mati pun dia tidak mempunyai, maka itu,
kecuali dia merayap keluar dari dalam sungai es..."
Dulu hari itu Tang Thay Ceng membuat perjalanan bersama
Cek Sin Cu, seorang iblis lain, pergi mendaki puncak Cholmo
Lungma di pegunungan Himalaya untuk mencari apa yang
dinamakan "rumput dewa", hanya belum lagi dia dapat
melihat puncak kesohor itu, dia telah mati kedinginan di dalam
sungai es. Tentang ini Kang Lam mengetahuinya dari
penuturan Tan Thian Oe kepadanya. Ketika itu yang mendaki
puncak terhitung juga Tong Keng Thian dan Kim Sie Ie,
bahkan di itu waktulah yang Kim Sie Ie lenyap. Tentang
kejadian itu, Yo Liu Ceng dan gadisnya tidak mendapat tahu.
"Ibu, rupanya kau lupa," berkata Ciang Hee. "Bukankah
ketika itu Bibi Phang telah membilang bahwa ia telah
melarang Tang Thay Ceng menuntut balas pula" Hanya yang
aneh, mengapa adik seperguruannya, si hwesio ini, tidak
mendapat tahu larangannya Bibi Phang itu" Mungkinkah kakak
seperguruannya tidak membilanginya" Tapi kita jangan takut!
Umpama kata kita kalah, Bibi Phang tentulah akan
membalaskan sakit hati kita ini!
"Anak Hee," berkata ibu itu, "andaikata aku terbinasa, aku
larang kau meminta bantuannya Phang Lim. Kami Keluarga
Yo, kami belum pernah menghendaki lain orang
mengasihaninya, juga kami belum pernah memohon
pertolongan kepada lain orang!"
Ada sebabnya mengapa Yo Liu Ceng mengatakan begini
kepada puterinya itu. Itulah karena ia tidak akur dengan
Phang Lim, dan Phang Lim bukan baru satu kali pernah
menggodai ianya. Tentu sekali sebab itu tidak dapat ia
menjelaskan kepada puterinya. Duduknya hal ialah pada tiga
puluh tahun dulu itu Yo Liu Ceng adalah tunangannya Tong
Siauw Lan akan tetapi Siauw Lan justeru menyintai Phang
Eng, kakaknya Phang Lim, karena mana, Phang Lim suka
sekali menjaili padanya.
Selagi ibu dan anak itu bicara, seorang bujang datang
mewartakan bahwa tetamu sudah datang.
"Pergi kau minta looya menyambut mereka," berkata Yo Liu
Ceng. Bujang itu mengundurkan diri.
Tidak lama disitu terlihat munculnya seorang berumur kirakira
lima puluh tahun dengan alisnya gombiok, matanya besar,
dan dadanya lebar. Dia diiring sejumlah orang. Dialah Ccc Sek
Kiu, suaminya Yo Liu Ceng, serta tetamu-tetamu yang
bersedia memberikan bantuannya. Sebagai suami, dia takut
isteri, akan tetapi walaupun dia beroman kasar, dia sedikit
bicara. Demikian dengan singkat dia memerintahkan:
"Pentang pintu besar! Sambutlah mereka sebagai tetamutetamu
yang terhormat!" Dia tidak seperti isterinya, yang
kemendongkolan atau kemurkaannya terutara pada wajahnya.
Begitu lekas pintu telah terpentang maka terdengarlah
tertawa besar dari seorang hwesio atau pendeta, yang
membuka tindakannya untuk masuk ke dalam.
"Silahkan!" berkata Sek Kiu.
"Aku menghaturkan diperbanyak terima kasih, taysu!" Yo
Liu Ceng berkata. "Dengan taysu datang meramaikan, dengan
berkumpulnya banyak orang gagah, sungguh inilah suatu
kehormatan besar untuk kami!"
Cek Ho Ciang si pendeta tertawa nyaring.
"Dan pihak kamu dari lima propinsi Utara, kamu pun
hampir hadir semuanya!" berkata ia. "Sungguh beruntung,
sungguh beruntung aku dengan pertemuan kita ini!"
Begitulah, belum apa-apanya, kedua pihak sudah terlebih
dulu mengadu bicara. Yo Liu Ceng agaknya bicara hormat
tetapi sebenarnya ia mengejek pihak musuhnya datang dalam
jumlah yang besar luar biasa itu. Dengan kata-katanya itu Cek
Ho Ciang di satu pihak, mengangkat mengejek nyonya rumah,
di lain pihak ia menunjuk kehormatannya kepada kawankawannya
tuan dan nyonya rumah itu dengan siapa ia tidak
ingin menanam bibit permusuhan.
Maksudnya Cek Ho Ciang dengan kedatangannya ini adalah
dua. Pertama-tama untuk menyate-rukan Yo Liu Ceng. Yang
kedua ialah-dengan jalan tidak langsung ini-guna, mengangkat
keponakannya, yaitu Cek Tat Sam, yang menjadi pangcu atau
ketua dari Taysan Pang, menjadi kepala ikatan dari kaum
Rimba Persilatan di lima propinsi Utara. Kawannya Yo Liu Ceng
itu sedikit tetapi mereka bukan orang sembarang, maka itu,
berhubung sama maksudnya yang kedua ini, Ho Ciang tidak
sudi mencari gara-gara. Ini pun maksudnya Tat Sam.
Di antara kawannya Cek Ho Ciang ada seorang suci suku
bangsa Tibet, yang mengenakan jubah merah, yang tubuhnya
besar dan tinggi melebihkan yang lain-lainnya hingga dia
lantas menarik perhatian dari siapa juga. Dengan menunjuk
kepada pendeta itu, Ho Ciang kata pada Yo Liu Ceng dan Cee
Sek Kiu: "Inilah Chong Leng Siangjin dari Tibet."
Pendeta itu merangkap kedua tangannya seraya berkata:
"Sudah lama aku mendengar nama besar dari tuan dan
nyonya, maka itu aku merasa beruntung sekali yang hari ini
aku berjodoh bertemu dengan kamu!"
Tuan dan nyonya rumah pun memberi hormatnya, hanya
berbareng dengan itu, keduanya segera merasakan desakan
suatu tenaga rahasia yang besar yang membikin mereka
bukan saja sukar bernapas juga kepala mereka pusing dan
mata mereka gelap.
Di saat suami isteri ini hebat mempertahankan dirinya, di
antara mereka terdengar tertawa yang nyaring dan aneh
iramanya, tidak keras tetapi tajam untuk telinga, hingga si
pendeta pun merasakannya, hingga karena herannya, segera
desakan tenaga dalamnya jadi berkurang. Ia pun telah
mengasih lihat perubahan kulit mukanya.
Chong Leng bersama Ho Ciang segera menyapu dengan
sinar matanya ke antara tuan rumah dan rombongannya,
selagi mereka itu repot saling memperkenalkan diri, ada yang
bicara, ada yang tertawa, Akan tetapi mereka tidak dapatkan
orang yang tertawanya aneh itu. Selagi Ho Ciang heran terus
maka Chong Leng bercekat hati sebab ia lantas ingat seorang
aneh dalam dunia Rimba Persilatan hanya saja ia tidak mau
mengutarakan sesuatu.
Kang Lam juga mendapat dengar suara tertawa yang
menusuk telinga itu, ia pun tidak kurang herannya, ia menjadi
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpikir sebagai Chong Leng Siangjin. Ia merasa kenal suara
tertawa itu. Segera ia kata didalam hatinya: "Bukankah dia
Kim Sie le" Tidak salah! Kalau Kim Sie Ie tertawa, suaranya
aneh seperti ini..." Hanya, meski ia menduga demikian,
orangnya-yaitu Kim Sie Ie sendiri-tidak ia lihat hadir di antara
orang banyak itu. Maka ia heran sekali.
Begitu lekas semua orang telah mengambil kursinya, Cee
Sek Kiu berkata kepada Cek Ho Ciang: "Taysu beramai telah
berkunjung ke gubuk kami ini, entah ada pengajaran apakah
dari pihak taysu kepada kami?"
Cek Ho Ciang berbangkit, untuk berkata kepada Yo Liu
Ceng: "Yo Toasiocia, siapakah yang membunuh kakak
seperguruanku" Aku minta sukalah kau sendiri yang
menjelaskannya!"
Yo Liu Ceng menjadi heran sekali. Ia telah menduga orang
datang guna menuntut balas buat sebelah tangan dari kakak
seperguruannya itu untuk sakit hati dari tiga puluh tahun yang
sudah lampau, sedang halnya Tang Thay Ceng telah menutup
mata, ia tidak tahu, maka ia menjadi melengak.
"Aku tidak membunuh kakak seperguruanmu itu," katanya
singkat bahna herannya itu.
Pendeta itu tertawa dingin. "Dengan kepandaianmu,
memang kau tidak nanti sanggup membunuh kakak
seperguruanku itu!" katanya. "Aku hanya mau menanya kau,
kau telah minta bantuan siapa untuk membunuhnya?"
Yo Liu Ceng menjadi gusar. Ia menganggap itulah fitnah
hebat. "Jikalau aku hendak membinasakan dia, sudah tentu aku
dapat melakukannya ketika untuk pertama kali aku bertemu
dengannya di Tibet!" katanya.
"Aku tahu kau banyak kenalan-mu!" kata Ho Ciang tetap
dingin, "'karena aku tahu, kau jeri terhadap kakakku itu, kau
tentu minta bantuan salah satunya untuk membunuhnya.
Tegasnya, kau pasti telah menggunai tipu daya keji. Tidak
perduli siapa si pembunuh, karena kaulah si pemegang
peranan, kaulah yang mesti bertanggung jawab! Kau tidak
mau mengaku tetapi kau mesti mengganti jiwa!"
Yo Liu Ceng pun gusar hingga ia mengeprak meja.
"Kau main tuduh...!" ia berseru. "Baiklah, kau boleh maju!
Apakah kau sangka aku takut?"
"Sabar!" Cee Sek Kiu malang di tengah. "Kalau ada bicara,
mari kita omongkan dengan baik-baik! Tetamu-tetamu dan
tuan rumahnya baru bertemu, mari kita minum dulu tiga
cangkir!..."
Belum habis suaranya tuan rumah ini, sudah lantas ada
yang menyambuti: "Bagus! Mari aku memberi selamat dulu
dengan tiga cawan kepada nyonya rumah!"
Orang yang membuka suara itu ialah Cek Tat Sam pangcu
dari Taysan Pang. Dialah orang setempat dan dari antara
kawan-kawannya, separuh lebih adalah orang-orang
undangannya sendiri, maka itu, dia sebenarnya kepala
rombongan tetamu itu. Maka dia menganggap, dialah yang
berhak untuk menghormati nyonya rumah. Pula caranya dia
memberi selamat itu ada beda daripada umumnya, tiga cawan
arak, yang terisi penuh, ia pegang dengan kedua tangannya,
dia mengangsurkan itu kepada Yo liu ceng dengan cara
lemparan, maka ketiga cawan itu melesat ke arah si nyonya
dalam kedudukan segi tiga. Yang aneh ialah cawan tidak
terbalik, airnya tidak mengc-plok jatuh.
Keluarga Yo tersohor untuk kepandaiannya yang
dinamakan "Tiateiang sintan" atau "Peluru Tangan Sakti",
yaitu kepandaian melepaskan senjata rahasia yang berupa
peluru, maka selagi pihak tetamu memperlihatkan
keliehayannya itu. Yo Liu Ceng segera memperlihatkannya.
Siang-siang ia telah mengisi penuh juga tiga bocah cawan,
yang ia telah lantas cekal dan mengangkatnya, dari itu ketika
Cek Tat Sam memberi hormatnya, ia dapat lantas
membalaskan. Dengan tawar ia berkata: "Aku tidak kuat
minum, tiga cawan tidak dapat aku minum semuanya, maka
itu aku membalas menyuguhkan!" Lantas ketiga cawannya
dilemparkan. Luar biasa kesudahannya itu. Tiga cangkirnya Cek Tat Sam
itu terbentur tiga cawannya si nyonya, orang mendengar
suara beradunya keenam cawan itu, keenamnya, terpisah
menjadi tiga masing-masing, yang tiga balik kepada Tat Sam
dan yang tiga lagi mental ke depannya si pendeta jubah
merah yang tinggi dan besar itu!
Menyaksikan semua itu, selain pihak tuan rumah, pihak
tetamu pun bertepuk tangan bersorak memuji si nyonya, yang
ada terlebih liehay daripada Tat Sam.
Tat Sam, dengan terpaksa, menyambuti tiga cawannya
dengan mengulur kedua tangannya, tidak demikian Chong
Leng Siangjin. Ia ini mengangkat tangannya yang besar dan
lebar, ia menggapai, telapakan tangannya dibuka, maka ketiga
cawan arak itu, dengan bergantian, seperti terbang ke dalam
telapakan tangannya itu, sedang sebenarnya ketiga cawan
menuju ketiga jurusan yaitu ke batang hidung serta kedua
pempilingan. Maka itu, kepandaiannya pendeta dari Tibet itu
menunjuki ia berada lebih atas daripada Cek Tat Sam dan Yo
Liu Tieng. Cek Ho Ciang menantikan selesainya adu kepandaian itu.
"Nyonya," ia berkata, "baiklah dibuat penjelasan antara
kita, sesudah itu baru dapat kita minum arak dengan gembira.
Aku mohon tanya, bagaimana dengan hutang jiwa kakak
seperguruanku itu?"
Yo Liu Ceng gusar hingga sepasang alisnya terbangun.
Terang bahwa orang telah mendesak kepadanya.
"Sudah aku bilang bukanlah aku yang membunuh dia!" ia
berkata, keras dan sengit. "Juga aku tidak tahu siapa yang
membunuhnya! Jikalau kau paksakan jiwa kakakmu itu
dihutangkan kepadaku, apalagi mau dibilang" Tidak bisa lain,
terpaksa hendak memohon dipakainya aturan kaum kangouw
supaya kau, toahwesio, memberi pengajaran kepadaku."
Seorang undangannya Cee Sek Kiu, ialah seorang tua yang
bernama Teng Kian Goan, lantas turut bicara. Ia bertanya:
"Aku mohon menanya kepada toahwesio, kau kata kakakmu
telah orang bunuh, Benarkah itu" Kau yang melihat sendiri
mayatnya atau cuma karena kau mendengar kabar dari lain
orang" Harus diketahui adanya banyak kabar yang keliru."
"Tahun dulu itu kakakku pergi mencari Yo Liu Ceng guna
membuat perhitungan," menyahut Cek Ho Ciang, "dia kena
dikalahkan oleh orang Thiansan Pay yang diminta bantuannya
Yo Liu Ceng, setelah itu, tentang kakakku itu tidak ada kabar
ceritanya lagi, sampai kemudian aku menerima kabar tentang
kematiannya dari Hong Sek Toojin. Sebagaimana diketahui
Hong Sek Toojin ada orang kenamaan dari Khongtong Pay,
maka itu, apakah mungkin kata-katanya itu dusta" Karenanya
kalau aku tidak menegur Yo Liu Ceng, aku mesti menegur
siapa lagi" Aku mau minta penjelasan."
Mendengar kata-kata itu, bukan cuma Yo liu ceng yang
hatinya panas tapi juga Kang Lam yang berada di atas piangok,
hingga dia kata di dalam hatinya: "Kenapa kau tidak pergi
menanyakan Kim Sie Ie?" Sayangnya ialah ia tidak dapat
membuka mulutnya.
Teng Kian Goan berkeinginan keras untuk mendamaikan
urusan, maka itu, ia kata kepada pendeta itu: "Jikalau
kakakmu itu dulu hari dikalahkan orang Thiansan Pay, sudah
seharusnya apabila kau pergi terlebih dulu kepada Tong Siauw
Lan, ciangbunjin dari partai itu, untuk memohon
keterangannya."
Tong Siauw Lan adalah salah seorang nomor satu dalam
dunia Rimba Persilatan di jaman itu, dia pun tinggalnya di
puncak tertinggi dari gunung Thiansan, di tempat di mana
tidak sembarang orang dapat mendakinya, maka itu, tidak
senang Ho Ciang dengan perkataannya orang tua she Teng
ini. Ia merasa bahwa ia disenggapi. Ia melotot kepada orang
tua itu. "Tuan toh..."
"Itulah Lounghiong Teng Kian Goan!" Cek Tat Sam
mendahului pamannya.
"Teng Lounghiong, terima kasih untuk usulmu ini," Ho
Ciang berkata, "hanya sayang, aku tidak dapat menerimanya.
Di dalam dunia kangouw adalah biasa yang orang datang
untuk menuntut balas bahwa untuk itu adalah pantas kalau
terlebih dulu orang mencari orang yang bertanggung jawab!
Mana boleh, belum lagi orang yang bertanggung jawab dicari,
kita mencari lebih dulu orang yang hanya membantui dia" Lagi
pula setiap orang tahu apa adanya hubungan di antara Yo Liu
Ceng dan Tong Siauw Lan itu, maka kenapa aku mesti
meninggalkan yang dekat untuk pergi ke tempat yang jauh"
Umpama kata pembunuhan benar dilakukan oleh orang
Thiansan Pay, tepat jikalau aku menanyakannya kepada Yo
Toasiocia!"
Yo liu ceng murka bukan main, mukanya menjadi merah.
Dulu ia ingin menikah sama Tong Siauw Lan, keinginannya itu
tidak berwujud, maka itu ia mendongkol sekali apabila ia
mendengar orang menyebut-nyebut urusan perhubungannya
sama Siauw Lan itu. Demikian kali ini.
"Keledai gundul, kau ngaco belo!" ia berteriak. "Kau
mengatakannya yang tidak-tidak! Siapa yang mengetahui
kakakmu bagaimana mampusnya" Kalau tetap kau hendak
memfitnah aku baiklah, kau boleh anggap benar aku yang
membinasakannya! Anak Hee, kau ambil panahku!"
Dari berduduk, Cek Ho Ciang bangun berdiri.
"Nyonya, mulutmu baiklah bikin bersih sedikit!" katanya.
"Kita mengadu kepandaian, kita tidak mengadu mulut!"
Pandai bicara pendeta itu. Ialah yang mulai menyindir Yo
Liu Ceng, sekarang ialah yang beraksi sebagai orang mulut
bersih dengan mengatakan mulut si nyonya kotor.
Segera juga Yo Liu Ceng menyambuti panahnya, lalu dia
mau meninggalkan mejanya.
Di saat pedang bakal dihunus dan busur bakal dipentang
seperti itu, tiba-tiba satu bujang lari masuk untuk
mengabarkan kepada majikannya: "Di luar ada seorang yang
baru tiba, yang mohon bertemu sama nyonya. Katanya dia
membawa suatu bingkisan buat minta tolong nyonya
menyampaikannya kepada seorang pendeta yang dipanggil
Hay Jiak Taysu!"
