Pencarian

Tiga Mutiara Mustika 2

Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Bagian 2


"Awas, senjata rahasia!" seru Yan Ie-lam yang berjalan
paling depan. Ia memutar pedangnya, di antara suara
berdencing, senjata rahasia itu sudah kena disampuk jatuh,
kiranya adalah beberapa buah 'kim-tji-yap-tju-piau,, senjata
rahasia berupa mata uang.
Terganggu oleh serangan senjata rahasia itu, maka para
pahlawan merandek, sedang bayangan hitam itu sudah
melesat pergi keluar kampung, dengan sekali lompatan sejauh
beberapa tombak, dalam sekejap saja musuh itu sudah
menghilang di antara hutan belukar yang gelap gulita.
Sementara itu Si Liang meneriaki supaya menyalakan api
lilin dan menyuruh semua orang jangan menginjak masuk ke
dalam ruangan. Sudah tentu seruannya itu membikin bingung
semua orang, entah apa yang dikehendaki. Dalam pada itu,
saking mendongkolnya dipermainkan orang, secara membabi
buta Liok Ing mencaci maki kalang-kabut.
"Hai, Lau Si, orang telah mengeluruk sampai di rumahmu,
tetapi apa yang sedang kau utak-atik di sini!" serunya
penasaran. "Liok-lotoa, kau boleh lihat nanti, coba lihat ini apa!" sahut
Si Liang. Waktu sinar lilin menyala pula, maka di lantai ruangan
entah sejak kapan sudah tersiram basah oleh air hingga
tertampak ada bekas telapak kaki yang sangat kecil, rupanya
bekas sepatu kaum wanita yang kecil.
Kiranya tadi waktu mendadak ada bayangan orang
menubruk masuk Si Liang dengan segera telah menyiram
secangkir air teh ke lantai.
"Hebat sekali, mana boleh jadi!" seru para pahlawan
berbareng. "Kita orang-orang gagah dari kedua tepi Hong-ho,
bisa membiarkan seorang budak perempuan menerobos
pulang-pergi semaunya, hal ini kalau teruar di luaran,
bagaimana jadinya nanti?"
"Percuma kita berang sendiri di sini," ujar Si Liang akhirnya,
"Lebih baik kita mencari tahu siapakah gerangan yang datang
tadi." "Menurut penglihatanku, ia dapat datang dan pergi secepat
angin, gerak tubuhnya sangat cepat, begitu masuk lantas
hendak merebut peti saudara Teng. Kalau bukan cakar alapalap
dari pembesar negeri, tentu adalah begal tunggal yang
berkeliaran di Soatang sini!" Hoa-Iihiap mengemukakan
pendapatnya. Menyusul semua orang lantas mengemukakan pendapatnya
masing-masing, tetapi tiada seorang pun yang memastikan
macam apakah orang yang datang tadi.
"Nah, kini sudah makin kuat bukti bahwa peti yang saudara
Teng bawa itu ada apa-apanya, hingga merupakan benda
tujuan perebutan dari berbagai golongan," ujar Yan le-lam.
"Baiknya kita mengaso saja, besok kita berangkatkan dia ke
Tjelam dan kita menyusul di belakangnya juga menuju ke
tempat Giam-lothaudji sana, coba kita lihat dulu terjadi
sesuatu atau tidak, kemudian baru kita mempertimbangkan
pula." Lalu para pahlawan itu pada menyatakan setuju, tetapi
kualir Hong-ko terganggu di tengah jalan, maka diputuskan
suami isteri Yan Ie-lam mengantarkannya sebagian jalan.
Esok harinya, dengan menunggang seekor kuda putih,
Hong-ko berangkat dengan punggung menggendong 'pedang
perjalanan' dari Go-bi-pay itu, sedang peti kayu cendana
menggeletak di punggung kudanya, senjata rahasia dalam peti
sementara itu sudah ditukar. Suami isteri Yan Ie-lam pun
mengiringnya berangkat.
Kala itu di daerah selatan Tjotjiu dan sekitarnya sebenarnya
banyak penyamun yang berkeliaran, tetapi demi nampak
ketiga orang di atas kuda begitu gagah, mana ada yang berani
coba-coba mengganggunya.
Setelah Yan Ie-lam berdua mengantar Teng Hong-ko
sampai di kota kabupaten, Ka-siang-koan, lantas ia berpesan
pada Hong-ko, "Saudara Teng, selanjutnya di depan ialah
Tjeling dan kalau terus lagi akan sampai di Tjelam, sepanjang
jalan sudah merupakan jalanan ramai, baiknya kita berpisah di
sini, kalau saudara sudah sampai di Tjelam, sampaikan salam
kami pada Giam-loenghiong, dan kalau terjadi sesuatu urusan
jangan kau takut."
Berulang-ulang Hong-ko menyatakan baik dan tak lupa ia
menghaturkan terima kasih, sesudah itu ia pecut kudanya dan
terus melanjutkan perjalanannya.
Perjalanan telah berlangsung dua hari, kini Hong-ko sudah
sampai di Thay-an, kalau maju lagi adalah jalanan yang harus
melalui lereng gunung, meskipun termasuk jalan besar juga,
tetapi kadang harus berpuluh li baru terdapat perhentian.
Hari itu, ketika ia mengendalikan kudanya, tiba-tiba di
belakangnya menyusul derapan kuda yang riuh ramai, dari
jauh sudah terdengar bentakan meminta jalan, waktu ia
menoleh, maka tertampaklah dua lelaki dengan dandanan
sebagai opas, seorang di antaranya menggendong kantong
pos dinas, secepat kilat mereka telah menyerobot lewat.
Kala itu, awan mendung hitam tebal bergumpal-gumpal
dan angin besar menderu-deru, debu beterbangan dan sinar
kilat sambar-menyambar, tampaknya dengan segera akan
turun hujan deras. Lekas Hong-ko pecut kuda mempercepat
larinya agar bisa menyandak tempat perhentian di depan,
sekadar untuk berteduh dari serangan hujan lebat. Tetapi baru
setengah jalan, hujan deras sudah keburu turun dengan kilat
menyambar dan halilintar mengguruh. Masih untung baginya
sementara itu tempat perhentian sudah tertampak dari jauh.
Waktu Hong-ko sampai di tempat itu, ia lihat di depan
rumah pondokan di seberang sana tertampak di kandang kuda
tertambat dua ekor kuda, bukan lain adalah kuda kedua opas
tadi. Ia pun memasuki rumah penginapan itu dan memilih
sebuah kamar buat bermalam. Sementara di kamar sebelah
rupanya sudah ada tamu terlebih dulu dengan pintu kamar
yang setengah tertutup, waktu Hong-ko melirik, kiranya yang
tinggal di dalam adalah dua petugas yang ia ketemukan tadi,
mereka sedang mencopot baju mereka buat digarang di atas
api anglo agar kering.
Sampai malam hari, hujan ternyata masih belum reda,
sehabis makan malam Hong-ko lantas rebah di kamarnya
untuk mengaso. Lapat-lapat ia mendengar kedua petugas
negeri atau opas di kamar sebelah itu seperti belum tidur dan
sedang mengobrol sambil minum arak.
Secara iseng Hong-ko coba memasang telinga
mendengarkan apa yang sedang dipercakapkan.
"Malam ini sudah terang tak mungkin berangkat, kita boleh
minum sedikit puas dan tidur sedikit gasik, besok pagi-pagi
kita lantas berangkat," terdengar seorang di antaranya
berkata. "Surat dinas itu masih belum kering, digarang di atas anglo
jangan-jangan nanti malah hangus, sekali-kali jangan karena
itu kita harus terima rangketan," sahut yang lain.
"Jangan kuatir, surat dinas apa sih begitu penting," ujar
yang duluan tadi, "Hanya nota pengiriman barang saja, apa
harus begitu terburu-buru, biarkan saja kering sendiri di atas
meja." "Losam, nyata kau belum tahu, waktu kita hendak
berangkat, Ang-taydjin telah wanti-wanti berpesan padaku
bahwa surat dinas ini ada sangkut-pautnya dengan urusan
penting, sekali-kali jangan dihilangkan," kata pula yang lain.
"Sudahlah, dalam kamar ini hanya ada kau dan aku dua
orang, tak usah kau merasa bimbang, baiklah kita mengaso siangan,"
sahut orang yang dipanggil Losam.
Beberapa kata pembicaraan dua petugas ini ternyata
menarik perhatian Teng Hong-ko. Sebentar kemudian, dari
suara ke-rusekan di kamar sebelah, Hong-ko dapat menduga
mereka sudah pulas dan keadaan telah sunyi senyap.
"Tadi mereka menyinggung soal pengiriman barang,
jangan-jangan adalah barang yang Tam Ting-siang kehendaki
itu" Dan dikatakan pula bahwa surat dinas ini sangat penting,
apakah juga ada hubungannya dengan topi mestika itu?"
tanya Hong-ko dalam hati.
Tak lama kemudian suara menggeros telah terdengar
berkumandang dari kamar sebelah, ia tahu kedua petugas itu
tentu sudah terkena pengaruh beberapa cawan air kata-kata,
tentu tidur mereka sedang pulas-pulasnya, segera timbul rasa
ingin tahunya, ia hendak mencuri baca surat dinas yang
disebut-sebut tadi. Lantas ia menukar pakaiannya dengan
setelan hitam ringkas, pelahan-lahan ia membuka daun
jendela kamarnya terus merayap keluar.
Di bawah jendela kamarnya itu ternyata adalah satu
pelataran kosong, waktu ia melongok, ternyata daun jendela
kamar sebelah hanya tertutup separoh, jaraknya sekitar lima
atau enam kaki. sedang di tengah jarak itu terhalang oleh
pagar bambu yang sengaja dibikin, mungkin untuk menjaga
kalau ada pencuri.
Adanya pagar itu kebetulan juga buat Hong-ko, karena
dapat dipergunakan sebagai tangga, ia merembet dari pinggir
jendela dan terus merayap ke atas pagar itu, sedikitpun tanpa
menerbitkan suara dan ia telah sampai di sebelah pagar sana,
kemudian dengan sekali lompatan enteng ia telah
menggelantung di belakang sebelah daun jendela yang
tertutup itu, waktu ia mengintip, maka terlihat olehnya kedua
orang itu terpulas laksana sudah mampus.
Dengan gerakan 'To-tiau-kim-kau', kait emas menggantung
terbalik, kedua kakinya ia gantolkan pada jendela dan terus
merayap masuk ke kamar, waktu tangannya diulur, dengan
tepat bisa sampai di atas meja, sudah tentu dengan gampang
saja surat dinas yang terletak di meja sudah berada di
tangannya, kemudian dengan cepat ia kembali ke kamarnya
sendiri. Sesudah berada di kamar, Hong-ko membalik kursinya,
dengan baju hitamnya ia tutup keempat kaki kursi itu hingga
merupakan kerudung dan di tengahnya ia nyalakan api lilin,
dengan begitu sinar lilin tidak tembus keluar kamar, baru
sesudah itu ia mengeluarkan surat dinas yang ia colong, tutup
surat itu masih basah, maka dengan tidak terlalu susah ia
sudah bisa membukanya.
Tetapi lantas ia merasa kecewa, karena surat itu hanya
surat dinas biasa saja sebagai nota pengantar pengiriman
barang belaka >ang dikirim bawahan Tam Ting-siang dari
Khay-hong. "Surat dinas begini saja apakah perlu dikirim begitu cepat?"
pikir Hong-ko. Tetapi tidak urung ia membaca terus surat itu.
Pada akhir surat itu tercantum jumlah kereta rangsum yang
dikirim dan hari keberangkatannya. Ketika Hong-ko hendak
menutup kembali surat itu. mendadak ia menjadi tertarik oleh
sesuatu, ternyata di antaranya ada satu baris tulisan daftar
barang-barang yang dikirim, di pinggir baris tulisan itu ada
ditandai bundar-bundar merah dengan sangat mencolok.
Barang yang tercatat di baris tulisan itu ialah semangka
Hami dari Lantju. jumlah seluruhnya termuat dalam sembilan
kereta. Waktu Hong-ko meneliti tanggal sampainya di Soatang
yang ditentukan, ternyata masih harus tujuh atau delapan hari
lagi baru bisa sampai.
"Pengiriman barang begini penting, laginya tanggal
sampainya masih jauh. tetapi diselipkan nota ini dalam surat
dinas dan dikirimkan kepada Tam Ting-siang dengan tugas
kilat?" begitulah pikir Hong-ko pula dengan tak mengerti.
Ia berpikir, dan tujuh tanda bundaran merah tadi kembali
terkilas di pandangannya, ia tertarik. Ia menduga tentu ada
rahasianya tanda-tanda ini, lantas ia ingat baik-baik hari yang
tercantum dalam surat itu di sampulnya dan ditutup rapat
baik-baik, ia padamkan api lilin pula dan mendekam di lantai
untuk mendengarkan gerak-gerik di kamar sebelah, tetapi
kedua petugas itu ternyata masih menggeros, dengan cepat ia
melompat keluar pula dari jendela dan mengembalikan surat
dinas itu ke tempat asalnya. Kemudian ia kembali ke
kamarnya sendiri, ia menghela napas lega, ia rebah dan
tertidur. Besoknya pagi-pagi sekali, cuaca sudah terang dan dua
petugas di kamar sebelah itu sudah tak tampak lagi, Hong-ko
sendiri pun melanjutkan perjalanan ke Tjelam. Selanjurnya
jalanan sudah merupakan jalan raya yang ramai, tiada dua
hari kemudian, ia sudah sampai di Kak-thau-tjun, suatu
kampung di timur kota yang ditujunya.
Waktu itu 'Pat-kik-im-yang-tjin' Giam Tje-tjwan sudah
berusia lebih setengah abad, ia tergolong jago silat keluaran
cabang lain dari Siau-lim-si, ciptaannya 'Pat-kik-im-yang-kiam'
di daerah Soatang terpuji sebagai ilmu pedang yang tiada
tandingannya. Giam Tje-tjwan berhati jujur dan berbudi luhur,
suka membela ketidak-adilan dan membasmi golongan
penindas serta berdiri di pihak kaum lemah, ia pun suka
bergaul dengan sahabat-sahabat dari kalangan Kangouw,
maka beberapa muridnya pun mewariskan semangatnya yang
suka berbuat mulia itu. Sebaliknya orang-orang dari kalangan
pembesar negeri walaupun agak sirik dan benci padanya,
tetapi tidak sedikit pula dari pejabat-pejabat rendahan yang
mendapatkan kebaikannya, oleh sebab itu Tjongpothau atau
kepala polisi Tjhi Djin-ho biasanya tak berani mengganggu
gugat padanya. Sesudah memasuki kampung itu dan bertanya, segera
Hong-ko menuju ke kediaman keluarga Giam dan setelah
memberitahukan maksud kedatangannya, segera ia
dipersilakan masuk ke ruang tamu.
