Pencarian

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 9

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 9


sedang bertarung dengan sengitnya, seorang dikenali sebagai
Coh Ciau-lam, sedang yang lain adalah Thio Hua-ciau. Di
bawah Thian-hong-lau sudah menanti ratusan pasukan
pengawal yang siap dengan panahnya.
Tampaknya Ciau-lam menyerang dengan hebatnya,
berulang-ulang Thio Hua-ciau harus berkelit menghindarkan
ancaman pedang musuh. Sesudah menghindarkan beberapa
serangan, mendadak Ciau-lam melangkah maju dan menusuk,
tapi tiba-tiba Hua-ciau mengenjot tubuh, ia melompat naik ke
tingkat empat. Permainan pedang Ciau-lam secepat kilat, kalau mau cukup
ia mengayun pedangnya dan segera akan bisa menebas
kutung kedua kaki lawan pada waktu Hua-ciau melompat naik,
tetapi entah mengapa ia tidak berbuat begitu, sebaliknya ia
mengegos ke samping, pedangnya menutul genting rumah
dan tubuhnya dengan enteng membal ke atas, hampir
berbareng dengan Hua-ciau yang menancapkan kaki di emper
tingkat empat, pedangnya secepat angin merangsek pula.
Sebab apakah Ciau-lam tidak mau melukai Thio Hua-ciau"
Kiranya pada waktu ia menggeledah Thian-hong-lau tadi atas
petunjuk Liok Bing dan Liok Liang, ia masuk ke lapisan tembok
rahasia Thian-hong-lau itu dan memergoki Hua-ciau di sana,
segera ia mengenalnya sebagai salah seorang yang pernah
hendak membunuh To Tok di Ngo-tai-san dulu, kemudian
dalam pertempuran malam-malam di Jing-Iiang-si pun sejalan
dengan le Lan-cu. Ia menjadi girang, pikirnya, "Taruh kata
tidak bisa menangkap 'penyamun wanita' itu, tapi bisa
menangkap orang inipun berjasa besar,. Karena itulah ia
hendak menangkapnya hidup-hidup dan tidak ingin
menewaskan jiwanya.
Tetapi ilmu silat Thio Hua-ciau juga tidak lemah, lebih-lebih
ilmu pedangnya ajaran dari Bu-kek-pay, walaupun bukan
tandingan Coh Ciau-lam, namun kalau Ciau-lam hendak
menangkapnya hidup-hidup juga tidak gampang dilakukannya.
Berulang-ulang Ciau-lam menyerang dengan berbagai
macam gaya serangan, ia bermaksud memukul jatuh dulu
pedang Hua-ciau, tetapi Hua-ciau terus berjaga dengan rapat,
maka di atas gedung tingkat empat itu kembali mereka
bergebrak 30 - 40 jurus lagi.
Lama-lama Ciau-lam menjadi gusar, tiba-tiba permainan
pedangnya berubah, ia menyerang cepat sehingga pedangnya
seakan-akan menjelma menjadi belasan batang. Hua-ciau tak
sempat mengelakkan diri lagi, lengan kirinya tertusuk sekali, ia
menjerit, ia memutar tubuh dan melompat lagi ke tingkat lima.
Melihat susah menangkap hidup-hidup lawannya, segera
timbul pikiran jahat Coh Ciau-lam, ia pikir melukai dulu Thio
Hua-ciau, habis itu baru menangkapnya hidup-hidup. Ia tidak
menduga Hua-ciau cukup perkasa, walaupun terkena tusukan
sekali ia masih dapat melompat naik ke tingkat yang lebih
atas. Tetapi sudah tentu Ciau-lam tidak mau melepaskan
begitu saja, ia pun melompat pelahan dan dengan enteng
menyusul ke tingkat lima, bahkan ia bisa mendahului
mencegat jalan mundur Hua-ciau, ia memaksanya
membelakangi bagian luar loteng, hingga lebih susah untuk
menjaga diri. Dalam keadaan yang mendebarkan itu, selagi Kui Tiongbing
dan Boh Wan-lian berpikir hendak memberi bantuan,
tiba-tiba dari tingkat enam menerjang keluar seorang gadis,
cepat ia menutul kaki dan bagai burung terbang menyambar
turun miring, pedang pendeknya tahu-tahu membentur
pedang Coh Ciau-lam hingga lelatu api menciprat, pedang Coh
Ciau-lam tergumpii. Gadis ini tidak lain daripada Ie Lan-cu
yang hendak ditangkapnya itu.
Kiranya Ie Lan-cu tak kenal seluk-beluk rahasia dalam
Thian-hong-lau, sebelum tengah malam ia sudah datang. Ia
menggeledah dan mencari tiap-tiap tingkat, tapi tidak
menemukan Thio Hua-ciau, waktu sampai di tingkat enam,
tatkala itu Coh Ciau-lam sudah mengepung dengan
pasukannya. Lan-cu mendekam di belakang pot bunga, ia
memandang ke bawah, ia lihat Hua-ciau sedang diuber-uber
oleh Coh Ciau-lam, keadaannya sangat menguatirkan, maka
cepat ia mengunjukkan diri dan menebas pedang musuh
dengan pedang pusakanya, Toangiok-kiam.
Melihat Ie Lan-cu mengunjukkan diri, segera Ciau-lam
mengalihkan pokok tujuannya, pedangnya bergerak, beruntun
ia menusuk tempat-tempat berbahaya le Lan-cu. Dalam pada
itu Thio Hua-ciau telah melompat pula naik ke tingkat enam.
Ilmu silat Lan-cu lebih tinggi dari Thio Hua-ciau, tetapi Coh
Ciau-lam bermaksud menangkap hidup-hidup, tiap
serangannya ganas dan berbahaya. Belasan jurus telah lewat,
le Lan-cu melihat gelagat jelek, ia pun melayang naik ke
tingkat enam. Di atas situ ia melihat Hua-ciau sedang
membalut lukanya tadi.
"Bagaimana?" tanya Lan-cu kuatir.
Melihat wajah orang yang simpati, Hua-ciau tergerak
hatinya, ia tak merasakan sakit lagi, pedangnya digerakkan
seraya berkata, "Tidak apa-apa!"
Belum kedua orang itu berbicara lebih banyak, cepat Ciaulam
sudah menyusul datang dan menyerang pula, lekas Lancu
memotong dengan pedang pusakanya, sedang Hua-ciau
mendadak membungkuk, ia menggunakan tipu gerakan 'Pengpoh-
te-gim' atau menggelar permadani ke tanah, ia membabat
kedua kaki Coh Ciau-lam. Namun Ciau-lam memang sangat
lihai, ia menusuk ke samping pada Ie Lan-cu yang dipaksa
berkelit, berbareng pedangnya memutar ke bawah sambil
menyungkit, pedang Thio Hua-ciau yang membabat itu segera
terpental terbang ke tingkat teratas Thian-hong-lau.
Dengan mati-matian Ie Lan-cu bertahan, sedang Hua-ciau
melayang ke tingkat atas memburu senjatanya yang terpental
itu, sementara Ie Lan-cu dan Coh Ciau-lam dengan cepat
menyusul ke atas.
Hua-ciau tak berani ayal lagi, berkat pedang pusaka Ie Lancu
yang menahan dari depan, ia pun memainkan seranganserangan
hebat dari Bu-kek-kiam. Meski Ciau-lam sendirian
melawan dua musuh, namun ia masih lebih banyak
menyerang daripada berjaga.
Begitulah ketiga orang bertempur sengit di atas Thianhong-
lau tingkat teratas, walaupun Ciau-lam berada di atas
angin, tapi dalam sekejap ia pun tak berdaya mengalahkan
kedua lawannya.
Dalam pada itu dari loteng tingkat tiga tiba-tiba melayang
keluar empat sosok bayangan, dua di antaranya adalah Liok
Liang dan Liok Bing, sedang dua lainnya adalah jagoan kelas
tinggi dari pasukan pengawal. Mereka tadi sedang
menggeledah sisa komplotan lainnya dalam lapisan tembok
rahasia di tingkat tiga itu, tetapi tak mendapatkan sesuatu,
maka kini mereka datang membantu.
Tiong-bing dan Wan-lian di tempat gelap di belakang
gunung-gunungan, mereka lihat di atas Thian-hong-lau sana
Ciau-lam makin lama makin ganas, mereka menjadi kuatir.
"Kau lekas membantu mereka," kata Wan-lian. "Kaudo-rong
mereka turun ke bawah, lalu berlari ke jurusan sini mengikuti
aku menerjang keluar."
Kala itu pasukan pengawal yang berada di bawah Thianhong-
lau semua lagi mendongak ke atas, mereka terkesima
oleh pertempuran sengit yang terjadi di atas sana, tiap orang
hanya melihat ke atas, tiada seorang pun yang insyaf bahwa
di dekatnya masih bersembunyi dua orang musuh.
Secara tiba-tiba Kui Tiong-bing menerjang keluar, ia
melayang lewat di atas kepala pasukan pengawal itu dengan
kecepatan luar biasa, beberapa pengawal itu tiba-tiba
merasakan kepala kesakitan, waktu mereka menengadah,
tahu-tahu kepala mereka dipakai Tiong-bing sebagai batu
loncatan untuk melompat ke atas Thian-hong-lau.
Pasukan pengawal itu bergemuruh, segera mereka
menghujani dengan anak panah, tapi Tiong-bing memutar
pedangnya dan anak panah itu terbentur pergi semua. Dalam
pada itu ia tidak menghentikan langkahnya, ia genggam tiga
buah anting-anting emas, setingkat demi setingkat ia
melompat naik ke atas, sekejap saja ia sudah sampai di
tingkat empat, kekuatan anak panah sudah lemah dan tak bisa
mengenai sasarannya. Waktu Tiong-bing mendongak, ia lihat
seorang Thongling pasukan pengawal baru saja sampai di
tingkat teratas, cepat Tiong-bing mengayun tangannya, baru
saja Thongling itu hendak maju membantu Coh Ciau-lam, tibatiba
punggungnya kesakitan, ia terjungkal ke bawah. Kembali
pasukan pengawal riuh gemuruh, waktu mereka menangkap
Thongling yang jatuh itu dan diperiksa, ternyata orangnya
sudah mampus. Waktu itu Liok Bing dan Liok Liang baru Saja sampai di
tingkat lima, mendadak mereka melihat Tiong-bing melayang
naik, mereka terkejut, lekas mereka bersembunyi masuk ke
dalam ruangan. Sesudah Tiong-bing naik sampai tingkat lima,
ia tak menggubris mereka, tangan kirinya kembali bergerak,
sebuah anting-anting menyambar menuju seorang Thongling
lain yang juga baru saja naik. Tak ia duga Thongling ini
ternyata seorang jagoan kelas satu bernama Oh Hian-tik,
dalam pasukan pengawal ia hanya di bawah Coh Ciau-lam dan
Thio Sing-pin. Ia menggunakan sebuah ruyung lemas dan
anting-anting emas itu kena disabet jatuh. Kui Tiong-bing
mengge-ram gusar, ia tak menghentikan tindakannya, cepat ia
menerjang ke tingkat paling atas, segera pedangnya
membacok. Oh Hian-tik tak tahu pemuda ini menggunakan pedang
pusaka, ia mengayun ruyungnya untuk menangkis, tahu-tahu
ia menjerit kaget, lekas ia mundur beberapa langkah, kiranya
pucuk ruyungnya sudah terbabat putus sebagian. Segera
Tiong-bing merangsek maju pula, berbareng ia bidikkan juga
tiga anting-anting yang sudah digenggam di tangan kirinya
mengarah jalan darah di punggung Ciau-lam.
Dalam pertarungan sengit melawan Hua-ciau dan Ie Lan-cu
berdua, ketika mendadak Ciau-lam mendengar angin tajam
menyambar dari belakang, cepat ia mengulur tangan meraup
ke belakang, ia dapat menangkap anting-anting yang
menyambar itu, tapi karena itu pula pedangnya sedikit
merandek, kesempatan itu meluputkan Ie Lan-cu dari
rangsekan Coh Ciau-lam tadi.
Sesudah Tiong-bing membidikkan anting-anting emasnya,
menyusul segera ia merangsek maju, tiba-tiba ia pun melihat
Coh Ciau-lam mengayun tangannya, sebuah sinar emas
bersuara menyambar cepat ke arahnya, kekuatannya cukup
mengejutkan. Tiong-bing tahu itulah anting-antingnya sendiri
yang di-timpukkan balik oleh Coh Ciau-lam, tapi mendengar
suara sambaran itu membawa suara mendenging, segera
dapat diketahui cara Coh Ciau-lam menggunakan senjata
rahasia memang jauh lebih mahir dan kuat daripada dirinya, ia
tak berani menyambutnya, ia mengayun pedangnya
menyampuk. Saat itu Oh Hian-tik yang mundur tadi telah maju
pula, ruyungnya menyabet ke kaki Kui Tiong-bing.
Di sebelah sana Ie Lan-cu dengan gerak tipu 'Li Kong Sia-
Ciok' atau Li Kong menahan batu, ia menusuk cepat, lekas
Ciau-lam menarik pedang untuk menangkis, pada kesempatan
itulah Ie Lan-cu menerobos ke samping kiri, ia menduduki
tempat yang lebih menguntungkan sambil berteriak, "Tiongbing,
kita keroyok dia dari kanan dan kiri, lekas, lekas!"
Cepat Tiong-bing mengenjot tubuh menghindarkan sabetan
ruyung Oh Hian-tik tadi dan selagi masih di atas, pedangnya
menikam cepat ke bawah. Tetapi Coh Ciau-lam tidak mandah
ditusuk, ia mengegos tubuh seraya balas menusuk ke atas,
saat itu Ie Lan-cu tidak tinggal diam, dari sebelah kiri ia pun
membabat. Dalam keadaan begitu, bila Ciau-lam tidak berkelit, walau ia
dapat menusuk Kui Tiong-bing, namun ia sendiri pasti juga
akan terluka parah oleh serangan Ie Lan-cu. Serangan Ie Lancu
ini betul-betul tepat sekali, ia dapat melepaskan bahaya
yang mengancam Kui Tiong-bing.
Terpaksa Coh Ciau-lam memutar pergi, menyusul berulangulang
ia menusuk ke kanan dan ke kiri secepat kilat, ia
menahan serangan yang kini datang dari kanan dan kiri pula.
Sementara itu Tiong-bing dapat menggantikan lowongan Thio
Hua-ciau, dan Hua-ciau dapat meloloskan diri untuk segera
menempur Oh Hian-tik sendirian.
Dengan majunya Kui Tiong-bing itu, keadaan segera
banyak berubah. Jika tadi Ciau-lam berada di atas angin, kini
sebaliknya ia jadi kerepotan. Kiam-hoat Tiong-bing dan Lan-cu
adalah ajaran guru pandai dan tidak terlalu banyak berseli-sih
dengan Coh Ciau-lam, lebih-lebih kedua orang ini sama-sama
memakai pedang pusaka, mereka menyerang dari sayap
kanan dan kiri, Coh Ciau-lam mengeluarkan seluruh
kemampuannya, namun berulang-ulang ia masih harus
menghadapi rangsekan berbahaya, masih mendingan ia
mempunyai kekuatan dan keuletan yang sempurna, ia
mengeluarkan tipu-tipu pukulan ganas dan hebat, secara
paksa barulah ia bisa bertahan satu lawan dua.
Di sebelah sana Thio Hua-ciau yang sendirian menempur
Oh Hian-tik malahan tercecar. Oh Hian-tik ternyata sudah
biasa memainkan ruyungnya dengan gagah sekali. Sebaliknya
Hua-ciau karena sudah bertempur sekian lama, ditambah
lengan kirinya terluka, ia tak sanggup bertahan lebih lama, ia
kena didesak mundur terus, jika mundur beberapa tindak lagi,
segera ia akan terguling ke bawah Thian-hong-lau.
Nampak itu Ie Lan-cu menjadi gugup, sementara itu dari
bawah loteng telah naik pula beberapa orang jagoan.
