Pencarian

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 18

Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 18


terasa pegal linu.
"Lan-cu," seru Ciau-lam tiba-tiba, "Betapapun aku masih
angkatan lebih tua darimu, maka lebih baik kau meletakkan
senjata saja, pasti aku takkan bikin susah kau!"
Namun sepatah katapun Lan-cu tidak menjawab, dalam
kegelapan hanya sinar matanya tampak berkilau menyorot
tajam, seketika Ciau-lam terkejut sekali, diam-diam ia tidak
habis mengerti, hanya selama setahun saja anak dara ini
mengapa bisa maju begini pesat ilmu pedangnya" Janganjangan
kitab pelajaran peninggalan Suhu sudah jatuh di
tangannya"
Sedang ia berpikir, mendadak Lan-cu menutul kaki terus
melompat naik, tiba-tiba dengan gerakan 'Hui-niau-tau-lim'
atau burung terbang menyusur rimba dari atas udara
pedangnya terus menikam.
Lekas Ciau-lam mengegos, habis itu secepat kilat ia balas
membabat kedua kaki si gadis, tipu serangan ini adalah salah
satu tipu mematikan Thian-san-kiam-hoat yang lihai, ia
menduga tubuh si gadis yang terapung itu pasti tak sanggup
menghindarkan diri. Siapa tahu justru di atas udara itulah Lancu
telah mengunjuk kegesitannya, tahu-tahu orang bersama
pedangnya berputar hingga merupakan suatu lingkaran sinar,
menyusul mana dengan tipu 'Pek-hong-koan-jit' atau pelangi
putih menembus sinar matahari, kembali ia menikam pula ke
bawah. Keruan saja Ciau-lam bertambah kaget, sungguh tak
diduganya si gadis ini bisa memainkan 'Tui-hong-kiam-hoat'
yang lihai dari ilmu pedang Thian-san itu dengan begitu
bagus, maka lekas ia melompat pergi menghindarkan diri,
sedang Lan-cu sudah melayang turun juga, pedangnya diputar
dan kembali mereka bertempur sengit pula.
Sementara itu Ie Lan-cu sudah mulai terbiasa di tempat
gelap, pula dari pancaran sinar pedang yang berkilau ia bisa
mengincar baik-baik tubuh musuh dan merangsek dengan
murka Karena serangannya yang cepat lagi lihai itu, Coh Ciau-lam
terpaksa harus cepat melawan cepat, hingga kedua
pedangnya itu sambar-menyambar di tempat gelap dengan
sinar tajam yang berhamburan bagai hujan salju, nyata
pertarungan seru ini tiada ubahnya seperti dilakukan di siang
hari. Dan karena mata Coh Ciau-lam sudah buta sebelah karena
kena ludah Leng Bwe-hong tempo hari, maka akhirnya ia
menjadi silau dan tak jelas lagi melihat musuh, dari gusar ia
pun menjadi gugup maka kembali ia membentak lagi, "Lan-cu,
apa benar-benar kau mau mengadu jiwa?"
Tapi si gadis masih tidak membuka suara, hanya
pedangnya menjawab dengan serangan-serangan yang
terlebih gencar.
"Hm, apa kaukira aku takut padamu?" akhirnya Ciau-lam
menjadi nekad juga Segera ilmu pedangnya berubah, ia
mengeluarkan 'Si-mi-kiam-hoat' dari Thian-san yang paling
susah diraba itu, menjaga sembari balas menyerang, selalu
mengincar senjata Ie Lan-cu.
Maka sesudah 20-30 jurus lagi, kembali tangan si gadis
tergetar, pedangnya saling bentur.
Pedang wasiat 'Toan-giok-kiam' yang dipakai Lan-cu dan
'Yu-liong-kiam' milik Coh Ciau-lam itu sama-sama adalah
senjata buatan Hui-bing Siansu yang digemblengnya dengan
sari baja k wali tas senjata sama maka ketika saling bentur
tiada satupun yang rusak, sebaliknya karena Lan-cu adalah
wanita, dengan sendirinya tenaganya tak bisa melawan Coh
Ciau-lam. Setelah sekali gebrak Ciau-lam mendapat hati, segera saja
pedangnya berkelebat terus menusuk pula ke muka si gadis.
Tapi Lan-cu tidak kalah gesitnya dengan enteng saja ia
melesat ke samping kanan Ciau-lam, lalu tipu serangannya
berubah mendadak, pedangnya tiba-tiba memotong ke atas
mengincar lengan musuh.
Namun betapa kejinya Ciau-lam, berkat tenaganya yang
lebih besar dan lebih ulet, ia bisa menggunakan kesempatan
waktu ujung senjata si gadis hampir menempel bajunya
mendadak ia menubruk maju malah dengan gerakan 'Wankiong-
sia-hou' atau menarik busur memanah harimau, sekali
bergerak dua serangan, pedangnya membarengi menikam dan
telapak tangan yang lain menghantam.
Karena senjata Lan-cu sudah telanjur diulur ke depan,
untuk menarik kembali menangkis tak keburu lagi, diam-diam
gadis ini kerepotan juga, baiknya dalam sekejap itu ia bisa
mengeluarkan ilmu pedang ciptaan Pek-hoat Mo-li, mendadak
ujung pedang pendeknya menegak ke atas dan sedikit tangan
memutar, tahu-tahu ia pun menikam ke hulu hati Ciau-lam
lebih dulu. $96 897 Karena terkejut oleh serangan lihai ini, lekas Ciau-lam
mendoyongke belakang tenis melompat ke samping. Dalam
hati ia menjadi lebih'terkejut dan ragu, sebab gerak tipu
serangan Lan-cu barusan ini tidak pernah dikenalnya dalam
Thian-san-kiam-hoat, tapi ternyata bisa begitu lihai.
Tapi pada waktu Lan-cu belum berganti napas, tiba-tiba alis
Ciau-lam menegak dan pedangnya kembali diputar kencang
pula hingga membawa suara menderu, masih tetap
dimainkannya tipu serangan Si-mi-kiam-hoat yang hebat dan
rnerangsek terus secara sengit.
Harus diketahui Si-mi-kiam-hoat yang dimainkan itu adalah
ciptaan Hui-bing Siansu yang paling dibanggakan dan khusus
dipakai untuk melawan orang yang berkepandaian sepandan.
Tadi karena Ciau-lam terlalu terburu napsu hingga ia sendiri
beberapa kali hampir kecundang, tapi kini ia dengan hati-hati
menempur pula, meski Lan-cu mencoba beberapa serangan
lihai dari ilmu pedang Pek-hoat Mo-li, namun sedikitpun ia tak
mampu menembusnya lagi.
"Kau adalah anak murid Thian-san, ilmu pedang perguruan
sendiri tidak dikembangkan, sebaliknya mempelajari
kepandaian liar, sungguh tak tahu malu, tidak lekas kau
meletakkan senjata menyerah saja!" demikian kembali Coh
Ciau-lam membentak. Dan dalam sekejap ia melontarkan
beberapa kali serangan juga.
Ilmu pedang ciptaan Pek-hoat Mo-li itu paling tepat dipakai
untuk menyerang secara mendadak, tapi kalau soal kebagusan
masih kalah dibanding Thian-san-kiam-hoat Dan karena tak
sempat berganti tipu serangan, maka senjata Lan-cu kembali
terbentur lagi oleh pedang Coh Ciau-lam hingga tergetar
mundur pula beberapa tindak.
''Kerxmakanku yang baik, apa kau masih belum mau
mengaku kalah?" teriak Ciau-lam lagi mengejek.
"Bangsat! Nih, boleh kau belajar kenal ilmu pedang
perguruan kita yang sesungguhnya!" sahut Lan-cu mendadak
dengan dingin. Habis itu, ilmu pedang Thian-san yang baru saja diyakinkannya
itu lantas dikeluarkan dengan cepat dan penuh gerak
perubahan yang susah diraba.
Sementara ini Lan-cu sudah mengetahui dimana letak
keunggulan pihak sendiri dan tempat kelemahan musuh,
sedangkan ilmu pedang perguruan sendiri yang diyakininya ini
makin dimainkan makin lancar juga, maka ia menjadi lebih
tenang dan sabar, ia tak takut lagi akan kelicikan Ciau-lam dan
tenaganya yang lebih besar. Ia memainkan pedangnya begitu
hebat tiada taranya untuk menutup kelemahannya dalam hal
tenaga. Karena itu Ciau-lam tak dapat membentur senjatanya
lagi hingga terpaksa harus bertahan mati-matian.
Sebaliknya makin lama permainan ilmu pedang le Lan-cu
semakin kencang dan serangannya tidak pernah berhenti serta
penuh dengan bahaya. Melihat betapa hebatnya itu, mau tak
mau Ciau-lam menarik napas dingin dan berulang-ulang
terdesak mundur.
"Nah, inilah ilmu pedang perguruan sendiri yang
sesungguhnya, sekarang kau paham tidak?" bentak Lan-cu
kemudian mengejek.
Mendongkol tidak kepalang Coh Ciau-lam bercampur gusar,
tapi ia tak berani menjawab, hanya berusaha menjaga diri
dengan rapat dan mengandalkan keuletannya itu untuk
bertahan. Namun Lan-cu kembali tertawa dingin, pada saat tertentu
secara tak sengaja ia menyelingi pula dengan tipu serangan
mematikan dari ilmu pedang ajaran Pek-hoat Mo-li, dengan
dua macan ilmu pedangnya yang dikombinasikan ini, kecuali
masih kurang ulet, hakikatnya kepandaiannya sudah tidak
selisih jauh dengan Leng Bwe-hong.
Sudah tentu Coh Ciau-lam tak mampu melawannya lagi,
dalam hati diam-diam ia berpikir jalan paling selamat ialah
angkat langkah seribu alias kabur!
Karena itu mendadak ia pura-pura menerjang maju,
tampaknya menyerang, tapi sebenarnya untuk kabur.
Tapi sekonyong-konyong Lan-cu membentak nyaring, sekali
pedangnya berputar, tahu-tahu sudah menyambar ke depan.
Di bawah sambaran angin pedang itu segera terdengar jeritan
Coh Ciau-lam yang keras, lalu orangnya berikut pedangnya
tiba-tiba mencelat ke atas setinggi lebih dua tombak, dengan
gerakan 'Hun-li-hoan-sin' atau membalik tubuh di atas awan,
bagai burung layang-layang, cepat Ciau-lam melesat pergi.
