Han Bu Kong 9

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Bagian 9


menenggak arak, hanya sekejap saja seguci arak sudah dihabiskan mereka
berdua. "Sungguh kuat takaran minummu," sera Hong Man-thian sambil menepuk
bahu Loh Ih-sian.
Sambil bergelak tertawa Loh Ih-sian menjawab, "Kekuatanmu minum arak
juga sangat hebat, sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau sengaja
tinggal menyepi di Cu-sin-to, padahal alangkah senangnya jika tinggal di dunia
fana sini, kan bisa lebih banyak minum arak beberapa guci lagi."
Hong Man-thian menengadah dengan termangu-mangu, gumamnya,
"Alangkah senangnya minum arak".Hah, tidak ada pesta yang tidak bubar,
sekarang sudah terang tanah, sudah waktunya berangkat! Untuk ini kiranya
perlu bantuan beberapa kereta Suma-taihiap di luar sana."
"Untuk mengantar keberangkatan anak Peng keluar lautan, biarlah kami antar
beberapa jauhnva, jika tidak keberatan, sudilah Suma-heng tinggal dulu di sini
sampai datangnya penghuni baru perkampungan ini."
Suma Tiong-thian mengangguk setuju, katanya, "Jangan kuatir, Lamkiongheng,
meski sudah tua bangka, sedikit urusan ini tentu dapat kubereskan."
"Biar kudatangkan kereta di luar sana," seru Loh Ih-sian sambil melompat
pergi. "Akan kubantu, Jicek," seru Lamkiong Peng terus ikut lari keluar.
Kedua orang berlari menuju ke luar perkampungan, tertampak sepanjang jalan
senjata berserakan, di tengah hutan, di semak belukar. mayat
bergelimpangan, darah sudah bersih terguyur air hujan,
Tidak jauh di sebelah sana beberapa ekor kuda tanpa bertuan sedang asyik
makan rumput yang segar.
Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian baru saja sampai di depan hutan, mendadak di
tengah semak-semak sana berkumandang suara rintihan orang. Keduanya
saling pandang sekejap terus melompat maju, terlihat dua batang pohon
babak-belur serupa habis dipahat dan dibacok oleh senjata tajam.
Tetumbuhan di sekitar pohon juga bekas terinjak-injak. Dengan hati-hati
kedua orang melangkah ke depan.
Mendadak terdengar suara tertawa seram, dua sosok bayangan orang muncul
dari balik semak-semak pohon sana.
"Siapa?"bentak Lamkiong Peng.
Tapi segera dapat mereka kenali kedua orang ini ternyata Bu-sim-siang-ok
adanya. Pakaian kedua orang ini kelihatan morat-marit penuh rumput, seperti
berguling-guling dari sana, sedang muka, hidung, mulut dan telinga berlepotan
darah, mata mendelik kalap.
Berapa tabah Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian merasa ngeri juga melihat
keadaan kedua orang itu.
"Hehe, obat penawar . . . mana obat pe-nawar ..." Bu-sim-ong terkekeh,
kedua tangan terpentang dan segera menubruk maju.
Lamkiong Peng kaget dan menyurut mundur. Tak terduga baru saja Bu-simong
melangkah segera jatuh terguling.
Hek-sim-khek juga membentak, "Ganti nyawaku!"
Belum lenyap suaranya dia juga terjungkal, tapi tangannya sempat terangkat,
selarik sinar hitam gilap lantas menyambar ke arah Lamkiong Peng. Serangan
sebelum ajalnya ternyata sangat lihai.
Cepat Lamkiong Peng menggeser ke samping, terdengar suara mendesing
menyambat lewat di topi telinganya, cahaya hitam gilap itu masih terus
melayang ke sana dan menumbuk batang pohon, Kiranya benda itu sebuah
kotak kecil Untuk sejenak Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian siap siaga, setelah sekian lama
kedua orang itu tidak berkutik lagi barulah mereka mendekati, ternyata
keduanya sudah mati dengan. mata mendelik.
Demi melihat kotak itu, Loh Ih-sian berucap dengan gegetun, "Ai, Tek-ih Hujin
itu memang sangat keji, kotak racun ini dikatakannya sebagai obat penawar,
betapa licin juga Bu-sim-siang-ok takkan menyangka obat yang diserahkan
Teh-ih Hujin dalam keadaan terpaksa ini justru adalah racun, dan sekali dicium
maka celakalah mereka."
Sebagai seorang jago kawakan dugaannya ternyata tidak keliru. Cuma tidak
diketahuinya bahwa pada waktu sebelum "Bu-sim-siang-ok mencium racun itu,
lebih dulu mereka sudah memaksa Teh-ih Hujin mencium dulu obat itu,
setelah menyaksikan tidak terjadi sesuatu barulah mereka berebut
menciumnya. Dan karena itulah mereka jadi benar-benar terjebak, sebab
sebelumnya Teh-ih Hujin sudah memakai obat penawar lebih dulu, makanya
dia tidak mengalami sesuatu setelah mencium racunnya,
Padahal bubuk racun dalam kotaknya itu kalau disebarkan dan tertiup angin,
maka sedikitnya akan menimbulkan korban beratus orang, sebab asalkan
mencium hawanya saja cukup membuat jiwa melayang.
Apalagi Bu-sim-siang-ok kuatir obat penawar yang mereka endus itu kurang
banyak, mereka mencium sekuat-kuatnya sehingga sekotak kecil bubuk racun
itu hampir seluruhnya masuk rongga dada mereka, keruan jiwa mereka tak
tertolong lagi.
Begitulah mereka berguling di tanah dan tersiksa oleh bekerjanya racun, tubuh
serasa ditusuk beribu jarum tak tertahankan rasa sakitnya. Mereka menjadi
kalap seperti orang gila, batang pohon dicakar sekuatnya, rumput dibetot,
keadaan itulah yang dilihat Lamkiong Peng tadi. Sedangkan Teh ih Hujin
sempat melarikan diri.
Biarpun Bu-sim-siang-ok memang penjahat yang berlumuran darah
tangannya, tidak urung Lamkiong Peng terharu melihat kematian mereka yang
mengenaskan itu. la mengumpulkan ranting kayu dan rumput kering untuk
menutupi mayat mereka dan tinggal pergi.
Ia menemukan beberapa ekor kuda, lain dipasang pada kedua kereta kosong
di luar perkampungan sana serta dibawa pulang.
Tertampak ayah-ibunya dan lain-lain sama berdiri di depan rumah sedang
menunggu. Beramai-ramai semua peti lantas dimuat keatas kereta.
Suma Tiong-thian mengucapkan selamat jalan kepada semua orang. ia pegang
tangan Lamkiong Peng dan memberi nasihat agar berjaga diri baik-baik,
terutama harus awas terhadap orang perempuan. Rupanya dia belum lagi lupa
kepada Kwe Giok-he yang diam-diam berusaha menjatuhkan nama anak muda
itu. Lamkiong Peng terkesiap dan tidak paham maksud orang tua itu, tapi
mengiakannya dengan terima kasih.
Dan begitulah 20-an peti termuat dua kereta terus berangkat menuju ke
timur. Loh Ih-sian dan Hong Man-thian menumpang bersama satu kereta dan
asyik minum arak sepanjang jalan.
Sedangkan Lamkiong Siang-ju bersama anak dan istrinya menumpang pada
kereta lain, ketiganya tidak banyak bicara sepanjang jalan.
Malamnya mereka sampai di suatu kota dan mendapatkan rumah pondokan.
Kereta di parkir di halaman. Hong Man-thian mencari sepotong kapur dan
menulis sebuah huruf "koan" pada dinding kereta.
"Apakah peti perlu diturunkan?" tanya Koh Ih-sian.
"Dengan huruf "koan" ini, siapa pula di dunia ini yang berani mengincarnya"'
ujar Hong Man-thian dengan tertawa.
Kiranya tulisan "koan" ini adalah tanda tangannya yang dulu pernah
mengguncangkan dunia pestilatan.
Satu kali dia membantu seorang teman yang harta bendanya dirampok kaum
bandit di Thay-hing-san, tanpa susah-payah Hong Man-thian berhasil meminta
kembali harta yang hilang itu. Beberapa peti harta benda itu ditumpuk di
lereng bukit sunyi, peti diberi tanda pengenal huruf "koan", lalu ditinggalkan
pulang, kawan pemilik barang disuruh mengambil sendiri ke tempat
penimbunan peti.
Tentu saja kawannya kaget, disangkanya harta benda yang baru diminta
kembali itu pasti akan dicuri orang lagi. Cepat ja menuju ke tempat yang
dimaksudkan yang berjarak tiga-hari-tiga-malam perjalanan itu
Siapa tahu setiba di tempat, harta yang dimaksud ternyata masih utuh tanpa
terganggu sedikit pun. Rupanya orang dunia parsilatan setelah melihat tanda
pengenal Hong Man-thian itu bukannya mengganggu, sebaliknya diam diam
memberi perlindungan malah.
Begitulah dia berkisah kegagahannya pada masa lampau sehingga tambah
semangatnya minum arak. Lamkiong-hujin lantas minta disediakan berbagai
jenis arak, ia mencampur sendiri arak yang paling enak, dan ternyata sangat
menyocoki selera Hong Man-thian dan Loh Ih-sian sehingga tiada hentihentinya
kedua orang itu memuji.
Dan seterusnya setiap persinggahan selalu Hong Man-thian minum sampai
mabuk oleh ramuan arak Lamkiong-hujin yang istimewa itu. Entah karena
ingin menikmati arak enak atau karena ada sebab lain, perjalanan makin hari
makin lambat. Anehnya pada setiap tempat persinggahan Hong Man-thian pasti keluar
sampai setengah harian, pulangnya dia membawa satu kereta penuh muatan,
kebanyakan berupa peti besar dan kecil, semuanya tertutup rapat entah apa
isinya. Peti yang paling besar serupa peti mati, yang paling kecil juga
berukuran dua-tiga kaki panjangnya.
Akhirnya kereta yang dikumpulkan bertambah banyak sehingga merupakan
satu iring-iringan kereta.
Wilayah timur ini kebanyakan daerah pegunungan dan merupakan sarang
penjahat. Dengan sendirinya iring-iringan kereta mereka menimbulkan
perhatian orang. Banyak lelaki kekar berkuda mondar-mandir mengawasi
konvoi mereka, namun Hong Man-thian anggap seperti tidak tahu saja.
Walaupun begitu, kawanan bandit juga heran dan sangsi melihat iringan
kereta yang panjang itu ternyata tidak dikawal sebagaimana lazimnya, karena
belum jelas asal-usulnya, seketika pun tidak ada yang berani mendahului
turun tangan mengganggunya.
Hari ini rombongan mereka sampai di Tangyang, di depan adalah lereng
gunung pertemuan antara pegunungan, Hwekeh, Thian-tai dan Sa-beng-san.
Menjelang magrib mereka pun berhenti pada rumah pondokan. Hong Manthian
keluar lagi mengilari kota.
Esok paginya, rumah pondokan itu mendadak menjadi riuh ramai didatangi
orang banyak. Kiranya kemarin Hong Man-thian telah mendatangi semua pandai besi di kota
Tangyang ini dan minta dibuatkan satu-dua buah sangkar besi yang besarnya
antara satu tombak sehingga jumlah seluruhnya lebih 20 buah.
Dengan sendirinya orang lain tidak tahu apa gunanya sangkar besi sebanyak
itu. Tapi Hong Man-thian lantas menyuruh orang memindahkan peti ke dalam
sangkar besi, lalu dimuat lagi ke atas kereta dan melanjutkan perjalanan.
Kawanan bandit yang selalu mengintai gerak-gerik konvoi mereka ini menjadi
geIi, pikir mereka, "Biarpun harta benda telah kau simpan di dalam sangkar
besi, memangnya kami tidak dapat merampas sekalian bersama sangkarnya?"
Karena itu mereka mentertawai kebodohan pemilik barang ini, hati mereka jadi
mantap dan malam ini juga berniat turun tangan.
Setelah lewat beberapa kampung lagi, di depan adalah lereng pegunungan,
penunggang kuda yang wira-wiri mengikuti iringan kereta mereka tambah
banyak, semuanya bertampang jahat menakutkan.
Tentu saja para kusir kereta jadi ketakutan, diam-diam mereka bersepakat
bilamana kawanan bandit datang mereka akan menyelamatkan diri lebih dulu.
Lamkiong Siang-ju dan lain-lain juga tidak tahu untuk apa Hong Man-thian
membeli sangkar besi besar sebanyak itu, akhirnya mereka coba minta
keterangan kepadanya.
Hong Man-thian tertawa, tuturnya, ''Dulu, terjadi sebuah Lelucon, begini
ceritanya. Seorang membawa galah bambu masuk ke kota. Baik bambu
melintang maupun menegak tetap sukar memasuki gerbang kota. Setelah
berkutak-kutek sekian lamanya, akhirnya orang itu melemparkan galah bambu
ke dalam kota melalui atas tembok benteng.
"Seorang di tepi jalan terbahak-bahak geli, katanya, 'Bodoh amat orang ini,
kenapa galah bambu itu tidak dipatahkan menjadi dua atau tiga potong,
dengan begitu kan leluasa pergi ke mana pun'."
Loh Ih-sian melenggong, ia pun tidak paham arti lelucon itu, katanya, "Kenapa
dia tidak meluruskan bambunya dan menerobos masuk ke kota . . . . "
"Jika dia masuk kota begitu saja kan bukan lagi lelucon namanya," ujar Hong
Man-thian dengan tergelak.
Lamkiong Peng juga tertawa geli.
Maka Hong Man-thian melanjutkan, "Jika kawanan penjahat melihat kusimpan
peti harta benda di dalam sangkar besi, tentu mereka akan tertawa akan
kebodohanku serupa orang vang membawa galah bambu itu, kan sangkar besi
dapat juga diangkut sekalian biarpun peti tersimpan di dalamnya. Mereka lupa
bahwa orang yang membawa galah bambu itu mendadak. bisa membawa
galahnya masuk ke kota dengan lurus begitu saja, untuk ini kawanan bandit
itu tentu tak bisa tertawa lagi."
Loh Ih-sian meraba kepalanya yang botak, "Memangnya apa gunanya sangkar
besi sebanyak ini?"
"Jika kuceritakan apa gunanya, tentu juga bukan lelucon lagi." kata Hong Manthian.
Mendadak burung beo yang selalu hinggap di pundak Hong Man-thian itu ikut
bersuara, "Lelucon , .. lelucon . . . . "
Pada saat itulah sekonyong-konyong tiga anak panah mendenging memecah
angkasa sunyi. Kembali burung beo itu berteriak, "Lelucon datang . . . lelucon datang . . . . "
Lamkiong Siang-ju tidak heran, ia memang sudah menduga akan kejadian
demikian. Ia cuma mengatur rombongan kereta menjadi satu lingkaran, para
kusir sama menyingkir ketakutan.
Terdengar dari kanan-kiri suara derap kaki kuda yang ramai, debu mengepul,
serentak muncul berpuluh penunggang kuda. Dari arah timur dipimpin seorang
bermuka hitam dan berjenggot pendek, kelihatan gagah perkasa, segera ia
berteriak, "Inilah Thian-gwa-hui-lai-poan-cai-thian (setengah bukit melayang
turun dari langit) berada di sini, para saudara siap!"
Sambil bersuara ia terus melompat ke atas dan berdiri di atas pelana kudanya
dengan gagah. Segera kawanan penunggang kuda dari beberapa penjuru itu
sama berhenti di sekeliling lelaki kekar itu.
Dari rombongan sana tampil lagi tiga penunggang kuda yang gagah, mereka
melompat turun dari kudanya dan berkumpul untuk berunding.
"Hah, rupanya beberapa rombongan bandit ini sudah saling kenal, semula
kukira mereka akan saling cakar-cakaran, agaknya tontonan menarik ini tidak
jadi muncul," ucap Loh Ih-sian dengan tertawa.
"Tontonan menarik sih masih ada," ujar Hong Man-thian. "Untuk itu hendaknya
kalian jangan turun tangan dulu, turutlah kepada caraku."
