Pencarian

Han Bu Kong 7

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Bagian 7


kembalian tadi diberikan kepada pelayan dan berkata, "Siapkan semeja makan
seharga sepuluh tail perak harus disuguhkan sekaligus!".
Tidak kepalang gembira si pelayan, ia pikir biarpun pakaian tamunya serupa
pengemis, tapi persennya ternyata tidak sedikit. Dengan ucapan terimakasih
pelayan lantas mengiakan.
Dengan lagak tuan besar si botak masuk ke ruangan restoran, dengan karung
goni tetap dirangkulnya ia pilih sebuah meja besar dan duduk di situ.
Pelayan sibuk mengantarkan teh panas dan memberi handuk wangi, tidak
lama kemudian santapann semeja penuh pun selesai di siapkan dengan
tertawa yang dibuat-buat si pelayan menyapa," Apakah tuan ingin minum
arak?" Si kakek menarik muka, ucapnya ketus, "Minum arak bisa membikin runyam
urusan, kalau mabuk, biarpun badan digeryangi orang juga tidak tahu, kan
rugi. Padahal kau tahu, mencari uang tidaklah mudah."
Si pelayan melenggongg, terpaksa mengiakan.
"Eh dimana uang pemberianku tadi?" tanya si kakek mendadak.
"Masih ada," cepat si pelayan menjawab.
"Tukarkan mata uang tembaga seluruhnya dan lekas bawa kemari."
Keruan si pelyan melongo. Dua tail perak itu disangkanya tip, tak tahunya
Cuma titipan untuk menukarkan mata uang. Sambil menggerutu terpaksa ia
melangkah pergi.
SI kakek memandang santapan lezat yang tersedia di depannya dengan
menggosok-gosok tangan serupa orang putus lotre, berbareng ia berseru, "He
nona cilik, jika kau perlu menjaga orang sakit, biarlah kumakan sendiri!"
Terdengar suara jawaban Manjing tak acuh di kamar pojok sana.
"Hm, bilamana keluarga Lamkiong bukan orang kaya, biarpun kau pikat
dengan segala macam bujuk rayu juga aku tidak mau menempuh perjalanan
bersamamu," demikian si kakek botak bergumam sendiri, lalu ia taruh karung
goni di pangkuannya dan menyikat hidangan yang tersedia.
Caranya makan sungguh rakus dan juga besar takarannya, semeja penuh
hidangan itu disapu bersih tanpa sisa.
Pada saat itulah pelayan baru kembali dari menukar mata uang. Si kakek
menghitung dengan teliti mata uang itu, akhirnya ia comot tiga buah mata
uang. IA ragu sejenak, akhirnya jari mengendur dan dua buah mata uang dijatuhkan
kembali, hanya sisa sebuah mata uang saja ditaruh di atas meja dan berkata
dengan rasa berat, "ini untukmu!"
Si pelayan melongo, katanya kemudian dengan mendongkol, "Kukira boleh
tuan simpan simpan untuk dipakai sendiri saja."
Si kakek tertawa senang, "Haha, betul juga, biar kupakai sendiri!"
Sebiji mata uang tembaga itu benar-benar diambilnya kembali, lalu angkat
karung goninya dan masuk sebuah kamar dan menutup pintu rapat.
Dengan gemas si pelayan menuju ke halaman dan mengomel panjang pendek.
********* Di dalam kamar Manjing lagi memegangi semangkuk air obat yang baru
diseduhnya dan disuapkan ke mulut Lamkiong Peng dengan tangan agak
gemetar. Meski perkenalannya dengan anak muda itu belum lama terjadi, namun aneh,
rasanya sudah timbul semacam perasaan yang sukar dilupakan terhadap
pemuda yang berjiwa luhur dan berdarah panas ini.
"Persahabatan harus dipupuk dengan pelahan, cinta justru timbul dalam
sekejap," ia jadi teringat kepada ucapan seorang pemikir, pernah dia
mencemoohkan filsafah ini, tapi sekarang baru dirasakan kebenaran ucapan
tersebut. Ia teringat kepada Koh-ih-hong, Tik Yang dan juga pendekar muda congkak
"Boh-in-jiu" itu, dia pernah berkumpul dengan mereka di puncak Hoasan yang
tinggi dan sepi itu, ia kenal watak dan ketahanan mereka.
Tapi terhadap Lamkiong Peng, pada pertemuan pertama itu juga lantas timbul
rasa sukanya, tapi kemudian terpaksa ia meninggalkan Hoasan dengan
kenangan indah terhadap anak muda itu.
Ia tidak tahu apa yang terjadi di rumah gubuk di puncak Hoasan itu, serupa
halnya ia tidak dapat meraba sebenarnya bagaimana perasaan Lamkiong Peng
terhadap dia. Sudah tiga hari dia melayani anak muda yang sakit dan tak sadar itu. Dia
enggan bicara dan berdekatan dengan oarng tua itu, tapi ia pun tidak dapat
mencegahnya tinggal bersama di sebuah hotel.
Di dengarnya di kamar sebelah kakek botak itu asyik menghitung mata uang
tembaga, sudah larut malam dia masih sibuk dengan duit, sungguh kakek
yang mata duitan.
Esok paginya, sakit Lamkiong Peng sudah agak sembuh, petangnya dia sudah
dapat turun dari pembaringan. Memandangi Manjing yang agak letih dan kurus
itu, perasaan Lamkiong Peng menjadi tidak enak, ucapnya dengan menyesal,
"Aku sakit, engkau yang repot."
"Asalkan kau sembuh, apapun kukerjakan dengan senang hati," ujar si nona.
Terharu hati Lamkiong Peng, tak terduga olehnya selama tiga hari ini telah
sebanyak ini perubahan sikap nona itu terhadapnya. Tanpa terasa ia
memandangnya lagi sekejap dengan penuh rasa terimakasih.
Ketika melihat Lamkiong Peng muncul dalam kamarnya, segera si kakek botak
yang sedang menghitung uang itu menegur dengan tertawa, "Aha, agaknya
sakit mu sudah sembuh"!"
"Terimakasih atas perhatian Lotiang," jawab Lamkiong Peng dengan
tersenyum. "Bila aku menjadi dirimu, aku tentu ingin sakit lebih lama lagi," kata si kakek
dengan tertawa.
Lamkiong Peng melenggong.
Si botak lantas menyambung, "jika bukan lantaran sakitmu, mana anak dara
ini mau mentraktirku makan minum di sini, bila bukan karena kau sakit, mana
nona ini mau memperlihatkan perhatiannya kepdamu. Maka kalau engkau
sakit lebih lama lagi beberapa hari, tentu aku dapat makan enak lebih lama
dan kaupun akan mendapat pelyanan lembut, kita jadi sama-sama gembira,
kenapa tidak mau?"
Dia mencerocos terus hingga ludahnya berhamburan, namun setiap katanya
memang tepat. Manjing menunduk malu, meski seperti orang sinting, namun ucapan kakek itu
memang kena di hatinya.
Dengan tersenyum Lamkiong Peng berkata, "Jika Lotiang ingin makan minum.
Setelah kusehat nanti tentu akan kutraktir."
"Haha, bagus," seru si kakek. Tapi dengan serius ia menambahkan, "Tapi
biarpun kalian telah traktir makan padaku, tidak perlu kuterima kasih padamu.
Kutahu, sebabnya kalian memperbolehkan aku berada bersama kalian adalah
demi keuntungan kalian, tapi aku.....haha, boleh juga kugunakan kesempatan
baik ini untuk makan minum sepuasnya."
Kata-kata ini kembali kena di hati Lamkiong Peng dan Yap manjing.
"Tapi kalau Lotiang ada keperluan lain, dapat juga kubantu........."
"Hah, memangnya kaukira aku suka menerima sedekah orang?" jawab si
kakek dengan kereng.
"Umpama pakaian Lotiang, dapat kubelikan beberapa potong baju........."
"Eh selamanya kita tidak bermusuhan, kenapa sengaja kau bikin sudah
padaku?" cepat si kakek menjawab.
Lamkiong Peng jadi melenggong, "Bikin susah padamu?"
"Coba kau lihat," si kakek berdiri dan menuding bajunya yang serupa karung
itu, "betapa enak bajuku ini, sama sekali tidak perlu kurisaukan kemungkinan
akan robek........."
Lalu ia menuding kepala sendiri yang botak, "Dan ini kau tahu, demi untuk
membuat botak kepalaku ini betapa jerih payahku selama ini. Sekarang aku
tidak perlu sibuk merawat rambut, juga tidak perlu keluarkan duit untuk
memotong, inilah cara yang paling baik untuk hidup hemat. Tapi sekarang kau
mau memberi pakaian baru kepadaku, jika kukenakan baju pemberianmu,
tentu setiap saat kuperlu memikirkan baju baru, itu berarti membuang waktu
dan mengurangi kesempatan untuk mencari duit. Bukankah semua itu hanya
membikin susah padaku?"
Lamkiong Peng dan Yap manjing saling pandang sekejap, logika si kakek botak
ini sungguh luar biasa, tapi juga membuat mereka sukar membantah.
Si kakek lantas mendengus dan duduk kembali, sembari makan ia menggerutu
pula, "Maka bila kalian ingin kuiringi kalian, selanjutnya jangan bicara lagi
tentang hal-hal ini. Hm, jika tidak mengingat keuntungan yang akan kuraih,
bisa jadi sudah sejak tadi kutinggal pergi."
Yap manjing mendengus dan melengos ke arah lain. Sedangkan Lamkiong
Peng hanya menghela nafas menyesal, katanya, "Masa urusan duit bagi lotiang
sedemikian pentingnya?"
Kakek botak juga menghela nafas, "Ai, rasanya sukar bagiku untuk
menjelaskan kepada putra hartawan seperti dirimu ini akan betapa pentingnya
duit. Tapi bilamana engkau sekali tempo menghadapi kesulitan, tanpa
penjelasanku baru kau tahu pentingnya duit."
Tiba-tiba timbul juga perasaan hampa dalam hati Lamkiong Peng, pikirnya,
"Semoga aku juga dapat mencicipi rasanya miskin, tapi alangkah sulitnya
untuk membuat aku miskin."
Ia tertawa ejek terhadap diri sendiri.
"Setiap kataku cukup beralasan, memangnya apa yang kau tertawakan?"
oemel si kakaek.
"Yang kutertawai adalah karena sejauh ini belum lagi kuketahui nama
Lotiang," jawab Lamkiong Peng.
"Ah, apa artinya nama?" ujar si kakek. "Cukup kausebut diriku Ci TI saja."
"Ci Ti (gila uang)?" Lamkiong Peng menegas dengan heran, "Tapi yang
kutertawai bukan soal ini, lotiang......."
"Siapa pun tidak berhak mengurus jalan pikiran orang lain," kata si kakek,
"Apa yang kau pikirkan tentu juga tidak ada sangkut paut dengan ku. Bagiku,
asalkan tingkah laku dan tutur kata orang cuckup baik terhadapku, biarpun
dalam hati dia benci kepadaku juga masa bodoh. Apabila setiap hari selalu
kupikirkan apa yang dipiikir orang lain terhadapku, bisa jadi aku akan berubah
linglung atau sinting."
Ucapan ini serupa cambuk yang memecut lubuk hati Lamkiong Peng. Ia
tertunduk dan melamun hingga lama.
Dalam pada itu si kakek botak alias Ci Ti sudah kenyang makan, ia mengulet
kemalasan dan memandang Yap manjing sekejap, lalu berucap hambar, "Nona
cilik, kuberi nasehat padamu, janganlah suka mengusut pikiran orang lain,
dengan begitu tentu engkau akan jauh dari kekesalan."
Manjing juga sedang termenung, ketika ia angkat kepala, dilihatnya si kakek
telah melangkah ke halaman dalam.
Tiba-tiba dari luar masuk belasan lelaki berbaju ringkas dan bersenjata golok,
seorang lelaki kekar lain dengan punggung menyandang sehelai panji warna
merah, memanggul sebuah peti kayu masuk ke halaman sana.
Langkah beberapa orang itu tampak gesit dan cekatan, sorot mata orang
terakhir itu pun bercahaya tajam, ia melirik sekejap kepada si kakek botak,
masuk ke pintu bulat yang membatasi halaman itu.
Sinar mata si kakek mendadak meneorong terang, dengan tersenyum ia
bergumam, "Angki-piaukok (perusahaan pengawalan panji merah)........" lalu
ia menguap dan berkata pula, "Ai, makan banyak, suka kantuk, lebih baik tidur
saja." Ia masuk ke kamarnya dan menutup pintu.
Setelah termenung sekian lama, akhirnya Lamkiong Peng juga berbangkit dan
masuk ke kamar.
Manjiing merasa kesepian, dipandangnya pintu kamar Lamkiong Peng dan
memandang pintu kamar si kakek, ia menghela nafas, lalu ia melangkah
pelahan ke halaman.
Suasana sunyi, cahaya lampu sudah padam. Entah berapa lama Manjing
berdiri di halaman, dari kejauhan terdengar suara kentongan menandakan
sudah lewat tengah malam.
Selagi perasaannya diliputi rasa kekosongan, tiba-tiba dari balik wuwungan
rumah ada orang tertawa pelahan, seorang mendesis, "Untuk apa berdiri
termenung di tengah malam?"
Manjing terkejut, "Siapa"!" bentaknya dengan suara tertahan sambil melompat
ke atas rumah. Dilihatnya sesosok bayangan secepat terbang melayang ke kegelapan sana,
sungguh sangat mengejutkan kecepatan orang.
"Berhenti!" bentak pula Manjing sembari memburu ke sana.
Akan tetapi meski ginkangnya juga sangat tinggi, ternyata tetap tidak dapat
menyusul orang, ia terus memburu dan mencari di sekitar situ, namun
bayangan orang sudah menghilang.
Lamkiong Peng lagi duduk terpekur di atas tempat tidur, ia berusaha
menenangkan pikiran, tapi rasanya kusut dan sukar diatasi. Ia tidak tahu Yap
manjing melamun di halaman dan juga tidak tahu nona itu melompat keluar
untuk memburu seorang.
Entah sudah berapa lama, ketika pikiran Lamkiong Peng melayang-layang tak
menentu, tiba-tiba di dengarnya suara seperti daun jatuh diluar jendela, cepat
ia melompat bangun dan membuka daun jendela.
Di tengah keremangan malam dilihatnya Yap manjing berdiri di luar dengan
rambut kusut. "Engkau belum tidur?" tanya Manjing dengan pandangan sayu.
Lamkiong Peng menggeleng, tanyanya, "Apakah nona Yap melihat sesuatu?"
"Baru saja kulihat seorang Ya-heng-jin (orang pejalan malam), telah kususul
dia tapi tidak dapat menemukannya," tutur si nona.
"Sungguh hebat orang itu, dengan ginkang nona saja tidak sanggup
menyusulnya," kata Lamkiong Peng dengan terkesiap.
Muka Manjing menjadi merah, ucapnya, "ya, tak terduga di tempat ini juga
terdapat tokoh selihai ini. Anehnya kedatangan orang seperti tidak bermaksud
baik, tapi juga tidak berniat jahat. Sungguh sukar dimengerti dia kawan atau
lawan dan apa maksud kedatangannya?"
"Mungkin dia memang tidak bermaksud jahat, kalau tidak, kenapa dia tidak
berbuat sesuatu?" ujar Lamkiong Peng.
Walaupun di mulut dia bicara demikian, tapi dalam hati ia menyesal juga. Ia
tahu banyak orang kangouw sekarang memusuhinya. Hanya karena membela
Bwe kiam soat sehingga mendatangkan banyak persoalan ruwet ini. Ia sendiri
tidak sanggup memberikan penjelasan mengapa dia bertindak demikian.
"Fajar hampir tiba, silahkan nona masuk saja ke dalam," kata Lamkiong Peng
kemudian. Mereka tidak tidur lagi melainkan menuju ke ruangan tengah, keduanya duduk
berhadapan, seketika tidak tahu apa yang perlu dibicarakan.
Terdegar suara ayam berkokok di kejauhan, ufuk timur sudah mulai remangremang
dan membangkitkan berbagai berisik di dunia ini.
