Pencarian

Kisah Si Pedang Kilat 2

Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


ditarik ibunya pergi dari situ. Akan tetapi ia masih menoleh satu kali dan memandang kepada Bun Houw yang cepat berkata sambil tersenyum.
"Terima kasih bahwa engkan sudi bersembahyang di depan makam ini!"
Cia Kun Ti yang muncul di belakang isterinya, kini berdiri berhadapan dengan Bun Houw. Melihat ayah Ling Ay. Bun Houw segera memberi hormat.
"Paman Cia. selamat berjumpa."
"Aih, Bun Houw, kiranya engkau " Engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa. Kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini ?" seru Cia Kun Ti dengan kegembiraan yang wajar dan tidak dibuat-buat.
Melihat ini, senang rasa hati Bun Houw. Sikap ayah kandung Ling Ay ini sungguh berbeda jauh dengan sikap ibunya.
"Ah, hanya merantau saja kesana sini meluaskan pengetahuan, paman. Kebetulan hari Ceng Beng ini saya kembali ke Nan-ping, untuk bersembahyang di sini."
Sejenak Cia Kun Ti melihat pemuda itu mengatur peralatan sembahyang di depan kedua makam itu.
Pemuda itu hanya membawa beberapa macam buah dan kembang sebagai korban.
"Dan selanjutnya, apakah engkau akan kembali tinggal di Nan-ping" Kalau engkau hendak mulai lagi berdagang seperti mendiang ayahmu, aku suka menbantumu. Bun Houw. Aku dapat menanggung
sehingga engkau akan memperoleh dagangan dengan pembayaran cicilan, aku suka membantumu
karena aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu."
Bun Houw tersenyum dan memandang dengan hati terharu. dia memberi hormat lagi. "Terima kasih banyak atas kebaikanmu, paman Cia. Di Nan-ping saya sudah tidak mempunyai apa-Apalagi, bagaimana dapat berdagang " Pula, saya tidak suka berdagang, saya lebih suka merantau."
Cia Kun Ti menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, kegagalannya berbesan dengan sahabat
baiknya, mendiang Kwa Tin, sampai sekarang kadang-kadang membuat dia merasa menyesal bukan
main dia mengenal benar sababat baiknya itu. dan tahu bahwa Kwa Tin seorang yang gagah perkasa dan berhati mulia, dan diapun suka sekali kepada Bun Houw ini. Hanya karena pengaruh isterinya, terpaksa dia membiarkan anaknya tidak menjadi isteri Bun Houw, dan menjadi isteri putera kepala daerah. dia mencoba-coba untuk menghibur hatinya, dan mengatakan kepada diri sendiri betapa bahagia hidupnya karena kini dia menjadi ayah mertua seorang mantu bangsawan yang membuat dia seorang terhormat.
Namun, usahanya ini selalu gagal. Dia melihat kenyataan betapa kehormatan yang diperolehnya sebagai besan kepala daerah adalah kehormatan semu, atau kehormatan yang diperlihatkan orang-orang secara palsu dan pura-pura belaka. Bahkan dia merasa yakin babwa banyak penduduk Nan-ping yang diam-diam mentertawakan dia dan isterinya, Apalagi kalau isterinya berlagak seperti nyonya bangsawan! Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah sikap keluarga besannya. Bukan hanya kedua orang
besannya, juga mantunya sendiri seringkali bahkan memandang rendah kepada mereka. Sebagai
contohnya, kalau mantunya membutuhkan sesuatu untuk dibicarakan, mantunya itu bukan datang ke
rumah mertuanya, melainkan mengutus seorang petugas untuk memanggil mertuanya. Cia Kun Ti
merasa seolah olah menjadi semacam bawahan saja dari mantunya.
"Hei , mau apa engkau di situ terus" Kita mau pulang sekarang! Terdengar teguran dan ternyata Nyonya Cia Kun Ti yang menegur suaminya itu dari tempat agak jauh. Baru teriakannya itu saja sudah sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang nyonya bangsawan yang halus budi pekertinya Cia Kun Ti
menarik napas panjang, kembali merasa betapa dia kini sebagai seorang pelayan saja. Dia dan isterinya.
Pelayan dari mantunya, putera bangsawan! Dia dan Isterinya, bahkan puteri mereka, seolah hanya
menjadi pelengkap hidup Cun Hok Seng putera kepala daerah.
"'Bun Houw, aku pergi dulu. Kuharap engkau suka singgah di rumahku. Jangan sungkan, Ling Ay kini telah tinggal di rumah suaminya. Aku kadang merasa kesepian. Engkau singgahlah, Bun Houw. Biarpun engkau tidak menjadi mantuku, engkau tetap putera seorang sahabatku terbaik."
Bun Houw merasa terharu dan cepat memberi hormat. "Entahlah, paman, akan tetapi sikap dan ucapan paman ini akan selalu teringat olehku dan kuanggap paman seorang sahabat ayahku yang amat baik.
Terima kasih, paman." Cia Kun Ti lalu pergi meninggalkan Bun Houw, bergabung dengan isteri dan
anaknya dan kembali dia merasa sebagai pelengkap ketika mengikuti rombongan itu melangkah keluar dari tanah kuburan. Dia merasa muak kalau menoleh dan memandang kepada isierinya yang melangkah
perlahan seperti seorang permaisuri saja, mengangguk ke kanan kiri kepada orang orang yang memberi hormat kepada rombongan mereka. Dia tahu bahwa bukan isterinya yang menerima penghormatan itu,
melainkan putera kepala daerah yang menjadi mantunya. Akan tetapi yang repot menyambut
penghormatan itu malah isterinya, mengangguk ke kanan kiri sambil mengatur senyum "bangsawan"!
Satelah Cia Kun Ti pergi, Bun Houw lalu melanjutkan niatnya untuk bersembahyang kepada mendiang
ayah dan ibu kandungnya. Selain bersembahyang sebagai tanda penghormatan terhadap ayah ibunya
melalui kenangan, juga diam-diam dia memintakan ampun kepada ayah Ibunya atas perbatalan ikatan
perjodohannya dengan Ling Ay. Dia minta agar ayah dan ibunya suka mengampuni Ling Ay, dan orang
tuanya, terutama ayahnya, dan dalam sembahyang itu dia menjalakan bahwa dia telah rela melihat Ling Ay digandeng pria lain sebagai isttri pria itu.
Setelah tanah kuburan itu menjadi sunyi karena para pengunjungnya sudah pulang semua. Bun Houw
tinggal seorang diri. Dia masih duduk di atas tanah berumput tebal di depan makam ayah ibunya,
termenung. Pertemuannya dengan Ling Ay menggugah kenangan lama. Pada hal ketika dia berkunjung
ke Nan-ping, satu satunya niat di hatinya hanyalah bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Sedikit pun dia tidak berniat untuk bertemu dengan Ling Ay dan keluarganya. Dia menganggap bahwa bubungannya dengan keluarga Cia sudah putus dan sudah tidak ada sangkut paut apapun juga antara dia dan wanita itu.
Bun Houw menarik napas panjang, lalu bangkit dan mulai membersihkan tumput dan semak-semak
yang mengotori makam kedua orang tuanya. Dia tidak perlu mengenangkan Ling Ay lagi. Ia sudah
menjadi iateri orang, Isteri putera kepala daerah pula! Dia tersenyum. Ling Ay menjadi mantu kepala daerah! Sungguh tidak pernah disangkanya. Sukurlah, katanya dalam hati. Sukur bahwa kini Ling Ay menjadi isteri seorang bangsawan yang kaya, dan suaminya itupun seorang laki-laki muda yang tampan.
Tentu Ling Ay hidup berbahagia. Diapun sudah rela, dia ikut berbahagia kalau melihat bekas
tunangannya itu hidup berbahagia. Akan tetapi, benarkah ini"
Benarlah dia rela" Bun Houw tiba-tiba menghentikan pekerjaannya dan kembali duduk termenung.
Kenapa bayangan wajah Ling Ay yang semakin cantik jelita itu selalu nampak olehnya" Kenapa bukan perasaan senang yang terasa di hatinya, walaupun hatinya memaksa agar dia mengaku senang,
melainkan rasa perih kalau dia membayangkan Ling Ay digandeng pria lain " Kenapa ada perasaan iri dan cemburu"
"Kau gilai" Dia memaki diri sendiri dan seperti orang marah dia mengamuk terhadap rumput dan semak-semak, dicabutinya dengan kasar seolah-olah rumput dan semak itu yang membuat dia sengsara.
Karena dia mempengunakan kekuatan tubuhnya, maka dia dapat bekerja dengan cepat dan dalam
waktu sebentar saja, semua rumput dan semak yang mengotori makam itu telah dibersihkannya,
sehingga dua gundukan tanah itu kini kelihatan seperti baru saja. Hanya batu nisan sederhana yang masih nampak kotor, dengan ukiran kasar dari nama kedua ayah Ibunya. Bun Houw lalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan batu-batu nisan itu menjadi bersih mengkilap.
Pada saat itu, tiba-tiba dia menghentikan pekerjaannya, lalu mengambil buntalan pakaiannya dan
mengikatnya di punggung, dan mengambil pula tongkatnya, menyelipkan tongkat butut itu di ikat
pinggangnya. Dia melihat dan mendergar datangnya tiga orang menghampiri tempat itu, akan tetapi
mengira bahwa mereka tentu juga pengunjung taman kuburan itu untuk bersembahyang.
Akan tetapi, langkah tiga orang itu berhenti di dekatnya dan terdengar seorang di antara
mereka bertanya, "Hemm, inikah orangnya ?"
Dijawab suara lain, "Benar, inilah anjing tak tahu diri itu!"
Suara orang ke tiga menyusul. "Bocah gelandangan ini berani menghina nyonya muda kita" Dia patut dihajar sampai mampus!"
Karena kini merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali dia dan tiga orang pendatang itu, maka Bun Houw baru tahu bahwa dialah orangnya yang mereka bicarakan dan mereka maki sebagai anjing dan bocah gelandangan. diapun membalikkan tubuhnya memandang kepada mereka dengan alis
berkerut. Mereka itu tiga orang laki-laki yang melihat pakaiannya saja jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, atau yang biasa dipakai oleh para tukang pukul. Pakaian ringkas dan di pinggang mereka terselip golok. Mereka itu berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sikap mereka bengis dan ketiganya menyeringai dengan senyum mengejek dan memandang rendah
kepada Bun Houw. Tubuh mereka yang kokoh itu menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga badan
yang kuat dan terlatih dan senyum mereka mengandung kesadisan, membayangkan bahwa mereka
adalah orang-orang yang dapat merasakan kesenangan dari penyiksaan terhadap orang lain.
Bun Houw mendahului mereka bertanya, suaranya halus dan sikapnya tenang, "Sam-wi (kalian bertiga) bicara tentang seseorang, siapakah yang sam-wi bicarakan itu?"
Orang yang dahinya codet bekas luka memanjang dan yang agaknya memimpin mereka, menjawab,
"Anjing geladak, siApalagi kalau bukan kamu yang kami bicarakan!"
Bun Houw mesih menahan kesabarannya. Tidak perlu bersitegang urat leher dengan orang-orang
macam ini, pikirnya. "Aku tak pernah mengenal kalian bertiga, kenapa kalian datang-datang memaki dan menghina aku " Apakah kekalahanku terhadap kalian?"
Orang ke dua yang mukanya hitam tertawa bergelak dan memandang kepada kedua temannya, "Ha ha ha, lihat, anjing ini masih berani menggonggong! Sungguh tak tahu diri!"
Kini orang ke tiga yang kumisnya berjuntai ke bawah dan jarang seperti kumis tikus, melangkah maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri, sedangkan telunjuk kanannya ditudingkan ke arah hidung Bun Houw.
"Keparat, engkau sungguh tak tahu diri. Perbuatanmu sudah cukup bagi kami untuk menyiksamu dan bahkan membunuhmu. Akan tetapi agar jangan engkau mampus penasaran, buka telingamu baik baik.
Engkau telah lancang sekali dan berani menghina nyonya muda kami. Engkau berani mengajaknya bicara di depan umum! Perbuatan tak pantas Liu Sungguh merupakan dosa besar!"
Bun Houw mengerutkan alisnya. Hatinya merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa yang dimaksudkan
tentulah Ling Ay! Tentu Ling Ay nyonya muda itu, akan tetapi walaupun dia tadi sudah mengkhawatirkan bahwa percakapan antara mereka berdua saja di tempat umum akan dapat merugikan kehormatan Ling
Ay, dia tidak mengira bahwa akan begini berat akibatnya terhadap dirinya. Karena merasa penasaran, dia pura-pura tidak mengerti.
"Nanti dulu, sobat. Harap jangan menuduh membuta tuli! Nyonya muda siapakah yang kau maksudkan"
Dan penghinaan bagaimana yang kulakukan kepadanya" Aku sungguh tidak mengerti."
Kini si condet melangkah maju. "Engkau masih bertanya lagi" Jahanam busuk memang! Nyonya muda kami adalah isteri putera kepala daerah kami, dan engkau ini, engkau jembel gelandangan busuk, tadi di tempat ini berani menegur dan mengajak beliau bercakap cakap, itu merupakan penghinaan besar bagi keluarga kepala daerah kami! Karena itu, engkau akan kami hajar!"
"Ah, itukah yang kalian maksudkan" Dan siapa yang mengutus kalian untuk menghajar aku" Apakah kepala daerah" Atau puteranya" Atau nyonya muda itu sendiri?"
"Kami adalah pengawal mereka yang tadi mengawal dan mengawasi tempat ini untuk menjaga
keamanan mereka. Kami melihat sendiri dan tidak usah majikan kami memerintah, kami berkewajiban
untuk turun tangan sendiri. Nih, bersiaplah engkau untuk mampus, atau kau akan kami ampuni asalkan kau mampu menebus nyawamu."
Bun Houw memandang dengan sikap masih tenang, akan tetapi senyumnya dibarengi kerut di antara
alisaya makin mendalam, Dia cukup maklum apa yang mereka maksudkan, Juga dia tahu bahwa tiga
orang ini sungguh merupakan tiga orang yang biasa mempengunakan kekerasan untuk melakukan
penekanan dan pemerasan. Entah sudah berapa banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban
kekerasan dan pemerasan mereka.