Dalam pada itu keempat lelaki tadi setelah berkumpul dan berunding, lalu
mereka melangkah maju seorang diantaranya yang kurus kecil tapi mata
bersinar tajam segera beseru, "Di mana pemilik iringan kereta ini harap tampil
untuk bicara."
Orangnya kecil, tapi suaranya besar, Hong Man-thian berlagak bingung dan
memandang kian kemari, tanyanya, "Eh, di mana orang yang bicara itu?"
Tentu saja si kurus kecil mendongkol, jengeknya, "Apakah matamu belum
melek, di sinilah aku yang bicara."
Hong Man-thian sengaja berkerut kening, katanya, "Ai, rasanya kita belum
saling kenal, entah ada petunjuk apa Anda mengajak bicara padaku?"
Si kurus terbahak, "Haha, supaya kautahu, aku inilah Jiu-hong-kui-yap (angin
musim rontok menyapu daun) Toh Stau-giok dari Lok-yap-ceng .... "
"Haha, Lok-yap-ceng (perkampungan daun rontok), tampaknya nama yang
baik juga," seru Hong Man-thian,
"Ketiga orang ini yang satu adalah Oh-taihiap yang terkenal dengan ilmu
goloknya dari Hun-cui-koan dan . . . . "
"Untuk apa banyak omong dengan dia," sela seorang temannya yang bersuara
lantang tadi. "Ayolah sahabat, terus terang saja kita buka kartu, memangnya
perlu apa kau berlagak bodoh. Tinggalkan keretamu dengan seluruh isinya dan
jiwa kalian akan diampuni."
Hong Man-thian mengelus jenggot dan pura-pura kaget, "Hah, kukira kalian
datang untuk ikut minum arak bersamaku, tak tahu-nya kalian mengincar
harta benda juga?"
'O, barangkali engkau ini penggemar sanjak," si jangkung menyeringai.
"Baiklah, biar aku Thi Toa-kan membawakan sajak bagimu, nah dengarkan . . .
Gunung ini aku yang buka, hutan ini aku yang tanam. Jika ingin lalu di sini,
bayar dulu uang jalan. Ingat, jangan coba coba bilang tidak, senjata kami
tidak kenal ampun."
Mendadak ia ayun kepalan dan meng-hantam kepala salah seekor kuda,
kontan kepala kuda pecah, belum lagi sempat meringkik sudah roboh binasa.
Lamkiong Siang-ju dan lain-lain tetap tenang saja. Sebaliknya Toh Siau-giok
dan dan begundalnya sama berseri kaget, "Wah, tangan hebat!"
Thi Toa-kan tertawa, katanya, "Nah, dapat kalian pahami tidak akan sajakku?"


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hong Man-thian berlagak terkejut, "Wah, kusangka kalian adalah kaum
pelancong yang iseng, siapa tahu kalian ini kaum bandit dan perampok. . . "
Diam-diam ia mengedipi Lamkiong Peng, lalu berteriak. "Ai celaka, ada bandit!
Ayolah lekas kemari pengawalku, hajarlah bandit ini!"
Lamkiong Peng merasa geli. segera ia tampil ke muka.
Semula Thi Toa-kan dan begundalnya melengak juga, tapi ketika diketahui
yang muncul cama seorang anak muda belia, hati mereka menjadi tabah,
dengan tertawa Thi Toa-kan berseru, "Haha, apakah ini jago pengawalmu. Eh,
Toa piauthau yang terhormat engkau dari Piaukiok mana" Setelah kenal nama
kami, masakah kauberani main kayu lagi dengan kami?"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu Lamkiong Peng melompat maju dan "plok",
pipi-nya telah tergampar dengan tepat.
Keruan Thi Toa-kan melengak. teriaknya murka, "Binatang ,...."
Baru saja bersuara, pipi sebelah lain juga kena gamparan keras, ia tergetar
mundur dengan mulut berdarah, sambil mengusap darah segera ia hendak
menerjang maju.
Tapi Toh Siau-giok keburu menarik baju-nya dan mendesis, "Sabar dulu!"
Lalu ia berkata kepada Lamkiong Peng, 'Eh, lihai benar kungfu saudara muda
ini, siapakah namamu dan murid dari perguruan mana?"
"Aku murid Sin-Hong, Lamkiong Peng ada nya!" seru anak muda itu lantang.
Thi Toa-kan, Toh Siau-giok, dan Oh Cin, si jago golok dan seorang lagi berbaju
hitam bernama Tio Hiong-to berjuluk Im-yang-poh, si kampak, saling pandang
dengan air muka berubah, seru Toh Siau-giok, "Hah, Anda inikah Lamkiong
Peng?" Lamkiong Peng hanya mendengus saja tanpa bicara lagi.
Hendaknya maklum, sejak pertarungan sengit di restoran Koai-cip-lau dan
menerjang Hui-goan-san-ceng tempat Wi.Ki dahulu, Lamkiong Peng lantas
tersiar luas di kangouw dan disegani.
Keruan keempat orang itu sama gentar, Thi Toa-kan menyingkir ke samping
dan memanggil seorang anak buahnya, mendadak dijambretnya leher baju
orang dan didamperatnya, "Inikah hasil selidikanmu, kaubilang pengawal
iringan kereta ini cuma orang tua yang cacat dan reyot, mengapa bisa
mendadak muncul seorang Lamkiong Peng?"
Anak buahnya ketakutan, 'Hah, dia . . . dia Lamkiong Peng?"
Kontan Thi Toa-kan menjotosnya sehingga mencelat.
Segera keempat orang itu berunding apa yang harus dilakukannya lebih lanjut.
Tio Hiong-to mendesis, "Kabarnya Lam kiong Peng ini sangat lihai, tapi kita
sudah telanjur datang, masa harus pulang dengan tangan hampa. Biarpun
hebat, dua kepalan takkan mampu melawan empat tangan, kalau kita maju
sekaligus, masa kali perlu takut padanya?"
"Betul". sambut Oh Cin. "Betapapun kita berempat harus mengujinya dulu."
Setelah sepakat, segera mereka maju lagi bersama, cuma sikap mereka sudah
tidak segalak tadi.
Toh Siau-giok mendahului bicara, "Jika iringan kereta ini dikawal oleh
Lamkiong-kongcu, mestinya kami akan segera angkat kaki dari sini. Cuma,
hehe, ketiga sahabatku ini justru ingin belajar kenal dulu sejurus dua dengan
Lamkiong-kongcu, sedikitnya agar menambah pengalaman kami."
Dia memang licik, semua tanggung jawab ia tumplek atas diri ketiga
kawannya. Lamkiong Peng mendengus, "Ayolah silakan mana dulu yang akan maju"!"
Toh Siau-giok menyurut mundur malah, Thi Toa-kan bertiga juga saling
pandang dengan ragu, mereka hanya berani main kerubut, untuk satu lawan
satu mereka jeri. Terlebih Thi Toa-kan yang habis merasakan digampar,
betapapun ia tidak berani maju sendirian.
Terdengar Toh Siau-giok berucap di samping, "Ketiga saudara jangan berebut
turun tangan, masa di antara saudara sendiri perlu rendah hati?"
Muka Oh Cin tampak merah, mendadak ia berpaling dan menjengek, "Aneh
juga, kenapa mendadak Toh-heng seperti tidak berkepentingan lagi akan
urusan ini?"
"Aku memang tidak ingin berebut duluan dengan kalian, jika Oh-heng juga
sangsi, silakan mundur saja menonton di samping." sahut Toh Siau-giok.
Oh Giu menjadi gusar, Hm, memangnya kaukira aku jeri, apa langannya
kaumaju untuk belajar kenal dengan dia," ucap Oh Cin. Segera ia melangkah
maju sambil melolos golok.
Mendadak Hong Man-thian berseru sambil menggoyangkan tangannya, "Eh,
jangan! Nanti dulu!'
Oh Cin melengak dan bertanya, "Ada apa lagi?"
"Lamkiong-piauthau," kata Hong Man-thian. "Hendaknya urusan ini jangan
sampai terjadi perkelahian."
Lamkiong Peng melongo heran juga.
Hong Man-thian lantas menyambung, "Sebab kalau perkelahian ini terjadi
serentak kawanan orang gagah ini pasti akan main kerubut, jika terjadi
demikian, wah, aku si tua bangka ini pasti akan celaka. Padahal kuminta
engkau menjadi pengawalku justru berharap cukup dengan namamu dapatlah
barang kirimanku ini akan sampai di tempat tujuan dengan aman, sekarang
gelagatnya ternyata kurang menguntungkan, rasanya lebih baik kukorbankan
sedikit harta bendaku saja, yang penting aman dan selamat."
"Hm, ternyata kaupun bisa berpikir panjang," jengek Oh Cin. "Jika kau mau
kompromi baiklah akan kudamaikan bagimu."
Si dogol Thi Toa-kan juga lantas membusungkan dada dan berseru,
"Mendingan kau dapat melihat gelagat, kalau tidak, hmm . . . ."
Diam-diam Lamkiong Peng merasa geli dan mengundurkan diri.
Hong Man-thian lantas berkata pula, "Sangkar besi di atas kereta tidak
digembok, bilamana kalian mau, silakan ambil saja, asal-kan jangan dikuras
habis, tapi sisakan yang pantas uutuk hari tuaku."
Meski Lamkiong Peng dan lain-lain tahu tingkah orang tua ini pasti menarik,
tapi sejauh ini belum lagi diketahui apa sebenarnya maksudnya.
Sebaliknya Thi Toa-kan dan Iain-lain sangat girang, segera mereka memberi
tanda kepada anak buahnya dan siap hendak membongkar peti.
Mendadak Thio Hiong-to berteriak. "Nanti dulu!"
"Ada apa?" tanya Oh Gin kurang senang.
"Biarpun saudara sekandung, utang-piutang juga harus dihitung dengan
betul," kata Tio Hiong-to. "Tampaknya rejeki hari ini tidaklah sedikit, meski di
antara kita sudah kenal baik, perlu juga segala sesuatu diatur secara jelas.
Peti-peti ini berukuran yang sama, isinya juga tidak seragam, bilamana antara
kita cuma ambil begitu saja dan bisa kacau dan tidak adil"
"Betul," sambut Oh Cin, "tadi pihak kami turun tangan dahulu, dengan
sendirinya hak utama berada padaku. Mengenai Toh heng, jika dia sudah rela
menonton saja di samping, dengan sendirinya ia pun melepaskan haknya."
Seketika orang Lok-yap-ceng menjadi gempar, segera ada yang melolos
senjata dan siap tempur. Tapi Toh Siau-giok memberi tanda kepada anak
buahnya itu supaya tenang.
Rupanya dia sudah menduga di balik urusan ini pasti ada sesuatu yang tidak
beres, umpama betul persoalannya semudah ini juga dia sudah siap sedia
untuk merobohkan lawan.
Di antara keempat pentolan bengal ini memang Toh Siau-giok yang paling licik
dan licin, selain kungfunya lebih tinggi juga lebih pandai menggunakan otak.
Tio Hiong-to lantas menarik muka dan mendengus, "Hm, bilakah Oh-heng
pernah turun tangan' Thi-beng, apakah kaulihat?"
"Kalau bicara turun tangan, kukira akulah yang paling dulu," ujar Thi Toa-kan.
Teringat pada dua gamparan yang dirasakannya tadi, tanpa terasa mukanya
menjadi merah. Tentu saja Oh Cin kurang senang, goloknya bergerak, serunya, "Habis
bagaimana cara membaginya menurut pendapat kalian?"
"Dengan sendirinya pihak Thian-tai-ce kami berhak mengambil dulu." seru Thi
Toa-kan sambil membusungkan dada. Dia memang tinggi besar, sekali
membusung mendadak perawakannya bertambah satu kepala lebih tinggi
daripada orang lain.
"Hm, kalau bicara tentang tubuh dengan sendirinya Thi-heng lebih gede, cuma
sayang tubuh gede terkadang juga tiada gunanya," ejek Tio Hiong-to.
"Kurangajar! Kaubilang apa?" bentak Thi Toa kan.
Oh Cin juga angkat goloknya dan berseru "Apa pun engkau tidak berhak ambil
dulu." Tio Hiong-to melirik Toh Siau-giok sekejap lalu berkata, "Kukira biarkan Tohheng
saja yang membagi rata rejeki ini. Kepandaian Toh-heng paling tinggi,
anggota Lok-yap-ceng juga paling banyak, kupercaya dia pasti tidak akan
menang sendiri dan bikin rugi orang lain."
Rupanya dia merasa pihak sendiri tidak sanggup menghadapi pihak yang lain,
maka cepat ia ganti haluan dan ingin mencari kawan.
Diam-diam Toh Siau-giok mengawasi air muka Lamkiong Peng dan lain-lain,
dilihat-nya anak muda itu tenang-tenang saja. sorot matanya menampilkan
rasa geli, tergerak hatinya, dengan tertawa ia berkata, "Ah, soal harta bagiku
sih tidak kupikirkan lagi, silakan kalian bertiga membagi sendiri."
Habis berkata, benar juga ia lantas memberi tanda agar anak buahnya
menyingkir mundur. Meski penasaran, terpaksa anak buahnya menurut.
Selagi Thi Toa kan bertiga melenggong, tiba-tiba Hong Man-thian berseru pula
dengan tertawa, "Ai, sudah kukatakan silakan bagi saja sendiri, tapi kalian
ternyata sungkan-sungkan. Jika begitu, aku ada juga suatu akal baik, mungkin
dapat kalian setujui."
Tio Hiong-to kuatir pihaknya akan dikerubut oleh Oh Cin dan Thi Toa-kan,
segera ia mendahului menyatakan setuju, "Bagus, jika Losiansing mau turun
tangan dengan bijaksana, kupercaya caramu membagi pasti adil."
Oh Cin dan Thi Toa-kan saling pandang sekejap, dalam hati mereka juga
berpikir sama seperti Tio Hiong-to, maka tiada jalan lain kecuali mengangguk
setuju. "Kalian tahu, orang tua semacam aku ini paling takut melihat darah
bercucuran, sebab itulah kurela menyerahkan sebagian harta bendaku ini,
yang penting semuanya berjalan aman dan lancar. Cuma kalian harus berjanji
juga setelah mendapatkan pesangon yang layak jangan lagi kalian cari perkara
lagi, kalau tidak . . .. " mendadak Hong Man-thian menarik muka dan
menyambung, "Kalian sudah menyaksikan sendiri kepandaian jago
pengawalku, bilamana dia tidak mau turut lagi kepada perkataanku, tentu
kalian tahu sendiri akibatnya."
Mau-tak-mau ketiga orang itu merasa ngeri juga, terutama Thi Toa-kan yang
sudah kena hajaran Lamkiong Peng tadi, cepat Tio Hiong-to mendahului
menanggapi, "Baik, asal saja caramu adil, kami pasti setuju."
"Haha, tentu saja adil," kata Hong Man-thian. "Kalian adalah kesatria kaum
Lok-lian makin gagah makin mengagumkan, makin banyak tangan kalian
berlumuran darah makin dipuja, Maka sekarang kuingin tahu dulu siapa
kiranya di antara kalian yang paling gagah perkasa. Asalkan setiap orang
dapat menceritakan suatu kejadian nyata dari hasil karyanya yang paling
gagah perkasa, maka dia berhak mengambil dulu isi petiku ini. Tapi jika
perbuatan yang pernah dilakukannya kurang gemilang, terpaksa harus
disilakan menyingkir saja ke pinggir."
Selesai berucap, mendadak tongkatnya terjulur, sebuah peti di luar sangkar
dicungkit dan diraihnya ke depannya, lalu berkata pula, "Nah, ingin
kutambahkan lagi, peti yang semakin dekat danganku isinya juga semakin
berharga. Maka nanti bilamana di antara kalian harus berebut dulu mendului,
terpaksa kalian harus menggunakan kepandaian sejati masing-masing untuk
memperoleh peti ini."
Semula orang-orang itu sama ragu oleh cara aneh yang diuraikan Hong Manthian
itu, tapi kemudian demi peti dibuka dan isinya ternyata penuh batu
permata yang sukar di nilai, seketika mata mereka menjadi merah dan lupa
daratan. Maklum, kebanyakan manusia tamak kalau urusannya sudah menyangkut
harta, maka tujuan menghalalkan cara dan tidak kenal malu lagi, segera
mereka berebut dulu menceritakan perbuatannya yang gagah perkasa.