Mandadak si kakek botak alias Ci Ti yang gila uang itu melongok keluar pintu
kamar, dengan matanya yang masih sepat ia menegur, "Eh, kalian sungguh
iseng, ternyata mengobrol sepanjang malam, haha, dasar orang muda!"
Tiba-tiba seorang muncul pula dari balik pintu sana dengan mata yang masih
belekan, kiranya si pelayan, dengan tertawa ia menyapa, "Selamat pagi!"
Buru-buru ia mengambilkan air teh, lalu berkata," Maaf rekening tuan
tamu........"
Mendengar urusan rekening hotel, si kakek botak segera menghilang lagi di
balik pintu kamarnya.
Lamkiong Peng tersenyum, katanya, "Tidak menjadi soal, boleh hitung saja
seluruhnya."
Dengan tertawa cerah si pelayan menjawab, "Sebenarnya juga tidak banyak,
Cuma tuan besar itu makan minum terlalu banyak, maka seluruhnya menjadi
93 tail lebih........"
Jumlah ini sebenarnya tidak sedikit, tapi bagi pandangan Lamkiong Peng tentu
saja tidak berarti. Tapi segera teringat olehnya di atas tubuh sendiri sekarang
tidak membawa sepeser pun, cara bagaimana akan mampu membayar
rekening hotel dan makan minum sebanyak itu.
Terpaksa ia berpaling dan berkata dengan tertawa kepada Manjing, "Dapatkah
nona Yap membayarkan dahulu?"
Tapi Yap manjing lantas tersenyum, jawabnya, "Selamanya aku jarang
membawa uang."
Baru sekarang Lamkiong Peng melenggong, dilihatnya mata si pelayan
menatapnya dengan rasa sangsi.
Terpikir pula oleh Lamkiong Peng bahwa dirinya sekarang sudah tidak
membawa lagi sesuatu benda berharga, terpaksa ia berkata kepada pelayan,
"Coba ambilkan alat tulis, biar kubikin secarik surat dan segera dapat kau
pergi ambil uang."
Meski dengan ogah-ogahan, terpaksa si pelayan ,mengiakan.


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selagi dia hendak melangkah pergi. Sekonyong-konyong pintu si kakek botak
terbuka lagi, kelihatan dia melongok keluar sambil berkata, "Jangan kuatir,
pelayan, memangnya kau tahu siapa kongcuya ini" Jangankan Cuma sekian
puluh tail perak, biarpun sekian ribu laksa tail, cukup dengan secarik bon saja,
kongcuya ini dapat menarik dengan kontan."
Dengan sendirinya si pelayan kurang percaya, ia melirik Lamkiong Peng
dengan sangsi. Si kakek botak alias Ci ti atau gila uang itu terbahak, serunya, "Supaya kau
tahu, biar kujelaskan, dia tak lain tak bukan ialah Lamkiong kongcu keluarga
hartawan Lamkiong dari kanglam!"
Seketika air muka si pelayan berubah.
Diam-diam Lamkiong Peng menggeleng kepala, pkirnya, "Ai, dasar manusia
rendah, asal mendengar nama......."
Tak terduga, mendadak si pelayan bergelak tertawa, habis itu ia lantas
menarik muka dan menjengek, "Hm, meski banyak juga kulihat orang yang
menipu makan minum, tapi tidak pernah kulihat perbuatan sebusuk dan
sebodoh seperti ini, masa....."
"kau bilang apa?" bentak Manjing dengan mendelik.
Si pelayan menyurut mundur setindak, tapi lantas menjengek pula, "hm, masa
tidak kalian ketahui bahwa berpuluh kota di sekitar daerah ini, dimana
terdapat cabang perusahaan keluarga Lamkiong, hanya dalam waktu beberapa
hari terakhir ini seluruhnya telah dipindah tangankan kepada orang lain.
Segenap bekas pegawai perusahaan Lamkiong itu sudah dibubarkan dan telah
mencari jalan hidup sendiri-sendiri, tapi ternyata ada orang berani lagi
mengaku sebagai Lamkiong kongcu yang maha kaya raya itu, hmk,
hmk.........."
Begitulah pelayan itu mengakhiri ucapannya sambil mendengus berulang
dengan tangan bertolak pingggang dan mata mendelik.
Dengan sendirinya keterangan ini membuat Lamkiong Peng melenggak, Yap
manjing juga merasa bingung.
Perubahan yang mengejutkan ini sungguh luar biasa, sukar untuk dipercaya
hal ini bisa terjadi mendadak begitu, masakah keluarga Lamkiong yang maha
kaya raya itu, sampai menjualkan berpuluh cabang perusahaannya dengan
tergesa-gesa begitu dan mengapa bisa terjadi pula dalam waktu sesingkat itu"
Sungguh sukar diduga mengapa sungai yang membeku itu dapat cair dalam
sekejap" Uacapan si pelayan tadi juga di dengar oleh si kakek botak yang berdiri di
samping pintu, ia pun melongo heran.
Mungkin baru pertama kali ini selama hidup Lamkiong Peng mengalami
kekikukkan seperti sekarang. Selagi merasa bingung cara bagaimana
menghadapi sikap si pelayan yang tidak sungkan itu, sekonyong-konyong dari
halaman dalam berkumandang suara ribut-ribut.
"Wah....celaka!........celaka!........." demikian terdengar teriakan ramai orang
banyak. Pelayan tadi terkejut, cepat ia berlari ke sana dan lupa mengurus Lamkiong
Peng lagi. Mendadak Lamkiong Peng teringat kepada keluhan singkat yang didengarnya
serta bayangan yang dikejar Yap manjing itu.
"Jangan-jangan terjadi sesuatu pembunuhan di halaman sebelah semalam"
Demikian timbul rasa curiganya.
Karena ingatan itu, serentak ia pun, melangkah ke halaman sana disusul oleh
Yap manjing. Dalam demikian mereka tidak memperlihatkan lagi terhadap
gerak-gerik si kakek botak.
Di halaman sebelah sudah berkerumun orang banyak, ada orang berteriak
kaget dan berlari masuk keluar.
"Sungguh aneh, mengapa semalam tidak terdengar sesuatu suara apapun?"
demikian ada orang berkata.
Segera ada yang menanggapi, "Anehnya hal ini bisa terjadi atas orang Angkipiaukiok
yang termashur, entah orang lihai macam apa sehingga berani
merecoki panji merah yang disegani itu?"
Suara ribut dan komentar oarng yang yang kaget itu membuat hati Lamkiong
Peng tidak tentram karena belum tahu duduknya perkara.
Sesudah dekat, dilihatnya di pintu bulat yang membatasi halaman ini
terpancang panji merah yang berkibar tertiup angin.
Semula disangkanya panji ini adalah panji pengenal Angki-piaukiok, tapi
setelah di perhatikan, kiranya merah panji ini karena lumuran darah, di tengah
warna merah darah itu bersemu biru-hitam, sehingga membuat orang merasa
ngeri. Ia masuk ke halaman situ, suasana dalam hiruk-pikuk, tapi ruangan kamar
sana sunyi senyap.
Seorang lelaki berbaju panjang, tampaknya seperti kasir atau kuasa hotel
berdiri di luar pintu kamar yang tertutup rapat.
Waktu Lamkiong Peng mendekat, segera lelaki itu mengadangnya dengan
membentangkan tangan dan berucap, "Tempat ini dilarang..."
Belum lanjut ucapannya, sekali dorong Lamkiong Peng membuatnya
sempoyongan dan hampir jatuh terjengkang.
Meski Lamkiong Peng baru sembuh dari sakitnya, namun tenaganya tentu lain
dari pada orang bisa, apalagi dalam keadaan mendongkol, tentu saja cukup
kuat untuk membuta orang itu jatuh.
Waktu ia menolak daun pintu, begitu terbuka, seketika detak jantungnya
hampir berhenti demi mengetahui apa yang terjadi dalam kamar.
Cahaya sang surya pagi menembus masuk melalui celah jendela yang tertutup
rapat sehingga remang-remang di lanati kamar kelihatan bergelimpangan
belasan mayat. Segera dikenali Lamkiong Peng sebagai kawanan lelaki berbaju
hitam yang berdandan ringkas kekar itu, sekarang semuanya sudah
menggeletak tak bernyawa.
Kematian kawanan lelaki kekar ini ternyata tidak serupa. Seorang yang brewok
dengan mata melotot mencengkram kusen jendela sehingga jari pun amblas
ke dalam kayu, ia mati dengan setengah bersandar di dinding.
Pada dadanya yang bidang tertancap miring sehelai panji merah, tangkai panji
yang terbuat dari besi itu hampir ambles seluruhnya ke dalam dada, darah pun
membasahi bajunya yang hitam.
Seorang lagi yang beralis tebal dan bermulut besar rebah terlentang dengan
wajah beringas penuh rasa ngeri, tangannya menggenggam cawan arak yang
sudah pecah, daanya juga tertancap panji merah.
Dan begitulah beberapa kawannya yang lain, ada yang mati duduk di kursi,
ada yang binasa bersandar di kaki meja, ada yang bajunya tidak rapi, bahkan
ada yang telanjang kaki, tampaknya ia ingin lari, tapi belum sempat keluar
sudah roboh binasa.
Cara kematian orang-orang iu tidak sama. Tapi yang membuat mati mereka
ternyata sama yaitu dada tertancap oleh panji merah pengenal yang mereka
bawa sendiri, sekali serang membuat mereka binasa.
Dari sikap orang-orang yang mati ini agaknya belum lagi sempat mereka
melolos senjata dan balas menyerang, tahu-tahu mereka sudah terbunuh.
Pelahan Lamkiong Peng memandangi mayat itu satu-persatu, aliran darah
sendiri serasa mau beku.
Han Bu Kong Jilid 12 Lamkiong Peng Mengenali kawanan lelaki barbaju hitam ini adalah anak buah
Suma Tiong-thian dari Angki-piaukiok. Padahal para jago pengawal dari panji
merah ini biasanya terkenal berkungfu tinggi dan disegani, namun sekarang
belasan jago pengawal ini sama tergeletak menjadi mayat di hotel kecil ini,
kematiannya juga tampak mengerikan, sungguh kejadian yang sukar
dibayangkan. Siapakah yang berani merecoki Angki-piaukiok pimpinan Suma Tiong-thian
yang terkenal dengan julukan "Ang-ki-thi-cian-cin-tiongcu" (panji merah dan
tombak baja menggetarkan daratan tengah) itu" Siapa pula yang mempunyai
kependaian setinggi ini, tanpa bergebrak dapat membinasakan jago sebanyak
ini" Setelah menenangkan diri, Lamkiong Peng Coba masuk ke dalam kamar,
dilihatnya di belakang kelambu juga menggeletak sesosok mayat, agaknya
orang ini ingin lari atau bersembunyi, tapi akhirnya terpantek mati juga.
Orang ini juga mati terpantek oleh gagang bendera pada dadanya.
Lamkiong Peng berjongkok dan mengangkat mayat itu, mendadak hatinya
tergetar, dirasakannya tubuh orang masih hangat, ia coba mengurut hiat-to
orang, ternyata hiat-tonya tidak tertutuk, juga tidak ada tanda keracunan,
sungguh sukar dimengerti mengapa orang ini mandah terbunuh begitu saja
tanpa balas menyerang, apakah lawannya begitu lihai sehingga satu gebrak
pun tidak mampu menangkis"
Selagi Lamkiong Peng merasa sangsi dan ngeri, tiba-tiba mayat yang
dipegangnya bergetar sedikit, tentu saja Lamkiong Peng sangat girang,
pelahan ia bertanya,"Kuatkan dirimu, kawan!"
Orang itu membuka matanya sedikit, ucapnya dengan lemah,"Sia......siapa
kau?" "Aku Lamkiong Peng, sahabat perusahaan piaukiok kalian, siapa yang
mencelakai kalian, harap katakan........."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng segera muka orang itu berkerut dan
bergumam lemah," Lamkiong Peng.......Lamkiong........habis.......ha........"
"Habis apa maksudmu?" seru Lamkiong Peng terkejut, dilihatnya pandangan
orang menatap ujung rumah dengan kaku, belum sempat "bis" terucapkan,
kepala lantas miring ke samping dan tak dapat bicara lagi untuk selamanya.
Lamkiong Peng menghela nafas, ia coba menoleh ke arah sana, dilihatnya
ujung rumah sana kosong tanpa sesuatu benda, waktu ia mengawasi lebih
lanjut baru dirasakan tempat itu sebelumnya pernah dibuat menaruh barang
sebangsa peti dan sebagainya, tapi sekarang sudah hilang.
"Perampokan!" demikian kesimpulan yang dapat ditarik Lamkiong Peng bila
melihat keadaan ini, namun peristiwa ini cukup misterius dan mengerikan.
Lamkiong Peng tidak tahu ucapan orang tadi, apakah mungkin urusan ini ada
hubungannya dengan keluarga Lamkiong"
Waktu ia berpaling, dilihatnya Yap manjing juga sudah berdiri di belakangnya
dan tampak sedang termenung.
"Lamkiong........... habis.........." demikian Manjing bergumam, mendadak ia
tanya Lamkiong Peng. "Apakah Angki piaukiok sering mengantar harta benda
lagi keluargamu?"
"ya," jawab Lamkiong Peng sambil mengangguk.
"Jika begitu, barang kawalan mereka sekali ini mungkin juga harta milik
keluarga Lamkiong kalian, sebab itulah tadi dia menyebut nama keluargamu
dan merasa malu untuk menjelaskannya."
Lamkiong Peng berpikir sejenak, akhirnya menghela nafas panjang.
"Apa yang kau sesalkan?" tanya Manjing. "Meski sedikit harta benda keluarga
Lamkiong Peng kalian dirampok, jumlah sekian tentu juga tidak artinya bagi
kekayaan keluargamu."
"Mana aku menyesal?" ujar Lamkiong Peng, "Aku hanya merasa bodoh karena
memikirkan urusan yang yang cukup jelas ini dengan ruwet."
Pada saat itulah mendadak di luar bergema suara anjing yang menyalak,
suaranya galak dan berbeda dengan anjing biasa.
Menuyusul cahaya emas berkelebat, seekor anjing berbulu kuning emas mulus
dengan tubuh panjang serupa busur, mata meneorong terang, kuping kecil,
kuping kecil dan moneong panjang, sekilas pandang serupa seekor kuda kecil,
dengan langkah cepat anjing emas itu lari ke dalam kamar.
Anjing galak ini bukan Cuma suara menyalaknya saja, gerak-geriknya juga
tidak sama dengan anjing umumnya.
Pada lehernya penuh dihiasi mutiara dan rantai emas, hidungnya mengendusendus
ke sana "sini, sikapnya buas.
Seorang berbaju hitam dengan mata elang dan hidung betet, tangan
memegang rantai emas yang mengalung di leher anjing kuning itu ikut masuk
ke dalam kamar, mungkin orang itu adalah pawang anjing kuning emas itu.
Diluar terdengar suara ribut orang banyak, ada yang sedang bicara, "Tak
tersangka detektif ulung dari saiho "Kim-sian-loh" (budak si dewa emas) hari
ini bisa berada di Sunyang.
Dengan kehadirannya, peristiwa perampokan yang terjadi ini pasti akan
terbongkar dengan segera."
Dalam pada itu si baju hitam alias Kim sian-loh memandang Lamkiong Peng
dan Yap Manjing sekejap dengan kening bekerut lalu ia menoleh dan
bertanya,"Juragan Lim, sebelum kutiba, kenapa kauperbolehkan sembarangan
orang masuk ke sini?"
Juragan hotel yang berdiri di luar tampak gugup, jawabnya takut,"O,
ini....ini........."
Kim sian-loh mendengus kurang senang.
Melihat anjing kuning emas itu sangat menarik, sungguh Yap manjing ingin
mengelusnya, siapa tahu belum lagi tangannya menyentuh, mendadak anjing
itu menggerang dengan bulu emas menegak.
"Lekas mundur, anak perempuan, apakah kau ingin mampus"!" seru si baju
hitam alias Kim sian-loh.
