Han Bu Kong 10

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Bagian 10


jengek si kakek, dia tidak kelihatan bergerak, tahu-tahu sudah mengadang di
depan Bwe Kim-soat.
Padahal ginkang Kim-soat terkenal tiada tandingannya di dunia persilatan,
maka dapat dibayangkan betapa hebat ginkang si kakek baju belacu ini.
"Jika tidak lekas naik kapal dan meninggalkan tempat ini. jangan menyesal bila
kuperlakukan dirimu dengan kasar," kata si kakek pula.
Kim-soat melengak, tapi biji matanya lantas berputar, mer dadak ia tersenyum
manis, katanya, "Ai, kakek setua ini masakah menggoda anak perempuan, apa
tidak malu?"
Kakek itu melenggong, belum lagi ia bersuara mendadak Kim-soat melayang
lewat di sisinya dan menerjang keluar pintu yang setengah terbuka itu.
Sementara itu fajar sudah hampir menyingsing, di tengah keremangan pagi itu
kelihatan sebuah sungai mengalir di bawah tebing sana. pepohonan lebat di
kanan-kiri sungai.
Selagi ia hendak melompat turun dari tebing, sekonyong-konyong orang
membentak dari belakang. "Sungguh perempuan licin . . . . "
Terdengar suara ungin menderu, tahu-tahu si kakek berbaju belacu sudah
mengadang di depannya dengan sikap dingin.
"Dia sudah mati, mengapa tidak kauperlihatkan jenazahnya kepadaku . . . . "
ucap Kim- soat dengnn terputus dan air mata pun bercucuran.
Namun kakek itu sama sekali tidak ter-haru, mendadak ia bertepuk tangan,
dari bawah tebing segera melompat ke atas seorang lelaki kekar bertelanjang
badan, hanya pada pinggangnya tertutup sepotong kulit macan tutul, sekujur
badan pun berbulu kuning se-hingga tampak mengkilat, mulut lebar dan
bersiung, sekilas pandang akan disangka orang hutan, terdengar ia berkata,
"Cukong ada perintah apa?"
"Sudahkah semua barang muatan dibongkar?" tanya si kakek.
Orang itu menjawab dengan hormat, "Belum!"
"Lekas selesaikan tugasmu!" si kakek memberi tanda, secepat kilat mendadak
ia menutuk Nui-moa-hiat di pinggang Bwe Kim-soat.
Karena tidak tersangka, Kim-soat menjerit dan roboh terkulai.
Si kakek lantas membawanya kembali ke ruangan seram itu dan ditaruh di
atas dipan, jengeknya, "Begitu selesai barang muatan di-bongkar segera
kunaikkan dirimu ke atas kapal, sudah kuselamatkan jiwamu dengan obat
mujarab, masakan engkau belum puas?"
Pelahan ia menutup pinta ruangan dan ditinggalkan pergi
Dengan penuh rasa curiga diam- diam Kim-soat mengerahkan tenuga dalam,
tadi waktu tutukan si kakek menyentuh pinggang, sedikit banyak ia sempat
mengelak sehinga tutukan kakek itu tidak tepat teluruhnya, maka setelah
berusaha sebentar, dapatlah ia melancarkan hiat-to yang tertutuk itu.
Segera ia melompat bangun dan berlari ke depan pintu, ia coba membukanya,
ternyata pintu tembaga itu digembok dari Juar. Dinding sekeliling juga terbuat
dari tembaga, kecuali pintu ini tiada jalan tembus lain.
Seketika ia merasa seperti tersekap kembali di dalam peti mati itu, kecuali
ukuran ruang-an ini jauh lebih luas daripada peti mati, rasa seramnya sungguh
tiada ubahnya berada di dalam peti mati.
Sesudah berusaha dan tetap tiada jalan keluar, akhirnya ia putus asa, kembali
ia ber-linang air mata, dicarinya lagi meja pemujaan tadi, abu jenazah di
dalam kaleng masih ter-letak di situ, tiba-tiba terpikir olehnya, jika barang
muatan kapal belum dibongkar, kenapa jenazahnya sudah terbakar menjadi
abu" "Dia belum mati, dia pasti tidak mati!' demikian timbul harapan baru.
Tiba-tiba terdengar suara pintu berbunyi pelahan, cepat ia menyusup ke
kolong meja sembahyang, tabir meja yang panjang itu da-pat mengalingi
tubuhnya. Menyusul terdengar suara orang melang- kah ke dalam, terdengar suara si
kakek ber-baju belacu bersuara heran, "He, di mana orangnya" Huh,
memangnya dia tumbuh sayap dan dapat terbang pergi, apakah dia dapat
menghilang?"
Suaranya lantang, jelas dia Hong Mao-thian adanya.
"Selama ratusan tahun Cu-sin-to ini tidak pernah didatangi oleh orang
perempuan, jika kaubawa perempuan ini ke sini, engkau juga yang harus
membawanya pergi," jengek si ka-kek baju belacu.
"Tapi dia sudah menghilang, bukan mustahil engkau yang melepaskan dia
pergi," ujar Man-thian.
"Huh, dia justru bersembunyi di kolong meja di depanmu, begitu kita masuk
kulihat tabir meja masih bergoyang, memangnya dia dapat mengelabuhi aku?"
jengek si kakek.
Belum lenyap suaranya mendadak tabir meja tersingkap dan Bwe Kim-soat
melompat keluar, segera ia memegang bahu Hong Man-thian dan bersuara,
"Dia tidak mati bukan" Di mana dia sekarang?"
Air muka Hong Man-thian tampak dingin dan tidak bergerak, kini ia pun ludah
berganti baju belacu.
Mendadak si kakek tadi berseru, "Betul, dia memang belum mati, tapi selama
hidupmu jangan harap akan melihatnya lagi."
Sedih dan juga murka Bwe Kim-Soat. serentak ia menubruk maja dan hendak
menyerang si kakek.
Tapi Hong Man-thian lantas mengadang di depannya dan berteriak, "Ikut
padaku!' "Ke mana"!" seru Kim-soat dan si kakek baju belacu tadi.
"Kubawa menemui dia," jawab Man-thian.
Kim-soat melenggong sejenak, serunya girang, "Apa . . . apa berul?"
"Tidak!" tukas si kakek baju belacu. Serentak Hong Man-thian berpaling ke
arah rekannya itu dengan sorot mata tajam.
Tapi kakek itu tidak menghiraukannya. katanya pelahan, "Hilang perasaan,
hilang nafsu, hilang nama, hilang keuntungan. Ke-empat pantangan besar
yang turun tumurun di Cu-sin-to ini masakah sudah kaulupakan"'
"Tidak, tidak pernah kulupakan," jawab Man-thian.
"Jika begitu, mengapa kau . . . . " "Sudah sejak 40 tahun yang lalu orang she
Hong tidak pernah memikirkan urusan nama, keuntungan dan mengenai orang
perempuan lagi, tapi dalam hal perasaan betapa-pun takdapat kuhapus.
Biarlah kubawa dia, menemuinya, segala akibatnya kutanggung sen-diri dan
takkan membikin susah padamu."
Kedua orang saling melotot dengan dingin, sampai sekian lama, akhirnya si
kakek baju belacu berkata, "Jika kaumau cari susah sendiri, terpaksa masa
bodoh . . . . " lalu ia ber-paling dan berkata kepada Kim-soat, "Cuma setelah
kaulihat dia, mungkin kaupun akan menderita."
Habis berkata ia lantas mendahului me-langkah pergi.
Bwe Kim-soat dan Hong Man-thian ikut di belakangnya, setelah menuruni
tebing dan membelok ke kiri, hanya belasan tombak jauh-nya msndadak
mereka berhenti.
"Sudah sampai," kata Man-thian.
Kim-soat berseru kegirangan dan memburu maju, tertampak di depansebuah
gua yang ge-lap terdapat pagar jeruji tembaga dengan kaki telanjang dan
berbaju belacu Lamkiong Peng tampak duduk bersila di balik pagar beruji itu,
kepalanya terbebat kain putih dan berlepotan darah.
Hati Kim-soat serasa disayat-sayat, ratap-nya, "Oo . . . apa dosamu, mengapa
mereka mengurungmu di sini?"
Kulit daging pada wajah Lamkiong Peng tampak berkerut-kerut menahan
derita, namun mata tetap terpejam.
"Siapa pun, begitu datang ke pulau ini harus bertapa selama seratus hari baru
boleh keluar dari sini,"kata Man-thian.
Kim-soat memegang ruji pagar tembaga itu dan berseru, "Mengapa engkau
tidak . . .tidak membuka mata, lihatlah . . . aku . . . aku yang datang!"
Namun kedua mata Lamkiong Peng tetap terpejam tanpa bersuara.
Kim-soat menggoyangkan pagar tembaga sehingga menimbulkan suara
nyaring, air mata pun berderai, ratapnya pedih, "Oo , . . mengapa engkau
tidak . . . tidak menggubris diri-ku" . . . . "
"Sekarang sudah kaulihat dia, jelas dia tidak menghiraukan dirimu lagi. maka
bolehlah kaupergi saja," kata si baju belacu.
Mendadak Kim-soat membalik tubuh, bertanya, "Baik aku akan pergi. Cuma
ingin kutanya padamu, engkau menawarkan racunku dan menolong jiwaku,
untuk ini apakah dia rela bersumpah takkan menghiraukan diriku lagi
seterusnya?"
"Hm, cerdik juga kau," jawab si kakek dengan dingin.
Dengan tersenyum pedih Kim-soat meman-ang Lamkiong Peng lagi dan
berkata, "Peng cilik, engkau salah, masa engkau tidak tahu aku rela mati
bersamamu, mati dalam pangkuanmu daripada diselamatkan oleh tangan yang
kotor ini?"
Muka Lamkiong Peng tampak berkerut lagi.
Tapi si kakek baju belacu lantas berucap, "Setelah meninggalkan pulau ini,
mau mati atau ingin hidup adalah urusanmu, yang pasti sekarang juga harus
lekas kautinggalkan pulau itu.
Sembari bicara segera ia pun menutuk hiat-to kelumpuhan Bwe Kim-soat.
Tak terduga mendadak Hong Man-thian menangkis tutukannya dengan tongkat
dan membentak, "Nanti dulu!"
"Hong heng, apakah engkau sudah lupa...."
"Lupa apa?" jengek Hong Man-thian.
"Masa sudah kaulupakan larangan keras di pulau ini?" kata si kakek. "Hanya
dengan kekuatan kalian berdua saja ingin kaulawan peraturan Cu-sin-to yang
kau kenal, apakah engkau bukan lagi mimpi" Jika sampai para Tianglo di
istana mengetahui tindakanmu, tatkala mana kalian pasti akan serba susah,
minta mati tak bisa, ingin hidup pun takkan diluluskan."
Air muka Hong Man-thian tampak pucat, tongkat ditarik kembali.
"Peng cilik," seru Kim-soat pula, "bukankah engkau mau mati bersamaku"
Lebih baik kita mati bersama daripada hidup tersiksa di sini. Bukalah matamu,
pandanglah diriku ....
Siapa tahu Lamkiong Peng tetap memejamkan mata saja.
"Orang hidup paling-paling cuma mati saja, memangnya sumpahmu begitu
penting?" Namun Lamkiong Peng tetap diam saja.
"Hm kausendiri ingin mati.. tapi orang lain justru tidak mau," jengek si kakek
baju belacu. Kim-soat termenung sejenak, mendadak ia mengusap air mata dan berucap,
"Baiklah, kupergi saja.
"Ikut padaku," kata si kakek baju belacu, keduanya lantas menuju ke tepi laut.
Remuk rendam hati Bwe Kim-soat. ia tidak menoleh lagi, air matanya tetap
berlinang tapi tidak lagi menitik.
Lamkiong Peng mendengar langkah si dia yang semakin menjauh dengan bibir
terkancing rapat, akhirnya ia pun meratap pelahan, "O, Kim-soat, aku . . . aku
bersalah padamu . . . . "
Hong Man-thian juga berdiri termangu seperti patung, ucapnya kemudian,
"Semoga dia dapat memahami kesusahan kita ....."
"Kutahu dia pasti akan benci padaku selama hidup," kata Lamkiong Peng
dengan menitikkan air mata. "Tapi aku tidak menyalahkan dia, sungguh aku . .
. aku ingin dia mengetahui untuk apakah aku bertindak demikian."
Apakah benar Bwe Kim-soat takkan tahu" Saat itu dia sudah mulai terombangambing
lagi di tengah lautan, mati atau hidup sukar diramal, mungkin dia akan
menanggung ke-hancuran hatinya itu telama hidup.
Akan tetapi untuk apakah kedua lelaki sejati serupa Lamkiong Peng dan Hong
Man-thian itu harus bertindak demikian"
_____________________________**********________________________
____ Gua itu gelap lagi lembab, sekeliling pe-nuh tumbuh lumut hijau, bila musim
panas penuh nyamuk dan semut.
Serupa orang mati saja Lamkiong Peng duduk di dalam gua, semula dia masih
kelihatan menahan penderitaan itu, tapi kemudian perasaannya serupa sudah
beku dan tidak memikirkan lagi apa yang menimpa dirinya.
Musim semi berubah musim panas, baju belacu yang dipakainya sudah robek,
kotor lagi berbau, sampai akhirnya hancur menjadi gombal juga tak terpikir
olehnya. Makanan yang setiap hari diantarkan oleh "orang hutan" itu juga
sukar ditelan, namun Lamkiong Peng dapat makan minum tanpa mengeluh.
Banyak terjadi perubahan pada sifiknya tanpa disadarinya, hanya diketahuinya
janggut-nya mulai tumbuh lebat dan membuatnya kelihatan banyak lebih tua.
Sejak hari itu dia tidak melihut Hong Man-thian lagi, juga si kakek berbaju
belacu. Hari berganti hari dan entah berselang berapa lama, suatu hari ketika
ia sedang duduk semadi, selagi segala apa terasa kosong, sekonyong-konyong
terdengar suara "srek", pagar tembaga itu terbuka, si kakek berbaju belacu
berdiri di depan gua dan berkata bepadanya, "Selamat, kini Anda resmi
menjadi anggota penghuni Cu-sin-to ini."
Meski di mulut ia mengucapkan selamat, namun sikapnya tiada rasa gembira
sedikit pun. Dengan kaku Lamkiong Peng berdiri, sedikit pun dia tidak memandang orang
tua itu. '"Mulai hari ini Anda boleh berganti tempat kediaman baru," kata pala si kakek.
Tanpa bicara Lamkiong Peng ikut dia menyusuri sungai dan menuju ke suatu
tempat yang rimbun, jalan tembus ini kelihatan resik, waktu tembus kebalik
hutan sana, tertampak sebuah tanah lapang yang luas mengitari empat deret
rumah papan, setiap deret terdiri dan dua-tiga puluh rumah, di depan setiap
rumah sama duduk seorang tua berambut ubanan dan berbaju belacu,
semuanya duduk lurus kaku.
Kawanan kakek itu beraneka ragamnya, ada yang tinggi, ada yang pendek,
ada gemuk, ada kurus, yang sama adalah air muka mereka, semuanya dingin
kaku tanpa memperlihatkaa sesuatu perasaan, ada yang memandang ke langit
dengan termangu-mangu, ada yang sedang membaca dengan tenang, puluhan
orang duduk bersama di situ, namun tidak terdengar suara sedikit pun.
Waktu Lamkiong Peng lewat di samping mereka, yang asyik membaca tetap
membaca, yang melamun tetap melamun, tiada seorang pun yang melirik
sekejap ke arah Lamkiong Peng.
Kakek itu membawa Lamkiong Peng ke sebuah rumah papan yang terletak di
ujung sana, tertampak di atas pintu tertulis dua hu-ruf besar "Ci Cui" yang
berarti air mandek.
Sambil menunjuk tulisan itu, si kakek ber-kata, "Inilah rempat tinggalmu yang
baru, dan ini pula namamu. Tiba waktunya akan kubawa engkau ke dalam
istana, tapi sebelum waktunya engkau dilarang meninggalkan tempat ini
barang selangkah pun."
Lamkiong Peng hanya mendengus pelahan saja sebagai jawaban.
