Sang Penerus 3
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Bagian 3
berusaha untuk bangkit, ia justru terhuyung-huyung
kehilangan keseimbangannya. Meskipun Laksana mencoba
berpegangan tiang, tetapi iapun jatuh terduduk. Pedangnya
telah terlepas dari tangannya, sementara nafasnya menjadi
sesak. Sementara itu Manggadapun tidak dapat bertahan lebih
lama lagi. Dengan kerasnya Manggada terlempar ketika
kaki Niskara itu mengenai pundaknya. Demikian kerasnya
sehingga Manggada membentur dinding dan bahkan
dinding itu telah terkoyak. Manggada yang terlempar itu
terjatuh keluar rumah. Tetapi tidak dihalaman depan.
Manggada berguling beberapa kali di halaman sam ping.
Kepalanya yang membentur dinding sehingga koyak itu
menjadi pening. Matanya berkunang-kunang dan kemudian
menjadi gelap. Hampir bersamaan kedua orang anak muda itu menjadi
pingsan. Sementara itu pertempuran di halaman masih berlangsung dengan sengitnya. Kiai Gumrah dengan ketiga
orang kawannya yang gelisah itu telah meningkatkan
kemampuan mereka. Namun lawan-lawan merekapun
berbuat serupa pula, sehingga karena itu, maka pertempuran itu benar-benar menjadi pertempuran yang
seru diantara orang-orang berilmu tinggi.
Kiai Windu Kusuma yang berhadapan dengan Kiai
Gumrah, ternyata juga menjadi gelisah. Ia berharap agar
Niskara dapat menguasai pusaka-pusaka itu dengan cepat.
Namun ternyata Niskara masih juga belum keluar dari
rumah itu dengan membawa pusaka-pusaka yang diinginkannya. Justru karena itu, maka dua orang berilmu tinggi itu
bertempur dalam kegelisahan mereka masing-masing. Kiai
Gumrah gelisah karena Manggada dan Laksana yang keras
hati, keduanya tentu tidak akan begitu saja meninggalkan
pusaka-pusaka itu meskipun lawannya dapat mengancam
jiwanya. Sementara itu, kawan-kawannya dan bahkan
dirinya sendiri tentu tidak akan dapat dengan mudah
meninggalkan lawan-lawannya.
Sedangkan Kiai Windu Kusuma menjadi gelisah karena
Niskara tidak segera keluar dari rumah dengan membawa
pusaka-pusaka yang mereka kehendaki. Menurut perhitungan Kiai Windu Kusuma. Niskara akan dapat
dengan mudah menyelesaikan kedua orang anak muda
yang ada didalam yang kemampuannya masih sangat dasar
sebagaimana dilaporkan oleh dua orang yang telah datang
lebih dahulu kerumah itu.
Kiai Windu Kusuma untuk sementara masih menahan
diri. Ia mencoba untuk mengerahkan kemampuannya serta
memusatkan nalar budinya menghadapi Kiai Gumrah.
Tetapi kegelisahannya itu seakan-akan tidak tertahankan
lagi. Karena itu, maka iapun berteriak "He, lihat, apakah
Niskara justru tidur didalam atau ia telah berkhianat dan
membawa pusaka-pusaka itu pergi melalui pintu butulan."
Untuk sesaat masih belum ada yang meninggalkan arena
pertempuran itu. Dua orang kawan Kiai Gumrah yang
masing-masing harus menghadapi dua orang sekaligus telah
mengerahkan ilmunya. Mereka mencoba untuk menahan
salah seorang dari lawannya yang akan meninggalkan
arena. Tetapi karena lawannya juga menghentakkan
kemampuan mereka, maka kedua orang kawan Kiai
Gumrah itu justru terdesak surut.
Justru pada saat itu seorang dari mereka telah meloncat
meninggalkan salah seorang kawan Kiai Gumrah itu dan
berlari kepintu rumah Kiai Gumrah. Sementara itu seorang
kawannya harus bertempur seorang melawan seorang
dengan kawan Kiai Gumrah itu. Orang itu memang segera
terdesak. Tetapi ia masih mempunyai beberapa cara untuk
mempertahankan hidupnya. Halaman rumah Kiai Gumrah
ternyata cukup luas untuk menghindar disaat-saat yang
sulit. Bahkan beberapa batang pohon buah-buahan dapat
dipergunakan untuk sekedar menyelamatkan diri pada saat-
saat yang paling gawat.
Demikianlah, seorang pengikut Kiai Windu Kusuma
yang memasuki rumah Kiai Gumrah itupun langsung
menuju keruang dalam. Dilihatnya seorang anak muda
yang pingsan terbaring dilantai. Kemudian dilihatnya pula
dinding bambu yang koyak. Demikian ia melihat keluar
lewat lubang dinding itu, dilihatnya seorang anak muda
yang lain telah terbaring pula.
Namun orang itu terkejut bukan buatan ketika ia melihat
Niskara juga terbaring diluar rumah tidak terlalu jauh dari
anak muda yang juga terbaring diluar itu.
Dengan cepat ia merunduk lewat lubang dinding itu
keluar. Ketika ia berjongkok disebelah Niskara, maka
dilihatnya tubuh itu terkoyak mengerikan. Luka-luka yang
parah terdapat hampir diseluruh tubuhnya.
"Siapa yang telah memperlakukan Niskara seperti ini?"
pertanyaan itupun telah bergejolak didalam hatinya. Tetapi
orang itupun harus menjadi sangat berhati-hati. Niskara
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kemampuannya. Tetapi ia gagal mempertahankan hidupnya. Justru dengan luka yang sangat parah.
Tetapi kawan Niskara itu tidak yakin bahwa luka-luka
itu adalah luka-luka senjata. Luka-luka itu menurut
pengamatannya seakan-akan luka oleh kuku-kuku dan
taring binatang buas.
"Tetapi dimana ada binatang buas disini?" orang itu
bertanya didalam hatinya.
Karena itulah, maka orang itupun segera mengambil
keputusan untuk mengambil pusaka-pusaka yang disimpan
oleh Kiai Gumrah. Dengan senjata teracu ia kemudian
meninggalkan Niskara dengan sangat berhati-hati. Karena
Niskara telah mati, maka ia tidak akan berbuat apa-apa
untuk menyelamatkannya. Apalagi kedua orang anak muda
itu mungkin pingsan. Jika mereka sadar, maka ia harus
bertempur lagi melawan keduanya.
Karena itu, maka kawan Niskara itupun segera
menyuruk kembali masuk kedalam rumah. Perlahan-lahan
ia melangkah ke bilik tempat pusaka-pusaka itu mungkin
disimpan. Ketika angin bertiup menyingkap tirai dipintu bilik
sebelah, maka nampak sebuah ploncon dengan pusaka-
pusaka yang tentu pusaka yang dicarinya. Dalam
keremangan lampu yang redup, orang itu melihat beberapa
batang tombak dan songsong berdiri tegak pada ploncon
itu. Orang itu tidak berpikir panjang. Dengan serta-merta
orang itu meloncat masuk kedalam bilik yang redup itu.
Tetapi orang itu terkejut bukan buatan. Demikian ia
berdiri didalam bilik itu, maka dilihatnya dua ekor harimau
menggeram siap untuk menerkamnya.
Dengan cepat orang itu meloncat mundur. Namun kedua
ekor harimau itu telah mengikutinya, keluar dari bilik itu.
Orang itu bukan seorang penakut. Seandainya ia harus
berkelahi melawan seekor dari kedua harimau yang besar
itu, ia tidak akan gentar. Tetapi melawan dua ekor harimau
yang besar dan garang itu, maka nasibnya tentu tidak akan
lebih baik dari Niskara yang telah terbunuh itu.
Dalam waktu yang pendek itu otaknya bekerja dengan
cepat. Ia akan memancing harimau itu keluar rumah dan
membawanya ke halaman. Jika harimau itu berada
dihalaman, maka harimau itu tentu tidak akan dapat
memilih siapakah yang akan dilawannya.
Meskipun demikian sekilas timbul keheranan didalam
hatinya, bahwa kedua ekor harimau itu tidak berbuat apa-
apa terhadap kedua orang anak muda yang pingsan itu.
Tetapi ia tidak sempat berpikir panjang. Dengan cepat ia
meloncat keluar pintu rumah dan berlari ke halaman.
"Kenapa kau berlari-lari he?" Kiai Windu Kusuma
berteriak "Dimana Niskara?"
Orang itu berhenti sejenak. Ternyata kedua ekor harimau
itu tidak mengejarnya. Satupun diantara keduanya tidak
ada yang nampak keluar pintu depan rumah itu.
"He, dimana Niskara?" sekali lagi Kiai Windu Kusuma
yang masih bertempur melawan Kiai Gumrah itu berteriak.
Terdengar Kiai Gumrah tertawa. Ia memanfaatkan
keadaan itu untuk mempengaruhi lawannya. Katanya
"Nah, ternyata Niskara tidak dapat mengalahkan kedua
orang cucuku itu."
"Tidak" teriak orang itu yang masih berdiri ter-mangu-
mangu beberapa langkah didepan pintu. "Kedua anak muda
itu terbaring diam di rumah itu. Mungkin ia pingsan atau
mati atau pingsan sampai mati."
"Jika demikian kenapa kau berlari-lari keluar?" bertanya
Kiai Gumrah. "Ternyata didalam rumah terdapat harimau jadi-jadian.
Atau pusaka-pusaka itu dapat berwujud harimau. Ada dua
ekor harimau di bilik penyimpanan pusaka itu." teriak
orang itu dengan suara bergetar. Masih terasa betapa
jantungnya menjadi ngeri melihat kedua ekor harimau itu.
Yang mendengarkan teriakan orang itu menjadi terkejut
karenanya. Bahkan Kiai Gumrah dan kawan-kawan-
nyapun terkejut pula. Kiai Gumrah yang tinggal dirumah
itu tidak pernah melihat ada seekor harimau. Apalagi
didalam rumahnya. Ia juga tidak percaya bahwa pusaka-
pusaka itu dapat berubah menjadi harimau atau dari
dalamnya keluar seekor harimau atau bahkan lebih.
Namun dalam pada itu, pertempuran itu masih
berlangsung. Seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang
harus bertempur menghadapi seorang kawan Kiai Gumrah
telah mengalami kesulitan. Sejak kawannya meninggalkannya masuk mencari Niskara, maka ia lebih
banyak berlari-lari menghindar. Kadang-kadang bahkan ia
harus berputar-putar mengelilingi pohon-pohon besar dan
perdu untuk menyelamatkan diri.
Karena kawannya yang berlari keluar dari rumah itu
masih saja termangu-mangu, sementara kulitnya telah
mulai tergores ujung senjata lawannya, maka ia segera
berteriak "He, jangan tidur disitu. Kau menunggu jantungku
koyak?" Orang itupun segera menyadarinya. Karena itu, maka
iapun segera berlari menggabungkan diri dengan kawannya
yang ditinggalkannya.
Namun keadaan keselamatan pertempuran itu sudah
berubah. Kawan-kawan Kiai Gumrah sudah mulai
menekan lawan-lawannya. Bahkan yang melawan kedua
orang pengikut Kiai Windu Kusuma itupun telah berhasil
menekan lawannya. Meskipun
lawannya bertempur berpasangan, namun kemampuannya memang masih
belum setingkat dengan Niskara yang terbunuh itu.
Ternyata Kiai Windu Kusuma mulai mempertimbangkan keadaan. Ia sendiri merasa tidak akan
dapat mengatasi Kiai Gumrah. Bahkan semakin lama maka
tekanan Kiai Gumrah itupun terasa menjadi semakin berat.
Apalagi dengan ceritera tentang kedua ekor harimau itu.
"Jika harimau itu mampu memilih lawan, maka
persoalannya akan menjadi lain" berkata Kiai Windu
Kusuma didalam hatinya.
Meskipun demikian untuk beberapa saat ia masih
mencoba untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi Kiai
Gumrahpun telah sampai ketataran yang lebih tinggi pula.
Bagaimanapun juga, maka Kiai Windu Kusuma tidak
akan dapat mengalahkan lawannya. Kecuali jika ia
mencoba untuk mempergunakan ilmu puncaknya. Meskipun demikian maka Kiai Windu Kusuma itupun
yakin bahwa Kiai Gumrahpun tentu memiliki ilmu
simpanannya. Ternyata kehadirannya dirumah itu telah disambut oleh
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekuatan diluar perhitungannya. Meskipun ia memang
menduga bahwa Kiai Gumrah tidak sendiri, tetapi ia tidak
mengira bahwa ada empat orang berilmu tinggi dirumah itu
selain kedua orang cucu Kiai Gumrah.
Memang timbul niat Kiai Windu Kusuma untuk
menyelesaikan pertempuran itu dengan tuntas. Ia sudah
siap mempertaruhkan hidup dan matinya untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu. Namun ketika dalam
kegelapan malam dihalaman samping ia sempat melihat
dua pasang sinar yang kehijau-hijauan, maka Kiai Windu
Kusuma memang harus berpikir ulang. Kiai Windu
Kusuma sadar, bahwa sinar kehijauan yang dua pasang
memancar dalam kegelapan itu tentu mata dua ekor
harimau sebagaimana dikatakan oleh salah seorang
pengikutnya itu.
Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma harus membuat
perhitungan yang cermat.
Sementara itu Putut Sempada yang bertempur melawan
kawan Kiai Gumrah yang disebut juragan gula itupun
berkata "Jadi kalian menyimpan harimau jadi-jadian
dirumah ini" Harimau seperti itu memang berarti untuk satu
saat. Tetapi pada kesempatan lain, setelah kami tahu bahwa
disini ada harimau jadi-jadian, maka kalian tidak akan
sempat berbuat sesuatu lagi."
Juragan gula itu tidak menjawab. Ia memang ikut
bingung menanggapi persoalan harimau yang ada dirumah
itu. Iapun melihat bulatan-bulatan cahaya kehijauan di
kegelapan. Juragan gula itu juga mengira bahwa yang
bercahaya itu bukan sekedar mata kucing. Tetapi tentu
mata harimau. "Kiai Gumrah belum pernah berceritera tentang harimau
itu" berkata juragan gula itu didalam hatinya.
Bahkan Kiai Gumrah sendiri menjadi gelisah melihat
dua pasang mata harimau dihalaman samping rumahnya.
Ia sendiri tidak tahu sama sekali tentang harimau-harimau
itu. Bahkan Kiai Gumrah juga memikirkan kemungkinan
buruk atas Manggada dan Laksana yang mungkin pingsan.
Jika mereka masih mempunyai kesempatan hidup, maka
harimau-harimau itu akan dapat mengoyakkan tubuhnya.
Ternyata kebingungan itu membuat mereka yang sedang
bertempur itu tidak lagi memusatkan perhatian mereka.
Kiai Windu Kusuma, Putut Sempada, para pengikut Kiai
Windu Kusuma yang lain menganggap bahwa harimau-
harimau itu adalah semacam harimau jadi-jadian yang
dapat membantu Kiai Gumrah. Jika demikian maka
keadaan mereka benar-benar akan menjadi semakin sulit.
Tanpa harimau-harimau itu mereka merasa bahwa tidak
mudah menundukkan orang-orang tua itu. Apalagi dengan
harimau jadi-jadian.
Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma itu tiba-tiba saja
berkata lantang "He, Kiai Gumrah. Itukah yang kau sebut
pertolongan dari Yang Maha Agung" Ternyata kaupun
bertumpu pada kekuatan iblis. He, apakah harimau jadi-
jadian bukan salah satu ujud kekuatan hitam?"
Kiai Gumrah tidak mau menerima tuduhan itu. Katanya
"Aku tidak pernah berhubungan dengan iblis."
"Jadi, apa artinya harimau-harimau itu" Seandainya
pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau, itukah
yang kau maksudkan?"
"Tidak." jawab Kiai Gumrah "tetapi jika harimau-
harimau itu datang dari hutan karena kebingungan dan
disini mereka menemukan Niskara dan membunuhnya, itu
harus kau renungkan."
"Omong kosong." geram
Kiai Windu Kusuma "tetapi
baiklah. Pada kesempatan
lain, aky akan datang dan
siap melawan harimau jadi-
jadianmu. Kau akan menyesal bahwa kau ternyata
tidak jujur dan licik."
Kiai Gumrah tidak menjawab. Namun kemudian
terdengar isyarat dari Kiai
Windu Kusuma. Isyarat agar
para pengikutnya mengundurkan diri dari halaman rumah Kiai Gumrah. Sambil bergeser keregol halaman, Kiai Windu Kusuma
dan para pengikutnya berusaha untuk dapat melepaskan
diri dari keempat orang tua yang mempertahankan pusaka-
pusaka itu. Sementara Kiai Gumrah dan kawan-kawannya
masih saja memikirkan nasib Manggada dan Laksana.
Karena itu, ketika kemudian Kiai Windu Kusuma meloncat
meninggalkan halaman itu. Kiai Gumrah tidak mengejarnya. Bahkan ia memberikan isyarat kepada kawan-
kawannya agar mereka tidak mengejar orang-orang yang
melarikan diri dari halaman rumahnya. Ada yang meloncat
keluar dari regol, tetapi ada pula yang memanjat dinding
halaman yang memang tidak terlalu tinggi.
Demikian orang-orang itu pergi, maka tanpa berjanji
Kiai Gumrah dan kawan-kawannya telah berlari kepintu
rumah. Namun Kiai Gumrah dan kawan-kawannya tidak
meninggalkan kewaspadaan. Harimau yang semula ada
dihalaman, namun kemudian sinar mata itu bagaikan
padam, justru mungkin telah ada didalam rumah itu
kembali. Mungkin harimau-harimau itu siap untuk
menerkam mereka berempat demikian mereka masuk.
Tetapi keempat orang itu tidak melihat sesuatu. Mereka
tidak melihat harimau. Yang mereka temukan adalah
Laksana yang telah mulai sadar kembali.
"Anak itu pingsan" desis Kiai Gumrah.
Sambil berjongkok disisi Laksana Kiai Gumrah bertanya
"Dimana Manggada?"
Laksana termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi.
"Aku masih melihat ia bertahan" desis Laksana. Tiba-
tiba saja mereka mendengar seorang diantara kawan Kiai
Gumrah itu berkata "Ia ada disini."
Merekapun dengan tergesa-gesa telah berlari kearah
suara itu, menyusup dinding
yang terkoyak dan sebenarnyalah mereka menemukan Manggada yang juga
sudah mulai sadar.
Laksana yang baru sadar itupun telah ikut pula berlari. Ia
menarik nafas panjang ketika ia melihat Manggadapun
telah duduk pula.
Tetapi mereka terkejut pula ketika mereka melihat tubuh
seseorang terbaring tidak jauh dari Manggada.
"Itulah orang yang disebut Niskara" desis Kiai Gumrah.
"Ya" jawab seorang kawannya yang sedang mengamati
tubuh yang terbaring diam dengan luka yang sangat parah
itu. Ketika orang-orang itu menyaksikan luka-luka ditubuh
Niskara itu, maka mereka sepakat bahwa luka-luka itu
adalah bekas kuku-kuku dan taring harimau.
"Jika hanya seekor harimau, mungkin Niskara akan
dapat mengatasinya. Tetapi dua ekor harimau yang besar
dan kuat dimalam yang gelap. Bahkan mungkin tiba-tiba."
berkata Kiai Gumrah sambil memandang berkeliling.
"Harimau-harimau itu ada didekat tempat ini. Dari
halaman depan kita melihat cahaya matanya yang kehijau-
hijauan." berkata salah seorang tamu Kiai Gumrah itu.
"Ya" juragan gula itu "tetapi aku tidak melihatnya
sekarang. Mungkin harimau-harimau itu bersembunyi.
Dengan tiba-tiba mereka akan meloncat menerkam kita."
"Apakah kita juga akan menjadi ketakutan?" bertanya
Kiai Gumrah. Juragan gula itu tertawa. Katanya "Harimau itulah yang
menjadi ketakutan."
"Ya. Apalagi setelah mendengar suaramu. Jauh lebih
garang dari aum seekor harimau" berkata salah seorang
yang lain. Orang-orang tua itu sempat tertawa. Namun kemudian
Kiai Gumrah teringat kepada Manggada dan Laksana yang
baru saja sadar dari pingsan. Sambil mendekati kedua orang
anak yang termangu-mangu itu, Kiai Gumrahpun bertanya
"Apakah kau melihat seekor atau dua ekor harimau
didalam atau diluar rumah ini?"
"Tidak kek" jawab Manggada "yang aku ingat adalah,
aku terlempar keluar. Sesudah itu semuanya gelap."
"Manggada" desis juragan gula itu "kau lihat, seorang
diantara mereka yang datang kerumah ini adalah yang
terbunuh itu. Menilik lukanya, tentu bukan luka karena
senjata. Luka itu adalah bekas kuku dan taring harimau
yang garang. Sementara itu seorang yang lain telah melihat
dua ekor harimau dirumah ini. Sehingga dengan demikian
mereka tidak sempat mengambil pusaka-pusaka itu
meskipun kalian berdua sudah pingsan."
Manggada termangu-mangu sejenak. Sementara Kiai
Gumrahpun bertanya kepada Laksana "Apakah kau juga
tidak melihat?"
"Tidak kek" jawab Laksana "akupun menjadi pingsan.
Kami berdua tidak mampu menahan orang yang datang
untuk mengambil pusaka itu. Tetapi agaknya orang itu
gagal karena orang itu justru terbunuh."
"Baiklah. Kita dihadapkan pada satu teka-teki. Tetapi
Kiai Windu Kusuma yang agaknya bersumber pada ilmu
hitam itu justru mengira bahwa harimau itu adalah harimau
jadi-jadian."
Para Tamu Kiai Gumrahpun mengangguk-angguk.
Tetapi mereka masih saja berusaha untuk mengamati
keadaan. Seorang diantara mereka telah melihat beberapa
batang pohon perdu yang rusak. Iapun melihat jejak kaki.
Kaki harimau. "Memang ada dua ekor harimau" desis orang itu.
"Baiklah" berkata Kiai Gumrah "tetapi bagaimana
dengan tubuh Niskara ini."
"Bukan kita yang membunuhnya" berkata juragan gula
itu. "Kita kuburkan saja di sudut kebun belakang. Jika ada
orang yang melihat, maka akan menjadi persoalan yang
berkepanjangan. Apalagi ceritera tentang harimau itu tentu
akan segera menjalar keseluruh padukuhan dan bahkan
seluruh Kademangan." berkata seorang yang lain.
Kiai Gumrahpun sependapat. Karena itu, maka mereka
telah menggali lubang kubur buat Niskara disudut halaman
belakang rumah itu.
Malam yang tersisa itupun telah diliputi suasana yang
lain. Keempat orang tua itu tidak berkelakar lagi seperti
sebelum mereka bertempur. Meskipun sekali-sekali masih
terdengar mereka tertawa, tetapi tidak meledak-ledak lagi.
Manggada dan Laksanapun tidak lagi berada di dapur.
Mereka juga berada diruang dalam bersama dengan orang-
orang tua itu. Untuk sementara dinding yang koyak itu
ditautkan dan diikat saja dengan tali ijuk yang sering
dipergunakan oleh Kiai Gumrah mengikat keranjang-
keranjang gula.
Juragan gula itupun ternyata menaruh perhatian yang
besar kepada Manggada dan Laksana. Karena itu, maka
iapun kemudian berkata "Ngger, kau telah melihat sendiri
apa yang terjadi disini. Bahkan ikut pula bermain dua ekor
harimau yang tidak diketahui asal-usulnya. Di padukuhan
ini sebelumnya kami tidak pernah menemukan seekor
harimaupun. Bahkan kucing hutanpun tidak, meskipun
disebelah bulak panjang itu terdapat padang perdu yang
langsung berhubungan dengan hutan yang meskipun tidak
terlalu besar, tetapi terhitung hutan yang buas. Dan kini,
tiba-tiba saja di rumah ini dua ekor harimau. Karena itu,
ngger. Sebaiknya kalian
berdua mempertimbangkan
kemungkinan untuk meninggalkan tempat ini. Bukankah
kalian datang kerumah ini sekedar untuk bermalam"
Seandainya malam itu angger berada dibanjar, bukankah
angger tidak akan tetap berada dibanjar sampai sekarang
ini?" Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Namun dengan nada rendah Manggada berkata "Kami
mohon maaf bahwa kami masih tetap tinggal.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnyalah bahwa kami merasa semakin terikat dengan
rumah ini. Kami sudah terlanjur terlibat. Setidak-tidaknya
menurut pendapat kami sendiri."
"Ngger" berkata Kiai Gumrah "seharusnya kau tidak lagi
bertahan dirumah ini. Kau tentu melihat, betapa aku selama
ini berusaha membohongimu. Aku tidak bersikap terbuka
terhadap kalian berdua meskipun kalian dengan ikhlas
berusaha membantu kami. Dengan demikian, sepantasnya
kalian menjadi curiga kepadaku sehingga kalian tidak lagi
percaya kepadaku."
"Kiai" berkata Manggada kemudian "aku tahu bahwa
tidak semua hal dapat Kiai katakan kepada orang lain,
termasuk kepada kami berdua. Tetapi bagaimanapun juga,
kami merasa wajib untuk membantu Kiai. Meskipun
pengertian membantu itu sesungguhnya tidak lebih dari
beban bagi Kiai dan yang lain."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Apaboleh buat. Tetapi kau sudah melihat bahaya yang
mengancam rumah ini. Meskipun demikian aku ingin
menjelaskan, bahwa dua ekor harimau itu tidak termasuk
permainan kami. Kami benar-benar tidak tahu, bahwa
kedua ekor harimau itu ada dan bahkan seakan-akan telah
membantu melindungi pusaka-pusaka itu atau bahkan
pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka
sama sekali tidak melihat harimau itu karena mereka
menjadi pingsan. Tetapi mereka melihat jejak harimau itu.
Dan harimau itu tidak hilang didalam bilik penyimpanan
pusaka. Tetapi jejaknya menuju ke sudut halaman dan
kemudian jejak itu seakan-akan telah hilang. Tetapi orang-
orang tua itu menduga bahwa harimau itu telah meloncat
memanjat pepohonan dan kemudian keluar dari halaman.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Manggada berkata
"Kiai. Mungkin aku dapat berceritera tentang dua ekor
harimau yang pernah aku lihat."
"Dimana kau lihat dua ekor harimau yang besar dan
garang itu?" bertanya Kiai Gumrah. Keterangan Manggada
itu sangat menarik perhatiannya.
Ketika kami berada dibalik hutan dilingkungan kuasa
Panembahan Lebdadadi, maka Ki Pandi yang bongkok itu
juga mempunyai dua ekor harimau yang jinak. Jinak bagi
Ki Pandi, tetapi ia tetap garang bagi orang lain, terutama
sesuai dengan petunjuk Ki Pandi. Kecuali kegarangan
harimau sebagaimana kebanyakan harimau liar, maka
kedua ekor harimau itu telah mendapat latihan-latihan
khusus dari Ki Pandi." berkata Manggada kemudian.
"Ki Pandi orang bongkok itu" tiba-tiba saja juragan gula
itu bertanya. "Ya" desis Manggada ragu-ragu. Ia tidak tahu,
bagaimana tanggapan Kiai Gumrah dan kawan-kawannya
itu terhadap orang yang bernama Ki Pandi itu. Jika mereka
justru bermusuhan, maka tanggapan mereka tentu akan
menjadi aneh, karena harimau-harimau itu justru telah
menyelamatkan pusaka-pusaka itu.
Tetapi seorang tamu Kiai Gumrah yang lainpun
kemudian tertawa sambil berkata "Orang bongkok yang
selalu murung itu" He, darimana ia tahu bahwa ada
persoalan yang timbul disini. Seandainya kedua ekor
harimau itu memang milik orang bongkok itu."
"Ki Pandi, dan tentu kedua ekor harimau itu mengenal
burung-burung elang yang berkuku baja itu. Ki Pandi
pernah bertempur dengan Panembahan Lebdadadi."
Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Juragan gula
itulah yang kemudian berkata "Memang masuk akal. Tetapi
kita masih harus melihat, apakah benar Ki Pandi telah ikut
campur dalam persoalan ini."
"Dan bahkan mungkin juga Ki Ajar Pangukan" desis
Laksana. "Siapakah Ki Ajar Pangukan itu?"bertanya salah seorang
kawan Kiai Gumrah.
Laksana termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti
bagaimana menjelaskan orang yang bernama Ki Ajar
Pangukan itu. Agaknya Kiai Gumrah mengerti kesulitan Laksana.
Katanya "Kau tentu tidak akan dapat memberikan
keterangan lebih banyak ngger, karena bagaimanapun juga
kami akan sulit membayangkannya seandainya kami
memang belum mengenalnya. Tetapi bagiku orang itu tidak
terlalu asing."
"He, jangan sombong Kiai Gumrah. Kau kira kau dapat
mengenali orang seisi bumi ini?"
"Jangan marah" berkata Kiai Gumrah "tetapi pengetahuan memang lebih luas dari kau. Aku sudah
pernah menjadi penjaja gula keliling dari pasar ke pasar
sehingga aku melihat dunia yang penuh dengan gejolak ini."