"Pergi!" tiba-tiba terdengar Tiong-bing membentak, pokiamnya
cepat memaksa Coh Ciau-lam mundur, habis itu
dengan kecepatan luar biasa ia menerjang keluar dari sayap
kanan, ia menusuk pula ke punggung Oh Hian-tik yang sedang
me-rangsek Thio Hua-ciau, dengan tergopoh-gopoh Oh Hiantik
membalik tubuh dan membungkuk untuk menghindarkan
serangan itu, pada kesempatan itu Tiong-bing sudah dapat
menyeret Thio Hua-ciau menerjang turun, pedangnya menutul
pojok emper gedung tingkat enam, dengan cepat melayang
turun ke tingkat lima.
Tatkala itu justru ada dua orang Thongling hendak
melompat naik ke tingkat lima, lekas Tiong-bing melepas
tangan dan meneriaki Hua-ciau, "Kaulompat turun dari sana!"
Habis itu mendadak ia terjun menukik ke bawah memapak
kedua Thongling yang hendak melompat naik itu, pedang di
tangan kanan menusuk dan telapak tangan kiri memukul


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbareng, manabisa kedua Thongling itu menahan serangan
hebat ini" Segera seorang tertusuk oleh pokiam dan yang lain
batok kepalanya remuk, kedua mayat berbareng
menggelundung ke bawah.
Segera Tiong-bing menyusul melompat ke bawah, ia
mengayun pedangnya membuka jalan dan diikuti Hua-ciau
dari belakangnya. Saat itulah terdengar suara teriakan tajam
Ie Lan-cu. Kiranya sewaktu Coh Ciau-lam kena didesak mundur oleh
tusukan Kui Tiong-bing tadi, ia sedikit merandek, pada
kesempatan itu bagai burung terbang Lan-cu melayang turun
ke bawah, Ciau-lam menaruh perhatian penuh atas Ie Lan-cu,
ia tak peduli Kui Tiong-bing melarikan diri, ia hanya mengejar
Ie Lan-cu. Liok Bing dan Liok Liang sementara sedang muncul dari
loteng tingkat lima, Ciau-lam segera memapak mereka, waktu
melayang lewat di atas mereka, ia sekalian menyambar
mereka dan membawanya turun. Kedua orang ini paham
jalan-jalan di dalam taman, Ciau-lam kuatir 'penyamun wanita'
ini lolos dan bersembunyi dalam taman, maka ia ingin
menggunakan mereka sebagai penunjuk jalan.
Sementara Lan-cu bisa mendahului tiba di atas tanah, ia
mengayun pedangnya, menyusul suara nyaring terdengar,
beberapa senjata musuh telah terkuning atau terbentur pergi.
Ia memutar pedangnya lagi, tapi tiba-tiba terasa angin tajam
menyambar dari samping, tahu-tahu pedang Ciau-lam telah
menyerang pula, dalam kagetnya sampai Lan-cu berteriak.
Dan karena suara Ie Lan-cu tadi, Tiong-bing menerjang
kembali mati-matian. Sekonyong-konyong dari atas gununggunungan
menerjang keluar dengan cepat seorang, ketika
kedua tangannya menyebar berulang-ulang, segera terdengar
jeritan pasukan pengawal yang mengejarnya itu dan segera
pula berlari menghindar. Orang ini tidak lain adalah Boh Wanlian.
Dengan senjata rahasianya 'Pasir pencabut nyawa', ia
menimpuk muka dan mata pasukan pengawal yang mengejar,
sekali sebar segeng-gaman, meski pasir itu tidak bisa
mencapai jarak jauh, tetapi untuk melawan orang banyak dari
dekat ternyata membawa hasil yang memuaskan.
Di pihak lain Ciau-lam yang menempur Ie Lan-cu, pada
suatu kesempatan mendadak merangsek maju hendak
merebut pedang si gadis. Tapi dari depan segera disambut
Boh Wan-lian dengan segenggam pasir beracunnya. Coh Ciaulam
berkelit berbareng memukul, pasir itu tergetar jatuh oleh
angin pukulannya yang keras. Dalam pada itu terdengar di
belakangnya suara gertakan, Theng-kau-pokiam Tiong-bing
bagai naga perak telah menyambar dari samping, lekas Ciaulam
menyampuk menghindarkan ancaman itu, dengan enteng
sekali Ciau-lam menutulkan kakinya, ia melayang pergi jauh.
Karena itu Kui Tiong-bing, le Lan-cu dan Thio Hua-ciau dapat
menerjang pergi mengikuti petunjuk Boh Wan-lian.
Gusar sekali Coh Ciau-lam melihat lawannya bisa lolos, ia
membentak memerintahkan Liok Bing dan Liok Liang ikut
mengejar disertai beberapa jago pengawal pula.
Terhadap jalan-jalan di dalam taman itu Boh Wan-lian
sudah sangat hafal, bagai kupu-kupu menerobos di antara
bunga-bunga, tempo-tempo meloncat ke atas, kadang
melompat turun secara berliku-liku, ia membawa kawankawannya
menuju luar taman, pasukan pengawal sudah dapat
mereka tinggalkan hingga jauh. Hanya Coh Ciau-lam dan
beberapa jagoan lain masih mengejar mereka dengan
kencang. Tetapi begitu Boh Wan-lian melihat Ciau-lam
mengejar dekat, segera ia menghamburkan pasir beracun,
meski tak bisa mengenai sasarannya, namun bisa juga
menghambat pengejaran musuh.
Kejar-mengejar itu dalam sekejap saja sudah sampai di
pintu taman sebelah barat, nampak mereka seperti banteng
mengamuk, penjaga pintu mana berani mencoba
menghadang. Ketika sudah dekat, Kui Tiong-bing
menggempur pintu taman itu hingga terpentang dan segera
mereka berlari pergi dengan cepat.
Ciau-lam masih terus mengejar tak mau menyudahi. Ketika
itu sudah lewat tengah malam, keadaan jalan-jalan dan rumah
sepi senyap. Sesudah lewat beberapa jalan kota, Wan-lian dan
kawan-kawan terkejar masuk sebuah gang buntu, di ujung
gang itu hanyalah selokan penuh lumpur berbau busuk. Tibatiba
Ciau-lam membentak keras, ia melompat ke atas rumah
penduduk, dengan Ginkangnya yang tinggi ia mendahului di
depan Boh Wan-lian, dengan pedang terhunus ia mencegat
mereka, sedang Oh Hian-tik dan lain-lain berjaga di mulut
gang. Waktu itu senjata pasir Boh Wan-lian sudah habis
digunakan, ia memberi tanda pada Kui Tiong-bing, lalu"
mereka menerjang maju hendak mengeroyok Coh Ciau-lam
dengan mati-matian. Sementara Oh Hian-tik dan kedua
bersaudara Liok pun memburu maju, maka segera
pertarungan seru berkobar lagi.
Pada saat itulah mendadak sebuah pintu rumah penduduk
terbuka lebar, dari dalam keluar dua orang laki-laki, seorang
sudah tua dan yang lain setengah umur, semuanya masih
gagah. Yang tua berjenggot panjang, tangannya membawa
huncwe atau pipa tembakau panjang, ia menyedot beberapa
kali huncwenya, mendadak ia menyebut, sisa-sisa tembakau
dan lelatu api kena disebul menciprat keluar dari pipanya,
ternyata orang tua itu me-gadang di tengah antara Coh Ciaulam
dan Kui Tiong-bing.
Lelaki setengah umur itu mencekal sebuah pipa tembakau,
hanya ukurannya jauh lebih kecil daripada huncwe si orang
tua tadi. Begitu mereka keluar, segera ia menuding Liok Bing
dan Liok Liang dan berkata pada si orang tua, "Tia (ayah),
yang menjebak dan hendak membikin malu kita ialah kedua
orang ini."
"Manusia mana yang berani ngaco-balo di sini?" bentak
Ciau-lam cepat dengan mata mendelik.
Setelah itu, ia melompat melewati orang tua di depannya
itu terus menusuk Kui Tiong-bing. Coh Ciau-lam yang
congkak, sombong dan tinggi hati, ia menganggap dirinya
sebagai Enghiong, meski dilihatnya corak kedua orang baru ini
agak aneh dan lain daripada yang lain, tapi sebelum jelas
maksud kedatangan mereka, ia tak sudi turun tangan
menyerang dulu.
"Kaukira Siauya takut padamu?" Tiong-bing balas
membentak sambil menangkis serangan musuh.
Sinar pedang Ciau-lam berkelebat cepat, dalam sekejap ia
sudah memberi tiga tusukan, Tiong-bing terdesak mundur
beberapa tindak. Dalam pada itu Ie Lan-cu dan Boh Wan-lian
pun sudah memburu maju, sedang jago-jago pengawal yang
mencegat di mulut gang pun berbondong-bondong maju
mengembut. "Tia, mereka adalah penolong kita!" terdengar laki-laki
setengah umur tadi berkata pula sambil menuding Kui Tiongbing.
"Kita cukup kenal budi dan dendam, lebih dulu kita balas
budi, kemudian balas dendam," seru si orang tua sambil
mengangkat huncwenya, dengan cepat sekali lalu
menghantam 'Hun-tai-hiat' di pinggang Coh Ciau-lam. Karena
diserang, Ciau-lam menjadi gusar, pedangnya segera
menyampuk, ia merasa tenaga orang tua ini sangat berat,
pedangnya sampai tergetar, tangannya pun terasa pedas.
Kiranya kedua orang ini yang tua ialah pemimpin Piaukiok
tersohor di Lamkhia yang bernama Beng Bu-wi, yang setengah
umur itu ialah anaknya, Beng Kian. Beng Bu-wi dan Ciok
Cinhui disebut orang sebagai dua Piauthau yang menjagoi
daerah selatan dan utara. Selama mereka mengawal belum
pernah gagal. Kali ini Beng Kian kena diselomoti Liok Bing Dan
Liok Liang untuk mengawal tiga puluh enam gadis dan hampir
saja jatuh di tangan Kang-pak-sam-moh, kemudian ia pulang
dan melaporkannya pada sang ayah.
Walaupun Beng Bu-wi sudah tua, tapi masih berdarah
muda, waktu mendengar laporan itu, meski tak berani
merecoki Sianghu, namun ia merasa sangat gemas pada Liok
Bing dan Liok Liang. Katanya, tidak peduli kedua bersaudara
Liok itu jago dari Sianghu, sedikitnya mereka tergolong orang
Kangouw juga, tapi mereka berani menyelomoti dan membikin
malu Bu-wi-piaukiok, maka kita harus mencari mereka untuk
menuntut keadilan.
Kemudian ia menuruti anjuran putranya, ia menutup
perusahaannya lalu datang ke kota-raja dengan sang putra.
Sepanjang jalan mereka tak menemukan Hek Hui-hong,
hingga makin membikin mereka mendongkol. Sesampainya di
ibu-kota, segera ia hendak mencari kedua bersaudara Liok,
tapi atas usul sang putra, ia pun mengurungkan pula niatnya,
kata putranya, "Sianghu begitu besar dan luas, kau orangtua
pergi mencari mereka, kalau mereka tidak mau menemui, kita
pun tak berdaya, apalagi mereka hanya tingkatan bawah di
kalangan persilatan, dan kita meluruk mereka tentunya hanya
akan merendahkan kita."
Beng Bu-wi pikir betul juga perkataan putranya itu, maka
sesudah berunding, pertama-tama mereka hendak mencari
dulu Ciok Cin-hui, atas nama jago tua ini mengundang semua
kawan sekerja serta kedua bersaudara Liok untuk bertemu di
perjamuan. Ciok Cin-hui adalah pemimpin kalangan persilatan
di kota-raja, kedua bersaudara Liok bukan pembesar negeri,
mereka hanya mencari sesuap nasi saja di kalangan Kangouw,
mereka pasti akan datang ke perjamuan itu. Pada saat itulah
Beng Bu-wi akan mengharuskan kedua bersaudara Liok itu
untuk menyembah minta maaf padanya, kalau tidak, mereka
akan segera dihajar dan diusir pergi dari kota-raja.
Malam Coh Ciau-lam menggerebek Thian-Hong-lau juga
adalah malam Beng Bu-wi ayah dan anak sampai di kota-raja.
Lewat lohor mereka baru tiba, karena belum menyediakan
sesuatu oleh-oleh, maka diputuskan besok baru pergi
menemui Ciok Cin-hui. Malam itu mereka menginap di rumah
seorang bekas pegawainya. Tengah malam tiba-tiba mereka
mendengar suara kejar-mengejar yang ramai, mereka
terbangun dan keluar melihatnya, tak terduga memergoki
orang yang hendak mereka cari.
Begitulah ketika huncwe Beng Bu-wi kena disampuk
pedang Ciau-lam tadi dan hampir saja senjata anehnya
terlepas dari tangan. Kekuatan mereka berdua ternyata
seimbang, maka keduanya sama-sama terkejut.
Tapi cepat sekali si orang tua she Beng itu menggerakkan
huncwenya pula, dengan sebuah tipu tiga gerakan untuk
kedua kalinya ia menyerang lagi.
Ciau-lam pun tidak memberi hati padanya, tiba-tiba ujung
pedangnya memotong ke atas, dengan tipu 'Poat-jau-king-coa'
atau menyingkap rumput mengejutkan ular, ia mengarah
perge-langan tangan Beng Bu-wi, lekas orang tua ini
membalikkan huncwenya untuk menangkis, ia menggunakan
tipu 'To-pah-kim-ceng' atau balik memukul lonceng emas.
Ciau-lam membentak, "Lepas tangan!" la melangkah ke
samping, pedangnya secepat kilat menyabet dengan tipu
gerakan 'Sun-cui-tui-ciu' atau mendorong perahu mengikuti
arus air. Sekonyong-konyong Beng Bu-wi mendoyong ke belakang,
ia mengeluarkan tipu silat hebat 'Thi-pan-kio' atau jembatan
papan baja, untuk menghindarkan ujung pedang yang
menyambar lewat di depan dada itu, kemudian dengan cepat
ia meloncat pergi sambil tertawa menyindir, "Belum tentu
bisa!" Berbareng kaki kirinya pun menendang.
Ciau-lam menarik kembali pedangnya, telapak tangan kiri
memotong dengan cepat, tetapi kaki kanan Beng Bu-wi telah
melayang juga, tendangan bertubi-tubi itu hebat sekali. Coh
Ciau-lam tak berdaya untuk berkelit, terpaksa ia meloncat naik
tinggi untuk menghindarkan tendangan.
Sementara itu Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu pun sudah
bergebrak sengit dengan jago-jago pengawal, dalam seribu
kerepotannya, Tiong-bing masih sempat membidikkan sebuah
anting-anting emasnya ke arah Coh Ciau-lam yarfg sedang
meloncat ke atas, tak terduga Ciau-lam memang sangat lihai,
ia malahan mengulur tangan menyambut, habis itu ia pun
membidikkan anting-anting itu ke arah Beng Bu-wi yang baru
saja memburu maju. Begitu dilihatnya ada senjata rahasia
menyambar, lekas ia menyampuk dengan huncwenya, antinganting
itu kena dipukul pecah menjadi beberapa keping.
Dalam pada itu Ciau-lam telah turun ke bawah dan tepat
berada di belakang Beng Bu-wi, segera ia menusuk pula
pundak kanan musuh dengan tipu 'Giok-bong-hwan-sin' atau
ular sawah membalik tubuh, seraya membentak, "Terima pula
serangan ini!"
"Siapa takut padamu!" si orang tua she Beng balas
membentak. Tahu-tahu huncwenya membentur ke belakang, pedang
Coh Ciau-lam kembali terbentur pergi, berbareng orang tua itu
sedikit memutar dengan tipu 'Sian-koh-song-cu' atau bidadari
mengirim anak, dari samping ia mengetok 'Hun-cui-hiat' Coh
Ciau-lam. Ciau-lam menjadi gusar, ia berkelit sambil menyerang
dengan pedangnya berulang-ulang, menusuk, membelah dan
memotong, ia mainkan Thian-san-kiam-hoat sedemikian rupa
hebatnya. Di samping itu huncwe Beng Bu-wi juga bekerja
dengan lihainya, menyerang sambil berjaga, latihannya
berpuluh tahun tidak bisa dipandang enteng, gerakannya
begitu antap dan tenang, sekalipun Ciau-lam di pihak
penyerang, namun ia tak mampu mengalahkan lawannya.