"Apakah engkau tak ingin tanya apa-apa terhadapku?" tanya si kakek.
"Tidak ada," sahut Lamkiong Peng ketus.
Si kakek memandangnya sekejap, lalu tinggal pergi menuju ke hutan yang
rimbun itu. Semua orang yang berada di sini sama memakai baju belacu yang
berwarna kekuningan, namun baju belacu kakek yang menghantarnya ini
diwenter menjadi warna lembayung. Kiranya dia termasuk salah seorang
pengurus di pulau ini, sebab itulah warna bajunya berbeda dengan kakek lain.
Pengurus pulau ini hanya tujuh orang, Hong Man-thian dan kakek itu terhitung
anggota pengurus. Setiap anggota pengurus diberi seorang murid sebagai
pesuruh, si aneh yang bernama Jitko dan "orang hutan" berbulu emas itu
terhitung murid merangkap pesuruh dari ketujuh anggota pengurus.
Hal hal ini baru diketahui Lamkiong Peng di kemudian hari. Sekarang ia lantas
membuka pintu rumah, dilihatnya rumah ini hampir tidak ada isinya kecuali
sebuah dipan, sebuah meja dan sebuah bangku. Di atas meja tertaruh
sepotong baju belacu, sepasang sumpit dan se-buah mangkuk kayu dan sejilid
buku, di bawah meja ada sepasang sepatu rami. Panjang dipan itu cuma lima
kaki saja, tanpa kasur tiada se-limut, yang ada cuma sehelai tikar saja.
la menoleh dan memandang para kakek yang duduk diam itu, pikirnya,
"Apakah tempat ini tanah suci yang menurut cerita dalam dunia persilatan
sebagai Cu-sin-ci-tian (istana para dewa)" Beginikah kehidupan Cu-$in-tian"
Pantas semakin mendekat dengan tempat tinggalnya ini Hong Man-thian
tambah sedih. Soal-nya di sini tiada orang lain yang mempunyai perasaan
sebagai manusia kecuali dia- saja seorang."
Kurungan selama seratus hari di gua yang terisolasi itu telah membuat
Lamkiong Peng lebih tawakal, lebih sabar.
la pindahkan bangku ke depan pintu, di-ambilnya buku di atas meja itu, ia pun
meniru kawanan kakek itu, mulai membaca kitab. Tapi begitu dia membuka
halaman kulit buku itu, seketika jantungnya berdebar keras. Ternyata kitab itu
berjudul ' Tamo-cap-pek-sik".
Hendaknya dimaklumi, Tamo-cap-pek-sik atau delapan belas jurus ciptaan
Budha Darma adalah. ilmu silat khas Siau-lim-si, di dunia persilatan sekarang
hampir jarang sekali orang yang menguasai kungfu ini. Bilamana ada kitab


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusaka semacam ini muncul di dunia persilatan tentu akan menimbulkan
gelombang perebutan yang ramai dan menimbulkan korban jiwa dan raga.
Tapi sekarang kitab pusaka yang diimpi impikan orang persilatan, di pulau ini
ternyata di pandang sebagai buku rombengan saja dan ditaruh secara
sembarangan. Seketika perhatian Lamkiong Peng tak terlepas lagi dari isi kitab itu, dia asyik
menyelami ilmu silat yang tercamum di situ, sampai lohor, "orang hutan" itu
datang dengan membawa dua ember, para kakek lantas mengluarkan
mangkuk kaya dan sumpit, masing-masing mengisi semangkuk rangsum yang
diantarkan itu, lalu sibuk bersantap tanpa bicara apa pun, malahan di antara
merekajuga tidak ada yang tegur-sapa.
Tiga hari kemudian"orang hutan"' itu datang lagi dan menukar kitab di atas
meja dengan kitab lain. Selagi Lamkiong Peng menyesal, tak terduga ketika
kitab baru itu dibuka, isinya adalah kungfu yang sudah lama menghilang dari
dunia persilatan, yaitu "Bu-eng-sin-kun", ilmu pukulan sakti tanpa wujud.
Begitulah selang 50 60 hari kemudian, berturut-turut kitab di atas meja
Lamkiong Peng telah berganti 20-an kali, setiap kitab selalu berisi ilmu silat
yang jarang diketemu-kan lagi di dunia persilatan sekarang. Tentu saja
Lamkiong Peng sangat senang, sedapatnya ia mengingat semua isi kitab itu.
Supaya diketahui bahwa kawanan kakek ini sebelum datang di Cu-sin-to ratarata
sudah pernah berbuat sesuatu yang menggempar-kan. semuanya adalah
tokoh Bu-lim ternama yang disegani, begitu datang ke Cu-sin-to, ka-rena tidak
dapat lagi meninggalkan pulau ini, maka kitab pusaka bagi mereka dipandang
se-bagai barang tak berguna lagi, maka sebagian cuma membacanya secara
iseng, malahan ada yang sama sekali tidak tertarik.
Hari berganti hari, entah berselang berapa lama pula, sejauh itu belum pernah
Lamkiong Peng mendengar percakapan kawanan kakek itu, terkadang ia
mengira mereka adalah orang bisu-tuli semua atau mayat hidup.
Suatu hari mendadak turun hujan, tapi kawanan kakek ini seperti tidak
merasakan gu-yuran air hujan, tiada satu pun yang me-nyingkir ke dalam
rumah. Ketika musim rontok hampir berlalu dan musim dingin hampir tiba, mereka
tetap me-makai baju belacu tanpa mengenal rasa dingin. Namun Lamkiong
Peng sendiri merasa meng-gigil. Terpaksa ia mengerahkan lwekang untuk
menahan serangan hawa dingin.
Lewat beberapa hari kemudian barulah dia merasa biasa. Baru sekarang
diketahuinya kungfu sendiri sudah banyak lebih maju, rupa-nya ilmu silat sakti
yang dibacanya dari ber-bagai kitab itu serupa makanan kasar di pulau ini
telah dicerna seluruhnya olehnya.
Maka tidurnya tambah sedikit, makannya juga semakin sedikit, namun
semangatnya justru tambah berkobar.
Suatu pagi hari. tiba-tiba diketahui kakek penghuni rumah di depan sudan
tidak ada lagi. Siapa pun tidak tahu kemana perginya kakek itu dan tidak ada
yang menanyakannya. Mati-hidup bagi para kakek itu serupa halnya ma-kan
dan tidur saja, teperti uruian biasa, biarpun ada orang kehilangan kepala di
depan mereka juga takkan diperhatikan oleh mereka. Dengan cepat seratus
hari telah lalu pula, pada waktu pagi, mendadak si kakek berbaju belacu
muncul pula di depan pintu Lamkiong Peng dan berkata padanya, "Mari ikut
padaku!" Tanpa tanya Lamkiong Peng berbangkit dan ikut berangkat. Waktu
melalui lapangan luas itu, tiba-tiba diketahui beberapa kakek di antaranya
sama menoleh dan memandangnya sekejap dengan sorot mata merasa
kagum, hal ini tidak pernah terjadi selama Lamkiong Peng berada di pulau ini.
Tentu saja anak muda itu merasa heran, pikirnya, ' Kiranya orang-orang ini
sebenarnya juga punya perasaan, cuma mereka pandai me-nyembunyikan
perasaan masing-masing sehingga biasanya tidak kentara. Tapi apa yang
mereka kagumi atas diriku" Apakah karena tempat yang akan kutuju ini?"
Diam-diam Lamkiong Peng menduga mung-kin tempat .yang akan dituju
adalah Cu-sin-ci-tian atau istananya para dewa, tempat yang penuh misterius
itu, tanpa terasa hatinya men-jadi tegang.
Mendadak terdengar suara menggeletar, suara bunyi cambuk berkumandang
dari ke-lebatan pepohonan sana, waktu Lamkiong Peng memandang ke sana,
kelihatan di dalam po-hon sana terjulur tali putih, pada tali putih yang kecil itu
menggelantung tubuh Hong Man-thian yang besar.
Tertampak pula si manusia kera itu se-dang mengayun cambuk dan menyabat
tubuh Hong Man-thian berulang-ulang sambil menghitung, "Dua puluh delapan
. . . dua puluh sembilan ....?"
Mendadak tali putus dan Hong Man-thian jatuh terbanting ke tanah. Si
manusia kera tidak banyak urusan, segera ia pasang tali lagi dan Hong Manthian
lantas melompat ke atas, dengan tangan memegang tali, tubuhnya
lantas menggelantung pula di udara.
Kembali cambuk si manusia kera bekerja lagi menghajar tubuh Hong Manthian
sambil mengulang pula dari semula, "Satu .... dua . . . tiga . . . . "
Tali itu tidak besar, sedang cambuk pan-jang lagi kasar, biarpun Hong Manthian
memiliki lwekang yang kuat, untuk menggelantung begitu saia sudah
sulit, apalagi mesti me-nahan didera oleh cambuk.
Lamkiong Peng mengikuti sejenak kejadian itu dengan menahan napas,
dilihatnya Hong Man-thian berwajah kaku dan bertahan dengan diam, serupa
anak bandel yang sedang dihajar orang tuanya.
Segera Lamkiong Peng melangkah ke de-pan karena tidak tega memandang
lagi. "Itulah hukuman bagi pelanggar hukum di sini," kata si kakek baju belacu.
"Setiap hari 36 kali cambukan, harus dihajar berturut-turut selama 360 hari,
bila tali putus harus diulang kembali. Maka mereka yang berani coba
melanggar peraturan di sini perlu bertanya dulu kepada dirinya sendiri apakah
mampu menahan hajaran dan punya keberanian atau tidak?"
Lamkiong Peng diam saja dan terus melangkah ke depan, akhirnya sampai di
ujung hutan, di depan mengadang tebing gunung. tapi tidak kelihatan
bayangan rumah.
Si kakek mendekati tebing, ia raba dinding tebing, pada suatu bagian yang
belenduk pe-lahan ia menepuk tiga kali, mendadak terjadi keajaiban pada
dinding batu itu, bagian yang belenduk itu berputar, lalu merenggang dan
kelihatan sebuah jalan tembus.
Tanpa sangsi Lamkiong Peng terus melangkah ke dalam sana bersama si
kakek, "brak", segera dinding tebing itu merapat kembali.
Terendus bau amis busuk dalam lorong rahasia ini, sebuah lentera tergantung
di din-ding lorong dan memancarkan cahaya yang guram, pada ujung lorong
terdapat sebuah pin-tu tembaga.
Waktu Lamkiong Peng menoleh, tahu-tahu si kakek baju belacu sudah
menghilang, Segala sesuatu di sini seakan-akan di luar dalil umum. Tanpa pikir Lamkiong
Peng melangkah lagi ke depan, terdengar dari ke-dalaman saja berkumandang
suara melengking tajam, "Kamu sudah datang?"
Belum lenyap suara itu, pintu tembaga di ujung lorong itu lantas terbuka.
Segala apa tidak terpikir lagi oleh Lamkiong Peng, dengan bersitegang leher ia
masuk ke situ. Dilihatnya di balik pintu ada lagi sebuah lorong, tapi dikedua tepi lorong ini
terbuka berbagai gua sehingga serupa sarang tawon, lubang ini berbaris
panjang ke sana dan ter-dapat di atas bawah dinding lorong sehingga berapa
jumlahnya sukar dihitung.
Di antara lubang atau gua batu itu terkadang ada orangnya, ada yang kosong,
ada yang diterangi lentera, ada yang gelap dan seram.
"Jalan terus ke depan, jangan berpaling!" terdengar suara melengking tajam
tadi berseru pula.
Lamkiong Peng terus menuju ke depan dengan langkah lebar tanpa
memandang lagi ke kanan-kiri, diam-diam ia. gegetun, "Apakah begini Cu-sintian
yang termasyhur itu?"
Belum lagi lenyap pikirannya, terdengar lagi suara tadi, "Di sini! Naik kemari!"
Jelas suara itu berkumandang dari tempat ketinggian.
Waktu Lamkiong Peng mendongak, ter-tampak pada dinding di ujung lorong
sana juga ada sebuah dekukan yang berwujud gua, ting-ginya dua-tiga
tombak dan permukaan tanah.
Segera Lamkiong Peng melompat ke atas,semula ia ragu apakah dapat
mencapai mulut gua itu, ia bormaksud mencari suatu tempat hinggapan, siapa
tahu dengan enteng sekali dapatlah ia mencapai tempat setinggi itu dan
menyusup ke dalam gua.
Di dalam gua bau amis busuk tambah ke-ras, di pojok sana terpasang kerai
bambu, di belakang sebuah meja batu besar di depan kerai bambu menongol
sebuah kepala berambut ubanan, mata cekung dan hidung besar, sorot mata
tajam, dahi lebar, dengan dingin sedang menatap Lamkiong Peng.
Tanpa terasa Lamkiong Peng agak ngeri, ia memberi hormat dan berucap,
"Cayhe Lamkiong Peng .... "
Mendadak kakek ubanan itu membentak, "Ci-cui, namamu Ci-cui, ingat tidak"
Begitu masuk Pulau ini engkau lantas sama sekali melepaskan diri dari dunia
ramai, harus kaulupakan segala masa lampau, tahu?"
Suaranya tajam dan cepat, seperti membawa semacam daya pengaruh yang
misterius. Lamkiong Peng diam saja, ia pandang kakek ubanan itu dengan tenang.
"Sungguh beruntung engkau dapat tinggal di Ci-cui-sit (ruangan air mandek),"
kata si kakek dengan tertawa cerah. "Mungkin engkau tidak tahu bahwa Cicui-
sit itu dahulu dihuni oleh Sin-tiau-taihiap Nyo Ko . . . . "
"Urusan dunia ramai sudah tidak kupikir-kan lagi," jawab Lamkiong Peng
dingin. "Haha, bagus, bagus!" si kakek bergelak tertawa.
Sejak datang di pulau ini untuk pertama kalinya Lamkiong Peng mendengar
orang tertawa, tentu saja ia melenggong. Terdengar si kakek berkata pula, '
Berdasarkan ucapanmu ini pantas untuk diberi minum satu cawan."
Mendadak ia tepuk tangan satnbil berseru, "Ambilkan arak!"
Bahwa disini juga tersedia arak, Lamkiong Peng tambah heran.
Tertampak kerai bambu tersingkap, sesosok tubuh tinngi kurus terbalut kain
putih dengan wajah tidak mirip manusia juga tidak serupa binatang muncul
dengan membawa sebuah nampan kayu, kelihatan rambutnya yang
semerawut, matanya siwer, mulutnya lebar dan hampir tak berbibir, setelah
menaruh nampan dengan poci arak dan cawan, lalu mengundur-kan diri lagi.
Seketika timbu! rasa ngeri Lamkiong Peng ketika dilihatnya telapak tangan
makhluk itu hanya mempunyai dua jari, daun telinganya lancip kecil dan penuh
berbulu Akhir-akhir ini sudah banyak makhluk aneh setengah manusia dan setengah
binatang yang dilihatnya, tidak urung ia mengkirik me-lihat makhluk seram ini.
Melihat perubahan air mukanya, si kakek terbahak, "Silakan minum!"
Begitu tangan si kakek mendorong, segera secawan arak melayang ke arah
Lamkiong Peng dengan anteng serupa dipegang orang.
Tanpa pikir Lamkiong Peng menangkap cawan itu dan ditenggak, rasa arak
agak pedas, tapi sedap.
"Tentu engkau tidak pernah melihat makhluk hidup semacam tadi, ketahuilah
sesung-guhnya dia bukan manusia melainkan seekor binatang," ucap si kakek
dengan tertawa.
"Hah, jadi Jitko itu dan . . . . " kembali Lamkiong Peng mengkirik.
