Pencarian

Sepak Terjang Hui Sing 3

Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Bagian 3


Meskipun tahu arti kata dalam kalimat itu, Hui Sing belum paham makna di dalamnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Bukankah kau ingin tahu sejarah panjang Majapahit, Hui Sing?"
"Tentu saja. Apakah kitab ini memuat sejarah Majapahit, Anindita?"
"Namanya kitab Negara kertagama. Ini merupakan karya sastra Jawa Kuno berbentuk kakawin karya Empu Prapanca.
Di dalamnya terungkap sejarah berdirinya Majapahit hingga puncak kekuasaannya saat menyatukan nusantara."
Wajah Hui Sing sontak cerah.
Sejak lama ia ingin tahu sejarah Majapahit yang selama ini hanya ia dengar dari gurunya, Laksamana Cheng Ho.
"Sebenarnya, Negarakertagama merupakan catatan perjalanan Raja Hayam Wuruk yang terkenal dengan sebutan desawarnana atau cacah desa-desa. Kitab ini terdiri dari 98
pupuh (paragraf). Semua keingintahuanmu pasti terjawab dengan membaca kitab ini."
Mata Hui Sing berkaca-kaca.
"Lalu, apa yang harus aku berikan untukmu sebagai kenang-kenangan, Anindita?"
Anindita tersenyum.
"Ketertarikanmu mempelajari sejarah Majapahit sudah membuatku gembira. Tak usah berpikir macam-macam, Hui Sing."
Setelah mengungkapkan rasa terima kasihnya, Hui Sing segera tenggelam dalam lembaran-lembaran
Negarakertagama di tangannya. Ia bahkan nyaris tak memedulikan keberadaan Anindita di sana. Sesekali dia bertanya arti beberapa kata yang tidak bisa ia pahami.
Usai itu, dia kembali asyik menikmati kebersamaannya dengan ilmu. Purnama semakin menjauh. Angin dingin mulai menelusup ke ruang-ruang bangunan keputren. Ketika terasa di sunsum tulang rasa dingin yang mencekat, barulah Hui Sing sadar, hari telah larut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Beberapa kali ia memastikan bahwa Anindita benar-benar menghadiahkan kitab itu kepadanya. Setelah yakin, barulah dia berpamitan dan kembali ke wisma tamu dengan kegembiraan yang barangkali sulit dicerna oleh orang lain.
Begitu berartikah sebuah kitab"
0oo0 Sesosok bayangan hitam mengendap-endap di genteng kompleks peristirahatan Rakryan Rangga Abyasa, pejabat nomor dua setelah patih kepercayaan Raja
Wikramawardhana. Gerakan orang bercadar itu gesit. Cepat, tanpa menimbulkan banyak suara. Para prajurit jaga tak satu pun yang menyadari keberadaannya di atas wuwungan (pertemuan atap).
Malam itu sunyi senyap. Ada rintik hujan. Angin mendesau dingin. Saat yang nyaman untuk memejamkan mata di balik selimut tebal. Saat yang nyaman juga bagi para penjahat untuk melancarkan aksinya.
Sosok hitam itu melayang dengan gerakan sangat ringan dari atap bangunan ke pintu masuk bangunan peristirahatan sang rakryan rangga. Dua orang prajurit jaga belum sadar benar apa yang terjadi ketika tubuh mereka berdebam ke tanah dengan leher tergorok.
Tamu tak diundang itu tak lagi menemui kesulitan untuk masuk ke dalam rumah. Langkahnya berjinjit menghapus suara yang bisa timbul dari gesekan alas kaki dan lantai.
Sampai juga dia di pintu kamar sang rakryan rangga. Berderit suara pintu yang tak dipalang dari dalam itu terbuka.
Di atas pembaringan, sang rakryan rangga kelihatan tenteram dalam tidur. Matanya terpejam rapat. Di sebelahnya, sang istri pendamping pun kelihatan menikmati betul tidurnya.
Nyenyak tanpa gelisah.
Aura pembunuh menyebar ke seluruh ruangan. Orang bercadar itu mencabut sebilah badik dari pinggangnya. Ia lalu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi maju beberapa langkah. Persis di samping pembaringan, dia mengayunkan sekeras-kerasnya badik di tangan kirinya.
"Siapa kau"!"
Salah satu alasan Abyasa terpilih menjadi rakryan rangga adalah pemahamannya tentang ilmu kenegaraan dan tentu saja ilmu kanuragan yang memadai. Bagi seorang Abyasa yang telah lama membasahi dirinya dengan pengalaman, dalam tidur nyenyak pun dia waspada. Begitu merasa ada angin serangan yang membidik jantungnya, Abyasa langsung berguling menghindar. Toh, kecepatan badik itu sempat menggores kulit lengannya.
Sementara itu, Tarasari, istri Abyasa yang terbangun oleh teriakan lantang suaminya, langsung berteriak ketakutan.
Wajahnya mengerut saking takutnya. Dia berusaha bangkit dari tidurnya sambil terus melihat ke arah penyerang bercadar itu. Cuma sesaat. Badik yang gagal mereguk banyak darah itu beralih arah dan memburu jantung Tarasari.
Crep!!! Teriakan Tarasari terpotong untuk selama-lamanya. Mata perempuan tiga puluhan itu terbelalak. Garis urat yang muncul di bola matanya menggambarkan rasa sakit yang luar biasa.
"Bajingan kau!!!"
Abyasa tanggap menyelamatkan dirinya, namun tak cukup sigap untuk menghindarkan istrinya dari maut. Begitu melihat darah muncrat dari tubuh Tarasari, Abyasa meloncat, menerkam ke arah penyerang itu.
Sebelumnya, dia sempat menghunus keris pusaka yang diletakkan di meja samping pembaringan. Suara trang tring pun menjadi riuh. Badik kecil dan keris pusaka bertemu dan menimbulkan percikan api.
Abyasa tak sendirian. Dia ditemani dendam kesumat dan amarah yang sampai ke ubun-ubun. Rasa kehilangan sang istri membuat tenaganya berlipat-lipat. Ia terus memburu orang bercadar itu dengan keris pusakanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Si cadar hitam mulai keteteran meladeni permainan keris lawan. Ternyata, dia tak cukup menguasai senjata yang ada di genggaman tangannya.
Tranggg! Sapuan tangan Abyasa berhasil membuat si penyerang terpaksa melepaskan badiknya. Senjata kecil namun berbahaya itu terlempar ke lantai. Abyasa tak mau membuang kesempatan untuk menang. Dia langsung memburu dada lawan dengan keris yang sudah berbau amis karena mengendus darah itu.
Hegggh! Tak seperti yang diduga sebelumnya. Orang bercadar itu rupanya justru lebih berbahaya tanpa badik di tangannya.
Sekali hentak, tangan kanannya melepaskan tenaga dalam yang sangat keras. Abyasa terlempar ke belakang dengan dada yang sesak. Seperti tak ada udara yang tersisa di paru-paru.
Dia juga merasakan dingin yang mencekat. Mematikan rasa dan membekukan seluruh aliran darah, seperti dihunjam ratusan pedang. Abyasa telentang dengan nyawa yang pelan-pelan tercabut. Sementara, keris pusaka itu masih ada di genggaman tangan kanannya.
0oo0 Keraton Majapahit geger. Ratusan prajurit mondar-mandir dengan wajah serius. Semua orang sibuk. Tidak ada senyum.
Justru duka yang pekat seperti langit yang hendak mencurahkan hujan.
Berita rajapati (pembunuhan) Rakryan Rangga Abyasa dan istrinya, Tarasari, seperti kilat menyebar ke setiap sudut keraton. Tangis melengking anak-anak sang rakryan rangga menjadi desah waktu hari itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Prabu Wikramawadhana bahkan langsung memanggil semua bawahannya untuk membahas masalah itu. Sementara jasad kedua orang penting itu disemayamkan di Griya Rakryan Rangga, sang prabu yang berwajah mendung berbicara di hadapan para bawahannya.
Mahapatih Sadhana, Rakryan Tumenggung Sa-dali, Kepala Bhayangkari Sad Respati, empat belas anggota bhayangkari, dan para pejabat lain tertunduk lesu.
"Apa kalian semua sudah tak lagi memikirkan raja kalian"
Bahkan rajapati terjadi hanya beberapa tombak dari kediamanku!"
Tak ada yang berani bersuara. Respati merasa dadanya dibebani gunung batu yang menyesakkan. Bicara keselamatan raja, tentu saja dirinya yang harus bertanggung jawab.
"Respati, apa kerja bhayangkari hingga seorang rakryan rangga bisa dibantai di rumahnya sendiri?" Respati menyembah, sebelum dia mengatur setiap kata yang hendak dia ucapkan.
"Baginda, bhayangkari bertugas mengamankan seluruh sudut kediaman raja. Namun, kami sama sekali tidak melakukan penyisiran ke kediaman rakryan rangga sebab di sana sudah ada prajurit jaga khusus."
"Jarak antara kediaman raja dan rakryan rangga tak begitu jauh. Apakah lima belas orang bhayangkari tak satu pun melihat bayangan hitam yang menyebar maut itu?"
Respati tak menjawab.
"Ampun, Prabu, jika boleh saya hendak berbicara."
"Sadali, apa yang hendak kau utarakan?"
"Prabu, saya melihat ada sesuatu di balik rajapati ini. Tak sekadar pembunuhan biasa yang tanpa alasan di belakangnya."
Wikramawardhana tak bereaksi. Dia diam mendengarkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Siapa yang diuntungkan dengan kematian Kakang Abyasa?"
Semua orang di ruangan itu terhenyak. Seperti baru saja dibangunkan dari mimpi indah. Mereka terlihat berpikir keras.
"Katakan pendapatmu, Sadali. Jangan berbelit-belit."
"Ampun, Sang Prabu. Setahu saya, jabatan rakryan rangga cukup menggiurkan bagi siapa saja yang tergoda untuk memegangnya, sedangkan Sang Prabu sama sekali belum berencana untuk menurunkan Kakang Abyasa dari jabatan tersebut. Di sisi lain, banyak orang yang ingin menempati jabatan itu. Bukankah di keraton Mahapahit ada beberapa orang yang akan segera kehilangan jabatannya?"
"Siapa yang kau bicarakan, Sadali"!"
Suara Wikramawardhana yang menggelegar menyentakkan Sadali. Sepertinya dia baru menyadari bahwa dia telah melemparkan jebakan yang meringkusnya sendiri.
Sang Prabu membuang napasnya pelan.
"Masalah ini rumit. Jangan dulu berprasangka. Siapa pun berkemungkinan menjadi orang di belakang rajapati ini. Aku hanya ingin semua waspada. Respati, kau bertanggung jawab penuh terhadap keamanan keraton. Tangkap pembunuh itu!
Aku tak mau rajapati ini berlanjut."
Respati mengangguk sambil menyembah. Ketika melirik ke arah Sadali, dia menangkap racun yang menebar maut terpancar dari matanya. Pemuda itu sadar, ia harus sangat berhati-hati.
0oo0 "Kau sudah mendengar tentang pembunuhan itu, Hui Sing?"
"Ya, Guru. Saya mendengarnya dari Anindita tadi pagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kuatkan hatimu. Kita harus segera menghadapi penghianat itu."
"Maksud Guru?"
Hari demikian terik siang itu ketika Cheng Ho memanggil Hui Sing ke ruang pribadinya. Guru dan murid itu tengah membicarakan kabar pembunuhan yang merenggut nyawa orang penting Majapahit malam sebelumnya.
"Aku sempat melihat jasad Rakryan Rangga Abyasa. Luka di dadanya jelas terkena pukulan Kutub Beku. Meskipun si pembunuh hendak mengelabuiku dengan menancapkan badik di dada Abyasa, aku takkan tertipu!"
Bibir Hui Sing terbuka saking terkejutnya. Bahkan, dia tak mampu berkata apa-apa.
"Pencuri itu mulai menyebarkan racunnya. Jika orang Majapahit tahu penyebab kematian Abyasa adalah pukulan andalan aliran kita, kau bisa membayangkan apa yang akan terjadi?"
Hui Sing mengangguk-angguk.
"Prabu Wikramawardha pagi tadi melakukan pertemuan dengan bawahannya. Memang sama sekali tidak dibahas mengenai penyebab kematian Abyasa. Sebab, mereka yakin pejabat itu tewas karena tertusuk badik. Tapi, kita harus hati-hati."
Hui Sing masih belum bersuara.
"Orang-orang kini justru mulai menduga-duga orang dalam, sebagai pembunuh itu. Salah satu orang yang dicurigai adalah Sad Respati!"
"Kepala bhayangkari, Guru?"
