Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 14

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 14


anakbuah saudara Ih itu tentu cepat akan tersiar diluar"."
"Terima kasih atas petunjuk saudara. Sungguh aku belum sempat mendengar hal itu,"
sahut Ih Thian-heng.
Siangkwan Ko terdiam sejenak lalu berkata pula, "Selain peristiwa penawanan dara
Lam-hay-bun itu, dalam dunia persilatan terbetik pula sebuah peristiwa besar "." tiba-tiba
ia diam. "Adakala peristiwa itu mempunyai hubungan dengan diriku?" tanya Ih Thian-heng.
Wajah Siangkwan Ko berobah serius. Ia melangkah mundur lagi pelahan2 kemudian
berkata dengan nada yang sarat, "Sebelum berjumpa dengan saudara Ih, memang agak
terpengaruh perasaanku mendengar berita itu. Tetapi setelah malam ini berkenalan
dengan saudara, barulah kutahu bahwa ada orang yang sengaja memfitnah. Tetapi hal itu
merupakan persoalan besar. baik saudara Ih bersiap-siap sebelumnya!"
"Soal apakah sampai sedemikian gawatnya?" Ih Thian- heng heran.
"Hai" Apakah sama sekali saudara tak pernah mendengar?" Siangkwan Ko juga heran.
Ih Thian-heng menandaskan bahwa ia benar-benar tak tahu. ia minta Siangkwan Ko
segera menjelaskan.
Berkata Siangkwan Ko, "Pada waktu akhir ini, dunia persilatan memang mendesasdesuskan
tentang diri saudara Ih. Oleh karena semua partai persilatan sama mempunyai
mata2 maka mereka dapat mangetahui segala sepak terjang yang terjadi dalam dunia
persilatan. Adakah soal itu benar atau palsu, aku tak berani menarik kesimpulan. Yang
nyata soal itu telah menarik perhatian It-kong, ji-koh dan Sam-poh. Akupun datang kemari
karena ada hubungan dengan soal ini."
Ih Thian-heng kerutkan dahi, menghela napas, "Ah, bahaya yang timbul dalam dunia
persilatan itu memang sukar dijaga. Entah bagaimanakah pendapat saudara?"
Sejenak Siangkwan berpaling memandang ke arah puterinya, lalu berkata, "Telah
kukatakan tadi bahwa sebelum bertemu dengan saudara, pikiranku memang goyah.
Setengah percaya setengah tidak terhadap berita itu. Karena anak buah it-kiong, Ji-koh
dan Sam-poh, telah melakukan penyelidikan dengan seksama. Walaupun hal itu belum
terbukti kenyataannya, tetapi karena berita itu tersiar luas sekali sehingga orang sukar
untuk tak percaya."
Wajah Ih Thian-heng tenang kembali, kemudian tersenyum simpul, "Perguruan dan
partai2 persilatan itu seharusnya menyelidiki kebenaran laporan para anak muridnya.
Tetapi mengapa mereka berbondong2 datang ke daerah Tiong-goan?"
Siangkwan Ko batuk-batuk kecil, ujarnya, "Entah mengapa sampai tersiar berita tentang
tindakan saudara Ih, mengundang para mata2 utusan partai2 itu ke gedung sini dan
meminta keterangan mereka. Karena hal itulah maka partai2 persilatra segera mengirim
tokoh-tokoh yang sakti untuk menyelidiki benar tidaknya hal itu". "
"Terlepas dari benar tidaknya hal itu, tetapi karena mendapat perhatian begitu besar
dari sekalian partai persilatan, aku merasa terkejut kali!" kata Ih Thian-heng.
"Akan kututurkan apa yang didesas-desuskan itu. Tetapi lebih dulu kuminta maaf
sekiranya ada hal2 yang menyinggung perasaan saudara," kata Siangkwan Ko.
Ih Thian-heng tertawa dan menghaturkan terima kasih atas perhatian Siangkwan Ko
kepadanya. Ia minta jago itu menuturkan dengan terus tenang.
Siangkwan Ko mundur tiga langkah baru berkata, "Pertolongan saudara Ih kepada
puteriku itu seumur hidup takkan kulupakan Jika saudara membutuhkan tenagaku, cukup
saudara mengirim surat, aku pasti akan melakukan dengan sepenuh tenagaku."
Ih Thian-heng memberi hormat dan mengucapkan beberapa kata merendah. Ia
menyatakan bahwa kelak apabila memang perlu, ia pasti akan datang sendiri ke Kanglam
untuk mengundang jago tua itu.
Katanya lebih lanjut, "Watakku selalu berterus terang. Selama ini tak mempunyai
perselisihan suatu apa dengan lain orang. Oleh karena merasa tak mempunyai dendam
permusuhan dengan siapapun juga, tetapi pun juga tak pernah mempunyai sahabat yang
amat karib. Oleh karena nyata gedung kediamanku ini menjadi sasaran desas-desus maka
akupun tak berani menahan saudara Ih lebih lama lagi. Kuberjanji, kelak apabila peristiwa
itu sudah lewat aku pasti akan sering pergi ke Kanglam untuk mengundang saudara
Siangkwan minum arak."
Siangkwan Ko tertawa, ujarnya, "Desas-desus yang mongandung fitnah itu, kelak pada
suatu hari pasti akan dapat tercuci bersih. Sekali lagi ku-tandaskan bahwa setelah
berkenalan dengan saudara pada malam ini, aku tak ragu2 lagi terhadap diri saudara.
Kuharap, tak lama lagi saudara benar-benar akan berkunjung ke daerah Kanglam. Akan
kukerahkan seluruh jago2 kuat dalam wilayah itu untuk membantu usaha saudara
memulihkan nama baik. Nah, kiranya sudah cukup dan ijinkan aku mohon diri." Habis
berkata ia terus melangkah keluar.
Ih Thian-heng memberi isyarat dan keempat bocah bersenjata pedang itu segera
mengantar jago tua itu dengan sikap menghormat.
Sesungguhnya karena belum sembuh benar, Siangkwan Wan-ceng tak dapat
menggunakan ilmu berlari cepat pada malam hari. tetapi ia memang seorang gadis yang
keras kepala. Di bawah antaran pandangan mata dari Ih Thian-heng dan keenam bocah
itu, ia tak mau unjuk kelemahan. Dengan mengatupkan gigi, ia lari mengikuti ayahnya.
Bibir Ih Thian-heng bar-gerak2. Tetapi sebelum terlanjur mangeluarkan kata-kata, tibatiba
ia menelannya kembali tak jadi bicara.
Demikianlah setelah rombongan tokoh-tokoh itu pergi, yang masih berada dalam
ruangan gedung itu hanya Ih Thianaheng dan keenam bocah baju putih.
Ih Thian-heng mondar-mandir beberapa jenak. Bibirnya yang selalu merekah senyum
pun tak tampak lagi. Sekali ia gerakkan tangan memberi isyarat keenam bocah itu segera
loncat keluar ke halaman. Mereka berpencaran ke empat penjuru. Masing-masing menjaga
sebuah tempat, lalu tiga kali menamparkan tangan.
Mendengar itu, Ih Thian-heng segera menuju ke sudut ruang sebelah kiri, mengisar
sebuah meja lalu berseru dengan ber-bisik2, "Matikan lampu!"
Dua bocah baju putih yang tertinggal dalam ruangan, segera memencarkan diri dan
memadamkan lampu. Ruangan menjadi gelap gulita sampai orang tak dapat melihat jari
jemarinya sendiri.
Pada lain saat terdengar suara ber-derak2 pelahan dan pada sudut ruangan itu terbuka
sebuah pintu rahasia. Ih Thian-heng segera melangkah masuk.
ooo000ooo Sekarang marilah kita ikuti lagi Han Ping.
Setelah muntah darah, ia merasa dadanya agak longgar. Ia terus berjalan tinggalkan
desa itu. Karena merasa tak dapat menggunakan ilmu lari cepat, terpaksa ia berjalan
menyusur jalan.
Sekalipun di sekitar pedesaan itu penuh dengan tokoh-tokoh silat sakti, tetapi mereka
sudah dikuasai dan di bawah perintah Ih Thian-heng. Oleh karena itu merekapun tak
menghalangi Han Ping.
Padahal dalam bayangan Han Ping, di sepanjang jalan keluar dari desa itu, ia tentu
bakal menghadapi pertempuran lagi. Oleh karena itu ia ber-siap2 menjaga setiap
kemungkinan. Tetapi ternyata, ia tak menemui suatu halangan.
Sesungguhnya ia harus beristirahat untuk menyembuhkan lukanya. Tetapi karena terus
menerus tegang bersiap menghadapi musuh, lukanya makin parah. Sekeluarnya dari desa,
kakinya terasa sakit lentuk hingga sukar dibawa berjalan. Tetapi ia memaksakan diri untuk
berjalan. Lima tombak jauhnya, rubuhlah ia di tanah.
Ia rasakan tulang belulangnya seperti terlepas. Dicobanya berusaha duduk, namun dua
kali berusaha, dua kali itu juga ia rubuh lagi.
Angin malam berhembus keras sehingga rumput2 kering berhamburan ke-mana2.
Apabila ia tak menyaksikan sendiri tentu ia takkan percaya bahwa desa yang sunyi dan
gedung yang misterius itu ternyata penuh dikepung dengan tokoh-tokoh persilatan yang
menyembunyikan dari di sekelilingnya. Dan tokoh-tokoh persilatan itu, berasal dari tempat
yang ribuan li jauhnya.
Tiba-tiba teringatlah ia akan si dara baju hitam yang berkelahi dengannya kemarin.
Sungguh tak pernah dinyananya bahwa seorang gadis yang lemah ternyata memiliki ilmu
kepandaian begitu sakti. Memang ia sendiripun termasuk seorang yang mendapat rejeki
luar biasa. Karena dari seorang pemuda yang tak bisa silat, dalam wakau hanya beberapa
bukan saja ia sudah berobah menjadi seorang tokoh yang dapat digolongkan sebagai jago
kelas satu. Tetapi ah . . ternyata seorang gadis pun memiliki kesaktian yang setaraf
dengan dia juga. Rupanya ilmu silat itu memang benar-benar tiada batasnya.
Demikian pikirannya merana tak keruan dan ia makin letih. Tetapi pikirannya masih
sadar. Tiba-tiba ia teringat bahwa saat itu pamannya, Kim Lo-ji dan Ih Seng, tentu masih
berada di sekitar tempat situ mencarinya. Segera timbul pikirannya untuk berseru
memanggil mereka.
Setelah kerahkan tenaga maka mulailah ia berteriak. Tetapi ah".suaranya seperti
hilang. Saat itu barulah ia menyadari bahwa keadaannya tak ubah seperti pelita yang
kehabisan minyak. Jika tetap akan memaksa, bukan saja luka-dalamnya tentu akan
semakin parah, pun ia akan terancam cacat seumur hidup.
Untunglah ia segera teringat akan ajaran kitab Tat mo-ih-kin keng ajaran mendiang Hui
Gong taysu yang mengatakan "memelihara napas adalah dasar penggerak urat".
Seketika pikirannya terbuka. Segera ia tenangkan pikiran memulangkan napas.
Beberapa saat kemudian Mulailah ia gerakan kaki tangan untuk melemaskan tubuh dan
melakukan pernapasan. Setelah tiga kali bernapas panjang, ia meramkan mata dan
beristirahat. Kira-kira sepeminuman teh lamanya, ia rasakan semangatnya bertambah baik. Lalu ia
gerakkan kaki tangan menurut ajaran Hui Gong taysu. Ah, tulang belulangnya sakit bukan
kepalang. Serasa sendi tulang terlepas dari ruasnya. Tetapi ia sudah dapat memahami isi
ajaran Hui Gong taysu. Dan wataknya yang keras, menyebabken ia pantang mundur.
Walaupun sakit, tetap ia melakukan gerakan. Auh". menjerit keras ketika rasa sakit itu
menyerang sampai ke ulu hati sehingga hampir ia pingsan.
Sesungguhnya puncak kesakitan itu memang sesuai dengan ajaran Hui Gong Taysu.
Setelah menderita kesakitan, tertidurlah dia.
Sekarang kita tinggalkan dulu Han Ping yang terlena tidur. Kita jenguk Kim Loji dan
kipas-besi-pedang-perak, Ih Seng.
ooo000ooo Pada saat menuju ke desa tempat kediaman Ih Thian-heng, pernah pengemis sakti
Cong To berkata kepada Kim Loji, "Walaupun malam ini akan terjadi keramaian, tetapi
pertunjukan yang sesungguhnya belumlah berlangsung. Lebih baik engkau dan saudara Ih
Seng bersembunyi dahulu. Aku dan anak muda ini akan masuk melihat-lihat keadaan
dulu." Kemudian Pengemis-sakti itu pun meninggalkan pesan kalau sampai lewat tengah
malam belum kembali, Kim Loji dan Ih Seng supaya menuju ke sebuah kuil kecil yang
terletak kira-kira sepuluh li di sebelah utara dan menunggu di situ.
Kim Loji dan Ih Seng menyadari bahwa penyelidikan malam itu amat penting sekali.
Mereka pun tak berani semabrangan bergerak masuk gedung. Setelah Pengemis-sakti dan
Han Ping memasuki gedung, mereka pun segera mencari tempat sembunyi.
Tetapi menunggu sampai langit penuh bertabur bintang, tetap kedua orang orang itu
belum muncul kembali. Mulailah mereka gelisah memikirkan keselamatan Han Ping.
Malam semakin larut dan tubuh kedua orang itupun mulai dingin lembab. Ketika
memandang ke langit, ternyata sudah lewat tengah malam.
Ih Seng tak sabar lagi. Bisiknya kepada Kim loji, "Ji siangkong dan Cong lo-cianpwe,
tentu mendapat kesulitan. Lebih baik kita menyusul masuk!"
"Jangan," kata Kim loji, "bukankah Cong lo-cianpwe sudah memesan kita tak boleh ikut
masuk" Dan memang kalau kita ikut, belum tentu ada manfaatnya Lebih baik kita tunggu
lagi beberapa waktu. Jika mereka tetap tak muncul, baru kita pergi ke kuil sebelah utara
untuk menunggu mereka."
Ih Seng menurut. Malam merayap makin dingin dan akhirnya tabir malam mulai
menyingkap. Haripun mulai terang. Dalam keremangan kabut pagi, mulai bayang2
pepohonan tampak.
Kim Loji mengajak maju mendekati gedung besar. Kira-kira duabelas tombak jauhnya,
mereka mendengar derap langkah orang dalam gedung itu. Buru-buru Kim loji menarik Ih
Seng untuk bersembunyi dalam gerumbul pohon.
Saat itu dari ufuk timur mulai tampak sinar putih. Berkat indera penglihatan yang
tajam, dapatlah kedua tokoh itu melihat keadaan di sekelilingnya.
Mereka tak berani sembarangan bergerak karena tahu bahwa di sekeliling gedung itu
penuh dijaga secara sembunyi oleh tokoh-tokoh lihai. Bahkan untuk menjaga keselamatan,
keduanya menahan napas. Ketika memandang ke muka, mereka melihat empat orang
melangkah ke luar dari gedung.
Yang paling depan adalah si Bungkuk dan si Pendek. Dan yang ketiga adalah si dara
baju ungu. Di sampingnya, adalah si nenek rambut putih yang berjalan dengan tongkat.
Ke empat orang itu justeru berjalan menuju ke arah tetapat Kim-loji dan Ih Seng
bersembunyi. Setelah berjalan beberapa puluh langkah, si dara tampak mengemasi rambutnya dan
menghela napas rawan, "Ah, aku lelah sekali. Tak dapat berjalan selangkanpun"."
"Nak, berjalan sebentar lagi, kereta sudah menunggu kita," kata si nenek berambut
putih. Dara itu gelengkan kepala, "Tidak bisa, kakiku tak dapat berjalan lagi. Bwe-nio yang
baik, jangan memaksa akulah!"