Sementara itu Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu sudah
membikin kalang kabut kawanan pengawal yang mengembut
itu, dengan pokiam mereka saja sudah cukup membuat
senjata-senjata musuh tak berdaya mendekati mereka.
Di sebelah lain, Beng Kian tems memperhatikan keadaan
sang ayah, ia lihat sang ayah hanya sanggup menangkis dan
tidak sanggup menyerang. Ia menjadi gugup, ia kuatir
ayahnya yang sudah berusia lanjut tidak sanggup melawan
musuh tangguh terlalu lama.
"Biar kugantikan Beng-loenghiong," kata Tiong-bing.
Segera ia menarik pedangnya dan balik menghadapi Ciau-lam
untuk menggantikan Beng Bu-wi.
Tiong-bing cukup mengenal kepandaian orang, waktu ia
menyaksikan beberapa gebrakan kala Beng Bu-wi mewakilkan
menahan serangan Coh Ciau-lam tadi, segera ia tahu orang
tua ini tidak lemah, sekalipun tidak bisa menang tapi juga tak
nanti kalah. Maka lalu ia membiarkan Beng Bu-wi seorang diri


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menempur Coh Ciau-lam. Kini nampak Beng Kian berkuatir, ia
menjadi geli, ia menertawai si anak ternyata tak kenal sang
ayah sendiri. Tapi ia pun tak dapat membiarkan orang tua itu
mewakilkan dia bertempur terus, ia harus menggantikannya.
Walaupun sementara Ciau-lam berada di pihak penyerang,
namun keningnya terlihat sudah berkeringat juga, dan demi
melihat Tiong-bing datang pula, ia menjadi gugup. Tiba-tiba
terdengar suitan panjang Beng Bu-wi, huncwenya menotok
pura-pura, habis itu dengan cepat mundur. "Aku selamanya
tak pernah dua lawan satu, jika kau tidak terima, boleh datang
mencariku di Lamkhia Bu-wi-piaukiok!" katanya tertawa
dingin. Saat itu Tiong-bing sudah menggantikannya bergebrak
dengan Coh Ciau-lam, serangan kedua belah pihak sama-sama
hebat dan ganas. Dengan penuh perhatian Ciau-lam melayani
musuh, hakikatnya ia tak mendengarkan apa yang dikatakan
si orang tua itu.
Ciau-lam sudah bertempur dengan Beng Bu-wi, tenaganya
sudah banyak berkurang, kini hams bertarung lagi melawan
Kui Tiong-bing, dengan sendirinya ketangkasannya berkurang
daripada biasanya. Sebenarnya ia lebih unggul dari Tiongbing,
tapi kini hanya bisa seimbang saja. Karena itu Tiong-bing
bisa menyerang tems.
Sesudah Beng Bu-wi lepas dari pertarungannya melawan
Coh Ciau-lam, kembali ia bersuit panjang, bagai burung
menerobos hutan, ia melayang turun di samping kedua
bersaudara Liok, ia menyelipkan huncwenya di pinggang dan
tems menerjang maju, kedua tangannya memukul berbareng
ke depan, lekas Liok Bing menangkis. Tapi tiba-tiba Beng Buwi
menabah pukulannya ke dada orang dengan tangan kiri
dan lima jari tangan kanan bagai cakar segera mencengkeram
ke bawah bahu. Lekas Liok Bing menunduk untuk
menghindari, tetapi sudah terlambat, ia kena dicekal hingga
tak bisa berkutik.
Saat itu Liok Liang telah menubruk maju dengan tipu 'Taiping-
tian-sit' atau burung garuda mementang sayap, ia
memotong miring ke dada lawan. Namun Beng Bu-wi
mengayun tubuh Liok Bing ke depan, terpaksa Liok Liang
menarik serangannya agar tak mengenai saudaranya sendiri.
Mendadak Beng Bu-wi tertawa, dengan gerak 'Pan-liong-jiaupoh'
atau ular naga melingkar langkah, tahu-tahu ia sudah
sampai di hadapan Liok Liang, ketika tangannya mengulur,
tanpa ampun lagi tangan Liok Liang dipencet kencang urat
nadinya dan begitu Bu-wi mengangkat tangannya, kedua
bersaudara Liok itu segera dilempar ke dalam air lumpur yang
berbau busuk di gang buntu itu.
Senang sekali Beng Bu-wi bisa melampiaskan rasa
mendongkolnya, ia mengambil pula huncwenya dan disedot
serta disemburnya asap tembakaunya yang bersemu kehijauhijauan.
Menyaksikan ketangkasan orang tua ini, jago-jago
pengawal yang lain merasa jeri juga.
Pasa saat itu Oh Hian-tik sedang mengayun ruyungnya
memaksa Boh Wan-lian mundur setindak, habis itu ia
bermaksud menggabungkan diri dengan Coh Ciau-lam, tetapi
kembali Beng Bu-wi menggertak keras, asap tembakaunya
mengepul tebal, Oh Hian-tik terbatuk-batuk tersedak asap
tembakau itu, segera dari samping Ie Lan-cu menusuk dengan
cepat, lekas Oh Hian-tik menangkis, kembali ruyungnya
tertabas putus sebagian pula. Thio Hua-ciau yang sedang
berada di belakangnya kontan mendepak, beruntun Oh Hiantik
kecundang, sungguh tak terduga olehnya dari belakang
masih didepak lagi, keruan ia me-nyelonong ke depan yang
segera dipapak Beng Bu-wi, sekali sanggah tubuh orang dan
diangkat sambil menggertak pula, tanpa ampun Oh Hian-tik
terlempar, tubuhnya ambles masuk ke dalam lumpur
menyusul kedua bersaudara Liok tadi.
Malam ini berulang-ulang Ciau-lam menemukan lawan
tangguh, ia gusar dan kuatir juga. Sedang Kui Tiong-bing
bagai anak banteng baru lahir yang tak mengenal apa artinya
takut, menggunakan kesempatan saat Ciau-lam mulai merasa
payah kehabisan tenaga, Theng-kau-pokiamnya segera
bekerja lebih hebat lagi, berulang kali ia melontarkan
gempuran lihai. Ngo-kim-kiam-hoat memang mengutamakan
menyerang, tadinya ia hanya bertahan menuruti nasehat Leng
Bwe-hong, karena memang Coh Ciau-lam lebih unggul
darinya, tetapi kini Coh Ciau-lam sudah letih dan payah
ketabahannya, Tiong-bing segera bertambah semangat, ia tak
memberi hati lagi pada lawannya, ia selalu membarengi
bahkan mendahului menyerang, keruan Ciau-lam menjadi
mendongkol dan gemas.
Apalagi dilihatnya pembantunya yang terkuat, Oh Hian-tik,
juga telah kena dilempar masuk ke dalam lumpur, sedang di
antara jago-jago pengawal hanya tinggal tiga empat orang
saja. Tiba-tiba ia berganti siasat, ia pura-pura menusuk sehingga
Tiong-bing terpancing menangkis, menyusul pedangnya
secepat kilat menusuk pula dari samping ke bahu Tiong-bing
di tempat 'Hong-hu-hiat'. Tampaknya Tiong-bing tidak keburu
menangkis lagi dan pasti akan tertusuk, tetapi mendadak
terdengar suara gertakan orang terus disusul dengan suara
nyaring beradunya senjata.
Kiranya Beng Bu-wi telah memburu maju tepat pada
waktunya, dengan tipu 'Heng-keh-kim-nio' atau menyangga
belan-dar melintang, huncwenya menangkis pedang Ciau-lam
yang sedang menusuk itu.
Ciau-lam tahu kekuatan orang tua ini tidak lemah, ia tidak
ingin bentrok keras lawan keras, mendadak ia
membungkukkan tubuh dan berputar cepat, habis itu
pedangnya beruntun menusuk Ie Lan-cu dan Boh Wan-lian.
Kedua orang itu dipaksa harus berkelit menyingkir,
kesempatan ini segera digunakan Ciau-lam untuk meloloskan
diri dari kepungan. "Biji berduri, kelak saja ditangkap lagi!"
serunya seraya mengangkat pedangnya. 'Biji berduri'
maksudnya musuh tangguh dan susah ditangkap. Ia
membawa jago-jago pengawal lainnya mundur cepat ke mulut
gang tadi. Beng Bu-wi agaknya masih getol bertempur karena
menemukan tandingan yang sembabat. ia masih hendak
mengejar, teriaknya, "Hayolah, biar kita bertarung lagi satu
lawan satu! Berani?"
"Aku Coh Ciau-lam mana takut pada seorang tua bangka
macam kau ini?" sahut Ciau-lam gusar. "Kau ingin bertempur
seorang lawan seorang" Baik, dua hari lagi nanti kita tetapkan
suatu tempat untuk menentukan siapa yang lebih unggul."
Mendengar Ciau-lam memperkenalkan namanya, seketika
Beng Bu-wi tertegun.
Beng Bu-wi dan Coh Ciau-lam sama-sama adalah tokoh
kalangan Kangouw, walaupun mereka tidak pernah bertemu,
namun nama masing-masing yang tersohor sudah saling
kenal. Kini Coh Ciau-lam memperkenalkan namanya sendiri,
Beng Bu-wi jadi berpikir, "Aku betul-betul sudah pikun, ilmu
pedang orang ini begini hebat, mengapa aku melupakan dia"
Tokoh Kangouw yang menggunakan pedang meskipun
banyak, tapi yang paling ternama hanya tiga orang saja, satu
ialah Pho Jing-cu, seorang lagi ialah Ciok Cin-hui, sedang yang
lain ialah dia, Coh Ciau-lam (Leng Bwe-hong termasuk
angkatan belakangan, walaupun tersohor di daerah barat-laut,
namun Beng Bu-wi tidak mengenalnya). Kiam-hoat Pho Jingcu
dan Ciok Cin-hui berdua aku sudah pernah melihatnya,
tampaknya ilmu pedang orang ini pasti tidak di bawah kedua
orang yang duluan. Hanya beberapa waktu berselang pernah
kudengar orang bilang dia sudah menjadi Thongling pasukan
pengawal Kaisar, apakah rombongan orang yang kubantu
sekarang ini adalah pelarian yang hendak ditangkapnya?"
Walaupun Beng Bu-wi berbudi luhur dan bersemangat
pahlawan, namun ia banyak mempunyai harta benda, bila
harus bermusuhan dengan pemerintah, hal ini harus ia
pikirkan. Maka tantangan Coh Ciau-lam tadi seketika telah
membuatnya bungkam dan ragu-ragu.
Sebaliknya Boh Wan-lian mempunyai pendapat sendiri, ia
lihat meski Coh Ciau-lam kena dikalahkan, tetapi untuk
mencelakainya bukan soal gampang. Rombongannya bisa lolos
dari sarang macan sudah beruntung, untuk apa lagi mengejar
musuh, pula malam ini pasukan pengawal sudah dikerahkan
sekuatnya, kalau terus terlibat pertempuran, tentu akan
sangat membahayakan. Karena itu ia menjawil Kui Tiong-bing,
ia sendiri maju dan berkata pada Beng Bu-wi, "Beng-Ioyacu,
kita tidak pernah memukul anjing yang sudah kecemplung air,
biarkan saja mereka pergi."
Tapi Tiong-bing maju lagi sambil mengacungkan
pedangnya dan membentak, "Sembelih ayam tak perlu pakai
golok, kau ingin bertanding, Siauya setiap saat bersedia!"
"Kau tidak sesuai!" sahut Ciau-lam menyindir.
Ia sudah lemas dan takut mereka mengejar, tapi untuk
mempertahankan perbawanya ia tak bisa tidak harus bersuara
galak. Dan karena Beng Bu-wi bungkam tak bersuara, sudah
tentu ia tidak ingin tinggal lebih lama di situ. Segera ia
memimpin orang-orangnya pergi, sampai Liok Bing dan Liok
Liang serta Oh Hian-tik yang masih bergumul dalam lumpur
juga tak sempat ditolong lagi.
Dengan muka muram Beng Bu-wi kembali ke dalam rumah,
sementara itu tuan rumah dengan kuatir sedang menanti di
depan pintu. Bu-wi menyuruhnya lekas pindah, pergi malam
itu juga. Thio Hua-ciau merasa sangat tidak enak, ia maju
meminta maaf pada mereka yang ikut tersangkut.
"Saat kritis ini tak usah dipikir lagi," ujar Beng Bu-wi.
"Tolong tanya, kalian sebenarnya dari golongan mana" Dan
kini hendak menuju kemana?"
"Kami adalah bawahan Li Lay-hing Ciangkun, kini hendak
bernaung di tempat Ciok-lopiauthau," jawab Kui Tiong-bing
sambil menjura.
"Ha, kiranya kalian adalah kawan-kawan Ciok-lopiauthau
dan bawahan Li-ciangkun, meski aku harus mengorbankan diri
dan rumah tangga juga masih cukup berharga!" seru Beng Buwi.
Kemudian Tiong-bing menghaturkan terima kasih atas
pertolongannya dan telah sudi ikut turun tangan membantu.
"Kau telah mempertahankan nama baik Bu-wi-piaukiok
kami, aku malahan belum menyampaikan terima kasihku!"
kata Bu-wi tertawa sambil mengelus jenggot.
Rombongan mereka lalu berangkat ke rumah Ciok Cin-hui
sebelum fajar tiba. Waktu Ciok Cin-hui mengetahui mereka
telah membikin onar yang maha dahsyat, sedang sebelumnya
sama sekali tidak berunding dengannya, ia menjadi kurang
senang. "Kami kuatir akan merembet ke diri Ciok-lopek," Lan-cu
menerangkan dan meminta maaf.
"Aku dan Pho Jing-cu adalah sahabat sehidup semati, murid
dan kawannya aku berani menerima, seumpama ada urusan
besar setinggi langit, aku pun berani bertanggung jawab!"
kata Ciok Cin-hui tanpa pikir.
Nampak sifat dan budinya yang luhur, diam-diam Beng Buwi
merasa malu diri. Kedua orang tua bisa saling bertemu lagi,
mereka pun sangat girang.
Selagi semua orang mengobrol ke timur dan ke barat di
ruang tamu, sementara itu diam-diam le Lan-cu menarik Thio
Hua-ciau ke pelataran luar, di bawah sebatang pohon
kamboja, ia membalut luka di lengan pemuda itu dengan rasa
kasih sayang. "Hari ini aku membalut lukamu, lain hari kalau aku
meninggal, sukakah kau memetik sekuntum bunga Lan
(cempaka) dan ditancapkan di muka kuburanku?" tanya Lancu
pelahan. Mendengar itu mata Hua-ciau terbelalak lebar, ia tidak
mengerti maksud orang dan mengapa berkata begitu.
Melihat pemuda ini bungkam, Lan-cu tersenyum. "Tahukah
kau, mengapa kami menyambutmu keluar dari Sianghu?"
tanyanya pula. Karena pertanyaan itu, muka Thio Hua-ciau berubah
merah, ia mengira Ie Lan-cu lagi menyindir halus padanya
karena tak tega meninggalkan Kiongcu. Ketika ia hendak
memberi penjelasan, ia mendengar Ie Lan-cu sudah buka
suara lagi. "Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berdua orang jauh-jauh
datang ke sini karena mendapat perintah dari Li-ciangkun dan
Lauw-toaci, mereka ingin kau tampil ke muka untuk
mengumpulkan semua bekas pengikut Loh-ong di daerah
selatan sungai agar siap memulai pergerakan," katanya
menerangkan. "Kesehatanku baru pulih kembali bulan yang lalu, bukan
aku tak tega meninggalkan Sianghu," kata Hua-ciau lirih.
Lan-cu tertawa geli karena kata-kata itu. "Siapa bilang kau
tak tega meninggalkan Sianghu?" katanya.
Hua-ciau memandang gadis aneh yang sampai kini belum
diketahui asal-usulnya itu. Ia teringat bagaimana dengan tidak
menghiraukan jiwa sendiri gadis ini telah menolongnya pada
waktu malam-malam ia menyelidiki Jing-liang-si di atas Ngotai-
san, terkenang olehnya kejadian-kejadian yang telah lalu
itu, hatinya tiba-tiba tergerak.
