Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 3

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 3


kenal gelagat, lekas serahkan sarung pedang itu. Mengingat pedang itu, pedang Pemutus
Asmara kuberikan kepada kalian berdua. Jika masih banyak tingkah, ha, ha, pedang dan
sarungnya sekali tentu akan kuambil semua!"
Dalam pada berkata-kata itu ia tambahkan tenaga cengkeramannya sehingga siwanita
baju putih rasakan separoh tubuhnya seperti mati rasa.
Menyadari bahwa melawan berarti mati, akhirnya wanita baju putih itu gunakan tangan
kirinya untuk menyodorkan sarung pedang kebelakang, "Inilah!"
Karena jalan darahnya dikuasai orang, ia tak dapat berpaiing kebelakang. Tetapi ketika
menyodorkan sarung pedang itu, diam-diam ia telah merapatkan jempol dan jari
telunjuknya. Begitu orang itu menyambuti, secepat itu ia akan menjentikkan bubuk Bihun-
hun". Tetapi orang dibelakangnya itu seekor rase tua yang julig sekali. Tak mungkin ia dapat
disiasati begitu. Serunya dengan tertawa sinis, " Aku sudah tua, kurang pantas kalau
berjabatan tangan dengan nona. Harap lemparkan saja sarung pedang itu ketanah nanti
akan kuambilnya sendiri!"
Wanita baju putih mati kutu. Terpaksa ia lontarkan sarung pedang itu ketanah, "Setiap
perintahmu sudah kuturut. Apakah engkau belum membuka jalan darahku"."
Sebagai jawaban yang diterimanya, seketika itu ia rasakan punggungnya kesemutan.
Sebelum sempat menjerit, ia sudah rubuh ketanah. Pedang Pemutus Asmara yang dicekal
ditangan kanannyapun ikut jatuh. Hampir saja menimpa muka Han Ping.
Kesunyian malam yang gelap pekat, tiba-tiba dipecahkan oleh suara gelak tertawa yang
nyaring. Dan beberapa kejab saja, suara tertawa itu sudah beberapa tombak jauhnya.
Wanita baju putih itu gelisah bukan kepalang ketika mengetahui orang itu ngacir pergi.
Tetapi karena jalan darahnya tertutuk, ia tak dapat barkutik.
Orang yang menyebut dirinya sebagai Kim loji itu telah membawa sarung pedang.
Tetapi ia benar-benar memegang janji. Pedang Pemutus Asmara, ditinggal disamping
siwanita. Wanita itu memandang pedang pusaka yang menggeletak disampingnya. Tetapi tak
dapat mengambil.
Tanah lapang dalam hutan disitu, kembali sunyi senyap. Suara tertawa Kim loji pun
sudah lenyap. Hanya angin malam yang mendesir-desir dan daun-daun kering yang
berhamburan. Kira-kira sepenanak nasi lamanya, Han Ping menguak lalu bergeliat bangun. Wanita
baju putih yang masih berusaha menyalurkan lwekang untuk menembus jalan darahnya
yang tertutuk, terkejut ketika melihat pemuda itu sudah siuman. Tenaga dalam yang
tengah dipusatkan buyar lagi seketika.
"Heran, obat pembius Bi-hun-hun itu, paling tidak 4 jam lagi baru orang dapat tersadar.
Mengapa belum sejam saja, pemuda itu sudah bisa bangun" Celaka"." diam-diam ia
mengeluh dalam hati.
Setitikpun ia tak menyangka bahwa terjaganya Han Ping dari pingsan itu. bukan lain
karena bantuan pedang Pemutus Asmara. Pedang itu jatuh hanya beberapa senti didekat
kepala pemuda itu. Hawa dingin yang dipancarkan dari pedang pusaka itulah yang
menyusup kehidung Han Ping. Berkat lwekang yang disalurkan oleh Hui Gong taysu,
lwekang Han Ping berobah hebat sekali. Begitu hawa dingin itu menyalur kedalam tuhuh,
cepat sekali ia dapat siuman.
Begitu membuka mata, ia menjerit dan loncat mundur sampai setombak jauhnya!
Kiranya wanita baju putih yang menggeletak tak jauh disebelahnya, rambutnya tersiak
sehingga kelihatan wajahnya yang mengerikan. Sebuah wajah yang berwarna merah,
penuh dengan bintik-bintik hitam seperti orang bopeng".
Sesaat teringatlah Han Ping akan pedang Pemutus Asmara. Cepat ia meraba bajunya,
ah, kosong". Ia berpaling. Dilihatnya pedang pusaka itu menggeletak disamping siwanita
baju putih. Cepat ia menghampiri dan memungutnya. Tetapi ketika mencari sarung
pedang, ternyata benda itu tak kelihatan.
Dilihatnya wanita baju putih tengah memandang kepadanya. Rupanya saperti orang
yang tertutuk jalan darahnya. Kini Han Ping memperoleh kesadaran pikirannya. Wanita itu
bukan bangsa setan tetapi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Rasa
takutnja, lenyap seketika.
Sanibil melangkah menghampiri ia membentak, "Lekas bilang. siapa engkau ini"
Mengapa menyaru sebagai setan" Mana sarung pedangku itu! Jika masih herlagak gilagilaan,
tentu kucincang tubuhmu!"
Sepasang gundu mata wanita itu berkeliaran beberapa kali tetapi mulutnya tetap
membisu. Han Ping mengendap kebawah. Didengarnya dada wanita itu menghamburkan napas.
Ah, kini ia tak ragu lagi. Wanita itu seorang manusia.
Timbul pikirannya untuk memberi pertoiongan agar dapat dimintai keterangan. Tetapi
pada lain kejab, terlintaslah lain rencana. Lebih dulu ia menutuk jalan darah kedua siku
lengan wanita itu, baru kemudian membuka jalan darah pada punggung yang ditutuk Kim
loji tadi. Wanita itu menghela napas dan perlahan-lahan menggeliat duduk. Tetapi kedua
lengannya masih tak dapat digerakkan.
Sambil melintangkan pedang pusaka dimuka wanita itu, Han Ping membentaknya,
"Mana sarung pedangku ini, lekas bilang!?"
Karena punggungnya sudah sembuh, wanita itupun dapat bicara. Ia tersenyum,
"Sarung pedang sudah dibawa lari orang!"
Gemetar tubuh Han Ping mendengar keterangan itu, "Siapa yang mengambil" Kemana
larinya!" Wanita baju putih itu menghela napas perlahan, sahutnya, "Percuma saja
memberitahukan padamu. Selain sakti. orang itu banyak sekali akal muslihatnya. Kami taci
beradik telah termakan tipunya!"
"Hm, jika engkau tak menyaru jadi setan, masakan sarung pedang itu dapat hilang"
dengan geram Han Ping menusuk dada wanita jelek itu.
Walaupun kedua tangannya tak dapat bergerak tetapi wanita jelek itu masih dapat
berguling-guling menghindar lalu loncat bangun.
Saat itu rasa takut Han Ping sudah lenyap. Ia lancarkan sebuah hantaman dahsjat.
Wanita jelek baju putih itu terkejut bukan kepalang. Pikimja, "Umurnya baru 18 tahun
tetapi mengapa tenaga dalamnya begitu hebat". "
Cepat ia menyingkir kesamping seraya berseru nyaring, "Tahan dulu, aku hendak
bicara! " Han Ping tertegun. Sambil menutup dada dengan tangan kiri dan tangan kanan
mencekal pedang Pemutus Asmara, ia mengancam, "Jika sarung pedang itu tak engkau
kembalikan, hm, jangan harap engkau dapat melihat matahari esok!"
Wanita jelek itu menatap wajah Han Ping lalu tertawa mengikik.
"Apa yang engkau tertawakan!" bentak Hai Ping makin murka.
"Karena kedua lenganku engkau tutuk, aku pun tak dapat menaburkan obat pembius
lagi. Mengapa engkau masih begitu ketakutan?"
" Siapa takut padamu!"
"Kalau tidak takut mengapa engkau masih bersikap tegang seperti menghadapi seorang
musuh besar!"
Mendengar orang masih berani menyindirnya Han Ping tak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. maju selangkah, ia mengangkat tangannya kiri hendak dihantamkan.
Diluar dugaan wanita baju putih itu tak mau menghindar melainkan memandang tinju
pemuda itu seraya tertawa dingin, "Apakah engka benar-benar berani membunuh aku?"
"Hm, mengapa tak berani!" dengus Han Ping.
Wanita jelek baju putih itu tertawa mengikik, "Hi, hi, jika engkau membunuhku,
kemanakah engkau hendak mencari sarung pedangmu itu?"
Han Ping gelagapan seperti orang disiram air dingin. Ia mengakui kata-kata wanita
jelek itu memang tepat. Satu-satunya yang tahu siapa pencuri sarung pedangnya itu
hanya siwanita jelek baju putih. Tak terasa tinju yang sudah diangkalnya itu perlahanlahan
diturunkan pula.
Kembali wanita jelek itu tertawa, "Orang yang melarikan sarung pedangmu itu adalah
salah seorang durjana termahsyur didunia persilatan. Biasanya dia tak suka segala macam
benda pusaka. Bahkan pedangmu yang luar biasa tajamnya itu pun tak diambilnya. Aneh,
mengapa dia hanya mengambil sarung pedang itu" Ah, sarung pedang itu tentu jauh lebih
berharga dari pedangnya!"
Ucapan wanita jelek itu bagaikan palu besi menghantam uluhati Han Ping. Serentak ia
teringat akan kata-kata mendiang Hui Gong siansu, bahwa sarung pedang itu jauh lebih
berharga berlipat kali dari pedang Pemutus Asmara.
Hanya sehari semalam ia tinggalkan biara Siau-lim-si dan sarung pedang itu sudah
dirampas orang. Geram dan sedih Han Ping tak terlukiskan.
"Ah, jika sarung pedang itu tak dapat kurebut kembali, aku berdosa kepada Hui Gong
siansu .. ," dengan berlinang-linang ia membulatkan tekadnya untuk membalas budi paderi
sakti itu. Melihat Han Ping terpukau seperti kehilangan semangat, wanita jelek baju putih itu
tercengang heran.
Sesungguhnya jika ia ayunkan kaki menendang Han Ping, pemuda itu tentu rubuh.
Tetapi entah bagaimana ia tak mau melakukan perbuatan itu. Bahkan dengan nada yang
lembut ia bertanya, "Mengapa engkau tampak berduka sekali" Betapalah harganya sebuah
sarung pedang saja" Heh, apakah pedang pusaka ini benda merupakan bingkisan untuk
pengikat janji dari kekasihmu?"
Han Ping gelagapan. Bentaknya marah, "Jangan mengoceh tak keruan! pedang ini
adalah pemberian dari seorang locianpwe kepadaku! Beliau pesan agar pedang ini kujaga
baik-baik. Bahwa sekarang ternyata sarung pedang itu dicuri oiang, seharusnya aku bunuh
diri selaku penebus dosa terhadap kepercayaan locianpwe itu!"
Wanita baju putih itu tertawa, "Apa" Orang yang memberi pedang itu sudah meninggal
dunia?" "Hm, omong asal omong saja, tak ubah seperti tong kaleng yang bergrombyangan.
Sama dengan wajahmu yang buruk tak sedap dinikmati mata!" damprat Han Ping.
Wanita baju putih itu membantah, "Ih, bagaimana engkau tahu aku berwajah buruk?"
"Huh, engkau anggap wajahmu itu seperti bidadari?" Han Ping mengejek.
Wanita baju putih itu kerutkan alis. Cepat ia alihkan pembicaraan, "Menilik engkau
begitu sedih, tentulah sarung pedang itu penting sekali bagimu!"
"Sudah tentu," sahut Han Ping, "betapapun halnya, sarung pedang itu harus dapat
kurebut kembali!"
sejenak wanita baju putih itu tundukkan kepala merenung. Sesaat kemudian berkatalah
ia, "Jika engkau percaya padaku, bukalah siku lenganku yang engkau tutuk ini. Nanti
kubantumu mencari sarung pedang itu!"
Han Ping tertegun. Diam-diam ia menimang, "Aku sih masih dapat mengatasinya.
Tetapi yang paling menakutkan adalah ilmunya menjentikkan obat bius. Jika kubebaskan
dan dia menjentikkan obat bius itu lagi, bukankah aku bakal celaka?"
Rupanya wanita baju putih tahu apa yang diresahkan Han Ping, ia tertawa dingin,
"Mengapa engkau bersangsi" Jika tadi pada saat engkau sedang termenung-menung,
kujentikkan obat bius itu kepadamu, apakah engkau mampu menghindar"."
Ia menghela napas, katanya pula, "Engkau tentu mendendam kepadaku karena
kubuatmu pingsan dan kurampas pedang pusakamu. Tetapi akupun tertipu orang. Orang
yang memikatmu datang kemari itulah pencuri yang sebenamya. Ah, tak kira durjaha tua
itu licik sekali sehingga kami berdua taci adik dapat disiasati"."
"Hai, engkau masih mempunyai taci" Dimanakah dia sekarang?" Han Ping terkejut
seraya memandang kesekeliling penjuru.
"Dia telah ditutuk jalan darahnya oleh durjana tua itu. Entah dimana
disembunyikannya, aku sendiri tak tahu. Setelah kaubuka jalan darah sikuku ini, kita nanti
mencarinya!" kata wanita baju putih.
"Hm, kapankah aku meluluskan permintaanmu itu?" dengus Han Ping.
"Huh, kalau tak mau membebaskan sikuku, tak apalah. Tetapi jangan harap engkau
dapat mengejar jejak pencuri sarung pedangmu itu!" balas wanita itu terus berputar tubuh
dan melangkah pergi.
Han Ping loncat mencengkeram baju wanita itu terus diangkatnya keatas, diputar-putar
beberapa kali. Dalam pada memutar itu ia menutuk jalan darah siku lengan wanita itu
yang tertutup itu, kemudian melemparkannya sampai setombak lagi jauhnya . , . .
Tahu setelah membebaskan jalan darahnya, wanita itu akan menjentikkan obat bius,
maka Han Ping terpaksa menggunakan cara yang seistimewa itu.
Tubuh wanita baju putih itu bergeliatan di udara. Setelah berjumpalitan dua kali,
dengan kepala menukik kebawah ia meluncur turun. Pada saat hampir tiba dibumi, sekali
lagi kedua tangannya menampar kebumi. Dengan meminjam tenaga tamparan itu,
tubuhnya berjungkir balik keatas dan pada lain saat tegaklah kedua kaki wanita itu
ditanah". "Kutahu engkau tentu mau membebaskan jalan darahku. Dan ternyata dugaanku itu
tak salah!" ia tertawa mengikik seraya maju menghampiri pelahan-lahan".
Han Ping mundur beberapa langkah. Sambil lintangkan tangan didada, ia membentak,
"Berhenti! Jika berani maju selangkah lagi, jangan sesalkan aku kejam!"
Tetapi wanita jelek itu tetap tak menghiraukan. Ia tetap maju seraya mengusap
mukanya dengan tangan kanan. Seketika wajah merah yang penuh bintik-bintik
mengerikan itu". copot!
"Engkau masih takut" Apakah aku mirip dengan bangsa setan?" seru wanita itu dengan
tertawa. Secepat kilat kedua tangannya meraih rambut kepalanya dan tahu-tahu rambut
panjang yang gimbal itu telah berganti dengan sebuah rambut bersanggul yang indah".
