Pencarian

Maling Budiman Berpedang Perak 1

Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


GIAN KIAM GI TO
MALING BUDIMAN BERPEDANG PERAK
Asmaraman S. KHO PING HOO
Jilid 01 "Tangkap, tangkap! Maling, maling!!!" Di malam yang gelap gulita itu terpecahlah
kesunyian oleh suara teriakan-teriakan di atas dan di bawah rumah gedung Thio Wangwe (hartawan Thio). Sesosok bayangan hitam melayang ke atas genteng dengan
gerakan yang luar biasa gesitnya. Bayangan ini bertubuh sedang dan agak tinggi kurus, pakaiannya serba hitam dan pada mukanya terdapat kedok terbuat daripada
saputangan sutera hitam yang menutup bagian muka dari bawah mata ke bawah.
Matanya yang tidak tertutup mengeluarkan sinar tajam, melirik ke sana ke mari. Di punggungnya nampak gagang sebuah pedang. Dan pada saat itu ia menggendong dua
buah kantong kain yang besar dan berat.
"Tangkap! Tangkap maling!!" Terdengar lagi teriakan dan beberapa orang penjaga
gedung Thio Wan-gwe yang memiliki kepandaian silat tinggi mengejar ke atas genteng dengan pedang atau golok di tangan.
Akan tetapi, baru saja mereka menginjak genteng, maling itu telah mendahului
menyerang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya digunakan untuk
memegang dua kantong besar yang digendongnya di pundak. Gerakannya cepat dan
tak terduga hingga seorang penjaga kena hantam dadanya hingga roboh di atas
genteng, menyebabkan beberapa buah genteng pecah dan menerbitkan suara hiruk-
pikuk. Kawan-kawannya yang berjumlah lima orang segera mengepung, akan tetapi
sebelum mereka dapat menggunakan senjata untuk menyerang, maling yang
berkepandaian tinggi itu telah melompat ke atas wuwungan.
Dua orang penjaga cepat mengeluarkan senjata piauw, lalu menggerakkan tangan
mereka. Empat batang piauw menyambar ke arah punggung maling yang melarikan diri
itu. Akan tetapi sungguh mengagumkan, tanpa menoleh lagi, bagaikan di punggungnya terdapat mata yang melihat datangnya senjata-senjata rahasia itu, si maling mengelak ke samping dan ketika sebatang piauw menyambar dekat, ia gerakkan tangan kanannya menangkap piauw itu tanpa melihat! Betapa tinggi ilmu silatnya, serta ketajaman
pendengarannya!
Sebatang piauw menyambar lagi dan kini maling itu memperlihatkan kepandaiannya
yang benar-benar hebat. Ia ayunkan piauw dari tangannya, yakni piauw yang
ditangkapnya tadi ke arah piauw yang melayang ke arah dirinya hingga kedua batang senjata rahasia itu saling berbenturan dan jatuh di atas genteng!
Sebelum para penjaga itu dapat menyerang lagi, si maling yang hebat ini telah dapat melompat jauh dan menghilang dalam gelap! Para penjaga masih mencoba untuk
mengejar dan mencari-cari, tetapi malam sangat gelap hingga tak mungkin mereka
dapat mengejar seorang maling yang memiliki kepandaian demikian tinggi itu. Terpaksa mereka kembali ke gedung Thio Wan-gwe dan mendapatkan hartawan itu masih berdiri
gemetar di dalam kamarnya sambil memandang ke arah sebuah lukisan di atas dinding.
Lukisan itu adalah lukisan sebuah pedang tajam dan dibuat dengan tinta hitam dan
dilukis mempergunakan jari telunjuk saja. Biarpun demikian, namun pedang itu nampak indah hingga mudah difahami bahwa pelukisnya mencoba untuk melukis sebuah
pedang putih, baik gagang maupun pedangnya. Inilah tanda dari Gim-kiam Gi-to, si
Maling Budiman Berpedang Perak! Tanda ini sudah banyak dikenal orang terutama
golongan orang-orang hartawan yang banyak menumpuk harta benda.
Yang paling mengherankan adalah tempat di mana maling itu menggambar, yakni di
dinding sebelah atas yang tingginya tidak kurang daripada dua tombak! Orang-orang biasa takkan dapat menduga bagaimana orang dapat melukis di tempat setinggi itu
tanpa mempergunakan tangga atau alat pemanjat lain, akan tetapi seorang ahli silat tinggi akan dapat mengerti dan mengagumi bahwa orang yang melukisnya tentu
memiliki kepandaian Pek-houw-yu-chong (Cecak Bermain di Tembok). Dengan ilmu
kepandaian ini, si pelukis dapat merayap di tembok seperti seekor cecak! Dan ilmu kepandaian ini hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli lweekeh yang memiliki
lweekang dan khikang tinggi!
Melihat tanda gambar ini, para penjaga gedung Thio Wan-gwe diam-diam bersyukur
karena pencuri yang sangat terkenal itu tidak melakukan kekejaman kepada mereka
dan yang kena dirobohkannya hanya seorang saja, itupun tak sampai mendapat luka
parah. Baru mereka percaya bahwa pencuri itu terkenal sebagai Maling Budiman yang jarang sekali mau melukai orang, kecuali kalau terpaksa sekali.
Tidak saja di rumah keluarga Thio Wan-gwe yang ribut dan gempar, akan tetapi
semenjak saat itu sampai pagi, banyak orang-orang merasa heran dan bingung disertai kegirangan besar, tidak seperti kebingungan dalam gedung Thio Wan-gwe, mereka ini adalah penghuni gubuk-gubuk dan pondok-pondok di dusun-dusun dekat kota tempat
tinggal Thio Wan-gwe itu merasa girang oleh karena pada malam hari itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja mereka mendapatkan beberapa potong perak yang
beratnya sampai empat lima tail menggeletak begitu saja di atas pembaringan mereka yang bobrok! Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena perak itu dapat dijadikan uang untuk penyambung nyawa keluarga mereka untuk beberapa bulan lamanya!
Segera mereka ini menjatuhkan diri berlutut dan memuji nama Tuhan Yang Maha
Murah yang telah mengirim utusan untuk menolong mereka. Dan orang-orang yang
mengalami hal ini adalah beberapa puluh keluarga di malam hari itu! Mereka sama
sekali tak pernah mendengar atau menduga bahwa di atas genteng mereka yang telah
bocor itu melayang bayangan orang yang gesit bagaikan burung dan yang memasuki
tiap gubuk tua untuk dengan diam-diam meletakkan uang-uang perak dan potongan-
potongan perak itu di atas pembaringan penghuninya!
Inilah maling budiman yang tadi mencuri dua kantong uang perak dari dalam gedung
Thio Wan-gwe. Maling budiman ini datang di gedung Thio Wan-gwe tanpa permisi dan
pergi tanpa pamit, demikian juga ia memasuki rumah-rumah rakyat miskin tanpa
mengetuk pintu dan pergi tanpa memberitahukan pula!
Setelah dua kantong perak itu habis, Maling Budiman lalu melipat dua kantongnya yang telah kosong dan memasukkan kedua kantong kain itu ke dalam saku bajunya, lalu ia berlari dengan cepatnya menuju ke sebuah kuil tua yang telah rusak dan kosong di luar kampung, tak jauh dari kota tempat tinggal Thio Wan-gwe.
Ia melompat masuk ke dalam kuil dan duduk di atas lantai yang kotor. Lalu
dilepaskannya kedok sutera hitam dari mukanya. Pada saat itu fajar telah mulai
menyingsing hingga nampak wajahnya yang kurus, tetapi yang memiliki potongan
cukup tampan. Ia menghela napas lega laksana seorang pekerja yang telah menunaikan tugasnya dengan baik, lalu merebahkan tubuhnya di atas lantai begitu saja. Tak lama kemudian iapun tertidur pulas!
Siapakah orang aneh yang menuntut pekerjaan lebih aneh lagi ini" Mengapa ia
melakukan pekerjaan yang dari satu sudut dianggap buruk dan jahat, akan tetapi
dipandang dari sudut lain dapat juga disebut baik hingga iapun mendapat julukan
bertentangan" Sebutan Maling Budiman memang terdengar janggal dan lucu. Maling
tetap maling dan termasuk penjahat berdosa, akan tetapi Budiman adalah satu sifat yang hanya dimiliki oleh seorang yang menjunjung tinggi kebaikan!
*** Pada beberapa belas tahun yang lalu, di daerah selatan Tiongkok mengalami serangan
bencana alam yang maha dahsyat. Musim kering tahun itu benar-benar hebat, untuk
berbulan-bulan tak setitik airpun jatuh membasahi bumi sedangkan panasnya tak
terperikan lagi. Tanah sampai pecah-pecah dan retak-retak karena panas yang
membakarnya dan semua sumur menjadi kering. Bahkan sungai-sungai pada kering
sehingga penderitaan rakyat bukan main hebatnya. Semua tanaman-tanaman
mengering dan mati sebelum menghasilkan buah. Kalau saja ini terjadi pada tahun-
tahun yang lalu masih tidak seberapa hebat, oleh karena penduduk masih mempunyai
simpanan sedikit makanan yang mereka sengaja sediakan seperti yang biasa mereka
lakukan tiap tahun dalam menghadapi musim kering. Akan tetapi celakanya, panen
yang lalu hampir habis oleh serangan belalang yang datang dari utara hingga memenuhi udara.
Rakyat di daerah selatan menjerit-jerit dan mereka hidup amat sengsara. Bibir-bibir manusia mengering dan kulit bibir mereka pecah-pecah. Mata menjadi merah karena
hawa terlampau panas. Hewan ternak banyak yang mati kepanasan dan kehausan.
Penduduk telah melakukan berbagai macam usaha, bahkan mereka telah melakukan
sembahyang di mana-mana untuk meminta hujan. Setelah keadaan mereka betul-betul
genting yang mencapai puncaknya, datanglah hujan bagaikan dicurahkan dari langit!
Jutaan manusia menyambut hujan pertama dengan sangat bersyukur kepada Il ahi.
Semua orang keluar dari rumahnya menengadah ke langit dengan kedua tangannya
menampung dan mulut ternganga lebar untuk merasai kenikmatan air yang turun dari
sorga dan yang menjadi pelindung mereka itu!
Kaum tani sambil bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi mengerjakan sawah ladang mereka.
Semua beriang gembira, walaupun mereka rata-rata hanya dapat makan sehari sekali.
Hati mereka penuh pengharapan baik untuk panen yang akan datang. Tanah yang
tadinya merekah dan retak-retak menjadi tertutup kembali dan nampak kerbau-kerbau yang sudah kurus karena kehabisan rumput itu kini menarik bajak di sawah sambil
menggoyang-goyang ekor. Agaknya binatang-binatang ini dapat juga merasakan
pengharapan yang memancar keluar dari setiap mata manusia.
Akan tetapi, semua itu ternyata hanya merupakan mimpi belaka. Hujan turun terus,
makin hari makin besar dan akhirnya, ketika semua benih sudah ditanam dan orang-
orang menanti tumbuh dan suburnya benih itu menjadi bahan makanan mereka, hujan
turun bagaikan samudera telah berpindah ke langit! Air mengalir terus tiada hentinya hingga semua tanah digenangi air! Sungai meluap-luap dan air mengalir cepat
mengamuk, menerjang, menyeret segala apa yang berada di depan yang menghalangi
alirannya. Rumah-rumah, tanaman-tanaman, manusia, hewan dan apa saja dibawa
hanyut! Mayat manusia mengapung di mana-mana. Manusia-manusia kecapaian menggeletak
di dalam gubuk-gubuk tinggi dan di atas gunung-gunung telah menjadi mayat. Hebat
dan ngeri bukan kepalang!
Amukan alam yang memperlihatkan kekuasaannya ini terasa sekali oleh penduduk
dusun Giam-hok-ceng. Biarpun dusun itu agak tinggi letaknya hingga rumah-rumah
mereka tidak sampai terbawa hanyut, namun semua sawah lading telah habis digenangi merupakan danau yang lebar dan luas mengerikan. Persediaan makanan telah habis
dan tiap hari pasti ada orang mati kelaparan. Jerit tangis terdengar dimana-mana dan keluh kesah menjulang setinggi langit, membawa rasa kecewa, manusia-manusia yang
mulai menuduh bahwa Tuhan tidak adil!
Di dalam sebuah rumah yang tak patut disebut rumah lagi, lebih pantas disebut
kandang manusia miskin, dua tubuh manusia laki-laki dan wanita yang hanya
merupakan kerangka-kerangka terbungkus kulit belaka, rebah bersanding di atas tikar buruk. Keduanya adalah suami isteri she Tan yang sudah menjadi mayat, korban
kelaparan! Di dekat dua mayat itu, seorang anak laki-laki berusia lima tahun menangis terisak-isak, karena suara tangisnya sudah hampir habis, tenggorokkannya kering dan sakit karena semenjak pagi ia menangis tiada hentinya. Berkali-kali anak itu memanggil-manggil ayah dan ibunya, akan tetapi ayah-bundanya diam tak bergerak seakan-akan
sama sekali tidak mau memperdulikan nasib putera tunggal mereka yang bernama Tan
Hong. "Ayah ... ibu ... bangunlah ... aku lapar, minta makan. Ibuuu ... !" suara Tan Hong parau dan hanya keluar sebagai bisikan belaka, sedangkan matanya tak dapat mengeluarkan air mata lagi. Ia masih terlampau kecil hingga kematian baginya masih merupakan teka-teki.
Telah berhari-hari ia hanya mengisi perutnya dengan sedikit gandum kering, dan ayah ibunya bahkan sama sekali tidak makan karena makanan yang sedikit mereka dapatkan, selalu diberikan kepadanya. Akhirnya kedua orang tuanya tertidur dan tidak mau
bangun lagi, sedangkan di dalam gubuk itu tak terdapat sedikitpun makanan lagi dan semenjak kemarin perutnya belum di si apa-apa!
Oleh karena rasa lapar yang membuat perutnya terasa perih dan tubuhnya lemas itu
tak tertahankan lagi, Tan Hong lalu bangun berdiri dan mencari-cari di dalam gubuk, kalau-kalau masih ada sisa-sisa makanan yang dapat dimakannya. Segala kaleng dan
kertas dibuka dan dibolak-balikkan, akan tetapi usahanya sia-sia. Tan Hong menjadi bingung, ia mulai mengeluh dan menangis lagi sambil memeluki tubuh ibunya.
Kemudian timbul pikirannya untuk minta makanan kepada tetangga, seperti yang telah dilakukan beberapa kali oleh ibunya. Ia bangun dan berdiri lagi, dan tiba-tiba kepalanya terasa pening, tanah yang dipijaknya seolah-olah berputar-putar dan bergoyang-goyang.
"Aduh ... ibu ... aduh ... !" Ia terhuyung-huyung, rasa perih di perutnya ditahan dengan tangan kiri yang ditekankannya ke perutnya yang kempis itu, tangan kanan meraba-raba ke depan agar ia jangan menabrak sesuatu, kedua kakinya terhuyung-huyung maju dan dengan mata kabur ia mencari pintu untuk keluar.
Ketika ia tiba di pintu gubuk tetangganya yang terdekat, ia disambut dengan suara tangis riuh rendah yang keluar dari pintu itu. Ia membelalakkan kedua matanya dan menjenguk ke dalam. Ternyata seluruh keluarga tetangga itu sedang menangisi mayat-mayat yang membujur di atas balai-balai. Mati karena kelaparan pula!
Tan Hong mundur ketakutan. Tubuhnya yang hanya tulang terbungkus kulit dan dibalut oleh sisa-sisa kain lapuk yang menutupi sebagian badannya, terseok-seok bergerak
maju lagi dengan segala daya upayanya. Kini ia menuju ke sebuah rumah besar. Ia tahu bahwa rumah itu adalah milik Thio-chungcu (Pak Lurah Thio) yang mempunyai banyak
beras dan gandum. Sebetulnya semenjak kecil ia sangat takutnya kepada kepala
kampung ini, bahkan baru mendengar namanya saja ia sudah menggigil. Dulu tiap kali ia menangis, asal ibunya menyebut nama Thio-chungcu, ia menjadi ketakutan dan tak
berani menangis lagi!