Siapa duga mendadak Lan-cu pun mengenjot tubuh bagai
anak panah terlepas dari busurnya, secepat kilat ia menyusul
di belakang musuh terus menusuk dan menghantam pula.
Sesungguhnya ilmu silat Coh Ciau-lam memang sangat
hebat, meski berulang kali sudah kecundang, tapi ia masih
balas menyerang, belum tubuhnya turun ke tanah, pedangnya
tiba-tiba membalik hingga tusukan Lan-cu itu kena ditangkis.
Namun demikian toh iganya tetap terhantam juga oleh telapak
tangan si gadis.
Pukulan Lan-cu itu sebenarnya meminjam gaya melesat
Coh Ciau-lam tadi, maka dengan gerak tipu 'Sun-cui-tui-ciu*
atau mendorong perahu menurut arus air, dengan meminjam
tenaga lawan untuk menghantam lawan, maka tanpa kuasa
lagi tubuh Ciau-lam kena dihantam mencelat pergi terus
terbanting ke tanah dengan keras.
Baiknya Ciau-lam bukan sembarangan jago silat, waktu
jatuh ia bisa menahan dengan kaki dan tangannya, terus
membal lagi ke atas dengan gerakan 'Kim-sian-hi-long' atau
katak emas bermain ombak, orangnya terus melompat
bangun. Lan-cu memburu maju terus menikam pula, namun lagi-lagi
kena ditangkis oleh Coh Ciau-lam.
Karena dua kali tertangkis itu hingga senjata kedua pihak
terbentur, tapi aneh, tangan Lan-cu tidak merasa tergetar lagi
seperti tadi. Di antara sinar pedang yang kemilauan itu tibatiba
dilihatnya lengan baju Ciau-lam penuh noda darah.
Kiranya bahu kanannya sudah terluka dan tangan kiripun kena
tertabas putus dua jarinya, tapi Ie Lan-cu malah belum tahu.
Dan sesudah terluka Coh Ciau-lam masih dicecar terus,
keruan ia menjadi kalap pula, kembali ia menempur orang
mati-matian dengan tipu-tipu keji. Karena itu Ie Lan-cu tak
berani juga terlalu mendesak.
Di lain pihak Ciau-lam seperti banteng ketaton telah
memutar pedangnya sambil membentak dan berteriak kalap.
Sebaliknya Lan-cu melayaninya dengan sabar dan penuh
perhatian, dalam kegelapan itu ia mengincar baik-baik gerak
tubuh musuh hingga kembali 50-60 jurus berlangsung pula.
Lambat laun tenaga Ciau-lam mulai habis, segera
kesempatan itu digunakan Ie Lan-cu untuk melontarkan
serangan balasan dengan tipu ajaran Pek-hoat Mo-li yang tak
kenal ampun itu, ia menusuk ke kiri dan ke kanan, membabat
ke atas dan ke bawah, hanya sekejap saja kembali Coh Ciaulam
terluka lagi beberapa tempat.
Saking sakitnya Coh Ciau-lam menggeram sengit berulangulang,
lagi-lagi ia menubruk serabutan mengadu jiwa, tapi
segesit kucing Lan-cu bisa berkelit, kemana Ciau-lam
menubruk selalu dielakkannya dengan enteng saja
Karena itu Ciau-lam menjadi gusar dan gugup juga
kepalanya terasa pula mulai pening kacau, maka lebih-lebih ia
tak mampu menyandak si gadis.
Selang sejenak pula, keadaan Coh Ciau-lam sudah sangat
payah, sebaliknya Lan-cu lantas mempercepat pedangnya
mencecar lebih hebat. Pada saat lain tiba-tiba terdengarlah
suara jeritan Coh Ciau-lam, ternyata lengan kirinya sudah
tertabas kutung oleh senjata si gadis, dan orangnya pun
terguling. Dalam keadaan demikian itu, mendadak pedang Yu-liongkiam
lantas diangkat terbalik terus menikam ke hulu hati
sendiri sembari berteriak seram, "Laki-laki sejati sekalipun
mati tak nanti mau dihina Kau ingin membunuhku, jangan kau
harap!" Nyata Coh Ciau-lam yang sombong dan tinggi hati itu
memandang semua orang tiada yang bisa menandinginya, tak
terduga kini bisa kalah di bawah tangan angkatan mudanya, ia
insyaf pasti akan terbinasa, tapi sampai saat ajalnya ia masih
mempertahankan pamornya tak mau mengaku kalah dan
terima membunuh diri tak mau insyaf, sungguh kasihan dan
menggelikan juga.
Betapapun hati Lan-cu adalah hati wanita, maka
menyaksikan keadaan Ciau-lam itu, ia menjadi tak tega.
"Pengkhianat, pengkhianat, bila siang-siang kau bisa insyaf
serta bisa membeda-bedakan antara yang benar dan yang
salah, tidak nanti kau berakhir seperti ini," demikian katanya
dengan menghela napas.
Lalu Yu-liong-kiam milik Coh Ciau-lam itu lantas dicabut
dan dimasukkan ke sarungnya, lalu diselipkan di tali
pinggangnya Kemudian ia memasang kuping mendengarkan,
nyata di luar sunyi sepi tiada sesuatu suara, waktu ia
memandang ke depan, jalan lorong yang panjang gelap itu
entah menembus kemana. Namun begitu ia tak peduli, ia
terus berjalan ke depan.
Mengenai Kui Tiong-bing tadi, ketika Lan-cu menguber Coh
Ciau-lam dan ikut masuk ke dalam pintu rahasia, pemuda ini
dirintangi beberapa jago pengawal hingga ketinggalan oleh
Coh Ciau-lam dan Ie Lan-cu. Ia menjadi gusar sekali, ketika
pedang wasiat 'Theng-kau-pokiam' diobat-abitkan cepat,
sekejap saja beberapa jago pengawal itu sudah kena


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibunuhnya semua.
Waktu kemudian Pho Jing-cu dan para pahlawan menyusul
datang, namun Ie Lan-cu sudah tak kelihatan.
"Ia mengejar Coh Ciau-lam seorang diri," demikian tutur
Tiong-bing. "Ai, anak dara ini sungguh terlalu gegabah," kata Jing-cu
kuatir. "Marilah, asal kita membunuh habis jago-jago pengawal
musuh, kita pasti akan menemukannya'" sahut Tiong-bing.
Tak terduga mendadak Jing-cu menahannya lalu dengan
suara keras ia berteriak terhadap kawanan bayangkara itu,
"Dengarlah kalian, kita sama-sama orang Han, kenapa harus
berkorban untuk bangsa asing, sekarang kami memberi jalan
padamu, lekas kalian melarikan diri saja!"
Semula kawanan bayangkara itu masih ragu-ragu, tapi bila
mengingat pemimpin mereka, Coh Ciau-lam sendiri sudah
kabur, pula istana Potala sudah terjilat api, kalau mereka tidak
lari, dapat dipastikan akan terkubur dalam lautan api. Karena
itu mereka pun tak memikirkan pertempuran lagi, paling perlu
jiwa selamat, maka begitu berteriak, beramai-ramai mereka
lantas lari tersebar.
"Marilah sekarang kita membagi diri dalam beberapa
kelompok dan sebelum api menjilat lebih luas, lekas kita
menemukan kembali Ie Lan-cu," demikian kata Pho Jing-cu.
"Dan tidak peduli ketemu atau tidak, sebelum terang tanah
nanti kita harus berkumpul di luar istana."
Meski Yu-hong sudah mendengar berita dari Lamma bahwa
I* n g Bwe-hong sudah selamat tertolong, namun sebelum
bertemu betapapun ia masih berkuatir. Maka rombongan yang
terdiri dari Be Hong, Ciu Jing dan Thio Hua-ciau beramai-ramai
lantas menerjang ke pusat istana yang ruwet itu.
Setelah berjalan secara berliku-liku agak lama mendadak
Be Hong berteriak, "Nah, itulah kamar rahasia dimana Lengtayhiap
dikurung, marilah lekas kita masuk melihatnya!"
Kamar tahanan itu ternyata gelap gulita dan pintu
terpentang lebar, waktu Yu-hong ikut Be Hong menyelinap
masuk, tiba-tiba dari dalam ada orang menegur, "Hai, apakah
Leng Bwe-hong dapat ditangkap kembali?"
Tanpa pikir segera Yu-hong menerjang masuk dengan
pedang terhunus, tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu benda,
berbareng itu dari depan angin keras menyambar. Lekas Yuhong
mengangkat senjata menangkis, tapi masih tergetar
mundur beberapa tindak, keruan saja luar biasa kagetnya.
Dalam pada itu Be Hong telah memutar toyanya yang
bertekuk tiga itu terus memapak maju, saat itu juga Yu-hong
sudah bisa melepaskan diri dari serangan orang, dari sorot api
yang menembus lewat sela-sela jendela itu dapat dilihatnya di
atas lantai penuh darah, di antara darah yang berlumuran itu
ternyata menggeletak seorang yang dikenalinya sebagai Han
Ci-pang, meski pada mukanya terdapat dua luka bekas
goresan golok dan dadanya ternyata berlubang oleh tusukan
senjata, dari luka inilah darah masih mancur dengan derasnya
Seketika Yu-hong hampir jatuh pingsan, ia jadi teringat
pada apa yang dikatakan Han Ci-pang tempo hari, maka
pahamlah ia kini. Nyata Han Ci-pang sudah rela
mengorbankan jiwa sendiri untuk keselamatan Leng Bwehong.
Sesaat itu pedih luar biasa Lauw Yu-hong, hendak
menangis seakan tiada air mata lagi. "O, semuanya karena
aku hingga kalian yang berkorban," demikian ia menggumam
sendiri. Dalam pada itu tiba-tiba didengarnya suara jeritan ngeri di
samping, menyusul itu Thio Hua-ciau dan Ciu Jing telah
membentak gusar, waktu ia menoleh, tahu-tahu Be Hong
sudah menggeletak terbinasa.