Dihadapan Han Ping kini bukan lagi seorang wanita jelek tetapi seorang gadis yang
cantik jelita. Tetapi pemuda itu memang aneh. Bukannya terpesona memandang kecantikan si nona
tetapi ia malah menaburlan pedang Pemutus Asmara sehingga hawa dingin dari pedang
pusaka berhamburan kesekeliling penjuru.
Nona baju putih itu terkejut dan menyurut mundur. Seketika marahlah ia, "Mau apa
engkau ini!"
"Hm, apakah engkau masih mau menggunakan lain macam ilmu siasat lagi" Jangan
harap engkau mampu menyiasati aku!" sahut Han Ping.
Nona itu tertegun tetapi pada lain saat ia tersenyum serunya, "Engkau takut aku
menggunakan jentikan obat bius untuk mencelakai engkau lagi!" " Nadanya lemah lembut
penuh sifat kekanak kanakan.
"Segala macam ilmu Hitam, tentu tidak suci. Mengapa engkau merasa bangga?" sahut
Han Ping. "Umurmu masih muda belia tetapi mulutmu garang sekali. Hm, seluruh dunia persilatan
siapakah yang tak kenal akan ilmu jentikan obat Bi-hun-hun dari kaum Lembah Raya lblis
digunung Hun-bong-san"."
"Betapapun sakti ilmu mencelakai orang dengan segala macam obat bius itu, namun
kemenangan yang diperolehnya itu bukan suatu kemenangan yang gilang gemilang.
Segala macam ilmu setan dari golongan Hitam itu, bukanlah suatu kepandaian ilmu silat
yang sejati. Huh, menilik gerak gerikmu sepertinya engkau tak tahu bahwa didunia
beradab terdapat kata yang dinamakan Malu!"
Dampratan halus yang tajam itu telah mem buat si nona baju putih tertegun. Beberapa
saat kemudian baru ia menghela napas, ujarnya, "Sampai sekian besar, belum pernah aku
menerima dampratan orang semacam ini."
Mendengar sikap dan nada nona itu masih seperti kanak-kanak, Han Pingpun tertawa.
"Mengapa engkau tertawa" Aku berkata dengan sebenarnya, apakah masih salah lagi?"
"Rupanya hatimu masih murni, masih dapat diperbaiki," kata Han Ping.
Dara itu tertawa, "Ah, belum tentu. Setiap kali aku marah, aku dapat membunuh orang
tanpa berkedip. Taciku ini jauh lebih lihay dari aku. Tak sedikit jago-jago silat yang sakti,
mati ditangan taciku. Tetapi apabila hatinya senang, wah, dia luar biasa baik dan ramah
kepada orang"."
Mendengar dara itu mengoceh jauh-jauh, Han Ping segera menukas, "Maaf, aku tiada
tempo mendengarkan kata-kata nona tentang hal-hal yang tidak penting itu. Harap segera
memberitahukan siapakah yang telah melarikan sarung pedangku itu!"
"Dia tak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Muncul perginya tak dapat didugaduga.
Dalam dunia yang begini luas, kemanakah engkau hendak mencarinya" Lebih baik
kita tolong taciku dulu agar dia mau membantu mencarikan orang itu, Selain luas
pengalaman, taciku itu pintar dab banyak akal. Tentu dapat merencanakan pencarian itu!"
Han Ping mengeluh dalam hati. Sekalipun tampaknya dara itu masih muda belia dan
masih seperti kanak-kanak, tetapi rupanya sudah banyak pengalamannya dalam dunia
persilatan. Terhadap dara semacam itu, tentu sukar untuk memaksa. Bahkan salah-salah
malah dapat menimbulkan salah paham.
Diam-diam Han Pingpun mengakui bahwa karena ia masih hijau dalam dunia persilatan,
tentu sukar untuk mencari jejak pencuri itu. Dan agaknya sebelum tacinya ditolong, dara
baju putih itu tak mau mengatakan nama dari pencuri itu.
Akhirnya Han Ping memutuskan untuk bersabar beberapa waktu lagi. Setelah berhasil
mendapat keterangan nama dan tempat tinggal pencuri itu, barulah ia lepaskan diri dari
libatan dara itu.
Karena melihat Han Ping tak bicara, dara itu berkata pula, "Mengapa engkau diam saja"
Apakah engkau masih mencurigai aku" Ai, memang tak dapat mempersalahkan engkau.
Karena tindakanku menyaru jadi setan dan membiusmu pingsan tadi sehingga engkau
kehilangan sarung pedang, engkau tentu masih membenci kepadaku. Tetapi karena nasi
sudah menjadi bubur, maka kita harus menghadapi kenyataan ini, Kim lokoay itu
bersahabat baik dengan ayahku dan Kami pun biasanya memanggil paman kepadanya,
Tetapi ternyata begitu melihat keuntungan, dia cepat berpaling muka. Dengan keji, dia
mencelakai taciku"."
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, "Hm, licik benar setan tua itu. Dia telah
mengatur rencana yang licin sekali. Sengaja ia tinggalkan pedang itu agar begitu engkau
sadarkan diri tentu terus membunuhku. Dengan begitu, aku mati secara gelap dan engkau
tak bisa mendapat keterangan siapa yang mencuri sarung pedang itu. Untuk mempertebal
kecurigaanmu, dia sengaja menutuk jalan darahku supaya aku tak dapat bicara. Dia
memperhitungkan engkau tentu marah dan segera membunuhku. Andaikata ayahku
dikemudian hari menyelidiki peristiwa pembunuhan ini, ayahpun takkan menduga kalau


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim lokoay itu yang melakukan. Ho, dia tentu tak mengira sama sekali bahwa sepandaipandainya
tupai melompat sesekali akan tergelincir juga. Engkau tak membunuh aku
bahkan membebaskan jalan darahku dan menanyakan perihal urusan ini". "
Han Ping tertawa tawar, "Yang kutanyakan adalah tentang sarung pedang ini!"
"Entah bagaimana maksudmu, tetapi yang jelas engkau tak membunuhku. Ini sudah
cukup membuat aku berterima kasih kepadamu!"
"Ah, tak perlu!" tukas Han Ping,"yang kuminta hanyalah supaya engkau
memberitahukan siapa pencuri sarung pedangku itu. Dan ini sudah cukup memuaskan
hatiku!" "Ai, engkau ini bagaimana?" lengking dara itu, "bukankah sudah kukatakan bahwa dia
tak mempunyai tempat tinggal yang tentu. Masakan aku mau membohongimu" Hm, jika
engkau tetap curiga padaku, lebih baik aku pergi saja dan seumur hidup tak menghiraukan
engkau lagi!"
"Huh, apa rugiku engkau tak menghiraukan diriku. Akupun tak mengharap engkau
mengurus aku!" Han Ping memaki dalam hati. Namun ia tak mengatakan dengan mulut. Ia
harus bersabar sedapat mungkin.
Tiba-tiba dara itu tertawa segar, "Jangankai engkau. Sedang aku yang sudah kenal baik
pada setan tua itu tetap tak berdaya mencari jejak nya. Hanya tacikulah yang dapat
memikirkan daya untuk memecahkan persoalan ini!"
Kembali Han Ping mendamprat dalam hati. Selalu mulut dara itu membanggakan
tacinya. Padahal jika tacinya itu lihay, masakan kena dicelakai orang.
"Dimana tacimu sekarang" Bagaimana kita hendak mcncarinya?" akhirnya Han Ping
bertanya juga. Dara itu merenung beberapa jenak. Tiba-tiba ia menjerit terus lari".
Han Ping tertegun. Pada lain saat ia menyadari kalau dara itu hendak melarikan diri.
Cepat ia hendak gunakan ilmu Pat-poh-kam-sian, sebuah ilmu meringankan tubuh yang
hebat. Tiba-tiba dara itu berpaling dan melambaikan tangannya, "Lekaslah! Jika terlambat, taci
tentu tiada tertolong jiwanya!"
Han Ping cepat menyusul. Tetapi ia tetap menguatirkan kemungkinan dara itu akan
menjentikkan obat bius lagi maka ia tak mau lari menyusul rapat-rapat dan hanya
mengikuti dibelakangnya dalam jarak tertentu.
Ternyata kedua muda mudi itu memiliki ilmu ginkang atau meringankan tubuh yang
hebat. Dalam beberapa kejab saja mereka sudah lari sampai 3-4 li dan tiba disebuah
belantara yang penuh dengan rumput kering.
Dara itu berhenti. sejenak memandang kesekeliling ia segera menghampiri seonggok
tumpukan rumput kering. Diobrak-abriknya rumput kering itu. Setelah tumpukan rumput
habis dilempari kemana-mana, ia segera memanggul seorang nona berpakaian hitam yang
rambutnya terurai tak keruan dan mukanya pucat lesi.
Baru dara itu loncat keluar dari tumpukan rumput kering itu, tiba-tiba api menyala dan
terbakarlah rumput kering itu.
Melihat peristiwa itu, bergidiklah hati Han Ping, "Hm, orang itu kejam sekali. Padang
rumput kering itu seluas 2 li. Sekali terbakar nona baju hitam itu tentu hangus jadi abu!"
Cepat ia loncat maju. Maksudnya hendak memadamkan api. Tetapi karena tumpukan
rumput itu kering, dalam sekejab saja sudah tak dapat ditolong lagi.
"Mundurlah, lekas! Setan tua itu licik sekali. Jangan sampai terkena siasat". " belum
dara baju putih menyelesaikan peringatannya, sekonyong-konyong dari dalam tumpukan
rumput kering itu segumpal api mencurah keluar. Dengan cepat api itu menjilat tempat
seluas 3-4 tombak. Asap bergulung-gulung tebal sehingga napas sesak dan mata sukar
dibuka". Han Ping terkejut. Untung ia tak gugup. Cepat ia gunakan gerak Burung bangau
menerobos langit. Tubuhnya melambung keudara, lalu berjumpalitan diatas sehingga
seperti orang berdiri. Setelah itu ia gunakan ilmu lari cepat Pat poh leng gong lari diudara
dan melayang turun dua tiga tombak jauhnya. Benar dengan gunakan jurus luar biasa itu
ia selamat dari lautan api tetapi tak urung bajunya terbakar juga.
Saat itu si dara sudah meletakkan si nona baju hitam ditanah dan terus hendak
menolong Han Ping. Melihat pemuda itu dapat menyelamatkan diri, ia girang dan lari
menghampiri untuk mengebut-ngebut baju Han Ping yang termakan api.
"Wah, ilmu ginkangmu hebat benar. Jika aku, tentu sudah terbakar mati, paling tidak
tentu terluka berat," dara itu tertawa memuji.
Baru pertama kali itu Han Ping dipuji oleh seorang gadis. Ia tersipu-sipu. Rasa benci
kepada dara itu agak menurun. Ia mengucap kata-kata merendah dan mengatakan bahwa
lukanya tak seberapa.
"Memang yang terbakar hanya bajumu, tak sampai melukaimu," dara itu tertawa lalu
lari menghampiri tacinya lagi lalu dipanggulnya, "api tak dapat ditolong lagi, mari kita cari
lain tempat untuk menolong taciku ini!"
Melihat wajah nona baju hitam itu, buru-buru Han Ping palingkan muka dan bertanya
kepada si dara baju putih, "Eh, apakah tacimu itu juga memakai kedok muka?"
Dara itu tertawa, "Taciku jauh lebih cantik dari aku. Tak percaya" Silahkan melihat
sendiri!" Han Ping berpaling dan benarlah. Nona baju hitam yang jelek rupanya itu ternyata
seorang gadis yang cantik sekali. Sekalipun dalam keadaan pingsan, kecantikannya tetap
menonjol. "Kalian berdua ternyata gadis cantik-cantik, mengapa memakai kedok muka seperti
setan?" tanya Han Ping.
"Anak buah Lembah Setan semua memakai kedok muka. Sejak kecil mula aku dan taci
suka menyaru jadi setan. Dikemudian hari, engkau"." tiba-tiba dara itu berhenti bicara
lalu memandang Han Ping, ujarnya, "ah, tak perlulah kiranya membicarakan soal itu lagi.
Karena rahasia dari Lembah Setan, tak boleh diberitahukan orang. Apabila ketahuan, aku
tentu akan menerima hukuman!"
Han Ping mendesah dan tak mau bertanya lagi. Ia mengikuti berjalan dibelakang dara
baju putih. Beberapa lama kemudian, dara itu tiba-tiba berhenti dan berpaling kebelakang,
"Apakah engkau tak senang hati?"
"Tidak apa-apa," Han Ping tertawa hambar.
Dara baju putih itu menghela napas, "Kaum persilatan jarang sekali yang tak tahu
nama Lembah Setan dari gunung Hun-bong-san. Tetapi yang pernah datang ke Lembah
Setan, sedikit sekali jumlahnya. Kecuali mendapat izin dari pemimpin lembah dan disambut
oleh orang-orang Lembah Setan, orang tentu tak menyadari kalau sudah memasuki
lembah itu"."
"Ah, aku tak percaya," Han Ping tertawa.
Dara itu hendak bicara lagi tetapi tiba-tiba tak jadi. Ia hanya menghela napas. Ia
melanjutkan langkah menuju kesebuah bangunan gedung besar, katanya, "Kita masuk
kedalam gedung ini, membuka jalan darah taci lalu melanjutkan perjalanan lagi."
Memandang bangunan gedung yang besar megah, berkatalah Han Ping, "Apakah kita
tak sungkan masuk kegedung orang pada waktu tengah malam buta begini?"
Dara itu tertawa, "Menilik sikapmu seperti seorang pelajar itu, rupanya engkau bukan
seperti orang dari dunia persilatan. Gedung ini kosong tiada penghuninya. Kalau tak
percaya, mari kita masuk!"
Melihat keadaan gedung itu sunyi senyap, diam-diam Han Ping membenarkan kata-kata
si dara. Si dara sudah mendahului loncat kepagar tembok. Ternyata gedung itu sebuah rumah
besar terdiri dari berlapis-lapis ruang. Dan tampaknya si dara itu seperti pulang
kerumahnya sendiri. Sambil memanggul tacinya, ia langsung menuju kebagian belakang.
Dalam mengikuti dibelakangnya, diam-diam Han Ping heran dan curiga. Mengapa dara
itu sangat paham akan keadaan gedung. Diam-diam ia bersiap-siap menghadapi
kemungkinan apabila dara itu hendak melancarkan siasatnya menabur obat bius lagi.
Setelah melintasi dua buah halaman, tibalah dara itu disebuah halaman kecil yang
penuh dengan pot bunga. Ia tertawa "Eh, siapakah yang menyusun halaman ini begini
indahnya?"
la naik kesebuah kamar yang berada dititian ketiga, lalu membuka pintunya.
Tiba dimuka pintu, tiba-tiba Han Ping membau bau yang harum. Ia terkejut dan
mundur dua langkah. Kamar itu tentu kamar seorang gadis, ia tak mau ikut masuk.
Tiba-tiba kamar menyala penerangannya. dan terdengarlah dara baju putih itu
meneriakinya supaya masuk.
"Ah, ini kamar wanita, tak pantas kalau aku masuk," sahut Han Ping
Dara itu tertawa mengikik, "Selain aku dan taci, didalam sini tiada orangnya lagi, hayo,
masuk lah!"
Han Ping menimang. Kedua gadis itu adalah gadis persilatan. Terhadap mereka rasanya
tak perlu terlalu memakai peradatan. Segera ia melangkah masuk.