Dua-dua Yo Liu Ceng dan Cek Ho Ciang heran hingga
mereka melengak. Si nyonya heran untuk tibanya orang
demikian kebetulan dan barang bingkisan disampaikan dengan
perantaraannya, dan si orang she Cek tidak mengerti kenapa
orang menyebut dirinya, sebab dia, setelah menjadi pendeta
memang memakai nama Hay Jiak itu. Setelah meninggalnya
gurunya, Taylek Sinmo, hampir tiga puluh tahun dia hidup
menyendiri, baru sekarang setelah mendengar kematian
kakaknya seperguruan, dia memunculkan diri. Dia menjadi
pendeta, sedikit orang yang mengetahuinya, apapula nama
sucinya itu, makin sedikit yang mendapat tahu. Maka siapakah
orang yang memberi bingkisan itu" Kedua pihak cuma dapat
menduga, mungkin dia itu orang yang hendak membantu
salah satu pihak yang lagi berselisih itu...
"Tidak perduli dia mengajak berapa banyak orang, kami
keluarga Yo dapat melayaninya," kata Yo Liu Ceng dengan
keras. "Ajak mereka masuk!"
Bujang itu heran.
"Yang datang itu cuma satu orang," ia memberitahukan.
"Kau dengar tidak?" Yo Liu Ceng membentak. "Ajak mereka
masuk!" Bujang itu mengundurkan diri dengan lekas, akan lekas
juga kembali bersama satu orang, ialah orang yang tadi ia
menyebutkannya.
Yo Liu Ceng menjadi heran.
"Ah, Ong Lootauw, kiranya kau!" katanya.
Kang Lam segera mengenali orang adalah si empee tua
tukang teh di tengah jalan. Maka ia lantas kata di dalam
hatinya: "Empee ini sama dengan aku, gemar menyampur
urusan, tentunya dia mencari alasan saja untuk datang ke
mari guna menyaksikan pertempuran, kalau tidak, mustahil dia
datang tepat begini?"
Empee Ong itu ada memondong sebuah peti besi yang
persegi panjang, yang ditempelkan kertas putih dengan
bertulisan: "Tolong haturkan kepada Hay Jiak Taysu sendiri. "
Juga Cek Ho Ciang alias Hay Jiak Taysu mengenali si orang
tua di kedai siapa ia pernah mampir untuk membasahkan
kerongkongannya, maka meski ia merasa heran sekali, ia toh
lantas mengajukan dirinya seraya berkata: "Akulah Hay Jiak
Taysu!" Ia lantas menyambuti peti besi itu seperti juga ia
merampas, lantas ia menggoyang-goyangnya, hingga
terdengar suara seperti barang besi. Ia menjadi bersangsi
hingga ia tidak berani lantas membukanya.
"Mari kasih aku lihat, bingkisan apakah itu!" berkata Chong
Leng Siangjin. la menyambuti peti besi itu dari tangannya Cek
Ho Ciang, untuk terus membukanya. Ia tidak berkuatir peti
besi itu dipasangi senjata rahasia, ia percaya ilmu silatnya
yang tangguh. Dengan menggunai tenaga Kimkong cie, atau
Jcriji Arhat, ia menggunai jari-jari tangannya, ia tidak usah
berkutat untuk membikin peti besi itu terbuka, hanya apa
yang ia lihat-ialah isinya-membuatnya terperanjat.
Cek Ho Ciang bahkan sampai menjerit.
Isi peti besi itu adalah sepotong lengan tangan, ketika
tangan itu diangkat, untuk diletaki di atas meja, ada terdengar
suara membentur barang logam, malah ujung meja sampai
sempal. Sebab itulah lengan besi!
"Suheng, benar-benar orang telah bunuh mati padamu!"
Cek Ho Ciang berseru menangis.
Tang Thay Ceng itu, sang suheng, atau kakak seperguruan,
setelah sebelah tangan diputuskan ayah Yo liu ceng pada tiga
puluh tahun yang lalu, sudah lantas menggunai lengan besi
sebagai gantinya. Dengan tangan palsu ini, ia berlatih terus,
hingga ia dapat menggunai-nya dengan baik, maka juga, ia
telah berangkat pergi mencari Yo Liu Ceng guna menuntut
balas. Tentu sekali Cek Ho Ciang lantas mengenali lengan
palsu dari suheng-nya itu.
"Eh, tangan besi ini seperti ada ukiran suratnya!" kata
Chong Leng Siangjin, suaranya keras menyatakan keheranannya.
Cek Ho Ciang lantas mengangkat lengan itu, untuk
diperiksa. Ia melihat ukiran delapan huruf yang besar, yang
berarti:
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia mati di sungai es, tidak ada hubungannya dengan
siapa pun. "
Di bawah itu ada dua baris huruf-huruf kecil yang
menerangkan halnya Tang Thay Tieng mendaki puncak
Cholmo Lungma untuk mencari rumput obat yang mujarab
tetapi dia telah mati kedinginan di sungai es. Disitu pun
dijelaskan hari dan bulannya, tahun kematiannya serta sama
siapa dia perginya. Hanya saja, semua surat itu tidak ada
tanda tangan penulisnya.
Cek Ho Ciang heran dan bingung. Maka juga ia menjambak
si empee tukang teh.
"Siapa menyerahkan peti besi ini padamu?" tanyanya keras.
"Siauw Sam Cu," menyahut si empee.
"Siauw Sam Cu" Siapakah dia?"
"Ya, Siauw Sam Cu. Dialah si bocah tukang menjagai
kerbau tetanggaku."
Cee Ciang Hee menganggap kejadian itu lucu sekali, ia
mengasih dengar suara tertawa tertahan, hingga ia nampak
bagaikan mengejek.
Cek Ho Ciang menjadi gusar.
"Apakah ini kejadian lucu?" tegurnya. Terus ia menegur si
empee: "Kau berani main gila?"
"Penasaran!" empee itu mengeluh. "Aku si orang tua she
Ong, seumurku belum pernah aku bicara dusta! Jikalau kau
tidak percaya, nah kau tanyalah ini Yo Toasiocia!"
"Apakah benar peti besi itu si bocah tukang angon yang
membawanya padamu?"
"Dengan sebenar-benarnya aku menyambutinya dari
tangannya," si empee memastikan.
"Apakah kau tidak tanya kacung itu siapa yang sudah
menitahkan dia membawanya padamu?" Chong Leng Siangjin
turut menanya. Ia pun heran.
"Dia sendiri yang membilangi aku bahwa dia dititahkan
seorang pengemis di tengah jalan untuk menyerahkan itu
padaku dengan permintaan aku membawa kemari kepada Yo
Toasiocia untuk disampaikan terlebih jauh pada Hay Jiak
Taysu..." Chong Leng Siangjin heran sekali.
"Pengemis pun mengirim hadiah!" ujarnya.
Pendekar Sakti 11 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Suling Pualam 13
"13 Perjodohan Busur Kumala(Yun Hai Yu Gong Yuan)
Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT
Jilid 1 Keindahan alam di Kanglam selama musim semi tersohor
sekali, apapula, di bulan ketiga, di saat rumput-rumput tinggi
dan bunga-bunga mekar permai serta burung-burung ngoceh
tak hentinya. Terutama mentakjubkan ialah untuk mereka
yang belum pernah menginjak wilayah Selatan itu. Demikian
sudah terjadi dengan seorang muda, yang usianya kurang
lebih dua puluh tahun, air muka siapa nampak seperti ke
kanak-kanakan begitu pula tingkah polahnya. Berada di
sebuah tanjakan bukit, ia bergembira sekali, matanya
memandang kelilingan, tangannya saban-saban digerak-geraki
dan kakinya kadang-kadang berjingkrakan. Seorang diri dia
berkata bagaikan berseru: "Pantaslah ketika tuan tua masih
ada di Sakya, setiap hari dia memikiri untuk pulang ke
kampung halamannya, kiranya Kanglam ini Hingguh-sungguh
suatu tempat yang indah! Ya, Kanglam indah, Kanglam, indah
sekali!" Di belakang anak muda ini ada mengintil serombongan
bocah, mengintil sembari tertawa haha-hihi. Salah satu bocah,
yang paling besar, lantas menunjuk hidungnya sambil berkatakata
dengan suaranya yang berlagu: "Tidak tahu malu, tidak
tahu malu! Tikus tua terjatuh ke dalam timbangan, dia memuli
muji dirinya sendiri!"
"Hai, kurang ajar!" berseru pemuda kekanak-kanakan itu,
romannya dibikin gusar. "Hai, setan cilik, mengapa kau
mengatai aku tikus tua?"
"Bukankah tidak keruan-keruan kau memuji dirimu sendiri?"
si bocah membaliki.
"Barusan kau sendiri yang membilang 'Kanglam indah!
Kanglam indah!' Tak sudahnya! Dengan memuji diri sendiri,
apakah kau bukan si tikus tua yang jatuh ke dalam
timbangan?"
Anak muda itu tertawa.
"Kalau begitu, kamu keliru mengerti!" katanya. "Aku hanya
memuji bahwa tempatmu ini, wilayah Kanglam, indah sekali,
aku bukan maksudkan diriku! Tapi, aku sendiri, aku si Kang
Lam, juga bukannya buruk!..."
Anak-anak itu lantas pada mengawasi.
Pemuda ini, yang belum pernah menginjak wilayah
Kanglam, bernama Kang Lam. Nama wilayah Kanglam dan
namanya, Kang Lam, semua hurufnya sama dan sama juga
suara bacanya, karena itu, terjadilah salah mengerti di antara
bocah-bocah itu. Kang Lam memuji Kanglam, tetapi bocah itu
mengira Kanglam ialah Kang Lam. Ialah Kang Lam si bocah
yang kita kenal dalam cerita "Peng Coan Titian Lie" atau
"Bidadari dari Sungai Es". Karena ia adalah kacungnya Tan
Thian Oe putera dari Tan Teng Kie.
Tan Teng Kie berpangkat soan-wiesu, atau amban,
pembesar untuk suku bangsa, di Sakya, Tibet. Sebenarnya
pangkat itu pangkat dalam pembuangan, dan pangkat itu ia
jabat selama lebih daripada sepuluh tahun. Kemudian, karena
berjasa dalam hal menyambut guci emas dan ditolong oleh
satu menteri, yang mengajukan permohonan keampunan
baginya, oleh raja ia dipanggil pulang ke kota raja untuk
memegang kembali kedudukannya sebagai giesu atau censor.
Dua tahun ia menjabat pula pangkatnya ini, lantas ia
meletakinya dan pulang ke kampung halamannya, la
menggunai alasan sudah berusia lanjut sedang sebenarnya,
tidak bisa ia melihati suasana busuk di dalam pemerintahan.
Kampung halamannya itu ialah dusun Bok-tok, letaknya kirakira
lima atau enam puluh lie dari kota Souwciu, Kangsouw,
dan rumahnya menghadapi telaga Thay Ouw yang tersohor
indah panoramanya.
Sekarang ini kedudukannya Kang Lam beda daripada
kedudukannya tadinya. Mulanya ia menjadi kacung tukang
melayani majikan mudanya, Thian Oe. Nama Kang Lam itu
diberikan majikannya, Teng Kie, untuk memperingati wilayah
kampung halamannya, Kanglam. Ia telah berjasa dalam hal
membawa surat majikannya ke kota raja, maka itu, Teng Kie
telah mengambil ia sebagai gieeu, yaitu anak pungut, hingga
ia tak lagi menjadi kacung. Hanya, lantaran ia sederhana dan
tidak bertingkah, sifatnya tidak berubah. Demikian ketika ia
turut "majikannya" pulang ke
Kanglam-baru dua bulan ia tiba di Boktok-ia gemar bergaul
sama bocah-bocah sekampung, hingga mereka menjadi
sahabat-sahabat erat.
Sembari tertawa Kang Lam lantas membagi-bagi kembang
gula kepada kawan-kawan bocah itu, yang menerimanya
dengan gembira.
"Nah, bagaimana kamu lihat!" katanya tertawa pula. "Aku si
Kang Lam, aku tidak buruk, bukan?"
Bocah-bocah itu tidak menggoda lagi.
"Kang Lam baik! Kang Lam baik!" mereka bahkan memuji,
terus mereka bersorak-sorai.
"Eh, mari aku tanya kau!" kemudian tiba-tiba Kang Lam
menanya. "Di dalam kampung kamu ini ada atau tidak
seorang nona yang gemar meniup terompet huchia?"
Ditanya begitu, anak-anak itu menjadi gembira sekali. Anak
yang besaran, dengan mengejek, lantas tertawa haha-hihi dan
berkata: "Lihat, lihat! Engko Kang Lam lagi memikirkan si nona
manis!" "Hus, jangan ngaco!" membentak si anak muda. "Aku
menanyai benar-benar! Kamu kasih tahu padaku, besok aku
pergi ke kota Suowciu, nanti aku belikan kembang gula!"
Anak-anak itu lantas saja mengilar hanya mereka bingung
dengan pertanyaan itu.
"Apa itu huchia" Huchia itu barang apa?" demikian mereka
pada menanya. "Itulah terompet yang terbuat dari daun," Kang Lam
menerangkan sambil memetakan.
"Kalau ditiup, terompet itu bersuara nyaring dan tajam."
Anak-anak itu tetap tidak mengerti. Inilah tidak heran
karena huchia itu ada terompet istimewa suku bangsa di luar
perbatasan, umpama bangsa Tartar, dan anak-anak di
Kanglam belum pernah melihat atau mendengarnya. Hanya
karena disebutnya nona yang meniup huchia, mereka lantas
menyebutkan beberapa nama dari nona-nona yang suka
meniup seruling!
Kang Lam masgul berbareng lucu.
"Aneh!" katanya di dalam hatinya. "Taruh kata benar aku
salah mendengar tetapi kongcu tidak mungkin! Tadi malam
terang-terang kita mendengar suara terompet huchia itu!"
Dengan "kongcu" itu, Kang Lam maksudkan majikannya
yang muda, Thian Oe.
Justeru ketika itu, dari kejauhan ada terdengar suara
terompet mengalun, agaknya tajam dan menyayatkan. Anakanak
itu pun turut mendapat dengar, maka mereka pada
memasang kuping.
Kang Lam adalah yang perhatiannya paling tertarik. Itulah
suara huchia-tidak salah lagi! Maka melupakan kawankawannya
itu, ia lari ke arah tanjakan dari mana suara itu
datang terbawa angin. Ia berlari-lari. Anak-anak itu lari
menyusul. Hingga mereka melihat datangnya dua penunggang
kuda. "Engko Kang Lam!" memanggil seorang bocah, yang
besaran. "Jangan ganggu mereka itu! Merekalah tukangtukang
pukulnya Ong Loo Houw!"
Sudah kira-kira dua bulan Kang Lam tinggal di tempat
kediamannya ini, ia tahu Ong Loo Houw itu ialah seorang okpa
atau jago untuk kecamatan Gouwkoan, bahkan katanya dia
pun, menjadi hiocu atau ketua dari sebuah perkumpulan. Ia
tidak takut Ong Loo Houw apa pula baru dua tukang pukulnya.
Ia memang ada anak Jenaka dan berani, berandalan juga. Ia
pun melihat dua orang itu rupanya lagi mencari si peniup
huchia itu! Di matanya Kang Lam, tanah pegunungan di sekitar kota
Souw-ciu ini dipandang seperti tumpukan-tumpukan tanah
saja, maka itu, lari belum lama, ia sudah sampai di kaki bukit
Tentu sekali, ia tidak mengarah kedua tukang pukul itu hanya
si nona peniup huchia.
Malam tadi kira jam tiga, Kang Lam bersama kongcu-nya,
yang sekarang menjadi kakak angkatnya itu, yaitu Tan Thian
Oe, tengah membicarakan pelbagai pengalaman mereka di
Sakya tatkala kuping mereka mendengar suara huchia,
sebentar nyata, sebentar lenyap. Mulanya Kang Lam menduga
kepada Kim Sie Ie si pengemis kusta, atau Tokciu Hongkay, si
Pengemis Edan Berbisa, tetapi Thian Oe menyangka kepada
seorang nona. Sangkaan Thian Oe ini didasarkan tekukannya
irama seruling itu. Kang Lam hendak keluar malam-malam,
guna mencari peniup huchia itu, tetapi Thian Oe mencegah
karena kuatir ayah mereka kaget. Inilah sebabnya maka
besokannya, Kang Lam lantas pergi mencari nona itu hingga ia
digerembengi banyak bocah kawan-kawannya itu.
Segera juga terlihat si nona peniup huchia itu dan dia
benarlah orang yang dikejar si kedua penunggang kuda,
hanya muka nona itu tidak dapat terlihat. Si nona mengenai
cala hitam. Tepat Kang Lam tiba di kaki bukit, ketiga orang itu
melintas di hadapannya, bahkan salah satu tukang pukul itu,
yang tertawa menyeringai, mendadak menyerang si nona
dengan bandring gaetan!
Dengan melihat tampangnya saja, hebat serangannya si
tukang pukul itu. Dia pun percaya betul, sambarannya akan
mengenakan sasarannya. Hanya selagi dia menyambar itu,
telinganya mendengar tertawa Jenaka hihi-hihi, lantas dia
merasakan tangannya sakit bagaikan dipotong, menyusul
mana sendirinya dia terguling roboh dari atas kudanya!
Itulah iseng tangannya Kang Lam! Ketika bandring
ditimpukkan, ia menyambar itu untuk terus ia lilitkan kepada
pohon di dekatnya, karena si penunggang kuda kabur terus,
dia tertarik tertahan bandringnya sendiri, tangannya terasa
sangat nyeri, hingga sedetik itu, habislah tenaganya dan
sebab tubuhnya turut terbetot, dia roboh seketika!
Kagetlah si kawan, lantas dia menahan kudanya, untuk
berlompat turun, guna menghampirkan kawannya itu, untuk
dipimpin bangun.
Lantas tukang pukul yang roboh itu berkaok-kaok saking
mendongkolnya, matanya melotot terhadap Kang Lam.
Anak muda itu tertawa.
"Eh, kenapa kau marah-marah terhadapku?" ia menegur.
"Kau terguling sendiri, ada apa sangkutannya itu dengan aku"
Siapa suruh kau membandring pohon" Memangnya pohon itu
bermusuh denganmu" Hm! Hm! Kau mencaci siapa ya?"
Kawan yang tidak roboh itu agakknya sabar.
"Jangan!" ia membujuk kawannya seraya terus ia berpaling
kepada si anak muda dan menanya: "Sahabat, kau sahabat
dari golongan mana?"
Kang Lam menggeleng kepala, ia tertawa.
"Aku tidak kenal kamu!" katannya lucu. "Siapa mempunyai
hubungan keuangan denganmu?" Sengaja ia berlagak tuli,
orang menyebut "golongan" (sian), ia mengartikan "cian"
(uang). Ia sarukan "sian" dengan "cian".
"He, binatang cilik, kau benar-benar tolol atau kau berpurapura
saja?" orang itu membentak. "Kau tahu tidak kami ialah
sebawahannya Ong Hiocu dari Hayyang Pang?"
"Aku tidak tahu!" menjawab Kang Lam. Ia tidak
menggubris orang menyebut-nyebut nama partainya Hayyang
Pang, atau partai Laut Samudera.
