Pencarian

Sarang Perjudian 2

Sarang Perjudian Karya Gu Long Bagian 2


menatap Kwanji, lewat lama kemudian ia baru berkata, sepatah demi sepatah:
"Dengarkan baik-baik, dengarkan dengan penuh perhatian, kau harus mendengarkan setiap
kata dengan jelas."
"Jangan kuatir, telingaku belum penyakitan."
"Kau bilang akan bertaruh denganku, bertaruh kalau barang kawalan dari Cukat Thay-peng tak
akan tiba di tempat tujuan, benar begitu?"
"Benar."
"Kalau itu yang mau dipertaruhkan, aku tak mau ikut."
"Kenapa?"
"Sebab aku pun berpendapat demikian," sahut Pok Ing, "oleh sebab itu aku pun akan
mengajakmu bertaruh, barang kawalan Cukat Thay-peng pasti akan sampai di tempat tujuan, kau
berani bertaruh?"
"Aku akan bertaruh," jawab Kwanji tanpa berpikir panjang.
'Teduh apa pun yang akan dipertaruhkan, kau tetap akan bertaruh denganku?"
"Benar."
"Bagaimanapun toh kak ini kau harus bertaruh denganku?"
"Tepat sekali."
Rumah kecil, ranjang besar, cawan teh, makanan kecil, aneka masakan, manisan, kueh, buahbuahan,
air teh, arak. Kwan Ji, Thio Ngo, Thio Pat. Thio Ngo dan Thio Pat yang masih seperti sedia kala, kelihatan
persis seperti dua biji buah pepaya.
"Aku tidak mengerti," ujar Thio Pat, "waktu itu kenapa Pok Ing malah berbalik menantangmu
bertaruh?"
"Karena dia menganggap aku kelewat yakin untuk menang," sahut Kwan Ji, "lagipula untuk
membegal barang kawalan Cukat Thay-peng, kelihatannya jauh lebih gampang ketimbang harus
mengawal barang kawalannya."
"Jadi Pok Ing akan turun tangan sendiri untuk membegal barang kawalan itu?"
"Tentu saja tidak, bandar judi selamanya tak pernah menganggu para petaruhnya untuk
berusaha meraih kemenangan, Pok Ing tak bakal melanggar aturan tersebut."
"Ya, aku rasa dia memang tak akan berbuat begitu."
"Cuma saja, pekerjaaan semacam ini biasanya selalu ada orang lain yang akan melakukannya
untuk dia bahkan orang itu sudah pasti seorang ahli."
"Waktu yang tersisa sudah tak banyak, mana mungkin dia bisa menemukan seorang ahli
membegal barang kawalan di seputar sana?"
"Paling tidak ia dapat menemukan satu orang."
Dua bersaudara Thio saling bertukar pandangan sekejap, perasaan heran memancar di wajah
mereka, seakan mereka berdua sudah teringat siapakah orang itu.
Maka mereka pun terpaksa bertanya-
"Dapatkah kami menemukan orang untuk menghadapinya?"
"Paling tidak kami pun dapat menemukan seseorang."
"Siapa?"
Kwan Ji tidak langsung menjawab pertanyaan itu, hanya ujarnya hambar
"Pasti ada orang semacam itu. Sampai waktunya kalian dapat melihatnya sendiri."
Tentu saja dua bersaudara Thio tak berani bertanya lagi, namun tak urung katanya juga:
"Bila masih ada orang berani mengusik barang kawalan itu, orang tersebut pastilah bukan
manusia sembarangan, bila sampai orang lain berhasil merampok barang kawalan itu, bukankah
kami tetap akan kalah?"
"Tentu saja orang semacam itu pun pasti ada yang menghadapi."
"Siapa?"
"Kau sangka aku ini siapa" Memangnya Kwanji dan Kwan-say adalah orang mampus?"
"Ringan bagai walet Oh Kim-siu, ganas bagai harimau Kwan Giok-bun."
Tentu saja Kwan Giok-bun bukan orang mampus. Oh Kim-siu pun bukan.
Bab 3 Wanita Cantik bak Bidadari
Ujung baju itu longgar, lembut, ringan dan indah, sulaman yang menghiasi tepi baju pun
terbuat dari benang emas dan bersulamkan sekuntum bunga botan, hasil sulaman seorang
seniman kenamaan.
Dari balik baju terlihat sepasang tangan yang putih, lentik dan indah, tangan dengan sepuluh
jari yang ramping dan putih bagaikan batu kemala.
Tangan itu sedang memetik tak senar khiem, sebuah khiem antik yang berbentuk indah dengan
irama musik yang merdu.
Khiem itu terletak di atas meja, meja itu berada di tengah gardu, gardu segi enam dengan pilar
yang indah dan berlatar belakang tanah perbukitan yang hijau.
Di tanah perbukitan itu tumbuh aneka ragam bebungaan, pemandangan yang sangat indah
bagaikan sebuah lukisan.
Orang yang berada dalam gardu pun bagai orang dalam lukisan, bidadari dalam lukisan,
membuat orang tak berani memandangnya lebih lama.
Saat itu ada seseorang sedang memandangnya, menatapnya lekat-lekat, bagaikan sebuah paku
yang dipantekkan di atas batu cadas, sama sekali tak bisa digoyangkan, sama sekali tak tercabut.
Pok Ing sedang mengawasinya, sedang ia pun sedang mengawasi dua orang yang lain.
Irama khiem amat merdu, dua orang itu dengan diiringi irama khiem berjalan naik dan bawah
bukit, pakaian yang mereka kenakan perlente dan mahal harganya, gerak-gerik mereka pun
anggun, ketika menjumpai perempuan cantik yang sedang memetik khiem dalam gardu, wajah
mereka segera menunjukkan perasaan girang.
Mereka berjalan menuju ke gardu, dengan suara lirih berbicara beberapa patah kata, tidak jelas
apa yang dibicarakan tapi kemudian dengan perasaan tenang dan damai mengundurkan diri dan
situ. Menyusul kemudian datang lagi dua orang, keadaan mereka pun tak beda jauh dari dua orang
yang pertama. Tidak sampai dua peminuman teh, sudah ada empat rombongan manusia yang datang ke situ,
tapi semuanya mengundurkan diri lagi secara tenang dan damai setelah berbisik-bisik. Isi
pembicaraan tak diketahui siapa pun kecuali yang bersangkutan.
Sekalipun sikap mereka lembut, tenang dan penuh kedamaian, namun mendatangkan kesan
agak misterius.
Siapakah rombongan manusia itu" Mau apa datang ke situ"
Siapa pula wanita cantik berenda emas itu" Apakah di antara mereka sedang dilangsungkan
sebuah transaksi rahasia"
Ternyata kak ini Pok Ing tidak menunjukkan perasaan ingin tahunya, dia hanya menonton dari
samping tanpa mengganggu maupun menggubris.
Menanti keempat rombongan manusia itu sudah berlalu, ketika irama musik telah berhenti, dan
belakang bukit segera muncul sebuah tandu yang diiringi seorang nona berbaju hijau yang gemar
tertawa, dengan cepat nona itu membimbing si wanita cantik itu naik ke tandu, sikapnya seolah
sama sekali tak pernah melihat kehadiran Pok Ing di tempat tersebut.
Tak lama kemudian tandu itu sudah digotong menuju ke belakang bukit, ternyata Pok Ing ikut
menguntit dari belakang.
Di balik pepohonan di belakang bukit terdapat sebuah bangunan beratap merah, jalanan
beralaskan batu hijau, setelah melalui sebuah pintu berbentuk rembulan, menelusuri bebungaan,
terbentanglah sebuah jalan setapak
Ujung jalan setapak itu merupakan sudut bangunan sebuah loteng kecil
Tandu itu langsung digotong melalui jalan setapak dan berhenti di depan bangunan loteng.
Ternyata Pok Ing masih mengikuti di belakangnya.
Orang yang menggotong tandu, orang yang mengiringi tandu bahkan orang yang berada dalam
tandu pun tak ada yang menengok ke arahnya, seakan mereka tidak melihat akan kehadirannya.
Seakan di kolong langit sama sekali tak ada manusia semacam itu.
Orang yang berada dalam tandu telah turun dari tandunya, sambil berpegangan pada bahu si
nona yang gemar tertawa berjalan masuk ke bangunan kecil dan naik ke atas loteng.
Ternyata Pok Ing masih mengikuti di belakang mereka.
Aksesori dan interior dalam bangunan loteng itu sangat indah dan rapi, jelas kamar tidur
seorang gadis, atau dengan perkataan lain tempat terlarang bagi kaum pria.
Ternyata Pok Ing masih mengikuti di belakang mereka, memasuki kamar tersebut.
Setibanya dalam ruangan, nona yang gemar tertawa itu pergi menimba air, menuang air teh
dan menyiapkan makanan kecil, sementara gadis cantik berenda emas itu dengan santainya
mencuci muka, minum teh, melepaskan sepatu, melepaskan kaus kaki dan memperlihatkan
sepasang kakinya yang putih mulus.
Padahal kesemuanya itu merupakan rahasia paling pribadi seorang wanita, rahasia yang tak
nanti boleh diketahui apalagi dilihat kaum pria.
Apa mau dikata Pok Ing justru berada di situ dan menyaksikan semuanya.
Sebaliknya perempuan-perempuan itu justru seakan tidak melihat kehadiran Pok Ing di situ.
Sebenarnya apa yang terjadi"
Apakah Pok Ing telah berubah jadi manusia tanpa wujud" Manusia tanpa wujud itu akhirnya
buka suara, tiba-tiba saja dia bertanya kepada wanita cantik berenda emas itu: "Bersediakah kau
membantuku?"
Bila perkataan yang dia ucapkan pun tak terdengar oleh wanita itu, lalu apa daya"
Terima kasih langit, terima kasih bumi, ternyata perkataan yang diucapkan manusia tanpa
wujud itu terdengar juga oleh orang lain, maka perempuan cantik berenda emas itu pun segera
balik bertanya:
"Kau menginginkan bantuanku" Bantuan apa?"
"Dapatkah kau mencari seorang guru kenamaan agar bisa melatihmu bermain khiem?" ujar Pok
Ing, "terus terang, permainan khiem-mu seperti...."
Ia tidak melanjutkan perkataannya, sebab sepasang mata gadis itu sudah melotot besar.
"Kenapa aku harus berlatih main khiem" Apa gunanya aku berlatih main khiem hingga berirama
bagus" Dimainkan untuk si botak macam kau?"
Pok Ing tertawa, perempuan itu pun tertawa, ternyata mereka berdua memang sudah kenal
lama. Bukan cuma kenal bahkan sangat mengenalnya, perempuan itu sudah beranggapan, apa pun
yang ingin dia lakukan, tidak menjadi masalah bila terlihat oleh Pok Ing.
Kecuali Pok Ing, tentu saja sangat berbeda untuk lelaki lain.
Jika ada lelaki lain yang berani sembarangan melirik ke arahnya, bisa jadi setiap saat biji
matanya bisa dicongkel keluar.
Memang perempuan macam itulah Oh Toa-siocia.
Tapi apa tujuannya dia bermain khiem di tengah gardu tadi" Benarkah antara dia dengan
orang-orang itu terjalin sebuah hubungan transaksi rahasia"
Bab 4 Rencana Rahasia Toa-siocia
Oh Toa-siocia amat pandai minum, semakin banyak yang diminum, sepasang matanya semakin
berkilat, dia pun kelihatan makin sadar, agar orang selamanya tak pernah bisa menebak berapa
usianya sekarang.
Pok Ing hanya ingat, mereka sudah hampir duabelas tahun berkenalan.
"Hari ini aku telah melakukan enam buah transaksi dengan keempat rombongan manusia itu,
empat transaksi di antaranya ada hubungannya dengan seseorang." Toa siocia pun bertanya
kepada Pok Ing, "coba tebak, siapakah orang itu."
"Cukat Thay-peng!" jawab Pok Ing tanpa berpikir.
"Betul, patut diberi hadiah."
Toa-siocia segera turun tangan sendiri memenuhi cawan araknya dan menyaksikan Pok Ing
meneguk habis isinya, kemudian ia menyuapi pula dengan sekerat daging ayam.
"Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, Cukat Thay-peng memang seorang manusia aneh,
segala tindak tanduknya seakan sangat menarik perhatian orang, sampai dia sedang kentut pun
ada orang yang mempertaruhkan kentutnya bau atau tidak." Toa siocia penuhi juga cawannya
dengan arak kemudian sekali teguk menghabiskan isinya, setelah menghabiskan satu cawan lagi ia
baru melanjutkan, "keempat rombongan orang yang datang hari ini hampir semuanya
mempertaruhkan Cukat Thay-peng, mempertaruhkan dia tinggal di mana, mempertaruhkan malam
ini akan mencari perempuan atau tidak, mempertaruhkan dia akan menghabiskan berapa kati
daging, mempertaruhkan apakah dia mandi atau tidak......."
"Adakah yang mempertaruhkan dia berhasil menghantar barang kawalannya kak ini dengan
selamat atau tidak?" tiba-tiba Pok Ing bertanya.
"Tidak ada," sahut Toa siocia, "ini pun kejadian aneh, seolah semua orang berpendapat asal
barang yang dikawal olehnya, sudah pasti bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat."
"Kali ini belum tentu berhasil," jengek Pok Ing sambil tertawa dingin.
"Belum tentu?" Toa-siocia kelihatan terperangah, "apakah kau sudah tahu kalau Jiu-to-jin-lay
(Tangan Datang Barang Dicomot) Ting It-coa dan Tham-nang-ki-oh (Merogoh Saku Mengambil
Barang) Kongsun Gi-dua orang perampok ulung yang belum pernah gagal bila merampok barang
kawalan bermaksud mengganggu barang kawalannya kak ini?"
"Aku tidak tahu," sahut Pok Ing hambar, "sekalipun tahu juga tak ada gunanya, toh mereka
tetap tak sanggup mengusik barang kawalan dari Cukat Thay-peng."