Sebuah kamar yang indah megah. Dindingnya berkilau laksana batu mustika, lantainya
tertutup permadani, penuh dengan hiasan yang indah-indah. Diujung dinding terdapat
sebuah ranjang kayu ukir-ukiran, bantal dan kain sprei disulam indah. Jelas tentu kamar
seorang gadis. Dara itu rebahkan tacinya diatas ranjang lalu duduk bersila melakukan pertolongan
dengan mengurut jalan darah yang tertutuk.
Ternyata orang tua yang disebut Kim loji itu telah menggunakan tutukan keras pada
nona baju hitam. Sehingga walaupun sudah siuman, keadaannya masih lemah. Setelah
membuka mata, perlahan-lahan ia duduk. Dingin sekali sikapnya. Seolah-olah ia tak
merasa bahwa baru saja ia diselamatkan dari bahaya maut. Han Ping menganggap, nona
itu kelewat angkuh.
"Cici, kita telah ditipu sisetan tua Kim. Jika tiada dia yang menolong, kita tentu sudah
mati," kata si dara baju putih seraya menunjuk kepada Han Ping.
Nona baju hitam itu hanya tertawa dingin. Memandang kepada pemuda itu, ia
bertanya, "Siapakah engkau" Mengapa engkau menolong kami berdua saudara?"
Han Ping terkesiap. Ia benar-benar tak mengira kalau akan mendapat teguran yang
sedemikian tak kenal aturan, tak tahu terima kasih.
"Sama sekali aku tak bermaksud menolong, melainkan karena hendak mencari sarung
pedangku yang hilang!" sahut Han Ping.
Menatap pedang pusaka anak muda itu, bertanya pula nona baju hitam itu,
"Kemanakah sarung pedangmu itu?"
Si dara baju putih cepat menyambuti, "Sarung pedangnya diambil oleh Kim lokoay. Kita
bantu mencarikannya!"
"Hm, mengapa kita harus membantunya" Mengingat dia sudah menolong kita, biarlah
dia pergi membawa pedangnya!"
Hampir meledak dada Han Ping karena marahnya. Untung sebelum ia memberi reaksi,
si dara baju putih sudah mendahului berkata, "Tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Dia
membantu aku menolongmu. Kita cari Kim lokoay dan merebut sarung pedang itu!"
Si nona baju hitam merapikan rambut yang kusut masai lalu turun dari ranjang dan
menghampiri Han Ping.
Han Ping terkejut. Diam-diam ia bersiap. Selain kerahkan tenaga dalam, pun menutup
pernapasannya untuk menjaga kemungkinan nona baju hitam itu akan menaburkan obat
bius. Dilihatnya si dara baju putih tak henti-hentinya memberi isyarat tangan sambil
tersenyum. Maksudnya melarang dia jangan sembarang bertindak.
"Tahukah engkau siapakah Kim loji yang melarikan sarung pedangmu itu?" tanya nona
baju hitam itu ketika tiba dihadapan Han Ping. "Lebih baik hapus saya keinginanmu
merebut sarung pedang itu!"
Karena tengah menahan napas, maka Han Ping tak dapat bicara. ya hanya geleng
kepala tanda menolak anjuran nona itu.
Melihat sikap pemuda itu; si nona baju hitam tertawa, "Eh, mengapa tak mau bicara"
Kim loji itu adalah tokoh persilatan yang termahsyur. Semua orang persilatan takut dan
mengindahkan kepadanya. Jika engkau hendak merebut kembali sarung pedang itu,
bukankah seperti mengantar jiwa dengan sia-sia?"
Han Ping tetap jeri terhadap bubuk bius.
Sebenarnya ia tak mau bicara. Tetapi ketika mendengar kata-kata nona baju hitam itu
seperti tak mengandung maksud jahat, ia merasa bingung. Baik menyahut atau tidak.
Tiba-tiba si dara baju putih loncat turun dari ranjang seraya tertawa, "Ah, cici; dia
memiliki ilmu silat yang tinggi. Mungkin lebih lihay dari cici sendiri. Andaikata dia tak dapat
menghadapi Kim loji, kalau kita bantu, tentu menang!"
Wajah nona baju hitam itu menampil keraguan, sahutnya, "Engkau tentu tahu sendiri
bagaimana kesaktian Kim loji itu. Kita berduapun tak menang. Sekalipun tambah seorang
lagi, tetap sama saja!"
Dengan ucapan itu si nona baju hitam jelas meremehkan kepandaian Han Ping.
"Tetapi jelas bahwa kepandaiannya tak dibawah kita berdua. Jika tak percaya, silahkan
cici mencobanya!" seru si dara. Ia agak mengkal karena tacinya tak percaya.
"Memang aku tetap tak percaya," sambil tertawa dingin, sekonyong-konyong nona baju
hitam itu merangsang dengan kedua tangannya untuk menutuk dua buah jalan darah
ditubuh Han Ping. Gerakan itu cepat dan tak terduga-duga.
Sekalipun sudah bersiap tetapi tak urung Han Ping terkejut juga melihat kecepatan dan
ketepatan nona itu menyerang. Diam-diam ia mengakui memang kepandaian nona itu
lebih lihay dari adiknya, si dara baju putih.
"Ah, jika tak kukeluarkan jurus istimewa, sukarlah mengalahkannya dalam waktu yang
cepat," diam-diam ia memutuskan cara menghadapi nona itu.
Sambil mencekal pedang Pemutus Asmara ditangan kanan, tubuhnya condong merebah
kesamping kiri. Lalu tangannya kiri tiba-tiba nyelonong kebelakang punggung untuk
menangkap pergelangan tangan si nona.
Jurus itu dinamakan Pok-liong-pak-hay atau menangkap naga dari laut utara. Salah
sebuah dari keduabelas jurus ilmu Kin-na-jiu atau ilmu merebut senjata musuh, ajaran
mendiang Hui Gong siansu yang sakti.
Si nona baju hitam terlongong kaget".
Jilid 4 Pertempuran sengit dengan Si Bungkuk
Bagian 7 Si Bungkuk Sekalipun baru pertama kali itu Han Ping menggunakan, tetapi karena ilmu Kin-na-jiu
ajaran mendiang Hui Gong siansu itu suatu ilmu kesaktian yang jarang terdapat didunia
persilatan, maka selagi sinona baju hitam terlongong-longong, tahu-tahu tangannya kena
dicengkeram. Mengingat kepentingan mencari sarung pedang, tak mau Han Ping cari perkara dengan
kedua nona itu. Ia hanya gunakan dua bagian tenaganya untuk mencekal lalu
mendorongnya sampai tiga langkah. Sedang ia sendiri tetap tegak ditempat semula.
Nona baju hitam itu termangu. Kemudian menghela napas, ujarnya : "Adikku benar,
kepandaianmu memang lebih tinggi dari kami berdua, Jika kita bertiga bersatu, mungkin
dapat menghadapi Kim lokoay itu!"
Sesungguhnya tak puas hati Han Ping mendengar kedua taci beradik itu tak habishabisnya
memuji kepandaian Kim lokoay. Namun ia tak mau membantah. Apabila salah
ucap, salah-salah dapat menyebabkan kedua nona itu ngambek, tak mau membantu
mencari sarung pedang.
Saat itu sidara baju putih sandarkan kepala kedada tacinya dan bertanya manja :
"Kalau begitu, cici suka meluluskan, bukan?"
Nona baju hitam tersenyum. Ia mengangguk : "Karena dia sudah memberi pertolongan
pada kita, sudah selayaknya kitapun harus membantu kesukarannya. Tadi aku masih
menyangsikan kepandaiannya dan kuatir kita tak mampu menghadapi tua bangka Kim itu
...." Sidara baju putih tertawa mengikik : "Adakah cici sekarang sudah percaya ?"
Tiba-tiba nona baju hitam itu mengerut tegang dan berkata dengan dingin : "Belum
yakin sekali. Karena kalau dia seorang diri yang menghadapi Kim lokoay, tentu tetap kalah
!" Si Baju putih takut pada tacinya dan tak berani berkata apa-apa lagi.
Setelah menyaksikan sikap dan pembicaraan kedua taci beradik itu, diam-diam Han
Ping mendapat kesan. Kedua nona itu mempunyai perangai yang mudah berobah dan
sukar diduga. Ia harus hati-hati terhadap mereka. Jangan sampai seperti kata pepatah
'Yang dikejar tak tercapai, yang dikandung berceceran'. Sarung pedang tak dapat
diketemukan, pedang pusakapun ikut hilang.
Tampak sinona baju hitam berdiam diri merenung. Pada lain saat ia melonjak, serunya :
"Lekas, jika terlambat, Kim lokoay tentu sudah pergi jauh. Sukar kita mengejarnya !"
Sidara baju putih dan Han Ping tak mengerti maksud nona baju hitam itu. Sidara baju
putih segera menanyakan.
Sinona baju hitam tertawa dingin. Tiba-tiba ia meniup padam penerangan kamar.
Sudah tentu Han Ping terkejut. Dalam kegelapan, sukarlah untuk menjaga kemungkinan
kedua nona itu menggunakan bubuk bius. Ia mundur dua langkah.
"Mengapa takut ?" tegur sinona baju hitam, "tanpa memadamkan lampu, jika memang
hendak menaburkan bubuk bius, bukankah tetap dapat kulakukan ?"
Tersipu-sipu Han Ping mendengar sinona menyindirnya. Karena tak dapat menjawab, ia
hanya tertawa menyeringai.
"Kim lokoay selalu bekerja dengan teliti. Dia tak mau membunuh kami berdua saudara
karena takut akan pembalasan ayah. Walaupun dia sakti, tetapi tetap takut juga kepada
pihak Lembah Setan. Maka dia menggunakan siasat pinjam tangan orang. Pada saat
adikku menyaru jadi setan, dia telah menutuk jalan darahku lalu menimbuni tubuhku
dengan rumput kering ..." kata sinona baju hitam.
"Waktu mengajak kami supaya membantunya merebut pedang pusaka itu, diam-diam
Kim lokoay telah menyiapkan rencana untuk mencelakai kami", sinona baju hitam
melanjutkan ceritanya pula. "Dalam tumpukan rumput kering itu ia menyulut sebatang
dupa yang ditancapkan diatas obat pasang. Begitu dupa itu terbakar habis, apinya tentu
menjilat obat pasang dan terbakarlah rumput kering itu. Rupanya ia ngotot sekali untuk
membakar aku. Untuk menjaga kemungkinan hal itu gagal, ia membuat sumbu yang
panjang dan dililitkan pada tumpukan rumput yang menutup diriku...."
"Apakah saat itu cici belum pingsan ?" tanya sidara baju putih.
"Pertama kali dia tak menggunakan tutukan berat sehingga aku masih dapat melihat
apa yang dilakukan. Saat itu aku masih mengejeknya mengapa dia begitu takut kepadaku.
Diam-diam aku yakin, dalam setengah jam lagi tentu dapat bergerak. Hatikupun lengah.


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa tahu ternyata bangsat tua itu licik sekali. Setelah selesai mengatur persiapan, dia
menutuk lagi dua buah jalan darahku !"
Han Ping menghela napas : "Hm, dunia persilatan memang berbahaya. Kawan makan
kawan sendiri," pikirnya.
"Eh, mengapa menghela napas ?" tegur nona baju hitam itu," banyak pengalamanku
yang jauh lebih hebat dari itu !"
Han Ping tertegun. Dengan gadis yang berwatak dingin dan aneh itu, sukarlah diajak
berkawan. Diam-diam timbul kesan tak senang. Tetapi karena masih membutuhkan
tenaganya untuk mencari sarung pedang itu, terpaksa ia menahan perasaannya.
"Tetapi sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali tentu jatuh juga," kata sinona
baju hitam pula, "kukira setelah terbit, kebakaran, Kim lokoay tentu akan kembali
meninjau lagi kesitu. Kalian berdua harus pura-pura menggeletak ditempat tadi, pura-pura
masih pingsan. Dan aku nanti akan bersembunyi didekat tempat kalian. Begitu Kim lokoay
muncul dan berjongkok hendak mencelakai, moay-moay cepat gunakan bubuk bius
menaburnya supaya pingsan. Dengan demikian tanpa bertempur kita dapat merebut
kembali sarung pedang itu. Tetapi apabila rencana itu gagal, aku akan keluar membantu.
Dengan tenaga kita bertiga, walaupun tak dapat menang tetapi sekurang-kurangnya dapat
bertahan. Hanya saja harapan untuk merebut sarung pedang itupun tipis !"
Habis berkata ia terus menyuruh adiknya dan Han Ping supaya lekas pergi.
Tiba ditempat tadi, sidara baju putih terus rebahkan diri ditanah. Han Ping meragu
sebentar lalu ikut menggeletak disebelahnya. Pedangpun diletakkannya disamping.
Memandang keangkasa, kedengaran nona baju hitam itu menghela napas : "Kukira Kim
lokoay tentu tak mau datang kemari !"
"Mengapa ?" tanya Han Ping.
Dara baju putih itu tertawa hambar : "Jika dia berani datang kembali, tentu takkan lolos
dari taburan bubuk biusku dan engkau tentu dapat mengambil kembali sarung pedangmu
!" "Benar, memang sarung itu pemberian dari seorang locianpwe yang tak boleh
kuhilangkan !" sahut Han Ping.
"Apakah setelah mendapat sarung pedang itu, engkau akan berpisah dengan kami
berdua ?" tanya sidara.
Tak terduga Han Ping akan menerima pertanyaan yang diucapkan dengan nada beriba
itu. Sebelum ia sempat mencari kata-kata untuk menyahut, tiba-tiba terdengar suara
bentakan bengis : "Apa itu berpisah atau tidak berpisah, sudahlah jangan membicarakan
soal itu !"
Yang membentak itu sinona baju hitam dan sidara baju putih rupanya takut kepada
tacinya itu. Dia tak mau berkata apa-apa lagi. Kemudian ia mengenakan kedok muka lagi.
Seketika seorang dara yang cantik jelita segera berobah menjadi seorang makhluk yang
berwajah seram.
Sekalipun tahu kalau hanya memakai kedok, tetapi karena bentuk wajah kedok itu
seram sekali, Han Ping segera palingkan muka.
Saat itu sudah menjelang tengah malam. Suasana ditempat itu makin sunyi dan seram.
Hanya desir angin dan bunyi burung hantu yang terdengar menambah keseraman
suasana. Tengah Han Ping tertegun memandang kebakaran dipadang rumput itu, tiba-tiba
tangannya terasa disambar sebutir pasir. Ketika berpaling dari arah selatan tampak
sesosok bayangan lari mendatangi. Cepat sekali bayangan itu tiba ditempat kedua pemuda
itu menggeletak.
Orang itu menunduk dan mengamat-amati Han Ping serta sidara baju putih. Dia
tertawa sinis lalu memandang kearah kebakaran.
Dalam pada itu diam-diam Han Ping sempat memperhatikan bahwa orang itu tak
membekal senjata, mengenakan baju biru, jenggot putih bertubuh kekar tetapi agak
bungkuk. Dengan tajam Han Ping memandang keseluruh tubuh orang itu tetapi ia tak
melihat sarung pedang.
Kemudian Han Ping melirik kearah sidara baju putih untuk mencari keterangan apakah
orang itu yang mencuri sarung pedangnya.