"Tetapi ternyata pengenalanmu atas dunia ini masih
belum seluas anak-anak itu. He, kau tahu darimana
datangnya harimau-harimau itu?" sahut kawannya.
Kiai Gumrah justru tertawa. Katanya "Jangan merajuk
begitu kek. Kita sama-sama penyadap legen kelapa."
Yang lainpun tertawa pula, sementara orang itu berkata
"Kalau begitu aku pulang saja."
Kawan-kawannya tertawa semakin keras. Kiai Gumrah
justru berkata "He, aku masih mempunyai hidangan buat
kalian. Marilah. Kita teruskan permainan kita."
"Tetapi mangkuk-mangkuk itu sudah pecah. Isinya
sudah berserakan. Apa yang harus kami makan dan kami
minum jika kami masih harus meneruskan permainan itu?"
"Kau kira aku sudah tidak mempunyai makanan lagi"
Didalam kuali didapur masih terdapat ketela dan sukun
yang direbus dengan legen. Kalau kalian tidak percaya,
bertanyalah kepada kedua orang cucuku itu."
Ketiga orang tamu Kiai Gumrah itu saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian juragan gula itu berkata
"Baiklah. Kami akan meneruskan permainan sampai
menjelang fajar. Besok aku harus pergi ke pasar pagi-pagi.
Aku sudah membuat perjanjian jual beli gula dipasar
dengan pedagang dari Kademangan sebelah."
Manggada dan Laksanapun kemudian membantu
mengumpulkan dan membersihkan mangkuk-mangkuk
yang pecah serta makanan yang tumpah. Baru kemudian
mereka menghidangkan makanan yang masih tersisa dua
kuali. Tetapi orang-orang tua itu nampaknya sudah merasa
letih. Mereka tidak lagi banyak tertawa, meskipun sekali-
sekali masih terdengar mereka berkelakar.
Menjelang fajar, permainan itu memang sudah selesai.
Ketiga orang tamu Kiai Gumrahpun telah minta diri.
Ternyata mereka tidak menghitung lembaran-lembaran
daun ketela pohon yang mereka pergunakan dalam
permainan dadu itu. Orang-orang tua itu tidak benar-benar
bertaruh dengan gula kelapa sebagaimana yang mereka
katakan. Sehingga dengan demikian maka Manggada dan
Laksanapun semakin yakin bahwa orang-orang itu telah
dengan sengaja membantu Kiai Gumrah melindungi
pusaka-pusaka yang dititipkan dirumah itu. Meskipun
ceritera tentang pusaka yang dititipkan itupun masih harus
diuji kebenarannya. Agaknya Kiai Gumrah memang tidak
mengatakan yang sebenarnya kepada Manggada dan
Laksana. Tetapi Manggada dan Laksana merasakan bahwa
orang tua itu sama sekali tidak bermaksud buruk.
Ketika para tamu Kiai Gumrah itu sudah bangkit berdiri
dan minta diri, juragan gula itu masih sempat berkata
kepada kedua orang anak muda itu "Kalian telah melihat
apa yang terjadi disini. Mungkin ada hal-hal yang membuat
kalian heran dan bahkan kecewa. Kau mungkin merasakan
bahwa tidak semua yang pernah kau dengar tentang Kiai
Gumrah, tentang kami, pedagang-pedagang gula ini serta
tentang pusaka-pusaka itu, benar adanya. Karena itu, maka
apakah tidak sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini.
Berulang kali kami menyatakan hal
itu, karena sebenarnyalah kami merasa ikut bertanggung jawab atas
keselamatan kalian. Justru karena kalian sebenarnya tidak
terlibat dalam persoalan yang terjadi disini."
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Meskipun ragu-ragu, namun Mariggada masih berusaha
menjelaskan sikapnya. Katanya "Kiai. Kami masih ingin
memohon, bahwa kami diperkenankan tinggal disini untuk
beberapa lama. Persoalan yang terjadi disini semakin lama
menjadi semakin menarik. Ketika kami melihat burung-
buruhg elang berkuku baja itu, kami merasa seolah-olah
kami memang telah terlibat. Apalagi dengan jejak kedua
ekor harimau itu. Seakan-akan kami telah mengenalinya.
Seandainya harimau itu harimau liar, maka mungkin tubuh
kami juga sudah dikoyak-koyaknya disaat kami pingsan.
Tetapi ternyata kami masih utuh, sehingga seakan-akan
kami yakin bahwa kedua ekor harimau itu telah mengenal
kami dengan baik. Atau setidak-tidaknya dikendalikan oleh
orang yang telah mengenal
kami." Keempat orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata "Kami
dapat mengerti perasaanmu ngger. Tetapi kaupun harus
ingat, bahwa yang sedang kami
hadapi adalah bukan orang-
orang kebanyakan. Merekapun
orang-orang berilmu tinggi. Kiai
Windu Kusuma menurut penilaianku, adalah orang yang
memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Namun ia tidak sempat mempergunakannya karena
kehadiran dua ekor harimau yang baginya menyimpan
rahasia yang sulit ditebak. Sementara itu Kiai Windu
Kusuma juga memperhitungkan
kemampuan kami berempat. Tetapi apa yang dilihat dan diamatinya malam
ini tentu akan menjadi bahan bagi langkah-langkahnya
selanjutnya. Jika ia menyebut-nyebut nama seorang
Panembahan, maka Panembahan itu tentu seorang yang
jarang ada duanya."
"Kami mengerti Kiai. Tetapi sulit bagi kami untuk
meninggalkan tempat ini sebelum persoalannya menjadi
tuntas." desis Manggada.
Orang-orang tua itu memang tidak dapat memaksa
Manggada dan Laksana untuk meninggalkan tempat itu.
Karena itu, maka akhirnya Kiai Gumrahpun berkata "Jika
demikian, apaboleh buat. Tetapi sebagaimana kalian
ketahui, bahwa ada kemungkinan buruk dapat terjadi atas
kami dan tentu saja juga atas kalian sebagaimana baru saja
terjadi. Meskipun kemudian ternyata bahwa Yang Maha
Agung masih melindungi kalian berdua dan kami
semuanya. Karena kalian berdua juga sudah cukup
mempunyai penilaian atas persoalan yang kalian hadapi,,
serta menyadari bahaya yang mungkin mengancam kalian,
maka sebaiknya kalian pertimbangkan keputusan kalian
sebaik-baiknya."
"Rasa-rasanya kami sudah mengambil keputusan Kiai."
jawab Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
hatinya telah tergetar mendengar tekad anak-anak muda itu.
Katanya "Baiklah ngger. Tekadmu tidak tergoyahkan lagi.
Aku berterima kasih kepadamu. Apapun yang dapat kalian
lakukan, tetapi niatmu harus aku hargai. Karena itu, jika
tekadmu sudah bulat serta menyadari kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi, maka aku tidak
berkeberatan kalian tinggal dirumahku untuk sementara."
Manggada dan Laksana itupun mengangguk hormat.
Hampir berbareng kedua orang anak muda itu berkata
"Terima kasih. Kiai."
"Nah, sekarang kalian telah menjadi bagian dari
persoalan yang sedang aku hadapi. Jika semula kalian yang
berusaha mendorongku keluar dari pergumulan yang sengit
karena pusaka-pusaka yang dititipkan kepadaku itu, maka
kemudian akulah yang berusaha memaksamu keluar. Tetapi
kita bersama-sama tidak berhasil. Karena itu, maka biarlah
kita bersama-sama terlibat didalamnya." berkata Kiai
Gumrah kemudian.
Tetapi juragan gula itu berkata "Aku tidak tahu yang kau
maksud." Kiai Gumrah tersenyum. Katanya "Kedua anak muda ini
pernah menganjurkan agar aku berusaha untuk menghindar
dari keadaan yang rumit ini atau menitipkan pusaka-pusaka
itu kepada prajurit Pajang atau tindakan pengamanan yang
lain. Tetapi justru karena aku berkeberatan, maka
nampaknya mereka justru terikat dirumah ini untuk melihat
akhir dari persoalan yang kita hadapi."
Juragan gula itupun tertawa. Katanya"Jika demikian,
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka kita memang sudah sama-sama bertekad untuk
menghadapi persoalan ini. Langsung atau tidak langsung
kita memang akan berhadapan dengan Panembahan itu."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka
menyadari sepenuhnya, bahwa orang-orang tua yang
menginginkannya meninggalkan tempat, itu sama sekali
bukan didorong oleh keinginan mereka merahasiakan
persoalan yang mereka hadapi, tetapi justru karena mereka
mencemaskan nasib mereka.
Karena itu, maka kedua anak muda itu merasa bahwa
mereka harus mempertanggung jawabkan sendiri keputusan
yang telah mereka ambil. Mereka tidak akan dapat
menyalahkan atau menuntut pertanggung-jawaban siapa-
pun jika terjadi sesuatu atas diri mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian para tamu Kiai
Gumrah itupun telah minta diri, sementara cahaya dilangit-
pun menjadi semakin terang. Fajarpun tersirat dibibir awan
dilangit. Kicau burung telah membangunkan seisi padu-
kuhan. Tetapi banjar disebelah rumah Kiai Gumrah itu masih
tetap sepi. Bahkan ternyata semalaman Kiai Gumrah telah
lupa menyalakan lampu di banjar karena perhatiannya
sepenuhnya tertuju kepada ancaman yang ternyata benar-
benar datang kerumahnya itu.
Kiai Gumrah dan kedua orang anak muda itupun
kemudian telah masuk kembali keruang dalam. Mereka
masih harus membenahi ruang dalam rumah Kiai Gumrah
yang sempit itu. Mereka harus membuang mangkuk-
mangkuk yang telah pecah serta makanan yang telah
tumpah, yang semalam sudah mereka kumpulkan disudut
ruangan. Kepada kedua orang anak muda itu Kiai Gumrahpun
berkata "Kita mempunyai pekerjaan hari ini. Kita harus
memperbaiki dinding yang roboh itu. Kita akan menebang
beberapa batang bambu dibelakang."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun
mereka setiap kali menjadi berdebar-debar jika mereka
teringat bahwa disudut halaman belakang telah dikuburkan
sesosok tubuh. Niskara. Meskipun kematian Niskara itu
tidak disebabkan oleh orang yang ada dirumah itu
semalam, tetapi justru masih merupakan teka-teki yang baru
dapat diduga-duga jawabannya.
Namun dalam pada itu, selagi seisi rumah itu sibuk
membersihkan ruang dalam, tiga orang anak muda telah
mendatangi rumah Kiai Gumrah. Didepan rumah mereka
telah memanggil-manggil dengan lantangnya.
"Kiai, Kiai Gumrah."
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun ketika mereka akan melangkah keluar, Kiai
Gumrah itu berkata "Tentu anak-anak muda padukuhan
ini." Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam.
Jika mereka anak-anak muda padukuhan itu, maksud
kedatangan mereka tentu tidak ada hubungannya dengan
peristiwa yang terjadi semalam.
Sebenarnyalah ketika Kiai Gumrah muncul dari pintu
rumahnya, maka yang ditanyakan oleh anak-anak muda itu
adalah tentang lampu yang semalam tidak menyala di
banjar. "Semalam kami tidak melihat lampu menyala dibanjar.
Sebenarnya ketika kami lewat didepan banjar itu, kami
ingin singgah barang sebentar. Tetapi banjar itu gelap."
berkata salah seorang dari anak-anak muda itu.
"Maaf ngger" jawab Kiai Gumrah "aku benar-benar lupa.
Apalagi aku memang agak kurang sehat semalaman."
"Sudah beberapa kali Kiai lupa menyalakan lampu di
banjar. Meskipun sudah ada banjar yang baru, tetapi banjar
inipun masih tetap kita pergunakan. Karena itu, seharusnya
Kiai tidak boleh lupa."
"Lain kali tidak akan terulang lagi ngger." jawab Kiai
Gumrah yang terbungkuk-bungkuk dihadapan anak-anak
muda itu. Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam.
Mereka mengerti bahwa dihadapan anak-anak itu Kiai
Gumrah tidak lebih dari seorang pembuat dan penjual gula
kelapa. Namun ketika anak-anak muda itu melihat Manggada
dan Laksana yang berdiri dibelakang Kiai Gumrah, maka
salah seorang diantara mereka bertanya "Siapakah mereka
Kiai?" Kiai Gumrah berpaling. Sambil mengerutkan dahinya ia
kemudian menjawab "Mereka adalah cucu-cucuku, ngger."
"Apakah mereka akan tinggal bersama Kiai disini?"
bertanya anak muda itu.
"Untuk sementara ngger" jawab Kiai Gumrah.
"Nah, jika demikian, biarlah ia bergaul dengan kami.
Biarlah mereka ikut dengan kegiatan-kegiatan kami. Gugur
gunung memperbaiki bendungan yang setiap kali kami
lakukan. Meratakan jalan-jalan padukuhan dan terutama
meronda dimalam hari."
"Baik ngger. Aku akan mendorongnya untuk melakukannya. Tetapi mereka adalah pemalu yang
memang jarang bergaul dengan orang lain selain
keluarganya sendiri" jawab Kiai Gumrah.
"Mereka tidak boleh berbuat begitu" berkata anak muda
yang lain" jika mereka tidak bergaul dengan kami, maka
anak-anak muda di padukuhan ini tidak mengenalnya. Hal
itu akan dapat menumbuhkan salah paham yang merugikan
bagi kedua cucu Kiai itu."
"Ya, ya ngger" jawab Kiai Gumrah yang kemudian
berpaling kepada Manggada dan Laksana "bukankah kalian
dengar sendiri. Sebaiknya kalian juga bergabung dengan
mereka." Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah Manggada berkata "Tetapi kami belum
mengenal seorangpun diantara mereka kek."
"Sekarang kau dapat memperkenalkan diri. Nah, jabat
tangan mereka, lalu malam nanti datanglah ke banjar."
Manggada dan Laksana termangu-mangu. Tetapi
merekapun melangkah keluar dan menjabat tangan ketiga
orang anak muda itu.
"Datanglah ke banjar nanti malam. Aku akan berada di
banjar lama itu. Meskipun malam nanti bukan giliranku
meronda, tetapi aku akan datang. Kalian dapat berkenalan
dengan anak-anak muda di padukuhan ini meskipun kau
hanya akan tinggal disini untuk sementara."
"Baiklah" jawab Manggada "nanti malam biarlah kami
berdua datang ke banjar."
"Bukankah kalian dapat membantu Kiai Gumrah untuk
menyalakan lampu di banjar" Kiai Gumrah sudah semakin
tua. Ia masih harus memanjat pohon kelapa pagi dan sore."
berkata anak muda yang lain.
"Kami akan melakukannya"
jawab Manggada. Sementara itu Kiai Gumrah menyela "Sejak mereka berada
disini, mereka sama sekali belum pernah keluar halaman.
Kedatangan angger bertiga agaknya dapat memancing
mereka keluar dari halaman rumah ini. Setidak-tidaknya
membantu aku membersihkan dan menyalakan lampu di
banjar lama itu."
"Ya." sahut salah seorang dari mereka "lambat laun
kalian akan mengenal seisi padukuhan ini. Dengan
demikian kalian tidak akan canggung lagi berada disini."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itupun telah
minta diri. Tetapi seorang diantara mereka masih berpesan
"Nah, jangan lupa menyalakan lampu di banjar lama. Dan
biarlah kedua cucu Kiai itu membantu Kiai dan bergabung
bersama kami."
"Ya, ya ngger" jawab Kiai Gumrah. Sepeninggal anak-
anak muda itu, Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Aku benar-benar lupa menyalakan lampu
semalam. Untung anak-anak muda itu tidak datang kemari.
Jika mereka datang kemari, sementara dirumah ini masih
ada Kiai Windu Kusuma, maka persoalannya akan menjadi
berkepanjangan. Seisi padukuhan akan tergerak untuk
mempersoalkannya."
"Jika mereka lewat didepan banjar, apakah mereka tidak
mendengar keributan yang terjadi dihalaman rumah ini
Kiai?" bertanya Laksana.
"Halaman-halaman rumah di padukuhan ini pada
umumnya luas ngger. Apalagi halaman banjar itu, sehingga
apa yang terjadi dihalaman rumahku yang dibatasi dinding
batu meskipun tidak terlalu tinggi itu, agaknya memang
tidak diketahui orang, kecuali jika ada sekelompok peronda
yang menengok halaman ini dari pintu regol halaman."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk, sementara
Kiai Gumrah itu berkata "Nah, anak-anak muda itu sudah
minta agar kau bergabung dengan mereka. Karena itu,
sebaiknya kalian memang sering datang ke banjar. Kalian
dapat menyalakan lampu dan membantu membersihkan
banjar itu pagi dan sore."
"Baik Kiai" jawab Laksana dan Manggada hampir
berbareng. "Selanjutnya jika kalian memang sudah berniat tinggal
disini meskipun untuk sementara, kalian tidak perlu
menyebutku Kiai lagi. Panggil saja aku dengan kakek, agar
pada saat tertentu, kalian tidak keliru menyebutnya." Kedua
orang anak muda itu mengangguk mengiakan. Mereka
memang lebih senang memanggilnya dengan sebutan yang
sama agar mereka tidak perlu mengingat-ingat kapan dan
dimana mereka harus memanggil kakek dan kapan mereka
harus menyebutnya Kiai.
"Terima kasih. Kia i" berkata Manggada "bagi kami tentu
akan lebih baik, kek."
"Nah. begitulah. Mulai nanti malam, maka lampu
dibanjar adalah tugas kalian. Bukan hanya lampu, tetapi
kalian juga harus menjaga kebersihan banjar itu. Seperti
yang dikatakan oleh anak-anak muda itu, maka banjar yang
lama itu masih tetap dipergunakan meskipun sudah ada
yang baru."
"Baik, kek. Banjar lama itu akan menjadi beban tugas
kami." jawab Manggada.
"Nah, sekarang, kita selesaikan pekerjaan kita. Aku
terlambat mengambil bumbung itu. Tetapi belum terlalu
lambat." berkata Kiai Gumrah.
"Jika kakek tidak berkeberatan, kami juga ingin belajar
menyadap legen manggar, kek." berkata Laksana ketika
Kiai Gumrah mengambil bumbung dan siap pergi ke kebun
untuk mengambil bumbung yang tergantung pada manggar
kelapa dan menggantinya dengan yang baru.
Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Pada saatnya kalian
akan belajar menyadap legen."
Manggada dan Laksana tidak berbicara lagi. Sementara
itu Kiai Gumrahpun telah pergi ke kebun. Meskipun
semalam suntuk orang tua itu tidak tidur, tetapi badannya
sama sekali tidak nampak menjadi lesu, sementara
Manggada dan Laksana yang muda itu merasa mulai
diganggu oleh kantuk.
Selagi seisi rumah itu menjadi sibuk dengan pekerjaan
mereka masing-masing, maka Ki Windu Kusumapun sibuk
berbincang dengan orang-orangnya. Putut Sempada yang
juga ada diantara mereka hanya dapat mengumpat-umpat.
Ia telah kehilangan seorang kawannya yang dianggapnya
cukup baik. Niskara yang telah dikoyak-koyak oleh
harimau. "Ternyata orang tua itu telah memelihara harimau jadi-
jadian" geram Putut Sempada.
"Belum tentu" jawab Kiai Windu Kusuma "mungkin dua
ekor harimau kelaparan yang tersesat sampai ke halaman
rumah orang tua itu."
"Memang mungkin. Tetapi kemungkinan itu mempunyai
kesempatan yang sama dengan kemungkinan yang aku
katakan, bahwa orang itu memelihara harimau jadi-jadian.
Atau malahan pusaka-pusaka itulah yang telah menjelma
menjadi harimau." berkala Putut Sempada.
"Dugaanku belum sampai kesana. Tetapi seandainya
demikian, maka pantaslah jika Panembahan menghendaki
pusaka-pusaka itu secepatnya." jawab Kiai Windu Kusuma.
"Tetapi bukankah alasan Panembahan bukan karena
pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau yang
garang?" sahut Putut Sempada..
"Ya. Memang bukan. Tetapi apakah kau yakin bahwa
apa yang dikatakan oleh Panembahan itu adalah yang
sebenarnya?" bertanya Kiai Windu Kusuma.
Putut Sempada menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Memang mungkin. Tetapi
kita tidak dapat mencurigai Panembahan seperti itu."
"Aku sama sekali tidak mencurigai Panembahan. Tetapi
apakah artinya jantung segar yang harus disiapkan jika
pusaka-pusaka itu dapat kita kuasai?" bertanya Kiai Windu
Kusuma. "Panembahan mengetahui, bahwa pusaka yang disimpan
oleh Kiai Gumrah itu, salah satu diantaranya adalah Kiai
Simarengu. Selain itu masih ada songsong yang diberi nama
Simariwut. Nah, apakah tidak mungkin bahwa nama yang
memang mempunyai arti harimau itu ada hubungannya
dengan harimau jadi-jadian yang ada dirumah Kiai
Gumrah?"
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ternyata aku menjadi ragu-ragu. Antara percaya dan
tidak. Aku masih mencoba untuk menolak anggapan bahwa
ada hubungan antara pusaka-pusaka itu dengan harimau
yang ada dirumah itu. Tetapi setiap kali aku teringat
tentang pusaka-pusaka itu, nama yang diberikan kepada
pusaka-pusaka itu, dan perintah Panembahan untuk
menyediakan jantung manusia segar yang harus dikorbankan sebagai makanan pusaka yang bernama
Simarengu itu."
Putut Sempada menarik nafas panjang. Katanya "Kita
sama-sama ragu. Tetapi baiklah
kita kesampingkan keragu- raguan itu."
Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Katanya
"Ya. Apapun alasan Panembahan, kita harus mendapatkan pusaka-pusaka itu. Kemudian jantung manusia
yang segar dan korban bagi
pusaka yang disebut Kiai Simarengu."
"Semuanya itu harus secepatnya kita lakukan" berkata
Putut Sempada "karena menurut Panembahan, jika pada
purnama bulan dengan korban itu belum diberikan bagi
Kiai Simarengu, maka tuahnya akan hilang sama sekali."
Kiai Windu Kusuma menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Ya. Kita memang harus secepatnya menguasai
Kiai Simarengu. Sebelum purnama bulan depan ujung
tombak itu harus sudah ditanam didada seseorang. Sudah
tentu bukan setiap orang yang berjantung segar yang dapat
dikorbankan."
"Itu adalah persoalan Panembahan sendiri. Panembahanlah yang akan menentukan, orang yang
bagaimana yang pantas untuk menjadi korbannya itu. Serta
upacara apa saja yang harus diselenggarakan. Tugas kita
adalah menyediakan pusaka-pusaka itu."
"Tetapi darimana Panembahan tahu tentang pusaka-
pusaka itu. Darimana pula ia mengetahui bahwa jika
sampai purnama bulan depan pusaka-pusaka itu belum
dimandikan dan disediakan korban jantung manusia yang
segar tuahnya akan hilang untuk selama-lamanya."
pertanyaan itu meluncur dari bibir Kiai Windu Kusuma
tanpa disadarinya.
Namun Putut Sempada menyahut "Tidak seorangpun
tahu. Tidak pula ada yang tahu bahwa tiba-tiba saja
Panembahan dengan mata hatinya sendiri, bahwa dirumah
itu tersimpan pusaka-pusaka yang dicarinya untuk waktu
yang lama."
Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Memang
banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang Panembahan. Tentang ketajaman penglihatan batinnya
serta kepekaan panggaritanya. Karena itu, betapa tingginya
ilmu Kia i Windu Kusuma, namun ia tidak dapat
melepaskan diri dari pengaruh orang yang disebutnya
Panembahan. Dalam pada itu, ternyata semua pembicaraan itu
terdengar oleh Kundala. Seorang yang hatinya sedang
diombang-ambingkan oleh
kebingungannya. Kundala
seakan-akan sedang berdiri diambang pintu. Terdapat dua
tarikan yang sangat kuat menghisapnya keluar dan
kedalam. Seakan-akan ia melihat cahaya putih, didalam
dan cahaya yang hitam diluar tanpa mengetahui
sumbernya. "Gila" geram Kundala "kenapa aku mendengar
pembicaraan mereka" Jika aku tidak mendengarnya, aku
tidak akan merasa berdosa jika aku tidak mengatakannya
kepada Kiai Gumrah."
Namun kemudian sambil menghentakkan tangannya ia
berkata "Persetan dengan Kiai Gumrah. Aku adalah
pengikut setia Kiai Windu Kusuma. Aku sudah
memperingatkan Kiai Gumrah untuk membunuhku agar
aku tidak dapat datang justru membunuhnya."
Kundala hanya dapat menggeletakkan giginya, menghentakkan kaki dan tangannya. Namun ia tidak dapat
melepaskan diri dari tarikan yang seakan-akan sama
kuatnya. Ia merasa berkewajiban untuk tetap setia kepada
Kiai Windu Kusuma. Tetapi ia merasa bahwa hidupnya
yang tersisa itu sudah bukan miliknya. Tetapi milik Kiai
Gumrah, sehingga apa yang diketahuinya rasa-rasanya
harus diketahui pula oleh Kiai Gumrah.
"Gila. Agaknya aku sudah gila" desis Kundala sambil
memukuli kepalanya sendiri.
Namun Kundala telah berusaha sekuat-kuatnya untuk
tidak menunjukkan perubahan sikap dihadapan Kiai Windu
Kusuma. Jika gejolak perasaannya itu diketahui oleh Kiai
Windu Kusuma, maka ia tidak akan dapat berharap hidup
lebih lama lagi.
"Kecuali jika aku melarikan diri dan mengungsikan
hidupku pada Kiai Gumrah." berkata Kundala didalam
hatinya. Tetapi ia tidak akan dapat melakukannya. Jika ia berbuat
demikian, maka ia telah menjadi seorang pengkhianat.
Namun sebuah pertanyaan tiba-tiba saja seperti petir
yang meledak ditelinganya telah mengejutkannya "Apakah
aku memang belum berkhianat?"
Kundala tidak dapat berbuat ingkar kepada dirinya
sendiri. Bahwa ia telah memberitahukan akan kedatangan
orang-orang berilmu tinggi untuk mengambil pusaka-pusaka
itu ketika ia menjemput Putut Sempada di pasar, bukankah
itu sudah berarti suatu pengkhianatan.
Karena itulah, maka Kundala itupun telah tenggelam
dalam goncangan perasaan. Ia tidak segera dapat
menemukan pijakan sikap yang mapan. Yang kemudian
dilakukannya adalah sekedar menyembunyikan gejolak
perasaannya itu terhadap Kiai Windu Kusuma serta kawan-
kawannya, agar ia tidak dihukum mati dihadapan mereka
sebagai pengkhianatan.
Namun untuk sementara Kundala masih mempuyai
waktu berpikir ulang atas sikapnya. Menurut pembicaraan
Kiai Windu Kusuma dan Putut Sempada dengan beberapa
orang pengikutnya, agaknya mereka tidak akan langsung
mengambil tindakan baru. Kegagalan mereka telah
membuat mereka semakin berhati-hati. Ternyata Kiai
Gumrah mempunyai beberapa orang kawan yang berilmu
tinggi dan yang meragukan mereka adalah sepasang
harimau yang tiba-tiba saja ada dihalaman rumah Kiai
Gumrah. Sementara Kiai Windu Kusuma membuat perhitungan-
perhitungan baru, maka rumah Kiai Gumrah menjadi
semakin ramai. Kawan-kawan Kiai Gumrah yang tiga
orang itu, berganti-ganti datang mengunjunginya. Tidak
saja di-siang hari. Tetapi kadang-kadang juga di malam
hari. Bahkan kadang-kadang mereka bertiga berkumpul
bersama-sama sambil bermain dadu dengan hitungan daun
ketela pohon atau daun melinjo. Orang-orang tua itu
nampaknya selain berjaga-jaga karena adanya pusaka-
pusaka dirumah itu, juga untuk mengisi kekosongan hidup
mereka dihari tua.
Manggada dan Laksana bahkan sering bertanya diantara
mereka "Apakah orang-orang tua itu tidak berkeluarga
dirumah mereka" Apakah mereka tidak mempunyai anak
atau cucu atau apapun?"
Tetapi anak-anak muda itu tidak berani bertanya.
Kepada Kiai Gumrahpun mereka juga tidak bertanya
tentang keluarganya. Meskipun Kiai Gumrah pernah
mengatakan bahwa ia mempunyai anak dan cucu yang
tinggal ditempat lain karena anaknya tidak ingin
menggantikan tugasnya menjaga banjar lama itu.