Akan tetapi, rasa lapar melenyapkan takutnya. Ia pernah mendengarkan ibunya
bercerita bahwa Thio-chungcu adalah seorang yang mempunyai gandum terbanyak di
dalam dusun itu. Maka, selain minta kepada Thio-chungcu, kepada siapa lagi ia dapat minta makanan" Tubuh kecil kurus itu terhuyung-huyung di atas jalan yang sunyi mati itu dan di sepanjang perjalanan menuju ke rumah Thio-chungcu, ia mendengar suara
tangis di kanan kiri jalan, tangis anak-anak yang sebayanya keluar dari dalam rumah-rumah gubuk. Jelas terdengar olehnya suara mereka itu mengeluh dan merengek-
rengek, "Ayah ... perutku lapar ... " "Ibu ... makan, perutku perih sekali ... "
Suara-suara ini menusuk-nusuk hati dan telinga Tan Hong, menikam ulu hatinya dan
terukir dalam-dalam di sanubarinya. Suara-suara itu merupakan suara maut yang
mengejar-ngejarnya, maka tiba-tiba Tan Hong memaksa kedua kakinya yang lemas
untuk berlari. Berlari pergi dari suara-suara itu, menuju ke rumah gedung Thio-
chungcu! Rumah gedung Thio-chungcu itu dikelilingi dinding tebal dan tinggi, dan di depannya terdapat pintu gerbang dari jeruji besi. Tan Hong mendorong-dorong pintu yang berat itu dan akhirnya ia berhasil juga membukanya setelah menggeser dan melepaskan
palangnya dari luar dengan jalan memasukkan lengannya yang kecil kurus di sela-sela jari-jari besi itu.
Akan tetapi, baru saja ia melangkahkan kaki memasuki ambang pintu, tiba-tiba dari dalam terdengar salak anjing yang menyeramkan dan tak lama kemudian, dua ekor
anjing yang gemuk-gemuk dan tinggi besar berlari keluar sambil menggonggong keras.
Tan Hong menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Cepat-cepat ia mundur dan
berlari keluar kembali dari pintu gerbang itu. Kedua anjing yang galak itu masih tetap menggonggong dan memperlihatkan gigi, akan tetapi setelah mereka melihat bahwa
Tan Hong telah keluar dari pintu gerbang, mereka tak menggonggong lagi dan lari
kembali sambil menggoyang-goyangkan ekornya.
Thio-chungcu yang bertubuh gemuk seperti anjing-anjingnya itu keluar dari dalam
gedungnya, mendengar suara gong-gongan anjing dan sambil tertawa senang ia
berkata, "Bagus, bagus! Kalau ada maling masuk, serbu dan gigitlah sampai mampus!
Hah, menyebalkan benar! Begitu kecil sudah belajar menjadi pencuri!" Kepala kampung itu lalu masuk kembali ke dalam rumahnya, di kuti oleh dua anjingnya yang menggerak-gerakkan ekornya.
Tan Hong memperhatikan kepala kampung itu dengan mata terbelalak dan dada
berdebar. Entah bagaimana, ketika mendengar kata-kata kepala kampung itu, timbul ah hawa panas yang membuat seluruh tubuhnya serasa terbakar! Kepalanya berdenyut-denyut dan kedua tangannya dikepalkan.
Baru setelah kepala kampung dan kedua ekor anjingnya masuk kembali ke dalam
rumah, Tan Hong merasakan kembali keletihan dan keperihan perutnya. Ia berjalan
terhuyung-huyung pergi dari tempat itu dan kepalanya mulai terasa pening lagi.
Pandangan matanya kabur hingga terpaksa ia memejamkan matanya sambil berjalan
terus sedapat mungkin. Akhirnya, tubuh yang kecil itu tidak kuat lagi berjalan dan ia terguling roboh di pinggir jalan. Ia menahan keperihan perutnya dengan mengangkat kedua lutut ke dada hingga perutnya seperti dilipat dan ditekan oleh lutut. Ia meringkuk dalam keadaan demikian di pinggir jalan, dan merasa betapa enaknya rebah di situ
seperti ini! Lenyap rasa pusing di kepalanya, bahkan rasa lapar yang tadinya
mendatangkan rasa sakit dan perih di perutnya, kini lenyap dan yang terasa hanyalah kekosongan belaka. Kosong dan lemah ...
Dan ketika nyawa anak kecil itu telah mulai menjadi bosan tinggal di tubuh yang tidak mendapat perawatan sebagaimana mestinya ini, nyawa yang telah siap untuk
meninggalkan tubuh kurus kering yang menggeletak melingkar di pinggir jalan, tiba-tiba nampak seorang kakek yang memegang tongkat berdiri di dekatnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala, "Ya Tuhan, kesenangan apakah yang pernah kauberikan
kepada anak ini hingga sekarang dia harus menderita sehebat ini?"
Kemudian, kakek tua yang berambut panjang dan yang di kat ke atas kepala dengan
sehelai pita putih, membungkuk dan mengangkat tubuh Tan Hong ke pundaknya.
Setelah itu, ia lalu berjalan cepat meninggalkan dusun Giam-hok-ceng.
Kemudian ternyata bahwa kakek ini adalah Cin Cin Tojin, seorang tosu pengembara
yang tidak tertentu tempat tinggalnya. Seorang tosu yang amat terkenal karena
ketinggian ilmu silatnya, hingga di dunia kang-ouw ia mendapat julukan Sin-kiam atau Pedang Sakti.
Cin Cin Tojin belum pernah mempunyai murid, akan tetapi ketika melihat keadaan Tan Hong yang amat menyedihkan ini, ia menjadi kasihan dan menolongnya. Kemudian ia
melihat bahwa sebenarnya anak itu mempunyai bakat yang baik sekali, maka ia lalu
mengambil anak itu sebagai murid tunggalnya.
Bertahun-tahun lamanya Tan Hong ikut suhunya berkelana. Ia mempelajari ilmu silat dari suhunya itu hingga setelah dewasa, delapan bagian kepandaian Cin Cin Tojin telah dapat diwarisinya. Di sepanjang perantauannya, Tan Hong melihat kesengsaraan rakyat jelata, hingga timbul perasaan kasihan di dalam hatinya. Pengalaman dan
penderitaannya ketika masih kecil menggores dalam-dalam di kalbunya, terutama
peristiwa ketika ia berdiri di depan pintu gerbang rumah Thio-chungcu, tak dapat ia lupakan. Kini setelah ia dewasa dan merantau bersama suhunya, dimana-mana ia
banyak melihat hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar model Thio-chungcu ini.
Orang yang menumpuk harta benda sampai berlebih-lebihan di dalam gudang mereka,
tanpa memperdulikan sedikitpun kepada rakyat kecil yang mati kelaparan. Ia merasa marah dan gemas sekali kepada mereka ini. Memang benar bahwa banyak pula
terdapat hartawan-hartawan yang berhati dermawan dan mengenal perikemanusiaan
hingga seringkali mengulurkan tangan menolong dan memberi sumbangan kepada
orang-orang yang menderita kesengsaraan, akan tetapi dibandingkan dengan jumlah
mereka yang kikir dan kedekut, maka hanya beberapa orang dermawan saja yang tidak ada artinya.
Setelah ikut merantau dan belajar silat selama tiga belas tahun, Cin Cin Tojin lalu menetap di puncak Bukit Kwihong-san, karena merasa tua dan bosan merantau. Ia lalu memberi izin kepada muridnya untuk merantau seorang diri dan kepada muridnya ini ia memberi banyak nasehat dan petuah, serta memberinya pula sebatang pedang
bergagang perak dan berwarna putih berkilauan.
Semenjak itu, dalam usia delapan belas tahun, Tan Hong mulai dengan perantauannya seorang diri dan ia mulai mengerjakan maksud dan cita-cita yang selalu terkandung di dalam hatinya, yakni mencuri uang hartawan-hartawan untuk kemudian pada waktu itu juga dibagi-bagikan kepada para penduduk miskin di dusun-dusun! Tiap kali ia
melakukan pencurian dalam sebuah gedung hartawan, ia selalu meninggalkan tanda
gambar pedangnya hingga dalam waktu yang pendek ia sudah terkenal oleh karena tak pernah ia dapat ditangkap, berkat kepandaiannya yang amat tinggi. Ia lalu mendapat julukan Gin-kiam Gi-to, si Maling Budiman Berpedang Perak!
Demikianlah, dua tahun telah berlalu dengan cepatnya dan selama dua tahun itu, selain mendapatkan nama besar, ia dibenci oleh golongan yang dirugikan, dipuja-puja oleh golongan yang ditolongnya.
Dan sebagaimana telah dituturkan pada permulaan cerita ini, sebagaimana biasanya, setelah berhasil mencuri kantong besar uang perak dari gedung Thio Wan-gwe, seorang hartawan yang kaya raya, akan tetapi teramat kikirnya, Tan Hong lalu membagi-bagikan uang itu sampai habis kepada para penduduk dusun yang miskin. Kemudian, setelah
"pekerjaannya" itu beres, baru ia mencari tempat peristirahatan di dalam sebuah kuil rusak yang tiada penghuninya lagi.
*** Kota Wi-ciu di mana Thio Wan-gwe yang dijadikan korban oleh Tan Hong itu tinggal,
adalah sebuah kota besar yang cukup ramai, dan di kota itu banyak terdapat hartawan-hartawan besar.
Ketika Thio Wan-gwe mendapat giliran didatangi oleh si Maling Budiman, sebetulnya hartawan ini bukanlah merupakan korban pertama di kota itu. Sebelum Thio Wan-gwe, sudah ada dua orang hartawan lain yang disikat hartanya oleh Tan Hong, akan tetapi oleh karena kedua orang hartawan ini memang mempunyai hati dermawan dan dari
tanda gambar di dinding itu mereka tahu bahwa sedikit uang mereka yang dicuri oleh Maling Budiman itu yang akan dibagikan kepada orang-orang miskin, maka mereka
tidak mau membuat banyak ribut hingga orang-orang lain tidak mengetahuinya.
Akan tetapi, Thio Wan-gwe seorang hartawan yang sangat kikir. Maka, setelah orang mencuri dua kantong uang peraknya yang amat disayangi melebihi dari jiwanya sendiri, ia lalu melaporkan hal pencurian ini kepada pembesar setempat, bahkan lalu
mengumpulkan kaki tangan dan jago-jagonya untuk menyelidiki dan mencari maling
yang telah mencuri hartanya itu.
Pembesar setempat yang juga telah mendengar tentang sepak terjang Gin-kiam Gi-to, segera mengerahkan tenaga untuk berusaha menangkap maling terkenal ini, agar ia
dapat berbuat jasa besar dan dipuji oleh atasannya. Dan pada keesokan harinya setelah terjadi pencurian itu, ia mengumpulkan seluruh kepala penjaga dan jagoan-jagoan yang ada di kota Wi-ciu untuk berunding. Pembesar itu tidak hanya mendatangkan para
petugas, tapi juga mengundang para kauw-su (guru-guru silat), para piauwsu
(pengantar-pengantar barang) yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan To Tek Hosiang, ketua kuil Kim-ci-tang dipanggil juga, oleh karena semua orang tahu bahwa hwesio
(pendeta Agama Buddha) ini memiliki kepandaian tinggi.
"Cu-wi (tuan-tuan sekalian)," kata pembesar itu setelah semua orang berkumpul dan arak telah dihidangkan. "Kami mengumpulkan cu-wi di sini untuk bersama-sama
merundingkan soal pencurian-pencurian yang mulai merajalela di kota kita. Cu-wipun tentu maklum pula bahwa yang melakukan pencurian ini adalah Gin-kiam Gi-to yang
terkenal itu. Oleh karena dia sekarang telah berani mengacau dan menganggu
ketenteraman kota kita, maka sudah sewajarnya dan sudah menjadi kewajiban kita
untuk menangkapnya!"
Beberapa saat semua yang hadir diam saja. Bermacam-macam pikiran timbul di hati
masing-masing. Ada yang merasa sangsi dan takut menghadapi Maling Budiman yang
terkenal itu. Ada yang setuju dan ada pula yang kurang setuju. Akhirnya To Tek Hosiang berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang botak itu.
"Memang pendapat tai-jin ini benar. Dia harus dapat ditangkap untuk membersihkan
Wi-ciu daripada kekacauan dan kejahatan."
"Maafkan, tai-jin," kata seorang tinggi kurus, yakni ketua piauw-kiok (perusahaan pengawal barang antaran) di kota itu yang cukup terkenal dan bernama Kwee Seng.
"Menurut pendapatku, agaknya kurang sempurna kalau kita mengganggu maling luar
biasa ini. Siauwte (hamba) telah kenyang merantau dan bertemu dengan orang-orang
di dunia kangouw dan liok-lim (para perampok dan penjahat), dan karenanya siauwte mengerti bahwa di dunia liok-lim terdapat tiga macam atau tiga tingkat cara melakukan perampokan dan pencurian. Pertama, mencuri dan merampok bukan untuk diri pribadi
dan hasilnya diberikan kepada fakir miskin yang membutuhkan pertolongan. Kedua,
mencuri dan merampok semata-mata berdasarkan pekerjaannya oleh karena
perbuatan itu mereka anggap sebagai tugas pekerjaan. Ke tiga, mencuri untuk
mengumpulkan kekayaan dan mempersenang diri sendiri. Di antara ketiga tingkat ini, tingkat pertama dianggap sebagai sempurna dan bahkan dianggap sebagai perbuatan
terpuji dan yang sudah selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar! Demikianlah
anggapan kalangan liok-lim. Maka oleh karena Gin-kiam Gi-to ini sepanjang yang
siauwte dengar, selalu membagi-bagikan hasil pencuriannya kepada fakir miskin, dia termasuk golongan pertama yang dianggap oleh dunia kang-ouw sebagai seorang
pendekar yang bijaksana! Inilah sebabnya maka ia disebut Maling Budiman. Kalau
sekarang kita bertindak memusuhinya, apakah hal ini tidak akan mendatangkan musuh dari pihak liok-lim?"
Semua orang terdiam mendengar ucapan ini, akan tetapi To Tek Hosiang lalu berdiri dan berkata dengan suara nada tinggi, "Ucapan Lim-piauwsu memang ada betulnya,
akan tetapi pandangan ini tidak adil. Mungkin oleh karena pekerjaan Lim-piauwsu,
maka ia mengajukan alasan seperti itu. Menurut pendapat pinceng (aku) bahkan
sebaliknya. Biarpun Gin-kiam Gi-to seorang pendekar, akan tetapi ia harus memakai aturan juga. Kalau memang ia membutuhkan uang untuk menolong orang-orang lain,
mengapa ia harus mencuri di kota kita" Kalau dia memang mengerti aturan kang-ouw, mengapa ia memandang rendah kepada kita dan berbuat sesuka hatinya, seakan-akan
di kota ini tidak ada orang yang berani menentangnya" Dia mempunyai kewajiban
sebagai seorang Maling Budiman, akan tetapi kitapun mempunyai tugas sebagai
penduduk Wi-ciu dan sebagai orang-orang yang diharapkan oleh penduduk untuk
menolak datangnya bahaya kekacauan!"
Semua orang setuju dengan pendapat ini dan setelah mengadakan
perdebatanperdebatan dan perundingan yang cukup hangat, akhirnya diputuskan
untuk mengadakan penjagaan secara gotong-royong pada malam hari. Oleh karena di
antara semua orang di situ yang memiliki kepandaian tertinggi adalah To Tek Hosiang dan Lim-piauwsu, maka kedua orang ini diangkat menjadi kepala penjaga.
Pada siang hari itu juga banyak penyelidik disebar di sekeliling kota Wi-ciu untuk mencari jejak Maling Budiman itu. Dan pada malam harinya, penjagaan diatur dengan diamdiam hingga tidak kentara bahwa di atas wuwungan rumah para hartawan telah
diadakan penjagaan keras.
Menjelang tengah malam, Tan Hong kembali melakukan pekerjaannya. Tubuhnya
bergerak ringan dan gesit melalui genteng-genteng rumah dan ia berhenti di atas


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

genteng rumah Lie Wan-gwe yang tinggi. Setelah memandang ke sekeliling dan tak
melihat sesuatu yang mencurigakan, si Maling Budiman ini lalu melompat turun dengan gerakan melayang yang indah dan cepat.
Para penjaga yang berada di atas genteng Lie Wan-gwe kebetulan sekali adalah To Tek Hosiang sendiri dan beberapa orang pembantunya. Mereka telah melihat kedatangan
Maling Budiman, akan tetapi dari tempat persembunyiannya To Tek Hosiang memberi
tanda agar kawan-kawannya jangan bergerak dulu. Ia hendak menanti sampai maling
itu telah menyelesaikan pekerjaannya dan hendak dihadang ketika keluarnya dari
rumah yang menjadi sasarannya, agar mereka dapat menangkap basah maling itu!
Tak lama kemudian, Tan Hong telah berhasil mengambil uang perak sebanyak dua
kantong penuh dan dengan cepat ia melompat ke atas genteng kembali. Akan tetapi,
alangkah kagetnya ketika melihat betapa di atas genteng berdiri seorang hwesio gundul dan lima orang lain yang kesemuanya memegang sebatang pedang. Hwesio itu berdiri
memegang sebatang toya yang panjang dan berat.
"Ha, maling sombong! Kau menyerahlah agar pinceng tak usah mengotorkan tangan.
