Pencarian

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 3

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 3


sebelum lawannya merubah serangan, secepat kilat Bwe-hong
melancarkan serangan balasan sampai lima kali hingga Ciaulam
terdesak kerepotan, meskipun pedang pusaka ada di
tangannya, namun tak sempat lagi digunakannya untuk
memotong serangan Bwe-hong.
Namun sebagai jago ilmu pedang kawakan dengan
sendirinya Ciau-lam bukan lawan enteng, apalagi setiap
serangan Bwe-hong dapat dikenali karena memang berasal
dari perguruan yang sama, maka betapapun juga ia masih
bisa bertahan dengan sama kuatnya.
Suatu kali mendadak Leng Bwe-hong menarik senjata terus
melangkah mundur, dengan sendirinya ia menubruk maju, ia
menggeram sekali sembari menusuk. Tetapi secepat kilat
Bwe-hong memutar kembali pedangnya terus menyampuk ke
atas, maka terdengar suara nyaring beradunya kedua senjata.
Yu-hong menjerit kaget, ia menyangka sekali ini tentu Leng
Bwe-kong tak bisa menghindarkan patahnya pedang, tak
terduga, sehabis suara nyaring itu, segera keadaan menjadi
sunyi kembali, sampai langkah kaki juga tak terdengar.
Kiranya tadi Leng Bwe-hong telah menggunakan suatu tipu
yang berbahaya, ia sengaja memancing serangan Ciau-lam
untuk kemudian pedangnya mendadak diayun dan menempel
senjata lawannya itu, kedua pedang telah saling beradu, jadi
bukan mata pedang yang tajam, sehingga pedang Bwe-hong
tidak sampai terkuning oleh pedang pusaka Coh Ciau-lam.
Sekuat tenaga Ciau-lam hendak menarik kembali
senjatanya, tetapi terasa olehnya kedua pedang seperti sudah
melengket saja. Maka insyaflah dia keadaan demikian tak
dapat dipaksakan, sebab kalau senjatanya ditarik mentahmentah,
hal mana berarti memberi kesempatan pada Bwehong
untuk menghujani serangan padanya, maka terpaksa ia
harus adu tenaga dalam dengan lawan, ia bertahan sebisanya.
Cara pertandingan pedang menempel pedang ini sungguh
jarang diketemukan dalam dunia persilatan, karena itu semua
orang ikut menahan napas, seketika dalam goa itu menjadi
sunyi sepi sampai suara jatuhnya jarum mungkin akan
terdengar. Selang tak lama, napas Ciau-lam mulai tersengal-sengal,
jidatnya mulai berkeringat, tampaknya kedua saudara
seperguruan ini sudah tiba pada saat yang menentukan matihidup
masing-masing. Begitulah sewaktu semua orang mencurahkan seluruh
perhatiannya pada pertandingan mati-matian itu, sebaliknya
Thio Thian-bong, perwira rombongan Lamma dan bekas
kawan Ciau-lam itu, secara diam-diam telah mendekati salah
seorang Lamma, mendadak ia menotok, maka terdengar
Lamma itu menjerit dan terguling, dengan cepat Thian-bong
terus menyambar sebuah kotak kecil dari kayu cendana di
baju orang, habis itu diiringi suara tertawanya yang seram,
cepat sekali ia kabur keluar goa.
"Sik-li-ci telah dibawa kabur dia!" demikian para Lamma itu
berkaok-kaok. Mendadak Leng Bwe-hong menggeram sembari menarik
pedang sekuatnya terus memburu keluar, dan karena
kehilangan imbangan tenaga lawan, Coh Ciau-lam terhuyung
ke depan, tetapi segera ia melompat dan ikut mengejar dari
arah belakang. Begitulah Thio Thian-bong telah dikejar dari belakang oleh
Leng Bwe-hong. Waktu Ciau-lam ikut melompat keluar, ia
memutar senjatanya hingga Ci-pang dan kawannya terpaksa
menyingkir menghindar, dan karena itu pula Ciau-lam dapat
mendahului yang lain, hanya Leng Bwe-hong saja yang tak
mampu ia kejar.
Ginkang atau ilmu meringankan tubuh Leng Bwe-hong
terlalu bagus sekali, maka tidak berapa lama, jarak Thianbong
sudah semakin dekat. Pada suatu kesempatan, tiba-tiba
Bwe-hong menggenjot maju sekuatnya, berbareng itu
pedangnya terus menusuk punggung Thian-bong.
Namun Thian-bong sudah menyiapkan senjatanya sejak
tadi yang berwujud 'Liong-bun-so-kut-pian' atau ruyung lemas
berukir ular naga, senjata ini dapat digunakan untuk membelit
senjata lawan dan dapat dibuat menyabet pula.
Pangkat Thian-bong di bawah Go Sam-kui dan setingkat
dengan Ciau-lam, dengan sendirinya ilmu silatnya tidak
rendah, maka ketika mendengar ada sambaran angin di
belakangnya, tanpa menoleh ia mengayun ruyung itu ke
belakang hingga dengan tepat pedang Bwe-hong kena
terbelit. Thian-bong menjadi girang, ia membalik tubuh dan menarik
sekuatnya, tak terduga sedikitpun ia tak sanggup menyeret
lawannya, sebaliknya gagang pedang Bwe-hong tahu-tahu
mengetok ke dadanya dan ujung pedang hendak memotong
per-gelangan tangannya.
Terkejut sekali Thian-bong, lekas ia mengendorkan ruyungnya
dan melangkah mundur, tetapi cepat sekali Bwehong
sudah merangsek lagi, terpaksa Thian-bong melompat
pergi, tapi senjata ruyungnya itu kena dikuningi oleh lawan.
Leng Bwe-hong mencecar lagi, terpaksa Thian-bong
bertahan mati-matian sambil mundur terus, hingga tanpa
terasa ia sudah terdesak sampai di tepi jurang d i mana
terdengar suara anyang gemuruh. Kiranya itu adalah air terjun
yang lagi meng-gerujuk dengan derasnya, di bawah sana
adalah sungai Songkang-ho yang tak terkirakan dalamnya.
Dalam pada itu Ciau-lam juga sudah memburu datang.
Tiba-tiba Thian-bong menyabet beberapa kali dengan ruyungnya,
habis itu ia lantas meloncat ke samping, waktu Bwe-hong
hendak menubruknya, mendadak dilihatnya Thian-bong
mengayun tangan, sebuah benda lantas menyambar lewat di
atas kepalanya.
Semula Bwe-hong menyangka orang menyerang dirinya
dengan senjata rahasia, tetapi demi mendengar sambaran
angin, segera ia tahu telah salah menduga, lagi pula benda itu
tidak disambirkan padanya melainkan ke belakangnya, tentu
saja ia bertambah heran.
"Tangkap barang ini !" demikian Thian-bong berseru pada
Coh Ciau-lam, menyusul dengan tertawa dingin ia mengejek
Leng Bwe-hong, "Nah, sekarang boleh kaubunuh diriku, soal
Sik-li-ci jangan kau harap lagi!"
Maka Leng Bwe-hong menjadi sadar, ia segera melompat
balik terus memburu Ciau-lam, dapat dilihatnya waktu Ciaulam
hendak memasukkan barang yang disambutnya tadi ke
dalam baju, sekilas Bwe-hong dapat melihat barang itu adalah
sebuah kotak kecil yang terbungkus kain sulam. Tanpa bicara
lagi ia menyerang Ciau-lam sembari menggereng, ia cecar
orang dengan tipu serangan hebat, maka sekejap saja
beberapa puluh jurus telah berlangsung lagi, sementara itu
Han Ci-pang dan kawan-kawan telah menyusul tiba.
Di lain pihak dengan bebas Thio Thian-bong berhasil
meloloskan diri, ia memanjat terus ke atas gunung melalui
tebing yang curam, kebetulan tebing itu persis di atas kepala
Leng Bwe-hong dan Coh Ciau-lam yang lagi saling labrak itu.
Mendadak sekuat tenaga Thian-bong mendorong sebuah batu
padas yang besar ke bawah, keruan saja suara gemuruh
segera terdengar dibarengi dengan menghamburnya pasir dan
batu beterbangan, menyusul beberapa batu padas yang lain
pun beruntun menggelinding ke bawah.
Tatkala itu Leng Bwe-hong lagi melabrak Ciau-lam dengan
serunya di tepi jurang hingga tak keburu menyingkir, terpaksa
mereka melompat ke depan hingga terjerumus masuk jurang
dan jatuh ke dalam sungai.
Saking gemasnya oleh kekejian Thian-bong itu, Bwe-hong
mengenjot tubuhnya selagi terapung di udara, pedangnya ia
timpukkan ke atas gunung, maka tanpa ampun lagi suara
jeritan Thian-bong terdengar, nyata dengan tepat pedang
Leng Bwe-hong itu telah menembus badannya.
Dan dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, Leng
Bwe-hong menukik ke bawah, waktu dekat permukaan sungai,
ia tekuk tubuh dan kedua kakinya untuk menggaet sebuah
batu tebing yang menonjol, dan waktu ia memandang ke
bawah, ia lihat Coh Ciau-lam sudah jatuh ke dalam sungai,
separoh tubuhnya sudah tenggelam, hanya sebelah tangannya
masih menahan kencang sebuah batu di tebing sungai itu dan
sedang meronta-ronta berusaha menyelamatkan diri, nyata
keadaan mereka berdua sama-sama dalam keadaan
berbahaya. Dalam keadaan yang menguatirkan itu, Bwe-hong masih
menggelantung di atas batu yang menonjol itu, segera ia
mengulur tangan dan dengan tepat dapat menjambret leher
baju Ciau-lam, bagaikan anak ayam saja ia mengangkat Ciaulam
ke atas di tempat batu yang menonjol itu.
Meski Ciau-lam masih bersenjata, tetapi karena sudah
kenyang minum air dan kehabisan tenaga, ia menjadi mati
kutu tak bisa berkutik, cepat Bwe-hong merampas pedangnya
terus membekuk pula leher Ciau-lam dengan tangan yang lain.
"Aku serahkan Sik-li-ci padamu!" kata Ciau-lam dengan
suara terputus-putus.
"Mana lekas!" bentak Bwe-hong sambil melepaskan cekalannya.
Cepat Ciau-lam mengeluarkan kotak kecil yang sudah
basah kuyup itu dari dalam baju dan dengan cepat diterima
oleh Leng Bwe-hong.
Inilah untuk pertama kalinya Coh Ciau-lam mengaku kalah
di hadapan orang.
Selagi Bwe-hong bermaksud hendak naik ke atas tebing
yang curam itu, tiba-tiba didengarnya suara letusan di
sampingnya dibarengi dengan berkobarnya api, karena terlalu
dekat letusan itu, seketika tubuh Bwe-hong terjilat api, bahkan
mukanya ikat terbakar letikan api, lekas Bwe-hong
menggosok-gosokkan tubuhnya pada batu tebing hingga api
itu dapat dipadamkan, namun rasanya sudah tidak kepalang
sakitnya. Dalam pada itu di atas tebing sana sudah terjadi juga
pertempuran gaduh yang ramai.
Kiranya api itu disebabkan anak panah berapi yang dibidikkan
oleh Hek Tay-siu, salah seorang jago pengawal kawan
Coh Ciau-lam, seorang lainnya adalah Ku Guan-liang yang
sudah cacat terkena totokan Leng Bwe-hong tadi.
Waktu Thian-bong dikejar Bwe-hong dan Ciau-lam tadi,
Hek Tay-siu juga ikut mengejar di antara orang banyak.
Dan waktu nampak Ciau-lam dan Bwe-hong terjerumus ke
dalam jurang dan masih dapat menyelamatkan diri, segera
timbul maksud kejinya, ia melepaskan sebuah 'Co-yam-ci' atau
anak panah berapi, panah ini bila membentur benda keras
segera meletus dan terbakar hingga tidak mungkin ditangkap
dengan tangan. Serangan Hek Tay-siu ini bertujuan membinasakan Leng
Bwe-hong, tetapi Coh Ciau-lam terpaksa harus tewas juga, hal
ini pun kebetulan juga baginya.
Tentu Ci-pang dan Yu-hong sangat gusar melihat kekejian
orang, maka ia memburu dengan senjata rahasia 'Kim-huntau',
dengan begitu Lauw Yu-hong dapat melukai Hek Tay-siu,
menyusul mana goloknya pun kena disampuk jatuh oleh Han
Ci-pang. Melihat gelagat jelek, dengan bermandi darah segera Hek
Tay-siu bermaksud kabur, namun baru beberapa tindak ia lari,
dari depan sudah dihadang oleh dua orang Lamma. Kedua
padri itu memang sedang mendongkol dan belum
terlampiaskan karena direbutnya 'Sik-li-ci' mereka, maka sekali
mereka menggeram, dengan cepat sekali Hek Tay-siu
ditubruknya, waktu kedua Lamma ini berjongkok, tahu-tahu
kedua kaki Hek Tay-siu telah kena dipegang terus diayun ke
atas, setelah diayun pergi-datang beberapa kali, ketika mereka
menggertak, tanpa ampun lagi Hek Tay-siu dilemparkan ke
dalam jurang pula.
Tatkala itu Coh Ciau-lam sedang gelisah karena tertahan di
tengah tebing dan demi dilihatnya dari atas melayang turun
seseorang, tentu saja ia sangat girang, ia tak pedulikan lagi
apakah kawan atau lawan, ia mengulurkan tangan menerima
tubuh orang itu terus dilemparkan lagi ke dalam permukaan
air terlebih jauh, dan selagi tubuh orang itu masih terapung di
atas air, dengan cepat sekali ia pun melompat ke tengah
sungai, sebelah kakinya menginjak tubuh yang masih belum
tenggelam itu, lalu ia enjot lagi sekuatnya dan tibalah dia di
seberang sungai sana, dengan gesit dan cepat luar biasa ia
pun merangkak dan memanjat ke atas bagaikan kera saja.
Melihat kaburnya Ciau-lam, beruntun Ci-pang mencoba
membidik dengan beberapa buah 'Thi-lian-ci' atau pelor besi,
tetapi karena jaraknya belasan tombak, maka semuanya tak
mengenai sasaran.
"Beruntunglah jahanam itu!" Ci-pang mencaci-maki dengan
gemas melihat Ciau-lam berhasil melarikan diri.
"Biarkan saja, mari kita periksa dulu keadaan Leng Bwehong,
malam ini tentunya dia terlalu letih," ujar Yu-hong.
Ci-pang terdiam, tetapi akhirnya ia ikut pula mendekati tepi
jurang dan melongok ke bawah, mereka melihat di antara
gelombang sungai yang mendampar itu, di pinggir tebing sana
ada sesosok bayangan orang yang sedang merangkak
pelahan, waktu Ci-pang menyalakan api dengan batu ketikan,
maka dapatlah Yu-hong melihat jelas keadaan Leng Bwe-hong
yang sudah sangat payah dan sedang berusaha merembet
naik. "Ha, tentu ia terluka," seru Yu-hong tak tahan, "Jika tidak,
dengan ilmu silatnya yang tinggi, tidak nanti ia lemas
sedemikian rupa."
Lekas ia mengeluarkan senjata 'Kim-hun-tau' yang bertali
panjang itu, ia mengulurkan tali baja senjata itu ke bawah
sambil tubuhnya menggelantung dengan kedua kaki menggaet
tepi tebing itu, dalam pada itu Bwe-hong sudah merangkak
sampai setengah jalan, maka dengan tepat tali baja 'Kim-huntau'
dapat dipegang olehnya.
Ketika Yu-hong berseru, sekuat tenaga ia mengayun tubuh,
seperti main ayunan saja, dengan beberapa kali ayunan Yuhong
dapat berdiri dan segera menggulung talinya, akhirnya
Bwe-hong berhasil dikereknya ke atas.
Waktu Yu-hong memeriksa keadaan Leng Bwe-hong, ia
lihat pundak dan punggung Bwe-hong luka lecet terbakar,
daging merah berdarah.
