Ilmu Ulat Sutera 9
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 9
"Can Cian Cin membujuk anggota cabang Wei hai. Dia ingin
membentuk organisasi sendiri. Dia tidak tahu bahwa aku
sudah lama memperhatikannya. Ini bukti-bukti surat yang
dikirim oleh antek-anteknya." Tok ku Bu tidak mengeluarkan
setumpuk surat dari dalam sebuah amplop besar.
"Kalian tentu tahu kalau ketua cabang Wei hai adalah murid
Go Bi pai. Itulah sebabnya Can Cian Cin tahu jelas ilmu yang
dipelajari oleh It im taisu."
Para hadirin merasa di luar dugaan.
"Salah seorang kepercayaan pejabat yang hendak pindah
rumah itu memang komplotan Can Cian Cin maka dia jelas
sekali tentang masalah ini. Itulah sebabnya tanpa membuka
peti itu pun dia sudah tahu berapa jumlah uang emas yang
ada dalam kereta. Sementara itu kekurangan dua juta dari
jumlah yang seharusnya, tidak salah lagi mereka pasti telah
membaginya rata."
Cu kek Ming menarik nafas panjang. "Tahu orang, tahu wajah,
tidak tahu hatinya. Pepatah ini memang tepat sekali. Budi
Buncu demikian besar kepada Can cian Cin, tidak tersangka
dia bisa melakukan hal demikian," katanya.
"Besok kau bawa uang sejumlah lima ribu perak kepada
keluarganya. Sekalian undang beberapa orang hwesio untuk
692 menyembahyangi jenazahnya!" perintah Tok ku Bu ti.
"Baik!" sahut Cu kek Ming sambil mengundurkan diri.
Tok ku Bu ti mengalihkan pandangannya kepada Tengcu.
"Teng tongcu buatkan sepucuk surat yang sopan dan baik tata
bahasanya. Utus orang dengan kuda tercepat dan antarakan
ke Go Bi san. Beri batas waktu tujuh hari pada It im taisu
untuk menyerahkan Kuan Tiong Liu. Kalau tidak, aku sendiri
yang akan mendatangi Go Bi san dan meringkus anak itu!"
katanya memberi perintah.
Perkataannya diucapkan sepatah demi sepatah. Wajahnya
menyiratkan kekejaman yang sulit dilukiskan. Sebelum
menutup diri tentunya dia sudah menyiapkan berbagai
rencana dengan tenang itu, dia dapat mengatur segalanya.
Manusia semacam ini benar-benar keji dan menakutkan.
Rembulan mulai memudar. Cahayanya menyorot di luar
jendela gendung kecil itu. Meskipun malam panjang belum
berlalu, tapi pagi tidak lama lagi akan muncul.
Tangan memegang cawan, dalam cawan berisi arak. Tapi
perasaannya bukan sedang menikmati arak. Saat ini Tok ku
Bu ti duduk di tempat peristirahatan di taman belakang,
Berhadapan dengan hanya Kongsun Hong seorang.
Minum arak seorang diri hampa rasanya. Tok ku Bu ti sengaja
memilih Kongsun Hong untuk menemaninya. Bukan hanya
sekedar menemani saja. Tapi karena dia mempercayai
Kongsun Hong. Selama ini dia selalu mengangap Kongsun
693 Hong sebagai anaknya sendiri.
Tiga cawan arak telah masuk ke dalam perut. Wajah Tok ku
Bu ti agak murung.
"Tidak disangka hanya dalam waktu dua tahun saja, sudah
terjadi berbagai peristiwa yang tidak terduga."
"Peristiwa yang terjadi dua tahun belakangan ini memang
terlalu banyak," sahut Kongsun Hong.
"Masih lumayan hanya Han ciang tiau siu yang terbunuh dan
juga para anggota cabang tiga belas. Selain itu semuanya
biasa-biasa saja."
"Kau orang tua sudah lupa aku dan Sumoay terkurung dalam
barisan Jit sing kiam ceng satu hari satu malam. Meskipun
tidak sampai mati tapi rasanya malu sekali. Sampai sekarang
kalau ada yang mengungkit persoalan ini kembali, sumoay
masih merasa penasaran," sahut Kongsun Hong.
"Masalah ini tidak usah disimpan dalam hati. Pada suatu hari
nanti aku pasti akan menemukan titik kelemahan barisan
tesebut. Pada saat itu aku akan mengutus kau dan Hong ji
naik sekali ke Bu tong san dan mencoba barisan itu. Kalian
juga bisa melampiaskan kekesalan dengan membunuh
mereka habis-habisan!" kata Tok ku Bu ti dengan keyakinan
penuh. Kongsun Hong gembira sekali. "Kalau Sumoay mendengar
kata-kata Suhu tadi,dia pasti akan senang sekali!"
Wajah Tok ku Bu ti berubah serius kembali. "Anak itu benar-
694 benar terlalu kumanjakan."
"Suhu, ada.. ada masalah yang aku tidak habis pikir."
"Masalah apa?"
"Ketika kami terkurung dalam barisan Jit sing kiam ceng,
kamisudah pasti tidak dapat meloloskan diri lagi. Tapi tidak
disangka sangka tua bangka Ci siong itu malah menurunkan
perintah kepada para muridnya agar melepaskan kami turun
gunung." Wajah Tok ku Bu ti semakin kelam.
"Mungkin dia merasa bersyukur karena selama mengalami
kekalahan sebanyak tiga kali di tanganku, tidak pernah
sekalipun aku mengancam akan membunuhnya. Maka dari itu
dia berlagak berjiwa besar. Kemudian dia mengalihkan pokok
pembicaraan. "Jangan bicara akan masalah ini lagi. Yang lain
saja. Bagaimana sikap Hong ji belakangan ini?"
"Kecuali sifatnya yang cepat tersinggung, yang lainnya biasa
saja." "Apakah ada sesuatu yang terjadi belakangan ini?"
"Cu jin di Liong hong kek beberapa hari yang lalu tidak mau
makan apa-apa," kata Kongsung Hong tanpa sadar.
"Tidak makan sampai sekarang" Tentu sudah hampir mati
kelaparan," kata Tok ku Bu ti agak khawatir.
"Suhu jangan cemas, kemarin sudah mulai mau makan lagi."
695 Belum lagi kata-katanya selesai, Tok ku Bu ti sudah berdiri
dan menempeleng pipi Kongsun Hong. Anak muda itu tidak
menghindar. Tamparan itu cukup keras. Kongsun Hong
tertegun beberapa saat.
"Suhu, mengapa kau?""
"Masih tanya?" Wajah Tok ku Bu ti merah padam karena
marah."Apa yang kupesankan kepadamu sebelum aku
menutup diri. Mengapa nyalimu begitu besarsehingga berani
membangkang?"
"Suhu, aku mana berani.."
"Masih berani membantah" Bilang! Siapa yang kau masukkan
ke dalam Liong hong kek?" bentak Tok ku Bu ti dengan suara
keras. Kongsun Hong kembali tertegun. Dia tidak berani bersuara.
"Hong ji bukan" Bilang!" Hardikan Tok ku Bu ti semakin keras.
Matanya mendelik lebar lebar kepada Kongsun Hong.
Tanpa sadar Kongsun Hong mundur dua langkah. Tok ku Bu ti
malah mendesaknya.
"Bilang!"
Kongsun Hong terpaksa menganggukkan kepalanya.
Tok ku Bu ti tertawa dingin.
696 "Urusan apa pun tidak dapat mengelabui aku. Kalau wanita di
Liong hong kek itu sampai tidak mau makan, hanya Hong ji
yang sanggup membujuknya," sindirnya tajam.
Kongsun Hong segera menjatuhkan diri ke lutut di atas tanah.
Tok ku Bu ti tidak memperdulikannya. Matanya mengedar
kemudian menatap sinar rembulan yang menyorot di sebelah
barat. Lama dia terpaku dalam lamunan. Beberapa saat
kemudian, tiba-tiba tubuhnya melesat bagaikan segumpal
asap yang melayang di atap tempat peristirahatan itu.
Cahaya penerangan sangat redup. Wajah dan tubunya
semakin kurus. Angin sepoi-sepoi bertiup dari celah jendela.
Tangan Sen Man cing sudah dingin sekali. Dia sama sekali
tidak perduli. Tangannya masih menggenggam lukisan Ci
Siong to jin, tapi matanya justru menerawang di kejauhan.
Matanya masih mengembang air. Tapi tidak mengalir turun.
Entah sudah berapa lama dia duduk di sana. Dia tidak ingat
waktu lagi. Dia juga tidak perduli keadaan dirinya sendiri.
Di luar Liong hong kek kesunyian merayap. Tubuh Tok ku Bu
ti bagai seekor burung elang melayang turun tanpa
menerbitkan suara sedikit pun. Meskipun dia berada di luar
dan memperhatikan Sen Man Cing, tapi wanita itu seperti tidak
mengetahui kehadirannya.
Sepasang tangan Tok ku Bu ti mengepal erat. Jari-jari
tanganya sampai terlihat putih pucat. Sepasang matanya
mendelik ke arah lukisan Ci Siong to jin. Seakan ada bara api
yang sedang menyala di matanya.
697 Dia menarik nafas dalam-dalam. Hawa amarah dalam
dadanya hampir meledak. Tiba-tiba dia membalikkan
tubuhnya dan menerjang ke luar. Baru beberapa depa, dia
menghentikan lagi langkah kakinya. Pada saat itu, wajahnya
berkerut-kerut. Urat hijau menonjol di keningnya. Tiba-tiba dia menjerit histeris, membalikkan tubuh dan menerjang ke arah
pintu Liong hong kek.
"Brak!" Pintu ruangan itu hancur seketika. Tok ku Bu ti
menerjang ke dalam. Dengan kalap dia menyerbu ke arah Sen
Man cing. Mendengar suara dobrakan pintu, Sen Man Cing
terkejut sekali. Dia langsung bangkit beriri. Lima jari telapak tangan kanannya diulurkan. Hampir saja dia mengerahkan
tenaga menyerang.
"Siapa?" bentaknya lantang.
Baru saja kata-katanya selesai, dan sudah melihat bahwa
orang yang menerjang masuk adalah Tok ku Bu ti. Kelima jari
tanganya terkulai kembali ke bawah.
"Brett!" Tok ku Bu ti merobek-robek gambar Ci Siong to jin. Dia masih belum puas. Kedua telapak tangannya dirangkapnya
dan".. "Bles!" Lukisan itu berubah menjadi hancuran kecil-kecil dan
bau hangus. Sen Man Cing menatapnya dengan dingin. Dia tidak bergerak,
juga tidak mencegah, Wajah Tok ku Bu ti menyorotkan hawa
amarah, Dia menginjak bekas hancuran lukisan tadi dengan
telapak kakinya. Dia juga tidak berkata apa-apa.
698 Setelah sekian lama berdiam diri, akhirnya Sen Man Cing
yang lebih dulu membuka suara.
"Dua puluh tahun yang lalu, aku memang mera bersalah sekali
terhadapmu. Tapi kau tidak pernah memberikan kesempatan
kepadaku untuk menjelaskannya." Suaranya dingin sekali.
Sama sekali tidak mengandung perasaan apa-apa.
Tok ku Bu ti berdiam diri mendengarkan.
"Selama dua puluh tahun ini, sekilas pun kau tidak pernah
melirik aku. Kau pisahkan aku dengan putriku. Aku tidak
mencaci maki atau pun mengatakan apa-apa. Juga karena ini
memang patut kuterima. Sampai malam ini kau datang
kembali, aku kembali merasa bersalah terhadapmu. Kalau
melihat ilmu silatmu yang sudah mencapai taraf demikian
tinggi. Seharusnya kau tidak cepat menjadi tua, kuyu, pucat,
hal ini membuktikan bahwa selama dua puluh tahun ini kau
pun cukup menderita."
Tok ku Bu ti masih tidak bersuara. Sen Man cing menatapnya
lekat-lekat. Dia menggeleng kepalanya.
"Meskipun kau menyebut dirimu seorang pendekar, tapi kau
berat melepaskan, juga sangsi menemuiku. Selama dua puluh
tahun kau selalu bimbang,. Sampai malam ini kau baru berani
melangkahkan kaki ke Liong hong kek."
Sepasang tangan Tok ku Bu ti mengepal erat-erat. Kobaran
kemarahan di matanya semakin membara. Tampaknya dia
segera akan melayangkan tinjunya ke wajah Sen Man cing.
Tapi akhirnya dia membalikkan tubuh dan menerjang keluar.
699 Dari datang sampai pergi, dia tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Tapi kemarahan, penderitaan dalam hatinya sudah
tersirat jelas. Sen Man Cing menatap bayangan punggung
laki-laki itu sampai menghilang.air matanya mengalir juga.
Menetes di atas robekan lukisan Ci Siong to jin.
Setelah meninggalkan Liong hong kek, Tok ku Bu ti
menghambur ke kamarnya sendiri Baru saja dia mendorong
pintu, tampak Tok ku Hong sedang merapikan selimut yang
berantakan di atas tempat tidur.
Mendengar suara dorongan pintu. Tok ku Hong segera
menolehkan kepalanya. Melihat Tok ku Bu ti yang masuk, dia
bergegas menghampiri. "Tia, ke mana kau sejak tadi?"
Tok ku Bu ti memandang Tok ku Hong yang demikian
memperhatikan dirinya. Entah bagaimana perasaannya saat
itu. Belum sempat dia menjawab, Tok ku Hong sudah menarik
tangannya dan mendudukkannya di kursi. Dia membalikkan
tubuh dan menuangkan secangkir teh.
Tok ku Bu ti hanya memandangi saja. Tok ku Hong sampai
merasa heran. "Tia, mengapa kau hanya memandangi aku
saja" Sejak tadi kau tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Tampaknya Tia sedang tidak senang."
Hawa amarah Tok ku Bu ti meluap kembali.
"Sebetulnya siapa yang membuat Tia demikian marah?"
Tanya Tok ku Hong kembali.
700 Tiba-tiba Tok ku Bu ti berdiri. Dia menuding ke arah Tok ku
Hong. "Kau!"
Tok ku Hong tertegun."Kesalahan apa yang telah aku
lakukan?" "Coba kau katakan, apakah kau pernah ke Liong hong kek?"
Kepala Tok ku Hong tertunduk sebentar. Dia tidak berkata
apa-apa. "Bilang! Mengapa kau tidak berani mengaku?" bentak Tok ku
Bu ti. "Mengapa tidak berani" Aku toh tidak melakukan kesalahan
apa-apa." Sifat keras kepala tok ku Hong bangkit kembali.
"Tidak melakukan kesalahan apa-apa?" teriak Tok ku Bu ti.
"Tidak menurut apa yang aku katakan sudah termasuk sebuah
kesalahan!"
"Dia adalah ibuku. Aku pergi menjenguknya, memangnya tidak
boleh?" "Dia tidak pantas menjadi ibumu!"
"Seorang ibu tetap ibu bagi anaknya. Kalau kau dengan dia
tidak cocok, kau tetap tidak dapat memaksaku untuk tidak
mengakuinya!"
701 Tok ku Bu ti marah sekali. Tangannya melayangkan sebuah
tamparan yang keras ke pipi gadis itu. Meskipun tenaganya
tidak seberapa besar, namun tubuh Tok ku Hong sempat
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibuat berputaran satu kali.
Tangan Tok ku Hong meraba pipinya yang sakit. Matanya
mendelik marah kepada ayahnya. Tok ku Bu ti sendiri seperti
baru tersadar apa yang telah dilakukannya tadi. Dia menatap
sepasang tangannya sendiri. Tanpa sadar, kedua tangannya
gemetar. Tok ku Hong merandek sejenak kemudian
membalikkan tubuhnya dan menghambur keluar.
"Hong ji"! Panggil Tok ku Bu ti satu kali. Akhirnya dia
menjatuhkan diri duduk di atas kursi.
Tok ku Hong masih memegangi pipinya. Dia langsung kembali
ke kamarnya. Diambilnya pakaiannya lalu membungkusnya
dengan sehelai kain dan kemudian menyandangnya di bahu,
terus berlari ke luar.
Dua gadis pelayan yang selalu melayaninya memandang apa
yang dia lakukan dengan termangu-mangu. Mereka tidak
mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Tok ku Hong, tapi
mereka juga tidak berani banyak bertanya.
Baru sampai di luar pintu, dia bertemu dengan Kongsun Hong.
Melihat laki-laki itu, hawa amarahnya meluap lagi. Belum
sempat dia membuka mulut memaki, Kongsun Hong sudah
mendahului berkata,"Sumoay. Tadi aku kesalahan bicara.
Suhu langsung menangkap basah bahwa aku pernah
memasukkanmu ke Liong hong kek."
702 "Bukan kau sengaja mengadu kepada Tia?" hanya Tok ku
Hong dengan mata mendelik marah.
"Bukan." Tiba-tiba Kongsun Hong seperti tersadar. "Apakah
Suhu baru saja memarahimu?"
"Marah" Dia malah menampar pipiku. Ini baru pertama kali
dilakukannya sejak aku kecil!"
Kongsun Hong tertegun di tempat. Dia juga tidak tahu apa
yang harus dikatakannya. Tok ku Hong sendiri juga tidak
berkata apa-apa. Dia meneruskan langkah kakinya. Laki-laki
itu baru sadar bahwa Tok ku Hong menyandang bungkusan di
bahunya. Dengan tergesa-gesa dia berlari menyusul.
"Sumoay.. hendak ke mana kau?"
" Kemana juga sama saja. Apakah aku harus bertanya dulu
kepadamu?" Tok ku Hong tertawa dingin. Langkah kakinya
tidak berhenti.
Kongsun Hong melesat ke depan menghalanginya. Tok ku
Hong segera mengeluarkan sepasang goloknya. "Minggir!
Kalau tidak aku akan menikammu dengan golok ini!" Bentak
gadis itu. Kongsun Hong malah membusungkan dadanya.
"Kau tikam saja aku!"
"Menikammu?" Tok ku Hong segera mendapat akal. "Aku
akan menikam diriku sendiri," katanya sambil memutar golok
703 ke arah lehernya sendiri.
Kongsung Hong terpana. Tok ku Hong tertawa dingin.
"Aku akan menggorok leherku sendiri atau paling tidak aku
rela mencacatkan wajahku ini. Aku ingin tahu, bagiamana
jawabanmu kalau ditanya oleh Tia?" kata Tok ku Hong
selanjutnya. "Sumoay, jangan menambah kesulitanku. Kalau kau pergi
begitu saja. Aku tetap tidak dapat memberi jawaban kepada
suhu." Suara Kongsun Hong berubah lembut dan menatap.
"Lucu! Tia toh tidak menyuruhmu menjaga aku. Lagipula aku
sudah begini besar. Kau juga tidak bisa menjaga aku terus
menerus. Minggir" Sepasang golok Tok ku Hong semakin
menempel di leher.
Kongsung Hong masih juga menghadang di depannya.
Sepasang alis Tok Ku Hong bertaut ketat. "Aku suruh kau
minggir! Terlingamu tuli," bentaknya dengan suara yang lebih
keras. Kongsun Hong dibentak sampai mundur beberapa langkah.
Akhirnya dia minggir juga. Tok ku Hong juga tidak
memperdulikannya. Sepasang goloknya ditarik kembali,
kepala pun tidak berpaling. Dalam sekejap mata, dia sudah
lenyap entah ke mana.
Kongsun Hong serba salah. Mengejar salah, tidak mengejar
salah. Benar-benar dia tidak tahu mana baiknya. Berkali-kali
kakinya sudah hendak dilangkahkan, tapi dia membatalkannya
lagi. Akhirnya dia hanya bisa menarik nafas panajng. Tepat
704 pada saat itu, Tok ku Buti berjalan menghampiri. Dia heran
melihat tampang Kongsun Hong yang seperti orang tolol.
"Apa yang sedang kau lakukan/"
"Sumoay.. Sumoay?"
"Apa yang terjadi dengan Hong ji?" desak Tok ku Bu ti.
"Dia". Pergi." Wajah Kongsun Hong semakin kelam.
"Pergi" Ke mana/"
Kongsun Hong menggelengkan kepalanya. Tok ku Bu ti
memperhatikannya lekat-lekat. Kemudian dia ikut-ikutan
menarik nafas. "Aku yang salah. Aku membuatnya marah."
"Suhu, menurutmu"."
"Kalau marahnya sudah hilang, dia akan pulang sendiri. Mata
Tok ku Bu ti bersinar tajam. "Lebih baik kau lihat apakah Teng
cu sudah menyampaikan surat itu. Kalau sudah, cepat utus
orang membawanya ke Go Bi pai!"
Kongsun Hong terpaksa mengiakan. Padahal dalam hatinya
dia sangat mencemaskan keadaan sumoaynya. Tok ku Bu ti
juga tidak berkata apa-apa lagi. Dia berjalan kembali ke
kamarnya dengan berpangku tangan. Wajahnya sudah seperti
biasa lagi. Tentang apa yang direncanakan dalam hati, tentu
hanya dia sendiri yang tahu.
705 Sepucuk surat yang sopan diantarkan oleh seorang laki-laki
yang sopan pula. Tapi begitu mendengar bahwa surat itu
berasal dari Tok ku Bu ti. Empat orang murid Go Bi pai yang
menyambut pengantar suarat dari Bu ti bun langsung berubah
wajahnya. "Go Bi pai dan Bu ti bun belum pernah berhubungan. Tiba-tiba
pihak Bu ti bun mengirim orang mengantarkan surat ke tempat
tersebut., tentunya isi surat itu tidak mungkin sekedar basa-
basi atau menyampaikan salam saja. Apalagi peristiwa Kuan
Tiong Liu yang membunuh habis-habisan anggota Bu ti bun
cabang tiga belas sudah diketahui oleh mereka.
Setelah menyerahkan surat tersebut, utusan Bu ti bun
langsung berangkat lagi. Empat murid Go Bi pai tidak sempat
memperdulikanya Mereka panik sekali, semuanya
berhamburan menuju ruangan utama. Baru menaiki undakan
batu, mereka sudah dihadang oleh sorang pendeta berusia
setengah baya. "Kalian sudah lupa tempat apa ini?" bentaknya keras.
Empat murid Go Bi pai itu segara membungkukkan tubuhnya
dengan hormat. "Ce Kong suheng, ada sepucuk suart yang harus segera
disampaikan ke tangan ciang bun jin?" Sahut salah satu dari
keemapt orang itu.
"Surat apa yang membuat kalian bagitu gugup?"
"Utusan Tok ku Bu ti dari Bu ti bun yang mengantarkannya."
706 "Tok ku Bu ti?" Kening Ce Kong langsung bertaut ketat, "Iblis
tua ini masih saja suka menimbulkan masalah."
"Ciang bun jin."
"Dia orang tua sedang menyadarkan kepala perampok Li Jit
yang menguasai tujuh propinsi perampok Li jit yang
menguasai tujuh propinsi . Orang semacam itu masih mau
bertobat benar-benar mengagumkan. Kita tak boleh mengusik
mereka. Kalian tunggu sebentar di sini." Ce Kong melirik
sekilas ke dalam ruangan. Setelah itu dia juga berdiam diri.
Segumpal asap tebal melayang keluar dari dalam ruangan.
*** Asap putih memenuhi ruangan. Suara bacaan doa terdengar
lantang. Sepasang alis It im taisu bagai awan putih.
Pakaiannya berwarna merah dengan sulaman berwarna
keemasan di tepiannya. Wajahnya bersih dan suci. Persis
seperti Buddha hidup. Membuat siapa pun yang
memandangnya dapat merasakan kewibawaan orang ini.
Li Jit justru berlutut di hadapannya. Dia adalah bekas kepala
perampok yang menguasai tujuh propinsi. Orang yang sudah
dibunuhnya tidak terhitung lagi. Namun akhirnya dia berhasil
disadarkan oleh It im taisu engan jalan Buddha. Li Jit malah
bersedia menyucikan diri menjadi pendeta.
"Sabda Buddha tidak dapat diuraikan sekaligus".
707 Mendengar tanpa meresapi tak akan membawa hasil".
Tidak berkata, tidak mendengar, sama juga tiada hati".
Lebih baik menemukan sendiri penerangan Buddha lewat
cermin diri?" It im taisu membalikkan tubuhnya perlahan-
lahan. Suara ketukan bokhi (ikan-ikanan dari kayu yang biasa
diketuk-ketukkan sewaktu membaca doa) dan bacaan doa
segera terhenti. Li Jit menyembah sebanyak tiga kali.
"Berbahagialah engkau yang dapat berpaling dari tepian.
Lautan Buddha tiada batasnya." It im taisu menggerakkan
goloknya. "Tebasan golok memisahkan engkau dengan
duniamu sebelumnya. Sejak sekarang kau sudah melangkah
masuk pintu Buddha. Tidak melanglang buana dalam urusan
duniawi terutama kejahatan. Sebagai guru aku memberimu
gelar". Bu Tek."
"Terima kasih, Insu (Guru yang berbudi)," Li Jit yang sudah
berganti nama Bu Tek menyembah lagi tiga kali.
Suara ketukan bokhi dan bacaan doa berkumandang kembali.
*** Agak lama juga mereka menunggu di luar. Akhirnya suara
708 kumandang pembacaan doa dan ketukan bokhi berhenti juga.
Ce Kong yang sejak tadi sudah panik sekali segera merebut
surat Tok ku Bu ti dari tangan murid Go bi pai tadi dan
menghambur ke dalam ruangan utama.
It im taisu terheran-heran melihat Ce Kong menghambur
masuk dengan cara seperti itu. Sepasang alisnya terangkat
tinggi. Ce Kong demikian gugup sehingga tidak dapat
mengatakan apa-apa. Dia hanya menyodorkan surat ke
tangan It im taisu. Ciang bun jin Go bi pai tersebut menerima
surat itu dan membacanya sampai selesai. Kemudian dia
menarik nafas panjang.
"Siancai, Siancai". Go bi pai sudah tenang selama tiga puluh
tahun, rasanya sejak sekarang akan datang lagi berbagai
masalah." "Suhu?"
"Ce Kong, kau segera turunkan perintah dan utus beberapa
orang untuk mencari Kuan Tiong Liu agar segera kembali ke
Go bi san!" kata It im taisu.
"Suhu, Tok ku Bu ti?"
"Dia ingin memperhitungkan masalah cabang ketiga belasnya
yang disapu bersih oleh Kuan Tiong Liu. Dia memberi batas
waktu selama tujuh hari. Apabila dalam waktu tujuh hari
kemudian kita tidak menyerahkan Kuan Tiong Liu, maka dia
akan datang sendiri ke sini untuk meringkusnya."
Ce Kong terkejut sekali. "Tentu Suhu tidak akan menyerahkan
Kuan sute, bukan?"
709 "Aku hanya ingin mengetahui dengan jelas kejadian ini."
"Hanya tujuh hari, rasanya tidak mungkin menemukan Kuan
sute dalam jangka waktu secepat itu."
"Tujuh hari kemudian aku akan mengirim surat menolaknya.
Sampai Tok ku Bu ti datang nanti, mungkin cukup waktu untuk
mencari Kuan Tiong Liu kembali ke Go bi san."
"Seandainya bukan Kuan sute yang bersalah?"
Wajah It im taisu berubah serius. "Aku pasti dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Pergilah!"
*** Pada saat itu, utusan Bu ti bun sudah sampai di kaki gunung.
Dia menolehkan kepalanya dan memandang ke sekitar.
Setelah yakin tidak ada yang mengejarnya, dia membelokkan
kudanya ke dalam sebuah hutan yang lebat.
Setelah melarikan kudanya kurang lebih setengah li, di
hadapannya sekarang adalah sebidang tanah kosong yang
sangat luas. Dia bersiul satu kali. Ternyata sudah banyak anak
buah Bu ti bun yang bersembunyi di sekitar tempat itu.
710 Tok ku Bu ti sendiri berdiri di depan sebuah kuburan tua.
Wajahnya angker. Dadanya membusung. Lagaknya angkuh
sekali. Di bagian kiri kanannya berdiri Cian bin hud, Cu kek
Ming, Teng cu dan Kongsun Hong. Mereka tampaknya sedang
merundingkan sesuatu. Melihat utusan tadi sudah kembali,
pembicaraan pun berhenti untuk sementara.
Utusan itu segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tok ku
Bu ti. "Apakah suratnya telah diantarkan?" tanya Tok ku Bu ti datar.
"Hamba sudah menyelesaikan tugas."
"Apakah mereka menyulitkan dirimu?"
"Tidak. Mereka juga tidak mengejar. Para murid o bi pai yang
menerima surat tampaknya panik sekali."
"Yakin mereka juga tidak mempunyai nyali sebesar itu untuk
menganggu utusanku."
Tok ku Bu ti mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-
bahak. "It im taisu pasti tidak menduga bahwa kita sudah
berkumpul di kaki gunung ini. Tepat tujuh hari kemudian, kita
menyerbu ke atas dan meminta orang. Kalau dia tidak
menyerahkan Kuan Tiong Liu, bunuh bersih semuanya,
jangan ada yang tersisa."
"Suhu, mungkinkah mereka mencari bantuan?"
"Waktunya hanya tujuh hari, siapa yang bisa mereka mintakan
711 bantuannya dalam jangka waktu sependek itu?"
"Rasanya mereka juga tidak berhasil menemukan Kuan Tiong
Liu dalam jangka waktu tujuh hari."
"Buat apa peduli begitu banyak" Ada atau tidak ada, tidak
akan merubah keputusan kita."
"Betul! Kita toh bertujuan membasmi Go bi pai, bukan hanya
Kuan Tiong Liu seorang saja!" Kongsun Hong langsung
mengerti maksud gurunya.
Kembali Tok ku Bu ti mendongakkan wajahnya dan tertawa
terbahak-bahak.
***
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuan Tiong Liu sama sekali tidak tahu bahwa bencana sudah
berada di depan Go bi pai. Pada saat ini dia sedang berdiri
berhadapan dengan Wan Fei Yang di pesisir pantai. Jit Po dan
Liok An sedang merapikan leher baju Kuan Tiong Liu.
Sedangkan si kerdil Sam cun juga merapikan pakaian Wan
Fei Yang. Hai Liong lo jin duduk di atas sebuah batu berbentuk persegi.
Dia mulai tidak sabar menunggu lebih lama. Dia menepuk
tangannya berkali-kali.
"Cepat! Cepat!" serunya kesal.
712 "Ini hanya pertarungan main-main. Bukan pertarungan hidup
dan mati. Hanya boleh saling menyentuh saja. Siapa yang
kalah dan siapa yang menang, aku orang tua akan
memberikan keputusan yang adil."
Kuan Tiong Liu menyahut datar. Gayanya penuh percaya diri.
Beberapa hari belakangan ini dia berlatih dengan keras.
Sekarang dia sudah benar-benar menguasai tiga jurus terakhir
dari Lok jit kiam hoat.
Wan Fei Yang masih tampak serba salah. Sampai saat ini dia
masih mengharapkan Hai Liong lo jin akan membatalkan
maksudnya. Tentu saja dia kecewa. Orang tua itu menepuk
tangannya sekali lagi.
"Mulai!" teriak Hai Liong lo jin selaku wasit.
Kuan Tiong Liu segera memutar pedangnya menjadi dua buah
rangkai bunga. "Hunus pedangmu!" katanya kepada Wan Fei Yang.
Dengan tampang terpaksa Wan Fei Yang menghunus
pedangnya. "Lihat pedang!" teriak Kuan Tiong Liu sekali lagi. Tubuh dan
pedangnya meluncur dalam waktu yang bersamaan. Baru
setengah jalan, pedangnya sudah bergerak tujuh kali.
Wan Fei Yang menggerakkan kakinya dengan langkah ajaib
Bu tong pai. Berturut-turut dia menghindari tujuh kali serangan Kuan Tiong Liu. Pedangnya meluncur dan menangkis
713 serangan ke delapan pemuda itu.
Kuan Tiong Liu kembali memutar pedangnya, gerak tubuhnya
segera berubah. Dia mencelat ke udara. Sejurus demi sejurus
Lok jit kiam hoat dimainkannya dengan indah. Wan Fei Yang
terpaksa mengerahkan Liong gi kiam hoat. Menyambut satu
kali, dia belas menyerang satu kali juga. Dalam tusukan
ketujuh puluh empat, dia berhasil menguasai keadaan. Tiga
puluh enam jurus lagi Kuan Tiong Liu mulai terdesak.