Sambil menepuk dada Thi Toa-kan ber-teriak, "Pernah pada suatu malam di
kota Limhai sekaligus kulakukan tujuh perkara besar, kusikat habis setiap
orang yang memergokiku dan melawan, kubunuh semuanya sehingga mata
golokku pun tumpul. Kejadian ini cukup diketahui siapa pun sehingga tidak
perlu kuberi bukti atau saksi. Nah, apakah perbuatanku itu bukan sesuatu
yang gagah perkasa?"
Habis berkata ia bergelak tertawa bangga. Oh Cin tidak mau kalah, segera ia
menyambung, "Huh, hanya begitu saja belum masuk hitungan. Pernah pada
suatu hari, di luar kota Thaisun, di tengah siang hari bolong sekaligus kukerjai
berpuluh anak perempuan yang sedang berziarah ke Gan-tang-san, semuanya
kusikat . . . . "
Begitulah mereka seperti kuatir ketinggalan, satu persatu mereka menuturkan
"karya besar" masing-masing, bahkan kuatir tidak di percaya, mereka berani
memberi bukti dan mengajukan saksi segala.
Seketika apa yang didengar Lamkiong Peng dan lain-lain adalah kisah
kejahatan yang meliputi perampokan, pembunuhan dan sebagainya yang
membuat darah meluap. Setiap perbuatannya yang "gemilang" itu pantas
dijatuhi hukuman penggal kepala sepuluh kali.
Toh Siau-giok tetap mengikuti semua kejadian itu secara diam-diam, makin
dipandang makin dirasakan urusan tidak biasa.
Tadi ketika tongkat Hong Man-thian menggait peti sudah dapat didengarnya
suara logam, jelas bukan sembarangan tongkat. Apalagi cara kakek yang
kelihatan reyot itu menentukan pemberian isi peti juga harus diragukan. Makin
dipikir makin ngeri hati Toh Siau-giok, tanpa terasa ia pun menyurut mundur
terlebih jauh. Anak buah Lok-yap-ceng mestinya penasaran karena orang lain bakal
mendapat rejeki nomplok, tapi pihaknya justru diperintahkan mundur. Tapi
biasanya mereka sangat tunduk kepada kebijaksanaan sang Cengcu, terpaksa
mereka ikut mundur sesuai perintah Toh Siau-giok.
Dan begitulah, setelah gembong Lok-lim itu sama menguraikan perbuatan
gagah masing-masing, kemudian mereka lantas bersiap-siap di sekeliling Hong
Man-thian. "Bagus, bagus, kalian ternyata sama gagah perkasa," seru Hong Man-thian.
''Sekarang bolehlah kalian siap sedia, sekali kuberi tanda dengan tepukan
tangan, bolehlah kalian buka dulu peti dalam sangkar yang sudah terbuka itu."
Pelahan ia lantas angkat tangannya, jantung semua orang sama berdebar
menantikan beradunya telapak tangannya, semuanya melotot dan siap
tempur. "Plok," begitu tangan Hong Man-thian menepuk, beramai-ramai orang-orang
itu lantas menyerbu serupa segerombolan binatang buas menerkam
mangsanya. Ada yang menubruk peti besar-kecil di atas kereta, ada yang
membuka peti di dalam berbagai sangkar besi itu.
Melihat kelakuan orang-orang yang biadab itu, sebenarnya Lamkiong Peng dan
Loh Ih-sian sudah tidak tahan lagi rasa gemasnya. Sedangkan Lamkiong Siang
ju dan istrinya tetap tenang saja, mereka yakin tokoh kosen angkatan tua
seperti Hong Man-thian ini pasti mempunyai maksud tajuan yang di luar
dugaan. Dalam pada itu berpuluh orang itu sebagian besar telah menyerbu peti di
dalam sangkar besi tanpa pikir akibatnya.
Mendadak Hong Man-thian membentak, "Tutup pintu sangkar!"
Serentak Lamkiong Siang-ju berempat bergarak cepat, hanya sekejap saja
berpuluh pintu sangkar besi itu sudah ditutup rapat.
Kawanan berandal itu lagi lupa daratan ingin merebut rejeki, tentu saja
mereka tidak memperhatikan kejadian lain. Ketika mereka menyadari apa
yang terjadi, mereka hanya bisa mengeluh dan semuanya sudah terlambat.
Mendadak Hong Man-thian mendekap bibir dan bersuit keras, makin lama
makin melengking suitannya sehingga anak telinga orang terasa pekak.
Lamkiong Sian-ju berempat saja sama tergetar jantungnya, apalagi kawanan
berandal itu, sebagian sudah kelengar, ada yang sanggup bertahan juga tidak
urung muka pucat dan gigi gemertuk, Toh Siau-giok yang berdiri agak jauh
pun merasa lemas kakinya, ingin lari pun tidak mampu.
Di tengah suara suitan dahsyat itu, satu-dua tutup peti besar di antara
puluhan buah peti itu pelahan mulai terbuka. Sekonyong-konyong terdengar
raungan yang menggetar, seekor singa pelahan menongol dari dalam peti
besar itu. Menyusul terdengar pula suara harimau meraung, suara serigala, beruang dan
sebagai-nya, suara berbagai binatang buas itu serasa mengguncang bumi dan
menggetar sukma.
Sebagian binatang buas itu muncul dari peti di sangkar besi sana, dari sangkar
besi sini menongol kawanan ular berpuluh ekor banyaknya
Tadi kawanan berandal itu menyerbu serupa binatang buas kelaparan,
sekarang mereka sendiri yang menjadi mangsa kawanan binatang buas yang
benar-benar kelaparan itu, seketika darah berhamburan dan daging


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beterbangan, sungguh adegan yang mengerikan.
Pada saat itulah dari kejauhan mestinya sedang melayang tiba beberapa sosok
bayangan orang Begitu mendengar suara suitan dahsyat itu, serentak mereka
berhenti, seorang di antaranya bertubuh ramping dan gemulai, dia itulah Kwe
Giok he. Di kanan-kirinya dua orang lelaki, yang seorang adalah Yim Hong-peng yang
gagah dan yang lain adalah Ciok Tim yang bermuka pucat. Di belakang mereka
mengikut empat orang tua, mereka adalah empat di antara Kang-lam-jit-eng
atau tujuh elang dari daerah Kanglam.
"Suara suitan siapa itu, begitu lihai!" tanya Giok-he dengan kening bekerenyit.
"Kalau tidak salah duga, rasanya seperti suara Hong Man-thian yang dahulu
seorang diri menerjang dan membakar Ban-siu-san-ceng, itulah Iwekang Bohgiok-
siu (suitan penghancur batu pualam) yang maha lihai," ujar si elang
hitam sambil mendekap telinganya.
"Masakah tokoh tua itu belum mati?" tanya Giok-he.
"Konon dahulu dengan lwekangnya yang maha ampuh Boh-giok~siau itu dia
dapat menundukkan kawanan binatang buas sehingga Ban-siu-san-ceng dapat
dibobolnya," tutur Yim Hong-peng.
"Jika makhluk tua she Hong itu berada di situ, tampaknya kedatangan kita ini
hanya sia-sia belaka, marilah kita pergi saja," ajak Giok-he sambil menarik
tangan Yim Hong-peng.
Dengan sendirinya tingkah laku Giok-he itu tidak terlepas dari pengawasan
Ciok Tim, air mukanya tampak kelam, entah gusar entah sedih, tapi akhirnya
ia ikut juga di belakang Giok-he dengan kepala menunduk, mereka berlari
pergi secepat datangnya tadi.
Ketujuh orang ini datang dan pergi lagi, dengan sendirinya hal ini tidak
diketahui oleh orang-orang yang berada di sana.
Sementara itu suitan Hoag Man-thian sudah mereda, namun suara raungan
binatang buas belum lagi lenyap, apalagi ditambah dengan suara kawanan
binatang buas itu sedang mengganyang mangsanya.
Menyaksikan kejadian ngeri itu, Lamkiong Peng merasa ingin tumpah, tapi
darah pun bergolak, meski jelas diketahuinya orang-orang itu seluruhnya
adalah kaum penjahat yang tak terampunkan, tapi dia tidak sampai hati
menyaksikan mereka dijadikan umpan binatang buas itu.
Ia memburu ke depan Hong Man-thian dan berseru, "Sudahlah, berhenti!"
Dibukanya semua pintu sangkar besi itu'
Hong Man-thian melengak, tapi mendadak ia mendongak dan tertawa keras.
Begitu hebat suara tertawanya sehingga kawanan binatang itu sama
terpengaruh pula serupa kena sihir dan lupa mengganyang mangsanya lagi.
Di dalam sangkar besi masih ada belasan orang yang belum mati dan masih
meronta-ronta, demi mendengar suara lengking tawa Hong Man-thian,
serentak mereka terhentak sadar, cepat mereka merangkak dan menerobos
keluar, Thi Toa kan kelihatan buntung lengan kanan akibat digigit singa. Thio
Hiong-to sekujur badan berlumuran darah dan terluka parah. Sedangkan Oh
Cin sudah hancur lebur dirobek oleh cakar harimau dan sebagian tubuhnya
sudah menjadi isi perut binatang buas itu.
Dalam sekejap saja orang-orang yang beruntung masih hidup itu segera
melarikan diri. Diam-diam Toh Siau-giok juga bersyukur tidak menjadi mangsa
kawanan binatang dan lekas-lekas mengeluyur pergi.
Serentak Hong Man-thian juga beraksi pula dengan tongkatnya, ia mengetuk
tubuh binatang buas itu, lalu dicengkeram kuduknya terus dilemparkan ke
dalam peti, hanya sebentar saja berpuluh ekor singa, harimau dan serigala
telah dibekuk seluruhnya dan ditutup lagi ke dalam peti.
Puluhan ekor ular berbisa itu pun digiring masuk kembali ke dalam peti,
suasana menjadi tenang pula. Kalau tidak ada bekas darah dan ceceran
daging. siapa pun tidak tahu baru saja telah terjadi peristiwa yang mengerikan
itu. "Nah, setelah kenyang makan darah dan daging orang jahat, tentu kalian
dapat meringkuk dan puasa belasan hari lagi," ucap
Man-thian dengan tertawa. "Beginikah caramu memberi makan kawanan
binatang?" tanya Lamkiong Peng.
"Kawanan penjahat itu digunakan sebagai umpan binatang buas kan cukup adil
dan setimpal bagi perbuatan mereka?" jawab Hong Man-thian tertawa.
Seketika Lamkiong Peng melongo dan tidak dapat bicara lagi.
Loh Ih-sian menghela napas, katanya, "Sungguh tak terpikir olehku dalam
petimu itu tersimpan barang hidup, anehnya mengapa kawanan binatang itu
sedemikian menurut dan mau mendekam diam di dalam peti. Kalau tidak
melihat sendiri sungguh sukar untuk dipercaya"
"Kalau diceritakan sebenarnya juga tidak perlu diherankan," tutur Hong Manthian.
"Caraku mengendalikan kawanan binatang ini tiada ubahnya seperti ilmu tiamhiat,
pada bagian tertentu tiap binatang juga ada tempat yang lemah, asalkan
dapat kaukuasai tempat dan waktunya secara tepat, sekali ketuk dia takkan
berdaya dan akan tunduk padamu."
Selagi mereka asyik bicara tentang cara mengatasi binatang buas di sebelah
sana Lamkiong Peng lagi sibuk menggali liang untuk mengubur sisa tubuh
manusia yang berserakan itu.
Tidak lama kemudian, kawanan kuda yang juga jatuh kelengar karena suara
suitan Hong Man-thian tadi sebagian telah sadar kembali, sebagian lain mati
ketakutan melihat binatang buas tadi.
Iringan kereta lantas melanjutkan perjalanan, perasaan semua orang sama
tertekan dan jarang yang bicara.
Dua hari kemudian, sampailah mereka di semenanjung Sam-bun-wan, sejauh
mata memandang tertampaklah air laut yang biru dan beriak itu.
Sudah sejak jaman kuno perdagangan Tiong-kok melalui laut terbuka secara
luas, semenanjung Sam-bun wan ini adalah pelabuhan perdagangan yang
merupakan pangkalan besar bagi padagang di wilayah Ciatkang. Kangsoh dan
Anhui. Sebab itulah kota pelabuhan ini sangat ramai.
Menjelang magrib, di jalanan kota lantas penuh orang berlalu lalang,
kebanyakan adalah kaum nelayan yang berbau amis dan pelaut yang berbaju
pendek dan berbadan kekar, dada terbuka dan lengan telanjang. Mereka
masuk ke kota untuk mencari hiburan, makan minum, tidak ketinggalan main
perempuan pula.
Dengan sendirinya suasana kota pelabuhan begini dirasakan serba baru bagi
Lamkiong Peng, ia berdiri di luar hotel memandangi keramaian itu.
Hong Man-thian sendiri asyik minum arak Iagi. Mendadak ia mengeluarkan
sehelai kertas panjang dan dibentang di atas meja. Kertas itu penuh tulisan
yang tidak rajin, ada yang gaya tulisannya indah, ada yang tulisannya serupa
cakar ayam. Baris pertama tulisan itu berbunyi: Timbel 300 kati, air raksa 100 kati.
Baris berikutnya tertulis: Benang 100 kati, besi seribu kati.
Lalu tertulis Iagi berbagai jenis barang keperluan lain.
Rupanya kertas itu adalah sehelai daftar belanja. Anehnya kebanyakan barang
yang tertulis itu bukanlah barang keperluan sehari-hari.
Yang paling aneh adalah bagian terakhir, barang belanja yang diperlukan
ternyata tertulis: Harimau satu ekor, singa jantan-betina sepasang, ular
berbisa 120 ekor. Serigala dan macan tutul masing-masing dua ekor.
Waktu Lamkiong Peng dan lain-lain ikut membaca daftar itu, semuanya
terheran-heran, entah apa yang akan di perbuat oleh tokoh-tokoh kosen yang
berdiam di pulau misterius Cu-sin-to dengan barang belanjaannya yang luar
biasa ini"
Yang paling membingungkan adalah baris terakhir yang terbaca oleh Lamkiong
Peng, yaitu tertulis: Orang jahat sepuluh.
'Masa orang jahat terhitung juga barang belanjaan" Apa gunanya dan akan
dibeli di mana?" tanyanya heran.
"Nanti tentu kautahu sendiri," ujar Hong Man-thian dengan tersenyum aneh,
senyum misterius dan juga mengandung rasa duka.
Lamkiong Peng tidak dapat menerka maksudnya, ia pun tidak tanya lebih
lanjut. Habis makan-minum, Hong Man-thian lantas keluar untuk belanja, tapi
pulangnya ternyata tidak membawa sesuatu barang.
Malamnya, Hong Man-thian memesan satu meja penuh santapan pilihan,
sambil makan-minum ia mengajak mengobrol macam macam urusan. Dia
memang pandai bercerita sehingga orang lain sama lupa lelah dan kantuk juga
lupa tanya padanya kapan dan di mana dia akan berlayar.
Tanpa terasa perjamuan berlangsung hingga hampir tengah malam, tiba-tiba
Hong Man-thian menuangkan arak bagi Lamkiong Siang-ju berempat, lalu
angkat cawan dan berucap, "Betapa lama berkumpul akhirnya harus berpisah
juga, di dunia ini memang tidak ada pesta yang tidak bubar. Bahwa sekali ini
Hong Man thian dapat berkunjung ke Kanglam dan bertemu dengan para
sahabat, sungguh kejadian yang menggembirakan. Cuma sayang tidak dapat
berkumpul lebih lama, waktu berpisah sudah tiba, marilah kita habiskan
secawan ini dan segera kumohon diri."
Semua orang menyangka barang belanjaannya belum lagi lengkap, tentu dia
akan tinggal lagi beberapa hari lagi, siapa tahu mendadak ia mengucapkan
kata perpisahan, tentu saja semua orang terkesiap.