"Lantas apa yang kau ketahui?"
"Aku hanya tahu kalau ada orang lain yang kali ini pasti akan merampok barang kawalannya."
"Berarti orang ini jauh lebih garang ketimbang Ting It-coa?"
"Jauh lebih garang."
"Lebih mirip setan ketimbang Kongsun Gi?"
"Sepuluh kak lipat lebih setan."
Sorot mata Toa-siocia seketika ikut berbinar, bahkan jauh lebih indah dan tajam, rasa ingin
tahunya seketika sudah dibangkitkan. "Sebenarnya siapakah orang itu?"
"Kau!"
"Aku?" Toa-siocia seolah amat terperanjat, "orang yang kau maksud sangat garang dan jauh
lebih mirip setan itu adalah aku?"
"Betul."
"Aku akan merampok barang kawalan Cukat Thay-peng?"
"Betul."
Toa-siocia meneguk habis arak dalam cawannya, kemudian meneguk secawan lagi, tambah
secawan lagi dan secawan lagi, tiba-tiba ia mulai tertawa, tertawa tiada hentinya, tertawa
melengking bagai bunyi keleningan di tengah hembusan angin.
"Coba bayangkan, kejadian ini pasti sangat menarik."
"Tentu saja sangat menarik," sorot mata Pok Ing pun mulai memancarkan senyuman, "pada
hakekatnya menarik sekali."
Kalau tidak menarik, tak nanti Pok Ing akan minta Toa-siocia untuk melakukannya dan Toasiocia
pun belum tentu mau melakukannya.
Tapi bila kejadian itu adalah sesuatu yang menarik, biar kau larang pun dia tetap akan
melakukannya. Bab 5 Melalap Dunia, Pertempuran Brutal Delapan Penjuru
Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan yang dia anggap menarik, makan, tak
disangkal merupakan salah satu hal yang menarik bagi Cukat Thay-peng.
Sekarang dia sedang makan.
Meja makannya terdiri dan enam buah meja yang dipersatukan, di atasnya dilapisi selembar
kain taplak meja berwarna kuning yang masih baru dan tentu saja amat bersih.
Di atas meja itu pun sudah tersedia lebih kurang empat sampai limapuluh macam aneka
hidangan masakan dan kuak, ada hidangan yang dikenal kebanyakan orang, juga diketahui
terbuat dari bahan apa saja, di antaranya tentu saja termasuk aneka hidangan ayam, itik, ikan,
daging dan masakan laut.
Tapi ada pula hidangan yang bukan saja tak dikenal orang lain, bahkan melihatnya pun belum
pernah. Cukat Thay-peng duduk di sebuah kursi kebesaran yang dibuat khusus, paling tidak dua kaki
lebih tinggi dari kursi biasa.
Dengan duduk di bangku yang tinggi, ia baru merasa nyaman karena dapat melihat ke bawah
dengan lebih jelas, bila dapat melihat dengan lebih jelas maka dia pun bisa bersantap lebih
gembira. Sekarang dia sedang bersantap dalam suasana kurang gembira, bahkan terlihat agak murung
dan masgul. Apakah hidangan sebanyak itu masih belum cukup membuat seleranya bangkit dan melalapnya
dengan mantap"
Di luar pintu merupakan sebuah halaman yang sangat lebar dan luas, tiba-tiba dari balik
halaman berkumandang suara gelak tertawa yang amat keras, begitu keras hingga menggetarkan
atap dan dinding rumah
"Bila minum sendirian tanpa lawan, tentu saja suasana kurang bergairah, bila rnakan sendirian
tanpa lawan, sama saja, suasana pun kurang bergairah," gelak tertawa Kwan Ji kedengaran
sangat nyaring, "bukan begitu Cukai sianseng?"
Betul tentu saja betul!
Cukat Thay-peng segera merasa semangatnya bangkit kembali, dengan wajah berseri serunya
lantang: "Siapa di luar" Cepat masuk!"
Belum selesai dia berteriak, Kwanji sudah masuk, masuk dengan sangat cepat.
Dengan mata yang sipit Cukat Thay-peng mengawasi sekejap orang yang kurus kering bak kulit
pembungkus tulang itu, memandangnya dari atas hingga ke bawah, dari ujung rambut hingga
telapak kaki. "Kau sanggup makan banyak" Kau sanggup melawanku bersantap?"
"Dewasa ini, paling banter hanya ada dua sampai tiga orang manusia yang mampu makan
berhadapan denganmu," kata Kwan Ji tenang, "Tong toa-koanjin dari keluarga Tong di Suchuan
mungkin terhitung salah satu di antaranya bukan?"
"Betul!"
Menyinggung soal Tong Toa-koan, semangat Cukat Thay-peng semakin berkobar.
"Waktu itu aku makan bersamanya hingga dua hari dua malam, betul-betul puas bersantap
dengannya, membuatku tak bisa melupakannya sepanjang hidup," dia pun bertanya kepada Kwan
Ji, "tapi siapakah orang kedua yang mampu makan bersamaku" Memangnya kau?"
"Betul, memang aku."
Sekali lagi Cukat Thay-peng mengawasinya dari atas hingga ke bawah, sorot matanya yang
semula sipit tiba-tiba bersinar tajam, persis seperti mimik muka Yap Koh-seng ketika siap
bertarung melawan Sebun Jui-soat tempo hari.
"Memangnya kau adalah Kwan Ji, Kwan Giok-bun dan Kwan-say?"
"Itulah aku!"
"Konon setiap saat kau bisa makan, selamanya tak pernah kenyang, benarkah begitu?"


Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar."
Cukat Thay-peng tertawa terbahak-bahak. "Hahahaha.... bagus, bagus sekali, betul-betul
bagus, luar biasa."
"Mari sekarang juga kita mulai, bagaimana kalau kita makan kecil dulu?"
"Baik."
Makan kecil yang mereka santap tidak terlalu banyak, yang mereka habiskan tak lebih hanya
empatpuluh delapan macam hidangan yang tersedia di meja itu.
Selesai makan kecil, makan yang resmi pun dimulai.
"Hidangan utama kita hari ini disebut 'Pertempuran Brutal di Delapan Penjuru', bagaimana
menurut pendapatmu?" ujar Cukat Thay-peng.
"Coba dihidangkan lebih dulu."
Semua hidangan lama yang ada di meja telah disingkirkan, kini di atas meja sudah dipasang
sebuah rak kayu, rak itu tiga kaki panjangnya dan tiga kaki lebarnya
Sebuah kuali tembikar yang amat besar dihidangkan keluar dan persis diletakkan di atas rak
kayu itu. "Wouw, sebuah kuali yang amat besar!"
Ketika tutup kuali dibuka, bau harum daging yang kental dan semerbak segera menyebar
keluar ke angkasa, di dalam kuah terlihat daging berwarna merah dengan potongan besar-besar.
"Wouw, pertempuran brutal di delapan penjuru yang luar biasa," Kwan Ji menarik napas
panjang-panjang, seakan sedang menikmati bau harum semerbak itu, "dapat kuendus, paling
tidak ada delapan jenis daging yang ada di situ."
Cukat Thay-peng tertawa tergelak
"Hahahaha.... ternyata bukan nama kosong, betul-betul seorang ahli dalam bidangnya."
Kemudian katanya lagi:
"Untuk menikmati daging ini diperlukan cara makan yang istimewa, kalau melulu makan
dagingnya saja maka ibarat kura-kura makan daun bawang, hanya menyia-nyiakan barang
bagus." "Aku mengerti," sahut Kwan Ji, "Kalau hanya makan dagingnya saja, tak akan kita rasakan
nikmatnya rasa daging, kita mesti mencari hidangan lain sebagai pengiringnya"
"Benar, benar sekali."
Harus dimakan dengan cara apa baru dikatakan tepat" Mula-mula diambil sebuah pia sebesar
dua kaki dan diletakkan datar di atas meja, pia itu mesti digiling sampai tipis, digiling dengan
penuh tenaga, dengan begitu lapisan kulitnya baru sukar robek.
Bila pia sudah siap, ambillah sebatang daun bawang putih produksi kotaPo-ting, buang daun
hijaunya, sisakan bawang putih dan letakkan di atas pia sambil disiram dengan kecap manis hasil
produksi para tkaykam dan istana kaisar.
Kemudian ambillah tiga sampai empat kerat dagingyang beratnya kira-kira satu kati sampai
satu setengah kati, taruh di tengah pia dan disusun jadi satu tumpukan, setelah itu tutuplah
dengan kulit pia yang ada disebelah kiri, lapisi lagi dengan pia di sebelah kanan, kemudian bagian
ekornya digulung menjadi satu gulungan panjang. Pegang dengan kedua tangan dan mulailah
mengunyah. Sekali gigitan melahap daun bawang bercampur kecap, gigitan berikut melahap pia, kiri satu
gigitan, kanan satu gigitan kemudian tengah saru gigitan lagi.
"Waktu itu, yang kau saksikan hanya lelehan minyak yang mengalir keluar melalui ujung bibir,"
kata Cukat Thay-peng, "ehmm, rasanya waktu itu, sungguh luar biasa, tak ada makanan lain yang
lebih nikmat daripada hidangan ini."
Makin bercerita ia semakin bersemangat, tapi Kwanji hanya menghela napas.
"Seandainya ditambah lagi dengan sedikit obat pemabuk atau sebangsa obat racun, rasanya
waktu itu pasti tak akan bisa ditandingi oleh hidangan selezat apa pun," katanya.
"Obat pemabuk?"
"Jika di dalam kuali daging yang begitu besar, begitu harum dan baunya begitu sedap
ditambahkan setengah kati obat pemabuk, tak nanti orang lain akan merasakannya," kata Kwanji
hambar, "apalagi jika orang yang melepaskan racun adalah si Merogoh Saku Mengambil Barang-
Kongsun Gi, mungkin hanya dibutuhkan sekali suapan saja
maka segalanya sudah lebih dari cukup."
"Lebih dari cukup untuk apa?"
"Lebih dari cukup waktu untuk membiarkan mereka membawa kabur seluruh kereta
barangmu."
Cukat Thay-peng segera menggebrak meja keras-keras.
"Kurang ajar, sialan orang ini, sekalipun ingin merampok barang kawalanku, tidak seharusnya
dia campurkan obat itu ke dalam dagingku, bukan saja membuat satu kuali daging lezat jadi
mubazir, aku pun ikutan tak bisa menikmatinya."
Kalau dilihat dari lagaknya, membuat mubazir sekuah daging dosanya jauh lebih berat, jauh
lebih serius ketimbang merampok barang kawalannya.
Kwan Ji segera tertawa.
"Untung saja sebelum ia sempat mencampurkan obat pemabuk itu ke dalam daging, dia telah
diundang kemari terlebih dulu oleh Ngo ciangkwee dan Pat ciangkwee, bahkan komplotannya Ting
sianseng pun sekalian diundang kemari."
Ilmu yang dipelajari Ting It-coa bukan ilmu Eng-jiau-kang atau sebangsanya, tapi telapak
tangan kanannya luar biasa besarnya, bukan cuma lebih besar dari tangan orang lain,
dibandingkan dengan tangan kiri sendiri pun masih satu setengah kak lebih besar.
Konon dengan sekali genggam ia bisa menggunakan empatpuluh sembilan jenis senjata rahasia
sekaligus, dengan mengandalkan tenaga pergelangan tangannya, tenaga jari tangannya, tenaga
jepitannya serta tenaga pantulan dari ruas tulang kukunya, dalam waktu bersamaan ia bisa
melepaskan seluruh amgi itu sekahgus, khusus menghajar tigapuluh enam buah jalan darah
penting, tujuhpuluh dua jalan darah kecil serta tigabelas tempat mematikan lainnya.
Sebanknya Kongsun Gi adalah orang yang sangat jarang menggunakan tangan, yang dia
pergunakan adalah bagian tubuhnya yang paling berkembang.
Dia menggunakan otak.
Sekarang, kedua orang itu nampak sangat mengenaskan, pakaian mereka tak rapi, rambut pun
kelihatan kusut, padahal kedua orang ini terhitung orang yang amat memperhatikan soal
penampilan, tak disangkal baru saja mereka mengalami pertempuran yang amat seru.
Orang orang yang berada di samping Thio Ngo dan Thio Pat meski di hari biasa sangat jarang
dijumpai, tapi begitu turun tangan, kemampuannya sudah cukup membuat orang lain melongo.
Cukat Thay-peng masih terus menggeleng sambil menghela napas panjang lebar.
"Kenapa sih kalian harus berbuat begitu" Kenapa harus mengganggu barang kawalanku"
Kenapa tidak biarkan hidupku lebih nyaman, hidup kakan pun ikut nyaman, dengan begitu
bukankah kolong langit aman dan penuh kedamaian?" katanya sambil menghela napas, "kenapa
kakan mesti mengusik Kwan Giok-bun si manusia apes ini?"
Suara Ting It-coa sangat parau, biji matanya penuk garis merah, dia melotot ke arah Kwanji
tanpa berkedip.
"Siapa yang mengira Kwan Ji dari Kwan-say sudah menj adi budaknya perusahaan ekspedisi"
Siapa yang menyangka?"
"Terus terang, bahkan aku sendiri pun tidak menyangka, tapi dalam kehidupan seorang
manusia, terkadang memang perlu melakukan berapa pekerjaan yang diri sendiri pun tak
menyangka akan melakukannya."
"Cengli! Masuk di akal," kata Cukat Thay-peng segera, "kalau cengli berarti ada daging untuk
dimakan, mari makan daging kecap, daging masak wijen, semuanya ada, ayo kita makan
bersama-sama."
Kwanji tertawa tergelak.
"Tentu saja semuanya karus dimakan, harus dihabiskan."
Baru saja dia mempelajari cara paling tepat untuk makan aneka daging, kekuatannya sekarang
ia sudah mulai tak sabaran.
Melihat dia mulai makan daging, tiba-tiba mimik maka Kongsun Gi memperlihatkan perubahan
yang sangat aneh.