Dalam pada itu, memenuhi permintaan anak-anak muda
yang pernah datang kerumah Kiai Gumrah, maka
Manggada dan Laksanapun sudah pula sering berada di
banjar lama. Disore hari mereka menyalakan lampu di
banjar dan oncor diregol. Di pagi hari keduanya membantu
Kiai Gumrah menyapu halaman dan membersihkan
ruangan-ruangan banjar lama setelah Kiai Gumrah
mengambil dan memasang bumbungnya di manggar batang
kelapa. Dengan demikian maka Manggada dan Laksana mulai
berkenalan dan bergaul dengan anak-anak muda di
padukuhan itu. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan
pergaulan anak-anak muda di padukuhan itu. Di malam
hari beberapa orang anak muda kadang-kadang duduk-
duduk di banjar lama itu. Bergurau dan mengisi waktu
mereka dengan berbagai macam permainan. Terutama
mereka yang bertugas ronda pada malam itu.
Disiang hari anak-anak muda kebanyakan bekerja di-
sawah dan ladang mereka. Jika keadaan mendesak, mereka
bersama-sama melakukan kerja untuk kepentingan bersama.
Memperbaiki bendungan yang harus sering mereka
lakukan. Setiap kebocoran betapa kecilnya harus segera
diperbaiki. Jika kebocoran itu menjadi semakin besar, maka
mereka akan mengalami kesulitan, apalagi dimusim hujan.
Banjir dapat datang setiap saat.
Selain bendungan, maka parit-paritpun banyak menuntut
pemeliharaan. Meskipun Kiai Gumrah tidak mempunyai sawah, selain
kebunnya yang banyak ditanami pohon kelapa sebagai
gantungan hidupnya, namun Kiai Gumrah sendiri juga
sering ikut dalam kerja bersama-sama memperbaiki
bendungan, parit dan pemeliharaan jalur-jalur air yang
menusuk membelah tanah persawahan. Kehadiran Manggada dan Laksana memang memberikan kesempatan
Kiai Gumrah untuk lebih banyak berada dirumahnya,
karena kedua orang anak muda itu dapat mewakilinya.
Meskipun demikian Kiai Gumrah selalu mengingatkan
Manggada dan Laksana agar mereka berhati-hati.
"Orang-orang yang berniat jahat itu mengenal kalian
sebagai cucu-cucuku" berkata Kiai Gumrah "karena itu,
mereka akan dapat berbuat jahat terhadap kalian."
"Tetapi setiap kali, kami berada diantara orang banyak,
kek" jawab Manggada "aku kira, mereka juga memperhitungkan hal itu."
"Tetapi tentu ada saatnya kalian hanya berdua. Mungkin
saat kalian membersihkan banjar atau menyalakan lampu
atau pada saat-saat lain. Karena itu dalam keadaan
terpaksa, jangan segan-segan membunyikan isyarat."
"Baik, kek" jawab Manggada.
Demikianlah maka hari dan haripun lewat. Ternyata
masih belum ada tanda-tanda bahwa orang-orang yang
menginginkan pusaka-pusaka itu kembali. Meskipun
demikian, namun kawan-kawan Kiai Gumrah masih saja
sering datang kerumah Ki Gumrah. Kadang-kadang sendiri,
berdua atau bahkan bertiga bersama-sama.
Setelah sekian hari berlalu, teka-teki tentang dua ekor
harimau itupun masih tetap belum terpecahkan. Sejak
peristiwa itu, maka tidak pernah nampak seekor harimau-
pun di halaman rumah itu. Atau bahkan di padukuhan itu.
Jejaknyapun tidak pernah dilihat orang dipadukuhan.
Namun setelah agak lama keadaan menjadi tenang,
maka tiba-tiba Manggada dan Laksana telah melihat seekor
elang yang terbang melayang-layang diatas rumah Kiai
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gumrah. Karena itu, maka iapun segera berlindung dibawah
rimbunnya pepohonan. Sementara itu, Kiai Gumrah
agaknya juga melihat burung elang itu. Ia memberi tahukan
hal itu kepada Manggada dan Laksana dari kebun
kelapanya. "Hati-hatilah" berkata Kiai Gumrah "elang itu nampak
lagi di langit."
"Ya, Kiai" jawab Manggada.
Namun Kiai Gumrah sendiri sama sekali tidak berusaha
untuk berlindung dari pengamatan burung elang itu.
Ia masih saja memanjat sebatang pohon kelapa. Tetapi
tidak untuk memasang bumbung legen. Kiai Gumrah
memanjat sebatang pohon kelapa yang dibiarkannya
berbuah untuk mengambil buahnya.
Dalam pada itu, dari balik rimbunnya dedaunan,
Manggada dan Laksana berusaha untuk dapat melihat apa
yang dilakukan elang itu. Seperti yang pernah dilakukan
beberapa saat yang lampau, maka elang itu berputar-putar
beberapa kali diatas rumah Kiai Gumrah, menukik dan
kembali naik ke ketinggian.
Namun beberapa saat kemudian, maka elang itupun
telah terbang menjauh, sehingga akhirnya hilang dilangit.
Ketika Kiai Gumrah kemudian turun dari pohon kelapa.
Manggada dan Laksanapun telah mendekatinya. Kedua
anak muda itu ikut memungut beberapa butir kelapa yang
dipetik oleh Kiai Gumrah dari batangnya itu.
"Elang itu berputar-putar, kek." desis Laksana.
"Seperti yang pernah dilakukan beberapa saat lalu" jawab
Kiai Gumrah "nampaknya orang-orang itu sudah mulai
bersiap-siap untuk bergerak lagi."
"Mereka tentu sudah siap pula untuk melawan dua ekor
harimau itu, kek" berkata Manggada kemudian.
"Mereka mungkin benar-benar menyangka bahwa kedua
ekor harimau itu adalah harimau jadi-jadian. Atau
barangkali tombak-tombak atau payung itulah yang
dikiranya dapat menjelma menjadi harimau atau dari
dalamnya keluar sepasang harimau itu."
"Apapun yang mereka katakan, tetapi nampaknya
harimau itu telah membantu kita. Atau tanpa niat
membantu kita, tetapi harimau-harimau itu adalah musuh
bebuyutan dari orang-orang yang datang itu sehingga
harimau-harimau itu menyerang mereka." sahut Manggada
kemudian. " Apapun yang akan terjadi, kita harus meningkatkan
kewaspadaan kita. Kita berhadapan dengan orang yang
berilmu sangat tinggi meskipun mereka kurang memperhitungkan penalaran kita" berkata Manggada
kemudian. "Maksudmu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Bukankah burung elang itu telah mengisyaratkan
kepada kita agar kita bersiap menghadapi segala
kemungkinan?" jawab Manggada meskipun agak ragu.
"Kau benar ngger. Tetapi mungkin juga justru
Panembahan itu ingin menakuti kita atau semacam
tantangan bagi kita, karena mereka terlalu yakin akan
kelebihan mereka." jawab Kiai Gumrah.
Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana
bertanya "Semacam sikap sombong begitu, kek?"
"Ya, begitulah. Tetapi kesombongan mereka benar-benar
berisi karena mereka memang berilmu tinggi." jawab Kiai
Gumrah. Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Sementara
itu Manggada telah mengupas kelapa-kelapa yang baru saja
dipetik itu dengan slumbat, semacam linggis yang ujungnya
tajam dan pipih.
Namun ketika mereka membawa kelapa-kelapa yang
sudah terkupas itu kedapur, Manggada masih bertanya lagi
"Kek, apakah Kakek tidak berniat untuk membuat
hubungan dengan Ki Pandi?"
"Si Bongkok itu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya, kek. Kami masih menghubungkan kedua ekor
harimau yang datang itu dengan kedua ekor harimau milik
Ki Pandi. Mungkin kedua ekor harimau itu masih
mengenali kami berdua, sehingga saat kami pingsan, kami
tidak dikoyak-koyaknya seperti Niskara itu."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya "Aku tidak tahu dimana Si Bongkok itu berada.
Aku memang mengenalinya, tetapi tidak begitu akrab.
Meskipun demikian, jika kami bertemu, maka aku akan
menjajagi hatinya, apakah ia merasa bersangkut-paut dalam
persoalan ini, atau karena Si Bongkok itu sekedar ingin
menyelamatkan kalian berdua dari tangan Niskara
meskipun akibatnya juga menyelamatkan pusaka-pusaka
itu." Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja.
Mereka sadar sepenuhnya bahwa tidak semua dikatakan
dengan terbuka oleh Kiai Gumrah. Bagaimanapun juga
Kiai Gumrah harus berhati-hati terhadap dua orang anak
muda yang belum diketahui dengan pasti asal-usulnya.
Demikianlah, maka ketiga orang itupun menjadi sibuk
memecah dan mencukil kelapa. Kiai Gumrah hari itu ingin
membuat minyak kelapa karena minyaknya sudah habis.
Selain untuk memasak. Kiai Gumrah juga mempergunakan
minyak kelapa untuk lampu dirumahnya dan di banjar.
Karena kesibukannya itu, maka hari itu Kiai Gumrah
memang tidak pergi menyerahkan gula kelapa kepada
juragan gula yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya.
"Besok saja akan aku serahkan sekaligus dengan hasil
besok pagi" berkata Kiai Gumrah "hari ini aku masih
mempunyai uang cukup. He, bukankah beras masih cukup
sampai dua hari lagi?"
"Masih, kek." jawab Manggada.
"Baiklah. Biarlah hari ini aku tidak pergi. Aku akan
membuat minyak kelapa." berkata Kiai Gumrah kemudian.
Bertiga merekapun kemudian sibuk mengukur kelapa.
Memeras santannya dan kemudian memanasi santan itu
agar menjadi minyak.
Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana sempat
berbicara diantara mereka ketika Kiai Gumrah keluar dari
dapur beberapa saat.
"Kiai Gumrah tidak meninggalkan rumahnya bukan
karena membuat minyak. Kami dapat melakukannya"
berkata Manggada.
"Ya. Tentu elang itu membuatnya berjaga-jaga hari ini
dan tentu juga malam nanti" sahut Laksana.
"Ia menanggapi isyarat burung elang itu dengan
sungguh-sungguh" desis Manggada.
Keduanyapun terdiam ketika Kiai Gumrah telah berada
di dapur itu lagi.
Untuk beberapa saat ketiganya terdiam. Mereka sibuk
dengan tugas mereka masing-masing didapur itu.
Namun selagi mereka bertiga sibuk, tiba-tiba saja
seseorang muncul dari pintu butulan. Sambil tertawa orang
itu bertanya "He, Kiai Gumrah. Apa yang kau kerjakan hari
ini" Kenapa kau tidak menyerahkan gula" Aku menunggu-
nunggu sesiang ini sehingga hari ini aku terpaksa tidak pergi
kepasar. Tentu sudah kesiangan. Para pedagang gula telah
meninggalkan pasar."
"Aku sedang membuat minyak" berkata Kiai Gumrah.
"Kenapa begitu tergesa-gesa" Bukankah dapat kau
lakukan siang nanti" Seandainya minyakmu sudah habis
sama sekali, bukankah baru nanti malam minyak itu kau
pergunakan."
"Aku akan menggoreng ikan lele. Sebentar lagi aku akan
turun kebelumbang" berkata Kiai Gumrah.
Juragan gula yang datang itu ternyata malahan
berjongkok disamping Kiai Gumrah yang menunggu
santannya yang mendidih. Katanya "Pekerjaan yang
menjemukan. Kau harus mengaduk santan itu terus-
menerus." Kiai Gumrah itu mengangguk. Katanya "Aku sudah
terbiasa melakukannya." Lalu tiba-tiba katanya kepada
Manggada dan Laksana "Ambil kayu bakar lagi, anak-
anak" Manggada dan Laksanapun kemudian bangkit dan
melangkah keluar dapur untuk mengambil kayu bakar.
Namun sambil memungut kayu bakar Manggada berkata
"Juragan gula itu juga melihat elang yang berputaran.
Mereka tentu sedang merundingkan apa yang akan mereka
lakukan, karena agaknya mereka mulai mendapat isyarat,
bahwa Kiai Windu Kusuma atau bahkan Panembahan itu
sendiri akan mulai bergerak lagi."
Laksana mengangguk-angguk. Katanya "Kenapa kita
tidak boleh mendengar pembicaraan mereka?"
"Tentu ada sebabnya. Mereka tidak ingin membuat kita
gelisah, atau mereka memang belum sepenuhnya
mempercayai kita." jawab Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
berbicara lagi. Mereka masing-masing membawa seonggok
kayu bakar ke dapur untuk memanasi santan yang dibuat
minyak itu. Ketika mereka masuk kedapur, maka dilihatnya Kiai
Gumrah dan juragan gula itu berbincang dengan sungguh-
sungguh. Sekilas mereka memandang kedua orang anak
muda yang masuk sambil membawa kayu bakar itu.
Namun mereka ternyata masih berbincang terus. Meskipun
perlahan-lahan Manggada dan Laksana dapat mendengar
juga Kiai Gumrah berkata "Baiklah. Biarlah orang itu disini
untuk satu dua hari."
Keduanya ternyata tidak berbicara lebih panjang lagi.
Juragan gula itupun bengkit berdiri sambil berkata kepada
Manggada dan Laksana "Ngger. Kami memang tidak akan
merahasiakan lagi kegelisahan kami. Kalian lihat burung
elang itu terbang berputar-putar lagi. Kalian tentu juga
dapat menduga maksudnya."
"Ya Kiai" jawab Manggada dan Laksana hampir
berbareng. "Nah, karena itu, maka salah seorang dari antara kami
bertiga akan tinggal dirumah ini. Kita memang harus
berjaga-jaga. Jika kita masih saja sekedar bermain-main,
sementara lawan kita mulai bersungguh-sungguh, maka kita
akan dapat terjebak dalam kesulitan yang parah."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil.
Sementara juragan gula itu berkata "Sudahlah, aku minta
diri. Malam nanti dirumah ini akan bertambah penghuninya meskipun sebelumnya juga hampir selalu
berada dirumah ini."
Demikian juragan gula itu pergi, maka Kiai Gumrahpun
berkata kepada Manggada dan Laksana dengan nada dalam
"Aku tidak dapat berpura-pura lagi ngger. Aku dan saudara-
saudaraku itu memang menjadi gelisah. Kami benar-benar
harus mempertahankan pusaka-pusaka itu. Tetapi jangan
bertanya lebih dahulu, apakah aku berbohong atau tidak
tentang pusaka-pusaka itu. Yang penting, pusaka-pusaka itu
tidak boleh berpindah ketangan orang lain."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula.
Namun tiba-tiba saja Laksana bertanya "Tetapi apakah
benar tidak boleh ada pihak lain yang ikut melindungi
pusaka-pusaka itu, kek. Misalnya prajurit Pajang atau
setidak-tidaknya orang-orang padukuhan ini."
"Alasanku seperti yang pernah aku katakan ngger. Aku
tidak berpura-pura. Kau tentu tahu, jika aku melibatkan
orang-orang padukuhan untuk melawan orang-orang
berilmu tinggi itu, apakah tidak sama artinya aku menabur
maut di padukuhan ini?"
Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk.
Mereka mengerti bahwa akibatnya memang akan menjadi
sangat parah. Sementara itu. Kiai Gumrah juga tidak dapat
menyerahkan pusaka-pusaka itu kepada prajurit Pajang.
"Sudahlah.
Apapun yang terjadi, kita akan mempertahankan pusaka-pusaka itu dengan kekuatan dan
kemampuan kita sendiri." berkata Kiai Gumrah. Lalu
katanya pula "Tetapi sebaiknya malam nanti kau tidak
terlalu lama berada di banjar. Sebaiknya setelah beberapa
saat berkumpul dengan anak-anak muda jika mereka datang
ke banjar, kalian harus segera pulang. Kalian dapat
memberi alasan apa saja. Mungkin ada pekerjaan yang
harus kalian lakukan, atau salah seorang dari kalian
mengatakan bahwa badan kalian sedang tidak enak atau
apapun. Elang yang berputar-putar itu membuat aku
menjadi gelisah. Apalagi orang-orang itu tentu sudah
mengenal kalian pula."
"Baik kek" jawab Manggada "kami tidak akan terlalu
lama berada di banjar malam nanti."
0ooo0dOw0ooo0 Karya SH Mintardja
Seri Arya Manggada 3
Sang Penerus Sumber djvu : Ismoyo
Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://dewi-kz.com/
Buku 3 TETAPI sebelum matahari turun disisi Barat belahan
langit, Ki Gumrah yang sedang sibuk menuang minyaknya
kedalam guci, terkejut mendengar suara orang memanggilnya sambil mengetuk pintu depan rumahnya.
Karena Kiai Gumrah tidak segera menjawab, maka ketukan
pintu dan suara yang memanggil namanya itu menjadi
semakin keras. Tetapi suara itu terdengar akrab sekali.
Manggada dan Laksana yang sedang membantunya
menuang minyak itu termangu-mangu. Sementara Kiai
Gumrah berkata "Lihat, siapa yang datang. Tetapi berhati-
hatilah. Pergilah kalian berdua."
Manggada dan Laksanapun telah pergi ke pintu depan
rumahnya. Pintu itu tidak diselarak. Karena itu, maka
Manggadapun telah membuka perlahan-lahan, sementara
Laksana tetap berhati-hati karena hal-hal yang tidak terduga
akan dapat terjadi.
Ketika pintu itu terbuka, maka kedua anak muda itu
terkejut. Yang berdiri dimuka pintu ternyata tidak hanya
seorang saja. Tetapi tiga orang. Seorang laki-laki, seorang
perempuan dan seorang gadis yang sedang tumbuh dewasa.
Ternyata bukan saja Manggada dan Laksana yang
terkejut. Tetapi ketiga orang yang berdiri dimuka pintu
itupun terkejut. Dengan kerut dikeningnya, laki-laki yang
berdiri didepan pintu itu bertanya "Bukankah ini rumah
Kiai Gumrah?"
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
jawab "Ya paman. Rumah ini rumah Kiai Gumrah."
"Apakah Kiai Gumrah ada?" bertanya orang itu.
"Ada. Kakek sedang menuang minyak. Biarlah aku
memanggilnya" sahut Manggada.
"Tetapi siapakah kalian berdua?" bertanya orang itu.
"Kami cucunya, paman" jawab Manggada.
"Cucunya" He, kalian anak siapa?" bertanya perempuan
yang berdiri termangu-mangu.
Manggada dan Laksana memang menjadi bingung.
Mereka tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan
itu. Namun selagi keduanya berdiri termangu-mangu, maka
terdengar suara Kiai Gumrah "He, ternyata kalian yang
datang. Marilah, masuklah."
Ketiga orang itupun kemudian melangkah masuk ke-
ruang dalam. Dengan wajah yang cerah Kiai Gumrah
berkata "Marilah. Sudah lama kalian tidak datang melihat
rumah ini."
"Kami memang sedang sibuk ayah" jawab laki-laki itu
"daerah kami baru saja terserang banjir. Hujan yang tidak
berkeputusan telah membuat. Kali Panjer meluap.
Untunglah bahwa rumah kami tidak hanyut."
"Sokurlah" Kiai Gumrah mengangguk-angguk "marilah,
duduklah."
Kiai Gumrahpun kemudian melangkah mendekati gadis yang sedang tumbuh dewasa itu "Kau
sudah besar sekarang nduk. Sudah berapa tahun kau tidak
ikut datang kemari. Ketika ayah dan ibumu beberapa waktu
yang lalu datang kemari, kau tidak ikut bersama mereka."
"Ayah dan ibu tidak memperbolehkan aku ikut kek."
jawab gadis itu.
"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ia berpaling
memandangi laki-laki dan perempuan yang ternyata adalah
ayah dan ibunya itu.
Ayahnya tersenyum sambil menjawab "Waktu itu kami
datang hanya sekedar menengok ayah. Kami hanya
bermalam satu malam saja. Anak itu tentu akan kelelahan
jika ikut bersama kami."
"Sebenarnya tidak kek. Aku dapat berjalan dengan jarak
dua tiga kali lipat jarak yang kami tempuh sampai ke-rumah
kakek ini." sahut gadis itu.
Kakeknya tertawa. Katanya "Nah, ayah dan ibumu tidak
mau kau menjadi sangat letih. Sekarang ayah dan ibumu
agaknya akan bermalam lebih dari satu malam disini."
"Anak itu pulalah yang memaksa kami untuk datang
kemari, ayah" berkata ibunya.
"Bukan. Bukan aku kek" sahut gadis itu "ayah dan ibu
memang ingin menengok kakek."
Kiai Gumrah tertawa berkepanjangan.
Katanya kemudian "Duduklah. Duduklah."
Mereka bertigapun kemudian duduk diamben yang
cukup besar diruang dalam, sementara Manggada dan
Laksana masih berdiri termangu-mangu. Baru sejenak
kemudian ayah gadis itu bertanya "Ayah, siapakah kedua
orang anak muda ini" Mereka mengatakan bahwa mereka
adalah cucu ayah. Sepengetahuanku cucu ayah hanya
seorang saja. Winih ini."
Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Keduanya memang
cucuku meskipun ayah dan ibunya kedua-duanya bukan
anakku.". "Maksud ayah?" bertanya anaknya.
"Mereka telah tersesat kerumah ini dalam perjalanannya
ke Pajang. Ternyata keduanya kerasan tinggal disini. .
Sehingga mereka telah aku anggap sebagai cucuku sendiri."
Kiai Gumrah berhenti sejenak, lalu katanya kepada
Manggada dan Laksana "Nah, sekarang kau sempat
berkenalan dengan anakku. Bukankah aku pernah
mengatakan bahwa aku mempunyai seorang anak tetapi
sudah lama sekali pergi meninggalkan rumah ini" Sekarang
ia datang bersama seluruh keluarganya karena anaknya
memang hanya seorang yang dinamainya Winih."
Anak dan menantu Kiai Gumrah itu tertawa. Tetapi
Winih menundukkan kepalanya. Sementara Manggada dan
Laksana mengangguk hormat. Dengan nada rendah
Manggada berkata "Kami mohon maaf paman. Kami
berdua belum mengenal paman sebelumnya."
"Namanya Prawara. Panggil saja paman Prawara."
potong Kiai Gumrah sambil tertawa.
"Jika kalian kemudian dianggap cucu ayahku dan kau
juga menganggap ayahku sebagai kakekmu, maka kita
sudah menjadi keluarga." namun Prawara itupun kemudian
bertanya "Ayah, jika demikian sebaiknya siapakah yang
lebih dituakan. Winih atau kedua anak muda ini?"
"Biarlah Manggada dan Laksana dianggap lebih tua.
Umurnya memang lebih tua dari Winih." jawab Kiai
Gumrah. Lalu katanya kepada Winih "nDuk, panggil
keduanya dengan sebutan. kakang, karena kau dianggap
sebagai cucuku yang lebih muda dari mereka."
Seleret Winih memandang Manggada dan Laksana.
Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya pula.
Ketika Kiai Gumrah kemudian juga duduk diamben itu,
iapun berkata "Marilah,-duduk pulalah disini."
Manggada dan Laksana menjadi ragu-ragu. Diluar
sadarnya Manggada berkata "Kami akan ke dapur kek."
"Duduk sajalah dahulu. Biarlah nanti saja kita membuat
minuman bagi tamu-tamu kita." jawab Kiai Gumrah.
"Tidak usah ngger" berkata Nyi Prawara "biarlah, nanti aku dan Winih membuatnya sendiri."
Manggada dan Laksana tidak membantah lagi. Mereka
duduk diamben yang besar itu pula bersama ketiga orang
tamu yang baru datang itu.
Kiai Gumrahpun kemudian telah mempertanyakan
keselamatan mereka. Keadaan tempat tinggal mereka yang
diterpa banjir. Serta perjalanan mereka sampai kerumah itu.
Sementara itu Ki Prawarapun bertanya pula "Bagaimana
pula keadaan ayah selama ini?"
"Kami baik-baik saja disini. Kedua anak muda ini telah
membantu aku dalam segala hal. Mereka pulalah yang
setiap hari membersihkan banjar, menyalakan lampu dan
jika di banjar itu hadir anak-anak muda sebelum ke banjar
yang baru, maka keduanya ikut pula bersama mereka.
Bahkan kedua anak ini dapat mewakili aku melakukan
kegiatan di padukuhan ini."
"Sokurlah" Ki Prawara mengangguk-angguk "kami
memang selalu memikirkan keadaan ayah disini. Bahwa
ayah tidak bersedia tinggal bersama kami, membuat kami
kadang-kadang gelisah sebagaimana sejak dua pekan
terakhir. Akhirnya kami memaksa diri untuk datang
betapapun sibuknya kami mengerjakan sawah dan ladang
dimusim seperti ini."
Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Aku sudah menduga
bahwa kalian akan datang. Dalam kegelisahan seperti ini,
kedatangan kalian dapat sedikit memberikan ketenangan
kepada kami."
Ki Prawara mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya,
dipandanginya Manggada dan Laksana. Namun Kiai
Gumrah yang tanggap itupun berkata "Keduanya telah
mengetahui segala-galanya tentang pusaka-pusaka itu.
Setidak-tidaknya sebagian besar dari persoalan yang sedang
aku hadapi."
Ki Prawarapun menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata "Kami datang sesuai dengan pesan
ayah." Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya dengan
nada rendah kepada Manggada dan Laksana "Aku telah
memberikan kesan kepada anakku. Ia memang anakku.
Bukan dongeng sebagaimana pernah kalian dengar dan
kepura-puraan yang pernah kalian lihat terjadi dirumah ini.
Kegelisahan yang semakin mencengkam memaksa aku
untuk memanggilnya, karena aku berharap bahwa anakku
dapat membantuku"
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil.
Seperti juga Kiai Gumrah dan kawan-kawannva yang
berdagang gula itu, maka Ki Prawara itu menilik ujud
lahiriahnya tidak lebih dari seorang petani kebanyakan.
Pakaiannya, sikapnya dan caranya berbicara. Namun
Manggada dan Laksana yakin bahwa Ki Prawara adalah
seorang yang tentu juga berilmu tinggi.
Namun dalam pada itu. Nyi Prawara yang sejak semula
mendengarkan pembicaraan itupun berkata "Ayah, biarlah
aku pergi kedapur untuk merebus air."
Namun Manggadalah yang menyahut "Masih ada air
terjerang diatas perapian."
"Kebetulan" jawab Nyi Prawara yang kemudian
menggamit Winih "marilah.
Bantu aku membuat minuman." "Kau dapat mencari mangkuk di paga bambu" berkata
Kiai Gumrah "Biarlah aku mengambilnya" berkata .Laksana.
"Tidak" dengan cepat Nyi Prawara menyahut "duduk
sajalah ngger. Biarlah aku dan Winih yang berada di-dapur.
Bukankah kami berada dirumah ayah sehingga tidak
bedanya dirumah sendiri."
Laksana tidak menjawab. Iapun merasa bahwa Ki
Prawara, Nyi Prawara dan Winih adalah keluarga terdekat
Kiai Gumrah. Sedangkan ia dan Manggada adalah orang
yang tersesat saja sampai kerumah itu. Sehingga karena itu,
maka Nyi Prawara dan winih dapat berbuat lebih banyak
dirumah itu. Karena itu, ketika Nyi Prawara dan Winih pergi ke
dapur, Laksana tidak beranjak dari tempatnya.
Dalam pada itu Kiai Gumrahpun berkata kepada
Manggada dan Laksana "Baiklah aku berterus terang.
Anakku memang memiliki sedikit kemampuan sehingga ia
akan dapat membantuku melindungi pusaka-pusaka itu
disamping beberapa orang kawan-kawanku, para pedagang
gula itu. Seperti pernah aku katakan, bahwa orang-orang
yang menghendaki pusaka-pusaka itu mulai bersungguh-
sungguh, sehingga kamipun harus mulai bersungguh-
sungguh pula. Karena itu, maka kami harus menghimpun
segala orang yang akan dapat ikut serta membantuku.
Tentu bukan anak-anak muda padukuhan ini, karena hal itu
akan dapat berarti menghancurkan mereka pula. Juga
bukan para prajur it Pajang, karena mereka akan dapat
membuat kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan keinginan
kita meskipun mereka juga berniat melindungi pusaka-
pusaka itu."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Kiai
Gumrah memang pernah mengatakan hal itu. Tetapi
agaknya ia sengaja mengulanginya dihadapan Ki Prawara.
Dalam pada itu, di dapur, Ny i Prawara dan Winih
menjadi sibuk membuat minuman. Meskipun mereka tidak
terbiasa dengan peralatan dapur Kiai Gumrah, namun
merekapun akhirnya dapat menyiapkan wedang jahe hangat
dengan gula kelapa yang banyak terdapat didapur itu.
Namun dalam pada itu, selagi Nyi Prawara sibuk
menyiapkan minuman, iapun terkejut ketika tiba-tiba
seseorang telah berdiri dipintu dapur. Orang itupun terkejut
pula melihat dua orang perempuan didapur itu.
Namun Nyi Prawara masih juga sempat bertanya
"Apakah keperluan Ki Sanak" Siapakah yang Ki Sanak
cari?" Tetapi Winih justru bertanya "Apakah Ki Sanak juga
cucu kakek Gumrah?"
"Tidak" jawab orang itu "tetapi aku memang mencari
Kiai Gumrah."
Keduanya memang merasa heran, bahwa orang itu tidak
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetuk pintu depan, tetapi langsung ke pintu dapur.