Dosamu telah bertumpuk-tumpuk dan sekarang sudah tiba waktunya bagimu untuk
menebus dosa itu. "
Tan Hong tersenyum dan menjawab, "Hwesio, mengurus dosamu sendiripun kau tak
sanggup, apapula mengurus dosa orang lain" Kalau kau memang hendak menangkapku,
lakukanlah jika kau berani."
Setelah berkata demikian, Tan Hong lalu melompat tinggi melewati kepala dua orang pembantu To Tek Hosiang dan langsung melompat ke wuwungan lain! Alangkah
terkejut dan kagumnya To Tek Hosiang melihat kepandaian loncat yang hebat ini, maka iapun segera mengejar sambil membentak, "Maling rendah, kau hendak lari ke mana?"
To Tek Hosiang adalah seorang tokoh dari Houw-san dan memiliki ilmu silat yang tinggi, maka ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya sudah cukup sempurna. Sekali tubuhnya melayang, ia cepat dapat mengejar Tan Hong dan mengirim serangan dari
belakang dengan toyanya!
Tan Hong mendengar desiran angin pukulan toya menyambar, akan tetapi ia tidak
menjadi gugup. Dengan memiringkan tubuh, ia dapat mengelak serangan ini dan
sebelum To Tek Hosiang dapat menyerang lagi, tubuh pemuda ini telah melayang lagi jauh sekali dan menghilang di dalam gelap.
To Tek Hosiang menghela napas dan memuji, "Sungguh hebat! Sayang orang sehebat
dia menjadi maling!"
Demikianlah, malam itu kembali Tan Hong berhasil mendapatkan dua kantong penuh
berisi uang perak dan langsung dibagi-bagikan secara diam-diam kepada orang-orang miskin yang tinggal di dalam gubuk tua, hingga untuk kesekian kalinya, pada malam hari itu terdapat satu orang yang merasa marah dan menyesal karena kehilangan banyak
uang, tapi terdapat puluhan orang lain yang mengucap syukur kepada Tuhan oleh
karena mereka mendapatkan uang perak secara tiba-tiba!
Setelah menyelesaikan pekerjaannya untuk malam itu, Tan Hong kembali ke kuil
tempat persembunyiannya untuk beristirahat. Sama sekali ia tidak menduga bahwa
tempat persembunyian ini telah diketahui oleh para penyelidik. Seperti biasa, setelah membuka kedoknya, ia lalu tidur dengan enak di atas lantai.
Matahari telah naik tinggi dan sinarnya memasiki ruang di mana Tan Hong tidur. Sinar matahari itu masuk dari jendela dan lambat laun bergerak naik hingga akhirnya sinar penuh itu menimpa muka Tan Hong. Panas matahari menyengat kulit muka Tan Hong
hingga pemuda itu terjaga dari tidurnya. Ia membuka matanya perlahan-lahan dan
alangkah kagetnya ketika melihat bahwa di dalam ruang itu terdapat orang-orang lain yang berdiri mengurungnya sambil menatap wajahnya dengan pandangan tajam.
Mereka itu tidak lain ialah To Tek Hosiang, Lim-piauwsu dan pembesar-pembesar lain kota Wi-ciu!
Semenjak tadi mereka mengurung kuil rusak itu, akan tetapi, oleh karena tidak terlihat Tan Hong muncul, mereka diam-diam lalu menghampiri dan mendapatkan pemuda
yang sedang tidur nyenyak itu diatas lantai!
Kawanan penjaga keamanan kota itu hendak maju menangkap, akan tetapi To Tek
Hosiang dan Lim-piauwsu mencegah mereka. Baik To Tek Hosiang maupun Lim-piauwsu
merasa heran dan juga terharu melihat keadaan pemuda yang menjadi maling itu.
Sungguh di luar dugaan bahwa maling besar yang tiap malamnya menggondol pergi dua kantong uang perak yang beratnya lebih dari lima ratus tail itu kini menggeletak tidur di atas lantai begitu saja dalam keadaan sangat sederhana, bahkan menyedihkan. Sebuah bantalpun ia tidak punya! Pakaiannya yang berwarna hitam itu telah usang, bahkan
telah banyak tambalan di sana-sini. Maling Budiman ini sama sekali tidak mempunyai bungkusan pakaian atau barang-barang lain kecuali pedangnya yang terselip di
pinggangnya. Keadaannya tiada ubahnya dengan seorang pengemis atau orang
terlantar. Tubuhnya kurus dan pada mukanya yang kurus dan tampan itu terdapat
garis-garis yang hanya terdapat pada muka orang yang telah banyak menderita
kesengsaraan hidup!
Keadaan ini meragukan hati To Tek Hosiang. Sebenarnya, mudah saja baginya dan bagi kawan-kawannya untuk menangkap dan mengikat maling yang sedang tidur itu, akan
tetapi tiba-tiba timbul rasa kasihan di dalam hatinya dan ia merasa malu untuk
menyerang seorang yang sedang tidur nyenyak!
Sebaliknya, ketika melihat betapa dirinya telah terkurung, Tan Hong tidak menjadi gugup atau bingung. Ia menggeliat dan menguap, lalu menatap wajah To Tek Hosiang
dengan tajam dan bibirnya tersenyum, akan tetapi sebagaimana biasa, senyumnya
tidak membayangkan kegembiraan hati.
"Hwesio, mengapa kau tidak lekas-lekas menangkapku selagi aku masih tidur tadi"
Sekarang setelah aku bangun kalian belum tentu dapat menawanku, bukankah itu
sayang sekali?" Tiba-tiba ia menyambar pedangnya dan melompat berdiri menghadapi
mereka dengan muka tenang dan tabah.
"Anak muda, kau masih begini muda dan memiliki kepandaian lumayan, mengapa kau
telah tersesat dan menjadi seorang siauw-jin (orang rendah)" Dan mengapa kau malam tadi begitu pengecut, hingga tidak sesuai dengan sikapmu sekarang yang pemberani?"
"Hwesio, dengarlah. Aku tidak tahu apakah artinya siauw-jin dan apa artinya kuncu (orang budiman) pada jaman seburuk ini! Kalau kau dan semua orang mau menyebutku
siauw-jin, biarlah, aku tidak merasa dirugikan. Dan kau anggap aku pengecut karena malam tadi aku tidak berani menghadapimu dan tidak melakukan perlawanan, bahkan
terus melarikan diri" Inilah sebabnya ; pertama-tama aku memegang teguh dan
memenuhi peraturan yang telah ada semenjak dunia berkembang, bahwa seorang
maling atau pencuri adalah seorang pengambil barang orang lain tanpa diketahui oleh orang itu dan seorang pencuri bukanlah seorang perampok yang mempergunakan
kekerasan. Pencuri hanya akan membela diri dan selalu mencari kesempatan pertama
untuk melarikan diri, oleh karena keperluanku hanya untuk mengambil barang dan
bukan untuk bertempur. Inilah sebab pertama, dan sebab ke dua ialah oleh karena
kalian ini bukan musuh-musuhku dan tidak pernah bermusuhan dengan aku, maka aku
tidak hendak bertempur dengan kalian!"
To Tek Hosiang menggeleng-gelengkan kepala. "Kau bicara seenakmu saja. Bukankah
kau yang disebut Gin-kiam Gi-to?"
Tan Hong mengangguk. "Itulah hadlah yang diberikan orang kepadaku."
"Nah, sekarang kaudengarlah nasehat dan turutlah demi kebaikanmu sendiri. Kami
takkan mengganggumu dan akan melupakan segala perbuatanmu yang telah mengacau
kota kami, asal saja kau suka berjanji bahwa mulai hari ini kau takkan melakukan
pekerjaan mencuri lagi. "
Tiba-tiba sepasang mata Tan Hong yang biasanya mengeluarkan pandangan acuh tak
acuh itu terkilatlah pandangan marah.
"Hwesio! Kau ini siapakah, maka berani melarang dan menentukan jalan hidupku" Kau mempunyai hak apakah maka berani melarangku mencuri?"
"Pinceng bukan orang luar biasa, hanya seorang hwesio sederhana yang bernama To
Tek Hosiang dan mengepalai kuil di Wi-ciu. Akan tetapi pinceng berhak memberi
nasehat kepada setiap orang yang berjalan sesat, sesuai dengan kedudukan pinceng
sebagai seorang pemeluk agama. Kau berjanjilah, dan kami semua akan
mengampunimu. Kalau tidak, terpaksa kami akan menangkapmu dan menyerahkan
kepada yang berwajib."
"To Tek Hosiang berkata benar, dan sudah sepatutnya kalau kau mendengar
nasehatnya," kata Lim-piauwsu dengan suara halus. "Aku adalah seorang piauwsu yang telah banyak bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh liok-lim, maka aku merasa
sayang sekali apabila seorang muda seperti kau ini menjadi seorang maling."
Tan Hong mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya, "Hm, hm, kata-kata usang
membosankan! Kalian semua menaruh kasihan kepadaku, tanpa sebab tertentu
menaruh perhatian besar akan nasibku, akan tetapi tengoklah!" Jari telunjuknya
menuding ke arah jauh, "Lihatlah mereka itu, rakyat miskin yang mati kelaparan, yang telanjang kedinginan! Mengapa kalian tidak mempergunakan rasa kasihan yang kalian tujukan kepadaku itu kepada mereka" Kalian pura-pura menjadi baik dengan memberi
nasehat-nasehat indah kepadaku, tapi pernahkah kalian memikirkan nasib mereka yang terlantar, nasib para jembel yang berkeliaran ke sana ke mari tanpa makan dan tanpa pakaian di luar kulit" Siapa sudi menerima nasehat-nasehatmu" Aku tetap hendak
menjadi pencuri, kalian mau apa?"
Mendengar ucapan sombong ini semua penjaga keamanan itu menjadi marah. Tiga
orang muda dengan pedang di tangan maju menubruk, akan tetapi sekali
menggerakkan kedua tangan dan kaki kirinya saja, sudah cukup membuat ketiganya
terjungkal! "Mundur semua, biar aku menangkap Gin-kiam Gi-to!" teriak To Tek Hosiang.
"Nanti dulu, losuhu, biarlah aku mencoba kepandaiannya dulu," kata Lim-piauwsu yang merasa kagum melihat gerakan Tan Hong dan timbul keinginan hatinya untuk menguji.
"Boleh, boleh, majulah!" Tan Hong menantang. "Siapa saja yang hendak menangkapku, majulah! Tapi ingat dan camkanlah bahwa bukan aku yang menghendaki permusuhan.
Aku Tan Hong hanya bertempur melawan kalian! Ayoh, siapa hendak menonjolkan
kepandaian, majulah!"
Melihat sikap dan ucapan anak muda yang gagah dan berani itu, semua orang merasa
tertegun dan sangsi. Hanya Lim-piauwsu dan To Tek Hosiang saja yang mempunyai
keinginan untuk mencoba kepandaian Maling Budiman ini dan kalau mungkin
menangkapnya. Lim-piauwsu lalu melangkah maju. Oleh karena ia mengingat akan pekerjaannya
sebagai pengantar dan pengawal barang berharga yang dikirim dan dipercayakan di
bawah penjagaannya, maka ia selalu berhati-hati dalam menghadapi seorang tokoh
dari golongan perampok maupun pencuri dan tak ingin mananam bibit permusuhan
yang hanya akan menimbulkan kesukaran dan rintangan bagi perusahaannya. Oleh
karena itulah, dalam menghadapi Tan Hong, ia sengaja tidak mengeluarkan senjatanya.
Melihat piauwsu itu maju tanpa membawa senjata, Tan Hong juga tidak mau
mengeluarkan senjatanya dan bersiap sedia sambil memasang kuda-kuda.
"Awas kepalanku, anak muda!" Lim-piauwsu mulai menyerang dengan gerak tipu Cio-
po-thian-keng atau Batu Meledak Langit Gempur, sebuah tipu pukulan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya hingga merupakan serangan berbahaya. Tan Hong melihat
gerakan ini maklum bahwa lawannya bukanlah orang sembarangan, maka ia tidak
berani menangkis, hanya mengelak ke samping mempergunakan kelincahan tubuhnya,
lalu membarengi dengan serangan balasan yang dilakukan dengan tangan miring, yakni dengan gerak tipu Puja Kwan Im Dengan Tangan Miring (Heng-pai Kwan-im).
Serangannya ini tidak kalah hebatnya, akan tetapi oleh karena maksud dari Lim-
piauwsu memang hendak menguji kekuatan dan kepandaian Tan Hong, piauwsu itu
tidak mengelak, bahkan menggunakan tangannya menangkis. Dua buah tangan beradu
dan bukan main terkejutnya Lim-piauwsu ketika pukulan yang tertangkis itu demikian berat dan kuatnya hingga pasangan kuda-kuda kakinya menjadi teranjak mundur
sampai tiga langkah!
Lim-piauwsu yang telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran dengan
tokohtokoh berilmu tinggi, maklum bahwa tenaga lwekang anak muda ini lebih tinggi daripada tenaganya sendiri maka ia lalu mengeluarkan ilmu silat Ho-kun (Ilmu Silat Burung Ho) yang menjadi ilmu kebanggaannya. Gerakannya menjadi lincah, kedua
tangannya berkembang merupakan umpan, akan tetapi kalau umpan ini dimasuki
lawan, kedua kepalan tangan yang dipentang itu akan melancarkan serangan dari kanan kiri yang sukar ditangkis atau dihindari. Tan Hong telah mengalami gemblengan hebat dari Cin Cin Tojin, dan ilmu silatnya telah mencapai tingkat yang tinggi, maka
pertunjukan ilmu silat Ho-kun yang dikeluarkan oleh Lim-piauwsu ini sama sekali tak membingungkannya. Dengan tiba-tiba pemuda ini merobah gerakannya dan kini ia
memainkan ilmu Silat Rajawali Sakti yang mempunyai gerakan lebih cepat lagi,
menyambar-nyambar dari atas sambil mempergunakan gerakan ginkang yang tinggi
hingga dalam waktu yang singkat Lim-piauwsu telah terdesak sekali.
Belum ada empat puluh jurus, mereka bertempur Lim-piauwsu telah terdesak tanpa
dapat membalas hingga diam-diam piauwsu ini heran dan kagum sekali karena belum
pernah ia menghadapi lawan yang dapat membuatnya tidak berdaya dalam
pertempuran sedemikian pendek! Ia lalu melompat ke belakang sambil berseru, "Hebat sekali!"
Tan Hong tidak mengejar, hanya berdiri menghadapi semua orang dengan sikap
waspada. Ia tak hendak mendesak lawan, dan hanya akan melawan mati-matian
apabila dia sendiri yang terdesak.
To Tek Hosiang maju sambil melintangkan toyanya. "Maling muda, benar-benar kau
tidak mau menyerah dan menurut nasehatku?"
"Hwesio, kaumajulah. Aku Tan Hong sekali mengeluarkan ucapan, hanya akan dapat
dirobah setelah aku menggeletak tak berdaya!"
"Anak sombong! Keluarkan senjatamu!"
Tan Hong maklum bahwa hwesio itu tentu memiliki kepandaian tinggi, maka tanpa
ragu-ragu lagi, iapun lalu menghunus pedangnya dan semua orang terpesona melihat
pedang yang putih berkilauan karena tajamnya. Inilah Gin-kiam atau Pedang Perak yang telah amat terkenal. Gagang pedang itu terbuat seluruhnya daripada perak putih
berkilat dan di ujung gagangnya digantungi rambu-rambu merah.
Setelah melihat pemuda itu mengeluarkan pedangnya, To Tek Hosiang lalu menyerang
dengan toyanya sambil berseru keras, "Lihat toya!"
Tan Hong berlaku waspada dan tenang. Dari sambaran angin senjata toya itu, ia dapat menduga bahwa To Tek Hosiang memiliki tenaga lwekang yang tak boleh dipandang
ringan, maka cepat ia mengelak sambil melompat ke kiri. Akan tetapi gerakan To Tek Hosiang benar-benar cepat. Biarpun serangannya yang ditujukan ke arah dada
lawannya itu dapat dielakkan, namun toyanya diteruskan dari samping dan merupakan sapuan ke arah kaki Tan Hong dengan cepat dan kuat! Tan Hong juga memperlihatkan
ketangkasan dan kecepatannya. Dengan satu gerakan ia berhasil melompat ke atas dan menghindarkan diri dari sambaran toya. Sebelum tubuhnya turun kembali, Tan Hong
membarengi dengan tusukan pedangnya ke arah tenggorokan lawan dalam gerak tipu
Elang Merah Meyambar Kelinci.
To Tek Hosiang juga cepat menangkis lalu menyerang kembali. Hwesio ini memiliki ilmu toya yang luar biasa sekali dan belum pernah ia dikalahkan orang selama ia menjagoi di daerah timur waktu mudanya. Maka bukan kepalang herannya ketika ia melihat betapa pemuda ini dapat menghadapinya dengan baik, bahkan dapat mengimbangi serangan-serangannya.