Nenek berambut putih itu menghela napas, ujarnya, "Nak, di tempat yang begini seram
tak mungkin tersedia ranjang dan kasur yang empuk. Dan lagi sekitar sini lembab dengan
embun. Bagaimana engkau hendak beristirahat di sini?"
Dara baju ungu tengadahkan kepala memandang cakrawala yang mulai cerah lalu
tertawa, "Berselimut langit biru, barkasur rumput hijau dan bersantap embun pagi, kepada
siapakah akan meratap belas kasihan?"
Kata yang setengahnya bernada senandung itu diucapkan dengan suara halus. Senyum
tawa di wajah si dara pun ikut lenyap. Dua titik airmata mengucur dari sudut matanya.
Tampak wajah si Bungkuk dan si Pendek juga ikut bersedih. Buru-buru kedua tokoh itu
berpaling muka, membelakangi dara itu. Mereka tak berani memandangnya lagi.
Kiranya perasaan hati kedua tokoh itu tersentuh oleh suara si dara yang amat
mengharukan. Nenek berambut putih gelengkan kepala lalu bertanya, "Nak, apakah engkau bersedih?"
Si dara mengusap airmatanya dengan ujung lengan baju, sahutnya, "Ah, kini baru aku
mengetahui. Bahwa betapa pun gembiranya seseorang, tetapi tentu mempunyai
kesusahan juga"."
Ia duduk di tanah lalu berbaring di atas rumput.
Angin pagi berhembus meniup baju si dara dan rambut si nenek. Nenek itu tancapkan
tongkatnya ke tanah hingga ujung tongkat menyusup sampai setengah depa dalamnya.
Kemudian ia berlutut dan berkata dengan lembut, "Nak, kudukungmu supaya tidur,
maukah engkau?"
Sambil sedikit picingkan mata, dara itu menolak, "Ah, tidak. Aku hendak tidur di atas
rumput sini sajalah!"
"Nak, tubuhmu lemah, mana engkau tahan hawa sedingin ini?"
Dara itu tertawa rawan, "Biarlah aki menderita sakit dengan enak."
Bwe Nio terbeliak, "Anak tolol, perlu apa begitu" Kalau sakit tentu harus minum obat.
Bukankah engkau paling benci minum obat?"
"Aku mau tidur, jangan mengajak bicara," kata dara itu. Tetapi wajahnya mengerut
kesedihan. Airmatanya berderai-derai turun membasahi kedua belah pipi. Barang siapa
yang menyaksikan keadaannya, tentu akan turut bersedih.
Demikianpun dengan si nenek Bwe Nio. Dua butir airmata menitik. Dari pelupuk
matanya. Kemudian ia berteriak, "Nak, apakah yang menyebabkan engkau bersedih hati"
Akulah yang merawatmu sejak kecil sampai dewasa. Walaupun namanya sebagai majikan
dan budak, tetapi rasa kesetiaanku kepadamu melebihi seorang ibu. Asal engkau dapat
menyelami perasaan induk semangmu ini, aku tentu tak mau menyimpan rahasia lagi.
Dengan selambar jiwaku yang sudah tua ini, aku tentu dapat mengerjakan apa yang
engkau perintahmu. Nak, maukah engkau memberitahu kepadaku?"
Tiba-tiba dara itu membuka mata dan tertawa rawan, "Bwe-nio, kalau aku sampai mati,
apakah ayah dapat hidup seorang diri?"
Pertanyaan itu benar-benar di luar dugaan sehingga si nenek berambut putih terpesona
tak dapat menyahut. Beberapa saat kemudian baru ia berkata, "Ini, ini"."
"Sejak kecil engkau sudah tinggal bersama ayah. Sudah tentu engkau harus tahu
apakah ayah dapat hidup seorang diri tanpa aku" Bwe-nio, jangan membohongi aku. Kasih
tahulah dengan sejujurnya!"
Kata si nenek Bwe-nio, "Ayahmu mencintai engkau sepenuh hatinya. Tetapi karena
wataknya memang aneh dan dingin, dia tak mau mengunjukkan perasaan cinta itu
kepadamu. Tampaknya dia memang seperti tak mengacuhkan dirimu. Tetapi sebenarnya
dia selalu menanyai aku tentang keadaanmu sehari-harinya. Entah sudah berapa puluh
kali ia meminta keterangan itu kepadaku"."
Bwe-nio menghela napas perlahan, lalu berkata pula, "Sejak ibumu meninggalkan
dunia, selintas pandang tampak dia memang tak berduka". "
Tiba-tiba nenek itu berobah wajahnya dan tak lanjutkan kata-katanya lebih lanjut.
Serentak dara itu berbangkit duduk. Dipandangaya si nenek lekat2. Sejenak kemudian
ia bertanya, "Bwe-nio, mengapa engkau?"
"Tak apa-apa, tak apa-apa," sahut Nenek itu sambil memulihkan semangat agar tampak
setenang mungkin.
Si dara tertawa hambar, "Apakah engkau merasa telah kelepasan omong dan takut
ayah menghukummu" Sebenarnya walaupun engkau tak bilang, akupun sudah tahu sejak
dulu. Ayah sendiri memberitahu kepadaku bahwa ibuku sudah mati. Dan untuk
mengenang ibu, ayah telah membangun sebuah makam palsu. Tetapi kesemuanya itu
hanyalah untuk mengelabuhi aku. Cobalah engkau tebak, hal apa lagi yang dapat
mengelabuhi aku itu?"
Bwe-nio menghela napas. Ia diam tak dapat menyahut.
Kembali dara itu rebahkan diri di atas rumput, ujarnya pula, "Sesungguhnya aku pun
tahu bahwa ibuku itu masih hidup di dunia tetapi tak mau bertemu muka dengan ayah."
Sambil memandang dara itu, Bwe-nio bertanya dengan penuh kasih sayang, "Nak,
mengapa engkau tahu hal itu?"
Si dara memejamkan kedua matanya, lalu menyahut, "Menilik peyakinan ayah dalam


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu tenaga-dalam yang begitu tinggi, sekalipun umurnya tambah 10 tahun lagi, tak
mungkin dia menjadi begitu tua. Kecuali batinnya menderita suatu luka atau pukulan
hebat, tak mungkin rambutnya menjadi putih dan dahinya penuh keriput!"
"Tetapi ketika ibumu masih berkumpul dengan ayahmu, ayahmu sudah berumnr 50
tahun," kata Bwe-nio.
"Sungguhpun begitu tetapi wajah ayah tetap masih berseri segar, tampaknya seperti
seorang pemuda umur 30-an tahun."
Bwe-nio tak menyahut.
"Sejak ibu bertengkar dengan ayah, ayah amat menderita batinnya. Walaupun dia tak
mau mencari ibu, tetapi penderitaan batin itu telah menyebabkan ayah menjadi begitu tua
tampaknya. Ah, ayah sesungguhnya kasihan sekali. Entah apakah ibuku juga demikian". "
kata si dara pula.
Bwe-nio mendesah, serunya, "Nak, ketika peristiwa itu terjadi engkau masih bayi. Aneh
bagaimana engkau dapat mengetahuinya" Jika tak ada orang yang memberitahukan,
mustahil engkau tahu!"
"Tiada orang yang memberitahu aku," sahut si dara, "aku sendiri juga begitu. Dan lagi,
kecuali ayah tiada lain orang yang berani memberitahu kepadaku. Tetapi ayah tak
mungkin akan memberitahuku!"
"Ah, engkau dapat menduga begitu menandakan amat cerdas sekali"."
Si dara cepat menyeletuk, "Ayah sangat mencintai ibu. tetapi setelah ibu pergi, ayah
tetap masih mau hidup. Dan rasanya akupun akan mati, ayah juga tetap hidup. Hm,
sungguh kubenci sekali, lebih baik mati saja!"
"Siapa yang engkau benci?" tanya Bwe-nio heran.
"Semua orang lelaki!"
"Engkau benci mereka lalu apa gunanya engkau harus mati" " tanya Bwe-nio.
Si dara tertawa hambar, "Ah, kalau aku mati, ayah tentu sedih dan marah. Karena aku
mati di daerah Tiong-goan, dia tentu, akan menumpahkan kemarahannya pada orang
Tiong-goan. Entah berapa banyak korban nanti yang akan dibunuh?"
"Sekalipun membunuh seribu sampai sepuluh ribu orang. tetapi tak dapat mengganti
selembar jiwamu. Nak, apakah engkau tak pernah merasa gembira?" kata Bwe-nio, "entah
berapa banyak lelaki yang jatuh di bawah kakimu. Perguruan kita telah mengerahkan
segenap orangnya yang berilmu tinggi untuk melindungi keselamatanmu. Bahkan toasuhengmu
yang sebenarnya sudah diusir oleh ayahmu untuk selama-lamanya, demi
menjaga keselamatanmu yang hendak pesiar ke Tiong-goan, khusus diberi kelonggaran
lagi dengan syarat: harus menebus dosa dengan jasa. Jika sampai terjadi sesuatu pada
dirimu, toa-suhengmu akan dianggap berbuat dua kali dosa dan tentu akan dibunuh
ayahmu. Ah".dikuatirkan bukan hanya dia seorang tetapi segenap anak murid Lam-haybun
tentu akan diamuk ayahmu!"
"Begitu akan lebih baik," kata si dara, "kita mati semua dan semua menjadi setan di
Neraka jadi tetap ada yang menemani aku bermain-main."
Bwe-Nio menghela napas, ujarnya, "Nak, umurmu masih begitu muda, mengapa
engkau memikirkan soal2 begitu .. ."
Dibelainya rambut dara itu dengan penuh kasih sayang.
Si dara mengangkat muka memandang wajah inang pengasuhnya. Melihat wajah Bwenio
yang penuh kasih sayang, si dara pun menghela napas dan berkata rawan, "Ah, bukan
aku memikirkan soal2 tadi, tetapi". "
Ia berhenti, geleng-geleng kepala dan tertawa hambar, "Baiklah, takkan kukatakan hal
itu. Tetapi aku benar-benar kepingin tidur. Bwe-nio, duduklah di sini menemani aku
sebentar."
Habis berkata ia terus julurkan lengan dan pejamkan mata. Tak berapa lama, ia sudah
tidur pulas. Si Bungkuk dan si Pendek melihat si dara tidur dan Bwe-nio menjaga di sampingnya,
terpaksa menjaga di dekat mereka.
Rupanya dara itu lelah seka!i sehingga tertidur sampai lama. Saat itu mentari pagi
mulai muncul dan menyingkap kabut pagi.
Sementara itu, Kim loji dan Ih Seng yang bersembunyi dalam gerumbul rumput, merasa
gelisah saat itu. Jika terang tanah, persembunyian mereka pasti diketahui orang. Dan
celakanya, sejak tadi mereka terpaksa menahan pernapasan saja karena kuatir dicium bau
mereka oleh si Bungkuk atau si Pendek. Betapapun tinggi ilmu kepandaiannya namun
keadaan semacam itu, tak mungkin dapat bertahan. Dan karena tak kuat lagi akhirnya Ih
Seng menghamburkan napas perlahan2. Tetapi hal itu sudah cukup didengar telinga si
Bungkuk dan si Pendek yang amat tajam. Tiba-tiba si Bungkuk loncat menerjang gerumbul
pohon. Selagi melayang di udara, si Bungkuk berseru, "Sahabat siapakah itu" Mengapa tak
mau unjuk diri secara terang2an" Cara main bersembunyi begini sungguh tak pantas!"
Walaupun tak ingin bentrok tetapi karena sudah terlanjur kepergok, terpaksa mereka
berpencar menghindari sergapan si Bungkuk.
Rupanya si Bungkuk marah karena menyergap angin. Belum kaki menginjak bumi, ia
sudah hantamkan tangan kanannya ke arah Ih Seng.
Sambil menghindar lagi, Ih Seng berseru, "Bagus, aku orang she Ih, ingin mencoba
juga." Tetapi Kim-loji cepat mencegah, "Tunggu, lebih baik kita memberi keterangan apa
adanya"."
"Ah, apa yang harus diterangkan" Berkelahi dulu baru nanti bicara lagi!" kata Ih Seng
seraya tebarkan kipas besinya dan menutuk si Bungkuk.
Dengan tenang, si Bungkuk menghindar ke samping lalu mendengus, " Hm, bagus!
Engkau seorang pemimpin persilatan, tetapi tingkanmu tidak sesuai dengan
kedudukanmu, suka main sembunyi mencuri lihat lain orang. Kudengar engkau termasyhur
dengan senjata pedang perak kipas-besimu, hari ini aku hendak berkenalan!"
Ih Seng deliki mata, "Jangan mengoceh tak berguna"."
Ih Seng tebarkan kipas besi, ia maju lagi untuk menutuk jalandarah di pelipis orang.
Jalan darah itu merupakan tempat yang membuat orang pingsan.
Si Bungkuk tak berani lengah. Sambil mengendap tubuh, ia loncat menghindar ke
samping. Sebelum menginjak tanah, ia bersuit pelahan dan menerjang lagi. Menghindar
dan balas menyerang lagi. Menghindar dan balas menyerang itu dilakukan dengan gerak
yang luar biasa cepatnya. Dan serangan itu diantar dengan jurus Matahari-bulan-salingberebut.
Tahu bahwa pukulan si Bungkuk itu amat dahsyat, Ih Seng tak berani menangkis. Ia
berputar tubuh seperti angin. Sebelum serangan si Bungkuk tiba, ia sudah berada di
belakangnya dan secepat kilat menutuk belakang kepala orang bungkuk itu.
Si Bungkuk terkejut. Baru saja ia dapat berdiri tegak atau tiba-tiba belakangnya sudah
diserang. Buru-buru ia gunakan jurus Terjun-kedalam-laut. Condongkan tubuh ke muka
dan secepat kilat berbalik lagi untuk menghantam dan menutuk dada Ih Seng.
Melihat pertempuran itu makin lama makin dahsyat, si Pendek kuatir orang-orang itu
membangunkan si dara baju ungu. Ia harus membantu menyelesaikan pertempuran itu
secepat mungkin.
Pada saat si Bungkuk lancarkan serangan, cepat si Pendekpun loncat ke tengah
gelanggang untuk menunggu Ih Seng.
Sesungguhnya Kim loji masih belum sembuh benar lukanya. Tetapi karena melihat si
Pendek ikut campur, terpaksa ia pun loncat menerjang orang pendek itu.
Sedang Ih Seng ternyata tak menduga akan gerakan si Bungkuk yang dalam
menghindar dapat melancarkan serangan yang sedemikian berbahaya. Terpaksa pada saat
dadanya terancam tutukan jari, Ih Seng hendak menyambutnya dengan tamparan kipas
besinya. Tetapi di luar dugaan karena melihat si Pendek membantu, si Bungkuk tak senang hati.
Ia tarik pulang serangannya dan mundur dua langkah ke belakang lalu menegur si
Pendek, "Menyingkirlah, biar aku yang menghadapinya"."
"Bungkuk! Jangan temaha menang," sabot si Pendek, "harus cepat-cepat diselesaikan
agar jangan sampai menjagakan nona."
Habis berkata, tanpa menghiraukan si Bungkuk lagi, ia terus maju ke muka.
Karena tak dipedulikan, marahlah si Bungkuk. Dengan mata mendelik ia berputar tubuh
dan terus menghantam si Pendek!
Melihat si Bungkuk marah, terpaksa si Pendek mendengus dan mundur kembali.
Sedangkan di sana, Ih Seng pun sudah siap kembali. Ia mainkan kipasnya dan maju
menyerang si Bungkuk lagi. Kim Lojipun membantunya dari samping.