Sesampainya di kamar tamu, maka ia sudah ditunggu oleh
seorang laki-laki yang berperawakan gagah kekar, brewok
dengan mata bersinar, Hong-ko dapat menduga tentu tidak
salah orang ini ialah Giam Tje-tjwan, maka lekas ia maju
memberi hormat. Giam Tje-tjwan membalas hormat orang dan
sesudah mengetahui nama Hong-ko, ia mempersilakan
tamunya duduk, lalu ia bertanya keadaan Bu-tun Todjin sambil
ia menerima peti yang dikirimkan kepadanya.
Selagi Hong-ko hendak menceritakan pengalamannya
bertemu dengan Yan Ie-lam dan kawan-kawan di Pek-hoa-ho
dan barang dalam peti itu sengaja sudah ditukar, mendadak
dari luar ada laporan bahwa dari gubernuran telah dikirim 'Siupi'
Tjin-taydjin hendak bertemu (Siu-pi kira-kira setingkat
dengan letnan sekarang).
Mendapat laporan itu, rupanya Giam Tje-tjwan agak heran,
ia pandang Hong-ko sejenak dan sesudah itu baru ia


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perintahkan centeng membuka pintu tengah untuk
menyambut kedatangan tamu pembesar negeri, supaya
menanti sebentar di ruangan besar itu dan menyatakan tuan
rumah selekasnya akan menemuinya setelah bertukar pakaian.
"Teng-hiantit apakah di tengah jalan kau telah berselisih
paham dengan pejabat negeri?" tanya Giam Tje-tjwan dengan
suara tertahan setelah centeng yang ia perintahkan itu berlalu.
Hong-ko mengerti bahwa urusan itu tak bisa dijelaskan
dengan sepatah kata saja, tetapi kuatir pula menimbulkan
kecurigaan Giam Tje-tjwan, maka kemudian ia menjawab,
"Wanpwe ketika lewat di Pek-hoa-ho pernah bertemu pejabat
hendak merampas petiku itu, belakangan berkat kedatangan
seorang penolong barulah pejabat itu lari ketakutan."
Mata Giam Tje-tjwan mengerling, ia lantas tahu bahwa
perkataannya itu tentu ada sebab musababnya, tetapi karena
buru-buru harus menemui tamu, tak sempat ia bertanya lebih
lanjut. "Orang-orang dari pemerintahan jarang ke sini," katanya
kemudian waktu hendak meninggalkan Hong-ko. "Tetapi kini
tidak lebih dulu dan tidak lambat, begitu Hiantit datang,
mereka pun lantas menyambangi aku, tentu ada apa-apanya
yang dituju, tiada halangannya Hiantit coba mengintip di
belakang pintu, coba dengarkan apa yang akan dibicarakan."
Sudah tentu Hong-ko merasa tak tenteram, ia tidak nyana
begitu datang sudah membawa kesukaran bagi Loenghiong
itu. Lalu ia ikut di belakang Giam Tje-tjwan menuju ke ruangan
depan, ia mengintip dari luar jendela yang teraling oleh
dedaunan bunga, ia lihat Giam Tje-tjwan sementara itu
sedang menghadapi seorang perwira, di samping perwira itu
berdiri dua pengiring berdandan sebagai 'Po-gwai' atau
anggota polisi.
"Ya, betul Tjin-taydjin, ia adalah keponakanku, apakah di
tengah jalan ia ada apa-apa yang menyinggung pejabat
negeri?" terdengar Giam Tje-tjwan sedang bertanya jawab.
"Bukan, harap Giam-loenghiong tak usah sangsi," terdengar
perwira itu menyahut. "Keponakanmu itu tidak menerbitkan
sesuatu keonaran, melainkan karena Tam-taydjin mendengar
katanya ia telah membawakan Loenghiong beberapa contoh
senjata rahasia yang tunggal, maka aku telah diperintahkan
datang ke sini buat pinjam lihat saja, apabila memang betul
terdiri dari senjata rahasia yang bagus, biar orang-orang kami
pun ikut menambah pengalaman."
Sudah tentu Hong-ko tahu bahwa apa yang perwira itu
katakan hanya alasan belaka, yang betul ialah mereka
menghendaki barang-barang dalam petinya itu.
"Tjin-taydjin." kembali terdengar Giam Tje-tjwan berkata
pula. "Barang-barang yang dibawa orang she Teng itu hanya
sedikit contoh am-gi (senjata gelap atau senjata rahasia) yang
tak berharga, entah mengapa Sunbu Taydjin bisa menaruh
perhatian begitu besar, dan darimana ia bisa mengetahui isi
peti itu?"
Karena pertanyaan yang terakhir itu, Siu-pi she Tjin itu
menjadi bungkam dan seketika tak mampu menjawab.
"Mengapa Loenghiong malah bertanya," katanya kemudian
dengan tertawa buatan. "Asal-usul Sun-bu Tay-djin kami tentu
sudah jelas, mata telinganya begitu tajam. Sampai kami yang
menjadi bawahan pun sangat mengagumi, kali ini dugaannya
pasti tidak meleset, oleh karena itu ia memerintahkan kami
meminta pinjam ke sini."
"Oh, kiranya begitu," sahut Giam Tje-tjwan. "Tetapi harap
Tjin-taydjin maklum bahwa orang she Teng itu baru datang
hari ini dan barang itu aku pun hanya melihatnya sekejap di
dalam peti, barang di dalamnya sedikitpun belum teraba,
kalau Sun-bu Taydjin memang hendak pinjam, maka silakan
Tjin-taydjin bawa saja."
Sesudah itu Giam Tje-tjwan memerintahkan orangnya pula
membawa keluar peti kayu wangi yang Hong-ko bawa itu.
Tak lama kemudian peti itu sudah dihadapkan, melihat peti
terbikin begitu mungil bagus, berulang-ulang Tjin Siu-pi
memuji, menyusul itu lantas ia membuka dan memeriksanya,
ternyata tidak salah di dalamnya terdapat beberapa 'Sam-lingpiau'
dan belasan butir pelor besi, sedang segebung barang
yang terbungkus kain kuning itu ia keluarkan dan diserahkan
pada Giam Tje-tjwan.
"Bungkusan ini baiknya disimpan Loenghiong saja, sedang
barang-barang lainnya tanggung besok dikembalikan tepat
pada waktunya," kata si perwira.
Giam Tje-tjwan menyambut barang yang diangsurkan dan
terus ia buka, di dalamnya ternyata adalah sepucuk surat dari
Bu-tun Todjin, kecuali itu hanya segebung kertas resep cara
pembuatan senjata rahasia itu dan dua botol obat bubuk.
"Tadi aku masih belum tahu barang apa sebenarnya yang
terbungkus di dalam ini!" ujar Giam Tje-tjwan pada Tjin Siu-pi.
Tetapi seperti tidak memperhatikan perkataan itu, Tjin Siupi
telah berbangkit dan berpamitan.
"Teng-hiantit, kau sudah mendengar semuanya bukan,"
kata Giam Tje-tjwan sesudah pembesar itu pergi. "Sepanjang
jalan kau sudah diincar orang, beruntung dalam peti ini hanya
benda-benda tak berharga ini, aku sendiri pun tidak merasa
sayang, cuma agak menghalangi maksud baik gurumu saja!"
Teng Hong-ko tertawa getir, ia menjawab, tetapi tak berani
berterus terang memberitahukan bahwa barang dalam peti
sudah ditukar, karena hal itu tentu akan membikin gelisah
Giam Tje-tjwan, namun dalam hati ia mengerti, tak lama lagi
pasti akan terjadi sesuatu.
Dan dugaan Hong-ko memang tidak salah, malapetaka itu
terjadi pada keesokan harinya.
Pagi-pagi hari kedua, beberapa murid Giam Tje-tjwan
secara gugup telah melapor ke dalam, bahwa pasukan tentara
telah memasuki kampung dan membikin penjagaan di
beberapa jalan penting.
Sungguhpun paras muka Giam Tje-tjwan agak lain waktu
mendapat laporan itu, namun sebisanya ia masih menghibur
orang-orangnya bahwa kedatangan pasukan itu mungkin ada
dinas tugas lain. Hanya Teng Hong-ko seorang yang berdebardebar,
ia mengerti sesudah Tam Ting-siang mengetahui
bahwa barang itu palsu tentu akan membuat perhitungan
dengan Giam Tje-tjwan. Untuk menjaga segala kemungkinan,
maka ia telah menyiapkan senjata yang perlu di badannya.
Tak lama kemudian, suara riuh ramai telah terdengar di
luar gedung, centeng telah melaporkan bahwa pasukan yang
dipimpin Tjin Siu-pi telah mengepung rapat seluruh kampung.
Lekas Giam Tje-tjwan keluar untuk memeriksa apa yang
sebenarnya terjadi, namun Tjin Siu-pi sementara itu telah
masuk dengan diikuti beberapa jagoan dari gubernuran.
Begitu nampak Giam Tje-tjwan, pembesar itu agaknya sudah
tidak sehormat kemarin.
"Giam Tje-tjwan, Tam-taydjin cukup menghormati kau,
sebaliknya kau berani menyerahkan barang yang sudah kau
tukar!" serunya sembari duduk tanpa diundang.
Dengan mata terbuka lebar, Giam Tje-tjwan tercengang, ia
tidak mengerti cara bagaimana harus menjawab.
"Tjin-taydjin, apakah artinya semua itu?" sejenak kemudian
baru ia bertanya.
"Hm, Giam Tje-tjwan jangan kau berlagak pilon dan coba
main komidi," sahut sang perwira. "Peti yang aku bawa
kemarin itu, barang di dalamnya sudah bukan barang asli
lagi!" "Tetapi aku yang rendah sungguh belum merubah
sedikitpun barang-barang di dalam peti itu," Giam Tje-tjwan
coba membela diri.
Tetapi mana pembesar negeri itu mau percaya, dengan
sekali membentak, ia perintahkan pengiring yang datang
bersamanya itu untuk menggeledah.
Laksana binatang liar, pengiring itu segera menyerbu ke
dalam rumah dan mengobrak-abrik semua isi rumah, sampai
daun jendela dan pintu pun hampir-hampir copot
diperiksanya. Melihat kebuasan petugas-petugas itu, beberapa
anak murid dan centeng Giam Tje-tjwan yang agak kuat
menjadi gusar, dengan mata melotot melihat tingkah laku
yang sewenang-wenang itu, hampir saja tak tertahan dan
hendak melabrak mereka. Tetapi Giam Tje-tjwan sudah
keburu mencegah mereka dan menyuruh mundur ke pelataran
luar, dengan begitu para petugas dan prajurit itu bisa dengan
leluasa membongkar semaunya. Namun sesudah ribut
setengah harian ternyata masih belum menemukan sesuatu
yang dicari. "Orang yang membawa peti kemarin itu dimana?" tanya
Tjin Siu-pi akhirnya dengan membentak.
Giam Tje-tjwan tertegun oleh pertanyaan itu, tetapi segera
ia menjawab, "Tjin-taydjin urusan ini tak mungkin
berhubungan dengan orang she Teng itu, ia pergi kemana,
aku yang rendah pun tak mengetahui."
Dalam pada itu, di pelataran rumah itu tiba-tiba terdengar
bentakan yang ramai, dua Pothau yang kemarin datang
bersama Tjin Siu-pi itu telah memburu ke ruang latihan
dengan golok terhunus. Dengan terkejut Giam Tje-tjwan
memandang, tetapi akhirnya tahulah ia bahwa Teng Hong-ko
yang mencampurkan diri di antara para centeng rupanya telah
dipergoki oleh kedua anggota polisi itu.
Sesaat itu, suasana segera ramai oleh suara beradunya
senjata tajam, Teng Hong-ko telah melompat maju, dengan
pedangnya ia memapaki golok lawan, secepat kilat dengan
satu tipu 'Thian-su-hian-kan' atau Thian-su
mempersembahkan surat, ia membikin kedua lawannya
terpaksa harus mundur.
Beberapa begundal petugas negeri lainnya begitu melihat
kawan mereka sudah bergebrak, mereka maju serentak dan
mengepung Hong-ko di tengah. Tetapi Hong-ko tak gentar
walaupun menghadapi lawan yang jauh lebih banyak,
pedangnya diputar dengan cepat, dimana pedangnya sampai,
di situ senjata musuh segera terpental.
Selagi pertarungan menjadi makin sengit, tiba-tiba terlihat
ada bayangan orang berkelebat, seseorang telah menerobos
masuk di antara senjata-senjata yang saling beterbangan,
beberapa jagoan petugas mendadak merasa pergelangan
tangan mereka kaku pegal, sementara itu Giam Tje-tjwan
sudah menghadang mengalingi di depan Teng Hong-ko.
"Berhenti semua!" bentaknya.
Kiranya tadi ia telah mengunjukkan 'Im-yang-tjiu' yang
lihai, ia telah menotok tangan seorang jagoan yang paling
depan, sedang pedang Hong-ko pun kena teraup di
tangannya. "Jangan kamu coba membikin ribut di rumah Lohu!" ia
melanjutkan bentakannya. "Seandainya ada perkara betapa
besarnya pun, Lohu boleh memikul seluruhnya."
Beberapa jagoan polisi yang mengetahui kelihaian Giam
Tje-tjwan, maka seketika mereka tak berani coba bertindak
sesukanya lagi. Hanya Tjin Siu-pi yang sementara itu telah
mendekati. "Giam-lodji, berani kau melawan!" katanya dengan tekanan
suara berat sambil matanya melotot.
"Tjin-taydjin, perkenankan aku bertanya, kau diperintahkan
datang buat menggeledah rumah atau menangkap orang?"
tanya Giam Tje-tjwan, si 'Im-yang-pat-kik-tjiu' dengan berani.
Karena pertanyaan yang spontan dan beralasan itu,
seketika Tjin Siu-pi bungkam, tetapi kemudian lantas ia
menjawab sesudah berpikir sejenak.
"Tam-taydjin memerintahkan aku ke sini, menghendaki
agar kau menyerahkan barang aslinya yang ada di dalam
peti!" "Aneh sekali perkataan Tjin-taydjin itu," sahut Giam Tje
tjwan. "Berdasarkan apa memastikan bahwa barang di dalam
peti itu sudah bukan yang asli lagi?"
