Pencarian

Kisah Si Pedang Kilat 7

Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


mempunyai banyak arca dan ukir-ukiran, seperti istana raja saja di antara bangunan-bangunan lain yang nampak kecil sederhana yang terdapat di sekitar lembah itu. Gadung itu milik Bu-eng.kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman. Seluruh sawah ladang yang berada di bukit itu adalah milik datuk ini, dan para petani yang tinggal di sekitar tempat itu merupakan buruh tani penggarap sawah
ladangnya. Bu-eng-kiam Ouwyang Sek terkenal sebagai daluk persilatan yang ditakuti, besar
pengaruhnya, dan kaya raya.
Pada pagi hari itu, para pelayan laki-laki dan perempuan yang jumlahnya belasan orang di gedung itu nampak sibuk. Pihak tuan rumah sekeluarga, yaitu Ouwyang Sek, isterinya, dan kedua anaknya, yaitu Ouwyang Toan pemuda berusia dua puluh delapan tahun, dan Ouwyang Hui Hong gadis berusia dua
puluh satu tahun, sedang menerima kunjungan tamu-tamu yang agaknya dihormati oleh keluarga tuan
rumah. Memang jarang terjadi dan agak aneh kalau keluarga Ouwyang yang terkenal angkuh dan memandang
rendah orang lain itu sekali ini menerima kunjungan tamu yang dihormati. Akan tetapi, tidak akan mengherankan lagi kalau diketahui siapa yang datang berkunjung. Tamu tamu kehormatan itu adalah
datuk besar Kui-siauw-giam-ong Suma Koan, majikan Bukit Bayangan Setan bersama putera tunggalnya, Tok-siauw-kwi Suma Hok. Datuk yang datang sebagai tamu ini mempunyai kedudukan dan tingkat yang
sama dengan pihak tuan rumah, dan kunjungannya adalah kunjungan kehormatan, membawa
segerobak barang-barang hadiah amat berharga. Tentu saja Ouwyang Sek merasa terhormat dan girang sekali, dan disambutlah rekan setingkat itu dengan gembira dan penuh kehormatan pula. Dia
mengarahkan isteri dan dua orang anaknya untuk ikut menyambut! Tentu saja hal ini menggirangkan
pihak tamu, karena kedatangan mereka mempunyai maksud untuk mengajukan pinangan!"
Setelah para pengawal dan pengikutnya menghamparkan semua barang hadiah di atas meja besar di
ruangan tamu yang luas itu, dipandang dengan kagum oleh Ouwyang Sek dan keluarganya, Suma Koan
dengan wajah berseri bangga lalu mamberi hormat kepada tuan rumah.
"Sahabatku Ouwyang, sudah puluhan tahun antara kita terdapat ikatan yang akrab, bukan saja sebagai saingan dalam dunia persilatan, juga sebagai orang setingkat dan sederajat. Biarpun kadang-kadang keadaan membuat kita saling berhadapan sebagai saingan maupun lawan, namun di lubuk hatiku selalu ada perasaan kagum terhadapmu, sobat! Dan karena rasa kagum itulah, maka hari ini kami datang,
bukan saja membawa sakedar oleh-oleh sebagai tanda persahabatan dan penghormatan. Juga
membawa iktikad baik untuk lebih mempererat hubungan di antara keluarga kita."
Ouwyang Sek yang berusia limapuluh tiga tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan gagah
perkara itu, tertawa bergelak sambil memandang kepada tamunya yang usianya limapuluh delapan
tahun, dan biarpun tubuh datuk itu kecil kurus, namun Ouwyang Sek tidak memandang rendah
kepadanya karena dia tahu bahwa tubuh yang kecil itu memiliki kemampuan luar biasa dan dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan Suma Koan dengan mudah.
"Ha-ha-ha-ha, engkau selalu merupakan orang yang kukagumi, sobat Suma! Baik sebagai saingan, lawan maupun kawan. Aku dan keluargaku menghargai kunjungan persahabatan ini, dan marilah engkau dan
puteramu menerima hidangan kami seadanya!" Langsung saja dua orang tamu itu dipersilakan
memasuki ruangan dalam, di mana telah diatur meja yang penuh hidangan. Tamu ayah dan anak itu
bersama pihak tuan rumah yang terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak duduk mengelilingi meja
hidangan. Sejak tadi, setelah diberi kesempatan memberi hormat kepada pihak tuan rumah, Suma Hok yang tampan dan pesolek berulang kali melepas pandang mata yang penuh kagum dan sayang ke arah
Ouwyang Hui Hong. Namun gedis ini pura-pura tidak tahu saja walaupun ia bersikap ramah terhadap
dua orang tamu itu demi ayahnya. Dalam lubuk hatinya Hui Hong tak pernah dapat melupakan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika ia nyaris diperkosa olah pemuda tampan pesolek itu.
Kedua pihak saling memberi hormat dan selamat melalui pengangkatan cawan arak dan mereka makan
minum dengan gembira seperti layaknya tamu dan tuan rumah yang menjadi sahabat akrab dan saling
menghormati. Sungguh luar biasa sekali kalau di ngat betapa dua orang datuk ini pernah beberapa kali berhadapan sebagai lawan dan saling serang mati-matian!"
Setelah mereka makan minum sampai kenyang. pihak tuan rumah mempersilakan dua orang tamunya
ke ruangan dalam yang lebih luas. di mana mereka dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira.
Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong tetap disuruh menemani ayahnya menyambut tamu-tamu itu
dan melayani mereka bercakap-cakap.
Melihat sikap yang ramah dan senang hati dari Ouwyang Sek, Suma Koan melihat kesempatan baik
sekali untuk menyampaikan isi hatinya. "Sahabat Ouwyang, sesungguhnya kedatangan kami ini
mempanyai niat yang amat baik, yaitu kami ingin sekali agar keluarga antara kita terjalin hubungan yang lebih baik. bahkan dua keluarga dapat menjadi satu!"
Ouwyang Sek adalah seorang yang keras hati dan keras kepala, kasar dan terbuka, maka dia masih
belum mengerti apa yang dimaksudkan tamunya. "Ha-ha-ha, sahabat Suma kunjunganmu ini saja sudah mempererat hubungan antara kita. Niat baik apalagi yang kau miliki terhadap kami?"
"Sahabat Ouwyang, engkau tahu bahwa aku hanya mempunyai seorang anak, yaitu puteraku Suma Hok ini, biarpun dia bodoh akan tetapi namanya cukup dikenal di dunia kang-ouw dan aku sudah bersusah payah untuk mewariskan seluruh kepandaian dan milikku kepadanya. Tahun ini, usianya sudah
duapuluh lima tahun dan setelah mencari-cari sampai beberapa lama, aku tidak melihat seorangpun
gadis yang pantas menjadi jodohnya, kecuali puterimu yang cantik jelita dan pandai ini. Kami datang untuk meminang puterimu!"
Ouwyang Sek terbelalak mendengar ini, menoleh ke arah puterinya yang mengerutkan alis dan mukanya menjadi merah sekali, dan diapun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, aku sampai lupa bahwa aku mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa!" Dia tertawa-tawa lagi.
"Ayah, aku belum ingin menikah!" Tiba-tiba Hui Hong berkata dengan suara tegas.
Ouwyang Sek menghentikan tawanya. "Ehhh!" Dia menggerak-gerakkan alisnya yang tebal. "Hui Hong, ingat, usiamu sekarang sudah dua puluh satu tahun, dan pelamarmu sekali ini adalah putera datuk besar Suma Koan, majikan Bukit Bayangan Setan!"
Suma Koan tertawa. "Ha-ha, sahabat Ouwyang, harap jangan terlalu memuji. Keadaanku tidak lebih besar dari pada keadaanmu, akan tetapi kalau keluarga Ouwyang menjadi satu dengan keluarga Suma, bukankah kita berdua menjadi yang terbesar dan siapa yang akan berani menentang kita!"
"Benar ... benar ... ah, pinanganmu ini akan kami pertimbangkan baik-baik ...!" kata Ouwyang Sek sambil tertawa lagi.
"Ayah! Aku tidak sudi menjadi jodoh jahanam yang tiga tahun lalu nyaris memperkosaku ini!" kata Hui Hong dan iapun bangkit berdiri lalu lari meningalkan ruangan itu menuju ke kamarnya.
"Hui Hong ...!" ibunya berseru dan lari mengejar.
Ouwyang Sek bersungut sungut, merasa tidak senang melihat sikap puterinya dan merasa tidak enak
kepada tamunya. "Sobat Suma Koan, engkau dan puteramu duduklah dulu, aku akan membujuk anak bandel itu. Percayalah, dia pasti akan taat kepada ayahnya," Katanya dan diapun lari mengejar anak dan isterinya. Suma Koan tersenyum dan minum araknya, tidak memperdulikan putranya yang kelihatan
kecewa. Dia sudah merasa yakin bahwa tentu Ouwyang Sek akan menerima pinangannya. Dia tahu
betapa rekannya itu terlalu mementingkan diri sendirl dan akan menggunakan siapapun, termasuk anak sendiri, demi keuntungan diri pribadi. Kalau keluarga Ouwyang menerima pinangannya, berarti dua
keluarga datuk itu menjadi satu dan kedudukan masing-masing menjadi semakin kuat. Mana mungkin
penawaran yang demikian menguntungkan akan ditolak oleh Ouwyang Sek. Ouwyang Toan yang kini
duduk sendiri bersama dua orang temannya, sejak tadi memang sudah merasa canggung dan tidak suka.
Diapun ikut merasa tidak suka mendengar pinangan itu, mengingat bahwa adiknya pernah akan
diperkosa Suma Hok yang menjadi saingannya sebagai putera datuk yang bersaingan. Maka, melihat
ayahnya lari mengejar, diapun baugkit dan mengaagguk kepada dua orang tamunya, dan melangkah
pergi meninggalkan ruangan itu, juga menyusul adiknya.
Hui Hong duduk di tepi pembaringannya, alisnya berkerut, mukanya merah dan mulutnya cemberut.
Ibunya kini duduk di dekatnya sambil merangkul pundak puterinya.
"Hui Hong. kenapa engkau bersikap seperti itu" Usiamu sudah duopuluh satu tahun dan ayahmu benar, engkau sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Dan biarpun aku belum mengenal pemuda itu,
akan tetapi aku tidak melihat keburukan pada dirinya, Dia tampan, halus dan sopan ... "
"Ibu! Ibu tahu apa" Jahanam itu pernah menawan aku dan nyaris memperkosaku, ibu! Kalau tidak ada Kwa Bun Houw yang menyelamatkan aku, tentu anakmu ini sekarang sudah mati membunuh diri karena
dinodai jahanam busuk itu. Bagaimana mungkin aku dapat menjadi isterinya!"
"Omong kosong!" Tiba-tiba ayahnya memasuki kamar dan membentak marah. "Perbuatannya itu bukan berarti dia jahat dan busuk, melainkan karena dia cinta padamu, Hui Hong. Buktinya, sekarang dia datang bersama ayahnya dan mengajukan pinangan secara resmi. Dan kaulihat sendiri, hadiah yang
dibawanya lebih besar dari pada kalau engkau dipinang putera seorang bangsawan tinggi. Ini berarti bahwa keluarga Suma menghargaimu, Hui Hong. Kalau engkau menjadi mantu Suma Koan, engkau akan
menjadi seorang nyonya yang terhormat kaya raya, mulia dan terlindung."
"Tidak, aku tidak sudi, ayah!" Hui Hong berseru, juga dengan suara keras penuh kemarahan.
"Engkau harus mau, ini perintahku!" ayahnya membentak pula.
Pouw Cu Lan, ibu Hui Hong, segera menengahi. "Aih, kalian ini ayah dan anak sama-sama keras kepala.
Kenapa urusan ini tidak dibicarakan dengan tenang saja" Keduanya suka mengalah, serta
mempertimbangkan pendapat masing-masing dan kita rundingkan, mana yang benar dan baik."
Hui Hong adalah seorang gadis yang cerdik walaupun ia keras hati. Ia juga mengenal ayahnya sebagai seorang yang berhati baja dan sukar sekali untuk mengubah apa yang sudah diputuskan ayahnya. Maka, tadi ia sudahi memutar otak dan kini ia turun dari pembaringan, berdiri tegak menghadapi ayahnya yang sudah mulai marah.
"Ayah, dongeng-dongeng jaman dahulu menyatakan bahwa setiap orang gadis yang terhormat harus dapat menjaga harga dirinya, dan setiap orang puteri kalau dipinang orang selalu mengajukan syarat.
Aku pun ingin menjadl puteri terhormat dan siapapun yang meminangku, harus memenuhi syarat yang
kuajukan!"
Mendengar ini, agak berkurang kemarahan Ouwyang Sek. "Hemm, sekarang engkau bicara dengan
sehat. Memang engkau berhak mengajukan syarat. Nah, syarat apa yang kauajukan itu, cepat katakan agar dapat kusampaikan kepada keluarga Suma."
"Aku mempunyai dua macam syarat yang harus dipenuhi." kata gadis itu dengan suara tegas. "Pertama aku minta agar mustika Akar Bunga Gurun Pasir yang hilang dari tangan ayah itu dapat ditemukan
kembali dan diserahkan kepadaku. Hal ini menyangkut kehormatan keluarga kami, ayah."
Ouwyang Sek memandang puterinya dengan wajah yang cerah dan dia menganggukkan kepala. "Bagus!
Syarat itu memang pantas dan aku sendiri memperkuat syarat itu. Keluarga Suma harus bisa
mendapatkan kembali mustika itu dan menyerahkannya kepada kita!" katanya gembira.
"'Masih ada syarat ke dua dan ke tiga, ayah."
"Hemm, katakan dua yang lain!"
"Syarat ke dua, aku hanya mau menjadi isteri seorang yang dapat menandingi dan mengalahkan aku. Hal inipun kulakukan untuk mengangkat nama dan kehormatan ayah."
Pria tinggi besar itu kini tersenyum dan mengangguk-angguk. "Baik sekali. Memang putera Suma Koan itu harus belajar yang rajin dan harus dapat mengunggulimu dalam ilmu silat. Syarat ke dua itupun akan kusampaikan kepada mereka."
"Syarat yang ke tiga adalah untuk menebus penyesalanku, ayah. Syarat itu adalah bahwa sebelum aku menerima pinangan itu, harus diusahakan agar aku dapat bertemu dengan Kwa Bun Houw dalam
keadaan sehat!"
Terbelalak sepasang mata itu dan kulit muka yang kehitaman itu menjadi semakin hitam. Datuk itu
kembali marah. "Hui Hong, apakah engkau gila" Syaratmu yang ke tiga itu tidak mungkin!"