Si kerdil Sam cun yang menyaksikan pertandingan ini
tersenyum terus. Sedangkan wajah Jit Po dan Liok An
semakin kelam. Hai Liong lo jin malah tidak menunjukkan
perasaan apa-apa.
Setelah mundur tujuh langkah, Kuan Tiong Liu segera
merubah posisinya, dia menangkis sembilan puluh tiga kali
serangan Wan Fei Yang dengan cara membelakanginya.
Akhirnya Wan Fei Yang terdesak kembali ke tempatnya
semula. Kemudian dia masih terdesak mundur sebanyak tujuh
langkah. Kedudukan masih seimbang untuk sementara.
Kali ini wajah Jit Po dan Liok An yang berseri-seri. Si kerdil
Sam cun malah bersungut-sungut. Dia tidak bisa tersenyum
lagi. Hanya Hai Liong lo jin yang masih seperti sebelumnya.
Lama kelamaan bibirnya baru menyunggingkan seulas
senyuman tipis. Tapi hanya sekejap sudah menghilang
kembali. Matanya tajam seperti seekor elang dan
memperhatikan jalannya pertarungan tanpa berkedip.
Hai liong lo jin menyaksikan jalannya pertarungan dengan
seksama. Setiap perubahan gerak yang dilakukan kedua anak
muda itu terlihat jelas olehnya. Pedang Kuan Tiong Liu
714 semakin menyerang semakin gencar. Tiba-tiba berubah
menjadi perlahan.
"Hati-hati!" teriaknya lantang.
Baru saja dia mengucapkan kata-katanya, tubuh dan pedang
sudah berubah menjadi satu dan menimbulkan cahaya yang
berkilauan meluncur ke arah Wan Fei Yang. Anak muda itu
merubah gerakan kakinya dan bergulingan di atas pasir.
"Trang! Trang! Trang!" Entah berapa kali sudah dia
menyambut serangan Kuan Tiong Liu. Gerakan kakinya
semakin kacau. Tapi makin lama makin cepat. Tubuhnya
diselimuti cahaya pedang tapi kakinya masih berdiri dengan
kokoh. Pedang Kuan Tiong Liu berubah lagi tiga kali berturut-turut.
Tubuhnya melesat ke atas kemudian melayang turun kembali.
Pedang di tangannya bagai bintang yang bertaburan di langit.
Tiba-tiba tubuhnya menggeser dan menyatu dengan pedang
lalu menerjang ke arah Wan Fei Yang. Anak muda itu
mengangkat pedangnya dengan kelabakan. Tampaknya dia
akan berhasil menghindarkan diri dari serangan itu, tapi masih
juga terlambat tiga detik.
Pedang Kuan Tiong Liu terhenti di tenggorokan anak muda itu.
Wan Fei Yang menarik nafas perlahan. Pedang di tangannya
terkulai ke bawah. Kuan Tiong Liu tidak menusukkan
pedangnya ke dalam tenggorokan Wan Fei Yang. Dia tertawa
dingin. "Kali itu kau tidak membunuh aku, kali ini aku juga
melepaskan dirimu dari kematian. Apa yang aku hutang
715 kepadamu sudah kulunasi hari ini, iya bukan?"
Wan Fei Yang menganggukkan kepalanya. Kuan Tiong Liu
menarik kembali pedang yang menempel di leher anak muda
itu. "Tapi aku harus memperingatkan dirimu. Lain kali kalau
kau bertemu lagi dengan aku, jangan harap aku akan
melepaskanmu begitu saja!"
Wan Fei Yang tidak menyahut.
Kuan Tiong Liu memasukkan pedang ke dalam sarungnya.
Pada saat itu, Jit Po dan Liok An sudah berlarian mendatangi
dan memegang lengan Kuan Tiong Liu dari kiri dan kanan.
Wajah mereka berseri-seri. Sam cun juga mendekati Wan Fei
Yang. Wajahnya tampak kecewa.
Kuan Tiong Liu segera mengibaskan tangannya. "Manusia she
Wan, kau sudah boleh pergi sekarang."
Wan Fei Yang melirik Kuan Tiong Liu sekilas. Kemudian dia
berjalan menghampiri Hai liong lo jin dan berlutut di depannya.
Dia menyembah sebanyak tiga kali, kemudian berdiri. Hai
liong lo jin memperhatikan Wan Fei yang lekat-lekat. Akhirnya
dia menarik nafas panjang. "Kau". Kau baik sekali.
Pergilah"."
Wan Fei Yang membalikkan tubuhnya. Dia menghampiri Sam
cun kembali dan menepuk bahunya beberapa kali. Setelah itu
dia meneruskan langkah kakinya tanpa menoleh lagi.
Kuan Tiong Liu memandangi punggung Wan Fei Yang yang
terus melangkah sampai jauh. Dia menyerahkan epdangnya
kepada Jit Po kemudian mendekati Hai liong lo jin.
716 Hai liong lo jin masih duduk termenung. Kemudian dia menarik
nafas panjang lagi. Kuan Tiong Liu memandangnya dengan
heran. "Susiok, mengapa kau menarik nafas panjang?"
"Susiok kecewa sekali. Juga sedih."
"Tidak heran kau orang tua menjadi sedih," kata Kuan Tiong
Liu pura-pura menaruh perhatian yang besar. "Kau orang tua
memandang bocah Wan Fei Yang itu terlalu tinggi. Tidak
tahunya dia begitu tidak berguna. Baru bergebrak beberapa
jurus sudah dikalahkan oleh pedang Tecu."
Hai liong lo jin mengerling ke arah Kuan Tiong Liu. "Kau yang
membuat aku kecewa dan sedih!" katanya sambil tertawa
dingin. "Aku?" Kuan Tiong Liu tertegun. "Bukankah aku sudah
mengalahkan bocah Wan Fei Yang itu?" tanyanya penasaran.
"Orang sengaja mengalah terhadapmu. Tidak malunya kai
masih berani berbesar mulut!" Hai liong lo jin mendengus
dingin. Kuan Tiong Liu tidak percaya. "Mengalah terhadapku" Tidak
ada alasannya untuk mengalah terhadapku!"
"Ini karena budinya luhur dan sama sekali tidak melupakan
jasa orang lain." Jai liong lo jin mengulurkan tangan menarik
lengan baju Kuan Tiong Liu. "Lihat tiga lubang ini!"
717 Kuang Tiong Liu menundukkan wajahnya dan melihat apa
yang ditunjuk oleh Hai liong lo jin. Ternyata di pangkal lengan bajunya memang ada tiga lubang kecil. Dia terpaku seketika.
Wajahnya berubah hebat.
Orang tua itu mendengus sekali lagi.
"Tiga kali tusukan pedang ini sebetulnya bisa melukai
pergelangan tanganmu dan memaksamu melepaskan pedang,
tapi dia tidak melakukannya."
Kuan Tiong Liu masih penasaran. "Mengapa?"
"Untuk membalas budi pertolonganku kepadanya. Sayangnya
kau masih tidak tahu, malah tidak malunya membanggakan
diri. Bagaimana aku tidak kecewa" Bagaimana aku tidak
sedih" Coba bilang!" bentak orang tua itu dengan wajah
merah padam. Hai liong lo jin begitu marah. Dia bangkit berdiri dan
membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu lalu kembali
ke rumah. Sam cun mengikutinya dengan ketat. Kuan Tiong
Liu masih berdiri termangu-mangu. Jit Po dan Liok An yang
melihat keadaannya tidak berani mengatakan apa-apa.
Mereka hanya berdiri di samping tuan mudanya.
Tepat pada saat itu, dua orang murid Go bi pai berlarian
mendatangi, melihat Kuan Tiong Liu, mereka mempercepat
langkah kakinya dan berteriak memanggil.
"Kuan suheng! Kuan suheng!"
Kuan Tiong Liu masih berdiri terpaku. Kedua murid Go bi pai
718 itu sudah berdiri di depannya dalam sekejap mata. "Kuan
suheng, akhirnya kami berhasil menemukanmu. Suhu
berpesan agar kau kembali ke Go bi san secepatnya!"
Kuan Tiong Liu menatap kedua orang itu engan heran. "Ada
apa sebetulnya?"
"Kita bicarakan sambil jalan saja. Kita tidak mempunyai waktu
lagi!" "Mengapa tidak kau katakan sekarang saja?" tanya Kuan
Tiong Liu penasaran.
"Pokoknya masalah ini penting sekali. Kami tidak mempunyai
cukup waktu. Sedangkan kami sudah mencari Kuan suheng
selama tiga hari tiga malam."
Kuan Tiong Liu mengerutkan alisnya. Serangkum firasat buruk
langsung menyelimuti hatinya.
*** Melintasi hutan yang lebat seakan tidak berbatas. Wan Fei
Yang hanya tahu melangkah terus. Suara langkah kakinya
dari dekat perlahan-lahan menjauh. Sam cun mengejarnya
dari belakang. Mendengar suara langkah kaki berlari-lari, Wan
Fei Yang menghentikan langkah kakinya dan menoleh. Dia
tersenyum melihat Sam cun yang datang.
719 Tidak lama kemudian Sam cun sudah sampai di depannya.
Nafasnya tersengal-sengal. Wan Fei Yang menunggu sampai
nafasnya reda dan tenang kembali.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanyanya heran.
Sam cun mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik sakunya.
"Obat ini hadiah dari Cu jin untukmu," sahutnya.
Wan Fei yang semakin tidak mengerti. "Aku tidak terluka."
"Cu jin bilang tidak ada apa-apa yang patut dihadiahkan
kepadamu. Maka dia menyuruh aku menyusulmu dan
memberikan obat buatannya sendiri."
"Ini". " Wan Fei Yang bermaksud menolak, tapi Sam cun
malah menyusupkan botol obat itu ke dalam tangannya.
"Kau toh bukan tidak tahu bagaimana sifat Cu jin. Cepat
terima!" katanya.
"Obat ini untuk menyembuhkan penyakit apa?" Wan Fei Yang
malah berbalik bertanya.
"Di permukaan botol ada tulisannya, kau baca saja sendiri."
Kemudian Sam cun mengeluarkan lagi sebuah botol berwarna
hijau dari selipan ikat pinggangnya. "Sebetulnya obat milikku
ini lebih berharga. Khusus untuk menyembuhkan luka dalam."
Sam cun menyelipkan botol itu ke tangan Wan Fei Yang.
Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan melangkah ke
depan. Baru beberapa tindak dia berhenti dan menolehkan
kepalanya. "Sebetulnya obat itu aku curi dari kamar Cu jin.
720 Lain kali kalau kau bertemu dengan Cu jin, harap jangan
mengatakan apa-apa," katanya. Dia meneruskan langkahnya
kembali. Wan Fei Yang menatap punggungnya sampai menghilang di
kejauhan. Hatinya terharu sekali. Setelah beberapa saat, dia
baru meneruskan perjalanannya.
*** Tujuh hari sudah berlalu. Kuan Tiong Liu belum sampai di Go
bi san. It im taisu tampaknya tidak panik. Dia memang tidak
berniat menyerahkan Kuan Tiong Liu kepada Tok ku Bu ti.
Semua tetap seperti rencananya semula. Pagi-pagi sekali, dia
memanggil hwesio terpandai dalam baca dan menulis. Hong
hoat. Dia menerangkannya secara lisan. Hong hoat disuruh
mengatur kata-katanya dan bersiap-siap mengantarkan ke Bu
ti bun. Siapa sangka, baru saja surat itu disampul rapi, bagian
penerimaan tamu sudah melaporkan bahwa Tok ku Bu ti
sudah sampai di Go bi san meminta mereka menyerahkan
Kuan Tiong Liu. It im taisu terkejut sekali. Tapi segera dia
menenangkan perasaannya.
"Bagus. Tepat tujuh hari" Silahkan dia masuk."
721 *** Suasana dalam ruangan utama sangat mencekam. Apakah
karena Tok ku Bu ti masuk dengan membawa serombongan
anak buahnya atau karena alasan yang lain. Hal ini mungkin
tidak akan ditemukan jawabannya.
Para angkatan tua Go bi pai sudah berkumpul di ruangan
tersebut. Meliaht kehadiran mereka, hati It im taisu menjadi
terharu. Sejak dia menjabat sebagai Ciang bun jin, Go bi pai
memang merosot terus. Dalam generasi muda hanya Kuan
Tiong Liu yang dapat diandalkan dan berbakat. Yang lainnya
biasa-biasa saja.
Apakah hal ini disebabkan oleh kewibawaan Go bi pai yang
makin menurun" Meskipun It im taisu tidak berani
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memastikan, tapi dia terlalu memusatkan perhatian dalam
pelajaran agama. Selama ini dia tidak bersungguh-sungguh
mencari orang-orang pilihan untuk diajarkan ilmu silat dengan
teliti. Mungkin hal ini juga merupakan salah satu alasan bagi
kemerosotan Go bi pai.
Tok ku Bu ti sudah memberi batasan waktu selama tujuh hari.
Pada hari terakhir dia langsung naik ke Go bi san meminta
orang. Tentu dia sudah merencanakan semuanya dengan
matang. Sedangkan apa maksud yang terkandung did
alamnya, It im taisu tidak bisa menebaknya. Dia hanya dapat
merasakan bahwa urusan ini tidak sepele. Sedikit saja dia
membuat kesalahan, mungkin Go bi pai akan hancur hari ini
juga. Oleh karena itu, meskipun penampilan wajahnya tenang
722 sekali, namun hatinya sudah berdebar-debar sejak tadi.
Penampilan Tok ku Bu ti tetap sopan. Dia menunggu sampai It
im taisu duduk di kursinya, baru dia mengajukan pertanyaan.
"It im taisu, mana Kuan Tiong Liu?"
It it taisu tertawa datar. "Tidaka da di sini."
Mata Tok ku Bu ti menatap It im taisu dengan tajam. "Aku lihat
taisu memang tidak berniat menyerahkannya."
It im taisu berusaha setenang mungkin. "Kalau Kuan Tiong Liu
menyalahi Bu ti bun, Go bi pai tetap ada peraturan untuk
menghukumnya."
"Bagaimana dengan seratus lebih nyawa cabang ketiga belas
Bu ti bun kami?"
"Awal peristiwa ini, Pinceng?"
"Tidak usah banyak bicara!" Nada Tok ku Bu ti melengking
tinggi. "Cepat serahkan Kuan Tiong Liu!"
"Tok ku Sicu, Pinceng sudah mengatakan bahwa Kuang Tiong
Liu tidak?"
"Baik. Kalau begitu, satu nyawa diganti dengan satu nyawa.
Go bi pai harus membawar seratus tiga puluh enam jiwa
anggota Bu ti bun!"
Bu Tek sejak tadi berdiri di samping. Mendengar kata-kata Tok
ku Bu ti, dia tidak dapat menahan amarahnya lagi. Dia segera
melesat ke depan. "Tok ku Bu ti! Kau jangan terlalu
723 menghina!" teriaknya lantang.
Mendengar suara itu, Tok ku Bu ti mengalihkan
pandangannya. Alisnya berkerut. "Rasanya aku pernah
melihat suhu ini," katanya.
Belum lagi Bu Tek menyahut, Cian bin hud sudah maju ke
depan dan tertawa lebar. "Kepala perampok yang menguasai
tujuh propinsi, Li Jit, tidak tersangka berdiam di sini dan
mengganti pakaiannya dengan pakaian hwesio."
Bu Tek merangkapnya sepasang telapak tangannya.
"Omitohud!" ujarnya mengucap nama Buddha.
Cian bin hud mengibaskan tangannya.
"Di sini tidak ada urusanmu. Mengingat kita pernah saling
mengenal, aku akan mengatakan kepada Buncu untuk
mengampuni jiwamu kali ini saja."
"Kalau memang teman satu aliran?"
"Li Jit sudah mati. Yang ada di hadapan kalian sekarang
adalah murid Go bi pai, Bu Tek!" sahut Li Jit tenang.
"Bagus!" kata Tok ku Bu ti sambil mendengus dingin.
Cian bin hud tertawa terkekeh-kekeh. "Supanya kau bergelar
Bu Tek. Kalau demikian aku akan meminta Bu Tek suhu ini
pelajaran barang beberapa jurus."
Bu Tek mulai marah. Pergelangan tangannya berputar.
Goloknya sudah tergenggam di tangan. It im taisu cepat-cepat
724 mencegah. "Bu Tek, tidak boleh kurang sopan terhadap tamu!"
Cian bin hud tertawa lebar.
"Kami lebih tidak sopan lagi!" Perkatannya selesai, sepasang
gelang emasnya sudah berada dalam genggaman. Suaranya
menderu-deru. Bu Tek ikut tertawa. Tubuh dan golok meluncur dalam waktu
yang ebrsamaan. Dalam sekejap mata, keduanya sudah
bertarung dengan seru. Di tangan kanan Cian bun hud sudah
bertambah sebatang ruyung. Gelang emasnya diselipkan di
pinggang. Senjatanya itu tampak begitu berat, tapi dia dapat
menggerakkannya dengan muda. Bayangan ruyung
memenuhi ruangan. Suaranya bagai hujan badai menerpa.
Sebelum mencukur rambut menyucikan diri, Bu Tek pernah
menjadi kepala perampok dan menguasai tujuh propinsi.
Tentu bukan sembarang orang yang dapat melakukan hal
seperti itu. Dia pasti pernah melatih ilmu golok dalam waktu
yang lama. Tapi kalau dibandingkan dengan Cian Bin hud,
kepandaiannya masih terpaut sedikit.
Tepat pada jurus keseratus tiga puluh tujuh, ruyung di tangan
Cian bin hud berhasil menghantam dada Bu Tek. Hantaman
itu membuat tubuh Bu Tek terhuyung-huyung, kakinya mundur
beberapa langkah, kemudian memuntahkan darah segar.
Akhirnya tubuhnya terkulai ke atas dan nyawanya pun
melayang. Wajah para murid Go bi pai menyorotkan kemarahan. Wajah It
725 im taisu berubah kelam. Perlahan-lahan dia bangkit dari
kursinya. Matanya menatap tajam ke arah Cian bin hud.
"Mengapa murid Buddha bisa melakukan hal yang begini
kejam?" "Murid Buddha yang satu ini memang lain dariapda yang lain,"
sahut Cian bun hud sambil tertawa terbahak-bahak.
It im taisu mengalihkan pandangannya kepada Tok ku Bu ti.
"Tampaknya Tok ku Sicu hari ini benar-benar tidak mau
mengerti lagi."
"It im taisu, kejadian sudah terlanjur seperti ini, tidak perlu bercapai hati lagi," katanya datar.
"Sicu, bagaimana kalau kita bertaruh saja?"
"Bertaruh?" Tok ku Bu ti hampir tidak percaya dengan
pendengarannya. "Apa yang ingin kau pertaruhkan?"
It im taisu mengalihkan pandangannya kepada Cian bin hud.
"Seandainya suhu ini sanggup menerima tiga jurus dariku,
maka aku akan menyerahkan Kuan Tiong Liu. Go bi pai akan
dibubarkan hari ini juga," katanya.
"Bagaimana kalau dia tidak sanggup?" tanya Tok ku Bu ti
kembali. "Pinceng meminta Tok ku sicu mendengarkan seratus delapan
kali bunyi lonceng dan beberapa patah nasihat dari pinceng,"
kata It im taisu.
726 "Aku bukan Li Jit!" sahut Tok ku Bu ti tenang.
"Tok ku sicu tidak berani bertaruh?"
Belum lagi Tok ku Bu ti menyahut, Cian bin hud sudah
menukas dari samping: "Buncu, biar hamba menerima tiga
jurus darinya."
Tok ku Bu ti mengangguk. Dia berpaling kembali kepada It Im
taisu. "Bagaimana kalau aku sudah mendengarkan seratus
delapan kali bunyi lonceng dan beberapa patah nasihatmu?"
tanyanya kembali.
"Sicu ingin melakukan apa, kami pun tidak sanggup
menghalangi."
"Baik!" Tok ku Bu ti tertawa dingin.
Cian bin hud segera maju ke depan. Dia menghentakkan
duyungnya di atas tanah. "Silahkan!"
It Im taisu segera bangkit dari tempat duduknya. Dia
mengambil pedang yang terletak di samping lalu menutul
kakinya dan berjungkir balik di udara. Dia melayang turun di
hadapan Cian bin hud.
Ruyung Cian bin hud langsung digerakkan. Suaranya bagai
angin topan yang melanda seluruh Go bisa san. Dengan keji
dia menyerang ke arah It Im taisu. Pedang Ciang bun jin Go Bi
pai itu bergerak perlahan. Tubuhnya tiba-tiba berkelebat dan
melesat melakukan dua puluh tujuh perubahan. Satu jurus
sudah berlalu, dua jurus. Sekarang jurus ketiga.
727 Cahaya dingin berkelebat. Sarung pedang sudah menempel di
lengan atas Cian bin hud dan apabila dia tadi menekannya
dengan keras, pangkal lengan itu pasti sudah remuk.
"Terima kasih!" kata It Im taisu sambil menarik kembali sarung
pedangnya dan mencelat mundur ke belakang.
Wajah Cian bin hud berubah hebat. Dia tertegun di tempatnya.
Tok ku Bu ti tidak mengatakan apa-apa. Seakan tidak terjadi
apa pun. "Di mana aku harus mendengarkan seratus delapan
kali bunyi lonceng itu?" tanyanya tenang.
Pedang It Im taisu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
"Sicu, harap ikut aku ke ruangan pendopo."
*** Ruangan pendopo dengan ruangan utama sama luasnya.
Juga cukup menampung rombongan Tok ku Bu ti yang
berjumlah sembilan puluh sembilan orang. Kecuali Tok ku Bu
ti, sisa anggotanya yang berjumlah sembilan puluh delapan
orang berpencar diri menjadi dua bagian dan berbaris di kiri
kanan pintu ruangan pendopo.
Tok ku Bu ti dan It Im taisu duduk berhadapan di tengah-
tengah ruangan. Jarak mereka tidak lebih dari satu depa. Di
samping kanan It Im taisu terdapat sebuah lonceng besar
yang terbuat dari kuningan, sedangkan tangan kirinya
menggenggam serenceng tasbih. Wajahnya tersenyum dan
728 penuh welas asih.
"It Im taisu, hati Tok ku Bu ti sekeras baja. Buat apa bercapai hati melakukan semua ini?" tanya Tok ku Bu ti yang sengaja
menyindir dengan tajam.
"Sicu duduk saja di hadapanku. Dengan demikian kau dapat
mendengar dengan jelas apa yang kukatakan." Tangan It Im
taisu mulai menghitung biji tasbih. "Orang yang mensucikan
diri seperti aku ini hanya mempunyai sedikit keinginan untuk
mengajak sesamanya bertobat. Tapi aku hanya seorang diri,
berapa orangkah yang dapat kuajak menghadap pintu
Buddha?" Nafsu besar tenaga kurang, buat apa mencari susah untuk diri
sendiri?" "Namun kalau Pinceng bisa menasehati Tok ku sicu agar
berpalingdari tepian dan kembali ke jalan yang benar.
Merubah hati yang hitam menjadi putih bersih, sama artinya
aku telah menasehati berjuta oran. Hal ini patut dicoba."
"Baik. Coba katakan saja?"
Tangan kanan It Im taisu digerakkan. Terdengar suara
lonceng yang menggetarkan hati. "Buddha bersabda,
lepaskan golok, ber"."
"Paling ke tepian, bukan" Terlalu cetek," sindir Tok ku Bu ti.
"Baik. Kita bciarakan ynag agak dalam." It Im menggerakkan
lonceng kembali. Dua orang muridnya segera mengantarkan
buku kitab suci.
729 It Im mulai membacakan ayat suci, meskipun Tok ku Bu ti
meminta agar dia membacakan ayat yang agak dalam
maknanya, tapi bagi pendengarannya masih cetek juga.
Suaara lonceng susul menyusul. Semangat Tok ku Bu ti tanpa
sadar ikut terhanyut. Ditambah dengan kata-kata dari It Im
taisu. Berbagai kenangan melintas di otaknya.
Dia ingat semasa mudanya dia juga sering melepas budi,
menolong orang, pernah dijadikan kambing hitam, beberapa
kali dihajar orang sampai pontang panting. Waktu itu dia
masih juga merasakan adanya kegembiraan dalam hati.
Berpikir tentang itu, tanpa sadar bibirnya mengulum senyum.
Tampaknya dia mulai terpengaruh.
It im taisu masih melanjutkan kata-katanya.
"Buddha paling benci pembunuhan dan perampokan.
Sedangkan engkau, sengaja mendirikan Bu ti bun untuk
melawan partai lurus. Anak buahmu membunuh, memperkosa
kemudian masih merampok juga. Kau membiarkan semua itu.
Tidak ada hal baik yang pernah dilakukan anak buahmu."
Begitu mendengar kata memperkosa, tubuh Tok ku Bu ti
langsung gemetar. Suara lonceng kembali terdengar. Disusul
ucapan It Im taisu". "Hari ini kau membiarkan anak buahmu
memperkosa istri orang, kau anggap semua itu adalah suatu
kebanggaan. Mungkin pada suatu hari nanti, orang lain yang
akan memperkosa istrimu. Bagaimana perasaanmu saat itu?"
Kening Tok ku Bu ti mulai basah oleh keringat dingin. Dalam
benaknya segera terlintas bayangan Ci Siong to jin dan Sen
Man Cing yang duduk berdua dan bersenda gurau.
730 Keringatnya mengucur semakin deras.
Meskipun para anggota Bu ti bun tidak mengerti mengapa It
Im taisu mau melalahkan diri mengatakan semua itu, tapi
kalau melihat tampang Tok ku Bu ti sekarang, mau tidak mau
hati mereka menjadi tegang. Tok ku Bu ti sedang
membelalakkan mata lebar-lebar.
It Im tahu Tok ku Bu ti sudah mulai terpengaruh. Dia tidak tahu persis apa yang mempengaruhinya. Dia masih juga
mendesaknya dengan pertanyaan yang sama" "Coba
bayangkan, apa yang akan kau lakukan bila semua ini terjadi
padamu?" "Aku" aku akan membunuh mereka. Membunuh mereka
sampai tidak tersisa satu pun!" teriak Tok ku Bu ti tiba-tiba.
Kemudian laki-laki itu meraung murka. Dia menjadi kalap
seketika. Mungkin saat itu dia membayangkan It Im taisu
adalah Ci Siong to jin yang berzina dengan istrinya. Tubuhnya
melesat secepat kilat. Kedua telapak tangannya menghantam
dada It Im Taisu.
"Blam!" Dia masih belum puas juga. Diserangnya It Im taisu
tanpa pikir panjang lagi.
"Blam! Blam! Blam!" Entah berapa kali sudah dia menghantam
It Im taisu. Tubuh hwesio tua itu sudah hancur tidak karuan.
Akhirnya terlempar sejauh satu depa.
Seandainya It Im taisu tahu peristiwa tentang jalinan
hubungan antara Ci Siong to jin dengan istri Tok ku Bu ti yang
bernama Sen Man Cing, dia tentu tidak akan menggunakan
731 kata-kata itu untuk membujuk Tok ku Bu ti. Sayangnya dia
tidak tahu sama sekali. Sebenarnya Tok ku Bu ti memang
sudah terpengaruh tapi mendengar kata-kata tentang
memperkosa istri orang, hatinya terpukul seketika. Peristiwa
yang berusaha dilupakannya selama ini terbayang kembali.
Hawa amarahnya pun meluap seketika.
Tok ku Bu ti memandang sekejap mayat It Im taisu. Tinjunya
terkepal erat. "Anak-anak! Bunuh semua!" teriaknya lantang.
Para anggota Bu ti bun segera mengiakan. Mereka memang
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah menunggu perintah Tok ku Bu ti yang satu ini. Senjata
masing-masing segera dikeluarkan. Serentak mereka
menyerbu para murid Go Bi pai.
Tok ku Bu ti mendahului. Dia menerjang dan langsung
menghantam siapa saja yang ada di hadapannya. Dalam
waktu sekejap kedua telapak tangannya telah membunuh
puluhan orang. Tongkat kepala naganya juga tidak mau
ketinggalan. Darah segar bercipratan di mana-mana. Sungguh
suatu pemandangan yang mengerikan. Bahkan lebih
menyeramkan daripada ketika makhluk tua membunuh anak
murid Bu Tong pai. Karena jumlah anak buah Tok ku Bu ti
jauh lebih banyak, waktu yang diperlukan pun lebih singkar.
Cian bin hud mengikuti di belakangnya. Ruyungnya menyapu
ke kiri dan kanan. Suara jeritan ngeri terdengar di mana-mana.
Boleh dibilang para murid Go Bi pai sama sekali tidak sempat
melakukan perlawanan.
Satu demi satu murid Go Bi pai roboh bermandikan darah.
732 Dalam waktu tidak berapa lama mayat bergelimpangan di
mana-mana. Darah mengalir bagai anak sungai.
Jilid 16 Tengah hari, Kuan Tiong-liu baru sampai di Go-bi-san. Baru
melihat pintu masuk saja dia sudah tahu apa yang telah
terjadi. Di mana-mana darah mulai mengering. Mayat-mayat
bergelimpangan. Tubuh It-im Taysu lebih merupakan
seonggok daging yang hancur ketimbang sesosok mayat
manusia. Kalau bukan dari pakaiannya, siapa pun tidak bisa
mengenali wajahnya lagi.
***** Jit Po dan Liok An masih bocah cilik. Melihat pemandangan
itu, mereka langsung saling berpelukan dan menangis
tersedu-sedu. Kuan Tiong-liu berdiri dengan mata
menyorotkan kemarahan. Meskipun dia tidak menangis, tapi
justru di ujung pelupuk matanya terlihat darah menetes.
Akhirnya mayat-mayat itu dikuburkan juga. Jumlah dua ratus
tujuh puluh satu mayat. Kuburan yang baru pun berjumlah
sama. Dengan tangan sendiri, Kuan Tiong-liu mengubur
mayat yang terakhir. Dia berlutut di depan gundukan tanah di
mana It-im Taysu disemayamkan. Jit Po dan Liok An berlutut
di kedua sisinya. Tidak ada pembacaan ayat suci, tidak ada
upacara sembahyang. Seorang Ciangbunjin partai terkemuka
mati dalam keadaan mengenaskan.
Sekarang sudah senja hari. Dua puluh delapan murid Go-bi-
pay yang merantau di dunia Kangouw baru menyusul tiba.
733 Mereka melemparkan bungkusan di bahu masing-masing dan
menjatuhkan diri berlutut di depan makan It-im Taysu.
Meskipun mereka terdiri dari laki-laki yang sudah banyak
melihat berbagai peristiwa, tapi menghadapi dua ratus tujuh
puluh satu gundukan tanah baru yang berisi tubuh rekan-
rekan mereka, tidak usah dikatakan lagi bagaimana rasa sedih
yang menyelimuti hati mereka. Belum lagi rasa sakitnya
karena mereka tidak ada di tempat untuk memberi
pertolongan. Mereka lebih rela mati bersama daripada hidup
tapi menyaksikan kematian rekan mereka.
Kuan Tiong-liu membenturkan kepalanya dan menyembah
tiga kali. Kemudian dia berdiri. Matanya mengedar pada
saudara seperguruannya yang masih tersisa. "Para Suheng-te sekalian, Go-bi-pay merosot sampai begini, rasanya sulit
mengangkat kepala untuk menonjolkan diri lagi di dunia
Kangouw. Lebih baik kalian pilih saja jalan masing-masing,"
katanya. "Kita harus membalaskan dendam para saudara dan Suhu
kita. Go-bi-pay tidak akan hidup pada masa yang sama
dengan Bu-ti-bun!" teriak mereka serentak.
Mata Kuan Tiong-liu merah seketika mendengar kata-kata
para saudaranya. "Baik! Kalau begitu, untuk sementara kita menetap bersama Hay-liong Susiok. Kalian memang tidak
memalukan disebut murid Go-bi-pay. Kita harus mencari
kesempatan untuk membentangkan sayap kembali," sahutnya
terharu. Para murid Go-bi-pay itu juga tidak tahu harus ke mana lagi.
Mendengar kata-kata Kuan Tiong-liu, tentu saja mereka
segera setuju. Tiga puluh satu orang yang menjadi satu
734 rombongan itu menuruni Go-bi-san. Cahaya mentari bersinar
redup di atas kepala mereka.
***** Senja hari. Pemandangan di kedua tepian sungai
menyejukkan mata. Burung-burung beterbangan di angkasa.