Selama ini dia termasuk orang yang tak gampang berubah muka, jarang sekali kau bisa melihat
perubahan di wajahnya, tapi sekarang sikapnya seolah secara tiba-tiba menyaksikan dari lubang
hidung Kwan Ji tumbuh sekuntum bunga.
Pada saat itulah Ting It-coa sudah turun tangan.
Di saat Kwan Ji, Cukat Thay-peng dan dua bersaudara Thio mengunyah potongan daging yang
pertama, tangan raksasanya sudah melancarkan Boan-thian-hoa-yu (Seluruh Angkasa Hujan
Bunga). Bunga bukan bunga, hujan bukan hujan, tapi setiap bunga hujan dapat membunuh manusia
dalam waktu sekejap.
Dalam hal ini semua orang mengerti, semua orang paham.
Selama malang melintang dalam dunia persilatan, Ting It-coa selalu menganggap barang yang
dikawal orang lain seperti barang milik diri sendiri, begitu ingin segera diambilnya, di mana ia
datang, barang pun melayang, tentu saja ia berbuat begitu karena dia memiliki prinsip yang baku.
Dalam hal ini, Kwan Ji sekalian bukannya tidak mengerti.
Tapi yang aneh sekarang adalah meski Ting It-coa yang menggetarkan sungai telaga karena
kehebatan senjata rahasianya telah melepaskan senjata amgi-nya, ternyata mereka hanya
mengawasi dengan mata melotot, tak ada yang berusaha menangkis, tak ada yang berusaha
menghindar. Tangan Kwan Ji kelihatan seolah sedikit diangkat ke atas, tapi sama sekali tidak diangkat
keseluruhan. Tampaknya ribuan batang senjata rahasia yang mematikan itu segera akan
menembusi bagian tubuh mereka yang mematikan.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, berkelebat bagai seekor burung
walet, sementara dari ujung bajunya memercikkan cahaya keemas-emasan.
Ujung baju itu terbang menari, tubuh pun melayang bagai burung walet.
Di tengah suara gelak tertawa yang merdu bagai suara keleningan, seluruh hujan bunga itu
hilang lenyap tak berbekas.
Kedengaran seseorang berseru:
"Tujuh kali tujuh empatpuluh sembilan macam senjata rahasia biar Oh Kim-siu terima,
sementara empat nyawa manusia biar Oh Kim-siu kembalikan."
Bab 6 Kesimpulan Di bawah pohon yang rindang di depan bangunan loteng, nun jauh di ujung jalan setapak telah
disiapkan sebuah meja yang penuh berisi cawan arak, arak anggur dan Persia yang sudah
direndam dalam air es, manis rasanya tapi membawa sedikit bau harum yang tawar dan aneh.
Tamunya adalah Kwanji, Thio Ngo, Thio Pat, Kongsun Gi, Ting It-coa, Cukat Thay-peng serta
Pok Ing yang setengahnya berstatus tamu dan setengahnya lagi berstatus tuan rumah.
Sementara tuan rumah wanita adalah seorang perempuan berwajah cantik dengan baju
bersulam benang emas, sama kuningnya dengan . tumpukan emas murni yang berada di dalam
kereta kawalan.
Ternyata kereta kawalan dari Thian-he-thay-peng (Aman Tenteram di Kolong Langit) pun ada
saatnya menjadi tidak thay-peng.
Terhadap peristiwa ini, apa pendapat dari semua orang"
Kongsun Gi berkata:
"Aku benar-benar merasa sangat keheranan, seolah-olah semua orang beranggapan bahwa di
kolong langit dewasa ini hanya aku seorang yang bisa mencampuri racun di dalam masakan
daging." "Obat pemabuk itu sudah pasti tak akan lebih enteng daripada milik Kongsun Gi," sambung
Ting It-coa, "baru terendus sedikit baunya, gerak-gerikku sudah sangat melamban."
"Masih untung gerakanmu jadi lambat," kata Oh Kim-siu, "oleh sebab itu kita semua baru
merasakan kedamaian sekarang."
"Aku tak ada komentar," ucap Thio Ngo.
"Ringan bagai burung walet Oh Kim-siu betul-betul wanita luar biasa," Thio Pat menambahkan.
"Bagaimanapun juga, akhirnya dunia menjadi tenteram dan damai kembali," seru Cukat Thaypeng,
"aku sudah perintahkan orang untuk mempersiapkan satu kuali daging lagi, sekarang telah
dinaikkan ke atas anglo."
"Daging masakanku kak ini harus kucicipi sepuasnya," kata Kwan Ji tiba-tiba.
Perkataan itu seketika membuat semua orang terperanjat.
Kwan Giok-bun yang selalu tinggi hati dan jumawa, kak ini menderita kekalahan total, tak
nyana dalam keadaan begini dia masih punya selera untuk makan daging.
.........Sebenarnya orang ini adalah Kwanji sesungguhnya atau bukan"
Sudah cukup lama Pok Ing mengamatinya, dan kini dia baru buka suara, katanya:
"Dalam taruhan kak ini aku sama sekali tidak ikut campur, selama aku menjadi bandar
pertarukan, tak nanti aku akan turut campur."
Kemudian setelah berhenti sejenak dengan wajah serius tambahnya:
"Inilah peraturanku, kau seharusnya percaya kepadaku."
"Aku percaya kepadamu," sahut Kwanji, "aku selalu mempercayaimu."
"Sekarang barang kawalan milik Cukat Thay-peng sudah dirampok, uang kawalan sudah berada
dalam wilayah kekuasaan Oh toa-siocia." Pok Ing bertanya kepada Kwan Ji, "apakah sekarang kau
sudah mengaku kalah?"
"Belum."
"Kau belum kalah?"
"Tentu saja belum kalah," Kwanji memandang wajah Pok Ing, pandangan penuh senyuman,
"kali ini yang kalah justru kau!"
Begitu perkataan dari Kwan Ji diutarakan, sekali lagi semua orang merasa terkesiap.
Kwan Giok-bun yang selalu menganggap setiap ucapannya berat bagai bukit, apakah kali ini
ingin ingkar janji" Jelas kejadian seperti ini tak mungkin terjadi.
"Dalam pertaruhan Si Ti-ing melawan Liu Ceng-ho tempo hari, kita sebelah kiri juga kalah,
sebelah kanan pun kalah juga, seluruhnya kekalahan kita berjumlah sepuluh juta tahil, di
antaranya ada dua juta tigaratus ribu tahil dibayar dengan uang kertas yang diterbitkan kamar
uang Thay-tong."
"Betul, sudah kuperiksa dan kuterima uang tersebut."
"Sungguh tak disangka, kamar uang Thay-tong yang begitu berjaya dan kuat sumber dananya
telah bangkrut secara tiba-tiba, semua uang kertas yang kita bayarkan pun dalam waktu semalam
saja telah berubah jadi kertas sampah yang tak ada nilainya," kata Kwan Ji, "meskipun saat ini
berita tersebut belum sampai tersiar keluar, tapi kita sudah mengetahui akan kenyataan ini."
Setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Rumah uang Thay-thong boleh bangkrut, Dewa Rejeki tak boleh bangkrut, maka seketika itu
juga kami siapkan uang sebesar dua juta tigaratus tahil emas dan minta Thay-peng piaukiok untuk
menghantarnya ke Sarang Perjudian dan mengganti uang kertas dan rumah uang Thay-tong yang
sudah tak berlaku itu."
Bicara sampai di sini, suara Kwan Ji kedengaran seakan jauh lebih muda.
"Uang dalam kereta piauwkiok ini sesungguhnya memang akan dikirim ke pusat Sarang
Perjudian, oleh sebab itu aku lebih suka bersantai menikmati daging dalam kuah dengan
membiarkan kalian angkut sendiri uang emas tersebut sampai di sini, bukankah tempat ini pun
merupakan salah satu kantor cabang rumah perjudian" Berarti kami telah berhasil menghantar
barang kawalan ini tiba di tempat tujuan dengan selamat."
Sambil tersenyum ia berpaling ke arah Pok Ing dan tambahnya: "Maka dari itu yang kalah
taruhan kali ini adalah kau, bukan aku." Cukat Thay-peng tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalau ada Cukat Thay-peng, dijamin dunia pasti akan thay peng (aman), kalian semua harus
ingat baik-baik perkataan ini," katanya santai.
Kwanji segera mengulurkan tangannya, baru saja tangannya disodorkan ke depan, gigi serigala
sudah berada dalam tangannya.
Tapi dia justru sengaja menghembuskan napas panjang, sambil memandang ke arah Pok Ing
ujarnya. "Setiap orang pasti ada saatnya untuk kalah, sekalipun harus merasakan jadi seorang
pecundang, aku harap jangan kelewat bersedih hati."
"Benar!"
Bab 7 Penutup Tampaknya Pok Ing tidak terlalu sedih, malah dia masih punya selera untuk minum arak
bahkan minum dengan amat santai dan riang gembira.
Orang ini benar-benar seorang lelaki sejati, lelaki yang punya penampilan gagah, benar-benar
seorang lelaki yang mampu menerima kenyataan, biar kalah namun tidak sedih.
Oh Kim-siu mengangkat ujung bajunya tinggi-tinggi, memperlihatkan sepasang lengannya yang
putik mulus, kemudian sambil mengerling ke arah Pok Ing, katanya:
"Kekkatannya siasat yang kau persiapkan kali ini pun berbasil dengan sukses."
"Siasat?" Pok Ing seakan tidak paham dengan perkataan itu, "siasat apa"
"Meskipun di satu sisi kau menderita kalah hingga kehilangan gigi serigala palsu yang kau beli
dengan uang sebesar delapanpuluh lima tahil perak, namun di pihak lain paling tidak kau berhasil
memenangkan jumlah yang tiga-limaratus kali lebih banyak."
"Di sisi yang mana?"
"Tentu saja di sisi Cukat Thay-peng si monyet gendut itu."
"Kalau monyet bisa segemuk dia, berarti dia pasti sudah menjadi siluman, mana mungkin aku
bisa mengunggukli siluman monyet gemuk?"
"Kau pasti sudah beritahu kepadanya kalau Kwan Ji akan membantunya menghantar uang
kiriman itu selamat tiba di tempat tujuan, dan dia pasti sengaja tak percaya, sengaja mengajakmu
bertaruh, padahal dalam hati kecilnya dia lebih rela menderita kalah."
"Kenapa?"
"Sebab jika dia kalah maka uang kawalannya akan tiba di tempat tujuan dengan selamat, Cukat
Thay-peng pun akan tetap thian-he-thay-peng, selamat dan aman selalu," Oh Kim-siu tertawa
terkekeh-kekeh, "oleh sebab itu pemenang yang sesungguhnya dalam pertaruhan kali ini adalah
kau." Pok Ing tersenyum.
"Bagaimanapun juga, aku toh sudah membiarkan Kwan Ji menang satu kali, paling tidak
membiarkan dia merasa bahwa dirinya berhasil unggul satu kali."
Bulan sabit yang terang benderang, cawan emas yang berkilauan, Pok Ing menghirup seteguk
arak anggurnya yang manis kemudian menghembuskan napas lega. Gumamnya:
"Walaupun menjadi seorang pemenang bukan sesuatu yang luar biasa, paling tidak jauh lebih
nyaman ketimbang jadi seorang pecundang!"
Bagian Ketiga Perburuan Pembukaan Sarang Perjudian kembali mulai sibuk, terutama Sun Lohu-cu yang bertanggung-jawab
mempersiapkan semua data dan keterangan yang dibutuhkan, sedemikian sibuknya hingga waktu
untuk pulang mencicipi santapan malam yang disediakan putrinya pun tak sempat, sebab


Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perburuan yang konon paling menegangkan dalam dunia persilatan pada tigapuluh tahun terakhir
segera akan dimulai:
Mengenai aksi perburuan yang akan diadakan kak ini, sudah banyak jago dari pelbagai daerah
yang mencari informasi ke Sarang Perjudian, menanyakan apakah mereka sudah siap menerima
uang taruhan, oleh sebab itu data dan keterangan yang menyangkut dua orang aktor yang terkbat
langsung dalam perburuan ini harus segera dikumpulkan dari pelbagai sumber dan daerah.
Tentu saja kedua orang aktor yang terkbat dalam aksi perburuan ini adalah orang-orang
kenamaan. Pihak yang mengejar adalah Thia Siau-kim, seorang opas yang belum lama tersohor namanya,
konon dia nyaris dihukum mati gara-gara sebuah kasus yang mengkambing-hitamkan dirinya,
sejak itu dia memutuskan untuk mengurusi semua persoalan di kolong langit yang tak adil,
membekuk para buronan kelas kakap dan membongkar kasus ketidakadilan dan pengkambinghitaman
seseorang dalam pelbagai masalah.
Secara garis besar data yang berhasil dihimpun mengenai orang ini adalah:
Nama : Thia Siau-kim.
Usia : 25 tahun.
Kelebihan : Sejak kecil gemar berburu oleh sebab itu daya tangkap dan
penglihatannya bagus, reaksinya cepat bahkan sangat ahli
mempertahankan hidup dialam keras.
Ilmu silat : Aneka jenis, biasanya serangan yang dilancarkan jarang meleset
Ciri khas : Menggunakan tangan kiri, lengan kanannya sebatas pergelangan
patah. Latar belakang keluarga : Ayahnya bernama Thia Goan, orang menyebutnya Pat-pitsinliong(
Naga Sakti Berlengan Delapan), merupakan jagoan dari
wilayah barat-laut, pernah mempelajari ilmu senjata dari pelbagai
perguruan dan partai, semasa muda tewas karena serangan angin
duduk.Ibunya bernama Kwan Giok-sian, rnerupakan adik kandung
"Sengliat-hau-paKwan Giokbun" (Kwan Giok-bun yang sanggup
merobek harimau dan kumbang) orang menyebutnya Sam-oh
naynay(nyonya ketiga), ketika bertarung melawan orang gagah,
ganas dan pemberani, kemampuannya masih jauh diatas
kehebatan Kwan Ji sianseng, berkeliaran diwilayah barat-laut dan
namanya menggetarkan sungai telaga.