"Kenapa tidak, ayah" Ketika aku nyaris diperkosa jahanam Suma Hok, aku diselamatkan oleh Kwa Bun Houw. Akan tetapi ayah tidak membalas budi itu. sebaliknya ayah bahkan memukulnya dan melukainya.
Aku merasa menyesal sekali, maka aku ingin bertemu dengan dia dan minta maaf."
"Huh, mana bisa begitu" Kalau dia sudah mampus?"
"Kalau dia sudah mati, aku tidak mau menikah!"
"Hei i?" Gilakah engkau" Celaka, anak ini jatuh cinta kepada setan itu!"
"Memang aku cinta kepada Houw-ko, ayah. Dia baik, berbudi, gagah perkasa dan aku berhutang nyawa dan kehormatan kepadanya. Aku, ... "
"Cukup! Syarat gila itu tidak dapat diterima."
"Kalan begitu, akupun tidak sudi menikah dengan siapapun!"
"Aku akan memaksamu!"
Sepasang mata gadis itu mencorong penuh kemarahan. "Ayah keras hati dan hendak memaksaku" Apa
ayah kira akupun tidak dapat berkeras hati" Dengan kekerasan ayah dapat memaksaku, akan tetapi,
akupun dapat membalas. Aku akan membunuh diri ketika pernikahan dirayakan dan jahanam itu hanya
akan mengawini mayatkn dan ayah akan mendapat malu besar di depan para tamu!"
"Anak setan! Kalau begitu lebih baik sekarang saja engkan mati!" Datuk itu sudah mengangkat tangan dan hendak menyerang Hui Hong yang sama sekali tidak kelihatan takut. Melihat ini, Pouw Cu Lan
menubruk suaminya.
"Jangan ...!" teriaknya.
Akan tetapi sekali dorong, tubuh wanita itu terlempar ke atas pembaringan. Dorongan yang terarah ini menunjukkan betapa sayangnya Ouwyang Sek kepada isterinya, walau dalam keadaan marah sekalipnn.
Dia melangkah maju hendak melanjutkan serangannya membunuh Hui Hong.
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak membunuh anakku! Ia bukan anakmu, engkau tidak berhak
membunuhnya!" Wanita itu berteriak, nadanya lantang dan mendengar ini, Ouwyang Sek seperti
tersentak, tangan yang sudah diangkat itu turun dan perlahan-lahan dia memutar tubuhnya,
menghadapi isterinya yang masih terduduk di atas pembaringan.
"Cu Lan, ... kau ... kau membuka rahasia itu ...!" kata Ouwyang Sek, semua kekerasan lenyap dari suaranya.
"Tidak perduli! Engkau tidak berhak membunuh anakku. Bukankah selama duapuluh tahun ini aku memegang janji, menyerahkan segalanya kepadamu, bahkan mencoba untuk belajar mencintamu" Akan
tetapi, hari ini engkau hendak memaksanya menikah dengan orang yang tidak disukainya, hendak
membunuhnya. Ia bukan anakmu!"
Diserang dengan ucapan seperti itu oleh Isterinya, Ouwyang Sek tertegun, mukanya berkerut seperti menahan rasa nyeri di dalam dadanya, kemudian dia menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.
"Baik ... baik, Cu Lan. aku tidak akan membunuhnya ... "
Dan dia menoleh ke arah Hui Hong. "Aku akan minta mereka memenuhi syarat pertama dan ke dua, akan tetapi aku tidak perduli akan syaratmu yang ke tiga. Kalau dua syarat itu telah dipenuhi engkau harus menikah dengan Suma Hok, mau atau tidak mau! Kalau engkau akan membunuh diripun silakan,
akan tetapi engkan harus menikah dengan putera Kui-siauw Giam-ong kalau dia dapat memenuhi dua
syaratmu!"
Setelah berkata demikian, datuk besar ini keluar dari dalam kamar puterinya dan membanting daun
pintu. Ketika tiba di luar, dia melihat puteranya, Ouwyang Toan berada di situ dan tahulah dia bahwa puteranya tadi juga ikut mendengarkan semua percakapan dalam kamar.
"Mau apa kau di sini?" tegur Ouwyang Sek yang masih marah.
Wajah pemuda tinggi besar dan gagah itu nampak tegang dan sinar matanya berseri. "Ayah ... kalau begitu ... adik Hui Hong bukanlah adik tiriku, bukan anak kandung ayah" Kalau begitu ... antara ia dan aku tidak ada hubungan darah sama sekali ... "
"Hemm, kalau sudah begitu kenapa?" ayahnya membentak dengan suara lirih agar jangan terdengar isterinya yang berada di kamar puterinya, sambil terus melangkah meninggalkan tempat itu di kuti puteranya, "Kalau begitu aku dapat mengawininya, ayah! Aku ... sejak dulu aku ... cinta kepada Hui Hong."
Kembali Ouwyang Sek tertegun, akan tetapi karena hatinya sedang risau dan mendongkol, dia
cemberut." Masa bodoh ia mau menikah dengan siapa, asal dapat mamenuhi syarat-syaratnya."
"Apakah syarat-syaratnya, ayah" Aku masih kurang begitu jelas. Ia menyebut-nyebut Kwa Bun Houw ... "
"Itu tidak masuk hitungan! Syaratnya hanya dua, pertama harus dapat menemukan kembali mustika Akar bunga Gurun Pasir, ke dua harus mampu mengalahkannya."
"Akan kucoba, ayah."
Ayahnya menoleh dan memandang kepadanya, lalu mendengus marah. "Agaknya engkau pun sudah
gila!" Mereka memasuki ruangan tamu dan dua orang tamu mereka segera bangkit menyambut. Suma Koan
tersenyum lebar. "Aha, sobat Ouwyang Sek, aku percaya engkau tentu telah berhasil membujuk
puterimu, dan menerima pinangan kami."
Ouwyang Sek duduk, juga Ouwyang Toan mengambil tempat duduk semula. Setelah memandang
kepada kedua orang tamu itu, dia lalu berkata. "Aih. puteriku memang manja sekali. Ia tidak lagi menolak, akan tetapi mengajukan syarat-syarat!"
"Aihh! Syarat-syarat apakah yang diajukan adinda Ouwyang Hui Hong itu, paman!" terdengar Suma Hok bertanya, suaranya penuh gairah karena dia merasa yakin akan mampu memenuhi syarat yang diajukan gadis yang membuatnya tak nyenyak tidur tak enak makan itu.
"Syarat ini bukan hanya untuk keluarga Suma, melainkan syarat umum terhadap siapa saja yang ingin memperisteri Hui Hong. Pertama, pemuda itu harua mampu mencari sampai dapat mustika Akar Bunga
Gurun Pasir kami yang hilang dan menyerahkan kepada Hui Hong, dan ke dua, pemuda itu harus mampu menandingi dan mengalahkan Hui Hong?"
Suma Hok mengerutkan alisnya. Syarat syarat itu, terutama yang pertama, terasa berat olehnya dan dia memandang kepada ayahnya. Akan tetapi Suma Koan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, syarat-syarat itu cukup sukar, akan tetapi untuk mendapatkan seorang gadis sehebat Ouwyang Hui Hong. syarat itu masih terlalu lunak. Sobat Ouwyang, kami menyanggupi syarat-syarat itu.
Pertama akan kami coba penuhi syarat pertama menemukan kembali mustikamu itu, baru kemudian
kami memenuhi syarat ke dua. Nah, kami minta diri, akan segera melaksanakan syarat pertama."
Ouwyang Sek bangkit dan mengantar kedua orang tamunya sampai ke pintu depan, ditemani oleh
Ouwyang Toan. Diam-diam Ouwyang Toan merasa lega dan girang. Tadi ayahnya mengajukan di depan
dua orang tamunya bahwa syarat-syarat itu ditujukan kepada siapa saja yang hendak memperisteri Hui Hong! Berarti dia pula berhak mempertsteri gadis itu kalau dapat memenuhi dua syarat itu. Dia harus lebih dulu mendapatkan kembali Akar Bunga Gurun Pasir, jangan sampai keduluan Suma Hok!
Akan tetapi Suma Hok merasa tidak puas sama sekali. Biarpun ayahnya telah menyanggupi dan
menerima dua syarat itu, akan tetapi dia merasa seperti dipersukar, apalagi dia tidak mendapat
kesempatan untuk berpamit kepada Hui Hong sehingga dapat bertemu lagi dengan gadis itu. Maka,
sebelum ayahnya meninggalkan pintu gerbang keluarga Ouwyang, dia berhenti dan memberi hormat
kepada Ouwyang Sek.
"Maafkan saya, paman Ouwyang, Karena syarat itu cukup berat dan entah sampai kapan saya akan dapat membawa ke sini mustika itu untuk dihaturkan kepada paman dan adinda Ouwyang Hui Hong,
maka perkenankanlah saya untuk berpamit kepada puteri paman yang amat saya cinta itu."
Mendengar ini, Suma Koan cepat berkata untuk membela puteranya, "Ha-ha-ha, dasar orang muda.
Sobat Ouwyang, kurasa permintaan anakku itu pantas saja. Pula, sebagai tamu, aku sendiri merasa
kurang enak kalau tidak pamit dari semua keluargamu yang tadi menyambut kami. Akupun ingin
berpamit kepada isterimu dan puterimu."
Ouwyang Sek baru teringat akan sopan santun. Keluarganya telah menyambut tamu, bagaimana
sekarang tidak muncul ketika tamu-tamunya pulang. "Ha-ha-ha, memang sulit mengatur wanita. Toan-Ji (anak Toan), kau cepat minta ibumu dan adikmu keluar mengantar tamu!"
Biarpun hatinya merasa tidak senang, Ouwyang Toan pergi juga ke kamar adiknya. Dia mengetuk pintu kamar dan yang keluar adalah ibu tirinya. Akan tetapi dia dapat mendengar suara adiknya menangis!
Adiknya menangis! Sungguh hal yang teramat aneh. Gadis yang keras hati dan gagah berani itu
menangis! Dan dia teringat akan rahasia yang dibuka ayahnya tadi. Agaknya itulah yang membuat Hui Hong menangis.
Ketika mendengar Ouwyang Toan menyampaikan permintaan suaminya, Pouw Cu Lan mengerutkan
alisnya. "Katakan pada ayahmu bahwa saat ini adikmu tidak mungkin dapat keluar mengantar tamu pulang,"
"Tapi ayah akan marah ..."
"Katakan saja kepada ayahmu bahwa kalau besok para tamu mendatang lagi, aku tentu sudah dapat membujuk Hui Hong untuk keluar dan mengantar mereka pulang." Ia lalu masuk lagi dan menutupkan daun pintu kamar anaknya.
Terpaku Ouwyang Toan menyampaikan jawaban ibunya itu kepada ayahnya yang menjadi bingung, tak
tahu bagaimana harus bersikap atau bicara kepada tamunya.
Akan tetapi mendengar laporan Ouwyang Toan itu. Suma Hok yang cerdik segera berkata dengan
gembira. "Kalau begitu, biarlah kita menanti semalam di sini, ayah! Kesempatan ini dapat kupergunakan untuk melihat-lihat keindahan bukit ini."
"Ha-ha-ha, boleh saja kalau sobat Ouwyang Sek tidak berkeberatan menerima kita bermalam di sini semalam, agar besok aku dapat berpamit dari semua keluarganya." kata Suma Koan.
Tentu saja Ouwyang Sek tidak dapat berbuat lain kecuali menerima mereka, dan mereka semua masuk
kembali. Hanya Ouwyang Toan yang diam-diam mendongkol kepada Suma Hok yang mulai saat itu
dianggap sebagai saingannya untuk memperisteri Hui Hong yang sudah disayangnya sejak kecil. Rasa sayang sebagai kakak terhadap adik yang makin lama berkembang menjadi asmara, Apalagi setelah
diketahui bahwa Hui Hong bukan adiknya, melainkan orang lain!"
*** Ouwyang Toan tidak salah dengar. Ketika dia menyampaikan pesan ayahnya kepada ibu tirinya, dia
memang mendengar adiknya sedang menangis. Dan memang hal ini amat aneh. Hui Hong sejak kecil
hidup dalam keluarga Ouwyang Sek, digembleng sehingga menjadi seorang gadis yang berani, keras hati dan seolah-olah pantang menangis, seperti seorang laki-laki gagah perkasa saja. Akan tetapi ketika itu, ia menangis terisak-isak, tak tertahankan sampai sesenggukan.
Kemarahan ayahnya yang hendak memaksanya menerima pinangan Suma Hok tidak membuat ia
menangis walaupun ia marah, kecewa dan penasaran sekali. Akan tetapi, ketika mendengar ucapan
ayah dan ibunya, ketika ibunya mengatakan bahwa ia bukan anak kandung ayahnya, hal itulah yang
menikam ulu hatinya. Setelah ayahnya pergi, ia menubruk ibunya, bahkan mengguncang kedua pundak
Ibunya. "Ibu, apa artinya semua itu" Aku bukan-anak kandung ayah" Ibu, apa artinya ini" Ayah bilang ibu telah membuka rahasia. Ibu, rahasia apakah yang terkandung di balik kehidupan ibu dan ayah" Kalau aku
bukan anak kandung ayah, lalu siapakah ayahku" Ibu, ceritakan semua kepadaku!"
Dan berceritalah Pouw Cu Lan. Wanita cantik berusia empatpuluh dua tahun kita berceritera dengan suara gemetar menahan perasaan yang menusuk-nusuk. "Tahukah engksu siapa ibumu ini, anakku?"
"Bukankah ayah sering membanggakan bahwa ibu adalah bekas selir kaisar" Apakah kalau begitu ayahku adalah ... kaisar?"
Wanita itu menggeleng kepalanya. Sungguh berat rasanya membuka rahasianya, rahasia yang penuh
keaiban terhadap anak kandungnya sendiri.
"Memang benar, aku adalah seorang yang pernah menjadi selir mendiang Kaisar Cang Bu di Nan-king.
kaisar Kerajaan Liu-sung yang telah jatuh dan digantikan Kerajaan Chi yang sekarang ini, anakku. Dengan mendiang kaisar, aku tidak mempunyai anak. Akan tetapi, duapuluh dua tahun yang lalu, sebagai selir kaisar aku bertemu dengan seorang pangeran. Kami. ... saling jatuh hati, saling mencinta dan kami ...
mengadakan hubungan gelap."
Hui Hong yang mendengar cerita itu mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Ia hanya tahu bahwa ibunya terpaksa menjadi selir kaisar tidak mencinta kaisar dan bertemu dengan
pangeran yang di cintanya.