Tjin Siu-pi menjadi gelagapan lagi oleh pertanyaan itu,
karena tak mungkin ia menceritakan terus terang apa
sebenarnya yang terjadi. Karena itu, dari malu ia berubah
menjadi gusar. "Giam Tje-tjwan, tak usah kau banyak membacot, baiknya
kau dan bocah she Teng itu ikut kami, kemudian biar
diputuskan sendiri oleh Tam Ting-siang!" ia membentak lagi.
Sudah itu, tanpa berkata lagi segera ia memberi tanda, para
begundalnya segera maju mengepung lagi mereka berdua,
cuma sudah tak berani sembarangan menggerakkan tangan
pula. "Aku, Giam Tje-tjwan selamanya tidak pernah berbuat
sesuatu kejahatan, andaikan harus ikut pergi dengan
pembesar anjing ini pun tak takut, cuma entah orang muda
she Teng telah melakukan perbuatan apa sewaktu di tengah
jalan," pikir Giam Tje-tjwan.
Agaknya Hong-ko dapat menerka apa yang orang tua itu
pikirkan, maka lantas ia maju dan berkata padanya, "Giam-loenghiong
jangan kuatir, Siautit datang dari Go-bi tanpa
berbuat sesuatu kejahatan, negara tentu ada peraturan
hukumnya, apakah kita takut fitnahan pada orang baik-baik,
biar Siautit ikut Lo-tjianpwe pergi bersama mereka, coba
apakah mereka berani sewenang-wenang mencelakai orang."
Perkataannya begitu bersemangat dan berani, Tjin Siu-pi
mau tak mau harus melirik, sedang Giam Tje-tjwan diam-diam
memuji pemuda ini yang cukup tabah dan berani.
Akhirnya mereka berdua digiring keluar dari rumah dan
meninggalkan kampung mereka. Dari kampung 'Kak-thau-tjun'
ke kota Tjelam masih harus melalui perjalanan yang memakan
tujuh atau delapan li, sepanjang jalan Tjin Siu-pi berlaku
waspada untuk menjaga segala kemungkinan.
Ketika mereka sedang berjalan, dari depan sementara itu
telah mendatangi dua orang laki-perempuan yang berdandan
sebagai petani, yang lelaki menjunjung bakul bambu, sedang
yang perempuan mengenakan caping dan memikul pikulan
kayu yang dipalangkan.
Teng Hong-ko berjalan berendeng dengan Giam Tje-tjwan,
begitu nampak kedua orang ini, segera ia menyenggol
padanya dan memberi kedipan mata.
Dalam pada itu, beberapa petugas yang berjalan di depan
sudah membentak meminta si wanita minggir, sambil
goloknya yang besar diangkat tinggi-tinggi. Namun wanita itu
agaknya acuh dan tak mendengar, ia masih terus maju
dengan pikulan kayunya yang tetap malang melintang, sedang
jarak di antara mereka sudah tinggal beberapa tombak saja.


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si lelaki yang berjalan di sebelah belakang tampak lekas
maju ke depan, dengan kedua tangannya ia memegang
kencang bakul bambu yang tersunggi di atas kepalanya, ia
berkata pada petugas itu, "Tuan-tuan besar maafkan kami,
isteriku itu kedua telinganya memang tuli!"
Di waktu ia berbicara itu, maka jarak antara mereka sudah
semakin dekat, barulah petugas itu sempat menggertak pula,
"Lekas enyah!"
Dan mereka mengangkat golok buat menakut-nakuti,
sekonyong-konyong secepat kilat lelaki itu telah
menumplekkan bakul bambu yang disunggi itu ke depan,
ternyata isi di dalamnya adalah kapur gamping, dan justru
waktu itu angin bertiup ke jurusan para petugas itu, keruan
saja seketika berupa segumpalan awan putih yang mengabut,
kapur gamping itu telah berhamburan di antara mata. mulut
dan kepala para petugas yang berjalan di depan itu, hingga
mereka kelabakan tak tahu jalan, saking gugupnya mereka
menggelepar, hanya golok mereka saja yang diobat-abitkan
sekenanya. Dalam pada itu si wanita tadi sudah memutar pikulannya
menerjang ke dalam barisan serdadu Boan, begitu hebat
pikulannya bekerja hingga tanpa ampun lagi siapa saja yang
mendekat kena dihantamnya. Sedang si lelaki dengan cepat
pun sudah melolos pedangnya, ia melompat ke samping
Hong-ko dan terus menariknya pergi. Beberapa jagoan coba
menyusul, tetapi lelaki itu membalik dengan beberapa
serangannya sudah membikin para jagoan itu tungganglanggang.
Kedua lelaki-perempuan yang menyamar sebagai petani ini
bukan lain ialah 'Pat-pi-long-kun' Yan le-lam dengan isterinya,
Hoa Sian-bu, mereka diam-diam mengikuti Teng Hong-ko,
waktu mengetahui hari ini Tjin Siu-pi mengerahkan
pasukannya ke Giam-keh-tjeng, mereka lantas tahu tentu
telah terjadi sesuatu, maka sengaja mereka menanti di tengah
jalan untuk menolong bila perlu.
Sementara itu Teng Hong-ko pun sudah melolos pedangnya
yang memang sudah disiapkan itu, ia memanggil Giam Tjetjwan
dan berseru padanya, "Lotjianpwe, marilah ikut kami
membobolkan kepungan!"
Tetapi Giam Tje-tjwan ternyata seperti tidak mendengar
seman itu, bukannya ia maju, sebaliknya ia mundur dan
bergabung dalam rombongan serdadu musuh. Beberapa
jagoan yang tadi diterjang bubar oleh Yan Ie-lam sementara
itu telah merubung maju lagi sambil membentak, "Tangkap
penjahat!"
Yan Ie-lam dapat menduga Giam Tje-tjwan tentu tak mau
bertaruh dengan keselamatan harta benda dan keluarganya,
maka segera ia memberi tanda pada Hong-ko, sesudah itu
pedang mereka bekerja dengan cepat untuk menerjang keluar
dari kepungan. "Giam-loenghiong, Wanpwe tidak berbuat sesuatu
kejahatan, kini terpaksa kami harus pergi dahulu!" teriak Teng
Hong-ko akhirnya.
Setelah itu bersama Yan le-lam segera mereka menerjang
keluar, pedang mereka bekerja dengan kencang, dalam
sekejap saja mereka sudah berhasil membobol kepungan,
sedikit musuh yang mencoba mengejar telah dibikin kalangkabut
juga oleh balikan pikulan Hoa-lihiap yang terus
menyerampang dan menyeruduk, tidak antara lama mereka
bertiga sudah menghilang dari kejaran.
Sekonyong-konyong, secepat kilat lelaki itu me-numplekkan
baku! bambu yang disungginya itu ke depan, ternyata di
dalamnya berisi kapur Ramping.
Waktu Tjin Siu-pi dapat menenangkan kembali dirinya dan
memeriksa pasukannya, ternyata sudah lebih dari separoh
yang terluka atau binasa, masih beruntung Giam Tje-tjwan
tidak ikut lolos.
"Giam Tje-tjwan, begitu besar nyalimu, berani kau
bersekongkol dengan kaum pengacau untuk membegal
tawanan di sini!" Bentak Tjin Siu-pi saking gemasnya karena
mengalami kerugian yang tak sedikit itu, ia pun menjadi gusar
dengan mata melotot.
"Tjin-taydjin, hendaklah jangan asal memfitnah saja,"
jawab Giam Tje-tjwan yang tidak menyerah mentah-mentah.
"Aku tidak kenal siapa orang yang datang tadi. kalau tidak,
apakah aku bersedia terus tinggal di sini?"
Setelah ia berpikir sejenak, meruanglah masuk diakal apa
yang diucapkan Giam Tje-tjwan itu. maka Tjin Siu-pi tak
berani terlalu mendesak lagi.
"Meskipun kau tidak ikut kabur, tetapi pengacau itu telah
merampas tawanan she Teng itu, tentu kau kenal mereka,"
kata Tjin Siu-pi lagi dengan lagu suara yang sudah berubah.
Kemudian ia perintahkan prajuritnya berangkat kembali ke
Tjelam dengan menggiring Giam Tje-tjwan.
Sementara itu sesudah Pat-pi-long-kun berhasil menolong
Teng Hong-ko, mereka bertiga dengan cepat sudah
meninggalkan kampung yang terjadi huru-hara itu, waktu hari
mulai gelap, mereka sudah menempuh tujuh atau delapan
puluh li, ketika itu mereka sudah sampai di bawah lereng
gunung Thay-san. Dalam malam yang remang-remang,
akhirnya mereka tiba di suatu perkampungan yang besar, di
pintu gerbang depan terlihat tertulis 'Mo-dji-tje' tiga huruf.
Ketika mereka masuk ke ruang tengah, maka Hong-ko
lantas menampak para pahlawan yang pernah berkumpul di
Pek-hoa-ho tempo hari, ada lima atau enam orang di
antaranya juga hadir di sini, begitu melihat mereka datang,
segera mereka bangkit berdiri menyambut.
Antara lain yang di situ ialah It-tun Ki-su Si Liang, Tju-kat
Beng dari Liong-bun-pang, Liok Ing, To Dji-hay, Mo Djit,
pemimpin Ang-hoa-hui Liu Ut dan masih ada pula seorang
imam yang tidak mereka kenal.
"Dia adalah Gui Djing-si Totiang dari Djing-si-koan di Ongok-
san," Si Liang memperkenalkan pada mereka bertiga
sambil menunjuk si imam. "Hari ini justru ia datang kemari
bersama Giok-bin-yao-hou Bun Sui-le dari Djit-hong-san,
tetapi karena mendapat sesuatu kabar berita tentang mutiara
mestika di tengah jalan, Bun-tjetju telah mengirim Gui-totiang
memberitahukan ke sini dahulu."
Terhadap sahabat baru itu, suami isteri Yan le-lam dan
Teng Hong-ko maju memberi salam perkenalan.
"Djing-si Totiang, Bun-tjetju entah telah mendapatkan
kabar apa?" tanya Hoa-lihiap kepada kenalan barunya itu.
"Siauto bersama Bun-tjetju datang dari Liu-ho, pada waktu
ia berada di Ya-yao-kang, ia telah mendapat kabar bahwa
sebutir mutiara mestika secara diam-diam telah dikirim dari
Khay-hong, yang mengawal ialah dua jagoan kelas berat dari
Ko-yang-pay, masing-masing Ie Djan yang berjuluk 'Sip-tiathong'
dan Tji Tjing-hian yang berjuluk 'Hoan-san-kau',
walaupun Bun-tjetju tidak kenal kedua orang ini, tetapi
sengaja ia hendak coba menguntit mereka."
"Oh, kiranya begitu!" kata Hoa-lihiap.
Setelah para pendekar bertanya tentang pengalaman
mereka tadi, akhirnya Pat-pi-long-kun diam-diam menarik Si
Liang menyingkir.
"Manusia macam apakah Gui Djing-si itu" Tingkah lakunya
aku lihat agak sedikit mencurigakan!" tanyanya pada Si Liang.
"Aku pun belum pernah berjumpa dengan dia," sahut Si
Liang. "Cuma kabarnya beberapa waktu yang lalu, ia adalah
tokoh ternama dari kalangan Liok-lim di Kwangwa dan
berkumpul bersama 'Tiat-pi-goan' Song Kiat, belakangan ia
baru menjadi imam di Ong-ok-san, kedatangannya hari ini
adalah karena kenal dengan Tju-kat Beng dan Mo Djit, mereka
sama-sama adalah begal besar dari daerah Siamsay dan
Sutjwan." "Kini persoalannya makin lama makin ruwet, 'Sam Po Tju'
belum ada satupun yang jatuh di tangan kita, tapi dari
berbagai pihak sudah pada ikut mengincar, agaknya kelak tak
dapat terhindar dari percekcokan," ujar Yan le-lam pula
dengan menggeleng-geleng kepala.
Tengah mereka berbicara, tiba-tiba Hoa-lihiap pun
menyusul datang.
"Apakah kamu sedang mempersoalkan si imam tua itu?"
tanyanya menimbrung.
"Ya, Yan-toako menguatirkan maksud kedatangan Gui
Djing-si yang mungkin tidak bersih!" sahut Si Liang.
"Memang aku pun sedang hendak memperingatkan kau,"
tutur Hoa-lihiap. "Melulu seorang Giok-bin-yao-hou saja kita
sudah susah melayani, apabila kini ditambah dengan seorang
Gui Djing-si, imam tua yang biasa berlaku tak bersih ini,
jangan-jangan nanti nama baik kita ikut ternoda!"
Sungguhpun dalam hati sudah menaruh curiga, tetapi
menurut kebiasaan kaum Liok-lim, siapa saja yang sudah ikut,
tak mungkin ditolak lagi dan apa yang akan dilakukan harus
dirundingkan bersama. Maka malam itu juga, di 'Mo-dji-tje'
terjaga rapi, bahkan penyelidik disebar hingga jauh, sedang di
ruangan besar markas mereka sedang berkumpul para
pahlawan untuk mempelajari rahasia apa yang terdapat pada
senjata rahasia dalam peti Teng Hong-ko itu.
"Apabila memang benda-benda ini tidak mengandung
rahasia, si pembesar anjing Tam Ting-siang tentu tidak
mungkin hanya dalam semalam saja telah mengetahui
barang-barang dalam peti ini sudah ditukar orang!" Tju-kat
Beng mengutarakan pendapatnya.
"Memang betul apa yang Tju-kat-heng katakan," ujar Si
Liang sependapat. "Menurut dugaan Siaute, saudara Teng di
tengah jalan tentu sudah dikuntit oleh begundal Tjhi Djin-ho
dan memperalat dirinya sebagai tameng mereka, sebabnya
ialah karena ia membawa 'pedang perjalanan' dari Go-bi-pay,
siapa saja dari kalangan Liok-lim yang melihatnya sudah pasti
tidak mungkin mengganggunya."
"Perhitungan Si-toako memang tepat juga." ganti Yan lelam
yang bicara. "Tetapi pada waktu berada di Pek-hoa-ho,
bukankah kita sendiri sudah memeriksa betul barang-barang
dalam peti dan memang tak tertampak sesuatu tanda yang
mencurigakan?"
Jika semua orang sedang mengutarakan pendapat masingmasing
dengan ramai, adalah Gui Djing-si waktu itu sedang
duduk di suatu sudut sambil mengelus-elus jenggotnya,
sepasang matanya yang melambai ke bawah sedang
mengincar 'Sam-ling-piau' dan pelor besi yang terserak di atas
meja. "Aku ada satu usul, entah bagaimana pendapat Tjuwi!"
tiba-tiba ia berkata sesudah agak lama.