Lamkiong-hujin memandang putra kesayangan dengan perasaan berat,
katanya, "Kenapa Hong-taihiap mendadak hendak berangkat di tengah malam
buta, apakah tidak menunggu sampai . . . . "
Belum lenyap suaranya, mendadak kepala terasa pening dan tidak sanggup
bicara lagi. Bahkan Loh Ih-sian dan lain-lain serentak juga merasa kepala pusing dan mata
berkunang-kunang, bumi seperti berputar dan langit akan ambruk. Segala
benda serasa berputar seperti kitiran.
Lamkiong-hujin terkejut, serunya kuatir, "Anak Peng . . . . "
Segera ia berbangkit hendak mendekati Lamkiong Peng, tapi baru melangkah
segera ia jatuh terkulai.
Lamkiong Peng juga tidak tahan oleh rasa pusing, samar samar dilihatnya
sorot mata ibu kesayangan yang kuatir itu, tapi ia pun tidak berdaya dan tidak
ingat sesuatu lagi.
Entah berselang berapa lama lagi, Samar-samar Lamkiong Peng merasa
berada di sebuah pulau yang indah, tetumbuhan menghijau permai. Banyak
bebuahan yang aneh, bahkan bumi penuh berserakan batu permata.
Di kejauhan ada sebuah istana megah dengan undak-undakan batu kemala
dan tiang emas, di depan istana tampak bergerombol orang mondar-mandir
serupa malaikat dewata di sorgaloka. Malahan mendadak dilihatnya ayahibunda
juga berada di tengah orang banyak itu.
Saking girangnya mendadak ia memburu ke sana. Tapi tahu-tahu kakinya
menginjak tempat kosong, di bawah ternyata jurang yang tertutup mega.
Ia menjerit kaget dan sekuatnya berusaha melompat ke atas, waktu ia
membuka mata, dirasakan keringat membasahi tubahnya, kiranya baru saja
mimpi buruk. Ia berpaling, tampak dirinya berbaring di dalam ruang yang kosong, hanya
terlihat sebuah tempat tidur, sebuah meja dengan dua kursi. Di ketinggian ada
sebuah jendela kecil, bintang gemerlip di angkasa Iuar.
Rupanya ia telah tertidur sehari semalam, ia coba menenangkan diri dan
meronta bangun, dirasakan lantai bergoyang-goyang, terdengar pula suara
gemercak air di sekeliling, tiba-tiba disadarinya dirinya berada di dalam sebuah
kapal yang terombang-ambing di tengah laut. Kiranya dalam keadaan tidak
sadar ia telah jauh meninggalkan ayah-bundanya, meninggalkan tanah
kelahirannya, meninggalkan kampung halaman dan orang yang dikenalnya,
kini jaraknya entah sudah berapa jauh, sedetik demi sedetik bertambah jauh
terpisah. Pedih rasa hatinya, apakah akan tamat begini saja kehidupannya" Sedangkan
budi kebaikan orang tua dan guru belum lagi dibalas-nya, masih banyak amal
bakti yang perlu dilaksanakannya pula.
Setelah termenung sekian lama, mendadak ia mengepal tinjunya dan
bergumam, "Tidak, aku masih harus pulang ke sana, harus!"
Mendadak seorang tertawa dan berkata sambil mendorong pintu kamar,
"Haha, bagus!
Tekadmu harus dipuji."
Kelihatan Hong Man-thian muncul dengan membawa poci arak, langkahnya
agak sempoyongan, jelas terlalu banyak menenggak arak.
"Mari keluar," kata Hong Man-thian kemudian.
Ketika Lamkiong Peng ikut ke geladak kapal, tertampak jauh di ufuk timur
sana sudah ada cahaya remang-remang, hanya sebentar saja subuh ternyata
sudah tiba. Pemandangan kelihatan indah, tapi keadaan di atas geladak kapal
morat-marit penuh tertimbun berbagai macam barang.
Di buritan sana, di samping tiang layar tertaruh sebaris sangkar besi, isinya
tentu saja kawanan binatang buas yang sudah dilepaskan dari peti, semuanya
meraung dan menyeringai ketika melihat manusia.
Seorang lelaki kurus dan pendiam dengan dada baju terbuka berdiri di buritan
sambil memegang kemudi, ada lagi seorang lelaki pendek kecil dan agak
buntak dengan baju yang dekil, kepala kurapan dan lagi cengar-cengir.
Melihat orang ini, timbul rasa jemu dan mual. Kebanyakan pelaut dan nelayan,
biarpun kasar dan miskin, rata-rata juga kelihatan sehat dan bersih, tapi orang
ini selain kotor dan menjemukan mukanya, suaranya juga tidak enak didengar.
"Siapa orang ini?" tanya Lamkiong Peng.
"Juru masak," jawab Hong Man-thian.
Lamkiong Peng melengak, terbayang sayur mayur yang akan dimakannya
selanjutnya adalah hasil pengolahan orang dekil jni, seketika tambah mual
rasanya, gumamnya.
"Kenapa mencari juru masak seperti ini?"
Hong Man-thian tergelak, katanya, "Kau-tahu, bukan pekerjaan gampang
untuk mendapatkan pelaut ini. Biarpun orang yang biasa hidup berkecimpung
di lautan, siapa yang mau ikut berlayar tanpa batas waktu dengan kapal yang
tak dikenalnya?"
"Dan cara bagaimana Cianpwe mendapatkannnya?" tanya Lamkiong Peng.
Mendadak Hong Man-thian bersuit pelahan, burung beo piaraannya yang selalu
mengintil ke mana dia pergi itu lantas hinggap di pundaknya.
"Panggil Jitko," kata Hong-thian.
Segera beo itu berteriak, "Jitko...Jitko...."
Mendadak papan geladak tersingkap, seorang lelaki hitam kekar melompat
keluar dari bawah geladak.
Terperanjat juga Lamkiong Peng melihat bentuk orang yang aneh ini,
perawakannya pendek gemuk, pundaknya lebar sehingga bentuknya mirip
peti. Punggung agak bungkuk dan kepala seakan-akan terselip di antara
pundaknya, Namun gerak-geriknya justru sangat gesit, sekali lompat sudah
berada di depan Hong Man-thian.
Rupanya yang buruk juga sangat mengejutkan, mulut lebar dengan gigi
panjang serupa siung, dagunya mencuat ke depan. kelakuannya kasar.
Dengan tunduk kepala ia berkata kepada Hong Man-thian, "Apa yang Cukong
ingin hamba kerjakan?"
Hong Man-thian terbahak-bahak, katanya kepada Lamkiong Peng, "Bersama
dia inilah kami berdua berlayar mengarungi samudera raya dengan sebuah
perahu kecil dan akhirnya sampai di daerah Kanglam. Kembalinya sekarang
tentu saja kami tidak ingin menderita lagi, kami ganti kapal besar ini, tapi juga
tambah muatan sedemikian banyak, maka kami juga perlu pakai tenaga pelaut
cukup banyak."
"Berapa banyak pelaut yang kaubawa"' tanya Lamkiong Peng.
"Belasan orang", jawab Hong Man-thian, "Apakah kauingin melihat mereka?"
"Ah, tidak," jawab Lamkiong Peng sambil menggeleng. Setelah melihat bentuk
"Jitko' yang serupa binatang dan si juru masak yang memualkan itu, ia pikir
kebanyakan pelaut yang mau bekerja di kapal ini tentu juga manusia yang
tidak sedap dipandang.
Bangun kapal ini sangat kukuh, cuma ada sebuah tiang layar, sekarang layar
sudah berkembang dan tertiup angin, ada layar buritan juga sudah
dikembangkan, kapal laju dengan cepat.
Untuk pertama kalinya Lamkiong Peng merasakan kehidupan berlayar di
samudera raya ini, lambat laun terlupalah segala rasa kesalnya, sebaliknya
timbul rasa serba baru. Namun juga diharapkannya selekasnya mencapai
tempat tujuan, dengan begitu dapat berdaya untuk selekasnya pulang ke
Kanglam. AMANAT MARGA Jilid 16 Kebanyakan pelaut yang bekerja di kapal ini memang berwajah bengis,
semuanya memandang Lamkiong Peng dengan sorot mata yang waswas
serupa binatang buas lagi mengincar mangsanya.
Diam-diam Lamkiong Peng juga waspada, sebaliknya Hong Man-thian seperti
tak mengacuhkan.
Setiap pagi pada waktu sang surya baru terbit, tentu Hong Man-thian berdiri di


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haluan kapal, selain itu dia hanya duduk minum arak di dalam kabin, makin
jarang dia bicara, terkadang sehari suntuk tidak buka suara.
Selain minum arak sendiri, setiap kali ia pun membujuk Lamkiong Peng ikut
minum beberapa cawan arak yang keras itu. Tapi bila melihat si tukang masak
kudisan itu membawakan makanan, hati Lamkiong Peng lantas mual, tanpa
didorong dengan arak memang sukar menelan makanan itu.
Tukang masak kudisan itu sungguh sangat jorok, terkadang tidak cuci muka
sehingga masih belekan. Untungnya dia memang mahir mengolah makanan
yang sangat meneocoki se-lera sehingga biarpun menjemukan masih dibiarkan
saja. Sepanjang hari tukang masak itu hanya tertawa linglung, segala urusan tak
diacuhkannya, bila melihat Lamkiong Peng ia suka menyengir, sebaliknya
Lamkiong Peng cepat melengos.
Beberapa hari kapal berlayar, laut luas tanpa kelihatan tepinya.
"Apakah masih jauh?" demikian Lamkiong Peng sering bertanya.
"Sabar, setibanya di sana akan kautahu sendiri," jawab Hong Man-thian
dengan dingin. Makin lama kapal berlayar, air muka orang tua itu pun tambah
kelam, arak yang diminum juga tambah banyak, dengan sendirinya ini agak
janggal, sebab umumnya orang yang pulang, semakin dekat rumah sendiri
seharusnya semakin senang, kenapa dia justru tambah murung"
Malam ini ombak sangat besar, Lamkiong Peng lebih banyak minum arak dan
terkenang kepada ayah-bunda, hati merasa kesal. Ia melangkah ke atas
geladak dan bersandar di haluan, dilihatnya bintang bertaburan di langit,
suasana sepi, hanya debur ombak yang terdengar.
Selagi pikirannya merasa lapang, sekonyong-konyong didengarnya di bawah
geladak suara tertawa orang yang khas, menyusul ada suara orang melangkah
tiba, suara tertawa itu dikenalnya sebagai suara si tukang masak kudisan itu.
Sesungguhnya Lamkiong Peng tidak suka melihat orang ini, kening bekerenyit
dan berusaha menggeser ke bagian yang gelap. Waktu berpaling, terlihat dua
kelasi menarik si kudisan naik ke atas geladak.
Mestinya Lamkiong Peng hendak tinggal pergi, demi melihat gerak-gerik ketiga
orang ini rada mencurigakan, tergerak pikiran Lamkiong Peng, cepat ia
sembunyi di balik kabin.
Kedua kelasi yang kurus dan gesit itu bernama Kim Siong, seorang lagi si juru
mudi bernama Tio Cin-tong, kedua orang ini adalah kelasi yang
berpengalaman dan disegani di antara sesama kelasi, maka Lamkiong Peng
kenal mereka. Begitu melompat ke geladak dan memandang sekellling, dengan pelahan Kim
Siong lantas mendesis, "Sepi!"
"Coba periksa lagi, apakah juru mudinya kawan sendiri atau bukan?" sahut Tio
Cin-tong. Mereka bicara dengan bahasa sandi kaum bandit, hal ini menimbulkan curiga
Lamkiong Peng. Dilihatnya Kim Siong lantas memeriksa keadaan sekitar geladak, ia sempat
lewat di samping tempat sembunyi Lamkiong Peng, lalu lapor kepada
kawannya, "Aman, hanya juru-mudi berada di kabinnya dan agaknya sedang
mengantuk."
Tio Cin-tong mengangguk, si juru masak kudisan diseretnya ke samping
setumpukan barang muatan. Si kudisan kelihatan sempoyongan, muka pun
pucat. "Sret", Tio Cin-tong melolos belati yang terselip pada sepatu bot yang
dipakainya, lalu belati yang mengkilat itu bergerak gerak di de-pan hidung si
juru masak, desisnya dengan meyeringai, "Kauingin mati atau minta hidup?"
"Dengan . . . dengan sendirinya ingin hidup," jawab si kudisan dengan
gelagapan karena ketakutan.
"Kalau ingin hidup harus tunduk kepada perintahku," kata Tio Cin-tong. "Terus
terang, kami ini adalah tokoh-tokoh yang biasa membunuh orang tanpa
berkedip, jika memang biasa berkacimpung di lautan tentu pernah kaudengar
nama kami, aku inilah Hai-pa (singa laut) Tio-lotoa dari Hai-pa-pang (kawanan
bajak singa laut) di sekitar Ciu-san!"
Juru masa itu tampak malengak, jawabnya dengan gemetar, "Ah, tentu . . .
tentu hamba akan menurut."
"Memangnya kau berani membantah," je-ngek Tio Cin-tong. Lalu ia
mengeluarkan satu bungkusan kertas dan berkata pula, "Nah, besok
hendaknya kaumasak kuah ayam yang sedap. separoh isi bungkusan ini
masukkan ke dalam kuah dan separoh lagi campurkan pada makanan lain."
"Eh, kuah ayam kan tidak perlu pakai merica." ujar si kudisan dengan lagak
seorang nhli masak.
"Sialan," omel Tio Cin-tong. "Ini bukan merica melainkan racun, tahu"!
Barangsiapa makan sititik saja, dalam sekejap akan mampus dengan matahidung-
telinga-mulut keluar darah, maka ingat, jangan kauanggap sebagai
gula dan kaumakan, sesudah urusan beres dan tuanmu mendapat rejeki
nomplok, tentu kaupun akan kami bagi sedikit. Tapi bila urusan ini sampai
bocor, biar kami cencang dirimu lebih dulu dan kami buang ke laut sebagai
umpan ikan. Tahu?"
Juru masak itu menjura dan mengiakan berulang.
Kim Siong tertawa, katanya, "Menurut pengamatanku selama beberapa hari
ini, rejeki ini memang sukar dinilai jumlahnya- Cuma si buntung itu jelas
bukan lawan yang empuk, juga si makhluk aneh itu, malahan si bagus itu pun
kelihatan bisa sejurus dua."
Tio Cin-tong mendengus, "Hm, kecuali mereka, apakah kaukira Ong Ti, Sun
Ciau dan si jurumudi Li-losam itu adalah orang baik" Kurasa tujuan mereka
ikut dalum kapal ini juga tidak bermaksud baik, besar kemungkinan mereka
pun sahabat kalangan hitam. Cuma mereka bukan segaris dengan kita, besok
kita kerjai mereka sekalian."
Mereka bicara dengan lirih, namun dapat didengar jelas oleh Lamkiong Peng,
diam-diam anak muda itu terkejut dan bersyukur juga, "Untung kudengar tipu
muslihat mereka, kalau tidak bukan mustahil akan dikerjai mereka."
Selagi berpikir, sekonyong-konyong dari sebelah kiri terdengar suara
mendesir, sesosok bayangan orang melayang tiba.
Langsung pendatang ini mendengus, "Hm, Tio-lotoa, keji amat hatimu, sampai
kami bersaudara juga akan kaukerjai?"
Air muka Tio Cin Tong berubah, ia melompat mundur sambil membentak,
"Siapa?"
Bayangan orang itu melangkah maju, tertampak wajahnya yang kaku, tangan
besar kaki panjang. dia inilah Li-losam, si juru mudi.
Tio Cin-tong dan Kim Siong siap siaga, sebaliknya Li-losam seperti tidak
mengacuhkannya, pelahan ia melangkah ke sana dan berucap "Anjing kudisan,
serahkan racunnya tadi?"
Juru masak kudisan itu ketakutan dan sembunyi di tengah tumpukan barang
muatan sehingga mirip anjing kudisan memang.
Belum lagi si juru masak menjawab, mendadak Tio Cin-tong membentak, "Kau
serahkan jiwamu!"
Sekali belati terangkat segera ia hendak menerjang maju.