"Ya, semuanya binatang," ujar si kakek dengan tertawa. "Selama hidupku
mencurahkan tenaga dalam penelitian ilmu pertabiban, hasil jerih payahku
selama berpuluh tahun ada-lah dapat kuciptakan belasan ekor binatang
menjadi serupa manusia . . . . "
"Hah . . . . "
Mendadak lenyap tertawa si kakek, air mukanya berubah menjadi merah dan
pena-saran, katanya, "Kautahu, sebabnya manusia hidup sengsara dan
menjadi cacat, selain ka-rena pengaruh lingkungan juga banyak karena
pembawaan yang jahat. Untuk merombak ting-kah polah manusia harus
diawali dari bentuk-nya. Selama berpuluh tahun aku berusaha memperdalam
ilmu pertabiban, lebih dulu aku telah merombak wujud diriku sendiri, lalu kupraktekkan
berbagai operasi yang selama ini belum pernah dilakukan oleh
tabib mana pun . . . . "
Ngeri Lamkiong Peng membayangkan beberapa makhluk aneh yang telah
dilihatnya itu.
"Apa yang kulakukan ini tidak dapat kujelaskan begitu saja, kelak dari apa
yang kau-lihat dan kaudengar tentu. akan paham lebih banyak," kata pula si
kakek. "Para penghuni pulau ini meski semuanya adalah bekas tokoh dunia
persilatan, tapi mereka yang dapat masuk ke ruangan ini tidaklah banyak.
Selama berpuluh tahun ini segala biaya kepulauan ini berkat bantuan dari
keluarga Lamkiong kalian, makanya kuberi prioritas kepadamu untuk
menghuni ruangan ini."
"Setelah Cayhe masak ke sini, segala urusanku memang tidak pernah terpikir
lagi oleh-ku, hanya satu hal ini masih mengganjal hatiku, yaitu kuharap dapat
berjumpa satu kali saja dengan pamanku itu."
"Jika segala urusan lampau sudah kau lupakan, kenapa kauingin menemui
pamanmu?" jengek si kakek.
Lamkiong Peng melengak, dilihatnya si kakek menarik muka dan berkata
dengan serius, '"Perlu kautahu untuk apa kuharap setiap penghuni Cu-sin-to
ini melupakan segala cita-rasa dan sama sekali putus dari perasaan kasih,
nafsu, nama dan keuntungan, setiap orang yang kuajak berdiam di pulau ini
seluruhnya juga merupakan tokoh inti dunia persilatan yang sudah
berpengalaman."
"Cayhe memang tidak tahu seluk beluk ini," javvab Lamkiong Peng.
"Soalnya aku ingin membangun sesuatu yang selama ini belum pernah
dilakukan siapa pun, kudatangkan orang pandai untuk menjadi penghuni pulau
ini, dari mereka kuharapkan akan dapat mengembangkan bakat
mereka.supaya menciptakan sesuatu yang serba baru tanpa gangguan.
Bilamana usahaku ini berhasil, maka suksesku ini takkan dibandingi oleh tokoh
sejarah mana pun. Tapi lucu juga, orang dunia persilatan justru mernandang
Cu-sin-to ini sebagai tempat pengasingan yang misterius dan ditakuti."
"Usaha apa yang Cianpwe lakukan"' tanya Lamklong Peng.
Meneorong sinar mata si kakek, "Tentu pernah juga terjadi atas dirimu, setiap
orang pada waktu masa anak-anak tentu mempunyai banyak khayalan,
setelah hesar khayalan ini akan menjadi kenangan indah. Waktu keeilmu tentu
juga pernah kaupikirkan betapa senang-nya bila dapat menghilang, dapat
menggembleng besi menjadi emas dan berbagai hal yang mustahil?"
' Ya, memang begitulah khayalan anak kecil," kata Lamkiong Peng dengan
tersenyum. "Padahal hal-hal seperti menghilang atau menggembleng besi menjadi emas '
adalah khayalan yang jamak, tapi masih ada urusan lain yang jauh lebih
menakjubkan yang jarang dibayangkan orang, misalnya ada orang ber-khayal
tanpa sekolah, asalkan kitab dibakar menjadi abu dan abu diminum bersama
air, lalu dia akan pintar secara mendadak. Ada yang berkhayal lampu tanpa
minyak akan terang benderang, ada yang berfantasi kereta atau kuda dapat
terbang dan menjelajahi jagat raya ini. Ada yang berkhayal setelah minum
satu biji obat segera akan merasa kenyang dan tidak perlu makan sepanjang
tahun . . . ."
la berhenti sejenak, lalu menyambung dengan tertawa, "'Ada cerita lucu di
jaman dahulu, konon ada orang berkhayal bilamana bulu alis seorang tumbuh
di jari tangan. maka jari akan dapat digunakan menyikat gigi. Jika lubang
hidung tumbuh mcenghadap ke atas, tentu ingus seorang takkan meleleh.
Bilamana mata tumbuh di muka dari belakang. untuk melihat tentu tidak perlu
lagi berpaling. Le-lucon inilah yang menjadi khayalanku, tapi sekarang
khayalan ini sudah berubah menjadi kenyataan. Umpama sekarang jika
kauminta alismu dipindah ke jari atau hidungmu diputar ke atas. segera dapat
kulaksanakannya bagimu, tidak percaya bolehlah kaucoba."
"Tapi kukira biarkan saja ingus tetap meleleh ke bawah, untuk berpaling juga
tidak terlalu merepotkan," ujar Lamkiong Peng.
Si kakek terbahak, "Haha, bukan saja khayalanku ini sudah terlaksana
sekarang, bahkan hal-hal yang mustahil dan tidak pernah terjadi sekarang
juga akan terlaksana."
"Apa betul?" kaget juga Lamkiong Peng.
"Tentu saja betul," ucap si kakek. "Setelah kucuci bersih otak orang-orang itu
dari pikiran kolot mereka, selanjutnya akan kusuruh mereka menekuni
pekerjaan baru ini . ..."
la menuding berbagai gua di kedua din-ding lorong dan menyambung pula, "Di
dalam gua gua itulah tempat bekerja mereka. Coba kaubayangkan, bilamana
hal-hal yang dahulu cuma khayalan belaka sekarang dapat terlaksana,
bukankah sukses ini akan membuat sejarah baru bagi hidup manusia yang
akan datang."
Lamkiong Peng memandang orang tua ini dengan termangu, tidak
diketahuinya sesungguhnya kakek ini seorang gila atau manusia super"


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dilihatnya si kakek mendadak menarik muka lagi dan berkata, "Apa yang
kubicarakan hari ini sudah terlampau banyak dan banyak pula menggnnggu
pekerjaan yang lebih penting. Setelah engkau masuk ruangan ini, segala
tindak-tanduk dan tutur katamu sudah bebas dari pembatasan. Tapi setiap
tahun engkau hanya boleh keluar dan melihat cahaya matahari satu kali.
Sekarang boleh kauperiksa sekeliling tempat ini, silakan pilih satu ruangan
sebagai tempat tinggalmu, besok akan kupanggil dirimu lagi."
Dengan ragu dan kejut Lamkiong Peng melompat turun dari gua itu,
dipandangnya lubang gua di kedua sisi dinding lorong, terbayang pekerjaan
yang sedang berlangsung di situ, meski hati penuh diliputi rasa ingin tahu, tapi
ia tidak berani menghadap mereka, sebab tak berani dibayangkannya
bagaimana jadinya dunia ini apabila berbagai khayalan itu menjadi kenyataan.
Tiba tiba terpikir pula olehnya, "Pantas Hong Man-thian mengumpulkan barang
aneh sebanyak itu, pantas juga pihak kun mo to berusaha merebut usaha
Hong Man thian yang akan mengangkut harta benda keluargaku sini, tentunya
disebabkan pihak kun mo to juga tahu apa yang sedang terjadi di sini dan
kuatir khayalan ini akan menjadi kenyataan, tatkala mana orang Kun mo to
tentu akan di jadikn budak oleh pihak Cu-sin-tian.
Tengah berpikir, tanpa terasa ia sudah berada di depan gua pertama,
dilihatnya ruangan gua ini agak longgar, di bawah remang cahaya lampu
berduduk dua orang kakek, di atas meja penuh tertumpuk kertas tulis dan
kepingan kayu. Melihat Lamkiong Peng, kedua kakek itu rada tercengang, Lamkiong Peng
tidak berani bertanya nama asli mereka, hanya sekadarnya ia tanya pekerjaan
yang sedang dilakukan mereka.
Salah seorang kakek itu lantas menjelaskan bahvva mereka sedang
mempelajari semacam cara baru membangun rumah, yaitu dimulai dari atap
rumah dan menurun ke bawah, akhir-nya baru mem-bikin pondasi rumah.
Menurut keterangannya, cara mereka itu serupa cara dua macam serangga
yang paling pintar membangun sarangnya, yaitu tawon dan labah-labah.
Lamkiong Peng mengucapkan terima kasih dan pindah ke ruangan yang lain.
Tertampak di situ juga penuh tertumpuk bahan riset dua penghuninya, yaitu
berbentuk macam-macam kaleng yang berukuran tidak sama serta lapisan
tepung terigu yang sudah diaduk.
Menurut penjelasan kedua kakek itu, me-reka sudah hampir berhasil
menciptakan se-jenis air obat misterius, dengan air obat itu sebagai tinta, lalu
dituliskan isi kitab pengetahuan apa pun di atas lapisan adukan tepung,
kemudian berpuasa sepuluh hari, habis itu panganan tepung dimakan, maka
segala ilmu pengetahuan dari isi kitab dapat dikuasai sepenuhnya oleh orang
yang makan adukan tepung itu.
Lamkiong Pong mengucapkan terima kasih atas penjelasan itu walaupun
dengan perasaan bimbang, di ruangan gua lainnya dilihatnya cahaya lampu
terang benderang serupa siang hari, sekeliling ruangan tergantung botol kristal
yang tak terhitung jumlahnya, dalam botol ber-isi macam-macam warna air
obat. Sekilas pandang mata bisa silau oleh warna-warni botol kristal yang
indah itu. Tapi kakek penghuni gua ini tampak kurus kering tinggal kulit membungkus
tulang, jenggotnya yang sudah putih seluruhnya me-manjang hingga
menyentuh lantai. Kiranya kakek ini menekuni ilmu menghilang selama lebih
60 tahun, begitu melihat Lamkiong Peng segera ia mengajaknya bicara
tentang ilmu yang sedang ditekuninya itu, dalilnya sungguh ajaib dan sukar
dilakukan. Lamkiong Peng mendengarkan dengan cermat, tapi sukar memahanii
intisarinya. Hanya diketahuinya si kakek berusaha membuat tubuh manusia
berubah tembus cahaya seluruhnya serupa benda kristal, dengan begitu
manusia menjadi serupa benda tak berwujud dan takkan terlihat lagi.
Keluar dari gua ini, pikiran Lamkiong Peng tambah bingung. Selanjutnya
ditemui lagi pandai besi yang sedang menggembleng benda logam supaya
berubah menjadi emas. Lalu filosof yang duduk tepekur dalam kegelapan dan
berbagai kakek yang aneh yang tidak pernah dilihat dan didengarnya.
Tentu saja pikiran Lamkiong Peng tambah ruwet, sungguh sukar dipastikan
apakah kawanan kakek ini memang betul manusia super atau orang sinting,
juga tak diketahuinya apakah riset mereka itu akhirnya akan menjadi
kenyataan atau tidak.
Yang jelas rasa ingin tahu Lamkiong Peng bertambah besar, dari lubang gua
tingkat ba-wah sekarang dia memeriksa gua bagian atas. la melompat ke atas,
di suatu lubang gua itu kelihatan gelap gulita seperti tiada jejak se-orang pun.
Selagi dia hendak tinggal pergi, tiba-tiba dalam kegelapan bergema suara
orang "Siapa itu?"
Lamkiong Peng coba memandang ke sana, setelah diperhatikan, tertampak di
pojok gua yang gelap itu duduk sesosok bayangan, di depannya berserakan
botol dan kaleng serta benda lain.
"Entah apa pula yang sedang dipelajari orang..sinting ini?" demikian pikirnya.
Segera ia mengatakan maksud kedatangannya.
Suara serak tua itu berkata, "Aku sedang mempelajari mengubah hawa udara
menjadi makanan, kautahu hawa udara itu apa" Hawa udara adalah . . . . "
Mendadak terhenti ucapannya ketika pelahan ia mendongak, serunya dengan
suara gemetar, "Hei, Peng-ji .... Kiranya kau . . . . " Hati Lamkiong Peng
tergetar hebat, ia terasa ucapan terakhir itu sudah sedemikian dikenalnya, ia
coba mengamati lebih jelas, di lihatnya bayangan dalam kegelapan ini
berambut semrawut, sorot mata tajam, lamat-lamat dapat dikenalnya siapa
orang tua ini. "Ahh . . . Suhu!" teriak Lamkiong Peng sambil menubruk maju dan
menyembah di depan orang.
Kiranya kakek yang nelangsa ysng duduk dalam kegelapan ini tak-lain-takbukan
ialah guru Lamkiong Peng yang termashur di dunia Kangouw, tokoh
nomor satu dunia persilatan yang tak terkalahkan, yaitu Put-si-sin-liong Liong
Po-si adanya. Dalam keadaan dan di tempat seperti ini antara guru dan murid dapat
berjumpa di sini, sungguh kejadian yang sukar dibayangkan. Tentu saja
mereka terkejut. heran dan merasa seperti dalam mimpi.
"Mengapa kaudatang ke sini, Peng-ji?" tanya Liong Po-si, sungguh ia tidak
mengerti anak muda yang baru mulai berkecimpung di dunia Kangouw ini bisa
datang ke Cu-sin-to yang merupakan tempat pengasingan tokoh tua ini.
Setelah menenangkan diri, Lamkiong Peng lantas menceritakan
pengalamannya, terutama mengenai diri Bwe Kim-soat.
Liong Po-si menghela napas, ucapnya, ''Orang bilang perempuan cantik
kebanyakan bernasib malang. tampaknya kemalangan nasibnya memang jauh
melebihi perempuan lain."
Kedua orang duduk berhadapan dengan diam, terlihat orang tua itu jauh lebih
tua dari-pada waktu berpisah di Hoa-san dahulu, hati Lamkiong Peng merasa
pedih,,ia coba tanya, "Ketika murid melihat ukiran tulisan di puncak Hoa-san
dahulu, kami menyangka Suhu telah mengasingkan diri ke suatu tempat
rahasia. Entah apa yang terjadi sesungguhnya di puncak Hoa-San dahulu,
mengapa Suhu bisa sampai di sini."
"Puncak Hoa-san . . . . " Liong Po si bergumam dengan menunduk sedih,
sampai sekian lama baru ia menghela napas dan bertutur, "Empat puluh tahun
yang lalu untuk pertama kalinya kudengar tempat Cu-sin-tian, terhadap-nya
lantas timbul macam-macam khayalanku. Sekarang aku benar telah berada di
tempat yang dimaksud, akan tetapi aku menjadi sangat kecewa, namun . . . .
ai, semuanya sudah terlambat."
Tiba-tiba Lamkiong Peng bertanya, "Suhu hawa udara yang dimaksudkan
apakah sama seperti hawa udara umumnya yang tak berwujud itu" Cara
bagaimana Suhu akan membuatnya menjadi barang santapan, jika hawa
udara dapat berubah menjadi makanan, kan di dunia ini takkan ada orang
kelaparan lagi?"
Liong Po-si tertawa, "Peng ji. kautahu orang di pulau ini hampir seluruhnya
adalah orang gila, andaikan tidak- gila, setelah mengalami kurungan ratusan
hari, setelah dicuci otak dan hidup sebagai orang dalam kuburan. akhirnya pun
akan serupa orang gila ....'"
Teringat kepada kawanan kakek berbaju belacu yang duduk tepekur di depan
rumah dan hidup kesepian itu, tanpa terasa Lamkiong Peng menghela napas.
"Orang yang paling gila di antara orang gila itu ialah si Tocu yang berkepala
besar itu," tutur Liong Posi. "Pulau ini berada di bawah pimpinannya, setiba di
sini dan melihat keadaan mereka, aku jadi lebih suka tinggal dan merenung
sendirian, maka sengaja kuberi macam-macam komentar yang aneh dan sukar
dimengerti."
