Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 1

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 1


"01 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala - Wo Lung Shen-SD Liong
Karya: Wo Lung-shen
Saduran: SD Liong
Jilid 1 Kitab Tat mo Ih kin keng dari Siau Lim si
Bagian 1 Jari maut. Dengan gerak Ceng-ting-sam-tiam-cui atau Kecapung-tiga-kali-menyambar-air, pemuda
itu melambung dan bergeliatan tiga kali diudara lalu melayang turun diatas wuwungan
kuil. Sejenak ia tertegun. Mengapa malam itu kuil Siauw-lim-si tampak sunyi, padahal Siauwlim-
si termasyur sebagai pusat jago-jago sakti. Akhirnya ia menyadari bahwa ia harus
menemukan ruang Perpustakaan sebelum paderi-paderi bangun bersembahyang subuh.
Pada ruang disebelah muka, terdapat pintu dengan dua buah tiang tinggi, diukir naganagaan.
Cepat ia melayang turun, loncat pula keatas pintu lalu melambung hinggap dipuncak
gedung. Hampir saja ia putus asa karena tak melihat apa-apa. Seluruh kuil Siauw-lim-si yang
dibangun diatas gunung Kosan seolah-olah tertutup kegelapan malam. Melihat beberapa
belas bangunan ruang, achirnya ia tiba dihutan itu. Dua buah lampu merah tergantung
pada sebatang pohon siong. Dibawah penerangan lampu itu terdapat sebuah bangunan,
pintunya terbuka.
Seorang paderi tua duduk menghadapi giok-ting (padupaan kumala) yang membaurkan
asap wangi. Dua orang paderi kecil duduk dikanan kirinya. Mereka pejamkan mata
bersemadhi. Pemuda itu tersirap. Mata kedua paderi kecil itu berkilat-kilat tajam sekali, pertanda
memiliki lwekang yang tinggi. "Kuil itu tentu penuh dengan paderi yang berilmu tinggi,
rencanaku tentu gagal, lebih baik kuangkat kaki dari sini ?".."
Baru pemuda itu berputar tubuh, suara hatinya mendamprat, "Ji Han-ping, pengecut
benar engkau! Mengapa engkau takut mati" Bukankah kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng
itu".."
Benaknya melintas peristiwa yang lampau. Peristiwa ngeri yang tak mudah dilupakan.
Dua butir airmata menitik turun dan serentak menyala pula semangatnya, ia harus
mendapatkan kitab pusaka itu!
Ia berjalan dari samping gedung itu, dibelakang terdapat deretan ruang yang
dihubungkan sebuah lorong batu merah. Pada ujung lorong sebuah bangunan bertingkat,
bertangga titian batu marmer putih. Girangnya bukan kepalang ketika papan diatas pintu
gedung itu berbunyi, "Gedung Perpustakaan".
Tetapi disamping itupun terdapat papan maklumat berbunyi "Dilarang masuk".
Han Ping mencabut pedang, ketika hendak membacok pintu, sekonyong-konyong
terdengar suara orang berseru, "Harap sicu simpan pedang sicu! Kuil ini tempat ibadah,
dilarang bertindak sembarangan!"
Han Ping berpaling, seorang paderi bertubuh kekar, tegak pada jarak beberapa meter,
jubahnya putih, lehernya berkalung seuntai tasbih mutiara, matanya menatap Han Ping.
"Kuil Siauw-lim-si mempunyai sepuluh pantangan, sudah tigapuluh tahun loceng tak
pernah bertempur ?".." kata paderi tua itu. "Ruang perpustakaan ini merupakan daerah
terlarang, tak boleh orang sembarangan masuk. Loceng bertugas menjaga disini, mungkin
sicu keliru masuk, silahkan melanjutkan perjalanan agar jangan membikin susah loceng!"
Han Ping tertegun, kata-kata paderi tua itu memang beralasan. Tetapi ia harus
mendapatkan kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Karena sampai beberapa saat diam saja, paderi
tua tertawa dingin, "Benar, memang dalam dunia persilatan orang selalu bertempur
sampai ada yang kalah, baru selesai. Menilik berani masuk kemari, sicu tentu memiliki
kepandaian sakti, peringatan loceng tadi, tentu sukar sicu terima ?".."
Kemudian ia menjemput sebatang jarum berbentuk daun pohon siong yang runcing
seperti daun cemara. "Dunia persilatan mengatakan bahwa kaum Siauw-lim-si
mengutamakan ilmu kekuatan atau gwakang ?".."
Paderi itu menjamah tasbih mutiara dengan tangan kiri, lalu menusuk biji mutiara itu
dengan jarum. Ujung jarum siong itu perlahan-lahan menyusup kedalam mutiara dan pada
lain saat tembus kebelakang. Tasbih mutiara paderi Siauw-lim-si, dibuat daripada kayu
Lam-bok yang kerasnya seperti baja. Jika tak memiliki lwekang sakti, tak mungkin paderi
tua itu sapat menusuk dengan jarum daun siong!
Paderi tua itu tersenyum, "Ilmu menusuk dengan jarum runcing ini, termasuk ilmu
lwekang. Jika sicu dapat melakukan hal itu, saat ini juga aku segera minta berhenti
sebagai penjaga Ruang Perpustakaan ini. Tetapi jika sicu tak dapat melakukan, harap sicu
lekas tinggalkan tempat ini. Sukalah sicu mempertimbangkan kata-kata loceng ini."
Habis berkata paderi tua itu segera rangkapkan kedua belah tangan dan pejamkan
mata. Han Ping tersirap, ia menyadari kepandaiannya kalah sakti dengan paderi itu. Diamdiam
ia memutuskan, yang penting ia sudah tahu letak ruang Perpustakaan itu, lebih baik ia
datang besok malam lagi. Sejenak ia menengadah memandang gedung bertingkat itu, lalu
berputar diri dan melangkah pergi.
"Sebab dan Akibat, merupakan lingkaran hukum karma. Omitohud, siancai!" tiba-tiba
paderi tua itu menghela napas.
Hang Ping berhenti dan berpaling, tampak paderi tua itu tegak berdiri di depan ruang
Perpustakaan, bagaikan malaikat penjaga pintu Achirat. Ketika Han Ping melintasi hutan
siong dan tiba di lorong yang lebar, ia berhenti. Di lihatnya cakrawala memburat kuning,
pertanda fajar segera datang.
Pada saat ia mencari jalan keluar dari kuil itu, tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar
terdengar suara tertawa dingin, "Ah, sicu benar-benar mempunyai selera besar, tengah
malam masih memerlukan berkunjung ke kuil Siauw-lim-si. Hanya sayang, sicu bisa masuk
tetapi tak mungkin keluar!"
Serempak denga kata-kata yang terachir, seorang paderi tinggi besar loncat
menghadang. Melihat paderi itu tak membawa senjata, Han Ping menyahut angkuh,
"Siauwlim-si merupakan kuil yang termasyur di seluruh dunia, bukan suatu tempat yang
terlarang, Hmm, mengapa aku tak boleh berkunjung kemari?"
Paderi tinggi besar itu tertawa dingin. "Tampaknya ucapan sicu itu memang benar,
tetapi para tamu yang hendak berkunjung, seharusnya pada siang hari. Cara sicu
menyelundup pada malam hari dengan membekal senjata itu, dapat dianggap sebagai
tindakan menghina kuil ini!"
Paderi itu menengadah dan tertawa kecil serunya pula, "Setiap orang persilatan tentu
memaklumi, mudah masuk kedalam Siauw-lim-si tetapi tak mudah bisa keluar. Sicu tentu
mengandalkan kepandaian tinggi maka berani masuk kemari!"
Siauw-lim-si dianggap sebagai sumber ilmu silat dari dunia persilatan. Paderi Siauwlimsi
amat diindahkan orang karena selain memiliki pengetahuan agama yang tinggi, pun
rata-rata memiliki ilmu silat sakti. Kuil itupun terkenal mempunyai peraturan yang keras.
"Lalu bagaimana maksudmu?" melihat sikap paderi tinggi besar itu makin congkak, Han
Ping marah. "Sederhana sekali," paderi itu tertawa ringan, "jika engkau yakin mampu menerobos
keluar, silahkan, tetapi jika merasa tak mampu, lekas Han Ping tertawa dingin, "Sudah
kusadari apa akibatnya masuk kedalam kuil ini."
Paderi itupun tertawa kecil, "Karena sicu membekal kegagahan semacam itu, kiranya
tentu tak keberatan apabila mencoba ilmu silat kuil Siauw-lim-si."
Han Ping tak mau menyahut, tangan kiri bergerak menebas, tangan kanan memukul.
Pernyataan paderi itu telah dijawab dengan serangan dalam jurus Song-liong-jiang-cu
atau sepasang-naga-berebut-mustika.
Diam-diam paderi besar itu terkejut menyaksikan serangan si anak muda yang
demikian dahsyat.
"Hmm, maka dia begitu sombong, kiranya dia mempunyai andalan!" pikir paderi itu
seraya berputar ke samping. Selekas terhindar dari tebasan tangan Han Ping, cepat ia
tamparkan tangan kanan. Jurus itu disebut Hui-tim-ceng-than atau Mengebut-debumembersihkan-
kotoran. Hebatnya bukan alang kepalang, menangkis dan membalas
mendahului gerakan orang.
Han Ping terpaksa menyurut mundur tiga langkah. Secepat kilat ia menyerang lagi,
tangan kiri bergerak dalam jurus Pek-hun-jut-yu atau Awan-putih-keluar-gunung. Tangan
kanan berkilat dalam jurus Long-bak-kiau-yan atau Ombak-menghempas-batu-karang.
Sekaligus dua buah serangan dilancarkan!
Serangan itu dapat memaksa paderi tinggi besar mundur selangkah. Diam-diam ia
membatin, "Rupanya anak ini mempunyai guru yang ternama, tentu bukan tokoh
sembarangan ?".."
Ia bermaksud hendak menanyai perguruan Han Ping, tetapi anak muda itu tak
memberinya kesempatan lagi ?"..
Han Ping memburu lagi dengan serangan yang cepat dan gencar. Jurusnya serba aneh,
sukar dinilai dari perguruan mana. Dalam beberapa kejab saja, pemuda itu sudah
melancarkan tendangan berantai sampai empat buah dan pukulan tiga kali.
Dalam ancaman maut, paderi tinggi besar tak mempunyai keluangan untuk bertanya
lagi. "Hmm," ia mendengus, sepasang tangannya segera bergerak mengirim serangan
balasan. Lo-han-kun ilmu silat tangan kosong kuil Siauw-lim-si yang termasyur,
dilancarkannya. Lo-han-kun itu terdiri dari 108 buah jurus, dahsyatnya bukan kepalang.
Lohan-kun merupakan salah satu dari ke 72 ilmu silat istimewa dari cabang Siauw-lim-si,
pukulannya berlambar tenaga keras. Maka begitu dilancarkan, sepasang tangan paderi
tinggi besar itu tak ubah seperti sepasang palu besi yang menghantam batu karang.
Sepuluh jurus kemudian, paderi tinggi besar itu berhasil mengembalikan kedudukannya
yang buruk, dan bahkan dua tiga puluh jurus kemudian Han Ping terdesak dibawah angin.
Ternyata paderi tinggi besar itu, anggauta dari tiga-serangkai paderi yang mengepalai
bagian Kwat-si-wan atau Bagian Peradilan kuil. Dia bergelar Pek Heng. Paderi yang
memakai gelar nama Pek, termasuk angkatan keempat dari kuil Siauw-lim-si, sebagai
kepala pemegang hukum kuil, sudah tentu Pek Heng dipilih berdasarkan ketaatan, tingkah
laku, kecerdasan dan kesaktiannya.
Tetapi ternyata pemuda itu cukup tangguh, sampai 30 jurus, keduanya masih
bertempur dengan berimbang.
Kiranya setelah menyadari tak dapat menangkis pukulan besi dari lawannya, Han Ping
merobah cara berkelahinya. Ia kembangkan kelincahan dan kegesitannya, dengan cara itu
dapatlah ia bertahan sampai sekian lama.
Paderi Pek Heng sebenarnya seorang yang sudah tinggi kebatinan dan ajaran
agamanya. Tetapi dia tetap seorang manusia. Bahwa dirinya sebagai salah seorang kepala
Bagian Peradilan yang amat disegani oleh anak murid paderi Siauw-lim-si, ternyata tak
mampu mengalahkan seorang anak muda tak terkenal. Diam-diam malulah paderi itu, rasa
malu mengembangkan timbulnya rasa marah. Padahal nafsu marah sudah ia tindas
dengan latihan semedhi berpuluh tahun.
Saat itu Lo-han-kun mencapai jurus yang ke 48, disebut Cang-bi-soh-pik, lalu jurus
yang ke 50 yaitu Hok-hou-ciang-liong atau Harimau-menerkam-naga-menukik. Pada saat
itulah Pek Hek tak dapat menguasai diri lagi. Nafsu menang mencengkam hatinya.
Seketika ia pertinggi saluran tenaga dalamnya. Pukulannya berobah makin dahsyat sekali!
Tiang-bi-soh-pik atau Alis-memanjang-tangan-menjulai dan Hok-hou-ciang-liong,
merupakan jurus yang paling hebat dari Lo-han-kun. Ditambah pula dengan pengerahan
tenaga dalam yang telah diyakinkan selama berpuluh tahun, menjadikan serangan
sedahsyat gelombang samudera yang bergulung-gulung mendampar keras.
Sedari paderi Pek Heng melancarkan ilmu silat Lo-han-kun, sebenarnya Han Ping sudah
tak tahan. Maka ketika paderi itu memperhebat tenaga dalamnya patahlah perlawanan
pemuda itu. Dia gugup dan cepat menyurut mundur, kemudian menyelinap keluar. Sekalipun
demikian, ia masih terdera aleh angin yang dipancarkan pukulan Pek Heng. Begitu kaki
menginjak tanah, ia masih terhuyung-huyung lima langkah kemudian baru dapat berdiri
tegak. Dan saat itu ia rasakan darah dalam dadanya bergolak keras, kepalanya pusing dan
mata berkunang-kunang. Han Ping menyadari, jika melanjutkan pertempuran dengan
paderi itu, tentu ia bakal celaka. Dengan kerahkan semangat ia berputar diri dan terus lari
kesebelah kanan. Untunglah Pek Heng tak mengejar, paderi itu hanya tegak berdiri
memandang anak muda itu.
Setelah melintasi dua buah tikungan, Han Ping berhenti untuk memulangkan napas.
Pada saat ia hendak loncat ke atas rumah, tiba-tiba dari bawah serambi yang gelap
loncat keluar dua orang paderi. Mereka menghadang dengan senjata Hong-pian-jan yang
panjang. Paderi yang berdiri disebelah kanan tertawa dingin, "Berani memasuki kuil pada malam
hari tentulah sicu tahu akan peraturan kuil ini, jika tak mau serahkan diri, silahkan melolos
senjata bertempur!"
Han Ping menyadari bahwa tak mungkin terhindar dari pertempuran, mencabut
pedang, tangan kiri bergerak mengimbangi gerak tangan kanan yang memainkan pedang
dalam jurus Hong-hong-tiam-thau atau Burung-hong-mengangguk-kepala. Sekaligus
menyerang ke dua paderi itu.