"Akan tetapi, hubungan kami ketahuan kaisar. Pangeran itu merasa malu dan ... membutakan kedua matanya sendiri, lalu minggat dari Istana, dan aku ... aku menerima hukuman dari kaisar. Aku dihukum buang, ... " Kini Pouw Cu Lin tidak dapat menahan tangisnya lagi karena ia teringat akan kekasihnya, pangeran itu.
"Lalu bagaimana, ibu?" Karena penasaran dan ingin tahu, Hui Hong mendesak ibunya yang sedang menangis.
"Ketika aku sedang dikawal menuju ke tempat pembuangan, Ouwyang Sek menghadang, membunuh
para pengawal dan membebaskan aku dari kerangkeng, lalu dia ... dia mengambil aku sebagai isterinya.
Hui Hong mengerutkan alisnya. Cerita ibunya sungguh membuat ia tidak merasa senang. Ibunya seorang yang demikian cantik, dan pria yang selama ini dianggap sebagai ayahnya demikian buruk dan kasar.
"Dan ibu mau?" komentarnya yang mengandung teguran karena penasaran.
Wanita itu terisak, kepalanya tunduk dan ia mengangguk. "Aku ... aku terpaksa mau karena ... karena hendak menyelamatkan ... engkau, Hui Hong."
Sekali ini Hui Hong terlonjak kaget. "Ibu, apa artinya ini! Apa maksud ibu?"
"Hui Hong, apakah engkau kira ibumu ini demikian rendah sehingga rela begitu saja dipisahkan dari pangeran itu, satu-satunya orang yang kukasihi dengan badan dan batinku. Demi engkaulah maka aku terpaksa menerima paksaan derita lahir batin. Kalau tidak ada engkau, tentu sebelum dihukum buang, aku sudah membunuh diri mencuci aib dan duka karena dipisahkan dari pangeranku."
"Demi aku, Ibu, jelaskanlah!" Hui Hong semakin penasaran.
"Ketika aku dan pangeran itu dipisahkan dengan paksa. aku dalam keadaan mengandung, anakku.
Mengandung ... engkau! Baru tiga bulan kandunganku itu. Aku tidak ingin kehilangan engkau, karena engkaulah satu-satunya peninggalan kekasihku itu kepadaku. Aku rela dihukum buang, bahkan ketika aku diselamatkan Ouwyang Sek, aku rela diperisteri dengan syarat bahwa aku baru mau menjadi
isterinya setelah engkau terlahir dan setelah dia berjanji bahwa dia akan menganggapmu sebagai anak sendiri, akan memperlakukanmu dengan kasih sayang seperti anak sendiri."
"Aihhhh, ibu ... !" Mulai saat itulah Hui Hong menangis, merangkul ibunya.
Ia dapat membayangkan betapa hebat penderitaan ibunya, derita lahir batin demi untuk
menyelamatkan dirinya, puterinya! Semua itu dilakukan ibunya karena amat besar cinta ibunya,
terhadap ayah kandungnya, pangeran itu, sehingga rela berkorban perasaan, menderita lahir batin asal dapat menyelamatkan keturunan pangeran itu.
Sampai lama dua orang wanita itu saling rangkul dan bertangis-tangisan. "Menangislah anakku ...
menangislah karena engkau adalah manusia biasa, dari ayah yang luhur budi bukan anak seorang datuk sesat yang keras kepala dan keras hati ... menangislah, anakku sayang ... " Belaian Ibunya itu membuat Hui Hong makin mengguguk dalam tangisnya.
Setelah tangis itu mereda, Hui Hong hanya terisak-isak, dan pada saat itu Ouwyang Toan muncul di pintu memanggil ibunya. Ia mendengar percakapan mereka dan matanya terbelalak, kemudian dia
tersenyum-senyum dan batinnya bersorak. Hui Hong bukan adik kandungnya, bukan adik tirinya, bukan apa-apa, orang lain. Ini berarti bahwa dia boleh mengawini gadis itu!"
Setelah pemuda itu pergi, Hui Hong telah dapat menguasai dirinya, tidak terisak lagi. Ada perasaan aneh dalam hatinya. Ia bukan putri Ouwyang Sek! Sungguh aneh sekali perasaan ini membuat ia merasa lega dan bahkan bangga! Seringkali diam-diam ia merasa tidak suka akan sifat dan watak ayahnya itu. Terlalu keras, terlalu kejam, dan kadang terlalu licik. Kini bahkan ia merasa lega bahwa yang berbuat jahat dan keji terhadap Kwa Bun Houw bukanlah ayah kandungnya, bukan pula sanak saudara, melainkan orang
lain. Tidak ada sedikitpun darah datuk itu mengalir di tubuhnya. Ayah kandungnya seorang pangeran!
Perasaan bangga timbul dan ia merasa betapa harga dirinya melambung tinggi!
"Ibu, siapakah nama pangeran itu, ayah kandungku itu?" akhirnya ia bertanya.
Tiba-tiba terdengar suara lembut menyelinap masuk kamar itu. Datang dari arah jendela kamar.
"Namanya Pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ehh" Siapa itu ...?" Pouw Cu Lan terkejut dan terbelalak memandang ke arah jendela.
Akan tetapi, reaksi Hui Hong sudah lebih cepat lagi. Sekali berkelebat, gadis itu telah meloncat keluar dari dalam kamar sambil mendorong daun jendela kamar terbuka. Ia masih sempat melihat
berkelebatnya bayangan seorang wanita berlari cepat sekali meninggalkan taman bunga di luar
kamarnya. Tanpa mengeluarkan suara, iapun mengerahkan ilmunya berlari cepat dan melakukan
pengejaran. Bayangan itu mampu bertari secepat terbang. Hui Hong merasa penasaran sekali melihat bayangan itu melesat amat cepatnya menuruni bukit melalui bagian belakang yang sunyi dan juga amat sukar dilalui.
Ia tidak mau kalah, mengerahkan ilmunya berlari cepat, meloncat bagaikan seekor kijang melakukan pengejaran. Namun, sampai tiba di kaki bukit yang sudah amat jauh dari rumah Ouwyang Sek, belum
juga ia mampu menyusulnya. Akan tetapi, setelah mereka tiba di tepi hutan yang amat sunyi, wanita itu berhenti dan membalikkan tubuhnya, menanti pengejarnya sambil tersenyum. Dan begitu berhadapan,
Hui Hong, tertegun. Wanita itu cantik manis dengan kulit muka yang putih dan tubuh yang ramping, padat. Nampaknya baru berusia tiga puluhan tahun, dan ia sama sekali tidak mengenalnya, bahkan
belum pernah merasa berjumpa dengan wanita itu. Suara wanita inikah yang tadi menjawab
pertanyaannya tentang nama ayah kandungnya"
"Bibi, engkaulah yang tadi menjawab pertanyaanku dari luar kamar?" tanya Hui Hong, sambil memandang dengan penuh perhatian.
Wanita itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih, Ia hanya mengangguk tanpa menjawab,
akan tetapi pandang matanya juga mengamati wajah dan bentuk tubuh Hal Hnng yang merupakan
seorang gadis yang cantik jelita, nampak gagah dan anggun, seorang gadis yang sudah matang, bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya.
Melihat wajah yang cantik itu tersenyum ramah, Hui Hong merasa tidak enak kalau bersikap kasar, maka iapun merangkap kedua tangan di depan dada, lalu bertanya, "Kalau boleh aku mengetahui, siapakah bibi dan mengapa pula bersikap seaneh ini?"
"Engkau tentu Tiauw Hui Hong, bukan?" Wanita itu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula.
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Tiauw ...?" ia menegaskan.
"Tentu saja," wanita itu tersenyum. "Ayah kandungmu adalah Pangeran Tiauw Sun Ong, engkau tentu she Tiauw, bukan she Ouwyang."


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapakah engkau, bibi" Kenapa engkau mengetahui tentang ayah kandungku?"
"Hemm, hanya akulah yang tahu di mana adanya ayah kandungmu sekarang. Ibumu sendiri mana tahu"
Sejak pangeran meninggalkan istana, ibumu tak pernah bertemu lagi dengan ayahmu, apalagi ia lalu menjadi isteri datuk iblis itu."
"Bibi, siapa nama bibi?"
"Belum waktunya engkau mengenal namaku. Kalau sekarang engkau suka ikut dengan aku, tentu aku
akan dapat mengusahakan pertemuan antara engkau dan ayahmu. Nah, marilah engkau ikut pergi
denganku."
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Bibi, bagaimana mungkin aku pergi bagitu saja" Ibuku tentu tahu di mana adanya ayah kandungku dan aku dapat mencarinya sendiri."
Wanita itu memandang kepadanya dengan senyum mengejek. "Hemm, keras hati dan sombong seperti ayahnya. Kalau tidak percaya kepadaku, boleh kau tanya sekarang juga kepada Ibumu. Akan tetapi ingat, tanpa aku engkau takkan dapat tahu di mana adanya ayahmu itu. Nah, aku tunggu di sini, akan tetapi tidak sampai malam. Tanyalah kepada ibumu."
Hui Hong mengangguk dan cepat ia mempergunakan Ilmu berlari cepat mendaki bukit, diikuti pandang mata wanita itu yang tersenyum-senyum.
"Pangeran, kalau aku menahan puterimu, engkau pasti akan datang kepadaku." kata wanita itu seorang diri.
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni merasa senang karena ia memperoleh akal yang baik. Tidak ada gunanya
membunuh puteri kandung pangeran itu, karena hal itu tentu membuat pangeran itu makin benci
kepadanya. Padahal ia menghendaki pangeran yang dicintanya itu akan membalas cintanya dan
menghabiskan sisa hidup di sampingnya.
Pouw Cu Lan masih berada di kamar puterinya dengan bingung, menduga-duga siapa suara wanita tadi yang mengenal nama Pangeran Tiauw Sun Ong! Iapun merasa khawaitir karena sudah agak lama
puterinya melakukan pengejaran belum juga kembali. Namun, ia percaya akan kelihaian puterinya, dan menanti di situ sampai puterinya kembali.
Ketika Hui Hong meloncat masuk melalui jendela. Pouw Cu Lau memandang dengan gembira.
"Bagaimana, Hui Hong. Siapakah orang yang bicara tadi?"
"Nanti dulu, ibu. Aku ingin kepastian, benarkah nama ayah kandungku Tiauw Sun Ong?"
"Benar, anakku. Akan tetapi siapakah ia tadi ... ?"
"Dan ibu tahu, di mana sekarang ayah kandungku itu" Di mana Pangeran Tiauw Sun Ong sekarang?"
Ibunya menggeleng kepala dengan sedih. "Bagaimana aku tahu, anakku" Sejak peristiwa itu terjadi, aku ditangkap lalu dihukum buang, dan sejak itu aku tidak pernah lagi bertemu dangan dia, bahkan tidak pernah mendengar di mana ia berada. Aku yakin bahwa ayahmu ... ah maksudku, Ouwyang Sek, dia
tentu tahu di mana adanya Pangeran Tiauw Sun Ong, akan tetapi dia tidak pernah mau bicara tentang pangeran itu."
"Benar juga ucapan perempuan cantik tadi." pikir Hui Hong. "Ibunya sendiri tidak tahu di mana adanya ayah kandungnya!"
"Ibu, aku akan pergi mencari ayah kandungku."
"Tapi, di mana engkau akan mencarinya! Dan belum kauceritakan, siapa wanita yang tadi menyebut nama ayahmu?"
"Aku tidak mengenalnya, ibn. Ia seorang wanita cantik yang usianya sekitar tigapuluh tahun lebih. Ia tahu di mana ayahku berada dan aku akan diajaknya pergi mencari ayah."
"Tapi ... tapi, apakah ia" Aku khawatir sekali, anakku. Jangan engkau pergi kalau belum mengenal benar wanita itu."
Akan tetapi Hui Hong tidak perduli. Cepat ia mengambil beberapa potong pakaian dan berkemas,
dibuntalnya pakaian itu dan setelah membawa bekal, tidak lupa membawa siang-kiam (sepasang
pedang) yang menjadi senjatanya, iapun pergi meninggalkan ibunya walaupun wanita itu menangis dan mencegahnya
Di kaki bukit itu, ia melihat wanita cantik tadi masih menantinya dan tanpa banyak cakap lagi Hui Hong lalu pergi bersamanya, meninggalkan Bukit Siluman.
*** Pria itu usianya sudah kurang lebih enam puluh tahun, namun tubuhnya masih gagah dan ramping
kokoh, tidak seperti orang seusia dia yang biasanya kalau tidak kurus kering, tentu gendut dan gembrot dengan kulit bergantungan penuh lemak, muka penuh keriput dan garis-garis ketuaan tanda derita
hidup. Wajahnya masih nampak tampan dan anggun walaupun kedua matanya buta, terpejam dan tidak
berbiji lagi. Dia melangkah perlahan dengan tongkat butut di tangan pada saat ada belasan orang
berdatangan dari depan. Pada hal tadi, ketika tidak ada orang lain, pria ini berjalan dengan cepat seperti orang berlari saja, akan tetapi begitu muncul rombongan terdiri dari belasan orang itu, tiba-tiba saja langkahnya menjadi perlahan dan biasa. Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun kedua matanya buta, orang ini dapat mengetahui akan munculnya belasan orang itu.
Bersambung jilid 10
Jilid 10 BELASAN orang itu rata-rata nampak gagah dan kuat. berusia dari tigapuluh sampai limapuluh tahun, dipimpin seorang laki-laki tinggi besar berusia limapuluh tahun yang sikapnya gagah sekali. Begitu melihat pria buta itu, belasan orang ini saling berbisik dan mereka sengaja lari menghadang pria itu. Pria buta itu maklum bahwa belasan orang itu menghadang di depannya. Dia menahan langkahnya, berdiri
bersandar tongkat bututnya dan menundukkan muka. Nampak acuh, namun sesungguhnya, sepasang
telinganya menangkap semua gerakan belasan orang itu, sampai gerakan yang sekecil-kecilnya.
Setelah berhadapan. pemimpin rombongan itu, yang tinggi besar dan gagah, segera maju dan berlutut dengan sebelah kakinya, memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Empat belas
orang pengikutnya. Ikut pula berlutut ketika si tinggi besar berlutut dan semua orang memberi hormat.
Akan tetapi, pria buta itu bersikap seolah tidak tahu akan, apa yang terjadi di depannya.
"Pangeran, hamba bekas Jenderal Yap Lok, maafkan hamba dan empat belas orang pengikut hamba yang tardiri dari bekas para perwira menengah Kerajaan Liu-sung kalau hamba sekalian menghadang
dan mengganggu ketenteraman paduka."