"Tetapi keadaan paling belakang ini telah banyak
mengalami perubahan besar," terdengar Ie Lan-cu berkata
pula dengan sikap sungguh-sungguh. "Bekas pengikut Lohong
baru sedikit yang menongol pada waktu pemberontakan
raja-raja muda di selatan itu, mereka sudah lantas digempur
habis-habisan oleh pasukan pemerintah yang jauh lebih besar.
Karena itu, apabila membuat pergerakan lagi di selatan sudah
terang tidak gampang. Maka Li-ciangkun telah mengutus
seorang perwiranya datang kemari untuk menyampaikan
maksudnya, katanya, karena keadaan mendesak, maka lebih
baik sementara tetap mempertahankan kekuatan yang masih
ada di Su-cwan itu. Ia pikir hendak memilih seorang di antara
kita yang berada di ibu-kota ini yang berani mati untuk
melakukan sesuatu peristiwa yang menggemparkan."
"Hendak mencari seorang yang berani mati, itulah sangat
mudah! Urusan apakah itu?" tanya Hua-ciau.
"Kabarnya pemerintah Boan sudah menunjuk To Tok
sebagai panglima yang akan menggempur ke barat dengan
pasukan 'Pat-ki' yang sudah terlatih sempurna dan telah
merencanakan di samping menumpas kekuatan Go Sam-kui
berbareng juga hendak membasmi Li-ciangkun," demikian
Lan-cu menerangkan. "Oleh sebab itu Li-ciangkun berharap


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita yang berada di ibu-kota dapat berdaya melenyapkan jiwa
keparat To Tok ini.
"Tugas ini biar aku yang melaksanakannya," kata Hua-ciau
dengan semangat menyala-nyala dan darah mendidih.
"Kau tak usah berebut denganku, kepada orang-orang aku
telah menyatakan bahwa aku harus membunuh To Tok
dengan tanganku sendiri, kalau tidak mati pun aku tak akan
tenteram," ujar Lan-cu. "Pada waktu masuk Sianghu untuk
menolongmu, aku sudah dua kali menyelidiki Onghui dan
malah sudah pernah bertarung melawan To Tok sendiri.
Kabarnya sejak itu ia telah memperkuat penjagaannya, di
samping menugaskan Coh Ciau-lam sebagai orang yang
bertanggung jawab untuk menangkapku, ia juga
mengumpulkan jago-jago pengawal dan memasang jaringjaring
menantikan kedatangan kita. Karenanya kalau kini
hendak membunuhnya, agaknya bukan soal gampang lagi."
"Sebab itu juga, maka urusan ini tidak bisa kaulakukan
sendiri," ujar Hua-ciau.
"Ya, mereka pun berkata begitu," kata Lan-cu. "Tetapi
menurut pikiran Li-ciangkun, untuk membunuh To Tok,
pembunuhnya itu sudah tentu harus siap untuk mati bersama,
ma-kanyajiwa lebih banyak untuk menukar jiwa seorang.
Malahan menurut pikiran Li-ciangkun, sebenarnya ia tidak
setuju dengan cara pembunuhan gelap, tapi karena persoalan
sudah terlalu mendesak dan memaksa, maka tiada jalan lain
kecuali harus dengan cara tadi. Dan sesudah membunuh To
Tok, walaupun tidak bisa menghalangi pemerintah Boan untuk
mengganti panglima lain untuk menggempur kita, namun
sedikitnya bisa mengulur tempo dan menghambat waktu
penyerbuannya, dengan begitu kita dapat lebih banyak
kesempatan untuk mempersiapkan diri."
"Ya, tapi bagaimanapun juga kita tak bisa membiarkanmu
seorang diri yang menghadapi bahaya," kata Hua-ciau pula.
"Cici, tugas ini biarlah aku yang mewakilkanmu, kau pernah
menolong jiwaku, tapi sedikitpun aku belum pernah berbuat
sesuatu untukmu."
Thio Hua-ciau mengucapkan kata-kata ini dengan penuh
rasa simpati, karena itu Lan-cu terharu, ia tahan perasaannya
itu untuk tidak mencucurkan air mata.
"Kau masih tidak paham, siapa saja boleh mengorbankan
jiwa, hanya kau tak boleh!" katanya kemudian dengan tertawa
paksa. "Kau adalah putra Thio-tayciangkun, bawahan ayahmu
meski dikata sudah kocar-kacir, namun yang kita harapkan
adalah selekasnya bisa menghimpunnya kembali, dan tugas
yang maha besar ini harus diserahkan kepadamu. Sebab itu
juga, maka sebelum kita bergerak secara besar-besaran di
ibu-kota untuk melenyapkan To Tok, kau harus ditolong dulu
keluar dari Sianghu. Kau harus tahu, Nilan-onghui (Ming-hui)
adalah adik sepupu Perdana Menteri Nilan Ming-cu atau bibi
Nilan Yong-yo, sekalipun Nilan Yong-yo sangat baik
terhadapmu, namun kita tidak bisa tanpa berjaga-jaga lebih
dulu." Dengan mata tak berkedip Hua-ciau memandang Ie Lan-cu,
ia lihat gadis ini waktu berbicara mengenai Nilan-onghui
mendadak lagu suaranya berubah lemah tak lancar, tiba-tiba
sebutir air matanya menetes.
Seketika perasaan Hua-ciau ikut tergoncang, tiba-tiba
teringat olehnya pada waktu mengacau di Ngo-tai-san dulu,
sesudah dirinya, malam itu juga, Ie Lan-cu telah datang dan
ternyata Nilan-onghui sendiri datang ke penjara membebaskan
dirinya, bahkan telah memberi mereka sebuah 'lingci' atau
anak panah perintah. Tatkala itu ia melihat Ie Lan-cu dan
Nilan-onghui duduk berendeng dengan air mata meleleh, sikap
aneh itu serupa saja dengan malam ini. Ia mendapat firasat
bahwa di dalam keanehan ini tentu tersembunyi hal-hal yang
luar biasa. Maka dengan pelahan, tanpa terasa ia menarik
tangan Ie Lan-cu dan memandangnya mesra.
"Bagai kabut dan awan yang terapung di langit, sedikitpun
aku tidak memahamimu, tapi aku sangat berterima kasih
padamu, juga percaya penuh padamu," katanya pasti. "Jika
memang kau harus membunuh To Tok dengan tanganmu
sendiri, itulah tentu kau mempunyai alasan yang kuat, aku tak
hendak merin-tangimu, sebaliknya aku pasti akan membantu
sekuat tenagaku."
Mendengar itu, Ie Lan-cu sangat terharu. "Kau baik sekali,
bila aku tidak terbinasa kelak pasti aku akan membuyarkan
kabut dan menyingkap awan itu untukmu," katanya. "Tapi bila
mendadak aku terbinasa, maka sudilah kau pergi mencari
Leng Bwe-hong dan menyampaikan pesanku agar ia suka
bersembahyang di depan kuburan ayahku dan sampaikan
bahwa putrinya sudah berbuat sekuat tenaganya untuk
membalas sakit hatinya."
Berkata sampai di sini, ia tertawa duka, kemudian ia
melanjutkan pula, "Dan juga pesanku, aku paling menyukai
bunga Lan, harap kau jangan lupa memetik sekuntum bunga
Lan untuk ditancapkan di depan kuburanku."
Karena percakapan mereka ini, malam itu juga Thio
Huaciau terus menerus bermimpi buruk.
Esok paginya, Thio Jing-goan telah mengumpulkan semua
orang di kamar rahasia untuk berunding, yang diumumkan
sudah tentu adalah perintah membunuh To Tok.
Nama dan pengaruh Ciok-lopiauthau di Pakkhia cukup
besar, ia pun banyak berhubungan dengan pejabat-pejabat
tinggi, opas dan petugas biasa tentu tidak berani
sembarangan menggeledah rumahnya, maka dengan penuh
rasa setia kawan, ia tidak sayang berkorban jiwa dan rumah
tangga untuk melindungi para pahlawan yang bersembunyi di
rumahnya itu. Sedang mengenai Beng Bu-wi ayah dan anak,
karena para pahlawan itu tak ingin terlihat oleh mereka, maka
oleh Ciok-lopiauthau telah diupayakan diantar keluar Pakkhia,
untuk selanjutnya mereka lalu pergi sendiri mencari Hek Huihong
untuk menuntut balas sakit hati mereka.
Coh Ciau-lam yang berulang-ulang kecundang pada malam
itu, pada hari kedua ia pergi menemui Ok-jin-ong To Tok, ia
melaporkan pengalamannya semalam.
Waktu To Tok mendengar bahwa di dalam Thian-hong-lau
ditemukan seorang pemuda komplotan si 'penyamun wanita',
ia menjadi tertarik. Sesudah bertanya dengan jelas rupanya,
mendadak ia menggebrak meja dan berkata, "Orang ini
pernah kutangkap di Ngo-tai-san dulu, belakangan juga
ditolong oleh 'penyamun wanita' itu."
Setelah Coh Ciau-lam pergi, dengan penuh curiga To Tok
masuk ke belakang untuk menemui istrinya.
Istrinya, Nilan-onghui, sejak istananya geger karena
kedatangan 'penyamun wanita', semangatnya menjadi sangat
buruk, ia menjadi lesu dan penat seperti hendak sakit. Maka
dipanggilnya tabib kerajaan sekalipun tidak diketahui sebab
musabab penyakitnya.
"Penyamun wanita itu sudah tertangkap?" tanyanya
tertawa paksa pada waktu melihat suaminya datang.
"Tertangkap" Coh Ciau-lam saja kecundang oleh orang,"
sahut To Tok. "Penyamun wanita itu ternyata masih
mempunyai seorang kawan sekomplotan, ialah pemuda yang
dulu tertangkap di Ngo-tai-san dan yang belakangan
mendadak lolos ditolong orang."
Nilan-onghui berseru kaget demi mendengar keterangan
itu. "Kalau begitu, penyamun wanita ini betul-betul dia!"
katanya. "Dia" Dia siapa?" tanya To Tok heran. "Ialah gadis
berkedok yang menolong si pemuda malam itu!" kata Nilanonghui.
"Aku sendiri tidak mengerti, ada soal apa aku dengan
penyamun wanita itu" Sudah beberapa kali ia ingin
membunuhku!" kata To Tok pula.
Tiba-tiba ia seperti ingat sesuatu, ia tertawa lalu berkata
lagi, "Penyamun wanita yang datang ini tidak pernah kaulihat
tetapi aku malah sudah bertempur dengannya. Kali ini di
bawah sorot sinar lampu, aku telah dapat melihatnya dengan
jelas, perawakan dan sikapnya ternyata banyak
menyerupaimu. Coba aneh atau tidak?"
Nilan-onghui sedang memegangi sebuah cangkir teh,
karena kata-kata To Tok itu cangkir teh itu mendadak terjatuh
tanpa terasa hingga hancur berantakan.
"Apa betul?" katanya tertawa coba menenangkan diri.
To Tok terkejut, ia memandang istrinya yang bermuka
pucat lemah bagai orang sakit dan sangat harus dikasihani. Ia
menyangka istrinya terlalu terkejut. Tiba-tiba hati sanubarinya
timbul semacam firasat, seperti ada sesuatu kekuatan yang
mendorongnya untuk memberitahu apa yang dipikirkan
selama ini. Pelahan ia membetulkan gulungan rambut istrinya
itu. "Istriku, harap kaumaafkan aku!" katanya pelahan.
Nilan-onghui terkejut, ia tidak berani menjawab, hatinya
berdebar-debar, To Tok melanjutkan pula, "Kita sudah
menikah delapan belas tahun, selama delapan belas tahun ini
kau selalu merasa kesal dan jarang sekali nampak kau tertawa
gembira, kau tidak bilang sebab-sebabnya, tapi aku pun bisa
mengerti."
"Mengerti apa?" tanya Nilan-onghui berkerut kening.
"Kau adalah wanita tercantik dari bangsa kita, pintar dan
rupawan, tetapi aku hanya seorang kasar saja, sekalipun kau
tidak bilang, aku juga tahu bahwa kau tidak menyukaiku,"
kata To Tok menghela napas.
"Ongya, mengapa kau berkata begitu," sahut Nilan-onghui
pilu dan air mata berlinang. "Ongya adalah tulang punggung
kerajaan, adalah Enghiong nomor satu bangsa kita, aku bisa
menikah denganmu boleh dikata sudah berlebihan."
"Hujin," kata To Tok pula. "Sebagai suami istri selama
delapan belas tahun, apakah sepatah katapun tak mau
kaukatakan terus terang padaku" Kutahu aku tidak setimpal
mendapat-kanmu, tetapi aku memandangmu jauh lebih
penting dari jiwaku, aku telah berdaya sebisanya untuk
membuatmu gembira, tapi rasanya itu lebih susah daripada
mencapai bulan di langit."
Tak bisa lagi Nilan-onghui menahan perasaannya, air
matanya makin deras mengalir. "Ongya," katanya, "Jangan
kau berkata begitu. Kau tak mengerti, pertemuan kita agak
terlambat"
"Apa katamu?" tanya To Tok kaget.
Tiba-tiba Nilan-onghui sadar, rahasia hatinya belum
waktunya untuk dibeberkan, maka dengan lengan baju ia
menutupi mukanya, ia mengusap air matanya. "Pula kita tak
mempunyai barang seorang anak pun," sambungnya pula.
Kata-kata terakhir ini ternyata membikin muka To Tok
menjadi merah jengah. "Itu memang salahku," sahutnya
dengan tersenyum getir. "Aku terus mengelabuimu selama ini.
Tahun dulu, ketika aku memimpin pasukan menggempur
negeri Kim, aku terkena sebatang anak panah yang tepat
mengenai buah ginjalku, menurut tabib, aku sudah ditakdirkan
tidak bisa mempunyai keturunan, namun aku masih belum
putus asa, dalam beberapa tahun belakangan ini, aku masih
terus berusaha mendapatkan obat mukjizat, karena ada orang
juga bilang masih ada harapan. Oleh karena itu, aku terus
mengelabuimu. Ya, sebab kukuatir bila aku menceritakan
padamu, kau akan makin tak menyukaiku."
Keterangan To Tok ini sungguh di luar dugaan Nilanonghui,
tak disangkanya bahwa sampai kini ia tak mempunyai
seorang anak, di dalamnya ternyata masih ada rahasianya. Ia
bilang soal anak, sebenarnya karena teringat akan putrinya (Ie
Lan-cu) hingga mendadak ia menyinggung soal itu. Kini
setelah To Tok memberi penjelasan, sebaliknya ia merasa
tidak enak, ia menunduk malu.
Sementara itu To Tok telah menyambung pula, "Jika
memang kau menyukai anak-anak, biarlah kita memungut
seorang. Bagaimana pendapatmu, apa putra Si-pwelek lebih
baik" Atau putri sulung Jit-pwelek lebih baik?"
Nilan-onghui tidak menjawab, pikirannya sedang kusut oleh
rasa suka duka yang bercampur aduk bagai arus ombak.
Ia teringat pada pertemuannya yang aneh dengan Njo Huncong
di padang rumput, kemudian perpisahan yang terakhir di
Hangciu, kejadian-kejadian yang telah silam itu semua
terbayang kembali olehnya, semua kejadian itu terukir dalam
hatinya dan tak dapat dilupakan seumur hidupnya.
Melihat sang istri menundukkan kepala dan menutupi
sebagian mukanya, kembali To Tok mendesak lagi,
"Katakanlah, kaupilih mana yang lebih baik!"
Onghui mengangkat kepala, ia lihat sang suami sedang
memandang padanya dengan sinar mata yang penuh
penyesalan pada diri sendiri dan sangat berduka, ia ingat
selama delapan belas tahun menikah ini, suaminya memang
betul mencurahkan seluruh cinta kasih padanya. Sekonyongkonyong
timbul perasaannya bahwa suaminya harus
'dikasihani' juga.
Karena itu ia lalu membersihkan air mata dan dengan
tersenyum ia bertanya, "Kau maksudkan"
"Memungut seorang anak lelaki atau perempuan! Kaupilih
mana yang lebih baik?" To Tok menegas.