Namun Nyi Prawara itupun kemudian berkata "Winih,
panggil kakekmu."
Winihpun kemudian bergegas masuk keruang dalam
sambil berkata "Kek, ada tamu."
"Tamu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya. Orang itu langsung masuk ke dapur" jawab Winih.
Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Namun iapun
kemudian segera bangkit dan melangkah menuju ke dapur.
Ternyata Kiai Gumrahpun- terkejut. Hampir diluar
sadarnya ia berdesis "Kundala."
"Ya, Kiai" jawab orang itu lirih, seakan-akan hanya
untuk didengarnya sendiri saja.
-"Marilah, masuklah" Kiai Gumrah mempersilahkan.
"Tidak Kiai" jawab Kundala "aku sedang dalam
perjalanan menemui seseorang."
"Siapa?" bertanya Kiai Gumrah.
Kunuala memang ragu-ragu. Keningnya telah menitikkan keringat. Bahkan baju dibagian punggungnyapun telah menjadi basah kuyup seakan-akan ia
baru saja kehujanan di bulak panjang.
Ia memang tidak dapat dengan serta merta menyebutkan
sebuah nama. Kiai Gumrah-agaknya tanggap akan kesulitan perasaan
Kundala. Karena itu, maka ia tidak mendesaknya. Ia justru
bertanya "Barangkali kau mempunyai keperluan dengan
aku atau dengan kedua cucuku" Marilah duduklah."
"Tidak Kiai" jawab Kundala "tidak ada apa-apa. Aku
hanya ingin singgah untuk melihat keselamatan Kiai dan
cucu-cucu Kiai. Agaknya semuanya selamat disini. Bahkan
mungkin dirumah ini sedang ada tamu."
"Ya. Memang ada tamu dirumah ini. Tetapi mereka
adalah keluargaku sendiri."
"Tidak ada yang ingin aku sampaikan kecuali sekedar
menengok keselamatan Kiai itulah."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
lembut ia berkata "Kundala. Aku tahu bahwa kau berada
dalam kebingungan yang sangat. Terserah kepadamu,
apakah kau akan mengatakannya atau tidak. Tetapi tentu
ada yang mendorongmu untuk singgah dirumahku ini. Aku
yakin bahwa itu adalah nuranimu yang untuk waktu yang
panjang tentu telah kau timbuni dengan ketamakan,
kedengkian dan kepura-puraan. Tetapi kenapa kau justru
berusaha menutup telinga hatimu dan membiarkan kepura-
puraan itu menguasai dan kemudian menimbuni nuranimu
sehingga tenggelam jauh kedasar jiwamu?"
Kundala termangu-mangu sejenak. Tetapi ia mengakui
bahwa dorongan nuraninyalah yang telah membawanya
singgah kerumah Kiai Gumrah. Bahkan nuraninya itu pula
telah mendorongnya untuk mengatakan kenapa ia telah
singgah. Kiai Gumrah membiarkan Kundala itu termangu-mangu
dimuka pintu. Keringatnya semakin banyak mengalir
membasahi pakaiannya, sementara hatinya telah diguncang-guncang oleh keragu-raguan.
Namun akhirnya ia berkata "Kiai. Aku baru saja
menemui utusan Panembahan."
"Utusannya?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya Kiai. Utusan Panembahan itu akan berbicara dengan
Kiai Windu Kusuma tentang pusaka-pusaka itu." jawab
Kundala. "Kenapa utusan itu tidak langsung menemui Kiai Windu
Kusuma?" bertanya Kiai Gumrah.
"Nampaknya
memang masih ada jarak antara Panembahan dan Kiai Windu Kusuma meskipun Kiai
Windu Kusuma telan berada dibawah pengaruh Panembahan." jawab Kundala.
"Lalu apa tugasmu menemui utusan Panembahan?"
"Kami akan membicarakan pertemuan antara Panembahan dan Kiai Windu Kusuma. Pertemuan
langsung itu harus dilakukan tanpa gangguan apapun juga.
Termasuk keselamatan Panembahan itu sendiri. Karena itu.
maka penyelenggaraan pertemuan itu harus dilakukan
dengan sangat berhati-hati" jawab Kundpla.
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Apakah Panembahan dan Kiai Windu
Kusuma belum pernah melakukan pertemuan itu?"
"Sudah. Sudah beberapa kali. Tetapi ditempat yang jauh
dan terpencil. Pertemuan kali ini akan dilakukan ditempat
Kiai Windu Kusuma." jawab Kundala pula.
"Dimana tempat itu?"
Kundala tidak menjawab. Ia justru termangu-mangu
kebingungan. Sekali-sekali dipandanginya Nyi Prawara
yang duduk diamben yang lain di dapur itu.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Kepada Nyi
Prawara ia berkata "Ngger. Aku minta tamuku ini juga
disuguh minuman yang hangat. Nanti, hidangkan saja
minuman yang lain keruang dalam. Suamimu tentu sudah
haus." Nyi Prawara seakan-akan tersadar dari sebuah renungan
yang dalam. Tergagap ia berkata "Ya, ya. Ayah."
Nyi Prawarapun kemudian telah menyuguhkan minuman hangat kepada Kundala yang tegang. Kemudian
iapun telah membawa minuman ke ruang dalam.
"Ia menantuku" berkata Kiai Gumrah. Kundala
mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata "Aku
tidak mempunyai banyak waktu.".
"Minumlah." Kiai Gumrah. mempersilahkan.
Kundalapiun kemudian meneguk mangkuknya menghirup minuman
hangat dengan gula kelapa. Sementara itu Kiai Gumrah berkata "Jadi bagaimana dengan burung-
burung elang itu" Apakah burung-burung elang itu
dilepaskan oleh Panembahan atau oleh Kiai Windu
Kusuma?" "Seorang pembantu Panembahan yang menjadi serati
burung-burung elang itu berada bersama Kiai Windu
Kusuma" jawab Kunuaia meskipun agak ragu.
"Tetapi kaulah yang mendapat tugas untuk menjadi
penghubung sebelum pertemuan itu diselenggarakan" desis
Kiai Gumrah. Kundala mengangguk kecil.
"Aku mengucapkan terima kasih atas keteranganmu"
berkata Kiai Gumrah "tetapi apakah masih ada hal lain
yang dapat aku ketahui?"
Kundala menjadi semakin tegang. Beberapa kali ia
mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Pertentangan didalam dirinya semakin bergejolak. Sekali-
sekali terdengar ia berdesah.
Kiai Gumrah membiarkan Kundala dalam kegelisahannya. Bahkan iapun kemudian mempersilahkan
lagi "Minumlah, selagi masih hangat."
Kundala mengangkat mangkuknya. Iapun menghirup
lagi seteguk. Baru kemudian ia berkata "Panembahan
nampaknya mengenali pusaka-pusaka yang tersimpan itu
dengan baik, Kiai."
"Darimana ia tahu?" bertanya Kiai Gumrah.
Seakan-akan diluar sadar Kundalapun menceriterakan
apa yang pernah didengarnya pembicaraan antara Kiai
Windu kusuma dengan Putut Sempada tentang pusaka-
pusaka yang tersimpan dirumah Kiai Gumrah itu.
Kiai Gumrahpun menarik
nafas dalam-dalam. Dengan
kerut dikening Kiai Gumrah
berkata hampir kepada diri
sendiri "Darimana ia mengetahui bahwa diantara
pusaka-pusaka itu terdapat Kiai Simarengu dan Kiai Simariwut."
"Entahlah"
Kundala menyahut lirih.
Namun tiba-tiba Kundala
itupun berkata "Sudahlah Kiai.
Aku sudah terlalu lama disini. Aku harus segera kembali
agar aku tidak dicurigai oleh Kiai Wmdukusuma. Apalagi
sekarang dalam beberapa hal aku sudah mulai tersisih.
Bukan karena aku dianggap tidak setia, tetapi aku dianggap
tidak cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi
pekerjaan-pekerjaan besar. Namun mudah-mudahan pada
suatu saat, aku masih diperlukan oleh Kiai Windukusuma."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima
kasih. Keteranganmu sangat penting artinya bagi kami.
Hati-hatilah. Mungkin burung elang itu memantau
perjalananmu."
"Memang mungkin, tetapi aku tidak melihat burung itu
dilangit."
"Minumlah dahulu. Aku akan melihat, apakah burung
itu terbang atau tidak." berkata Kiai Gumrah yang
kemudian keluar dari dapur dan menengadahkan wajahnya.
Namun iapun kemudian masuk lagi kedapur sambil berkata
"Burung itu tidak ada.."
"Baiklah Kiai" berkata Kundala "aku mohon diri."
"Berhati-hatilah. Kau berada dikandang serigala. Setiap
saat serigala-serigala itu. akan dapat menggigitmu." pesan
Kiai Gumrah. Kundala tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera
minta diri dan meninggalkan Kiai Gumrah yang termangu-
mangu. Ketika kemudian Kiai Gumrah berada diruang dalam
bersama anak, menantu dan cucunya, maka ternyata Kiai
Gumrah tidak merahasiakan kehadiran dan pesan-pesan
Kundala. Dengan demikian maka Manggada dan Laksana
mengambil kesimpulan bahwa Kiai Gumrah mengharap
kedatangan anaknya benar-benar untuk membantunya
melindungi pusaka-pusaka itu. Karena itu, maka kedua
anak muda itu berkesimpulan bahwa Ki Prawara itu tentu
juga seorang yang berilmu tinggi. Jika tidak demikian, maka
kehadirannya tentu tidak akan berarti apa-apa. Justru malah
membahayakan jiwa Ki Prawara itu sendiri. Apalagi isteri
dan anak gadisnya.
Ternyata pesan Kundala itu telah ditanggapi dengan
sungguh-sungguh oleh Kiai Gumrah dan Ki Prawara.
Mereka memperhitungkan bahwa Panembahan itu akan
turun sendiri untuk mengambil pusaka-pusaka itu.
"Lebih dari itu Panembahan itu berniat untuk
mengorbankan seseorang. Ia memerlukan jantung seseorang
yang masih segar. Bahkan mungkin jantung seseorang yang
disyaratkan oleh Panembahan itu." berkata Kiai Gumrah.
"Nampaknya Panembahan itu masih hidup pada. jaman
yang gelap, pada jaman manusia masih terpisah dari Yang
Maha Agung. Nampaknya Panembahan itu-masih belum
menyadari panggilan Sumber Hidupnya, sehingga ia telah
mengabdi kepada kegelapan."desis Ki Prawara "dengan
demikian maka ia merupakan manusia yang sangat
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbahaya pada jaman seperti ini. Ia sampai hati
mengorbankan sesamanya dengan cara yang tidak pantas
dan tidak berperikemanusiaan
sama sekali untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Satu kekuatan yang
berasal dari dunia kegelapan."
"Itulah yang kita hadapi sekarang Prawara?" desis Kiai
Gumrah "ternyata kita berhadapan dengan kekuatan iblis
dalam arti yang sebenarnya."
Manggadapun kemudian sempat menceriterakan dengan
singkat, bagaimana seorang Panembahan yang juga
memiliki burung-burung elang itu membenamkan Kerisnya
didada gadis-gadis yang masih suci disetiap bulan purnama
karena Panembahan itu memuja keris yang dianggapnya
sangat bertuah itu. Keris yang jika digenapi mereguk darah
gadis-gadis dalam jumlah tertentu akan menjadi keris yang
dapat mendukung derajatnya karena tuahnya yang tidak
ada bandingnya. Bahkan keris itu akan menjadi pusaka
yang paling sakti dimuka bumi."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara
tengkuk Nyi Prawara terasa meremang.
"Sekarang kejahatan seperli itu akan diulangi. Aku yakin
bahwa Panembahan yang kau katakan itu adalah
Panembahan yang ingin memiliki pusaka-pusaka itu pula.
Beberapa pertandanya sama terutama bahwa ia memuja
kuasa kegelapan." berkata Kiai Gumrah.
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Jika demikian kita memang harus menjadi sangat
berhati-hati."
Kiai Gumrah mengangguk pula. Katanya "Malam nanti,
seorang diantara kita akan berada dirumah ini pula."
"Siapa ayah?" bertanya Ki Prawara.
"Kiai Linggar. Ia akan tidur dirumah ini untuk menjaga
kemungkinan buruk yang dapat terjadi." jawab Kiai
Gumrah. "Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang lain?"
bertanya Prawara
"Hampir semua saudara-saudara kita sudah mengetahui
apa yang dapat terjadi disini. Mereka sudah berada
diputaran kejadian sehingga tidak terlalu sulit lagi untuk
menghubungi mereka seorang demi seorang, sebagaimana
kau sendiri"
Prawara mengangguk-angguk.
Panembahan yang disebut-sebut itu telah bersungguh-sungguh pula, sehingga
merekapun harus bersungguh-sungguh
sebagaimana Panembahan itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Nyi Prawarapun
telah berada didapur pula. Ketika Kia i Gumrah akan
menyiapkan makan bagi mereka, Nyi Prawara itu berkata
"Bukankah kami, perempuan, lebih pantas untuk berada
didapur?" "Biasanya aku, Manggada dan Laksanalah yang masak
untuk kami sendiri. Aku ajari mereka membumbui
bermacam-macam masakan, sehingga sekarang mereka
telah dapat melakukannya." berkata Kiai Gumrah.
"Tetapi hari-hari biasa dirumah ini tidak ada seorang
perempuan. Sekarang ada dua orang perempuan disini."
sahut Nyi Prawara.
Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Baiklah. Jika kau akan
memetik sayuran, ambillah di halaman belakang. Daun
kacang panjang, so, melinjo dan kroto, atau terung ungu.
Jika kau senang sayur rebung, sekaranglah musimnya."
"Baik ayah. Kami akan mengambil bahan-bahan itu
sendiri di halaman belakang." jawab Nyi Prawara.
Dengan kehadiran anak, menantu dan cucunya, maka
rumah Kiai Gumrah menjadi semakin terasa hidup. Rumah
dan halaman yang telah dibersihkan oleh Manggada dan
Laksana akan menjadi semakin nampak cerah karena ada
tangan-tangan perempuan yang memeliharanya, meskipun
hanya untuk sementara.
Dalam pada itu, ketika malam kemudian turun, maka
rumah itu menjadi semakin ramai. Ternyata.yang datang
kerumah Kiai Gumrah bukan hanya seorang kawannya
yang untuk sementara akan berada. dirumah itu, tetapi,
yang datang ternyata ampat orang termasuk juragan gula
kelapa itu. Diantara mereka terdapat orang-yang telah
mengirimkan pesan untuk Ki Prawara.
Ki Prawara telah ikut menyambut tamu-tamu Kiai
Gumrah itu. Terdengar suara tertawa yang gembira. Orang-
orang tua itu mulai berkelakar dengan ramainya.
"Pesanku kapan sampai kepadamu Prawara"," bertanya
salah seorang diantara tamu-tamu Kiai Gumrah.
"Dua. hari yang lalu Kiai." jawab Prawara.
"Ternyata pesan itu memerlukan waktu tiga hari untuk
sampai ketelingamu."
"Tetapi aku sekarang sudah ada disini" jawab Prawara.
Sementara itu Kiai Linggarpun berkata "Jika demikian,
maka aku tidak perlu lagi berada ditempat ini. Rumah ini
akan menjadi penuh sesak. Selain Prawara, isteri dan anak
gadisnya, disini sudah ada dua orang cucu Kiai Gumrah
yang lain."
"Ya" Juragan gula itulah yang menjawab "disini kau
hanya akan memenuhi ruangan dan menghabiskan
makanan yang disediakan oleh Nyi Prawara."
Orang-orang -tua itu tertawa. Ki Prawarapun tertawa
pula. Demikianlah malam itu rumah Kiai Gumrah menjadi
ramai. Meskipun mereka tidak bermain dadu, tetapi
kehadiran Ki Prawara telah menyerap perhatian tamu-tamu
Kiai Gumrah. Ki Prawara ternyata seorang yang pandai
menyusun ceritera sehingga hal-hal yang biasa terjadi
menjadi sangat menarik. Ia sempat menceriterakan
pengalaman hidupnya yang terpisah dari ayahnya untuk
waktu yang lama.
Sementara itu, Nyi Prawara dan Winih masih saja sibuk
didapur. Manggada dan Laksana ikut membantunya dan
kemudian menghidangkan
suguhan keruang dalam.
Minuman, makanan dan makan malam. Meskipun hanya
sayur-sayuran saja, tetapi karena Nyi Prawara pandai
memasak, hidangan itu terasa nikmat di mulut tamu-tamu
Kiai Gumrah. Namun menjelang, tengah malam, suara tertawa dan
kelakar menjadi semakin susut. Pembicaraan orang-orang
tua itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Manggada
dan Laksana yang sudah selesai menghidangkan suguhan
bagi mereka yang berada di ruang dalam, duduk
dibersandar dinding didapur. Justru karena mereka sudah
tidak sibuk lagi, maka mereka mulai merasa kantuk. Karena
itu, maka Nyi Prawarapun berkata "Duduklah didalam
ngger. Kalian sudah berhak mendengarkan pembicaraan
orang-orang tua itu, karena kalian memang sudah
memanjat usia dewasa."
Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu.
Tetapi kemudian Manggada itupun menyahut "Biarlah
kami duduk disini saja Nyi. Mungkin masih ada yang harus
kami kerjakan. Jika minuman para tamu itu habis, maka
kami akan menuang lagi."
"Bukankah itu dapat dilakukan oleh Winih?" sahut Nyi
Prawara sambil memandang anak gadisnya.
Namun Manggada berkata "Adi winih tentu letih.
Bukankah ia baru datang hari ini."
Tetapi Nyi Prawara tertawa, katanya "Ia terbiasa
berjalan jauh. Dirumah sehari-hari ia bekerja disawah,
sehingga tubuhnya telah terbiasa."
Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja,
sementara Winih sendiri memang tidak nampak letih. Juga
tidak nampak mengantuk. Ia masih tetap nampak segar.
Dalam pada itu, diam-diam Manggada dan Laksana
memandangi gadis itu. Gadis itu nampak tegar. Tubuhnya
seakan-akan selalu bergerak, apapun yang dilakukan.
Seakan-akan gadis itu tidak dapat duduk diam barang
sekejappun. Jika ia duduk, maka kakinya atau tangannya
yang bergerak-gerak, Meskipun ujudnya Winili telah
dewasa, namun wajahnya masih nampak kekanak-kanakan.
Tetapi jika sekali-sekali Manggada dan Laksana, sempat
memandang matanya, maka di mata itu seakan-akan
tersimpan api gejolak jiwanya.
Tetapi Winih masih belum menjadi akrab dengan
Manggada dan Laksana. Diantara mereka masih ada jarak,
justru karena Manggada dan Laksana adalah anak-anak
muda, sedangkan Winih seorang gadis yang sama-sama
meningkat dewasa.
Namun dalam pada itu terdengar Kiai Gumrah
memanggil Manggada dan Laksana. Ternyata Kiai Gumrah
justru ingin Manggada dan Laksana mendengarkan
pembicaraan mereka yang mulai bersungguh-sungguh.
"Sayang. Kita semuanya sudah menjadi tua. Satu-
satunya orang yang masih terhitung muda adalah kau,
Prawara." berkata Kiai Linggar.
"Itulah kelemahan kita" berkata juragan gula itu "kita mabuk akan kebanggaan atas diri kita sendiri, sehingga kita
lupa, bahwa pada suatu saat kita akan menjadi tua, dan
kehilangan landasan kekuatan kewadagan kita. Jika
sebentar lagi kita sudah harus merenungi kerapuhan wadag
kita, maka orang-orang yang lebih muda masih belum siap
untuk menggantikan tugas kita."
"Kiai sekalian masih belum terlambat" berkata Prawara
"masih ada kesempatan untuk menempa mereka yang lebih
muda dari kita, atau katakan lebih muda dari aku."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Hampir diluar
sadarnya mereka memandang Manggada dan Laksana yang
sudah duduk diamben itu pula, meskipun agak dibelakang.
Tetapi Manggada dan Laksana agaknya menundukkan
wajah mereka. Orang-orang tua yang ada diruang dalam itu tanggap
akan maksud Kiai Gumrah. Tetapi mereka masih harus
berpikir, "apakah keduanya bersedia untuk benar-benar,
bergabung dengan orang-orang tua itu dalam arti
yang,sebenarnya. Karena mereka tahu, bahwa anak-anak
muda itu sedang dalam perjalanan pulang kerumah mereka
tidak jauh dari Kotaraja.
Namun Prawaralah yang kemudian berkata "Tetapi yang
penting bagi kita adalah persoalan dalam waktu dekat ini.
Jika menurut ayah, seorang pengikut Kiai Windu Kusuma
yang bernama Kundala telah mengabarkan hal-hal tersebut,
berarti bahwa kita harus menanggapinya dengan mengerahkan segenap, kemampuan yang ada pada kita.
Untuk waktu yang pendek dan mendesak ini, kita belum
sempat memikirkan, siapakah yang akan menjadi penerus
kita kemudian. Karena dihadapan kita sekarang ternyata
menganga mulut sekelompok buaya yang buas."
Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Juragan gula
itupun berkata "Untunglah, bahwa ada seseorang yang
bernama Kundala. Dengan demikian kita berharap untuk
selanjutnya, ia akan dapat membantu kita."
Demikianlah, orang-orang tua itu berbicara berkepanjangan. Namun akhirnya merekapun menjadi
letih. Kiai Linggarlah yang kemudian berkata "Sudahlah.
Kami datang untuk mengucapkan selamat datang kepada
Prawara. Selain itu, akupun tidak perlu lagi berada dirumah
ini untuk sementara. Karena itu, aku mohon diri."
Ternyata orang-orang tua yang lainpun telah minta diri
pula. Juragan gula itupun berkata "Sudah terlalu malam.
Aku kira sudah tidak ada suguhan lagi yang akan
dihidangkan. Karena itu, kami akan pulang saja."
Ki Prawara tertawa. Tetapi Kiai Gumrah berkata
"Kalian harus membayar sebanyak yang kalian makan hari
ini." Orang-orang tua itu tertawa. Namun mereka berjalan
terus meninggalkan rumah Kiai Gumrah.
Demikian mereka keluar dari regol halaman, mereka
bertemu dengan beberapa orang anak muda yang sedang
meronda. Namun anak-anak muda itu sudah mengenal
orang-orang tua itu, sehingga mereka tidak terlalu banyak
bertanya-tanya. Tetapi justru kepada Manggada dan
Laksana anak-anak muda itu bertanya, kenapa ia tidak
pergi ke banjar.
"Kami hanya sekedar menyalakan lampu. Kami harus
segera pulang karena dirumah banyak tamu." jawab
Manggada. "Tetapi bukankah mereka tamu kakekmu?" bertanya
salah seorang di antara mereka.
"Ya. Tetapi bukankah harus
ada yang merebus air dan
menyediakan hidangan meskipun hanya sekedar merebus ketela pohon atau ubi
rambat?"
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak-anak muda itu tersenyum. Seorang diantara
mereka berkata "He, jika tersisa
bawa ke banjar. Kami akan
beristirahat di banjar sebentar."
Laksanalah yang menjawab
"Sayang. Yang masih tersisa
tinggal gua kelapa."
"Tentu, kakekmu setiap hari membuat gula" sahut salan
seorang dari anak-anak muda itu.
Manggada dan Laksana hanya tertawa saja. Namun
mereka kemudian justru masuk kembali keregol halaman
dan menutupnya ketika orang-orang tua yang meninggalkan rumah itu sudah menjadi semakin jauh.
Malam itu Manggada dan Laksana harus tidur diamben
dapur. Namun bagi mereka berdua sama sekali tidak ada
persoalan. Amben yang besar diruang tengah dipergunakan
untuk Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih.
Namun kehadiran Ki Prawara memang membuat
Manggada dan Laksana menjadi semakin tenang, karena
mereka tahu bahwa Ki Prawara itu tentu memiliki ilmu
yang dapat diandalkan sebagaimana dikatakan oleh Kiai
Gumrah dan kawan-kawannya.
Ketika kemudian fajar menyingsing, sebagaimana biasa
Manggada dan Laksana sudah bangun. Mereka segera pergi
ke banjar dan membersihkan halaman banjar, mengisi
jambangannya dan memadamkan lampu-lampunya. Baru
kemudian mereka pulang untuk membersihkan halaman
rumah Kiai Gumrah.
Tetapi ketika mereka memasuki halaman, ternyata
bahwa halaman rumah itu sudah menjadi bersih. Mereka
masih melihat Winih menyelesaikan pekerjaannya dengan
memasukkan sampah kelubang sampah disudut halaman.
"Kami terlambat" berkata Manggada.
"Seberapa luas halaman banjar itu, sehingga kalian
berdua baru selesai?" bertanya Winih yang sudah mulai
mengatasi keseganan masing-masing.
"Bukan hanya membersihkan halaman" jawab Laksana
"kami harus membersihkan ruangan-ruangan banjar dan
mengisi jambangan di pakiwan."
"O" Winih mengangguk-angguk "sebelum kalian datang,
apakah semuanya itu dilakukan oleh kakek sendiri?"
"Agaknya memang demikian. Tetapi justru karena itu,
maka rumah kakek inilah yang tidak mendapat waktu
untuk dibersihkan. Waktu kami datang, nampaknya rumah
dan halaman ini jarang disapu sedangkan perabot dida-
lampun agaknya tidak sempat disentuh tangan. Kakek
memang terlalu sibuk. Sedangkan pohon-pohon kelapa itu
memerlukan perhatiannya" jawab Manggada.
"Kasihan kakek" desis Winih "jika aku tahu, aku tentu sudah datang jauh sebelum ayah dan ibu mengajak aku
kemari." Manggada dan Laksana yang kemudian melintas sempat
berhenti sejenak. Namun; kemudian mereka mulai
melangkah lagi melintas halaman samping. Sambil berjalan
Manggadapun berdesis "Kami akan mengisi jambangan."
"Ayah sudah mengisinya" sahut Winih
"Kalau begitu, apa lagi yang harus kami kerjakan"
Menyiapkan minuman" "Laksana justru bertanya.
"Ibu sedang sibuk didapur" jawab Winih.
"Dan kakek?" bertanya Manggada.
"Kakek sudah berada dikebun dengan bumbung-
bumbungnya."
Manggada dan Laksana saling berpandangan. Agaknya
tugas mereka menjadi ringan oleh kehadiran Ki Prawara
dengan keluarganya dirumah itu.
Namun dalam pada itu Winih itupun tiba-tiba berkata,
"Bukankah kita tidak mempunyai pekerjaan apa-apa lagi"
Bagaimana jika kita pergi ke pasar?"
"Kepasar?" ulang Manggada.
"Ya. Aku akan minta kepada ibu agar aku saja yang
berbelanja dipasar. Tetapi bukankah kahan juga tidak ada
kerja dirumah pagi ini" Nah, kita sajalah yang pergi ke
pasar." Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu.
Mereka memang senang untuk berbelanja bersama Winih
yang ceria itu. Namun dengan ragu Manggada berkata
"Kami harus minta ijin dahulu kepada kakek."
"Kakek tentu tidak berkeberatan. Bukan kalian yang
berbelanja. Tetapi aku. Bukankah pantas jika aku yang
berbelanja" Kalian hanya menemani aku saja" berkata
Winih dengan lancar. Seakan-akan mereka sudah akrab
sebelumnya. Manggada dan Laksana masih saja ragu-ragu. Mereka
selalu ingat akan pesan Kiai Gumrah, bahwa mereka harus
berhati-hati karena orang-orang berilmu tinggi itu sudah
mengenal mereka
"Kenapa kalian ragu-ragu" Apakah kalian merasa malu
berjalan bersama seorang gadis?" bertanya Winih.
Manggada dan Laksana justru merasa jantungnya
tergetar mendengar pertanyaan itu. Namun mereka
menyadari bahwa pertanyaan itu meluncur dari mulut
Winih dengan lugu, jujur dan tanpa maksud apa-apa.
Karena itu, maka-meskipun agak memaksa diri
Manggada menjawab "Tidak. Soalnya bukan itu. Tetapi
kakek selalu berpesan agar kami berhati-hati dalam keadaan
yang nampaknya semakin genting ini."
"Tetapi bukankah itu persoalan kakek, kawan-kawannya
dan barangkali ayah. Tetapi itu bukan persoalan kita."
"Kami berdua sudah terlibat kedalam persoalan itu."
jawab Laksana. "Jadi kalian takut pergi ke pasar?" bertanya Winih.
Bagaimanapun juga Manggada dan Laksana tersinggung
mendengar pertanyaan itu. Namun justru karena itu,
mereka tidak segera menjawab.
Tetapi Winih sambil meneruskan kerjanya berdesis
seakan-akan kepada diri sendiri "Jika demikian aku akan
pergi sendiri ke pasar."