Tok-ku Hong berjalan di bawah sinar matahari. Tampaknya
begitu sunyi. Sekarang adalah hari kedua puluh dia
meninggalkan Bu-ti-bun. Dia tidak mempunyai tujuan. Asal di
depannya ada jalan, dia akan terus melangkah. Meskipun
sepanjang perjalanan belum terjadi peristiwa apa pun, tapi
hatinya tetap merasa tidak enak.
Ini merupakan pertama kalinya dia berkelana seorang diri. Di
sepanjang perjalanan tidak ada orang yang menjaga atau pun
melayaninya. Padahal sebelumnya sehari-hari dia adalah
nona besar. Apa pun yang di nginkannya tinggal perintah saja.
Pada hari-hari pertama, dia merasa sangat tersiksa. Namun
hatinya memang keras. Dia malu untuk kembali ke Bu-ti-bun
begitu saja. Meskipun sekarang sudah agak terbiasa, tapi
dalam hatinya diam-diam dia merindukan rumahnya.
Sampai kapan kehidupan seperti ini akan berlangsung, dia
tidak tahu. Ada tersirat keinginan dalam hatinya untuk kembali
ke rumah. Beberapa kali dia sudah menghentikan langkah
kakinya, namun begitu mengingat tamparan tangan Tok-ku
Bu-ti, dia mengeraskan hati dan melanjutkan perjalanannya
kembali. Wan Fei-yang juga tidak terbiasa hidup berkelana. Tapi kalau
dibandingkan dengan Tok-ku Hong, dia masih lebih bisa
735 menahannya. Di Bu-tong-san dia sudah terbiasa bekerja
serabutan. Meskipun masih terlindung dari hujan dan angin,
namun menghadapi cuaca hujan atau angin besar pun
baginya bukan sesuatu yang mengherankan lagi. Oleh karena
itu, selama dua puluh hari ini dia terus mengintil di belakang
Tok-ku Hong. Dia tidak merasa apa yang dilakukannya
sebagai suatu penderitaan. Dia berjalan dengan santai, tapi
tetap tidak melepaskan diri dari gadis itu.
Sejak meninggalkan tempat kediaman Hay-liong Lojin, dia
juga berjalan tanpa arah dan tujuan. Siapa sangka dalam
sebuah gang kecil di desa yang dia singgahi, dia melihat anak
gadis Tok-ku Bu-ti. Tiba-tiba saja dia teringat gurunya, Ci-
siong Tojin pernah berpesan apabila ada kesempatan dia
harus bertandang ke Bu-ti-bun mencari seorang wanita
bernama Sen Man-cing. Tanpa sadar dia terus mengikuti Tok-
ku Hong dan mencoba mencari kesempatan untuk berkenalan
dengan gadis itu. Siapa tahu dia bisa menyelinap ke dalam
Bu-ti-bun. Tiga hari sudah berlalu, tapi kesempatan itu belum ada juga.
Pikiran Tok-ku Hong sedang melayang-layang. Oleh karena
itu, dia sama sekali tidak menyadari bahwa Wan Fei-yang
telah mengintil di belakangnya selama beberapa hari. Kedua
orang itu berjalan terus, senja hari mereka mencari
penginapan dan beristirahat. Tentu saja Tok-ku Hong yang di
depan dan Wan Fei-yang mengikuti dari belakang. Setiap kali
gadis itu berhenti, dia juga berhenti. Gadis itu melanjutkan
perjalanan, dia pun cepat-cepat menyusulnya. Dengan
demikian, tiga hari berlalu sudah.
***** 736 Sungai mengalir sampai ribuan li. Apabila mata menerawang,
sungai itu bagai tidak berbatas. Pemandangan sangat indah,
namun Kuan Tiong-liu dengan rombongannya yang berjumlah
tiga puluh satu orang sama sekali tidak menikmati keindahan
pemandangan itu. Mereka berjalan menyusuri tepi sungai. Hati
mereka sama tertekan.
Jarak mereka dengan Tok-ku Hong dan Wan Fei-yang kurang
lebih satu li. Arah mereka berhadapan pula. Seandainya
mereka sama-sama berjalan terus, tentu jaraknya akan
semakin pendek, dan akhirnya pasti bertemu satu sama
lainnya. Tentu saja Kuan Tiong-liu tidak tahu Tok-ku Hong sedang
melangkah ke arahnya. Dia berjalan terus. Tiba-tiba dia
menghentikan langkah kakinya. "Tidak benar!" serunya.
Jit Po yang mengiringi di sampingnya merasa heran. "Kongcu, ada apa?"
Mata Kuan Tiong-liu berkilau sekilas. "Semua harap berhatihati!" katanya tiba-tiba.
Baru saja ucapannya selesai, beratus-ratus anak panah
meluncur ke arah mereka. Jit Po yang berada paling depan
langsung terkena sasaran. Para murid Go-bi-pay yang lain
segera mengeluarkan senjata masing-masing. Tapi tujuh
orang segera roboh ke tanah. Sejak tadi Kuan Tiong-liu sudah
menghunus pedangnya. Dia segera menyapu ke kiri dan
kanan. Liok An berhasil dilindungi, namun dia terlambat
menyelamatkan Jit Po.
Kuan Tiong-liu melesat ke depan dan menyambut tubuh Jit Po
737 yang terjungkal. "Jit Po!" panggilnya dengan suara parau.
Jit Po masih bernapas. Dia berusaha menahan sakit yang
dideritanya. Matanya setengah terbuka. Dia memandang Kuan
Tiong-liu dengan mata sayu.
"Kongcu, aku tidak dapat melayanimu lagi." Kemudian dia merintih, "Li ... Liok ... An ...."
Liok An segera menghampirinya. Namun nyawa Jit Po sudah
melayang. Liok An menangis meraung-raung. Meskipun Jit Po
bukan saudara kandungnya, namun hubungan mereka malah
lebih dari saudara sendiri. Hati Kuan Tiong-liu bagai disayat-
sayat puluhan pisau. Jit Po dan Liok An melayaninya selama
bertahun-tahun. Dia sudah memandang mereka bagai adiknya
sendiri. Panah masih meluncur terus. Seratus lebih anggota Bu-ti-bun
menerjang keluar dari balik gerombolan pohon. Mereka semua
berpakaian serbahitam. Dalam sekejap mereka sudah
mengurung rombongan Kuan Tiong-liu. Seorang Tancu
berpakaian putih keperak-perakan melayang turun dari udara
dan berhenti tepat di hadapan Kuan Tiong-liu.
"Lagi-lagi anggota Bu-ti-bun!" Kuan Tiong-liu tertawa dingin.
"Sebutkan namamu!"
Tancu itu tertawa datar. "Asal sekitar Kuil Kuan-se, naga sakti menyapu seluruh Wei Kiang."
"Rupanya Sen-po Lu Kin yang dulu membasmi Wei-kiang-pat-
sou!" 738 "Eh" Kau juga mengenal aku?" Lu Kin tertawa terbahak-
bahak. "Tidak disangka setelah sekian tahun membersihkan
tangan, hari ini aku dapat memancing seekor ikan besar dari
Go-bi-san!"
"Bagus! Kedatanganmu memang tepat sekali!" bentak Kuan Tiong-liu lantang. Tubuh dan pedang berkelebat menjadi satu
bayangan. Lu Kin segera mengeluarkan senjata cambuknya yang
berkepala tiga belas. "Serbu!" serunya memberi perintah.
Para anggota Bu-ti-bun menerjang seperti orang kalap. Murid
Go-bi-pay juga tidak tinggal diam. Mereka menyambut
terjangan orang banyak itu. Kedua pihak saling bertarung.
Cahaya golok dan pedang bertaburan. Darah memercik
membasahi tanah. Meskipun jumlah anggota Bu-ti-bun lebih
banyak, tapi para murid Go-bi-pay melawan dengan kalap.
Hati mereka masih sedih karena kematian rekan yang begitu
banyak. Semangat mereka bangkit untuk membalaskan
dendam bagi mereka. Perlawanan mereka lebih mirip
mengadu nyawa. Kuan Tiong-liu sudah memerhatikan situasi dengan saksama.
Begitu berhasil melepaskan diri dari belitan cambuk Lu Kin,
dia langsung menerjang ke dalam kerumunan anggota Bu-ti-
bun. Sekali gerak dia langsung mengerahkan tiga jurus
terakhir Lok-jit-kiam. Hanya terlihat bayangan pedang
berkelebat bersamaan dengan gerakan tubuhnya. Pedangnya
menyapu ke kiri dan kanan. Satu demi satu anggota Bu-ti-bun
roboh bermandikan darah.
Melihat keadaan itu, Lu Kin segera maju mendekati. Kuan
739 Tiong-liu tidak memedulikannya. Tubuhnya melesat ke udara
bagai seekor kupu-kupu beterbangan. Pedangnya menikam
terus. Empat puluh enam lagi anggota Bu-ti-bun mati di bawah
sapuan pedangnya. Tentu saja Lu Kin tidak sanggup
menghalanginya.
Para anggota Bu-ti-bun mulai tergetar hatinya melihat kekejian
anak muda itu. Saat itu Lu Kin baru sadar kehebatan ilmu
yang dikuasai Kuan Tiong-liu. Benar-benar di luar dugaannya.
Dia sendiri sudah pasti bukan tandingan anak muda tersebut.
Pikirannya segera tergerak. Dia mundur beberapa langkah.
Siapa tahu Kuan Tiong-liu tiba-tiba melesat ke udara dan
melayang turun tepat mengadang di depannya.
Lu Kin mengeraskan hatinya. Cambuk di tangannya
dikebaskan ke depan. Ilmu cambuknya memang tinggi sekali,
tapi ilmu silatnya jauh di bawah Kuan Tiong-liu. Mereka segera
terlihat dalam pertarungan yang seru. Dalam waktu sekejap
saja dia sudah terdesak. Mana mungkin dia sanggup
menandingi Kuan Tiong-liu yang merupakan murid
kesayangan It-im Taysu. Dia sendiri hanya Tancu dari Bu-ti-
bun. Sedangkan Hu-hoat Bu-ti-bun, Han-ciang-tiau-siu saja
bukan tandingan Kuan Tiong-liu. Apalagi dia!
Kedudukan dalam Bu-ti-bun ditentukan dari tingginya ilmu silat
seseorang, sedangkan ilmu silat Lu Kin hanya pantas
menduduki jabatan Tancu. Tanpa sengaja dia menemukan
jejak Kuan Tiong-liu dan rombongannya. Hatinya segera
berpikir untuk membuat jasa besar dan mendapat hadiah dari
Tok-ku Bu-ti. Dia tidak menilai kepandaiannya sendiri apakah
mampu mengalahkan-Kuan Tiong-liu. Apalagi Go-bi-pay
dengan mudah berhasil disapu bersih oleh anggota Bu-ti-bun
yang lain. Oleh karena itu dia segera mengumpulkan anak
740 buahnya dan mengadang rombongan Kuan Tiong-liu. Jumlah
mereka memang jauh lebih banyak. Hal ini tentu saja
membesarkan hatinya. Melihat dari keadaan luarnya, mereka
pasti akan meraih kemenangan. Baru meluncurkan beberapa
batang anak panah, delapan orang pihak lawan sudah jatuh
roboh bermandikan darah.
Sayangnya, dia terlalu meremehkan ilmu silat Kuan Tiong-liu.
Sebelum berhasil berlatih tiga jurus terakhir dari Lok-jit-kiam-hoat saja, Kuan Tiong-liu sudah berhasil mengalahkan Han-
ciang-tiau-siu. Apalagi tiga jurus terakhir Lok-jit-kiam-hoat
sudah dikuasainya dengan baik, Lu Kin lebih-lebih bukan
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tandingannya lagi. Seandainya Han-ciang-tiau-siu hidup
kembali, belum tentu dia dapat menerima dua puluh jurus dari
Kuan Tiong-liu sekarang ini.
Pada jurus keempat belas, cambuk di tangan Lu Kin sudah
terlepas. Sekali lagi Kuan Tiong-liu meluncurkan pedangnya,
dia langsung berhasil menusuk dada Lu Kin. Kuan Tiong-liu
mengentakkan pedangnya. Tubuh Lu Kin melayang di udara
dan mencelat sejauh dua depa, lalu jatuh di antara kerumunan
anggota Bu-ti-bun yang masih tersisa.
Pedang Kuan Tiong-liu tidak berhenti, berturut-turut dia
membunuh puluhan lagi anak murid Bu-ti-bun. Rekan-
rekannya dari Go-bi-pay agak lega mendapat bantuan darinya.
Meskipun di pihak mereka sendiri telah roboh lagi sepuluh
orang lebih, tapi korban di pihak Bu-ti-bun jangan dikatakan
lagi. Bagaimanapun mereka pernah berlatih dengan giat di
atas Go-bi-san. Ilmu mereka memang lebih tinggi dari anggota
Bu-ti-bun. Kalau bertanding satu lawan satu saja, tidak ada
satu pun yang sanggup menandingi Liok An, si bocah
pembawa harpa. 741 Setelah melihat kematian pemimpin mereka, Lu Kin, hati
anggota Bu-ti-bun lainnya semakin ciut. Nyali mereka terbang
entah ke mana. Mereka segera mengambil langkah seribu.
Gerakan mereka kalang kabut. Tidak peduli lagi arah mana
yang harus diambilnya.
"Jangan sisakan satu orang pun!" teriak Kuan Tiong-liu lantang. Dia segera mencelat ke udara dan melayang turun di
hadapan empat anggota Bu-ti-bun yang sedang lari pontang-
panting. Dalam tiga kali sapuan pedang saja, keempat orang
itu sudah roboh bermandikan darah.
Para murid Go-bi-pay mengejar sisa anggota Bu-ti-bun yang
lain. Sebentar saja hanya tersisa satu orang yang masih
hidup. Orang itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan
Kuan Tiong-liu. "Tayhiap! Ampuni jiwaku ...." ratapnya dengan tubuh gemetaran.
Kuan Tiong-liu menoleh kepada para rekannya. Berikut Liok
An, semuanya hanya tinggal sembilan orang yang hidup.
Hatinya sakit sekali. Sisa anggota Bu-ti-bun yang hanya
sendirian itu mengira Kuan Tiong-liu bersedia melepaskannya.
Dia segera menyembah satu kali, pedangnya diletakkan di
tanah, dia berdiri dan berjalan perlahan.
"Mau ke mana?" Tiba-tiba Kuan Tiong-liu berteriak. Tubuhnya melesat lalu mengadang di depan orang itu.
Mata orang itu menyorotkan sinar ketakutan. Belum sempat
dia mengucapkan apa-apa, pedang Kuan Tiong-liu sudah
menikam jantungnya. Pedang ditarik kembali. Orang yang
sudah menjadi mayat itu terkulai ke tanah. Mata Kuan Tiong-
742 liu menatap tajam ke arah seseorang yang sedang berlari
mendekati. Dia adalah Tok-ku Hong. Dari jauh dia mendengar suara
benturan senjata. Segera dia menghambur menghampiri. Saat
itulah dia sempat melihat Kuan Tiong-liu membunuh orang
terakhir tadi. Tentu saja dia mengenali bahwa mayat-mayat
yang bergelimpangan itu adalah anggota Bu-ti-bun. Dia
teringat ketika Kuan Tiong-liu berusaha membunuhnya ketika
dia dan Suhengnya sedang terluka di kaki gunung Bu-tong-
san. Hawa kemarahan segera memenuhi dadanya. Sepasang
golok segera dikeluarkannya. "Kuan Tiong-liu!" bentaknya nyaring.
Kuan Tiong-liu tidak menyahut.
"Tok-ku Hong ada di sini. Kemungkinan besar dia datang
bersama Tok-ku Bu-ti. Laki-laki sejati harus berani menerima
hinaan. Lebih baik menghindarkan diri untuk sementara," pikir Kuan Tiong-liu dalam hati.
Begitu ingatan tersebut melintas, dia segera menoleh kepada
rekan-rekannya. "Liok An dan lainnya cepat tinggalkan tempat ini. Aku akan menyusul belakangan!" katanya.
Liok An tidak berani membantah. Dia menghampiri mayat Jit
Po dengan maksud membawanya sekalian, tapi Kuan Tiong-
liu sudah mencegah lagi. "Jangan pedulikan yang lainnya,
cepat pergi!"
Para rekan seperguruan yang melihat keseriusan Kuan Tiong-
liu, dapat merasakan gentingnya suasana, mereka tidak
berani berlambat-lambat lagi. Semuanya meninggalkan
743 tempat itu dengan tergesa-gesa.
Tok-ku Hong juga tidak memedulikan mereka. Dia hanya
mendelikkan matanya lebar-lebar kepada Kuan Tiong-liu.
"Bagus sekali kau ini! Lagi-lagi membunuhi anggota Bu-ti-bun kami!"
"Ayahmu naik ke Go-bi-san dan membunuh dua ratus tujuh
puluh satu jiwa anak murid kami. Apakah kau tidak tahu
masalah ini?"
Sepanjang perjalanannya tadi, Tok-ku Hong memang sudah
mendengar berita ini. Dia juga merasa tindakan ayahnya kali
ini agak keterlaluan. Tapi setelah memandang mayat yang
bergelimpangan di sana dan kebanyakan terdiri dari anggota
Bu-ti-bun, hawa kemarahannya meluap kembali.
"Hari itu di kaki gunung Bu-tong-san aku sudah terluka parah, tapi kau tetap ingin membunuh aku. Kali ini aku akan
bertanding sekali lagi denganmu untuk menentukan siapa
yang lebih unggul di antara kita," kata Tok-ku Hong datar.
"Pertarungan hidup dan mati?" Pedangnya bergetar langsung meluncur ke arah Tok-ku Hong.
Sepasang golok Tok-ku Hong dibentangkan dan menyambut
datangnya serangan Kuan Tiong-liu. Golok dan pedang saling
berkelebatan. Golok Tok-ku Hong cepat, pedang Kuan Tiong-
liu lebih cepat lagi. Meskipun dia baru saja bertarung melawan
sekian banyak musuh, tapi tenaganya tidak banyak terkuras.
Ilmunya memang jauh lebih tinggi daripada Tok-ku Hong. Kira-
kira sepuluh jurus kemudian, dia mulai menguasai keadaan.
744 Tok-ku Hong sendiri juga merasakan bahwa dia bukan
tandingan Kuan Tiong-liu, tapi adatnya keras. Sepasang
goloknya bergerak makin cepat. Serangannya makin lama
makin gencar. Dengan tidak memedulikan bahaya, dia
menebas Kuan Tiong-liu berulang kali. Tapi tebasannya selalu
berhasil dihindari oleh anak muda itu. Tok-ku Hong semakin
kalap. Sepasang goloknya dengan nekat menjepit pedang
Kuan Tiong-liu.
"Lepaskan!" teriaknya lantang.
Tanpa dapat dipertahankan lagi, pedang Kuan Tiong-liu
terlepas. Baru saja Tok-ku Hong merasa bangga akan
hasilnya, tahu-tahu tubuh Kuan Tiong-liu sudah mencelat di
udara dan melayang turun di belakang punggung Tok-ku
Hong. Gadis itu belum sempat membalikkan tubuhnya ketika
telapak tangan Kuan Tiong-liu menghantam tiga kali berturut-
turut. Blam! Blam! Blam!
Tubuh Tok-ku Hong mencelat sejauh dua depa, kemudian
jatuh berdebum di atas tanah. Mulutnya terbuka, segumpal
darah segar terlihat muncrat keluar. Tubuh Kuan Tiong-liu
melesat lagi secepat kilat, dia menyambut pedangnya yang
masih melayang di udara. Semua itu terjadi dalam sekejap
mata. Dia melayang turun di hadapan Tok-ku Hong. Matanya
mendelik ke arah gadis itu.
"Tok-ku-siocia, bagaimana keadaanmu!" tanyanya pura-pura menaruh perhatian.
Wajah Tok-ku Hong pucat sekali. Dia mendelik kembali
kepada Kuan Tiong-liu. "Membokong secara gelap, apakah
kau termasuk laki-laki sejati?"
745 "Dalam bertarung siasat memang diperlukan. Menghadapi
komplotan penjahat seperti kalian, untuk apa menuruti
peraturan dunia Kangouw" Juga tidak memerlukan tindakan
laki-laki sejati!"
"Manusia jenis apa kau ini, kau kira aku tidak tahu. Kau hanya menutupi rasa malumu sehingga mengeluarkan kata-kata
seperti itu!" sahut Tok-ku Hong sambil berusaha bangkit.
Namun baru saja tubuhnya bergerak sedikit, kembali dia
memuntahkan darah segar. Tubuhnya terkulai ke tanah. "Mau
bunuh, silakan. Tidak usah banyak bicara!"
"Mau mati" Tidak begitu mudah?"
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku akan mengoyak-ngoyak tubuhnya menjadi berkeping-
keping, kemudian akan kukirimkan kepada Tok-ku Bu-ti!" Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak.
Tok-ku Hong terkejut sekali. Dia tidak meragukan apa yang
dikatakan Kuan Tiong-liu. Hal ini terbukti dari kekejiannya
membantai para murid Bu-ti-bun.
"Saat itu ada Wan Fei-yang yang menolongmu. Kali ini aku
ingin lihat siapa yang akan datang menolongmu?"
"Wan Fei-yang?" Tok-ku Hong malah tertegun.
Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak. Selangkah demi
selangkah dia menghampiri Tok-ku Hong. Gadis itu panik
sekaligus marah. Dia berusaha untuk bangun, namun lukanya
746 cukup parah. Akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri. Melihat
keadaan gadis itu, tawa Kuan Tiong-liu semakin keras. Tiba-
tiba dia melihat bayangan berkelebat. Seseorang sudah berdiri
mengadang di depan Tok-ku Hong.
Dia adalah Wan Fei-yang! Suara tawa Kuan Tiong-liu sirap
seketika. "Lagi-lagi kau mengacau!" bentaknya marah.
Wan Fei-yang tertawa getir. Wajah Kuan Tiong-liu menghijau.
"Kali ini apa maksudmu datang kemari?"
"Aku ... aku hanya kebetulan lewat ...." Wan Fei-yang menarik napas panjang.
"Tidak usah berpura-pura lagi. Apa yang tersirat di dalam
hatimu" Bilang!"
Pedang Kuan Tiong-liu menuding Wan Fei-yang. "Dia toh
sudah terluka parah, buat apa kau harus turun tangan keji
lagi?" Wan Fei-yang melirik sekilas ke arah Tok-ku Hong.
Tok-ku Hong sama sekali tidak bergerak. Hati Wan Fei-yang
malah menjadi tenang.
"Apa hubunganmu dengannya?" bentak Kuan Tiong-liu
kembali. "Dia ... dia tidak ada hubungan apa-apa denganku."
Kuan Tiong-liu mendengus dingin. "Aku rasa kau adalah anak buahnya. Kau adalah anggota Bu-ti-bun!"
747 "Bukan ... aku bukan ...." Wan Fei-yang gugup sekali.
"Tidak perlu mungkir lagi. Tempo hari kau menolong dia. Aku sudah curiga kau adalah anggota Bu-ti-bun. Hanya Susiokku
saja yang tetap tidak percaya."
"Aku benar-benar bukan ...."
"Tutup mulut!" Kuan Tiong-liu tidak memberinya kesempatan sama sekali. Dia malah tertawa dingin. "Ya juga tidak apa-apa, bukan juga tidak apa-apa. Kau mau menolongnya" Tanyakan
pada pedangku dulu!"
"Apakah kau hendak memaksa aku turun tangan?"
"Di tempat Susiok tempo hari, aku sudah mengampuni jiwamu.
Sekarang tidak lagi! Aku menginginkan nyawamu!"
"Anggaplah aku memohon kepadamu, ampunilah dia kali ini."
"Omong kosong! Susiok mengatakan bahwa kau mengalah
terhadapku tempo hari. Sekarang kau boleh keluarkan seluruh
kepandaianmu!" Perkataannya selesai, tubuh dan pedang
Kuan Tiong-liu meluncur dalam waktu yang bersamaan.
Sekali gerak dia langsung mengerahkan tiga jurus terakhir
Lok-jit-kiam-hoat. Wan Fei-yang tidak dapat menghindar dari
pertarungan ini. Kakinya segera menjalankan langkah ajaib.
Jurus yang digunakan tentu saja Liong-gi-kiam-hoat.
Sebetulnya dia segan bertarung dengan Kuan Tiong-liu.
Ketika bertarung di pesisir pantai, dia sudah memerhatikan
Lok-jit-kiam-hoat yang dipelajari Kuan Tiong-liu. Kesannya
748 masih mendalam. Kali ini dia dapat menghadapinya dengan
santai. Pandangan Hay-liong Lojin memang tidak salah.
Ilmunya memang lebih tinggi setingkat daripada Kuan Tiong-
liu. Begitu anak muda itu mengerahkan tiga jurus terakhir Lok-
jit-kiam-hoat, pedang Wan Fei-yang sudah berhasil menempel
di depan tenggorokan Kuan Tiong-liu.
Perasaan Kuan Tiong-liu saat itu bagai terjatuh ke dalam
jurang yang dalam. Dia berdiri terpaku.
"Mengapa setiap kali kau harus memaksa aku turun tangan?"
tanya Wan Fei-yang sambil tertawa getir.
Kuan Tiong-liu memandang Wan Fei-yang dengan pandangan
menusuk. "Pertarungan di pesisir pantai tempo hari, kau
benar-benar mengalah terhadapku?"
Wan Fei-yang tidak menyahut.
"Mengapa kau masih tidak membunuh aku?" teriak Kuan
Tiong-liu marah.
"Antara kau dan aku sama sekali tidak ada dendam apa-apa,"
kata Wan Fei-yang sambil menyimpan pedangnya kembali.
"Kalau kau tidak membunuh aku, kelak kau pasti akan
menyesal!" sahut Kuan Tiong-liu sambil menggertakkan
giginya erat-erat.
Wan Fei-yang mengibaskan tangannya. "Lebih baik kau pergi
saja." Hampir saja Kuan Tiong-liu muntah darah karena jengkelnya.
749 Dia mengentakkan kakinya, kemudian membalikkan tubuh dan
berlari meninggalkan tempat itu. Wan Fei-yang
memandangnya sampai menghilang di kejauhan. Dia sendiri
termenung serta berulang kali menarik napas.
***** Ketika Tok-ku Hong sadarkan diri, matahari sudah tenggelam.
Pada saat itu Wan Fei-yang sedang membuka mulutnya dan
meminumkan air yang diambilnya dengan sarung pedang.
Tok-ku Hong hanya merasa lidahnya menjadi pahit, tapi
setelah rasa pahit berkurang, dia malah merasa segar dan
nyaman. Akhirnya dia dapat melihat Wan Fei-yang.
Tok-ku Hong mengejap-ngejapkan matanya.
"Jangan bergerak. Yang ada dalam mulutmu itu obat. Cepat
telan!" kata Wan Fei-yang menyarankan.
Kesadaran Tok-ku Hong mulai pulih sedikit demi sedikit.
Tanpa sadar dia mengikuti perintah Wan Fei-yang dan
menelan obat itu. "Siapa kau?" tanyanya kemudian.
"Aku hanya kebetulan lewat," sahut Wan Fei-yang. Tangannya masih memegangi bahu Tok-ku Hong. Akhirnya gadis itu
merasakan. Dia menepiskan tangan Wan Fei-yang.
"Lepaskan tanganmu!"
Wan Fei-yang tertegun. Dia menyingkirkan tangannya. Tubuh
Tok-ku Hong hampir terjatuh, tapi gadis yang keras hati itu
bertahan sekuatnya. Dia menumpukkan kedua telapak
tangannya di atas tanah. Matanya mencari-cari.
750 "Mana manusia she Kuan itu?" tanyanya tiba-tiba.
"She Kuan?" Wan Fei-yang pura-pura tidak mengerti.
"Pemuda yang mengenakan pakaian putih ...."
"Oh .... Pemuda berpakaian putih itu yang kau maksudkan"
Dia sudah kabur."
"Kabur?" Tok-ku Hong kurang begitu percaya. "Siapa yang sanggup membuatnya kabur" Kau?"
"Aku mana punya kesanggupan sehebat itu," Wan Fei-yang menjawab sambil memutar otaknya. "Seorang Hwesio
bergebrak dengannya, pemuda itu tampaknya kalah, terus
kabur." "Hwesio?" Tok-ku Hong semakin penasaran. "Bagaimana tampangnya?"
"Usianya sudah lanjut, di kepalanya yang gundul ada sembilan lubang, orangnya agak pendek, rambutnya sudah putih
semua, jenggotnya panjang menjuntai. Tampaknya ilmu
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hwesio itu tinggi sekali. Baru bertarung beberapa saat,
pemuda berpakaian putih itu sudah kabur."
"Kira-kira siapa yang mempunyai kepandaian setinggi itu?"
Tok-ku Hong seperti bertanya kepada dirinya sendiri. Dia
merenung beberapa saat. Kemudian dia menoleh lagi kepada
Wan Fei-yang. "Ke mana Hwesio itu sekarang?"
"Dia memerhatikan engkau sambil menggelengkan kepalanya.
751 Kemudian lengan bajunya dikibaskan lalu tubuhnya melesat
dan menghilang begitu saja."
"Oh?" Tok-ku Hong merenung kembali. "Siapa gelar Hwesio itu?"
"Dia tidak mengatakannya," Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya. "Bagaimana perasaanmu setelah meminum obat
tadi?" Tok-ku Hong mencoba menghimpun hawa murninya,
walaupun belum begitu lancar, tapi rasa sakitnya tidak seperti
sebelum pingsan tadi lagi. Malah terasa sekulum hawa yang
sejuk menguap naik lewat tenggorokannya. Dia merasa heran.
"Obat apa yang kau berikan kepadaku?"
"Aku juga kurang paham," Wan Fei-yang mengeluarkan botol obat dari balik pakaiannya. "Obat ini merupakan resep turunan keluarga. Dibuat dari bermacam-macam daun obat-obatan.
Menurut apa yang kudengar, obat ini khusus untuk
menyembuhkan luka dalam."
Tok-ku Hong memerhatikan Wan Fei-yang dari atas kepala
sampai ke ujung kaki. "Siapa kau sebetulnya?"
"Aku" Kurang jelas juga," Wan Fei-yang benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
"Apa?" Tok-ku Hong semakin kebingungan. "Yang aku maksudkan siapa namamu?"
"Aku she Yang. Orang-orang selalu memanggilku Siau Yang.
Yang dari huruf Yang Ciu," sahut Wan Fei-yang seakan takut 752
gadis itu kurang paham.
"Tidak ada nama?"
"Ada nama kecil, yaitu A Ha. Tapi lebih baik kau memanggilku Siau Yang saja."
Tentu saja Tok-ku Hong tidak tahu Wan Fei-yang sedang
berdusta. Dia malah merasa anak muda ini lucu sekali dan
menarik. "Di mana rumahmu?" tanyanya kembali.
"Sebuah desa kecil tanpa nama yang kira-kira jaraknya
keberapa puluh li dari sini. Di desa kami itu hanya ada belasan keluarga."
"Untuk apa kau datang ke tempat sejauh ini?"
"Cari pekerjaan," Untung saja otak Wan Fei-yang cukup encer.
"Bagaimana dengan kedua orang tuamu?" tanpa sadar Tok-ku Hong bertanya terus.
"Semuanya sudah mati," Wajah Wan Fei-yang tampak
menyiratkan kesedihan. Dia cepat-cepat mengalihkan bahan
pembicaraan. "Kouwnio, aku rasa lukamu tidak ringan. Kalau kau diam di sini terus, nanti bisa masuk angin. Celakalah kau
saat itu."
"Siapa yang memerlukan perhatianmu?"
"Jangan berkata demikian. Sekarang kau ibarat pasienku.
Kalau sampai terjadi apa-apa pada dirimu, aku tentu tidak bisa
makan tidur lagi."
753 "Aku tidak meminta kau bertanggung jawab atas diriku."
"Menolong orang merupakan kewajiban dalam hidup. Mana
mungkin sementara aku melihat kau di ambang kematian lalu
membiarkan saja?" sahut Wan Fei-yang seenaknya.
"Baru membawa obat keluarga saja sudah berani mengobati
orang. Nyalimu tidak kecil juga!" Tok-ku Hong mengomelinya, namun bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Kalau nyaliku tidak besar, melihat begini banyaknya mayat yang bergelimpangan, pasti aku sudah kabur sejak tadi."
"Tahukah kau apa yang telah terjadi?"
"Aku tidak tahu. Tapi aku mengenali sebagian besar dari
mayat itu adalah anggota Bu-ti-bun."
