Pencarian

Bu Kek Kang Sinkang 2

Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Bagian 2


Han Beng menambatkan kuda. Ia terlambat! ia sudah tidak melihat kuda Khu
Han Beng maupun orangnya.
Kesal juga ia dengan ulah gadis setan itu, usahanya menjadi berantakan.
Dengan apa boleh buat, Tan Leng Ko berhenti didepan jalan yang dimasuki Khu Han Beng tadi. Ia tertegun!... Ia sangat mengenal tempat ini.
Gang ini masih saja gelap dan sempit, hanya keranjang sampahnya yang
kelihatan lebih tua, sebagian sisinya sudah hancur dimakan usia. Tapi bau
busuknya tetap tidak berubah.
Sekarang dia sudah tahu, Khu Han Beng adalah orang yang membuang
gumpalan kertas Ouw Yang Ci To ke keranjang sampah, walau ia tidak mengerti kenapa dibuang.
Yang sekarang benar benar diluar dugaannya, Khu Han Beng bakal balik kemari lagi!
Ketika ia menemukan gumpalan kertas tersebut, ia telah mencarinya dengan
seksama. Tidak sejengkal tanahpun yang terlewati. Tapi tidak ada lagi yang lain, kecuali apa yang diketemukannya.
Ia selalu berkeyakinan, jika seseorang membuang sesuatu yang mengandung
sifat rahasia atau penting, tentu dilakukannya di tempat jauh jauh. Tempat yang tidak berhubungan dengan dirinya.
Misalnya, kau telah melakukan pembunuhan, tentu senjata membunuh yang
dapat dijadikan bukti, tidak akan kau buang didalam perkarangan rumahmu. Kau akan berusaha membuang senjata itu, ditempat yang di luar dugaan orang lain.
Semakin jauh semakin baik.
Waktu itu, ia merasa orang yang membuang gumpalan kertas Ouw Yang Ci To,
tidak akan kembali ke gang ini, sehingga tidak beralasan baginya untuk datang ke tempat yang berbau busuk ini. Dengan keyakinan itu, boleh dibilang dirinya tidak pernah kembali lagi ke gang ini.
Dengan perlahan, Tan Leng Ko memasuki gang yang sempit itu. Di deretan
sebelah kanan, rumah kedua yang berpintu biru, terdapat tulisan:
"Toko Buku Lok Yang. Menjual Buku Baru dan Buku Bekas".
Tan Leng Ko menyengir. Tulisan yang cukup besar itu, baru pertama kali
dilihatnya. Ketika dulu ia memasuki gang ini, pikirannya berpusat pada kondisi perutnya. Sedangkan ketika ia keluar dari gang ini...boleh dibilang, ia sudah tidak dapat berpikir lagi.
Toko Buku terbesar di kota Lok Yang ternyata tidak besar. Kentara sekali minat baca masyarakat Lok Yang yang rendah. Untuk banyak orang, ada dua cara
yang cepat menimbulkan pusing kepala. Pertama adalah membaca buku dan
yang satunya lagi meminum arak. Mereka beranggapan cara yang kedua adalah
cara yang terbaik.
Kesan Tan Leng Ko tidak jelek, ketika ia berada di dalam toko itu. Toko buku itu bersegi empat dengan sebuah pintu yang menutup lorong yang menuju ke
belakang. Rak rak buku yang tinggi memenuhi dinding mengikuti bentuk segi empat itu.
Sebuah papan kayu menempel di rak buku dan terulang dijarak tertentu. Papan kayu ini menerangkan tema dari buku yang tersedia pada rak itu. Ada sejarah, ilmu perang, syair, agama dan seterusnya.
Toko ini sepi sekali, selain dirinya, hanya seorang pelayan tua yang sedang membersihkan buku dengan kebutan debu. Ia menoleh memandang Tan Leng
Ko sekejab, kemudian kembali menekuni pekerjaannya.
Sambil menggendong tangan dibelakang punggungnya, Tan Leng Ko berjalan
mengitari ruangan itu. Ia tidak melihat tulisan tangan Khu Han Beng diantara buku buku ini.
Seperti umumnya calon pembeli, Tan Leng Ko mengambil beberapa buku secara
acak dan membacanya sekilas. Seperti yang diduganya, buku buku ini hanya
buku umum biasa, jenis buku yang bisa membuat pusing kepala bagi yang tidak suka membaca. Ia tidak melihat sesuatu yang luar biasa.
Sambil meletakkan buku tersebut ketempatnya, Tan Leng Ko berpikir cara yang terbaik untuk bertemu dengan Gu-suko. Bagaimanapun juga, ia harus berusaha
untuk bertemu dengan Gu-suko, pemilik toko buku ini.
Bertahun tahun Khu Han Beng menerima atau membeli banyak buku dari toko
buku ini. Begitu pula sebaliknya, Khu Han Beng sering membawa tumpukkan
kertas ketika mengunjungi Gu-sukonya.
Sulit bagi Tan Leng Ko untuk tidak mencurigai Gu-suko sebagai si Pemberi kitab kepada Khu Han Beng.
Mengenai bagaimana cara si Pemberi kitab itu meperoleh kitab kitab sakti itu, ia tidak ingin tahu. Hal itu bukan urusannya.
Yang ingin ia ketahui, kenapa kitab kitab itu diberikan kepada Khu Han Beng"
Apa maksudnya menyuruh Khu Han Beng menyalinnya"
Pintu toko buku tiba tiba terbuka. Tan Leng Ko menoleh, kemudian menghela
napas. Gadis setan yang merepotkannya tadi, muncul dengan cengar cengir. Ia berjalan sambil bertolak pinggang dan berlagak seperti tidak melihat kehadiran Tan Leng Ko.
Melihat kelakuannya, Tan Leng Ko tahu masalah sebentar lagi akan muncul. Ia tidak ingin menggebrak rumput mengusir ular. Agar penyelidikkannya tidak
terganggu, ia harus mengajak gadis setan ini pergi dari sini, dan kembali lagi ke toko ini, sendirian, disaat yang tepat.
Dengan cepat dihampiri gadis setan itu. Ia menyadari, jika ia tanya kenapa
mencarinya, tentu gadis setan itu akan menjawab dia sedang mencari buku, dan tidak ada sangkut paut dengan dirinya. Ia harus menghadapi gadis setan ini
dengan kecerdikkan.
"Apa kau baik?" tanya Tan Leng Ko dengan perlahan.
Gadis setan itu berlagak seperti baru melihatnya
"Aku sudah berjanji, tidak akan mencarimu. Kenapa kau cari diriku" Apa ingin menggangguku?" tanya gadis setan itu sambil cekikikan.
"Kau tadi telah menyuguhkan arak padaku, sebetulnya aku ingin mengajakmu ke suatu tempat untuk minum, tapi...?" tanpa menyelesaikan perkataannya Tan
Leng Ko berjalan keluar.
Gadis setan itu mengejarnya dari belakang.
"Tapi apa?"
"Kutakut kau akan menyesal nantinya. Sebaiknya tidak usahlah" dengan cepat
Tan Leng Ko berjalan keluar dari gang sempit itu.
Gadis setan itu, menghadang jalannya.
Sambil mendengus ia berkata:
"Kutahu kau sedang memancingku. Namun tetap kuikut pergi denganmu, agar
kau tahu saja, tidak ada tempat yang tidak berani kudatangi. Asal kau ingat! aku tidak menjilat ucapanku. Kali ini, kau yang mencariku".
Diam diam Tan Leng Ko tertawa geli. Walau gadis ini mengerti bakal ada satu urusan yang tak beres, toh tidak dapat menahan jiwa mudanya yang ingin tahu.
"Baik! Kau ikut aku".
Di kuti gadis setan itu, Tan Leng Ko berjalan melewati deretan toko sepanjang dua blok, kemudian membelok kekanan memasuki rumah makan Ban Tiok Koan.
Seorang berbaju kuning emas baru saja selesai bersantap ketika ia melirik
kearah mereka. Mukanya berubah ketika melihat siapa yang berdiri dibelakang Tan Leng Ko.
"Kau..."!" ucap Pek Kian Si dengan geram.
Gadis setan itu menyengir ketika melihat Pek Kian Si melotot padanya.
Dengan cepat Pek Kian Si mengejar gadis setan itu yang sudah kabur duluan.
Terkejut juga Tan Leng Ko melihat ginkang gadis setan itu. Walau gadis itu
menyusahkan dirinya, bagaimanapun juga ia masih belia. Ada juga rasa kuatir dihatinya, jika gadis setan itu dicelakai oleh Pek Kian Si. Tapi berdasarkan kegesitan gadis setan itu, ia yakin, Pek Kian Si tidak akan mampu mengejar
gadis setan itu.
Dengan napas lega, Tan Leng Ko bergegas meninggalkan tempat itu. Tadi ia
tidak membawa kuda, agar lebih mudah melacak Khu Han Beng. Sampai
ditempat sepi, Tan Leng Ko mengerahkan ginkangnya menuju pulang.
Setibanya di pinggir kota, ia berhenti sejenak, perutnya terasa lapar bukan main.
Hatinya menggerutu mengingat jatah makan siangnya direbut oleh gadis setan
itu. Setelah mengatur napas, kembali ia menggerakkan kakinya.
Ketika enak enaknya berlari, sebuah senjata rahasia atau amgi menyambar
kearahnya. Dengan cepat ia menghindar.
"Siapa disitu?" bentaknya sambil bersiaga.
Amgi itu disambitkan dari rimbunan pohon yang terletak disebelah kiri jalan.
Tiga orang keluar dari belukar. Seorang tinggi besar, seorang pendek kekar, dan seorang berbadan kurus kering dengan kuku jari yang panjang.
"Ginkang orang ini lumayan juga" ujar yang tinggi besar.
"Tentu ia akan memperebutkan mustika itu" kata yang pendek kekar.
"Lekas kita bereskan dia! Mati satu, saingan kita berkurang satu" kata yang kurus kering yang langsung menyerang Tan Leng Ko.
Dari warna kuku jari yang mengarah matanya, Tan Leng Ko maklum tentu
mengandung racun yang mematikan, cepat ia menghindar.
"Kita tidak saling kenal, kalian main serang diriku begitu saja. Aku kan tidak memperkosa bini kalian" kata Tan Leng Ko dengan kesal. Tiada angin hujan,
orang ini langsung memberi serangan mematikan padanya, bahkan
mengeroyoknya! Serangan mereka selain cepat dan berbahaya, juga kerja sama mereka terjalin sangat erat. Hakekatnya ia kerepotan menghindar. Serangan yang bertubi tubi, dan silih berganti dari ketiga orang ini, tidak memberi kesempatan dirinya untuk mencabut golok.
Setelah dua puluh jurus, Tan Leng Ko terdesak dibawah angin, bau amis yang
keluar dari kuku jari itu, membuat dadanya sesak ingin muntah, kepalanya mulai pusing, pertahanannya mulai kacau.
Disuatu kesempatan, si tinggi besar mengayunkan pedangnya mengarah ke
ubun ubun Tan Leng Ko.
Jika begini terus, tidak sampai lima jurus lagi, ia akan keok pikir Tan Leng Ko.
Dengan menggeretak gigi, dengan nekat ia menyongsong pedang itu dengan
tangan kiri sambil tangan kanannya mencabut golok. Ia lebih rela mengorbankan tangannya dari pada mati konyol disini.
"Traaang!" sebuah pedang bergagang hijau menangkis serangan si tinggi besar.
Tan Leng Ko melirik kepada orang yang memegang pedang itu yang kemudian
terlibat perkelahian seru dengan si tinggi besar.
Ia mengenal pedang itu, pedang yang sarungnya sudah tidak terdapat ronce lagi.
Kwee Tiong beserta Kwee Li telah datang menolongnya disaat yang genting.
Desiran pedang Kwee Tiong yang kuat dan cepat menusuk si tinggi besar yang
segera meloncat menghindar. Si kurus kering kerepotan terhadap serangan
Kwee Li yang jauh lebih lincah dari kakaknya. Kerja sama ketiga orang itu
menjadi hancur berantakan diganti dengan pertandingan satu lawan satu.
Tanpa banyak bicara, Tan Leng Ko yang sudah gusar segera menyerang si
pendek kekar. Angin golok dingin menggidik mengurung si pendek kekar yang
dengan gugup mencoba menangkis.
"Uagghhh...!" si pendek kekar menjerit ngeri melihat isi perutnya terburai keluar.
Ia terkulai jatuh, menggeliat kesakitan dengan erangan yang melemah,
kemudian diam tak bergerak.
Melihat kawannya tewas, si kurus kering bersiut nyaring. Tubuhnya melesat
di kuti si tinggi besar, mereka menghilang dibalik rimbunan pepohonan.
Dengan gegetun, Kwee Li berkata:
"Tega benar mereka, kawan sendiri tewas, ditinggal begitu saja"
Kwee Tiong menghela napas,
"perkawanan mereka berdasarkan rugi laba. Kawan yang tewas tentu tidak
menguntungkan, buat apa berteman lagi"
Tan Leng Ko menghampiri mereka,
"Kutahu ucapan terimakasih saja tidak akan cukup" katanya sambil menghela
napas. Kwee Tiong tersenyum,
"Ucapanmu membuatku malu.Kuyakin tindakkanku barusan hanya berlebihan.
Tidak kusangka permainan golok saudara begitu hebatnya".
Tan Leng Ko tertawa,
"Kau puji kehebatan permainan golokku, nyatanya yang telah menyelamatkan
sebuah tanganku, adalah pedangmu dan bukan golokku"
Kwee Tiong ikut tertawa,
"Mereka bertiga mempunyai kepandaian yang seimbang dan kerja sama yang
hebat. Serangan mereka memaksamu menghindar tanpa ada kesempatan untuk
membalas. Begitu satu lawan satu, sudah lima jurus kukeluarkan hanya dapat
mendesak si tinggi besar, sedangkan saudara hanya cukup mengeluarkan satu
jurus". Sambil menunjuk kepada mayat si pendek kekar, ia melanjutkan:
"Permainan golokmu memang patut dipuji."
Tan Leng Ko tersenyum, ia sangat menyukai pemuda ini. Seorang pemuda
perkasa, dari keluarga hebat, berkepandaian tinggi dan tidak sombong.
"Siapakah mereka, toako?" tanya Kwee Li
Kwee Tiong menarik napas dalam dalam sebelum menjawab,
"Puluhan tahun mereka dikenal sebagai Tiga Srigala dari gunung hong san. Adat mereka buas, gemar membunuh. Tak kusangka mereka bisa berdatangan juga
ke kota Lok Yang"
Kwee Li melirik sebentar kepada Tan Leng Ko dengan pandangan kagum,
"Merek mereka yang sudah tahunan gara gara saudara ini, terpaksa harus
diganti" katanya dengan tersenyum
"Merek mereka?" tanya Tan Leng Ko heran.
"Sekarang mereka lebih tepat dikenal sebagai Dua Srigala dari gunung hong
san" Giliran Tan Leng Ko tersenyum,
"Kuusahakan agar gelar mereka cepat berubah lagi, jika bertemu"
Kwee Tiong ikut tersenyum,
"Kau telah mengetahui nama kami dari gadis nakal itu, rasanya kurang adil jika kami tidak mengetahui nama saudara"
Buru buru Tan Leng Ko menyebut namanya. Hanya nama yang ia sebut.Saat ini,
Ia tidak ingin memancing perhatian orang lain terhadap Lok Yang Piaukok.
"Kenapa mereka menyerangmu, Tan toako?" tanya Kwee Li ingin tahu.