"Hemm, menebus nyawa bagaimana maksud kalian?" Dia bertanya, suaranya kini tidak sehalus tadi, diam-diam memperhitungkan apa yang akan dilakukannya terhadap tiga orang jahat ini, Mereka ini
sudah sepatutnya dihajar, pikirnya, agar mereka jera dan tidak berani lagi mengganggu orang lain.
Si codet menyeringai lebar dan mendekati Bun Houw. "Engkau bukan kanak-kanak lagi, masih bertanya"
Kau keluarkan semua milikmu. ingin kami melihatnya apakah sudah cukup untuk menebus nyawamu.
Makin besar tebusannya, makin ringanlah hukumanmu. Kalau kamu sanggup cukup, kau kami bebaskan
dan boleh cepat-cepat melarikan diri keluar kota. Kalau hanya kami anggap setengah harga, kau akan kami siksa sampai setengah mati, akan tetapi tidak sampai mati. Lihat saja berapa engkau mampu
bayar." Bun Houw mengeluarkan kantung kecil dari buntatannya dan membuka kantung itu, memperlihatkan
emas yang dia dapat dari gurunya, "Apakah sebegini sudah cukup!"
Melihat emas berkilatan dalam buntalan kantung kecil itu, mata tiga orang itu terbelalak lebar seperti seekor srigala melihat darah. Seperti di komando saja, tiga buah tangan menyambar untuk merampas kantung di tangan Bun Houw itu. Akan tetapi mereka bertiga terkejut karena tiba-tiba saja kantung itu lenyap dan ternyata pemuda itu telah mengelak dan menyimpan kembali kantung kecil itu dalam
buntalan pakaiannya ...
"Hei, serahkan kantung itu kepada kami!" bentak si codet.
Bun Houw tersenyum. "Bagaimana" Sudah cukupkah itu untuk menebus nyawaku ?"
"Cukup, cukup ... kauberikan seluruh buntalan di punggungmu itu, dan kau boleh pergi dari sini, cepat keluar kota dan tidak akan kami sakiti lagi."
"Kalau tidak kuberikan?" tantang Bun Houw sambil memegang tongkatnya
Tiga orang itu melongo, akan tetapi akhirnya mereka saling pandang dan tertawa bergelak. "Tidak kau berikan" Akan kuhajar engkau sampai mampus, dan semua milikmu itu tetap menjadi milik kami."
"Kalau begitu, kalian yang mengaku petugas kepala daerah ini, tiada lain hanyalah pemeras pemeras dan perampok-perampok busuk!"
Tentu saja tiga orang jagoan itu menjadi terkejut karena tidak pernah mereka sangka bahwa pemuda sederhana itu berani marah-marah dan memaki mereka!
"Jahanam busuk, engkau memang pantas dihajar sampai mampus!" bentak si kumis tikus dan dia sudah menyerang dengan tonjokan kepalan kanan ke arah muka Bun Houw. Akan tetapi, dengan sedikit
menarik kepala ke belakang, tonjokan itu hanya lewat saja, mengenai angin kosong. Akan tetapi dua orang yang lain juga sudah menyerang, si codet mencengkeram ke arah leher, sedangkan si muka hitam menampar ke arah kepala Bun Houw dengan kuat sekali. Bahkan si kumis tikus yang tonjokannya luput juga sudah menyambung dengan tonjokan kepalan kiri ke arah perut.
"Hemm!" Bun Houw hanya mendengus dan begitu kedua tangannya bergerak dikembangkan, tiga orang itu terpelanting dan terjengkang, bahkan terbanting keras!
Mereka bertiga menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu berani melawan, bahkan tadi mereka merasakan dorongan kedua tangan yang dikembangkan itu
mengandung tenaga yang amat kuat sehingga mereka terjengkang. Mereka berloncatan bangun berdiri
lagi dan tanpa dikomando lagi, mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing.
"Anjing busuk kucincang kau ...!" bentak si codet yang kemarahannya meluap-luap karena ketika terbanting ke belakang tadi, kepalanya bertemu dengan batu sehingga mengucurkan darah.
"Siuuuut ...!" Goloknya menyambar ganas dari depan, mengarah kepala Bun Houw yang agaknya akan dibelah menjadi dua. Namun, tubuh Bun Houw mendorong ke kiri dan sambaran golok itu luput. Bun
Houw menarik kaki kanannya sambil memutar tubuh dan pada saat itu, kembali ada golok menyambar
dari sebelah depan dan belakang. Dia mengelak lagi dan menyelinap di antara sinar kedua batang golok yang menyambar itu. Tiga orang lawannya menjadi semakin panas hati mereka dan semakin marah.
Sambil menyumpah-nyumpah, mereka menggerakkan golok mereka, menyerang seperti berlomba saja
untuk lebih dulu membacok roboh pemuda bandel itu. Akan tetapi, sampai tiga empat kali serangan, Bun Houw selalu mengelak. Dia hendak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk membuka
mata dan melihat bahwa sebenarnya mereka itu bukanlah lawannya yang seimbang. Namun, orang
orang yang biasa mengandalkan kekerasan untuk menindas orang lain itu mana mau menyadari
kelemahan sendiri. Makin banyak gagal, makin penasaran rasa hati mereka dan serangan mereka
menjadi semakin gencar.
"Kalian memang manusia tak tahu diri!" tiba-tiba di antara sambaran tiga batang golok itu, Bun Houw mengeluarkan suara bentakan dan begitu dia menggerakkan tongkat bututnya menangkis, disambung
dengan tamparan-tamparan tangan kanan karena tongkat itu dipegangnya dengan tangan kiri, maka
tiga batang golok itu terpental dan disusul oleh tubuh mereka bertiga yang juga terpelanting roboh.
Akan tetapi dasar orang orang tak tahu diri yang bagaikan katak dalam tempurung mereka selalu merasa diri sendiri yang paling kuat dan hebat, tiga orang itu belum menyadari dan mengakui kekalahan
mereka. Biarpun sekali ini mereka terbanting keras sehingga kepala terasa pening, namun mereka
bangkit lagi, mengambil golok masing-masing dan menyerang semakin nekat bagaikan tiga ekor srigala yang pantang menyerah.
Bun Houw mengerutkan alisnya. Melihat datangnya tiga golok yang menyambar ganas, dengan tujuan
membunuh, dia lalu menggerakkan tongkatnya dengan tangan kiri, mengerahkan tenaganya dan
tongkat itu bukan menyambut golok, melainkan menyambar pergelangan lengan yang memegang golok.
Terdengar teriakan susul menyusul, dan tiga golok beterbangan, disusul tiga orang yang kini
memhungkuk-bungkuk, tangan kiri memegangi lengan kanan karena lengan itu tadi bertemu tongkat
dengan kerasnya, terdengar suara berkeretek dan tulang tiga buah lengan kanan itu telah patah!"
Melihat mereka kini tidak mampu melawan lagi, Bun Houw tidak tagi memperdulikan mereka. dia lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang, lalu bersoa ke arah kedua makam orang tuanya dan
meninggalkan taman kuburan itu tanpa menengok satu kalipun kepada tiga orang itu. Mereka itu masih mengaduh-aduh sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri, hampir menangis saking nyerinya
dan baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Namun, tetap saja mereka tidak menyadari bahwa pemuda itu masih mengampuni mereka dan tidak
membunuh bahkan tidak melukai secara berat, hanya menangkis dan membuat lengan kanan mereka
patah tulang saja. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi, baru mereka meninggalkan tempat itu,
mengambil golok mereka dan kini mereka kehilangan segala kegirangan mereka, menekuk lengan kanan dan menahan lengan itu dengan tangan kiri, kemudian merekapun kembali ke kota untuk melapor
kepada atasan mereka, gelisah karena mereka tentu akan mendapat kemarahan dari atasan mereka.
*** "Sungguh engkau seorang perempuan yang tidak tahu malu!" Mungkin sudah lima kali Cun Hok Seng meneriakkan kata-kata itu kepada Cia Ling Ay, isterinya yang hanya duduk di atas kursi dengan muka menunduk, muka yang kemerahan namun pandang mata yang ditundukkan itu penuh dengan perasaan
marah dan penasaran. Suaminya telah menuduhnya secara keji! Begitu tiba di rumah, sepulang mereka dari taman kuburan, suaminya memanggilnya, juga memanggil ibunya dan mereka berdua kini berada di dalam kamar itu, menjadi bulan bulanan kemarahan putera kepala daerah itu.
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak melakukan sesuatu yang hina!" Akhirnya ia membantah sambil membalikkan tubuh, menghadapi suaminya dan memandang dengan sinar mata penasaran. Suaminya
tadinya mondar mandir di dalam kamar itu, memarahi isterinya dan ibu mertuanya bengantian.
Cun Hok Seng menahan langkahnya dan berdiri di depan isterinya. mukanya merah sekali, matanya
bersinar penuh kemarahan. "Apa kau bilang" Engkau mengadakan pertemuan dan bercakap cakap
berdua saja dengan seorang laki-laki asing, dan kau masih berani bilang tidak melakukan sesuatu yang hina" Perbuatan itu sudah cukup hina, merendahkan martabatku, menodai kehormatanku. Apakah
engkau maksudkan bahwa baru disebut hina kalau engkau sudah tidur bersama dia di satu ranjang ?"
"Kau tidak berhak menuduh sekeji itu!" Kini Ling Ay bangkit berdiri dan memandang suaminya dengan kemarahan meluap. "Sudah kuceritakan bahwa dia itu bukan orang asing, namanya Kwa Bun Houw dan dahulu orang tuanya adalah sahabat baik orang tuaku."
"Bagus! Kalau begitu memang engkau sudah kenal baik dengan dia, maka berjanji mengadakan
pertemuan di taman kuburan, ya ?"
"Itu tidak benar! Ketika selesai bersembahyang di makam keluarga Cun dan keluarga Cia, dan melihat engkau bercakap-cakap dengan para temanmu, aku keisengan dan ingin bersembahyang di depan
kuburan mendiang paman Kwa Tin dan isterinya. Dan selagi bersembahyang itulah dia muncul! Kami
tidak pernah saling jumpa sejak enam tahun yang lalu, maka kemunculannya itu suatu hal yang
kebetulan saja dan karena berjumpa setelah berpisah bertahun-tahun, anehkah kalau kami bercakap-
cakap sedikit dan hanya sebentar?"
"Bohong! Aku tidak percaya! Kalian tentu mempunyai hubungan kotor! Ibu, bayo kau akui saja, bukankah antara Ling Ay dan pemuda itu ada hubungan yang amat akrab?"
Sejak tadi, nyonya Cia Kun Ti hanya mendengarkan saja dengan hati kecut dan muka pucat. Ia merasa menyesal sekali mengapa puterinya masih mau bercakap-cakap dengan Bun Houw sehingga hal itu
dilihat para pengawal mantunya dan dilaporkan. Kini mantunya marah-marah, ia pikir bahwa urusan
dahulu dengan Bun Houw tidak perlu disembunyikan, karena kalau kelak mantunya mengetahui dari
orang lain, hal itu bahkan akan membuat putera kepala daerah itu semakin marah, mengira bahwa ia memang sengaja menyembunyikan kenyataan itu.
"Sesungguhnya begini, mantuku yang baik. Benar seperti yang diceritakan Ling Ay, pemuda itu bukan orang asing. Bahkan dahulu, ketika masih sama-sama kecil, oleh ayah kedua pihak diadakan perjanjian ikatan perjodohan antara Ling Ay dan Bun Houw ..."
"Ahhh, begitukah?" Cun Hok Seng berseru sambil tersenyum mengejek.
Ling Ay mengerutkan alisnya, diam-diam ia mencela ibunya yang menceritakan hal-hal lampau yang
sebenarnya tidak perlu disebut-sebut.
"Akan tetapi, sejak kematian keluarga Kwa suami isteri, sejak Bun Houw menjadi yatim piatu, ikatan perjodohan itu dibikin putus. Hal itu sudah terjadi enam tahun yang lalu."
"Hemm, bagus sekali! Tentu pertemuan di taman kubuian itu untuk melepas rindu antara dua orang yang dulu saling bertunangan! Memalukan!"
"Sama sekali tidak! Semua itu fitnah, hanya dugaan, tidak benar!" Ling Ay membantah marah.
"Ibu, bawa ia ke kamar dan tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Orang itu, siapa namanya tadi"
Kwa Bun Houw" Ya. dia harus dibunuh."
"Ihhh ...!" Mendengar ini, Ling Ay mengeluarkan jeritan kaget.
"Benar, memang dia harus dibunuh, anak kurang ajar dan tidak tahu sopan itu!" Nyonya Cia Kun Ti berkata karena memang ia menyesal sekali bahwa Bun Houw berani menemui Ling Ay di taman kuburan
sehingga kini akibatnya, ia dan puterinya mendapat kemarahan besar dari mantunya.
Mendengar jerit Ling Ay dan melihat betapa wajah isterinya itu menjadi pucat mendengar dia akan
membunuh Bun Houw, hati Cun Hok Seng menjadi semakin panas.
"Kalian saling mencintai. Keparat. Panggil Ibu, bawa ia pergi ke kamarnya!"
Nyonya Cia Kun Ti cepat menggandeng tangan puterinya dan menariknya pergi meninggalkan kamar
Cun Hok Seng yang sedang marah-marah itu. Setelah tiba di dalam kamar. ia menutupkan daun pintu
dan memarahi anaknya yang segera melempar tubuh ke atas pembaringan sambil menangis.
"Kau memang anak yang bodoh! Tadipun aku sudah marah dan merasa khawatir melihat engkau bicara dengan jahanam itu di taman kuburan!" Nyonya itu mengomel panjang pendek.
Ling Ay tidak memperdulikan, hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan bantal. Ia masih
merasa ngeri mendengar ancaman suaminya hendak membunuh Bun Houw. Teringat akan itu, ia
membuka bantalnya dan berkata kepada ibunya yang masih mengomel itu.
"Ibu, kenapa dia hendak membunuh Houw-ko" Dia sama sekali tidak bersalah! Dia sama sekali tidak berdosa!"
"Huh, engkau malah memikirkan keselamatan jahanam itu" Pikirkan keselamatan kita sendiri! Dia memang harus dibunuh, biar kita cepat menjadi bersih dan tidak lagi mendapat marah."