"Kau kenal dengan mereka?"
"Tidak kenal. Tapi, sudah pasti itu dandanan anggota Bu-tibun."
"Tampaknya kau memerhatikan sekali."
"Karena aku memang pernah masuk menjadi anggota Bu-ti-
bun." "Mengapa?" kecurigaan Tok-ku Hong bangkit kembali.
"Bu-ti-bun tiada tandingannya di kolong langit. Coba kau
perhatikan, mana ada murid Bu-ti-bun yang tidak terlihat
754 gagah?" Wan Fei-yang sengaja menarik napas panjang.
"Sayangnya harus ada yang memperkenalkan dan ada orang
yang menjamin. Aku sudah pergi ke kantor cabang mereka
tiga kali, tapi setiap diuji, aku selalu tidak lulus dan tidak
diterima."
"Tahukah kau siapa aku?" tanya Tok-ku Hong kembali.
"Siapa juga tidak jadi masalah," Wan Fei-yang
menggelengkan kepalanya.
"Siapa tahu aku musuh Bu-ti-bun."
Wan Fei-yang pura-pura terkejut. Kemudian dia
menggelengkan kepalanya kembali.
"Apa boleh buat" Melihat kematian tanpa menolong, aku tidak bisa melakukan hal seperti itu," dia seakan teringat sesuatu.
"Oh ya .... Di depan sana ada kuil yang tidak terpakai, mari aku papah kau beristirahat di sana sejenak," katanya.
Tangan Wan Fei-yang terulur. Sudah pasti Tok-ku Hong
menolaknya. "Tidak perlu. Aku bisa berjalan sendiri!" Dia menggunakan goloknya sebagai tongkat dan memaksakan dirinya bangun.
Bagian telapak tangannya masih sakit, walaupun tidak senyeri
tadi lagi. Dia memaksakan dirinya berjalan keberapa langkah,
tapi bekas lukanya sakit sekali. Langkahnya limbung,
tubuhnya terhuyung-huyung, hampir saja dia jatuh ke tanah.
Wan Fei-yang yang mengikuti dari samping, cepat-cepat
755 memapahnya. Tapi Tok-ku Hong masih bermaksud menolak,
namun segulungan rasa pening tiba-tiba menyerang
kepalanya. Dia tahu dirinya tidak kuat berjalan, terpaksa dia
membiarkan Wan Fei-yang memapahnya. Diam-diam dia
mengatur hawa murninya. Sejenak kemudian rasa pusingnya
agak berkurang. Dia baru bisa melanjutkan langkahnya
perlahan. Melihat semua itu, diam-diam Wan Fei-yang merasa kagum.
Gadis yang keras hatinya seperti Tok-ku Hong memang tidak
banyak. ***** Jarak kuil kosong itu dari tepi sungai tadi sebetulnya tidak
terlalu jauh. Tapi Wan Fei-yang memapah Tok-ku Hong dan
melangkah perlahan. Ketika mereka sampai di tempat tujuan,
malam sudah merayap.
Namanya memang kuil bobrok. Tapi beberapa hari
sebelumnya Wan Fei-yang sudah menghabiskan waktu
setengah harian untuk membersihkannya. Dia juga pernah
menginap satu malam di kuil tersebut.
Wan Fei-yang memapah Tok-ku Hong duduk di atas lantai.
Sebentar saja dia sudah mengambil setumpuk kayu kering
dan menyalakan api unggun. Tok-ku Hong memandangnya
dengan tatapan heran. Wan Fei-yang merasa dirinya
diperhatikan. Dia tertawa lebar.
"Kau tidak perlu heran. Aku pernah tinggal di sini," katanya seakan menjelaskan.
756 Setelah api menyala, dia mengambil sebuah mangkuk yang
sudah somplak. "Kau istirahat dulu sebentar. Aku akan mengambil air dan kau harus minum obat sekali lagi." Tanpa menunggu jawaban dari Tok-ku Hong, Wan Fei-yang segera menghambur keluar.
Tok-ku Hong terpaksa memandangi punggungnya sampai
menghilang. Setelah merenung sesaat, dia berusaha
menegakkan badannya dan menghimpun kembali hawa
murninya. Obat yang diberikan Wan Fei-yang kepada Tok-ku
Hong, sudah tidak perlu diragukan lagi merupakan obat
racikan Hay-liong Lojin. Memang bagus sekali untuk
menyembuhkan luka dalam. Sayangnya Wan Fei-yang tidak
mengerti bagaimana cara meminumkannya sehingga obat itu
tidak banyak menunjukkan reaksinya. Sekarang Tok-ku Hong
membantunya dengan menyalurkan hawa murni ke seluruh
tubuh, tentu saja obat itu segera buyar dan bekerja. Tok-ku
Hong merasakan kesegaran dan kenyamanan dalam waktu
singkat. Tok-ku Hong meminum obat itu sekali lagi. Setelah beristirahat
sejenak, tidak lama kemudian dia tertidur dengan pulas. Ketika
dia terbangun kembali, hari sudah pagi. Cahaya matahari
menyorot dari luar kuil.
Tok-ku Hong mengejapkan matanya. Tiba-tiba dia tersentak,
cepat-cepat dia memerhatikan tubuhnya sendiri. Tapi dia tidak
merasakan sesuatu yang tidak beres. Hatinya menjadi lega.
Kemudian dia melihat Wan Fei-yang membawa sebuah
mangkuk di tangan dan menghampirinya.
"Apa lagi itu" Obat?"
757 "Bubur .... Aku sengaja memasakkannya untukmu."
Di atas tungku api terdapat sebuah panci rombeng. Di
dalamnya terdapat bubur yang masih mengepulkan asap. Tok-
ku Hong memerhatikan Wan Fei-yang sekali lagi. Pelupuk
matanya mulai merah. Dapat dipastikan bahwa pemuda itu
tidak tidur sepanjang malam. Hati Tok-ku Hong terharu sekali.
Dia menyambut mangkuk dari tangan Wan Fei-yang,
kemudian mencicipnya sedikit, rasanya manis dan gurih.
Kalau dibandingkan dengan masakannya sendiri, jelas jauh
lebih enak. "Bubur apa ini?" tanyanya tanpa sadar.
"Bubur ikan lele." Tampaknya Wan Fei-yang gembira sekali.
"Dari mana kau mendapatkan ikan lele?" tanya Tok-ku Hong yang keheranannya bangkit kembali.
"Aku menceburkan diri ke dalam sungai dan menangkapnya."
Wan Fei-yang balik bertanya, "Bagaimana rasanya"
"Enak sekali," kata Tok-ku Hong memuji. "Kepandaianmu banyak juga."
"Sejak kecil aku harus mengurus diriku sendiri, kalau yang beginian saja tidak bisa, sejak dulu aku sudah mati kelaparan."
Mendengar ucapannya, hati Tok-ku Hong semakin terharu.
Dia merenung sejenak. "Bukankah kau tadi mengatakan
bahwa kau ingin sekali bergabung dengan Bu-ti-bun"
758 "Sekarang tidak lagi." Jawaban Wan Fei-yang malah di luar dugaan gadis itu.
"Eh" Mengapa?"
"Aku sekarang sudah yatim piatu. Tidak punya siapa-siapa
lagi. Siapa yang akan menjamin" Lagi pula di mana aku harus
mencari orang yang bisa mengenalkan aku masuk Bu-ti-bun"
"Aku!" Tok-ku Hong menyuap sesendok bubur.
"Kau" Kenapa kau?" tanya Wan Fei-yang seakan curiga.
Tok-ku Hong mendengus dingin.
"Tok-ku Bu-ti adalah ayahku. Coba kau pikir, bisa atau tidak aku yang menjaminmu" Dan aku juga yang akan
memperkenalkanmu."
Wan Fei-yang sengaja menatap Tok-ku Hong dengan
pandangan kurang percaya.
"Anggaplah aku membalas budimu karena sudah merawatku,"
kata Tok-ku Hong selanjutnya.
"Aku tidak mengharap balas budimu. Aku juga bukan jenis
manusia yang sudah menolong orang lalu mengharapkan
pembalasanmu," sahut Wan Fei-yang bersungut-sungut.
"Kau kira aku jenis manusia yang sudah menerima
pertolongan lalu melupakan begitu saja." Tok-ku Hong
meletakkan mangkuknya di atas tanah. "Segala hal yang
sudah aku tetapkan, tak dapat diubah oleh siapa pun juga!"
759 Wan Fei-yang tampak serbasalah.
"Ini ...."
"Ini itu apa lagi" Plintat-plintut, seperti bukan anak laki-laki saja!"
"Baik. Tapi kau tidak boleh sedikit-sedikit gembar-gembor
pada semua orang dengan mengatakan bahwa aku
mengandalkan engkau baru bisa menjadi anggota Bu-ti-bun."
Wajah Wan Fei-yang serius sekali ketika mengucapkan kata-
kata ini. "Siapa yang kebanyakan waktu menceritakan engkau?" Tok-ku Hong geli melihat lagak Wan Fei-yang yang ketolol-tololan.
Dia tertawa cekikikan kemudian menghabiskan sisa buburnya.
Wan Fei-yang sendiri ikut tertawa geli. Tiba-tiba tawanya
sirap. Dia sedang memikirkan apakah pantas dia mengelabui
Tok-ku Hong dengan cara demikian. Dia sudah berniat
mengatakan dengan terus terang, tapi kata-kata yang sudah
dipersiapkan dan sudah sampai di ujung lidah ditariknya
kembali. Akhirnya dia memutuskan untuk meneruskan
sandiwaranya. Tok-ku Hong sama sekali tidak menyadari. Dia sudah
memutuskan untuk kembali ke Bu-ti-bun. Bukan karena Wan
Fei-yang saja. Tetapi dia sudah merasa jenuh dengan
kehidupan semacam ini.
***** 760 Hay-liong Lojin orang yang periang. Setiap hari dia selalu
tertawa bebas. Tapi ketika mendengar musibah yang terjadi
pada Go-bi-pay, wajahnya berubah hebat. Dia tidak sanggup
tertawa lagi. Dia tidak meragukan apa yang dikatakan Kuan
Tiong-liu. Apalagi luka yang diderita setiap murid Go-bi-pay
yang mengiringi kedatangan Kuan Tiong-liu. Kepala mereka
tertunduk dalam-dalam. Berkali-kali mereka menarik napas
panjang. Semangat mereka entah terbang ke mana.
Di atas meja yang terdapat di hadapannya ada sebuah
kantong kecil yang berlumuran darah. Itulah benda
peninggalan It-im Taysu. Darah sudah mengering. Warnanya
pun sudah mulai memudar. Mata Hay-liong Lojin menatap
benda itu lekat-lekat. Hatinya semakin berduka.
"Benarkah si tua bangka It-im itu sudah mampus?" kata-kata itu memang tidak sopan, tapi mengandung kesedihan yang
dalam. Kuan Tiong-liu menganggukkan kepalanya tanpa menyahut.
Hay-liong Lojin menarik napas dalam-dalam.
"Betul kan" Sejak dulu aku sudah sering mengatakan, tidak
perlu melelahkan diri menasihati manusia-manusia jahat
seperti itu. Tempo hari Kui-kiam (Pedang Setan) Bu-tiang
datang untuk membalas dendam. Dia masih mengatakan
bahwa pada dasarnya orang itu masih mempunyai sifat yang
baik. Untung saja aku keburu datang, kalau tidak waktu itu
saja Pedang Setan Bu-tiang sudah mengantarnya ke neraka,
tidak perlu menunggu sampai sekarang," Hay-liong Lojin
merandek sejenak. Kemudian dia mengomel lagi panjang
lebar, "Tua bangka itu memang terlalu lugu. Sama sekali tidak melihat kenyataan hidup. Sedikit-sedikit Omitohud. Sekarang
761 baru dia rasakan, sekaligus dua ratus tujuh puluh lebih anak
muridnya mati penasaran!"
Kuan Tiong-liu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia
tidak mengucapkan sepatah kata pun. Para murid Go-bi-pay
lainnya juga menundukkan kepala mereka. Berkali-kali masih
terdengar helaan napas panjang. Hay-liong Lojin
mengedarkan pandangannya kepada mereka sekilas, "Untung
kalian masih sempat melarikan diri."
Hay-liong Lojin mendongakkan wajahnya ke langit biru.
"Dapatkah Go-bi-pay tampil kembali ke dunia Kangouw,
semuanya tergantung kepada kalian." Orang tua itu berdiri dan menatap Kuan Tiong-liu. "Terutama kau manusia she Kuan.
Aku tahu bakatmu melebihi orang lain. Kau harus berlatih lebih
giat lagi!"
"Susiok, jangan khawatir, aku pasti akan menonjolkan kembali nama Go-bi-pay!" sahutnya dengan suara berat.
"Bagus! Ada semangat!" Orang tua itu menepuk bahu Kuan Tiong-liu dua kali kemudian mengambil benda peninggalan It-im Taysu dan berjalan pergi.
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuan Tiong-liu mengikuti dari belakang. Sesampainya di luar
rumah, dia berkata, "Susiok, apa yang kau katakan memang
benar! Aku bukan tandingan Wan Fei-yang."
"Akhirnya kau percaya juga bahwa tempo hari Wan Fei-yang
memang mengalah terhadapmu."
"Liong-gi-kiam-hoat dari Bu-tong-pay dan Lok-jit-kiam-hoat kita sama-sama terkenal di dunia Kangouw. Mengapa kita
762 bertarung, terpautnya demikian jauh?"
"Untuk mengembangkan Lok-jit-kiam-hoat diperlukan paduan
Im dan Yang. Ciangbunjin generasi lalu keburu meninggal, lagi
pula kami baru tahu sesudahnya. Maka dari itu, Lok-jit-kiam-
hoat yang kulatih bersama It-im Taysu hanya mengandung
kekerasan tenaga Yang, namun kekurangan kelembutan daya
Im. Ciangbunjin generasi pendahulu tidak sempat
mewariskannya kepada kami. Tentu saja kita tidak bisa
mengerahkan Lok-jit-kiam-hoat dengan sempurna," kata Hay-
liong Lojin menjelaskan.
Kuan Tiong-liu tertegun. "Kalau begitu, Susiok juga tidak dapat mencapai kesempurnaan dalam berlatih Lok-jit-kiam-hoat."
Hay-liong Lojin tidak mengingkari. Kuan Tiong-liu menarik
napas panjang. "Apakah tidak ada jalan untuk membantu agar Lok-jit-kiam-
hoat dapat terlatih sampai sempurna?"
"Bukannya tidak ada ...." Wajah Hay-liong Lojin menjadi kelam.
"Susiok, katakanlah kepadaku. Bagaimana pun susahnya, aku
bertekad untuk melatih Lok-jit-kiam-hoat sampai sempurna."
"Jalan satu-satunya adalah mempelajari kelembutan daya Im."
"Oh?" Kuan Tiong-liu kurang paham maksud orang tua itu.
Hay-liong Lojin terpaksa menjelaskan lebih terperinci.
763 "Seandainya kau dapat mempelajari Sim-hoat dari Si-im-kung (Istana Akhirat) maka semuanya akan menjadi mudah. Tapi
tempo dulu, Si-im-kung pernah diserbu oleh sembilan partai
besar sehingga terdesak keluar dari Tionggoan. Sejak itu
mereka tidak pernah muncul lagi di dunia Kangouw. Tentu
saja Lwekang Sim-hoat dari Si-im-kung tidak ada pewarisnya
di daerah Tionggoan."
"Dari mana asal Si-im-kung sebenarnya?"
"Po-se (Portugis). Mereka pernah menggetarkan Bu-lim dalam jangka waktu yang cukup lama. Tapi karena mereka tergolong
aliran sesat dan banyak membuat kericuhan, akhirnya tidak
mampu menahan keroyokan sembilan partai besar dan
menghilang begitu saja. Apakah mereka kembali ke negerinya
sendiri atau hijrah ke tempat lain, tidak ada yang tahu lagi."
"Kecuali Lwekang Sim-hoat dari Si-im-kung, apakah tidak ada Sim-hoat lain yang dapat menggantikannya?" desak Kuan
Tiong-liu. "Bukan begitu juga. Menurut cerita, Hek-pay-suang-mo
(Sepasang Iblis Putih dan Hitam) dari India juga mempelajari
ilmu yang sama. Malah ada yang mengatakan bahwa tadinya
mereka merupakan satu aliran dengan Si-im-kung.,
Sedangkan Han-ling-cu (Sukma Dingin) dari Tionggoan juga
mempunyai semacam ilmu yang menggunakan Lwekang daya
lembut ini. Tapi mereka semua terdiri dari golongan sesat.
Seandainya iman kita tidak kuat, sifat kita akan terpengaruh
menjadi jahat. Lebih baik kita cari akal lain, lihat saja, siapa tahu kita akan dapat menemukan Sim-hoat Go-bi-pay yang
hilang itu." Hay-liong Lojin menarik napas panjang. "Mungkin dari angkatan pendahulu kita ada yang mempelajari ilmu ini
764 dan ada beberapa, dari mereka yang menurunkan kepada ahli
warisnya."
Kuan Tiong-liu tidak bersuara. Entah apa yang sedang
dipikirkannya. "Aku menyimpan sebuah daftar nama yang di dalamnya
tertera nama-nama anak murid Go-bi-pay angkatan
pendahulu. Nanti aku akan menyerahkannya kepadamu. Tapi
kau harus keliling dunia untuk mencari mereka. Siapa tahu
ada di antara mereka yang mengerti Sim-hoat ilmu Lok-jit-
kiam-hoat," kata Hay-liong Lojin selanjutnya.
Kuan Tiong-liu masih juga tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Akhirnya orang tua itu menyadarinya juga. Kakinya berhenti
melangkah. "Apa lagi yang kau pikirkan!"
"Tidak ada." Kuan Tiong-liu mengertakkan giginya erat-erat.
"Sejak sekarang, Tecu akan mengelilingi dunia ...."
Hay-liong Lojin tidak menunggu sampai kata-kata Kuan Tiong-
liu selesai, dia mengangkat jempolnya memuji. "Sejak tadi aku sudah mengatakan bahwa kau memang bersemangat besar."
"Biar Liok An berdiam di sini saja, juga para rekan yang lain, Tecu harap Susiok bersedia menampung mereka."
"Omongan apa itu?" Hawa kemarahan Hay-liong Lojin meluap lagi. "Aku juga murid Go-bi-pay, tentu saja aku juga
mempunyai tanggung jawab untuk menjaga mereka."
Liok An sejak tadi mengintil di belakang Kuan Tiong-liu. Dia
tidak dapat menahan dirinya lagi. "Kongcu, biar aku melayani 765
...." Kuan Tiong-liu memalingkan wajahnya menatap Liok An
sekilas. "Ilmu silatmu masih rendah sekali. Lebih baik kau berdiam di sini saja." Kemudian dia menjura kepada Hay-liong Lojin. "Susiok, aku berangkat."
"Baik. Kau pergilah!" Orang tua itu menarik napas panjang sekali lagi. Setelah itu dia melempar kantong kecil
peninggalan It-im Taysu dengan tenaga sekuatnya. Kantong
kecil itu melayang ke tengah lautan.
Ombak putih bergelombang, sebentar saja kantong kecil itu
terombang-ambing semakin jauh. Di bawah aliran air mata
para murid Go-bi-pay, Kuan Tiong-liu meneruskan langkahnya
untuk mencapai cita-cita membangun kembali Go-bi-pay.
***** Kesunyian malam semakin merayap. Dari luar tampaknya Bu-
tong-san begitu tenang. Kenyataannya sejak Wan Fei-yang
meninggalkan tempat itu, di Bu-tong-san tidak pernah terjadi
kericuhan lagi. Penjagaan pada malam hari juga tidak begitu
diperketat lagi.
Namun malam itu Fu Giok-su masih berhati-hati ketika
meninggalkan kamarnya menuju bagian belakang gunung di
mana terdapat hutan yang lebat. Angin bertiup melambaikan
dedaunan. Dengan membelakangi rembulan, manusia tanpa
wajah berdiri tegak di antara pepohonan yang lebat. Dia
melihat Fu Giok-su menghampiri ke arahnya.
"Kongcu ...."
766 "Lagi-lagi kau datang ke Bu-tong-san. Sebetulnya ada
keperluan apa?" tanya Fu Giok-su dengan nada datar.
"Cujin tidak sabar lagi untuk membalas dendam. Orang tua itu meminta kau segera bertindak," sahut manusia tanpa wajah
sambil menyodorkan sepucuk surat kepada Fu Giok-su.
Fu Giok-su mengeluarkan surat tersebut. Dia berdiri
membelakangi rembulan agar mendapat cahaya dan bisa
membaca surat itu. Setelah membaca dengan saksama, dia
mengeluarkan batu api lalu menyalakannya. Surat itu dibakar
hingga menjadi abu. Dia memang seorang yang teliti.
Kemudian dia merenung sejenak.
"Kau pulang ke Siau-yau-kok dan laporkan kepada Yaya.
Dalam jangka waktu sepuluh hari aku akan melakukan
semuanya sesuai rencana. Pokoknya aku akan memancing
Yan Cong-tian ke Ci-liong-ceng."
"Kongcu sudah menemukan akal yang baik?"
Fu Giok-su menganggukkan kepalanya. Sambil berjalan dia
menjelaskan apa yang sudah direncanakannya. Manusia
tanpa wajah mendengarkan dengan saksama. Kepalanya
manggut-manggut terus. Fu Giok-su adalah pemuda yang
sangat cerdas. Siasat yang terpikir olehnya pasti rapi sekali.
Kali ini Yan Cong-tian tentu akan terjebak dalam perangkap
yang berbahaya.
***** Fu Giok-su mengantarkan kepergian manusia tanpa wajah.
767 Dia kembali ke kamarnya. Belum lagi dia mendorong pintu
kamar itu, hatinya sudah merasa curiga. Tadinya pintu itu
dibiarkan sedikit terbuka, sekarang malah tertutup rapat. Dia
menempelkan tangannya pada pintu kamar. Setelah
mempertimbangkan sejenak, dia mendorong pintu itu dengan
hati-hati. Cahaya rembulan menyorot lewat jendela. Keadaan di dalam
kamar remang-remang. Tapi dia dapat melihat ada seseorang
duduk di atas tempat tidurnya. Meskipun tidak jelas sekali, tapi dia sudah dapat menerka siapa gerangan orang itu. Dia
merapatkan pintu kamarnya kembali.
Fu Giok-su bergegas mendekati tempat tidur.
"Wan-ji, mengapa kau datang pada waktu seperti ini"
Orang itu memang Lun Wan-ji. Tangan kanannya mendekapi
ulu hati, seperti ingin muntah, tapi dia bertahan sebisanya
jangan sampai muntah di tempat itu. Kemudian dia berdiri,
kepalanya menyusup ke dalam dada Fu Giok-su. Dia
menangis terisak-isak.
"Wan-ji, ada apa?" tanya Fu Giok-su lembut.
"Giok-su, aku ... aku ada beberapa patah kata yang ingin
kukatakan kepadamu."
"Tentang apa?" Fu Giok-su memandangnya dengan heran.
Tubuh Lun Wan-ji semakin merapat ke dalam pelukan
pemuda itu. Setelah beberapa saat baru dia membuka suara
.... "Beberapa hari belakangan ini, badanku terasa tidak enak.
768 Aku muntah setiap kali mengisi perut, kepala juga pusing
terus. Jangan-jangan ...."
Baru mendengar setengahnya saja, wajah Fu Giok-su sudah
berubah hebat. Dia termangu-mangu sekian lama.
"Coba katakan, apa yang harus kita lakukan" Kalau sampai
orang tahu aku mengandung anakmu, maka ...." suara Lun
Wan-ji menjadi serak dan tidak jelas.
Dalam waktu singkat hati Fu Giok-su tenang kembali. Dia
menepuk bahu Lun Wan-ji dengan lembut. "Jangan takut. Aku
akan mengatur segalanya."
Lun Wan-ji mendongakkan kepalanya. Air mata mengalir
deras. Fu Giok-su mengulurkan tangan mengusap pipi gadis
itu. "Tidak perlu khawatir," katanya sepatah demi sepatah.
Kemudian dia mengusap air mata Lun Wan-ji.
Air mata itu terasa dingin di tangan. Perasaan hati Fu Giok-su
pun menjadi sejuk.
***** Malam panjang berakhir jua. Pagi-pagi sekali Fu Giok-su
sudah mendatangi kamar batu di mana Yan Cong-tian berlatih
diri. Setelah berpikir semalam suntuk akhirnya dia mendapat
akal untuk memancing Yan Cong-tian terperangkap dalam
jebakannya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa para murid yang
berada di kaki gunung menyampaikan berita bahwa Wan Fei-
yang dan Thian-ti terlihat di desa Ci-liong. Dia sudah dapat
769 meraba sifat Yan Cong-tian. Kalau mendengar berita ini, dia
pasti akan segera menyusul ke desa Ci-liong untuk
mengadakan perhitungan dengan Wan Fei-yang.
Ternyata apa yang diduganya memang tidak meleset.
Mendengar kabar itu, Yan Cong-tian langsung bersemangat.
"Mengapa Wan Fei-yang bisa bersama-sama dengan makhluk
tua itu?" "Apakah Susiok sudah lupa. Sebelum meninggalkan Bu-tong-
san, makhluk tua itu pernah berkata bahwa Wan Fei-yang
adalah hasil didikannya."
"Betul! Tidak heran mereka bisa bersama-sama." Yan Cong-tian bertanya lagi. "Dari mana kau mendapatkan berita ini?"
"Bekas murid Bu-tong-pay yang membuka perusahaan
pengawalan dekat desa Ci-liong. Orang itu she Suma ...."
"Kim-to (Golok Emas) Suma?" Suatu ingatan terlintas di benak Yan Cong-tian. "Apakah Suma Hong?"
"Suma-susiok sudah meninggal. Penggantinya yang sekarang
adalah putranya yang bernama Suma Tian."
"Suma Hong juga sudah meninggal?" Yan Cong-tian menarik napas dalam-dalam. "Kami adalah sahabat karib. Satu
keluarga itu sangat menarik. Mereka semua menggunakan
tangan kiri dalam menggenggam golok. Ilmu golok tangan kiri
Bu-tong-pay juga hanya mereka yang bisa menguasai dengan
baik." Dalam hati Fu Giok-su agak terkejut. Dia tidak menyangka
770 Yan Cong-tian sedemikian paham. Namun dia tidak
menunjukkan perasaan apa-apa. "Susiok, apa yang harus kita lakukan?"
"Masih perlu tanya" Aku akan segera menyusul ke desa Ci-
liong. Aku akan menghancurkan tubuhnya hingga berkeping-
keping!" "Susiok, aku akan menemani kau orang tua ke sana!"
"Tidak perlu! Aku sendiri sudah cukup." Mata Yan Cong-tian mengerling sekilas. "Kau sekarang merupakan Ciangbunjin
Bu-tong-pay. Kau harus berdiam di sini mengurus hal yang
lainnya." "Justru karena Tecu sekarang sudah menjadi Ciangbunjin,
maka Tecu harus ikut pergi ke sana."
"Kalau kau ikut pergi, siapa yang mengurus Bu-tong-pay?"
Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya. "Lebih baik kau
tetap di sini saja."
"Susiok ...!"
"Apakah perkataanku saja sudah tidak kau dengar lagi?"
Wajah Yan Cong-tian berubah kelam.
"Tidak .... Tapi Suhu dibokong oleh murid murtad itu.
Sekarang sebagai murid, aku sudah menemukan jejak
pembunuh tersebut. Masa aku tidak memberi bantuan sedikit
pun" Hati rasanya tidak puas. Lagi pula apa yang harus Tecu
kemukakan di depan umum apabila mereka mengetahui
kejadian ini?" kata Fu Giok-su dengan wajah sendu. Dia
771 langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Yan Cong-tian.
"Harap Susiok kabulkan permintaan Tecu."
Yan Cong-tian merasa apa yang dikatakan Fu Giok-su
memang beralasan. Dia memandang wajah anak muda itu.
Penampilannya tulus sekali. Akhirnya dia menganggukkan
kepalanya. "Baik. Kalau kau memang sudah bertekad untuk
ikut." Fu Giok-su menunjukkan tampang gembira. Cepat-cepat dia
menyembah sebanyak tiga kali. Yan Cong-tian buru-buru
memapahnya bangun. Wajah Fu Giok-su menghadap ke
bawah. Yan-susiok itu tidak dapat melihat bibir pemuda itu
yang menyunggingkan senyuman licik.
***** Di atas gunung hujan turun dengan lebat. Angin membawa
rintikan hujan menerobos lewat jendela yang memercik
membasahi wajah Fu Giok-su. Dia sedang membereskan
perbekalan untuk kepergian. Tanpa terasa sebuah dompet
kecil yang memancarkan keharuman terjatuh dari dalam
tumpukan pakaian.
Dompet kecil itu pemberian Lun Wan-ji Dia sering
membawanya ke mana-mana. Kadang-kadang dia suka
mengeluarkan dompet itu dan menatapnya sampai lama.
Secercah kesunyian merayap dalam hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Fu Giok-su masih
memegangi dompet kecil tersebut. Pikirannya melayang-
layang. Dia tidak menyadari suara ketukan di pintu. Sekali lagi terdengar suara ketukan. Fu Giok-su tersentak dari
772
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lamunannya. Cepat-cepat dia memasukkan dompet kecil itu di
balik pakaiannya, berjalan menuju pintu dan membukanya.
Lun Wan-ji berdiri di depan pintu. Tampangnya kusut. Tidak
kelihatan semangat hidup sedikit pun. Wajahnya menyiratkan
kesedihan yang dalam. Fu Giok-su menariknya ke dalam.
"Apakah kau sudah mengatakannya kepada Susiok?"
Lun Wan-ji memandang Fu Giok-su dengan matanya yang
sayu. "Suhu mengatakan bahwa ilmu silatku masih rendah, kalau
pergi malah akan merepotkan. Jadi aku tidak boleh ikut."
Fu Giok-su membimbing Lun Wan-ji duduk di atas tempat
tidur. Lun Wan-ji menatapnya lekat-lekat. Hatinya perih
kembali. Tanpa sadar, air mata sudah menetes dengan deras.
Fu Giok-su menggenggam tangan Lun Wan-ji erat-erat. Dia
duduk di sampingnya. Lun Wan-ji mengibaskan tangannya,
sambil mengusap air mata dia berdiri. "Biar aku membantumu membereskan perbekalan ...."
Fu Giok-su menarik tangan gadis itu dan memeluknya dalam
dekapan. Lun Wan-ji tidak dapat menahan kesedihannya lagi.
Dia menangis tersedu-sedu. Fu Giok-su menggelengkan
kepalanya berkali-kali. "Wan-ji ... jangan bersedih. Aku masih mempunyai akal yang lain."
Lun Wan-ji masih terisak-isak. "Kita toh tidak mungkin
menceritakan masalah ini kepada Suhu." Semakin dipikirkan, hatinya semakin sedih. Air matanya mengalir semakin deras.
"Aku tidak akan meninggalkan kau telantar begitu saja," kata 773
Fu Giok-su sambil mengetatkan pelukannya.
Rintik air hujan terempas lagi ke dalam melalui jendela. Mata
Fu Giok-su mengembang. Hujankah atau air mata yang
membasahi pelupuk matanya itu"
***** Hujan turun lagi. Juga pada senja hari.
Senja pada hari ketujuh. Fu Giok-su dan Yan Cong-tian sudah
jauh dari Bu-tong-san. Senja hari ini, mereka masuk ke dalam
sebuah penginapan kecil di daerah Pek-ka-cik.
Yan Cong-tian duduk bersandar di atas tempat tidur. Dia
menarik napas berulang-ulang. Hari ini mereka baru
mendengar tentang diserbunya Go-bi-pay oleh Tok-ku Bu-ti. It-
im Taysu dan dua ratus tujuh puluh satu murid Go-bi-pay mati
dalam satu hari. Mereka mati penasaran. Apalagi Yan Cong-
tian pun ada jodoh bertemu muka beberapa kali dengan It-im
Taysu. Hatinya terpukul juga menerima berita tersebut.
Fu Giok-su menuangkan secangkir teh. Yan Cong-tian
menerimanya, kemudian menarik napas lagi. "Tidak disangka
sebuah partai besar seperti Go-bi-pay, bisa mengalami
kemerosotan yang demikian mengenaskan."
