Pencarian

Kisah Si Pedang Terbang 3

Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Mei Li segera mencabut sepasang pedangnya dan kini ia bersilat dengan sepasang pedang. Gerakannya indah seperti seorang dewi menari-nari dan itulah Sian-li Kiam-sut yang ia pelajari dari ayahnya, akan tetapi kadang-kadang pedangnya menyambar lepas dari tangan untuk cepat berputar dan terbang kembali ke tangannya. itulah Siang-hui Kiam-sut. Dengan bantuan ayah dan ibunya, Mei Li berhasil menggabungkan kedua ilmu pedang yang ia pelajari dari ayah ibunya.
Can Kim Hong mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring dan ibu ini menyerang puterinva dengan lemparan apel-apel dari dalam keranjang. Sambitan Can Kim Hong bukan sambitan biasa, melainkan sambitan seorang ahli silat tingkat tinggi yang memiliki tenaga sinkang kuat, maka tentu saja buah-buah apel itu menyambar-nyambar seperti peluru meriam! Namun, sepasang pedang yang digerakkan dengan indahnya itu kini bergerak cepat sehingga lenyaplah bentuk sepasang pedang itu, berubah menjadi dua sinar yang bergulung-gulung membentuk perisai sinar dan semua buah apel yang menyambar tentu runtuh terbelah oleh sinar pedang yang amat tajam! Dalam waktu beberapa menit saja, puluhan buah apel itu habis terpotong-potong dan berserakan di atas tanah.
Can Kim Hong mengeluarkan suara melengking dan ibu inipun kini menerjang maju dengan sepasang pedangnya sendiri, menyerang Mei Li dengan gerakan cepat. Dan terjadilah latihan pertandingan yang amat seru dan kalau ada orang lain kebetulan menjadi penonton, tentu dia akan merasa tegang dan mengira bahwa kedua orang wanita itu benarbenar sedang berkelahi mati-matian! Me mang ibu dan anak itu berlatih dengan sungguh-sungguh, mengerahkan tenaga dan kecepatan. Hal ini berani mereka lakukan karena keduanya sudah menguasai benar ilmu sepasang pedang terbang itu.
"Awas pedang!" tiba-tiba Mei Li berseru dan pedangnya yang kiri meluncur cepat dan ke arah leher ibunya, bagaikan anak panah terlepas dari. busurnya. Can Kim Hong berusaha keras. untuk mengalahkan puterinya dalam latihan ini, maka iapun menggunakan sepasang pedangnya untuk menggunting atau menjepit pedang yang terbang menyerang nya itu dengan kedua pedangnya yang bergerak cepat..Akan tetapi, begitu pedang kiri itu terjepit di antara sepasang pedang ibunya, Mei Li sudah membentak lagi dan pedang kanannya kini meluncur ke arah kaki ibunya.
Can Kim Hong mengeluarkan seruan kagum dan tubuhnya mencelat ke atas, dan dengan sendirinya jepitan kedua pedangnya terlepas dan sekali tarik, pedang kiri itu sudah melayang kembali kepada pemiliknya. Can Kim Hcng melayang turun dan menyimpan kembali sepasang pedangnya sambil tersenyum.
"Thian-te-siang-liong (Sepasang Naga Langit Bumi) yang cukup bagus dalam penyeranganmu tadi, Mei Li. Akan tetapi, pedang ke dua itu agak terlambat, kalau kaulepaskan pedang kanan itu sedetik lebih cepat, sebelum pedang kirimu terjepit, tentu akan membuat aku lebih repot."
Dara berusia delapanbelas tahun itu memang telah menguasai sepasang pedang terbang dengan amat baiknya. Memang ia memiliki bakat besar dan ditambah ketekunannya dan kecerdikannya, maka dalam usia delapanbelas tahun ia bahkan lebih mahir dibandingkan ibunya! Hal ini tidaklah terlalu aneh karena selain ayah ibunya yang menggemblengnya sejak ia masih kecil, juga Mei Li selama dua tahun terakhir ini menerima penggemblengan dari kakek gurunya, yaitu Hek-liong Kwan Bhok Cu, guru ibunya.
Yang Mei Li merupakan anak tunggal dari suami isteri Yang Cin Han dan Can Kim Hong. Ayah dari Yang Cin Han, yaitu mendiang perdana menteri Yang Kok Tiong, kakak dari mendiang selir Yang Kui Hui yang amat terkenal, terlibat langsung ketika terjadi pemberontakan dalam Kerajaan Tang yang dilakukan oleh An Lu Shan. Dalam keributan pemberontakan itu, yang membuat Kaisar Hsuan Tsung terpaksa melarikan diri dan diiringkan pula oleh Perdana Menteri Yang Kok Tiong, perdana menteri ini tewas. Juga isterinya tewas membunuh diri ketika kota raja diserbu pemberontak. Perdana menteri ini meninggalkan tiga orang anak, yaitu Yang Cin Han sebagai anak tertua, kemudian masih ada dua orang adiknya, keduanya wanita, yaitu Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi. Yang Kui Bi menikah dengan Sia Su Beng pemberontak lain yang berhasil membunuh An Lu Shan dan puteranya, kemudian Yang Kui Bi, yaitu ibu kandung Sia Han Lin, gugur ketika pasukan pemerintah Tang merebut kembali kota raja. Sedangkan Yang Kui Lan yang menjadi isteri pendekar Go-bipai yang bernama Souw Hui San tinggal di Wu-han di pantai Yang-ce-kiang. Biarpun tiga orang ini merupakan putera puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong, namun yang terlibat langsung dalam perang perebutan mahkota Kerajaan hanyalah Yang Kui Bi yang menjadi isteri Sia Su Beng yang telah mengangkat diri sendiri sebagai kaisar baru menggantikan An Lu Shan. Yang Cin Han dan adiknya, Yang Kui Lan, tidak mau melibatkan diri dan ketika pasukan
Tang akhirnya berhasil merebut kembali tahta kerajaan dari tangan Sia Su Beng dalam tahun 766, kakak beradik ini tidak mencampuri.
Ketika mendengar bahwa kota raja telah jatuh kembali ke tangan pasukan Tang yang dipimpin oleh Pang lima Kok Cu It yang setia dan gagah perkasa, dan mendengar pula akan gugurnya Sia Su Beng dan adiknya, Yang Kui Bi, Yang Cin Han mencoba untuk mencari berita tentang adiknya itu di kota raja yang telah diduduki kembali oleh Kaisar Su Tsung. Dia mendengar bahwa adiknya itu benar telah gugur, demikian pula suami adiknya. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan keponakannya, Sia Han Lin yang baru berusia lima tahun. Anak itu lenyap tak tentu rimbanya dan dia tidak berhasil menemukan jejaknya.
Demikianlah sedikit riwayat Yang Cin Han, ayah Yang Mei Li. Kini, Kerajaan Tang telah pulih kembali, telah berdiri kembali dengan tegaknya berkat kegagahan Panglima Kok Cu It. Akan tetapi, semenjak Kaisar Su Tsung yang menggantikan Kaisar Hsuan Tsung merebut kembali kota raja dalam tahun 766, sudah beberapa kali terjadi penggantian kaisar. Kaisar Su Tsung hanya memerintah sampai tahun 768 saja sejak dinobatkan menggantikan ayahnya dalam tahun 755. Kemudian penggantinya, Kaisar Kui Tsung, adiknya sendiri, memerintah sebagai kaisar dari tahun 768 sampai 773- Kemudian, baru saja beberapa bulan yang lalu Kaisar Kui Tsung meninggal dunia dan tahta kerajaan diserahkan kepada .puteranya, yaitu Kaisar Thai Tsung. Ketika kisah ini terjadi, kaisarnya adalah Kaisar Thai Tsung.
Karena pasukan Tang merampas kembali tahta kerajaan dengan bantuan banyak suku asing dari barat dan utara, maka setelah kerajaan Tang dapat dibangun kembali, suku-suku bangsa yang tadinya membantu itu menuntut balas jasa. Banyak di antara mereka yang tidak mau kembali ke kampung halaman, keenakan tinggal di daerah pedalaman Kerajaan Tang. Berbagai bangsa tinggal bertebaran di wilayah Tang, di antara mereka adalah bangsa Arab yang tadinya merupakan pasukan Arab yang dikirim oleh Kalif Abu Jafar al Mansur dalam tahun 756 untuk pembantu Kerajaan Tang menghadapi pemberontakan yang telah menduduki kota raja Tiang-an, ada pula bangsa Nepal, Turki dan banyak suku bangsa lagi. Banyak di antara mereka telah menikah dengan wanita Han dan tinggal menetap di pedalaman.
Namun, yang merupakan gangguan terbesar bagi Kerajaan Tang yang baru saja menguasai kembali kota raja Tiang-an adalah gerakan dari bangsa Tibet di barat dan disusul gerakan Kerajaan Nan Chao yang berkedudukan di Yunnan, sebelah selatan. Gangguan dari barat dan selatan inilah yang merongrong Kerajaan Tang sepanjang tahun-tahun mendatang.
Yang Cin Han dan keluarganya tinggal di Lok-yang, kota besar yang merupakan ibukota ke dua setelah Tiang-an. Dia menjadi saudagar rempa-rempa yang "berhasil sehingga keadaan keluarganya cukup kaya. Dan biarpun dia sendiri seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, demikian pula isterinya, namun suami isteri ini selalu menjaga agar mereka jangan sampai terlibat dalam urusan dunia kangouw. Juga Mei Li mereka pesan agar jangan mencari permusuhan. Gadis ini bukan saja digembleng ilmu silat tinggi, akan tetapi juga sastra dan kesenian lain.
Mei Li memang cantik, kecantikan yang amat menarik seperti biasa kecantikan wanita yang berdarah campuran. Ibunya, Can Kim Hong, adalah seorang peranakan Khitan, ayahnya orang Han dan ibunya orang Khitan. Dan Mei Li ju ga mewarisi kecantikan campuran dari ibunya. Seperti juga Cin Han, Kim Hong juga sudah yatim piatu. Ayahnya, seorang perwira bernama Can Bu, belum lama ini meninggal dunia karena terluka dalam pertempuran kemudian menderita sakit sampai berbulan-bulan.
Hek-liong Kwan Bhok Cu, guru Can Kim Hong, pernah berkunjung ke rumah muridnya sekitar tiga tahun yang lalu. Atas permohonan muridnya, juga Yang tapi "
(Maaf Ada Halaman Yang Hilang) "Sudahlah, jangan merisaukan yang bukan-bukan," kata Yang Cin Han dan dia merangkul isterinya dengan penuh perasaan sayang. Suasana menjadi sunyi dalam kamar itu.
Di kota Wu-han, Souw Hui San dan isterinya, Yang Kui Lan, berdagang kain dan mempunyai sebuah toko yang cukup besar. Mereka hidup serba kecukupan dan tenang, tidak pernah suami isteri pendekar ini menonjolkan diri sebagai jagoan. Biarpun demikian, diam-diam mereka berdua menggembleng anak tunggal mereka, yaitu Souw Kian Bu yang telah berusia sembilanbelas tahun.
Souw Hui San telah berusia empat puluh lima tahun. Dia seorang Murid Go bi-pai yang terpandai, seorang yang sejak muda sudah yatim piatu dan bertualang di dunia persilatan sebagai seorang pendekar yang lincah jenaka dan gembira, namun cerdik dan lihai sekali. Wajahnya cukup tampan dengan bentuk yang bulat,...,matanya membayangkan kecerdikan dan. mulutnya membayangkan keramahan dengan senyum yang agaknya penuh pengertian. Tubuhnya sedang dan kekar. Sebagai seorang ayah, dia menurunkan semua ilmu silatnya kepada Souw Kian Bu, di samping mengharuskan puteranya itu mempelajari kesusasteraan dari seorang guru sastra yang sengaja dia bayar untuk mendidik puteranya.
Jilid V Isterinya, Yang Kui Lan, juga mengajarkan ilmu-ilmunya yang ia dapat dari Kong Hwi Hosiang. Yang Kui Lan berusia tigapuluh sembilan tahun akan tetapi nampak jauh lebih muda. Wanita ini memang cantik jelita, kecantikan yang lembut dan agung, ia mirip sekali dengan bibinya yang terkenal, mendiang selir kaisar yang bernama Yang Kui Hui. Setitik tahi lalat di dagu kiri nya menambah kemanisan wanita yang sudah separuh baya ini. la merupakan isteri yang cocok sekali bagi Souw Hui San. Kalau suaminya seorang yang lincah jenaka suka bergurau, sang isteri pendiam dan agung sehingga keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi.
Seperti juga kakaknya, Yang Cin Han, Kui Lan bersama suaminya juga merasa gelisah ketika mendengar tentang gugurnya adiknya, Yang Kui Bi. lapun berusaha mencari keponakannya, putera adiknya itu yang bernama Sia Han Lin, namun tidak berhasil menemukan jejak anak yang hilang dalam keributan ketika kota raja diserbu pasukan Tang.
Atas persetujuan kedua pihak, Souw Hui San dan Yang Kui Lan mengikat tali perjodohan putera mereka dengan puteri kakaknya. Ketika dua pasang suami Isteri ini mengikat tali perjodohan anak mereka, Kian Bu berusia dua tahun dan Mei Li berusia satu tahun. Sedikitnya setahun sekali, kedua keluarga itu saling datang berkunjung sehingga Kian Bu dan Mei Li mulai berkenalan dan bersahabat karena setiap kali datang berkunjung, tentu keluarga yang berkunjung itu bermalam sampai semingg' lamanya. Ketika mereka berusia lima enam tahunan, mereka diperkenalkan sebagai saudara misan. Baru setelah mereka mencapai usia belasan tahun, orang tua mereka memberitahu bahwa mereka sudah saling dijodohkan.
Di luar pengetahuan kedua orang tua masing-masing, ketika tiga tahun yang lalu Kian Bu bersama orang tuanya datang berkunjung, diam-diam Kian Bu dan Mei Li mengadakan pertemuan empat mata dan sambil berbisik-bisik mereka berdua menyatakan ketidakpuasan hati mereka bahwa mereka itu sejak kecil saling dijodohkan. Keduanya memiliki perasaan yang sama, yaitu bahwa mereka saling menyayang sebagai kakak dan adik misan, dan merekapun keduanya merasa tidak bebas dan terikat oleh perjodohan yang dipaksakan di luar kehendak mereka itu. Dan sejak tiga tahun yang lalu itu, keduanya selalu menolak kalau diajak berkunjung. Baik orang tua Kian Bu maupun orang tua Mei Li tidak memaksa dan mengira bahwa keduanya sudah mulai dewasa dan agaknya mulai merasa malu untuk berkunjung ke rumah tunangan mereka!
