Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 16

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 16


"Engkau dapat berpikir dengan sempurna sekali," si dara tertawa, "aku mempunyai dua
cara, terserah engkau hendak memilih yang mana !"
"Silahkan !"
"Kesatu, pada waktu memasuki makam itu, kita saling berlomba untuk mendapat
bagian. Siapa yang dapat lebih banyak, akan besar bagiannya. Dan benda penemuannya
itu akan menjadi hak miliknya. Yang kalah tak boleh merebut !"
"Cara itu walaupun cukup baik tetapi dikuatirkan takkan menghindari suatu perebutan.
Lalu bagaimanakah cara yang kedua ?"
"Yang kedua, kecuali pembagian Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala serta harta
permata yang telah disetujui itu, lain-lain benda kita bagi dengan cara bertanding.
Bertanding satu kali dalam merangkai syair. Dan satu kali dalam ilmu silat. Jika masih
belum berhasil menentukan siapa pemenangnya, kita pakai cara Menebak-tangan !"
"Cara itu memang boleh dilakukan. Nah, kita jadikan perjanjian itu. Tiga hari lagi aku
akan datang berkunjung kemari lagi."
Si dara tertawa : "Saat ini kita belum tahu apakah kita ini sekutu atau musuh. Maaf, tak
mengantar."
"Kawan atau lawan, bukan kawan pun bukan lawan, garis antara kawan dan lawan,
semua tergantung pada anggapan nona," kata Ih Thian Heng seraya memberi hormat lalu
melangkah keluar. Tiba di ambang pintu, mendadak ia berpaling lagi dan berseru :
"Berkawan tentu tiada yang rnampu menandingi. Bermusuhan, kedua-duanya akan
menderita kerusakan. Soal kawan atau lawan, mohon nona suka mempertimbangkan
sedalam-dalamnya. Tiga hari kemudian, aku akan menghadap untuk menerima keputusan
nona !" Sekali enjot tubuhnya, Ih Thian Heng loncat melayang keluar dari jendela.
Sementara si darapun mengambil kotak pedang itu seraya berkata seorang diri : "Peta
pada kotak pedang ini, dapat menghibur tempoku selama dua hari !" - Sambil berkata,
kakinyapun melangkah perlahan lahan naik ke tingkat ketiga.
"Nak, apakah engkau benar-benar hendak campur tangan dalam urusan orang
Tionggoan ?" seru nenek Bwe, seraya memburu.
Sambil naik ke tangga, si dara menyahut : "Kita sudah terbawa dalam kisaran arus,
untuk menarik diri rasanya sudah terlambat !"
"Saat ini baru dalam babak permulaan, kalau kita segera pulang ke Lam-hay, tentu
habis perkaranya !"
Si dara tertawa : "Hatiku gundah gulana sekali. Jika tak mencari perkara untuk
melewatkan waktu, mungkin aku akan mati !"
Nenek Bwe terkesiap. Ia berhenti tak berani menyusul terus. Diam-diam ia membatin :
"Bocah itu memang sudah terlanjur manja dan selalu membawa kemauannya sendiri.
Percuma saja mencegah kehendaknya !"
Sekarang kita tinggalkan dulu si dara jelita yang tengah memeras otak untuk
memecahkan rahasia peta pada kotak pedang pemutus Asmara itu.
Kita ikuti lagi Han Ping yang sudah bertemu dengan pamannya, Kim Loji. Dengan
mendukung Kim Loji, Han Ping berjalan melintasi dua buah puncak gunung lalu berhenti
pada sebuah lembah. Ia menanyakan kesehatan pamannya.
Walaupun sakit tetapi Kim Loji paksakan tertawa : "Anak Ping, aku kuatir takkan tahan
hidup sampai besok siang . . . ."
"Apa ?" Han Ping berteriak kaget.
Kim Loji berusaha untuk menenangkan ketegangan hatinya dengan tertawa : "Nak,
engkau harus tenang dan dengarkan kata-kataku sampai selesai. Jika Ih Thian Heng
menghendaki seseorang harus mati, tak seorangpun yang mampu lolos dari tangannya
yang ganas. Percuma saja engkau berteriak mengeluh dan mengerang sedih, tiada
berguna. Sebelum menghantar ke Bik-lo-san, Ih Thian Heng telah memaksa aku menelan
obat racun yang lambat daya kerjanya. Tetapi jelas obat itu ganas dan tiada penawarnya.
Begitu masih dia belum puas dan menutuk tiga buah jalan darahku. Sehingga andaikata
aku bisa mendapat obat penawarpun obat itu takkan dapat beredar lancar dalam tubuhku
. . . ." "Jalan darah bagian manakah yang ditutuknya " Mungkin aku dapat menolong !" Han
Ping makin gugup.
"Tetapi percuma, nak. Dapat menolong jalan darahku, pun tak mungkin memperoleh
obat penawarnya . . . ."
Han Ping menghela napas dan tundukkan kepala. Ia menyesal karena terlalu singkat
belajar pada Hui Gong taysu yang sakti ilmu silatnya dan mahir ilmu ketabiban.
Kim Loji menghela napas : "Lukaku ini, kecuali Ih Thian Heng sendiri, mungkin di dunia
ini tiada orang yang dapat mengobati !"
Tiba-tiba Han Ping teringat pada si dara jelita. Bukankah dara itu mampu mengobati
Ting Ling dan si pedang perak kipas besi Ih Seng " Ah, dara itu tentu mampu juga
mengobati luka pamannya !
Han Ping segera memutar otak untuk mencari akal bagaimana supaya si jelita itu mau
menolong. Sesaat kemudian kembali Kim Loji menghela napas dan berkata dengan bersemangat :
"Selagi saat ini semangatku masih baik, sebelum mati aku hendak menumpahkan isi hati
kepadamu . . ."
"Paman, aku teringat akan seseorang yang dapat mengobati luka paman !" seru Han
Ping. Tetapi Kim Loji gelengkan kepala : "Siapakah yang engkau maksudkan itu ?"
"Dara baju ungu dari Bik-lo-san itu !"
Kim Loji tertawa hambar : "Tentang peristiwa kematian kedua orang tuamu itu, aku
belum menceritakan kepadamu sampai habis. Mumpung aku masih segar, aku hendak
memberitahu kepadamu !"
Sesungguhnya Kim Loji memang tak percaya kalau dara baju ungu itu mampu
mengobati lukanya. Maka ia tak begitu menaruh perhatian kepada kata-kata Han Ping.
"Tentang kematian orang tuaku itu, besok sajalah paman ceritakan. Sekarang yang
penting ialah mengobati luka paman !" Han Ping tetap mendesak.
Dengan wajah serius, Kim Loji berkata : "Aku sudah tiada harapan hidup lagi. Perlu apa
engkau bersusah payah memikirkan " Apakah aku harus mati dengan membawa
penasaran ?"
Han Ping menyahut dengan nyaring : "Dalam dunia yang begini luas, Han Ping hanya
tinggal mempunyai seorang paman. Apakah paman benar-benar tega meninggalkan diriku
sebatang kara ?"
Kim Lojipun berteriak marah : "Bngaimana engkau tahu kalau gadis baju ungu itu tentu
dapat mengobati lukaku " Bagaimana engkau yakin kalau ia pasti mau menolong aku ?"
Han Ping tertegun. Diam-diam ia mengakui memang pertanyaan pamannya yang tepat.
Setelah merenung beberapa saat, ia menghela napas panjang, ujarnya : "Tak peduli ia
mau membantu atau tidak, aku tetap akan mengusahakan !"
Perasaannya sebagai seorang yang sudah sebatang kara, menyebabkan Han Ping
bertekad bulat untuk melindungi jiwa pamannya itu.
"Mari kita kembali ke Bik-lo-san lagi !" serentak ia berbangkit dan mengajak.
Kim Loji tak sampai hati lagi untuk mendamprat putra dari sahabat satu-satunya di
dunia. Ia hanya gelengkan kepala menghela napas : "Nak, jika aku tahu dapat hidup,
masakan aku rela mati secara begini saja " Kalau dara itu tak mampu mengobati,
bukankah kita malah membuang waktu yang berharga " Jika tak kucurahkan isi hatiku
kepadamu, benar-benar aku mati tak dapat meram !"
"Paman dapat menceritakan dalam perjalanan," kata Han Ping. Dan tanpa menunggu
persetujuan orang, Han Ping terus menyambar tubuh Kim Loji dan dipanggulnya. Tetapi
ketika ia berputar tubuh hendak berangkat, tiba-tiba di sebelah muka tegak berdiri
seseorang. Bila dan bagaimana orang itu muncul, sedikitpun Han Ping tak mengetahui. Orang itu
seorang yang berwajah pucat seperti mayat, punggung menyanggul sebatang pedang.
Tegak berdiri seperti patung.
"Siapakah engkau !" tegur Han Ping seraya bersiap.
Orang aneh yang dandanannya saperti seorang imam itu menyahut dengan nada tinggi
: "Tak perlu dari lain orang, orang yang dapat mengobati sudah berada disini !"
Han Ping terbeliak. Dipandangnya orang aneh itu dengan seksama. Ah, wajahnya yang
pucat seperti mayat itu ternyata bukan wajah yang sebenarnya melainkan karena
memakai kedok muka. Tiba-tiba ia teringat akan kedua nona Ting yang sering memakai
kedok muka. "Siapakah yang dapat mengobati luka pamanku ini ?" ia memberanikan diri berseru.
"Aku !" sahut orang itu dengan nada dingin.
Sudah tentu Han Ping tegang sekali hatinya : "Apakah locianpwe ini orang dari lembah
Raja Setan ?"
"Hm," orang aneh itu mendengus. "masakan orang sebagai aku sudi berhubungan
dengan orang-orang lembah Raja Setan ?"
"Kalau bakan dan lembah Raya Setan, mengapa locianpwe memakai kedok muka ?"
Orang aneh itu tiba-tiba tertawa keras, serunya : "Apakah hanya orang Lembah Raja
Setan saja yang berhak memakai kedok muka ?"
Han Ping terkesiap. Ia mengakui kata-kata orang itu memang benar.
Tiba-tiba Kim Loji menyelutuk dengan nada gemetar : "Bukankah totiang ini ketua dari
Hian-bu-kiong, Thian Hian totiang ?"
Imam itu tertawa nyaring : "Sudah 10 tahun lamanya aku tak pernah tinggalkan biara
Hian-bu-kiong. Tak kira dalam dunia persilatan masih ada orang yang kenal padaku !"
"Kemahsyuran nama totiang meluas sampai di Kanglam dan Kangpak. Siapakah orang
yang tak kenal pada totiang ?" sahut Kim Loji.
Thian Hian totiang gembira dengan pujian itu. Sambil mengurut jenggot ia tersenyum :
"Berdasar pada ucapanmu itu, aku akan mengobati lukamu sampai sembuh . . . ."
Ia maju menghampiri seraya berkata : "Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng memang rnahir
menggunakan racun. Dalam dunia persilatan, kecuali aku, rasanya tiada terdapat lagi
orang yang mampu mengobati racunnya itu !"
Karena belum pernah mendengar tentang diri Thian Hian totiang, maka dengan
setengah bersangsi Han Ping rnenegaskan : "Soal jiwa, bukan barang permainan. Aku
pasti berterima kasih sekali kalau totiang dapat menyembuhkan luka pamanku ini. Tetapi
kalau memang totiang tak sanggup mengobati, kuharap jangan menelantarkan waktuku
untuk mencari lain orang !"
"Anak Ping jangan bicara sembarangan !" buru-buru Kim Loji mencegahnya, "Thian
Hian totiang adalah salah seorang dari tokoh sakti dalam dunia persilatan dewasa ini.
Kemahsyuran namanya melebihi ketua kedua lembah dan ketiga Marga. Masakan beliau
mau bersenda gurau dengan engkau !"
Untunglah Han Ping cepat menyadari ucapan pamannya itu. Ia memang mendengar
bahwa ketua dari It-kiong itu, merupakan yang paling lihai sendiri dari kedua lembah dan
ketiga marga. Buru-buru ia menjura : "Locianpwe, harap maafkan ucapanku tadi . . . ."
Karena mengenakan kedok muka, Thin Hian totiang tak kelihatan bagaimana
perubahan air mukanya saat itu. Hanya dengan nada dingin ia berseru : "Perlu apa bicara
tak berguna ! Lekas turunkan pamanmu !"
Han Ping segera menurunkan Kim Loji dari punggungnya lalu mundur dua langkah.
Dipandangnya gerak gerik imam itu dengan perhatian penuh. Apabila ternyata imam itu
bohong, ia cepat akan turun tangan menolong pamannya.
Ketiga jalan darah Kim Loji yang tertutuk itu sudah mulai membeku. Kecuali tak dapat
berdiri tegak, wajahnyapun sudah berubah pucat lesi.
Thian Hian totiang segera berjongkok dan memeriksa. Katanya : "Sekarang belum
dapat diketahui racun dalam tubuhmu . . . ."
"Sedang racun apa saja engkau tak tahu, bagaimana hendak mengobati ?" seru Han
Ping gelisah. Sahut imam berkedok itu dengan dingin : "Dalam menggunakan racun, Ih Thian Heng
selalu mencampurkan beberapa macam racun. Kalau hanya dengan satu jenis racun saja,
perlu apa harus aku yang turun tangan " Banyak sekali orang yang mampu mengobati !"
Sejenak merenung, Han Ping berkata : "Harap locianpwe suka mengatakan terus
terang. Apakah locianpwe dapat mengobati pamanku atau tidak. Agar jangan sampai
menelantarkan waktu untuk mencarikan obat untuknya.
Karena terus menerus pemuda itu mengucapkan kata-kata yang tak sedap, marahlah
Thian Hian totiang, sahutnya : "Jika aku tak mampu, di dunia persilatanpun tak mungkin
ada orang yang mampu mengobati nya !"
"Huh, perlu apa engkau bermulut besar . . ." diam-diam Han Ping, mendamprat. Namun
ia tetap menyahut dengan hormat : "Apabila locianpwe dapat mengobati pamanku, aku
tentu akan membalas budi locianpwe . . . ."
Thian Hian totiang mendengus dingin. Tiba-tiba ia memanggul Kim Loji lalu dibawa
pergi. Sudah tentu Han Ping amat terkejut. Tetapi ketika ia tersadar hendak mencegah,
ternyata Thian Hian sudah tiga tombak jauhnya. Dengan menggembor keras, Han Ping lari
mengejar. Tetapi Thian Hian totiang tak menggubris dan tetap berjalan pesat. Walaupun
mendukung orang. gerakannya tetap secepat angin.
Han Ping terkejut heran. Ia kerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengejar tetap tak
mampu. Diam-diam ia kagum. Belum pernah selama ini ia melihat seseorang yang
memiliki ilmu berjalan cepat seperti imam itu.
Demikian dalam malam yang diterangi rembulan, kedua orang itu saling kejar mengejar
seperti dua ekor kuda yang lari kencang.
Kira-kira lima li jauhnya, tetap jarak keduanya terpisah tiga tombak jauhnya. Han Ping
tak mampu lebih maju selangkah, Thian Hian totiang pun tak dapat mendahului setapak
lagi. Tetapi walaupun sepintas pandang, ilmu lari cepat kedua orang itu berimbang. Namun
dalam penilaian, Thian Hian totianglah yang lebih hebat. Ia mendukung sesosok tubuh
orang, sedang Han Ping tidak membawa apa-apa.
Meskipun tidak berpaling ke belakang, tetapi dari derap langkah Han Ping, tahulah
Thian Hian totiang bahwa pemuda itu mengejar di belakangnya. Diam-diam imam tua itu
terkejut juga : "Dia masih begitu muda tetapi mengapa ilmu larinya begitu hebat ?"