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Pendekar Riang 13 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Cinta Bernoda Darah 5
berusaha untuk bangkit, ia justru terhuyung-huyung
kehilangan keseimbangannya. Meskipun Laksana mencoba
berpegangan tiang, tetapi iapun jatuh terduduk. Pedangnya
telah terlepas dari tangannya, sementara nafasnya menjadi
sesak. Sementara itu Manggadapun tidak dapat bertahan lebih
lama lagi. Dengan kerasnya Manggada terlempar ketika
kaki Niskara itu mengenai pundaknya. Demikian kerasnya
sehingga Manggada membentur dinding dan bahkan
dinding itu telah terkoyak. Manggada yang terlempar itu
terjatuh keluar rumah. Tetapi tidak dihalaman depan.
Manggada berguling beberapa kali di halaman sam ping.
Kepalanya yang membentur dinding sehingga koyak itu
menjadi pening. Matanya berkunang-kunang dan kemudian
menjadi gelap. Hampir bersamaan kedua orang anak muda itu menjadi
pingsan. Sementara itu pertempuran di halaman masih berlangsung dengan sengitnya. Kiai Gumrah dengan ketiga
orang kawannya yang gelisah itu telah meningkatkan
kemampuan mereka. Namun lawan-lawan merekapun
berbuat serupa pula, sehingga karena itu, maka pertempuran itu benar-benar menjadi pertempuran yang
seru diantara orang-orang berilmu tinggi.
Kiai Windu Kusuma yang berhadapan dengan Kiai
Gumrah, ternyata juga menjadi gelisah. Ia berharap agar
Niskara dapat menguasai pusaka-pusaka itu dengan cepat.
Namun ternyata Niskara masih juga belum keluar dari
rumah itu dengan membawa pusaka-pusaka yang diinginkannya. Justru karena itu, maka dua orang berilmu tinggi itu
bertempur dalam kegelisahan mereka masing-masing. Kiai
Gumrah gelisah karena Manggada dan Laksana yang keras
hati, keduanya tentu tidak akan begitu saja meninggalkan
pusaka-pusaka itu meskipun lawannya dapat mengancam
jiwanya. Sementara itu, kawan-kawannya dan bahkan
dirinya sendiri tentu tidak akan dapat dengan mudah
meninggalkan lawan-lawannya.
Sedangkan Kiai Windu Kusuma menjadi gelisah karena
Niskara tidak segera keluar dari rumah dengan membawa
pusaka-pusaka yang mereka kehendaki. Menurut perhitungan Kiai Windu Kusuma. Niskara akan dapat
dengan mudah menyelesaikan kedua orang anak muda
yang ada didalam yang kemampuannya masih sangat dasar
sebagaimana dilaporkan oleh dua orang yang telah datang
lebih dahulu kerumah itu.
Kiai Windu Kusuma untuk sementara masih menahan
diri. Ia mencoba untuk mengerahkan kemampuannya serta
memusatkan nalar budinya menghadapi Kiai Gumrah.
Tetapi kegelisahannya itu seakan-akan tidak tertahankan
lagi. Karena itu, maka iapun berteriak "He, lihat, apakah
Niskara justru tidur didalam atau ia telah berkhianat dan
membawa pusaka-pusaka itu pergi melalui pintu butulan."
Untuk sesaat masih belum ada yang meninggalkan arena
pertempuran itu. Dua orang kawan Kiai Gumrah yang
masing-masing harus menghadapi dua orang sekaligus telah
mengerahkan ilmunya. Mereka mencoba untuk menahan
salah seorang dari lawannya yang akan meninggalkan
arena. Tetapi karena lawannya juga menghentakkan
kemampuan mereka, maka kedua orang kawan Kiai
Gumrah itu justru terdesak surut.
Justru pada saat itu seorang dari mereka telah meloncat
meninggalkan salah seorang kawan Kiai Gumrah itu dan
berlari kepintu rumah Kiai Gumrah. Sementara itu seorang
kawannya harus bertempur seorang melawan seorang
dengan kawan Kiai Gumrah itu. Orang itu memang segera
terdesak. Tetapi ia masih mempunyai beberapa cara untuk
mempertahankan hidupnya. Halaman rumah Kiai Gumrah
ternyata cukup luas untuk menghindar disaat-saat yang
sulit. Bahkan beberapa batang pohon buah-buahan dapat
dipergunakan untuk sekedar menyelamatkan diri pada saat-
saat yang paling gawat.
Demikianlah, seorang pengikut Kiai Windu Kusuma
yang memasuki rumah Kiai Gumrah itupun langsung
menuju keruang dalam. Dilihatnya seorang anak muda
yang pingsan terbaring dilantai. Kemudian dilihatnya pula
dinding bambu yang koyak. Demikian ia melihat keluar
lewat lubang dinding itu, dilihatnya seorang anak muda
yang lain telah terbaring pula.
Namun orang itu terkejut bukan buatan ketika ia melihat
Niskara juga terbaring diluar rumah tidak terlalu jauh dari
anak muda yang juga terbaring diluar itu.
Dengan cepat ia merunduk lewat lubang dinding itu
keluar. Ketika ia berjongkok disebelah Niskara, maka
dilihatnya tubuh itu terkoyak mengerikan. Luka-luka yang
parah terdapat hampir diseluruh tubuhnya.
"Siapa yang telah memperlakukan Niskara seperti ini?"
pertanyaan itupun telah bergejolak didalam hatinya. Tetapi
orang itupun harus menjadi sangat berhati-hati. Niskara
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kemampuannya. Tetapi ia gagal mempertahankan hidupnya. Justru dengan luka yang sangat parah.
Tetapi kawan Niskara itu tidak yakin bahwa luka-luka
itu adalah luka-luka senjata. Luka-luka itu menurut
pengamatannya seakan-akan luka oleh kuku-kuku dan
taring binatang buas.
"Tetapi dimana ada binatang buas disini?" orang itu
bertanya didalam hatinya.
Karena itulah, maka orang itupun segera mengambil
keputusan untuk mengambil pusaka-pusaka yang disimpan
oleh Kiai Gumrah. Dengan senjata teracu ia kemudian
meninggalkan Niskara dengan sangat berhati-hati. Karena
Niskara telah mati, maka ia tidak akan berbuat apa-apa
untuk menyelamatkannya. Apalagi kedua orang anak muda
itu mungkin pingsan. Jika mereka sadar, maka ia harus
bertempur lagi melawan keduanya.
Karena itu, maka kawan Niskara itupun segera
menyuruk kembali masuk kedalam rumah. Perlahan-lahan
ia melangkah ke bilik tempat pusaka-pusaka itu mungkin
disimpan. Ketika angin bertiup menyingkap tirai dipintu bilik
sebelah, maka nampak sebuah ploncon dengan pusaka-
pusaka yang tentu pusaka yang dicarinya. Dalam
keremangan lampu yang redup, orang itu melihat beberapa
batang tombak dan songsong berdiri tegak pada ploncon
itu. Orang itu tidak berpikir panjang. Dengan serta-merta
orang itu meloncat masuk kedalam bilik yang redup itu.
Tetapi orang itu terkejut bukan buatan. Demikian ia
berdiri didalam bilik itu, maka dilihatnya dua ekor harimau
menggeram siap untuk menerkamnya.
Dengan cepat orang itu meloncat mundur. Namun kedua
ekor harimau itu telah mengikutinya, keluar dari bilik itu.
Orang itu bukan seorang penakut. Seandainya ia harus
berkelahi melawan seekor dari kedua harimau yang besar
itu, ia tidak akan gentar. Tetapi melawan dua ekor harimau
yang besar dan garang itu, maka nasibnya tentu tidak akan
lebih baik dari Niskara yang telah terbunuh itu.
Dalam waktu yang pendek itu otaknya bekerja dengan
cepat. Ia akan memancing harimau itu keluar rumah dan
membawanya ke halaman. Jika harimau itu berada
dihalaman, maka harimau itu tentu tidak akan dapat
memilih siapakah yang akan dilawannya.
Meskipun demikian sekilas timbul keheranan didalam
hatinya, bahwa kedua ekor harimau itu tidak berbuat apa-
apa terhadap kedua orang anak muda yang pingsan itu.
Tetapi ia tidak sempat berpikir panjang. Dengan cepat ia
meloncat keluar pintu rumah dan berlari ke halaman.
"Kenapa kau berlari-lari he?" Kiai Windu Kusuma
berteriak "Dimana Niskara?"
Orang itu berhenti sejenak. Ternyata kedua ekor harimau
itu tidak mengejarnya. Satupun diantara keduanya tidak
ada yang nampak keluar pintu depan rumah itu.
"He, dimana Niskara?" sekali lagi Kiai Windu Kusuma
yang masih bertempur melawan Kiai Gumrah itu berteriak.
Terdengar Kiai Gumrah tertawa. Ia memanfaatkan
keadaan itu untuk mempengaruhi lawannya. Katanya
"Nah, ternyata Niskara tidak dapat mengalahkan kedua
orang cucuku itu."
"Tidak" teriak orang itu yang masih berdiri ter-mangu-
mangu beberapa langkah didepan pintu. "Kedua anak muda
itu terbaring diam di rumah itu. Mungkin ia pingsan atau
mati atau pingsan sampai mati."
"Jika demikian kenapa kau berlari-lari keluar?" bertanya
Kiai Gumrah. "Ternyata didalam rumah terdapat harimau jadi-jadian.
Atau pusaka-pusaka itu dapat berwujud harimau. Ada dua
ekor harimau di bilik penyimpanan pusaka itu." teriak
orang itu dengan suara bergetar. Masih terasa betapa
jantungnya menjadi ngeri melihat kedua ekor harimau itu.
Yang mendengarkan teriakan orang itu menjadi terkejut
karenanya. Bahkan Kiai Gumrah dan kawan-kawan-
nyapun terkejut pula. Kiai Gumrah yang tinggal dirumah
itu tidak pernah melihat ada seekor harimau. Apalagi
didalam rumahnya. Ia juga tidak percaya bahwa pusaka-
pusaka itu dapat berubah menjadi harimau atau dari
dalamnya keluar seekor harimau atau bahkan lebih.
Namun dalam pada itu, pertempuran itu masih
berlangsung. Seorang pengikut Kiai Windu Kusuma yang
harus bertempur menghadapi seorang kawan Kiai Gumrah
telah mengalami kesulitan. Sejak kawannya meninggalkannya masuk mencari Niskara, maka ia lebih
banyak berlari-lari menghindar. Kadang-kadang bahkan ia
harus berputar-putar mengelilingi pohon-pohon besar dan
perdu untuk menyelamatkan diri.
Karena kawannya yang berlari keluar dari rumah itu
masih saja termangu-mangu, sementara kulitnya telah
mulai tergores ujung senjata lawannya, maka ia segera
berteriak "He, jangan tidur disitu. Kau menunggu jantungku
koyak?" Orang itupun segera menyadarinya. Karena itu, maka
iapun segera berlari menggabungkan diri dengan kawannya
yang ditinggalkannya.
Namun keadaan keselamatan pertempuran itu sudah
berubah. Kawan-kawan Kiai Gumrah sudah mulai
menekan lawan-lawannya. Bahkan yang melawan kedua
orang pengikut Kiai Windu Kusuma itupun telah berhasil
menekan lawannya. Meskipun
lawannya bertempur berpasangan, namun kemampuannya memang masih
belum setingkat dengan Niskara yang terbunuh itu.
Ternyata Kiai Windu Kusuma mulai mempertimbangkan keadaan. Ia sendiri merasa tidak akan
dapat mengatasi Kiai Gumrah. Bahkan semakin lama maka
tekanan Kiai Gumrah itupun terasa menjadi semakin berat.
Apalagi dengan ceritera tentang kedua ekor harimau itu.
"Jika harimau itu mampu memilih lawan, maka
persoalannya akan menjadi lain" berkata Kiai Windu
Kusuma didalam hatinya.
Meskipun demikian untuk beberapa saat ia masih
mencoba untuk mengerahkan kemampuannya. Tetapi Kiai
Gumrahpun telah sampai ketataran yang lebih tinggi pula.
Bagaimanapun juga, maka Kiai Windu Kusuma tidak
akan dapat mengalahkan lawannya. Kecuali jika ia
mencoba untuk mempergunakan ilmu puncaknya. Meskipun demikian maka Kiai Windu Kusuma itupun
yakin bahwa Kiai Gumrahpun tentu memiliki ilmu
simpanannya. Ternyata kehadirannya dirumah itu telah disambut oleh
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekuatan diluar perhitungannya. Meskipun ia memang
menduga bahwa Kiai Gumrah tidak sendiri, tetapi ia tidak
mengira bahwa ada empat orang berilmu tinggi dirumah itu
selain kedua orang cucu Kiai Gumrah.
Memang timbul niat Kiai Windu Kusuma untuk
menyelesaikan pertempuran itu dengan tuntas. Ia sudah
siap mempertaruhkan hidup dan matinya untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu. Namun ketika dalam
kegelapan malam dihalaman samping ia sempat melihat
dua pasang sinar yang kehijau-hijauan, maka Kiai Windu
Kusuma memang harus berpikir ulang. Kiai Windu
Kusuma sadar, bahwa sinar kehijauan yang dua pasang
memancar dalam kegelapan itu tentu mata dua ekor
harimau sebagaimana dikatakan oleh salah seorang
pengikutnya itu.
Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma harus membuat
perhitungan yang cermat.
Sementara itu Putut Sempada yang bertempur melawan
kawan Kiai Gumrah yang disebut juragan gula itupun
berkata "Jadi kalian menyimpan harimau jadi-jadian
dirumah ini" Harimau seperti itu memang berarti untuk satu
saat. Tetapi pada kesempatan lain, setelah kami tahu bahwa
disini ada harimau jadi-jadian, maka kalian tidak akan
sempat berbuat sesuatu lagi."
Juragan gula itu tidak menjawab. Ia memang ikut
bingung menanggapi persoalan harimau yang ada dirumah
itu. Iapun melihat bulatan-bulatan cahaya kehijauan di
kegelapan. Juragan gula itu juga mengira bahwa yang
bercahaya itu bukan sekedar mata kucing. Tetapi tentu
mata harimau. "Kiai Gumrah belum pernah berceritera tentang harimau
itu" berkata juragan gula itu didalam hatinya.
Bahkan Kiai Gumrah sendiri menjadi gelisah melihat
dua pasang mata harimau dihalaman samping rumahnya.
Ia sendiri tidak tahu sama sekali tentang harimau-harimau
itu. Bahkan Kiai Gumrah juga memikirkan kemungkinan
buruk atas Manggada dan Laksana yang mungkin pingsan.
Jika mereka masih mempunyai kesempatan hidup, maka
harimau-harimau itu akan dapat mengoyakkan tubuhnya.
Ternyata kebingungan itu membuat mereka yang sedang
bertempur itu tidak lagi memusatkan perhatian mereka.
Kiai Windu Kusuma, Putut Sempada, para pengikut Kiai
Windu Kusuma yang lain menganggap bahwa harimau-
harimau itu adalah semacam harimau jadi-jadian yang
dapat membantu Kiai Gumrah. Jika demikian maka
keadaan mereka benar-benar akan menjadi semakin sulit.
Tanpa harimau-harimau itu mereka merasa bahwa tidak
mudah menundukkan orang-orang tua itu. Apalagi dengan
harimau jadi-jadian.
Karena itu, maka Kiai Windu Kusuma itu tiba-tiba saja
berkata lantang "He, Kiai Gumrah. Itukah yang kau sebut
pertolongan dari Yang Maha Agung" Ternyata kaupun
bertumpu pada kekuatan iblis. He, apakah harimau jadi-
jadian bukan salah satu ujud kekuatan hitam?"
Kiai Gumrah tidak mau menerima tuduhan itu. Katanya
"Aku tidak pernah berhubungan dengan iblis."
"Jadi, apa artinya harimau-harimau itu" Seandainya
pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau, itukah
yang kau maksudkan?"
"Tidak." jawab Kiai Gumrah "tetapi jika harimau-
harimau itu datang dari hutan karena kebingungan dan
disini mereka menemukan Niskara dan membunuhnya, itu
harus kau renungkan."
"Omong kosong." geram
Kiai Windu Kusuma "tetapi
baiklah. Pada kesempatan
lain, aky akan datang dan
siap melawan harimau jadi-
jadianmu. Kau akan menyesal bahwa kau ternyata
tidak jujur dan licik."
Kiai Gumrah tidak menjawab. Namun kemudian
terdengar isyarat dari Kiai
Windu Kusuma. Isyarat agar
para pengikutnya mengundurkan diri dari halaman rumah Kiai Gumrah. Sambil bergeser keregol halaman, Kiai Windu Kusuma
dan para pengikutnya berusaha untuk dapat melepaskan
diri dari keempat orang tua yang mempertahankan pusaka-
pusaka itu. Sementara Kiai Gumrah dan kawan-kawannya
masih saja memikirkan nasib Manggada dan Laksana.
Karena itu, ketika kemudian Kiai Windu Kusuma meloncat
meninggalkan halaman itu. Kiai Gumrah tidak mengejarnya. Bahkan ia memberikan isyarat kepada kawan-
kawannya agar mereka tidak mengejar orang-orang yang
melarikan diri dari halaman rumahnya. Ada yang meloncat
keluar dari regol, tetapi ada pula yang memanjat dinding
halaman yang memang tidak terlalu tinggi.
Demikian orang-orang itu pergi, maka tanpa berjanji
Kiai Gumrah dan kawan-kawannya telah berlari kepintu
rumah. Namun Kiai Gumrah dan kawan-kawannya tidak
meninggalkan kewaspadaan. Harimau yang semula ada
dihalaman, namun kemudian sinar mata itu bagaikan
padam, justru mungkin telah ada didalam rumah itu
kembali. Mungkin harimau-harimau itu siap untuk
menerkam mereka berempat demikian mereka masuk.
Tetapi keempat orang itu tidak melihat sesuatu. Mereka
tidak melihat harimau. Yang mereka temukan adalah
Laksana yang telah mulai sadar kembali.
"Anak itu pingsan" desis Kiai Gumrah.
Sambil berjongkok disisi Laksana Kiai Gumrah bertanya
"Dimana Manggada?"
Laksana termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi.
"Aku masih melihat ia bertahan" desis Laksana. Tiba-
tiba saja mereka mendengar seorang diantara kawan Kiai
Gumrah itu berkata "Ia ada disini."
Merekapun dengan tergesa-gesa telah berlari kearah
suara itu, menyusup dinding
yang terkoyak dan sebenarnyalah mereka menemukan Manggada yang juga
sudah mulai sadar.
Laksana yang baru sadar itupun telah ikut pula berlari. Ia
menarik nafas panjang ketika ia melihat Manggadapun
telah duduk pula.
Tetapi mereka terkejut pula ketika mereka melihat tubuh
seseorang terbaring tidak jauh dari Manggada.
"Itulah orang yang disebut Niskara" desis Kiai Gumrah.
"Ya" jawab seorang kawannya yang sedang mengamati
tubuh yang terbaring diam dengan luka yang sangat parah
itu. Ketika orang-orang itu menyaksikan luka-luka ditubuh
Niskara itu, maka mereka sepakat bahwa luka-luka itu
adalah bekas kuku-kuku dan taring harimau.
"Jika hanya seekor harimau, mungkin Niskara akan
dapat mengatasinya. Tetapi dua ekor harimau yang besar
dan kuat dimalam yang gelap. Bahkan mungkin tiba-tiba."
berkata Kiai Gumrah sambil memandang berkeliling.
"Harimau-harimau itu ada didekat tempat ini. Dari
halaman depan kita melihat cahaya matanya yang kehijau-
hijauan." berkata salah seorang tamu Kiai Gumrah itu.
"Ya" juragan gula itu "tetapi aku tidak melihatnya
sekarang. Mungkin harimau-harimau itu bersembunyi.
Dengan tiba-tiba mereka akan meloncat menerkam kita."
"Apakah kita juga akan menjadi ketakutan?" bertanya
Kiai Gumrah. Juragan gula itu tertawa. Katanya "Harimau itulah yang
menjadi ketakutan."
"Ya. Apalagi setelah mendengar suaramu. Jauh lebih
garang dari aum seekor harimau" berkata salah seorang
yang lain. Orang-orang tua itu sempat tertawa. Namun kemudian
Kiai Gumrah teringat kepada Manggada dan Laksana yang
baru saja sadar dari pingsan. Sambil mendekati kedua orang
anak yang termangu-mangu itu, Kiai Gumrahpun bertanya
"Apakah kau melihat seekor atau dua ekor harimau
didalam atau diluar rumah ini?"
"Tidak kek" jawab Manggada "yang aku ingat adalah,
aku terlempar keluar. Sesudah itu semuanya gelap."
"Manggada" desis juragan gula itu "kau lihat, seorang
diantara mereka yang datang kerumah ini adalah yang
terbunuh itu. Menilik lukanya, tentu bukan luka karena
senjata. Luka itu adalah bekas kuku dan taring harimau
yang garang. Sementara itu seorang yang lain telah melihat
dua ekor harimau dirumah ini. Sehingga dengan demikian
mereka tidak sempat mengambil pusaka-pusaka itu
meskipun kalian berdua sudah pingsan."
Manggada termangu-mangu sejenak. Sementara Kiai
Gumrahpun bertanya kepada Laksana "Apakah kau juga
tidak melihat?"
"Tidak kek" jawab Laksana "akupun menjadi pingsan.
Kami berdua tidak mampu menahan orang yang datang
untuk mengambil pusaka itu. Tetapi agaknya orang itu
gagal karena orang itu justru terbunuh."
"Baiklah. Kita dihadapkan pada satu teka-teki. Tetapi
Kiai Windu Kusuma yang agaknya bersumber pada ilmu
hitam itu justru mengira bahwa harimau itu adalah harimau
jadi-jadian."
Para Tamu Kiai Gumrahpun mengangguk-angguk.
Tetapi mereka masih saja berusaha untuk mengamati
keadaan. Seorang diantara mereka telah melihat beberapa
batang pohon perdu yang rusak. Iapun melihat jejak kaki.
Kaki harimau. "Memang ada dua ekor harimau" desis orang itu.
"Baiklah" berkata Kiai Gumrah "tetapi bagaimana
dengan tubuh Niskara ini."
"Bukan kita yang membunuhnya" berkata juragan gula
itu. "Kita kuburkan saja di sudut kebun belakang. Jika ada
orang yang melihat, maka akan menjadi persoalan yang
berkepanjangan. Apalagi ceritera tentang harimau itu tentu
akan segera menjalar keseluruh padukuhan dan bahkan
seluruh Kademangan." berkata seorang yang lain.
Kiai Gumrahpun sependapat. Karena itu, maka mereka
telah menggali lubang kubur buat Niskara disudut halaman
belakang rumah itu.
Malam yang tersisa itupun telah diliputi suasana yang
lain. Keempat orang tua itu tidak berkelakar lagi seperti
sebelum mereka bertempur. Meskipun sekali-sekali masih
terdengar mereka tertawa, tetapi tidak meledak-ledak lagi.
Manggada dan Laksanapun tidak lagi berada di dapur.
Mereka juga berada diruang dalam bersama dengan orang-
orang tua itu. Untuk sementara dinding yang koyak itu
ditautkan dan diikat saja dengan tali ijuk yang sering
dipergunakan oleh Kiai Gumrah mengikat keranjang-
keranjang gula.
Juragan gula itupun ternyata menaruh perhatian yang
besar kepada Manggada dan Laksana. Karena itu, maka
iapun kemudian berkata "Ngger, kau telah melihat sendiri
apa yang terjadi disini. Bahkan ikut pula bermain dua ekor
harimau yang tidak diketahui asal-usulnya. Di padukuhan
ini sebelumnya kami tidak pernah menemukan seekor
harimaupun. Bahkan kucing hutanpun tidak, meskipun
disebelah bulak panjang itu terdapat padang perdu yang
langsung berhubungan dengan hutan yang meskipun tidak
terlalu besar, tetapi terhitung hutan yang buas. Dan kini,
tiba-tiba saja di rumah ini dua ekor harimau. Karena itu,
ngger. Sebaiknya kalian
berdua mempertimbangkan
kemungkinan untuk meninggalkan tempat ini. Bukankah
kalian datang kerumah ini sekedar untuk bermalam"
Seandainya malam itu angger berada dibanjar, bukankah
angger tidak akan tetap berada dibanjar sampai sekarang
ini?" Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Namun dengan nada rendah Manggada berkata "Kami
mohon maaf bahwa kami masih tetap tinggal.
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnyalah bahwa kami merasa semakin terikat dengan
rumah ini. Kami sudah terlanjur terlibat. Setidak-tidaknya
menurut pendapat kami sendiri."
"Ngger" berkata Kiai Gumrah "seharusnya kau tidak lagi
bertahan dirumah ini. Kau tentu melihat, betapa aku selama
ini berusaha membohongimu. Aku tidak bersikap terbuka
terhadap kalian berdua meskipun kalian dengan ikhlas
berusaha membantu kami. Dengan demikian, sepantasnya
kalian menjadi curiga kepadaku sehingga kalian tidak lagi
percaya kepadaku."
"Kiai" berkata Manggada kemudian "aku tahu bahwa
tidak semua hal dapat Kiai katakan kepada orang lain,
termasuk kepada kami berdua. Tetapi bagaimanapun juga,
kami merasa wajib untuk membantu Kiai. Meskipun
pengertian membantu itu sesungguhnya tidak lebih dari
beban bagi Kiai dan yang lain."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Apaboleh buat. Tetapi kau sudah melihat bahaya yang
mengancam rumah ini. Meskipun demikian aku ingin
menjelaskan, bahwa dua ekor harimau itu tidak termasuk
permainan kami. Kami benar-benar tidak tahu, bahwa
kedua ekor harimau itu ada dan bahkan seakan-akan telah
membantu melindungi pusaka-pusaka itu atau bahkan
pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka
sama sekali tidak melihat harimau itu karena mereka
menjadi pingsan. Tetapi mereka melihat jejak harimau itu.
Dan harimau itu tidak hilang didalam bilik penyimpanan
pusaka. Tetapi jejaknya menuju ke sudut halaman dan
kemudian jejak itu seakan-akan telah hilang. Tetapi orang-
orang tua itu menduga bahwa harimau itu telah meloncat
memanjat pepohonan dan kemudian keluar dari halaman.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Manggada berkata
"Kiai. Mungkin aku dapat berceritera tentang dua ekor
harimau yang pernah aku lihat."
"Dimana kau lihat dua ekor harimau yang besar dan
garang itu?" bertanya Kiai Gumrah. Keterangan Manggada
itu sangat menarik perhatiannya.
Ketika kami berada dibalik hutan dilingkungan kuasa
Panembahan Lebdadadi, maka Ki Pandi yang bongkok itu
juga mempunyai dua ekor harimau yang jinak. Jinak bagi
Ki Pandi, tetapi ia tetap garang bagi orang lain, terutama
sesuai dengan petunjuk Ki Pandi. Kecuali kegarangan
harimau sebagaimana kebanyakan harimau liar, maka
kedua ekor harimau itu telah mendapat latihan-latihan
khusus dari Ki Pandi." berkata Manggada kemudian.
"Ki Pandi orang bongkok itu" tiba-tiba saja juragan gula
itu bertanya. "Ya" desis Manggada ragu-ragu. Ia tidak tahu,
bagaimana tanggapan Kiai Gumrah dan kawan-kawannya
itu terhadap orang yang bernama Ki Pandi itu. Jika mereka
justru bermusuhan, maka tanggapan mereka tentu akan
menjadi aneh, karena harimau-harimau itu justru telah
menyelamatkan pusaka-pusaka itu.
Tetapi seorang tamu Kiai Gumrah yang lainpun
kemudian tertawa sambil berkata "Orang bongkok yang
selalu murung itu" He, darimana ia tahu bahwa ada
persoalan yang timbul disini. Seandainya kedua ekor
harimau itu memang milik orang bongkok itu."
"Ki Pandi, dan tentu kedua ekor harimau itu mengenal
burung-burung elang yang berkuku baja itu. Ki Pandi
pernah bertempur dengan Panembahan Lebdadadi."
Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Juragan gula
itulah yang kemudian berkata "Memang masuk akal. Tetapi
kita masih harus melihat, apakah benar Ki Pandi telah ikut
campur dalam persoalan ini."
"Dan bahkan mungkin juga Ki Ajar Pangukan" desis
Laksana. "Siapakah Ki Ajar Pangukan itu?"bertanya salah seorang
kawan Kiai Gumrah.
Laksana termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti
bagaimana menjelaskan orang yang bernama Ki Ajar
Pangukan itu. Agaknya Kiai Gumrah mengerti kesulitan Laksana.
Katanya "Kau tentu tidak akan dapat memberikan
keterangan lebih banyak ngger, karena bagaimanapun juga
kami akan sulit membayangkannya seandainya kami
memang belum mengenalnya. Tetapi bagiku orang itu tidak
terlalu asing."
"He, jangan sombong Kiai Gumrah. Kau kira kau dapat
mengenali orang seisi bumi ini?"
"Jangan marah" berkata Kiai Gumrah "tetapi pengetahuan memang lebih luas dari kau. Aku sudah
pernah menjadi penjaja gula keliling dari pasar ke pasar
sehingga aku melihat dunia yang penuh dengan gejolak ini."