Orang-orang yang menonton pertempuran ini menahan napas. Tubuh Tan Hong yang
berpakaian warna hitam telah lenyap dan hanya nampak bayangan hitam saja
berpusing-pusing diliputi sinar pedang yang putih gemilang. Sebaliknya, sinar toya To Tek Hosiang memanjang dan menderu mengeluarkan angin bagaikan gelombang
dahsyat menyambar-nyambar.
Kalau hendak diukur kepandaian mereka, memang sukar dipastikan mana yang lebih
unggul, karena cabang persilatan mereka memang berlainan. Masing-masing
mempunyai gerak dan tipu tersendiri dan memiliki keistimewaan masing-masing pula.
Tentu saja, Tan Hong kalah pengalaman dan kalah latihan. Sebaliknya, jelas nampak dari gerakan tubuh mereka bahwa Tan Hong masih menang dalam hal ginkang, sedangkan
tenaga mereka agaknya berimbang.
Sudah diakui oleh seluruh kaum persilatan bahwa pedang yang baik adalah raja sekalian senjata, oleh karena pedang ini tidak berat dan cukup panjang sedangkan bagi seorang ahli apabila pedang telah berada di tangan, maka pedang itu seakan-akan telah
berubah menjadi anggauta tubuh yang bergerak sekehendak hatinya.
Kini kedua orang ini bertempur mati-matian dan oleh karena kepandaian mereka
berimbang, maka Tan Hong yang memegang pedang mendapat keuntungan dari
perbedaan senjata ini. To Tek Hosiang memainkan sebuah toya yang besar dan berat, oleh karena itu ia memerlukan tenaga yang lebih besar. Ditambah pula usianya yang sudah lanjut, maka setelah bertempur seratus jurus lebih, hwesio itu mulai merasa lelah dan peluh mulai keluar dari keningnya. Sebaliknya Tan Hong masih segar bugar dan serangan-serangannya makin gencar dan rapat.
Karena merasa bahwa makin lama makin lemah, To Tek Hosiang lalu mengeluarkan
kepandaiannya yang paling hebat. Ia menerjang sambil menggeram keras dan tiba-tiba diputarnya toyanya dari kanan ke kiri menerjang leher Tan Hong. Akan tetapi, sambaran toyanya ini di kuti oleh gerakan membalikkan toya dan kini dengan gagang toya, hwesio itu menotok ke arah ulu hati Tan Hong dengan kecepatan luar biasa! Inilah gerakan Bintang Api Jatuh dari Langit yang berbahaya sekali oleh karena sodokan ini
sesungguhnya dilakukan di luar dugaan lawan yang hanya menjaga datangnya serangan pertama yang nampaknya lebih berbahaya.
Akan tetapi Tan Hong yang selalu berlaku hati-hati dan tidak mau memandang rendah setiap gerakan lawan, cepat menjaga dadanya dengan gerakan Seng-siok-hut-si atau
Musim Panas Kebut Kipas. Pedangnya berputar-putar menjadi sinar bundar di depan
dada dan ujung toya To Tek Hosiang terpukul ke samping. Saat itu digunakan oleh Tan Hong untuk mengirim pukulan kilat dengan tangan kiri ke arah dada lawannya! To Tek Hosiang masih sempat memiringkan tubuhnya, akan tetapi pukulan itu masih saja
mengenai pundaknya. Tubuh hwesio itu mundur ke belakang untuk mempertahankan
dirinya agar tidak sampai roboh dan melangkah cepat ke belakang lima langkah lebih!
Dengan wajah merah karena malu, To Tek Hosiang lalu berkata, "Gin-kiam Gi-to!
Memang kau gagah perkasa dan hebat. Baiklah, kali ini pinceng mengaku telah berlaku kurang hati-hati, hingga dapat kaukalahkan. Akan tetapi, apabila benar-benar kau
seorang pendekar sejati, pinceng undang kau datang pada tanggal lima belas bulan
depan untuk minta pengajaran sekali lagi!"
"To Tek Hosiang, biarpun kau ini sudah tua, akan tetapi hatimu masih muda dan
bersemangat!" jawab Tan Hong. "Baiklah, kalau kau masih ada keinginan untuk main-
main lagi dengan aku, pada hari itu aku akan datang mengunjungi kelentengmu."
Biarpun di luarnya tampak berseri, akan tetapi di dalam hatinya To Tek Hosiang merasa marah serta malu yang tiada terperikan. Dia adalah seorang tokoh Houw-san, yang
sudah ulung dan sangat dikenal orang sebagai seorang ahli silat kalangan tinggi yang jarang mendapat tandingan, akan tetapi sekarang ternyata dia tidak berhasil
menangkap seorang maling yang masih demikian muda, bahkan ia dapat dikalahkan!
Kalau hal ini terjadi di luar setahu orang lain, masih belum apa-apa, akan tetapi di situ terdapat banyak saksi di antaranya Lim-piauwsu sendiri. Ini adalah suatu hal yang sungguh-sungguh memalukan.
Maka setelah mendengar jawaban Tan Hong, hwesio ini lalu melangkah lebar
meninggalkan tempat itu. Juga Tan Hong lalu menjura kepada semua orang dan
kemudian tubuhnya melayang ke atas genteng dan lenyap dari pandangan! Lim-
piauwsu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sungguh istimewa dan luar biasa! Jarang bisa menemukan seorang pemuda yang
memiliki kepandaian sehebat itu. Mudah-mudahan saja dia pergi meninggalkan kota
kita dan jangan mengganggu lagi di sini."
Dan kata-katanya ini memang benar, oleh karena Tan Hong yang menganggap bahwa
setelah dirinya dimusuhi oleh para pendekar di kota Wi-ciu, merasa bahwa sudah tiba waktunya untuk pindah ke kota lain. Ia tidak ingin menanam bibit permusuhan yang
makin mendalam di hati para pendekar itu.
*** Ketika dalam perantauannya Tan Hong tiba di kota Biauw-men, ia mendengar betapa
dalam sebuah dusun berjangkit penyakit menular yang berbahaya. Banyak penduduk
mati karena penyakit ini dan masih banyak pula yang rebah tak berdaya, menanti
datangnya maut.
Tan Hong yang biasanya hanya menolong orang dengan membagi-bagikan uang hasil
curiannya, kini melihat malapetaka yang menimpa dusun itu, menjadi bingung. Apakah yang bisa ia lakukan untuk menolong mereka selain memberi uang seperti biasa" Orang kena penyakit tidak hanya membutuhkan uang, tapi juga membutuhkan pengobatan!
Oleh karena inilah, maka pada suatu malam, ketika ia sedang mencari-cari gedung
mana yang hendak dijadikan korban, ia berdiri termangu di atas genteng sebuah rumah yang cukup tinggi dan besar. Di depan rumah ini terdapat merk yang ditulis dengan huruf besar dan menyatakan bahwa itu adalah sebuah toko obat. Melihat besarnya
rumah itu, dapat diduga bahwa pemilik toko itu tentulah seorang yang kaya raya pula.
Maka Tan Hong lalu mengambil keputusan untuk menjadikan rumah ini korbannya. Kali ini ia tidak hanya hendak mencuri uang, akan tetapi juga hendak mengambil obat-obatan sebanyak mungkin untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang dusun yang
sedang ditimpa bencana itu!
Dengan mudah ia melompat turun ke dalam rumah itu. Ketika ia sedang menghampiri
sebuah jendela kamar yang masih terang, tiba-tiba ia merasa pundaknya seperti
ditepuk orang! Tan Hong cepat membalikkan tubuh dan bersiap sedia, akan tetapi
aneh, ia tidak melihat apaapa! Boleh jadi hanya angina yang meniup dari belakang, pikirnya. Ia lalu menghampiri jendela itu dan pada saat itu ia mendengar suara orang berpantun dari dalam kamar. Hatinya merasa heran karena siapakah orangnya yang
masih berpantun seorang diri pada tengah malam ini"
Ketika ia mengintai ke dalam kamar, terlihat olehnya seorang laki-laki tua berpakaian seperti seorang sasterawan atau yang juga biasa dipakai oleh ahli-ahli obat sedang duduk pada sebuah kursi yang dapat digoyang-goyangkan ke depan dan ke belakang.
Orang itu duduk dengan enaknya, tangan kanannya memegang sebuah buku yang
sedang dibacanya, dan tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja untuk memberi irama
pada ucapan pantunnya. Kemudian orang itu berhenti membaca kitab kuno itu dan
menguap, lalu berkata seorang diri, cukup keras hingga terdengar juga oleh Tan Hong.
"Segala macam penyakit timbul, obat-obat yang dibutuhkan hingga membikin kaya
orang dagang obat saja! Sesudah sakit mencari obat, sebelum sakit tak mau menjaga diri, diobati juga apa artinya" Lebih baik menjaga diri sebelum sakit, ini sama
sempurnanya dengan berpikir masak dulu sebelum berbuat!"
Setelah berkata demikian, orang tua itu meniup api lilin di atas meja hingga kamarnya menjadi gelap dan terdengarlah suara di pembaringan dijatuhi tubuh orang.
Diam-diam Tan Hong mengakui kebenaran ucapan tukang obat itu dan iapun pernah
mendengar pernyataan suhunya, Cin Cin Tojin, bahwa segala macam penyakit
datangnya tidak lain ialah dari mulut. Kalau orang dapat menjaga baik-baik dan memilih dengan teliti barang apa yang hendak dimasukkan ke dalam mulut, dan menjaga
dengan teliti pula, suara apa yang hendak dikeluarkan oleh mulut, orang demikian itu akan selamat dan bahagia selama hidupnya!
Kemudian Tan Hong teringat akan maksud kedatangannya. Ia tersenyum geli, karena
tukang obat itu benar-benar telah membuat ia termenung dan hampir lupa akan
maksud kedatangannya. Ia lalu mencari-cari dan memasuki toko dari atas genteng.
Ternyata di situ tidak terdapat banyak uang hingga ia hanya mendapatkan paling
banyak lima puluh tail perak yang berada di laci meja toko. Uang ini ia keduk semua dan dimasukkan ke dalam sebuah kantong yang memang selalu ia bawa. Ia lalu mulai
mencari-cari obat apa yang harus diambilnya" Di situ terdapat beratus-ratus macam obat yang berupa akar, daun-daunan, buahbuahan, kembang-kembang kering, malah
banyak pula terlihat binatang-binatang kecil yang sudah kering seperti cecak, kodok dan binatangbinatang lain lagi yang sudah dikeringkan. Tan Hong benar-benar menjadi
bingung karena ia tidak tahu harus mengambil yang mana. Ia lalu teringat akan obat jin-som, semacam akar yang amat mahal karena sukar di dapat dan yang terkenal sebagai raja obat dan kabarnya dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Maka ia mulai
mencari-cari dan menggeledah semua lemari dan meja dagangan. Akhirnya dapat juga
ia menemukan seperti kecil akar yang bentuknya seperti jin-som yang pernah
dilihatnya. Tanpa banyak pikir lagi ia memindahkan semua benda ini dari dalam peti ke dalam kantongnya.
Setelah itu, ia lalu keluar dari toko itu dan melompat naik ke atas genteng. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika melihat bahwa di atas genteng telah menanti seorang
berpakaian serba hitam pula, berdiri dengan tegap, tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang tajam!
"Maling hina dina! Sudah puaskah kau dengan hasil-hasil curianmu?" Orang itu
membentak dan Tan Hong merasa makin heran dan kaget karena setelah bersuara
orang itu dapat dikenal bahwa ia adalah seorang gadis muda!
Tan Hong merasa maludan tak perlu melayani gadis itu lebih lama, maka ia lalu
melompat ke wuwungan lain dengan cepat. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia mendengar sambaran angina dan tahu-tahu gadis itu sudah mengejar dan menghadang


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula di depannya! Mungkinkah gadis ini memiliki kepandaian ginkang sedemikian
tingginya" Tan Hong lalu memandang dengan penuh perhatian dan pada saat ia
menatap wajah gadis itu, terjadi sesuatu dalam dada kirinya. Jantungnya seakan-akan berhenti berdetak dan kedua matanya memandang kagum. Dalam pandangannya,
gadis itu sangat cantik jelita, dan gagah pula!
"Maling hina! Kaukira akan dapat melarikan diri dariku" Kembalikan dulu uang dan obat yang kaucuri dari tokoku, baru aku akan pikir-pikir apakah kau dapat diampuni atau tidak!"
Tan Hong merasa mendongkol juga mendengar kesombongan ini, pula ia memang
sangat tertarik dan ingin menguji sampai di mana ketinggian ilmu pedang nona cantik ini. Maka ia lalu menggerakkan tangan kanannya ke pundak untuk mencabut keluar gin-kiam atau Pedang Peraknya. Akan tetapi, tiba-tiba ia menjadi pucat oleh karena
pedangnya itu telah lenyap dari sarungnya! Ia teringat akan tepukan yang terasa pada pundaknya tadi, maka cepat ia memandang kepada gadis itu dengan tajam. Gadis inikah yang mempermainkannya dan yang telah mencuri pedangnya" Sampai demikian
tinggikah ilmu ginkangnya hingga dapat mencuri pedang dari pundaknya tanpa
diketahuinya"
Sementara itu, gadis berbaju hitam itu membentak, "Kau hendak melawanku" Cabutlah senjatamu dan rasailah gempuranku!" Ketika melihat bahwa Tan Hong tak
mengeluarkan senjata, gadis itu segera memasukkan pedangnya di sarung pedang yang tergantung di pinggangnya, lalu berkata, "Kau tidak memiliki senjata" Baiklah, kau lihat!
Untuk menghadapi seorang maling semacam kau saja aku tak perlu mempergunakan
senjata!" Mendengar ucapan ini tahulah Tan Hong bahwa yang mencuri pedangnya bukanlah
nona ini, maka ia makin terkejut oleh karena tak pernah dalam sangkaannya bahwa di rumah obat itu terdapat demikian banyak orang pandai. Baru nona ini saja sudah
memiliki kegesitan yang mengagumkan, apalagi pencuri pedangnya tadi! Ia makin
tertarik dan hendak mengenal nona ini lebih dekat lagi.
"Maaf, nona. Aku tidak menyangka bahwa kau adalah pemilik obat itu. Akan tetapi
dengarlah, biarpun andaikata aku tahu, tetap aku hendak mengambil obat dan uang ini untuk keperluan penduduk di dusun sebelah barat yang sedang menderita sakit itu.
Kalau kau rela memberikan, terima kasih. Sebaliknya kalau kau hendak memaksa aku
mengembalikan obat dan uang yang sudah kucuri ini, jangan kauharapkan?"
"Maling, kalau begitu aku harus mengambilnya sendiri!" Setelah berkata demikian,
nona itu maju menyerang dengan sengitnya.
Kembali Tan Hong dibuat kagum dan heran melihat gerakan gadis ini, karena
pukulannya benar-benar mempunyai isi tenaga lwekang yang hebat dan kegesitannya
mengagumkan pula. Ia cepat berkelit dan oleh karena tangan kirinya memanggul
kantong maka gerakannya menjadi kurang leluasa. Ia lalu menurunkan kantong itu di atas genteng, lalu maju lagi dan kini ia dapat mengimbangi kegesitan gadis itu. Setelah bertempur agak lama, maka kekaguman Tan Hong meningkat karena ternyata bahwa
gadis itu benar-benar lincah sekali. Gerakannya gesit dan tenaganya cukup
mengagetkan, bahkan gerakangerakannya tidak banyak bedanya dengan ilmu silatnya
sendiri! Berkali-kali ia terdesak karena ia berkelahi dengan setengah hati sebab ia kuatir kalau-kalau melukai kulit yang halus itu, sebaliknya gadis itu berkelahi dengan
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Tan Hong makin tertarik dan kagum. Ia menahan sebuah serangan dengan kebutan
tangannya, lalu berkata, "Nona, tahan dulu!"
Gadis itu berdiri sambil bertolak-pinggang. "Eh, maling kecil, mengapa kau menahan gerakanku?"
"Nanti dulu nona. Ilmu silatmu sangat tinggi. Sebenarnya siapakah kau ini?"
Jilid 02 ... "Kurang ajar! Apakah kaukira kau cukup berharga untuk berkenalan dengan aku" Aku
tidak sudi berkenalan dengan segala maling! Sekarang rasakanlah kehebatan
pedangku!" Sambil berkata begitu, nona itu lalu mencabut pedangnya dan mengirim
serangan hebat, lupa akan ucapannya tadi yang memandang rendah Tan Hong karena
sekarang iapun maklum bahwa maling kecil ini mempunyai kepandaian tinggi dan amat tangguh!