Seketika imam tua itu mengempos semangat dan pesatkan larinya. Karena tancap gas
itu Han Ping ketinggalan beberapa meter lagi. Sudah tentu anak muda itu makin bingung.
Ia berteriak sekeras-kerasnya : "Jika locianpwe tak mau berhenti, terpaksa akan kumaki !"
Dalam gugup, Han Ping teringat bahwa seorang cianpwe yang berkedudukan tinggi
dalam dunia persilatan itu, paling takut kalau dimaki-maki. Maka dalam keadaan terdesak,
Han Ping gunakan gertakan itu.
Dan ternyata gertakan itu berhasil. Thian Hian hentikan larinya lalu berputar tubuh.
Han Ping tak menduga kalau imam itu akan berhenti secara begitu mendadak. Ia tak
sempat menghentikan larinya. Tepat pada saat Thian Hian berbalik tubuh, Han Pingpun
sudah tiba dekat sekali di hadapannya dan terus menutuk dada Thian Hian.
Tetapi dengan kisarkan tubuh ke samping, tutukan Han Ping itu menemui angin.
Pemuda itu penasaran. Tutukannya gagal, ia susuli dengan dua buah pukulan tangan
kanan dan kiri.
Thian Hian totiang tertawa dingin. Sekali menggeliat, ia menyurut mundur selangkah.
"Dalam 100 jurus jika engkau mampu memukul atau menyepak diriku, saat ini juga aku
akan kembali ke Hian-bu-kiong dan bertapa 10 tahun lagi ?" seru imam itu.
Sebenarnya Han Ping hendak menyerang lagi, tetapi demi mendengar ucapan imam
aneh itu, ia tertegun. Beberapa saat kemudian baru berkata : "Kita tiada saling
bermusuhan, perlu apa harus bertanding " Jika dalam 100 jurus itu aku sampai melukai
totiang, bukankah kita akan terikat dendam permusuhan . . . ."
"Ha, ha, ha !" Thian Hian menukas kata-kata pemuda itu dengan tertawa gelak, "Jika
dalam 100 jurus engkau mampu melukai diriku, pamanmu segera akan kuobati dan
setelah itu aku terus pulang ke Hian-bu-kiong !"
"Kalau begitu, totiang tetap menghendaki cara itu ?" Han Ping menegas.
"Ho, perlu apa orang semacam diriku ini beromong kosong dengan engkau ?" Thian
Hian totiang marah.
Diam-diam Han Ping menimang : "Imam ini benar-benar aneh sekali. Jika dia memang
bersungguh hati hendak bertempur, tentu akan menantang aku mengadu kepandaian
sampai ada yang kalah dan menang. Andaikata mengalah, pun tentu hanya untuk dua tiga
jurus saja. Masakan ia bermulut besar berani mengalah sampai 100 jurus. Betapapun
kesaktiannya, tetapi karena tak boleh balas menyerang, tentu mudahlah kuserang habis
habisan !"
Dengan ketetapan itu segera ia hendak menyahut. Tetapi tiba-tiba terlintas dalam
pikirannya : "Tetapi aku seorang anak laki yang masih muda dan bertenaga penuh.
Masakan mau diberi keringanan begitu oleh orang !"
"Jika totiang memang hendak berkelahi, janganlah pakai mengalah. Kita keluarkan
kepandaian masing-masing saja !" sahutnya.
Engkau serang dulu sampai 100 jurus, baru nanti kupertimbangkan pantas atau tidak
kita berkelahi !" Thian Han totiang tetap kukuh.
"Ah, tak perlulah, " kata Han Ping, "kita berkelahi secara biasa saja. Siapa kalah harus
tunduk . . ."
Thian Hian totiang menunduk memandang Kim Loji yang dikepitnya, lalu menukas :
"Apabila membuang waktu terlalu lama, racun dalam tubuhnya tentu sukar diobati lagi !"
Kata-kata itu seperti ujung belati yang menusuk ulu hati Han Ping. Seketika darahnya
bergolak keras, serunya lantang : "Jika pamanku sembuh, tak apalah. Tetapi jika sampai
terjadi apa-apa pada dirinya aku tentu akan meminta pertanggungan jawab totiang !"
Imam aneh itu tidak marah sebaliknya malah tertawa gelak-gelak : "Jika engkau
hendak menolong jiwanya, lekas-lekaslah engkau mulai saja !"
Han Ping terkesiap. Benar-benar ia tak mengerti apa maksud imam yang berkeras
minta diserang sampai 100 jurus. Karena bingung, akhirnya Han Ping tak berbanyak hati
lagi. Maju selangkah, ia terus menghantam imam itu dengan jurus Halilintar memecah
langit barat. Jurus itu merupakan salah sebuah jurus dalam kitab Ih-kin-keng. Dalam terdesak, Han
Ping tiba-tiba teringat akan jurus itu.
Saat itu barulah Thian Hian totiang terbeliak kaget. Gerakan pemuda itu benar-benar
belum pernah diketahuinya sama sekali.
Karena imam itu diam saja tak mau menghindar, Han Ping heran. Diam-diam ia


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menduga kemungkinan imam itu memiliki ilmu kebal. Begitu ditinjunya terus akan
memancarkan tenaga membalik untuk melukai lawan.
Dengan dugaan itu, Han Pingpun lambatkan pukulannya. Dan pada saat tinjunya
hendak mengenai, barulah Thian Hian totiang menyurut mundur.
Pukulan pertama luput, Han Ping maju setengah langkah. Tanpa menarik pulang
tangan kanannya, tangan kirinya digerakkan mernbalik ke atas. Itulah jurus Tali emas
mengikat naga. jurus untuk mencengkram pergelangan tangan kiri Thian Hian.
Tetapi kembali imam itu mendengus perlahan dan mundur tiga langkah lagi. Diam-diam
imam itu makin heran : "Huh, mengapa anak ini memiliki ilmu kepandaian yang begitu
aneh sekali ?"
Tengah ia merenung tiba-tiba serangkum tenaga dahsyat melanda dadanya. Seketika ia
rasakan hatinya mendebur dan mundurlah ia tiga langkah ke belakang.
Tetapi dalam anggapan Han Ping, Thian Hian totiang tentu sengaja menghindar
mundur. Cepat ia membayangi dan menyambar pergelangan tangan imam itu.
Diam-diam Thian Hian totiang telah menderita kerugian. Ia marah dan terkejut. Kini tak
berani lagi ia memandang rendah lawan. Tubuhnya berputar miring, sikapnya seperti
hendak melangkah maju tetapi mendadak ia menyurut mundur. Bermula seperti hendak
nyelonong ke muka tetapi ternyata malah menyelinap mundur sampai empat lima langkah.
Han Ping terperanjat, pikirnya : "Hah, ilmu apakah yang digunakan imam itu. Jika tadi
aku terburu-buru mengejar ke muka, tentu akan kecele. Dan andaikata ia balas memukul,
aku pasti tak sempat menjaga diri lagi !"
Buru-buru ia hentikan gerakannya maju dengan berputar tubuh.
Thian Hian totiang memiliki keyakinan tenaga dalam yang amat tinggt. Sejenak
menyalurkan pernapasan, sakit yang diderita dari pukulan anak muda itu, segera sembuh.
Han Ping tiba-tiba mundur dua langkah, memberi hormat dan berkata dengan rada
serius : "Ilmu kepandaian locianpwe hebat sekali. Kita tak saling bermusuhan, mengapa
locianpwe mendesak hendak berkelahi " Lepas dari siapa yang menang dan kalah tetapi
pertempuran itu jelas menghambat waktu untuk menolong jiwa pamanku . . . ."
Selama hidup Han Ping tak pernah memohon pada orang. Adalah karena ingat akan
keselamatan paman Kim, terpaksa ia membuka mulut. Tetapi belum selesai mengucap, ia
sudah tak dapat meneruskan lagi.
Sahut Thian Hian dingin : "Biasanya aku segan bertempur dengan sembarang orang.
Bahwa aku mengajakmu berkelahi itu, merupakan suatu kehormatan bagimu !"
Han Ping merenung. Sesaat kemudian ia berkata : "Jika locianpwe tetap hendak
berkelahi dengan aku, aku terpaksa meladeni. Tetapi lebih dulu harap locianpwe
meluluskan sebuah permintaanku !"
"Apa ?"
"Harap locianpwe suka mengobati pamanku lebih dulu, baru nanti kita bertempur.
Sekalipun harus mati di tangan locianpwe, setitikpun aku tak menyesal !"
Kini Thian Hian totianglah yang merenung. Pada lain kejap ia berseru menyatakan
setuju. Lalu berputar tubuh dan terus lari. Han Ping terpaksa mengikuti. Mereka menuju
ke sebuah tempat di tengah lembah.
Thian Hian letakkan tubuh Kim Loji, katanya : "Biasanya Ih Thian Heng mencampuri
beberapa jenis racun dalam ramuannya, sehingga bekerjanya racun itu berbeda-beda.
Kecuali dia sendiri yang tahu obatnya, siapapun mauusia di dunia ini, dalam waktu yang
singkat tak mungkin mengetahui obat penawarnya . . . ."
Han Ping tergetar hatinya : "Kalau begitu, locianpwe . . . ." - maksudnya hendak
mengatakan, imam itu tentu tak sanggup mengobati. Tetapi teringat akan kesombongan
orang, Han Ping batalkan kata-katanya.
Thian Hian totiang tertawa gelak-gelak : "Sebelum aku menggantungkan pedang pada
10 tahun yang lalu. aku memang sering keluyuran ke dunia persilatan. Orang persilatan
memberikan julukan delapan buah kata kepada diriku. Kalau dipikir-pikir, tak salah juga . .
. ." "Apakah kedelapan kata-kata itu ?" tanya Han Ping.
Thian Hian totiang tertawa : "Mirip Putih, mirip Hitam. Mirip perwira mirip penjahat."
Han Ping tak menanggapi. Tetapi diam-diam ia membenarkan julukan itu.
Kembali imam aneh itu tertawa nyaring : "Julukan itu berarti Baik atau Jelek, aku tak
mau minta penjelasan. Tetapi dalam melakukan sesuatu, memang aku selalu menurutkan
perasaan senang atau marah. saat ini tiba-tiba aku merasa . . . ."
Han Ping terkesiap dan mengeluh, jangan-jangan imam itu kumat lagi edannya. Buruburu
ia bertanya. "Tiba-tiba aku merasa engkau boleh juga. Mungkin di belakang hari kita akan menjadi
sahabat karib !" kata imam itu.
"Kurang umur kurang pengalaman, bagaimana aku berharga menjadi sababat
locianpwe ?"
Thian Hian tertawa dingin : "Bukan kawan pun bukan lawan. Keduanya mungkin semua
!" Mendengar ocehan yang tak berguna itu, Han Ping tak tahan lagi, serunya agak keras :
"Menjadi kawan atau lawan, kelak masih panjang waktunya. Lebih baik sekarang jangan
dibicarakan dulu. Kumohon locianpwe suka segera mengobati pamanku, agar jangan
menghambat waktu !"
Thian Hian totiang mengeluarkan sebuah botol kumala dari jubahnya dan menuang 3
butir pil, katanya : "pil mukjizat Kiu- hoa-sing-sin-tan ini, dapat mengobati segala macam
racun. Andaikata tak dapat melenyapkan racun dari Ih Thian Heng tetapi paling tidak tentu
dapat memperlambat bekerjanya racun itu. Minumkanlah 3 butir pil ini lebih dulu, setelah
selesai bertempur, kita nanti berusaha lagi mengobatinya sampai sembuh !"
Han Ping kerutkan alis. Setelah menyambuti pil ia merenung : "Hm, rupanya kalau tidak
berkelahi dia belum puas,"
Cepat ia menghampiri Kim Loji dan memintanya supaya menelan ketiga butir pil itu.
Urat nadi Kim Loji sudah diracuni Ih Thian Heng kemudian dibawa lari Thian Hian
totiang, sehingga bekerjanya racun makin cepat. Saat itu kaki dan tangannya lentuk
lunglai, pikirannyapun tak sadar. Tetapi dia seorang tokoh yang tinggi kepandaiannya.
Dengan kerahkan semangat, ia paksakan diri bertahan lalu ngangakan mulut. Tangannya
sudah tak kuat bergerak lagi.
Melihat keadaan pamannya, Han Ping mengucurkan beberapa titik airmata.
"Huh, mengapa tak lekas minumkan pil itu " Apakah harus tunggu racun bekerja dulu !"
Thian Hian totiang menggeram.
"Keadaan sudah begini payah, masakan belum bekerja !" sahut Han Ping.
"Siapa bilang racun sudah bekerja !" bentak Thian Hian, "tentulah Ih Thian Heng
menutuk jalan darahnya. Karena darahnya mangumpul, racun itu mudah bekerja. Jika
engkau tetap ayal meminumkan pil, mungkin racun itu akan segera bekerja !"
Diam-diam Han Ping mengakui memang Kim Loji pernah mengatakan kalau jalan
darahnya ditutuk juga oleh Ih Thian Heng. Cepat ia masukkan pil ke mulut pamannya.
Tiba-tiba Thian Hian totiang mundur sampai tiga tombak jauhnya lalu berseru : "Jangan
membikin kaget dia. Mari kita mulai bertempur !"
Sebenarnya Han Ping hendak menjaga beberapa saat dulu untuk menunggu
perkembangan pamannya setelah minum pil itu. Teapi karena didesak Thian Hian totiang,
ia penasaran juga. Pikirnya : "Hm, aku sudah merasa kalah mengapa engkau masih
mendesak saja ?"
Seketika meluaplah darah mudanya. Cepat ia berbangkit dan menghampiri ke tempat
Thian Hian totiang lalu memberi hormat.
"Mengapa engkau ini ?" tegur Thian Hian heran.
"Berkelahi adu kepandaian. tentu akan ada yang terluka atau mati. Tidak engkau tentu
aku yang binasa. Inilah penghormatanku atas budi pertolongan locianpwe !"
Han Ping marah karena terus menerus ditantang berkelahi itu. Ia seperti bertekad
hendak mengadu jiwa.
Thian Hian totiang tertawa dingin : "Bagaimana, apakah hendak mengadu jiwa dengan
aku ?" "Engkau amat sakti, jika aku tak bertekad untuk mengadu jiwa, bagaimama aku
mampu memenangkan ?"
"Bagus !" Thian Han totiang tertawa, "dunia persilatan mengatakan aku seorang yang
selalu ingin menang. Tetapi ternyata engkau lebih sombong dari aku. Apakah benar-benar
engkau hendak mengalahkan aku ?"
"Tanpa memiliki tekad begitu . . . ." - sebenarnya ia hendak mengatakan kalau tak
mengandung tekad menang, perlu apa harus bertempur " Tetapi tiba-tiba ia teringat akan
keadaan Kim Loji yang masih memerlukan bantuan Thian Hian. Maka ia hentikan katakatanya.
Thian Hian totang dapat juga meneropong isi hati pemuda itu. Tiba-tiba wajahnya
berubah ramah dan dengan tersenyum ia berkata : "Dalam soal 'HARUS MENANG', hari ini
aku benar-benar bertemu dengan seorang yang sama watak. Rupanya kita berdua
memang banyak sekali persamaannya."
Ia berhenti sejenak, lalu : "jangan kuatir, keluarkan seluruh kepandaianmu. Mungkin
kepandaianmu itu belum cukup untuk melukai aku. Seranglah aku 100 jurus dulu tanpa
kubalas. Setelah 100 jurus berlangsung, obat yang ditelan pamanmu tentu sudah dapat
mencairkan racun. Kemudian kuobati lagi lukanya, kita nanti tentukan lagi apa perlu
melanjutkan pertempuran atau tidak !"