"Serangan yang ganas!" teriak kedua paderi itu dengan marah seraya menyurut
mundur dan serempak menyapukan Hong-pian-jan. Hong-pian-jan berbentuk seperti
sekop, panjang dan berat. Han Ping tak berani adu senjata, ia menghindar dan balas
menyerang. Pertempuran dengan paderi Pek Heng telah memberinya pelajaran bahwa paderi
Siauw-lim-si memang tak boleh dibuat main-main. Maka di dalam menghadapi ke dua
paderi itu, ia tak mau meremehkan. Sekali gerak ia menyerang dengan jurus yang
dahsyat. Honghong-tiam-thau, merupakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang Tui-hongkiam
(pedang pemburu angin). Perbawanya menyerupai gelombang bengawan
Tiangkiang, dahsyat dan tak berkeputusan.
Keindahan dari ilmu pedang Pemburu angin itu cepat dan berantai. Setiap serangan
selalu disusuli dengan lain serangan yang tak menyempatkan musuh balas menyerang.
Bagaikan air bah yang melanda atau kilat yang menyambar-nyambar. Ke dua paderi itu
terdesak dan untuk beberapa saat tak dapat balas menyerang.
Tetapi betapapun halnya, kedua paderi itu merupakan paderi Siauw-lim-si yang tinggi
kepandaiannya. Ilmu permainan hong-pian-jan merekapun luar biasa, sekalipun terdesak
oleh ilmu pedang Pemburu-angin, tetapi hong-pian-jan itupun mengembang gulungan
sinar yang menyelubungi diri mereka, dengan demikian sekalipun tak dapat balas
menyerang, tetapi tak mungkin dapat di lukai. Barulah setelah ilmu pedang Pemburu-angin
selesai dimainkan semua, kedua paderi itu mulai lancarkan serangan balasan. Diantar oleh
deru angin yang
dahsyat, dalam dua jurus saja, mereka telah merobah kedudukannya, dari fihak yang
diserang menjadi penyerang.
Saat itu Han Ping menyadari bahwa ia tak mampu bertahan lagi. Diam-diam ia
mengeluh, "Aku tak sayang mati, hanya menyesal bahwa tujuanku untuk mencuri kitab
pusaka Tat-mo-ih-kin-keng bakal tak terlaksana selama-lamanya ?".."
Terlintas oleh cita-citaku itu, timbullah semangatnya untuk menyelamatkan diri.
Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam, dengan jurus Kim-si-jan-wan, ia desak paderi
yang menyerang dari sebelah kanan. Kemudian loncat mundur beberapa langkah terus
loncat keatas rumah. Secepat kilat ia merogoh sebatang senjata rahasia Yan-wi-gin-soh
atau Ekorwalet-perak, Siap ditimpukkan apabila kedua paderi itu mengejarnya.
Diluar dugaan ternyata kedua paderi itu tak mau mengejar. Mereka tertawa dingin lalu
menyusup lagi ke bawah serambi yang gelap. Pada saat itu insyaflah Han Ping bahwa kuil
Siauw-lim-si yang tampaknya sunyi itu ternyata padat dengan penjagaan yang ketat.
Memang mudah orang masuk kesitu tetapi jangan harap dapat keluar lagi. Dua kali
pertempurannya dengan paderi penjaga tadi, cukup memberi pelajaran bahwa paderi
Siauw-lim-si rata-rata memang berilmu tinggi. Seketika padamlah semangatnya yang
menyala-nyala untuk berhasil mencuri kitab pusaka itu ?"..
Tetapi Han Ping seorang pemuda yang berhati keras, sekalipun tahu tak mungkin
berhasil namun tak mau ia menyerah begitu saja. Setelah sejenak memulangkan
semangat, dengan menghunus pedang ditangan kanan untuk melindungi diri, tangan kiri
pun siap dengan senjata rahasia Ekor-burung-walet, kemudian setelah menentukan arah,
ia segera gunakan ilmu ginkang untuk lari keluar.
Ternyata apa yang di duganya itu benar, setiap ruang dan paseban kuil terdapat
penjagaan pendam yang ketat. Baru Han Ping melintasi dua buah gedung
sekonyongkonyong ia mendengar suara paderi menyebut, "Omitohud, harap pelahan
sedikit, sudah lama pinto menunggu di sini!"
Han Ping hentikan larinya, menengadah ke atas, di lihatnya tiga orang paderi berjubah
kelabu tegak berjajar menghadang jalan, mereka masing-masing mencekal golok kwat-to
yang berkilat-kilat tajam. Han Ping sudah menyadari sia-sia ia memberi penjelasan. Maka
dengan mendengus dingin, segera ia putar pedangnya dalam jurus Tiang-hong-koan-jit
atau Pelangi-mengaling-matahari. Orang dan pedang bersama loncat menerjang.
Ketika paderi itu bergerak, memecah diri di tiga penjuru, paderi yang di tengah
menangkis serangan Han Ping. Tringgg ?".. bunga api muncrat berhamburan. Benturan
senjata itu mematahkan lingkaran pedang Han Ping yang diperuntukan melindungi diri.
Tetapi paderi itupun tersurut mundur dua langkah.
Paderi itu tertawa dingin".
"Ah, sicu ternyata hebat sekali, Pinto beruntung sekali dapat berjumpa dengan orang
berilmu ?".."
Tiba-tiba ia maju menabas.
Han Ping tak mau lagi beradu kekerasan, ia menghindar ke samping lalu secepat kilat
menusuk tiga kali. Itulah salah satu jurus yang paling istimewa dari ilmu pedang
Pemburuangin, walaupun di lancarkan susul-menyusul tetapi karena cepatnya seperti
suatu serangan yang serempak.
Paderi itu gugup dan loncat mundur, pada saat Han Ping hendak ayunkan tubuh
menerobos dari kepungan, tiba-tiba ke dua paderi yang berada di samping serempak
membentak, "Ilmu pedang lihay!"
Dua buah golok kwat-to yang berkilat-kilat menghambur dari kanan kiri, terpaksa Han
Ping gunakan jurus Ya-hwe-soh-thian atau Api-liar-membakar-langit?".. Tringg, tringg
?".. dengan pedang ia menangkis golok, dengan senjata Ekor-burung-walet di tangan kiri


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia menusuk dada paderi yang menyerang dari samping kanan.
Jika saat itu ia timpukkan senjata rahasia Ekor-burung-walet itu, tentulah ia dapat
melukai salah seorang paderi, tetapi ia berpendapat lain. Dalam pertempuran secara
merapat tidaklah selayaknya kalau menggunakan senjata rahasia, akan di anggap curang
oleh kaum persilatan, maka ia memutuskan untuk menggunakan senjata rahasia yang
berada di tangan kiri itu untuk senjata biasa. Tusukan Ekor-burung-walet itu telah
mengejutkan si paderi.
Hendak menangkis, sudah tak keburu. Terpaksa ia mengisar dua langkah ke samping.
Dengan tindakan itu, berarti ia menghalang jalan bagi kawannya yang berada di
sebelah kiri. Kesempatan itu tak disia-siakan Han Ping, cepat ia loncat menyelinap dari samping
mereka, tetapi belum lagi ke dua kakinya menginjak tanah, sebatang golok berkilat-kilat
melayang kearah kepalanya! Ternyata paderi yang mengepung di tengah tadi lah yang
loncat menghadang jalan Han Ping.
Karena masih melayang di atas, Han Ping tak dapat menghindar. Terpaksa ia
menangkis, terdengar dering senjata beradi keras. Dalam posisi kaki masih di atas tanah,
Han Ping tergempur dan terpental ke belakang sampai dua langkah jauhnya. Dan ke dua
paderi tadi pun segera mengepungnya lagi, kini ia di serang dari tiga jurusan pula.
Diam-diam Han Ping mengeluh". "Jika satu lawan satu, aku dapat mengalahkan
mereka. Tetapi mereka bertiga maju berbareng untuk mengepung aku. Aku harus cari akal
untuk memecahkan rantai kepungan mereka!"
Tengah ia memutar otak untuk mencari akal, tiba-tiba terdengar genta atau lonceng
besar berdering tiga kali. Dan sebelum gema suara genta itu sirap, sekonyong-konyong
ketiga paderi itu serempak maju menyerangnya. Melihat orang main kerubut, marahlah
Han Ping. Cepat ia mainkan ilmu pedang Pemburu-angin dengan gencar. Seluruh tenaga dan
perhatian dicurahkan dalam ilmu permainannya. Sinar pedang menyambar-nyambar
laksana halilintar, angin menderu-deru bagai prahara. Han Ping berhasil menguasai ke tiga
lawannya. Tui-hong-kiam atau ilmu pedang Pemburu-angin, merupakan ilmu pedang
istimewa dalam dunia persilatan. Sayang karena kurang pengalamannya, Han Ping tak
dapat mengembangkan sebagaimana layaknya. Tetapi karena di rangsang oleh
kemarahan, ia mengamuk dan mainkan pedangnya dengan gencar sekali. Sepuluh jurus
kemudian, ketiga paderi itu terdesak, hanya membela diri tak mampu balas menyerang.
Diam-diam Han Ping gembira, semangatnya makin menyala, tiga jurus istimewa Hongcuan-
jan-hun (angina-menyapu-sisa-awan), Coa-hwat-lam-hay (gelombangmendamparlaut
kidul) dan Cok-boh-thian-keng (batu-hancur-menggemparkan-alam), sekaligus telah di
lancarkan. Ketiga paderi itu terdesak mundur, Han Ping cepat loncat menerobos keluar kepungan.
Berpaling kebelakang, tanpak ketiga paderi itu tegak memandangnya dengan
terlongong-longong ?"".
"Hemm, jika penghadang-penghadang nanti setingkat dengan ketiga paderi itu, aku
mempunyai harapan untuk keluar dari kuil ini, diam-diam Han Ping menimang dalam hati.
Semangatnyapun bergelora lagi.
Tetapi baru ia hendak teruskan langkah, tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebuah
suara menegurnya, "Ilmu pedang Tui-hong-kiam sicu baru mencapai enam bagian
kesempurnaan. Sayang mereka tak mampu menahan sicu!"
Han Ping terkejut. Taburkan pedangnya menjabat, ia meloncat menerjang. Tetapi
ternyata tempat itu kosong melompong. Di tengah keheranan tiba-tiba Han Ping terkejut
mendengar suara orang berseru dari arah belakang, "Siauw-lim-si penuh dengan alat
pekakas rahasia. Hanya mengandalkan ilmu pedang Tui-hong-kiam, mungkin sukar keluar
dari sini. Lebih baik lemparkan senjata dan ikut loni menghadap Hong-tiang. Hud bersifat
pemurah, tentulah tak sampai mencelakai sicu!"
Mengenali arah datangnya suara itu, jelas dari belakang. Secepat kilat Han Ping
berputar diri dan menusuk. Ah, kali ini orang itu tak dapat melenyapkan diiri lagi. Seorang
paderi tua yang tegak berdiri di belakang. Tetapi hai ?""., mengapa paderi itu diam saja
menghadapi tusukan"
Entah bagaimana, serasa ada suatu kekuatan gaib yang menyuruh Han Ping menarik
pulang pedangnya dan mundur selangkah.
"Mengapa tak menghindari tusukanku" Betapapun kesaktianmu, tetapi tak mungkin
tubuhmu mampu menahan pedang pusakaku ini!" tegurnya.
Paderi tua itu tersenyum, ujarnya, "Perbuatan baik atau jahat, hanya berlangsung
dalam sekejap mata. Bahwa sicu yang sudah acungkan ujung pedang ke dada loni, tetapi
tiba-tiba menarik pulang kembali, menandakan sicu mempunyai jodoh dengan Hud-ya.
Omitohud, siancay, siancay!"
Hang Ping memandang tajam kepada paderi itu. Seorang paderi tua yang alisnya sudah
putih semua, menjulai panjang sampai sejari dan menutupi wajah berseri senyum,
sikapnya berwibawa. Menimbulkan rasa pengindahan orang.
Han Ping terpengaruh sekali oleh kepribadian paderi tua itu. Serta merta ia memberi
hormat, "Terima kasih atas petunjuk losu, tetapi kalau disuruh buang senjata dan
serahkan diri, wanpwe maaf, tak dapat melakukan.
Paderi tua itu tertawa "..
"Dengan begitu, apakah sicu benar-benar hendak menguji kepandaian loni?"
"Wanpwe pribadi tiada halangan untuk menyerahkan diri, tetapi sayang wanpwe harus
bertanggung jawab untuk menjaga nama perguruan. Terpaksa wanpwe memberanikan diri
untuk mohon pelajaran pada lo-suhu. Apabila dalam sepuluh jurus lo-suhu dapat
menundukkan wanpwe, wanpwe akan rela menyerah dan ikut lo-suhu menghadap hongtiang!"
Tiba-tiba paderi tua itu membeliakkan sepasang alisnya yang putih, ujarnya, "Rasanya
sepuluh jurus terlalu banyak. Menangpun loni tentu akan dianggap menindas orang yang
lebih muda. Begini sajalah, silahkan sicu menyerang dengan ilmu pedang Tui-hong-kiam
yang termasyur itu. Kembangkan sepenuh kemampuan sicu untuk menyerang, jika losu
sambil mundur setengah langkah saja, bukan saja sicu menang, pun loni akan bersedia
menerima hukuman hong tiang dan akan mengantar sicu keluar dari kuil ini dengan
Selamat!" Han Ping tercengang. Pikirnya, "Betapapun kesaktianmu, tetapi tak mungkin engkau
begitu gegabah omong besar. Aku tak percaya engkau mampu menghadapi taburan
pedang pusakaku!"
Berkatalah ia menyahut pernyataan paderi itu, "Losu seorang ulama yang ternama,
kiranya tentu maklum bahwa setiap patah kata harus ditepati. Bagi kaum persilatan, janji
itu adalah kehormatannya!"
"Murid penganut Budha dilarang berdusta. Silahkan sicu segera mulai!" kata paderi tua
itu seraya pejamkan kedua matanya.
Han Ping mendengus. "Maaf, wanpwe akan melaksanakan perintah lo-suhu!" serunya
seraya geliatkan pedang menusuk dada paderi tua itu.
Terdengar mulut paderi tua itu menyebut "Omitohud", badannya sedikit dimiringkan
kesamping dan tusukan Han Ping itu tak mengenai sasarannya. Tidak melainkan kedua
kaki paderi itu masih melekat di tempatnya, bahkan kedua matanyapun masih memejam.
"Ahhh ?"".!" Han Ping mengeluh kejut, ia mundur dan tertegun.
Terdengar paderi tua itu tertawa jernih dan berseru, "Sicu tak perlu cemas, Loni takkan
balas menyerang!"
Kata-kata itu membangkitkan penasaran Han Ping, maju kemuka, ia menabas pinggang
paderi itu. Sekonyong-konyong tubuh paderi tua itu menekuk ke belakang dan untuk yang kedua
kalinya babatan pedang Han Ping itupun hanya mengenai angin saja. Karena tusukan itu
dilancarkan dengan sepenuh tenaga maka ketika tak mengenai, tubuh Han Ping ikut
menjorok ke samping, "Wuuut ".." tiba-tiba angin menyambar dan tahu-tahu kain
kerudung hitam yang menutupi mukanya telah di sambar oleh tangan si paderi tua.
Menghindar babatan pedang, menyambar kain selubung muka dan tegak lagi dengan
tenang. Demikianlah yang dilakukan oleh paderi tua beralis putih!
Saat itu Han Ping benar-benar dirangsang kemarahan. Dengan menggembor keras, ia
taburkan pedangnya menyerang paderi tua itu. Dalam sekejap mata lima buah serangan
telah dilancarkan sederas-derasnya.
Kelima serangan itu diambilkan dari jurus-jurus ilmu pedang Pemburu-angin yang
paling dahsyat. Dan dilancarkan dengan kecepatan yang sepenuh-penuhnya. Jika tetap
berdiri di tempatnya, tak mungkin paderi tua itu mampu menghindarkan diri.