"Habis, kau tahu atau tidak aluran kaum kangouw?"
membentak pula tukang pukul itu. "Ini anak perempuan ada
orang dari lain tempat, dia asing, dia tidak ketahuan asalusulnya,
maka itu Ong Hiocu hendak menawannya, untuk
memeriksa dia! Nah, mengapa kau menghalang-halangi
kami?" "Ah, inilah aneh!" kata si anak muda. "Ong Hiocu itu
makhluk apa" Apakah dia sama besar pangkatnya dengan
seorang wedana" Aku pernah bertemu dengan tidak sedikit
orang berpangkat akan tetapi aku belum pernah mendengar
ada pangkat hiocu itu! Pula belum pernah aku mendengar soal
oleh karena orang tidak terang asal-usulnya dia lantas dihajar
dan mau ditangkap untuk diperiksa!"
"Hm!" berseru si tukang pukul sangat mendelu. "Kau
sebenarnya makhluk campur baur asal mana?"
Kang Lam tidak memperdulikan cacian itu.
"Aku juga asal lain daerah, apakah hiocu kamu mau
menangkap aku untuk diperiksa?" ia tanya, mengejek.
"Sudahlah!" membentak si tukang pukul, yang tadi
terguling dari kudanya. "Terang-terang bocah ini tengah
mempermainkan kita! Jikalau dia tidak dikasih rasa, dia tidak
tahu keliehayan kita! Jangan layani dia ngaco belo! Mari
maju!" "Hai, kamu terlalu!" membentak Kang Lam. "Sudah kamu
mengatakan aku binatang cilik, sekarang kamu mengatakan
juga makhluk campur baur! Biarnya satu taytiang-hu, dia tidak
dapat menahan sabar lagi! Kau lihatlah... tanganku!"
Kata-kata '"lihatlah... tanganku!" dilagukan sebagai juga
seorang peran dari sandiwara Peking lagi beraksi, sudah
mulutnya bergerak, berirama, juga kaki dan tangannya turut
digerak-geraki. Melihat itu kawanan bocah, yang telah
menyusul, pada gelak tertawa.
Dua tukang pukul itu gusar bukan kepalang, dua-duanya
lantas turun tangan. Ialah yang satu menampar muka, yang
lain menjambret lengan. Tapi dua-dua mereka tidak
memperoleh hasil, sebaliknya, dengan suara plak-plok dua kali
yang keras dan nyaring, mereka menjadi gelagapan, sebab di
luar sangka mereka, tangannya si anak muda telah mampir di
pipi mereka! Pula hebat gaplokan itu, sampai mereka pusing.
Kawanan bocah itu heran tetapi mereka bersorak.
Dipermainkan begitu, kedua tukang pukul itu menjadi
penasaran sekali. Dengan lantas keduanya maju pula, untuk
mengulangi serangan mereka. Sebenarnya mereka mesti
menginsyafi yang mereka bukan lawan si "binatang cilik atau
makhluk campur baur" itu tetapi mereka melupakan itu.
Kang Lam mendak ketika ia diserbu berbareng, sambil
berkelit, ia menyambar tangan baju mereka itu, terus ditarik
dengan keras, maka mereka itu jadi saling tubruk, tangan
mereka mengenai masingmasing tubuh mereka! Kembali
mereka merasa kepala mereka pusing di samping tubuh
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka nyeri. "Nah, kamu lihat!" berkata Kang Lam tertawa. "Kamu saling
menghajar sendiri, dan semua itu sahabat cilik menjadi
saksinya! Maka jangan kamu persalahkan aku!"
Dua orang itu mengawasi dengan mata melotot.
"Kamu mementang mata dan mengasih bangun alis kamu,
kamu mau apa?" tanya Kang Lam tertawa. "Apakah kamu
merasa saling gebuk kamu masih belum cukup" Apakah kamu
masih ketagihan" Apakah kamu mau bertempur lagi sama
aku?" Baru sekarang kedua tukang pukul itu kuncup hatinya,
mendadak saja mereka memutar tubuh untuk lari ngiprit!
Maka, ger! Ramailah tertawanya kawanan si bocah.
Tapi bukan cuma kawanan bocah itu yang tertawa ramai
itu, masih ada serombongan lain, hanya mereka ini orangorang
dewasa, yang datangnya kesitu seperti tidak ketahuan.
Mereka semua ada membekal pelbagai macam senjata tajam.
Mulanya Kang Lam terkejut hingga ia melengak. la
menduga kepada kaum Hayyang Pang, yang hendak
membantui dua kawannya itu. Tiba-tiba salah satunya, yang
menjadi kepala, maju untuk memberi hormat sambil memuji:
"Kau muda dan gagah, sungguh mengagumkan!"
Belum pernah Kang Lam mendapat pujian seperti itu, ia
girang. "Siapa bilang aku gagah?" katanya tertawa. "Orang seperti
kongcu-ku serta beberapa sahabatnya barulah orang-orang
gagah dari jaman ini!"
Orang itu berdiam, ia agaknya berpikir.
"Maaf, maaf," katanya kemudian, lagi-lagi ia memberi
hormat. "Jangan kau bicara dulu, kau biarkan aku mendugaduga
siapa kongcu-mu itu! Ah, dapat aku menebak sekarang!
Dia tentulah Tan Thian Oe! Dan kau, pastilah kau Kang Lam!"
Kembali si anak muda girang sekali.
"Kau betul!" bilangnya. "Sebenarnya, bagaimana kau
ketahui itu?"
"Aku dan kongcu-mu itu ada sahabat-sahabat untuk banyak
tahun, bagaimana aku tidak tahu?" menjawab orang itu. Ia
berhenti sejenak. "Beberapa sahabatnya kongcu-mu itu juga
kenal dengan kami, dan salah satu yang persahabatannya
paling erat bernama Tong Keng Thian."
"Benar, benar!" Kang Lam memotong. "Tong Tayhiap dan
kongcu-ku paling erat pergaulannya, melebihi saudara
kandung! Aku tidak sangka ia pun sahabatmu itu! Eh, ya,
masih ada seorang lain lagi. Kamu kenalkah Kim Sie Ie?"
"Kim Sie Ie" Ya, ya, tidak salah! Pernah aku bertemu
dengannya beberapa kali."
Mendengar jawaban itu, Kang Lam sangat tertarik hatinya.
"Kapankah pertemuan kamu paling belakang dengannya?"
ia tanya. "Di manakah?"
"Itulah di kaki gunung Nyen-chin Dangla, selagi kami
mengunjungi Tong Keng Thian, kebetulan kami bertemu
dengannya. Kemudian kami berangkat ke Kanglam. Kemarin
kira setengah tahun yang lalu."
Kang Lam girang tidak terkira.
"Kalau begitu, Kim Sie Ie menjadi belum mati?"
"Usia Kim Sie Ie rada lanjut akan tetapi kesehatannya
masih baik sekali," kata pula orang itu. "Menurut
penglihatanku, ia masih dapat hidup sedikitnya sepuluh tahun
lagi. Mana bisa dia gampang-gampang mati?"
Kang Lam tercengang, pikirannya lantas bekerja.
"Usia Kim Sie Ie berimbang sama usia kongcu-ku," pikirnya,
"tahun ini paling tinggi ia baru berumur dua puluh lima tahun,
kenapa dia ini membilang sudah lanjut. Kalau ia berhasil
mendapatkan ilmu dalam dari Thiansan Pay hingga ia bisa
menyembuhkan latihannya yang sesat, mana bisa ia hidup lagi
hanya sepuluh tahun" Orang ini membilang bersahabat kekal
sekali dengan Tong Keng Thian dan kenal juga dengan Kim
Sie Ie, umpama kata Kim Sie le tidak membilanginya sendiri,
mustahil Tong Keng Thian berdiam saja dan tidak
memberitahukan umurnya Kim Sie Ie itu''"
Mendadak pemuda ini menjadi bercuriga. Hanya sebentar,
lantas ia berpikir pula: "Mungkin juga dia ini benar. Kim Sie Ie
paling pandai menyamar. Ia pernah menjadi si penderita
kusta, ia pernah menyamar menjadi seorang tua bangka.
Bahkan dia kenal belum lama, baru beberapa kali bertemu
katanya, jadi persahabatannya masih tipis" Mungkin juga
Tong Keng Thian tidak bicara banyak tentang Kim Sie Ie
kepadanya. Hanya, mereka ini katanya sahabat-sahabat kekal
dari kongcu, mengapa aku tidak kenal sekalipun satu saja di
antaranya?"
Orang itu seperti dapat mem-bade hatinya anak muda ini.
"Ketika dulu hari itu Tan Kongcu menyambut guci emas,
kami pernah membantu dia," ia berkata pula. "Kalau tidak
salah, sampai sekarang ini peristiwa itu sudah enam atau
tujuh tahun lamanya."
"Sayang ketika itu kongcu tidak mengajak aku," berkata
Kang Lam. "Katanya peristiwa sangat ramai, telah datang
orang-orang gagah dari empat penjuru. Kiranya kamu kenal
kongcu di waktu itu, pantas aku tidak kenal kamu..."
Kang Lam mengawasi, ia menghitung. Rombongan itu
terdiri dari tiga belas orang, nampaknya mereka bekas habis
melakukan perjalanan jauh, mungkin mereka berasal
perbatasan negara. Karena ini, lenyaplah sebagian dari
kecurigaannya. Orang itu berkata pula: "Kau tidak kenal kami tetapi kami
telah mendengar namamu yang besar."
Kembali si anak muda menjadi kegirangan.
"Benarkah?" katanya. "Pastilah kongcu yang
memberitahukannya! Kongcu paling gemar memuji aku."
"Tidak salah! Tan Kongcu bilang kaulah kacungnya yang
paling dihargakan, kau pintar dan cerdik, kau pandai bekerja!
Pendeknya, kau sempurna!"
Kang Lam sinting karena pujian itu.
"Eh, kamu masih belum ketahui," katanya, "sekarang ini
aku bukannya kacung lagi. Aku bersyukur kepada kongcu,
yang menghargai aku, maka sekarang kongcu telah
mengangkat aku menjadi saudaranya!"
Orang itu repot memberi hormatnya.
"Oh Tan Jiekongcu!" ujarnya. "Maaf, maaf!"
"Kamu datang dari tempat jauh, apakah kamu ingin aku
membantu sesuatu untukmu?" kemudian si anak muda tanya.
Karena dipanggil jiekongcu, yaitu kongcu yang kedua, ia
lantas meniru sikap menghormat dari kongcu-nya yang halus
budi pekertinya.
"Benar," orang itu menyahut. "Kami mau minta kau tolong
mengantarkan kami. Bukankah Tan Toakongcu ada di
rumah?" "Ada, ada, pasti ada di rumah!" sahut Kang Lam cepat.
"Sebenarnya baru dua bulan kami mengiringi looya pulang ke
kampung halamannya ini. Cepat sekali kamu mendapat
kabar!" Lantas pemuda ini bertindak, untuk menjadi pengantar.
Tapi baru satu tindak, atau ia sudah merandak. Ia ingat suatu
apa. "Kamu tunggu sebentar!" katanya. "Eh, mana si nona
peniup huchia itu?"
Rombongan orang itu pun tidak memperhatikannya, setelah
mendengar perkataan si anak muda, mereka berpaling.
Benarlah, disitu tidak ada si nona yang tadi dike-pung-kepung
dua gundalnya Ong Loo Houw.
"Mungkin nona itu kaget dan ketakutan hingga nyalinya
pecah maka dia sudah lantas lari kabur," kata orang yang
menjadi kepala rombongan itu, yang tertawa. "Apakah Tan
Jiekongcu mencari dia" Inilah gampang. Sebentar, sehabisnya
menemui toakongcu, kami nanti berpencaran membantu
mencari dia itu."
Kang Lam heran. Ia melihat ke-letakan tempat yang datar,
sedang di belakang sana ada sebuah bukit kecil. Kalau si nona
lari ke belakang, mungkin mereka ini melihatnya, dan kalau
dia lari ke depan, ia pasti mendapat tahu. Ia tahu matanya
awas. Maka, kemana perginya nona itu" Mungkinkah dia mahir
ilmu ringan tubuh dan telah membolos selagi barusan ia
kurang perdata" Mestinya dalam sebentar saja nona itu dapat
melalui belasan lie...
Karena terpaksa, anak muda ini berjalan terus. Ia diiring
tiga belas orang itu. Sebenarnya ia berhati tidak tenang, tetapi
di sepanjang jalan orang tak hentinya memuji padanya, ia
menjadi gembira juga.
"Kamu pemah mendaki gunung Nyenchin Dangla," katanya
kemudian, "kamu pernah bertemu sama Tong Tayhiap suami
isteri, maka itu, tahukah kamu kongcu-ku ini dengan Tong
Tayhiap itu pernah sanak dekat?"
"Begitu?" kata si ketua rombongan.
"Kenapa begitu?" kata Kang
Lam. "Isterinya kongcu-ku, jadinya Nyonya Tan, tadinya
ialah pelayannya Pengcoan Thianlie Jangan kamu memandang
enteng yang dia asalnya seorang pelayan. Dia sebenarnya
puterinya seorang menteri besar di dalam negara Pengcoan
Thianlie. Dia bukan saja pintar ilmu surat dan mengerti ilmu
pedang, dia juga mempunyai peluru inti es Pengpok Sintan
hadiah dari nona majikannya itu! Kamu tahu sendiri, peluru
inti es itu hanya berada di dalam Istana Es dan di kolong
langit ini tidak ada keduanya."
Kang Lam doyan bicara semenjak masih kecil, maka juga di
Sakya, hamba-hamba kantornya Tan Teng Kie memberi dia
gelaran "Kang Lam si banyak bacot". Sekarang, masuk usia
dewasa, ia belum bisa buang kebiasaannya itu.
Si ketua rombongan saling lirik dengan kawan-kawannya.
"Begitu" Bagus!" katanya bersenyum.
Kang Lam melengak. Perkataan orang itu mengherankan ia.
Ia tadinya hendak menegaskan ketika ia mendapat kenyataan
ia sudah tiba di depan rumahnya.
Pengawal pintu, yang dipanggil Ong Kongkong, heran
melihat jie-kongcu-nya itu mengajak orang, dia lantas
menghampirkan dan menanya.
"Lekas pergi mengabarkan kongcu!" kata si anak muda
cepat. "Kau bilangi bahwa serombongan sahabatnya dari
perbatasan negara datang menyambangi!"
Dalam kegembiraannya itu. tanpa memikir untuk menanti
Thian Oe muncul, Kang Lam hendak mengundang rombongan
itu lantas masuk ke pekarangan dalam. Atau mendadak ia
menampak Thian Oe berdiri di tangga lorak dengan air muka
kaget dan muram!
Si kepala rombongan lantas tertawa lebar dan berkata
kepada tuan rumahnya itu: "Tan Kongcu, niseayalah kau tidak
pernah memikirnya yang kami dapat begini lekas datang
menyambangi kau?"
Thian Oe menjadi gusar sekali.
"Tio Leng Kun, kau menghendaki apa?" ia menegur.
"Kau ditunjang Tong Keng Thian, mana kita berani
menghendaki apa-apa dari kau?" berkata orang yang dipanggil
Tio Leng Kun itu. "Kami hanya memikir untuk minta kau
mencoba-coba merasai bagaimana enaknya kalau tulang
piepee-mu ditusuk dilubangi!"
Tulang piepee ialah tulang selangka di pundak.
Kang Lam menjadi sangat kaget. Itulah pembicaraan yang
ia tidak sangka sekali-kali.
"Jadi kamulah musuh-musuhnya kongcu-ku?" ia berseru. Ia
lantas berlompat untuk menyerang lehernya orang itu.
Orang yang diserang menyambut sambil menendang.
"Sungguh liehay!" Kang Lam berseru. Dalam keadaan
terpong-gok seperti itu, ia berlompat memutar tubuh, maka
tepat sekali kempolannya kena ditendang. Kalau ia ditendang
dadanya, mungkin ia bercelaka.
Pastilah Kang Lam tidak kenal rombongan ini, yang
dipimpin oleh Tio Leng Kun itu, ialah ciang-bunjin atau ketua
partai persilatan Khongtong Pay, yang sekarang datang untuk
mencari balas. Pada enam tahun dulu, rombongan Tio Leng Kun ini sudah
mengepung Lui Cin Cu dari partai persilatan Butong Pay.
Pengepungan terjadi di luar kota Chalun di Tibet. Kebetulan
itu waktu mereka bertemu sama Tan Thian Oe berdua Yu
Peng, mereka ini membantui Lui Cin Cu. Dengan Pengpok
Sintan, Yu Peng melukai matanya Tio Leng Kun. Kemudian
lagi, Tong Keng Thian juga membantui pihak Butong Pay itu.
Dengan tiga belas batang Thiansan Sinbong, senjata rahasia
yang liehay, yang terbikin dari semacam rumput berujung
tajam dari gunung Thiansan, Keng Thian telah melukai dua
belas adik seperguruan dari Tio Leng Kun itu, yang terluka
tulang selangkanya, hingga hilanglah ilmu silat mereka,
sesudah mana mereka itu diusir keluar dari wilayah Tibet.
Sebenarnya siapa terlukakan tulang selangkanya, dia sukar
diobati sembuh, umpama kata dia mendapat pertolongan
tabib pandai, untuk kesembuhannya perlu tempo sepuluh
tahun, tetapi Tio Leng Kun beramai bernasib baik, mereka
telah bertemu seorang saudagar bangsa Persia, yang menjual
obat penyambung luka, yaitu sioktoan yang katanya tuanya
seribu tahun, maka dengan memakai obat itu, yang dibantu
urutan menyambung tulang warisan Khongtong Pay, mereka
berhasil sembuh dalam tempo lima tahun, dari itu, selain
sembuh, ilmu silat mereka pun bertambah maju. Begitulah
timbul keinginan mereka untuk menuntut balas. Untuk segera
mencari Tong Keng Thian suami isteri, mereka bersangsi,
maka mereka hendak mencari dulu musuh yang lebih ringan.
Sungguh kebetulan, baru satu tahun mereka
mencari-dari Utara mereka menuju ke Selatan disini secara
kebetulan mereka bertemu sama Kang Lam, hingga mereka
dapat mencari Tan Thian Oe.
Ketika Kang Lam berlompat bangun habis ditendang roboh
lawannya, ia mendapatkan Thian Oe sudah bertempur sama
rombongan musuhnya itu. yang main mengeroyok. Maka
berisiklah suara bentroknya senjata-senjata mereka.
Tan Thian Oe membela diri di undakan tangga. Ia mau
mencegah orang menyerbu ke dalam rumahnya. Dengan satu
tikaman ia berhasil menusuk satu musuhnya tetapi justeru itu,
Tio Leng Kun kena merobek ujung bajunya.
Kang Lam tidak dapat menonton lama-lama. Ia jalan mutar
lari ke dalam, guna meminta bantuan.
Tan Thian Oe gagah tetapi melayani tiga belas musuh
Khongtong Pay yang tangguh itu, lama-lama ia menjadi
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kewalahan. Kembali ia kena ditinju Tio Leng Kun. Ia menjadi
mendongkol sekali, ia lantas membalas menyerang dengan
hebat. Leng Kun dapat berkelit. Celaka adalah saudaranya,
yang berada di belakangnya, dia ini terpapas jeriji tangannya.
Tapi Leng Kun menyerang pula, atas mana Thian Oe
terhuyung. Justeru begitu, ia disusuli bacokan golok seorang
musuhnya yang lain, maka pundaknya terluka dan
mengeluarkan darah.
