Pencarian

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 5

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 5


"Ucapan saudara Ca tentulah mempunyai sebab. Tetapi maaf, karena malam ini aku
mempunyai urusan penting, terpaksa tak dapat menemani saudara menikmati keindahan
malam indah ini . . ." habis berkata Han Ping terus berputar diri dan melangkah pergi.
Sebagai putra dari marga Ca-ke-poh yang termahsyur dan memang sejak masih muda
sudah mengangkat nama dalam dunia persilatan, Ca Giok mempunyai gengsi yang tinggi.
Biasanya ia hanya tahu memerintah dan setiap perintahnya harus dijalankan. Bahwa saat
itu dia disambut dengan sikap yang tak acuh dari Han Ping, benar-benar membuatnya
kesima sehingga untuk beberapa saat ia tertegun.
Tetapi dia seorang pemuda yang kuat menyimpan dendam. Menerima hinaan semacam
itu, ia tetap dapat mengendalikan diri. Setelah Han Ping lenyap dalam kegelapan malam,
ia tertawa dingin dan melangkah pergi perlahan-lahan.
Han Ping lari menurutkan langkah kakinya. Setelah 5-6 li baru ia berhenti. Dan ketika
tak mendapatkan Ca Giok mengejar, ia berjalan lagi perlahan-lahan. Pikirannya hanya
terpusat pada dua hal.
Pertama, harus lekas-lekas merebut kembali sarung pedang itu agar jangan menodai
nama baik Hui Gong taysu. Dan kedua, mencari tempat yang sunyi untuk meyakinkan ilmu
pelajaran yang diberikan mendiang Hui Gong taysu. Setelah itu baru ia menyelidiki
kematian ayah bundanya dan membalas dendam. Mengenai berkumpulnya tokoh-tokoh
persilatan di Lokyang itu, ia tak perduli.
Sekarang yang harus dikerjakan dahulu ialah mencari Kim lokoay untuk merebut sarung
pedang. Tetapi dengan cara bagaimana, walaupun ia sudah memeras otak, namun belum
berhasil memperoleh daya yang tepat. . . .
Tiba-tiba terdengar anjing menyalak dan menyusul segelombang angin melandanya.
Ketika menengadah ke langit ternyata hari sudah fajar. Mentari pagipun mulai
menyingsing. Seekor anjing hitam yang besar tubuhnya, berlari-lari menyerangnya.
Han Ping terkejut melihat anjing sebesar itu. Ia menghindar ke samping dan
memukulnya. Tetapi dengan gesit, anjing hitam itu menyurut ke belakang dan
menghindari pukulan.
"Bagus !" malah timbullah kegembiraan Han Ping melihat anjing hitam itu dapat
menghindari pukulannya. Secepat kilat tangan kiri menyambar kaki belakang binatang itu.
Sambaran itu menggunakan jurus Merogoh kantong mengambil mutiara. Salah sebuah
jurus istimewa dari Siau-lim-si.
Ilmu menyambar dengan tangan kosong itu, hebatnya bukan kepalang. Jarang orang
persilatan yang mampu menghindar.
Diluar dugaan anjing hitam itu rupanya mengerti gerak silat. Tiba-tiba anjing itu
memutar kepala dan menggigit paha kiri Han Ping.
Han Ping terkejut. Cepat ia endapkan tangan dan gunakan salah sebuah jurus ajaran
Hui Gong taysu. Menyambar kaki anjing terus diputar-putar seperti kitiran. Tatkala hendak
dilempar, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa nyaring : "Bagus, jurus Menjaring angin
menangkap bayangan yang indah . . . ."
Han Ping terkejut. Ia kenal akan suara itu. Buru-buru ia kendorkan tenaganya dan
lemparkan anjing itu perlahan-lahan. Anjing terhampar beberapa langkah.
Memandang ke muka tampak seorang pengemis tua yang bermuka mesum tegak
berdiri setombak jauhnya. Pakaiannya compang camping, sepatu rumput dan rambutnya
terurai kusut masai. Punggungnya menyanggul sebuah buli-buli arak besar. Ai, kiranya si
pengemis yang kemarin membonceng keretanya . . . ."
Tiba-tiba bibir pengemis tua itu bergerak dan terdengarlah suitan nyaring. Anjing hitam
berbulu bundel itu menyalak lalu lari pergi.
Diam-diam Han Ping heran menyaksikan larinya si anjing yang sepesat angin. Sesaat ia
teringat akan si pengemis tua dan buru-buru berputar tubuh memberi hormat :
"Locianpwe . . . ."
Terdengar suara sepatu rumput diseret dan pengemis tua itupun sudah berada dua
tombak jauhnya. Sudah tentu Han Ping gugup dan berseru nyaring : "Locianpwe, harap
berhenti dulu sebentar. Aku hendak mohon petunjuk."
Han Ping ingat bahwa mendiang Hui Gong taysu pernah mengatakan. Di kalangan
persilatan golongan Putih, hanya Pengemis sakti Cong To seorang yang tak mau
berhubungan dengan pembunuh ayah bunda Han Ping.
Sejak kecil ia belum pernah melihat wajah kedua orangtuanya. Dendamnya terhadap
musuh itu menyebabkan ia menaruh perindahan kepada pengemis tua yang tak sudi
berhubungan dengan pembunuh itu. Ia hendak mendekati pengemis tua itu untuk mencari
keterangan tentang jejak musuh besarnya. Untuk itu, ia rela menerima sikap dingin dari si
pengemis. Buru-buru ia mengejar. Tetapi pengemis tua itupun makin pesat. Han Ping penasaran.
Ia gunakan ilmu meringankan tubuh ceng-ting-sam-tiam-cui atau Kecapung tiga kali
menyambar air. Dengan tiga kali loncatan, dapatlah ia menyusul di samping pengemis tua
itu. "Apakah paman yang disebut Pengemis sakti Cong locianpwe ?" tegurnya.
Tanpa berpaling muka, pengemis tua itu tertawa dingin : "Bagus, budak kecil. Engkau
hendak menantang pengemis tua adu lari ?"
Sekali kedua bahunya bergetar, pengemis tua itu tiba-tiba loncat dua tombak jauhnya.
Han Ping kerutkan dahi, pikirnya : "Kalau kuhadang di mukamu, coba saja engkau mau
mempedulikan aku atau tidak . . . ."
Ia empos semangat dan gunakan ilmu meringankan tubuh sakti. Bagaikan bintang
jatuh di angkasa, tubuhnya meluncur jauh ke muka.
Walaupun tidak berpaling tetapi rupanya pengemis tua itu dapat mengetahui gerak
gerik Han Ping. Begitu Han Ping bergerak, iapun pesatkan larinya . . . .
Demikianlah keduanya tanpa terasa telah terlibat dalam balapan lari yang sengit.
Sedemikian serunya balapan itu berlangsung sehingga walaupun di bawah sinar matahari,
tetapi yang tampak hanya dua sosok benda hitam saling kejar mengejar . . .
Dalam beberapa kejap, mereka telah menempuh jarak 5-6 li. Jarak keduanya tetap
terpisah dua tombak. Setapakpun Han Ping tak dapat lebih maju dari jarak itu. Sedang si
pengemis tuapun tak dapat lebih maju lagi dari jarak tersebut.
Sekonyong-konyong pengemis tua itu kebaskan kedua tangannya dan tubuhnya segera
melambung setombak tingginya. Melampaui sebuah gunduk tanah tinggi lalu menghilang
di baliknya ! Han Ping terpaksa hentikan larinya. Ternyata gunduk tanah tinggi itu merupakan
sebuah hutan buah hutan kecil di luar kota Lokyang. Sejenak meragu, akhirnya Han Ping
mendaki bukit kecil itu juga. Sedesir angin pegunungan mengantar bau arak yang wangi.
Menurut arah hembusan angin itu, Han Ping melihat di bawah bukit itu, sebuah kuil kecil
yang luasnya hanya sebesar sebuah kamar. Gulung-bergulung asap, meluncur keluar dari
kuil kecil itu.
Memandang ke sekeliling penjuru, sunyi senyap tiada tampak apa-apa. Si pengemis tua
seolah-olah hilang lenyap ditelan bumi.
Sejenak merenung, terlintaslah suatu kesadaran dalam benak Han Ping yang cerdas.
Pikirnya : "Selama balapan lari tadi, dia selalu mempertahankan jarak dua tombak, tidak
lebih tidak kurang. Jelas dia tentu sengaja hendak membikin panas hatiku supaya aku
mengikutnya kemari. . . ."
Tanpa ragu-ragu lagi Han Ping segera menuju ke kuil kecil itu.
Ternyata dugaannya tepat. Pengemis tua itu memang berada dalam kuil kecil. Tetapi
bukan seorang diri melainkan bersama seorang pemuda yang berpakaian bagus. Mereka
tengah duduk berhadapan, menghadapi sebuah kuali besi yang tengah ditaruh di atas
tungku batu. Kuali itu menghamburkan uap bergulung-gulung. Tetapi entah apa yang
sedang dimasak itu.
Sikap pemuda itu sangat hati-hati sekali. Dengan sebilah bambu, ia mengipasi api di
dalam tungku. Sebentar-sebentar menambahi kayu bakar.
Sementara si pengemis tua, tangannya kiri mencekal sebuah kaki ayam dan tangan
kanan menggenggam buli-buli araknya. Sambil menggerogoti paha ayam itu, sambil
meneguk arak. Enak-enak saja tampaknya dia menikmati hidangan itu. Seolah-olah tak
mengacuhkan keadaan di sekelilingnya. Walaupun sudah beberapa saat Han Ping berdiri di
ambang pintu, namun kedua orang itu tetap tak mengetahui.
Tiba-tiba pengemis tua itu tertawa dingin, ujarnya : "Ing, lekas carilah, dari mana
datangnya bau busuk ini !" - Ia menutup kata-katanya dengan melontarkan paha ayam
yang tinggal tulangnya itu ke arah Han Ping. Hebat, walaupun hanya tulang paha ayam,
tetapi dapat menimbulkan deru angin yang tajam sekali.
Han Ping miringkan kepala untuk menghindari lontaran itu.
Si pemuda berpakaian bagus berpaling dan mengamati Han Ping, serunya : "Guru,
ternyata seorang setan kecil yang asing. Perlukah diringkusnya ?"
Mendengar dirinya dihina, bukan main marah Han Ping. Tetapi pada lain kilas ia
teringat. Bahwa karena bergaul dengan kedua nona Ting, tentulah orang mengira dia anak
buah Lembah Raja setan.
Han Ping menghapus kemarahannya dan melangkah masuk, memberi hormat kepada
pengemis tua itu : "Atas petunjuk locianpwe, aku . . . ."
Pengemis tua itu menukas dingin : "Aku paling muak bicara dengan manusia yang
berbau hawa setan. Lenyapkan dulu semua hawa setan tubuhmu itu baru engkau datang
kemari lagi !"
Han Ping terbeliak. Kini ia tersadar. Buru-buru ia keluar dan menanggalkan kedok
mukanya serta pakaian sais. Setelah barang-barang itu dibuang, barulah ia masuk ke
dalam lagi. Kini yang masuk itu bukan seorang sais berwajah jelek tetapi seorang pemuda
cakap yang perkasa.
"Bagus, ternyata masih dapat diajar !" pengemis tua itu tertawa meloroh.
Han Ping menjura memberi hormat lagi sahutnya : "Aku yang rendah bernama Ji Han
Ping. Baru pertama ini berkelana di dunia persilatan sehingga masih hijau dalam
pengalaman. Maka mohon locianpwe sudi memberi petunjuk. Kudengar keksatriaan
locianpwe maka dengan memberanikan diri, aku hendak mohon petunjuk."
Pengemis tua itu kerutkan alis, ucapnya : "Jika hendak bicara dengan si pengemis tua,
jangan memakai bahasa yang bertele-tele !"
Merahlah muka Han Ping, sahutnya : "Benarkah locianpwe ini Pengemis sakti Cong
locianpwe yang termahsyur itu ?"
Tiba-tiba pemuda berpakaian bagus itu mengangkat kepala dan deliki mata kepada Han
Ping : "Tokoh-tokoh dunia persilatan dewasa ini, belum pernah melihat guruku. Engkau
tentu mendengar cerita orang bahwa tanda pribadi guruku itu adalah buli-buli araknya
yang berwarna merah. Hm, apakah engkau buta " Kalau tak kenal guruku, masakan
engkau tak dapat melihat buli-buli arak warna merah itu ?"
Han Ping melirik. Dilihatnya pemuda itu memiliki sepasang alis yang melengkung tajam
seperti pedang. Matanya berkilat-kilat tajam. Seorang pemuda yang cakap dan gagah.
Sayang sedikit, kulitnya hitam.
Kluk, kluk, kluk . . . . terdengar pengemis tua itu tiga kali meneguk buli-buli araknya.
Lalu tertawa meloroh : "Benar, memang si pengemis tua ini Cong To. Apakah engkau
masih penasaran dalam adu lari tadi ?"
"Ah, masakan aku berani berlaku kurang ajar begitu," sahut Han Ping.
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak : "Mata si pengemis tua ini menyaksikan
sendiri engkau beradu pukulan dengan si Tua racun dari Lembah Seribu racun. Dan
tadipun engkau telah mengeluarkan jurus Menjala angin menangkap bayangan yang
hebat. Rupanya engkau tentu bukan budak sembarangan, ho. Tetapi mengapa engkau
galang gulung dengan kedua budak perempuan anak setan itu " Karena engkau mengaku
telah sesat dan hendak kembali ke jalan terang, dan hendak mengikat persahabatan
dengan pengemis tua ini, engkau harus terlebih dulu menceritakan tentang tiga angkatan
leluhurmu. Lebih dulu bilanglah, siapa gurumu. Coba saja, apakah telinga pengemis tua ini
sedap mendengar namanya atau tidak ?" Habis berkata kembali pengemis tua itu
meneguk buli-buli araknya.
Mendengar bicara si pengemis itu tak keruan, timbullah keraguan dalam hati Han Ping
"Konon kabarnya Pengemis sakti Cong To itu seorang datuk persilatan yang termahsyur.
Tetapi mengapa pengemis ini bicaranya tak keruan. Adakah dia bukan Pengemis sakti itu .
. . . ?" Dengan keraguan itu, ia tertawa hambar dan menjawab : "Maaf, perintah locianpwe ini
sukar kululuskan . . . ."
Serentak pemuda berpakaian bagus itu berbangkit dan mengangkat batang bambu ke
atas. Dengan batang bambu yang ujungnya terbakar itu, ia rnemberingas memandang
Han Ping. Pada saat ia hendak turun tangan, tiba-tiba si pengemis tua tertawa gelak-gelak
: "Ing, duduklah. Engkau tak menang dengan dia !"
"Aku benar-benar tak leluasa mengatakan hal itu, bukan sengaja hendak menolak
permintaan locianpwe," kata Han Ping pula.
Pengemis tua tersenyum serunya : "Baiklah, karena engkau tak mau menuturkan asal
usulmu jangan harap engkau mendapat keterangan sepatahpun dari mulut pengemis tua
ini !" Baru Han Ping hendak membuka mulut, tiba-tiba sesosok tubuh melesat masuk dan
tahu-tahu muncul seorang pengemis kecil berumur sekitar 18 tahun. Pakaiannya mirip
dengan si pengemis tua. Hanya tidak menyanggul buli-buli arak.
Sejenak memandang ke arah Han Ping, pengemis muda itu berbisik-bisik kepada
pengemis tua : "Mereka sudah memilih hotel Megah Ria di Lokyang. Tokoh-tokoh
persilatan yang berbondong-bodong ke Lokyang itu terus memburu jejaknya. Dan tak
lama lagi tentu akan tiba di kaki bukit sini !"