"Tapi, dia sama sekali tidak bersalah, ibu. Dia datang untuk menyembahyangi makam ayah ibunya. Dia tidak tahu bahwa aku berada di sana. Kami saling jumpa hanya karena kebetulan saja, tidak kami
sengaja. Dan karena sudah berjumpa di depan makam orang tuanya, kami hanya saling sapa dan saling tegur. Bukankah itu wajar dan jamak" Dia sopan, bahkan memberi selamat kepadaku atas pernikahan ku dengan pria lain. Dan sekarang, dia akan dibunuh ...! Aih, ibu, apa yang harus kulakukan ... "
Pembunuhan itu harus dicegah! Houw-ko tidak bersalah apa-apa ...!"
Akan tetapi, lbjnya marah-marah. "Kau anak tolol! Biar seribu orang Bun Houw dibunuh, asal kita selamat, tidak mengapa. Kenapa engkau ribut-ribut" Sudahlah, kalau suamimu mendengar omonganmu
ini, dia akan menjadi semakin marah!"
Ling Ay hanya dapit menangis semakin sedih dengan hati gelisah memikirkan Bun Houw yang akan
dibunuh tanpa kesalahan apapun.
*** "Kalian ini gentong gentong nasi yang tiada guna! Menghajar seorang pemuda gelandangan saja tidak mampu! Huh, malah patah tulang lengan. Sungguh memalukan sekali dan kami ikut merasa malu!"
bentak kakek berusia enam-puluhan tahun itu.
Dia seorang kakek yang biarpun usianya sudah enampuluh tahun, namun wajahnya masih nampak segar
dan tubuhnya juga masih nampak kokoh kekar walaupun tidak terlalu tinggi besar melainkan sedang
sedang saja. Sepasang matanya mencorong tajam dan rambutnya yang sudah bercampur banyak uban
itu disisir rapi dan di kat dengan pita sutera biru. Akan tetapi pakaiannya serba putih, dari sutera mahal dan di pinggangnya tengantung sebatang pedang. Dia ini bukan orang sembarangan dan di dunia kangouw namanya sudah amat terkenal sebagal Pek-i Mo-ko (Iblis Baju Putih). Akan tetapi, di kota Nan-ping dia lebih dikenal sebagai Ciong Tai-hiap (Pendekar Besar Ciong)! Sungguh seorang yang memiliki pribadi aneh. Di dunia kang-ouw dikenal sebagai Iblis, akan tetapi masyarakat menyebutnya pendekar! Sebutan pendekar ini setelah dia menjadi pembantu utama dari kepala daerah Nan-ping, dan biarpun tidak resmi menjadi komandan pasukan pengawal, namun sesungguhnya Ciong Kui Le inilah yang menjadi kepala
pengawal dan kepala semua tukang pukul dan jagoan yang menghambakan diri kepada kepala daerah!
Karena dia dikenal sebagai kepala penjaga keamanan seburuh keluarga kepala daerah Cun, tidak aneh kalau dia disebut Tai-hiap (Pendekar Besar), Apalagi karena memang semua orang tahu betapa lihai Ilmu silat dan ilmu pedang orang she Ciong ini.
Dia duduk dalam sebuah ruangan dari bangunan yang berada di sebelah gedung tempat tinggal kepala daerah Cun. Bangunan ini cukup besar dan memiliki banyak kamar. Di tempat inilah berkumpul semua jagoan yang bekerja untuk kepala daerah. Merekalah yang bertugas mengamankan kota Nan-ping dari
rongrongan orang jahat. Karena mereka adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw, bahkan Pek-I Mo-ko amat ditakuti dan menjadi datuk sesat, maka setelah dia dan anak buahnya yang menjamin keamanan kota
Nan-ping, maka tidak ada penjahat berani berkutik. Kota Nan-ping menjadi aman dari kejahatan karena dilindungi oleh penjahat-penjahat besar! Akan tetapi, kalau pemerasan dari penjahat tidak pernah terjadi, maka pemerasan satu-satunya datang dari kepala daerah melalui peraturan-peraturan yang
mencekik leher rakyat dan penduduk Nan-ping pada umumnya! Sudah bukan rahasia lagi betapa para
hartawan mengalirkan sebagaian besar kekayaan dan penghasilannya ke dalam rumah gedung kepala
daerah Cun! Semua ini mereka lakukan demi keamanan diri dan usaha dagang mereka. Kalau tidak,
maka banyak sudah terjadi pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan secara sembunyi, tentu saja
oleh para jagoan yang dipimpin oleh Ciong Tai-hiap! Dan kalau ada penjahat dari luar daerah yang belum tahu berani mengacau, tampil ah sang pendekar berpakaian putih ini untuk menghajarnya,
bahkan ada pula yang dibunuhnya dan digantungnya di depan umum sehingga pada umumnya,
penduduk mengagumi kakek baju putih yang di tempat umum tidak pernah melakukan kekerasan itu!
Kekerasan yang dilakukan di depan umum hanya terhadap para penjahat dan sikapnya terhadap rakyat melindungi! Hanya mereka yang pernah menentang kehendak kepala daerah saja yang tahu betapa
sadisnya "pendekar" ini menyiksa orang untuk mematahkan semangat perlawanan mereka terhadap kepala daerah Cun.
Ciong Tai-hiap ini pula yang menyuruh tiga orang anak buahnya untuk menghajar Bun Houw, setelah dia mendapat perintah dari Cun Hok Seng yang mendengar laporan dari seorang pengawalnya bahwa
isterinya tadi bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing.
"Hajar pemuda itu sampai cacat dan usir dia pergi dari Nan-ping," demikian perintah Cun Hok Seng pada Ciong Tai-hiap yang melanjutkan perintah itu kepada tiga orang pembantunya yang terkenal dengan
ketajaman golok dan kekerasan tangan mereka. Akan tetapi apa yang terjadi" Tiga orang jagoan yang disuruhnya menghajar Bun Houw itu pulang dengan lengan kanan mereka patah tulang! Maka, tidak
mengherankan kalau dia marah-marah. Biarpun yang dikalahkan orang lain itu bukan dia, hanya anak buahnya, itu pun bukan anak buah yang pilihan, namun hal itu sama saja dengan menampar pipinya, merendahkan dan menghinanya.
Yang hadir dalam ruangan itu ada belasan orang. Seorang di antara mereka, melihat pemimpinnya
marah dan mendengar bahwa tiga otang rekannya itu patah tulang lengan kanan mereka oleh lawan,
segera berkata, "Ciong toako (kakak tua Ciong), agaknya orang itu berisi, maka biarlah aku yang akan mewakili mu untuk menghajarnya."
Semua orang memandang kepada pembicara itu dan mereka semua merasa yakin bahwa kalau yang
turun tangan orang ini, maka segalanya tentu akan beres. Dia seorang pria berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus sekali sehingga kedua pipinya sampai peyot dan cekung seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi, semua orang tahu belaka siapa adanya tokoh yang dijuluki Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) ini! Bahkan kakek pakaian putih itu sendiri mengangguk-angguk, akan tetapi dia berkata.
"Bukan engkau, Kiam-mo. Engkau sudah memiliki tugas sendiri yang lebih penting sebentar malam, bukan Engkau barus membantu Ngo-kwi (Lima Iblis) yang menerima tugas dari Loya (Tuan Tua, yaitu
Kepala Daerah), dan tugas itu harus kalian berenam selesaikan dengan baik karena amat penting sekali.
Menghajar seorang bocah kurang ajar bukan hal yang terlalu penting. Yang lain saja!"
"Ha-ha-ha. benar sekali!" Tiba-tiba seorang di antara mereka, laki-laki yang tubuhnya bulat seperti bola, usianya empatpuluhan, tertawa bengelak. Orang ini memang aneh. Pakaiannya kedodoran dan bajunya
tidak mempunyai kancing lagi bagian depan sehingga perutnya yang buncit nampak bagian atas,
dadanya juga telanjang, nampak kulit dada putih, dan sepasang bukit dada yang besar seperti
kepunyaan wanita. Saking gendutnya, dia nampak, seperti bola memiliki kaki dan tangan. Anehnya,
kepalanya kecil, seperti kepala kanak-kanak, matanya sipit dan mulutnya lebar separuh kepala yang selalu tertawa dan selalu dijejali makanan dan minuman.
"Untuk menyembelih, seekor kelenci. perlu apa menggunakan golok besar" Kalau hanya menghadapi seorang bocah ingusan, serahkan saja kepadaku, toa-ko. Katakan siapa namanya, di mana aku dapat
menangkapnya, lalu aku harus apakan dia. Dihajar setengah mati, diseret ke sini, atau dibunuh sekaligus.
Katakan dan perintahkan saja. Cukup aku, tidak perlu merepotkan Bu-tek toako Bu-tek Kiam-mo! Ha-ha-ha!"
Sehabis bicara dan tertawa lebar, si gendut ini menyambar guci arak di atas meja, lalu menuangkan isi guci ke dalam mulutnya yang lebar sehingga terdengar suara menggelogok masuknya arak ke dalam
perutnya yang seperti gentong besar itu.
Sekali ini, Pek-I Mo-ko mengangguk-angguk dan tersenyum lega. "Memang tepat sekali kalau engkau yang maju, Gu-siauwte (adik Gu). karena kalau yang maju kurang dapat diandalkan, kukhawatir akan gagal lagi. Dan kalian bertiga, cepat obati luka di lengan, kalian, kemudian temani Gu-siauwte ini dan ajak dia mencari bocah itu sampai dapat! Gu-siauwte, sebaiknya kalau bertemu dengan dia, habisi saja dan usahakan agar mayatnya tidak dilihat orang."
"Ha-ha-ha, itu perkara mudah, toako. Tanggung sebelum hari gelap, bocah itu sudah tidak ada lagi, baik nyawanya maupun badannya, ha-ha-ha!" Dia lalu bangkit dan memberi isarat kepada tiga orang jagoan yang tadi dikalahkan Bun Houw, lagaknya seperti memberi isarat kepada tiga ekor anjingnya saja.
Memang dalam hal tingkatan, si gendut ini jauh lebih tinggi dari pada tiga jagoan yang patah tulang lengannya itu. Dia bernama Gu Mouw, berjuluk Siauw-bin Pek-ti (Babi Putih Muka Senyum) sesuai
dengan kulitnya yang putih mulus dan mukanya yang selalu tersenyum, dan dalam urutan
kedudukannya di dalam kelompok jagoan yang dipelihara Kepala Oaerah Cun di kota Nan-ping, dia
menduduki tingkat ke tiga! Orang partama tentu saja Pek-i Mo-ko Ciong Kui Le, orang ke dua adalah si kurus kering Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe dan orang ke tiga adulan si gendut ini. Masih ada orang ke
empat yang merupakan sekelompok dari lima orang bersaudara yang dikenal dengan sebutan Ngo-kwi


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(Lima Iblis) yang tadi disebnt-sebut oleb Pek-I Mo-ko. Tiga orang jagoan yang patah tulang lengan kanannya itu dengan girang lalu meninggalkan ruangan mengikuti Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Mereka
merasa lega tidak menerima hukuman, dan merekapun merasa yakin bahwa kalau sampai orang ke tiga
ini maju, tentu pemuda itu akan dapat dikalahkan. Mereka masih memiliki lengan kiri yang sehat, dan kalau pemuda sudah roboh, mereka akan dapat dengan sepuas hati membalas dendam sakit hati
mereka, mereka akan mematah-matahkan seluruh tulang di tubuh pemuda itu! Bagi orang yang sudah
terbiasa menjadi hamba nafsu dendam, perasaan dendam memang manis dan mendatangkan
semangat! Karena nafsu dendam ini, mereka segera mengobati lengan yang patah tulangnya, membalut kuat dan menggantungnya, kemudian mereka bertiga tidak ketinggalan membawa golok mereka,
mengikuti si gendut Gu Mouw yang masih terus tertawa-tawa gembira dan nampaknya dia tenang saja, seolah-olah tugasnya itu merupakan pekerjaan sepele yang akan dapat dirampungkan dengan amat
mudahnya. Nan-ping bukan sebuah kota yang terlalu luas, Apalagi bagi para jagoan yang sudah mengenal seluruh seluk beluk kota itu, dan di mana-mana mereka disambut orang dengan ketakutan dan patuh sehingga untuk mencari Bun Houw bukan pekerjaan sukar bagi mereka. Sebelum lewat lengah hari, mereka sudah mendapat keterangan bahwa pemuda yang mereka cari itu baru saja keluar dari kota Nan-ping. melalui pintu gerbang barat. Mereka segera melakukan pengejaran dengan menunggang kuda dan benar saja,
kurang lebih dua li di luar kota Nan-ping, mereka dapat menyusul pemuda yang sedang berlenggang
seenaknya itu. Pemuda itu memang Bun Houw. Dia meninggalkan kota Nan-ping, tanah tumpah darahnya, kampung
halamannya, kota di mana dia dilahirkan dan dibesarkan selama lima belas tahun, kota di mana terdapat segala macam kenangan dari yang paling manis sampai yang paling pahit. Terpaksa dia meninggalkan kota itu. Untuk apa berlama-lama kalau hanya akan mendatangkan perasaan pahit dan juga ancaman-ancaman kedamaian hidupnya" Di sana ada Ling Ay yang sudah menjadi mantu kepala daerah! Dan
suaminya agaknya memusuhinya, mungkin karena cemburu melihat dia bercakap-cakap sebentar
dengan Ling Ay di depan makam ayah ibunya. Dia harus pergi, secepatnya. Bukan karena dia takut
menghadapi ancaman itu. Sama sekali bukan, melainkan dia harus cepat pergi demi ketenteraman
rumah tangga Ling Ay!
Ketika mendengar derap kaki beberapa akor kuda dari arah belakang, dia masih belum menyangka
buruk, hanya mengira bahwa tentu ada rombongan orang berkuda meninggalkan kota Nan-ping pula.
Akan tetapi tiba-tiba setelah empat ekor kuda datang dekat di belakangnya dia mendengar bentakan orang.
"Orang muda yang sombong, berhenti dulu!"