Souw Hui San dan isterinya, Yang Kui Lan, sudah mendengar bahwa Mei Li telah mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silatnya berkat bimbingan langsung dari kakek gurunya, yaitu Si Naga Hitam. Oleh karena itu, suami isteri ini berusaha keras untuk menggembleng putera mereka agar dapat mengimbangi tingkat kepandaian Mei Li, karena sebagai seorang calon suami, sebaiknya kalau tingkat kepandaiannya tidak tertinggal jauh oleh calon isterinya. Maka, selama tiga tahun ini mereka mewariskan semua ilmu mereka kepada Kian Bu, bahkan menggabungkan iImu silat Gobi-pai dengan ilmu silat yang dikuasai Yang Kui Lan yang bersumber dari aliran Siauw-limpai.
Pada hari itu, pagi-pagi sekali, setelah mereka mengamati putera mereka berlatih silat pedang, Souw Hui San dan Yang Kui Lan mengajak Kian Bu untuk bicara di dalam. Toko mereka belum dibuka karena selain hari masih terlalu pagi, juga dua orang pembantu penjaga toko mereka belum datang.
"Kian Bu, bersiap-siaplah engkau seminggu lagi kita bertiga akan pergi berkunjung ke Lok-yang," kata Souw Hui San. Souw Kian Bu. mengangkat muke memandang ayahnya, lalu ibunya. Akan tetapi wajah ayah dan ibunya itu tidak berbeda, keduanya memandang dengan sinar mata tajam dan sikap mereka meyakinkan, tanda bahwa mereka berdua serius. Kian Bu berpura-pura dan bersikap tenang dan biasa.
"Kalau ayah dan ibu merasa rindu kepada keluarga pek-hu (uwa) Yang Cin Han, silakan ayah dan ibu yang pergi berkunjung ke Lok-yang. Aku akan tinggal di rumah saja, mengurus toko."
"Tidak bisa, Kian Bu," kata Yang Kui Lan dengan lembut. "Sekali ini engkau harus ikut karena ada urusan yang amat penting."
Pemuda itu memandang ibunya. "Urusan amat penting apakah, ibu?" "Kita harus memenuhi janji, Kian Bu," kata pula ibunya. "Janji" Aku tidak merasa berjanji kepada siapapun, ibu."
"Kian Bu, seminggu lagi, Yang Mei Li tepat berusia delapanbelas tahun dan tibalah saatnya bagi kita untuk memenuhi janji, yaitu membicarakan dan menentukan hari pernikahanmu dengan Mei Li. Karena yang akan dibicarakan mengenai pernikahanmu, maka tentu saja engkau harus ikut," kata ayahnya.
Sejenak Kian Bu mengangkat muka memandang ayahnya. Dua pasang mata yang sama tajamnya beradu pandang, akan tetapi Kian Bu segera menundukkan muka, tidak ingin ayahnya meiihat perlawanan dalam sinar matanya. Agaknya Yang Kui Lan dapat merasakan isi hati puteranya, maka ia berkata dengan suara menghibur dan penuh kesayangan.
"Kian Bu, ingatlah bahwa sejak engkau berusia dua tahun, engkau telah kami. tunangkan dengan Mei Li yang ketika itu berusia satu tahun. Sekarang, ia telah berusia delapan belas tahun dan engkau sembilanbelas tahun, sudah tiba saatnya memenuhi janji kita kepada pekhumu. Dan engkau sendiri melihat bahwa pilihan kami tidak keliru. Mei Li seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa. sungguh cocok sekali menjadi isterimu. Kiranya akan sulit ditemukan seorang gadis yang lebih sepadan untuk menjadi jodohmu, Kian Bu!"
Kian Bu menghela napas panjang, lalu dia memandang kepada ayah dan ibunya, bergantian, kemudian dia memberanikan diri bertanya, "Ayah dan ibu, dahulu, tentu ayah dan ibu pernah juga muda seperti aku, bukan?"
Ayah dan ibunya menjawab berbareng. "Tentu saja!".dan ayahnya menambahkan sambil tertawa. "Bukan hanya pernah muda seusiamu, Kian Bu, juga aku pernah menjadi bayi, haha-ha!"
"Bukan begitu maksudku, ayah. Akan tetapi apakah ayah dan ibu dahulu juga eh, sudah dijodohkan sejak masih kecil?" Suami isteri itu terkeju.t dan saling pandang, tidak menyangka putera mereka akan bertanya demikian. Keduanya menggeleng tanpa menjawab.
"Atau apakah dahulu ibu adalah pilihan kakek dan nenek Yang, dan ayah adalah pilihan kakek dan nenek Souw?" pemuda itu mengejar dan sekarang. mengertilah ayah dan ibu itu ke mana arah pertanyaan Kian Bu.
"Kian Bu, kami mengerti apa yang kaupikirkan dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu," kata Souw Hui San, kini wajahnya yang biasanya periang itu nampak serius. "Akan tetapi, keadaanku dan keadaanmu sungguh jauh berbeda. Ibumu dan aku memang berjodoh karena pilihan sendiri, akan tetapi ketika kami saling berjumpa dan saling jatuh cinta, kami berdua adalah yatim piatu."
"Kian Bu, kami dan pek-humu Yang Cin Han bersama isterinya menjodohkan engkau dan Mei Li dengan niat yang baik sekali. Kami tidak memaksamu, akan tetapi, bukankah pilihan kami itu, amat tepat" Apakah apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain?"
Kini.pandang mata suami isteri itu menatap.wajah putera mereka penuh selidik. "Tidak, ibu. Hanya aku merasa... eh, ganjil dan lucu kalau memikirkan bahwa aku harus berjodoh dengan adik Mei Li. Aku selalu merasa bahwa ia seperti adikku sendiri sehingga janggallah membayangkan ia menjadi jodohku."
Pada saat itu, pembantu toko datang dan melaporkan bahwa di luar ada seorang tamu ingin bertemu dengan tuan rumah dan katanya bahwa tamu itu datang dari Lok-yang. Mendengar ini, Souw Hui San segera keluar, diikuti isterinya yang ingin sekali tahu berita apa yang dibawa utusan dari Lokyang itu, karena sudah pasti berita itu datang dari kakaknya.
Dugaannya benar. Orang itu adalah utusan Yang Cin Han yang mengantar kan surat. Setelah member! upah tambahan kepada utusan itu, Souw Hui San dan isterinya membawa surat itu ke dalam. Utusan tadi mengatakan bahwa pengirim surat tidak minta balasan, maka dia la lu pergi lagi, tidak menanti jawaban. Dan setelah mereka membaca isi surat, memang tidak diperlukan balasan. Surat itu menyatakan bahwa dengan minta maaf keluarga di Lok-yang, itu minta agar ketentuan hari pernikahan diundur antara satu sampai dua tahun! Alasan yang dikemukakan Yang Cin Han mengenai pengunduran itu adalah karena Mei Li berkeras ingin pergi merantau mencari pengalaman sebelum menikah dan bahwa mereka tidak dapat menahan keinginan hati puteri mereka itu.
Suami isteri itu saling pandang dan mereka berdua dapat memaklumi. Mei Li adalah puteri suami isteri pendekar, maka kalau timbul hasrat ingin merantau dan mencari pengalaman, maka hal itu wajar saja. Ketika Kian Bu diberitahu akan pengunduran itu, wajahnya berseri dan dia tidak menyembunyikan kegembiraannya.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga Li-moi akan melakukan hal itu!" katanya gembira.
"Ehhh" Bagaimana engkau dapat menduga?" tanya ibunya. "Kian Bu, apa yang terjadi dengan . kalian?" tanya pula ayahnya. Kian Bu masih tersenyum. "Tidak apa-apa, ayah. Hanya aku dapat menduga bahwa iapun tentu tidak suka dengan ikatan jodoh yang sudah ditentukan sejak kecil itu. Kukira perasaan kami tidak jauh berbeda, dan akupun ingin pergi mencari pengalaman."
"Apa" Hendak ke mana engkau?" tanya ayahnya. Kian Bu tersenyum memandang ayahnya. "Dari ayah dan dari ibu aku seringkali mendengar betapa ketika muda dahulu, baik ayah maupun ibu banyak me lakukan petualangan di dunia kangouw. Apakah sekarang ayah dan ibu merasa heran kalau akupun ingin mencari pengalaman dan meluaskan pandangan dengan merantau barang setahun dua tahun" Aku ingin sekali mencari jejak kakak Sia Han Lin, puteri Kui Bi yang hilang tanpa meninggalkan jejak itu. Juga aku ingin mencari dan bertemu dengan sukong (kakek guru) Kong Hwi Hosiang, dan berkunjung ke Gobi-pai, bertemu dengan para suhu di Gobi-pai."
Souw Hui San dan Yang Kui Lan tidak mampu mencegah putera mereka yang hendak pergi merantau. Mereka hanya dapat memberi banyak nasihat kepada putera mereka agar berhati-hati dan tidak menanam bibit permusuhan di dunia kangouw.
Dua hari kemudian, berangkatlah pemuda yang kini nampak bergembira itu, meninggalkan Wu-han dan membawa buntalan pakaian yang digendongnya di punggung, membawa sebatang pedang dan dengan wajah berseri-seri dia pergi menuju ke Tiang-an, kota raja di mana dia ingin mencari jejak kakak misannya, yaitu Sia Han Lin, putera mendiang bibinya, Yang Kui Bi.
Apa yang terjadi dengan Mei Li dan mengapa pula gadis itu tiba-tiba saja pergi merantau seperti yang diceritakan Yang Cin Han dalam suratnya ke pada Souw Hui San dan Yang Kui Lan"
Seperti juga yang terjadi dengan Kian'Bu, ketika Mei Li mendengar dari ayah ibunya bahwa waktu yanq dijanjikan oleh dua keluarga itu tiba, yaitu untuk menentukan hari pernikahan, Mei Li mengerutkan alisnya dan membantah dengan keras.
"Tidak, ayah dan ibu. Aku belum ingin menikah!" katanya memrotes. "Akan tetapi, urusan ini telah ditentukan dan telah dijanjikan Dalam waktu sebulan ini, keluarga Souw akan datang dan kita semua akan membicarakan penentuan hari pernikahan," kata ibunya.
"Benar, Mei Li, janji haruslah ditepati, kalau tidak, bagaimana kita akan dapat menghadapi keluarga bibimu itu?" sambung ayahnya.
"Tidak, ayah. Batalkan saja. ..!" Mei Li hampir menangis, akan tetapi di tahannya karena anak ini sejak kecil memang digembleng agar menjadi seorang pendekar wanita yang tidak cengeng.
"Batalkan" Sepihak" Tidak mungkin "
"Kalau begitu tangguhkan' saja, setahun dua tahun. Aku ingin pergi merantau, ayah, aku belum ingin menikah." "Mei Li, jangan engkau membuat kacau urusan dan menyusahkan ayah ibumu!" Can Kim Hong menegur puterinya.
"Ibu, apakah ibu dahulu juga dipaksa menikah dengan ayah?" Mei Li bertanya dengan suara lantang. "Ayah dan ibu bersusah payah mengajarkan ilmu silat kepadaku dan sejak kecil aku rajin berlatih setiap hari. Bahkan sukong juga sudah ikut bersusah-payah mengajarku selama dua tahun. Dan semua itu tidak boleh kupergunakan, semua itu akan lenyap terbakar api dapur di mana aku harus melayani suami" Tidak, ibu, urusan perjodohan itu harus ditangguhkan barang setahun dua tahun. Aku ingin merantau, ingin berkunjung ke Tiang-an, aku ingin mencari sukong!"
Demikianlah, terpaksa Yang Cin Han dan Can Kim Hong mengalah dan memberi ijin kepada puteri mereka untuk mencari pengalaman di dunia kangouw. Bagaimanapun juga, puterinya itu tidak perlu dikhawatirkan lagi karena telah memiliki tingkat kepandaian yang bahkan lebih lihai dibandingkan mereka.
Dan mereka lalu mengirim surat kepada keluarga Souw Hui San untuk minta agar urusan pernikahan itu ditangguhkan satu atau dua tahun.
Mei Li berangkat meninggalkan Lok-yang menunggang seekor kuda putih yang baik. Kuda pilihan yang tinggi dan kuat, tentu saja berharga mahal. Akan tetapi ayah ibunya berkeras agar puterinya melakukan perjalanan dengan berkuda dan memang sejak kecil Mei Li sudah berlatih menunggang kuda sehingga ia kuat berkuda sampai berjamjam lamanya.
Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, setelah berpamit dan mohon doa restu ayah ibunya, dara itu menunggang kuda putihnya keluar dari pintu gerbang barat kota Lok-yang. Sebuah buntalan kain kuning berada di punggungnya dan di bawah buntalan itu nampak tergantung sepasang pedangnya yang gagangnya diberi tali sutera panjang. Di pinggangnya kanan kiri masih tergantung pula dua batang pedang pendek. Tidak lupa ia membawa bekal uang perak dan emas dalam buntalan pakaiannya, untuk bekal dalam perjalanan. Tujuan pertama dari perjalanannya itu adalah ke kota raja Tiang-an. Ia belum pernah ,pergi ke kota raja itu. Ketika ayahnya pergi ke kota raja untuk mencari putera bibinya yang tewas dalam pertempuran, ia baru berusia tiga tahun dan ditinggal di rumah bersama ibunya. la memang banyak mendengar cerita ayah ibunya tentang kota raja Tiang-an dan tentang pergolakan selama ini dan ia tahu pula bahwa kakak misannya, putera bibinya Yang Ku i Bi telah lenyap dari kota raja ketika terjadi perang. Nama kakak .misannya itu Sia Han Lin, akan tetapi belum pernah ia bertemu dengannya.
Wajah dara perkasa itu nampak berseri. Rambutnya yang hitam halus panjang, yang disanggul tinggi dan dihias tusuk sanggul dari perak dan hiasan merak dari batu kemala, nampak agak kusut karena hembusan angin yang bermainmain dengan rambut hitam halus itu. Matanya yang lebar, yang jelas membayangkan bahwa ia seorang gadis peranakan yang masih ada darah Khitan mengalir dalam tubuhnya, mata yang indah dan jeli itu kini berbinar-binar, penuh kegembiraan ketika memandang ke depan dan kanan kiri di sepanjang jalan. Mulutnya yang mungil itupun selalu terhias senyum. Hati Mei Li memang mengalami kebahagiaan yang luar biasa yang belum pernah ia rasakan. Ada ketegangan yang menggairahkan, ada semangat baru dalam kehidupannya, merasa bebas merdeka seperti seekor burung rajawali melayang-layang di angkasa.