Kini Tan Hong yang sibuk mengelak ke sana ke mari karena ilmu pedang nona itu benar-benar luar biasa dan jauh lebih hebat daripada sekalian lawan yang pernah
dijumpainya! Ia tahu bahwa kalau ia bertahan terus, ia tentu akan roboh, maka apa boleh buat, ia mengambil keputusan hendak lari!
Pada saat itu, terdengar suara orang, "Lan-ji, jangan kau menyerang orang yang
bertangan kosong dengan mempergunakan senjata!"
Gadis itu melompat mundur dengan muka malu, sementara itu Tan Hong diam-diam
memuji kehebatan orang yang baru datang itu, karena ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya!
"He, anak muda, bukankah kau Gin-kiam Gi-to?" tiba-tiba orang yang baru datang itu bertanya.
Tan Hong membalikkan tubuh dan memandang. Ternyata orang itu adalah seorang tua
dan ketika ia melihat lebih teliti, alangkah heran dan terkejutnya karena orang ini tidak lain adalah orang tua yang berpantun di dalam kamar tadi! Bajunya masih baju
sasterawan yang lebar dan besar itu dan lagaknya masih lemah lembut seperti seorang sasterawan tulen. Dan yang membuatnya makin terkejut lagi adalah ketika ia melihat bahwa tangan orang itu memegang sebatang pedang yang tidak lain adalah pedangnya
sendiri yang dicuri orang tadi!
Tan Hong tidak berani berlaku sembrono karena maklum bahwa ia menghadapi seorang
tokoh yang berilmu tinggi, maka ia lalu memberi hormat dan berkata, "Siauwte yang rendah dan bodoh dengan tak sengaja telah mengganggu cianpwee, kini tak lain hanya menanti jatuhnya hukuman!"
"Ha, ha, ha, anak muda. Kau terlalu merendah. Setelah dapat menghadapi anakku
sampai sekian lamanya, boleh diukur ketinggian ilmu silatmu. Nah, ini terimalah
pedangmu kembali dan coba kauhadapi ilmu pedang anakku, hendak kulihat sampai di
mana kehebatan Gin-kiam Gi-to!" Setelah berkata demikian, orang tua itu
menggerakkan jari-jari tangannya dan tahu-tahu pedang Tang Hong sudah melayang
terus meluncur ke arah dada pemuda itu! Tan Hong tahu bahwa orang sedang menguji
kepandaiannya, maka ia lalu mengulurkan tangan kanan sambil merendahkan diri dan
berhasil menyambut gagang pedangnya sendiri yang hendak makan tuan! Ia merasa
betapa besar tenaga sentilan jari itu dan makin kagumlah dia!
"Lan-ji, sekarang seranglah lawanmu ini. Tapi berhati-hatilah, kalau tidak kau akan kalah!"
Panas hati gadis itu mendengar kata-kata pujian ayahnya terhadap maling itu, maka ia lalu maju menerjang dengan pedangnya. Sinar pedangnya berkelip-kelip bagaikan
bintang berpindah di angkasa hingga Tan Hong terpaksa menggunakan pedangnya
menangkis. Bunga api memancar keluar dari perbenturan kedua senjata tajam itu.
Tak lama kemudian kedua orang muda-mudi itu telah bertempur dengan hebat sekali.
Keduanya sama kuat dan sama gesit, bahkan ilmu pedang mereka mempunyai gerakan-
gerakan yang banyak persamaannya. Tan Hong makin kagum dan gadis itupun kini tahu akan kehebatan Tan Hong hingga ia tidak berani memandang rendah lagi. Setelah
bertempur sampai seratus jurus lebih, tanpa ada yang terdesak, tiba-tiba tukang obat itu berseru, "Sudah cukup, tahan!"
Kedua anak muda itupun menaati perintah ini.
Tan Hong terkejut sekali karena tadipun ia melihat betapa gerakan pedang gadis itu mempunyai dasar-dasar yang sama dengan ilmu pedangnya sendiri, yakni Bok-san
Kiamhwat. Ia lalu menundukkan kepalanya lagi dengan penuh hormat dan berkata, "Benar,
siauwte yang bodoh adalah murid Cin Cin Tojin. Mohon maaf bahwa siauwte tidak
mengenal locianpwe. "
"Ha, ha, ha, anak muda. Memang, kalau belum bertempur, takkan mengenal orangnya
sendiri. Cin Cin Tojin adalah suhengku."
Bukan main terperanjatnya Tan Hong mendengar bahwa gurunya masih kakak
seperguruan orang tua ini. Ia teringat akan penuturan suhunya bahwa suhunya
mempunyai seorang sute, adik seperguruan yang berilmu tinggi, bahkan yang menurut pengakuan suhunya memiliki kepandaian di atas suhunya sendiri.
Segera Tan Hong menjatuhkan diri berlutut, "Ampunkan teecu, bukankah susiok ini
yang bernama Lo Cin Ki dan terkenal dengan nama Jian-jiauw-sin-eng (Garuda Sakti
Berkuku Seribu)?"
Kakek itu tertawa lagi terbahak-bahak, "Benar, akulah orang she Lo itu, bagaimana dengan suhumu" Dan siapakah namamu, anak muda?"
"Teecu bernama Tan Hong." Kemudian ia menuturkan keadaan suhunya ketika ia turun
gunung, menceritakan bahwa suhunya kini telah menghentikan kebiasaannya merantau
dan menetap di puncak Bukit Kwi-hong-san untuk bertapa.
Si Garuda Sakti menghela napas. "Pekerjaanmu ini baik juga, akan tetapi berbahaya.
Baiklah aku tak usah ikut campur dengan pekerjaan yang telah kau pilih dan kauanggap baik itu. Bagiku segala perbuatan itu baik saja, asal ditujukan untuk kebaikan. Kau telah mengambil obat yang keliru dan kalau kau menghendaki obat untuk menolong
penduduk di Cin-tong, pergunakanlah obat ini!"
Lo Cin Ki lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Tan Hong. Dengan muka merah karena malu, Tan Hong
menerima obat itu dan ia tidak berani membawa kantong-kantongnya. Akan tetapi,
susioknya hanya mengambil kembali jin-som yang tidak perlu dibawa itu dan
menambahkan obat dan uang seratus tail lagi sambil berkata, "Terus terang saja, kami bukanlah orang kaya yang dapat menyumbangkan uang. Akan tetapi, biarlah dengan
sedikit uang ini aku dapat membantu melancarkan pekerjaanmu itu!"
Bukan main rasa malunya Tan Hong, karena susioknya itu berkata dengan setulus ikhlas hati. Ia menerima pemberian itu dan setelah menghaturkan terima kasih, ia lalu berdiri dan memberi hormat kepada gadis tadi, "Mohon dimaafkan kekasaranku."
Gadis itu memandang dengan masih marah, akan tetapi ayahnya berkata, "Siok Lan,
kau harus memberi hormat kepada suhengmu ini!" Terpaksa Siok Lan menjura pula,
tapi tak berkata sesuatu. Hatinya masih mendongkol dan panas, dan ia merasa malu
mempunyai seorang suheng pemaling!
Tan Hong dapat menyelami perasaan gadis itu, maka dengan hati berat dan menyesal ia lalu melompat pergi untuk menjalankan kebiasaannya membagi-bagi uang dan juga
obat yang didapatnya dari susioknya itu.
Seperti biasa, setelah membagi-bagikan hasil curiannya Tan Hong lalu pergi ke sebuah tempat yang sunyi untuk beristirahat. Akan tetapi kalau biasanya ia terus merebahkan diri di mana saja untuk tidur setelah bekerja semalam suntuk, kali ini ia tidak dapat tidur. Ia duduk di bawah sebatang pohon besar karena tak bisa mendapatkan kuil atau gubuk kosong, maka ia duduk saja sambil melamun! Bayangan nona Lo Siok Lan yang
cantik jelita dan gagah itu tak pernah meninggalkan ruang matanya. Ia amat tertarik kepada gadis itu tiada habisnya ia mengaguminya. Akan tetapi, ia masih merasa sakit hati, apabila teringat olehnya ucapanucapan dan pandangan mata gadis itu yang
ditujukan kepadanya dengan secara sangat menghina. Siok Lan yang menarik hati dan yang dikaguminya itu memandang amat rendah kepadanya!
Tan Hong lalu teringat akan keadaan dirinya sendiri. Siapa orangnya yang takkan
memandang rendah dan menghinanya" Lihat saja keadaan tubuhnya yang kurus kering
tak terawat dan pakaiannya yang kotor lagi usang serta penuh tambalan itu! Pemuda apakah dia ini" Dan ia adalah seorang maling pula. Takkan ada orang yang tidak akan menghina dan memandang rendah padanya karena ia seorang pencuri atau pemaling,
biar maling budiman sekalipun! Tan Hong teringat kepada orang tuanya yang meninggal dalam keadaan sangat menyedihkan. Hatinya terharu. Ah, betapapun juga ia tak dapat melepaskan diri dari ikatan pekerjaan yang sudah menjadi idaman hatinya, yakni
menolong mereka yang kelaparan. Ia tak dapat melupakan keadaan keluarganya, tak
dapat melupakan kesengsaraan dan penderitaannya ketika ia kelaparan dulu! Tak dapat ia melupakan kekejaman dan kekikiran kepala kampung she Thio dulu! Orang-orang
hartawan yang menumpuk makanan dan uang itu tak mau mengulurkan tangan kepada
fakir miskin. Baik, ia akan mengambil makanan dan uang itu dengan jalan mencuri dan setelah itu membagikannya kepada mereka yang kelaparan! Biarlah, ia tidak
memperdulikan keadaan sendiri asal ia dapat menolong orangorang yang kini
menderita sebagaimana yang telah dideritanya dulu, mereka yang terancam bahaya
maut kelaparan, maut yang mengambil jiwa kedua orang tuanya dulu!
Akan tetapi, kembali bayangan Siok Lan yang manis dengan pandangan mata menghina
itu terbayang di depan matanya dan tiba-tiba Tan Hong merasa lemah dan bersedih
hati. Ia lalu menundukkan muka dan menyembunyikan kepalanya di dalam pelukan
kedua tangannya yang memeluk lutut. Disandarkannya punggungnya pada batang
pohon besar itu dan akhirnya dapat juga ia tertidur dalam keadaan duduk!
Tiongkok selatan masih terus dilanda banjir hingga persediaan bahan makanan rakyat makin menipis dan kesensaraan makin memuncak. Di mana-mana bahaya kelaparan
mengamuk dan merajalela hingga jumlah korban yang tewas akibat kelaparan makin
banyak. Tentu saja, bahaya kelaparan itu tidak dapat mempengaruhi atau mengganggu
kesenangan hidup para hartawan dan pembesar yang telah mempunyai persediaan
bahan makanan bertumpul-tumpuk di dalam gedung-gedung mereka yang besar.
Bahkan, keadaan ini menguntungkan bagi mereka, mendatangkan keuntungan yang
bukan sedikit! Kalau dulu mereka membeli bahan makanan yang kini ditumpuk itu
dengan harga murah, kini mereka dapat menjualnya dengan harga puluhan kali lipat
daripada harga pembelian. Tidak ada perdagangan yang lebih menguntungkan daripada menumpuk dan menyimpan bahan makanan ini! Mudah dan mendatangkan untung
besar. Syaratnya hanya modal uang besar dan gudang yang luas! Datangnya setan
kelaparan yang merupakan bahaya maut bagi ratusan ribu rakyat miskin ini, bagi para hartawan yang kikir dan licin itu merupakan datangnya dewa-dewa rejeki yang sekali pukul dapat memperlipat-gandakan kekayaan mereka! Dan untuk menutupi kejahatan
yang bagi mereka bukan merupakan kejahatan, akan tetapi yang mereka dengungkan
sebagai hasil kecerdikan dan kepandaian dagang mereka itu, mereka sengaja memberi sekedar hadlah kepada para handai-taulan yang sebetulnya tak memerlukan
sumbangan oleh karena keadaan mereka tak begitu mengkhawatirkan. Sumbangan ini
hanya untuk mempropagandakan bahwa mereka adalah orang-orang dermawan besar!
Bahkan, banyak kota-kota besar mendirikan sebuah panitia penolong korban banjir
yang terdiri daripada orang-orang kaya dan pembesar-pembesar. Mereka mencari
sumbangansumbangan daripada hartawan yang ingin "mendapatkan nama" ini,
menuliskan nama para hartawan pada papan di depan gedung panitia agar diketahui
oleh umum. Kepalsuan yang menjemukan ini masih belum seberapa hebat, yang lebih
celaka lagi ialah bahwa pendapatan hasil sumbangan yang berupa uang dan bahan
makanan ini sebagian besar "tersesat" dan "salah jalan" masuk ke dalam kantong-
kantong para pengurusnya! Dan bagian yang sangat kecil itu barulah diberikan kepada korban-korban banjir menurut pilihan para pengurus panitia sendiri yang tentu saja mengadakan pilihan sesuka hatinya, berdasarkan sesuatu yang mereka anggap
menguntungkan mereka pula! Maka, bukan hal yang dilebih-lebihkan atau isapan
jempol belaka apabila diceritakan di sini bahwa dalam masa sukar itu, banyak anakanak perempuan "ditukarkan" dengan beberapa kati bahan makanan!
Di dalam kota Seng-koan yang besar dan ramai juga terdapat sebuah panitia macam ini.
Pengurus panitia adalah orang-orang yang dianggap paling berpengaruh di dalam kota itu dan penasehatnya tentu saja pembesar setempat yang berpengaruh. Oleh karena
itu di daerah Seng-koan ini seringkali terjadi kekacauan dan perampokan yang
dilakukan dengan nekad oleh orang-orang yang hampir mati kelaparan, maka sebagai
penjaga dan pelindung panitia ini, diangkatlah tiga orang pembesar yang menjadi
cabang atas atau jagoan kota Seng-koan. Tiga orang pendekar ini dijuluki Seng-koan Sam-eng atau Tiga Orang Pendekar dari Sengkoan. Akan tetapi, oleh karena sepak
terjang mereka yang tidak sesuai dengan sikap pendekar-pendekar, terlampau
membanggakan kepandaian mereka dan tidak segan-segan memukul dan menindas
orang-orang yang lemah, maka julukan mereka itu diam-diam dirobah oleh orang-orang menjadi Seng-koan Sam-kwi atau Tiga Setan dari Seng-koan!
Setelah diangkat menjadi pengurus dan pelindung Panitia Penolong Korban Banjir,
ketiga jagoan ini lalu mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan pemerasan
dan perampasan berkedok "minta sumbangan".
Pada suatu hari, terlihat banyak orang berkerumun di depan sebuah toko yang menjual hasil bumi. Ternyata bahwa telah terjadi percekcokan antara pemilik toko yang
bernama Gui San dan seorang di antara Seng-koan Sam-kwi. Gui San adalah seorang
pedagang muda yang berdarah panas dan juga mempunyai hati berani dan tabah, oleh
karena biarpun tidak sempurna benar, akan tetapi ia pernah belajar silat di bawah pimpinan orang pandai. Ia baru beberapa bulan tinggal di Seng-koan, maka ia belum kenal betul akan kehebatan Seng-koan Sam-kwi dan berani melawan ketika seorang di antara tiga jagoan ini datang minta sumbangan dengan paksa.
"Orang menyumbang harus berdasarkan hati rela dan suka, sama sekali tidak mungkin diharuskan dan ditentukan besar jumlah sumbangannya! Biarpun menyumbang sedikit,
asal memberinya dengan senang dan rela hati, seharusnya diterima dengan baik. Mana ada aturan minta sumbangan dengan secara paksa?" Gui San berkata dengan suara
keras sambil bertolak pinggang menghadapi Ban Hui, saudara termuda daripada Seng-
koan Sam-kwi. Ban Hui bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam dan adatnya keras sekali. Mendengar ucapan orang yang disertai muka merengut dan marah, iapun menjadi marah sekali.
Sambil menuding dengan jari telunjuknya ke arah hidung Gui San, Ban Hui memaki,
"Orang She Gui, jangan kau membuka mulutmu yang lebar dan busuk itu! Kau harus
tahu bahwa sekarang ini musim apa" Kau adalah seorang pedagang, maka apa artinya
bagimu menderma seratus kantong gandum untuk mereka yang sengsara karena
banjir" Kau hidup terlalu kikir hingga kelak kau akan mati seperti seekor anjing! Kau tak mau menderma dan menolong mereka yang menderita, apakah kau hendak makan
semua gandummu itu" Betapapun kaya dan kikirmu, yang kau makan tiap hari tak lebih hanya semangkok saja! Apa kau mau mati ditimbuni kekayaanmu?"
Bukan main marahnya Gui San mendengar orang memaki-makinya. "Ban Hui! Orang
lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak perduli akan segala gertak sambalmu!