Sementara pihak yang diburu Thia Siau-kim bukan saja merupakan perampok ulung yang
sudah lama malang melintang di kolong langit, dia pun terhitung seorang jago berbakat alam yang
diakui dan dikagumi umat persilatan, orang ini memiliki watak suka menyendiri dan seringkah
hidup seorang diri di alam bebas.
Orang ini dari marga Pek bernama Ti, orang memanggilnya Pek-ti hoa (Bunga Ti Putih),
biasanya selesai melakukan sebuah kasus dia selalu meninggalkan sekuntum bunga Ti berwarna
putik sebagai tanda pengenal, oleh sebab itu dia hanya melakukan pelbagai kasus di saat musim
bunga Ti sedang mekar, suatu jangka waktu yang amat singkat.
Adapun data mengenai orang itu, pada garis besarnya adalah sebagai berikut:
Nama : Pek Ti, Pek-tiHoa.
Usia : tidak jelas, lebih kurang dua puluh lima tahun.
Latar belakang keluarga : Tidak jelas
Kelebihan : konon sejak kecil hidup bersama gerombolan serigala, terhadap
seluk beluk dialam bebas boleh dibilang sangat menguasai ibarat
melihat jari tangan sendiri, daya tahan hidupnya dialam bebas
sangat kuat, bahkan ceritanya memiliki banyak kemiripan dengan
kemampuan Siau Cap-it Long.
Ilmu silat : Kepandaian silatnya aneh, daya tahannya sangat kuat, suatu ketika
pernah mdarikan diri ketengah gunung dan rnampu melakukan
perlawanan selarna tiga hari tiga malam melawan dua puluh
sembilan orang jago lihay yang mengejarnya, terakhir dia tetap
berhasil melarikan diri sementara kawanan jago yang rnengejarnya
ada dua puluh satu orang yang tewas di atas bukit. Sejak peristiwa
itu orang persilatan tak ada yang mau menyinggung kembali
peristiwa perburuan itu, sementara kawanan jago yang ikut serta
dalam aksi perburuan tersebut, sebagian besar segera cuci tangan
hidup mengasingkan diri setelah kejadian itu
Ciri khas : setiapkali melakukan pencurian, dia hanya turun tangan terhadap
keluarga orang kaya, benda yang diambilpun biasanya intan
permata dan barang mestika lainnya.
Orang ini pun sangat memperhatikan soal penampilan, sekalipun hidup dialam bebas namun
selalu menjaga penampilan dan pakaian yang dikenakan, ada orang pernah melukiskan begini-
"suatu ketika sewaktu kami melaksanakan perburuan yang sangat ketat, ketika bertemu lagi dua
hari kemudian,dia masih tampil begit urapi dan perlente seakan-akan orang yang siap menghadiri
perjamuan.'' Kedua orang ini boleh dibilang merupakan dua orang manusia berbakat aneh dari dunia
persilatan, sejak diadakannya aksi perburuan kali ini, nama mereka berdua jadi tersohor dan amat
menggemparkan sungai telaga.
Setelah memperhatikan dan mempelajari data dari kedua belah pihak, maka stan terakhir yang
dipasang pihak Sarang Perjudian adalah satu melawan satu.
Mengenai hasil akhir dari pertarungan ini, tak seorang pun punya jaminan yang pasti siapa
yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah
Bab 1 Pertarungan yang Harus Menang
Musim gugur, akhir dari musim gugur, angin berhembus kencang menggoncangkan daun dan
ranting. Ketika angin musim gugur menembusi hutan dan menggoyangkan dedaunan, suaranya
kedengaran seperti mata golok yang baru saja menggorok tenggorokan musuh bebuyutan.
Jalan setapak di tengah tanah perbukitan itu sudah dilapisi daun yang berguguran, tak nampak
bayangan manusia dalam hutan itu, jangan lagi bayangan manusia, burung gagak yang biasa
beterbangan di angkasa pun tak nampak bayangannya.
Dalam suasana seperti itulah terlihat ada seseorang sedang berbaring di atas dahan pohon
waru sambil memegang sebuah kantung kulit kambing yang berisi arak, ketika angin
menggoyangkan daun dan ranting, tubuh orang itu pun seolah ikut bergoyang mengikuti
hembusan. Dia berkepala botak seperti paruh elang, sorot matanya pun setajam mata elang, tapi memiliki
penciuman yang lebih tajam dan hidung anjing pemburu, telinga yang sensitip melebihi telinga
kelinci, lambung yang besar bagai lambung seekor unta dan tangan besar yang kuat bagai seekor
gorilla. Oh Toa-siocia, kekasih hatinya pernah melukiskan orang ini sebagai berikut... "orangini seakan
gabungan dan pelbagai macam binatang, kadar manusianya justru amat sedikit, mungkin yang
paling minp manusia hanya mulutnya, sebab hanya mulut manusia yang pandai memilih makanan
bahkan hanya mau makan hidangan pilihan yang paling lezat."
Menghadapi kritikan dan penilaian semacam ini, dia tak pernah membantah ataupun mendekat.
.........Seorang lelaki bila suka berdebat dengan seorang wanita, maka ibarat dia sedang
berebut tulang dengan seekor anjing kelaparan....
Tentu saja orang ini adalah Pok Ing.
Tak lama kemudian dari jalan setapak itu kembali muncul seseorang, seorang pemuda berbaju
putih, putih bersih bagai salju, sama sekali tak berdebu, sama sekali tak kusut. Di punggungnya
tersoren sebilah pedang dengan sarung berwarna hitam dan pita berwarna hitam pula, pita hitam
yang terbuat dari kulit kerbau.
Sepintas lalu orang ini mirip dengan seorang kongcu kaya yang sedang berpesiar ke atas
gunung, tapi mimik mukanya jauh lebih serius dan gerak-geriknya lebih gesit dan cekatan, ketika
berjalan di atas daun yang berserakan di tanah, suara yang ditimbulkan tidak lebih keras dan
suara yang ditimbulkan seekor bajing.
Sorot matanya teramat tajam, sama seperti sorot mata Pok Ing, kelihatan seperti sorot mata
seekor elang. Dengan cepat dia telah melihat kehadiran Pok Ing.
Perawakan tubuh yang tinggi kekar ditutup dengan sebuah jubah panjang berwarna hitam, kaki
yang mengenakan sepatu kain tipis, di tangannya membawa sebuah kantung kulit kambing dan
bagaikan segumpal mega berbaring di atas dahan pohon.
Siapa lagi yang berpenampilan seperti ini" Orang muda itu tertawa, senyumannya polos
membawa sifat kekanak-kanakan, ketika senyuman semacam ini muncul di wajahnya yang gelap
karena sering ketimpa angin dan salju, ibarat sinar matahari yang tiba-tiba muncul dari balik awan
hitam. "Tuan Pok" Pok Ing?" dia bertanya.
"Betul, akulah Pok Ing," dengan kemalas-malasan Pok Ing meneguk arak wangi dari kantung
kulit kambingnya kemudian baru menyahut, "Pek ti" Pek-ti Hoa?"
"Benar."
Pok Ing segera tertawa tergelak.
"Hahahaha... dalam sekali pandang kau telah mengenaliku, aku pun dalam sekali pandang
mengenali dirimu, tampaknya kita berdua boleh terhitung sebagai orang kenamaan."
"Apalagi aku, belakangan tampaknya jauh lebih termasyhur lagi," Pek Ti tertawa getir, "bila kau
memang khusus menantiku di sini, aku tak bakalan merasa heran."
"Kenapa aku harus menunggumu" Memangnya aku ingin membawa batok kepalamu untuk
menerima uang hadiah?"
Dia melemparkan kantung kulit kambingnya ke arah anak muda di bawah pohon, arak yang
kecut lagi pedas, begitu mengalir melewati tenggorokan segera berubah jadi segumpal bara api
yang panas. "Aku tak lebih hanya datang menonton," ucap Pok Ing lagi.
"Menonton apa?"
"Menonton manusia membunuh manusia, menonton orang yang membunuh manusia," sahut
Pok Ing, "aku rasa ini lebih menarik ketimbang menonton manusia dibunuh."
"Memangnya di sini ada manusia membunuh manusia?" tanya Pek Ti, "memangnya di sini ada
orang yang membunuh manusia?"
"Sekarang memang tak ada, tapi segera akan ada."
"Kalau ada orang yang membunuh manusia, tentu ada orang yang terbunuh bukan?"
"Tentu saja!"
"Menurut kau, manusia macam apa diriku ini?"
"Aku tidak tahu."
Pok Ing menerima kembali kantung araknya yang dilemparkan anak muda itu ke atas, setelah
meneguk lagi dua tegukan, ia baru berkata:
"Aku hanya dapat melihat kalau tempat ini adalah sebuah tempat yang bagus, terlepas bagi
yang mau membunuh atau terbunuh, tempat ini tetap merupakan tempat yang bagus."
"Apa lagi yang bisa kau lihat?"
"Seandainya aku sedang diburu orang maka aku pasti akan berhenti setelah kabur sampai di
sini, sebab jalan gunung yang ada di depan sana teramat sulit dilalui, orang yang mampu
memasuki tempat ini pasti tidak terlalu banyak jumlahnya.''
"Bukan saja tidak terlalu banyak, bahkan kemungkinan besar hanya ada satu orang."
"Oleh sebab itu aku akan menunggu di sini, memeriksa dulu keadaan dan situasi di seputar
tempat ini, memilih dulu sebuah tempat paling strategis, kalau bisa tempat itu adalah tempat yang
bisa menguasai musuh dalam sekali gebrakan, bisa menangkan pertarungan dalam satu
serangan."
"Bagi jago berilmu tinggi yang ingin bertarung, hal ini merupakan hal yang paling penting," kata
Pok Ing. "Kemudian?"
"Kemudian, mungkin aku akan memasang sedikit perangkap atau jebakan, tak ada pantangan
untuk menggunakan siasat dalam sebuah pertempuran, apalagi pertempuran yang menyangkut
mati hidup, memakai sedikit siasat merupakan hal yang wajar," kata Pok Ing, "apalagi hal tersebut
merupakan hal yang lumrah dalam sebuah pertempuran."
"Oleh sebab itu kau sama sekali tak berminat untuk mencampuri urusan ini?"
"Sudah kukatakan, kedatanganku hanya ingin menonton keramaian," ucap Pok Ing, "maka dari
itu mulai sekarang kau boleh anggap aku sebagai sebutir batu atau sebatang ranting pohon,
lakukanlah apa yang ingin kau lakukan, anggap saja seolah-olah di tempat ini tak ada wujudku."
Dengan sikap yang amat yakin dan mantap Pek Ti segera menyahut:
"Baik, aku percaya kepadamu-"
Awan tebal sudah mulai menyelimuti empat penjuru, langit pun lambat laun berubah jadi gelap
gulita. Sedari tadi Pok Ing sudah pejamkan matanya, seakan sudah tertidur nyenyak, terhadap apa
pun yang dilakukan Pek Ti, dia seakan benar-benar tidak tahu.
Tiba-tiba ia bertanya kepada Pek Ti: "Persiapanmu sudah selesai?"
"Ehmm."
"Sekarang kau sudah mempunyai berapa persen keyakinan atas pertarungan yang bakal
berlangsung?"
"Sekarang aku hanya ingin minum arak."
"Arak kemenangan?"
"Betul, arak kemenangan."
"Sebelum pertarungan berlangsung, sudah minum arak kemenangan terlebih dulu, apakah kau
sudah memiliki keyakinan pasti akan memenangkan pertarungan ini?" tanya Pok Ing.
Pek Ti tersenyum, dia hanya meneguk arak.
"Apakah kau tidak merasa kelewat memandang rendah kemampuan lawanmu" Kelewat tinggi
menilai kemampuan sendiri?" tanya Pok Ing lagi.
Pek Ti tersenyum, dengan nada yang paling tenang dia menjawab: "Dalam perjalanan hidupku,
bila ada satu kali saja aku salah dalam penilaian, cukup sekali saja, sekarang aku sudah menjadi
sesosok mayat."
Bagi dua jago yang sedang bertarung, bila kelewat tinggi menilai diri sendiri, kelewat rendah
menilai kemampuan lawan, terlepas dalam keadaan apa pun dan terhadap siapa pun, kesalahan
itu merupakan sebuah kesalahan fatal yang tak bisa dimaafkan.
Pok Ing mengawasi anak muda yang berada di bawah pohon, dari balik sorot matanya
terpancar perubahan mimik muka yang sangat anek.
"Kalau begitu sekarang tunggulah," kata Pok Ing, "dan aku percaya orang yang datang untuk
membunuhmu telah tiba."
Bab 2 Golok Iblis Muncul Kembali
Tanah lapang di dalam hutan itu luasnya lebih kurang dua-tiga depa. Pepohonan yang tumbuh
di sekitar situ entah karena sudah ditebangi orang atau tak tahan menghadapi terpaan hujan dan
teriknya matahari, sejak masih tumbuh sudah layu mari.
Tanah lapang yang luas penuh dilapisi sampah daun kering yang berguguran, seandainya
tempat itu bukan tanah perbukitan yang jarang terkena curah hujan, mungkin sejak dulu sudah
berubah menjadi sebuah kubangan atau rawa-rawa.
Terhadap tempat dengan situasi seperti ini jelas Pek Ti sangat menguasai, dalam waktu singkat
dia telah membuat tujuh-delapan buah jebakan di sekitar tempat itu. Di antaranya ada yang
dipasang ranting katapel yang biasa dipakai untuk berburu burung, ada yang dipasangi batu
runcing atau lubang jebakan di bawah lapisan daun kering, sekalipun semuanya merupakan
jebakan yang paling sederhana, tapi bagi jago tangguh yang sedang berduel sengit, setiap
jebakan sesederhana apa pun bisa jadi akan berubah menjadi jebakan yang mematikan.