Wajah pengemis tua itu serentak berobah serius. Sepasang matanya berkilat-kilat
memancar. Ditatapnya Han Ping : "Hai, engkau akan pergi sendiri atau membantuku ?"
"Aku bersedia melakukan perintah locianpwe apa saja," Han Ping berseru gugup.
Pengemis tua itu tersenyum, ujarnya : "Kalau begitu ikutlah dengan pengemis kecil ini.
Tetapi engkau harus mendengar perintahnya. Jika suka engkau boleh ikut, jika tidak aku
pengemis tuapun tak mau memaksamu. Baiklah kita saling membelakangi pantat, engkau
ke timur. sipengemis tua ke barat !"
"Guru, dia terlalu bernafsu, mungkin ada udang di balik batu !" teriak si pemuda
berpakaian bagus.
Pengemis sakti tertawa : "Mata pengemis tua ini belum pernah salah melihat. Mungkin
kali ini akan termakan satu kali, tetapi biarlah dapat merasakan bagaimana rasanya tipu
siasat itu !"
Habis berkatas, si pengemis sakti lambaikan tangannya. Tiba-tiba rasakan lengan
bajunya ditarik orang dan tahu-tahu ketika berpaling ternyata pengemis kecil tadi sudah
berada setombak jauhnya di luar pintu. Diam-diam Han Ping memuji kepandaian pengemis
muda itu. Iapun segera menyusul.
Pengemis kecil itu tersenyum. Tampak sebaris giginya kecil-kecil dan putih. Suatu
perbedaan yang menyolok dengan mukanya yang mesum kotor dan rambutnya yang
morat marit. Tiba-tiba Han Ping merasa angin menghembus dari sampingnya. Ketika memandang ke
muka, kiranya pengemis tua dan pemuda berpakaian bagus itu lari berlomba-lomba
rnelintasi puncak bukit dan lenyap.
Melihat itu si pengemis kecil berhenti termangu-mangu. Han Ping yang berdiri di
samping pengemis kecil itu, merasa heran. Mengapa tadi pengemis kecil itu begitu ngotot
lari tetapi sekarang diam-diam tegak seperti patung "
Tiba-tiba pengemis kecil itu menghela napas perlahan. Ia berpaling kepada Han Ping
dengan wajah rawan. Mulut hendak bicara tetapi tak jadi. Setelah tertegun beberapa lama,
barulah ia berkata dengan bisik-bisik : "Apakah engkau kenal dengan guruku itu ?"
Han Ping menggeleng : "Belum !"
"Habis, mengapa engkau menurut perintahnya ?" tanya pengemis kecil itu pula.
Han Ping tertegun, ujamya : "Walaupun tak kenal orangnya tetapi sudah lama
kukagumi namanya yang harum !"
Pengemis muda itu tertawa rawan : "Tetapi umur orang tua itu hanya tinggal setengah
bulan . . ."
"Apa ?" teriak Han Ping terkejut.
Pengemis muda itu memandang gumpalan awan putih di langit. Dua butir airmata
menitik dari sudut matanya. Mulutnya berkemak-kemik mendoa : "Oh, Allah yang Maha
Kuasa, guru selalu menjalankan dharma hidup yang bersih. Menengadahpun lapang dada,
menundukpun tak malu. Entah sudah berapa banyak menteri-menteri setia dan anak-anak
berbakti yang telah diselamatkan. Dia selalu menyibukkan diri untuk menolong orang.
Tetapi ah, pada saat ia tertimpa bahaya, tiada seorangpun yang dapat menolongnya . . . ."
Kata-kata yang diucapkan dengan nada lemah dan rawan itu benar-benar memilukan
hati orang. Seketika bergeloralah darah Han Ping. Serentak ia berkata : "Siapakah yang hendak
mencelakai gurumu itu. Walaupun aku seorang bodoh, tetapi aku bersedia untuk
menghadapi orang itu !"
Tiba-tiba pengemis muda itu berpaling menatap Han Ping, serunya : "Guruku seorang
yang amat sakti, di dunia ini siapakah yang mampu mencelakainya ?"
Han Ping termangu. Ia tak mengerti bagaimana maksud ucapan pengemis muda itu.
Tegurnya : "Benar-benar aku tak mengerti maksudmu."
Pengemis muda itu menghela napas : "Kecuali guru memang rela menyerahkan diri
dicelakai orang ...."
"Ah, masakan di dunia terdapat orang yang berpikiran semacam itu. Aku benar-benar
bingung !" kata Han Ping.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara cambuk menggeletar nyaring dan pengemis muda
itu melonjak kaget, terus berlari ke atas bukit.
Han Ping cepat menyusul. Tampak dari kejauhan sebuah kereta yang ditarik 4 ekor
kuda, tengah mencongklang di sepanjang jalan. Dan menuju ke barat laut. Kereta itu dicat
warna kuning emas. Di muka kereta terdapat 4 penunggang kuda yang mempelopori
jalan. Dan di belakang kereta dikawal belasan penunggang kuda.
Han Ping terkesiap ketika samar-samar melihat si Bungkuk dan si Katepun ikut dalam
rombongan itu. Tetapi diantara rombongan pengawal berkuda itu, yang paling menonjol
adalah seorang lelaki setengah tua yang menunggang seekor kuda putih. Pelana kudanya
tertabur dengan emas dan batu permata sehingga tampak bergemerlapan menyilaukan
mata ketika ditimpa sinar matahari.
Rombongan kereta itu mencongklang pesat maka Han Ping tak dapat melihat jelas.
Tetapi dari jenggotnya yang menjulai panjang kedada, dapatlah ditaksir usia lelaki


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penunggang kuda putih itu.
Tiba-tiba pengemis muda itu tertawa hambar. Ia berpaling kepada Han Ping : "Sekalian
tokoh-tokoh persilatan sedang bersiap-siap untuk merebut kitab pusaka. Tetapi aku, demi
kepentingan mati hidupnya guru, harus mendapatkan kitab pusaka yang diidam-idamkan
oleh tokoh-tokoh persilatan itu. Memang tipis sekali harapannya. Sudah tentu tokoh-tokoh
persilatan yang berkumpul di Lokyang itu tak mau berpeluk tangan. Juga kedua tokoh
Kate dan Bungkuk dengan rombongan berkuda itupun tak mudah kuhadapi !"
Pengemis muda itu tundukkan kepala seperti putus asa.
Sejenak Han Ping pertajam pandangan mata memandang rombongan kereta itu.
Rombongan berkuda itu mengawal ketat kereta itu seperti laku panglima yang dijaga
keselamatannya oleh para pengawalnya.
"Sebenarnya siapakah yang berada di dalam kereta itu ?" akhirnya ia bertanya,
"mengapa sampai menggerakkan seluruh tokoh-tokoh persilatan datang ke Lokyang ?"
Pengemis muda itu menghela napas perlahan ujarnya : "Panjang sekali kalau hendak
diceritakan. Maaf, saat ini tiada tempo untuk memberi tahu kepadamu secara jelas. Kita
pecah diri mengejar jejak kereta itu. Jika tak perlu, jangan sekali-sekali bertempur !"
Sekali loncat, pengemis muda itu sudah berada setombak jauhnya. Dan dua tiga kali
loncatan lagi, iapun menghilang.
Melihat pengemis muda itu tak mau memberitahukan tentang rahasia kereta, Han Ping
merasa dipandang rendah. Seketika timbullah darah mudanya, pikirnya : "Hm, engkau
begitu tak memandang mata kepadaku. Baik, aku hendak melakukan sesuatu yang
mengejutkan orang. Setelah engkau menyaksikan, barulah kutinggalkan rombonganmu !"
Han Ping seorang pemuda yang tinggi hati. Adalah karena mengagumi nama Pengemis
sakti Cong To, maka ia menahan kesabaran menerima perlakuan Cong To yang
memanaskan hati. Tetapi ia benar-benar tak sudi diperlakukan sedemikian rupa oleh si
pengemis muda. Han Ping tak mempedulikan segala apa lagi. Ia loncat turun dari puncak bukit dan terus
lari mengejar rombongan kereta misterius itu.
Pemuda itu tak mempunyai pengalaman dalam dunia persilatan. Hanya karena
dirangsang oleh darah muda, maka ia bertindak. Tanpa tedeng aling-aling lagi, ia langsung
mengejar kereta itu. Oleh karena memiliki tenaga dalam yang hebat, maka larinyapun
pesat sekali. Hanya kurang lebih sepenanak nasi lamanya, ia sudah dapat mengejar di
belakang rombongan kereta.
Pikirnya, rombongan pengawal kereta itu tentu akan menghadangnya. Dan kesempatan
itu hendak ia gunakan untuk alasan menempur mereka. Tetapi diluar dugaan, rombongan
pengawal itu tak mengacuhkannya sama sekali.
Setelah berjalan 4-5 li, tiba-tiba kereta itu membelok menuju ke sebuah lembah.
Han Ping tertegun. Pada lain saat ia lanjutkan langkahnya lagi. Sudah terlanjur, ia tak
mau kepalang tanggung. Dengan terang-terangan ia melangkah mengikuti rombongan
kereta itu. Jalanan di lembah tak rata sehingga kereta itu acapkali berderak-derak bergoncangan.
Setelah membelok beberapa tikungan, akhirnya kereta itu menuju ke sebuah bangunan
gedung yang besar dan mewah. Di sekeliling gedung yang berpagar tembok batu merah
itu, penuh ditumbuhi pohon siong yang rindang sekali. Sehingga seluruh bentuk bangunan
itu tak dapat terlihat jelas.
Kereta indah itu melintasi gerumbul hutan siong, berbelok-belok beberapa kali dan tibatiba
lenyap dari pemandangan. Tetap derap lari kuda penariknya masih terdengar.
Si Kate dan si Bungkuk dan rombongan pengawal berkuda, ikut lenyap. Hanya tinggal
lelaki berkuda putih yang masih berada di luar hutan.
Saat itu jarak Han Ping dengan penunggang kuda putih hanya 3-4 tombak. Mereka
dapat melihat jelas muka masing-masing. Ternyata penunggang kuda putih itu seorang
lelaki setengah tua yang kepala, mata, telinga dan alis serba besar dan tebal. Jenggotnya
yang menjulai sampai ke dada makin menambah perkasa perbawanya.
Tiba-tiba orang itu tertawa nyaring, serunya : "Apakah saudara tak merasa terlalu
menyolok sekali cara saudara mengikuti kami itu ?"
Han Ping mendengus : "Jalanan besar adalah milik rakyat. Apakah yang kalian boleh
tempuh aku tak boleh melaluinya ?"
Lelaki yang bajunya disulam benang-benang emas itu terkesiap mendengar jawaban
Han Ping. Tetapi pada lain kejap ia tertawa nyaring lagi, serunya : "Bagus, walaupun
masih muda ternyata memiliki kegagahan yang mengesankan. Sungguh kagum. Memang
sikapmu ini lebih ksatria dari pada kawanan tikus yang main sembunyi itu !"
Habis berkata, lelaki itu memutar kudanya dan masuk ke dalam hutan siong.
Han Ping tak dapat berbuat apa-apa. Ia hendak cari perkara tetapi karena orang tak
mau melayani, iapun tak dapat melaksanakan rencananya. Kalau nekat menyerbu ke
dalam gedung, ia masih sungkan. Beberapa saat lamanya ia tegak termangu-mangu . . . .
Tiba-tiba dari belakang terdengar orang tertawa perlahan : "Bukankah itu saudara Ih jin
?" Han Ping berpaling. Setombak jauhnya tampak seorang tua yang memakai caping.
Berpakaian biru, sepatu kain dan memelihara jenggot kambing, Han Ping tak kenal dengan
orang itu. Orang itu tertawa : "Ah, masakan saudara tak kenal lagi dengan aku Ca Giok ?"
Sejak mendapat perlakuan dingin dari Pengemis sakti Cong To, timbullah keraguan Han
Ping dalam menilai orang baik maupun buruk. Bukankah Pengemis sakti Cong To yang
dikaguminya itu ternyata berlaku sinis kepadanya " Sebaliknya orang-orang yang
sebenarnya tak disukai seperti Ca Giok, malah berlaku hormat dan mengindahkan
kepadanya. Beberapa saat lamanya timbul pertentangan dalam batin Han Ping sehingga ia tak tahu
apa yang harus dilakukan.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Ca Giok yang sudah berada disampingnya : "Apakah
yang sedang saudara pikirkan sedemikian asyiknya itu " Sumoaymu berduapun tiba di
tempat ini, mari kuantarkan saudara kesana . . . ."
Han Ping gelengkan seperti dibangunkan dari mimpi. Buru-buru ia membuka mulut :
"Ah, terima kasih atas kebaikan saudara Ca. Tetapi aku benar-benar tak berani membikin
repot saudara !"
Ca Giok tersenyum : "Disini bukan tempat yang sesuai untuk bicara. Jika saudara tak
jemu padaku, marilah kita bicara ke samping kiri gunung ini."
Melihat orang bersikap sedemikian manis, diam-diam Han Ping malu sendiri karena
teringat akan sikapnya yang dingin kepada Ca Giok tadi malam. Ia menghaturkan terima
kasih dan menerima tawaran Ca Giok.
Demikian mereka mendaki ke puncak gunung. Kata Han Ping : "Dengan mendaki
puncak gunung ini kecuali akan dapat melihat seluruh keadaan gedung itu, pun akan
dapat menikmati pemandangan di sekeliling penjuru dan tahu segala gerak gerik yang
akan terjadi. Saudara Ca sungguh tepat sekali !"
Ca Giok tersenyum : "Saudara Ih jangan kelewat memuji diriku. Mungkin setelah naik di
puncak, saudara akan kecewa !"
Ca Giok mendahului mendaki dengan gerakan segesit kera. Diam-diam Han Ping
memuji tetapi disamping itu iapun berkata dalam hati : "Orang ini licin dan congkak sekali.
Tetapi entah mengapa dia berlaku sedemikian ramah kepadaku . . . ."
Sengaja ia perlambat larinya dan menjaga jarak dua tombak di belakang Ca Giok. Dan
supaya jangan dicurigai, ia pura-pura seperti sukar mengejar Ca Giok.
Sebenarnya Ca Giok hendak menggunakan kesempatan mendaki itu untuk menguji
kepandaian Han Ping. Maka sengaja ia tumpahkan seluruh kepandaiannya untuk
berlincahan bagai kecapung menyambar air. Dalam beberapa kejap saja ia sudah
mencapai puncak.
Ketika berpaling ke belakang, dilihatnya Han Ping masih berada tiga tombak jauhnya.
Dan caranya mendakipun menggunakan kedua tangan dan kaki. Diam-diam Ca Giok
kerutkan dahi, batinnya : "Aneh, mengapa kalau dia mampu menahan pukulan Pembelah
angkasa dari Manusia racun tetapi ilmu meringankan tubuh begitu rendah . . . ."
Saat itu Han Pingpun sudah tiba di puncak. Napasnya terengah-engah seperti orang
yang kehabisan napas.
Tetapi Ca Giok seorang pemuda yang cerdik. Tidaklah begitu mudah Han Ping hendak
mengelabuinya. Mendengar suara napas Han Ping, tahulah dia bahwa pemuda itu sedang
bermain sandiwara : "Hm, jika engkau tak berlebih-lebihan bernapas terengah-engah,
mungkin aku kena engkau kelabui. Tetapi dengan pura-pura terengah-engah itu, engkau
malah membuka kedokmu. Masakan mendaki puncak yang hanya beberapa tombak
tingginya ini saja, engkau sudah kehabisan tenaga. Bahkan orang yang kepandaiannya
rendahpun juga takkan kehabisan tenaga seperti engkau. . . ."