Bun Houw menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat tiga orang penjahat yang dia
patahkan tulang lengannya tadi, berada di atas punggung kuda masing-masing dengan sikap angkuh dan marah, dengan lengan kanan dibalut dan digantung di depan dada. Orang ke empat adalah seorang yang tubuhnya gendut bukan main, dan agaknya amat berat sehingga kuda yang ditungganginya berpeluh
dan terengah-engah, tidak seperti tiga ekor kuda lainnya. Akan tetapi si gendut itu tidak kelihatan jahat, bahkan mukanya yang kecil kekanak-kanakan itu dipenuhi senyum mulutnya yang lebar.
"Hemm, kiranya kalian bertiga yang datang mengejarku. Ada Apalagi?" Bun Houw bertanya dengan sikap tenang.
"Ha-ha-ha-ha!" Laki-laki gendut itu tertawa bergelak, ketika dia tertawa itu, perutnya yang bagian atasnya nampak karena bajunya tidak ada kancingnya, bergelombang dan kuda yang ditungganginya
gemetar keempat kakinya. Melihat ini, diam-diam Bun Houw mengerti bahwa si gendut ini bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga yang dahsyat.
"Bagus, bagus! Jadi engkau inikah pemuda yang telah mematahkan tulang tiga orang jagoan kalahan ini"
Heh-heh-heh!"
Diapun merosot turun dari atas punggung kuda. melalui belakang kuda! Bun Houw merasa geli dan dia tersenyum, akan tetapi tiga orang tukang pukul itu cemberut karena diejek sebagai jagoan kalahan!
Namun, tentu saja mereka tidak berani berkutik atau mengeluarkan bantahan terhadap si gendut yang merupakan seorang atasan bagi mereka.
Karena Bun Houw belum tahu siapa si gendut itu yang sikapnya terhadap dirinya tidak memusuhi, maka diapun bersikap ramah, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan lalu
menjawab, "Sesungguhnya aku tidak pernah mempunyai pikiran hendak mematahkan tulang lengan
mereka. Aka tetapi mereka itu keliru mempergunakan tangan, tidak untuk bekerja dengan baik
melainkan hendak membunuhku, sehingga mereka kesalahan tangan dan akibatnya tulang mereka
patah. Sungguh, mereka sendiri yang mencari penyakit dan mereka yang bersalah sedangkan aku tidak pernah mengganggu mereka, mengenal merekapun tidak."
Bun Houw mengira bahwa si gendut yang kelihatan ramah itu tentu akan dapat menerima, alasannya
dan mempertimbangkan keadaannya dengan bijaksana. Oleh karena itu, alangkah terkejutnya
mendengar si gendut itu. sambil mulutnya masih tersenyum lebar, berkata dengan lantang.
"Orang muda, aku datang untuk membunuhmu! Terserah kepadamu apakah engkau akan mengambil
nyawamu sendiri atau harus kupaksa nyawamu meninggalkan tubuhmu, ha-ha-ha !"
Berkerut sepasang alis Bun Houw dan kini matanya berkilat ketika dia memandang wajah si gendut yang seperti anak kecil itu. Kiranya si gendut ini hanya nampaknya saja baik hati namun sesungguhnya
memiliki kekejaman yang tidak kalah dibandingkan tiga orang jagoan yang patah tulang lenpan mereka itu.
"Ah, kiranya begitu" Sobat yang gendut, coba katakan, mengapa engkau datang hendak mengambil nyawaku?" tanyanya, sikapnya masih tenang sekali dan hal ini saja sudah membuat Siauw bin Pek-ti Gu Mouw penasaran. Orang mau diambil nyawanya kok masih enak-enak saja. sungguh tak tahu diri benar pemuda ini!
"Bocah sombong," katanya dan karena mulutnya masih menyeringai tersenyum, tahulah Bun Houw bahwa senyum itu bukan senyum ramah atau buatan, memang mulutnya terlalu lebar sehingga selalu
nampak tersenyum dan terbuka.
"Engkau berhadapan dengan tuan besarmu Gu Mouw yang hendak mengambil nyawamu! Apakah
engkau tidak cepat berlutut minta ampun?"
"Sobat gendut she Gu, engkau bukan malaikat maut pencabut nyawa, dan akupun bukan orang yang mudah saja menyerahkan nyawa! berhati-hatilah, jangan sampai kesalahan tangan seperti tiga orang temanmu itu dan engkau sendiri yang akan menderita." Dalam ucapan itu, walaupun halus. Bun Houw telah memperingatkan dan mengejek calon lawannya.
"Ha-ha-ha, bagus! Aku lebih senang kalau engkau melawan, menggembirakan sekali! Nah, coba kau ia sambut ini, orang muda!" Tiba-tiba saja si gendut sudah menerjang ke depan dan kedua tangannya dengan cepat sekali telah mengirim pukulan dari kanan kiri, yang kanan menghantam ke arah pelipis kiri Bun Houw yang kiri menyambar dahsyat untuk menghantam lambung.
Namun, Bun Houw, yang sudah bersiap siaga itu dengan mudah melangkah mundur dua langkah dan
dua pukulan itupun. hanya mengenai angin saja. Namun, si gendut yang bundar itu memang hebat.
Biarpun tubuhnya bulat dan berat, dia mampu bengerak cepat dan begitu kedua pukulannya tidak
mengenai sasaran, tubuhnya sudah menggelundung dengan cepat. Nampaknya saja menggelinding
saking besarnya perut itu namun sesungguhnya, dia melangkah cepat ke depan dan kembali dia sudah memukul dengan kedua tangannya didorong ke depan, telapak tangannya terbuka.
(Bersambung jilid ke 03)
Jilid 03 -OANGIN pukulan yang kuat menyambar. Bun Houw yang ingin mengetahui sampai di mana kekuatan
orang gendut itu, sengaja menggerakkan kedua tangannya menyambut kedua tangan lawan yang
dikembangkan. "Dessss!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan saling melekat! Dan dalam adu tenaga ini, si gendut terkejut bukan main karena dia merasa betapa seluruh tubuhnya tengetar bebat, tanda bahwa tenaga sakti dari lawannya yang masih muda itu sudah amat kuatnya! Akan tetapi, dengan gerakan yang sama sekali tidak tersangka-sangka, si gendut itu menggerakkan kepalanya yang kecil ke depan dan menghantamkan kepalanya ke arah muka Bun Houw!
Pemuda itu terkejut bukan main, karena tidak menyangka sama sekali, dia hanya mampu miringkan
kepalanya saja.
"Pukkkk!" Pipinya dihantam dengan kerasnya oleh kepala yang kecil namun keraseperti baja!
Bun Houw melepaskan kedua tangannya yang menempel pada tangan lawan, dan dia agak terhuyung ke
belakang, kepalanya terasa pening. Dia menggoyang-goyang kepala dan terasa betapa pipinya panas
dan nyeri. Dia mengusap pipinya, memandang ke depan dan si gendut masih tertawa. Kiranya si gendut ini memiliki ilmu menyerang dengan kepalanya yang kecil! Karena terkejut, Bun Houw kurang cepat dan tahu-tahu Gu Mouw sudah menyerang lagi, kini kaki kanannya menendang dengan kekuatan dahsyat,
disusul kaki kiri. Bun Houw terpaksa kembali melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata tendangan si gendut itu merupakan Ilmu tendangan semacam Soan-kong-twi
(Tendangan Angin Puyuh) yaitu tendangan berantai yang sambung-menyambung. Kadang-kadang tubuh
yang bundar itu seperti menggelinding dan dari bola menggelinding itu mencuat kedua kaki yang
bergantian melakukan tendangan bertubi-tubi.
Karena repot juga menghadapi tendangan-tendangan berantai yang amat cepat, kuat dan berbahaya
itu, terpaksa Bun Houw mencabut tongkat butut dari pinggangnya dan menangkis tendangan itu dengan tongkatnya. Dia tidak mungkin harus mengelak terus.
"Tak! Tak! Tak!" Berulang kali kedua kaki si gendut itu bertemu tongkat dan dia marasa betapa bagian kaki yang tertangkis tongkat itu nyeri, maka terpaksa dia menghentikan tendangan-tendangannya. Kini barulah senyum lebar di mukanya itu mulai menyempit. Baru dia tahu bahwa pemuda ini memang sama
sekali tidak boleh dipandang ringan. Sejak tadi, belum pernah dia mampu mengenai tubuh pemuda itu dengan pukulan atau tendangan, dan hasil benturan kepalanya tadipun tidak ada artinya. Bahan kini kedua kakinya terasa nyeri, Apalagi kalau yang tertangkis itu tulang kering kakinya. Marahlah Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Akan-tetapi, dasar mulutnya sudah terlanjur lebar, biarpun dalam keadaan marah,
tetap saja dia kelihatan seperti tersenyum!
"Rrrtttt ...!" Nampak sinar terang ketika tangannya melolos sebatang rantai yang panjangnya ada satu setengah meter, terbuat dari pada besi dan berwarna putih seperti perak. itulah senjata yang ampuh dari Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw, yaitu sehelai rantai yang berat. Tanpa banyak cakap lagi, si gendut sudah memutar rantai itu dan melakukan penyerangan. Rantai besi itu menyambar-nyambar dahsyat,
mengeluarkan suara bersuitan.
Bun Houw kembali mempengunakan kelincahan tubuhnya, mengelak dengan loncatan-loncatan.
Namun, gulungan sinar putih itu terus mengejarnya. Pada suatu saat, nampak seolah-olah Bun Houw
seperti seorang kanak-kanak sedang bermain loncat tali! Dia berloncatan menghindar dan rantai itu menyambar-nyambar lewat bawah kakinya dan atas kepalanya !
"Trang-trang ... !" Kini Bun Houw mulai menangkis dengan tongkatnya.
Kembali si gendut terkejut. Tangkisan tongkat itu mengeluarkan bunyi seolah-olah rantai di tangannya bertemu dengan benda logam yang keras! Jelas bahwa tongkat yang nampaknya butut itu
menyembunyikan senjata logam kerasnya. Juga pertemuan dengan tongkat itu membuat rantai di
tangannya terpental dan telapak tangannya terasa panas sekali. Diapun menjadi semakin penasaran dan dia memutar rantainya lebih gencar lagi. Akan tetapi, kini Bun Hou tidak hanya mengelak dan
menangkis, melainkan mulai membalas dengan tamparan tangan dan tendangan kaki, dan juga totokan-
totokan yang dilakukan dengan tongkatnya. Dari suhunya, Bun Houw menerima banyak macam ilmu
silat, akan tetapi yang paling hebat merupakan keistimewaan gurunya, yaitu ilmu menotok jalan darah, lalu ilmu tongkat dan yang terakhir ilmu pedang. Melihat tingkat kepandaian lawan, Bun Houw masih belum mau menghunus pedang dari dalam tongkat bututnya. Gurunya tidak menghendaki dia
sembarangan menghunus pedang, karena ilmu Pedang Kilat amat berbahaya. Sekali pedang itu tercabut sukar dicegah robohnya lawan dalam keadaan terluka parah atau tewas! Karena itulah, Bun Houw masih tidak mau mencabut pedangnya. Dia tidak mengenal si gendut ini, tidak mempunyai permusuhan
pribadi. Si gendut hanyalah seorang utusan, seorang anak buah, maka tidak semestinya kalau dia
melukainya dengan berat, Apalagi membunuhnya!"
Ilmu tongkat yang dimainkan Bun Houw memang merupakan ilmu tongkat yang amat hebat.
Gerakannya cepat dan sukar diduga. Kalaupun tongkat itu hanya merupakan sebatang tongkat butut,
namun sambarannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat, dan si gendut Gu Mouw maklum
bahwa tongkat di tangan lawan itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Buktinya ketika tongkat itu menangkis rantainya, dia merasa betapa rantainya terpental dan telapak tangan yang memegang ujung rantai menjadi panas, itu saja sudah membuktikan bahwa selain pemuda itu memiliki tenaga kuat, juga tongkat itu bukan benda lunak dan lemah !
Melihat betapa sejak tadi si gendut tidak mampu merobohkan Bun Houw, sebaliknya kini malah
terdesak hebat dan terus main mundur, tiga orang jagoan bawahannya menjadi penasaran, khawatir
dan tidak sabar lagi. Diawali aba-aba si codet yang menjadi pemimpin, mereka lalu menerjang maju untuk mengeroyok Bun Houw, mempengunakan golok mereka yang dipegang di tangan kiri. Tentu saja
mereka bertiga tidak akan gila berani maju lagi kalau di situ tidak ada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw.
Mereka mengharap bahwa dengan adanya Gu Mouw, mereka bertiga akan mampu membuat Bun Houw
roboh!" Melihat majunya tiga orang yang sudah patah tulang lengan kanan mereka itu, Bun Houw sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dia menjadi marah. Tiga orang Liu Sungguh tidak tahu diri! Maka, dia lalu menambah tenaganya dan pada saat rantai besi di tangan Gu Mouw menyambar ke arah kepalanya, dia
menangkis dengan tongkat dan sengaja memutar tongkat itu dengan menggetarkan ujungnya sehingga
ujung rantai melibat tongkatnya Dengan tenaga sentakan atau kejutan, dia menarik. Tubuh gendut itu tertarik mendekat dan Bun Houw menyambung tarikannya itu dengan tendangan kilat ke arah tangan
kanan di ujung rantai.
"Dukk!" Tendangan dengan ujung kaki itu tepat mengenai tangan yang memegang gagang rantai, keras dan tepat. Gu Mouw mengeluh dan tak dapat dipertahankannya lagi, rantai itu dan terlepas dari
tangannya! Bun Houw mengayun tongkatnya dan rantai itupun terputar-putar, membentuk lingkaran sinar putih
menyambut tiga orang jagoan yang mengepungnya dengan serangan golok.
Demikian kuat dan cepatnya rantai terputar. Begitu tiga batang golok menyambut dan menangkis, tiga batang golok itu terlepas dan terlempar jauh dan rantai masih terus berputar menghantam ke arah tiga orang itu. Mereka berteriak kesakitan dan roboh terjungkal dengan kepala berdarah! Mereka bertiga tidak tewas, juga luka mereka tidak membahayakan nyawa, namun kulit muka mereka pecah terkena
hantaman rantai dan mengeluarkan banyak darah.
Melihat kehebatan pemuda itu, Gu Mouw maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkannya,
maka diapun menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Akan tetapi, Bun Houw berseru,
"Sobat she Gu, terimalah kembali senjatamu ini! Dan tongkatnya diputar, rantai itu ikut terputar kencang, lalu ketika tongkat dipantulkan kuat, rantai yang masih berputar itu terbang ke arah Gu Mouw yang melarikan diri!