Pendekar Pedang Kail Emas 1 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Persekutuan Pedang Sakti 7
"Can Cian Cin membujuk anggota cabang Wei hai. Dia ingin
membentuk organisasi sendiri. Dia tidak tahu bahwa aku
sudah lama memperhatikannya. Ini bukti-bukti surat yang
dikirim oleh antek-anteknya." Tok ku Bu tidak mengeluarkan
setumpuk surat dari dalam sebuah amplop besar.
"Kalian tentu tahu kalau ketua cabang Wei hai adalah murid
Go Bi pai. Itulah sebabnya Can Cian Cin tahu jelas ilmu yang
dipelajari oleh It im taisu."
Para hadirin merasa di luar dugaan.
"Salah seorang kepercayaan pejabat yang hendak pindah
rumah itu memang komplotan Can Cian Cin maka dia jelas
sekali tentang masalah ini. Itulah sebabnya tanpa membuka
peti itu pun dia sudah tahu berapa jumlah uang emas yang
ada dalam kereta. Sementara itu kekurangan dua juta dari
jumlah yang seharusnya, tidak salah lagi mereka pasti telah
membaginya rata."
Cu kek Ming menarik nafas panjang. "Tahu orang, tahu wajah,
tidak tahu hatinya. Pepatah ini memang tepat sekali. Budi
Buncu demikian besar kepada Can cian Cin, tidak tersangka
dia bisa melakukan hal demikian," katanya.
"Besok kau bawa uang sejumlah lima ribu perak kepada
keluarganya. Sekalian undang beberapa orang hwesio untuk
692 menyembahyangi jenazahnya!" perintah Tok ku Bu ti.
"Baik!" sahut Cu kek Ming sambil mengundurkan diri.
Tok ku Bu ti mengalihkan pandangannya kepada Tengcu.
"Teng tongcu buatkan sepucuk surat yang sopan dan baik tata
bahasanya. Utus orang dengan kuda tercepat dan antarakan
ke Go Bi san. Beri batas waktu tujuh hari pada It im taisu
untuk menyerahkan Kuan Tiong Liu. Kalau tidak, aku sendiri
yang akan mendatangi Go Bi san dan meringkus anak itu!"
katanya memberi perintah.
Perkataannya diucapkan sepatah demi sepatah. Wajahnya
menyiratkan kekejaman yang sulit dilukiskan. Sebelum
menutup diri tentunya dia sudah menyiapkan berbagai
rencana dengan tenang itu, dia dapat mengatur segalanya.
Manusia semacam ini benar-benar keji dan menakutkan.
Rembulan mulai memudar. Cahayanya menyorot di luar
jendela gendung kecil itu. Meskipun malam panjang belum
berlalu, tapi pagi tidak lama lagi akan muncul.
Tangan memegang cawan, dalam cawan berisi arak. Tapi
perasaannya bukan sedang menikmati arak. Saat ini Tok ku
Bu ti duduk di tempat peristirahatan di taman belakang,
Berhadapan dengan hanya Kongsun Hong seorang.
Minum arak seorang diri hampa rasanya. Tok ku Bu ti sengaja
memilih Kongsun Hong untuk menemaninya. Bukan hanya
sekedar menemani saja. Tapi karena dia mempercayai
Kongsun Hong. Selama ini dia selalu mengangap Kongsun
693 Hong sebagai anaknya sendiri.
Tiga cawan arak telah masuk ke dalam perut. Wajah Tok ku
Bu ti agak murung.
"Tidak disangka hanya dalam waktu dua tahun saja, sudah
terjadi berbagai peristiwa yang tidak terduga."
"Peristiwa yang terjadi dua tahun belakangan ini memang
terlalu banyak," sahut Kongsun Hong.
"Masih lumayan hanya Han ciang tiau siu yang terbunuh dan
juga para anggota cabang tiga belas. Selain itu semuanya
biasa-biasa saja."
"Kau orang tua sudah lupa aku dan Sumoay terkurung dalam
barisan Jit sing kiam ceng satu hari satu malam. Meskipun
tidak sampai mati tapi rasanya malu sekali. Sampai sekarang
kalau ada yang mengungkit persoalan ini kembali, sumoay
masih merasa penasaran," sahut Kongsun Hong.
"Masalah ini tidak usah disimpan dalam hati. Pada suatu hari
nanti aku pasti akan menemukan titik kelemahan barisan
tesebut. Pada saat itu aku akan mengutus kau dan Hong ji
naik sekali ke Bu tong san dan mencoba barisan itu. Kalian
juga bisa melampiaskan kekesalan dengan membunuh
mereka habis-habisan!" kata Tok ku Bu ti dengan keyakinan
penuh. Kongsun Hong gembira sekali. "Kalau Sumoay mendengar
kata-kata Suhu tadi,dia pasti akan senang sekali!"
Wajah Tok ku Bu ti berubah serius kembali. "Anak itu benar-
694 benar terlalu kumanjakan."
"Suhu, ada.. ada masalah yang aku tidak habis pikir."
"Masalah apa?"
"Ketika kami terkurung dalam barisan Jit sing kiam ceng,
kamisudah pasti tidak dapat meloloskan diri lagi. Tapi tidak
disangka sangka tua bangka Ci siong itu malah menurunkan
perintah kepada para muridnya agar melepaskan kami turun
gunung." Wajah Tok ku Bu ti semakin kelam.
"Mungkin dia merasa bersyukur karena selama mengalami
kekalahan sebanyak tiga kali di tanganku, tidak pernah
sekalipun aku mengancam akan membunuhnya. Maka dari itu
dia berlagak berjiwa besar. Kemudian dia mengalihkan pokok
pembicaraan. "Jangan bicara akan masalah ini lagi. Yang lain
saja. Bagaimana sikap Hong ji belakangan ini?"
"Kecuali sifatnya yang cepat tersinggung, yang lainnya biasa
saja." "Apakah ada sesuatu yang terjadi belakangan ini?"
"Cu jin di Liong hong kek beberapa hari yang lalu tidak mau
makan apa-apa," kata Kongsung Hong tanpa sadar.
"Tidak makan sampai sekarang" Tentu sudah hampir mati
kelaparan," kata Tok ku Bu ti agak khawatir.
"Suhu jangan cemas, kemarin sudah mulai mau makan lagi."
695 Belum lagi kata-katanya selesai, Tok ku Bu ti sudah berdiri
dan menempeleng pipi Kongsun Hong. Anak muda itu tidak
menghindar. Tamparan itu cukup keras. Kongsun Hong
tertegun beberapa saat.
"Suhu, mengapa kau?""
"Masih tanya?" Wajah Tok ku Bu ti merah padam karena
marah."Apa yang kupesankan kepadamu sebelum aku
menutup diri. Mengapa nyalimu begitu besarsehingga berani
membangkang?"
"Suhu, aku mana berani.."
"Masih berani membantah" Bilang! Siapa yang kau masukkan
ke dalam Liong hong kek?" bentak Tok ku Bu ti dengan suara
keras. Kongsun Hong kembali tertegun. Dia tidak berani bersuara.
"Hong ji bukan" Bilang!" Hardikan Tok ku Bu ti semakin keras.
Matanya mendelik lebar lebar kepada Kongsun Hong.
Tanpa sadar Kongsun Hong mundur dua langkah. Tok ku Bu ti
malah mendesaknya.
"Bilang!"
Kongsun Hong terpaksa menganggukkan kepalanya.
Tok ku Bu ti tertawa dingin.
696 "Urusan apa pun tidak dapat mengelabui aku. Kalau wanita di
Liong hong kek itu sampai tidak mau makan, hanya Hong ji
yang sanggup membujuknya," sindirnya tajam.
Kongsun Hong segera menjatuhkan diri ke lutut di atas tanah.
Tok ku Bu ti tidak memperdulikannya. Matanya mengedar
kemudian menatap sinar rembulan yang menyorot di sebelah
barat. Lama dia terpaku dalam lamunan. Beberapa saat
kemudian, tiba-tiba tubuhnya melesat bagaikan segumpal
asap yang melayang di atap tempat peristirahatan itu.
Cahaya penerangan sangat redup. Wajah dan tubunya
semakin kurus. Angin sepoi-sepoi bertiup dari celah jendela.
Tangan Sen Man cing sudah dingin sekali. Dia sama sekali
tidak perduli. Tangannya masih menggenggam lukisan Ci
Siong to jin, tapi matanya justru menerawang di kejauhan.
Matanya masih mengembang air. Tapi tidak mengalir turun.
Entah sudah berapa lama dia duduk di sana. Dia tidak ingat
waktu lagi. Dia juga tidak perduli keadaan dirinya sendiri.
Di luar Liong hong kek kesunyian merayap. Tubuh Tok ku Bu
ti bagai seekor burung elang melayang turun tanpa
menerbitkan suara sedikit pun. Meskipun dia berada di luar
dan memperhatikan Sen Man Cing, tapi wanita itu seperti tidak
mengetahui kehadirannya.
Sepasang tangan Tok ku Bu ti mengepal erat. Jari-jari
tanganya sampai terlihat putih pucat. Sepasang matanya
mendelik ke arah lukisan Ci Siong to jin. Seakan ada bara api
yang sedang menyala di matanya.
697 Dia menarik nafas dalam-dalam. Hawa amarah dalam
dadanya hampir meledak. Tiba-tiba dia membalikkan
tubuhnya dan menerjang ke luar. Baru beberapa depa, dia
menghentikan lagi langkah kakinya. Pada saat itu, wajahnya
berkerut-kerut. Urat hijau menonjol di keningnya. Tiba-tiba dia menjerit histeris, membalikkan tubuh dan menerjang ke arah
pintu Liong hong kek.
"Brak!" Pintu ruangan itu hancur seketika. Tok ku Bu ti
menerjang ke dalam. Dengan kalap dia menyerbu ke arah Sen
Man cing. Mendengar suara dobrakan pintu, Sen Man Cing
terkejut sekali. Dia langsung bangkit beriri. Lima jari telapak tangan kanannya diulurkan. Hampir saja dia mengerahkan
tenaga menyerang.
"Siapa?" bentaknya lantang.
Baru saja kata-katanya selesai, dan sudah melihat bahwa
orang yang menerjang masuk adalah Tok ku Bu ti. Kelima jari
tanganya terkulai kembali ke bawah.
"Brett!" Tok ku Bu ti merobek-robek gambar Ci Siong to jin. Dia masih belum puas. Kedua telapak tangannya dirangkapnya
dan".. "Bles!" Lukisan itu berubah menjadi hancuran kecil-kecil dan
bau hangus. Sen Man Cing menatapnya dengan dingin. Dia tidak bergerak,
juga tidak mencegah, Wajah Tok ku Bu ti menyorotkan hawa
amarah, Dia menginjak bekas hancuran lukisan tadi dengan
telapak kakinya. Dia juga tidak berkata apa-apa.
698 Setelah sekian lama berdiam diri, akhirnya Sen Man Cing
yang lebih dulu membuka suara.
"Dua puluh tahun yang lalu, aku memang mera bersalah sekali
terhadapmu. Tapi kau tidak pernah memberikan kesempatan
kepadaku untuk menjelaskannya." Suaranya dingin sekali.
Sama sekali tidak mengandung perasaan apa-apa.
Tok ku Bu ti berdiam diri mendengarkan.
"Selama dua puluh tahun ini, sekilas pun kau tidak pernah
melirik aku. Kau pisahkan aku dengan putriku. Aku tidak
mencaci maki atau pun mengatakan apa-apa. Juga karena ini
memang patut kuterima. Sampai malam ini kau datang
kembali, aku kembali merasa bersalah terhadapmu. Kalau
melihat ilmu silatmu yang sudah mencapai taraf demikian
tinggi. Seharusnya kau tidak cepat menjadi tua, kuyu, pucat,
hal ini membuktikan bahwa selama dua puluh tahun ini kau
pun cukup menderita."
Tok ku Bu ti masih tidak bersuara. Sen Man cing menatapnya
lekat-lekat. Dia menggeleng kepalanya.
"Meskipun kau menyebut dirimu seorang pendekar, tapi kau
berat melepaskan, juga sangsi menemuiku. Selama dua puluh
tahun kau selalu bimbang,. Sampai malam ini kau baru berani
melangkahkan kaki ke Liong hong kek."
Sepasang tangan Tok ku Bu ti mengepal erat-erat. Kobaran
kemarahan di matanya semakin membara. Tampaknya dia
segera akan melayangkan tinjunya ke wajah Sen Man cing.
Tapi akhirnya dia membalikkan tubuh dan menerjang keluar.
699 Dari datang sampai pergi, dia tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Tapi kemarahan, penderitaan dalam hatinya sudah
tersirat jelas. Sen Man Cing menatap bayangan punggung
laki-laki itu sampai menghilang.air matanya mengalir juga.
Menetes di atas robekan lukisan Ci Siong to jin.
Setelah meninggalkan Liong hong kek, Tok ku Bu ti
menghambur ke kamarnya sendiri Baru saja dia mendorong
pintu, tampak Tok ku Hong sedang merapikan selimut yang
berantakan di atas tempat tidur.
Mendengar suara dorongan pintu. Tok ku Hong segera
menolehkan kepalanya. Melihat Tok ku Bu ti yang masuk, dia
bergegas menghampiri. "Tia, ke mana kau sejak tadi?"
Tok ku Bu ti memandang Tok ku Hong yang demikian
memperhatikan dirinya. Entah bagaimana perasaannya saat
itu. Belum sempat dia menjawab, Tok ku Hong sudah menarik
tangannya dan mendudukkannya di kursi. Dia membalikkan
tubuh dan menuangkan secangkir teh.
Tok ku Bu ti hanya memandangi saja. Tok ku Hong sampai
merasa heran. "Tia, mengapa kau hanya memandangi aku
saja" Sejak tadi kau tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Tampaknya Tia sedang tidak senang."
Hawa amarah Tok ku Bu ti meluap kembali.
"Sebetulnya siapa yang membuat Tia demikian marah?"
Tanya Tok ku Hong kembali.
700 Tiba-tiba Tok ku Bu ti berdiri. Dia menuding ke arah Tok ku
Hong. "Kau!"
Tok ku Hong tertegun."Kesalahan apa yang telah aku
lakukan?" "Coba kau katakan, apakah kau pernah ke Liong hong kek?"
Kepala Tok ku Hong tertunduk sebentar. Dia tidak berkata
apa-apa. "Bilang! Mengapa kau tidak berani mengaku?" bentak Tok ku
Bu ti. "Mengapa tidak berani" Aku toh tidak melakukan kesalahan
apa-apa." Sifat keras kepala tok ku Hong bangkit kembali.
"Tidak melakukan kesalahan apa-apa?" teriak Tok ku Bu ti.
"Tidak menurut apa yang aku katakan sudah termasuk sebuah
kesalahan!"
"Dia adalah ibuku. Aku pergi menjenguknya, memangnya tidak
boleh?" "Dia tidak pantas menjadi ibumu!"
"Seorang ibu tetap ibu bagi anaknya. Kalau kau dengan dia
tidak cocok, kau tetap tidak dapat memaksaku untuk tidak
mengakuinya!"
701 Tok ku Bu ti marah sekali. Tangannya melayangkan sebuah
tamparan yang keras ke pipi gadis itu. Meskipun tenaganya
tidak seberapa besar, namun tubuh Tok ku Hong sempat
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dibuat berputaran satu kali.
Tangan Tok ku Hong meraba pipinya yang sakit. Matanya
mendelik marah kepada ayahnya. Tok ku Bu ti sendiri seperti
baru tersadar apa yang telah dilakukannya tadi. Dia menatap
sepasang tangannya sendiri. Tanpa sadar, kedua tangannya
gemetar. Tok ku Hong merandek sejenak kemudian
membalikkan tubuhnya dan menghambur keluar.
"Hong ji"! Panggil Tok ku Bu ti satu kali. Akhirnya dia
menjatuhkan diri duduk di atas kursi.
Tok ku Hong masih memegangi pipinya. Dia langsung kembali
ke kamarnya. Diambilnya pakaiannya lalu membungkusnya
dengan sehelai kain dan kemudian menyandangnya di bahu,
terus berlari ke luar.
Dua gadis pelayan yang selalu melayaninya memandang apa
yang dia lakukan dengan termangu-mangu. Mereka tidak
mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Tok ku Hong, tapi
mereka juga tidak berani banyak bertanya.
Baru sampai di luar pintu, dia bertemu dengan Kongsun Hong.
Melihat laki-laki itu, hawa amarahnya meluap lagi. Belum
sempat dia membuka mulut memaki, Kongsun Hong sudah
mendahului berkata,"Sumoay. Tadi aku kesalahan bicara.
Suhu langsung menangkap basah bahwa aku pernah
memasukkanmu ke Liong hong kek."
702 "Bukan kau sengaja mengadu kepada Tia?" hanya Tok ku
Hong dengan mata mendelik marah.
"Bukan." Tiba-tiba Kongsun Hong seperti tersadar. "Apakah
Suhu baru saja memarahimu?"
"Marah" Dia malah menampar pipiku. Ini baru pertama kali
dilakukannya sejak aku kecil!"
Kongsun Hong tertegun di tempat. Dia juga tidak tahu apa
yang harus dikatakannya. Tok ku Hong sendiri juga tidak
berkata apa-apa. Dia meneruskan langkah kakinya. Laki-laki
itu baru sadar bahwa Tok ku Hong menyandang bungkusan di
bahunya. Dengan tergesa-gesa dia berlari menyusul.
"Sumoay.. hendak ke mana kau?"
" Kemana juga sama saja. Apakah aku harus bertanya dulu
kepadamu?" Tok ku Hong tertawa dingin. Langkah kakinya
tidak berhenti.
Kongsun Hong melesat ke depan menghalanginya. Tok ku
Hong segera mengeluarkan sepasang goloknya. "Minggir!
Kalau tidak aku akan menikammu dengan golok ini!" Bentak
gadis itu. Kongsun Hong malah membusungkan dadanya.
"Kau tikam saja aku!"
"Menikammu?" Tok ku Hong segera mendapat akal. "Aku
akan menikam diriku sendiri," katanya sambil memutar golok
703 ke arah lehernya sendiri.
Kongsung Hong terpana. Tok ku Hong tertawa dingin.
"Aku akan menggorok leherku sendiri atau paling tidak aku
rela mencacatkan wajahku ini. Aku ingin tahu, bagiamana
jawabanmu kalau ditanya oleh Tia?" kata Tok ku Hong
selanjutnya. "Sumoay, jangan menambah kesulitanku. Kalau kau pergi
begitu saja. Aku tetap tidak dapat memberi jawaban kepada
suhu." Suara Kongsun Hong berubah lembut dan menatap.
"Lucu! Tia toh tidak menyuruhmu menjaga aku. Lagipula aku
sudah begini besar. Kau juga tidak bisa menjaga aku terus
menerus. Minggir" Sepasang golok Tok ku Hong semakin
menempel di leher.
Kongsung Hong masih juga menghadang di depannya.
Sepasang alis Tok Ku Hong bertaut ketat. "Aku suruh kau
minggir! Terlingamu tuli," bentaknya dengan suara yang lebih
keras. Kongsun Hong dibentak sampai mundur beberapa langkah.
Akhirnya dia minggir juga. Tok ku Hong juga tidak
memperdulikannya. Sepasang goloknya ditarik kembali,
kepala pun tidak berpaling. Dalam sekejap mata, dia sudah
lenyap entah ke mana.
Kongsun Hong serba salah. Mengejar salah, tidak mengejar
salah. Benar-benar dia tidak tahu mana baiknya. Berkali-kali
kakinya sudah hendak dilangkahkan, tapi dia membatalkannya
lagi. Akhirnya dia hanya bisa menarik nafas panajng. Tepat
704 pada saat itu, Tok ku Buti berjalan menghampiri. Dia heran
melihat tampang Kongsun Hong yang seperti orang tolol.
"Apa yang sedang kau lakukan/"
"Sumoay.. Sumoay?"
"Apa yang terjadi dengan Hong ji?" desak Tok ku Bu ti.
"Dia". Pergi." Wajah Kongsun Hong semakin kelam.
"Pergi" Ke mana/"
Kongsun Hong menggelengkan kepalanya. Tok ku Bu ti
memperhatikannya lekat-lekat. Kemudian dia ikut-ikutan
menarik nafas. "Aku yang salah. Aku membuatnya marah."
"Suhu, menurutmu"."
"Kalau marahnya sudah hilang, dia akan pulang sendiri. Mata
Tok ku Bu ti bersinar tajam. "Lebih baik kau lihat apakah Teng
cu sudah menyampaikan surat itu. Kalau sudah, cepat utus
orang membawanya ke Go Bi pai!"
Kongsun Hong terpaksa mengiakan. Padahal dalam hatinya
dia sangat mencemaskan keadaan sumoaynya. Tok ku Bu ti
juga tidak berkata apa-apa lagi. Dia berjalan kembali ke
kamarnya dengan berpangku tangan. Wajahnya sudah seperti
biasa lagi. Tentang apa yang direncanakan dalam hati, tentu
hanya dia sendiri yang tahu.
705 Sepucuk surat yang sopan diantarkan oleh seorang laki-laki
yang sopan pula. Tapi begitu mendengar bahwa surat itu
berasal dari Tok ku Bu ti. Empat orang murid Go Bi pai yang
menyambut pengantar suarat dari Bu ti bun langsung berubah
wajahnya. "Go Bi pai dan Bu ti bun belum pernah berhubungan. Tiba-tiba
pihak Bu ti bun mengirim orang mengantarkan surat ke tempat
tersebut., tentunya isi surat itu tidak mungkin sekedar basa-
basi atau menyampaikan salam saja. Apalagi peristiwa Kuan
Tiong Liu yang membunuh habis-habisan anggota Bu ti bun
cabang tiga belas sudah diketahui oleh mereka.
Setelah menyerahkan surat tersebut, utusan Bu ti bun
langsung berangkat lagi. Empat murid Go Bi pai tidak sempat
memperdulikanya Mereka panik sekali, semuanya
berhamburan menuju ruangan utama. Baru menaiki undakan
batu, mereka sudah dihadang oleh sorang pendeta berusia
setengah baya. "Kalian sudah lupa tempat apa ini?" bentaknya keras.
Empat murid Go Bi pai itu segara membungkukkan tubuhnya
dengan hormat. "Ce Kong suheng, ada sepucuk suart yang harus segera
disampaikan ke tangan ciang bun jin?" Sahut salah satu dari
keemapt orang itu.
"Surat apa yang membuat kalian bagitu gugup?"
"Utusan Tok ku Bu ti dari Bu ti bun yang mengantarkannya."
706 "Tok ku Bu ti?" Kening Ce Kong langsung bertaut ketat, "Iblis
tua ini masih saja suka menimbulkan masalah."
"Ciang bun jin."
"Dia orang tua sedang menyadarkan kepala perampok Li Jit
yang menguasai tujuh propinsi perampok Li jit yang
menguasai tujuh propinsi . Orang semacam itu masih mau
bertobat benar-benar mengagumkan. Kita tak boleh mengusik
mereka. Kalian tunggu sebentar di sini." Ce Kong melirik
sekilas ke dalam ruangan. Setelah itu dia juga berdiam diri.
Segumpal asap tebal melayang keluar dari dalam ruangan.
*** Asap putih memenuhi ruangan. Suara bacaan doa terdengar
lantang. Sepasang alis It im taisu bagai awan putih.
Pakaiannya berwarna merah dengan sulaman berwarna
keemasan di tepiannya. Wajahnya bersih dan suci. Persis
seperti Buddha hidup. Membuat siapa pun yang
memandangnya dapat merasakan kewibawaan orang ini.
Li Jit justru berlutut di hadapannya. Dia adalah bekas kepala
perampok yang menguasai tujuh propinsi. Orang yang sudah
dibunuhnya tidak terhitung lagi. Namun akhirnya dia berhasil
disadarkan oleh It im taisu engan jalan Buddha. Li Jit malah
bersedia menyucikan diri menjadi pendeta.
"Sabda Buddha tidak dapat diuraikan sekaligus".
707 Mendengar tanpa meresapi tak akan membawa hasil".
Tidak berkata, tidak mendengar, sama juga tiada hati".
Lebih baik menemukan sendiri penerangan Buddha lewat
cermin diri?" It im taisu membalikkan tubuhnya perlahan-
lahan. Suara ketukan bokhi (ikan-ikanan dari kayu yang biasa
diketuk-ketukkan sewaktu membaca doa) dan bacaan doa
segera terhenti. Li Jit menyembah sebanyak tiga kali.
"Berbahagialah engkau yang dapat berpaling dari tepian.
Lautan Buddha tiada batasnya." It im taisu menggerakkan
goloknya. "Tebasan golok memisahkan engkau dengan
duniamu sebelumnya. Sejak sekarang kau sudah melangkah
masuk pintu Buddha. Tidak melanglang buana dalam urusan
duniawi terutama kejahatan. Sebagai guru aku memberimu
gelar". Bu Tek."
"Terima kasih, Insu (Guru yang berbudi)," Li Jit yang sudah
berganti nama Bu Tek menyembah lagi tiga kali.
Suara ketukan bokhi dan bacaan doa berkumandang kembali.
*** Agak lama juga mereka menunggu di luar. Akhirnya suara
708 kumandang pembacaan doa dan ketukan bokhi berhenti juga.
Ce Kong yang sejak tadi sudah panik sekali segera merebut
surat Tok ku Bu ti dari tangan murid Go bi pai tadi dan
menghambur ke dalam ruangan utama.
It im taisu terheran-heran melihat Ce Kong menghambur
masuk dengan cara seperti itu. Sepasang alisnya terangkat
tinggi. Ce Kong demikian gugup sehingga tidak dapat
mengatakan apa-apa. Dia hanya menyodorkan surat ke
tangan It im taisu. Ciang bun jin Go bi pai tersebut menerima
surat itu dan membacanya sampai selesai. Kemudian dia
menarik nafas panjang.
"Siancai, Siancai". Go bi pai sudah tenang selama tiga puluh
tahun, rasanya sejak sekarang akan datang lagi berbagai
masalah." "Suhu?"
"Ce Kong, kau segera turunkan perintah dan utus beberapa
orang untuk mencari Kuan Tiong Liu agar segera kembali ke
Go bi san!" kata It im taisu.
"Suhu, Tok ku Bu ti?"
"Dia ingin memperhitungkan masalah cabang ketiga belasnya
yang disapu bersih oleh Kuan Tiong Liu. Dia memberi batas
waktu selama tujuh hari. Apabila dalam waktu tujuh hari
kemudian kita tidak menyerahkan Kuan Tiong Liu, maka dia
akan datang sendiri ke sini untuk meringkusnya."
Ce Kong terkejut sekali. "Tentu Suhu tidak akan menyerahkan
Kuan sute, bukan?"
709 "Aku hanya ingin mengetahui dengan jelas kejadian ini."
"Hanya tujuh hari, rasanya tidak mungkin menemukan Kuan
sute dalam jangka waktu secepat itu."
"Tujuh hari kemudian aku akan mengirim surat menolaknya.
Sampai Tok ku Bu ti datang nanti, mungkin cukup waktu untuk
mencari Kuan Tiong Liu kembali ke Go bi san."
"Seandainya bukan Kuan sute yang bersalah?"
Wajah It im taisu berubah serius. "Aku pasti dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Pergilah!"
*** Pada saat itu, utusan Bu ti bun sudah sampai di kaki gunung.
Dia menolehkan kepalanya dan memandang ke sekitar.
Setelah yakin tidak ada yang mengejarnya, dia membelokkan
kudanya ke dalam sebuah hutan yang lebat.
Setelah melarikan kudanya kurang lebih setengah li, di
hadapannya sekarang adalah sebidang tanah kosong yang
sangat luas. Dia bersiul satu kali. Ternyata sudah banyak anak
buah Bu ti bun yang bersembunyi di sekitar tempat itu.
710 Tok ku Bu ti sendiri berdiri di depan sebuah kuburan tua.
Wajahnya angker. Dadanya membusung. Lagaknya angkuh
sekali. Di bagian kiri kanannya berdiri Cian bin hud, Cu kek
Ming, Teng cu dan Kongsun Hong. Mereka tampaknya sedang
merundingkan sesuatu. Melihat utusan tadi sudah kembali,
pembicaraan pun berhenti untuk sementara.
Utusan itu segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tok ku
Bu ti. "Apakah suratnya telah diantarkan?" tanya Tok ku Bu ti datar.
"Hamba sudah menyelesaikan tugas."
"Apakah mereka menyulitkan dirimu?"
"Tidak. Mereka juga tidak mengejar. Para murid o bi pai yang
menerima surat tampaknya panik sekali."
"Yakin mereka juga tidak mempunyai nyali sebesar itu untuk
menganggu utusanku."
Tok ku Bu ti mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-
bahak. "It im taisu pasti tidak menduga bahwa kita sudah
berkumpul di kaki gunung ini. Tepat tujuh hari kemudian, kita
menyerbu ke atas dan meminta orang. Kalau dia tidak
menyerahkan Kuan Tiong Liu, bunuh bersih semuanya,
jangan ada yang tersisa."
"Suhu, mungkinkah mereka mencari bantuan?"
"Waktunya hanya tujuh hari, siapa yang bisa mereka mintakan
711 bantuannya dalam jangka waktu sependek itu?"
"Rasanya mereka juga tidak berhasil menemukan Kuan Tiong
Liu dalam jangka waktu tujuh hari."
"Buat apa peduli begitu banyak" Ada atau tidak ada, tidak
akan merubah keputusan kita."
"Betul! Kita toh bertujuan membasmi Go bi pai, bukan hanya
Kuan Tiong Liu seorang saja!" Kongsun Hong langsung
mengerti maksud gurunya.
Kembali Tok ku Bu ti mendongakkan wajahnya dan tertawa
terbahak-bahak.
***
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuan Tiong Liu sama sekali tidak tahu bahwa bencana sudah
berada di depan Go bi pai. Pada saat ini dia sedang berdiri
berhadapan dengan Wan Fei Yang di pesisir pantai. Jit Po dan
Liok An sedang merapikan leher baju Kuan Tiong Liu.
Sedangkan si kerdil Sam cun juga merapikan pakaian Wan
Fei Yang. Hai Liong lo jin duduk di atas sebuah batu berbentuk persegi.
Dia mulai tidak sabar menunggu lebih lama. Dia menepuk
tangannya berkali-kali.
"Cepat! Cepat!" serunya kesal.
712 "Ini hanya pertarungan main-main. Bukan pertarungan hidup
dan mati. Hanya boleh saling menyentuh saja. Siapa yang
kalah dan siapa yang menang, aku orang tua akan
memberikan keputusan yang adil."
Kuan Tiong Liu menyahut datar. Gayanya penuh percaya diri.
Beberapa hari belakangan ini dia berlatih dengan keras.
Sekarang dia sudah benar-benar menguasai tiga jurus terakhir
dari Lok jit kiam hoat.
Wan Fei Yang masih tampak serba salah. Sampai saat ini dia
masih mengharapkan Hai Liong lo jin akan membatalkan
maksudnya. Tentu saja dia kecewa. Orang tua itu menepuk
tangannya sekali lagi.
"Mulai!" teriak Hai Liong lo jin selaku wasit.
Kuan Tiong Liu segera memutar pedangnya menjadi dua buah
rangkai bunga. "Hunus pedangmu!" katanya kepada Wan Fei Yang.
Dengan tampang terpaksa Wan Fei Yang menghunus
pedangnya. "Lihat pedang!" teriak Kuan Tiong Liu sekali lagi. Tubuh dan
pedangnya meluncur dalam waktu yang bersamaan. Baru
setengah jalan, pedangnya sudah bergerak tujuh kali.
Wan Fei Yang menggerakkan kakinya dengan langkah ajaib
Bu tong pai. Berturut-turut dia menghindari tujuh kali serangan Kuan Tiong Liu. Pedangnya meluncur dan menangkis
713 serangan ke delapan pemuda itu.
Kuan Tiong Liu kembali memutar pedangnya, gerak tubuhnya
segera berubah. Dia mencelat ke udara. Sejurus demi sejurus
Lok jit kiam hoat dimainkannya dengan indah. Wan Fei Yang
terpaksa mengerahkan Liong gi kiam hoat. Menyambut satu
kali, dia belas menyerang satu kali juga. Dalam tusukan
ketujuh puluh empat, dia berhasil menguasai keadaan. Tiga
puluh enam jurus lagi Kuan Tiong Liu mulai terdesak.