Ketika Leng Bwe-hong berpaling, mendadak para Lamma
itu menjerit. Kiranya muka Leng Bwe-hong yang memang sangat jelek


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena codet bekas luka, kini terbakar lagi oleh api belerang
anak panah, seketika mukanya menjadi hangus bengkak,
wajahnya menjadi semakin jelek.
"Ah, tak apa, memang aku sudah jelek," kata Bwe-hong.
"Bagaimana dengan lukamu?" tanya Yu-hong kuatir.
"Tak apa-apa, hanya lecet luar saja," sahut Bwe-hong
menahan sakit sembari mengeluarkan kotak kecil hasil
rampasannya tadi dari Ciau-lam, lalu ia serahkan kepada salah
seorang Lamma dan berkata pula, "Berkelahi hingga
semalaman, beruntung masih dapat merebut kembali
barangmu ini"
Karena itu, beramai-ramai para Lamma mengucapkan
terima kasih. Tetapi waktu Lamma yang menjadi pemimpin mereka
membuka kotak dan memeriksa, ia lihat di dalam kotak itu
terdapat beberapa butir benda bersinar mengkilap bagaikan
mutiara. Setelah diperiksa dan diteliti lagi, mendadak Lamma
itu berteriak, "Celaka Sik-li-ci kita telah ditukar mereka!"
Tentu saja Leng Bwe-hong terkejut, lalu tanyanya cepat,
"Apa katamu" Ini bukan Sik-li-ci?"
"Ya, ini hanya mutiara biasa, Sik-li-ci tulen tidak sebening
dan mengkilap seperti ini," sahut Lamma itu.
Kiranya Thio Thian-bong itu sangat licin dan banyak tipu
dayanya, pada waktu Go Sam-kui menyerahkan barang suci
itu kepada para Lamma, Sik-li-ci itu dapat dilihatnya pula, lalu
secara diam-diam ia telah membikin kotak palsu yang
coraknya sama dan di dalamnya berisikan mutiara.
Tindakan itu ia persiapkan sebenarnya untuk berjaga-jaga
bila sampai terjadi apa-apa di jalan agar dapat mengelabui
musuh dengan barang tiruan itu.
Tapi setelah didengarnya cerita Coh Ciau-lam tentang akan
memberontaknya Go Sam-kui, segera timbul pikirannya yang
baru yakni membawa sendiri Sik-li-ci itu kepada Kaisar Khonghi.
Siapa tahu kemudian ia keburu dikejar Leng Bwe-hong,
segera ia mengeluarkan akal-bulusnya untuk mengelabui
lawan dengan melemparkan kotak Sik-li-ci tiruan itu pada Coh
Ciau-lam, untuk mengalihkan perhatian Leng Bwe-hong atas
dirinya. Begitulah, maka sesudah mendengar kena tertipu, seketika
Leng Bwe-hong menjadi bungkam.
"Keparat, kalau ketemu aku lagi, pasti aku beset kulitnya,"
demikian katanya dalam hati dengan gemas. Lalu ia pun minta
maaf atas khilafnya itu.
Tetapi para Lamma itu masih menghaturkan terima kasih
berulang-ulang, mereka menghibur Leng Bwe-hong agar
jangan memikirkan soal itu lagi dan menyatakan tak akan
melupakan budi kebaikan orang yang telah membantu mereka
dengan sepenuh tenaga.
Habis itu, mereka buru-buru kembali ke Tibet untuk
melaporkan kejadian itu, maka mereka mohon diri berangkat
dulu sebelum subuh tiba.
Kemudian Lauw Yu-hong dan Han Ci-pang memayang Leng
Bwe-hong yang terluka ke dalam goa lagi. Dan setelah
direbahkan, mulai merintihlah Leng Bwe-hong kesakitan oleh
luka terbakar itu.
"Kenapa kau?" tanya Yu-hong dan lekas mendekatinya.
"Bawalah buntalanku ke sini," pinta Bwe-hong.
Lalu dari buntalannya Bwe-hong mengeluarkan dua butir pil
berwarna hijau dan diminumnya.
"Sudahlah, tak apa-apa lagi," katanya kemudian. "Panah
berapi itu terbuat dari belerang dan racun api menyerang ke
dalam badan, maka rasanya agak pegal, tetapi pil yang
terbuat dari teratai salju dari Thian-san justru paling mustajab
untuk menyembuhkan serangan racun api."
Namun begitu Yu-hong masih kuatir, ia lihat muka Bwehong
keluar bintik-bintik merah karena terbakar, maka
dikeluarkannya obat salep untuk luka itu, tetapi dengan cepat
Bwe-hong memalingkan muka, tampaknya ia tak mau dan
malu. "Jangan bergerak, kita orang Kangouw, kenapa harus
berlaku sungkan segala?" ujar Lauw Yu-hong sambil terus
memoles obat Tetapi sejenak kemudian, mendadak tangannya
gemetaran lingga botol obatnya jatuh ke lantai.
"Kau tentu sudah lelah, biar aku menggantikanmu memoles
dia," sela Han Ci-pang dari sebelahnya.
Yu-hong masih terdiam, sebaliknya Leng Bwe-hong malah
berkata, "Sudahlah tak usah, biarkan saja!"
Lama sekali Yu hong terpaku seperti patung, hanya sorot
matanya yang tajam terus menatap Leng Bwe-hong.
"Dahulu wajahmu pasti tidak semacam ini," kata Yu-hong
kemudian. "Sudah tentu tidak," sahut Bwe-hong sembari tertawa,
sambungnya lagi, "Mukaku sudah ada luka golok, kini
ditambah terbakar api, muka yang memang jelek tentu saja
tambah jelek."
"Tidak!" kata Yu-hong tiba-tiba sambil menggeleng kepala.
"Sekali ini aku dapat melihat dengan jelas dahulu kau pasti
sangat cakap bahkan mirip benar dengan kawanku di Hang-ciu
itu." Sekonyong-konyong Ci-pang menjengek demi mendengar
kata-kata itu. Sebaliknya Bwe-hong malah bergelak tertawa.
"Tetapi selamanya aku tak pernah pergi ke Hang-ciu," kata
Bwe-hong tetap tertawa untuk menutupi derita perasaannya.
Sudah tentu Lauw Yu-hong tak mau percaya, ia setengah
sangsi. Waktu ia berpaling diketahuinya Ci-pang sedang
memandang padanya dengan sinar mata tajam, sikapnya
seperti kurang senang.
Maka sadarlah Yu-hong, ia ingat kalau Leng Bwe-hong
bukan kawannya yang dia maksudkan, dan ia berkata tentang
bagus dan jeleknya seorang lelaki, hal ini sebenarnya bisa
menurunkan derajat seorang Congthocu suatu perkumpulan
besar dan juga akan dipandang hina oleh Han Ci-pang, maka
lekas ia kembali berkata, "Ah, aku hanya heran karena ilmu
silatmu yang begini tinggi, tetapi kenapa bisa mendapat luka
di muka begini?"
"Lukaku ini kudapat ketika aku baru saja datang di Sinkiang,
di sana aku lantas bertemu musuh besar Njo Hun-cong,
Njo-tayhiap. Karena dilihatnya aku membawa anak
perempuan, orang itu lantas menggoreskan goloknya di
mukaku, kalau tidak kebetulan datang seorang penolong,
mungkin jiwaku sudah tewas juga," kata Leng Bwe-hong.
"Ada sangkut-paut apakah antara kau dengan musuh Njotayhiap?"
tanya Yu-hong. "Dan kenapa kau membawa seorang anak perempuan
jauh-jauh pergi ke Sinkiang" Berapa besar anak perempuan
itu?" sambung Yu-hong pula menegas.
Dan karena pertanyaan ini, seketika Leng Bwe-hong sadar
bahwa telah kelepasan mulut. Maka cepat ia menjawab,
"Mengenai ini biar kelak kuceritakan lagi. Tentang anak
perempuan itu tatkala itu baru berumur dua bulan."
"Hanya berumur dua bulan! Nah, Lauw-thocu, kau kau
tentu tak perlu merecoki dia lagi bukan?" sela Han Ci-pang,
sebenarnya ia hendak menyindir dengan kata-kata "Kau tak
perlu kuatir lagi", cuma saja ia urung bicara, sebab ia kuatir
menyinggung perasaan Yu-hong dan membuatnya marah.
Walaupun begitu, sekejap Lauw Yu-hong melotot padanya
dengan rasa kurang senang, dan ia pun merasa aneh dengan
sikap Han Ci-pang yang lain daripada biasanya ini.
Besok paginya, luka Bwe-hong sudah agak baikan dan
sudah dapat berjalan. Yu-hong tetap merawat dengan penuh
perhatian, sebaliknya Ci-pang sepanjang hari jarang berbicara
dan tertawa. Hari ketiga, waktu Yu-hong bangun pagi ia tidak
mendapatkan Ci-pang lagi, hanya dilihatnya di atas tanah ada
beberapa goresan seperti tulisan yang sengaja ditulis dengan
tangan dan kurang baik.
Beberapa baris tulisan itu ternyata berbunyi:
Lauw-congthocu Yth,
Aku adalah seorang kasar dan tak kenal aturan. Walau
kawan lama, tetapi kalah dengan kenalan baru. Urusan Thiante-
hwe ada Toaci yang mengatur dan dibantu Leng-enghiong,
tentu segalanya akan dapat diatur dengan baik, hasilnya pasti
gilang gemilang.
Selamat tinggal dan mudah-mudahan dapat sukses.
Dari aku yang kasar, Han Ci-pang Seketika Yu-hong
terdiam setelah membaca tulisan itu. "Sebenarnya ia adalah
laki-laki yang jujur, cuma sayang salah pahamnya terlalu
mendalam dan dipendam," demikian ujar Leng Bwe-hong.
"Hakikatnya kenalan baru seperti aku ini sekali-kali tiada
maksud hendak merenggangkan hubungan antara kawan
lama!" "Ya, pikirannya terlalu sempit," kata Yu-hong menghela
napas, sambungnya, "Aku hanya kuatir kepergiannya seorang
diri ini mungkin akan mengalami kesukaran di jalan."
Karena tak tahu ke jurusan mana Ci-pang pergi, dan pula
Leng Bwe-hong baru sembuh dari lukanya, maka mereka pun
tak mencarinya lagi.
Tentang Han Ci-pang, setelah hari itu ia mendapat pelototan
mata dari Lauw Yu-hong, malamnya semalam suntuk ia
tak dapat pulas, makin dipikir semakin pahit rasanya. Mulamula
ia merasa penasaran dan dendam pada Lauw Yu-hong
yang baru saja mendapatkan kenalan baru dan lantas dingin
pada kawan lama, tetapi setelah berpikir lagi dirinya hanya
seorang kasar, soal ilmu silat jauh bukan tandingan Leng Bwehong,
mana bisa setimpal berjodoh dengan si dia. Karena
pikiran ini, diam-diam ia berkata dalam hati, "Ya, buat apa aku
harus menjadi batu penghambat di tengah mereka?"
Dalam keadaan remang-remang, Ci-pang tak tahu kemana
ia harus pergi, ia hanya berjalan terus tanpa tujuan di lereng
pegunungan itu.
Tengah ia melanjutkan perjalanan dalam suasana pagi
yang sejuk, tiba-tiba didengarnya ada suara rusa mengembik,
waktu ia memandang, terlihat di tempat jauh sana ada seekor
rusa kecil sedang minum air di selokan pegunungan, habis
minum kembali rusa itu mengembik lagi, Ci-pang berpikir
tentu rusa ini terpencar dari induknya, maka minum air sendiri
dan mengembik mencari sang induk, sungguh harus
dikasihani. Dan karena ia sendiri juga sedang risau hati, maka pelahan-
lahan ia mendekati binatang kecil itu dan berkata, "Ooo,
rusa kecil, aku pun sebatang kara, kalau kau suka marilah kita
berkawan."
Tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba didengarnya pula suara
menggereng yang keras, tahu-tahu dari semak alang-alang
yang lebat sana telah melompat keluar seekor harimau tutul
dan rusa kecil itu terus diterkamnya.
"Kurang ajar, rusa kecil itu begitu kasihan, tetapi kau masih
hendak menerkamnya," demikian Ci-pang membatin dengan
gusar. Maka dengan cepat ia pun memburu maju, beruntun ia
membidikkan dahulu beberapa anak panah dan dengan tepat
mengenai sasarannya, cuma sayang karena jaraknya agak
jauh, sedang kulit macan tutul itu cukup tebal, maka raja
hutan itu hanya menggereng kesakitan, namun masih belum
terguling dan rusa kecil yang sementara itu sudah kena digigit
kaki belakangnya masih sempat melarikan diri, tentu saja
macan tutul mengejar dengan kencang tak mau melepaskan
mangsanya. Ci-pang yang memang lagi masgul, menjadi tambah gusar
seakan-akan hendak melampiaskan rasa dongkolnya atas
macan tutul itu, maka dengan cepat ia pun memburu dari
belakang dengan menggunakan Ginkang atau ilmu
meringankan tubuh.
Setelah kejar mengejar, dalam gugupnya akhirnya rusa itu
telah masuk ke dalam sebuah goa kecil disusul pula oleh
macan tutul itu. Sementara itu Han Ci-pang juga sudah dekat
di belakang macan itu, cepat ia membidikkan sebuah anak
panah pula hingga dengan tepat kena lubang pantat binatang
buas itu. Saking sakitnya, macan itu menggereng keras dan
terguling, sebelum sempat bangun kembali, cepat sekali Han
Ci-pang sudah melompat maju terus mencekik leher macan itu
dan dipuntir sekuatnya, maka tanpa ampun lagi tulang leher
raja hutan itu kena dipuntir patah.
"Hm, apa kau masih berani menerkam rusa kecil itu?" jengek
Ci-pang dengan bangga atas kemenangannya itu.
Kemudian bangkai macan tutul itu ditendangnya masuk ke
dalam goa, ia sendiri pun masuk ke dalam pelahan-lahan, ia
mendengar suara rusa kecil tadi mengembik lagi dengan
ngerinya, seketika hatinya tergerak.
Ketika ia mendekati rusa kecil itu, mendadak didengarnya
ada suara orang membentak dari dalam, "Siapa kau?"
Waktu Ci-pang menegasi, ia lihat rusa kecil tadi telah
ditangkap orang dan tanduknya yang masih muda dan kecil itu
hendak dipotong. Dan demi nampak masuknya Ci-pang, tibatiba
orang itu melompat bangun dibarengi sambitan sebuah
Hui-to atau pisau terbang.
Dengan cepat Ci-pang berkelit, ketika ia mengamati lagi,
ternyata orang ini bukan lain adalah Thio Thian-bong adanya.
Kiranya sesudah Thian-bong kena dilukai oleh timpukan
pedang Bwe-hong hingga banyak mengeluarkan darah, lalu ia
bersembunyi di dalam goa ini untuk merawat lukanya.
Ci-pang menjadi gusar bila teringat kekejian Thian-bong
yang hampir menewaskan Leng Bwe-hong, tanpa pikir lagi
golok 'Ci-kim-to' dicabut keluar, kontan ia balas menyerang
orang dengan sekali tusukan, di lain pihak Thian-bong
mengeluarkan senjata ruyungnya dan menyerang pula, namun
Ci-pang terlebih tangkas, ia bisa melompat ke sana kemari
untuk melancarkan berbagai tipu serangan, karena itu Thianbong
mulai kewalahan, gerak-geriknya tampaknya juga susah
karena lukanya, akhirnya ia hanya sanggup menangkis saja.
Dan selagi Ci-pang mulai berada di atas angin, tahu-tahu
Thian-bong membentak, tubuhnya mendoyong ke belakang
hingga golok Ci-pang kena terbelit oleh ruyungnya dan
terbetot lepas dari tangan, berbareng itu Thian-bong terus
memutar balik lagi ruyungnya dan dada Han Ci-pang dengan
tepat kena dipukul, maka tergulinglah Han Ci-pang dan tak
bergerak lagi. Tentu saja Thian-bong amat girang, cepat ia ingin
menambahi lagi sabetan ruyungnya, maka diburunya Ci-pang


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah roboh itu. Siapa duga ketika sudah dekat, tiba-tiba
Ci-pang menggertak, bagaikan hujan Thi-lian-ci atau pelor
besi, senjata rahasianya yang ampuh itu telah dihamburkan
hingga kepala dan muka Thian-bong terkena beberapa peluru.