Apa yang dikuatirkan si Pendek ternyata benar. Karena ketiga orang yang bertempur itu
amat berisik, si nona baju ungu terbangun. Ia mengisar tubuhnya. Me!ihat itu si nenek
Bwe-nio marah. Ia gentakkan tongkatnya terus hendak maju. Tetapi dicegah si dara,
"Bwe-nio, jangan. Kita saksikan saja mereka berkelahi!"
Si Bungkuk tak gentar dikeroyok dua orang. Kira-kira limapuluh jurus lamanya,
pertempuran itu masih seimbang. Diam-diam si tokoh Bungkuk itu marah.
Setelah menyaksikan beberapa saat, si dara berseru, " Ah, ,akanya engkau tak dapat
menang karena salah mengeluarkan jurus!"
Kemudian dara itu berseru memberi perintah, "Bungkuk, lekas keluarkan jurus Nagahijau-
pulang ke laut"."
Si Bungkuk tergetar hatinya. Buru-buru ia gunakan jurus itu untuk mencengkeram Ih
Seng. Ih Seng cepat menyurut mundur tetapi kipasnya dapat direbut si Bungkuk.
Ih Seng cepat mengeluarkan pedangnya. Ketika hendak maju menyerang, tiba-tiba
terdengar suara bentakan keras, "Tahan!"
Tahu-tahu Han Ping muncul dan loncat ke tengah gelanggang.
Melihat pemuda itu, Kim Loji berseru girang, "Anak Ping, apakah engkau tak kurang
suatu apa ".?"
Han Ping memberi hormat kepada paman gurunya itu dan menghaturkan terima kasih.
"Harap Ji siangkong mengaso dulu. Biar kubereskan si Bungkuk ini!"
Tetapi Han Ping gelengkan kepala. "Dia bertenaga hebat, bukan lawanmu!"
Jika lain orang yang mengucap, Ih Seng tentu marah. Tetapi karena yang berkata itu
Han Ping, ia menurut saja. Pedang disarungkan dan mundurlah ia.
Sejenak memandang ke sekeliling, Han Ping berkata kepada si Bungkuk, "Kita selama
ini tak bermusuhan. Akupun tak mau berkelahi dengan kalian. Kembalikanlah!" katanya
seraya ulurkan tangan.
"Apa?" si Bungkuk, terbeliak.
Tiba-tiba Han Ping melesat maju. Sekali tangsannya bergerak tahu-tahu kipas-besi yang
dicekal si Bungkuk itu sudah berpindah ke tangan Han Ping. Gerakan pemuda itu amat
cepat dan luar biasa anehnya. Si Bungkuk rasakan pergelangan tangannya kesemutan.
Sebelum tahu apa yang terjadi, dilihatnya kipas sudah direbut Han Ping.
"Keparat!" teriak si Bungkuk dengan murka seraya melontarkan pukulan dalam jurus
ikut-angin-memecah-ombak.
Tetapi dengan mengisar ke samping, Han Ping menghindari pukulan itu. Ia tertawa
dingin. Kemudian berpaling kepada Ih Seng.
"Mari kita pergi"."
Ia memberikan kipas dan terus melangkah pergi.
"Berhenti!" sekonyong-konyong terdengar lengking teriakan.
Han Ping yang sudah berjalan baberapa langkah terpaksa berhenti. Ketika berpaling
tampak si dara baju ungu berdiri menggandeng tangan si nenek. Ditingkah mentari pagi,
wajahnya yang cantik amat menonjol.
Entah karena hatinya berguncang atau karena tak tahan hawa, dara itu tampak
gemetar. Sejenak memandang dara itu, Han Ping menengadah memandang awan putih di langit
sambil berseru dengan nada dingin, "Apa maksud nona suruh aku berhenti?"
"Bagaimana engkau merasa kalau yang kusuruh berhenti itu engkau?" si dara balas
bertanya. Han Ping tertegun, serunya, "Kalau tak suruh aku, ya sudahlah! "
Han Ping berputar tubuh ia terus lanjutkan langkahnya.
"Hm, sudah bagaimana, engkau masih mau apa lagi" " si dara mendengus.
Han Ping berhenti dan berpaling memandang dara itu. Rupanya ia hendak marah tetapi
ditahannya lagi dan terus pergi.
Dara itu berteriak dengan penasaran, "Perlu apa memandang aku" Huh, tak tahu
malu!" Han Ping tak dapat bersabar lagi. Ia berpaling dan membentak, "Siapa yang engkau
maki?" Tiba-tiba dara itu tersenyum, "Siapa yang kumaki, apa pedulimu?"
Diam-diam dara itu heran. Jelas semalam pemuda itu terluka berat, mengapa dalam
waktu beberapa jam saja sudah sembuh kembali.
Rupanya Han Ping tak mau bentrok dengan dara itu. Sejenak merenung, ia berkata,
"Sudah berapa kali aku selalu mengalah. Janganlah engkau keliwat menghina?"
Habis berkata ia berputar diri dan melangkah lagi.
Tiba-tiba dara itu lepaskan tangannya yang memegang bahu si nenek lalu lari mengejar
Han Ping, serunya, "Eh, apakah engkau terburu-buru hendak mengantar jenazah".?"
Sekonyong-konyong Han Ping berpaling dan loncat ke depan si dara. "Engkau selalu
menyakiti hati orang, apakah engkau kira aku tak berani"."
Sebenarnya ia ingin mengatakan, "apakah aku tak berani memukulmu?"
Tetapi tiba-tiba ia tak melanjutkan kata-katanya karena merasa tak pantas berkata
begitu di hadapan seorang gadis.
Wut". tiba-tiba si nenek loncat membolang-balingkan tongkatnya untuk menutuk tiga
buah jalandarah di tubuh Han Ping sehingga pemuda itu terpaksa mundur tiga langkah.
Si dara hadangkan tangan mencegah, "Bwe-nio, mundurlah. Dia tentu tak berani
memukul aku!"
Serangan si nenek itu membuat Han Ping terkejut gentar dan marah. Pikirnya, "Nenek
ini dapat menyalurkan tenaga-dalamnya ke ujung tongkat. Lukaku baru sembuh, entah
aku dapat atau tidak menghadapinya?"
Tetapi ia anggap data itu lancang mulut. Setiap kali tentu menyakiti hati orang. Jika tak
diberi sedikit hajaran tentu tak kapok. Sambil mengangkat tangan kanannya, ia berseru,
"Bagaimana engkau tahu kalau aku tak berani memukulmu?"
Rambut putih si nenek Bwe-nio menjulur tegang. Diam-diam ia salurkan tenaga-dalam
untuk bersiap. Asal Han Ping turun tangan, ia segera akan menyerangnya.
Sambil memandang tangan Han Ping, dara itu tertawa, "Tanganmu sudah engkau
acungkan. Jika tak berani memukul aku, bagaimana hendak engkau turunkan?"
Sambil tertawa cerah, dara itu melangkah perlahan-lahan menghampiri Han Ping.
Wajahnya yang cantik makin berseri gemilang karena bersenyum itu. Seketika tangan Han
Ping serasa lentuk tak bertenaga sehingga tak jadi memukul.
"Mengapa engkau tak memukul?" tiba-tiba dara itu berseru dingin.
Han Ping termangu-mangu.
"Mengapa engkau melamun" Takut aku mati?"
ooo000ooo Masuk sarang harimau.
Hati Han Ping tergetar, pikirnya, "Sewaktu bergaul dengan kedua nona Ting, aku tak
mempunyai perasaan apa-apa. Aneh, mengapa aku terpesona melihat gadis ini tertawa?"
Cepat-cepat ia mengempos memangat. Setelah pikirannya terang, ia berkata dengan
tawar, "Mengingat budi pertolonganmu kepada nona Ting Ling, biarlah kali ini aku
mengalah lagi."
Dalam berkata-kata itu, kepala Han Ping masih menengadah memandang ke langit.
Tiba-tiba hidungnya terbau serangkum hawa yang harum dan tahu-tahu. plakk,
plakk".! kedua belah pipinya yang halus sudah ditampar si dara. Tetapi sedikitpun tak
terasa sakit. Dan saat itu terdengarlah si dara tertawa melengking, "Karena engkau tak memukul
aku, akulah yang memukulmu!"
Han Ping terbeliak dan mundur dua langkah lalu mengangkat tangan kanannya hendak
balas menampar. Tetapi hatinya serentak tergetar ketika melihat sepasang mata si dara
tampak ber-linang2 airmata. Diam-diam ia menimang, "Jika kutampar, dikuatirkan dia
akan mati ".."
Ah, di luar kesadarannya ia turunkan lagi tangannya itu, serunya, "Aku Ji Han Ping
adalah seorang anak lelaki, masakan mau bertengkar dengan seorang anak perempuan
seperti engkau!"
"Setiap membuka mulut tentu membanggakan dirimu seorang lelaki seorang jantan,
hm, apa sih yang engkau banggakan sebagai seorang lelaki" Bagaimana kalau dirimu
dibanding dengan Sin-ciu-it-kun?" tukas si dara.
"Sekalipun sekarang aku belum tentu dapat mengalahkannya tetapi pada suatu hari aku
pasti akan menghancurkannya?"
Dara itu tertawa, "Benar, soal besok, besok bicara lagi. Kalau sekarang, bukankah
engkau tak mampu mengalahkannya?"
"Aku terluka ketika berkelahi dengau gadis baju hitam sehingga tak dapat menempur
Thian-heng. Jadi, belum pernah mencobanya. Bagaimana dapat dipastikan aku tak dapat
mengalahkannya?" sahut Han Ping.
Mendengar nada ucapan Han Ping amat membenci Ih Thian-heng, dara itu tertawa,
"Kulihat kecuali berilmu tinggi, Ih Thian-heng itu seorang yang amat baik budi, sesuai
sekali dengan gelarnya sebagai Ksatrya-nomor-satu dari Sin-ciu."
"Dia seorang manusia palsu. Lahirnya baik tetapi batinnya jahat sekali!" teriak Han
Ping. Dara itu tertawa, "Bagaimana engkau tahu dia seorang jahat" Kurasa ia masih lebih
baik dari pada dirimu!"
"Aku jemu bicara dengan engkau, hm, pikiran orang perempuan!" Han Ping marah
terus berputar tubuh dan sekali loncat sudah beberapa tombak jauh lalu lari sepesatpesatnya.
Kim loji dan Ih Seng segera menyusul.
Memandang bayangan Han Ping yang lenyap dari pandangan mata, dara itu menghelanapas
lalu berpaling si nenek seraya mendamprat gemas, "Si tolol yang berotak udang"."
Bwe-nio tertawa, "Engkau menamparnya, memakinya. Sudah tentu dia lari ketakutan?"
Dara itu tengadahkan kepala memandang ke langit. Tiba-tiba ia berpaling ke arah si
Bungkuk dan si Pendek, serunya, "Hai, lekaslah kalian kembali ke gedung tempat Ih Thianheng.
Suruh dia dalam tiga hari, selambat-lambatnya lima hari, datang menemui aku di
gunung Bik-san-cung!"
Kedua tokoh itu tertegun. Pada lain saat mereka tersipu-sipu mengiakan lalu lari balik.


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampak sepasang alis dara itu menjungkat ke atas. Pada seri wajahnya yang cantik,
memancar hawa pembunuhan yang menyala-nyala.
Bwe-nio tercengang lalu berkata dengan ramah, "Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng adalah
manusia yang paling ganas di dunia persilatan Tiong-goan. Perlu apa engkau suruh dia
datang ke Bik-lo-san?"
Sudut bibir dara itu merekah senyuman, ujarnya, "Aku hendak membantunya untuk
mengacau balaukan dunia persilatan Tiong-goan!"
Bwe-nio kerutkan alis, serunya, "Kita pesiar ke Tiong-goan ini, takkan campur urusan
orang lain. Perlu apa kita harus mengundang kesulitan?"
Sinar mata si dara yang cantik itu penuh dengan pancaran penasaran. Sahutnya dingin,
"Kuingin dunia persilatan Tiong-goan, saling bunuh membunuh sendiri sehingga mayat
malang melintang dan darah bergenangan membasahi bumi!"
Bwe-nio terkejut dan berpaling memandangnya. Tampak dara itu memandang ke langit
biru. Menggigit bibir dan mengerut wajah dendam penasaran. Suatu sikap yang berbeda
dengan keadaannya semula. Bwe-nio tak pernah melihatnya dalam sikap seperti saat itu.
Buru-buru ia memegang tangan dara itu dan dielus2nya seraya bertanya dengan lemah
lembut, "Nak, mengapa engkau hari ini" Kita tak punya dendam permusuhan suatu apa
dengan kaum persilatan Tiong-goan. Mengapa engkau hendak begitu?"
Sambil memandang jauh ke muka, dara itu menyahut dengan nada dalam, "Hm, aku
memang hendak bertindak begitu. Hendak mengaduk-aduk mereka supaya kacau
balau"."
Melihat sikap dara itu terpaksa Bwe-nio tak dapat berbuat suatu apa. Sampai beberapa
saat ia tertegun memandangnya. Dilihatnya kedua belah pipi dara itu merah muda. Tibatiba
ia menyadari. Tentulah dara itu letih, maklum karena tak pernah bekerja berat.
"Nak, jangan lama-lama berhenti di sini. Mari kita kembali ke gunung Bik-lo-san dulu!"
kata nenek itu.
Si dara mengangguk dan sambil memegang bahu si nenek, ia segera ikut berjalan
pelahan-lahan. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah hutan yang lebat dengan pohon siong. Di
bawah gerumbul pohon yang rindang, tampak sebuah kereta kuda. Begitu melihat si dara
dan Bwe-nio muncul, dua orang lelaki segera siap berdiri di samping kereta. Bwe-nio
memanggil mereka lalu mendukung dara itu ke atas kereta. Setelah menutup tenda maka
meluncurtah kereta di sepanjang jalan.
Sementara itu, setelah menerima dua buah tamparan dari si nona, hati Han Ping tak
keruan rasanya. Dengan marah ia lari. Kim loji dan Ih Seng buru-buru mengikutinya.
Setelah lari beberapa saat, kemarahan Han Ping agak reda. Dalam kesempatan itu
bertanyalah Kim lo-ji, "Anak Ping, apakah semalam di dalam gedung itu engkau bentrok
dengan mereka?"
"Tidak," sahut Han Ping.
"Lalu mengapa engkau begitu lama dalam gedung itu?"
"Aku terluka."
"Oh, siangkong terluka" Apakah bertempur dengan mereka?" tanya Ih Seng yang selalu
membahasakan Han Ping dengan Panggilan `siangkong` atau tuan yang baik budi.
"Memang banyak hal yang sukar diduga," kata Han Ping, "aku telah berjumpa dengan
anak perempuan Siangkwan Ko!"
"Dia terkenal paling sukar dihadapi. Apakah siangkong berkelahi dengannya?"
Han Ping hanya mengangguk tersenyum.
"Kalau engkau terluka bagaimana engkau hendak melanjutkan perjalanan. Apakah tak
membahayakan lukamu?" tanya Kim loji cemas.
Han Ping mengatakan bahwa saat itu lukanya sudah hampir sembuh. Sebenarnya ia
hendak menuturkan tentang cara ia menyembuhkan lukanya itu. Tetapi mengingat hal itu
akan menyangkut nama Hui Gong taysu, suatu hal yang tak boleh disiarkan kepada orang
lain. terpaksa Han Ping tak mau melanjutkan keterangannya dan hanya menerangkan,
"Setelah beristirahat menyalurkan darah, lukaku itupun sembuh."
"Anak Ping, apakah engkau kenal kepada dara baju ungu itu"!" tanya Kim-loji pula.
"Tak kenal".," Han Ping menggeleng. Tiba-tiba ia merasa salah jawab dan cepat
berkata lagi, "Sesungguhnya aku sudah beberapa kali bertemu. Semalam dalam gedung
itupun berjumpa lagi."