Perasaan seperti yang dialami Mei Li itu akan terasa oleh siapa saja yang dalam kehidupan sehari-harinya se lalu disibukkan oleh pekerjaan, keramaian, kebisingan dan segala macam masalah kehidupan dalam masyarakat yang tinggal di kota besar. Kehidupan dalam kota selalu berkisar kepada soalsoal duniawi, mengejar uang, harga diri, ke hormatan dan kesenangan jasmani, mencari jalan pemuasan nafsu, persaingan dalam segala bidang. Semua itu ditambah oleh banyaknya manusia yang berdesakan di kota besar, segala macam kotoran sampah, udara yang tidak murni lagi, membuat dada rasanya tidak longgar untuk bernapas, pikiranpun tiada hentinya mengalami guncangan dan tantangan, dan kesehatanpun mengalami kemunduran dan gangguan. Oleh karena itu, apa bila terdapat kesempatan penghuni kota yang selalu sibuk itu dapat berada di luar kota, di tempat terbuka yang jauh dari perumahan, jauh dari keramaian manusia, dia akan dapat merasakan seperti yang dialami Mei Li pa da saat ia menjalankan kudanya perlahanlahan itu. Kebesaran, keagungan dan keindahan alam hanya dapat dirasakan dan dinikmati apa bila kita berada di daerah pegunungan, hutan-hutan atau di pantai lautan yang sepi dari manusia dan belum dikotori oleh ulah manusia yang hanya mendatangkan kerusakan dan noda pada lingkungan. Kalau kita berada seorang diri di dataran tinggi yang jauh dari manusia lain, jauh dari pemukiman manusia, menghirup udara segar yang mengalir melimpah ke dalam dada kita, terasa sesuatu yang sukar digambarkan. Dalam keadaan seperti itu, untuk beberapa saat lamanya sadarlah kita bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang rindu akan segala ini, yang bukan dari dunia ramai, bukan kesenangan jasmani, bukan pemuasan nafsu, bukan pengejaran cita-cita. Kita rindu dan haus akan kedamaian alami, rindu kepada Sumber Segala sumber, dari mana kita datang dan kemana kita kelak pergi. Manusia dan Alam, tak terpisahkan karena tercipta oleh Tangan Yang Satu, terbimbing oleh Tanqan Yang Satu, namun sungguh sayang kita lebih terseret oleh kesenangan duniawi, pemuasan nafsu badani yang kita perebutkan, kalau perlu dengan saling hantam, pada hal yang kita dapatkan hanyalah kesenangan hampa yang hanya sementara, lewat begitu saja seperti angin lalu untuk memberi giliran kepada saudara kembarnya, yaitu kesusahan, kedukaan dan kekecewaan.
Mei Li sadar dari lamunannya ketika kudanya meringkik. Kudanya memang kuda yang terlatih dan baik dan kalau kuda itu meringkik, itu tandanya bahwa kudanya merasakan, melihat atau mendengar sesuatu yang asing dan tidak wajar. Apakah ada binatang buas" Harimau" Mei Li tidak merasa gentar dan ia pun kini sudah siap siaga kalau-kalau di tempat itu muncul bahaya.
Ternyata yang muncul dari dalam hutan di depan adalah serombongan orang. Ada limabelas orang pria yang keadaannya amat menyedihkan. Mereka menggotong tiga buah mayat, dan lima orang yang agaknya terluka parah. Lima belas orang itu sendiri keadaannya juga tidak utuh, banyak di antara mereka yang terluka walaupun tidak seberat luka lima orang itu.
Melihat bahwa belasan orang pria itu kelihatan kuat, bahkan mereka itu membawa senjata pedang atau golok yang tergantung di pinggang, akan tetapi kini nampak ketakutan, tentu saja Mei Li merasa heran sekali. la sudah meloncat turun dari atas kudanya dan menghadang di tengah jalan.
Sementara itu, ketika rombongan itu melihat seorang gadis muda cantik jelita menuntun seekor kuda putih besar kini menghadang di tengah jalan, mereka narnpak kaget dan seorang di anta mereka, seorang laki-laki tinggi besar berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, mendahului rombongan itu nenghampiri Mei Li.
"Apakah nona hendak melakukan perjalanan melalui' hutan itu?" tanyanya sambil memandang Mei Li penuh perhatian. Sebetulnya, Mei Li yang tertarik melihat keadaan mereka dan ingin mengetahui apa yang telah terjadi, akan tetapi karena didahului orang, iapun mengangguk.
"Benar, paman." "Jangan, nona! Sebaiknya nona cepat menunggang kuda nona itu dan cepat meninggalkan tempat ini, kembali ke sana!" Dia menuding ke arah dari mana Mei Li datang.
"Kenapa, paman" Dan kenapa pula paman serombongan seperti orang yang habis kalah perang" Ada pula yang te was dan luka-luka" Apa yang telah terjadi?" kini Mei Li bertanya dan rombongan itu telah berada di depannya.
"Sudahlah, harap jangan banyak bertanya, nona. Selagi masih ada kesempatan, pergilah cepat. Kalau melihat nona membawa kuda sebagus ini, tentu mereka tidak akan mau melepaskanmu, apa lagi nona masih muda dan cantik jelita. Percayalah kepadaku, nona cepat pergilah!." orang tinggi besar itu mendesak.
Sikap orang tinggi besar ini saja sudah membuat Mei Li makin tertarik. Bagaimanapun juga, orang yang belum dikenalnya ini telah bersikap dan berniat baik kepadanya, memperingatkanya akan adanya bahaya dan orang itu tidak ingin melihat ia tertimpa bencana. Sikap ini membuat ia semakin penasaran. Orang-orang ini jelas bukan penjahat, bahkan agaknya sebaliknya, menjadi korban kejahatan, karena itu harus ditolongnya!
"Terima kasih atas peringatan dan nasihatmu, paman. Akan tetapi, aku tidak akan melarikan diri, bahkan aku ingin sekali mengetahui, apa yang telah terjadi dengan rombongan paman. Kalau terdapat bahaya di depan sana, aku tidak takut!" katanya gagah.
Orang tinggi besar itu mengerutkan alisnya. "Nona, engkau masih amat muda, mungkin pernah belajar sedikit ilmu silat, akan tetapi tidak baik kalau tekebur. Di hutan itu terdapat gerombolan iblis yang amat jahat dan lihai !"
Akan tetapi, dara jelita itu tetap tenang, bahkan tersenyum. "Maksud paman tenlu gerombolan perampok" Hemm, aku tidak takut, bahl?kan aku harus membasmi mereka kalau mereka itu menjadi pengganggu rakyat yang berlalu lalang di daerah ini."
Mendengar ucapan lantang itu, si tinggi besar dan beberapa orang kawannya tersenyum getir, agaknya merasa geli, seperti mendengar seekor ayam betina muda berkuruyuk seperti lagak seekor jago!
"Hemm, ketahuilah, nona muda yang bernyali naga ! Aku dikenal sebagai Si Golok Setan, kepala Pek-houw-piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Putih) yang sudah terkenal di seluruh daerah Lok-yang! Engkau lihat sendiri, kami para pengawal Pek-houw-pia-uw-kiok sebanyak duapuluh tiga orang, mengawal sepasang pengantin hartawan melewati hutan itu dan kami dihadang gerombolan itu. Kau lihat sendiri akibatnya. Tiga orang kawan kami tewas, lima orang terluka berat, sepasang mempelai itu ditawan dan semua barang berharga dirampas! Nah, apakah engkau akan begitu gila untuk melanjutkan perjalanan melewati hutan itu" Gerombolan itu agaknya baru saja mendiami hutan itu karena biasanya di sana aman, Pergilah, nona, dan bersukurlah bahwa nona telah bertemu dengan kami sehingga tidak menjadi korban."
Mei Li memperlebar senyumnya sehingga wajahnya nampak cantik manis bukan main, membuat rombongan pria itu tertegun dan tenpesona.
"Kalian yang sepatutnya bersukur, paman, karena bertemu dengan aku. Aku yang akan membantu kalian mendapatkan kembali barang-barang yang mereka rampok, dan menolong sepasang mempelai itu. Ceritakan bagaimana keadaan kawanan perampok itu dan di mana mereka."
"Tapi tapi kami merasa ngeri, tidak ingin melihat nona yang begini muda dan jelita terjatuh ke tangan mereka...." si tinggi besar berkata ragu, juga teman-temannya agak nya tidak setuju. Mereka itu tentu sudah merasa takut bukan main terhadap gerombolan perampok itu, pikir Mei Li. Perlu dibangkitkan semangat mereka. Ia memandang ke kiri di mana terdapat sebuah pohon setinggi hampir tiga meter dengan daun yang lebat.
"Agaknya kalian belum percaya ke padaku, ya" Nah, lihatlah baik-baik !" Mei Li menggerakkan kedua tangan ke arah punggungnya dan begitu cepat gerakannya mencabut sepasang pedangnya sehingga para anggauta piauw-kiok itu tidak melihat ia mencabut pedang dan tiba-tiba saja pandang mata mereka menjadi silau ketika nampak dua sinar terang bergulung-gulung dan terbang mengitari pohon itu bagaikan dua ekor naga yang sedang berkejaran. Dan yang membuat mereka menahan napas adalah ketika melihat daun-daun dan ranting potion jatuh berhamburan, terbabat kedua gulungan sinar dan ketika dua sinar itu membalik ke arah Mei Li dan gadis itu sudah menangkap kembali sepasang pedangnya dan memasukkan ke dalam sarung pedang, semua orang melihat betapa pohon itu telah menjadi rata bagian atasnya, seperti kepala seorang anak-anak yang tadi ditumbuhi banyak rambut dan sekarang dicukur hampir gundul di sekitar pohon nampak daun dan ranting berserakan.
"Pedang terbang?" Si tinggi besar dan para kawannya berseru heran, takjub dan kagum. Belum pernah mereka menyaksikan kepandaian sehebat itu. Kalau orang bersilat pedang, tentu saja mereka sudah sering melihatnya, bahkan mereka sendiri ahli bersilat pedang atau golok. Akan tetapi tadi mereka melihat Mei Li tetap berdiri di dekat kudanya, hanya menggerak-gerakkan kedua tangan ke arah pohon dan sepasang pedang itu berubah menjadi dua sinar bergulunggulung yang seolah bergerak sendiri, beterbangan menggunduli pohon itu.
Setelah hening sejenak karena mereka tertegun, lalu meledaklah kekaguman dan kegembiraan mereka. Terdengar mereka bertepuk tangan memuji dan si tinggi besar lalu melangkah maju menghadapi Mei Li dan memberi hormat dengan membungkuk dalam.
."Mohon maaf kepada lihiap (Pendekar wanita) bahwa kami seperti buta, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Li-hiap, saya Couw Sam menyatakan taluk dan mengharapkan bantuan lihiap agar kami dapat menyelamatkan sepasang pengantin itu berikut barang-barang mereka yang kami kawal."
Mei Li tersenyum. "Ceritakan dulu keadaan mereka dan apa yang telah terjadi," katanya tenang. "Kami Pek-houw-piauw-kiok mengawal sepasang mempelai berikut barang-barang mereka dari Lok-yang menuju ke Kwiyang di barat, ketika kami melewati hutan di lereng depan itu, kami dihadang oleh duabelas orang yang berpakaian serba hitam. Mereka mengaku sebagai gerombolan Hek-i-kwi-pang, (Perkumpulan Iblis Pakaian Hitam) dan mereka hendak merampok semua barang dan menyandera sepasang mempelai. Tentu saja kami melawan karena jumlah kami duapuluh tiga orang, dan biasanya di daerah ini tidak ada penjahat yang berani mengganggu perusahaan pengawal kami. Akan tetapi, ternyata pimpinan gerombolan itu luar biasa lihainya. Pertempuran yang terjadi ternyata berat sebelah dan kami dihajar habis-habisan dan terpaksa melarikan diri, tidak dapat melindungi sepasang mempelai itu yang ditawan dan semua barang terpaksa kami tinggalkan. Kami harus mencari bala bantuan yang lebih kuat lagi, akan tetapi kami bertemu dengan lihiap yang sakti seperti dewi . Motion bantuan lihiap"
"Hemm, kalau begitu, siapa di antara kalian yang memiliki keberanian, mari ikut denganku. Aku akan membasmi gerombolan iblis itu!"
Limabelas orang itu, dipimpin oleh Si Golok Setan Couw Sam, dengan gembira mengangkat tangan menyatakan siap untuk ikut dengan dara perkasa itu.
"Kami semua siap untuk ikut menyerbu Hek I Kwi-pang kalau dipimpin oleh Hui-kiam S ian-li" kata Couw Sam dengan gembira dan penuh semangat.
"Hui-kiam Sian-li (Dewi Pedang Terbang)?" tanya Mei Li "Siapa itu?" "Maaf, mulai sekarang kami meny but nona dengan julukan Hui-kiam Sian-li!" kata Couw Sam dan semua anak buah nya mengangguk setuju. Wajah Mei Li menjadi kemerahan.
"Ihh! Jangan terlalu pagi memuji orang. Belum apa-apa kalian sudah meng angkat aku terlalu tinggi. Lihat saja nanti hasilnya. Mari kita berangkat!"
Mei Li meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya, tidak terlalu cepat karena limabelas orang itu mengikutinya dari belakang. Lima orang yang terluka ditinggalkan di situ, bersama tiga jenazah, dengan janji nanti akan dijemput kalau mereka sudah selesai menyerbu gerombolan penjahat di dalam hutan.
Limabelas orang itu, termasuk Couw Sam, nampak gelisah. Jantung mereka berdebar tegang, mulut terasa kering sampai ke kerongkongan karena sebetulnya mereka merasa gentar harus berhadapan lagi dengan gerombolan berpakaian hitam itu. Anak buah gerombolan itu masih dapat mereka lawan, akan tetapi kalau mereka membayangkan kehebatan pemimpinnya, sungguh membuat mereka bergidik ngeri. Akan tetapi Mei Li yang melihat betapa para piauwsu (pengawal barang) itu diam dan gelisah, duduk di atas punggung kudanya dengan sikap tenang sekali, bahkan ia lalu bersenandung lirih. Suaranya memang merdu dan ia pandai bernyanyi, akan tetapi hanya ia sendiri yang mengetahui bahwa senandung itu disuarakannya untuk menutupi degup jantungnya yang tegang. Sikap limabelas orang itulah yang mendatangkan ketegangan di hatinya. Biarpun ia puteri suami isteri pendekar sakti, juga telah menguasai ilmu silat yang tinggi, namun selamanya ia belum pernah bertanding sungguh-sungguh melawan musuh. Ia hanya bertanding melawan ayahnya atau ibunya dalam latihan saja. Dan sekarang, tiba-tiba saja ia dihadapkan gerombolan perampok yang agaknya amat kejam, jahat dan lihai sehingga rombongan piauwsu itupun menjadi ketakutan!