"Komentar apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Kubilang kepada Cu-sin tosu itu bahwa sebabnya pepohonan dan tetumbuhan
lain hidup subur adalah karena mengisap unsur hawa udara, apabila manusia
dapat memisahkan se-macam unsur misterius itu dari hawa udara dan
dijadikan makanan, tentu akan banyak menghemat tenaga manusia dan
jumlah barang, sedangkan di jagat raya ini penuh hawa udara dan takkan
habis terpakai, jadinya tidak ba-kal lagi ada orang mati kelaparan."
la berhenti sejenak, lalu menyambung dengan tertawa, "Setelah kuberi
macam-macam omong kosong itu, Cu-sin-tocu itu sangat tertarik dan kagum
pada teoriku, ia anggap. gagas-anku itu sebagai rencana besar yang belum
per-nah ada dalam sejarah, sebab itulah aku diperlakukan secara istimewa dan
diberi tempat tinggal ini dengan segala fasilitas yang ada, makanya disini
tersedia juga arak sebanyak ini."
Meski dia bicara dengan tertawa, namun suaranya penuh rasa hampa dan
kesepian. Bah-wa jago nomor satu dunia persilatan yang termasyhur ini
sekarang juga perlu minum arak sekadar pelipur lara, sungguh mengharukan.
"Peng-ji," kata Liong Po-si pula, "meski setiap hari aku minum arak untuk
menghilangkan rasa hampa dan sepi ini, namun se-jauh ini tidak pernah putus
asa dan selalu mencari kesempatan untuk bertindak. Bilamana nanti Tocu
memanggil lagi dirimu, boleh kau-minta agar dikirim ke sini untuk
membantuku mempelajari makanan misterius yang sedang kulakukan ini.
Beperapa bulan lagi akan datang kesempatan baik, tatkala mana harapan bagi
kita untuk kabur dari sini akan sangat besar."
Terbangkit setnangat Lamkiong Peng mendengar keterangan ini.
Kiranya di Cu-sin-to ini setiap tahun ada suatu hari raya. waktu itu setiap
orang diberi kebebasan untuk bergembira ria, walaupun pada hakikatnya kaum
kakek itu tiada sesuatu yang dapat dibuat gembira, namun sedikitnya ada
kebebasan bergerak.
Esoknya Lamkiong Peng dipanggil menghadap Cu-sin-tocu itu, agaknya dia
akan memberi tugai khusus kepada anak murid ke-luarga Lamkiong, tapi demi
mendengar per-mintaan Lamkiong Peng yang ingin ikut mem-pelajari "rencana
besar" itu, segera , ia me-luluskan permintaannya.
Hidup dalam gua yang gelap sang waktu terasa berlalu dengan sangat lambat,
Tapi sekarang Lamkiong Peng sudah berhasil belajar sabar.
Entah sudah lewat berapa lama lagi, baginya segalanya berlalu dengan tenang
tanpa berubah sesuatu apa pun. Hanya Cu-sin-tocu terkadang memanggilnya
menghadap dan selalu menatapnya dengan penuh perhatian serta bertanya
sekadarnya dengan hambar.
Dapat dirasakan oleh Lamkiong Peng sinar mata Cu-sin-tocu yang aneh itu
lambat-laun mulai keruh dan kelihatan sedih, setiap kali bertemu lagi rasa
kusut dan sedih itu seakan-akan selalu bertambah besar.
Diam-diam Lamkiong curiga apakah mungkin Cu-sin-tocu telah merasakan
tanda bahaya yang bakal menimpa pulau ini"
Selama ini Liong Po-si sangat jarang bicara. Sedangkan Lamkiong Peng sendiri
tekun menyelami berbagai ilmu silat yang telah dibacanya itu. la merasa
ketajaman pandangan sendiri tambah kuat, tubuhpun tambah enteng, sukar
baginya untuk mengukur sampai di mana kemajuan kungfu sendiri.
Suatu hari selagi dia duduk tenang di dalam gua bersama sang guru,
mendadak di luar sana bergema suara tambur, tidak lama kemudian seorang
melompat masuk ke dalam gua, kiranya si kakek berbaju belacu dahulu itu, ia
pandang sekejap keadaan gua itu, lalu berucap, "Sudah tiba harinya!"
Meski air mukanya kelihatan kaku, tapi sorot matanya mrmancarkan semacam
cahaya misterius seakan-akan banyak rahasia yang diketahuinya.
Tergetar hati Lamkiong Peng, tanyanya, "Tiba hari apa?"
"Tiba hari kebebasan untuk berbuat apa pun sesukamu," ucap si kakek dengan
dingin. Lalu ia melompat pergi lagi.
Lamkiong Peng tercengang, Mungkinkah dia tahu" "
"Apa pun yang diketahuinya, selanjutnya dia takkan tahu apa-apa lagi," jengek
, Liong Po-si. '
"Maksud Suhu, akan kita lenyapkan dia," tanya Lamkiong Peng.
"Betul," pelahan Liong Po-si menepuk pundak anak muda itu.. "Tunggu
kesempatan dan bertindak menurut keadaan jika tidak ada kapal atau rakit
berenang pun kita akan tinggalkan tempat ini."
Dari nada ucapan orang tua ini dapat dirasakan tekadnya yang bulat itu oleh
Lamkiong Pang. Berbareng mereka lantas keluar dari gua.
Pintu rahasia gua itu sudah terbuka, waktu melangkah keluar, segera terasa
angin sejuk mengembus dan membangkitkan gairah hidup Lamkiong P-ing
yang sudah sekian lama tersirap.
Dilihatnya kawanan kakek itu tetap duduk di depan rumah masing-masing
dengan kaku dan linglung, hanya jenggot mereka yang panjang berkibar
tertiup angin. Setelah .menyusuri hutan,. sampailah di rumah bambu itu, cuma keadaan
gubuk yang semula jelek itu sekarang sudah berbeda jauh.
Gubuk ini tetap tidak ada sesuatu pajangan istimewa, tapi di lapangan depan
rumah teruruk banyak bunga segar dan makanan, di atas gundukan api
unggun sedang dipanggang beberapa ekor kambing, kijang dan sebagainya,
Bau sedap daging panggang bercampur dengan bau harum bunga terbawa
angin sejuk sehingga membuat tempat yang semula seperti kuburan ini
mendadak penuh diliputi gairah hidup.
Di sini berkumpul kawanan kakek yang belum sempat masuk ke gua gunung
sana, di antaranya banyak yang berbaju lebih teratur dan resik, mereka asyik
menanti dimulainya pesta pora ini, tapi di antara mereka sempat dilihat
Lamkiong Peng saling memandang dengan sorot mata yang aneh seakan-akan
tersem bunyi sesuatu rahasia.
Tergerak hati Lamkiong Peng, pikirnya, "Mungkinkah kawanan kakek ini pun
sedang merancang sesuatu, bisa jadi akan memberontak atau ingin kabur dari
sini." Waktu ia menoleh, entah ke mana perginya Liong Po-si, orang tua itu sudah
menghilang. Selagi Lamkiong Peng merasa ragu dan bermaksud mencari jejak sang guru,
tiba-tiba terdengar di samping sana, di bawah pohon ada suara orang tertawa.
Cepat ia berpaling, dilihatnya Hong Man-thian duduk bersandar di bawah
pohon, bajunya sudah compang-camping, mukanya kelihatan kuyuh, jelas
telah banyak tersiksa selama beberapa hari ini. Jenggotnya juga tak teratur
namun sinar matanya tetap bercahaya dan memandang dengan tajam.
Lamkiong Peng tidak dapat menahan perasaannya, ia mendekati orang tua itu
dan berkata dengan terharu, "Cianpwe, lantaran kami engkau yang mendapat
susah." "Susah . ; . . " senyuman Hong Man-thian berubah menjadi ejekan, "Justru
penderitaan inilah yang merangsang kehidupan kami yang hampa ini.
Penderitaan ini yang membangkitkan semangat perlawananku ini."
Mendadak ia memegang pundak Lamkiong Peng dan berkata dengan
semangat, "Coba lihat, kawanan kakek di sebelah sana itu, dapatkah kau lihat
sesuatu kelainan pada diri mereka?"
Lamkiong Peng dapat merasakan kekuatan pada ucapan orang tua ini, segera
teringat olehnya sinar mata kawanan kakek yang aneh itu, sekatika berdetak
jantungnya, "Ah, apakah kalian hendak . . . . "
"Betul, diam-diam sudah kuhasut mereka, kubakar semangat dan rasa gusar
mereka. Maka hari ini juga di pulau ini akan terjadi peristiwa besar. Kalau
bukan kawanan orang gila di dalam gua itu yang menuju ke neraka biarlah
kami saja yang mati. Umpama mati juga lebih baik daripada hidup cara begini
bagi mereka."
Lamkiong Peng mengangguk sependapat, katanya, '"Ya, tapi mana kapalnya"
di sini kan tidak ada kapal?"
"Kapal" Untuk apa?" tanya Hong Man-thian.
Lamkiong Peng melengak, "Tidak ada kapal cara bagaimana dapat pulang ke
sana?" "Pulang?" Siapa bilang mau pulang?" je-ngek Hong Man-thian.
Kembali Lamkiong Peng melenggong.
Terdengar Hong Man-thian menghela napas dan berkata pula, "Apakah pernah
kau bayangkan bilamana kawanan kakek yang aneh ini pulang ke daratan
sana, lalu huru hara apa yang akan timbul di dunia persilatan?"
Seketika Lamkiong Peng bungkam, sungguh ia tidak berani


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membayangkannya.
"Kutahu pikiranmu," kata Hong Mar-thian pula sambil berbangkit, tongkat
besinya sudah hilang, sekarang ia gunakan sebatang tongkat pendek. "Marilah
kita pergi minum arak dulu dan menonton permainan menarik."
Segera mereka keluar dari hulan itu, setiba di depan hutan, Lamkiong Peng
berdiri di bawah keteduhan pohon dengan perasaan tidak tentram.
Tidak lama kemudian, mendadak suara tambur bergema keras, lima orang
kakek berbaju belacu tampak muncul, di belakang mereka mengikut lima
pelayan "manusia binatang" itu dengan menggotong sebuah dipan batu, di
atas dipan duduk bersila Cu-sin-tocu yang berkening lebar dan bersinar mata
tajam itu. Waktu itu tepat lohor, air muka Cu-sin-tocu yang pucat itu kelihatan seperti
tembus cahaya, dia seperti takut kepada cahaya matahari, maka menyuruh
kawanan pelayan menaruh dipannya di bawah pohon yang rindang.
Baru saja dipan batu ditaruh, serentak meledak suara tertawa orang.
Biasanya di pulau ini sangat jarang ada orang tertawa, apalagi tertawa keras
bebas begini. Cu-sin-tocu menyapu pandang sekejap, lalu membentak ke arah suara tertawa
itu, "Siu Yan, kaub tertawa apa.?".
Hong Man-thian melompat maju dan berseru, "Hong adalah she keluargaku
turun temurun. Man-thian adalah nama pemberian ayah-bundaku, seorang
lelaki sejati berjalan takkan ganti nama, duduk tidak perlu tukar she. Namaku
ialah Hong Man-thian, siapa yang bernama Siu Yan?"
Kiranya Siu Yan adalah nama Hong Man-thian pemberian Cu-sin-tocu, serupa
halnya Lamkiong Peng juga diberinya bernama Ci Cui.
Kawanan kakek yang lain sudah sangat lama tidak mendengar ucapan orang
segagah berani ini, meski hati mereka sudah beku, tidak urung agak tergugah
juga perasaan mereka sehingga memperlihatkan sikap terangsang.
Setitik lelatu api yang jatuh ke sekam bisa juga menimbulkan bara.
Air muka Cu-sin-tocu yang kelam tetap tidak berubah. katanya pelahan,
"Baiklah, apa yang kau tertawakan, Hong Man-thian?"
'"Aku tertawa geli, sebab kebanyakan orang yang berada di pulau ini rata-rata
adalah tokoh yang pernah mengguncangkan dunia persilatan, tapi sekarang
semuanya telah berubah serupa mayat hidup dan harus tunduk kepada
perintah seorang gila, seorang makhluk cacat. jika kejadian ini diceritakan
tentu tiada seorang pun mau percaya, bukankah aneh dan menggelikan?"
Sorot mata Cu-sin-tocu yang tajam menatap wajah Hong Man-thian, mukanya
tambah pucat, tapi tidak segera menanggapi.
Dengan membusung dada Hong Man thian berteriak pula, "Kedatangan kami
ke sini sebenarnya disebabkan sudah bosan kepada kehidupan dunia ramai
dan ingin hidup tenang, tapi bukan datang untuk diperlakukan sadis olehmu
dan hidup serupa hewan. Ingin kutanya padamu, berdasarkan apa engkau
memerintah para tokoh, terkemuka dunia persilatan ini?"
Kawanan kakek yang lain tetap tidak bersuara, namun sikap mereka jelas
tambah terangsang, begitu pula Lamkiong, Peng, hampir saja ia bersorak
memuji. Gemerdep sinar mata Cu-sin-tocu, katanya pelahan, "Bagus, kau berani bicara
dan tertawa, tentunya kau yakin akan mampu menghadapiku. Nah, siapa pula
yang sehaluan denganmu, boleh silakan tampil sekalian."
Lamkiong Peng berdiri di bawah pohon di samping belakang Cu-sin-tocu
sehingga tidak dapat melihat sinar matanya, hanya dari suaranya memang
menimbulkan semacam daya pengaruh yang sukar dibantah. Dilihatnya
kawanan kakek yang berdiri di depan sana sama berubah pucat, tidak ada
yang berani tampil ke muka, sebaliknya kelihatan menyurut mundur dengan
takut. "Hm, jadi cuma kau sendiri aja yang akan melawanku?" jengek Cu-sin-tocu.
Air muka Hong Man-thian juga berubah, mendadak ia membalik tubuh dan
berseru, "Hm, kalian takut apa" Memangnya kalian sudah lupa kepada
persetujuan yang telah kita rundingkan selama ini?"
Kawanan kakek itu berdiri diam saja dengan menunduk Air muka Hong Manthian
menjadi pucat juga, pelahan ia berpaling kembali menghadapi Cu-sintocu
dengan tangan agak gemetar.
"Hm, jadi cuma kau sendiri yang berniat berebut kedudukan Tocu denganku"
Kukira gampang urusannya ..." mendadak ia memberi tanda.
Serentak kelima kakek berbaju belacu warna kuning melompat maju dan
mengepung di sekeliling Hong Man-thian.
"Bilamana kusuruh mereka menawan dirimu mati pun tentu kau penasaran,"
kata Cu-sin-tocu. "Selama ini engkau menjadi salah seorang anggota pengurus
di sini, ilmu silatmu tentu selalu terlatih baik. Nah, asalkan dapat kau kalahkan
diriku, selanjutnya pulau ini akan menjadi kekuasaanmu."
Tangan Hong Man-thian yang memegang tongkat tampak rada gemetar,
agaknya dia sedang mengerahkan tenaga dan siap menyerang bila ada
kesempatan. Cu-sin-tocu juga menatap lawannya dengan melotot, keduanya sama tidak
bergerak, namun air muka kedua orang makin lama makin prihatin, para
penonton juga tambah tegang.
Lambat laun butiran keringat tampak menghiasi kening Hong Man-thian, selagi
dia hendak melancarkan serangan, sekonyong-konyong dari dalam hutan sana
ada orang membentak, "Nanti dulu!"
Berbareng itu Lamkiong Peng melompat keluar, rupanya teringat olehnya
berbagai kebaikan Hong Man thian, ia tidak dapat tinggal diam lagi dan harus
menyatakan sikapnya.
Selagi semua orang melengak, dengan lantang Lamkiong Peng berseru,
"Lamkiong Peng juga berdiri di pihak Hong-locianpwe!"
Dengan sikap gagah ia berdiri di depan Hong Man-thian.
Sorot mata Cu-sin-tocu memancarkan cahaya mengejek, katanya, "Hm.
kaupun, berniat ikut berebut kedudukanku?"
"Salah," kata Lamkiong Peng. "Soalnya pendirianku sepaham dengan Honglocianpwe,
bilamana aku tidak berani ikut bicara, rasanya serupa duri di dalam
kerongkongan."
"Hah, bagus," jengek Cu-sin-tocu. "Anak muda serupa dirimu juga berani
bicara begini. Apakah kau tidak sayang lagi akan jiwamu?" Kaupun takkan menyesal atas
sikapmu ini?"