Alis Manjing menegak, segera ia hendak mengumbar rasa gemasnya, tapi
Lamkiong Peng lantas menarik lengan bajunya sehingga makian yang hampir
dilontarkan ditelannya kembali.
Dilihatnya Kim sian-loh lagi berjongkok dan mengelus punggung anjingnya
sambil berkata,"Jangan marah, mereka tidak berani menyentuhmu lagi!"
Sikapnya itu serupa budak terhadap tuannya.
Segera orang itu berdiri dan membentak, "Siapa kalian" Untuk apa lagi berdiri
di sini?" "Aku mau berdiri di sini, peduli apa dengan kau?" jawab Manjing dengan ketus
"Hm, sungguh anak perempuan yang tidak tahu diri," jenegk Kim sian-loh.
"Apakah kau tahu siapa aku" Berani kau ganggu tugasku?"
"Huh, memangnya kau kira aku tidak tahu siapa dirimu" Paling-paling kau
Cuma budak seekor anjing saja," ejek Manjing.
Ia bicara lantang tanpa tedeng aling-aling, setiap orang yang berada diluar
kamar sama mendengar, keruan semua orang sama berkuatir baginya.
Kiranya anjing bebrbulu kuning emas itu diberi nama "kim-sian" atau dewa
emas, seekor anjing yang sangat cekatan dan juga sangat galak, jago
persilatan umumnya sukar menahan tubrukannya yang kuat. Yang paling
hebat adalah daya ciumnya, segala perkara pembunuhan asalkan anjing ini
dibawa ke tempat kejadian tepat pada waktunya, dengan sedikit bau yang
tertinggal di situ anjing ini sanggup mengusut dan mengejar ke mana larinya
atau tempat sembunyi penjahat.
Sudah sekian tahun entah banyak perkara yang telah dibongkar berkat
ketajaman indra penciuman aning berbulu emas ini. Pemilik anjing yang
berbaju hitam itu juga ikut terkenal karena anjingnya sehingga diberi julukan
kim sian loh atau budak dewa dan jadilah dia detektif terkenal di beberapa
propinsi daerah utara.
Meski dia jaya berkat anjingnya, bahkan mengaku kim sian loh, tapi dia justru
pantang orang menyinggung hal ini. Sekarang tanpa tedeng aling-aling Yap
manjing mengejek boroknya itu, seketika ia naik darah, segera ia berteriak,
"Mana orangnya, tangkap perempuan kurang ajar ini."
Manjing mendengus, "Hm, seharusnya anjing budak manusia, tapi ada
manusia justru mau menjadi budak anjing.........Hmk!"
Dengan sikap menentang ia tatap empat petugas yang membawa borgol yang
menerjang masuk itu sambil membentak,"Jika kalian berani maju lagi
selangkah, segera akan kubinasakan!"
Kim sian loh menjadi gusar, diam-diam ia mengendurkan rantai yang
dipegangnya dan mendengus, "Apa betul begitu lihai kau?"
Cepat Lamkiong Peng mengadang di depan manjing dan berkata, "Nanti dulu!"
Melihat pemuda yang mengadang di depan ini meski bermuka agak kurus,
namun sikapnya gagah dan anggun, tanpa terasa Kim sian loh menyurut
mundur. Semula dia bermaksud melepaskan anjingnya, tapi sekarang dia tidak berani
semabrang bertindak lagi, bentaknya, "Siapa kau" Apakah kau pun........."
Lamkiong Peng tersenyum dan memotong, "Sudah lama kudengar anda
seorang detektif ulung, masa orang baik atau jahat juga tidak dapat kau
bedakan?" "Kalian sembarangan berada di tempat pembunuhan dan pencurian, dapatkah
kalian terhindar dari prasangka?" ujar kim sian loh.
"Jika begitu, jadi Kim pohtau menganggap kami ikut tersangkut dalam perkara
ini" Memangnya kami berdiam di sini untuk menunggu ditangkap oleh Kim
pohtau?" jawab Lamkiong Peng.
Kim sian loh mendengus, "Saat ini belum dapat dipastikan, tapi sebentar lagi
segala suatunya tentu akan ketahuan dengan jelas."
Segera ia mengendurkan pegangannya dan menepuk anjingnya, katanya
"Kim-loji bikin repot padamu lagi."


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu rantai dilepaskan, segera anjing si dewa emas melompat ke depan,
hanya sekejap saja dia telah mengitari empat ruangan, lalu menyalak tiga kali
dan melompat lagi kebawah kaki Lamkiong Peng dan Yap manjing sambil
mengendus beberapa kali, habis itu mendadak melompat pergi lagi
Kembali ia mengitari beberapa kali ruangan itu dengan cepat, kemudian berlari
menyusur kaki dinding, makin lari makin lambat.
Semula Kim sian loh merasa bangga dan penuh keyakinan akan kemampuan
anjingnya tapi ketika anjingnya mengitari ruangan untuk kedua kalinya,
tertampaklah rasa gelisah dan herannya.
Setiap kali anjing itu mengitar lagi satu kali, rasa heran dan cemasnya juga
bertambah, sampai butiran keringat pun menghiasi dahinya. Tanpa terasa ia
pun ikut mengitari rumah sambil bergumam,"He, masa belum kautemukan
sesuatu, Loji.......masa tidak............."
Manjing tertawa dingin dengan sikap mengejek.
Mendadak terlihat anjing malangkah keluar, serentak perhatian semua orang
yang berdiri di luar pintu terpusat kepada anjing dan memberi jalan padanya.
Kim sian loh menghela nafas lega, ia yakin anjingnya telah menemukan
petunjuk baru, ia melirik Lamkiong Peng dan Yap manjing, katanya, "Awasi
mereka berdua, jangan sampai kabur."
Lalu ia mengikuti anjing itu keluar.
"Jika benar dia dspat menemukan pembunuhnya, aku justru sangat berterima
kasih padanya," ucap Lamkiong Peng pelahan.
"Mari kita ikut ke sana," ajak Manjing.
"Mau kemana?" bentak empat opas yang memegang rantai sambil mengadang
dengan borgolnya.
Tapi sekali tangan Manjing bekerja, terdengarlah suara gemerantang yang
nyaring, borgol dan pentungan yang dipegang keempat opas itu sama jatuh ke
lantai. Keruan beberapa opas itu terperanjat, belum pernah mereka melihat kungfu
selihai ini, mereka sama melenggong dan menyaksikan Manjing berdua
melangkah keluar dan tidak mencegahnya lagi.
Sementara itu anjing emas kim sian sudah sampai di halaman, sesudah
mengitar sebentar mendadak ia melompat melintasi pagar tembok, tanpa ayal
Kim sian loh ikut melintasi pagar tembok itu, dilihatnya anjingnya sedang
menyalak ke kamar yang terletak di halaman itu.
Sikap Kim sian loh menjadi tegang, segera ia membentak, "Siapa yang tinggal
di sini?" Orang banyak pun sudah membanjir ke dalam halaman, mendengar
bentakannya, semua orang sama memandang ke belakang, tertampak
Lamkiong Peng dan Manjing sedang mendatangi menyongsong tatapan
berpuluh pasang mata.
"Jadi kalian berdua yang tinggal disini" ?" bentak kim sian loh pula.
"Mau apa jika kami tinggal di sini ?" Jawab Manjing ketus.
"Jika begitu, jadi kalian ini penjahat yang merampok dan juga pembunuhnya,"
teriak kim sian loh.
Suasana menjadi panik seketika, pemilik hotel lantas menyingkir dengan
ketakutan, semua orang sama menjauhi Manjing berdua.
" Kau harus bertanggung jawab atas ucapanmu," jengek Lamkiong Peng.
"Selama belasan tahun entah berapa banyak yang telah kuringkus dan tidak
ada satu pun yang keliru tangkap, maka lebih baik kalian menyerah saja."
Lamkiong Peng melirik sekejap anjing yang sedang menggonggong itu, tibatiba
teringat olehnya si kakek yang gila uang yang misterius dan tamak harta
itu, tanpa terasa berubah air mukanya, ia memburu maju dan mendorong
pintu kamar, ternyata kamar sudah kosong, mana ada bayangan si kakek.
Kim sian loh terbahak-bahak,"Haha, meski begundalmu sudah minggat, asal
kubekuk kalian mustahil jejak begundalmu takkan ketahuan."
Segera ia mengeluarkan senjata tombak berantai yang melilit di pinggangnya,
sekali menyendal, tombak berantai menegeluarkan suara gemerincing,
pelahan ia mendekati Lamkiong Peng berdua dan membentak,"Ayolah, lekas
kalian menyerah saja untuk dibekuk."
Para penonton sama menyingkir ketakutan, si pemilih hotel bahkan sudah
kabur. Dengan kening berkerut Lamkiong Peng berkata, "Sebelum terang
duduk perkaranya masakah kau.........."
"Dengan hidung Kim sian, mustahil urusan bisa salah?" kata kim sian loh.
Begitu tombak berantai bergerak, kontan ia sabet kepala Lamkiong Peng.
Kuatir anak muda yang baru sembuh dari sakitnya itu belum kuat, cepat
Manjing memburu maju dengan membentak.
Tak terduga dari belakang lantas terdengar angin menyambar tiba, rupanya si
anjing bulu emas yang sejak tadi hanya menyalak saja kini telah menubruk ke
arahnya dengan buas.
Anjing ini memang bertubuh tinggi besar, setelah berdiri menegak dengan
taring menyeringai, segera leher Manjing hendak digigit.
Keruan semua ornang menjerit kuatir, tampaknya dalam sekejap anak
perempuan yang cantik molek ini akan menjadi mangsa anjing buas.
Namun Manjing semapat mengegos, dengan gesit ia menggeser ke samping.
Tak terduga anjing itu memang sangat tangkas, sekali luput menubruk, segera
ia membalik dan menerkam pula.
Manjing terkejut, diam-diam ia mengakui kelihaian anjing yang tidak kalah
dibandingkan jago silat biasa ini.
Dia memenag tidak ingin melukai anjing itu, sekarang ia tambah sayang
kepada binatang cerdik ini. Hanya sebelah tangannya menabas dan tepat
mengenai kuduk anjing itu sambil berseru kepada Lamkiong Peng,"Lekas kau
mundur saja!"
Dilihatnya Lamkiong Peng cukup tangkas menghadapi tombak berantai Kim
sian loh meski kesehatannya belum pulih seluruhnya. Dengan gerakan yang
lincah ia menghindar kian kemari sehingga tombak lawan sukar
menyentuhnya. Semua orang tercengang melihat ketangkasan kedua muda mudi ini,
tampaknya mereka memang benar penjahat yang merampok dan membunuh
ini, kalau tidak masakah menguasai kungfu setinggi ini.
Tapi ketika untuk kedua kalinya Kiam sian hendak menerkam Yap manjing
lagi, tanpa terasa mereka menjerit kuatir pula.
"binatang!" bentak Manjing sambil menabas, namun anjing itu tidak kurang
gesitmya, ia sempat menghindar dan mendekam di tanah dan siap menubruk
maju lagi. Pada saat itulah terdengar suara gemuruh dari luar berlari masuk lagi berpuluh
petugas bersenjata.
Bekerenyit kening Lamkiong Peng, dihindarkannya sekali serangan Kim sian
loh, lalu bentaknya, "jika engkau tidak segera berhenti bikin jelas dulu
persoalannya, jangan menyesal bila aku........."
Belum habis ucapannya mendadak seorang membentak, "Berhenti semua!"
Menggelegar suara bentakannya, menyusul angin tajam lantas menyambar
dari udara, sebatang tombak dengan ujung terikat sehelai panji merah
meluncur tiba dan "crat", tombak menancap di halaman.
Kim sian loh tekejut dan melompat mundur dari kalangan.
Terdengarlah suara seorang tua sedang menegur dari jauh, "Kim-pohtau,
apakah penjahatnya sudah kau temukan?"
Begitu lenyap suaranya, muncul juga seorang kakek berambut ubanan dan
berpakaian perlente, dahi lebar dan mulut besar.
"Hah, suma-lopiauthau datang, urusan menjadi mudah diselesaikan, " seru kim
sian loh girang. Berbareng ia menuding Lamkiong Peng berdua, "Penjahatnya
berada di sini."
"Kau bilang dia penjahatnya?" tanya si kakek dengan dahi bekerenyit, jelas dia
kurang senang. "Betul, selain keduua muda mudi ini adalagi begundalnya........"
"Tutup mulut!" bentak si kakek sebelum Kim sian loh berucap lebih lanjut.
Kim sian loh tercengang dan menyurut mundur.
Sebaliknya si kakek lantas menyongsong ke depan Lamkiong Peng, sapanya
dengan menyesal, "Ku datang terlambat sehingga Hiantit (keponakan baik)
mendapat perlakuan tidak pantas, harap dimaafkan."
Lamkiong Peng tertawa sambil memberi hormat, jawabnya, "Tak tersangka
hari ini paman pun datang kemari."
Si kakek alias suma tiong-thian menarik tangan Lamkiong Peng dan berkata
kepada Kim sian loh, "Kim pohtau coba kemari."
Dengan bingung kim sian loh mendekati mereka.
"Kau bilang dia ini penjahatnya" Tanya si kakek.
Detektif yang biasanyan sangat angkuh ini sekarang menjadi melenggong oleh
sikap kakek yang kereng ini, seketika ia tidak dapat menjawab.
"Sungguh aku merasa kuatir caramu memecahkan setiap perkara, bila begini
cara kerjamu." Kata Suma tiong thian.
Kim sian loh memandang anjing kesayangannya sekejap, sekarang anjing ini
juga tampak jinak setelah berhadapan dengan si kakek perlente.
"Wanpe sebenarnya juga tidak percaya, kenyataannya........."
"Hm, kenyataan apa?" jengek si kakek, sebelum lanjut jawaban kim sian loh,
"Memangnya kau tahu siapa dia?"
Ia merandek sejenak, lalu menyambung dengan pandangan tajam, "Dia tak
lain tak bukan adalah putra kesayangan keluarga Lamkiong yang termashur,
murid sanjungan Put-si-sin-liong, namanya Lamkiong Peng."
Keterangan ini membuat muka Kin sian loh berubah pucat dan memandang
Lamkiong Peng dengan melongo.
Lamkiong Peng tersenyum, katanya, "Sebenarnya urusan ini......."
Belum lanjut ucapnya, sekonyong-konyong selarik sinar hitam menyambar tiba
dari kerumunan orang banyak.
Cepat Lamkiong Peng mengegos, si kakek pun membentak dan menghantam,
sinar hitam terpental ke samping, berbareng ia terus memburu kesana.
Manjing tidak bersuara, segera ia pun melayang ke tengah kerumunan orang
banyak, tempat menyambarnya senjata rahasia. Hampir bersama saatnya dia
dan Suma Tiong-thian tiba di situ.
Anjing si dewa emas juga menguntit di belakang si kakek. Namun tiada
seorang pun yang pantas dicurigai, agaknya penyergap itu sudah menyelinap
pergi. "Apakah Locianpwe ini Thi-cian-ang-ki Suma-Locianpwe?" sapa Manjing
dengan tersenyum.
"Betul," jawab Suma tiong thian sambil memandang si nona, "dan nona inikah
Khong-jiok Huicu yang termashur itu?"
Manjing hanya menggeleng sambil tersenyum.
Pada saat itulah terdengar seorang lelaki berbaju panjang menuding keluar
sambil berseru, "Itu dia sudah pergi!.........sudah pergi!....sudah pergi!........Ai,
sungguh keji caranya menyerang.........."
Belum habis ucapannya segera Suma tiong-Thian dan Yap manjing memeburu
ke arah yang ditunjuk.
Gemerdep sinar mata lelaki berbaju panjang ini dengan senyuman licik, diamdiam
ia hendak menyusup pergi dari kerumunan orang banyak.
Tak terduga mendadak Lamkiong Peng sudah mengadang di depannya sambil
menegur, "Hm, apakah sahabat mau pergi begitu saja?"
Terkejut juga orang itu.