Jangan kau pura-pura menjadi orang budiman dan berhati pengasih! Ketahuilah, aku
hendak menyumbang sepuluh kantong gandum adalah terbit dari hati kasihanku
kepada mereka yang menderita, Biarpun hanya sepuluh kantong gandum, akan tetapi
hendak kuberikan dengan tulus ikhlas. Sedangkan kau ini apa" Kau mengeluarkan kata-kata seakan-akan kau seorang dewata yang berhati suci murni, akan tetapi semua orang tahu bahwa ke kantong siapa semua sumbangan itu lari" Ban hui, jangan kau menjual lagak di sini, aku bukan anak kecil. Sepak terjangmu sudah kuketahui betul-betul.
Pendeknya, aku hanya mau menyumbang sepuluh kantong gandum kepada panitia, kau
sebagai pesuruh panitia tinggal mau terima atau tidak. Kalau mau terima, baik. Kalau tidak mau, tidak apa!"
Ban Hui membelalakkan kedua matanya dan mukanya yang hitam itu menjadi hitam
lagi! "Bangsat rendah, kau harus dihajar tahu adat!" Setelah berkata begitu, Ban Hui melompat dan menyerang dengan pukulan Thai-san-ap-teng (Bukit Thai-san Menimpa).
Gui San yang berhati tabah itu cepat mengelak dan tiba-tiba ia mengangkat sebuah
bangku dan hendak memukul kepala si muka hitam dengan bangku itu. Wajahnya
merah, matanya berapi-api!
Melihat hal ini, orang-orang yang berkerumun di situ dan yang mengkhawatirkan
keselamatan Gui San, segera datang mencegah dan memisahkan. Kedua orang itu
masih bersitegang tidak mau mengalah dan menyudahi perkara itu sampai di situ saja.
Pada waktu mereka masih meronta-ronta dalam pegangan orang banyak, tiba-tiba
terdengar bentakan orang.
"Eh, eh, ada apa ini?"
Semua orang mundur karena yang membentak ini adalah seorang pendek kecil, akan
tetapi yang mempunyai sikap dan gaya yang sangat gagah. Inilah Ban Siauw, saudara kedua daripada Seng-koan Sam-kwi, seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan yang sikapnya lebih halus daripada kedua saudaranya, akan tetapi semua orang tahu bahwa dibalik sikap yang halus itu, bersembunyi sifat seekor serigala yang jahat dan kejam.
Ketika mendengar duduknya persoalan, Ban Siauw memandang kepada Gui San dengan
tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan pandangan yang
menakutkan. "Gui-congsu, kau benar-benar gagah berani. Tak kusangka bahwa di kota kita ini telah datang seorang jagoan berilmu tinggi! Sekarang baiklah diatur begini saja, congsu. Soal sumbangan ini adalah soalnya orang banyak, dan bukanlah menjadi kehendak kami
sendiri. Kita telah bertemu dan belum saling berkenalan, maka aku persilahkan
kepadamu untuk datang ke gedung panitia pada besok pagi. Di sana kami akan
mengadakan sambutan selayaknya dan hendak minta pengajaran darimu. Mari kita
berkenalan sambil mengukur kepandaian masing-masing. Dan sebagai iseng-iseng saja, kalau congsu tak dapat mengalahkan kami, congsu harus menyerahkan dua ratus
kantong gandum. Sebaliknya kalau kami tak dapat mengalahkan congsu, maka biarlah
congsu tak usah mengeluarkan sesuatu untuk menyumbang, sebaliknya kami akan
datang ke sini memohon maaf dan mengirimkan bingkisan. Bagaimana, congsu! Setuju
atau tidak?"
Memang sifat si pendek ini sangat lihai. Ia dapat melihat bahwa orang she Gui ini berhati keras dan mudah marah, maka sengaja pada akhir kata-katanya ia
menggunakan kalimat pertanyaan "setuju atau tidak" ia terang-terangan ditantang
orang dan kalau ia menolaknya, maka ia akan dianggap penakut dan pengecut hingga
akan menjadi bahan tertawaan penduduk Seng-koan. Apalagi pada saat itu terdapat
banyak orang menyaksikan pertengkaran ini, maka ia lalu berkata, "Kalian Seng-koan Sam-kwi sudah kudengar tentang kehebatan namamu. Hari ini aku Gui San tanpa sebab telah digangu, bahkan ditantang, maka terpaksa aku melupakan kebodohanku sendiri
dan biarlah besok pagi aku datang."
Ban Siauw tertawa girang dan bertepuk-tepuk tangan. "Bagus, bagus!! Beginilah sikap seorang pendekar yang sekali bicara tentu takkan menarik kata-katanya kembali.
Bagaikan ludah yang telah dijatuhkan ke atas tanah takkan dijilat lagi!" Kemudian si pendek ini menggunakan kefasihan lidahnya untuk menyindir dan mencegah agar orang she Gui itu tidak bermuka tebal untuk membatalkan kesanggupannya.
Setelah kedua orang she Ban itu meninggalkan tempat itu, maka banyak orang
menyesalkan peristiwa ini dan memberi nasehat kepada Gui San agar supaya pedagang muda itu berlaku hati-hati, karena Seng-koan Sam-kwi terkenal jahat dan kejam. Akan tetapi Gui San yang berhati tabah itu tidak memperlihatkan sikap takut, maka diamdiam semua orang menjadi ingin tahu sampai dimana kepandaian orang ini. Tentu saja mereka ini sebagian besar memihak Gui San dan mengharapkan mudah-mudahan
orang she Gui ini dapat mengalahkan dan memberi hajaran kepada Seng-koan Sam-kwi.
Berita tentang akan diadakannya pibu (adu kepandaian) itu tersiar cepat di seantero negeri, hingga terdengar juga oleh Tan Hong yang kebetulan lewat di kota itu. Pemuda ini tertarik juga dan ingin sekali menyaksikan pibu yang disertai taruhan dua ratus kantong gandum itu! Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah berada
dalam arus orang yang berbondong-bondong menuju ke gedung panitia penolong
korban banjir. Di depan gedung itu telah didirikan sebuah panggung luitai yang cukup tinggi hingga terlihat oleh semua orang yang berdiri di sekelilingnya. Para pengurus (panitia) yang telah terdiri dari hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar setempat telah pula
mendengar tentang pibu ini. Mereka menganggapnya lucu dan merekapun merasa
marah kepada orang she Gui yang menolak untuk menyumbang, yakni menurut laporan
Seng-koan Sam-kwi, maka mereka lalu datang menonton juga.
Tak lama kemudian, dari jurusan selatan, datanglah Gui San yang bertindak dengan
langkah lebar dan dada terangkat. Melihat kedatangan orang muda yang tabah dan
berani ini semua penonton menoleh dan memandangnya. Suara mereka terdengar
seperti suara sarang lebah di obrak-abrik.
Ban Siauw lalu berdiri di atas panggung dan menyambut kedatangan Gui San dengan
tertawa lebar dan berseru keras. "Gui-congsu yang gagah, silahkan naik ke panggung!"
"Baik!" jawab Gui San dengan gagah perkasa, lalu ia melompat ke atas panggung
dengan gerakan Burung Walet Menyambar Hujan. Gerakan ini kelihatan indah benar
dan tubuhnya seperti melayang ke atas panggung. Para penonton yang tidak mengerti ilmu silat lalu bertepuk tangan riuh rendah menyambut demonstrasi ini.
Akan tetapi, melihat cara melompat Gui San ini, diam-diam Tan Hong merasa khawatir, karena ia maklum bahwa Gui San lebih banyak memiliki ketabahan daripada
kepandaian. Juga Ban Siauw yang berkepandaian tinggi dapat mengukur kepandaian
lawan dari caranya melompat itu, maka ia tersenyum sinis dan berkata sambil menjura memberi hormat, "Bagaimana, Gui-congsu. Apakah kau tetap bersedia
menyumbangkan dua ratus gandum apabila kau kalah?"
Wajah Gui San memerah, karena merasa betapa ia dipandang rendah oleh lawan,
seolah-olah ia telah memastikan bahwa ia pasti akan kalah!
"Aku telah datang dan kata-kata yang telah kuucapkan sebagai seorang laki-laki takkan kutarik lagi."
"Ha, ha, ha! Sungguh kita beruntung sekali mendapat warga kota yang begini gagah!"
kata Ban Siauw sambil memandang ke sekitar tempat pertandingan itu, seakan-akan
kata-katanya ini merupakan suatu lelucon. Kemudian ia menghadapi Gui San kembali
dan sikapnya tiba-tiba menjadi angkuh, lalu ia berkata lagi, "Orang she Gui!
Kaudengarlah baik-baik! Kami Seng-koan Sam-eng tidak biasa dihina orang, juga kami tidak suka berlaku curang! Oleh karena itu, maka akan janggal dan tidak adil apabila aku sendiri atau twako (kakak ketua) maju menghadapimu, maka biarlah adikku Ban Hui
yang termuda dan terbodoh di antara kami bertiga, maju melayanimu. Kalau ia kalah, berarti kami sendiri yang kalah, dan kalau dia menang, kau harus menepati janji,


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membayar kekalahanmu dengan dua ratus kantong gandum!"
"Seng-koan Sam-kwi! Sudahlah jangan banyak bicara seperti perempuan. Siapa yang
hendak maju, aku tidak perduli, karena aku adalah seorang tamu yang diundang! Apa saja yang hendak dihidangkan oleh tuan rumah, akan kulayani dengan baik!"
Secara diam-diam Tan Hong merasa simpati kepada Gui San, sekalipun ia mudah marah, akan tetapi benar-benar pemberani yang jujur.
"Jiko, kau mundurlah! Tanganku sudah gatal-gatal!" kata Ban Hui tiba-tiba dengan
angkuhnya dan segera naik ke atas panggung. Ban Siauw tertawa bangga, lalu
mengundurkan diri.
"Nah, orang she Gui. Kemarin kita tidak mendapat kesempatan banyak. Sekarang
kauperlihatkanlah kesombonganmu!" Sembari berkata demikian, Ban Hui melemparkan
baju luarnya ke bawah panggung dan langsung menghadapi lawannya dengan dadanya
yang bidang dan kuat dan lengannya yang besar bertolak pinggang.
"Baik, kau hati-hatilah!" kata Gui San yang lalu menyerang dengan kepalan kanannya.
Ban Hui menangkis sambil mengerahkan tenaganya akan tetapi ketika lengan
tangannya beradu dengan lengan tangan Gui San, ia mengetahui bahwa orang she Gui
itupun memiliki tenaga besar. Mereka lalu bertempur dengan serunya, akan tetapi
sebagaimana telah dapat diduga oleh Tan Hong, dan juga dapat diduga oleh Ban Siauw ketika melihat gerak lompatan Gui San tadi ke atas panggung ternyata bahwa pedagang muda itu masih kalah dalam hal kegesitan dan kepandaian ginkang. Sedangkan Ban Hui sebagai saudara termuda dari Seng-koan Sam-kwi yang terkenal, tentu saja memiliki kepandaian cukup tinggi hingga dalam saat yang pendek sekali ia dapat mendesak
lawannya dengan pukulan bertubi-tubi dengan gerakannya yang cepat. Gui San kini
hanya dapat bersilat sambil mundur dan menangkis atau mengelak, hingga tidak
sempat membalas!
Melihat kelemahan lawannya, sambil menyerang dan mendesak, Ban Hui
mengeluarkan lagaknya yang memuakkan. Ia tertawa terbahak-bahak sambil mengejek
lawannya. "Hai, orang she Gui! Mana kepandaianmu yang amat kau sombongkan itu"
Sudahlah, kau menyerah saja dan cepat serahkan dua ratus karung gandum itu
daripada kepalamu nanti kena kupukul sampai picak!"
Gui San menjadi marah sekali hingga gerakannya makin kalut. Ia terus terdesak mundur sehingga akhirnya ketika ia mengelak dari sebuah pukulan ke arah dadanya, kakinya menginjak tempat kosong di pinggir panggung! Pukulan Ban Hui masih tetap mengenai pundaknya dan akhirnya tubuhnya terbanting ke bawah panggung!
Para pengurus pertandingan itu bersorak-sorak dan tertawa geli melihat hal ini yang mereka anggap lucu juga, sebaliknya para penonton yang terdiri dari penduduk kota Sengkoan merasa kecewa sekali. Kendatipun demikian mereka tentu tidak berani
memperlihatkan sikap menentang kepada Seng-koan Sam-kwi, maka merekapun lalu
bertepuk tangan memuji.
Dengan lagak sombong Ban Hui lalu menjura memberi hormat kepada orang
sekelilingnya dengan lagak sebagai seorang jagoan besar yang baru saja menang
berkelahi. Kemudian ia mendapat sebuah pikiran yang terbit dari adat sombongnya.
"Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang terhormat! Dengan jatuhnya orang she Gui itu, bukan berarti satu keuntungan bagiku, akan tetapi panitialah yang untung karena mendapat tambahan sumbangan sebanyak dua ratus karung gandum! Kami bertiga Seng-koan
Sameng selalu berusaha untuk mengumpulkan barang sumbangan sebanyak mungkin,
demi kepentingan para korban banjir yang menderita sengsara! Maka, pertunjukkan
kali ini anggaplah sebagai hiburan dan apabila di antara saudara-saudara sekalian ada yang berminat hendak naik di atas panggung ini, kami silahkan! Akan tetapi syaratnya harus bertaruh, demi kepentingan panitia yang berusaha membantu para korban
berdasarkan perikemanisiaan yang luhur!"
Mendengar kata-kata ini, panitia pertandingan bertepuk tangan menyatakan
kegembiraannya. Penonton saling pandang dan saling berbisik. Tapi siapakah orangnya yang berani naik ke panggung untuk main-main dengan Tiga Setan dari Seng-koan itu"
Karena Ban Siauw mendapat firasat yang kurang baik, maka ia lalu naik ke panggung menggantikan adiknya. "Saudara-saudara sekalian, mungkin kata-kata adikku tadi
kurang tepat dan juga kurang adil. Karena siapakah yang berani melawan dia yang
tinggi besar itu" Bahkan Gui-congsu sendiripun tidak bisa melawannya! Aku mempunyai usul lain yang lebih bagus dan menarik. Lihat tubuhku yang kecil pendek ini. Nah, sekarang siapa saja yang berani naik ke panggung ini, diperbolehkan memukul aku
dengan tangan kosong. Sekali pukul harus membayar sepuluh karung gandum! Ayoh,
siapa mau ikut serta?"
Di antara penonton banyak yang mendongkol melihat kesombongan ini, akan tetapi
biarpun ada yang ingin memukul juga, siapa orangnya yang berani mencoba-coba"
Kalau yang dipukul tidak apa-apa, pemukulnya akan mendapat malu dan mengeluarkan
sepuluh karung gandum tiap pukulan. Sedangkan andaikata pemukulnya dapat melukai
dan membinasakan Ban Siauw, apakah hal ini tidak akan menimbulkan permusuhan
hebat" Dan siapakah gerangan yang berani bermusuhan dengan mereka"
Semua orang dapat menduga bahwa tak seorangpun yang akan berani menantangnya.
Tetapi tanpa dinyana tiba-tiba seorang dari penonton yang berdiri didepan, terdengar berteriak, "Aku hendak mencoba!"
Semua orang memandang dan mereka melihat seorang pemuda berpakaian serba
hitam menaiki panggung. Ia tidak melompat sebagaimana biasanya seorang ahli silat menaiki panggung, akan tetapi mengambil jalan memutar dan menaiki panggung
melalui anak tangga yang dipasang untuk para hartawan. Dengan demikian, pemuda itu menuju ke panggung sambil melewati tempat duduk para hartawan dan pembesar.
Sikapnya sopan sekali, tampak ketika ia lewat di dekat para hartawan itu, ia
menundukkan kepala memberi hormat ke kanan dan ke kiri dengan tubuh setengah
membungkuk. Pemuda itu adalah Tan Hong dan munculnya secara mendadak itu menimbulkan
bermacam-macam tafsiran. Tak seorangpun yang berada di situ yang pernah melihat
pemuda ini. Wajah Tan Hong yang kurus dan pakaiannya yang usang penuh tambalan
itu tidak mendatangkan kesan yang mengagumkan, maka semua penonton hanya
tertawa geli dan menganggap bahwa pemuda itu tentul ah seorang pemuda terlantar
yang telah berubah ingatannya karena menderita kelaparan!
Juga Ban Siauw merasa kurang senang melihat bahwa yang naik itu adalah seorang
yang lebih tepat disebut jembel. "He, anak muda! Kau naik ke sini mau mengapa?"
tanyanya dengan sombong sambil menahan amarahnya.
"Apalagi kalau bukan hendak memenuhi usulmu tadi!"