"Ya. Bulan depan Respati akan menikahi Anindita dan kehilangan jabatannya sebagai kepala bhayangkari, sedangkan jabatan rakryan rangga adalah pilihan yang paling memungkinkan baginya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing menajamkan pendengarannya.
"Jabatan rakryan tumenggung jadi mustahil karena Sadali masih kerabat raja dan sangat dipercaya. Untuk menjadi mahapatih, Respati masih butuh kematangan usia. Apalagi jabatan mahapatih sekarang dipegang calon bapak mertuanya."
"Lalu, kenapa rakryan rangga, Guru?"
"Mereka beranggapan, Abyasa tak cukup kuat untuk bertahan. Hanya karena dia pernah berjasa kepada raja sehingga raja tak tega untuk menurunkannya."
"Guru percaya hal itu?"
"Bagaimana denganmu, Hui Sing?"
"Secara pribadi, saya sedikit mengenal Respati. Saya percaya hal ini mustahil dia lakukan. Kedua, alasan pembunuhan itu terlalu sederhana. Respati sangat bodoh bila benar dia yang melakukan."
"Mengenai penilaian pribadi, tidakkah kau belajar dari kedua kakakmu, Hui Sing" Bahkan, kita sudah saling mengenal bertahun-tahun. Nyatanya, ada di antara mereka yang berkhianat, meskipun aku belum yakin siapa dia."
Hui Sing menelan ludah. Dia membenarkan kata-kata gurunya.
"Tapi, alasan keduamu sangat masuk akal!"
Hui Sing lega. "Bagaimanapun kita tetap harus segera pergi. Jika tidak, pengkhianat itu akan semakin leluasa menyebar maut dan merusak suasana. Hui Sing, katakan kepada kedua kakakmu, kita akan berangkat ke Pelabuhan Surabaya dua hari lagi.
Sekarang, aku harus bertemu dengan sang prabu untuk membicarakan hal itu."
"Baik, Guru."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah berpamitan Hui Sing pun keluar dari ruang pribadi gurunya. Kali ini dia keluar dengan jasad yang terasa sangat mati. Begitu bertumpuk. Segera meninggalkan Majapahit pun sudah demikian menyesakkan dadanya. Bagaimanapun masih banyak yang ingin ia kerjakan di negeri ini.
Kini, peristiwa pembunuhan di lingkungan keraton telah menyeret nama Respati, teman barunya yang menyenangkan.
Hui Sing agak sempoyongan menapak jalan kerikil yang menghubungkan ruang pribadi gurunya dengan taman tengah wisma tamu. Tadinya dia berharap akan bertemu dengan kedua kakak seperguruannya di sana.
Ternyata tidak. Juen Sui dan Sien Feng tak tampak di kursi taman yang biasanya menjadi tempat mereka berbincang. Hui Sing lalu menyeberang taman menuju ruang pribadi Juen Sui.
"Kakak Juen Sui, Hui Sing hendak bertemu!"
Tak ada jawaban dari dalam ruangan. Di sebelah kamar itu, ruang istirahat Sien Feng, juga senyap. Tidak ada tanda-tanda kesibukan di dalamnya. Hui Sing mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu kamar Sien Feng. Ia lalu membalikkan tubuhnya dan lagi-lagi menyeberang taman menuju pintu gerbang wisma tamu.
0oo0 Malam sedang indah-indahnya. Bulan memang tak lagi purnama. Namun, langit bersih tanpa mendung yang pekat membuat wajah bulan demikian cantik dan bersinar. Malam belum larut. Angin juga masih sepoi. Tak terlalu dingin. Suara ikan-ikan yang berkecipak di permukaan air demikian syahdu.
Mereka bercanda dengan sukacita.
Danau Tirta Kusuma, begitu nama danau bening di pinggir Kota Raja itu. Airnya jernih. Ketika hari terang, bahkan dasar danau kelihatan jelas dilihat dari permukaan. Tenang dan membuat adem perasaan. Di pinggir danau, bunga-bunga bermekaran dengan warna-warna yang tak tertandingi oleh Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi akal manusia. Keindahan yang tak akan tersentuh oleh ilmu manusia.
Di pinggir danau, sebuah bangunan kecil mirip dangau terkesan lengang. Tiang-tiangnya dari bambu sederhana, beratap daun kajang yang anyamannya rapi. Di sana, kini ada dua sosok yang berdiri kaku. Tak saling menatap. Sama-sama mencari sesuatu dengan pandangan mata yang jengah ke seberang danau.
"Hu Sing, maaf malam-malam begini aku mengundangmu kemari."
Situasi kaku seperti itu membuat mereka sendiri menjadi heran, mengapa bisa begitu.
"Aku dengar dari Anindita, besok pagi rombongan Tuan Cheng Ho akan ke Pelabuhan Surabaya untuk berlayar ke Kang Lama."
Respati lalu menatap Hui Sing. Ia menangkap suasana hati yang bingung dalam binar mata Hui Sing yang mulai berkaca-kaca. Wajahnya seperti memantulkan cahaya bulan dengan sempurna.
"Benar, Kakang. Kami hanyalah pengelana. Tak punya kampung halaman untuk diam berlama-lama. Rumah kami adalah angin. Ini takdir."
Respati kembali melempar pandangannya ke seberang danau.
"Setelah ini, aku akan kehilangan teman bicara yang menyenangkan ketika membahas keris dan ilmu kanuragan."
Hui Sing terdiam. Kata-katanya seperti tertahan di ujung lidah.
"Juga teman berbagi cerita ketika duka menyer-gap."
Hui Sing menoleh dengan wajah bersalah.
"Kakang, aku sudah mendengar omongan tidak benar perihal pembunuhan Rakryan Rangga Abyasa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kau percaya cerita itu, Hui Sing?"
Hui Sing mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Bukan menyelidik. Hanya membuang jauh rasa kakunya malam itu.
"Kalau benar kau yang melakukannya, kau adalah sebodoh-bodohnya manusia. Caramu kurang cerdik.
Tindakanmu gegabah."
Respati menatap Hui Sing dengan sorot mata elang.
"Aku tak tahu kejadian sebenarnya. Aku hanya tahu bahwa Kakang bukan orang bodoh."
Respati melepas senyumnya. Sementara Hui Sing merasakan debar jantungnya semakin cepat. Ia tahu benar, ini berbahaya. Lebih berbahaya dibandingkan ancaman seratus pedang sekalipun.
"Kakang, aku kira tak baik berlama-lama di tempat ini. Hari semakin gelap. Aku rasa, sebaiknya aku kembali ke wisma tamu."
Respati kehilangan senyumnya. Mendung rata di wajahnya. Ia menatap Hui Sing seperti bocah lima tahun yang memohon kepada ibunya.
"Kau bahkan tak menyiapkan kata-kata perpisahan untukku, Hui Sing?"
Hui Sing yang sudah hendak beranjak dari tempat itu menghentikan langkahnya tanpa menoleh sempurna ke belakang. Hanya lehernya sedikit dimiringkan hingga sedikit wajahnya bisa terlihat dari tempat Respati berdiri.
"Kakang, bulan semakin jauh. Sinarnya tak lagi benderang.
Keceriaannya mau tak mau harus meninggalkan bumi.
Meskipun aku yakin, jika bulan bisa berbicara, pasti ia akan berkata, betapa ia sangat menginginkan untuk menyinari kegembiraan penduduk bumi selamanya dengan cahayanya yang tak menyengat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Dia seperti bukan sang pemilik wibawa yang demikian kesohor. Dia juga bukan kesatria yang pantang bersendu sedan.
"Hui Sing!"
Untuk kedua kali, Hui Sing menghentikan langkahnya. Ia kini telah berada di luar saung. Sepatunya menginjak rerumputan di pinggir danau.
"Aku juga yakin. Jika bumi bisa berbicara, dia pasti mengatakan, betapa ingin ia selamanya dipeluk cahaya bulan yang bijak dan keibuan."
Suara Respati semakin serak. Bukan hanya karena suara aslinya memang demikian. Ada beban berat pada setiap kata yang ia ucapkan. Bahkan, tak seorang pun di jajaran bhayangkari yang pernah melihat sang kesatria berada dalam keadaan itu. Berdiri menyandar pada tiang saung dengan mata yang berkaca-kaca.
Dia seperti orang linglung yang bahkan tak paham apa yang sedang menimpa dirinya.
Hui Sing enggan membalikkan tubuhnya. Dia menyadari bahwa dirinya pun sepenuhnya lemah.
"Kakang, maaf aku tak bisa menghadiri hari bahagiamu bersama Anindita. Kakang sungguh beruntung mendapatkan putri seperti Anindita."
Setelah itu, Hui Sing tak lagi mendengarkan suara apa pun dari bibir Respati. Entah karena pemuda itu memang tak lagi berucap atau karena Hui Sing telah menguatkan hatinya untuk menutup pendengarannya. Gadis itu berjalan bergegas menuju Kota Raja. Hampir tengah malam. Hui Sing mempercepat langkahnya. Di seputar istana raja masih tampak keramaian.
Warung-warung makan masih dibuka. Orang-orang masih ada yang bersantap meskipun tak banyak. Kelompok-kelompok orang juga ada yang berkerumun di beberapa sudut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Yang paling mencolok adalah kelompok-kelompok prajurit yang mondar-mandir.
Tak butuh waktu lama, Hui Sing telah sampai di gerbang wisma tamu. Ia baru saja hendak menembus gerbang wisma setelah sebelumnya mengucap salam kepada dua prajurit jaga, ketika pandangan matanya tertancap pada sesuatu.
Hui Sing menajamkan pandangannya ke atas genteng-genteng wisma tamu.
"Tuan, cepat panggil teman-teman kalian. Ada seseorang mencurigakan di atas atap wisma."
Dua prajurit jaga wisma tamu terhenyak. Mereka segera mencari tahu dengan menelisik wuwungan wisma yang terbuat dari papan kayu jati kokoh.
"Anda tidak sedang bercanda, Nini?"
Tanpa menghiraukan teguran prajurit itu, Hui Sing berlari secepatnya menuju bangunan wisma tamu tempat ia melihat sesosok bayangan hitam bergerak ringan.
Hup! Sekali lompat, Hui Sing telah hinggap di atas atap wisma.
Dia langsung berlari cepat di atas genteng tanpa khawatir terpeleset. Gerakan gadis itu demikian lincah dan ringan.
Keyakinannya membuahkan hasil. Hui Sing menangkap bayangan hitam itu lagi. Kini, bayangan misterius itu melompati tembok yang mengepung wisma tamu.
Tubuhnya mencelat dari atap wisma keluar tembok. Hui Sing melakukan hal yang sama. Semangatnya semakin berkobar untuk mengetahui orang bercadar hitam yang malam-malam mengendap-endap di genteng keraton itu.
Tak mungkin ke Wisma Rakryan Rangga.
Hui Sing berbincang dengan dirinya sendiri. Ia yakin jika benar orang yang sedang dikejarnya adalah pembunuh rakryan rangga, mustahil dia bergerak ke Wisma Rakryan Rangga atau malah ke Wisma Raja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah kejadian rajapati, pengamanan di kedua tempat itu jadi berlapis. Jumlah prajurit jaga lebih banyak dari biasanya.
Dugaan Hui Sing benar.
Orang misterius itu berbelok ke arah keputren, bukan ke Wisma Rakryan Rangga. Napas Hui Sing memburu.
Tapi dia merasa tenaganya jadi berlipat-lipat oleh keingintahuannya tentang orang misterius itu. Sekuat tenaga dia terus berlari di atas genteng itu tanpa kendor.
Sekarang! Bunyi bersuit-suit terdengar nyaring. Setelah tinggal beberapa tombak saja dari orang yang ia kejar, Hui Sing langsung meluncurkan sabuk peraknya yang lihai itu.
Meskipun tak lagi memantulkan cahaya yang menyilaukan, namun kelihaian sabuk baja itu tak berkurang.
Mendengar bunyi bersuit di belakang tubuhnya, orang misterius itu langsung tanggap akan bahaya yang mengancamnya. Dia segera bersalto menghindar dan terus berusaha lari.
Mau lari" Jangan harap!
Hui Sing seperti mendapat tambahan tenaga yang berlimpah. Meskipun tenaganya cukup banyak berkurang saat kejar-kejaran, toh dia masih mampu melakukan serangan maut dengan sabuknya.
Liukan-liukan sabuk yang berbahaya langsung menyerbu sosok bercadar itu. Tapi rupanya, sosok itu memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Dia tahu benar bagaimana menghindari serangan sabuk maut Hui Sing. Hanya, dia sama sekali tak berusaha membalas serangan gadis itu.
Dia hanya berusaha keras untuk menghindar dengan bersalto, bergulingan di atas genteng, dan menunggu waktu untuk kabur.