Mendengar teriakan lawannya, Gu Mouw menahan langkahnya, lalu. membalik dan menggunakan
kedua tangan untuk menerima rantainya yang berputar-putar itu. Rantai itu dapat ditangkapnya, akan tetapi saking kerasnya rantai berputar, kedua ujungnya menghantam perut dan pundaknya. Dia
mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih, bergantian dia mendekap perut dan pundak yang luka berdarah. Kemudian, terhuyung-huyung dia melarikan diri dengan rantai masih melibat tubuhnya,
diikuti tiga orang temannya.
Dengan susah payah mereka meloncat ke atas punggung kuda mereka yang tadi dibiarkan lepas tak jauh dari situ, Bun Houw tidak mengejar dan baru setelah empat orang itu melarikan diri, dia merasa tertarik sekali untuk melakukan penyelidikan. Mengapa mereka itu demikian bernafsu untuk membunuhnya"
Pertama mengirimkan tiga orang jagoan itu, kemudian mengirim si gendut yang memang jauh lebih lihai dibandingkan mereka. Melihat betapa mereka itu bersungguh-sungguh dalam usaha mereka untuk
membunuhnya, bukan tidak mungkin kalau mereka akan mengirim lagi orang-orang yang lebih lihai atau lebih banyak untuk mengejarnya. Dia harus mengetahui mengapa mereka demikian membencinya.
Benarkah hanya karena dia bercakap-cakap dengan Ling Ay di taman kuburan" Rasanya tidak mungkin.
Dan benarkah suami Ling Ay yang berada di belakang semua usaha untuk membunuhnya itu "
Karena terlarik, maka diapun menggerakkan tubuhnya, berlari cepat membayangi empat ekor kuda yang sudah berlari jauh ke arah kota Nan-ping itu.
*** Cia Kun Ti meninggalkan gedung besar tempat tinggal puterinya dengan wajah muram. Baru saja dia
berkunjung untuk menyusul isterinya yang belum juga pulang. Sehabis bersembahyang di taman
kuburan, dia segera pulang, ke rumahnya sendiri, akan tetapi isterinya ikut dengan puteri mereka.
Sampai hari menjadi sore, isterinya belum juga pulang, maka dia lalu menyusul ke rumah mantunya.
Dan di rumah itu, dia mendengar dari isterinya betapa mantu mereka, Cun Hok Seng, marah-marah
kepada Ling Ay dan ibunya. Mantunya itu marah karena menuduh Ling Ay mengadakan pertemuan
dengan bekas tunangannya atau bekas kekasihnya! Dan mantunya mengharuskan Ling Ay tinggal saja di dalam kamar, tidak boleh keluar sebelum ada perintah darinya. Dan isterinya harus menunggui puteri mereka itu!"
Tentu saja hati Cia Kun Ti merasa tidak enak sekali dan diam-diam dia menyesali ke tamakan isterinya yang memaksanya dahulu untuk menerima pinangan Cun Hok Seng. Apa yang dikhawatirkanpun kini
terjadi. Mantunya itu bukan orang baik-baik. Bahkan keluarga mantunya, yang kepala daerah, juga
bukan orang baik-baik. Hal ini sudah diduganya semula, melihat adanya banyak peristiwa aneh terjadi di kota Nan-ping. Namun, semua telah terlambat, puterinya, anak tunggalnya, telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan dia tahu betapa isterinya merasa berbahagia karena memperoleh percikan kehormatan dan
kemuliaan yang sesungguhnya semu saja. Bagi dia sendiri, diam-diam dia merasa malu, bukan hanya
melihat ketamakan isterinya akan kehormatan dan kemuliaan, melainkan malu karena sebagai seorang suami dia tidak berdaya mempergunakan kekuasaannya mengatur isteri dan anak sendiri! Dan kini,
terjadilah hal itu! Sungguh menjengkelkan. Dia tahu benar bahwa puterinya sama sekali tidak
melakukan kesalahan! Pertemuannya dengan Bun Houw hanya kebetulan saja, dan di antara mereka
tidak terdapat hal-hal yang kotor atau melanggar tata susila. Akan tetapi, akibat pertemuan itu telah makin menonjolkan watak dari mantunya !
Ketika Cia Kun Ti dengan wajah muram memasuki pekarangan rumahnya, tiba-tiba ada suara orang
memanggilnya, "Paman Cia ...!"
Cia Kun Ti terkejut, cepat membalikkan tubuhnya dan kiranya Bun Houw sudah berada di situ, di dalam pekarangan rumahnya. "Aih, engkau ini, Bun Houw" Mari, silakan masuk!"
Bun Houw menghaturkan terima kasih dan merekapun memasuki rumah itu, Rumah yang sudah amat
dikenal oleh Bun Houw. Dahulu, beberapa tahun yang lalu, dia masih sering kali datang berkunjung ke rumah ini, rumah tunangannya, calon isterinya, rumah calon ayah dan ibu mertuanya! Rumah itu masih sama, hanya catnya yang baru dan ketika dia masuk, ternyata perabot rumah juga diganti dengan
perabot baru yang lebih mahal. Tentu keluarga itu hendak menyesuaikan diri, pikirnya, sebagai mertua putera kepala daerah, tentu rumahnya harus lebih mewah.
Cia Kun Ti mengajak Bun Houw duduk di ruangan dalam dan setelah pelayan menghidangkan minuman
dan makanan sekadarnya, Cia Kun Ti lalu menutupkan daun pintu ruangan itu dan sikapnya berubah
sungguh-sunguh.
"Bun Houw, engkau masih berada di Nan-ping" Ah, aku girang sekali tidak terjadi sesuatu atas dirimu ...
" Bun Houw memang sengaja datang ke rumah bekas calon mertua ini. Tadi dia membayangi empat
penunggang kuda dan mereka itu masuk ke dalam sebuah rumah besar yang bersambung dengan
rumah kepala daerah. Dia ingin mencari keterangan, dan satu-satunya orang yang akan dapat memberi penjelasan kepadanya hanyalah Cia Kun Ti, bekas calon mertuanya ini. Dia tahu bahwa Cia Kun Ti adalah sahabat yang sangat baik dan akrab-dengan mendiang ayahnya, dan tadi, di taman kuburan, Cia Kun Ti juga memperlihatkan sikap, yang amat baik kepadanya. Sebetulnya dia meragu untuk datang
berkunjung, mengingat akan sikap Nyonya Cia yang agaknya tidak suka kepadanya. Maka, giranglah
hatinya bahwa dia dapat berbicara empat mata dengan Cia Kun Ti. Kini, begitu tiba tuan rumah
mengkhawatirkan keadaan dirinya!
"Ada apakah, paman " Mengapa paman menduga bahwa akan terjadi sesuatu atas diriku," dia
memancing. Cia Kun Ti menarik napas panjang. Tadi dia mendengar dari isterinya yang menyumpah Bun Houw.
Isterinya berkata bahwa kini Bun Houw dicari oleh orang-orangnya Cun Hok Seng dan akan dibunuh.
Isterinya memujikan agar pemuda itu cepat dapat tertangkap dan dibunuh!
"Aku mendengar bahwa engkau dicari oleh para jagoan dari Cun-taijin, aku ... aku khawatir sekali."
Bun Houw mengangguk-angguk, girang bahwa dia mencari keterangan ke sini. "Memang benar, paman.
Empat orang mencari aku, dan bahkan mengejar aku yang sudah meninggalkan kota ini. Mereka hendak membunuhku, dengan-tuduhan bahwa aku menghina keluarga Cun karena aku berani bercakap-cakap
dengan Ay... ah, dengan mantu kepala daerah, yaitu-puteri paman. Aku dapat mengalahkan mereka.
Aku merasa penasaran dan aku berkunjung ini untuk mendapatkan penjelasan paman, apa yang
sesungguhnya terjadi" Mengapa pertemuan dan percakapan bersih antara aku dan puterimu. di taman
kuburan itu saja membuat suaminya marah-marah dan hendak membunuhku. Siapakah mereka itu yang
demikian kejam, paman ?"
Cia Kun Ti menarik napas panjang. "Ah, ya sudah untungku ... sungguh kasihan nasib anakku. Ini semua kesalahan isteriku, bibimu yang tamak dan gila hormat itu! Sejak dulu aku sudah mendengar hal-hal yang tidak baik tentang keluarga kepala daerah. Akan tetapi bibimu memaksaku sehingga kami
menerima pinangannya. Dan sekarang ... "
"Paman, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Semua telah menimbulkan kecurigaanku, juga kecurigaan mendiang ayahmu. Sejak Cun-taijin menjadi kepala daerah di Nan-ping, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, nampak gejala gejala tidak benar. Cun taijin mempengunakan orang-orang kang-ouw yang menurut penilaian ayahmu adalah penjahat-penjahat besar."
"Benarkah itu, paman " Apakah paman maksudkan bahwa kepala daerah itu mempengunakan penjahat-penjahat untuk melakukan, kejahatan?"
Yang ditanya menggeleng kepala. "Sama sekali tidak. Bahkan semenjak dia menjadi kepala daerah di sini, kota Nan-ping menjadi tenteram, tidak pernah terjadi kejahatan di kota ini. Tidak ada penjahat yang berani melakukan kejahatan, karena para tokoh sesat yang mereka takuti berada di sini menjadi kaki tangan kepala daerah!"
Bun Houw merata heran bukan main. Bagaimana mungkin seorang kepala daerah, seorang pejabat
pemerintah mempengunakan tokoh-tokoh sesat untuk menjadi kaki tangannya "
"Lalu, untuk apa dia memelihara para tokoh sesat itu, paman ?"
Cia Kun Ti mengangkat pundak. "Hal itu tidak ada yang tahu. Akan tetapi sejak dia menjadi kepala daerah, terjadi banyak hal aneh, seperti kematian ayahmu ... "
"Maksud paman ...?"
"Aku tidak menduga yang bukan-bukan. Ayahmu memang seorang pendekar penentang kejahatan,
karena itu lima orang berkedok yang kauceritakan telah membunuh ayahmu itu tentu saja para penjahat yang membalas dendam. Akan tetapi, banyak terjadi pembunuhan yang penuh rahasia. Banyak tokoh
dan pejabat tewas tanpa diketahui siapa yang membunuhnya. Dan selain itu, sebagai seorang pedagang aku tahu bahwa kami para pedagang diperas oleh kepala daerah, dengan pungutan pajak-pajak
tambahan yang tidak wajar. Dan tidak ada orang berani membantahnya. Bayangkan saja, sekarang Ling Ay menjadi anggauta keluarga Cun yang penuh rahasia itu! Dan ternyata sikap Cun Hok Seng juga aneh dan keterlaluan. Masa karena isterinya yang menjadi sahabat baikmu, kebetulan bertemu denganmu di taman kuburan lalu bicara di depan umum, bicara sopan, membuat dia marah seperti gila dan hendak membunuhmu" Aih, sungguh penuh rahasia ... dan aku, nasib yang buruk ini, makin tua aku semakin
menderita, dan aku kasihan kepada puteriku ... "
Bun Houw mengangguk-angguk. "Memang kedengarannya aneh, paman. Empat orang itu hendak
membunuhku, dan ketika mereka melarikan diri, mereka menuju ke rumah kepala daerah. Ada sebuah
bangunan besar yang bersambung dengan gedung kepala daerah, dan mereka memasuki pekarangan
rumah besar itu. Justeru kepadamu aku ingin mendengar keterangan tentang rumah besar itu, paman."
"Di sanalah mereka berkumpul. Penduduk tahu belaka bahwa mereka adalah kaki tangan kepala daerah, akan tetapi karena mereka tidak pernah mengganggu rakyat di depan umum, maka tidak ada yang
perduli. Dahulu, di situ menjadi markas pasukan pengawal. Akan tetapi, kepala daerah agaknya lebih suka dikawal oleh kaki tangannya, dari pada oleh pasukan. Dan menurut kabar angin, kaki tangan kepala daerah itu merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi."
"Akan tetapi, paman. Apakah keadaan yang aneh itu tidak diselidiki oleh para pembesar dan pejabat lainnya" Bukankah kota Nan-ping ini mempunyai pula pejabat lain?"
Semua pejabat sipil adalah bawahan kepala daerah, dan satu-satunya pejabat militer adalah komandan pasukan keamanan yang markasnya berada di ujung kota sebelah selatan. Dengan Kim-ciangkun yang
tua, Cun Taijin mempunyai hubungan yang amat baik. Entah dengan komandan yang sekarang ini, yang baru beberapa bulan menggantikan Kim-ciangkun. Komandan yang sekarang ini kabarnya dari kota raja, disebut Souw-ciangkun, entah bagaimana hubungannya dengan Cun Taijin, aku tidak tahu. Akan tetapi, ketika Kim-ciangkun masih menjadi komandan, beberapa orang perwira bawahannya juga kabarnya ada
yang mati mendadak, ada pula yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, dan kabarnya mereka yang mati atau lenyap itu adalah para perwira yang memperlihatkan sikap tidak senang kepada Cun Taijin."
Bun Houw mengangguk-angguk. "Ah, semakin menarik saja, paman. Kalau aku tidak hendak
dibunuhnya, tentu aku sudah pergi dari Nan-ping dan tidak tahu akan hal itu. Sekarang, hatiku tertarik sekali dan aku mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan."
Cia Kun Ti mengerutkan alisnya, "Berhati-hatilah engkau, Bun Houw. Engkau sudah menjadi buruan mereka, bagaimana engkau malah hendak melakukan penyelidikan dan seolah-olah memasuki gua
harimau" Mereka itu banyak dan kuat sekali, dan Cun Taijin amat berkuasa di sini, menjadi orang nomor satu di sini!"
"Harap paman Jangan khawatir. Aku hanya melanjutkan perjuangan ayah. Aku yakin bahwa kalau ayah masih hidup, tentu ayah akan melakukan penyelidikan terhadap keluarga Cun yang penuh rahasia itu!"
"Ayahmu dahulu pernah mengatakan kecurigaan hatinya, akan tetapi setahuku belum pernah
melakukan penyelidikan. Akan tetapi Bun Houw, apakah tidak lebih baik engkau mulai berdagang lagi saja" Aku suka membantumu dan ... "
"Terima kasih, paman. Aku tidak berani menyusahkan paman. Bahkan sekarangpun aku harus pergi.