Pria buta itu memang bekas Pangeran Tiauw Sun Ong. Dia tersenyum, senyum lembut dan suaranya
juga lembut ketika dia berkata, "Seperti juga kalian ini bebas jenderal dan bekas perwira, akupun hanya bekas pangeran saja. Saudara Yap, kita sekarang menjadi orang-orang biasa, harap jangan memakai
segala macam peradatan dan kesungkanan. Marilah kita bicara seperti kanalan dan sahabat saja.
Bangkitlah kalian dan kalau aku boleh bertanya, kalian hendak ke mana?"
"Maaf, pangeran. Kami tidak dapat menghapus sebutan pangeran karena bagi kami, paduka satu-
satunya pangeran yang masih ada, dan padukalah harapan kami satu-satunya. Kami sengaja mendaki
Bukit Hwa-san untuk mencari dan menghadap paduka."
Pria buta itu mengerutkan alisnya. Sudah puluhan tahun dia meninggalkan Kerajaan Liu-sung, sampai beberapa tahun yang lalu kerajaan itu hancur dan runtuh, kini digantikan oleh Kerajaan Chi. Dia sudah tidak menganggap dirinya sebagai pangeran, Apalagi berhubungan dengan bekas pembesar militer
kerajaan keluarganya yang sudah jatuh itu.
"Saudara Yap, ada urusan apakah engkau dan teman-temanmu mencari aku" Sudah puluhan tahun aku mengasingkan diri dan tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia." Biarpun mulutnya berkata demikian, namun diam-diam Tiauw Sun Ong merasa hatinya pedih. Baru saja dia terpaksa meninggalkan puncak Hwa-san setelah mendengar bahwa dia mempunyai keturunan, mempunyai seorang anak
kandung yang terlahir dari Pouw Cu Lan, hasil hubungan gelapnya dengan selir kaisar duapuluhan tahun yang lalu. Dan kini, keselamatan Pouw Cu Lan dan puterinya itu diancam oleh Kwan Im Sianli Bwe Si Ni yang hendak membalas dendam kepadanya karena dia tidak mau diajak hidup bersama! Dia terpaksa
terjun ke dunia ramai untuk melindungi anak kandungnya, akan tetapi di depan bekas Jenderal Yap Lok, dia mengatakan bahwa dia tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia!"
"Pangeran, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja para pemberontak dari keluarga siauw yang hina itu merampas tahta kerajaan, menghancurkan Kerajaan Liu-Sung kita yang jaya dan mendirikan kerajaan baru" Selama kita masih hidup, kita harus berusaha untuk merebut kembali kekuasaan itu dan
menegakkan kembali Kerajaan Liu-sung" Selama ini, kami tidak berdaya karena tidak ada lagi
seorangpun pangeran dari Kerajaan Liu-sung. Kami telah berusaha mencari paduka, namun sia-sia
belaka. Baru sekarang kami dapat menemukan jejak paduka, dan kami sengaja menghadap untuk
mohon agar paduka suka memimpin kami, menyusun barisan untuk merebut kenbali kekuasaan dari
raja pemberontak Chi itu."
Tiauw Sun Ong tertawa, tertawa karena geli mendengar usul yang penuh semangat itu. "Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar kata-katamu itu, seperti bermain sandiwara di panggung saja, maaf saudara Yap Lok, cita-citamu itu seperti membangun benteng di awang-awang saja. Aku hanya seorang buta,
apalagi sudah tidak menginginkan segala kemuliaan duniawi, bagaimana kini kalian menganjurkan aku untuk menjadi pemimpin pemberontak terhadap Kerajaan Chi" Tidak, selain aku tidak mampu, juga aku tidak mau terlibat dalam perang dan keributan."
"Harap paduka tidak berpura-pura lagi. Kami telah melakukan penyelidikan dengan seksama dan kami tahu bahwa paduka sekarang, biarpun tidak dapat melihat lagi, namun telah menjadi seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pangeran, demi kejayaan Kerajaan Liu-sung, demi nama dan
kehormatan keluarga paduka sendiri, marilah kita bangkit dan rampas kembali kerajaan ... "
"Cukup! Aku tidak mau dengar lagi dan harap kalian memilih orang lain saja. Jangan ganggu aku lagi."
kata bekas pangeran itu, nada dan suaranya tegas.
Wajah bekas jendral itu berubah merah dan dengan matanya dia memberi isarat kepada kawan-
kawannya. Limabelas orang itu kelihatan marah dan garang, bahkan sudah meraba gagang senjata
masing-masing. "Hemmm, sungguh tidak kami sangka bahwa Pangeran Tiauw Sun Ong hanya seorang penakut dan
pengecut."
"Yap Lok, tahan mulutmu!" bentak pria buta itu.
"Pangeran, kalau paduka tidak takut dan bukan pengecut, maka paduka lebih rendah lagi, karena paduka akan menjadi seorang pengkhianat yang menaruh dendam terhadap kerajaan keluarga sendiri
karena peristiwa dengan selir yang sangat memalukan itu. Paduka dendam dan karena itu tidak perduli kerajaan sendiri dirampas orang lain."
"Yap Lok. aku tidak mau bekerja sama denganmu. Tidak perlu engkau menghinaku dan memanaskan hatiku. Pergilah kalian dan jangan ganggu aku lagi."
"Kalau paduka tidak mau, terpaksa kami paksa. Lebih baik kami melihat paduka tewas di tangan kami dari pada melihat paduka berkeliaran sebagai seorang pengkhianat," kata Yap Lok sambil mencabut pedangnya.
Perbuatannya ini di kuti empatbelas orang pengikutnya dan nampaklah senjata berkilauan di tangan mereka dan otomatis merekapun membuat gerakan mengepung pangeran itu. Lima belas orang itu
adalah bekas para perwira kerajaan, masing-masing memiliki Ilmu silat yang tangguh dan merupakan Jagoan-Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh.
Biarpun dia masih berdiri dengan kepala menunduk, namun bekas pangeran yang buta matanya itu
dapat mengikuti gerak-gerik lima belas orang itu dengan pendengarannya yang amat peka dan tajam.
Dia tahu bahwa limabelas orang itu telah mengepungnya dengan senjata tajam di tangan, siap
membunuh atau menawannya. Dia tersenyum getir. Tak di sangkanya bahwa setelah menyembunyikan
diri dan hidup tenteram di tempat-tempat sunyi, hari ini dia terpaksa turun gunung dan begitu turun, dia sudah bertemu dengan belasan orang yang hendak menawan atau membunuhnya! Seolah g. makin
terasa olehnya betapa dunia ini menjadi panas dan kotor oleh nafsu yang lelah menguasai diri manusia.
Di mana terdapat manusianya, di mana terdapat kekerasan, nafsu bergelora dan manusia menjadi
hamba setan yang merajalela dalam hati dan akal pikiran. Nafsu iblis mengendalikan manusia. menyeret manusia dalam segala macam perbuatan yang keras, kejam, kotor dan menyimpang dari sifat manusia
pada saat dia dilahirkan. Panas bumi semakin panas, dunia semakin kacau. Di tempat-tempat yang tidak ada manusianya, segala sesuatu nampak penuh damai dan tenteram, margasatwa, bahkan pohon-pohon, hidup bebas dan begitu wajar. Namun, begitu dia tiba di tempat di mana ada manusianya,
kebebasan sirna, persaingan, perebutan kekuasaan, pengejaran kesenangan, pemaksaan kehendak
terhadap orang lain, penindasan, permusuhan, tiada hentinya menjadi permainan manusia.
"Kalian mau apa" Sadarlah, Yap Lok, engkau dan kawan-kawanmu telah menyimpang dari kebenaran.
Jangan biarkan nafsu setan menyeret kalian ke jalan sesat!" Bekas pangeran itu masih mencoba untuk menyadarkan mereka.
"Engkau yang menyimpang dari kebenaran, engkau yang tersesat, Tiauw Sun Ong!" bentak Yap Lok.
"Menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!"
"Hemm, seekor semutpun akan menggigit kalau diinjak. Aku manusia. tentu akan membela diri kalau hendak dibunuh!" kata pangeran itu dengan sikap tenang.
Yap Lok memberi Isarat dengan pandang matanya dan seorang di antara pengikutnya, yang berdiri di belakang pangeran itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan menusukkan pedangnya ke arah punggung
Tiauw Sun Ong. "Hai i litttt ...!"
Pedang meluncur bagaikan kilat menyambar dan agaknya tidak mungkin bekas pangeran itu akan
mampu menyelamatkan diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan dari belakangnya dan amat cepat
dan kuat itu. Namun, baru saja orang itu bergerak, Tiauw Sun Ong sudah dapat mengetahui dan
menangkap gerakannya dengan pendengaran. Dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, memutar
tubuh atas ke belakang didahului sinar hitam menyambar dan tahu-tahu tongkat bututnya yang hitam sudah bergerak ke belakang dan memakai pergelangan tangan yang menusukkan pedang. Gerakan
memutar tubuh itu membuat pedang yang menusuk lewat di samping tubuhnya dan pukulan
tongkatnya dengan tepat mengenai pergelangan tangan lawan yang memegang pedang.
"Dukkk! Aughhh ...!" Orang itu melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang sambil menggosok pergelangan tangan kanan yang menjadi matang biru dan terasa nyeri bukan main. Masih untung bahwa Tiauw Sun Ong tidak menggunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, tentu tulang lengan itu telah menjadi patah!"
Melihat ini, empat belas orang yang lain dipimpin Yap Lok segera menggerakkan senjata menyerang.
Hujan senjata menyambar dari segala jurusan ke arah tubuh Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran ini dengan amat lincahnya berloncatan ke sana-sini. didahului gulungan sinar hitam tongkatnya dan diapun
tenggelam dalam pengeroyokan yang amat ketat. Biarpun lima belas orang itu merupakan bekas jagoan-jagoan Istana, namun kalau dibandingkan, tak seorangpun di antara mereka yang mampu menandingi
tingkat kepandaian Tiauw Sun Ong. Akan tetapi karena mereka berjumlah banyak, rata-rata lihai dan memiliki pengalaman bertempur, di lain pihak Tiauw Sun Ong tidak tega untuk membunuh atau melukai berat, hanya membela diri, maka sebentar saja bekas pangeran itu terdesak hebat! Tiauw Sun Ong
menganggap mereka itu tidak jahat, walaupun dia tahu benar akan watak manusia yang selalu berbuat dengan bimbingan nafsu. Mereka ini banya akan memperalat dia, karena kalau dia mau memimpin
"perjuangan" mereka itu, karena dia seorang bekas pangeran, tentu banyak bekas pasukan Liu-sung yang suka bergabung. Di balik semua ini, tentu mereka ini mempunyai suatu cita-cita yang pada
hakekatnya mementingkan diri sendiri. Disebut dengan kata yang muluk bagaimanapun juga, pada
dasarnya, mereka itu nekat karena mengejar sesuatu hasil yang mereka bayangkan akan dapat
membuat mereka hidup mulia dan senang. Dan dia tahu bahwa ini memang kelemahan manusia. Nafsu
yang menguasai diri membuat manusia selalu mengejar sesuatu yang dianggap akan menyenangkan
dirinya, dan dalam pengejaran ini, manusia lupa diri, lupa akan kebenaran. Cara apapun yang
dipergunakan, dianggap benar demi mencapai cita-cita yang dikejarnya. Tujuan menghalalkan segala cara selalu akan terjadi, lambat maupun cepat, disadari maupun tidak. Tiauw Sun Ong tidak
menyalahkan mereka. Mereka ini hanya manusia-manusia lemah, seperti yang lain. Karena itu, dia tidak tega untuk membunuh atau melukai mereka, dan hal ini membuat dia sendiri menjadi repot dan
terdesak hebat, bahkan terancam bahaya maut!
Pada saat itu, tiba-tiba bagaikan ada badai mengamuk, sesosok bayangan tubuh orang terjun ke dalam pertempuran. Dia menggerakkan kedua tangannya dan hanya dengan mendorong saja, para pengeroyok
itu terpelanting, terjengkang dan terlempar bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin.
"Suhu ... !" Bayangan itu berteriak girang.
"Ehh ... " Kaukah itu, Bun Houw?"
"Suhu, biar tcecu (murid) yang mengusir anjing-anjing serigala yang jahat ini!" teriak pula Kwa Bun Houw yang baru datang.
"Jangan lukai mereka, jangan bunuh. Mereka bukan perampok, bukan penjahat. Mereka bekas para perwira Liu-sung." kata Tiauw Sun Ong.
Bun Houw terkejut dan juga merasa heran. Gurunya bekas pangeran kerajaan Liu-sung, berarti para
perwira Liu-sung adalah bawahannya. Kenapa menyerang bekas pangeran atasan mereka sendiri" Dan
melihat gerakan mereka, penyerangan itu bukan main-main, melainkan dimaksudkan untuk membunuh.
Lebih aneh lagi gurunya melarang dia untuk melukai mereka, apalagi membunuh. Akan tetapi, Bun
Houw amat menghormati dan mentaati gurunya, maka diapun berseru, "Baik, suhu. Harap suhu mundur dan biar teecu sendiri menghadapi mereka."
Bun Houw mengamuk. Ketika bekas panglima Yap lok mendengar percakapan itu, dia tahu bahwa
pemuda itu adalah murid bekas pangeran itu. Dan memang pernah mendengar bahwa pangeran yang
menjadi buta dan meninggalkan istana sebelum kerajaan Liu-sung jatuh itu kabarnya telah menjadi
seorang yang lihai. Tadinya dia dan kawan-kawannya memandang rendah karena betapapun lihainya,
bekas pangeran itu telah menjadi seorang buta. Siapa kira, pangeran itu benar-benar lihai, buktinya tadi pengeroyokan mereka tidak mampu merobohkan sang pangeran. Kini muncul muridnya, tentu tidak
selihai gurunya. Maka dengan marah karena putus harapan ditolak permintaannya oleh bekas pangeran itu, Yap Lok berseru menyuruh anak buahnya untuk menyerang dan diapun memelopori mereka dengan
menusukkan pedangnya. diikuti oleh empat belas orang anak buahnya.