Lekas Thian-bong melompat ke samping, tetapi mendadak
ia menjadi lemas, ternyata lukanya telah kambuh kembali
hingga mengeluarkan darah.
Waktu Ci-pang melompat bangun, ia lihat Thian-bong jatuh
terduduk, ruyungnya tergeletak di samping, ia menjadi heran.
Sekalipun Ci-pang orang kasar, tetapi kadang ia bisa berlaku
cerdik juga, maka sebelum mendekati orang, kembali ia
hantam lawannya dulu dengan beberapa Thi-lian-ci lagi.
"Hm, kau juga bisa licik," teriak Thian-bong gusar.
Kini ia sudah siap sedia, dengan senjata rahasia yang ia
tangkap dengan kedua tangan kontan ia sambitkan kembali ke
arah Ci-pang. Dengan sendirinya Ci-pang kerepotan, ia melompat sini dan
berkelit ke sana, tetapi dalam hal melepas am-gi agaknya
Thian-bong masih lebih unggul, maka terkenalah Ci-pang pada
lengan kanannya oleh sebutir peluru besi itu.
Namun demikian, Ci-pang malah tertawa terbahak-bahak.
Kalau tadi merasa sakit oleh sabetan ruyung orang, tetapi kini
Thi-lian-ci itu dianggapnya seperti sambitan anak-anak,
sedikit-pun tidak merasa sakit. Maka ia tahu bahwa tenaga
Thian-bong sudah habis, tanpa kuatir lagi ia menubruk orang
terus dihantamnya, tetapi Thian-bong pun balas menyikut dan
menggebuk, maka kedua orang itu lantas saling bergumul dan
saling hantam. Kalau dibandingkan ilmu silatnya, Thian-bong sedikit di
bawah Coh Ciau-lam dan tentu masih di atas Han Ci-pang,
cuma kini ia terluka parah hingga tak bisa menahan tenaga Cipang
yang besar bagai kerbau, maka setelah bergumul ke
sana kemari, akhirnya ia kena ditindih oleh Ci-pang di bawah.
Namun ia tidak terima mentah-mentah, ia berusaha
menyerang musuh sebisanya, maka mendadak pundak orang
ia gigit sekuatnya hingga Ci-pang menjerit kesakitan,
berbareng itu sebelah tangannya berhasil memegang
pergelangan tangan kiri Ci-pang dan menggunakan 'Kim-najiu-
hoat' atau ilmu memegang dan menawan, ia tekuk dan
puntir tangan orang sekuatnya.
Memang Ci-pang sudah kesakitan digigit, kini menjadi lebih
sakit karena tangannya dipuntir, dengan sendirinya tangan
kanannya menjadi kendor, dan kesempatan itu digunakan
Thian-bong untuk menangkap sekalian memencet urat
nadinya dengan kuat.
Ci-pang tak bisa berkutik karena kedua tangannya sudah
kena dicekal orang, hanya tubuhnya yang masih menindih di
atas badan lawan, tiba-tiba ia balas menggigit tenggorokan
lawairnya sekuat tenaga dengan mata meram, keadaan itu
entah sudah berlangsung berapa lama, akhirnya ia merasa
bau anyir darah menyembur ke mulutnya dan terasa
memuakkan. Dan waktu Ci-pang memuntahkan darah itu, ia lihat leher
Thian-bong sudah berlubang besar. Darah mancur bagai air
leding saja, hanya kedua tangannya masih terus memegang
erat pada Ci-pang.
Menghadapi keadaan di depan mata ini, mau tak mau Cipang
merasa ngeri juga sekali pun ia sudah banyak
mengalami pertarungan besar. Lekas ia melepaskan tangan
dari pegangan Thian-bong dan bermaksud meninggalkan goa
ini, tetapi baru beberapa tindak, ia merasakan kaki dan
tangannya lemas dan pegal, ia tak tahan lagi, terpaksa ia
rebah kembali untuk mengaso.
Sementara itu rusa kecil yang luka digigit macan tutul tadi
agaknya tahu kalau Ci-pang adalah sahabatnya, maka dengan
pelahan ia mendekati orang. Dalam keadaan sadar tak sadar,
Ci-pang merasa rusa itu menggosok-gosok pelahan di atas
dadanya, ia menjadi sadar kembali, dan dengan pelahan ia
mengelus rusa itu sambil berkata, "O, rusa, macan itu sudah
mati, orang jahat pun sudah binasa, kini kau tak perlu takut
lagi!" Sewaktu berkata, terasa olehnya ada semacam cairan yang
manis dan berminyak mengalir ke mulutnya terus masuk
tenggorokannya.
Tidak lama kemudian, tubuhnya terasa timbul hawa
hangat, ia merasa lebih segar daripada tadi.
Kiranya barang cair tadi adalah darah rusa dari lukanya
yang tergigit macan serta yang diiris golok Thio Thian-bong
itu. Darah rusa bagus untuk obat penguat tenaga, maka
beruntunglah Ci-pang yang sudah kehabisan tenaga itu, rusa
kecil itu dapat meneteskan darah seakan-akan sengaja
membalas budi. Sesudah Han Ci-pang sadar, ia lihat di dekat mayat Thio
Thian-bong penuh banjir darah dan di antara ceceran darah
itu terdapat sebuah kotak kecil.
Seketika pikiran Ci-pang tergerak, dengan cepat ia
mengambil kotak itu dan sesudah dibersihkan, segera ia buka
dan memeriksa isinya, ia lihat di dalam kotak itu terdapat
beberapa butir benda semacam mutiara, hanya warnanya
tidak sebening dan mengkilap seperti mutiara, di pinggir kotak
itu penuh tertulis huruf-huruf aneh yang tak dikenal, yakni
huruf Hindu kuno.
Meskipun Ci-pang tak paham tulisan itu, tetapi ia pun tahu
pasti itu Sik-li-ci adanya, keruan saja ia sangat girang, lekas ia
tutup kembali kotak itu dan dimasukkan ke dalam
buntalannya. Karena banyak bergerak itu, Ci-pang merasa matanya
berkunang-kunang lagi, maka tahulah dia keadaannya belum
me-ngijinkan untuk berjalan. Waktu ia meraba rusa kecil di
sampingnya, ternyata binatang kecil itu sudah tak bernyawa
lagi, rupanya mati karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
Tiba-tiba Ci-pang merasa sangat kesepian, ia merasa sebatang-
kara, hatinya hampa dan pikirannya kesal, lama
kelamaan dalam keadaan angin semilir, akhirnya ia pun rebah
kembali dan tertidur.
Waktu ia melihat sinar sang surya sudah menembus
masuk, tatkala itu sudah siang hari kedua. Ia mencoba berdiri,
terasa tangannya masih belum cukup kuat, perutnya pun
keru-yukan terasa lapar, cuma semangatnya sudah bertambah
segar daripada kemarin.
Ia pikir bila sekarang ia keluar sedang tenaga belum pulih,
jika di luar bertemu musuh lagi, tentu dirinya bisa celaka,
maka terpaksa ia mengaso beberapa hari lagi di dalam goa ini,
tetapi kemana harus mencari makanan" Padahal rangsum
kering yang dibawa hanya tinggal sedikit, sedang ia tak tega
makan daging rusa kecil itu.
Selagi bingung, tiba-tiba Ci-pang seperti mendapatkan
sesuatu. "Ha, kenapa aku melupakan macan tutul itu, dimanakah
sekarang?"
Ia berseru kegirangan ketika teringat bangkai macan tutul
yang dibinasakan kemarin dan dilempar masuk ke goa ini.
Segera Ci-pang mendapatkannya dan diseretnya bangkai
macan itu, ia menyalakan api lalu daging macan itu dipotong
terus dipanggang dan dimakannya.
Sinar api unggun yang ia nyalakan itu dapat menerangi
seluruh goa dengan jelas, waktu Ci-pang mendongak
memandang sekelilingnya, terlihat pada dinding batu goa itu
banyak terukir lukisan manusia dengan bermacam gaya, ada
yang diukir duduk sambil merangkap kedua tangan sedang
menunduk, ada yang sedang menggosok telapak tangan dan
yang bergaya menubruk bagai karimau, ada pula yang
mencengkeram bagai garuda, di samping itu ada lagi yang
membawa senjata dengan gaya membacok dan menusuk.
Gaya-gaya lukisan itu sangat aneh. Hanya umurnya mungkin
sudah terlalu tua, maka banyak ukiran yang sudah hampir tak
terlihat, bahkan ada yang lenyap sama sekali tinggal bekasnya
saja. Dalam isengnya Ci-pang coba mengitari dinding goa itu dan
menghitung ukiran itu, ia mendapatkan ukiran yang masih
terang dan dapat dikenali tiga puluh enam buah, sedang yang
sudah rata dan remang-remang ada tujuh puluh dua buah. Di
antara tiga puluh enam gambar yang masih terang itu ada
enam buah yang berwujud sedang bersemedi, tiga di
antaranya bergaya duduk bersila dengan tangan lurus ke
bawah menghadap ke depan seperti tiada perbedaan, sedang
tiga lainnya ada sedikit perbedaan, ada yang duduk miring,
ada yang merangkap tangannya di dada dan ada lagi yang
membungkuk hendak bangkit.
Setelah makan daging macan itu, tenaga Ci-pang sudah
tambah kuat, maka dalam isengnya ia coba menirukan gaya
yang dilihatnya menurut ukiran di dinding itu.
Enam gambar pertama yang bergaya semedi itu tak bisa
dipahaminya, maka Ci-pang mencoba memilih ukiran yang
dapat dimengertinya. Mula-mula ia hanya menirukan beberapa
gaya Cio-hoat saja, tetapi aneh, baru sebabak ia berlatih, ia
merasa jalan darah dalam tubuhnya mengalir lancar hingga
badan bertambah segar, semangat pun bertambah kuat.
Makin berlatih makin bersemangat, dan karena
kesehatannya memang belum pulih betul, maka ia mengambil
keputusan tinggal beberapa hari lagi dalam goa dan
menghafalkan ketiga puluh macam gaya serangan dengan
tangan, golok dan pedang itu, ia berlatih dan mengulanginya,
maka tidak sampai tiga hari, ia sudah hafal semua.
Pagi hari keempat daging macan sudah termakan habis,
kayu kering dalam goa pun sudah terbakar semua, ia
mengumpulkan tenaga, dirasakan kini sudah pulih seluruhnya,
ia menjadi girang, kemudian ia bebenah bantalannya untuk
berangkat. Tetapi sebelum berjalan keluar, tiba-tiba terdengar dari luar
ada suara langkah orang sedang mendatangi goa dimana ia
berada, lekas ia bersembunyi di belakang arca.
Sementara itu, orang yang datang sudah sampai di mulut
goa, Han Ci-pang mendengar suara orang berkata, "He,
kenapa seperti bau mayat !"
Mendengar itu barulah Ci-pang ingat bahwa mayat Thio
Thian-bong masih belum dipendam, ia sudah berdiam
beberapa hari dalam goa, hidungnya sudah terbiasa dengan
bau itu, hawa dalam goa pun dingin, maka ia tidak merasa.
Orang itu datang dari luar, dengan sendirinya lantas
tercium bau busuk itu.
Tak lama kemudian, dua orang kelihatan masuk dengan
membawa obor, dan sewaktu melihat mayat Thio Thian-bong,
mereka berteriak kaget.
"Orang ini bukankah perwira bawahan Go Sam-kui yang
dikatakan Coh Ciau-lam itu?" kata seorang di antara mereka.
"Menurut ceritanya, ilmu silat orang ini sangat tinggi,
mungkinkah ia terbunuh oleh Leng Bwe-hong?"
Mendengar kata orang, diam-diam Han Ci-pang tersentak,
pikirnya, "Hm, agaknya kau hanya mengenal seorang Leng
Bwe-hong saja!"
Dalam pada itu, kedua orang tadi tampaknya agak takut,
mereka saling ragu tak berani menggeledah.
"Kalau orang lain masih tak apa, tetapi celakalah jika Leng
Bwe-hong yang bersembunyi di dalam!" kata seorang lainnya.
Han Ci-pang mendongkol, ia menggeram dan mendadak
melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
"Bukan Leng Bwe-hong pun dapat juga memusnahkan
kamu!" bentaknya tiba-tiba.
Keruan kedua orang itu tersentak kaget, obornya
dilemparkan ke depan. Dengan sebat Ci-pang berkelit, dan
begitu kedua tangannya bergerak segera ia merangsek maju
pula. Kiranya kedua orang ini adalah Kauthau atau pelatih
pasukan pengawal. Hari itu sesudah Coh Ciau-lam kena
dihajar dan buron, ia pergi mencari Thio Sing-pin, dan minta
dikirim bawahannya yang terkuat mengejar lagi dari beberapa
jurusan, dan sekitar pegunungan Hun-kang lebih mereka
perhatikan, maka Kauthau itu telah memergoki Han Ci-pang di
dalam goa. Setelah Ci-pang menubruk maju, kedua Kauthau itu dapat
melihat jelas bahwa muka lawan tak terdapat codet bekas
luka, mereka tahu tentu bukan Leng Bwe-hong, maka nyali
mereka menjadi besar, segera mereka sambut serangan itu.
Han Ci-pang pernah menjabat Congthocu atau ketua
perkumpulan Thian-te-hwe, ilmu silatnya sudah tentu tidak
lemah, tipu serangan yang ia mainkan berasal dari suatu
cabang tersendiri.
Akan tetapi musuhnya lawan tangguh juga, malahan
mereka mengeroyok dari kiri-kanan, satu dengan kepalan dan
yang lain dengan telapak tangan, mereka menyerang dengan
kerja-sama yang rapat.
Karena itu, Han Ci-pang tak dapat merangsek maju
malahan pelahan-lahan terdesak, terpaksa ia mundur sambil
menjaga diri. Sampai pada suatu saat, musuh di sebelah kiri
dengan kepalan menjotos ke muka Ci-pang, waktu Han Cipang
menangkis, musuh di sebelah kanan pun menghantam
pundak kirinya dengan keras, serangan kedua ini sangat
berbahaya sekali.
Dalam keadaan kepepet itulah dengan tiba-tiba dan tanpa
terasa, Han Ci-pang mengeluarkan tipu pukulan dari ukiran di
tembok goa yang baru ia pelajari. ia bukannya mundur, tetapi
terus mencekal kepala musuh di sebelah kiri, berbareng
ditariknya dan dengan sekali gertakan, "Naik!" Ia angkat
musuh itu ke atas dan diayun cepat.
Pada waktu itulah, musuh di sebelah kanan justru
menyerang, ia kena disapu oleh ayunan Ci-pang ini, hingga
terpaksa melompat pergi, tetapi dengan kecepatan luar biasa
Ci-pang lantas melemparkan musuh yang ia cekal tadi, dan
dengan tepat membentur musuh yang hendak lari itu, orang
itu menjerit terus roboh, sedang musuh yang kena dilempar
masih terus nyelo-nong, kepalanya menumbuk patung hingga
pecah dan otaknya berantakan.
Setelah serangannya berhasil, Ci-pang tak ayal lagi, dengan
cepat ia maju, musuh yang roboh tadi, baru saja mau bangkit
sudah kena dipukul terguling dan belum sempat berteriak
sudah tamat riwayatnya.
Hanya dalam dua-tiga gebrakan sudah dapat mengalahkan
musuh tangguh dengan tipu yang baru saja dipelajarinya itu,
tentu saja Ci-pang girang bukan kepalang.


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia lihat patung yang tertumbuk itu hendak roboh, maka
lekas ia menyanggah tapi matanya menjadi terbeliak, ternyata
di bawah patung itu terlihat ada sebuah kitab, ia menjadi
tertarik, diambilnya kitab itu, ia tiup bersih debunya dan
membalik lembaran kitab, tulisan di dalamnya ternyata sangat
aneh dan mirip sekali dengan tulisan di dalam kotak Sik-li-ci
yang tak dimengertinya itu.