Celaka, sidara baju putih tampak malah pura-pura tak tahu. Kerut wajahnya
bergemerucutan. Suatu tanda bahwa ia sendiri juga tak kenal dengan orang tua bungkuk
itu. Sementara sinona baju hitam yang bersembunyi, juga tak meperlihatkan suatu tanda
apa-apa. Sudah tentu Han Ping bingung. Jika pendatang itu memang bukan sipencuri sarung
pedang, kiranya tak perlu harus pura-pura pingsan lagi. Tetapi celakanya ia tak dapat
menghubungi kedua gadis itu dan merekapun tak memberi isyarat suatu apa, ia sungkan
bertindak sendiri.
Sebelum tahu apa yang hendak dilakukan, tiba-tiba Han Ping dikejutkan oleh suitan
nyaring dari si Bungkuk. Suaranya melengking dahsyat menembus awan sehingga
kesunyian malam seolah-olah dipecahkan.
Han Ping tergetar hatinya. Ia cemas ilmunya lwekang kalah dengan orang itu.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suitan berulang kali dan tak lama bermunculanlah
beberapa sosok tubuh orang.
Han Ping terperanjat. Ia heran mengapa dalam tempat sedemikian sunyi muncul sekian
banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi.
Suitan dari empat penjuru itu makin lama makin dekat dan pada beberapa saat mereka
tiba disamping si Bungkuk. Empat lelaki baju hitam muncul dan berdiri setombak jauhnya
dari si Bungkuk.
Belasan mata mereka mencurah kearah Han Ping dan sidara baju putih yang
menggeletak ditanah. Mereka tegak menjulur tangan. Sikapnya amat menghormat sekali
kepada si orang tua Bungkuk,
Tiba-tiba si Bungkuk menghentakkan kakinya ketanah dan hentakan itu menyebabkan
pedang pusaka mencelat keatas !
Han Ping terkejut sekali. Dalam pengamatannya sejak muncul, si Bungkuk itu tak
memandang kearah pedang pusaka. Seolah-olah seperti tak tahu. Maka gerakannya itu,
benar-benar diluar dugaan Han Ping.
Pedang pusaka adalah merupakan janjinya kepada Hui Gong siansu. Dan janji baginya
adalah kehormatan dan nyawanya. Saat itu Han Ping tak mau berpeluk tangan lebih jauh.
Dalam gugupnya, ia segera melenting keatas menyambar pedang pusaka itu.
Tepat pada saat itu si Bungkukpun tengah julurkan tangan kanan untuk menyambar
pedang. Keduanya bergerak cepat sekali. Ujung jari tangan Han Ping menyentuh tangkai
pedang. Tangan si Bungkukpun tiba. Semula hendak menyambar tangkai pedang tetapi
karena kedahuluan orang, tangannya dirobah menjadi gerak serangan. Dengan jari
telunjuk dan tengah, menutuk siku lengan Han Ping.
Tutukan itu cepat dan tak terduga-duga. Betapapun tinggi kepandaian Han Ping,
namun ia terpaksa harus melindungi siku lengannya. Cepat ia balikkan tangan untuk
menabas siku lengan orang.
Akibat perobahan serang menyerang itu, keduanya gagal untuk meraih tangkai pedang.
Dan jatuhlah pedang pusaka itu ketanah lagi....
Kepandaian si Bungkuk itu ternyata mengejutkan orang. Ia surutkan lengan yang
hendak ditebas tangan Han Ping, maju merapat, ia menusuk lambung lawan. Sekaligus
dua gerakan telah dilancarkan. Masih ditambah lagi dengan sebuah tendangan kearah
pedang pusaka. Karena batang pedang Pemutus Asmara itu berkilat-kilat tajam dan memancarkan hawa
dingin, maka kedua orang itu tak berani sembarangan mencengkeram dibagian batang.
Han Ping miringkan tubuh untuk menghindarkan lambungnya dari tutukan si Bungkuk.
Bukannya mundur dia bahkan maju selangkah dan menusuk dengan kedua jari kearah jari
lawan. Kemudian kakinya kanan diayun untuk menyongsong tendangan orang. Dengan
demikian tusukan jari disongsong dengan tusukan jari. Tendangan disambut dengan
tendangan. Si Bungkuk terkejut melihat gerakan lawan yang sedemikian luar biasa. Cepat-cepat ia
mundur dua langkah.
Pertarungan secara merapat itu memang tampaknya tiada sesuatu yang
mengagumkan. Tetapi bagi pandangan seorang ahli, pertempuran itu merupakan
pertempuran maut yang ganas. Sedikit lambat bergerak saja tentu akan berakibat
kematian. Adalah karena keduanya bergerak cepat sekali maka keempat lelaki baju hitam
dan sidara baju putih tak sempat berbuat suatu apa.
Adalah karena takut si Bungkuk menendang pedang pusaka ketempat anak buahnya,
Han Ping menendang keras sekali. Tetapi karena tendangannya luput, tubuhnya agak
menjorok kemuka. Hal ini disebabkan karena ia masih belum dapat menguasai gerak
permainannya dengan sempurna.
Cepat-cepat ia berputar tubuh hendak meraih pedangnya tetapi saat itu juga dua
batang pedang telah menyerangnya dari atas dan bawah. Ternyata penyerangnya itu
adalah dua dari keempat baju hitam yang berdiri dibelakang si Bungkuk.
Kehilangan sarung pedang dirasakan suatu pukulan berat pada batin Han Ping. Sudah
tentu dia tak mau kehilangan batang pedangnya.
Dengan menggembor keras ia miringkan diri menghindar kesamping. Kemudian
gerakkan sepasang tangannya. Yang sebelah kiri menabas musuh sebelah kanan. Tangan
kanan gunakan ilmu Kin-na-jiu atau dengan tangan kosong merebut senjata, menyambar
pedang musuh yang menyerang dari kiri.
Adalah karena gugup maka Han Ping menghantam sekeras-kerasnya sehingga lawan
terpaksa loncat kebelakang. Dan tangan kanan secepat kilat menyambar lengan musuh
disebelah kiri. Sekali memelintir dan mendorong, pedang orang itupun sudah berpindah
ketangannya. Dua belas jurus ilmu Kin-na-liong-jiu merupakan salah satu pelajaran dari kitab Tat-moih-
kin-keng yang jarang terdapat didunia persilatan. Dalam masa itu hanya beberapa
tokoh saja yang mampu memecahkan gerakan luar biasa itu.
Mendapat hasil yang cemerlang, semangat Han Ping makin berkobar. Segera ia putar
pedang rampasannya itu untuk menangkis pedang dari dua lawan yang menyerangnya.
Karena melihat kedua kawannya, yang satu dihantam murdur dan yang satu direbut
pedangnya, kedua lelaki baju hitam yang lain segera maju menyerang.
Setelah berhasil menangkis, kaki kiri Han Ping maju setengah langkah. Dengan tangan
kiri ia lepaskan sebuah pukulan dan dengan pedang yang dicekal ditangan kanan, ia
menyongkel pedang pusaka yang menggeletak ditanah.
Tetapi alangkah kejutnya ketika pedang pusaka Pemutus Asmara yarg sudah berhasil
dicongkel keatas itu tiba-tiba jatuh lagi ketanah. Ah, kiranya pedang yang diperuntukkan
mencongkel itu telah kutung sendiri karena tertindih pedang Pemutus Asmara ....
Han Ping terlongong kaget. Tiba-tiba tiga batang pedang menusuknya dari tiga jurusan.
Dan serempak dengan itu dari arah belakang terdengar jerit lengkingan yang tajam.
Keempat lelaki berpakaian hitam itu ternyata bukan tokoh-tokoh lemah. Setelah
mendapat pengalaman pahit dari Han Ping, kini mereka maju dengan hati-hati. Ketiga
lelaki berpakaian hitam itu masing-masing mencari tempat untuk mengadakan hubungan
kerjasama dalam menyerang Han Ping.
Dengan pedang kutung Han Ping melayani ketiga penyerangnya. Disamping itu ia harus
menjaga pedang pusaka jangan sampai terambil musuh. Karena melakukan tugas
rangkap, Han Ping menahan diri sehingga hanya menangkis dan menghalau serangan
saja. "Berhenti !" sekonyong-konyong terdengar bentakan bengis. Dan ketika lelaki baju
hitam itupun hentikan serangannya dan mundur.
Menggunakan kesempatan itu Han Ping membungkuk hendak menjemput pedang
pusakanya. Tetapi tiba-tiba terdengar jeritan mengaduh. Ketika berpaling dilihatnya si
Bungkuk tengah mencengkeram pergelangan tangan kanan sidara baju putih. Sedang
tangannya kanan dilekatkan pada punggung dara itu.
"Jika engkau berani mengambil pedang itu, budak perempuan ini tentu akan
kuhancurkan tubuhnya !" seru si Bungkuk dengan nada bengis. Tergetarlah hati Han Ping,
Ia tegak berdiri dan berteriak murka : "Hm, seorang tua bangka tak malu menyakiti
seorang gadis !"
Si Bungkuk tertawa gelak-gelak, serunya: "Jika sungguh-sungguh hendak kubunuh
adalah semudah orang membalikkan telapak tangannya. Yang penting, aku hendak
meminta engkau meluluskan sebuah hal !"
Han Ping termangu, serunya : "Engkau hendak menekan aku dengan menjadikannya
seorang Sandra " Hm, hm ...."
Si Bungkuk marah sekali : "Engkau tak kenal siapa diriku ini " Hm, masakan aku sudi
melakukan perbuatan semacam itu !"
"Lalu apa maksudmu, silahkan menerangkan saja. Jika tenagaku mampu, aku tentu
akan melakukannya !"
Wajah si Bungkuk berobah tenang bahkan menyungging senyum. "Sudah berpuluhpuluh
tahun aku berhadapan dengan musuh-musuh yang lihay tetapi aku benar-benar
kagum atas kepandaianmu. Terus terang aku merasa penasaran. Ingin aku menguji
kepandaian lagi denganmu. Bagaimana ?"
Sejenak memandang kearah, keempat lelaki baju hitam. Han Ping hendak berkata
tetapi telah didahului si Bungkuk lagi : "Jangan kuatir. Pertandingan itu hanya terbatas kita
berdua saja. Dalam pertempuran satu lawan satu itu, tak boleh ada yang membantu. Jika
engkau yang menang, aku segera angkat kaki dari sini. Tetapi jika aku menang,
engkaupun harus tinggalkan pedang itu !"
"Jangan termakan tipunya ! Lekas jemput pedang itu !" tiba-tiba sidara baju putih
melengking. Si Bungkuk kerutkan alis, serunya marah : "Kita mengadu kepandaian secara terangterangan.
Siapa yang kalah dan siapa yang menang. Mengapa engkau menuduh suatu
tipu?" "Pedang pusaka itu adalah milik kami. Engkau menang, engkau hendak mengambilnya
tetapi kalau engkau kalah engkau hanya angkat kaki saja. Ih, masakan didunia terdapat
hal yang seenak begitu !" sahut sidara.
Si Bungkuk tertawa gelak-gelak: " Pedang itu merupakan pusaka kuno yang jarang
terdapat didunia. Setiap pusaka harus mempunyai pemilik yang tetap. Jika pedang itu
dikuasai orang yang tak pandai ilmu silatnya, tentu akan menimbulkan keonaran besar..."
Ia berhenti sejenak. Ditatapnya Han Ping dengan tajam lalu berkata pula : "Sekali aku
tak bermaksud hendak merampas barang orang dengan sewenang-wenang. Karena
melihat tadi engkau mengeluarkan beberapa jurus permainan yang luar biasa, tergeraklah
seleraku untuk mengadu kepandaian. Siapa yang menang, dialah yang layak memiliki
pedang pusaka itu. Memang orang yang mempunyai kepandaian seperti aku banyak sekali
jumlahnya didunia persilatan. Maka jika dengan seorang tua semacam aku saja engkau tak
mampu mengalahkan, percuma saja engkau memiliki pedang itu. Karena hal itu berarti
mengundang kematianmu saja. Pun andaikata nanti aku menang, aku tak berani
menggunakannya sendiri. Hendak kuserahkan pedang pusaka itu kepada orang yang lebih
hebat kepandaiannya. Agar pusaka itu benar-benar mendapat tuan yang sepadan. Dengan
demikian dunia persilatan akan mendapat seorang anggota yang benar-benar cemerlang!"
Sebagai seorang muda, sudah tentu Han Ping masih berdarah panas. Mendengar katakata
si Bungkuk itu, seketika bergeloralah semangatnya. Ia tertawa nyaring.
"Pedang ini pemberian dari seorang locianpwe yang telah banyak melepas budi
kepadaku. Jika aku tak mampu menjaga pedang itu, perlu apa aku hidup dalam dunia "
Usul tuan memang baik sekali. Jika aku kalah, biarlah aku segera mati saja untuk
menghapus rasa malu ...." tiba-tiba ia hentikan bicara. Ia merasa telah kelepasan omong.
Si Bongkok tersenyum, ujarnya : "Pedang pusaka itu tentu mempunyai sejarah hebat.
Yang menyimpan pedang itu, tentulah seorang tokoh yang luar biasa. Menurut kesimputan
dari pengalamanku selama berpuluh-puluh tahun dalam dunia persilatan, tentulah takkan
jauh dari dugaanku itu .... "
Berkata sampai disini tiba-tiba ia alihkan pandang matanya kearah pedang pendak
Pemutus Asmara. Tiba-tiba matanya berkilat-kilat tajam dan cepat-cepat memandang
kepada Han Ping lagi. Diamati pemuda itu dari ujung kaki sampai keatas kepala. Seolaholah
hendak mencari sesuatu.
Tergetarlah hati Hanping. Diam-diam ia telah membulatkan tekad. Pedang itu
menyangkut kehormatan mendiang Hui Gong siansu. Tak nanti ia mau menuturkan
riwayat paderi yang berbudi itu kepada siapapun juga.
"Jika engkau memang berminat sungguh-sungguh hendak memiliki pedang ini,
mengapa tak lekas turun tangan !" serunya. Sekonyong-konyong ia loncat kemuka.
Menghantam dengan tangan kiri, kaki kanan mengungkit batang pedang pusaka keatas
lalu cepat-cepat disambar dengan tangan kanan.
Gerakan menghantam dan meraih pedang pusaka itu seolah-olah dilakukan dengan
serempak. Dan hanya dalam sekejab mata, pedang itupun berhasil berada dalam
tangannya lagi.
Tetapi tiba-tiba si Bungkuk memutar tubuhnya kesamping, menghindari pukulan lalu
memelintir tangan sidara sekeras-kerasnya. Dara itu mengerang kesakitan....
Marah Han Ping bukan kepalang.
"Sudah berjanji mengadu kepandaian untuk memenangkan pedang pusaka itu,
mengapa masih menganas seorang anak perempuan " Hm, jika engkau hendak menekan
aku dengan menjadikan nona itu sebagai sandra, jangan sesalkan aku bertindak kejam
padamu !" serunya.
Si Bungkuk tertawa dingin : "Jika engkau sudah setuju merebut pedang itu dengan
kepandaian, mengapa engkau menyambar pedang itu lebih dulu ?"
"Kamu berjumlah banyak, lebih baik kuambil pedang itu lebih dulu. Terus terang, aku
merasa sulit bertempur sambil mengawasi pedang itu. Harap jangan kuatir, jika engkau
benar-benar mampu mengalahkan aku, tak nanti aku ingkar janji !" jawab Han Ping.
Si Bungkuk tertawa sinis : "Akupun tak takut engkau mengingkari janji !"
Ia lepaskan lengan sidara baju putih, lalu maju menyerang. Sekaligus dua buah
serangan dilancarkan. Tangan kiri menghantam dengan jurus Mendorong ombak
membantu alun. Tangan kanan memukul dengan jurus Menabas awan puncak gunung.