Di saat Thian Oe terancam bahaya itu, disitu terdengar
cacian seorang yang suaranya dalam menandakan usianya
yang sudah lanjut: "Oh, kawanan bangsat anjing..." Hanya
baru sampai disitu, orang itu lantas roboh sendirinya,
caciannya itu berhenti sendirinya.
Dialah Tan Teng Kie, ayahnya Thian Oe. Dia mendengar
suara berisik, dia keluar. Dia mendamprat di saat anaknya
terluka, karena kaget, tidak dapat diam, mendamprat terus,
tidak kuat dia mempertahankan diri, maka robohlah dia, roboh
sendirinya. Tio Leng Kun tertawa nyaring.
"Kau berani mencaci aku?" katanya. "Inilah namanya
pembalasan! Hayo, tusuk tulang piepeenya tua bangka ini!"
Thian Oe tengah terluka, tidak dapat ia mempertahankan
garis pembelaannya itu, maka lantas ada beberapa musuhnya
yang bisa menerobos melewati ia, melewati undakan tangga,
guna menyerbu ke arah ayahnya itu. Mau tidak mau, ia
menjadi mencaci musuh. Ini justeru kehendaknya Leng Kun,
agar musuhnya marah besar, hingga ia jadi tidak bisa
berkelahi dengan betul.
Orang-orang Khongtong Pay itu telah dimaki, bukannya
mereka turut menjadi gusar dan membalas, mereka malah
tertawa semakin keras.
"Siapa berani mengganggu kongkong-ku?" sekonyongkonyong
terdengar suara halus tetapi nyaring, yang
menyebut-nyebut "kongkong", atau mertua, lalu terus terlihat
sinar-sinar berkeredepan, menyusul mana, beberapa orang
yang lagi tertawa itu, suara tertawanya berhenti dengan tibatiba,
bahkan mereka jadi kelabakan!
Itulah Yu Peng, yang muncul dengan mendadak, yang
lantas menyerang dengan Pengpok Sintan, peluru inti es.
Kalau kawan-kawannya yang lagi tertawa itu terkena peluru
es, tidak demikian dengan Tio Leng Kun. Dia sudah lantas
menyerang, untuk membela diri.
Tio Leng Kun ketahui liehay-nya peluru es, ia berdaya
untuk melawannya. Ia lantas meyakinkan Bweehoa ciam, yaitu
jarum rahasia Bunga Bwee. Sekarang ini saatnya tiba, ia
membela diri sambil melakukan penyerangan, yaitu
sebelumnya peluru es mengenai sasarannya. Maka runtuhlah
peluru yang mengarah tubuhnya, cuma terasa sedikit
hawanya yang dingin, yang ia dapat lawan.
"Hahaha!" ia tertawa menantang. "Berapa banyak peluru
esmu" Apakah kau hendak meminta lagi dari Pengcoan
Thianlie?"
Memang peluru es itu Yu Peng dapatkan dari Pengcoan
Thianlie, nona majikannya, siapa mendapatkan pula dari
kedung yang ribuan tombak dalamnya. Ia membawa sama
sekali seratus butir tetapi setelah lewat banyak waktu,
sekarang tinggal dua puluh delapan bocah. Barusan ia merabu
dengan sepuluh butir, dari itu, sisanya tidak ada dua puluh
butir lagi. Di lain pihak.
musuh berjumlah tiga belas orang. Maka itu, ditantang
musuh yang tangguh ini. Nyonya Tan Thian Oe menjadi
bercekat hati. Ia memikir untuk menyimpan guna saat-saat
terakhir. Karena ini, karena ia terlambat, ia pun lantas
dikurung musuh-musuhnya.
Sambil berseru, Yu Peng menghunus pedangnya, pedang
Han-giok Kiam, yang terbuatnya bukan dari emas atau besi
hanya dari batu kumala yang sudah terpendam ribuan tahun
dalam sumber di dalam lembah. Pedang ini tidak dapat
disamakan dengan pedang Pengpok Hankong Kiam dari
Pengcoan Thianlie tetapi toh bersinar terang dan berhawa
dingin, siapa belum mahir ilmu tenaga dalamnya, tak dapat
dia melawan hawa dinginnya itu. Begitu bergebrak, beruntun
ia menggunai dua jurus-mulanya
"Banlie huisong" atau "Es terbang selaksa lie" dan lalu
"Ciansan lok-yap" atau "Daun rontok di ribuan gunung". Kedua
jurus itu mendatangkan juga serangannya hawa dingin yang
keluar dari pedang itu.
Tio Leng Kun lantas maju guna melawan nyonya ini.
Dengan kebutan tangan bajunya ia membuatnya pedang
tersampok. Selagi isterinya itu menerjang, Thian Oe berlompat, guna
mengundurkan musuh-musuhnya, dengan begitu ia menjadi
memperojeh kesempatan akan mendekati sang isteri, untuk
bertempur berdampingan. Bersama-sama, mereka menggunai
Pengcoan Kiamhoat yaitu ilmu pedang Sungai Es.
Untuk sementara, Leng Kun beramai tidak dapat mendesak.
Tapi Yu Peng masih lemah latihan tenaga dalamnya, ia tidak
dapat bertahan lama. Sekarang ia cuma mengandalkan
pedangnya, sedang pelurunya ia masih tahan saja. Maka itu,
lama-lama ia menjadi repot juga.
Thian Oe jauh lebih unggul daripada isterinya itu akan
tetapi ia telah terluka, ia juga lantas menjadi repot, napasnya
sengal-sengal, peluhnya membasahkan sekujur tubuhnya.
Demikian atas desakan lawan, bersama isterinya ia mesti
mundur dari dua undakan tangga lorak.
Yu Peng menikam Tio Leng Kun, ia tidak mendapat hasil,
sebaliknya selagi ia menikam, satu musuh menusuk padanya,
hingga ia mesti segera berkelit, la masih mempunyai
kesehatan hingga ujung pedang lawan cuma tiba nempel di
pundaknya. Tio Leng Kun lantas berkata dengan ejekannya: "Kamu
bilang, kamu menghendaki tulang selangkamu ditusuk tembus
atau hanya batang lehermu yang harus dipenggal?"
Thian Oe dan Yu Peng tidak menjawab, hanya mereka
mengambil kesempatan untuk saling melirik, untuk
membulatkan tekad akan melawan terus mati atau hidup.
Maka itu, ketika mereka mendesak, Leng Kun kena dipaksa
mundur satu tindak. Hanya sayang untuk mereka, tenaga
mereka telah menyampaikan batasnya, sebentar kemudian,
mereka terdesak pula hingga mereka mesti mundur melewati
undakan tangga yang ketiga.
Selagi pertempuran itu berjalan hebat, sekonyong-konyong
hidung Thian Oe mendapat mencium hembusan bau harum
yang luar biasa. Ia menjadi heran.
"Entah dari mana datangnya harum bunga Mokwie hoa
ini?" ia tanya di dalam hatinya. Selama di Tibet, pernah ia
mendengar keterangannya Liong Leng Kiauw bahwa di dalam
lembah es di gunung Himalaya ada tumbuh semacam bunga
asiulo atau asura, dan asura itu, yang ada bahasa Sansekerta,
berarti hantu atau mokwie, maka bunga asura itu disebut
bunga hantu. Seorang biasa, apabila dia kena mencium bau
bunga itu, dia akan tak sadarkan diri. Siapa mahir tenaga
dalamnya, ia dapat bertahan sekian lama, atau ia bakal
menjadi lemas sendirinya, hingga habislah ilmu silatnya. Liong
Leng Kiauw pernah menjadi korban bunga itu hingga dia kena
ditawan busu, atau pahlawan, Nepal. Maka itu, heranlah Thian
Oe. Tio Leng Kun juga sudah lantas dapat mencium bau, hanya
dia tertawa dingin dan berkata: "Kiranya Tan Kongcu juga
dapat menggu-nai asap pulas kaum kangouw golongan
rendah! Tapi kau salah melihat! Kami mana takut dengan asap
pulasmu ini!"
Justeru Leng Kun mengejek, justeru Thian Oe berteriak:
"Lekas gunai Pengpok Sintan!"
Yu Peng berlompat naik satu undakan tangga, sambil
berlompat ia mengayun tangannya, menimpuk dengan peluru
esnya. Ia menimpuk dengan jurus "Thianlie san-hoa" atau
"Bidadari menyebar bunga". Dengan begitu, ia menyerang
jalan darah musuh.
Tio Leng Kun berlaku sebat, ia pun menyerang dengan
jarum rahasianya. Ia berhasil memecahkan Pengpok Sintan,
akan tetapi kesudahannya ada di luar dugaannya. Peluru inti
es itu hancur terhajar jarum, pelurunya hancur, tetapi hawa
dinginnya tidak buyar musnah, bahkan menjadi terlebih dingin
lagi, berlipat kali kuatnya. Ia mahir tenaga dalamnya, toh ia
menggigil, sedang tadi-pertama kali ia meruntuhkan peluru es
ia tidak terserang hawa dingin sehebat ini. Beberapa
saudaranya sudah lantas roboh tak sadarkan diri.
"Hai, mengapa aku jadi begini tidak berguna?" tanya Leng
Kun kepada dirinya sendiri. Ia tidak menginsyafi bahwa ia
telah menyedot baunya bunga asura hingga jalan napasnya
menjadi seperti tertutup, hingga tenaga dalamnya itu
berkurang sendirinya.
Thian Oe dan Yu Peng tidak takuti hawa dingin itu, kesatu
mereka memang telah mempelajari daya melawannya
menurut ajaran Pengcoan Thianlie, kedua mereka sudah siap
sedia, ialah mereka menahan napas bekerja. Bahkan ketika
baik ini dipergunakan mereka untuk menerjang hebat, hingga
mereka dapat mendesak akan menduduki pula undakan
tangga yang tadi terampas musuh.
Tio Leng Kun dan saudara-saudaranya yang belum roboh
merasakan diri mereka terancam hebat, sudah tubuh mereka
menjadi lemah, mereka pun pada bergemetaran.
Lima orang telah lantas kena tertikam dan roboh seketika.
Leng Kun sendiri telah terbabat dua jari tangannya. Oleh
karena ini, terpaksa ia memberi tanda untuk saudarasaudaranya
mengundurkan diri, siapa yang masih kuat, dia
memanggul kabur saudaranya yang roboh.
Lekas juga pertempuran berhenti. Thian Oe dan Yu Peng
tidak dapat mengejar semua lawannya itu. Mereka menang
tetapi mereka terbenam dalam keheranan. Itulah kemenangan
yang luar biasa.
Yu Peng mengasih masuk pedangnya ke dalam sarungnya,
ia mengebut berulang-ulang dengan tangan bajunya, akan
membuyarkan sisa hawa dingin, kemudian ia merobek ujung
tangan bajunya, guna segera membalut luka suaminya.
"Entah orang berilmu siapa yang telah dengan cara diamdiam
membantu kita," berkata isteri ini. "Sakit atau tidak?"
"Syukur lukanya tidak mengenai tulang," menyahut sang
suami. "Tibanya harum bunga asura ini luar biasa sekali..."
Yu Peng tidak kenal bunga itu, ia hendak menanyakan
keterangan suaminya, atau ia melihat muncul Kang Lam, yang
berlari berlompatan romannya ketakutan. Setibanya, bocah itu
berkata: "Kongcu, aku telah bersalah sudah mengajak musuhmusuhmu
datang kemari! Kongcu, kau hukumlah aku..."
Thian Oe mengerutkan kening. "Lain kali kau harus berhatihati!"
katanya. "Sekarang lekas suruh orang menyapu dan
mencuci bersih tanda-tanda darah. Tentang pertempuran ini,
aku larang kau omongkan kepada orang luar!"
"Baik, kongcu," menyahut Kang Lam, yang tapinya lantas
berdiri bagaikan terpaku, matanya mendelong ke pojok
tembok pekarangan.
Yu Peng heran, ia lantas mengawasi ke arah pandangannya
Kang Lam itu. Maka di pojok tembok itu, di bawahnya sebuah
pohon hoay, tampak seorang wanita muda yang mukanya
tertutup cala, tangannya memegangi setangkai bunga yang
sudah layu, bunganya putih dan merah. Selama di Istana Es ia
pernah lihat banyak macam bunga tetapi tidak ada yang
seperti ini. Hanya sejenak ia menduga: "Mungkinkah itu bunga
asura?" Nona itu nampak luar biasa. Ia duduk dengan rambut kusut
dan tubuhnya menggigil. Lembaran-lembaran bunga juga
belarakan di tanah di depannya itu. Ia seperti tak kuat
menahan hawa dingin, hingga mungkin tubuhnya, akan
menjadi beku "Dia! Dia!" mendadak Kang Lam berseru. Ia rupanya baru
ingat. "Dialah si nona yang meniup huchia!...'"
Thian Oe terkejut hingga ia mengasih dengar seruan
tertahan. Yu Peng gesit sekali, dengan segera ia lari pada nona itu.
"Enci, aku membilang terima kasih atas bantuanmu
mengundurkan musuh," katanya sambil ia mengeluarkan pel
Yanghoo Wan, obat untuk melawan hawa dingin dari pengpok
sintan. Ia bicara dengan halus dan tangannya diangsurkan ke
mulut nona itu. Ia pun ingin menyingkap cala si nona, supaya
nona itu dapat lantas makan obatnya Itu.
Sekonyong-konyong nona tidak dikenal itu berlompat
bangun sambil mulutnya memperdengarkan suara tertawa
yang luar biasa, yang seperti dapat nnemecahkan hati,
menyusul mana Yu Peng menjerit keras dan roboh terguling
sebab di dadanya tertancap sebatang anak panah pendek
yang hitam bergemerlapan, gagang panah itu bergoyanggoyang....
Thian Oe kaget hingga ia tercengang.
Nona itu tertawa pula, lantas dia kata nyaring: ?"Barang
yang aku tidak bisa dapatkan, kau juga tidak bakal
mendapatkan untuk selama-lamanya"'"
Thian Oe sadar, ia berlompat kepada si nona, pundak siapa
ia sambar, dengan suara menggetar ia menanya: ?"Kau!.,. Kau
siapa?" Kenapa kau berlaku begini kejam...?" Cuma sebegitu
ia bisa bilang, lantas tubuhnya roboh seraya menarik si nona
hingga mereka terguling bersama!!
Itulah sudah terjadi sebab Thian Oe habis bertempur keras,
dia terluka lain dia terkena bau bunga asura yang
melemahkan tubuhnya, karena dia berlompat dan
mengerahkan tenaga istimewa, habislah tenaganya.
Nona itu merobek calanya, dengan mata yang berlinangkan
air, ia mengawasi Thian Oe, air mukanya menunjuk ia
menangis bukan tertawa pun bukan, ia berdiam saja. Thian
Oe pun memandang nona itu, ia kaget bagaikan ia bertemu
iblis "Kau... kau.. kah Shanpii" ia menanya
Nona itu tertawa bergelak.
"Tidak salah!" sahutnya selang sesaat. "Kau telah
mengenali aku. Tunanganmu mencari padammu! Nah, mari
kita pergi bersama!!"
Kata nona itu diikuti dengan dihunusnya sebatang panah
pendek, yang terus ditikamkan ke tenggorokan kongcu she
Tan ini..... Kang Lamm kaget, ia berlompat hendak menolongi.
Muka Thian Oe pucat.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dosa....dosa..." katanya perlahan. Ia menutup rapat
matanya, untuk menanti kematiannya. Tapinya ia tidak
tertikam panah itu, hanya kupingnya mendengar suara
nancapnya...... nancap di dada si nona sebagaimana ia
melihatnya tatkala ia membuka matanya.
Nona itu menghela napas..
"Thian Oe, bagus..." katannya lemah. "Kau tidak suka pergi
bersamaku " Baiklah! Aku telah membunuh dia, maka itu
biarlah kau seorang diri hidup bersengsara... Thian Oe, Thian
Oe, mari biarkan aku mengikat pula tali sepatumu..."
Kata-katanya nona ini jadi makin lemah, tubuhnya lemah
juga, sebab segera tubuh itu roboh sendirinya di depan
dengkul si anak muda, kedua tangannya memegang sepatu
orang... Bukan main masgulnya Thian Oe. Nona itu ialah Shanpii,
puterinya touwsu dari Sakya. Semasa ayahnya masih
menjabat soanwie-su di Sakya, Tibet, Thian Oe telah terdesak
touwsu itu untuk menikah dengan puterinya si touwsu. Thian
Oe tidak setujui perjodohan itu, karenanya, ia buron.
Perjodohan menjadi buras ketika kemudian touwsu itu
terbinasakan Chena, seorang nona Tsang. Urusan telah lewat
buat banyak tahun, maka Thian Oe tidak menduga sama
sekali, sekarang di kampung halamannya ini, ia telah disusul si
nona. Sebenarnya Shanpii hendak membinasakan Thian Oe, di
saat terakhir, ia tidak tega, tetapi karena ia sudah putus asa,
ia lantas membunuh diri sendiri.
Dengan perlahan Thian Oe menyingkirkan tubuh si nona. Ia
melihat tali sepatunya telah terbuka, rupanya tidak keburu
diikat pula si nona, napas nona itu telah berhenti berjalan.
Menurut kebiasaan bangsa Tibet, wanita mengikat tali sepatu
pria berarti ia telah menyerahkan dirinya kepada pria itu. Dulu
hari di kantor touwsu, Shanpii pernah mengikat tali sepatu
Thian Oe. Ketika itu Thian Oe masih belum ketahui kebiasaan
bangsa Tibet itu. Shanpii tidak dapat melupakan peristiwa itu,
ia tetap mau menjadi isteri Thian Oe, maka itu, ia telah
mencoba akan mengikat pula tali sepatu si anak muda.
Thian Oe lari pada isterinya. Yu Peng rebah dengan kedua
mata merem dan mukanya sangat pucat, baju di pundaknya
robek, pada pundak itu nampak tanda hitam. Panah pendek
nancap di dadanya, racun panah itu melulahan ke pundak dan
lengan. Untuk sejenak, suami ini berdiri menjublak. Tiba-tiba ia
mencabut pedangnya, untuk dipakai menikam lehernya sendiri
Kang Lam berada di samping kongcu-nya itu, menampak
demikian, ia mengangkat kakinya, menendang pedang hingga
terpental. "Lihat, kongcu!" berkata kacung yang setia ini. "Lihat,
kepala siauwnaynay masih bergerak!"
Thian Oe melengak, segera ia menoleh. Ia melihat rambut
isterinya tertiup angin. Mendadak ia sadar
"Memang, aku mesti menolongi dia!" pikirnya. Ia lantas
menyuruh Kang Lam lari masuk, guna mengambil obat-obatan
pemunah racun, la tidak berani lantas mencabut anak panah
beracun itu, ia hanya mencekali erat-erat kedua tangan
isterinya. Napas Yu Peng berjalan perlahan sekali.
Dengan lekas Kang Lam telah muncul pula dengan ruparupa
obat. Thian Oe bekerja sebat sekali. Ia mengambil obat
pulung dan obat bubuk yang isterinya bawa dari Keraton Es, ia
menyekoki dan memborehkan isterinya itu, kemudian ia
menguruti, supaya racunnya tertolak mundur, agar darahnya
berjalan lurus.