Ca Giok membuka caping bambunya lalu mengusap mukanya. Wajah seorang tua
segera berganti dengan wajah yang asli, seorang pemuda yang cakap dan gagah.
"Entah bagaimana sejak bertemu dengan saudara Ih, aku mempunyai rasa kagum dan
kesan yang tak mudah kulupakan. Maka begitu melihat tubuh saudara, cepat sekali dapat
kukenali. Jika saudara tak menampik, ingin sekali aku bersahabat dengan saudara."
Memang Han Ping masih bodoh. Ia tak tahu bahwa Ca Giok sudah mengetahui
sandiwaranya mendaki ke puncak tadi. Karena orang bersikap mengindah sekali, hilanglah
kesan buruk Han Ping terhadap pemuda itu. Ia mengucapkan terima kasih atas
kepercayaan Ca Giok.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang berkata dengan nada dingin : "Hm,
bagaimana engkau tahu orang-orang sama berkumpul ?"
Seketika wajah Ca Giok berobah. Tetapi ia tetap berlaku setenang mungkin. Ia alihkan
pandang matanya ke bawah bukit.
Ketika Han Ping berpaling, tampak setombak dari tempatnya, tegak si pengemis muda
yang beberapa saat telah berpisah dengan dia tadi. Pengemis muda yang tak diketahui
kemunculannya itu, mengunjukkan wajah marah dan memandang Han Ping dingin-dingin
lalu perlahan-lahan berpaling muka.
Sesungguhnya Han Ping hendak menegur. Tetapi karena pengemis muda bersikap
begitu dingin, marahlah Han Ping. Iapun mendengus dan palingkan muka kepada Ca Giok.
"Bangunan gedung yang hebat ! Tak kalah dengan istana raja muda. Pemiliknya kalau
bukan bangsa pembesar dan penguasa daerah, tentulah kepala kaum rimba hijau disini,"
katanya kepada Ca Giok.
Sesungguhnya hanya sembarangan saja Han Ping berkata itu. Tetapi diam-diam Ca
Giok tergetar juga. Namun sebagai seorang cerdas, dia selalu dapat menguasai getaran
perasaannya. Katanya sambil tersenyum : "Harap saudara Ih suka mengamati dengan
jelas, apakah ada sesuatu yang luar biasa dalam gedung itu ?"
Tiba-tiba pengemis muda yang berada di belakang itu tertawa dingin : "Hm. makhluk
yang tak dapat diangkat derajatnya !"
Dimaki begitu, marahlah Han Ping. Serentak berputar tubuh ia balas membentak :
"Berhenti ! Siapa yang engkau maki tadi !"
Saat itu sebenarnya si pengemis rnuda sudah berputar diri hendak pergi. Mendengar
bentakan Han Ping, iapun berhenti : "Maki siapapun, apa pedulimu !"
"Hak apa engkau memaki orang " Apakah engkau kira aku takut padamu, pengemis
busuk !" damprat Han Ping. Tiba-tiba ia teringat akan diri Cong To yang juga seorang
pengemis. Diam-diam ia menyesal karena kelepasan bicara.
Milihat Han Ping berhenti, pengemis muda itu tertawa dingin dan lanjutkan langkahnya
perlahan-lahan.
Ca Giok menarik lengan Han Ping, ujarnya sambil tertawa: "Memang orang yang
berkelana di dunia persilatan, tentu berjumpa dengan macam-macam gangguan. Harap
saudara Ih jangan terlalu bersungguh-sungguh !"
Han Ping hanya tertegun memandang bayangan pengemis muda itu. Melihat sikap Han
Ping seperti ada hubungan dengan pengemis muda itu, diam-diam Ca Giok curiga. Selintas
memancar hawa pembunuhan dalam keriput dahinya. Namun mulutnya tetap tertawa :
"Eh, apakah saudara Ih kenal dengan pengemis kecil itu ?"
Han Ping mengangguk : "Memang pernah berjumpa tetapi tak berhubungan !"
Ca Giok menghibur agar Han Ping jangan terlalu memusingkan diri pengemis kecil itu.
Melihat Ca Giok begitu memperhatikan dirinya, Han Ping tergerak hatinya. Ia
menghaturkan terima kasih atas nasehat pemuda itu.
Memandang kearah gedung yang berada di tengah hutan siong itu, Han Ping melihat
daun jendela salah sebuah ruang di tingkat atas, terbuka lebar. Sesosok wajah cantik
tersembul keluar dari balik kain tirai.
Buru-buru Ca Giok menarik tangan Han Ping diajak bersembunyi di balik pohon siong.
Bagian 11 Bendera berkibar.
Kedua pemuda itu sama-sama memiliki mata yang tajam sekali. Walaupun tempat
mereka bersembunyi jauh dengan gedung besar itu tetapi mereka dapat melihat jelas
bahwa yang melongok keluar dari jendela ruang di tingkat atas itu seorang nona.
Rambutnya yang dikundai menurut style istana, agak mencondong ke sebelah kanan.
Ting Ling dan Ting Hong memang cantik. Tetapi jika dibanding dengan gadis itu, amat
kentaralah perbedaannya. Gadis itu benar-benar bagaikan dewi di istana bulan. Jika tak
melihat sendiri orang tentu tak percaya bahwa gadis itu seorang insan manusia. Orang
tentu mengira sebuah lukisan.
Sebesar itu jejaka Han Ping tak suka dengan wanita. Tetapi melihat kecantikan gadis
itu, hatinya berdetak keras juga.
"Sungguh cantik sekali," diam-diam ia memuji dalam hati.
Angin berhernbus menyiak daun-daun pohon siong kian kemari sehingga mengelilingi
pandang mata Han Ping dan Ca Giok.
Rupanya jelita itu takut angin. Ia menurunkan kain tirai. Setelah angin berlalu, ternyata
jelita itu sudah tak menampakkan diri lagi.
Ca Giok menghela napas : "Saudara Ih, bagaimana pandanganmu terhadap gadis itu ?"
Sesungguhnya saat itu benak Han Ping masih tercengkam dengan bayangan si jelita. Ia
gelagapan mendapat pertanyaan Ca Giok. Diam-diam ia memaki dirinya sendiri : "Ji Han
Ping, ah, dendam sakit hatimu masih belum terimpas, mengapa engkau terpikat oleh
wajah cantik " Ingat jangan sampai semangatmu melempem !"
Serentak ia mengempos semangat dan menghela napas panjang. Setelah menghapus
bayangan si jelita, ia tertawa : "Benar, memang cantik sekali !"
Sebagai putra dari marga Ca-ke-poh yang termahsyur, Ca Giok menikmati penghidupan
yang serba mewah. Rumahnya memelihara banyak bujang-bujang gadis yang cantikcantik.
Jika bukan yang membeli, tentu merupakan barang antaran dari tokoh-tokoh
Rimba Hijau kepada ayahnya. Jelita-jelita dari daerah Kanglam dan Kangpak bahkan dari
Se-gak ( daerah perbatasan barat), rombongan penari dan penyanyi-penyanyi, semua
tersedia. Karena mereka merupakan gadis pilihan, maka rata-rata tentu cantik sekali.
Ca Giok memperhitungkan Han Ping tentu terpikat oleh paras cantik. Tetapi ternyata
pemuda tu bersikap dingin-dingin saja. Diam-diam Ca Giok mengaguminya.
Beberapa saat kemudian dari gedung yang megah itu berkibar sehelai bendera merah.
Pada bendera itu terdapat beberapa tulisan berbunyi.
MASUK SELANGKAH, MATI JANGAN PENASARAN.
Melihat tulisan itu teringatlah Han Ping akan pengemis muda yang menghinanya.
Serentak mengeloralah darah Han Ping : "Mari kita kesana !"
Ca Giok tertawa : "Kalau mau kesana, pun jangan sekarang. Aku bersedia menemani
saudara, tetapi harus nanti malam saja kita pergi. Sekarang kita cari tempat untuk
beristirahat dulu. Kemungkinan nanti malam kita akan menghadapi pertempuran !"
Han Ping mengiakan. Kedua anak muda itu segera mencari sebuah tempat yang sunyi
di dalam lembah. Setelah malam tiba, merekapun kembali ke puncak bukit tadi.
Ternyata bendera merah tadi siang kini sudah berganti dengan sebuah lentera merah
yang besar. Sedang jendela dari ruang di tingkat atas itu, terbuka lagi. Seorang nenek
berambut putih bersandang tongkat bambu, tengah menyisir rambut seorang gadis baju
ungu. Ruangan itu diterangi dengan sebuah lentera besar yang indah.
Ca Giok heran. Mengapa hanya di ruang tingkat atas itu saja yang diberi penerangan
terang benderang. Sedang semua tempat gelap gulita.
"Hm, tentu sebuah perangkap untuk memancing orang ke sana !" diam-diam Ca Giok
menimang. Han Pingpun mendapat kesan yang sama. Ia berpaling kepada Ca Giok. Dilihatnya
pemuda itu tengah memandang ke arah kamar di atas loteng. Diam-diam Han Ping
tertawa. Karena yang dipandang sedemikian asyiknya oleh Ca Giok itu bukan lain ialah si
gadis jelita yang tengah bersolek itu.
Ketika mendengar Ca Giok menghela napas dan mengisar pandang matanya, buru-buru
Han Ping palingkan muka pura-pura melihat keadaan di sekeliling gedung itu.
"Hai, apakah saudara dapat melihat keadaan di sekeliling gedung yang gelap gulita itu
?" Ca Giok bertanya heran.
"Sekalipun tidak jelas tetapi karena di langit bertabur bintang, samar-samar masih
dapat melihat juga" sahut Han Ping.
Walaupun dalam hati terkejut tetapi Ca Giok tetap tertawa berseri : "Apakah yang luar
biasa dalam lingkungan gedung itu ?"
"Bermula aku malu Karena tak dapat menemukan apa-apa dalam gedung itu. Pada hal
tadi siang saudara Ca mengatakan bahwa gedung itu bukanlah bangunan biasa. Akhirnya
setelah menyusuri pandang ke segenap sudut dengan seksama, memang saudara benar.
Ruang tingkat atas yang sekian banyak, ternyata tiada sebuahpun yang selesai dibangun.
Kemungkinan gedung itu tentu penuh dilengkapi alat-alat rahasia !" kata Han Ping.
Mendengar itu diam-diam Ca Giok terperanjat. Seorang yang memiliki pandangan
sedemikian tajam tentulah memiliki tenaga dalam yang tinggi. "Aneh, pada hal dia lebih
muda dari aku, mengapa sudah mencapai kepandaian yang sedemikian tingginya. Tetapi
kalau menilik bicara dan gerak geriknya, dia bukan seorang persilatan" ia menimang dalam
hati. Akhirnya ia memutuskan. Setelah melakukan penyelidikan ke dalam gedung yang
misterius itu, hanya dua tindakan. Kalau memang mungkin, ia hendak menggunakan
tenaga Han Ping dalam kelanjutan perjuangan merebut kitab pusaka. Tetapi jika pemuda
itu ternyata membahayakan, dalam kesempatan masuk ke dalam gedung itu nanti, lebih
baik dia dibunuh saja.
Setelah mengambil ketetapan, ia tersenyum, tanyanya : "Kudengar ilmu meramal dari
Lembah Raja setan itu termahsyur sekali. Sebagai murid kesayangan, saudara tentu
mempelajari ilmu itu. Maka dalam memasuki gedung itu nanti, harap saudara memberi
bantuan sepenuhnya !"


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Atas kepercayaan saudara, sudah tentu aku tak berani mengecewakan", kata Han Ping
terkesiap,"tetapi terus terang, sebenarnya aku ini bukan anak murid Lembah Raja setan.
Kedua nona Ting itu hanya sembarangan memberi keterangan dan akupun sungkan
menyangkal !"
Ca Giok yang cerdas sesungguhnya memang sudah curiga. Tetapi ia pura-pura tak tahu
hal itu. Dan pura-pura pula ia terkejut mendengar keterangan Han Ping : "Kalau begitu
kedua nona itu tentu berbohong. Lalu siapakah nama saudara yang sebenarnya ?"
"Namaku sebenarnya Ji Han ping !"
"Dan tentu bukan murid Lembah Raja setan ?" tanya Ca Giok pula.
"Perjumpaan ku dengan kedua nona Ting itu hanya secara kebetulan saja. . . ."
Kata-kata Han Ping itu terputus oleh suara orang mendengus dingin dan sesosok tubuh
yang melambung ke udara, melampaui kepala kedua pemuda itu, terus meluncur turun ke
bawah puncak. Ca Giok terperanjat. Walaupun puncak bukit itu tidak seberapa tinggi, tetapi paling
tidak tentu ada 10an tombak tingginya.
Kepandaian yang diunjuk orang itu, benar-benar mengejutkan sekali. Dan dalam
beberapa kejap orang itupun sudah lenyap dalam kegelapan malam.
"Hm, siapakah yang memiliki kepandaian sesakti itu ?" kata Ca Giok.
"Pengemis sakti Cong To !" sahut Han Ping.
"Apa " Pengemis sakti Cong To " Apakah saudara tak salah lihat ?" Ca Giok terkejut.
"Benar, memang dia."
Ca Giok menghela napas : "Saudara benar-benar tajam sekali, aku sangat kagum !" -
Diam-diam ia terkejut dalam hati : "Kalau menilik gerak geriknya, anak ini tidak seperti
orang persilatan. Tetapi mengapa ia kenal akan Pengemis sakti Cong To " Apakah dia
memang pura-pura berlagak bodoh ?"
Tiba-tiba Han Ping teringat akan perlakuan Pengemis sakti Cong To dan muridnya
kepadanya. Seketika menggeloralah darah mudanya. Ia mengajak Ca Giok turun bukit
mengejar. Dan bahkan tanpa menunggu pernyataan Ca Giok, ia terus loncat ke bawah
bukit. Ca Giok cemas. Ia kuatir tak mampu menyamai ilmu ginkang pemuda itu. Tetapi karena
Han Ping sudah bergerak, terpaksa ia mengikuti juga.
Begitu tubuh hampir tiba di bumi, ia berjungkir balik untuk mengurangi daya berat
gerakannya. Dengan cara itu dapatlah ia tegak berdiri di tanah, tak tampak mendapat
malu karena terhuyung.
Memandang ke muka, tampak Han Ping tengah memandang lekat-lekat pada gerumbul
hutan siong di hadapannya. Diam-diam Ca Giok bersyukur karena dirinya tadi tak
diperhatikan pemuda itu.
Tetapi pada lain kejap, Ca Giok terkesiap kaget ketika melihat dua orang lelaki
bersenjata golok, tengah berputar-putar kian kemari dalam hutan siong itu. Tingkahnya
seperti orang yang tersesat jalan. Tetapi anehnya, mereka hanya berputar-putar seluas
dua tombak saja.
"Pernahkah saudara Ji mempelajari tentang ilmu barisan yang disebut Ngo-heng-tin ?"
tanya Ca Giok. Han Ping menggeleng : "Belum pernah. Apakah saudara Ca mengerti ilmu itu ?"
"Pernah kudengar ayah menceritakan tentang barisan Pat-kwa, barisan Kiu-kiong
beserta cara-cara pemecahannya. Sayang otakku tumpul sehingga hanya sedikit sekali
yang kumengerti," kata Ca Giok. Tetapi diam-diam pemuda itu menghitung jarak pohon
siong itu satu dengan lainnya.
Melihat pemuda itu tengah menghitung-hitung pohon siong, Han Pingpun tak berani
bertanya apa-apa lagi. Ia menunggu di samping.
"Hm, kecuali berkepandaian tinggi, pemuda ini juga pandai tentang ilmu barisan.
Benar-benar pantas kujadikan sahabat," diam-diam Han Ping menilai.