Remuk rendam hati Nilan-onghui, tiba-tiba ia berkata.
"Aku tidak mau semua, aku ingin"
"Ingin apa?" tanya To Tok cepat.
Onghui meraba pelahan muka dan kepala sang suami.
"Ongya, aku ada sebuah permohonan, dapatkah kau
memenuhi?" katanya lirih.
"Apapun akan kupenuhi!" jawab To Tok tegas.
"Ten tentang 'penyamun wanita' itu, maukah kau berjanji
bahwa kau tak akan mencelakainya, maukah kau?" kata Ong
hui tak lancar.
Terkejut sekali To Tok oleh permintaan itu, matanya
terbuka lebar. "Sebab apa?" tanyanya heran.
"Katakanlah dulu, maukah kau berjanji?" kata Onghui.
"Baiklah, aku berjanji padamu!" sahut To Tok pasti. "Aku akan
perintahkan Coh Ciau-lam menghentikan pengejarannya,
malahan, kecuali dia menggunakan pedangnya untuk
menusuk tubuhku, aku pasti tak akan bergebrak lagi
dengannya!" "Ia memakai pedang?" tanya Nilan-onghui. "Ya,
bahkan ilmu pedang anak perempuan ini bagus sekali, hanya
tenaganya sedikit kurang, kalau tidak, pasti aku bukan
tandingannya," sahut To Tok menjelaskan. "Menurut Coh
Ciau-lam, ilmu pedangnya itu dinamakan Thian-san-kiam-hoat
dan sama-sama seperguruan dengannya."
Nilan-onghui bersandar pada sebuah tiang rumah, ia


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang jauh, jauh sekali keluar rumah, ke lautan mega di
langit, gumpalan mega yang terapung di langit itu dilihatnya
seperti puncak Thian-san yang letaknya di tengah gurun pasir
itu. la teringat pada putrinya yang baru berusia dua tahun
sudah direbut oleh Njo Hun-cong, apabila penyamun wanita
ini adalah anaknya itu, maka seharusnya tahun ini ia sudah
gadis remaja yang berusia dua puluh tahun. Dimanakah dia
selama delapan belas tahun ini" Siapakah yang telah
memelihara dan membesarkan dia" Kesemuanya ini Onghui
sangat haus akan mengetahuinya. Ya, apa saja yang
bersangkutan dengan putrinya itu asal bisa diketahuinya, pasti
akan membikin senang hatinya, walaupun hanya sedikit saja.
Namun waktu mendengar bahwa yang dipelajari gadis ini ialah
Thian-san-kiam-hoat, dalam hatinya mendadak timbul
perasaan ngeri.
"Oh, Hun-cong! Betulkah kau mati pun tak akan meram
hingga kau menyuruh putrimu mempelajari baik-baik ilmu
pedangmu untuk membalas sakit hatimu?" ratapnya dalam
hati. la berpikir dan berpikir terus, la bergidik ngeri. Tiba-tiba
ia teringat, pada suatu malam yang sunyi di padang rumput,
dimana Njo Hun-cong pernah berkata, 'Bangsa kita saling
bertempur, namun kau bukan musuhku, aku berjanji
selamanya tak akan mencelakaimu. Akan tetapi bila sampai
kaujatuh ke dalam rangkulan orang lain, maka kau akan
membawa bencana juga padanya, akibat itu ialah : Mati!'.
Sungguh itu adalah cinta yang picik. Kematian Njo Huncong
telah membuat ia merana selama delapan belas tahun,
masa mudanya selama delapan belas tahun itu telah
dilewatkannya dengan penuh penderitaan batin dan
kekosongan jiwa, sedikitnya ini sudah cukup buat menebus
dosanya yang 'mengingkari janji' itu, demikian pikirnya.
Ya, kadang-kadang ia membenci To Tok juga, tetapi
tempo-tempo pun mencintainya. Betapapun toh suami istri
selama delapan belas tahun.
Sering ia berpikir, "Yang menganiaya hingga kematian Njo
Hun-cong toh bukan To Tok, bahkan soal ini sedikitpun To Tok
tidak mengetahui, walau mereka adalah musuh besar yang tak
dapat hidup bersama!" Demikianlah ia sering menghibur diri
sendiri dengan cara berpikir semacam itu. Akan tetapi kini,
putrinya telah datang, ilmu pedang yang dipelajarinya
selekasnya akan diwujudkan di atas tubuh suaminya! Betapa
mengerikan adegan itu. Tiba-tiba ia menutup mukanya. Tidak!
Ia tidak memperbolehkan To Tok mencelakai putrinya, sama
halnya juga ia tidak memperbolehkan putrinya mencelakai To
Tok. Akhirnya ia menghela napas.
Sementara itu dengan penuh rasa heran To Tok
menyaksikan sang istri termenung bersandar tiang, ia tak
berani mengejutkannya. Kini tiba-tiba mendengar orang
menghela napas pelahan, ia lekas mendekatinya.
"Kenapakah kau?" tanyanya pelahan sambil memegang
pundak sang istri.
"Aku pun tak memperkenankan dia mencelakaimu!" kata
Nilan-onghui tiba-tiba sambil berpaling muka.
Kejut To Tok sekali ini melebihi tadi, sampai ia mundur
beberapa langkah.
"Kau kau kenal dia" Ia akan menuruti perkataanmu?"
tanyanya dengan suara terputus-putus.
"Coba, kau menjadi begitu terkejut," sahut Onghui dengan
tertawa, akan tetapi keringat dingin sudah membasahi
tubuhnya ketika sadar telah kelepasan mulut. "Tadi aku
mendengar kaubilang bahwa anak perempuan itu mirip aku,
maka dalam hatiku lalu timbul semacam pikiran, 'Alangkah
baiknya apabila ia adalah putri kita', Kau sangat mencintaiku,
pikirku, kau tentu tak akan mencelakai orang yang berwajah
mirip aku, makanya aku memberanikan diri memohon
padanya. Kupikir, kalau secara diam-diam aku begitu sayang
padanya, bila seumpama ia mengetahuinya, mungkin ia juga
akan menurut perkataanku."
"Ming-hui," kata To Tok menghela napas, "Sungguh kau
seperti seorang anak saja, pikiranmu masih begitu kekanakkanakan!"
Dan sejak itulah Nilan-onghui banyak berubah lebih baik
terhadap To Tok daripada biasanya, ia seperti mendapat
semacam firasat 'Malaikat elmaut sudah mementang sayap
beterbangan di atas kepala mereka. Ketenangan di depan
mata sementara ini hanya merupakan malam sebelum angin
badai'. Dan akhirnya tiba juga pada suatu hari yang demikian ini.
Hari itu secara resmi To Tok menerima titah Kaisar agar
mengumpulkan pasukan darat dan sungai dari seluruh negeri
untuk menggempur Go Sam-kui dan menumpas Li Lay-hing.
Sebenarnya soal ini sudah lama dibicarakan Kaisar
dengannya, hanya ia tidak ingin diketahui Onghui. Padanya
juga timbul semacam firasat, ia merasa jiwanya sudah dekat
ajal, parasaan semacam itu tidak pernah timbul sebelumnya.
Ia bukan takut pada Go Sam-kui, dalam pandangannya ia
hanya serupa api lilin yang tertiup angin, cukup asal ia maju
dan menambahi sekali tiup, api lilin itu akan segera padam.
Lebih-lebih ia bukan takut peperangan, perang adalah hal
yang biasa baginya.
Memang aneh, rasa takut itu tidak diketahui sebabnya, rasa
takut itu timbul sejak perubahan Onghui yang lain dari
biasanya. Ia seperti merasakan semacam 'alamat jelek' dari
sinar mata Onghui yang aneh. Kadang ia terjaga di tengah
malam, ia lihat biji mata Onghui berkelap-kelip bagai batu
permata yang bersinar di malam gelap, dan ia terkejut hingga
mandi keringat dingin.
Hari itu sesudah ia menerima titah raja, ia lalu kembali ke
rumah untuk memberitahu Onghui.
"Ongya, sungguh kukuatir ditinggalkanmu!" kata Onghui
parau. "Selekasnya aku akan kembali," ujar To Tok. Onghui
terdiam, lewat sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, "Baik juga
kau pergi agar gadis itu tidak merecokimu terus."
"Mengapa kau selalu bercerita tentang gadis itu?" tanya To
Tok berkerut kening.
Onghui tidak menjawab. "Kapan kau berangkat?" tanyanya
kemudian. "Besok melakukan inspeksi, lusa berangkat," jawab To Tok.
Dan karena itu, semalam suntuk To Tok tidak bisa tidur. Di
lain pihak, Ie Lan-cu pun seperti mendapat firasat yang aneh.
Dalam beberapa hari ini ia telah berlatih Thian-san-kiam-hoat
dengan giat tanpa menghiraukan urusan lain, tetapi bila
selesai berlatih, tanggul kuat dalam hatinya tak mampu lagi
menahan pergolakan perasaannya. Ia merasa gembira, tapi
juga merasa berduka. Ia sangat mencintai ayahnya, walaupun
hakikatnya ia tak ingat lagi bagaimana wajah sang ayah itu,
sebab waktu ayahnya mangkat, ia baru berusia dua tahun.
Namun hikayat ayahnya turun temurun telah menjadi buah
bibir rakyat di padang rumput luas sepanjang masa. Selalu
didengarnya cerita rakyat gembala yang begitu memuja jasa
ayahnya. Ayahnya pernah membantu bangsa Kazak melawan
pasukan Boan-jing, rakyat gembala kalau bercerita tentang
Njo Hun-cong Tayhiap, sungguh seperti mereka bercerita
tentang sanak keluarga mereka sendiri.
Ia bangga mempunyai ayah pahlawan yang begitu gagah,
oleh karena itu 'surat darah' ayahnya yang ia terima dari Leng
Bwe-hong pada waktu ia berusia enam belas tahun selalu
tersimpan baik-baik dalam bajunya dan bagai benda ribuan
kati beratnya terus menindih dalam hatinya. Apabila ia tidak
dapat melaksanakan pesan terakhir sang ayah, selama itu
juga hatinya akan selalu tertekan. Kini ia telah memutuskan
menerima ke-matian, dengan mengorbankan jiwa untuk
melaksanakan pesan terakhir ayahnya. Keputusan ini
membikin tekanan hatinya mendadak menjadi enteng, maka ia
merasa girang secara aneh.
Namun ia juga merasa berduka yang ia sendiri tak dapat
mengerti. Cintakah ia kepada ibunya" Ia sendiri tak bisa
menjawab, la dibesarkan dalam keadaan sebatang kara, 'Jinlang'
(keluarga teidekat) hanya ada seorang, ialah Leng Bwehong.
Ia sangat haus akan cinta ibu, tapi cinta itu ternyata
bercampur rasa dendam. Sungguh ia ingin bisa menemukan
ibunya untuk bertanya padanya bagaimana keadaan sebelum
ia berusia dua tahun.
Ia mendapat firasat bahwa keberangkatannya untuk
'berjibaku' ini untuk selamanya tak akan bisa bersua pula
dengan ibunya, juga sangat mungkin ibunya sampai kini masih
belum tahu bahwa ia adalah putrinya.
Selain itu, akhir-akhir ini, dalam hatinya yang sunyi
mendadak telah melekat masuk sesosok bayangan. Bayangan
itu adalah bayangan Thio Hua-ciau. Ia sendiri pun tak jelas,
sejak kapan telah timbul cintanya yang begitu mendalam
terhadapnya. Dalam kekusutan pikiran Ie Lan-cu itu, akhirnya tiba juga
suatu hari yang menggemparkan.
Hari itu, Thio Jing-goan dan kawan-kawan sudah mendapat
kabar bahwa To Tok akan memeriksa pasukannya, bahkan
juga mendapat tahu bahwa Nilan-onghui akan bersembahyang
ke Ho-hut-si. Ciok Cin-hui yang mengenal betul keadaan kotaraja,
diam-diam sudah banyak mata-mata yang ia pasang.
Hari pertama Ok-onghui memberitahu pengurus kuil Ho-hut-si,
hari kedua segera mereka mendapat tahu. Sebab Onghui
hendak datang sembahyang, dengan sendirinya pengurus kuil
memberitahukan kepada para Hwesio untuk bersiap, justru di
antara Hwesio-hwesio itu terdapat mata-mata Ciok Cin-hui.
Ini adalah kesempatan terakhir untuk membunuh To Tok.
Tetapi pada kesempatan terakhir ini, ternyata sangat sulit
untuk turun tangan. Dilakukan pada waktu parade militer,
itulah jelas tidak mungkin. Melakukan pembunuhan di depan
ratusan ribu tentara ibaratnya hanya akan mengantar nyawa
belaka, sedang untuk memasuki lapangan militer saja orang
biasa tidak diperkenankan sembarangan masuk.
Dalam perundingan, berbagai pendapat bersimpang-siur, Ie
Lan-cu hanya membisu aneh. Waktu Thio Hua-ciau
memandang gadis ini, tiba-tiba timbul perasaan berat untuk
berpisah, la insyaf betapa pentingnya membunuh To Tok bagi
perjuangan mereka yang maha besar, tetapi ia sungguh tidak
tega membiarkan seorang gadis yang dibesarkan dalam
kancah penderitaan dan kesunyian menuju ke lembah
kematian pada waktu masanya yang masih muda belia dan
mulai masak ini.
Karena itu, ia lalu buka suara. "Kalau sudah tiada jalan
untuk turun tangan, biarlah urusan ini ditangguhkan dulu,"
katanya. "Siapa bilang tiada jalan untuk turun tangan?" sela Lan-cu
dengan dingin. "Bukankah kita bisa datang dan menunggu di
Se-san, di Ho-hut-si!"
"Sesudah memeriksa pasukan, entah To Tok masih ada
urusan besar apa yang harus diselesaikannya, dapatkah kau
memastikan dia akan datang ke Ho-hut-si?" ujar Boh Wanlian.
"Menurut perasaanku pasti ia akan datang," kata Lan-cu.
"Lagipula, tak peduli ia datang atau tidak, kita juga hanya ada
kesempatan ini untuk mencobanya. Bila kalian tidak mau
pergi, biarlah aku seorang diri yang pergi!"
"Kau anak dara ini bernyali besar, masakah kami malah
takut?" teriak Thong-bing Hwesio. "Hayolah, kalau mau pergi
biar kita pergi bersama, aku nanti yang menghadang
pengawalnya, dan membiarkan kau yang pertama-tama turun
tangan!" Mendengar itu, Lan-cu tersenyum. Sebaliknya Hua-ciau
bungkam, sedang Siang Ing dan Thia Thong bertepuk tangan
menyatakan setuju, dan begitulah urusan itu telah diputuskan.
Pada hari itu, To Tok memeriksa pasukannya di lapangan
militer, ratusan ribu tentaranya dengan bersenjata lengkap
tampak siap sedia menghadapi pertempuran dengan
semangat. "Tayswe, dengan pasukan sekuat ini, Go Sam-kui dan Li
Lay-hing tidak nanti tahan sekali pukul," ujar seorang ajudan
di sampingnya. Tapi To Tok hanya menyahut dingin, ia memacu kudanya
pelahan memeriksa pasukan itu, sikapnya tawar sekali. Para
perwira tinggi seorang demi seorang maju memberi laporan
padanya, ia pun mengangguk-angguk dingin saja.
Karena sikapnya yang luar biasa itulah membuat para
perwira merasa heran, Mereka tak mengerti, panglima mereka
ini bisa berubah begitu banyak, sedikitpun tidak mengunjuk
sikap gagah dan berwibawa seperti biasanya. Karena itulah
diam-diam mereka menggerundel bahwa akan ada alamat
jelek. Dan karena cara memeriksanya yang tidak bersemangat
itu, maka belum sampai lohor sudah berakhir.
"Tayswe, apakah akan mengumpulkan para perwira untuk
diberi petuah?" seru sang ajudan.
"Tidak usah!" kata To Tok sambil menggoyang kepala.
Heran juga ajudannya, ia membungkuk dan bertanya pula.
"Kalau begitu, kapan akan dilakukan 'Tiam-ciang'?"