Sejenak merenung, Han Ping berkata : "Tinggal 97 jurus saja karena tadi aku sudah
menyerang tiga jurus !"
"Ya. 97 jurus !" Thian Hian tertawa.
Masih Han Ping berkata pula : "Sebenarnya aku tak suka menerima pelajaranmu
mengalah sampai sekian banyak. Tetapi karena jiwa paman berada di tanganmu, terpaksa
aku menyetujui."
Tampaknya imam itu memang ngotot sekali hendak adu kepandaian dengan Han Ping,
ia menjawab : "Baik, dengan alasan apapun juga, asal engkau mau bertempur, jadilah !"
Han Ping tiada alasan untuk menolak lagi. Terpaksa ia maju dan mulai menyerang.
Thian Hian totiang miringkan tubuh, menghindari pukulan dan berdiri tegak lagi menunggu
serangan. Oleh karena tadi ia sudah menderita, kali ini ia tak berani berlaku ayal.
"Hm, tak apa. Masih ada 96 jurus lagi. Kalau tak kuselesaikan yang 96 jurus, dia tentu
tak mau balas menyerang," pikir Han Ping. Ia menyerang lagi. Kali ini tinju dan kaki
serempak digunakan.
Thian Hian totiang sambil lekatkan kedua tangan pada kedua pahanya, mulai
berlincahan menghindar. Lincah, gesit dan tak terduga-duga. Sudah 45 jurus serangan
deras dilancarkan Han Ping, masih juga ia belum mampu menyentuh jubah imam itu.
Namun Han Ping masih seorang muda yang berdarah panas. Sekalipun seharusnya ia
tahu bahwa apabila ia sudah menyelesaikan 100 jurus, pamannya tentu segera diobati.
Tetapi karena 45 jurus itu ia sama sekali tak berhasil menyentuh pakaian lawan, tanpa
disadari meluaplah kemarahannya. Tiba-tiba ia loncat mundur dan lepaskan pukulan dari
jauh. Thian Hian sendiripun hampir jemu karena serangan pemuda itu tak berarti. Ketika
melihat anak muda itu keluarkan gerakan aneh, ia duga anak itu tentu sudah dirangsang
kemarahannya. Diam-diam ia menghitung masih ada 50an jurus. Seketika timbullah semangatnya lagi.
Saat itu ia rasakan serangkum arus tenaga melandanya. Sambil mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi tubuh, ia menghindar ke samping.
Setelah menampar, Han Ping terus maju menyerang. Tetapi kali ini gaya serangannya
berbeda dengan yang sudah-sudah. Sebentar gunakan jari, sebentar kaki. Cepat dan deras
sekali. Gerakan tinju dan tamparan tangannya makin menghebat. Tinjunya keras laksana
pukul besi. Tamparannya selebat hujan mencurah. Tutukan jarinya seperti mirip dengan
ilmu pelajaran Siau-lim-si.
Ternyata Han Ping mengeluarkan ilmu Kim-liong-jin atau Menangkap naga yang terdiri
dari 12 jurus. Ilmu itu memang penuh gerak perubahan yang sukar diduga.
Mau tak mau Thian Hian totiang terkejut juga. Ia merasa ancaman anak muda itu
makin terasa. Berulang kali ia kelabakan juga karena serangan Han Ping. Hampir saja ia
gerakkan tangannya untuk menangkis. Untunglah tiap kali ia menyadari perjanjiannya
sehingga tak jadi.
Dalam beberapa kejap saja, 30 jurus telah berlangsung. Sambil menyerang, Han Ping
diam-diam menghitung. Tinggal 9 jurus lagi, akan genaplah sudah 100 jurus itu.
"Imam ini benar-benar sakti sekali. Rasanya lebih sakti dari Pengemis sakti Cong To.
Jika dalam 100 jurus tak mampu mengalahkan, sungguh memalukan sekali . . . ." pikirnya.
Namun ia tak dapat menemukan daya untuk memenangkan lawan.
Sekalipun ia dapat menghafal isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Tetapi karena setiap kata
dalam kitab itu mengandung arti yang luas sekali, kecuali diberi penjelasan oleh Hui Gong
taysu tentang penggunaannya. Ia hanya dapat menghafal saja tetapi tak dapat
menggunakan. Dan celakanya, makin bingung, makin hilang daya pikirnya.
Memang sesungguhnya, kepandaian Han Ping itu belum mampu untuk meneropong isi
kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Hanya diwaktu bertempur, sering ia mendapat pikiran, teringat
lalu menggunakan salah sebuah jurus yang hebat. Tetapi itupun kalau ia sedang terdesak.
Jika bertempur dengan lawan yang tak begitu tinggi kepandaiannya, pikirannyapun sukar
terbuka. Dalam memeras otak itu, ia tetap menyerang dan cepatlah 9 jurus terakhir itu sudah
selesai. Tiba-tiba ia berhenti terus loncat mundur.
Tubuh Thian Hian totiang yang berputar-putar seperti roda itu, pun berhenti. Serunya
tertawa : "Eh, mengapa berhenti ?"
"Sudah 100 jurus, mana boleh menyerang lagi !"
"Baru 99 jurus, masih kurang satu jurus !" Thian Hian totiang tertawa.
Sesaat timbullah rasa malu dalam hati Han Ping, pikirnya : "Dalam 100 jurus ternyata
aku tak mampu menyerang seorang yang tak membalas. Dengan begitu, apakah aku ada
muka muncul di dunia persilatan . . . ."
Tanpa baayak pikir lagi, serentak ia menyahut : "Baiklah, aku akan menyelesaikan
kekurangan sejurus itu !" - Habis berkata ia terus layangkan pukulan.
Tampaknya pukulan itu ringan sekali, macam anak-anak bermain-main. Hal itu
disebabkan karena pada saat mengangkat tinju, tiba-tiba Han Ping ingat akan keselamatan
Kim Loji. Cepat-cepat ia menarik kembali tenaga dalam yang telah disalurkan itu. Pikirnya,
biarlah jurus yang terakhir itu berlalu begitu saja dan pamannya segera diobati.
Tetapi seketika Han Ping rasakan hawa panas dalam perutnya meluap ke atas,
bagaikan air bah yang tak dapat dibendung lagi. kejutnya bukan alang kepalang !
Ternyata penyaluran hawa murni yang diberikan mendiang Hui Gong taysu, belum
meresap benar-benar ke dalam jalan darahnya sehingga belum dapat dikuasai menurut
sekehendak hatinya. Dan hawa murni itu biasanya mengumpul di bagian perut. Karena
gerakan menghantam kemudian ditarik kembali itu, hawa murni itu memancar dan meluap
ke atas kemudian memancar keluar melalui gerak pukulannya tadi . . . .
Thian Hian totiang yang berdiri beberapa meter jauhnya, bermula hanya ganda tertawa
melihat gerakan Han Ping yang tak berarti itu. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut,
tiba-tiba sebuah gelombang tenaga dahsyat telah mendamparnya.
Imam itu terkejut bukan kepalang !
Sebagai seorang tokoh persilatan yang tinggi ilmu kepandaiannya, tahulah ia bahwa
tenaga yang melandanya itu bukan tenaga sembarangan. Dan karena sudah tiba, ia tak
sempat lagi menghindar. Tak ada lain jalan, kecuali ia harus cepat-cepat kerahkan tenaga
dalam untuk bertahan.
Dess . . . . hembusan angin lembut dari pukulan Han Ping itu, begitu berbenturan
dengan tubuh Thian Hian, seketika berubah menjadi suatu gelombang tenaga yang luar
biasa kuatnya !
Tergetarlah hatinya dan kuda-kuda kakinyapun ikut bergoncang, darah bergolak, tubuh
terhuyung mundur lima langkah . . . .
Tetapi Han Pingpun terdengar mengerang tertahan lalu ngelumpruk terduduk di tanah.
Kiranya pertahanan Thian Hian totiang tadi telah memantulkan tenaga membal yang
amat kuat. Seketika Han Ping kesemutan tubuhnya, tulang-tulangnya seperti berhamburan
lepas. Bluk . . . . jatuhlah ia terkulai duduk.
Sedang Thian Hian totiang yang terhuyung mundur lima langkah dan kuatkan diri
berdiri tegak. Huak . . . . Ia muntah darah lalu duduk di tanah bersemedhi menyalurkan
tenaga murni untuk mengobati diri.
Berselang beberapa saat, barulah ia berhasil menenangkan darahnya yang bergolak.
Ketika memandang ke muka, dilihatnya Han Ping menggeletak tak ingat diri di tanah.
Sebenarnya imam itu marah. Tetapi melihat keadaan pemuda yang terkena lontaran
tenaga membaliknya, redalah amarahnya. perlahan-lahan ia menghampiri.
Sinar rembulan terang, meningkah wajah Han Ping. Tampak wajah pemuda itu gelap
kehijau-hijauan. Ujung mulutnya masih membekas aliran darah. Thian Hian berjongkok
memeriksa. pernapasan pemuda itu. Ia kerutkan dahi. Ternyata napas pemuda itu
berkeliaran lemah sekali.
Thian Hian memandang rembulan dan menghela napas panjang. Ia tengah
mempertimbangkan, perlu atau tidak menolong pemuda itu. Saat itu jika ia mau sekali
gerakkan tangan Han Ping tentu sudah amblas jiwanya. Untuk menghilangkan jejak, Kim
Lojipun ia bunuh sekali. Pada tempat dan suasana seperti saat itu, pembunuhan itu pasti
takkan diketahui orang.
Pukulan terakhir dari Han Ping tadi, mengejutkan Thian Hian sekali. Diam-diam ia
menimang. Pemuda yang masih begitu muda usianya, sudah memiliki pukulan dan tenaga
yang begitu sakti. Berapa tahun lagi, dia pasti sukar mendapat lawan . . . .
Tetapi dalam pada itu, diam-diam Thian Hian pun sayang sekali akan bakat Han Ping
yang amat bagus itu. Sampai lama, belum juga Thian Hian dapat mengambil keputusan,
Tampaknya memang sederhana sekali soal itu. Tetapi tak mudahlah untuk memutuskan.
Sebelum ia mendapat ketetapan tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang tertawa
perlahan : "Apakah disitu Thian Hian toheng ?"
Thian Hian terkejut. Tetapi ia tetap berdiri di tempatnya, seolah-olah tak mengacuhkan
seruan itu. Namun diam-diam ia kerahkan tenaga dalam untuk berjaga-jaga.
Kembali terdengar suara orang tertawa meloroh : "Apakah selama ini toheng baik-baik
saja " Sudah penuhlah masa 10 tahun menggantungkan pedang, aku belum sempat
menghaturkan selamat kepada toheng !"
Thian Hian serasa kenal dengan nada suara itu. Perlahan-lahan ia berpaling. Dua
tombak jaraknya, tampak seorang sastrawan pertengahan umur berdiri dalam pakaian
seperti seorang sastrawan.
Serentak berserulah Thian Hian totiang : "Ih Thian Heng . . . ."


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendatang itu memang benar Ih Thian Heng.
"Benar, aku memang Ih Thian Heng. Bilakah toheng menyudahi masa penggantungan
pedang ?" orang itu atau Ih Thian Heng tersenyum seraya menghampiri perlahan-lahan.
"Sudah tiga bulan aku pergi dari Hian-bu-kiong," sahut Thian Hian totiang.
"Selamat selamat," seru Ih Thian Heng, "aku bakal menikmati pula bayangan kilat
pedang toheng menyilaukan dunia persilatan . . . ." merunduk kepala memandang Han
Ping, ia berkata pula dengan tertawa : "Apakah dia orang pertama yang berani menentang
pada waktu toheng terjun kembali ke dunia persilatan ?"
Masih ia melanjutkan memandang Han Ping lalu tertawa hambar : "Kali ini toheng
kembali ke dunia persilatan, apakah sudah mempunyai rencana tertentu ?"
Semula Thian Hian totiang mengira kalau pertempurannya dengan Han Ping tadi telah
diketahui Ih Thian Heng. Tetapi ternyata Ih Thian Heng hanya melihat sejenak pada Han
Ping lalu tak mengacuhkannya lagi.
Namun ketawa orang she Ih itu, membuat Thian Hian totiang tersinggung. Ia merasa
seperti ditertawakan. Dan pandangan Ih Thian Heng yang meremehkan Han Ping itu,
tentulah menganggap pemuda tak terkenal itu seorang budak yang tak berharga. Seketika
timbullah rasa malu dan penasaran dalam hati Thian Hian totiang.
"Hm, jika membiarkan anak itu hidup. Kecuali peristiwa malam ini tentu akan tersiar,
pun kewibawaanku dalam dunia persilatan tentu akan merosot. Dikalahkan oleh seorang
pemuda tak ternama, tentu merupakan suatu hinaan besar !" diam-diam ia menimang.
Seketika meluaplah nafsu pembunuhan dalam hati Thian Hian totiang. Diam-diam ia
kerahkan tenaga dalam. Menggunakan kesempatan nada saat membalikkan tubuh Han
Ping, diam-diam ia telah menutuk jalan darah maut Sin-hong pada punggung pemuda itu.
Namun perbuatan imam itu tak lepas dari mata Ih Thian Heng yang tajam. Diam-diam
ia bersyukur dalam hati. Namun lahirnya ia tetap berkata dengan tawar : "Jika toheng
belum punya rencana, aku mempunyai sebuah masalah yang hendak mohon toheng suka
membantu !"
Setelah menutuk jalan darah Han Ping, longgarlah perasaan Thian Hian. Ia anggap
peristiwa pertempuran malam itu tentu akan tertutup. tiba-tiba ia teringat sesuatu,
serunya : "Apakah sudah lama saudara datang kemari ?"
"Ah, belum lama !"
"Urusan apakah yang saudara hendak minta bantuanku itu ?" tanya Thian Hian pula.
Ih Thian Heng tertawa : "Selama ini aku selalu tak mau mengikat permusuhan dengan
orang. Permintaanku itu jelas bukan urusan berkelahi. Dalam hal ini harap totiang tak
perlu bersangsi !"
Marahlah Thian Hian totiang : "Dalam dunia persilatan, siapakah yang kutakuti " Hm,
sekalipun bertanding dengan orang, akupun tak gentar !"
"Kepandaian silat toheng, memang yang paling kukagumi !" kata Ih Thian Heng,
"pertempuran antara toheng dengan wanita Pembenci Dunia pada 10 tahun yang lalu,
sampai kini aku masih merasa penasaran . . . ."
Wajah Thian Hian totiang terasa panas, serunya : "Kepergianku dari Hian-bu-kiong kali
ini, pertama kali ialah hendak mencari wanita Heng-thian-It-ki itu. Untuk menyelesaikan
pertempuran pada 10 tahun yang lalu. Barang siapa yang diam-diam hendak
membantunya . . . ."
"Toheng telah berturut-turut memenangkan 4 buah pertandingan. Kali ini andaikata
kalah 2 buah pertandingan, tetap tak mengurangi kemenangan toheng . . . ."
"Jika saat itu tiada orang yang diam-diam membantunya, tak mungkin wanita itu
mampu mengalahkan aku . . . ."
Ih Thian Heng trrsenyum : "Heng-Thian-It-ki telah melanggar pantangan dan menerima
seorang mund pewaris. Toheng tentu tahu hal itu, bukan ?"
"Siapa ?" seru Tiiian Hian totiang.
"Putri kesayangan dari marga Siangkwan di Kanglam, bernama Siangkwan Wan-ceng.