Akan tetapi Bun Houw menghadapi mereka dengan amat mudahnya. Pemuda ini hanya berdiri tegak
dan nampak dia menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti orang menangkis dan mendorong. Akan
tetapi akibatnya sungguh luar biasa. Lima belas orang itu tidak mampu mendekat dan mereka terpental atau terpelanting seperti dilanda badai yang dahsyat dan setiap kali mereka menyerang, dalam jarak dua meter mereka seperti bertemu dengan dinding yang tidak nampak, yang membuat mereka terpental
kembali. Akhirnya, setelah jatuh bangun tanpa tersentuh langsung oleh kedua tangan Bun Houw. Yap Lok
maklum bahwa kepandaian pemuda ini bahkan jauh lebih dahsyat dan mengerikan dibandingkan ilmu
Pangeran Tiauw Sun Ong! Maka, diapun memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka melarikan
diri dari tempat itu.
Bun Houw membalik, menghadapi gurunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. "Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja?"
Akan tetapi kakek buta itu berdiri tegak, alisnya berkerut dan dia tidak segera menjawab, mukanya terangkat ke atas seperti tidak perduli kepada pemuda yang berlutut di depan kakinya.
"Suhu ... " Bun Houw merasa akan sikap yang dingin itu.
"Bun Houw, katakan, ilmu iblis apa yang kau pergunakan tadi?"
Kini mengertilah Bun Houw. Gurunya yang buta ini lebih waspada dibandingkan orang yang melek.
Sehingga gurunya tadi dapat mengikuti semua gerakannya ketika dia melawan empat belas orang itu.
"Suhu, tcecu mentaati perintah Suhu, tidak melukai mereka, bahkan tidak menyentuh mereka, hanya mendorong dari jauh saja."
"Itulah yang kumaksudkan. Tenaga doronganmu itu. Ilmu apa yang kaupergunakan dan dari mana
engkau mempelajari ilmu itu" Hayo katakan! Apakah selama ini engkau berguru kepada orang lain tanpa minta ijin dariku?"
"Suhu, bagaimana teecu berani berguru kepada orang lain" Pula, di dunia ini mana ada guru lain yang lebih baik dari pada suhu suhu" Tidak, teecu tidak berguru kepada orang, akan tetapi teecu telah mengalami banyak hal yang aneh yang suhu tidak akan pernah mimpikan. Di antaranya, teecu telah
menelan habis mustika Akar Bunga Gurun Pasir."
Kini sepasang mata yang buta itu terbelalak. kedua tangan itu kini meraba-raba kepala pemuda yang berlutut di depannya. "Apa ..." Kau ... kau makan seluruh Akar Bunga Gurun Pasir dan kau masih hidup ..." Muridku, apa yang telah terjadi" Ceritakan semua kepadaku!"
Gembira sekali rasa hati Bun Houw melihat sikap gurunya yang sudah berubah ramah itu. Dia
memegang tangan gurunya, bangkit dan menuntun gurunya untuk dnduk di atas batu besar di bawah
pohon yang teduh. Setelah keduanya duduk, Bun Houw berkata, "Panjang sekali ceritanya, suhu. Selama ini teecu telah mengalami banyak hal yang hebat dan aneh." Pemuda itu lalu menceritakan semua
pengalamannya, betapa dia menerima pukulan yang dahsyat dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang
bahkan telah merampas pedangnya, Lui-kong-kiam dan membiarkan dia pergi dengan menderita luka
parah. Betapa kemudian dia bertemu dengan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan karena tidak tahu di
mana adanya Akar Bunga Gurun Pasir, datuk majikan Bukit Kui-eng-san itu memukul punggungnya,
membuat dia semakin payah karena menerima dua kali pukulan beracun dari dua orang datuk sakti.
"Dalam keadaan hampir mati, teecu yang hampir telanjang karena semua pakaian dan bekal emas pemberian suhu dirampas Suma Koan, teecu menerima pertolongan suami isteri pemburu ketika teecu
jatuh pingsan di depan pondok mereka. Dan entah bagaimana teecu sendiri tidak tahu, isteri pemburu itu di luar pengetahuannya, telah memberi teecu obat minum. Teecu sendiri tadinya tidak tahu obat apa yang diminumkan kepada teecu itu. Teecu merasa seperti terbakar dari dalam, akan tetapi selanjutnya ternyata teecu telah mendapatkan tenaga sinkang yang dahsyat luar biasa. Dan tanpa disengaja, tanpa diketahui pula oleh suami isteri itu, teecu telah menelan habis seluruh Akar Bunga Gurun Pasir!'
"Hemm, menarik sekali! Bagaimana pemburu itu dapat menemukan Akar Bunga Gurun Pasir?"
"Teecu tidak tahu bagaimana mustika yang dibuat perebutan oleh semua orang sakti di dunia itu terjatuh ke tangan seorang pemburu yang lemah saja. Dan tanpa disengaja, mustika itu telah memasuki perut teecu!"
"Teruskan ceritamu yang amat menarik itu, Bun Houw."
"Setelah teecu minum mustika aneh itu, terjadi keanehan dalam tubuh teecu. Agaknya hawa beracun dari kedua orang datuk itu bercampur dengan mustika Akar Bunga Gurun Pasir, mendatangkan
semacam hawa yang dahsyat dan sukar dikendalikan." Bun Houw lalu menceritakan tentang
pertemuannya dengan perampok-perampok yang kemudian memberi tahu kepadanya tentang adanya
guha siluman yang telah menjatuhkan banyak korban.
"Banyak terdapat kerangka manusia dan senjata-senjata di depan guha itu, dan pada saat teecu datang ke sana, teecu sempat melihat seorang korban terakhir. Dia seperti orang gila, menyerang teecu ketika teecu melihat dia bersilat aneh dan terhuyung. Teecu menangkis dan diapun roboh tewas. Kemudian
teecu mendengar suara orang-orang di luar guha ketika teecu sudah berada di dalam bahwa yang batu saja tewas itu adalah Toat-beng Kiam-ong."
"Hemm, Toat-beng Kiam-ong" Dia seorang tokoh sesat yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi.
Kalau dia sampai tewas, tentu ada yang amat hebat di dalam guha itu dan engkau memasukinya, Bun
Houw" Manusia macam apakah yang berada di dalam guha dan telah membunuh banyak tokoh
persilatan tu?"
"Tidak ada seorangpun manusia di sana, suhu. Yang ada hanyalah pelajaran Ilmu silat dan ilmu itulah yang telah membunuh banyak orang itu!"
"Ehh" Apa maksudmu" Ceritakan yang jelas!" Kakek buta itu semakin tertarik mendengar cerita muridnya.
Bun Houw lain menceritakan dengan jelas tentang isi guha, tentang pelajaran ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tentang peringatan akan bahayanya mempelajari ilmu yang mujijat itu. Kemudian Bun Houw
menceritakan bahwa karena tertarik, dan karena ingin menguasai kekuatan dahsyat yang menggelora
dan meliar di dalam tubuhnya, dia lalu mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng sampai berhasil baik dan dia mampu menguasai dan mengendalikan hawa sakti yang meliar di dalam tubuhnya.
"Ahh, kiranya begitu" Engkau telah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng" Akan tetapi, aku sendiri hanya pernah mendengar Ilmu itu yang dikabarkan telah musnah dari dunia ini. siapa tahu engkau malah yang telah mewarisi, Bun Houw. Pantas saja engkau tadi menggunakan tenaga yang demikian dahsyat,
kiranya engkau telah menguasai Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tadinya kukira hanya dongeng belaka.
Muridku yang baik. bersiaplah engkau!"
"Tapi, tuhu ... " Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Tiauw Sun Ong telah menyerangnya dengan ganas sekali, menggunakan tongkatnya dengan jurus maut dan bahkan menggunakan seluruh tenaganya
sehingga nampak kilat berkelebat dan bunyi berciutan ketika tongkat itu sudah melakukan totokan yang bertubi-tubi terhadap jalan darah di bagian depan tubuh Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gurunya tidak main-main dan ingin mengujinya, maka dia pun tahu bahwa
kalau dia mempergunakan Ilmu yang dia dapat dari gurunya, dia tidak akan mampu bertahan. Gurunya menyerang dengan sepenuh tenaga dan kecepatan. Juga menggunakan jurus-jurus yang paling lihai.
Maka, diapun tidak ragu lagi, segera mengerahkan tenaga sakti dan bergerak menurut ilmu barunya, yaitu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bagaikan air samudera digerakkan badai, datanglah tenaga yang
bergelombang dahsyat menyambut serangan Tiauw Sun Ong.
Terjadi benturan-benturan tanaga jarak jauh yang membuat semua serangan kakek buta itu membalik.
Tiauw Sun Ong terkejut akan tetapi juga girang sekali. Kini dia membuktikan sendiri bahwa Im-yang Butek Cin-keng adalah ilmu yang amat hebat dan yang membuat dia girang dan bangga adalah bahwa
muridnya yang menjadi pewaris Ilmu itu! Dia menyerang lagi semakin hebat. Akan tetapi, makin keras dia menyerang, semakin keras pula dia terpental dan akhirnya. ketika sarangan terakhir yang amat dahsyatnya dia lakukan, ditangkis oleh Bun Houw. tubuh kakek itu terlempar dan terbanting keras.
"Suhu ... !" Bun Houw berteriak dan sekali meloncat dia sudah berada di dekat suhunya dan membantu kakek itu bangkit berdiri.
"Suhu. maafkan teecu ... "
Tiauw Sun Ong tertawa girang dan menyusut keringat dari dahi dan lehernya. "Ha-ha-ha, bukan main!
Sungguh aku merasa girang dan bangga sekali, Bun Hoaw. Engkau kini lebih hebat dariku, jauh lebih kuat dan aku bukanlah tandinganmu lagi! Ha-ha-ha!"
Wajah pemuda itu berubah kemerahan. "Aih, suhu! Tadi suhu hanya menguji tenaga teecu saja dan mungkin karena teecu telah menelan Akar Bunga Gurun Pasir, dan karena suhu sudah tua, maka teecu unggul dalam hal tenaga. Kalau suhu menggunakan tongkat pedang dan menyerang teecu tanpa
mengandalkan tenaga, mungkin teecu tidak akan mampu melawan."
"Hemm, memang baik sekali sikapmu merendahkan diri itu, tanda bahwa biar engkau telah mewarisi ilmu yang dahsyat, engkau tidak menjadi sombong. Akan tetapi, sesungguhnya, Bun Houw. Ilmu pedang kilat kita tidak akan mampu menandingi Im-yang Bu-tek Cin-keng. Apalagi kalau engkau sudah
melatihnya sampai matang. Aku yakin semua datuk di empat penjuru tidak akan mudah
mengalahkanmu kalau engkan menggunakan ilmu itu dan mengerahkan tenagamu yang timbul dari
Akar Bunga Gurun Pasir. Hemm, bagaimanapun juga, engkau harus berterima kasih kepada dua datuk
itu, Ouwyang Sek dan Suma Koan."
"Suhu, mereka berdua sudah memukul dan menyiksa teecu dengan pukulan beracun yang tentu akan mematikan teecu kalau saja tidak secara kebetulan teecu diberi minum Akar Bunga Gurun Pasir!" Bun Houw merasa penasaran.
"Justeru pukulan itulah yang membantu mustika itu bekerja dalam tubuhmu. Kalau hanya meminum air masakan mustika itu saja, kuyakin tidak akan sehebat itu khasiatnya. Ingat, mustika itu adalah milik Ouwyang Sek. Kalan mustika itu mendatangkan kekuatan sehebat itu. tentu sudah sejak dahulu dia
minum sendiri! Mustika itu tadinya hanya dikenal sebagai obat penyembuh saja. Baru setelah bertemu dengan dua macam hawa beracun dalam tubuhmu, terjadi akibat yang luar biasa, yaitu menimbulkan
tenaga mujijat yang kini menjadi milikmu. Nah, bukankah mereka telah berjasa besar, walaupun mereka melakukan tanpa sengaja, bahkan beriktikad buruk, yaitu untuk membunuhmu secara perlahan-lahan?"
Bun Houw mengangguk-angguk. "Sekarang barulah teecu mengerti akan kata-kata dan nasehat suhu dahulu bahwa cara yang dipergunakan Tuhan untuk memberkahi manusia kadang berselubung rahasia
besar. Kini teecu mengerti apa artinya berkah terselubung. Dalam suatu peristiwa yang nampaknya
buruk merugikan, mungkin tersembunyi berkah yang amat besar seperti yang teecu alami sendiri."
Kakek buta itu mengangguk sagguk. "Benar sekali, muridku. Aku sendiri, kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar sehingga akan membutakan mataku, yang membuat aku hampir tewas, tentu tidak
akau dapat menguasai ilmu seperti sekarang ini dan tidak akan berjumpa denganmu. Oleh karena itu, seorang bijaksana pantang mengeluh apabila mengalami hal-hal yang tampaknya merugikan dan
mengecewakan, karena dalam setiap peristiwa itu selalu terdapat hikmatnya yang terselubung,"
"Suhu benar, akan tetapi teecu hanya seorang manusia biasa, bagaimana mungkin teecu. dapat
terbebas dari permainan rasa puas kecewa dan suka duka" Seperti kehilangan Lui-kong-kiam, hal itu tetap saja membuat teecu merasa kecewa dan menyesal sekali. Sekarang teecu harus mengunjungi Bueng-kiam Ouwyang Sek. untuk minta kembali pedang itu."
"Bun Houw, engkau tadi belum bercerita jelas tentang terampasnya Lui-kong-kiam dari tanganmu oleh Ouwyang Sek. Nah, sekarang aku ingin mendengar ceritamu yang sejelasnya tentang itu."
Bun Houw mengulang ceritanya tentang pertemuannya dengan Ouwyang Hui Hong, kemudian
pertemuannya dengan Ouwyang Sek dan betapa nyaris dia dibunuh Ouwyang Sek kalau tidak ada Hui
Hong yang menyelamatkannya dan mencegah ayahnya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri!
Kakek buta itu mendengarkan dengan asyik dan wajahnya berubah-ubah, sebentar pucat sebentar
merah sehingga Bun Houw khawatir kalau-kalau suhunya terluka ketika bertanding dengan dia tadi.
"Kau kenapakah, suhu" Apakah suhu sakit?" tanyanya, menghentikan ceritanya yang sudah berakhir.
"Tidak, tidak, aku tidak apa-apa. Bun Houw, ceritakan kepadaku, bagaimana keadaan gadis bernama Ouwyang Hui Hong itu" Bagaimana bentuk wajahnya, bentuk tubuhnya dan terutama bagaimana watak
dan perangainya ketika engkau bersamanya?"
Tentu saja Bun Hoiw merasa heran sekali kenapa gurunya bertanya tentang gadis yang tidak dikenalnya itu. "Ia ... ia seorang gadis yang gagah perkasa, suhu, dan menurut pendapat teecu, wataknya baik sekali, berbudi dan sederhana walaupun ia dapat bersikap keras dan galak."