"Nanti dulu," seru Li-losam mendadak. "Rupanya engkau tidak tahu maksudku,
kuminta racun ini tidaklah berniat jahat, Hendaknya ingat, si buntung itu tokoh
macam apa, masa dia dapat dibereskan dengan sebungkus racun begini saja"
Jika ketahuan, engkau bisa mati konyol malah. Lekas lemparkan racun itu ke
dalam laut, biarlah kuatur rencana lain untuk membereskan mereka."
Tio Cin-tong urung menyerang, tapi mulutnya tetap garang, "Hm, kau ini apa,
aku Hai-pa Tio-lotoa harus tunduk padamu?"
"Hm, jadi tidak kaukenal diriku?" jengek Li-losam, mendadak ia melangkah
maju lagi dan mendesiskan dua-tiga kata dengan lirih.
Seketika air muka Tio Cin-tong berubah, badan gemetar dan "trang", belati
pun jatuh, ucapnya dengan terputus-putus, "Hah . . . engkau . . . mengapa . .
. . " "Tidak perlu banyak omong, lekas kembali ke kamarmu dan tidur saja, tiba
saatnya tentu akan kuberitahukan padamu," ujar Li-losam, "Hai-pa-pang
kalian telah bekerja dengan susah-payah, tentu takkan kubikin rugi kalian."
Terpaksa Tio Cin-tong mengiakan dan melangkah pergi dengan menarik Kim
Siong. Si juru makan kudisan juga mau ikut pergi dengan takut-takut, mendadak Lilosam
mencengkeram lengannya sambil membentak, "Kurangajar! Kauberani
berlagak dungu di depan tuanmu" .... Serahkan nyawamu!"
Berbareng itu sebelah tangannya terus mengliantam kepala orang.
Lamkiong Peng menjadi heran apakah mungkin si kudisan ini samaran seorang
tokoh persilatan"
Dilihatnya juru masak itu ketakutan hingga terkulai lemas di lantai, pukulan Lilosam
tampaknya segera akan membuat batok kepalanya hancur tapi dia
masih diam saja. Tak terduga pukulan Li-losam itu mendadak berhenti
setongah jalan, dia hanya menepuk pelahan pada pundak si kudisan dan
berkata, "Jangan takut, aku hanya mencoba dirimu saja. Nah, pergilah
sekarang!"
Apa yang diperbuat dan apa yang di-bicarakannya air mukanya tidak pernah
berubah, tetap kaku dm dingin. Habis bicara ia lantas kembali ke tempat
kemudi. Si kudisan lantas merambat turun ke bawah geladak, sinar matanya melirik
sekejap ke tempat sembunyi Lamkiong Peng seperti tidak sengaja.
Melihat sekeliling tiada orang lagi, pelahan Lamkiong Peng menyelinap kembali
ke kamarnya, tapi baru saja dia msnarik pintu ka-mar, tiba-tiba diketahuinya
dalam kegelapan sepasang mata mencorong sedang menatapnya, orang
seperti sudah sejak tadi menunggunya di balik pintu, Lamkiong Peng terkejut,
segera ia siap menghadapi ssgala kemungkinan. Tapi setelah diamati, kiranya
dia bukan lain daripada si makhluk aneh yang dipanggil "Jitko"' itu.
Jitko menyengir sehingga kelihatan barisan giginya yang putih panjang serupa
taring itu. lalu melangkah pergi.
Kejut dan heran Lamkiong Peng, ia pikir apakah makhluk aneh ini pun
mendergar percakapan orang orang tadi" Mengapa dia tidak bertindak
sesuatu" ia lantas masuk ke dalam kabin dan mencari Hong Man-thian, dilihatnya orang
tua itu asyik minum arak di bawah cahaya lampu yang sudah redup, orang dua
cacat ini seakan-akan tidak tidur dan juga tidak makan nasi, dia seperti
dilahirkan melulu untuk minum arak saja.
Tanpa menoleh ia menegur Lamkiong Peng, "Belum tidur" Apo mau minum
dua cawan?"
"Sekarang Cianpwe boleh minum sepuasnya, selanjutnya mungkin tidak dapat
minum lagi."' kata Lamkiong Peng.
Hong Man-thian tertawa, "Masa di dunia ini ada sesuatu urusan yang dapat
membuatku tidak minum arak Wah, rasanya aku jadi ingin tahu apa
urusannya?"
Habis bicara ia menenggak lagi satu cawan.
"Apakah Cianpwe tahu kelasi kapalmu ini ,adalah kawanan bajak yang biasa
main bunuh dan rampok?" kata Lamkiong Peng, lalu diceritakannya apa yang
dilihat dan didengar tadi.
Siapa tahu Hong Man-thian tetap tenang saja.
Dengan kening bekerenyit Lamkiong Peng berkata pula,"Meski wanpwe juga
tidak menguatirkan gangguan penjahat itu, tapi setelah kutahu maksud jahat
mereka, sedikit banyak harus mengawasi gerak-gerik mereka."
"Memangnya kaukira aku tidak tahu," ja-wab Hong Man-thian dengan tergelak.
"Sejak mereka menginjak kapal ini segera kutahu mereka tiada seorang pun
orang baik. Hanya si kudisan yang kelihatan linglung itu bukanlah sekomplotan
mereka, sebab itulah kusuruh di kudisan menjadi juru masak. Namun aku
tetap mengawasi gerak-gerik mereka, untuk menjaga segala kemungkinan, di
dalam arak sudah kutaruh obat penawar segala macam racun, makanya setiap
kali makan kusuruh kauminum dua-tiga cawan untuk berjaga bilamana
diracun, apabila mereka berani main kekerasan, haha. itu berarti mereka
mencari mampus sendiri. Kau lihat sepanjang hari aku selalu minum arak, apa
kaukira aku bisa mabuk?"
Diam-diam Lamkiong Peng menghela napas, ucapnya. "Kehebatan Cianpwe
sungguh sukar dibandingi siapa pun . . . . "
Hong Man-thian tertawa bangga, lalu berkata pula, "Sebenarnya aku cuma tua
keladi dan dapat melihat segala sesuatu dengan lebih jelas, bila usiamu juga
setingkat diriku tentu akan kaurasakan segala tipu muslihat di dunia ini tidak
lebih hanya begini-begini saja. Cuma Li-losam itu tampaknya memang seorang
tokoh yang tidak boleh diremehkan, entah dia berasal dari orang macam apa?"
"Orang ini pasti mempunyai asal-usul tertentu, tapi di depan Locianpwe
masakah dia mampu berbuat sesuka hatinya?" ujar Lamkiong Peng.
"Tidak peduli bagaimana asal-usulnya, yang jelas dia suruh orang she Tio
jangan menaruh racun dalam makanan, hal ini menandakan dia cukup cerdik,"
ujar Hong Man-tliian. "Padahal betapa hebatnya racun atau obat bius, di mana
pun dia campurkan, jika tidak kuketahui hal ini kan berarti sia-sia hidupku
selama sekian puluh tahun di dunia ini."
"Apakah Cianpwe tidak ingin membongkar tipu muslihat mereka?" tanya
Lamkiong Peng. "Jika kubongkar rencana keji mereka dan membunuh mereka, lalu siapa yang
akan menjadi kuli di kapal ini?" Hong Man-thian tergelak. "Kawanan penjahat
ini memang sial bertemu dengan diriku."
Mendadak hati Lamkiong Peng tergerak, tanyanya, "Apakah mungkin Cianpwe
hendak menggunakan mereka untuk memenuhi daftar belanja yang terakhir
itu?"' "Memang begitulah," ujar Hong Man-thian dengan tertawa. "Sudah. kuduga
ada orang akan mengantarkan dirinya sendiri. maka akupun tidak perlu repot
mencari-cari orang, setiba di sana, haha . . . ." mendadak ia berhenti tertawa
dan menenggak arak lagi.
Lamkiong Peng hanya menggeleng kepala saja, dirasakan orang tua ini selain
mengagumkan, juga menakutkan. Dilihatnya alis orang tua itu berkerut rapat,
serupa menanggung urusan ynng membuatnya masgul, maka arak terus
ditenggaknya secawan demi secawan.
Mendadak ia berpaling dan berkata pula kepada Lamkiong Peng, ''Selama
hidupku hanya ada suatu penyesalan, apakah kautahu urusan apa?"
Lamkiong Peng menggeleng dan menjawab tidak tahu.
"Brak", mendadak Hong Man-thian menggabrukkan cawan arak di atas meja,
lalu berkata, "Urusan yang membuatku menyesal selama hidup ini adalah
minum arak tidak pernah mabuk, biarpun kuminum sepanjang hari pikiranku
tetapjernih, sungguh aku sangat menyesal mengapa bisa terjadi begini."
"Minum tidak pernah mabuk, itu tandanya takaran minum Locianpwe yang luar
biasa, masa dibuat menyesal malah?" ujar Lamkiong Peng.
Kembali Hong Man-thian menenggak tiga cawan pula, lalu berkata, "Manusia
minum arak sebenarnya untuk menghilangkan rasa kesal. Orang yang takaran
minumnya kurang kuat, cukup sedikit minum saja sudah melupakan semua
kesedihan, dan inilah yang dicari. Orang yang kuat takaran minumnya, sudah
banyak arak yang diminum diminum dan tetap tidak mabuk, selain makan
waktu juga makan biaya, hal ini kan tidak menguntungkan. Jika serupa diriku,
selamanya minum tanpa mabuk, jelas ini kemalangan besar dan terlebih harus
disesalkan."
Uraian orang tua ini sungguh tidak dimengerti oleh Lamkiong Peng, ia tertawa
dan berkata, "Selama hidup Locianpwe gagah perkasa, namamu termashur di
seluruh jagat, sesudah tua pun tirakat di Cu-sin-tian, tempat yang serupa
sorgaloka bagi pandangan setiap orang persilatan, semua ini sukar dibandingi
orang lain, mengapa Locianpwe justru menggunakan arak untuk menghapus
rasa kesal?" "Cu-sin-tian ..." Hong Man-thian ber-gumam dengan terkesima,
mendadak ia memberi tanda, "Aku sudah dikawani oleh arak, boleh kaupergi
tidur saja."
Sungguh Lamkiong Peng tetap tidak mengerti mengapa orang tua itu selalu
murung. Esok paginya ia naik ke atas geladak, dilihatnya Tio Cin-tong, Kim Siong dan
Li-lo-sam masih tetap bertugas seperti biasa. Dengan sendirinya ia pun
berlagak tidak tahu apa-apa, cuma diam diam ia pun gegetun bagi nasib
malang beberapa orang ini.
Selama brberapa hari terakhir ini Hong Man-thian juga tampak pendiam,
hanya cara minum araknya tambah banyak.
Melihat orang tua itu semakin lama semakin lesu. hati Lamkiong Peng juga
ikut tertekan dan lesu serupa binatang buas di dalam kurungan itu.
Maklumlah, di tengah lautan makanan dan air minum adalah benda paling
berharga, dengan sendirinya tidak ada rangsum yang cukup bagi kawanan
binatang itu, ditambah lagi ombak besar yang mengombang-ambingkan kapal,
betapapun kawanan binatang itu pun mabuk sehingga binatang yang, biasanya
buas dan garang tersiksa hingga lemas dan lesu, sama sekali kehilangan
kegarangannya, sampai ssuara meraung pun jarang terdengar.
Memandangi Hong Man-thian dan memandang pula kawanan binatang buas


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, tanpa terasa Lamkiong Peng menghela napas.
Layar mengembang, kapal terus laju di tengah lautan yang tiada kelihatan
ujung pangkalnya. Li-losam dengan wajahnya yang kaku itu duduk di pinggir
kapal dan sedang memancing ikan.
Menjelang magrib, Hong Man-thian juga membawa buli-buli arak dan
bersandar di tiang layar untuk menyaksikan orang mancing.
"Masa ikan laut juga mau dipancing?" tanya Lamkiong Peng dengan tertawa.
"Asal ada umpan, ikan dimana pun dapat dipancing," ujar Hong Man-thian.
Belum lenyap suaranya, mendadak Li-losam menarik tali pancing, benar juga
seekor ikan kakap kena dikailnya,
"Aha, bagus, ikan ini pasti sangat lezat, cuma sayang di sini tidak ada ahli
masak serupa ibumu," kata Hong Man-thian dengan gegetun.
Menyinggung ibunya, Lamkiong Peng menjadi sedih, tapi segera ia tertawa
cerah. dan berucap, "Rasanya caraku masak pun lumayan."
"Apa betul?" Hong Man-thian menegas dengan girang.
"Tentu saja betul," jawab Lamkiong Peng. Untuk membuat senang hati orang
tua ini, dia benar-benar bawa ikan hasil kaitan Li-losam itu ke dapur.
Hendaklah maklum, kepandaian memasak pun diperlukan kungfu (sesuatu
keahlian disebut kungfu, jadi arti kungfu tidak identik dengan ilmu silat) yang
khas, antara lain cara memotong, bahannya, apinya, rempah-rempahnya
semuanya memerlukan kepandaian khusus.
Bakat Lamkiong Peng memang tinggi, selain ilmu silat dan kesusastraan,
dalam hal masak memasak ia pun belajar dan cukup menguasainya.
Maka tidak seberapa lama seporsi Ang-sio-hi sudah di bawa keluar, ternyata
memang sangat hebat, baik warna, bau maupun rasanya, semuanya
memenuhi selera Hong Man-thian, sembari makan Ang-sio-hi berulang- ulang
ia menenggak arak, hanya sebentar saja seekor ikan sudah tersisa kepala dan
ekornya saja. "Kenapa kausendiri tidak makan ang-sio-hi buatan sendiri?" sesudah kenyang
makan baru Hong Man-thian ingat kepada Lamkiong Peng yang sejak tadi
hanya menyaksikan dia makan.
Dengan tersenyum Lamkiong Peng menyumpit ekor ikan, ekor ang-sio-hi
biasanya kering dan rasanya seperti keripik, dengan nikmatnya anak muda itu
mengunyah keripik ekor ikan itu. Ia pun gembira melihat Hong Man-thian
makan Ang-sio-hi dengan bernafsu.
Waktu menoleh, Hong Man-thian melihat si makhluk aneh "Jitko" berdiri di
samping dan biji lehernya naik turun, tampaknya hampir mengiler, dengan
tertawa ia berseru, "Apakah kaupun ingin makan" Ambil saja kepalanya!"
'Tanpa disuruh lagi segera Jitko comot kepala ikan terus dijejalkan ke dalam
mulut dan dikunyah kulit bersama tulangnya, caranya makan sungguh rakus
serupa binatang buas saja.
"Haha., ibunya ahli masak, anaknya juga lumayan . . . . " selagi Hong Manthian
ber-seru memuji, mendadak suaranya berubah serak dan mata melotot,
ia meraung, "Wah, celakal"
Langsung sebelah tangannya terus mencangkeram ke arah Lamkiong Peng.
Karena bingung, Lamkiong Peng diam saja, tapi gerakan Hong Man-thian itu
ternyata bukan menyerang melainkan merampas sisa tulang ikan yang masih
belum habis dimakan anak muda itu.
"Bangsat, aku jadi terjebak juga olehmu!" bentak Hong Man-thian dengan
beringas, langsung ia sambitkan tulang ikan yang dirampasnya itu ke arah Lilosam
yang memegang pancing dan berdiri di pinggir kapal sana.
Namun cepat Li-losam sempat menegas. Hong Man-thian lantas berteriak,
"Makanan beracun! Lekas binasakan kawanan bangsat ini!"
Serentak ia melompat bangun dan tongkat berputar
Tanpa ayal si makhluk aneh Jitko segera bertindak, ia meraung serupa
binatang buat terus menerkam salah seorang anggota Hai-pa-pang itu seakanakan
pecah nyalinya dan tidak tahu menghindar, segera ia terpegang,
kesepuluh jarinya Jitko mencengkram masuk ulu hatinya, baru saja ia menjerit
sudah lantas binasa.
Waktu Jitko menarik tangannya, isi perut orang itu kena dirogoh keluar
seluruhnya, bahwa isi perut korbannya terus dilalapnya serupa binatang buas
benar-benar. Kelihatan sinar matanya yang jelilatan, mukanya penuh
berlepotan darah, sembari tertawa aneh ia menerkam lagi korban yang lain.