"Aku tahu apa yarg kulakukan, kenapa mesti menyesal," jawab Lamkiong
Peng. "Bagus!" mendadak terdengar teriakan orang di kejauhan, sesosok bayangan
melayang tiba secepat terbang dan berhenti di samping Lamkiong Peng. Siapa
dia kalau bukan Put-si-sin-liong Liong Po-si.
"Hm, kaupun datang!" jengek Cu-sin-tocu.
"Betul, tak kau sangka bukan?" jawab Liong Po-si. "Hong-heng dan Peng-ji,
silakan kalian mundur dulu, biar kubelajar kenal dengan tokoh misterius yang
disegani ini, ingin kutahu kepandaian apa yang dikuasainya."
Habis bicara, ia ambil tongkat Hong Man-thian, tanpa banyak omong lagi ia
mengemplang kepala Cu-sin-tocu.
Tak terduga oleh Cu-sin-tocu orang berani bergebrak begitu saja dengan
dirinya, segera lengan bajunya mengebut dengan keras, tanpa kelihatan
bergerak serangan Liong Po-si itu dapat dipatahkannya.
Namun tongkat Liong Po-si terus berputar. dalam sekejap saja ia menyerang
enam-tujuh kali.
"Apa benar engkau tidak, ingin hidup lagi?" bentak Cu-sin-tocu yang
terbungkus di tengah bayangan tongkat.
"Betul, coba unjukkan kepandaianmu, bentak Liong Po-si sambi! tetap
menyerang. "Apakah rencanamu itu sudah kau lupakan?"
"Huh, rencana apa" Hanya untuk menipu anak kecil saja," seru Liong Po-si
dengan tertawa.
Cu-sin-tocu menjadi gusar, mendadak sebelah tangannya meraih, kontan
ujung tongkat terpegang, tangan yang lain terus menghantam dada lawan.
Semua orang menjerit kaget, "krek", tongkat patah menjadi tiga bagian,
bagian tengah yang patah mencelat dan menancap di batang pohon.
Dengan tongkat patah Liong Po-si tetap menyabat ke depan, namun dadanya
tepat kena dihantam oleh Cu sin-tocu sehingga jatuh terjengkang. namun
pundak Cu-sin-tocu juga terluka oleh tusukan tongkat patah Liong Po-si.
Para penonton sama terkesiap, Lamkiong Peng memburu maju sambil berseru
"Suhu ...."
Akan tetapi Liong Po-si lantas melompat bangun dan membentak, "Minggir!"
Cepat ia memburu ke depan dipan batu, kedua potong tongkat patah
digunakan sebagai Boan-koan-pit, sekaligus ia menutuk beberapa hiat-to maut
di dada lawan. Terkejut juga Cu-sin-tocu oleh serangan kalap Liong Po-si, kedua tangannya
bekerja cepat, menangkis dan balas menyerang dengan sodokan kuat,
bentaknya, "Kembali!"
"Tidak!" Liong Po-si bertahan, tongkat patah berputar dan kembali ia menutuk
lagi dua-tiga kali.
Karena bersuara, segera darah segar terpancur dari mulutnya. Rupanya
hantaman Gu-sin-tocu yang mengenai dadanya tadi membuatnya terluka
dalam. Kuatir juga Lamkiong Peng, dilihatnya sang guru tetap tidak gentar dan masih
menyerang dengan kalap.
Darah yang ditumpahkan Liong Po-si agaknya merangsang lagi semangat
kawanan kekek, segera dua-tiga kelompok merubung maju, hanya para kakek
penghuni gua itu tetap berdiri di samping tanpa menghiraukan. "Awas, Suhu,"
desis Lamkiong Peng kepada gurunya. "Tocu ini bertempur dengan duduk
sejak tadi, jika dia berdiri . . . . "
"Sudah lama orang ini mengalami kelumpuhan akibat latihan Iwekang, kedua
kakinya cacat, tidak dapat berdiri lagi," ujar Hong Man-thian.
Mendadak terdengar lagi suara "plak-plok", kembali Liong Po-si tergetar jatuh
oleh adu pukulan, tubuh Cu-sin-tocu juga tergoyang.
Kiranya kedua orang sama-sama terkena pukulan Iawan.
"He, Suhu, bagaimana keadaanmu?" seru Lamkiong Peng kuatir sambil
memburu maju. "Boleh kau lihat mereka," ujar Liong Po-si dengan tersenyum pedih dan muka
kelihatan pucat.
Waktu Lamkiong Peng berpaling ke sana, terlihat kawanan kakek berbaju
belacu lama terbangkit semangat perlawanannya, serentak Cu-sin-tocu
terkepung di tengah.
Cu-sin-tocu duduk diam saja dengan muka pucat. sejenak kemudian
mendadak ia pun tumpah darah.
"Huh, kaupun terluka parah," jengek Hong Man-thian. "Apa yang akan
kaukatakan lagi?"
''Ya, aku terluka parah, apa yang dapat kukatakan lagi. terpaksa kuserahkan
tempatku ini." ujar Cu-sin-tocu. "Bukan cuma kedudukan saja yang
kuserahkan, juga jiwaku kuserahkan. Cuma kuharap aku diberi kesempatan
untuk membereskan segala sesuatu sebelum ajalku."
Para kakek menjadi ragu, selagi Hong Man-thian hendak bicara, tiba-tiba Liong
Po-si berkata, "Biarkan dia pergi."
Lalu Cu-sin-tocu berpaling ke arah kelima kakek anggota pengurus yang
berbaju belacu warna kuning, tanyanya, "Dan bagaimana dengan kalian?"
Para kakek anggota pengurus saling pandang sekejap, tanpa bersuara mereka
menyingkir jauh ke sana.
"Bagus, kalian juga meninggalkan diriku," ucap Cu-sin-tocu dengan tersenyum
pedih. Mendadak terdengar suara meraung, menyusul ada orang menjerit.
Kiranya kelima manusia binatang itu serentak menerjang tiba, seorang kakek
yang lengah telah dipegang mereka dan terbeset mentah-mentah menjadi dua
sehingga darah daging berceceran.
Kakek yang lain menjadi murka. serentak mereka melancarkan serangan
balasan, segera terdengar dua kali jeritan ngeri, dua manusia kera itu
terlempar dan terbanting binasa.
"Berhenti!" cepat Cu-sin-tocu membentak.
Waktu kawanan kakek itu tersentak kaget, Cu-sin-tocu lantas memberi tanda
pada ketiga manusia kera itu, bentaknya pula, "Bawa ku pulang!"
Cepat ketiga manusia kera mengangkat dipan batu dan dibawa ke gua.
Cu-sin-tocu sempat menoleh dan berkata, "Segera akan kuberi kabar pada
waktu matahari terbenam nanti!"
'"Memangnya kami kuatir tak ada kabarmu?" jengek Hong Man-thian.
Cu-sin- tocu mendengus, mendadak ia melirik ke arah Lamkiong Peng seperti
hendak bicara tapi urung dan terus dibawa pergi.
Sementara itu air muka Liong Po-si tambah pucat, napas pun mulai lemah.
Melihat keadaan sang guru yang gavvat itu, Lamkiong Peng sangat sedih,
mendadak ia berbangkit dan berteriak kepada para kakek, "Kalian dahulu
adalah kaum ksatria pujaan, kenapa sekarang sama berubah menjadi
pengecut" Bilamana tadi kalian ikut bertindak, tentu guruku tak akan
mengalami cedera seperti ini."
Semua orang sama berdiri termangu, sorot mata mereka tampak buram lagi.
"Wahai Suhu, jika merasa bukan tandingan lawan, untuk apa . . . , "
Belum lanjut keluhan Lamkioeg Peng, pelahan Liong Po-si membuka mata,
katanya dengan tersenyum pedih, "Peng-ji, duduk saja, dengarkan suatu
ceritaku."
Seketika semua orang sama diam dan ikut mendengarkan apa yarng akan
diceritakan orang tua itu.
Dengan pelahan Liong Po-si bertutur, 'Di suatu hutan jaman purba suasana
tenang dan damai. Siapa tahu mendadak datang seekor binatang buas, setiap
hari pasti seekor binatang kecil akan dimakannya, Tentu saja kawanan
binatang lain sama panik, tapi tidak ada yang mampu melawan dan terpaksa
mereka hidup terinjak-injak di bawah keganasan binatang buas itu.
"Saking tak tahan, akhirnya kawanan binatang itu berkumpul dan mencari akal
cara bagaimana merobohkan binatang buas itu. Namun semuanya tak
berdaya, hanya seekor kelinci saja menyatakan mempunyai akal yang mampu
membunuh binatang buas itu.
"Tentu saja kawanan binatang lain sama sangsi. Tapi kelinci itu juga tidak
omong, ia pulang ke rumah, lalu melumuri diri sendiri dengan air racun yang
paling keras, kemudian ia datang ke tempat binatang buas itu dan serahkan
diri untuk dimakan.
"Akhirnya kelinci itu dimakan binatang buas itu, tentu saja dia mati keracunan.
Maka suasana hutan itu pun kembali tentram dan damai. Namun hati kawanan
binatang lain sama sedih bagi pengorbanan si kelinci. Coba katakan
pengorbanan kelinci itu berharga atau tidak?"
Habis bercerita. keadaan sunyi senyap, tiada seorang pun bersuara, Lamkiong
Peng pun menunduk dan mencucurkan air mata terharu.
HAN BU KONG Jilid 18 Put-si-sin-liong Liong Po-si tersenyum, lalu menyambung ceritanya, "Tadi telah
kuperiksa sekeliling pulau ini, ternyata tidak ada harapan bagi kita untuk kabur
dan sini, maka timbul niatku meniru pengorbanan si kelinci untuk
menyelamatkan orang banyak.
"Serangan Tocu tadi sebenarnya cuma tipu pancingan saja, ia yakin aku pasti
mampu menghindar, tak tersangka aku justru tidak mengelak dan tidak
menghindar, tapi pada detik menentukan yang cuma sekilas itu kulancarkan
serangan maut dan melukainya.
Meski aku pun terluka, namun pengorbanan ini rasanya cukup berharga."
"Liong-taihiap, sungguh aku . . . . " tersendat ucapan Hong Man-thian
sehingga tidak sanggup melanjutkan, ia coba periksa keadaan luka Liong Po-si,
kawanan kakek yang lain juga memberikan obat luka. Meski Liong Po-si
menyadari lukanya sukar disembuhkan, namun ia pun tidak menolak
pemberian obat itu.
Sementara itu sang surya sudah bergeser ke barat, senja sudah tiba.
Tertampak seorang manusia kera berlari datang dengan membawa sehelai
surat. Cepat Hong Man-thian menerimanya, dengan kening bekerenyit ia membaca
dengan suara lantang, "Sudah kuputuskan akan mengundurkan diri, bila di
antara kalian ada yang ingin menjadi Tocu, silakan ikut kemari bersama
utusan ini untuk berunding lebih lanjut tentang penggantiku."
Selesai Hong Man-thian membacakan surat ringkas ini, serentak kawanan
kakek itu sama gempar. Kelihatan kelima kakek berbaju belacu juga sibuk
membicarakan hal ini.
Mendadak Hong Man-thian berteriak, "Bukan tujuan kita untuk menjadi Tocu
segala, tapi barang siapa yang terpilih hendaknya jangan lupa pada
pengorbanan Liong-taihiap ini, kalau tidak, harus dia hadapi aku lebih dulu."


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau sendiri perlu ke sana . . . . "
"Jangan kau pikirkan urusan ini,'" sela Horg Man-thian. "Yang penting harus
kita usahakan meninggalkan pulau ini."
Sementara itu si manusia kera sudah mendahului melangkah pergi dan diikuti
serombongan kakek.
Cuaca mulai gelap belum lagi mereka tiba di tempat tujuan, sekonyong
konyong terdengar suara gemuruh bergema dari gua rahasia, suaranya
menggelegar dan dalam sekejap suasana lantas sunyi kembali.
"Celaka!" teriak Liong Po-si, kawanan kakek juga sama melengak.
Ada urusan apa?" tanya Lamkiong Peng.
Tapi Hong Man-thian terus berlari ke sana bersama kawanan kakek.
"Peng-ji, coba kaupun melihat ke sana, apa yang terjadi sesungguhnya," kata
Liong Po-si. Lamkiong Peng mengiakan sambil berlari pergi secepat terbang, ginkangnya
sekarang sudah berlipat lebih tinggi daripada dulu, hanya sekeJap saja ia
sudah sampai di depan tebing yang curam itu, tertampak pintu gua rahasia itu
tertutup rapat. Hong Man-thian dan kawanan kekek berdiri di situ dengan
tertegun. "Apa yang terjadi?" tanya Lamkiong Peng dengan bingung.
"Wah, kenapa kulupakan langkah ini," ucap Hong Man-thian sambil mengentak
kaki. "Sungguh tak tersangka keparat ini sedemikian keji . . . . "
Melihat orang tua itu juga bisa gelisah, Lamkiong Peng coba tanya pula apa
yang terjadi"
Hong Man-thian menghela napas, tuturnya, "Gua ini sebenarnya tempat yang
biasa digunakan untuk bersembunyi orang yang lari dari dataran sana, lubang
masuk keluar gua dibangun serupa makam kuno dengan batu penutup yang
bisa anjlok sendiri. Sekarang Tocu itu sudah melepaskan batu penutup
sehingga jalan keluar sudah tersumbat buntu, kawan yang berada di dalam
gua jelas akan terkubur hidup-hidup bersama dia. Memang sudah kuduga
orang itu pasti akan bertindak secara drastis, tak tersangka dia dapat berlaku
sekejam ini, kematian sendiri harus disertai teman kubur sebanyak ini."
Lamkiong Peng merasa ngeri, "Apakah tidak ada jalan untuk menyelamatkan
mereka?" "Sekali batu penyumbat sudah dilepaskan, biarpun malaikat dewata juga sukar
masuk-keluar, bukan saja mereka akan tamat seluruhnya, bahkan keadaan
kita juga .... juga menguatirkan," tutur Hong Man-thian sambil menggeleng.
"Kenapa jadi begitu?" tanya Lamkiong Peng cepat.
"Kautahu, semua perbekalan yang tersedia di pulau ini tersimpan di dalam
gua, pulau ini tidak menghasilkan tetumbuhan yang dapat dimakan, binatang
juga sangat sedikit. Ai, selanjutnya mungkin kita harus isi perut dengan akar
rumput atau kulit pohon."
Perasaan semua orang jadi tertekan, semua merasa sedih.
"Jika pulau ini tidak dapat didiami lagi, lebih baik kita berdaya pulang ke
daratan selekasnya," ujar Lamkiong Peng.
"Omong sih gampang, tapi prakteknya maha sukar," ujar Hong Man-thian.
"Lautan seluas ini, andaikan kita dapat membuat perahu kecil atau rakit juga
takkan tahan damparan gelombang ombak yang dahsyat."
"Bukankah tempo hari Cianpwe juga mengarungi samudra jauh dari daratan
sana, masa. sekarang ... ."
"Sekarang musimnya berbeda," ujar Hong Man-thian. "Mestinya di pulau ini
ada belasan kapal yang terbuat dari kayu besi yang kuat dan tahan damparan
ombak, sebab itulah biasanya kami gunakan kapal itu pada waktu tertentu
untuk pergi dan pulang dari sini ke daratan sana. Kini kapal itu tersisa tiga
buah saja, tapi sisa ketiga kapal itu juga berada di dalam gua."
Belum lagi mereka merasakan hasil kemenangan segera mereka diliputi
kesedihan lagi akan nasib mereka selanjutnya.
Selama beberapa hari Iuka Liong Po-si sudah ada kemajuan. namun tetap
parah. Tenaga pukulan Tocu itu sungguh hebat, kalau bukan Liong Po-si pasti
sudah binasa. Untung juga di tengah pulau ada sumber air tawar yang dapat diminum
mereka, namun hidup mereka serupa orang yang terkurung di gurun pasir.