Sampai pada lembar terakhir, baru nampak ada dua baris
huruf Han, kedua huruf itu berbunyi : "Tat-mo-yi-kin-keng,
ditinggalkan pada yang berjodoh."
Di bawahnya ada pula beberapa baris huruf kecil berbunyi
sebagai berikut: "Seratus delapan gaya, tiap gaya
menunjukkan keistimewaan, sembilan gambar enam patung,
pertama adalah memupuk dasar."
Dalam satu huruf kecil pula yang terakhir adalah tanggal
dan tahun zaman dinasti Tong.
Setelah membaca itu, Han Ci-pang masih tidak paham, ia
lihat kitab tua ini mungil dan menyenangkan, maka sekalian ia
masukkan ke dalam buntalannya. Barulah beberapa tahun
kemudian ia mengetahui, bahwa Tat-mo Siansu adalah
seorang padri berilmu tinggi pada zaman dinasti Lam Pak-tiau,
dan terhitung salah seorang pencipta ilmu silat yang tersohor,
lukisan seratus delapan macam gaya di tembok itu adalah
seratus delapan jurus ajaran asli Tat-mo-kun-hoat yang
tersohor dalam ilmu silat.
Sayang Han Ci-pang hanya mempelajari tiga puluh macam
pukulan itu, sedang yang paling penting, enam gambar
bersemedi di depan yang mengutamakan 'memupuk dasar'
sama sekali tidak dipelajarinya, sehingga walau pun ia kini
memperoleh penemuan aneh, tapi di belakang hari masih
tetap banyak mendapat kesukaran.
Dengan tindakan pelahan kemudian Ci-pang keluar dari
goa, ia lihat sang surya terang benderang, bunga-bunga
mekar semerbak menunjukkan keindahannya di lembah
pegunungan itu Ci-pang telah beberapa hari bersembunyi
dalam goa dan tidak nampak sinar matahari, di bawah langit
nan biru dan di tengah bunga pegunungan yang indah, rasa
hatinya menjadi lapang.
Hatinya yang masgul selama beberapa hari kini bagai asap
mulai buyar, ia berjalan terus sambil menikmati pemandangan
pegunungan di sekitarnya. Tiba-tiba dilihatnya di antara tebing
pegunungan itu, tiap jarak tertentu pasti ada ukiran pucuk
panah yang diukir orang dengan golok, bahkan masih ada
pula tanda dan isyarat lain yang aneh.
la terheran-heran, mendadak terdengar suara ribut dan
bentakan yang berkumandang dari atas bukit berbareng itu
ada pula debu dan batu beterbangan turun dari atas.
Ci-pang tahu pasti ada beberapa orang sedang bertempur
di atas sana, ia ingin mengetahui, maka segera ia merambat
naik menggunakan akar rotan pegunungan di situ untuk naik
ke atas. Sesampainya di atas, tampak olehnya ada empat jago
pengawal kerajaan berbaju hitam sedang mengeroyok tiga
orang Lamma, mereka bertempur dengan seru sekali.
Demi melihat itu, Ci-pang terheran-heran. Di antara ketiga
Lamma itu, ia mengenal salah seorang yang dulu bersama
Thio Thian-bong mengawal Sik-li-ci itu.
Lewat tak lama, Ci-pang melihat keempat pengawal itu
makin lama makin kuat, ketiga Lamma itu dibuat kelabakan
dan hanya dapat menangkis saja dan tak mampu balas
menyerang. Ci-pang tidak tahan lagi, dengan sekali
menggeram ia melolos goloknya dan menerjang maju
membantu para Lamma.
Lamma yang mengenali Han Ci-pang kegirangan, ia
memanggilnya. Selagi Ci-pang hendak memberi sahutan,
dilihatnya dua pengawal keluar dari kalangan pertempuran
dan mencegatnya.
"Kiranya siapa" Tak tahunya adalah Han-congthocu!"
demikian kata mereka dengan tertawa sinis.
Kedua jago pengawal ini yang seorang memakai senjata.
Boan-koan-pit dan yang lain menggunakan Ku-gi-to, begitu
mendekat mereka lantas menyerang dengan keji, pit dipakai
me-notok, sedang Ku-gi-to, yakni semacam golok yang
bergerigi seperti gergaji, lantas membacok.
Sebenarnya Ci-pang bermaksud melayani mereka dengan
ilmu pukulan yang baru dipelajari. Tetapi kemudian ia
mengurungkan, ia tetap memakai kepandaian aslinya Pat-kwaci-
kim-to-hoat untuk menempur mereka. Ia ingin mencoba
ilmu golok aslinya dengan ilmu pukulan yang baru, bagaimana
perbedaannya" Ia sudah siap, apabila terpaksa, baru ia
mengeluarkan ilmu pukulannya yang baru.
Ilmu golok Ci-pang seluruhnya ada enam puluh empat
gerakan dan hasil ciptaan guru silat ternama, Tan Su-lam, di
zaman dinasti Beng. Kalau ilmu golok ini dimainkan secara
cepat sungguh tidak kurang lihainya, tetapi ia menghadapi dua
lawan dengan senjata aneh, lebih-lebih lawan yang memakai
Boan-koan-pit itu gerakannya gesit dan cepat, yang diarah
selalu jalan darah yang berbahaya. Kalau satu lawan satu,
dengan kepandaian Han Ci-pang masih dapat
memenangkannya, tetapi kini satu harus lawan dua, meskipun
Ci-pang sudah mengeluarkan seluruh kemampuannya, barulah
bisa sama kuat.
Dan sesudah agak lama, Ci-pang mulai kewalahan, waktu
ia melirik pihak sana, ia lihat meski sudah berkurang daya
tekanan musuh, namun para Lamma itu masih belum bisa
mengalahkan musuh mereka.
Ci-pang menjadi nekad, ia tunggu waktu musuh yang
menggunakan Ku-gi-to itu membacok, dengan cepat ia
berkelit terus menubruk maju, ia ayun goloknya mengarah
muka musuh yang bersenjatakan Boan-koan-pit. Dalam
kagetnya musuh ini lekas menarik senjata potlot bajanya
hendak menangkis, di luar dugaan ilmu golok Ci-pang ternyata
cepat dan aneh luar biasa, tahu-tahu ujung goloknya berputar
balik dan sudah menerobos lewat di antara senjata musuh,
maka tanpa ampun lagi pundak musuh itu tertusuk tembus.
Tanpa melihat hasil serangannya itu, Ci-pang tidak pula
membalik, ketika ia mendengar ada angin menyambar dari
belakang, mendadak ia memutar ke samping dan goloknya ia
ayun kembali, dengan cepat ia membacok. Musuh yang
memakai golok bergerigi ini serangannya tak mengenai
sasaran, sebaliknya ia telah kena dibacok, goloknya sampai
terpental dan ketika Ci-pang memutar lagi goloknya sekali,
maka terkurunglah tubuh orang itu menjadi dua.
Melihat kawannya melayang jiwanya, musuh yang memakai
Boan-koan-pit yang terluka pundaknya itu ketakutan setengah
mati, ia merangkak bangun terus berlari pergi. Ci-pang tak
mengejarnya, dengan golok masih terhunus ia pun menerjang
ke dalam kalangan pertempuran untuk membantu ketiga
Lamma. Tatkala itu pertempuran mereka sedang serunya, ketika
mendadak diserbu Ci-pang, dalam kagetnya salah seorang
pengawal itu tak sempat menangkis sehingga kena dibacok
terguling. Seorang lagi terperanjat, ia menggunakan senjata
tombak, maka cepat menangkis serangan Ci-pang yang
diarahkan padanya.
Tak terduga, mendadak Ci-pang malah melompat maju, ia
tahan tombak orang dengan goloknya sambil melangkah ke
samping, berbareng sebelah tangannya memegang
pergelangan tangan orang dan segera dipuntir sekuatnya,
keruan saja orang itu kesakitan hingga menjerit, dan karena
urat nadinya dipencet Ci-pang, maka jago pengawal ini tak
dapat berkutik lagi, ia diseret Ci-pang bagaikan menuntun
kambing. Dalam sehari Ci-pang dapat mengalahkan enam jago
pengawal, pukulan yang ia gunakan semuanya dari ilmu
pukulan yang baru dipelajari dari ukiran di tembok goa itu,
tiap pukulan yang ia keluarkan ternyata membawa hasil yang
ajaib. Ia heran dan juga girang.
"Kau biasanya pintar menindas rakyat, kini biar tahu rasa
juga," katanya sambil membekuk perwira tadi. Sambil berkata
ia memencet dengan keras.
"Ampun, tuan!" teriak orang itu kesakitan.
"Kalau kau ingin hidup, itupun tidak mudah, kau harus
memberitahukan padaku, untuk urusan apa kamu datang ke
sini!" tanya Ci-pang.
"Kami mendapat perintah untuk mengikuti jejak Leng Bwehong,"
jawab orang itu.
"Dengan aku saja tak mampu menang, malah berani
mengejar Leng Bwe-hong?" kata Ci-pang.
"Kau Loyacu (tuan besar) punya ilmu silat jauh lebih tinggi
daripada Leng Bwe-hong!" sahut perwira itu memuji.
"Siapa perlu kaupuji?" Ci-pang dengan lantang
mendamprat. Walaupun dalam mulut ia mendamprat tetapi dalam hati
timbul juga semacam rasa senang, pikirnya, "Hm, baru kini
kamu kenal siapa aku!"
"Baiklah, karena kau sudah berterus-terang, biarlah
kuampuni jiwamu!" bentaknya kemudian sambil mendorong
orang itu. Keruan saja perwira itu seperti mendapat lotere, dengan
cepat ia berlari ngibrit tanpa menoleh lagi.
Sementara itu ketiga Lamma itu menghaturkan terima
kasih, lebih-lebih Lamma yang sudah mengenal Han Ci-pang,
ia merangkulnya dan mencium jidatnya.
"Sudahlah, sudah, bukankah kalian datang untuk mencari
Sik-li-ci?" tanya Ci-pang dengan tertawa kikuk karena tak
biasa dengan cara menghormat tadi.
Lamma yang dikenalnya ini bernama Congtat Wancin, ia
menceritakan bahwa sesudah kehilangan Sik-li-ci, sebelum
kembali ke Tibet mereka bertemu dengan padri yang khusus
datang hendak menyambut benda suci itu. Maka tiap hari
mereka keluar mencari jejak Thian-bong. Walaupun mereka
tahu Thian-bong sudah kabur jauh, tetapi mereka masih
belum putus harapan. Lamma itu baru ingin mencari di sekitar
Hun-kang, tak terduga malah bertemu dengan para pengawal
tadi. "Keyakinan kalian dalam mencari benda suci itu sungguh
hebat betul. Lihatlah ini!" kata Ci-pang kemudian dengan
tertawa sambil mengeluarkan kotak cendana dan diperlihatkan
kepada para Lamma itu.
"He, inilah Sik-li-ci!" seru Congtat Wancin kegirangan.
Dengan segera ia bertekuk lutut dan menjura terus diikuti dua
Lamma yang lain.
Ci-pang menjadi bingung tak tahu apa yang harus
diperbuatnya. Ketiga Lamma itu bangkit dan masing-masing
mengel uarkan sebuah handuk bersulam, dengan kedua
tangan mereka mempersembahkan ke hadapan Han Ci-pang.
Ci-pang tahu ini adalah suatu cara penghormatan yang paling
tinggi dalam adat kebiasaan Lamma yang disebut
mempersembahkan 'Hata', maka cepat ia berkata, "Mana aku
berani menerima!?"
"Sejak kini kau adalah Tuan penolong kaum Lamma kami,
harap kau dapat ikut kami ke Tibet," kata Congtat Wancin
mewakili Lamma yang lain.
Semula Ci-pang masih menolak dengan merendah, tetapi
sesudah ia berpikir lagi, kemudian dengan tersenyum ia terima
juga ajakan orang. Dan dengan kepergiannya ke Tibet ini,
baru beberapa tahun lagi ia bertemu kembali dengan Leng
Bwe-hong dan Lauw Yu-hong.
Sementara Han Ci-pang bersama Lamma itu melintasi
dataran tinggi menuju Tibet, maka Leng Bwe-hong bersama
Lauw Yu-hong juga sedang berkelana di dataran tinggi daerah
sekitar Hun-lam dan Ku-ciu.
Dalam perjalanan selama belasan hari itu di antara mereka
telah timbul perasaan yang sangat aneh.
Lauw Yu-hong merasa sikap Leng Bwe-hong terhadap
dirinya kadang seperti seorang sahabat dekat, tetapi kadang
juga seperti orang yang asing sekali. Sepanjang jalan Bwehong
bersikap sangat angkuh, tetapi dalam keangkuhan itu
tanpa terasa nampak juga rasa simpatik dan semacam rasa
kasih. Selama hidup Lauw Yu-hong belum pernah mendapat
perlakuan sedingin itu, tetapi juga tidak pernah memperoleh
perhatian orang yang begitu simpatik.
Bercampurnya perasaan yang begitu ruwet dan
bertentangan itu, dan juga begitu aneh, walaupun ia sudah
lama berkelana di Kangouw dan terhitung pahlawan wanita
yang sudah kenyang menghadapi segala ujian, tapi dalam
jaringan perasaan yang begitu rupa, ia seperti laba-laba yang
rela mengikat diri.
Ia pernah menyangsikan Leng Bwe-hong adalah
sahabatnya di waktu muda itu, akan tetapi bagaimana hal ini
terjadi" Pada malam peristiwa itu terjadi, jelas dilihatnya baju
dan sepatunya terapung di Ci-tong-kang, boleh jadi mayatnya
sudah terapung ke samudra raya dan berkawan dengan ikan
besar. Lagi pula wajah Bwe-hong dan suaranya pun tak sama
dengan bayangan yang masih terekam dalam hati
sanubarinya. Hanya ada satu hal yang mirip dengan si 'dia',
ialah kalau Leng Bwe-hong sedang memikirkan sesuatu, samasama
mempunyai kebiasaan menekuk-nekuk jari tangannya.
Bagaimanapun Lauw Yu-hong adalah seorang Congthocu,
ia tak berani dengan terus terang mengutarakan
kesangsiannya, ia hanya mengamati Leng Bwe-hong
sepanjang perjalanan, ia mengharap darinya bisa memperoleh
titik persamaan yang lebih banyak. Leng Bwe-hong pun
seperti mengetahui dirinya diperhatikan, kadang kala ia
memberi balasan dengan tersenyum tawar.
Perjalanan belasan hari dengan perasaan kesal telah dapat
dilalui. Hari itu mereka sampai di Hua-ling, jarak ke Kun-bing
hanya tiga ratusan li saja. Hari itu pagi-pagi betul mereka
sudah melanjutkan perjalanan lagi.
"Dengan cara kita berjalan, waktu magrib nanti mungkin
kita sudah bisa sampai di Kun-bing," seru Leng Bwe-hong
tertawa sambil menuding ke tempat jauh.
Waktu itu, mereka sedang memasuki suatu lembah sunyi,
cuaca mendung gelap, di atas lembah gunung itu tertutup
halimun yang makin lama makin tebal, lambat laun udara
menjadi gelap gulita, jalan di depan pun tak jelas lagi.
"Ini adalah halimun tebal dari gunung Oh-bong-san," seru
Leng Bwe-hong. "Biasanya disusul dengan gas racun, kita
harus hati-hati!"


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka mengatur pemapasan dan maju merayap, tak lama
kemudian sesampainya di atas, mereka terbeliak, di depan
mereka terdapat sebuah telaga besar dikelilingi puncak
gunung yang indah, keindahan telaga itu agaknya pembawaan
alam, di atas telaga terdapat gumpalan awan putih yang
terapung mengelilingi puncak gunung. Sekitar kaki gunung
penuh dengan pepohonan yang hijau segar. Waktu itu,
meskipun halimun di udara cukup tebal, tetapi air telaga di
bawahnya begitu tenang dan nyaman.
Yu-hong mengeluarkan sebuah peta dan memeriksanya.
"Ini adalah telaga 'Bu-sian-oh', di sini hawa beracun agak
tidak begitu kuat, lebih baik kita istirahat sebentar, nanti bila
keadaan mengijinkan kita bisa lanjutkan kembali," kata Yuhong.