Selang sekian lama, bibir Yu Peng bergerak-gerak, kedua
matanya pun terbuka.
Thian Oe mendekati kupingnya ke mulut isterinya itu.
"Jangan kau ganggu dia..." Itulah perkataan pertama dari
Yu Peng, suaranya sangat lemah. Tentu sekali, ia maksudkan
Shanpii. "Dia telah mati..." sahut Thian Oe berduka.
"Jangan kau membenci dia," kata pula Yu Peng. "Kau kubur
dia sebagai juga dialah isterimu. Kalau aku mati, kau kubur
aku di pinggir kuburannya!..."
Thian Oe menangis, air matanya mengalir.
"Tidak, adik Peng, kau tidak bisa mati..." katanya.
Ketika itu terdengar suara berisik dari dalam rumah.
"Looya bagaimana?" Thian Oe tanya Kang Lam. Ia baru
ingat kepada ayahnya, yang tadi pingsan tetapi lekas ditolongi
Kang Lam dan yang lainnya, dibawa masuk ke dalam.
"Looya kaget dan menjadi sakit karenanya," Kang Lam
menjawab. Thian Oe pondong isterinya, untuk dibawa ke kamarnya,
setelah merebahkannya, ia lari ke kamar ayahnya itu. Syukur
sekali, Teng Kie cuma kaget, ia tidak kurang suatu apa. Ia
hanya turut berkuatir dan berduka.
Untuk beberapa hari, Thian Oe repot tidak keruan. Ia
senantiasa mendampingi isterinya. la tidak tahu, bagaimana
harus menghalau racun panahnya Shanpii itu. Obat-obatan
dari Keraton Es cuma dapat membendung menjalarnya. Maka
ia terpaksa membantu dengan tenaga dalamnya, setiap pagi
dan sore ia membuang tempo tiga jam untuk membantu
tenaga dalam isterinya itu.
Di dalam tempo empat hari, Yu Peng nampak mendingan,
nadinya dapat jalan lebih keras, ia pun bisa menelan tajin.
Tinggal saat gentingnya yang belum lewat.
Pada suatu hari isteri ini mengawasi muka suaminya, ia
menghela napas.
Thian Oe letih merawat isteri dan ayahnya, ia kurang tidur
dan tidak beristirahat secara teratur, romannya menjadi perok
dan lesu. "Kau menderita begini rupa, lebih baik aku mati saja," kata
isteri ini. "Obat-obatan dari Keraton Es tidak dapat menolong,
maka itu mana ada tabib yang bisa menyembuhkan aku"
Selama hidupku beberapa tahun ini, aku telah merasakan
keberuntungan, maka kalau aku mati, aku puas..."
"Jangan pikir yang bukan-bukan!" Thian Oe kata. "Kau
tidak bakal mati!"
Di mulut suami ini mengatakan demikian, hatinya
sebenarnya kecil.
"Apakah kau telah selesai membuat kuburannya Shanpii?"
tanya Yu Peng. "Sejak dua hari yang lalu aku telah menitahkan Kang Lam
mengurusnya," sahut sang suami.
"Dia kejam tetapi itu disebabkan cintanya," berkata Yu
Peng, "maka itu jangan kau mensia-siakan dia..."
"Aku telah turut pesanmu, aku telah kubur ia dengan baik."
"Bagus. Kalau nanti aku bertemu dia, hatiku tenang .."
"Untukku, maukah kau tidak mengucap demikian" Kau
telah makan obat Keraton Es dan itu dibantu tenaga dalammu,
meski sekarang kau belum sembuh, kau toh bakal sehat
kembali..."
Yu Peng bersenyum sedih.
"Setiap hari kau menghadapi orang bagaikan mayat, kau
sendiri tidak bosan, aku sendiri tidak tahan..." katanya pula. Ia
berhenti sebentar. "Sebegitu lama, aku ingat, belum pernah
aku omong satu hal padamu. Itulah halnya Tong Keng Thian
dulu hari, selama di Keraton Es. Untuk puteri yang mulia dan
beberapa budaknya, ia telah membuat syair. Syair untukku
ialah: 'Lembah sunyi, gunung belukar, sinar rembulan menindih
lain-lain warna. Batang peng daun teratai, suara hujan
menutup suara teratai.'
Maka itu rupanya sudah selayaknya aku berdiam di dalam
lembah yang sunyi dan gunung belukar. Aku telah dibawa kau
ke dunia yang ramai, cuma-cuma aku membuatnya kau setiap
hari mendengari saja suara hujan, untukku kau berduka
selalu..."
Yu Peng menerangkan demikian karena namanya itu-Yu
Peng--berarti "peng yang sunyi". Peng itu pohon kapu-kapu,
sedang Yu ialah sunyi.
Mendengar itu sedih hatinya Thian Oe. Dalam kedukaannya
itu, mendadak ia tertawa.
"Kau benar!" serunya tiba-tiba. "Kenapa aku tidak
mengingatnya" Kang Lam! Kang Lam!"
"Kau ingat apa?" tanya sang isteri heran.
"Tong Keng Thian!" sahut suami itu. "Aku ingat soatlian
dari Thiansan! Bukankah teratai salju dari gunung itu dapat
mengobati segala macam racun" Syukur kau menyebutnyebut
nama Tong Keng Thian! Sekarang, apa lagi yang harus
dikuatirkan?"
Yu Peng tertawa sedih.
"Berapakah jauhnya letak Thiansan dari sini?" ia tanya.
"Kalau kita memakai kuda yang larinya cepat, pergi dan
pulang paling juga setengah tahun!" sahut sang suami.
"Selama setengah tahun itu kita nanti menanti, selama itu
terus aku merawati kau, tidak nanti penyakitmu berubah
buruk..." Ketika itu Kang Lam sudah muncul. Dia datang sambil
berlari-lari. "Kang Lam, aku hendak minta dua hal dari kau!" kata sang
majikan, atau saudara angkat, kepada itu kacung atau adik
pungutnya. Kang Lam kaget.
"Oh, kongcu!" serunya. "Kenapa kongcu mengucap begini"
Kongcu baik sekali kepadaku, maka itu apabila ada sesuatu,
perintahlah aku! Mengapa kongcu main minta" Aku nanti pergi
sekalipun ke dalam air atau api, tidak nanti aku mengerutkan
keningku!"
"Aku mau minta kau pergi ke Keraton Es," berkala Thian
Oe. "Disana kau minta soatlian dari Tong Keng Thian. Kau
mengerti sendiri yang kau mesti lekas pergi dan cepat
pulang." Kang Lam girang sekali meskipun ia tahu tugas itu sangat
berat. "Kongcu jangan kuatir, Kang Lam nanti bekerja baik
untukmu!" katanya. Inilah ketikanya ia menebus dosa.
Bukankah ia tidak ditegur karena ia telah membawa datang
bahaya untuk majikan itu"
"Perjalanan jauh dan sukar, kau mesti berhati-hati," pesan
si majikan. "Aku tahu. Umpama kata aku dipegat berandal, aku akan
menjauhkan diri, atau aku akan melawan mati-matian!"
sahutnya. "Aku tahu, aku pun tidak kuatir. Aku tidak takut kau
diganggu penjahat, kesatu kau tidak membawa harta, kedua,
kepandaianmu sudah cukup untuk melayani segala berandal
kelas dua atau kelas tiga. Apa yang aku mau minta ialah kau
jangan menerbitkan gara-gara."
"Baik, kongcu. Aku nanti berlagak tidak mengerti ilmu silat,
biar orang maki dan gebuk aku, aku tidak akan melawan.
Kecuali aku digebuk hingga aku tidak sanggup bertahan
lagi..." "Tidak nanti orang memaki atau menghajar kau tanpa
alasan. Cukup asal kau tidak menerbitkan gara-gara." Ia
berhenti sebentar, lalu ia berkata pula: "Sekarang aku hendak
minta satu lagi..."
"Titahkan saja! Aku nanti dengar kau, kongcu!"
"Aku menghendaki kau ingat peribahasa 'Kalau bicara,
bicaralah tiga bagian, jangan mengeluarkan seluruh isi hati.' Di
dalam dunia kangouw terdapat segala macam manusia jahat.
Kau gemar ngobrol, inilah tabiatmu yang kau mesti robah!"
Mukanya si bocah menjadi merah. Itu memang
penyakitnya. "Baik, kongcu," katanya. "Kalau orang tanya aku dua, aku
menjawab satu, kalau orang menanya sepuluh, aku menyahuti
dua, atau aku akan berlagak tuli dan gagu! Pasti aku tidak
akan menggagalkan urusan, kongcu!"
Yu Peng lagi sakit tetapi mendengar pembicaraan mereka
itu, ia tertawa. Ia anggap Kang Lam lucu sekali.
"Sekarang aku masih berada di rumah, tidak apa aku
omong beberapa kata-kata," kata Kang Lam kemudian.
"Siauwhujin, aku minta kau suka menenangkan diri. Setibanya
aku di tengah jalan, aku akan jadi buli-buli yang mulutnya
disumpal!"
Thian Oe pun bersenyum.
"Aku tahu kesetiaan kau," bilangnya, "untuk itu, aku
berterima kasih. Kau bukan lagi kacungku, maka itu lain kali
jangan kau panggil kongcu lagi padaku."
"Nanti saja, sepulangnya aku habis mengambil soatlian
baru panggilan ini dirobah," kata Kang Lam. "Sekarang ada
pesan apa lagi, kongcu?"
"Tidak ada lagi kecuali di sepanjang jalan kau tolong
dengar-dengar tentang Kim Sie I e," sahut Thian Oe.
Majikan atau saudara pungut ini lantas memberikan uang
bekal tiga ratus tail perak serta mengijinkan kudanya, kuda
asal Ferghana, untuk Kang Lam, kemudian setelah orang siap,
ia mengantari sampai di mulut dusun.
Kang Lam mentaati pesan kongcu-nya, di sepanjang jalan
ia tidak berani banyak omong. Setiap hari ia berangkat pagipagi,
setiap langit sudah gelap baru ia singgah. Ia melarikan
kuda sekerasnya bisa. Maka baru lima hari, ia sudah melalui
seribu lie. la telah berpikir, dengan jalan cara demikian, tak
usah sampai setengah tahun, mungkin baru empat bulan, ia
akan sudah kembali. Hanya ia tidak memikir, dunia kangouw
banyak sekali peristiwanya...
Di hari ke enam, seperti biasa, pagi sebelum embun kering,
Kang Lam sudah mengaburkan kudanya. Tengah hari, selagi
panas terik, ia mencari tempat bersinggah. Kudanya telah
mandi keringat dan mulutnya berbusa. Ia sendiri sangat
berdahaga. Maka itu, begitu melihat paseban di tepi jalan, ia
lantas mampir. Disitu ada orang menjual teh. Setelah turun
dari kudanya dan menambatnya, ia bertindak ke dalam
paseban itu yang terbuat dari batu dan luas, ada dua tiang
batunya serta lonengnya dari kayu merah.
"Di Tionggoan, segala apa beda," pikir anak muda ini.
"Segala paseban saja begini indah jauh lebih baik daripada
rumah hartawan di Tibet..."
Tukang teh ada seorang tua, ia menyuguhkan satu cangkir
air teh yang dicampuri bunga
Kang Lam memuji setelah ia minum seecgluk.
"Tempat ini apa namanya?" ia tanya kemudian.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah dusun Peng-ouw kecamatan Tongpeng koan."
"Oh, jadi sudah wilayah Shoa-tang! Bukankah disini ada
telaga Tongpeng Ouw?"
Tukang teh itu mengangguk.
"Apakah engko kecil pernah datang ke mari?"
Hati Kang Lam tergerak.
"Kiranya aku telah tiba di kampung halamannya..." pikirnya.
Maka di batok kepalanya berbayang seorang nona, ialah Cee
Ciang Hee anak gadisnya Yo Liu Ceng.
Pernah Yo liu ceng mengajak anaknya itu pergi ke Sinkiang
dan Tibet mencari Tong Siauw Lan, di tengah jalan Kang Lam
berkenalan sama mereka. Itulah kejadian pada kira lima tahun
yang lalu "Setelah beberapa tahun tidak kelihatan, dia tentu telah
menjadi besar dan menjadi seorang nona yang pemaluan..."
pikirnya. Ciang Hee lebih muda dua tahun, ketika ia bertemu
sama Kang Lam, merekalah bocah-bocah sedang nakalnya,
hanya mereka sangat cocok satu dengan lain dan Ciang Hee
telah memberitahukan kampung halamannya dan Kang Lam
masih mengingatnya.
"Jikalau bukannya ada urusan penting, seharusnya aku
pergi menjenguk dia," pikir pemuda ini. Ia juga hendak
menanyakan keterangan hal nona itu atau ia ingat pesan
kongcu-nya untuk jangan banyak omong, ia lantas menguati
hati akan menguasai dirinya. Maka setelah bicara beberapa
kata-kata lagi, ia tunduk untuk menghirup tehnya. Ketika ia
memandang ke arah kudanya, ia mendapatkan kuda itu masih
mengorong. Maka itu, ia lantas mengawasi ke sekitarnya.
Dengan begitu, ia menjadi mendapat lihat hal yang menarik
perhatiannya. Di sebelah timur, tiang ada tanda bekas
bacokan, dan di barat, pilar ada tapak tangannya. Beberapa
kali ia hendak membuka mulutnya, akan menanya si tukang
teh, guna minta keterangan, setiap kalinya ia menahan diri.
Karena ini, bibirnya sering bergerak-gerak, ia bagaikan orang
lagi sakit mulut...
Si empee tukang teh melihat kelakuan orang itu, dia
menjadi heran, sembari tertawa hihi-hihi, ia menghampirkan.
"Tuan, apakah kau heran melihat tapak golok dan tapak
tangan itu?" tanyanya. "Ah, hari itu, sungguh aku kaget
hingga hampir aku mati..."
"Inilah dia yang bicara, bukannya aku," pikir Kang Lam.
Maka ia mengawasi orang tua itu, mengharap-harap kata-kata
orang terlebih jauh.
Si penjual teh berhenti sampai disitu.
"Tuan, tehmu sudah dingin, apa kau ingin aku seduhkan
yang baru?" dia tanya.
"Boleh jugalah," Kang Lam menyahut.
"Aku memang doyan bicara," kata si orang tua, "biasanya,
orang suka dengar atau tidak, aku suka bicara sendiri. Hanya
di dalam ini dua hari, oranglah yang selalu bertanya-tanya
padaku." Kang Lam tidak kuat melawan lagi hatinya.
"Sebenarnya, kejadian bagaimanakah itu?" akhirnya ia
tanya. "Lekas kau bercerita!"
Tukang teh itu tertawa pula.
"Tuan, tehmu dingin!" katanya.
Kang Lam sadar, maka ia mengeluarkan uang satu tangchie
dan menyodorkannya.
"Ini uang teh aku bayar lebih dulu, tehnya boleh diseduh
belakangan," ia kata. "Coba kau tuturkan duduknya kejadian
itu." "Terima kasih!" kata empee itu, yang menyambut uang
untuk disimpan. Ia berlaku ayal-ayalan. "Tuan, aku lihat kau
mirip dengan orang yang biasa hidup dalam dunia kangouw..."
"Tidak, kau salah lihat," kata Kang Lam lekas. Ia ingat
pesannya Thian Oe. "Aku ada satu pedagang kecil..."
Dengan memiringkan kepalanya, orang tua itu mengawasi
tetamunya. Ia tertawa.
"Kalau begitu, aku salah mata," katanya. "Baiklah, aku akan
memulai. Orang-orang yang lewat disini, orang kangouw atau
bukan, tentu dia sudah pernah mendengar satu nama-ialah
namanya seorang yang terkenal untuk kecamatan kami,
kecamatan Tongpeng ini. Itulah kejadian pada tiga puluh
tahun yang telah lampau..."
Kang Lam tertawa.
"Pada tiga puluh tahun dulu itu, aku masih belum
terlahir!..." katanya. Ia berhenti dengan tiba-tiba. Ia ingat
janjinya akan jangan banyak bicara. "Nah, bagaimana
duduknya itu?"
"Untuk kecamatan kita ini, dialah seorang yang terkenal
sekali," kata pula si empee. "Dia pernah menjadi ketua dari
ikatan kaum Rimba Persilatan lima propinsi Utara. Dia
bernama... bernama..."
"Tiateiang Sintan Yo Tiong Eng!" Kang Lam meneruskan.
"Benar! Maka itu juga aku bilang, kau tentunya pernah
mendengarnya!" katanya si empee sangat puas, kipasnya
digoyang-goyang.
"Yo Tiong Eng sudah menutup mata banyak tahun,
mungkinkah kejadian ini ada hubungannya dengannya?" Kang
Lam heran. Ia berhenti pula secara tiba-tiba. Ia mengaku
bukan orang kangouw tetapi ia tahu hal ikhwalnya kaum
kangouw... "Memang ada hubungannya," menyahut si tukang teh.
"Tiateiang Sintan sudah menutup mata tetapi ia mempunyai
anak perempuannya, namanya..."
Kang Lam dapat menguasai dirinya, ia tidak meneruskan
menyebut nama orang seperti tadi ia mendahului si empee,
yang omongnya ayal-ayalan.
Orang tua itu berpikir.
"Namanya ialah Yo Liu Ceng..." ia meneruskan.
"Sebenarnya kita tidak berani menyebutkan namanya itu, ia
sendiri lebih suka girang memanggilnya Yo Toasiocia, yaitu si
nona gede. Ia telah menikah, ia sudah menjadi ibu orang, .toh
orang tetap memanggil ia toasiocia..."
"Ah tua bangka ini, ayal sekali ceritanya..." pikir Kang Lam,
yang menjadi tidak sabaran. Ia mencela orang sedang ia
sendiri ada kalanya suka berbuat demikian.
Tukang teh itu berhenti sebentar, baru ia meneruskan:
"Pada beberapa hari yang lalu Yo Toasiocia bersama gadisnya
pulang habis maybong, mereka singgah disini untuk minum
teh. Eh ya, aku lupa beritahu padamu. Paseban ini dulunya
dibangun dengan uang derma Yo Tiong Eng itu. Lihat itu batu
hijau yang dipakai, semuanya batu pilihan. Sekarang paseban
ini menjadi tempat aku mencari uang untuk hidupku, maka itu
sudah seharusnya aku berterima kasih kepada keluarga Yo
itu..." Hatinya Kang Lam ketarik. Jadi baru beberapa hari yang
lalu orang mampir di kedai teh ini.
"Habis bagaimana?" ia menanya.
"Ibu dan anaknya itu berbicara sama aku," si empee
melanjuti. "Yang dibicarakan ialah hal ikhwalnya Yo Tiong Eng
semasa hidupnya. Lantas Yo Toasiocia menjanjikan akan
menderma pula untuk memperbaiki paseban ini..."
"Kalau begitu, itulah cerita dari kejadian hari-hari saja..."