Tetapi apa yang disaksikan saat itu, benar-benar membuar Han Ping tak percaya
kepada pandang matanya. Paderi tua itu bergeliatan indah gemulai. Condong ke kanan,
miring ke kiri, membungkuk ke muka, menjerembab ke belakang, tanpa mengisar kakinya
sejaripun juga, paderi tua itu telah dapat menghindar kelima serangan pedang itu!"..
Han Ping menghela napas, ia buang pedangnya dan berkata, "Kesaktian lo-suhu benarbenar
belum pernah wanpwe menyaksikan pada lain orang. Kini wanpwe menyerah dan
bersedia ikut menghadap hongtiang!"
Paderi alis putih itu tak segera menyahut. Sepasang matanya yang tajam berkilat-kilat
menatap Han Ping. Beberapa saat kemudian baru ia menghela napas perlahan. Ujarnya,
"Menilik ucapan dan sikap sicu, rasanya sicu bukan orang rimba persilatan. Tengah malam
memasuki kuil Siauw-lim-si tentu ada sebabnya, maukah sicu memberi tahukan hal itu
kepada loni?"
Han Ping tertawa hambar ".., "Tak sekali-kali wanpwe berani berdusta. Terus terang
saja, kedatangan wanpwe kemari ini adalah karena hendak meminjam kitab pusaka Tatmoih-
kin-keng dari Siauw-lim-si!"
Tubuh paderi alis putih itu agak gemetar. Serunya pula, "Siauw-lim-si memiliki
tujuhpuluh dua buah kitab berisi pelajaran ilmu kesaktian, dan kesemuanya itu merupakan
ilmu pusaka Siauw-lim-si yang termasyur, mengapa sicu hanya hendak meminjam Tat-moihkin-
keng saja?"
Han Ping menghela napas. "Wanpwe mempunyai dendam permusuhan sedalam lautan.
Musuh wanpwe itu luar biasa saktinya. Maaf, ke 72 buah ilmu kesaktian Siauw-lim-si itu
belum tentu dapat menundukkannya."
Paderi alis putih itu tertawa, "Separuh bagian saja sicu dapat mempelajari ke 72 macam
ilmu kesaktian Siauw-lim-si itu, sicu tentu tiada yang mampu menandingi lagi!"
Paderi tua itu berhenti untuk menghela napas. "Tetapi hidup manusia itu terbatas,
berapa tinggikah umur manusia itu" Tak mungkin kiranya dengan usianya yang terbatas
itu seorang manusia akan dapat meyakinkan berpuluh-puluh ilmu kepandaian yang
berbeda-beda. Sejak Tat Mo sucou mendirikan kuil ini, sudah berlangsung turun menurun
sampai pewaris angkatan ke 31. Murid-murid Siauw-lim-si pun beratus-ratus ribu
jumlahnya. Namun tiada seorangpun yang mampu memahami separuh dari ke 72 ilmu
pusaka Siauw-lim-si. Untuk memahami ilmu tersebut keseluruhannya, sampai matipun
takkan selesai!" kata paderi beralis putih itu pula.
Han Ping heran, mengapa paderi tua itu tak segeranya mengajaknya menghadap
pimpinan kuil tetapi bicara sendiri begitu panjang lebar! Han Ping hendak membuka mulut
tetapi kembali didahului oleh paderi tua itu lagi.
"Bahwa sicu tak menginginkan kitab dari ke 72 ilmu pusaka tetapi menghendaki kitab
Tat-mo-ih-kin-keng yang memuat pelajaran ilmu lwekang, tentulah karena sicu mendapat
petunjuk dari seorang sakti. Ketahuilah, kitab Tatmo-ih-kin-keng itu merupakan salah satu
dari tiga pusaka Siauw-lim-si. Taruh kata sicu berhasil mengambil kitab itu, tentu akan
mengalami kesulitam besar. Pimpinan kuil tentu akan mengerahkan seluruh tenaga untuk
mengejar jejak sicu. Kemanapun sicu akan menyembunyikan diri. Dan ketahuilah juga,
bahwa tulisan dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu terdiri dari sastra yang dalam sekali
artinya, taruh kata sicu seorang sasterawan, belum tentu sicu dapat memahaminya.
Kecuali mendapat petunjuk dari orang sakti yang mengerti seluk beluk ilmu pelajaran itu,
tak mungkin sicu akan berhasil meyakinkannya."
Paderi beralis putih itu berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, "Sejauh yang loni tahu,
dewasa ini dalam dunia hanya ada seorang yang faham ilmu itu. Asal sicu mempunyai
rejeki belajar padanya, cukup dalam waktu setahun saja, sicu tentu sudah hebat. Dan
dalam waktu tiga tahun, kemungkinan sicu tentu sudah dapat memahami semua ilmu
pelajaran itu!"
Mendengar itu, terbeliaklah mata Han Ping. Serunya serta merta, "Dimanakah orang
itu" Mohon lo-suhu sudi memneri petunjuk pada wanpwe. Wanpwe akan mohon locianpwe
itu sudi menerima wanpwe sebagai murid ?""."
Dalam mengucap kata-kata yang terachir itu nada Han Ping terdengar rawan.
Benaknya kembali terlintas bayang-bayang peristiwa ngeri yang lampau. Gerahamnya
bercaterukan keras, beberapa titik airmata menetes turun. Geram dan dendam dan serta
merta ia berlutut memberi hormat dihadapan paderi itu.
Wajah paderi itu memancarkan sinar kasih dan dengan menghela napas ia berkata,
"Dia adalah suhengku sendiri. Kecerdasannya menonjol, bakat gemilang. Sayang, karena
suatu kechilapan, dia telah melanggar peraturan kuil dan dihukum oleh mendiang suhu
loni. Sampai kini sudah sepuluh tahun dalam ruang penjara. Walaupun suhu sudah mukswa
(meninggal), tetapi suheng masih tetap tak dikeluarkan dari penjara. Pada saat pertama
dia di hukum, loni pernah berjanji hendak menolongnya. Karena memberi pernyataan itu
loni di hukum juga selama sepuluh tahun, tiap malam harus belajar kitab ajaran Budha.
Jika sicu dapat menolongnya tentulah sicu dapat mohon padanya supaya memberi
petunjuk pelajaran ilmu lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Dengan demikian citacita
sicu tentu tercapai dan lonipun dapat menunaikan janji loni kepadanya!"
Han Ping memberi hormat lalu bangkit. "Wanpwe berjanji akan melaksanakan petunjuk
lo-suhu. Untuk itu wanpwe tak sayang mengorbankan jiwa raga. Tetapi dengan
kepandaian wanpwe yang tak berarti seperti sekarang ini, dapatkah wanpwe
melaksanakan hal itu" Mohon lo-suhu sekali lagi sudi memberi petunjuk."
Kembali paderi itu menghela napas. "Sesungguhnya sejak mendiang suhu sudah wafat,
tiada seorangpun yang mampu menandingi kesaktian suheng. Jangankan hanya ruang
penjara dari tembok biasa, sekalipun dari dinding besi, suheng tentu dapat lolos. Tetapi
diatas pintu penjara itu telah di tempeli Surat Hukuman yang ditulis oleh suhu sendiri.
Karena takut melanggar peraturan perguruan, terpaksa suheng tak berani menerobos
keluar. Maka sesungguhnya mudah sekali untuk membebaskannya. Asal sicu melenyapkan
Surat keputusan hukuman pada pintu itu, suheng tentu akan bebas ".."
Kembali paderi tua itu berhenti lagi. "Tetapi perlulah loni memberitahukan lebih dahulu
kepada sicu. Suheng loni itu berwatak aneh, berhati dingin dan congkak luar biasa.
Setengah abad hidup dalam pengasingan, entah apakah perangai sudah berobah atau
belum. Loni tak berani menjamin adakah dia mau menurunkan pelajaran Tat-mo-ih-kin-keng
kepada sicu atau tidak. Kalau dia menolak, lonipun tak berani memaksanya. Tetapi
andaikata dia menolak karena sicu sudah menyelesaikan janji yang pernah loni ucapkan
kepadanya itu, loni akan membalas budi sicu dengan memberi pelajaran lima macam ilmu
pusaka Siauw-lim-si kepada sicu. Asal sicu berhasil memahami pelajaran itu, sekalipun
tidak menjagoi dunia persilatan, tetapi dalam dunia persilatan dewasa ini sukarlah terdapat
orang yang mampu menandingi sicu. Sicu, loni tak memaksa engkau harus melakukan
permintaan loni ini. Sicu setuju atau tidak harap suka mengambil keputusan sendiri!"
Han Ping menjawab tegas, "Atas petunjuk lo-suhu yang berharga, wanpwe merasa
berterima kasih seumur hidup. Tentang apakah lo-cianpwe itu mau memberi ilmu
pelajaran kepada wanpwe atau tidak, memang tergantung dari peruntungan dan rezeki
wanpwe sendiri.
Dalam hal itu, sekali-kali tak dapat menyesali lo-suhu!"
Paderi alis putih itu tertawa ".., "Obat takkan mematikan orang sakit. Mendapat
penerangan batin dari ajaran Budha hanya orang yang berjodoh. Asal sicu dari sini menuju
ke utara, kira-kira tigaratus tombak tentu akan tiba pada gedung yang diterangi dengan
tiga buah lentera merah yang digantung tinggi. Itulah gedung peradilan Kwat-si-wan. Kirakira
sepuluh tombak disebelah kiri gedung itu terdapat sebuah lapangan yang penuh
ditumbuhi pohon bambu. Setiap anak murid Siauw-lim-si dilarang masuk kesitu. Asal sicu
masuk ke halaman itu, sicu berada disebuah daerah yang aman. Tetapi bagaimana
akibatnya sicu masuk kedalam halaman itu tergantung dari nasib sicu sendiri ".."
Han Ping memungut pedang yang dilemparnya tadi. Kemudian ia menghaturkan terima
kasih kepada paderi alis putih itu, serta menyatakan bahwa ia takkan melupakan budi
bantuan dari paderi tua itu selama-lamanya. Habis itu, Han Ping terus berputar tubuh dan
melangkah ke utara. Tapi sekonyong-konyong paderi tua loncat menghadang jalan.
"Dalam perjalanan nanti sicu tentu akan mengalami rintangan. Ilmu pedang Tuihongkiam
yang sicu miliki, meskipun tergolong ilmu pedang yang termasyur, tetapi jangan
harap dapat mengatasi rintangan-rintangan itu. Loni akan memberi dua buah jurus ilmu
pedang. Di waktu perlu boleh sicu menggunakannya, tetapi sekali-kali jangan melukai
orang!" kata paderi alis putih itu seraya meminta pedang dari Han Ping.
Sambil mengucapkan ilmu pedang itu secara lisan ia mainkan pedang menurut ucapan
itu. Han Ping berotak cerdas, dalam waktu yang singkat ia dapat memahami ilmu pedang
itu. Sekali lagi ia memberi hormat terima kasih kepada paderi itu, lalu melanjutkan
langkahnya. Ternyata ia tergesa-gesa sekali untuk mencari gedung yang dikatakan paderi alis putih
tadi. Setiap dirintangi penjaga ia terus langsung menggunakan ilmu pedang ajaran paderi
tua. Dan hasilnya memang hebat sekali, penjaga-penjaga itu terdesak mundur semua.
Cepat sekali Han Ping sudah dapat melintasi empat rombongan penjaga. Dan akhirnya
tibalah ia di samping gedung Kwat-si-wan. Ia segera membiluk kesebelah kiri, ah,
memang di sebelah muka tampak sebuah lapangan pohon bambu menyerupai hutan kecil.
Tiba-tiba kegirangannya itu dibuyarkan oleh sebuah bentakan dari belakang, "Hai "..,
siapakah berani memasuki daerah terlarang ini?" Semula suara itu terdengar pada jarak
beberapa tombak jauhnya, tetapi ketika mengucap kata-kata terakhir, orang itu sudah
berada dibelakang Han Ping. Ditilik dari gerakannya yang begitu gesit, tentulah pendatang
itu seorang sakti. Saat itu sebenarnya Han Ping hanya terpisah dua tombak dari hutan
pohon bambu. Dalam kejutnya ia enjot tubuh melayang ke hutan bambu itu seraya
tabaskan pedangnya ke belakang.
"Lepaskan!" teriak orang itu dengan murka. Seketika Han Ping rasakan pergelangan
tangannya kesemutan dan terlepaslah pedangnya. Tubuhnyapun terdorong ke bawah oleh
hamburan tekanan tenaga orang itu. "Bluk "..! jatuhlah Han Ping ke tanah. Untunglah


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tujuan orang itu hanya memukul jatuh pedangnya. Dan secepatnya Han Ping bergulingan
ke tanah. Ketika mencapai tepi hutan bambu secepatnya ia loncat bangun!
Tetapi tepat pada saat itu juga sesosok tubuh yang terbungkus jubah
bergerombyongan menukik dari udara. Cepatnya bukan kepalang sehingga Han Ping tak
mampu melihat bagaimana keadaan orang itu. Tetapi ia menyadari bahwa orang itu tentu
sakti. Apabila sampai terkungkung dalam kekuasaan serangannya, sukar untuk lolos.
Dengan menghimpun seluruh semangatnya, Han Ping nekad loncat.
"Apakah sicu benar-benar tak mau berhenti dan ingin cari mati?" orang itu membentak
bengis seraya tamparkan tangannya.
Han Ping sedang melayang setombak tingginya. Hanya ada dua pilihan baginya,
menangkis serangan itu atau gunakan ilmu Cian-kin-tui atau Tindihan-seribu-kati, untuk
meluncur turun. Seketika terlintas dalam benaknya bahwa pada saat itulah satu-satunya
kesempatan baginya untuk dapat mencapai hutan bambu, sekalipun harus dibayar dengan
pengorbanan jiwanya. Seketika ia kerahkan seluruh lwekangnya dan mendorong kedua
tangannya menyambut serangan orang itu.
Sesungguhnya posisi Han Ping tidak menguntungkan sekali, ia seperti telur membentur
tanduk. Han Ping rasakan gelombang tenaga pukulan orang itu sedahsyat ombak
mendampar gunung. Jantung pemuda itu berguncang keras, telinganya mengiang-ngiang
dan darahnya bergolak-golak. "Huaaak ".. " ia muntah darah dan rubuh tak ingat diri lagi.
Entah berapa lama pingsan, tiba-tiba ia rasakan badannya dingin dan tersadar. Ketika
membuka mata, ternyata hari sudah terang tanah. Pakaiannya basah lembab tercurah
embun pagi. Ia bergeliat duduk dan memandang keatas. Ia kesima melihat gumpalan
mega putih berarak di langit. Benar-benar ia asing sekali dengan keadaan disekeliling
tempat itu. Ditampar-tampar kepalanya untuk memulihkan ingatannya. Helas ".. mengapa otaknya
serasa kosong melompong tak ingat apa-apa lagi" Akhirnya ia bangun, baru berjalan dua
langkah, ia rubuh lagi. Kepalanya seperti tertindih oleh papan besi seribu kati beratnya.
Kedua kakinya terasa lentuk tak bertenaga sama sekali. Akhirnya ia terpaksa berjalan
dengan merangkak "..! Tiba-tiba di dengarnya doa nyanyian pagi, tetapi tak dapat
menemukan ingatannya yang hilang.