Beberapa saat kemudian, wajah Ca Giok mengerut serius. Tetapi tiba-tiba ia tertawa :
"Amboi, pemilik gedung itu hebat benar. Dia dapat menyatukan barisan Pat-kwa dengan
Kiu-kiong sehingga hampir saja aku terkelabui."
"Oh, kalau begitu saudara sudah menemukan cara untuk memecahkannya ?" tanya Han
Ping. "Di hadapan ayah, kedua macam barisan itu tak berarti apa-apa. Sekalipun aku tak
dapat memahami ajaran ayah seluruhnya, tetapi rasanya masih mampu menjadi petunjuk
jalan saudara. Harap saudara mengikuti di belakangku dan turutkan saja langkah kakiku
agar jangan terperosok dalam perangkap mereka !"
"Saudara Ca pintar dan banyak pengalaman. Aku menurut sajalah," kata Han Ping.
Ca Giok hanya tertawa merendah lalu loncat ke udara dan melayang ke tepi hutan
siong. Han Pingpun segera mengikuti. Begitu Han Ping meluncur ke tanah, Ca Giok segera
melangkah ke dalam hutan. Han Ping tetap mengikutinya.
Sembilan langkah masuk ke dalam barisan Kiu-kiong, tiba-tiba Ca Giok melangkah ke
kanan tiga tindak. Dan ternyata, tak menemui suatu rintangan apa-apa. Dalam beberapa
kejap, keduanya telah melintasi lima buah gerumbul pohon siong.
Kini mereka berhadapan dengan sebuah padang rumput yang menyerupai sebuah
taman. Beraneka warna pobon-pohon bunga tengah mekar dengan megah. Disana sini
terdapat beberapa guguran daun dan ranting, entah dari mana asalnya.
Ca Giok mendapatkan bahwa pohon-pohon bunga itu berlainan jaraknya dengan
pohon-pohon siong tadi. Tidak mirip barisan Pat-kwa, juga bukan barisan Kiu-kiong.
"Aneh, mengapa pohon-pohon bunga ini seperti ditanam tak teratur letaknya," pikirnya.
Ia coba melangkah maju lima tindak. Ah, ternyata tak terdapat perobahan apa-apa.
Nyalinyapun besar. Ia terus melangkah maju.
Karena Ca Giok sudah membuktikan dapat melintasi barisan pohon siong, kepercayaan
Han Ping makin besar. Ia segera mengikuti langkah pemuda itu.
Ketika mencapai 4-5 tombak jauhnya, tiba-tiba terdengar bunyi suitan yang nyaring
sekali. Di atas sebatang pohon besar di sebelah muka, muncul sebuah lentera merah.
Melihat itu, timbullah kecurigaan Ca Giok. Tiba-tiba dengan menggembor keras, ia
melambung ke udara seraya menghantam lentera itu dengan pukulan Peh-poh-sin-kun.
Sebuah ilmu silat istimewa warisan marga Ca.
Bum . . . lentera itu terdampar ke udara dan padam jatuh ke tanah.
Tiba-tiba dari dalam hutan muncul beratus-ratus lampu merah yang bergerak-gerak
memecah diri dalam suatu bentuk barisan.
Bermula kedua pemuda itu tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Tetapi beberapa
saat kemudian, mereka mulai merasa aneh. Barisan lampu merah itu makin lama makin
berkurang jumlahnya. Sepeminum teh lamanya, hanya tinggal belasan buah jumlahnya,
tak henti-hentinya bergerak kira-kira empat lima tombak dari tempat Ca Giok dan Han
Ping. "Saudara Ca, lampu-lampu merah itu tentu digerakkan orang. Mari kita tangkap
seorang dua orang", kata Han Ping yang tak sabar lagi.
Sesungguhnya Ca Giok juga heran. Tetapi sampai saat itu belum juga ia mengetahui
rahasia lampu-lampu merah itu. Percaya atas pengetahuannya tentang barisan Ngo-heng
dan Kiu-kiong, ia menerima ajakan Han Ping.
Tetapi begitu kedua pemuda itu loncat menerjang ke muka, belasan lampu merah itu
serentak padam. Tetapi dari samping kiri tiba-tiba muncul tiga buah lampu merah.
Ca Giok tertawa hina. Selagi masih melayang di udara ia empos semangat dan hentikan
diri. Tangan kanan cepat merogoh dua buah mata uang terus disambitkan ke arah ketiga
lampu merah di samping kiri itu.
Sambitan itu tepat sekali. Dua buah lampu segera padam dan menyusul lampu yang
ketigapun padam.
Hutan bunga itu kembali sunyi. Pikiran kedua pemuda itu terganggu oleh barisan lampu
merah tadi. Ketika melihat ke sekeliling, ternyata mereka tersesat kehilangan arah jalan.
Sebagai seorang yang banyak pengalaman, Ca Giok insyaf bahwa ia tak boleh gugup.
Sekali pikiran kacau, kalau tidak terkepung dalam barisan bunga, tentu akan termakan
serangan gelap dari musuh.
"Tenanglah, saudara Ji", katanya, "kita tak boleh gugup agar jangan kehilangan
kewaspadaan. Inti dari pada barisan Bunga yang aneh itu tak lain tak bukan tentu suatu
perangkap. Marilah kita bersemedi menenangkan pikiran. Setelah itu baru kita pikirkan lagi
cara untuk menghancurkan barisan itu !"
Ca Giok terus duduk pejamkan mata dan menyalurkan tenaga dalam. Han Ping
terpaksa mengikutinya.
Pelajaran semedhi yang dimiliki Han Ping berasal dari persemedhian kaum paderi yang
berlandaskan pada tenaga dalam. Begitu melakukan semedhi, indra pendengarannya
menjadi tajam luar biasa.
Begitu bersemedhi, telinga Han Ping terngiang suatu bunyi mendengung-dengung dari
kejauhan datangnya.
Ia membuka mata dan melirik. Tampak Ca Giok masih tetap tenang seperti tak terjadi
suatu apa. Han Ping malu sendiri. Walaupun ia mendengar bunyi itu namun ia sungkan
untuk mengganggu Ca Giok.
Bunyi mendengung itu makin lama makin keras dan disambut pula oleh bunyi dari
empat penjuru. Han Ping bertindak sendiri. Ia kerahkan indra penglihatannya untuk
memandang ke sekeliling. Dalam kegelapan malam, samar-samar ia melihat beribu-ribu
titik hitam tengah beterbangan menyerbu datang.
Saat itu Han Ping tak dapat bersabar lagi. Ia menjagakan kawannya ,"Saudara Ca, lekas
bangunlah !" serunya seraya loncat berdiri.
Ca Giokpun loncat bangun. Celaka, saat itu belasan tawon yang luar biasa besarnya dan
beracun, berhamburan ke samping mereka.
Han Ping menggembor keras dan menghantam. Belasan tawon besar itu berguguran
jatuh. Tetapi pada lain saat terdengar pula suara bergemuruh mirip ombak laut. Beriburibu
ekor tawon beracun membanjir datang dari empat penjuru. Betapapun saktinya kedua
pemuda itu, namun mereka gugup juga dibuatnya.
Ca Giok merobek lengan bajunya. Dengan mencekal robekan kain itu, sepasang
tangannya bergerak cepat untuk rnenampar serbuan binatang itu.
Han Pingpun meneladani cara kawannya itu. Ia merobek lengan baju dan
menggunakannya untuk menghalau kawanan tawon. Dengan cara itu, mereka berbasil
menghancurkan beribu ekor tawon.
Patah tumbuh hilang berganti. Demikian rupanya tekad kawanan tawon itu. Seekor
tawon jatuh, muncul sepuluh ekor. Sepuluh hancur, muncul seratus ekor. Seratus ekor
remuk, muncul seribu ekor. Angkasa seolah-olah tertutup oleh gumpalan awan gelap dari
ratusan ribu tawon-tawon beracun.
Ca Giok memeras otak untuk mencari cara menghalau serbuan tawon itu. Tetapi
sampai sekian lama, belum juga ia berhasil mendapat akal.
"Entah berapa ratus ekor tawon yang menyerbu ini. Jika terus menerus begini, sekali
lengah, tawon itu tentu akan menyusup dan mematikan diriku dengan sengatannya yang
beracun", diam-diam Ca Giok mengeluh. Ia kuatir, sekalipun mampu menjaga serbuan
binatang itu, tetapi lama kelamaan tenaganya tentu habis dan akhirnya akan menjadi
sasaran binatang beracun itu.
"Dari pada mati konyol cara begini, lebih baik aku menerjang ke dalam padang bunga.
Sekalipun tentu terdapat alat perangkap tetapi tentulah tak sengeri serbuan tawon ini",
akhirnya ia memutuskan rencana.
Serentak ia kerahkan tenaga untuk menghalau gerombolan tawon yang menyerbunya.
Setelah dapat mengundurkan mereka, ia segera berseru : "Saudara Ji. entah sampai
kapan kita akan menyudahi pertempuran ini. Kurasa lebih baik kita menerjang ke dalam
padang bunga itu. Biar ada alat perangkap tetapi tentulah tak sengeri begini. Bagaimana
pendapat saudara ?"
Han Ping setuju, sahutnya : "Malah lebih baik kita serbu saja ke dalam gedung itu dan
menempur mereka. Mati pun lebih puas !"
"Baik, marilah kubukakan jalan !" Ca Giok tertawa seraya memutar robekan kainnya
untuk menghalau kawanan tawon.
Melihat itu Han Pingpun tak mau berpeluk tangan. Sambil menggembor keras, ia loncat
ke udara dan menyapu dengan kedua robekan kain. Sejak menerima pelajaran dari Hui
Gong taysu, baru pertama kali itu Han Ping benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya.
Ternyata perbawanya memang hebat. Angin tamparannya itu mirip prahara berhembus.
Seluas dua tombak jauhnya, kawanan tawon itu berguguran hancur ke tanah.
Han Ping kesima sendiri menyaksikan kedahsyatan tenaganya itu sehingga ia lupa
bahwa saat itu ia masih terapung di udara. Bluk, tahu-tahu ia jatuh terbanting ke tanah !
Ca Giok terkejut : "Saudara Ji, bagaimana . . . ."
Han Ping cepat loncat bangun, sahutnya : "Karena asyik menghantam tawon sampai
aku lupa menahan napas hingga jatuh ke tanah !"
Walaupun dalam hati terkejut namun mulut Ca Giok tetap menyungging tawa dan
memuji : "Sekali pukul dapat menghancurkan ribuan ekor tawon dalam jarak lingkaran 10
langkah, mungkin dalam dunia persilatan dewasa ini hanya terdapat beberapa orang saja.
Benar-benar kali ini aku mendapat pengalaman yang berharga sekali !"
Sekalipun mulut memberi pujian tetapi batin Ca Giok merasa heran. Jelas Han Ping itu
memiliki kepandaian sakti tetapi mengapa berpura-pura seperti tak tahu pengalaman apaapa.
Apakah maksudnya "
Dalam pada keduanya bicara itu, kawanan tawon yang tak kenal mati itu kembali
menyerbu dari empat penjuru. Malah mereka sekarang terbang lebih rendah.
Ca Giok menamparkan robekan kain seraya berseru : "Saudara Ji, mari kita serbu
gedung bertingkat itu. Coba saja kita buktikan sampai dimanakah keistimewaan dari
perguruan Laut Selatan itu !"
Memang Han Ping sendiripun mempunyai niat untuk menjajal kepandaiannya. Sekalian
untuk menghapus hinaan dari pengemis sakti Cong To dan muridnya.
"Bagus memang paling bagus kita dapat mengobrak-abrik mereka !" serunya dengan
gembira dan mendahului menerjang maju.
Tiba-tiba terdengar suara harpa mengiang. Diseling dengan tiupan seruling yang
melengking tajam. Datangnya dari jauh namun cukup jelas nadanya. Serta mendengar
seruling berbunyi, kawanan tawon itu menggila saling berlomba untuk menyerbu kedua
pemuda itu. Dari bawah dan atas, kanan kiri.
Han Ping dan Ca Giok memutar robekan bajunya semakin gencar. Tetapi kawanan
tawon itu laksana air bah. Makin lama makin banyak dan deras.
Setelah menghalau kawanan tawon yang hendak maju merapat, Han Ping kembali
hendak mempertunjukkan kepandaiannya seperti tadi. Loncat ke udara dan menyapu.
Tetapi tiba-tiba dua ekor tawon yang berada di udara, menukik ke atas kepala Ca Giok.
Saudara Ca, hati-hatilah !" teriaknya kaget seraya menyapukan robekan baju.
Sebenarnya Ca Giok sudah mengetahui ancaman itu. !a cepat miringkan kepala ke
samping dan memberi kesempatan Han Ping menghantam mati kedua ekor tawon itu.
Tetapi betapapun, hal itu merupakan suatu kelambatan. Dan kawanan tawon itu sudah
cukup mendapat keluangan untuk menyerbu ke bawah.
Dalam gugupnya, Han Ping menghantam dengan jurus Membakar awan menarik bulan.
Kawanan tawon itu terhalau mundur. Baru ia hendak bernapas longgar, tiba-tiba lengan
kanannya terasa kesemutan. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan
darahnya. Sementara tangannya kiri menampar-nampar untuk menghalau serbuan tawon
dari sebelah kanan dan kiri.
Kiranya waktu Ca Giok miringkan tubuh ke samping tadi, seekor tawon telah
menyelinap ke bawah. Dan karena Han Ping tengah menghalau kawanan tawon yang
menyerbu dari atas, ia tak memperhatikan tawon yang menyelundup itu dan menyengat
tangan kanannya.
Tawon itu sejenis tawon yang besar dan mengandung racun hebat. Usaha Han Ping
untuk menutup jalan darahnya, tetap tak berhasil penuh. Ia tetap rasakan suatu kesakitan
yang nyeri menusuk ke jantungnya. Tangannya kanan sama sekali tak dapat digerakkan
lagi. "Saudara Ca, tanganku kanan tersengat racun tawon, tak dapat digerakkan lagi. Racun
itu mulai bekerja di tubuhku. Lekas engkau berusaha menyerbu keluar, jangan
menghiraukan diriku lagi !" serunya.
Diam-diam Ca Giok kerahkan tenaga dalam. Setelah dapat mengundurkan kawanan
tawon ia melirik ke arah Han Ping.
"Hai . . . . !" diam-diam ia berteriak kaget melihat keadaan Han Ping saat itu.
Lengan kanan Han Ping membengkak sebesar dua kali dari semula.
"Celaka, tawon apakah yang memiliki racun begitu ganas " Padahal ratusan ribu ekor
tawon tengah menyerang. Kalau pemuda yang lebih sakti kepandaiannya dari diriku,
masih kena terserang, apalagi aku ! Rasanya malam ini kita berdua tentu celaka !"
pikirnya. Sekonyong konyong jago muda dari marga Ca-ke-poh itu tertawa nyaring . . . .
Jilid 7 Pemuda yang angkuh
Bagian 13 Lalu lalang. "Ha, ha, engkau anggap Ca Giok ini orang macam apa !" seru putra marga Ca-ke-poh
itu, "sama-sama menempuh bahaya, sama-sama menderita. Mati hidup pun harus
bersama !"
Pemuda itu menutup kata-katanya dengan menamparkan lengan bajunya lebih gencar.
Han Ping tergetar semangat. Sambil bersuit nyaring dan menahan rasa sakit pada
lengan kanannya, ia tamparkan tangan kiri dengan seluruh tenaganya.
Karena marah, Han Ping telah menggunakan ilmu tenaga dalam Bu-siang-sin-kang
ajaran Hui Gong siansu. Karena baru pertama kali itu menggunakan, tak tahu ia
bagaimana perbawanya.