Kim Loji kerutkan alis. Jika pemuda itu tak mengatakan sejujurnya, Kim loji dapat
menduganya. Tetapi karena pemuda itu, menerangkan se-jujurnya, Kim loji malah
bingung. Paling2 ia hanya menduga kemungkinan Han Ping tak senang membicarakan
dara itu. Maka iapun tak mau menanyakan lebih lanjut.
Sambil memandang langit, Ih Seng bertanya, "Apakah semalam dalam gedung itu anda
bertemu dengan Ih Thian-heng?"
"Ya," sahut Han Ping, "ketika aku terluka setelah bertempur dengan anak perempuan
Siangkwan Ko, Ih Thian-heng menolong aku."
Ih Seng melongo sampai lama baru ia menghela napas, ujarnya, "Jika Ih Thian-heng itu
benar-benar seperti yang dikatakan Kim lo-cianpwe, tak mungkin dia mau memberi
pertolongan kepada anda."
Dengan ucapan itu jelas bahwa Ih Seng masih tetap menaruh kepercayaan kepada Ih
Thian-heng. Mendengar itu timbullah keraguan Han Ping.
Menilik sikap dan tingkah laku Ih Thian-heng yang begitu baik dan ksatrya, mungkinkah
ia sampai melakukan perbuatan yang seganas itu"
Sebagai seorang tua yang berpengalaman luas tahulah Kim Loji akan isi hati Han Ping
saat itu. Ia menghela napas, " Anak Ping, semalam apakah ada orang lain yang
menyaksikan Ih Thian-heng menolong engkau?"
"Pengemis sakti Cong lo-cianpwe dan pemilik benteng marga Siangkwan yakni
Siangkwan Ko!"
"Bukankah lebih dulu dia menolong anak perempuan Siangkwan Ko baru kemudian
menolong engkau?"
Han Ping terkejut, serunya, "Benar! Bagaimana paman dapat mengetahui hal ini?"
Tiba-tiba wajah Kim loji berobah tegang, serunya, "Ping-ji, apakah dalam menolong
kalian itu, dia memberikan pil supaya kalian meminumnya?"
Han Ping merenung beberapa jenak lalu menngiakan, "Rasanya memang ada "."
"Anak Ping! Apakah engkau meminumnya?" Kim loji makin tegang.
"Tidak! Lebih dulu ia memberi pil kepada anak perempuan Siangkwan Ko tetapi direbut
Cong lo-cianpwe!"
Kim loji menghela napas longgar, "Ah, Pengemis-sakti Cong To itu benar-benar hebat.
Dia memiliki kecerdasan yang luar biasa."
Han Ping heran dan hendak meminta keterangan tetapi Ih Seng sudah
mendahuluinya:."Sungguh aku tak mengerti maksud ucapan Kim lo-cianpwe. Apakah
dalam memberi pertolongan itu, Ih Thian-heng juga bermain sandiwara?"
"Di sinilah letak perbedaan ksatrya dengan manusia rendah," kata Kim loji, "tampaknya
dengan memberi pil itu, dia telah melakukan perbuatan yang terpuji. Tetapi sesungguhnya
pil itu mengandung racun yang luar biasa ganasnya. Beberapa bulan kemudian barulah
obat itu menghancurkan alat2 dalam tubuh orang. Sekalipun tabib sakti Hoa To hidup lagi,
tak mungkin mampu menyembuhkan"."
"Hai, benarkah itu?" Ih Seng terkejut.
Kim loji tertawa nyaring, "Anak Ping, bukankah setelah pil itu direbut Cong To, Ih
Thian-heng berusaha merebutnya kembali?"
"Benar," sahut Han Ping, Ih Thian-heng cepat menerjang hendak merebut pil itu dari
Cong lo-cianpwe."
"Itulah," kata Kim loji, "kalau pil itu berada di tangan Pengemis-sakti, perbuatan palsu
dari Ih Thian-heng pasti akan diketahui seluruh dunia persilatan, oleh karena itu "."
Tiba-tiba wajah Kim loji berobah ".
Jilid 18 : Sarung Pedang Pemutus Asmara terampas oleh Ih Thian Heng
Bagian 33 Duel Han Ping dan Ih Seng heran melihat perubahan wajah dan sikap Kim Loji. Tetapi belum
sempat bertanya, Kim Loji sudah mengajak Han Ping berjalan lagi.
Melihat wajah paman gurunya itu mengunjuk kerut ketakutan, Han Ping tak berani
bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti berjalan di belakangnya.
Ih Seng seorang persilatan yang banyak pengalaman. Ia duga Kim Loji tentu
menyimpan sesuatu. Ia memandang ke seluruh dan ah . . . . benarlah. Pada tanah rumput
yang terpisah empat lima tombak jauhnya, tampak sebuah piagam yang berkilat-kilat
memancarkan cahaya perak. Kecuali itu, tiada terdapat apa-apa lagi.
Ketika berpaling ke muka, Kim Loji dan Han Ping sudah jauh beberapa tombak di muka.
Seketika timbul pikirannya untuk melihat piagam itu.
Cepat ia berbalik tubuh dan loncat ke tempat piagam itu. Dalam dua kali loncatan saja,
ia sudah tiba di sebelah benda itu. Ketika mengamati, ternyata piagam perak itu terdapat
ukiran gambar sebatang tulang putih. Diangkatnya piagam itu, ah, berat juga. Rupanya
terbuat daripada bahan perak murni.
Saat itu Kim Loji dan Han Ping sudah berjalan belasan tombak jauhnya. Ih Seng tak
sempat memeriksa lebih teliti lagi. Cepat ia masukkan piagam itu ke dalam saku lalu
bergegas menyusul kedua orang itu.
Tetapi ternyata Kim Loji berjalan makin pesat. Dia tak pernah berpaling ke belakang
walaupun sebentar saja. Sikapnya seperti orang yang dikejar setan. Terpaksa Han Ping
dan Ih Seng mengikutinya saja.
Tak berapa lama, tibalah mereka di tepi sebuah hutan. Pada saat itu Ih Seng segera
mengeluarkan piagam perak tadi dan bertanya kepada Kim Loji : "Bukankah Kim
locianpwe melihat benda ini ?"
Piagam itu kecil bentuknya. Kecuali ukiran tulang putih, tak ada lain-lain hal yang
istimewa. Tetapi begitu melihat benda itu, seketika berubahlah wajah Kim Loji. Dahinya
mengucurkan keringat dingin.
Sudah tentu Han Ping heran. Meminta benda itu dari Ih Seng, ia berkata : "Apakah
yang istimewa dengan benda ini sehingga paman ketakutan ?"
Sambil menatap piagam kecil itu, Kim Loji menyahut : "Balik dan periksalah piagam itu
!" Han Ping menurut. Di balik piagam itu terdapat dua baris kata, berbunyi :
Piagam pencabut nyawa
Siapa melihat, mati.
Kecuali tulisan itu tak ada lain-lain tanda yang mencurigakan lagi.
Tiba-tiba Ih Seng tertawa : "Uh, sungguh heran. Adakah kalian juga terkena peraturan
itu " Ah, hanya Ih Thian Heng yang tahu. Kusaksikan sendiri, dalam waktu semalam saja
ia sudah cepat menyebarkan 6 buah piagam. Sebelum terang tanah, tiada seorangpun dari
keenam orang itu dapat lolos dari peraturan piagam. Masuk ke dalam sarang ular dan
digigit mati oleh ular beracun . . . ."
"Ji siangkong, lepaskan. Itu, itu . . . . piagam beracun !" tiba-tiba Ih Seng memekik
keras. "Paman," bisik Han Ping, "apakah yang engkau pikirkan ?"
Kim Loji hentikan langkah lalu berputar tubuh perlahan-lahan. Ketika memandang
wajah pamannya itu kejut Han Ping bukan kepalang.
Wajah Kim Loji tampak berwarna biru gelap, keringat membanjir deras. Rupanya
seperti orang yang menderita kekagetan hebat.
"Kim Locianpwe, mengapa engkau ?" seru Ih Seng.
Kim Loji mengambil saputangan, mengusap peluhnya : "Anak Ping, aku hanya dapat
hidup sampai setengah hari saja ! Nanti sebelum malam tiba, aku tentu sudah mati secara
mengenaskan sekali."
"Mengapa ?" Han Ping terkejut.
Perlahan-lahan Kim Loji berpaling memandang empat penjuru lalu duduk. Ia pejamkan
mata bersemedhi. Tak herapa lama wajahnya agak merah. Ujarnya : "Karena kupernah
melihat piagam maut dari Ih Thian Heng itu. Barang siapa melihat, tentu akan mati !"
"Masakan begitu ?"
Kim Loji tertawa hambar, ujarnya : "Piagam maut itu selalu dibawa oleh Ih Thian Heng.
Kecuali dia, tak boleh lain orang menjamah piagam itu. Sekali piagam itu muncul tentu ada
orang yang mati. Dalam waktu 4 jam. Orang yang melihat piagam itu akan mati terputus
tubuh atau segera menerima kematian digigit kawanan ular beracun. Hukuman itu tiada
yang melebihi ganasnya !"
Diam-diam Han Ping menimang. Ia heran mengapa orang yang selalu menghias kulum
senyum di bibir dapat melakukan hukuman yang begitu ganas.
Han Ping cepat berputar tubuh dan mengamati diri Ih Seng. Ah . . . . ternyata tangan
kiri Ih yang mencekal piagam tadi, mulai menguap hitam.
"Anak Ping dan saudara Ih, lekas salurkan tenaga murni untuk menutup seluruh jalan
darah dalam tubuhmu. Jangan sampai racun menjalar ke dalam tubuhmu . . . ."
Sekonyong-konyong dari dalam hutan, terdengar suara orang berseru dengan dingin :
"Ah, sayang sudah terlambat. Piagam perak itu memang dilumuri racun yang tiada
bandingan keganasannya. Sekali menjamah piagam, racun segera melekat pada tubuh.
Jika ingin selamat, lekas kutungilah lengan yang digunakan mengambil piagam tadi !"
Ketika menunduk dan memeriksa, Ih Seng dapatkan lengan kirinya menghamburkan
asap hitam, yang merayap ke atas. Kejutnya bukan kepalang.Bburu-buru ia kerahkan
tenaga dalam untuk menutup jalan darah lengannya itu. Sambil mencabut pedang, ia
membentak : "Hai, siapakah yang main sembunyi seperti setan itu ?"
Han Ping lain lagi tindakan. Cepat ia sabitkan piagam itu ke arah orang yang berseru
dari dalam hutan itu. Habis melontar, cepat ia menerjang ke dalam hutan.
Piagam itu melayang ke arah semak belukar yang lebat, terus lenyap. Serempak itu
Han Pingpun tiba. Sebelum kaki menginjak tanah, ia lepaskan sebuah hantaman ke arah
semak itu. Pukulan pemuda itu dapat menyiak semak belukar. Ia percaya orang yang bersembunyi
dalam semak itu pasti terpaksa keluar. Bila orang yang tak diketahui itu muncul keluar, ia
akan berusaha meringkusnya dan memaksanya supaya memberi obat penawar racun
untuk Ih Seng. Tetapi ternyata tiada seperti yang diharap. setelah tersiak ke samping, semak rumput
itu pun mengatup lagi. Tetapi orang yang berseru tadi tak kelihatan batang hidungnya.
Semak rumput itu selain amat lebat juga rumputnya tumbuh setinggi orang. Sampai
dua tiga tombak Han Ping menyusup ke dalam semak, tetap orang tadi tak tampak. Diamdiam
ia heran, pikirnya : "Jelas orang yang bicara tadi, berasal dalam semak ini. Masakan
aku salah dengar " Dan karena semak ini amat lebat sekali, setiap orang melakukan
gerakan, walaupun memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tetap tentu menerbitkan
suara. Tetapi aneh sekali. Mengapa orang itu lenyap tak berbekas . . . ."
Tiba-tiba ia mendengar pada jarak dua tombak di sebelah kiri, bunyi gerakan rumput
kering yang cukup keras. Cepat ia menggerung seraya apungkan tubuh ke udara. Di
tengah udara ia berputar tubuh lalu melayang ke arah tempat itu.
Cepat sekali Han Ping bergerak. Ia tiba selagi semak rumput itu masih bergerak-gerak.
Tetapi aneh benar. Disitupun Han Ping tak melihat barang seorang manusiapun juga.
Seketika meluaplah amarahnya.
"Main sembunyi seperti tikus, bukankah laku seorang lelaki !" teriaknya seraya
gerakkan sepasang tinju.
Dess . . . . deru angin pukulan itu berhamburan memenuhi empat penjuru. Memang
tenaga saktinya sekarang, sudah mencapai tataran yang tinggi. Ranting dan daun-daun
berhamburan keempat penjuru.
Setelah melepaskan 20 pukulan, barulah ia berhenti. Rumput-rumput kering seluas
setombak, telah bersih semua sehingga terbuka sebuah tanah kosong. Namun orang itu
tetap tak kelihatan.
Pada saat ia terbenam dalam keheranan, tiba-tiba ia mendengar suara mendesah
tertahan. Ia tersentak kaget, pikirnya : "Celaka ! Mereka telah gunakan siasat untuk
memikat aku kemari dan kemudian turun tangan kedua orang itu . . . ."
Cepat ia loncat keluar. Ketika keluar dari gerumbul semak, astaga ! Kim Loji dan Ih
Seng lenyap ! "Paman !" teriaknya segera memburu ke tempat Kim Loji beristirahat tadi.
Ah . . . . Ih Seng menggeletak di tanah. Matanya menutup, pedang perak dan kipas
besi terkapar di sisinya. Tetapi Kim Loji tak tampak.
Ketika memeriksa, nyatalah Ih Seng ditutuk jalan darahnya. Buru-buru ia menolongnya.
Ih Seng menghela napas panjang, ujarnya : "Kim locianpwe dibawa orang, lekaslah
siangkong mengejarnya !"
"Ke arah mana ?"
"Ke utara . . . . dari arah kita datang tadi !"
"Kalau begitu tentu kembali ke gedung Ih Thian Heng lagi . . . ." sekali loncat, Han Ping
terus lari ke utara. Kira-kira dua li jauhnya, tiba-tiba ia mendapat pikiran. Ia hentikan
larinya lalu loncat ke atas sebatang pohon besar. Dengan bergelantungan pada dahan, ia
ayunkan diri ke atas puncak.
Saat itu matahari sedang bersinar terang benderang. Dan dari ketinggian puncak pohon
itu dapatlah ia melihat jelas keseluruh penjuru. Tak jauh di jalanan sebelah barat, tampak
sebuah kereta tengah meluncur. Kecuali kereta itu, tak ada lain benda lagi.
Cepat ia melayang turun ke bumi lagi. Pikirnya : "Empat penjuru daerah ini terdapat
banyak gerumbul rumput yang lebat dan dapat dipergunakan bersembunyi. Jika dia
bersembunyi, tentu sukar mencarinya . . . ."
Saat itu barulah ia menyadari bahwa di dunia memang terdapat banyak hal yang sulit.
Hal yang tak selalu dapat dipecahkan dengan mengandal kepandaian ilmu silat saja.
Ketika berpaling ke belakang, dilihatnya Ih Seng tengah berjalan mendatangi dengan
langkah terhuyung-huyung.
Buru-buru ia menyongsongnya : "Apakah lukamu amat parah ?"
Ih Seng menggeleng : "Memang saat ini darah masih belum lancar tetapi mungkin
sehari saja tentu sudah baik. Apakah siangkong sudah melihat jejak Kim locianpwe ?"
"Belum !"
Ih Seng merenung beberapa saat, ujarnya : "Urusan sudah sampai begini, terburuburupun
tiada gunanya. Sekeliling tempat di sini penuh dengan gerumbul rumput. Mereka
dapat menyembunyikan diri dengan leluasa dan sukar dicari. Rasanya hanya menuju
kembali ke gedung itu untuk mendapatkan Ih Thian Heng."