Keruan orang itu ketakutan setengah mati, segera ia hendak kabur, tak
terduga belum lagi lenyap suara tertawanya, mendadak kedua mata jitko
mendelik terus jatuh terjengkang, darah tampak mengucur dari mulutnya.
Sekali hantam Lamkiong Peng juga membinasakan seorang lelaki lalu,
bergebrak dengan Kim Siong, tapi baru satu-dua gebrakan tiba-tiba kepala
terasa pening dan hampir tidak tahan. Diam-diam ia mengeluh bisa celaka.
Betapapun ia tidak ingin jatuh di tangan kawanan bandit ini, segera ia
bergerak hendak terjun ke laut.
Siapa tahu mendadak Tio Cin-tong sempat menarik ikat pinggangnya, katanya
sambil menyeringai, "Huh, masa kauingin mati dengan enak!"
Di sebelah sana secepat terbang Hong Man-thian lantas menubruk Li-losam,
melihat betapa lihai orang tua itu, mau-tak-mau Li-losam merasa takut. Ia
tidak berani melawan tapi melompat mundur sambil menjengek, "Hm, tua
bangka, masakah engkau tidak segera roboh"!'
Namun gerakan Hong Man-thian terlampau cepat baginya, sekali raih baju Lilosam
sempat dipegangnya.
Saking kagetnya Li-losam meronta sekuat nya, "bret", baju robek, pecah nyali
Li losam, tanpa pikir ia terjun ke dalam laut untuk menyelamatkan diri.
Serentak Hong Man-thian membalik tubuh, tongkatnya menyambar seorang
lelaki. Perawakan ornng ini sangat kekar, mukanya juga buas, ia bermaksud
menangkis, tapi tahu-tahu dia kena dicengkeram Hong Man-thian dan diangkat
terus dilemparkan hingga terbanting di geladak. Ia hanya sempat meraung,
segera kepala pecah dan otak berhamburan. Tanpa berhenti Hong Man-thian
menubruk pula ke arah Kim Siong. Ia menyadari keracunan, maka niatnya
membinasakan segenap penjahat di atas kapal. Tak terduga racun yang masuk
tubuhnya teramat banyak, obat bius ini pun lain dari-yang lain, biarpun dia
memiliki lwekang tinggi tetap tidak tahan. Terasa mata berkunang-kunang,
bayangan Tio Cin-tong mulai berubah dua dan dari dua menjadi empat dan
lebih banyak lagi, semuanya melayang kian kemari di sekitarnya.
Ia tahu tidak sanggup tahan lagi, sungguh celaka, seorang gagah perkasa
harus jatuh di tangan orang pengecut tak dikenal. Mendadak ia meraung
sambil melemparkan tongkatnya, lalu roboh terkapar. Serangan terakhir ini
menggunakan segenap sisa tenaganya, tentu saja dahsyat sekali.
Ketika tongkat itu menyambar tiba, Kim Siong seperti tidak tahu cara
bagaimana harus menghindar. Rupanya nyalinya pecah saking takutnya
sehingga dia melongo seperti patung, keruan .dadanya ditembus oleh tongkat
baja dan terpantek di lantai kapal.
Semua ini terjadi dalam sekejap, kelasi kapal yang beruntung tidak mati
menjadi ke takutan juga, semuanya gemetar.
Yang tersisa tanpa cedera hanya si juru masak kudisan saja yang sibuk
bekerja di dapur, ketika mendengar ramai-ramai di geladak dan jeritan ngeri,
buru-buru ia naik ke atas untuk melihat apa yang terjadi.
Dalam pada itu Lamkiong Peng, Hong Man-thian dan si makhluk aneh Jitko
sudah roboh terkapar, hanya burung beo saja yang masih terbang kian
kemari, dan hinggap di sana-sini sambil menjerit, "Lucu . . . haha, lucu . . . . "
Dengan basah kuyup Li-losam merangkak ke atas kapal lagi, setelah
memandang sekeliling, ia berucap, 'Mendingan, cuma mati empat. Lemparkan
mereka ke laut, cuci bersih papan geladak, esok akan kubereskan mereka bertiga."
Meski mengalami kejadian ini, dia -tetap tenang saja, ia tutuk beberapa kali
pada tubuh Lamkiong Peng,. Hong Man-thian dan si makhluk aneh Jitko, ini
pun tidak mengurangi rasa kuatirnya, ditambahi lagi ikatan tali yang ketat
pada tubuh ketiga tawanannya, habis ini barulah ia tinggal pergi.
Tio Cin-tong dan Iain-lain tentu saja sangat kagum atas hasil tipu Li losam itu,
mereka lantas membersihkan lantai geladak.
Kiranya tadi Li-losam menggunakan obat bius yang paling keras pada umpan
pancing, ikan yang dapat dikailnya itu makan umpan yang penuh racun,
karena tidak menduga akan hal ini, apalagi Hong Man-thian melihat sendiri
ikan itu baru saja ditangkap dari dalam laut, ang-sio hi juga diolah sendiri oleh
Lamkiong Peng, maka tanpa sangsi ia makan ikan saus manis itu.
Tak tersangka bahwa ikan yaug dianggapnya pasti bersih itu justru telah
ditaruhi obat bius yang tidak dapat dipunahkan oleh sembarangan ohat
penawar, ketika Hong Man-thian menyadari apa yang terjadi dan bermaksud
menolak keluar racun yang masuk tubuh, namun sudah kasip, akhirnya tokoh
yang tidak ada bandingannya toh kena diringkus orang tanpa berdaya.
Setelah lewat sekian lama, ketika hari sudah pagi, Li-losam sudah kenyang
tidur dan keluar dari kamarnya, lalu ia menyuruh orang menyiram Hong Manthian
bertiga dengan air dingin, akhirnya barulah mereka siuman.
Segera Lamkiong Peng merasakan cahaya matahari yang menyilaukan mata,
namun tubuh sama sekali tidak dapat berkutik.
Terdengar Li-losam mendengus, "Hm, ha-nya dengan sedikit perangkap saja
kalian lan-tas terjebak, rupanya hanya begini saja kelihaian kalian"
Waktu Lamkiong Peng memandang ke sana, terlihat Hong Man-thian dan si
makhluk aneh Jitko juga teringkus seperti dirinya dan tidak dapat bergerak.
Tertampak Li-losam memegang cambuk panjang, ujung cambuk menuding
hidung Hong Man-thian dan lagi menegur, 'Eh, Hong Man-thian, apa pula yang
akan kaukatakan, konon kungfumu maha lihai, kenapa sekarang kaupun mati
kutu dan jatuh dalam cengkeramanku?"
Meski sudah siuman, namun sejauh ini Hong Man-thian tidak membuka mata,
kini medadak ia mendengus, "Hm, aku memang sudah bosan hidup, mau
bunuh atau mau sembelih boleh terserah kepadamu?"
"Sudah berpuluh tahun kutunggu kesempatan seperti ini, baru gekarang kau
jatuh dalam tanganku, bila kubiarkan kaumati dengan enak rasanya aku kan
berdosa terhadap diriku sendiri," suaranya sebenarnya serak, tapi dua kalimat
terakhir itu mendadak berubah tajam nyaring,
Seketika Hong Man-thian terbelalak, muka berubah pucat dan berseru, "Hah,
kira-nya . ."
"Haha, bagus, akhirnya dapat kaukenali diriku, cuma sudah terlambat!" seru
Li-losam sambil tergelak. Berbareng cambuknya menggeletar di udara.
Mendadak Lamkiong Peng mendengar suara raungan harimau, kiranya di
belakangnya adalah kurungan harimau. Tapi karena bunyi cambuk Li-losam,
harimau itu lantas mendekam dan tidak berani bertingkah lagi.
Setelah mendengar suara Li-losam yang melengking nyaring dan
kepandaiannya menjinakkan harimau, hati Lamkiong Peng tergerak, tiba-tiba
teringat olehnya akan seorang, seru-nya, "Hah, Tek-ih Hujin!"
Li-losam terbahak-bahak, "Haha, bagus, kaupun mengenali diriku!"
Sembari bicara terus berpaling kesana, waktu ia menoleh kembali ke sini,
tahu-tahu mukanya yang dingin kaku serupa orang mati itu mendadak
berubah menjadi wajah yang cantik molek, wajah Tek-ih Hujin yang
mempesona itu. Diam-diam Lamkiong Peng gegetun, "Pantas dia dapat menaruh racun pada
ikan segar dan pandai menundukkan harimau, kiranya dia samaran Tek-ih
Hujin. Sekarang kujatuh di tangan orang ini, entah bagaimana nasibku nanti."
Tek-ih Hujin lantas-mendekati Hong Man-thian, pelahan ia meraba mukanya
dan berkata dengan tertawa, "Hong-lotaucu, sudah lama aku merindukan
dirimu, cara bagaimana akan kuperlakukan dirimu sekarang, apakah dapat
kauterka?"
Mendadak ia mengeluarkan sebuah botol kecil, sambungnya, "Apa kautahu apa
isi botol ini?"
Hong Man-thian memejamkan mata dan tidak menggubrisnya.
Tek-ih Hujin mengerling genit, ucapnya dengan terkekeh, "Hihi, biar
kuberitahukan, isi botol ini adalah obat perangsang lelaki yang paling kuat,
barangsiapa asalkan menciumnya sedikit, seketika nafsu berahi akan
berkobar. Apakah kaumau menciumnya sedikit saja"!"
Waktu menyamar tadi mukanya kelihatan kaku dingin, tapi sekarang setiap
kali bicara wajahnya kelihatan sangat mempersona dan menggiurkan, gayanya
itu membuat Tio Cin-tong dan Iain-lain sama terkesima.
Namun Hong Man-thian tetap diam saja. Tek-ih Hujin lantas menyodorkan
botol kecil itu dan berkata, "Eh, coba endus sedikit, sesudah mencium bubuk
ini, meski sekujur badan tidak dapat berkutik, rasanya tentu luar biasa,
kujamin engkau pasti tidak pernah mengalami perasaan demikian . . . . "
Lamkiong Peng belum berpengalaman, ia tidak tahu apa yang bakal terjadi, ia
coba memandang ke sana,
Dilihatnya botol keeil yang dipegang Tek-ih Hujin semakin mendekati hidung
Hong Man-thian, dengan mata terpejam Hong Man-thian tetap tidak
menghiraukannya, namun apa daya, sama sekali ia tidak dapat bergerak.
Pada saat itulah mendadak seorang menjerit, harimau juga meraung kaget
karena jeritan itu, serentak Tek-ih Hujin berpaling sehingga botol yang
dipegangnya sedikit miring dan isinya tertuang setitik dan kabur terbawa
angin. Kiranya si juru masak kudisan itulah yang menjerit, waktu Tek-ih Hujin
berpaling, dengan tergegap ia berkata, "Ken . . . kenapa engkau berubah
menjadi orang perempuan" Ap .... apakah engkau dewa yang dapat berubah
wu-jud?" Tek-ih Hujin tersenyum senang, "Kaulihat aku cakap tidak?"
"Ya, cakap . . . cakap sekali!" jawab si kudisan dengan menyengir.
"Mendingan kaupun dapat membedakan orang cakap dan tidak," ujar Tek-ih
Hujin dengan senang. "Baiklah, lekas pergi membuatkan beberapa macam
makanan enak, sebentar boleh kaupandang diriku lebih lama." Si kudisan
tertawa dan berlari pergi. Tek-ih Hujin membetulkan rambutnya, katanya pula
dengan tertawa, "Hong-lotaucu, coba kaulihat, seorang linglung saja
mengetahui aku .... "
Belum lanjut ucapannya, sekilas diketahuinya seorang kelasi kekar di
sebelahnya sedang menatapnya dengan sorot mata merah beringas serupa
binatang buas lagi mengincar mangsanya
Ia terkejut dan menegur, "Kaumau apa?" Tubuh lelaki itu tampak gemetar,
muka merah beringas, mendadak ia pentang kedua tangan terus menubruk
maju, karena tidak tersangka sangka, tubuh Tek-ih Hujin terpeluk dengan
erat, dengan kalap lelaki itu berteriak, "Kuharap . . . kuminta engkau . . . aku
tidak tahan " . . . "
Kiranya karena isi botol tadi sedikit tertuang dan terbawa angin, lalu terisap
oleh kelasi itu, obat itu adalah obat perangsarg yang sangat keras, seketika
mengobarkan nafsu birahinya sehingga membuatnya beringas dan lupa
daratan. Sama sekali tak terpikir oleh Tek-ih Hu-jin bahwa kelasi itu berani
merangkulnya, seketika ia terpeluk dengan erat, dirasakan badan orang panas
seperti dibakar, bagian tertentu juga membuat hatinya terguncang. Pada
dasarnya perangai Tek-ih Hujin memang cabul, dia tidak marah, sebaliknya
malah tertawa sambil mengomel, "Orang mampus . . . . "
"Bluk", akhirnya dia roboh tertindih lelaki kalap itu.
Mendadak Tio Cin-tong menubruk maju, sekali menikam dengan belatinya,
kontan punggung kelasi itu tertembus, bentaknya, "Berani kurangajar
terhadap Hujin"!"
Lelaki itu meraung keras, tubuh membalik dan binasa.
Muka Tek-ih Hujin tampak merah, cepat ia melompat bangun, omelnya, "Siapa
suruh kaubunuh dia?"
Tio Cin-tong melenggong, tapi Tek-ih Hujin lantas berkata pula, "Ah, kutahu,
tentunya engkau cemburu!"
Mendadak sebelah tangannya menampar tehingga Tio Cin-tong jatuh terguling.
Dengan muka kereng Tek-ih Hujin menyapu pandang sekejap para kelasi,
bentaknya dengan bengis, 'Nah, inilah contohnya! Asalkan kalian bekerja
dergan baik dan menurut perintah, tentu akan kuberi imbalan yang setimpal.
Cuma, siapa pun tidak boleh cemburu, tahu?"
Lalu ia mendekati Tio Cin-tong dan menjulurkan tangan.
Muka Tio Cin-tong tampak pucat dan melongo bingung.
Tak terduga Tek-ih Hujin hanya meraba perlahan pada mukanya yang
digampar tadi. mendadak ia berkata dengan tertawa, "Lemparkan keparat itu
ke laut, pergilah pegang kemudi, kerjalah baik-baik, tahu?"
Seperti mendapat pengampunan, cepat Tio Cin-tong mengiakan dan berlari
pergi. Semua kejadian i!u dapat di saksikan oleh Lamkiong Peng, ia hanya geleng
kepala, ia merasa bila orang jatuh dalam cengkeraman perempuan seperti ini,
sungguh lebih baik mati daripada hidup.
Dilihatnya si juru masak kudisan telah muncul kembali dengan membawa
enam macam hidangan, bau sedapnya sungguh menusuk hidung.
"Biarlah di sini juga kita makan siang, sembari maksud ingin kulihat permainan
si tua bangka she Hong itu," kata Tek-ih Hujin.
Dengan cepat para kelasi lantas mengatur meja kursi, Tek-ih Hujin menuang


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secawan arak dan dibawa ke depan Hong Man-thian katanya, "Sedap tidak
baunya" Lalu ia mendekati Lamkiong Peng dan si makhluk aneh serta mengiming iming
arak itu di depan hidung mereka.
Makhluk aneh Jitko menyeringai, mata pun melotot,
Tek-ih Hujin memperlihatkan botol kecil tadi, katanya pula dengan tertawa,
"Jangan kuatir, saat ini pendirianku sudah berubah, biar kalian merasakan dulu
siksaan orang kelaparan dan kehausan, habis itu baru merasakan betapa
celakanya orang yang dirangsang nafsu berahi."
Mendadak ia memberi tanda kepada Tio Cin-tong, katanva, "Ikat dulu
kemudinya, marilah kita minum bersama untuk merayakan kemenangan ini!"
Kecuali Lamkiong Peng bertiga, yang berada di atas kapal kini tersisa tujuh
orang saja, jadi tepat untuk memenuhi satu meja.