Kwee Tiong pura pura tak menggubris, cara panggil adiknya yang terdengar
'langsung akrab'.
"Akupun tidak tahu. mereka menuduhku memperebutkan mustika segala,
kemudian langsung menyerang tanpa memberi kesempatan aku untuk
berbicara"
Kwee Tiong menghela napas,
"Nampaknya kabar angin itu sudah beredar di kalangan kang ouw. Tidak heran
kota ini kedatangan bermacam macam orang".
Dengan heran Tan Leng Ko bertanya,
"Kabar apa" Apa hubungannya dengan kota ini?"
"Apa Tan-heng belum pernah mendengar berita ini?" tanya Kwee Tiong berbalik heran. Mereka yang tinggal jauh di gunung Hong San saja tahu, masakkan
pemuda yang nampaknya tinggal dikota ini malah tidak tahu.
Tan Leng Ko menyengir,
"Badanku kurang sehat, dua minggu terakhir ini. Kujarang keluar rumah. Berita itu tentu baru saja beredar".
"Memang belum lama ini kami mendengar bahwa mustika kemala pelangi telah
muncul di kota Lok Yang" kata Kwee Li menerangkan.
Mau tidak mau Tan Leng Ko menarik napas dalam dalam. Ia tidak tertarik
dengan mustika segala, urusannya sudah banyak.
Ia harus menjaga urusan Khu Han Beng tidak sampai mengundang perhatian
orang kang ouw. Tak mungkin ia dapat menghadapi mereka sendirian.
"Apa keistimewaan mustika itu hingga diperebutkan orang" tanyanya berlagak
tertarik, meniru reaksi umumnya orang, jika mendengar sebuah mustika.
"konon katanya, mustika itu menunjuk ke suatu tempat yang terdapat koleksi
kitab kitab ilmu silat yang luar biasa" kata Kwee Tiong perlahan.
Kagetnya bukan main Tan Leng Ko mendengar hal ini. Dengan sekuat tenaga,
dikerahkan tenaga batinnya agar airmukanya tidak berubah..!.
Apa kamar Khu Han Beng berhubungan dengan mustika kemala pelangi"
Rasanya tidak masuk akal...
"Apakah kedatangan kalian karena urusan ini?"
"yaa...kedatangan kami memang karena urusan ini" jawab Kwee Li.
"Kami tidak ingin mustika itu jatuh ketangan yang salah" ujar Kwee Tiong dengan cepat.
Ia tidak ingin dianggap orang yang silau terhadap sebuah mustika.
"Sebenarnya bagaimana bentuk dari mustika itu?" tanya Tan Leng Ko kali ini ia benar benar tertarik.
Baru Kwee Tiong mau menjawab, adiknya berkata dengan nada tidak sabar.
"Toako, kita ditunggu orang. Tidak baik kalau terlambat. Sampai berjumpa
saudara Tan" kata Kwee Li kemudian melangkah pergi.
Kwee Tiong tidak punya pilihan lain kecuali menyusul adiknya.
"Saudara Tan, kami harus segera pergi" kata Kwee Tiong.
"Sialhkan saudara Kwee, terima kasih atas pertolonganmu" ucapnya segera.
Mereka mengembangkan ginkang, melesat pergi, meninggalkan Tan Leng Ko
yang menjadi termenung sendirian.
Entah bagaimana bentuk mustika kemala pelangi. Yang pasti, jika manusia
sejenis tiga srigala dari gunung hong san dan keluarga Kwee sampai tertarik, tentu mustika itu mengandung nilai luar biasa sekali...
Setelah mengubur si pendek kekar, Tan Leng Ko menggerakkan kakinya
meninggal tempat itu.
Kepalanya masih terasa pening, mungkin sedikit hawa beracun dari kuku
beracun sikurus kering, sempat terisap olehnya. Ditambah dengan kerja berat gali kubur, dan perutnya yang lapar, ia harus lekas beristirahat dan bersamadi.
Walau tidak sampai membahayakan dirinya, bagaimanapun juga, makin cepat ia
mengusir hawa racun tersebut, makin baik.
Sekitar sepuluh kaki dari pintu gerbang Lok Yang Piaukok, sebuah bayangan
berkelebat mencegat Tan Leng Ko yang kembali terkejut.
Ia terkejut bukan saja disebabkan melihat si gadis setan yang berdiri didepannya sambil bertolak pinggang. Ia terkejut melihat ginkang gadis setan itu yang jauh lebih hebat dari dugaannya semula.
"Kau ingin mencelakaiku?" bentak gadis setan itu marah marah.
Sebelum Tan Leng Ko sempat menjawab, gadis setan itu mulai menyerangnya.
Jurus serangannya sangat aneh. Empat jarinya dirapatkan meniru sebilah
pedang, gerakkan lengannya selalu lurus, tidak ada gerakkan membengkok.
Tapi hebatnya luar biasa.
Semacam hawa pedang yang mencicit merobek hancur lengan baju Tan Leng
Ko berkeping keping. Tan Leng Ko kagetnya luar biasa. Kepeningan kepalanya, mengganggu kecepatan geraknya.
Hampir ia mencabut goloknya, tapi ia tidak tega. Sayangnya ia tidak mempunyai kepandaian hebat lain kecuali Ouw Yang Ci To.
"Apa kau ingin membunuhku" tanyanya cepat
"Siapa suruh kau hendak mencelakaiku"
"Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, jika kau ikut, kau akan menyesal"
Gadis setan itu terdiam. Mau tidak mau ia harus mengakui, Tan Leng Ko telah memberi peringatan padanya.
"Tadi kau selalu bersamaku...Darimana kau tahu Pek Kian Si, berada
disitu"...hayoh jawab!"
Sambil menyengir Tan Leng Ko menjawab:
"Kejadian tabrakan tadi dekat dengan waktu makan siang, Pek Kian Si tidak
memilih Se Chuan Koan yang lebih dekat, berarti ia tidak suka makanan pedas.
Kau sendiri yang bilang dia dari Kang Lam yang kutahu suka makanan manis.
Ban Tiok Koan adalah jenis rumah makan seperti itu..."
Diam diam timbul juga rasa kagum di hati gadis setan itu.
"Kenapa kau tidak menghalangi kejaran Pek Kian Si?" tanyanya galak.
"Jika kau mampu mengambil ronce pedangnya, kuyakin kau mempunyai cara
untuk menghadapinya. Lagi pula...."
"Lagi pula apa...?" desak gadis setan itu.
"Aku tidak mengenal kau ini siapa"
Mata gadis setan itu mulai mengembang air mata.
"Huuuhuuu...kau yang kuanggap baik, ternyata berniat mencelakakanku. Tidak
ada yang sayang padaku. Tidak ada yang mau pedulikan aku"
Gadis setan ini mulai menangis. Bukan hanya menangis, melainkan menangis
sambil menjerit keras. Tentu saja mengundang perhatian orang Lok Yang
Piaukok. Tan Leng Ko menghela napas. Ia benar benar tidak dapat menerka watak gadis
setan ini yan cepat sekali berubah. Sebentar marah, sebentar jahil, kemudian tahu tahu menangis. Kepalanya yang pusing semakin pening.


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khu Han Beng keluar menghampiri mereka. Bahkan Hong naynay pun ikut
keluar dari dapur.
"Apa yang sedang kau perbuat?" tanya Hong naynay sambil melotot.
Tangannya memeluk gadis setan itu, yang menangis makin keras, air matanya
membasahi baju Hong naynay.
Tak ada yang bisa diperbuat Tan Leng Ko kecuali menyengir.
Mata Hong naynay masih melotot kepadanya.
"Memang laki tidak genah ini, bukan orang baik baik. Ayoh, kau masuk kedalam.
Kau coba masakkan Hong naynay. Kau akan melupakan kesedihanmu" Hong
naynay mengajak gadis setan itu kedapur.
Tan Leng Ko menyengir dalam hati, yang belum makan adalah dia... dia tidak
diajak. Gadis setan ini baru saja makan. Malah Sekarang diajak makan lagi. Apa sengaja mau dibikin gemuk"
Sebenarnya ia tidak setuju dengan ajakan Hong naynay mengundang gadis
setan itu masuk. Perbuatan ini, seperti mengundang harimau, yang lebih banyak bahayanya daripada manfaat. Tapi ia juga tidak ingin melanggar Hong naynay.
Yang harus ia lakukan adalah mengawasi gadis setan itu dengan ketat. Ia tidak tahu bagaimana gadis setan ini dapat menemukan dirinya dekat Lok Yang
Piaukok. Dugaannya bukan suatu kebetulan. Ia harus mencari tahu, apa maksud gadis setan ini menyusup ke Lok Yang Piaukok.
"Siapa dia?" tanya Khu Han Beng dengan heran.
"Aku tidak tahu" jawab Tan Leng Ko.
Yang ia tahu, nama gadis itu tentu bukan gadis setan.
************************
Derak suara roda berputar, disela sela ringkik kuda, mengisi kesunyian hutan.
Kali ini rombongan Khu Pek Sim terdiri dari duapuluh orang piasu yang
berkepandaian paling tinggi di Lok Yang Piaukok untuk mengawal sebuah kereta barang.
Untuk sebuah kereta, biasanya sepuluh orang sudah lebih dari cukup. Hanya
barang kawalan yang berharga sekali yang mendapat perlakuan istimewa.
Dua laksa tahil yang seluruhnya dari emas tentu saja mendapat perlakuan
istimewa. Bukan saja dalam pengawalan, kuda kuda yang menarik kereta inipun termasuk kuda pilihan.
Kereta itu ditarik oleh delapan kuda yang kuat dan kekar. Jelas bukan jenis kuda sembarangan ditilik dari warna putih seperti kaos kaki yang melingkari bagian bawah kakinya.
Khu Pek Sim yang mengendarai kuda yang paling depan, mengerenyitkan
alisnya. Ia tidak menyukai suara derak ini yang terlalu mengundang perhatian.
Sumbu roda telah beberapa kali diberikan minyak dari lemak binatang, namun
tidak menolong banyak.
Bagi orang kang ouw yang berpengalaman, dari suara derak yang nyaring itu,
juga dari jumlah kuda yang banyak, mereka dapat menarik kesimpulan kereta
barang ini membawa sesuatu yang berat dan hanya emas yang dapat
menimbulkan beban seberat itu.
Udara yang dingin tidak dapat menghilangkan rasa gundah dihati Khu Pek Sim.
Yang membuatnya agak lega, sore ini mereka akan tiba di kota Po-ting, tempat tujuan mereka. Khu Pek Sim bersyukur perjalanannya kali ini nampak aman dari gangguan.
"Brruaaakkk...!" sebatang pohon sepelukan tangan manusia, rubuh melintang
dijalan. Kuda dibagian depan yang menarik kereta mengangkat kaki, sambil
meringkik kaget, hampir mereka saling bertubrukan, untung sais kereta itu
seorang yang sudah berpengalaman. Dengan suara perlahan dibujuk kudanya
agar tenang. Khu Pek Sim memberi isyarat tangan. Para piasu yang sudah terlatih
mengangkat tameng mereka dan berdiri mengitari kereta barang.
Tangannya meraih tombak, dan duduk diatas kuda dengan tenang. Jalan yang
mereka sedang lalui walau bukan hutan, tapi dikiri kanan banyak pepohonan
yang rindang. Rubuhnya pohon itu jelas disengaja, namun tidak terdengar
gerakkan atau suara lain kecuali ributnya burung liar yang kaget beterbangan.
Setelah menunggu sekian lama, hanya deru bendera pelambang Lok Yang
Piaukok yang mengisi keheningan, Khu Pek Sim akhirnya tidak sabar.
"Jika kalian tidak mau bertemu, sebaiknya kami pergi saja" serunya dengan
lantang. Ia tidak terlalu sering kekota Po-ting, namun ia cukup tahu, walau jalan ini tidak terlampau aman, perampok yang menguasai daerah ini, belum pernah
menganggu barang kawalan Lok Yang Piaukok.
"Jika berani menghalang, tentu tidak takut urusan, kenapa tidak lekas
diselesaikan?" teriaknya sekali lagi.
Dari balik rumpunan pohon bambu, seseorang keluar berjalan kearah mereka
dengan perlahan. Ia mengenakan baju putih, berwajah tampan walau sudah
tidak muda lagi, sebuah senyuman ramah tersungging dibibirnya.
Khu Pek Sim tertegun. Ia menduga puluhan perampok yang menghadang
jalannya, bukan hanya satu orang.
Orang berbaju putih itu mengangkat tangannya memberi hormat,
"Kumohon maaf atas keterlambatanku. Maklum ini pengalaman pertama bagiku
untuk merampas barang milik orang lain. Caraku masih canggung" ujarnya
perlahan. Diam diam Khu Pek Sim agak kuatir, ada satu hal yang merisaukan hatinya,
"Inipun pengalaman pertama bagiku, menemui perampok yang ramah dan
tamah" katanya sambil memberi hormat.
Orang itu tersenyum,
"Ditinjau dari beratnya muatan, dan besarnya kereta, tentu kau membawa paling sedikit satu laksa tahil emas".
"Pandai sekali anda berhitung" seru Khu Pek Sim dengan dingin.
"Selain mengetahui cara berhitung, akupun mengetahui laksaan tahil emas dapat digunakan untuk apa saja" kata orang itu dengan tetap ramah.
"Jika kau hendak merampas uang emas ini, langsung saja menggunakan
kepandaian, tidak perlu bertele tele yang tidak berguna" tantang Khu Pek Sim Sambil meloncat turun dari kudanya.
Orang itu menghela napas,
"Jika kita bertarung, belum tentu aku menang. Walau menang sekalipun, jika kau hancurkan roda kereta itu, akupun tidak dapat membawa emas itu pergi jauh"
khu Pek Sim tertegun. Jika roda keretanya telah hancur, memang emas
sebanyak dan seberat ini tidak mungkin dapat dibawa kabur oleh satu orang. Ia yang sudah berpengalaman bertahun tahun, malah tidak berpikir kearah itu.
Orang ini berpikiran tajam, jelas bukan orang sembarangan yang mudah
dihadapi, ia harus berhati hati.
"Sebetulnya, apa kehendakmu?" tanya Khu Pek Sim dengan keras.
"Bukankah sudah jelas kukatakan, aku ingin merampas, ingin merampok barang
kawalanmu" katanya dengan halus.
"Bolak balik kau berbicara, rupanya tujuanmu tetap tertuju pada emas ini"
dengus Khu Pek Sim yang mengakui muatan barang kawalannya. Ia tahu tiada
gunanya berbohong.
Sambil tertawa, orang itu mengeluarkan sesuatu dari bajunya,
"Benda ini tidak beracun, dan kuberikan kepadamu jika kau berikan barang yang kuminta"
Dengan heran Khu Pek Sim menatap secarik kertas yang dipegang oleh orang
itu. Ia tidak mengerti apa maksudnya.
Tiba tiba orang itu melesat cepat sekali kearah salah satu piasu yang berdiri di depan dan dengan cepat telah kembali ke posisinya semula. Piasu itu tidak
nampak terluka. Ia berdiri bengong dengan tangan kiri memegang kertas itu.
Jantung Khu Pek Sim berdetak keras melihat kecepatan gerak orang itu. Dengan tetap waspada, ia menoleh kepada anak buahnya.
"Cu Goan, apakah kau terluka?" tanyanya dengan cemas.
Piasu yang bernama Cu Goan itu menggeleng, kemudian matanya melirik kertas
yang dipegangnya. Tahu tahu mukanya berubah dengan hebat.