"Kenapa tak melawan" Kau takut aku mengenali gerakanmu"!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing sudah bisa membaca isi otak orang itu.
"Hayo, mana pukulan Kutub Beku yang membuatmu mabuk dunia itu?"
Orang bercadar itu sempat terhenyak meskipun sesaat.
Reaksi inilah yang ditunggu Hui Sing. Ia sengaja mengatakan kalimat itu dengan bahasa Chun Kuo untuk menjajagi kebenaran dugaannya. Ketika dia melihat orang itu tersentak, ia yakin bahwa buruannya memahami bahasa Chun Kuo.
Sekarang, sabuk perak Hui Sing terus menyerang ke arah kepala buruannya. Rupanya, Hui Sing geregetan ingin segera mencampakkan cadar yang dikenakan orang itu. Sementara orang yang diserangnya kelabakan dan terus menghindar.
Hui Sing ada di atas angin karena orang yang ia serang benar-benar tak mau melakukan serangan balik. Apa pun alasannya, hal itu sangat menguntungkan Hui Sing. Gadis itu semakin bersemangat mengincar lawannya dengan sabuk sakti di tangannya.
Sabuk panjang itu terus menggulung-gulung dan mengeluarkan bunyi lecutan beberapa kali. Beberapa kali Hui Sing nyaris bisa menghantam lawannya dengan ujung sabuk.
Namun, orang bercadar itu mampu menghindar.
Hui Sing sangat yakin, sebentar lagi dia akan mampu merobohkan lawannya. Bagaimanapun, menyerang adalah pertahanan paling kokoh. Keyakinan itu semakin mengental hingga pendengaran Hui Sing menangkap suara berdesing yang menyerbu ke arahnya.
Serta merta Hui Sing bersalto sambil memutar sabuknya.
Trang! Bunyi logam bertemu terdengar nyaring ketika sabuk Hui Sing mengempaskan lempengan-lempengan besi tajam sebesar dua jari yang nyaris menghunjam di tubuhnya.
Belum selesai. Hui Sing kembali harus berjumpalitan sambil memutar-mutar sabuknya ketika bunyi berdesing itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kembali menyerbunya. Ia sudah tak lagi memikirkan orang yang susah payah diburunya.
Kini, Hui Sing dibuat marah besar oleh orang yang menyerangnya dari belakang tadi. Satu lagi sosok manusia bercadar berdiri di atap keputren, sementara orang bercadar yang satunya lagi sudah hilang tak berbekas.
Hui Sing menatap tajam ke arah penyerangnya. Mereka masih berdiri tegak dan saling menyelidik. Tanpa bergerak sama sekali. Saling tatap setajam elang.
"Hyaaa ...!"
Hui Sing mengambil keputusan lebih dulu. Dia menyerbu penyerangnya dengan sepenuh hati, sedangkan penyerang yang juga bercadar hitam itu menyambut Hui Sing dengan gegap gempita yang sama. Di tangannya, tergenggam pedang panjang dan langsing.
Pertarungan seru kembali berlangsung. Kali ini Hui Sing tak bermain sendiri. Sebab, berbeda dengan orang bercadar pertama yang enggan menyerangnya balik, si penyerang ini sangat bersemangat melakukannya. Jurus-jurus yang ia terapkan sungguh asing bagi Hui Sing.
Ada aura kejam. Caranya membacokan pedang seperti setan haus darah. Tapi, Hui Sing menangkap keindahan dalam gerak serangan lawannya. Keindahan yang dibalut kekejaman. Hui Sing merasakan betul hal itu.
Setelah belasan jurus, baik Hui Sing maupun lawannya, belum ada yang berhasil mendesak. Kekuatan masih berimbang. Hui Sing pun kemudian mengubah arah serangannya dengan membidik kedua kaki penyerangnya.
Ujung sabuknya yang sanggup menghancurkan batu karang dalam satu hentakan itu terus-menerus memburu kedua kaki penyerang bercadar itu. Menyadari jika bertahan seperti itu akhirnya sangat merugikan, orang itu lalu melentingkan tubuhnya dan menyerang Hui Sing dari udara.
"Kena kau!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kejutan yang luar biasa. Rupanya, Hui Sing hanya menjebak. Gadis itu sengaja membuka daerah serangan udara bagi lawan, agar lawannya berpikir dia lengah. Begitu orang bercadar itu melenting ke udara dan menghunjamkan pedangnya lurus ke bawah, seolah siap menembus kepala Hui Sing, gadis itu meluncurkan ujung sabuknya yang ada di balik lengan bajunya. Hui Sing menerapkan jurus lingzho kawt (naga kembar).
Ujung sabuk itu membuat pusaran angin yang deras menyambut si penyerang. Kaget bukan main, si penyerang mengurungkan niatnya melakukan bacokan dari udara. Ia lalu bersalto ke belakang. Namun, Hui Sing sudah menduga gerakan itu.
Dia pun menyerbu ke depan dengan dua ujung sabuk yang kini siap melumpuhkan lawan. Menghadapi satu ujung sabuk saja sudah begitu repot, si penyerang bercadar itu sekarang mesti menghadapi dua tangan Hui Sing yang sama-sama memainkan sabuk.
Seperti memiliki dua tangan yang panjang dan berbahaya, Hui Sing segera merangsek ke depan begitu kaki orang itu menginjak atap rumah. Ujung sabuk yang dimainkan tangan kanan Hui Sing menyerang kaki, sedangkan ujung sabuk yang lain memburu kepala.
Hui Sing tak lagi menemui kesulitan untuk mendesak lawannya yang kini hanya bisa menghindar. Pedang panjang di tangannya tak banyak membantu. Kelihatan dia serba ragu-ragu dengan seluruh gerakannya.
Tiba-tiba Hui Sing dipaksa terhenyak ketika orang itu kembali menghujaninya dengan lempengan besi yang berbahaya itu. Tak menyangka bakal diserang mendadak, Hui Sing menjerit sambil memutar tubuhnya. Pada saat itu juga, sabuk di tangannya bergerak cepat melindungi tubuhnya dari serangan senjata rahasia. Gerakan ini merupakan bagian dari jurus nuruty tsuten (putri berkemas) yang sangat tepat untuk melindungi diri dari serangan mendadak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Aaah ...!"
Hui Sing kaget mendengar suara erangan penyerangnya.
Rupanya, gerakan tiba-tiba yang ia lakukan dengan memutar sabuk untuk melindungi tubuhnya, mampu mementalkan lempengan besi itu dan berbalik ke pemiliknya. Sedikitnya, dua lempengan besi menghunjam di bahu orang bertopeng itu.
Namun, yang membuat Hui Sing lebih terhenyak adalah suara penyerangnya yang sepertinya ia kenal. Penasaran, tanpa ampun, sabuk di tangan kiri Hui Sing meluncur ke arah cadar si penyerang dan berhasil membukanya tanpa perlawanan yang berarti.
Mata Hui Sing terbelalak. Dia menyentakkan sabuknya, menghentikan serangan. Kakinya serasa terhunjam di atas genteng. Hui Sing seperti tak pernah belajar berkata-kata. Dia hanya termangu ketika orang yang baru saja berhasil ia lepas cadarnya, bergegas meninggalkan tempat itu sambil memegangi bahunya yang berdarah-darah.
Lama, Hui Sing seperti tersihir. Berdiri kaku tak menyadari apa yang terjadi. Kalau saja teriakan para prajurit di bawahnya tak terdengar lantang, pasti dia akan terus seperti itu. Hui Sing lalu turun dari atap masih dengan tatapan mata bingung. Para prajurit yang tadinya akan ikut membantu Hui Sing meringkus orang misterius itu jadi tak mengerti.
"Hui Sing!"
Sad Respati tiba-tiba saja sudah ada di antara para prajurit itu.
"Kau tidak apa-apa" Aku mendengar dari para prajurit bahwa kau baru saja bertarung dengan dua orang bercadar."
Hui Sing tak menjawab. Dia hanya memandang Respati dengan tatapan bingung. Respati mengerutkan dahinya.
"Sebaiknya kau kuantar ke wisma tamu, Hui Sing. Mungkin kau terlalu lelah."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa menggeleng ataupun mengiyakan, Hui Sing menurut saja ketika Respati memberinya jalan di antara kerumunan prajurit. Hui Sing memandangi orang-orang dengan tatapan mata yang tak terbaca oleh siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi DATASAWALA
5. Topeng Pengkhianat
Laksamana Cheng Ho duduk gagah di atas kuda.
Pancaran jiwa kesatria tampak sekali di garis wajahnya. Di sebelah kanan, Hui Sing duduk di atas kuda lain dengan sikap sempurna. Hanya, tak ada gurat keceriaan di matanya. Dingin, seperti angin malam yang berembus sesudah hujan.
Di belakang mereka, Sien Feng dan Juen Sui juga sudah bersiap untuk segera meninggalkan istana Majapahit. Di hadapan mereka, Sad Respati dan sebagian bhayangkari tampak tenang di atas kudanya masing-masing. Wibawa itu telah kembali menaungi wajah Respati.
Sang Kepala Bhayangkari kini tampak tegar tanpa beban di setiap garis wajahnya. Seperti halnya ketika dulu dia menyambut rombongan Laksamana Cheng Ho datang ke Majapahit. Senyumnya mengembang dengan lesung pipit yang dalam.
"Laksamana, sungguh, kami sebenarnya sangat ingin Tuan dan rombongan tinggal lebih lama di Majapahit. Maafkanlah kami jika tak bisa menjadi tuan rumah yang baik."
"Tuan Respati, sungguh bangga saya pernah datang ke negeri yang begini kaya dan berpenduduk santun. Tapi, tentu saja pertemuan selalu berurutan dengan perpisahan. Kami berlayar kembali untuk menolong saudara-saudara kami di Kang Lama."
Respati mengangguk sambil tersenyum. Ia menangkupkan kedua tangannya sambil membungkuk.


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika demikian, apalagi yang bisa saya katakan. Mewakili Prabu Wikramawardhana, kami sungguh berterima kasih atas Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kedatangan Tuan. Semoga segala rencana Kerajaan Ming bisa berjalan lancar."
Cheng Ho tersenyum sambil menjura diikuti oleh seluruh anggota rombongan.
"Nona Hui Sing, saya yakin masa depan Nona begitu cerah. Saya doakan Nona bisa meraih harapan Nona di masa yang akan datang."
Hui Sing mengangguk lemah tanpa menatap langsung ke arah Respati.
Basa-basi itu tak berlangsung lama. Cheng Ho segera menuntaskannya dengan berpamitan. Setelah sekali lagi menjura, ia memerintahkan rombongan untuk balik kanan menuju Pelabuhan Surabaya. Kini, semua ping-se yang turut dalam rombongan itu menunggangi kuda pemberian Prabu Wikramawardhana. Dengan begitu, perjalanan bisa berlangsung lebih cepat.
Tak sampai setengah hari, rombongan Cheng Ho tiba di Cangkir. Sama dengan perjalanan awal mereka saat datang ke Mojokerto, kini mereka pun harus menaiki perahu-perahu kecil untuk tiba di Surabaya.
"Bhayangkari Majapahit betul-betul lihai. Hanya lewat semalam, pembunuh yang membuat onar keraton sudah tertangkap."
Bukan karena tak tertarik kalau Hui Sing tak memedulikan ketika Juen Sui membuka obrolan dengan Sien Feng di atas perahu. Rasa ingin tahu Hui Sing seperti sudah tercerabut hingga ke akar-akarnya. Lagi pula, malam sebelum hari itu, dia baru saja mengetahui satu kenyataan yang demikian mengejutkan sekaligus membingungkan. Hingga dia sama sekali enggan untuk bercerita.
Seperti benang kusut, sulit diurai, sulit diterka-terka. Hui Sing memilih diam. Menatap permukaan air sungai yang gemilang oleh cahaya siang.
"Kakak mengetahuinya" Dari mana Kakak tahu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sien Feng kelihatan begitu penasaran. Dia sengaja berpindah tempat duduk mendekati Juen Sui untuk mendengar langsung cerita penangkapan pembunuh itu.
Perahu yang membawa rombongan Cheng Ho berjumlah puluhan. Sang laksamana memilih perahu paling depan, tanpa ditemani siapa pun, kecuali tukang perahu yang sibuk mendayung.
Rupanya, dia sedang bermeditasi dan tak ingin diganggu.
Juen Sui bersama Sien Feng dan Hui Sing duduk di perahu kedua. Sejak naik perahu, Hui Sing kelihatan betul tak berminat untuk terlibat perbincangan dengan kedua kakak seperguruannya. Dia duduk merapat di pinggir perahu sambil melepas pandangannya ke arah depan.