"Tetapi ternyata pengenalanmu atas dunia ini masih
belum seluas anak-anak itu. He, kau tahu darimana
datangnya harimau-harimau itu?" sahut kawannya.
Kiai Gumrah justru tertawa. Katanya "Jangan merajuk
begitu kek. Kita sama-sama penyadap legen kelapa."
Yang lainpun tertawa pula, sementara orang itu berkata
"Kalau begitu aku pulang saja."
Kawan-kawannya tertawa semakin keras. Kiai Gumrah
justru berkata "He, aku masih mempunyai hidangan buat
kalian. Marilah. Kita teruskan permainan kita."
"Tetapi mangkuk-mangkuk itu sudah pecah. Isinya
sudah berserakan. Apa yang harus kami makan dan kami
minum jika kami masih harus meneruskan permainan itu?"
"Kau kira aku sudah tidak mempunyai makanan lagi"
Didalam kuali didapur masih terdapat ketela dan sukun
yang direbus dengan legen. Kalau kalian tidak percaya,
bertanyalah kepada kedua orang cucuku itu."
Ketiga orang tamu Kiai Gumrah itu saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian juragan gula itu berkata
"Baiklah. Kami akan meneruskan permainan sampai
menjelang fajar. Besok aku harus pergi ke pasar pagi-pagi.
Aku sudah membuat perjanjian jual beli gula dipasar
dengan pedagang dari Kademangan sebelah."
Manggada dan Laksanapun kemudian membantu
mengumpulkan dan membersihkan mangkuk-mangkuk
yang pecah serta makanan yang tumpah. Baru kemudian
mereka menghidangkan makanan yang masih tersisa dua
kuali. Tetapi orang-orang tua itu nampaknya sudah merasa
letih. Mereka tidak lagi banyak tertawa, meskipun sekali-
sekali masih terdengar mereka berkelakar.
Menjelang fajar, permainan itu memang sudah selesai.
Ketiga orang tamu Kiai Gumrahpun telah minta diri.
Ternyata mereka tidak menghitung lembaran-lembaran
daun ketela pohon yang mereka pergunakan dalam
permainan dadu itu. Orang-orang tua itu tidak benar-benar
bertaruh dengan gula kelapa sebagaimana yang mereka
katakan. Sehingga dengan demikian maka Manggada dan
Laksanapun semakin yakin bahwa orang-orang itu telah
dengan sengaja membantu Kiai Gumrah melindungi
pusaka-pusaka yang dititipkan dirumah itu. Meskipun
ceritera tentang pusaka yang dititipkan itupun masih harus
diuji kebenarannya. Agaknya Kiai Gumrah memang tidak
mengatakan yang sebenarnya kepada Manggada dan
Laksana. Tetapi Manggada dan Laksana merasakan bahwa
orang tua itu sama sekali tidak bermaksud buruk.
Ketika para tamu Kiai Gumrah itu sudah bangkit berdiri
dan minta diri, juragan gula itu masih sempat berkata
kepada kedua orang anak muda itu "Kalian telah melihat
apa yang terjadi disini. Mungkin ada hal-hal yang membuat
kalian heran dan bahkan kecewa. Kau mungkin merasakan
bahwa tidak semua yang pernah kau dengar tentang Kiai
Gumrah, tentang kami, pedagang-pedagang gula ini serta
tentang pusaka-pusaka itu, benar adanya. Karena itu, maka
apakah tidak sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini.
Berulang kali kami menyatakan hal
itu, karena sebenarnyalah kami merasa ikut bertanggung jawab atas
keselamatan kalian. Justru karena kalian sebenarnya tidak
terlibat dalam persoalan yang terjadi disini."
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Meskipun ragu-ragu, namun Mariggada masih berusaha
menjelaskan sikapnya. Katanya "Kiai. Kami masih ingin
memohon, bahwa kami diperkenankan tinggal disini untuk
beberapa lama. Persoalan yang terjadi disini semakin lama
menjadi semakin menarik. Ketika kami melihat burung-
buruhg elang berkuku baja itu, kami merasa seolah-olah
kami memang telah terlibat. Apalagi dengan jejak kedua
ekor harimau itu. Seakan-akan kami telah mengenalinya.
Seandainya harimau itu harimau liar, maka mungkin tubuh
kami juga sudah dikoyak-koyaknya disaat kami pingsan.
Tetapi ternyata kami masih utuh, sehingga seakan-akan
kami yakin bahwa kedua ekor harimau itu telah mengenal
kami dengan baik. Atau setidak-tidaknya dikendalikan oleh
orang yang telah mengenal
kami." Keempat orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata "Kami
dapat mengerti perasaanmu ngger. Tetapi kaupun harus
ingat, bahwa yang sedang kami
hadapi adalah bukan orang-
orang kebanyakan. Merekapun
orang-orang berilmu tinggi. Kiai
Windu Kusuma menurut penilaianku, adalah orang yang
memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Namun ia tidak sempat mempergunakannya karena
kehadiran dua ekor harimau yang baginya menyimpan
rahasia yang sulit ditebak. Sementara itu Kiai Windu
Kusuma juga memperhitungkan
kemampuan kami berempat. Tetapi apa yang dilihat dan diamatinya malam
ini tentu akan menjadi bahan bagi langkah-langkahnya
selanjutnya. Jika ia menyebut-nyebut nama seorang
Panembahan, maka Panembahan itu tentu seorang yang
jarang ada duanya."
"Kami mengerti Kiai. Tetapi sulit bagi kami untuk
meninggalkan tempat ini sebelum persoalannya menjadi
tuntas." desis Manggada.
Orang-orang tua itu memang tidak dapat memaksa
Manggada dan Laksana untuk meninggalkan tempat itu.
Karena itu, maka akhirnya Kiai Gumrahpun berkata "Jika
demikian, apaboleh buat. Tetapi sebagaimana kalian
ketahui, bahwa ada kemungkinan buruk dapat terjadi atas
kami dan tentu saja juga atas kalian sebagaimana baru saja
terjadi. Meskipun kemudian ternyata bahwa Yang Maha
Agung masih melindungi kalian berdua dan kami
semuanya. Karena kalian berdua juga sudah cukup
mempunyai penilaian atas persoalan yang kalian hadapi,,
serta menyadari bahaya yang mungkin mengancam kalian,
maka sebaiknya kalian pertimbangkan keputusan kalian
sebaik-baiknya."
"Rasa-rasanya kami sudah mengambil keputusan Kiai."
jawab Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
hatinya telah tergetar mendengar tekad anak-anak muda itu.
Katanya "Baiklah ngger. Tekadmu tidak tergoyahkan lagi.
Aku berterima kasih kepadamu. Apapun yang dapat kalian
lakukan, tetapi niatmu harus aku hargai. Karena itu, jika
tekadmu sudah bulat serta menyadari kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi, maka aku tidak
berkeberatan kalian tinggal dirumahku untuk sementara."
Manggada dan Laksana itupun mengangguk hormat.
Hampir berbareng kedua orang anak muda itu berkata
"Terima kasih. Kiai."
"Nah, sekarang kalian telah menjadi bagian dari
persoalan yang sedang aku hadapi. Jika semula kalian yang
berusaha mendorongku keluar dari pergumulan yang sengit
karena pusaka-pusaka yang dititipkan kepadaku itu, maka
kemudian akulah yang berusaha memaksamu keluar. Tetapi
kita bersama-sama tidak berhasil. Karena itu, maka biarlah
kita bersama-sama terlibat didalamnya." berkata Kiai
Gumrah kemudian.
Tetapi juragan gula itu berkata "Aku tidak tahu yang kau
maksud." Kiai Gumrah tersenyum. Katanya "Kedua anak muda ini
pernah menganjurkan agar aku berusaha untuk menghindar
dari keadaan yang rumit ini atau menitipkan pusaka-pusaka
itu kepada prajurit Pajang atau tindakan pengamanan yang
lain. Tetapi justru karena aku berkeberatan, maka
nampaknya mereka justru terikat dirumah ini untuk melihat
akhir dari persoalan yang kita hadapi."
Juragan gula itupun tertawa. Katanya"Jika demikian,
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka kita memang sudah sama-sama bertekad untuk
menghadapi persoalan ini. Langsung atau tidak langsung
kita memang akan berhadapan dengan Panembahan itu."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka
menyadari sepenuhnya, bahwa orang-orang tua yang
menginginkannya meninggalkan tempat, itu sama sekali
bukan didorong oleh keinginan mereka merahasiakan
persoalan yang mereka hadapi, tetapi justru karena mereka
mencemaskan nasib mereka.
Karena itu, maka kedua anak muda itu merasa bahwa
mereka harus mempertanggung jawabkan sendiri keputusan
yang telah mereka ambil. Mereka tidak akan dapat
menyalahkan atau menuntut pertanggung-jawaban siapa-
pun jika terjadi sesuatu atas diri mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian para tamu Kiai
Gumrah itupun telah minta diri, sementara cahaya dilangit-
pun menjadi semakin terang. Fajarpun tersirat dibibir awan
dilangit. Kicau burung telah membangunkan seisi padu-
kuhan. Tetapi banjar disebelah rumah Kiai Gumrah itu masih
tetap sepi. Bahkan ternyata semalaman Kiai Gumrah telah
lupa menyalakan lampu di banjar karena perhatiannya
sepenuhnya tertuju kepada ancaman yang ternyata benar-
benar datang kerumahnya itu.
Kiai Gumrah dan kedua orang anak muda itupun
kemudian telah masuk kembali keruang dalam. Mereka
masih harus membenahi ruang dalam rumah Kiai Gumrah
yang sempit itu. Mereka harus membuang mangkuk-
mangkuk yang telah pecah serta makanan yang telah
tumpah, yang semalam sudah mereka kumpulkan disudut
ruangan. Kepada kedua orang anak muda itu Kiai Gumrahpun
berkata "Kita mempunyai pekerjaan hari ini. Kita harus
memperbaiki dinding yang roboh itu. Kita akan menebang
beberapa batang bambu dibelakang."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Namun
mereka setiap kali menjadi berdebar-debar jika mereka
teringat bahwa disudut halaman belakang telah dikuburkan
sesosok tubuh. Niskara. Meskipun kematian Niskara itu
tidak disebabkan oleh orang yang ada dirumah itu
semalam, tetapi justru masih merupakan teka-teki yang baru
dapat diduga-duga jawabannya.
Namun dalam pada itu, selagi seisi rumah itu sibuk
membersihkan ruang dalam, tiga orang anak muda telah
mendatangi rumah Kiai Gumrah. Didepan rumah mereka
telah memanggil-manggil dengan lantangnya.
"Kiai, Kiai Gumrah."
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun ketika mereka akan melangkah keluar, Kiai
Gumrah itu berkata "Tentu anak-anak muda padukuhan
ini." Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam.
Jika mereka anak-anak muda padukuhan itu, maksud
kedatangan mereka tentu tidak ada hubungannya dengan
peristiwa yang terjadi semalam.
Sebenarnyalah ketika Kiai Gumrah muncul dari pintu
rumahnya, maka yang ditanyakan oleh anak-anak muda itu
adalah tentang lampu yang semalam tidak menyala di
banjar. "Semalam kami tidak melihat lampu menyala dibanjar.
Sebenarnya ketika kami lewat didepan banjar itu, kami
ingin singgah barang sebentar. Tetapi banjar itu gelap."
berkata salah seorang dari anak-anak muda itu.
"Maaf ngger" jawab Kiai Gumrah "aku benar-benar lupa.
Apalagi aku memang agak kurang sehat semalaman."
"Sudah beberapa kali Kiai lupa menyalakan lampu di
banjar. Meskipun sudah ada banjar yang baru, tetapi banjar
inipun masih tetap kita pergunakan. Karena itu, seharusnya
Kiai tidak boleh lupa."
"Lain kali tidak akan terulang lagi ngger." jawab Kiai
Gumrah yang terbungkuk-bungkuk dihadapan anak-anak
muda itu. Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam.
Mereka mengerti bahwa dihadapan anak-anak itu Kiai
Gumrah tidak lebih dari seorang pembuat dan penjual gula
kelapa. Namun ketika anak-anak muda itu melihat Manggada
dan Laksana yang berdiri dibelakang Kiai Gumrah, maka
salah seorang diantara mereka bertanya "Siapakah mereka
Kiai?" Kiai Gumrah berpaling. Sambil mengerutkan dahinya ia
kemudian menjawab "Mereka adalah cucu-cucuku, ngger."
"Apakah mereka akan tinggal bersama Kiai disini?"
bertanya anak muda itu.
"Untuk sementara ngger" jawab Kiai Gumrah.
"Nah, jika demikian, biarlah ia bergaul dengan kami.
Biarlah mereka ikut dengan kegiatan-kegiatan kami. Gugur
gunung memperbaiki bendungan yang setiap kali kami
lakukan. Meratakan jalan-jalan padukuhan dan terutama
meronda dimalam hari."
"Baik ngger. Aku akan mendorongnya untuk melakukannya. Tetapi mereka adalah pemalu yang
memang jarang bergaul dengan orang lain selain
keluarganya sendiri" jawab Kiai Gumrah.
"Mereka tidak boleh berbuat begitu" berkata anak muda
yang lain" jika mereka tidak bergaul dengan kami, maka
anak-anak muda di padukuhan ini tidak mengenalnya. Hal
itu akan dapat menumbuhkan salah paham yang merugikan
bagi kedua cucu Kiai itu."
"Ya, ya ngger" jawab Kiai Gumrah yang kemudian
berpaling kepada Manggada dan Laksana "bukankah kalian
dengar sendiri. Sebaiknya kalian juga bergabung dengan
mereka." Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah Manggada berkata "Tetapi kami belum
mengenal seorangpun diantara mereka kek."
"Sekarang kau dapat memperkenalkan diri. Nah, jabat
tangan mereka, lalu malam nanti datanglah ke banjar."
Manggada dan Laksana termangu-mangu. Tetapi
merekapun melangkah keluar dan menjabat tangan ketiga
orang anak muda itu.
"Datanglah ke banjar nanti malam. Aku akan berada di
banjar lama itu. Meskipun malam nanti bukan giliranku
meronda, tetapi aku akan datang. Kalian dapat berkenalan
dengan anak-anak muda di padukuhan ini meskipun kau
hanya akan tinggal disini untuk sementara."
"Baiklah" jawab Manggada "nanti malam biarlah kami
berdua datang ke banjar."
"Bukankah kalian dapat membantu Kiai Gumrah untuk
menyalakan lampu di banjar" Kiai Gumrah sudah semakin
tua. Ia masih harus memanjat pohon kelapa pagi dan sore."
berkata anak muda yang lain.
"Kami akan melakukannya"
jawab Manggada. Sementara itu Kiai Gumrah menyela "Sejak mereka berada
disini, mereka sama sekali belum pernah keluar halaman.
Kedatangan angger bertiga agaknya dapat memancing
mereka keluar dari halaman rumah ini. Setidak-tidaknya
membantu aku membersihkan dan menyalakan lampu di
banjar lama itu."
"Ya." sahut salah seorang dari mereka "lambat laun
kalian akan mengenal seisi padukuhan ini. Dengan
demikian kalian tidak akan canggung lagi berada disini."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itupun telah
minta diri. Tetapi seorang diantara mereka masih berpesan
"Nah, jangan lupa menyalakan lampu di banjar lama. Dan
biarlah kedua cucu Kiai itu membantu Kiai dan bergabung
bersama kami."
"Ya, ya ngger" jawab Kiai Gumrah. Sepeninggal anak-
anak muda itu, Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Aku benar-benar lupa menyalakan lampu
semalam. Untung anak-anak muda itu tidak datang kemari.
Jika mereka datang kemari, sementara dirumah ini masih
ada Kiai Windu Kusuma, maka persoalannya akan menjadi
berkepanjangan. Seisi padukuhan akan tergerak untuk
mempersoalkannya."
"Jika mereka lewat didepan banjar, apakah mereka tidak
mendengar keributan yang terjadi dihalaman rumah ini
Kiai?" bertanya Laksana.
"Halaman-halaman rumah di padukuhan ini pada
umumnya luas ngger. Apalagi halaman banjar itu, sehingga
apa yang terjadi dihalaman rumahku yang dibatasi dinding
batu meskipun tidak terlalu tinggi itu, agaknya memang
tidak diketahui orang, kecuali jika ada sekelompok peronda
yang menengok halaman ini dari pintu regol halaman."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk, sementara
Kiai Gumrah itu berkata "Nah, anak-anak muda itu sudah
minta agar kau bergabung dengan mereka. Karena itu,
sebaiknya kalian memang sering datang ke banjar. Kalian
dapat menyalakan lampu dan membantu membersihkan
banjar itu pagi dan sore."
"Baik Kiai" jawab Laksana dan Manggada hampir
berbareng. "Selanjutnya jika kalian memang sudah berniat tinggal
disini meskipun untuk sementara, kalian tidak perlu
menyebutku Kiai lagi. Panggil saja aku dengan kakek, agar
pada saat tertentu, kalian tidak keliru menyebutnya." Kedua
orang anak muda itu mengangguk mengiakan. Mereka
memang lebih senang memanggilnya dengan sebutan yang
sama agar mereka tidak perlu mengingat-ingat kapan dan
dimana mereka harus memanggil kakek dan kapan mereka
harus menyebutnya Kiai.
"Terima kasih. Kia i" berkata Manggada "bagi kami tentu
akan lebih baik, kek."
"Nah. begitulah. Mulai nanti malam, maka lampu
dibanjar adalah tugas kalian. Bukan hanya lampu, tetapi
kalian juga harus menjaga kebersihan banjar itu. Seperti
yang dikatakan oleh anak-anak muda itu, maka banjar yang
lama itu masih tetap dipergunakan meskipun sudah ada
yang baru."
"Baik, kek. Banjar lama itu akan menjadi beban tugas
kami." jawab Manggada.
"Nah, sekarang, kita selesaikan pekerjaan kita. Aku
terlambat mengambil bumbung itu. Tetapi belum terlalu
lambat." berkata Kiai Gumrah.
"Jika kakek tidak berkeberatan, kami juga ingin belajar
menyadap legen manggar, kek." berkata Laksana ketika
Kiai Gumrah mengambil bumbung dan siap pergi ke kebun
untuk mengambil bumbung yang tergantung pada manggar
kelapa dan menggantinya dengan yang baru.
Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Pada saatnya kalian
akan belajar menyadap legen."
Manggada dan Laksana tidak berbicara lagi. Sementara
itu Kiai Gumrahpun telah pergi ke kebun. Meskipun
semalam suntuk orang tua itu tidak tidur, tetapi badannya
sama sekali tidak nampak menjadi lesu, sementara
Manggada dan Laksana yang muda itu merasa mulai
diganggu oleh kantuk.
Selagi seisi rumah itu menjadi sibuk dengan pekerjaan
mereka masing-masing, maka Ki Windu Kusumapun sibuk
berbincang dengan orang-orangnya. Putut Sempada yang
juga ada diantara mereka hanya dapat mengumpat-umpat.
Ia telah kehilangan seorang kawannya yang dianggapnya
cukup baik. Niskara yang telah dikoyak-koyak oleh
harimau. "Ternyata orang tua itu telah memelihara harimau jadi-
jadian" geram Putut Sempada.
"Belum tentu" jawab Kiai Windu Kusuma "mungkin dua
ekor harimau kelaparan yang tersesat sampai ke halaman
rumah orang tua itu."
"Memang mungkin. Tetapi kemungkinan itu mempunyai
kesempatan yang sama dengan kemungkinan yang aku
katakan, bahwa orang itu memelihara harimau jadi-jadian.
Atau malahan pusaka-pusaka itulah yang telah menjelma
menjadi harimau." berkala Putut Sempada.
"Dugaanku belum sampai kesana. Tetapi seandainya
demikian, maka pantaslah jika Panembahan menghendaki
pusaka-pusaka itu secepatnya." jawab Kiai Windu Kusuma.
"Tetapi bukankah alasan Panembahan bukan karena
pusaka-pusaka itu dapat menjelma menjadi harimau yang
garang?" sahut Putut Sempada..
"Ya. Memang bukan. Tetapi apakah kau yakin bahwa
apa yang dikatakan oleh Panembahan itu adalah yang
sebenarnya?" bertanya Kiai Windu Kusuma.
Putut Sempada menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Memang mungkin. Tetapi
kita tidak dapat mencurigai Panembahan seperti itu."
"Aku sama sekali tidak mencurigai Panembahan. Tetapi
apakah artinya jantung segar yang harus disiapkan jika
pusaka-pusaka itu dapat kita kuasai?" bertanya Kiai Windu
Kusuma. "Panembahan mengetahui, bahwa pusaka yang disimpan
oleh Kiai Gumrah itu, salah satu diantaranya adalah Kiai
Simarengu. Selain itu masih ada songsong yang diberi nama
Simariwut. Nah, apakah tidak mungkin bahwa nama yang
memang mempunyai arti harimau itu ada hubungannya
dengan harimau jadi-jadian yang ada dirumah Kiai
Gumrah?"
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ternyata aku menjadi ragu-ragu. Antara percaya dan
tidak. Aku masih mencoba untuk menolak anggapan bahwa
ada hubungan antara pusaka-pusaka itu dengan harimau
yang ada dirumah itu. Tetapi setiap kali aku teringat
tentang pusaka-pusaka itu, nama yang diberikan kepada
pusaka-pusaka itu, dan perintah Panembahan untuk
menyediakan jantung manusia segar yang harus dikorbankan sebagai makanan pusaka yang bernama
Simarengu itu."
Putut Sempada menarik nafas panjang. Katanya "Kita
sama-sama ragu. Tetapi baiklah
kita kesampingkan keragu- raguan itu."
Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Katanya
"Ya. Apapun alasan Panembahan, kita harus mendapatkan pusaka-pusaka itu. Kemudian jantung manusia
yang segar dan korban bagi
pusaka yang disebut Kiai Simarengu."
"Semuanya itu harus secepatnya kita lakukan" berkata
Putut Sempada "karena menurut Panembahan, jika pada
purnama bulan dengan korban itu belum diberikan bagi
Kiai Simarengu, maka tuahnya akan hilang sama sekali."
Kiai Windu Kusuma menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Ya. Kita memang harus secepatnya menguasai
Kiai Simarengu. Sebelum purnama bulan depan ujung
tombak itu harus sudah ditanam didada seseorang. Sudah
tentu bukan setiap orang yang berjantung segar yang dapat
dikorbankan."
"Itu adalah persoalan Panembahan sendiri. Panembahanlah yang akan menentukan, orang yang
bagaimana yang pantas untuk menjadi korbannya itu. Serta
upacara apa saja yang harus diselenggarakan. Tugas kita
adalah menyediakan pusaka-pusaka itu."
"Tetapi darimana Panembahan tahu tentang pusaka-
pusaka itu. Darimana pula ia mengetahui bahwa jika
sampai purnama bulan depan pusaka-pusaka itu belum
dimandikan dan disediakan korban jantung manusia yang
segar tuahnya akan hilang untuk selama-lamanya."
pertanyaan itu meluncur dari bibir Kiai Windu Kusuma
tanpa disadarinya.
Namun Putut Sempada menyahut "Tidak seorangpun
tahu. Tidak pula ada yang tahu bahwa tiba-tiba saja
Panembahan dengan mata hatinya sendiri, bahwa dirumah
itu tersimpan pusaka-pusaka yang dicarinya untuk waktu
yang lama."
Kiai Windu Kusuma mengangguk-angguk. Memang
banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang Panembahan. Tentang ketajaman penglihatan batinnya
serta kepekaan panggaritanya. Karena itu, betapa tingginya
ilmu Kia i Windu Kusuma, namun ia tidak dapat
melepaskan diri dari pengaruh orang yang disebutnya
Panembahan. Dalam pada itu, ternyata semua pembicaraan itu
terdengar oleh Kundala. Seorang yang hatinya sedang
diombang-ambingkan oleh
kebingungannya. Kundala
seakan-akan sedang berdiri diambang pintu. Terdapat dua
tarikan yang sangat kuat menghisapnya keluar dan
kedalam. Seakan-akan ia melihat cahaya putih, didalam
dan cahaya yang hitam diluar tanpa mengetahui
sumbernya. "Gila" geram Kundala "kenapa aku mendengar
pembicaraan mereka" Jika aku tidak mendengarnya, aku
tidak akan merasa berdosa jika aku tidak mengatakannya
kepada Kiai Gumrah."
Namun kemudian sambil menghentakkan tangannya ia
berkata "Persetan dengan Kiai Gumrah. Aku adalah
pengikut setia Kiai Windu Kusuma. Aku sudah
memperingatkan Kiai Gumrah untuk membunuhku agar
aku tidak dapat datang justru membunuhnya."
Kundala hanya dapat menggeletakkan giginya, menghentakkan kaki dan tangannya. Namun ia tidak dapat
melepaskan diri dari tarikan yang seakan-akan sama
kuatnya. Ia merasa berkewajiban untuk tetap setia kepada
Kiai Windu Kusuma. Tetapi ia merasa bahwa hidupnya
yang tersisa itu sudah bukan miliknya. Tetapi milik Kiai
Gumrah, sehingga apa yang diketahuinya rasa-rasanya
harus diketahui pula oleh Kiai Gumrah.
"Gila. Agaknya aku sudah gila" desis Kundala sambil
memukuli kepalanya sendiri.
Namun Kundala telah berusaha sekuat-kuatnya untuk
tidak menunjukkan perubahan sikap dihadapan Kiai Windu
Kusuma. Jika gejolak perasaannya itu diketahui oleh Kiai
Windu Kusuma, maka ia tidak akan dapat berharap hidup
lebih lama lagi.
"Kecuali jika aku melarikan diri dan mengungsikan
hidupku pada Kiai Gumrah." berkata Kundala didalam
hatinya. Tetapi ia tidak akan dapat melakukannya. Jika ia berbuat
demikian, maka ia telah menjadi seorang pengkhianat.
Namun sebuah pertanyaan tiba-tiba saja seperti petir
yang meledak ditelinganya telah mengejutkannya "Apakah
aku memang belum berkhianat?"
Kundala tidak dapat berbuat ingkar kepada dirinya
sendiri. Bahwa ia telah memberitahukan akan kedatangan
orang-orang berilmu tinggi untuk mengambil pusaka-pusaka
itu ketika ia menjemput Putut Sempada di pasar, bukankah
itu sudah berarti suatu pengkhianatan.
Karena itulah, maka Kundala itupun telah tenggelam
dalam goncangan perasaan. Ia tidak segera dapat
menemukan pijakan sikap yang mapan. Yang kemudian
dilakukannya adalah sekedar menyembunyikan gejolak
perasaannya itu terhadap Kiai Windu Kusuma serta kawan-
kawannya, agar ia tidak dihukum mati dihadapan mereka
sebagai pengkhianatan.
Namun untuk sementara Kundala masih mempuyai
waktu berpikir ulang atas sikapnya. Menurut pembicaraan
Kiai Windu Kusuma dan Putut Sempada dengan beberapa
orang pengikutnya, agaknya mereka tidak akan langsung
mengambil tindakan baru. Kegagalan mereka telah
membuat mereka semakin berhati-hati. Ternyata Kiai
Gumrah mempunyai beberapa orang kawan yang berilmu
tinggi dan yang meragukan mereka adalah sepasang
harimau yang tiba-tiba saja ada dihalaman rumah Kiai
Gumrah. Sementara Kiai Windu Kusuma membuat perhitungan-
perhitungan baru, maka rumah Kiai Gumrah menjadi
semakin ramai. Kawan-kawan Kiai Gumrah yang tiga
orang itu, berganti-ganti datang mengunjunginya. Tidak
saja di-siang hari. Tetapi kadang-kadang juga di malam
hari. Bahkan kadang-kadang mereka bertiga berkumpul
bersama-sama sambil bermain dadu dengan hitungan daun
ketela pohon atau daun melinjo. Orang-orang tua itu
nampaknya selain berjaga-jaga karena adanya pusaka-
pusaka dirumah itu, juga untuk mengisi kekosongan hidup
mereka dihari tua.
Manggada dan Laksana bahkan sering bertanya diantara
mereka "Apakah orang-orang tua itu tidak berkeluarga
dirumah mereka" Apakah mereka tidak mempunyai anak
atau cucu atau apapun?"
Tetapi anak-anak muda itu tidak berani bertanya.
Kepada Kiai Gumrahpun mereka juga tidak bertanya
tentang keluarganya. Meskipun Kiai Gumrah pernah
mengatakan bahwa ia mempunyai anak dan cucu yang
tinggal ditempat lain karena anaknya tidak ingin
menggantikan tugasnya menjaga banjar lama itu.
Dalam pada itu, memenuhi permintaan anak-anak muda
yang pernah datang kerumah Kiai Gumrah, maka
Manggada dan Laksanapun sudah pula sering berada di
banjar lama. Disore hari mereka menyalakan lampu di
banjar dan oncor diregol. Di pagi hari keduanya membantu
Kiai Gumrah menyapu halaman dan membersihkan
ruangan-ruangan banjar lama setelah Kiai Gumrah
mengambil dan memasang bumbungnya di manggar batang
kelapa. Dengan demikian maka Manggada dan Laksana mulai
berkenalan dan bergaul dengan anak-anak muda di
padukuhan itu. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan
pergaulan anak-anak muda di padukuhan itu. Di malam
hari beberapa orang anak muda kadang-kadang duduk-
duduk di banjar lama itu. Bergurau dan mengisi waktu
mereka dengan berbagai macam permainan. Terutama
mereka yang bertugas ronda pada malam itu.