Kiranya setelah Seng Thian-ting kena ditotok jalan
darahnya oleh Han Ci-pang, berkat ilmu silatnya yang sudah
tinggi dan Lwekangnya yang hebat, diam-diam ia mengumpulkan
tenaga dan melancarkan darahnya kembali, selebatnya satu
jam, pelahan ia bisa bergerak bebas lagi. Hanya belum
diketahuinya bahwa para pahlawan sudah menyerbu ke dalam
istana, dan ketika ia baru berbangkit kembali, mendadak
dilihatnya Lauw Yu-hong bersama Be Hong menyerbu ke
dalam kamar tahanan itu, maka secepat kilat ia mendahului
menyerang. Sesudah Be Hong ikut memapak maju, meski ia tidak
lemah, tapi kalau dibanding Seng Thian-ting terang masih
selisih jauh, maka tiada seberapa jurus, ketika Thian-ting
menggunakan tipu 'Lik-ni Hoa-san' atau sekuat tenaga
membelah gunung Hoa, sekali potlot bajanya menghantam,
seketika batok kepala Be Hong hancur remuk.
Dari samping cepat Hua-Ciau memutar tongkat 'Hang-liongpo-
tiang' atau tongkat penakluk naga, hadiah Leng Bwe-hong
tempo hari. la hendak menolong, sayang sudah terlambat,
Seng Thian-ting dapat menangkis dengan potlot bajanya yang
lain hingga Hua-Ciau sendiri merasa tangannya jarem pegal,
sebaliknya Seng Thian-ting juga merasa senjata lawan keras
luar biasa dan ia tertegun sejenak.
Dan pada saat itulah Lauw Yu-hong dan Ciu Jing lantas
menubruk maju dari kedua sayap.
Thian-ting adalah jago kelas terkemuka dari bayangkara
kerajaan, untuk menempur keroyokan tiga orang dengan
sendirinya masih berlebihan, tapi api yang berkobar dalam
istana itu kini sudah menjilat tinggi, pula para anggota Thiante-
hwe yang dibawa Lauw Yu-hong itu kini beramai-ramai
sudah membanjir datang juga.
Ketika Thian-ting melihat orang yang datang itu semuanya
adalah musuh, sebaliknya para jago bayangkara satu pun tak
kelihatan lagi, keruan tidak kepalang terkejutnya, cepat ia
mengayun sepasang potlot bajanya dan menerjang keluar
terus berlari secepatnya.
Di antara ketiga orang lawannya itu, ilmu silat Lauw Yuhong
paling tinggi, maka tanpa pikir lagi segera ia
mengeluarkan ilmu mengentengkan tubuhnya terus
mengudak. ?"l-auw-toaci, musuh yang sudah kalah tak perlu dikejar
lagi!" Hua-Ciau coba meneriaki kawannya itu.
Namun Yu-hong menyangka Seng Thian-ting adalah
pembunuh Han Ci-pang, ia sudah terlalu gusar dan benci,
maka tak terpikir olehnya bahwa ilmu silat Seng Thian-ting
jauh lebih tinggi daripadanya, yang diingat hanya menuntut
balas bagi kawannya, terhadap teriakan Hua-Ciau itu
dianggapnya sepi saja.
Dan setelah sejenak udak-udakan, tiba-tiba Thian-ting
mengetuk sekali pada suatu dinding dan tiba-tiba sebuah pintu
rahasia terbuka, orangnya terus menyelinap masuk. Tapi
secepat kilat Yu-hong ikut menyusul masuk juga tanpa pikir.
Mendadak Thian-ting tertawa terbahak-bahak, ketika ia
memutar alat rahasianya, pintu rahasia tadi tahu-tahu sudah
menutup kembali.
Nyata tujuannya memang memancing agar Lauw Yu-hong
ikut mengejar ke dalam, dengan begitu ia bisa menawannya
dengan mudah sebagai jaminan nanti.
Di tempat gelap itu segera saja Thian-ting melontarkan
serangan berbahaya, waktu Yu-hong menangkis dengan
gerakan 'Seng-liong-in-hong' atau naik burung Hong
memancing naga, ia menyampuk potlot baja orang ke
samping, tak terduga potlot baja Thian-ting yang lain tahutahu
ikut menyambar, terus dipuntir bagai gunting sambil
membentak, "Lepas!"
Tanpa ampun lagi Yu-hong merasa tangannya pegal panas
dan pedangnya tak tertahan jatuh ke tanah, lekas ia melompat
ke samping. Namun potlot Thian-ting tahu-tahu menotok ke depan lagi,
dalam kegelapan itu ternyata ia masih sanggup mengincar
tempat jalan darah dengan jitu.
Mendadak Yu-hong mengayun tangannya, tahu-tahu selarik
sinar menyambar terus meledak di jalanan lorong itu. Karena
itu Thian-ting kaget, cepat ia melompat menghindarkan diri.
Nyata senjata rahasia Yu-hong, 'Coa-yam-ci' atau panah
berapi yang terbikin dari belerang, asal membentur benda
lantas terbakar, dimana ada luka segera racunnya meresap
masuk, maka lihai luar biasa. Pula di jalan lorong yang sempit
itu, untuk berkelit sesungguhnya rada sulit, meski ilmu silat
Thian-ting sangat tinggi, mau tak mau ia pun rada jeri.
\ Begitulah maka di jalanan lorong itu kedua orang ini terjadi
lagi kejar-mengejar, bila sudah terdesak, segera Yu-hong
memberi musuh sebuah panah berapinya, tapi selalu Thianting
bisa menghindarkan diri, menangkisnya atau menyuapkan
apinya, dan orangnya masih terus mengudak tanpa berhenti.
Karena itu makin lama makin jauh mereka memasuki jalan
lorong di bawah tanah itu. Sekonyong-konyong Yu-hong
merasa senjata rahasianya sudah habis terpakai, ia menjadi
gugup. Sementara itu Thian-ting sudah menyusul sampai di
belakangnya. "Awas senjata!" mendadak ia membentak sambil
menggerakkan tangannya.
Dengan sendirinya Thian-ting berkelit ke samping, tapi
sekali ini tak dilihatnya ada sambaran api, mula-mula ia
tertegun tapi segera, ia bergelak tertawa "Hahaha, Lauw Yuhong,
ada apalagi permainanmu" Tidakkah lebih baik kau
lekas menyerah saja!"
Tak terduga di tempat gelap itu tiba-tiba ada suara orang
bertanya "Hai, di sana apakah kau, Lauw-toaci?"
Waktu itu Thian-ting sudah melontarkan serangan lagi
dengan potlot bajanya ke punggung Yu-hong, tapi mendadak
tangannya tergetar, suara "trang" terdengar, senjatanya tahutahu
tergoncang pergi, nyata tertangkis oleh orang yang
bersuara itu dengan pedang yang kelihatan bersinar
gemilapan, dalam kegelapan sorot mata orang pun tertampak
berkilau, agaknya seperti seorang gadis.
"He, apakah kau, adik Lan-cu?" seru Yu-hong sangat
girang. Dengan ilmu silat Thian-ting yang tinggi, di tempat gelap ia
pun bisa melihat cukup jelas, maka kini ia pun dapat
mengenali siapa gerangan orang itu. "Eh, berani sekali kau
penyamun wanita ini! Apa kau ingin dipenjarakan lagi?"
demikian bentaknya segera.
"Nyata orang itu memang benar le Lan-cu adanya. Ketika
mendadak Thian-ting menubruk maju dan potlot sebelah kiri
menotok ke mukanya, namun sedikit mengegos Lan-cu sudah
menghindarkan serangan itu.
Tapi serangan Thian-ting ini hanya pura-pura saja,
menyusul potlot sebelah kanan sudah menjojoh ke perut si
gadis di tempat 'Hun-tay-hiat* yang berbahaya.
Tak terduga sedikit Lan-cu berkelit dan pedang pendeknya
tahu-tahu menyambar juga dari samping mengarah bahu
orang, berbareng memotong pergelangan tangan, ini adalah
salah satu tipu serangan paling keji dari ilmu pedang tunggal
ciptaan Pek-hoat Mo-li.
Karena itu tiba-tiba Thian-ting merasa hawa dingin
menyambar, ia terkejut, lekas tubuhnya mendoyong ke
belakang sambil kedua potlotnya memutar ke atas buat
menangkis, dengan susah payah barulah ia dapat
mengelakkan serangan mematikan itu.
"Lauw-toaci, apakah kau terluka?" tanya Lan-cu sembari
tetap melontarkan serangan.
"Tidak," sahut Yu-hong. "Orang ini adalah pembunuh
pamanmu Han-sioksiok, jangan kaulepaskan dia."
Mendengar itu hati Lan-cu menjadi bertambah gemas dan
serangannya bertambah gencar. Mendadak dengan sekali
tusukan ia mendesak mundur Seng Thian-ting, lalu pedang 'Yu
liong-kiam' yang dirampasnya dari Coh Ciau-lam ia lemparkan
kepada Lauw Yu-hong sambil berkata,-"Ini adalah 'Yu-liongkiam'
punya Coh Ciau-lam itu, ambil dan pakailah!"
"Eh, ya, dan bagaimana dengan keparat Coh Ciau-lam itu?"
tanya Yu-hong cepat.
"Sudah kubunuh!" sahut Lan-cu secara tawar.
Ia berkata dengan tenang sekali dan sewajarnya saja
seakan apa yang sudah terjadi itu bukanlah sesuatu yang luar
biasa. Tapi bagi pendengaran Seng Thian-ting, hal itu
dirasakannya bagai bunyi guntur di siang cerah. Ketika ia bisa
menenangkan diri, dalam hati menjadi ragu-ragu. Pikirnya,
"Meski ilmu pedang anak dara ini memang hebat, tapi
masakah Coh Ciau-lam dapat dibunuh olehnya bahkan pedang
wasiatnya justru kena dirampas?"
Di lain pihak, sembari berbicara tadi, sama sekali Ie Lan-cu
tidak menjadi mandek, ia masih melontarkan serangan terus,
mendadak dengan gerakan 'Yao-cu-hoan-sin' atau burung
elang membalik tubuh, lalu kedua tangannya d i pentang
dengan gaya 996 907 'Kim-tiau-tian-ih' atau garuda emas pentang sayap,
sekonyong-konyong pedangnya membabat ke pinggang
musuh dengan kecepatan luar biasa.
Namun Seng rhian-ting yang sudah kolotan dengan
pengalaman segala pertempuran besar, cepat kedua senjata
potlot bajanya terus menolak ke depan, segera potlot sebelah
kiri menegak ke bawah buat menangkis babatan orang sedang
potlot sebelah kiri terus mengarah ke depan sambil orangnya
melangkah maju, dengan gerak tipu 'Sian-jin-ki-lo' atau sang
dewata menunjuk jalan, tahu-tahu ia mengincar jalan darah di
dada si gadis, meski dalam keadaan gelap namun kejituannya
ternyata tidak berkurang.