Kini, Juen Sui dan Sien Feng mengobrol di belakangnya.
"Setelah lolos dari Hui Sing, pembunuh itu hendak lari keluar keraton, tapi langsung disergap oleh pasukan bhayangkari. Aku mendengarnya dari cerita para prajurit pagi tadi."
"Siapa pembunuh itu, Kak?"
"Aku sendiri tak tahu. Tapi, aku yakin Raja Wikramawardhana tak akan memberinya ampun."
Sementara Sien Feng terus mencecar Juen Sui dengan banyak pertanyaan, Hui Sing semakin tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Menghitung-hitung kemungkinan.
Penangkapan penjahat bertopeng oleh bhayangkari itu jelas omong kosong. Tapi akalnya benar-benar buntu untuk memecahkan teka-teki yang ia hadapi saat ini.
Akhirnya dia memilih untuk mengambil kitab Negarakertagama pemberian Anindita dari buntalan perbekalannya. Tapi, dia tak membukanya. Dia hanya termangu menatap kitab tak ternilai harganya itu.
Sementara itu, perjalanan menuju Pelabuhan Surabaya berakhir lebih cepat dari biasa. Perahu-perahu kecil yang ditumpangi rombongan Cheng Ho segera menepi. Tanpa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi membuang waktu, Cheng Ho memerintahkan rombongannya untuk segera ke pelabuhan.
"Adik Wang Jing Hong!"
Air muka Cheng Ho cerah seketika. Dia bergegas ke arah orang kepercayaannya, Wang Jing Hong, yang sempat ia tinggalkan di Simongan.
Mereka berpelukan dengan penuh haru.
"Kau sudah pulih!"
"Berkat perawatan Kakak."
Mereka tertawa penuh kegembiraan. Hui Sing yang berjalan di belakang gurunya merasa lega bukan main.
Gurunya bisa kembali tertawa. Rasanya sudah lama sekali dia tak melihat gurunya memperlihatkan deretan giginya yang putih bagai manik-manik itu ketika tergelak.
"Hui Sing. Kau semakin cantik saja!"
"Paman Wang."
Hui Sing menjura diikuti kedua kakak seperguruannya, Juen Sui dan Sien Feng.
"Kenapa wajahmu seperti langit dipenuhi mendung"
Bukankah di belakangmu sudah ada dua orang gagah yang selalu siap melayanimu?"
Hui Sing hanya tersenyum menanggapi gurauan Wang Jing Hong.
Toh, dia tak bisa memaksakan diri untuk ceria. Meskipun penasaran, Wang Jing Hong tak ingin memaksakan diri. Dia mempersilakan Cheng Ho untuk naik ke perahu yang akan membawa mereka ke kapal Pusaka.
Hari sudah menjelang gelap, tapi Cheng Ho tak mau membuat jeda. Dia segera memerintahkan armadanya untuk bersiap melakukan perjalanan jauh ke Kang Lama, malam itu juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Beberapa li setelah melewati Pelabuhan Gresik Alam tak sedang cantik. Suara petir menggelegar setiap beberapa saat. Hujan deras mengguyur badan-badan kapal armada Laksamana Cheng Ho. Ombak keras menghantam dinding-dinding kapal hingga bergetar.
Awak kapal sibuk mengatur pelayaran di atas geladak.
Memindahkan beberapa layar agar arah perjalanan tak lantas kacau. Di antara para lelaki kekar itu, Hui Sing juga ikut berlarian. Dia satu-satunya perempuan yang mondar-mandir di geladak, sementara penumpang kapal lainnya duduk mengkeret di kamarnya masing-masing.
Dia berteriak-teriak memberi perintah sambil tak ketinggalan ikut menarik tali-tali layar. Seluruh pakaiannya basah kuyup. Rambutnya yang terurai sampai ke pinggang pun basah. Toh, dia tak peduli. Sesekali dia berlari ke ujung geladak untuk melihat keadaan permukaan laut. Di saat yang lain, dia sudah berlompatan di atas tangga tali yang ditali ke atas tiang layar.
"Hui Sing, aku kira semua sudah tertangani. Kau kembalilah ke ruanganmu. Jangan khawatir."
Sien Feng baru saja keluar dari ruangannya. Dia cukup kaget melihat Hui Sing ikut sibuk mengatur para awak kapal.
"Aku tak akan apa-apa. Kenapa harus khawatir?"
Hui Sing berlalu begitu saja dari hadapan Sien Feng yang termangu. Dia lantas berjalan ke arah tangga yang menghubungkan geladak ke ruangan di bawahnya. Tak berapa lama, dia sudah duduk tepekur di kursi kamarnya dengan pakaian yang kering. Kedua tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan kain.
"Hui Sing, kau ada di dalam?"
"Paman Wang, saya segera keluar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Mendengar suara Wang Jing Hong, Hui Sing mempercepat pekerjaannya. Dia lantas bergerak ke pintu kamar dan membukakan pintu untuk Wang Jing Hong.
"Paman, tak biasanya Paman datang langsung ke ruangan saya. Ada apa?"
"Gurumu memanggilmu ke ruangannya. Sepertinya sangat mendesak."
Kening Hui Sing berkerut. Ada apa" Pagi tadi, dia baru saja bertemu dengan gurunya, ketika dia mengantar teh dan sarapan pagi. Tidak ada pembicaraan yang sangat penting.
Tapi, kenapa kini dia memanggil dengan demikian tergesa "
"Baik, Paman."
Tanpa membuang waktu, Hui Sing segera menutup pintu ruangannya dan mengikuti langkah Wang Jing Hong ke ruangan gurunya.
Cheng Ho bersila di pembaringan. Wajahnya sangat pucat.
Keringat keluar hampir dari seluruh permukaan kulit mukanya.
Perlahan wajahnya menghitam.
"Guru!"
Hui Sing kaget melihat keadaan gurunya. Matanya terbelalak dan bibirnya bergetar. Keningnya semakin berkerut karena khawatir.
Wang Jing Hong mengingatkan agar Hui Sing tenang dan duduk. Ia menyuruh agar Hui Sing menunggu sampai Cheng Ho sadar.
Hoekh ... hoekh!
"Guru!"
Wang Jing Hong tak bisa lagi menahan Hui Sing yang menghambur ke arah Cheng Ho sambil memekik penuh waswas. Justru Cheng Ho yang mengangkat tangan kanannya, mencegah Hui Sing mendekat.
"Aku tak apa-apa!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing terpaku di tempatnya berdiri. Menatap Cheng Ho yang pelan mengelap darah hitam kental keluar dari mulutnya.
Ia memuntahkan banyak sekali darah berwarna hitam. Seperti terkena racun.
"Guru terkena racun?"
"Racun yang sangat mematikan. Campuran tarantula ratusan tahun dan kobra putih."
Hui Sing makin tak bisa bicara.
"Bagaimana mungkin?"
"Siapa yang menyeduh teh untukku tadi pagi?"
Hui Sing tercekat. Napasnya tertahan.
"Saya sendiri, Guru."
"Hm, lihai sekali dia."
Hui Sing masih belum mengerti.
"Sepertinya, sekaranglah saatnya, Hui Sing."
"Maksud Guru?"
"Aku masih butuh waktu untuk membuang semua racun dalam tubuhku. Yang berhasil aku muntahkan baru setengahnya saja. Paling tidak, aku butuh waktu hingga malam nanti untuk memaksa semua racun keluar dari tubuhku."
Hui Sing masih berdiri diam.
"Selama itu, jagalah pintu kamar ini baik-baik. Jangan biarkan satu orang pun masuk, termasuk Juen Sui dan Sien Feng."
Hui Sing menatap Wang Jing Hong.
"Tentu saja kecuali Saudara Wang!"
Cheng Ho menjawab pertanyaan di benak Hui Sing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Aku kira, inilah saat yang ditunggu-tunggu pengkhianat itu untuk menyerang. Keadaanku sedang lemah. Dia pasti memanfaatkannya. Sekarang kau boleh keluar."
Masih dalam keadaan bingung, Hui Sing keluar dari ruangan itu. Setelah menutup pintu kamar, dia berdiri kaku di muka pintu kamar dengan tubuh bergetar. Bagaimana mungkin dia begitu ceroboh, memberikan minuman beracun kepada gurunya. Lalu, bagaimana bisa racun itu masuk ke dalam teh yang ia bawa"
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar dalam benak Hui Sing. Masih mengambang dan tak terjawab, sampai kemudian dia mendengar derap langkah mendekat.
"Hui Sing, apa yang kau lakukan di sini?" Juen Sui berdiri terheran-heran melihat Hui Sing berdiri seperti orang linglung.
Begitu juga dengan Sien Feng yang berdiri di belakangnya.
"Menjaga guru agar tak ada seorang pun masuk ke ruangannya."
Juen Sui tersenyum.
"Termasuk kami?"
"Ini perintah guru, aku tak berani menentang."
"Hui Sing, tingkahmu semakin aneh saja belakangan ini.
Setelah menjaga jarak dengan kami, sekarang kau ingin menyingkirkan kami dari guru!"
Hui Sing menatap Juen Sui dengan pandangan pedang, tapi dia malas berdebat.
"Sudahlah, pergilah kalian! Guru benar-benar tak ingin diganggu!"
"Hui Sing!"
Hui Sing cuma mengangkat dagu perlahan ketika suara Juen Sui meninggi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kau sudah keterlaluan! Kami tak peduli jika kau benci kami! Tapi jangan berpikir untuk menyingkirkan kami dari sisi guru." Suaranya mulai merendah.
"Hui Sing, sadarlah. Kita sudah begitu lama bersama-sama."
"Tak akan sampai tengah malam, semua akan terungkap.
Guru sedang berunding dengan Paman Wang untuk meyakini, siapa di antara kalian yang mencuri kitab Kutub Beku. Setelah itu, baru kita bicara tentang masa lalu."
Mata Juen Sui membelalak. Tanpa berkata-kata lagi, dia lantas membalikkan badannya dan berjalan berderap ke arah tangga menuju geladak, diikuti Sien Feng yang sejak tadi memilih diam.
"Aku tak mengerti kenapa Hui Sing menjadi begitu kejam."
Hujan masih deras mengguyur Laut Jawa, meskipun tanpa badai. Ombak pun lebih rendah dibandingkan siang sebelumnya. Juen Sui dan Sien Feng duduk di geladak dipayungi atap mungil di atas tangga menuju lantai bawah.
Suasana geladak tak sesibuk sebelumnya.
"Benarkah guru sedang membahas siapa orang yang mencuri kitab itu?"
Juen Sui menoleh ke arah Sien Feng. Adik seperguruannya itu rupanya tak berminat menjawab keingintahuannya tentang perubahan sikap Hui Sing. Dia justru mempersoalkan perkataan Hui Sing beberapa saat lalu.
"Kenapa kau memikirkannya begitu dalam, Sien Feng?"
"Aku mulai percaya akan keyakinan guru dan Hui Sing."
"Kau menuduhku, Sien Feng?"
"Semua serbagelap. Aku tak bisa berpikir lagi."
"Kau baru saja menuduh tanpa bukti!"
"Kalau bukan Kakak yang melakukannya, kenapa harus begini ribut?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Mata Juen Sui kembali terbelalak. Akhirnya, emosinya tak terkendali sama sekali. Tanpa berkata lagi dia bangkit, lalu berjalan menuju tengah geladak, tanpa peduli hujan. Ia berdiri tegak sambil menatap tajam Sien Feng.
"Sien Feng, sejak lama kau memang sudah tak mempercayaiku. Cabut pedangmu, kita bertarung sampai mati!"
"Apakah ini tidak berlebihan, Kak?"
"Guru tak percaya lagi kepadaku. Kau dan Hui Sing pun begitu. Jadi, apa alasanku untuk hidup" Cabut pedangmu!"
Sien Feng bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekati Juen Sui.
"Kau yakin?"
Juen Sui tersenyum sinis.
"Aku tak pernah seyakin ini."
Juen Sui memasang kuda-kuda terbaiknya. Ia menggenggam bagian tengah tongkat besi dengan tangan kanannya. Siap untuk menggebuk. Sreeeng!
Sien Feng pun bersiap.
"Jika itu kemauanmu. Aku tak berani menolak."
Pedang hitam di tangan Sien Feng meluncur deras langsung ke ulu hati Juen Sui. Angin serangan yang begitu keras sulit sekali dibendung. Tapi karena yang ia hadapi adalah Juen Sui, kakak seperguruannya sendiri, sudah pasti ia tahu betul cara menyikapinya.
Trang!!! Tongkat besi di tangan Juen Sui mengayun. Kecepatan gerakannya membuat kabur pandangan mata lawan. Seolah-olah jumlahnya menjadi banyak.