"Tidak, tuan. Selagi kita pasang omong, ada seorang
pendeta datang ke mari. Aku tengah asyik bicara, aku tidak
tahu kapan datangnya pendeta itu, aku baru mendusin ketika
aku melihat air muka toasiocia berubah. Kiranya si pendeta
duduk madapi dia dan matanya mengincar tajam kepada
toasiocia. Si nona anaknya toasiocia lantas berkata: 'Ibu,
pendeta ini sesat! Kau lihat matanya!' Mendadak toasiocia
berbangkit dan berkata padaku: 'Ong Lootauw, untuk
pasebanmu ini aku hendak meninggalkan tanda mata!' Tahutahu
sebatang golok terbangnya melayang!"
Baik sekali aksinya si empee, Kang Lam sampai terperanjat.
"Apakah golok terbangnya Yo Liu Ceng itu membinasakan
si pendeta?" ia tanya.
"Tidak! Golok terbang meninggalkan tanda di tiang itu!"
"Hebat tabiatnya Yo Liu Ceng," pikir si anak muda. "Kalau
ada orang nikah puterinya, bagaimana harus melayani mertua
seperti dia"... Tapi, golok terbangnya itu tentu dipakai
mengancam pendeta itu." Maka ia terus menanya:
"Bagaimana dengan si pendeta?"
"Si pendeta tidak membilang apa-apa, habis itu dia
berbangkit dan dia meninggalkan tapak tangannya itu di pilar
itu..." "Jadi itulah tapak jari si pendeta..."
"Habis berbuat begitu, dengan dingin si pendeta kata
padaku: 'Aku pun meninggalkan tanda mata kepadamu.' Habis
berkata, dia ngeloyor pergi. Toasiocia berteriak: 'Tunggu!'..."
"Lantas mereka bertarung?" tanya Kang Lam.
"Mereka bertengkar..."
"Apa kata mereka?"
"Mereka bicara nyeruos seperti petasan, tak mengerti aku,
hanya aku duga, di antara mereka rupanya ada permusuhan.
Cuma kemudian aku mendengar toasiocia mengatakan tegas:
'Baiklah, pasti aku menantikan di rumah untuk menerima
pengajaranmu!'"
"Apakah kau dengar ada disebutkan hari atau tanggalnya?"
"Aku tidak mendengar jelas..."
Kang Lam berpikir keras "Mestinya mereka menjanjikan
hari dan waktunya. Melihat tapak tangan ini, yang dalam, si
pendeta tentu liehay melebihkan Yo liu ceng. Seharusnya aku
membantui itu ibu dan anak... Sayang tidak ketahuan tanggal
harinya..."
Segera Kang Lam ingat pesannya Thian Oe. Segera ia ingat
Ciang Hee. Maka bingunglah ia. Itu waktu ada datang dua
tetamu lain, si empee pergi melayani mereka itu. Mereka
menggantung golok di pinggang mereka, agaknya mereka
royal. Dengan lantas mereka melemparkan dua potong uang
tangchie. "Orang tua, inilah uang tehmu!" kata yang seorang.
Orang tua itu tertawa.
"Inilah terlalu banyak, mana berani aku terima..."
bilangnya. "Jangan banyak omong, lekas simpan!" kata tetamu tadi.
"Aku hendak tanya kau, dalam beberapa hari ini ada atau
tidak orang asing datang ke mari?"
"Ada juga seorang pendeta..."
Empee ini mau menjelaskan, atau si tetamu memotong:
"Kecuali si pendeta, ada siapa lagi?" Orang tua itu agaknya
berpikir. "Tidak," sahutnya.
"Barangkali ada yang menanya tentang keluarga Yo?"
Empee itu tertawa.
"Penduduk sini ketahui Keluarga Yo, buat apa orang main
tanya-tanya lagi..."
"Hm! Nah, seduhlah teh Ie-cian!"
Kedua orang itu mengambil tempat duduk di depan Kang
Lam. Yang satu lantas berkata: "Aku sungguh tidak mengerti
kenapa tuu kita memandang urusan kecil ini sebagai urusan
sangat besar"..."
Hati Kang Lam terkesiap. Kebetulan mereka itu mengawasi,
ia mengangkat cangkir tehnya untuk dihirup.
Kedua orang itu melihat hanya 'seorang bocah, mereka
tidak memperhatikan, hanya setelah itu, mereka bicara dalam
bahasa rahasia kaum kangouw.
Kang Lam mengerti juga sedikit bahasa rahasia itu, acuh
tak acuh, ia memasang kupingnya.
Kata yang seorang: "Dia hanya seorang perempuan, dia
juga cuma mengandal nama besar almarhum ayahnya, berapa
sukarnya menghadapi dia" Mengapa tuu memandang urusan
ini berat sekali?"
"Itulah justeru karena nama besar ayahnya itu " kata yang
lain, yang tubuhnya kurus. "Ayahnya pernah menjadi ketua
ikatan kaum Rimba Persilatan di lima propinsi, karenanya, dia
tentu banyak hubungannya, banyak sahabatnya. Mustahil
perempuan itu tidak mengundang bala bantuan" Karena ini,
aku jadi rada berkuatir untuk tuu. Kenapa tuu tidak mau lekas
turun tangan" Bagaimana kalau sampai si pendeta
mendahuluinya?"
"Kau belum tahu hasilnya kalau Keluarga Yo itu dapat
dirobohkan," kata si kawan, yang tubuhnya gemuk. "Itu
artinya nama tuu lantas naik tinggi, dia menjadi jago sendiri di
Shoatang ini! Kau tahu siapa pendeta itu?"
"Tidak. Aku justeru mau menanya kau."
"Aku tidak tahu nama atau gelarannya hanya tuu pernah
membilang, meskipun Tong Siauw Lan masih jeri terhadapnya.
Lihat saja, berapa hebat tapak tangannya itu?"
"Kalau begitu, buat berurusan sama turunan Tiateiang
Sintan benar-benar tidak dapat kita memandang enteng. Nah,
marilah kita pergi mengundang orang!"
Mereka lantas minum, terus mereka berangkat, yang satu
ke timur, yang lain ke barat. Mereka menunggang kuda.
Hati Kang Lam menjadi tegang sendiri. Tidak dapat ia tidak
membantui Keluarga Yo itu, meski ia bersangsi akan sanggup
melawan si pendeta. Ia ingat pembilangannya Thian Oe
bahwa siapa belajar silat, perlu dia membantu kawannya yang
dalam kesusahan. Maka ia mengeringi tehnya. Ia tanya si
empee di mana rumahnya keluarga Yo itu.
Tukang teh itu tertawa.
"Jitulah terkaanku!" katanya.
"Aku menduga kau tentulah hendak membantui Keluarga
Yo!" "Kenapa kau bisa menebak?"
"Sebab sudah banyak sekali aku melihat orang! Begitu
melihat kau, aku tahu kau bukannya orang busuk! Kalau
busuk, mana kau sudi membantui pihak Yo itu" Sebenarnya,
dalam beberapa hari ini sudah banyak orang yang
menanyakan rumah keluarga itu dengan maksud membantu.
Sebaliknya dua orang barusan, mereka mesti manusia busuk,
maka itu, aku tidak suka memberi petunjuk pada mereka!"
Senang Kang Lam diangkat-angkat, maka juga ia
menambah uang tehnya, setelah menanya tegas jalanan, ia
berlalu dengan cepat.
Jalanan disitu rata, setelah mengawasi ke timur dan barat
dengan masih melihat punggung kedua orang tadi, ia pikir:
"Baik aku susul si gemuk!" Dan lantas ia mencambuk kudanya,
si kuda Ferghana yang dapat lari keras. Dengan cepat ia dapat
menyandak. "Eh tadi di kedai teh kau ketinggalan barangmu!" ia teriaki
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang itu setibanya ia di belakang orang.
Si gemuk menahan kudanya, ia heran.
"Barang apakah itu?" ia tanya.
"Lihat, apakah ini bukan dompetmu?" kata Kang Lam, yang
membikin kuda mereka berendeng, lalu mendadak tangannya
menyambar ke iga. Itulah jurus Tay-kimna yang pernah satu
hari Tong Keng Thian mengajarinya. Tapi ia gagal, ia cuma
merobek baju orang, sebaliknya ketika orang itu membalas,
segera ia roboh dari kudanya.
Si gemuk itu tertawa dan kata: "Hai, setan cilik, kau berani
main gila, di depanku! Benar-benar kau cari penyakitmu
sendiri!" Kang Lam rebah di tanah, matanya mendelik, ia merintihrintih.
"Segala kantung nasi masih berani membokong tuan
besarmu!" kata pula si gemuk tertawa menghina. "Kau
sungguh memalukan! Lekas bilang, siapakah yang menitahkan
kau berbuat begini?"
Kang Lam menyahuti tetapi suaranya tidak tegas.
"Aku cuma menotok jalan darahmu, aku tidak melukai
kulitmu atau mematahkan tulangmu," kata
si gemuk itu, "kenapa kau merintih tidak keruan hingga kau
tidak dapat membuka mulutmu" Hayo bicara lebih keras!"
Kang Lam tetap merintih, suaranya tetap tidak nyata. Si
gemuk menjadi gusar, dia lompat turun dari kudanya, untuk
menghampirkan, guna mencekuk, atau mendadak tubuh si
anak muda mencelat bangun, kedua jari tangannya bekerja,
maka segera dia roboh tak berkutik lagi!
Kang Lam tertawa terbahak.
"Dibanding sama aku, ilmu totokmu masih kacek jauh!"
ejeknya. Si gemuk berdiam.
"Mau atau tidak aku mengulangi perkataan kau barusan?"
Kang Lam Ikata tertawa. "Lekas bilang, siapakah yang
menitahkan kau berbuat begini" Lekas bilang, atau aku nanti
patahkan tulangmu dan keset kulitmu!"
Benar-benar bocah ini meniru aksi dan suara si gemuk tadi.
Saking mendongkol si gemuk membungkam terus.
"Baik, sekarang kau rasai dulu totokanku!" kata Kang Lam.
"Sesudah kau kenyang, baru aku patahkan tulangmu dan
keset kulitmu!"
Ancaman itu dibuktikan, atas mana si gemuk merasakan
seperti ia digigiti banyak ular kecil, hingga ia kesakitan bukan
main, hingga ia kelengar dan sadar beberapa kali, sakitnya itu
seperti kulitnya dikeset dan tulangnya dipatahkan...
Kali ini Kang Lam menggunai ilmu totok ajarannya Kim Sie
Ie. Ketika tadi pertama kali ia menotok iga si gemuk, ia pakai
ilmu ajarannya Hong Sek Toojin dari Khongtong Pay ketika
baru-baru ini imam itu memaksa ia menjadi murid selama
tujuh hari. Sedang ilmu totok Kim Sie Ie ini ada warisan dari
Tokliong Cuncia yang liehay suatu ilmu totok istimewa yang
beda daripada ilmu totoknya lain-lain partai, sebab, meskipun
liehay. ilmu totok ini gampang dipelajarinya, tak usah orang
mahir ilmu tenaga dalamnya, seperti terbukti, anak muda ini
dapat menggu-nainya.
Melihat orang bergulingan, Kang Lam menjadi tidak tega
sendirinya. Ia pikir: "Dia bertabiat keras, kalau tetap dia tidak
mau bicara, terpaksa aku mesti memerdekakannya... Masa
aku benar-benar mengeset kulitnya dan mematahkan
tulangnya?"
Justeru ia memikir begitu, justeru terdengar suara si
gemuk: "Aku suka bicara!..."
"Dasar kantung nasi!" berseru Kang Lam. Tapi segera ia
menambahkan: "Meskipun kau kantung nasi, sebab kau tahu
selatan, kau terhitung satu laki-laki juga!"
Sikap putar balik ini dapat membuat orang tertawa, tetapi
si gemuk lagi tersiksa, ia tidak ingat itu.
Bahkan dia kata pula: "Tuan kecil, kau tanyalah! Sepatah
kau tanya, sepatah aku menjawab..."
"Siapa memerintahkan kau pergi mengundang orang?"
Kang Lam lantas menanya.
"Tuu kami..."
"Fui!" Kang Lam membentak.
"Siapa kenal tuu kamu itu" Sebenarnya dia she apa dan
nama apa?"
"Dia Cek Tat Sam."
"Oh, jadinya dia ciangbunjin dari Taysan Pay, orang kelas
dua di wilayah Shoatang ini!" kata Kang Lam.
Pemuda ini hanya mengoceh. Sebenarnya ia tidak tahu
halnya Taysan Pay dan tidak tahu Tat Sam liehay sampai di
mana, hanya pernah ia mendengar pembicaraan di antara Tan
Thian Oe dengan Siauw Ceng Hong bahwa partai persilatan
itu, meski banyak rupanya, anggautanya yang paling banyak
hanya dari dua partai Siauwlim dan Butong, yang kedua
lainnya yaitu Ngobie Pay dan Cengshia Pay, sedang Thiansan
Pay, yang sedikit anggautanya, agaknya, ingin mengatasi
semua partai lainnya. Karena Thiansan Pay berada jauh di
Wilayah Barat dan jarang berhubungan sama partai-partai
persilatan di Tiong-goan, dia tidak banyak disebut. Tentang
partai lainnya tidak disebut jelas, maka itu ia-Kang Lam
anggap Taysan Pay tidak masuk hitungan, maka ia
mengatakannya Cek Tat Sam orang kelas dua, sedang
sebenarnya, untuk Shoatang, Tat Sam orang kelas satu.
Si gemuk mendongkol bukan main ketuanya dihinakan
secara begitu, tetapi ia telah tertotok dan tidak berdaya, ia
cuma bisa mendongkol saja.
"Sekarang bilang, siapa-siapa yang kamu telah undang?"
Kang Lam tanya pula.
"Tuu kami luas pergaulannya, banyak sekali sahabatnya,
maka aku tidak tahu seluruhnya."
"Kau bilang saja yang kau tahu."
"Ada Pekma Touw Peng, ada Kimtoo Teng Cit. Ada pula
Poan-liongkoay Khouw Tay Yu dan Tio Tiat Han pangcu dari
Cinsan Pang."
Semua nama itu belum pernah didengar Kang Lam tapi ia
mengasih dengar suaranya: "Hm! Semua dari kelas tiga atau
kelas empat!"
"Aku telah menjawab kau..." kata si gemuk. "Sekarang...
aduh!... aduh!..."
Memang totokan Kim Sie Ie itu, makin lama makin
mendatangkan rasa nyeri, maka sekarang si gemuk
bermandikan keringat, mukanya meringis-ringis menahan
sakit. "Baik, sekarang pertanyaan paling akhir!" kata Kang Lam.
"Kapan janji kamu dengan Keluarga Yo?"
"Malam ini!" menjawab si gemuk.
Kang Lam tertawa, terus ia menepuk punggung orang, atas
mana lenyap rasa nyerinya orang itu, cuma tubuhnya masih
belum dapat bangun, bahkan sekarang dia tidak dapat bicara.
Karena sambil membebaskan, anak muda itu membarengi
menotok urat gagunya berikul urat bekunya.
"Sekarang baik-baiklah kau tidur!" kata pula Kang Lam
sambil tertawa manis. "Kau tunggu sampai aku membuat
penyelidikan, setelah terbukti pengakuan kau benar semua,
baru aku akan datang pula untuk membebaskanmu!"
la lantas mengangkat tubuh orang, buat digabruki ke
tempat banyak rumput, kemudian tubuhnya diuruki, supaya
orang tidak dapat melihatnya. Habis itu baru ia ngeloyor pergi
sambil berpikir: "Bagus kejadian malam ini, aku jadi dapat
singgah disini. Karena cuma satu hari, aku tentu tidak akan
menggagalkan urusan kongcu..."
Ia hanya tidak memikir, bagaimana nanti duduknya
kejadian. Atau bagaimana kesudahannya apabila pihaknya
kalah... Di waktu magrib. Kang Lam sampai di luar kampung Yo
kee-chung yang besar, yang duduknya di pinggiran gunung,
belakangnya menghadapi telaga yang airnya jernih mirip kaca
rasa, pemandangannya indah.
"Pantas Ciang Hee cilok sekali," pikirnya.
Tidak leluasa untuk bertunggang kuda disitu, maka pemuda
ini lompat turun dari kudanya yang ia membiarkannya mencari
makan sendiri di tepi telaga. Kuda itu memangnya jinak, dapat
dilepas tanpa ditambat lagi. Dengan berhati-hati ia mendaki
bukit, agar orang tidak mempergokinya. Ia ingin menemui si
nona di luar sangkaan si nona, agar nona itu kaget
karenanya... "Dia tentu tidak menyangka aku datang untuk membantui
padanya," ia ngelamun terlebih jauh. "Haha, di saat kesukaran
barulah sahabat sejati terlihat tembaganya! Kang Lam
memangnya satu laki-laki!"
Ia gembira sekali, hampir ia tertawa sendirinya.
Selagi enak berjalan di tempat di mana rumput tinggi
hingga sedengkul, mendadak Kang Lam mendengar tindakan
kaki berat di sebelah belakangnya. Ia terkejut. Segera ia
mendekam, kupingnya dipasang.
"Shako, kenapa kau kena dikerjakan orang?" demikian ia
dengar. Suara itu seram. "Kenapa kau kena diuruki rumput"
Sungguh aku tidak percaya bocah itu demikian liehay..."
Mengenali suara orang, tahulah Kang Lam bahwa orang itu
si kurus tadi di paseban tukang teh, ialah kawan si gemuk
yang ia robohkan di tengah jalan. Ia hanya tidak tahu, kenapa
si kurus ini dapat lekas kembali bersama kawannya itu. Ia
mengangkat sedikit kepalanya, untuk mengintai ke belakang.
Maka ia melihat tiga orang: Yang jalan di depan seorang
bertubuh besar dan kekar, si gemuk jalan di tengah, dan si
kurus di belakang. Muka si gemuk merah disebabkan
pertanyaan si kurus itu. Entah siapa si tubuh besar dan kekar
itu, mungkin dia kawan yang diundang si kurus, dan selagi
menuju kemari, mungkin mereka mendengar rintihan si
gemuk, yang mereka lantas tolongi.
"Kau jangan memandang enteng bocah itu," kata si gemuk
kemudian. "Dia liehay sekali, hebat ilmu totoknya, mungkin
tak ada keduanya di kolong langit ini!"
Senang Kang Lam mendengar itu, meski ia tahu, orang
mengatakan demikian untuk menutup malu. Maka ia pikir:
"Tadi aku berbuat keterlaluan padanya..."
"Jadi kau takluk kepadanya?" si kurus menegaskan
kawannya. "Memangnya kalah, habis apa aku bisa bilang?" si gemuk
menghela napas. "Jangan kata kita, pang-cu sendiri mungkin
bukan lawannya. Menurut dia, pangcu cuma dari golongan
kelas dua!"
Orang yang ketiga itu, yang tubuhnya besar dan kekar,
menjadi gusar sekali. Ialah Tio Tiat Han pangcu dari Cinsan
Pang, sahabat kekal dari Cek Tat Sam pangcu dari Taysan
Pang. "Apakah bocah itu menanyakan kamu mengundang siapasiapa?"
ia tanya. "Apa kau ada menyebut-nyebut juga
namaku?" "Yang pertama aku sebutkan justeru nama kau, loojinkee.