Bagian 2 Tawanan. Tiba-tiba nyanyian itu bernada tinggi dan setelah terdengar ucapan Omitohud, nyanyian
itupun sirap seketika. Han Ping menghela napas lalu duduk ditanah. Saat itu matahari
mulai merayap dipagar tembok, sinar keemas-emasan meningkah darah kental yang
berlumuran di dadanya. Di usapnya pelahan-lahan noda darah itu, ia tertawa rawan lalu
pejamkan mata. Sesungguhnya ia memiliki dasar keyakinan ilmu lwekang yang baik,
sekalipun kehilangan ingatannya, tetapi luka yang dideritanya itu tak sampai
membahayakan jiwanya. Maka mulailah ia menyalurkan hawa dan tenaga murni dalam
tubuhnya. Kira-kira satu jam kemudian, ia mendengar suara orang menghela napas berat.
Ia bangkit dan berpaling ke belakang. Diantara hutan bambu seluas beberapa tombak itu,
tampak tiga buah rumah pondok tua. Pintunya yang berwarna putih dan hitam terkancing
rapat. Pagar tembok pondok itupun sudah tak terawat dan penuh pakis hijau, memberi
kesan yang merawankan.
Suara helaan napas tadi berasal dari dua buah pondok tersebut. Saat itu semangatnya
sudah berangsur-angsur segar kembali. Sekalipun masih susah berjalan, tetapi tidak
terhuyung-huyung seperti tadi. Dengan perlahan-lahan ia menghampiri kedua pondok itu.
Secarik maklumat dilekatkan dengan zegel tulisan pada maklumat itu sudah tak dapat
dibaca lagi. Tetapi andaikata dapat dibacapun, karena ingatannya kosong, ia tentu tak
ingat apa maksudnya. Dan hal itu menyebabkan ia berani menghampiri pondok itu.
Andaikata pikirannya sadar dan mengerti bunyi tulisan pada maklumat itu, pasti nyalinya
jadi ciut! Dengan pikiran yang kosong ia segera merobek maklumat itu dan melemparkannya ke
tanah. Kemudian ia mendorong daun pintu dengan kedua tangannya, Braaak ".., sepasang
daun pintu hancur berantakan. Aah ".. kiranya berpuluh-puluh tahun dibenam hujan,
dibakar matahari, daun pintu itu menjadi lapuk. Han Ping melangkah masuk, dan "..
pertama-tama ia disambut dengan hamburan debu tebal sehingga kepala, muka dan
tubuhnya terbaur kotoran debu. Setelah mengibas debu pada pakaiannya, ia mulai
memandang kedalam ruang pondok itu. Di atas sudut ruang penuh dengan sarang labalaba,
hampir dikata seluruh ruang itu penuh debu kotoran. Suatu tanda bahwa tempat itu
sudah lama tak dihuni orang.
Haai ".., tiba-tiba Han Ping terkejut, pandang matanya menangkap dua sinar berkilat.
Dan ketika diamati dengan seksama, ternyata sinar kilat itu berasal dari sepasang mata
seorang manusia yang duduk bersila di atas ranjang kayu di sudut ruang. Dari gumpalan
rambut putih yang menjulai sampai kebahu, orang aneh itu mengenakan jubah warna
kelabu. Seharusnya Han Ping berteriak kaget dan takut menyaksikan pemandangan yang seram
itu. Tapi karena pikirannya kosong melompong ia bahkan malah maju menghampiri.
Sedikitpun ia tak memiliki rasa takut sama sekali.
Tiba-tiba orang aneh itu membuka mata, sinar yang memancar dari kedua matanya
luar biasa tajam dan berpengaruh sehingga orang tentu akan menggigil ketakutan. Bahkan
Han Ping yang kehilangan ingatannya itu pun menjadi kaget dan berhenti. Sepasang
gundu mata manusia aneh yang berkilat tajam itu menumpah lekat-lekat pada Han Ping,
sehingga pemuda itu serasa terbang semangatnya. Ingin rasanya ia hendak menyurut
mundur saja. Sejenak rambut orang aneh itu bergoyang pelahan lalu pejamkan matanya lagi. Dan
setelah tertegun sepeminum teh lamanya, akhirnya Han Ping melangkah ke samping
orang aneh itu.
Tanpa membuka mata, sekonyong-konyong orang aneh itu menyambar lengan Han
Ping. "Pyuur "..," lengan baju yang digerakkan itu menghambur debu tebal, lengan bajunya
pun ikut hancur lebur. Kiranya, saking bajunya tua sekali jadi lapuk juga. Beberapa jalan
darah Han Ping terasa kesemutan dan rubuhlah pemuda itu di samping orang tersebut.
"Braaak "." kepalanya terantuk pada ujung ranjang dan ujung ranjang itupun hancurlah.
Sekalipun tak dapat berkutik, tetapi Han Ping masih sadar pikirannya. Ia tak dapat bicara
melainkan memandang orang itu dengan bingung.
Orang aneh itu menghela napas, "Sudah enampuluh tahun loni tak berjumpa dengan
orang ?""."
Jenggotnya berkibar-kibar, suatu pertanda bahwa dia tegang sekali.
Han Ping tak dapat bicara, dan andaikata dapat pun, karena kehilangan kesadaran
otaknya ia tentu tak bicara dengan genah.
Tiba-tiba orang aneh itu ulurkan tangan kanannya, mengusap tubuh Han Ping,
kemudian tangan kirinya pun ikut mengurut-urut. Seketika Han Ping rasakan tubuhnya
disaluri hawa panas yang nyaman. Tak berapa lama tertidurlah pemuda itu. Ternyata
orang aneh itu telah mengobati luka Han Ping dengan menyaluri tenaga murninya.
Peristiwa semalam terlintas dalam benak pemuda itu pula. Masih mengiang dalam
telinganya akan ucapan paderi tua alis putih itu, "Orang itu adalah suheng dari loni,
kecerdasannya menonjol, bakatnya gemilang sekali. Hanya karena suatu kechilapan dia
telah dimasukkan kedalam penjara kuil. Sampai sekarang sudah limapuluh tahun ".."
Bayangan pesan paderi alis putih membangunkan semangat Han Ping. Diamatinya
orang aneh yang tengah duduk bersila diatas ranjang kayu itu dengan seksama.
Rambutnya mengurai panjang sampai ke tubuh, tangan dirangkap ke dada dan mata
dipejamkan. Orang aneh itu tengah bersemedhi mengheningkan cipta.
Kini Han Ping makin yakin bahwa orang aneh yang duduk diatas ranjang itu adalah
tokoh yang disebut oleh paderi tua beralis putih, yakni suheng dari paderi itu yang telah
dipenjara selama enampuluh tahun.
Diam-diam Han Ping menghela napas panjang ".., pikirnya, enampuluh tahun bukanlah
waktu yang sedikit, waktu itu hampir meliputi dua pertiga dari hidup manusia.
Hidup seorang diri dalam kesepian dan pengangsingan selama enampuluh tahun sukar
terlukiskan penderitaan yang dialaminya "..!
Teringat penderitaan itu, tiba-tiba Han Ping teringat akan penderitaan yang dialaminya
sendiri. Rasa sependeritaan nasib itu telah menimbulkan kesan mesra di hati Han Ping,
serentak ia berbangkit dan berlutut memberi hormat kepada orang aneh itu. Ketika
tangannya menjamah ranjang yang diduduki orang aneh itu berhamburan gumpalan debu
membawa hancuran kayu ranjang".., karena sudah enampuluh tahun tak dirawat dan
termakan serangga, maka tempat tidur yang tampaknya masih utuh itu, begitu tersentuh
tangan langsung hancur jadi abu.
Buru-buru Han Ping menarik pulang tangannya seraya berseru, "Wanpwe Ji Han Ping,
menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan lo-cianpwe!"
Orang aneh itu tertawa dingin ".., "Nyalimu besar sekali, berani masuk kedalam ruang
penjara ini ".., hemm".., siapakah yang memberi petunjuk padamu?"
Han Ping terdiam beberapa jenak, lalu menyahut, "Wanpwe mendapat petunjuk dari
Pek Bi (alis putih) lo-siansu supaya menghadap lo-siansu disini guna mohon supaya losiansu
sudi menerima wanpwe sebagai murid."
"Apa kau bilang" Engkau hendak menjadi muridku?" tiba-tiba orang aneh itu membuka
matanya. "Wanpwe mempunyai dendam permusuhan sedalam lautan, tetapi tak mampu
membalas dendam itu. Maka wanpwe hendak mohon kepada lo-siansu supaya sudi
mengajarkan beberapa jurus ilmu kesaktian kepada wanpwe."
Orang itu kembali tertawa, nadanya penuh dengan kehambaran dan keangkuhan.
Kemudian katanya, "Mengajarkanmu beberapa jurus ilmu silat" Ha " ha " ha, benarkah
di dunia ini terdapat hal yang seenak itu?"
"Asal lo-siansu sudi memberi pelajaran silat sehingga wanpwe dapat melakukan
pembalasan sakit hati, wanpwe bersumpah akan melaksanakan apapun yang lo-siansu
perintahkan!" kata Han Ping.
Tiba-tiba orang aneh itu menghela napas rawan, ujarnya. "Apakah pernyataanmu itu
hanya senda gurau atau sesungguhnya?"
"Jika wanpwe sampai inkar janji, biarlah wanpwe mati ditumpas langit dan bumi!"
Han Ping memberi pernyataan dengan tandas.
Tiba-tiba sepasang mata lebar dari orang aneh itu berkilat-kilat menatap Han Ping,
serunya, "Hemm, mereka datang hendak menangkapmu!" habis berkata ia terus pejamkan
matanya lagi. Han Ping terkejut dan berpaling, dalam lapangan yang penuh ditumbuhi pohon bambu
itu tak tampak barang seorangpun jua. Ia menyangsikan keterangan orang aneh itu.
Tetapi sekonyong-konyong terdengar suara bok-hi (sepasang kayu yang dibenturkan satu
sama lain untuk mengantar doa sembahyang kaum paderi). Menyusul terdengar suara
orang berseru nyaring, "Ciang-bun Hong-tiang tiba!" Ciang-bun adalah pewaris dan Hongtiang
berarti ketua kuil. Berpuluh bayangan melesat kesamping. Dua orang paderi
berjubah kuning dan bertubuh tinggi besar melesat masuk ke dalam sanggar pondok.
Mereka berhenti di depan pintu serta memandang lekat-lekat ke arah orang aneh itu.
Wajah kedua paderi itu menampilkan rasa kejut, mereka tersipu-sipu memberi hormat
kepada orang aneh itu, lalu berdiri di muka pintu dengan tundukkan kepala penuh
kehormatan. Han Ping memandang kepada kedua paderi yang berdiri di luar pintu itu. Kedua paderi
itu dan kokoh sekali sikapnya. Wajah mereka berseri merah, kedua pelipisnya menonjol
keluar, pertanda dari ahli ilmu lwekang yang tinggi tingkatnya. Han Ping terkejut, cepat ia
merabah punggungnya hendak mencabut pedang. Tetapi ternyata pedang tak ada. Ia
teringat semalam pedangnya telah dihantam jatuh oleh seorang yang diduga tentulah
salah seorang paderi sakti dalam kuil Siauw-lim-si.
Alat bok-hi kembali dibunyikan tiga kali. Dua orang paderi berjubah merah muncul pula
dari balik pagar tembok halaman. Merekapun serupa dengan kedua paderi jubah kuning
tadi, memandang kedalam ruang sanggar, lalu memberi hormat kepada orang aneh itu
kemudian berpencar diri dan berdiri berhadap-hadapan di muka pintu.
Melihat cara mereka loncat dari balik pagar tembok, Han Ping sudah menduga bahwa
kedua paderi itu tentu golongan paderi berkedudukan tinggi dalam kuil Siauw-lim-si. Han
Ping diam-diam menghela napas, nyalinya mulai gentar. Ia merasa tak mungkin menang
melawan salah seorang dari keempat paderi itu. Ia berpaling kearah orang aneh itu, dan
ternyata orang aneh itu masih pejamkan matanya. Sedikitpun tak mengacuhkan peristiwa
yang terjadi diluar pintu sanggar kamar tahanannya.
Serempak pada saat itu, tiga orang berturut-turut loncat masuk dari pagar tembok.
Yang tengah, seorang paderi berjubah kuning dengan garis jahitan benang merah,
sedang yang di kanan kirinya, dua paderi kecil berumur kira-kira 14 " 15 tahun. Yang
sebelah kiri memondong kebut Hud-tim, yang disebelah kanan memegang sebatang
tongkat mustika yang aneh bentuknya. Mereka melangkah perlahan-lahan ke sanggar
tempat tawanan itu. Paderi yang dikawal dua paderi kecil berusia sekitar limapuluhan,
bermuka persegi, telinga lebar dan alis memanjang sampai ke pipi. Sikapnya penuh
wibawa dan bermuka agung.
Han Ping terkejut. Pikirnya, "Paderi ini memiliki kewibawaan yang luar biasa, tentulah
tokoh yang berkedudukan tinggi dalam kuil Siau-lim."
Pada saat paderi itu tiba dimuka pintu sanggar, keempat paderi yang tegak berjajar di
depan pintu serempak memberi hormat.
"Omitohud!" seru paderi jubah kuning itu sambil merangkap kedua tangannya, "Ciangbun
Hong-tiang angkatan ke 32 Goan Thong, dengan hormat menghadap supeh!"
Habis berkata paderi itupun terus berlutut memberi hormat ke arah ruang sanggar.
Keempat paderi dan kedua paderi kecil itupun serta merta turut berlutut.
Mendengar ucapan itu, jenggot orang aneh itu bergetaran. Dengan masih duduk di atas
ranjang kayu, tubuhnya agak membungkuk dan berseru, "Maaf, karena masih
menjalankan hukuman dari siansu (mendiang guru) terpaksa loni tak dapat menyambut
Ciangbun sebagaimana layaknya!"
Pederi berwibawa yang menyebut dirinya sebagai Goan Theng itu tersenyum lalu
berbangkit, "Murid tak berani ".." tiba-tiba pandang matanya tertumbuk akan maklumat
keputusan hukuman yang telah lenyap dari atas pintu, seketika berobahlah wajahnya.
"Karena terpancang oleh peraturan, murid terpaksa tak dapat sering-sering
menyambangi supeh. Harap supeh suka maafkan," katanya.
Orang aneh yang dipanggil supeh atau paman guru oleh paderi Goan Thong itu tertawa
hambar, "Dalam hal itu memang bukan salahmu. Tetapi dengan maksud apa engkau
berkunjung kemari ini?"
"Semalam murid telah mendapat laporan dari paseban Kwat-si-wan bahwa seorang tak
dikenal telah menyelundup kelingkungan tempat persemedhian supeh sini. Mengingat
tempat ini merupakan daerah yang dilarang oleh dua orang Ciang-bun Hongtiang dari
angkatan yang terdahulu, maka anak murid Siauw-lim-si tak boleh masuk kemari, apalagi
orang luar. Murid tak berani melanggar tugas, maka murid sengaja mengundang Lok-giokhud-
ciang sebagai lambang dari pimpinan Siauw-lim-si turun menurun untuk menyelidiki
peristiwa ini!" Habis berkata Goan Thong mengambil tongkat Lok-giok-hud-ciang atau
tongkat pusaka kuil Siaulim-si yang terbuat dari batu kumala hijau dari paderi kecil yang
berada disamping kanan.
Lalu mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi diatas kepalanya.