Tapi sebelah tangan Ie Lan-cu tiba-tiba menotok ke pergelangan
tangan lawan yang diulur itu, berbareng itu
pedangnya diayun balik cepat terus memotong lengan orang.
Baiknya Seng Thian-ting cukup licin, begitu diulur segera
senjatanya ditarik kembali lagi, menyusul tipu serangannya
berubah cepat, kedua senjatanya sekaligus menjojoh ke iga si
gadis di tempat 'Thay-it-hiat'.
Tipu serangan itu datangnya tiba-tiba, susah diraba dan
keji luar biasa. Tak terduga ilmu pedang Lan-cu lebih bagus
lagi dari itu, kakinya sama sekali tak bergerak, hanya
tubuhnya sedikit mengkeret hingga dengan tepat bisa
mengelakkan totokan potlot baja orang, dan pada waktu
musuh belum sempat melontarkan serangan lain, mendadak ia


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentak, "Kena!" Tahu-tahu sinar pedangnya gemerlapan
secepat kilat balas menusuk muka orang.
Lekas kedua potlot Thian-ting menyampuk ke atas, namun
segera Lan-cu menarik pedangnya ke samping, bila kemudian
sinar tajam berkelebat lagi, mendadak pedangnya menyambar
lagi dari atas hendak memotong bahu kanan orang.
Karena kedua potlotnya tadi sudah diangkat dan seketika
susah untuk ditarik kembali buat menangkis lagi, terpaksa
Thian-ting harus melakukan gerak tipu berbahaya juga, berkat
keuletan latihannya yang berpuluh tahun, ia tidak mundur
juga tidak berkelit, tapi kedua senjatanya bergerak cepat, ia
membarengi menyerang untuk membela diri, tiba-tiba ia
menotok ke depan, potlot yang kiri mengarah 'Ki-bun-hiat' dan
potlot kanan mengincar 'Cin-pek-hiat' di pusar le Lan-cu
dengan kecepatan luar biasa.
Karena tidak sudi menderita luka bersama musuh, terpaksa
Lan-cu menggeser tubuh dan melangkah ke samping. Dan
kesempatan itu digunakan Thian-ting untuk menarik kembali
senjatanya dan orangnya sekonyong-konyong melompat pergi
juga jauh-jauh, selagi ia bermaksud angkat langkah seribu
alias kabur, mendadak dari samping sinar senjata menyambar
lagi. Lekas Thian-ting mengangkat potlotnya menangkis,
namun karena tak menduga hingga tenaganya jauh
berkurang, maka terdengarlah suara "trang" yang keras
disertai letikan api, ujung potlotnya ternyata sudah tertabas
putus, sebaliknya penyerang itupun terus jatuh terduduk.
"Lauw-toaci, biarkan aku saja yang membereskan keparat
ini!" teriak Lan-cu lekas sambil melayang maju. Nyata si
penyerang tadi adalah Lauw Yu-hong.
Dan karena sedikit merandeknya itu, dengan cepat Lan-cu
sudah menyelinap ke tengah-tengah antara Lauw Yu-hong
dan Seng Thian-ting, ketika pedangnya diputar, segera ia
mencegat lagi jalan lari Thian-ting.
Serangan Lauw Yu-hong tadi menggunakan sepenuh
tenaganya, tak terduga tidak bisa mengenai musuh,
sebaliknya ia sendiri tergetar jatuh, maka ia tak berani
sembrono lagi, terpaksa ia menonton saja dengan pedang
terhunus. Di lain pihak sesudah ujung potlotnya tertabas putus,
segera Thian-ting mengenali pedang yang digunakan Lauw
Yu-hong itu memang betul adalah 'Yu-liong-kiam' milik Coh
Ciau-lam. Keruan saja seketika kepalanya serasa dikemplang
hingga sukmanya hampir terbang ke awang-awang, sebab apa
yang dikatakan le Lan-cu bahwa Coh Ciau-lam sudah
dibunuhnya tampaknya tidaklah palsu.
Karena itu ia menjadi gugup, kedua potlot bajanya diobatabitkan
serabutan sambil menyeruduk kian kemari dengan
maksud mencari jalan buat menyelamatkan diri.
Namun justru di sinilah letak nasibnya, kalau ia tidak gugup
hendak lari mungkin masih bisa menempur Lan-cu sampai
lama, tapi karena gugupnya sekarang, semangatnya menjadi
hilang cari pikirannya kacau, tentu saja ia tak dapat lagi
menahan serangan Thian-san-kiam-hoat si gadis yang hebat
itu. Maka sesudah 20-30 jurus lagi, kembali Lan-cu
menggertak, "Kena!" Dan begitu pedangnya menyambar,
betul saja bawah bahu Thian-ting tertusuk sekali hingga
orangnya terhuyung-huyung sambil mundur terus.
Di samping lain tentu saja Yu-hong tidak mau tinggal diam
melihat ada kesempatan, cepat pedangnya membabat juga.
Dan karena senjata Thian-ting sedang dipakai melayani Ie
Lan-cu, tak mampu ia menangkis serangan Yu-hong itu, tanpa
ampun lagi sebelah lengannya lantas tertabas kutung oleh
pedang orang, ketika Yu-hong menambahi sekali tusukan,
maka melayanglah nyawa Seng Thian-ting.
"Baiklah, sekarang sakit hati Han-toako dapat terbalas,
marilah kita mencari jalan buat keluar," kata Yu-hong
kemudian. Namun jalan lorong di bawah tanah itu terlalu panjang dan
gelap gulita entah menembus kemana, meski sudah lama
mereka berjalan masih belum didapatkan jalan keluarnya.
"Ssssst, ada orang mendatang," tiba-tiba Lan-cu membisiki
kawannya sambil menarik Yu-hong mengumpet ke suatu
pojokan yang gelap.
Tak lama kemudian, betul juga dari depan sana ada suara
tindakan orang yang sedang mendatangi.
"Awas, kita lihat yang betul, bila kaum bayangkara musuh
yang datang, segera kita persen mereka sekali tusukan," kata
Lan-cu pada Yu-hong.
Sementara itu bayangan orang dari depan sana sudah
makin dekat. Sudah cukup lama Lan-cu berada di lorong yang
gelap itu, mata mereka sudah rada terbiasa memandang di
tempat gelap, maka begitu orang sudah dekat, mendadak
mereka melompat keluar sambil membentak, "Apakah
kedatanganmu ini adalah perintah Buddha Hidup?"
Bayangan orang itu agaknya terkaget oleh bentakan
mendadak itu, cepat ia pun menyalakan api.
Waktu Yu-hong bisa menegasi, nyata orang itu memang
seorang Lamma bahkan dikenalinya sebagai salah seorang
Lamma yang tempo dulu pernah ikut Congtat Wancin
mengantar 'Sik-li-ci' itu.
Sebaliknya Lamma itu demi melihat kedua gadis ini, dari
kaget tadi ia menjadi girang, "Eh, kiranya kedua Likisu (wanita
budiman) masih mengenalku?"
Yu-hong mengangguk tanda membenarkan, dan tiba-tiba
pikirannya tergerak pula, ia menjadi teringat pada apa yang
dikatakan Lamma berkasa merah di saat sebelum ajalnya itu.
Maka cepat ia bertanya "Apakah kalian yang telah berhasil
menolong keluar Leng-tayhiap?"
"Ya tapi semua itu adalah jasa Han-tayhiap," sahut Lamma
itu dengan muka muram.
"Dan dimanakah Leng-sioksiok sekarang?" tanya Lan-cu
cepat. Tapi Lamma itu tidak lantas menjawab, ia menyuapkan
apinya lalu dengan suara pelahan ia mengajak, "Lekas kalian
ikut padaku!"
Kiranya sesudah Leng Bwe-hong dapat dibawa keluar
istana Potala oleh Congtat Wancin dan disembunyikan di
dalam suatu kuil Lamma berdekatan, tidak lama lantas ia
melihat api berkobar di istana itu, dan karena menduga pasti
para pahlawan telah menyerbu ke dalam istana, padahal Leng
Bwe-hong sudah dapat ditolongnya keluar, maka diam-diam ia
berkuatir, lekas seorang Lamma kepercayaannya disuruh
masuk kembali untuk mencari kabar melalui jalan di bawah
tanah itu dan disuruh pula mencari Pho Jing-cu atau Lauw Yuhong
agar diajak menemui Leng Bwe-hong.
Leng Bwe-hong sendiri meski sudah tertolong keluar,
namun ia masih terus bungkam tanpa berkata dan tiada
tertawa ia hanya berkuatir atas diri Han Ci-pang saja
Nampak orang bermuka murung, Lamma besar menjadi
ikut tak enak. Selang agak lama, tiba-tiba Lamma besar
berkata "Lihatlah, Leng-tayhiap, siapakah itu yang datang."
Karena itu seketika Bwe-hong tersadar dari renungannya,
sementara itu suatu suara yang sudah sangat dikenalnya
menyapa "Terima kasih pada Thian yang maha murah Bok-ko
(engko Bok, nama kecil Leng Bwe-hong), kau betul-betul
sudah tertolong keluar."
"Dan bagaimana dengan Han-toak?"?" tanya Bwe-hong
segera dengan suara gemetar.
"Ia sudah tewas," sahut Yu-hong sedih.
Karena itu pelahan Bwe-hong terbangkit, badannya serasa
kejang kaku bagai kena cambukan.
Tentu saja Yu-hong terkejut, rasa suka-duka bercampuraduk
menyelimuti sanubarinya bagai benang bundet yang
susah dilepaskan., kepalanya serasa pening, ia tak tahu apa
yang harus dikatakannya.
"Leng-sioksiok, akhirnya kita menang!" tiba-tiba Lan-cu
masuk sambil berteriak girang.
Sebenarnya ia tinggal di luar sengaja membiarkan Lauw
Yu-hong bertemu dengan Leng Bwe-hong sendirian agar dua
sejoli bisa saling mengutarakan perasaan rindu mereka, tak
terduga di balik kerai ia melihat gelagat makin lama makin
runyam, maka lekas ia pun ikut masuk.
"Sioksiok," demikian katanya pula sambil memegang
kencang tangan Leng Bwe-hong, "Apakah kau masih ingat apa
yang pernah kaukatakan pada Hui-ang-kin" Adalah kau yang
telah membawa kami keluar dari lembah kesedihan dan untuk
mana senantiasa kami berterima kasih padamu. Manusia pada
akhirnya harus mati juga, ayahku sudah mati, ibuku pun
sudah mati, karena itu selama 20 tahun ini aku selalu hidup
dirundung rasa sedih, namun kini aku tak akan sedih pula.