Menurut peraturan, sebelum pasukan bergerak harus
dilakukan Tiam-ciang dulu. Upacara Tiam-ciang atau
penunjukkan panglima ialah untuk membagi tugas pada para
perwira. Tak terduga, kembali To Tok menggeleng kepala. "Untuk
apa buru-buru" Sekeluamya dari kota masih bisa dilakukan!"
katanya. "Apakah Tayswe buru-buru hendak pergi ke istana untuk
mohon diri pada Hongsiang?" tanya ajudannya pula.
"Besok masih ada tempo, tak usah menghadap sekarang,"
kata To Tok berkerut kening mulai tak sabar.
Dan selagi ajudan hendak bertanya pula, To Tok sudah
mendahului membentak, "Tak usah banyak mulut lagi, aku
masih ada urusan lain!"
Ajudannya kuncup tak berani buka suara lagi, tetapi makin
menambah herannya atas sikap atasannya ini. Sebenarnya
pekerjaan mengatur Tiam-ciang dan lain-lain adalah tugas
ajudan, ia tak menduga begitu bertanya malah didamperat.
Setelah To Tok membubarkan pasukan, ia berkata pada
ajudannya, "Kaubawa pasukan pengawal pribadi dan
bersamaku pergi sembahyang ke Ho-hut-si!"
"Sekarang juga pergi sembahyang?" tanya sang ajudan
yang terheran-heran.
"Ya, apa tidak boleh?" damperat To Tok pula.
Keruan ajudan itu tak berani bersuara pula. Tak lama
kemudian, tiga ratus pengawal pribadi yang lengkap


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persenjataannya dan belasan jago pengawal pilihan sudah
bersiap, dengan berduyun-duyun mengelilingi To Tok dan
segera menuju ke Se-san (pegunungan di barat kota-raja).
Semangat To Tok lesu, perasaannya hampa. Hanya satu
hal yang terus diingat olehnya. Harus bertemu dengan istriku!
Lain tidak. Saat itu, ia merasa istrinya jauh lebih penting daripada
segala urusan perwira dan tentaranya, bahkan sekalipun
Kaisar. Dalam beberapa hari ini ia merasa sungguh-sungguh
telah mendapatkannya, tetapi juga seperti akan kehilangan
dia. Sang istri itu mau pergi sembahyang dan berdoa agar
menang dalam pertempuran nanti serta kembali dengan
selamat penuh kejayaan, inilah betul-betul luar biasa dan
belum pernah terjadi.
Maka kini ia hanya mempunyai satu keinginan, ialah bias
selekasnya berhadapan dengan sang istri agar bisa
mengutarakan rasa terima kasihnya. Musim rontok di Se-san
pemandangannya sangat indah, puncak gunung biru
kehijauan, daun rontok kuning kemerahan, air terjun Giokcwan-
san menggerujuk bagai pelangi yang menggelantung di
langit memutih perak, gumpalan awan yang mengelilingi
puncak bagai ombak samudra yang bergulung-gulung.
Pemandangan indah itu sedikitpun tak sempat dinikmati To
Tok. Sesudah sampai di kaki gunung, ia turun dari kudanya
lalu berjalan naik. Dari jauh ia sudah melihat asap debu
mengebul tebal. Dengan penuh gembira ia berjalan menuju
Ho-hut-si. Pasukan pengawal berjaga di kedua samping jalan sambil
mengusir pergi pengunjung demi keselamatan panglima
mereka. Sesudah naik sampai di tengah gunung, Ho-hut-si sudah di
depan mata, sekonyong-konyong dari samping jalan muncul
seorang nenek yang sudah ubanan dengan menundukkan
kepala menangis sedih. Waktu tentara membentak dan
mengusirnya, ia masih tak mau menyingkir.
"Enyahkan dia!" bentak ajudan To Tok.
Tapi mendadak nenek itu menangis menggerung-gerung.
"O, suamiku!" teriaknya berulang-ulang.
To Tok berkerut kening oleh ratapan orang. "Jangan usir
dia!" perintahnya sembari berjalan maju dan bertanya,
"Mengapa kau menangis?"
"Suamiku meninggalkanku selama delapan belas tahun dan
kemarin dulu baru pulang lantas jatuh sakit keras, aku hendak
bersembahyang untuknya agar Buddha melindunginya supaya
selamat," kata nenek itu.
Terguncang hati To Tok, ia menggumam sendiri, "Kau juga
delapan belas tahun "
"Ya, delapan belas tahun, dosa selama delapan belas
tahun," sambung si nenek. Tangannya yang memegang
tongkat gemetaran, dan karena itu suaranya juga terputusputus.
To Tok bergidik, ia tergetar. "Dosa apa?" tanyanya lagi.
"Sebenarnya ia tak menyukai aku, karena dipaksa orang
tua baru mau menikahiku," si nenek menutur sambil tersedusedu.
"Setelah menikah, segera ia lari pergi ke tempat jauh
hingga delapan belas tahun, kini sesudah ia insyaf dan
berbalik pikiran, siapa tahu terkena penyakit jahat. O, Tayjin,
apakah ini kalau bukan dosa?"
Makin mendengar makin merasa tak enak, mendadak To
Tok merasa suara orang meski lagu suara orang tua, tetapi
suara itu seperti sudah pernah dikenalnya. "Coba maju ke
sini!" panggilnya sambil melambaikan tangan.
Rambut uban si nenek itu bergerak-gerak tertiup angin,
tangan yang mencekal tongkat makin gemetar, setindak demi
setindak ia maju mendekati To Tok pelahan.
Dengan penuh heran pasukan tentara dan pengawal
mengawasinya, mereka heran mengapa Ongya bisa
membiarkan seorang nenek mendekati dan berbicara
dengannya, sungguh hal ini sangat luar biasa.
"Kalian menyingkir sedikit, biarkan dia datang kemari!"
perintah To Tok pula.
Jangan kata para tentara dan pengawal itu terheran-heran,
bahkan para pahlawan yang menyamar dan bersembunyi di
sekitarnya pun merasa heran.
"Anak dara ini sungguh berbakat, ia telah memainkan
perannya begitu wajar sekali!" puji mereka dalam hati.
Dan begitulah setindak demi setindak si nenek terus
melangkah maju ke depan To Tok, napasnya kelihatan
tersengal-sengal payah.
"Coba angkat kepalamu!" kata To Tok.
Tapi mendadak nenek itu menggerakkan tangannya,
tongkat di tangannya tahu-tahu putus menjadi dua, di dalam
tongkat itu tersembunyi sebilah pedang pendek yang bersinar
mengkilap menyilaukan! Secepat kilat pedang itu menusuk To
Tok. Karena kejadian yang tiba-tiba dan di luar dugaan itu,
walaupun To Tok berusaha berkelit dengan cepat, namun
lengan kirinya sudah kena tertusuk.
Dalam pada itu, To Tok pun mencabut pedangnya, cepat ia
membabat, nenek itu menundukkan kepala menghindarkan
diri, tapi karena goncangan angin pedang, rambut palsu di
kepalanya itu lantas terjatuh. Maka tertampak jelas nenek itu
telah berubah menjadi seorang gadis jelita.
Pada saat itu juga, para pahlawan yang sudah bay-hok
(bersembunyi) di atas gunung beramai-ramai lantas menyerbu
keluar. Lekas pasukan pengawal menahan serbuan musuh
sekuatnya. "Lekas tahan serangan dari luar, tak usah membantu ke
sini!" seru To Tok ketika beberapa jago pengawal hendak
membantunya. Jago-jago pengawal itu tahu To Tok sangat perkasa,
kepandaiannya pasti tidak di bawah mereka, untuk
menangkap seorang anak dara tentunya tidak susah.
Sebaliknya orang-orang yang menyerbu dari atas gunung itu
jauh lebih ganas dan gagah. Maka mereka menuruti perintah
To Tok, mereka balik tubuh untuk maju menempur sengit para
pahlawan. Karena terluka lengannya, To Tok menjadi gusar,
pedangnya diputar sedemikian rupa hingga angin menyambar
keras. Gadis yang menyamar sebagai nenek ubanan itu tiada lain
daripada Ie Lan-cu. Begitu pedangnya berhasil melukai
musuh, segera tubuhnya melesat, pedang pendeknya yang
enteng dan cepat menusuk ke kiri dan tikam ke kanan, dalam
sekejap saja mereka sudah bergebrak lebih dua puluh jurus,
To Tok bertenaga besar bagai kerbau, maka tak berapa lama
pedang Ie Lan-cu tertekan di bawah hingga ia mandi keringat,
minyak cat di mukanya menjadi lengket dengan air
keringatnya, terasa agak risi, dalam seribu kerepotannya itu
Lan-cu membesut mukanya dengan lengan bajunya hingga
guratan dan keriput wajahnya dalam samarannya itu terseka
bersih dan wajah aslinya tertampak jelas, dalam kagetnya
demi mengenali orang, To Tok menjerit. Dan pada saat itulah
pintu Ho-hut-si terpentang lebar, dari dalam tertampak sebuah
joli besar berhiaskan batu pualam manikam hijau digotong
keluar. "Berjanjilah padaku, janganlah kau mencelakai dia, maukah
kau?" tiba-tiba suara Onghui yang diucapkan malam itu
berkumandang dalam telinga To Tok. Tiba-tiba pandangannya
kabur dan pikirannya remang-remang. Karena itu beruntun Ie
Lan-cu melancarkan beberapa tusukan lagi, kembali To Tok
menderita beberapa luka.
Dengan mata melotot beringas, sekuat tenaga To Tok
berusaha balas menggempur musuh, namun sekilas dilihatnya
si gadis di hadapannya ini mirip istrinya pada malam
pengantin dahulu, sesaat terasa dingin hatinya, lagi-lagi
dadanya kena tertusuk sekali.
Tak tahan lagi To Tok oleh luka-lukanya, ia menjerit keras,
pedangnya mendadak ditimpukkan ke depan, ketika Lan-cu
berkelit, dengan tepat pedang itu menembus dada seorang
pengawal yang memburu datang hendak menolong To Tok.
Betapa lihai Kiam-hoat le Lan-cu, begitu berkelit segera ia
merangsek maju lagi. Meski To Tok mengangkat tangan
hendak menangkis, tapi terdengarlah suara "kraak," lima
jarinya tertabas kutung semua. Ujung pedang le Lan-cu yang
tadinya mengarah tenggorokan orang sedikit tergoncang
menceng hingga menembus leher To Tok, tapi jalan napasnya
masih belum terputus. To Tok menjerit ngeri, darah segar
muncrat, orangnya roboh, hanya belum mati seketika.
Dan ketika Lan-cu hendak menambahi sekali tusuk lagi, joli
tadi sudah berhenti di depannya, dari dalam keluar dengan
cepat seorang wanita agung terus menahan pelahan tangan
Lan-cu. Seketika tergoncang tubuh Lan-cu oleh pegangan
tangan orang, pedangnya tahu-tahu jatuh ke tanah. Dan
karena itu jago-jago pengawal yang sudah datang mengepung
itu segera dapat menangkapnya.
Lan-cu tak melawan, ia menyerah dirinya ditangkap,
mukanya putih pucat dan matanya terpaku memandang
wanita agung itu sambil tertawa seram. "Onghui yang agung,
aku telah membikin susah kau!" demikian katanya pelahan.
Wajah Nilan-onghui pucat bagai mayat, tak sanggup ia
mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba ia merasa kakinya
dirangkul orang, ia lihat dengan bermandi darah To Tok
merangkul kakinya erat-erat sambil menengadah. Lekas
Onghui berjongkok hendak memayang sang suami, namun
didengarnya suara To Tok yang amat lemah berkata padanya,
"Terima kasih, isteriku!"
Tak tahan lagi Onghui oleh pukulan perasaan itu, ia
menjerit dan roboh tak sadarkan diri tagi.
Sementara itu pertempuran sengit sudah terjadi antara
para pahlawan dengan pasukan pengawal. Dengan gagah
berani Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan berusaha
mendekati Ie Lan-cu untuk menolongnya.
Tadi mereka sudah girang melihat le Lan-cu berhasil
merobohkan To Tok, siapa tahu tiba-tiba datang Onghui dan
gadis itu pasrah diringkus musuh begitu saja, mereka kuatir
dan gugup, maka segera mereka menerjang maju untuk
menolong, namun mereka lantas dikerubut pasukan pengawal
yang jauh lebih banyak dan menyaksikan Ie Lan-cu diseret
musuh ke dalam Ho-hut-si tanpa berdaya. Dalam pada itu To
Tok dan Onghui sudah digotong masuk ke dalam kuil itu juga
oleh orang-orangnya.
Rombongan Thong-bing Hwesio masih berusaha hendak
menerjang ke dalam kuil itu, tapi jago-jago pengawal tidak
lemah juga, pula dalam jumlah lebih banyak, dalam
pertarungan sengit itu Siang Ing terluka lebih dulu pundaknya
oleh sambitan pisau terbang musuh, Thia Tong pun terluka
oleh panah. Sedang Thio Hua-ciau dengan penuh noda darah
memutar pedang menerjang musuh mati-matian. Thong-bing
Hwesio berusaha memburu maju untuk menggabungkan diri
dengan pemuda ini, siapa duga begitu berhadapan, tahu-tahu
Hua-ciau mengayun pedang terus menusuk ke arahnya sambil
berteriak, "Biarlah aku mengadu jiwa denganmu!"
"Hai, orang sendiri!" seru Thong-bing kaget sembari
mengelakkan serangan itu.
Namun pandangan Hua-ciau kelihatan kabur, orangnya
ternuyung-huyung hendak roboh.
"Celaka!" keluh Thong-bing dalam hati. Kawpn-kawannya
sudah banyak yang terluka, cara bagaimana kini bisa keluar
dari kepungan musuh".
Ketika keadaan berbahaya, tiba-tiba pasukan pengawal
yang mengepung itu kelihatan menyingkir ke samping,
tertampak Kui Tiong-bing memutar kencang pedangnya
menerobos datang menolong. "Mari lekas terjang keluar!" seru
pemuda ini. Habis itu, ia mendahului memutar tubuh terus menerjang
kembali ke arah datangnya tadi sambil menyeret Thio Huaciau
terus diikuti Thong-bing Hwesio dan lain-lain dengan
rapat. Di sebelah sana, di bawah iringan Thio Jing-guan dan
kawan-kawan, Wan-lian menghamburkan pasirnya yang
berbisa dan mati-matian menerjang keluar kepungan hingga
pasukan pengawal itu tak mampu menahannya. Karena itu tak
lama kemudian mereka berhasil lolos semua ke balik gunung
sana. Di lain pihak, sesudah Nilan-onghui digotong masuk kuil
dan sadar kembali, namun ia tak mendapatkan lagi adanya Ie
Lan-cu. "Penyamun wanita itu sudah dikerangkeng dan dijaga
rapat," demikian seorang perwira coba memberi laporan
padanya "Sementara ini telah dipanggil juga tabib kerajaan,
maka Onghui jangan kuatir."
"Kalian keluar semua!" kata Onghui tiba-tiba sambil
mengebaskan tangannya.
Namun perwira itu masih ragu-ragu dan tetap di
tempatnya. "Kalian keluar semua!" bentak To Tok yang tiba-tiba
tersadar dengan suara serak.
Nampak Ongya mereka tak bertenaga lagi dan suaranya
berat, seluruh tubuh pun bermandi darah, perwira itu dan pengawal-
pengawal lain tahu betapapun cepat tabib kerajaan
bisa datang, tak akan bisa menghidupkan Ongya mereka,
mereka menduga ada pesan terakhir yang hendak To Tok
bicarakan pada Onghui, maka tak berani lagi mereka ayal,
segera mereka mengundurkan diri keluar.
"Ongya," kata Nilan-onghui kemudian sambil merangkul
sang suami erat-erat dengan air mata bercucuran, "Sudah
sekian lamanya aku mendustai kau sesuatu bahwa si gadis
pembunuh itu ia ialah puteriku sendiri"
"In ini su sudah lama kuketahui," sahut To Tok terputusputus
dan tersenyum getir.
Tak tahan lagi hati Onghui, ia menangis menggerunggerung,
sungguh hancur luluh rasanya.