Dalam pada itu, betul saja hawa beracun telah datang
menyusul halimun tebal, meskipun di dekat telaga ada air
yang dapat menolak hawa beracun itu, tetapi pernapasan
mereka terasa sesak juga.
Dan selagi me-eka hendak berhenti mengaso, tiba-tiba dari
jauh angin silir membawa bau wewangian, dan hawa beracun
itu segera buyar oleh bau wangi itu. Mereka menjadi girang,
mereka mendatangi tempat tersebut. Tidak lama kemudian
mereka melihat ada segundukan api unggun, di sekitar api itu
berkerumun banyak orang lelaki dan perempuan yang
memakai ikat kepala.
Leng Bwe-hong sudah banyak pengalaman, ia mengerti itu
adalah orang suku bangsa Yi sedang membakar semacam
rumput wangi yang khusus tumbuh di Hun-lam untuk
menghindari serangan hawa beracun.
Boleh jadi di tepi telaga itu ada perkampungan, maka
begitu ada halimun tebal disertai hawa beracun, penduduk di
situ lantas berkumpul membakar rumput wangi untuk menolak
hawa beracun. Cepat Leng Bwe-hong dan Lauw Yu-hong menghampiri ke
sana, ia memberi salam kepada penduduk di situ dan dengan
menuding udara serta gerakan tangan untuk memberi tanda
maksud kedatangannya. Suku bangsa Yi mempunyai adat
sopan dan suka bersahabat, melihat kedatangan Bwe-hong
berdua, mereka lantas mengerti maksud orang, maka segera
ada yang memberi tempat, dan mempersilakan mereka duduk.
Sewaktu Leng Bwe-hong hendak duduk, sekilas dilihatnya
di antara kelompok orang itu ada tercampur dua orang bangsa
Han, dan dengan pandangan tajam sedang mengamati
dirinya. Bwe-hong tergerak perasaannya, ia pura-pura menunjang
janggut dengan tangannya untuk menutupi bekas luka di
mukanya dan menundukkan kepala.
Lewat tak lama, halimun makin tebal, orang suku Yi itu
menambah pula rumput wangi untuk dibakar lebih besar di api
unggun itu. Dan pada waktu itu juga dari tepi telaga datang
seorang dengan cepat. Melihat tindakannya yang gesit, Leng
Bwehong tahu pasti dia adalah jago silat, akan tetapi setelah
dekat ternyata orang ini berdandan sebagai sastrawan yang
sangat cakap, melihat umurnya tentu sekitar dua puluhan
tahun. Orang itu ternyata paham bahasa Yi, begitu datang lantas
mengajak bicara dan bersenda-gurau dengan penduduk Yi,
agaknya ia mempunyai kenalan di sini.
Sebentar kemudian, dari lembah sunyi sana kembali
muncul beberapa orang tinggi besar dan berbaju kuning.
Demi nampak mereka, Leng Bwe-hong berseru heran, ia
senggol Lauw Yu-hong supaya berpaling ke sebelah sini dan
jangan berpapasan dengan orang itu.
Orang ini ternyata amat sombong dan sewenang-wenang,
begitu tiba tanpa bersalaman dengan penduduk di situ, lantas
mendesak ke tengah dan dengan tepat duduk di samping dua
orang Han yang duluan tadi.
Saat itu juga di antara halimun dan hawa beracun yang
tebal itu, terdengar riuh burung yang ketakutan. Ada
segerombolan burung menerobos halimun tebal terbang
merendah mengitari gundukan api unggun.
Mungkin karena tak tahan oleh hawa beracun itu, maka
burung itu terbang rendah sekali.
Ada beberapa orang suku Yi dengan galah bambu menanti
bila burung terbang rendah, tiba-tiba menghantam dengan
galahnya, ada belasan burung yang segera kena dipukul jatuh.
Akan tetapi sesudah beberapa kali, burung itu pun menjadi
cerdik, untuk menghindari hawa beracun terpaksa burung itu
terbang rendah tetapi mereka menyambar dengan cepat,
begitu melihat bayangan galah, segera mereka terbang pergi
lagi, lama-lama orang suku Yi itu menjadi kewalahan.
Tiba-tiba dua orang Han yang duluan tadi tertawa
terkekeh-kekeh, mereka minta sebatang galah dari penduduk
dan lantas berdiri, mereka mengayunkan galah dengan cepat,
burung yang terbang rendah bila terbentur lantas jatuh ke
bawah, hanya sekejap saja sudah banyak burung yang
terpukul jatuh. Akhirnya burung-burung itu menjadi ketakutan
dan ribut, mereka terbang tinggi hingga galah tak
membenturnya. Tak terduga, orang berbaju kuning yang datang
belakangan menyindir, seorang di antaranya menjemput
sebutir batu dan lantas berdiri.
"Untuk apa begitu banyak membuang tenaga, lihat aku ini!"
kata orang itu.
Dengan kuat lalu ia meremas batu di tangannya, menyusul
kedua tangan diayun, terlihat batu kerikil beterbangan, burung
di angkasa beruntun jatuh. Dua orang yang duluan lekas
menarik kembali galah mereka dan dengan menghormat
mereka menyapa.
Orang berbaju kuning kembali menampakkan tawa
dinginnya. "Kim Khe," katanya kepada seorang di antara dua orang
Han tadi, sambungnya, "Kau tidak mengenaliku lagi" Tetapi
aku masih dapat mengenalimu, kudengar kau sangat bahagia
di tempat Ping-lam-ong Siang Ci-sin, dan sobat yang satu ini,
tentunya juga orang kuat dari Ong-hu!"
Orang yang disebut Kim Khe itu memandangnya sejenak,
kemudian katanya, "Cianpwe apakah betul Khu Tong-lok Siansing?"
"Sepuluh tahun yang lalu seperti pernah bertemu di Lik-sia,
Cianpwe selama ini bernaung dimana?"
Mendengar orang berulang-ulang menyebut Cianpwe
padanya, lagak Khu Tong-lok sedikit menjadi halus, akan
tetapi ia mendesak lagi.
"Kaudatang dari tempat Siang Ci-sin, barang apa yang
kaubawa untuk Go Sam-kui, coba perlihatkan kepadaku!"
tanyanya cepat.
Muka Kim Khe berubah keras.
"Mengenai hal ini, maafkan Wanpwe tidak dapat menurut!"
sahutnya. "Geledah dia!" perintah Khu Tong-lok pada ketiga orang
kawannya dengan tegas.
Ketiga orang itu berbareng menubruk maju, tetapi Kim Khe
sudah lebih dulu memukul orang yang paling depan. Orang itu
berkelit ke samping, dengan cepat luar biasa Kim Khe segera
menerobos keluar, tetapi ketiga orang tegap berbaju kuning
itu mana mau membiarkannya, serentak mereka mengepung.
Kawan Kim Khe baru saja hendak turun tangan, tiba-tiba
sudah teitotok oleh sambitan sebutir batu kerikil Khu Tong-lok,
segera ia roboh tak berkutik.
Dan karena keributan ini, penduduk Yi lantas bubar
menyingkir. Leng Bwe-hong pun kini terpaksa ikut berdiri
bangun. Justru waktu itu juga beberapa orang yang
bertempur itu sudah dekat di sampingnya.
Orang berbaju kuning itu ternyata sangat gagah, mereka
mengepung dari tiga jurusan, kepalan mereka menyerang
dengan cepat, Kim Khe berulang menggeser pergi, sambil
menangkis ia menyingkir masuk di antara orang banyak,
karena itu suku Yi menjadi kacau dan berlari bubar, maka
sekejap saja mereka sudah mendekati Leng Bwe-hong yang
masih berdiri di situ.
Ketika seorang berbaju kuning itu menggertak, sebelah
tangannya memotong dari samping, Kim Khe berjongkok
untuk menghindari serangan itu, maka dengan cepat lewatlah
pukulan itu di atas kepalanya, tetapi karena itu juga tubuh
Leng Bwe-hong yang kena terpukul.
Sebenarnya Leng Bwe-hong tidak ingin menampakkan diri,
maka ia tadi hanya ikut orang banyak menyingkir saja, ia tidak
ingin memperlihatkan dirinya sebagai seorang ahli silat. Kini
mendadak kena pukulan orang tegap itu, dengan sendirinya
secara reflek ia mengeluarkan ilmunya yang tinggi untuk
menghindari pukulan itu, sedikit tubuhnya bergerak, orang itu
seperti memukul kapas, hingga tubuhnya mendadak
mendoyong ke depan, Kim Khe mengambil kesempatan itu
untuk menendang, maka orang itu segera tertendang pergi
dua tombak lebih.
Khu Tong-lok terkejut menyaksikan kejadian itu, cepat ia
memburu ke hadapan Leng Bwe-hong.
"Aha, kukira siapa, tak tahunya adalah kau!" kata Khu
Tong-lok dengan suara aneh dan tertawa.
"Selamat bertemu," jawab Leng Bwe-hong dengan lagak
angkuh. Sambungnya kemudian, "Enam belas tahun yang lalu
aku telah menerima dua kali goresan golokmu, beruntung saja
tidak terbunuh mampus!"
"Aku sedang mencarimu untuk membikin perhitungan baru,
ternyata kau malahan hendak bikin perhitungan lama?" kata
Dalam pada itu Kim Khe sedah mengenali Leng Bwe-hong
juga, ia menjadi kaget, ia tahu Leng Bwe-hong adalah
pendekar yang malang-melintang di Kongouw dan selalu
dibuat bahan cerita dalam dunia persilatan. Sebaliknya Khi
Tong-lok juga dike nalnya sebagai jago terkemuka di kalangan
Kangouw. Kedua orang ini lak boleh dibuat main-main.
"Khu-locianpwe, aku bukan kawan seperjalanan mereka,"
kata Kim Khe kemudian ketika ia melihat dirinya hendak
dikepung. "Baik" sahut Khu Tong-lok tertawa, "Urusan kita, nanti kita
bicarakan, sekarang cukup kautinggal diam dulu, soal itu nanti
bisa dirundingkan."
Nyata Khu Tong-lok yakin dirinya sanggup menandingi
Leng Bwe-hong, hanya kepandaian Lauw Yu-hong yang belum
diketahui, maka sengaja menggertak Kim Khe agar berlaku
netral sementara dan membereskan Bwe-hong dahulu.
Seperti diketahui, Khu Tong-lok ini adalah Susiok To Tok
dan saudara seperguruan Nikulo yang tewas bersama Njo
Hun-cong. (Baca PAHLAWAN PADANG RUMPUT)
Di waktu mudanya Khu Tong-lok pernah dihajar Njo Huncong
di pegunungan Mahsar dimana ia bersama sang Sute, Liu
Se-giam, hendak merebut peta wasiat dari Asta, seorang
Kazak, saudara angkat Hun-cong.
Tong-lok adalah murid ketiga Hong-lui-kiam Ce Cin-kun dari
aliran Tiang-pek-san, tetapi ilmu silatnya yang paling hebat di
antara ketiga saudara seperguruannya. Sebenarnya ia adalah
bangsa Boan, cuma memakai nama Han untuk memancing
jago silat lain supaya mengabdikan diri pada pemerintah
Boan-jing, di samping itu ia pun memata-matai gerak-gerik
para pahlawan dunia persilatan.
Setelah Nikulo tewas, Tong-lok tak tahu kalau Hun-cong
juga tewas bersamanya, maka jauh-jauh ia sengaja datang ke
Thian-san hendak menuntut balas pada Njo Hun-cong, baik
untuk kematian Suhengnya itu maupun untuk sakit hati diri
sendiri. Tatkala itu kebetulan Leng Bwe-hong baru datang ke
Sinkiang, ilmu silatnya masih randah, maka ia telah merasakan
goresan golok Khu Tong-lok pada mukanya hingga berwujud
codet itu, syukur Hui-bing Siansu keburu dating menolongnya,
Hui-bing memperlihatkan ilmunya dengan meremas batu
menjadi bubuk hingga Khu Tong-lok dibikin lari ketakutan.
Kini kedatanganya ke Hun-lam bertujuan mengejar Leng
Bwe-hong yang diketahui memasuki daerah ini dari laporan
Coh Ciau-lam, sedang ketiga orang kawannya itu adalah Si-wi
atau jago pengawal kelas satu dari kerajaan.
Memang penguberan mereka ini atas titah Kaisar Khong-hi
yang keder terhadap orang pandai seperti Leng Bwe-hong ini,
di samping itu dua jago lainnya sudah dikirim lebih dulu
langsung ke Kun-bing.
Mula-mula Khu Tong-lok hanya membawa seorang teman,
tetapi sesampainya di pegunungan Hun-kang, di antara tebing
yang curam itu dapat dilihatnya tulisan yang ditinggalkan
Lauw Yu-hong untuk Han Ci-pang yang seorang diri itu.
Maksud tulisan itu adalah meminta Ci-pang supaya terus ke
barat agar dapat bersama-sama melaksanakan pergerakan.
Pesan ini tak terbaca oleh Ci-pang, sebaliknya terbaca oleh
Khu Tong-lok. Tong-lok cukup cerdik, dari tulisan itu ia menduga orang
pasti masuk ke daerah Hun-lam, maka cepat ia menyusulnya,
di daerah perbatasan kebetulan mereka bertemu dengan dua
jago yang dikirim duluan itu, lalu mereka berempat
menempuh perjalanan bersama, dan tiba di tepi telaga Busian-
oh karena rintangan halimun dan hawa beracun, secara
kebetulan pula mereka pun menjumpai Leng Bwe-hong.
Kini secara terang-terangan Khu Tong-lok menantang Leng
Bwe-hong, tentu saja Leng Bwe-hong menjadi gusar, ia
melolos pedang dan melangkah maju, tetapi mendadak ia
berputar balik, ia cabut pedang di pinggang Lauw Yu-hong
sedang pedang Yu-liong-kiam yang dapat direbutnya dari Coh
Ciau-lam itu ia berikan kepada Yu-hong.
"Ini, kaupakai pedang ini," katanya pada Yu-hong.
Lauw Yu-hong heran, dan selagi hendak bertanya, Bwehong
sudah melangkah maju lagi. Tak lama kemudian Yuhong
baru mengerti, ia tahu Bwe-hong kuatir musuh terlalu
kuat, maka pedang pusaka itu sengaja diberikan padanya
untuk menjaga diri. Ia menjadi berterima kasih sekali, sambil
memegangi pedang pusaka itu ia termangu di tempatnya,
saking terharu matanya menjadi' basah.
Sementara itu Khu Tong-lok sudah mulai bergerak, dia
sekal igus memakai dua senjata yang berlainan, tangan kiri
menggunakan golok dan tangan kanan memakai pedang,
dalam sekejap saja ia menyerang beberapa kali dengan tipu
yang aneh serta berbahaya.
Sebenarnya kedua senjata Tong-lok itu biasa saja, tetapi
sekaligus menggunakan dua macam senjata berbareng, inilah
yang luar biasa dan sangat sulit dipelajari dalam ilmu silat.
Tetapi Khu Tong-lok bisa memainkan kedua senjatanya secara


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu bagus dan rapat, setiap perubahannya pun susah
diraba. Sekalipun Thian-san-kiam-hoat atau ilmu pedang dari
Thian-san yang dimainkan Leng Bwe-hong sangat hebat,
tetapi pada belasan jurus permulaan ia kerepotan juga
melayani rangsekan Tong-lok.
Tetapi Leng Bwe-hong bukan sembarangan orang, setelah
belasan jurus lewat, ia pun dapat memahami gerak serangan
Khu Tong-lok. Mendadak permainan pedangnya berubah
cepat, ke-mana pedangnya mengarah, tubuhnya pun berada
di sana, ia balas merangsek dengan serangan yang baru dan
aneh serta dilakukan berganti-ganti. Meski Hong-lui-to-kiam
atau ilmu permainan golok guntur dan pedang angin yang
dilontarkan Khu Tong-lok begitu hebat, tetapi ilmu pedang
Leng Bwe-hong ternyata jauh lebih lihai dan susah dilawan.
Makin lama pertarungan kedua orang ini semakin seru
hingga untuk sementara orang lain susah menentukan siapa
bakal unggul dan siapa asor.