Ribuan ekor tawon beracun berhamburan jatuh di tanah. Tekanan merekapun
berkurang. Tetapi Han Ping sendiripun juga menderita. Karena menumpahkan tenaganya,
ia tak dapat menguasai jalan darah pada lengannya yang terkena racun itu. Akibatnya
racun meliar menyerang ke ulu hati. Dadanya terasa linu kesemutan. Hawa murni lepas
membinal ke seluruh tubuh.
"Saudara Ca, tinggalkan aku, aku sudah tak ada harapan lagi !" akhirnya ia berseru.
Ketika Ca Giok berpaling, dilihatnya Han Ping sudah terhuyung-huyung tak dapat berdiri
tegak. Ca Giok cepat menghalau kawanan tawon lalu meminta Han Ping supaya duduk
bersemedhi. Setelah melihat pemuda itu dapat menahan serangan tawon, Han Ping segera menurut.
Berkat ilmu semedhi ajaran Hui Gong siansu, dalam waktu yang singkat dapatlah ia


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghimpun lagi tenaga murninya yang telah berpencaran itu. Rasa nyeri pun berkurang
separuh. Ia tak tahu sampai dimana tingkat tenaga dalamnya. Hanya setelah merasakan agak
baik, ia makin bersemangat. Seluruh semangat ditumpahkan untuk mengerahkan seluruh
tenaga murni dan menyalurkannya ke sekujur tubuh. Ternyata berhasillah ia menghalau
racun yang sudah menyerap ke dalam tubuh itu. Racun mulai mengucur keluar.
Sambil menempur kawanan tawon, diam-diam Ca Giok memperhatikan keadaan Han
Ping. Dilihatnya pemuda itu duduk bersemedhi pejamkan mata. Ubun-ubun kepalanya
mengepul uap. Diam-diam Ca Giok : "Heran, mengapa pemuda itu sedemikian hebat
tenaga dalamnya. Dalam 10 tahun lagi, tentu tiada tandingnya. Hm, jika saat ini tak
kulenyapkan kelak tentu berbahaya sekali ..."
Seketika timbullah nafsu pembunuhan dalam hati pemuda Ca itu. Robekan baju
dipindah ke tangan kiri dan tangan kanan dikepalkan keras-keras. Pada saat ia hendak
turun tangan, tiba-tiba terlintas pikiran baru : "Ah, jika sekarang kulenyapkan, aku tentu
kehilangan seorang tenaga yang berharga. Keadaan saat ini amat berbahaya sekali.
Lembah Seribu racun, Lembah Raja setan dan tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan
sama berkumpul disini. Begitu pula Pengemis sakti Cong Topun muncul. Kedua tokoh aneh
si Kate dan si Bungkuk dan lelaki berkuda putih yang berpakaian kim-ih (pengawal istana)
merupakan batu perintang yang tak mudah diialui. Jika sekarang kubunuhnya, aku tentu
menderita kerugian sendiri. Ah, lebih baik kupertangguhkan pembunuhan itu sampai pada
lain waktu yang sesuai. Saat ini akan kugunakan tenaganya untuk menghadapi musuhmusuh
yang tangguh !"
Cepat sekali pemuda itu berpikir dan mengambil keputusan. Ia pindahkan lagi robekan
lengan baju ke tangan kanannya. Dan mulailah ia menghantam kawanan tawon itu lagi
seraya bertanya kepada Han Ping : "Bagaimana, apakah keadaanmu bertambah baik ?"
Han Ping membuka mata, mengangguk tersenyum lalu pejamkan mata lagi.
Tiba-tiba suara suitan melengking tinggi, mendesak suara harpa. Suitan itu bagaikan
iblis merintih-rintih menyayat hati.
Sebagai seorang yang berpengalaman tahulah Ca Giok bahwa tak lama tentu akan
terjadi suatu perubahan yang tak menguntungkan. Diam-diam ia curahkan seluruh
perhatiannya untuk mengamati ke sekeliling penjuru.
Juga Han Ping terganggu pikirannya. Ia membuka mata dan memandang ke sekeliling.
Dengan demikian dua kali ia telah menghentikan penyaluran tenaga dalamnya. Suatu hal
yang sesungguhnya merupakan pantangan besar. Tiba-tiba racun yang berhasil digiring
keluar dari kulitnya itu, kembali merangsang balik ke dalam tubuhnya. Tetapi karena Ia
sedang bersemedhi, perobahan itu tak terasa olehnya.
Suitan itu makin melengking tinggi dan beberapa saat kemudian terdengarlah suara
mendesis-desis dari empat penjuru.
"Ular beracun !" teriak Ca Giok yang cepat dapat mengenali apa artinya bunyi itu.
Han Ping memandang tajam-tajam ke sekeliling. Memang benar. Beberapa tombak
jauhnya, dilihatnya benda-benda yang bergerak-gerak mendatangi.
"Benar, memang ular beracun", ia menghela napas.
Ca Giok memperhatikan bahwa sekalipun di empat penjuru terdapat banyak pohonpohon
bunga, tetapi tak tampak barang sebatang pohon yang dapat dijadikan tempat
sembunyi. Namun ia masih tetap bersikap tenang sekali, serunya tertawa : "Dari atas
diserang tawon beracun dan dari bawah diserbu ular berbisa. Saudara Ji, malam ini kita
tentu binasa . . . ."
Tiba-tiba Han Ping berbangkit, serunya : "Atas kesungguhan hati saudara melindungi
diriku aku berterima kasih sekali. Keadaanku sekarang sudah banyak sembuh. Silahkan
saudara mundur biarlah aku yang menempur kawanan ular itu. Mudah-mudahan saudara
dapat lolos dari bahaya disini !"
"Tidak !" sahut Ca Giok tegas, "aku merasa bahagia apabila mati berdampingan dengan
saudara," Dalam pada itu kawanan ularpun sudah tiba. Han Ping menghantam. Sepuluh ekor ular
yang maju paling depan, hancur seketika. Tetapi serempak dengan itu, dadanya terasa
sakit. Racun tawon mulai merangsang lagi. Diam-diam ia kerutkan dahi. Namun kuatir
menurunkan moril Ca Giok, ia tahankan sakit sekuat mungkin.
Tiba-tiba api memancar dan terdengarlah suara orang tertawa. Ketika berpaling kedua
pemuda itu melihat seorang pengemis tua tengah duduk di tanah sambil mencekal
sebatang obor. Obor digoyang-goyangkan kian kemari untuk menghalau kawanan tawon.
Sedang tangannya kanan memeluk sebuah buli-buli arak warna merah. Buli-buli itu tak
henti-hentinya diteguk ke mulutnya. Setiap habis meneguk tentu disemburkan ke sekeliling
penjuru. Beberapa saat kemudian tiba-tiba obor itu diturunkan ke bawah dan menyalalah
suatu lingkaran api yang luas. Tampaknya ia enak-enak saja duduk di tengah lingkaran api
itu. Ah, siapa lagi pengemis aneh itu kalau bukan Pengemis sakti Cong To !
Rupanya Ca Giok tahu juga keadaan Han Ping saat itu, buru-buru ia mencegah :
"Jangan banyak menggunakan tenaga lagi, saudara Ji. Ingat, racun tawon dalam tubuhmu
itu setiap saat masih dapat merangsang lagi !"
Han Ping mengangguk : "Memang kurasakan racun itu sudah menyerang ke arah ulu
hatiku. Harap saudara cepat-cepat tinggalkan tempat celaka ini !"
Ca Giok tersenyum ujarnya : "Hanya satu jalan hidup bagi kita. Ialah kita harus
bersembunyi dalam lingkaran api pengemis Cong To itu. Tawon dan ular takut api. Tak
mungkin mereka berani mengejar kita. Tetapi sayang selama ini pengemis sakti itu tak
baik hubungannya dengan ayahku. Dikuatirkan dia tak mau memberi tempat bagi kita !"
Han Ping menerima ucapan Ca Giok itu dengan arti yang jujur. Segera ia berkata :
"Kudengar Pengemis sakti Cong To itu berjiwa luhur. Jika tahu kita dikepung tawon dan
ular beracun, dan dia tak mengizinkan kita meneduh di tempatnya, tentu akan menodakan
namanya. Dan jika benar dia menolak, lebih baik menempurnya sampai mati !"
"Baiklah, harap saudara simpan tenaga untuk menempur pengemis tua itu. Mari
kubawamu kesana !" kata Ca Giok seraya menampar kawanan tawon dan ular lalu secepat
kilat ia menyambar tubuh Han Ping, terus dibawa loncat.
Sebenarnya Ca Giok mampu untuk loncat dua tombak. Tetapi karena harus membawa
orang, ia hanya dapat loncat sejauh satu setengah tombak saja.
Melihat akan melayang turun ke tempat gerombolan ular, Han Ping berseru : "Saudara
Ca, lepaskan aku !"
"Jangan meronta !" sahut Ca Giok seraya gunakan ilmu cian-kin-tui atau memberatkan
tubuh, untuk mempercepat dirinya turun ke bumi. Beberapa ekor ular terpijak mati, lalu
dengan gunakan tenaga pijakan itu, ia ayunkan tubuh ke udara dan melayang ke dalam
lingkungan lingkaran api.
Pengemis sakti Cong To tak mencegah, pun tak menyambut. Ia hanya gerakkan
obornya untuk menyalakan kembali bagian lingkaran api yang padam karena tertiup angin
gerakan Ca Giok. Beberapa ekor tawon yang hendak menyelundup berguguran mati
karena disongsong obor.
Setelah meletakkan Han Ping, Ca Giok memintanya supaya bersemedhi menyalurkan
tenaga murni untuk mengumpulkan racun dan diusahakan untuk menghalaunya keluar.
Han Ping sejenak melirik ke arah Cong To. Dilihatnya pengemis sakti itu menutup
lingkaran api pertahanan diri. Sebenarnya ia hendak mengucap terima kasih. Tetapi demi
melihat sikap Cong To yang dingin dan seolah-olah tak mengacuhkan, mengkallah hatinya.
"Hm, setiap kali aku selalu merendahkan diri sebagai seorang muda terhadap seorang
locianpwe. Tetapi engkau selalu bersikap dingin kepadaku...," ia menggumam dalam hati
lalu berpaling muka dan duduk bersemedhi pejamkan mata.
Ca Giok cukup paham akan watak pengemis sakti itu. lapun tak menghiraukan. Diamdiam
siap sedia untuk melindungi Han Ping.
Tetapi dia berdiri di samping Han Ping dan Pengemis sakti berdiri di samping lain. Jadi
Han Ping berada di tengah-tengah mereka. Dengan begitu entah siapakah yang
sesungguhnya menjadi pelindung. Ca Giok melindungi Han Ping atau Ca Giok menjadikan
pemuda itu sebagai perisai apabila Cong To bertindak.
Gerombolan ular dan kawanan tawon beracun tetap mengejar tetapi tak dapat masuk
dalam lingkaran api.
Kiranya api itu berasal dari semburan arak Pengemis sakti yang disulut dengan obor.
Karena arak habis terbakar, apipun makin redup. tiba-tiba Pengemis sakti meneguk lagi
buli-buli araknya, lalu disemburkan keluar. Rupanya arak itu keras sekali, begitu terjilat api
terus terbakar.
Diam-diam Ca Giok memperhatikan juga gerak gerik Pengemis sakti itu. Melihat bulibuli
dituang tinggi ke atas, Ca Giok menduga isinya tentu tinggal sedikit.
"Celaka, kalau arak habis, kita tentu diserbu binatang itu lagi !" diam-diam ia mengeluh.
Tetapi ketika memandang ke arah Pengemis sakti, dilihat wajah tokoh itu tenangtenang
saja. Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan kawanan ular yang berada di sebelah
rnuka, berbondong-bondong mundur.
Ternyata pohon-pohon yang berada di sekeliling situ karena terbakar api daunnya
berguguran jatuh sehingga api makin membesar. Barisan depan dari kawanan ular itu
kepanasan dan menyurut ke belakang tetapi karena yang di belakang tak sempat bergerak
mundur, mereka saling berdesak dan akibatnya ular-ular di barisan depan itu mendesisdesis
kesakitan. Diam-diam Ca Giok bergirang dalam hati. Pohon itu lebat daunnya. Jika daun-daun itu
berguguran, api tentu takkan padam dan bahkan bertambah besar. Asal Pengemis sakti itu
tak memusuhi dan mau diajak kerja sama, tentulah bahaya dapat diberantas.
Tiba-tiba Pengemis sakti itu tertawa gelak-gelak : "Tawon racun, ular berbisa, sudah
kuterima dan ternyata hanya begitu saja. Apakah masih ada lain macam acara, silahkan
mengeluarkan agar aku si pengemis tua dapat tambah pengalaman. Jika tidak ada lain
acara lagi, harap panggil pulang kawanan binatang itu dan suruh orang datang kemari.
Ingin sekali pengemis tua menerima pelajaran dari ilmu kepandaian kaum Laut Selatan
yang terkenal sakti. Apabila tak menarik pulang binatang-binatang itu, jangan sesalkan
tindakan si pengemis tua yang akan membakar hangus mereka !"
Sebagai sambutan, suara harpa dan suitan itu tiba-tiba berubah tenang nadanya. Dan
kawanan tawon serta ular itupun mulai bergerak mundur. Beberapa saat kemudian
bersihlah tempat itu dari tawon dan ular.
Pengemis sakti Cong To serentak berbangkit, melemparkan obornya dan memandang
Ca Giok dingin-dingin. Sekali tangannya berayun, tubuhnyapun melambung ke udara dan
melayang turun tiga tombak jauhnya.
Setelah pengemis sakti itu pergi, Ca Giok berpaling ke arah Han Ping. Dilihatnya kepala
pemuda itu basah kuyup dengan keringat. Rupanya ia sedang mencapai keadaan yang
gawat. Diam-diam timbullah pikirannya jahat : "Saat ini seluruh tenaga murninya sedang
berpusat pada serapan bawah. Jika kuhantam salah sebuah jalan darahnya yang penting,
tentu dia mati seketika. Jika tak mati, orang ini tentu akan merupakan bahaya besar di
kemudian hari. Tetapi kalau dibunuh, pun aku kehilangan tenaga yang berharga. Namun
kalau dilepaskan begini saja, mungkin takkan kuperoleh lagi kesempatan sebagus ini. . . ."
demikian silang selisih pikirannya tak menentu.
Akhirnya ia berbangkit, mengerahkan seluruh tenaga dalam. Pada saat ia hendak
mendaratkan pukulan maut ke pusar belakang Han Ping, sekonyong-konyong dari
belakang terdengar suara tertawa melengking : "Ai, harap sau pohcu menaruh kasihan !"
Ca Giok terkejut dan menyisihkan pukulannya ke samping. Wut. . . angin pukulan itu
mendampar sekelompok api sehingga padam.
Saat itu Han Pingpun membuka mata dan berpaling memandang ke arah onggok api
yang terhantam pukulan Ca Giok itu. Dilihatnya api itu hanya beberapa langkah dari
tempat duduknya. Diam-diam ia berterima kasih kepada Ca Giok. Berpaling ke belakang, ia
memberi sebuah senyum kepada pemuda Ca itu.
Tangan geledek Ca Giok menghela napas perlahan, ujarnya : "Karena kuatir
mengejutkan saudara yang masih menyalurkan tenaga dalam, terpaksa kupadamkan api
itu dengan pukulan. Tetapi tetap membangunkan saudara".
Tenang dan mantap sekali Ca Giok mengucapkan kata-katanya yang palsu itu.
Sedemikian rupa ia menguasai mimik wajahnya sehingga Han Ping percaya penuh.