Tiba-tiba To Tok merangkak hendak bangun, ia tahan
tubuhnya dengan siku sambil memegang tangan sang isteri
kencang-kencang. "Ming-hui," katanya parau, "Aku merasa
puas, barulah hari ini kuketahui bahwa sesungguhnya kau pun
mencintai aku!"
Pedih sekali bagai disayat-sayat hati Nilan-onghui. Apa
betul ia mencintai To Tok" Tidak. Cintanya itu lebih tepat
dikatakan kasihan. Namun kini, pada saat sang suami sudah
dekat ajalnya, tiba-tiba terasa juga olehnya seakan-akan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang mencintainya. Ia menunduk tak menjawab, pelahanlahan
ia mengecup pipi sang suami sekalipun darah menodai
mulut dan rambutnya.
"Nasib puterimu itu biarlah kuserahkan kebijaksanaanmu,"
kata To Tok pula dengan lemah. "Ya, Ming-hui, aku sangat
puas," Makin lama makin lemah dan semakin lirih suaranya,
pelahan-lahan tangan yang memegang sang isteri pun
menjadi kendor, matanya sudah tertutup rapat, nyata ia telah
menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Ngeri Nilan-onghui oleh suasana seram itu, lekas ia
membuka kamar dan berteriak memanggil orang. Karena itu
para pengawal di luar beramai berkerumun, dan demi
mengetahui Pangeran mereka sudah tak bernyawa lagi,
seketika mereka pun menjadi ribut.
"Ongya sudah wafat, tentang penyamun wanita itu biarlah
boleh dibebaskan saja," kata Onghui pelahan.
"Hendaklah Onghui istirahat dahulu," sahut ajudan To Tok
cepat. Segera juga para pelayan maju hendak memayang, siapa
duga terdengar Onghui menjerit ngeri dan orangnya kembali
pingsan. Para pengawal bawahan To Tok mengira pikiran Onghui
sudah kacau, maka perintahnya 'membebaskan' pembunuh
wanita tadi dengan sendirinya mereka anggap tak sehat.
Kemudian setelah datang pula panglima lain yang mendapat
kabar terbunuhnya To Tok, tak ampun lagi le Lan-cu digusur
ke dalam penjara kerajaan yang dijaga rapat.
Tentu saja peristiwa terbunuhnya To Tok itu membuat
kota-raja menjadi gempar. Akan tetapi herannya, sudah lewat
setengah bulan perkara itu belum juga diperiksa. Menurut
biasanya, peristiwa hebat itu seharusnya Kaisar sudah
memberi titah memeriksa pesakitannya, tapi tiada seorang
pembesar pun yang menerima perintah. Keruan saja hal itu
menimbulkan berbagai pertanyaan dan dugaan di antara
pembesar-pembesar negeri itu.
Nyata mereka tak tahu bahwa Kaisar Khong-hi
sesungguhnya sangat tak senang karena peristiwa itu. Nilanonghui
sendiri yang telah memohon dengan perantara ibu-suri
untuk minta kelonggaran Kaisar agar pemeriksaan penyamun
wanita itu ditunda setelah ia sembuh dari sakitnya. Karena
alasan sakit, Khong-hi menyangka Onghui terlalu berduka dan
terpukul batinnya oleh kematian sang suami, pula menduga
Onghui akan memeriksa si pembunuh sendiri bila telah
sembuh, maka Khong-hi telah meluluskan permohonan itu.
Akan tetapi sudah setengah bulan dan kesehatan Nilanonghui
masih belum pulih kembali, sungguhpun tabib-tabib
kerajaan ikut memeriksanya, namun tiada diketahui juga
dimana letak sebab-sebab penyakit Onghui, dugaan hanya
karena hati Onghui sedih hingga menjadi sakit. Dan karena
waktunya sudah berlarut-larut, Khong-hi mulai tak sabar,
namun Ok-jin-ong besar sekali pahalanya terhadap negara,
permaisurinya adalah bibi Nilan Yong-yo pula, meski
mendongkol, sungkan juga diutarakannya.
Dan selama setengah bulan itu siang-malam Nilan-onghui
benar-benar tenggelam dalam kancah derita, la menutup diri
dalam kamar, selain tabib kerajaan yang terpaksa harus
dilayaninya, orang lain tiada lagi yang ditemuinya. Pernah ia
berpikir hendak bunuh diri saja, tapi masih ada cita-citanya
yang belum terkabul. ia masih ingin bertemu dengan
puterinya. Namun cara bagaimanakah bisa bertemu" Kecuali
kalau ia membebaskannya dari penjara. Atau sebaliknya,
apabila sehari lebih cepat ia bertemu dengan putrinya, itu
berarti sehari lebih dekat pula mengirim putrinya itu ke
gerbang kematian.
la tahu Kaisar menyangka ia hendak memeriksa sendiri
penyamun wanita itu, dan sesudah itu segera juga orangnya
akan dihukum mati. Akan tetapi dapatkah ia membebaskan
puterinya itu" la tak berkuasa. Ya, bahkan tiada seorang pun,
dari Kaisar sampai perwira-perwira bawahan To Tok, tiada
yang rela panglima mereka terbunuh begitu saja.
Dan karena itulah, tiada jalan lain ia hanya mengulur waktu
saja. Keadaan ganjil itu tidak saja mengherankan para
pembesar, bahkan para pahlawan di rumah Ciok Cin-hui juga
diliputi berbagai tanda tanya.
Hari itu sesudah berhasil lolos kembali, tiada henti Thongbing
Hwesio menggerutu, katanya, "Permaisuri To Tok betulbetul
wanita siluman. Anak dara itu sudah bisa mampuskan To
Tok dan sebenarnya dengan mudah bisa menerjang keluar,
bila mau Onghui bisa juga sekalian dibereskannya waktu
berhadapan sebab orang hanya bertangan kosong. Tapi aneh
bin ajaib, anak dara itu seperti kena guna-guna, ia berdiri
tegak tanpa berkutik dan membiarkan dirinya diringkus begitu
saja!" Begitu pula para pahlawan lainpun penasaran, hanya Boh
Wan-lian yang dapat menerka beberapa bagian, cuma tak
berani dikatakannya.
Kemudian para pahlawan itupun berdaya hendak menolong
Ie Lan-cu, tapi sejak peristiwa itu penjagaan di kota-raja telah
diperkeras dan dilakukan penggeledahan rumah-rumah
penduduk. Baiknya Ciok Cin-hui menyembunyikan mereka di
kamar rahasia di bawah tanah dan berkat hubungannya yang
luas dan baik dengan kalangan polisi dan pejabat negeri,
maka semuanya dapat dilalui dengan aman. Sebaliknya karena
tak bisa keluar untuk menolong kawan, para pahlawan
menjadi tambah kuatir. Berbagai pendapat telah dikemukakan,
tapi tiada yang bisa diterima.
"Aku ada suatu usul yang bodoh," demikian kata Wan-lian
akhirnya, "Cuma harus ada seorang yang bernyali besar dan
bisa berlaku hati-hati yang dapat melakukannya. Tiong-bing
cukup tinggi ilmu silatnya, tapi kurang kecerdikannya. Maka
paling baik kalau Leng Bwe-hong atau Pho Jing-cu bisa datang
di sini." "Dari sini ke Sucwan pulang pergi harus makan waktu
berbulan-bulan, mana bisa kita menunggu begitu lama," ujar
Thio Jing-guan.
"Coba katakan usulmu itu," kata Thong-bing Hwesio.
"Ah, susah dijalankan, nanti hanya akan membikin kusut
pikiran orang banyak saja," sahut Wan-lian.
"Anak dara itu sangat menyenangkan, masakah kita harus
menyaksikan dia menuju gerbang kematian begitu saja?" ujar
Thong-bing gegetun.
Di sebelah sana wajah Thio Hua-ciau kelihatan pucat
muram dan membisu. Lekas Ciok Cin-hui mengedipi Thongbing
agar jangan banyak omong lagi.
Di pihak lain sana, sehabis To Tok terbunuh, pernah Nilan
Yong-yo pergi menghibur sang bibi, meski Onghui menolak
bertemu dengan orang, namun Yong-yo ternyata ditemuinya.
Cuma hatinya masih sedih dan batin tertekan, maka ia tidak
banyak bicara. Waktu Yong-yo mengetahui bahwa si pembunuh adalah si
gadis yang dahulu dikenalnya di Jing-liang-si di atas Ngo-taisan
itu, ia terkejut luar biasa.
"Ya, masih ingat aku pada sorot matanya yang tajam
dingin," katanya pada sang bibi. "Cuma aneh, sebab apakah ia
harus membunuh Kohtio (paman), dendam dan sakit hati
apakah yang membikin dia berlaku nekad?"
Onghui tak menyawab, sejenak kemudian dikatakannya
sambil menghela napas, "Tapi ia pun sangat harus dikasihani!"
Tiba-tiba Yong-yo ingat akan wajah dan perawakan gadis
pembunuh itu sangat mirip sang bibi, tanpa merasa ia ikut
ngeri, lekas ia mohon diri pulang.
Pada suatu malam yang sunyi, seorang diri Yong-yo duduk
termenung di kamarnya di atas Thian-hong-lau, pikirannya
bergolak, la adalah bangsawan Boanciu, tapi jiwanya mulia, ia
memandang rendah bangsawan-bangsawan lain yang kotor,
hanya terhadap To Tok ia masih mempunyai rasa hormat dan
kagum, karena itu atas tewasnya To Tok ia pun ikut berdukacita,
namun begitu ia pun menaruh simpati pada si gadis
pembunuh itu. "Ya, seorang gadis jelita rela menghadapi bahaya untuk
membunuh seorang saja, pasti di dalamnya tersangkut urusan
sakit hati yang maha besar yang harus dilakukannya,"
demikian pikir Yong-yo. "Cuma aneh, mengapa Kokoh (bibi)
sebaliknya tak menjadi benci pada gadis pembunuh suaminya
itu?" Begitulah ia berpikir sendiri pergi-datang, namun tak dapat
pula ia menarik sesuatu kesimpulan atas peristiwa itu. "Apa
terlahir dalam keluarga kerajaan memang merupakan
semacam dosa?" demikian ia bergumam sendiri.
Tengah Nilan Yong-yo termenung seorang diri dalam
kesepiannya, tiba-tiba sinar lilin terlihat bergoyang, tahu-tahu
daun jendela terpentang lalu melompat masuk dua orang.
Seorang dikenalinya adalah Thio Hua-ciau dan yang lain
seorang gadis remaja, parasnya juga sudah dikenalnya cuma
tak ingat seketika.
Dan selagi ia hendak menegur, tiba-tiba si gadis itu telah
mendahului menyapa dengan gaya menarik, "Kongcu, apakah
masih ingat pada si penjaga taman?"
Karena itu barulah Nilan Yong-yo teringat, lalu ia tertawa.
"Ia bernama Boh Wan-lian, puteri Boh Pi-kiang Siansing,"
segera Hua-ciau memperkenalkan mereka. "Aku sangat
mengagumi ilmu sastra Boh-siansing, pantas nona Boh juga
pandai bersajak dan mahir seni suara," ujar Yong-yo. "Dan
sebab apakah tempo hari harus menyamar untuk menghamba
di rumah kami?"
"Soal itu biarlah kelak kita bicarakan," sahut Wan-lian
tersenyum. "Kedatangan kami sekarang ini justru ada urusan
penting yang perlu bantuan Kongcu."
"Silakan menerangkan," kata Yong-yo.
"Kami minta bantuan agar bisa menemui Sam-kiongcu,"
kata Wan-lian. "Keadaan sekarang sudah berubah, sejak geger tempo hari,
Kiongcu dilarang keluar kerajaan lagi," sahut Yong-yo.
"Jika begitu, kaubawa kami masuk ke kerajaan
menemuinya," pinta Wan-lian.
Berubah wajah Yong-yo karena permintaan itu, ia terdiam.
"Apakah berlebihan permintaan kami ini?" tanya Wan-lian.
"Untuk apa kalian ingin bertemu Sam-kiongcu?" tanya
Yong-yo tiba-tiba.
"Kami hendak menolong seseorang," kata Wan-lian.
"Kau maksudkan si gadis pembunuh Ok-jin-ong itu?"
"Benar, dialah yang ingin kami tolong," sahut Hua-ciau.
"Ok-jin-ong adalah pamanku, apakah kalian tak tahu?"
tanya Nilan Yong-yo kurang senang.
"Banyak sekali orang-orang tak berdosa yang dibunuh
pamanmu itu apakah kau pun tidak tahu?" balas Wan-lian
bertanya. "Ia adalah panglima kerajaan, tempat dimana pasukan
lewat tentulah meninggalkan noda, tetapi semua itu tak bisa
juga menyalahkan dia seorang saja," sahut Yong-yo.
"Jika begitu, apakah rakyat jelata yang salah?" debat Wanlian
tertawa dingin.
"Juga bukan begitu," sahut Yong-yo.
"Lalu" Apa dia boleh sembarang membunuh orang, dan
orang lain tak boleh membunuh dia?" kata Wan-lian pula.
"Balas membalas cara begitu, darah dibayar darah, sampai
kapankah baru berakhir?" sahut Yong-yo menghela napas.
"Sebenarnya kami tidak dendam pada bangsa Boanciu umumnya,
tapi orang seperti To Tok yang memimpin bangsamu
membunuh bangsa kami, sudah tentu tak bisa kami diamkan
begitu saja," ujar Boh Wan-lian.
Yong-yo membisu, ia tak menyawab.
"Dan bila gadis tak berdosa itu hendak kalian bunuh pula,
itu berarti darah disiram lagi dengan darah," kata Wan-lian
lebih lanjut dengan bersemangat.
Nilan Yong-yo masih tetap bungkam. Tiba-tiba Wan-lian
bergelak tertawa, dengan suara lantang kemudian ia berkata
lagi, "Kami tadinya menyangka Kongcu adalah seorang yang
berjiwa besar, tampaknya kami telah salah lihat. Maka biarlah
terus terang saja, kami adalah komplotan si gadis pembunuh.
Jika Kongcu tak menahan kami, sekarang juga biarlah kami
mohon diri!"
Mendadak Yong-yo mengebas lengan bajunya terus bangkit
berdiri. "Baik, besok juga kau boleh ikut aku masuk istana,"
katanya kemudian sambil menunjuk Boh Wan-lian.
Tentu saja Wan-lian sangat girang. "Dan bagaimana
dengan dia?" tanyanya menuding Hua-ciau.
"Istana begitu keras penjagaannya, lelaki asing tidak nanti
diperbolehkan masuk," sahut Yong-yo.
"Kalau begitu, biarlah kupinjam alat tulismu saja," kata
Hua-ciau. Dan setelah alat tulis yang diperlukan disediakan, segera
Hua-ciau bekerja cepat, ia menulis sepucuk surat dan
diserahkannya pada Boh Wan-lian dalam sampul tertutup.
Habis itu, ia memberi hormat pada Nilan Yong-yo, lalu ia pun
melesat pergi. Nilan Yong-yo sangat suka bergaul dengan kaum cerdikpandai,
lebih-lebih seorang nona manis seperti Boh Wan-lian
yang mahir ilmu silat dan surat. Ketika dilihatnya Boh Wan-lian
dengan bersenyum simpul lagi memandang padanya, hatinya
tergoncang. Tiba-tiba ia pun teringat pada 'si penjaga taman'
lainnya yang kasar itu. "Mana kawanmu yang lain itu?"
tanyanya segera.
"Ia menunggu Ciau-long di luar sana," sahut Wan-lian. "Ia
tak kuatir lagi kau masuk istana seorang diri?" tanya Yong-yo.
"Meski ia kasar, tapi orangnya tulus jujur," sahut Wan-lian
tertawa. "Aku sering memuji Kongcu di hadapannya, kelak
tentu ia akan berterima kasih juga padamu."
"Kalian sama-sama gagah perkasa, sungguh pasangan
yang setimpal," Yong-yo memuji. Sungguhpun berkata
demikian, namun dalam hati ia berpikir lain, ia gegetun nona
cantik seperti Boh Wan-lian bagai burung Hong mendapat
jodoh burung gagak, tapi ia pun tahu cinta Wan-lian amat
mendalam pada 'si penjaga taman' yang kasar itu.