Kawanan anggota Hai-pa-pang meski biasanya sangat garang, tapi
menghadapi Tek-ih Hujin, mereka benar-benar mati kutu dan juga kebat-kebit.
Yang paling senang jelas adalah Tek-ih Hujin sendiri, bahwa musuh utama
selama hidupnya kini dapat ditawan, sungguh hal ini harus dirayakan. Ia
angkat cawan arak dan berseru, "Wahai Hong Man-thian, betapa gagahnya
engkau dahulu ketika membakar Ban-siu-san-ceng kami dan aku terusir
hingga tiada tempat berteduh. Dua bulan yang lalu, di Lamkiong-san-ceng
hampir juga jiwaku melayang di tanganmu, tapi sekarang di mana
kegagahanmu?"
Sernbari berolok-olok tidak lupa pula menenggak arah, dia memang ayu,
setelah minum arak wajahnya semakin menggiurkan.
Kawanan berandal Hai-pa-pang semua masih takut-takut, sesudah minum
secawan arak, mereka bertambah tabah dan segera makan minum tanpa
pantang lagi. Si juru masak kudisan sibuk naik turun membawakan hidangan dan tambah
arak, namun lirikan matanya tidak pernah melepaskan gerak-gerik Tek-ih
Hujin. Tiba-tiba Tek-ih Hujin berbangkit dan mendekati Lamkiong Peng, sambil
mengamati anak muda itu ia bertanya, "Adik cilik, berapa usiamu tahun ini?"
Lamkiong Peng diam saja.
Tek-ih Hujin tertawa, katanya pula. "Ai, kenapa malu-malu bicara dengan Taci,
bila..." Belum lanjut ucapannya, mendadak terdengar suara gemerincing. mangkuk
piring sama tumpah, ketujuh lelaki itu sama roboh terjungkal, semuanya
mabuk serupa orang mampus.
"Huh, manusia tak berguna, baru dua-tiga cawan sudah menggeletak," omel
Tek-ih Hujin. Tak terduga mendadak ia pun mengeluh, "Celaka!"
Cepat ia melompat ke samping si juru masak, segera ia cengkeram
pergelangan tangannya.
"Ada . . . ada apa?" tanya si kudisan dengan melongo.
"Budak kurang ajar!" bentak Tek-ih Hujin. "Kauberani menaruh racun dalam
arak, lekas serahkan obat penawarnya, kalau tidak . . . ."
"Hehehehe!" tiba-tiba si kudisan terkekeh. "Akhirnya kautahu juga" Cuma,
semuanya sudah terlambat."
Dia menirukan ucapan Tek-ih Hujin tadi, tentu saja air muka Tek-ih Hujin alias
si nyonya senang menjadi pucat seketika.
Semangat Lamkiong Peng dan Hong Man-thian sama terbangkit juga melihat
kejadian itu. Terdengar si kudisan lagi tertawa, katanya, "Obat ini kuterima dari kalian,
sekarang kugunakan untuk kalian, ini kan adil dan pantas?"
Di tengah tertawa juru masak itu, Tek-ih Hujin segera roboh terkulai.
"Hehe, nyonya senang ternyata tidak lama senangnya," si kudisan berolokolok
pula, kelakuannya tetap angin-anginan,
Diam-diam Lamkiong Peng merasa gegetun, sungguh sukar dinilai dari
lahiriahnya, tak terduga orang yang bermuka jelek dan kelihatan bodoh ini
ternyata juga memiliki kecerdasan. Kecuali dia rasanya juga jarang ada orang
yang sanggup mengelabui mata Tek-ih Hujin.
Dengan langkahnya yang lamban si juru masak kudisan lantas mendekati
Lamkiong Peng bertiga dan membuka tali pengikatnya. Tapi karena hiat-to
mereka masih tertutuk sehingga belum dapat bargerak.
"Budi besar tidak berani balas dengan ucapan terima kasih, untuk selanjutnya
masih diharapkan bantuan Anda untuk membuka hiat-to kami," ucap Hong
Man-thian dengan sungkan.
"Hiat-to apa maksudmu?" si kudisan bertanya dengan ketolol-tololan.
"Ai, jika. Anda sengaja menyembanyikan kepandaian, terpaksa aku pun tak
dapat memaksa," ujar Man-thian dengan gegetun.
"Mana . . . mana hamba tahu hiat-to apa segala, tapi kalau Loyacu mau
memberi petunjuk, mungkin . , . mungkin bisa kucoba," kata si kudisan.
Hong Man-thian pikir jika orang memang sengaja berlagak bodoh, apa
salahnya kukatakan cara membuka hiat-to yang harus dilakukannya. Maka
dengan pelahan ia lantas menguraikan bagian mana yang harus dipijat dan
ditutuk, juru masak yang kotor itu menuruti petuinjuk itu dan meraba-raba
tubuh Lamkiong Peng, walaupun begitu diperlukan sekian lamanya baru anak
muda itu dapat dibebaskan dari kelumpuhannya.
Hidung Lamkiong Peng tereium bau busuk kudis di tubuh orang, rasanya ingin
tumpah. Untung segera ia merasa dirinya audah dapat bergerak, tanpa tunggu
lagi ia melompat bangun sehingga si kudisan tertumbuk sempoyongan.
Cepat Lamkiong Peng membuka hiat-to Hong Man-thian yang tertutuk, begitu
melompat bangun Man-thian lantas menjura kepada si kudisan.
"Ah. Loyacu jangan banyak adat," ujar si juru masak dengan gugup.
"Yang kuhormati bukan karena jiwaku kau selamatkan, tapi karena engkau
telah membebaskan diriku dari hinaan dan aniaya musuh,"ujar Hong Manthian.
Tiba-tiba terlihat si Jitko sedang menyeret salah seorang kelasi tadi ke tepi
kapal. "He, akan kau apakan dia?" tegur Lam-kiong Peng.
"Buang saja ke laut untuk umpan ikan." jawab Jitko.
"Nanti dulu,' kata Lamkiong Peng. "Apa pun juga kita tidak sampai
diperlakukan melampaui batas, biarlah jiwa mereka boleh di ampuni saja,
Taruh saja mereka di dalam sekoci dan hanyutkan sekoci itu, terserah kepada
nasib mereka akan selamat atau ditelan laut, bukan lagi urusan kita,"
Hati Lamkiong Peng memang luhur, betapapun ia tidak sampai hati
melemparkan orang-orang yang belum mati itu ke laut.
Hong Man-thian menggeleng kepala atas jalan pikiran anak muda itu. Si juru
masak kudisan juga tidak membantah, segera mereka menurunkan sekoci dan
memindahkan tujuh lelaki dan seorang perempuan itu ke dalam perahu kecil
itu dan dihanyutkan di tengah laut.
Ketika mereka bertiga tertawan, Tek-ih Hujin telah memerintahkan kapal
berlayar kembali ke arah semula, sekarang kapal juga tetap laju menuju
pulang. Lamkiong Peng pikir juru masak kotor ini sungguh banyak terdapat keanehan,
ia coba tanya, "Bila tidak keberatan, apakah boleh kami tanya siapa nama
Anda yang sebenar-nya?"
"Ah, nama orang rendah semacam hamba mana ada harganya untuk disebut,"
jawab si kudisan tetap dengan tertawa seperti orang bo-doh. Cuma nama
Lamkiong-kongcu justru sudah pernah hamba dengar dari seorang kawanmu."
"Hah, apa betul, siapa dia?" tanya Lamkiong Peng.
Juru masak itu memandang jauh ke sana, katanya kemudian, "Orang itu
bukan saja kawan Kongcu, bahkan boleh dikatakan orang terdekat Kongcu."
"Eh, jangan-jangan engkau kenal Liong-toakoku?" Lamkiong Peng menegas
dengan girang. "Bukan," kata si juru masak.
' Lantas siapa" Apakah Ciok-siko, atau Su-ma-lopiauthau atau Loh-sacek . . . .
" begitu-lah sekaligus la menyebut beberapa nama orang yang ada hubungan
rapat dengan dirinya, malahan nama Kwe Giok-he, Ong So-so dan Yap Manjing
juga disebutnya.
Namun si juru masak tetap menggeleng dan menjawab bukan.
Lamkiong Peng menjadi bingung sendiri. la pikir orang yang rapat dengan
dirinya selain yang sudah disebutkan tinggal Bwe Kim-soat yang juga boleh
dikatakan orang yang ada hubungan rapat denganku. Tapi dia berwatak
dingin, juga suka pada kebersihan. misalnya sslama sepuluh tahun ia tersekap
di dalam peti mati, jika orang lain tentu sudah mati konyol, tapi dia dapat
keluar dengan hidup dan pakaiannya masih tetap putih bersih. Mustahil dia
tidak jijik melihat orang dekil dan ber-bau busuk semacam ini, apalagi mau
bicara dengan dia"
Karena itulah akhirnya ia menggeleng dan mengaku, "Wah, rasanya aku tidak
ingat lagi ada orang lain yang ada hubungan dekat denganku."
juru masak ia memandang jauh tanpa bicara. sekian lama barulah itu berkata
pula dengan pelahan, "Masa selain orang-orang itu Kongcu tidak mempunyai
sahabat lain lagi?"
"Rasanya tidak . . . tidak ada lagi," jawab Lamkiong Peng.
Juru masak itu termenung sejenak pula, mendadak ia tertawa, katanya, "Ah,
tahulah aku, tentu orang itu sengaja mengaku sebagai sahabat baik Kongcu."
Lalu ia melangkah ke pinggir kapal dan mengelamun sendiri.
Hong Man-thian yang sedang pegang ke-mudi itu memandang Lamkiong Peng
sekejap selagi dia hendak bicara, mendadak si juru masak berteriak, "Wah,
eelaka!" "Ada apa?" tanya Man-thian cepat.
Jura masak kudisan itu menuding badan kapal, waktu Hong Man-thian
melongok ke bawah, seketika air mukanya juga berubah hebat. Kiranya badan
kapal yang terapung di permukaan air kini tinggal tiga-empat ka-ki saja.
"Hah, jadi kapal ini lagi tenggelam dengan pelahan"!" teriak Lamkiong Peng
kuatir. Hong Man-thian tidak menjawab, sekali lompat, tubuhnya yang gede itu
melayang ke bawah kabin, Meski tongkatnya sudah terlempar ke laut, namun
gerak-geriknya tetap cepat dan gesit.
Segera Lamkiong Peng menyusul ke sana, setiba di bawah dek, keduanya
saling pandang dengan muka pucat. Ternyata di antara celah-celah kabin
sudah mulai merembes air laut, makin lama makin keras, sebagian barang
sudah terapung di permukaan air. Malahan rembesan air segera berubah
deras, sebentar saja sudah sebatas paha Lamkiong Peng.
"Lekas naik ke atas!" seru Man-thian.
Keduanya lantas melompat lagi ke atas geladak, Jitko yang lagi pasang mata
di puncak layar juga merambat turun.
"Bagaimana?" tanya si juru masak dengan kuatir.
"Kapal bocor, air laut sudah merembes. masuk dan hampir menggenangi dek
bawah, tidak sampai setengah jam lagi kapal ini akan tenggelam," tutur Hong
Man-thian. Juru masak itu tampak bingung, mendadak ia mengentak kaki dan berkata.
"Pantas sebelum Tek-ih Hujin memperlihatkah jejaknya, setiap hari dia pasti
mendatangi dek, agaknya diam-diam dia sudah membuat lubang di dasar
kapal dan setiap hari harus disumbat. Bilamana akal kejinya berhasil, lubang
itu tetap dibikin rapat, jika gagal usahanya, lubang itu akan membesar dan
semuanya akan terkubur didalam laut. Saat Ini tentu penyumbat lubang itu
sudah jebol dan air laut merembes masuk dengan deras di luar tahu kita."
"Sungguh keji amat perempuan itu," gerutu Lamkiong Peng dengan gemas.
Lantas apa daya kita?"
"Kecuali meninggalkan kapal, masa ada jalan lain?" jengek Man-thian.
"Ai, jika aku tidak memberikan sekoji itu, tentu . ..." si juru masak juga
menyesal. "Jiwa kami diselamatkan olehmu, buat apa engkau menyecal?" kata Man-thian.
"Mati-hidup manusia sudah tercatat lakdir, apa arti-nya mati bagi kita. Cuma
akhirnya aku tetap mati di tangan Tek-ih Hujin, sampai di akhirat dia tetap
merasa senang, sungguh aku tidak rela."
"Biar kuperiksa lagi, mungkin bisa . . . . " kata Lamkiong Peng.
'Bisa apa?" ujar Man-thian, "Perbekalan dan air minum sudah terendam air
laut, biar-pun kita terapung dan tidak karam juga akan mati kelaparan dan
kehausan."
Lamkiong Peng melenggong dan urung melangkah pergi.
"Hong-locianpwe sungguh seorang yang tidak gentar mati," ujar si juru masak.
"Aku memang sudah bosan hidup, apa artinya mati bagiku, cuma sayang,
kalian yang masih muda ini harut ikut menjadi korban,"' ucap Man-thian
dengan menyesal. "Jitko, coba kaucari beberapa guci aruk lagi, sebelum mati
marilah kita minum sepuasnya."
Makhluk hidup ltu tampaknya juga tidak menghiraukan hidup atau mati, ia
pergi ke bawah dan mendapatkan dua guci arak, kata-nya, "Tinggal ini saja.
yang lain sudah pecah tertumbuk."
Segera Hong Man-thian membuka guci arak dan menenggak arak, kapal
tenggelam dengan cepat, kawanan binatang buas itu agak-nya juga
merasakan gelagat tidak enak, semula mereka lesu, sekarang lantas meraungraung
di dalam kurungan.
Lamkiong Peng ikut minum arak dan mendadak menghela napas.
"Kenapa engkau menghela napas?" tanya Man-thian. "Toh setiba di Cu-sin-to,
hidupmu juga tidak lebih baik daripada mati, Jika dapat mati sekarang kan
lebih menyenangkan malah''
Seketika Lamkiong Peng tidak dapat me-rasakan makna yang terkandung
dalam ucapan orang tua itu, katanya, "Jelek-jelek Wanpwe bukanlah manusia
yang tamak hidup dan takut mati, soalnya Wanpwe mendadak teringat kepada
seorang, maka merasa menyesal. Bilamana orang itu ikut di atas kapal ini,
tentu akal keji Tek-ih Hajin takkan terlaksana."
"Siapa yang kaumaksudkan?" tanya si juru masak kudisan dengan mata
terbeliak. Pelahan Lamkiong Peng menjawab, "Bw; ...." "Bwe Kim-soat maksudmu?"
tukas si kudisan mendadak dengan badan tergetar.
"Kaukenal dia"' tanya Lamkiong Peng dengan heran
Juru masak itu tidak menjawab, ucapnya dengan gemetar, "Dalam keadaan
dan di tempat seperti ini, mengapa engkau teringat kepadanya?"
Kembali Lamkiong Peng menghela napas gumamnya, "Teringat padanya, masa
aku teringat padanya?"
Sekilas pandang dilihatnya tubuh si kudisan gemetar dan berlinang air mata,
tentu saja Lamkiong Peng heran, tanyanya, "Kenapa kau . .. . "
"Dapat mendengar ucapanmu ini, mati pun aku . . . . "
Belum lanjut ucapan si juru masak, mendadak makhluk aneh Jitko berteriak,
"Aha, itu dia, ada daratan . . . daratan .... "
Seketika si juru masak urung bicara lebih lanjut dan tanya Jitko, "Mana ada
daratan?"'
"Ya, memang ada daratan," Man-thian ikut bicara. "Meski manusia adalah
makhluk yang paling pintar, tapi daya cium tak dapat menandingi binatang.
Coba kaulihat, kawanan binatang buas itu kelihatan lain, tentu dari angin laut
dapat mereka mencium bau daratan."
Sementara itu Jitko telah merambat lagi ke puncak tiang layar, sesudah
memandang jauh sejenak, la!u merosot turun lagi, diambilnya sebuah ember
dan turun ke dek, sementara itu badan kapal tinggal satu kaki saja di
permukaan air. Pada saat bahaya rnendadak menemukan titik terang seharusnya mereka
bersyukur dan gembira, tapi Hong Man-thian dan si juru masak kudisan tidak
kelihatan senang sedikit pun.