Tidak baik kalau ada orang melihat aku berkunjung ke sini, tentu hanya akan mendatangkan kesusahan bagimu saja. Nah, selamat tinggal, paman. Sampaikan terima kasihku kepada ... adik Ling Ay bahwa ia mau bersembahyang di depan batu nisan ayah ibuku, dan aku selalu memujikan agar ia hidup
berbahagia."
Setelah berkata demikian Bun Houw keluar dari rumah itu, berindap-indap dan menyelinap keluar tanpa diketahui orang lain. Dia kini tahu betapa besar bahayanya bagi Cia Kun Ti kalau sampai ada kaki-tangan kepala daerah melihat dia baru saja berkunjung ke rumah itu.
*** Bun Houw meninggalkan rumah Cia Kun Ti dan dia maklum bahwa dia tidak boleh memperlihatkan diri
di tempat umum karena dia pada saat itu adalah seorang buruan. Kalau kaki tangan kepala daerah
melihatnya, tentu akan terjadi keributan dan dia akan diserang. Bukan dia takut, melainkan karena dia harus menyelidiki apa yang berada di balik segala rahasia keluarga kepala daerah Cun. Dia harus
menyelidikinya, dan kalau perlu menentangnya, demi kehidupan rakyat penghuni kota Nan-ping, demi keluarga Cia Kun Ti, demi ... Ling Ay. Bukankah menurut keterangan Cia Kun Ti tadi, ayahnya dahulupun pernah menyatakan kecurigaannya terhadap kepala daerah Cun" Namun, ayahnya tidak sempat
melakukan penyelidikan, maka biarlah kini dia yang melanjutkan kecurigaan ayahnya itu.
Sejak hari mulai gelap, dia sudah melakukan pengintaian terhadap rumah besar di dekat gedung kepala daerah. Gedung itu nampak sunyi, tidak ada yang keluar masuk. Akan tetapi, dia sudah mendengar dari Cia Kun Ti bahwa gedung atau rumah berar itu merupakan markas dari para kaki tangan Cun Taijin.
Maka, setelah hari menjadi gelap benar, dia-pun mempengunakan kepandaiannya untuk menyelinap ke
dekat rumah itu. kemudian meloncat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan rumah.
Dengan hati-hatl Bun Houw merangkak di atas wuwungan rumah dan akhirnya dia menemukan apa
yang dicarinya dan mendekam di atas sebuah ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang
duduk mengelilingi sebuah meja besar. Mereka terdiri dari delapan orang. Di ujung meja duduk seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun, namun wajah dan tubuhnya masih seperti orang muda,
rambutnya sudah ubanan dan orang ini mengenakan pakaian serba putih yang bersih, terbuat dari
sutera balus. Hanya tali atau pita rambutnya saja yang berwarna biru. Sikapnya berwibawa dan mudah diduga bahwa dia tentu merupakan pimpinan dari kelompok itu. Bun Houw melihat pula pria gendut
yang tadi dikalahkannya, duduk di antara tujuh orang lain. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya dan merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tidak kelirukah penglihatannya"
Yang menarik perhatiannya dan membuat jantungnya berdebar adalah seorang yang duduk pula di situ.
Dia tidak pernah melihat orang itu dan setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa orang itu adalah seorang di antara lima orang penjahat bertopeng yang dulu membunuh ayahnya! Yang
membuat dia merasa yakin adalah tangan kanan orang itu. Lengan itu buntung sebatas pergelangan
tangan! Tangan kanan itu sudah hilang, diganti dengan sebuah cakar baja yang mengerikan! Memang
dia tidak mengenal wajah orang itu, akan tetapi tangan itu! Dan bentuk tubuhnya. Betapapun juga dia merasa ragu pula.
Kalau benar orang itu adalah seorang di antara lima penjahat yang membunuh ayahnya, mengapa dia
berada di sini" Apakah yang empat orang juga berada di situ"
"Sungguh menyebalkan sekali." terdengar orang yang bertubuh tinggi kurus berkata sambil memandang kepada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. "Menghadapi seorang bocah ingusan saja sampai gagal, pada hal sudah dibantu tiga orang monyet tolol itu !"
Yang menegur itu adalah Bu-tek Kiam-mo, orang ke dua dari kelompok kaki tangan Cun Tai-jin.
Mendengar ini, si gendut Gu Mouw mengerutkan alisnya dan memandang kepada rekannya itu dengan
alis berkerut. "Hemm, andaikata engkau sendiri yang maju, belum tentu engkau akan mampu mengalahkannya !"
Bu-tek Kiam-mo bangkit berdiri dari kursinya dan membentak, "Aku tidak seperti engkau! Kalau pedangku tidak mampu membunuhnya, aku tidak akan kembali ke sini dan tentu sudah menjadi mayat.
Tidak sudi aku membawa pulang kekalahan!"
Melihat suasana menjadi panas, Pek I Mo-ko segera bangkit berdiri dan bertepuk tangan, memberi
isarat kepada dua orang yang bersitegang itu untuk menjadi tenang. "Sudahlah, tidak perlu diributkan lagi. Kalau pemuda itu berani muncul lagi. kita usahakan agar dia itu dilenyapkan! Sebaliknya kalau dia sudah pergi sudahlah. Urusan dengan dia hanya kecil saja dan perintah atasan banya untuk menghajar dia, bukan membunuhnya. Kita menghadapi urusan yang lebih besar, tidak perlu meributkan urusan
kecil!" Mendengar ucapan itu. Bu-tek Kiam-mo dan Gu Mouw tidak banyak cakap lagi. Pek I Mo-ko lalu berkata lagi, "Malam ini, sesuai dengan perintah atasan kita, kita harus dapat membunuh perwira tinggi itu. Ngokwi, kalian yang bertugas membantu Bu-tek Kiam-mo, dan kalian telah melakukan penyelidikan dan
memilih saat yang baik. Bagaimana hasilnya penyelidikan terakhir?"
Mendengar disebutnya Ngo-kwi ini, jantung Bun Houw berdebar semakin kencang. Lima Iblis" Kebetulan pembunuh ayahnya juga lima orang banyaknya, dan seorang di antaran menurut keyakinannya, adalah
orang yang lengannya buntung dan tangan kanannya diganti cakar besi itu! Seorang di antara mereka yang bertubuh pendek besar segera menjawab dengan suara lantang.
"Sudah siap semua! Menurut penyelidikan kami, memang malam ini saat paling baik. Perwira tinggi itu tidak berada di markas, dan sedang berlibur dengan keluarganya di gedung musim panas mereka, dekat telaga di luar kota. Kesempatan yang teramat baik bagi kita."
Buo Houw mengamati pembicara ini degan mata yang tak pernah berkedip, lalu dia mengingat-ingat.
Memang, di antara lima orang bertopeng pembunuh ayahnya yang pernah mengeroyoknya itu, terdapat
yang bertubuh pendek! Dan ada pula yang kulitnya hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa.
Disapunya orang-orang di bawah itu dengan pandang matanya dan dia mengangguk-angguk ketika
melihat seorang di antara mereka yang duduk di sebelah si lengan buntung. Orang itu tinggi besar dan kulitnya menghitam. Tak salah lagi, pikirnya. Si pakaian putih itu adalah pemimpin kelompok kaki tangan Cun Taijin ini. kemudian ada si gendut yang sudah dikalahkannya, dan orang yang tadi disebut Bu-tek Kiam-mo, si kurus tinggi itu, dan sisanya, yang lima orang tentulah Ngo-kwi, termasuk si lengan buntung dan sitinggil besar, juga si pendek. Kini keraguannya lenyap. Jelas bahwa lima orang Ngo-kwi inilah pembunuh ayahnya!
Akan tetapi kalau begitu ... mereka membunuh ayahnya bukan sebagai balas dendam para penjahat "


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah ada hubungannya pula dengan Cun Tai-jin" Apakah pembunuhan atas diri ayahnya itu dilakukan Ngo kwi sebagai pelaksanaan perintah dari Cun Taijin" Kalau benar demikian, kenapa" Lalu
tunangannya, Ling Ay, diambil mantu. Apa artinya semua itu! Semangatnya untuk menyelidiki mereka itu menjadi semakin bernyala.
"Bukanlah di sana juga keluarga panglima itu dikawal pasukan?" tanya Pek I Mo-ko,
"Memang selalu ada pengawalan, akan tetapi karena panglima dan keluarganya sedang berlibur, maka yang bertugas jaga hanyalah pasukan pengawal terdiri dari duabelas orang saja. Tempat itu aman dan tidak jauh dari kota, tentu panglima tidak berprasangka buruk." jawab si pendek yang agaknya merupakan wakil pembicara dari Ngo-kwi.
"Bagus sekali kalan begitu! Kiam-mo, apakah engkau sudah mengatur siasat untuk gerakan malam ini "
Apakah engkau membutuhkan bantuan ?"
Dengan hati masih panas karena bantahan Gu Mouw yang merupakan orang yang setingkat lebih
rendah kedudukannya. Bu-tek Kiam-mo menjawab dengan suara kaku, "Aku tidak membutuhkan
bantuan lagi! Sudah kami atur siasat sebaiknya dan pukulan kami malam itu sudah pasti tidak akan gagal. Ngo-kwi bersama belasan orang anak buah dengan menggunakan topeng akan menyerbu
sehingga para perajurit pengawal yang hanya belasan orang jumlahnya itu tentu akan menghadapi para penyerbu. Kesempatan itu kupergunakan untuk menyusup ke dalam dan membunuh panglima. Setelah
berhasil, kami akan segera meninggalkan tempat itu dan takkan ada seorang-pun anak buah yang
dikenal oleh para perajurit pengawal. Untuk mengelabui pendapat umum. kami akan merampas
perhiasan dan merampok barang-barang berharga yang berada di sana agar semua gerakan itu dianggap sebagai perampokan biasa."
Pek-i Mo-ko mengangguk-angguk. "Bagus, aku percaya kalian berenam akan berhasil baik. Aku hanya memperingatkan kalian agar tidak melupakan dua hal yang amat penting. Pertama, kuperingatkan
kepada Ngo-kwi agar kali ini tidak melakukan kebiasaan mereka yang bercahaya. Yaitu, jangan sekali-kali mengganggu para wanita di sana! Atasan kita memperingatkan hal ini. Kalian sekali ini dilarang untuk mengganggu wanita!"
"Wah, apa salahnya dengan itu ...?" Seorang di antara Ngo-kwi, yang bertubuh tinggi besar, mencela kecewa.
Mendengar ini, Bun Houw menggigit bibir mengepal tinju karena terbayanglah dia akan keadaan ibu
kandungnya yang didapatkannya telah tewas dalam keadaan menyedihkan, menjadi korban perkosaan!"
"Tidak perlu banyak membantah!" bentak Pek-I Mo-ko kepada si tinggi besar. "Atasan kita mengharuskau demikian. Mengerti" Awas-kalau ada yang melanggar. Kuulangi, pertama, tidak boleh
mengganggu wanita di sana. Ke dua, semua barang yang dirampok harus cepat disingkirkan dan jangan sampai kelihatan di kota ini. Mengerti semua?"
Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi mengangguk walaupun nampak Ngo-kwi bersungut-sungut. Agaknya,
kelima orang Ngo-kwi ini semua adalah penjahat-penjahat cabul yang suka mengganggu wanita! Mereka tidak mungkin dapat memuaskan nafsu mereka di Nan-ping, karen si atasan mereka melarang keras
mereka semua melakukan perbuatan tercela di Nan-ping dan sekitarnya. Dan sekarang, dalam tugas
membunuh seorang panglima, mereka memperoleh kesempatan untuk memuaskan nafsu mereka, akan
tetapi ada perintah bahwa mereka dilarang keras mengganggu wanita dalam rombongan panglima!
Tak lama kemudian. Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi keluar dari ruangan itu, dan bersama belasan orang anak buah yang berada di luar ruangan, mereka itu, semua berjumlah duapuluh satu orang, lalu
meninggalkau rumah besar dengan berpencar. Mereka semua sudah siap dengan pakaian serba hitam.
Bahkan Bu-tek Kiam-mo dan Ngo-kwi, setelah keluar dari situ, juga mengenakan jubah hitam dan
pakaian serba gelap. Mereka semua tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka, ada sesosok
bayangan yang gerakannya amat cepat selalu membayangi mereka. Bayangan itu tentu saja Bun Houw.
Dia tahu bahwa pemimpin, kelompok yang kini hendak membunuh seorang panglima itu dipimpin oleh
Bu-tek Kiam-mo oleh karena itu, orang tinggi yang kurus sekali inilah yang selalu dia bayangi. Bukankah orang ini yang bertugas membunuh sang panglima" Dia tidak tahu mengapa panglima akan dibunuh
akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus mencegah terjadinya kejahatan ini lebih dulu, baru kemudian membongkar rahasia yang menyelimuti keluarga kepala daerah Cun.
Malam itu gelap dan sunyi. Gerombolan jahat itu berkumpul di luar kota dan mereka menuju ke utara.
Bun Houw tadi sudah mendengar percakapan mereka dan dia tahu rumah apa yang mereka maksudkan
tadi sebagai gedung musim panas dekat telaga. Memang banyak pejabat yang kaya mempunyai rumah
peristirahatan di dekat telaga, dan di antaranya tentu terdapat rumah peristirahatan keluarga panglima.
Diapun tidak tahu siapa panglima, komandan pasukan keamanan yang baru di Nan-ping, yang oleh Cia Kun Ti disebut Souw-ciangkun itu. Lebih tidak mengerti lagi mengapa komandan baru yang katanya baru beberapa lama menjadi panglima di Nan-ping, kini-hendak dibunuh oleh komplotan jahat ini.