"Tsude ne fit (jurus ungkitan seorang penjarah)!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Juen Sui memutar tongkatnya. Melepaskan diri dari kepungan pedang Sien Feng dan berusaha mencari peluang untuk melakukan sodokan keras. Sien Feng yang sudah mengenal jurus itu sejak kecil tak terlalu disulitkan oleh serangan itu. Sodokan Juen Sui menerpa ruang kosong, saat tubuh Sien Feng meluncur ke bawah, hingga kedua kakinya meregang lurus, menempel di lantai geladak.
Saat itulah, mata pedangnya kembali meluncur mengincar jantung Juen Sui. Sebelumnya, dia melakukan gerakan pusaran angin dengan memutar kakinya agar mudah bangkit.
"Fuke kotli ey (Panda memetik anggur)!"
Juen Sui terpaksa menggerakkan kakinya ke belakang dengan tergesa agar lepas dari maut. Sementara tangannya memutar tongkat andalannya, menghalau pedang maut Sien Feng.
Sementara pertarungan seperguruan itu semakin sengit, Cheng Ho kembali memanggil Hui Sing masuk ke ruangannya.
"Hui Sing, racun itu lebih berbahaya dari yang aku duga.
Cepat sekali menjalar ke urat darah menuju jantung. Aku butuh waktu lebih lama dan harus menguras tenaga dalam lebih hebat. Kau benar-benar harus membantuku untuk menahan dua orang itu, jika mereka hendak masuk kemari."
"Baik, Guru. Hanya saya betul-betul tidak paham, bagaimana orang itu bisa memasukkan racun ke dalam minuman teh yang saya seduh untuk Guru?"
"Itu yang masih aku pikirkan. Orang itu sangat lihai.
Apalagi kini dia sudah menguasai Ilmu Kutub Beku, meskipun belum sempurna. Kau harus hati-hati!"
"Baik, Guru!"
Hui Sing membalikkan tubuhnya hendak keluar ruangan itu untuk kembali berjaga.
"Hui Sing, tunggu!"
" Ya, Guru?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Siapa yang menyiapkan cangkir tempat air teh yang kau hidangkan!"
Hui Sing tercekat. Kesan wajahnya menegang. Bibirnya bergetar hebat.
"Dia orangnya ...!"
0oo0 "Kakak Juen Sui, kenapa ragu menggunakan tapak Kutub Beku. Apakah kau khawatir aku tak akan sanggup menerimanya?"
"Kau!"
Emosi Juen Sui kian menggelagak. Dalam keadaan tenang, ilmu tongkatnya nyaris sempurna. Selama ini pun dia begitu pandai mengendalikan emosinya sehingga gurunya percaya bahwa Juen Sui kelak bisa menguasai ilmu tongkat dengan sempurna. Sebab, salah satu syarat untuk menguasai ilmu tongkat aliran Thifan adalah kemampuan mengendalikan rasa dan emosi. Tapi kali ini, Juen Sui benar-benar kalah oleh dirinya sendiri.
"Hyaaa ...!"
Tubuh Juen Sui berputar ganas. Tujuannya hanya satu, melumatkan Sien Feng. Sementara Sien Feng yang sudah di atas angin karena lebih bisa mengendalikan emosinya, bersikap sangat hati-hati .
"Tumpuan anak angin!"
Sien Feng bersalto sambil memhunuskan pedangnya, bukannya menghindar. Juen Sui yang tadinya mengira Sien Feng akan menghindar, cukup kaget karenanya.
Namun, terlambat untuk menarik kembali tongkatnya. Dia pun lalu membelokkan ujung tongkat itu, menyambut pedang hitam Sien Feng.
Trang!!! Wuuut!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pedang hitam Sien Feng terlepas. Bagaimanapun, tenaga dalam Juen Sui masih berada tipis di atas Sien Feng. Gelagat tak menguntungkan itu memaksa Sien Feng membuang tubuhnya ke kanan, berguling di atas lantai kayu.
Namun, tongkat buta Juen Sui terus memburu kepala Sien Feng.
Wuuut! Suara bersuit itu datang lagi. Sabuk perak penyebar maut itu meluncur deras mementalkan tongkat Juen Sui yang nyaris saja meremukkan kepala Sien Feng.
"Adik Hui Sing, kau datang pada saat yang tepat. Dia hampir saja bisa mengelabui kita semua. Dialah pencuri kitab itu!"
"Kau!"
Juen Sui tersentak. Seperti baru menyadari bahwa dia nyaris saja berbuat bodoh.
"Jadi, kau yang malam itu bersama Anindita!"
Juen Sui dan Sien Feng menatap Hui Sing dengan pandangan tak mengerti.
"Licik sekali!"
"Siapa yang kau maksud, Hui Sing" Siapa yang bersama Anindita?" Juen Sui semakin penasaran dengan sikap Hui Sing. Hui Sing menggulung perlahan sabuk peraknya.
Lalu, dia membuang pandangannya ke tengah laut.
Sementara seluruh tubuhnya mulai basah oleh air hujan. Ia berbicara dengan suara lantang, mengalahkan suara hujan.
"Guru yakin, pembunuh rakryan rangga Majapahit adalah orang yang sama dengan pencuri kitab Kutub Beku. Sebab, di tubuh Rakryan Rangga Abyasa terdapat luka akibat tapak Kutub Beku."
Sien Feng bangkit, lalu berdiri tegak menunggu kalimat Hui Sing selanjutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Aku mengejar seseorang yang mencurigakan pada malam sebelum kita meninggalkan Majapahit. Sampai di atap keputren, orang itu berhasil aku kejar. Hampir saja aku dapat meringkusnya, sampai kemudian seorang bertopeng yang lain datang menolong. Aku berhasil menyibak cadar yang dipakai penolong busuk itu!"
Hui Sing tersenyum miris.
"Dia Anindita!"
"Hah"!"
Juen Sui dan Sien Feng terbelalak tampak tak percaya.
"Mustahil! Anindita tak menguasai ilmu kanuragan!"
"Kakak Sien Feng, dia tak cuma menguasai ilmu kanuragan yang kejam, tapi juga tipu muslihat kelas satu.
Bahkan, aku sama sekali tak mengendus sifat culasnya."
"Tapi, bukankah pembunuh Rakryan Rangga Abyasa sudah tertangkap?"
Juen Sui memotong kalimat Hui Sing.
"Omong kosong! Itu hanya akal-akalan untuk menghilangkan jejak!"
"Jadi, pembunuh Rakryan Rangga Abyasa sebenarnya adalah Anindita. Sungguh tak pernah aku sangka!"
"Sien Feng!"
Suara Hui Sing melengking menabrak kalimat Sien Feng.
Ini pertama kalinya Juen Sui dan Sien Feng mendengarkan Hui Sing berteriak begini kasar. Bahkan, melepaskan kata
"kakak" di depan nama Sien Feng.
Hui Sing menggeser tubuhnya hingga benar-benar berhadapan dengan kedua kakak seperguruannya. Tapi kini, tatapan matanya yang setajam pedang, yang baru saja diasah itu, menghunjam ke mata Sien Feng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Setelah semua perbuatan keji ini, kau masih ingin mengelak!"
"Adik Hui Sing, aku tak paham maksudmu?"
"Maksudku, kenapa kau melumuri cangkir teh guru dengan racun tarantula?"
"Apa"!"
Juen Sui tersentak. Dia menatap Sien Feng dengan pandangan tak percaya.
"Kau ...!"
Itu saja yang keluar dari bibir Juen Sui. Tak ada kata-kata setelahnya. Hanya tubuhnya yang bergetar hebat berusaha menguasai emosi. Tiba-tiba tawa Sien Feng meledak. Sangat keras dan sambung-menyambung. Matanya sampai berair karenanya.
"Kau benar-benar pandai, Hui Sing. Ya, akulah yang melakukan semuanya. Aku yang mencuri kitab Kutub Beku, aku pula yang membunuh Rakryan Rangga Abyasa atas permintaan Anindita, dan aku pula yang meracuni guru!"
Wuuut! Tanpa bicara lagi, Juen Sui mengirimkan serangan mematikan dengan tongkat besinya. Amarahnya sudah sampai di ubun-ubun.
"Kau harus mati!"
Sien Feng tak menanggapi kata-kata Juen Sui. Dengan santai, dia melepaskan diri dari serangan Juen Sui sambil melangkah mundur, sedangkan kedua tangannya menyatu ke belakang pinggang.
"Juen Sui, kau pikir siapa dirimu?"
Usai berkata seperti itu, lengan kanan Sien Feng membabat ke depan, seperti gerakan pedang. Juen Sui kaget bukan kepalang karena ketika lengan itu menghantam tongkatnya, dia merasakan getaran yang luar biasa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kau ingin tahu sehebat apakah tapak Kitab Beku, Juen Sui?"
Sekali hentak, tongkat di tangan Juen Sui terpental.
Sekejap kemudian, tangan kiri Sien Feng menghambur ke depan dengan sikap tapak sempurna. Juen Sui merasakan dadanya sesak luar biasa. Tenaga yang terlontar dari tapak Sien Feng menghentak seperti sebongkah batu besar.
Tubuh Juen Sui terlempar hingga ke pinggir geladak. Ia memegangi dadanya yang terasa sangat sakit. Rasa dingin yang menusuk-nusuk mencengkeram erat. Juen Sui muntah darah.
"Sien Feng!"
Mata Sien Feng yang kini berubah liar, berbalik ke arah Hui Sing. Gadis itu berdiri gagah dengan pedang hitam di tangan kanan. Pedang itu milik Sien Feng.
"Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Tawa Sien Feng kembali meledak.
"Hui Sing, bukankah kau tak suka memakai pedang?"
"Aku tak suka pedang, bukan berarti tak mampu menggunakannya. Bersiaplah!"
Hui Sing berlari kencang ke arah Sien Feng. Pedang di tangannya langsung membabat ke arah kepala. Sien Feng tersenyum dingin. Sama ketika melawan Juen Sui, dia pun menghindari lawannya dengan menggerakkan kakinya ke belakang.
"Ajalmu sudah sampai!"
Sambil berteriak, tangan kiri Hui Sing meluncurkan sabuk perak andalannya. Rupanya, menghadapi Sien Feng yang kini menguasai jurus Kutub Beku, memaksa Hui Sing untuk mengerahkan semua kemampuannya. Karena selama ini, ilmu sabuknya sudah demikian dihafal oleh Sien Feng dalam berbagai latihan, dia berpikir untuk memberinya kejutan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Meskipun tak pernah serius, Hui Sing juga berlatih pedang di bawah asuhan Cheng Ho. Walaupun bukan ilmu andalan, kemampuan Hui Sing dalam memainkan pedang jelas tak bisa dipandang enteng. Apalagi dia kini memainkan dua senjata sekaligus.
Untuk bisa memainkan jurus pedang dan jurus sabuk sekaligus dibutuhkan cara yang khusus. Saat di Tiongkok, Hui Sing sempat mempelajari ilmu pemecah pikiran ciptaan Ciu Pek Tong, pendekar sakti dari aliran Cuan Cing yang hidup pada masa Dinasti Song.
Sekarang, ilmu langka itu benar-benar berguna. Dengan cara ini, Sien Feng merasa sedang melawan dua orang sekaligus. Satu menggunakan pedang, satunya lagi sabuk berbahaya. Dia pun tak bisa lagi memandang remeh.
Sabuk perak Hui Sing beberapa kali melecut keras setiap Sien Feng berusaha mengambil jarak dari Hui Sing, sedangkan pada saat jarak tarung mereka tak begitu jauh, Hui Sing bertumpu pada pedang untuk melawan Sien Feng.
Puluhan jurus dilepas, belum pasti siapa yang akan roboh.
Sien Feng kelihatan betul menahan pukulan mautnya.
Sebaliknya, Hui Sing semakin penasaran karena seluruh serangannya menerpa angin. Lama-kelamaan, justru tenaganya yang tersedot deras.
"Hyaaa ...!"
Putus asa karena semua serangannya tak kunjung menghasilkan, Hui Sing nekat mendorong pedang di tangannya membidik tubuh Sien Feng sepenuh hati. Pada saat bersamaan, dia menyiapkan dath-nya yang tersisa untuk adu tenaga.
Reaksi Sien Feng luar biasa. Ia menyambut pedang yang meluncur ke arahnya, lalu menyapukan tangan kirinya menghadang pedang. Hasilnya, pedang sakti miliknya itu patah menjadi dua.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Serangan susulan Hui Sing lewat kepalan tangan kanannya disambut oleh tapak tangan kiri Sien Feng yang menyentak ke depan. Hui Sing terpental ke belakang dan terguling-guling di lantai kapal. Tak menunggu lama, ia berusaha bangkit lagi bertumpu pada tangan kanannya. Hui Sing tak pernah begitu awut-awutan sebelum ini. Tubuhnya basah kuyup. Rambutnya tergerai begitu saja.