Disiang hari anak-anak muda kebanyakan bekerja di-
sawah dan ladang mereka. Jika keadaan mendesak, mereka
bersama-sama melakukan kerja untuk kepentingan bersama.
Memperbaiki bendungan yang harus sering mereka
lakukan. Setiap kebocoran betapa kecilnya harus segera
diperbaiki. Jika kebocoran itu menjadi semakin besar, maka
mereka akan mengalami kesulitan, apalagi dimusim hujan.
Banjir dapat datang setiap saat.
Selain bendungan, maka parit-paritpun banyak menuntut
pemeliharaan. Meskipun Kiai Gumrah tidak mempunyai sawah, selain
kebunnya yang banyak ditanami pohon kelapa sebagai
gantungan hidupnya, namun Kiai Gumrah sendiri juga
sering ikut dalam kerja bersama-sama memperbaiki
bendungan, parit dan pemeliharaan jalur-jalur air yang
menusuk membelah tanah persawahan. Kehadiran Manggada dan Laksana memang memberikan kesempatan
Kiai Gumrah untuk lebih banyak berada dirumahnya,
karena kedua orang anak muda itu dapat mewakilinya.
Meskipun demikian Kiai Gumrah selalu mengingatkan
Manggada dan Laksana agar mereka berhati-hati.
"Orang-orang yang berniat jahat itu mengenal kalian
sebagai cucu-cucuku" berkata Kiai Gumrah "karena itu,
mereka akan dapat berbuat jahat terhadap kalian."
"Tetapi setiap kali, kami berada diantara orang banyak,
kek" jawab Manggada "aku kira, mereka juga memperhitungkan hal itu."
"Tetapi tentu ada saatnya kalian hanya berdua. Mungkin
saat kalian membersihkan banjar atau menyalakan lampu
atau pada saat-saat lain. Karena itu dalam keadaan
terpaksa, jangan segan-segan membunyikan isyarat."
"Baik, kek" jawab Manggada.
Demikianlah maka hari dan haripun lewat. Ternyata
masih belum ada tanda-tanda bahwa orang-orang yang
menginginkan pusaka-pusaka itu kembali. Meskipun
demikian, namun kawan-kawan Kiai Gumrah masih saja
sering datang kerumah Ki Gumrah. Kadang-kadang sendiri,
berdua atau bahkan bertiga bersama-sama.
Setelah sekian hari berlalu, teka-teki tentang dua ekor
harimau itupun masih tetap belum terpecahkan. Sejak
peristiwa itu, maka tidak pernah nampak seekor harimau-
pun di halaman rumah itu. Atau bahkan di padukuhan itu.
Jejaknyapun tidak pernah dilihat orang dipadukuhan.
Namun setelah agak lama keadaan menjadi tenang,
maka tiba-tiba Manggada dan Laksana telah melihat seekor
elang yang terbang melayang-layang diatas rumah Kiai
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gumrah. Karena itu, maka iapun segera berlindung dibawah
rimbunnya pepohonan. Sementara itu, Kiai Gumrah
agaknya juga melihat burung elang itu. Ia memberi tahukan
hal itu kepada Manggada dan Laksana dari kebun
kelapanya. "Hati-hatilah" berkata Kiai Gumrah "elang itu nampak
lagi di langit."
"Ya, Kiai" jawab Manggada.
Namun Kiai Gumrah sendiri sama sekali tidak berusaha
untuk berlindung dari pengamatan burung elang itu.
Ia masih saja memanjat sebatang pohon kelapa. Tetapi
tidak untuk memasang bumbung legen. Kiai Gumrah
memanjat sebatang pohon kelapa yang dibiarkannya
berbuah untuk mengambil buahnya.
Dalam pada itu, dari balik rimbunnya dedaunan,
Manggada dan Laksana berusaha untuk dapat melihat apa
yang dilakukan elang itu. Seperti yang pernah dilakukan
beberapa saat yang lampau, maka elang itu berputar-putar
beberapa kali diatas rumah Kiai Gumrah, menukik dan
kembali naik ke ketinggian.
Namun beberapa saat kemudian, maka elang itupun
telah terbang menjauh, sehingga akhirnya hilang dilangit.
Ketika Kiai Gumrah kemudian turun dari pohon kelapa.
Manggada dan Laksanapun telah mendekatinya. Kedua
anak muda itu ikut memungut beberapa butir kelapa yang
dipetik oleh Kiai Gumrah dari batangnya itu.
"Elang itu berputar-putar, kek." desis Laksana.
"Seperti yang pernah dilakukan beberapa saat lalu" jawab
Kiai Gumrah "nampaknya orang-orang itu sudah mulai
bersiap-siap untuk bergerak lagi."
"Mereka tentu sudah siap pula untuk melawan dua ekor
harimau itu, kek" berkata Manggada kemudian.
"Mereka mungkin benar-benar menyangka bahwa kedua
ekor harimau itu adalah harimau jadi-jadian. Atau
barangkali tombak-tombak atau payung itulah yang
dikiranya dapat menjelma menjadi harimau atau dari
dalamnya keluar sepasang harimau itu."
"Apapun yang mereka katakan, tetapi nampaknya
harimau itu telah membantu kita. Atau tanpa niat
membantu kita, tetapi harimau-harimau itu adalah musuh
bebuyutan dari orang-orang yang datang itu sehingga
harimau-harimau itu menyerang mereka." sahut Manggada
kemudian. " Apapun yang akan terjadi, kita harus meningkatkan
kewaspadaan kita. Kita berhadapan dengan orang yang
berilmu sangat tinggi meskipun mereka kurang memperhitungkan penalaran kita" berkata Manggada
kemudian. "Maksudmu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Bukankah burung elang itu telah mengisyaratkan
kepada kita agar kita bersiap menghadapi segala
kemungkinan?" jawab Manggada meskipun agak ragu.
"Kau benar ngger. Tetapi mungkin juga justru
Panembahan itu ingin menakuti kita atau semacam
tantangan bagi kita, karena mereka terlalu yakin akan
kelebihan mereka." jawab Kiai Gumrah.
Manggada mengangguk-angguk. Sementara Laksana
bertanya "Semacam sikap sombong begitu, kek?"
"Ya, begitulah. Tetapi kesombongan mereka benar-benar
berisi karena mereka memang berilmu tinggi." jawab Kiai
Gumrah. Manggada dan Laksana tidak bertanya lagi. Sementara
itu Manggada telah mengupas kelapa-kelapa yang baru saja
dipetik itu dengan slumbat, semacam linggis yang ujungnya
tajam dan pipih.
Namun ketika mereka membawa kelapa-kelapa yang
sudah terkupas itu kedapur, Manggada masih bertanya lagi
"Kek, apakah Kakek tidak berniat untuk membuat
hubungan dengan Ki Pandi?"
"Si Bongkok itu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya, kek. Kami masih menghubungkan kedua ekor
harimau yang datang itu dengan kedua ekor harimau milik
Ki Pandi. Mungkin kedua ekor harimau itu masih
mengenali kami berdua, sehingga saat kami pingsan, kami
tidak dikoyak-koyaknya seperti Niskara itu."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya "Aku tidak tahu dimana Si Bongkok itu berada.
Aku memang mengenalinya, tetapi tidak begitu akrab.
Meskipun demikian, jika kami bertemu, maka aku akan
menjajagi hatinya, apakah ia merasa bersangkut-paut dalam
persoalan ini, atau karena Si Bongkok itu sekedar ingin
menyelamatkan kalian berdua dari tangan Niskara
meskipun akibatnya juga menyelamatkan pusaka-pusaka
itu." Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja.
Mereka sadar sepenuhnya bahwa tidak semua dikatakan
dengan terbuka oleh Kiai Gumrah. Bagaimanapun juga
Kiai Gumrah harus berhati-hati terhadap dua orang anak
muda yang belum diketahui dengan pasti asal-usulnya.
Demikianlah, maka ketiga orang itupun menjadi sibuk
memecah dan mencukil kelapa. Kiai Gumrah hari itu ingin
membuat minyak kelapa karena minyaknya sudah habis.
Selain untuk memasak. Kiai Gumrah juga mempergunakan
minyak kelapa untuk lampu dirumahnya dan di banjar.
Karena kesibukannya itu, maka hari itu Kiai Gumrah
memang tidak pergi menyerahkan gula kelapa kepada
juragan gula yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya.
"Besok saja akan aku serahkan sekaligus dengan hasil
besok pagi" berkata Kiai Gumrah "hari ini aku masih
mempunyai uang cukup. He, bukankah beras masih cukup
sampai dua hari lagi?"
"Masih, kek." jawab Manggada.
"Baiklah. Biarlah hari ini aku tidak pergi. Aku akan
membuat minyak kelapa." berkata Kiai Gumrah kemudian.
Bertiga merekapun kemudian sibuk mengukur kelapa.
Memeras santannya dan kemudian memanasi santan itu
agar menjadi minyak.
Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana sempat
berbicara diantara mereka ketika Kiai Gumrah keluar dari
dapur beberapa saat.
"Kiai Gumrah tidak meninggalkan rumahnya bukan
karena membuat minyak. Kami dapat melakukannya"
berkata Manggada.
"Ya. Tentu elang itu membuatnya berjaga-jaga hari ini
dan tentu juga malam nanti" sahut Laksana.
"Ia menanggapi isyarat burung elang itu dengan
sungguh-sungguh" desis Manggada.
Keduanyapun terdiam ketika Kiai Gumrah telah berada
di dapur itu lagi.
Untuk beberapa saat ketiganya terdiam. Mereka sibuk
dengan tugas mereka masing-masing didapur itu.
Namun selagi mereka bertiga sibuk, tiba-tiba saja
seseorang muncul dari pintu butulan. Sambil tertawa orang
itu bertanya "He, Kiai Gumrah. Apa yang kau kerjakan hari
ini" Kenapa kau tidak menyerahkan gula" Aku menunggu-
nunggu sesiang ini sehingga hari ini aku terpaksa tidak pergi
kepasar. Tentu sudah kesiangan. Para pedagang gula telah
meninggalkan pasar."
"Aku sedang membuat minyak" berkata Kiai Gumrah.
"Kenapa begitu tergesa-gesa" Bukankah dapat kau
lakukan siang nanti" Seandainya minyakmu sudah habis
sama sekali, bukankah baru nanti malam minyak itu kau
pergunakan."
"Aku akan menggoreng ikan lele. Sebentar lagi aku akan
turun kebelumbang" berkata Kiai Gumrah.
Juragan gula yang datang itu ternyata malahan
berjongkok disamping Kiai Gumrah yang menunggu
santannya yang mendidih. Katanya "Pekerjaan yang
menjemukan. Kau harus mengaduk santan itu terus-
menerus." Kiai Gumrah itu mengangguk. Katanya "Aku sudah
terbiasa melakukannya." Lalu tiba-tiba katanya kepada
Manggada dan Laksana "Ambil kayu bakar lagi, anak-
anak" Manggada dan Laksanapun kemudian bangkit dan
melangkah keluar dapur untuk mengambil kayu bakar.
Namun sambil memungut kayu bakar Manggada berkata
"Juragan gula itu juga melihat elang yang berputaran.
Mereka tentu sedang merundingkan apa yang akan mereka
lakukan, karena agaknya mereka mulai mendapat isyarat,
bahwa Kiai Windu Kusuma atau bahkan Panembahan itu
sendiri akan mulai bergerak lagi."
Laksana mengangguk-angguk. Katanya "Kenapa kita
tidak boleh mendengar pembicaraan mereka?"
"Tentu ada sebabnya. Mereka tidak ingin membuat kita
gelisah, atau mereka memang belum sepenuhnya
mempercayai kita." jawab Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
berbicara lagi. Mereka masing-masing membawa seonggok
kayu bakar ke dapur untuk memanasi santan yang dibuat
minyak itu. Ketika mereka masuk kedapur, maka dilihatnya Kiai
Gumrah dan juragan gula itu berbincang dengan sungguh-
sungguh. Sekilas mereka memandang kedua orang anak
muda yang masuk sambil membawa kayu bakar itu.
Namun mereka ternyata masih berbincang terus. Meskipun
perlahan-lahan Manggada dan Laksana dapat mendengar
juga Kiai Gumrah berkata "Baiklah. Biarlah orang itu disini
untuk satu dua hari."
Keduanya ternyata tidak berbicara lebih panjang lagi.
Juragan gula itupun bengkit berdiri sambil berkata kepada
Manggada dan Laksana "Ngger. Kami memang tidak akan
merahasiakan lagi kegelisahan kami. Kalian lihat burung
elang itu terbang berputar-putar lagi. Kalian tentu juga
dapat menduga maksudnya."
"Ya Kiai" jawab Manggada dan Laksana hampir
berbareng. "Nah, karena itu, maka salah seorang dari antara kami
bertiga akan tinggal dirumah ini. Kita memang harus
berjaga-jaga. Jika kita masih saja sekedar bermain-main,
sementara lawan kita mulai bersungguh-sungguh, maka kita
akan dapat terjebak dalam kesulitan yang parah."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil.
Sementara juragan gula itu berkata "Sudahlah, aku minta
diri. Malam nanti dirumah ini akan bertambah penghuninya meskipun sebelumnya juga hampir selalu
berada dirumah ini."
Demikian juragan gula itu pergi, maka Kiai Gumrahpun
berkata kepada Manggada dan Laksana dengan nada dalam
"Aku tidak dapat berpura-pura lagi ngger. Aku dan saudara-
saudaraku itu memang menjadi gelisah. Kami benar-benar
harus mempertahankan pusaka-pusaka itu. Tetapi jangan
bertanya lebih dahulu, apakah aku berbohong atau tidak
tentang pusaka-pusaka itu. Yang penting, pusaka-pusaka itu
tidak boleh berpindah ketangan orang lain."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula.
Namun tiba-tiba saja Laksana bertanya "Tetapi apakah
benar tidak boleh ada pihak lain yang ikut melindungi
pusaka-pusaka itu, kek. Misalnya prajurit Pajang atau
setidak-tidaknya orang-orang padukuhan ini."
"Alasanku seperti yang pernah aku katakan ngger. Aku
tidak berpura-pura. Kau tentu tahu, jika aku melibatkan
orang-orang padukuhan untuk melawan orang-orang
berilmu tinggi itu, apakah tidak sama artinya aku menabur
maut di padukuhan ini?"
Manggada dan Laksana masih saja mengangguk-angguk.
Mereka mengerti bahwa akibatnya memang akan menjadi
sangat parah. Sementara itu. Kiai Gumrah juga tidak dapat
menyerahkan pusaka-pusaka itu kepada prajurit Pajang.
"Sudahlah.
Apapun yang terjadi, kita akan mempertahankan pusaka-pusaka itu dengan kekuatan dan
kemampuan kita sendiri." berkata Kiai Gumrah. Lalu
katanya pula "Tetapi sebaiknya malam nanti kau tidak
terlalu lama berada di banjar. Sebaiknya setelah beberapa
saat berkumpul dengan anak-anak muda jika mereka datang
ke banjar, kalian harus segera pulang. Kalian dapat
memberi alasan apa saja. Mungkin ada pekerjaan yang
harus kalian lakukan, atau salah seorang dari kalian
mengatakan bahwa badan kalian sedang tidak enak atau
apapun. Elang yang berputar-putar itu membuat aku
menjadi gelisah. Apalagi orang-orang itu tentu sudah
mengenal kalian pula."
"Baik kek" jawab Manggada "kami tidak akan terlalu
lama berada di banjar malam nanti."
0ooo0dOw0ooo0 Karya SH Mintardja
Seri Arya Manggada 3
Sang Penerus Sumber djvu : Ismoyo
Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://dewi-kz.com/
Buku 3 TETAPI sebelum matahari turun disisi Barat belahan
langit, Ki Gumrah yang sedang sibuk menuang minyaknya
kedalam guci, terkejut mendengar suara orang memanggilnya sambil mengetuk pintu depan rumahnya.
Karena Kiai Gumrah tidak segera menjawab, maka ketukan
pintu dan suara yang memanggil namanya itu menjadi
semakin keras. Tetapi suara itu terdengar akrab sekali.
Manggada dan Laksana yang sedang membantunya
menuang minyak itu termangu-mangu. Sementara Kiai
Gumrah berkata "Lihat, siapa yang datang. Tetapi berhati-
hatilah. Pergilah kalian berdua."
Manggada dan Laksanapun telah pergi ke pintu depan
rumahnya. Pintu itu tidak diselarak. Karena itu, maka
Manggadapun telah membuka perlahan-lahan, sementara
Laksana tetap berhati-hati karena hal-hal yang tidak terduga
akan dapat terjadi.
Ketika pintu itu terbuka, maka kedua anak muda itu
terkejut. Yang berdiri dimuka pintu ternyata tidak hanya
seorang saja. Tetapi tiga orang. Seorang laki-laki, seorang
perempuan dan seorang gadis yang sedang tumbuh dewasa.
Ternyata bukan saja Manggada dan Laksana yang
terkejut. Tetapi ketiga orang yang berdiri dimuka pintu
itupun terkejut. Dengan kerut dikeningnya, laki-laki yang
berdiri didepan pintu itu bertanya "Bukankah ini rumah
Kiai Gumrah?"
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
jawab "Ya paman. Rumah ini rumah Kiai Gumrah."
"Apakah Kiai Gumrah ada?" bertanya orang itu.
"Ada. Kakek sedang menuang minyak. Biarlah aku
memanggilnya" sahut Manggada.
"Tetapi siapakah kalian berdua?" bertanya orang itu.
"Kami cucunya, paman" jawab Manggada.
"Cucunya" He, kalian anak siapa?" bertanya perempuan
yang berdiri termangu-mangu.
Manggada dan Laksana memang menjadi bingung.
Mereka tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan
itu. Namun selagi keduanya berdiri termangu-mangu, maka
terdengar suara Kiai Gumrah "He, ternyata kalian yang
datang. Marilah, masuklah."
Ketiga orang itupun kemudian melangkah masuk ke-
ruang dalam. Dengan wajah yang cerah Kiai Gumrah
berkata "Marilah. Sudah lama kalian tidak datang melihat
rumah ini."
"Kami memang sedang sibuk ayah" jawab laki-laki itu
"daerah kami baru saja terserang banjir. Hujan yang tidak
berkeputusan telah membuat. Kali Panjer meluap.
Untunglah bahwa rumah kami tidak hanyut."
"Sokurlah" Kiai Gumrah mengangguk-angguk "marilah,
duduklah."
Kiai Gumrahpun kemudian melangkah mendekati gadis yang sedang tumbuh dewasa itu "Kau
sudah besar sekarang nduk. Sudah berapa tahun kau tidak
ikut datang kemari. Ketika ayah dan ibumu beberapa waktu
yang lalu datang kemari, kau tidak ikut bersama mereka."
"Ayah dan ibu tidak memperbolehkan aku ikut kek."
jawab gadis itu.
"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ia berpaling
memandangi laki-laki dan perempuan yang ternyata adalah
ayah dan ibunya itu.
Ayahnya tersenyum sambil menjawab "Waktu itu kami
datang hanya sekedar menengok ayah. Kami hanya
bermalam satu malam saja. Anak itu tentu akan kelelahan
jika ikut bersama kami."
"Sebenarnya tidak kek. Aku dapat berjalan dengan jarak
dua tiga kali lipat jarak yang kami tempuh sampai ke-rumah
kakek ini." sahut gadis itu.
Kakeknya tertawa. Katanya "Nah, ayah dan ibumu tidak
mau kau menjadi sangat letih. Sekarang ayah dan ibumu
agaknya akan bermalam lebih dari satu malam disini."
"Anak itu pulalah yang memaksa kami untuk datang
kemari, ayah" berkata ibunya.
"Bukan. Bukan aku kek" sahut gadis itu "ayah dan ibu
memang ingin menengok kakek."
Kiai Gumrah tertawa berkepanjangan.
Katanya kemudian "Duduklah. Duduklah."
Mereka bertigapun kemudian duduk diamben yang
cukup besar diruang dalam, sementara Manggada dan
Laksana masih berdiri termangu-mangu. Baru sejenak
kemudian ayah gadis itu bertanya "Ayah, siapakah kedua
orang anak muda ini" Mereka mengatakan bahwa mereka
adalah cucu ayah. Sepengetahuanku cucu ayah hanya
seorang saja. Winih ini."
Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Keduanya memang
cucuku meskipun ayah dan ibunya kedua-duanya bukan
anakku.". "Maksud ayah?" bertanya anaknya.
"Mereka telah tersesat kerumah ini dalam perjalanannya
ke Pajang. Ternyata keduanya kerasan tinggal disini. .
Sehingga mereka telah aku anggap sebagai cucuku sendiri."
Kiai Gumrah berhenti sejenak, lalu katanya kepada
Manggada dan Laksana "Nah, sekarang kau sempat
berkenalan dengan anakku. Bukankah aku pernah
mengatakan bahwa aku mempunyai seorang anak tetapi
sudah lama sekali pergi meninggalkan rumah ini" Sekarang
ia datang bersama seluruh keluarganya karena anaknya
memang hanya seorang yang dinamainya Winih."
Anak dan menantu Kiai Gumrah itu tertawa. Tetapi
Winih menundukkan kepalanya. Sementara Manggada dan
Laksana mengangguk hormat. Dengan nada rendah
Manggada berkata "Kami mohon maaf paman. Kami
berdua belum mengenal paman sebelumnya."
"Namanya Prawara. Panggil saja paman Prawara."
potong Kiai Gumrah sambil tertawa.
"Jika kalian kemudian dianggap cucu ayahku dan kau
juga menganggap ayahku sebagai kakekmu, maka kita
sudah menjadi keluarga." namun Prawara itupun kemudian
bertanya "Ayah, jika demikian sebaiknya siapakah yang
lebih dituakan. Winih atau kedua anak muda ini?"
"Biarlah Manggada dan Laksana dianggap lebih tua.
Umurnya memang lebih tua dari Winih." jawab Kiai
Gumrah. Lalu katanya kepada Winih "nDuk, panggil
keduanya dengan sebutan. kakang, karena kau dianggap
sebagai cucuku yang lebih muda dari mereka."
Seleret Winih memandang Manggada dan Laksana.
Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya pula.
Ketika Kiai Gumrah kemudian juga duduk diamben itu,
iapun berkata "Marilah,-duduk pulalah disini."
Manggada dan Laksana menjadi ragu-ragu. Diluar
sadarnya Manggada berkata "Kami akan ke dapur kek."
"Duduk sajalah dahulu. Biarlah nanti saja kita membuat
minuman bagi tamu-tamu kita." jawab Kiai Gumrah.
"Tidak usah ngger" berkata Nyi Prawara "biarlah, nanti aku dan Winih membuatnya sendiri."
Manggada dan Laksana tidak membantah lagi. Mereka
duduk diamben yang besar itu pula bersama ketiga orang
tamu yang baru datang itu.
Kiai Gumrahpun kemudian telah mempertanyakan
keselamatan mereka. Keadaan tempat tinggal mereka yang
diterpa banjir. Serta perjalanan mereka sampai kerumah itu.
Sementara itu Ki Prawarapun bertanya pula "Bagaimana
pula keadaan ayah selama ini?"
"Kami baik-baik saja disini. Kedua anak muda ini telah
membantu aku dalam segala hal. Mereka pulalah yang
setiap hari membersihkan banjar, menyalakan lampu dan
jika di banjar itu hadir anak-anak muda sebelum ke banjar
yang baru, maka keduanya ikut pula bersama mereka.
Bahkan kedua anak ini dapat mewakili aku melakukan
kegiatan di padukuhan ini."
"Sokurlah" Ki Prawara mengangguk-angguk "kami
memang selalu memikirkan keadaan ayah disini. Bahwa
ayah tidak bersedia tinggal bersama kami, membuat kami
kadang-kadang gelisah sebagaimana sejak dua pekan
terakhir. Akhirnya kami memaksa diri untuk datang
betapapun sibuknya kami mengerjakan sawah dan ladang
dimusim seperti ini."
Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Aku sudah menduga
bahwa kalian akan datang. Dalam kegelisahan seperti ini,
kedatangan kalian dapat sedikit memberikan ketenangan
kepada kami."
Ki Prawara mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya,
dipandanginya Manggada dan Laksana. Namun Kiai
Gumrah yang tanggap itupun berkata "Keduanya telah
mengetahui segala-galanya tentang pusaka-pusaka itu.
Setidak-tidaknya sebagian besar dari persoalan yang sedang
aku hadapi."
Ki Prawarapun menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata "Kami datang sesuai dengan pesan
ayah." Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya dengan
nada rendah kepada Manggada dan Laksana "Aku telah
memberikan kesan kepada anakku. Ia memang anakku.
Bukan dongeng sebagaimana pernah kalian dengar dan
kepura-puraan yang pernah kalian lihat terjadi dirumah ini.
Kegelisahan yang semakin mencengkam memaksa aku
untuk memanggilnya, karena aku berharap bahwa anakku
dapat membantuku"
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil.
Seperti juga Kiai Gumrah dan kawan-kawannva yang
berdagang gula itu, maka Ki Prawara itu menilik ujud
lahiriahnya tidak lebih dari seorang petani kebanyakan.
Pakaiannya, sikapnya dan caranya berbicara. Namun
Manggada dan Laksana yakin bahwa Ki Prawara adalah
seorang yang tentu juga berilmu tinggi.
Namun dalam pada itu. Nyi Prawara yang sejak semula
mendengarkan pembicaraan itupun berkata "Ayah, biarlah
aku pergi kedapur untuk merebus air."
Namun Manggadalah yang menyahut "Masih ada air
terjerang diatas perapian."
"Kebetulan" jawab Nyi Prawara yang kemudian
menggamit Winih "marilah.
Bantu aku membuat minuman." "Kau dapat mencari mangkuk di paga bambu" berkata
Kiai Gumrah "Biarlah aku mengambilnya" berkata .Laksana.
"Tidak" dengan cepat Nyi Prawara menyahut "duduk
sajalah ngger. Biarlah aku dan Winih yang berada di-dapur.
Bukankah kami berada dirumah ayah sehingga tidak
bedanya dirumah sendiri."
Laksana tidak menjawab. Iapun merasa bahwa Ki
Prawara, Nyi Prawara dan Winih adalah keluarga terdekat
Kiai Gumrah. Sedangkan ia dan Manggada adalah orang
yang tersesat saja sampai kerumah itu. Sehingga karena itu,
maka Nyi Prawara dan winih dapat berbuat lebih banyak
dirumah itu. Karena itu, ketika Nyi Prawara dan Winih pergi ke
dapur, Laksana tidak beranjak dari tempatnya.
Dalam pada itu Kiai Gumrahpun berkata kepada
Manggada dan Laksana "Baiklah aku berterus terang.
Anakku memang memiliki sedikit kemampuan sehingga ia
akan dapat membantuku melindungi pusaka-pusaka itu
disamping beberapa orang kawan-kawanku, para pedagang
gula itu. Seperti pernah aku katakan, bahwa orang-orang
yang menghendaki pusaka-pusaka itu mulai bersungguh-
sungguh, sehingga kamipun harus mulai bersungguh-
sungguh pula. Karena itu, maka kami harus menghimpun
segala orang yang akan dapat ikut serta membantuku.
Tentu bukan anak-anak muda padukuhan ini, karena hal itu
akan dapat berarti menghancurkan mereka pula. Juga
bukan para prajur it Pajang, karena mereka akan dapat
membuat kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan keinginan
kita meskipun mereka juga berniat melindungi pusaka-
pusaka itu."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Kiai
Gumrah memang pernah mengatakan hal itu. Tetapi
agaknya ia sengaja mengulanginya dihadapan Ki Prawara.
Dalam pada itu, di dapur, Ny i Prawara dan Winih
menjadi sibuk membuat minuman. Meskipun mereka tidak
terbiasa dengan peralatan dapur Kiai Gumrah, namun
merekapun akhirnya dapat menyiapkan wedang jahe hangat
dengan gula kelapa yang banyak terdapat didapur itu.
Namun dalam pada itu, selagi Nyi Prawara sibuk
menyiapkan minuman, iapun terkejut ketika tiba-tiba
seseorang telah berdiri dipintu dapur. Orang itupun terkejut
pula melihat dua orang perempuan didapur itu.
Namun Nyi Prawara masih juga sempat bertanya
"Apakah keperluan Ki Sanak" Siapakah yang Ki Sanak
cari?" Tetapi Winih justru bertanya "Apakah Ki Sanak juga
cucu kakek Gumrah?"
"Tidak" jawab orang itu "tetapi aku memang mencari
Kiai Gumrah."
Keduanya memang merasa heran, bahwa orang itu tidak
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetuk pintu depan, tetapi langsung ke pintu dapur.