Ketika dua jago sedang bertarung, sedikit saja badan kehilangan keseimbangan maka
kesempatan ini akan memberi peluang kepada lawannya untuk melancarkan serangan mematikan
Pek Ti memilih sebatang pohon yang tinggi dan berdiri di bawahnya, gagang pedang yang
berada di punggungnya sudah diatur pada sudut yang paling strategis baginya untuk melancarkan
serangan. Tempat ini pun merupakan tempat terbaik yang ada di tanak lapang itu, membelakangi sumber
cahaya sehingga tak sampai membuat pandangan jadi silau, berdiri menghadap arah angin, hal ini
membuat kecepatan serangannya bertambah lebih cepat.
Setiap bagian, setiap detil sudah ia perhitungkan secara cermat dan seksama. Yang lebih
penting lagi adalah kini dia sudah mengambil keputusan, mengendalikan perasaan balikan sebisa
mungkin memulihkan kembali kekuatan tubuhnya dalam waktu paling singkat.
Walaupun Thia Siau-kim adalah sang pemburu, namun berada dalam keadaan seperti ini tak
urung dia pasti gelisah, cemas dan sedikit tak bisa mengendalikan diri.
Oleh sebab itu dia bersihap menunggu.
Menunggu dalam ketenangan, dalam kondisi dan keadaan apa pun selalu merupakan salak satu
sebab utama untuk meraih kemenangan yang cemerlang.
Waktu itu, tentu saja dia pun mendengar suara langkah kaki Thia Siau-kim.
Biarpun langkah kaki Thia Siau-kim sangat lambat, tapi mantap dan tenang, kelihatannya
selangkah demi selangkah perlahan-lahan dia berjalan ke atas.
Berada dalam situasi seperti ini, ternyata dia pun masih mampu mengendalikan gejolak
perasaan hatinya.
Dia seakan tidak terburu-buru untuk mengejar Pek Ti, dia pun tidak kuatir Pek Ti mendengar
suara langkah kakinya.
Lawan tangguh yang menakutkan ini sebenarnya sedang merencanakan apa"
Kelihatannya dia jauh lebih menakutkan ketimbang apa yang diperkirakan Pek Ti sebelumnya.
Menilai kelewat rendah musuh yang harus dihadapi jelas merupakan satu kesalahan fatal yang
bisa mematikan, perasaan Pek Ti mulai tak tenang, ia mulai sedikit gelisak. Bagi dia yang segera
akan berhadapan dengan musuh tangguh, jelas keadaan ini pun termasuk sebuah gejala yang
tidak menguntungkan.
Pada saat itulah dia mendengar semacam suara gemerisik yang sangat aneh, seperti suara
nelayan yang sedang menebar jaringnya di tengah samudra.
Pek Ti bisa membayangkan berada di tempat macam apakah ia pernah mendengar suara
semacam ini, namun sama sekali tidak mengira kalau di tempat ini pun benar-benar ada orang
sedang menebarkan jaringnya.
Sebuah jaring ikan yang amat besar, seperti segerombol awan hitam yang terjatuh dari tengah
udara. Seluruh tanah lapang, seluruh pepohonan yang berada di sekeliling tempat itu ternyata
sudah berada di bawah kurungan jaring raksasa itu.
Pek Ti menyusup keluar, dia ingin menyusup lepas dari bawah jaring raksasa itu.
Reaksinya selalu dilakukan sangat cepat, gerakannya pun jauh lebih cepat, tapi sayang kak ini
dia terlambat satu langkah.
Sebelum tubuhnya sempat menyusup keluar dari dasar j aring, di hadapannya sudah menunggu
selapis cahaya golok yang menyilaukan mata. Cahaya golok yang begitu rapat hingga angin tak


Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menembusi, gerakan golok menyambar silih berganti, semuanya menggunakan jurus
serangan Ji-gi-thian-mo-lian-huan-si (Jurus Berantai Iblis Langit) yang konon merupakan ilmu
golok ciptaan Mokau dari Timur yang sangat tangguh, sekalipun ilmu goloknya belum mencapai
kesempurnaan namun daya pengaruh yang dicipta-kan sudah cukup membuat siapa pun tak
sanggup maju barang selangkah pun.
Seketika itu juga gerakan tubuh Pek Ti terhadang hingga mesti mundur kembali.
Begitu gerakannya terhadang, jaring raksasa pun segera mengurung seluruh tubuhnya.
Saat itulah terdengar seseorang sedang bertepuk tangan.
Rupanya Pok Ing yang sedang bertepuk tangan.
"Ternyata ilmu menebar jaring yang dimiliki Tkay-ouw sacap-lak-yu (Tigapuluh Enam Sahabat
dari Telaga Thay-ouw) memang luar biasa hebatnya, tak heran kalau memiliki catatan rekor yang
amat mengejutkan, dalam sekali tebaran jaring sanggup mengangkat seribu delapanratus
delapanpuluh kati ikan dari dalam telaga," seru Pok
Ing lantang, "sayang Pek Ti yang sudah berkelana mengarungi seluruh kolong langit, ternyata
tidak mengenal seorang nelayan pun yang ada di seputar telaga Thay-ouw, kalau tidak, tak nanti
dia bisa masuk jaring seperti seekor ikan."
Ternyata Pek Ti mencari sebuah tempat di balik jaring dan duduk dengan tenang, wajahnya
tidak berubah, air mukanya tak berubah, dia malah berpaling ke arah Pok Ing dan melempar
senyuman. "Jaring ini memang ada di sini, kalau bukan aku yang masuk jaring, siapa yang sudi masuk
jaring?" katanya
"Ekmm, cengli!"
"Apalagi kedatanganmu kak ini toh bukan khusus mekkat aku masuk jaring, aku lihat kak ini
pun kau pasti berhasil menang taruhan."
"Ya, sembari menonton sembari bertaruh, kalau cuma menonton tanpa bertaruh, apa
menariknya'"
"Cengli, cengli sekali......," Pek Ti tersenyum, "hanya sayang kau
tak sempat menyaksikan kejadian yang jauh lebih menarik."
"Kejadian apa lagi yang lebih menarik?"
"Golok iblis," jawab Pek Ti, "Ji-gi-thian-rno, Ji-gj-mo-to, Heng-sau-thian-hee, Coat-tay-thiankiau
(Iblis Langit, Golok Iblis, Menyapu Kolong Langit, Tokoh Sakti SepanjangMasa)."
" Waah, tentu sebilah golok yang hebat."
"Jelas, jelas sebilah golok luar biasa"
"Beruntung aku pun pernah melihatnya," kata Pok Ing, "sekalipun yang digunakan Tkia Siaukim,
Thia toa-koanjin bukan ilmu pedang Siau-lo-it-ya-teng-cun-yu (Semalam Mendengar Hujan
Musim Semi di Loteng Kecil) yang pernah menyapu kolong langit, bagaimanapun aku toh sempat
juga menyaksilan ilmu golok andalannya"
Kembali Pek Ti tertawa, tertawa keras.
"Kau pernah melihatnya" Apa yang pernah kau lihat?" serunya, "dulu ketika Mokau kaucu
dengan sebilak Siau-lo-teng-yu (Loteng Kecil Mendengar Hujan) malang melintang di kolong
langjt, dia telah menciptakan delapan jurus iblis langit berantai yang setiap jurusnya terdiri dari
tigapuluh enam gerakan, setiap gerakan terkandung seratus delapan perubahan, jurus demi jurus
silih berganti menyerang bergantian, sekali dia mulai membacok, tak akan memberi kesempatan
lagi kepada orang untuk berganti napas."
Setelah tertawa tergelak, tanyanya kepada Pok Ing:
"Kau mengatakan pernah melihatnya, apa yang telah kau lihat?"
Pok Ing tertawa getir.
Tiba-tiba Thia Siau-kim buka suara, ujarnya dingin:
"Bila kakan ingin menyaksikan ilmu golokku, itu sik gampang!"
Thia Siau-kim memang sudah berubah, berubah jadi amat tenang dan dingin, hanya saja
keangkuhan dan kesombongannya tak pernah bisa berubah untuk selamanya.
Bila seseorang kehilangan sikap pongah seperti ini maka kehidupan orang tersebut menjadi
sangat tak berarti, tapi bila seseorang sudah memiliki sikap pongah seperti itu, maka pihak
lawannya akan memperoleh kesempatan untuk memancingnya melakukan kesalakan fatal
Tidak terkecuali bagi Thia Siau-kim.
Dia telah melanggar kesalahan pertama, yaitu minta orang untuk mengangkat tinggi jaring
raksasa tersebut.
Ternyata ia ikut menerobos masuk ke dalam jaring, membawa serta golok lengkung berbentuk
aneh yang belum lama selesai ditempa oleh Si Hwi-cu, seorang ahli tempa golok kenamaan yang
khusus diundang untuk membuatkan senjata itu baginya, memasuki jaring raksasa sambil
menenteng golok andalannya.
Dia bukan saja ingin membiarkan Pek Ti menyaksikan ilmu goloknya, dia pun berharap Pok Ing
ikut menyaksikan. Dia seolah lupa kalau golok iblis dari Mokau sesungguhnya bukan benda yang
boleh dipamerkan kepada orang lain.
Dalam hal ini bukan cuma dia sendiri yang lupa, Pok Ing serta Pek Ti pun seakan ikut lupa akan
hal ini. Seharusnya Pek Ti tidak boleh melupakan akan hal ini, juga tak
seharusnya melupakannya.
Di tengah alam bebas yang penuh misteri, di tengah gurun yang penuh rahasia, di balik
kegelapan malam yang penuh kesendirian, keseraman dan kengerian, dia seharusnya pernah
mendengar tentang jampi-jampi rahasia, mantera sakti dari seorang iblis langit:
Hasami, bansakikuku, anosakikuku, kayaya, tisiteni, kasaya, kinomisi________
Arti dari mantera itu adalah: Golokmahasaktimahaagung,
membuat darah mmuhbenibahmenjadiapidalam neraka, Maadaorangyangpernahrndihatnya,
mata itu pasti akanjadi buta, perasaan akan disiksa oleh api abadi,
selama hidup masuk neraka dan takpernah bisa bangkit kembali
Mungkin Pek Ti pernah mendengar mantera itu, dalam hati kecilnya dia pun memang tak
pernah bersungguh hati ingin melihat golok itu, golok iblis, dia hanya berharap menggunakan
peluang di saat tubuh Thia Siau-kim menerobos masuk ke dalam jala, dia pun memanfaatkan
peluang itu untuk menerobos keluar.
Oleh sebab itu baru saj a jala raksasa terangkat satu kaki lebib sedikit, tubuhnya sudah
menerobos keluar dari kurungan. Seluruh tubuhnya seakan menempel rata dengan permukaan
tanak, menyusup keluar dalam posisi datar dan rata, seperti sebatang anak panah yang terlepas
dari busurnya. Gerakan tubuh semacam ini sama sekali tidak indah, pun tak mungkin bisa digunakan setiap
saat, tapi untuk melatihnya, dia membutuhkan pengorbanan dan penderitaan yang jauk lebih
hebat ketimbang berlatih ilmu meringankan tubuk mana pun, itulah sebabnya tidak banyak orang
persilatan yang pernah mempelajari ilmu meringankan tubuh semacam ini.
Tentu saja Thia Siau-kim sendiri pun tidak menyangka kalau dia bisa menggunakan ilmu
gerakan seperti itu, di saat ia mencabut goloknya, keadaan sudah terlambat.
Satu sentilan jari paling banter hanya enampuluh detik, tapi dalam keadaan dan situasi
tertentu, sedetik yang singkat berarti sudah menentukan antara mau dan hidup.
Sekilas waktu berkelebat, mati hidup sudah berada dalam perjalanan
Kehidupan manusia memang begitu lemah, begitu rentan.
Dalam walau yang teramat singkat, Pek Ti sudah menerobos keluar melalui sisi kanan tubuh
Thia Siau-kim. Tentu saja dia harus menerobos melalui sisi kanan, sebab Thia Siau-kim adalah kidal,
menggunakan golok di sisi tangan larinya, itu berarti salah satu sudut tertentu di sisi kanan
tubuhnya merupakan satu-satunya sudut mati bagi tubuhnya.
Begitu Pek Ti menggerakkan tubuhnya, bukan saja ia dapat menggunakan kesempatan itu
untuk menerobos keluar, bahkan bisa melancarkan serangan yang mematikan ke arah sudut mati
dari tubuhnya. Gempuran tersebut kemungkinan besar akan merupakan gempuran yang mematikan, sebab
dalam pertarungan antara dua jago tangguh, setiap serangan yang dilancarkan selalu akan
merupakan gempuran yang mematikan.
Tapi gempuran kak ini sama sekali tak sempat dilancarkan, Pek Ti sendiri pun belum berhasil
menerobos keluar dari kepungan. Sebab pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar suara desingan
angin tajam yang halus dan lembut menembusi angkasa, suara senjata rahasia yang menerobos di
udara. Pek Ti hanya merasakan persendian tulang kirinya seakan digigit nyamuk, seakan ada sesaat
dia seperti kehilangan kesadaran.
Keseimbangan tubuhnya seketika punah, walaupun hanya berlangsung dalam waktu sesaat
namun sudah lebih dan cukup.
Lebih dari cukup buat Thia Siau-kim untuk mencabut goloknya sambil melancarkan serangan,
lebih dari cukup untuk memusnahkan nyawa seseorang dan menjebloskannya ke dalam api
neraka. Cahaya golok berkelebat, membawa garis guratan setengah lingkaran yang aneh dan sakti,
seperti bayangan bulan sabit di atas permukaan air yang bergoyang dan berubak karena
terhembus angin dan gerakan riak air.
Tak ada orang yang bisa melukiskan perubahan aneh dan bayangan rembulan itu, sebab setiap
kak hembusan angin menggoyangkan riak air, perubahan bayangan rembulan yang muncul di atas
permukaan selalu tak sama dan berbeda.