Melihat perubahan raut muka anak buahnya, Khu Pek Sim cepat bertanya,
"Apa kau keracunan?"
' Aku tidak keracunan...hanya ini....sebaiknya Khu Conpiautau melihat sendiri"
katanya sambil menghampiri Khu Pek Sim.
Khu Pek Sim menerima kertas tersebut, mukanya ikut berubah ketika
membacanya. Kertas itu ternyata sebuah gin-bio atau surat uang yang
dikeluarkan dari bank ternama di kotaraja. Keaslian surat uang ini tidak perlu diragukan lagi, bahkan dapat diuangkan kapan saja dan oleh siapa saja.
Sekarang ia paham kenapa anak buahnya terkejut. Siapa yang tidak kaget
melihat surat uang itu, yang ternyata bernilai enam laksa tahil emas!
Hati Khu Pek Sim tenggelam, kekuatirannya ternyata menjadi kenyataan. Tidak mungkin orang ini menghendaki barang kawalannya yang tidak bernilai
sebanyak surat uang ini. Jika orang ini tidak sayang kehilangan enam laksa tahil emas, hanya satu barang yang di ngini oleh orang ini. Barang yang dibawanya, dan hanya diketahui oleh tiga orang .
Dengan muka serius orang itu berkata,
"Kau tidak harus menjawabnya sekarang, kuberi waktu satu hari penuh padamu
untuk memertimbangkan. Surat uang itu boleh kau simpan, untuk menunjukkan
ketulusan hatiku.".
"Apa kau tidak kuatir kubawa kabur uangmu?" tanya Khu Pek Sim tak tahan.
Orang itu menggerakkan kakinya menendang batang pohon yang rubuh itu.
"Blaaangg!" batang pohon itu bagaikan kapas terbang melayang menabrak
pohon yang berdiri. Kerasnya daya dorong menyebabkan pohon itu tidak tahan
dan ikut tumbang, akar menonjol keluar, terobek dari tanah.
Suara ranting, dahan dan rimbunan daun saling bertabrakan menimbulkan suara yang menakutkan.
"Aku tidak kuatir" kata orang itu sambil tersenyum.
Tangannya merangkap memberi hormat, kemudian tubuhnya melesat
menghilang di balik rumpunan pohon bambu.
Para piasu terpaku akan kedahsyatan tendangan orang itu, mereka tidak
memperhatikan keadaan Khu Pek Sim yang berdiri termenung.
Lok Yang Piaukok mempunyai penghuni baru, atau lebih tepatnya seorang tamu
yang bernama Giok Hui Yan. Entah bagaimana caranya, gadis yang beradat
aneh ini dapat dijinakkan oleh Hong naynay.
Rupanya seorang gadis pemberani hanya takut kepada perempuan lain... yang
lebih galak daripadanya.
Menurut cerita Hong naynay, gadis ini ternyata kabur dari rumah setelah
dimarahi oleh ayahnya. Ia luntang lantung mengembara, hingga bertemu dengan Tan Leng Ko di Se Chuan Koan. Ketika ditanya asal usulnya, Giok Hui Yan
menjawab bahwa dia tidak suka membohongi Hong naynay yang begitu baik
padanya, tapi ia juga mempunyai alasan yang kuat sehingga belum dapat
menceritakan asal usulnya.
Hong naynay enggan mendesak, begitu pula yang lainnya. Kebiasaan ingin tahu urusan orang lain bukanlah kebiasaan yang ada di Lok Yang Piaukok.
Entah disengaja atau tidak, Giok Hui Yan hanya alim di depan Hong naynay,
sedangkan dengan yang lain, kelakuannya tidak berubah.
Seperti biasa, sore hari para piasu berlatih silat di lapangan. Tan Leng Ko berhalangan hadir. Ia masih bersamadi dikamarnya membersihkan sisa hawa
racun ditubuhnya.
Giok Hui Yan menghampiri mereka dengan cirinya yang khas....bertolak
pinggang sambil cengar cengir. Tubuhnya meloncat keatas rak senjata, dan
berdiri diatas sebuah ujung tombak yang tajam.
Melihat ginkang gadis itu yang tinggi, para piasu tanpa terasa menghentikan latihannya dan bersorak kagum.
Mendengar teriakan bernada memuji itu, gadis itu tersenyum bangga. Giok Hui Yan telah melepaskan ikat kepalanya, rambutnya yang panjang dibiarkan terurai.
Cantik sekali gadis ini ketika tersenyum walau masih mengenakan pakaian pria.
Tak lama kemudian, kakinya berlari diatas deretan ujung tombak, makin lama
makin cepat, para piasu yang hanya mampu melihat bayangan gadis ini bertepuk tangan, sebagian malah ada yang bersuit.
Tubuh Giok Hui Yan meletik, dan membuat salto tiga kali di udara, dan berdiri di depan para piasu yang belum berhenti bertepuk tangan. Gadis ini mengangkat
tangannya menenangkan pengagumnya, sambil berkata:
"Mau tidak kalian kuajarkan jurus tangan kosong?"
Tentu saja para piasu menjawab ingin.
"Telah kuhitung jumlah kalian. Sepuluh orang berdiri disebelah kiri, dan sepuluh orang sisanya disebelah kananku berdiri saling menghadap".
Seperti seorang jendral, Giok Hui Yan berjalan mondar mandir di tengah
barisannya. Tangan dan mulutnya sibuk membetulkan. Setelah puas, ia berdiri ditempatnya semula dan meminta perhatian mereka.
Tangan kanan dan kakinya bergerak secara aneh. Ia mengulang hingga tiga kali kemudian meminta barisan kanan menirunya dengan cepat dan tenaga penuh.
Barisan kanan melakukan yang dipintanya, terdengar suara beruntun keplak
keplok, saling menyusul. Para piasu dibarisan kiri banyak yang terpelanting, pipi kanan mereka tertampar nyaring.
Gadis itu bertepuk tangan sambil tertawa girang,
"Kalian sungguh pintar. Diberitahu sekali, langsung pandai. Hayoh dilatih
sebanyak duapuluh kali"
Dengan bingung, salah satu piasu dibarisan kiri bertanya
"Sebetulnya jurus apa ini?"
Dengan nada tidak senang, Giok Hui Yan menjawab,
"Untuk menjadi seorang jago silat, kalian harus berani tahan sakit. Baru sedikit tertampar, kalian sudah mengeluh. Kalau kalian enggan berlatih, yaa sudahlah"
Gadis itu kemudian melangkah pergi.
Dengan gugup, piasu itu berkata,
"Jangan pergi dulu, kami tahan uji dan biasa hidup diujung golok. Kami akan berlatih sungguh sungguh"
Giok Hui Yan mengurung niatnya untuk pergi,
"Siapa yang tidak tahan sakit, boleh lekas pergi dari sini. Yang pergi, tidak akan dianggap seorang pengecut!" ujarnya memberi penekanan dikata 'pengecut'.
Tidak ada seorangpun yang pergi. Tentu saja jika ada yang pergi, malah akan dianggap pengecut oleh piasu lainnya.
Sambil mengikik gadis itu berkata,
"Kalian memang calon calon pendekar besar. Jika kalian latih jurus ini dengan sungguh sungguh, kujamin dalam satu dua tahun kalian akan mempunyai nama
di rimba persilatan"
Mendengar janji yang muluk muluk, sebagian piasu ada yang sampai
membusungkan dada dengan semangat. Mereka lupa, ada jenis perempuan
yang ucapannya tidak boleh dipercaya begitu saja.
"Ayoh, barisan kanan mulai berlatih, barisan kiri boleh mencoba menghindar"
Kembali terdengar suara keplak keplok nyaring, silih berganti. Jurus ini memang rada aneh. Para piasu dibarisan kiri mencoba menghindar, toh pipi kanan
mereka tetap saja tertampar.
Setelah puas melihat pipi kanan barisan kiri membengkak, Giok Hui Yan
menyuruh mereka bergantian. Barisan kiri menyerang dan barisan kanan
mencoba menghindar.
Ruangan berlatih silat, kembali diriuhkan dengan suara pipi tertampar. Sambil sibuk mondar mandir, Giok Hui Yan berteriak memberi semangat:
"Jurus kalian sudah benar, hanya masih loyo. Kalian harus mengerahkan semua tenaga ke telapak tangan".
Suara tamparan semakin nyaring, bahkan ada sebagian piasu dibarisan kanan
yang terpelanting dengan gigi copot.
Setelah berlatih dua puluh kali, Gadis itu menyuruh mereka berhenti dan berdiri tegak dibarisan masing masing. Senyum manis menghias wajah cantik itu ketika melihat warna merah biru menghiasi pipi kanan para piasu.
"Kulihat ada yang mencoba menghindar tapi tidak berhasil, bukankah jurus ini hebat luar biasa?"
Dengan ujung bibir berdarah, dan pipi memar, para piasu menjawab. Yang
terdengar hanya suara gumaman yang tidak jelas.
"Sekarang barisan kiri dan barisan kanan berbareng melatih jurus kedua" ujar gadis itu sambil melakukan langkah dan gerakkan tangan kiri yang aneh.
Suara tamparan yang terdengar kali ini, selain bersusulan juga bersamaan. Para piasu di barisan kiri dan barisan kanan saling menampar pipi kiri masing masing.
"Kalian ulang sebanyak dua puluh kali, aku akan kembali melihat hasil latihan kalian" kata gadis ini sambil menyengir kemudian melangkah pergi.
Tan Leng Ko yang baru saja bersamadi, berjalan keruangan latihan silat.
Dahinya berkerut ketika melihat Giok Hui Yan dikejauhan, apalagi ketika
mendengar suara aneh dan nyaring.
Dengan cepat ia memasuki ruang latihan silat, Tan Leng Ko menghela napas
ketika melihat murid muridnya terpelanting dengan muka bundar. Tujuh tahun ia telah mengajar mereka, tidak ada yang mukanya hingga bengap biru, babak
belur begitu. ********************************
Warna biru tinta yang masih basah, kelihatan indah sekali. Khu Han Beng
berada di kamarnya, sedang sibuk menyalin. Menyalin tulisan keriting yang dia tidak ketahui namanya, tapi sudah dihapalnya semenjak ia berusia tujuh tahun.
Suara ribut ribut Lo Tong terdengar dari luar pintu kamarnya, yang kemudian dibuka oleh Giok Hui Yan. Sambil cengar cengir, matanya memicing menatap
Khu Han Beng seperti mahluk aneh yang belum pernah dilihatnya.
Khu Han Beng, yang pernah diceritakan oleh Tan Leng Ko mengenai kelakuan
gadis itu di Se Chuan Koan, menghela napas:
"Apa yang kau kehendaki?" tanyanya perlahan.
"Aku sedang mencari cacing".
"Kenapa tidak mencari diluar sana, malah mencari dikamar ini?" tanya Khu Han Beng heran.
"Aku sedang mencari kau, bukankah kau seekor cacing buku" katanya sambil
mengikik. Dengan kesal Khu Han Beng berkata,
"Jika kau hendak menggoda, sebaiknya kau keluar saja dari kamar ini, aku
hendak tidur".
Smabil bertolak pinggang, Giok Hui Yan berkata:
"Apa yang hendak kau perbuat, jika aku enggan keluar?"
Khu Han Beng memandang Giok Hui Yan sejenak. Untuk mengatasi kenakalan
gadis ini, dia tidak punya pilihan lain kecuali racun melawan racun.
Khu Han Beng mendekati Giok Hui Yan, dan dengan cepat melepaskan bajunya
hingga telanjang dada.
"Biasanya aku tidur tanpa busana, jika kau tidak mau keluar..."
Belum selesai ia berbicara, Giok Hui Yan menjerit, kemudian kabur dari situ.
Bagaimana berani dan anehnya adatnya, bagaimanapun juga ia seorang gadis
perawan, yang jengah melihat seorang bocah sebaya dirinya dengan dada
telanjang. Sambil tertawa Lo Tong menghampiri Beng-sauyanya, kemudian berkata:
"Sekarang kutahu cara terbaik untuk mencegah gadis nakal itu".
"Apa yang akan kau lakukan?"
Sambil menyengir Lo Tong menjawab:
"Jika gadis setan itu muncul, kubuka saja celanaku, tanggung urusan jadi beres"
Khu Han Beng tersenyum,
"Aku hendak bermain di belakang bukit sana, tolong kau bereskan kamarku"
ujarnya sambil merapihkan baju, kemudian ia melangkah keluar. Begitu berada diluar pintu gerbang, ia memusatkan perhatiannya. Setelah yakin tidak ada orang disekitarnya. Tiba tiba tubuhnya melesat kebelakang bukit. Cepatnya bukan
main. Tak lama dari kepergian Khu Han Beng, pintu gerbang Lok Yang Piaukok
kembali dilalui orang. Bukan hanya seorang, melainkan dua belas orang yang di atas dada sebelah kiri disemati oleh bunga. Bunga bwe berwarna hitam, terbuat dari besi.
"Blaaangg...!" Pintu gerbang Lok Yang Piaukok yang terbuka, yang tidak
menghalang jalan masuk mereka, toh tetap dihajar hancur oleh mereka.
Rombongan Bwe Hoa Pang kali ini nampaknya dipimpin oleh seorang tosu yang
memegang pedang ditangan kirinya. Tapi yang menghancurkan pintu bukan dia,
melainkan pemuda sombong yang pernah datang kemari beberapa minggu yang
lalu. Mendengar suara hancurnya pintu yang keras, yang pertama muncul
menghadap mereka bukan lain Giok Hui Yan, disusul oleh Tan Leng Ko yang
bergegas keluar.
Sambil bertepuk tangan Giok Hui Yan tertawa,
"Benar benar menarik. Rupanya serombongan badut berseragam datang
kemari". "Rombongan badut?" tanya tosu itu tak tahan.
"Bukankah pertunjukan panggung, selalu diawali dengan suara 'bang' yang
mengejutkan. Tentu kalian ingin menari disini" kata Giok Hui Yan sambil cengar cengir.


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tosu tua tidak menggubris ucapan gadis itu,
"Apakah bocah ini?" tanyanya kepada pemuda sombong itu.
Pemuda sombong itu menggeleng,
"Usia mereka sebaya, tapi bocah itu jelas bukan perempuan"
Giok Hui Yan mendengus,
"Seorang kakek tua mencari seorang bocah lelaki, tentu untuk urusan yang tidak beres".
Selesai berkata tubuhnya melesat cepat kesalah satu dari rombongan mereka,
tangannya bergerak aneh, terdengar suara pipi ditampar bolak balik tanpa orang itu mampu menghindar. Tubuhnya terkulai lemas, ketika hidungnya dihajar
remuk. Para piausu yang ikut keluar bersama Tan Leng Ko bersorak, mereka mengenal
gerakkan gadis itu. Tidak rugi pipi mereka bengkak, ternyata jurus itu memang benar hebat.
Tosu tua itu terkejut kaget melihat kegesitan Giok Hui Yan. Ia maklum gadis ini tentu bukan orang sembarangan.
"Siapa kau" Apa hubunganmu dengan Lok Yang Piaukok?"
Sambil Tolak pinggang, Giok Hui Yan mendekati tosu itu. Ia tidak menggubris pertanyaan itu.
"Ku tahu maksud kedatangan kalian. Kau tahu apa sebabnya tak akan kubiarkan kalian mengacau disini"
"Apa sebabnya?"
"Sebab itu sudah menjadi tugasku. Apa kalian ingin berebut tugas denganku?"
tanya Giok Hui Yan sambil mengikik.