Menurut keinginan hatinya, Bun Houw bermaksud mendahului gerombolan jahat itu dan memberitahu
kepada Souw ciangkun di rumah peristirahatannya dekat telaga, agar panglima itu dapat
menyelamatkan diri. Akan tetapi, gerombolan itu melakukan perjalanan cepat dan tidak sempat lagi baginya untuk mendahului. Apalagi, dia belum tahu benar di mana letak rumah itu, dan pula, belum tentu sang panglima mau percaya kepadanya, jangan-jangan malah dia yang dicurigai! Terpaksa, dia terus membayangi dan karena dia tahu bahwa Bu-tek Kiam-mo yang hendak melaksanakan
pembunuhan, maka orang inilah yang selalu dibayanginya. Biarlah Ngo kwi dan anak buahnya
berhadapan dengan pasukan pengawal. Yang penting dia harus menyelamatkan panglima dan
keluarganya, mencegah terjadinya pembunuhan itu.
Tak lama kemudian tibalah gerombolan itu di tepi telaga dan mereka segera menuju ke sebuah rumah mungil yang terpencil jauh dari rumah-rumah peristirahatan lain. Akan tetapi, pada waktu itu, musim panas belum tiba dan sebagian besar rumah-rumah itupun kosong, hanya dihuni oleh satu dua orang
penjaga gedung saja sehingga suasana di tempat itu gelap dan sunyi. Setelah melihat dengan jelas rumah mana yang dimaksudkan oleh gerombolan itu. Bun Houw mendahului mereka dan dia melihat
bahwa rumah peristirahatan itu memang dijaga oleh pasukan pengawal yang jumlahnya belasan orang.
Mereka itu berjaga di gardu penjagaan depan rumah, sebagian ada yang berjalan-jalan, dan ada pula yang bermain kartu di gardu yang diterangi lampu gantung yang cukup terang. Rumah itu sendiri sudah nampak sunyi walaupun masih ada lampu dinyalakan di dalam. Dia lalu menyelinap melalui belakang
dan tak lama kemndian dia sudah berada di atas genteng rumah, mendekam di wuwungan sambil
mengamati ke arah depan rumah.
Mereka memang melakukan siasat yang telah didengar oleh Bun Houw di sarang gerombolan itu.
Belasan orang dipimpin oleh Ngo-kwi, muncul dari tempat gelap dan menyerbu gardu penjagaan. Para penjaga itu. tentu saja tetkejut bukan main melihat ada belasan orang menyerbu. Segera mereka
berteriak, "Perampok!" dan terjadilah pertempuran antara mereka dengan para penyerbu.
Selagi Bun Houw memandang dan siap siaga melindungi penghuni rumah, tiba-tiba ada bentakan di
belakangnya. "Pembunuh terkutuk!"
Untung Bun Houw cepat menggulingkan diri dari wuwungan, lalu meloncat dan membuat pok-sai (salto) beberapa kali ketika tubuhnya melayang turun ke atas tanah. Kalau tidak tentu dia sudah menjadi
korban serangan sepasang pedang yang amat cepat gerakannya. Kini, penyerangnya itu sudah melayang turun pula dan langsung, tanpa banyak cakap lagi, sudah menyerangnya dengan gerakan sepasang
pedangnya. "Trang-trang ... !" Bun Houw menangkis. dengan tongkatnya, diam-diam merasa heran melihat bahwa penyerangnya itu sama sekali bukanlah Bu-tek Kiam-mo. Di dalam kegelapan, malam yang hanya
diterangi lampu yang menyorot dari dalam sehingga cuaca menjadi remang-remang, dia tidak dapat
melihat jelas. Namun penyerangnya ini biarpun tidak gemuk dan ramping, namun tidaklah setinggi Butek Kiam-mo.
"Engkaulah penjahat terkutuk!" teriak Buo Houw dan diapun balas menyerang dengan tongkatnya.
Gerakan tongkatnya cepat dan dahsyat sehingga orang itu mengeluarkan suara kaget lalu meloncat ke belakang. Akan tetapi, segera dia maju lagi dan sepasang pedangnya kini menyambar-nyambar ganas
bagaikan dua ekor naga bermain-main di angkasa, menyambar-nyambar ke arah Bun Houw,
mengeluarkan suara berdesingan mengerikan. Dan sepasang pedang itu mengeluarkan angin yang
dahsyat. Tahulah Bun Houw bahwa lawannya ini lihai sekali ilmu pedangnya, akan tetapi jelas bukanlah Bu-tek Kiam-mo! Timbul perasaan khawatirnya. Kalau seorang saja sudah begini lihai, kemudian muncul Bu-tek Kiam-mo, bagaimana dia akan dapat melindungi penglima Souw dan keluarganya "
Dia lalu teringat. Orang ini tadi langsung menyerangnya dan memakinya pembunuh! Dia Pembunuh" Dia tidak pernah membunuh siapa pun juga. Mengapa dia dimaki pembunuh !
"Tranngg ... !" Tongkatnya membuat gerakan panjang, sekaligus menangkis sepasang pedang itu dan dia meloncat ke belakang. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan hitam meloncat ke atas
genteng rumah itu. Bayangan yang tinggi kurus. Tentu Bu-tek Kiam-mo, pikirnya dengan hati gelisah.
"Nanti dulu ...!" Dia berseru kepada penyerangnya.
"Tak perlu banyak cakap! Engkau datang hendak membunuh Siauw-ciangkun, bukan?" Sepasang pedang itu sudah bengerak lagi. akan tetapi Bun Houw cepat meloncat ke belakang. Kiranya penyerangnya itu seorang wanita! Tadi ketika membentaknya, dia tidak begitu jelas. Kini setelah orang itu bicara, segera dapat diketahuinya bahwa ia seorang wanita. Seorang wanita yang lihai bukan main.
"Nanti dulu! Aku bukan pembunuh, aku datang justeru untuk melindunginya, melindungi Souw ciangkun dan keluarganya. Dan pembunuhnya sudah menyelundup, lihat itu dia di atas genteng! Kau cegah dia, aku akan membantu para pengawal menghadapi serbuan penjahat. Cepat ... !"
Wanita itu agaknya baru sadar. "Baik. kalau engkau berbohong, nanti masih ada kesempatan bagiku untuk memenggal lehermu," berkata demikian bagaikan seekor burung saja ia sudah melayang ke atas genteng mengejar bayangan hitam tinggi kurus itu.
Bun Houw tersenyum. Ia tidak dapat melihat jelas wajah wanita itu, tidak tahu ia muda atau tua, cantik atau buruk. Akan tetapi yang jelas, wanita itu cukup lihai dan cukup galak. Akan tetapi dalam keadaan segawat itu, dia tidak sempat menduga-duga siapa gerangan wanita yang lihai dan galak itu. Belasan orang perajurit pengawal itu sudah nampak terdesak, bahkan ada beberapa orang di antara mereka
telah terluka. Bun Houw meloncat dan terjun ke dalam pertempuran itu sambil membentak nyaring,
"Ngo-kwi. pembunuh jahat yang pantas dibasmi!"
Lima orang yang memimpin para anak buahnya mendesak para penjaga itu terkejut ketika melihat
bayangan orang berkelebat disusul robohnya dua orang anak buah mereka. Cepat mereka berlima itu
menyambut pemuda yang baru saja menerjang masuk sambil memutar tongkatnya itu. Mereka terkejut
ketika mengenal pemuda itu. Masih teringat oleh mereka wajah Bun Houw, dan biarpun mereka diam
saja untuk tidak membuka rahasia mereka bahwa merekalah pembunuh Kwa Tin dan Ibunya, orang tua
pemuda ini, mereka segera mengeroyok dengan maksud membunuh pemuda yang akan dapat
membahayakan mereka di masa mendatang itu. Mereka berlima adalah orang-orang yang sudah biasa
melakukan kekerasan. Membunuh orang merupakan pekerjaan biasa bagi mereka dan memang mereka
berlima itu lihai, Apalagi kalau maju berlima karena mereka dapat bekerja sama dengan baik. Tidak kosong saja julukan mereka sebagai Ngo-kwi (Lima Setan) dan menjadi tokoh-tokoh ke empat dalam
urutan tingkat kepandaian para pembantu rahasia kepala daerah Nan-ping, yaitu Cun Tai-jin. Begitu lima orang itu mengepung dan mengeroyoknya dengan pedang mereka. Bun Houw menggerakkan tongkat
bututnya melindungi diri. Akan tetapi lima orang lawan itu tidak menyerang secara membabi buta saja.
Mereka membentuk sebuah Kiam-tin (pasukan pedang) dan gerakan mereka teratur rapi, seolah-olah
lima orang itu digerakkan oleh satu hati saja.
Hal ini tidak aneh karena memang mereka berlima itu ahli dalam gerakan yang dinamakan Ngo-heng-
kiam-tin (Pasukan Pedang Lima Unsur), Gerakan mereka susul menyusul dan bantu membantu, seperti
lima orang yang sedang memainkan tarian ular naga, semua sudah diperhitungkan dan pedang mereka
susul-menyusul ketika menyerang Bun Houw, juga mereka itu saling melindungi kalau pihak lawan
menyerang seorang dari mereka. Juga mereka berputar-putar, mengelilingi Bun Houw, lalu tiba-tiba menyerang bertubi-tubi, kalau serangkan mereka itu gagal, tiba-tiba mereka menghentikan serangan dan berlari-lari mengelilingi lawan lagi.
Bun Houw memang telah menerima gemblengan yang hebat dari gurunya, dan dia telah menguasai
ilmu-ilmu yang tinggi. Namun, baru saja dia meninggalkan gurunya, bagaikan seekor burung baru saja meninggalkan sarang. Dia belum berpengalaman, oleh karena itu, dia juga bersikap hati hati sekali.
Kalau dia menghendaki, pedang pusaka di tangannya, yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) tentu akan dapat merobohkan lima orang pengeroyoknya itu dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi dia bukan hanya menerima gemblengan ilmu-silat dari Si Buta Sakti Tiauw Sun Ong. melainkan terutama
sekali menerima gamblengan batin yang membuat pemuda ini sudah mampu menguasai nafsunya. Dia
tidak ingin membunuh Ngo-kwi begitu saja, melainkan hanya ingin menghajar mereka, agar mereka itu tidak jahat lagi. Maka, diapun tetap menggunakan tongkat butut yang menyembunyikan pedang pusaka ampuh. Gurunya pernah berpesan agar dia tidak sembarangan mencabut Pedang Kilat dari dalam
tongkat butut, cukup mempengunakan tongkat itu saja untuk membela dan melindungi dirinya.
Karena Bun Houw menghadapi Ngo-kwi dengan hati-hati, menangkis dengan tougkat butut dan kadang-
kadang membalas dengan pukulan-pukulan tongkat, maka lima orang pengeroyok itu tidak dapat segera dia kalahkan, bahkan mereka itu berusaha mendesak dengan serangan-serangan maut yang kejam dan
curang. Akan tetapi belasan orang anak buah penjahat itu kini terdesak. Setelah lima orang pemimpin mereka terlibat dalam pertandingan melawan pemuda bertongkat yang baru muncul, mereka
kehilangan pimpinan dan para perajurit pengawal yang gagah itu segera membuat mereka kewalahan.
Sementara itu, di sebelah dalam gedung terjadi pula perkelahian yang amat seru. Wanita yang tadi saling serang dengan Bun Houw, kemudian dapat disadarkan oleh pemuda itu dan loncat mengejar Butek Kiam-mo, dengan sepasang pedang di tangan berhasil memasuki ruangan dalam di mana ia melihat Souw ciangkun dengan mati-matian membela diri dengan sebatang pedang terhadap serangan Bu-tek
Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) Bouw Swe, Sesuai dengan julukannya, Bouw Swe yang bertubuh
tinggi kurus itu lihai bukan main dalam ilmu silat pedangnya. Jelas nampak betapa Souw Ciangkun
terdesak hebat dan hanya mampu menangkis saja tanpa dapat membalas kembali. Souw-ciangkun juga
bukan orang lemah, namun dia lebih pandai mengatur pasukan dari pada Ilmu silat, Apalagi yang
dilawan sekarang adalah seorang tokoh sesat yang lihai sekali seperti Bu-tek Kiam-mo. Jelas bahwa kalau tidak segera mendapat bantuan, dalam waktu belasan jurus lagi saja keselamatan nyawa Souw-ciangkun terancam oleh pedang Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe yang lihai itu.
Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan yang halus dan nyaring, "Pembunuh keji, siaplah untuk menerima hukuman!" Dan gadis itu sudah melayang turun dan sepasang pedangnya diputar
menjadi dua gulungan sinar yang melayang dan menyambar ke arah kepala Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe!
"Ehhhhh," Setan Pedang itu terkejut bukan main dan terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangun, Souw-ciangkun sudah mundur dan mepet di sudut ruangan
sambil melintangkan pedang di depan dada, siap membela diri, dan seorang gadis yang bertubuh
ramping sudah berdiri di situ dengan sepasang pedang di tangan. Biarpun ruangan itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung, namun cukup terang menyinari sebuah wajah yang cantik jelita namun
gagah dengan sinar mata mencorong dan sikap yang agung. Gadis itu usianya sekitar delapanbelas
tahun, tubuhnya ramping akan tetapi penuh mendekati montok dengan lekuk lengkung yang indah
sempurna membayang di balik pakaiannya yang ketat, pakaian yang biasa dipakai seorang wanita yang biasa melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw (sungai telaga atau rimba persilatan).
Pakaiannya, bersih dan rapi, namun sederhana. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, sederhana pula, seperti juga wajahnya yang hanya dilapisi bedak tipis tanpa pemerah bibir atau pipi. Memang tidak perlu menggunakan pemerah lagi karena bibirnya itu sudah merah segar membasah, pipinya juga
kemerahan sebagai, bukti bahwa gadis ini memang sehat sekali. Warna bajunya kehitaman, membuat
kulit pada leher dan mukanya nampak semakin putih mulus.
"Ciangkun, harap mundur dan biarkan aku yang menghajar kepada pembunuh laknat ini!" kata gadis itu dengan sikap tenang sekali.
"Awas, nona, ...!" Souw Ciangkun berseru ketika melihat betapa si tinggi kurus itu tiba-tiba saja sudah menggerakkan pedangnya, secara curang menyerang gadis itu tanpa memberi peringatan lagi seperti
lajimnya sikap seorang gagah dalam dunia persilatan.
"Singgg ... wuuuttt!" Gadis itu dengan tenangnya melangkah mundur selangkah dan menarik tubuh atas ke belakang. Serangan pedang itu luput dan lewat dengan cepat, akan tetapi tidak percuma Bouw Swe berjuluk Setan Pedang. Pedangnya yang meluncur luput dari sambaran itu tiba tiba saja membalik dan kini menyambar ke arah leher lawan!"