Setiap perubahan yang terjadi, tak mungkin bisa diduga dan diramalkan oleh siapa pun
sebelum terjadi.
Pek Ti tidak menghindari babatan golok itu.
Cahaya golok berkelebat lewat, serentet butiran darah bagaikan seutas mutiara yang putus
benang, terurai dan menyebar ke mana-mana.
Pek Ti mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki, ingin mengubah gerakan tubuh serta
langkah badan yang telah dilakukan sebelumnya.
Dia tahu betapa menakutkannya golok iblis.
Asal ayunan golok pertama telah berhasil, ayunan golok ke dua segera akan menyusul tiba,
menyapu datang mengikuti setiap langkah dan gerakan dari lawannya, seperti roh jahat yang
sudah menempel di tubuhmu, selamanya akan mengikuti dan mengendon di tubuhmu.
Bila ayunan golok kedua berhasil, segera akan muncul ayunan ketiga, ayunan keempat....
Walaupun Pek Ti cukup memahami betapa menakutkannya dia, tapi nasib tragis sudah tak
mungkin bisa dirubak lagi.
Iblis langit sudah menempel dalam sukmanya, menempel kuat kuat.
Ayunan golok ketiga, keempat, kelima......butiran darah demi darah memancar keempat
penjuru, membuat suasana makin kelam, membuat langit makin gelap.
Tapi Pek Ti belum mati, opas itu pun tidak menghendaki kema-tiannya, dia masih butuh dirinya
untuk diinterogasi, dia butuh data dan pengakuannya yang menyangkut harta sebesar ratusan
laksa tahil emas, ada kalanya pengakuan semacam ini jauh lebih penting dan berharga ketimbang
berapa puluh lembar nyawa.
Kini Pek Ti sudah tak mampu bangkit berdiri, tapi kesadarannya masih utuh, sekalipun kulit
mukanya mengejang karena harus menahan rasa sakit namun mimik mukanya sekarang justru
seakan penuh dengan senyuman kebencian yang menakutkan.
Dia seolah sedang tertawa kepada Pok Ing, tertawa sambil ujarnya sepatah demi sepatah kata:
"Pok toa-tauke, terima kasih kau datang menengokku, agar aku punya kesempatan untuk
mengetahui lebih jelas manusia macam apakah dirimu itu, selama hidup aku tak bakal
melupakannya lagi."
Pok Ing tertawa, sahutnya:
"Tapi sayang sisa waktu dalam hidupmu kak ini sudah teramat sedikit."
Bab 3 Putri Bidadari Semua orang sudah berlalu, kantung kulit kambing pun sudah kosong, tapi senyuman masih
menghiasi wajah Pok Ing, seakan senyuman itu sudah membeku.
Seperti ada orang menggunakan sebilah golok, mengukir setiap lekukan senyuman yang
mengkiasi wajahnya saat ini.
Di luar hutan yang gelap gulita justru terlihat ada secercah cahaya lentera, cahaya yang
memancar dari sebuah lentera berbentuk sangat indah, bergerak melayang dari balik kegelapan,
dilihat di tengah pegunungan yang terpencil, sinar itu tampak seperti api setan yang sedang
melayang di udara, tapi seakan juga bukan.
Mana mungkin ada api setan yang begini cantik dan indah di dunia ini"
Empat orang budak Kunlun yang berwajah hitam bergigi putih, dengan menggotong sebuah
tandu datar sepanjang dua depa dan lebar satu setengah depa bergerak mendekat dengan
langkah lebar. Seorang wanita cantik bak bidadari dan kahyangan duduk di atas tandu datar tersebut, dia
mempunyai rambut yang panjang, halus bagaikan embun pagi, sepasang mata yang bening jek
bagai bintang malam, pakaian yang dikenakan terbuat dari bahan seperti sutera, seperti juga kain
goni, berwarna-warni sangat indah, setengah bahu kirinya terbuka lebar hingga nampak kulit
badannya yang putih mulus bak salju abadi.
Dari tangannya pun memancarkan sinar terang, sebuah cawan yang terbuat dan porselen
Persia berisi penuh arak wangi yang harum semerbak.
Senyuman di bibirnya kelikatan jauh lebih manis dan menawan hati.
Berjumpa dengan manusia seperti ini, Pok Ing segera menghela napas panjang.
"Rupanya kau," dia tertawa getir sambil menghela napas, "mau apa kau datang kemari"
Tempat semacam ini bukan tempat yang cocok untuk didatangi seorang putri."
"Kau boleh datang, berarti aku pun boleh datang," sahut putri bak bidadari itu manja, "kalau
aku mau datang, aku segera akan datang, tak seorang pun bisa melarangku."
Sewaktu marah, ternyata senyumannya nampak jauh lebih manis dan menawan hati.
Tapi Pok Ing justru seakan tidak melihat.
"Betul, kau boleh datang, beruntung aku pun sudah akan pergi," katanya, "kalau aku hendak
pergi, aku akan pergi, orang lain jangan harap bisa menahanku," dia sudah menggerakkan
badannya seakan siap pergi dari situ. Tapi putri bak bidadari itu segera berteriak keras bagai
bertemu setan di tengah hari bolong:
"Tidak bisa, kau tak boleh pergi!"
"Kenapa?"
"Sebab aku khusus kemari untuk mencarimu," biji mata putri bak bidadari itu berputar
beberapa kali, "ada urusan penting yang ingin kusampaikan kepadamu."
"Urusan penting apa?"
"Menagih hutang, tentu saja mencarimu untuk menagih hutang."
Sekali lagi Pok Ing menghela napas panjang, mau tak mau dia harus mengakui, tak banyak
urusan di dunia ini yang jauh lebih penting daripada menagih hutang.
"Kali ini pun aku ikut memasang taruhan di Sarang Perjudian kalian, aku bertaruh Pek Ti-hoa
tak nanti mampu kabur," putri bak bidadari itu tertawa bangga, "akhirnya kali ini kau harus
merasakan kekalahan."
Ternyata yang dipertaruhkan Pok Ing adalah Pek Ti, jika Pek Ti berhasil melarikan diri maka
dialah yang menang. Lantas kenapa dia harus menggunakan ilmu Li-khong-ta-hiat (Lewat Udara
Menotok Jalan Darah), dengan sebutir batu kerikil menotok jalan darah di kaki kanan Pek Ti
sehingga membuat Pek Ti membencinya sepanjang hidup"
Perbuatan yang dilakukan Pok Ing memang tak banyak yang paham, sementara dia sendiri pun
enggan memberi penjelasan.
Pada dasarnya manusia macam beginilah dirinya, berbuat semau-nya, tak pernah peduli
dengan orang lain.
Maka sekarang pun dia hanya bertanya satu patah kata kepada putri bidadari:
"Kali ini kau bertaruh berapa banyak?"
"Tidak banyak, sedikit pun tidak banyak," putri bak bidadari itu tertawa makin manis, "kali ini
aku hanya memasang taruhan sebesar dua juta limaratus ribu tahil saja."
Kali ini giliran Pok Ing yang terperanjat, hampir saja akan terjatuh dari atas pohon.
"Dua juta limaratus ribu tahil?" kembali Pok Ing menjerit kaget, "memangnya kau anggap
uangmu kelewat banyak" Memangnya kau sudah mengidap sakit edan?"
"Aku tidak sakit, juga tidak punya duit banyak, aku tak lebih hanya ingin mencari sedikit uang
kemenangan."
"Bagaimana kalau kau sampai kalah?"
"Kalau kalah kepadamu juga tak masalah, toh kau bukan orang luar, dua juta limaratus ribu
tahil juga bukan terhitung uang yang kelewat banyak"
Pok Ing bukan saja harus mengatur napasnya yang tersengal, dia bahkan mulai merintih.
Seorang gadis berusia delapan-sembilanbelas tahun ternyata memandang uang sebesar dua juta
limaratus ribu tahil bagaikan sama sekali tak berharga, berhadapan dengan manusia macam
begini, apa lagi yang bisa kau perbuat" Kecuali minum arak, apa yang bisa kau lakukan"
Baru saja dia merampas cawan porselen yang berada di tangannya, baru saja meneguk habis
isi cawan itu dalam sekali tegukan, Pok Ing sudah menyaksikan Sik Pak-jin, salah satu di antara
Thay-ou-sacap lak-yu sedang berlarian mendekat dengan langkah tergesa-gesa, seperti orang
yang baru saja bertemu setan.
Thay-ou-sacap-lak-yu adalah kawanan pemancing, seorang pemancing biasanya sangat
memperhatikan soal kesabaran, ketenangan, menunggu, harus pandai menunggu, harus pandai
menahan diri, dengan begitu ikan di dalam air baru bisa terpancing.
Sekarang si pemancing ini telah membuang jauh-jauh seluruh kemampuan yang telah
dilatihnya selama bertahun-tahun, dengan napas tersengal teriaknya:
"Celaka, celaka.....sudah kabur, sudah kabur....."
"Urusan apa yang celaka" Siapa yang kabur?" tanya Pok lng.
"Pek Ti-hoa telah kabur," sahut pemancing itu, "padahal tubuhnya sudah menderita duapuluh
satu bacokan golok, tak nyana ternyata ia berhasil kabur."
"Kabur ke mana?"
"Kecuali jalan kematian, dia masih bisa kabur ke mana lagi."
Paras muka Thia Siau-kim yang hijau membesi tiba-tiba muncul di bawah cahaya lentera, di
atas wajahnya sama sekali tak nampak secercah perubahan pun, katanya:
"Kalau dia tidak kabur, mungkin masih bisa hidup selama beberapa hari lagi, tapi dia kabur
berarti dia harus mati."
"Mati dengan membawa serta lima juta tahil?"
Sekonyong-konyong wajah Thia Siau-kim mengejang keras, seperti dilecut orang secara tibatiba
Lewat lama kemudian ia baru menyahuti.
"Benar, dia belum sempat memberi pengakuan atas jejak uang rampokannya atas tujuh buah
kasus besar yang dia lakukan di sepanjang kotaraja, tahu-tahu tubuhnya sudah terjun ke dalam
jurang" Setelah berhenti sejenak, lanjutnya dengan suara dingin:
"Rupanya dia memang berniat untuk mati, dia mau mati, maka jangan harap dia bisa
menjumpai lagi uang sebesar lima juta tahil itu."
Cahaya lentera masih bersinar redup, Thia Siau-kim sudah pergi jauh, sementara putri bak
bidadari itu pun mulai menghela napas panjang, sambil memegang dada sendiri serunya tertahan:


Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wouw, sungguh menakutkan orang ini, aku betul-betul takut bertemu dengannya"
"Sebetulnya dia bukan macam begitu," kata Pok Ing sambil memandang bayangan punggung
Thia Siau-kim yang menjauh, sorot matanya seakan sedang melamun, "sebetulnya dia adalah
seorang pemuda yang gagah dan berjiwa besar."
"Kenapa bisa berubah?"
"Gara-gara sebilah golok," paras muka Pok Ing berubah makin serius, "sebilah golok yang
cukup membuatnya malang melintang di kolong langit."
"Golok iblis?"
Senyuman manis yang semula menghiasi bibir putri bak bidadari itu hilang lenyap seketika,
katanya: "Setahuku, di kolong langit hanya terdapat sebilah golok iblis beneran, yaitu golok Siau-lo-it-yateng-
cun-yu yang berada di tangan kaucu dari Mokau, kelihatannya golok tersebut sama sekali
tidak berada di tangannya."
"Golok sebetulnya tak beriblis, iblis justru muncul dari hatimu," kata Pok Ing, "bila ada hati iblis
yang menempel di atas golok, peduli jenis golok macam apa pun yang dia gunakan, hasilnya sama
saja." "Seorang anak muda yang begitu baik, kenapa bisa memiliki hati iblis?"
"Karena ilmu golok yang dipelajarinya."
.........Bulan sabit di atas permukaan air, butiran air bak senyuman siluman, bayangan rembulan
yang berubah mengikuti riak ombak, kecepatan luar biasa yang tak terlukiskan dengan mata,
butiran darak yang menetes dan berhamburan ke mana-mana.... bacokan demi bacokan yang silih
berganti.... Dari balik mata Pok Ing seakan terpancar perasaan ngeri dan seram yang luar biasa.
"Selama hidup belum pernah kusaksikan ilmu golok semacam itu, tapi aku tahu, itulah golok
iblis," katanya, "bila dalam hati seseorang telah muncul ilmu golok semacam itu, berarti dalam
hatinya sudah muncul iblis. Hati iblis berarti iblis langit, bila iblis langit sudah menempel di badan,
bila hati ibhs sudah menempel di golok, maka semua perubahan akan terjadi sesuai dengan jalan
pikirannya, dan dia pun akan malang melintang di kolong langit."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan Pok Ing melanjutkan: "Bila seseorang sudah mulai
malang melintang di kolong langit, bagaimana mungkin dia tidak berubah?"
Bab 4 Gadis Cantik di Rumah Biara
Ketika Pek Ti membuka matanya kembali, dia tidak tahu berada di manakah dirinya sekarang,
pun tidak tahu apakah dirinya sudah mati atau tidak.
Baginya, membuka mata atau memejamkan mata sama saja hasilnya, yang terlikat di depan
mata hanya kegelapan, apa pun tak ada yang terlihat.
Dia hanya merasa dirinya seperti sedang berbaring di atas sebuah batu datar yang keras lagi
dingin, tubuhnya seperti ditutup dengan selembar selimut, bahkan tidak jelas apa sebabnya,
ternyata seluruh tubuhnya tak satu bagian pun yang bisa digerakkan.
Dimulai dari tengkuknya, tubuk bagian bawahnya seakan sama sekali sudah lenyap, sama sekali
tak terasa, malah luka bekas bacokan golok pada sendi tulangnya yang semula sakitnya hingga
merasuk ke tulang, sekarang ikut terasa kaku dan mati rasa.