Dia bilang... dia bilang... Ah, aku tidak berani
mengatakannya..."
"Mungkin dia mencaci aku, bukan" Kalau benar, itu tidak
ada hubungannya sama kau. Kau sebutkan lah!"
"Dia mencaci pun tidak, hanya dia bilang loojinkee dari
kelas tiga atau kelas empat..."
"Hm!" Tio Tiat Han menjadi gusar. "Kalau aku bertemu dia,
aku nanti patahkan tulang-tulangnya, aku nanti keset
kulitnya!"
Justeru itu Kang Lam tertawa tanpa tertahan lagi. Ia
anggap si gemuk sangat lucu.
"Nah, itu dianya!" seru si gemuk.
"Nanti aku lihat kau dari kelas berapa!" berseru si tubuh
besar, yang segera mencelat. Benar dia bertubuh besar tetapi
dia gesit sekali. Segera dia sampai di depan si anak muda dan
tinjunya lantas melayang!
Kang Lam berkelit, ia tertawa, dengan tangannya ia
menangkis. "Apakah kau tidak takut ilmu totokku yang di kolong langit
ini tanpa lawan?" ia tanya jenaka. Tapi ia kecele, sebab ketika
tangan mereka benterok, ia tidak berhasil menotok, bahkan
sebaliknya, ia merasai tangannya sakit. Untuk lima propinsi
Utara, Tiat Han bukan sembarang orang. Ia berhenti ketawa
dan menyeringai.
Si kurus lantas bersenyum. Tapi si gemuk kata: "Dia belum
mengeluarkan kepandaiannya. Lihat, dia dapat melayani Tio
Pangcu sampai tiga puluh jurus! Kau sendiri, mana kau
mampu!" Dipadu dengan Tio Tiat Han, Kang Lam kalah jauh, hanya
benar, Ilmu silatnya campur baur, ada ajarannya Kim Sie Ie,
ada ajarannya Tong Keng Thian dan Tan Thian Oe, tubuhnya
pun gesit, sedang di waktu bergebrak, Tiat Han berlaku
waspada sekali, dia jeri untuk ilmu totok yang disombongkan
si gemuk itu. Begitu, dalam sepuluh jurus dia masih tidak
berani mendesak, dia selalu menjaga agar si anak muda tidak
dapat merapati padanya
Setelah sampai ke jurus tiga puluh, baru Tiat Han merasa
aneh. "Bocah ini cuma pantas menjadi muridku," pikirnya, "hanya
jurusnya aneh-aneh dan lincahnya luar biasa, melebihi guruku.
Kenapa begini?"
Meski ia berpikir demikian dan merasa pasti ia tidak bakal
kalah, ia toh tetap waspada, hanya selewatnya itu, ia jadi
tertawa sendirinya. Jurusnya Kang Lam adalah itu-itu juga,
yang diulangi pergi pulang. Maka sekarang ia pikir, "Rupanya
bocah ini mencuri ilmu silat dari sana-sini..."
Sekarang barulah Tiat Han menyerang hebat, tangan
kirinya dengan ilmu silat Sutpay ciu, tangan kanannya dengan
Kimkong kun, kedua tangannya keras bagaikan besi, kudakudanya
tegar. Kang Lam kaget sekali.
"Celaka?" pikirnya, la insyaf bahwa rahasianya sudah
terbuka. Selagi ia sadar, kedua tangan Tiat Han mengurung
padanya. Lekas-lekas ia membebaskan diri dengar jurus
ajarannya Thian Oe, jurus "Wankiong siahouw" atau "Menarik
busur memanah harimau". Ia bergerak dengan baik tetapi ia
kalah tenaga, tidak dapat ia melawan tenaga lawannya ini.
"Kau lihat kepandaianku si kelas tiga!" kata Tiat Han
tertawa. Dengan tangan kirinya ia menekan kedua tangan si
bocah, tangan kanannya dipakai menyekek ke tonggorokan.
"He, kenapa dia tidak mengeluarkan kepandaiannya yang
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istimewa?" si kurus mengejek si gemuk.
Urat-urat jidatnya Kang Lam pada keluar. Ia mengerahkan
tenaganya tanpa berhasil, kerongkongannya pun macet
hingga ia tidak dapat bersuara...
"Kau berlutut dan mengangguk kepadaku tiga kali hingga
kepalamu terdengar nyaring!" kata Tiat Han tertawa
menghina. "Kau pun memanggil ayah padaku, nanti aku
lepaskan padamu! Kau mau atau tidak?"
"Aku mempunyai hanya satu ayah, kalau aku panggil dia
ayah, aku menghina ibuku," pikir Kang Lam. "Tidak, inilah
tidak bisa!" Maka ia menggelengkan kepala.
Tiat Han menggunai tenaganya lebih keras.
Kang Lam merasa napasnya mau putus tetapi ia
membandel. Di saat sangat berbahaya untuk si anak muda, mendadak
Tio Tiat Han berseru aneh, terus lidahnya diulur keluar, tangan
kanannya masih mencekek leher orang tetapi tenaganya
sudah kendor. Karena itu, si anak muda lantas dapat bernapas
pula. Selagi Kang Lam bingung, lidah Tiat Han terulur pula dan
rambutnya juga pada terlepas buyar, hingga dia mirip setan
gantung diri. Jadi bukan dia mencekek si anak muda, adalah si
anak muda yang seperti mencekek dia.
"He, kau bikin apa?" Kang Lam tanya. "Apa kau kira aku
kena ditakut-takuti?"
Ia mengatakan tidak takut, sebenarnya ia jerih.
Si kurus kaget, dia mengira Kang Lam menggunai
kepandaiannya, dalam takutnya, dia lantas lari, diturut si
gemuk! Tiat Han berseru pula, kali ini lepaslah cekalannya, maka
tubuhnya lantas roboh terkapar di tanah, dari mulutnya,
hidungnya, kupingnya, semua keluar darah mukanya pucat
bagaikan mayat.
"Oh, ibu!" seru Kang Lam, yang pun kaget, hingga ia turut
roboh. Bocah ini bermimpi luar biasa, la merasakan tubuhnya
melayang-layang di udara, matanya melihat tak kehitung
banyaknya iblis-iblis berkepala kerbau dan bermuka kuda. Ia
menjerit tapi suaranya tidak keluar. Dalam takutnya ia pikir
tentulah setan-setan yang mati menggantung diri hendak
membetot nyawanya. Tidak lama, lenyaplah segala iblis itu,
lalu kupingnya mendengar suara yang ia kenal baik sekali:
"Jangan bingung, jangan bingung, hari ini aku akan membuat
kau menjadi enghiong yang namanya tersohor di empat
penjuru lautan!" Kupingnya terus mendengar suara angin
mendesir, tubuhnya seperti naik ke udara, ke dalam mega
atau kabut, atau mendadak dia merasa jatuh dari udara itu.
Lantas segala apa sunyi-senyap...
"Ah, tempat apakah ini?" ia tanya dirinya ketika ia mencoba
membuka matanya, la lantas merasa tubuhnya seperti terjepit
papan hingga ia tidak dapat bergerak, sedang matanya
tersorot api dari dua jurusan. Ia berdiam, ia menetapi hati. Ia
lantas mulai sadar, tapi ia heran tidak terkira. Kiranya ia
berada di atas papan pian-gok, tubuhnya diam bagaikan bekas
ditotok. Pian-gok itu berada di dalam sebuah ruang besar di mana
teratur beberapa puluh meja persegi, di atas setiap meja ada
dua pui araknya. Ia heran hingga ia menyangka masih
bermimpi. Hingga ia mau percaya Giamloo Ong, atau Raja
Akherat, mengundang ia berpesta, la bagaikan disadarkan
ketika kupingnya mendengar nyaring tapi halus: "Ibu, malam
ini persiapan hebat sekali! Apakah bakal ada banyak orang
yang datang?"
Kang Lam melengak. Itulah suaranya nona Cee Ciang Hee,
yang muncul bersama ibunya. Ia menggigit lidahnya, ia
merasa sakit. Jadinya ia bukan lagi bermimpi. Maka heranlah
ia! Siapa membawa ia masuk ke ruang ini dan diletaki di atas
papan merek ruang itu" Ia menjadi bingung.
"Ah, anak, kau tidak tahu tahu langit tinggi dan bumi
tebal..." kata Yo Liu Ceng, si ibu. "Malam ini ialah malam pesta
Hongbun Hwee! Apakah kau kira kau bakal minum arak
pengantin?"
"Apakah ayah mengundang banyak orang untuk
membantui kita?" si anak dara tanya.
"Yang diundang bukannya sedikit, yang datang baru
sepuluh," menjawab sang ibu.
"Pihak sana, ibu?"
"Telah diterima tiga puluh empat lembar kartu nama, maka
menurut aturan, yang datang mestinya tiga puluh empat
orang. Coba kau hitung lagi, benarkah meja berjumlah dua
puluh empat bocah?"
"Benar, dua puluh empat bocah. Setiap meja untuk dua
orang, kita bertiga memakai satu meja lain, jadi masih ada
dua meja yang kosong."
"Ya, yang dua itu disediakan untuk tetamu yang tidak
diundang."
"Bukankah jumlah mereka dua kali lebih banyak daripada
pihak kita?"
"Demikianlah hangat dan dinginnya persahabatan..." kata
sang ibu menghela napas. "Coba kakek luarmu masih hidup,
biar yang tidak diundang juga, pasti dia datang! Lihat pian-gok
itu!" Kang Lam kaget. Ia mengira si nyonya melihat padanya.
"Kau tahu, pian-gok itu ialah ketika kakek luarmu berulang
tahun yang ke enam puluh, hadiah dari seratus dua puluh
empat orang gagah di lima propinsi Utara. Empat hurufnya
yang berair emas itu, yaitu Bu Lim Sek Bong, pujian untuk
kakekmu itu, yang dipuji sebagai orang gagah kenamaan.
Hingga sekarang ini, tiga puluh tahun telah lewat. Apa benar
pepatah yang membilang, dalam tiga puluh tahun itu,
keletakan tanah berputar?"
Yo Liu Ceng memikiri penghidupan manusia, yang dapat
berubah, jadi dia bukannya dapat melihat si anak muda.
"Biarnya jumlah kita lebih sedikit, tidak dapat kita
menghilangkan nama besar kakek luar!" berkata si nona,
bersemangat. "Itulah pasti! Kapannya ibumu pernah menyerah kalah?"
"Ibu, orang macam apa itu hwesio yang menantang kita?"
kemudian Ciang Hee tanya, perihal si pendeta.
"Pendeta liar itu aku melainkan ketahui nama asalnya yaitu
Cek Ho Ciang. Dia muridnya Taylek Sinmo Sat Thian Touw."
"Taylek Sinmo si Iblis Sakti?" mengulangi Ciang Hee. "Ah,
rasanya aku mengenal baik nama itu... Bukankah ayah pernah
membilang bahwa dialah si iblis yang setingkat dengan kakek
luar" Bukankah dia telah menutup mata?"
"Benar. Bahkan dari sekalian muridnya tinggal ini satu Cek
Ho Ciang. Taylek Sinmo Sat Thian Touw mempunyai satu
saudara kembar yaitu Sat Thian Cie gelar Patpek Sinmo si Iblis
Sakti Bertangan Delapan, dia juga mempunyai tinggal satu
murid." "Bukankah dialah Tang Tay Ceng yang juga menjadi
hwesio" Pada tiga puluh tahun dulu itu, dia juga telah dihajar
patah sebelah tangannya oleh kakek luar dan ketika pergi
mencari Paman Tong di Thiansan, kita juga menemukannya.
Aku mengerti sekarang, Cek Ho Ciang ini datang untuk
membalaskan sakit hatinya kakak seperguruannya itu."
"Ketika kita menemuinya itu, jikalau bukan dicegah Phang
Lim, tentulah aku telah hajar picak matanya! Tang Thay Ceng
sendiri tidak berani datang menuntut balas, sekarang Cek Ho
Ciang yang menggantikannya, tidakkah ini lucu?"
Kang Lam mendengar itu, di dalam hatinya ia kata: "Ah, ini
Bibi Yo jauh terlebih bisa meniup kerbau daripada aku!"
Dulu hari itu, Yo Liu Tieng bertemu sama Tang Thay Ceng
di sebuah rumah makan di tepi jalan, dengan sebelah
tangannya, Thay Ceng melayani sintan atau peluru "sakti" dari
si nyonya. Ketika, itu Kang Lam telah dapat menyaksikan
pertempuran itu. Kalau tidak Phang Lim tiba pada saatnya
yang tepat, mungkin Nyonya Yo itu roboh di tangannya Thay
Ceng. Kang Lam juga kata di dalam hatinya: "Mana bisa Tang
Thay Ceng datang untuk mencari balas lagi" Pasti tidak bisa
kecuali dia merayap keluar dari dalam peti matinya!... Eh,
ketika dia mati, peti mati pun dia tidak mempunyai, maka itu,
kecuali dia merayap keluar dari dalam sungai es..."
Dulu hari itu Tang Thay Ceng membuat perjalanan bersama
Cek Sin Cu, seorang iblis lain, pergi mendaki puncak Cholmo
Lungma di pegunungan Himalaya untuk mencari apa yang
dinamakan "rumput dewa", hanya belum lagi dia dapat
melihat puncak kesohor itu, dia telah mati kedinginan di dalam
sungai es. Tentang ini Kang Lam mengetahuinya dari
penuturan Tan Thian Oe kepadanya. Ketika itu yang mendaki
puncak terhitung juga Tong Keng Thian dan Kim Sie Ie,
bahkan di itu waktulah yang Kim Sie Ie lenyap. Tentang
kejadian itu, Yo Liu Ceng dan gadisnya tidak mendapat tahu.
"Ibu, rupanya kau lupa," berkata Ciang Hee. "Bukankah
ketika itu Bibi Phang telah membilang bahwa ia telah
melarang Tang Thay Ceng menuntut balas pula" Hanya yang
aneh, mengapa adik seperguruannya, si hwesio ini, tidak
mendapat tahu larangannya Bibi Phang itu" Mungkinkah kakak
seperguruannya tidak membilanginya" Tapi kita jangan takut!
Umpama kata kita kalah, Bibi Phang tentulah akan
membalaskan sakit hati kita ini!
"Anak Hee," berkata ibu itu, "andaikata aku terbinasa, aku
larang kau meminta bantuannya Phang Lim. Kami Keluarga
Yo, kami belum pernah menghendaki lain orang
mengasihaninya, juga kami belum pernah memohon
pertolongan kepada lain orang!"
Ada sebabnya mengapa Yo Liu Ceng mengatakan begini
kepada puterinya itu. Itulah karena ia tidak akur dengan
Phang Lim, dan Phang Lim bukan baru satu kali pernah
menggodai ianya. Tentu sekali sebab itu tidak dapat ia
menjelaskan kepada puterinya. Duduknya hal ialah pada tiga
puluh tahun dulu itu Yo Liu Ceng adalah tunangannya Tong
Siauw Lan akan tetapi Siauw Lan justeru menyintai Phang
Eng, kakaknya Phang Lim, karena mana, Phang Lim suka
sekali menjaili padanya.
Selagi ibu dan anak itu bicara, seorang bujang datang
mewartakan bahwa tetamu sudah datang.
"Pergi kau minta looya menyambut mereka," berkata Yo Liu
Ceng. Bujang itu mengundurkan diri.
Tidak lama disitu terlihat munculnya seorang berumur kirakira
lima puluh tahun dengan alisnya gombiok, matanya besar,
dan dadanya lebar. Dia diiring sejumlah orang. Dialah Ccc Sek
Kiu, suaminya Yo Liu Ceng, serta tetamu-tetamu yang
bersedia memberikan bantuannya. Sebagai suami, dia takut
isteri, akan tetapi walaupun dia beroman kasar, dia sedikit
bicara. Demikian dengan singkat dia memerintahkan:
"Pentang pintu besar! Sambutlah mereka sebagai tetamutetamu
yang terhormat!" Dia tidak seperti isterinya, yang
kemendongkolan atau kemurkaannya terutara pada wajahnya.
Begitu lekas pintu telah terpentang maka terdengarlah
tertawa besar dari seorang hwesio atau pendeta, yang
membuka tindakannya untuk masuk ke dalam.
"Silahkan!" berkata Sek Kiu.
"Aku menghaturkan diperbanyak terima kasih, taysu!" Yo
Liu Ceng berkata. "Dengan taysu datang meramaikan, dengan
berkumpulnya banyak orang gagah, sungguh inilah suatu
kehormatan besar untuk kami!"
Cek Ho Ciang si pendeta tertawa nyaring.
"Dan pihak kamu dari lima propinsi Utara, kamu pun
hampir hadir semuanya!" berkata ia. "Sungguh beruntung,
sungguh beruntung aku dengan pertemuan kita ini!"
Begitulah, belum apa-apanya, kedua pihak sudah terlebih
dulu mengadu bicara. Yo Liu Ceng agaknya bicara hormat
tetapi sebenarnya ia mengejek pihak musuhnya datang dalam
jumlah yang besar luar biasa itu. Dengan kata-katanya itu Cek
Ho Ciang di satu pihak, mengangkat mengejek nyonya rumah,
di lain pihak ia menunjuk kehormatannya kepada kawankawannya
tuan dan nyonya rumah itu dengan siapa ia tidak
ingin menanam bibit permusuhan.
Maksudnya Cek Ho Ciang dengan kedatangannya ini adalah
dua. Pertama-tama untuk menyate-rukan Yo Liu Ceng. Yang
kedua ialah-dengan jalan tidak langsung ini-guna, mengangkat
keponakannya, yaitu Cek Tat Sam, yang menjadi pangcu atau
ketua dari Taysan Pang, menjadi kepala ikatan dari kaum
Rimba Persilatan di lima propinsi Utara. Kawannya Yo Liu Ceng
itu sedikit tetapi mereka bukan orang sembarang, maka itu,
berhubung sama maksudnya yang kedua ini, Ho Ciang tidak
sudi mencari gara-gara. Ini pun maksudnya Tat Sam.
Di antara kawannya Cek Ho Ciang ada seorang suci suku
bangsa Tibet, yang mengenakan jubah merah, yang tubuhnya
besar dan tinggi melebihkan yang lain-lainnya hingga dia
lantas menarik perhatian dari siapa juga. Dengan menunjuk
kepada pendeta itu, Ho Ciang kata pada Yo Liu Ceng dan Cee
Sek Kiu: "Inilah Chong Leng Siangjin dari Tibet."
Pendeta itu merangkap kedua tangannya seraya berkata:
"Sudah lama aku mendengar nama besar dari tuan dan
nyonya, maka itu aku merasa beruntung sekali yang hari ini
aku berjodoh bertemu dengan kamu!"
Tuan dan nyonya rumah pun memberi hormatnya, hanya
berbareng dengan itu, keduanya segera merasakan desakan
suatu tenaga rahasia yang besar yang membikin mereka
bukan saja sukar bernapas juga kepala mereka pusing dan
mata mereka gelap.
Di saat suami isteri ini hebat mempertahankan dirinya, di
antara mereka terdengar tertawa yang nyaring dan aneh
iramanya, tidak keras tetapi tajam untuk telinga, hingga si
pendeta pun merasakannya, hingga karena herannya, segera
desakan tenaga dalamnya jadi berkurang. Ia pun telah
mengasih lihat perubahan kulit mukanya.