Bilamana Liang Po-si tidur, Lamkiong Peng lantas berbicara dengan kawanan
kakek itu, mengenai llmu silat. Padanya sudah apal berbagai macam kungfu
sakti yang dibacanya dari kitab-kitab pusaka itu, sekarang ditambah lagi
petunjuk kawanan kakek yang berpengalaman luas, tentu saja kemajuannya
sangat mengejutkan.
Tapi bila teringat olehnya hidupnya akan berakhir di pulau terpencil ini dalam
waktu tidak lama lagi, biarpun kungfunya maha sakti juga tidak ada gunanya.
Bila teringat demikian, segera hatinya berduka juga.
Selang beberapa hari lagi, hawa bertambah panas. Lamkiong Peng menjaga di
samping Liong Po-si dan mengipasnya dengan kipas daun antuk mengusir
nyamuk dan lalat.
"Bikin susah padamu saja, anak Peng," ucap Liong Po-si dengan pedih.
"Ah, yang susah kan Suhu," kata anak muda itu. "Suhu, sungguh murid tidak
mengerti mengapa dari. puncak Hoa-san engkau bisa datang ke sini?"
Liong Po-si menghela napas, "Kalau diceritakan sungguh sangat panjang. Hari
itu, di puncak Hoa-san kulihat Yap Jiu-pek ternyata belum mati, tentu saja aku
kaget dan juga girang. Sepanjang jalan dia telah mempermainkan diriku
dengan berbagai cara, dan karena tidak mau menyerah kalah, aku terus
menerjang ke atas. Tapi sesudah melihat ke-adaannya yang mengharukan,
rasa dongkolku lantas lenyap."
Diam-diam Lamkiong Peng merasa sang guru yang gagah perkasa itu ternyata
juga berhati Lemah terhadap orang perempuan. Segera teringat olehnya akan
diri Bwe Kim-soat .... Didengarnya Liong Po-si menyambung lagi, "Sesaat itu
aku berdiri tertegun di depannya dan tidak tahu apa yang harus kukatakan,
waktu . . . . "
Belum lanjut ceritanya, mendadak di kejauhan terdengar suara ribut dan
jeritan di sana sini.
"Ada apa?" tanya Liong Po-si.
"Akan kuperiksa ke sana," kata Lamkiong Peng sambil menyelinap keluar dari
gubuk itu. Dilihatnya bayangan orang berkelebat di dalam hutan sana kian. kemari
dengan cepat, terdengar pula suara Hong Man-thian lagi ber-kata. "Coba
periksa sekeliling, kujaga di sini!" Cepat Lamkiong Peng memburu ke sana,
setiba di tepi sebuah lungai kecil, tertampak menggeletak empat sosok mayat,
wajah Hong Man-thian tampak kelam, tongkat kayu yang dipegangnya
berulang mengentak tanah.
"Ken . . . kenapa mereka mati" Masa. . . ." "Coba lihat," ucap Hong Man-thian.
Waktu Lamkiong Peng mengamati, dilihatnya tubuh keempat mayat itu telah
berubah menjadi hitam serupa daging busuk, baunya bacin. Padahal tidak
terlihat tanda terluka, namun air muka korban kelihatan berkerut serupa orang
yang menderita keracunan.
Jangan-jangan ada racun dalam air?" sela Lamkiong Peng.
Belum lagi Hong Man-thian menjawah, seorang kakek berlari datang dengan
membawa sebuah mangkuk perak, waktu air sungai diceduk, mangkuk perak
segera berubah hitam warnanya.
"Hah, benar air beracun," seru Lamkiong Peng kaget.
Seketika Hong Man-thian tak bisa bicara, jika satu-satunya sumber air di pulau
ini juga beracun. maka nasib mereka selanjutnya sukar dibayangkan.
Selagi semua orang tak berdaya, mendadak Lamkiong Peng berseru, "Tidak
menjadi soal, air sungai ini terus mengalir, umpama di hulu sungai diracuni,
suatu ketika air yang beracun juga akan habis teralir, asal kita berjaga di
bagian hulu, tentu takkan sampai mati kehausan,"
"Hah, betul, lekas ke sana," seru Hong Mari-thian.
Sementara itu beberapa kakek sudah memeriksa ke sekeliling situ dan telah
kembali dengan tangan hampa, dua di antaranya lantas lari ke hulu sungai
untuk berjaga. "Untung sumber air ini terus mengalir, namun urusan ini belum lagi selesai,
sebelum orang yang menaruh racun ditemukan, selama itu kita tetap akan
terganggu," ujar Hong Man-thian.
Semua orang saling pandang dan tidak da pat menerka siapa yang menaruh
racun dalam air.
Waktu Lamkiong Peng memandang ke sana, mendadak ia berteriak kaget,
"He, lihat?"
Semua orang memandang ke arah yang ditunjuk, ternyata asap tebal
mengepul di tengah hutan sana, di tengah asap terbawa lelatu api, ketika
tertiup angin, segera api berkobar terlebih bahaya.
"Wah, hutan terbakar," seru Hong Man-thian kuatir.
Serentak mereka memburu ke sana, Hanya sekejap saja mereka sudah sampai
di depan hutan, namun begitu sukar lagi mendekat karena api yang menjilat
dengan hebatnya.
Angin pun meniup dengan santar sehingga makin menambah berkobarnya api,
hanya sekejap saja hutan itu sudah berubah menjadi lautan api. Padahal di
dalam hutan ada tetumbuhan yang merupakan sumber hidup mereka,
sekarang sudah hangus semuanya.
Selagi mereka melenggong tak berdaya, mendadak dari tengah hutan yang
terbakar itu melompat keluar dua sosok bayangan, kiranya kedua kakek yang
disuruh memeriksa sekeliling sana, baju mereka sudah terjilat api, rambut dan
jenggot juga terbakar.
Segera mereka menjatuhkan diri dan menggelinding di tanah untuk
memadamkan api, begitu melompat bangun lagi seorang lantai menuding ke
tengah hutan sambil berseru, "Dia... . " tapi baru bersuara ia lantas roboh lagi.
"Siapa maksudmu?" Lamkiong Peng men-dekatinya dan bertanya.
Dilihatnya kulit badannya sama melepuh terbakar, nyata lukanya sangat
parah, berkat lweekangnya yang tinggi ia bertahan dan menerjang keluar
hutan, namun akhirnya tetap mati karena lukanya.
Waktu Lamkiong Peng berpaling, dilihatnya kakek yang satu lagi juga sudah
menggeletak tak berkutik.
"Siapa . . . siapa maksudnya?" gumam Hong Man-thian dengan beringas.
Mendadak ia menambahkan, "Lekas kembali ke sana, jangan sampai tempat
tinggal disana juga dibakar musuh!"
Belum habis ucapannya, serentak mereka lari kembali ke tempat tadi.
Sesudah dekat dan melihat gubuk itu tidak beralangan barulah hati mereka
merasa tentram.
"Suhu . . . Suhu ..." dari jauh Lamkiong Peng lantas berteriak, lamat-lamat ia
merasa firarat tidak enak.
Benar juga, setiba di depan gabuk, waktu ia melongok ke dalam, seketika air
mukanya pucat, ia sempoyongan dan jatuh terduduk sambil berteriak, "Oo,
Suhu . . . Suhu . . . . "
Ternyata Liong Po-si sudah tidak terlihat lagi di situ entah menghilang ke
mana. Tentu saja Hong Man-thian dan lain-lain juga kaget, dalam pada itu suara
pletak-pletok api yang menyala terdengar semakin dahsyat.
"Liong-taihiap hilang, kita wajib mencari-nya, hendaknya sebagian berjaga di
sini dain sebagian ikut padaku . . . ."
Belum lagi selesai ucapan Hong Man-thian tiba-tiba seorang menjengek, "Hm,
kau ini kutu apa?"
Lima orang kakek berjenggot panjang dengan rambut semrawut muncul dari
sana, sekarang lantas bicara pula, "Suasana pulau ini mestinya aman dan
damai, tapi sejak kau pulang dari daratan, keadaan lantas kacau. Seharusnya
kau mati saja untuk menebus dosamu tapi kau malah main perintah di sini."
"Huh. apakah kalian rela diperintah oleh orang gila itu?" teriak Hong Manthian.
"Tapi apa pula yang kau dapatkan se karang jelas kalian pun akan mati
kelaparan dan kehausan tanpa berdaya," jengek kakek jenggot panjang itu
sembari mendekat.
"Lantas apa kehendakmu?" bentak Hong Man-thian.
"Membunuhmu!" teriak si kakek terus menghantam.
"Hm, manusia tidak tahu diri, rela diperbudak orang, tahu begini rendah jiwa
kalian, buat apa kususah payah berjuang?" kata Man-thian sambil putar
tongkatnya, sekaligus ia balas menyerang beberapa kali.
Akan tetapi keempat kakek lain tidak tinggal diam, serentak mereka pun
menerjang maju. Betapapun tangguh Hong Man-thian juga rada kerepotan
menghadapi kerubutan keempat kakek.
Selagi orang lain tiap-tiap hendak memberi bantuan, mendadak ada orang
berteriak pula, "Berhenti, berhenti!"
Tiga orang kakek berambut putih membawa tiga sosok mayat berlari datang.
Kakek yang paling depan segera berteriak, '"Baru saja ada tiga orang kawan
disergap di semak-semak sana. semuanya mati dengan tubuh biru, jelas juga
mati keracunan.
Keadaan pulau ini penuh bahaya, dalam keadaan demikian kita justru harus
bersatu padu untuk menghadapi kesukaran bergema, jika saling membunuh,
akibatnya cuma akan merugikan kita sendiri."
Uraian ini agaknya telah menggugah hati nurani semua orang, seketika
pertempuran berhenti.
"Betul," seru Hong Man-thian. "Kita harus mencari dulu biang keladi yang
menyalakan api dan meracuni air minum itu, selanjutnya bahkan harus
bersatu untuk berusaha mencari hidup bersana, kuyakin akhirnya kita pasti
dapat selamat."
Sekarang tiada lagi yang membantah, semuanya menurut pendapat Hong
Man-thian Itu, yang sebagian tinggal di sini untuk berjaga, yang lain lantas terpencar
untuk menyelidiki jejak musuh dan juga mencari Liong Po-si.
Ombak mendampar menimbulkan suara mendebur, angin mendesir seakanakan
menyayat daun telinga, Lamkiong Peng berjalan menyusuri pantai,
tampak rumah hitam berdiri megah di depan sana. rumah yang entah telah
mengubur banyak pahlawan dunia
Terpikir olehnya musuh yang tak kelihatan ini, ia mencari tanpa arah tertentu,
padahal sejauh mata memandang pantai kelihatan rata tiada seorang pun.
Tiba-tiba terlihat olehnya sebuah sepatu anysman rumput tertinggal di selasela
batu sana, ujung sepatu menghadap ke timur dan kelihatan ada tetesan
darah. Tergerak hati Lamkiong Peng, "Apakah inilah barang tinggalan suhu?"
Segera ia menoleh ke arah yang ditunjuk oleh ujung sepatu.
Tidak jauh, benar juga ditemukan sebelah sepatu lagi, kini ujung sepatu
mengarah miring ke barat laut.
Tanpa pikir Lamkiong Peng mengikuti petunjuk itu, dihhatnya tebing karang
malang melintang di tepi laut, dinding tebing terjal sekali, di bawahnya adalah
air laut yang mendebur debar.
Diam-diam ia mengukur dan menaksir, dapat dihitung tebing karang ini seperti
bagian atas gua yang sudah tertutup buntu itu.
la coba menyelidiki lagi sekitar situ, tebing itu memang sangat rapat dan tiada
jalan tembus. Matahari sudah terbenam, sisa cahaya senja menyinari permukaan laut dan
memantulkan pemandangan yang indah. Sudah tentu Lamkiong Peng tidak
ada minat untuk menikmati pemandangan itu.
Dengan kesal ia duduk di atas batu karang tiba-tiba terdengar suara bicara
orang yang pelahan sayup-sayup berkumandang dari bawah dinding tebing
sana, lamat-lamat dapat dikenali sebagai suara Cu-sin-tocu itu, dia seperti lagi
berkata, " Kenapa Liong Po-si bertelanjang laki, kemana pergi sepatunya."
Sejenak kemudian dan balik dinding tebing sana menongol kepala Cu-sin-tocu
yang berdahi lebar dengan rambut semrawut itu.
Lamkiong Peng tidak berani bergerak dan mendekam di tempatnya, dilihatnya
Cu-sin-tocu digendong oleh seorang manusia kera, dengan langkah cepat
sebentar saja sudah menyusup masuk ke sela sela karang sana.
Tanpa pikir Lamkiong Peng merunduk ke depan, dengan ginkangnya sekarang
tidak sulit baginya untuk menguntit musuh. Ketika ia melayang turun ke sana,
ternyata di bawah hanya air laut belaka dan tiada tempat untuk berpijak.
Ia heran, ke mana menghilangnya Cu-sin-tocu dengan manusia kera tadi.
Waktu ia periksa lagi, di lihatnya ada tali rotan yang melambai-lambai tertiup
angin di dinding tebing.
Ia pikir mungkin tali ini digunakan untuk merambat naik-turun.
Segera ia pegang tali rotan itu dan me-lorot ke bawah, benar juga, hanya
satu-dua tombak melorot, dilihatnya sebuah celah-celah batu, segera ia
menyelinap ke situ. Mulut celah batu itu hanya dapat dimasuki dengan
memiringkan tubuh, lalu merangkak ke depan.
Beberapa tombak ke dalam, tiba tiba lorong itu melebar, di depan adalah
sebuah gua dengan beraneka macam tonjolan batu. Akan tetapi tiada
kelihatan bayangan seorang pun.
Ia coba maju lagi dan menurun ke bawah, tiba-tiba dilihatnya di depan seperti
ditutup oleh dinding kayu


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu ia tertegun, tiba-tiba terdengar suara "krek", dari samping sana
melompat keluar dua sosok bayangan, ternyata dua manusia kera, tanpa
bicara mereka terus menerjang Lamkiong Peng.
Anak muda itu membentak, kedua tangan menghantam sekaligus, sebelum
lawan mendekat sudah lebih dulu tergenjot hingga mencelat, ' bluk",
menumbuk dinding batu dan tumpah darah, lalu roboh binasa.
Setelah menarik napas, ia coba memandang lebih cermat, baru sekarang
dilihat jelas dinding kayu itu ternyata dinding sebuah perahu yang berdiri
tegak, segera teringat olehnya akan cerita Hong Man-thian tentang perahu
buatan dari kayu besi itu, tentu inilah perahu yang dimaksud.
Cepat ia memutar kesana, maju lagi adalah sebuah kamar batu yang penuh
tertimbun perbekalan dan guci air. Di pojok sana ada sebuah dipan batu dan
seorang terbujur di situ, dadanya kelihatan berjumbul naik-turun, agaknya
sedang tidur dengan nyenyak, waktu ditegasi, ternyata Put-si-sin-liong Liong
Po-si adanya. Tentu saja Lamkiong Peng kegirangan, serunya, "Suhu . . . . "
Tapi baru dia bersuara. mendadak seorang menjengek di belakang, "Hm,
kaupun datang, bagus sekali!"
Tergetar hati Lamkiong Peng, cepat ia berpaling, ternyata Cu-sin-tocu dengan
memegang dua tongkat bambu dan digendong manusia kera tadi tahu-tahu
sudah muncul di situ.
Lamkiong Peng tahu akibat terlalu lama menghuni pulau terpencil ini, jalan
pikiran orang tua ini sudah rada kurang waras, apalagi sekarang setelah
kehilangan wibawa, tentu saja sifat gilanya meledak dan ingin memusnakan
setiap orang yang dianggapnya memusuhi dia.
"Semua perbuatan keji itu tentu dilakukan olehmu bukan?" tanya Lamkiong
Peng dengan gusar.
Cu-sin-tocu terbahak, "Kecuali diriku masa ada orang lain. Pendek kata, yang
tunduk pada " ku akan hidup, yang membangkang harus mati. Jika mereka
sudah mengkhianati aku, harus kubinasakan mereka sama sekali."
Suara tertawanya yang serupa orang gila, ketika bicara juga beringas, ngeri
juga Lamkiong Peng melihat orang tua yang sudah kalap ini. Pelahan ia
mrnyurut mundur ke dipan batu, tapi manusia kera itu pun mendesak maju.