Giliran Tosu itu tidak menggubris Giok Hui Yan. Ia menatap Tan Leng Ko dengan tajam.
"Kedatanganku ingin bertemu dengan Khu Pek Sim dan cucunya"
Tan Leng Ko yang terdiam sedari tadi, tidak menjawab. Sekarang ia tahu
perkiraannya tidak tepat. Asal usul Giok Hui Yan ternyata tidak berhubungan dengan Bwe Hoa Pang. Tapi ia tetap membiarkan Giok Hui Yan yang maju. Ia
ingin tahu tindak tanduk Giok Hui Yan apakah akan membantu Lok Yang
Piaukok atau tidak.
Giok Hui Yan yang tidak dianggap oleh tosu itu, marah betul. Ia menggerakkan tangannya secara lurus. Terdengar suara mencicit seperti hawa pedang
menerjang ke tosu itu.
Cepat tosu itu mengelak, kekagetannya bertambah. Ia telah mendengar seorang bocah aneh yang entah dengan cara apa telah menguntungi tangan Ceng Siau
Lam murid ketua mereka. Sekarang muncul bocah aneh yang lain. Seorang
bocah perempuan.
Tosu itu tidak sempat berpikir lagi, serangan berikut dari Giok Hui Yan
memaksanya mencabut pedang. Sebilah pedang yang melekat noda merah
kehitaman. Noda darah yang telah mengering.
Pedang itu membuat gerakkan melingkar memunahkan serangan Giok hui Yan.
Gerakkan susulan pedang itu yang sedang menusuk perut Giok Hui Yan, entah
kenapa mendadak ditarik. Diganti dengan tangan kiri yang menghajar pundak kiri gadis itu dengan telak.
Tubuh Giok Hui Yan mencelat dibarengi darah kental yang keluar dari mulutnya.
Dengan terkejut, Tan Leng Ko lekas meloncat menanggapi tubuh Giok Hui Yan.
Tosu itu tidak melanjutkan serangannya, ia malah termenung. Gerakkan tangan gadis itu seperti dikenalnya. Justru karena itu, ia tidak melanjutkan tusukannya.
Hanya satu perguruan yang mempunyai ciri gerakkan tangan yang lurus tidak
membengkok....tiba tiba mukanya berubah hebat.
"Kau ....?"
Giok Hui Yan mendengus, memotong ucapannya.
"jika kau mundur dari sini, urusan ini tidak akan kuperpanjang"
Tosu itu menarik napas. Bocah perempuan ini telah memiliki hawa pedang tanpa menggunakan pedang, tentu berhubungan erat dengan ketua perguruan itu. Dan
ia telah melukainya!
Pertikaian dengan perguruan itu bukan urusan main main dan akan berakibat
hebat. Ia tidak berani mengambil keputusan, ia harus melapor kepada ketuanya.
Tanpa berbicara, cepat ia mengajak rombongannya pergi dari Lok Yang Piaukok.
**************************************
Suasana malam sepi sekali.
Angin dingin dari utara meniup kencang, membuat penghuni Lok Yang Piaukok
malas keluar dari kamar. Kecuali penjaga malam, boleh dibilang hampir semua orang meringkuk di dalam kemul selimutnya.
Begitu pula Giok Hui Yan, luka gempur di bahu, memaksanya berbaring di
tempat tidur kamar tamu. Hong naynay yang ingin menemaninya ditolak secara
halus. Ia biasa tidur sendirian dan ia tidak ingin menyusahkan Hong naynay.
Tan Leng Ko baru saja selesai melakukan pekerjaan rutinnya, melakukan
perondaan. Ia tidak ingin terlena dari tugasnya. Walau kecil sekali kemungkinan orang Bwe Hoa Pang akan muncul lagi, ditilik dari sikap tosu itu yang sudah menang tetapi malah mengundurkan diri. Asal usul Giok Hui Yan, rupanya cukup menggertak mereka pergi.
Tiba tiba timbul keinginannya untuk meminum arak. Ia menghilang sebentar,
tahu tahu sudah kembali dengan tangan memegang sebuah guci arak. Sekali
lompat, dia sudah berada di wuwungan rumah.
Tan Leng Ko meminum araknya dengan perlahan. Hawa hangat menyebar
tubuhnya, membantu melawan dinginnya malam.
Waktu bergerak lambat sekali. Tapi Tan Leng Ko tidak keberatan menunggu.
Kalau perhitungannya tidak salah, asal dia sabar menunggu mungkin dia akan
mendapat jawabannya. Sesungguhnya, apa yang sedang ia tunggu"
Dari letak wuwungan rumah yang tinggi, seperti kemarin, Tan Leng Ko melihat Khu Han Beng yang baru saja pulang. Dari sore bocah ini pergi, baru sekarang pulang. Apa saja yang dilakukan anak ini"
Dahi Tan Leng Ko berkerut ketika melihat kembali belakang tubuh Khu Han
Beng banyak menempel daun segar. Baru teringat oleh Tan Leng Ko ketika
kemarin ia membersihkan daun dari punggung bocah ini. Letak daun daun
tersebut tepat diatas urat nadi penting. Apakah hal ini sesuatu yang kebetulan atau disengaja"
Tapi dia tidak menegur Khu Han Beng, dibiarkannya bocah ini memasuki
kamarnya. Dia cukup menyadari, urusan ganjil yang menyangkut Khu Han Beng tidak dapat ditunda lagi. Ia harus menanyakan urusan ini sejelas jelasnya.
Setelah memikirkannya secara seksama, Tan Leng Ko berkesimpulan, cara
terbaik agar Khu Han Beng bersikap terbuka padanya, ia juga harus bersikap
jujur dengan Khu Han Beng.
Ia ingin Khu Han Beng mengetahui dengan pasti, bahwa ia berniat tidak buruk padanya.
Hanya saatnya bertanya bukan sekarang. Ia tidak mempunyai pilihan. Urusan
yang tidak bisa ditunda ini, sekali lagi harus ia tunda!
Malam semakin larut. Awan hitam yang menggulung dengan cepat berubah
menjadi hujan deras yang seakan akan tumpah dari langit. Suara guntur
merobek keheningan malam, diselingi kilatan petir yang menyambar, menerangi seluruh Lok Yang Piukok walau hanya sesaat yang singkat.
Dibawah kilatan petir yang sekejab itu, sesosok bayangan menyelinap masuk
kedalam ruang kerja Khu Pek Sim. Tubuhnya bergerak dari satu lemari ke lemari lainnya. Entah apa yang dilakukannya, tangannya sibuk kesana sini seperti
mencari sesuatu yang hilang. Tak lama kemudian, ia meraih sebuah buku,
membacanya sebentar. Kemudian menaruhnya kembali..
Orang yang sedang sibuk mencari itu menabrak lemari, ketika dikagetkan oleh seruan Tan Leng Ko,
"Apapun barangmu yang hilang, kujamin tidak akan hilang disini"
Giok Hui Yan menyeringai kepada Tan Leng Ko sambil meringis memegang
pundak kirinya.
Tan Leng Ko melirik pundak gadis itu sebentar, kemudian katanya,
"Ketika kau dilukai oleh tosu itu, aku terkejut. Yang membuatku heran, dengan ginkangmu yang tinggi, seharusnya kau dapat menghindari serangan itu".
Dengan muka serius Giok Hui Yan berkata,
"Maka kau curiga, luka dibahuku hanya pura pura"
Tan Leng Ko yang belum pernah melihat gadis ini bersikap serius, semakin
berhati hati, "Cedera dibahumu jelas bukan pura pura. Kau memang terluka cukup berat.
Hanya lukamu memang kau sengaja"
"Terluka bukan suatu hal yang menyenangkan, mengapa aku berbuat begitu?"
"Karena kau ingin gerak gerikmu bebas dari kecurigaan kami. Kau terluka dalam usaha membela kami. Tentu saja kami akan berterima kasih dan
menganggapmu seorang kawan. Seorang kawan yang tidak patut dicurigai".
Giok Hui Yan menghela napas,
"Semenjak kita bertemu di Se Chuan Koan, rupanya kau selalu curiga padaku"
"Pada saat itu, aku hanya menganggap dirimu seorang bocah nakal yang gemar
cari gara gara. Aku baru mencurigaimu ketika kau muncul di pintu gerbang Lok Yang Piaukok"
"Kenapa?" tanya Giok Hui Yan heran
"Sebab kau tidak tahu namaku, dan dimana tempat aku tinggal"
"Dengan kemunculanku, dengan sendirinya aku sudah mengetahui siapa kau
dan dimana kau tinggal"
"Jika kau bercapai lelah mencari tahu urusan itu, dengan sendirinya maksud
tujuanmu tentu tidak sederhana".
"Maka terluka atau tidak, kau tetap curiga padaku"
"ya!" jawab Tan Leng Ko dengan tegas.
Giok Hui Yan menarik napas dalam dalam, kemudian duduk di kursi meja kerja
Khu Pek Sim. "Apa sebabnya kau datang kemari?" tanya Tan Leng Ko tetap menjaga
kewaspadaannya.
Giok Hui Yan menatapnya dengan tajam,
"Tahukah kau sebabnya kota Lok Yang dibanjiri kaum persilatan?"
Tan Leng Ko menarik napasnya,
"Bukankah disebabkan urusan mustika kemala pelangi"
"Benar! Tahukah kau, mustika itu kabarnya berada ditangan siapa?"
Mulut Tan Leng Ko bergerak, hampir ia menyebut nama, tapi ditahannya.
"Sebenarnya bagaimana bentuk dari mustika itu?" kata Tan Leng Ko balik
bertanya. "Mustika itu berbentuk sebuah kotak kubus yang dibuat dari batu kemala dimana disetiap sisi terdapat enam macam warna".
Dengan perlahan Giok Hui Yan melanjutkan,
"Mustika itu kabarnya berada ditangan Khu Pek Sim"
"Darimana kau tahu urusan ini?" tanya Tan Leng Ko tak tahan
"Anggap saja aku mengetahui urusan ini secara kebetulan"
"Masakan hanya sebuah kabar burung kau percaya begitu saja" jengek Tan
Leng Ko Dengan perlahan Giok Hui Yan menjawab,
"Baru saja kuperiksa buku jurnal kerja kalian. Selama ini, setiap pengawalan barang tertulis dengan rapi, hanya perjalanan Khu Pek Sim kali ini tidak tercatat sama sekali"
"Mungkin karena terburu buru, Khu Congpiautau lupa mencatat"
"Memang mungkin. Tapi mungkin juga kali ini ia menghantar sesuatu yang
sangat penting. Sesuatu yang dia tidak ingin orang lain tahu kemana dia pergi".
Diam diam Tan Leng Ko terkejut. Giok Hui Yan tidak mungkin tahu, tapi ia jelas betul bahwa Khu Pek Sim sendiri yang menentukan setiap perjalanan harus
dicatat, sangat ganjil jika ia melanggar ketentuannya sendiri.
"Jadi kau kemari karena kuatir mustika itu bakal keduluan dicuri oleh orang lain"
jengek Tan Leng Ko.
Giok Hui Yan seperti tidak mendengar sindiran ini.
"Yang kukuatir, sebentar lagi berita ini bakal menyebar. Aku tidak yakin, kalian mampu menahan puluhan atau ratusan orang kang ouw yang meluruk kesini"
"Kau ingin aku percaya bahwa tujuanmu kemari disebabkan kau benar benar
menaruh perhatian terhadap keselamatan kami" dengus Tan Leng Ko
Giok Hui Yan menghela napas,
"Tujuanku kemari sebetulnya ingin menawarkan suatu kerja sama dengan kalian"
"Kerja sama?"
"Kubantu kalian menghadapi orang orang kang ouw itu, dengan imbalan kalian
juga harus membantu kami"
"Kau ingin kami membantumu mencuri mustika kemala pelangi dari tangan Khu
Congpiautau" kata Tan Leng Ko sinis.
Giok Hui Yan tiba tiba tertawa,
"Walau mustika itu bernilai luar biasa, tapi masih belum cukup memikat minatku"
"Jadi kau kemari bukan disebabkan urusan mustika kemala pelangi?" kaget juga Tan Leng Ko mendengar hal ini.
Giok Hui Yan menggeleng perlahan.
Dengan penuh selidik, Tan Leng Ko memandang Giok Hui Yan,
"Sebetulnya apa alasanmu datang kemari?"
"Alasanku kemari, karena aku mencurigai kalian!" kata Giok Hui Yan perlahan.
Tan Leng Ko tidak dapat menahan ketawanya,
"Kau yang telah menyusup ke Lok Yang Piaukok, malah curiga terhadap kami"
Dengan pandangan lekat, Goik Hui Yan menatap Tan Leng Ko,
"Aku mencurigai kalian mempunyai hubungan dengan toko buku di Lok Yang itu"
Muka Tan Leng Ko berubah, ia benar benar tidak menyangka urusan ini
menyangkut toko buku Gu-suko.
Melihat perubahan air muka Tan Leng Ko, Giok Hui Yan mendesah,
"Ditilik dari reaksimu, rupanya kau memang mempunyai setitik hubungan"
Dengan tertawa Tan Leng Ko menjawab,
"Aku merasa geli mendengar ucapanmu. Aku pergi ketoko buku, kau malah
curiga, sehingga memerlukan menyusup kesini. Bagaimana jadinya jika aku
pergi kepasar?".
Seperti tidak mendengar ejekan Tan Leng Ko, Giok Hui Yan menjawab
"Sebab kau bukan jenis yang suka membaca. Kuheran mengapa tiba tiba kau
datang kesana".
"Yang kuheran, aku harus percaya maksudmu kemari bukan karena mustika
kemala pelangi itu melainkan karena aku pergi ke sebuah toko buku".
Giok Hui Yan termenung. Ia seperti menimbangkan perlu tidak menceritakan
suatu urusan kepada Tan Leng Ko. Setelah diam sejenak, akhirnya ia
memutuskan. "Sekitar enam bulan yang lalu, perguruan kami kedatangan tamu yang tidak
diundang, yang telah mencuri sebuah kitab pusaka".
"Sesungguhnya, siapakah kau sebenarnya" tanya Tan Leng Ko dengan
perlahan. "Aku putri bungsu ketua sekarang, dari perguruan Mi Tiong Bun!"
Wajah Tan Leng Ko berubah pucat. Mi Tiong Bun merupakan perguruan yang
paling misterius yang ada di rimba persilatan. Perguruan ini dianggap paling misterius karena yang diketahui mengenai mereka, hanya kehebatan mereka
dibidang ilmu pedang, dan ketegasan mereka terhadap lawan.
Ngo Tok Kauw, sebuah perkumpulan sesat ahli racun, pernah meracun mati
anak murid Mi Tiong Bun. Tidak lama kemudian, Rimba persilatan digegerkan
dengan tewasnya tiga ratus tujuh puluh tiga anggota Ngo Tok Kauw dipusat
perkumpulan mereka. Tidak ada satupun yang hidup, tidak juga binatang
peliharaan mereka seperti: ular, kelabang, ayam, anjing dan sebagainya. Semua yang hidup kedapatan mati tertusuk atau tertabas pedang.
Sekarang Tan Leng Ko mengerti, kenapa orang Bwe Hoa Pang yang telah
menang bertempur, malah mengundurkan diri.Tentu tosu ahli pedang itu telah
mengenal asal usul Giok Hui Yan!
"Apakah kau mencurigai kami telah mencuri kitab pusaka Mi Tiong Bun?" selidik Tang Leng Ko
Giok Hui Yan tersenyum.