Kalau toheng hendak memusuhi Heng-Thian-It-ki tentu akan tambah dengan seorang
lawan yang tangguh"
Thian Hian totiang tertawa dingin : "Hanya seorang marga Siangkwan, masakan
kupikirkan ! Masakan selama aku menutup diri 10 tahun itu, suasana dunia persilatan
bertambah keruh ?"
Melihat orang sudah mulai terpikat dalam siasatnya, Ih Thian Heng diam-diam girang.
Namun ia tetap bersikap tenang dan tertawa hambar : "Benar, memang selama 10 tahun
ini dunia persilatan telah mengalami perubahan besar. Kedua Lembah dan Tiga Marga,
makin membesar pengaruhnya. Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay yang dipandang sebagai
partai terkemuka, kini sudah mulai menurun gengsinya !"
"Bagaimana dengan nama Hian-bu-kiong ?" tanya Thian Hian totiang.
"Nama Hian-bu-kiong, sekalipun tidak lenyap tetapi tidak sehebat ketika toheng masih
berkecimpung dalam dunia persilatan dahulu. Kedua Lembah dan Tiga Marga itu makin
mendesak nama Hian-bu-kiong ke pojok !"
Huh . . . saking marahnya, Thian Hian totiang menendang tubuh Han Ping yang sudah
tak berkutik itu. Pemuda itu terlempar setombak jauhnya.
Diam-diam Ih Thian Heng memperhatikan bahwa pemuda itu sudah tak dapat begerak.
Diam-diam ia girang sekali karena mengira pemuda itu tentu mati.
Sambil mengurut jenggot, Ih Thian Heng tertawa : "Ah, ternyata perangai toheng
masih sepanas 10 tahun yang lalu. Nah, sampai jumpa lagi !" Memberi hormat, Ih Thian
Heng lalu melangkah pergi.
Thian Hian totiang hanya mendengus perlahan. Dipandangnya bayangan orang she Ih
itu lenyap dalam kegelapan. Semula ia hendak memanggilnya supaya kembali dan
menanyakan soal apa yang rnenghendaki bantuannya itu. Tetapi teringat dirinya saat itu
masih terluka dan memerlukan beristirahat, jika memanggil Ih Thian Heng kemudian
sampai bentrok, dia sendiri lah yang rugi.
Batalkan niatnya memanggil Ih Thian Heng ia berpaling memandang Han Ping yang
menggeletak tak berkutik di tanah. tiba-tiba hatinya gelisah. Anak itu tak bermusuhan
dengan dia. Bahkan dialah yang memaksa anak muda itu berkelahi. Dengan tindakannya
tadi, apakah tidak terlalu kejam . . .
Thian Hian totiang termenung-menung beberapa saat. Ia berkata seorang diri : "Telah
kututuk jalan darah maut Sin-hong. Sekalipun tabib Hoa To dan dewa turun ke dunia lagi,
tak mungkin dapat menolongnya. Ah, aku harus menolong luka beracun dari pamannya itu
agar dapat menebus kesalahanku . . . ."
Kemudian ia menghampiri Kim Loji. Karena racun sudah bekerja, saat itu Kim Loji
pingsan. Tetapi tanpa menghiraukan dirinya sedang terluka .Thian Hian totiang terus
mengangkat tubuh Kim Loji. Dengan kerahkan hawa murni, ia mulai menutuki ke 18 jalan
darah penting dan tiga buah urat nadi utama pada tubuh Kim Loji.
Kim Loji menghela napas panjang dan perlahan-lahan membuka matanya. Memandang
pada Thian Hian totiang, ia bertanya : "Mana kemenakanku itu ?"
Thian Hian totiang menghela napas perlahan, sahutnya : "Mati !"
Kim Loji kaget seperti dipagut ular dan serentak ia loncat bangun : "Apa ?"
Berkata Thian Hian totiang denean dingin : "Lukamu baru sembuh, tak boleh kaget.
Lekas duduk dan salurkan darah. Aku masih perlu melenyapkan racun dalam tubuhmu !"
Kim Loji seorang jago tua yang banyak pengalaman. Cepat ia dapat menguasai
ketegangan hatinya dan duduk bersemedhi sambil bertanya : "Apakah dia terluka di
tangan totiang ?"
Sambil pejamkan mata, imam itu menyahut : "Benar aku telah kelepasan tangan
sehingga menyebabkan kematiannya"
"Ah, hal itu tak dapat menyalahkan totiang, bertanding adu kepandaian, kaki dan
tangan memang tak bermata. Salahnya sendiri mengapa kepandaiannya masih dangkal !"
Tiba-tiba Thian Hian totiang membuka mata dan memandang lekat pada Kim Loji :
"Sudah berpuluh tahun aku berkelana dalam dunia persilatan dan banyaklah orang yang
kuketahui. Ingin kuperingatkan kepadamu, jika engkau berani bertingkah di hadapanku,
berarti engkau cari mati sendiri . . . ."
Sejenak berhenti ia berkata pula : "Aku sudah berjanji pada anak itu untuk mengobati
lukamu. Sekarang walaupun dia sudah mati, akupun tetap akan memenuhi janjiku !"
"Kalau totiang takut setelah sembuh aku nanti akan membalaskan sakit hatinya, lebih
baik totiang bunuh aku saja sekarang !"
Mata imam itu berkilat-kilat memandang Kim Loji, katanya dengan dingin : "Sekalipun
membunuhmu untuk menutup mulut, tetapi pun harus tunggu sampai lukamu sembuh !"
Tergetar hati Kim Loji, diam-diam ia merenung kata-kata imam itu. Kalau imam itu
hendak membunuhnya karena hendak melenyapkan mulut kemungkinan imam itu tentu
menggunakan cara licik untuk mencelakai Han Ping. Seketika timbullah rasa dendam
dalam hati Kim Loji. Tetapi ia menyadari bahwa kepandaiannya masih kalah jauh sekali
dengan imam itu. Ia harus berusaha untuk mencari siasat.
"Terpaksa harus kulakukan pengobatan dengan tusuk jarum. Dengan gunakan jarum
emas untuk mengenyahkan hawa dalam tubuhmu, barulah racun itu dapat keluar. Kirakira
memakan waktu sehari semalam. Tetapi aku tak mempunyai waktu untuk rnenunggu
pengobatanmu itu. Setelah kutusuk dengan jarum emas, engkau bawa suratku menuju ke
Hian-bu-kiong. Setelah engkau memberitahukan tentang lukamu itu, tentu akan segera
ada orang yang mengobatimu !"
Kim Loji tertawa : "Sekalipun lukaku sembuh tetapi seumur hidup tak mungkin aku
keluar dari Hian-bu-kiong lagi !"
"Lebih baik daripada mati !" Thian Hian totiang tertawa dingin.
Kim Loji tahu bahwa percuma saja ia menentang. Thian Hian totiang tentu akan
membunuhnya. Ia pejamkan mata tertawa : "Hian-bu-kiong merupakan tempat keramat
dalam dunia persilatan. Mati disana, pun tak kecewa !"
Rupanya Thian Hian totiang tak mau banyak bicara lagi. Ia mengeluarkan 3 batang
jarum emas lalu menusuk tiga jalan darah pada tengkuk perut dan punggung Kim Loji.
Kemudian mengambil 3 batang jarum lagi dan menusuk di tubuh Kim Loji. Dalam
beberapa kejap, tubuh Kim Loji berhias 12 batang jarum. jarum-jarum itu tetap
ditinggalkan pada tubuh Kim Loji.
Thian Hian mengambil 2 butir pil, diberikan Kim Loji, ujarnya : "Pengobatan dengan
jarum ini, rasanya dalam dunia persilatan belum pernah kudengar orang yang memiliki
ilmu itu. Jangan coba bergerak kemana-mana. Akan kucarikan seekor kuda . . . ." imam itu
terus loncat pergi.
Tak berapa lama terdengar derap kaki kuda bersama Thian Hian totiang. Entah dari
mana imam itu mendapatkannya.
Kim Loji heran meiihat punggung kuda itu tak berpelana. Ia kerutkan dahi dan bertanya
: "Apakah engkau menghendakl aku menunggang kuda itu ?"
Thian Hian totiang tertawa : "Akan kuikat tubuhmu di atas punggung kuda agar jangan
sampai jatuh. Sesudah makan dua butir pil kim-tan, dalam sehari semalam engkau takkan
lelah. Asal engkau ingat bahwa jangan sampai lebih dari 12 jam engkau harus tiba di Hianbu-
kiong, engkau tentu akan selamat tiba disana !"
"Tak perlu diikat, aku masih dapat menunggang sendiri," kata Kim Loji.
"Tetapi jarum pada tubuhmu itu belum dapat kuambil. Separuh tubuhmu masih lemas.
Jika tak diikat tentu tak dapat duduk tegak !"
Tanpa mendapat persetujuan Kim Loji, Thian Hian totiang terus mengangkat Kim Loji
diletakkan di atas punggung kuda lalu diikatnya dengan seutas tali sutra, ujarnya : "Mati
atau hidup terserah pada nasibmu sendiri. Jika dalam 12 jam engkau tak tiba di Hian-bukiong,
sebelum racun dari Ih Thian Heng itu bekerja, ke 12 batang jarumku yang
menancap pada jalan darah di tubuhmu itu tentu akan berkisar tempat dan pasti matilah
engkau saat itu juga !"
Kim Loji hanya menghela napas.
Thian Hian tertawa : "Mengapa engkau menghela napas " Sekalipun perjalanan itu
tampaknya sukar. tetapi kuperhitungkan delapan puluh persen engkau tentu dapat
mencapai Hian-bu-kiong !" habis berkata ia terus menepuk pantat kuda. Kudapun segera
mencongklang pesat.
Karena tangan Kim Loji diikat dengan tali kendali maka ia masih dapat menguasai arah
lari kuda. Cepat sekali kuda itu sudah lari 20 an li. Melihat kuda basah keringat, Kim Loji
kendorkan kendali supaya mengurangkan larinya.
Saat itu sisa rembulan masih memancar di langit barat. Hari sudah hampir fajar. Ia
menengadah ke udara menarik napas. Seketika tergugahlah semangat keperwiraannya.
Dua butir airmata menitik turun. Air mata pahlawan . . .
Pada saat hatinya tercengkam dalam kedukaan dan penasaran, tiba-tiba ia terkejut
mendengar seseorang memanggilnya dari arah belakang : "Adakah paman tahu jalan ke
Hian-bu-kiong ?"
"Hai, apakah engkau Ping ji ?" teriaknya kaget.
Nada suara orang yang tak asing baginya itu menyahut : "Benar !"
"Ping Ji, apakah kita sedang bermimpi ?"
"Jangan bersedih hati, paman. Kita masih hidup tak kurang suatu apa," buru-buru Han
Ping menghiburnya.
"Bukankah engkau telah dipukul mati oleh Thian Hian totiang ?"
"Benar, aku terkena tenaga balik dari imam itu sehingga pingsan. Kaki tangan dan
tulang-tulang seperti copot. Tetapi pikiranku masih sadar, hanya tak kuat bicara saja.
Mungkin imam itu mengira aku sudah mati lalu menendangku sampai terlempar tujuh
delapan meter . . . ."
"Apakah engkau tak terluka ?"
Han Ping tertawa : "Di luar dugaan tubuhku yang sudah tak dapat berkutik, malah
dapat melancar darahnya karena tendangan itu !"
"Hai, benarkah itu ?" Kim Loji terkejut.
"Benar, paman. Tetapi walaupun darahku sudah melancar iagi, aku tetap tak berani
bergerak dulu karena hendak mendengarkan pembicaraan antara imam itu dengan Ih
Thian Heng. Setelah Ih Thian Heng pergi, Thian Hian segera menolong paman. Karena
kuatir dia hendak mencelakai paman buru-buru kukerahkan tenaga dalam untuk
mengobati lukaku. Eh, aneh. Lukaku hampir sembuh, semangatku penuh lagi, bahkan
lebih penuh dari sebelum terluka . . .
Berserulah Kim Loji dengan girang : "Hidup lebih dari 50 tahun, baru pertama kali ini
aku menyaksikan suatu peristiwa yang seaneh dirimu. Adakah ayah toako dan samte yang
melindungi dirimu ?"
"Benar, paman. Aku juga heran atas peristiwa itu. Lama kupikir, tetap belum ketemu
sebab-sebab nya . . ." kata Han Ping lalu melanjutkan ceritanya : "aku tetap
menggeleletak di belakang Thian Hian totiang, mengawasi dia mengobati paman dengan
tusuk jarum. Ketika kulihat imam itu bersikap kurang ajar terhadap paman, meluaplah
kemarahanku. Tetapi mengingat racun dalam tubuh paman itu kecuali dia tiada lain orang
lagi yang dapat mengobati, terpaksa kutekan kemarahanku. Kemudian pada saat dia
menaikkan paman ke atas kuda dan suruh paman menuju ke Hian-bu-kiong, diam-diam
aku segera mengikuti paman."
"Ping-ji, dimanakah engkau sekarang ?" tiba-tiba Kim Loji teringat.
"Aku membonceng di kuda ini !"
Kim Loji perlahan-lahan berputar ke belakang tetapi Han Ping tak kelihatan. Sudah
tentu ia heran sekali : "Ping-ji, dimana engkau ?"
"Bonceng di ekor kuda !"
Kim Loji tertegun, serunya : "Masakan bulu ekor kuda yang lemas dapat engkau naiki ?"
"Ekor kuda kupegang dengan tangan, bukan kunaiki !"
Makin menjadi-jadi keheranan Kim Loji, pikirnya : "Tubuh orang tentu berat tetapi
mengapa tak mengurangkan kepesatan lari kuda dan mengapa sama sekali aku tak
merasakan gandulan tubuhnya " Dan lagi betapapun tinggi kepandaian seseorang, tetapi
tak mungkin dapat sekian lama menahan napas . . . ."
Han Ping tertawa : "Sebenarnya aku hendak duduk di belakang paman. Tetapi karena
punggung paman masih tertancap jarum tusukan, aku kuatir nanti menyentuh jarum itu.
Maka terpaksa aku mencekali ekor kuda saja !"
"Dengan mencekal ekor kuda dan lari sekian li jauhnya, apakah engkau tak lelah ?"
"Bermula kukira tentu letih. tetapi setelah lari 10an li, ternyata tak merasa letih sama
sekali !" Dengan paksakan diri Kim Loji berputar tubuh. Dilihatnya Han Ping mencekal ekor kuda
dengan kedua tangannya, tubuhnya direbahkan membujur. Kakinya terpisah beberapa
centi dari tanah. Seakan-akan sedang berbaring di atas papan saja.
"Apakah engkau sungguh-sungguh tak merasa letih ?" tanya Kim Loji tertawa.
"Sama sekali tidak !"
"Ping ji, dengan cara apa Thian Hian totiang melukaimu ?"
"Dengan tenaga dalam membalik !"
"Apakah tidak menggunakan cara-cara yang ganas ?"
"Tidak !" sahut Han Ping.
"Apakah Ih Thian Heng mengetahui dirimu ?"
"Melihat juga tetapi dia kira aku sudah mati !"
Kim Loji perlahan-lahan berputar tubuh !agi. Hatinya merasa longgar sekali. Ia getarkan
kendali dan mencongklangkan kuda lagi. Han Ping tetap membonceng di belakang dengan
mencekal ekor kuda.
Karena pengalamannya dalam dunia persilatan amat luas, maka Kim Loji tak asing lagi
dengan letak tempat Hian-bu-kiong atau yang disebut It-kiong, Ji-koh atau kedua Lembah
Raja Setan dan Seribu Racun serta ketiga Marga.