"Selamanya kita tidak kenal dan juga tidak bermusuhan, mengapa kau serang
diriku dengan senjata rahasia?" tanya pula Lamkiong Peng, pelahan ia
memperlihatkan saputangan yang dipegangnya, pada saputangan itu ada
sebatang senjata rahasia berbentuk aneh, seperti jarum, tajam kedua
ujungnya, dan bercahaya hitam gilap.
"Am-gi (senjata rahasia) sekeji ini, kalau bukan terhadap musuh besar mana
boleh digunakannya?" kata Lamkiong Peng pula.
"Kau .........kau bilang apa" Aku sama..... sama sekali tidak paham" Ujar
orang itu dengan muka pucat.
Berbareng itu kedua tangannya terus menyodok ke dada Lamkiong Peng.
"Hm," Lamkiong Peng mendengus sambil berkelit.
Orang itu mengannggap lawan cuma seorang pemuda lemah, segera ia
mendesak maju dan menghantam lagi.
Tak terduga, belum lagi hantamannya dilontarkan, tahu-tahu kuduk bajunya
dicengkram orang dari belakang.
Keruan ia terkejut, sekilas melirik dilihatnya Suma tiong-thian berdiri
dibelakangnya dengan muka kereng dan membentak, "Kaum tikus celurut,
berani main gila di depanku!"
Sekali angkat kontan orang itu dilemparkan jauh kesana.
Diam-diam Lamkiong Peng menggeleng kepala, pikirnya, "Sudah lanjut usia
orang ini mengapa perangainya masih keras begini." Bilamana orang ini
terbanting mati, kepada siapa lagi akan dikorek keterangan pembunuhan di
sini?" Pada saat itulah mendadak bayangan orang berkelabat lagi, orang yang
dilemparkan Suma tiong-thian itu telah dilempar kembali ke sini. Cepat Suma
tiong-thian menangkapnya kembali, waktu ia mengawasi, ternyata Yap
manjing telah berdiri di depannya dengan tersenyum.
"Hebat amat ginkang nona. Jangan-jangan murid Tan hong siancu" Kata si
kakek. Manjing tersenyum, "Sungguh tajam pandangan Locianpwe, wanpwe memang
murid Tan hong adanya."
"Hahaha, memang sudah kuduga, kecuali anak murid Tan hong siancu, siapa
pula yang dapat mendidik murid dengan ginkang setinggi ini," seru Suma
tiong-thian dengan tertawa.
"Haha, sungguh menyenangkan, anak muda memang selalu melampaui
angkatan tua, inilah kemajuan zaman."
Pelahan ia lemparkan tawanannya ke tanah, dilihatnya muka orang sudah
pucat pasi. Lamkiong Peng memburu maju dan menegur, "Sesungguhnya sebab apa
sahabat menyerangku" Siapa yang menyuruhmu" Asalkan mengaku terus
terang, tentub takkan kubikin susah padamu."
Orang itu menghela nafas, dipandangnya sekeliling, mendadak sinar matanya
menampilkan rasa takut, lalu tutup mulut tanpa berucap sepatah pun.
Dengan kikuk Kim sian loh melangkah maju, katanya, "hamba mempunyai
cara untuk membikin dia mengaku terus terang, entah bolehkah kucoba?"
Suma tiong-thian mendengus, "orang ini pasti tidak ada sangkut paut dengan
perkara perampokan ini, hal ini tidak perlu kau ributkan. Betapa bodohnya
kaum penjahat di dunia tentu juga tidak mau berdiam di sini setelah berbuat
kejahatan. Mengenai urusan lain, hm, kukira tidak perlu Kim pohtau ikut
campur, aku sendiri mempunyai cara untuk mengorek keterangannya."
Kim sia loh mengiakan dan mengundurkan diri dengan kikuk.
Suma tiong-thian menjengek, mendadak mencengkram tulang lemas pundak
orang itu, lalu bertanya dengan suara tertahan, "Atas suruhan siapa, lekas
mengaku!" Kontan butiran keringat merembes di dahi orang itu, namun dia tetap tutup
mulut tanpa bersuara apa pun.
Waktu suma Tiong-thian memperkeras remasannya, tak tertahan lagi orang itu
merintih kesakitan, namu tetap tidak mau bicara.
"Aku tidak terluka, jika dia tidak mau mengaku, biarkan saja," ujar Lamkiong
Peng. "Hiantit tidak tahu, keluarga Lamkiong kalian saat ini sedang menghadapi ujian
berat bahwa orang ini sengaja menyerang dirimu secara menggelap, jelas
pasti ada dalangnya di belakang layar, mana boleh disudahi begini saja?"
"Ujian berat apa?" tanya Lamkiong Peng.
Suma tiong-thian menghela nafas sedih, tuturnya, "Urusan ini agak panjang
untuk diceritakan, untung Hiantit sudah akan pulang ke rumah........Ai, tiba
saatnya tentu engkau akan tahu sendiri."
Lamkiong Peng tambah bingung dan entah terjadi apa dengan keluarganya. Ia
menunduk dan termenung, mendadak dilihatnya kabut tipis mengambang dari
permukaan bumi, hanya sekejap saja sudah menyelubungi telapak kaki orang
banyak. Tergerak hatinya, waktu ia menengadah, sang surya terang benderang di
langit, cepat ia membentak, "Lekas mundur, kabut berbisa!"
Segera ia mendahului menyurut keluar.
Suma tiong-thian melenggong bingung, tanyanya, "Ada apa?"
Tanpa terasa remasannya mengendur, kesempatan itu segera digunakan
orang itu untuk meronta sekuatnya, lalu berguling ke sana dan menghilang di
balik kabut. Seketika terjadi kekacauan, segera Suma tiong-thian mengejar sambil
membentak, "Hendak lari kemana"!"
Cepat Lamkiong Peng berseru pula, "Lekas pergi dari sini!"
Tanpa pikir Yap manjing menahan pundak Lamkiong Peng terus melompat ke
atas wuwungan, waktu memandang ke sana, orang tadi agaknya sudah
mencampurkan diri di tengah kerumunan orang banyak.


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Janggut panjang Suma Tiong-thian berkibar, ia pun menyelinap kian kemari di
tengah orang banyak untuk mencari.
Kim sian loh lantas menarik rantai emas namun anjing yang terantai itu seperti
tidak mau tunduk lagi pada perintahnya melainkan terus mengikut di belakang
Suma tiong-thian sambil menggonggong pelahan.
"Kau tinggal disini, biar kubantu Suma locianpwee membekuk kembali orang
tadi" pesan Manjing kepada Lamkiong Peng.
"tidak perlu lagi," ujar anak muda itu.
"Tentang asal-usul orang itu sudah kuketahui. Yang tak tersangka adalah
dalam waktu sehari dua hari saja orang-orang ini sudah dapat memupuk
kekuatan seluas ini."
"Orang siapa maksudmu?" tanya Manjing dengan bingung.
Dilihatnya air muka Lamkiong Peng mendadak berubah dan berseru, "Wah,
celaka!" Segera ia membalik tubuh dan berlari ke sana, karena badan masih
lemah, hampir saja ia jatuh keserimpet.
Cepat Manjing memburu maju untuk memegangnya sambil bertanya, "Hendak
ke mana kau" Ai, ada sementara urusan mengapa tidak kaukatakan terus
terang padaku?"
"Sesungguhnya aku sendiri tidak tahu sampai di mana perkembangan urusan
ini.......Ai, saat ini sungguh kuharap bisa tumbuh sayap untuk terbang pulang
ke rumah," demikian ucap Lamkiong Peng dengan sedih.
Tiba-tiba timbul semacam firasat yang tidak enak, seperti berbagai macam
malapetaka akan menimpa keluarga Lamkiong, terutama bila teringat kepada
gerombolan "hong-uh-biau-hiang" (dupa mengambang di tengah hujan angin)
yang begitu luas pengaruhnya, sungguh tambah besar rasa kuatirnya.
"Apakah engkau mau pulang?" tanya Manjing dengan hampa.
"Ya dan engkau....." jawab Lamkiong Peng ragu.
"Apakah perlu kutemanimu?" Meneorong sinar mata si nona.
Lamkiong Peng mengangguk dengan pikiran kusut, selain sedih terhadap
urusan yang dihadapi keluarganya, kini bertambah lagi dengan keruwetan
benang cinta. "Jika begitu marilah kita lekas berangkat," seru Manjing girang. Segera ia
menarik anak muda itu dan diajak berlari pergi.
Asalkan berada bersama Lamkiong Peng, urusan lain sama sekali tidak terpikir
lagi olehnya. Kabut makin tebal, orang banyak menjadi kacau dan akhirnya bubar.
Dengan muka masam dan mengepal tinjunya Suma Tiong-thian mengentak
kaki dengan geram. Selama hidupnya malang melintang di dunia kangouw, tak
terduga sesudah tua berbalik banyak mengalami macam-macam gangguan,
sekarang seorang kroco malahan dapat kabur di bawah tangannya. Tentu saja
ia dongkol dan juga heran.
Waktu ia berpaling, dilihatnya Kim-sian-loh masih berdiri di belakang dan
sedang memandangnya dengan bingung. Anjing berbulu emas si dewa emas
jugga mendekam di samping kakinya dengan jinak.
IA menghela nafas pelahan dan mengelus kepala anjing itu, katanya, "Dunia
kangouw memang banyak gelombang badai, apakah engkau tidak ingin
pensiun saja, Kim pohtau."
Kim-sian-loh menunduk dan menjawab dengan tergagap,"Wanpwee........."
"Kukira anjing ini pun sudah waktunya kaupulangkan," kata Suma Tiong-thian
pula. "Tapi sudah belasan tahun Kim-sian ikut padaku, sungguh aku.......aku
tidak......."
"Di dunia ini tidak ada perjamuan yang tidak bubar," ujar suma Tiong thian
dengan gegetun." Apalagi, tentunya kau tahu majikannya saat ini jauh lebih
memerlukan dia daripadamu."
Kim-sian-loh berdiri termangu dengan termenung.
Tiba-tiba dari balik kabut sana muncul lima sosok bayangan, seorang lantas
menegur dengan suara lembut, "Suma-cianpwee, apakah engkau masih kenal
padaku?" Waktu Suma tiong-thian memandang ke sana, tertampaklah seorang nyonya
cantik baju merah dan bermata jeli sedang melangkah tiba dengan lemah
gemulai, dengan girang ia menjawab, "Hah, biarpun tua mataku belum lagi
rabun, masakah tidak kenal lagi padamu" Wah, bagus sekali. Ternyata Ciokheng
juga datang. Eh dimana Liong hui, mengapa dia malah tidak ikut
kemari?" Kiranya nyonya cantik itu ialah Kwee Giok he, dengan menyesal ia berkata
pula, "Ai, aku pun sedang mencarinya kian kemari, tapi tidak.........ai, salahku
juga, mungkin aku berbuat sesuatu yang membikin marah dia, kalau tidak,
entah mengapa dia........."
Mendadak senyumnya lenyap dan berubah menjadi sangat sedih.
Kening Suma Tiong-thian bekerenyit, katanya, "Dan dimanakah So-so"
Mungkinkah dia ikut bersama Liong hui?"
Giok he mengangguk pelahan.
"Ah, anak ini........." gumam Suma tiong thian.
Yang berdiri di samping Ciok Tim yang ebrwajah kaku itu terdapat pula Yim
hong peng yang tampak bersikap santai, ia berdehem lalu berucap, "Anda ini
mungkin ialah Thi-cian-ang-ki yang termashur itu" Cayhe Yim hong peng."
"Yim hong peng"..........Ah bagus sekali, tak tersangka dapat bertemu dengan
Yim taihiap disini?" kata Suma tiong-thian.
Sekilas dilihatnya jauh di belakang mereka berdiri lagi dua orang serupa kaum
budak ikut dibelakang majikannya, jelas dikenalnya kedua orang ini adalah
kedua elang hijau dan kuning dari Jit-eng-tong, gembong perusahaan
pengawalan yang termashur dahulu.
Dengan girang Suma tiong thian mendekati mereka sambil menyapa, "Wi-heng
dan Leng-heng, masa kalian sudah pangling padaku?"
Siapa tahu si elang kuning Wi leng thian dan elang hijau Leng Gin thian hanya
saling pandang sekejap seperti samasekali tidak mengenalnya, mereka tetap
berdiri diam dan kaku.
Suma tiong thian jadi melenggong sendiri, katanya pula dengan mendongkol,
"Hah, meski ang-ki-piaukiok dan Jit-eng-tong perusahaan sejenis, namun jalan
yang ditempuh memang tidak sama. Tak tersangka begini sempit jalan pikiran
kalian." Leng Gin thian dan Wi leng thian tetap diam saja seperti tidak mendengar.
Yim hong peng dan Kwe giok he saling pandang sekejap dengan sorot mata
mengandung senyuman puas, sedangkan Ciok Tim kelihatan merasa kasihan
kepada kedua jago pengawal tua itu.
Pelahan Giok he lantas menarik ujung baju Suma tiong thian dan berbisik
kepadanya, "Suma cianpwee, ada sementara orang takkan menjadi soal
dijadikan kawan atau tidak.........Eh, betapa gagah anjing ini, tentu inilah Kin
sian yang termashur itu?"
Kim sian loh memberi hormat dan menjawab, "Betul, dan cayhe Kim sian loh,
apabila nyonya ada keperluan..........."
"Oya, hampir lupa kuberitahukan padamu," seru Suma tiong thian mendadak,
"Peng-ji juga berada disini!"
"Gote Lamkiong peng maksud Cian pwee?" tanya Giok-he.
"betul," jawab Suma tiong thian, waktu ia berpaling, kabut tadi sudah mulai
menipis, namun di halaman sana kosong sepi tiada seorang pun.
"Peng-ji! Peng-ji!" cepat Suma tiong thian berteriak.
"Mungkin dia sudah pergi," ujar Giok he dengan tersenyum.
"Pergi?" heran juga Suma tiong thian.
"Akhir-akhir ini entah mengapa, bila melihat diriku dan samte dia lantas
menyingkir jauh, padahal.....ai, umpama dia berbuat sesuatu kesalahan,
antara sesama saudara seperguruan tentu juga akan kami maafkan." Giok he
merandek sejenak, lalu menyambung lagi dengan menyesal, "Anak
ini........pintar lagi cekatan, semuanya baik. Kuharap kelak dia dapat
melakukan sesuatu pekerjaan besar, siapa tahu..........Ai!"
"Memangnya dia kenapa?" tanya Suma tiong thian melenggak.
"Betapapun dia masih muda belia, hanya lantaran seorang perempuan bejat
dia tidak sayang bermusuhan dengan orang banyak, "tutur Giok he. "Demi
membela Bwe-leng-hiat dia telah membunuh Hui-goan Wi loenghing."
"Hah apa betul?" teriak Suma tiong thian terkeju dan gusar.
Giok he tidak menjawab melainkan menunduk dan menghela nafas.
Yim hong peng juga menggeleng, ucapnya, "Maklum anak muda!"
Dengan geram Suma tiong thian bergumam, "Keluarga Lamkiong sendiri
sedang gawat dan dia masih bebruat demikian.........." mendadak ia berpaling
dan bertanya, "Apakah kautahu perempuan she Bwe itu telah memperalat
kemala tanda pengenal Peng-ji untuk menarik harta benda dari berbagai
cabang perusahaan Lamkiong di sekitar Se-an?"
Giok he melirik Yim hong peng sekejap, lalu berucap dengan lagak terkejut,
"Apa betul?"
"Berpuluh laksa tail perak memangnya bukan urusan besar bagi keluarga
Lamkiong, tapi sekarang........" ia memandang ke depan dan menghela nafas
panjang. Gemerdep sinar mata Giok he, katanya, "Apakah keluarga Lamkiong
mengalami sesuatu?"
"ya sesuatu yang luar biasa, bisa..bisa bangkrut........" gumam si kakek.
Mendadak terlihat seorang lelaki berbaju hitam berlari masuk dengan
membawa sehelai panji merah, rambut semerawut, nafas ngos-ngosan, begitu
masuk segera ia berlutut dan menyembah sambil melapor, "Wah celaka
Ciongpiauthau!"..........."