Wajahnya pucat karena tenaga yang terkuras. Sien Feng berjalan santai mendekati Hui Sing yang masih matian-matian berusaha untuk bangkit.


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan, kenapa kau lakukan ini?" Hui Sing berbicara lirih dan patah-patah. Pandangan matanya masih tertumbuk pada lantai kayu kapal.
"Alasanku yang mana, Hui Sing" Kenapa aku mencuri kitab, atau kenapa aku membunuh Rakryan Rangga Abyasa"
Atau ... kenapa aku meracuni Cheng Ho keparat itu?"
"Kau!"
Sien Feng terbahak dengan lantang seperti orang hilang ingatan. Ada garis kepuasan yang sulit dipahami dalam gurat wajahnya.
"Aku mencuri kitab Kutub Beku tentu saja karena aku mengincar kitab itu. Aku tak mau kitab itu jatuh kepadamu atau Juen Sui."
Napas Hui Sing tersengal. Ujung-ujung rambutnya menjadi jalan air hujan menetes ke lantai kapal.
"Aku membunuh Abyasa karena aku terikat perjanjian dengan Anindita."
Hui Sing menolehkan wajahnya sambil menyeringai.
Giginya bergemerutuk.
"Kau merusak Anindita yang demikian santun!"
Lagi-lagi, Sien Feng tergelak dengan suara yang tak kalah keras dibandingkan sebelumnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Anindita adalah perempuan lihai yang tidak ada duanya di Majapahit. Dialah yang merencanakan pembunuhan terhadap Abyasa agar Sad Respati bisa menduduki posisi rakryan rangga."
Napas Hui Sing semakin memburu menahan amarah. Dia ingat perbincangan-perbincangan bersama Anindita yang demikian syahdu dan penuh persahabatan.
"Dia minta aku membantunya membantai Abyasa dan berjanji akan menjauhkanmu dari Respati."
"Apa"!"
"Hui Sing, bertahun-tahun bersama, tidakkah kau sadar perasaanku yang dalam terhadapmu?"
"Cih!"
Hui Sing beringsut menjauh karena tak punya cukup tenaga untuk bangkit. Benaknya sudah dijejali gumpalan rasa benci.
"Lalu, kenapa kau meracuni guru?"
Hui Sing berusaha mengulur waktu.
"Jadi, si bangsat itu tak pernah bercerita kepadamu, Hui Sing" Aku anak orang kepercayaan Kaisar Zhu Yunwen yang dikhianati oleh Zhu Di, Kaisar Ming yang kini berkuasa.
Ayahku dibunuh oleh Cheng Ho saat Zhu Di memberontak.
Sekarang kamu paham?"
Hui Sing tersenyum. Semakin lebar. Sampai gigi-giginya yang tertata apik terlihat. Kemudian, dia tertawa.
"Semakin nyata bahwa kau sama sekali tak punya jiwa kesatria, Sien Feng. Mati dalam pertempuran adalah sebuah kehormatan. Mengapa kau ribu-ribut membalas dendam kepada orang yang paling berjasa terhadap hidupmu?"
"Kau!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tangan Sien Feng baru saja akan menampar wajah halus Hui Sing, tapi urung. Dia malah tertawa kembali dengan suara keras.
"Guru tak akan mengampunimu, pengkhianat!"
"Kau pikir, bisa apa kasim tak berguna itu setelah menelan racunku" Sehebat apa pun ilmunya, tak akan mampu melawan racun yang begitu ganas."
Hui Sing melayangkan tangannya yang sudah tak bertenaga dan langsung digenggam oleh Sien Feng.
"Tahukah kau, Hui Sing, kau semakin cantik ketika wajahmu basah."
"Sien Feng, terima ajalmu!"
Sien Feng membalikan badannya sambil mengangsurkan tangannya melepas dath dingin dari jurus Kutub Beku. Saat itu, Juen Sui yang nekat menyerang, langsung terpental lagi ke belakang menuju laut. Pasti dia tercebur ke laut jika tidak segera ditangkap oleh sebuah bayangan putih yang melayang ringan.
Bayangan putih itu, Laksamana Cheng Ho. Dia langsung membimbing Juen Sui untuk bersila di depannya dan mulai mengalirkan dath pemulih untuk melawan luka dalam yang dialaminya. Juen Sui beberapa kali muntah darah.
"Guru!"
Wajah Hui Sing berseri. Dia lega bukan main melihat gurunya segar bugar kembali.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin!"
Sien Feng berlari kencang ke arah Cheng Ho dan langsung melancarkan serangan mautnya.
"Murid lancang, kau benar-benar tak sabaran!"
Tenaga penuh yang dilancarkan oleh tapak tangan kanan Sien Feng disambut kepalan tangan kiri Cheng Ho. Sementara Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tangan kanannya tetap menempel di punggung Juen Sui untuk mengalirkan hawa murni.
Sien Feng tersentak. Dia merasakan daya tolak yang luar biasa besar sehingga tubuhnya terpental ke belakang.
Meskipun tak mengalami luka dalam, Sien Feng marah besar karena merasa rencananya gagal total.
"Tidak mungkin!"
Perasaan jerih mulai menjalar dalam diri Sien Feng.
Rencananya yang ia susun bertahun-tahun lamanya, bisa buyar begitu saja jika Cheng Ho benar-benar pulih demikian cepat.
"Mati kau!"
Sien Feng kembali mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk menyerang Cheng Ho sekeras-kerasnya. Pada saat yang sama, Cheng Ho melepaskan telapak tangan kanannya dari punggung Juen Sui dan melakukan putaran untuk bangkit dan menyambut serangan Sien Feng.
"Aaagrh ...!"
Sien Feng terpental jauh dengan mulut tak hentinya mengeluarkan darah. Tubuhnya terbanting ke lantai kayu.
Berkelejat-kelejat sebentar, lalu diam. Wajahnya seputih salju.
Matanya merah. Urat darahnya pecah karena tercekat rasa dingin yang luar biasa dari pukulan Kutub Beku.
"Guru!"
Juen Sui dan Hui Sing pelan mendekati gurunya yang kini berdiri sambil tersenyum di samping jasad kaku Sien Feng.
Cheng Ho menggeledah baju Sien Feng beberapa saat dan menemukan kitab Kutub Beku di sana.
"Kalian murid-muridku yang hebat."
Cheng Ho menyambut datangnya Hui Sing dan Juen Sui yang berjalan terhuyung ke arahnya.
"Guru sudah pulih?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Melihat gurunya segar bugar, menjadi kekuatan baru bagi Hui Sing. Dia menguatkan dirinya untuk berjalan meskipun merasa begitu lemas karena kehabisan tenaga. Cheng Ho menahan senyumnya. Begitu sampai di hadapan gurunya, Hui Sing menjatuhkan dirinya, bersimpuh di depan Ceng Ho.
"Guru, izinkan saya kembali ke Kota Raja Majapahit. Saya harus menghentikan Anindita, Guru!"
Cheng Ho tak menjawab. Ia masih tersenyum ketika tubuhnya limbung dan hendak jatuh terbanting. Dari mulutnya, kembali merembes darah hitam kental. Juen Sui cepat tanggap dan menangkap tubuh gurunya. Sementara itu, Wang Jing Hong dan para ping-se yang baru saja keluar dari lantai bawah, segera menolong mereka.
"Adik, lebih baik kita pulihkan dulu keadaan kita. Setelah itu, kita bicarakan semuanya."
Hui Sing mengiyakan kata-kata Juen Sui. Setelah sesaat menatap jasad kaku Sien Feng, dia bangkit lalu berjalan tertatih menuju ruangannya. Tiba-tiba rasa pedih menyeruak dalam batin Hui Sing. Dia ingat masa lalu bersama Sien Feng yang begitu ceria.
Mereka begitu dekat. Keceriaan Sien Feng yang tak pernah habis. Lelucon-leluconnya yang menyegarkan. Hui Sing berjalan sambil mengusap air matanya yang mulai deras menetes. Sien Feng salah jalan. Meskipun Hui Sing yakin, Sien Feng tak pernah menyesali apa yang ia perbuat.
Sebab baginya, balas dendam adalah sebuah bakti. Hui Sing semakin dicengkeram haru. Begitu tiba di kamarnya dan menutup pintu kamar rapat-rapat, dia menghambur ke pembaringan dan menangis sepuasnya.
Pagi itu, wajah Hui Sing sudah segar seperti sediakala.
Dengan penuh semangat, dia berjalan di lorong dek menuju ruangan gurunya. Sepagi itu, Cheng Ho sudah memanggil Hui Sing. Bahkan, sarapan pun belum lagi selesai dibuat.
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Hui Sing, berikan aku alasan yang kuat untuk mengizinkanmu kembali ke Mojokerto."
Setelah sedikit berbasa-basi, Cheng Ho akhirnya menanyai Hui Sing mengenai permintaannya beberapa hari lalu.
"Anindita sangat lihai, Guru. Sejauh ini, baru saya yang melihat langsung kejahatannya. Saya merasa berkewajiban untuk menghentikannya."
"Hanya itu?"
Hui Sing mengangguk. Cheng Ho tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Satu lagi alasannya. Anindita akan menjadi orang penting di Majapahit. Sebab, dia anak seorang patih dan calon istri seorang rakryan rangga. Bukankah ini sebuah ancaman bagi Majapahit?"
Cheng Ho kembali tersenyum dan menggeleng.
"Tidak biasanya kau menjawab tanpa berpikir panjang, Hui Sing."
Hui Sing merengut.
"Kau tak ingin kembali ke Mojokerto karena Respati?"
Wajah Hui Sing memerah. Pipinya juga begitu. Seperti buah tomat merah yang hendak masak.
"Wajahmu mengatakan 'ya' Hui Sing!"
Cheng Ho bangkit dari pembaringan dan menuju jendela kamar.
"Kau sudah dewasa sekarang. Aku tak bisa mengekangmu. Hanya sebagai ayah, mana boleh aku kehilangan rasa khawatir ketika anak gadisku hendak meninggalkan aku."
Hui Sing merasakan bola matanya memanas. Cheng Ho memang sudah mencintainya seperti anak sendiri.
Mencurahkan kasih sayang dan dengan tulus menjaganya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Itulah yang membuat Hui Sing sebenarnya sedikit ragu ketika memutuskan untuk pergi.
"Tapi ini sudah takdir. Barangkali kita akan terpisah selama bertahun-tahun."
"Bukankah dua tahun lagi, Guru akan kembali ke Majapahit unuk mengambil ganti rugi penyerangan Prabu Wikramawadhana?"
"Lalu, apa yang akan terjadi selama dua tahun perpisahan itu?"
Hui Sing terdiam. Cheng Ho menatap Hui Sing sambil tersenyum penuh kasih.
"Hui Sing, sebentar lagi kita sampai di Pelabuhan Simongan. Jika tekadmu sudah bulat untuk pergi ke Majapahit, kau bisa turun di sana dan melakukan perjalanan darat."
Hui Sing mengangkat wajahnya dengan bibir bergetar.
Matanya berkaca-kaca.
"Guru mengizinkan saya pergi?"
"Dengan banyak syarat!"
Cheng Ho kembali menatap pemandangan laut dari balik jendela.
"Pertama, belajarlah dari pengalaman Sien Feng. Bahwa kau tidak boleh langsung percaya kepada siapa pun."
Hui Sing mengangguk.
"Kedua, cinta Thian begitu agung, tidak ada alasan untuk mengkhianatinya."
"Maksud Guru?"
"Mencintai sesama manusia tentunya sangat wajar.
Namun, jangan sampai hal itu mengorbankan cinta kita kepada Thian. Cintailah manusia sewajarnya."
Hui Sing mendengarkan wejangan itu dengan khidmat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kau memiliki pandangan hidup dan keyakinan akan Thian yang tak ternilai oleh apa pun di dunia. Aku harap kau tak pernah berpikir untuk menggadaikannya dengan apa pun juga."
"Saya berjanji, Guru. Saya tak akan pernah melakukannya."
"Bagus. Syarat ketiga, bawalah ini."
Cheng Ho mengambil sebuah kitab dari lipatan bajunya.
"Kitab Kutub Beku" Guru, bukankah Kakak Juen Sui lebih berhak menerimanya?"
"Juen Sui akan kulatih langsung. Sedangkan kau harus mempelajarinya sendiri. Terimalah!"
Setengah tak percaya, Hui Sing menerima kitab pusaka itu.
"Dengan kecerdasan dan dasar ilmu yang sudah kau miliki, tak akan sampai setahun kau akan menguasainya. Tapi penyempurnaannya bergantung pada latihan dan kearifan jiwamu."