Kematian ayahku sangat gilang-gemilang, tapi kematian Hansioksiok
terlebih gilang-gemilang. Di waktu ajal mereka sama
sekali tak perlu merasa malu oleh perbuatan selama hidupnya!
Dan aku sudah membunuh To Tok, sudah membunuh Coh
Ciau-lam pula, kupikir di alam baka pasti ayah akan bilang
juga aku adalah pu-terinya yang baik. Sedang kau selalu
memimpin bangsa Kazak berperang melawan musuh, kau
dapat pula menurunkan ilmu silatmu pada angkatan muda
yang akan datang, untuk itu aku pikir di alam baka Hansioksiok
tentu akan bilang juga kau ada-, lah sahabatnya yang
paling baik!"
Ya, pahlawan yang mana saja selama hidupnya pasti
pernah mengalami goncangan perasaan dan pernah juga
menghadapi detik-detik kelemahannya, tapi pahlawan sejati
dengan sangat cepat pasti akan bisa mengatasi segala
pukulan itu. Begitu pula dengan Leng Bwe-hong, karena kataTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kata le Lan-cu tadi, dengan cepat ia melonjat dan berkata,
"Ya, Lan-cu, tepat sekali apa yang kaukatakan!"
Habis itu ia berpaling dan Yu-hong dirangkulnya. "Kheng-ci
(enci Kheng, nama kecil Yu-hong), kini sudah waktunya kita
harus naik ke Thian-san untuk menikmati pemandangan
pegunungan bersalju itu," demikian dikatakannya pelahan.
Sementara itu cuaca sudah remang-remang di luar, fajar
sudah menyingsing.
Kembali bercerita mengenai para pahlawan yang terbagi
dalam berbagai kelompok menyerbu ke dalam istana, sebelum
fajar mereka pun sudah bisa bergabung kembali. Tapi bukan
saja Ie Lan-cu tak kelihatan kembali, bahkan Lauw Yu-hong
pun menghilang.
"Pasukan besar In Te berada di sekitar kita, tapi di malam
gelap mereka tak berani turun tangan, maka sebelum fajar
mendatang kita mesti menerjang keluar kota," demikian kata
Jing-cu. "Dan biar aku yang tinggal di sini untuk menjaga
segala kemungkinan, sedang mengenai tugas pimpinan
menerjang keluar kepungan musuh terpaksa harus diserahkan
kepada Li-kongcu saja."
"Aku pun biar tinggal di sini juga buat menunggu Lengtayhiap,"
ujar Tiong-bing.
"Jangan," sahut Jing-cu menggeleng kepala "Apa kau
sudah lupa, janjimu pada ketua Bu-tong-pay kalian, Hian-cin
Tojin?" "Kalau begitu biarlah aku saja yang tinggal buat menemani
Susiok," sela Hua-Ciau.
"Jika kau masih boleh juga," sahut Jing-cu tersenyum.
Lalu ia pun berpisah dengan rombongan Li Jiak-sim dan
melulu membawa Thio Hua-ciau bersembunyi di sebuah kuil
Larnma kecil. Bagi Li Jiak-sim yang pernah memimpin pasukan besar
ratusan ribu jiwa, sudah tentu ia berbakat mengatur tentara,
kini hanya tiga ribu prajurit saja telah dibaginya menjadi tiga
regu, regu pertama pura-pura menyerang pintu timur, regu
lain bersembunyi untuk membantu dan regu terakhir menjaga
dari belakang bila kekuatan induk musuh sudah dipancing ke
jurusan lain, segera regu belakang ini berubah menjadi regu
perintis untuk menyerbu ke pintu barat. Dan kalau pasukan
musuh mengejar, segera regu yang bersembunyi itu
menyerbu keluar. Dalam keadaan gelap, meski jumlah sedikit
bisa pura-pura berjumlah besar, ditambah semua prajurit
mereka adalah pilinan, karena tak mengerti kekuatan lawan
sesungguhnya, pula harus membagi sebagian kekuatannya
pergi memadamkan api yang berkobar di istana Potala tanpa
bisa berbuat banyak akhirnya pasukan Boan kena diserbu
prajurit Li Jiak-sim itu hingga bobol dan seluruhnya melarikan
diri keluar kota.
Pasukan yang dipimpin Jiak-sim ini semuanya gagah berani
dan kuda tunggangan mereka pun pilihan, setelah membobol
kepungan musuh, selama beberapa hari mereka mempercepat
perjalanan, akhirnya tiba sampai di tapal batas.
Tatkala itu sudah magrib, ketika Jiak-sim memandang jauh
dari suatu tanah tinggi, tiba-tiba dilihatnya asap dapur buyar
tak kelihatan, ia menjadi heran dan berkata, "Aneh, pasukan
besar musuh yang menduduki tapal batas entah mengapa
telah ditarik mundur semua?"
Karena itu dengan mudah saja mereka sudah bisa melintasi
daerah perbatasan itu dan tidak sampai sepuluh hari sudah
kembali di padang rumput Garsin, sepanjang jalan pun tak
pernah menemukan pasukan musuh. Sesudah mencari tahu,
akhirnya baru diketahui bahwa setelah pasukan Boan
menduduki beberapa kota besar di Sinkiang, oleh karena takut
hawa dingin di daerah terpencil ini, maka beberapa hari yang
lalu Khong-hi sudah menarik kembali pasukannya ke kota-raja.
Waktu Tiong-bing menghitung, nyata janjinya pada Hiancin
Totiang tempo hari sudah hampir tiba. Karena itu bersama
Boh Wan-lian lalu mereka kembali ke Sinkiang selatan dulu
untuk minta petunjuk Hui-ang-kin, siapa duga Hui-ang-kin
sendiri juga sudah dua hari berselang seorang diri berangkat
ke Thian-san. "Menurut dugaanku, urusan ini rada ganjil," ujar Wan-lian.
"Tidak lekas tidak lambat kenapa Hui-ang-kin juga pergi ke
Thian-san pada waktu ini" Aku yakin di dalamnya pasti ada
sebab-sebabnya ada lebih baik kita tinggalkan surat di sini,
kalau Leng-tayhiap dan Lan-cu sudah kembali, biar suruh
mereka pun menyusul ke Thian-san sekalian."
Biasanya segala apa selalu Tiong-bing menurut pendapat
Boh Wan-lian, sudah tentu sekarang ia pun idem dito.
Kira-kira setengah bulan kemudian, mereka berdua sudah
sampai di bawah kaki puncak Onta di pegunungan Thian-san.
"Kau masih ingat tidak peristiwa bertemu dengan Sin Liongcu


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sini dahulu?" kata Wan-lian. "Sungguh tak terduga hari
ini kita berada di sini lagi, tapi pendekar kosen itu sudah
mangkat ke alam baka, di atas puncak ini hanya tertinggal
tulang jenazah gurunya saja."
"Ya, dan aku pun tidak nyana akan menjadi murid Tohtayhiap
secara tak langsung; cuma entah Susiok pejabat ketua
itu mau menerimaku ke dalam perguruan atau tidak?"
demikian kata Tiong-bing.
Dan belum hilang suaranya sekonyong-konyong
didengarnya di atas Lok-to-hong atau puncak Onta
berkumandang suara siulan aneh berulang-ulang disusul pula
suara bentakan orang yang tampaknya sedang saling
mengudak, suara itu begitu seram dan mendebarkan, sejenak
kemudian, batu es besar tiba-tiba berhamburan dari atas,
tempat dimana mereka berdiri ikut tergon-cang seakan gempa
bumi. Suasana itu sungguh mirip sekali ketika dahulu mereka
datang di tempat ini dan bertemu dengan Sin Liong-cu. Cuma
jauh lebih menakutkan keadaan sekarang daripada yang dulu.
"Aneh, apa mungkin di atas sana terdapat lagi seorang Sin
Liong-cu kedua?" ujar Tiong-bing heran.
Tapi mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, nyalinya
menjadi besar, segera Wan-lian ditariknya terus mendaki ke
atas. Kiranya pejabat ketua Bu-tong-pay sekarang ini, Hian-cin
Tojin, berhubung diketemukannya kembali kitab pusaka
mereka 'Tat-mo-pi-kip' atau ajaran rahasia Tat-mo, pula
urusan pemindahan tulang jenazah ketua Bu-tong-pay mereka
yang lebih dulu, maka Hian-cin telah membawa Sute seperti
Hian-thong, Hiankat, dan H" Lok-hua bersama suami, serta
tujuh orang anak murid utama dari angkatan muda mereka,
untuk mendaki ke atas puncak Onta buat menemui Kui Tiongbing
seperti apa yang sudah dijanjikan.
Tak terduga, belum kelihatan Tiong-bing datang, sebaliknya
suatu kejadian aneh telah terjadi.
Ketika rombongan Hian-cin baru saja sampai di atas puncak
gunung itu, segera mereka mendengar semacam suara siulan
aneh yang kedengarannya sangat jauh, tapi rasanya sangat
menusuk. Hian-cin terkejut oleh suara aneh itu, sedangkan suara itu
susul-menyusul sudah berbunyi lagi dengan seramnya bagai
se-sambatan kera di gunung sunyi dan tangisan bayi di malam
sepi, seperti auman binatang buas dan mirip bunyi burung
hantu pula, beraneka ragam suara itu telah bercampur-baur,
agaknya suara orang yang datang itu tidak terbatas seorang
saja. Tapi bila memandangnya dari jauh, ternyata sesosok
bayangan pun tidak kelihatan.
"Siluman darimanakah ini" Berani coba menakut-nakuti
Toya?" demikian Hian-cin memaki. Dan mengandalkan
berkawan banyak, ia pun tidak menjadi gentar, segera ia
membawa rombongannya menuju ke goa batu dimana dahulu
Sin Liong-cu pernah bersembunyi itu.
Siapa duga baru mereka sampai di mulut goa, mendadak
dari dalam terdengar sekali orang tertawa dingin. Dalam
kagetnya cepat juga Hian-cin lantas mencabut pedangnya,
dengan membentak untuk membesarkan nyali, segera ia pun
memimpin kawan-kawannya masuk ke dalam.