Ternyata walaupun mulut sedang bicara dengan ketua Siauw-lim-si paderi Goan Thong
tetapi orang aneh berambut gimbal itu tetap pejamkan mata. Ia hanya mengandalkan
indra pendengarannya untuk menangkap gerak gerik beberapa paderi yang berada dimuka
pintu itu. Tetapi demi mengetahui tongkat pusaka Lok-giok-hud-ciang diacungkan keatas,
sekonyong-konyong orang aneh itu serentak membuka mata. Dua kilap cahaya mata yang
luar biasa tajamnya, telah mengejutkan para paderi yang berada diluar ruang. Hanya Goan
Thong yang tetap tenang, sedikitpun wajahnya tak berobah. "Mohon supeh sudi
memandang tongkat pusaka Siauw-lim-si, murid hendak mengeluarkan perintah untuk
menangkap orang itu." serunya.
Tongkat pusaka Lok-Giok-Hud-Ciang adalah tongkat kepemimpinan kuil Siau-limsi yang
disimpan oleh setiap ciangbun hong-tiang atau pewaris ketua kuil. Tak peduli angkatan
dan golongan paderi Siauw-lim-si yang manapun, begitu berhadapan dengan tongkat
pusaka itu, harus berlutut memberi hormat dan mentaati segala perintah pemimpin kuil.
Oleh karena bukan anakmurid Siauw-lim-si maka Han Ping tak mengerti peraturan
mengenai tongkat pusaka itu. Yang diketahuinya, tongkat itu batangnya memancarkan
cahaya kilau kemilau bercampur gurat-gurat garis merah darah. Tentulah sebatang
tongkat mustika yang jarang terdapat keduanya di dunia.
Kurang lebih sepeminum teh lamanya, orang aneh dalam penjara itu memandang
tongkat mustika, dalam saat-saat itu berulang kali pancaran matanya mengalami
perobahanperobahan. Tiba-tiba memancar sinar kemarahan dan dendam kebencian, tetapi
pada lain saat memancarkan sinar kerawanan dan kedukaan. Akhirnya ia memejamkan
mata lagi, di atas ranjang kayunya ia berlutut memberi hormat. Menyaksikan kepatuhan
orang aneh itu, tersenyumlah Goan Thong. Kemudian ia memberi pesan kepada kedua
paderi yang berjubah merah, "Hou-hwat berdua, silahkan menjatuhkan keputusan kepada
tamu itu!" Kedua paderi jubah merah itupun mengiakan dengan hormat, mereka segera
masuk kadalam ruang penjara dan menghampiri perlahan-lahan ketempat Han Ping.
Ham Ping gugup, ia bingung untuk mengambil keputusan, menyerahkan diri atau
melawan! Sekonyong-konyong telinganya seperti tersusup oleh suara lengkingan tajam,
mirip dengan dengung nyamuk, "Mundurlah kesisi ranjangku ini lalu berdayalah untuk
menangkis serangan mereka, jangan khawatir, betapapun mereka menyerang dengan
hebat engkau tentu tetap selamat." Suara itu seperti berasal dari jauh, tetapi tiap-tiap
patah kata, melengking jelas ditelinga Han Ping dan anehnya, kedua paderi jubah merah
yang melangkah diambang pintu itu sama sekali tak dapat mendengar. Mereka tetap maju
perlahan-lahan, langkah kakinya amat berat, pertanda memiliki ilmu lwekang tinggi.
Han Ping tak berani berayal lagi, cepat ia menyurut mundur. Punggungnya melekat
pada ranjang kayu, dengan demikian ia seolah-olah melindungi orang aneh yang duduk
dibelakangnya. Kedua paderi itu memberi hormat dengan membungkuk badan, serunya. "Ketua Siaulim
angkatan ke tigapuluh bersama pejabat bagian Peradilan, Pek Ti dan Pek Kia telah
menerima amanat dari Ciangbun untuk menangkap tamu yang berani masuk ke daerah
terlarang ini, mohon dengan hormat su-cou memberi izin kepada murid sekalian untuk


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertindak ".." habis berkata paderi itupun tundukkan kepala berdiri tegak.
Orang aneh itu menyahut dengan nada dingin, "Karena ciang-bun-jin sudah
mengeluarkan tongkat pusaka sudah tentu loni tak berani melanggar perintahnya. Jika
kalian hendak melaksanakan perintah, silahkan, loni takkan ikut campur!" Karena orang
aneh itu terhalang oleh tubuh Han Ping maka tak dapat terlihat bagaimana perobahan air
mukanya saat itu. Tetapi dari nada ucapannya jelas bahwa orang aneh itu tak senang hati.
Kedua paderi itupun tengadahkan kepala dan menyahut, "Murid hanya sekedar
memenuhi kewajiban sebagai Hou-hwat, sama sekali tiada mempunyai kepentingan
pribadi. Mohon sucou sudi memafkan."
Paderi yang berdiri disebelah kiri segera bertindak, ia ulurkan tangan untuk
mencengkeram bahu Han Ping.
Han Ping terkejut, belum tangan paderi Peh Ti itu menjamah, angin gerakannnya sudah
menyambar keras sekali, buru-buru ia menampar. Tetapi ternyata Peh Ti memang
menghendaki supaya Han Ping bergerak begitu. Sekali mengisar kesamping kanan,
secepat kilat ia menyambar siku lengan Han Ping. Pukulannya luput, membuat Han Ping
gugup. Ia menyadari bahwa kedudukannya berbahaya sekali, ia hendak menarik kembali
tangannya itu, tetapi sudah tak keburu lagi. Lengan kanannya terasa kesemutan karena
dijepit oleh sepasang jepitan besi. Tenaganyapun serasa lumpuh.
Hou hwat atau Pemegang Hukum yang mengiring Goan Thong itu, terdiri dari murid
angkatan muda yang tinggi kepandaiannya. Mereka memiliki kecerdasan dan bakat yang
terpilih, maka tanpa harus menjalani latihan bersemedhi di ruang Tat-mo-wan selama tiga
tahun, mereka langsung diberi pelajaran ilmu silat oleh Tiang-lo atau tetua kuil. Ilmu
menangkap orang dengan tangan kosong dari paderi Peh Ti itu, merupakan salah satu dari
ke 72 macam ilmu kesaktian kuil Siauw-lim-si. Han Ping bingung menghadapi
cengkeraman istimewa itu, hampir ia putus asa dan hendak menyerah. Tetapi tiba-tiba
punggungnya serasa dijamah tangan orang dan serempak dengan itu serangkum hawa
panas mengalir keseluruh tubuhnya. Perasaannya nyaman, semangat segar dan nyalipun
timbul kembali, ia meronta "..
Peh Ti mengerang tertahan. Paderi yang bertubuh tinggi besar itu telah dilontarkan
sampai empat lima langkah ke belakang. Sudah tentu tangannya yang mencengkram siku
lengan Han Ping, pun terlepas.
Peristiwa itu bukan hanya Peh Ti seorang, pun Peh Kia yang menyaksikan di samping,
ikut terperanjat. Bahkan Goan Thong taysu, ketua siau lim si yang berada beberapa
langkah di belakang mereka, tampak berobah wajahnya. Mereka benar-benar terkejut
bahwa seorang anak muda yang baru berumur 17-18 tahun, ternyata memiliki tenaga
dalam yang sedemikian hebatnya!
"Sicu hebat sekali. Pinto pun hendak minta pelajaran beberapa jurus," seru Peh Kia
seraya terus ayunkan tangan menampar.
Sesungguhnya Han Ping sendiripun terlongong heran karena mampu melontarkan
paderi Peh Ti. Ia hamper tak percaya atas dirinya sendiri. Ia kaget gelagapan ketika
kepalanya tersambar angin keras. Serangan Peh Kia itu jauh lebih hebat dari Peh Ti.
Disamping luar biasa cepatnya, pun gerakannya hamper tak mengeluarkan suara apa-apa.
Dalam gugupnya karena tak sempat menghindar lagi, Han Ping nekad menangkis.
Krek". Ketika saling berbentur, seketika Han Ping rasakan tangannya seperti ditindih oleh
sebuah bukit rubuh.
Melihat kegagalan Peh Ti, Peh Kia telah tumpahkan seluruh tenaga dalam pukulannya.
Dalam hal ilmu lwekang, Han Ping terpaut jauh sekali dengan Peh Kia. Sudah tentu ia tak
mampu menahan tekanan paderi itu. Seketika ia rasakan darah dalam tubuhnya bergolak
keras. Kepala pening, mata berkunang-kunang dan tulang lengannya seperti meledak
patah. Tetapi anak muda itu menyadari. Bahwa sekali ia kendorkan pertahanannya,
gelombang tenaga dari paderi itu tentu akan menghancurkannya. Maka terpaksa ia
bertahan sekuat tenaganya. Tiba-tiba tangan orang aneh yang masih melekat di
punggungnya itu, kembali menekan lekat-lekat. Seketika serangkum hawa hangat
menyusup ke dalam dada. Tenaga murni dalam tubuhnya tumbuh lagi, semangatnyapun
bergelora pula dan uh," dengan sekuat tenaga ia menyiapkan tangannya ke atas.
Uh" terdengar mulut Peh Kia mendengus perlahan dan tubuhnya mencelat keudara.
Duk" tubuh paderi yang tinggi besar itu membentur dinding tembok. Sedemikian keras
benturan itu sehingga tembok berhamburan gugur".
Pondok atau sanggar hukuman itu sudah berpuluh puluh tahun tak pernah disapu.
Kecuali tiang beranda atau penglari, banyak sudah tiang-tiang lainnya yang lapuk.
Sekaligus 13 batang tiang rusak berguguran jatuh!
Tebalnya debu kotoran yang berhamburan menyelubungi ruangan, telah menyebabkan
paderi Peh Ti, Peh Kia dan Han Ping tak dapat melihat gerak gerik masing-masing. Bahkan
Goan Thong taysu, ketua siau lim si yang tinggi lwekangnya, pun hanya dapat
meneropong keadaan dalam ruang itu secara samar-samar. Dilihatnya Peh Kia menderita
luka yang tak ringan. Setelah membentur dinding, sampai saat itu belum dapat berdiri lagi,
sedang Peh Ti menutupi muka dengan lengan jubah. Tangan kanan disongsongkan
kemuka untuk melindungi Peh Kia. Sementara Han Ping masih tetap duduk bersila sambil
menutupi muka dengan lengannya.
Hampir sepeminum teh lamanya barulah kabut debu itu perlahan-lahan mulai menipis.
Peh Ti cepat mengangkat Peh Kia dibawa loncat keluar. Goan Thong kerutkan alis. Ia
memeriksa luka Peh Kia.
"Organ dalam tubuhnya, menderita goncangan keras. Lukanya tidak ringan. Lekas
bawa keruang Tat-mo-wan dan segera diberi pertolongan," kata ketua Siauw-lim-si itu.
Setelah Peh Ti melakukan perintah itu, Goan Thong suruh kedua paderi kecil menjaga
diluar pintu. Kemudian dengan mencekal tongkat pusaka Lok-giok-hud-ciang, ia
melangkah masuk kedalam ruang".
Melihat itu buru-buru kedua paderi berpangkat Hou hwat mengikuti, mengawal
disamping kanan kiri ketuanya.
Melihat ketua Siauw-lim-si yang masuk, tergetarlah hati Han Ping. Sikap Goan Thong
taysu memancarkan keperbawaan yang membuat orang jeri dan mengindahkan.
Tiba-tiba tangan si orang aneh yang melekat dipunggungnya itu mengencang dan
telinganya pun terngian suara yang halus, "Lekas lepaskan pukulan. Jangan biarkan dia
mendekat kemari!"
Serentak Han Ping rasakan tubuhnya disaluri lagi oleh suatu aliran hawa panas. Han
Ping tak berani membantah. Ketika ia mengangkat tinjunya, tiba-tiba ia terkesiap
memandang wajah Goan Thong taysu yang berwibawa itu. Tinju yang diangkat itu,
perlahan-lahan diturunkan pula.
Sekonyong-konyong kedua paderi Hou hwat yang mengapit di kanan kiri Goan Thong
taysu itu loncat menerjang. Han Ping terkejut dan serempak songsongkan kedua
tangannya. Sebenarnya gerakan pemuda itu hanya diperuntukkan menahan kedua paderi. Tetapi
diluar dugaan kedua Hou hwat itu mengerang tertahan dan tubuh mereka terlempar
keudara! Kejut Goan Thong taysu bukan kepalang. Tongkat pusaka digigit dengan mulut lalu
kedua tangannya menyambuti tubuh kedua Hou hwat tersebut. Gerakan ketua Siauw-limsi
itu memang hebat dan cepat sekali. Tetapi tenaga pendorong kedua Hou hwat itu bukan
olah-olah dahsyatnya. Walaupun dapat menyambuti, tetapi kuda-kuda kaki Goan Thong
taysu tergempur dan terhuyung-huyunglah ketua Siauw-lim-si itu sampai tiga langkah
kebelakang".
Han Ping tercengang-cengang. Benar-benar ia tak percaya akan kemampuan yang
dimiliki saat itu.
"Lekas hantam lagi supaya dia keluar dari ruang ini!" kembali suara lembut seperti
dengung nyamuk itu melengking ditelinganya pula. Dan serempak dengan itu, kembali
aliran hawa panas itu menyalur ke tubuhnya.
Diluar kesadaran, Han Ping segera lepaskan sebuah hantaman kepada Goan Thong
taysu. Saat itu Goan Thong taysu belum sempat meletakkan tubuh kedua Hou hwat. Karena
tak keburu menangkis, ia kerahkan hawa murni dan busungkan dada menyambut pukulan
anak muda itu. Tampaknya ringan-ringan saja pukulan Han Ping itu. Namun ternyata suatu peristiwa
yang hebat telah terjadi pada saat itu. Tubuh Goan Thong taysu gemetar. Dadanya serasa
dihantam dengan sebuah palu godam yang ribuan kati beratnya. Darahnya bergolak keras,
kuda-kuda kakinya tergempur dan ketua Siau "lim-si itu dipaksa harus terhuyung mundur
sampai tiga langkah. Setiap telapak kakinya, menimbulkan bekas setengah dim dalamnya.
Dalam kalangan murid Siauw-lim-si angkatan ke 32, Goan Thong lah yang paling sakti
sendiri. Ilmu lwekangnya tinggi, pukulannya dahsyat, Tetapi menerima pukulan dari
seorang anak muda yang tak terkenal, ia dipaksa harus mundur dan muntah darah"
Namun dia adalah seorang paderi yang terkemuka. Walaupun menderita luka tak
ringan, ia tetap tenang. Setelah meletakkan kedua Hou hwat, ia mencekal tongkat pusaka
lagi. "Murid memang bersalah, berani mengganggu supek. Apapun hukuman yang murid
terima, murid tak penasaran. Tetapi murid telah menerima budi dari siansu (mendiang
suhu) untuk menjabat sebagai ketua ke 32. Dalam rangka melaksanakan tugas itu, murid
selalu taat akan peraturan dan terpaksa harus bertindak. Sanggar tempat kediaman supek
ini, telah dinyatakan sebagai tempat terlarang oleh sucou angkatan ke 30. Setiap murid
Siauw-lim-si dilarang menginjak daerah ini. Maka tidaklah seharusnya kita biarkan seorang
luar masuk kemari. Hal itu bukan saja menodakan nama baik Siauw-lim-si, pun berarti
melanggar maklumat sucou. Karena itu murid terpaksa memberanikan diri untuk
mengundang tongkat Lok-giok-hud-ciang. Tetapi sungguh tak murid sangka, bahwa supek
ternyata melindungi orang itu. Mungkin supek mempunyai alas an dalam tindakan supek
itu. Tetapi muridpun tak berani tinggal diam dan terpaksa hendak mohon tanya kepada
supek. Apakah tindakan supek meminjam tangan orang untuk melanggar amanat tongkat
pusaka, bukan berarti melanggar peraturan kaum kita" Murid sendiri tak berani
menetapkan keputusan maka murid hendak memanggil para tianglo untuk berunding dan
mengambil keputusan. Setelah selesai, murid akan menghadap kemari lagi untuk
menerima hukuman supek?"