"Tentu saja tidak. Walau kau ingin, belum tentu kau mampu"
Agak tersinggung Tan Leng Ko mendengar ucapan ini.
"Menurutmu, kepandaianku masih terlalu rendah untuk mencuri kitab pusaka
kalian" Giok Hui Yan seperti memaklumi perasaan Tan Leng Ko. Cepat ia berkata,
"Beberapa bulan yang lalu, tujuh perguruan besar di Tionggoan mengalami nasib yang sama. Ruang kitab Siaulimpay yang dijaga oleh Mo Tian Siansu, Ruang
kitab Bu Tong Pay yang dijaga Go Sam Beng, Ruang kitab Kaypang yang dijaga
oleh Kay Ong, juga Ruang kitab Kun Lun Pay dan yang lain, telah kebobolan
pencuri yang telah menggondol beberapa kitab pusaka mereka. Apakah kau
mempunyai kemampuan melakukan hal ini?"
Berubah muka Tan Leng Ko tanpa ia sadari. Bukan pertanyaan Giok Hui Yan
yang membuatnya terkejut, melainkan bayangan salinan kitab Kun Lun Pay, Hui Liong Cap Sa Cik dibenaknya. Salinan kitab yang dilihatnya dikamar Khu Han
Beng. "Kenapa tidak pernah kudengar berita ini?" tanya Tan Leng Ko sambil
menenangkan hatinya.
"Sebab untuk menutupi rasa malu, urusan ini harus dirahasiakan. Tapi kami
selain berhasil mengetahui hal ini, juga mengetahui bahwa pencurian ini
dilakukan oleh satu orang yang sama".
Mau tidak mau Tan Leng Ko berpikir, mungkin sekali Mi Tiong Bun mempunyai
mata mata di tujuh partai besar. Tapi ini bukan urusannya.
"Apa buktinya?" tanyanya kemudian.
"Sehelai daun kering yang ditinggalkan, seperti juga yang ditinggalkan di ruang kitab Mi Tiong Bun".
Dahi Tan Leng Ko berkerut, kembali terbayang dedaunan yang menempel diurat
nadi penting di tubuh Khu Han Beng.
Giok Hui Yan meraih alat tulis didepannya. Tangannya dengan lincah menulis
suatu simbol. "Setiap helai daun mempunyai guratan simbol semacam ini" katanya sambil
menunjukkan. Tan Leng Ko menghenyakkan tubuhnya, duduk dikursi yang berhadapan dengan
Giok Hui Yan. Ia harus duduk. Ia tidak ingin Giok Hui Yan melihat kakinya yang sekarang terhalang meja kerja, gemetaran dengan kencang.
Ia tidak mengenal arti simbol itu. Tapi ia pernah melihat tulisan keriting semacam itu. Lagi lagi dikamar Khu Han Beng.
Faktor kebetulan yang berhubungan dengan urusan Khu Han Beng terlampau
banyak. Sukar bagi Tan Leng Ko untuk menganggap bocah itu tidak terlibat,
walau tidak secara langsung.
"Semua yang kau ceritakan ini, apa hubungannya dengan toko buku di Lok
Yang?" "Konon katanya, jika kau hendak menyembunyikan segenggam beras, tempat
yang terbaik adalah dilumbung padi. Jika kau telah mencuri kitab yang banyak, bukankah sebuah toko buku merupakan tempat yang baik untuk
menyembunyikannya"
"Ucapanmu walau tidak salah, tapi juga tidak benar. Jika aku mencuri kitab kitab sakti, tentu aku akan menyembunyikan diri disebuah gunung yang sepi atau
didalam jurang untuk melatihnya" bantah Tan Leng Ko.
Giok Hui Yan mengangguk.
"Ucapanmu benar. Tapi satu hal yang kau lupa. Orang itu mencuri dengan
menggunakan kepandaian sejati, tanpa seorangpun pernah memergokinya.
Seseorang yang mempunyai kemampuan seperti itu, apakah masih memerlukan
untuk belajar ilmu orang yang dipecundanginya?"
Tan Leng Ko terdiam. Ia harus mengakui alasan itu memang masuk akal.
"Menurutmu, apa alasan dia mencuri?"
"Tidak ada yang tahu. Untuk menerkanyapun tidak dapat" kata Giok Hui Yan
sambil tertawa getir.
Kepala Tan Leng Ko terasa berat, urusan mustika kemala pelangi saja sudah
memusingkan, ditambah lagi dengan urusan ini yang bukan main main.
"Mi Tiong Bun dan tujuh perguruan besar keluar sarang mencari kitab


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusakanya, berita ini akan menggegerkan rimba persilatan" gumamnya lirih.
Giok Hui Yan tersenyum pahit,
"Kau salah! Kitab tujuh perguruan besar yang dicuri telah dikembalikan. Bahkan dikembalikan dengan kitab mereka yang pernah hilang seratus tahun yang lalu.
"Maksudmu, kitab mereka awalnya berkurang tapi pada akhirnya malah
bertambah?" tanya Tan Leng Ko dengan bingung.
"Ya. Bahkan kitab yang dikembalikan merupakan pusaka mereka yang berharga
sekali. Siaulimpay mendapat kembali Tat Mo Ih Kin Keng, Bu Tong Pay
menerima Sam Hong Ciang Cin Keng, Kay Pang menemukan Jurus Pukulan
Naganya yang telah hilang, begitu pula yang lain. Mereka telah menerima
tambahan kitab perguruan yang pernah hilang seratus tahun yang lalu. Saking girangnya, mereka memutuskan untuk tidak mengusut perkara ini lebih lanjut".
Tan Leng Ko menatap Giok Hui Yan dengan tajam.
"Kecuali kitab Mi Tiong Bun yang belum dikembalikan"
"Betul! Makanya kami terus berusaha untuk menemukannya kembali"
Sambil menggeleng kepala Tan Leng Ko bergumam,
"Apa maksud pencuri itu mengembalikan kitab, dan kenapa kitab kalian belum
dikembalikannya?"
Giok Hui Yan menghela napasnya,
"Seperti yang kukatakan tadi. Untuk menerkanyapun tidak dapat"
Tan Leng Ko menatap wajah Giok Hui Yan yang pucat. Bibir dan tubuhnya
menggigil. Menggigil bukan karena dingin melainkan karena demam yang
ditimbulkan oleh lukanya.
Tan Leng Ko tidak tega. Dengan lembut dia berkata,
"Keterangan yang kau berikan sudah terlampau banyak. Sulit bagiku untuk
mencerna semuanya. Kau memerlukan istirahat, sebaiknya kau kembali
kekamarmu, percakapan kita, bisa dilanjutkan besok".
Giok Hui Yan seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi. Dengan
perlahan, dia berjalan menuju kamarnya.
Tan Leng Ko yang baru saja minum arak, tiba tiba ingin sekali meminum arak
lagi. Ruang makan ditempat penginapan Khu Pek Sim, kendati tidak terlalu besar,
namun mempunyai satu kelebihan, dibanding tempat makan lain. Ruang makan
ini selalu buka. Ada pengunjung atau tidak, tempat ini tidak pernah tutup.
Lucunya, pada saat jam makan, tempat ini justru jarang sekali dikunjungi orang.
Tempat ini memang bukan terkenal atas makanannya yang lezat. Tempat ini
dikenal karena araknya, segala jenis arak mudah didapat ditempat ini. Dengan sendirinya, tempat ini cukup ramai, terutama setelah lewat larut malam.
Entah mungkin karena hujan, malam ini ruang makan ini hanya di si oleh enam orang. Seorang pelayan berusia muda yang sedang duduk mengantuk. Seorang
kakek tua berjenggot, dan bersenjata tombak. Dan empat orang yang duduk
bersama mengelilingi sebuah meja.
Khu Pek Sim meletakkan tombaknya dikursi samping. Matanya melirik keempat
orang itu sekejab. Dalam sekali pandang saja, cukup baginya untuk menarik
kesimpulan, empat laki laki itu kalau bukan pencoleng, tentu perampok.
Jenis orang yang berkunjung kesini, kebanyakkan memang lelaki. jenis lelaki yang gemar mencari gara gara. Jarang sekali orang baik baik keluyuran dimalam hari.
Kendati gemar mencari gara gara, hampir tidak pernah, mereka mencari perkara ditempat ini. Mereka segan berurusan dengan Chin Toa Li, pemilik tempat ini.
Khu Pek Sim kenal Chin Toa Li, seorang saudagar kaya yang berpengaruh. Dia
mempunyai banyak jenis usaha, yang menyebar dibanyak kota. Otomatis,
usahanya memerlukan jasa pengangkutan barang.
Saudagar Chin Toa Li adalah salah satu langganan utama Lok Yang Piaukok.
Walau Chin Toa Li pemilik tempat penginapan ini, dia tidak tinggal disini. Dia tinggal di gedung besar disebelah kediaman kepala daerah Po Ting. Sore ini, rombongan Khu Pek Sim baru saja menghantar dua laksa tahil emas ke gedung
kediaman Chin Toa Li. Gedung mewah yang memiliki duapuluh tiga kamar.
Kamar yang banyak kosong, namun Khu Pek Sim tidak ditawarkan untuk
menginap disana. Khu Pek Sim jarang ke kota Po Ting, hubungannya dengan
Chin Toa Li sebatas profesi, tidak lebih.
Setelah selesai dengan urusannya, Khu Pek Sim meminta Cu Goan untuk
memimpin para piasu segera kembali ke Lok Yang saat itu juga. Perintah yang dianggap janggal oleh Cu Goan. Biasanya setelah menghantar barang, mereka
akan beristirahat paling tidak satu hari sebelum kembali pulang. Apa perintah ini berhubungan dengan orang baju putih itu"
"Aku tidak ingin meninggalkan Khu Congpiatau sendirian" kata Cu Goan kuatir.
Terharu hati Khu Pek Sim atas kesetiaan Cu Goan. Setelah diam sejenak
dengan tegas dia berkata,
"Kuingin kau melaksanakan perintahku tanpa membantah. Walau kau belum
lama bekerja di Lok Yang piaukok, kuyakin atas kemampuanmu memimpin
mereka pulang".
Cu Goan menatap Khu Pek Sim sesaat, ia tidak berani membantah atau
bertanya. Ia segera mengajak para piasu berangkat meninggalkan Khu Pek Sim
sendirian di kota Po Ting.
Suara tawa yang kasar, menyentakkan Khu Pek Sim dari lamunannya. Entah
sejak kapan, meja empat orang itu telah ketambahan dua orang yang duduk
bergabung. Entah apa yang mereka bicarakan, sebentar saja terdengar suara umpatan,
diselingi suara gelak tawa terdengar disana sini. Seorang diantara mereka yang brewokan, tertawa paling keras.
Khu Pek Sim tidak menghiraukan mereka, ia hanya menuang arak ke pocinya
dan meminumnya perlahan. Pikirannya kembali menerawang.
Orang berbaju putih itu berkata akan merampas barang antarannya. Berarti
barang itu harus didapati olehnya dengan segala cara.
Tanpa kuatir, orang itu meninggal surat uang kepadanya. Tentu dikarenakan dia mempunyai persiapan yang cukup, sehingga dirinya tidak dapat lolos dari
jaringnya. Ditinjau dari kedahsyatan tendangan orang itu, Khu Pek Sim maklum, dirinya
bukan tandingan orang berbaju putih itu. Jika terjadi pertarungan, paling paling hanya akan banyak memakan korban yang sia sia. Itulah sebabnya, dia
menyuruh anak buahnya pulang, agar perhatian orang itu hanya terpusat
padanya seorang.
Seorang berbaju putih melangkah masuk dan memilih duduk didepan Khu Pek
Sim. Tanpa berbicara, Khu Pek Sim menuangkan arak ke poci dan menyodorkan
kepadanya. Orang itu langsung meminum habis dalam satu kali tenggak.
"Kau tidak takut kuracun?" tanya Khu Pek Sim tak tahan.
"Kutahu kau seorang gagah dan bertanggung jawab. Lagipula anak murid
siaulimpay tidak ada yang mengenal istilah racun segala" katanya sambil
tersenyum. Setelah termenung sebentar, Khu Pek Sim berkata,
"Tak kusangka, kau akan muncul disini"
"Kebetulan, aku memang tinggal di penginapan ini" kata orang berbaju putih
sambil tersenyum.
Khu Pek Sim menatap wajah tampan yang tidak muda itu.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku she Buyung, bernama Hong" katanya perlahan.
Khu Pek Sim pernah mendengar nama ini, nama yang dikenal dibagian utara.
Wataknya terkenal rada aneh.
Ia biasa mengikuti maunya sendiri, tidak lurus juga tidak sesat. Kepandaiannya sangat tinggi. Konon katanya, ia masih mempunyai tali hubungan keluarga
dengan keluarga Buyung dari Ko-Soh.
"Apakah kau ingin jawabanku sekarang?" tanya Khu Pek Sim
"Tidak. Kau masih mempunyai waktu hingga besok siang. Namun kutahu, apa
jawabanmu" kata Buyung Hong sambil menghela napas.
"Apa jawabanku?"
"Kau tidak akan menyerahkan barang itu"
"Enam laksa tahil emas adalah jumlah uang terbanyak yang pernah kulihat
seumur hidup. Jika aku tidak berniat menyerahkan benda itu, kenapa kuterima surat uangmu?"
"Sebab kau ingin menyelesaikan tugasmu!" kata Buyung Hong perlahan.
"Dengan menerima surat uang itu tanpa rewel, bukan saja dengan aman, kau
dapat menghantar barang kawalanmu ke tempat Chin Toa Li, kau juga
menghindari pertarungan yang dapat memakan korban anak buahmu".
Walau sudah menduga, gerak geriknya tidak lolos dari pengintaian orang ini.
Mendengar penuturan ini, mau tidak mau, Khu Pek Sim terkejut juga.
"Jika kau sudah tahu, tugasku menghantar barang telah selesai. Kalau begitu, kau kemari tentu ingin meminta surat uangmu".
Buyung Hong tersenyum,
"Tugas pertamamu sudah selesai. Sedangkan tugasmu menghantar barang itu
belum kau lakukan. Barang itu masih berada padamu".
"Darimana kau tahu?" tanya Khu Pek Sim dengan berat.
"Sebab telah kuperiksa barang hantaranmu ke Chin Toa Li, dan juga anak
buahmu yang telah meninggalkan kota ini".
Timbul rasa kuatir di hati Khu Pek Sim.
Buyung Hong seperti dapat meraba isi hatinya,
"Setelah mereka kuperiksa, mereka kubiarkan pergi"
Khu Pek Sim menarik napas lega, diam diam dia berterima kasih kepada orang
ini. Setelah berpikir sejenak ia berkata,
"Tadinya kuheran dengan caramu yang tidak main kekerasan, malah tidak
sayang menyerahkan surat uang bernilai enam laksa tahil emas, untuk ditukar dengan benda itu. Sekarang kupaham sebabnya"
"Apa yang kau pahami?"
Dengan pandangan selidik, Khu Pek Sim berkata,
"Kau tidak sayang kehilangan enam laksa tahil emas, karena yang hendak kau
tukar dengan uang itu sebenarnya adalah diriku ".
Buyung Hong tertawa, tanyanya kemudian,
"Enam laksa tahil emas, bukan suatu jumlah yang sedikit. Seratus perempuan
cantikpun tidak bernilai setinggi itu. Untuk apa kutukar dengan dirimu?"