Kedua pukulan itu disaluri dengan dua macam tenaga dalam.
Sejak digembleng oleh Hui Gong siansu, beberapa kali Han Ping telah mengalami
pertempuran maut. Sekalipun tahu bahwa kepandaiannya sudah bertambah maju namun
ia belum jelas sampai dimana tingkat kemajuan yang telah dicapainya.
Mengempos semangat, ia siap menanti serangan musuh. Begitu melihat serangan


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan sedemikian hebat, ia tak berani memandang rendah. Ia gerakkan tangan kiri
menahan pukulan dan sambil miringkan tubuh ia menghindari serangan tangan kanan, lalu
mengirim tendangan berantai ....
Si Bungkuk meraung marah. Rambut dan jenggotnya menjungkat tegak. Dengan
sepasang tangan ia menyongsong kedua kaki Han Ping. Gerakan itu telah menimbulkan
tamparan angin yang keras sekali.
Han Ping terkejut. Diam-diam ia memutuskan untuk menghindari adu kekerasan.
Ternyata tenaga dalam si Bungkuk itu hebat sekali. Cepat ia menjejak tanah dan
berjumpalitan diudara lalu melayang turun dua tiga meter jauhnya.
Si Bungkuk tertawa dingin. Ia menyerbu lagi, menyerang dengan kedua tangannya.
Han Ping kerahkan tenaga dalam kearah lengan kiri sedang tangan kanan tetap
menjaga pedang pusaka. Dengan tangan kiri itu ia mainkan ilmu pukulan cap-pik-lo-hanciang
atau 18 jurus pukulan malaikat.
Ilmu pukulan isttmewa itu berlambarkan tenaga keras. Memang bukan olah-olah
dahsyatnya. Tetapi apabila orang yang memainkan tenaganya kurang sempurna,
kebalikannya malah akan mencelakakan dirinya sendiri. Karena ilmu pukulan itu paling
memeras tenaga dalam. Setiap pukulan harus dilambari dengan tenaga dalam yang besar.
Kedahsyatan pukulan itu dapat menghancurkan batu.
Adalah karena melihat si Bungkuk melancarkan pukulan dahsyat, seketika teringatlah
Han Ping akan ajaran mendiang Hui Gong tentang ilmu cap-pik-lo-han-ciang-hwat itu. Dan
tanpa banyak pikir lagi, ia terus memainkannya.
Untunglah sebelumnya, mendiang Hui Gong sudah menyalurkan tenaga dalam yang
telah diyakinkan selama berpuluh tahun. Dengan begitu tenaga dalam yang dimiliki Han
Ping sudah setingkat dengan tokoh kelas satu.
Selekas ia mainkan ilmu pukulan keras itu, bukan melainkan si Bungkuk saja yang
terkejut, bahkan ia sendiripun terkesiap kaget. Benar-benar ia tak mengira bahwa dirinya
telah memiliki tenaga dalam yang sedemikian hebat.
Pukulan keras disambut dengan pukulan keras telah menimbulkan deru angin yang luar
biasa hebatnya sehingga pada jarak beberapa meter, pasir dan debu guguran batu
berhamburan kemana-mana. Keempat lelaki baju hitam dan sidara baju putihpun
terlongong-longong ....
Memang dalam permulaan, gerak pukulan Han Ping masih kaku. Karena disamping
belum pernah menggunakan, iapun harus mengingat kelanjutan jurus pukulan itu beserta
perobahannya. Tetapi setelah beberapa waktu bertempur, gerak pukulannyapun makin
mantap dan paham. Seketika timbullah kepercayaan pada dirinya. Pukulannyapun makin
bertambah dahsyat perbawanya.
Si Bungkuk memang seorang tokoh ahli tenaga keras. Pukulannya terkenal dahsyat.
Setiap orang yang bertempur melawannya tentu tak mau mengadu kekerasan.
Kebanyakan tentu menggunakan kelincahan untuk menghadapinya.
Tetapi kali ini ia ketemu batunya. Diluar dugaan, anak yang masih muda belia itu
ternyata berani mengimbangi adu kekerasan. Padahal Han Ping tak menyadari tetapi
anggapan si Bungkuk tentulah pemuda itu memang sengaja hendak mengadu kekerasan.
Si Bungkuk penasaran sekali. Ia kerahkan seluruh tenaga dalam. Pukulannyapun
bertambah dahsyat. Diibaratkan setiap gerak pukulannya itu dapat membelah gunung ...
Melihat si Bungkuk makin lama makin perkasa, diam-diam Han Ping terkejut juga.
Tetapi dasar anak muda yang masih berdarah panas. Bukannya ia berganti siasat,
kebalikannya malah penasaran. Iapun kerahkan tenaga dalam untuk menghadapinya.
Beberapa saat kemudian, diam-diam si Bungkuk mencuri lirik kearah Han Ping. Tampak
pemuda itu tetap gagah. Sama sekali tak menampakkan tanda-tanda kesukaran dan
kepayahan. Diam-diam ia merasa heran : "Menilik umurnya paling banyak dia baru 19 tahun.
Sekalipun sejak lahir terus berlatih tenaga dalam, pun tetap tak mungkin mencapai tingkat
yang sedemikian hebatnya. Aneh, aneh! Ha, adakah dia juga serupa dengan pemimpin
kita yang memiliki bakat luar biasa itu ?"
Adalah karena menimang itu maka konsentrasi pikirannya agak terganggu. Sekonyongkonyong
serangkum gelombang angin pukulan dahsyat melandanya. Dia terkejut dan
cepat loncat kesamping.
Bobolnya perlawanan si Bungkuk itu tak disia-siakan Han Ping. Dia tak mau memberi
kelonggaran lagi. Memburu maju, ia mencecer lawan dengan tiga buah pukulan.
Dalam adu pukulan keras itu, setitik lubang kelemahan berarti kerugian besar. Begitu
kehilangan posisi, si Bungkuk menjadi terdesak dibawah angin.
Untung si Bungkuk sudah kenyang makan asam garam pertempuran. Sekalipun
terancam bahaya, ia tetap tak kalut. Segera ia gerakkan kedua tangannya dengan jurus
Memindah gunung menimbun laut. Seluruh tenaga dalam dikerahkan kearah kedua
tangannya. Krak . . . . karena hanya menggunakan tangan sebelah kiri, begitu saling beradu
pukulan, Han Ping tersurut mundur tiga langkah.
Si Bungkuk berhasil merebut kembali kedudukannya yang telah kacau itu. Tampak
keempat lelaki baju hitam sudah mencabut senjata masing-masing. Mereka mencemaskan
kedudukan si Bungkuk yang berbahaya tadi. Apabila terjadi sesuatu pada si Bungkuk,
mereka sudah siap membantu. Untunglah keadaan berobah sehingga legalah hati mereka.
Pertempuran berlangsung lagi. Tetapi suasananya sudah berobah : "Jika Han Ping
tampak bersemangat sekali karena sudah mendapat kepercayaan atas kepandaian yang
dimiliki saat itu. Kebalikannya si Bungkuk sudah gentar nyalinya. Dia terkejut dan tak habis
mengagumi kesaktian pemuda yang masih begitu muda umurnya tetapi memiliki kesaktian
yang sedemikian mengejutkan.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba terlintaslah pikiran Han Ping untuk menyusupkan ilmu
Kin-na-liong-jiu-hwat yang ilmu menangkap musuh dengan tangan kosong, dalam ilmu
pukulan cap-pik-lo-han-ciang yang tengah dilancarkan itu. Lo-han-ciang keras, Kin-naliong-
jiu aneh dan sukar diduga musuh. Suatu kombinasi yang serasi !
Setelah mendapat pikiran itu, segera ia hendak melaksanakannya. Tetapi pada saat ia
hendak merobah gerak permainannya, tiba-tiba terdengar suara parau dari seorang tua
yang membentak dari samping : "Au Bungkuk, lekas berhenti . . . ."
Menyusul dengan bentakan itu, tiba-tiba serangkum gelombang tenaga lunak, melanda
kearah kedua orang yang sedang bertempur itu.
Si Bungkuk cepat menarik pukulannya. Demikianpun Han Ping. Ketika berpaling
kesamping, tampak seorang tua bertubuh kate tegak berdiri tak jauh dari gelanggang
pertempuran, Orang tua kate itu mengenakan pakaian hitam. Kurus kering, rambutnya
putih dan jenggotnya menjulai panjang sampai kedada.
Melihat si Kate, si Bungkuk deliki mata dan mendamprat : "Oh kate, mengapa engkau
mengacau " Kalau tak terima, silahkan coba-coba kemari !"
Orang kate itu hanya tertawa dingin; "Engkau kira aku Oh kate ini takut padamu "
Sayang saat ini aku tak ada tempo melayani engkau. Tuan telah memberi perintah,
menunggu kedatanganmu dirumah penginapan Ban-seng-can di kota Lokyang sampai
besok siang. Jika terlambat datang, jangan tanya dosa !"
"Hm, setan kate, besar sekali nyalimu! Engkau berani memalsu perintah tuan kita.
Tetapi huh, jangan harap engkau dapat menipu aku !" seru si Bungkuk.
Sambil tertawa jemu, si Kate merogoh baju dan mengeluarkan sehelai panji kecil yang
bersulam burung cendrawasih putih. Melihat panji itu, si Bungkuk dan keempat lelaki baju
hitam serta merta tundukkan kepala dan memberi hormat.
"Hai, Au Bungkuk, apakah setelah melihat pertandaan tuan kita ini, engkau tak mau
segera berlutut menerima perintah ?" seru si Kate seraya mengangkat panji cendrawasih
putih tinggi-tinggi keatas.
Diam-diam Han Ping menduga, si Bungkuk yang berwatak keras itu tentu marah karena
dipermainkan si Kate. Tetapi diluar dugaan, ternyata si Bungkuk menurut perintah dan
segera berlutut menghadap panji itu.
Si Kate tersenyum : "Au Bungkuk, sampai jumpa lagi di Lokyang !" - ia menyimpan lagi
panji itu terus lari pergi.
Si Bungkuk cepat berdiri dan berteriak memaki si Kate : "Oh kate, hutangmu ini, lain
hari pasti akan kuselesaikan !"
Si Bungkuk melambaikan tangan kiri lalu mendahului lari tinggalkan tempat itu.
Keempat lelaki baju hitampun segera mengikuti si Bungkuk. Gerakan mereka pesat
sekali. Dalam beberapa kejab, bayangan mereka sudah tak tampak lagi.
Menyaksikan peristiwa itu, Han Ping tak habis mengerti. Ia mendapat kesan bahwa
kesaktian si Bungkuk itu tak dibawah Hui Koh taysu.
Diam-diam ia heran. Siapakah gerangan orang tua bungkuk itu"
Bagian 8 Putri Lembah Setan
Selintas terdengarlah ia akan sikap keempat lelaki baju hitam yang begitu menghormat
kepada si Bungkuk. Apakah si Bungkuk itu seorang ketua partai persilatan "
Tetapi dugaan itu cepat terhapus ketika membayangkan sikap si Kate terhadap
orangtua bungkuk itu. Meskipun si Kate itu belum berkelahi dengan si Bungkuk tetapi jelas
bahwa yang melerai dengan pukulan tadi adalah orang kate itu. Kepandaian orang kata itu
jelas tak dibawah si Bungkuk. Tetapi pun tak terpaut jauh. Hanya bedanya si Bungkuk
memiliki lwekang keras dan si Kate lwekang lunak.
Siapakah orang tua bertubuh pendek itu " Dan siapakah tuan atau majikan yang
mereka sebut itu "
Dan mengapa pula si Bungkuk begitu hormat sekali kepada panji burung cendrawasih
putih " Ah, kesemuanya itu merupakan teka teki yang pelik tetapi menarik hati.
"Ah, mengapa aku tak menuju Lokyang melihat mereka ?" akhirnya ia bertanya pada
diri sendiri. Tiba-tiba terdengar suara helaan napas rawan dan disusul teguran halus : "Apakah
yang tengah engkau pikirkan ?"
Han Ping terkejut dan berpaling. Ternyata yang bertanya itu sidara baju putih. "Aku
tengah memikirkan diri si Bungkuk itu", sahutnya.
Saat itu sidara sudah menanggalkan kedok mukanya dan tersenyum : "Orang tua
bungkuk itu memang sakti. Tetapi dia tetap kalah dengan engkau!"
Mendengar pujian, kebalikannya Han Ping malah menghela napas : "Kemanakah tacimu
tadi ?" "Ih, aku kan tak pergi kemana-mana dan tetap berada disini menyaksikan kalian
bertempur !" tiba-tiba dari arah samping terdengar lengking seorang gadis. Merdu tetapi
dingin nadanya.
"Saat ini sudah menjelang fajar, rasanya Kim loji tentu tak kembali kesini", kata Han
Ping sambil memandang langit.
Terdengar derap langkah kaki dan muncullah sinona baju hitam sambil membuka
kedoknya. "Siapa bilang dia tak datang ?" serunya. "Datang ?" Han Ping terkejut.
"Hm, sudah lama dia datang . . . ."
Han Ping memandang kesekeliling penjuru tetapi tak melihat seseorang. Buru-buru ia
menegas "Dimana ?"
Sinona baju hitam menyahut jemu : "Sudah siang-siang ngacir, perlu apa engkau cari
kemana-mana ?"
Han Ping makin gugup : "Sarung pedang itu penting sekali bagiku. Mengapa engkau tak
mau memberitahukan kedatangannya kepadaku ?"
Seenaknya saja nona itu membereskan rambutnya yang terurai kemudian baru tertawa
acuh tak acuh : "Engkau sedang berkelahi, perlu apa kuberitahu " Bukankah engkau tak
dapat melepaskan diri dari pertempuran itu ?"
Han Ping banting-banting kaki : "Ah, kalau begitu tentu tak mungkin mencarinya lagi !"
"Bukan sarung pedang milikku, perlu apa aku ngotot mencarinya ?" jawab sinona baju
hitam. Han Ping terkesiap, serunya : "Apa " Engkau tak peduli ?"
Nona baju hitam itu tersenyum : "Habis apakah aku diharuskau mengurusnya ?"
Han Ping tertegun beberapa jenak lalu berkata : "Benar, memang sarung pedang itu
milikku. Jika nona tak sudi menghiraukan, akupun tak dapat memaksa !"
Habis berkata ia berputar tubuh terus melangkah pergi.
Sidara baju putih kejapkan mata kepada tacinya dan berbisik : "Ci, benarkah engkau
tak mau menghiraukan ?"
Nona baju hitam itu tak mengacuhkan pertanyaan adiknya. Ia tertawa dingin dan
sengaja berseru nyaring : "Menghilangkan benda pemberian seorang cianpwe dan tak
mampu mencarinya lagi, tentulah tiada muka muncul didunia persilatan. Hm, lebih baik
kita pulang saja tak perlu berkeliaran diluar !"
Han Ping berjalan setombak jauhnya. Begitu mendengar ucapan sinona, tergeraklah
hatinya. Diam-diam ia teringat akan pesan mendiang Hui Gong siansu supaya jangan
sampai sarung pedang itu hilang
Tentulah sarung pedang itu mengandung rahasia yang penting sekali. Rahisia yang
menyangkut diri Hui Gong siansu dan kehormatannya.
Memikir sampai disitu, ia berhenti.
"Adik, mari kita pergi !" kembali terdengar sinona baju hitam mengajak adiknya.