Kini rombongan itu tiba di tepi hutan. Melihat wajah Couw Sam dan anak buahnya kini loyo dan pucat, yang tentu saja mempengaruhi hatinya, Mei Li mengerutkan alisnya, menghentikan kudanya dan menoleh kepada mereka. "Kalau kalian merasa takut, sebaiknya tidak usah ikut denganku!" Ucapannya bernada keras karena hatinya memang mengkal me lihat para piauwsu yang dianggapnya pengecut itu, Mendengar teguran itu, Couw Sam cepat mendekati nya.
"Harap nona memaafkankami. Kami siap membantu karena sebenarnya ini adalah tugas kami. Harap nona berhati-hati." Mei Li mengangguk dan memasuki hutan menurut petunjuk Couw Sam yang berjalan di dekat kudanya. Dan di tengah hutan itu nampak beberapa buah pondok yang nampaknya masih baru. Couw Sam menunjuk ke arah pondok-pondok itu dan membisikkan bahwa agaknya itulah sarang gerombolan iblis itu.
Mei Li menjalankan kudanya menghampiri tempat itu. Ternyata merupakan tempat terbuka dan banyak pohon di situ ditebang sehingga terdapat lapangan terbuka yang cukup luas, di mana didirikan empat buah pondok kayu.
"Tantang mereka keluar!" kata Mei Li kepada Couw Sam. Karena melihat sikap Mei Li yang demikian tenang dan gagah, Couw Sam menjadi berani.
"Haiili, gerombolan iblis Hek I Kwi-pang! Keluarlah kalian untuk menerima hukuman!!" Teriakan lantang itu segera mendapat sambutan dari dalam empat buah pondok. Nampak bayangan hitam berkelebatan keluar dari dalam pondok. Mereka semua berjumlah duabelas orang, dan yang berada di depan adalah seorang pria yang amat menyeramkan. Mei Li sendiri merasa ngeri. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang laki-laki seperti kepala gerombolan itu. Usianya tentu ada empatpuluhan tahun, akan tetapi bentuk tubuhnya sungguh menyeramkan. Couw Sam yang tinggi besar itu akan nampak kecil jika berdiri di sebelahnya! Sungguh seorang raksasa yang kulitnya hitam seperti hangus, matanya besar-besar, hidungnya, mulutnya, semuanva nampak besar pada rakasa itu. Kulitnya sedemikian hitamnya sehingga kalau dia berada di tempat gelap, tentu hanya putih matanya dan giginya saja yang akan nampak. Sudah kulitnya hitam hangus, pakaiannya juga berwarna hitam. Di pinggangnya terselip sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji, bergigi runcing tajam!
Ketika raksasa hitam itu melihat Mei Li yang meloncat turun dari kuda putihnya dan menambatkan kuda itu di pangkal batang pohon yang bekas ditebang dan masih menonjol di permukaan tanah, dia terbelalak.
"Ha-ha-ha-ha, kalian kembali untuk menebus pengantin" Bagus sekali! Kalau tidak kalian tebus cepat-cepat, pengantin perempuan itu menjadi milikku. Akan tetapi ini wah, betapa cantik jelitanya! Kalian boleh bawa se pasang pengantin sialan itu kalau si jelita ini bersama kudanya ditinggal di sini!" Mendengar ucapan raksasa hitam itu, anak buahnya yang sebelas orang juga menyeringai dan mereka semua memandang kepada Mei Li dengan mata buas, membuat gadis itu diam-diam bergidik. Akan tetapi, Couw Sam yang kini sudah bersemangat kembali, menjadi marah.
"Gerombolan Hek I Kwi-pang, jangan bicara sembarangan! Kami datang untuk mengambil kembali semua barang dan sepasang pengantin yang kalian rampas !" Raksasa hitam itu memandang ke sekeliling dan melihat bahwa Couw Sam hanya datang bersama empatbelas orang anak buahnya yang sudah luka-luka. sisa dari mereka yang roboh tewas dan luka berat, bersama si gadis jelita, dia tertawa bergelak. "Apakah engkau gila dan mengantar nyawa untuk menemui kawan-kawanmu yang sudah mampus tadi" Ha-ha-ha, kalau begitu lebih bagus lagi. Si jelita ini bersama kudanya, juga pengantin perempuan itu untuk aku dan kalian semua akan mati di sini dan bangkai kalian menjadi pupuk hutan, ha-ha-ha!"
"Raksasa hitam, jangan sombong dulu engkau! Kami datang kembali ke si ni untuk menantangmu. Jagoan kami adalah Hu i-ka im, Sian-li ini!" kata Couw Sam dengan suara lantang.
Si raksasa hitam itu berjuluk Tiat-ciang Hek-mo (Iblis Hitam Tangan Besi). Sejenak dia mengerutkan alis memandang kepada Mei Li, kemudian dia tertawa bergelak. "Nona jelita ini" Ha-ha-ha, jangan bergurau!"
Mei Li kini berkata dengan suaranya.yang merdu halus namun mengandung kelincahan, "Engkaukah kepala gerombolan Hek I Kwi-pang ini, dan siapakah na mamu?"
Si raksasa hitam masih menyeringai, "Engkau ingin mengenalku, nona manis" Aku disebut orang Tiat-ciang Hekmo dan akulah pemimpin Hek I Kwi-pang ."
"Bagus, engkau tadi mengatakan a kan membebaskan sepasang pengantin itu kalau aku dan kudaku menjadi pengantinya, Nah, aku terima usulmu itu. Bebas kan sepasang pengantin itu dan aku akan menemanimu di sini."
Tentu saja Couw Sam dan anak buahnya terkejut mendengar ucapan Mei Li ini. Tak mereka sangka bahwa gadis jelita yang lihai itu kini mau saja ditukar dengan sepasang pengantin untuk menjadi permainan si raksasa hitam.
"Ha-ha-ha, boleh-boleh sekali!" kata Tiat-ciang Hek-mo sambil memberi isyarat kepada seorang pembantunya. "Keluarkan mereka dan bawa ke sini !"
Anak buahnya itu sambil tersenyum menyeringai, memasuki sebuah di antara pondok-pondok itu dan tak lama kemudian diapun keluar lagi mendorong sepasang orang muda yang masih berpakaian pengantin. Pengantin pria dan pengantin wanita itu diikat kedua tangan mereka ke belakang, dan baju pengantin wanita itu robek di bagian dada. Untung, pikir Couw Sam. Kedatangan mereka belum terlambat, dan pengantin wanita itu agaknya hanya baru mengalami gangguan kecil saja, belum ternoda oleh kebuasan iblis-iblis itu.
"Paman Couw, sambut dan bebaskan mereka," kata Mei Li. Couw Sam yang tadinya meragu dan bingung, menaati perintah itu. Dia menerima sepasang pengantin itu dan segera membuka ikatan tangan mereka. Pengantin wanita itu menangis di dada suaminya. Mereka masih nampak ketakutan.
"Ha-ha-ha-ha!" Hek-mo tertawa bergelak. "Mulai detik ini, engkau menjadi milikku, nona jelita, Kesinilah!" Dia mengernbangkan kedua lengannya ke arah Mei Li dan memerintahkan seorang anak buahnya untuk menuntun ku danputih itu .
"Nanti dulu, Hek-mo! Engkau ini iblis hitam sudah biasa mengambil sesuatu dengan menggunakan kekerasan. Karena itu, untuk memiliki diriku, engkau harus menggunakan kekerasan pula. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana mungkin aku sudi menaatimu?"
Mendengar ucapan yang biarpun lembut bernada menantang itu, Hek-mo tertawa bergelak. Bajunya yang terbuka kancingnya memperlihatkan perut besar yang bergelombang ketika dia tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, aku bertanding denganmu" Wah, sayang kalau sampai kulit mu yang halus mulus itu lecet, manis. Kalau engkau masih meragukan kekuatanku, nah, engkau boleh memukulku dan aku tidak akan mengelak atau menangkis.
Pukul bagian mana sesukamu, akan tetapi hati-hati, jangan terlalu keras karena tanganmu dapat terluka dan kalau hal itu terjadi wah, sungguh sayang sekali.... ha-ha-ha!" Raksasa hi?tam itu tertawa dan anak buahnya ikut pula tertawa ha-hahe-he. Mereka semua maklum bahwa akhirnya, pengantin wani?ta itu tidak akan dilepas begitu saja oleh kepala gerombolan itu, dan mereka lah yang beruntung karena setelah mendapatkan pengganti yang jauh lebih car. tik, tentu pengantin wanita itu akan diberikan kepada mereka!
Mei Li menghampiri raksasa hitam itu yang kini sudah melepas bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Nampaklah dada yang bidang dan penuh bulu hitam, di bawah kulit hitam itu nampak tonjolan otot-otot besar, dan perutnya vang gendut itupun nampak keras dan tebal kulitnya. Kemudian, da 'ra itu tersenyum dan memandang ke seke liling, kepada anak buah Hek I Kwi-pang dan anak buah Pekhouw Piauw-kiok dan berkata lantano. "Kalian semua men dengar sendiri bahwa Hek-mo menantang aku untuk memukulnya tanpa dia mengelak atau menangkis. Kalian menjadi sak si, kalau satu kalau pukulanku membuat dia mampus, arwahnya tidak boleh menya lahkan aku!"
Ucapan itu dianggap main-main oleh Tiat-ciang Hek-mo dan anak buahnya, juga Couw Sam dan anak buahnya me rasa khawatir karena mereka tidak percaya kalau da ra itu akan marnpu meroboh kan Hek-mo yang kebal dan kuat itu de?ngan sekali pukul. Mungkin saja gadis itu pandai bermain pedang, akan tetapi pukulan tangan kosong dari tangan yang kecil lembut itu, mana marnpu membuat roboh raksasa hitam itu"
"Ha-ha-ha, pukul lah pukullah mungkin setiap malam engkau harus memukuli tubuhku karena pukulanmu tentu akan terasa hangat dan nyaman seperti dipijati, heh-heh!" kata Hek-mo dan kembali semua anak buah tertawa .
Mei Li meiangkah maju lagi dan diam-diam ia mengerahkan sinkang pada tangan kirinya dan berseru, "Hekmo, terimalah pijatan ini!" Tangan kirinya menyambar dengan jari tangan terbuka ke arah dada. Raksasa hitam itu menerima dengan dada di.busungkan dan mulut menyeringai, diam-diam dia mengerahkan tenaganya untuk membuat dadanya kebal. Akan tetapi, ternyata jari-jari tangan tidak menghantam atau menampar dada, melainkan mencuat ke atas dan dua buah jari tangan yang kecil mungil, yaitu telunjuk dan jari tengah kiri Mei Li telah menotok tenggorokannya.
"Tukkk....!!" Semua orang melihat betapa wajah Hek-mo tertawa lebar, akan tetapi mulut yang terbuka lebar itu tidak menutup kembali bahkan dilengkapi kedua matanya yang juga terbelalak lebar menyaingi mulutnya dan dari mulut itu tidak keluar suara tawa melainkan suara seperti orang tercekik.
"Kek... kek.... kekkkk.. aughh.. .." Dia memegangi leher dengan kedua tangan, matanya mendelik dan diapun roboh bergulingan seperti ayam disembelih, berkelojotan dengan mata mendelik! Dia tidak dapat bernapas! Semua anak buahnya terkejut bukan main, sedangkan Couw Sam dan kawan-kawannya me mandang dengan terheran-heran, belum sempat bergembira karena belum tahu benar apa yang telah terjadi dengan Hek-mo yang mereka takuti itu.
Mei Li adalah puteri suami isteri pendekar besar yang telah menanamkan watak pendekar kepada dara itu, maka iapun tidak ingin melihat lawannya tewas dan ia mengambil keuntungan karena diperbolehkan memukul tanpa ditangkis atau dielakkan. Maka, setelah totokannya pada kerongkongan itu berhasil menyumbat jalan pernapasan Hek-mo iapun melangkah maju dan kaki kanannya meluncur cepat menendang ke arah kanan kiri kerongkongan itu.
"Dukk! Dukkk!" Dua kali terkena sambaran ujung sepatu dara itu. Hek-mo dapat bernapas lagi. Wajahnya berubah semakin hitam, matanya melotot dan dia pun meloncat berdiri dengan kemarahan memuncak ke ubun-ubun kepalanya. Tahu lah dia bahwa dia telah bersikap ceroboh, terlalu memandang rendah dara itu yang ternyata benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Pantas saja para piauwsu mengajukan dara ini sebagai jagoan mereka!
Biarpun kerongkongannya masih terasa agak nyeri, akan tetapi pernapasannya telah lancar kembali dan Hek-mo memandang kepada dara itu dengan mata mencorong marah. "Keparat, kiranya engkau memiliki ilmu totok yang cukup kuat. Aku akan membalasmu, dan sebelum aku hancurkan semua tulang di tubuhmu, katakan dulu siapa namamu, murid dari perguruan mana agar engkau tidak mati penasaran!" Kini lenyaplah nada mengejek dan memandang rendah sehingga anak buah Hek-mo sendiri merasa heran dan menjadi tegang karena sikap pimpinan mereka menunjukkan bahwa dara jelita yang masih muda itu merupakan musuh yang tidak boleh dipandang ringan.
Mei Li teringat akan julukan yang diberikan Couw Sam kepadanya dan iapun tersenyum. Mengapa tidak" Julukan itu, tanpa diketahui oleh Couw Sai dan kawan-kawannya, merupakan julukan yang amat tepat. Oleh ayah ibunya ia dibantu untuk menggabungkan ilmu pedang Siang-hui-kiamsut (Ilmu Sepasang Pedang Terbang); dan Sian-li Kiamsut (Ilmu Pedang Dewi). la telah menguasai ilmu-ilmu pedang gabungan itu, maka kalau ia dijuluki Hui-kiam Sian-li, julukan itu tepat sekali sebagai gabungan Hui-kiam (Pedang Terbang) dan Sian-li (Dewi) !.
"Hek-mo, sudah tulikah telingamu" Tadi Couw-piauwsu sudah memperkenalkan namaku kepadamu. Aku adalah Hui kiam Sian-li dan sekali ini Dewi akan membasmi Iblis Hitam, sudah wajar sekali !" Mendengar ini, dan kini mengerti bahwa jagoan mereka tadi telah membuat Hek-mo terkapar, para piauwsu tersenyum, bahkan ada yang menertawakan Hek mo.
"Bocah sombong! Kaukira dengan sedikit ilmu totok itu engkau sudah merasa menang" Engkau memakai julukan Pedang Terbang! Nah, ingin kulihat bagaimana pedangmu terbang kecuali diterbangkan oleh golokku ini!"