Lambat-laun terlihat Khu Tong-lok mulai berkeringat,
sungguh tak pernah diduganya bahwa Kiam-hoat atau ilmu
pedang Leng Bwe-hong bisa begitu hebat dan luar biasa.
Dalam sibuknya itu, dilihatnya Lauw Yu-hong setindak demi
setindak melangkah maju dengan penuh perhatian
menyaksikan pertarungan itu. Sedang dirinya terang
kewalahan, ia menjadi mendongkol melihat kawannya tidak
lantas turun tangan.
"Hayo, kawan-kawan, kenapa tidak lekas menangkap
penjahat perempuan itu!" segera ia membentak.
Dan karena bentakan itu, dengan cepat ketiga jago
pengawal tadi lantas mengembut maju. Ketiga pengawal ini
masing-masing bernama Thio Gui, Peng Kun-lim dan Hek Kehbing.
Thio Gui bersenjata golok perunggu, sedang Peng Kunlim
menggunakan toya panjang dan Hek Keh-bing
bersenjatakan sepasang cakram besi bertali, dan dia inilah
yang paling lihai di antara mereka bertiga.
Waktu mengembut maju, Peng Kun-lim mengemplang
paling dulu dengan toyanya, tak terduga tangkisan pedang
Lauw Yu-hong telah membuat ujung toyanya terkutung
sebagian. "Ia menggunakan pedang mestika," teriaknya kaget.
Hek Keh-bing tidak banyak bersuara, ketika tangannya
terayun, sepasang cakram terbangnya telah dilontarkan
dengan, cepat. Dengan pedang Yu-hong bermaksud
memotong tali senjata lawan. Tetapi Hek Keh-bing ternyata
cukup licin, baru saja Yu-hong bergerak, tiba-tiba cakram
menyambar ke bawah, dan ketika Yu-hong hendak menebas
ke bawah, cakram menyambar dari kanan dan kiri. Sepasang
cakram besi itu ternyata dapat dimainkan begitu hidup dan
lihai sekali. Untung Yu-hong menggunakan Pokiam hingga
musuh tak berani terlalu mendesak, namun tidak urung ia
kerepotan juga melayani keroyokan orang.
Dan ketika melihat ada kesempatan, dengan cepat Peng
Kun-lim dan Thio Gui lantas merangsek maju. Sekali ini Peng
Kun-lim sudah berpengalaman, ia tidak menyerang sendiri
lagi, tetapi bekerja-sama dengan cakram besi kawannya dan
berhati-hati supaya toyanya tidak terkurung lagi. Sebaliknya
golok perunggu Thio Gui tebal dan berat, namun gumpil juga
bila terbentur pedang pusaka Yu-liong-kiam, tetapi untuk
menabas kutung, Yu-hong juga tak bisa.
Dengan begitu Yu-hong harus melawan tiga macam
senjata, cakram besi selalu menyambar dari tempat jauh
sedang golok dan toya merangsek dari jarak dekat, lama
kelamaan Yu-hong merasa payah juga, syukur karena keder
terhadap pedang pusakanya, ketiga musuh tak berani terlalu
gegabah. Tatkala itu Leng Bwe-hong sudah di atas angin, ia
mendesak musuhnya selangkah demi selangkah, ia
mendengar juga Yu-hong sudah turun tangan, ketika
mendengar suara benturan senjata, segera ia pun tahu Yuhong
sedang dikeroyok, diam-diam Leng Bwe-hong mengeluh.
Dalam seribu kerepotannya itu sekilas ia melirik ke sana, ia
lihat Yu-hong lagi memutar pedangnya dengan kencang, cuma
keadaannya sudah payah sekali, tampaknya hanya bisa
menangkis saja dan tak sanggup balas menyerang.
Sungguh tidak kepalang rasa kuatirnya, ia menjadi gopoh
dan berulang kali menyerang dengan tipu yang berbahaya
dengan maksud supaya lekas dapat membereskan Khu Tonglok
agar dapat membantu Lauw Yu-hong.
Tetapi pertandingan antar ahli pedang sedikitpun tidak
boleh terburu napsu, dan karena gugupnya ini, Bwe-hong
telah memberi kesempatan kepada Khu Tong-lok untuk
melontarkan serangan balasan dengan Hong-lui-kiam-hoat
yang sangat lihai hingga Leng Bwe-hong berbalik kena
dicecar. Karena itu, Bwe-hong sadar serangan cepat bukan cara
yang betul, lekas ia menenangkan diri dan memusatkan
perhatian, sembari melayani musuh, pelahan ia bergeser
mendekati Yu-hong.
Di samping sana makin lama Lauw Yu-hong semakin payah,
jidatnya mulai berkeringat, tangannya pedas dan panas,
napasnya mulai memburu, setiap gerak-geriknya selalu
terkurung musuh hingga tak bisa bebas lagi.
Pada saat yang menguatirkan tiba-tiba cakram besi Hek
Keh-bing kembali mencengkeram dari atas, lekas Yu-hong
menangkis dengan gerak tipu 'Ki-hwe-liau-thian' atau
mengangkat obor menerangi langit, tetapi toya Peng Kun-lim
dengan cepat menyodok dari depan. Maka cepat Yu-hong
memutar kembali pedangnya menabas ke bawah. Agar
toyanya tidak terkutung, lekas Kun-lim menarik senjata dan
melompat pergi, tempatnya segera digantikan oleh Thio Gui
yang membacok dengan golok.
Karena terpaksa, Yu-hong menyampuk golok yang berat itu
hingga mata golok itu gumpil, namun sebelum Yu-hong
sempat menarik kembali pedangnya, tahu-tahu cakram besi
musuh yang lain sudah menyambar lagi dari atas, dan
tampaknya ia tak mampu lagi menangkis serangan itu.
Pada saat yang berbahaya itulah, tiba-tiba terdengar Hek
Keh-bing bersuara heran, cakramnya sekonyong-konyong
terpental pergi.
"Hm, macam orang gagah darimanakah ini, tidak berani
terang-terangan, tetapi main sembunyi membokong dari
samping!" dampratnya dengan gusar.
Belum habis perkataannya, ia mendengar ada suara
seorang pemuda telah menyindir, "Hm, tiga orang laki-laki
mengembut seorang wanita, dan ini macam orang gagah
darimana pula?"
Mengincar tempat datangnya suara, mendadak Hek Kehbing
menimpukkan dua buah bor terbang. Pemuda itu kembali
memperdengarkan tawa dinginnya, menyusul terdengar dua
suara mencicit di angkasa, maka dua buah bor itu telah saling
bentur tems jatuh ke tengah telaga.
Sementara itu Lauw Yu-hong dapat melihat jelas senjata
rahasia yang digunakan pemuda itu coraknya seperti kupukupu,
jika dilepaskan mengeluarkan suara. Bor pertama Hek
Keh-bing telah kena dibentur oleh senjata rahasia itu dan tems
membentur pula bor yang kedua. Lauw Yu-hong mengenal itu
adalah senjata rahasia Oh-tiap-piau atau piau kupu-kupu,
ciptaan khusus keluarga Tong di Su'cwan. Diam-diam ia
menjadi heran, pemuda ini masih muda belia, tapi sudah
mahir menggunakan senjata rahasia yang berbentuk aneh itu.
Hek Keh-bing menjagoi kalangan silat karena kedua
senjatanya yang terkenal, yakni cakram terbang dan bor
terbangnya, tetapi kini dengan mudah saja kena dipecundangi
orang, ia menjadi gusar dan gugup. Ia mempunyai senjata bor
itu adalah senjata yang paling berat di antara senjata rahasia
lainnya, kini dapat dipukul jatuh oleh sebuah Oh-tiap-piau
yang kecil, maka kekuatan pemuda itu dapatlah dibayangkan.
Walaupun gusar, ia tak berani sembrono lagi, segera ia
mainkan cakram terbangnya sedemikian mpa rapatnya, yang
sebelah melindungi diri, sebelah lainnya menyerang musuh.
Sebaliknya senjata pemuda itu pun aneh, sepasang Liusingtui,
bandul dengan tali baja, senjata ini kalau tak dipakai diikat
di pinggang sebagai tali pinggang, bila dipakai dapat
dilemparkan seperti bola terbang dan dapat dimainkan secara
hidup. Kedua orang itu bertarung dari jarak lima tombak, cakram
dan bandulan saling bentur di udara, empat tali bagaikan ular
naga yang menari-nari, kadang terbang miring, kadang
ditimpuk-kan I urus, pemandangan ini sangat menakjubkan.
Dan karena berkurang satu lawan yang paling kuat,
semangat Lauw Yu-hong menjadi berkobar kembali,
pedangnya menyambar secepat kilat, ia mendesak Thio Gui
dan Peng Kun-lim dan tak lama kemudian toya musuh kembali
terkurung sebagian.
Di lain pihak, Leng Bwe-hong yang menggempur Khu Tonglok
juga sudah sampai pada puncaknya, Bwe-hong tidak kuatir
lagi melihat Lauw Yu-hong sudah terhindar dari bahaya, maka
permainan pedangnya bertambah hebat Sebaliknya Hong-luito-
kiam Khu Tong-lok meski lihai, tetapi serangannya selalu
dapat dielakkan oleh Bwe-hong, hingga akhirnya kedua
senjatanya malah berhasil dikurung oleh pedang Bwe-hong.
Sampai pada suatu saat yang menentukan, mendadak
terdengar Bwe-hong menggertak, pedangnya membabat,
tahu-tahu golok di tangan kiri Khu Tong-lok sudah terlepas
dari cekalan, Leng Bwe-hong segera mengangkat pedangnya
lagi dan menggores muka Khu Tong-lok, lalu ia menggores
lagi ke kanan, maka kuping kiri Khu Tong-lok segera berpisah
dengan tuannya.
"Nah, ini adalah pokok berikut rente dari golok pertama!"
demikian bentak Leng Bwe-hong.
Dengan menahan sakit Khu Tong-lok berjumpalitan
beberapa tombak jauhnya, segera ia lari pergi terbirit-birit.
"Ingat, masih ada pokok berikut rente dari golok kedua!"
bentak Leng Bwe-hong pula. Setelah itu ia tertawa terbahakbahak
namun ia tak mengejar.
Dulu ia dilukai dua kali di mukanya oleh Khu Tong-lok, kini
ia baru membalas sekali dengan memberi rente sebelah
kupingnya, maka Khu Tong-lok masih ada utang sekali lagi.
Di waktu Khu Tong-lok lari ngibrit, ia masih berteriak pada
kawannya, "Angin kencang !" Artinya keadaan berbahaya.
Dalam keadaan begitu ia masih sempat memberi sekali
sambitan batu pada pemuda yang menempur Hek Keh-bing
dan memanggil, "Hek-lo-ji, lekas Lari!"
Melihat Khu Tong-lok hanya memanggil Hek Keh-bing
seorang saja, Leng Bwe-hong menjadi curiga Dengan cepat ia
bersiap mencegat.
Betul saja Hek Keh-bing pura-pura melontarkan serangan
dan kemudian angkat kaki hendak menit, akan tetapi dengan
tepat ia sudah dihadang Leng Bwe-hong.
Dalam bingungnya ia cepat mengayun tangan, dua cakram
terbangnya telah menyerang Leng Bwe-hong. Namun Bwehong
tidak berkelit, ia menanti setelah cakram itu sudah dekat
di atas kepalanya, pedangnya diangkat naik hingga kena dililit
oleh cakram itu, berbareng Leng Bwe-hong mendoyongkan
tubuhnya ke belakang, maka tak tahan lagi Hek Keh-bing kena
ditarik maju beberapa tindak ke depan.
Sementara itu cakram kedua pun sudah menyambar
dengan cepat, dengan memiringkan kepalanya, Leng Bwehong
mengulur tangan mencekal ke atas, tali baja cakram itu
segera kena ditangkapnya dan mendadak ia membentak,
"Naik!"
Tangan kirinya mengayun sekuatnya, sedang pedang di
tangan kanan yang masih dililit tali cakram itu dihentakkan ke
samping, Hek Keh-bing tak pernah menduga akan kejadian ini,
ia kena terangkat oleh cakramnya sendiri yang diayun Leng
Bwe-hong itu. Meski tubuh Hek Keh-bing sudah terapung di udara namun
ia tidak menjadi gugup, ia melepaskan tangan dan dengan
sekali jumpalitan ia dapat turun dengan selamat di atas tanah,
setelah itu kembali tiga buah bor disambitkan pada Leng Bwehong.
Tatkala itu Bwe-hong masih memegangi cakram orang
maka dipakainya sebagai senjata untuk menyampuk ketiga
buah bor yang menyerang itu hingga kena disapu terpental ke
angkasa dan terlempar jauh ke tengah telaga.
Pada waktu Leng Bwe-hong menghajar Hek Keh-bing.
Lauw Yu-hong yang seorang diri melawan Peng Kun-lim
dan Thio Gui juga sudah berada di atas angin. Thio Gui
menggunakan goleknya pura-pura menyerang dari samping,
namun Yu-hong sudah mengetahui tipu musuh, ia sambut
dengan tertawa dingin, ia biarkan musuh menerjang dekat,
lalu dengan cepat ia barengi menyerang memotong
pergelangan tangan musuh, Thio Gui sudah telanjur mengulur
tangan, dan ia hendak menghindari serangan itu, namun
sudah terlambat, tangan kanannya dari bahu terbabat putus
oleh Yu-liong-kiam, ia menjerit ngeri, darah muncrat dan
roboh. Melihat itu, Peng Kun-lim segera hendak buron, tetapi dari
depan ia telah dipapak oleh sastrawan muda tadi, dua bandulannya
sudah tiba di batok kepalanya dan segera menyusul
kawannya ke akhirat.
Di pihak lain Hek Keh-bing yang tadi sedang menimpuk
Leng Bwe-hong dengan senjata rahasia bor, ia tahu
serangannya tidak nanti kena sasaran, maka sambil
menimpuk, segera ia pun angkat langkah seribu alias kabur.
Dan karena Leng Bwe-hong harus menangkis serangan itu,
maka Hek Keh-bing keburu berlari pergi berpuluh tombak
jauhnya. "Kalau terima tanpa memberi itu kurang hormat!"
Tiba-tiba Leng Bwe-hong berteriak. Menyusul sebuah
benda hitam keemasan tahu-tahu sudah disambitkan secepat
kilat. Mendengar adanya sambaran angin dari belakang, Hek
Keh-bing tahu dirinya diserang, tanpa menoleh ia pun
menimpukkan sebuah bor lagi ke belakang dengan tujuan
membentur jatuh senjata rahasia Bwe-hong.
Tak diduganya tenaga senjata rahasia Bwe-hong yang
hitam kecil seperti anak panah ternyata keras luar biasa,
ketika kedua am-gi atau senjata rahasia saling bentur, am-gi
Leng Bwe-hong yang kecil lembut telah ambles masuk ke
dalam bornya dan terus membentur balik ke arah Hek Kehbing.
Sungguh tidak kepalang kaget Hek Keh-bing, ia hendak


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelit, namun tak keburu lagi, tahu-tahu bahunya sudah
ditembus oleh bornya sendiri.
Dalam pada itu cepat sekali Lauw Yu-hong sudah
menyusul, sewaktu Hek Keh-bing hendak menyerang dengan
bornya pula, tiba Lauw Yu-hong sudah membentak, "Lihat
senjata!" Menyusul sebuah benda bagai jala sudah mengurung di
atas kepalanya hingga Hek Keh-bing tercengkeram oleh benda
itu. Ketika Yu-hong menarik senjatanya, yaitu Kim-hun-tau
yang istimewa itu, Hek Keh-bing terseret mendekat, segera
Yu-liong-kiam ia angkat dan kepala Hek Keh-bing hendak
dipenggalnya. "Tahan dulu !" seru Leng Bwe-hong sebelum Lauw Yu-hong
mengayunkan tangan.
Yu-hong heran dan ia melepaskan juga senjata Kim-huntau
dari tubuh Hek Keh-bing. Bwe-hong menggeledah orang,
dari baju Hek Keh-bing ia mendapatkan sepucuk surat yang di
sampulnya terdapat tulisan 'An-se-ciangkun LP.