Tetapi saat itu dua sosok tubuh langsing melayang ke dalam lingkaran api dan pada
lain saat sepasang jelita Ting Ling dan Ting Hong sudah berdiri di samping kedua pemuda
itu. Kedua nona itu masih mengenakan kedok. yang satu berpakaian hitam dan adiknya
berpakaian putih.
Ting Ling menyingkap kedok mukanya, tertawa : "Kepandaian berbohong dari sau
pohcu memang hebat sekali. Ucapannya semerdu seruling nafiri tetapi isinya bohong
belaka. Namun dapat membawakan dengan nada dan kerut wajah yang yakin dan tenang.
Ah, sungguh beruntung sekali kami berdua dapat menyaksikan kepandaian sau pohcu itu
!" Ca Giok tersenyum : "Ah, harap nona berdua jangan salah paham. Begitu bertemu
dengan saudara Ji kumintanya supaya menernui nona berdua. Tetapi dia tak mau. Akupun
tak dapat suatu apa !"
Mendengar itu seketika Ting Hong membuka muka lalu menatap ke arah Han Ping,
tegurnya "Benarkah itu ?"
"Benar", Han Ping mengangguk.
Bukan kepalang kejut dara itu. Ia tertawa dingin : "Mengapa engkau takut ketemu kami
berdua. Apakah kami akan memakanmu ?"
"Aku tak tahan melihat sikap pamanmu yang begitu dingin angkuh. Hm, jika tak
mengingat kalian berdua, tentu sudah kuajak berkelahi !"
Setelah menenangkan diri, Ting Ling tertawa : "Kalau begitu engkau tentu benci kepada
kami berdua juga ?"
Sekalipun Han Ping tak mengerti maksud yang sesungguhnya dari pertanyaan itu,
tetapi Ia dapat merasa bahwa ucapan nona itu memang mengandung sesuatu yang lain.
Ia tertegun. "Bukan begitu. Kalian memperlakukan aku baik sekali", pada lain saat Ia menjawab.
Ting Ling tertawa : "Kalau tak membenci kami berdua, bolehkah kami menjadi kawan
seperjalananmu ?"
Ca Giok kerutkan alis. Waktu hendak membuka mulut, tiba-tiba ia mendapat lain pikiran
dan buru-buru tertawa : "Lembah Raja setan dan marga Ca, selamanya baik sekali
hubungannya. Kalau nona berdua suka bersamaku dan saudara Ji ini, sudah tentu kami
menyambut dengan girang sekali ...."
Ting Hong tertawa dingin : "Baru berkenalan berapa hari saja, sudah sedemikian erat
sekali hubungannya".
Ca Giok tersenyum tak menyahut. Han Ping deliki mata kepada dara itu tetapi juga tak
berkata apa-apa.
Ting Ling menampar perlahan adiknya dan pura-pura mendamprat : "Uh, budak setan,
mengapa bicara tanpa mengindahkan kesopanan ?"
"Ah, tak perlulah nona marah kepada adik nona. Aku suka dengan sikap wajar dari
nona Hong", kata Ca Giok.
"Ih, engkau anggap bicaraku itu merdu didengar ?" Ting Hong tertawa mengejek.
"Nadanya halus, melengking tinggi penuh berirama merdu sehingga orang tentu
terpikat mendengarnya", sahut Ca Giok.
"Jadi engkau senang mendengarkan ?" tanya dara itu pula.
"Jika tiada lain urusan, tentu aku bersedia mendengarkan sampai tiga hari tiga malam",
sahut Ca Giok. Tiba-tiba dara itu mencemberut, serunya agak bengis : "Tetapi apakah engkau yakin
aku tentu suka bicara ?"
"Ah, sudah tentu aku tak berani memastikan".
Ting Ling memberi kejapan mata kepada adiknya dan pura-pura membentaknya :
"Budak hina, mengapa bicara tak keruan yang tak berguna. . . ."
Ia berpaling ke arah Ca Giok dan memintakan maaf untuk adiknya.
"Ah, tak jadi apa . . . ." baru Ca Giok menyahut, tiba-tiba delapan orang baju hitam
muncui dari gerumbul pohon. Mereka membawa ember air dan menyiram api.
Ca Giok hentikan kata-katanya dan siapkan sebatang jarum Hong-wi-ciam (sengat
tawon). Kalau mereka berani mengganggu, akan diserangnya lebih dulu.
Ting Ling dan Ting Hongpun segera melangkah di hadapan Han Ping. Kedua nona itu
siap melindunginya.
Tetapi rupanya kedelapan baju hitam itu tak mengacuhkan. Habis memadamkan api,
mereka pergi lagi.
"Cici, mengapa mereka tak melihat kita ?" tanya Ting Hong kepada tacinya.
Ting Ling sendiripun heran. Jelas diperhatikannya bahwa gerak langkah kedelapan
orang itu lincah sekali. Suatu pertanda mereka tentulah berkepandaian tinggi. Tetapi
mengapa mereka tak melihat kehadiran beberapa orang disitu ?"
Tetapi Ting Ling seorang nona yang pandai menyimpan perasaan. Walaupun heran
tetapi ia tak mau sembarang berkata apa-apa. Malah ia menanyakan pendapat Ca Giok
tentang orang-orang itu.
"Ilmu kepandaian kaum Laut Selatan, terkenal penuh muslihat. Setiap tindakan mereka
tentu mengandung maksud. Mereka tentu kuatir api yang dilepas Pengemis sakti Cong To
itu akan menghabiskan tanaman mereka. Kemungkinan sikap mereka tak mengacuhkan
kita ini adalah supaya kita masuk lebih lanjut ke daerah mereka."
"Hebat, sau pohcu memang pandai meneropong gerak gerik orang. Lalu apakah kita
juga akan lanjutkan langkah sesuai yang mereka harapkan itu ?" tanya Ting Ling.
Diam-diam Ting Hong heran atas sikap tacinya yang selalu menanyakan pendapat Ca
Giok. Pada hal Ia tahu bahwa tacinya itu seorang yang cerdas dan cermat.
Setelah merenung sejenak, Ca Giok menjawab : "Apakah kita hendak melanjutkan
langkah ke daerah mereka, aku sendiri tak dapat memutuskan. Sebaiknya kita tanyakan
pendapat saudara Ji."
Han Ping serentak berbangkit, serunya : "Karena sudah terlanjur berada disini, dari
pada mundur lebih baik kita lanjutkan untuk melihat-lihat keadaan disana". - Ia terus
mendahului ayunkan langkah.
Terpaksa Ca Giok menyusul di sampingnya dan kedua nona Ting itu mengikuti di
belakang mereka.
Kira-kira 6-7 tombak jauhnya, tiba-tiba terdengar daun-daun dan gerumbul pohon
berderak-derak mendesirkan suara berisik.
Han Ping yang sudah merasakan siksaan dari racun tawon, sangat hati-hati sekali. Ia
berhenti dan memandang ke sekeliling penjuru.


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ca Giok tertawa "Ah tak perlu saudara curiga. Di sebelah muka sana terjadi
pertempuran dahsyat. Daun-daun itu bergoyang karena hamburan pukulan mereka !"
Han Ping terkejut. Ia duga kemungkinan tentu Pengemis sakti Cong To yang
bertempur. Walaupun ia mengkal atas sikap acuh tak acuh dari tokoh itu tetapi mengingat
Pengemis sakti itu merupakan satu-satunya tokoh persilatan yang menentang Sin-ciu Itkun
atau Ksatria tunggal dari Sin-ciu, ia tetap menaruh perhatian kepada pengemis aneh
itu. Buru-buru ia cepatkan langkah. Setelah melintasi sebuah hutan kecil dari pohon-pohon
bunga, tampak dua orang tengah bertempur seru. Si Bungkuk sedang perang tanding
dengan pemuda berpakaian bagus yang berada dalam biara rusak bersama Pengemis sakti
Cong To itu. Mereka bertempur dengan tangan kosong tetapi serunya bukan main.
Ca Giok dan kedua nona Ting tak kenal siapa pemuda berpakaian bagus itu. Tetapi
karena melihat pemuda itu dapat mengimbangi kesaktian si Bungkuk, diam-diam mereka
terperanjat juga.
Tiba-tiba Han Ping teringat kata-kata si pengemis muda yang mengatakan bahwa
Pengemis sakti Cong To akan menyerahkan jiwanya kepada pemuda berpakaian bagus itu.
Diam-diam Han Ping curahkan perhatian mengikuti pertempuran itu.
Atas dasar keterangan pengemis muda itu. Han Ping memastikan pemuda berpakaian
bagus itu tentu amat sakti. Tetapi alangkah kejutnya ketika menyaksikan bahwa
kepandaian pemuda itu ternyata tidak terlalu berlebih-lebihan. Sukar dipercaya bahwa
pemuda itu mampu mengalahkan Pengemis sakti Cong To.
Berlawanan dengan penilaian Han Ping, Ca Giok dan kedua nona Ting itu mengagumi
kepandaian pemuda berpakaian bagus yang mampu menandingi si Bungkuk.
Kedua orang itu bertempur makin keras dan seru. Setiap gerakan tangan dan kaki tentu
mengarah bagian maut dari lawannya, Kedahsyatan pukulan mereka sampai menimbulkan
deru angin dahsyat sehingga pakaian Han Ping dan kawan-kawannya tertiup berkibaran.
Tiba-tiba Han Ping teringat bahwa dunia persilatan itu penuh dengan tipu muslihat yang
licik. Ia menimang : "Adakah pemuda berpakaian bagus itu sudah mengetahui kedatangan
Pengemis sakti ke sini sehingga Ia sengaja menyimpan kepandaiannya yang asli ?"
Diam-diam timbul keinginannya untuk mencoba kepandaian pemuda itu. Hanya dengan
cara itu, baru ia dapat mengetahui benar-benar bagaimana sesungguhnya kepandaian
pemuda itu. Han Ping seorang pemuda polos yang tak punya perigalaman. Apa yang dipikirkan,
terus saja dilaksanakan.
"Hai, berhenti !" serentak ia berseru kepada mereka.
Saat itu pertempuran sedang mencapai puncak ketegangan yang menentukan. Karena
teriakan Han Ping, pemuda itu terkejut. Hanya sedetik ia terpencar perhatiannya tetapi
akibatnya cukup besar. Si Bungkuk dengan cepat menyelinap ke belakang dan secepat
kilat menghantam bahu kiri dan membentur pantat pemuda itu dengan lututnya.
Gerakan itu bukan alang kepaiang cepat dan dahsyatnya sehingga tampaknya tak
mungkin pemuda itu dapat menghindar.
Tiba-tiba pemuda itu mengangkat kaki kanan, lalu dengan ujung tumit kaki kiri ia
berputar diri menghindar serangan itu. Dan serempak menampar dengan tangan kanan.
Gerakan menghindar sambil balas menyerang itu benar-benar luar biasa. Dari diserang
menjadi penyerang. Si Bungkuk rupanya tak menyangka sama sekali akan gerakan itu. Ia
terpaksa mundur tiga langkah.
Melihat itu diam-diam Han Ping mendamprat : "Hm, pemuda itu benar-benar licin
sekali. hampir saja aku dapat dikelabuinya".
Tetapi karena sudah terlanjur berseru, Ia pun tak mau mundur. Ia menampar kepada
kedua orang yang bertempur itu seraya membentak : "Suruh berhenti mengapa kalian tak
mau mendengar ?"
Kedua orang itu sebenarnya hendak melangkah maju lagi tetapi karena gelombang
angin tamparan Han Ping itu mereka masing-masing mundur selangkah lagi.
Ca Giok dan kedua nona itu terkejut melihat tindakan Han Ping tetapi mereka tak
berusaha mencegah.
Ketika mengetahui siapa pengganggunya, si Bungkuk tertawa dingin : "Hm, kiranya
engkau . . . ."
Han Ping tak mengacuhkan si Bungkuk tetapi tetap memandang pemuda berpakaian
bagus, serunya : "Bertempur adu kepandaian, setiap saat maut mengancam. Jika tak
mengeluarkan kepandaian sungguh-sungguh, tentu akan celaka sendiri".
Pemuda itu menduga Han Ping hendak membantunya. Tentulah Han Ping menyuruhnya
mundur dan hendak menempur si Bungkuk. Dengan dugaan itu, ia tak curiga dan hanya
bersenyum saja lalu berdiri di samping. diam-diam pemuda itu merenung : "Sekalipun
sudah kukerahkan seluruh kepandaianku tetapi aku tak dapat mengalahkan si Bungkuk.
Hm, tetapi tak boleh kuunjuk kelemahan".
Pemuda itu tertawa : "Ah, menghadapi manusia semacam itu, perlu apa harus
mengeluarkan seluruh kepandaian . . . ."
Tiba-tiba Han Ping mengangkat tangannya dan menyerangnya. Sudah tentu pemuda
berpakaian bagus itu terperanjat sekali. Ia tak mengira akan diserang secara liar begitu.
Dan lebih terkejut pula ketika mendapatkan bahwa tenaga pukulan Han Ping lebih unggul
dari si Bungkuk tadi. Karena tak bersiap, pemuda itu tak berani menangkis. Ia mengangkat
kakinya kanan, tubuhnya condong ke samping dan tahu-tahu ia sudah menghindar dua
langkah. Hebat sekalipun cara penghindaran itu, namun Han Ping tetap membayanginya. Habis
memukul, Han Ping sudah maju merapat. Tangan kiri gunakan jurus Menyusup laut
mencari mutiara untuk menutuk sepasang mata. Dan tangan kanan gunakan gerak Kinliong-
khiu untuk mencengkeram lengan kiri pemuda itu.
Memang sebelumnya Han Ping sudah mengatur rencana untuk menghadapi pemuda
itu. Ilmu Kin-liong-chiu yang terdiri dari 20 jurus itu, merupakan ilmu tangan kosong untuk
menangkap musuh yang jarang terdapat di dunia persilatan.
Sekalipun pemuda itu cukup sakti tetapi ia tak mampu menghindar dari serangan
istimewa itu. Dalam gugupnya ia gunakan jurus Rajawali merentang sayap untuk
menangkis tusukan jari Han Ping. Tetapi Ia tak berdaya menghindar lengannya dari
cengkeraman Han Ping. Seketika Ia rasakan lengannya kesemutan ....
Begitu mudah dapat mencengkeram lengan pemuda itu, Han Ping tertegun sendiri.
Pikirnya : "Pengemis sakti Cong To seorang tokoh sakti. Dan pemuda ini hanya biasa saja
kepandaiannya. Aneh, mengapa Pengemis sakti kalah dengan pemuda ini " Ah, mustahil !
Tetapi tampaknya pengemis muda itu bicara dengan sungguh. Ah, benar aneh ini. . . ."
Han Ping memang berotak cerdas tetapi ia tak mempunyai pengalaman sehingga ia tak
dapat memecahkan persoalan itu. Ia tak menyadari bahwa gerak Kin-liong-chiu yang
digunakan itu memang merupakan ilmu kepandaian istimewa dari Siau-lim-si yang jarang
terdapat di dunia persilatan. Apalagi pemuda lawannya itu sama sekali tak berjaga-jaga
sehingga mudah tercengkeram lengannya. Andaikata pemuda itu mengetahui bahwa Han
Ping hendak memusuhinya, tentulah ia bersiap-siap dan tentulah tak semudah itu Han
Ping akan mendapat kemenangan.
Ca Giok, kedua nona Ting dan si Bungkuk terkejut menyaksikan Han Ping dapat
menangkap pemuda itu. Mereka tak mengetahui ilmu apa yang digunakan Han Ping tadi.
Sedangkan karena pikirannya melamun, Han Ping tertegun dan cengkeramannyapun
kendor. Pemuda itupun meronta seraya menyerempaki dengan memukulkan tangan kanan
ke dada Han Ping.