Seketika timbul semannat hidup dalam sanubari Kim Loji. Hal itu terdorong oleh adanya
Han Ping yang ternyata masih hidup tak kurang suatu apa. Dia merasa anak itu memang
mempunyai rezeki besar. Karena setiap tertimpa bahaya bukan saja selalu dapat terhindar
pun bahkan malah menambah maju kepandaiannya dan memperbanyak pengalamannya.
Cita-cita Han Ping untuk membalas sakit hati dan melenyapkan Ih Thian Heng kiranya
bukan hal yang mustahil. Ia merasa berkewajiban untuk menyumbangkan pengalamannya
yang luas guna membantu anak itu. Setelah itu barulah ia dapat mati dengan meram . . .
Merenung hal itu, makin besarlah nyala semangat hidupnya. Ia harus lekas-lekas tiba di
Hian-bu-kiong untuk mengobati lukanya itu.
Kira-kira dua puluh li jauhnya haripun sudah fajar. Matahari mulai muncul di ufuk timur.
Kim Loji hentikan kudanya. Han Pingpun cepat lepaskan cekalannya lalu melesat ke
muka untuk menahan kuda : "Menempuh perjalanan satu malam, paman tentu lapar. Aku
hendak mencari makanan dulu untuk paman barulah kita nanti lanjutkan perjalanan lagi !"
Kim Loji tertawa. Ia mengatakan memang lapar, begitu juga kuda itu. Maka lebih baik
mencari tempat untuk beristirahat.


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil melepaskan tali pengikat tubuh Kim Loji, Han Ping bertanya : "Paman,
bagaimanakah dengan pribadi Thian Hian totiang itu " Baik atau jahat ?"
"Pribadi Thian Hian totiang itu sukar ditentukan. Perwira pun jahat. Tergolong Putih
tetapi pun tergolong Hitam . . ."
Sambil memanggul tubuh Kim Loji, Han Ping menghela napas : "Kepergian kita ke Hianbu-
kiong jika memang dapat menyembuhkan paman, itu sih tak mengapa. Tetapi kalau
imam itu hanya main-main sekedar untuk mempertangguhkan jiwa paman, hm, dia harus
mengganti dengan jiwanya !"
Kim Loji tertawa : "Nak, masalah dalam dunia persilatan tidak hanya mengandalkan
keberanian dan kegagahan sesaat. Tetapi yang mengandalkan ketajaman melihat gelagat
dan suasana, memang sedikit sekali. Banyak nian pertikaian dan dendam kesumat dari
dua orang yang saling bersumpah tak mau hidup bersama, tetapi dalam suatu saat, tibatiba
mereka dapat akur dan menjadi sahabat. Tetapi pun banyak sahabat karib pada
waktu menghadapi saat yang genting, berbalik menjadi musuh . . . ."
"Paman, setelah selesai membalaskan sakit hati ayah bundaku, jangan kita
berkecimpung dalam dunia persilatan lagi. Kita cari sebuah dusun kecil dan hidup tentram
disitu. Menuntut penghidupan jual besi saja . . . ."
Kim Loji menatap wajah pemuda itu. Dalam waktu beberapa bulan saja, rupanya
pemuda itu sudah bosan dengan kehidupan dalam dunia persilatan dan jemu dengan
manusia. Kalau tidak masakan semuda itu umurnya sudah mempunyai cita-cita
mengasingkan diri hidup tentram . . .
Di tepi jalan tampak sebuah pondok yang dilingkungi dengan pagar bambu. Han Ping
segera membawa pamannya kesitu.
Tetapi Kim Loji menyatakan, lebih baik jangan membikin kaget orang : "Cari saja
tempat yang sunyi dan tinggalkan aku disitu. Setelah engkau membawa makanan, kita
makan seadanya lalu berangkat lagi."
"Tetapi tubuh paman penuh dengan jarum, bagaimana aku tega meninggalkan paman
seorang diri ?" bantah Han Ping.
"Tetapi bukankah engkau hanya pergi sebentar saja " Masakan akan berjumpa dengan
peristiwa lain lagi"
Akhirnya Han Ping menurut. Setelah meletakkan Kim Loji di bawah pohon besar kirakira
10an dari jalan besar. Kemudian ia lari menuju ke rumah pondok itu. Setelah meminta
makanan dari rumah itu, ia terus kembali tetapi astaga Kim Loji lenyap !
Seketika itu meluaplah kedukaan dan kemarahan Han Ping. Makanan yang dibawanya
itu terus dilemparkan ke atas pohon ! Byur . . . taburan nasi itu telah merontokkan daundaun
pohon sehingga berguguran jatuh ke tanah.
Sekonyong-konyong terdengar orang tertawa gelak-gelak. Sambil membopong Kim Loji.
Pengemis sakti Cong To loncat turun dari atas pohon.
Melihat itu lenyaplah kemarahan Han Ping ujarnya : "Ah, tak kira di sini akan berjumpa
dengan locianpwe pula !"
Pengemis sakti tertawa : "Memang pengemis tua sengaja mencarimu, bukan karena
kebetulan bertemu !"
Han Ping terkejut dan segera menanyakan keperluan pengemis sakti itu.
Pengemis sakti yang biasanya selalu bersikap acuh tak acuh, saat itu tampak merenung
dengan serius. Beberapa saat kemudian baru ia berkata : "Ada sebuah soal penting yang
hendak kuberi tahukan kepadamu !"
"Harap locianpwe suka mengatakannya. Asal perlu bantuanku, aku tentu akan
membantu. Tetapi kuminta waktu dua hari lagi. Ialah setelah kuantarkan pamanku
berobat ke Hian-bu-kiong !" kata Han Ping.
Pengemis Sakti gelengkan kepala : "Hian-bu-kiong telah bersiap diri. Setiap imam dari
biara Hian-bu-kiong itu, sama memiliki kepandaian tinggi. Engkau seorang diri hendak ke
sana, tentu sukar menghadapi mereka . . . ."
"Tetapi takkan menantang mereka bertempur melainkan hendak minta obat untuk
paman." "Semula memang ada urusan penting yang akan kubicarakan kepadamu. Tetapi
keadaan saat ini lebih penting membantumu lebih dulu ke Hian-bu-kiong. Setelah
pamanmu sembuh, baru kita berunding lagi !" tukas Pengemis Sakti Cong To.
Bermula Han Ping hendak menolak. Tetapi mengingat kemungkinan timbulnya
pertentangan dengan kawanan imam Hian-bu-kiong, bantuan Cong To akan menambah
kekuatan yang amat besar.
Serta merta Han Ping menjura menghaturkan terima kasih atas kesediaan Pengemis
sakti itu. "Waktu amat berharga, sekarang juga kita harus berangkat lagi !" seru Cong To.
Han Ping gugup dan minta waktu sebentar untuk mencarikan makanan guna Kim Loji.
Tetapi pengemis itu mengatakan tak perlu karena ia sudah membekal makanan.
Setelah menerima Kim Loji, Han Ping lalu menaikkannya di atas kuda. Tiba-tiba ia
bertanya kepada pengemis sakti : "Tubuh pamanku, penuh ditancapi jarum emas. Dia
sukar duduk tegak. Apakah perlu harus diikat ?"
"Kalau tidak diikat bagaimana bisa mengelabui orang Hian-bu-kiong !" sahut Cong To.
Demikianlah, tetap didudukkan di atas punggung kuda dengan diikat tubuhnya. Cong
To dan Han Ping menggunakan ilmu lari cepat mengikuti di belakang kuda. Han Ping
heran mengapa kakinya terasa amat ringan sekali.
"Hai, ilmu apakah yang engkau gunakan itu ?" tegur Pengemis sakti yang heran atas
kepesatan lari Han Ping.
"Entahlah, aku sendiri juga tak jelas !"
Cong To kerutkan dahi. Ia tahu anak muda itu tentu tak mau mengatakan. Diapun tak
mau mendesak lagi.
Cepat sekali kuda itu sudah lari sampai empat lima belas li. Dan Han Ping tetap merasa
heran mengapa larinya makin lama makin pesat dan tak terasa letih sama sekali.
Untuk mencapai Hian-bu-kiong dengan cepat, mereka tidak mau berhenti dan hanya
makan rangsum kering yang dibekal Pengemis Sakti Cong To.
Tepat pada saat matahari silam ke barat, tibalah mereka di biara Hian-bu-kiong.
Sebuah bangunan gedung yang megah dan besar, dibangun di atas sebuah tanah lapang
di tengah hutan bambu seluas beberapa li.
Setelah hentikan kuda yang membawa Kim Loji, berkatalah Cong To kepada Han Ping :
"Turut yang kuketahui, kawanan imam dari Hian-bu-kiong itu jarang sekali keluar. Mereka
tak mau berhubungan dengan orang luar. Tetapi kepada orang yang berani gegabah
masuk ke dalam sarang mereka, tentu takkan dibiarkan hidup. Banyak sudah tokoh-tokoh
dunia persilatan yang mengunjungi Hian-bu-kiong, tetapi tiada seorang pun yang tahu
keadaan tempat itu. Sampai detik ini, tiada pernah orang yang masuk ke Hian-bu-kiong
dapat keluar lagi dengan masih bernyawa. Oleh karena itu Hian-bu-kiong merupakan
sebuah biara yang amat menyeramkan . . . ."
"Lalu kita akan masuk ke sana atau tidak ?" tanya Han Ping agak gelisah.
Pengemis sakti tertawa : "Jika kita ikut masuk, mereka tentu tak mau mengobati Kim
Loji !" "Tetapi kalau hanya paman yang masuk seorang diri, apakah tidak berbahaya ?" Han
Ping makin cemas.
Pengemis sakti Cong To tertawa : "Thian Hian tojin, meskipun bertindak menurut
kemauannya sendiri tetapi dia berdiri di antara aliran Putih dan Hitam. Dan pada
hakekatnya dia adalah seorang pendiri sebuah aliran cabang persilatan. Tentu takkan
ingkar janji. Kalau dia mengirim Kim Loji ke biara, tentu mempunyai kemampuan untuk
mengobatinya. Kita tunggu saja di luar. Setelah hari gelap barulah kita berusaha untuk
menolongnya. Hanya dengan cara begitu, tiada lain jalan lagi !"
"Jika imam Hian-bu-kiong tak mengobati luka paman, atau jika mereka melakukan
sesuatu tindakan yang menghina . . . ."
Cong To tersenyum : "Mengobati tentu akan mengobati. Tetapi sikap menghina, tentu
juga akan diterima. Minta tolong orang mengobati luka, hal itu sukar terhindar . . . ."
"Jika mereka mencelakai atau memenjarakan paman, bagaimanakah kita akan
mencarinya ?" tanya Han Ping pula.
"Dalam dunia persilatan memang tak terlepas dari sedikit hujan angin bahaya. Turut
pendapat pengemis tua, kawanan imam Hian-bu-kiong tentu tak mengira, kalau Kim Loji
masih mempunyai bala bantuan. Dan lagi kedatangan Kim Loji itu tentu akan menjadi
pembicaraan ramai dalam biara. Jika mereka sampai menahan Kim Loji, tentu juga mudah
diketahui. Yang menjadi keprihatinan kita, ialah kita bakal mengikat permusuhan dengan
Hian-bu-kiong, yang berarti akan tambah seorang musuh yang tangguh . . . ."
"Karena urusan sudah sampai begini, kita tak dapat berbuat apa-apa lagi. Jika
locianpwe takut bermusuhan dengan Thian Hian totiang, biarlah aku seorang diri saja yang
masuk . . . ."
"Jika takut bermusuhan dengan Thian Hian totiang, masakan aku menemani engkau
datang kemari . . . . !" tukas Pengemis sakti Cong To. Kemudian ia berkata pula, "lebih
baik kita jangan membuang waktu agar luka pamanmu jangan sampai kasip."
Habis berkata ia terus mencambuk pantat kuda. Kuda itu cepat lari menuju ke Hian-bukiong.
Setelah kuda mendekati biara, Pengemis sakti mengajak Han Ping bersembunyi dalam
gerumbul semak.
Ketika Kim Loji dengan kudanya tiba di biara, pintu biara yang semula tertutup rapat,
tiba-tiba terbuka lebar. Lima lelaki bersenjata pedang berbaris menghadang di ambang
pintu. Salah seorang segera mencekal kendali kuda Kim Loji seraya membentaknya :
"Siapakah engkau " Mengapa berani masuk ke Hian-bu-kiong ?"
"Aku telah ditolong Thian Hian totiang dengan pengobatan tusuk jarum. Karena masih
ada lain urusan, totiang segera mengirim aku kemari supaya diberi pengobatan lebih lanjut
!" Melihat tubuh Kim Loji benar tertancap jarum emas, orang itu segera menyisih ke
samping memberi jalan.
Ketika Kim Loji masuk ke dalam, Pengemis sakti mengetahui kalau Han Ping makin
tegang. Ia menggamit ujung baju anak muda itu, katanya : "Segala hal yang terjadi di
dunia persilatan, tak ada yang tak berbahaya. Kalau engkau begitu tak dapat menguasai
perasaanmu, mana engkau mampu melakukan usaha besar !"
Pengemis sakti itu mengambil buli-buli araknya lalu meneguk beberapa kali, katanya
pula : "Mari kita cari tempat beristirahat untuk memulangkan semangat kita !"
Han Ping terpaksa mengikuti Cong To. Duduk di bagian dalam dari semak yang lebat.
Kembali Cong To meneguk arak beberapa kali lalu tertawa : "Dari manakah engkau
memperoleh pedang Pemutus Asmara itu ?"
Han Ping tak sangka kalau mendapat pertanyaan semacam itu. Ia tertegun lalu
menyahut : "Pedang itu adalah pemberian dari seorang locianpwe. Mengapa locianpwe
mendadak menanyakan hal itu"
"Bukankah pedang itu milik seorang padri Siau-lim ?" tanya Cong To pula.
Han Ping makin heran. Pikirnya, mengapa pengemis itu tahu tentang pedang Pemutus
Asmara. Lalu ia menanyakan : "Bagaimana locianpwe tahu hal itu ?"
Padri Siau-lim-si semua tahu bahwa pedang itu adalah milik gereja mereka. Pula
mereka tahu kalau pedang itu jatuh ke tanganmu. Kini Siau-lim mengutus sejumlah besar
anak muridnya untuk mengejar jejakmu. Mereka hendak mengambil pulang kotak pedang
itu !" "Oh, begitu . . ."
"Dan lagi mereka sudah mengetahui bahwa engkau berada di sekitar sini lalu kirim
orang melapor pada gereja di Kosan. Tentu mereka segera akan mengirim bala bantuan
besar. Rupanya mereka sudah bertekad harus dapat merebut kembali pedang Pemutus
Asmara itu !"
Han Ping mendengus perlahan. Sambil menengadah memandang langit, pikirannya
melayang-layang
"Pedang itu milik mendiang Hui Gong taysu. Seharusnya memang menjadi milik Siaulim-
si. Tetapi Hui Gong taysu secara pribadi telah memberikan kepadaku. Adakah pedang
itu perlu kukembalikan kepada gereja ?" pertanyaan itu, tak dapat Han Ping mengambil
keputusan. Melihat Han Ping berdlam diri, Pengemis sakti tersenyum : "Apakah sesungguhnya
pedang pusaka itu milik gereja Siau-lim-si atau bukan ?"
Sahut Han Ping : "Walaupun menjadi milik seorang padri besar dari Siau-lim-si, tetapi
tak dapat dianggap sebagai milik gereja . . . ."