Sambil memandang ke langit, Han Ping berkata seorang diri : "Jika ia berada di sini


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu dapat memikirkan daya."
"Siapakah yang siangkong maksudkan ?" tanya Ih Seng.
"Nona Ting Ling dari Lembah Raja setan itu. Dia cerdas dan cermat. Banyak akal dan
dapat memperhitungkan sesuatu dengan tepat."
Mendengar itu diam-diam Ih Seng penasaran. Masakan dia seorang tokoh yang
kenyang berkecimpung dalam dunia persilatan, kalah dengan seorang anak perempuan
saja " Segera ia berdiam diri memutar otak. Tetapi kecerdasan itu memang pembawaan otak
sejak dilahirkan. Umur dan pengalaman walaupun menambah luasnya pengetahuan, tetap
tak dapat membantu mengembangkan kecerdasan. Oleh karenanya, walaupun sudah
berpikir sampai setengah hari, dia tetap belum mampu menemukan daya upaya.
Karena sampai sekian lama menunggu, Han Ping tak sabar dan segera menegurnya :
"Saudara Ih, bagaimanakah orang yang menyerang itu ?"
Ih Seng tertegun. Wajahnya merah kemalu-maluan, sahutnya : "Belum sempat kulihat,
orang itu sudah mendahului menutuk jalan darahku. Yang dapat kuketahui hanya dua
sosok bayangan berpakaian biru, menyanggul golok . . . ."
Kata Han Ping dengan tegas : "Harap saudara Ih mencari tempat beristirahat yang sepi
untuk merawat luka. Besok siang kita bertemu lagi di sini. Jika aku tak datang, berarti
terjadi sesuatu. Harap saudara Ih pulang dan lanjutkan memegang kedudukan pemimpin
kaum Rimba Hijau di daerah saudara !"
"Bagaimana mungkin " Aku sudah memutuskan untuk ikut kepadamu . . . ."
Han Ping menghela napas : "Engkau ikut pergipun tak dapat membantu kerepotanku.
Kebalikannya bahkan merepotkan aku untuk melindungimu. Rasanya lebih baik engkau
pulang saja . . . ." - ia terus berputar tubuh dan melangkah menuju ke arah gedung.
Ih Seng lekas cepat mengejar untuk meminta anak muda itu berhenti dulu. Han Ping
menurut dan minta Ih Seng lekas mengatakan maksudnya.
"Aku hendak mencari tempat bersembunyi di luar gedung menunggu siangkong !"
katanya. Setelah merenung sejenak, Han Ping menyetujui : "Baiklah, jika sampai matahari silam
aku belum keluar, tak perlu engkau menunggu lagi !"
"Jika siangkong sampai mendapat kecelakaan dalam gedung itu, aku hendak
menyiarkan kepada seluruh kaum persilatan tentang kejahatan Ih Thian Heng. Kemudian
aku hendak mengadu jiwa !"
Han Ping mengeluarkan pedang Pemutus asmara. Ia menghunus batang pedang dan
menyerahkan sarung kepada Ih Seng.
"Peta yang terdapat pada sarung pedang itu, merupakan rahasia dari harta karun yang
tersimpan dalam makam tua itu. Jika aku kalah, sarung pedang itu tentu akan diambil Ih
Thian Heng. Harta karun dalam makam tentu akan jatuh ke tangannya. Simpanlah sarung
pedang itu. Jika sampai terjadi sesuatu pada diriku, serahkanlah sarung pedang itu kepada
Pengemis sakti Cong To dan ceritakan semua pengalaman yang kita jumpai dalam makam
tua itu. Mintalah kepadanya supaya mengambil harta di dalam makam tua . . . ."- Han
Ping berhenti sejenak lalu membolang balingkan pedang pusaka Pemutus asmara seraya
berseru : "Pedang, pedang Pemutus asmara ! Walaupun tajammu tiada taranya tetapi
dunia menganggapmu sebagai benda terkutuk. Semoga kali ini engkau dapat membantu
aku untuk membalaskan sakit hati ayah bundaku . . . ."
Pedang itu memancarkan cahaya berkilat dan angin dingin yang menegakkan bulu
roma. Ih Seng terpaksa mundur sampai tiga langkah.
Ketika melihat anak muda itu mainkan pedang, Ih Seng terkejut heran. Yang dimainkan
Han Ping itu ternyata suatu gerak ilmu pedang yang luar biasa hebatnya. Ih Seng
terlongong-longong memandangnya.
Han Ping hentikan pedangnya. Wajahnya tampak tenang. Ternyata yang dimainkan tadi
adalah ilmu pedang jurus Empat penjuru pedang sakti dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng
yang diuraikan oleh mendiang Hui Gong taysu. Dalam memainkan ilmu pedang itu harus
bersikap tenang dan serius.
Ilmu pedang Empat penjuru pedang sakti itu, walaupun terdiri dari empat jurus, tetapi
merupakan gerak pedang yang dilambari tenaga sakti tinggi.
Tetapi Han Ping sendiri tak menyadari kehebatan permainan pedang itu. Adalah karena
kesal hati memiliki pedang pusaka tetapi merasa tak memiliki suatu ilmu pedang yang
sakti, maka tanpa terasa ia mainkan pedang menurut ajaran Hui Gong taysu. Sekali
mainkan jurus itu, tenaga saktinyapun memancar dan tercurahlah seluruh semangat
perhatiannya. Sebagai pemimpin kaum Rimba Hijau dari empat propinsi, Ih Seng sangat dimalui orang
berkat senjatanya pedang perak dan kipas besi. Dalam ilmu pedang ia sudah mengabdikan
diri selama 20 tahun. Apabila bertemu dengan jago pedang, ia selalu memperhatikan
gerakannya. Pengalaman dan pengetahuannya dalam ilmu pedang itu dituang dalam
sebuah ciptaan permainan pedang dan kipas yang terdiri dari 13 jurus. Sesungguhnya,
dalam ilmu pedang, ia telah mempunyai keyakinan yang amat mendalam sekali.
Namim ketika melihat permainan pedang Han Ping yang sedemikian aneh, ia terkesiap.
Belum selama ini ia menyaksikan permainan ilmu pedang yang begitu penuh dengan
perubahan-perubahan tak terduga.
Tiba-tiba pemuda itu menghela napas, ujarnya : "Terima kasih atas kesungguhan
hatimu terhadap diriku. Di dunia jarang terdapat seorang sahabat sejati. Kepergianku
mencari Ih Thian Heng kali ini, belum tentu berhasil. Entah mati entah hidup, belum dapat
kupastikan. Mungkin sejak itu, setan dan manusia akan terpisah selama-lamanya . . . ."
"Ah, siangkong, orang baik tentu dilindungi Tuhan . . . ."
Han Ping tertawa hambar, serunya : "Sejak bertempur dengan putri dari ketua marga
Siang kwan barulah kusadari bahwa ilmu silat itu benar-benar tiada batasnya. Karena
dapat menolong kami berdua saat itu, tentulah kepandaian Ih Thian Heng itu tak di
bawahku . . . ."
"Benar," sahut Ih Seng, "Ih Thian Heng adalah tokoh yang paling disegani oleh
golongan Hitam maupun Putih di daerah Kanglam-Kangpak. Dia dipandang sebagai tokoh
nomor satu. Sekalipun engkau memiliki kepandaian yang hebat tetapi mungkin masih
sukar untuk menandinginya . . . ."
Han Ping memandang ke arah cakrawala. Beberapa saat kemudian baru ia berkata pula
: "Sekalipun aku tak takut mati tetapi selama cita-cita belum terlaksana, sukarlah bagiku
mati dengan tenteram."
"Apabila siangkong hendak memberi pesan apa-apa, silahkan mengatakan, aku tentu
melakukan . . . ." tiba-tiba Ih Seng hentikan kata-katanya karena ia merasa ucapannya itu
berarti sudah memastikan bahwa Han Ping tentu akan binasa.
Kata Han Ping : "Engkau banyak membantu aku. Sebagai anak, aku merasa sedih sekali
karena belum pernah berlutut memberi sembah sujud di hadapan makam kedua orang
tuaku . . . ."
"Benar," sahut Ih Seng, "pasti akan kulakukan hal itu untuk siangkong."
"Masih ada lagi mendiang guruku yang telah mengorbankan putranya sendiri demi
menolong aku kemudian merawatku sampai besar. Juga makamnya tiada orang yang
menaburkan bunga . . . ." ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula "akupun telah
meluluskan untuk melaksanakan pesan mendiang Hui Gong taysu. Jika hal itu gagal,
bukankah berarti menyia-nyiakan jerih payahnya . . . ."
Han Ping mengoceh sendiri, menumpahkan seluruh isi hatinya selama ini. Sudah tentu
Ih Seng tak mengerti apa yang diucapkannya itu.
Beberapa jenak kemudian barulah Han Ping berpaling memandang Ih Seng dan
tersenyum : "Apa yang kukatakan tadi adalah seluruh isi hatiku. Sudah tentu engkau tak
mengerti."
"Apakah siangkong mengatakan . . . ." karena diliputi bajangan bahwa kepergian Han
Ping kali ini tentu akan binasa maka hati Ih Seng diliputi dengan rasa kesedihan sehingga
ia tak mendengar jelas apa yang dikatakan pemuda itu.
Tiba-tiba dengan nada perwira ia bersenandung kecil : "Angin berhembus, airpun
mendingin . Sekali seorang ksatria pergi, takkan kembali lagi . . . ."
Ih Seng serentak maju dua langkah seraya menjura memberi hormat : "Kepandaian
siangkong tidak di bawah Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng. Mungkin hanya kalah tenaga saja.
Oleh karena itu kalau berhadapan dengan dia, janganlah mengadu kesaktian tenaga.
Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak mendapat kayu . . . ."
Sahut Han Ping : "Satu-satunya sahabat baik dari almarhum ayahku hanya tinggal
paman Kim seorang. Jika tak mampu menolongnya, masakan aku masih ada muka untuk
bertemu orang ?"
Habis berkata pemuda itu terus berputar tubuh terus melangkah ke muka.
Ih Seng yang berwatak angkuh dan tinggi hati, saat itu dua titik airmata. Sambil
mengangkat tangan, ia mengantarkan doa puji : "Semoga siangkong diberkahi
keselamatan . . . ."
Tiba-tiba Han Ping berhenti dan berpaling. Serunya tertawa : "Ah, kebaikan budi
saudara Ih, aku belum dapat membalas . . . ."
Ih Seng cepat mengusap airmatanya lalu memandang anak muda itu. Tiba-tiba hatinya
agak bergetar. Ternyata air muka pemuda itu berubah. Tidak lagi menampilkan keputusasaan,
melainkan memancar penuh keyakinan. Dan pada lain saat terdengar kata-kata
ramah dari pemuda itu.
"Ah, kini aku teringat akan beberapa jurus ilmu silat yang terdiri dari Tiga pedang dan
Tiga pukulan. Keenam jurus itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tiada saling
bersangkut-paut. Akupun tak tahu asal sumbernya. Tetapi yang jelas apabila digunakan,
perbawanya amat dahsyat sekali. Biarlah dalam waktu yang amat singkat ini, keenam
jurus ilmu pedang dan pukulan itu kuajarkan kepada saudara Ih. Mudah-mudahan saudara
dapat meyakinkan sendiri," kata Han Ping.
Pada saat Ih Seng hendak menolak, Han Ping sudah maju menghampiri, serunya
perlahan : "Saudara Ih, perhatikanlah. Pukulan ini disebut Burung hong keluar sarang . . .
." - ia lempangkan tangan ke dada lalu didorongkan agak mencondong.
Pertama lurus ke muka, setengah jalan tiba-tiba dibalikkan ke kiri. Setelah menjulur
lurus lalu ditamparkan balik ke kanan.
Sebagai tokoh yang berpengalaman, sekali lihat saja, Ih Seng sudah mengetahui. Buruburu
ia menirukan. Tampak jurus Burung hong keluar sarang itu sederhana sekali. Tetapi
ketika dilakukan, Ih Seng merasa bingung. Sudah 10 kali mengulang, tetap ia belum
mampu menguasai rahasia inti keindahannya.
Karena ingin lekas-lekas menolong Kim Loji, Han Ping tak punya banyak waktu. Belum
Ih Seng paham seluruhnya, ia sudah mulai mengajarkan lagi jurus yang kedua.
Jurus kedua itu disebut Halilintar menggetar ribuan kait. Suatu pukulan yang penuh
dengan kekerasan dahsyat sehingga menggunakan tenaga penuh.
Setelah Ih Seng berlatih 10 kali, Han Ping segera mengajarkan jurus yang ketiga,
disebut Seribu tali sebuah jala. Merupakan ilmu pukulan yang aneh, mengutamakan
sambaran dan cengkeraman. Penuh dengan perubahan-perubahan.
Selesai tiga jurus ilmu pukulan itu, sudah memakan waktu sepenanak nasi lamanya.
Sejenak memandang ke cakrawala, Han Ping segera meminjam pedang Ih Seng lalu
dibolang-balingkan dua lingkaran kemudian menusuk.
"Jurus ilmu pedang ini disebut Pohon besi berbunga perak. Sekarang sudah siang, maaf
aku tak dapat mengajarkan kedua jurus yang lainnya . . . ." kata Han Ping. Setelah
memainkan sekali lagi jurus itu, ia letakkan pedang lalu loncat dan lari menuju ke gedung
milik Ih Thian Heng.
Pada saat Ih Seng memungut pedang, Han Ping empat lima tombak jauhnya dan pada
lain kejap sudah lenyap dari pandangan mata.
Matahari menjulang tinggi di langit. Angin berhembus membaur muka. Ih Seng
menghela napas lalu menyimpan sarung pedang pusaka pemberian Han Ping tadi, terus
hendak mencari tempat bersembunyi. Sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa
dingin . . . . Ih Seng terkejut dan cepat berpaling. Dari balik sebuah gerumbul rumput yang tak jauh
di sebelah muka, muncul seorang lelaki pertengahan umur. Mengenakan jubah dan topi
persegi. Gayanya seperti seorang terpelajar, mulutnya mengulum tawa.
Seketika tergetarlah semangat Ih Seng, serunya serentak : "Bukankah engkau Sin-ciuit-
kun Ih Thian Heng ?"
Orang itu tertawa : "Ah, benar. Benda apakah yang saudara Ih pegang itu ?"
Ih Seng mengacungkan pedang peraknya : "Apakah ini . . . ."
Ih Thian Heng menggeleng : "Bukan itu tetapi yang berada di tangan kirimu itu !"
Sambil memandang ke arah sarung pedang yang dipegang di tangan kiri, Ih Seng
berseru : "Apakah saudara menanyakan benda ini ?"
Ih Thian Heng tertawa mengangguk.
"Benda ini kepunyaan seorang sahabat yang minta tolong supaya kusimpankan"
"Ah, masakan hendak engkau simpan " Bukankah hendak engkau berikan kepada
Pengemis sakti Cong To ?" seru Ih Thian Heng, seraya menghampiri ke muka Ih Seng lalu
ulurkan tangan kanan berseru sambil tertawa : "Boleh pinjam lihat benda itu sebentar saja
?" "Ini . . . ."
Ih Thian Heng cepat menukas : "Aku tak senang menerima kebaikan. Jika saudara Ih
suka menyerahkan benda itu, tentu akan kuobati racun pada tangan saudara."
Sesungguhnya Ih Seng hampir melupakan tentang tangannya yang keracunan itu. Demi
mendengar kata Ih Thian Heng, segera ia menunduk mengamati tangannya. Bengkaknya
sudah lenyap tetapi berganti dengan bintik-bintik merah. Ia heran, pikirnya : "Semula
racun itu seperti berbahaya tetapi mengapa belum diobati sudah hilang sendiri . . . ."
Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng tersenyum, ujarnya : "Saudara Ih tentu mengira bengkak
itu sudah sembuh dan tak perlu diobati lagi, bukan " Ah, sebenarnya racun itu sudah
menyusup masuk ke dalam kulit dan bercampur dengan darah. Apabila racun itu sudah
bekerja, seluruh tubuh akan membusuk dan mati."
"Apa ?" teriak Ih Seng.
Dengan nada bersungguh, Ih Thian Heng menegaskan : "Aku berkata dengan
sebenarnya. Jika saudara Ih tak percaya, cobalah saudara mencungkil bintik-bintik merah
itu dengan ujung pedang dan lihatlah darahnya berwarna bagaimana. Segera saudara
tentu percaya omonganku !"
Sejenak Ih Seng bersangsi kemudian ia melakukan juga. Ternyata darah yang
mengucur dari bintik merah itu berwarna ungu tua.
Ih Thian Heng tertawa : "Sejam lagi, racun itu akan menyerap ke seluruh tubuh
saudara. Jika racun sudah mengalir ke jantung, jangan harap mendapat obat lagi !"
Ih Seng tertawa dingin dan tiba-tiba membentak : "Semula kaum persilatan golongan
Hitam maupun Putih amat mengindahkan sekali kepadamu dan memberikan nama yang
agung Ksatria utama dari Sin-ciu. Mereka mengira engkau benar-benar seorang tokoh
yang berbudi luhur. Tetapi ternyata kesemuanya itu hanya pulasan belaka. Engkau tak
lebih dari seekor harimau yang berselimut kulit domba . . . ."
Ih Thian Heng hanya tersenyum : "Aku tak suka memaksa orang. Jika saudara Ih
memang tak mau meminjamkan benda itu, akupun takkan memaksa." - Habis berkata, ia
terus berputar tubuh dan pergi.
Memandang ke langit, Ih Seng diam-diam berpikir : "Taruh kata keterangannya itu
benar, aku masih mempunyai waktu hidup selama tiga hari. Aku harus menggunakan
waktu tiga hari itu untuk mencari Cong To dan menyerahkan benda ini . . . ."
Tiba-tiba terlintas sesuatu, pikirnya ; "Tetapi aku sudah berjanji hendak menunggunya
di sini. Ah, apakah harus ingkar janji ?"
Demikian karena merasa kedua hal itu sama pentingnya, Ih Seng tak segera dapat
mengambil keputusan.
Memandang kemuka tampak bayangan Ih Thian Heng mulai lenyap dalam gerumbul
rumput. Hati Ih Seng serasa pedih. Sifat kegagahannyapun lenyap. Ia menghela napas.
"Dia mau menyerahkan benda berharga ini kepadaku, berarti percaya penuh bahwa aku
tentu dapat memberikan benda ini kepada Cong To. Jika sampai tak mampu mengerjakan,
bukanlah aku menyia-nyiakan kepercayaannya " Apalagi harta karun dalam makam itu
bernilai seharga pembelian sebuah negeri. Pula terdapat pusaka Tenggoret Kumala dan
Kupu-Kupu Emas yang jarang terdapat di dunia persilatan. Jika harta pusaka itu sampai
jatuh ke tangan Ih Thian Heng, tentu celakalah dunia persilatan. Hm, aku harus
menyerahkan kepada Pengemis sakti Cong To . . . ." ia mengoceh seorang diri.
Tiba-tiba dari balik gerumbul rumput terdengar bunyi rumput tersiak. Cepat ia
berpaling. Entah dan mana, tahu-tahu muncullah enam anak lelaki baju putih,
mengepungnya dengan menghunus pedang pendek. Mereka rata-rata berumur 14-15
tahun, berubah terang tetapi agak bengis. Mata mereka berkilat tajam.
Sebagai seorang persilatan, sepintas memandang tahulah Ih Seng bahwa keenam anak
itu bukan bocah sembarangan. Diam-diam ia kerutkan dahi.
"Hai, mau apa kalian ?" bentaknya.
Anak yang berdiri di sebelah timur, rupanya menjadi pemimpin. Sambil gerakkan
pedang perlahan-lahan, ia berseru dingin : "Jangan banyak bicara ! Pilihlah satu di antara
dua : mati atau cacad !"
Walaupun suaranya kekanak-kanakan tetapi nadanya angkuh dan congkak sekali.
Sesaat Ih Seng tertegun lalu balas membentak : "Apa katamu ?"
Pemimpinan kawanan bocah berpedang itu melengking dingin : "Apakah engkau tuli "
Mati atau cacad ! Pilih salah satu."
Hampir meledak serasa dada Ih Seng. Namun ia masih dapat menyabarkan diri dan
menegas : "Bagaimana kalau memilih mati dan bagaimana kalau memilih cacad ?"
Keenam bocah itu saling berpandangan satu sama lain. Kemudian bocah yang menjadi
pemimpin itu berkata : "Jika memilih mati itu mudah. Kami yang mencincang tubuhmu
atau engkau sendiri yang berhara kiri. Kalau memilih cacad, walaupun masih hidup tetapi
engkau akan menderita sekali. Lebih dulu akan kami korek sepasang biji matamu, lalu
memotong lidah dan kemudian mengiris putus urat nadi pergelangan tanganmu. Agar
engkau tak dapat membocorkan apa yang engkau saksikan . . . ."
Bukan main marah Ih Seng : "Bocah yang masih ingusan seperti kalian berani
menghina aku !" - ia menutup kata-katanya dengan menyerang bocah pemimpin itu.
Sebagai seorang persilatan tahulah ia bahwa keenam bocah itu memang berisi. Maka ia
gunakan siasat untuk mendahului menyerang dikala mereka masih belum siap sedia.
Kemudian setelah berhasil, ia akan meloloskan diri dari kepungan mereka.
Pada saat bicara tadi, diam-diam ia telah memperhatikan keadaan kawanan bocah itu.
Di antara mereka dilihatnya bocah yang berdiri di sebelah barat, bertubuh kurus. Ia duga
tentulah bocah itu merupakan yang paling lemah sendiri di antara kawannya. Maka


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gunakan jurus ilmu pedang Burung hong naik naga berbangkit, ia langsung
menerjang ke barat.
Terdengar bocah itu tertawa dingin seraya mengangkat pedang ke atas untuk
memapas pedang Ih Seng Gerakannya amat cepat sekali.
Ih Seng rasakan bahwa pedang pendek kawanan bocah itu memancarkan hawa dingin
yang tajam. Ia tak berani mengadu senjata dengan mereka. Cepat ia menarik pedang dan
terus berganti dengan jurus lain untuk menusuk lengan bocah itu. Serempakpun mencabut
kipas besinya lalu ditebarkan untuk melindungi punggungnya.
Dalam perhitungan Ih Seng, sekalipun kawanan bocah itu mendapat pelajaran dari Ih
Thian Heng, tetapi mengingat usia mereka masih begitu muda, tentulah dalam hal tenaga
mereka masih belum sempurna. Bukti bahwa muncul berenam, menandakan bahwa
mereka memerlukan gabungan tenaga untuk menghadapi musuh.
Di luar dugaan. perhitungan Ih Seng itu meleset. Pada saat ia menyerang ke sebelah
barat, kelima bocah yang lain diam saja, tak mau maju menyerang.
Bocah yang menjaga di sebelah barat itu, serentak memutar pedang lalu ditebaskan ke
bawah. Gerak perubahan itu mengejutkan sekali karena tak terduga-duga. Pada saat tangannya
berputar, pedangnyapun sudah memapas pedang Ih Seng. Tring . . . . seketika kutunglah
pedang Ih Seng menjadi dua !
Begitu mendapat hasil, bocah itu mengisar kakinya ke muka, sekali pedang menabur,
ujung pedangnya mengancam tiga buah jalan darah di dada Ih Seng.
Ancaman itu memaksa Ih Seng harus menggunakan kipas besinya dalam jurus Awan
mengambang menutup bulan. Ia menghindar ke samping seraya membalikkan kipas untuk
menutup ancaman pedang si bocah.
Tetapi rupanya bocah itu sudah mengetahui apa yang akan dilakukan lawan.
Pedangnya digoyangkan ke kanan lalu digelimpangkan ke kiri, tring, tring, tring . . . .
terdengar bunyi bergemerincingan disusul dengan rangka kipas besi yang berhamburan
jatuh ke tanah.
Hanya dua jurus saja, pedang perak dan kipas besi milik Ih Seng sudah rusak. Kejut Ih
Seng bukan alang kepalang. Ia menyurut mundur dua langkah.
Tiba-tiba terdengar angin berkesiur. Bocah yang menjaga sebelah selatan, serentak
maju menyerang. Sekali tangannya bergerak, ia sudah menyambar sarung pedang
Pemutus asmara dan ujung pedang sudah mengancam dada Ih Seng.
Kalau Ih Seng tetap mempertahankan sarung pedang, dadanya tentu akan tertusuk.
Dalam keadaan terdesak, terpaksa ia lepaskan sarung pedang lalu loncat mundur. Tetapi
setelah berhasil merampas sarung pedang, bocah itu pun mundur lagi ke tempatnya
semula. Ih Seng memandang ke sekeliling. Tampak wajah keenam bocah itu dingin laksana
boneka anak-anak. Sekecil itu mereka sudah dapat menguasai perubahan mimik
wajahnya. Bocah yang menjaga di sebelah timur, yakni yang menjadi pemimpin itu berseru dingin
: "Sekarang kami akan mulai menghitung. Sampai pada hitungan yang ke 9, rasanya
sudah cukup bagimu untuk memilih jalan kematian. Jika sudah menghitung sampai 9,
engkau masih belum mati, terpaksa kami akan turun tangan !"
Sudah banyak pengalaman Ih Seng berhadapan dengan musuh yang bengis dan ganas
tetapi belum pernah ia mengalami peristiwa mengenaskan seperti saat itu. Keenam bocah
yang berwajah bersih itu, selain memiliki ilmu pedang yang luar biasa dan gerak tubuh
yang amat tangkas, pun memiliki juga pedang pusaka yang dapat menabas logam seperti
memotong tanah liat saja.
Dari beberapa gebrak tadi, dimana pedang dan kipasnya kutung serta sarung pedang
Pemutus asmara dapat direbut, Ih Seng menyadari bahwa tak mungkin ia mampu lolos
dari kepungan keenam bocah itu. Sekalipun ia bertempur satu lawan satu, belum tentu ia
akan memperoleh kemenangan.
la menghela napas putus asa. Memandang ke langit luas, diam-diam ia berdoa : "Ji
Siangkong, maafkan aku Ih Seng yang tak berguna ini, sehingga tak dapat melaksanakan
pesananmu. Sebagai tanda terima kasihku atas kepercayaanmu, aku akan mengadu jiwa .
. . ." "Satu !" tiba-tiba bocah pemimpin yang berdiri di sebelah timur itu mulai menghitung.
"Dua !" bocah yang berdiri di sebelah timur taut segera menyambung. Kemudian
disusul oleh kawan-kawannya yang menghitung sampai 6.
Saat itu Ih Seng sudah menentukan pilihannya. Wajahnya pun tampak tenang. Belum
bocah-bocah itu menghitung sampai 7, tiba-tiba ia berseru nyaring : "Tuan besarmu Ih
Seng ini, mana sudi menerima hinaanmu semacam itu !"
Tiba-tiba ia loncat ke udara dan lepaskan pukulan Burung hong keluar sarang ke arah
bocah yang berdiri di sebelah timur. Dia sudah bertekad untuk mati.
Ilmu pukulan itu adalah ilmu yang beberapa saat tadi baru saja diajarkan oleh Han
Ping. Ketika dilontarkan, ternyata menghamburkan tenaga pukulan yang dahsyat sehingga
anginnya terdengar menderu-deru.
Bocah yang menjaga di sebelah timur itu rupanya terkejut melihat pukulan Ih Seng
yang begitu hebat. Dalam gugupnya, ia loncat ke samping.
Pukulan Ih Seng menemui angin kosong. Tetapi pada saat itu tersadarlah ia bahwa
pukulan yang diajarkan Han Ping itu, benar-benar amat sakti. Selekas turun ke bumi,
cepat ia lepaskan lagi pukulan jurus kedua yakni Halilintar menggetarkan ribuan kait.
Bocah yang menjaga di utara dan bocah yang menjaga di selatan dengan tangkas
segera loncat untuk menutup lubang kepungan yang ditinggalkan kawannya tadi. Tetapi
ketika terlanda oleh angin pukulan Ih Seng, yang ampuh, mereka berduapun menyurut ke
samping. Kesempatan itu tak disia-siakan Ih Seng. Secepat kilat ia loncat menerobos
keluar. Keenam bocah itu berhamburan memburu. Gerakan mereka seperti merupakan sebuah
kesatuan. Secepat kilat mereka menghadang di muka Ih Seng terus berpencar diri
menurut formasi kedudukan seperti tadi.
Bocah pemimpin yang menjaga di sebelah timur tadi, sambil gerakkan pedangnya,
berteriak menghitung : "Tujuh . . . ."
Nadanya amat nyaring seolah-olah menembus ke awan.
"Tuan besarmu Ih Seng ini sudah kenyang mengembara di dunia persilatan. Apakah
kalian anggap aku tak mampu lolos ?"
Wut . . . . kembali ia lancarkan jurus yang ketiga yakni Burung hong keluar sarang. Ia
menyadari bahwa dari semua kepandaiannya silat, hanyalah ilmu pukulan ajaran Han Ping
yang mampu mengatasi kawanan anak-anak itu.
Jago pedang perak kipas besi Ih Seng itu sudah bertekad untuk mati. Tetapi
sebelumnya iapun harus melukai kawanan bocah itu. Ia tak mau menderita malu dari
gerombolan bocah yang tak terkenal. Maka begitu lepaskan pukulan iapun serempak
menerjang ke arah barat daya.
Melihat pukulan yang sedemikian dahsyatnya, bocah yang berdiri di sebelah barat daya
itu terkejut lalu loncat mundur beberapa langkah.
Tepat pada saat Ih Seng berhasil mengundurkan penjaga sebelah barat daya itu, bocah
yang menjadi pemimpin tadipun sudah menghitung : "Delapan . . . ."
Ih Seng agak tertegun. Ketika ia hendak bergerak menerjang kepungan bocah yang
berdiri di sebelah timur itupun sudah berseru : "Sembilan . . . ."
Seketika kedua bocah yang berada di sebelah kanan kirinya, loncat ke udara. Di tengah
udara mereka berputar tubuh sambil gerakkan pedang. Begitu melayang turun ke tanah,
merekapun segera menyerang Ih Seng.
Ih Seng terkejut dan hentikan terjangannya lalu gerakkan kedua tangannya dalam
pukulan Ribuan benang sebuah jaring.
Jurus itu merupakan sebuah ilmu pukulan yang aneh. Sekalipun Ih Seng masih belum
paham betul, namun perubahan yang sedemikian aneh itu, membuat kedua bocah
penghadangnya kebingungan.
Sepasang tinju Ih Seng yang ditujukan kepada kedua bocah itu, sekonyong-konyong
ditebarkan menjadi gaya cengkeraman. Secepat kilat berhasil mencengkeram lawan, terus
ia dorong ke muka. Terdengar suara erang tertahan. Bocah yang dicengkeram dengan
tangan kanan itu, terlempar beberapa langkah jauhnya.
Celakanya, bocah yang dicengkeram dengan tangan kiri itu, karena tangan kirinya
sudah terkena racun sehingga tenaganya berkurang, hanya dapat didorong mundur
setengah langkah saja.
Sesungguhnya bocah itupun diam-diam sudah kerahkan tenaga dalam untuk bertahan
diri. Begitu menyurut mundur setengah langkah, cepat ia melangkah maju lagi dan
mendadak menendang kaki Ih Seng. Bluk . . . . Ih Seng jatuh terduduk di tanah !