"Djing-si Totiang, kau yang sudah banyak berpengalaman
dan berpandangan luas di kalangan Hek-to (golongan hitam),
jika ada pendapat bagus, silakan katakan!" lekas Tju-kat Beng
menyahut. Imam tua itu berbangkit, ia mendekati meja dimana
tergeletak senjata rahasia yang menjadi pokok persoalan, ia
mengambil sebuah 'Sam-ling-piau* untuk diperiksa, sesudah
itu baru ia berkata pula.
"Senjata rahasia dari Go-bi-pay ini terbikin dengan
ketelitian yang luar biasa, tiap piau dan tiap butir pelor besi
mempunyai bobot yang sama tanpa beda sedikitpun, di sini
kini terdapat tiga buah Sam-ling-Piau dan dua belas biji pelor
besi, kita boleh menyediakan alat timbangan dan menimbang
tiap barang ini."
Mendengar usulnya itu, para benggolan yang hadir itu mau
tak mau harus mengakui kecerdikan pikirannya.
"Memang bagus sekali pendapat itu," kata Si Liang memuji.
Kemudian ia perintahkan penjaga mengambil alat
penimbang, Gui Djing-si sendiri mengukur timbangan tiap-tiap
buah senjata piau itu, ternyata ketiga piau itu mempunyai
bobot yang sama tanpa beda. Menyusul itu adalah peluru besi
yang harus ditimbang, satu persatu ditimbang, sampai pada
biji pelor ketujuh, tiba-tiba diketahui bahwa beratnya jauh
lebih enteng dari yang lain.
"Peluru ini berperut kosong!" Gui Djing-si berseru girang
tak tertahan. Keruan saja para benggolan itu seketika
berkerumun maju ke pinggir meja, sementara itu Si Liang
yang telah memeriksa dengan teliti di bawah sinar api lilin,
akhirnya terbukti juga memang 'Thi-wan' atau peluru besi itu
terdapat tanda satu garis kecil di tengah-tengahnya.
Hoa-lihiap tampil ke muka, ia menyambut peluru besi itu,
dan ia menggelar saputangannya di atas meja. Kemudian
terlihat ia menekan dan memutar peluru besi itu, maka sesaat
kemudian tertampaklah selarik sinar putih menyilaukan
pandangan orang, ternyata di dalam peluru besi itu
menggelundung keluar sebutir mutiara sebesar biji buah
kelengkeng yang bersinar gemerlapan tersorot oleh sinar
lampu hingga menyilaukan mata.
Hoa-lihiap menjemputnya dan ditaruh kembali ke
saputangannya, mutiara itu begitu licin mengkilap, makin
dilihat makin menyenangkan, tidak salah kalau dikatakan
mutiara mestika yang jarang diketemukan.
Saking kagumnya para benggolan itu, sampai seketika
keadaan menjadi sepi, betul mereka terhitung benggolan di
daerahnya masing-masing, harta benda dan emas berlian atau
batu permata yang sudah mereka rampas pun tidak sedikit,
tetapi sesungguhnya belum pernah mereka melihat mutiara
secantik dan sebesar ini, saking takjubnya hingga lupa daratan
menatapkan sinar mata mereka yang mengandung perasaan
kagum dan serakah, sampai rahasia cara bagaimana pelor besi
tadi bisa terbuka sudah tak mereka perhatikan lagi.
"Barang ini terbikin sedemikian rapinya, tempat sambungan
ini dirapatkan dengan beralur-alur, kalau bukan orang dengan
tenaga jari sudah terlatih, tentu susah untuk membukanya,"
kata Si Liang sembari menjemput kedua belah peluru besi
tadi. Sudah tentu para benggolan itu pun ikut memuji, karena
pelor besi itu kecuali mempunyai berat yang tidak sama, soal
besar kecilnya memang tiada perbedaan.
"Kalau begitu, saudara Teng di perjalanan tidak saja sudah
dikuntit oleh cakar alap-alap, bahkan barang dalam peti ini
pun sudah ditukar orang!" ujar Tju-kat Beng.
"Yang tertukar melulu hanya sebiji saja," dengan tertawa
Yan le-lam berkata. "Aku dapat menduga tentu ini adalah akal
bulus Tjhi Djin-ho, lebih dulu ia sudah mengetahui Teng-heng
mempunyai 'pedang perjalanan' dari Go-bi-pay, maka ia telah
memperalat dirinya sebagai orang pengantar mutiara, cuma
sayang, setelitinya dia masih ada yang kelupaan juga, ia telah


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lupa bahwa peti kayu cendara itu mirip betul dengan peti yang
berisi 'Tjin-tju-goan' itu, hingga sebab itu telah banyak
menimbulkan perhatian orang Kangouw, berbareng itu ia pun
menunjukkan kegelisahannya, hingga menimbulkan
kecurigaan kita terhadap tingkah laku Tam Ting-siang."
Kiranya pada malam Teng Hong-ko hendak menggunakan
kendaraan sungai pada permulaan perjalanannya di Hong-ho,
malam itu angin keras dan ombak besar, tetapi pada saat
yang demikian itu ada dua bayangan hitam yang menyelundup
masuk ke kapal dimana ia menumpang, kedua tamu aneh ini
adalah begundal Tjhi Djin-ho. Di luar tahu Hong-ko, mereka
telah berhasil membuka petinya serta dapat menukar sebutir
pelor besi yang lain dimana di dalamnya tersimpan mutiara
mestika tadi. Tetapi akhirnya tak urung ternyata jatuh juga di
tangan para benggolan itu.
Sudah tentu dengan hasil pertama mereka itu, mereka
merayakan dengan meriah, dan Hoa-lihiap pun diangkat oleh
mereka sebagai orang yang harus menyimpan baik-baik
mutiara mestika itu, sambil menanti hingga ketiga-tiganya
sudah sampai ditangan mereka semua, baru akan menetapkan
cara pembagian rezekinya.
Sementara itu sudah diperoleh kata sepakat tentang hasil
mereka, maka terdengarlah Gui Djing-si berkata pula sambil
mengelus-elus jenggotnya yang pendeic, "Saudara-saudara
sekalian, si jahanam Tjhi Djin-ho ini banyak tipu muslihatnya,
mutiara ini belum tentu tulen, kita harus mencoba, diuji
dahulu." "Gui-totiang," ujar Tju-kat Beng. "Kalau melihat warna
mutiara ini yang bersinar mengkilap, apakah mungkin barang
itu tiruan!"
"Ya, seumpama bukan barang palsu toh kita harus
mencobanya juga," sahut Gui Djing-si. "Seperti kita ketahui,
mutiara yang bertabur di atas Tjin-tju-goan yang besar adalah
tiga butir, masing-masing ialah 'Ting-hong-tju', 'Pi-hwe-tju'
dan 'Gi-han-tju', kini baru mendapatkan satu di antara
ketiganya, bukankah kita harus mencoba mutiara yang kita
dapatkan ini termasuk yang manakah di antara ketiga mutiara
itu?" Atas keterangan itu, beberapa benggolan yang hadir lantas
menyatakan akur dengan pikiran si imam tua.
"Dan cara bagaimana Totiang hendak mencobanya?" tanya
Yan Ie-lam. Ternyata Gui Djing-si memang orang cerdas, dalam sekejap
saja ia sudah mendapatkan akal.
"Itu tidak sulit," katanya kemudian, "Umpamakan saja kita
anggap dia sebagai 'Pi-hwe-tju', kita nyalakan api pada satu
gundukan, siapa yang berani membawa mutiara itu terus
melompat masuk ke dalam api, dengan begitu bukankah
segera akan bisa dibedakan?"
"Hendaklah Totiang jangan gegabah dengan permainan
begitu," sahut Hoat-giam-ong Mo Djit dengan tertawa.
"Apabila mutiara itu bukan 'Pi-hwe-tju', bukankah orang yang
melompat masuk ke dalam gundukan api akan terbakar
hangus?" "Itu pun gampang, kalau tiada yang berani, serahkan saja
tugas itu kepada aku si imam melarat ini," Gui Djing-si
menambahkan pula.
Setelah usul Gui Djing-si diterima, lantas ia menetapkan
pada esok hari hendak menyusun gundukan kayu kering untuk
dibakar buat menguji mutiara mestika itu.
Malam itu Si Liang dan Yan-Ie-lam tinggal bersama satu
kamar, ia berkata padanya, "Yan-toako, hari ini kalau bukan
Gui-totiang yang mendapatkan akal, kita boleh jadi belum
dapat menemukan tempat dimana mutiara itu disimpan!"
"Lambat atau cepat akhirnya akan ketahuan juga, dia
hanya sedikit lebih licin dari kita, malah sekarang pun aku
masih menaruh curiga padanya," sahut Yan Ie-lam.
"Pantas kau tidak pernah berpisah selangkah pun dari dia,"
dengan tertawa Si Liang berkata. "Cuma kalau dia berani
sembrono di hadapan kita, begitu ia mencoba bertingkah,
mungkin kepalanya sudah berpisah dengan tubuhnya!"
Besoknya, pagi-pagi sekali sudah tampak Gui Djing-si
memimpin beberapa orang sedang menumpuk kayu bakar, ia
telah menumpuk beberapa puluh batang kayu yang melintang
hingga dekat dengan pintu gerbang benteng mereka, setelah
itu ia menyiram pula dengan bahan-bahan yang mudah
terbakar oleh api, sebangsa belerang dan lain-lain.
Pada waktu dekat lohor, para pemimpin telah muncul
semua di pelataran depan itu, tetapi ketika mereka melihat
tumpukan kayu itu tertimbun begitu banyak dan panjang,
mereka semua agak kurang mengerti.
Kemudian Si Liang memerintahkan mulai menyalakan api,
karena sudah disiram dengan bahan-bahan pembakar, maka
dalam sekejap saja api sudah menjalar ke seluruh gundukan
kayu hingga seketika merupakan lautan api.
Sementara itu Hoa-lihiap sudah memegangi sebuah kotak
kecil yang di dalamnya berisi mutiara mestika mereka.
"Hoa-lihiap, silakan serahkan mutiara itu pada Pin-to!" pinta
Gui Djing-si sesudah tiba saatnya.
Akan tetapi Hoa Sian-bu tidak lantas menjawab, ia melirik
sekejap pada suaminya.
"Nanti dulu!" tiba-tiba ia berkata. "Kita kirim beberapa
orang melingkari gundukan api ini, agar bila terjadi sesuatu
yang membahayakan Gui-totiang, kita bisa segera menolong."
Gui Djing-si mengerti dirinya dicurigai jangan-jangan begitu
memegang mutiara segera ia kabur. Namun ia tetap berpurapura
tenang saja. "Begitupun baik," sahutnya kemudian. "Aku sendiri tidak
begitu yakin akan berhasil, jangan-jangan mutiara ini bukan
Pi-hwe-tju bisa-bisa aku terbakar hidup-hidup!"
Sementara itu api sudah berkobar-kobar hingga menjulang
tinggi. Selagi Hoa-lihiap hendak memerintahkan orangnya berjagajaga
melingkari gundukan api, mendadak terdengar pula Gui
Djing-si berkata, "Api sedang berkobar dengan hebatnya, Hoalihiap
coba keluarkan mutiara itu dan jalan mendekati
gundukan api, kemudian menyebutnya, apabila betul mutiara
itu adalah Pi-hwe-tju, maka api yang menjilat-jilat itupun akan
berkurang."
Karena perkataannya masuk akal juga, maka Hoa-lihiap
membuka kotaknya dan menaruh mutiara itu di tengah
tangannya mendekati api, tetapi baru saja ia membuka tangan
dan hendak disebul, sekonyong-konyong ada sambaran angin
yang san-tar terus menggulung hingga mutiara itu ikut
bersama sambaran angin itu, menyusul mana terlihat Gui
Djing-si meraup mutiara itu terus melompat menerobos masuk
ke dalam gundukan api.
Perbuatan Gui Djing-si yang mendadak itu telah membikin
Yan le-Iam dan kawan-kawan tercengang seketika, sehingga
tak mampu berbuat banyak, sementara itu Gui Djing-si telah
menggunakan kepandaiannya 'Kian-khun-siu-tju-hong' atau
angin menyambar dari balik lengan baju, ia sanggup
menyerobot benda itu sejauh beberapa kaki. Perbuatannya
yang secepat kilat dan di luar dugaan para benggolan yang
hadir, hanya beberapa orang saja yang bisa melihat ia
menyerobot mutiara mestika.
Sementara itu Hoa-lihiap dengan pedang terhunus segera
mengudak dengan menerjunkan diri ke dalam lautan api juga.
Keruan saja yang paling kaget rasanya ialah Yan le-lam,
lekas ia melompat tinggi sambil sekali jumpalitan di atas, ia
menyambar tubuh isterinya di antara api yang berkobar-kobar
itu untuk kemudian terus mencelat keluar pula.
"Api begitu besar jangan kau gegabah!" dengan napas
memburu ia mengomeli isterinya itu.
Saat mana api sedang menyala dengan hebatnya hingga
seluruh markas mereka seakan-akan terkurung oleh lautan api
dan asap. Dengan tipu muslihat Gui Djing-si coba merebut Po-tju,
sebenarnya ia sendiri pun belum yakin apakah Po-tju itu yang
anti api atau bukan, maka dengan kehebatannya yang luar
biasa. Ia dapat mengantongi mutiara mestika itu, walaupun
sedikit jenggot dan rambut tidak urung terbakar hangus,
namun tidak berarti baginya.
Setelah berhasil, maka segera ia meninggalkan Mo-dji-tje
dan cepat angkat langkah seribu turun gunung.
Selagi ia berlari dengan cepatnya, mendadak ada bayangan
orang berkelebat, menyusul mana dari pohon di depannya
telah muncul seorang dengan gesit sekali, waktu ia menegasi,
ternyata hanya seorang wanita dengan mukanya setengah
tertutup dengan kain. Mengenakan pakaian ringkas warna
gelap, di pinggangnya terikat angkin yang melambai-lambai
tertiup angin. Seketika Gui Djing-si tertegun oleh kemunculan wanita
yang mendadak ini, ia membatin kedatangan wanita ini begini
aneh, coba akan kulihat dahulu orang macam apakah dia ini.