Waktu Bwe-hong membuka surat itu dan membaca
sekedarnya, ia tertawa dingin sambil menyimpan surat itu, lalu
ia berseru, "Kini keparat ini dapat dibereskan!"
Habis itu ia mengangkat Hek Keh-bing terus dilempar jauh
sekenanya, bagai layangan putus saja tubuh Hek Keh-bing
melayang lewat di atas kepala penduduk Yi, kemudian terjebur
ke telaga. Halimun mulai buyar, hawa beracun telah hilang,
pertarungan sengit tadi sudah berakhir, lembah kembali sunyi
dan di tepi telaga itu pun tenang kembali. Penduduk Yi sangat
terpesona oleh pertarungan dahsyat tadi, tetapi dengan
tatapan mata yang agak curiga mereka memandangi beberapa
orang yang tak dikenalnya itu.
Tetapi pemuda tadi lantas mendekati mereka dan memberi
penjelasan, bahwa orang yang terbunuh itu adalah orang
jahat, supaya mereka jangan takut.
Dalam pada itu, dengan agak gemetar Kim Khe sudah
berdiri dan segera memberi hormat pada Leng Bwe-hong.
"Aku bukan komplotan mereka, kau orang tua menyaksikan
sendiri tadi mereka hendak membinasakanku!" demikian ia
berkata. "Ya, aku tahu kau bukan kawan mereka, kau ini utusan
Ping-lam-ong, bukan?" sahut Leng Bwe-hong dengan tertawa.
Kim Khe mengangguk tanda membenarkan.
"Dan aku pun tahu kau adalah seekor kalong," sambung
Leng Bwe-hong lagi dengan tertawa menyindir.
Dengan kata 'kalong', ia maksudkan Kim Khe hidupnya
suka gelap-gelapan dan mengikuti gelagat.
Karena sindiran itu, muka Kim Khe menjadi merah karena
malu. "Kini aku ingin tahu barang apa yang kaubawa dari
Ongya?" tanya Bwe-hong dengan tertawa sembari mendekati.
Kim Khe menyaksikan sendiri ilmu silat Leng Bwe-hong
masih di atas Khu Tong-lok, ia mengerti, andaikata lari pun tak
mungkin lagi, maka ia menjadi ketakutan, mukanya pucat dan
bibirnya biru, ia mundur terus.
Dan pada saat itulah dari lembah gunung sana tiba-tiba
berkumandang suara kelenengan disusul suara derapan kuda
yang makin mendekat.
"Jangan urus dia dulu, dia bukan orang penting " kata si
pemuda tadi pada Leng Bwe-hong.
Leng Bwe-hong tertawa, ia berpaling dan berkata,
"Mengingatmu, baiklah aku tidak turun tangan dulu."
Habis berkata begitu ia terus mendekati pemuda itu hendak
mengatakan sesuatu padanya, tapi belum sempat Leng Bwehong
bersuara, pemuda itu telah menunjukkan sebuah bor
padanya, karena tak paham maksud orang, Leng Bwe-hong
tercengang dan mundur ke belakang.
"Ini adalah bor yang kupungut," kata pemuda itu dengan
tertawa. Ternyata di pucuk bor itu masih terjepit sebuah benda mirip
anak panah kecil, setelah pemuda itu mencabutnya, lalu
diangsurkan pada Leng Bwe-hong.
"Ini senjata rahasiamu," katanya lagi, menyusul ia tertawa
terbahak-bahak dan berkata, "Jangan kauberitahu namamu
dulu, biar aku menerkanya. Berdasarkan senjata rahasiamu ini
kuyakin kau adalah Thian-san-sin-bong!"
Senjata rahasia yang Leng Bwe-hong gunakan adalah
semacam duri tajam tumbuhan yang khusus tumbuh di Thiansan,
bentuknya begitu keras melebihi baja. Pemuda itu pernah
mendengar cerita dari gurunya, bahwa Hui-bing Siansu pada
lima puluh tahun yang lalu pernah menggunakan senjata
rahasia semacam ini untuk melukai delapan belas buaya darat
di daerah selatan.
Melihat orang bisa mengenal asal-usulnya, diam-diam Bwehong
terkejut, katanya dalam hati, "Orang ini masih begini
muda, tetapi pengetahuannya ternyata sudah luas!"
Maka ia pun bertanya nama pemuda itu, tetapi orang ini
hanya tertawa sembari berkata, "Tampaknya ada pasukan
yang sedang mendatangi, mari kita tunggu, nanti kita masih
bisa bercakap-cakap lebih lama lagi!"
Melihat orang tak mau berterus terang, Leng Bwe-hong
pun tidak bertanya lebih jauh.
Ketika mereka bicara, dari lembah gunung sana sudah
muncul serombongan penunggang kuda, pemimpinnya
memegang tiang bendera yang bertuliskan 'Ping-se-ong-hu',
tentara berkuda itu semuanya memakai kerudung muka,
agaknya di tengah jalan mereka bertemu juga dengan halimun
tebal itu, maka memakai kerudung untuk menghindari hawa
beracun. Demi melihat kedatangan pasukan ini, Kim Khe menjadi
girang, segera ia memanggil dan memapak pasukan yang
datang ini. "Utusan Ping-lam-ong menyembah pada Ping-se-ong!"
demikian seru Kim Khe sembari memberi hormat.
Perwira di atas kuda itu memandang sekejap padanya, ia
sedikit mengangguk, kemudian ia memberi perintah
bawahannya untuk melayani Kim Khe, ia sendiri tidak
berhenti, ia cambuk kudanya pula terus berlari menyusuri tepi
telaga seperti mencari sesuatu.
Tiba-tiba ia melompat turun dari kudanya, terus
menghampiri pemuda sastrawan tadi, dengan merendah ia
memberi hormat dan berkata, "Ping-se-ong mengetahui
Paduka Yang Mulia hari ini bakal datang, maka sengaja
memberi perintah untuk menyambut ke tempat yang tiga
ratus li jauhnya ini!"
Habis berkata, regu musik pasukan berkuda itu lantas
membunyikan musik mereka sebagai tanda penghormatan.
Leng Bwe-hong sangat terkejut demi mendengar
percakapan mereka itu.
"Ah, jangan banyak pakai adat!" kata si pemuda tadi sambil
tersenyum, sikapnya dingin saja.
Sementara itu sudah ada yang membawakan seekor kuda
putih dan berkata nada si pemuda. "Silakan Li-kongcu naik
kuda!" Pemuda sastrawan itu memandang sekejap pada Leng
Bwe-hong dan Lauw Yu-hong, ia berkata pula pada perwira
itu, "Bikin repot kalian saja. harap pinjam dua ekor kuda lagi.
mereka adalah sahabatku."
Ia berbicara dengan perwira itu, tetapi matanya terus
menatap Bwe-hong, di antara sinar matanya mengandung
maksud menunggu dan penuh kepercayaan.
Leng Bwe-hong mengedipi dulu Yu-hong sebagai tanda.
"Baik!" katanya kemudian tanpa ragu-ragu.
Seorang perwira telah melayani mereka dengan baik dan
memberi cambuk kuda, waktu hendak berangkat bahkan
memberi hormat secara militer.
Kim Khe berdua pun sudah diberi dua ekor kuda, tetapi
pelayanan yang mereka dapat, jauh kalau dibandingkan Leng
Bwe-hong, Kim Khe menjadi malu, dan tak habis mengerti.
Pikirnya dalam hati, "Aku adalah utusan Ping-lam-ong, dan
Ping-lam-ong dengan Go Sam-kui adalah sama-sama raja
muda, malahan mereka berkepentingan dari kami, tapi
tampaknya pasukan ini bukan datang menyambutku, tetapi
seperti khusus dikirim untuk menyambut pemuda sastrawan
itu. Apakah mungkin kedudukan pemuda sastrawan ini bisa
lebih tinggi daripadaku?"
Dan karena mendongkol dan kurang senang, maka
sepanjang jalan ia membisu terus.
Kuda mereka dilarikan dengan cepat, pada waktu magrib
mereka sudah sampai di Kun-bing. Perwira itu membawa
mereka mengaso dalam istana Ping-se-ong. Istana ini
dibangun membelakangi gunung dan kelihatan bersusun,
jalanan berliku-liku, pemandangan sangat indah.
Congkoan atau kepala pelayan istana menempatkan
pemuda sastrawan bersama Leng Bwe-hong di suatu tempat,
sedang Lauw Yu-hong disediakan pelayan wanita yang khusus
melayaninya, sebaliknya Kim Khe ditempatkan pada suatu
tempat lain. Pemuda sastrawan itu ternyata tak tertarik meski berada
dalam istana semegah itu, sehabis makan-minum dan
membersihkan badan, ia segera pergi tidur. Sungguhpun Leng
Bwe-hong adalah orang Kangouw kawakan, ia tak dapat
menerka siapakah sebenarnya pemuda ini"
Hari kedua dan ketiga para panglima Go Sam-kui
mengiringi mereka pesiar menikmati keindahan kota Kun-bing.
Sepanjang jalan pemuda sastrawan itu selalu obral dengan
pendapatnya tentang siasat militer yang strategis di mana
tempat yang dia datangi dan dilihatnya. Tetapi memang
begitu jitu dan hebat pendapatnya itu hingga para panglima
Go Sam-kui harus mengangguk-angguk sependapat.
Sebaliknya diam-diam Bwe-hong merasa aneh mengapa
pemuda ini menonjolkan diri" Ia tidak tahu bahwa pemuda itu
ada tujuan tertentu datang ke Kun-bing, ia justru sengaja
menonjolkan diri akan kemahiran ilmu kemiliteran untuk
mengejutkan Go Sam-kui dan panglimanya.
Malam hari ketiga, si pemuda sastrawan dan Leng Bwehong,
Lauw Yu-hong serta Kim Khe diundang Go Sam-kui
pada suatu perjamuan besar yang khusus diadakan untuk
mereka. Untuk menjaga segala kemungkinan, Leng Bwe-hong
dan kawannya membawa senjata lengkap dan bawahan Go
Sam-kui tiada yang berani merintanginya.
Perjamuan itu diadakan di ruang istana yang semerbak oleh
asap kayu wangi, di bawah pendopo sana bersiap pasukan
pengawal berseragam lengkap, sedang di meja perjamuan
terdapat pula panglima dan orang kepercayaan Go Sam-kui,
malahan diiringi pula oleh nyanyian dan tari-tarian yang
membuat suasana menjadi lebih semarak.
Dengan angkuhnya pemuda sastrawan itu masuk ke ruang
perjamuan itu, tetapi Go Sam-kui tidak tampak di tempat,
yang mewakili sementara adalah seorang panglima yang
berperawakan gagah tegap.
"Orang ini adalah panglima Go Sam-kui yang paling
perkasa, namanya Po Tiau," demikian pemuda itu membisiki
Leng Bwe-hong. Sementara itu para tetamu sudah datang, maka lekas Po
Tiau menyambut dengan hormat dan menyilakan duduk.
Lalu datanglah seorang untuk menuang arak bagi para
tetamu. Dandanan orang ini tampak sebagai jago silat, cara
menuang arak juga aneh, tiap kali ia menuang ke cawan dan
menaruh cawan itu ke atas meja, tahu-tahu cawan itu ambles
hampir separoh ke dalam meja.
"Mari, silakan minum!" seru Po Tiau kemudian sesudah arak
semua tamu dituang. Lalu ia mendahului mengangkat
cawannya, ia menjepit dengan dua jari dan dengan ringan
saja cawan yang ambles dalam meja itu sudah terlepas tanpa
tercecer setetes pun. Dan araknya ia teguk habis sekaligus.
Menyusul giliran si pemuda sastrawan itu, ia tersenyum
melihat orang menunjukkan kepandaian Lwekangnya tadi, ia
pun tidak mau kalah, malahan ia hanya menggunakan satu
jari telunjuk saja terus mengait cawan arak yang setengah
ambles itu, ketika ia putar sedikit, tahu-tahu cawan itu telah
melambung ke atas terus disambut mulurnya, isi cawan itu
pun ia teguk sampai kering tanpa menetes sedikit pun.
Giliran selanjutnya adalah Leng Bwe-hong, terus Lauw Yuhong.
Waktu Bwe-hong melirik, ia lihat Yu-hong lagi berkerut
kening tanda ada kesukaran.
Pikir Bwe-hong, "Sungguhpun Kiam-hoat Yu-hong sangat
bagus, tetapi soal Lwekang mungkin ia belum sampai
puncaknya?"
lengan ia oerpitur, uuuiauiya ucngau congKaK uau iciiiberang
berulang kali Po Tiau mendesak agar Bwe-hong iekas
minum. "Congsu, silakan minum," demikian Po Tiau mendesak.
Bwe-hong menarik alis, sinar matanya mengerling para
hadirin, kedua tangannya menahan di atas meja, ketika ia
tepuk meja pelahan. berbareng ia berseru, "Ya. marilah
silakan minum semua!"
Semua cawan arak yang masih ketinggalan dan ambles
dalam meja tahu-tahu telah melambung keluar. Cepat sekali
Leng Bwe-hong, Lauw Yu-hong dan Kim Khe lantas
menyambar cawan arak masing-masing dan meneguknya
hingga kering. Ada beberapa orang lain yang semeja dengan
mereka dan tak keburu menyambar cawan yang telah
melambung itu, hingga cawan berserakan berikut isinya.
Sekilas wajah Po Tiau berubah, tetapi segera ia tertawa
terbahak-bahak dan berkata, "Maafkan, maafkan! Biar ganti
cawan yang baru lagi!"
Habis itu ia mengambil semua cawan arak yang masih
berada di meja itu dan dimasukkan ke lengan bajunya, ketika
kemudian ia mengebas lengan bajunya, seperangkat cawan
yang terdiri sepuluh buah telah tertancap dengan rapinya di
atas tembok yang jauhnya beberapa tombak.
Kiranya cawan itu terbikin dari baja, kebasan lengan baju
Po Tiau tadi sungguh sangat hebat tenaga Lwekangnya.
Mau tak mau Leng Bwe-hong memuji kepandaian orang, ia
taksir ilmu silat orang ini pasti tidak di bawah Coh Ciau-lam.
Tidak lama kemudian cawan arak telah diganti dan Po Tiau
sendiri yang kini menuang arak melayani tetamunya. Ketika
sampai di depan Leng Bwe-hong, ia sengaja hendak menjajal
orang lagi, ketika cawan arak ia sodorkan, baru saja tangan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwe-hong memegang tepi cawan, mendadak ia menyalurkan
tenaga dalamnya memaksa arak dalam cawan itu meluap ke
atas. Tentu saja Leng Bwe-hong tahu maksud orang, ia pun
memperlihatkan ketangkasannya, ia mengumpulkan tenaga
pada tangan yang memegang cawan itu dan ketika ia
kerahkan tenaga, seketika arak yang meluap itu dapat
ditekannya ke bawah. Habis itu cawan arak ini ia sambut dan
diteguk habis. "Terima kasih atas hadiah arak Ciangkun ini," kata Leng
Dwe-iiuiig tertawa.
Fo Tiau menjadi kikuk karena saling jajal iiu, ia jadi
menyeringai. "Hm. boleh juga pengikutmu ini," demikian katanya pada si
pemuda sastrawan.
Pemuda itu tertegun sejenak, dan segera ia ingin
menjelaskan siapa diri Leng Bwe-hong, tetapi Leng Bwe-hong
keburu mengedipinya hingga ia urung bicara.
"Ahh, Ciangkun suka memuji saja, orang dusun seperti aku
ini, mana dapat menandingi ilmu Ciangkun yang tinggi,"
demikian Leng Bwe-hong menyahut.
Setelah tiga keliling menyuguh arak, kemudian Po Tiau
bicara lagi, "Karena ada halangan, maka Ping-se-ong sedikit
terlambat datang, untuk melewatkan waktu luang, silakan
menikmati nyanyian dan tari-tarian dahulu."
Lalu Po Tiau menepuk tangan sekali dan segera keluarlah
dua pasang laki-perempuan. Setelah memberi hormat, kedua
pasang muda-mudi ini pun mulai bergaya sambil berdendang
mengitari ruang perjamuan itu.