Si kerdil Sam cun yang menyaksikan pertandingan ini
tersenyum terus. Sedangkan wajah Jit Po dan Liok An
semakin kelam. Hai Liong lo jin malah tidak menunjukkan
perasaan apa-apa.
Setelah mundur tujuh langkah, Kuan Tiong Liu segera
merubah posisinya, dia menangkis sembilan puluh tiga kali
serangan Wan Fei Yang dengan cara membelakanginya.
Akhirnya Wan Fei Yang terdesak kembali ke tempatnya
semula. Kemudian dia masih terdesak mundur sebanyak tujuh
langkah. Kedudukan masih seimbang untuk sementara.
Kali ini wajah Jit Po dan Liok An yang berseri-seri. Si kerdil
Sam cun malah bersungut-sungut. Dia tidak bisa tersenyum
lagi. Hanya Hai Liong lo jin yang masih seperti sebelumnya.
Lama kelamaan bibirnya baru menyunggingkan seulas
senyuman tipis. Tapi hanya sekejap sudah menghilang
kembali. Matanya tajam seperti seekor elang dan
memperhatikan jalannya pertarungan tanpa berkedip.
Hai liong lo jin menyaksikan jalannya pertarungan dengan
seksama. Setiap perubahan gerak yang dilakukan kedua anak
muda itu terlihat jelas olehnya. Pedang Kuan Tiong Liu
714 semakin menyerang semakin gencar. Tiba-tiba berubah
menjadi perlahan.
"Hati-hati!" teriaknya lantang.
Baru saja dia mengucapkan kata-katanya, tubuh dan pedang
sudah berubah menjadi satu dan menimbulkan cahaya yang
berkilauan meluncur ke arah Wan Fei Yang. Anak muda itu
merubah gerakan kakinya dan bergulingan di atas pasir.
"Trang! Trang! Trang!" Entah berapa kali sudah dia
menyambut serangan Kuan Tiong Liu. Gerakan kakinya
semakin kacau. Tapi makin lama makin cepat. Tubuhnya
diselimuti cahaya pedang tapi kakinya masih berdiri dengan
kokoh. Pedang Kuan Tiong Liu berubah lagi tiga kali berturut-turut.
Tubuhnya melesat ke atas kemudian melayang turun kembali.
Pedang di tangannya bagai bintang yang bertaburan di langit.
Tiba-tiba tubuhnya menggeser dan menyatu dengan pedang
lalu menerjang ke arah Wan Fei Yang. Anak muda itu
mengangkat pedangnya dengan kelabakan. Tampaknya dia
akan berhasil menghindarkan diri dari serangan itu, tapi masih
juga terlambat tiga detik.
Pedang Kuan Tiong Liu terhenti di tenggorokan anak muda itu.
Wan Fei Yang menarik nafas perlahan. Pedang di tangannya
terkulai ke bawah. Kuan Tiong Liu tidak menusukkan
pedangnya ke dalam tenggorokan Wan Fei Yang. Dia tertawa
dingin. "Kali itu kau tidak membunuh aku, kali ini aku juga
melepaskan dirimu dari kematian. Apa yang aku hutang
715 kepadamu sudah kulunasi hari ini, iya bukan?"
Wan Fei Yang menganggukkan kepalanya. Kuan Tiong Liu
menarik kembali pedang yang menempel di leher anak muda
itu. "Tapi aku harus memperingatkan dirimu. Lain kali kalau
kau bertemu lagi dengan aku, jangan harap aku akan
melepaskanmu begitu saja!"
Wan Fei Yang tidak menyahut.
Kuan Tiong Liu memasukkan pedang ke dalam sarungnya.
Pada saat itu, Jit Po dan Liok An sudah berlarian mendatangi
dan memegang lengan Kuan Tiong Liu dari kiri dan kanan.
Wajah mereka berseri-seri. Sam cun juga mendekati Wan Fei
Yang. Wajahnya tampak kecewa.
Kuan Tiong Liu segera mengibaskan tangannya. "Manusia she
Wan, kau sudah boleh pergi sekarang."
Wan Fei Yang melirik Kuan Tiong Liu sekilas. Kemudian dia
berjalan menghampiri Hai liong lo jin dan berlutut di depannya.
Dia menyembah sebanyak tiga kali, kemudian berdiri. Hai
liong lo jin memperhatikan Wan Fei yang lekat-lekat. Akhirnya
dia menarik nafas panjang. "Kau". Kau baik sekali.
Pergilah"."
Wan Fei Yang membalikkan tubuhnya. Dia menghampiri Sam
cun kembali dan menepuk bahunya beberapa kali. Setelah itu
dia meneruskan langkah kakinya tanpa menoleh lagi.
Kuan Tiong Liu memandangi punggung Wan Fei Yang yang
terus melangkah sampai jauh. Dia menyerahkan epdangnya
kepada Jit Po kemudian mendekati Hai liong lo jin.
716 Hai liong lo jin masih duduk termenung. Kemudian dia menarik
nafas panjang lagi. Kuan Tiong Liu memandangnya dengan
heran. "Susiok, mengapa kau menarik nafas panjang?"
"Susiok kecewa sekali. Juga sedih."
"Tidak heran kau orang tua menjadi sedih," kata Kuan Tiong
Liu pura-pura menaruh perhatian yang besar. "Kau orang tua
memandang bocah Wan Fei Yang itu terlalu tinggi. Tidak
tahunya dia begitu tidak berguna. Baru bergebrak beberapa
jurus sudah dikalahkan oleh pedang Tecu."
Hai liong lo jin mengerling ke arah Kuan Tiong Liu. "Kau yang
membuat aku kecewa dan sedih!" katanya sambil tertawa
dingin. "Aku?" Kuan Tiong Liu tertegun. "Bukankah aku sudah
mengalahkan bocah Wan Fei Yang itu?" tanyanya penasaran.
"Orang sengaja mengalah terhadapmu. Tidak malunya kai
masih berani berbesar mulut!" Hai liong lo jin mendengus
dingin. Kuan Tiong Liu tidak percaya. "Mengalah terhadapku" Tidak
ada alasannya untuk mengalah terhadapku!"
"Ini karena budinya luhur dan sama sekali tidak melupakan
jasa orang lain." Jai liong lo jin mengulurkan tangan menarik
lengan baju Kuan Tiong Liu. "Lihat tiga lubang ini!"
717 Kuang Tiong Liu menundukkan wajahnya dan melihat apa
yang ditunjuk oleh Hai liong lo jin. Ternyata di pangkal lengan bajunya memang ada tiga lubang kecil. Dia terpaku seketika.
Wajahnya berubah hebat.
Orang tua itu mendengus sekali lagi.
"Tiga kali tusukan pedang ini sebetulnya bisa melukai
pergelangan tanganmu dan memaksamu melepaskan pedang,
tapi dia tidak melakukannya."
Kuan Tiong Liu masih penasaran. "Mengapa?"
"Untuk membalas budi pertolonganku kepadanya. Sayangnya
kau masih tidak tahu, malah tidak malunya membanggakan
diri. Bagaimana aku tidak kecewa" Bagaimana aku tidak
sedih" Coba bilang!" bentak orang tua itu dengan wajah
merah padam. Hai liong lo jin begitu marah. Dia bangkit berdiri dan
membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu lalu kembali
ke rumah. Sam cun mengikutinya dengan ketat. Kuan Tiong
Liu masih berdiri termangu-mangu. Jit Po dan Liok An yang
melihat keadaannya tidak berani mengatakan apa-apa.
Mereka hanya berdiri di samping tuan mudanya.
Tepat pada saat itu, dua orang murid Go bi pai berlarian
mendatangi, melihat Kuan Tiong Liu, mereka mempercepat
langkah kakinya dan berteriak memanggil.
"Kuan suheng! Kuan suheng!"
Kuan Tiong Liu masih berdiri terpaku. Kedua murid Go bi pai
718 itu sudah berdiri di depannya dalam sekejap mata. "Kuan
suheng, akhirnya kami berhasil menemukanmu. Suhu
berpesan agar kau kembali ke Go bi san secepatnya!"
Kuan Tiong Liu menatap kedua orang itu engan heran. "Ada
apa sebetulnya?"
"Kita bicarakan sambil jalan saja. Kita tidak mempunyai waktu
lagi!" "Mengapa tidak kau katakan sekarang saja?" tanya Kuan
Tiong Liu penasaran.
"Pokoknya masalah ini penting sekali. Kami tidak mempunyai
cukup waktu. Sedangkan kami sudah mencari Kuan suheng
selama tiga hari tiga malam."
Kuan Tiong Liu mengerutkan alisnya. Serangkum firasat buruk
langsung menyelimuti hatinya.
*** Melintasi hutan yang lebat seakan tidak berbatas. Wan Fei
Yang hanya tahu melangkah terus. Suara langkah kakinya
dari dekat perlahan-lahan menjauh. Sam cun mengejarnya
dari belakang. Mendengar suara langkah kaki berlari-lari, Wan
Fei Yang menghentikan langkah kakinya dan menoleh. Dia
tersenyum melihat Sam cun yang datang.
719 Tidak lama kemudian Sam cun sudah sampai di depannya.
Nafasnya tersengal-sengal. Wan Fei Yang menunggu sampai
nafasnya reda dan tenang kembali.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanyanya heran.
Sam cun mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik sakunya.
"Obat ini hadiah dari Cu jin untukmu," sahutnya.
Wan Fei yang semakin tidak mengerti. "Aku tidak terluka."
"Cu jin bilang tidak ada apa-apa yang patut dihadiahkan
kepadamu. Maka dia menyuruh aku menyusulmu dan
memberikan obat buatannya sendiri."
"Ini". " Wan Fei Yang bermaksud menolak, tapi Sam cun
malah menyusupkan botol obat itu ke dalam tangannya.
"Kau toh bukan tidak tahu bagaimana sifat Cu jin. Cepat
terima!" katanya.
"Obat ini untuk menyembuhkan penyakit apa?" Wan Fei Yang
malah berbalik bertanya.
"Di permukaan botol ada tulisannya, kau baca saja sendiri."
Kemudian Sam cun mengeluarkan lagi sebuah botol berwarna
hijau dari selipan ikat pinggangnya. "Sebetulnya obat milikku
ini lebih berharga. Khusus untuk menyembuhkan luka dalam."
Sam cun menyelipkan botol itu ke tangan Wan Fei Yang.
Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan melangkah ke
depan. Baru beberapa tindak dia berhenti dan menolehkan
kepalanya. "Sebetulnya obat itu aku curi dari kamar Cu jin.
720 Lain kali kalau kau bertemu dengan Cu jin, harap jangan
mengatakan apa-apa," katanya. Dia meneruskan langkahnya
kembali. Wan Fei Yang menatap punggungnya sampai menghilang di
kejauhan. Hatinya terharu sekali. Setelah beberapa saat, dia
baru meneruskan perjalanannya.
*** Tujuh hari sudah berlalu. Kuan Tiong Liu belum sampai di Go
bi san. It im taisu tampaknya tidak panik. Dia memang tidak
berniat menyerahkan Kuan Tiong Liu kepada Tok ku Bu ti.
Semua tetap seperti rencananya semula. Pagi-pagi sekali, dia
memanggil hwesio terpandai dalam baca dan menulis. Hong
hoat. Dia menerangkannya secara lisan. Hong hoat disuruh
mengatur kata-katanya dan bersiap-siap mengantarkan ke Bu
ti bun. Siapa sangka, baru saja surat itu disampul rapi, bagian
penerimaan tamu sudah melaporkan bahwa Tok ku Bu ti
sudah sampai di Go bi san meminta mereka menyerahkan
Kuan Tiong Liu. It im taisu terkejut sekali. Tapi segera dia
menenangkan perasaannya.
"Bagus. Tepat tujuh hari" Silahkan dia masuk."
721 *** Suasana dalam ruangan utama sangat mencekam. Apakah
karena Tok ku Bu ti masuk dengan membawa serombongan
anak buahnya atau karena alasan yang lain. Hal ini mungkin
tidak akan ditemukan jawabannya.
Para angkatan tua Go bi pai sudah berkumpul di ruangan
tersebut. Meliaht kehadiran mereka, hati It im taisu menjadi
terharu. Sejak dia menjabat sebagai Ciang bun jin, Go bi pai
memang merosot terus. Dalam generasi muda hanya Kuan
Tiong Liu yang dapat diandalkan dan berbakat. Yang lainnya
biasa-biasa saja.
Apakah hal ini disebabkan oleh kewibawaan Go bi pai yang
makin menurun" Meskipun It im taisu tidak berani
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memastikan, tapi dia terlalu memusatkan perhatian dalam
pelajaran agama. Selama ini dia tidak bersungguh-sungguh
mencari orang-orang pilihan untuk diajarkan ilmu silat dengan
teliti. Mungkin hal ini juga merupakan salah satu alasan bagi
kemerosotan Go bi pai.
Tok ku Bu ti sudah memberi batasan waktu selama tujuh hari.
Pada hari terakhir dia langsung naik ke Go bi san meminta
orang. Tentu dia sudah merencanakan semuanya dengan
matang. Sedangkan apa maksud yang terkandung did
alamnya, It im taisu tidak bisa menebaknya. Dia hanya dapat
merasakan bahwa urusan ini tidak sepele. Sedikit saja dia
membuat kesalahan, mungkin Go bi pai akan hancur hari ini
juga. Oleh karena itu, meskipun penampilan wajahnya tenang
722 sekali, namun hatinya sudah berdebar-debar sejak tadi.
Penampilan Tok ku Bu ti tetap sopan. Dia menunggu sampai It
im taisu duduk di kursinya, baru dia mengajukan pertanyaan.
"It im taisu, mana Kuan Tiong Liu?"
It it taisu tertawa datar. "Tidaka da di sini."
Mata Tok ku Bu ti menatap It im taisu dengan tajam. "Aku lihat
taisu memang tidak berniat menyerahkannya."
It im taisu berusaha setenang mungkin. "Kalau Kuan Tiong Liu
menyalahi Bu ti bun, Go bi pai tetap ada peraturan untuk
menghukumnya."
"Bagaimana dengan seratus lebih nyawa cabang ketiga belas
Bu ti bun kami?"
"Awal peristiwa ini, Pinceng?"
"Tidak usah banyak bicara!" Nada Tok ku Bu ti melengking
tinggi. "Cepat serahkan Kuan Tiong Liu!"
"Tok ku Sicu, Pinceng sudah mengatakan bahwa Kuang Tiong
Liu tidak?"
"Baik. Kalau begitu, satu nyawa diganti dengan satu nyawa.
Go bi pai harus membawar seratus tiga puluh enam jiwa
anggota Bu ti bun!"
Bu Tek sejak tadi berdiri di samping. Mendengar kata-kata Tok
ku Bu ti, dia tidak dapat menahan amarahnya lagi. Dia segera
melesat ke depan. "Tok ku Bu ti! Kau jangan terlalu
723 menghina!" teriaknya lantang.
Mendengar suara itu, Tok ku Bu ti mengalihkan
pandangannya. Alisnya berkerut. "Rasanya aku pernah
melihat suhu ini," katanya.
Belum lagi Bu Tek menyahut, Cian bin hud sudah maju ke
depan dan tertawa lebar. "Kepala perampok yang menguasai
tujuh propinsi, Li Jit, tidak tersangka berdiam di sini dan
mengganti pakaiannya dengan pakaian hwesio."
Bu Tek merangkapnya sepasang telapak tangannya.
"Omitohud!" ujarnya mengucap nama Buddha.
Cian bin hud mengibaskan tangannya.
"Di sini tidak ada urusanmu. Mengingat kita pernah saling
mengenal, aku akan mengatakan kepada Buncu untuk
mengampuni jiwamu kali ini saja."
"Kalau memang teman satu aliran?"
"Li Jit sudah mati. Yang ada di hadapan kalian sekarang
adalah murid Go bi pai, Bu Tek!" sahut Li Jit tenang.
"Bagus!" kata Tok ku Bu ti sambil mendengus dingin.
Cian bin hud tertawa terkekeh-kekeh. "Supanya kau bergelar
Bu Tek. Kalau demikian aku akan meminta Bu Tek suhu ini
pelajaran barang beberapa jurus."
Bu Tek mulai marah. Pergelangan tangannya berputar.
Goloknya sudah tergenggam di tangan. It im taisu cepat-cepat
724 mencegah. "Bu Tek, tidak boleh kurang sopan terhadap tamu!"
Cian bin hud tertawa lebar.
"Kami lebih tidak sopan lagi!" Perkatannya selesai, sepasang
gelang emasnya sudah berada dalam genggaman. Suaranya
menderu-deru. Bu Tek ikut tertawa. Tubuh dan golok meluncur dalam waktu
yang ebrsamaan. Dalam sekejap mata, keduanya sudah
bertarung dengan seru. Di tangan kanan Cian bun hud sudah
bertambah sebatang ruyung. Gelang emasnya diselipkan di
pinggang. Senjatanya itu tampak begitu berat, tapi dia dapat
menggerakkannya dengan muda. Bayangan ruyung
memenuhi ruangan. Suaranya bagai hujan badai menerpa.
Sebelum mencukur rambut menyucikan diri, Bu Tek pernah
menjadi kepala perampok dan menguasai tujuh propinsi.
Tentu bukan sembarang orang yang dapat melakukan hal
seperti itu. Dia pasti pernah melatih ilmu golok dalam waktu
yang lama. Tapi kalau dibandingkan dengan Cian Bin hud,
kepandaiannya masih terpaut sedikit.
Tepat pada jurus keseratus tiga puluh tujuh, ruyung di tangan
Cian bin hud berhasil menghantam dada Bu Tek. Hantaman
itu membuat tubuh Bu Tek terhuyung-huyung, kakinya mundur
beberapa langkah, kemudian memuntahkan darah segar.
Akhirnya tubuhnya terkulai ke atas dan nyawanya pun
melayang. Wajah para murid Go bi pai menyorotkan kemarahan. Wajah It
725 im taisu berubah kelam. Perlahan-lahan dia bangkit dari
kursinya. Matanya menatap tajam ke arah Cian bin hud.
"Mengapa murid Buddha bisa melakukan hal yang begini
kejam?" "Murid Buddha yang satu ini memang lain dariapda yang lain,"
sahut Cian bun hud sambil tertawa terbahak-bahak.
It im taisu mengalihkan pandangannya kepada Tok ku Bu ti.
"Tampaknya Tok ku Sicu hari ini benar-benar tidak mau
mengerti lagi."
"It im taisu, kejadian sudah terlanjur seperti ini, tidak perlu bercapai hati lagi," katanya datar.
"Sicu, bagaimana kalau kita bertaruh saja?"
"Bertaruh?" Tok ku Bu ti hampir tidak percaya dengan
pendengarannya. "Apa yang ingin kau pertaruhkan?"
It im taisu mengalihkan pandangannya kepada Cian bin hud.
"Seandainya suhu ini sanggup menerima tiga jurus dariku,
maka aku akan menyerahkan Kuan Tiong Liu. Go bi pai akan
dibubarkan hari ini juga," katanya.
"Bagaimana kalau dia tidak sanggup?" tanya Tok ku Bu ti
kembali. "Pinceng meminta Tok ku sicu mendengarkan seratus delapan
kali bunyi lonceng dan beberapa patah nasihat dari pinceng,"
kata It im taisu.
726 "Aku bukan Li Jit!" sahut Tok ku Bu ti tenang.
"Tok ku sicu tidak berani bertaruh?"
Belum lagi Tok ku Bu ti menyahut, Cian bin hud sudah
menukas dari samping: "Buncu, biar hamba menerima tiga
jurus darinya."
Tok ku Bu ti mengangguk. Dia berpaling kembali kepada It Im
taisu. "Bagaimana kalau aku sudah mendengarkan seratus
delapan kali bunyi lonceng dan beberapa patah nasihatmu?"
tanyanya kembali.
"Sicu ingin melakukan apa, kami pun tidak sanggup
menghalangi."
"Baik!" Tok ku Bu ti tertawa dingin.
Cian bin hud segera maju ke depan. Dia menghentakkan
duyungnya di atas tanah. "Silahkan!"
It Im taisu segera bangkit dari tempat duduknya. Dia
mengambil pedang yang terletak di samping lalu menutul
kakinya dan berjungkir balik di udara. Dia melayang turun di
hadapan Cian bin hud.
Ruyung Cian bin hud langsung digerakkan. Suaranya bagai
angin topan yang melanda seluruh Go bisa san. Dengan keji
dia menyerang ke arah It Im taisu. Pedang Ciang bun jin Go Bi
pai itu bergerak perlahan. Tubuhnya tiba-tiba berkelebat dan
melesat melakukan dua puluh tujuh perubahan. Satu jurus
sudah berlalu, dua jurus. Sekarang jurus ketiga.
727 Cahaya dingin berkelebat. Sarung pedang sudah menempel di
lengan atas Cian bin hud dan apabila dia tadi menekannya
dengan keras, pangkal lengan itu pasti sudah remuk.
"Terima kasih!" kata It Im taisu sambil menarik kembali sarung
pedangnya dan mencelat mundur ke belakang.
Wajah Cian bin hud berubah hebat. Dia tertegun di tempatnya.
Tok ku Bu ti tidak mengatakan apa-apa. Seakan tidak terjadi
apa pun. "Di mana aku harus mendengarkan seratus delapan
kali bunyi lonceng itu?" tanyanya tenang.
Pedang It Im taisu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
"Sicu, harap ikut aku ke ruangan pendopo."
*** Ruangan pendopo dengan ruangan utama sama luasnya.
Juga cukup menampung rombongan Tok ku Bu ti yang
berjumlah sembilan puluh sembilan orang. Kecuali Tok ku Bu
ti, sisa anggotanya yang berjumlah sembilan puluh delapan
orang berpencar diri menjadi dua bagian dan berbaris di kiri
kanan pintu ruangan pendopo.
Tok ku Bu ti dan It Im taisu duduk berhadapan di tengah-
tengah ruangan. Jarak mereka tidak lebih dari satu depa. Di
samping kanan It Im taisu terdapat sebuah lonceng besar
yang terbuat dari kuningan, sedangkan tangan kirinya
menggenggam serenceng tasbih. Wajahnya tersenyum dan
728 penuh welas asih.
"It Im taisu, hati Tok ku Bu ti sekeras baja. Buat apa bercapai hati melakukan semua ini?" tanya Tok ku Bu ti yang sengaja
menyindir dengan tajam.
"Sicu duduk saja di hadapanku. Dengan demikian kau dapat
mendengar dengan jelas apa yang kukatakan." Tangan It Im
taisu mulai menghitung biji tasbih. "Orang yang mensucikan
diri seperti aku ini hanya mempunyai sedikit keinginan untuk
mengajak sesamanya bertobat. Tapi aku hanya seorang diri,
berapa orangkah yang dapat kuajak menghadap pintu
Buddha?" Nafsu besar tenaga kurang, buat apa mencari susah untuk diri
sendiri?" "Namun kalau Pinceng bisa menasehati Tok ku sicu agar
berpalingdari tepian dan kembali ke jalan yang benar.
Merubah hati yang hitam menjadi putih bersih, sama artinya
aku telah menasehati berjuta oran. Hal ini patut dicoba."
"Baik. Coba katakan saja?"
Tangan kanan It Im taisu digerakkan. Terdengar suara
lonceng yang menggetarkan hati. "Buddha bersabda,
lepaskan golok, ber"."
"Paling ke tepian, bukan" Terlalu cetek," sindir Tok ku Bu ti.
"Baik. Kita bciarakan ynag agak dalam." It Im menggerakkan
lonceng kembali. Dua orang muridnya segera mengantarkan
buku kitab suci.
729 It Im mulai membacakan ayat suci, meskipun Tok ku Bu ti
meminta agar dia membacakan ayat yang agak dalam
maknanya, tapi bagi pendengarannya masih cetek juga.
Suaara lonceng susul menyusul. Semangat Tok ku Bu ti tanpa
sadar ikut terhanyut. Ditambah dengan kata-kata dari It Im
taisu. Berbagai kenangan melintas di otaknya.
Dia ingat semasa mudanya dia juga sering melepas budi,
menolong orang, pernah dijadikan kambing hitam, beberapa
kali dihajar orang sampai pontang panting. Waktu itu dia
masih juga merasakan adanya kegembiraan dalam hati.
Berpikir tentang itu, tanpa sadar bibirnya mengulum senyum.
Tampaknya dia mulai terpengaruh.
It im taisu masih melanjutkan kata-katanya.
"Buddha paling benci pembunuhan dan perampokan.
Sedangkan engkau, sengaja mendirikan Bu ti bun untuk
melawan partai lurus. Anak buahmu membunuh, memperkosa
kemudian masih merampok juga. Kau membiarkan semua itu.
Tidak ada hal baik yang pernah dilakukan anak buahmu."
Begitu mendengar kata memperkosa, tubuh Tok ku Bu ti
langsung gemetar. Suara lonceng kembali terdengar. Disusul
ucapan It Im taisu". "Hari ini kau membiarkan anak buahmu
memperkosa istri orang, kau anggap semua itu adalah suatu
kebanggaan. Mungkin pada suatu hari nanti, orang lain yang
akan memperkosa istrimu. Bagaimana perasaanmu saat itu?"
Kening Tok ku Bu ti mulai basah oleh keringat dingin. Dalam
benaknya segera terlintas bayangan Ci Siong to jin dan Sen
Man Cing yang duduk berdua dan bersenda gurau.
730 Keringatnya mengucur semakin deras.
Meskipun para anggota Bu ti bun tidak mengerti mengapa It
Im taisu mau melalahkan diri mengatakan semua itu, tapi
kalau melihat tampang Tok ku Bu ti sekarang, mau tidak mau
hati mereka menjadi tegang. Tok ku Bu ti sedang
membelalakkan mata lebar-lebar.
It Im tahu Tok ku Bu ti sudah mulai terpengaruh. Dia tidak tahu persis apa yang mempengaruhinya. Dia masih juga
mendesaknya dengan pertanyaan yang sama" "Coba
bayangkan, apa yang akan kau lakukan bila semua ini terjadi
padamu?" "Aku" aku akan membunuh mereka. Membunuh mereka
sampai tidak tersisa satu pun!" teriak Tok ku Bu ti tiba-tiba.
Kemudian laki-laki itu meraung murka. Dia menjadi kalap
seketika. Mungkin saat itu dia membayangkan It Im taisu
adalah Ci Siong to jin yang berzina dengan istrinya. Tubuhnya
melesat secepat kilat. Kedua telapak tangannya menghantam
dada It Im Taisu.
"Blam!" Dia masih belum puas juga. Diserangnya It Im taisu
tanpa pikir panjang lagi.
"Blam! Blam! Blam!" Entah berapa kali sudah dia menghantam
It Im taisu. Tubuh hwesio tua itu sudah hancur tidak karuan.
Akhirnya terlempar sejauh satu depa.
Seandainya It Im taisu tahu peristiwa tentang jalinan
hubungan antara Ci Siong to jin dengan istri Tok ku Bu ti yang
bernama Sen Man Cing, dia tentu tidak akan menggunakan
731 kata-kata itu untuk membujuk Tok ku Bu ti. Sayangnya dia
tidak tahu sama sekali. Sebenarnya Tok ku Bu ti memang
sudah terpengaruh tapi mendengar kata-kata tentang
memperkosa istri orang, hatinya terpukul seketika. Peristiwa
yang berusaha dilupakannya selama ini terbayang kembali.
Hawa amarahnya pun meluap seketika.
Tok ku Bu ti memandang sekejap mayat It Im taisu. Tinjunya
terkepal erat. "Anak-anak! Bunuh semua!" teriaknya lantang.
Para anggota Bu ti bun segera mengiakan. Mereka memang
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah menunggu perintah Tok ku Bu ti yang satu ini. Senjata
masing-masing segera dikeluarkan. Serentak mereka
menyerbu para murid Go Bi pai.
Tok ku Bu ti mendahului. Dia menerjang dan langsung
menghantam siapa saja yang ada di hadapannya. Dalam
waktu sekejap kedua telapak tangannya telah membunuh
puluhan orang. Tongkat kepala naganya juga tidak mau
ketinggalan. Darah segar bercipratan di mana-mana. Sungguh
suatu pemandangan yang mengerikan. Bahkan lebih
menyeramkan daripada ketika makhluk tua membunuh anak
murid Bu Tong pai. Karena jumlah anak buah Tok ku Bu ti
jauh lebih banyak, waktu yang diperlukan pun lebih singkar.
Cian bin hud mengikuti di belakangnya. Ruyungnya menyapu
ke kiri dan kanan. Suara jeritan ngeri terdengar di mana-mana.
Boleh dibilang para murid Go Bi pai sama sekali tidak sempat
melakukan perlawanan.
Satu demi satu murid Go Bi pai roboh bermandikan darah.
732 Dalam waktu tidak berapa lama mayat bergelimpangan di
mana-mana. Darah mengalir bagai anak sungai.
Jilid 16 Tengah hari, Kuan Tiong-liu baru sampai di Go-bi-san. Baru
melihat pintu masuk saja dia sudah tahu apa yang telah
terjadi. Di mana-mana darah mulai mengering. Mayat-mayat
bergelimpangan. Tubuh It-im Taysu lebih merupakan
seonggok daging yang hancur ketimbang sesosok mayat
manusia. Kalau bukan dari pakaiannya, siapa pun tidak bisa
mengenali wajahnya lagi.
***** Jit Po dan Liok An masih bocah cilik. Melihat pemandangan
itu, mereka langsung saling berpelukan dan menangis
tersedu-sedu. Kuan Tiong-liu berdiri dengan mata
menyorotkan kemarahan. Meskipun dia tidak menangis, tapi
justru di ujung pelupuk matanya terlihat darah menetes.
Akhirnya mayat-mayat itu dikuburkan juga. Jumlah dua ratus
tujuh puluh satu mayat. Kuburan yang baru pun berjumlah
sama. Dengan tangan sendiri, Kuan Tiong-liu mengubur
mayat yang terakhir. Dia berlutut di depan gundukan tanah di
mana It-im Taysu disemayamkan. Jit Po dan Liok An berlutut
di kedua sisinya. Tidak ada pembacaan ayat suci, tidak ada
upacara sembahyang. Seorang Ciangbunjin partai terkemuka
mati dalam keadaan mengenaskan.
Sekarang sudah senja hari. Dua puluh delapan murid Go-bi-
pay yang merantau di dunia Kangouw baru menyusul tiba.
733 Mereka melemparkan bungkusan di bahu masing-masing dan
menjatuhkan diri berlutut di depan makan It-im Taysu.
Meskipun mereka terdiri dari laki-laki yang sudah banyak
melihat berbagai peristiwa, tapi menghadapi dua ratus tujuh
puluh satu gundukan tanah baru yang berisi tubuh rekan-
rekan mereka, tidak usah dikatakan lagi bagaimana rasa sedih
yang menyelimuti hati mereka. Belum lagi rasa sakitnya
karena mereka tidak ada di tempat untuk memberi
pertolongan. Mereka lebih rela mati bersama daripada hidup
tapi menyaksikan kematian rekan mereka.
Kuan Tiong-liu membenturkan kepalanya dan menyembah
tiga kali. Kemudian dia berdiri. Matanya mengedar pada
saudara seperguruannya yang masih tersisa. "Para Suheng-te sekalian, Go-bi-pay merosot sampai begini, rasanya sulit
mengangkat kepala untuk menonjolkan diri lagi di dunia
Kangouw. Lebih baik kalian pilih saja jalan masing-masing,"
katanya. "Kita harus membalaskan dendam para saudara dan Suhu
kita. Go-bi-pay tidak akan hidup pada masa yang sama
dengan Bu-ti-bun!" teriak mereka serentak.
Mata Kuan Tiong-liu merah seketika mendengar kata-kata
para saudaranya. "Baik! Kalau begitu, untuk sementara kita menetap bersama Hay-liong Susiok. Kalian memang tidak
memalukan disebut murid Go-bi-pay. Kita harus mencari
kesempatan untuk membentangkan sayap kembali," sahutnya
terharu. Para murid Go-bi-pay itu juga tidak tahu harus ke mana lagi.
Mendengar kata-kata Kuan Tiong-liu, tentu saja mereka
segera setuju. Tiga puluh satu orang yang menjadi satu
734 rombongan itu menuruni Go-bi-san. Cahaya mentari bersinar
redup di atas kepala mereka.
***** Senja hari. Pemandangan di kedua tepian sungai
menyejukkan mata. Burung-burung beterbangan di angkasa.