"Terima kasih, Guru."
Hui Sing beberapa kali menjura.
"Sudahlah. Masih ada satu syarat lagi."
Hui Sing kembali mengangkat wajahnya.
"Tengoklah kakakmu. Dia sudah lama tersiksa oleh sikapmu."
"Baik, Guru."
Lagi-lagi Hui Sing menjura, sebelum akhirnya dia pamit untuk menengok Juen Sui. Sepanjang jalan, Hui Sing merasakan jantungnya berdebar keras. Kembali ke Majapahit, petualangan baru, dan kitab Kutub Beku, alangkah sempurnanya keberuntungan hari ini.
"Jadi, guru mengizinkanmu pergi, Hui Sing?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah beberapa lama di kamar Juen Sui, Hui Sing mulai menyinggung rencana keberangkatannya.
"Benar, Kakak."
Juen Sui tersenyum. Dia masih terbaring lemah. Kalau gurunya bisa cepat pulih, Juen Sui mengalami hal berbeda.
Dua kali gempuran Kutub Beku oleh Sien Feng menyebabkan ia terluka dalam. Butuh waktu lama untuk menyembuhkannya.
"Memangnya, siapa yang bisa menghalangi si keras kepala ini?"
Hui Sing tertawa kecil mendengar gurauan Juen Sui.
Meskipun dia tahu, ada nada perih dalam kata-kata itu. Sama dengan yang ada di benaknya. Rasa sedih karena akan berpisah. Bertahun-tahun ada dalam kebersamaan membuat mereka merasa demikian dekat.
Mereka diam beberapa saat. Sama-sama menyelami khayal masing-masing.
"Lalu, apa rencanamu begitu sampai di Majapahit, Hui Sing?"
"Aku belum punya rencana, Kakak!"
Diam lagi. "Hati-hati!"
Hui Sing menatap mata Juen Sui yang menatap langit-langit kamar. Dia mengatakan kalimat itu seperti orang mengigau saja. Tanpa tenaga. Hui Sing merasa disergap rasa bersalah.
"Kakak, jika dua tahun lagi Kakak kembali ke Majapahit, kita akan bertemu lagi."
Juen Sui tersenyum lagi. Sangat tulus.
"Aku yakin kita akan bertemu lagi. Tapi tidak secepat itu."
Hui Sing terdiam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Aku hanya ingin kau berhati-hati, Hui Sing."
"Aku akan selalu mengingat itu, Kakak."
"Baik. Kalau begitu, pergilah. Aku akan selalu mendoakanmu."
Hui Sing mengangguk. Dia tersenyum sambil menahan kelopak matanya agar tak mengeluarkan tangis. Setelah berpamitan, dia bangkit lalu bergerak ke arah pintu.
"Sebelum turun ke Simongan, aku pasti menjengukmu untuk berpamitan, Kakak."
Juen Sui mengangguk lemah. Begitu Hui Sing menghilang di balik pintu. Juen Sui kembali menatap langit-langit kamarnya. Dari dua sudut matanya, keluar air mata yang sepertinya tak akan segera berhenti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 6. Asmara Seruling
Saatnya tiba Pelabuhan Simongan di depan mata. Hui Sing turun dari kapal Pusaka, menaiki perahu kecil untuk mencapai pantai.
Sebelumnya, sedu sedan yang nyaris membuatnya mengurungkan niat untuk pergi ke Majapahit terjadi. Hanya karena tekad yang sudah bulat, Hui Sing mengeraskan hatinya untuk tetap berangkat.
Ia mencoba memikirkan hal-hal yang membuatnya gembira agar hatinya tak terasa berat. Pertemuan dengan Ramya menjadi salah satu pemicu semangat. Bukankah dulu, dia juga merasa begitu berat untuk berpisah dengan Ramya"
Sekarang, dia akan segera menemuinya. Dan, pastilah akan sangat menyenangkan. Dengan penuh semangat, Hui Sing mengayuh dayung agar perahunya cepat sampai ke pantai.
Dia mulai melihat kapal-kapal nelayan yang berjejer di pinggir pantai siap melaut malam nanti.
"Nini Hui Sing!"
Wajah Hui Sing sumringah mendengar namanya dipanggil.
Rupanya, orang-orang Simongan masih mengingatnya dengan baik.
"Apa kabar?"
Hui Sing setengah berteriak agar suaranya tak tenggelam oleh suara ombak. Dibantu oleh para nelayan, Hui Sing merapatkan perahu kecilnya.
"Kalian tahu kabar Ramya?"
Penuh harap, Hui Sing langsung bertanya tentang keberadaan putri Ki Legowo itu.
"Nini Ramya beberapa hari lalu meninggalkan Simongan, Nini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Salah seorang nelayan mewakili teman-temannya menjawab pertanyaan Hui Sing. Dahi Hui Sing berkerut tak mengerti.
"Pergi ke mana?"
Para pemuda nelayan itu diam sejenak dan saling pandang.
"Setahu kami, Ni Ramya berangkat ke Kota Raja."
Mata Hui Sing membelalak.
"Ke Majapahit" Untuk apa?"
"Jelasnya kami tidak tahu, Nini. Mungkin, Ki Carik lebih tahu tentang hal ini. Nini bisa menemuinya. Kami akan antar!"
Hui Sing mengangguk tergesa karena ingin segera tahu apa yang terjadi. Ditemani beberapa orang nelayan, Hui Sing pun bergegas menuju perkampungan Simongan. Tak beda dengan dulu, perkampungan nelayan itu masih demikian damai dan tertata. Namun, ada luka tragedi Simongan yang masih membekas. Bukan pada bangunan-bangunan roboh, atau darah yang berceceran. Namun, pada garis-garis wajah warga yang menyimpan kenangan pahit itu.
Hui Sing diantar oleh para nelayan ke rumah orang tua yang kini memimpin warga Simongan, menggantikan Ki Legowo.
"Benar, Nini. Ramya berangkat ke Kota Raja Majapahit beberapa hari lalu. Kami tak bisa lagi mencegah tekadnya untuk menuntut keadilan kepada Prabu Wikramawardhana."
Hui Sing menyimak kata-kata lelaki setengah baya di hadapannya dengan saksama.
"Bukankah masalah ini sudah diselesaikan, Ki Carik?"
"Kami tidak pernah diberitahu, Nini!"
"Memang, hukuman bagi Turonggo Petak sama sekali tidak jelas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Itulah yang membuat Ni Ramya berang, Nini. Dia merasa disepelekan dan tidak dianggap."
"Ki Carik, berapa jarak Simongan ke Kota Raja?"
"Dengan berkuda, tak sampai satu bulan pasti sampai."
"Di mana saya bisa membeli seekor kuda yang sehat"
Saya akan menyusul Ramya."
Ki Carik mengangguk-angguk. Lalu, dia memerintahkan seorang pemuda untuk meluluskan permintaan Hui Sing.
0oo0 Sehari perjalanan dengan kuda ke arah timur Demak, terdapat daerah ramai bernama Medang-kamulan. Meskipun cukup jauh dari Kota Raja Majapahit, daerah ini menjadi kawasan perdagangan yang cukup maju. Seorang rakryan bernama Kesusra memimpin daerah ini dengan tangan besi.
Kesusra memiliki kekayaan melimpah dan pengawal yang sangat banyak. Mereka adalah jago-jago kanuragan yang dibayar khusus untuk melindungi segala kepentingan sang rakryan. Konon, Kesusra adalah orang dekat Rakryan Tumenggung Majapahit, Sadali. Tak heran, meskipun daerah kekuasaannya hanya melingkupi Medangkamulan, namun pengaruh Kesusra meluas sampai ke mana-mana.
"Apa benar daerah ini bernama Medangkamulan, Kisanak?"
Seorang perempuan muda dengan pakaian prajurit berhenti menuntun kudanya di depan sebuah rumah makan yang ramai pengunjung. Sambil menggenggam tali kekang kuda, dia menghampiri seorang lelaki setengah baya yang habis bersantap di rumah makan itu.
"Nini benar. Ini Medangkamulan. Ke mana tujuan Nini?"
"Saya hendak ke Kota Raja."
Lelaki itu tersenyum.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Seorang diri Nini menempuh perjalanan yang begitu jauh.
Kota Raja masih sangat jauh dari Medangkamulan, Nini.
Dengan memacu kuda sekali pun, Nini butuh berhari-hari untuk sampai ke Sumbergurit. Dari sana, Nini harus terus ke timur sampai Ketemas. Baru setelah itu, Nini harus menempuh perjalanan sehari semalam untuk sampai ke Kota Raja."
Perempuan muda itu tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Terima kasih, Kisanak. Apa yang kisanak katakan sangat membantu."
Setelah berpamitan, laki-laki itu berlalu. Perempuan muda tadi lantas mengikat tali kekang kudanya di depan rumah makan. Kemudian, dia masuk ke rumah makan itu untuk mengisi perut. Perempuan muda itu tampak trengginas.
Rambut panjangnya diikat ringkas menyerupai ekor kuda.
Baju yang dikenakannya juga tak merepotkan. Tubuhnya terlihat singset dengan ukuran baju yang pas betul dengan bentuk tubuhnya yang semampai. Dia memakai celana panjang hitam yang ditutupi kain sebatas lutut. Di pinggangnya terselip sebilah keris.
"Nini mau makan apa" Kami punya banyak pilihan makanan istimewa untuk Nini."
Seorang pelayan rumah makan menghampiri perempuan muda itu dengan senyum ramah. Dia seorang gadis remaja berkemben yang bergerak luwes. Rambutnya dikonde ringkas dan rapi.
"Ada nasi pecel?"
"Tentu saja, Nini. Pecel buatan kami sangat istimewa. Nini pasti ketagihan."
Pelayan itu langsung membalikkan badannya menuju dapur untuk menyiapkan pesanan sang tamu. Perempuan muda tadi mengedarkan pandangannya ke pelosok rumah makan. Ramai betul. Hampir setiap meja terisi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ini cuma satu di antara banyak rumah makan yang tersebar di Medangkamulan. Sepanjang perjalanan tadi, perempuan muda itu juga menyaksikan keramaian di setiap rumah makan. Hatinya berteriak girang. Ini pertama kalinya dia pergi sendirian dan menyaksikan keramaian.
Para pedagang menawarkan barang-barangnya penuh semangat untuk merebut minat pembeli. Berbagai bentuk hiburan juga terlihat ramai dikerumuni orang. Sungguh pengalaman yang menyenangkan. Perempuan muda itu tersenyum sendiri.
"Ini pesanan Nini."
Setengah kaget, perempuan muda itu mengiyakan kata-kata pelayan rumah makan tadi. Sesaat kemudian, dia sudah sibuk menyantap menu makan perdananya hari itu. Ia kelihatan begitu lahap. Hari sudah sore dan dia baru sekali itu mengisi perut.
Sayur-mayur dengan sambal kacang yang mantap, langsung memancing rasa laparnya. Tak lama kemudian, piring dari tanah liat itu sudah bersih sama sekali. Sambil tersenyum, perempuan muda itu membersihkan tangannya dengan air di mangkuk tanah liat yang sudah disiapkan pelayan tadi.
Dia lalu merogoh kantung perbekalannya. Beberapa uang kepengan dia ambil. Setelah memanggil pelayan tadi, dia lalu membayar makanannya.
'"Di sini ada penginapan murah, Nini?"
Pelayan itu menerima uang kepengan tadi dengan senyum yang mengembang.
"Tentu saja, Nini. Banyak rumah penginapan di Medangkamulan. Dari yang paling mewah sampai yang biasa saja, semua tersedia."
"Berapa harga sewa kamar paling murah?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pelayan tadi lagi-lagi tersenyum. Setiap tersenyum, bola matanya seperti tenggelam dan hanya menyisakan garis mata yang melengkung.
"Di ujung jalan ini ada penginapan murah, Nini. Hanya perlu beberapa kepeng uang untuk menyewa kamarnya."
Perempuan muda itu mengangguk-angguk.
"Sebentar."
Dia mencegah pelayan rumah makan yang baru saja hendak membalikkan badannya untuk kembali bekerja.
"Apakah di daerah pinggir Medangkamulan, ada candi yang kosong?"
Pelayan tadi bengong sejenak. Tapi, ia lalu tersenyum.
Matanya kembali menghilang oleh lipatan kulit pipinya.
"Ada. Tentu saja ada. Di pinggir utara Medangkamulan, ada sebuah candi kosong tempat para pengelana yang tak punya uang untuk menyewa kamar. Pergilah ke sana."