Akan tetapi tanpa berbelit-belit si wanita itu telah
menegurnya dengan terus terang, "Gui Djing-si lekas kau
tinggalkan mutiara itu, jangan sampai nonamu turun tangan
sendiri!" Mendengar teguran orang, si imam tua ini semakin
terkejut, melihat gelagatnya rupanya wanita ini adalah
segolongan dengannya namun di antara tokoh-tokoh dalam
kalangan Hek-to di Soatang selamanya belum pernah ia
dengar ada terdapat seorang begal wanita muda.
"Oh, kiranya nona adalah orang sesama garis kita, sayang
mutiara itu masih berada dalam tangan suami isteri Yan Ielam
dan belum mau menyerahkannya," sahutnya dengan
muka tertawa. Tak tahunya wanita muda itu tidak gampang percaya,
dengan alis menegak segera ia mendamprat, "Bohong kau!
Melihat tubuhmu saja yang masih membawa bau hangus,
terang Po-tju itu sudah terserobot lari olehmu, masih berani
kau jual lagak di depan nonamu!"
Habis berkata, sinar pedangnya berkelebat, dengan segera
ia sudah hendak menerjang maju.
"Tahan dulu nona!" lekas Gui Djing-si berseru sambil
mundur memberi hormat. "Tunggu dulu, Pin-to akan
mengambilnya keluar."
Lalu ia merogoh ke dalam sakunya seakan-akan hendak
mengambil sesuatu, namun bukan mutiara yang ia keluarkan,
sebaliknya pada waktu tubuhnya menegak kembali, secara
mendadak ia mengayunkan tangannya, menyusul terdengar
suara gemerincing dengan membawa sinar gemerlapan, ada
secomot benda mengkilap dengan cepat menyambar ke muka
gadis tadi. Senjata ini adalah senjata tunggal yang khusus dipelajari
Gui Djing-si yang disebut 'Tui-hun-tjiam' atau jarum pemburu
nyawa, ialah terdiri dari belasan jarum yang lembut, ujung
jarum sudah direndam dengan air berbisa, begitu mengenai
tubuh segera bisa terbinasa.
Tak terduga gadis itu dengan gampang saja telah enjot
tubuhnya setinggi tujuh atau delapan kaki, dan lewatlah jarum
pemburu nyawa itu dari bawah kakinya. Berbareng mana
bayangan orang berkelebat pula, angin tajam telah
menyambar ke muka si imam tua.
Rupanya Gui Djing-si mengetahui adanya sambaran angin
Bu-kek-kiam dari Bu-tong-pay, begitu angin sampai
pedangnya tentu menyusui tiba juga, rnaka lekas ia melompat
pergi sambil menyampuk dengan angin pukulannya, dengan
Lwekangnya yang cukup kuat ia pikir dapat menggoncang
pergi pedang lawan.
Akan tetapi dalam sekejap itu, terasa juga olehnya angin
mengiris lewat di atas kepalanya dan ikat rambutnya terurai,
baru ia insyaf bahwa pedang si gadis sudah berhasil
membabat topi imamnya hingga rambutnya ikut terbabat.
Saking terperanjatnya ia melompat naik setinggi-tingginya
dan dalam kesempatan itu ia melolos pedangnya sendiri yang
terselip di punggungnya.
Sementara itu terdengar gadis itu tertawa terbahak-bahak.
"Gui Djing-si, tadi nonamu telah mengampuni jiwamu, apa
betul kau masih hendak bertanding denganku, nah boleh kau
lihat dalam tiga gebrak saja nonamu nanti akan mengambil
jiwamu!" katanya menghina.
Begitu habis suaranya, pedangnya pun berbareng bergerak,
ia menyabet Gui Djing-si dengan gerak tipu 'Hi-djin-bang' atau
menangkap ikan menebar jala, pedangnya menangkis dari
bawah, ia berniat menempel pedang lawan untuk menjajal
tenaga dalamnya.
Tak ia duga, begitu pedang beradu, segera terdengar suara
nyaring dan pedangnya hampir terlepas dari tangannya. Lekas
ia menggeser langkah dan memutar badannya, ia tarik pedang
ke depan dada dan tangan kirinya membantu tangan kanan
yang menghunus pedang, ia putar senjatanya secepat kilat,
beruntun ia membikin beberapa kali putaran.
Gerakannya ini cukup sebat dan lihai dengan mengandung
banyak perubahan lainnya, apabila pedang lawan beradu lagi.
maka tenaga senjatanya bisa mendadak terkumpul di tengah,
terus menusuk ke tenggorokan lawan, kalau belum
mengetahui cara menangkisnya, sering kali bisa diselomoti
oleh tipunya ini.
Namun gadis itupun tidak gampang diakali, ia menarik
pedangnya terus mengikuti gerak senjata si imam sehingga
terlepas dan garis ancaman. Cara bagaimana ia bertindak
melepaskan diri, Gui Djing-si tak bisa mengetahuinya, maka
dalam kegugupannya ia hendak mengubah serangannya pula,
tetapi sudah terlambat, tiba-tiba pergelangan tangannya
sudah terasa pegal, urat nadinya sudah terpencet oleh tangan
si gadis yang datangnya secepat kilat, seketika itu juga
seluruh badannya terasa kaku kesemutan dan pedangnya pun
terjatuh. Dengan sekali bentak, maka tanpa berdaya si imam tua itu
telah berlutut sambil berulang-ulang memohon, "Nona,
ampuni jiwaku!"
"Masih tidak kau keluarkan mutiara itu, apakah kau minta
batok kepalamu diberi lubang?" bentak si gadis pula sambil
pedangnya menempel ke belakang kepala si imam.
Pada saat demikian ini, sudah tentu Gui Djing-si tak bisa
main akal bulus lagi, selamatkan jiwanya paling penting,
terpaksa ia merogoh saku dan menyerahkan Po-tju atau
mutiara mes-tika yang baru saja ia dapat merampasnya itu.


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu mutiara itu sudah berada di tangannya, gadis itu
segera mendupak sambil membentak pula, "Enyahlah kau!"
Imam itu terdupak hingga menggelundung jumpalitan pergi
sejauh beberapa tombak.
Sudah itu, si gadis memeriksa mutiara yang berada di
tangannya itu di bawah sorotan sinar matahari, kemudian
dengan sekali suitan panjang, laksana segulungan bayangan
hitam ia melayang pergi menghilang di antara hutan belukar.
Begitulah, sia-sia belaka usaha imam tua dari Ong-ok-san
itu, barang diperolehnya dengan gampang, hilangnya pun
mudah dan sekejap saja, dengan memandang bayangan
belakang si gadis dalam matanya penuh mengandung api
kegusaran, namun apa daya, kepandaiannya kalah dengan
orang. Ia merangkak bangkit, berulang-ulang ia menghela napas
gegetun, rasa girang yang tadinya memuncak kini buyar
seketika. Sementara itu karena takut disusul oleh para
pemimpin gerombolan yang diingusi dirinya, lekas ia
berangkat pulang ke Ong-ok-san laksana anjing buduk yang
terusir. Sampai waktu magrib, ternyata belum beberapa puluh li
yang ia tempuh, sedang rasanya ia sudah payah dan susah
melangkah pula. Tiba-tiba ia lihat di bawah sebuah bukit ada
sebuah bio atau rumah biara tua, di depan pintu tertampak
ada seekor kuda putih yang tertambat di situ dengan pelana
yang bagus bersulam, ia menjadi girang, pikirnya siapa yang
menambat kuda di sini, justru aku bisa meminjamnya buat
perjalananku. Tanpa ia tegasi kuda itu pula, begitu membuka tali
tambatan, segera ia mencemplak dan dilarikan dengan cepat.
Akan tetapi di luar dugaannya baru beberapa langkah kudanya
kabur sekonyong-konyong di belakangnya terdengar suara
bentakan nyaring dan secepat angin telah ada orang yang
memburunya. Namun ia tidak menggubris, katanya dalam hati, "Kudamu
sudah berada di tanganku, betapa cepat kau memburu, tak
nanti kau bisa menyandak!"
Begitulah dengan sedikit mendekam di atas kuda itu, ia
kabur secepat mungkin.
Tak ia duga tiada seberapa jauh kudanya dilarikan,
mendadak ia sudah merasakan tubuhnya terapung, dari
belakang terasa ada orang menjambretnya terus diangkat dan
dibanting pergi. Ia terlempar menggelundung hingga
kepalanya merasa pening karena terbanting.
Apabila kemudian ia telah menenangkan semangatnya,
baru ia membuka matanya, di antara senja yang remangremang
ia lihat di atas kuda putih tadi sudah bertambah
seorang wanita cantik yang bukan lain ialah 'Giok-bin-yao-hou'
Bun Sui-le. Giok-bin-yao-hou atau si siluman rase bermuka ayu, Bun
Sui-le ini memang adalah seorang gadis cantik molek sesuai
julukan yang orang berikan padanya, usianya tidak lebih
hanya 24-25 tahun, asal-usulnya tak diketahui orang, hanya
melihat kiam-hoat yang dimilikinya itu terang adalah ahli waris
dari Thian-san-pay.
Ia masih memiliki satu kepandaian lain, ialah dua kaitan di
bawah sepatunya, kakinya yang kecil mungil, pada sepatunya
terpasang kaitan tajam yang menyelip di bawah, apabila
kakinya menendang, dimana tempat yang terkena segera
akan tergurat seperti diiris pedang tajam, tidak sedikit jagoan
dari Liok-lim yang kena diselomoti hingga rada jeri bila
mendengar nama-nya.
Biasanya ia hanya makan yang besar dan tidak makan yang
kecil, pembesar-pembesar korup dan hartawan-hartawan
pemeras apabila bertemu dengannya pasti tidak diberi ampun
lagi. Masih ada keistimewaannya lagi yang sangat
menghebohkan kalangan Hek-to atau golongan gelap, ialah
orang lain bila memperoleh rezeki, maka harus pula membagi
padanya sepertiga bagian, kecuali kalau ia tidak meminta,
sebaliknya tiada yang berani menolak.
Dengan peraturannya itu, semua orang Liok-lim sudah
tentu tidak bisa menurut begitu saja, tetapi belakangan
setelah dua pemimpin kelas satu dari Liok-lim di daerah
Tjwan-siam (Su-tjwan dan Siamsay) kena dibinasakan dan
dipotong-potong menjadi empat keping terus digantung di
atas Kiam-kok, keruan saja seketika itu telah menggetarkan
seluruh pemimpin kalangan Liok-lim dan sesudah itu tiada
yang tak jeri bila berhadapan dengannya.
Gui Djing-si, si imam dari Ong-ok-san itu sudah lama kenal
kelihaian Giok-bin-yao-hou, kali ini dengan sengaja ia
mengajaknya ke Soatang, sepanjang jalan ia sudah
menghasut agar merebut Po-tju itu, namun Bun Sui-le telah
mendamprat dia sebagai pengecut dari kaum Liok-lim, maka
Gui Djing-si tak berani coba-coba menyebutnya lagi, kemudian
dengan sesuatu alasan, ia memisahkan diri dan mendahului ke
Mo-dji-tje untuk menipu dengan akal bulusnya. Tak tersangka
di tengah jaian hasil rampasannya kena direbut pula oleh si
gadis bertopeng, kini ia hendak mencuri kuda, kembali
kebentur pula dengan Bun Sui-le, keruan saja dengan rubuh
gemetaran ia mendekam di tanah sambil memberi hormat
dengan menundukkan kepala sampai menempel tanah tiada
hentinya. "Sui-kohnio, maafkan aku yang bermata anjing tak bisa
mengenali kuda ini adalah milik Kohnio, aku telah berlari
kebingungan hingga Kohnio datang masih belum tahu,
sungguh harus dihukum!" ia meminta ampun.
Habis berkata, ia ketok-ketok batok kepala sendiri dengan
keras. Dengan melirik Bun Sui-le memandangnya sekejap, ia
membiarkan imam celaka itu ketok-ketok kepalanya, sesudah
cukup rupanya baru ia bertanya, "Kau tua bangka ini,
mengapa begitu gugup berlari-lari?"
Celaka, apabila aku berterus terang mungkin jiwaku bisa
lenyap seketika, begitu pikir Gui Djing-si, maka lantas ia
menjawab dengan berdusta.
"Kohnio, orang telah menghinakan aku, mereka telah
berhasil memperoleh sebutir Po-tju, karena takut kita minta
bagian, aku telah diusirnya pergi," dengan rupa harus
dikasihani ia menutur.
Akan tetapi dengan memandang lagaknya itu, Bun Sui-le
sudah dapat mengetahui pasti ia sedang berbohong.
"Siapa yang menghinakan kau?" sengaja ia bertanya.
"Siapa lagi kalau bukan Yan le-lam yang disebut Pat-pilong-
kun itu, mereka suami isteri malah telah mengejar aku
hendak mengambil jiwaku" sahut si imam tua dengan
berlagak. "Bohong!" tiba-tiba terdengar Giok-bin-yao-hou membentak
nyaring. Entah sejak kapan ia telah melolos seutas pecut panjang,
dengan sekali menyabet, cepat sekali imam tua itu sudah
terlilit hingga terangkat ke atas dan diputar di angkasa.
Keruan saja Gui Djing-si berteriak ketakutan dan akhirnya
jatuh pingsan Apabila kemudian ia tersadar kembali, maka ia merasakan
dirinya sudah rebah di bawah emperan bio kuno itu, sedang
Giok-bin-yao-hou terlihat sedang menyalakan segundukan api
dan lagi memanggang sekor kelinci, dengan pisau ia mengiris
daging panggang itu terus dimasukkan ke mulurnya, bau
wangi kelinci panggang itu membikin Gui Djing-si yang
memangnya sudah haus dan lapar jadi mengiler.
Tetapi kemudian ia teringat, ia heran mengapa Giok-binyao-
hou tidak membunuhnya"
Ia coba menggeraki tubuhnya, namun dengan segera satu
sinar putih menyambar menuju padanya, ternyata Bun Sui-le
telah menimpukkan pisau belati yang menyerempet lewat di
atas mukanya dan terus menancap pada tiang emperan,
hampir saja nyawanya melayang apabila terkena, saking
terperanjatnya hingga imam tua celaka itu bermandi keringat
dingin. "Anjing keparat, berani kau coba mendustai aku."
sementara terdengar Bun Sui-le mencaci maki. "Melihat
jenggot kambingmu yang sudah terbakar, terang mutiara itu
sudah kau rebut dan kaubawa kabur, kalau kau masih sayang
jiwamu lekas mengaku terus-terang, jangan sampai nonamu
turun tangan pula."