"kurasa Kim loji tentu belum jauh. Jika mengetahui kita berdua belum mati, dia tentu takut
kita memberitahukan ayah. Maka dia pasti akan mencari kita. Kita berdua bukan
tandingannya. Jika sampai bertemu dengannya, dia tentu akan membunuh kita. Daripada
mati sia-sia, lebih baik kita lekas pulang ke Lembah Setan saja !"
Tampaknya kata-kata itu ditujukan kepada sidara baju putih tetapi sesungguhnya
sengaja diperdengarkan kepada Han Ping.
Namun pemuda itu berhati tinggi. Walaupun tahu akan mengalami kesukaran mencari
Kim loji, tetapi ia tetap tak mau meminta pertolongan kedua gadis itu. Jika menuruti suara
hatinya ia tetap tinggalkan kedua gadis itu. Namun kalau mengingat pesan mendiang Hui
Gong siansu, ia terpancang.
Saat itu Han Ping merasa serba salah. Hendak kembali kepada sinona atau teruskan
langkahnya ! Tiba-tiba sidara baju putih melesat dari sisinya dan berpaling kepadanya seraya tertawa
: "Taci memang benar. Engkau sedang berkelahi, bagaimana ia dapat memanggilmu " Jika
Kim loji tahu taciku belum meninggal, Kim loji tentu akan ngacir pergi. Dia sahabat baik
ayahku. Jika kami berdua saudara pulang kedalam lembah dalam keadaan tak kurang
suatu apa, apabila kami melaporkan perbuatan Kim loji kepada ayah, ayah tentu tak
percaya. Taruh kata percaya, pun karena kami berdua tak kurang suatu apa, ayah tentu
takkan menarik panjang urusan itu !"
"O ..... " baru Han Ping mendesus, sidara sudah mendahului bicara lagi : "Tetapi tadi
Kim loji tak melihat taciku. Dengan demikian keadaannya lain. Karena tak tahu bagaimana
nasib taciku, dia tentu cemas dan berusaha untuk menyelidiki. Jika taciku mati, dia tentu
akan membunuhku juga untuk menghilangkan jejak perbuatannya . . . ."
Tiba-tiba sinona baju hitam menyelutuk; "Lekas cari tempat bersembunyi ! Sam-siok
mencari kita !"
Habis berkata nona itu terus mendahului menyusup kedalam kegelapan.
Han Ping memandang keseluruh penjuru. Kecuali nyala api kebakaran padang rumput
itu, tiada seorangpun yang dilihatnya. Dimanakah yang disebut sam-siok atau paman
nomor tiga oleh sinona baju hitam itu"
"Ah, dia banyak tipu muslihatnya. Aku harus hati-hati jangan sampai termakan
siasatnya" diam-diam Han Ping berjanji dalam hati.
Sidara baju putihpun cepat lari kesebelah kiri tetapi ketika berpaling dan melihat Han
Ping masih tegak ditempatnya, ia gugup. Ia berputar tubuh dan loncat kesamping pemuda
itu terus menyambar lengannya : "Lekas bersembunyi ! Jika sam-siok sampai tahu kami
berdua bersamamu dislni, ah, jangan harap engkau hidup . . . ."
Dalam berkata-kata itu, sidara menarik Han Ping kedalam sebuah gerumbul semak
yang lebat. Sebelum bersembunyi, kedengaran sidara menghela napas panjang : "Engkau ini
bagaimana " Apakah engkau benar-benar tak pernah terdengar cerita orang tentang samsiok
kami itu ?"
Melihat dara dalam kemengkalannya masih seperti kanak-kanak, Han Ping tersenyum :
"Siapakah sam-siok kalian itu " Aku belum pernah melihatnya, bagaimana dapat
mengetahui ?"
Tiba-tiba mulut dara itu merekah tawa : "Memang kalau kukatakan sam-siok, engkau
mungkin tak kenal. Tetapi kalau kubilang Ting Yam sam Imam pencabut nyawa, kiranya
engkau tentu sudah mendengar ...."
"Ting Yam sam si Imam pencabut nyawa " Han Ping mengulang.
"Ya, siapakah tokoh persilatan yang tak kenal akan nama itu " Hm, jika dia datang lebih
pagi, tak mungkin Kim loji dapat melarikan diri . . . ."
Han Ping tertegun beberapa jenak. Katanya sesaat kemudian : "Aku memang jarang
mengembara didunia persilatan. Karena tak pernah mendengar nama sam-siokmu itu."
Dara itu berkata setengah tak percaya : "Menilik kepandaianmu, engkau tergolong
tokoh kelas satu. Dan tentu murid sebuah partai ternama. Jika dugaanku tak keliru, kalau
bukan murid Siau-lim-si, engkau tentu murid Bu-tong-pay. Masakan sebelum
meninggalkan perguruan, suhumu tak pernah memberi pesan apa-apa kepadamu.
Misalnya tentang tiga marga besar yang menguasai dunia persilatan yakni It-kiong dan jikoh
?" It-kiong artinya Istana kesatu. Ji-koh artinya dua lembah.
"Yang memberi pelajaran ilmu silat kepadaku bukan tokoh Siau-lim-si pun juga bukan
dari Bu-tong-pay. Aku seorang persilatan liar, tak tergolong murid suatu partai persilatan
yang manapun juga. Karenanya tak mempunyai guru yang memberi pesanan semacam
itu," sahut Han Ping. Dia tetap memegang pesan Hui Gong siansu untuk tak mengatakan
dirinya murid Siau-lim-si. Sekalipun menjawab begitu tetapi diam-diam ia mengagumi
pandangan sidara yang jitu,
Sidara gelengkan kepala lalu menghela napas : "Ai, tanpa pengalaman apa-apa berani
berkelana didunia persilatan, benar-benar amat berbahaya sekali. Orang yang memberi
pelajaran kepadamu itu, benar-benar kelewat lengah. Masakan tentang seluk beluk
keadaan dunia persilatan. dia tak mau memberitahukan kepadamu. Ketahuilah, dunia
persilatan itu penuh ranjau maut dan perangkap tipu muslihat. Banyak persoalan yang tak
selalu harus diselesaikan dengan kepandaian silat. Apalagi engkau memiliki pedang pusaka
yang jarang terdapat. Sudah tentu akan menjadi intaian orang !"
Tergerak juga hati Han Ping. Ia tak menyangka bahwa dara yang sering masih


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunjukkan sifat kekanak-kanakan itu, ternyata dapat bicara seperti seorang yang sudah
berpengalaman. Diam-diam ia menimang : "Walaupun aku telah memperoleh rezeki besar sehingga
hanya dalam waktu yang sangat singkat sekali telah dicipta menjadi seorang tokoh kelas
satu, tetapi karena dendam sakit hatiku belum tertumpas, takkan sembarangan
kukeluarkan pedang pusaka itu. Musuhku besar itu seorang tokoh sakti dan licin.
Lahiriah ia membawa sikap yang baik dan ksatria sehingga tokoh-tokoh persilatan
menaruh perindahan besar kepadanya. Tetapi batinnya, dia seorang momok yang ganas.
Andaikata saat itu suhuku tak mengorbankan puteranya sendiri yang dikatakan sebagai
putera keluargaku, aku tentu sudah dihabiskan oleh jahanam itu. Ah . . . aku memang
selamat tetapi suhu menjadi korban. Setelah mengorbankan puteranya, jahanam itu tetap
membunub suhuku juga . . . ."
Teringat akan peristiwa pembunuhan keluarganya dahulu, hati Han Ping seperti disayat
sembilu. Syukurlah pemuda itu segera tersadar bahwa ia masih menghadapi tugas yang berat.
Ia harus menghadapi musuhnya itu seorang diri. Karena untuk mengajak orang
membantunya, tipis sekali harapannya. Seluruh tokoh-tokoh persilatan amat menghormati
musuhnya besar itu.
Menilik bicaranya, tentulah sidara baju putih itu lebih paham tentang seluk beluk
keadaan didunia persilatan. Maka timbullah pikirannya untuk meminta keteranganketerangan
yang diperlukan guna memudahkan usahanya mencari balas pada musuhnya
itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah tangan yang menggenggam tangan kanannya dan
serentak terdengar suara bisikan menegur : "Lekas sembunyi ! Sam-siokku segera datang
!" Kali ini Han Ping melepaskan pandang matanya dengan tajam. Tetapi kecuali padang
rumput yang terbakar itu, tetap ia tak melihat seseorangpun jua.
Tengah ia merasa heran, tiba-tiba sebuah aliran api berwarna hijau meluncur belasan
tombak diudara dan lenyap. Menyusul terdengarlah suitan aneh yang menusuk telinga.
Genggaman tangan sidara makin kencang : "Itulah pertandaan sam-siok memanggil
kami berdua. Mudah-mudahan dia tak datang kemari !"
Han Ping diam-diam geli mengapa dara itu begitu ketakutan setengah mati kepada
pamannya "Andaikata pamanmu memergoki engkau, kan tak apa-apa. Mengapa engkau
seperti melihat setan . Diam-diam ia berkata dalam hati. Dan karena geli, iapun tertawa.
Sidara terkejut dan berpaling. Karena ia berada dekat sekali, maka ketika berpaling itu
hidungnya hampir berbentur dengan pipi Han Ping. Serentak Han Ping terbaur hawa yang
harum-harum menyegarkan.
Han Ping mengisar mundur dan lepaskan genggaman sidara. Ia tertawa : "Eh. mengapa
engkau begitu takut sekali kepada pamanmu itu ?"
Sidara mengangguk. Ia menghela napas perlahan : "Sam-siokku itu berwatak aneh dan
berangasan. Sekali tangannya bergerak tentu membunuh. Jika melihat kami melanggar
pantangan lembah, meskipun anak kemenakannya sendiri, pun tentu dibunuhnya !"
"Apa ?" Han Ping terkejut.
"Engkau takut ?" dara itu tertawa.
"Bukan karena takut kepada pamanmu hanya merasa heran mengapa seorang paman
sampai hati membunuh anak kemenakannya sendiri. Ah, kalau begitu pamanmu ketiga itu
tentu benci kepada kamu taci beradik, bukan ?"
Dara itu melongok keluar. Wajahnya tampak tegang sekali : "Bukan begitu. Dia
memang bengis sekali terhadap orang tetapi amat menyayang kami berdua".
"Kata-katamu sungguh membingungkan", Han Ping bersungut-sungut, "kalau dia
menyayang kalian mengapa engkau begitu takut kepadanya ?"
Dara itu menatap wajah Han Ping. Bibirnya hendak bicara tetapi tak jadi. Ia hanya
menghela napas rawan. Dua butir airmata tampak meredup diujung matanya.
Sejak kecil Han Ping mengalami peristiwa yang menggoncangkan. Dia merasa malu
atas sepak terjang ayahnya yang tak baik. Begitu pula kelakuan ibunya yang melanggar
adat susila, telah menyebabkan dia menderita rasa rendah diri terhadap orang. Hidup
dalam keluarga yang tak layak jalan hidupnya itu telah menyebabkan batin Han Ping
berobah. Ia mempunyai rasa benci kepada kaum wanita.
Sejak berangkat dewasa dan setelah mempunyai perasaan kedewasaan, ia tak pernah
bicara dengan anak perempuan. Han Ping tumbuh sebagai pemuda yang suka menyendiri,
acuh tak acuh, dingin dan angkuh.
Sekalipun ia mendapat seorang guru yang menyayang dan menggemblengnya dengan
ilmu silat dan budi pekerti, namun kesan semasa kecilnya itu tetap melekat disanubarinya
.... Adalah setelah ia mengetahui bahwa ternyata ayahnya telah dibunuh orang secara
penasaran, barulah timbul perobahan dalam sikap dan perangainya. Perasaan rendah diri
karena kecewa itu, telah berobah menjadi rasa dendam kesumat yang menyala-nyala.
Dengan bekal tujuan hidup itu ia nekad menyelundup kedalam gereja Siau-lim-si untuk
mencuri kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng. Syukur nasibnya baik sehingga dalam keadaan
yang tak terduga-duga ia telah mendapatkan peruntungan yang luar biasa. Bertemu Hui
Gong siansu dan digemblengnya dengan ilmu kesaktian yang hebat....
Merenung sampai hal itu, timbullah pertanyaan dalam hatinya : "Mengapa setiap orang
yang sayang padaku tentu akan pendek usianya. Orang tua yang melahirkan aku, guru
yang mengasuhku, suheng yang menemani aku bermain-main dan Hui Gong siansu yang
menurunkan seluruh kepandaiannya kepadaku ... Mereka semua sayang kepadaku tetapi
mengapa mereka meninggalkan aku " Apakah aku Ji Han Ping benar-benar seorang
manusia yang sial ?"
Han Ping berwatak keras. Namun mengenangkan orang-orang berbudi yang telah tiada
itu airmatanya pun bercucuran ....
Tiba-tiba sebuah tangan halus menyongsongkan sehelai saputangan kepadanya dan
disertai dengan ucapan berbisik yang merdu : "Eh, mengapa engkau menangis ?"
Han Ping gelagapan. Buru-buru ia mengusap airmatanya. Diam-diam ia memaki dirinya
: "Hm, seorang lelaki jantan tak boleh menangis. Mana boleh aku mengucurkan airmata
dihadapan seorang gadis ?"
Seketika ia busungkan dada dan tertawa : "Siapa bilang aku menangis ?"
Dara itu menghela napas : "Akulah yang salah karena menangis sehingga
menyebabkan engkau turut sedih . . ."
Han Ping gugup : "Mana bisa . . ."
"Sudahlah, jangan bicara lagi. Aku sudah tahu," tukas dara itu, "rahasia Lembah Setan
sebenarnya tak boleh dibilangkan orang. Tetapi biarlah kuberitahukan kepadamu secara
diam-diam. Setelah engkau tahu bagaimana pantangan Lembah Setan, tentu engkau akan
memaklumi mengapa aku takut kepada pamanku !"
Han Ping hendak membantah tetapi tiba-tiba terdengar suitan aneh melengking
diudara. Wajah sidara berobah tegang dan buru-buru menarik tangan Han Ping diajak
mendekam didalam gerumbul semak. Tangannya mendekap mulut sipemuda. Maksudnya
meminta Han Ping tahan napasnya.
Cepat sekali suitan itu mendekat dan pada lain saat tiba ditempat Han Ping dan si
Bungkuk bertempur tadi.
Han Ping meluluskan permintaan sidara. Ia menahan pernapasannya dan meninjau
keluar. Memandang dengan seksama, tampaklah seorang imam setengah tua,
mengenakan jubah hitam tegak berdiri sambil menggendong kedua tangannya
kepunggung. Tubuhnya kurus kering tetapi tinggi. Punggungnya menyanggul sebatang
pedang. Tangannya mencekal sebatang hud-tim atau kebut kaum paderi. Matanya
memandang kesekeliling penjuru seperti mencari sesuatu.
Sekonyong-konyong ia berbalik tubuh dan memandang gerumbul semak tempat Han
Ping dan sidara bersembunyi. Tiba-tiba tangannya kiri mengayun dan segunduk api
melayang. Begitu jatuh ditanah, api itu menebar menjadi segenggam sinar kehijau-hijauan
yang cukup menerangi seluas setombak jauhnya....
Untung tempat yang dipilih sidara untuk bersembunyi itu sebuah gerumbul semak yang
lebat. Sekalipun dipancari sinar api hijau tetap meremang dan sukar ditembus mata.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, api hijau itupun padam. Tiba-tiba imam aneh itu
bersuit lagi lalu melambung dua tombak tingginya dan melayang turun empat tombak
jauhnya. Ketika terdengar suitan lagi ternyata sudah jauh.