"Ada apa?" tanya Suma tiong thian dengan bengis.
Orang itu melapor pula, "Beberapa cabang perusahaan keluarga Lamkiong di
Buwi, Tioya, Kolong, Engting dan Lanciu, semuanya telah dilelang, manjadi
seratus lima puluh tail perak, semuanya diringkas menjadi batu permata,
selagi diangkut sampai di Thayan lantas........lantas..........."
"Lantas bagaimana?" bentak Suma tiong thian.
"Lantas dirampok orang tanpa meninggalkan bekas, sambung orang itu,
"kecuali hamba yang merintis jalan di depan, saudara yang lain
seluruhnya..........seluruhnya telah terbunuh oleh panji merahnya sendiri,
melihat gelagatnya, tiada seorang pun diantaranya sempat membela diri."
Belum habis ucapannya, tahu-tahu Suma tiong thian berteriak terus roboh
terkulai, jatuh pingsan.
Wajah Giok he dan Yim hong peng tampak menampilkan rasa kejut juga,
seperti sama sekali tidak tahu menahu atas urusan perampokan ini.
********** Dari Sunyang lewat Pekho sampai di Ansia, sepanjang jalan hanya ladang luas,
jarang kampung dan sedikit penduduk.
Waktu senja, di sebuah dusun kecil di luar kota Ansia yang tenang, asap dapur
mengepul sana-sini, nyata sudah dekat orang makan malam.
Beberapa orang lelaki dengan baju robek dan telanjang kaki tampak berdiri di
depan satu-satunya penjaja makanan di dusun ini sedang membeli kacang
goreng dengan satu duit, atau membeli siopia dengan dua duit sebiji, tiga duit
dapat memebeli secawan arak putih, empat duit dapat dapat setahil daging
rebus. Lalu menongkrong di atas bangku panjang dan menikmati makanan itu
sambil minum arak serta mengobrol ke timur dan ke barat.
Mendadak salah seoarang itu melenggong dan mendesis sambil memandang
ke depan sana, "Lihat alangkah cakapnya sepasang muda mudi ini. Wah
juragan, tampakanya daganganmu akan laris!"
Penjaja makanan itu menoleh, terlihat dari ujung jalan sana melangkah tiba
sepasang muda mudi, meski kelihatan letih akibat perjalanan jauh, namun
sikapnya tetap gagah dan anggun.
Penjual makanan yang sudah ompong itu tertawa dan berkata, "Ah, mana
orang sudi jajan di tempat seperti ini........"
Tak terduga, tahu-tahu kedua muda mudi itu langsung menuju ke tempatnya,
si gadis berbaju hijau yang cantik itu lantas mengeluarkan empat duit dan
berkata, "Beli siopia dua biji."
Dengan gugup kakek penjual makanan itu membungkuskan dua siopia.
Sambil menerima bungkusan siopia, si nona bertanya, "Sudah dekat Ansia
bukan?" Serentak beberapa orang menjawab, "Ya, sudah dekat di depan!"
Gadis jelita itu mengucapkan teriamkasih dan melanjutkan perjalanan bersama
si pemuda. Sambil berjalan si nona membagi siopia kepada pemuda itu, katanya, "Lekas
dimakan, biarpun penganan udik juga perlu untuk menambah tenagamu agar
dapat menempuh perjalanan lebih jauh, setiba di Ansi dapatlah kita mengambil
dua ekor kuda di cabang perusahaanmu, juga perlu tambah sangu."
"Beberapa hari ini syukur bersamamu, kalau........kalau tidak.........."gumam si
pemuda dengan gegetun.
Si nona menatapnya dengan sinar mata meneorong terang serupa kerlip
lampu di kejauhan.
Tidak lama kemudian mereka sudah memasuki kota Ansia yang telah
bermandikan cahya. Mereka coba mencari cabang perusahaan keluarga
Lamkiong. Akan tetapi seorang di tepi jalan yang ditanya memperlihatkan rasa
heran. "Kalian mencari toko milik keluarga Lamkiong?" jawab orang itu. "Di kota ini
sebenarnya ada sebuah toko hasil bumi milik keluarga Lamkiong yang
terkenal, tapi beberapa hari yang lalu toko itu telah dioperkan kepada orang
lain, semua pegawainya juga telah dibubarkan. Kejadian ini memang sangat
mengherankan penduduk di sini."
Bagi Lamkiong Peng, bukan Cuma heran saja, tapi juga gelisah dan cemas
karena tidak tahu apa yang telah terjadi.
Si nona berbaju hijau, Yap manjing, juga melenggong, tapi segera ia tertawa
dan berkata, "Ah, untuk apa diherankan, bisa jadi Tuhan besar Lamkiong kita
mendadak tidak mau berdagang lagi dan ingin pensiun saja di rumah."
Tanpa pikir ia ajak Lamkiong Peng meneruskan perjalanan keluar kota.
Hati Lamkiong Peng penuh diliputi tanda tanya, "Sesungguhnya apa yang telah
terjadi?" Ia tidak dapat menerka, juga sukar mendapat penjelasan.
Hawa malam mulai dingin, waktu ia menengadah, tertampak bayangan lereng
gunung memanjang di depan.
Itulah lereng gunung Butong, disana pula terletak pusat ilmu silat perguruan
ternama, Bu tong Pai yang termashur.
Sementara itu mereka sudah berada di kaki gunung dengan pepohonan yang
rimbun. "Tentu engkau sudah lelah, biarlah kita mengaso saja disini." Kata Manjing.
Mereka lantas mencari suatu tempat teduh dan berduduk, untuk sejenak
suasana terasa sunyi senyap, tiba-tiba terdengar perut Lamkiong Peng
berkeruyukan. Manjing tertawa, "Hah, kau lapar lagi!"
Segera ia merogoh saku dan mengeluarkan sisa sepotong siopia, katanya pula,
"ini, makanlah!"
Lamkiong Peng terharu, katanya dengan kerongkongan serasa tersumbat,
"Engkau sendiri..........."
"Baiklah, kutahu engaku takkan mau makan sendiri," ucap manjing dengan
tersenyum sambil merobek siopia itu menjadi dua dan separoh diberikan
kepada Lamkiong Peng.
Sambil makan siopia, Lamkiong Peng merasa panganan ini jauh lebih lezat
daripada makanan apapun. Jika bukan dalam keadaan begini dan penganan
pemberian kekasih, mana dapat dirasakan nikmatnya siopia itu.
Deangan tersenyum Manjing berucap, "Pantas kakek botak itu kemaruk harta,
kiranya uang memang pegang peranan sedemikian penting dalam kehidupan
manusia.........Eh, menurut pendapatmu, apakah perampokan itu dilakukan
olehnya?" "Hanya tenaga satu orang saja mana dapat membunuh kawanan jago
pengawal Ang-ki-piaukiok itu?" ujar Lamkiong Peng.
"Jika begitu, mengapa mendadak ia kabur tanpa sebab?"
"Ya, akupun tidak mengerti," jawab si anak muda.
Selagi manjing mau bicara lagi, mendadak Lamkiong Peng menarik tangannya
dan mendesis, "Ssst, jangan bersuara!"
Terdengarlah suara orang tertawa berkumandang dari atas lereng sana,
seorang tertawa sambil berkata, "Jika tidak ada urusan penting, mana berani
sembarangan kuganggu ketenangan keempat totiang?"
Berubah air muka Maniing, bisiknya, "Coba dengarkan, suara siapa ini?"
Tanpa pikir Lamkiong Peng menjawab, " siapa lagi, jelas si tua gila uang itu!"
Logat kampung aslinya dari propinsi Soasai memang sukar dilupakan oleh
orang yang pernah mendengar suaranya.
"Mengapa ia pun berada di sini........."
"Sssst!" desis Lamkiong Peng.
Rupanya beberapa orang itu sudah makin dekat, terdengar suara seorang
berucap dengan nada berat, "Ada urusan, harap lekas bicara."


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sepanjang jalan kukuntit di belakang Totiang selama dua hari, tujuanku
justru ingin mencari suatu tempat bicara yang terahasia." Kata Ci Ti alias gila
uang. Agaknya lawan bicaranya melenggak, lalu berkata, "Bagaimana kalau kita
bicara di atas tebing sana?"
"Bagus sekali." Seru Ci Ti.
Terkesiap Lamkiong Peng berdua segera terdengar suara angin mendesir,
beberapa orang itu telah melompat ke atas.
Ternyata keempat orang tepat berdiri di suatu tebing yang mencuat di depan
tempat sembunyi Lamkiong Peng dan Yap manjing, Cuma mereka berada di
bawah pohon dan teraling oleh akar tertumbuhan yang rimbun, maka mereka
dapat melihat pihak lawan dan lawan tak dapat melihat mereka.
Tertampak jelas empat tojin berjubah hijau dan berkaos kaki putih, rambut
disanggul tinggi dia atas kepala, pedang tergantung di pinggang, di punggung
masing"masing menggendong sebuah bungkusan kuning. Usia mereka ratarata
sudah lebih 50an, sikapnya kereng berwibawa, jelas mereka bukan orang
sembarangan. Seorang di antaranya berwajah kelam dan berjenggot sehingga sikapnya
terlebih gagah, dengan berkerut kening ia lantas berkata, "Nah, apa yang ingin
Sicu bicarakan sekarang dapatlah kaukatakan saja."
"Silahkan duduk, silahkan duduk dulu," ujar si kakek botak alias Ci Ti, lali ia
mendahului duduk bersila.
"Selama ini kami tidak suka bergurau dengan siapa pun, " ujar Tojin bermuka
kelam itu. Mnedadak si botak juga bicara dengan serius, "Tempo sama dengan uang, aku
pun tidak pernah membuang-buang waktu untuk bergurau."
Keempat tojin saling pandang sekejap, lalu ikut duduk bersila.
Seorang tojin lain yang berwajah dingin meraba tangkai pedang dan berucap,
"Sesungguhnya apa yang hendak dibicarakan Sicu?"
Ci Ti memandang cuaca sekejap, lalu berkata, "Saat ini seperti sudah tengah
malam, bukan?"
Selagi tojin bermuka kelam mendengus dongkol, segera Ci Ti menyambung,
"Tengah malam kemarin........."
Baru selesai bicara demikian, serentak air muka keempat tojin itu berubah
hebat, teriaknya, "Apa katamu?" berbareng mereka pun meraba pedang
masing-masing. Selagi Lamkiong Peng terkesiap, terdengar Ci TI terbahak dan berkata pula,
"Tengah malam kemarin, ketika keempat totiang memperlihatkan ketangkasan
kalian, mungkin tak pernah tersangka ada orang menonton permainan kalian
di samping."
Ia merandek sejenak, tanpa menunggu jawaban ia meneruskan, "Tapi
sebelumnya juga tidak kuduga bahwa kawanan permapok berkedok yang
turun tangan keji itu tak lain tak bukan adalah jago Bu tong pai yang terkenal
dan dipandang sebagai pimpinan dunia persilatan, bahkan tidak ada yang
menyangka hal itu bisa dilakukan oleh Bu tong su bok (empat pohon dari
Butong) yang merupakan para tertua andalan Bu tong pai."
Mendengar ini, jantung Manjing hampie melompat keluar dari rongga dadanya,
Dirasakan Tangan Lamkiong Peng yang memegangnya juga bergemetar.
Bahwa kawanan tojin Bu tong pai bisa menjadi perampok, sungguh berita yang
amat mengejutkan.
Baru slesai Ci Ti berucap, serentak terdengar suara bentakan, bayangan orang
berkelebat, sinar pedang pun menyambar, dalam sekejap Bu tong su bok telah
mengepung Ci Ti di tengah, ujung pedang mereka pun mengancam di depan
leher kakek botak itu.
Namun kakek botak yang aneh alias si mata duitan itu tetap duduk bersila di
tempatnya tanpa bergerak, sikapnya tetap tenang, katanya, "Lebih baik kalian
tetap duduk saja, memangnya kalian sangka urusan ini dapat diselesaikan
dengan main senjata?"
Si tojin bermuka kelam membentak, "Omong kosong, sembarangan memfitnah
orang! Masa kaukira Butong su bok tidak mampu membinasakan kakek sialan
macam dirimu ini?"
Ci Ti mendengus, "Memfitnah" Hm, numpang tanya bungkusan apa yang
kalian panggul itu?"
Ujung pedang yang mengancam leher si kakek tampak bergetar, air muka Bu
tong su bok juga berubah hebat.
"Hah, keempat totiang adalah orang cerdik dan pintar, coba pikir saja, hanya
aku saja sendirian, kalau tidak ada bala bantuan yang telah kuatur, masa
kuberani sembarangan merecoki Bu tong su bok yang termashur ini?" ejek si
kakek botak. Pendek kata, apabila malam ini kalian mencederai diriku, maka
dalam waktu lima hari saja setiap orang Bulim pasti akan athu bahwa keempat
tokoh Bu-tong-pai yang ternama dan disegani sesungguhnya tidak lain adalah
perampok belaka."
"Meski tersiar juga tidak ada orang mau percaya, pada hakikatnya di sini tidak
ada orang lain lagi," jengek si tojin muka kelam.
Kalau tidak ada api, dari mana datangnya asap, sesuatu kejadian tentu ada
sebabnya, apakah ada orang lain yang tahu atau tidak, perlu kukatakan lagi
bahwa sebelum kudatang kemari sudah kuatur segala kemungkinannya. Maka
menurut pendapatku, akan lebih baik jika kalian meletakkan senjata saja dan
coba bicara lagi."
Benar juga, pelahan keempat pedang yang mengancam itu lantas diturunkan.
"Nah silahkan duduk, segala apa kan dapat dirundingkan secara baik, aku si
gila uang juga bukan manusia tak tahu malu," ucap si kakek.
Tidak ada pilihan lain, perlahan Bu tong su bok duduk kembali dengan air
muka agak merah. Nyata biarpun kungfu mereka cukup mengejutkan, namun
pengalaman kangouw mereka terlalu dangkal.
Segera si kakek mata duitan berkata pula, "Sudah lama kudengar orang bilang
Bu tong su bok adalah tokoh saleh dan tinggi agamanya, kalau tidak
menyaksikan sendriri sungguh aku pun tidak percaya kalian dapat berbuat
demikian. Agknya kalian baru pertama klai ini berbuat sehingga sangat
tegang, kalau tidak dengan ketajaman mata telinga kalian tentu dapat
mengetahui penonton yang tak diundang serupa diriku ini."
Bu tyong su bok tertegun dan tidak dapat menjawab.
Ci Ti tersenyum, katanya pula, "Kerena kalian baru pertama kali berbuat
sungguh aku tidak mau merusak nama baik yang kalian pupuk dengan susah
payah selama ini, asal saja kalian menerima dua syaratku, selamanya akan
kurahasiakan kejadian ini."
Si tojin bermuka kelam adalah kepala Bu tong su bok, namanya Ci pek tojin, si
cemara ungu, dengan kening bekerenyit ia berkata, "Apa syaratmu?"
"Urusan ini sebenarnya tidak sulit, asalkan........."
Belum si kakek botak selesaikan ucapannya, mendadak Ci pek tojin
memotong, "Urusan apa pun, asal sanggup kulakukan pasti akan kami terima.
Tapi entah cara bagaimana akan kau jamin bahwa seterusnya kau pasti akan
menutupi rapat urusan ini dan takkan disiarkan!"
Ci Ti berpikir sejenak, katanya kemudian, "Tentang ini.........." mendadak ia
berbangkit, telapak tangan kiri melindungi dada, telapak tangan kanan
terangkat ke depan, jari besar dan jari telunjuk membuat lingkaran dan sisa
ketiga jari lain terjulur miring ke depan, sedikit ia menarik nafas, serentak
tubuhnya memanjang lebih setengah kaki, lalu berucap, "Nah, apa yang
kukatakan tentunya dapat kalian percaya bukan?"
Lamkiong Peng dan Yap manjing sama terkesiap, hampir berteriak. Sungguh
mereka tidak menduga si kakek botak yang semula kelihatan loyo dan mata
duitan itu mendadak bisa berubah gagah perkasa..