"Srattt !l" Nampak sinar berkilat ketika raksasa hitam itu mencabut goloknya. Golok besar dan berat itu juga mengerikan seperti pemegangnya. Selain lebar, panjang dan berkilauan saking tajamnya, juga punggung golok yang berbentuk gergaji itu dapat membuat lawan belum apa-apa sudah menjadi gentar. Agaknya raksasa hitam ini diam-diam merasa jerih juga terhadap ilmu totok atau ilmu tangan kosong dara itu, maka dia sengaja menantang untuk bertanding dengan senjata. Dianggapnya julukan Si Pedang Terbang itu kosong belaka. Mana ada pedang dapat terbang, kecuali dalam dongeng kuno"
Sementara itu, Mei Li merasa mendapat hati. Tak disangkanya bahwa hanya dengan totokannya saja tadi ia sudah dapat membuat raksasa hitam itu roboh. Timbullah kepercayaan besar kepada dirinya sendiri. Dan ia merasa bersukur bahwa ayah ibunya telah menggemblengnya secara keras dan tekun, juga kakek gurunya telah memberi bimbingan selama dua tahun dengan keras. Kini timbul keyakinan dalam hatinya bahwa semua ilmu yang dipelajarinya benar-benar dapat dipraktekkan dan dimanfaat kan. Ayah dan ibunya selalu menasihatinya bahwa ia pantang untuk membiarkan perasaan benci mcnguasai hatinya. Kalaupun ia harus menentang kejahatan, maka perbuatannyalah yang harus ditentang, bukan karena kebencian terhadap orangnya.
"Jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk menguasai orang lain, untuk memaksakan kehendak, untuk melampiaskan dendam kebencian. Kalau engkau terpaksa harus membunuh orang, maka lakukanlah itu seperti engkau membasmi ular berbisa atau binatang buas lain yang mengancam keselamatan manusia, tanpa perasaan benci sehingga erigkau tidak akan melakukannya dengan cara yang kejam Dan berpantang lah selalu menghadapi lawan dengan cara yang curang dan licik karena perbuatan seperti itu tidak pantas dilakukan seorang pendekar." Demikianlah ucapan ayah ibunya yang tak pernah dapat ia lupakan. Karena itu maka tadi melihat raksasa hitam itu menjadi korban totokan jari tangannya dan terancam mati lemas karena tidak dapat bernapas, ia sudah membebaskan totokannya dengan tendangan kaki.
Melihat Tiat-ciang Hek-mo sudah mencabut golok besar gergajinya, Mei Li yang sudah merasa berbesar hati dan yakin akan kemampuannya sendiri, segera mencabut sepasang pedang yang berada di punggungnya. Dan dengan pasangan kuda-kuda Dewi-pedang-menari, ia berdiri dengan kedua kaki bersilang, lutut agak ditekuk, pedang kiri diangkat ke atas kepala dan melintang, sedangkan pedang kanan melintang di depan dada, mulutnya tersenyum manis dan matanya memandang tajam ke arah lawan. Karena Couw Sam dan anak buah ingin sekali melihat bagaimana Dewi Pedang Terbang melawan raksasa hitam itu, juga anak buah Hek-mo ingin menyaksikan pemimpin mereka menundukkan gadis jelita itu, maka kedua pihak hanya menjadi penonton karena memang tidak ada yang memberi aba-aba kepada mereka untuk saling serang.
Tiat-ciang Hek-mo mengeluarkan gerengan seperti auman harimau dan goloknya menyambar dahsyat. Golok berat itu digerakkan tenaga otot yang kuat maka golok itu menyambar dengan cepat, mengeluarkan suara mengaung dan nampak sinar golok menyambar ke arah kepala Mei Li ketika Hek-mo menyerang dengan bacokan.
"Wuuuuttt...!" Namun, dengan mudah saja Mei Li mengelak ke samping karena bagi penglihatannya, sambaran golok itu lamban dan mudah baginya untuk menghindarkan diri dengan elakan. Sambil mengelak, iapun membalas dan pedang kanannya sudah menusuk ke arah lambung lawan.
"Trangg......!!" Bunga api berpijar ketika golok itu cepat membalik dan menangkis tusukan itu. Mei Li ter kejut karena tenaga otot lawan sedemikian kuatnya sehingga pedang kanan yang terkena tangkisan golok itu terpental, namun tidak sampai lepas dari genggamannya. Tahulah ia bahwa ia tidak boleh mengadu tenaga dengan raksasa ini dan iapun memainkan sepasang pedangnya dengan cepat dan menghindarkan benturan senjata. Setiap kali lawan hendak mengadu senjata dengan tangkisan yang kuat, ia menarik kembali pedang yang menyerang itu dan disusul se rangan dengan pedang lain. Kekuatan melawan kecepatan dan tentu saja Tiat-ciang Hek-mo menjadi repot sekali. Kecepatan gerakan gadis itu sungguh di luar dugaan dan tahu-tahu saja ujung sebatang pedang sudah mengancamnya. Terpaksa dia memutar goloknya untuk membentuk perisai sinar golok, akan tetapi kalau hal ini dia lakukan terus menerus, berarti dia hanya melindungi diri dan tidak sempat membalas serangan. Bagaimana mungkin dia akan dapat menang kalau tak dapat membalas dan hanya melindungi diri saja!
Mei Li yang biarpun kurang pengalaman namun memiliki kecerdikan itu segera dapat menemukan kelebihan dan kekurangan lawan. Harus ia akui bahwa lawannya itu memiliki tenaga gajah yang kuat sekali, akan tetapi sebagai imbangannya, lawannya itu baginya termasuk lamban. Karena itu, ia pun mempergunakan kelebihannya dalam hal kecepatan untuk mendesak lawan. Sepasang pedangnya bergerak cepat sekali, membentuk dua gulungan sinar pedang yang makin lama semakin melebar. Dari dua gulungan sinar pedang ini kadang mencuat sinar seperti kilat menyambar-nyambar ke arah tubuh Hek-mo yang dilindung i perisai sinar golok yang diputar cepat ke sekitar tubuhnya.
Tiat-ciang Hek-mo terkejut bukan main dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara gerengan marah dan memaki-maki. Tak disangkanya hari ini dia akan bertemu dan bertanding melawan seorang dara yang demikian lihainya. Gerakan dara itu sedemikian cepatnya sehingga sukar baginya untuk mengimbangi, bahkan untuk mengikuti gerakan sepasang pedang itu saja dia sudah merasa pening, maka satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanyalah melindungi tubuhnya tanpa sempat membalas satu kali pun!
Kecepatan gerakan pedang Mei Li tidak mengherankan kalau orang mengerti bahwa ia adalah puteri Can Kim Hong murid Si Naga Hitam Kwan Bhok Cu. Datuk besar ini adalah seorang yang gagu, dan dia mengadakan hubungan dengan orang lain melalui tulisan yang dibuatnya dengan tongkat, dicorat-coret di atas tanah dan bagi Can Kim Hong, ia sudah biasa melihat gerakan coretan tongkat gurunya itu dan setiap gerakan langsung dikenalnya sebagai suatu huruf tertentu. Karena kebiasaan menulis di udara ini, maka Si Naga Hitam memiliki kecepatan gerakan tangan yang diwariskan kepada muridnya itu, dan selanjutnya, Can Kim Hong juga mengajarkan kepada puterinya. Bahkan kemudian selama dua tahun, ilmu kepandaian dara ini diperdalam oleh gemblengan Si Naga Hitam sendiri.
Kini gulungan dua sinar pedang itu sudah mengurung ketat dan membuat ruangan gerak golok di tangan Hek-mo makin menyempit. Ketika Mei Li mengeluarkan suara melengking nyaring, pedang kirinya sengaja dibiarkan tertangkis golok, akan tetapi dara ini mengerahkan sinkangnya sehingga pedang kirinya menempel golok. Pedang kanannya menusuk dada lawan. Hek-mo yang melihat keadaan berbahaya ini segera mengerahkan seluruh tenaga menarik goloknya dan membuang diri ke belakang. Dia berhasil lolos,
akan tetapi gerakan cepat Mei Li membuat dara ini sudah dapat mengejar dan sebuah tendangan kaki mengenai perutnya. "Dukk!" Memang perut yang penuh lemak itu keras dan kebal, namun ten?dangan Mei Li juga mengandung tenaga sakti sehingga tubuh Hek-mo terjengkang!
Anak buahnya yang melihat ini se gera berteriak-teriak dan dengan senjata di tangan mereka maju hendak mengeroyok Mei Li, akan tetapi gerakan mereka itu seperti aba-aba saja bagi Couw Sam dan kawan-kawannya untuk menerjang maju. Terjadilah pertempuran antara sebelas orang anak buah Hekmo melawan limabelas orang anggauta piauw-kok. yang dipimpin Couw Sam.
hek-mo sendiri menjadi semakin marah. Dia adalah seorang tokoh sesat yang jarang bertemu tanding dan dia sudah amat percaya kepada diri sendiri, mengagungkan diri sebagai jagoan tak terkalahkan. Dia sudah terbiasa menang, maka kini menghadapi seorang dara yang mampu membuatnya roboh sampai dua kali, kemarahannya memuncak. Crang seperti dia tak pernah dapat atau mau mengakui kekurangan dan kelemahannya sendiri. Begitu bangkit kembali karena nemang tendangan tadi hanya membuat dia terjengkang dan tidak melukainya, dia menjadi semakin geram.
"Bunuh mereka semua! Bunuh....!" teriaknya kepada anak buahnya yang sudah mulai bertempur melawan para piauwsu dan dia sendiri lalu menerjang Mei Li dengan goloknya. Akan tetapi kini Mei Li yang melihat beta pa para piawsu sudah bertempur melawan anak buah Hek I Kui-pang, merasa khawatir kalau-kalau para piauwsu tidak akan marpu menandingi mereka, maka dara ini mengambil keputusan untuk dapat secepatnya merobohkan Hek-mo agar ia dapat membantu para piauwsu.
"Haii i ittt....!!" Mei Li mengeluarkan teriakan melengking dan ketika tangan kirinya bergerak, pedang di tangan kirinya meluncur seperti anak panah menyambar ke arah kepala Hekmo. Hek-mo mengira bahwa dara itu menyambitnya dengan pedang, maka dia menggerakkan goloknya untuk memukul pedang yang terbang ke arahnya itu. Akan tetapi tiba-tiba saja pedang itu melengkung dan membalik ke arah pemiliknya dan pedang ke dua datang menyambar, lebih cepat lagi. Hek-mo terkejut, tidak mengerti bagaimana pedang itu dapat terbang dan kembali kepada pemiliknya seolah hidup, dan ketika pedang ke dua menyambar, dia mengelak dengan loncatan ke samping dan seperti pedang pertama, ketika pedang ke dua ini luput mengenai dirinya, pedang itu meliuk dan terbang kembali kepada dara itu.
Benar-benar sepasang Hui-kiam (pedang terbang), pikir Hek-mo dengan gentar dan kini sepasang pedang itu sudah menyambar-nyambar bagaikan dua ekor burung garuda memperebutkan korban. Betapapun Hek-mo mengelak dan berusaha memukul pedang terbang dengan golok, tetap saja tidak berhasil dan pundak kirinya terluka oleh sebatang pedang, merobek kulit pundak sehingga berdarah. Raksasa hitam itu mulai panik.Dia tidak tahu bahwa kalau Mei Li menghendaki, kalau dara ini memilki hati kejam dan ganas, tentu sejak tadi dia sudah roboh! Mei Li masih sangsi dan merasa ngeri sendiri membayangkan bahwa ia harus membunuh orang. Ia hanya ingin menyelamatkan sepasang pengantin dan merampas kembali harta benda mereka yang dirampok. Kalau sudah berhasil melakukan itu dan sekedar menghajar para perampok, cukuplah sudah baginya.
Kini Hek-mo benar-benar terkejut dan gentar. Tahulah dia bahwa dara itu benar-benar amat lihai, dan julukan Hui-kiam Sian-li bukaniah kosong belaka. Belum pernah dia bertanding dengan lawan selihai ini. Hek-mo mulai panik. Biarpun anak buahnya masih bertempur seru dan ramai menghadapi Iimabelas orang piauw-su itu, namun hatinya sudah merasa gentar sekali dan diapun melompat jauh ke belakang dengan maksud mengajak anak buah melarikan diri saja.
"Heii, monyet hitam, engkau hendak lari ke mana?" Tibatiba saja terdengar 'bentakan orang dan tahu-tahu di depan Tiat-ciang hek-mo telah berdiri seorang pemuda. Mei Li memandang dan melihat seorang pemuda berpakaian sasterawan yang serba putih, dari sutera putih yanq halus berdiri dengan sikap lembut dan santai di depan raksasa hitam itu. Pakaian dari sutera putih ini nampak bersih sekali, dan sepatunya dari kulit hitam juga mengkilap bersih dan baru. Pemuda itu tampan dengan muka putih bundar, hidungnya mancung besar dan matanya lebar, mulutnya selalu tersenyum condong mengejek, rambutnya tersisir rapi dan mengkilap pula karena diminyaki. Seorang pemuda sastrawan yang tampan dan pesolek. Tangan kanannya memegang sebatang suling dari perak.
Melihat ada seorang pemuda yang nampaknya lemah berani menghalangnya, bahkan memakinya monyet hitam, tentu saja Tiat-ciang Hek-mo menjadi marah dan tanpa banyak cakap lagi dia menubruk ke depan menggerakkan goloknya untuk membunuh pemuda lancang itu. Mei Li sudah merasa terkejut dan khawatir sekali. Jaraknya terlalu jauh baginya untuk melindungi pemuda itu, maka ia hanya menyambit dengan pedang pendek yang ia cabut dari pinggangnya, dituju kan ke arah pundak kanan Hek-mo.
Hek-mo memacokkan goloknya ke arah kepala pemuda berpakaian putih itu. Pemuda itu dengan senyum dingin menggeser kaki ke kiri sehingga bacokan itu luput dan sulingnya bergerak ke depan, ke arah pundak kanan Hek-mo, bukan untuk menyerang pundak Hek-mo, melainkan untuk menangkis pedang yang di lontarkan Mei Li tadi untuk menolongnya.
"Cringgg !" Pedang pendek itu tertangkis dan terpental kembali ke pada Mei Li! Dara itu terkejut. Pedang pendeknya itu merupakan pedang terbang yang tidak untuk kembali, maka tidak dipasangi tali, diperuntukkan sasaran yang jaraknya jauh dan tidak terjangkau oleh sepasang pedang terbangnya yang diikat tali sutera. Akan tetapi pedang itu tertangkis suling dan kembali kepadanya. Ia menerima pedangnya dan menyimpannya kembali, sambil menonton pertandingan yang terjadi antara Hek-mo dan pemuda bersenjatakan suling perak itu. Dan iapun kagum. Pemuda itu ternyata lihai bukan main. Suling perak di tangannya menyambar-nyambar cepat dan berubah menjadi gulungan. sinar perak yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara, melengking-lengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan orang.