Lamkiong Peng menjadi sangsi, ia coba tanya, "Tadi kaubilang setelah
mendengar ucapanku, lalu bagaimana"'
Juru masak itu termangu-mangu, sejenak kemudian baru menjawab,
''Kubilang mati pun engkau menggelikan dan kasihan"
Ia berdiri dan melangkah ke pinggir kapal, katanya pula, "Dari nama kawanmu
yang kausebut tadi jelas semuanya pendekar ternama di dunia persilatan,
bahkan Yap Man-jing, Ong So-so dan Iain-lain juga anak perempuan yang
cantik dan lamah lembut, hanya Bwe Kim-soat saja, hm, dia berhati kejam,
namanya busuk, usianya juga jauh lebih tua, tapi engkau justru teringat
padanya, bukankah menggelikan dan harus dikasihani."
Air muka Lamkiong Peng berubah hebat, mendadak ia menenggak arak dua
cawan, pelahan ia mendekati si kudisan dan berkata, "Apa pun yang
kaukatakan, namun kutahu dia adalah perempuan yang paling lembut, paling
berbudi. Demi untuk menolong orang lain dan membela orang lain, dia rela
menderita sendiri, terhina dan tersiksa, dan mengorbankan nama baik sendiri.
Meski usianya lebih tua daripadaku, namun aku rela mendampingi dia
selamanya."
Tubuh si kudisan tampak tergetar, tapi tidak berpaling.
Dengan kasih mesra Lamkiong Peng memandangi kepala orang yang penuh
borok itu, ucapnya pelahan, "Dia sebenarnya seorang yang suka kepada
kebersihan, tapi demi diriku dia rela membikin kotor sendiri. Dia seorang yang


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi hati, lantaran diriku dia tidak sayang merendahkan diri. Dia begitu baik
padaku, namun selagi aku masih hidup dia tidak mau bicara terus terang
padaku melainkan rela menderita sendirian. Sekarang aku menghadapi jalan
buntu, apakah dia masih tetap . . .. "
Belum habis ucapannya berderailah air matanya.
Dahi si kudisan juga kelihatan berkerut-kerut, air mata pun meleleh
membasahi mukanya yang dekil itu.
Mendadak Lamkiong Peng meratap, "O, Kim-soat, mengapa engkau sampai
hati mengelabuiku sejauh ini, memangnya engkau belum cukup berkorban
bagiku ..."
'"O, adik Peng .... " tiba-tiba si kudisan membalik tubuh dan mendekap anak
muda itu. Dengan erat Lamkiong Peng merangkulnya, kini tak dihiraukan !agi mukanya
yang kotor dan baunya yang busuk, sebab ia tahu semua itu tidak lain hanya
bualan belaka, samaran Bwe Kim-soat yang cantik dan harum itu.
"Selamanya aku takkan berpisah lagi denganmu, apa pun yang terjadi dan
betapapun komentar orang atas diriku, aku akan berkumpu! denganmu," ratap
si kudisan alias Bwe Kim-soat.
"O, mengapa tidak sejak mula kaukatakan padaku, mengapa engkau lebih
suka menderita sendiri?" keluh Lamkiong Peng.
"Engkau tidak tahu, berapa kali ingin kubongkar penyamaranku ini dan
memberitahukan siapa diriku, tapi aku .... "
Begitulah kedua orang saling mengutarakan rasa rindu dan sedih masingmasing
tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya.
Hong Man-thian sendiri duduk termenung tanpa menghiraukannya, betapa
keras hatinya juga terharu oleh cinta murni kedua orang itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara "blang" yang keras disertai guncangan
badan kapal, kiranya telah kandas, kelihatan jaraknya dengan pantai yang
berpasir kuning itu cuma beberapa puluh tombak saja dan genangan air laut
belum lagi mencapai geladak.
Kegirangan pertemuan kembali setelah berpisah sekian lama, kegembiraan
karena hilangnya salah paham, ditambah lagi kegirangan lolos dari maut,
sungguh sukar dilukiskan perasaan Lamkiong Peng dan Bwe Kim soat pada
saat itu. Mereka lantas berenang dan mendarat di pulau karang yang tak diketahui
namanya serta tak berpenghuni itu.
Melihat kemesraan kedua orang itu, hati Hong Man thian juga ikut senang dan
juga terharu. Dengan sendirinya Bwe Kim soat sudah membersihkan semua obat rias yang
membuat wajah dan tubuhnya kelihatan kotor dan berbau itu, kembalilah
wajah aslinya yang cantik, cuma sekarang kelihatan agak kurus dan pucat,
namun semakin menambah kemolekannya.
Pulau karang ini ternyata cukup subur di bagian pedalamannya, pepohonan
menghijau permai, langit cerah tanpa awan, suasana penuh gairah hidup,
segala urusan duniawi yang kotor saakan-akan tak dikenal di sini.
Pulau ini banyak tumbuh pohon kelapa, Hong Man-thian duduk mengelamun di
bawah pohon sambil minum arak.
Mendadak ombak mendampar dengan dahsyat, kapal yang kandas itu
terdampar ke pesisir. Kawanan binatang buas di dalam kurungan menjadi
garang lagi demi melihat daratan. semuanya meraung-raung.
Jitko telah mengumpulkan berbagai buah-buahan liar dan beberapa biji kelapa,
akan tapi setelah dibuka airnya sudah kering.
Meski makhluk aneh ini kelihatan bodoh, dia ternyata tidak mau diam, selalu
ada-ada saja yang dikerjakan, ia sibuk mercari sesuatu di dalam kapal,
akhirnya ditemukan sebuah kampak, dengan alat ini dia membuat lubang
badan kapal yang bocor itu terlebih besar, dengan begitu air yang
menggenang di dalam kapal dapat mengalir keluar dengan cepat.
Lalu dia membongkar papan geladak kapal dan mendapatkan bahan pelekat
yang biasanya tersedia di dalam kapal, dipaku dan di-tambalnya lubang yang
bocor itu hingga rapat.
Setelah sibuk setengah harian, akhirnya ia tertawa. dan berkata, "Sebentar
bila air naik pasang, kapal ini akan menyurut kembali ke tengah laut, dengan
demikian kita pun akan terbawa berlayar lagi daripada mati konyol di sini.
Terutama sepasang pengantin baru kita bolehlah berbulan madu di tengah
lautan." Lamkiong Peng dan Bwe Kiam soat saling genggam tangan dan saling pandang
dengan terharu dan entah apa yang harus diucapkan.
Benar juga, menjelang magrib, air laut naik pasang, lambat-laun kapal itu
terapung pula di permukaan laut, Jitko memegang kemudi dan pasang layar,
pelahan kapal itu melaju lagi ke tengah laut.
Perbekalan di dalam kapal sudah hampir ludes rusak atau hanyut terbawa air
laut, yang masih tersisa dan umpamanya sekadar dapat digunakan juga
takkan tahan lebih lama dari beberapa hari saja. Terutama air minumnya,
tiada tersisa setetes pun.
Untunglah si makhluk aneh dapat menernukan dua guci arak yang belum
peeah. Arak selain dapat melepas dahaga juga sekadar dapat digunakan sebagai
tangsal perut. Dan begitulah tiga hari sudah lampau pula, pada malam hari keempat, selagi
mereka putus asa karena sudah kehabisan perbekalan, tampaknya mereka
hanya menanti ajal saja.
Tiba-tiba si makhluk aneh dapat menemukan lagi seguci arak yang semula
disangka sudah pecah, ternyata pada dasarnya masih tersisa setengah guci.
Seperti menemukan barang mestika saja mereka bergantian meneguk isi guci
itu. Tak terduga mendadak Hong Man-thian berteriak, "Wah, celaka!"
Rupanya dia memiliki lwekang paling tinggi, maka dia paling cepat merasakan
sesuatu yang tidak beres pada arak itu.
Nyata arak itu beracun, agaknya memang sudah diatur oleh Tek-ih Hujin,
beberapa guci arak yang tersedia itu telah ditaruh racun, telah
diperhitungkannya bilamana tidak tenggelam dan kandas, tentu juga
penumpangnya akan kehabisan perbekalan dan segala apa di-makan dan
diminum, maka arak ini pun tidak terkecuali akan dihabiskan oleh mereka dan
tak terhindarlah akan keracunan.
Di antara mereka berempat lwekang si makhluk aneh paling cetek, dia yang
menjadi korban lebih dulu. Tahu-tahu matanya mendelik, lalu roboh binasa.
Tentu saja Lamkiong Peng kaget, waktu barpaling, dilihatnya muka Hong Manthian
juga hitam kelam, orang tua itu sudah kaku dengan mata terpejam.
"Hei, kenapa Hong-locianpwc." seru Lamkiong Peng kuatir.
"Aku . . . . " belum sempat bicara apa pun, Hong Man-thian tampak berkejang
dan gigi gemertuk, tanpa ayal Lamkiong Peng menutuk hiat-to tidurnya supaya
tidak merasakan siksaan yang melampaui batas.
Orang tua itu sempat mengucapkan "terima kasih', lalu roboh terkapar.
Waktu ia menoleh, sungguh kagetnya tak terkatakan, tanpa pamit Bwe Kimsoat
ternyata juga sudah rebah seperti orang tidur nyenyak, ujung mulutnya
malah kelihatan mengulum senyum.
"Hah ..." ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, ia rangkul tubuh Bwe
Kim-soat dengan erat, ia pun ingin selekasnya menyusulnya ke alam baka.
Malam tiba, kegelapan yang tidak ada ujungnya, Lamkiong Peng merasa dunia
ini sedemikian seram, makin lama makin mencekam, namun rasanya racun
dalam tubuhnya tidak cepat bekerjanya.
Betapa pun ia tidak tahu mengapa bisa terjadi begini.
Kiranya tempo hari ketika di hutan perkampungan Lamkiong-san-ceng dia
pernah mengisap sedikit bubuk racun Tek-ih Hujin yang membinasakan Busim-
siang-ok itu, waktu itu kotak yang dilemparkan Tek-ih Hujin itu
menyambar lewat di sisinya dan tanpa terasa terendus bau harum olehnya,
cuma saat itu tidak diperhatikan kejadian ini.
Racun yang tersiap olehnya itu tidak segera bekerja, sebab racun buatan Tekih
Hujin itu merupakan racun maha dingin, sebaliknya sejak kecil Lamkiong
Peng berlatih lwekang yang mengutamakan hawa murni maha panas, maka
setitik racun dingin itu dapat ditahannya.
Sekarang racun dalam arak yang diminum itu justru racun maha panas, sebab
itulah Bwe Kim-soat tidak tahan, ia roboh dengan tubuh panas membara. Bagi
Lamkiong Peng, sekaligus terjadi pertarungan dua macam racun dalam
tubuhnya, tentu saja hal ini tidak dirasakan oleh Lamkiong Peng sendiri.
Akan tetapi apa pun juja akhirnya racun meluas juga dan membuatnya
menggigil, pikiran pun mulai kabur, mata berkunang-kunang.
Pada waktu dia' hampir kehilangan kesadaran, tiba-tiba dari kejauhan
permukaan laut sana berkumandang suara orang berteriak, "Hong Man thian,
apakah engkau sudah pulang"!"
Suaranya kedengaran sangat jauh, namun bagi telinga Lamkiong Peng
dirasakan juga begitu jelas.
la hanya sempat berpikir, "Ah, barangkali sudah sampai di Cu-sin-to!"
Habis itu ia lantas tidak ingat apa pun.
Pada saat itulah dalam kegelapan yang tak berujung itu ada setitik sinar lampu
bergoyang-goyang mendekati mengikuti gelom-bang ombak, menuju ke kapal
maut ini.... Di ujung pulau sana mencuat tinggi tebing yang curam, di atas tebing berdiri
sebuah ru-mah yang berdmding tinggi dan kelihatan se-ram. Sekeliling rumah
tiada terdapat daun jendela.di tengah malam sunyi hanya kelihatan setitik
cahaya lampu yang berkelip serupa api setan menghias ruangan yang luas.
Di sekeliling ruang luas ini berderet sebaris meja, semuanya memakai taplak
meja warna hitam. dalam jarak dua-tiga kaki jauhnya tertaruh sebuah
tempurung dan di depan ada sebuah Lengpai (papan dengan tulisan nama
orang mati), suasana kelihatan seram.
Di tengah ruangan besar yang seram ini tertaruh sebuah dipan, ternyata yang
rebah di atas dipan adalah seorang perempuan cantik, mukanya pucat, mata
terpejam, agaknya dalam keadaan tidak sadar. Dari cahaya lampu yang guram
itu samar-samar kelihatan dia adalah Bwe Kim-soat yang mati keracunan itu.
Sumbu lampu yang semakin guram itu bergoyang, ruangan sunyi senyap,
sekonyong-konyang Bwe Kim-soat yang rebah di atas di-pan itu bergerak
pelahan. Kelihatan dia membuka mata, sorot mata nya menampilkan rasa kaget dan
ngeri, ia menyapu pandang sekelilingnya, lalu merangkak bangun.
Sesungguhnya dia sudah mati atau hidup" Setan atau manusia"
Dengan langkah terhuyung ia berjalan ke pojok sana, merambat tepi meja dan
menegakkan tubuh, lalu dipandangnya Lengpai yang berjajar di atas meja itu.
Ia melengak selolah membacanya, sebab ia kenal nama-nama yang tertulis
pada beberapa Lengpai itu adalah tokoh-tokoh dunia persilatan masa lampau.
Ia heran,tempat apakah ini" Mengapa Lengpai para tokoh ini terkumpul di sini"
Padahal tokoh-tokoh itu berlainun perguruan, bahkan berlainan jaman,
mengapa bisa terdapat dan dipuja di sini. Ia coba memandang lagi lebih lanjut,
mendadak air mukanya berubah, ia menjerit tertahan dan jatuh terduduk, air
mata pun bercucuran, ratapnya. "O, masa engkau . . . engkau sudah
meninggal?"
Kiranya lengpai terakhir yang dibacanya itu tertulis, "Lamkiong Peng . . . ."
Nama ini serupa belati tajam yang menikam hulu hatinya, seketika tubuhnya
serasa dingin. Tiba-tiba terdengar suara "kriuut", pintu ruangan besar itu terbuka sedikit,
sesosok tubuh tinggi kurus dengan jenggot panjang putih da berbaju belacu
menyelinap ke dalam serupa badan halus saja.
Meski sinar matanya meneorong terang, tapi tajam dingin tanpa perasaan.
Mukanya juga dingin kaku serupa mayat yang baru merangkak keluar dari
liang kubur. Ia pandang Bwe Kim-soat sekejap, lalu menegur kaku, "Engkau sudah
mendusin?"
"Mendusin" .... Memangnya aku tidak mati?" tergetar hatinya dan tangis pun
tak ter-tahan lagi. Jika dia tidak mati, lantas bagai-mana dengan Lamkiong
Peng, apakah anak muda itu sudah mati"
Si kakek baju belacu hanya memandangi dia menangis tanpa mencegahnya.
"Di mana dia . . . di mana jenazahnya" Aku . . . aku ingin mati bersama dia,"
jerit Kim-soat sambil nienubruk maju.
Seperti tidak bergerak, tahu-tahu kakek itu menggeser ke samping, sahutnya
ketus, "Apakah tangismu sudah cukup?"
"Lamkiong Peng, di . . . di mana dia . . . ," ratap Kim-soat.
"Jika belum cukup menangis boleh kau menangis sepuasnya," kata si kakek.
"Kalau sudah cukup menangis, segera kubawamu ke atas kapal, urusan lain
tidak perlu kautanya."
Mendadak Kim-soat berbangkit, ia mengusap air mata, tanpa bicara ia terus
melangkah keluar.
"He, kaumau ke mana?" tanya si kakek. "Engkau tidak mau menjawab, biar
kucari dia sendiri, peduli apa denganmu?" jengek Kim-soat, berbareng ia
melangkah lagi.
AMANAT MARGA Jilid 17 "Hm, berani kaukeluar selangkah laja dari pulau ini, segera kopotong kakimu,"
Pedang Ular Mas 5 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Puteri Es 2
^