Mendadak Lamkiong Peng bergerak hendak menyerang, seketika manusia kera
itu berbalik menyurut mundur.
"Kaupun berani bergebrak denganku?" bentak Cu-sin-tocu.
"Tidak cuma bergebrak gaja, bahkan ingin kutumpas dirimu," teriak Lamkiong
Peng terus melancarkan pukulan berantai.
Namun Cu-sin-tocu lantas putar tongkatnya sehingga serangan Lamkiong Peng
tertahan. Dengan penuh semangat Lamkiong Peng melancarkan serangan lagi dengan
berbagai jurus, di antaranya terseling kungfu yang baru diselaminya dari
berbagai kitab pusaka yang baru dibacanya dipulau ini.
"Haha, anak keluarga Lamkiong memang serba pintar," seru Cu-sin-tocu
dengan tertawa. ' Meski cuma beberapa jilid buku yang kuberi kaubaca, namun
hasil yang kautarik ternyata tidak mengecewakan."
Sambari bicara terus berputar dan mematahkan setiap pukulan Lamkiong
Peng. Perawakan manusia kera itu memang tinggi besar. Cu-sin-tocu mendekap di
atas punggungnya sehingga kedudukannya. lebih tinggi dan lebih
menguntungkan, lambat-laun serangan I.amkiong Peng semakin berat.
Tiba-tiba timbul pikirannya, ia tidak lagi menyerang Cu-sin-toca melainkan
hanya mencecar manusia kera itu.
Karenaa kedua tangan harus digunakan untuk mendukung Cu-sin-tocu yang
digendongnya di punggung dengan sendirinya manusia kera itu tidak sanggup
menangkis, ia hanya menggerung murka dan tidak dapat balas menyerang,
setelah berapa kali menghindar, tahu tahu dia sudah menyurut mundur sampai
di luar gua. Segera serangan Lamkiong Peng tambah gencar, suatu kali ia yakin pasti
dapat merobohkan musuh, siapa tahu bayangan tongkat mendadak
menyambar tiba sehingga terpaksa ia melompat mundur malah.
"Sudah belasan jurus kauserang, sekarang giliranku," seru Gu-sin-tocu,
sekarang dia menyerang dengan cerdik sambil melindungi manusia kera yang
digendongnya. Karena lawan lebih tinggi, sukar bagi Lamkiong Peng untuk balas menyerang,
kembali ia terdesak mundur hingga mepet dinding.
Mendadak tongkat menyambar tiba, cepat Lamkiong Peng menggeser ke
samping, "brak",tongkat mengenai dinding dan batu kerikil munerat.
Untuk mundur lagi sudah tidak mungkin, tiba-tiba Lamkiong Peng melihat
mayat manusia kera yang mati tadi menggeletak disampingnya, cepat ia
meraihnya terus dilemparkan ke arah musuh.
Darah mayat manusia itu belum kering sehingga berhamburan mengenai
kepala dan muka manusia kera yang menggendong Cu-sin-tocu.
Bau anyir darah merangsang kebuasannya, mendakak ia meraung, bangkai
kawannya ditangkap terus dirobek, bahkan isi perut terus dilahapnya.
Dalam keadaan begitu Cu-sin-tocu jadi tidak terpegang lagi dan terperosot ke
bawah, cepat sebelah tongkatnya menahan di tanah, tongkat yang lain
menutuk manusia kera yang buas itu hingga roboh. Berbareng itu iapun
terkulai di tanah.
Tentu saja Lamkiong Peng tidak tinggal diam, serentak ia menubruk maju.
Terpaksa Cu-sin-tocu menggunakan tongkat untuk menolak tanah sehingga
tubuhnya melayang ke sana, masuk ke kamar batu.
Lamkiong Peng berteriak kaget dan cepat memburu, dilihatnya Cu-sin-tocu
sudah hinggap di atas dipan batu, "Hm, apakah kau minta kumampuskan
gurumu?" Seketika Lamkiong Pang tidak bisa berkutik dan tidak berani melangkah maju
lagi. "Sudah kututuk hiat-to tidurnya, cukup tongkatku kutekan ke bawah dan
jiwanya segera melayang, tapi bila kaumau . . . . "
"Mau apa?" teriak Lamkiong Peng.
"Asal kaumau bekerja menurut perintahku, tentu beres urusan ini."
"Sungguh tak tersangka orang terhormat semacam dirimu juga dapat
bertindak serendah ini," damperat Lamkiong Peng.
"Haha, tidak perlu kaugunakan kata-kata kasar untuk memancingku," seru Cusin-
tocu. "Pokoknya, jika engkau tidak mau menurut, maka jiwa gurumu
berarti akan amblas di tanganmu."
"Apa kehendakmu?" Janya Lamkiong Pens;
"Anak buah yang melayaniku sudah kaubunuh semua," ucap Cu-sin-tocu.
"Maka sebagai gantinya harus ka ukerjakan semua tugas mereka. Nah, kuberi
waktu satu jam bagimu untuk menggusur perahu ini ke mulut gua. lalu
mengusung semua perbekalan ini dan dimuat ke atas perahu. Jika melampaui
batas waktu atau sengaja main gila padaku, hm, tentu kau-tahu sendiri
akibatnya."
"Maksudmu hendak meninggalkan pulau ini?" tanya Lamkiong Peng terkejut.
"Betul, pulau ini sudah terbakar ludes, hilanglah segala rencanaku yang telah
kuatur selama ini, untuk apa pula kutinggal lagi di sini dan hidup serupa orang
hutan?" kata Cu-sin-tocu dengan tertawa. "Meski orang-orang itu belum mati
seluruhnya, tapi biarkan mereka tinggal di sini dan apa yang akan mereka
alami pun sudah cukup setimpal bagi mereka."
Kejut dan gusar Lamking Peng, seketika ia tidak sanggup bersuara.
"Tapi jangan kaukuatir," kata Cu-sin-tocu pula. "Kalian berdua guru dan murid
bukan saja akan kubawa serta, bisa jadi akan ku wariskan pula ilmu
pertabibanku yang telah kupelajari selama berpuluh tahun ini. Coba kau
bayangkan, bilamana dapat kau kuasai ilmu mujijat, dapat kau tentukan matihidup
orang dapat kau pindah dan sambung anggota badan orang, bagaimana
perasaanmu nanti?"
Namun Lamkiong Peng tetap tidak ber gerak, jawabnya, "Tidak perlu . . ..'"
"Lekas kerjakan!" bentak Cu-tin-tocu mendadak sambil mengangkat
tongkatnya. Diam-diam Lamkiong Peng merasa menyesal, sebenarnya dia rela menerima
risiko apa pun, tapi dia juga tidak ingin keselamatan sang guru terancam,
terpakia ia kerjakan apa yang diminta orang.
Ukuran perahu itu cukup besar, bahkan sangat berat, dengan sepenuh tenaga
barulah Lamkiong Peng dapat mengangkut semua barang ke mulut gua, di luar
gua adalah lautan, rupanya di sini adalah sebuah kanal sempit yang
menembus ke laut.
Setelah segala sesuatu sudah selesai dikerjakan, tentu saja ia mandi keringat
dan letih. "Boleh juga, sekarang boleh kau duduk di mulut gua sana, jangan
sembarangan bertindak," kata Cu-sin-tocu.
Tiada jalan lain terpaksa Lamkiong Peng menurut. Setelah menunggu sejenak,
tampak Cu-sin-tocu memanggul Liong Po-si dan berlompatan dengan kedua
tongkatnya menuju ke atas perahu.
"Dorong perahu ini ke air, lalu kau pun melompat ke atas perahu." bentak Cusin-
tocu. Terpaksa Lamkiong Peng melakukan apa yang diperintahkan. Jika dia tidak
naik ke atas perahu, jelas sang guru sudah ikut terbawa. Mau-tak-mau ia pun
melompat ke dalam perahu. Waktu tongkat Cu-sin-tocu menolak tepian kanal,
segera perahu itu meluncur jauh ke sana.
Hanya beberapa kali tolakan saja perahu itu sudah keluar gua dan berada di
lautan le pas, terlihat ombak mendampar-dampar, perahu terombang-ambing
dan berguncang dengan hebat.
Mau-tak-mau berubah juga air muka Cu-sin-tocu, katanya, "Ambil penggayuh
dan dayung sekuatnya, akan kupegang kemudi di buritan."
Melihat perubahan air muka orang, pelahan Lamkiong Peng berucap. "Pulau
yang telah kau benah selama berpuluh tahun dengan susah payah, apakah
tidak berat kau tinggalkan begini saja?"
"Tentu saja berat," jengek Cu-sin-tocu.
"Jika begitu, lebih baik kembali saja ke sana." seru Lamkiong Peng.
"Tidak, berat atau tidak harus pergi."
Lamkiong Peng menggelang kepala, bukannya dia tidak ingin meninggalkan
pulau ini, dia cuma tidak tega pada kawan-kawan yang tertinggal di sana.
Terpaksa ia mendayung sekuatnya, pulau itu kelihatan semakin kecil, sampai
akhirnya hanya tersisa setitik hitam saja di kejauhan, lalu lenyap dari
pandangan. Ujung tongkat Cu-sin-tocu tetap mengancam didekat tenggorokan Liong Po-si
yang masih belum sadar itu, kelopak matanya kellihatan terpejam, agaknya
sudah tidur. Pelahan Lamkiong Peng mengangkat dayungnya dan bermaksud menghantam
kepala orang tua itu
Siapa tahu. baru saja dayung terangkat sedikit segera Cu-sin-tocu membuka
mata, terpaksa ia jatuhkan dayung ke air dan berteriak dengan gusar,
"Sesungguhnya hendak kauapakan kami?"
"Mestinya kauharus berterima kasih padaku," ujar Cu-sin-tocu. "Kubawa pergi
dirimu, tujuanku dalam waktu setahun akan kuwariskan segenap ilmu
pertabibanku kepadamu, dengan ilmu itu harus kau sembuhkan kelumpuhan
kakiku ' "Siapa yang sudi belajar ilmu pertabibanmu yang gila itu?" jawab Lamkiong
Peng dengan gusar.
"Mau atau tidak mau be!ajar tetap harus kauterima, sebab hal ini bukan
permintaanku melainkan perintah. Jika tidak kau terima, hm, tentu kautahu
sendiri akibatnya, sebab kedua kaki guru mu juga akan serupa kakiku ini."
"Apa maksudmu, jadi akan kau . . .." "Betul sudah kututuk dengan cara yang
berat sehingga kaki gurumu pun sudah cacat, jika hendak kausembuhkan dia
harus kaubelajar ilmu pertabibanku dan lebih dulu harus memenyembuhkan
kakiku." "Keparat! Biar ku . . . " segera Lamkiong Peng hendak menerjang musuh.
Tapi baru saja bergerak segera tongkat Cu-sin-tocu mengancam tenggorokan
Liong Po-si sambil membentak, "Berani sembarang bergerak?"
Lamkiong Peng mati kutu, dengan menunduk ia duduk kembali, "Ken'.". .
kenapa kau ...."
"Soalnya meski aku menguasai ilmu pertabiban maha tinggi, tapi aku tidak
mampu melakukan pembedahan atas kakiku sendiri," ujar Cu-sin-tocu.
"Di atas pulau tadi masih ada beratus orang lain, mengapa kaupilih diriku
saja?" "Sudah tentu ada alasanku, cuma sekarang belum dapat kuberitahukan
padamu," ujar Cu- sin-tocu dengan tersenyum.
Melihat senyuman orang sangat aneh, seperti ada sesuatu rahasia, seketika ia
menjadi sangsi, namun dia justru mendayung terlebih kuat.
Entah sudah berapa jauh ia mendayung, tangan pun terasa pedas, namun
pikirannya mulai tenang dan merenungkan akal untuk meloloskan diiri.
Malam sudah larut, bintang bertaburan di langit, perahu keeil ini terombangambing
di lautan lepas yang gelap dan tak teriihat ujung pangkalnya, sunyi
ngeri rasanya. Cu-sin-tocu juga sedang memandangi bintang di langit untuk membedakan
arah, sorot matanya yang beringas itu kini sudah berubah juga, tampak ia pun
sedih, seperti menanggung tekanan batin.
Sekonyong-konyong angin mulai meniup, angin kencang menghimpun awan
tebal sehingga kerlipan bintang mulai tak kelihatan.
"Celaka!" keluh Cu-sin-tocu sambil me-mandang kejauhan.
"Ada apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Sebentar lagi akan datang hujan badai," serti Cu-sin-tocu kuatir.
Baru habis ucapannya, gumpalan awan hitam sudah meluas hingga berpuluh
kali lebih banyak, seluruh langit seakan-akan tertutup semua.
Angin bertambah keras, di tengah deru angin seperti membawa butiran air
hujan sebesar biji kacang. Ombak juga bergolak hebat, jika perahu biasa
mungkin akan terbalik.
Setelah ragu sebentar, akhirnya Cu-sin-tocu menepuk hiat-to Liong Po-si, lalu
menarik napas dalam, lalu memandang sekeliling.
"Suhu, engkau tidak apa-apa bukan?" seru Lamkiong Peng.
Sinar mata Lior;g Po-si meneorong terang, teriaknya dengan kejut dan gusar,
"Mengapa aku berada di sini?"
"Sekarang bukan waktunya untuk bicara," kata Cu-sin-tocu. "Meski perahu ini
terbuat dari kayu besi yang berat, tapi juga tidak tahan damparan ombak
sedahsyat ini, tampaknya angin yang akan berjangkit adalah sejenis Liong-kuihong
(angin lesus berputar), tiada jalan lagi bagi kita kecuali harus berusaha
mengerahkan tenaga untuk menahan perahu ini agar jangan oleng '...."
Pada saat dia bicara inilah hujan deras dan badai lantas berjangkit, ombak
mendampar dengan dahsyatnya sehingga perahu seolah-olah terlempar ke
udara mengikuti gelombang.
Sekuatnya mereka bertiga mengerahkan tenaga dalam antuk menahan
perahu, ombak mendampar susul menyusul, suasana gelap gulita, sekujur
badan Lamkiong Peng sudah basah kuyup, ia mendapatkan sebuah ember
untuk membuang air yang masuk ke dalam perahu. Namun hujan tambah
deras, air di dalam perahu bertambah banyak dan tidak berkurang.
Menghadapi bahaya maut membuat mereka melupakan permusuhan pribadi
mereka, sekarang mereka harus bersatu dan bergotong royong menghadapi
maut, harus berjuang mati-matian supaya perahu tidak terbalik dan
tenggelam. Perjuangan mereka ini sungguh sangat sulit, sebab ombak semakin dasyat,
betapa kukuh perahu ini dan betapa tinggi ilmu silat mereka, tampaknya tetap
lebih banyak celaka daripada selamatnya.
Dalam keadaan demikian mendadak Cu-tin-tocu berseru, "Liong Po-si,
Lamkiong Peng, apakah kalian benci padaku karena kubawa kalian ke tengah
lautan ini?"
Namun kedua orang itu sedang menghadapi pergolakan ombak yang
menguatirkan itu, mereka tidak menjawabnya.
Cu-sin-tocu menghela napas panjang, katanya pula, "Kekuatan manusia
memang tidak dapat melawan kekuasaan Thian, semula ingin kututup terus
rahasia ini, tapi sekarang kita lagi menghadapi maut, setiap saat ada
kemungkinan akan tenggelam ke dasar laut, rasanya aku pun tidak perlu
menunggu lagi."
"Rahasia apa?" serentak Liong Po-si dan Lamkiong Peng bertanya dengan
tercengang. "Apakah kalian tahu siapa aku?" teriak Cu-sin-tocu.
Lamkiong Peng melengak, sedang Liong Po-si lantas menegas, "Sesungguhnya
siapa kau?"
"Lamkiong Peng, ketahuilah, aku inilah pamanmu," teriak Cu-sin-tocu dengan
terbahak. "Dan kau, Liong Po-si, akulah yang merusak kebahagiaan selama
hidupmu."

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terguncang perasaan Lamkiong Peng, berbagai tanda tanya yang membuatnya
bingung selama ini sekarang jadi terjawab.