Tiat-ciang Hek-mo diam-diam mengeluh. Kenapa dia menjadi. amat sial hari ini" Tadi bertanding dengan dara jelita yang luar biasa lihainya sehingga dia selalu terdesak bahkan beberapa kali roboh, juga pundaknya terluka pedang terbang, dan sekarang, kembali dia harus bertanding melawan seorang pemuda yang juga amat lihai. Apa lagi pundaknya telah terluka dan terasa perih, juga nyalinya sudah menyempit karena dia merasa tidak mampu menandingi Hui-kiam Sian-li. Kini, pemuda sastrawan bersuling perak itu ternyata juga memiliki gerakan yang amat cepat.
Pemuda itu ternyata memang hebat. Berbeda dengan Mei Li yang tadi hanya bermaksud memberi hajaran kepada Hekmo, kini pemuda itu membalas dengan serangan yang mematikan. Setiap kali sulingnya bergerak, maka serangan itu merupakan cengkeraman maut. Kembali Hek-mo harus melindungi dirinya dengan putaran goloknya yang membentuk benteng sinar golok dan kenekatannya untuk menyelamatkan diri ini membuat suling pemuda itu berkali-kali tertangkis. Karena maklum bahwa kalau dara jelita dengan pedang terbangnya itu membantu si pemuda dia tentu akan celaka, Hek-mo mencari kesempatan dan ketika tangkisan goloknya yang dilakukan sekuat tenaga membuat suling perak itu terpental, diapun meloncat ke belakang untuk melarikan diri.
Jilid VI "Monyet hitam mampuslah ! " pemuda itu berseru dan dia seperti hendak" memainkan sulingnya, menempelkan suling di bibirnya. Begitu suling itu menempel di bibirnya dan dia meniup, terdengar suara melengking dan tubuh Hek-mo roboh terjungkal. Dia berkelojotan sebentar lalu tewaslah raksasa hitam itu. Orang lain tentu akan merasa heran mengapa begitu pemuda itu meniup sulingnya Hek-mo terjungkal dan tewas. Akan tetapi Mei Li dapat melihat sinar hitam yang menyambar keluar dari ujung suling perak dan menyambar kearah tengkuk Hek-mo, dan mengertilah ia bahwa pemuda itu telah mempergunakan senjata rahasia lembut, mungkin jarum halus hitam yang beracun untuk membunuh Hek-mo.
Jarum beracun yang mengenai tengkuk tentu saja dapat membunuh dengan cepat karena racunnya langsung masuk ke dalam kepala! Ia mengerutkan alisnya, dan makin tak senang melihat betapa kini pemuda bersuling perak itu mengamuk dengan sulingnya, membantu para piauwsu yang memang telah, mendesak anak buah Hek I Kui-pang. Pemuda itu mengamuk hebat dan dalam waktu tidak terlalu lama, sebelas orang berpakaian hitam itupun roboh dan tewas, tak seorangpun sempat melarikan diri. Tewaslah seluruh gerombolan Hek I Kui-pang yang duabelas orang itu, sebagian besar tewas di tangan pemuda bersuling perak.
Kalau para piauwsu merasa gembira sekali dan kagum kepada pemuda bersuling perak yang kini mengebut-ngebut kan pakaian sutera putihnya yang terkena debu lalu menyelipkan suling peraknya di ikat pinggangnya dari sutera me rah, Mei Li menghampirinya dan dengan alis berkerut dan pandang mata marah ia menegur,
"Kenapa engkau membunuh mereka?" Pemuda itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan pemuda itu tersenyum sehingga nampak deretan gigi nya yang rapi dan putih, dagunya berlekuk ketika dia tersenyum, menambah ketampanannya. "Nona, bukankah mereka itu gerombolan jahat dan engkau juga membantu para piauwsu ini untuk membasmi mereka" Nona, aku Tong Seng Gun merasa kagum bukan main melihat ilmu kepandaian nona. Bolehkah aku mengetahui nama nona yang mulia?" Sikapnya sopan dan maris, hanya pandang mata itu yang membuat Mei Li.merasa salah tingkah. Pandang mata itu seperti menembus dan menanggalkan pakaian!
"Aku hanya orang yang kebetulan lewat, tidak perlu dikenal siapa namaku," katanya dan iapun memutar tubuh, menghampiri kuda putihnya yang masih tertambat di pohon.
"Taihiap, lihiap itu adalah Hui-kiam Sian-Li" kata beberapa orang piauwsu ketika melihat dara itu sudah meloncat ke atas punggung kuda putihnya dan melarikan kuda itu dengan cepat meninggalkan hutan itu,
Pemuda itu adalah Tong Seng Gun, pemuda berusia duapuluh satu tahun, cucu Kwi-jiauw Lo-mo yang diangkat anak oleh datuk itu untuk merahasiakan bahwa sesungguhnya Seng Gun bermarga An karena dia adalah putera mendiang pemberontak An Lu Shan dan mendiang puterinya yang bernama Tong Kiauw Ni. Kalau pemerintah kerajaan Tang mengetahui bahwa pemuda itu putera mendiang An Lu Shan, besar bahayanya dia akan dikejar-kejar, ditangkap dan dihukum sebagai putera seorang pemberontak yang amat dibenci Kerajaan Tang. Seperti telah kita ketahui, telah terjalin persekutuan kerjasama antara Kwi-jiuauw Lo-mo Tong Lui dan dua orang sutenya, yaitu Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Moong, bersama Butek Ngo Sin-liong, para tokoh Hoat-kauw. Tiga orang datuk dan Hoat-kauw membagi tugas. Kalau tiga orang datuk itu sebagai pembantu Ku Ma Khan kepala suku Mongol akan nenentang suku-suku bangsa lain yang menjadi saingan mereka memperbesar kekuasaan di pedalaman, Hoatkauw bertugas untuk menundukkan aliran-aliran lain dan berusaha agar menguasai dunia kangouw. Dan untuk dapat mengawasi hasil gerakan Hoat-kauw, oleh tiga orang datuk itu Seng Gun diperbantukan kepada Hoat-kauw.
Demikianlah,' pada hari itu, kebetulan Seng Gun lewat di hutan itu dan menyaksikan Mei Li dan para piauwsu bertempur melawan Tiat-ciang Hek-mo dan Hek I Kui-pang yang sebelas orang banyaknya itu, dia segera berpihak kepada Mei Li. Bukan hanya karena menjadi tugasnya untuk membuat nama besar di dunia kangouw sebagai usaha mereka menguasai dunia kangouw, akan tetapi terutama sekali melihat Mei Li yang demikian cantik jelita dan gagah perkasa sehingga otomatis dia berpihak kepada dara itu, tidak perduli siapa yang menjadi lawan gadis itu.
Karena kini gadis jelita yang telah menyelamatkan mereka itu telah pergi tanpa pamit, sepasang pengantin yang sejak tadi hanya saling rangkul dengan ketakutan melihat pertempuran, kini menghampiri Seng Gun dan mereka berdua segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. Mereka tadi sudah mendengar pemuda itu menyebutkan namanya kepada Hui-kiam Sian-li, maka pengantin pria itu segera berkata dengan suara lantang dan gembira.
"Kami berdua menghaturkan terima kasih kepada Tongtaihiap. Kalau tidak ada taihiap yang menolong, tentu kami berdua telah menjadi korban kebuasan gerombolan iblis itu."
"Terima kasih, taihiap..." pengantin wanita juga memberi hormat sambil berlutut dan mengucapkan terima kasihnya. Seng Gun memandang dan dia tersenyum. Sungguh lucu melihat sepasang pengantin yang masih mengenakan pakaian pengantin itu berlutut memberi hormat kepadanya. Akan tetapi, pengantin wanita itu cantik juga. Usianya paling banyak tujuhbelas tahun, wajahnya manis dan matanya jeli, bajunya bagian atas terkoyak sehingga nampak sedikit kulit dadanya yang putih mulus. Tidak sejelita Hui-kiam Sian-li memang, akan tetapi cukup lumayan.
"Bangkitlah kalian. Sudah menjadi tugasku untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya. Bagaimana kalian sepasang pengantin baru dapat menjadi korban gerombolan itu?" tanya Seng Gun dengan sikap dan suara yang lembutdan gagah.
Pengantin pria itu dengan singkat menceritakan bahwa setelah selesai upacara pernikahan di Lok-yang, mereka sedang menuju ke Kwi-yang, tempat tinggal pengantin pria di mana mereka akan mengadakan pesta besar di rumah pengantin pria yang kaya raya. Mereka membawa barangbarang hadiah dan berkereta, dikawal.oleh Pek-houw Piauwkiok akan tetapi setelah tiba di hutan itu mereka diserbu gerombolan itu dan mereka berdua ditangkap, barang-barang di rampas dan banyak piauwsu yang roboh tewas. Kemudian, para piauwsu datang lagi bersama Hui-kiam Sian-li dan muncul pula Seng Gun .
Seng Gun lalu menganjurkan agar para piauwsu merawat teman-teman mereka yang terluka dan mengurus semua jenazah yang berserakan di tempat itu.
"Biar aku sendiri yang akan mengawal pengantin ini dalam kereta mereka," kata Seng Gun. Mendengar ini tentu saja para piauwsu merasa girang. Memang mereka harus merawat yang luka dan mengubur yang mati, dan selain itu, kalau mereka diharuskan mengawal kereta pengantin melanjutkan perjalanan ke Kwi-yang, mereka khawatir kalau-kalau ada kawan-kawan gerombolan itu yang akan membalas dendam dan mengganggu. maka, mereka lalu mengambil kereta yang terisi barang-barang itu, memasang lagi dua ekor kuda penariknya dan tak lama kemudian, sepasang pengantin telah berada di dalam kereta itu yang dikusiri oleh Seng Gun.
Para piauwsu mengikuti kereta itu sambil melambaikan tangan dengan penuh kagum dan gembira. Pemuda perkasa itu telah menyelamatkan sepasang mempelai berikut harta mereka, berarti mencegah nama baik perusahaan mereka dari kehancuran.
Tak seorangpun di antara mereka pernah menduga bahwa sepasang mempelai itu seolah baru saja terlepas dari gerombolan srigala dan terjatuh ke cengkeraman seekor harimau yang jauh lebih ganas dari pada gerombolan srigala itu!
Seng Gun membalapkan. kereta itu dan dia tersenyumsenyum, beberapa kali melirik ke arah pengantin wanita yang duduk di dalam kereta bersama suaminya. Mereka berdua bersukur bahwa bukan saja nyawa dan kehormatan mereka diselamatkan, bahkan kereta dan barang barang berharga merekapun mereka dapat kan kembali! Mereka tidak menyadari bahwa kereta itu bukan menuju ke Kwi-yang, melainkan berbelok menuju keutara dan memasuki daerah berhutan lebat yang sunyi.
Baru setelah kereta tiba-tiba berhenti mereka memandang ke luar dan menyingkap tirai kereta. Bukan main kaget rasa hati mereka ketika nampak serombongan orang menghampiri kereta itu. Mereka terdiri dari belasan orang. Menyangka bahwa orang-orang itu adalah gerombolan penjahat, pengantin wanita merangkul suaminya dengan wajah pucat. Pengantin pria itupun ketakutan. Akan tetapi perasaan takut mereka mereda ketika mereka mendengar orang-orang itu menyapa Tong Seng Gun dengan sikap gembira .
"Aih, dari mana engkau mendapatkan kereta yang bagus ini, kongcu?" tanya mereka. Mendengar ini, sepasang pengantin itu menjadi lega. Kiranya orang-orang itu mengenal si pendekar yang telah menyelamatkan mereka.
"Tong-taihiap, kenapa kita berhenti di sini?" tanya pengantin pria kepada penolongnya itu ketika dia memandang keluar dan baru melihat bahwa mereka berada dalam hutan yang tidak dikenalnya .
Seng Gun tersenyum. "Kita berhenti sebentar, beristirahat. Kalian keluarlah," Mendengar ucapan Seng Gun yang nadanya ramah dan lembut itu, sepasang pengantin baru merasa lega dan tidak lagi curiga, dan merekapun melangkah keluar dari kereta, yang pria menggandeng dan membantu yang wanita turun. Pakaian pengantin wanita yang bentuknya seperti gaun itu tersingkap ketika ia melangkah turun dari kereta yang agak tinggi sehingga sekilas, betis dan belakang pahanya nampak oleh Seng Gun. Mereka memandang ke sekeliling dan merasa heran. Mereka berada di sebuah hutan yang sepi, dan di situ nampak beberapa belasan orang yang muncul itu biarpun mengenakan pakaian pribumi, jelas mereka adalah orangorang Mongol !
Belasan orang itu adalah anak buah Seng Gun, orang-orang Mongol pilihan di antara jagoan-jagoan, dan mereka harus membantu Seng Gun yang ditugaskan membantu dan mengamati pekerjaan Hoat-kauw yang akan menundukkan aliran aliran lain di dunia kangouw.
Seng Gun berkata kepada anak buahnya dalam bahasa Mongol yang tidak dimengerti sepasang mempelai itu. Dua orang anak buahnya menghampiri pengantin pria dan berkata dalam bahasa Han yang tidak kaku karena mereka semua sudah terlatih sebelum diikutkan Seng Gun, "Mari, tuan pengantin, beristirahatlah bersama kami," kata dua orang itu dan mereka sudah menggandeng kedua tangan pengantin pria.
"Dan engkau beristirahat dengan aku nona pengantin," kata pula Seng Gun dan diapun menggandeng tangan pengantin wanita itu. Tentu saja nona pengantin. itu menjadi terkejut, matanya yang jeli terbelelak dan ia meronta hendak melepaskan tangannya yang digandeng sambil menoleh kepada suaminya yang sudah ditarik oleh kedua orang itu terpisah darinya.
"Aku mau ikut suamiku ah, taihiap.... mohon lepaskan, aku ingin ikut suamiku...." Nona pengantin itu meronta dan berseru memohon.
Melihat dirinya ditarik oleh dua orang itu ke arah lain sedangkan isterinya meronta-ronta dalam gandengan pendekar yang telah menolong mereka tadi, si pengantin pria menjadi terkejut dan curiga. "Lepaskan aku" aku ingin bersama isteriku! Kami akan beristirahat bersama, kami tidak ingin dipisahkan." Dia meronta dan hendak meiepaskan diri dari pegangan kedua orang Mongol itu.
"Plak! Plakk!" Dua kali tamparan membuat pengantin pria itu berteriak kaget dan kesakitan, bibirnya pecah berdarah dan diapun kini diseret oleh kedua orang itu.