"Wajahnya ... wajahnya bagaimana?"
Bun Houw menahan keheranannya, "Wajahnya! Ia cantik dan agung, suhu, dan bentuk tubuhnya,
ramping indah ... " Bun Houw teringat ketika sekilas dia melihat tubuh Hui Hong yang telanjang di dalam guha.
"Usianya berapa?"
"Sekitar dua puluh satu tahun ... "
"Ceritakan bagaimana bentuk matanya, hidungnya, mulutnya dan bentuk wajahnya, satu demi satu, yang jelas. ... " Kakek itu nampak tegang dan bergairah sekali sehingga Bun Houw merasa semakin heran. Akan tetapi, merasa kasihan karena teringat bahwa gurunya tidak mampu melihat, dia lalu
menggambarkan keadaan Hui Hong sejelasnya dan dia semakin bingung mendengar mulut gurunya
berbisik-bii k.
"Mirip ia ... ah, mirip ia ... "
Kamudian tiba-tiba Tiauw Sun Ong menangkap kedua tangan muridnya dan kedua mata yang hanya
putih itu seperti hendak menatap wajah Bun Houw ketika mulutnya bertanya dengan suara gemetar,
"Bun Houw, bilang terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Hui Hong?"
Bun Houw terkejut mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi, dia amat sayang dan taat kepada gurunya, dan tidak pernah berkata yang tidak benar. Dia menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya, maka mendengar pertanyaan itu, dia menjenguk isi hatinya sendiri. Dia memang tak pernah dapat


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melupakan Hui Hong, hanya dia sendiri tidak yakin apakah dia mencinta Hui Hong, Dia pernah mencinta seorang wanita, yaitu Ling Ay. mungkin cintanya terhadap Ling Ay hanyalah cinta remaja, hanya karena ada ikatan perjodohan di antara mereka. Setelah perjodohan itu putus, dia tidak lagi memikirkan Ling Ay, Ketika dia bertemu lagi dengan Ling Ay yang telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan melihat
penderitaan wanita itu, yang ada dalam hatinya hanyalah iba. Dan sekarang, perasaannya terhadap Hui Hong membuat dia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan suhunya.
"Bagaimana, Bun Houw" Katakan terus terang, apakah eugkau mencinta Hui Hong?""
"Suhu, Justeru teecu masih bingung untuk menjawab yang sebenarnya kepada suhu. Teecu juga bingung mengapa suhu menanyakan hal itu. Akan tetapi, suhu, terus terang saja, teecu merasa kagum, suka dan iba kepadanya. Ia telah mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan teecu. Bagaimana mungkin teecu
dapat melupakannya" Akan tetapi, teecu tidak berani memastikan bahwa teecu mencintanya karena
terus terang saja, teecu sendiri tidak mengerti, bagaimana dan apa cinta itu?"
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, cinta antar pria dan wanita penuh pengaruh nafsu berahi, cinta seperti itu mementingkan kesenangan hati sendiri, karenanya hanya mendatangkan lebih banyak tangis dari pada tawanya. Akan tetapi, cinta seperti itu mungkin diperlukan oleh manusia. Begini saja, apakah engkau ingin selain berdekatan dengan Hui Hong, ingin melihat ia berada di sampingmu selalu ingin hidup bersamanya, membagi susah dan senang berdua" Nah, jawablah sejujurnya."
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. "Aih, suhu, siapa yang tidak mau" Ia pandai dan cantik jelita, berbudi dan ... ah, apa gunanya semua itu" Seorang gadis seperti Hu Hong, mana mungkin mau
menjadi ... eh, maksud teecu, mana mungkin mau dekat dengan orang seperti teecu" Dari pada
mengharapkan lamunan kosong, lebih baik teecu melihat kenyataan. Ayahnya dan kakaknya amat
membenci teecu, bahkan menganggap teecu sebagai musuh,"
Akan tetapi, Tiauw Sun Ong tertawa, "Ha-ha-ha, Bun Houw, engkau seorang laki-laki yang bodoh.
Kautahu, Hui Hong itu amat mencintamu!"
"Eh-eh" Bagaimana mungkin suhu dapat mengetahuinya" Bakankah suhu belum pernah jumpa
dengannya" Bagaimana suhu dapat mengatakan demikian?"
"Bodoh! Seorang gadis yang sudah membela seorang laki-laki dengan taruhan nyawa, itu berarti bahwa ia mencintamu. Bun Houw, mencintamu dengan tulus, bahkan lebih dari pada nyawanya sendiri."
"Akan tetapi, hal itu ia lakukau hanya untuk membatas budi, suhu. Teecu pernah menghindarkan ia dari pada malapetaka diperkosa oleh Suma Hok!"
"Tidak ada bilas budi dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aku yakin. Bun Houw, gadis itu mencintamu.
Dan akupun yakin bahwa engkau juga mencintanya! Tidak perlu kau membantah lagi, aku dapat
menjenguk isi hatimu dari suara dan kata-katamu. Nah, sekarang, bagaimana kalau kita pergi menemui keluarga Ouwyang dan aku melamarkan Hui Hong untuk menjadi jodohmu?"
Berbagai macam perasaan mencengkeram hati Bun Houw. Dia merasa girang, akan tetapi juga terharu
dan diapun menjatuhan diri di depan kaki gurunya, "Suhu ... "
Tiauw Sun Ong meraba kepala muridnya. "Eh! Kau kenapa" Tidak girangkah hatimu kalau kulamarkan Hui Hong untuk menjadi Jodohmu!"
"Suhu. tentu saja teecu gembira sekali dan terima kasih atas budi kecintaan suhu terhadap teecu. Akan tetapi, suhu. keluarga Ouwyang amat membenci teecu, Teecu khawatir kalau lamaran suhu hanya akan mendatangkan kemarahan kepada mereka dan akan menyusahkan suhu saja. Mengingat akan sikap Bueng-kiam Ouwyang Sek kepada teecu, teecu hampir yakin bahwa dia tentu akan menolak lamaran itu."
Bun Houw merasa betapa jari-jari tangan gurunya yang kini berada di pundaknya itu mengeras dan
menegang. "Dia berani menolaknya, akan kubunuh dia! Perhitungan antara aku dan dia masih belum lunas dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Suhu, kenapa subu marah kepadanya" Apakah karena dia telah menganiaya teecu dan merampas Lui-kong-kiam! Harap subu jangan membunuhnya, teecu kasihan kepada Hui Hong dan ... "
"Justeru karena Hui Hong aku hendak membunuhnya! Karena Hui Hong dan Ibunya!"
"Suhu ...!"
"Bun Houw, dengar baik-baik. Kalau engkau mencinta Hui Hong, dan Hui Hong mencintamu, tidak ada seorang manusia atau iblis pun di dunia ini yang akan menghalangi kalian berjodoh. Cintamu terhadap Hui Hong kuterima dan engkau kutarima menjadi calon suami Hui Hong. Ingin aku melihat siapa yang akan berani mencampuri!"
"Akan tetapi, yang berhak menentukan tentu saja ayahnya, suhu."
"Tepat sekali! Ayahnya yang harus menentukan tentang pernikahan anaknya, dan ayah Hui Hong adalah aku!"
Bun Houw hampir terjengkang saking kagetnya. Dia memandang kepada gurunya dengan mata
terbelalak dan bingung, khawatir lagi kalau-kalau suhunya terluka oleh pertandingan tadi dan
mengalami gangguan pada pikirannya karena terguncang hebat.
"Sudahlah, suhu, harap jangan pikirkan lagi urusan itu. Mari, suhu, silakan suhu beristirahat. Sebetulnya, kenapa suhu meninggalkan pondok dan mengapa suhu berada di sini" Suhu hendak pergi ke manakah?"
Tiauw Sun Ong tertawa, maklum apa yang dikhawatirkan muridnya. "Ha-ha-ha, engkau mengira aku gila" Bun Houw, justeru aku pergi nutuk mengunjungi Ouwyang Sek, dan kebetulan bertemu denganmu
di sini. Tidak ada berita yang lebih menggembirakan dari pada kenyataan bahwa engkau saling mencinta dengan Hui Hong, saling mencinta dengan anakku."
"Anak suhu" Siapakah anak suhu ...?"
"Hui Hong itu adalah puterikn, Bun Houw."
"Akan tetapi bagaimana mungkin ...?"
"Bun Houw, ingatkah engkau akan ceritaku dahulu tentang sebab butanya kedua mataku?"
Bun Houw mengangguk, lupa bahwa gurunya tidak dapat melihatnya. Ketika ingat akan hal itu, dia cepat berkata, "Teecu ingat, suhu. Bukankah karena suhu membutakan diri sendiri karena urusan ... eh, selir kaisar itu?"
"Benar. Nah, selir itu bernama Pouw Co Lan dan setelah aku pergi meninggalkan Istana, kemudian aku mendengar bahwa selir itu dihukum buang oleh kaisar, akan tetapi di dalam perjalanan ia dibebaskan oleh seorang tokoh kang-ouw yang kemudian terkenal dengan julukannya Bu-eng-kiam ... "
"Ouwyang Sek ... ?"
"Benar. Pouw Cu Lan dibebaskan Ouwyang Sek dari tangan para perajurit pengawal, dan dia membunuh semua perajurit dan membawa pergi wanita itu yang kemudian dia jadikan isterinya."
"Ibunya Hui Hong ...?" Bun Houw bertanya terkejut dan heran.
"Benar lekali. Pouw Cu Lan menjadi isteri Ouwyang Sek dan kemudian ia melahirkan Hui Hong, anakku!"
"Bagaimana ini, suhu" ia menjadi isteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek lalu melahirkan seorang anak, akan tetapi suhu mengatakan bahwa anak itu, Ouwyang Hui Hong, adalah puteri suhu?"
"Karena kemudian kuketahui bahwa setelah enam bulan menikah dengan Ouwyang Sek, Pouw Cu Lan melahirkan seorang anak perempuan. Hal ini berarti bahwa ketika menjadi Isteri datuk itu, ia telah mengandung kurang lebih tiga bulan. Jelas bahwa Hui Hong adalah keturunanku, anakku, bukan
keturunan Ouwyang Sek. Maka, akulah yang berhak menentukan jodohnya, jodoh anakku. Nah, mari
kita berkunjung ke Lembah Bukit Siluman!"
Bun Houw masih bingung. Kiranya Hui Hong adalah puteri gurunya, walaupun sejak anak itu berada
dalam perut ibunya, sudah ditinggalkan ayah kandung. Bagaimana mungkin Hui Hong akan dapat
mengakui Tiauw Sun ong sebagai ayahnya kalan sejak lahir ia berada di rumah Ouwyang Sek yang tentu dianggap ayahnya sendiri" Akan tetapi, kini dia berbesar hati. Kiranya gadis yang dikasihinya itu malah puteri gurunya sendiri! Kalau begitu, bukan hal penting mengenai pendapat Ouwyang Sek tentang
hubungan batin antara dia dan gadis itu. Dengan hati dan langkah ringan, Bun Houw lalu berangkat bersama gurunya, menuju ke Lembah Bukit Siluman, tempat tinggal datuk yang ditakuti orang itu.
*** Dengan sikap jengkel Ouwyang Sek melangkah ke arah kamar puterinya dan sekali ini dia bertekad
untuk memaksa Hui Hong keluar menemui kedua orang tamunya. Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan
puteranya, Tok-siauw-kui suma Hok yang hendak pamit. Akan tetapi ketika dengan kasar dia mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia hanya mendapatkan isterinya yang sedang menangis di atas
pembaringan Hui Hong.
"Hem, kenapa engkau menangis di sini dan di mana Hui Hong?" tanya datuk itu dengan suara yang ketus karena dia masih marah kepada isterinya yang membuka rahasia tentang ayah kandung Hui Hong. Dia
telah banyak mengalah terhadap wanita ini, yang memang amat dicintanya. Dia memenuhi permintaan
Pouw Cu Lan dan tidak mengganggunya sama tekali sebelum Hui Hong terlahir, kemudian, dia
menyayang Hui Hong seperti anak kandungnya sendiri walaupun dia tahu bahwa anak itu bukan
keturunannya. Dan kini tahu-tahu wanita itu sendiri yang membuka rahasia berkata di depan Hui Hong bahwa gadis itu bukan anaknya!
Mendengar suara suaminya, Pouw Cu Lan bangkit duduk dan menghadapi suaminya. Kedua matanya
merah membengkak karena tangis. Kedua pipinya yang menjadi pucat basah air mata dan kedua mata
itu mengeluarkan sinar marah. Melihat pria tinggi besar bermuka hitam itu berdiri di situ dan teringat akan kepergian Hui Hong, timbul sakit hati dan kemarahan yang hebat di dalam hati wanita itu. Teringat ia betapa selama bertahun-tahun, demi keselamatan Hui Hong, ia rela dijadikan benda permainan oleh pria yang sebetulnya amat dibencinya ini. Kini baru ia menyadari sepenuhnya betapa ia amat muak dan benci kepada wajah yang kasar hitam dan bengis itu. Maka, Pouw Cu Lan lalu bangkit berdiri dan dengan tangan gametar ia menudingkan telunjuknya ke arah muka itu dan suaranya terdengar lantang,
"Ouwyang Sek, engkan manusia jahat! Engkaulah yang membuat anakku pergi, tak dapat kucegah lagi!
Engkau hendak memaksanya menikah dengan seorang pemuda yang tidak disukainya!"
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya yang tebal. "Apa Hui Hong pergi" ia berani minggat" Anak bedebah itu!"
"Engkau yang bedebah! Engkau tidak berhak menentukan jodohnya akan tetapi engkau memaksanya menjadi calon Isteri orang yang tidak disukainya!"
"Cu Lan, engkau tidak tahu diri! Bulankah selama ini aku selalu baik dan mencintamu" Bukankah selama ini aku amat menyayang Hui Hong seperti anakku sendiri" Akan tetapi engkau malah yang membuka
rahasia itu, tentu membuat Hui Hong menjadi bingung. Dan aku memilihkan jodoh yang amat baik,
kenapa kau ribut-ribut" Suma Hok adalah seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan kaya raya.
Kurang Apalagi" Ayahnya juga seorang sahabatku, seorang yang memiliki tingkat yang sama denganku!"
"Huh, pemuda jahat itu kaupuji-puji" Padahal, dia nyaris memperkosa Hui Hong! Sepatutnya engkau marah dan membunuh pemuda itu, bukannya malah hendak manariknya sebagai mantu."
"Perbuatannya itu wajar saja, karena cintanya kepada Hui Hong ... "
"Busuk! Jahat! Tentu saja engkau tidak menyalahkan dia yang hendak memperkosa anakku, karena engkau sendiri juga jahat seperti dia, karena engkau juga telah memperkosaku!"