Pantas orang tua ini memperlakukan diriku lain daripada orang lain, pantas
juga dia mengharuskan aku mewarisi ilmu pertabibannya.
Pada waktu dia meninggalkan rumah, dia membunuh anak-istrinya, tentu
hatinya sangat sedih dan menyesal, kehidupan sepi dan merana selama
berpuluh tahun tentu membuat tekanan batinnya bertambah berat sehingga
pikiran pun kurang waras, makanya dia melakukan hal-hal yang kejam dan
gila itu. Tapi sebab apa pula dia merusak kebahagiaan hidup Liong Po-si"
Seketika Lamkiong Peng meraia heran, sedih, kasihan, kejut dan juga gusar.
Dilihatnya Liong Po-si juga terkejut dan bertanya. "Hah, jadi . . . jadi engkau
ini Lamkiong Eng-lok, jadi kaulah yang membuat Yap Jiu-pek membenciku
selama hidup, engkaulah orang berkedok kain hijau dahulu itu?"
Sekuatnya Cu-sin-tocu memegangi perahu yang oleng itu, pikirannya juga
bergolak serupa ombak samudra yang mengamuk itu.
Dengan suara parau ia menjawab, "Betul, akulah Lamkiong Eng-lok, akulah si
orang berkedok kain hijau itu. 40 tahun yang lalu, waktu pertama kali kulihat
Yap Jiu-pek, saat itu juga aku jatuh cinta padanya dan lupa daratan bahwa aku
sudah mempunyai anak istri, juga lupa tidak lama lagi aku harus
meninggalkan masyarakat ramai dan hidup terpencil kesepian di pulau itu.
"Waktu itu antara kalian berdua sudah terkenal sebagai pasangan setimpal di
dunia kangouw, timbul benci dan iriku, aku bertekad mengacau hubungan
kalian, dengan sendirinya orang kangouw takkan menduga semua itu
dilakukan olehku, sebab orang kangouw tidak ada yang tahu putra sulung
pujaan keluarga Lamkiong menguasai kungfu yang mengejutkan.
"Ketika akhirnya terjadi pertengkaran dan bahkan menjadi musuh antara Yap
Jiu-pek denganmu, pada saat itu pula aku berangkat jauh ke lautan sini
dengan meninggalkan kampung halaman. Karena rasa sedih dan dengki aku
bertekat akan berpisah selamanya dengan kehidupan ramai, maka secara
kejam kubunuh anak istri sendiri."
Mendadak angin mendera dan meniup dengan keras sehingga menambah
seram ucapan yang terakhir itu.
"Meski kaupergi meninggalkan dunia ramai, tapi hidupku telah kaubikin
susah," teriak Liong Po-si dengan gemas, seketika rasa dendam lama dan
benci baru timbul serentak, segera ia bermaksud menghantam.
"Nanti dulu," bentak Lamkiong Eng-lok. "Sekalipun kauingin balas dendam,
hendaknya tunggu dulu setelah habis ceritaku."
Mukanya kelihatan basah, entah air laut atau air mata, dengan suara parau ia
menyambung lagi, "Setiba di atap pulau tetap takdapat kulupakan kehidupan
dunia ramai sana, terlebih tidak dapat melupakan kalian, tambah lama tambah
jelas terbayang kejadian masa lampau. bayangan Yap Jiu-pek juga sukar
terhapus dalam benakku."
Liong Po-si menggerung murka, tapi Lam-kiong Eng-lok meneruskan lagi,
"Untung turun temurun orang keluarga Lamkiong adalah Cu-sin-tocu "
"Apa katamu?" tergetar hati Lamkiong Peng.
"Kautahu, pulau para dewata ini justru adalah ciptaan keluarga Lamkiong,
setiap keturunan keluarga Lamkiong kita, anak sulung harus dikirim ke sini,
yaitu untuk mewarisi kedudukan Tocu. Hal ini tetap merupakan rahasia dunia
persilatan selama ini, sebab itulah kaupun tidak tahu. Waktu kaudatang mulamula
sudah kukatakan akan memberi tugas padamu, maksudku adalah bila
aku sudah wafat, kedudukan Tocu akan kuserahkan padamu."
Mendadak Liong Po-si berteriak, "Setelah kaujadi Tocu di sini, engkau belum
melupakan kami dan mengirim utusan untuk mencari kami dan akhirnya
bertemu di puncak Hoa-san, pada saat kami sedang lengah aku telah dikerjai
kalian dan dibawa ke sini .... Sekarang ingin kutanya padamu. Yap Jiu-pek
telah kausembunyikan di mana?"
Lamkiong Eng-lok termenung sejenak, kata-nya kemudian, "Yap Jiu-pek su . .
. sudah terjerumus ke dalam jurang, dia sudah mati, sampai mayat pun sukar
ditemukan lagi. Karena pukulan batin itulah, maka pikiranku rada terganggu
....-" Deru ombak yang mendampar membuat suaranya terputus-putus dan hampir
tak terdengar. "Kaubilang apa?" bentak Liong Po-si.
"Dia sudah mati!" jawab Cu-sin-tocu alias Lamkiong Eng-lok dengan parau.
"Mati . . . sudah mati!" gumam Liong Po-si dengan melotot, mendadak ia
meraung murka, serentak la melompat maju terus menghantam batok kepala
lawan. Akan tetapi Lamkiong Eng-lok sempat menangkisnya, icrunya dengan tertawa
pedih, "Baik, baik, permusuhan kita selama puluhan tahun boleh juga
diselesaikan saja sekarang."
Maka terdengarlah suara "plak-plok" beberapa kali, dalam waktu singkat
keduanya sudah saling gebrak enam-tujuh jurus.
Karena gerakan kedua orang yang keras, imbangan perahu tambah oleng dan
naik turun terlempar ombak, perbekalan yang dimuat perahu pun sama
terjatuh ke laut.
Sambil memegang perahu yang oleng Lamkiong Peng berteriak, "Suhu ....
Paman, berhenti . . . berhenti . . . . "
Tapi kedua orang tua itu tidak mendengar lagi seruannya, meski kaki kedua
orang takbisa bergerak, namun empat tangan mereka dapat saling
menghantam. Lamkiong Peng serba susah, ia tidak dapat membantu guru untuk membunuh
paman, sebaliknya juga tidak dapat membantu paman untuk memusuhi guru.
Mendadak terdengar Liong Po-si dan Lamkiong Peng membentak bersama,
menyusul perahu pun terlempar ke atas oleh gelombang yang tinggi.
Kontan perahu miring ke samping, belum lagi tempat Lamkiong Peng menjerit,
tahu-tahu ia sudah tergelincir ke dalam laut.
Segera gelombang ombak mendamparnya dengan dahsyat sehingga
membuatnya tak berdaya, hanya dalam hati ia dapat mengeluh tamatlah
segalanya. Ia tenggelam ke dalam laut, ditengah setengah sadar mendadak tangannya
menyentuh sesuatu, secara di bawah sadar ia terus pegang benda itu dan tak
dilepaskan lagi.
Sang surya memancarkan cahayanya yang gilang gemilang sehingga membuat
permukaan laut gemerdep dan memantulkan kelip cahaya keemasan. Angin
laut mendesir dan menimbulkan gemersik daun pohon kelapa yang banyak
tumbuh di tepi pantai.
Pesisir yang berwarna keemasan itu semula tiada jejak manusia, tapi ombak
yang tidak kenal ampun itu mendadak mengantarkan sesosok tubuh ke pantai,
tubuh itu tak bergerak, mata terpejam, entah sudah mati atau masih hidup.
Janggutnya pendek kaku, namun mata alisnya kelihatan cakap dan masih
muda. Kedua tangannya mencengkeram kencang se-buah peti kayu dan tak
terlepaskan. Rupanya ketika hampir tenggelam, men-dadak tangan Lamkiong Peng sempat
meraih sebuah peti kayu, peti inilah yang me-nyelamatkan jiwanya dan
akhirnya terdampar ke pantai.
Tidak lama kemudian, tangan yang mencengkeram peti itu mulai mengendur,
kelopak mata pun bergerak, akhirnya terbuka sedikit, tapi karena si1au oleh
sinar matahari, ia menutupi mata dengan tangan.
Pelahan ia meronta bangun dan duduk. ia tumpahkan air laut yang membuat
perutnya rada gembung, Ia pandang sekelilingnya yang lapang dan sunyi.
Sekali lagi Lamkiong Peng lolos dari renggutan elmaut. Namun dia sudah
kehabisan tenaga, hati pun kecut, apakah mungkin dia dapat bertahan hidup
di pulau kecil ini"
Ia berdiri, ia tidak ingin memikirkan apa yang sudah terjadi, juga tidak berani
membayangkan nasib guru dan pamannya, entah mati atau masih hidup.
Ia tidak tahan sinar matahari yang menyengat itu, ia menuju ke bawah pohon
kelapa, di balik deretan pohon kelapa sana ada sebuah hutan yang rindang
dengan macam macam pohon.
Dengan langkah sempoyongan Lamkiong Peng menuju ke balik pepohonan
kelapa, ketika dekat dengan hutan yang rindang sana, dilihatnya di atas tanah
kuning yang kering itu ada bekas tapak kaki yang aneh, tapak kaki raksasa.
--- 000 --- Terkesiap anak muda itu, pada tapak kaki itu kelihatan bekas tiga jari serupa
bekas kaki burung, tapi bagian tungkak dan telapak se rupa kaki manusia.
la tertarik untuk mengetahui sebenarnya bekas kaki makhluk apa itu.
Baru saja ia melangkah lagi, mendadak tanah yang diinjaknya longgor ke
bawah. Kira-nya di sumping bekas kaki ini ada sebuah jebakan sebulatan satu
tombak luasnya, ketika merasa kaki menginjak tempat kosong, ia terkejut,
sekuatnya ia pegang tepian lubang dan berusaha melompat ke atas.
Bahkan ia tidak berani lagi hinggap di sekitar situ melainkan terus meloncat
setingginya dan meiayang ke dalam hutan. Tapi mendadak kaki tersandung
ranting pohon, ia terkejut, sedapatnya ia ingin hinggap di atas dahan.
Tak terduga di saat itu juga sepotong ranting menyambar tiba pula. Bahkan
karena getaran ranting yang serupa panah itu mengakibatkan ranting kayu
yang lain, sehingga dari sana sini menyambar tiba pula panah kayu yang
tajam. Dihujani panah dalam keadaan terapung, tentu saja Lamkiong Peng agak
kerepotan, apalagi beberapa kali lompatan itu telah banyak memakan
tenaganya. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa ia anjlok ke bawah.
Siapa tahu, begitu kaki menyentuh tanah, segera diketahuinya kembali
kejeblos ke dalam perangkap. Sekali ini ia mati kutu, meski se kuatnya ia
berusaha melompat lagi ke atas, namun sukar mengeluarkan tenaga lagi.
"Plung", tahu tahu ia kejeblos ke dalam air.
Kiranya lubang perangkap ini selain luas dan dalam, bahkan pada dasar lubang
ada air sedalam enam-tujuh kaki. Betapapun tinggi ginkang seorang, bila
sudah kejeblos ke dalam lubang seperti ini, tentu juga tak berdaya seketika.
Sekujur badan Lamkiong Peng terendam air, bahkan hampir tenggelam sama
sekali, sebisanya ia berjinjit sehingga hidung dapat menongol di permukaan
air. Lebih celaka lagi, mendadak terdengar suara "brak", ada penutup yang
menutupi lubang perangkap itu, keadaan menjadi gelap gulita.
Kejut dan sangsi pula Lamkiong Peng, pikirnya, "Tak tersangka di pulau
terpencil ini ternyata ada manusia. Melihat cara pembuatan perangkap ini
agaknya bukan digunakan untuk menangkap binatang melainkan ditujukan
terhadap tokoh persilatan kelas tinggi yang memiliki ginkang yang hebat.
Entah siapa gerangan pemasang perangkap ini dan siapa pula yang hendak di
jebaknya."
Selagi dia merasa ngeri terhadap musuh yaag tidak diketahui ini, sekonyongkonyong
terdengar suara orang tertawa, suaranya seram serupa bunyi burung
hantu. Kiranya pada waktu penutup lubang jebakan tadi merapat dan menimbulkan
suara "bluk", suara itu menggema jauh ke tengah hutan yang lebat, segera
dari dalam sebuah rumah yang dibangun di atas dahan pohon serupa sarang
burung itu melayang keluar sesosok bayangan manusia.
Bayangan orang itu berambut panjang rupanya seorang perempuan, namun
tubuhnya hanya dibungkus dengan dedaunan dan akar-akaran, kulit badannya
tampak kering karena terbakar sinar matahari. Kesepuluh jarinya kurus kering.
tulang pipi tinggi menonjol, hanya kedua matanya masih mencorong, tapi
mencorong buas serupa kelaparan dan menimbulkan rasa ngeri bagi yang
melihatnya. Dia tertawa latah dan beikata, "Baru sekarang kau rasakan kelihaian nyonya . .
. . " Meski cepat gerak tubuhnya, tapi dilakukannya dengan hati-hati seperti di
dalam hutan ini penuh perangkap. Ketika dia sudah berdiri di atas papan
penutup lubang jebakan itulah baru ia berteriak pula sambil tertawa terkekeh,
"Siapa itu yang di atas" Mengapa kau jebak diriku dengan cara sekeji ini?"
teriak Lamkiong Peng.
Karena ucapannya ini, suara tertawa di atas seketika berhenti, perempuan
kurus kering itu melenggong sendiri, sorot matanya yang meneorong
menampilkan rasa terkejut, bentak nya dengan bengis, "He, bu . . . bukan kau
.... Siapa kau?"
Baru sekarang hati Lamkiong Peng merasa longgar, sebab diketahuinya
sasaran perangkap orang ternyata bukan dirinya. Tapi bila didengar dari
suaranya, mau-tak-mau ia pun kuatir.
Mendadak papan penutup itu terbuka, sebuah wajah orang perempuan
berambut panjang yang sangat buruk menongol di tepi lubang jebakan dan
sedang mendamperat pada-nya, "Keparat, jahanam . . . . "
Begitulah ia terus memaki dengan segala kata kotor yang keji.
Tentu saja Lamkiong Peng juga gusar, "Selamanya kita tidak kenal .... "
Mendadak ia melongo dan terputus ucapannya.
Tampaknya perempuan kurus kering itu pun terkejut, tapi segera ia tertawa
latah pula dan berseru, "Haha, kiranya kau . . " Haha, ternyata engkau yang
masuk perangkapku, agak nya usahaku ini pun tidak sia-sia belaka. Wahai
Lamkiong Peng, apakah engkau masih kenal padaku."
Kaget juga Lamkiong Peng setelah me ngenali tiapa perempuan ini, "Hah,
kiranya engkau belum ... belum mati" Engkau Tek-ih Hujin bukan?"
"Betul, aku belum mati, akulah Tek-ih Hujin!" seru perempuan itu sambil
tertawa latah. Meski kalian menghanyutkan aku di tengah lautan bebas,
namun aku justru tidak mati kelaparan dan kehausan!"
Seketika Lamkiong Feng tidak sanggup bicara lagi.
Kiranya cukup lama juga Tek-ih Hujin terombang-ambing di tengah lautan
dengan sekoci itu, tiang hari ia dipanggang oleh terik matahari, pada waktu
malam hari dia kedinginan oleh angin lautan sehingga tubuhnya kurus kering
tinggal kulit membungkus tulang. Beberapa lelaki yang dihanyutkan bersama
dia, karena kungfunya kalah tinggi daripada dia, juga tipu akalnya kalah keji,
akhirnya semua terbunuh olehnya dan dijadikan isi perut.
Berkat darah dan daging orang-orang itu-lah Tek-ih Hujin bertahan berpuluh
hari di tengah lautan dan akhirnya terdampar ke pulau ini.
Selama tinggal di pulau ini juga penuh derita dan sengsara, bila musim dingin
tiba bahkan kedinginan setengah mati.
Hidup tersiksa ini telah membuat fisiknya berubah sama tekali, bahkan
suaranya juga berubah, hanya matanya saja dengan sinarnya masih tetap
Memanah Burung Rajawali 8 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8
^