Cara menari dan bernyanyi agak aneh, makin lama mereka
berputar semakin cepat dan suara mereka kian lama kian
keras. Sampai suatu saat, tiba-tiba kelihatan mereka
mementang tangan seperti orang menarik busur dan tangan
sebelah muka terus diayun ke depan, beberapa lilin besar di
sisi kiri meja Leng Bwe-hong seketika padam. Menyusul
mereka mengitari lagi dan mementang tangan bergaya seperti
tadi, terus berjalan ke meja sebelah kanan Leng Bwe-hong.
Tapi Bwe-hong tak mau tinggal diam lagi, ia merasakan
betapa hebat angin pukulan keempat orang penari itu, tatkala
itu api lilin di sebelah kanan sedang miring hendak padam
karena sambaran angin, mendadak Leng Bwe-hong
menggeser sedikit tubuhnya, tiba-tiba ia pun mengulur
sebelah tangannya terus mengayun ke arah meja sebelah
kanan, dan api lilin yang tadinya miring ke sebelah Leng Bwehong
dan hampir padam itu sudah tegak dan menyala
kembali. "Perjamuan makan malam yang indah dengan sinar lilin ini,
kalau sampai padam semua tentunya kurang baik," demikian
ujar Bwe-hong tersenyum.
Kiranya dua pasang laki-perempuan itu ahli 'Pi-khong-cio'
atau ahli memukul dengan telapak tangan kosong. Dengan
alasan menari, sebenarnya mereka hendak mengunjuk
kepandaian, siapa tahu sekali gebrak, tenaga gabungan
mereka berempat baru bisa menahan kekuatan Leng Bwehong
seorang, keruan saja mereka menjadi jengah.
Dan karena kata-kata Bwe-hong tadi, Po Tiau menuruti
arah angin, katanya, "Ya, apa yang Congcu katakan cocok
dengan pendapatku, permainan mereka boleh berhenti saja."
Tak lama kemudian Po Tiau memberi tanda dan keempat
orang itu lantas mengundurkan diri dengan malu.
Berulang kali mempersulit dan menjajal diri orang tanpa
hasil, diam-diam Po Tiau sangat mendongkol.
Rupanya seorang perwira bawahannya yang semeja
dengan dia tahu perasaan Po Tiau, segera perwira ini berdiri
dan berkata, "Sayang kalau perjamuan ramai ini tanpa
selingan, maka Caihe (aku yang rendah) bersedia menghibur
para tamu agung dengan tarian pedang. Sudah lama ilmu
pedang Li-kongcu dikagumi, maka sudilah memberi petunjuk
padaku agar bisa membuang yang jelek dan menerima yang
baik." Tetapi pemuda itu tidak menjawab, ia hanya diam saja
sambil tersenyum.
"Cobalah kautunjukkan dulu, kalau memang masih ada
nilainya untuk dilihat, jangan kuatir Li-kongcu tak akan
memberi petunjuk," kata Po Tiau.
Kiranya Po Tiau tahu akan kedudukan pemuda itu, tak nanti
sudi bergebrak dengan perwira bawahannya, maka sengaja
dengan kata-kata itu ia memancing orang turun tangan.
Perwira itu bernama Hwan Cing, waktu Ciau-lam masih
menghamba pada Go Sam-kui bersama Thio Thian-bong,
mereka bertiga disebut 'Ong-hu-samkiat' atau tiga perkasa
dari istana, ilmu pedang Hwan Cing yang lihai adalah Mo-hunkiam-
hoat dari Lam-pay atau aliran selatan.
Sementara itu ia telah maju ke tengah dengan langkah
lebar, ia memberi hormat dulu pada pemuda itu, habis itu ia
melolos pedangnya, ketika sedikit bergerak, sinar pedangnya
berkelebat cepat sekali, ia memutar terus meloncat tinggi, lalu
mendekam ke bawah, makin lama semakin cepat dan kian
lama kian dekat dengan si pemuda.
"Li-kongcu, ilmu pedang ini ada nilainya tidak untuk
ditonton?" tanya Po Tiau pada pemuda sastrawan itu.
Tetapi pemuda itu tetap tak menjawab melainkan tertawa
dingin saja. Sebaliknya Leng Bwe-hong yang berdiri.
"Daripada bermain seorang diri, lebih baik dua orang
bertanding, biar aku mewakili Li-kongcu turun kalangan,"
demikian Leng Bwe-hong menyela.
Karena ia sudah telanjur dianggap sebagai pengikut Likongcu,
maka tanpa menunggu jawaban Po Tiau, segera Leng
Bwe-hong melangkah maju.
Dan karena majunya Bwe-hong ini, Hwan Cing lantas
menghentikan permainan pedangnya, ia memandang dengan
mata mendelik. "Hayolah, silakan maju," sambutnya kemudian.
Tapi Bwe-hong diam saja, ia melolos pedang Yu-liong-kiam
pelahan dan seketika sinar pedang gemerlapan menyilaukan
mata. Sebagai bekas kawan Coh Ciau-lam, dengan sendirinya
Hwan Tiing mengenali pedang itu, keruan seketika wajahnya
berubah hebat. "Darimana kau memperoleh pedang ini?" bentaknya.
Tetapi Leng Bwe-hong tak lantas menjawab, ia
melemparkan dulu pedangnya ke udara dan kemudian
ditangkapnya kembali. Habis itu, barulah ia buka suara.
"Ada seorang manusia she Coh yang sesumbar katanya
ilmu pedangnya tiada bandingannya di kolong langit, maka
aku telah melabraknya," demikian kata Leng Bwe-hong
pelahan seperti apa yang sudah terjadi itu bukan suatu yang
hebat. Lalu ia menyambung pula, "Siapa tahu manusia she
Coh itu hanya Eng-hiong gadungan belaka, cuma pedangnya
ini yang benar-benar Pokiam sejati, maka tanpa sungkan lagi
aku mengambilnya, dan berkat pedangnya yang aku penujui
inilah, jiwanya lantas kuampuni. Nah, lihat, bukankah pedang
ini cukup bagus?"
Habis berkata, kembali ia lemparkan pedangnya ke atas
seperti anak-anak yang bermain dengan mainan yang paling
disukainya. Sebaliknya karena kata-kata Leng Bwe-hong tadi, seketika
Hwan Cing terbungkam. Ia insyaf ilmu pedangnya tidak
melebihi Coh Ciau-lam, sedangkan pedang Ciau-lam saja
berhasil dirampas, cara bagaimana ia sanggup melawan
orang" Karena itu ia menjadi ragu dan serba salah, sampai
lama ia tak bisa buka suara.
Leng Bwe-hong tersenyum pula, Yu-liong-pokiam telah
dimasukkan kembali ke sarungnya.
"Pedangku ini adalah pedang wasiat, menang dengan
mengandalkan senjata bukanlah seorang jantan sejati, maka
biar aku bergebrak dengan tangan kosong saja," katanya lagi
sambil pasang kuda-kuda menantikan serangan orang.
Dalam keadaan serba salah itu ia didesak lagi oleh Bwehong,
mau tak mau Hwan Cing berpikir juga, "Coh Ciau-lam
saja tak berani melawan aku yang bersenjata dengan tangan
kosong, andaikan orang ini memang lebih lihai dari Coh CiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lam, rasanya juga tak akan sanggup melawan Mo-hun-kiamhoat
kemahiranku ini."
Karena pikiran itulah, ia mendapat hati, segera ia
menggerakkan senjatanya.
"Dengan tangan kosong kau hendak menjajal Kiam-hoatku,
ini menandakan betapa tinggi ilmu silatmu," demikian ia
berkata. "Cuma pedang tajam tak bermata, kalau sampai ada
yane terluka atau mampus, lalu bagaimana baiknya, padahal
kau adalah tamu?"
"Kalau terluka atau mampus sekali pun, itu mungkin sudah
takdir," sahut Bwe-hong tertawa. "Baiklah kita boleh berjanji
sebelumnya, barang siapa yang terluka atau mati, pihak lain
tak boleh disalahkan. Dan sekarang kau boleh menyerang
sebisamu, pedangmu meski tajam, belum tentu kau sanggup
membacok tanganku yang kosong ini."
Sembari berkata, Bwe-hong mengulurkan kedua tangannya
dan ditekuk-tekuk pula seperti sedang melemaskan otot,
lagaknya memandang rendah lawan.
Karena itu Po Tiau pun mendongkol sekali oleh tantangan
Bwe-hong itu, ia pikir pemuda sastrawan ini mungkin susah
diganggu, tetapi menghajar adat sedikit pada pengikutnya
mungkin dapat juga melenyapkan lagak sombong mereka.
"Hwan Cing, kau bisa bertemu orang kosen, boleh kau
mohon petunjuk beberapa jurus padanya, ada kami yang
menjadi saksi, kalau terjadi sesuatu, rasanya Li-kongcu tak
akan menyalahkanmu," katanya dengan tertawa, lalu ia
berpaling pada si pemuda itu dan berkata lagi, "Betul tidak
kataku, Li-kongcu?"
Pemuda sastrawan itu sudah menyaksikan gerak-gerik H
wan Cing waktu memainkan Kiam-hoat tadi yang tidak lemah,
tetapi kata-kata Leng Bwe-hong tadi sudah terlalu jauh,
terpaksa ia pun mengangguk tanda setuju.
Melihat Po Tiau membela dirinya, hati Hwan Cing
bertambah besar. Segera pedangnya bergerak, sekaligus ia
menusuk tenggorokan Leng Bwe-hong dengan cepat. Namun
Leng Bwe-hong sudah siap, sedikit ia mengegos, berbareng
tangan kanan menyampuk gagang pedang musuh, sedang
telapak tangan kiri terus memotong pergelangan tangan
orang. Untuk tidak sampai patah tulang tangannya, lekas Hwan
Cing menggeser, menyusul dari samping ia membabat pula.
Bwe-hong tak sabar lagi, tiba-tiba ia bersuit panjang, ketika
kedua tangannya dipentang sambil sedikit menekuk tubuh, ia
biarkan pedang lawan lewat di depan perutnya, habis itu
secepat kilat ia menubruk maju, maka terdengar suara "plak"
yang keras, pundak Hwan Tiing tahu-tahu telah kena
ditamDarnya sekali.
Tenaga yang dipakai Bwe-hong hanya sepertiga bagian
saja, tetapi Hwan Cing sudah kesakitan. Cepat ia melompat
mundur untuk menghindarkan serangan susulan lawan.
"Ah, jangan sungkan," ejek Bwe-hong tertawa.
Hwan Cing menjadi kalap, tanpa berkata lagi dengan mengertak
gigi ia merangsek maju pula, mendadak pedangnya
menusuk ke selangkangan Leng Bwe-hong.
Leng Bwe-hong menjadi gusar melihat kekurang-ajaran
lawannya, ia pun tidak mau bertahan lagi, segera ia
mengeluarkan Cat-jiu-hoat atau ilmu memotong dengan
tangan, salah satu ilmu silat Thian-san-cio-hoat atau ilmu
pukulan aliran Thian-san yang lihai, di bawah sambaran
pedang lawan ia mengincar urat nadi yang berbahaya untuk
menotoknya. Sungguh tak pernah diduga Hwan Cing bahwa ilmu pukulan
orang bisa begitu hebat, berulang-ulang ia terpaksa harus
mundur. Dan pada suatu ketika, mendadak ia balas menusuk,
siapa tahu dengan sedikit mengegos Leng Bwe-hong telah
menyambar tangannya terus ditarik pelahan, segera pula Leng
Bwe-hong melangkah maju, dengan sebelah tangannya ia
menyangga bawah perut orang dan sekuat tenaga terus
dilempar pergi.
Karena itu pedang Hwan Cing terjatuh, Bwe-hong
mengambil senjata itu, dengan tertawa ia lemparkan pedang
itu ke udara, waktu jatuh kembali, mendadak ia lolos Yu-liongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pokiam terus ditangkiskan, maka terdengar suara nyaring
yang keras, tahu-tahu pedang Hwan Cing sudah terkutung
menjadi dua, lalu Leng Bwe-hong kembali ke tempat
duduknya tadi. Sedang Hwan Cing sudah dibangunkan juga
oleh anak buahnya.
Saat itu jago-jago Go Sam-kui menjadi gusar, beramairamai
ada tujuh-delapan orang telah maju ke tengah
mengerumuni Bwe-hong.
"Congsu ini bisa mengalahkan Hwan Cing, aku tak akan
urus, tetapi pedang itu adalah milik pemimpin kami Coh Ciaulam
yang dicuri. Lebih dari itu kau berani bertingkah di sini,
sudah mengalahkan orang, tetapi senjatanya dipatahkan pula,
sungguh kami ingin tahu peraturan darimanakah ini?"
demikian kata mereka beramai.
Dalam keadaan ribut itu, tiba-tiba dari belakang terdengar
suara genderang berbunyi tiga kali, seorang perwira
mengibarkan sebuah bendera kuning lantas berteriak "Yang
Mulia Ping-se-ong datang!"
Dan diiringi suara genderang itu, dengan pelahan kemudian
tampaklah Go Sam-kui memasuki ruangan dan disambut
dengan penghormatan para bawahannya. Hanya si pemuda
sastrawan dan Lauw Yu-hong yang masih duduk seenaknya,
Leng Bwe-hong yang lagi cekcok dengan beberapa orang itu,
sengaja ikut duduk juga.
Waktu Bwe-hong mengamati, ia lihat usia Go Sam-kui
sudah lewat enam puluh tahun, tetapi belum ada tanda-tanda
lemah, gerak-geriknya masih tangkas dan kuat.
Dalam pada itu, pemuda sastrawan itu duduk diam di
tempatnya, hanya matanya menyorotkan sinar gusar, kedua
tangannya menahan meja seperti sedang menahan perasaan.
"Sungguh Li-kongcu orang yang dapat dipercaya, jauh-jauh
kini sudah datang ke sini, selamat datang dan selamat
bertemu!" Go Sam-kui menyapa dengan muka berseri setelah
berhadapan dengan pemuda sastrawan itu.
Dan karena teguran itulah baru pemuda sastrawan she Li


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu berdiri. "Ya, Ping-se-ong, baik-baikkah kau?" sahutnya kemudian
sambil sedikit membungkukkan badan. Kata "Ping-se-ong" sengaj
a diucapkan dengan keras, dan karena itu wajah Go Samkui
segera berubah, ia menyeringai kikuk.
"Hendaklah Li-kongcu jangan pakai sebutan begitu lagi
padaku," kata Go Sam-kui menahan perasaannya. "Pertemuan
kita kari ini harus dilakukan secara jujur."
Sementara itu para jago yang mengerumuni Leng Bwehong
tadi masih belum pergi, mereka masih penasaran.
Melihat itu Go Sam-kui menjadi heran.
"Siapakah sobat ini, Li-kongcu?" segera Go Sam-kui
bertanya. "Ia adalah pendekar besar yang namanya tersohor di
daerah barat-daya, Leng Bwe-hong, Leng-tayhiap adanya!"
kata pemuda itu tersenyum.
Sungguh terperanjat sekali Po Tiau mendengar keterangan
itu, nama Leng Bwe-hong yang tersohor sudah pernah ia
dengar, tetapi tak pernah diduganya bahwa pendekar besar
itu bisa datang ke Kun-bing. bahkan datang bersama dengan
pemuda sastrawan itu.
Dan karena dirinya diperkenalkan, maka dengan pelahan
Leng Bwe-hong lantas berdiri.
"Para jagoan Ongya ini sedang menyesalkan diriku yang
berani mengambil pedang ini " katanya sembari mengangkat
pedang Yu-liong-kiam yang tergantung di pinggangnya. Dan
sambungnya, "Pedang ini aku dapat merebut dari seorang
yang bernama Coh Ciau-lam, ia kini adalah orang kepercayaan
Kaisar yang bertakhta sekarang ini. Apakah Ongya kenal
padanya?" Mendengar penuturan Leng Bwe-hong ini, seketika suasana
Pendekar Jembel 10 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Pendekar Naga Mas 5
^