Habis berkata, ketua Siauw-lim-si itu terus melangkah pergi.
Ternyata Goan Thong taysu memiliki perasaan yang luar biasa tajamnya. Ketika Han
Ping bertempur melawan Peh Ti dan Peh Kia, sesungguhnya Goan Thong taysu sudah
curiga jangan-jangan supeknya atau orang aneh yang dipenjarakan itu, diam-diam telah
membantu pemuda tersebut. Kecurigaan itu menjadi suatu kenyataan ketika ia sendiri
beradu pukulan dengan pemuda itu. Ia tak percaya pemuda yang baru berumur paling
banyak 20-an tahun itu, mampu memiliki tenaga dalam yang sedemikian dahsyatnya.
Sekalipun belum pernah berhadapan muka dengan supek atau paman guru yang
dipenjara selama 60 tahun itu, namun gurunya pernah menceritakan tentang peristiwa
malang yang menimpa supeknya itu.
Supeknya itu seorang tunas yang berbakat paling gilang gemilang sendiri sejak 10
angkatan ketua Siauw-lim-si. Dalam usia 18 tahun, ketika diadakan ujian ilmu silat
dipasebaan Lo han tong, dia telah menundukkan semua saudara seangkatan dalam
perguruan kuil Siauw-lim-si. Para pelatih dan penguji memberi pujian yang tinggi atas hasil
yang dicapainya.
Pada usia 20 tahun, dia ditugaskan untuk mengembara di dunia persilatan. Sejak 300
tahun yang terakhir, dia adalah paderi yang paling muda usianya yang diizinkan untuk
melakukan tugas berkelana itu. Dalam waktu 2 tahun saja, namanya telah
menggemparkan seluruh wilayah Kanglam dan Kangpak"
Sayang, tunas yang sedemikian cemerlang, karena tak sengaja telah melanggar
pantangan perguruan, telah dijebloskan dalam penjara. Sampai kini Siauw-lim-si sudah
berganti dua kali ketua, dia tetap berada dalam penjara.
Membayangkan akan kemalangan supeknya itu, Goan Thong taysupun menghela
napas. Sejenak ia berhenti dan berpaling memandang ke sanggar pengasingan supeknya
itu. Tampak pemuda itu masih duduk dimuka ranjang kayu, mengalingi supeknya.
Tiba-tiba Goan Thong taysu rasakan dadanya sakit dan hendak muntah darah lagi.
Cepat-cepat ia menekan semangat dan menghilangkan segala kekacauan pikirannya.
Setelah memusatkan seluruh pikirannya dalam beberapa saat, darahnya yang bergolak itu
tenang kembali.
Dengan diiring kedua paderi kecil dan dua orang Hou hwat, ketua Siauw-lim-si itu pun
tinggalkan sanggar pengasingan.
Setelah rombongan Goan Thong taysu lenyap dari pemandangan, barulah Han Ping
membalik tubuh menghadapi paderi tua yang telah membantunya.
"Tanpa bantuan locianpwe, wanpwe tentu sudah hancur binasa," katanya seraya
member hormat kepada tokoh aneh itu.
Bagian 3 Pertaruhan. Orang aneh itu tertawa dingin "Agama Buddha, menyanjung peribudi Kebaikan dan
Welas asih. Sekalipun loni tak membantumu, merekapun takkan melukai engkau. Hm,
karena berani masuk kedaerah terlarang dalam kuil Siauw-lim-si, sudah selayaknya engkau
harus menerima penderitaan yang setimpal!" katanya.
Han Ping terbeliak. Bukankah orang aneh itu sendiri yang menyuruhnya melalui ilmu
menyusupkan suara, untuk menghantam rombongan Goan Thong taysu" Mengapa
sekarang ia yang dipersalahkan"
Namun Han Ping tak berani mengutarakan keganjilan itu. Ia diam saja.
Tiba-tiba orang aneh itu menengadahkan kepala dan tertawa nyaring. Nada ketawanya
menggetar urat-urat dijantung dan menegakkan bulu roma Han Ping. Diam-diam pemuda
itu memperhatikan bahwa dalam nada ketawa yang luar biasa dahsyatnya itu, pun
mengandung hamburan rasa kecewa, duka, penasaran dan kemarahan. Sehingga sukar
untuk mengatakan bagaimana perasaan yang sesungguhnya dari orang aneh itu.
Karena tak tahu apa yang harus dilakukan , Han Ping hanya berlutut terlongong
longong". Kira-kira sepeminum the lamanya, barulah orang aneh itu hentikan tertawanya. Dibalik
hamburan rambut putihnya yang terurai menutup muka, samar-samar Han Ping
memperhatikan bahwa sepasang mata orang aneh itu berlinang-linang airmata".
Han Ping tersirap. Serentak timbullah kesadarannya. Orang aneh yang berada di
hadapannya itu, ternyata menderita kedukaan dan kehampaan batin. Seorang tokoh yang
memiliki kesaktian tiada tandingan didunia, harus menghabiskan masa mudanya dalam
tempat pengasingan yang memisahkan diri dari keramaian dunia. Ah, siapakah yang
takkan kecewa dan putus asa mengalami derita nasib yang sedemikian itu "."
"Engkau menghendaki ilmu pelajaran apa dari aku?" tiba-tiba orang aneh itu berseru.
Han Ping terkejut dan tersipu-sipu menyahut "Wanpwe ingin mendapat pelajaran dalam
kitab Tat-mo-ih-kin-keng!"
Orang aneh itu gelengkan kepala dan tertawa hambar, "Masakah engkau juga ingin
merasakan derita menghadapi dinding tembok selama 20 tahun ditempat pengasingan?"
"Apa" Harus memakan waktu 20 tahun?" Han Ping terkejut.
Orang aneh berambut gimbal panjang itu tersenyum. Itulah yang pertama kali Han Ping
dapat menikmati senyum simpul yang wajar dari orang aneh itu, Tetapi ketika
memandang dengan seksama, anak muda itu terbeliak kaget. Ternyata wajah orang aneh
itu berwarna merah segar. Dan karena tersenyum, wajahnya makin berseri-seri. Jelas,
orang aneh itu merasa puas dan gembira atas hasil kesaktiannya yang dicapai saat itu.
Sekonyong-konyong seri gembira pada wajahnya itu lenyap seketika. Pancaran
matanya yang bersemangat itupun ikut meredup. Dia menghela napas panjang lalu
pejamkan mata seraya berkata, "Ilmu pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu,
termasuk jenis pelajaran lwekang yang tinggi. Jangankan 20 tahun, bahkan 30 tahun
mempelajarinya, belum tentu dapat berhasil. Ketahuilah, ilmu kesaktian yang cemerlang,
bukanlah suatu hasil secara kebetulan. Sekalipun beruntung mendapat hal-hal yang luar
biasa, tetapi juga harus melalui latihan yang keras baru dapat berhasil. Pula ilmu itu
kebanyakan termasuk aliran liar. Jika gagal mencapai kesempurnaan, pasti akan
terjerumus dalam aliran Pian Kek (mengutamakan kekerasan). Suatu hal yang akan
menimbulkan bahaya dikemudian hari. Seumur hidup, loni baru tahu akan seseorang yang
mempelajari ilmu kesaktian dari suatu aliran tersendiri dan berhasil mencapai
kesempurnaan"."
Orang aneh itu berhenti sejenak lalu melanjutkan pula dengan nada yang sarat dan
tubuh agak gemetar: "Dia" dia seorang wanita?"
Han Ping mendengus kejut, "Apa" Apakah di dunia persilatan dewasa ini, masih ada
orang yang melebihi kesaktian locianpwe?""
Tiba-tiba ia teringat akan derita nasib yang dialaminya selama ini. Ya, kecuali sakti,
musuhnya itu luar biasa ganasnya. Hanya dalam setengah malam saja, orang itu sudah
membunuh 12 orang jago silat yang berilmu tinggi".
Peristiwa berdarah itu, kembali melintas dalam benak Han Ping. Seketika darahnya
bergolak meluap kerongga dada, membanjirkan airmata yang berderai-derai memancur
dari matanya".
Tiba-tiba orang aneh itu ulurkan tangan membelai-belai kepalanya. Hiburnya dengan
penuh kasih saying, "Nak, kutahu engkau tentu menyandang nasib yang menyedihkan
maka engkau nekad berani mencuri kitab Tat-mo-ih-kin-keng kemari. Engkau tentu
hendak belajar ilmu kesaktian agar dapat membalas dendam sakit hati"."
Orang aneh itu berhenti sejenak lalu menyambung pula, "Tetapi hal itu hanya suatu
harapan yang sia-sia, Jangan harap dengan kepandaian yang engkau miliki sekarang ini,
engkau mampu mencuri kitab pusaka Siauw-lim-si. Karena bukan hanya engkau seorang,
tetapi puluhan bahkan ratusan tokoh-tokoh dunia persilatan yang berusaha hendak
mencuri kitab itu, tetapi tiada seorangpun yang berhasil?"
"Tujuan wanpwe hendak belajar ilmu kesaktian itu hanyalah untuk membalas dendam.
Setitik pun wanpwe tak mengandung maksud hendak menguasai dunia persilatan," kata
Han Ping. "Ilmu pelajaran dalam kitab itu ditulis dalam bahasa sastra tinggi. Hanya mempelajari
sastra itu saja, engkau harus membutuhkan waktu paling sedikit tiga tahun. Kemudian
untuk mempelajari ilmu itu sampai berhasil, engkau harus bersedia mengorbankan masa
mudamu selama 20 tahun!"
Saat itu Han Ping merasa bahwa yang dihadapinya bukanlah orang aneh yang berhati
dingin dan angkuh, melainkan seorang tua yang ramah dan berbudi.
"Dua puluh tahun bukanlah waktu yang pendek. Pada waktu itu, kemungkinan


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

musuhmu itu sudah tak berada di dunia lagi," kata orang aneh itu pula.
"Kalau begitu, dalam hidup sekarang ini wanpwe tiada mempunyai harapan untuk
membalas sakit hati?"
Orang aneh itu merenung beberapa jenak.
"Ilmu Pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu, sekalipun luas dan dalam sekali.
Tetapi tak dapat digunakan secara nyata untuk mengalahkan musuh. Karena sukar untuk
memilih dan meyakinkan bagian pelajaran ilmu silat yang mana yang sesuai. Dengan
begitu sukarlah untuk meyakinkannya secara memilih, tetapi harus secara menyeluruh
semua. Maka sukarlah harapanmu itu dapat terlaksana."
Dari ribuan li jauhnya, Han Ping menempuh perjalanan. Tanpa menghiraukan segala
kesukaran dan jerih payah. Tujuannya semata-mata hanya hendak mencuri kitab pusaka
yang termasyur itu. Tetapi setelah mendengar penjelasan dari orang aneh itu,
semangatnya serasa tersiram air dingin.
"Kalau begitu, sia-sia saja wanpwe hendak mempelajari kitab pusaka itu?" ia menegas.
"Sesungguhnya dalam perguruan kuil Siauw-lim-si ini banyak sekali ilmu pelajaran silat
yang sakti. Engkau berhasil memahami beberapa macam ilmu silat yang dapat digunakan
secara nyata, jauh lebih berguna daripada mencuri kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu!" kata
orang aneh itu pula.
"Musuh wanpwe itu adalah jago nomor satu dalam dunia persilatan hitam dewasa ini.
Ilmu kepandaian sakti, ganasnya bukan kepalang dan kakitangannya pun berjumlah
banyak sekali. Dia seorang yang licin dan kaya akan tipu muslihat!"
Orang aneh itu menghela napas. Ujarnya, "Sudah 60 tahun loni tinggal disanggar ini.
Loni sudah dapat memahami semua pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng itu. Tetapi
saat ini loni tak merasa yang paling menang sendiri dalam dunia persilatan. Sekalipun loni
rela untuk melanggar peraturan perguruan memberikan pelajaran kepadamu, tetapi belum
tentu engkau berhasil membalas sakit hatimu"." tiba-tiba ia pejamkan kedua mata dan
diam merenung. Sesaat tampak rambut dan jenggotnya bergetaran. Ubun-ubun kepalanya
mengeluarkan uap. Agaknya dia tengah berjuang untuk memecahkan suatu kesulitan.
Han Ping mulai gelisah. Ia merasa saat itu merupakan detik-detik yang menentukan
dalam hidupnya. Mungkin ia beruntung akan mendapat warisan pelajaran dalam kitab Tatmo-
ih-kin-keng yang termahsyur. Atau mungkin dia akan diusir oleh orang aneh itu!
Tiba-tiba orang aneh itu menghela panjang. Sikapnya yang tegang, perlahan-lahan
tenang kembali. Perlahan-lahan ia membuka mata dan berkata, "Perobahan selama 60
tahun, telah membuat dunia persilatan melupakan loni. Lonipun sudah tersingkir dari
dunia keramaian. Sayang masih ada suatu hal yang belum dapat terlaksana sehingga
mengganggu ketenangan hati loni dalam persiapan menuju ke alam yang kekal"."
Tiba-tiba suara genta bertalu, memutuskan ucapan si orang aneh yang belum selesai
itu. Han Ping tegang sekali dan wajah orang aneh yang sudah tenang itu kembali
meregang pula. "Genta itu merupakan pertandaan memanggil sidang darurat. Para tianglo dan kepala
bagian dari Siauw-lim-si akan berkumpul di ruang Tat-mo-wan untuk merundingkan
keputusan mengenai diri loni," kata orang aneh itu setelah genta berhenti bertalu.
"Locianpwe adalah supek dari ketua Siauw-lim-si yang sekarang. Masakan mereka
berani akan menindak locianpwe?"
Orang aneh itu tertawa hambar, "Memang peraturan Siauw-lim-si memisahkan tajam
sekali garis perbedaan antara orang muda dan tua. Tetapi kedudukan seorang Ciangbujin
diatas semua kaum dan tingkat angkatan. Tadi memang aku kelewat keras menggerakkan
tangan sehingga mulutnya sampai berdarah. Hal itu memang tak seharusnya terjadi. Asal
dia memerintahkan, Paderi-paderi tinggi dari tingkat Hui, Goan, Peh dan Thian tentu akan
segera menyerang loni!"
Han Ping terkesiap. Paderi Siauw-lim-si berjumlah ribuan orang. Paderi-paderi berilmu
tinggi yang termasuk dalam ke 4 angkatan itu, ratusan jumlahnya. Jika mereka maju
serempak, sekalipun pendiri Siauw-lim-si yakni Tat Mo hidup kembali, juga tak mungkin
mampu melawan. Dengan demikian gentinglah keadaan orang aneh itu ".
Diluar dugaan orang aneh itu tertawa meloroh, "Ho, anak muda, marilah kita bertaruh!"
Han Ping terbeliak, "Bertaruh" Locianpwe hendak bertaruh apa" Baiklah, wanpwe
menurut saja!"
"Pertaruhan ini mudah sekali. Duduklah, nanti kita bicara dengan tenang!"
Karena sikap orang aneh itu begitu tenang sekali menghadapi ancaman bahaya,
semangat Han Ping pun timbul. Segera ia mengambil tempat duduk.
Orang aneh itu tak segera berkata melainkan berkeliaran memandang ke sekeliling
ruang. Rupanya dia belum bersedia apa yang harus dipertaruhkan. Tetapi sampai
beberapa saat, dia belum mendapatkan sesuatu.