Waktu Ho Liok-hua menyalakan api, tiba-tiba ia berteriak
kaget. Ternyata di dalam goa itu terdapat sebuah panggung
yang terbikin dari tumpukan batu, di atas panggung itu ada
kerangka tengkorak yang jelas kelihatan tulang-belulangnya,
masih utuh baik dan dapat dikenali ternyata tulang jenazah
Toh It-hang yang mereka cari itu. Cuma bedanya di masa
hidupnya tinggi tubuh Toh It-hang ada enam kaki, orangnya
gagah tegap, sebaliknya tengkorak yang dilihat sekarang ini
tampaknya tidak ada tiga kaki seperti tengkorak anak kecil
saja. Di samping tengkorak kelihatan pula duduk seorang nenek
berambut putih semua, terang sekali ialah Pek-hoat Mo-li
adanya. Lebih 20 tahun yang lalu waktu Ho Lok-hua datang ke
Sinkiang menjenguk Toh It-hang, pernah ia hendak diusir Pekhoat
Mo-li, peristiwa itu kalau teringat olehnya tanpa terasa
masih mengerikan juga.
Karena itu ia mundur dulu, lalu dengan pedang terhunus
Lok-hua berseru, "Pek-hoat Mo-li, kita tiada dendam dan tak
punya benci, Toh-tayhiap juga sudah lama mati, hari ini kami
suami-isteri datang dari jauh, sama sekali tiada urusan dan
sangkut-pautnya denganmu."
Tapi Pek-hoat Mo-li sedikitpun tidak bergerak, tangannya
melambai ke bawah, kepalanya menunduk dan matanya
meram. Waktu tanpa sengaja Hian-cin mendongak, tiba-tiba
dilihatnya di atas dinding batu goa itu terdapat tiga baris huruf
besar dan tiap hurufnya cukup dalam, terang sekali bukan
ditatah oleh orang biasa, melainkan digores dengan jari oleh
Pek-hoat Mo-li.
Meskipun ilmu silat Hian-cin sudah sangat dalam, tak tahan
juga ia terkejut oleh tulisan jari di atas dinding batu itu.
Sekonyong-konyong dalam goa itu meniup angin dingin
yang menyeramkan dan membikin bulu roma berdiri, api yang
dinyalakan tadi tiba-tiba sirap. Lalu terdengar suara seorang
berkata dengan tertawa dingin, "Hm, benar-benar kalian
berani datang ke sini!"
Karena suara orang yang tiba-tiba itu, Ho Lok-hua menjerit
kaget terus melompat mundur. Begitu pula cepat Hian-cin
menarik kedua orang Sutenya sambil berseru, "Lekas
mundur!" Cepat mereka pun melompat keluar goa.
Di masa mudanya Pek-hoat Mo-li pernah bertanding
pedang di Bu-tong-san dan sekaligus melawan delapan jago
utama Bu-tong-pay, dalam pertarungan itu Pek-ciok Tojin,
Susiok Toh It-hang telah dilukai, halmana hingga kini oleh
kaum Bu-tong-pay masih dianggap suatu hinaan besar, tapi
mereka pun jeri semua oleh perbawa Pek-hoat Mo-li yang
menggetarkan, maka ketika angin dingin berjangkit tadi,
semua orang Bu-tong itu menjadi gugup dan lekas melompat
keluar goa dengan hati masih beTdebar-debar.
Dan setelah mereka bisa menenangkan diri, kemudian baru
kelihatan dari dalam goa berjalan keluar seorang wanita.
Meski rambutnya juga ubanan seluruhnya seperti Pek-hoat
Mo-li, tapi wajahnya masih kelihatan cantik molek.
Setelah mengenali siapa adanya orang itu, barulah Ho Lokhua
menghela napas lega. "Kiranya kau yang di dalam, Huiang-
kin," sapanya kemudian.
Memang tidak salah lagi wanita itu Hui-ang-kin adanya.
Dengan tangan kiri memegang pecut dan tangan kanan
menghunus pedang, segera ia membentak, "Manusia macam
apa kalian ini" Berani coba mengintai 'tubuh emas' (jenazah
dalam istilah Buddha) guruku?"
Kiranya pada tepat hari ulang tahun ke-100 Pek-hoat Mo-li
tempo hari dan Thio Hua-ciau mempersembahkan kotak
bersulam dan bunga sakti padanya hatinya menjadi terharu
oleh cinta Toh It-hang yang suci tak pernah goyah, maka ia
mencari ke goa batu di puncak Onta ini dan menggali keluar
tulang jenazah It-hang.
Semasa hidupnya It-hang sangat sayang akan kecakapan
diri sendiri, maka di waktu akan meninggal ia menyuruh Sin
Liong-cu menggunakah obat-obatan buat mencuci jenazahnya
hingga tubuhnya mengkeret menjadi kecil, tapi kerangka
tulangnya masih baik bagai hidup.
Pek-hoat Mo-li sendiri karena kuatir setelah dirinya
meninggal lalu ada musuh datang merusak tulangnya, maka ia
menyuruh Hui-ang-kin ke atas gunung ini agar muridnya
menguburkannya bersama dengan tulang jenazah Toh ItTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hang. Dan angin dingin seram tadi bukan lain adalah
perbuatan Hui-ang-kin.
Kini setelah mengetahui orang di dalam itu bukan Pek-hoat
Mo-li, barulah Hian-cin merasa lega. Segera pedangnya
menuding dan dengan suara lantang ia berkata, "Kami orang
Bu-tong-pay datang ke sini buat menyongsong tulang jenazah
ketua kami yang dulu, siapa peduli tentang gurumu apa
segala!" Tak terduga Hui-ang-kin menjengek sambil pecutnya
diayun hingga mengeluarkan suara petasan, lalu dengan
dingin baru ia berkata, "Tidak bisa!"
Keruan dari mendongkol Hian-cin menjadi gusar. "Urusan
dalam Bu-tong-pay kami, buat apa kau ikut mengurus?"
demikian sahutnya.
"Hm, urusan dalam, selalu bilang urusan dalam," kata Huiang-
kin pula dengan tertawa dingin. "Kalau Bu-tong-pay kalian
tidak ikut campur urusan orang, tentunya Toh-tayhiap dan
guruku tidak menjadi begini akhirnya Toh-tayhiap sendiri
sudah lama tinggal di Thian-san ini, hubungan dengan Butong-
pay kalian sudah lama putus. Menurut surat wasiatnya ia
minta dikubur bersama dengan guruku. Maka bila kalian
berani menyentuh tulangnya, boleh coba rasakan dulu
pecutku ini."
Tentu saja Hian-cin tak tahan rasa gusarnya lagi, begitu
pedangnya memberi tanda, segera tujuh anak murid utama
Bu-tong-pay yang dibawanya sudah merubung maju.
Dan ketika pertarungan sudah hampir terjadi, sekonyongkonyong
suara aneh di bawah gunung berjangkit riuh ramai.
Berubah hebat wajah Hui-ang-kin seketika. "Jika kalian mau
hidup, lekas lari saja hii adalah 'Se-ek-sam-yao' yang telah
datang," katanya cepat pada Hian-cin dan kawan-kawan.
Kiranya yang disebut 'Se-ek-sam-yao' atau tiga hantu dari
barat itu adalah tiga manusia aneh yang masing-masing
memiliki ilmu silat tunggal. Toa-yao atau hantu pertama
bernama Song Kian melatih semacam pedang berbisa yang
disebut 'Chit-coat-cu-pek-kiam', ujung pedang dipoles racun
jahat, asal kena darah seketika sang korban bisa binasa.
Ji-yao atau hantu kedua bersama Song Koh dengan
ilmunya 'Tay-lik-kim-kong-cu' atau gada emas bertenaga
raksasa, ia memiliki tenaga besar dan berkulit kebal. Sedang
Sam-yao atau hantu ketiga Song Jin melatih semacam ilmu
pukulan 'Im-yang-pi-hong-cio', siapa yang kena dihantam,
pasti jerohannya akan tergoncang remuk.
Ketiga orang ini dahulu malang melintang di daerah barat
ini, dan karena ilmu kepandaian mereka sangat keji, maka
mereka digelari 'Sam-yao' atau tiga hantu.
Ketika Pek-hoat Mo-li datang ke Thian-san, ia benci akan
kelakuan Sam-yao itu dan mengusir mereka dari Sinkiang,
karena Sam-yao tak bisa menandingi Pek-hoat Mo-li, maka
mereka terpaksa kabur ke Tibet, dan selama 30 tahun ini tak
terdengar suaranya, belakangan ini mereka mendapat tahu
bahwa Hui-bing Siansu dan Toh It-hang berturut-turut sudah
meninggal semua, Pek-hoat Mo-li juga sudah lama tak
kelihatan. Maka ketiga manusia hantu ini lantas membawa
begundal mereka naik ke puncak utara Thian-san ini dengan
maksud mencuri dulu kitab pelajaran silat Hui-bing Siansu dan
Toh It-hang, habis itu baru mereka akan menuntut balas pada
Pek-hoat Mo-li.
Hian-cin adalah ketua suatu aliran persilatan terkemuka,
maka ia cukup kenal asal-usul Sam-yao itu, ketika didengarnya
peringatan Hui-ang-kin tadi, wajahnya seketika berubah juga,
tak bisa lagi ia melangsungkan pertarungan dengan Hui-angkin,
lekas ia memerintahkan anak muridnya berdiri sejajar
menjadi suatu lingkaran untuk menghadapi segala
kemungkinan. Sementara itu dengan cepat luar biasa, suara aneh yang
tadinya menggema di angkasa itu mendadak berhenti, Se-eksam-
yao bersama belasan begundalnya tahu-tahu sudah
sampai di atas puncak gunung itu. Dan ketika melihat Hian-cin
dan kawan-kawan berdiri melingkar, mereka tertawa iblis, lalu
tanpa berkata lagi bagai setan jahat terus saja menerjang.
Tahu ketiga hantu itu tak mungkin diajak bicara tentang
aturan, maka Hian-cin tak berani gegabah, dengan penuh
semangat ia mengayun pedangnya mendahului menangkis
pedang berbisa Toa-yao Song Kian yang sementara itu sudah
menusuk. "Bagus!" bentak Toa-yao mendadak, dan sekali pedangnya
membentur, tahu-tahu pedang kedua pihak tergetar pergi
semua. "Ha, darimana Toh It-hang mendatangkan kawanan
sampah ini untuk menjaga mayatnya!" jengek Sam-yao Song
Jin dengan tertawa seram.
Habis itu cepat kedua telapak tangannya memukul
berbareng, dan segera terdengar Hian-thong, Sute Hian-cin,
menjerit kaget, ternyata senjatanya yang berbentuk porok
(garpu) telah tergetar mencelat.