Baru kini Gui Djing-si mengerti bahwa Giok-bin-yao-hou
tidak membunuhnya karena sudah mendakwa dia mencuri
mutiara mestika, waktu ia memeriksa, tampak jubahnya sudah
robek teriris, terang orang sudah menggeledah tubuhnya, la
insyaf apabila tidak bicara apa yang terjadi sebenarnya, pasti
banyak kegetiran yang harus dirasakannya pula. Terpaksa
dengan suara terputus-putus ia menceritakan semua
pengalamannya dari penemuan sebutir Po-tju di Mo-dji-tje,
hingga akhirnya dirinya telah menggondolnya merat dengan
akal bulus, tetapi kemudian di tengah jalan telah dirampas lagi
oleh seorang gadis bertopeng.
"Dan siapa gadis bertopeng itu?" tanya Bun Sui-le sesudah
mendengar penuturannya, melihat rupa imam celaka yang
menyedihkan itu, ia tahu kali ini tentu tidak berani berbohong
lagi. "Di daerah Soatang sini, aku yang rendah tidak ingat ada
kaum Liok-lim wanita yang berkepandaian seperti dia itu,"
sahut Gui Djing-si. "Usianya masih lebih muda dari Kohnio,
yang dimainkannya ialah Bu-kek-kiam-hoat, tampaknya adalah
anak murid terpuji dari Bu-tong-pay, kalau Kohnio hendak
mengejarnya kiranya masih bisa memburu."
Sambil mendengarkan, Bun Sui-le sembari membatin juga.
Imam tua ini pun memiliki kepandaian yang tidak rendah,
tetapi mengapa dalam dua tiga gebrakan sudah bisa
dikalahkan, tampaknya gadis itu bukan main asal-usulnya
Memang sudah wataknya yang suka pukul yang keras dan
menyerah pada yang lemah, seumpama Gui Djing-si tidak
bilang, ia pun bemiat mengejar si gadis itu, pertama ia hendak
melihat macam wanita apakah bisa berkepandaian tinggi,
kedua ia hendak merebut kembali mutiara mestika itu, agar
tidak memalukan kaum Liok-lim di daerah Tjwan-siam yang
diingusi hanya oleh seorang gadis saja.
Ia membiarkan kuda putihnya yang bagus itu ditunggangi
Gui Djing-si sedang ia sendiri dengan mengunjukkan
kepandaiannya berlari cepat 'Tjhau-siang-hui' atau terbang di
atas rumput, dengan kencang ia mengikut di belakang kuda
Gui Djing-si menuju ke tempat terjadinya perampasan tadi.
Setelah sampai di hutan lebat yang mereka tuju, Giok-binyao-
hou melepas kudanya di bawah pohon dengan mencoret
satu bundaran dengan batu di tanah, ia tepuk-tepuk kudanya
dan tanpa ditambat, kudanya itu ternyata sudah menurut
sekali berdiam dalam bundaran dan tidak melanggar kalangan.
Kemudian mereka berdua terus menyelusup maju sampai di
tengah bukit, keadaan sudah gelap, tetapi remang-remang
mereka nampak di atas puncak bukit ada sinar api, dengan
kepandaian mereka yang gesit dan cepat, tak lama mereka
sudah mendaki sampai di atas, di bawah sebuah tebing
puncak ternyata ada rumah gubuk dan sinar api tembus keluar
dari rumah ini.
Kuatir kalau si imam tua ilmu entengi tubuhnya masih
kurang sempurna, Bun Sui-le berpesan agar dia bersembunyi
saja di belakang sebuah batu besar dan tidak peduli apa yang
bakal terjadi, tak boleh ia sembarangan bergerak.
Kemudian ia sendiri dengan gerakan 'Tong-long-yao-poh'
atau belalang melangkah lompat, ia memanjat sampai di atas
tebing itu, sedang di bawah kakinya berada rumah gubuk itu.
Menyusul mana ia menggunakan gerakan 'Pwe-pi-he-khe' atau
menyandar pada dinding turun ke tebing, ia merembet
pelahan turun ke wuwungan rumah, dengan sekali lompatan
enteng ia sudah menancapkan kakinya di atas rumah tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun.
Apabila kemudian ia menyingkap sedikit atap gubuk dari
alang-alang dan mengintip ke dalam, maka tertampak olehnya
di dalam rumah itu ada seorang gadis jelita yang sedang
membolak-balik memeriksa sesuatu barang. Dimana sinar
mata Bun Sui-le menatap, tepat yang ia lihat ialah sebutir
barang yang bersinar mengkilap dan tak jelas benda apakah
sebenarnya. Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara seruan di
dalam rumah, menyusul mana dengan cepat sinar api telah
disirap. Bun Sui-le cukup cerdik begitu ia melihat api dipadamkan di
dalam rumah, secepat kilat ia sudah menggunakan gerakan
'Li-tjo-ling-yan' atau burung layang-layang meninggalkan
sarang, tubuhnya melayang naik, menyusul itu dari bawah
segera tertampak dua sinar hijau yang menyambar keluar
melalui atap rumah itu dan lewat menyerempet di
sampingnya. Diam-diam Bun Sui-le bersyukur terlepas dari bahaya itu.
tetapi tak ia duga, dalam sekelebatan itu bayangan orang pun
sudah sampai, sekejap saja gadis di dalam rumah tadi pun
sudah muncul di hadapannya.
"Perempuan liar darimanakah berani mengintip nonamu
ini!" terdengar orang telah membentak dengan tertawa dingin.
Dengan sendirinya Bun Sui-le mundur selangkah untuk
mengeluarkan senjatanya, kemudian ia mengawasi lawan
yang dihadapinya ini.
Ternyata si gadis ini memakai baju dan celana singsat
ringkas, sepatu kain yang tipis dan ikat pinggang berwarna
merah jambu, senjata pedang terhunus di tangannya, ia
berdiri dengan tegak, angkinnya melambai-lambai tertiup
angin malam, Bun Sui-le terpesona oleh gadis di depannya ini.
Sementara si gadis itu pun sedang memandang padanya,
namun segera ia mendahului membentak pula.
"He, apa yang kau pandang" Berani datang mengapa tak
berani lantas bergebrak!"
Belum pernah Giok-bin-yao-hou dihinakan orang, kena
dipancing oleh perkataan gadis itu, segera pedangnya lantas
menusuk, dengan tipu 'Ping-niau-thio-ie' atau burung garuda
pentang sayap, begitu pedang si gadis menangkis, dengan
segera pedangnya ia sampuk terus dibarengi dengan
melangkah maju, tangannya yang lain dengan gerak tipu 'Bokie-
djiu' atau pukulan menubruk cepat, segera ia menjojoh ke
bawah dada orang.
Akan tetapi waktu melihat gerak serangan lawan, gadis itu


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata tidak lantas menyambut tusukan orang, ia hanya
sedikit berjongkok terus dengan cepat ia menggunakan tipu
'Djiu-hun-pi-pe' atau tangan menabuh pi-pe (alat musik mirip
gitar), dengan ujung pedang mengarah ke atas, ia pentang
tangannya yang lain melindungi dadanya, begitu pedang
beradu segera tergon-cang pergi berbareng. Sementara itu
Bun Sui-le pun urung melontarkan gerak tipu 'Bok-ie-djiu',
kepalannya lekas ia tarik kembali.
Kiranya begitu ia melihat si gadis melontarkan tipu gerakan
itu, segera ia mengetahui lawannya ini bukan lawan sembarangan
dan siang-siang sudah dapat menduga apa yang
hendak ia lakukan.
Dalam pada itu, begitu ujung pedang tergetar, segera gadis
itu melangkah maju pula dan beruntun menyerang dua kali
dengan cepat, dengan mundur dua langkah barulah Bun Sui-le
dapat menahan tusukan lawan itu, namun demi melihat
sebelah bawah musuh tidak terjaga baik. segera ia menikam
dengan satu gerakan pancingan, sampai di tengah jalan
mendadak ia menekan pedangnya ke bawah terus dengan
cepat sekali ia membabat ke kaki musuh.
Begitu serangan si gadis tadi tak berhasil dan mendadak ia
melihat senjata orang berkelebat menyapu kakinya, secara
gesit sekali ia enjot tubuhnya dan melompat naik dengan
sedikit miring, sedang pedangnya pun berbareng membacok
mengarah kepala Giok-bin-yao-hou.
Serangannya itu begitu cepat dan tiba-tiba laksana bintang
jatuh dari atas langit, Giok-bin-yao-hou, si siluman rase
bermuka ayu, yang sedang mengkerut tubuh dan menyerang,
ia tak menduga pedang lawan bisa begitu cepat, maka buruburu
ia menarik senjatanya dan tubuhnya mengegos ke
samping, dengan setengah merebah ia menyanggah dengan
tangan kanan, terus ia barengi dengan gerak tipu 'Ho-pingkiu-
li' atau merebah di tanah es memohon ikan mas,
pedangnya mengacung ke atas terus membentur senjata
musuh yang sedang menikam dengan hebatnya itu.
Melihat lawannya masih setengah rebahan, gadis itu
menekan pedangnya ke bawah hingga suara nyaring
beradunya senjata terdengar keras, dalam sekejap itu Giokbin-
yao-hou menjadi murka, ia mengunjukkan tipu
serangannya yang ganas dengan kakinya, pada kesempatan
kedua senjata masih beradu, ia menggeser tubuh dan
berbareng kedua kakinya menendang dengan cepat membawa
dua titik sinar yang mengkilap yang bukan lain ialah kaitan
tajam yang terselip di bawah sepatunya.
Namun pandangan mata si gadis ternyata cukup jeli,
dengan mengangkat kedua bahunya ia berjumpalitan, kedua
kaki yang bersenjata tajam dari Bun Sui-le itu menyerempet
lewat di bawah sepatunya. Gerakan kedua pihak begitu cepat
dan gesit sekali.
Kemudian gadis itu menancapkan kakinya kembali dan
Giok-bin-yao-hou pun berbangkit berdiri pula, maka mereka
berdua sudah berhadapan dalam jarak lebih setombak.
"Ha, kiranya kau adalah siluman wanita Bun Sui-le itu,
nonamu tiada sedikit sangkut-paut dengan kau, kita boleh
berbuat menurut tujuan masing-masing, mengapa kau datang
mengintip gerak-gerikku?" tanya gadis itu dengan membentak
dan pedang menuding.
Seketika Bun Sui-le tercengang demi mendengar orang
mengenali dirinya.
"Bocah ini termasuk hebat juga, begitu nampak kaitan
kedua kakiku, segera ia mengetahui asal-usulku," begitu ia
membatin. "Tetapi aku pun hendak menjajalnya, coba dari
aliran manakah dia ini?"
"Kau, si bocah ingusan, kalau sudah mengetahui nama
besar Tjetjumu, seharusnya kau katakan terus-terang
perbuatanmu, mungkin aku bisa mengampuni kau, anak murid
dari Bu-tong-pay," sahutnya kemudian dengan pedang
tergenggam. "Ayo, begitu besar mulutmu," gadis itu mencemooh. "Kau
ingin tahu diri nonamu, boleh kau tanya Tji-yang totiang di
Bu-tong-san, kau minta aku menceritakan, sedikitnya kau
harus menangkan pedangku ini lebih dulu."
"Budak busuk yang kurang ajar, kau kira dengan
menonjolkan nama Tji-yang Todjin aku lantas menjadi
kuncup?" bentak Bun Sui-le dengan gusar. "Terus terang saja
kedatanganku ini melulu menghendaki mutiara yang telah kau
rebut itu, hanya ada dua jalan boleh kau pilih, jiwa atau
mutiara!" Setelah itu ia mengayun pedangnya, ujung senjata
mengarah ke depan, segera angin tajam menyambar ke muka
si gadis. Akan tetapi gadis itu tak gentar.
"Mutiara ada padaku, tetapi jangan kau harap!" sahurnya
dengan tertawa dingin.
Habis itu dengan sekali seruan, senjatanya pun bergerak
dan kembali terdengar pula berulang-ulang suara beradunya
pedang, dalam sekejap dengan cepat sekali mereka telah
saling serang dengan seluruh kemampuan yang ada pada
mereka, pertempuran yang makin sengit memecah kesunyian
malam. Kedua orang itu makin bertarung makin hebat, yang
seorang adalah tokoh Liok-lim tersohor dan yang lain
memperoleh pelajaran kiam-hoat dari cabang persilatan
ternama, keduanya setanding dan sama kuat, walaupun
pertempuran sudah berjalan hampir satu jam, namun masih
belum menunjukkan mana yang lebih unggul.
"Giok-bin-yao-hou, nonamu besok pagi-pagi masih ada
janji, terpaksa aku tak bisa melayani kau terus, tetapi kalau
kau ingin menentukan mana yang lebih kuat, besok malam
boleh kau ke sini lagi!" tiba-tiba gadis itu berseru.
Kuatir kalau lawannya kabur, Bun Sui-le malah
memperkencang serangan pedangnya.
"Tak mungkin kau coba mengingusi aku, kecuali kalau kau
meninggalkan mutiara itu, baru jiwamu boleh aku ampuni!"
sambutnya. "Siapa hendak membohongi kau," kata si gadis dengan
gusar. "Kalau begitu adalah kau sendiri yang mencari
mampus, sebentar lagi tentu kau boleh tahu rasa."
Atas perkataan orang yang terakhir itu, Bun Sui-le menjadi
ragu-ragu, pikirnya, "Jangan-jangan ia telah berjanji dengan
orang pandai di sini" Dan kalau betul, ditambah lagi seorang
lawan tangguh, bisa-bisa aku terjungkal di depannya."
Pada kesempatan ia lagi ragu-ragu, gadis itu telah
mengayun tangannya, mendadak ia menimpukkan dua buah
'Liu-yap piau'.
Cepat Bun Sui-le mengegos berkelit, ia dapat
menghindarkan sebuah senjata piau dan pedangnya
menyampuk jatuh sebuah piau lainnya. Akan tetapi pada saat
itu juga, dengan sekali enjotan kilat, gadis itu sudah melompat
pergi hingga jauh.
Ia coba mengejar, namun tertampak gadis itu dengan
cepat sekali, dengan beberapa kali naik turun melompat,
dalam sekejap saja sudah berada sejauh beberapa tombak.
Pada saat itu juga, dari dalam hutan lebat di depan sana
berkumandang suara gitar aneh hingga daun-daun pohon
pada rontok. Bun Sui-le jadi merandek, ia kuatir dalam hutan betul-betul
bersembunyi orang pandai. Dan karena sedikit merandeknya
itu, gadis itu sudah menerobos masuk ke dalam hutan dan
menghilang. Karena tak bisa menangkan orang, Bun Sui-le berbalik jadi
gemas terhadap Gui Djing-si, si imam celaka itu, dia sudah
menempur setengah malaman, tetapi tidak tampak ia
mengunjukkan diri untuk membantu.