Han Ping makin tercengang. Menurut anggapannya, kepandaian orang aneh itu telah
mencapai tingkat sempurna, Sembarang saja dia mengatakan acara pertaruhan itu,
tentulah akan menang. Tetapi mengapa orang aneh itu seperti mendapat kesulitan"
Tiba-tiba orang aneh itu kebutkan tangan kirinya kemuka Han Ping. Seketika Han Ping
rasakan matanya gelap tersambar angin. Buru-buru ia menutup kelopak matanya. Ketika
beberapa saat membuka mata lagi, orang aneh itu tertawa tergelak-gelak.
"Rasanya cara inilah yang paling adil. Cobalah terka, benda apa yang tergenggam
dalam kedua tanganku ini?" katanya.
Han Ping mengamati orang aneh itu. Memang kedua tangan orang itu menggenggam,
wajahnya berseri gembira. Rupanya dia gembira sekali atas cara pertaruhan yang
dilakukan itu. Han Ping pun turut tersenyum senang. Pada saat ia hendak membuka mulut menerka
sejadinya, tiba-tiba orang aneh itu menyurut senyuman tawanya dan berkata dengan nada
bengis. "Ingat, pertaruhan ini membawa akibat yang besar bagimu! Jika engkau menerka
salah, segera kuhalau engkau dari sini. Selanjutnya jangan harap loni mau menurunkan
pelajaran ilmu silat kepadamu!"
Tiba-tiba terdengar genta kuil bertalu tiga kali gema suaranya berkumandang
menembus telinga, menyusup dinding tembok.
Gema talu genta itu belum reda, sekonyong konyong dari luar sanggar terdengar suara
orang dalam nada perlahan tetapi sarat, "Apakah selama ini toa-suheng sehat sehat saja"
Siaute datang hendak menjenguk toa-suheng."
Wajah orang aneh itu serentak berobah.
"Buddha serba pemurah. Selama ini aku sehat walafiat. Kapan sute kembali ke kuil?"
sahutnya dengan nada dingin.
Terdengar suara helaan napas yang panjang. Dan sebelum helaan napas itu reda,
orangnyapun sudah tiba di muka pintu sanggar.
Seorang paderi tua sekitar umur 80 tahun, berjubah kelabu, tengah berdiri dimuka
pintu. "Sudah tiga hari ini siaute dating," sahutnya.
"Apakah sute membawa perintah dari Ciangbujin untuk menangkap aku?"
"Omitohud! Siaute tak berani melakukan hal itu."
"Jika perintah itu diberikan atas nama tongkat pusaka Kumala Hijau, apakah engkau
membangkang?"
Paderi tua itu terkesiap, sahutnya, "Itu lain pula persoalannya. Sudah tentu siaute tak
berani!" Orang aneh itu tertawa, serunya, "Kalau tak mengemban titah tongkat Kumala Hijau,
silahkan sute tinggalkan tempat yang terlarang ini agar jangan mendapat hukuman?" kata
orang aneh itu seraya tak menghiraukan si paderi tua, terus berpaling kepada Han Ping.
"Jika engkau dapat menerka, loni akan meluluskan permintaanmu itu ".!"
Jilid 2 Hui Gong Thaysu, mewariskan ke Han Ping
Han Ping seorang pemuda cerdik. Ia cukup menyadari pentingnya pembicaraan itu.
Berhasil atau gagalnya usaha untuk mendapat ilmu kesaktian tergantung pada pertaruhan
itu. Ia membenam diri dalam kepukauan. Sampai beberapa saat, ia tak mau bicara.
Dalam pada saat itu karena diperlakukan begitu dingin oleh suhengnya, paderi Hui Ko
tersinggung perasaannya. Ia masih teringat akan budi kebaikan suhengnya yang telah
banyak tercurah kepadanya. Adakah budi kebaikan itu harus hapus dalam sekejap karena
mentaati perintah pemegang Tongkat Kumala Hijau"
Ah" Beberapa butir airmata menitik dari sudut mata paderi itu. Dengan hati pedih, ia
undurkan diri. Han Ping memandang kesekeliling ruang dengan teliti. Mudah-mudahan ia dapat
memperoleh sesuatu yang bisa membantunya memecahkan benda yang tergenggam di
tangan paderi aneh itu.
Tiba-tiba segumpal debu berguguran dari atas. Ketika menengadah, Han Ping meilhat
seekor kelelawar terbang melayang. Seketika timbullah pikiran Han Ping.
"Bukankah locianpwe menggenggam seekor kelelawar?" serunya serentak
Tubuh paderi aneh berambut panjang itu agak gemetar. Seketika ia membuka
genggaman tangannya dan benarlah. Seekor kelelawar terbang melayang.
Melihat itu girang Han Ping bukan kepalang. Tetapi ketika berpaling memandang kea
rah paderi aneh itu, ia melihat suatu perobahan pada wajahnya. Sambil merangkapkan
kedua tangan, paderi tua itu tengah berdoa dengan suara perlahan. Entah apa yang
diucapkan dalam doanya itu, Han Ping tak dapat menangkap.
Berapa saat kemudian, orang aneh itu turunkan kedua tangannya dan tertawa, "Nasib
dan jodoh memang sudah suratan takdir. Karena engkau menang, silahkan mengatakan
apa kehendakmu. Sedapat mungkin loni tentu akan melakukannya. Waktunya tinggal
sedikit, loni hanya mengusahakan, gagal atau berhasil tergantung dari bakat dan
rezekimu!"
Han Ping menyadari bahwa tak lama lagi, paderi Siau-lim-si tentu akan menyerang
sanggar itu. Tempo tinggal sedikit sekali.
"Murid ingin belajar ilmu lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng," sahutnya.
Seketika wajah orang aneh itu berubah muram. "Adalah karena sudah berjanji dalam
pertaruhan tadi, maka loni akan memberimu pelajaran ilmu sakti. Diantara kita tidak
terikat hubungan guru dan murid. Kelak apabila engkau keluar didunia persilatan, engkau
bebas menggunakan ilmu itu tetapi sekali-kali jangan mengatakan bahwa engkau anak
murid Siau-lim-si!"
Han Ping tertegun, Akhirnya ia membenarkan pernyataan orang aneh itu. Memang ilmu
kesaktian yang menjadi pusaka warisan kuil Siau-lim-si tentu takkan sembarangan
diajarkan kepada orang luar. Hal itu tentu menjadi pantangan dalam peraturan kuil Siaulim-
si. "Baiklah, locianpwe. Wanpwe akan mentaati pesan locianpwe itu," sahutnya.
Wajah orang aneh itu tampak tenang kembali. Dengan tersenyum ia berkata, "Mari kita
bertaruh lagi, setujukah engkau?"
Han Ping kerutkan dahi. Ia heran mengapa orang aneh itu gemar sekali bertaruh.
Diam-diam ia menimang, "Tanpa terduga-duga, tadi aku telah beruntung menang. Tetapi
kalau sekarang ini kalah, apakah dia hendak berganti haluan" Apakah dia hendak
membatalkan keputusannya untuk memberi pelajaran ilmu silat kepadaku?"
Tiba-tiba orang aneh itu tertawa, "Jangan banyak prasangka. Pertaruhan tadi tetap
berlaku dan loni tetap akan memberimu pelajaran ilmu sakti. Pertaruhan kali ini lain lagi
hadiahnya. Jika engkau menang, loni akan memberimu sebuah pusaka untuk engkau
gunakan membalas dendam. Tetapi jika loni yang menang, loni hanya akan minta engkau
supaya mencari jejak dari seorang sahabat loni. Beritahukan kepadanya tentang keadaan
loni selama ini"."
Berkata sampai disini orang aneh itu berhenti dan pejamkan mata. Wajahnya menampil
kerut kedukaan dan mulutnya segera mengucap doa dengan perlahan, "Buddha yang
welas asih, maafkanlah dosa murid!"
Han Ping menduga, orang yang hendak dicari itu tentulah mempunyai hubungan yang
luar biasa dengan orang aneh itu.
"Urusan semudah itu, mengapa locianpwe perlu mengajukan pertaruhan" Sudilah
locianpwe memberitahu namanya. Jika wanpwe berhasil keluar dengan selamat dari kuil
ini, wanpwe tentu akan mencarinya sampai ketemu!" cepat ia memberi pernyataan.
Orang aneh itu gelengkan kepala, "Seumur hidup loni belum pernah minta tolong pada
orang. Apalagi dalam keadaan seperti yang kita hadapi sekarang ini. Maka hanya dengan
jalan bertaruhlah, cara yang paling baik!"
"Kalau locianpwe tetap menghendaki begitu, silahkan mengatakan acara pertaruhan
itu," akhirnya Han Ping mengalah.
"Ah, tidak adil!" kata orang aneh itu, "tadi aku yang membuat acaranya, sekarang
giliranmu yang mengatakan acaranya!"
Han Ping berpikir sejenak. Ia merogoh kedalam saku dan mengeluarkan dua buah
uang, katanya, "Dua buah uang ini setelah masuk kedalam saku lagi, akan wanpwe rogoh.
Silahkan nanti locianpwe menebak, berapa biji uang yang tergenggam dalam tangan
wanpwe itu. Jika tepat, locianpwe menang."
"Bagus, cara itu juga adil. Hayo, lekas mulai!" kata orang aneh itu serentak
mengatupkan mata.
Sebenarnya Han Ping hendak sengaja member kesempatan agar gerakannya
menggenggam uang itu dapat diketahui si orang aneh. Tetapi ia terkejut sekali ketika
melihat orang aneh itu pejamkan mata.
"Ah, paderi tua ini benar benar aneh dan jujur sekali wataknya. Dengan tak mau
melihat gerakan tanganku, pertaruhan ini hanya mengandal pada keberuntungan. Ah,
bagaimana caranya agar dia sempat melihat gerakan tanganku nanti," diam-diam ia
membatin dan merancang rencana.
Tiba-tiba ia mendapat akal. Di waktu tangan kanannya merogoh uang disaku, ia akan
sengaja membenturkan kedua uang logam itu agar berbunyi. Dengan demikian paderi
aneh yang sakti itu tentu dapat menangkap suara benturan uang itu dan dapat menerka
dengan tepat. Rencana itu cepat dilakukan dengan cermat. Kemudian berseru, "Silahkan locianpwe
menerka, berapa biji uang yang wanpwe genggam ini!"
Tanpa membuka mata, orang aneh itu berseru, "Hanya sebuah?"
"Benar, locianpwe menebak jitu?" dengan cepat ia mengembalikan uang ke dalam
saku lagi. Padahal yang digenggam itu bukan sebuah uang logam melainkan dua buah.
Tiba-tiba orang aneh itu menyambar tangan kanan Han Ping. Seketika Han Ping
rasakan tangannya kesemutan dan terbukalah genggamannya. Dua buah uang logam
jatuh berkerincingan di lantai".
Wajah orang aneh itu berubah, ia menghela napas, "Ah, hatimu terlalu jujur, Loni telah
memutar balik kenyataan?" ia lepaskan cengkramannya dan berkata pula, "Takdir sudah
menentukan begitu. Tak perlu engkau memikirkan hal itu. Lekas pusatkan perhatian dan
pikiranmu. Lenyapkan segala keresahan hatimu. Loni segera hendak memaparkan ilmu
pelajaran Mengendorkan urat, Membersihkan tulang, dan Mengosongkan pikiran dalam
kitab Tat-mo-ih-kin-keng!"
Habis berkata orang aneh itu cepat mengangkat tangan kanan dan dilekatkan pada
jalan darah di kepala Han Ping. Seketika Han Ping rasakan suatu aliran hawa panas
menyusup ke dalam ubun-ubun kepala terus menyalur keseluruh tubuh. Buru-buru ia
kerahkan semangat untuk menyambut penyaluran itu. Tiba-tiba ia rasakan pikirannya
jernih dan terang sekali.
Mulailah orang aneh itu mengajarkan pelajaran lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kinkeng
secara lisan. "Lima indra menengadah ke langit, semua perhatian dipusatkan satu. Salurkan dan
lakukan pernapasan untuk menembus buku-buku tulang belulang, menguatkan urat-urat
nadi, merobah yang lemah menjadi kuat"."
Baru orang aneh itu mengucap sampai disitu, tiba-tiba lonceng berdentang nyaring.
Doa pujian bergema. Pemusatan pikiran Han Ping goyah lagi.
Orang aneh itu menghela napas, "Paderi Siau-lim-si dari empat angkatan Hui, Goan,
Pek dan Thian sudah siap diluar pondok ini. Menilik gelagatnya, sukar terhindar dari
pertempuran dahsyat. Jika engkau tak mampu menenangkan pikiranmu dari gangguan
gemerincing senjata, akupun sukar menjadikanmu!"
"Jangan kuatir, locianpwe," buru-buru Han Ping memberi janji, "aku akan berusaha
sekuat mungkin untuk menenangkan pikiranku!"
Tetapi tugasmu berat sekali. Entah engkau mampu melaksanakan atau tidak.
Tergantung dari bakat dan rezeki" kata orang aneh itu, "karena disamping harus melawan
serangan mereka, engkaupun harus mampu menangkap pelajaran lisan yang kuberikan
tentang ilmu Penguasaan Pikiran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Jika lengah atau keliru
menangkap, bukan saja jerih payahku akan sia-sia, pun engkau sendiri, mungkin akan
menderita akibat yang tak diinginkan!"
Tiba-tiba lonceng dan suara puji doa dari paderi sirap. Dan dari luar sanggar terdengar
suara orang berseru lantang, "Ketua Siau-lim-si ke 32, bersama anakmurid empat
angkatan Hui, Goan, Pek dan Thian, telah datang menghadap disanggar Hui-sim-sian-wan.
Murid telah diutus untuk menyampaikan berita, mohon Hui Gong cousu sudi menyambut
kedatangan ketua kita!"
Dengan tenang orang aneh itu menyahut, "Sudah 60 tahun lamanya gelaranku tiada
orang yang menyebut."
"Ah, apakah locianpwe yang bergelar Hui Gong siansu?" Tanya Han Ping. Samar-samar
ingat ia akan keterangan seseorang. Nama itu amat berkesan dalam sanubarinya.
Paderi tua berambut panjang yang ternyata Hui Gong siansu, tidak menyahut
pertanyaan si anak muda. Tetapi ia menjawab pertanyaan orang yang berseru diluar
pondok, "Maaf, aku masih menjalani hukuman. Tak dapat menyambut kedatangan ketua!"
Diluar pondok tiada penyahutan. Kira-kira sepeminum teh lamanya, baru kedengaran
suara orang berseru nyaring, "Atas nama tongkat Kumala Hijau, ketua membebaskan
hukuman yang diberikan ketua Siau-lim-si ke 30 yang dahulu dan mengundang Hui Gong
sucou supaya menyambut kunjungannya!"
Sambil masih duduk diatas tempat tidur, Hui Gong memberi hormat, "Aku tetap tak
berani melanggar hukuman yang diberikan mendiang guru. Maka terpaksa tak dapat
menyambut keluar, melainkan dari tempat tidur sini saja!"
Bum". Tiba tiba pintu pondok Hui-sim-sian-wan yang selama 60 tahun tertutup,
didobrak pecah.
Hui Gong berobah wajahnya. Ia membisiki Han Ping, "Lekas pusatkan pikiranmu.
Jangan terpengaruh oleh keadaan di sekeliling. Dengarkan baik-baik uraianku tentang isi
kitab Tat-mo-ih-kin-keng!"