Melihat apa yang dilakukan dua orang itu kepada suaminya, pengantin wanita itu menjerit dan meronta semakin keras, akan tetapi sambil tersenyum Seng Gun memondongnya dan membiar kan ia meronta-ronta, membawanya ke arah sebuah pondok, diikuti suara tawa dari belasan orang Mongol itu.
Di tepi sebuah jurang, pengantin pria itu ditendang dan tubuhnya terlempar masuk ke dalam jurang. Hanya terdengar teriakan memanjang lalu sunyi. Belasan orang itu lalu membongkar isi peti-peti dalam kereta dan merekapun sibuk bermain-main dengan banyak barang berharga yang dibawa sepasang pengantin itu. Mereka tertawa-tawa, " seolah tidak mendengar jerit tangis si pengantin wanita yang dipermainkan sesuka hatinya oleh Seng Gun.
Semua orang yang masih mempunyai sisa kemanusiaan di dalam hatinya pasti akan mengutuk perbuatan yang dilakukan seorang pemuda ahli silat dan sastra seperti Seng Gun itu. Kita semua lupa bahwa menilai dan menghakimi perbuatan orang lain memang mudah saja, karena kita tidak terlibat di dalamnya. Semua perbuatan yang tidak benar selalu merupakan ulah nafsu daya rendah yang menguasai diri. Orang yang terlibat di dalamnya, yaitu orang yang dicengkeram nafsu daya rendah, didorong untuk melakukan perbuatan yang pada dasarnya hanya untuk memenuhi kehendak nafsu daya rendah, yaitu untuk memuaskan dan menyenangkan nafsu. Nafsu selalu menggoda kita dengan bayangan-bayangan kesenangan dalam bentuk apapun juga, Dan tidak perduli kita ini seorang kaya ataupun miskin, tua ataupun muda, pria ataupun wanita, terpelajar atau buta huruf, pandai dan bodoh, semua dipermainkan nafsu daya rendah. Kalau kita melihat orang lain yang melakukan, dengan mudah kita dapat menilai dan dapat melihat kesalahan yang dilakukan orang lain. Akan tetapi, kalau kita sendiri yang terlibat, kalau kita sendiri yang dicengkeram nafsu, tidak mungkin kita dapat menerapkan penilaian seperti kalau kita melihat orang lain. Pengertian dalam pertimbangan akal pikiran kita dapat dtpergunakan untuk orang lain, akan tetapi. bagaimana kalau kita sendiri yang terlibat" Bagaimana kalau kita yang didorong nafsu melakukan suatu perbuatan yang pada dasarnya hanya mengejar kesenangan, mengejar citacita menghalalkan segala cara" Dapatkan pengertian kita, ilmu pengetahuan kita, kepandaian dan kebijaksanaan kita, mencegah dan menundukkan nafsu kita yang mendorongdorong kita melakukan kesalahan itu"
Sukar sekali! Banyak contohnya. Kita tahu dan mengerti benar bahwa nafsu yang mendorong kita untuk marah-marah, memukul atau memaki. adalah tidak benar. Kita mengerti benar. Akan tetapi mampukah pengertian kita itu mengendalikan kemarahan kita" Semua pencuri di dunia ini tentu tahu dan mengerti benar bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik, berdosa, akan tetapi kalau nafsu sudah menguasai diri, mampukah pengertian itu mencegahnya untuk mencuri" Buktinya, mereka semua itu tetap saja mencuri walaupun mereka semua mengerti bahwa mencuri itu berdosa. Demikian pula dengan korupsi, dengan Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang di dunia ini. Mereka semua bukan orang bodoh, mereka semua TAHU dan MENGERTI bahwa perbuatan jahat itu berdosa, namun pengetahuan dan pengertian itu tidak menolong, karena nafsu telah mencengkeram diri. Bahkan nafsu daya rendah sudah meresap sampai ke tulang sumsum, bampai ke dalam hati akal pikiran sehingga hati akal pikiran yang tahu dan mengerti bahwa perbuatan itu salah, bahkan menjadi pembela dari pada perbuatan itu sendiri. Hati akal pikiran membisikkan kepada seorang koruptor misalnya bahwa semua orang juga melakukan korupsi, bahwa upahnya tidak cukup, bahwa dia membutuhkan uang itu untuk keluarganya, bahwa korupsinya hanya kecil dibandingkan para koruptor lainnya dan sebagainya. Pikiran yang bergelimang nafsu ini tidak mungkin mengendalikan nafsu sendiri, kalau membela memang pandai! .
Banyak sudah diusahakan manusia untuk menguasai nafsu, untuk mengendalikan nafsu. Banyak sekali pelajaran-pelajaran dalam semua agama yang menjanjikan pahala bagi yang berkelakuan baik dan mengancamkan hukuman bagi yang berkelakuan jahat. Namun mengapa kejahatan cenderung meningkat" Karena jahat itu berarti mengejar kesenangan, dan nafsu dalam diri manusia memang selalu menjanjikan kesenangan bagi manusia.
Semua perbuatan yang mengandung pamrih kesenangan, baik kesenangan itu berupa harta, kedudukan, nama baik, pujian, janji-janji muluk, adalah ulah yang didorong nafsu daya rendah, nafsu yang telah menguasai kita lahir batin. Lahirnya menguasai pancaindera, batin nya menguasai hati akal pikiran. Pelajaran-pelajaran itu mungkin menolong, akan tetapi hanya untuk sementara saja, hanya seperti tambalan saja, menutup untuk sementara. Hanya seperti sekam yang ditaburkan pada api. Nampaknya apinya padam, namun sesungguhnya masih membara di sebelah dalam dan sewaktuwaktu kalau mendapat angin akan bernyala lagi, bahkan mungkin lebih besar nyalanya dari pada sebelum ditutup sekam. Walaupun mungkin ada yang berhasil namun hanya jarang sekali.
Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan" Membuang atau membunuh nafsu" Tidak mungkin, karena justeru nafsu daya rendah ini yang menghidupkan manusia. Nafsu adalah alat hidup, peserta hidup dan pelengkap kita. Tanpa adanya nafsu, pancaindera kita tidak akan dapat merasakan apa itu indah dan buruk, lezat dan tidak lezat, enak dan tidak enak, merdu atau tidak, harum atau tidak, dan sebagainya. Tanpa adanya nafsu, pikiranpun akan terhenti, tidak akan ada kemajuan lahiriah dalam kehidupan ini, bahkan tanpa adanya nafsu berahi, perkembangbiakan manusiapun akan terhenti. Nafsu mutlak perlu bagi kita, akan tetapi nafsupun mutlak membahayakan dan menyeret kita ke dalam perbuatanperbuatan yang hanya akan mengacaukan kehidupan di antara manusia, perbuatan yang merusak dan pada umumnya kita namakan jahat. Nafsu adalah peserta, adalah hamba kita yang amat kita perlukan, akan tetapi kalau hamba ini sudah menjadi majikan kita, celakalah kita. Kita akan diseret dan di permainkan!
Mencari uang atau nafkah merupakan keharusan dalam kehidupan di dunia ini, akan tetapi kalau nafsu menjadi majikan, maka kita tidak segan-segan untuk menipu, merampok, mencuri, korupsi bahkan membunuh memperebutkan harta, Gairah berahi merupakan kebutuhan dalam hidup karena nafsu inilah yang membuat kita mau melakukan hubungan antara lawan kelamin, akan tetapi kalau nafsu yang menjadi majikan, kita tidak segan-segan untuk berjina, melacur, bahkan memperkosa! Seperti yang dilaku kan Seng Gun, bukan dia tidak mengerti atau tidak tahu bahwa perbuatannya itu jahat dan keji. Dia tahu! Akan tetapi, dorongan nafsunya tidak akan hilang atau terhenti karena pengetahuannya itu.
Nafsu mutlak perlu, akan tetapi nafsu juga mutlak berbahaya. Lalu bagaimana" Hanya dengan mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta, yang Mencipta kita, Mencipta nafsu-nafsu kita, Mencipta segala sesuatu yang nampak dan tidak nampak oleh mata kita, yang Mengadakan segala sesuatu yang ada, mengembalikan dengan arti menyerah dengan segala kepasrahan, keikhlasan, ke tawakalan. Hanya dengan pasrah sebulat bulatnya inilah, di mana kehendak si aku atau nafsu melalui akal pikiran tidak bekerja giat lagi, maka Kekuasaan Tuhan akan bekerja! Hanya Kekuasaan Tuhan jualah yang akan dapat mengembalikan nafsu pada fungsi aselinya, yaitu menjadi peserta kita, menjadi pelayan kita demi kepentingan hidup berjasmani d i dalam dunia ini.
Seng Gun adalah seorang manusia yang sepenuhnya dikuasai nafsu daya rendah. Budi kesusilaan memang ada pula di dalam hatinya, menjadi peserta, namun budi kesusilaan itu tertutup oleh nafsunya sehingga seolah menjadi hamba nafsu.
Sukar dibayangkan.kekejian apa yang terjadi di dalam pondok itu, akan tetapi tiga hari kemudian, di dalam jurang yang dalam itu menggeletak mayat sepasang pengantin baru itu. Pengantin pria tewas di dalam jurang karena ditendang dan dilempar oleh orang-orang Mongol anak buah Seng Gun. sedangkan pengantin wanita sengaja membunuh diri dan meloncat ke dalam jurang untuk mengakhiri hidupnya yang penuh aib.
Perahu kecil itu meluncur dengan perlahan di tengah telaga itu. Penumpangnya hanya seorang saja, seorang pemuda yang kepalanya dilindungi sebuah caping lebar yang biasa dipakai oleh nelayan. Caping itu melindungi pemakainya dari terik matahari, juga dapat melindungi badan kalau turun hujan. Akan tetapi pemuda itu jelas bukan seorang nelayan. Dia tidak membawa pancing, juga tidak membawa Jala. Selain itu, pakaiannya juga bukan seperti nelayan, melainkan seperti seorang pemuda pelajar. Wajahnya tampan sekali dan dia mendayung perahunya perlahan-1ahan ke tengah telaga. Agaknya dia ingin menghindari keramaian, menjauhi para nelayan dalam perahu mereka yang berseliweran bercampur dengan para pelancong yang menikmati keindahan alam dan kesejukan hawa udara di telaga.
Setelah tiba di tengah telaga yang sunyi, jauh dari perahu lain, pemuda itu tidak mendayung lagi, membiar kan perahunya berhenti di tengah telaga, dan diapun duduk di perahu, memandang ke permukaan air telaga yang tenang dan jernih sambil melamun. Pemuda itu adalah Souw Kian Bu. Seperti kita ketahui, Souw Kian Bu pergi meninggalkan rumah orang tuanya di kota Wu-han untuk pergi merantau mencari pengalaman. Kepada mereka dia mengatakan bahwa selain mencari pengalaman di dunia kang-ouw (sungai telaga, dunia persilatan), diapun ingin berkunjung ke Go-bi-pai di pegunungan Gobi.
Ketika perjalanannya tiba di telaga itu, melihat keindahan telaga, Kian Bu tertarik sekali dan pada pagi hari itu dia menyewa sebuah perahu dan berperahu di telaga. Kini dia duduk di atas perahunya, melamun.
Sebuah perahu yang agak besar meluncur perlahan mendekati perahunya, bahkan hampir membentur perahunya. Kian Bu sadar dari lamunan dan merasa agak marah akan kesembronoan orang yang mengemudikan perahu besar itu. Kalau sampai perahunya yang kecil tadi terbentur, bukan tidak mungkin perahunya akan terguling. Akan tetapi perahu besar itupun berhenti, agaknya tidak didayung lagi. Dari atas perahunya, dia melihat ada orang di atas perahu besar, mungkin penumpangnya berada di da lam bilik perahu yang berada di tengah perahu, hanya berupa papan di kanan kiri dan belakang sedangkan pintu di depan tertutup tirai. Akan tetapi ketika perahu itu terbawa gerakan air agak melintang, dia melihat seorang laki-laki yang agaknya tukang perahu berada di ujung perahu dan tukang perahu inilah agaknya yang merupakan pengemudi dan pendayung perahu. Dia tidak tahu apakah di dalam bilik perahu ada orangnya .
Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara yang-kim (kecapi) dimainkan orang. Suara yang-kim itu cukup nyaring dan dari paduan suaranya dapat di ketahui bahwa pemainnya amat mahir memainkan alat musik itu. Kian Bu yang juga pernah mempelajari permainan kecapi, mendengarkan penuh perhatian dan diapun tersenyum. Lagu asmara! Dia mengenal lagui "Menanti Kasih" itu yang menceritakan tentang Ci Lan, puteri raja yang cantik jelita menanti munculnya kekasihnya, seorang penggembala yang sebetulnya sudah dibunuh oleh raja yang tidak setuju puterinya saling mencinta dengan pemuda penggembala. Namun, arwah penggembala itu agaknya menjadi penasaran dan dia masih seringkali muncul dan mengadakan pertemuan dengan sang puteri, walaupun mereka tidak dapat saling bicara atau saling bersentuhan Dan sang puteri masih tetap mencintanya, merindukannya dan terjadilah lagu asmara itu!
Setelah permainan yang-kim itu nengakhiri lagu asmara tadi dan berhenti, Kian Bu tidak dapat menahan kekagumannya dan diapun berkata dengan suara bersungguhsungguh, "Lagu yang indah, yang-kim yang merdu!"
Tukang perahu yang bertubuh tinggi kurus itu menoleh kepadanya, akan tetapi acuh saja seolah ucapan Kian Bu itu tidak ada artinya sama sekali baginya. Akan tetapi, tiba-tiba dari dalam bilik perahu yang pintunya tertutup tirai sutera biru itu terdengar suara wanita yang merdu dan seperti bersajak.
"Lagu yang indah bukan lagu,
yang-kim yang merdu bukan yang-kim!"
Mendengar suara ini, Kian Bu tertegun. Dia merasa heran sekali dan juga penasaran, maka diapun memandang ke arah bilik perahu besar itu dan bertanya, "Maafkan kelancanganku, akan tetapi kalau lagu yang indah bukan lagu, lalu apakah lagu itu! Kalau yang-kim yang merdu bukan yang-kim, lalu apa yang merupakan yang-kim sebenarnya" Mo hon petunjuk."
Hening sejenak, seolah wanita yang mengeluarkan suara tadi diam berpikir. Kemudian terdengar lagi suaranya, suara yang merdu, juga jelas pengucapan setiap kata, dan disuarakan seperti orang membaca sajak, setengah bernyanyi.
"Dengan matahari timbullah terang,
tanpa matahari jadilah gelap,
terang dan gelap tiada bedanya
yang satu mengandung yang lain
yang lain ada karena yang satu!"