"Sebab kau tahu, puluhan tahun aku berusaha pengawalan barang, sedikit
banyak tentu mencari uang. Ada kemungkinan enam laksa tahil emas dapat
memancing keserakahanku. Jika kuterima, banyak yang bisa kau peroleh"
"Apa yang kuperoleh?" tanya Buyung Hong tak tahan.
"Selain barang itu dapat kau peroleh, dengan sendirinya, kau juga menutup
mulutku yang tidak mungkin menceritakan soal dirimu ke orang lain, sehingga berita mustika kemala pelangi berada ditanganmu, akan aman"
"Kenapa berita itu tidak bakal tersiar?"
"karena hal ini menyangkut juga nama baikku. Jika kuceritakan mengenai dirimu, otomatis urusan kuterima uang darimu, juga akan kau siarkan. Makanya kau
serahkan surat itu kepada Cu Goan, tidak langsung padaku. Kau menghendaki
saksi mata sehingga aku tidak dapat menyangkal".
"Bukankah anak buahmu tetap dapat membocorkan hal ini?"
"Kau tahu, aku akan membagi mereka dan mereka sangat setia padaku. Aku
dapat mengontrol mereka, sedangkan kau tidak"
"Jika mereka setia padamu, bukankah kau dapat menyangkal menerima uang
dariku" bantah Buyung Hong
"Kau dapat mengancam mereka. Karena urusannya memang demikian, mereka
dapat menjadi saksimu"
Buyung Hong menghela napas, kemudian katanya,
"Konon katanya cara terbaik untuk menutup mulut orang adalah membunuhnya
mati" "Benar. Makanya aku sempat bingung dengan tindak tandukmu. Bukankah lebih
mudah, membunuh mati kami semua yang bukan tandinganmu, dan kemudian
merebut barang itu"
"Ya, memang dapat kulakukan hal itu"
"Tapi tidak kau lakukan, karena kau seorang yang cerdik" kata Khu Pek Sim
dengan cepat. "Aku seorang yang cerdik?"
"Kau ragu dengan keaslian barang itu. Mustika kemala pelangi yang menjadi
idaman orang persilatan, sukar dipercaya bisa jatuh ketangan seorang piasu.
Walau kau merasa urusan ini rada janggal, kau tetap ingin menyelidikinya. Jika belum apa apa, asal main bunuh dan ternyata barang itu palsu, bukankah kau
terjebak oleh siasat orang"
Diam diam Buyung Hong terkejut. Ternyata kakek ini dapat menggunakan otak.
Ia tahu percuma berdusta terhadap seorang rase tua.
"Ya. Memang ada keraguanku" katanya mengakui
"Misalnya benda itu ternyata palsu, dengan menerima uangmu, mau tidak mau
aku akan membantumu"
"Kenapa aku perlu bantuanmu?"
"Karena tugasku adalah mengantar barang. Mustika kemala pelangi tentu
kuterima dari orang lain. Tanpa bantuanku, kau tidak bakal mengetahui siapa sebenarnya orang ini. Kau mengerti, aku bukan jenis yang bisa ditekan dengan kekerasan"
"Makanya aku berusaha memikat hatimu dengan membiarkan anak buahmu
pergi tanpa cedera?"
"Benar. Aku memang berterima kasih padamu" kata Khu Pek Sim perlahan.
Buyung Hong tidak mengingkari, ia hanya menuang arak dan meminumnya.
"Buat apa aku mengetahui asal usul orang ini?"
"Sebab kau curiga dengan maksudnya. Jika mustika kemala pelangi yang
menjadi incaran orang telah diperolehnya, kenapa harus diserahkan kepada
seorang piasu untuk diantar?"
"Ya. Aku memang curiga kepadanya" Buyung Hong mengakui.
"Akupun juga mencurigainya" kata Khu Pek Sim perlahan.
Kali ini Buyung Hong benar benar terkejut.
"Kau curiga kepadanya?"
Khu Pek Sim meminum araknya seteguk, setelah berpikir sejenak ia berkata,
"Semestinya kau tidak tahu mustika kemala pelangi berada padaku. Yang
mengetahui, sebenarnya hanya tiga orang"
"Dapat kuterka dua, yaitu, orang itu dan dirimu. Siapa orang ketiga?"
"Cucuku, seorang bocah yang baru berusia empat belas tahun"
Dahi Buyung Hong berkerut,
"Apa mungkin cucumu yang membocorkan tanpa sengaja?"
"Dia jarang sekali bergaul dengan orang. Apalagi dia hanya pernah melihat
sekali, kuyakin dia tidak akan tahu nama barang yang dilihatnya"
Buyung Hong tidak mencurigai Khu Pek Sim yang membocorkan rahasia ini.
Sebagai piasu kawakan, tentu dia tahu cara menjaga sebuah rahasia.
Buyung Hong menenggak araknya dengan cepat. Setelah berpikir sejenak, ia
berkata, "Jika pemberi mustika itu adalah orang yang membocorkan rahasia ini, tentu ada alasannya"
Khu Pek Sim ikut merenung, setelah sekian lama, mendadak mukanya berubah.
"Ya. Hanya satu alasan" kata Khu Pek Sim dengan getir.
Suasana ruang makan itu tanpa terasa menjadi hening. Diam diam timbul rasa
seram dihati Buyung Hong. Setelah dipikir bolak balik, memang hanya satu
alasan yang masuk akal.
Jika rahasia itu dibocorkan dengan secara sengaja, berarti dibalik kesemuanya itu, terselip suatu rencana yang menakutkan!
Dengan umpan mustika kemala pelangi, orang itu ingin mengadu domba orang
orang rimba persilatan, sekaligus menghancurkan Lok Yang Piaukok yang
menjadi sasaran!
"Sebetulnya, siapakah orang itu?" tanya Buyung Hong tak tahan.
Khu Pek Sim tertawa, kemudian diminumnya arak dengan perlahan tanpa
menjawab. "Sebetulnya, apa kehendakmu?" tanya Buyung Hong yang memahami sikap Khu
Pek Sim. "Entah barang itu asli atau tidak, kau harus membiarkan aku melaksanakan
tugasku menghantar barang itu kepada tujuannya"
"Buatku, aku tidak melihat manfaatnya" kata Buyung Hong setelah merenung
sejenak. "Selesai dengan tugasku. Apapun yang kau perbuat, sudah bukan urusanku lagi"
kata Khu Pek Sim sambil menatap Buyung Hong dengan tajam.
Buyung Hong akhirnya paham maksud Khu Pek Sim,
"Kau ingin mengajakku bersama sama ketempat itu?"
"Benar!" jawab Khu Pek Sim dengan tegas.
Buyung Hong tertawa perlahan, kemudian katanya,
"Baru kupaham kenapa kau suruh anak buahmu kembali. Tentu karena aku jauh
lebih berguna dibanding mereka, untuk mengawal barang itu"
"Benar!" kata Khu Pek Sim mengakui.
"Setelah tiba ditujuan, begitu kau serahkan, aku merampas barang itu atau tidak, sudah tidak ada sangkut pautnya denganmu lagi"
Khu Pek Sim tidak membantah, juga tidak membenarkan, ia hanya meminum
araknya tanpa menjawab.
"Kenapa aku harus susah payah, bukankah aku dapat merebut barang itu
sekarang juga?" tanya Buyung Hong sambil menatap Khu Pek Sim dengan
tajam. Sambil membalas tatapan Buyung Hong, Khu Pek Sim dengan tegas menjawab,
"jika kau main paksa merebut, kita bertarung! Setelah aku tewas, kau boleh
geledah tubuhku"
Buyung menghela napas,
"Kau akan membela barang itu sampai mati, sehingga tanganku bernoda darah
dan terjebak oleh siasat orang itu?"
"Benar!"
Buyung Hong merenung sejenak, lalu katanya,
"Sebagai imbalan jasaku mengawal barang, kau juga akan tutup mulut,
mengenai benda itu akan berada ditanganku"
"Akupun akan menceritakan apa yang kuketahui mengenai orang itu, asal kau
sanggupi tiga syaratku"
Buyung Hong berpikir dengan sejenak, kemudian berkata,
"Apa syarat syaratmu?"
"Kau harus menceritakan bagaimana kau bisa mengetahui barang ini berada
padaku" Buyung Hong tidak nampak keberatan.
"Syaratku kedua, kuingin kau angkat cucuku sebagai muridmu"
Buyung menjadi ragu, dia agak keberatan. Setelah termenung sejenak, ia
berkata, "Aku akan mengajar cucumu satu macam kepandaian, tidak perlu angkat guru


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid" Khu Pek Sim menghela napas, paling tidak ia telah berusaha untuk cucunya.
"Apa syaratmu yang terakhir?" tanya Buyung Hong.
"Kumaui, surat uang itu" kata Khu Pek Sim perlahan.
Heran Buyung Hong dibuatnya, ia benar benar tidak menyangka!
"Kau maui surat uang itu?" tanyanya menegaskan.
"Jika kulakukan semua itu untukmu, kenapa tidak sekalian kuambil surat uang itu" katanya sambil tersenyum kecut.
Buyung Hong menatap Khu Pek Sim dengan tajam,
"Kutahu seorang gagah seperti dirimu, sulit dipercaya kemaruk harta benda.
Sesungguhnya apa alasanmu menghendaki surat uang itu?"
Sambil tertawa getir Khu Pek Sim menjawab,
"Nasibku berada diujung tombak, setiap saat dapat kumati. Aku ingin kau berikan surat uang ini kepada cucuku"
Tangan Khu Pek Sim meraih surat uang itu dari bajunya, kemudian
memberikannya kepada Buyung Hong.
Buyung Hong dapat merasakan betapa besar kasih sayang Khu Pek Sim
terhadap cucunya. Jika orang itu dengan sengaja telah membocorkan rahasia
ini, tentu bukan hanya dirinya seorang yang tahu.
Untuk melakukan tugasnya, Khu Pek Sim harus menghadapi kerebutan orang
Kang-ouw. Ia merasa kesempatan hidupnya kecil sekali.
"Demi seorang cucu, apapun dapat diperbuat oleh kakeknya" kata Buyung Hong
dengan terharu. Setelah menghela napas lalu ia berkata,
"Baik kukerjakan apa yang kau pinta. Kau boleh menyebutkan orang itu"
"Apakah kau tidak merasa tempat ini banyak orang?"
Buyung tertawa sambil menjawab,
"Sebetulnya tidak masalah. Mereka toh sudah mendengarkan percakapan kita
sedari tadi. Tapi memang sebaiknya, kita pergi dari sini"
Berubah wajah keenam lelaki itu, tapi mereka merasa lega mendengar ucapan
Buyung Hong yang bernada tidak keberatan.
Lalu Buyung Hong memanggil pelayan yang sedang duduk mengantuk itu.
"Apakah kau menulis buku tamu atas namamu?"
Khu Pek Sim agak heran dengan pertanyaan ini,
"Tentu saja tidak"
"Sebagai anak murid siaulimpay, apakah kau akan membela orang jahat?"
Khu Pek Sim makin heran,
"Tentu saja tidak"
Sementara itu, pelayan yang dipanggil, telah berdiri disisi Buyung Hong.
Buyung Hong menoleh padanya sambil memandangnya dengan dingin, pelayan
itu tentu saja ketakutan.
"Sudah berapa lama kau tinggal dikota Po-Ting?"
"Su...sudah tiga tahun" jawab pelayan itu dengan gugup. Mata Buyung Hong
mencorong tajam seperti mata harimau. Tak terasa, celananya mulai basah.
"Apakah kau sudah bekeluarga?"
"hamba...hamba sebatang kara, tinggal sendirian dirumah sewaan" jawabnya
sambil menunduk.
Buyung Hong mendengus dengan dingin, tangannya meraih kesakunya.
"Ini untukmu" katanya menyodorkan seribu tahil perak.
Pelayan yang sedang menebak nebak apa kesalahannya, hingga dipelototi
semacam itu, semakin bingung. Ia tidak berani menerimanya.
"Uang ini sebagai bekalmu untuk pindah kota.Sebaiknya kau lekas pergi. Makin jauh makin baik".
Girang kejatuhan rejeki nomplok berbareng takut memenuhi hati pelayan itu.
Sambil mengambil uang itu, ia memberanikan diri bertanya,
"Kena...kenapa aku harus pindah kota?"
"Jika kau tidak pindah, kau akan mati!" jengek Buyung Hong dengan suara berat.
Tanpa banyak tanya lagi, pelayang itu langsung kabur dari situ.
Khu Pek Sim yang tidak mengerti tindak tanduk Buyung Hong, tanpa terasa
bertanya: "Sebenarnya, apa tujuanmu?"
Sambil tersenyum Buyung Hong meraih segenggam sumpit di meja, lalu berkata,
"Masakkan kau tidak paham maksudku"
Tiba tiba tanpa menoleh, tangan Buyung Hong mengayun kebelakang.
"Sreeet...sreet!" bayangan coklat karena kecepatannya terlihat kabur, melayang kearah enam orang yang duduk dibelakangnya.
Suara jeritan ngeri berturut turut terdengar lirih. Darah dan cairan putih yang kental meleleh turun dari bagian kepala lima orang yang tertancap sumpit,
mereka tewas seketika!
Berubah muka Khu Pek Sim melihat kejadian itu.
"Kujamin, mereka bukan orang baik baik!" kata Buyung Hong.
Sesudah berbicara, tubuhnya beserta kursi yang didudukinya tahu tahu
melayang keatas, membuat salto diudara kemudian mendarat didepan pintu
keluar, menghalangi orang keenam yang hendak melarikan diri.
Buyung Hong menatap darah yang menetes dilantai. Darah yang mengalir dari
telapak tangan kanan orang itu yang tertembus sumpit Rupanya dia mencoba
menangkap, hanya sumpit yang terbang itu terlampau cepat baginya.
Orang yang brewokan itu berkata sambil menahan sakit,
"Kukenal siapa dirimu"
"Jika kau kenal diriku. Tentunya kau tahu, melarikan diri tidak terlalu berguna"
kata Buyung sambil menghela napas.
"Sebetulnya kau tidak perlu membunuhi kami" kata orang itu ketakutan.
"Oh,ya"! Apa sebabnya?" tanya Buyung Hong tak acuh.
"Bukankah tanganmu menjadi belepotan darah, sehingga kau terjebak siasat
orang itu"
Jelas sekali, mereka telah menguping percakapan Buyung Hong dengan Khu
Pek Sim. Sambil tertawa, Buyung Hong berkata,
"Jika Khu Pek Sim tewas ditanganku, tentu pihak Siaulimpay tidak akan diam.
Aku tidak ingin bentrok mereka, apalagi lantaran dijebak orang. Lain halnya dengan membunuh kalian, aku malah dianggap telah melakukan kewajiban
seorang pendekar"
Orang itu terdiam, dia enggan ribut mulut. Dia mengenal betul watak Buyung
Hong yang biasanya tidak pernah perduli dengan kepentingan orang lain, kecuali kepentingan dirinya. Sekarang malah mengaku aku menjadi seorang pendekar
segala. "Kau tidak beralasan membunuhku, karena yang kalian bicarakan, sudah bukan
menjadi suatu rahasia lagi" katanya dengan parau.
Agak terkejut Buyung Hong dan Khu Pek Sim mendengarnya,
"Apa sebabnya?" tanya Buyung Hong tak terasa.
"Sebab kabar burung sudah beredar, bahwa mustika kemala pelangi berada di
kota Lok Yang. Jika orang itu sengaja membocorkan rahasia ini, tentu tidak lama lagi dia akan menyiarkan bahwa mustika itu berada pada Khu Congpiautau" kata orang itu. Peluh keringat dingin membasahi wajahnya.