Di sebelah sana pedang berbisa Toa-yao Song Kian
mendadak juga menyabet ke pinggang Hian-cin, saking
cepatnya serangan ini tampaknya sudah menyenggol baju
sasarannya, beruntung tiba-tiba Hui-ang-kin telah mengayun
pecutnya, secepat kilat terus membelit pergelangan tangan
Song Kian. Untuk menghindarkan patahnya tangan, terpaksa
Song Kian menarik kembali senjatanya dan melompat pergi.
Diam-diam Hian-cin bersyukur terhindar dari elmaut itu dan
sangat berterima kasih atas pertolongan Hui-ang-kin yang tadi
adalah lawannya, tapi kini telah menjadi kawan.
Di tempat lain, Ji-yao dengan senjata gadanya yang
bertenaga raksasa telah sekali menyabet keras, tujuh anak
murid utama Bu-tong-pay terpaksa harus mundur menyingkir,
barisan lingkaran yang mereka pasang untuk mengepung tadi
seketika bobol.
Hanya Ho Lok-hua dengan Ginkangnya yang hebat
mendadak mengenjot tubuh terus melompat setinggi lebih dua
tombak dan dari atas terus menikam ke atas kepala Ji-yao.
Melihat saudaranya terancam, cepat Sam-yao memburu maju
terus mencengkeram hendak merampas senjata Ho Lok-hua
secara paksa. Namun kembali Hui-ang-kin datang lagi dengan
pecutnya menyabet dan pedangnya menusuk, terpaksa Samyao
harus melompat mundur dan lekas juga Toa-yao
memburu maju membantu.
Begitulah Hian-cin, Hui-ang-kin dan Ho Lok-hua bertiga
telah menempur tiga hantu kejam itu secara sengit, sedang
tujuh anak muridnya bersama dua orang Sute Hian-cin juga
sudah saling labrak dengan begundal Sam-yao hingga seketika
di atas puncak Onta itu ramai sekali dengan suara bentakan


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan teriakan aneh.
Dalam pertarungan sengit ini, Hian-cin, Hui-ang-kin dan Ho
Lok-hua bertiga masih bisa bertahan, tapi kedua Sute Hiancin,
yaitu Hian-thong dan Hian-kat bersama tujuh murid utama
mereka sudah berulang kali menghadapi bahaya, terutama Jiyao
dengan gadanya yang antap berat diputar dengan hebat
hingga batu hancur dan salju gugur.
Pada suatu saat Hian-cin pura-pura menusuk sekali lalu
melompat mundur membiarkan Hui-ang-kin menggantikan
tempatnya melawan Toa-yao Song Kian, sedang ia dengan
pedangnya terus melabrak Ji-yao Song Koh, dengan penuh
tenaga masih dapatlah ia bertahan.
Sebaliknya ketika Sam-yao Song Jin mendadak melontarkan
hantaman keras beberapa kali hingga Ho Lok-hua didesak
mundur, lalu ia menggereng sekali terus meloncat naik dan
mencengkeram Hian-cin.
Sungguh di luar dugaan Hian-cin datangnya serangan itu,
lekas ia berkelit, namun Kim-kong-cu atau gada baja Song Koh
tiba-tiba sudah menyambar juga ke pinggangnya.
Dalam keadaan begitu sekalipun kepandaian Hian-cin lebih
tinggi lagi susah juga hendak melawan gempuran berbareng
kedua musuh lihai itu dan pada saat ia berkelit itu tahu-tahu
pedangnya telah disambar Song Jin. "Matilah aku sekali ini!"
diam-diam Hian-cin mengeluh sambil terus mundur terdesak
sampai di tepi jurang.
Nampak itu tentu saja Ho Lok-hua dan Hian-kat kaget luar
biasa berbareng mereka menyerobot maju untuk merintangi
Song Jin. Namun pada pihak lain gada Song Koh sementara
itu sudah mengemplang ke atas kepala Hian-cin.
Karena tiada jalan lain, tanpa pikir mati-hidupnya lagi Hiancin
melompat mundur ke dalam jurang hingga badannya
terapung, di luar dugaan mendadak terasa pinggangnya
disanggah seseorang dan pada saat lain ternyata sudah
dibawa lagi naik ke atas puncak itu.
Tatkala itu Song Koh lagi senang karena Hian-cin dapat
didesak masuk jurang, siapa tahu tiba-tiba dilihatnya seorang
pemuda berbaju kuning telah melompat naik dari bawah
dengan Hian-cin disanggahnya di atas kepala.
"Kurangajar, kau bocah inipun ingin dimampuskan!" bentak
Song Koh gusar. Menyusul mana sekuatnya gada terus
menyabet. "Dan kau, berani kau membikin susah Susiokku?"
mendadak pemuda baju kuning itupun menggertak keras
dengan suara menggelegar.
Berbareng itu kedua kepalan pemuda ini tergenggam dan
secepat panah tubuhnya pun melesat maju memapak orang.
Dan tampaknya segera bakal berkenalan dengan gada musuh,
sekonyong-konyong tangan kanan pemuda itu dibuka dan
sebuah sinar putih berkilau pun menyambar ke depan.
Seketika tangan Song Koh tergetar dan gada bajanya yang
besar antap itu tahu-tahu terkuning sebagian.
Pemuda berbaju kuning ini bukan lain ialah Kui Tiong-bing.
Ketika tiba-tiba pedang wasiat 'Theng-kau-pokiam' yang bisa
lemas dan bisa kaku itu dikeluarkan mendadak, hingga tak
menduga Song Koh kena diselomoti, keruan saja hantu kedua
ini gusar tidak kepalang, gadanya yang sudah terkutung itu ia
buang sekalian dan dengan ilmu pukulan bertenaga raksasa
'Tay-lik-kim-kong-jiu', dengan tangan kosong ia coba
merangsek pula hendak merebut pedang Kui Tiong-bing.
Dengan kedatangan Tiong-bing, nyata keadaan seketika
berubah banyak. Dengan ilmu pedang pemuda ini yang lihai
luar biasa terpaksa Song Koh harus mengembut bersama
beberapa begundalnya barulah dapat sekedar bertahan.
Di sebelah sana setelah Hian-cin menjemput kembali
pedangnya segera masuk kalangan pertempuran lagi dan
saling labrak dengan Sam-yao.
Namun begitu kekuatan kedua pihak kini barulah bisa
berimbang saja begundal yang dibawa Sam-yao sangat
banyak, pula memiliki kepandaian tunggal sendiri, kalau satu
lawan saru umpamanya, Hui-ang-kin masih bisa
memenangkan musuh, Hian-cin juga dapat bertahan untuk diri
sendiri. Hian-thong, Hian-kat dan ketujuh murid utama
mereka juga bisa melawan begundal Sam-yao itu dengan
sama kuatnya. Sedang pertarungan sem berlangsung, tiba-tiba di
pinggang gunung itu muncul lagi beberapa bayangan orang
segesit kera sedang memanjat ke atas gunung.
Melihat itu diam-diam Hian-cin mengeluh, untuk melawan
musuh sekarang ini saja masih belum bisa menang, apalagi
kalau musuh datang bala-bantuan lagi, mungkin tak bisa turun
dari gunung ini dengan hidup, demikian ia membatin.
Sementara itu Boh Wan-lian yang datang bersama Kui
Tiong-bing tadi sudah memutar senjatanya melawan musuh
sejajar dengan sang kekasih.
Melihat keuletan gadis ini lebih rendah, Song Koh
mengincarnya mendadak terus mencengkeram dengan telapak
taagannya yang lebar bagai daun pisang.
Melihat Wan-lian terancam bahaya, segera Ticng-bing
membabat dari samping, namun luput mengenai musuh,
sebaliknya lantas terdengar si gadis menjerit sekali, orangnya
tidak kena dicengkeram, tapi pedangnya sudah kena direbut
musuh. Terkejut sekali Tiong-bing, sekali melesat bagai burung
terbang ia menusuk ke punggung musuh, namun belum
sasarannya tertusuk, tiba-tiba sudah terdengar Song Koh
menjerit ngeri sekali dan orangnya tahu-tahu terus roboh
menggeletak. "Hura, Leng-tayhiap telah datang!" teriak Wan-lian saking
girangnya. Waktu Tiong-bing menoleh, betul saja dilihatnya dengan
gagah Leng Bwe-hong sudah berada di atas puncak gunung
itu, di sampingnya malahan terdapat pula le Lan-cu, Lauw Yuhong,
Thio Hua-ciau, Li Jiak-sim, Bu Ging-yao, Pho Jing-cu, Bu
Goan-ing, kesemuanya ikut datang.
Ketika mendadak melihat datangnya rombongan orang
begitu banyak, pertempuran sengit itu lantas berhenti dan
semuanya melompat keluar kalangan untuk membedakan
siapa gerangan yang datang itu apakah kawan atau lawan.
"Di atas Thian-san ini mana boleh dibiarkan kalian
berkeliaran sesukanya!" demikian Leng Bwe-hong lantas
mendamprat sambil menuding Song Kian. "Hayo, tidak lekas
enyah dari sini!"
"Siapa kau" Berani kau buka mulut besar!" sahut Song Kian
membentak. "Semasa Hui-bing Siansu masih ada, siapa saja tak berani
membawa pedang ke atas gunung, peraturan ini kalian tahu
tidak?" kata Bwe-hong.
"Jika begitu, apa kau anak murid Hui-bing?" tanya Song
Kian. Namun Bwe-hong sungkan menjawab. "Letakkan
senjatamu dan enyah dari sini, dan jiwamu boleh kuampuni!"
sahutnya kemudian.
"Ada kepandaian apa dan berdasarkan apa kau berani
berlagak seperti Hui-bing?" kata Song Kian menjadi gusar.
"1S m, apa kau tidak terima" Jika demikian, marilah boleh
kau maju mencoba," sahut Bwe-hong tertawa dingin.
Sementara itu Sam-yao Song Jin telah membawa mayat
Song Koh ke hadapan kakaknya itu sambil berteriak dengan
menangis, "Toako, Jiko (kakak kedua) telah dibunuh keparat
ini dengan Thian-san-sin-bong!"
Saking cemasnya Song Kian menjadi gusar, ia menengadah
bersiul murka, lalu ia pun membentak, "Baik, kita menuntut
balas untuk Jite!"