Kian Bu menjadi semakin kagum.. Dia bangkit berdiri di atas perahunya, mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi hormat ke arah bilik di tengah perahu besar:
"Aku, Souw Kian Bu, merasa kagum sekali atas permainan yang-kim dan kata-kata indah yang diucapkan. Kalau aku tidak dipandang terlalu rendah, aku mengharapkan untuk dapat. berbincang-bincang mengenai gelap dan terang!"
Hening sejenak dan Kian Bu masih menanti dengan kedua tangan terangkap di depan dada. Kemudian terdenqar suara wanita yang merdu tadi, "Sobat, silakan naik ke atas perahu kami. Pandangan rendah maupun tinggi sama saja, samasama menjerumuskan!"
Dia berada di perahu kecil dan dipersilakan naik ke perahu besar itu, pada hal di situ tidak ada tali atau tangga, hal ini jelas menunjukkan bahwa wanita yang mengundangnya hendak mengujinya, atau memang sudah dapat menduga bahwa dia memiliki kepandaian. Oleh karena itu, Kian Bu juga tidak merasa perlu menyembunyikan kemampuannya.
"Maafkan kalau aku mengganggu !" Tubuhnya lalu meloncat naik ke atas perahu besar sambil membawa tali perahunya. Tanpa guncangan sedikitpun kedua kakinya menginjak papan perahu besar. Dia tidak perduli betapa tukang perahu di perahu besar itu melirik dengan pan dang mata jalang, lalu mengikatkan ujung tali perahunya ke perahu besar.
"Bagus, gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang bagus!" terdengar suara wanita itu berseru kagum. Kian Bu memutar tubuh dan menghadapi pintu bilik yang tertutup tirai dan pada saat itu, sebuah tangan yang jari-jarinya kecil panjang dan putih mulus menyingkap tirai, lalu muncullah seorang wanita dari dalam bilik. Kian Bu yang sudah siap untuk menqangkat kedua tangan memberi hormat, terpesona dan lupa mengangkat tangannya, hanya berdiri bengong seperti patung, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, tidak mampu melakukan sesuatu seperti tiba-tiba saja kehilangan akalnya! Selama hidupnya, belum pernah dia dapat membayangkan seorang wanita sejelita ini, seperti bidadari dari kahyangan! Apa lagi bertemu, mimpipun belum pernah. Sebelum ini, tentu dia tidak akan percaya bahwa di dunia ini terdapat seorang wanita yang memiliki kecantikan seperti ini!
Dara itu berpakaian serba putih, dari sutera putih. Demikian putih bersih sehingga ia nampak semakin anggun seperti dewi! Dan kecantikannya dalam pandang mata Kian Bu nampak sempurna, dengan daya tarik sedemikian kuatnya membuat dia seperti berubah menjadi patung. Mata itu! Rambut itu! Hidung dan terutama bibir itu! Wah, tidak mungkin dia dapat menggambarkan. Kalah manis madu seguci . Kalah harum bunga setaman Dan ketika bibir itu merekah, tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan rapi, membayangkan kemerahan rongga mulut dan ujung lidah, Kian
Bu menjadi pusing tujuh keliling dan agaknya dia akan dapat jatuh pingsan kalau saja dia tidak cepat menahan napas mengerahkan tenaga.
"Souw-kongcu (tuan muda Souw), engkau kenapakah, memandangku seperti itu?" Mulut yang bibirnya berbentuk gendewa terpentang, merah membasah tanpa gincu itu bertanya lembut, masih membayangkan senyum geli.
Mendengar pertanyaan itu, barulah Kian Bu merasa seperti diseret turun kembali dari dunia lamunan, dunia awangawang dan mukanya berubah kemerahan, dia menjadi salah tingkah.
"Eh, aku saya eh, maafkan aku apakah apakah nona yang tadi bermain yang-kim dan bersajak?" Dia menjenguk ke dalam bilik dari tirai yang setengah terbuka, untuk melihat apakah ada wanita lain di dalam bilik itu.
Dara itu membuka tirai pintu bilik sehingga Kian Bu dapat melihat bahwa bilik kecil itu kosong, tidak ada orang lain di dalamnya. Yang ada hanyalah sebuah meja pendek tanpa bangku dan tentu dara itu tadi duduk bersila di atas tikar pada papan perahu. Sebuah yang-kim kecil terletak di atas meja, juga alat tulis yang disusun rapi. Peralatan ini saja menunjukkan bahwa dara itu adalah seorang ahli sastra yang tentu pandai menulis indah dan membuat sajak.
"Kenapa engkau merasa heran, kongcu" Apakah engkau tadi mengira bahwa yang memainkan yang-kim seorang pria?" Dara itu menahan tawanya, dan dari susunan kata-katanya mudah diketahui bahwa dara itu seorang yang terpelajar. Biarpun segala keindahan pada diri gadis itu masih mempesona, namun Kian Bu telah mampu menguasai perasaan nya dan dia menjadi lebih tenang .
"Tidak, nona. Suaranya menunjukkan bahwa yang bersajak adalah seorang
wanita, akan tetapi tidak kusangka sama sekali masih semuda nona "
Senyum itu tidak meninggalkan bibir yang mungilitu.. "Kenapa engkau mengira yang bicara seorang wanita tua, Souw-kongcu "' "Karena ucapannya tadi mengandung soal-soal kehidupan yang rumit dan mendalam artinya sehingga aku menjadi tertarik untuk mengajak berbincang-bincang, akan tetapi tidak tahunya...."
Dara itu tersenyum makin lebar dan sepasang matanya berbinar-binar seperti bintang kembar. "Kongcu, apakah engkau sudah tua sekali" Kulihat engkau bukan kakek-kakek, dan tidak jauh lebih tua dibandingkan aku. Nah, mari kita duduk di dalam bilik kalau memang engkau masih ingin mengajak aku berbincang-bincang. Matahari mulai naik tinggi dan duduk di luar bilik akan membuat kulitku menjadi hangus. Engkau masih terlindung caping lebar, akan tetapi aku"
"Ah, maaf, aku telah mengganggumu, nona." "Tidak sama sekali, mari silakan." Dara itu.memberi isarat dengan tangannya mempersilakan Kian Bu memasuki bilik. Ia sendiri membuka sama sekali tirai pintu bilik itu sehingga kini bilik itu terbuka. Melihat ini, Kian Bu merasa lapang dadanya. 'Sungguh akan mendatangkan perasaan tidak enak sekali kalau dia harus berada berdua saja dengan dara itu di dalam bilik perahu yang tertutup pintunya! Dia mengangguk dan memasuki bilik diikuti dara itu dan tak lama kemudian mereka berdua telah duduk bersila terhalang meja. Kian Bu telah melepaskan caping cari atas kepalanya dan menaruh caping itu miring berdiri di sudut bilik. Kini mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Akan tetapi Kian Bu tidak berani terlalu lama menatap wajah itu, merasa seolah silau kalau memandang terlalu 1ama.
"Nah, sebelum kita berbincang-bincang, sebaiknya kalau aku memperkenalkan diri lebih dahulu, karena engkau tadi sudah memperkenalkan dirimu, kongcu. Namaku Ji Kiang Bwe. Nah, sekarang apa yang ingin kauperbincangkan denganku, Souw-kongcu?"
Tadi, sebelum-melihat orangnya, mendengar suaranya dan permainan yang-kim, hati Kian Bu tertarik sekali dan ingin dia berbincang tentang lagu, tentang musik, tentang sajak, dan terutama tentang makna kehidupan sepet ti disinggung suara itu dalam sajaknya. Akan tetapi setelah kini melihat orangnya, dia kehilangan akal dan agaknya sukar sekali dia mengeluarkan kata-kata pendahuluan.
"Aku ehh, aku hanya eh, ingin bertanya mengenai sajakmu tadi, nona," akhirnya dia dapat mengambil keputusan untuk bertanya tentang sajak yang diucapkan gadis itu tadi, karena bertanya merupakan kegiatan yang paling mudah dalam suatu perbincangan atau percakapan.
"Tanyalah, Souw-kongcu. Orang bertanya tidak usah membayar," Gadis itu tersenyum dan Kian Bu juga tersenyum. Kiranya gadis ahli sastra inipun pandai berkelakar, pikirnya dengan hati gembira .
"Aku hanya ingin mengulang pertanyaanku tadi, Ji-siocia. Engkau mengatakan bahwa lagu yang indah bukan lagu. dan yang-kim yang merdu bukan yang-kim. Lalu apa?"
"Souw-kongcu, lagu hanyalah lagu yang-kim hanyalah yang-kim, kalau ditambah yang indah dan merdu, maka lagu dan yang-kim itu sudah bukan aselinya lagi, melainkan menjadi bayangan sesuai dengan selera yang menyebutnya. Sebutan indah dan buruk keduanya tidak menerangkan sifat sesungguhnya dari yang disebut, karena indah dan buruk hanyalah penilaian, dan setiap penilaian tentu didasari perasaan suka dan tidak suka pribadi, dan suka atau tidak suka inipun didasari menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kalau menyenangkan, mendatangkan rasa suka, dan kalau suka, sudah tentu akan nampak indah dan baik. Karena itulah, maka lagu yang indah bukan lagu, yangkim yang merdu bukan yangkim, melainkan gambaran dari si penilai !"
Kian Bu tertegun. "Ji-siocia, akah engkau dari aliran Bengkauw (Aliran Terang)?" tanyanya sambil menatap tajam. Orang-orang dari alirang Beng-kauw banyak yang pandai, akan tetapi berwatak aneh sehingga oleh para pendekar mereka digolongkan sebagai golongan sesat.
Dara itu tersenyum lagi. "Souw-kongcu, apakah kalau aku dari golongan atau aliran Beng-kauw lalu engkau tidak sudi lagi bercakap-cakap denganku?" Dara itu dengan gaya yang lincah dan cerdik balas bertanya. "Dan mengapa pula engkau mengira aku dari Beng-kauw?"
"Aku pernah membaca tentang alir an Beng-kauw, dan sajakmu tadi mirip dengan filsafat aliran Beng-kauw." Dara itu menggeleng kepalanya."Aku tidak terikat dengan aliran manapun. Aku hanya suka menyelami kenyataankenyataan hidup, tidak perduli dari ajaran aliran manapun. Kehidupan ini sendiri menjadi suatu aliran, suatu pelajaran yang tiada putusnya, juga menjadi guru kita. Apa lagi kalau dalam kehidupan ini kita mengalami banyak penderitaan, banyak kesengsaraan dan kedukaan, maka dengan sendirinya soal kehidupan amat menarik untuk direnungkan dan dimengerti."
Kian Bu memandang kagum. "Ah..tidak pernah aku dapat membayangkan kata kata seperti itu keluar dari mulut seorang nona semuda engkau, nona. Agaknya, maafkan aku, agaknya nona yang semuda ini sudah banyak mengalami hal-hal yang mendukakan Benarkah itu?"
Tiba-tiba perahu besar itu terguncang keras. Kian Bu terkejut karena maklum bahwa perahu itu tentu ditabrak sesuatu, dan dia sudah cepat meloncat keluar dari dalam bilik perahu. Terdengar suara ribut orang berkelahi di ujung perahu dan ketika dia menghampiri, ternyata tukang perahu yang tinggi kurus tadi sedang berkelahi dikeroyok oleh tiga orang. Baru sekarang Kian-Bu mengetahui bahwa tukang perahu yang tinggi kurus dan bersikap dingin itu ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh. Dayung besinya menjadi senjatanya dan dia mengamuk dikepung tiga Orang yang bersenjatakan pedang dan ternyata tiga orang pengeroyok itupun lihai bukan main! Seorang saja di antara mereka pasti akan merupakan lawan setanding dari tukang perahu itu. Akan tetapi kini mereka maju bertiga, tentu saja tukang perahu menjadi kewalahan dan dia lebih banyak hanya dapat menangkis saja dan memutar dayungnya melindungi diri, tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas. Tiga gulungan sinar pedang sudah menghimpitnya dan sebentar lagi tentu dia akan terkena pedang dan roboh.
Kian Bu tidak tahu mengapa mereka berkelahi dan siapa tiga orang pengeroyok itu. Karena tidak tahu urusannya, maka diapun tidak berani turun tangan. Bagaimanapun juga, tukang perahu itu adala.h pembantu Ji Kiang Bwe dan dia harus mencegah tukang perahu itu j terbunuh .
"Hentikan perkelahian!" teriak Kian Bu dan sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang ke arah mereka yang sedang bertanding dan gulungan sinar pedangnya bergerak menangkis empat buah senjata itu, tiga batang pedang dan se batang dayung.
Terdengar suara berdencing berturut-turut. Tukang perahu itu terkejut, juga tiga orang pengeroyoknya berloncatan ke belakang karena mereka berempat tadi merasa betapa tangan mereka tergetar hebat dan nyaris senjata mereka terlepas dari pegangan.
"Souw-kongcu, harap mundur. Ini merupakan urusan kami pribadi," terdengar suara merdu itu di belakangnya. Kian Bu menoleh dan melihat Kiang Bwe telah berdiri di situ, tetap cantik je1ita dan agung seperti tadi, hanya bedanya, kalau tadi wajahnya berseri pe-nuh senyum dan ramah, kini wajah itu nampak dingin dan sinar matanya mencorong .
"Paman Gu, apa yang terjadi?" tanya dara itu dengan sikapnya yang tenang sekali kepada si tukang perahu. Diamdiam Kian Bu memperhatikan dengan heran dan ingin tahu. Siapakah sebetulnya dara ahli sastra ini yang dapat bersikap sedemikian tenangnya menghadapi serbuan tiga orang lihai itu" Dan sikap tukang perahu itu lebih mengherankan hatinya lagi. Orang yang wajahnya nampak dingin itu kini bersikap hormat sekali dan dia merangkap kedua tangan depan dada ketika menjawab pertanyaan Kiang Bwe.
"Pang-cu (Ketua Perkumpulan), mereka adalah orang-orang Hoatkauw yang sengaja hendak membunuhku." Sepasa.ng mata yang indah itu kini mencorong penuh kemarahan. Bukan hanya Kian Bu yang terkejut dan heran mendengar tukang perahu itu menyebut pangcu kepada si nona, akan tetapi juga tiga orang tokoh Hoat-kauw itu terkejut dan heran sekali.
"Orang she Gu!" kata seorang di antara mereka kepada si tukang perahu. "Ketua kalian, Ji-pangcu, telah tewas, tidak perlu lagi kalian menipu kami dan menyebut nona ini sebagai pangcu kalian!"
"Orang-orarig Hoat-kauw yang sombong, kalian bertiga mempunyai mata akan tetapi seperti buta. Ji-pangcu memang telah tewas oleh kekejaman kalian, akan tetapi nona ini adalah ketua baru kami, puteri mendiang Ji-pangcu!"
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 18 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Perjodohan Busur Kumala 14
^