"Cu Lan ... !" Wajah yang hitam itu menjadi semakin hitam karena marah. "Engkau perempuan tak mengenal budi! Kalau tidak ada aku, kini tentu engkau telah mati bersama anak dalam kandunganmu, atau menjadi seorang nenek terlantar, mungkin menjadi jembel, minta-minta bersama anakmu,
mungkin anak perempuanmu menjadi pelacur karena tidak ada yang menjamin kehidupannya. Engkau
kini menjadi wanita terhormat dan hidup mewah, anakmu menjadi seorang gadis yang berilmu dan
dihormati temua orang. Semua itu berkat jasaku, mengerti" Dan engkau berani bersikap seperti ini kepadaku?"
Cu Lan merasa terpukul karena apa yang diucapkan pria itu memang tidak bohong. Karena mengingat
akan budi itulah ia rela menyerahkan hati dan tubuhnya kepada Ouwyang Sek, sekedar membalas budi, demi kebahagiaan putrinya. Kalau kini ia marah adalah karena melihat anaknya dipaksa untuk berjodoh dengan orang yang tidak disukai anaknya sehingga anaknya sekarang nekat pergi untuk mencari ayah kandungnya.
"Bagaimanapun juga, engkau yang memaksa ia menerima laki-laki yang bahkan dibencinya dan sekarang ia melarikan diri, ia pergi tanpa dapat kucegah." Cu Lan menangis dengan sedihnya, Ouwyang Sek mengepal tinju, dia marah sekali. "Anak itu sungguh tak tahu diri! Sejak kecil kusayang dan kurawat, kudidik akan tatapi sekarang bukan saja berani membantahku bahkan pergi tanpa pamit. Tentang
perjodohannya, bukan aku memaksanya! Bukankah ia telah mengajukan syarat yang cukup berat, yaitu pertama agar yang menjadi calon suaminya menemukan kembali mustika Akar Bunga Guruu Pasir, dan
kedua agar calon suaminya dapat mengalahkannya dalam pertandingan" Nah, dengan adanya syarat itu, apakah itu berarti aku memaksanya?"
Cu Lan juga tarpaksa membenarkan ucapan suaminya ini. Ia tahu bahwa suaminya memang sungguh
menyayang Hui Hong seperti anak sendiri, dan syarat yang diajukan Hui Hong itupun diterima, kecuali syarat ke tiga, yaitu agar calon jodohnya dapat mempertemukannya dengan Bun Houw untuk minta
maaf tidak dipenuhi oleh Ouwyang Sek. Dilain hal itu, berarti suaminya memang sudah memberi
kelonggaran kepada Hui Hong, "Syarat itu harus ditambah, sekarang syarat dari aku sendiri! Kalau syaratku itu tidak dipenuhi, sampai mati aku akan menentang perjodohan anakku!"
"Hemm, syarat apalagi" Dua syarat Hui Hong itu sudah cukup berat!" Ouwyang Sek mengomel.
"Syaratku adalah bahwa siapa yang dapat mengembalikan Hui Hong kepadaku, ialah yang patut menjadi mantuku!"
Ouwyang Sek dapat menerima syarat isterinya, karena diapun maklum betapa akan duka hati isterinya kalau Hui Hong tidak kembali lagi kepadanya. Akan tetapi tentu saja dia merasa sungkan kepada
rekannya, datuk dari Bukit Bayangan Iblis (Kui-eng-san). "Baik, kau katakan sendiri kepada ayah dan anak itu agar tidak disangka aku yang sengaja mempersulit mereka."
"Huh, di mana kegagahanmu yang selama ini kau sombongkan" Demi membela anak, kenapa engkau
tidak berani menentang mereka" Baik, aku akan menemui mereka dan mengatakannya sendiri!" kata
Pouw Cu Lan dan diam-diam Ouwyang Sek memandang heran dan kagum, isterinya ini, bekas selir kaisar dan bekas kekasih Pangeran Tiauw Sun Ong, selama ini bersikap sebagai seorang wanita lemah yang
suka melakukan segala perintahnya dengan patuh. Akan tetapi saat ini telah berubah menjadi seorang wanita pemberani, bahkan berani untuk menentang keluarga Suma. Dan diapun menyadari bahwa
semua kelemahan dan kepatuhan Cu Lan ternyata hanya demi puterinya. Kini begitu puterinya
terganggu, iapun dapat berubah sebagai seekor harimau betina yang melindungi anaknya!"
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan puteranya, Tok-siauw-kwi suma Hok telah siap untuk pergi dan
mereka berdua menanti di ruangan depan untuk berpamit dari keluarga Ouwyang, terutama sekali
Suma Hok ingin bertemu lagi dengan Hui Hong dan pamit kepada gadis yang dianggapnya sebagai
tunangan atau calon isterinya itu. Tentu saja mereka merasa heran, dan terutama Suma Hok merasa
kecewa ketika mereka melihat Ouwyang Sek muncul kembali hanya bersama isterinya. Tidak nampak
Hui Hong bersama mereka, juga tidak nampak Ouwyang Toan! Tidak munculnya Ouwyang Toan tidak
diambil pusing oleh Suma Hok, akan tetapi tidak adanya Hui Hong membuat dia merasa kecewa sekali dan saking tidak dapat menahan kekecewaan hatinya, diapun menyambut Ouwang Sek dengan
pertanyaan tanpa sungkan lagi, "Paman Ouwyang, mana Hui Hong" Aku ingin berpamit kepada
tunanganku yang tercinta itu!"
Sebelum Ouwyang Sek yang merasa malu dapat menjawab, isterinya telah mendahului dan dengan
suara lantang Pouw Cu Lan berkata, "Orang muda. dengarlah baik-baik. Anakku Hui Hong telah pergi tanpa pamit, entah ke mana kamipun tidak tahu, aku sebagai ibunya, kini menambahkan syarat sebagai sayembara untuk menjadi calon suami anakku. Anakku Hui Hong sudah mengajukan tyarat bahwa calon
suami harus dapat menemukan kembali mustika Akar Bunga Gurun Pasir, dan harus pula dapat
mengalahkan ia dalam pertandingan. Sekarang kutambah dengan sebuah syarat lagi, yaitu siapa yang dapat menemukan Hui Hong dan dapat mengajaknya pulang ke sini, dialah calon suami anakku, calon
mantuku!" Tiba-tiba terdengar suara orang dari luar, "Bagus sekali! Syarat yang tiga itu cukup adil dan kami sanggup memenuhi ketiganya!"
Tentu saja semua orang terkejut, terutama Ouwyang Sek dan Suma Koan karena kedua orang datuk ini tidak dapat mengetahui atau mendengar kedatangan orang yang mengeluarkan suara itu. Tahu-tahu
orang itu telah berada di situ dan ketika mereka menengok, ternyata di pekarangan itu telah berdiri seorang pemuda dan seorang kakek buta! Mereka itu bukan lain adalah Bun Houw dan gurunya, bekas
Pangeran Tiauw Sun Ong.
Sejenak semua orang memandang ke arah guru dan murid itu dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan. Akan tetapi tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh isak tangis dari Pouw Cu Lan sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepada Tiauw Sun Ong dan terdengar di antara isaknya ia berkata lemah.
"Pangeran ...!" Dapat dibayangkan betapa hancur hati wanita itu. Dahulu, ketika ia menjadi selir terkasih kaisar, ia telah saling jatuh cinta dengan Pangeran Tiauw Sun Ong. Adik suaminya. Mereka berdua telah lupa diri, berdua sehingga akhirnya tertangkap basah dan biarpun kaisar tidak menghukum adiknya, namun Pangeran Tiauw Sun Ong yang merasa berdosa dan malu, membutakan matanya sendiri di
depannyal Pangeran itu telah menjadi seorang buta karena iapun ketika itu tidak mengharapkan hidup lagi, dihukum buang dan akhirnya dirampas oleh Ouwyang Sek. Andaikata Ia tidak mengandung, tentu ia akan membunuh diri! Kini, setelah kesemuanya itu hanya tinggal kenangan belaka, tiba-tiba ia
berhadapan dengan Pangeran Tiauw Sun Ong, satu-satunya pria yang dicintanya, akan tetapi juga yang menderita sengsara karenanya!"
"Pangeran ...!" Kembali ia memanggil dengan suara merintih, di ringi tangis mengguguk.
"Ha-ha-ha-ha!" Kui-siauw Giam-ong tertawa bergelak. "Saudara Ouwyang Sek. sungguh pertunjukan ini lucu sekali, seperti di atas panggung wayang dan engkau membiarkan saja badut ini datang disambut sembah dan tangis isterimu" Kalau perlu, aku dapat membantumu mengirimnya ke neraka!"
Ouwyang Sek yang mukanya hitam itu kini memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot
marah. "Tiauw Sun Ong, mau apa engkau datang ke sini?" Sungguh sama sekali tidak ramah ucapannya itu, namun Tiauw Sun Ong menyambutnya dengan senyum. Kakek buta ini juga sama sekali tidak
memperdulikan bekas kekasihnya yang kini telah menjadi isteri datuk Bukit Siluman itu. Seperti orang yang dapat melihat saja, dia mengangkat muka ke arah dua orang datuk itu dan suaranya terdengar
lembut namun berwibawa.
"Suma Koan, kebetulan sekati aku bertemu denganmu di sini. Dan Ouwyang Sek, aku juga girang bahwa engkau berada di rumah sehingga aku dapat bertemu dengan kalian dua orang datuk besar. Aku ingin menyampaikan terima kasih kepada kalian yang telah memukul muridku dengan pukulan beracun,
karena perbuatan kalian itu mendatangkan untung yang teramat besar dan tak ternilai harganya bagi muridku."
Mendengar ucapan itu wajah kadua orang datuk itu berubah kemerahan karena tentu saja mereka
mengira bahwa ucapan bekas pangeran itu merupakan ejekan atau sindiran, sama sekali mereka tidak tahu bahwa ucapan itu memang sungguh sungguh!
"Tiauw Sun Ong, tidak perlu banyak cakap. Cepat katakan mau apa kau ke sini sebelum kuusir engkau yang tidak kuundang!" bentak Ouwyang Sek yang menjadi semakin marah karena mara ia diejek.
Bekas pangeran itu tetap tersenyum. "Ouwyang Sek, kami telah mendengar sayembara untuk
pencalonan suami bagi anakmu Hui Hong. Nah, aku datang bersama muridku untuk mengajukan
pinangan agar Hui Hong dapat menjadi jodoh muridku Bun Houw ... "
"Tidak boleh!" bentak Ouwyang Sek memotong.
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak bercakap begitu. Dengarkan dulu apa yang dikatakan pangeran!"
bentak Cu Lan dan kembali Ouwyang Sek merasa heran. Wanita ini sekarang sungguh amat berani! "Hui Hong adalah anakku dan aku berhak pula memutuskan!" sambung pula Pouw Cu Lan.
"Kami sudah mendengar tentang tiga macam syarat itu. Pertama, menemukan Akar Bunga Gurun Pasir, ke dua menandingi Hui Hong dalam ilmu silat, dan ke tiga, membawa kembali Hui Hong yang sekarang pergi entah ke mana. Dan juga pedang Lui-kong-kiam milik muridku telah berada di tanganmu, Ouwyang Sek, biarlah kami menganggap itu sebagal Ikatan jodoh!"
"Tidak, aku tidak menerima pinangan itu! Hui Hong telah kujodohkan dengan putera saudara Suma Koan! Andaikata belum juga, aku tidak akan menjodohkan anakku dengan murid seorang buta!"
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak bicara seperti itu!" Pouw Cu Lan berteriak, lalu ia bangkit, lari ke depan kaki Tiauw Sun Ong, menjatuhkan diri berlutut lagi dan berkata, "Pangeran, Hui Hong adalah puteri pangeran, anak kita, dan saya setuju kalau ia dijodohkan dengan muridmu ... ,"
"Diam kau, perempuan binal!" bentak Ouwyang Sek marah, kemudian dia berkata kepada bekas pangeran itu dengan pandang mata penuh kebencian karena cemburu. "Tiauw Sun Ong, pargilah engkau dari sini atau terpaksa aku akan melakukan kekerasan!"
Akan tetapi bekas pangeran itu kini tidak memperdulikannya lagi. Dia menunduk dan memalingkan
muka ke arah bekas kekasihnya." Cu Lan, aku menysal sekali telah menyebabkan engkau menderita dalam hidupmu. Aku pun cukup menderita dan agaknya memang Tuhan telah menghukum kita berdua
karena perbuatan kita yang tidak benar. Cu Lan, aku telah tahu tentang anak kita Hui Hong, sekarang katakan, ke mana ia pergi?"
"Pangeran, saya menceritakan kepadanya tentang kita, dan ia ... ia pergi bersama seorang wanita yang katanya mengetahui di mana engkau berada. Saya tidak dapat mencegahnya ... "
"Siapa wanita itu?" tanya Tiauw Sun Ong, sedangkan Ouwyang Sek juga mendengarkan dengan penuh perhatian karena baru sekarang dia mendengar bahwa anaknya pergi bersama seorang wanita.
"Saya tidak melihatnya. hanya mendengar suaranya, dan menurut Hui Hong, ia seorang wanita cantik yang usianya sekitar tiga puluhan. Pangeran, tolong carikan ia, carilah anakku, cari anak kita karena aku merasa khawatir sekali ... "
"Ha-ha-ha, saudara Ouwyang, sebetulnya bagaimanakah ini" Hui Hong yang hendak diperisteri putraku itu anak siapa! Anakmu, anak si buta ini, ataukah anak haram?" Suma Toan yang tidak sabar kini berseru dengan suara mengejek.
"Tiauw Sun Ong, dengar baik-baik!" Ouwyang Sek kini membentak marah. "Engkau dan perempuan binal ini sama sekali tidak berhak atas diri Hui Hong! Lihat perempuan ini. Ia selir kaisar yang telah memberi segala galanya, kedudukan dan kemewahan, akan tetapi apa yang ia lakukan" Ia melakukan
penyelewengan, berkhianat dan berjina denganmu, adik suaminya sendiri. Setelah tertangkap basah, kalian berpisah dan apa yang ia lakukaa" Ia mau menjadi isteriku dan ?a melayaniku dengan sepenuh hati sampai sekarang. Perempuan macam ini apakah berhak untuk menjadi seorang ibu yang berhak
penuh atas diri Hui Hong" Dan lihat dirimu sendiri! Engkau telah mengkhianati kakak sendiri, berjina dengan isteri kakakmu. Setelah ketahuan, engkau tidak bertanggung jawab, malah melarikan diri, tidak perduli kekasih gelapmu telah mengandung. Orang macam engkan ini apakah pantas menjadi ayah Hui
Hong" Sebaliknya, sejak kecil, sejak lahir, Hui Hong kupelihara, kudidik sampai menjadi seorang gadis seporti sekarang keadaannya. Tidakkah sudah sepatutnya kalau aku yang berhak menentukan
jodohnya" Hayo jawab!"