Habis itu segera pedangnya berkelebat, senjatanya berikut
orangnya terus menubruk maju. Begitu pula Song Jin, mayat
Song Koh diletakkan dan segera ia pun menubruk maju ikut
membantu. "Bagus, biar aku mampuskan kalian berdua tanpa
menyesal!" bentak Bwe-hong. "Tiong-bing, Lan-cu, kalian
berdua melucuti semua senjata begundalnya dan usir mereka
ke bawah gunung."
Dalam pada itu mengandalkan tenaga pukulannya yang
hebat. Song Jin yang menubruk belakangan sudah mendahului
menyerbu ke depan, telapak tangan kanan terpentang bagai
kaitan terus mencengkeram ke iga lawan dengan tipu 'Ohliong-
tam-jiau' atau naga hitam mengulur cakar, dengan
sepenuh tenaga ia menyerang. Dengan pukulannya ini dalam
jarak beberapa kaki saja baik kayu maupun batu bila
dihantamnya pasti akan patah atau remuk juga, apalagi tubuh
manusia, tidak perlu terpukul, asal kena sambaran anginnya
saja sedikitnya akan tulang patah dan otot putus, sungguh
lihai luar biasa.
Sebagai seorang jago berpengalaman sudah tentu Leng
Bwe-hong kenal betapa lihainya serangan orang itu. Lekas ia
menekuk tubuh, dengan gerak tipu 'Beng-hou-hok-cing' atau
macan buas mendekam di atas cagak, hanya sedikit
menggeser, tahu-tahu ia sudah memutar sampai di belakang
Song Jin dan telapak tangan kanan terus menggablok ke
bagian bawah musuh.
Tenaga pukulan Leng Bwe-hong yang besar ini sekalipun
musuh melatih ilmu sebangsa 'Kim-cong-tok' atau 'Tiat-pohsam'
yang kebal, asal kena digablok pasti akan remuk juga
seluruhnya Karena itu Song Jin pun kenal akan kelihaian
serangan itu, ia menarik tubuh dan menyedot perut serta
melangkah mundur. Sementara itu Song Kian dengan
pedangnya 'Cu-pek-kiam' yang berbisa sudah menusuk juga
ke dada Leng Bwe-hong.
Namun Bwe-hong menjengek, tiba-tiba kedua jarinya
menyentil tubuh pedang orang, sedang tangan kirinya terus
menjotos pula. Baiknya Song Kian cukup gesit dan berpengalaman juga
lekas dengan gerak tipu 'Pa-ong-ham-ka' atau Coh-pa-ong
menanggalkan jubah, orangnya terus berjongkok ke bawah
hingga kepalan orang menyambar lewat di atas kepalanya.
Di lain pihak cepat sekali Song Jin sudah menghantam lagi
dari samping, ketika Bwe-hong mengayun tangan menangkis
maka terdengarlah suara "pluk-pluk" yang keras diseling angin
pukulan yang saling bentur, tahu-tahu Song Jin
menggeram dan orangnya tergetar mundur.
"Kedua binatang ini ternyata boleh juga," demikian diamdiam
Bwe-hong membatin.
Habis itu Thian-san-cio-hoat yang hebat segera ia mainkan
lebih kencang hingga tak tertembus angin.
Terhadap ilmu pukulan dan rahasia pedang ajaran gurunya,
Hui-bing Siansu, kesemuanya sudah Bwe-hong pahami dan
selami seluruhnya, ditambah lagi selama turun gunung sudah
berbagai aliran silat lainnya yang dilihatnya, maka ilmu
kepandaian Leng Bwe-hong sudah sampai puncak
kesempurnaan dan susah diukur pula, meski kini dikeroyok
dua, tapi setelah beberapa jurus lewat, kedua lawannya sudah
tampak kewalahan, hanya bisa menangkis dan tak mampu
balas menyerang.
Dalam gugupnya Song Jin akhirnya menjadi nekad juga, ia
bermaksud menggunakan serangan berbahaya untuk
memperoleh kemenangan terakhir. Maka mendadak telapak
tangan kirinya menyodok ke depan mengarah dada kiri Leng
Bwe-hong dengan tipu mematikan yang disebut 'Kim-kau-cianbwe'
atau ular emas mengayun buntut, dengan begitu apabila
Leng Bwe-hong coba menangkis, maka secepat kilat ia akan
merubah pukulan menjadi 'Oh-liong-coan-tah' atau naga hitam
menerobos pcgoda, lalu 'Gin-liong-to-ka' atau naga perak
merontok sisik dan akhirnya 'Kim-liong-kui-hay' atau naga
emas kembali ke laut, yakni beruntun tiga gerak serangan ke
lambung, ke pelipis dan ke selangkangan secepat kilat.
Akan tetapi tidak mudah Leng Bwe-hong masuk
perangkapnya, tiba-tiba ia mengegos dan cepat sekali ia
melangkah ke samping, menyusul mana dengan tenaga
pukulan jarak jauh yang disebut 'Pek-poh-sin-kun-lik' atau
tenaga pukulan sakti dari jarak seratus tindak, kontan ia
menghantam lambung Song Jin.
Maka tiada ampun lagi dengan tepat pukulan itu mengenai
sasarannya, tubuh Song Jin bagai bola saja terlempar pergi
sejauh beberapa tombak dan menjerit ngeri di angkasa raya,
lalu terjerumus ke bawah jurang yang tak terkirakan
dalamnya. Saat itu dari samping Song Kian lagi membabat juga
dengan pedangnya yang berbisa. Baiknya Leng Bwe-hong
sebat luar biasa, orangnya terus meloncat setinggi-tingginya
lalu menubruk ke bawah dan. tepat dapat menjambret
tengkuk Song Kian.
"Kau pun enyah ke bawah gunung!" dibarengi sekali bentak
Bwe-hong melemparkan sekuatnya badan orang hingga bagai
tayangan yang putus benangnya Song Kian ikut terlempar ke
bawah puncak Onta.
Di sebelah sana Kui Tiong-bing dan le Lan-cu berdua juga
lagi melabrak musuh dengan tangkasnya, pedang wasiat
mereka menyambar kian kemari hingga sinar putih gulunggemulung
tak jelas, di lain saat Leng Bwe-hong sudah
membereskan Song Kian dan Song Jin, maka mendadak
Tiong-bing dan Lan-cu juga menarik pedang dengan cepat,
maka tertampaklah di tanah penuh terserak senjata-senjata
yang sudah terkutung, nyata semua gegaman yang dibawa
begundal Sam-yao tiada satupun yang utuh lagi.
Dan belum lagi begundal musuh itu tenang dari rasa takut
mereka, tiba-tiba Leng Bwe-hong sudah membentak,
"Penjahat utamanya sudah terbunuh, maka begundalnya
boleh diampuni, lekas kalian enyah dari sini!"
Mendengar itu, tanpa diperintah lagi begundal Sam-yao
berteriak terus lari tunggang-langgang tanpa menoleh ke
bawah gunung. Menyaksikan betapa perkasanya Kui Tiong-bing, mau tak
maui Hian-cin menjadi kagum juga. "Sudahlah, aku pun tak
berani lagi mengaku kau sebagai Sutit (keponakan
perguruan), kau bisa mendapatkan Tat-mo-kiam-hoat,
rupanya kail memang ada jodoh, maka jabatan ketua Bu-tongpay
kita ini aku pun tidak mau lagi, biarlah kau saja yang
memangkunya" demikian katanya kemudian pada Tiong-bing
dengan menghela napas.
Habis itu ia membalik tubuh terus melangkah pergi.
"He, he, Susiok, jangan pergi dulu, mana aku bisa menjadi


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketua apa segala!" Tiong-bing berteriak bingung.
Akan tetapi tanpa menoleh Hian-cin sudah turun ke bawah
bersama suami-isteri Ho Lok-hua, bahkan ia masih memberi
pesan pada ketujuh anak murid utama mereka "Kalian
bolehlah tinggal di sini ikut menguburkan tulang jenazah Tohsuco
(ka-kek-guru), dan kalau ingin belajar Tat-mo-kiam-hoat,
boleh belajar pada Suhengmu yang menjadi ketua sekarang
ini!" Dan ketika Tiong-bing hendak memburu Hian-cin untuk
menahan kepergiannya, namun Pho Jing-cu sudah
mencegahnya. Sejak itulah Kui Tiong-bing lantas menjadi cikal-bakal Butong-
pay sekte utara, dan menurut pesan peninggalan Toh Ithang,
maka Thio Hua-ciau dianggap juga sebagai anak murid
Bu-tong dan mempelajari Tat-mo-kiam-hoat serta dihitung
sebagai Sute Tiong-bing.
Leng Bwe-hong sendiri menjadi ahli-waris Hui-bing Siansu
dan tirakat di aras Thian-san bersama Lauw Yu-hong. Sedang
Hui-ang-kin selanjurnya masih kian kemari di padang rumput
luas itu menjadi ketua perserikatan suku bangsa di Sinkiang,
bila terjadi sesuatu, Leng Bwe-hong tiba-tiba bisa menjadi
tetamu ke pasukan Hui-ang-kin untuk membantu mengatur
segala sesuatu yang perlu, dan bila tugasnya sudah selesai,
lalu ia pun tinggal pergi lagi.
Ie Lan-cu dan Thio Hua-ciau juga ikut Leng Bwe-hong
tinggal di atas Thian-san dan mendirikan makam sandang-kudung
ayahnya, Njo Hun-cong. Dan bila tiba musim semi atau
hari cerah, maka di puncak Thian-san sering terlihat sinar
pedang sambar-menyambar, menandakan Leng Bwe-hong dan
Ie Lan-cu sedang berlatih ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat.
Orang-orang Bu-lim atau dunia persilatan kemudian
menambahkan Kui Tiong-bing, Thio Hua-ciau dan Lauw Yuhong
bertiga di samping Leng Bwe-hong, Ie Lan-cu, Hui-angkin
dan Bu Ging-yao, dan menyebut mereka sebagai 'Thiansan-
cit-kiam' baru.
"Thian-san-cit-kiam' lama terdapat murid murtad Coh Ciaulam
serta seorang Sin Liong-cu yang terombang-ambing di
antara jalan yang benar dan tersesat, sebaliknya 'Cit-kiam'
baru terdiri dari pahlawan pemuda-pemudi semua dan cerita
mereka yang gagah perkasa itu telah dijadikan nyanyian di
padang rumput sepanjang masa.
"TAMAT"
Kisah Bangsa Petualang 1 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Rahasia Ciok Kwan Im 6
^