Namun, gadis itu tetap tenang saja. Tanpa menggerakkau kaki, dan berdiri dengan tegak saja, kedua tangannya menggerakkan sepasang pedangnya dan ke manapun pedang di tangan Bouw Swe
menyambar, selalu pedang itu bertemu dengan pedang gadis itu yang menangkisnya.
"Trangg, tringg, traangg, trangg ...!" berkali-kali pedang Bu-tek Kiam-mo bertemu dengan pedang gadis itu, dan nampak api berpijar menyilaukan mata dan setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, Butek Kiam-mo merasa betapa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang kuat pula.
Terjadilah perkelahian yang hebat di dalam gedung itu, hanya ditonton oleh Souw ciang-kun yang tidak berani membantu gadis itu. dia tahu bahwa ilmu silatnya terlampau rendah untuk membantu gadis itu, dan bantuannya bahkan hanya akan menjadi penghalang karena dia dapat melihat betapa hebatnya
ilmu pedang gadis itu.
Memang, baru sekali itu Ba-tek Kiam-mo bertemu tanding sebebat itu. Sekali ini, julukan yang biasanya dia banggakan dan sombongkan itu terancam bahaya. Dia berani menggunakan julukau Bu-tek Kiam-mo
(Setan Pedang Tanpa Tanding), akan tetapi sekarang dia bertemu dengan seorang gadis muda remaja
yang memiliki ilmu pedang pasangan yang amat hebat. Gerakan kedua pedang itu cepat dan aneh,
memiliki perubahan gerakan yang tidak tersangka-sangka sehingga beberapa kali dia terkecoh dan
hampir saja dia menjadi korban sambaran pedang. Selain memiliki ilmu pedang pasangan yang amat
tangguh, juga pedang-pedang di tangan gadis itu bukan siang-kiam (pedang pasangan) biasa saja karena mampu menahan pedangnya sendiri tanpa rusak, bahkan gadis itu memiliki pula sin-kang (tenaga sakti) yang mampu mengimbanginya! Sekali ini, benar-benar dia bertemu tanding yang kuat, pada hal
lawannya itu hanyalah seorang gadis remaja. Betapa akan malunya kalau sampai hal ini dikelahui oleh dunia kang-ouw. Apalagi kalau sampai dia kalah. Baru tak mampu merobohkan gadis itu saja sudah akan membuat namanya menjadi buah tertawaan para tokoh kang-ouw dan tentu dia akan diejek dan akan
merasa malu untuk menyandang julukan Tanpa Tanding lagi. Maka, diapun mengeluarkan bentakan
keras dan mengeluarkan jurus Ilmu pedangnya yang paling ampuh.
"Hyaaaaatit ... sinnggg ...!" Pedang itu membuat lingkaran sehingga sinarnya bergulung-gulung, kemudian gulungan sinar pedang itu mencuat dan meluncur ke arah perut lawan! .
Gadis itu agaknya maklum akan hebat dan dahsyatnya serangan ini, maka Iapun menggeser kaki ke
belakang, pedang kirinya menangkis dan pedang kanannya membabat ke arah leher lawan. Namun,
sekali ini agaknya Bouw Swe sudah memperhitungkan. Begitu pedangnya tertangkis, pedang ini
membalik tiba-tiba, dari bawah menyambar ke atas menjadi tusukan ke arah tenggorokan lawan
sedangkan tubuhnya merendah untuk menghindarkan sambaran pedang ke arah lehernya.
"Ihhk" Gadis itu terkejut juga hebat memang jurus serangan lawan itu. Kedua pedangnya tidak nampak lagi menangkis pada saat pedang lawan dari bawah meluncur ke atas menusuk tenggorokannya.
Terpaksa Ia melempar tubuh ke belakang, akan tetapi pada saat itu, Bouw Swe sudah mengirim
tendangan kaki kirinya ke arah selangkangan lawan!
Ahhh!" Gadis itu kembali berseru kaget, cepat ia menarik diri ke belakang, namun tetap saja ujung sepatu Bouw Swe menyentuh pahanya dan iapun terguling. Bouw Swe girang sekali dan menubruk, akan tetapi pedangnya bertemu dengan sepasang pedang yang disilangkan, dan perutnya dihantam sepatu
kaki gadis! itu.
"Dukkk!" Tubuh Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe terjengkang. Kiranya serangan tendangannya tadi dibayar kontan oleh lawan bahkan berikut bunganya karena kalau gadis itu hanya kena serempet pahanya saja, dia terkena tendangan yang dengan keras dan tepatnya mengenai perutnya, membuat perutnya
tergoncang dan seketika terasa mulas. Maklum bahwa lawannya memang tangguh sekali. Bu-tek Kiam-
mo mulai meragukan keselamalannya kalau dia lanjutkan perkelahian itu. Pada saat itu, dia mendengar teriakan-teriakan di luar rumah dan mendengar itu, wajahnya berubah gelisah. itulah suara teriakan dari Ngo-kwi dan anak buahnya, bukan teriakan kemenangan. melainkan teriakan kesakitan dan ketakutan.
Mengertilah dia bahwa pelaksanaan tugas mereka telah berentakan dan gagal, bahkan dia sendiri
terancam bahaya. Gadis yang menjadi lawannya sudah demikian lihainya. Kalau sampai gadis itu dibantu orang lain, dia pasti celaka. Maka, pedangnya bengerak ke belakang, menyambar ke arah lampu gantung yang menerangi ruangan itu dan terdengar suara nyaring. lampu pecah dan ruangan itu menjadi gelap gulita!
Gadis itu sama sekali tidak menyangka hal ini. Ia terkejut sekali dan sekali meloncat ia telah berada di dekat Souw Ciangkun, berbisik. "Ciangkun, harap diam saja jangan bergerak!" dan iapun berjaga di situ, siap untuk melindungi perwira tinggi itu kalau sampai ada musuh yang melakukan penyerangan di dalam gelap. Terpaksa Ia tidak melakukan pengejaran ketika bekas lawannya meloncat keluar, karena ia tidak berani meninggalkan perwira yang jelas diincar nyawanya oleh para penjahat itu. Memang ini yang
diharapkan Bouw Swe. Dia meloncat keluar dan benar saja. Di luar dia melihat betapa dua orang di antara Ngo-kwi sudah roboh mengaduh-aduh, sedangkan belasan orang anak buah terdesak hebat,
bahkan ada hampir separuh dari mereka telah menderita luka-luka. Dia lalu terjun membantu para anak buah yang didesak sambil berseru keras memberi aba-aba kepada mereka dan kepada Ngo-kwi untuk
melarikan diri.
Bun Houw memang telah berhasil merobohkan dua orang di antara Ngo-kwi, merobohkan tanpa
membunuh mereka, bahkan tidak melukai berat, hanya membuat orang pertama patah tulang
pundaknya dengan hantaman tongkat butut, dan orang ke dua patah tulang lengan dengan tangkisan
lengan kirinya yang mengandung tenaga siu-kang kuat. Tiga orang lainnya sudah ketakutan dan
melindungi diri mati-matian terhadap pemuda yang kini di luar dugaan mereka, telah menjadi seorang yang demikian lihainya.
Begitu mendengar aba-aba dari Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe, mereka segera berloncatan melarikan diri.
Dua orang yang tadinya hanya mengaduh-aduh, dapat berloncatab dan melarikan diri pula. Yang nyeri hanyalah pundak dan lengan, kaki mereka tidak terluka. Pula, dalam keadaan panik, orang dapat
melakukan hal-hal yang luar biasa, jauh lebih besar dari pada kekuatan serta kemampuan biasa mereka, juga dapat melupakan semua rasa nyeri yang mengganggu. Jangankan baru patah tulang pundak atau
lengan, andaikata yang patah itu tulang kaki mereka sekalipun, dalam keadaan panik ketakutan seperti itu, kiranya mereka masih akan mampu melarikan diri.
Bun Houw tidak melakukan pengejaran, karena dia sudah tahu siapa mereka. Dia bersikap tenang saja, menyimpan kembali tongkat bututnya yang diselipkan di pinggang, dan hendak meninggalkan tempat
itu. Akan tetapi terdengar suara dari dalam.
"Tai-hiap, tunggu dulu ...!"
Bun Houw menahan langkahnya lalu berbalik dan dia sudah berhadapan dengan seorang pria berusia
lima puluh tahun yang gagah dan dari sikap dan pakaiannya dia dapat menduga bahwa tentu orang ini yang disebut Souw-ciangkun dan tadi hendak dibunuh oleh kawanan penjahat. Di samping perwira ini berdiri seorang gadis yang membuatnya kagum bukan main karena dia masih mengenal pakaian baju
hitam dan celana kuning yang dipakai gadis itu. Ternyata wanita yang lihai dan galak tadi adalah seorang gadis remaja, pikirnya penuh kagum. Seorang gadis yang usianya tentu belum ada duapuluh tahun!
Gadis itupun memandang kepadanya dengan penuh perhatian, kemudian ia menoleh kepada perwira
itu dan berkata.
"Souw-ciangkun, apakah ciangkun sudah mengenal dia ini?" suara gadis itu halus, akan tetapi tegas.
Perwira itu mengamati wajah Bun Houw dan menggeleng kepala.
"Kalau ciangkun belum pernah mengenalnya, sebaiknya orang ini ditahan dan ditanyai dengan jelas. Aku tadi melihat dia bersembunyi di atas wuwungan rumah ini. Siapa tahu dia seorang di antara para
penjahat yang hendak membunuh ciangkun!"
Mendengar ini, Bun Houw mengerutkan alisnya dan hendak membantah, akau tetapi dia menekan
perasaannya. Nona ini lihai dan galak, dia tidak perlu menanggapi, karena kalau demikian, berarti mereka berdua sama galaknya. Diapun tersenyum saja dan menyerahkan kepada perwira itu untuk
melakukan penilaian. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara para petugas jaga atau para pengawal, membantah ucapan gadis itu.
"Ciangkun, kami melapor!" kata kepala jaga dengan suara tegas dan sikap seorang perajurit sejati, "Kami tadi telah diserbu oleh belasan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang yang lihai. Kemudian muncullah pendekar ini dan tanpa bantuan dia, mungkin kami semua telah roboh menjadi korban
kejahatan gerombolan itu. Pendekar ini telah menyelamatkan kita, ciangkun, dia sama sekali bukan penjahat, bahkan dia yang mengusir para penjahat tadi!"
Mereka semua mengangguk-angguk dan mereka memandang kepada gadis ini dengan sinar mata
penasaran dan marah mendengar betapa penolong mereka bahkan dituduh menjadi penjahat!"
Perwira itu mengangguk-angguk dan tersenyum. "Akupun sudah menduga demikian. Ketahuilah, aku sendiri mungkin telah tewas kalau saja tidak ada li-hiap (pendekar wanita) ini yang menyelamatkan aku.
Kalian semua lakukanlah penjagaan dengan ketat dan rawat teman yang terluka. Tai-hiap (pendekar
besar) dan li-hiap (pendekar wanita), mari silakan masuk ke ruangan dalam. Kami ingin bercakap-cakap dengan ji-wi (anda berdua)."
Sejenak Bun Houw saling pandang dengan gadis itu. Bun Houw tersenyum, senyum yang mengandung
godaan karena baru saja gadis itu menuduhnya sebagai penjahat, dan gadis itu agaknya dapat mengenal senyum yang mengandung godaan itu. Ia cemberut dan membuang muka. Demikian manisnya gerakan
ini, manis dan manja sehingga senyum di bibir Bun Houw melebar. Bukan main gadis ini, pikirnya. Bukan saja cantik dan gagah perkasa, akan tetapi setiap gerakannya mengandung daya tarik yang demikian kuat. Bahkan menarik muka cemberutpun tampak makin manis!
Mereka berdua tanpa bicara mengikuti perwira itu masuk ke ruangan sebelah dalam, disambut oleh
Nyonya Souw yang masih nampak pucat ketakutan. Ketika terjadi keributan, ketika suaminya keluar dari kamar membawa pedang, ia hanya bersembunyi saja di dalam kamar sambil mengintai dari celah-celah jendela kamar.
"Nona pendekar inilah yang tadi telah menyelamatkan aku ketika diserang penjahat dan tai-hiap ini yang mengusir para penjahat yang menyerbu ke sini. Li-hiap dan tai-hiap ini adalah isteriku." Nyonya rumah memberi hormat, dibalas oleh Bun Houw dan gadis pendekar itu. Kemudian nyonya Souw masuk ke
dalam lagi untuk mempersiapkan minuman, dan meninggalkan suaminya bercakap-cakap dengan dua
orang penolongnya.
Setelah Isterinya masuk, Souw Ciangkun lalu bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang
muda itu. "Pertama-tama, aku mengucapkan terima kasih kepada ji-wi (kalian berdua) yang telah menyelamatkan kami dari sergapan gerombolan penjahat."
Bun Houw segera bangkit berdiri pula dan membalas penghormatan itu sambil berkata. "Tidak perlu berterima kasih, ciangkun. Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menentang orang jahat."
Gadis itupun tidak mau kalah. Ia membalas penghormatan perwira itu dan berkata, "Sebagai seorang pendekar, aku selalu akan membela yang benar dan membinasakan yang jahat. Tidak perlu berterima
kasih, Souw Ciangkun!"
Bun Houw memandang kepadanya dan kebetulan gadis itupun melirik sehingga kembali pandang mata
mereka bertemu dalam suasana seperti dua orang bersaing!
"Silakan ji-wi duduk," kata pembesar militer itu. "Setelah mengucapkan terima kasih, aku ingin sekali mengetahui bagaimana ji-wi dapat mencegah terjadinya kejahatan ini dan bagaimana dapat mengetahui bahwa mereka malam ini menyergap kami yang sedang berlibur di sini. Mari kita mulai dari
keteranganmu. tai-hiap "
Bun Houw melirik ke arah gadis itu yang memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik sehingga
dia merasa seolah-olah dia sedang diperiksa sebagai seorang pesakitan di depan seorang hakim! Sinar mata gadis itu seolah-olah mengandung suatu ketidak percayaan atau kecurigaan terhadap dirinya!"
Pendekar Kembar 8 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Jodoh Si Mata Keranjang 11
^