Tok-ku Hong berjalan di bawah sinar matahari. Tampaknya
begitu sunyi. Sekarang adalah hari kedua puluh dia
meninggalkan Bu-ti-bun. Dia tidak mempunyai tujuan. Asal di
depannya ada jalan, dia akan terus melangkah. Meskipun
sepanjang perjalanan belum terjadi peristiwa apa pun, tapi
hatinya tetap merasa tidak enak.
Ini merupakan pertama kalinya dia berkelana seorang diri. Di
sepanjang perjalanan tidak ada orang yang menjaga atau pun
melayaninya. Padahal sebelumnya sehari-hari dia adalah
nona besar. Apa pun yang di nginkannya tinggal perintah saja.
Pada hari-hari pertama, dia merasa sangat tersiksa. Namun
hatinya memang keras. Dia malu untuk kembali ke Bu-ti-bun
begitu saja. Meskipun sekarang sudah agak terbiasa, tapi
dalam hatinya diam-diam dia merindukan rumahnya.
Sampai kapan kehidupan seperti ini akan berlangsung, dia
tidak tahu. Ada tersirat keinginan dalam hatinya untuk kembali
ke rumah. Beberapa kali dia sudah menghentikan langkah
kakinya, namun begitu mengingat tamparan tangan Tok-ku
Bu-ti, dia mengeraskan hati dan melanjutkan perjalanannya
kembali. Wan Fei-yang juga tidak terbiasa hidup berkelana. Tapi kalau
dibandingkan dengan Tok-ku Hong, dia masih lebih bisa
735 menahannya. Di Bu-tong-san dia sudah terbiasa bekerja
serabutan. Meskipun masih terlindung dari hujan dan angin,
namun menghadapi cuaca hujan atau angin besar pun
baginya bukan sesuatu yang mengherankan lagi. Oleh karena
itu, selama dua puluh hari ini dia terus mengintil di belakang
Tok-ku Hong. Dia tidak merasa apa yang dilakukannya
sebagai suatu penderitaan. Dia berjalan dengan santai, tapi
tetap tidak melepaskan diri dari gadis itu.
Sejak meninggalkan tempat kediaman Hay-liong Lojin, dia
juga berjalan tanpa arah dan tujuan. Siapa sangka dalam
sebuah gang kecil di desa yang dia singgahi, dia melihat anak
gadis Tok-ku Bu-ti. Tiba-tiba saja dia teringat gurunya, Ci-
siong Tojin pernah berpesan apabila ada kesempatan dia
harus bertandang ke Bu-ti-bun mencari seorang wanita
bernama Sen Man-cing. Tanpa sadar dia terus mengikuti Tok-
ku Hong dan mencoba mencari kesempatan untuk berkenalan
dengan gadis itu. Siapa tahu dia bisa menyelinap ke dalam
Bu-ti-bun. Tiga hari sudah berlalu, tapi kesempatan itu belum ada juga.
Pikiran Tok-ku Hong sedang melayang-layang. Oleh karena
itu, dia sama sekali tidak menyadari bahwa Wan Fei-yang
telah mengintil di belakangnya selama beberapa hari. Kedua
orang itu berjalan terus, senja hari mereka mencari
penginapan dan beristirahat. Tentu saja Tok-ku Hong yang di
depan dan Wan Fei-yang mengikuti dari belakang. Setiap kali
gadis itu berhenti, dia juga berhenti. Gadis itu melanjutkan
perjalanan, dia pun cepat-cepat menyusulnya. Dengan
demikian, tiga hari berlalu sudah.
***** 736 Sungai mengalir sampai ribuan li. Apabila mata menerawang,
sungai itu bagai tidak berbatas. Pemandangan sangat indah,
namun Kuan Tiong-liu dengan rombongannya yang berjumlah
tiga puluh satu orang sama sekali tidak menikmati keindahan
pemandangan itu. Mereka berjalan menyusuri tepi sungai. Hati
mereka sama tertekan.
Jarak mereka dengan Tok-ku Hong dan Wan Fei-yang kurang
lebih satu li. Arah mereka berhadapan pula. Seandainya
mereka sama-sama berjalan terus, tentu jaraknya akan
semakin pendek, dan akhirnya pasti bertemu satu sama
lainnya. Tentu saja Kuan Tiong-liu tidak tahu Tok-ku Hong sedang
melangkah ke arahnya. Dia berjalan terus. Tiba-tiba dia
menghentikan langkah kakinya. "Tidak benar!" serunya.
Jit Po yang mengiringi di sampingnya merasa heran. "Kongcu, ada apa?"
Mata Kuan Tiong-liu berkilau sekilas. "Semua harap berhatihati!" katanya tiba-tiba.
Baru saja ucapannya selesai, beratus-ratus anak panah
meluncur ke arah mereka. Jit Po yang berada paling depan
langsung terkena sasaran. Para murid Go-bi-pay yang lain
segera mengeluarkan senjata masing-masing. Tapi tujuh
orang segera roboh ke tanah. Sejak tadi Kuan Tiong-liu sudah
menghunus pedangnya. Dia segera menyapu ke kiri dan
kanan. Liok An berhasil dilindungi, namun dia terlambat
menyelamatkan Jit Po.
Kuan Tiong-liu melesat ke depan dan menyambut tubuh Jit Po
737 yang terjungkal. "Jit Po!" panggilnya dengan suara parau.
Jit Po masih bernapas. Dia berusaha menahan sakit yang
dideritanya. Matanya setengah terbuka. Dia memandang Kuan
Tiong-liu dengan mata sayu.
"Kongcu, aku tidak dapat melayanimu lagi." Kemudian dia merintih, "Li ... Liok ... An ...."
Liok An segera menghampirinya. Namun nyawa Jit Po sudah
melayang. Liok An menangis meraung-raung. Meskipun Jit Po
bukan saudara kandungnya, namun hubungan mereka malah
lebih dari saudara sendiri. Hati Kuan Tiong-liu bagai disayat-
sayat puluhan pisau. Jit Po dan Liok An melayaninya selama
bertahun-tahun. Dia sudah memandang mereka bagai adiknya
sendiri. Panah masih meluncur terus. Seratus lebih anggota Bu-ti-bun
menerjang keluar dari balik gerombolan pohon. Mereka semua
berpakaian serbahitam. Dalam sekejap mereka sudah
mengurung rombongan Kuan Tiong-liu. Seorang Tancu
berpakaian putih keperak-perakan melayang turun dari udara
dan berhenti tepat di hadapan Kuan Tiong-liu.
"Lagi-lagi anggota Bu-ti-bun!" Kuan Tiong-liu tertawa dingin.
"Sebutkan namamu!"
Tancu itu tertawa datar. "Asal sekitar Kuil Kuan-se, naga sakti menyapu seluruh Wei Kiang."
"Rupanya Sen-po Lu Kin yang dulu membasmi Wei-kiang-pat-
sou!" 738 "Eh" Kau juga mengenal aku?" Lu Kin tertawa terbahak-
bahak. "Tidak disangka setelah sekian tahun membersihkan
tangan, hari ini aku dapat memancing seekor ikan besar dari
Go-bi-san!"
"Bagus! Kedatanganmu memang tepat sekali!" bentak Kuan Tiong-liu lantang. Tubuh dan pedang berkelebat menjadi satu
bayangan. Lu Kin segera mengeluarkan senjata cambuknya yang
berkepala tiga belas. "Serbu!" serunya memberi perintah.
Para anggota Bu-ti-bun menerjang seperti orang kalap. Murid
Go-bi-pay juga tidak tinggal diam. Mereka menyambut
terjangan orang banyak itu. Kedua pihak saling bertarung.
Cahaya golok dan pedang bertaburan. Darah memercik
membasahi tanah. Meskipun jumlah anggota Bu-ti-bun lebih
banyak, tapi para murid Go-bi-pay melawan dengan kalap.
Hati mereka masih sedih karena kematian rekan yang begitu
banyak. Semangat mereka bangkit untuk membalaskan
dendam bagi mereka. Perlawanan mereka lebih mirip
mengadu nyawa. Kuan Tiong-liu sudah memerhatikan situasi dengan saksama.
Begitu berhasil melepaskan diri dari belitan cambuk Lu Kin,
dia langsung menerjang ke dalam kerumunan anggota Bu-ti-
bun. Sekali gerak dia langsung mengerahkan tiga jurus
terakhir Lok-jit-kiam. Hanya terlihat bayangan pedang
berkelebat bersamaan dengan gerakan tubuhnya. Pedangnya
menyapu ke kiri dan kanan. Satu demi satu anggota Bu-ti-bun
roboh bermandikan darah.
Melihat keadaan itu, Lu Kin segera maju mendekati. Kuan
739 Tiong-liu tidak memedulikannya. Tubuhnya melesat ke udara
bagai seekor kupu-kupu beterbangan. Pedangnya menikam
terus. Empat puluh enam lagi anggota Bu-ti-bun mati di bawah
sapuan pedangnya. Tentu saja Lu Kin tidak sanggup
menghalanginya.
Para anggota Bu-ti-bun mulai tergetar hatinya melihat kekejian
anak muda itu. Saat itu Lu Kin baru sadar kehebatan ilmu
yang dikuasai Kuan Tiong-liu. Benar-benar di luar dugaannya.
Dia sendiri sudah pasti bukan tandingan anak muda tersebut.
Pikirannya segera tergerak. Dia mundur beberapa langkah.
Siapa tahu Kuan Tiong-liu tiba-tiba melesat ke udara dan
melayang turun tepat mengadang di depannya.
Lu Kin mengeraskan hatinya. Cambuk di tangannya
dikebaskan ke depan. Ilmu cambuknya memang tinggi sekali,
tapi ilmu silatnya jauh di bawah Kuan Tiong-liu. Mereka segera
terlihat dalam pertarungan yang seru. Dalam waktu sekejap
saja dia sudah terdesak. Mana mungkin dia sanggup
menandingi Kuan Tiong-liu yang merupakan murid
kesayangan It-im Taysu. Dia sendiri hanya Tancu dari Bu-ti-
bun. Sedangkan Hu-hoat Bu-ti-bun, Han-ciang-tiau-siu saja
bukan tandingan Kuan Tiong-liu. Apalagi dia!
Kedudukan dalam Bu-ti-bun ditentukan dari tingginya ilmu silat
seseorang, sedangkan ilmu silat Lu Kin hanya pantas
menduduki jabatan Tancu. Tanpa sengaja dia menemukan
jejak Kuan Tiong-liu dan rombongannya. Hatinya segera
berpikir untuk membuat jasa besar dan mendapat hadiah dari
Tok-ku Bu-ti. Dia tidak menilai kepandaiannya sendiri apakah
mampu mengalahkan-Kuan Tiong-liu. Apalagi Go-bi-pay
dengan mudah berhasil disapu bersih oleh anggota Bu-ti-bun
yang lain. Oleh karena itu dia segera mengumpulkan anak
740 buahnya dan mengadang rombongan Kuan Tiong-liu. Jumlah
mereka memang jauh lebih banyak. Hal ini tentu saja
membesarkan hatinya. Melihat dari keadaan luarnya, mereka
pasti akan meraih kemenangan. Baru meluncurkan beberapa
batang anak panah, delapan orang pihak lawan sudah jatuh
roboh bermandikan darah.
Sayangnya, dia terlalu meremehkan ilmu silat Kuan Tiong-liu.
Sebelum berhasil berlatih tiga jurus terakhir dari Lok-jit-kiam-hoat saja, Kuan Tiong-liu sudah berhasil mengalahkan Han-
ciang-tiau-siu. Apalagi tiga jurus terakhir Lok-jit-kiam-hoat
sudah dikuasainya dengan baik, Lu Kin lebih-lebih bukan
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tandingannya lagi. Seandainya Han-ciang-tiau-siu hidup
kembali, belum tentu dia dapat menerima dua puluh jurus dari
Kuan Tiong-liu sekarang ini.
Pada jurus keempat belas, cambuk di tangan Lu Kin sudah
terlepas. Sekali lagi Kuan Tiong-liu meluncurkan pedangnya,
dia langsung berhasil menusuk dada Lu Kin. Kuan Tiong-liu
mengentakkan pedangnya. Tubuh Lu Kin melayang di udara
dan mencelat sejauh dua depa, lalu jatuh di antara kerumunan
anggota Bu-ti-bun yang masih tersisa.
Pedang Kuan Tiong-liu tidak berhenti, berturut-turut dia
membunuh puluhan lagi anak murid Bu-ti-bun. Rekan-
rekannya dari Go-bi-pay agak lega mendapat bantuan darinya.
Meskipun di pihak mereka sendiri telah roboh lagi sepuluh
orang lebih, tapi korban di pihak Bu-ti-bun jangan dikatakan
lagi. Bagaimanapun mereka pernah berlatih dengan giat di
atas Go-bi-san. Ilmu mereka memang lebih tinggi dari anggota
Bu-ti-bun. Kalau bertanding satu lawan satu saja, tidak ada
satu pun yang sanggup menandingi Liok An, si bocah
pembawa harpa. 741 Setelah melihat kematian pemimpin mereka, Lu Kin, hati
anggota Bu-ti-bun lainnya semakin ciut. Nyali mereka terbang
entah ke mana. Mereka segera mengambil langkah seribu.
Gerakan mereka kalang kabut. Tidak peduli lagi arah mana
yang harus diambilnya.
"Jangan sisakan satu orang pun!" teriak Kuan Tiong-liu lantang. Dia segera mencelat ke udara dan melayang turun di
hadapan empat anggota Bu-ti-bun yang sedang lari pontang-
panting. Dalam tiga kali sapuan pedang saja, keempat orang
itu sudah roboh bermandikan darah.
Para murid Go-bi-pay mengejar sisa anggota Bu-ti-bun yang
lain. Sebentar saja hanya tersisa satu orang yang masih
hidup. Orang itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan
Kuan Tiong-liu. "Tayhiap! Ampuni jiwaku ...." ratapnya dengan tubuh gemetaran.
Kuan Tiong-liu menoleh kepada para rekannya. Berikut Liok
An, semuanya hanya tinggal sembilan orang yang hidup.
Hatinya sakit sekali. Sisa anggota Bu-ti-bun yang hanya
sendirian itu mengira Kuan Tiong-liu bersedia melepaskannya.
Dia segera menyembah satu kali, pedangnya diletakkan di
tanah, dia berdiri dan berjalan perlahan.
"Mau ke mana?" Tiba-tiba Kuan Tiong-liu berteriak. Tubuhnya melesat lalu mengadang di depan orang itu.
Mata orang itu menyorotkan sinar ketakutan. Belum sempat
dia mengucapkan apa-apa, pedang Kuan Tiong-liu sudah
menikam jantungnya. Pedang ditarik kembali. Orang yang
sudah menjadi mayat itu terkulai ke tanah. Mata Kuan Tiong-
742 liu menatap tajam ke arah seseorang yang sedang berlari
mendekati. Dia adalah Tok-ku Hong. Dari jauh dia mendengar suara
benturan senjata. Segera dia menghambur menghampiri. Saat
itulah dia sempat melihat Kuan Tiong-liu membunuh orang
terakhir tadi. Tentu saja dia mengenali bahwa mayat-mayat
yang bergelimpangan itu adalah anggota Bu-ti-bun. Dia
teringat ketika Kuan Tiong-liu berusaha membunuhnya ketika
dia dan Suhengnya sedang terluka di kaki gunung Bu-tong-
san. Hawa kemarahan segera memenuhi dadanya. Sepasang
golok segera dikeluarkannya. "Kuan Tiong-liu!" bentaknya nyaring.
Kuan Tiong-liu tidak menyahut.
"Tok-ku Hong ada di sini. Kemungkinan besar dia datang
bersama Tok-ku Bu-ti. Laki-laki sejati harus berani menerima
hinaan. Lebih baik menghindarkan diri untuk sementara," pikir Kuan Tiong-liu dalam hati.
Begitu ingatan tersebut melintas, dia segera menoleh kepada
rekan-rekannya. "Liok An dan lainnya cepat tinggalkan tempat ini. Aku akan menyusul belakangan!" katanya.
Liok An tidak berani membantah. Dia menghampiri mayat Jit
Po dengan maksud membawanya sekalian, tapi Kuan Tiong-
liu sudah mencegah lagi. "Jangan pedulikan yang lainnya,
cepat pergi!"
Para rekan seperguruan yang melihat keseriusan Kuan Tiong-
liu, dapat merasakan gentingnya suasana, mereka tidak
berani berlambat-lambat lagi. Semuanya meninggalkan
743 tempat itu dengan tergesa-gesa.
Tok-ku Hong juga tidak memedulikan mereka. Dia hanya
mendelikkan matanya lebar-lebar kepada Kuan Tiong-liu.
"Bagus sekali kau ini! Lagi-lagi membunuhi anggota Bu-ti-bun kami!"
"Ayahmu naik ke Go-bi-san dan membunuh dua ratus tujuh
puluh satu jiwa anak murid kami. Apakah kau tidak tahu
masalah ini?"
Sepanjang perjalanannya tadi, Tok-ku Hong memang sudah
mendengar berita ini. Dia juga merasa tindakan ayahnya kali
ini agak keterlaluan. Tapi setelah memandang mayat yang
bergelimpangan di sana dan kebanyakan terdiri dari anggota
Bu-ti-bun, hawa kemarahannya meluap kembali.
"Hari itu di kaki gunung Bu-tong-san aku sudah terluka parah, tapi kau tetap ingin membunuh aku. Kali ini aku akan
bertanding sekali lagi denganmu untuk menentukan siapa
yang lebih unggul di antara kita," kata Tok-ku Hong datar.
"Pertarungan hidup dan mati?" Pedangnya bergetar langsung meluncur ke arah Tok-ku Hong.
Sepasang golok Tok-ku Hong dibentangkan dan menyambut
datangnya serangan Kuan Tiong-liu. Golok dan pedang saling
berkelebatan. Golok Tok-ku Hong cepat, pedang Kuan Tiong-
liu lebih cepat lagi. Meskipun dia baru saja bertarung melawan
sekian banyak musuh, tapi tenaganya tidak banyak terkuras.
Ilmunya memang jauh lebih tinggi daripada Tok-ku Hong. Kira-
kira sepuluh jurus kemudian, dia mulai menguasai keadaan.
744 Tok-ku Hong sendiri juga merasakan bahwa dia bukan
tandingan Kuan Tiong-liu, tapi adatnya keras. Sepasang
goloknya bergerak makin cepat. Serangannya makin lama
makin gencar. Dengan tidak memedulikan bahaya, dia
menebas Kuan Tiong-liu berulang kali. Tapi tebasannya selalu
berhasil dihindari oleh anak muda itu. Tok-ku Hong semakin
kalap. Sepasang goloknya dengan nekat menjepit pedang
Kuan Tiong-liu.
"Lepaskan!" teriaknya lantang.
Tanpa dapat dipertahankan lagi, pedang Kuan Tiong-liu
terlepas. Baru saja Tok-ku Hong merasa bangga akan
hasilnya, tahu-tahu tubuh Kuan Tiong-liu sudah mencelat di
udara dan melayang turun di belakang punggung Tok-ku
Hong. Gadis itu belum sempat membalikkan tubuhnya ketika
telapak tangan Kuan Tiong-liu menghantam tiga kali berturut-
turut. Blam! Blam! Blam!
Tubuh Tok-ku Hong mencelat sejauh dua depa, kemudian
jatuh berdebum di atas tanah. Mulutnya terbuka, segumpal
darah segar terlihat muncrat keluar. Tubuh Kuan Tiong-liu
melesat lagi secepat kilat, dia menyambut pedangnya yang
masih melayang di udara. Semua itu terjadi dalam sekejap
mata. Dia melayang turun di hadapan Tok-ku Hong. Matanya
mendelik ke arah gadis itu.
"Tok-ku-siocia, bagaimana keadaanmu!" tanyanya pura-pura menaruh perhatian.
Wajah Tok-ku Hong pucat sekali. Dia mendelik kembali
kepada Kuan Tiong-liu. "Membokong secara gelap, apakah
kau termasuk laki-laki sejati?"
745 "Dalam bertarung siasat memang diperlukan. Menghadapi
komplotan penjahat seperti kalian, untuk apa menuruti
peraturan dunia Kangouw" Juga tidak memerlukan tindakan
laki-laki sejati!"
"Manusia jenis apa kau ini, kau kira aku tidak tahu. Kau hanya menutupi rasa malumu sehingga mengeluarkan kata-kata
seperti itu!" sahut Tok-ku Hong sambil berusaha bangkit.
Namun baru saja tubuhnya bergerak sedikit, kembali dia
memuntahkan darah segar. Tubuhnya terkulai ke tanah. "Mau
bunuh, silakan. Tidak usah banyak bicara!"
"Mau mati" Tidak begitu mudah?"
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku akan mengoyak-ngoyak tubuhnya menjadi berkeping-
keping, kemudian akan kukirimkan kepada Tok-ku Bu-ti!" Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak.
Tok-ku Hong terkejut sekali. Dia tidak meragukan apa yang
dikatakan Kuan Tiong-liu. Hal ini terbukti dari kekejiannya
membantai para murid Bu-ti-bun.
"Saat itu ada Wan Fei-yang yang menolongmu. Kali ini aku
ingin lihat siapa yang akan datang menolongmu?"
"Wan Fei-yang?" Tok-ku Hong malah tertegun.
Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak. Selangkah demi
selangkah dia menghampiri Tok-ku Hong. Gadis itu panik
sekaligus marah. Dia berusaha untuk bangun, namun lukanya
746 cukup parah. Akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri. Melihat
keadaan gadis itu, tawa Kuan Tiong-liu semakin keras. Tiba-
tiba dia melihat bayangan berkelebat. Seseorang sudah berdiri
mengadang di depan Tok-ku Hong.
Dia adalah Wan Fei-yang! Suara tawa Kuan Tiong-liu sirap
seketika. "Lagi-lagi kau mengacau!" bentaknya marah.
Wan Fei-yang tertawa getir. Wajah Kuan Tiong-liu menghijau.
"Kali ini apa maksudmu datang kemari?"
"Aku ... aku hanya kebetulan lewat ...." Wan Fei-yang menarik napas panjang.
"Tidak usah berpura-pura lagi. Apa yang tersirat di dalam
hatimu" Bilang!"
Pedang Kuan Tiong-liu menuding Wan Fei-yang. "Dia toh
sudah terluka parah, buat apa kau harus turun tangan keji
lagi?" Wan Fei-yang melirik sekilas ke arah Tok-ku Hong.
Tok-ku Hong sama sekali tidak bergerak. Hati Wan Fei-yang
malah menjadi tenang.
"Apa hubunganmu dengannya?" bentak Kuan Tiong-liu
kembali. "Dia ... dia tidak ada hubungan apa-apa denganku."
Kuan Tiong-liu mendengus dingin. "Aku rasa kau adalah anak buahnya. Kau adalah anggota Bu-ti-bun!"
747 "Bukan ... aku bukan ...." Wan Fei-yang gugup sekali.
"Tidak perlu mungkir lagi. Tempo hari kau menolong dia. Aku sudah curiga kau adalah anggota Bu-ti-bun. Hanya Susiokku
saja yang tetap tidak percaya."
"Aku benar-benar bukan ...."
"Tutup mulut!" Kuan Tiong-liu tidak memberinya kesempatan sama sekali. Dia malah tertawa dingin. "Ya juga tidak apa-apa, bukan juga tidak apa-apa. Kau mau menolongnya" Tanyakan
pada pedangku dulu!"
"Apakah kau hendak memaksa aku turun tangan?"
"Di tempat Susiok tempo hari, aku sudah mengampuni jiwamu.
Sekarang tidak lagi! Aku menginginkan nyawamu!"
"Anggaplah aku memohon kepadamu, ampunilah dia kali ini."
"Omong kosong! Susiok mengatakan bahwa kau mengalah
terhadapku tempo hari. Sekarang kau boleh keluarkan seluruh
kepandaianmu!" Perkataannya selesai, tubuh dan pedang
Kuan Tiong-liu meluncur dalam waktu yang bersamaan.
Sekali gerak dia langsung mengerahkan tiga jurus terakhir
Lok-jit-kiam-hoat. Wan Fei-yang tidak dapat menghindar dari
pertarungan ini. Kakinya segera menjalankan langkah ajaib.
Jurus yang digunakan tentu saja Liong-gi-kiam-hoat.
Sebetulnya dia segan bertarung dengan Kuan Tiong-liu.
Ketika bertarung di pesisir pantai, dia sudah memerhatikan
Lok-jit-kiam-hoat yang dipelajari Kuan Tiong-liu. Kesannya
748 masih mendalam. Kali ini dia dapat menghadapinya dengan
santai. Pandangan Hay-liong Lojin memang tidak salah.
Ilmunya memang lebih tinggi setingkat daripada Kuan Tiong-
liu. Begitu anak muda itu mengerahkan tiga jurus terakhir Lok-
jit-kiam-hoat, pedang Wan Fei-yang sudah berhasil menempel
di depan tenggorokan Kuan Tiong-liu.
Perasaan Kuan Tiong-liu saat itu bagai terjatuh ke dalam
jurang yang dalam. Dia berdiri terpaku.
"Mengapa setiap kali kau harus memaksa aku turun tangan?"
tanya Wan Fei-yang sambil tertawa getir.
Kuan Tiong-liu memandang Wan Fei-yang dengan pandangan
menusuk. "Pertarungan di pesisir pantai tempo hari, kau
benar-benar mengalah terhadapku?"
Wan Fei-yang tidak menyahut.
"Mengapa kau masih tidak membunuh aku?" teriak Kuan
Tiong-liu marah.
"Antara kau dan aku sama sekali tidak ada dendam apa-apa,"
kata Wan Fei-yang sambil menyimpan pedangnya kembali.
"Kalau kau tidak membunuh aku, kelak kau pasti akan
menyesal!" sahut Kuan Tiong-liu sambil menggertakkan
giginya erat-erat.
Wan Fei-yang mengibaskan tangannya. "Lebih baik kau pergi
saja." Hampir saja Kuan Tiong-liu muntah darah karena jengkelnya.
749 Dia mengentakkan kakinya, kemudian membalikkan tubuh dan
berlari meninggalkan tempat itu. Wan Fei-yang
memandangnya sampai menghilang di kejauhan. Dia sendiri
termenung serta berulang kali menarik napas.
***** Ketika Tok-ku Hong sadarkan diri, matahari sudah tenggelam.
Pada saat itu Wan Fei-yang sedang membuka mulutnya dan
meminumkan air yang diambilnya dengan sarung pedang.
Tok-ku Hong hanya merasa lidahnya menjadi pahit, tapi
setelah rasa pahit berkurang, dia malah merasa segar dan
nyaman. Akhirnya dia dapat melihat Wan Fei-yang.
Tok-ku Hong mengejap-ngejapkan matanya.
"Jangan bergerak. Yang ada dalam mulutmu itu obat. Cepat
telan!" kata Wan Fei-yang menyarankan.
Kesadaran Tok-ku Hong mulai pulih sedikit demi sedikit.
Tanpa sadar dia mengikuti perintah Wan Fei-yang dan
menelan obat itu. "Siapa kau?" tanyanya kemudian.
"Aku hanya kebetulan lewat," sahut Wan Fei-yang. Tangannya masih memegangi bahu Tok-ku Hong. Akhirnya gadis itu
merasakan. Dia menepiskan tangan Wan Fei-yang.
"Lepaskan tanganmu!"
Wan Fei-yang tertegun. Dia menyingkirkan tangannya. Tubuh
Tok-ku Hong hampir terjatuh, tapi gadis yang keras hati itu
bertahan sekuatnya. Dia menumpukkan kedua telapak
tangannya di atas tanah. Matanya mencari-cari.
750 "Mana manusia she Kuan itu?" tanyanya tiba-tiba.
"She Kuan?" Wan Fei-yang pura-pura tidak mengerti.
"Pemuda yang mengenakan pakaian putih ...."
"Oh .... Pemuda berpakaian putih itu yang kau maksudkan"
Dia sudah kabur."
"Kabur?" Tok-ku Hong kurang begitu percaya. "Siapa yang sanggup membuatnya kabur" Kau?"
"Aku mana punya kesanggupan sehebat itu," Wan Fei-yang menjawab sambil memutar otaknya. "Seorang Hwesio
bergebrak dengannya, pemuda itu tampaknya kalah, terus
kabur." "Hwesio?" Tok-ku Hong semakin penasaran. "Bagaimana tampangnya?"
"Usianya sudah lanjut, di kepalanya yang gundul ada sembilan lubang, orangnya agak pendek, rambutnya sudah putih
semua, jenggotnya panjang menjuntai. Tampaknya ilmu
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hwesio itu tinggi sekali. Baru bertarung beberapa saat,
pemuda berpakaian putih itu sudah kabur."
"Kira-kira siapa yang mempunyai kepandaian setinggi itu?"
Tok-ku Hong seperti bertanya kepada dirinya sendiri. Dia
merenung beberapa saat. Kemudian dia menoleh lagi kepada
Wan Fei-yang. "Ke mana Hwesio itu sekarang?"
"Dia memerhatikan engkau sambil menggelengkan kepalanya.
751 Kemudian lengan bajunya dikibaskan lalu tubuhnya melesat
dan menghilang begitu saja."
"Oh?" Tok-ku Hong merenung kembali. "Siapa gelar Hwesio itu?"
"Dia tidak mengatakannya," Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya. "Bagaimana perasaanmu setelah meminum obat
tadi?" Tok-ku Hong mencoba menghimpun hawa murninya,
walaupun belum begitu lancar, tapi rasa sakitnya tidak seperti
sebelum pingsan tadi lagi. Malah terasa sekulum hawa yang
sejuk menguap naik lewat tenggorokannya. Dia merasa heran.
"Obat apa yang kau berikan kepadaku?"
"Aku juga kurang paham," Wan Fei-yang mengeluarkan botol obat dari balik pakaiannya. "Obat ini merupakan resep turunan keluarga. Dibuat dari bermacam-macam daun obat-obatan.
Menurut apa yang kudengar, obat ini khusus untuk
menyembuhkan luka dalam."
Tok-ku Hong memerhatikan Wan Fei-yang dari atas kepala
sampai ke ujung kaki. "Siapa kau sebetulnya?"
"Aku" Kurang jelas juga," Wan Fei-yang benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
"Apa?" Tok-ku Hong semakin kebingungan. "Yang aku maksudkan siapa namamu?"
"Aku she Yang. Orang-orang selalu memanggilku Siau Yang.
Yang dari huruf Yang Ciu," sahut Wan Fei-yang seakan takut 752
gadis itu kurang paham.
"Tidak ada nama?"
"Ada nama kecil, yaitu A Ha. Tapi lebih baik kau memanggilku Siau Yang saja."
Tentu saja Tok-ku Hong tidak tahu Wan Fei-yang sedang
berdusta. Dia malah merasa anak muda ini lucu sekali dan
menarik. "Di mana rumahmu?" tanyanya kembali.
"Sebuah desa kecil tanpa nama yang kira-kira jaraknya
keberapa puluh li dari sini. Di desa kami itu hanya ada belasan keluarga."
"Untuk apa kau datang ke tempat sejauh ini?"
"Cari pekerjaan," Untung saja otak Wan Fei-yang cukup encer.
"Bagaimana dengan kedua orang tuamu?" tanpa sadar Tok-ku Hong bertanya terus.
"Semuanya sudah mati," Wajah Wan Fei-yang tampak
menyiratkan kesedihan. Dia cepat-cepat mengalihkan bahan
pembicaraan. "Kouwnio, aku rasa lukamu tidak ringan. Kalau kau diam di sini terus, nanti bisa masuk angin. Celakalah kau
saat itu."
"Siapa yang memerlukan perhatianmu?"
"Jangan berkata demikian. Sekarang kau ibarat pasienku.
Kalau sampai terjadi apa-apa pada dirimu, aku tentu tidak bisa
makan tidur lagi."
753 "Aku tidak meminta kau bertanggung jawab atas diriku."
"Menolong orang merupakan kewajiban dalam hidup. Mana
mungkin sementara aku melihat kau di ambang kematian lalu
membiarkan saja?" sahut Wan Fei-yang seenaknya.
"Baru membawa obat keluarga saja sudah berani mengobati
orang. Nyalimu tidak kecil juga!" Tok-ku Hong mengomelinya, namun bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Kalau nyaliku tidak besar, melihat begini banyaknya mayat yang bergelimpangan, pasti aku sudah kabur sejak tadi."
"Tahukah kau apa yang telah terjadi?"
"Aku tidak tahu. Tapi aku mengenali sebagian besar dari
mayat itu adalah anggota Bu-ti-bun."