Han Ping gelagapan. Tetapi ia sudah tak keburu menghindar lagi. Terpaksa ia mengisar
tubuh dan menangkis dengan tangan kanannya.
Tetapi serempak dengan itu, Ca Giok pun mendahului lepaskan sebuah pukulan ke arah
pemuda itu seraya membentak : "Kawanan tikus jangan curang !?"
Ca Giok cerdas sekali. Dia selalu waspada. Demi melihat Han Ping terlongong, dia cepat
kerahkan tenaga. Pada saat pemuda itu bergerak, iapun menyerempaki dengan
melontarkan pukulan Pek-poh-sin-kun ke arah pemuda itu.
Pemuda itu terkejut dan loncat mundur. Dengan begitu terpaksa ia tarik kembali
pukulannya kepada Han Ping tadi.
"Sudahlah saudara", Han Ping tertawa mencegah Ca Giok, "sebelum tujuan kita hendak
menguji kepandaian dari orang Laut Selatan, perlu apa kita mengadu jiwa dengan orang
yang tak kita kenal itu ?"
Memang setelah hantamannya luput, Ca Giok hendak memburu. Ia heran mengapa Han
Ping mencegahnya : "Apakah saudara kenal dengan pemuda itu ?"
"Pernah bertemu sekali tetapi belum pernah tegur menegur", sahut Han Ping.
Pemuda itu mendengus, berputar tubuh hendak angkat kaki tetapi si dara Ting Hong
menghadangnya. Sambil memandang kepada Han Ping dara itu tertawa "Apakah
melepaskannya ?"
"Kita tak bermusuhan, mengapa perlu dirintangi ?" sahut Han Ping seraya memberi
hormat kepada pemuda itu : "Aku hanya ingin menerima pelajaran dari saudara. Tak ada
lain maksud apa-apa lagi. Harap saudara suka maafkan !"
Bukan saja pemuda itu bahkan Ca Giok dan kedua nona Ting itu tak mengerti apa yang
dimaksud Han Ping.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring memecah angkasa. Asalnya dari dalam hutan. Si
Bungkuk tertawa dingin, serunya "Ilmu kepandaian dari Lam-hay bun, merupakan
kumpulan dari ilmu silat Tionggoan kuno dan baru serta daerah Se-gak. Merupakan
sumber ilmu silat baik golongan Putih maupun Hitam, jenis yang luar biasa maupun Lurus.
Sekalipun kalian memiliki kepandaian sakti tetapi hanyalah ibarat anai-anai membentur
api. Atau kunang-kunang hendak beradu dengan rembulan. Jika maju selangkah ke muka
lagi, berarti memasuki daerah terlarang dari desa Jui-lo-san. Jika kalian berani mati,
silahkan coba. Maaf, aku tak dapat menemani . . . .", si Bungkuk berputar tubuh terus
loncat masuk ke dalam gerumbul pohon.
Memandang ke arah si Bungkuk, tampak bangunan bertingkat yang tegak dengan
megah dan terang benderang penerangannya. Dari tempat Han Ping kira-kira 10 tombak
jaraknya, dapat mencapai di bawah bangunan tingkat itu.
Han Ping berpaling kepada pemuda berpakaian bagus itu, serunya : "Apakah saudara
datang bersama guru saudara ?"
"Mengapa ?" sahut pemuda itu dingin-dingin.
Han Ping tertawa hambar : "Ah, maaf, siapakah nama saudara yang mulia ?"
"Ah, jangan kelewat menyanjung. Aku yang rendah orang sho Ho" pemuda itu
menyahut dingin.
"Apakah saudara Ho anak murid dari Pengemis sakti Cong To ?"
Pemuda itu merenung sejenak lalu menyahut : "Aku dan Cong locianpwe tergolong
dalam satu perguruan Kim pay-bun. Tetapi Cong locianpwe lebih tinggi tingkatnya".
Ca Giok memandang ke arah kedua nona, ujarnya : "Partai-partai dalam dunia
persilatan berjumlah banyak sekali, sukar dihitung. Baru pertama kali ini kudengar nama
Kim-pay-bun itu !"
Sesungguhnya Ca Giok hendak bertanyakan hal itu kepada kedua nona. Tetapi ia malu.
Maka ia gunakan kata-kata yang berlingkar-lingkar.
Ting Ling tersenyum : "Jika sau pohcu yang berpengalaman luas tak tahu tentang
partai itu, sudah tentu kami yang bodoh lebih tidak . . ."
Belum selesai nona itu mengucap, pemuda berpakaian bagus cepat menukas :
"Memang dari dahulu kala, partai Kim Pay-bun itu hanya diwariskan dua orang. Jangankan
kalian, hm, sekalian tokoh-tokoh tua dalam dunia persilatan, hanya sedikit sekali orang
yang tahu tentang partai itu !"
"Siapakah nama mulia dari saudara Ho " Apakah saudara tak keberatan
memberitahukan ?" kata Han Ping
Pemuda itu kerutkan dahi, sahutnya : "Namaku Heng Ciu. Perlu apa engkau bertanya
begitu jelas ?"
"Karena aku mengagumi pribadi saudara dan ingin bersahabat," Han Ping tertawa.
"Hal ini kelak kita bicarakan lagi. Memang watakku tak suka terlalu rapat dengan orang
yang baru saja berkenalan" sahut Heng Ciu si pemuda berpakaian bagus itu.
"Jual mahal benar", Ca Giok tertawa mengejek.
Tetapi diluar dugaan Han Ping tidak marah, bahkan tertawa : "Ah, setiap orang
memang mempunyai pendirian sendiri. Tak boleh dipaksa. Kalau saudara Ho tak mau
mengikat persahabatan, aku pun tak dapat memaksanya. Sekalipun aku tak tahu
bagaimana riwayat partai Kim-pay-bun itu, tetapi kuyakin tentu termasuk partai daerah
Tionggoan. Oleh karena Lam-hay-bun menghina ilmusilat Tionggoan, tentulah saudara Ho
akan ikut membersihkan hinaan itu".
"Dalam hal itu, aku dapat paksakan diri menyetujui", sahut Ho Heng Ciu.
Ting Ling heran mengapa Han Ping yang biasanya angkuh dan keras kepala, saat ini
begitu sabar menghadapi si pemuda baju bagus itu. Tetapi ia tak berani menyatakan
sesuatu. Ting Hong muak melihat kecongkakan pemuda Ho itu. Ia menyelinap di belakang Ca
Giok, lalu menampar muka Heng Ciu. Plak .... karena sedang bicara dengan Han Ping dan
tak menyangka akan ditampar, Heng Ciu berbinar-binar kepalanya. Kedua belah pipinya
terbekas guratan lima jari si nona.
Dengan menggeram, Heng Ciu balas menampar tetapi dara itu loncat ke samping dan
bersembunyi di belakang Ca Giok. Ho Heng Ciu perkeras tenaga dalam untuk memukul
lagi. "Mengapa saudara Ho memukul aku ?" Ca Giok gerakan tangan kanan menangkis.
Adu tenaga dalam itu membuat keduanya terkejut. Kedua bahu Ca Giok berguncangguncang,
tubuh terhuyung-huyung beberapa kali. Sedang Heng Ciu tersurut mundur dua
langkah. Ting Ling deliki mata kepada adiknya : "Budak hina yang berandalan, mengapa baru
kenal saja engkau berani berolok-olok !"
Habis mendamprat, Ting Ling berpaling ke arah Ho Heng Ciu dan minta maaf atas
kekurang ajaran adiknya.
Heng Ciu berpaling ke samping. Tampak Ting Hong dengan pakaian warna putih
bersembunyi di belakang Ca Giok. Melihat Ting Hong sudah cukup besar untuk disebut
dewasa marahlah Heng Ciu.
"Beberapa usia adik nona itu " Apakah nona tak sungkan menyebutnya masih kecil ?"
dengus Heng Ciu.
Ting Ling tersenyum : "Aku sudah memintakan maaf sendiri. Menurut tata susila,
seorang pria tak boleh berkelahi dengan wanita. Masakan engkau hendak balas
menamparnya ?"
"Mengapa aku tak berani ?" sahut Heng Ciu.
Ca Giok menyelutuk "Tetapi tanpa sebab apa-apa, saudara juga memukul aku. Jika aku
menuruti jalan pikiran seperti itu, tentulah malam ini kita harus bertempur mati-matian".
"Sekalipun kalian berempat maju semua, akupun tak gentar !" sahut Heng Ciu murka.
"Ucapan yang takabur sekali", Ca Giok tertawa mengejek, "Apakah saudara sudah lupa
waktu tangan saudara kena tercengkeram tadi " Hm, jika saudara Ji tak bermurah hati,
mungkin saat ini saudara sudah terkapar di hadapan kita !"
Merahlah wajah Ho Heng Ciu. Ketika ia hendak menumpahkan kemarahannya, Han Ping
maju menghampiri.
Heng Ciu sudah kenal kelihaian Han Ping. Melihat pernuda itu bergerak. Heng Ciu
mendahului memukulnya.
Han Ping mengisar ke samping lalu mundur tiga langkah. Angin pukulan Heng Ciu
menyambar Ting Ling Nona itu buru-buru berputar diri untuk menghindar.
Heng Ciu terkejut. Ia tak bermaksud memukul nona itu. Buru-buru ia hendak
menghaturkan maaf, tetapi mulut berat berkata. Karena tak tahu apa yang harus
dilakukan, Heng Ciu terlongong memandang wajah Ting Ling.
Ting Lingpun seorang nona yang berwatak kelas dan manja. Sejak menerima tamparan
dari Han Ping, tak pernah ia melupakan hal itu. Dan setiap kali teringat, merahlah muka
karena marah. Tetapi entah bagaimana, ia tak dapat membenci pemuda itu.
Rupanya dendam yang terkandung dalam hatinya terhadap Han Ping itu, sekarang
ditumpahkan kepada Heng Ciu. Seketika meluaplah amarah nona itu. Sambil mendekap
dada untuk melindungi diri. Ia deliki mata kepada Heng Ciu. Keduanya saling
berpandangan dan diam-diam sama mengerahkan tenaga dalam. Mereka saling menunggu
siapa yang akan lebih dulu turun tangan.
Semula memang Ting Hong hendak membuat onar. Ia mengkal sekali terhadap sikap
Heng Ciu yang angkuh itu. Tetapi setelah urusan berlarut sedemikian rupa hingga melibat
tacinya, ia gugup juga. Tiba-tiba ia mendapat akal dan terus loncat ke samping Han Ping.
Ia hendak mencari perlindungan pada anak muda itu.
Heng Ciu memang tak mengerti hubungan antara keempat anak muda itu. Ia duga
mereka berempat tentulah sahabat-sahabat karib. Cepat Ia berkisar menghadap ke arah
Ting Hong dan siap menyerangnya.
Melihat adiknya terancam, tanpa banyak pikir lagi Ting Ling terus menghantam Heng
Ciu. "Nanti dulu nona Ting !" tiba-tiba Han Ping berseru mencegah seraya menyongsong
pukulan si nona. Karena pencegahan itu, dapatlah Heng Ciu loncat menghindar ke
samping. Tindakan Han Ping itu benar-benar mengejutkan Ting Hong, ia duga pemuda itu tentu
akan membantu tacinya. Tetapi ternyata malah melindungi Heng Ciu,
Sambil loncat di tengah tengah Heng Ciu dan Ting Ling, Han Ping berkata : "Kita
sebenarnya tak saling kenal mengenal dan tak mempunyai dendam permusuhan suatu
apa. Mengapa kita harus saling baku hantam " Aku terpaksa melerai, entah apakah
saudara-saudara menyetujui tindakanku itu . . . ."
Malam itu Heng Ciu merasa serba salah. Habis bertempur dengan si Bungkuk, lalu
mengadu tenaga dengan Han Ping, tukar pukulan dengan Ca Giok, ditampar Ting Hong
dan ngotot dengan Ting Ling. Dalam beberapa peristiwa itu ia selalu menderita kerugian.
Sambil mengusap-usap tengkuknya ia menggerutu : "Ah, sial benar, sungguh seperti
melihat setan . . . ."
Sesungguhnya ia hanya menumpahkan kesialan yang diderita malam itu. Tiada maksud
untuk memaki orang. Tetapi kata-kata itu telah menimbulkan salah paham.
Kedua nona Ting panas hatinya. Han Ping pun marah karena kemarin dia juga dimaki
"berbau setan" oleh pengemis sakti Cong To.
"Kalau bicara harap saudara sedikit pakai kesungkanan. Aku mengalah tetapi bukan
berarti takut kepadamu !" serunya dengan marah.
Heng Ciu terkesiap. Tiba-tiba ia menjawab murka : "Jika kalian hendak mengeroyok,


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silahkan turun tangan. Cara mencari-cari kesalahan begini, bukanlah laku seorang jantan
!" Ca Giok mendengus : "Segala penyakit asalnya dari mulut. Begitupun segala bahaya.
Jika saudara tidak ingin cari perkara, sebaiknya harus menghemat mulut, jangan bicara
yang tak berguna !"
Ting Hong tertawa mengikik : "Jika engkau omong seenakmu sendiri, berarti engkau
menyediakan mukamu untuk ditampar !"
Han Ping teringat akan ucapan si pengemis muda. Diam-diam Ia menimang. Jika
sampai bentrok dan pemuda Ho itu sampai angkat kaki, kelak tentu sukar untuk
mencarinya. Akhirnya ia terpaksa menahan sabar, katanya dengan tertawa : "Harap
saudara Ho jangan salah paham. Terus terang, aku dan kedua nona ini memang paling
benci kalau mendengar dimaki berbau setan. Kalau saudara tadi memang tak bermaksud
apa-apa, kamipun takkan menarik panjang urusan ini !"
Heng Ciupun segera teringat ketika di dalam biara gunung, ia mendengar Han Ping
dimaki begitu oleh Pengemis sakti. Segera ia tertawa dan menghaturkan maaf kepada Han
Ping serta kedua nona.
Diam-diam Heng Ciu menyadari bahwa di antara keempat pemuda itu, hanya Han Ping
seorang yang bersikap bersahabat. Ca Giok dan kedua nona itu bersikap memusuhinya.
Setiap ucapan yang salah sedikit saja, mereka akan mempergunakan untuk alasan
menyerangnya. Menyadari gelagat itu, terpaksa ia menahan kesabaran dan bersikap baik
terhadap Han Ping,
Sebenarnya situasi tadi memang genting. Ca Giok dan kedua Ting sudah siap
menghancurkan pemuda itu setelah melihat Han Ping menegur dengan tajam. Tetapi
ternyata keadaan berobah lagi, Pemuda itu berbaik lagi dengan Han Ping.
Karena hari sudah petang, Han Ping mengajak kawan-kawannya untuk melanjutkan
langkah ke halaman gedung bertingkat itu. Sengaja ia berkata dengan suara nyaring agar
didengar orang-orang dari Lam hay bun. Dan ia sendiripun segera mempelopori maju.
Kedua nona Ting segera mengikuti di belakangnya lalu Heng Ciu dan paling belakang
adalah Ca Giok.
Setelah melalui beberapa petak tanaman pohon bunga, mereka tiba di muka gedung
bertingkat yang terang benderang penerangannya. Tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa nyaring dan pada lain kejap muncullah lelaki yang mengenakan baju benang emas
yakni pengawal gedung yang tadi menyiram api.
"Mengingat tadi engkau berseru lantang untuk memberitahukan kedatanganmu,
akupun akan memberi pengecualian juga. Dengarlah ! Dalam lingkungan seluas tiga
tombak di gedung Mega Biru sini, penuh dipasangi alat-alat perangkap. Sekali salah
tindak, tubuh tentu hancur lebur. Jika kalian tak percaya, silahkan mencoba !"