Dalam keadaan mendongkol, ia berbalik kembali masuk ke
dalam rumah gubuk, ia lihat di dalamnya hanya terdapat
sebuah pembaringan dari bambu dan meja kecil dari kayu.
Dari dalam kantongnya ia mengeluarkan geretan api, ia
nyalakan lilin yang ada di meja hingga dapat melihat jelas
pada pembaringan bambu itu terdapat sebuah buntalan kecil,
lekas ia mengambilnya dan diperiksa, dalam buntalan itu
ternyata hanya terdapat dua potong baju wanita petani, dan
masih ada pula secarik kain hitam penutup muka dengan dua
lubang untuk mata.
Waktu ia memeriksa lagi, mendadak dari buntalan terjatuh
sebuah benda, ia memungutnya dan dilihat, ternyata adalah
sekeping besi, benda ini biasanya digunakan sebagai tanda
bukti dalam perkumpulan dan gerombolan rahasia.
Giok-bin-you-hou girang sekali, dengan cepat ia masukkan
ke dalam sakunya.
Ketika ia keluar dari rumah itu, tiba-tiba dilihatnya di
belakang batu besar tadi menggeletak seseorang, ia menjadi
terkejut. Tetapi sesudah ia menegasi, baru ia ketahui adalah Gui
Djing-si yang tertidur dengan bersandar pada batu itu, dari
hidungnya masih terdengar suara gerosan.
Keruan ia makin mendongkol, ia angkat kakinya dan
menyepak. Dalam kegugupannya kena tendangan, Gui Djingsi
merangkak bangun dengan cepat.
"Aku si tua bangka ini sudah tidak berguna lagi, sebentar
saja sudah tertidur, harap nona suka memaafkan!" katanya
dengan kuatir. "Apakah budak tadi sudah nona bereskan?"
Kiranya pada waktu ia melihat dari rumah gubuk itu
melompat keluar seorang gadis yang bukan lain ialah gadis
bertopeng yang ia ketemukan siang harinya, saking
terkejutnya ditambah letihnya berlari seharian, semangatnya
sudah tak tahan lagi hingga dalam keadaan tak sadar ia telah
menggeros pulas.
Mendengar pertanyaannya tadi, Bun Sui-Je makin
bertambah mangkel.
"Masih kau tanya! Mengapa tadi kau tak muncul membantu
aku?" gertaknya dengan uring-uringan.
"Sui-kohnio, pedangku sudah hilang, kau telah berpesan
juga tak boleh sembarangan bergerak, mana aku berani
membantah perintahmu itu?" sahut Gui Djing-si dengan muka
bersungut. Giok-bin-yao-hou menjengek, tetapi ia pikir tiada gunanya
mengomel padanya, maka segera ia membentak pula dan
berbareng mereka turun gunung kembali, sampai pada hutan
tadi, ternyata kuda putihnya masih tetap berada dalam
lingkaran yang digariskan tadi.
"Dengan seekor binatang saja kau kalah, setidak-tidaknya
binatang ini tak mempunyai hati busuk seperti kau," dengan
mata melotot ia berkata pula pada Gui Djing-si. "Kalau kau
masih ingin hidup, baiklah berjalan dengan menuntun kudaku
ini." Sudah tentu imam tua sial ini tidak berani membantah,
dengan menarik tali kekang kuda, ia berjalan di depan, tetapi
dalam hati diam-diam ia mencaci maki. Keadaannya yang
menyedihkan itu membikin orang tertawa.
Kembali bercerita tentang para gagah perkasa di Mo-dji-tje,
sesudah mereka diingusi dan mutiara mestika kena diserobot
oleh Gui Djing-si, semula banyak yang berniat hendak
mengejar, akan tetapi Si Liang mencegah.
"Tjuwi tak perlu ribut," ujarnya. "Imam busuk ini sangat
licin, kini hendak mengejarpun sudah terlambat, baiknya kita
boleh lantas menyiarkan berita bahwa mutiara mestika sudah
jatuh ke dalam tangannya itu, tak lama kemudian dengan
sendirinya pasti ada orang pandai dan pejabat negeri yang
akan membikin perhitungan dengannya."
Teng Hong-ko tidak mengerti oleh keterangannya itu.
"Dengan cara begitu, bukankah Po-tju itu akan terjatuh
kembali ke dalam tangan cakar alap-alap pemerintah?"
tanyanya. "Memang begitulah tujuan kita," jawab Si Liang dengan
tertawa. "Kita lebih baik merebutnya kembali dari pejabat
pemerintah, daripada pergi menguber-uber jejak Gui Djing-si."
Begitulah sesudah urusan diatur baik, mereka masingmasing
lantas menjalankan tugasnya sendiri.
Sesudah pada bubar, Teng Hong-ko lihat hanya tinggal Si
Liang dan suami isteri Yan Ie-Lam saja yang masih tinggal di
dalam markas. Si Liang adalah seorang pemeluk agama, maka siang-siang
ia sudah bersemedi di dalam kamarnya hingga tiada orang lain
lagi di ruangan tengah.
Hong-ko teringat pada kejadian di rumah pondokan, dimana
ia telah mencuri baca surat dinas yang dikirimkan pada
gubernur, di antaranya terdapat selembar nota pengiriman
barang yang bertanda bundaran dengan tinta merah pada
saru baris nama barang yang tertulis 'Semangka Hami dari
Lantjiu', semangka itu termuat menjadi sembilan kereta dan
waktunya jatuh besok pagi.
Karena merasa di antara tanda-tanda dalam surat dinas itu
pasti ada terkandung rahasia tertentu, lantas Hong-ko
menceritakan pengalamannya itu kepada Yan le-lam.
"Saudara Teng, mengapa tidak kau katakan sejak dulu,
hampir saja kita melepaskan 'jual-beli' yang baik itu begitu
saja," kata Yan le-lam sesudah ia berpikir sejenak.
"Yan-tayhiap, barang dagangan apakah dalam kereta itu?"
tanya Hong-ko yang masih belum paham.
"Kau baru saja mengunjuk diri di kalangan Kangouw dan
masih plonco, mana bisa kau tahu banyak peraturan dalam
Kangouw," dengan tertawa Yan le-lam menerangkan. "Kita
menguntit sesuatu incaran barang pun ada istilah tertentu,
ialah kesatu mendengar, kedua menguntit, ketiga mengintip,
keempat membongkar dan kelima melihat gelagat, tanpa
sengaja kau ini dapat membongkar tanda rahasia mereka, ini
adalah barang yang harus kita incar, dan tentu pula ialah Potju
kedua yang diam-diam hendak diangkut Tjhi Djin-ho ke
Soatang sini."
Mendapat penerangan itu, Hong-ko menjadi girang tidak
kepalang bercampur kaget.
"Yan-tayhiap, kalau begitu kita besok mencegat saja kereta
itu, bukankah kita lantas akan berhasil?" tanyanya lagi.
"Mana bisa begitu gampang, saudara," sahut Hoa-lihiap
dengan tertawa menimbrung. "Kita harus menyelidiki dulu
kereta yang mana tempat disembunyikannya mutiara mestika
itu, baru kita bisa turun tangan dengan tepat."
Meskipun Hong-ko masih hijau, namun otaknya memang
cukup cerdas, dengan sedikit berpikir ia sudah dapat menerka.


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku terka pasti disembunyikan pada kereta ketujuh itu,"
ujarnya. Suami isteri Yan Ie-lam mengangguk atas perkataannya.
Terkaanmu memang tidak salah," kata mereka. "Tujuh
tanda bundaran merah itu menunjukkan bahwa Po-tju
disembunyikan di atas kereta ketujuh, cuma Tjhi Djin-ho yang
biasanya tidak pernah gegabah bertindak, menurut
penglihatanku, kali ini diam-diam tentu ia telah mengirim pula
pengawal yang pandai mengikuti rombongan kereta itu."
'Barangkali kamu orang tua telah lupa pula atas perkataan
Gui Djing-si?" kata Hong-ko pula. "Ia mengatakan bahwa
Giok-bin-yao-hou telah mendapat berita bahwa Tjhi Djing ho
telah memberangkatkan pula sebutir mutiara mestika yang
lain dari Khayhong dan yang mengawal ialah apa yang
dikatakannya sebagai ahli dari Ko-yang-pay, bernama Ie Djan
berjuluk 'Sip-tiat-hong' dan Tji Tjing-hian yang berjuluk 'Hoansan-
kau', pengawalnya kali ini mungkin ialah kedua orang itu."
Setelah dirunding lagi lantas mereka memuhiskan
berangkat malam itu juga, mereka menaksir kereta yang
mengangkut tentu melalui jalan dan Tay-bing-hu dan Tongtjiang
terus ke Tjelam.
Yan Ie-lam berpesan pada Hong-ko agar jangan
memberitahukan pada orang lain lagi, supaya tidak terbeber
kabar itu hingga banyak menjadi incaran tokoh Kangouw
cabang lain. Selain itu ia katakan pula pada Hong-ko,
"Saudara Teng, di tengah jalan kita jangan saling sebut nama
yang asli, kau sebut saja kami dengan Toako dan Enso saja,
sedang kau yang baru mengunjukkan diri paling baik kalau
berganti nama dengan sebuah julukan untuk menghindarkan
perhatian dari pejabat pemerintah, seumpama terjadi sesuatu,
namamu pun tidak diumumkan sebagai seorang buronan."
Begitulah setelah dirundingkan lagi, akhirnya Teng Hong-ko
dipilihkan nama julukan 'Siau Kim-kong".
Malam itu juga, dengan tiga ekor tunggangan segera
mereka berangkat setelah melewati Tjelam. malam keduanya
mereka menginap di Tong-tjiang dan besoknya pagi sekali
mereka lantas berangkat pula.
Di depan tertampak sebuah hutan Tjo dengan lereng bukit
yang naik turun di sana-sini, selajur jalan besar membujur di
tengah, menembus hutan Tjo itu menuju ke depan.
Waktu itu sang surya baru memancarkan sinarnya, kabut
malam masih belum buyar, dalam jarak belasan tombak
jauhnya masih belum dapat memandang jauh dengan jelas.
"Inilah suatu tempat yang bagus untuk kita turun tangan,
cuma entah kaum pembesar celaka itu apakah sudah
berangkat pagi-pagi begini?" ujar Yan Ie-lam.
"Di depan sana ialah Tong-poh, sebuah kota kecil, tadi
malam tentu mereka bermalam di sana, menurut tafsiran,
tidak sampai satu jam, tentu mereka sudah bisa sampai di
sini," sahut Hoa-lihiap.
Maka mereka bertiga lantas turun dari kuda dan
menyembunyikan diri ke dalam hutan Tjo itu.
Dengan pelahan Hong-ko mengenjot tubuhnya, ia
memanjat ke atas sebatang pohon. Tempat ini kebetulan
adalah dataran tinggi di atas bukit, oleh karena itu bila
memandang jauh ke depan akan terlihat jalanan besar yang
berliku-liku mengikuti naik turunnya bukit menjulur panjang.
Di antara kabut yang remang-remang itu sudah tampak dari
jauh ada serombongan bayangan orang yang muncul dari
belakang bukit.
Hong-ko girang sekali, ia bersuit memberi tanda pada
rekannya yang berada di bawah pohon, tidak ayal lagi Hoa-
Iihiap segera menyusul meloncat naik juga ke pucuk pohon
untuk mengintip apa yang dapat dilihat oleh Hong-ko.
Ketika itu pelahan-lahan iring-iringan kereta sudah semakin
mendekat, oleh karena itu sudah dapat tertampak dengan
jelas ada suatu barisan panjang lambat laun mendekati rimba
Tjo itu. Kiranya konvoi kereta ini memang tidak salah adalah kereta
rangsum milik gubernur Soatang.
Seperti telah diceritakan di muka, tidak lama lagi Kaisar
Khong-hi hendak bersujud ke Thay-san, mendapat kabar itu
siang-siang Tam Ting-siang sudah menyediakan semua
barang keperluan yang hendak disuguhkan pada maharajanya
itu. Pada kesempatan itu juga Tjhi Djin-ho diam-diam telah
menyembunyikan sebutir mutiara mestika dari Tjin-tju-goan ke
dalam kereta dan secara rahasia diangkut ke Soatang.
Sebagai Popio atau pengawal dari konvoi itu ialah dua
orang jagoan cabang atas dari Bu-lim atau dunia persilatan,
seorang bernama Ie Djan dan yang lain Tji Tjing-hian.
Ie Djan adalah jagoan ternama dari Ko-yang-pay yang
sudah kawakan, ia pandai dalam ilmu Kim-na-djiu, yakni
kepandaian cara mencekal dan menawan yang mempunyai
tujuh puluh dua rupa gerakan. Sedangkan Tji Tjing-hian
menggunakan toya yang disebut 'Dju-bwe-kun', toya buntut
tikus, karena ujungnya yang lancip, ia mempunyai tenaga
yang luar biasa, dengan sekali toyanya menyodok ia sanggup
melubangi batang pohon sedalam beberapa senti.
Walaupun Ie Djan dan Tji Tjing-hian keduanya termasuk
jago kawakan dari Ko-yang-pay, tetapi karena ingin
kedudukan dan tamak oleh kemewahan, maka sudah lama
bercita-cita memperoleh sedikit pangkat.
Kali ini setelah Tjhi Djin ho datang ke Hoa-san dan bertemu
dengan pendekar golongan Khong-tong-pay yang tinggal di
Tjhui-hun-kiong di atas gunung tersebut, kebetulan Ie Djan
pun mengunjungi tempat itu. Rupanya memang bintangnya
lagi terang juga, maka Tjhi Djin-ho segera meminta dia
menjadi pengawal barang kiriman kepada Tam Ting-siang di
Tjelam. Ie Djan tidak ragu-ragu lagi untuk menerima tugas itu,
bahkan ia malah mengusulkan pula saudara seperguruannya
'Hwan-san-kau' atau ular pelintas gunung, Tji Tjing-hian untuk
membantu mengawal pula.
Tjhi Djin-ho memangnya sedang membutuhkan tenaga
orang, maka sudah tentu ia menerima dengan segala senang
hati. Begitulah, kemudian Ie Djan dan Tji Tjing-hian mengikuti
iring-iringan kereta rangsum dari gubernur Soatang itu dan
secara berbondong-bondong berangkat menuju ke Tongtjiang.