"Hampir separuh hidup kuhamburkan dalam dunia persilatan. Beberapa bahasa daerah
dari utara sampai selatan, aku tahu semua. Tetapi aneh, mengapa aku tak mengerti apa
yang engkau maksudkan tadi ?"
"Walaupun pedang Pemutus Asmara itu menjadi milik seorang locianpwe Siau-lim-si,
tetapi benda itu termasuk milik pribadi. Sebelum menutup mata, beliau telah memberikan
pedang itu kepadaku. Jadi jelas, pedang itu adalah pemberian pribadi dari seorang padri
Siau-lim-si kepadaku. Sekarang padri-padri Siau-lim-si hendak mencari guna meminta
kembali pedang itu. Adakah aku harus mengembalikannya atau tidak ?" Han Ping balas
bertanya. Cong To kerutkan dahi : "Sudah berpuluh tahun Siau-lim-si tak pernah menggerakkan
murid-murid nya secara besar-besaran seperti kali ini. Dan yang diutus keluar itu, adalah
para padri yang berilmu tinggi. Jelaslah sudah, kalau gerakan mereka untuk merebut
pedang itu kembali sudah tak boleh ditawar lagi . . . ."
Berhenti sejenak, pengemis sakti itu melanjutkan pula : "Kekuatan Siau-lim-pay amat
besar. Dalam dunia persilatan, dewasa ini menempati kedudukan yang terkemuka sendiri.
Lebih baik engkau terang-terangan menemui pimpinan mereka untuk menjelaskan duduk
perkaranya. Mungkin dapat menghindarkan salah paham !"
Han Ping merenung, lalu menghela napas : "Bukan karena aku temaha pada pedang
pusaka itu. Tetapi benar-benar pedang itu adalah pemberian dari seseorang yang
menaruh kepercayaan kepadaku. Bagaimana dengan gampang akan kuserahkan lagi
kepada lain orang ?"
"Apakah pedang itu sekarang berada padamu ?" beberapa saat kemudian Cong To
bertanya. Han Ping segera mengeluarkan pedang Pemutus Asmara : "Inilah pedang itu ! Tetapi
sayang sarung pedang telah dirampas orang !"
Setelah memeriksa pedang itu beberapa saat Cong To tertawa : "Mungkin tujuan para
padri Siau-lim-si itu justru pada sarung pedang. Jika engkau tak ingin bentrok dengan para
padri Siau-lim-si, baiklah engkau memberitahukan dimana adanya sarung pedang itu
kepada mereka . . . ."
Han Ping gelengkan kepala : "Tidak ! Sama sekali tak keberatan menyerahkan kotak
pedang itu tetapi aku tak mau menodai nama baik orang yang memberikan pedang itu.
Karena bukan hasil yang kucuri, dengan hak apa para padri Siau-lim-si hendak meminta
kembali padaku ?"
Diam-diam Cong To membenarkan pendirian Han Ping. Karena menyerahkan pedang
itu kepada para padri Siau-lim-si berarti suatu pengakuan bahwa anak muda telah
mencuri. Cong To agak bingung juga. Ia menghela napas : "Menurut ceritanya, pedang itu
membawa sial. Beberapa orang yang pernah menjadi pemiliknya, semua telah mengalami
akibat yang mengenaskan. Entah apa sebab, masih ada saja orang yang berusaha untuk
mendapatkannya . . . ."
Belum selesai bicara, tiba-tiba serangkum angin melanda. Sebagai seorang yang
berpengalaman, Cong Topun cepat berbangkit dan menamparkan tangan kirinya. Sedang
tangan kanan cepat mencengkram pedang Pemutus Asmara !
Gerakan pengemis itu teramat cepatnya Tetapi ternyata pendatang itu lebih hebat lagi.
Sekali berkelebat, tahu-tahu pedang pusaka itu sudah berada di tangan orang itu.
Ah, ternyata pendatang itu seorang nenek tua baju hitam yang mengenakan kerudung
kepala sutera hitam. Sambil mencekal pedang Pemutus Asmara, ia tengah memeriksa
dengan teliti. Pengemis sakti Cong To yang luas pengalaman tetap tak kenal siapa nenek itu. Mau tak
mau ia tertegun heran.
"Hai, siapakah engkau ?" teriak Han Ping dengan marah.
Tegang sekali nenek itu mengangkat kepala lalu lemparkan pedang Pemutus Asmara ke
tanah : "Lihat-lihat kan boleh, toh ?" ia terus berputar tubuh dan melangkah pergi. Pada
lain kejap sudah lenyap di dalam hutan.
Setelah nenek itu lenyap barulah Han Ping termenung-menung. Ketika beradu pandang
dengan nenek itu, ia tak dapat mengingat bagaimana wajah nenek itu. Tampaknya
gerakan nenek itu acuh tak acuh dan perlahan sekali tetapi sesungguhnya luar biasa
cepatnya. Tiba-tiba Han Ping teringat akan ajaran mendiang Hui Gong taysu dalam kitab Tat-moih-
kin-keng. Ada dua baris kata yang mengatakan : "Beribu perubahan dalam kelambatan.
Lambat tetapi sesunguhnya amat cepat sekali . . . . pikiran mendua, sekali gerak dua
serangan . . . ."
Lama benar Han Ping tak jelas apa yang tersembul dalam pelajaran itu. Tetapi setelah
berhadapan dengan nenek tadi, tiba-tiba pikirannyapun terbuka.
Melihat Han Ping termenung-menung, Cong To segera memungut pedang Pemutus
Asmara itu lalu diberikan kepada anak muda itu.
Han Ping gelagapan. Sambil menyambuti, ia bertanya, apakah pengemis itu kenal akan
nenek tadi. "Tidak kenal," sahut Cong To.
Han Ping menghela napas : "Dunia persilatan memang benar-benar penuh dengan
tokoh-tokoh sakti, Kesaktian nenek tadi mungkin tidak di bawah locianpwe dan Ih Thian
Heng . . . ."
"Engkau kenal padanya ?" tegur Cong To.
"Sekalipun tidak kenal tetapi kutahu jelas kepandaiannya amat sakti !"
"Bagaimana bisa diketahui ?" tanya Pengemis sakti. Diam-diam ia memang mengakui
kepandaian nenek itu lebih unggul dari dirinya.
"Apakah locianpwe memperhatikan pakaian dan wajahnya ?"
"Pakaiannya serba hitam . . ." baru Cong To menjawab begitu tiba-tiba ia tertegun. Ia
tak ingat bagaimana wajah nenek itu. Sambil batuk-batuk ia berkata pula : "Tetapi
wajahnya aku tak jelas."
"Dia tak jauh berdiri di depan kita, tetapi kita tak dapat meiihat jelas wajahnya. Apakah
kesaktiannya itu tidak membuat kita kagum ?" kata Han Ping.
Cong To kerutkan alis dan termenung-menung.


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Pingpun tak mau membicarakan nenek itu lebih lanjut. Ia segera duduk
bersemedhi, memusatkan pikiran dan semangatnya untuk memecahkan dua baris katakata
dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng : "Beribu perubahan dalam kelambatan, lambat tetapi
cepat hati mendua, sekali gerak dua serangan . . ."
Matahari mulai terbenam dan cuacapun makin gelap. Tampak wajah Han Ping mulai
mengembang seri gembira. Cong To tak mau mengganggunya.
Tiba-tiba beberapa burung melayang di udara. Cong To menggamit Han Ping dan
membisiki : "Ada orang akan datang !" ia terus menyelinap ke dalam semak.
Han Ping yang belum sempat bersembunyi, tiba-tiba mendengar suara orang berkata :
"Jika toheng tak percaya, silahkan memeriksanya !"
Terdengar seseorang lain menyahut : "Hal ini besok pagi kita bicarakan lagi. Aku
hendak kembali ke biara melihatnya !"
Han Ping terkejut. Jelas yang bicara itu adalah Thian Hian totiang. Mengapa imam itu
buru-buru pulang "
Kata orang yang pertama tadi : "Hian-bu-kiong selama ini tak menerima orang luar.
Akupun tak berani memaksa melanggar pantangan itu. Besok siang, kutunggu toheng di
luar biara !"
Tetapi Thian Hian menolak : "Aku tak senang segala macam kericuhan. Lebih baik
engkau tinggalkan tempat ini saja !"
Terdengar derap kaki orang makin lama makin dekat. Diam-diam Han Ping bersiap-siap.
Orang yang pertama bicara tadi berkata lagi : "Walaupun toheng tak menginginkan
harta permata dalam kuburan itu, tetapi apakah toheng juga tak mempunyai minat akan
pusaka Tenggoret Kumala dan Kupu-Kupu Emas itu ?"
Derap kaki berhenti dan terdengar Thian Hian totiang bersuara : "Apakah benar-benar
kedua benda itu berada dalam kuburan itu ?"
"Hal ini sudah pasti, tak mungkin salah lagi !" kata orang itu dengan yakin.
Thian Hian berdiam diri beberapa jenak, lalu berkata : "Baik, biar kupikir semalam ini.
Besok pagi akan kuberimu jawaban !"
Terdengar derap kaki lagi. Makin lama makin jauh. Tentulah orang yang bicara dengan
Thian Hian itu tinggalkan tempat itu.
Tiba-tiba timbul suatu pikiran pada Han Ping : "Hm, jika aku dapat rneringkus Thian
Hian totiang, tentulah akan dapat memaksa kawanan imam dalam Hian-bu-kiong itu untuk
mengobati pamannya !"
Belum ia mengambil putusan, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri dari jauh.
"Hai, siapakah itu . . . . !" teriak Thian Hian totiang dengan marah.
"Aku ! Engkau tentu tak mengira !" terdengar sebuah lengking suara perempuan.
Setelah meragu sejenak, Thian Hian totiang berseru : "Heng-Thian-It-ki . . . ."
"Benar," sahut wanita itu, "setelah selesai 10 tahun menutup diri, perjanjian kitapun
sudah tiba waktunya !"
Tiba-tiba Thian Hian totiang tertawa lepas. Nadanya bergema menggetar hutan,
mengejutkan kawanan unggas.
Dalam kesempatan itu, Han Ping diam-diam menyelinap ke dalam semak belukar.
"Tak usah engkau tertawa begitu macam !" wanita pembenci dunia atau Heng-thian-Itki
berseru, "apa perlumu memanggil kawanan imam dalam biara " Apakah suruh mereka
membantumu ?"
Thian Hian menyahut dingin : "Sungguh tepat sekali kedatanganmu ini. Kita segera
selesaikan saja segala perhitungan. Hayo kita ke tanah lapang di luar hutan sana. Malam
ini, jika bukan engkau yang mati tentu akulah yang binasa !"
Heng-thian-It-ki tertawa mengejek : "Pergi engkau lebih dulu ke dalam biara untuk
menyerahkan segala urusan apabila engkau mati nanti. Kutunggu engkau di tanah lapang
itu !" "Tak perlu" sahut Thian Hian seraya terus loncat melayang ke luar hutan.
Wanita Pembenci dunia itupun segera mengikuti. Gerakan keduanya luar biasa
cepatnya. Dalam sekejap saja sudah lenyap.
Cong To muncul dari semak tempat persembunyian : "Mumpung ada kesempatan ini,
kita masuk ke dalam biara menolong pamanmu !"
Sebenarnya Han Ping ingin menyaksikan pertempuran dahsyat dari kedua tokoh sakti
itu. Tetapi demi mendengar ajakan Cong To, segera menyetujui. Bergegas-gegas ia
menyusul Cong To yang sudah mendahului lari ke arah biara.
"Kila dapat bergerak cepat, setelah menolong pamanmu, kita masih sempat melihat
pertempuran kedua tokoh itu !" kata Cong To.
Saat itu mereka tiba kira-kira tiga tombak di luar biara Hian-bu-kiong. Cong To
berhenti, mengeluarkan dua helai sutra hitam, dibagikan kepada Han Ping : "Selain
sikapnya yang angkuh dan congkak, sebenarnya Thian Hian totiang bukan orang jahat.
Nanti dalam biara, jika sampai bertempur, kita harus dapat menghindari pertumpahan
darah yang tak perlu !"
Setelah membungkus mukanya dengan sutra hitam, Cong To terus loncat ke dalam
biara. Han Pingpun segera mengenakan kerudung muka hitam itu. Sekali enjot tubuh, ia
melambung sampai tiga tombak lebih tingginya.
Tetapi ketika ia memandang ke bawah, kejutnya bukan kepalang . . .
Jilid 21 Bagian 38 Dari Harimau ke Buaya.
Sinar pedang berhamburan dalam biara Hian-bu-kwan. Han Ping duga Pengemis sakti
Cong To tentu sudah terlibat dalam pertempuran. Cepat anak muda itu melayang ke
bawah. Tetapi belum kakinya menginjak bumi, dua sosok bayangan sudah menyambut,
menabas dada dan membabat kaki.
Han Ping baru saja menyelami inti rahasia dari apa yang disebut "lambat tetapi cepat,
sekali gerak dua serangan". Salah satu dari isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng ajaran mendiang
Hui Gong taysu.
Cepat ia gerakkan tangan kanan dan kiri. Tangan kiri untuk mencengkeram
pergelangan tangan penyerang yang membabat kakinya. Selekas mencengkeram terus
dipijat sekeras-kerasnya dan cepat merebut pedang itu.
Kemudian tangan kanannya disongsongkan untuk menjepit pedang lawannya yang
menabas muka, mendorongnya ke belakang dan menendang lututnya.
Penyerang yang ternyata imam dari biara Hian-bu-kwan, mendesus tertahan lalu rubuh
terlentang. Han Ping berhasil mempraktekkan inti ajaran "lambat tetapi cepat, sekali gerak dua
serangan".
Saat itu Pengemis sakti Cong To memang sedang diserang oleh dua imam. Melihat
dalam sekali gebrak Han Ping dapat merobohkan dua imam, timbullah semangat Pengemis
sakti itu. Dua buah pukulan segera dilayangkan sehingga kedua lawannya terpaksa harus
mundur 3 langkah.
Cong To tak mau melukai orang. Setelah mengundurkan lawan, iapun cepat gunakan
ilmu Pat-poh-teng-gong melambung sampai 3 tombak tingginya dan hingga di atas
wuwungan rumah.
Han Pingpun segera menyusul.
Kedua imam yang menyerang Cong To tadi, yang seorang loncat mengejar yang
seorang segera meniup seruling pertandaan.
Para imam biara Hian-bu-kwan rata-rata berkepandaian tinggi. Dalam sekali dua kali
loncatan, imam tadi dapat mengejar ke atas wuwungan.
"Awas, pedang!" teriak Han Ping seraya lontarkan pedang rampasannya tadi ke arah
imam itu. Belum kaki imam itu menginjak atap, taburan pedang Han Ping sudah tiba. Dalam
gugup itu menangkis. Tetapi lontaran pedang itu bukan kepalang dahsyatnya. Sambil
menjerit "Celaka", imam itu terdorong jatuh ke bawah lagi. Bahunya termakan pedang dan
rubuhlah ia ke tanah.
Han Ping cepat menyusul Pengemis sakti. Rupanya telinga pengemis tua itu tajam
sekali. Segera ia menegur, "Engkau melukai orang?"
"Entahlah!" sahut Han Ping.
Tepat pada saat itu belasan sosok tubuh orang melesat tiba terus menyerang.
"Hati-hati menghadapi mereka!" pesan Pengemis sakti seraya hantamkan tangan kanan
menyongsong 3 imam yang menyerbu dari sebelah timur.
Sedang Han Pingpun hantamkan tangan kanan dengan jurus Naga sakti menggeliat
kepala untuk menghalau musuh dari arah barat. Sedang tangan kiri menampar seorang
imam yang menyerang dari selatan.