Tiba-tiba saja ia merasa sangat ketakutan.
Sejak mengalami begitu banyak penderitaan dan pengalaman dalam mengkadapi krisis hidup,
belum pernah ia merasakan rasa takut yang begitu hebat seperti hari ini.
Tapi jika seseorang hanya tersisa kepalanya saja....
Ia tak berani berpikir lebih jauh, lewat lama kemudian, akhirnya sepasang matanya mulai
terbiasa dengan suasana gelap, lambai laun secara lamat-lamat ia mulai dapat menangkap
bayangan kabur di sekelilingnya.
Bayangan dari dinding rumah, bayangan dari daun jendela, kain putih yang menyelimuti
badannya, bayang-bayang cekung dari tubuk seseorang, kegelapan malam di luar jendela serta
bayang-bayang pohon yang ada di balik kegelapan malam.
Pek Ti nyaris bersorak gembira.
Tubuhnya masih utuh, ternyata hanya mati rasa saja, bahkan tubuhnya saat ini sudah diikat
orang dengan tehti, membuat ia sama sekali tak mampu bergerak.
Berada di manakah dia sekarang" Kenapa bisa berada di situ" Siapa yang telah mengikatnya di
atas ranjang yang dingin, keras dalam rumah kecil yang gelap gulita itu" Ke mana perginya Thia
Siau-kim yang sedang melakukan pengejaran" Kemudian ia terbayang pula akan golok iblis yang
mendatangkan perasaan ngeri dan seram yang luar biasa.
Tiba-tiba sebuah pintu dibuka orang, cahaya yang redup segera memancar ke dalam, menyinari
sesosok bayangan manusia, kelihatannya seperti bayangan tubuh seorang wanita, sama-samar dia
kelihatan agak tinggi, langsing dan membawa bau khas dari seorang wanita.
Gerak-geriknya amat berhati-hati namun cukup gesit, sewaktu bergerak sama sekali tidak
menimbulkan sedikit suara pun, begitu menyelinap masuk, pintu segera dirapatkan kembali,
dengan cepat ia sudah berjalan menuju ke pembaringan yang keras lagi dingin itu.
Jantungnya berdebar keras, berdetak kencang, napasnya sedikit memburu, kelihatan seperti
orang gembira, seperti juga merasa amat tegang, bila dapat melihat perubahan wajahnya saat itu,
bisa dipastikan pipinya tentu bersemu merah.
Siapakah dia" Mau apa datang ke situ" Apakah ingin membunuh 'PekTi"
Pek Ti dapat mendengar debaran jantungnya, dapat mendengar napasnya yang memburu, tapi
tak bisa menebak bagaimana perubahan rriirnik mukanya saat ini, apakah karena gembira yang
meluap membuatnya jadi tegang" Atau lantaran dendam kesumat ia jadi tegang" Apakah dalam
tangannya menggenggam golok pembunuh"
Di tangan perempuan itu tak ada golok.
Lewat lama kemudian, akhirnya dia menggerakkan tangannya, melakukan satu perbuatan yang
tak akan terbayangkan oleh siapa pun.
Ternyata dia menggerakkan tangannya hanya untuk meraba wajah PekTi.
Jari tangannya dingin bagaikan es bahkan sedang gemetar, dengan menggunakan jari
telunjuknya pelan-pelan ia membelai pipi dan bibir Pek Ti, sebentar menarik kembali tangannya,
sebentar mengulurkan lagi tangannya, kemudian ia menarik kain selimut dan menutupkan ke
badan Pek Ti. Terasa ada angin berkembus lewat, Pek Ti segera dapat merasakan bahwa tubuhnya berada
dalam keadaan telanjang bulat.
Yang lebih aneh lagi, bukan saja perempuan itu merabanya, malah sambil membungkukkan
badan, dengan bibirnya yang hangat menyengat mulai menciumi pipi dan bibirnya, kemudian
sekujur badannya mulai gemetar tiada hentinya, seperti orang kesurupan, seperti orang yang kena
mantera jakat hingga tak mampu mengendalikan diri.
Sebenarnya apa yang dilakukan perempuan ini" Apa yang dia kekendaki" Atau jangan-jangan
dia memang bukan manusia tapi setan perempuan cabul"
Padahal secara lamat-lamat Pek Ti sudah dapat merasakan apa yang sedang dilakukan
perempuan itu, kalau hanya sebatas perbuatannya sekarang memang tak masalah, yang
dikuatirkan justru bila selanjutnya dia akan melakukan tindakan dan perbuatan yang jauh lebih
menakutkan. Namun di sisi lain, Pek Ti pun sangat ingin mengetahui bagaimana bentuk wajahnya, cantikkah
perempuan ini"
Semua lelaki di dunia pasti akan berpikiran begitu, karena dari dulu hingga sekarang, apa yang
dipikirkan kaum lelaki di dunia ini nyaris hampir sama satu dengan lainnya.
Oleh karena itu walaupun sekujur badan Pek Ti kaku dan mati rasa, namun perasaannya tetap
bergolak. Di luar dugaan tiba-tiba perempuan itu berlalu dengan begitu saja, selesai menyelimuti badan
Pek Ti, ia segera merapatkan pintu kamar dan sama seperti sewaktu datang tadi, lenyap di balik
kegelapan bagai sukma gentayangan.
Yang lebih di luar dugaan adalah setelah yang satu pergi, segera muncul lagi tiga orang wanita,
mereka pun sama seperti wanita yang pertama, mengenakan mantel berwarna hitam dengan
gerak gerik yang sama sekali tidak menimbulkan suara, apa yang mereka lakukan terhadap Pek Ti
pun hampir tak jauh berbeda.
Ternyata kawanan wanita misterius itu telah menganggap Pek Ti sebagai sebuah barang
permainan baru, di antara mereka seolah sudah ambil undian terlebih dulu kemudian secara
rombongan tampil ke dalam untuk bermain dan menikmatinya, tapi karena kuatir perbuatannya
diketahui orang maka gerak-geriknya amat hati-hati dan penuh waspada.
Kalau toh mereka semua telah datang untuk menikmati, kenapa masih kuatir ketahuan orang"
Bila ditinjau gerakan tubuhnya yang begitu gesit, cekatan dan lincah, semestinya kawanan
perempuan itu merupakan jago-jago tangguh yang pernah berlatih ilmu meringankan tubuh, tapi
sikap mereka seolah begitu haus terhadap kaum lelaki, seakan-akan sudah sekian tahun tak
pernah bersentuhan dengan lelaki.
Pek Ti tak bisa menduga asal-usul mereka, dia pun tak punya kekuatan untuk menebaknya.
Semalaman boleh dibilang ia disiksa habis-habisan oleh kemunculan kawanan perempuan itu.
Sekarang dia baru tahu, ternyata seorang wanita yang sudah haus terkadang jauh lebih
menakutkan daripada sepuluh ekor serigala kelaparan.
Untung tak lama kemudian hari sudah terang tanah.
Begitu fajar mulai menyingsing, kawanan wanita itu pun bagai setan gentayangan yang tak
tahan menghadapi cahaya pagi, seketika hilang lenyap tak berbekas.
Cahaya fajar yang terang mulai menyinari seluruh jagad, menerobos masuk melalui jendela,
menerangi seluruh ruangan. Kini Pek Ti baru bisa menyaksikan dengan jelas suasana di sekeliling
sana. Dia pun dapat melihat, meski bangunan rumah itu sedikit lembab namun semuanya dalam
keadaan bersih, tak nampak debu, tak nampak kotoran, kain yang menyelimuti badannya
berwarna putih bersih, seakan baru saj a selesai dicuci hingga tak kelihatan ada noda kotoran.
Halaman di luar sana pun tersapu bersih, bukan saja di situ ada pepohonan, terlihat pula bunga
seruni kuning yang indak, ada pula akar daun yang merambat di atas dinding halaman, boleh
dibilang suasana di situ amat hening dan tenang.
Kemudian Pek Ti mendengar suara lonceng yang dibunyikan bertalu, tak selang berapa saat
tampak ada tiga orang dengan kepala tertunduk muncul di luar jendela dan berjalan dengan
tenang menyeberangi halaman luar.
Ketiga orang itu mengenakan baju pendeta berwarna abu-abu, kepalanya yang gundul tertera
bekas sundutan hio yang dalam, ternyata mereka adalah kaum biarawan.
Tapi ketiga orang itu berusia sangat muda, tubuknya ramping semampai, walaupun ketika
berjalan berusaha melangkah dengan tenang, namun tak dapat menutupi penampilannya sebagai
seorang gadis muda.
Ternyata tempat itu adalah sebuah biara nikou, bukan saja ketiga orang itu adalah nikou-nikou
yang sudah dicukur gundul, kelihatannya kawanan wanita kelaparan yang muncul semalam pun
merupakan sekawanan nikou.
Gerak-gerik mereka amat sopan, hati-hati dan serius, mungkin disebabkan peraturan biara yang
biasanya amat keras, namun bagaimanapun mereka masih kelewat muda, terkadang gadis muda
memang susah untuk mengendalikan rangsangan birahi yang tiba-tiba muncul dalam hati.
Sebenarnya ada berapa banyak nikou dalam biara ini yang termasuk dalam kelompok mereka"
Apakah kedga orang nikou muda itu terkbat pula dalam perbuatan semalam"
Selewat bunyi lonceng, saatnya sembahyang pagi dan sarapan. Ketika mendengar suara doa
yang berkumandang di keheningan pagi hari, kemudian ketika membayangkan tangan-tangan
gemetar yang meraba dan mencium penuh kehausan dirinya semalam, Pek Ti tak bisa melukiskan
bagaimana perasaan hatinya saat ini.
Kembali setengah harian sudah lewat, kini muncul orang untuk membersihkan halaman serta
bangunan rumah kecil itu.
Yang muncul semuanya berjumlah tiga orang, dua di antaranya berperawakan agak tinggi
dengan wajah model kwaci yang bersih dan cantik, hanya sayang mimik muka mereka sama sekali
tanpa ekspresi, seakan-akan wanita cantik yang baru saja dibekukan dalam kubangan salju.
Sejak awal hingga akhir ketiga orang itu tak pernah melirik ke arah Pek Ti walau sekejap pun,
sebaliknya Pek Ti mengawasi terus gerak-gerik mereka, dia berharap ada di antara mereka yang
akan meliriknya secara sembunyi-sembunyi sambil melemparkan senyuman, atau diam-diam
mengedipkan mata memberi kode rahasia, memberi tanda kalau dia pernah datang kemari
semalam dan pernah melakukan perbuatan yang amat mesra dengan dirinya
Sayang dia amat kecewa, sama sekali kecewa.
Setiap hari selalu ada orang datang menggantikan obat pada luhanya, menyuapinya makanan,
tapi mereka selalu tampil dengan wajah dingin, hambar dan tanpa perasaan, hampir semua nikou
itu seolah menganggap Pek Ti seperti seorang narapidana atau sejenis benda. Ketika malam tiba,
suasana hangat, mesra, penuh napsu berlangsung tapi setelah pagi semuanya itu akan hilang
lenyap, jangan harap bisa menjumpainya lagi.
Pek Ti sadar, mustahil baginya untuk bisa membedakan mana di antara mereka yang pernah
mengunjunginya di tengah malam dan mana yang tidak.
Waktu pun berlalu dalam suasana dingin di pagi hari dan hangat di malam hari, bukan saja
kawanan nikou misterius itu memiliki kungfu yang luar biasa hebatnya, mereka pun sangat ahli
dalam mengobati luka.
Tak selang beberapa saat kemudian mulut luka Pek Ti sudah mulai sembuh, keempat anggota
badannya juga sudah mulai dapat merasa.
Hal ini membuktikan bahwa golok iblis dari Thia Siau-kim tidak sampai membuatnya cacad
seumur hidup, peristiwa yang sekarusnya membuat hati gembira ini justru ditanggapi sebaliknya
oleh Pek Ti, dia merasa penghidupannya kian hari kian bertambah sukt, kian kari kian bertambah
tersiksa. Di pagi hari, terkadang keempat anggota badannya secara tiba-tiba terasa gatal sekali,
sedemikian gatalnya sehingga membuat orang ingin mengiris bagian dagingnya yang gatal itu.
Ketika malam hari menjelang tiba, rasa gatal itu semakin susah dihadapi, tangan-tangan yang
gemetar, bibir yang haus dan panas, pada hakekatnya membuat orang nyaris jadi gila.
Untung hari-hari penuh siksaan akhirnya terlewatkan juga.
Pada pagi kari keenam, akhirnya muncul seseorang yang mengakkiri seluruh penderitaan dan
siksaannya. Orang itu adalah seorang nikou setengah umur yang berperawakan tinggi, meskipun tubuhnya
mengenakan jubah pendeta berwarna keabu-abuan, namun jubah itu terbuat dari bahan yang
berkualitas tinggi dan dijahit oleh tukang jahit yang ahli, bahkan pakaiannya amat bersih,
sepasang kaus kakinya pun sangat bersih, sama sekali tak nampak setitik debu atau kotoran pun.
Sepasang tangannya pun dicuci sangat bersih bahkan terpelihara amat baik, kukunya digunting
rapi, tampaknya dia mempelajari sejenis ilmu pukulan tenaga dalam yang kebat.
Yang paling penting adalah raut mukanya.
Selama hidup belum pernah Pek Ti menyaksikan raut muka yang bisa membuat hatinya
merinding dan bergidik, permukaan wajah nikou itu menonjol tak karuan, seakan-akan terpahat
dari batuan cadas yang dilakukan secara kasar dengan sebilah pisau tembaga, penuh dengan sifat
buas dari jaman purba, penuh dengan hawa pembunuhan yang dimiliki seekor hewan buas.
Siapa pun orangnya, asal pernah melihat raut wajah tersebut, bukan saja selama hidup tak
pernah akan melupakannya kembali balikan pasti tak ingin untuk memandang kedua kalinya.