Terdengar rintihan dan tangis keluar dari mulut Pouw Cu Lan. Wanita ini merasa betapa ucapan
suaminya itu seperti pedang beracun menancap di ulu hatinya. Ia tidak mampu membantahnya
walaupun semua itu ia lakukan demi Hui Hong! Juga bekas pangeran itu berdiri menunduk dan berulang kali menghela napas panjang. Biarpun kasar dan keji, ucapan dari datuk sesat itu memang benar. diapun mempunyai alasan, yaitu bahwa dia tidak tahu bahwa kekasihnya itu telah mengandung ketika dia
meninggalkannya. Andaikata dia tahu, mnngkin tidak akan begini jadinya. Akan tetapi alasan itupun amat lemah dan dia tidak mau mengeluarkannya.
"Ouwyang Sek, aku datang bukan untuk merampas hakmu sebagai ayah atas diri Hui Hong. Bahkan aku mengakui engkan sebagai ayahnya. Buktinya, aku datang sebagai wakil muridku ini untuk melakukan
pinangan atas diri Hui Hong sebagai puterimu. Dan kami akan memenuhi tiga syarat tadi, juga pedang Lui-kong-kiam itu boleh kausimpan sebagai tanda ikatan jodoh atau tanda bahwa kami telah meminang puterimu."
"Pedang Lui-kong-kiam ini kuambil dari tangan muridmu dengan kekerasan. Kalau memang dia
mempunyai kemampuan, boleh merampasnya kembali dari tanganku!" kata Ouwyang Sek sambil
menepuk pedang dengan sarungnya yang seperti tongkat dan yang tergantung di punggungnya itu.
Sementara itu Suma Koan juga melangkah maju menghampiri Tiauw Sun Ong dan tertawa dengan nada
mengejek. "Hei , orang buta. Sungguh lancang sekali engkau, berani meminang Ouwyang Hui Hong.
Anak perempuan itu telah menjadi calon mantuku, tahu" Siapa yang meminang calon mantuku, berarti menghinaku. Engkau boleh mengajukan pinanganmu kalau mampu menghadapi suling mautku!"
Ditantang olah kedua orang datuk itu, Tiauw Sun Ong menoleh ke arah muridnya. "Bun Houw, tidak ada jalan lain lagi. Kau rampaslah kembali Lui-kong-kiam dari Ouwyang Sek, dan biar aku yang akan melayani Iblis Suling Maut ini."
Bun Houw yang merasa kasihan sekali kepada ibu kandung Hui Hong, mengangguk, lalu diapun
melangkah maju mengbampiri Ouwyang Sek. Bagaimaupun juga, dia tetap memandang kakek tinggi
besar muka hitam ini sebagai ayah Hui Hong. maka diapun bersikap sopan. "Lo-cian-pwe, aku menerima tantanganmu untuk mencoba mengambil kembali Lui-kong-kiam yang kaudapat."
"Heh, bocah yang bosan hidup. Kebetulan sekali karena akupun ingin menyelesaikan niatku yang tidak kulaksanakan dahulu, yaitu membunuhmu. Nah, majulah untuk menerima kematian!" Kakek itu
menggerakkan tangannya dan dia sudah menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya menyambar dari
kanan kiri sehingga mendatangkan suara menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Houw. Pemuda ini
sudah maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun sudah bersikap waspada, cepat dia meloncat ke
belakang untuk mengelak dan mencari tempat yang lebih luat agar jangan mengganggu gurunya. Juga
agar tidak terlalu dekat dengan ibu Hui Hong yang masih berlutut sambil menangis sedih.
Sementara itu, Suma Koan sudah menggunakan sulingnya untuk menyerang Tiauw Sun Ong Datuk dari
Bukit Bayangan Iblis ini berjuluk Kui-siauw Giam-ong (Iblis Suling Maut), tentu saja senjata sulingnya itu dahsyat bukan main. Suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata yang kokoh kuat karena
terbuat dari baja yang pilihan, juga ujungnya mengandung racun, dan suling itupun dapat dipergunakan untuk meniupkan jarum-jarum beracun ke arah lawan. Senjata inilah yang mengangkat Suma Koan dan
membuat dia dijuluki Suling Maut.
Namun sekali ini, majikan Kui-eng-san itu berhadapan dengan Tiauw Sun Ong. Tadinya dia memang
memandang rendah kepada kakek buta itu karena diapun baru pernah mendengar saja nama bekas
pangeran ini. namun belum membuktikan sendiri kelihaiannya. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang buta," demikian pikir Suma Koan dan serangan-serangannya yang dahsyat itu, dia mengira akan mampu merobohkan lawan buta itu dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi, begitu Tiauw Sun Ong
menggerakkan tangannya, sebatang pedang berkilauan telah berada di tangannya dan dia melemparkan tongkat yang menjadi sarung pedang itu kepada muridnya sambil berseru, "Bun Houw, kau pergunakan ini!"
Tiauw Sun Ong menggerakkan pedangnya dan nampak sinar bergulung-gulung, menangkis suling dan
begitu kedua senjata itu bertemu, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan terkejut bukan main karena dia
merasa betapa retapak tangannya yang memegang suling tergetar hebat, tanda bahwa lawan buta itu
memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, tidak berada di sebelah bawahnya! Maka, diapun berseru
keras dan sulingnya melakukan serangkaian serangan yang lebih dahsyat lagi. disambut dengan tenang oleh Tiauw Sun Ong yang juga maklum bahwa dia melawan seorang datuk yang lihai.
Bun Houw menyambut sarung pedang berbentuk tongkat butut yang dilemparkan suhunya, akan tetapi
melihat betapa Ouwyang Sek menyerangnya dengan tangan kosong, diapun hanya menyelipkan tongkat
itu di ikat pinggangnya dan menghadapi serangan datuk Bukit Siluman itu dengan tangan kosong pula.
Sampai belasan jurus dia hanya mengelak dengan berloncatan dan dengan menggeser kedua kakinya
secara ringan dan lincah sekali sehingga semua serangan kakek itu hanya mengenai tempat kosong.
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menjadi penasaran bukan main, rasa penasaran yang mendatangkan
kemarahan. Belasan jurus dia menyerang dan pemuda itu hanya mengelak, akan tetapi tidak pernah
pukulannya mengenai sasaran. Diam-diam dia terkejut di samping kemarahannya. Pemuda ini dahulu
telah dia pukul dengan pukulan yang mengandung hawa beracun mematikan. Akan tetapi, kini bukan
saja pemuda itu sama sekali tidak kelihatan menderita oleh pukulannya, bahkan kini pemuda itu
sedemikian mudahnya menghindarkan diri dari belasan kali serangannya yang dahsyat.
"Bocah sombong, mampuslah!" Tiba-tiba dia membentak dan dia mengirim serangan dengan kedua tangannya yang menghadang dari kanan kiri dengan cepat dan kuat. tidak memungkinkan pemuda itu
untuk mengelak lagi. Andaikata lawannya meloncat ke belakangpun tentu akan dilanda hawa pukulan
jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang dan hawa beracun itu.
Melihat serangan maut ini. Bun Houw tidak mau mengelak lagi. Diapun diam-diam mengerahkan tenaga yang didapatnya dari latihan Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya dia mengatur dan membatasi tenaganya, hanya untuk melindungi dirinya saja, tanpa niat untuk menyerang atau mencelakai lawan.
"Wuuuuttt, desss ...!" Kedua telapak tangan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek bertemu dengan dinding yang tidak nampak dan demikian kuatnya benturan pada dinding tak nampak itu sehingga tubuh datuk itu
terdorong ke belakang.
Dia tidak mampu menguasai kuda-kudanya lagi sehingga terpaksa kakinya terhuyung melangkah ke
belakang sampai lima langkah! Dan yang membuat dia terbelalak adalah melihat pemuda itu masih
berdiri tegak dengan sikap tenang!
Ilmu apa ini, pikirnya kaget dan karena maklum bahwa dengan tangan kosong dia tidak akan mampu
menandingi pemuda yang memiliki tenaga mujijat yang tidak dikenalnya itu, Ouwyang Sek lalu
menggerakkan tangan kanan ke punggungnya dan di lain saat, nampak kilat berkelebat menyambar
ketika dia telah mencabut Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) yang dahulu dirampasnya dari tangan Bun
Houw!" Melihat pedangnya sendiri kini dipergunakan lawan untuk menyerangnya, Bun Houw segera mencabut
tongkat sarung pedang gurunya yang dia selipkan di pinggang. Dia tentu saja mengenal keampuhan Lui-kong-kiam, dan biarpun dia belum pernah melihat ilmu pedang datuk itu, namun mengingat bahwa
datuk itu berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), dia dapat menduga bahwa Ouwyang Sek
tentu seorang ahli pedang yang amat lihai.
"Singgg ... wuuuut, singgg ...!" Lui-kong-kiam di tangan Ouwyang Sek diputar-putar di atas kepalanya membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata. "Bocah sombong, biar pedangmu sendiri
menghirup darahmu!"
Pedang yang kalau digerakkan menimbulkan sinar berkilat itu menyambar ke arah leher Bun Houw.
Memang pantas Ouwyang Sek dijuluki Bu-eng-kiam karena dia memang seorang ahli pedang yang
mampu menggerakkan pedang dengan kecepatan luar biasa sehingga seolah-olah pedang itu tidak
mempunyai bayangan, tahu-tahu telah tiba disasaran yang dituju. Namun Bun Houw adalah murid
tersayang dari Tiauw Sun Ong yang memiliki ilmu pedang yang ampuh, yaitu ilmu pedang yang
mengandalkan ketajaman pendengaran dan perasaan naluri seorang buta. Gerakan pedang yang
betapapun dapat ditangkap oleh pendengaran dan perasaan itu, maka begitu pedang itu menyambar ke arah lehernya, Bun Houw, sudah dapat menangkisnya dengan tongkat sarung pedang gurunya.
"Trangg ... !" Pedang terpental lalu menukik ke bawah, menusuk ke arah perut Bun Houw.
"Trangg ...!" Kembali pedang yang terpental itu membuat gerakan membalik dan kini sudah menyambar lagi menusuk dada.
"Trangg ...!" Dan kini Bun Houw melanjutkan tangkisannya dengan serangan balasan yang meubuat Ouwyang Sek harus cepat memutar pedangnya untuk membuat perisai gulungan sinar melindungi
dirinya karena dia dapat merasakan sambaran angin dahsyat ketika tongkat itu menyambar-nyambar ke arah dirinya.
Terjadi perkelahian yang amat hebat antara Ouwyang Sek dan Bun Houw, dan makin lama, Ouwyang
Sek menjadi semakin terkejut dan terheran-heran. Belum lama, ketika dia untuk pertama kalinya
bertemu dengan pemuda ini, Bun Houw belumlah sepandai ini walaupun tingkat pemuda ini sudah
sedikit lebih tinggi dari pada tingkat Ouwyang Toan dan Hui Hong. Akan tetapi sekarang, bagaimana mungkin pemuda ini sudah menjadi sedemikian lihainya sehingga dia sendiri selalu kalah kalau beradu tenaga, dan ilmu pedangnyapun tidak mampu mendesak pemuda yang hanya bersenjatakan tongkat
pendek ini"
Sementara itu. perkelahian antara Tiauw Siauw Ong dan Suma Koan juga terjadi dengan hebatnya.
Namun, setelah beberapa kali meniupkan jarum beracun tanpa hasil karena selalu dapat dipukul runtuh oleh gulungan sinar pedang di tangan lawan yang buta itu. mulailah Suma Koan terdesak oleh gulungan sinar pedang yang dimainkan Tiauw Sun Ong. Melihat betapa ayahnya tidak mampu menang bahkan
terdesak oleh orang buta yang tadinya mereka pandang rendah itu. Suma Hok juga mencabut sulingnya dan dia tanpa banyak cakap lagi sudah terjun ke dalam perkelahian membantu ayahnya mengeroyok
Tiauw Sun Ong! Sang ayah juga diam saja dan agaknya mereka tidak merasa malu harus mengeroyok
seorang lawan yang buta! Mengelahui bahwa dia dikeroyok oleh dua orang lawan tangguh. Tiauw Sun
Ong memutar pedangnya semakin cepat dan membentuk benteng pertahanan dari gulungan sinar
pedang yang berkilauan untuk melindungi dirinya.
Bun Houw hanya mengimbangi permainan Ouwyang Sek karena bagaimanapun juga, dia tidak ingin
membuat datuk yang menjadi ayah tiri Hui Hong ini merasa terhina kalau dia kalahkan. Akan tetapi, kini dia melihat keadaan gurunya yang dikeroyok secara curang oleh ayah dan anak Suma, dia harus
membantu gurunya," pikir Bun Houw dan untuk dapat melakukan itu. dia harus menyudahi


Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkelahiannya melawan Ouwyang Sek. Tiba-tiba Bun Bouw mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan
yang membuat Ouwyang Sek merasa betapa jantungnya terguncang dan saat itu, pedang Lui-kong-kiam
di tangannya bertemu dengan tongkat di tangan Bun Houw dan melekat! Dia berusaha menarik kembali pedang itu, namun tidak dapat dan karena marah dia lalu menghantamkan tangan kirinya dengan
telapak tangan terbuka ke arah muka Bun Houw. Hantaman ini dilakukan sekuat tenaga dengan
kandungan hawa beracun dan kalau sampai terkena pukulan ini. betapapun lihainya, tentu pemuda itu akan roboh dan tewas.
Melihat pukulan tangan kiri ini, Bun Houw maklum betapa besar bahayanya, maka diapun mengerahkan tenaga dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan menggerakkan tangan kiri menyambut hantaman ke arah
mukanya itu. "Plakkk!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, Ouwyang Sek mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya gemetar, terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Houw untuk secepat kilat melepaskan lekatan tongkatnya dari pedang, dan ujung tongkatnya sudah menotok pergelangan
tangan kanan Ouwyang Sek sehingga pedang itu terlepas dan dilain detik, Lui-kong-kiam telah kembali kepada pemiliknya!"
Kisah Pedang Bersatu Padu 5 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pedang Darah Bunga Iblis 11
^