Pukulan Cong To yang keras dapat mengundurkan penyerang dari sebelah timur dan
utara. Sedang pukulan Han Ping dapat menyurutkan 4 orang imam yang menyerang dari
barat. Ternyata anak muda itu gunakan lwekang lemah2 keras. Tampaknya pukulan Han
Ping lak mengeluarkan deru angin keras. Tetapi begitu mengenai orang, barulah orang itu
terkejut. Mereka terkejut tetapi terlambat. Tubuh mereka seperti dilanda gelombang
tenaga yang bukan olah-olah dahsyatnya.
Serempak dengan gerakan tangan kanan tadi, tangan kiri Han Pingpun gunakan jurus
Kin-liong-jiu atau menyambar naga, untuk meraih dan merebut pedang imam yang
menyerangnya. Setelah mendapat pedang, Han Ping tambah garang. Terdengar dering
senjata beradu dan kedua imam dihalaunya mundur.
Dua belas imam yang menyerang dari empat jurusan, dapat dihalau mundur oleh
Pengemis sakti dan Han Ping.
Memandang ke muka, mereka melihat paseban besar sudah tak berapa jauh. Tampak
di bawah sinar lentera merah yang menerangi paseban itu, berpuluh-puluh imam
berhamburan memburu datang. Jumlahnya tak kurang dari seratusan orang.
"Lawan berjumlah sekian banyak. Jika kita terpancang tak boleh melukai orang, entah
sampai kapan dapat mengakhiri pertempuran ini!" Han Ping kerutkan dahi.
Cong To juga tak mengira kalau imam Hian-bu-kwan berjumlah sekian banyak. Ia
tertegun. Diam-diam ia membenarkan keluhan pemuda itu. Kalau tak melukai mereka,
tentu sukar. Kedua belas imam yang menyerang tadi menyadari bahwa kedua orang yang datang
itu, berkepandaian tinggi. Cepat mereka menyusun diri dalam sebuah barisan pedang,
untuk menghadang jalan. Mereka tegak berdiri diam. Tak mau menegur, pun tak mau
menyerang. Melihat suasana makin genting, baik di atas genteng maupun di bawah penuh dengan
imam Hian-bu-kwan, diam-diam Han Ping gelisah. Apalagi Thian Hian totiang berada di
luar biara. Jika dia datang, tentu makin sukar".
"Locianpwe, mari kita serbu ke dalam paseban besar untuk melihat keadaan di situ!"
serunya kepada Pengemis sakti sesaat ia mendapat keputusan.
Saat itu di atas wuwungan rumah di mana Han Ping dan Cong To berdiri, sudah
dikepung lebih dari 20an imam. Begitu Han Ping bergerak, merekapun segera menyerang.
Sambil lepaskan hantaman, Cong To melambung ke udara, melampaui kawanan imam
dan melayang turun ke bawah. Pukulan pengemis tua itu memang bukan olah-olah
dahsyatnya. Kawanan penyerangnya berhamburan mundur.
Han Pingpun segera putar pedangnya untuk membuka jalan pada barisan pedang
lawan. Pada waktu ia ditutuk oleh Thian Hian totiang tempo hari, tenaga murni dari mendiang
Hui Gong taysu yang disalurkan ke tubuhnya, membeku pada urat nadinya. Jika dibiarkan
begitu, tak berapa lama. Han Ping tentu mati. Tetapi karena Thian Hian totiang
menendangnya lagi, tanpa disengaja telah mengenai jalan darah Yim dan Tok dalam
tubuhnya. Dan seketika menyalurlah tenaga murni yang membeku itu ke seluruh jalan
darah penting yang terdiri dari 12 buah. Selekas ke 12 buah jalan darah itu mengalir maka
terbukalah saluran Yim dan Tok itu. Dengan terbukanya saluran Yim dan Tok itu, maka
seluruh jalan darah di tubuh Han Ping dapat disaluri dengan tenaga murni.
Dengan penganiayaan Thian Hian totiang itu, Han Ping malah mendapat suatu berkah
besar. Karena tanpa harus bersusah payah selama 3 tahun bersemedhi melakukan ilmu
pernapasan, jalan darah yang terakhir dan yang paling sukar ditembus yakni Yim dan Tok,
kini sudah terbuka. Hal itu berarti tenaga dalamnya bertambah hebat sampai berlipat
ganda. Mendapat serangan pemuda itu, barisan pedang imam Hian-bu-kwan, pecah dan
menyisih mundur. Beberapa pedang imam itu dapat ditabas jatuh oleh Han Ping.
Han Ping tertegun ia tak menyangka bahwa saat itu ia memiliki tenaga dalam yang
begitu dahsyat.
Kawanan imam Hian-bu-kwan memang sudah terlatih dan berpengalaman sekali.
Walaupun menghadapi musuh yang bagaimana tangguhnya, mereka tetap tak panik. Pada
saat Han Ping tertegun, mereka segera bersatu dan membentuk barisannya lagi.
Han Ping terkejut ketika melihat Cong To dikepung kawanan imam. Diam-diam ia
memutuskan. Jika harus menghindari supaya jangan sampai melukai lawan, tentu sukar.
Terpaksa ia harus bertindak tegas.
"Siapa merintangi pasti mati!" serunya seraya menerjang.
Kawanan imam itu tak berani memandang rendah. Setelah menyisih ke samping,
mereka menyerang lagi dari dua arah.
Tring, tring, tring. Han Ping putar pedang menangkis serangan mereka. Sekonyongkonyong
tangan kirinya menyambar lengan seorang imam terus ditariknya ke samping.
Kemudian pedang di tangan kanan digerakkan dalam jurus Awan menutup sinar emas,
menangkis serangan di belakang lalu menghalau empat pedang yang menyerang dari
samping. Setelah itu ia enjot tubuh melayang turun.
Karena pergelangan tangannya dicengkeram Han Ping, imam itu tak dapat berkutik.
Serta dibawa loncat Han Ping, tubuh imam itupun ikut meluncur ke bawah.
Begitu tiba di atas atap bagian bawah, Han Ping rasakan tubuh imam itu amat berat.
Cepat ia kuatkan kuda-kuda kakinya dan menarik tubuh imam itu supaya jangan
menghancurkan genteng. Dan usahanya itu berhasil. Ia dapat menahan tubuh imam itu
tetapi karena mengerahkan tenaga kaki, genteng yang diinjaknya itupun remuk dan
tubuhnya amblong ke bawah.
Di bawah ternyata sudah siap menyambut delapan batang pedang. Dalam gugupnya,
Han Ping menarik tubuh si imam ke bawah sebagai perisai. Sudah tentu kedelapan
penyerangnya terkejut dan buru-buru menarik pulang pedangnya.
Han Ping empos semangat lalu bergeliatan melambung ke atas lagi. Ketika berpaling,
dilihatnya imam yang ditawan itu biru wajahnya dan napasnyapun lemah. Ia tak sampai
hati lalu melepaskannya ke bawah.
Saat itu dilihatnya Pengemis Sakti Cong To sedang dikepung ketat oleh kawanan imam.
Bertempur di atas tanah, kawanan imam itu dapat bergerak dengan leluasa. Barisan
mereka seolah-olah menyerupai gunung pedang yang lebat.
Han Ping tak mau buang waktu. Cepat ia putar pedang menerjang barisan pedang
lawan. Terdengar dering gemerincing yang riuh dan berhasillah ia membuka sebuah jalan,
pada barisan lawan.
Melihat kegagahan anak muda itu, seketika menyalalah semangat Cong To. Ia
lontarkan dua buah hantaman ke arah penyerangnya di sebelah barat.
Habis menyapu lima batang pedang musuh, Han Ping berseru, "Aku yang membuka
jalan, locianpwe yang menjaga belakang. Kita terjang masuk ke dalam paseban besar itu!"
Sebenarnya diam-diam Cong To sedang menimang dalam hati. Kawanan imam Hianbu-
kwan rata-rata berkepandaian tinggi dan berjumlah banyak. Sukarlah untuk
menghadapi mereka. Belum ia memperoleh daya untuk bertindak, tiba-tiba ia mendegar
teriakan Han Ping. Seketika ia mendapat akal dan berseru keras, "Baiklah!"
Han Ping menggembor keras. Ia menerjang ke arah utara. Kini tenaga dalam pemuda
itu memang hebat sekali. Dalam adu pedang, jika tidak terbabat kutung tentulah pedang
lawan mencelat jatuh. Han Ping benar-benar seperti harimau mengamuk sehingga barisan
pedang lawan kacau dan terpaksa menyingkir.
Sedang Cong Topun terus menerus lepaskan pukulan untuk menghalau lawan yang
menyerang dari belakang dan samping.
Dalam waktu singkat, kedua orang itu telah berhasil menerobos barisan pedang dan
menuju ke paseban besar. Saat itu mereka tiba di bawah titian paseban. Tiba-tiba Han
Ping enjot tubuhnya melayang ke atas atap paseban. Dalam pada itu setelah dapat
mengundurkan dua orang imam yang menyerangnya, Cong Topun enjot tubuh,
berjumpalitan di udara dan melayang di atas atap paseban.
Tiba-tiba mereka melihat seorang imam tua sedang duduk di puncak wuwungan
sembari memegang sebuah lentera mereh. Wajahnya amat tenang, mata meram seolaholah
tak menghiraukan suatu apa.
Han Ping tertarik atas ketenangan imam itu. Dipandangnya dengan seksama.
Jenggotnya yang putih menjulai panjang. Wajahnya penuh keriput, punggung agak
bungkuk. Sambil kiblatkan pedang, Han Ping berseru perlahan, "Locianpwe"."
Imam tua itu membuka mata dan memandang Han Ping serta Cong To, serunya,
"Kalian memakai kerudung muka, apakah ada sesuatu yang tak leluasa dilihat orang?"
Mendengar ucapan yang tajam itu, Han Ping terkesiap, sahutnya, "Kami bermusuhan
dengan biara locianpwe. Oleh karena itu kami tak ingin dilihat mereka. Pun pemimpin
biara ini Thian Hian totiang, juga memakai kedok kulit, apakah dia juga malu dilihat
orang?" Imam tua itu tertawa gelak-gelak, "Tetamu mendesak tuan rumah! Tidak menyahut
pertanyaanku, tak apalah. Tetapi mengapa berani mendesak pertanyaan padaku!"
Han Ping tak mau berlaku sungkan lagi, serunya, "Aku tak ada tempo mengadu lidah
denganmu! Kuhormati engkau sebagai seorang tua maka kusebutmu sebagai " locianpwe".
Sebenarnya dalam kedudukan sebagai lawan, tak perlu aku harus berlaku sungkan
kepadamu!"
Imam tua itu tetap tertawa, "Engkau membawa pedang. Kalau kita bermusuhan
mengapa tak segera membunuhku saja!"
"Umurmu yang sudah begitu tua, tak sampai hatiku membunuh"."
Tiba-tiba imam tua itu hentikan tertawa dan berseru keras, "Hm, baik benar hatimu!
Akupun akan membiarkan mayat kalian tetap utuh!"
"Apa?" teriak Han Ping.
Tiba-tiba imam tua itu lepaskan lentera merah dan lentera itu terus meluncur ke arah
Han Ping.

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh, mencekal lentera saja ia sudah tak kuat"." baru Han Ping membatin begitu, tibatiba
kakinya terperosok dan tubuhnyapun terjerumus ke bawah.
"Celaka"." diam-diam Han Ping mengeluh kaget dan cepat-cepat ia kerahkan tenaga
untuk melenting ke atas. Tetapi tiba-tiba sebuah arus tenaga melanda di atas kepalanya
dan serempak terdengar gelak tawa si imam tua tadi, "Dalam kamar rahasia penuh
dengan alat-alat jebakan. Harap kalian jangan sembarangan bergerak"."
Pandang mata Han Ping berubah gelap dan tubuhnya tetap meluncur ke bawah. Ia
julurkan tangan meraba-raba. Ternyata ia sedang meluncur dalam sebuah lubang yang
keempat dindingnya licin sekali. Sedikitpun tiada terdapat bagian yang dapat untuk
cekalan tangan.
Blung".kira-kira empat lima tombak ke bawah, Han Ping tercebur dalam air dan terus
meluncur ke bawah. Ketika tiba di dasar, barulah ia dapat berdiri tegak, lepaskan
kerudung muka lalu enjot kakinya melambung ke permukaan air.
Ketika mengangkat muka, dilihatnya Cong To duduk di atas sebuah batu besar yang
terapung di pemukaan air. Mengambil buli-buli arak dan siap hendak meneguk isinya.
Kiranya pengemis tua itu kaya akan pengalaman dunia persilatan. Begitu tubuhuya
terperosok ke bawah, cepat ia mencabut kerudung muka. Begitu melihat sebuah batu
besar, ia terus bergeliatan hinggap di atasnya. Dengan begitu ia tak usah masuk ke dalam
air. Han Ping segera berenang menghampiri lalu merayap ke atas batu. Diam-diam ia
kagum melihat Cong To. Walaupun menghadapi maut, masih tetap enak-enak meneguk
arak. Setelah meneguk beberapa kali, tertawalah pengemis tua itu, "Di tempat ini amat
dingin sekali. Minum arak dapat menghangatkan badan!"
Han Ping tak mempedulikan ocehan pengemis itu. Ia rnemandang ke sekeliling penjuru.
Ternyata saat itu ia berada di sebuah empang seluas satu tombak. Empat penjuru dipagari
dengan dinding batu. Di sebelah atas gelap sekali. Kecuali batu yang hanya setengah
meter lebarnya itu, semuanya air yang dingin.
"Pernahkah engkau melihat penjara air?" tegur Cong To tertawa.
Han Ping gelengkan kepala, "Belum."
Cong To tertawa gelak-gelak, "Sekarang engkau boleh menikmati peagalaman baru!
Menilik kokohnya penjara air ini, mungkin kita tak dapat keluar selama-lamanya"."
"Cong locianpwe, apakah engkau gembira?" tanya Han Ping setengah mendongkol.
Cong To tertawa, "Pengemis tua sudah kebanyakan umur, matipun tak menyesal!"
Tiba-tiba Han Ping menyadari bahwa Cong To itu memang membantunya untuk
membebaskan Kim Loji. Ah, tak seharusnya ia bersikap getas terhadap pengemis itu. Ia
menghela napas, ujarnya, "Penjara air semacam ini, belum tentu dapat menahan kita
sampai mati."
"Menurut penilaian pengemis tua, tipis sekali kemungkinannya kita dapat lolos!"
"Hm, aku pernah terkurung dalam makam tua yang penuh alat-alat maut itu, lebih
berbahaya beberapa kali dari tempat ini. Bukankah aku tetap dapat meloloskan diri?"
"He, jadi engkau pernah masuk ke dalam makam tua itu?" Cong To terkejut.
"Sampai beberapa hari aku terkurung dalam makam tua itu. Alat-alat dan jebakan
dalam makam itu jauh lebih banyak dan lebih berbahaya dari Penjara air ini"." Han Ping
berhenti sejenak , lalu, "Kukira dalam Penjara air ini tentu ada alat pemutar air. Asal kita
dapat menyalurkan air air, tentu dapat lolos keluar dan sini!"
Cong To membenarkan.
"Sayang alat pemutar air itu berada di luar penjara air ini. Sudahlah, jangan
mengharapkan hal itu lagi!" tiba-tiba dari arah samping terdengar sebuah suara bernada
dingin. Cong To tertawa lepas, "Sekalipun terkurung dalam penjara air, tetapi dalam 10 hari
sampai setengah bulan, belum tentu kami berdua akan mati!"