Pada saat kedua kawannya dicengkeram Ih Seng, bocah yang menjadi pemimpin itu
secepat kilat sudah loncat menerjang. Ketika Ih Seng jatuh di tanah, bocah pemimpin
itupun sudah lekatkan ujung pedangnya ke dada Ih Seng.
Tahu pasti mati, Ih Seng meramkan mata menunggu kematian. Tetapi sekonyong
konyong terdengar suara melantang : "Tahan dulu !"
Suara nyaring itu amat berwibawa sehingga sekalian orang tertegun seketika. Ketika
berpaling, Ih Seng melihat seorang lelaki berumur 50an tahun, berdiri pada jarak 5
langkah dari tempatnya. Wajahnya persegi, telinga besar.
"Ah, Ca Cu Jing juga muncul !" diam-diam Ih Seng terkesiap.
Memang yang datang itu adalah Ca Cu Jing, ayah dari Ca Giok atau kepala marga Cake-
poh. Sejenak sapukan mata ke arah keenam bocah itu, Ca Cu Jing bertanya kepada Ih
Seng : "Saudara Ih saat itu berada dalam bahaya. Apakah saudara menghendaki bantuan
tenagaku ?"
Selama berkelana dalam dunia persilatan, Ih Seng pantang tunduk pada orang.
Mendengar pertanyaan itu, ia berpikir : "Manusia tak luput dari kematian. Perlu apa aku
harus minta bantuannya " Lebih baik aku mati !"
Maka ia menatap orang she Ca itu dengan pandang acuh tak acuh. Tetapi pada lain
saat terlintaslah dalam benaknya : "Ah, Ih Seng, Ih Seng ! Engkau memang manusia tak
berguna. Ji Han Ping mempercayakan kepadamu sebuah urusan penting, tetapi engkau
tak mampu melakukan dan bahkan hendak mati . . . ."
Seketika timbullah hasratnya untuk hidup. Namun dia seorang tokoh ternama dalam
dunia persilatan. Sukar baginya untuk membuka mulut minta pertolongan orang.
Dipandangnya ketua marga Ca itu. Mulutnya bergetar-getar tetapi tak mengeluarkan
suara apa-apa. Sudah tentu sebagai tokoh tua yang berpengalaman, Ca Cu Jing tahu apa arti sikap Ih
Seng itu. Ia tersenyum : "Tak perlu saudara Ih mengatakan, aku sudah tahu maksud
saudara . . . ."
Tiba-tiba ia tertawa keras, katanya pula : "Tetapi selamanya aku tak pernah membantu
orang dengan percuma. Tak perlu saudara Ih menghaturkan terima kasih. Asal saudara
mau melakukan sebuah permintaanku, kita tak saling berhutang budi . . . ." - tiba-tiba ia
menggembor keras seraya ayunkan tangan kanannya. Serangkum angin pukulan yang
tajam bersama selarik sinar perak, segera meluncur ke arah kedua bocah yang
menghampiri ke belakang Ih Seng. Kedua kocah itu loncat menyingkir.
Ternyata pada saat Ih Seng sedang bicara dengan Ca Cu Jing, dua bocah yang berada
di sebelah timur dan utara, loncat ke belakang Ih Seng. Mereka hendak menyelesaikan
nyawa Ih Seng. Tetapi gerak gerik mereka itu tak luput dari pengamatan mata Ca Cu Jing
yang tajam. Pemimpin marga Ca itu cepat lepaskan pukulan Pembelah angkasa dan
taburkan 24 batang jarum Hong Wi Ciam lalu serentak loncat ke samping Ih Seng untuk
melindunginya. Pemimpin barisan bocah itu menyurut mundur. Tiba-tiba ia gerakkan pedangnya.
Keenam bocah serentak bergerak mengepung Ca Cu Jing.
Melihat gerakan keenam bocah yang sedemikian tangkas, agak berubahlah wajah ketua
marga Ca itu. Katanya kepada Ih Seng : "Saudara Ih, apakah saudara setuju " Harap lekas
bilang. Aku masih mempunyai urusan yang penting, tak lama-lama berada di sini saja !"
"Soal apa " Harap saudara Ca katakan agar dapat kupertimbangkan, apakah aku
mampu mengerjakan atau tidak ?"
"Amat mudah sekali. Bagi saudara Ih hanya sepatah kata !"
"Ah, apakah itu ?"
"Supaya dalam kedudukan sebagai pemimpin Rimba Hijau, saudara Ih memerintahkan
anak buah yang tersebar di empat propinsi untuk mencari jejak putraku Ca Giok !"
"Ah, ternyata memang mudah," diam-diam Ih Seng membatin tetapi ia pura-pura
berkata merendah : "Ah, seorang tokoh sakti seperti saudara Ca, sekali membuka mulut
masakan ada orang yang berani tak mengindahkan " Sudah tentu aku senang sekali
melakukan perintah itu tetapi entahlah akan berhasil atau tidak !"
Ca Cu Jing tertawa dingin : "Memang dalam wilayah utara sungai Hongho, aku
mempunyai pengaruh. Tetapi kalau di beberapa propinsi Tionggoan, aku tak dapat
berbuat apa-apa. Maka terpaksa akan memerlukan tenaga saudara !"
Diam-diam Ih Seng menimang dalam hati : "Kepandaian orang ini jarang terdapat
tandingannya. Barisan bocah itu tentu sukar untuk mengepungnya. Tetapi sarung pedang
itu sudah terampas mereka. Sekalipun aku dapat ditolongnya keluar dari kepungan ini
tetapi aku tiada muka bertemu dengan Cong To lagi . . . ."
Cepat ia menyahut dengan setengah berbisik :
"Sesungguhnya aku ingin sekali melakukan perintah saudara Ca itu, hanya saja . . . ."
Rupanya Ca Cu Jing tak sabar. Cepat ia berseru keras : "Saudara juga seorang tokoh
persilatan yang ternama. Mengapa bicara begitu tergugu. Saudara setuju atau tidak, harap
lekas nyatakan saja . . . ." - mungkin karena merasa hendak mengatakan perkataan yang
kasar, ia hentikan bicara.
Sambil memandang ke arah sarung pedang yang berada di tangan pemimpin barisan
bocah, berkatalah Ih Seng : "Aku mempunyai sebuah sarung pedang yang dirampas
orang. Harap saudara Ca suka merebutkan kembali. Apa saja yang saudara hendak
perintahkan termasuk mencari jejak Ca sau pohcu itu, pasti akan kulakukan dengan
sepenuh hati !"
Ca Cu Jing tertawa dingin : "Apakah artinya sebuah sarung pedang. Jika saudara Ih
menghendaki, aku segera kirim orang untuk mengambilkan sarung pedang yang bagus !"
Ih Seng terbeliak. Ia menyadari kata-katanya itu memang lemah. Namun jika
menerangkan dengan terus terang, ia kuatir orang she Ca itu setelah berhasil merebut
sarung pedang, tentu tak mau mengembalikan sarung pedang itu kepadanya.
Saat itu pemimpin barisan bocah melambaikan pedang dan keenam bocah baju
putihpun mengisar langkah, perlahan-lahan maju mempersempit lingkar kepungannya.
Melihat kegentingan memuncak dan setiap saat tentu akan meletus pertempuran,
timbullah pikiran Ih Seng. Ia anggap jika sarung pedang Pemutus asmara itu jatah ke
tangan Ca Cu Jing kelak Pengemis sakti Cong To masih dapat meminta. Daripada kalau
jatuh ke tangan Ih Thian Heng.
Setelah menetapkan keputusan, Ih Seng pura-pura menghela napas, ujarnya : "Atas
kesungguhan hati saudara Ca kepadaku, aku Ih Seng merasa tak enak sendiri. Sarung
pedang itu bukanlah benda biasa melainkan sarung dari pedang Pemutus asmara yang
termahsyur di dunia persilatan. Pada sarung pedang itu terdapat denah lukisan dari peta
tempat penyimpanan harta pusaka yang tiada taranya . . . ."
Tanpa menunggu Ih Seng selesai bicara, secepat kilat Ca Cu Jing sudah melesat ke
tempat pemimpin Barisan Bocah yang berkedudukan di arah timur.
Tetapi pemimpin barisan itu tertawa dingin lalu menaburkan pedangnya untuk
melindungi diri dengan lingkaran sinar pedang yang memancarkan hawa dingin.
Bocah yang berada di sebelah selatan dan utara segera menyerang dari belakang Ca Cu
Jing. Sebenarnya tadi Ca Cu Jing hendak menggunakan gerak kilat untuk merebut sarung
pedang itu dari tangan pemimpin Barisan Bocah. Ia terkejut sekali ketika melihat bocah itu
dapat mainkan pedang sedemikian hebatnya.
Ketua marga Ca itu sudah mencapai tataran tinggi dalam ilmu menggunakan tenaga
sakti. Walaupun tadi ia menerjang begitu dahsyat, tetapi iapun dapat menghentikannya
secara mendadak. Secepat menghimpun tenaga, ia melambung ke udara berjumpalitan
dua kali dan setelah menghindari serangan kedua bocah tadi, terus meluncur lagi di sisi Ih
Seng. Tetapi sebelum ia berdiri tegak, dua buah sinar bianglala perak sudah menerjangnya
lagi dari muka dan belakang.
"Bagus !" seru Ca Cu Jing memuji seraya hantamkan kedua tangannya ke arah muka
dan belakang. Melihat pukulan jago tua itu sedemikian hebat, kedua bocah ita tak berani menangkis.
Setelah cepat menekuk tubuhnya, merekapun melayang turun ke samping.
Ca Cu Jing tak mau memberi kelonggaran lagi. Dengan menggembor keras, ia taburkan
kedua tangan dan berturut-turut lepaskan enam kali pukulan.
Pukulan itu adalah ilmu pukulan Peh-poh-sin-kun atau Pukulan sakti seratus langkah
dari marga Ca yang termahsyur. Angin menderu-deru sehingga keenam bocah itu
berloncatan menyingkir. Tetapi gerakan mereka tetap teratur rapi dalam bentuk barisan.
Tetapi sekalipun Peh-poh-sin-kun itu dahsyatnya bukan alang kepalang, namun paling
banyak menghabiskan tenaga dalam. Setelah melancarkan enam kali pukulan, napas Ca
Cu Jingpun terengah juga.
Selekas hujan pukulan berhenti, keenam bocah itupun kembali ke tempatnya semula
lagi. Sambil lintangkan pedang melindungi dada, mereka maju mendekati lagi.
Sebagai seorang tokoh ternama, sepintas memandang tahulah Ca Cu Jing bahwa ilmu
pedang keenam bocah itu bukan olah-olah hebatnya. Ketua marga Ca itu menyadari
bahwa saat itu ia bakal menghadapi pertempuran yang dahsyat. Seketika lenyaplah rasa
memandang rendah pada kawanan bocah itu. Iapun segera tegak dengan pusatkan
semangat untuk menunggu serangan.
Tetapi setelah terpisah setombak luasnya, barisan bocah itu terhenti tiba-tiba.
Pemimpin barisan yang berada di sebelah timur, segera ayunkan pedangnya, membentuk
sebuah lingkaran bianglala perak. Kelima kawannyapun segera mengikuti tindakan itu.
Tiba-tiba dari keenam gulung bianglala perak itu, terdengar seruan perlahan. Dua buah
sinar pedang menerjang dada dan kaki Ca Cu Jing.
Ca Cu Jing sudah siap. Tangan kirinya memukul dengan jurus Mendorong gunung
menimbun laut. Dan tangan kanan cepat merogoh seutas sutra putih lalu ditamparkan.
Dengan tenaga dalamnya yang tinggi, sutra putih merupakan senjata yang
mengejutkan sekali. Kedua bocah itu bergegas menarik pedang dan menyurut mundur.
Tetapi sesaat dua bocah itu mundur, secepat itu pula dua bocah lainnya segera maju


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang dari muka dan belakang.
Ca Cu Jingpun tak mau kalah tangkas. Ia miringkan tubuh dan sutra putih yang
ditaburkan tadi, tiba-tiba melayang balik menampar punggung salah seorang bocah yang
menyerang dari belakang. Kemudian ia serempaki dengan pukulan tangan kiri dalam ilmu
Peh-poh-sin-kun ke arah penyerangnya di muka.
Sinir pedang dari keenam bocah itu berhamburan memenuhi sekeliling tempat. Mereka
telah lancarkan serangan dahsyat. Ada kalanya dua bocah yang maju, ada kalanya
sekaligus empat bocah. Mereka maju menyerang dan mundur menghindar dengan teramat
gesit sekali. Ca Cu Jing tetap melawan dengan sutra putihnya. Menampar, menyabat dan menyapu.
Setiap gerakan selalu menerbitkan deru angin yang mendesis desis.
Sutra putih hanya dua meter panjangnya.
Tetapi dimainkan Ca Cu Jing, perbawanya bukan kepalang. Sekalipun keenam bocah itu
memegang pedang pusaka yang amat tajam, tapi karena berhadapan dengan sutera putih
yang lem as, paling-paling hanya dapat membuat beberapa lubang saja dan tak dapat
memapasnya kutung. Dan lagi permainan sutra dari ketua marga Ca itu memang luar
biasa. Sutra dapat menjulur panjang tetapipun dapat menyurut pendek sehingga sukar
diduga lawan. Dan yang penting, taburan sutera itu menimbulkan hamburan tenaga sakti
yang hebat sekali. Sungguh tak mudah bagi keenam bocah untuk memapas sutra itu.
Cepat sekali 40 jurus telah berlalu namun tetap belum tampak siapa menang siapa
kalah. Keenam bocah itu tak mampu maju setapakpun juga. Tetapi Ca Cu Jingpun belum
dapat menghantam jatuh sebuah senjata dan melukai seorang lawan.
Melihat keenam becah itu memiliki tenaga dalam yang penuh, diam-diam ketua marga
Ca itu mulai gelisah. Pikirnya : "Pertempuran ini selain tak menguntungkan juga akan
mencemarkan namaku karena berkelahi dengan kawanan bocah kecil. Kalau tak lekas
turunkan tangan ganas, entah kapan pertempuran ini akan selesai . . . ."
Serentak timbullah nafsu membunuh. Setelah pindahkan sutra putih ke tangan kiri,
tangan kanan segera mengambil sebatang ruyung rantai emas.
Senjata itu amat aneh. Seuntai gelang kecil sebesar jari kelingking, dironce jadi satu.
Setiap gelang besarnya seperti cawan teh. Semuanya berjumlah 33 biji.
Setelah mengeluarkan ruyung Gelang emas, Ca Cu Jing segera menebarkan.
Gemerincinglah untaian gelang emas itu laksana puluhan kelinting. Pada saat hendak
bergerak menyerang, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras disusul dengan gelombang
angin keras yang melanda.
Keenam bocah itu berhamburan loncat ke samping sehingga barisan mereka menjadi
kacau. Pada lain saat sesosok bayangan melayang ke samping Ih Seng. Ih Seng terperanjat
demi melihat pendatang itu : "Apakah Ji siangkong tak . . . . kurang suatu apa ?"
Ternyata yang muncul itu adalah Han Ping. Karena girangnya, Ih Seng tertawa sepuaspuasnya
sehingga tak melanjutkan kata-katanya.
Dengan dada bergolak-golak mendendam kemarahan, Han Ping menerobos ke dalam
gedung.Tetapi dari muka terus masuk sampai ke belakang, tetap tak dapat menemukan
Kim Loji. Bahkan seorang pun tiada dijumpainya dalam gedung itu. Untuk melampiaskan
kemarahannya, ia mengobrak-abrik segala barang yang dilihatnya. Tetapi ternyata gedung
besar itu boleh dikata kosong melompong. Kecuali daun pintu dan jendela, tak ada lainlain
perabot lagi. Setelah menghancurkan pintu dan jendela, Han Ping teringat akan Ih Seng yang
menunggu di luar. Kuatir kalau Ih Seng akan ditawan musuh, buru-buru ia lari keluar.