Bu tong su bok juga kaget, Ci pek tojin lantas bertanya, "Apakah Cian pwe ini
salah seorang tokoh ajaib yang termashur di dunia kangouw pada 30 tahun
yang lalu dan konon sudah lama mengasingkan diri, Hong tun sam yu
adanya?" Ci Ti alias si mata duitan hanya tersenyum saja, dalam sekejap ia sudah
keliahatan lagi keadaannya yang konyol tadi.
Ci pek tojin menghela nafas, katanya, "Jika benar Cianpwe adalah tokoh Hong
tun sam yu yang dahulu pernah menumpas kawanan iblis, apa pula yang perlu
kukatakan, cianpwee ingin memberi petunjuk apa., terpaksa kami hanya
menurut saja."
Nyata keempat tojin andalan Bu tong pai yang namanya disegani serupa
ketuanya, Kong tiok Tojin, kini ternyata juga jeri terhadap Hong tun sam yu
yang biasanya jarang muncul di dunia persilatan itu. Maka dapat dibayangkan
betapa jayanya ketiga Hong tun sam yu ketika masih aktif dulu.
Manjing saling pandang sekejap dengan Lamkiong Peng dengan heran.
Terdengar Ci Ti berkata pelahan, "Nah, dengarkan pertama, hendaknya kalian
serahkan bungkusan yang kalian panggul itu kepadaku."
Bu tong su bok Melenggak dan saling pandang dengan serba susah. Akhirnya Ci pek tojin
menghela nafas, pedang dimasukkan kembali ke sarungnya, bungkusan yang
dipanggulnya ditanggalkan, dengan hormat ketiga kawanannya, jing tiong,
tokgo, dan koh tong tojin juga menirukan perbuatan Ci-pek.
"Keempat bungkusan itu diikat menjadi satu", kata Ci Ti.
Segera Bu tong su bok membuka bungkusan mereka, tertampaklah cahaya
mengkilat menyilaukan mata, ternyata isi keempat bungkusan itu adalah batu
permata yang tak ternilai jumlahnya. Sejenak kemudian isi keempat
bungkusan itu telah diringkas menjadi satu.
Ci Ti menerima satu kantungan besar itu lalu berkata, "Harta benda ini adalah
milik keluarga Lamkiong yang diserahkan dalam pengawalan Ang-ki-piaukiok
bukan?" Bergetar tangan Lamkiong Peng.
Dilihatnya mata Ci Ti menampilkan cahya yang aneh, lalu berkata pula, "dan
urusan kedua, ingin kutanya, sesungguhnya lantaran apa kalian berempat rela
mengorbankan nama baik untuk merampas harta benda ini?"
Air muka Bu tong su bok berubah hebat, cipek tojin menyapu pandang
sekitarnya, suasana malam sunyi, hanya angin mendesir dingin.
"Selain aku kukira tiada orang lain lagi," kata Ci Ti.
Lamkiong Peng menggenggam tangan Manjing, tangan kedua orang terasa
sedingin es. Terdengar Ci pek tojin menghela nafas dan berkata, "Apakah Cianpwe pernah
mendengar nama Kun mo to (pulau kawanan iblis)?"
"Kun mo to?" Ci Ti menegas dengan melenggak, suaranya juga mengandung
nada terkejut. "Ya, entah sudah beberapa puluh tahun yang lalu cerita tentang Kun mo to
telah tersiar luas di dunia kangouw," tutur Ci Pek pula. "Entah mulai kapan dan
entah bagaimana duduk perkaranya, diam-diam Kun mo to telah mengadakan
perjanjian rahasia dengan ketujuh perguruan besar dunia persilatan, yaitu
pihak Kun mo to berjanji takkan ikut campur urusan ketujuh perguruan besar,
juga takkan mengganggu anak muridnya. Sebaliknya Jit-toa-mui-pai (ketujuh
perguruan besar) harus berjanji akan mengerjakan sesuatu rusan bagi Kun mo
to, kapan dan apa pun."
Ia menghela nafas, lalu menyambung lagi, "Perjanjian rahasia ini turun
temurun diketahui oleh para ketua dan beberapa tokoh terkemuka Jit-toa-muipai
kami, yakni siau-lim, kun-lun, kong-tong, Tiam-jong, Gobi, Hoa-san dan
Bu-tong pai kami. Sudah lama perjanjian rahasia ini berlangsung turun
temurun, tapi sejauh ini Kun mo to tidak pernah melaksanakan haknya, baru
akhir-akhir ini.........."
Ia menghela nafas lagi sambungnya, "Kira-kira lebih sebulan yang lalu,
mendadak datang kurir pihak Kun mo to, kami diminta bilamana mengetahui
ada harta benda keluarga Lamkiong yang dikirim lewat jarak ratusan li, di
sekitar Bu tong san, maka orang Bu tong pai kami diharuskan merampasnya,
juga wajib membunuh setiap orang yang mengawal harta benda itu dengan
tanda pengenal merak sendiri, adapun harta bendanya boleh terserah kepada
kami untuk diatur bagaimana baiknya."
Gemerdep sinar mata Ci Ti, katanya, "meski perusahaan keluarga Lamkiong
sudah bersejarah ratusan tahun, tapi selain ada hubungan denga perusahaan
pengawalan umumnya tidak pernah terdengar ada hubungan lain dengan
orang persilatan, mengapa keluarga Lamkiong bisa bermusuhan dengan pihak
Kun mo to?"
"Kami juga merasa heran," ucap Ci pek. "mengingat perjanjian rahasia pihak
Kun mo to dengan Jit-toa-mui-pai kami sudah berlangsung sekian lama dan
sejauh ini tidak pernah menggunakan hakknya, dapat diduga karena mereka
memandang hal ini sangat penting dan tidak mau sembarangan menggunakan
haknya. Siapa tahu sekarang mereka justru menggunakan hak ini untuk
bertindak terhadap keluarga Lamkiong yang tidak ada sangkut pautnya
dengan dunia persilatan. . Cuma lantaran pejabat ketua kami juga harus patuh
kepada perjanjian leluhur, juga tidak ingin bermusuhan dengan Kun mo to,
dalam keadaan terpaksa kami lantas di tugaskan melakukan tindakan yang tak
terpuji ini."
Jing siong tojin lantas menymabung, "Bukan Cuma Bi tong pai kami saja yang
bertindak, kuyakin Gobi, Kunlun, Kongtong dan pergururan lain pasti juga
berbuat yang sama. Sungguh harus disesalkan, entah ada permusuhan apa
antara Kun mo to dengan keluarga Lamkiong, biarpun keluraga lmakiong kaya
raya, tapi mana tahan bermusuhan dengan Jit-toa-mui-pai?"
C Ti duduk termenung tanpa memberi tanggapan, suasana menjadi sunyi.
Mendadak terdengar di bawah pohon yang rimbun sana ada seruan orang
tertahan, "Hei, kau........."
Tahu-tahu muncul seorang pemuda cakap dengan muka pucat dan mendekati
Bu tong su bok.
Serentak Bu tong su bok berbangkit,. Ci Ti juga berseru, "lamkiong Peng!"
"hah, Lamkiong Peng"!" Ci pek tojin bersuara kaget.
Langsung Lankiong Peng mendekati Ci pek tojin, mendadak ia membentak dan
melancarkan pukulan.
Ci-pek berkelit, lengan bajunya mengebas.
Karena dia menyesali perbuatannya, maka kebasan lengan bajunya hanya
digunakan untuk menagkis saja, tak terduga Lamkiong Peng ternyata tidak
tahan oleh tenaga kebasannya, kontan ia roboh terjengkal.
Sekonyong-konyonh bayangan orang berkelebat, seorang gadis jelita
melayang tiba dan menubruk di atas tubuh Lamkiong Peng sambil menjerit,
"Hei kau........." segera ia mendongak dan memaki, "Sebenarnya ada
permusuhan apa antara keluarga Lamkiong dengan Bu tong pai kalian" Kenapa
kalian bertindak sekeji ini?"
Bu tong su bok saling pandang dengan gugup dan tak dapat menjawab.
Ci Ti memandang Lamkiong Peng sekejap, katanya, "jangan kuatir, dia tidak
parah, hanya karena tubuhnya masih lemah dan dirangsang rasa murka,
ditambah lagi rasa cemas, gusar dan lelah, maka mendadak ia jatuh pingsan
dan bukan terluka dalam, asal mengaso dua hari dan makan sedikit obat tentu
akan sembuh."
Pelahan Manjing mengangkat tubuh Lamkiong Peng, ucapnya dengan gemas,
"Hm, baru sekarang kutahu wajah asli Bu tong pai, ternyata semuanya Cuma
manusia rendah dan tidak tahu malu belaka. Tunggulah pembalasanku."
Habis berkata ia lantas melangkah pergi.
Tapi bayangan orang lantas berkelebat, Bu tong su bok telah mengadang di
depannya, "Nanti dulu nona !"
"Kau mau apa lagi?" bentak Manjing.
Ci pek menghela nafas, "Kami bertindak demikian sesungguhnya juga
terpaksa, mohon nona dapat memahami kesulitan kami."
"Hm, kesulitan apa?" jengek manjing.
"Demi kepentingan pihak sendiri lantas mengadakan perjanjian rahasia dengan
kaum iblis dan sembarangan berbuat tanpa menghiraukan kepentingan orang
kangouw, sungguh rendah dan memalukan."
Bu tong su bok melongo oleh makian si nona.
Ci Ti berdehem dan coba menyela, "Nona...."
"Peduli apa denganmu?" damprat Manjing dengan melotot, "Bagimu, asal ada
duit, habis perkara, apa yang perlu kaukatakan?"
Ci Ti melenggong juga.
"Nah, kalau kalian mau, boleh silahkan cincang saja diriku di sini, kalau tidak
hendaknya lekas menyingkir dan memberi jalan." Bentak Manjing.
"Maaf nona, kami tidak ingin membikin susah nona, juga tidak dapat
membiarkan nona pergi dari sini, terpaksa mesti minta nona suka tinggal
sementara di suatu tempat, nanti kalau..............."
"Nanti apa?" bentak Manjing sebelum lanjut ucapan Koh tong tojin, "Barangkali
kalian sedang mimpi, kalian kira nonamu dapat kalian perlakukan sesukanya"
Biarpun Bu tong su bok terkenal di dunia kangouw juga aku Yap manjing tidak
jeri." Pada saat itulah mendadak seorang tertawa nyaring dan mendengus, "Hm,
empat orang tua mengerubut seorang nona cilik, terhitung orang gagah
macam apa?"


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa"!" bentak Bu tong su bok dengan kaget.
Segera suara orang itu tertawa pula, "Hihi jangan takut, adik cilik, Tacimu
datang membantumu!"
Belum lenyap suaranya sesosok bayangan orang lantas melayang tiba dari
bawah tebing. Diam-diam Bu tong su bok terkesiap oleh ginkang orang yang hebat.
Ternyata kedua pendatang seorang lelaki dan seorang perempuan, yang lelaki
gagah tampan, Cuma sikapnya rada angkuh, yang perempuan cantik molek
mempesona. "Bwe kiam soat!" seru Manjing. Kedua pendatang ini memang Bwe kiam soat
dan Cian tong lai adanya.
Bu tong su bok terkejut.
Dengan tertawa genit Kiam soat berucap, "Adik cilik, coba beritahukan padaku,
apakah beberapa tosu brengsek ini hendak mengerubut dirimu" Biar kuhajar
adat kepada mereka."
Manjing menarik muka dan mendengus, "Urusanku tidak perlu kau ikut
campur." "Ahh, masih juga kau bicara segalak ini?" uajr Kiam soat dengan tertawa. "Kau
pondong seorang lelaki sebesar ini, mana bisa kau lawan keempat tosu ini.
Kalau aku tidak kebetulan pergoki kejadian ini, bukan mustahil nona jelita
seperti dirimu ini akan dikerjai orang."
Sembari bicara ia pun tertawa terkial-kial serupa tangkai bunga bergoyang
tertiup angin. Muka Ci pek tojin yang kelam itu tambah gelap, katanya , "Nama kebesaran
nona Bwe sudah lama kami kenal, namun caramu bicara itu hendaknya tahu
aturan sedikit di hadapan kami."
"Eh tong-lai, coba kaudengar, cara bicara tosu tua ini bukanlah terlampau
latah?" tanya Kiam soat kepada pemuda yang berdiri di sebelahnya.
"Hehe, memang, kukira memang agak terlalu latah," Cian tong lai
mengangguk seperti orang linglung.
"Bukan urusan kalian, lekas kalian pergi..........." jengek Manjing.
"Urusan kami atau bukan, yang pasti akan kuikut campur, kukira akan lebih
baik jika kau pergi saja membawa dia lebih dulu," ujar Kiam soat dengan
tertawa. "Baik, biar ku pergi," kata Manjing dan segera hendak melangkah.
"Nanti dulu!" bentak Koh-tong Tojin.
"Eh, apa macamnya seorang tosu tua main adang seorang nona cara begini?"
segera Bwe kiam soat mengejek.
Waktu Bu tong su bok berpaling, ternyata si kakek botak alias Ci Ti entah
sudah menghilang ke mana.
Koh tong tojin berkata pula, "Sudah lama kami dengar ilmu silat nona meliputi
intisari berbagai aliran ternama dan sukar diukur dalamnya. Sekarang nona
bersikap segarang ini terhadap kami, agaknya engkau sengaja hendak pamer
kepandaian di sini?"
Serentak Jing siong dan Tok go tojin berputar dan siap di belakang Bwe kiam
soat, hanya Ci pek saja dengan muka kelam tetap berdiri di depan lawan.
Kiam soat tersenyum tak acuh, katanya sambil melirik kawannya, Tong-lai,
coba ada orang berani bicara kasar padaku, masa engkau tidak memberi hajar
adat kepada mereka?"
Alis Cian tong-lai tampak menegak, serunya, "Orang beragama bersikap
sekasar ini, memang pantas diberi hajar adat!"
"Huh, anak ingusan juga berani bicara tentang hajar adat terhadap Bu tong su
bok?" jengek Koh tong tojin dengan gusar.
"Bu tong su bok?" melenggak juga Cian tong-lai.
"Ya, itulah kami berempat!" sahut Koh tong sambil melolos pedang.
"Hm, memangnya mau apa jika Bu tong su bok?" bentak Cian tong-lai
mendadak, sekali melangkah maju, segera telapak tangannya menabas iga
Koh tong. Sebenarnya antara Bu-tong pai dan Kun-lun pai perguruan Cian tong-lai ada
hubungan erat, tapi pemuda yang angkuh dan biasanya suka bertindak
menuruti watak sendiri ini sekarang tidak menghiraukan hubungan baik segala
demi membela si cantik.
"Kurang ajar!" bentak Koh tong tojin sambil menggeser ke samping, berbareng
pedangnya balas menabas pergelangan tangan Cian tong-lai.
Gerak menghindar yang cepat dan serang balasan yang lihai.
Tak terduga Cian tong-lai lantas mendesak maju malah sambil menghantam
lagi, dengan tangan yang lain ia tolak tangan lawan yang berpedang.
Koh tong terkejut, cepat ia melompat mundur dan membentak, "Apakah kau
murid Kun-lun pai?"
HAN BU KONG JILID 13 "Kalau murid Kun-lun pai lantas mau apa?" jawab Cian tong-lai sambil
melancarkan pukulan tiga kali di tengah berkelebat sinar pedang lawan.
"bagus serangan hebat!" seru Kiam soat memuji, "apabila ditambah lagi jurus
Sam kun ce hoat (tiga pasukan menyerang bersama), tosu brengsek ini pasti
akan kelabakan."
Kiranya dalam waktu beberapa hari yang singkat ini, demi merebut hati si
cantik, tanpa pikir Cian tong-lai telah memberitahukan padanya segenap
intisari kungfu kun lun pai.
"Hm, boleh coba!" jengek Koh-tong Tojin sambil berputar, secepat kilat
pedangnya juga menusuk tiga kali, tapi saking cepatnya seakan-akan hanya
satu jurus saja.
"Bu tong kiam hoat yang hebat!" puji Kiam soat. "tapi coba rasakan jurus Sam
kun ce hoat orang !"