"Kenapa tidak langsung saja ia siarkan, mustika itu berada ditanganku" Kenapa beritanya harus bertahap begitu?" tanya Khu Pek Sim dengan heran, sambil
menghampiri mereka.
"Kuduga, orang itu ingin mengumpulkan lebih dahulu, orang orang rimba
persilatan dari segala penjuru di kota Lok Yang, setelah terkumpul banyak, baru ia siarkan berita itu agar serentak ratusan orang menyerbu ke Lok Yang Piaukok"
kata orang brewokan itu setelah berpikir sejenak.
Lama ketiga orang ini diam tidak berkata. Tidak ada satupun yang berbicara, masing masing sibuk dengan pemikirannya.
Memang jika langsung disiarkan bahwa mustika kemala pelangi berada di
tangan Khu Pek Sim, mereka akan menyerbu satu persatu, tentu hasilnya tidak terlalu memuaskan. Lain halnya jika berita itu disiarkan secara bertahap, serbuan ratusan atau ribuan orang, dijamin dapat menghancurkan Lok Yang Piaukok!
Tertera jelas rasa ngeri dan takut yang amat tebal diwajah mereka bertiga.
Mereka bukan takut kepada orangnya. Yang mereka takutkan, adalah ketelitian dan kecermatan orang itu mengatur rencana yang matang!
Jika peristiwa ini terjadi, benar benar akan menjadi suatu peristiwa yang
mengerikan! Buyung Hong menghela napas, lalu katanya
"Walau berita itu sudah bukan suatu rahasia lagi, tapi kau telah melupakan
sesuatu" Orang brewokan itu memandang Buyung Hong dengan pandangan bertanya,
"Kau lupa, saat ini tidak ada yang tahu, Khu Congpiautau berada dikota Po-Ting"
Tiba tiba paras muka orang brewokan itu menunjukkan suatu perubahan yang
aneh sekali. Baru teringat olehnya, darimana Buyung Hong mengetahui jejak
Khu Pek Sim"
"Darimana kau..."!....praaakk" Tanpa sempat menyelesaikan pertanyaannya,
kepala orang brewokan itu hancur, terhajar pegangan lengan kursi yang dilempar Buyung Hong.
Khu Pek Sim meloncat menghindari muncratan darah yang menyebar kesana
sini. "Kenapa kau bunuh dia?" tanya Khu Pek Sim sambil mengerutkan kening.
Buyung Hong berdiri dari kursinya, sebelum menjawab,
"Sebab Aku kenal dengan mereka. Kutahu merekalah yang membunuh hartawan
Kang Siok Ih sekeluarga dan memperkosa anak dan istrinya".
Khu Pek Sim terperanjat! Dia memang pernah mendengar peristiwa yang
menghebohkan itu. Hartawan Kang Siok Ih yang terkenal, selain
kedermawaannya menolong orang susah, ia juga memiliki tujuh orang putri yang cantik jelita. Tak nyana, suatu hari mereka kedapatan tewas secara mengerikan dengan anak istri dalam keadaan telanjang bulat
"Apakah kau akan membela gerombolan jai hoa cat?" tanya Buyung Hong lagi
dengan getir. Khu Pek Sim terdiam. Ia tidak ingin memperpanjang urusan ini. Urusan yang
berkecamuk dibenaknya sudah banyak.
Cukup lama Buyung Hong menatap Khu Pek Sim,
"Kutahu apa yang sedang kau pikirkan" katanya dengan perlahan.
Khu Pek Sim tidak menjawab, ia berjalan meraih tombaknya sambil berpikir. Ia benar benar menguatirkan keselamatan Lok Yang Piaukok. Ia sedang bimbang,
haruskah ia kembali kesana" Atau meneruskan tugasnya yang sudah setengah
jalan" "Kau tidak perlu terlalu kuatir atas keselamatan Lok Yang Piaukok" kata Buyung Hong melanjutkan.
"Kenapa aku tidak perlu kuatir?" tanya Khu Pek Sim tak tahan.
"Sebab aku telah berjumpa seseorang yang sedang menuju kesana. Kujamin,
dia akan membantu melindungi keselamatan Lok Yang Piaukok"
"Siapa dia?"
"Mo Tian Siansu" kata Buyung sepatah demi sepatah.
"Kau kenal Mo Tian Suheng?"
Guru Khu Pek Sim adalah sutenya guru Mo Tian Siansu, otomatis dia memanggil suheng kepada Mo Tian Siansu walau berusia lebih tua beberapa tahun.
Buyung Hong mengangguk,
"Bukan hanya kenal bahkan hubungan kami pernah akrab. Darinya kutahu, dia
sedang menuju ke Lok Yang Piaukok untuk meminta ijin padamu"
"Ijin apa?" tanya Khu Pek Sim heran bercampur girang mendengar kabar ini.
"Goan Kim Taysu berkenan untuk mengangkat cucumu sebagai ahli warisnya"
Khu Pek Sim tak dapat menahan gelak ketawanya, gembiranya bukan main,
"Ha...ha...ha, pantas kau tak mau mengangkat cucuku sebagai muridmu"
Buyung Hong tersenyum sambil mengangguk.
Sambil menghela napas lega, Khu Pek Sim berkata,
"Ini kabar paling bagus yang kudengar seharian"
Tiba tiba wajah Buyung berubah serius.
"Kupikir, sebaiknya kita lekas pergi dari sini!"
Khu Pek Sim berpikir sejenak, setelah sekian lama, akhirnya mengangguk
setuju. "Memang, sebaiknya kita pergi!"
Segera mereka meninggalkan ruang makan itu. Ruang makan yang kendati tidak
terlalu besar, namun selalu buka dan tidak pernah tutup.
Ruang makan yang malam ini, di si oleh enam orang. Enam orang dengan
kepala yang tidak utuh, tewas dengan cara yang mengerikan!.
Hujan sudah lama berhenti. Sinar bulan purnama menyinari jalan yang dilalui Buyung Hong dan Khu Pek Sim. Buyung Hong mengenali jalan ini. Pohon yang
ditendangnya kemarin sore masih menggeletak dipinggiran jalan.
"Nampaknya kau enggan memberitahu, kemana sebenarnya tujuan kita pergi?"
tanya Buyung Hong dengan perlahan.
Khu Pek Sim mau tidak mau kagum atas kesempurnaan tenaga sakti Buyung
Hong. Kuda yang dikendarai Buyung Hong berada dibelakangnya, toh dia dapat
mendengar jelas, ucapannya yang melawan angin kencang.
"Orang Lok Yang Piaukok saja tidak kuberitahu, bagaimanapun juga itu
merupakan rahasia perusahaan"
Buyung Hong tertawa, memang dia tidak tahu banyak mengenai usaha piaukok.
Tapi ia dapat menduga, kesuksesan usaha macam itu tergantung dari
kemampuan menutup mulut. Jika tidak dapat menjaga rahasia, tentu para
langganan bakal kabur.
Tiba tiba Khu Pek Sim menarik tali kendali kudanya. Karena kaget, kuda itu
meringkik keras dengan mengangkat kedua kakinya. Dengan sigap, Buyung
Hong membimbing kudanya menghindari tubrukan. Baru ia hendak bertanya,
mendadak hidungnya mencium bau anyir. Bau anyir darah yang dibawa
hembusan angin malam, datang dari depan sana.
Khu Pek Sim turun dari kudanya di kuti oleh Buyung Hong, dengan cepat mereka berjalan maju dengan sikap waspada.
Dibawah terangnya bulan, terlihat sebuah kereta barang dengan bendera Lok
Yang Piaukok berkibar dengan kencang. Bau anyir tersebut bukan ditimbulkan
oleh kereta itu, melainkan dari tubuh tubuh yang bergelimpangan disekitar kereta barang.
Wajah Khu Pek Sim menjadi pucat, bibirnya bergetar menahan kemarahan,
dengan melotot dia memandang Buyung Hong yang nampak terkejut,
"Kau...kau telah membunuh mereka!"
Buyung Hong cepat mengelak serangan tombak Khu Pek Sim yang datang
bertubi tubi. Ditilik dari serangannya yang tanpa menghiraukan keselamatan
dirinya, Buyung Hong maklum, Khu Pek Sim bertekad untuk mengadu jiwa
dengannya. "Bukan aku yang membunuh mereka!" teriak Buyung Hong sambil melangkah ke
kiri menghindari tusukan tombak yang mengarah kelehernya. Badannya
memutar kekanan setengah lingkaran dengan pergelangan tangan kiri menepis
sisi batang tombak yang segera direbut dengan paksa.
"Kau bohong!" kata Khu Pek Sim dengan geram.
Tangannya membuat gerakkan cakar, memukul ulu hati Buyung Hong dengan
jurus harimau kumbang mencuri hati, Hek Hou Tau Sim .
Buyung Hong tidak mengelak serangan itu. Ia hanya mengerahkan tenaga
saktinya melindungi bagian itu.
"Breeet...!" Kulitnya lecetpun tidak, hanya bajunya tersobek.
Khu Pek Sim menghentikan serangannya. Ia menatap robekkan baju
ditangannya, "Kenapa kau tidak menghindar?" tanyanya dengan parau.
Buyung Hong menggeleng,
"Aku enggan berkelahi, dengan kakek dari murid Goan Kim Taysu yang
kuhormati" kata Buyung Hong mengakui.
Dengan muka sedih dan masih mengandung marah, ia bertanya,
"Dapatkah kau buktikan, bukan kau yang membunuh mereka?"
"Tidak dapat! Tapi, aku tentu menolak melewati jalan ini, jika aku yang telah membunuh mereka" katanya serius sambil menatap tajam Khu Pek Sim.
Yang dipandang mau tidak mau mengakui, memang selama perjalanan
bersamanya, Buyung Hong tidak menunjukkan sikap sikap yang mencurigakan.
Paling tidak, ia tidak melihat sikap kaget Buyung Hong, suatu sikap pura pura.
"Sebaiknya kita periksa mereka, siapa tahu kita dapat menentukan siapa
pembunuhnya" bujuk Buyung Hong dengan lembut.
Khu Pek Sim menghela napas, ia pun tahu mayat kadang dapat berbicara,
asalkan kau tahu cara mendengarkannya.
Mereka mengumpulkan mayat mayat para piasu menjadi satu. Setelah dihitung
ternyata berjumlah sembilan belas orang.
"Satu orang nampaknya berhasil meloloskan diri" gumam Buyung Hong
perlahan. Khu Pek Sim tidak menjawab, hanya mengangguk sedikit. Tubuhnya berjongkok,
Matanya berkaca kaca, ia menangis tanpa suara.
Buyung Hong tidak ingin menganggu Khu Pek Sim yang sedang meratapi anak
buahnya, ia menyibukkan diri dengan memerika mayat mayat tersebut dengan
teliti. Ia berjongkok disalah satu mayat yang terletak paling ujung, tangan Buyung
Hong menyingkap baju mayat tersebut. Sebuah luka tipis sekali menggaris
miring dibagian dada sebelah kiri, disekitar jantung. Anehnya, wajah mayat
mayat itu seperti tersenyum penuh dengan kedamaian.
Kening Buyung Hong berkerut, ia menjadi termenung. Matanya menerawang
jauh kedepan, ia tak acuh dengan bayangan sesosok tubuh yang berdiri
dibelakangnya. "Aku tidak mengerti, kenapa luka setipis itu dapat mengeluarkan darah sebanyak ini?" gumam Khu Pek Sim yang telah berdiri dibelakang Buyung Hong.
Memang rumput rumput disekitar kereta barang, penuh dengan warna jingga
yang mengkilat, warna darah dibawah sinar bulan.
Buyung Hong tidak menjawab, dengan perlahan ia membalikkan mayat itu. Muka
Khu Pek Sim menjadi pucat! Luka tipis dibagian depan ternyata menembus
hingga membolongi bagian punggung sebesar mangkuk besar!
Khu Pek Sim muntah muntah, ketika mengetahui bongkahan bongkahan kecil
disekitar sini yang dipikirnya batu kerikil, ternyata adalah serpihan daging daging anak buahnya yang bertebaran disana sini.
Buyung Hong menoleh, kemudian menghela napas,
"Dapat kau lihat luka ini disebabkan oleh apa?"
Khnu Pek Sim membersihkan mulutnya, rasa asam lambung dan getir masih
terasa dilidahnya,
"Luka itu disebabkan oleh Sebilah pedang, yang sangat tipis dan tajam"
jawabnya dengan suara parau.
"Bukan hanya oleh pedang, tapi juga oleh hawa pedang yang dapat mencapai
dua jengkal" kata Buyung Hong perlahan.
Khu Pek Sim termenung. Walau jumlah orang yang telah mencapai hawa
pedang tidak banyak, tapi juga tidak sedikit.


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dapat kau lihat dari perguruan mana?" tanya Khu Pek Sim
Buyung Hong terpekur sejenak, akhirnya menjawab,
"Dapat kuterka sembilan bagian dari perguruan itu"
Sebetulnya Khu Pek Sim cukup mengerti, jika Buyung Hong mau menyebut
nama perguruan itu, tentu telah disebutnya sedari tadi. Tapi ia tidak mau
mengerti, sambil melotot Khu Pek Sim berkata sepatah demi sepatah,
"Kau harus menyebutkan nama perguruan itu"
Buyung berpikir sekian lama, baru menjawab
"Aku tidak dapat memfitnah sembarangan, karena ada satu bagian yang aku
kurang mengerti"
"Bagian yang mana?"
Jari Buyung Hong menunjuk kepada mayat mayat itu,
"Luka mematikan semacam ini sedikit banyak menimbulkan rasa sakit yang
sangat. Namun sama sekali tidak terlihat diwajah mereka, yang nampak tenang penuh kedamian bahkan menyungging senyuman"
Khu Pek Sim menatap wajah mayat mayat tersebut. Semua mayat terlihat
tersenyum. Walau senyuman mereka tidak terlihat aneh, kenapa mereka semua
tersenyum, hal ini yang rada ganjil.
"Apakah sebelumnya, mereka telah terkena racun?" gumam Khu Pek Sim.
"Benar! Yang kutahu, hanya racun dari Ngo Tok Kauw yang dapat membuat
orang tersenyum seperti itu"
"Bukankah Ngo Tok Kauw telah musnah?" tanya Khu Pek Sim dengan heran.
"Benar!... Lagipula dengan ilmu pedangnya, pembunuh itu sudah lebih dari
cukup untuk mengalahkan para piausu ini." kata Buyung Hong sambil menghela
napas. "Kenapa harus meracuni mereka lebih dahulu?" tanya Khu Pek Sim dengan
bingung. "Makanya aku kurang mengerti" kata Buyung Hong setelah berpikir sejenak.
Macam macam perasaan berkecamuk di hati Khu Pek Sim. Seingatnya, dia tidak
ada permusuhan dengan pihak Ngo Tok Kauw. Boleh dibilang dia tidak pernah
mengikat permusuhan dengan siapapun, kecuali dengan jago pedang berwajah
dingin Ma Koan Tek dan satu orang lain.
Seorang yang telah menyelamatkan jiwanya sekaligus menghancurkan pelita
kehidupannya. Seseorang yang dianggapnya telah mati.
Setelah memeriksa seksama, Buyung Hong dapat memastikan satu hal,
"Yang berhasil meloloskan diri, ternyata Liu Cu Goan. Kenapa dia tidak
mencarimu di kota Po Ting?" tanyanya heran.