Chong Leng bersama Ho Ciang segera menyapu dengan
sinar matanya ke antara tuan rumah dan rombongannya,
selagi mereka itu repot saling memperkenalkan diri, ada yang
bicara, ada yang tertawa, Akan tetapi mereka tidak dapatkan
orang yang tertawanya aneh itu. Selagi Ho Ciang heran terus
maka Chong Leng bercekat hati sebab ia lantas ingat seorang
aneh dalam dunia Rimba Persilatan hanya saja ia tidak mau
mengutarakan sesuatu.
Kang Lam juga mendapat dengar suara tertawa yang
menusuk telinga itu, ia pun tidak kurang herannya, ia menjadi
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpikir sebagai Chong Leng Siangjin. Ia merasa kenal suara
tertawa itu. Segera ia kata didalam hatinya: "Bukankah dia
Kim Sie le" Tidak salah! Kalau Kim Sie Ie tertawa, suaranya
aneh seperti ini..." Hanya, meski ia menduga demikian,
orangnya-yaitu Kim Sie Ie sendiri-tidak ia lihat hadir di antara
orang banyak itu. Maka ia heran sekali.
Begitu lekas semua orang telah mengambil kursinya, Cee
Sek Kiu berkata kepada Cek Ho Ciang: "Taysu beramai telah
berkunjung ke gubuk kami ini, entah ada pengajaran apakah
dari pihak taysu kepada kami?"
Cek Ho Ciang berbangkit, untuk berkata kepada Yo Liu
Ceng: "Yo Toasiocia, siapakah yang membunuh kakak
seperguruanku" Aku minta sukalah kau sendiri yang
menjelaskannya!"
Yo Liu Ceng menjadi heran sekali. Ia telah menduga orang
datang guna menuntut balas buat sebelah tangan dari kakak
seperguruannya itu untuk sakit hati dari tiga puluh tahun yang
sudah lampau, sedang halnya Tang Thay Ceng telah menutup
mata, ia tidak tahu, maka ia menjadi melengak.
"Aku tidak membunuh kakak seperguruanmu itu," katanya
singkat bahna herannya itu.
Pendeta itu tertawa dingin. "Dengan kepandaianmu,
memang kau tidak nanti sanggup membunuh kakak
seperguruanku itu!" katanya. "Aku hanya mau menanya kau,
kau telah minta bantuan siapa untuk membunuhnya?"
Yo Liu Ceng menjadi gusar. Ia menganggap itulah fitnah
hebat. "Jikalau aku hendak membinasakan dia, sudah tentu aku
dapat melakukannya ketika untuk pertama kali aku bertemu
dengannya di Tibet!" katanya.
"Aku tahu kau banyak kenalan-mu!" kata Ho Ciang tetap
dingin, "'karena aku tahu, kau jeri terhadap kakakku itu, kau
tentu minta bantuan salah satunya untuk membunuhnya.
Tegasnya, kau pasti telah menggunai tipu daya keji. Tidak
perduli siapa si pembunuh, karena kaulah si pemegang
peranan, kaulah yang mesti bertanggung jawab! Kau tidak
mau mengaku tetapi kau mesti mengganti jiwa!"
Yo Liu Ceng pun gusar hingga ia mengeprak meja.
"Kau main tuduh...!" ia berseru. "Baiklah, kau boleh maju!
Apakah kau sangka aku takut?"
"Sabar!" Cee Sek Kiu malang di tengah. "Kalau ada bicara,
mari kita omongkan dengan baik-baik! Tetamu-tetamu dan
tuan rumahnya baru bertemu, mari kita minum dulu tiga
cangkir!..."
Belum habis suaranya tuan rumah ini, sudah lantas ada
yang menyambuti: "Bagus! Mari aku memberi selamat dulu
dengan tiga cawan kepada nyonya rumah!"
Orang yang membuka suara itu ialah Cek Tat Sam pangcu
dari Taysan Pang. Dialah orang setempat dan dari antara
kawan-kawannya, separuh lebih adalah orang-orang
undangannya sendiri, maka itu, dia sebenarnya kepala
rombongan tetamu itu. Maka dia menganggap, dialah yang
berhak untuk menghormati nyonya rumah. Pula caranya dia
memberi selamat itu ada beda daripada umumnya, tiga cawan
arak, yang terisi penuh, ia pegang dengan kedua tangannya,
dia mengangsurkan itu kepada Yo liu ceng dengan cara
lemparan, maka ketiga cawan itu melesat ke arah si nyonya
dalam kedudukan segi tiga. Yang aneh ialah cawan tidak
terbalik, airnya tidak mengc-plok jatuh.
Keluarga Yo tersohor untuk kepandaiannya yang
dinamakan "Tiateiang sintan" atau "Peluru Tangan Sakti",
yaitu kepandaian melepaskan senjata rahasia yang berupa
peluru, maka selagi pihak tetamu memperlihatkan
keliehayannya itu. Yo Liu Ceng segera memperlihatkannya.
Siang-siang ia telah mengisi penuh juga tiga bocah cawan,
yang ia telah lantas cekal dan mengangkatnya, dari itu ketika
Cek Tat Sam memberi hormatnya, ia dapat lantas
membalaskan. Dengan tawar ia berkata: "Aku tidak kuat
minum, tiga cawan tidak dapat aku minum semuanya, maka
itu aku membalas menyuguhkan!" Lantas ketiga cawannya
dilemparkan. Luar biasa kesudahannya itu. Tiga cangkirnya Cek Tat Sam
itu terbentur tiga cawannya si nyonya, orang mendengar
suara beradunya keenam cawan itu, keenamnya, terpisah
menjadi tiga masing-masing, yang tiga balik kepada Tat Sam
dan yang tiga lagi mental ke depannya si pendeta jubah
merah yang tinggi dan besar itu!
Menyaksikan semua itu, selain pihak tuan rumah, pihak
tetamu pun bertepuk tangan bersorak memuji si nyonya, yang
ada terlebih liehay daripada Tat Sam.
Tat Sam, dengan terpaksa, menyambuti tiga cawannya
dengan mengulur kedua tangannya, tidak demikian Chong
Leng Siangjin. Ia ini mengangkat tangannya yang besar dan
lebar, ia menggapai, telapakan tangannya dibuka, maka ketiga
cawan arak itu, dengan bergantian, seperti terbang ke dalam
telapakan tangannya itu, sedang sebenarnya ketiga cawan
menuju ketiga jurusan yaitu ke batang hidung serta kedua
pempilingan. Maka itu, kepandaiannya pendeta dari Tibet itu
menunjuki ia berada lebih atas daripada Cek Tat Sam dan Yo
Liu Tieng. Cek Ho Ciang menantikan selesainya adu kepandaian itu.
"Nyonya," ia berkata, "baiklah dibuat penjelasan antara
kita, sesudah itu baru dapat kita minum arak dengan gembira.
Aku mohon tanya, bagaimana dengan hutang jiwa kakak
seperguruanku itu?"
Yo Liu Ceng gusar hingga sepasang alisnya terbangun.
Terang bahwa orang telah mendesak kepadanya.
"Sudah aku bilang bukanlah aku yang membunuh dia!" ia
berkata, keras dan sengit. "Juga aku tidak tahu siapa yang
membunuhnya! Jikalau kau paksakan jiwa kakakmu itu
dihutangkan kepadaku, apalagi mau dibilang" Tidak bisa lain,
terpaksa hendak memohon dipakainya aturan kaum kangouw
supaya kau, toahwesio, memberi pengajaran kepadaku."
Seorang undangannya Cee Sek Kiu, ialah seorang tua yang
bernama Teng Kian Goan, lantas turut bicara. Ia bertanya:
"Aku mohon menanya kepada toahwesio, kau kata kakakmu
telah orang bunuh, Benarkah itu" Kau yang melihat sendiri
mayatnya atau cuma karena kau mendengar kabar dari lain
orang" Harus diketahui adanya banyak kabar yang keliru."
"Tahun dulu itu kakakku pergi mencari Yo Liu Ceng guna
membuat perhitungan," menyahut Cek Ho Ciang, "dia kena
dikalahkan oleh orang Thiansan Pay yang diminta bantuannya
Yo Liu Ceng, setelah itu, tentang kakakku itu tidak ada kabar
ceritanya lagi, sampai kemudian aku menerima kabar tentang
kematiannya dari Hong Sek Toojin. Sebagaimana diketahui
Hong Sek Toojin ada orang kenamaan dari Khongtong Pay,
maka itu, apakah mungkin kata-katanya itu dusta" Karenanya
kalau aku tidak menegur Yo Liu Ceng, aku mesti menegur
siapa lagi" Aku mau minta penjelasan."
Mendengar kata-kata itu, bukan cuma Yo liu ceng yang
hatinya panas tapi juga Kang Lam yang berada di atas piangok,
hingga dia kata di dalam hatinya: "Kenapa kau tidak pergi
menanyakan Kim Sie Ie?" Sayangnya ialah ia tidak dapat
membuka mulutnya.
Teng Kian Goan berkeinginan keras untuk mendamaikan
urusan, maka itu, ia kata kepada pendeta itu: "Jikalau
kakakmu itu dulu hari dikalahkan orang Thiansan Pay, sudah
seharusnya apabila kau pergi terlebih dulu kepada Tong Siauw
Lan, ciangbunjin dari partai itu, untuk memohon
keterangannya."
Tong Siauw Lan adalah salah seorang nomor satu dalam
dunia Rimba Persilatan di jaman itu, dia pun tinggalnya di
puncak tertinggi dari gunung Thiansan, di tempat di mana
tidak sembarang orang dapat mendakinya, maka itu, tidak
senang Ho Ciang dengan perkataannya orang tua she Teng
ini. Ia merasa bahwa ia disenggapi. Ia melotot kepada orang
tua itu. "Tuan toh..."
"Itulah Lounghiong Teng Kian Goan!" Cek Tat Sam
mendahului pamannya.
"Teng Lounghiong, terima kasih untuk usulmu ini," Ho
Ciang berkata, "hanya sayang, aku tidak dapat menerimanya.
Di dalam dunia kangouw adalah biasa yang orang datang
untuk menuntut balas bahwa untuk itu adalah pantas kalau
terlebih dulu orang mencari orang yang bertanggung jawab!
Mana boleh, belum lagi orang yang bertanggung jawab dicari,
kita mencari lebih dulu orang yang hanya membantui dia" Lagi
pula setiap orang tahu apa adanya hubungan di antara Yo Liu
Ceng dan Tong Siauw Lan itu, maka kenapa aku mesti
meninggalkan yang dekat untuk pergi ke tempat yang jauh"
Umpama kata pembunuhan benar dilakukan oleh orang
Thiansan Pay, tepat jikalau aku menanyakannya kepada Yo
Toasiocia!"
Yo liu ceng murka bukan main, mukanya menjadi merah.
Dulu ia ingin menikah sama Tong Siauw Lan, keinginannya itu
tidak berwujud, maka itu ia mendongkol sekali apabila ia
mendengar orang menyebut-nyebut urusan perhubungannya
sama Siauw Lan itu. Demikian kali ini.
"Keledai gundul, kau ngaco belo!" ia berteriak. "Kau
mengatakannya yang tidak-tidak! Siapa yang mengetahui
kakakmu bagaimana mampusnya" Kalau tetap kau hendak
memfitnah aku baiklah, kau boleh anggap benar aku yang
membinasakannya! Anak Hee, kau ambil panahku!"
Dari berduduk, Cek Ho Ciang bangun berdiri.
"Nyonya, mulutmu baiklah bikin bersih sedikit!" katanya.
"Kita mengadu kepandaian, kita tidak mengadu mulut!"
Pandai bicara pendeta itu. Ialah yang mulai menyindir Yo
Liu Ceng, sekarang ialah yang beraksi sebagai orang mulut
bersih dengan mengatakan mulut si nyonya kotor.
Segera juga Yo Liu Ceng menyambuti panahnya, lalu dia
mau meninggalkan mejanya.
Di saat pedang bakal dihunus dan busur bakal dipentang
seperti itu, tiba-tiba satu bujang lari masuk untuk
mengabarkan kepada majikannya: "Di luar ada seorang yang
baru tiba, yang mohon bertemu sama nyonya. Katanya dia
membawa suatu bingkisan buat minta tolong nyonya
menyampaikannya kepada seorang pendeta yang dipanggil
Hay Jiak Taysu!"
Dua-dua Yo Liu Ceng dan Cek Ho Ciang heran hingga
mereka melengak. Si nyonya heran untuk tibanya orang
demikian kebetulan dan barang bingkisan disampaikan dengan
perantaraannya, dan si orang she Cek tidak mengerti kenapa
orang menyebut dirinya, sebab dia, setelah menjadi pendeta
memang memakai nama Hay Jiak itu. Setelah meninggalnya
gurunya, Taylek Sinmo, hampir tiga puluh tahun dia hidup
menyendiri, baru sekarang setelah mendengar kematian
kakaknya seperguruan, dia memunculkan diri. Dia menjadi
pendeta, sedikit orang yang mengetahuinya, apapula nama
sucinya itu, makin sedikit yang mendapat tahu. Maka siapakah
orang yang memberi bingkisan itu" Kedua pihak cuma dapat
menduga, mungkin dia itu orang yang hendak membantu
salah satu pihak yang lagi berselisih itu...
"Tidak perduli dia mengajak berapa banyak orang, kami
keluarga Yo dapat melayaninya," kata Yo Liu Ceng dengan
keras. "Ajak mereka masuk!"
Bujang itu heran.
"Yang datang itu cuma satu orang," ia memberitahukan.
"Kau dengar tidak?" Yo Liu Ceng membentak. "Ajak mereka
masuk!" Bujang itu mengundurkan diri dengan lekas, akan lekas
juga kembali bersama satu orang, ialah orang yang tadi ia
menyebutkannya.
Yo Liu Ceng menjadi heran.
"Ah, Ong Lootauw, kiranya kau!" katanya.
Kang Lam segera mengenali orang adalah si empee tua
tukang teh di tengah jalan. Maka ia lantas kata di dalam
hatinya: "Empee ini sama dengan aku, gemar menyampur
urusan, tentunya dia mencari alasan saja untuk datang ke
mari guna menyaksikan pertempuran, kalau tidak, mustahil dia
datang tepat begini?"
Empee Ong itu ada memondong sebuah peti besi yang
persegi panjang, yang ditempelkan kertas putih dengan
bertulisan: "Tolong haturkan kepada Hay Jiak Taysu sendiri. "
Juga Cek Ho Ciang alias Hay Jiak Taysu mengenali si orang
tua di kedai siapa ia pernah mampir untuk membasahkan
kerongkongannya, maka meski ia merasa heran sekali, ia toh
lantas mengajukan dirinya seraya berkata: "Akulah Hay Jiak
Taysu!" Ia lantas menyambuti peti besi itu seperti juga ia
merampas, lantas ia menggoyang-goyangnya, hingga
terdengar suara seperti barang besi. Ia menjadi bersangsi
hingga ia tidak berani lantas membukanya.
"Mari kasih aku lihat, bingkisan apakah itu!" berkata Chong
Leng Siangjin. la menyambuti peti besi itu dari tangannya Cek
Ho Ciang, untuk terus membukanya. Ia tidak berkuatir peti
besi itu dipasangi senjata rahasia, ia percaya ilmu silatnya
yang tangguh. Dengan menggunai tenaga Kimkong cie, atau
Jcriji Arhat, ia menggunai jari-jari tangannya, ia tidak usah
berkutat untuk membikin peti besi itu terbuka, hanya apa
yang ia lihat-ialah isinya-membuatnya terperanjat.
Cek Ho Ciang bahkan sampai menjerit.
Isi peti besi itu adalah sepotong lengan tangan, ketika
tangan itu diangkat, untuk diletaki di atas meja, ada terdengar
suara membentur barang logam, malah ujung meja sampai
sempal. Sebab itulah lengan besi!
"Suheng, benar-benar orang telah bunuh mati padamu!"
Cek Ho Ciang berseru menangis.
Tang Thay Ceng itu, sang suheng, atau kakak seperguruan,
setelah sebelah tangan diputuskan ayah Yo liu ceng pada tiga
puluh tahun yang lalu, sudah lantas menggunai lengan besi
sebagai gantinya. Dengan tangan palsu ini, ia berlatih terus,
hingga ia dapat menggunai-nya dengan baik, maka juga, ia
telah berangkat pergi mencari Yo Liu Ceng guna menuntut
balas. Tentu sekali Cek Ho Ciang lantas mengenali lengan
palsu dari suheng-nya itu.
"Eh, tangan besi ini seperti ada ukiran suratnya!" kata
Chong Leng Siangjin, suaranya keras menyatakan keheranannya.
Cek Ho Ciang lantas mengangkat lengan itu, untuk
diperiksa. Ia melihat ukiran delapan huruf yang besar, yang
berarti:
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia mati di sungai es, tidak ada hubungannya dengan
siapa pun. "
Di bawah itu ada dua baris huruf-huruf kecil yang
menerangkan halnya Tang Thay Tieng mendaki puncak
Cholmo Lungma untuk mencari rumput obat yang mujarab
tetapi dia telah mati kedinginan di sungai es. Disitu pun
dijelaskan hari dan bulannya, tahun kematiannya serta sama
siapa dia perginya. Hanya saja, semua surat itu tidak ada
tanda tangan penulisnya.
Cek Ho Ciang heran dan bingung. Maka juga ia menjambak
si empee tukang teh.
"Siapa menyerahkan peti besi ini padamu?" tanyanya keras.
"Siauw Sam Cu," menyahut si empee.
"Siauw Sam Cu" Siapakah dia?"
"Ya, Siauw Sam Cu. Dialah si bocah tukang menjagai
kerbau tetanggaku."
Cee Ciang Hee menganggap kejadian itu lucu sekali, ia
mengasih dengar suara tertawa tertahan, hingga ia nampak
bagaikan mengejek.
Cek Ho Ciang menjadi gusar.
"Apakah ini kejadian lucu?" tegurnya. Terus ia menegur si
empee: "Kau berani main gila?"
"Penasaran!" empee itu mengeluh. "Aku si orang tua she
Ong, seumurku belum pernah aku bicara dusta! Jikalau kau
tidak percaya, nah kau tanyalah ini Yo Toasiocia!"
"Apakah benar peti besi itu si bocah tukang angon yang
membawanya padamu?"
"Dengan sebenar-benarnya aku menyambutinya dari
tangannya," si empee memastikan.
"Apakah kau tidak tanya kacung itu siapa yang sudah
menitahkan dia membawanya padamu?" Chong Leng Siangjin
turut menanya. Ia pun heran.
"Dia sendiri yang membilangi aku bahwa dia dititahkan
seorang pengemis di tengah jalan untuk menyerahkan itu
padaku dengan permintaan aku membawa kemari kepada Yo
Toasiocia untuk disampaikan terlebih jauh pada Hay Jiak
Taysu..." Chong Leng Siangjin heran sekali.
"Pengemis pun mengirim hadiah!" ujarnya.
Pendekar Sakti 11 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Suling Pualam 13