Namun Nyi Prawara itupun kemudian berkata "Winih,
panggil kakekmu."
Winihpun kemudian bergegas masuk keruang dalam
sambil berkata "Kek, ada tamu."
"Tamu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya. Orang itu langsung masuk ke dapur" jawab Winih.
Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Namun iapun
kemudian segera bangkit dan melangkah menuju ke dapur.
Ternyata Kiai Gumrahpun- terkejut. Hampir diluar
sadarnya ia berdesis "Kundala."
"Ya, Kiai" jawab orang itu lirih, seakan-akan hanya
untuk didengarnya sendiri saja.
-"Marilah, masuklah" Kiai Gumrah mempersilahkan.
"Tidak Kiai" jawab Kundala "aku sedang dalam
perjalanan menemui seseorang."
"Siapa?" bertanya Kiai Gumrah.
Kunuala memang ragu-ragu. Keningnya telah menitikkan keringat. Bahkan baju dibagian punggungnyapun telah menjadi basah kuyup seakan-akan ia
baru saja kehujanan di bulak panjang.
Ia memang tidak dapat dengan serta merta menyebutkan
sebuah nama. Kiai Gumrah-agaknya tanggap akan kesulitan perasaan
Kundala. Karena itu, maka ia tidak mendesaknya. Ia justru
bertanya "Barangkali kau mempunyai keperluan dengan
aku atau dengan kedua cucuku" Marilah duduklah."
"Tidak Kiai" jawab Kundala "tidak ada apa-apa. Aku
hanya ingin singgah untuk melihat keselamatan Kiai dan
cucu-cucu Kiai. Agaknya semuanya selamat disini. Bahkan
mungkin dirumah ini sedang ada tamu."
"Ya. Memang ada tamu dirumah ini. Tetapi mereka
adalah keluargaku sendiri."
"Tidak ada yang ingin aku sampaikan kecuali sekedar
menengok keselamatan Kiai itulah."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
lembut ia berkata "Kundala. Aku tahu bahwa kau berada
dalam kebingungan yang sangat. Terserah kepadamu,
apakah kau akan mengatakannya atau tidak. Tetapi tentu
ada yang mendorongmu untuk singgah dirumahku ini. Aku
yakin bahwa itu adalah nuranimu yang untuk waktu yang
panjang tentu telah kau timbuni dengan ketamakan,
kedengkian dan kepura-puraan. Tetapi kenapa kau justru
berusaha menutup telinga hatimu dan membiarkan kepura-
puraan itu menguasai dan kemudian menimbuni nuranimu
sehingga tenggelam jauh kedasar jiwamu?"
Kundala termangu-mangu sejenak. Tetapi ia mengakui
bahwa dorongan nuraninyalah yang telah membawanya
singgah kerumah Kiai Gumrah. Bahkan nuraninya itu pula
telah mendorongnya untuk mengatakan kenapa ia telah
singgah. Kiai Gumrah membiarkan Kundala itu termangu-mangu
dimuka pintu. Keringatnya semakin banyak mengalir
membasahi pakaiannya, sementara hatinya telah diguncang-guncang oleh keragu-raguan.
Namun akhirnya ia berkata "Kiai. Aku baru saja
menemui utusan Panembahan."
"Utusannya?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ya Kiai. Utusan Panembahan itu akan berbicara dengan
Kiai Windu Kusuma tentang pusaka-pusaka itu." jawab
Kundala. "Kenapa utusan itu tidak langsung menemui Kiai Windu
Kusuma?" bertanya Kiai Gumrah.
"Nampaknya
memang masih ada jarak antara Panembahan dan Kiai Windu Kusuma meskipun Kiai
Windu Kusuma telan berada dibawah pengaruh Panembahan." jawab Kundala.
"Lalu apa tugasmu menemui utusan Panembahan?"
"Kami akan membicarakan pertemuan antara Panembahan dan Kiai Windu Kusuma. Pertemuan
langsung itu harus dilakukan tanpa gangguan apapun juga.
Termasuk keselamatan Panembahan itu sendiri. Karena itu.
maka penyelenggaraan pertemuan itu harus dilakukan
dengan sangat berhati-hati" jawab Kundpla.
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Apakah Panembahan dan Kiai Windu
Kusuma belum pernah melakukan pertemuan itu?"
"Sudah. Sudah beberapa kali. Tetapi ditempat yang jauh
dan terpencil. Pertemuan kali ini akan dilakukan ditempat
Kiai Windu Kusuma." jawab Kundala pula.
"Dimana tempat itu?"
Kundala tidak menjawab. Ia justru termangu-mangu
kebingungan. Sekali-sekali dipandanginya Nyi Prawara
yang duduk diamben yang lain di dapur itu.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Kepada Nyi
Prawara ia berkata "Ngger. Aku minta tamuku ini juga
disuguh minuman yang hangat. Nanti, hidangkan saja
minuman yang lain keruang dalam. Suamimu tentu sudah
haus." Nyi Prawara seakan-akan tersadar dari sebuah renungan
yang dalam. Tergagap ia berkata "Ya, ya. Ayah."
Nyi Prawarapun kemudian telah menyuguhkan minuman hangat kepada Kundala yang tegang. Kemudian
iapun telah membawa minuman ke ruang dalam.
"Ia menantuku" berkata Kiai Gumrah. Kundala
mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata "Aku
tidak mempunyai banyak waktu.".
"Minumlah." Kiai Gumrah. mempersilahkan.
Kundalapiun kemudian meneguk mangkuknya menghirup minuman
hangat dengan gula kelapa. Sementara itu Kiai Gumrah berkata "Jadi bagaimana dengan burung-
burung elang itu" Apakah burung-burung elang itu
dilepaskan oleh Panembahan atau oleh Kiai Windu
Kusuma?" "Seorang pembantu Panembahan yang menjadi serati
burung-burung elang itu berada bersama Kiai Windu
Kusuma" jawab Kunuaia meskipun agak ragu.
"Tetapi kaulah yang mendapat tugas untuk menjadi
penghubung sebelum pertemuan itu diselenggarakan" desis
Kiai Gumrah. Kundala mengangguk kecil.
"Aku mengucapkan terima kasih atas keteranganmu"
berkata Kiai Gumrah "tetapi apakah masih ada hal lain
yang dapat aku ketahui?"
Kundala menjadi semakin tegang. Beberapa kali ia
mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Pertentangan didalam dirinya semakin bergejolak. Sekali-
sekali terdengar ia berdesah.
Kiai Gumrah membiarkan Kundala dalam kegelisahannya. Bahkan iapun kemudian mempersilahkan
lagi "Minumlah, selagi masih hangat."
Kundala mengangkat mangkuknya. Iapun menghirup
lagi seteguk. Baru kemudian ia berkata "Panembahan
nampaknya mengenali pusaka-pusaka yang tersimpan itu
dengan baik, Kiai."
"Darimana ia tahu?" bertanya Kiai Gumrah.
Seakan-akan diluar sadar Kundalapun menceriterakan
apa yang pernah didengarnya pembicaraan antara Kiai
Windu kusuma dengan Putut Sempada tentang pusaka-
pusaka yang tersimpan dirumah Kiai Gumrah itu.
Kiai Gumrahpun menarik
nafas dalam-dalam. Dengan
kerut dikening Kiai Gumrah
berkata hampir kepada diri
sendiri "Darimana ia mengetahui bahwa diantara
pusaka-pusaka itu terdapat Kiai Simarengu dan Kiai Simariwut."
"Entahlah"
Kundala menyahut lirih.
Namun tiba-tiba Kundala
itupun berkata "Sudahlah Kiai.
Aku sudah terlalu lama disini. Aku harus segera kembali
agar aku tidak dicurigai oleh Kiai Wmdukusuma. Apalagi
sekarang dalam beberapa hal aku sudah mulai tersisih.
Bukan karena aku dianggap tidak setia, tetapi aku dianggap
tidak cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi
pekerjaan-pekerjaan besar. Namun mudah-mudahan pada
suatu saat, aku masih diperlukan oleh Kiai Windukusuma."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Terima
kasih. Keteranganmu sangat penting artinya bagi kami.
Hati-hatilah. Mungkin burung elang itu memantau
perjalananmu."
"Memang mungkin, tetapi aku tidak melihat burung itu
dilangit."
"Minumlah dahulu. Aku akan melihat, apakah burung
itu terbang atau tidak." berkata Kiai Gumrah yang
kemudian keluar dari dapur dan menengadahkan wajahnya.
Namun iapun kemudian masuk lagi kedapur sambil berkata
"Burung itu tidak ada.."
"Baiklah Kiai" berkata Kundala "aku mohon diri."
"Berhati-hatilah. Kau berada dikandang serigala. Setiap
saat serigala-serigala itu. akan dapat menggigitmu." pesan
Kiai Gumrah. Kundala tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera
minta diri dan meninggalkan Kiai Gumrah yang termangu-
mangu. Ketika kemudian Kiai Gumrah berada diruang dalam
bersama anak, menantu dan cucunya, maka ternyata Kiai
Gumrah tidak merahasiakan kehadiran dan pesan-pesan
Kundala. Dengan demikian maka Manggada dan Laksana
mengambil kesimpulan bahwa Kiai Gumrah mengharap
kedatangan anaknya benar-benar untuk membantunya
melindungi pusaka-pusaka itu. Karena itu, maka kedua
anak muda itu berkesimpulan bahwa Ki Prawara itu tentu
juga seorang yang berilmu tinggi. Jika tidak demikian, maka
kehadirannya tentu tidak akan berarti apa-apa. Justru malah
membahayakan jiwa Ki Prawara itu sendiri. Apalagi isteri
dan anak gadisnya.
Ternyata pesan Kundala itu telah ditanggapi dengan
sungguh-sungguh oleh Kiai Gumrah dan Ki Prawara.
Mereka memperhitungkan bahwa Panembahan itu akan
turun sendiri untuk mengambil pusaka-pusaka itu.
"Lebih dari itu Panembahan itu berniat untuk
mengorbankan seseorang. Ia memerlukan jantung seseorang
yang masih segar. Bahkan mungkin jantung seseorang yang
disyaratkan oleh Panembahan itu." berkata Kiai Gumrah.
"Nampaknya Panembahan itu masih hidup pada. jaman
yang gelap, pada jaman manusia masih terpisah dari Yang
Maha Agung. Nampaknya Panembahan itu-masih belum
menyadari panggilan Sumber Hidupnya, sehingga ia telah
mengabdi kepada kegelapan."desis Ki Prawara "dengan
demikian maka ia merupakan manusia yang sangat
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbahaya pada jaman seperti ini. Ia sampai hati
mengorbankan sesamanya dengan cara yang tidak pantas
dan tidak berperikemanusiaan
sama sekali untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Satu kekuatan yang
berasal dari dunia kegelapan."
"Itulah yang kita hadapi sekarang Prawara?" desis Kiai
Gumrah "ternyata kita berhadapan dengan kekuatan iblis
dalam arti yang sebenarnya."
Manggadapun kemudian sempat menceriterakan dengan
singkat, bagaimana seorang Panembahan yang juga
memiliki burung-burung elang itu membenamkan Kerisnya
didada gadis-gadis yang masih suci disetiap bulan purnama
karena Panembahan itu memuja keris yang dianggapnya
sangat bertuah itu. Keris yang jika digenapi mereguk darah
gadis-gadis dalam jumlah tertentu akan menjadi keris yang
dapat mendukung derajatnya karena tuahnya yang tidak
ada bandingnya. Bahkan keris itu akan menjadi pusaka
yang paling sakti dimuka bumi."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam, sementara
tengkuk Nyi Prawara terasa meremang.
"Sekarang kejahatan seperli itu akan diulangi. Aku yakin
bahwa Panembahan yang kau katakan itu adalah
Panembahan yang ingin memiliki pusaka-pusaka itu pula.
Beberapa pertandanya sama terutama bahwa ia memuja
kuasa kegelapan." berkata Kiai Gumrah.
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Jika demikian kita memang harus menjadi sangat
berhati-hati."
Kiai Gumrah mengangguk pula. Katanya "Malam nanti,
seorang diantara kita akan berada dirumah ini pula."
"Siapa ayah?" bertanya Ki Prawara.
"Kiai Linggar. Ia akan tidur dirumah ini untuk menjaga
kemungkinan buruk yang dapat terjadi." jawab Kiai
Gumrah. "Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang lain?"
bertanya Prawara
"Hampir semua saudara-saudara kita sudah mengetahui
apa yang dapat terjadi disini. Mereka sudah berada
diputaran kejadian sehingga tidak terlalu sulit lagi untuk
menghubungi mereka seorang demi seorang, sebagaimana
kau sendiri"
Prawara mengangguk-angguk.
Panembahan yang disebut-sebut itu telah bersungguh-sungguh pula, sehingga
merekapun harus bersungguh-sungguh
sebagaimana Panembahan itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Nyi Prawarapun
telah berada didapur pula. Ketika Kia i Gumrah akan
menyiapkan makan bagi mereka, Nyi Prawara itu berkata
"Bukankah kami, perempuan, lebih pantas untuk berada
didapur?" "Biasanya aku, Manggada dan Laksanalah yang masak
untuk kami sendiri. Aku ajari mereka membumbui
bermacam-macam masakan, sehingga sekarang mereka
telah dapat melakukannya." berkata Kiai Gumrah.
"Tetapi hari-hari biasa dirumah ini tidak ada seorang
perempuan. Sekarang ada dua orang perempuan disini."
sahut Nyi Prawara.
Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Baiklah. Jika kau akan
memetik sayuran, ambillah di halaman belakang. Daun
kacang panjang, so, melinjo dan kroto, atau terung ungu.
Jika kau senang sayur rebung, sekaranglah musimnya."
"Baik ayah. Kami akan mengambil bahan-bahan itu
sendiri di halaman belakang." jawab Nyi Prawara.
Dengan kehadiran anak, menantu dan cucunya, maka
rumah Kiai Gumrah menjadi semakin terasa hidup. Rumah
dan halaman yang telah dibersihkan oleh Manggada dan
Laksana akan menjadi semakin nampak cerah karena ada
tangan-tangan perempuan yang memeliharanya, meskipun
hanya untuk sementara.
Dalam pada itu, ketika malam kemudian turun, maka
rumah itu menjadi semakin ramai. Ternyata.yang datang
kerumah Kiai Gumrah bukan hanya seorang kawannya
yang untuk sementara akan berada. dirumah itu, tetapi,
yang datang ternyata ampat orang termasuk juragan gula
kelapa itu. Diantara mereka terdapat orang-yang telah
mengirimkan pesan untuk Ki Prawara.
Ki Prawara telah ikut menyambut tamu-tamu Kiai
Gumrah itu. Terdengar suara tertawa yang gembira. Orang-
orang tua itu mulai berkelakar dengan ramainya.
"Pesanku kapan sampai kepadamu Prawara"," bertanya
salah seorang diantara tamu-tamu Kiai Gumrah.
"Dua. hari yang lalu Kiai." jawab Prawara.
"Ternyata pesan itu memerlukan waktu tiga hari untuk
sampai ketelingamu."
"Tetapi aku sekarang sudah ada disini" jawab Prawara.
Sementara itu Kiai Linggarpun berkata "Jika demikian,
maka aku tidak perlu lagi berada ditempat ini. Rumah ini
akan menjadi penuh sesak. Selain Prawara, isteri dan anak
gadisnya, disini sudah ada dua orang cucu Kiai Gumrah
yang lain."
"Ya" Juragan gula itulah yang menjawab "disini kau
hanya akan memenuhi ruangan dan menghabiskan
makanan yang disediakan oleh Nyi Prawara."
Orang-orang -tua itu tertawa. Ki Prawarapun tertawa
pula. Demikianlah malam itu rumah Kiai Gumrah menjadi
ramai. Meskipun mereka tidak bermain dadu, tetapi
kehadiran Ki Prawara telah menyerap perhatian tamu-tamu
Kiai Gumrah. Ki Prawara ternyata seorang yang pandai
menyusun ceritera sehingga hal-hal yang biasa terjadi
menjadi sangat menarik. Ia sempat menceriterakan
pengalaman hidupnya yang terpisah dari ayahnya untuk
waktu yang lama.
Sementara itu, Nyi Prawara dan Winih masih saja sibuk
didapur. Manggada dan Laksana ikut membantunya dan
kemudian menghidangkan
suguhan keruang dalam.
Minuman, makanan dan makan malam. Meskipun hanya
sayur-sayuran saja, tetapi karena Nyi Prawara pandai
memasak, hidangan itu terasa nikmat di mulut tamu-tamu
Kiai Gumrah. Namun menjelang, tengah malam, suara tertawa dan
kelakar menjadi semakin susut. Pembicaraan orang-orang
tua itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Manggada
dan Laksana yang sudah selesai menghidangkan suguhan
bagi mereka yang berada di ruang dalam, duduk
dibersandar dinding didapur. Justru karena mereka sudah
tidak sibuk lagi, maka mereka mulai merasa kantuk. Karena
itu, maka Nyi Prawarapun berkata "Duduklah didalam
ngger. Kalian sudah berhak mendengarkan pembicaraan
orang-orang tua itu, karena kalian memang sudah
memanjat usia dewasa."
Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu.
Tetapi kemudian Manggada itupun menyahut "Biarlah
kami duduk disini saja Nyi. Mungkin masih ada yang harus
kami kerjakan. Jika minuman para tamu itu habis, maka
kami akan menuang lagi."
"Bukankah itu dapat dilakukan oleh Winih?" sahut Nyi
Prawara sambil memandang anak gadisnya.
Namun Manggada berkata "Adi winih tentu letih.
Bukankah ia baru datang hari ini."
Tetapi Nyi Prawara tertawa, katanya "Ia terbiasa
berjalan jauh. Dirumah sehari-hari ia bekerja disawah,
sehingga tubuhnya telah terbiasa."
Manggada dan Laksana hanya mengangguk-angguk saja,
sementara Winih sendiri memang tidak nampak letih. Juga
tidak nampak mengantuk. Ia masih tetap nampak segar.
Dalam pada itu, diam-diam Manggada dan Laksana
memandangi gadis itu. Gadis itu nampak tegar. Tubuhnya
seakan-akan selalu bergerak, apapun yang dilakukan.
Seakan-akan gadis itu tidak dapat duduk diam barang
sekejappun. Jika ia duduk, maka kakinya atau tangannya
yang bergerak-gerak, Meskipun ujudnya Winili telah
dewasa, namun wajahnya masih nampak kekanak-kanakan.
Tetapi jika sekali-sekali Manggada dan Laksana, sempat
memandang matanya, maka di mata itu seakan-akan
tersimpan api gejolak jiwanya.
Tetapi Winih masih belum menjadi akrab dengan
Manggada dan Laksana. Diantara mereka masih ada jarak,
justru karena Manggada dan Laksana adalah anak-anak
muda, sedangkan Winih seorang gadis yang sama-sama
meningkat dewasa.
Namun dalam pada itu terdengar Kiai Gumrah
memanggil Manggada dan Laksana. Ternyata Kiai Gumrah
justru ingin Manggada dan Laksana mendengarkan
pembicaraan mereka yang mulai bersungguh-sungguh.
"Sayang. Kita semuanya sudah menjadi tua. Satu-
satunya orang yang masih terhitung muda adalah kau,
Prawara." berkata Kiai Linggar.
"Itulah kelemahan kita" berkata juragan gula itu "kita mabuk akan kebanggaan atas diri kita sendiri, sehingga kita
lupa, bahwa pada suatu saat kita akan menjadi tua, dan
kehilangan landasan kekuatan kewadagan kita. Jika
sebentar lagi kita sudah harus merenungi kerapuhan wadag
kita, maka orang-orang yang lebih muda masih belum siap
untuk menggantikan tugas kita."
"Kiai sekalian masih belum terlambat" berkata Prawara
"masih ada kesempatan untuk menempa mereka yang lebih
muda dari kita, atau katakan lebih muda dari aku."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Hampir diluar
sadarnya mereka memandang Manggada dan Laksana yang
sudah duduk diamben itu pula, meskipun agak dibelakang.
Tetapi Manggada dan Laksana agaknya menundukkan
wajah mereka. Orang-orang tua yang ada diruang dalam itu tanggap
akan maksud Kiai Gumrah. Tetapi mereka masih harus
berpikir, "apakah keduanya bersedia untuk benar-benar,
bergabung dengan orang-orang tua itu dalam arti
yang,sebenarnya. Karena mereka tahu, bahwa anak-anak
muda itu sedang dalam perjalanan pulang kerumah mereka
tidak jauh dari Kotaraja.
Namun Prawaralah yang kemudian berkata "Tetapi yang
penting bagi kita adalah persoalan dalam waktu dekat ini.
Jika menurut ayah, seorang pengikut Kiai Windu Kusuma
yang bernama Kundala telah mengabarkan hal-hal tersebut,
berarti bahwa kita harus menanggapinya dengan mengerahkan segenap, kemampuan yang ada pada kita.
Untuk waktu yang pendek dan mendesak ini, kita belum
sempat memikirkan, siapakah yang akan menjadi penerus
kita kemudian. Karena dihadapan kita sekarang ternyata
menganga mulut sekelompok buaya yang buas."
Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Juragan gula
itupun berkata "Untunglah, bahwa ada seseorang yang
bernama Kundala. Dengan demikian kita berharap untuk
selanjutnya, ia akan dapat membantu kita."
Demikianlah, orang-orang tua itu berbicara berkepanjangan. Namun akhirnya merekapun menjadi
letih. Kiai Linggarlah yang kemudian berkata "Sudahlah.
Kami datang untuk mengucapkan selamat datang kepada
Prawara. Selain itu, akupun tidak perlu lagi berada dirumah
ini untuk sementara. Karena itu, aku mohon diri."
Ternyata orang-orang tua yang lainpun telah minta diri
pula. Juragan gula itupun berkata "Sudah terlalu malam.
Aku kira sudah tidak ada suguhan lagi yang akan
dihidangkan. Karena itu, kami akan pulang saja."
Ki Prawara tertawa. Tetapi Kiai Gumrah berkata
"Kalian harus membayar sebanyak yang kalian makan hari
ini." Orang-orang tua itu tertawa. Namun mereka berjalan
terus meninggalkan rumah Kiai Gumrah.
Demikian mereka keluar dari regol halaman, mereka
bertemu dengan beberapa orang anak muda yang sedang
meronda. Namun anak-anak muda itu sudah mengenal
orang-orang tua itu, sehingga mereka tidak terlalu banyak
bertanya-tanya. Tetapi justru kepada Manggada dan
Laksana anak-anak muda itu bertanya, kenapa ia tidak
pergi ke banjar.
"Kami hanya sekedar menyalakan lampu. Kami harus
segera pulang karena dirumah banyak tamu." jawab
Manggada. "Tetapi bukankah mereka tamu kakekmu?" bertanya
salah seorang di antara mereka.
"Ya. Tetapi bukankah harus
ada yang merebus air dan
menyediakan hidangan meskipun hanya sekedar merebus ketela pohon atau ubi
rambat?"
Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak-anak muda itu tersenyum. Seorang diantara
mereka berkata "He, jika tersisa
bawa ke banjar. Kami akan
beristirahat di banjar sebentar."
Laksanalah yang menjawab
"Sayang. Yang masih tersisa
tinggal gua kelapa."
"Tentu, kakekmu setiap hari membuat gula" sahut salan
seorang dari anak-anak muda itu.
Manggada dan Laksana hanya tertawa saja. Namun
mereka kemudian justru masuk kembali keregol halaman
dan menutupnya ketika orang-orang tua yang meninggalkan rumah itu sudah menjadi semakin jauh.
Malam itu Manggada dan Laksana harus tidur diamben
dapur. Namun bagi mereka berdua sama sekali tidak ada
persoalan. Amben yang besar diruang tengah dipergunakan
untuk Ki Prawara, Nyi Prawara dan Winih.
Namun kehadiran Ki Prawara memang membuat
Manggada dan Laksana menjadi semakin tenang, karena
mereka tahu bahwa Ki Prawara itu tentu memiliki ilmu
yang dapat diandalkan sebagaimana dikatakan oleh Kiai
Gumrah dan kawan-kawannya.
Ketika kemudian fajar menyingsing, sebagaimana biasa
Manggada dan Laksana sudah bangun. Mereka segera pergi
ke banjar dan membersihkan halaman banjar, mengisi
jambangannya dan memadamkan lampu-lampunya. Baru
kemudian mereka pulang untuk membersihkan halaman
rumah Kiai Gumrah.
Tetapi ketika mereka memasuki halaman, ternyata
bahwa halaman rumah itu sudah menjadi bersih. Mereka
masih melihat Winih menyelesaikan pekerjaannya dengan
memasukkan sampah kelubang sampah disudut halaman.
"Kami terlambat" berkata Manggada.
"Seberapa luas halaman banjar itu, sehingga kalian
berdua baru selesai?" bertanya Winih yang sudah mulai
mengatasi keseganan masing-masing.
"Bukan hanya membersihkan halaman" jawab Laksana
"kami harus membersihkan ruangan-ruangan banjar dan
mengisi jambangan di pakiwan."
"O" Winih mengangguk-angguk "sebelum kalian datang,
apakah semuanya itu dilakukan oleh kakek sendiri?"
"Agaknya memang demikian. Tetapi justru karena itu,
maka rumah kakek inilah yang tidak mendapat waktu
untuk dibersihkan. Waktu kami datang, nampaknya rumah
dan halaman ini jarang disapu sedangkan perabot dida-
lampun agaknya tidak sempat disentuh tangan. Kakek
memang terlalu sibuk. Sedangkan pohon-pohon kelapa itu
memerlukan perhatiannya" jawab Manggada.
"Kasihan kakek" desis Winih "jika aku tahu, aku tentu sudah datang jauh sebelum ayah dan ibu mengajak aku
kemari." Manggada dan Laksana yang kemudian melintas sempat
berhenti sejenak. Namun; kemudian mereka mulai
melangkah lagi melintas halaman samping. Sambil berjalan
Manggadapun berdesis "Kami akan mengisi jambangan."
"Ayah sudah mengisinya" sahut Winih
"Kalau begitu, apa lagi yang harus kami kerjakan"
Menyiapkan minuman" "Laksana justru bertanya.
"Ibu sedang sibuk didapur" jawab Winih.
"Dan kakek?" bertanya Manggada.
"Kakek sudah berada dikebun dengan bumbung-
bumbungnya."
Manggada dan Laksana saling berpandangan. Agaknya
tugas mereka menjadi ringan oleh kehadiran Ki Prawara
dengan keluarganya dirumah itu.
Namun dalam pada itu Winih itupun tiba-tiba berkata,
"Bukankah kita tidak mempunyai pekerjaan apa-apa lagi"
Bagaimana jika kita pergi ke pasar?"
"Kepasar?" ulang Manggada.
"Ya. Aku akan minta kepada ibu agar aku saja yang
berbelanja dipasar. Tetapi bukankah kahan juga tidak ada
kerja dirumah pagi ini" Nah, kita sajalah yang pergi ke
pasar." Manggada dan Laksana memang menjadi ragu-ragu.
Mereka memang senang untuk berbelanja bersama Winih
yang ceria itu. Namun dengan ragu Manggada berkata
"Kami harus minta ijin dahulu kepada kakek."
"Kakek tentu tidak berkeberatan. Bukan kalian yang
berbelanja. Tetapi aku. Bukankah pantas jika aku yang
berbelanja" Kalian hanya menemani aku saja" berkata
Winih dengan lancar. Seakan-akan mereka sudah akrab
sebelumnya. Manggada dan Laksana masih saja ragu-ragu. Mereka
selalu ingat akan pesan Kiai Gumrah, bahwa mereka harus
berhati-hati karena orang-orang berilmu tinggi itu sudah
mengenal mereka
"Kenapa kalian ragu-ragu" Apakah kalian merasa malu
berjalan bersama seorang gadis?" bertanya Winih.
Manggada dan Laksana justru merasa jantungnya
tergetar mendengar pertanyaan itu. Namun mereka
menyadari bahwa pertanyaan itu meluncur dari mulut
Winih dengan lugu, jujur dan tanpa maksud apa-apa.
Karena itu, maka-meskipun agak memaksa diri
Manggada menjawab "Tidak. Soalnya bukan itu. Tetapi
kakek selalu berpesan agar kami berhati-hati dalam keadaan
yang nampaknya semakin genting ini."
"Tetapi bukankah itu persoalan kakek, kawan-kawannya
dan barangkali ayah. Tetapi itu bukan persoalan kita."
"Kami berdua sudah terlibat kedalam persoalan itu."
jawab Laksana. "Jadi kalian takut pergi ke pasar?" bertanya Winih.
Bagaimanapun juga Manggada dan Laksana tersinggung
mendengar pertanyaan itu. Namun justru karena itu,
mereka tidak segera menjawab.
Tetapi Winih sambil meneruskan kerjanya berdesis
seakan-akan kepada diri sendiri "Jika demikian aku akan
pergi sendiri ke pasar."
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Pendekar Riang 13 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Cinta Bernoda Darah 5