Pada saat itu Ca Cu Jing sedang bertempur melawan barisan bocah. Maka Han Ping segera
berteriak dan menghantam kawanan bocah itu terus loncat ke samping Ih Seng.
Melihat pendatang itu hanya seorang anak muda yang berumur 18-19 tahun,
terkejutlah Ca Cu Jing, pikirnya : "Baru semuda itu tetapi sudah sedemikian saktinya.
Pukulannya begitu ampuh. Beberapa tahun tak menginjak Tionggoan, ternyata di sini telah
muncul tunas-tunas baru yang begitu cemerlang."
"Terima kasih atas bantuan locianpwe kepada kawanku," ketua marga Ca itu terkejut
demi mendengar suara pemuda itu. Ia berpaling, tanyanya : "Apakah engkau
menghaturkan terima kasih kepadaku ?"
Han Ping mengiakan.
Ca Cu Jing tertawa keras : "Ah, tak usah. Selamanya aku tak pernah mernbantu orang
tanpa alasan."
Han Ping tertegun, katanya : "Kalau begitu locianpwe sudah kenal dengan saudara Ih
ini ?" "Kenal seluruh dunia. Tetapi karena berdasar kenal dan membantunya, bukankah itu
tak berarti membantu ?"
Han Ping merasa ucapan orang itu bernada aneh. Setiap patah kata sukar dimengerti.
Tetapi karena orang sudah membantu Ih Seng, sekalipun dalam hati tak puas, terpaksa ia
menahan perasaan juga.
Buru-buru Ih Seng memberi penjelasan tentang perjanjiannya dengan Ca Cu Jing. Jika
dia dapat merebutkan kembali sarung pedang Pemutus asmara, Ih Seng akan
membantunya untuk mencari jejak putranya, Ca Giok.
"Kapankah aku berjanji padamu untuk merebutkan sarung pedang itu ?" tukas Ca Cu
Jing dengan mendengus.
Ih Seng tertegun. Diam-diam ia mengakui memang ketua marga Ca itu tak berjanji
begitu. Sekonyong-konyong keenam bocah itu loncat lari. Sudah tentu Ih Seng terkejut sekali :
"Ji siangkong, lekas kejar. Merekalah yang merebut sarung pedang Pemutus asmara itu !"
Pada saat itu keenam bocah sudah loncat sampai setombak lebih jauhnya. Han Ping, Ca
Cu Jing serempak loncat mengejar mereka. Sekali ayunkan tubuh, keduanya dapat
mencapai jarak dua tombak. Tetapi keenam bocah itu licin sekali. Tiba-tiba mereka
berpencar diri dan menyusup ke dalam gerumbul rumput.
Keenam bocah itu sama tingginya dengan rumput disitu. Sedang Han Ping dan Ca Cu
Jing tak tahu pasti sarung pedang itu berada di tangan bocah yang mana. Sesaat
keduanya tertegun dan lenyaplah keenam bocah itu.
"Siapakah kawanan bocah itu ?" tanya Ca Cu Jing kepada Han Ping.
Melihat nadanya begitu angkuh, sebenarnya Han Ping tak mau menghiraukan. Tetapi
mengingat orang telah mernbantu Ih Seng, terpaksa ia tahan kesabaran, sahutnya : "Anak
buah Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng !"
"Apakah Ih Thian Heng berada di sini ?"
"Dia muncul lenyap tak menentu. Sukar dipastikan adakah ia saat ini berada di sini !"
Han Ping menyahut tetapi karena merasa kurang lengkap, ia menyusuli lagi : "Keenam
bocah itu adalah pengawal pribadinya. Jika mereka muncul di sini, tentulah Ih Thian Heng
juga berada di sekeliling tempat ini !"
Saat itu Ih Sengpun menghampiri, serunya : "Sebelum keenam bocah itu muncul, Ih
Thian Heng sendiri memang datang . . . ."
"Adakah dia menyebut-nyebut paman Kim ?" Tukas Han Ping.
Ih Seng gelengkan kepala : "Tidak, dia hendak meminjam sarung pedang Pemutus
asmara dan memberitahu bahwa aku sudah terkena racun ganas. Dalam waktu tiga hari
racun itu akan bekerja. Tubuhku akan membusuk dan mati !"
"Uh, racun apakah yang sedemikian ganas itu " Cobalah kuperiksanya apakah aku
mampu mengobati atau tidak," seru Ca Cu Jing.
Segera Ih Seng menjulurkan tangannya yang terluka itu. Setelah memeriksa, Ca Cu
Jing berkata : "Ah, racun di tangan saudara itu sudah menyusup ke dalam kulit, mungkin
sudah merembes ke dalam darah. dikuatirkan sukar pengobatannya."
Ketua marga Ca itu mengeluarkan sebuah botol kecil dari kumala. Ia menuang keluar
dua butir pil warna kuning lalu diberikan kepada Ih Seng : "Sekalipun pil ini bukan buatan
dewa, tetapi terhadap racun memang manjur sekali. Cobalah saudara minum !"
Sambil menyambuti, Ih Seng berkata : "Ah, kupercaya pengetahuan saudara Ca yang
begitu luas tentu sudah mengetahui tentang racun dalam tubuhku ini."
Ca Cu Jing mendesus : "Sekalipun tak tahu racun apa yang menyerang saudara itu,
tetapi pil itu mernpunyai daya kegunaan yang besar. Harap jangan kuatir, paling tidak
tentu dapat memperlambat jalannya racun itu"
Setelah minum dua butir pil kuning itu, Ih Seng tertawa : "Apakah saudara Ca kuatir
kalau aku mati tentu tak dapat mernbantu mencarikan putra saudara ?"
"Saudara seorang yang cepat berpikir dan tangkas bicara," Ca Cu Jing tertawa sambil
mengurut jenggot, "memang begitulah maksudku. Entah apakah saudara masih ada lain
urusan lagi. Jika tak ada, marilah kita lekas-lekas berangkat . . . ."
"Apa " Apakah saudara Ca Giok belum pulang ?" seru Han Ping.
Ca Cu Jing amat memanjakan kasihnya terhadap putranya itu. Hatinya terharu getar
mendengar pertanyaan Han Ping itu. Cepat-cepat ia meminta keterangan : "Kapankah
saudara melihatnya ?"
Sejenak merenung, berkatalah Han Ping : "Kira-kira sudah sebulan lebih ! Dia
menderita luka dalam dan mengatakan kepadaku hendak pulang ke Ca-ke-poh . . . ."
Mata jago tua itu berlinang-linang dan tubuhnya gemetar : "Siapakah yang melukainya
" Tahukah saudara ?"
"Dia dilukai oleh Leng Kong Siau dari lembah Seribu racun. Tetapi kala itu dia sudah
melakukan pengobatan dengan menyalurkan napas dan sudah banyak baik. Rasanya luka
itu tak berapa berat."
Ketegangan hati Ca Cu Jing mereda, tanyanya agak tenang : "Adakah saudara
mengetahui sendiri peristiwa Leng Kong Siau melukai putraku itu atau hanya mendengar
cerita orang ?"
"Aku bertemu dengan saudara Ca pada saat dia dikejar Leng Kong Siau. Aku
menyaksikan sendiri Leng Kong Siau telah melukai saudara Ca !"
"Hm, memang selain beberapa setan tua itu, tak mungkin ada orang lain yang mampu
melukai putraku . . . ." kata Ca Cu Jing. Tiba-tiba ia tersadar bahwa yang penting ia harus
mengetahui jelas peristiwa itu selengkapnya. Maka bertanyalah ia lebih lanjut : "Mengapa
Leng Kong Siau tak membunuhnya sekalian " Biasanya setan tua itu sekali turun tangan
tentu tak mau memberi ampun orang !"
"Keadaan saat itu memang tegang sekali. Terpaksa aku turun tangan membantu
saudara Ca !" kata Han Ping.
Memang tadi ia menyaksikan sendiri gerakan Han Ping yang mempesonakan. Tetapi ia
sukar mempercayai bahwa pemuda itu mampu menandingi tenaga sakti Leng Kong Siau.
"Apakah hanya saudara seorang diri ?" ia menegas sambil menatap Han Ping.
Han Ping tertawa sungkan, sahutnya : "Ya . . . ."
"Seorang diri saudara sanggup menerima pukulan Leng Kong siau ?" kembali Ca Cu
Jing menegas dengan nada meragu.
Han Ping merenung sejenak jawabnya : "Sekalipun agak kewalahan tetapi mampu juga
menerima."
"Ah, kuhaturkan banyak terima kasih atas bantuan saudara kepada putraku itu," buruburu
Ca Cu Jing menghaturkan terima kasih.
Han Ping menerangkan bahwa sekalipun perkenalannya dengan Ca Giok itu belum lama
tetapi sudah seperti seorang sahabat yang karib.
"Entah siapa lagi yang hadir pada saat itu ?" kembali Ca Cu Jing bertanya.
"Selain aku, masih ada lagi saudara Ih ini dan Kim locianpwe . . . ."
Cepat Ca Cu Jing alihkan pandang matanya ke arah Ih Seng, serunya : "Benarkah
saudara Ih berada di situ ?"
"Benar, aku menyaksikan dengan mata kepala," sahut Ih Seng.
Makin tertarik perhatian Ca Cu Jing untuk menyelidiki jejak putranya. Ia bertanya lagi
kepada Han Ping : "Apakah setelah membantu, lalu saudara berpisah dengan dia ?"
"Saat itu saudara Ih terluka dalam dan duduk melakukan penyaluran darah. Tak lama
kemudian, Leng Kong Siau muncul lagi bersama dua orang. Rombongan dari lembah Raja
Setan Ting Yan San dan kedua nona Ting juga muncul . . . ."
"Hai, apakah, Ting Yang San juga memusuhi putraku ?" seketika berubahlah wajah Ca
Cu Jing. "Adakah dia mengandung permusuhan kepada saudara Ca. aku tak tahu. Tetapi sampai
tiga kali Leng Kong Siau mendorongnya, tetap dia tak mau turun tangan terhadap saudara
Ca !" "Oh, begitu. Lalu dimanakah sekarang putraku itu ?" tanya Ca Cu Jing.
Han Ping merenung, pada lain saat ia berkata : "Entahlah, aku tak tahu. Hanya dia
mengatakan kalau hendak pulang merawat lukanya."
Ca Cu Jing memandang ke langit. Beberapa saat merenung, akhirnya ia bertanya :
"Selain orang lembah Seribu racun dan Raja setan, siapa lagi yang mengetahui putraku itu
?" "Pengemis sakti Cong To !" celutuk Ih Seng, "tetapi Cong To dan kami segera menuju
kemari." "Selain Cong To ?"
"Nyo Bun Giau kepala marga Nyo !"
"Bagus !" seru Ca Cu Jing, "rupanya tokoh-tokoh terkemuka dari kedua Lembah dan
ketiga Marga itu berbondong-bondong muncul untuk melihat keramaian. Benar-benar
suatu pertemuan besar dari orang gagah di seluruh dunia !"
Memandang ke langit, Ih Seng berkata : "Ji siangkong, karena Ih Thian Heng tak
muncul, kemungkinan dia tentu sudah pergi. Suasana tempat ini merupakan hutan lebat,
mudah untuk bersembunyi. Kita tak paham tempat ini, sukar untuk menghadapi mereka.
Kurasa lebih baik kita bakar saja tempat ini !"
Belum Han Ping menyahut, tiba-tiba tak jauh dari tempat itu terdengar suara seseorang
tertawa dingin : "Hm, mereka menggunakan lubang di bawah tanah yang ditimbuni
gerumbul rumput. Sekalipun hutan ini dibakar habis, pun sukar untuk mencari jejak
mereka !" Han Ping bertiga berpaling. Ah, ternyata Pengemis sakti Cong To sedang melangkah
datang dengan perlahan.
Serta merta Ca Cu Jing memberi salam : "Saudara Cong, tiga tahun kita tak berjumpa,
apakah selama ini saudara baik-baik saja ?"
"Eh, mengapa saudara Ca begitu sungkan kepada pengemis tua " Tentulah saudara
hendak meminta apa-apa kepada pengemis tua !"
Sebenarnya Ca Cu Jing memang hendak menanyakan tentang jejak putranya. Tetapi
karena Pengemis sakti Cong To belum-belum sudah memagarinya, ia mundur teratur.
"Adakah saudara Cong menghendaki supaya aku mendamprat saudara ?" serunya
mendengus. Dengan tak kalah dinginnya, Cong To menyahut : "Turut pendapatku, saudara Ca saat
ini belum berani memaki pengemis tua"
Diam-diam ketua marga Ca itu menimang dalam hati : "Hm, tajam benar kata-katanya.
Mungkin dia sudah mendengar pembicaraan kita tadi. Dan kalau tak tahu jejak Ca Giok,
tentulah dia tak berani bersikap begitu angkuh kepadaku."
Segera ia tertawa meringis : "Kita sudah bersahabat lama, hanya beberapa patah kata
tajam dari saudara, masakan dapat membikin marah hatiku ?"
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak : "Dunia persilatan mengatakan bahwa
engkau seorang rubah bertulang besar. Kiranya memang benar !"
"Ah, jangan memuji, " Ca Cu Jing tertawa, "tetapi aku selalu bekerja untuk mencapai
hasil, bukan memerlukan cara !"
Cong To tertawa : "Hal itu harus dilihat terhadap siapa. Jika dengan manusia yang tak
doyan Lunak atau Keras seperti diri pengemis tua ini, saudara tentu akan kewalahan."
Ca Cu Jing tersonyum : "Siapa orang persilatan yang tak tahu saudara Cong itu Keras di
luar, lunak di dalam. Seorang tokoh yang lapang dada, berterus terang dan luhur perwira.
Aku, Ca Cu Jing, memang mengagumi pribadi saudara . . . ."
Cong To tertawa : "Seumur hidup, pengemis tua belum pernah menerima pujian seperti
itu. Pereobaan hari ini, benar-benar ada faedahnya. Jika saudara hendak mengetahui jejak
putra saudara, lebih dulu supaya mengerjakan sebuah hal untuk pengemis tua."
"Soal apa ?" tanya Ca Cu Jing.
Cong To tertawa : "Saudara Ca meluluskan untuk merebut kembali sarung pedang
Pemutus asmara itu. Kita tukar menukar. Saudara membantu aku merebut kembali sarung
pedang itu, dan aku membantumu mencari jejak putra saudara !"
Ca Cu Jing merenung beberapa saat, katanya : "Keenam bocah itu entah kemana
perginya. Bagaimana caraku mencari mereka ?"
Cong To tertawa : "Dalam dunia yang begini luasnya, putra saudara tak menentu
perginya. Bagaimana pula caraku mencari jejaknya ?"
"Memang ucapan saudara itu benar, tetapi dalam hal ini ada bedanya."
"Dimana letak perbedaannya, harap saudara Ca mengatakan"
Kata Ca Cu Jing : "Menolong orang adalah ibarat menolong kebakaran. Bagaimana bisa
diulur ulur waktunya " Apalagi saudara itu tadi" - ia menunjuk Han Ping - "mengatakan
bahwa putraku menderita luka dalam. . . Sedangkan soal sarung pedang Pemutus asmara
itu, lambat beberapa hari mencarinya, juga tak mengapa. Jika saudara Cong benar-benar
mampu mendapatkan jejak putraku, aku Ca Cu Jing tentu akan berusaha sekuat tenaga
untuk merebut sarung pedang itu. Sekalipun aku harus bertempur dengan Ih Thian Heng,
Pedang Ular Mas 4 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Pendekar Latah 8
^