Ban Siauw tertawa keras dan mengejek, "Jembel muda! Kau sendiri agaknya telah tiga hari tiga malam belum makan. Apakah orang seperti kau ini pula kelak dapat
memberikan sumbangan sepuluh karung gandum sebagai taruhan, andaikata kau
kalah?" Semua orang tertawa mendengar kata-kata ini, lebih-lebih lagi di antara para hartawan yang bertubuh gemuk tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya yang
gendut menahan tertawanya. Akan tetapi serta merta wajahnya menjadi pucat dan
tertawanya lenyap berganti dengan kebingungan ketika ia merasa bahwa kantong uang emas yang tadi digantung di bawah bajunya telah lenyap! Ia meraba-raba di sekeliling tubuhnya, akan tetapi benar-benar kantong uangnya telah tak ada! Tak seorangpun
melihat kebingungannya ini dan iapun tidak berani membuat ribut, karena merasa malu dan ragu-ragu karena kalau-kalau kantong uangnya itu ketinggalan di rumah. Maka ia lalu menonton lagi, akan tetapi kini tak sanggup tertawa seperti tadi, karena
kegembiraannya telah ikut lenyap bersama dengan lenyapnya kantong berharga itu!
Sekalipun ia telah dihina dengan perkataan yang tak wajar oleh Ban Siauw di muka
penonton banyak itu, namun Tan Hong tetap tersenyum dan dengan tenang ia
mengeluarkan kantongnya yang berwarna kuning dari balik bajunya. Kantongnya itu
kini telah berisi barangbarang yang berat dan ketika ia membuka tutupnya dan
menumpahkan isinya ke atas panggung, Ban Siauw melongo. Ternyata isi kantong itu
adalah uang emas dan perak yang banyak sekali jumlahnya!
"Kawan pendek! Aku tidak punya beras, akan tetapi agaknya uangku ini sudah cukup
untuk membeli gandum sebanyak ribuan karung!"
"Boleh, boleh, dibayar uang juga boleh!" kata Ban Siauw. Sementara itu, tidak hartawan gemuk itu saja yang kelihatan bingung, akan tetapi empat orang hartawan lainnya lebih bingung lagi, karena kehilangan uang bekalnya yang banyak jumlahnya itu yang telah dicuri orang dari kantong baju mereka! Kini melihat betapa pemuda jembel itu
membawa uang demikian banyaknya, mereka sangat curiga, akan tetapi apakah
buktinya untuk memperkuat kecurigaan mereka"
Tan Hong tersenyum. "Sabar, kawan! Segala taruhan harus jangan berat sebelah!
Dengarlah, kalau kau dan dua orang saudaramu yang terkenal dengan sebutan Tiga
Setan dari Seng-koan itu dapat merobohkanku di atas panggung ini, seperti yang telah dilakukan oleh adikmu terhadap orang gagah she Gui tadi, kau boleh ambil semua
uangku ini!"
"Akan tetapi, bagaimana kalau kalian setan bertiga ini dapat kurobohkan" Apakah
taruhanmu?"
Suara para penonton terdengar riuh rendah bagaikan lebah dibubarkan, mendengar
tantangan pemuda aneh ini.
Ban Siauw tercengang, karena tak menyangka akan mendapat pertanyaan macam ini.
Tapi ia sudah yakin pasti akan menang menghadapi pemuda jembel yang kurus ini,
maka ia lalu tertawa terkekeh-kekeh. "Ha, ha, ha, memang kau ini orang aneh. Siapa menyangka kau mempunyai harta sebanyak ini" Tentu kau seorang begal! Akan tetap,
tidak apalah! Uang ini dapat kami gunakan nanti untuk menolong korban banjir!
Sekarang kau sebutkan sendiri, anak muda! Jika kau dapat mengalahkan kami, apakah yang kau hendaki?"
"Berapa banyak gandum yang dimiliki oleh panitia ini?" tanya Tan Hong.
Ban Siauw memikir-mikir sebentar, lalu berkata, "Ada dua ribu karung lebih."
"Nah, demikian saja, kawan pendek. Kalau kau dengan kedua orang saudaramu dapat
kurobohkan, kalian harus memberikan gandum itu semuanya kepadaku."
"Apa?" Ban Siauw terkejut dan heran. "Untuk apa dua ribu karung gandum itu
bagimu?" "Tak perlu kauketahui! Pokoknya begini, uang ini jumlahnya menurut perkiraanku
cukup untuk membeli semua gandum itu, maka sudah adil apabila aku minta kau
pertaruhkan semua gandum itu. Dan apabila aku menang, tidak saja gandum itu harus diberikan kepadaku, akan tetapi kau harus menyediakan kereta dan tenaga untuk
mengangkut gandumgandum itu ke dusun-dusun yang menderita akibat banjir itu dan
di bawah pengawasanku membagi-bagikan semua bahan makanan itu kepada
penduduk dengan adil!"
Mendengar ini tidak saja Ban Siauw dengan kedua orang saudaranya yang masih berada di atas panggung itu saja yang memandang dengan mata terbelalak, tetapi semua
penonton demikian pula.
"Orang ajaib! Apakah kau tidak main-main" Apakah kau gila" Memang semua gandum
itu akan disumbangkan kepada para korban banjir!" kata Ban Kok, saudara tertua dari Seng-koan Sam-eng.
Tan Hong mengeluarkan ejekan dari hidungnya. "Hah! Apakah kaukira aku tidak tahu
kwalitet orang-orang yang kau sebut panitia penolong ini" Sudahlah, tak perlu aku membongkar rahasia busuk yang kalian jalankan, pendeknya, kau sanggup atau tidak
menerima tantangan dan syarat-syaratku?"
"Bolehlah! Sebagai manusia sombong kau memang harus diberi pelajaran!" kata Ban
Hui dari tadi menahan rasa gemasnya. Kemudian ia berkata kepada kedua saudaranya.
"Biarlah aku menghajar jembel muda yang kurang ajar ini. Twako, simpanlah dulu
uangnya itu agar nanti ia tidak lari pergi!"
Akan tetapi Tang Hong cepat mengambil semua uangnya dan dimasukkannya ke dalam
kantongnya kembali dan berkata, "Sabar dulu kawan. Aku belum kalah! Dan uang ini
belum menjadi hakmu!" Ia lalu membawa kantong kuning itu ke pinggir panggung dan
menggantungkan kantongnya pada sebuah tiang. Kemudian ia berkata kepada semua
penonton, "Saudara-saudara sekalian menjadi saksi. Kalau aku kalah, aku takkan banyak bicara lagi. Uang ini akan kuberikan kepada pengurus-pengurus curang ini. Akan tetapi, kalau aku menang, uang inipun akan kubagi-bagikan kepada para korban banjir!"
Para penonton bersorak-sorai dengan riuhnya. Mereka memuji dan kagum kepada
pemuda yang aneh ini.
Tiba-tiba Gui San lalu menghampiri panggung, lalu berkata dengan kerasnya, "Bagus, kalau kau menang, akupun akan menyumbangkan lima ratus karung gandum yang
terbaik!" "Akupun menyumbang dua ratus karung!" kata salah seorang penonton yakni seorang
hartawan yang telah tahu akan kecurangan panitia tersebut, tetapi tidak berani berkata apa-apa karena takut menghadapi Seng-koan Sam-eng yang selalu mendapat
perlindungan para pembesar dari segala macam kecurangan yang pernah mereka
perbuat. "Akupun dua ratus karung!"
"Dan aku seratus!"
Masih banyak terdengar suara orang berkumandang meyambut yang di kuti suara riuh
dari penonton lainnya yang tak ikut menyumban, tapi ikut merasa gembira.
"Ha, ha, ha! Jangan ribut dulu. Apakah kaukira jembel kurus ini akan dapat
mengalahkan Seng-koan Sam-eng?" tiba-tiba terdengar salah seorang dari rombongan
para pembesar dan hartawan itu berkata keras.
Kata-katanya ini terdengar oleh semua penonton dan mereka menjadi terdiam, karena mereka baru ingat bahwa pemuda itu akan berhadapan dengan tiga jago terkuat dari
Sengkoan! Kini mereka merasa khawatir dan memandang ke arah Tan Hong dengan
ragu-ragu. Tan Hong berlaku tenang, lalu ia menghampiri Ban Hui yang berdiri bertolak pinggang dengan gagahnya. Kedua kakaknya sudah turun dari panggung untuk memberi
kesempatan kepadanya untuk menghadapi pemuda jembel itu.
"Kaukah yang hendak melawanku?" tanya Tan Hong.
"Ya, bersiaplah untuk menerima pukulanlu yang akan membuat kau berguling-guling ke bawah panggung!" kata Ban Hui sambil memasang kuda-kuda.
"Majulah, dan lebih baik kauajak kedua kakakmu maju bersama, karena kalau kau maju sendiri, dalam lima jurus kau pasti akan terlempar ke luar panggung!"
Semua penonton menjadi heran dan menganggap pemuda itu berlaku berani dan
sombong. Mendengar ini Ban Hui menjadi marah tiada terhingga.
"Bangsat sombong! Untuk kesombonganmu ini, aku takkan membuat kau
menggelinding ke bawah panggung, tetapi aku akan membuat kauroboh untuk
selamanya!" serunya dan ia lalu menyerang dengan hebat.
Tan Hong cepat mengelak dengan gerakan lemas sambil menghitung, "Jurus ke satu!"
Penonton mulai bersorak dan Ban Hui segera mengirim serangan kedua.
"Jurus ke dua!" kata Tan Hong sambil melompat ke pinggir, hingga kembali serangan Ban Hui mengenai tempat kosong.
Melihat gerakan Tan Hong yang sangat cepat itu, hingga tak terlihat olehnya, Ban Hui mulai terkejut dan ia tak berani memandang ringan lagi. Ia lalu menyerang lagi dan kini sekali
serang kedua tangannya bergerak maju, karena ia telah menggunakan gerak tipu
Siluman Membawa Mustika Biru. Akan tetapi, Tan Hong menganggap serangan ini
sebagai permainan anak-anak saja. Dengan kedua tangannya ia menangkis serangan
kedua kepalan lawannya itu sambil menghitung "jurus ke tiga!"
Ban Hui terkejut bukan main karena ketika tangannya beradu dengan tangan pemuda
itu, ia merasa terdorong sangat kerasnya hingga hampir saja jatuh ke bawah panggung.
Untung di dalam terhuyung-huyung ia dapat menangkap tiang, menyebabkan ia tidak
sampai jatuh ke bawah!
"Eh, hati-hati! Baru tiga jurus! Jangan tergesa-gesa turun ke bawah!" kata Tan Hong.
Dengan perasaan kagum, semua penonton bertepuk tangan dan bersorak-sorak.
Tak terkatakan marahnya Ban Hui mendengar ejekan ini. Mukanya menjadi merah,
matanya menyinarkan pandangan mengandung ancaman maut dan giginya
digertakkannya sedangkan hidungnya kembang-kempis. Ia lalu berseru keras dan
menubruk maju dalam serangan maut. Dengan sepenuh tenaga ia menggunakan
tangan kanannya memukul kepala Tan Hong dari atas dan tangan kirinya menyodok ke
arah lambung pemuda itu! Baik serangan tangan kanan, maupun sodokan tangan kiri ini kalau mengenai sasaran, pasti akan mendatangkan maut! Sambil menghitung "jurus ke empat!" Tan Hong memiringkan kepala mengelak dari pukulan tangan kanan lawan,
sedangkan sodokan tangan kiri Ban Hui tidak ditangkis atau dielakkannya, tapi secepat kilat ditangkapnya tangan itu lalu ditariknya ke belakang! Tanpa ampun lagi, tubuh Ban Hui terdorong ke belakang dan roboh telungkup mencium lantai panggung!
"Nah, nah ... dalam jurus ini kau mencium lantai panggung, tapi dalam jurus ke lima kau akan mencium tanah di bawah panggung!" Tan Hong mengejek lagi sedangkan para
penonton karena girangnya tertawa geli dan bertepuk tangan dengan riuhnya!
Pada saat itu, Ban Kok dan Ban Siauw yang melihat betapa adik mereka dipermainkan lawannya, lalu melompat ke atas panggung dengan sikap mengancam.
"Aah, dua iblis tua ini sungguh cerdik! Rupanya kau tahu bahwa adikmu akan benar-
benar terlempar ke luar panggung!" kata Tan Hong sambil bergurau, tapi ia tetap
waspada. "Bangsat hina dina! Bersedialah untuk mampus!" teriak Ban Siauw dengan geramnya
dan ia segera maju menyerang bersama dengan kakaknya. Sedangkan Ban Hui juga
melompat bangun dan ikut menyerang.
"Ah, ha, bagus! Tiga iblis sekarang kemasukan setan dan mengamuk. Bagus!" Tan Hong mempergunakan kegesitannya yang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan dapat
menyusup di antara sekian banyak kepalan dan tendangan yang dilancarkan dengan
hebat dan bertubi-tubi ke arahnya.
Semua penonton kini tidak berani bersorak lagi karena mereka merasa sangat khawatir sekali melihat keadaan Tan Hong. Siapa orangnya yang dapat bertahan menghadapi
keroyokan ketiga iblis itu" Mereka menonton pertempuran itu sambil menahan napas.
Tan Hong yang sedari tadi merasa sangat benci dan gemas kepada Seng-koan Samkwi
ini lalu memperlihatkan kepandaiannya. Ketika tubuhnya melayang berputar-putar
melakukan serangan pembalasan dengan gerak tipu terhebat dari ilmu silat Ngo-heng Lianhwat, maka terdengar pekik kesakitan. Ternyata Ban Hui serta Ban Siauw kena
terdorong roboh! Masih untung bagi kedua orang itu, karena Tan Hong tak bermaksud mencelakakan mereka, maka serangan yang seharusnya dilakukan dengan kepalan
kedua tangannya itu dirobah menjadi dorongan dengan tangan terbuka, hingga kedua
orang itu walaupun berguling-guling di atas panggung, namun tidak menderita luka-
luka, hanya kepala mereka saja bengkak-bengkak karena beradu dengan papan yang
keras! Kini riuh rendahlah sambutan penonton! Ketiga saudara Ban itu bertambah marah dan bersamaan dengan itu mereka mencabut pedang mereka.
"Bangsat rendah! Kalau hari ini kami tidak dapat membunuh kau, jangan panggil kami Seng-koan Sam-eng lagi!" teriak Ban Kok.
"Baik! Mulai hari ini kalian akan kusebut Seng-koan Sam-ti (Tiga Babi dari Sengkoan)."
Tentu saja hinaan ini menimbulkan suara tertawaan dari penonton. Mendengar hinaan ini ketiga saudara Ban itu makin bertambah marah. Pedang mereka bergerak seperti
kilat menyambar ke arah tubuh Tan Hong. Dalam kemarahannya itu, ketiga orang ini
lupa akan kesopanan berpibu. Seharusnya mereka tidak boleh menyerang lawan yang
belum mengeluarkan senjata, akan tetapi oleh karena mereka sedang marah dan juga
oleh karena mereka maklum bahwa Tan Hong adalah seorang lawan yang tangguh,
maka mereka sengaja mendahuluinya tanpa mengenal malu!
Melihat kenekatan mereka ini, timbul marah dalam hati Tan Hong. "Baik, kalian mencari celaka sendiri!"
Tiba-tiba terlihat sinar berkilauan ketika pemuda itu tahu-tahu telah memegang
sebatang pedang berwarna putih seluruhnya dan sekali putar saja pedangnya, maka
ketiga senjata musuhnya dapat ditangkis semua.
"Kau ... kau Gin-kiam Gi-to?" ujar Ban Kok setelah ia melihat pedang ini.
"Matamu awas juga, orang she Ban!" jawab Tan Hong sambil memutar pedangnya
balas menyerang. Mendengar nama ini ketiga Seng-koan Sam-eng tiba-tiba menjadi
sangat gentar, maka permainan pedang mereka menjadi kacau-balau. Apalagi ketika
Tan Hong mengubah gerakan pedangnya yang semula hanya mempertahankan diri saja,
kini menjadi ganas menyerang dengan tipu-tipu berbahaya, ketiga pengeroyok itu
menjadi terdesak dan terkurung oleh sinar pedang Tan Hong.
Pada saat yang tepat, Tan Hong berseru keras, "Lepaskan pedangmu!" Dan terdengar
jerit kesakitan dari ketiga orang pengeroyok ini, disusul dengan terlepasnya pedang mereka dari tangan masing-masing. Lengan kanan mereka telah terluka oleh guratan
pedang yang memanjang dari siku sampai ke tangan. Luka ini biarpun tidak berbahaya, namun karena telah mengiris kulit, darah keluar banyak juga.