"Kau kenal dengan mereka?"
"Tidak kenal. Tapi, sudah pasti itu dandanan anggota Bu-tibun."
"Tampaknya kau memerhatikan sekali."
"Karena aku memang pernah masuk menjadi anggota Bu-ti-
bun." "Mengapa?" kecurigaan Tok-ku Hong bangkit kembali.
"Bu-ti-bun tiada tandingannya di kolong langit. Coba kau
perhatikan, mana ada murid Bu-ti-bun yang tidak terlihat
754 gagah?" Wan Fei-yang sengaja menarik napas panjang.
"Sayangnya harus ada yang memperkenalkan dan ada orang
yang menjamin. Aku sudah pergi ke kantor cabang mereka
tiga kali, tapi setiap diuji, aku selalu tidak lulus dan tidak
diterima."
"Tahukah kau siapa aku?" tanya Tok-ku Hong kembali.
"Siapa juga tidak jadi masalah," Wan Fei-yang
menggelengkan kepalanya.
"Siapa tahu aku musuh Bu-ti-bun."
Wan Fei-yang pura-pura terkejut. Kemudian dia
menggelengkan kepalanya kembali.
"Apa boleh buat" Melihat kematian tanpa menolong, aku tidak bisa melakukan hal seperti itu," dia seakan teringat sesuatu.
"Oh ya .... Di depan sana ada kuil yang tidak terpakai, mari aku papah kau beristirahat di sana sejenak," katanya.
Tangan Wan Fei-yang terulur. Sudah pasti Tok-ku Hong
menolaknya. "Tidak perlu. Aku bisa berjalan sendiri!" Dia menggunakan goloknya sebagai tongkat dan memaksakan dirinya bangun.
Bagian telapak tangannya masih sakit, walaupun tidak senyeri
tadi lagi. Dia memaksakan dirinya berjalan keberapa langkah,
tapi bekas lukanya sakit sekali. Langkahnya limbung,
tubuhnya terhuyung-huyung, hampir saja dia jatuh ke tanah.
Wan Fei-yang yang mengikuti dari samping, cepat-cepat
755 memapahnya. Tapi Tok-ku Hong masih bermaksud menolak,
namun segulungan rasa pening tiba-tiba menyerang
kepalanya. Dia tahu dirinya tidak kuat berjalan, terpaksa dia
membiarkan Wan Fei-yang memapahnya. Diam-diam dia
mengatur hawa murninya. Sejenak kemudian rasa pusingnya
agak berkurang. Dia baru bisa melanjutkan langkahnya
perlahan. Melihat semua itu, diam-diam Wan Fei-yang merasa kagum.
Gadis yang keras hatinya seperti Tok-ku Hong memang tidak
banyak. ***** Jarak kuil kosong itu dari tepi sungai tadi sebetulnya tidak
terlalu jauh. Tapi Wan Fei-yang memapah Tok-ku Hong dan
melangkah perlahan. Ketika mereka sampai di tempat tujuan,
malam sudah merayap.
Namanya memang kuil bobrok. Tapi beberapa hari
sebelumnya Wan Fei-yang sudah menghabiskan waktu
setengah harian untuk membersihkannya. Dia juga pernah
menginap satu malam di kuil tersebut.
Wan Fei-yang memapah Tok-ku Hong duduk di atas lantai.
Sebentar saja dia sudah mengambil setumpuk kayu kering
dan menyalakan api unggun. Tok-ku Hong memandangnya
dengan tatapan heran. Wan Fei-yang merasa dirinya
diperhatikan. Dia tertawa lebar.
"Kau tidak perlu heran. Aku pernah tinggal di sini," katanya seakan menjelaskan.
756 Setelah api menyala, dia mengambil sebuah mangkuk yang
sudah somplak. "Kau istirahat dulu sebentar. Aku akan mengambil air dan kau harus minum obat sekali lagi." Tanpa menunggu jawaban dari Tok-ku Hong, Wan Fei-yang segera menghambur keluar.
Tok-ku Hong terpaksa memandangi punggungnya sampai
menghilang. Setelah merenung sesaat, dia berusaha
menegakkan badannya dan menghimpun kembali hawa
murninya. Obat yang diberikan Wan Fei-yang kepada Tok-ku
Hong, sudah tidak perlu diragukan lagi merupakan obat
racikan Hay-liong Lojin. Memang bagus sekali untuk
menyembuhkan luka dalam. Sayangnya Wan Fei-yang tidak
mengerti bagaimana cara meminumkannya sehingga obat itu
tidak banyak menunjukkan reaksinya. Sekarang Tok-ku Hong
membantunya dengan menyalurkan hawa murni ke seluruh
tubuh, tentu saja obat itu segera buyar dan bekerja. Tok-ku
Hong merasakan kesegaran dan kenyamanan dalam waktu
singkat. Tok-ku Hong meminum obat itu sekali lagi. Setelah beristirahat
sejenak, tidak lama kemudian dia tertidur dengan pulas. Ketika
dia terbangun kembali, hari sudah pagi. Cahaya matahari
menyorot dari luar kuil.
Tok-ku Hong mengejapkan matanya. Tiba-tiba dia tersentak,
cepat-cepat dia memerhatikan tubuhnya sendiri. Tapi dia tidak
merasakan sesuatu yang tidak beres. Hatinya menjadi lega.
Kemudian dia melihat Wan Fei-yang membawa sebuah
mangkuk di tangan dan menghampirinya.
"Apa lagi itu" Obat?"
757 "Bubur .... Aku sengaja memasakkannya untukmu."
Di atas tungku api terdapat sebuah panci rombeng. Di
dalamnya terdapat bubur yang masih mengepulkan asap. Tok-
ku Hong memerhatikan Wan Fei-yang sekali lagi. Pelupuk
matanya mulai merah. Dapat dipastikan bahwa pemuda itu
tidak tidur sepanjang malam. Hati Tok-ku Hong terharu sekali.
Dia menyambut mangkuk dari tangan Wan Fei-yang,
kemudian mencicipnya sedikit, rasanya manis dan gurih.
Kalau dibandingkan dengan masakannya sendiri, jelas jauh
lebih enak. "Bubur apa ini?" tanyanya tanpa sadar.
"Bubur ikan lele." Tampaknya Wan Fei-yang gembira sekali.
"Dari mana kau mendapatkan ikan lele?" tanya Tok-ku Hong yang keheranannya bangkit kembali.
"Aku menceburkan diri ke dalam sungai dan menangkapnya."
Wan Fei-yang balik bertanya, "Bagaimana rasanya"
"Enak sekali," kata Tok-ku Hong memuji. "Kepandaianmu banyak juga."
"Sejak kecil aku harus mengurus diriku sendiri, kalau yang beginian saja tidak bisa, sejak dulu aku sudah mati kelaparan."
Mendengar ucapannya, hati Tok-ku Hong semakin terharu.
Dia merenung sejenak. "Bukankah kau tadi mengatakan
bahwa kau ingin sekali bergabung dengan Bu-ti-bun"
758 "Sekarang tidak lagi." Jawaban Wan Fei-yang malah di luar dugaan gadis itu.
"Eh" Mengapa?"
"Aku sekarang sudah yatim piatu. Tidak punya siapa-siapa
lagi. Siapa yang akan menjamin" Lagi pula di mana aku harus
mencari orang yang bisa mengenalkan aku masuk Bu-ti-bun"
"Aku!" Tok-ku Hong menyuap sesendok bubur.
"Kau" Kenapa kau?" tanya Wan Fei-yang seakan curiga.
Tok-ku Hong mendengus dingin.
"Tok-ku Bu-ti adalah ayahku. Coba kau pikir, bisa atau tidak aku yang menjaminmu" Dan aku juga yang akan
memperkenalkanmu."
Wan Fei-yang sengaja menatap Tok-ku Hong dengan
pandangan kurang percaya.
"Anggaplah aku membalas budimu karena sudah merawatku,"
kata Tok-ku Hong selanjutnya.
"Aku tidak mengharap balas budimu. Aku juga bukan jenis
manusia yang sudah menolong orang lalu mengharapkan
pembalasanmu," sahut Wan Fei-yang bersungut-sungut.
"Kau kira aku jenis manusia yang sudah menerima
pertolongan lalu melupakan begitu saja." Tok-ku Hong
meletakkan mangkuknya di atas tanah. "Segala hal yang
sudah aku tetapkan, tak dapat diubah oleh siapa pun juga!"
759 Wan Fei-yang tampak serbasalah.
"Ini ...."
"Ini itu apa lagi" Plintat-plintut, seperti bukan anak laki-laki saja!"
"Baik. Tapi kau tidak boleh sedikit-sedikit gembar-gembor
pada semua orang dengan mengatakan bahwa aku
mengandalkan engkau baru bisa menjadi anggota Bu-ti-bun."
Wajah Wan Fei-yang serius sekali ketika mengucapkan kata-
kata ini. "Siapa yang kebanyakan waktu menceritakan engkau?" Tok-ku Hong geli melihat lagak Wan Fei-yang yang ketolol-tololan.
Dia tertawa cekikikan kemudian menghabiskan sisa buburnya.
Wan Fei-yang sendiri ikut tertawa geli. Tiba-tiba tawanya
sirap. Dia sedang memikirkan apakah pantas dia mengelabui
Tok-ku Hong dengan cara demikian. Dia sudah berniat
mengatakan dengan terus terang, tapi kata-kata yang sudah
dipersiapkan dan sudah sampai di ujung lidah ditariknya
kembali. Akhirnya dia memutuskan untuk meneruskan
sandiwaranya. Tok-ku Hong sama sekali tidak menyadari. Dia sudah
memutuskan untuk kembali ke Bu-ti-bun. Bukan karena Wan
Fei-yang saja. Tetapi dia sudah merasa jenuh dengan
kehidupan semacam ini.
***** 760 Hay-liong Lojin orang yang periang. Setiap hari dia selalu
tertawa bebas. Tapi ketika mendengar musibah yang terjadi
pada Go-bi-pay, wajahnya berubah hebat. Dia tidak sanggup
tertawa lagi. Dia tidak meragukan apa yang dikatakan Kuan
Tiong-liu. Apalagi luka yang diderita setiap murid Go-bi-pay
yang mengiringi kedatangan Kuan Tiong-liu. Kepala mereka
tertunduk dalam-dalam. Berkali-kali mereka menarik napas
panjang. Semangat mereka entah terbang ke mana.
Di atas meja yang terdapat di hadapannya ada sebuah
kantong kecil yang berlumuran darah. Itulah benda
peninggalan It-im Taysu. Darah sudah mengering. Warnanya
pun sudah mulai memudar. Mata Hay-liong Lojin menatap
benda itu lekat-lekat. Hatinya semakin berduka.
"Benarkah si tua bangka It-im itu sudah mampus?" kata-kata itu memang tidak sopan, tapi mengandung kesedihan yang
dalam. Kuan Tiong-liu menganggukkan kepalanya tanpa menyahut.
Hay-liong Lojin menarik napas dalam-dalam.
"Betul kan" Sejak dulu aku sudah sering mengatakan, tidak
perlu melelahkan diri menasihati manusia-manusia jahat
seperti itu. Tempo hari Kui-kiam (Pedang Setan) Bu-tiang
datang untuk membalas dendam. Dia masih mengatakan
bahwa pada dasarnya orang itu masih mempunyai sifat yang
baik. Untung saja aku keburu datang, kalau tidak waktu itu
saja Pedang Setan Bu-tiang sudah mengantarnya ke neraka,
tidak perlu menunggu sampai sekarang," Hay-liong Lojin
merandek sejenak. Kemudian dia mengomel lagi panjang
lebar, "Tua bangka itu memang terlalu lugu. Sama sekali tidak melihat kenyataan hidup. Sedikit-sedikit Omitohud. Sekarang
761 baru dia rasakan, sekaligus dua ratus tujuh puluh lebih anak
muridnya mati penasaran!"
Kuan Tiong-liu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia
tidak mengucapkan sepatah kata pun. Para murid Go-bi-pay
lainnya juga menundukkan kepala mereka. Berkali-kali masih
terdengar helaan napas panjang. Hay-liong Lojin
mengedarkan pandangannya kepada mereka sekilas, "Untung
kalian masih sempat melarikan diri."
Hay-liong Lojin mendongakkan wajahnya ke langit biru.
"Dapatkah Go-bi-pay tampil kembali ke dunia Kangouw,
semuanya tergantung kepada kalian." Orang tua itu berdiri dan menatap Kuan Tiong-liu. "Terutama kau manusia she Kuan.
Aku tahu bakatmu melebihi orang lain. Kau harus berlatih lebih
giat lagi!"
"Susiok, jangan khawatir, aku pasti akan menonjolkan kembali nama Go-bi-pay!" sahutnya dengan suara berat.
"Bagus! Ada semangat!" Orang tua itu menepuk bahu Kuan Tiong-liu dua kali kemudian mengambil benda peninggalan It-im Taysu dan berjalan pergi.
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuan Tiong-liu mengikuti dari belakang. Sesampainya di luar
rumah, dia berkata, "Susiok, apa yang kau katakan memang
benar! Aku bukan tandingan Wan Fei-yang."
"Akhirnya kau percaya juga bahwa tempo hari Wan Fei-yang
memang mengalah terhadapmu."
"Liong-gi-kiam-hoat dari Bu-tong-pay dan Lok-jit-kiam-hoat kita sama-sama terkenal di dunia Kangouw. Mengapa kita
762 bertarung, terpautnya demikian jauh?"
"Untuk mengembangkan Lok-jit-kiam-hoat diperlukan paduan
Im dan Yang. Ciangbunjin generasi lalu keburu meninggal, lagi
pula kami baru tahu sesudahnya. Maka dari itu, Lok-jit-kiam-
hoat yang kulatih bersama It-im Taysu hanya mengandung
kekerasan tenaga Yang, namun kekurangan kelembutan daya
Im. Ciangbunjin generasi pendahulu tidak sempat
mewariskannya kepada kami. Tentu saja kita tidak bisa
mengerahkan Lok-jit-kiam-hoat dengan sempurna," kata Hay-
liong Lojin menjelaskan.
Kuan Tiong-liu tertegun. "Kalau begitu, Susiok juga tidak dapat mencapai kesempurnaan dalam berlatih Lok-jit-kiam-hoat."
Hay-liong Lojin tidak mengingkari. Kuan Tiong-liu menarik
napas panjang. "Apakah tidak ada jalan untuk membantu agar Lok-jit-kiam-
hoat dapat terlatih sampai sempurna?"
"Bukannya tidak ada ...." Wajah Hay-liong Lojin menjadi kelam.
"Susiok, katakanlah kepadaku. Bagaimana pun susahnya, aku
bertekad untuk melatih Lok-jit-kiam-hoat sampai sempurna."
"Jalan satu-satunya adalah mempelajari kelembutan daya Im."
"Oh?" Kuan Tiong-liu kurang paham maksud orang tua itu.
Hay-liong Lojin terpaksa menjelaskan lebih terperinci.
763 "Seandainya kau dapat mempelajari Sim-hoat dari Si-im-kung (Istana Akhirat) maka semuanya akan menjadi mudah. Tapi
tempo dulu, Si-im-kung pernah diserbu oleh sembilan partai
besar sehingga terdesak keluar dari Tionggoan. Sejak itu
mereka tidak pernah muncul lagi di dunia Kangouw. Tentu
saja Lwekang Sim-hoat dari Si-im-kung tidak ada pewarisnya
di daerah Tionggoan."
"Dari mana asal Si-im-kung sebenarnya?"
"Po-se (Portugis). Mereka pernah menggetarkan Bu-lim dalam jangka waktu yang cukup lama. Tapi karena mereka tergolong
aliran sesat dan banyak membuat kericuhan, akhirnya tidak
mampu menahan keroyokan sembilan partai besar dan
menghilang begitu saja. Apakah mereka kembali ke negerinya
sendiri atau hijrah ke tempat lain, tidak ada yang tahu lagi."
"Kecuali Lwekang Sim-hoat dari Si-im-kung, apakah tidak ada Sim-hoat lain yang dapat menggantikannya?" desak Kuan
Tiong-liu. "Bukan begitu juga. Menurut cerita, Hek-pay-suang-mo
(Sepasang Iblis Putih dan Hitam) dari India juga mempelajari
ilmu yang sama. Malah ada yang mengatakan bahwa tadinya
mereka merupakan satu aliran dengan Si-im-kung.,
Sedangkan Han-ling-cu (Sukma Dingin) dari Tionggoan juga
mempunyai semacam ilmu yang menggunakan Lwekang daya
lembut ini. Tapi mereka semua terdiri dari golongan sesat.
Seandainya iman kita tidak kuat, sifat kita akan terpengaruh
menjadi jahat. Lebih baik kita cari akal lain, lihat saja, siapa tahu kita akan dapat menemukan Sim-hoat Go-bi-pay yang
hilang itu." Hay-liong Lojin menarik napas panjang. "Mungkin dari angkatan pendahulu kita ada yang mempelajari ilmu ini
764 dan ada beberapa, dari mereka yang menurunkan kepada ahli
warisnya."
Kuan Tiong-liu tidak bersuara. Entah apa yang sedang
dipikirkannya. "Aku menyimpan sebuah daftar nama yang di dalamnya
tertera nama-nama anak murid Go-bi-pay angkatan
pendahulu. Nanti aku akan menyerahkannya kepadamu. Tapi
kau harus keliling dunia untuk mencari mereka. Siapa tahu
ada di antara mereka yang mengerti Sim-hoat ilmu Lok-jit-
kiam-hoat," kata Hay-liong Lojin selanjutnya.
Kuan Tiong-liu masih juga tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Akhirnya orang tua itu menyadarinya juga. Kakinya berhenti
melangkah. "Apa lagi yang kau pikirkan!"
"Tidak ada." Kuan Tiong-liu mengertakkan giginya erat-erat.
"Sejak sekarang, Tecu akan mengelilingi dunia ...."
Hay-liong Lojin tidak menunggu sampai kata-kata Kuan Tiong-
liu selesai, dia mengangkat jempolnya memuji. "Sejak tadi aku sudah mengatakan bahwa kau memang bersemangat besar."
"Biar Liok An berdiam di sini saja, juga para rekan yang lain, Tecu harap Susiok bersedia menampung mereka."
"Omongan apa itu?" Hawa kemarahan Hay-liong Lojin meluap lagi. "Aku juga murid Go-bi-pay, tentu saja aku juga
mempunyai tanggung jawab untuk menjaga mereka."
Liok An sejak tadi mengintil di belakang Kuan Tiong-liu. Dia
tidak dapat menahan dirinya lagi. "Kongcu, biar aku melayani 765
...." Kuan Tiong-liu memalingkan wajahnya menatap Liok An
sekilas. "Ilmu silatmu masih rendah sekali. Lebih baik kau berdiam di sini saja." Kemudian dia menjura kepada Hay-liong Lojin. "Susiok, aku berangkat."
"Baik. Kau pergilah!" Orang tua itu menarik napas panjang sekali lagi. Setelah itu dia melempar kantong kecil
peninggalan It-im Taysu dengan tenaga sekuatnya. Kantong
kecil itu melayang ke tengah lautan.
Ombak putih bergelombang, sebentar saja kantong kecil itu
terombang-ambing semakin jauh. Di bawah aliran air mata
para murid Go-bi-pay, Kuan Tiong-liu meneruskan langkahnya
untuk mencapai cita-cita membangun kembali Go-bi-pay.
***** Kesunyian malam semakin merayap. Dari luar tampaknya Bu-
tong-san begitu tenang. Kenyataannya sejak Wan Fei-yang
meninggalkan tempat itu, di Bu-tong-san tidak pernah terjadi
kericuhan lagi. Penjagaan pada malam hari juga tidak begitu
diperketat lagi.
Namun malam itu Fu Giok-su masih berhati-hati ketika
meninggalkan kamarnya menuju bagian belakang gunung di
mana terdapat hutan yang lebat. Angin bertiup melambaikan
dedaunan. Dengan membelakangi rembulan, manusia tanpa
wajah berdiri tegak di antara pepohonan yang lebat. Dia
melihat Fu Giok-su menghampiri ke arahnya.
"Kongcu ...."
766 "Lagi-lagi kau datang ke Bu-tong-san. Sebetulnya ada
keperluan apa?" tanya Fu Giok-su dengan nada datar.
"Cujin tidak sabar lagi untuk membalas dendam. Orang tua itu meminta kau segera bertindak," sahut manusia tanpa wajah
sambil menyodorkan sepucuk surat kepada Fu Giok-su.
Fu Giok-su mengeluarkan surat tersebut. Dia berdiri
membelakangi rembulan agar mendapat cahaya dan bisa
membaca surat itu. Setelah membaca dengan saksama, dia
mengeluarkan batu api lalu menyalakannya. Surat itu dibakar
hingga menjadi abu. Dia memang seorang yang teliti.
Kemudian dia merenung sejenak.
"Kau pulang ke Siau-yau-kok dan laporkan kepada Yaya.
Dalam jangka waktu sepuluh hari aku akan melakukan
semuanya sesuai rencana. Pokoknya aku akan memancing
Yan Cong-tian ke Ci-liong-ceng."
"Kongcu sudah menemukan akal yang baik?"
Fu Giok-su menganggukkan kepalanya. Sambil berjalan dia
menjelaskan apa yang sudah direncanakannya. Manusia
tanpa wajah mendengarkan dengan saksama. Kepalanya
manggut-manggut terus. Fu Giok-su adalah pemuda yang
sangat cerdas. Siasat yang terpikir olehnya pasti rapi sekali.
Kali ini Yan Cong-tian tentu akan terjebak dalam perangkap
yang berbahaya.
***** Fu Giok-su mengantarkan kepergian manusia tanpa wajah.
767 Dia kembali ke kamarnya. Belum lagi dia mendorong pintu
kamar itu, hatinya sudah merasa curiga. Tadinya pintu itu
dibiarkan sedikit terbuka, sekarang malah tertutup rapat. Dia
menempelkan tangannya pada pintu kamar. Setelah
mempertimbangkan sejenak, dia mendorong pintu itu dengan
hati-hati. Cahaya rembulan menyorot lewat jendela. Keadaan di dalam
kamar remang-remang. Tapi dia dapat melihat ada seseorang
duduk di atas tempat tidurnya. Meskipun tidak jelas sekali, tapi dia sudah dapat menerka siapa gerangan orang itu. Dia
merapatkan pintu kamarnya kembali.
Fu Giok-su bergegas mendekati tempat tidur.
"Wan-ji, mengapa kau datang pada waktu seperti ini"
Orang itu memang Lun Wan-ji. Tangan kanannya mendekapi
ulu hati, seperti ingin muntah, tapi dia bertahan sebisanya
jangan sampai muntah di tempat itu. Kemudian dia berdiri,
kepalanya menyusup ke dalam dada Fu Giok-su. Dia
menangis terisak-isak.
"Wan-ji, ada apa?" tanya Fu Giok-su lembut.
"Giok-su, aku ... aku ada beberapa patah kata yang ingin
kukatakan kepadamu."
"Tentang apa?" Fu Giok-su memandangnya dengan heran.
Tubuh Lun Wan-ji semakin merapat ke dalam pelukan
pemuda itu. Setelah beberapa saat baru dia membuka suara
.... "Beberapa hari belakangan ini, badanku terasa tidak enak.
768 Aku muntah setiap kali mengisi perut, kepala juga pusing
terus. Jangan-jangan ...."
Baru mendengar setengahnya saja, wajah Fu Giok-su sudah
berubah hebat. Dia termangu-mangu sekian lama.
"Coba katakan, apa yang harus kita lakukan" Kalau sampai
orang tahu aku mengandung anakmu, maka ...." suara Lun
Wan-ji menjadi serak dan tidak jelas.
Dalam waktu singkat hati Fu Giok-su tenang kembali. Dia
menepuk bahu Lun Wan-ji dengan lembut. "Jangan takut. Aku
akan mengatur segalanya."
Lun Wan-ji mendongakkan kepalanya. Air mata mengalir
deras. Fu Giok-su mengulurkan tangan mengusap pipi gadis
itu. "Tidak perlu khawatir," katanya sepatah demi sepatah.
Kemudian dia mengusap air mata Lun Wan-ji.
Air mata itu terasa dingin di tangan. Perasaan hati Fu Giok-su
pun menjadi sejuk.
***** Malam panjang berakhir jua. Pagi-pagi sekali Fu Giok-su
sudah mendatangi kamar batu di mana Yan Cong-tian berlatih
diri. Setelah berpikir semalam suntuk akhirnya dia mendapat
akal untuk memancing Yan Cong-tian terperangkap dalam
jebakannya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa para murid yang
berada di kaki gunung menyampaikan berita bahwa Wan Fei-
yang dan Thian-ti terlihat di desa Ci-liong. Dia sudah dapat
769 meraba sifat Yan Cong-tian. Kalau mendengar berita ini, dia
pasti akan segera menyusul ke desa Ci-liong untuk
mengadakan perhitungan dengan Wan Fei-yang.
Ternyata apa yang diduganya memang tidak meleset.
Mendengar kabar itu, Yan Cong-tian langsung bersemangat.
"Mengapa Wan Fei-yang bisa bersama-sama dengan makhluk
tua itu?" "Apakah Susiok sudah lupa. Sebelum meninggalkan Bu-tong-
san, makhluk tua itu pernah berkata bahwa Wan Fei-yang
adalah hasil didikannya."
"Betul! Tidak heran mereka bisa bersama-sama." Yan Cong-tian bertanya lagi. "Dari mana kau mendapatkan berita ini?"
"Bekas murid Bu-tong-pay yang membuka perusahaan
pengawalan dekat desa Ci-liong. Orang itu she Suma ...."
"Kim-to (Golok Emas) Suma?" Suatu ingatan terlintas di benak Yan Cong-tian. "Apakah Suma Hong?"
"Suma-susiok sudah meninggal. Penggantinya yang sekarang
adalah putranya yang bernama Suma Tian."
"Suma Hong juga sudah meninggal?" Yan Cong-tian menarik napas dalam-dalam. "Kami adalah sahabat karib. Satu
keluarga itu sangat menarik. Mereka semua menggunakan
tangan kiri dalam menggenggam golok. Ilmu golok tangan kiri
Bu-tong-pay juga hanya mereka yang bisa menguasai dengan
baik." Dalam hati Fu Giok-su agak terkejut. Dia tidak menyangka
770 Yan Cong-tian sedemikian paham. Namun dia tidak
menunjukkan perasaan apa-apa. "Susiok, apa yang harus kita lakukan?"
"Masih perlu tanya" Aku akan segera menyusul ke desa Ci-
liong. Aku akan menghancurkan tubuhnya hingga berkeping-
keping!" "Susiok, aku akan menemani kau orang tua ke sana!"
"Tidak perlu! Aku sendiri sudah cukup." Mata Yan Cong-tian mengerling sekilas. "Kau sekarang merupakan Ciangbunjin
Bu-tong-pay. Kau harus berdiam di sini mengurus hal yang
lainnya." "Justru karena Tecu sekarang sudah menjadi Ciangbunjin,
maka Tecu harus ikut pergi ke sana."
"Kalau kau ikut pergi, siapa yang mengurus Bu-tong-pay?"
Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya. "Lebih baik kau
tetap di sini saja."
"Susiok ...!"
"Apakah perkataanku saja sudah tidak kau dengar lagi?"
Wajah Yan Cong-tian berubah kelam.
"Tidak .... Tapi Suhu dibokong oleh murid murtad itu.
Sekarang sebagai murid, aku sudah menemukan jejak
pembunuh tersebut. Masa aku tidak memberi bantuan sedikit
pun" Hati rasanya tidak puas. Lagi pula apa yang harus Tecu
kemukakan di depan umum apabila mereka mengetahui
kejadian ini?" kata Fu Giok-su dengan wajah sendu. Dia
771 langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Yan Cong-tian.
"Harap Susiok kabulkan permintaan Tecu."
Yan Cong-tian merasa apa yang dikatakan Fu Giok-su
memang beralasan. Dia memandang wajah anak muda itu.
Penampilannya tulus sekali. Akhirnya dia menganggukkan
kepalanya. "Baik. Kalau kau memang sudah bertekad untuk
ikut." Fu Giok-su menunjukkan tampang gembira. Cepat-cepat dia
menyembah sebanyak tiga kali. Yan Cong-tian buru-buru
memapahnya bangun. Wajah Fu Giok-su menghadap ke
bawah. Yan-susiok itu tidak dapat melihat bibir pemuda itu
yang menyunggingkan senyuman licik.
***** Di atas gunung hujan turun dengan lebat. Angin membawa
rintikan hujan menerobos lewat jendela yang memercik
membasahi wajah Fu Giok-su. Dia sedang membereskan
perbekalan untuk kepergian. Tanpa terasa sebuah dompet
kecil yang memancarkan keharuman terjatuh dari dalam
tumpukan pakaian.
Dompet kecil itu pemberian Lun Wan-ji Dia sering
membawanya ke mana-mana. Kadang-kadang dia suka
mengeluarkan dompet itu dan menatapnya sampai lama.
Secercah kesunyian merayap dalam hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Fu Giok-su masih
memegangi dompet kecil tersebut. Pikirannya melayang-
layang. Dia tidak menyadari suara ketukan di pintu. Sekali lagi terdengar suara ketukan. Fu Giok-su tersentak dari
772
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lamunannya. Cepat-cepat dia memasukkan dompet kecil itu di
balik pakaiannya, berjalan menuju pintu dan membukanya.
Lun Wan-ji berdiri di depan pintu. Tampangnya kusut. Tidak
kelihatan semangat hidup sedikit pun. Wajahnya menyiratkan
kesedihan yang dalam. Fu Giok-su menariknya ke dalam.
"Apakah kau sudah mengatakannya kepada Susiok?"
Lun Wan-ji memandang Fu Giok-su dengan matanya yang
sayu. "Suhu mengatakan bahwa ilmu silatku masih rendah, kalau
pergi malah akan merepotkan. Jadi aku tidak boleh ikut."
Fu Giok-su membimbing Lun Wan-ji duduk di atas tempat
tidur. Lun Wan-ji menatapnya lekat-lekat. Hatinya perih
kembali. Tanpa sadar, air mata sudah menetes dengan deras.
Fu Giok-su menggenggam tangan Lun Wan-ji erat-erat. Dia
duduk di sampingnya. Lun Wan-ji mengibaskan tangannya,
sambil mengusap air mata dia berdiri. "Biar aku membantumu membereskan perbekalan ...."
Fu Giok-su menarik tangan gadis itu dan memeluknya dalam
dekapan. Lun Wan-ji tidak dapat menahan kesedihannya lagi.
Dia menangis tersedu-sedu. Fu Giok-su menggelengkan
kepalanya berkali-kali. "Wan-ji ... jangan bersedih. Aku masih mempunyai akal yang lain."
Lun Wan-ji masih terisak-isak. "Kita toh tidak mungkin
menceritakan masalah ini kepada Suhu." Semakin dipikirkan, hatinya semakin sedih. Air matanya mengalir semakin deras.
"Aku tidak akan meninggalkan kau telantar begitu saja," kata 773
Fu Giok-su sambil mengetatkan pelukannya.
Rintik air hujan terempas lagi ke dalam melalui jendela. Mata
Fu Giok-su mengembang. Hujankah atau air mata yang
membasahi pelupuk matanya itu"
***** Hujan turun lagi. Juga pada senja hari.
Senja pada hari ketujuh. Fu Giok-su dan Yan Cong-tian sudah
jauh dari Bu-tong-san. Senja hari ini, mereka masuk ke dalam
sebuah penginapan kecil di daerah Pek-ka-cik.
Yan Cong-tian duduk bersandar di atas tempat tidur. Dia
menarik napas berulang-ulang. Hari ini mereka baru
mendengar tentang diserbunya Go-bi-pay oleh Tok-ku Bu-ti. It-
im Taysu dan dua ratus tujuh puluh satu murid Go-bi-pay mati
dalam satu hari. Mereka mati penasaran. Apalagi Yan Cong-
tian pun ada jodoh bertemu muka beberapa kali dengan It-im
Taysu. Hatinya terpukul juga menerima berita tersebut.
Fu Giok-su menuangkan secangkir teh. Yan Cong-tian
menerimanya, kemudian menarik napas lagi. "Tidak disangka
sebuah partai besar seperti Go-bi-pay, bisa mengalami
kemerosotan yang demikian mengenaskan."
Pendekar Pedang Kail Emas 1 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Persekutuan Pedang Sakti 7