Beruntung kedatangannya ke sana hanya mengajak Pek Ti untuk pergi menjumpai hongtiang
biara tersebut, Thian-ci suthay. Kemudian Pek Ti baru tahu, ternyata nikou itu adalah satu-satunya
adik seperguruan Thian-ci nikou yang bernama Thian-heng.
Bab 5 Thiat Losat Thian-ci suthay sama sekali berbeda dibandingkan sumoay-nya, dia adalah seorang nikou kurus
kering, kecil, pendek dan berwajah penuh welas asih.
Mungkin dulunya dia tidak sekurus dan sekecil ini, tapi sekarang keempat anggota badannya
sudah menyusut karena dimakan usia, hanya sepasang matanya masih kelihatan bening bersih
bagai sumber mata air, lamat-lamat masih terlihat sisa kecantikan wajahnya di masa muda dulu.
Kamar pribadinya bersih bak sebuah ruang batu dalam kuburan kuno, perabot dan interiornya
pun amat sederhana. Tak disangkal Thian-ci suthay adalah seorang nikou pertapa yang rajin
beribadah, tapi kalau dilihat kulit tubuhnya yang mengkilap serta sorot matanya yang tajam, dapat
diketahui bahwa selain menjadi rahib pertapa, dia pun seorang jagoan dalam tenaga dalam.
Dengan ketajaman mata Pek Ti, ternyata dia pun tak dapat mengetahui sampai taraf manakah
kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki nikou itu, maka dia hanya bisa berkata, dalam dunia
persilatan dewasa ini, paling banter hanya ada lima orang yang memiliki tenaga dalam jauh
melebihi kemampuannya.
Sikap Thian-ci nikou terhadapnya sangat datar dan ramah, mul-mula dia menanyakan dulu
nama serta asal-usulnya, terhadap nama Pek Ti, ternyata ia tidak memberikan reaksi yang
berlebihan. Tampaknya tidak banyak yang dia ketahui tentang urusan dunia persilatan, tapi begitu
menyinggung soal latar belakang asal-usulnya, ia jadi amat tertarik dan kekelihatan amat menaruh
perhatian. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan, nikou itu baru berkata:
"Aku tidak tahu apakah sekarang kau sudah tahu berada di manakah dirimu, tempat ini
bernama Thian-ci-am, atau yang lebih dikenal umat persilatan sebagai Kua-hu-am (Kuil Kaum
Janda)." Thian-ci-am (Kuil Kaum Janda), nama tersebut memang sudah cukup menjelaskan tentang
banyak hal. Sudah barang tentu Pek Ti pernah mendengar tentang nama kuil ini.
Sebagian besar wanita yang menjadi nikou di tempat ini adalah para istri pendekar atau prajurit
yang gugur dalam medan pertempuran serta para perampok, kaum begal wanita yang secara
sukarela melepaskan golok pembunuhnya. Konon Thia Losat, seorang gembong iblis wanita yang
malang melintang di wilayah Kanglam dan sudah banyak membunuh manusia pun menjadi
biarawati di tempat ini.
Terhadap kawanan nikou yang hidup dalam biara ini, orang persilatan selalu menaruh rasa
hormat yang tinggi bahkan ada kesepakatan bersama bahwa mereka tak akan datang mengusik
ketenangan mereka hidup bertapa. Oleh sebab itu radius sepuluh li di seputar biara tersebut boleh
dibilang merupakan daerah terlarang bagi umat persilatan untuk memasukinya. Andaikata ada
yang ingin menerjang masuk, mereka mempunyai wewenang untuk membunuh sang pelanggar
tanpa ampun, oleh sebab itulah selama tahun belakangan tak pernah ada orang yang berani
melanggar larangan tersebut dengan mendatangi biara itu.
"Kau sedang diburu orang, tubuhmu menderita duapuluh satu luka bacokan, bila tidak ada yang
menolong, dapat dipastikan jiwamu akan melayang," ujar Thian-ci suthay kepada Pek Ti, "oleh
sebab itu aku menolongmu bahkan merawat lukamu di sini."
Dari balik nada suaranya yang dingin tiba-tiba terlintas semacam luapan perasaan yang sangat
aneh, lewat lama kemudian ia baru mengkela napas panjang sambil tambahnya:
"Tentu saja hal ini disebabkan di antara kita memang berjodoh."
Dalam keadaan begini Pek Ti sendiri pun tidak tahu apa yang harus dikatakan, dia hanya
mendengarkan. "Di antara kawanan pemburu dirimu, ada seorang di antaranya bermarga Thia, konon bernama
Thia Siau-kim, dia pernah datang kemari satu kali, tapi tidak berani menyerbu masuk ke dalam
biara."

Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau Thia Siau-kim berani menyerbu masuk, memangnya dia bisa keluar lagi dari situ dalam
keadaan hidup"
"Tapi aku tahu selama berapa hari belakangan, dia selalu melakukan penjagaan dan patroli di
luar wilayah daerah terlarang, bahkan dia kumpulkan begitu banyak jago silat yang berilmu hebat,
asal kau keluar dari sini, dapat dipastikan mereka akan menghabisi nyawamu," kata Thian-ci
nikou, "kau adalah seorang pria, dia tahu, tak mungkin kau bisa berdiam terlalu lama di tempat
ini." "Benar," Pek Ti segera berkata, "asal thaysu menyuruh aku pergi, aku segera akan pergi."
Walaupun sudah terperosok dalam situasi seperti ini, sifat keangkuhannya sama sekali tak
berubah. Tak nyana Thian-ci nikou meski sudah tua dan kelihatan lemah ternyata memiliki juga sifat
angkuh semacam itu, dengan hambar ia bertanya
"Bila aku memaksa untuk menahanmu di sini?"
"Berarti dia harus dikebiri terlebih dulu!" tiba-tiba Thian-heng nikou menyela dengan suara
lantang. "Apa kau bilang?"
"Aku bilang, jika ingin menahan dia di sini maka terlebih dulu dia mesti dikebiri, kalau tidak, dia
akan merusak semua peraturan yang berlaku di tempat ini."
Dengan penuh amarah dia berjalan masuk dengan langkah lebar, api amarahnya memang
kelewat besar, sedemikian besarnya hingga sukt bagimu untuk menemukan orang kedua di antara
kawanan begal wanita itu yang memiliki api amarah macam dirinya.
Thian-ci suthay menghela napas panjang.
"Aaai! Sudah hampir duapuluh tahun, tak nyana wataknya masih begitu berangasan, api
kemarahannya masih begitu besar, terutama terhadap dirimu," ditatapnya Pek Ti sekejap,
"kelihatannya sejak bertemu dengan kau, dia sudah menaruh perasaan sentimen terhadapmu."
Pek Ti hanya bisa tertawa getir.
Mengapa dia ngotot ingin mengebiri dirinya" Apakah lantaran dia tahu kalau dirinya mustahil
bisa memperoleh kepuasan maka lebih baik memusnahkan dirinya" Lalu siapakah nikou tinggi
yang selalu muncul setiap tengah malam" Apakah tangannya yang gemetar sewaktu meraba
sekujur badannya memiliki kuku jari yang serapi dirinya"
Kembali Thian-ci suthay berkata:
"Gara-gara wataknya yang kelewat berangasan, kelewat berapi-api maka kehidupannya jadi
sangat menderita, jangan dilihat dia pernah malang melintang dalam dunia persilatan tanpa
tandingan, padahal dia sendiri sudah banyak merasakan kerugian, banyak merasakan penderitaan
dan siksaan batin."
"Tapi, bukankah setiap umat persilatan memiliki pengalaman yang sama seperti itu?"
"Tapi siksaan yang ia derita jauh lebih banyak ketimbang orang lain, cukup berbicara dari rasa
sakit yang karus dialaminya setiap kak hujan tiba, rasa sakit gara-gara luka dalam yang
dideritanya, mungkin tidak banyak orang yang bisa menandinginya. Ditambah lagi seluruh
wajahnya hancur tak berwujud, tahukah kau, kulit mukanya yang sekarang adalah kulit baru yang
khusus diambil dari kulit pantatnya?" kata Thian-ci suthay sedih, "padahal dulu dia adalah seorang
wanita cantik bak bidadari dari kahyangan, tapi kini, dia berubah jadi begitu rupa. Apakah
penderitaan dan siksaan batin yang dirasakan seorang wanita bisa diselami dan dipahami kaum
lelaki?" "Apalagi ditambah dengan kesepian," kata Pek Ti, "kesepian yang tak mungkin bisa dilepas,
kesepian yang harus dia rasakan sepanjang sisa hidupnya."
"Betul, kesepian, tak punya rumah, tak punya sanak, tak punya keturunan, apa pun tidak ia
miliki, berbicara bagi seorang wanita, terlepas kesalahan apa yang pernah dilakukan dulu,
hukuman semacam ini sudah lebih dari cukup."
"Oleh sebab itu aku selalu tak pernah menyalahkan dirinya."
"Selalu?"
"Betul, sejak awal hingga sekarang," jawab Pek Ti, "sebab sedari pertama kali bertemu
dengannya, aku sudah tahu siapakah dia."
"Siapakah dia?"
"Thiat Losat (Iblis Wanita Besi), Thiat Losat yang pernah membunuh seratusan orang jago dari
Ngo-tay-tong di wilayah utara sungai besar dalam semalaman saja, sebelum akhirnya dia dirusak
wajahnya oleh Lui-hwee Tongcu dengan api beracunnya."
Thian-ci suthay termenung sampai lama sekali, dari ujung matanya seolah-olah muncul
senyuman mengejek.
"Kau keliru, dia bukan Thiat Losat," akhirnya ia berkata, "Lui-hwee Tongcu tak mungkin bisa
merusak wajah Thiat Losat."
"Lalu siapakah dia?"
"Tentu saja dia pun seorang tokoh termasyhur dalam dunia persilatan, meskipun gemar
membunuh dan tak kenal ampun, dia masih terhitung seorang wanita cantik rupawan."
"Apakah yang thaysu maksud adalah Giok Ji-gi?" tanya Pek Ti tiba-tiba.
"Benar, dialah Giok Ji-gi, wajahnya dirusak lantaran dia kelewat cantik."
"Tapi menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, katanya Thiat Losat telah mencukur
rambutnya menjadi pendeta di tempat ini, sewaktu dia mencukur gundul rambutnya dulu, ada
orang yang pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri."
"Berita itu tidak salah, Thiat Losat memang berada di sini, hanya saja dia adalah seseorang
yang lain."
"Seseorang yang lain" Siapakah dia?"
"Aku!"
Thian-ci suthay memandang sekejap wajah Pek Ti yang sedang terkejut, katanya lagi dengan
suara yang datar: "Akulah Thiat Losat yang sebenarnya."
Bab 6 Malam yang Menyeramkan
Malam, tengah malam.
Pek Ti tahu, kawanan tamu tak diundang yang selalu berkunjung setiap tengah malam tak
mungkin akan muncul kembali, sebab semua ikatan pada tubuhnya telah dilepas, keempat
anggota badannya sudah mampu bergerak bebas, tak mungkin dia sudi dipermainkan orang lagi
bagaikan sebuah boneka kayu.
Dia paksakan diri untuk tidur sejenak dan baru bangun setelah lewat kentongan ketiga,
suasana di empat penjuru amat kening, tak kedengaran sedikit suara pun, dia pun tidak melihat
ada sinar rembulan yang menerangi jagad, udara seolah-olah berubah jadi lebih dingin membeku,
sebab musim dingin memang segera menjelang tiba.
Dia mulai merobek kain selimut putih yang semula digunakan untuk menyelimuti badannya,
merobek jadi lembaran kain selebar satu inci, kemudian mengikat kencang setiap ruas sendi
tulang yang terluka, dia seakan-akan sedang bersiap sedia untuk menghadapi sebuah kejadian di
luar dugaan. Mustahil baginya untuk pergi dari situ, para kuku garuda yang sedang memburunya masih
mengintai dari luar hutan sana, tempat inilah merupakan tempat yang paling aman dan dia
seharusnya mengerti akan hal ini, dan dia seharusnya memahami maksud baik Thian-ci suthay
yang telah diutarakan pada pagi hari tadi.
Dia memang tidak pergi dari situ.
Selesai melakukan persiapan yang bisa membuatnya setiap saat pergi, dia malah duduk
kembali di situ.
Di tengah halaman, di bawah pohon waru terdapat dua buah bangku yang terbuat dari batu, ia
menempati salah satu di antaranya, duduk dengan gaya yang amat santai, kelihatannya dia sudah
siap untuk duduk dalam jangka waktu yang cukup lama.
Apakah ia sedang menunggu orang"
Keadaan cuaca makin lama semakin bertambah gelap, tiba-tiba dari kejauhan sana
berkumandang suara deruan angin yang sangat aneh, seperti suara angin yang sedang
menggulung guguran dedaunan di atas tanah, selain menimbulkan suara desisan yang lirih, terasa
pula betapa cepat datangnya deruan angin aneh itu.
Berbareng dengan suara angin, terlihat pula sesosok bayangan manusia bagai seekor burung
raksasa terbang melintas di tengah kegelapan, ujung kakinya terlihat menutul di atas wuwungan
rumah dan ... "Weesss!" dengan gaya Peng-sah-lok-eng (Burung Manyar Meluncur di Pasir Datar)
dia melayang turun persis di hadapan Pek Ti.
Walaupun berada di tengah kegelapan malam yang remang, secara lamat-lamat dapat dikenali
kalau orang itu tak lain adalah Thian-heng nikou.
Semenjak malam pertama, mungkinkah nikou tinggi besar yang menjadi "tamu langganan"-nya
setiap malam adalah Thian-heng nikou" Tapi sikap Pek Ti terkadapnya justru sangat menaruh
hormat, dengan cepat ia menyongsong kedatangannya.
Thian-heng nikou menatapnya dengan sorot mata bermusuhan, tegurnya ketus:
"Kau sedang menunggu aku?"
Amarah Pedang Bunga Iblis 4 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Perjodohan Busur Kumala 18
^