Kereta-kereta itu hanyalah kereta kecil yang ditarik oleh
keledai, tetapi sembilan kereta yang harus Ie Djan kawal itu
memuat semangka Hami, sebelum berangkat ia sudah dipesan
oleh Tjhi Djin-ho agar memperhatikan kereta yang ketujuh.
Oleh sebab itu, sepanjang hari dalam perjalanan, Ie Djan
senantiasa mendampingi kereta ketujuh itu, sedang Tji Tjinghian
ia suruh menjaga di depan.
Hari itu, tidak lama sesudah mereka berangkat, hutan Tjo
sudah melintang di depan mereka, sedang di kedua
sampingnya terdiri dari lereng-lereng bukit yang miring, hanya
di samping gunung itu terdapat jalanan yang menuju ke utara.
Melihat sekitar tempat situ cukup berbahaya, diam-diam Ie
Djan berkata pada saudara seperguruannya, "Laute. paling
akhir ini kabarnya tidak sedikit sahabat-sahabat kalangan Lioklim
dari sekitar Tjwan-siam telah berkumpul secara beramairamai
di Soatang sini, tindak-tanduk mereka agaknya seperti
akan ada sesuatu perdagangan yang baik!"
Tji Tjing-hian adalah orang yang periang, oleh karena itu.
ia tak terlalu menghiraukan apa yang dikatakan kawannya itu.
"Ada dagangan biar mereka yang mengerjakan" jawabnya.
"Kita berdua hanya mengawal tidak lebih sembilan kereta
semangka Hami ini, lagi pula Tjhi Djin-ho tiada sesuatu barang
dagangan yang diserahkan pada kita, buat apa toako harus
ber-kuatir!"
"Rupanya Laute tidak tahu," kata le Djan pula. "Bahwa di
antara sembilan kereta ini tersembunyikan benda yang jauh
lebih berharga dari barang dagangan, meski tidak aku ketahui
barang apakah sebenarnya, tetapi melihat cara Tjhi Djin-ho
wanti-wanti berpesan padaku sebelum kita berangkat, kali ini
bagaimanapun juga, harus kita selamatkan kereta nomor
tujuh itu sampai Tje-lam, walaupun hanya sebuah semangka
saja umpamanya, juga tak boleh dihilangkan!"
Tengah asyik mereka berbicara, sementara itu mereka
sudah berhadapan dengan hutan Tjo, tiba-tiba terdengar satu
suara teriakan, menyusul dari dalam hutan melompat keluar
seorang laki-laki.
Orang ini berdandan sebagai pemain silat, pakaian
seluruhnya berwarna kuning Jingga, tangannya mencekal
sebatang pedang tajam, begitu melompat keluar segera ia
menerjang ke dekat kereta yang memuat semangka itu.
Menampak peristiwa yang mendadak itu, kusir dari kereta
yang di depan seketika menjadi kalang kabut, saking
ketakutannya, hingga mereka meninggalkan kereta keledai
terus angkat langkah seribu.
Melihat keadaan yang tiba-tiba itu, Tji Tjing-hian berniat
mencegah, namun sudah terlambat.
Sementara itu beberapa prajurit yang ditugaskan untuk ikut
mengawal, waktu mendengar ada ramai-ramai mereka segera
memburu datang. Namun belum sampai beberapa abdi negara
itu sempat menunaikan tugas mereka, si lelaki tadi tiba-tiba
menerjang balik, pedangnya diayun dan diputar dengan cepat,
dalam sekejap saja beberapa prajurit itu sudah ditusuk roboh.
Nampak gelagat jelek itu, Tji Tjing-hian masih berusaha
menghindarkan pertarungan, segera ia maju ke depan.
"Dengarkanlah Hohan (orang gagah)!" serunya. "Apa yang
dimuat kereta kami hanyalah barang-barang yang tak
berharga, apabila kau menghendaki mungkin hanya akan
membuang tenagamu saja!"
Sembari berkata sambil ia menyingkap kerai kereta, maka
segera tertampaklah isi di dalamnya yang memang bukan lain
penuh berisi semangka Hami dari Lantjiu.
Akan tetapi lelaki itu ternyata tidak gampang menerima
begitu saja, dengan alisnya yang menegak tiba-tiba ia
membentak, "Bagus perkataanmu! Nah, kalau memang
barang yang tak berharga, baiklah boleh kautinggalkan
sekereta saj^, lekas kau tinggalkan kereta nomor tujuh itu
dan kamu boleh segera jalan terus!"
Mendengar ucapan itu, le Djan yang masih tetap menjaga
di samping kereta ketujuh, ia segera tahu rahasianya sudah
terbongkar oleh orang, maka diam-diam ia bersiap sedia.
Sementara itu Tji Tjing-hian pun insyaf keadaan sudah
genting, pertarungan susah dielakkan pula, maka toyanya
dengan segera sudah ia lorot dari samping kereta.
"Penjahat kurang ajar!" bentaknya dengan gusar. "Kereta
ini adalah milik pemerintah, kau berani hendak membegalnya,
terang kau sendiri yang mengantarkan jiwamu!"
Habis berkata, segera ia menerjang maju, dengan gaya
serangan 'Pek-ljoa-tho-sin' atau ular putih melelet, toyanya
terus ia sodokkan ke muka lelaki itu.
Dengan sedikit mengegos sambil tubuhnya sedikit
berjongkok, lelaki itu mengelakkan sodokan toya lawan,
menyusul itu pedangnya ia angkat terus menyampuk dan
menindih ke bawah, namun segera ia dapat merasakan toya
Tji Tjing-hian mempunyai tenaga yang tidak lemah, dengan
cepat ia menarik kembali senjatanya sambil melompat ke
samping, sudah itu pedangnya membalik, dengan tipu 'Taypeng-
tian-sit' atau burung garuda pentang sayap, ia menikam
ke samping tubuh Tji Tjing-hian dengan cepat sekali. Lekas Tji
Tjing-hian menggeser sebelah kakinya, berbareng itu toyanya
ia sabetkan ke samping, dengan demikian terdengar suara
beradunya benda keras, pedang lawan dapat ia pentalkan
pergi. Lelaki itu agaknya mengerti telah menemukan tandingan
yang memiliki kepandaian toya yang tinggi, maka ia tak berani
gegabah, beruntun dan susul-menyusul ia kencangkan
senjatanya, ia menusuk, membacok, dan menikam secara
bertubi-tubi, sinar pedangnya gemerlapan naik-turun. Akan
tetapi Tji Tjing-hian tidak menjadi gugup oleh rangsekan
lawan itu, toyanya diputar sedemikian rupa hingga seakanakan
seekor naga hidup yang melingkar di angkasa kian
kemari, beberapa kali toyanya beradu pula dengan pedang
musuh hingga menerbitkan suara nyaring yang gemerincing.
Dengan ilmu toyanya itu, ia menjaga rapat dirinya, ia
mengelakkan setiap serangan senjata lawan. Namun bagi le
Djan yang menyaksikan di samping, ia sudah merasa tak
sabar. Tetapi karena ia harus menjaga terus pada keretanya dan
tidak ingin mengunjukkan diri. maka dengan seksama ia
melihat Tji Tjing-hian sudah menempur musuh sedemikian
rupa, namun ia tidak berdaya buat maju membantu.
Dalam pada itu tiba-tiba dari dalam hutan menyambar pula
suara angin, berbareng itu meloncat keluar pula seorang.
Waktu ia menegasi, maka yang datang belakangan ini
ternyata adalah seorang wanita yang berusia antara 24-25
tahun, kepalanya memakai ikat kain kembang, berbaju hijau
dan bercelana hitam, dandanannya kencang sepan, parasnya
cantik menarik, agaknya sudah pernah ia jumpai entah
dimana, hanya seketika ia tidak ingat.
Begitu melompat, wanita itu sudah sampai di belakangnya
Tji Tjing-hian, terus senjatanya hendak membacok ke
belakang kepala orang dengan tipu 'Khing-hong-sau-tun' atau
menyambut angin menyapu debu.
Melihat serangan yang berbahaya itu, le Djan kuatir akan
keselamatan kawannya itu, namun dugaannya ternyata
meleset. Tji Tjing-hian yang sudah kawakan, ia cukup
berpengalaman, waktu mendengar ada suara sambaran angin
dari belakang, segera ia memegang toyanya tegak di depan
dada. mendadak ia memutar cepat tubuhnya, dengan
demikian segera terdengar suara nyaring, senjata-senjata
lawan dari muka dan belakang semuanya telah dapat ia
tangkis. Nampak kejadian itu barulah le Djan menghela napas lega.
Sementara itu lelaki dan wanita itu masih terus
mengerubuti Tji Tjing-hian dengan hebat. Lama kelamaan Tji
Tjing-hian sudah tertampak kewalahan. Ia hanya mampu
menangkis saja dan sudah tak sanggup balas menyerang.
Kedua orang yang tiba-tiba menyergap keluar dari hutan ini
bukan lain ialah suami istri Yan le-lam.
Sebenarnya menurut rencana mereka bertiga, lebih dulu
berniat menghantam roboh dulu salah seorang Popio atau
pengawalnya, sesudah itu barulah mereka menyerbu keluar


Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk merampas kereta.
Siapa tahu Tji Tjing-hian adalah ahli toya, seketika itu Yan
le-lam ternyata tak bisa merobohkannya, akhirnya Hoa-lihiap
pun menyergap keluar buat mengembut.
Sementara itu dalam hutan masih bersembunyi seorang.
Teng hong-ko, sudah lama ia memakai kedok kain hitam yang
menutupi setengah mukanya, ia lihat iring-iringan kereta yang
berhenti di tepi jalan itu, sudah banyak kusirnya yang kabur,
hanya tinggal kereta nomor tujuh yang di sampingnya berdiri
seorang lelaki berusia sekitar lima puluhan tahun, dengan
kedua matanya tajam bersinar ia sedang mengamat-amati
pertarungan sengit di antara Yan le-lam bertiga, apabila
keadaan menunjukkan berbahaya, tangannya lantas
tertampak merogoh ke dalam saku.
Hong-ko tahu tentu orang ini ialah le Djan yang berjuluk
'Sip-tiat-hong" atau angin sepuluh kali menjatuhkan, karena ia
mengetahui Tji Tjing-hian memakai toya, kini lelaki yang
bertangan kosong ini tidak usah disangsikan lagi tentu ialah le
Djan. Dalam pada itu, di sebelah sana Tji Tjing-hian sedang
bermandi keringat oleh rangsekan Hoa-lihiap, sedang Yan le-
Iam mendadak mendekat ke arah tubuhnya, berbareng itu
dengan gerak tipu 'Lok-hoa-tay-sau" atau bunga rontok
menunggu disapu, dengan cepat sekali pedangnya menyabet
kedua kaki Tji Tjing-hian.
Dalam sekejap itu tampaknya Tji Tjing-hian sudah tidak
mungkin menghindarkan diri dari nasib terbuntung kedua
kakinya, mendadak telah kedatangan seorang penolong, dua
titik bersinar sekonyong-konyong sudah menyambar datang
menuju ke arah muka Yan le-lam.
Mendengar berkesiurnya angin, Yan le-Iam mengerti ada
senjata rahasia, maka segera ia menarik senjatanya terus
melompat ke belakang, dan betul juga, dua senjata pisau kecil
laksana kilat sudah menyambar lewat, karena halangan itu
maka terluputlah Tji Tjing-hian dari malapetaka.
Laksana anak sapi yang baru dilahirkan yang tak kenal apa
artinya takut, Hong-ko yang menyaksikan kejadian itu di
tempat persembunyiannya, mendadak melayang keluar,
dengan gerakan "Yan-tju-tjwan-liam" atau burung layanglayang
menerobos kerai, ia mengunjukkan dirinya keluar
hutan, berbareng itu 'Go-bi-djing-kong-kiam' miliknya secepat
kilat terus ia bacokkan, dengan tipu 'Lik-bi-hoa-san' atau
membelah Hoa-san sekuat tenaga, ia mengarah kepala Ie
Djan. Dengan kesehatannya yang luar biasa itu, tampaknya ia
sudah akan berhasil, orang tua itu dengan segera bisa
terbelah menjadi dua oleh pedangnya.
Tak terduga, orang tua yang seperti tak mengetahui ada
orang hendak membokong padanya itu, tiba-tiba mengibaskan
lengan bajunya yang terbikin dari kain kasar belacu itu,
dengan kibasan itu ujung pedang Hong-ko yang semestinya
sudah hampir mengenai sasaran, tiba-tiba terpental pergi oleh
satu kekuatan yang sangat besar, bahkan tubuhnya pun ikut
tergetar pergi hingga beberapa tindak.
"Penjahat cilik berkedok, dengan diam-diam kau hendak
menyergap, siapa suruh kau begitu tak tahu aturan!" dengan
tertawa cekikikan Ie Djan mengejek.
Keruan saja Hong-ko menjadi murka. "Nanti kucabut
jiwamu yang tua bangka ini!" bentaknya.
Berbareng itu ia melangkah maju lagi, kali ini ia memutar
pedangnya dengan ilmu 'Go-bi-hing-liong-kiam-hoat' yang
hebat sekali, angin senjatanya menyambar dan sinar
pedangnya gemerlapan.
Akan tetapi Ie Djan pun tidak kalah hebatnya, tubuhnya
melayang pergi datang dengan cepat sekali, beberapa kali
Hong-ko membacok atau menikam, namun tetap mengenai
tempat kosong saja.
Lambat laun Hong-ko menjadi tak sabar, tiba-tiba dengan
tipu serangan 'Djong-liong-sing-thian' atau ular naga naik ke
langit, senjatanya memapaki Ie Djan terus membabat.
Dalam sekejap itu tertampak Ie Djan sedikit berjongkok,
kemudian tiba-tiba kain bajunya melibat pula, dengan sekali
putaran cepat seperti kitiran, pedang Hong-ko ternyata sudah
dikibas pergi bahkan orangnya pun hampir terjungkal jatuh.
Sementara itu Ie Djan tidak berhenti sampai di situ saja, ia
melangkah maju menyusul sampai di depan Hong-ko, begitu
bergerak dengan gerak tipu 'Hun-liong-tam-djiau' atau naga
mengulur cakar dari awan, secepat kilat tangan kanannya
terus me-rangsek ke atas pundak Hong-ko.
Dalam pada itu Hong-ko masih belum sempat
menancapkan kakinya ke bawah, maka susah untuk
menghindarkan diri dari rangsekan yang ganas itu.
Selagi dalam keadaan terancam bahaya, beruntung tibatiba
Panji Sakti 9 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Kisah Pendekar Bongkok 5
^