Setengah melamun Khu Pek Sim menggumam,
"Sebab dia tidak tahu aku menetap dimana... Atau, mungkin dianggapnya aku
telah pergi meninggalkan kota itu"
Seperti disadarkan oleh sesuatu ia balik bertanya,
"Darimana kau tahu dia lolos dari bencana" Apa tidak mungkin dia tertawan?"
"Ditinjau dari kondisi mayat mayat itu, nampaknya mereka tidak mengalami
siksaan" "Seseorang disiksa, jika mempunyai suatu informasi yang di ngini" tukas Khu Pek Sim perlahan.
"Benar! Kurasa pembunuh itu datang memang untuk membunuh, aku tidak
melihat alasannya untuk menawan seseorang hidup hidup"
Lama mereka terdiam, terbenam dalam pikirannya masing masing.
"Nampaknya kau harus kembali ke Lok Yang" kata Buyung Hong memecah
keheningan. "Tidak! Jika aku kembali, malah dapat membahayakan Lok Yang Piaukok. Aku
harus menyelesaikan tugasku, baru menyelidiki pembunuhan ini" tegas Khu Pek Sim sambil mengepalkan tangan.
Sambil menarik napas, Buyung Hong bertanya,
"Apa rencanamu sekarang"
Lama sekali Khu Pek Sim terdiam, lalu katanya perlahan,
"Aku akan membawa abu jenazah mereka!"
Khu Pek Sim mulai bekerja dibantu oleh Buyung Hong, tidak hanya membakar
mayat mayat tersebut, tapi juga membakar kereta barang yang sudah tidak
dibutuhkan. Suara letupan disertai suara khas mendesis yang ditimbulkan oleh lemak yang terpanggang api mengisi kesunyian malam. Api yang besar menerangi tempat itu sejauh puluhan kaki, nampak wajah Khu Pek Sim terlihat kaku menyeramkan.
Jilatan api yang tercermin di matanya, bercampur dengan jilatan kobaran
dendam. Dendam kesumat!
************************************
Warna kuning emas dari sinar matahari pagi, menerangi sebagian wajah Giok
Hui Yan yang cantik.
Tan Leng Ko yang melirik kepadanya sekejab, ia menganggap wajah itu masih
terlihat pucat, malah makin pucat dibanding semalam.
Menurut pendapat Tan Leng Ko, seharusnya gadis ini, berbaring istirahat
dikamarnya. Seharusnya gadis ini tidak keluar rumah, sampai lukanya sembuh. Seharusnya
gadis ini tidak bersikeras ikut dengannya ke toko buku Gu-suko.
Sayang... gadis secantik ini, cacat semenjak dilahirkan. Kepala gadis ini
terlampau keras, mendekati sifat kepala batu. Nampaknya, sedari kecil gadis ini tidak mengenal kata 'seharusnya'.
Berdua, mereka berkuda berdampingan menuju kota Lok Yang. Sejauh mata
memandang, jalanan nampak sepi, Tan Leng Ko menjalankan kudanya dengan
perlahan. Goncangan kuda beberapa kali membuat tubuh Giok Hui Yan terhuyung. Sambil
mengerutkan alis, Tan Leng Ko menegur dengan kesal,
"Kulihat lukamu semakin parah, kenapa kau memaksa diri untuk ikut?" .
"Yang semestinya kau tanya, tidak kau ucapkan. Yang tidak perlu diucapkan,
malah kau tanya" jawab Giok Hui sambil menyengir.
Tan Leng Ko menghela napas, lalu berkata memberi nasehat,
"Tidak baik seorang gadis belia mempunyai adat sekeras ini, kalau sudah besar susah dapat jodoh"
Sambil menahan sakit, Giok Hui Yan berkata,
"Kutahu watak kebanyakkan lelaki yang lebih mementingkan paras cantik dan
badan yang aduhai. Mengenai sifat calon istri, entah diurutan keberapa,
sedikitnya ditaruh di nomor paling buntut"
Sambil mengikik diselingi menyeringai sakit, Giok Hui Yan melanjutkan,
"Apalagi seorang gadis cantik biasanya, secara kodrat mempunyai adat keras.
Apa kau ingin aku melawan hukum alam?"
Mau tidak mau Tan Leng Ko mengakui, memang tidak banyak perempuan yang
boleh dianggap cantik, lebih sedikit lagi perempuan cantik yang tidak beradat keras.
Tiba tiba kening Giok Hui Yan berkerut, ia seperti menyadari satu hal.
"Aku menjadi kuatir" katanya perlahan.
"Apa yang kau kuatirkan?"
"Kukuatir ketika aku setua dirimu, gemar memberi nasehat gratis. Apakah ceriwis hal yang tidak berguna, termasuk kodrat alam menjelang usia lanjut?" tanya Giok Hui Yan sambil cekikikan.
Tan Leng Ko menyengir. Ia mulai menyesal telah mengajak bicara gadis setan
ini. Digerakkan tali kendali kudanya, dengan cepat ia melaju meninggalkan Giok Hui Yan.
Sambil tertawa Giok Hui Yan berteriak,
"Sebetulnya kau tidak perlu marah. Semakin kau marah, bukankah aku semakin
gembira" Tidak mau meladeni gadis setan itu, Tan Leng Ko melarikan kudanya dengan
kencang, kemudian menghilang ditikungan depan.
Tan Leng Ko sebenarnya tidak marah, ia terlalu tua untuk ribut dengan seorang gadis belia. Ia hanya ingin sendirian agar dapat berpikir dengan tenang.
Ditahan lari kudanya, kembali kudanya berjalan perlahan, tidak terburu buru.
Kerja sama yang ditawarkan oleh Giok Hui Yan, juga tidak buru buru ia jawab.
Tan Leng Ko cukup mengerti, Mi Tiong Bun yang disegani oleh orang orang
Kang Ouw, memang dapat diandalkan untuk membantu melindungi Lok Yang
Piaukok. Yang membuatnya bimbang, jika ia menyetujui, tentu sukar baginya untuk
melindungi rahasia keterlibatan Khu Han Beng.
Tapi ia tidak berkeberatan untuk bersama sama mendatangi toko buku itu. Ia
berkeputusan, untuk sementara ini, bertindak sesuai dengan keadaan tanpa
suatu ikatan. Ia menarik napas dalam dalam, tak terasa ia menengok kebelakang. Jalanan
pinggir kota masih terlihat sepi, Giok Hui Yan tidak muncul juga dari tikungan.
Tan Leng Ko mulai kuatir, seharusnya gadis itu sudah menyusulnya.
Setelah ditunggu sekian lama, yang ditunggunya tidak juga datang, dengan
gregetan dia memutar balik dan menggebrak kudanya.
Kecemasan muncul dihati Tan Leng Ko ketika melihat kuda itu berdiri di pinggir jalan dipeluk oleh Giok Hui Yan, yang badannya menelungkup diatas kuda...
tidak bergerak!
Bergegas Tan Leng Ko turun dari kudanya, ia tahu luka gadis ini semakin parah, Ia mulai mengomeli dirinya, tidak seharusnya ia membawa gadis sakit ini ke kota Lok Yang. Ternyata dirinya juga tidak mengerti kata 'seharusnya'.
Rambut yang panjang tergerai, dan menutupi wajah, tiba tiba bergerak keatas.
Giok Hui Yan bangun dengan meleletkan lidah dan membuat muka setan.
"Telah kuperhitungkan kau akan kembali, kutahu kau kuatir dengan keadaanku, ternyata kau memang baik kepadaku" katanya cekikikan.
Merah muka Tan Leng Ko menahan kemarahan, kembali dirinya terjebak oleh
gurauan gadis setan ini.
"Kau sebaiknya pulang saja!" katanya dengan ketus.
Giok Hui Yan menatap Tan Leng Ko dengan memincingkan mata, kemudian
katanya, "Tahukah kau, semakin kau marah, wajahmu terlihat lebih gagah dan tampan"
Agak gelagapan Tan Leng Ko mendengar perkataan yang diluar dugaannya ini.
Gadis belia ini kalau sudah bicara, memang tidak ada remnya.
"Sayang...!" lanjut Giok Hui Yan sambil menghela napas.
"Sayang apa?" tanpa terasa Tan Leng Ko terpancing.
"Sayang kau sudah tua sekali. Jika kau lebih muda tiga puluh tahun, tentu aku menyukai dirimu" kata Giok Hui Yan kembali cekikikan dengan muka jengah.
Tan Leng Ko ikut jengah sambil menggerutu dalam hati. Dirinya hampir tiga
puluh tahun disuruh lebih muda tiga puluh tahun, bukankah ia bakal dianggap seorang bayi"!
"Jika kau tidak lekas diam, kau akan kukawinkan dengan Khu Han Beng" ancam
Tan Leng Ko kewalahan.
Sambil mencibir, Giok Hui Yan berkata,
"Aku mah tidak suka cacing buku. Kalau kau suka, boleh juga kujadi mak
comblangmu. Jika kau menurut, tentu kau kujodohkan dengan Hong naynay"
"Kau bisa diam tidak"!" bentak Tan Leng Ko kesal. Makin dibiarkan, ucapan
gadis ini semakin tidak genah.
Giok Hui Yan menyengir, tangannya mengambil sesuatu barang kecil yang
dibungkus dan menyerahkannya kepada Tan Leng Ko.
"Ini untukmu" katanya serius.
Melihat sikap serius gadis ini, Tan Leng Ko menerima dan membukanya
"Apa ini?" tanyanya bingung ketika melihat gula gula yang ada ditangannya.
"Kutahu dalil semakin tua seseorang, semakin mudah merajuk. Bukankah gula
gula, merupakan obat yang paling manjur untuk menghibur anak kecil" kata Giok Hui Yan yang tak dapat menahan lagi ketawanya.
Runyam Tan Leng Ko dibuatnya, matanya melotot sangkin gemasnya. Ia tidak
tahu mesti berbuat gimana. jika kabur dari sini, ia bisa dianggap benar benar ngambek. Ingin sekali, ia membalas menggoda lagi, tapi hatinya tidak tega
melihat keringat dingin yang mengucur di wajah Giok Hui Yan.
Tanpa berbicara, ia meloncat ke kudanya, kemudian menarik tali kendali kuda Giok Hui Yan, dengan perlahan menuju balik ke Lok Yang Piaukok.
"Hei, kau salah arah. Sebenarnya kau hendak kemana?" tanya Giok Hui Yan
cemas. Tan Leng Ko tidak mengacuhkan, ia malah menderap kudanya lebih kencang.
Dengan gugup Giok Hui Yan berkata,
"Baik. Aku tidak akan bergurau lagi denganmu. Lekas kau putar balik. Kita harus menuju ke Lok Yang sekarang juga"
Tan Leng Ko menghentikan lari kudanya,
"Kenapa harus sekarang juga?"
Giok Hui Yan menyadari, jawabannya harus memuaskan Tan Leng Ko, kalau
tidak ia akan memaksanya pulang.
"Sebab waktuku sudah tidak banyak lagi... sebab aku benar benar kabur dari
rumah. Orang orangku di Lok Yang, tentu dengan diam diam telah melapor
kepada ayahku, walau telah kuperintahkan untuk merahasiakan jejakku"
Sambil tertawa senang, Tan Leng Ko berkata,
" ayahmu tentu tidak tinggal diam, dia akan mengirim orang untuk menjemputmu pulang"
Giok Hui Yan mengangguk sedih.
"Sebaiknya kau memang pulang, mengapa sih kau keluyuran keluar?" tanya Tan
Leng Ko tertarik.
"Sebab aku benar benar ingin mendapat kembali kitab pusaka yang hilang itu!"
Tan Leng Ko tertawa sebentar, kemudian katanya,
"Kurasa itu bukan alasanmu yang sebenarnya. Tanggung jawab mencari kitab
itu, toh bukan berada di atas pundakmu, melainkan sudah menjadi tugas
ayahmu" Giok Hui Yan berpikir sejenak, setelah menghela napas ia berkata,
"banyak orang menganggapku pintar, akupun merasa diriku tidak bodoh, namun
setelah sekian lamanya, aku tetap tidak berhasil menerka maksud dari pencuri kitab itu"
"Makanya kau ingin sekali berjumpa dengannya?"
"Betul!"
Setelah termenung sekian lama, Tan Leng Ko bertanya,
"Kenapa kalian yakin, toko buku itu terlibat pencurian kitab?"
"Sampai sekarangpun kami tidak terlalu yakin. Berbulan bulan lamanya, kami
mencari jejak pencuri kitab itu yang seperti naga sakti tanpa kelihatan ekornya.
Sedikitpun kami tidak memperoleh titik terang"
Giok Hui Yan menarik napasanya dalam dalam, kemudian katanya,
"Sebetulnya kami sudah putus asa, sampai suatu hari aku melihat beras didalam lumbung. Seperti mendapat ide gila, secara sembarangan aku mengusulkan
untuk mencarinya di toko buku. Karena sudah kehabisan akal, ayahku menyuruh anak buah kami untuk memerhatikan toko toko buku di kota kota besar."
"Nasib mereka juga mujur" kata Tan Leng Ko dalam hati. Ia tahu, walau
kedengaran tugas ini merepotkan, ia yakin, jumlah toko buku di tionggoan tidak terlalu banyak. Lain halnya jika yang dicuri adalah seguci arak. Jumlah warung arak di tionggoan, ia tidak yakin dapat dihitung.
"Dan toko buku di Lok Yang termasuk yang mencurigakan?" tanyanya kemudian.
"Setiap toko buku tentu kami selidiki dengan diam diam. Kami mulai curiga
dengan toko buku di Lok Yang, sebab setiap kali kami mengirim orang, tentu ia tergeletak dipinggir kota dalam keadaan tidur pulas, dengan tiga puluh enam urat nadinya tertotok tanpa mengetahui sebabnya"
Dengan heran Tan Leng Ko bertanya,
"Hanya karena alasan itu, kalian curiga?"
Giok Hui Yan tertawa secara aneh,
"Karena kau tidak mengetahui bahwa yang terakhir kami kirim adalah Ou Leng
Poo, yang berpangkat tongcu. Kepandaiannya boleh dibilang termasuk kelas
satu di rimba persilatan. Untuk mengalahkannya sungguh tidak mudah!"
Agak terkejut juga Tan Leng Ko mendengar hal ini, cepat ia berkata,
"Jadi ia mengalami nasib yang sama, tertotok dan tertidur pulas?"
Dengan tersenyum getir, Giok Hui Yan menjawab,
"Bahkan ia tidak dapat melihat siapa yang melakukannya"
Tan Leng Ko tidak kenal Ou Leng Poo, tapi ia yakin, seorang tongcu dari
perguruan Mi Tiong Bun tidak usah diragukan lagi kehebatannya. Nyatanya, ia juga tidak berdaya!
Setelah terdiam beberapa saat, ia berkata,
"Kalian curiga, orang yang berkepandaian tinggi di toko buku itu, bukan mustahil si pencuri kitab itu?"
"Benar!"
"Tapi kan juga bisa jadi seorang cianpwee yang mengasingkan diri di toko buku itu"
Giok Hui Yan menarik napas dalam dalam, lalu berkata,
"Memang bisa juga begitu. Seperti yang kukatakan tadi, sebenarnya kami tidak terlalu yakin. Kamipun enggan mencari perkara, jika ia tidak terlibat. Apalagi menurut penyelidikkan kami setelah menanyai para tetangga, Gu Cin Liong,
Pendekar Pemetik Harpa 15 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Pedang Berkarat Pena Beraksara 11
^