Han Ping menggeliat duduk. Ia menghela napas untuk melonggarkan kesesakan
dadanya. "Apakah imam jubah hitam itu pamanmu ?" tanyanya.
Sidara mengangguk : "Benar, Dia adalah Soh Hun Ih su atau Imam Pencabut nyawa
yang merontokkan nyali setiap tokoh golongan Hitam maupun Putih. Entah berapa banyak
jumlahnya tokoh-tokoh persilatan yang binasa ditangannya . . ."
Han Ping menghela napas : "Manusia yang ditakuti orang karena ganas dan penuh
berlumuran darah pembunuhan, bukanlah manusia yang baik. Tetapipun masih lebih baik
setingkat dari manusia yang lahirnya baik tetapi hatinya kejam melebihi serigala !"
Ia menghamburkan rasa penasarannya atas kematian kedua ayah bunda dan suhunya.
Sidara tertawa mengikik : "Orang yang selalu dirundung kecemasan seperti engkau ini,
jika berkelana didunia persilatan, kemungkinan akan mati karena belum-belum sudah
dicekik kecemasan. Ketahuilah, dunia persilatan penuh beraneka ragam manusia-manusia
yang aneh. Kelak jika engkau bertemu dengan orang dari Lembah Seribu Racun, engkau
tentu akan mengakui kebenaran ucapanku ini".
"Lembah Seribu Racun " Ah, benar-benar ngeri nama itu !" seru Han Ping.
Tiba-tiba dari luar gerumbul terdengar suara menyelutuk : "Mengapa ngeri " Bukankah
Lembah Raja Setan itu juga menyeramkan " Huh, kurang pengalaman tentu banyak
keheranan !"
Sidara cepat loncat keluar, serunya : "Ci, apakah sam-siok takkan kembali kesini lagi ?"
Sinona baju hitam tertawa dingin : "Sukar dikata. Kita keluar bersamanya. Jika dia
pulang sendirian dan ditegur ayah, dia tentu sukar menjawab !"
Sidara tertegun, serunya : "Kalau begitu, mari kita lekas-lekas tinggalkan tempat ini !"
"Ah, kemanapun sama saja," sahut sinona baju hitam, "jika paman tetap mencari, tak
mungkin kita dapat lolos !"
Han Pingpun keluar dari tempat persembunyiannya dan menyelutuk : "Pamanmu
sendiri, mengapa kalian takut diketemukan ..."
Sinona baju hitam menukas : "Rahasia Lembah Raja setan, hanya sedikit sekali orang
yang mengetahui. Apalagi pemuda hijau semacam engkau. Bagaimana engkau berani
sambung lidah !"
Han Ping tertegun. Mukanya merah padam tak dapat bicara.
Melihat itu sinona baju hitam tertawa, serunya : "Huh, anak sudah berumur 19an tahun
mengapa masih bermalu-malu !"
Melihat sikap sinona yang sebentar-sebentar berobah, dingin, sinis, gembira lalu dingin
lagi, benar-benar membuat Han Ping muak. Tetapi karena masih memerlukan bantuannya
mencari sarung pedang, ia terpaksa menahan perasaannya.
Sidara mengisar kesamping Han Ping, Ia tertawa dan berbisik : "Memang watak taciku
begitu. Jangan engkau taruh dihati !"
Han Ping tertawa hambar. Diam-diam ia berkata dalam hati : " Huh, kalian orang-orang
Lembah Raja setan ini, gerak gerik dan bicaramu sungguh tak menurut garis-garis
keumuman. Aku tak dapat bergaul lama-lama dengan kalian. Begitu sarung pedang sudah
kutemukan, tentu segera kutinggalkan kalian selama-lamanya,
Tiba-tiba terkilas lain pikiran : "Dahulu sebelum suhu menutup mata, pernah juga
menceriterakan tentang peraturan-peraturan golongan Hitam dan Putih. Sayang saat itu aku tak
menaruh perhatian sehingga aku tak tahu apa-apa dan menjadi buah tertawaan orang . . .
." Kemudian ia terbayang akan saat dimana suhunya telah ditutuk orang dan pada saat
hendak menghembuskan napas masih dapat paksakan diri meninggalkan pesan,
"Nak, ayahbundamu telah dicelakai orang secara penasaran. Hutang darah ini memang
harus engkau impaskan. Tetapi kemungkinan tipis sekali engkau dapat melaksanakan
pembalasan itu karena seluruh kaum persilatan golongan Putih dewasa ini, bersahabat
baik dengan musuh ayahmu itu . . . ." suhunya tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena napasnya keburu berhenti untuk selama-lamanya.
"Karena segenap kaum persilatan golongan Putih bersahabat baik dengan orang itu,
terpaksa aku harus mencari hubungan dengan golongan Hitam. Menilik gerak geriknya
yang aneh dan serba tak menurut garis peraturan orang-orang, Lembah Raja setan itu
tentulah bukan manusia baik . . . ." ia menimang lebih lanjut. Sesungguhnya hal itu
berlawanan dengan hati nuraninya. Tetapi apa boleh buat . . . . Ia menghela napas.
Sinona baju hitam tertawa dingin, tegurnya : "Ih, mengapa menghela napas " Hm,
sungguh bukan anak laki-laki !"
"Siapa yang engkau maki ?" Han Ping marah dan loncat kemuka gadis itu.
"Mau apa engkau ?" nona itu tertawa mengekeh.
"Sekali lagi engkau berani menghina semau-maumu sendiri, biarpun kehilangan sarung
pedang itu, aku akan memberimu hajaran !" seru Han Ping.
"Huh, aku tak percaya engkau berani memukul aku l" ejek sinona.
"Mengapa tak berani !" Han Ping menutup kata-katanya dengan sebuah tamparan.
Plak .... sebelah pipi gadis itu begap dan merah seketika. Ujung mulutnya mengucur
beberapa tetes darah . . . .
Han Ping tahu bahwa nona itu berkepandaian tinggi. Tamparannya tentu tak mungkin
mengenai. Diluar dugaan nona itu tak mau menghindar sama sekali. Seolah-olah rela
menerima tamparan.
Sambil mengusap darah dimulutnya, diluar dugaan, nona baju hitam itu malah
tersenyum. "Bagus ! Jika engkau gunakan tenaga lebih besar lagi gigiku pasti rontok !" nona itu
berseru memuji. Tak tampak marah sama sekali.
Sidara baju putih tercengang. Ia paham bagaimana perangai tacinya itu. Dingin dan
angkuh dan gemar memukul orang. Ia kira tacinya tentu akan menyerang Han Ping yang
berani menamparnya itu. Namun diluar dugaan ternyata tacinya tidak marah bahkan
kebalikannya malah memuji ....
Han Ping merasa tak enak dalam hati karena sinona baju hitam tak mau menghindari
tamparannya itu dan tak mau balas menyerang. Dengan jujur ia segera menghaturkan
maaf : "Karena kalap, aku telah kelepasan tangan. Harap nona suka maafkan. Apakah
nona terluka berat ?"
"Tidak ringan tidak berat, cukupan saja. Ayo, kita pergi !" seru sinona baju hitam.
"Kemana ?" sidara terkejut.
"Membantunya mencari Kim loji dan merebut kembali sarung pedangnya !" sahut
sinona baju hitam sambil tertawa melengking.
Heran Han Ping tak kunjung habis. Pikirnya : "Biasanya nona itu angkuh dan sinis.
Tetapi mengapa setelah kutampar malah mau membantuku ?"
Tiba-tiba nona baju hitam itu menghela napas perlahan dan berkata kepada adiknya :
"Ah, tak perlu engkau katakan akupun sudah tahu apa isi hatimu !"
Merahlah selebar wajah dara itu. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala.
Walaupun cerdik tetapi Han Ping kurang pengalaman. Ia tak tahu ada yang sedang
dikasak-kusukkan oleh kedua taci-beradik itu. Melihat sinona baju putih tundukkan kepala
kemalu-maluan, buru-buru ia menyelutuk : "Atas kesediaan nona berdua membantuku
mencari sarung pedang itu, Han Ping mengucapkan beribu terima kasih. Dan lebih dulu
terimalah penghormatanku !" - Habis berkata pemuda itu terus membungkukkan memberi
hormat. "Eh, dimana saja engkau mempelajari adat istiadat yang menjemukan itu ?" tegur
sinona baju hitam.
Sedangkan sidara lain sikapnya dengan tacinya. Ia buru-buru balas memberi hormat
kepada Han Ping seraya tertawa mengikik.
Tiba-tiba sinona baju hitam berpaling kepada adiknya : "Apakah engkau sudah
memberitahukan nama kita kepadanya ?"
"Belum, silahkan taci yang bilang kepadanya," sahut sidara.
Menunjuk pada sidara, nona baju hitam itu memperkenalkan kepada Han Ping : "Dia
bernama Ting Hong. Dirumah panggilannya adalah ji-atau!"
Kemudian nona baju bitam itu merogoh keluar sebutir pil dan terus ditelannya.
"Kemudian tertawa : "Engkau memikir apa lagi " Lekas berangkat !"
Sejenak sidara memandang Han Ping lalu memandang tacinya : "Apakah kita akan
mengajaknya bersama ?"
"Sudah tentu bersamanyalah ! Kalau tidak, walaupun dapat menemukan Kim lokoay,
kitapun tentu kalah." sahut sinona baju hitam.
Bukan girang karena perobahan sikap tacinya itu bahkan diam-diam malah kuatir :
"Watak taci selama tentu kejam dan tak mau menerima hinaan orang. Mengapa saat ini
tiba-tiba berobah lain sekali " Apakah karena menyadari kalah sakti dengan pemuda itu, ia
lantas pura-pura membantu tetapi apabila mempunyai kesempatan lalu mencelakainya "
Jika benar begitu, berbahaya kiranya keadaan pemuda itu. . ."
"Adik Hong, apa yang engkau pikirkan ?" tiba-tiba sinona baju hitam menegur.
"Aku tengah memikirkan . . . kita . . .", karena tak dapat menemukan jawaban, sidara
tersekat-sekat.
"Nona Hong memang tajam pikiran, pandai..."
"Sudahlah, jangan menimbun pujian terlalu tinggi !" tukas sidara mengerat kata-kata
Han Ping. Kemudian menunjuk kepada sinona baju hitam, dara itu memperkenalkan :
"Taciku itu bernama Ting Ling".
Han Ping tersenyum : "Sesuai dengan namanya yang indah, nona berdua memang jauh
berlainan dengan orang biasa ..."
"O, o, tak nyana engkau juga pandai merangkai kata-kata sanjungan yang indah.
Sudahlah jangan berkepanjangan, kita lekas berangkat !" seru sinona baju hitam atau Ting
Ling seraya menarik Ting Hong diajak lari.
Han Ping mengikuti dari belakang. Hatinya bergolak tak keruan. Sejak kecil dia hanya
berteman dengan suhengnya dan jarang berkumpul orang. Sekarang ia mengadakan
perjalanan dengan dua orang gadis cantik yang aneh perangainya. Tak tahu ia bagaimana
perasaannya. Ketika muda mudi itu menggunakan ilmu lari cepat. Pada waktu fajar, mereka tiba
disebuah kota.

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Celaka !" tiba-tiba Han Ping berteriak.
"Mengapa ?" tanya Ting Hong.
"Kemarin rekening rumah penginapan berikut makanan, belum kubayar !"
"Itu biasa saja, perlu apa engkau berkaok-kaok seperti melihat setan ?" tegur Ting Ling.
Han Ping terkesiap ketika melihat pipi nona baju hitam itu masih begap. Menilik
kepandaian sinona, dalam waktu sejam saja luka itu tentu sudah pulih. Tentulah kemarin
ia terlalu keras menamparnya.
Melihat pemuda itu memandang pipinya yang begap. Ting Ling sinona baju hitam
tertawa menyeringai. Buru-buru ia mengenakan kedok muka lagi. Seketika gadis itu
berobah menjadi seorang wanita setengah tua yang berwajah hitam.
Bagian 8 Lembah Seribu racun.
Han Ping tertawa dan berpaling kearah sidara. Ternyata dara itupun sudah berobah
menjadi seorang wanita setengah tua karena memakai kedok kulit yang sukar dibedakan
dengan wajah yang asli.
Sambil berjalan menuju kekota, diam-diam Han Ping menduga. Kedua nona itu tentu
membekal beberapa macam kedok muka sehingga setiap saat dapat berganti wajah.
"Hai, jika aku juga memiliki beberapa perangkat kedok muka, tentu berguna sekali
dalam usahaku menuntut balas !" diam-diam timbullah suatu keinginan dalam hatinya.
Matahari baru mulai menampakkan diri diufuk timur. Toko-toko, warung-warung dan
kedai-kedai dalam kota itu belum sama buka. Rupanya kedua nona itu paham akan
jalanan dalam kota itu. Setelah melintasi beberapa tikungan dan gang, mereka tiba
disebuah rumah penginapan.
Jongos rupanya baru bangun dan mulai membersihkan meja. Kedua nona itu tanpa
menyapanya terus melangkah masuk kedalam. Jongos itu gelagapan. Tetapi ketika
mengetahui kedua nona yang masuk, ia tak mencegahnya.
Han Ping mengikuti masuk. Setelah melintasi dua buah halaman, mereka tiba disebuah
ruangan yang sunyi. Ting Ling sinona baju hitam segera mendorong pintu ruangan dan
menanggalkan kedok mukanya.
"Semalam engkau tentu letih sekali bertempur melawan si Bungkuk. Beristirahatlah dulu
disini. Setelah makan, nanti kita lanjutkan perjalanan mencari Kim lokoay lagi !" kata nona
itu. Han Ping merenung sejenak lalu tertawa : "Ah, aku tidak letih. Sehabis makan, kita
teruskan mencari orang itu".
"Perlu apa engkau terburu-buru begitu ?" tukas Ting Ling tersenyum, "Jika tak dapat
menemukan bagaimana keadaan kami berdua saudara, Kim lokoay tentu takkan lekaslekas
pergi jauh. Sekalipun kita tak mencarinya, dia tentu akan mencari kita juga. Jangan
kuatir, silahkan beristirahat memulangkan tenagamu ! Dalam waktu lima hari, kutanggung
tentu dapat menemukan Kim lokoay".
Seumur hidup belum pernah Han Ping mendapat pelayanan yang begitu ramah dari
seorang wanita. Sejak kecil ibunya sudah meninggal. Ia tak ingat lagi bagaimana wajah
ibunya. Sesungguhnya ia seorang pemuda yang baik hati tetapi karena mengalami nasib
malang dan ngeri, dia berobah menjadi keras wataknya. Tujuan hidupnya hanya
membalas dendam kepada musuh.
Tetapi musuhnya seorang yang termahsyur dalam dunia persilatan. Hal itu
menyebabkan ia mempunyai perasaan muak terhadap kaum persilatan golongan Putih.
Sekalipun merasa bahwa kedua nona itu termasuk golongan bukan Putih, tetapi karena
kedua nona itu memperhatikan kepentingannya, ia pun tak dapat menjauhi. Mungkin hal
itu disebakan karena sejak kecil ia sudah kehilangan kasih sayang ibunya. Dari lingkungan
hidup sejak kecil itulah maka telah melahirkan perangai yang campur aduk.