Di tengah tertawa nyaringnya, dilihatnya Cian tong-lai melompat ke atas,
sebelah kaki menendang pergelangan tangan lawan yang memegang pedang.
Ketika Koh-tong tojin menarik peadngnya tahu-tahu tangan Cian tong-lai
menerobos masuk di bawah cahaya pedang dan menusuk hiat-to maut pada
pelipisnya. Mendadak Koh-tong tojin tarik pedang ke samping, segera Cian tong-lai
menerobos maju dan menutuk Ki-bun dan Ciang-tai-hiat di dadanya.
Cepat Koh-tong putar pedangnya untuk menabas, tapi Cian tong-lai lantas
melompat ke samping dan menghantam iga lawan.
Dengan terkejut Koh-tong mengelak, menyusul pedang menusuk lagi. Tak
terduga kedua tangan Cian tong-lai lantas mengatup dan tepat menjepit
batang pedangnya dengan kuat.
Dalam kaget dan gusarnya koh-tong menarik sekuatnya. Akan tetapi pedang
serasa melengket di tangan lawan dan sukar terlepas.
"Hehe, bagaimana, aku tidak berdusta, bukan?" terdengar Bwe kiam soat
berucap dengan tertawa.
Cian tong-lai tampak senang, bentaknya mendadak, "Lepas!"
Tahu-tahu pedang Koh tong tojin tergetar mencelat, cepat Koh tong melompat
juga ke atas untuk meraih kembali pedangnya.
Pada saat yang sama, Jing-siong Tojin telah memburu maju, kontan pedang
menabas pergelangan tangan Cian tong-lai. Tok-go Tojin juga tidak tinggal
diam, berbareng ia pun menusuk iga kiri musuh.
"Hm, tidak tahu malu..........." jengek Bwe kiam soat.
Mendadak dirasakan angin tajam menyambar tiba, pedang Koh tong tojin telah
menabasnya dengan cepat.
Tapi Bwe kiam soat tidak berkelit atau mengegos, tentu saja Koh-tong
bergirang. Tak terduga mendadak Bwe kiam soat menyurut mundur, pedang
Koh-tong menyambar lewat dan mengenai dinding karang "trang", lelatu api
munerat dan membuat tangan Koh tong kesemutan sendiri.
Di antara Bu-tong-su-bok meski masing-masing mempunyai kungfu andalan,
tapi bicara tentang ginkang dan kiam hoat tiada yang dapat menandingi Kohtong.
Sekarang dia ternyata tidak sanggup melawan Cian tong-lai, juga tidak
mampu, mengalahkan Bwe kiam soat, tentu saja ia malu dan gusar, sedikit
bergeser,, sebelah kakinya menendang dada Kiam soat.
"Hm, apakah ini pun jurus serangan seorang tojin?" jengek Kiam soat sambil
menghindar ke samping.
Di sebelah sana Jing-siong dan Tok-go berdua telah mengurung Cian tong-lai
di tengah sinar pedang mereka, ilmu pedang mereka Liang-gi-kiam-hoat dapat
bekerja sama dengan sangat rapat, meski sangat lihai kungfu Cian tong-lai
juga rada kerepotan.
Sementara itu Ci-pek Tojin berdiri menghadapi Yap manjing, ia juga gengsi,
asal Manjing tidak bergerak, ia pun tidak mau turun tangan.
"Apa benar kau larang aku pergi?" tanya Manjing.
"Urusan menyangkut nama baik perguruan kami, terpaksa aku bertindak
demikian," jawab Ci-pek.
Manjing menunduk memandang Lamkiong Peng sekejap, muka anak muda itu
kelihatan pucat dan mata terpejam, nafas sangat lemah.
Ia kuatir dan mendongkol pula, tapi juga tak berdaya, terpaksa ia berkata,
"Bila aku bersumpah takkan menyiarkan kejadian yang kulihat ini, tentu aku
boleh pergi bukan?"
Ci-pek tojin berpikir sejenak, tiba-tiba dilihatnya sisutenya sudah diatasi Bwe
kiam soat, pikirannya berubah, katanya segera, "Nona berasal dari perguruan
ternama, tentu saja dapat kupercayai janjimu."
Mendadak ia mnyingkir ke samping dan memberi tanda, "Silahkan!"
Manjing jadi melenggak karena urusan berakhir semudah ini, tapi mengingat
keselamatan Lamkiong Peng, tanpa bicara lagi segera ia angkat kaki.
Dalam pada itu dengan mengancam Hiat-to maut punggung Koh-tong tojin
segera Bwe kiam soat berseru, "nah, ketiga totiang dapat berhenti, barang
siapa sembarangan bergeral lagi, terpaksa ku............."
Sampai di sini sekilas dilihatnya Yap manjing sedang melangkah pergi dan
melompat terjun ke bawah tebing. Tapi lantaran keadaannya juga sangat
lemah, mendadak terdengar jeritan Manjing yang jatuh di bawah.
Tanpa pikir Kiam soat mendorong Koh-tong dan ikut melayang turun ke
bawah. Cepat Ci-pek bertiga membangunkan Koh-tong yang terluka itu. Sedangkan
Cian tong-lai segera menyusul Bwe kiam soat ke bawah tebing, serunya,
"Nona Bwe, kita pun dapat pergi saja."
Rupanya berhubungan selama beberapa hari ini di antara mereka sudah
tambah akrab, Cian tong-lai jadi semakin terpikat.
Dilihatnya Bwe kiam soat sudah berada di samping Yap manjing dan ingin
menariknya bangun, tapi Manjing sedang mendengus, "Tidak perlu, aku dapat
berdiri sendiri."
Cian tong-lai memburu maju, jengeknya, "Hm, sungguh orang yang tidak tahu
budi, baru saja kita membebaskan dia dari kesukaran, sekarang dia tidak tahu
terimakasih lagi."
Meski jatuh terduduk karena lompat dari ketinggian, namun Lamkiong Peng
masih tetap dalam rangkulannya, sekarang Manjing lantas melompat bangun
dan menjawab, "Hm, memangnya kalian yang membebaskanku dari kepungan
musuh?" "Ya, kau sendiri yang tinggal pergi," ujar Kiam soat dengan tertawa, "Eh, adik
cilik, kau mau kemana?"
"Ku pergi kemana, apa sangkut pautnya denganmu?" jengek Manjing.
"Siapa yang peduli," sela Cian tong-lai dengan gemas sambil menarik lengan
baju Bwe kiam soat, "Jika dia tidak tahu diri, marilah kita pergi saja."
Tapi Bwe kiam soat tidak menghiraukannya, katanya pula kepada Manjing,
"Adik cilik, kau gendong seorang sakit, tenagamu lemah di sekitar sini juga
sukar mencari tempat pondokan, hanya seorang diri ke mana kau mau pergi?"
Manjing menjadi ragu juga, tubuh sendiri memang lemah, tidak membawa
biaya pula, apalagi tidak kelihatan rumah penduduk di sekitar situ. Jika tidak
mendapat pertolongan sungguh keadaan Lamkiong Peng memang
menguatirkan. Sejenak kemudian barulah ia menjawab, "Habis bagaimana?"
"Marilah kita meneruskan perjalanan bersama dan menyembuhkan
penyakitnya dahulu," kata Kiam soat.
"Kau mau pergi bersama mereka?" seru Cian tong-lai, "Bukankah kita akan
pergi bersama."
"Berdasarkan apa kau ikut campur urusanku" Jengek Kiam soat mendadak.
"Bukankah .......segala apa sudah kuberitahukan padamu, mengapa
kau..........."
"Semua itu kau lakukan dengan sukarela, apakah pernah kujanjikan sesuatu
kepadamu?" jawab Kiam soat dengan ketus.
Cia tong-lai melenggong, mendadak ia berteriak, "Tapi..........tapi engkau tak
dapat pergi........jangan tingggalkan aku............."
Segera ia menubruk maju dan bermaksud merangkul Bwe kiam soat.
Sambil bekerenyit kening Kiam soat membentak, "Lelaki hina!"
Kontan sebelah tangannya menghantam. Sama sekali Cian tong-lai tidak
mengelak dan menghindar, "plak", pukulan itu tepat jatuh mengenai dadanya
dan mencelat jauh ke sana, roboh dan pingsan seketika.
Kiam soat mencibir, katanya kepada Manjing, "Marilah kita pergi!"
Manjing hanya menoleh sekejap, akhirnya ikut pergi tanpa bicara.
Diam-diam Manjing membatin, "Pantas setiap orang bilang dia berdarah
dingin, tingkah lakunya memang keji dan dingin. Tapi........terhadap Lamkiong
Peng tampaknya dia tidak dingin."
Dalam pada itu terdengar Bwe kiam soat lagi berkata, "Ada sementara lelaki di
dunia ini memang menggemaskan, asalkan kau beri sedikit kebaikan, dia
lantas ingin menarik keuntungan darimu. Untung sekarang, bilamana terjadi
belasan tahu lalu, hm, jiwa orang she Cian itu tentu sudah melayang."
***************
Lamkiong Peng berbaring di tempat tidur dan tampak bergulang-guling dengan
keringat memenuhi dahinya. Ia sedang bermimpi buruk, seperti beratus
senjata lagi menghunjam kepalanya, seperti api hendak membakarnya, serupa
setan iblis yang tak terhitung jumlahnya hendak mengerubutnya.
Mendadak ia berteriak dan bangun, waktu ia membuka mata, mana ada api,
senjata dan setan segala. DI bawah cahya lampu hanya kelihatan dua raut
wajah cantik molek yang sedang memandangnya dengan cemas.
Setelah menenangkan diri, ia pandang Bwe kiam soat dengan tercengang,
katanya, "Engkau .........engkau berada di sini?"
Kiam soat tersenyum manis, sebaliknya Manjing menunduk sedih, pelahan ia
meninggalkan kamar Lamkiong Peng kembali ke kamar sendiri.
Sungguh kusut pikirannya, sampai jauh malam ia tidak dapat tidur, pikirnya,
"Yang dicintainya ialah Bwe kiam soat, untuk apa ku bikin susah sendiri
dengan menyelipkan diri di tengah mereka?"
Setelah dipkir lagi pulang pergi, akhirnya ia menghela nafas, ia membuka daun
jendela dan bergumam, "Ku pergi saja, semoga kalian hidup bahagia
selamanya dan aku pun........" tak tertahan menitiklah air matanya.
Ia tidak tahu bahwa pada saat yang sama Bwe kiam soat juga sedang
termenung-menung di kamarnya, ia pun sedang memikirkan nasibnya dan
berkeluh kesah, "Wahai Bwe kiam soat mengepa engkau menjadi lupa daratan
seperti ini, masa kau lupa pada usiamu yang sudah tidak muda lagi, dirimu
pun berlumuran dosa, mana setimpal dirimu baginya. Dia sudah sembuh, dia
juga sudah didampingi seorang gadis jelita yang pantas baginya, untuk apa
lagi kau tinggal di sini?"
Ia menghela nafas dan berbangkit, gumamnya, " Biarlah ku pergi saja, kalau
aku tidak pergi sekarang, bisa jadi sebentar lagi aku tidak sanggup pergi."
Dengan sedih ia membuka daun jendela, dengan perasaan berat ia
memandang ke arah kamar Lamkiong Peng, gumamnya pelahan "Ku pergi
saja, jangan kau sesalkan diriku, semua ini demi kebaikanmu,
padahal........masa aku tidak ingin mendampingimu selamanya".........."
Tanpa terasa air matanya berderai, dengan mengeraskan hati akhirnya ia
melompat keluar jendela dan meninggalkan kamar hotel.
Tidak ada yang tahu hampir pada saat yang sama, di kamarnya Lamkiong
Peng juga sedang bingung memikirkan kedua nona itu, selama dua tiga hari ini
ia berbaring sakit di tempat tidur, ia sedih akan malapetaka yang menimpa
keluarganya, juga murung bagi persoalan diri sendiri yang terlibat di tengah
cinta kasih dua nona itu.
Ia pikir keluarganya sedang menghadapi ujian berat, hari depannya sukar
diramalkan, betapapun ia tidak dapat membikin susah kedua nona itu.
Akhirnya ia pun mengambil keputusan akan tinggal pergi saja demi
kebahagiaan kedua nona itu. Ia ingin pulang dulu ke Kanglam untuk
menjenguk orang tua dan mencari tahu sesungguhnya apa yang terjadi.
*********** Beberapa hari kemudian, di suatu malam yang pekat dengan hujan angin,
sebuah pintu gapura megah berdiri tegak dalam kegelapan malam. Dibalik
gapura itu adalah jalan yang panjang berliku diapit oleh pepohonan yang
bergoyang tertiup angin.
Guntur menggelegar, cahaya kilat berkelebat, sesosok bayangan orang tampak


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merandek dan agak ragu untuk meneruskan langkahnya. Sekujur badannya
basah kuyup, bajunya tak teratur, rambutnya semerawut dan mencucurkan
air, entah air hujan atau air keringat.
Kening orang itu bekerenyit, ia menyapu pandang sekelilingnya dengan sinar
matanya yang tajam.
Nyata dia inilah Lamkiong Peng, malam ini juga dia sudah pulang sampai di
rumah disambut oleh hujan angin yang keras. Kepulangannya membawa tanda
tanya yang belum terjawab, yang membuatnya gelisah dan cemas.
Sepanjang jalan dari utara sampai ke selatan, segenap cabang perusahaan
keluarga Lamkiong ternyata sudah ditutup seluruhnya, hal ini membuatnya
bingung dan juga kapiran sepanjang perjalanan.
Maklumlah, selama ini ke mana pun dia pergi tidak pernah kekuarangan
sesuatu. Tapi sekarang dia tidak punya segalanya, dia tidak pernah membawa
sangu, untuk makan saja harus menjual baju.
Syukurlah sekarang dia sudah tiba di rumah sendiri. Ia membusungkan dada
dan mengusap air yang membasahi mukanya , ia melangkah lagi ke depan.
Mendadak dari balik pohon di tepi jalan itu ada orang yang membentak,
"Berhenti!"
Di bawah sinar kilat dua sosok bayangan melompat keluar dari kanan kiri
jalan. Lamkiong Peng berhenti dengan melenggak.
Dilihatnya dua lelaki berbaju hitam dan memakai kedok, yang seorang
bersenjata pedang dan yangn lain memakai sepasang senjata potlot baja,
keduanya mengadang di depan dan menegur, "Sahabat berani menerobos ke
dalam Lamkiong san ceng di tengah malam buta begini, apakah engkau sudah
tidak sayang lagi pada nyawamu?"
Segera orang yang berpedang itu menusuk leher Lamkiong Peng. Serangannya
cepat, jurusnya lihai, sekali serang segera hendak merenggut nyawa orang.
Lamkiong Peng melenggong, cepat ia berkelit sambil membentak, "Berhenti
dulu! Apakah kalian tidak kenal siapa diriku".........."
Orang yang bersenjata potlot baja segera menutuk dua hiat- to di dada V
sambil membentak, "Tidak peduli siapa pun, selama 30 hari ini dilarang masuk
kesini." Lamkiong Peng melompat mundur dan berseru pula, "Berhenti dulu, aku inilah
Lamkiong Peng!"
Orang itu merandek sejenak, mendadak ia tertawa keras dan berakata, "Haha,
Lamkiong Peng, dari mana datangnya Lamkiong Peng sebanyak ini, termasuk
kau sudah ada empat orang memalsukan nama Lamkiong Peng untuk masuk
ke sini." Sembari bicara pedangnya menyerang pula tiga kali sekaligus.
Mau tak mau gusar juga Lamkiong Peng, teriaknya, "Jika kalian tidak percaya,
terpaksa harus kuterobos secara paksa."
Sekali menghantam ia desak mundur orang berpedang itu.
"Saat ini Lamkiong san ceng sudah berada di bawah lindungan 17 tokoh
terkemuka, biarpun setinggi langit kepandaianmu juga jangan harap akan
memasuki perkampungan ini!" teriak orang bersenjata potlot.
Berbareng potlot bajanya lantas menutuk.