Habis berkata orang itu menatap rombongan Han Ping dengan tajam. Tanpa berkata
apa-apa lagi, ia berputar tubuh dan melangkah masuk ke dalam gedung yang disebut
Mega Biru itu. Han Ping memandang ke arah gedung bertingkat itu dengan penuh perhatian.
Dilihatnya empat penjuru keliling gedung itu tiada tampak sesuatu yang aneh. Satusatunya
yang agak berbeda ialah pohon-pohon bunga yang ditanam dalam kebun rumput
gedung itu jaraknya jauh satu sama lain. Kira-kira terpisah sepuluh langkah. Pohon-pohon
itu adalah pohon Pek-yang. Dan lain hal yang menyolok aneh, hanya tingkat bagian atas
dari gedung itu saja yang terang benderang, sedang bagian bawah gelap sama sekali.
Han Ping menduga tentu pohon-pohon itu ditanam dengan maksud tertentu. Tetapi ia
tak tahu apa artinya. Berpaling kepada Ca Giok ia bertanya : "Harap saudara Ca suka
meninjau keadaan pohon-pohon itu. Apakah ada sesuatu yang aneh ?"
Ca Giok merenung beberapa saat lalu berpaling ke arah Ting Ling : "Lembah Raja setan
termahsyur dengan ilmu barisan. Kiranya nona tentu sudah mewarisi kepandaian dan
tentu dapat melihat apa yang disiapkan orang-orang Lam-hay-bun itu. Aku tak berani
lancang memberi ulasan yang salah . . ."
Kemudian ia berkata kepada Han Ping : "Harap saudara Ji tanyakan hal itu kepada
kedua nona Ting. Pengetahuanku terbatas. Masakan di hadapan ahli, aku berani
mengunjuk diri !"
Dalam pada saat itu, Ting Lingpun memandang susunan pohon-pohon itu dengan
seksama. Diam-diam ia memaki Ca Giok yang licin.
Kiranya pohon-pohon itu tidak disusun menurut bentuk barisan Kiu-kiong-pat-kwa-tin.
Nona itu kerutkan alis.
"Pohon pek-yang dan pohon-pohon bunga dalam kebun rumput itu, walaupun
mencurigakan tetapi bukanlah merupakan barisan Kiu-kiong-pat-kwa-tin. Mungkin di
antara pohon-pohon itu hanya dipasangi alat-alat perangkap. Ca-ke-poh termahsyur
tentang alat-alat rahasia. Sau pohcu tentulah paham akan ilmu itu. Maukah sau pohcu
membawa kami kesana ?"
Ca Giok menghela napas, ujarnya : "Terima kasih atas pujian nona. Sekalipun aku tak
paham tentang ilmu alat-alat rahasia itu, tetapi aku bersedia menjadi pelopor"
Habis berkata pemuda itu terus melangkah maju mendahului di muka Han Ping. Tetapi
diam-diam dalam hati ia memaki Ting Ling yang dianggapnya benar-benar seorang nona
yang licin dan banyak akal muslihatnya. Dengan mudah nona itu dapat mengembalikan
beban yang ditimpakan kepadanya kepada Ca Giok.
Tiba-tiba Han Ping maju dan menarik lengan Ca Giok : "Masuk ke daerah terlarang ini
adalah atas kemauanku. Bagaimana mungkin kubiarkan saudara yang terancam bahaya "
Lebih baik akulah yang berjalan di depan sendiri !"
"Ah, mengapa saudara Ji masih mengadakan perbedaan begitu tajam. Bukankah aku
yang menjadi pelopor jalan juga sama saja artinya ?" Ca Giok tersenyum.
Tiba-tiba Ting Hong menyelutuk : "Sudahlah, tak perlu kalian ribut-ribut. Lebih kita
minta saudara Ho ini yang menjadi pelopor saja !"
"Itu tergantung pada keberanian saudara Ho", sahut Ca Giok.
"Mengapa tak berani", sahut Heng Ciu terus melangkah maju. Tetapi dicegah Han Ping
: "Jangan saudara, lebih baik aku saja yang menjadi pelopor !"- Han Ping terus loncat ke
muka dan diam-diam kerahkan tenaga dalam berjaga-jaga. Dan sekali enjot, ia melayang
ke arah salah sebuah pohon. Ia ulurkan tangan kiri menyambar bunga.
"Hai, jangan menjamah pohon bunga itu. Lekas menyisih ke samping !" teriak Ting
Ling. Han Ping terkejut dan buru-buru tarik pulang tangannya lalu loncat ke samping. Tepat
pada saat ia loncat ke samping itu, tiba-tiba daun dari pohon bunga itu berguguran jatuh.
Dari bekas ranting yang gugur daunnya itu, menghambur air sejauh satu tombak luasnya.
Han Ping duga, semburan air itu tentu mengandung racun. Segera ia ayunkan tangan
menghantam pohon itu. Krak . . . pohon bunga itupun rubuh. Han Ping terkesiap sendiri.
Ia tak mengira bahwa pukulannya sedemikian dahsyatnya.
Tiba-tiba dari pangkal pohon yang rubuh itu menyemburkan air setinggi dua tombak
lalu berhamburan turun ke empat penjuru.
Sejak menderita siksaan terkena racun tawon, kini Han Ping lebih hati-hati. Melihat
hujan air beracun itu, cepat-cepat ia loncat balik ke tempat kawan-kawannya lagi.
Pangkal kutungan pohon itu terus menerus muntahkan air ke atas. Beberapa waktu
kemudian barulah hujan air racun itu berhenti.
Kedua nona Ting, Ca Giok dan Heng Ciu terkejut ketika Han Ping terancam hujan racun,
Baru setelah pemuda itu melayang balik ke tempatnya semula, Ca Giok menghela napas
perlahan, ucapnya : "Jika aku yang mengambil tempat saudara Ji, kemungkinan tentu
sudah tertimpa hujan air beracun itu !"
Setelah mengawasi dengan seksama, berkatalah Ting Ling : "Jika pohon bunga itu
ternyata hanya buatan orang, kemungkinan besar pohon-pohon pekyang dan padang
rumput itupun juga buatan orang. Didalamnya tentu terdapat alat rahasia yang lebih ngeri.
Menilik gelagatnya, tidaklah mudah untuk melintasi kebun rumput itu . . . ."
Nona itu tak melanjutkan kata-katanya ketika melihat tingkat kedua dari gedung itu
tiba-tiba padam penerangannya.
"Ah, betapapun bahayanya, tetapi kita tak dapat mundur . . . ." kata Han Ping.
"Aku mempunyai saran entah dapat digunakan atau tidak", tiba-tiba Heng Ciu
menyelutuk. Ca Giok tertawa dingin : "Eh, tak kira kalau saudara Ho pandai juga tentang siasat.
Rencana apakah yarg hendak saudara ajukan " Bukankah dengan menggunakan api ?"
Diam-diam pemuda Ho itu terkejut, pikirnya : "Ke empat pemuda ini, selain memiliki
kepandaian sakti, juga memiliki kecerdasan yang tinggi. Apa yang kupikirkan, ternyata
dapat diduganya",
Namun Heng Ciu tetap tenang dan hanya tertawa hambar : "Benar, jika kita hendak
menghindari bahaya, lebih baik kita gunakan api menyerang mereka. Alat rahasia dan
segala jenis binatang beracun apapun, tentu akan hancur !"
Ting Ling tertawa perlahan : "Pendapat saudara Ho itu, mungkin tak mudah
dilaksanakan. Selain mereka tentu sudah memperhitungkan kemungkinan itu, pun rnereka
tentu sudah siapkan jago-jago sakti yang tak mudah kita kalahkan !"
"Ah, maaf, memang kecuali rencana itu, aku tak mempunyai lain saran lagi" buru-buru
Heng Ciu menyusuli kata.
Tir.g Ling tertawa dingin : "Jika saudara Ho menyangsikan keteranganku tadi, tak
apalah kalau kita coba-coba menggunakan api itu. Tetapi dikuatirkan sebelum api itu
menjalar ke atas tingkat, jiwa kita tentu sudah melayang !"
"Hm, aku tak percaya akan terjadi hal yang sedemikian anehnya !" kata Heng Ciu
seraya mengeluarkan sebuah benda hitam : "Hendak mencoba, benarkah pohon-pohon
bunga buatan manusia itu tak dapat dihancurkan !"
Ting Ling melirik dan kerutkan alis, serunya : "Pelor belerang !"
Heng Ciu terkesiap, ujarnya : "Benar, memang pelor Siau-hong-tan. Nona sungguh
berpengalaman luas".
Ca Giok menyelutuk : "Huh, orang persilatan manakah yang tak kenal akan
keistimewaan ilmu menggunakan api dari Lembah Raja setan " Sayang saudara Ho sendiri
yang kurang pengalaman !"
Ting Ling deliki mata dan tertawa : "Ah, sau pohcu kelewat memuji diriku. Oleh karena
saudara Ho hendak mencoba gunakan api, lebih baik kita mundur ke belakang agar jangan
menemaninya terkubur di tempat ini !"
Ca Giok cukup kenal akan watak nona itu. Jika tak perlu tentu tak mau bicara
sembarangan. Cepat ia mundur dua langkah dan berkata kepada Han Ping : "Saudara Ji,
mari kita mundur untuk menyaksikan keramaian ini".
Sejenak berpikir, Han Ping menyahut : "Ini..."
Pemuda itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Ting Hong sudah menarik
lengan bajunya : "Ciciku selalu tepat memperhitungkan sesuatu. Jika dia mengatakan tak
dapat menggunakan api, tentulah tak dapat . . . ."
Marahlah Heng Ciu : "Aku tak percaya sama sekali . . . ." ia merogoh korek dan
menyulut. Tiba-tiba sesosok tubuh melayang di udara seraya berseru : "Suheng, berhentilah !"- si
pengemis muda yang rambutnya kusut masai, melayang di samping Heng Ciu.
Heng Ciu berpaling dan tertawa dingin : "Kemanakah suhu ?"
Pengemis muda itu tersipu-sipu memberi hormat kepada Heng Ciu : "Suhu sedang
melihat Au Bungkuk bertempur lawan Leng Kong siau".
Heng Ciu meniup padam korek dan berkata dengan murka : "Saat perjanjian segera
tiba, mengapa dia masih mempunyai kegembiraan untuk melihat pertandingan. Hm,
kulihat dia memang sudah jemu hidup !"
Ucapan itu membuat Ca Giok dan kedua nona Ting terkesiap. Sedang Han Pingpun
gemetar. Diam-diam ia mendamprat : "Orang persilatan paling menjunjung tinggi kepada
gurunya. Tetapi dia malah seenaknya saja memaki gurunya sendiri. Suatu hal yang jarang
terdapat dalam dunia persilatan . . . ."
Pengemis muda itu hanya tertawa tawar : "Andaikata suhu mempunyai kesalahan,
tetapi tak selayaknya di depan sekian banyak orang, suheng menghinanya. Apalagi waktu
dari perjanjian itu masih belum saatnya . . . ."
"Hm, engkau berani memberi nasehat kepadaku ?" tiba-tiba Heng Ciu menampar muka
pengemis muda itu.
Melihat gerakan tangan Heng Ciu menimbulkan deru angin dahsyat, Han Ping menduga
pengemis muda itu tentu menghindar. Tetapi ternyata dugaannya itu meleset. Pengemis
muda itu tetap tegak di tempat dan menerima tamparan itu. Plak.... pengemis itu bergetar
tubuhnya dan mengisar dua langkah ke samping. Mulutnya berlumuran darah dan
bercucuran turun . . . .
Heng Ciu tertawa dingin : "Hm, rupanya engkau tahu aturan. Baik, kuberimu
keringanan takkan kutampar lagi !"
"Tata susila antara yang muda dengan yang tua, aku tak berani melanggar. Sekalipun
suheng membunuhku, akupun tetap tak mau membalas", sahut si pengemis muda.
Tiba-tiba Heng Ciu marah lagi : "Bagus, engkau berani menyindir aku !"- Ia ayunkan
tangan menamparnya lagi.
Secepat kilat Han Ping melesat dan mencengkeram lengan Heng Ciu, serunya : "Harap
bicara dengan mulut, jangan dengan tangan !"
Heng Ciu sudah kenal kelihaian Han Ping. Jika pemuda itu sampai ikut campur, urusan
tentu menjadi runyam. buru-buru ia tertawa : "Apakah saudara hendak memintakan
ampun untuknya ?"
"Maaf, aku tak berani lancang mencampuri urusan dalam perguruan saudara. Tetapi
kumohon suka memandang mukaku dan jangan memukul sute saudara lagi . . ."
"Pengemis kecil ini tak pernah menerima budi orang. Urusan antara kami berdua
suheng dan sute, tak perlu orang lain campur tangan !" tiba-tiba pengemis muda itu
menyelutuk. Han Ping tertegun : "Apa " Apakah aku salah karena melerai itu ?"
Pengemis muda itu tertawa dingin : "Suheng memaki dan memukul aku, sudah
selayaknya. Siapa suruh engkau mencampuri urusan ini ?"
"Ho, rupanya engkau memang senang ditampar !"
Pengemis muda itu menengadah ke atas dan tertawa nyaring : "Aha, hal itu tergantung
dari aku si pengemis muda rela ditampar atau tidak !"
Heng Ciu mundur dua langkah. Rupanya ia menarik diri dari persoalan itu dan hendak
menjadi penonton saja.
Karena beberapa kali menerima ejekan pengemis muda itu, murkalah Han Ping : "Hm,
belum tentu hanya suhengmu saja yang dapat menampar mukamu !"
"Huh, aku tak percaya ! Siapakah yang berani menampar pengemis ini ?" pengemis
muda itu makin menantang.
Meluaplah darah Han Ping. Maju selangkah ia mengangkat tangan kiri dan secepat kilat
memukul dengan tangan kanan. Itulah salah sebuah jurus istimewa ajaran mendiang Hui
Gong taysu. Pada saat tangan kiri Han Ping diangkat, secepat kilat pengemis muda itu hendak
menerkam pergelangan tangan Han Ping. Setitikpun ia tak menyangka bahwa Han Ping
akan menyusuli dengan pukulan tangan kanan. Dalam gugupnya, pengemis itu buang
tubuhnya mundur lima langkah.
Tetapi Han Ping tetap membayangi. Baru pengemis itu dapat berdiri tegak, Han
Pingpun sudah tiba. Mencengkeram bahu pengemis itu dengan tangan kiri, Han Ping
ayunkan tangan kanan menampar mukanya. Tetapi tiba-tiba ia menarik pulang tangannya
di tengah jalan . . . .
Sekalipun begitu, sekalian orang yang menyaksikan adegan itu, mengetahui bahwa Han
Ping telah memberi kemurahan pada pengemis muda itu. Tetapi tiada seorangpun yang
tahu, ilmu pukulan apa yang digunakan Han Ping untuk menampar itu. Diam-diam
merekapun mengakui. Andaikata ditampar dengan ilmu itu, mereka merasa tak mampu
menghindar lagi.
Sejak mengembara di dunia persilatan, belum pernah pengemis muda itu menerima
hinaan seperti saat itu. Ia terlongong-longong. . . .
Han Ping mundur dua langkah dan berpaling kepada kedua nona serta Ca Giok : "Kita
harus mencari daya untuk melintasi daerah berbahaya ini. Apakah kita akan mundur begini
saja ?" Ca Giok kerutkan dahi berkata : "Alat-alat rahasia yang terpendam di daerah berbahaya
itu, hebat dan ketat sekali. Untuk membobolkannya kiranya hanya ada dua cara"
Atas permintaan Han Ping, Ca Giok menerangkan : "Menurut hematku, dalam dunia
Pedang Ular Mas 11 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es 16
^