Kembali suara bernada dingin itu berseru, "Jika menghendaki kalian cepat mati, asal
batu penutup lubang perjara ini diturunkan ke bawah, kalian tentu terdesak ke dalam air
dan mati kelelap!"
"Aku mampu selulup selama tiga hari tiga malam dalam bengawan Tiangkang. Makan
ikan mentah untuk mengisi perut. Masakan takut dengan penjara air semacam ini saja?"
Cong To menyahut dengan ejekan.
Rupanya orang itu marah dengan ejekan itu. Dengan tertawa dingin ia berseru, "Jika
kalian tak percaya akan kehebatan penjara air ini silahkan mencobanya. Hm, kami tak ada
waktu untuk mengadu lidah.
Cong To tetap tertawa dan menantang, "Kalau tak percaya pada kemampuan ilmu
selulup kami. silahkan turunkan batu penutup itu!"
Tetapi sampai diulang beberapa kali, Cong To tak mendapat penyahutan lagi.
"Apakah locianpwe benar-benar mampu selulup selama tiga hari tiga malam dengan
hanya makan ikan mentah saja?" tanya Han Ping dengan berbisik.
"Engkau bisa atau tidak?" balas bertanya Cong To.
"Aku tak dapat berenang!"
Cong To meneguk buli-buli araknya lagi, ujarnya, "Pengemis tua sendiri juga tak pemah
belajar berenang!"
Han Ping terbeliak, "Jika orang itu marah karena ejekan locianpwe tadi lalu
menurunkan batu penutup terowongan ini, bukankah kita benar-benar akan mati
terbenam?"
Pengemis sakti gelengkan kepala tertawa, "Tadi pengemis tua mengejeknya karena
ingin menyelidiki apakah mereka benar-benar hendak membunuh kita dengan segera.
Tetapi karena mereka tak menurunkan batu penutup penjara air, berarti kita harus hidup
disini selama beberapa hari lagi!"
Han Ping heran dan menanyakan apa sebab orang itu tak segera menurunkan batu
penutup. Jawab Pengemis Sakti, "Dalam hal ini banyaklah alasannya. Tak dapat kuterangkan
sejelas-jelasnya saat ini. Tetapi cukup kalau engkau tentramkan hatimu. Paling sedikit kita
masih mempunyai waktu satu setengah hari untuk hidup."
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, "Sayang arak dalam buli-buli ini tak banyak.
Mungkin tak cukup untuk sehari."
Mendengar pengemis tua itu mengoceh tak keruan, Han ping tak mau menghiraukan.
Ia mulai bersemedhi.
Entah berapa lama, ketika membuka mata, Han Ping melihat pengemis tua mencekal
seekor benda semacam ikan belut. Sudah tentu ia heran dan menanyakan.
"Ular air," Pengemis sakti Cong To.
"Untuk apa?"
"Jika sampai 8 atau 10 hari mereka tak membinasakan kita, kita terpaksa harus mengisi
perut juga. Imam hidung kerbau itu rupanya sengaja hendak membikin kita kelaparan
sampai lemas baru akan menangkap kita hidup-hidup. Tetapi perhitungan mereka meleset.
Dalam penjara air itu ternyata terdapat sarang ular air. Kalau tak salah, ada lebih kurang
32 ekor isinya. Tetapi kita harus hemat agar kuat bertahan sampai 10an hari."
Seumur hidup Han Ping tak pernah makan ular. Sudah tentu ia terkesiap, "Ah, apakah
daging ular boleh dimakan?"
"Empuk dan harum sekali. Enaknya bukan alang kepalang." Cong To tertawa.
Han Ping menghela napas, "Sekalipun dimakan tetapi tempat ini tak ada angin.
Masakan kita makan mentah-mentah saja?"
Pengemis sakti tertawa riang, "Pengemis tua mempunyai 28 macam resep masakan
ular. Tanpa apipun tetap dapat membuat hidangan daging ular yang lezat. Ah, sayang
arak dalam buli-buli ini sudah tak cukup banyak!"
"Bagaimana kalau kawanan ular itu kita makan habis tetapi kita belum dapat keluar dari
sini?" tanya Han Ping.
"Apa boleh buat kita harus menderita mati kelaparan," sahut Cong To dengan
seenaknya sendiri.
Saat itu barulah Han Ping menyadari bahwa tokoh pengemis tua benar-benar seorang
yang tak takut mati. Bermula kenal padanya, ia anggap pengemis tua itu congkak sekali.
Tetapi. ternyata seorang tokoh yang periang. Sikap Cong To yang begitu tenang
menghadapi bahaya maut telah membangkitkan semangat Han Ping.
"Locianpwe, kita benar-benar kesepian disini"."
"Selama ada ular, pengemis tua senang tinggal disini sampai 5 tahun dan takkan
merasa kesepian!"
"Maaf, aku tak mempunyai selera untuk main-main dengan ular. Tetapi aku mempunyai
cara untuk menghilangkan kesepian."
"Permainan yang engkau gemari, belum tentu pengemis tua suka. Katakanlah lebih
dulu apa itu!"
"Aku paham beberapa pelajaran ilmu silat secara lisan, sayang aku tak dapat
memahami intinya. Mumpung saat ini kini berada dalam penjara maut, jika dapat
membuang soal mati, pikiran kita tentu lebih tenang. Akan kukatakan pelajaran lisan itu
agar locianpwe dapat membantu memecahkannya!"
Cong To tertawa, "Sudah jamsa kalau pelajaran lisan dari suatu ilmu yang sakti itu,
tentu sukar dimengerti. Jika meminta pengemis tua turut membahasnya, bukankah berarti
engkau membocorkan rahasia ilmu pelajaran itu?"
Han Ping tersenyum. Diam-diam ia menimang, "Tokoh ini memang berhati perwira dan
luhur. Ilmu kepandaian makin tinggi, makin berguna pada umat manusia. Dengan alasan
sama-sama memecahkan rahasia pelajaran lisan itu, kuberikan ilmu pelajaran itu
kepadanya. Selain tindakan itu tak meninggalkan bekas, pun dapat kuperuntukkan
membalas budinya.
Tak menyahut pertanyaan Cong To, Han Ping terus mulai menghafal dengan suara
berbisik, "Semua gerak perubahan bersumber pada Kelambatan, meskipun lambat tetapi
sesungguhnya cepat"."
Cong To memiliki kepandaian yang tinggi. Mendengar kata-kata itu tergeraklah hatinya.
Ia rasakan rangkaian kata-kata yang sederhana itu, telah menyentuh isi hatinya yang
selama ini belum terpecahkan. Tanpa disadari tangannyapun mengendor dan lepaslah ular
air itu ke dalam air.
Han Ping berseru tersenyum, "Apakah sesungguhnya yang terkandung dalam rangkaian
kata-kata pelajaran itu?"
Cong To mrnghela napas, "Rangkaian kata-kata yang sederhana itu, sebenarnya
mengandung sumber dari ilmu silat yang tinggi. Terus terang, sebelum engkau
melantangkan kata-kata itu, akupun sudah mengetahui tetapi sampai saat ini belum
menyelaminya."
"Adakah kata-kata itu dapat diterapkan pada semua pelajaran ilmu silat?" tanya Han
Ping. "Jika ilmu kepandaiannya masih terbatas, tentu sukar menyelami inti sari kata-kata itu.
Walaupun seluruh umurku kuabdikan untuk belajar ilmu silat tetapi dengan terus terang
aku tak mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata "Segala gerak perubahan
bersumber pada Kelambatan" "."
Sejak bersua dengan wanita Heng-Thian-It-ki, diam ia memperhatikan gerak gerik
wanita sakti itu dan dapat meraba makna dari pelajaran lisan yang dikatakan tadi. Tetapi
berhubung ia merasa pengalamannya kurang dan tempo yang digunakan belajar silat
selama ini hanya terbatas. Ia menjadi bimbang lagi ketika mandengar jawaban Cong To
tadi. Ia merasa banyak sekali hal-hal yang tak dimengertinya.
"Locianpwe mendengar satu saja sudah mengetahui sepuluh. Tentulah locianpwe sudah
dapat memahami seluruh maksud kata-kata tadi. Maukah locianpwe memberi petunjuk
padaku?" Pengemis sakti hanya ganda tertawa, "Berpuluh puluh tahun pengemis tua memikirkan
soal itu, walaupun otakku tak cerdas sehingga belum mampu menyelami intinya, tetapi
pengemis tua sudah berhasil mengetahui lapisan kulit luarnya. Mendengar kata-kata yang
engkau hafalkan tadi, pengemis tua seperti melihat lentera terang"."
"Harap locianpwe suka menjelaskan."
"Manusia itu walaupun memiliki kemampuan berpikir yang tak terbatas tetap
kemampuannya untuk mengetahui ilmu, tetap terbatas. Apabila memiliki ilmu silat yang
telah mencapai tingkat tinggi, untuk memperdalam lebih lanjut, sukarnya seperti naik
tangga ke langit"."
Han Ping mendesak supaya pengemis tua itu segera mulai memberi penjelasan .
Sahut Cong To, "Orang yang sudah tinggi ilmunya jika hendak mencari kemajuan yang
lebih tinggi lagi, haruslah mencari jalan lain. Mengembangkan kecerdasan otak untuk
menghapus kemampuan mengertinya yang terbatas itu. Tetapi kemampuan berpikir kita
apabila sudah mencapai titik tinggi yang tertentu haruslah mengarah ke lain perubahan".
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan merenung beberapa saat. Ujarnya pula, "Ilmu
pelajaran silat, memang menghendaki cepat. Tetapi apabila kecepatan itu sudah tiba pada
titik tertentu, tentunya tak dapat cepat lagi. Tetapi ketangkasan dan tenaga dalam ilmu
silat itu, segala gerak perubahannya terdapat pada waktu kita bergerak. Tampaknya
memang lambat tetapi sesungguhnya gerakan itu cepat sekali. Makin lambat tampaknya
gerakan itu"."
"Terima kasih, locianpwe. Aku sudah mengerti sekarang," kata Han Ping tersenyum.
Dalam pembicaraan selanjutnya, Han Ping pun menumpahkan banyak sekali jurus-jurus
dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng yang selama ini mengeram tak terjawab dalam hatinya.
Dengan pengalaman dan pengetahuannya yang luas, Cong To bantu memecahkan soalsoal
itu. Apabila lelah, mereka lalu pejamkan mata bersemedhi. Dengan begitu, entah
berapa lama mereka bercakap-cakap memperbincangkan soal-soal dalam ilmu pelajaran
silat yang pelik dan rumit.
Bermula masuk, mereka rasakan penjara air itu dingin sekali. Tetapi beberapa hari
kemudian, mulailah mereka terbiasa.
Hal itu disebabkan secara tak sengaja. Pada waktu Han Ping menghidangkan ilmu
pelajaran tentang bagian tenaga dalam untuk "mencuci" urat-urat tubuh yang terdapat
pada kitab Tat-mo-ih-kin-keng, keduanya segera mulai mempraktekkan.
Berkat sudah memiliki dasar ilmu tenaga dalam yang tinggi, dalam waktu beberapa hari
saja, tenaga dalam mereka makin bertambah maju pesat. Hawa dingin dalam penjara air
itu tak terasa lagi.
Hari itu setelah Cong To membuka mata dari persemedhiannya, ia ulurkan tangan ke
dalam air. Tetapi ah".tangannya tak mendapat suatu apa. Barulah ia gelagapan sadar
bahwa persediaan ular-air dalam liang, sudah habis dimakan mereka berdua. Dihitunghitung,
mereka sudah 20 hari lebih, berada dalam penjara air di situ. Karena persediaan
makanan sudah habis, Pengemis sakti pun menghela napas.
Kala itu Han Ping masih bersemedhi. Mendengar helaan napas Cong To, cepat ia
membuka mata dan bertanya, "Mengapa locianpwe menghela napas?"
"Pengemis tua sudah kehabisan ular. Mulai saat ini kita akan meyakinkan ilmu pelajaran
dengan perut kosong!" sahut Cong To.
Diam-diam Han Ping merenung. Dalam beberapa hari makan daging ular mentah,
rasanya lebih baik mati saja. Tetapi dikarenakan tenggelam dalam lautan ilmu pelajaran
silat yang tinggi, ia seperti tak ingat segala apa lagi. Tetapi kini setelah tak ada persediaan
makanan, tentu sukar untuk bertahan hidup.
Dari pada hanya meyakinkan ilmu silat dan akhirnya harus ditawan musuh, mengapa
tak mencoba untuk membobolkan penjara air itu"
Han Ping meraba bajunya dan menjamah bungkusan pedang Pemutus Asmara yang
selama ini belum pernah digunakannya. Setelah membuka kain bungkusannya, pedang itu
memancarkan sinar kemilau yang menyilaukan air.
Cret, cret, mulailah ia membobol dinding terowongan itu.
"Ah, tak salah kalau orang persilatan memuji setinggi langit pedang Pemutus Asmara
itu. Ternyata memang sesuai dengan kenyataannya. Dengan memiliki pedang itu, harapan
kita untuk keluar dari penjara air ini, makin besar!" Cong To memuji.
Pengemis tua itu terus berbangkit dan loncat ke pinggir dinding lalu gunakan ilmu Cicak
merayap, lekatkan punggung pada dinding, sambil merayap sambil menunjuk dan
menutuki dinding.
Han Ping tahu kalau pengemis sakti itu memberi petunjuk bagian dinding mana yang
harus dibobol. Tiba-tiba setelah sepeminum teh berkeliaran merayapi dinding, pengemis
itu berhenti. Han Ping heran dan hendak bertanya. Tetapi tiba-tiba didengarnya suara seseorang
menyusup ke dalam telinganya, "Aneh, kemanakah perginya pengemis tua itu".?"
Han Ping cepat mendapat akal. Disembunyikannya pedang Pemutus Asmara lalu rebah
miring di atas batu menonjol.
Terdengar pula lain suara berkata, "Kedua orang itu benar-benar tahan dingin dan
lapar. Sudah 25 hari menjebloskan mereka dalam penjara air, tetap tak mati"."
Kembali orang pertama yang berkata tadi, berseru pula, "Di dunia tak mungkin terdapat
keajaiban semacam itu, Tentu mereka sudah membekal bahan makanan."
"Tadi apakah suara bergerudukan itu?" tanya pula kawannya.
Kiranya bunyi bergerudukan itu berasai dari ketukan tangan Cong To yang hendak
mencari lubang. Dan bunyi itu terdengar oleh penjaga di atas.
Dalam pada rebah mendengarkan pembicaraan kedua penjaga itu, diam-diam Han
Pingpun memperhitungkan letak tempat suara orang itu. Jelas tentu terdapat lubang angin
sehingga pembicaraan penjaga itu dapat terdengar ke bawah.
Belum sempat ia menentukan langkah, tiba-tiba segumpal penerangan lentera
menyorot ke bawah Karena sudah beberapa hari berada dalam kegelapan, ia tak dapat
melihat jelas keadaan dalam penjara air itu. Begitu penjaga menggunakan lampu sorot,
barulah ia mengetahui bahwa dinding terowongan penjara air itu tak berapa tebalnya.
Timbullah harapannya untuk membobol dinding.
Tiba-tiba lampu sorot itu padam. Ia heran dan serentak bangun.
Tiba-tiba Cong To berseru tertawa, "Ada perubahan besar!" " serunya seraya melayang
turun. Atas pertanyaan Han Ping, pengemis sakti itu menyahut, "Sukar dikatakan. Kalau tidak
berubah baik tentu berubah celaka!"
Han Ping mendongkol mendengar kata-kata yang tak karuan itu. Sudah tentu setiap hal
Pendekar Latah 4 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Petualang Asmara 26
^