Serangan orang ini sangat lihai, setiap tempat yang di arah selalu bagian yang
mematikan. Tentu saja hati Lamkiong Peng penuh diliputi tanda tanya, sungguh kalau bisa
ia ingin terbang masuk untuk menemui ayahnya. Tapi apa daya, kedua orang
ini ngotot merintanginya dan sukar memberi penjelasan. Menghadapi
kerubutan mereka, seketika Lamkiong Peng tidak mampu melepaskan diri.
Terdengar angin berkesiur, kembali tiga sosok bayangan melayang tiba.
Sekilas lirik lelaki berpedang lantas berseru, "Ciok-loji, kedatangan musuh lain
lagi lekas kau papaki mereka!"
Lelaki berpotlot yang disebut Ciok-loji itu berkerut kening, katanya, "Ketiga
pendatang ini tampaknya tidak lemah, lekas kau lepaskan isyarat tanda
bahaya saja."
"Hm, jika malam ini kita tidak mampu mempertahankan pos penjagaan kita
ini, selanjutnya apakah kita ada muka utnuk menemui orang?" Jengek lelaki
berpedang. Mendadak tangannya bergerak, tiga larik sinar perak langsung menyambar
ketiga sosok bayangan yang melayang tiba di bawah hujan itu.
Ciok-loji tertegun sejenak, segera ia pun menubruk ke sana. Dilihatnya
seorang di antaranya mengayun tangannya, kontan ketiga larik sinar perak
tergetar balik.
Cepat Ciok-loji memukul, angin pukulan menyambar, ketiga senjata rahasia itu
dapat dipukulnya jatuh. "Siapa sahabat yang menerobos Lamkiong san ceng di
tengah malam buta ini, lekas mundur kembali!" bentaknya.
Dilihatnya ketiga sosok bayangan itu berseragam sama, baju hitam dan pakai
kedok, kedua orang kanan kiri bersenjata golok, yang di tengah bertangan
kosong, di bawah kain kedoknya kelihatan jenggotnya yang putih.
Ketiga orang itu mendengus, serentak mereka mengerubut maju.
Kedua potlot baja Ciok-loji bekerja cepat, serentak ia tutuk dada ketiga
penyatron. Si kakek berjenggot memberi tanda berhenti kepada kawannya, lalu berseru,
"Apakah sahabat yang mengadang ini kedua saudara keluarga Ciok dari Tiamjong-
pai?" "Kalau betul mau apa?" jawab Ciok-loji bengis. "lekas mundur, kalau tidak,
jangan menyesal jika kami tidak sungkan lagi."
"Hm, aku justru ingin coba-coba kepandaian jago Tiam-jong, jengek Si kakek.
Kedua orang berkedok dan bergolook itu segera menyurut mundur dan si
kakek pun perang tanding dengan ciok-loji.
Senjata si kakek berkedok ini adalah cambuk panjang berwarna hitam, hanya
sekali dua serangan saja Ciok-loji sudah terkurung di tengah bayangan
cambuk yang dasyat.
"Yim ong-hong!" seru Ciok-loji terkesiap.
"Betul," kata si kakek berkedok dengan tertawa. "Haha, tak tersangka setelah
mengasingkan diri 20 tahun masih ada kawan Bulim yang kenal diriku."
Lelaki berpedang itu juga terperanjat, ia sudah kerepotan melawan Lamkiongpeng,
kini diketahui pula si kakek berkedok ini adalah bandit termashur pada
20 tahun yang lalu, tentu saja ia tambah kuatir. Segera ia merogoh saku dan
dilemparkan ke udara, selarik cahaya meluncur dan meletus di atas, seketika
tersebarkan bunga api sebagai hujan.
Lamkiong Peng juga curiga karena kedua orang itu merintanginya matimatian,
apabila benra mereka melindungi perkampungannya, mengapa jejak
mereka dirahasiakan dan main sembunyi, jelas karena asal usul mereka tidak
boleh diketahui orang lain. Jika Yim ong-hong yang sudah menhilang 20 tahun
ini, apa maksud tujuan kedatangannya ini"
Dalam pada itu terdengar Ciok-lojj lagi berseru, "Yim ong-hong, kau berani
melanggar sumpahmu sendiri, dan kini mengaduk lagi di dunia kangouw,
apakah kau tidak takut Hong-tun-sam-yu akan mencarimu?"
"Hahaha, sudah belasan tahun jejak Hong-tun-sam-yu tidak kelihatan di dunia
kangouw, mungkin ketiga tua bangka itu sudah mampus semua, maka
sumpahku dengan sendirinya juga batal," jawab Yim ong-hong dengan
tertawa. "Baru-baru ini kudengar di sini ada berjuta tahil perak, tanpa terasa
hatiku tergelitik. Anehnya Tiam-jong-siang-kiat yang termashur mengapa sudi
menjadi penjaga rumah orang, apakah barang kali kalian juga mengincar harta
berjuta tahil ini?"
"Hm, jika kaupun mengincar harta benda yang berada disini, sama halnya kau
lagi mimpi," jengek Ciok-loji.
Ia terus berjaga dengan rapat, meski cambuk Yim ong-hong menyerang
dengan gencar belum juga mampu merobohkan lawan.
"Menyingkir!" bentak Lamkiong Peng mendadak, sekali hantam ia desak
mundur pengadangnya.
Tentu saja kedua ciok bersaudara, tercengang. Juga Yim ong-hong melenggak,
teriaknya, "He, anak muda, apa maksudmu ini" jika perkampungan ini berhasil
diserbu, tentu engkau akan mendapat bagian yang menarik, lekas bereskan
Ciok-lotoa dulu!"
Sesudah menyebarkan bunga api tadi dan sejauh ini belum kelihatan datang
bala bantuan, diam-diam Ciok-lotoa yang berepdang itu menjadi gelisah, cepat
ia menanggapi ucapan Yim ong-hong," jangan percaya ocehannya sahabat
muda, orang ini adalah bandit yang terkenal kejam, caranya merampok
terkenal main sapu bersih tanpa kenal ampun, mana mungkin dia membagi
bagian rezeeki padamu. Jika kau bantu kami menggempurnya mundur,
mungkin engkau akan mendapat ongkos yang layak."
Diam-diam Lamkiong Peng mendongkol, sudah dirinya disangka sebagai
penjahat, sekarang harta benda keluarganya menjadi incaran pula. Meski dia
meragukan tingkah laku kedua Ciok bersaudara, tapi orang memang
mempertahankan keselamatan perkampungannya, jelas kawan dan bukan
lawan, sebaliknya komplotan Yim ong-hong ini jelas adalah penyatron yang
mengincar harta keluarganya.
Segera ia melancarkan pukulan dahsyat sehingga cambuk Yim ong-hong sama
sekali tidak berdaya menembus pertahanannya.
Tentu saja Yim ong-hong terkejut oleh ketangkasan anak muda itu, hanya
dengan bertangan kosong ternyata mampu melawan cambuknya yang lihai ini.
Sementara itu kedua Ciok bersaudara sempat mengalihkan perhatian untuk
melayani kedua orang berkedok yang bergolok itu.
"Hm, rupanya kedua saudara Li dari Thay-hing-san," jengek Ciok-loji.
Salah seorang berbaju hitam dan berkedok itu balsa mendengus. "Hm, tajam
amat mata Ciok-loji!". Mendadak ia menarik kedoknya dan bergelak, "Haha,
baiklah biar kuperlihatkan wajah asli tuan besar Li!"
Kakak kedua Li bersaudara ini bernama Li Thi-hai berjuluk Hoa-to atau golok
kembangan, adiknya soat-to Li Hui-hai, si golok salju juga membuang kain
kedoknya sambil berteriak, "Nah, setelah kalian melihat dengan jelas wajah
kami, bolehlah kalian mengadu kepada raja akhirat!"
Kedua Li bersaudara ini sama berkepala besar dan bermata melotot,
bercambang dengan perawakan tinggi besa. Namun golok mereka adalah
senjata ringan dan gesit.
Keempat golok segera bekerja sama dengan rapat, cahaya perak berhamburan
serupa salju, serentak Ciok-loji berdua terserang dengan gencar.
Tanpa bicara kedua Ciok bersaudara melayani lawan dengan sama
tangkasnya. Diam-diam Lamkiong Peng membatin, "Sekaligus tokoh Bulim kelas tinggi ini
membanjiri Lamkiong san ceng, jangan-jangan ayah telah mengumpulkan
harta benda hasil penjualan berbagai cabang perusahaan ke sini, entah apa
maksud tujuan ayah dengan tindakannya ini?"
Angin meniup semakin kencang, hujan pu tambah lebat, di kegelapan hutan
sana mendadak meluncur pula tiga larik cahaya terang, lalu bunga api
berteberan di udara.
Menyusul di sekeliling bergema suara teriakan dan bentakan diseling suara
nyaring beradunya senjata.
Seketika air muka semua orang sama berubah.
Tampaknya sebelah sana kedatangan penyatron lagi," desis Ciok-loji kepada
saudaranya. "Antara Yim ong-hong dan Cin Luan-ih biasanya ada satu tentu ada dua,
selama ini keduanya hampir tidak pernah berpisah, jika sekarang Yim onghong
berada disini,. Dengan sendirinya Cian Luan-ih juga sudah ikut datang,"
kata Ciok-lotoa.
Yim ong-hong terbahak-bahak, katanya, "Biar kukatakan terus terang,
segenap kawan, kalangan hitam dari ke-13 propinsi sudah datang semua ke
lamkiong san ceng ini, apa kalian mesti jual nyawa percuma bagi Lamkiong
Sian-ju?" Habis bicara cambuknya bekerja terlebih kencang, ia menyabat kian kemari
sehingga kedua Ciok bersaudara agak kerepotan.
Lamkiong Peng tambah gelisah, ia pikir ayah tidak mahir ilmu silat, jika
kawanan penyatron ini sampai berhasil menyerbu ke dalam rumah, entah
bagaimana akibatnya nanti."
Karena cemasnya, mendadak ia bersuit dan melompat tinggi ke atas, kedua
tangannya meraik, secepat klat ujung cambuk Yim ong-hong terpegang
olehnya. Dengan sendirinya Yim ong-hong menahan cambuknya dengan kuat sambil
berseru kaget, "gaya Si-liong, murid Ci-hau!"
Kedua Ciok bersaudara saling pandang sekejap sambil berucap, "Ternyata
benar Lamkiong Peng adanya!"
Dalam pada itu Lamkiong Peng juga telah melayang turun ke tanah dan
menarik sekuatnya sehingga cambuk Yim ong-hong terbetot lurus. Kedua
orang saling tarik dengan kuat, keempat kaki mereka sampai amblas ke dalam
tanah. DI tengah hujan angin yang lebat, suara suitan semakin ramai dan juga
tambah dekat di udara muncul bunga api berhamburan.
Pada saat itulah sekonmyong-konyong sesosok bayangan orang mucul dari
dalam hutan, dengan dua tiga kali lompatan, langsung bayangan ini menerjang
ke sini. "Aha, bagus!" seru Ciok-lotoa dengan girang.
"Tiam-jong-yan juga datang"!" seru Yim ong-hong kaget sehingga tenaganya
mengendur. Pada saat yang sama Lamkiong Peng terus membentak sambil membetot
sekuatnya sehingga cambuk lawan kena dirampasnya.
Bayangan yang menerjang tiba itu, Tiam Jong Yan, si walet dari Tiam-jong,
mendengus, "Hm, Yim ong-hong ternyata benar berada di sini. Dan siapakah
sahabat ini?"
"Dia inilah Lamkiong Peng," kata Ciok-loji.
"Apa betul?" Tim jong yan menegas.
"Gaya Sin-liong, tidak mungkin salah," ujar Ciok-loji.
Diam-diam Lamkiong Peng merasa lega keran akhirnya identitas dirinya dapat
dikenali mereka.
Ia memberi hormat dan berkata, "Atas kebaikan hadirin yang sudi membela
Lamkiong san ceng, di sini Lamkiong Peng mengucapkan terimakasih. Harap
kalian bertahan sementara di sini, biar kujenguk dulu ayahku."
Selagi dia hendak tinggal pergi, siapa tahu bayangan orang lantas berkelebat,
tahu-tahu Tiam Jong Yan mengadang lagi di depannya.
Lamkiong Peng tercengang, "apakah anda belum percaya bahwa aku inilah
Lamkiong peng?"
Dengan dingin Tiam Jong Yan menjawab,"justru lantaran anda Lamkiong Peng,
maka terlebih tidak boleh masuk ke sana."
"Meng.........mengapa begitu?" tanya Lamkiong Peng dengan tercengang.
"Tiada gunanya banyak bertanya, lekas mundur ke sana!" seru Tiam jong yan,
sebelah tangannya lantas menilak ke depan.
Tentu saja lamkiong peng bertambah curiga, sambil mengelak, mendadak
tangan terasa mengencang, kiranya ujung cambuk sebelah sana kena di
pegang lagi oleh Yim ong-hong, sekali bentak segera ia menarik cambuk
sekuatnya, menyusul lantas diputar dan menyabat kepada Lamkiong Peng.
Malahan Tiam Jong Yan juga melancarkan pukulan maut ke dada anak muda
itu. Kedua orang ini terhitung tokoh kelas tinggi, serangannya sangat lihai, cepat
Lamkiong Peng mengelak.
Yim ong-hong tergelak, "haha, kukira Tim jong pai kalian juga tidak
bermaksud baik......."
Belum lenyap suaranya, kedua telapak tangan Tiam jonbg pai menghantam
sekaligus, yang kiri memukul Lamkiong Peng, yang kanan menghantam Yim
ong-hong sekuatnya.
Terpaksa Yim ong-hong menarik kembali serangnnya kepada Lamkiong Peng,
cambuknya berganti arah di tengah jalan dan menyabat iga Tiam Jong Yan.
Kesempatan itu digunakan Oelh Lamkiong peng menarik diri, dengan cepat ia
hendak melompat ke arah perkampungan. Tak terduga Yim ong-hong dan
Tiam Jong Yan kembali merintanginya.
"Tiam Jong Yan" bentak Lamkiong Peng, "percuma engkau dikenal sebagai
tokoh perguruan ternama, apakah sekarang kaupun menjadi bandit yang
tamak harta?"
"Hm, siapa yang menghendaki hartamu?" jengek Tiam Jong Yan.
"Jika begitu mengapa kau ganggu rezeki kami?" tukas Yim ong hong.
"dan mengapa kau pun merintangi jalanku?" bentak lamkiong Peng murka.
Muka Tiam Jong Yan tampak masam, ia tidak menjawab, tapi serangannya
tambah dasyat. Di sebelah sana kedua Ciok bersaudara yang menandingi kedua Li bersaudara
tampak sudah muali unggul, sedangkan suara suitan dan bentakan di tengah
hutan sana semkin mendekat, malahan sering diselingi suara jeritan ngeri,
jelas ada orang terluka dan binasa.
Hanya di perkampungan yang terletak di kedalaman hutan sana tetap kelam


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa terdengar seuatu suara.
Sekonyong-konyong terdengar orang menjerit di samping. Permainan golok Li
hui-hai menjadi kacau, pedang Ciok-loji telah menusuk bahu kirinya, darah
munerat membasahi baju Ciok-loji.
Li thi-hai terkejut, serunya, "He, jite, apakah parah lukamu?"
Li hui-hai menggertak gigi, ia menerjang maju lagi, serangannya tambah
kalap, mendadak kakinya menendang sehingga sebuah potlot baja ciok-lotoa
terlepas dari pegangan.
Li Thi-hai meraung sambil menabas sehingga lengan kiri terluka panjang,
pedang Ciok-loji juga membalik dan melukai lengan kanan Li thi-hai.
Dalam sekejap keempat orang sama terluka dan berlumuran darah, namun
semuanya pantang mundur, tetap bertempur dengan sengit.
"Hm, jika kalian bertiga bukan tamak terhadap harta untuk apa kalian
mengadu jiwa bagi Lamkiong siang-ju?" bentak Yim ong-hong.
"Dan bila kalian benar membela lamkiong-san-ceng kami, mengapa kalian
Pendekar Latah 11 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Pendekar Bodoh 9
^