"Apa kalian sudah menikah?" tanyanya kemudian.
"Belum," jawab Wan-lian.
"Bila kelak menikah, pasti aku tak sempat memberi selamat
pada kalian, maka biarlah sekarang juga aku, memberikan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit tanda-mata yang tak berarti padamu," kata Yong-yo
tertawa. Habis itu, dari dinding ditanggalkannya sebatang pedang
pendek dan diangsurkan pada Boh Wan-lian. "Pedang ini
bernama 'Thian-hong-kiam' yang didapat ayahku dari hadiah
seorang gubernur, katanya adalah pedang pusaka buatan di
zaman Cin, sukalah kau menerimanya untuk dipergunakan,"
demikian katanya.
Waktu Wan-lian coba melolos pedang itu, ia lihat sinar
tajam menyilaukan mata, dengan girang ia pun menghaturkan
terima kasih. Kembali mengenai peristiwa terbunuhnya To Tok. Berita itu
dengan cepat tersiar ke dalam kerajaan. To Tok adalah orang
yang dikenal baik oleh Sam-kiongcu, meski berita kematian To
Tok itu menggetarkan hatinya juga, namun saat itu hatinya
justru sedang penuh pikiran, yang dia pikir sekarang ini
malahan bukan To Tok, tapi bayangan Thio Hua-ciau yang
telah bersarang dalam hati sanubarinya. Rasa kagum dan
serba baru serta rasa ingin mencari kepuasan belaka yang
dipikirnya, mula-mula waktu bertemu dengan pemuda itu, kini
lambat-laun sudah berubah, kini setiap gerak-gerik, suara dan
tertawa Hua-ciau sudah terukir dalam lubuk hatinya, bayangan
pemuda ini sudah melengket rapat dalam jiwanya.
Suatu hari di waktu pagi, Sam-kiongcu merasa kesepian, ia
menyingkap kerai kamarnya dan memandang jauh, ia lihat
suasana taman sunyi-senyap hanya beberapa Thaykam lagi
membersihkan taman di kejauhan.
Dalam kesalnya, Sam-kiongcu merasa iseng, ia coba
mengambil secarik surat yang berisikan sajak dan dibacanya
pelahan. Sajak ini adalah gubahan Nilan Yong-yo yang seakanakan
melukiskan isi hatinya yang berkeluh-kesah tapi penuh
harapan. Dan selagi ia tenggelam oleh isi sajak itu, tiba-tiba datang
dayang memberitahu bahwa Nilan-kongcu telah datang. Nyata
karena terpesona oleh isi sajak itu sampai penciptanya sudah
berada di depan kamarnya ia masih belum tahu.
"Sam-mcayrnoay, kau giat sekali," sapa Yong-yo tertawa
segera sesudah masuk.
Waktu Sam-kiongcu menegasi, ia lihat di belakang Yong-yo
masih ada seorang gadis jelita yang parasnya seperti sudah
dikenalnya. Dan sesudah ia mengingat, tak tahan lagi hatinya
berdebar. Ya, gadis itu adalah Boh Wan-lian yang dulu pernah
dijumpainya di Thian-hong-lau dalam samarannya sebagai
jejaka. Dan karena dalam kamar masih ada dayang, lekas Kiongcu
mengedipi Nilan Yong-yo.
"Aku diminta Hongsiang (Sri Baginda) menemani membaca,
malam ini aku tak pulang, maka pelayanku ini biarlah
kutitipkan padamu di sini," kata Nilan Yong-yo kemudian
dengan berpura-pura.
Dan setelah Yong-yo berlalu, segera Sam-kiongcu
menyuruh pelayan lain membawa Boh Wan-lian ke kamar
tidurnya. "Boh-cici, sungguh aku sangat merindukan dikau,"
katanya cepat sambil merangkul Wan-lian.
"Ah, kukira bukanlah merindukanku," goda Wan-lian
tertawa. Habis itu, ia pun mengeluarkan sampul surat Huaciau.
Girang luar biasa Sam-kiongcu melihat surat itu, tanpa pikir
lagi ia menyambar surat itu dari tangan orang terus
dibukanya. Nyata surat Hua-ciau itu memang ditujukan pada
Sam-kiongcu. Mula-mula Wan-lian melihat Sam-kiongcu membaca surat
itu sambil tersenyum, tetapi lambat-laun mukanya kelihatan
berubah, tangan yang memegang surat itupun mulai gemetar
hingga surat yang dipegangnya tergoncang bagai tertiup
angin. Kiranya surat Hua-ciau itu mula-mula menyatakan betapa
terima kasihnya karena pemberian obat Sam-kiongcu hingga
lukanya telah sembuh kembali. Kemudian pemuda itu
menyatakan syukurnya bisa berkenalan dengan Kiongcu
dengan karib dan menyesalkan tak bisa membalas budi
kebaikan orang. Hangat dan manis sekali rasa Sam-kiongcu
oleh rayuan surat itu, maka ia berpikir apa saja yang diminta
si pemuda itu pasti akan dipenuhinya.
Siapa duga, surat itu kemudian menceritakan tentang diri si
gadis pembunuh To Tok dan antara lain dikatakannya, meski
gadis itu musuh besar keluarga kerajaan, tapi adalah teman
akrab Hua-ciau. Kerajaan menginginkan kematiannya, Huaciau
justru mengharap akan hidupnya. Kalau ia (si gadis)
celaka, Hua-ciau pasti tak bisa hidup sendiri. Maka bila
Kiongcu suka mengulurkan tangan menolong, selama hidup
Hua-ciau pasti tak akan melupakan budi yang maha mulia itu.
Dan setelah menyelami lebih dalam isi surat tersebut, Samkiongcu
tahu cinta Thio Hua-ciau kepada si gadis pembunuh
sudah mendarah-daging melebihi terhadap dirinya. Tanpa
terasa air matanya meleleh, remuk-rendam hatinya, surat
itupun akhirnya terjatuh ke lantai.
Meski Wan-lian tak tahu bunyi surat itu, namun melihat
gelagatnya ia telah dapat menerka. "Kiongcu!" ia memanggil
sembari mengusap rambut puteri itu untuk menghiburnya.
Dengan perasaan hancur Kiongcu menjemput kembali surat
tadi, ia duduk di atas kursi dengan lemas. "Tidak, soal ini aku
tak bisa mengurus, juga tiada jalan buat mengurusnya!"
katanya kemudian dengan ketus.
"Apakah sudah pasti keputusan Kiongcu ini?" tanya Wan
lian sambil memandang orang tanpa berkedip.
Tatkala itu dalam perasaan Kiongcu terbayang akan suatu
gambaran, ya, tentu sesudah aku menolong si gadis
pembunuh itu, lalu Thio Hua-ciau akan menggandeng
tangannya dan kabur pergi bersama dengan tertawa tanpa
memandang sekejap pun padaku.
Karena lamunan itu, dengan rasa gemas ia jawab
pertanyaan Wan-lian tadi, "Tidak, aku tak bisa menolong!"
"Sayang bila begitu," kata Wan-lian pula menghela napas.
"Sayang apa?" tanya Kiongcu cepat.
"Thio Hua-ciau sudah berhutang budi pada Kiongcu, jika
Kiongcu sudi memenuhi permohonannya, dapat dipastikan ia
akan berterima kasih selama hidup," demikian sahut Wan-lian.
"Tapi kini Kiongcu tidak mau membantu urusannya, ini berarti
hubungan baikmu dengan Hua-ciau yang sudah-sudah akan
hilang terhanyut, bukankah itu sangat harus disayangkan?"
Kiongcu terdiam oleh perkataan itu. Lama dan lama sekali
tiba-tiba ia bertanya, "Kau sendiri punya kekasih tidak?"
"Punya," jawab Wan-lian.
"Dan bagaimana perasaanmu bila seumpama ia mencintai
orang lain pula?" tanya Sam-kiongcu.
"Dengan rasa cinta yang sama aku tetap membantunya,"
kata Wan-lian pasti.
"Sungguh?" jengek Sam-kiongcu.
"Mengapa tidak?" kata Wan-lian. "Bila aku cinta padanya,
pasti segalanya aku berpikir untuk kepentingannya, hanya bila
ia bahagia barulah aku pun merasa bahagia. Biarlah aku
ceritakan, pernah aku menghadapi bahaya tapi dengan
kesabaran yang tak pernah putus aku telah menolong
kekasihku lolos dari elmaut. Tatkala itu, sungguhpun setiap
saat aku dapat dibunuh olehnya, namun sedikitpun tak
terpikirkan olehku, apalagi gentar!"
"Betulkah begitu?" tanya Kiongcu ragu-ragu. "Baiklah,
malam nanti kautidur bersamaku dan ceritakanlah kisahmu
itu." Malam itu, betul saja Boh Wan-lian menceritakan kisahkasihnya
dengan Kui Tiong-bing yang dengan segala
kesabaran dan pengorbanan murni menyembuhkan penyakit
ingatan pemuda itu. Setelah mendengar cerita itu, Samkiongcu
termenung diam sambil menghela napas panjang.
Besok paginya, tiba-tiba Kiongcu berkata pada Boh Wanlian,
"Kau tunggu di sini, sebentar segera aku kembali!"
Sekilas Wan-lian melihat sinar mata orang seperti telah
mengambil suatu keputusan yang pasti untuk sesuatu tugas.
Dan setelah puteri itu pergi, Wan-lian sendiri menjadi
kesepian, pelahan ia menyingkap tirai kamar menikmati
keindahan taman bunga. Dan ketika gadis ini terpesona oleh
pemandangan indah itu, mendadak didengarnya ada suara
tindakan orang naik ke atas loteng disusul dengan suara orang
sedang bercakap.
"Begini pagi Kiongcu sudah keluar?" terdengar seorang
bertanya. "Ya, kami pun tak tahu kemana tuan puteri pergi, mungkin
pergi menjenguk ibu-suri," demikian jawab suara wanita.
"Ibu-suri sangat sayang pada tuan puterimu," kata yang
duluan tadi. "Tempo hari ia datang ke sini dan melihat kamar
Sam-kiongcu terlalu sederhana, kemarin ia lantas
memerintahkan kami agar hari ini menghias kamar Kiongcu
semewah mungkin. Kini bila Sam-kiongcu tiada di kamar,
tentu kami bisa bekerja lebih leluasa."
Setelah orang itu merepek ke barat dan ke timur, kemudian
terdengar suara tindakannya berhenti di depan pintu kamar,
menyusul terdengar lagi tindakan beberapa orang lain ikut
naik ke atas, mungkin orang-orang yang membawa barangbarang
hiasannya. Wan-lian mencoba mengintip dari lubang pintu, ia lihat di
luar ada seorang Kiongli (dayang istana) dan seorang
Thaykam (dayang kebiri), dan Kiongli itu sedang
mengeluarkan anak kunci hendak membuka pintu kamar.
Seketika Wan-lian terkejut demi melihat muka si Thaykam
seperti sudah dikenalnya. Setelah ia mengingat-ingat, barulah
ia teringat Thaykam ini dulu pernah tertangkap Pho Jing-cu di
Jing-liang-si ketika malam-malam mereka menyelidiki Ngo-taisan.
Lekas Wan-lian bersembunyi di belakang kelambu sembari
menggenggam beberapa gelintir pasir lembut, kemudian ia
menyentil pasir itu ke arah muka si Thaykam yang telah
melangkah masuk kamar.
"He, kenapa kalian begini jorok sampai debu saja tak
pernah dibikin bersih!" segera Thaykam itu berteriak sambil
tangannya mengucek matanya yang kelilipan oleh pasir Boh
Wan-lian. "Ah, mana ada debu?" sahut dayang wanita tadi. Tapi baru
saja ia ikut masuk, tahu-tahu ia sendiri pun mengucek mata
senasib dengan sang kawan. "Eh, ya, aneh, bukankah kamar
saban hari disapu, kenapa ada debu?" demikian ia pun
mengomel. Dan pada waktu kedua orang itu mengucek mata, dengan
cepat dan gesit sekali Boh Wan-lian menyingkap tirai jendela
terus melesat keluar tanpa diketahui Thaykam dan Kiongli itu.
Tapi baru saja ia menancapkan kaki di luar, sekonyongkonyong
ada suara teriakan orang kaget, "He!" Menyusul
kemudian dari semak-semak sana muncul dua orang Thaykam
memburu ke jurusannya, tampaknya langkah kedua Thaykam
ini enteng dan cepat, tentu berilmu silat tidak lemah.
Tahu dirinya sudah kepergok, tanpa pikir lagi segera Boh
Wan-lian menyambut kedua Thaykam itu dengan segenggam
pasirnya. Karena tak menduga akan diserang, mata seorang di
antaranya menjadi buta tertimpuk dan yang lain daging
mukanya menjadi burik oleh hamburan pasir tersebut. Saking
sakitnya kedua Thaykam itupun berteriak-teriak, "Ada
penjahat, lekas tangkap!"
Lekas Wan-lian angkat kaki mengitari jalan kecil yang
berliku-liku dalam taman kerajaan yang jauh lebih luas
daripada taman istana Perdana Menteri itu.
Sementara itu para Thaykam penjaga telah mengejar
datang dari berbagai jurusan, cuma bayangan Boh Wan-lian
sudah tak kelihatan lagi. Namun begitu, karena kuatir Wanlian
masih berlari terus, setelah sebuah gunung-gunungan
indah dilintasinya, tiba-tiba dilihatnya sebuah rumah kuno
yang sudah bobrok dengan pintu tertutup dan kelihatan kotor
meski gedung-gedung lain di sekitarnya terawat baik dan
bersih. Wan-lian heran, ia menduga rumah itu pasti tiada
penghuninya, segera ia melompat masuk melintasi pagar
tembok di samping. Tiba-tiba tercium olehnya bau wangi
semerbak, makin masuk ke dalam bau wangi itu makin tebal,
ia mencari tempat datangnya bau wangi itu dan akhirnya
sampai di sebuah kamar tidur.
Meski kamar itu penuh debu, namun pajangannya tertata
rajin dan indah dengan perabotannya yang mewah. Kemudian
dapat diketahuinya bau wangi tadi teruar dari sebuah almari
buku yang terbuat dari kayu cendana wangi.
Setelah kamar itu diperiksa, ia mendapatkan di dekat almari
buku ada sebuah ranjang bagus dengan kelambu berhiaskan
mutiara yang terurai rendah, di depan ranjang itu masih
tergeletak sepasang sepatu wanita. Di dekat jendela ada
sebuah almari buku yang lebih besar merangkap meja baca
dan di atas meja terserak beberapa jilid kitab.
Di dinding kanan tergantung sebuah lukisan, waktu Wanlian
membersihkan debu di atasnya, ia lihat lukisan itu adalah
seorang gadis jelita yang sedang tersenyum simpul padanya.
Nampak lukisan ini, seketika hati Wan-lian tergetar, ia coba
ber-cermin pada sebuah kaca di situ, lalu dipandangnya lagi
lukisan itu, ia merasa lukisan itu begitu mirip dengan wajah
diri sendiri, ia coba memeriksanya lebih teliti, ia lihat di pojok
kiri lukisan itu ada sebaris huruf-huruf kecil. Tak tertahan lagi
air mata Boh Wan-lian meleleh setelah membaca tulisan itu
sambil menyebut, "Ibu!"
Kiranya tulisan itu ialah catatan pelukisnya, Boh Pi-kiang,
ayah Boh Wan-lian, sebagai kenang-kenangan setelah lima
tahun menikah dengan Tang Siao-wan, ibu Wan-lian. Ketika
ibunya dirampas masuk istana, lukisan ini telah dibawa serta
sebagai tanda cintanya yang tak pernah terlupakan pada Boh
Pi-kiang. Kemudian Wan-lian memeriksa kitab-kitab di atas meja, ia
lihat sebuah di antaranya masih tersingkap dan ditindih
sebuah Hi (kotak tinta Tionghoa). Setelah kitab itu dibersihkan
dan Wan-lian memeriksa yang lain, ternyata itupun berisi
syair-syair gubahan ayahnya sebelum berpisah dengan ibunya,
pantas ibundanya masih suka membacanya berulang-ulang
Bara Naga 14 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Neraka Hitam 3
^