Saat itu sidara Ting Hongpun sudah membuka kedok mukanya dan tertawa
melengking, serunya : "Taci seorang yang cermat. Perhitungannya selalu tak meleset. Jika
ia mengatakan dalam tempo 5 hari dapat menemukan Kim loji, tentulah takkan meleset.
Lepaskan kekuatiranmu dan beristirahatlah !"
Habis berkata ia mengambil secawan teh wangi dan diberikan kepada pemuda itu.
Han Ping menurut. Memang telah menghabiskan tenaganya dalam pertempuran
melawan dua tokoh sakti : Hui Koh taysu dan si Bungkuk.
Han Ping segera bersemedhi menurut ajaran Hui Gong. Seketika pikirannya kosong dari
segala keresahan dan gangguan.
Sejenak memandang kearah pemuda itu, Ting Ling memesan adiknya : "Adik Hong,
jagalah dia baik-baik. Walaupun kepandaiannya tinggi tetapi dia tak mempunyai
pengalaman. Ah, jika kita memang hendak mencelakainya, saat ini juga kita dapat
merenggut jiwanya !" - nona itu terus melangkah keluar.
Bermula sidara Ting Hong berdebar ketika melihat tacinya melirik pemuda itu. Ia kuatir
tacinya akan membalas tampaian dari Han Ping. Diluar dugaan ternyata tacinya tidak
berbuat apa-apa.
Dara itu terlongong-longong memandang bayangan tacinya. Ia benar-benar heran atas
perobahan sikap tacinya itu.
Sejak menerima pelajaran semedhi dari Hui Gong, baru pertama kali itu Han Ping
menggunakannya. Dan ternyata hasilnya memang hebat. Menjelang tengah malam, ia
merasa semangatnya segar dan tenaganya pulih kembali.
Ketika membuka mata dilihatnya sidara masih duduk ditepi ranjang sambil memandang
keatap wuwungan dengan terlongong-longong. Rupanyi dara itu tengah memikirkan
sesuatu yang sulit.
Tiba-tiba dara itu menghela napas dan berkata seorang diri ?"Ah, adakah taci yang
berwatak dingin dan angkuh itu juga jatuh hati kepadanya . . ."
Mendengar itu tersiraplah darah Han Ping. Segera ia berbatuk-batuk kecil. Sidara
terkejut dan berpaling.
"Ih, engkau ini benar-benar membikin orang mati kaget. Mengapa sudah bangun tak
mau memanggilku ?" Ting Hong tertawa lalu loncat dari pembaringan.
Tepat pada saat itu pintu terpentang dan masuklah Ting Ling seraya membuka kedok
mukanya. "Entah apakah yang terjadi dikota Lokyang sini. Banyak sekali orang-orang persilatan
dari golongan Hitam datang", serunya.
"Hai, kalau begitu sam-siok tentu juga belum pergi dari kota itu !" Ting Hong terkejut.
Sinona baju hitam Ting Ling merenung sejenak lalu menyahut : "Semalam sam-siok tak
sayang melontarkan pertandaan Api Hijau untuk mencari kita. Kemungkinan tentu ada
apa-apa yang penting..."
"Apakah Kim lokoay itu juga belum pergi dari kota itu ?" buru Han Ping menukas.
Ting Ling menghela napas : "Tadi aku keluar untuk mencari keterangan tentang jejak
Kim Lo ji. Tetapi begitu keluar dari rumah penginapan aku hampir kesompokan dengan
Kimleng Sam hiong. Tiga jago dari Kimleng itu biasanya mondar mandir didaerah Kanglam
dan jarang muncul didaerah Tionggoan. Kalau kali ini mereka bertiga muncul, tentulah ada
sebabnya. Timbul kecurigaanku dan hendak kuikuti. Tetapi mereka berkuda sehingga aku
tak mampu mengejar Ketika tiba di Se-kwang ternyata ketiga orang itu sudah lenyap.
Menurut keterangan dari beberapa orang yang kutanya, kemungkinan ketiga jago itu tentu
menuju kekota Lokyang !"
"Selain Kim-leng Sam-hiong, siapa lagikah yang taci jumpai ?" tanya sidara.
"Memang kalau bersua dengan Kimleng Sam hiong saja, aku tentu tak heran. Tetapi
selain mereka, akupun melihat anak buah Lembah Seribu racun dan si Tangan geledek Ca
Giok ketua muda dari Ca-ke-poh. Kalau orang-orang Lembah Seribu racun itu muncul di
Tionggoan, tidaklah begitu mengherankan. Karena mereka memang sering keluyuran
didaerah ini. Tetapi kemunculan ketua muda dari Ca-ke-poh itu, bukanlah suatu peristiwa
yang biasa. Jika tiada urusan yang penting, dia tentu tak muncul di Tionggoan. Mengenai
orang-orang Lembah Seribu racun, walaupun belum kulihat beberapa tokoh-tokohnya
yang penting, tetapi jumlah orang-orang Lembah Seribu racun itu banyak sekali. Lebih
kurang 20an orang. Suatu hal yang belum pemah terjadi selama ini . . ."
"Menurut dugaanku, tokoh-tokoh penting dari Lembah Seribu racun tentu berada disini
juga. Yang mengherankan, orang-orang itu semua menuju kebarat . . ." kata Ting Ling
seraya berhenti merenung.
Ting Hong kenal watak tacinya. Jika memikir hal-hal yang berat, tentu menengadahkan
kepala. Ia memberi isyarat mata kepada Han Ping supaya jangan mengganggu.
Setelah lewat beberapa jenak, tiba-tiba Ting Ling memandang kearah Han Ping :
"Mengapa Kim Lokoay mengajak kami berdua bersekutu merampas sarung pedangmu,
tentulah bukan suatu hal yang kebetulan melainkan tentu mengandung suatu rahasia
besar. Tetapi untuk beberapa waktu, masih sukar kuungkap ..."
Berhenti sejenak, nona baju hitam itu melanjutkan pula : "Menilik kedudukan Kim
lokoay dalam dunia persilatan, jika bukan benda pusaka yang tak ternilai harganya, dia
tentu tak mau turun tangan merebutnya. Pedangmu yang begitu hebat, dia tak mau dan
hanya mengambil sarungnya saja. Tentulah sarung pedang itu jauh lebih berharga dari
pedangnya. Dan untuk mencapai maksudnya itu, ia tak segan membunuh kami berdua.
Mungkin dia kuatir kami akan membocorkan hal itu. Ah, dia sahabat baik ayah. Diapun
takut kepada kemahsyuran nama Lembah Raja setan. Tetapi jika ia tetap berani
mencelakai kami berdua saudara, tentulah sarung pedang itu benda yang luar biasa
nilainya. Jika tidak mengandung rahasia dendam atau pembunuhan besar yang
menyangkut kepentingan dunia persilatan, tentulah mempunyai lain nilai yang tiada
taranya." Diam-diam Han Ping terkejut. Ia tak menduga bahwa seorang gadis yang baru berumur
18-19 tahun ternyata mempunyai kecerdasan dan pandangan yang sedemikian luas. Diamdiam
Han Ping mengaguminya.
Sejenak mata-mata sinona baju hitam itu menyapu kearah Han Ping dan Ting Hong,
kemudian berkata lagi : "Juga kedatangan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan didaerah
Lokyang ini, tentulah bukan suatu peristiwa yang biasa. Jika dugaanku tak salah,
kemungkinan tokoh-tokoh penting dari Ji-koh dan Sam-poh, tentu datang juga. Hal ini
benar-benar suatu peristiwa yang luar biasa. Dalam beberapa hari ini tentu akan timbul
peristiwa yang menggemparkan Suatu pertempuran yang ramai dan layak disaksikan.
Karena kita berada disini, kita pun harus melihat juga. Menilik pedangmu itu mudah
merangsang keinginan orang, sebaiknya engkau sembunyikan saja agar jangan
mengandung kesulitan. Begitu pula kita bertigapun harus menyamar supaya jangan
menarik perhatian orang.
Ting Hong merenung sejenak lalu tertawa.
"Kami berdua taci beradik sering keluar kedunia persilatan dengan mengenakan kedok
muka. Dikuatirkan orang-orang Ca-ke-poh dan Lembah Seribu racun itu tetap akan
mengenali kami. Maka menurut hematku, kali ini kita menyaru saja sebagai anak laki dan
mengenakan kedok muka. Dengan demikian kemungkinan orang tak mudah mengenali !"
sidara tertawa.
Ting Ling menggeleng.
"Betapapun kita menyaru dengan cara apa saja, hanya orang biasa yang dapat
terkelabuhi. Tetapi terhadap tokoh-tokoh lihay itu, jangan harap kita dapat lolos dari mata
mereka yang tajam...."
Ia berhenti sejenak, memandang Han Ping dan berkata pula : "Aku sudah menyediakan
suatu rencana. tetapi tentu akan memberatkan engkau!"
"Silahkan bilang, asal tidak kelewat sukar, aku tentu bersedia" sahut Han Ping.
"Karena sering keluar kedunia persilatan, kami kenal banyak tokoh-tokoh persilatan.
Terutama orang-orang dari Lembah Seribu racun, mereka ganas dan licin. Anak buah dari
Tangan geledek Ca Giok itu benar-benar seperti setan siluman. Kami berdua sudah
beberapa kali berjumpa dengan mereka. Walaupun dengan menyaru apa saja, sukar untuk
lolos dari mata mereka. Siasat yang paling tepat ialah begini : kita dapat mengetahui
mereka tetapi jangan mereka melihat kita."
"Ho, bagaimana mungkin ?" kata Han Ping, "kalau kita dapat mengetahui mereka,
masakan mereka tak dapat mengetahui kita !"
Ting Ling tertawa melengking : "Hal itu kedengarannya memang ganjil. Tetapi jika
sudah kuterangkan tentu biasa juga. Engkau seorang baru dalam dunia persilatan.
Walaupun memiliki kepandaian sakti, tetapi orang tentu belum mengetahui. Asal berhatihati,
jangan terlalu menonjolkan diri, dan lagi memakai kedok muka tentulah sukar orang
mengetahui . . . ."
"Benar, memang aku baru pertama kali ini mengembara. Sekalipun tak memakai kedok
muka, tentu tak dikenal orang. Hanya bagaimana dengan nona berdua . . . ."
"Ah, paling tidak seorang Kim lokoaypun sudah kenal padamu. Begitu pula si Bungkuk
itu. Jika engkau tak mau mengenakan kedok muka, mereka tentu akan mengenalimu".
Mendengar kata-kata nona itu beralasan juga, mau tak mau Han Ping memuji dalam
hati. Dia mengagumi nona itu cermat dan teliti sekali. Hal-hal kecil yang orang tak
memperhatikan, pun tak terlepas dari penelitiannya.
"Sekarang ini keadaan memaksa. Terpaksa sementara akan menyulitkan dirimu. Tetapi
apabila keadaan sudah mengizinkan, kami taci berdua akan bersedia menyaru jadi
budakmu, untuk mernbayar terima kasih atas jerih payahmu dalam beberapa hari ini,"
Ting Ling tertawa.
" Hampir setengah hari tetapi nona belum mengatakan jelas bagaimana rencana itu,"
Han Ping tertawa.
Ting Ling tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah kedok muka dari kulit lalu menghampiri
Han Ping dan memasangkannya.
"Kuminta engkau menyaru jadi sais (kusir) kereta kami berdua taci beradik," katanya
dengan tertawa.
Sidara Ting Hong tertawa mengikik : "Bagus, rencana taci hebat sekali ! Asal tenda
kereta kita tutup tapi diberi sedikit lubang kecil, kita tentu dapat melihat keadaan diluar.
Ting Ling mengangguk : "Selama beberapa tahun ini memang banyak tambah
pengalaman. Akupun sudah menyediakan kereta. Jika engkau tak keberatan menyaru
sebagai sais, marilah kita berangkat sekarang."
"Nona memang cerdik sekali. Tetapi entah apakah penyamaranku ini bakal dapat
mengelabuhi orang-orang itu ?" tanya Han Ping.
Ting Ling mengeluarkan sebuah cermin : "Coba saja engkau lihat sendiri apakah mirip
tidak dengan seorang sais kereta ?"
Ketika berkaca, ternyata Han Ping dapatkan dirinya saat itu berobah menjadi seorang
lelaki tua yang berumur 40an tahun. Dahinya penuh keriput.
"Hai, mirip juga !" ia tertawa.
"Memang kedok muka yang kubawa itu, halus semua buatannya sehingga sukar
diketahui kalau kedok. Yang penting sekarang ini, engkau harus membiasakan diri untuk
mengurangi pancaran sinar matamu agar jangan menimbulkan kecurigaan orang bahwa
engkau memiliki tenaga dalam yang tinggi. Nah, marilah kita berkemas," kata Ting Ling.
Setelah membayar rekening rumah penginapan, mereka keluar. Ternyata dimuka
rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta dengan dua ekor keledai tegar. Ting Ling
memberi topi dan pakaian warna biru kepada Han Ping.
Demikianlah sais Han Ping dengan kedua penumpangnya dua orang gadis cantik,
segera berangkat menuju kedalam kota Lokyang.
Disepanjang jalan, beberapa kali Han Ping melihat penunggang-penunggang kuda yang
melarikan kudanya dengan pesat. Dari dandanan dan gerak geriknya, Han Ping menduga
bahwa penunggang-penunggang kuda itu tentulah tokoh-tokoh persilatan.
Ditilik dari sikapnya yang tergopoh-gopoh, rupanya mereka sedang mengejar waktu.
Tentulah mempunyai urusan yang sangat penting.
Ada beberapa penunggang kuda yang berpaling memandang kearah kereta Han Ping,
tetapi mereka terus melanjutkan perjalanan lagi. Agaknya mereka tak menaruh kecurigaan
terhadap kereta itu.
Diam-diam Han Ping memuji kecerdikan Ting Ling mengatur siasat penyamaran itu.
Orang tak menaruh perhatian pada kereta yang ditarik keledai.
Sekonyong-konyong seekor kuda mencongklang pesat dan melampaui kereta. Dan
entah bagaimana penunggangnya tiba-tiba ayunkan cambuk kearah tenda kereta yang
tertutup itu. Bukan main marah Han Ping saat itu. Hampir saja ia tak dapat menahan diri. Untung
sesaat ia teringat akan pesan Ting Ling tadi. Maka pura-pura ia terkejut dan mengisar
kesamping. Saat itu sipenunggang kuda itu berada beberapa meter dimuka kereta. Ia tertawa
nyaring, serunya : "Ho, budak kedua perempuan yang pintar, sayang aku mempunyai
urusan penting . . .!
Han Ping mengawasi penunggang kuda itu dengan tajam. Seorang lelaki berumur 31an
tahun. Wajahnya hitam seperti pantat kuali, pipinya kiri terdapat bekas luka. Setelah
berpaling memandang kearah Ting Ling dan Ting Hong, ia mencongklang pesat.
Ting Ling mmutup tenda yang tersingkap itu dan berbisik kepada Han Ping : "Engkau
telah memainkan perananmu bagus sekali. Menyaru naga untuk menangkap naga.
Menyamar harimau untuk menangkap harimau!"
Han Ping hanya tertawa dan melarikan kereta menuju ke Lokyang.
Dalam perjalanan itu, Han Ping berusaha untuk menyembunyikan diri. Terutama ia tak
mau memandang setiap penunggang kuda yang lari melampaui keretanya. Memang tak
henti-hentinya tokoh-tokoh
persilatan sakti yang membanjiri jalan menuju ke Lokyang.
Pendekar Pengejar Nyawa 24 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Harpa Iblis Jari Sakti 5
^