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memandang kemuka, Han Ping melihat sejumlah besar paderi menerobos masuk ke
dalam ruangan. "Lekas pejamkan mata!" tiba-tiba Hui Gong lekatkan tangannya ke punggung Han Ping.
Anak muda itupun pejamkan mata dan pusatkan pikirannya.
"Mata dipejam, pikiran dikosongkan. Satukan perhatian, salurkan hawa. Setelah hawa
mempersatukan semangat, salurkanlah ke seluruh jalan darah di tubuh. Kemudian
kosongkan semangat dan pusatkan dalam pikiran "."
Demikian Hui Gong mulai member pelajaran ilmu lwekang dalam kitab Tat-mo-ih-kinkeng
secara lisan. Oleh karena kata-kata dalam kitab itu sukar dimengerti, Hui Gong
mengulang dan menjelaskan setiap patah kata dan cara cara penggunaannya.
Han Ping memiliki dasar latihan lwekang yang baik dan otaknyapun cerdas. Dia dapat
menangkap keterangan paderi tua itu dan mencatatnya dalam hati.
Hui Gong memberi penjelasan dengan cara yang mudah dimengerti. Ringkas, jelas.
Sekonyong-konyong dua buah tangan yang kuat, mencengkram kedua siku lengan
pemuda itu. Karena sedang menumpahkan pikiran, baik Hui Gong maupun Han Ping, tak
mengetahui sama sekali akan kemunculan orang yang tahu-tahu mencengkram siku
lengannya itu. Han Ping meronta tetapi cengkraman itu makin mengencang laksana capit baja yang
kokoh. Makin meronta makin celaka.
Seketika Han Ping rasakan tubuh lunglai tiada bertenaga. Tulang sikunya serasa
pecah". Ketika mengamati, ternyata dua orang paderi mengapitnya di kanan kiri dan
mencengkram lengannya.
"Nyalimu besar sekali, berani menyelundup ke daerah terlarang kuil ini".," paderi yang
di sebelah kanan mendengus.
Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu Han Ping menampar
kebelakang. Sudah dua kali ia mendapat bantuan dari Hui Gong siansu. Ia sudah
mempunyai pengalaman.
Kedua tangan ditarik dan didorongkan. Seketika kedua paderi itu mendesah dan
terhuyung-huyung beberapa langkah lalu jatuh terduduk".
Memandang ke pintu, Han Ping melihat ketua Siau-lim-si yakni Goan Thong taysu
sedang tegak berdiri mencekal tongkat Kumala Hijau, tongkat kepemimpinan Siau-lim-si.
Di sebelah kirinya tampak paderi tua alis putih yang dijumpai Han Ping semalam. Paderi
yang memberi petunjuk untuk menjumpai Hui Gong siansu.
Sedang disebelah kanan ketua Siau-lim-si itu seorang paderi tua berjubah kelabu
berumur 80-an tahun. Dia adalah adik seperguruan dari Hui Gong, yakni Hui Koh siansu,
paderi yang disuruh menyampaikan berita kepada Hui Gong siansu tadi.
Sementara dibelakang ketua Siau-lim-si itu berjajar 4 orang paderi tua yang rata-rata
berumur 60-an tahun mengenakan jubah warna merah tua.
Selain itu masih terdapat tiga deret rombongan paderi yang mengiringi disekeliling
ketua Siau-lim-si itu. Setiap deret dengan lain deret, baik umur dan warna jubahnya
berbeda satu sama lain.
Mereka adalah paderi paderi sakti dari tiga angkatan Goan, Pek dan Thian. Paderi
angkatan Hui, karena sudah tua-tua dan banyak yang meninggal, hanya tinggal Hui Gong,
Hui In, Hui Koh dan Hui Seng empat orang.
Karena Hui Gong dipenjara, Hui Seng menjadi kepala bagian Perpustakaan, maka hanya
Hui In dan Hui Koh yang menemani ketua Siau-lim-si kesanggar tempat Hui Gong
dipenjara situ.
Goan Thong ketua Siau-lim-si tertawa dingin, "Goan Thong, ketua Siau-lim-si yang ke
32, dengan hormat menghadap Supek!"
Ketua Siau-lim-si itu menjura memberi hormat.
Hui Gong si paderi aneh, tertawa, "Sudahlah, aku tak berani menerima penghormatan
sedemikian besar!"
Hui In dan Hui Koh melangkah ke muka dan berlutut, serunya, "Hui In dan Hui Koh
menghaturkan hormat kepada suheng!"
Hui Gong lambaikan tangannya berseru tawa "Pada waktu mendiang suhu
menjebloskan aku di sanggar Hui-sim-sian-wan sini, kalian tentu menyaksikan, bukan?"
Hui In dan hui Koh berbangkit, "Kala itu suhu sedang murka, sute tak berani buka
suara sehingga suheng harus mengalami penderitaan selama 60 tahun?"
"Titah guru tak boleh dilanggar. Sekalipun mendiang suhu telah menghukum diriku,
tetapi sedikitpun aku tak mempunyai rasa dendam," tukas Hui Gong.
"Pada waktu Ji Suheng diangkat jadi ketua, pernah kami berdua mohon kepadanya
supaya membebaskan suheng. Tetapi Ji Suheng mengatakan tak berani melanggar
keputusan almarhum suhu"."
Tiba-tiba Hui Gong tertawa gelak-gelak, "Adalah karena almarhum suhu kelewat cinta
kepadaku maka dia menghukum aku seberat-beratnya. Ji Sute tak salah. Dia hanya
mentaati perintah suhu?"
Paderi aneh itu berhenti sejenak lalu menghela napas, "Selama 60 tahun dalam penjara
ini, sudah kuhapus segala rasa budi-dendam. Dalam hidupku sekarang, aku tak mau pergi
dari pondok ini ?"
Tiba-tiba sepasang mata paderi aneh itu berkilat-kilat memandang Goan Thong,
katanya pula, "Pada waktu suhumu menyerahkan kedudukan ketua kuil kepadamu,
apakah dia meninggalkan sesuatu pesan kepadamu?"
"Pada waktu itu almarhum suhu hanya menyerahkan Tongkat Kumala Hijau pada
murid. Lain-lain pesan tidak ada!" kata Goan Thong.
Hui Gong tertawa dingin, "Pada waktu kakek gurumu menyerahkan kedudukan
pimpinan kuil kepada gurumu, apakah engkau juga hadir?"
"Atas perkenan kakek guru, murid diizinkan hadir!"
"Jika begitu, engkau tentu mendengar apa pesan yang ditinggalkan kakek gurumu?"
Goan Thong merenung sejenak lalu menyahut dengan tegas, "Rasanya kecuali
menyerahkan tongkat pusaka itu, kakek guru tak meninggalkan pesan apa-apa lagi."
"Benarkah itu?" Hui Gong tertawa hambar.
"Murid tak berani membohong pada supek," sahut Goan Thong.
Tiba-tiba Hui Gong tertawa panjang. Rambutnya bergetar-getar. Beberapa lama
kemudian, baru ia berhenti tertawa dan menghela napas. Katanya seorang diri, "Kalau
begitu, apakah suhu benar-benar melupakan aku?"
Heran Hui In melihat nada ucapan suhengnya itu. Segera ia bertanya, "Jika suheng
mempunyai kesulitan dan kandungan hati, maukah memberitahukan kepada kami" Aku
berjanji akan melaksanakan sekuat tenaga apa yang menjadi keinginan suheng!"
Dengan kata-kata itu, Hui In hendak memperingatkan Hui Gong, bahwa waktu tinggal
sedikit sekali. Sekali Goan Thong memberi perintah dengan Tongkat Kumala Hijau maka
paderi paderi sakti dari empat angkatan yang berada disitu tentu akan segera menyerang
Hui Gong. Peristiwa yang terjadi benar-benar diluar perhitungan Hui In. Maksudnya memberi
tunjuk kepada Han Ping tentang sanggar penjara itu, adalah karena ia hendak meminjam
tangan pemuda itu untuk menyingkirkan surat keputusan hukuman yang terpancang pada
gedung penjara itu. Dengan demikian Hui Gong, kakak seperguruannya itu, mempunyai
kesempatan melarikan diri.
Tetapi ternyata Hui Gong tak mau melarikan diri dan kini ketua Siau-lim-si dengan
membawa tongkat Kumala Hijau telah memimpin paderi paderi sakti dari empat angkatan
untuk mengurung sanggar penjara.
Dalam kedudukan sebagai angkatan Hui, sesungguhnya Hui In mempunyai kedudukan
yang tinggi. Tetapi sekalipun begitu ia tak berani membangkang perintah yang
diamanatkan oleh Tongkat Kumala Hijau. Tongkat itu merupakan lambang pusaka
kekuasaan yang tertinggi dalam kuil Siau-lim-si. Barang siapa berani menentang akan
dianggap murtad atau berhianat!
Hui Gong tertawa hambar, "Sejak mendiang suhu menjebloskan aku disanggar Hui-simsian-
wan ini, tempat ini merupakan daerah terlarang dari kuil kita. Paderi paderi murid
Siau-lim-si dilarang datang kemari. Walaupun Goan Thong sutit menjadi ketua Siau-lim-si,
tetapi juga tak boleh melanggar larangan ini. Apalagi berani memberi perintah
membobolkan pintu sanggar Hui-sim-sian-wan yang tertutup selama 60 tahun"."
Tiba-tiba Hui Gong berubah wajahnya dan berserulah ia dengan bengis, "Surat
keputusan hukuman yang tertempel pada pintu pondok ini, harus dijaga baik-baik. Anak
murid Siau-lim-si yang berani menghancurkannya berarti melanggar keputusan para
leluhur pemimpin kuil!"
Nyaris dan tegas sekali Hui Gong melantangkan kata katanya itu sehingga para paderi
yang berjajar diluar sanggar tampak berobah wajahnya.
Goan Thongpun terkesiap. Tetapi pada lain kejap ia berseru marah, "Setelah mendapat
kepercayaan dari mendiang kakek guru untuk menjabat ketua yang ke " 32, sudah tentu
murid tak dapat berpeluk tangan tak menghiraukan urusan penting yang terjadi dalam
kuil ini. Dengan mengandalkan kedudukan sebagai angkatan tua, supek menghina murid
dan menentang perintah Tongkat Kumala Hijau. Supek melindungi dan membantu orang
luar, melukai beberapa murid kuil. Tindakan supek itu merupakan tindak pidana yang
belum pernah terjadi dalam sejarah berdirinya kuil ini. Oleh karena itu terpaksa murid
memanggil para tetua dan kepala-kepala bagian untuk memusyawarahkan fasal-fasal
pelanggaran dan hukumannya. Menurut keputusan permusyawarahan besar itu, supek
ternyata dianggap bersalah karena melanggar empat macam larangan kuil. Salah satu
yang paling berat adalah berani melanggar perintah Tongkat Kumala Hijau. Kesalahan itu
sudah cukup harus ditebus dengan tindakan bunuh diri di hadapan arwah para leluhur
kakek guru. Bahkan saat ini dihadapan empat angkatan Hui, Goan, Pek dan Thian, Supek
tetap berani menentang perintah pemimpin kuil dengan kata kata yang kasar. Suatu hal
yang benar-benar menyedihkan dan benar benar layak dibasmi"."
"Tutup mulutmu!" Hui Gong membentak dengan keras. Nadanya yang begitu dahsyat
sampai menggetarkan atap gedung Hui-sin-sim-wan!
Hui In si paderi alis putih menghela napas panjang, serunya, "Atas nama para tetua
kuil, kuminta Ciangbujin (ketua) jangan marah. Hui Gong suheng termasuk tokoh yang
tertua pada saat ini. Sekalipun mendiang suhu telah memenjarakannya dalam sanggar
Hui-sim-sian-wan sini, tetapi suhu tak mengusirnya dari lingkungan kuil. Dengan demikian
Hui Gong suheng masih tetap orang kita sendiri. Kuil kita, menjunjung dan menghormati
angkatan tua. Sukalah Ciangbujin mendengar apa yang hendak dikatakan Hui Gong
suheng. Mungkin terdapat sesuatu yang kita belum mengetahui."
Walaupun kurang senang, tetapi mengingat Hui In itu tokoh angkatan tua yang
berkedudukan tinggi pula berkepandaian sakti, terpaksa Goan Thong tak berani berlaku
kurang adat. Cepat ia tindas kemarahannya dan berkata dengan tertawa, "Sudah tentu
murid tak berani membantah petunjuk susiok. Jika susiok menganggap tindakan Hui Gong
supek itu masih mengandung sesuatu yang dapat kita pertimbangkan, murid bersedia
mendengarkan dengan segala kerendahan hati!"
Lemah lembut penuh rasa hormat ucapan ketua Siau-lim-si itu kedengarannya. Tetapi
sesungguhnya ucapan itu bernada suatu sindiran yang tajam sehingga muka Hui Gong
merah padam. Sebagai tokoh dari angkatan Hui, selama ini Hui Gong sangat diindahkan oleh seluruh
paderi Siau-lim-si. Sejak berpuluh-puluh tahun belum pernah ia mendengar orang yang
berani menyindirnya. Saat itu, dihadapan sekian banyak paderi dari beberapa angkatan,
Goan Thong telah menyentilnya dengan kata kata yang tajam. Betapa perasaan tokoh tua
itu, benar benar sukar dilukiskan".
Tetapi sebagai seorang paderi tua yang tinggi kedudukannya, Hui In memiliki toleransi
yang besar sekali, ia hanya tertawa hambar dan segera berseru kepada Hui Gong, "Siaute
telah mendapat kemurahan hati Ciangbujin untuk mengajukan pertanyaan pada suheng.
Jika suheng hendak mengatakan sesuatu, silahkan memberitahukan kepada siaute!"
Hui Gong menghela napas rawan, "Soal ini sudah 40 tahun lamanya terpendam dalam
hatiku. Suatu soal yang sukar untuk kuterangkan. Tetapi dikala suhu hendak mukswa
(meninggal), apakah beliau benar-benar berobah pendiriannya".?"
Hui Gong paderi tua yang bernasib malang itu, merenung beberapa saat. Kemudian ia
baru melanjutkan kata-katanya pula, "Ah, mungkin didalam peristiwa itu tentu terselip
sesuatu. Tetapi soal ini menyangkut kebesaran nama Siau-lim-si, lebih baik tak kukatakan
saja!" Hui In terkesiap, pikirnya, "Menilik ucapannya, agaknya telah terjadi suatu peristiwa
rahasia didalam pengangkatan Ji Suheng sebagai ketua Siau-lim-si dahulu!"
"Omitohud!" tiba tiba Hui Koh yang sejak tadi berdiam diri, saat itu membuka suara,
"Suheng adalah murid yang paling disayangi suhu. Walaupun karena kesalahan, suheng
dipenjarakan dalam gedung Hui-sim-sian-wan sini dan tak diangkat sebagai ketua Siaulim-
si yang ke 31, tetapi dalam soal pelajaran ilmu silat, kepandaian suheng tetap jauh
diatas kami bertiga. Aku, Hui In suheng dan Hui Seng sute, selalu teringat akan budi
suheng yang mewakili suhu untuk memberi pelajaran silat kepada kami bertiga. Maka
kami amat berduka sekali apabila terkenang akan penderitaan yang suheng alami dalam
penjara ini. Tetapi karena tak berani melanggar pesan suhu, terpaksa kami jarang
menjenguk suheng kemari. Ah, tak kira setelah 60 tahun kemudian, ternyata suheng
menimbulkan kegoncangan yang belum pernah dialami kuil Siau-lim-si selama ini,
Pedang Pembunuh Naga 2 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Rajawali Hitam 1
^