"Seng-koan Sam-eng, biarlah ini menjadi pelajaran bagi kalian bertiga! Lain kali kalau kau bertiga masih menggunakan kepandaian untuk melakukan pemerasan dan korupsi
berkedok sebagai panitia, akan kutujukan pedangku ini ke arah lehermu!" Setelah
memberi peringatan ini kepada ketiga jagoan yang kini telah mati kutunya itu, Tan Hong lalu menghadapi para hartawan yang duduk dengan mata terbelalak heran dan
tercengang itu, ia lalu menujukan kata-katanya kepada semua penonton, "Cu-wi
sekalian! Daerahmu ini sedang terserang bahaya banjir hingga timbul bahaya kelaparan di kalangan penduduk miskin. Sudah sepatutnyalah apabila saudarasaudara sekalian
mengulurkan tangan membantu meringankan beban penderitaan mereka. Saudara
sekalian harus sadar dan ingat sekalian gandum dan beras yang tiap hari memasuki
perut kita dan membuat tetap tinggal hidup, adalah hasil jerih payah dan tetesan peluh para kaum tani yang justeru pada waktu ini menjadi korban banjir! Bayangkan saja, kita di sini makan enak sekenyang-kenyangnya dan gandum serta beras kita bertumpuk-tumpuk di gudang sampai membusuk, sedangkan mereka yang dulu menanam dan
menghasilkan semua gandum dan beras itu, kini menderita kelaparan! Apakah ini adil"
Memang kalian berhak atas segala bahan makanan itu yang telah kalian beli, akan
tetapi ingatlah lagi, andaikata kaum tani itu semua mati kelaparan karena tak makan, hingga tak ada seorang jua yang akan mengerjakan sawah ladang, apakah yang harus
kita lakukan kelak" Apakah saudara sekalian terutama para hartawan, bisa mengerjakan sawah ladang itu" Maka, pergunakanlah kesempatan ini untuk membalas jasa para
petani. Ayoh, siapa yang hendak menyumbang lagi?"
Orang-orang menyambut ucapan ini dengan riuh gembira dan banyak lagi lainnya yang menyumbang dengan suka rela. Maka Tan Hong lalu mengumpulkan semua sumbangan
itu, dan setelah semua dikumpulkan, maka jumlah gandum yang sudah terkumpul
menjadi tiga ribu karung lebih! Semua bahan makanan dan uang yang ada lalu diangkut dengan gerobak yang ada di kota itu dan yang sengaja dikerahkan untuk pengangkutan istimewa ini.
Maka berangkatlah gerobak-gerobak itu menuju ke daerah banjir, di kuti oleh Tan Hong dan orang-orang yang menaruh minat, yang kebanyakan terdiri dari mereka yang telah menyumbang. Juga Seng-koan Sam-eng dengan lengan terbalut ikut pula mengantar.
Para korban banjir yang tinggal berkelompok-kelompok dalam gubuk-gubuk kecil di
pinggir sawah, menerima kedatangan para penolong ini dengan sangat girangnya.
Gandum lalu dibagi rata dan semua penderita banjir menerima sumbangan gandum
dan uang. Orangorang menjadi terharu ketika melihat betapa wajah para korban banjir itu menerima sumbangan ini dengan air mata berlinang, karena bahan makanan yang
mereka terima hari ini benar-benar merupakan penyambung nyawa keluarga mereka,
dan mereka menjadi sangat heran, karena sumbangan yang diberikan pada mereka
yang menderita dengan suka rela, tanpa minta syarat seperti yang biasa berlaku dari si kaya pada mereka! Akhirnya para korban banjir mengetahui ketika mendengar bahwa
semua ini adalah berkat sepak terjang Gin-kiam Gi-to. Kemudian bersama-sama mereka lalu maju berlutut di depan Tan Hong!
Akan tetapi Tan Hong tidak mau menerima kehormatan ini, bahkan ia lalu berkata,
"Saudara-saudara sekalian! Jangan berterima kasih kepadaku, karena aku tidak
memberi apa-apa kepada kalian. Berterima kasihlah kepada para dermawan dari Seng-
koan, dan juga kepada Seng-koan Sam-eng, karena semenjak hari ini ketiga orang ini akan benar-benar menolong saudara sekalian dengan jujur dan adil!"


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar ucapan pemuda yang tahu membawa diri ini, semua orang dari Seng-koan
menjadi terharu, bahkan Seng-koan Sam-eng sendiri merasa seakan-akan muka mereka
mendapat tamparan hebat dan mereka lalu insyaf akan kekeliruan mereka yang sudah-
sudah. Mereka telah menyombongkan diri sebagai jagoan-jagoan yang tak terkalahkan, sama sekali tidak ingat bahwa di dunia ini tidak ada orang yang terpandai dan segala kepandaian pasti ada yang melebihi. Maka diam-diam mereka berjanji dalam hati
hendak merobah tabiat mereka.
Pembagian gandum dan uang itu berlangsung sehari penuh, karena daerah yang
dilanda banjir itu banyak jumlahnya. Setelah semua tempat dikelilingi dan gandum
serta uang telah habis dibagikan sama sekali, Tan Hong lalu berkata kepada semua
orang, "Saudara sekalian. Sekarang, setelah kalian melihat sendiri cara pembagian yang adil, jujur dan tanpa syarat, saya percaya bahwa lain kali Panitia Penolong Korban Banjir akan dapat bekerja lebih aktif dan jujur. Apabila terdapat kecurangan-kecurangan, aku akan kembali dan akan memberi pelajaran kepada mereka yang bersalah itu! Akan
tetapi aku percaya penuh kepada Seng-koan Sam-eng yang tentu akan menjaga jangan
sampai terjadi kembali hal demikian, bukan?"
"Kami akan menjaga, taihiap!" kata Ban Kok dengan terharu.
Setelah itu, Tan Hong lalu meninggalkan Seng-koan, di kuti oleh pandangan mata
kagum dari seluruh penduduk.
*** Ketika Tan Hong yang melanjutkan perjalanannya memasuki sebuah rimba belantara, ia
berjalan perlahan sambil termenung. Bayangan nona Lo Siok Lan yang selama ini tak pernah meninggalkan bayangan matanya, kini sangat mempengaruhi otaknya, setelah
ia merasa kesunyian seorang diri di dalam hutan yang luas itu. Bahkan kini perasaannya seolah-olah ia melihat wajah Siok Lan yang sebenarnya muncul di mana-mana, di
tempat-tempat mana yang dilaluinya. Tiba-tiba saja wajah yang jelita dan gagah itu terbayang di sela-sela daun-daun hijau dan di antara kembang-kembang merah.
"Ah, aku sudah menjadi gila!" Tan Hong mengoceh pada dirinya di bawah sebatang
pohon untuk beristirahat. Akan tetapi, makin celaka, setelah ia berhenti dan duduk, bayangan Siok Lan makin jelas kelihatan dan makin bertambah hebat menggoda
pikirannya! Ia lalu melompat bangun dari duduknya dan melanjutkan perjalanannya.
Tiba-tiba kedua matanya terbelalak, hatinya berdebar kegirangan dan penuh harapan ketika ia menujukan pandangan matanya ke arah gerombolan pohon. Di situ muncul
tubuh seorang wanita dengan pedang di tangan. Sesaat lamanya, wajah wanita itu
dalam pandangan Tan Hong kelihatan seperti wajah Siok Lan itu berubah menjadi
wajah seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih yang sedang berduka, pada
wajahnya yang muram itu dapat diterka bahwa ia dalam kesusahan.
Akan tetapi, ketika wanita itu melihat Tan Hong, wajahnya berubah menjadi bengis dan sekali melompat saja ia telah berada di depan Tan Hong terus membentak, "Sobat,
berhenti dulu!"
Tan Hong jadi terperanjat dan melihat gerakan wanita ini, menunjukkan bahwa ia
memiliki kepandaian yang cukup baik. Ia memandang wanita itu dengan rasa kagum
dan lalu bertanya, "Apakah perlunya Toanio menahan perjalananku?"
Wanita itu memandang ke arah pakaian Tan Hong dan ketika melihat bahwa Tan Hong
tidak berbekal bungkusan pakaian atau barang lain, jelas nampak perubahan pada
mukanya yang menjadikan ia kecewa. Kemudian setelah ia melihat gagang pedang dari perak yang tersembul keluar di belakang punggung Tan Hong, maka ia lalu berkata,
"Anak muda, kalau kau ingin melanjutkan perjalananmu denga selamat, serahkanlah
pedangmu itu kepadaku!"
"Eh, mengapa begitu" Pedang ini adalah senjata untuk melindungi diriku apabila aku diserang oleh binatang buas di dalam hutan. Kalau pedang ini kau minta, dengan
apakah aku dapat melindungi diri lagi?"
Mendengar jawaban ini, wanita itu memandang Tan Hong dengan tajam. "Kalau kau
perlu memakai senjata juga, pakailah pedangku ini, dan sebagai gantinya pedangmu itu harus kauberikan kepadaku, mengerti!"
Tan Hong memandang pedang wanita itu, ternyata pedang itu adalah pedang yang
telah berkarat dan buruk sekali, agaknya seringkali digunakan untuk membelah kayu!
Tanpa disadarinya Tan Hong tertawa geli.
"Eh, eh, Toanio kau ini sedang main-main atau benar-benar hendak merampok?"
"Jangan banyak bicara!" hardiknya. "Kauserahkan pedang itu atau tidak!" Sambil
berkata demikian, wanita itu mengancam dengan ujung pedangnya yang telah tumpul
itu! "Bagaimanakah kiranya, jika aku tak mau memberikannya?"
"Akan kupaksa!" kata wanita, lalu maju menyerang dengan pedang tumpulnya. Akan
tetapi serangan ini membuat Tan Hong hampir berseru terkejut karena pedang yang
telah tumpul ini dengan tepat sekali menyerang ke arah jalan darahnya! Ah, tak
disangkanya bahwa wanita ini adalah ahli tiam-hwat (ilmu menotok jalan darah) maka, ia segera mengelak dengan cepat. Serangan kedua dan ketiga menyusul cepat dan
semua serangan tertuju ke arah jalan darah yang berbahaya.
"Hebat benar!" Tan Hong memuji dan iapun segera mencabut pedangnya untuk
mempertahankan diri karena ternyata wanita ini betul-betul tangguh. Segera mereka bertempur dengan seru. Tan Hong bersilat dengan hati-hati dan penuh cermat. Ia
kagum juga melihat ilmu pedang wanita ini benar-benar hebat, lebih tinggi daripada ilmu kepandaian Seng-koan Sam-eng! Maka ia melawan dengan hati-hati dan waspada.
Ia masih belum dapat menduga mengapa wanita ini ingin sekali memiliki pedangnya.
Sebaliknya, ketika ia melihat bahwa pemuda ini bukan makanan empuk, wanita ini
kelihatannya sangat kesal dan menyerang kembali dengan nekad. Seakan-akan ia
seorang yang telah terlanjur berbuat suatu kesalahan yang tak mungkin dapat
dimaafkan lagi!
Melihat kenekatan wanita ini, Tan Hong lalu memperlihatkan kepandaiannya, berkelahi dengan menggunakan ilmu pedang Ngo-heng Lian-hoan Kiam-hwat yang memiliki
gerakan luar biasa. Sebentar saja wanita ini sudah sangat terdesak oleh serangan Tan Hong yang bertubi-tubi itu, hingga akhirnya pedang tumpulnya itu terlempar jauh lepas dari genggamannya. Baiknya tubuh wanita ini tidak cedera atau luka oleh pedang Tan Hong.
Anehnya, setelah menderita kekalahan, wanita itu tiba-tiba menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu.
Tan Hong mengerutkan alisnya dan menyimpan pedangnya. "Toanio, kau sangat aneh.
Kepandaian dan kiam-hoat (ilmu pedang) mu cukup tinggi, akan tetapi mengapa kau
ingin merampas pedangku" Apakah kau suka kepada pedangku ini?"
Mendengar suara Tan Hong yang sopan dan lemah lembut, wanita ini mengangkat
mukanya lalu memandang, "Eng-hiong, aku ... aku tadi memang sengaja hendak
merampas pedangmu. "
"Mengapa demikian?"
Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Bukan karena aku suka pedang orang lain,
tetapi aku tertarik karena yang kau miliki pedang yang berharga yang mana gagangnya terbuat daripada perak!"
Tan Hong tercengang dan ia memandang penuh perhatian. Ternyata pakaian wanita itu compang-camping dan penuh tambalan, menandakan bahwa ia seorang miskin,
sedangkan wajahnya yang kurus pucat menandakan pula bahwa wanita ini tentu
terkena penyakit kelaparan! Tiba-tiba, Tan Hong merasa terharu.
"Toanio ... kau hanya ingin mendapat sedikit perak ini" Sampai demikian besar minat kau untuk memiliki perak?" pertanyaan ini dikeluarkan dengan perlahan dan ragu-ragu.
Wajah wanita itu memerah karena malu. "Bukan untukku sendiri taihiap, sungguh mati, bukan untukku sendiri, tapi untuk anak-anakku!"
Tan Hong makin tertarik dan kasihan. Melihat pandangan pemuda itu, wanita tadi lalu menuturkan keadaannya dengan suara pilu, "Aku adalah seorang janda she Yo dan
ditinggal mati suamiku dengan tiga orang anak masih kecil-kecil. Rumah dan sawah
kami habis dilanda air bah. Tidak ada orang yang suka menolong kami, karena mereka yang merasa kasihan kepada kami itu adalah para pengungsi yang senasib dengan kami, sedangkan untuk mengisi perut mereka sendiripun mereka tak mampu. Sebaliknya para kaum mampu, hanya mau menolong kami dengan syarat-syarat kejinya!"
Tan Hong mengangguk-angguk mengerti.
"Apakah yang bisa dilakukan oleh seorang janda seperti aku" Justeru karena
anakanakku menderita kelaparan dan aku tidak bisa mencarikan makannya dengan cara yang wajar, maka terpaksalah aku mencoba merampok. Akan tetapi dasar nasibku
malang dan nasib anak-anakku yang harus mati kelaparan, karena pertama-tama aku
mencoba merampok, aku langsung berhadapan dengan kau, dengan orang yang jauh
lebih tinggi ilmu silatnya dariku dan yang memiliki pedang perak ajaib, dengan gampang mengalahkanku! Taihiap, bunuh sajalah aku agar tamat riwayatku yang penuh derita
ini. Aku tidak sanggup pulang ke rumah dengan tangan kosong dan melihat anak-
anakku mati kelaparan!" Nyonya janda Yo itu lalu menangis terisak-isak.
Tan Hong menghela napas dalam-dalam. Lagi-lagi seorang korban bencana banjir! Tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik. Nyonya ini memiliki kepandaian yang cukup
tinggi, apa sukarnya mencarikan pekerjaan untuknya"
"Toanio, jangan kau bersedih. Selama nyawa masih dikandung badan, tak boleh sekali-kali kita berputus asa. Aku mempunyai kenalan baik di kota Seng-koan, marilah kau dan anak-anakmu kuantarkan ke sana agar kau dapat tertolong."
Jilid 03 Nyonya Yo hendak berlutut menghaturkan terima kasih, akan tetapi Tan Hong segera
mencegahnya. Kemudian ia lalu ikut nyonya Yo mengambil ketiga orang anaknya yang
kecilkecil dan kurus kering itu, lalu diantarkannya nyonya itu ke Seng-koan. Di kota ini Tan Hong menyerahkan nyonya Yo bersama ketiga orang anaknya kepada Panitia yang
dipimpin oleh Seng-koan Sam-eng, dan setelah menuturkan keadaan nyonya janda itu
serta menyatakan bahwa kepandaian silat nyonya ini cukup tinggi, akhirnya nyonya Yo diperbantukan kepada Panitia itu dan mendapat jaminan hidup yang lumayan.
Seselesainya pemuda yang menolong jiwanya dan ketiga orang anaknya menyerahkan
kepada panitia korban banjir itu di Seng-koan ia segera berlalu meninggalkan kota itu untuk melanjutkan perjalanannya.
*** Tan Hong teringat akan janjinya kepada To Tek Hosiang, tokoh persilatan Houw-sanpai
yang pernah dikalahkannya dulu dan yang menantangnya agar ia suka datang berpibu
di kelentengnya, yakni kuil Kim-ci-tang di kota Wi-ciu. Kebetulan sekali hari itu adalah tepat pada hari perjanjiannya, maka ia lalu cepat-cepat menuju ke kota Wi-ciu.
Di dalam hati Tan Hong tidak suka sekali-kali mencari permusuhan dengan orangorang dari dunia kang-ouw, akan tetapi sebagai seorang ksatria, ia harus memegang teguh jamjinya. Ia maklum bahwa To Tek Hosiang masih belum mau mengalah, maka sebagai
seorang pemuda yang menghargai orang tua, apalagi orang tua itu adalah seorang
hwesio dan tokoh ternama di dunia persilatan, ia harus datang memenuhi janjinya. Ia dapat menduga pula bahwa kali ini hwesio itu tentu berusaha hendak menebus
Pukulan Naga Sakti 10 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Pukulan Naga Sakti 25
^