Tanpa beban, pelayan itu berkata dengan kasarnya. Ia langsung membalikkan badannya dan kembali pada pekerjaannya. Ia meninggalkan perempuan muda tadi berdiri dengan muka merah padam menahan malu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, perempuan muda tadi keluar dari rumah makan. Tak berapa lama, dia sudah terlihat berjalan perlahan sambil menuntun kudanya keluar dari pusat kota Medangkamulan.
0oo0 Pelataran candi kecil tanpa nama itu lengang. Udara malam yang mencekat, membuat batu-batu candi seolah-olah mengerut kedinginan. Seorang perempuan duduk dengan badan menggigil di depan api unggun yang menyala tak begitu besar.
"Mudah-mudahan tak hujan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ia berbisik dengan bibir bergetar. Langit memang tak begitu cerah. Meskipun gerimis belum turun, tak satu pun bintang terlihat di langit kelam. Angin mendesau membawa dingin yang semakin menggigit.
Perempuan itu kembali mengusap perutnya yang terasa panas. Lapar. Seharian, dia baru sekali mengisi perutnya.
Sekarang, perutnya mulai memberontak dan beberapa kali mengeluarkan suara tanda minta diisi.
Tangan perempuan muda itu bergerak gelisah merogoh kantung uang yang tergantung di pinggangnya. Tinggal beberapa kepeng lagi. Sayang jika dibuang untuk sekadar makan. Perjalanan ke Kota Raja Majapahit masih jauh.
Sesaat, perempuan itu menghentikan pembicarannya dengan diri sendiri. Ada suara berirama yang menelusup ke telinganya. Suara seruling yang ditiup sungguh-sungguh oleh pemiliknya.
Iramanya sungguh indah. Seperti berbicara tentang keindahan yang tak pernah habis. Tanpa sadar, perempuan muda itu memejamkan mata, menikmati alunan seruling itu.
Sontak matanya terbuka. Tangan kanannya lalu menggenggam erat hulu keris di pinggang kirinya. Dia lalu bangkit dan berlari cepat memburu suara seruling itu.


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melupakan dingin yang mencekat, kaki perempuan muda itu bergerak cepat menuju hutan di seberang candi.
Tubuhnya melenting ringan ke sebuah dahan pohon besar.
Dia bersiap seperti kucing hutan yang menyongsong mangsa.
Matanya memicing melihat api unggun lumayan besar tak jauh dari pohon tempatnya bersiap.
Sesosok laki-laki duduk santai di depan api unggun itu. Dia memainkan seruling dengan sepenuh hati. Sementara seonggok daging beraroma harum mulai tampak matang dan menggiurkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tiba-tiba permainan seruling terhenti. Lelaki di depan api unggun itu lalu membolak-balik daging siap santap di depannya, agar matangnya rata.
"Ilalang menusuk bulan. Pada desau angin yang memenjara, seorang pandir sempoyongan di ujung malam. "
Dahi perempuan itu berkerut.
"Di kepalanya ada seonggok mimpi yang membusuk.
Terpanah asmara yang lukanya tak kunjung mengering."
Perempuan itu masih diam di tempatnya. Dia tertegun.
"O, di mana gerangan penyembuh luka" Pembawa semangkuk nurani yang suci. Aku begitu rindu untuk tersenyum."
Sosok di atas pohon itu tak bergerak sama sekali. Tak tahu harus berbuat apa. Sementara lelaki penyair yang sedang memanggang ayam hutan itu terus sibuk dengan pekerjaannya.
"Daging ayam hutan ini terlalu besar untuk saya sendiri.
Alangkah senangnya jika Nini berkenan bergabung untuk menyantapnya."
Raut muka perempuan itu memucat, tampak terkesiap.
Rupanya, lelaki peniup seruling itu tahu dia ada di sana sejak tadi. Setengah sungkan, dia pun melompat dari dahan pohon itu, lalu mendekat ke api unggun.
"Maaf, saya kira tadi Kisanak orang jahat!"
Lelaki itu membalikkan tubuhnya. Ternyata dia seorang lelaki muda. Usianya belumlah lewat 25 tahun. Parasnya bersih. Tidak ada garis kekerasan pada wajahnya. Justru ada kesan Jenaka yang tebal. Matanya jernih, seperti mata anak-anak. Bibirnya tipis, seperti bibir perempuan. Namun, ada kesan gagah di balik wajahnya yang menyimpan rahasia itu.
Ada kasih sayang yang tulus. Juga keinginan untuk melindungi dan menghargai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Perkenalkan, saya Candra Windriya, pengelana tanpa kampung halaman dan kampung tujuan."
Pemuda itu tersenyum. Bahkan, senyumnya pun seperti senyum anak-anak. Menggemaskan.
Tapi, di kedua matanya yang jernih, terlihat jelas aura kedewasaan.
"Saya Ramya."
Perempuan muda itu akhirnya tersenyum juga.
"Ni Ramya, udara yang begini dingin biasanya cepat mengundang lapar. Saya akan gembira jika Nini mau bersantap dengan saya."
Dengan malu-malu, Ramya akhirnya menerima ajakan itu, setelah sebelumnya sempat berbasa-basi. Keduanya pun segera akrab dalam perbincangan antara dua pengelana.
Setelah daging ayam hutan itu ludes, Windriya kembali memainkan serulingnya dengan khidmat.
Ramya menikmati alunan seruling itu sepenuh hati. Tak sengaja beberapa kali ia menatap wajah Windriya yang hanya tampak separuh karena Ramya duduk di samping kanannya.
Tapi itu saja sudah cukup. Lelaki muda itu tampak tak main-main saat memainkan tembang dengan serulingnya.
Seolah-olah seluruh dirinya hanyut dalam permainan seruling yang melenakan. Wajahnya yang merah tertimpa cahaya api unggun tampak syahdu. Ramya memperhatikan dengan saksama saat jemari pemuda itu lincah berpindah-pindah dari satu lubang ke lubang lain pada seruling dari bambu panjang itu.
"Kakang seorang penyair?"
Ramya menyela alunan seruling yang belum juga berhenti itu.
"Bukan. Saya hanya menikmati kata-kata. Menularkan perasaan pada kejujuran syair."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kata-kata yang Kakang ciptakan sungguh indah."
Windriya tersenyum. Wajahnya memantulkan cahaya bulan sabit yang berbaur dengan pancaran api unggun.
"Hanya gumaman."
"Kalau saya tidak salah, syair itu bercerita tentang orang yang sedang patah hati?"
Windriya tak menjawab. Hanya tersenyum.
"Apa kata kupu-kupu ketika dia bertemu sekuntum kembang" Ia terbang rendah, lalu berputar seraya mereka-reka. Memuji eloknya, lalu hinggap padanya."
Ramya terdiam. Dia tersenyum pula, lalu beralih pandang ke lidah-lidah api yang memerah. Di luar kesan romantis, Windriya ternyata suka sekali berseloroh. Sesuai sekali dengan wajahnya yang menggemaskan. Dia punya cara sendiri menyenangkan lawan bicaranya.
Beberapa kali Ramya harus menutup mulutnya karena menahan tawa. Windriya punya 1001 simpanan cerita-cerita lucu yang entah ia pungut dari mana. Ramya seperti melihat dua orang dalam diri Windriya. Seorang yang romantis dan berhati lembut, dan satunya lagi begitu suka bercanda dan tak punya beban.
Setelah puas mendengarkan cerita-cerita konyol Windriya, Ramya mencari-cari kayu kering atau apa saja di sekitarnya yang bisa dibakar, untuk menahan nyala api lebih lama.
Sementara, Windriya kembali meraih serulingnya. Lalu dengan mata yang berbinar, ia kembali hanyut dalam alunan seruling. Setiap nada yang keluar seperti mewakili selaksa kata. Lebih berarti mesti penuh misteri.
"Sudah larut, saya harus kembali ke candi."
Permainan seruling Windriya terhenti.
"Maaf, setiap bermain seruling, saya lupa segala-galanya."
Ramya tersenyum, lalu bangkit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Sebenarnya, saya pun sangat senang dengan permainan seruling Kakang. Hanya karena malam sudah larut dan besok pagi harus melanjutkan perjalanan, saya tak bisa berlama-lama di sini."
Windriya tersenyum lagi.
"Ah, sampai tak sempat bertanya. Ke mana tujuan Nini sebenarnya?"
"Saya hendak ke Majapahit."
"Jauh sekali?"
Ramya tak menjawab. Dia hanya mengangguk sambil lagi-lagi tersenyum.
"Nini hendaklah berhati-hati. Keadaan negeri sedang tidak aman. Para pejabat semakin gila. Mereka menyewa para ahli kanuragan untuk kepentingan mereka."
"Saya baru tahu tentang hal itu."
"Nini, yang penting Nini jangan sampai berurusan dengan prajurit Majapahit. Akibatnya bisa berbahaya. Terutama di Medangkamulan, para prajuritnya bertindak semena-mena.
Rakryan Kesusra yang menguasai Medangkamulan adalah pemimpin yang lalim. Hati-hatilah!"
Ramya mengangguk sambil berterima kasih dan hendak membalikkan tubuhnya untuk berlalu.
"Nini, hendaknya Nini ingat betul pesan saya. Kesusra tengah menghimpun kekuatan sekarang ini. Banyak ahli kanuragan yang berkumpul di kediamannya yang megah.
Kebanyakan tokoh golongan hitam. Bahkan saya dengar, Dua Iblis Laut Kidul telah bergabung dengannya."
"Iblis Laut Kidul?"
"Nini belum pernah mendengarnya?"
"Saya baru kali ini mengembara. Saya belum pernah mendengar nama mereka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kesan wajah Windriya begitu bersungguh-sungguh.
"Keduanya adalah tokoh golongan hitam yang kejam dari Selatan. Ilmu mereka sangat tinggi dan beracun. Lebih baik, Nini sesegera mungkin meninggalkan Medangkamulan agar terhindar dari bahaya!"
"Terima kasih sekali, Kakang. Saya akan ingat kata-kata Kakang."
Setelah beberapa kali mengucapkan terima kasih, Ramya benar-benar meninggalkan tempat itu. Dia lalu berjalan cepat menuju pelataran candi. Seperti ia duga sebelumnya, api unggun yang tadi ia nyalakan sudah padam.
Tinggal kayu-kayu gosong yang hampir habis teronggok hangat. Ramya kembali berusaha menghidupkan nyala api dengan menggosok-gosokkan dua batu hitam di dekat kayu-kayu itu.
Dia tersenyum puas begitu pekerjaannya membuahkan hasil. Setelah api kembali menyala, Ramya segera bersiap untuk tidur. Kali ini tak terlalu sulit. Meskipun rasa dingin tetap menggigit, perasaannya nyaman karena perutnya kini penuh terisi menjadi pengantar tidur yang jitu. Ramya cepat terlelap malam itu. Sayup-sayup masih sempat menelusup irama seruling yang mendayu dan melenakan.
Ramya memacu kudanya ke perbatasan. Sebentar lagi dia sampai di gerbang Medangkamulan. Tadinya, Ramya berpikir tak akan terjadi apa-apa. Namun, begitu melihat pintu gerbang yang dijaga ketat oleh para prajurit, perasaan tidak enak menyebar di hati Ramya.
Persoalan paling besar adalah menekan rasa bencinya terhadap prajurit Majapahit. Tragedi Simongan yang merenggut nyawa Ki Legowo membuatnya begitu benci terhadap prajurit Majapahit. Ramya cukup khawatir akan kehilangan kendali dirinya dan bertindak gegabah.
"Berhenti!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ramya menghentikan kudanya. Sesuai permintaan prajurit berwajah garang itu, Ramya turun perlahan dari kuda tanpa bicara sepatah kata pun.
"Mau ke mana"!"
Jumlah prajurit di gerbang perbatasan itu tak kurang sepuluh orang. Mereka masing-masing melengkapi diri dengan berbagai senjata tajam mulai dari pedang, tombak, dan golok. Mereka juga membawa tameng di tangan kiri.
"Kota Raja."
Ramya menekan perasaannya yang bergejolak. Dia hanya menjawab seperlunya sambil berusaha untuk tak memperlihatkan perasaan benci dan muaknya.
"Apa tujuan Nini ke Kota Raja?"
"Apa ini menjadi urusan kalian?"
"Kurang ajar! Kami tanya, Nini! Jawab saja seperlunya!"
Ramya mengangkat dagunya. Sungguh, sesaat lagi amarahnya meledak tanpa ampun. Tangan kanannya mulai meraba hulu keris yang terselip di pinggang.
"Aku hanya ingin lewat. Kenapa urusannya begini repot?"
"Geledah perempuan ini!"
Beberapa orang prajurit segera menghampiri Ramya dengan sikap yang tak simpati. Sesudah sekali mendengus, akhirnya Ramya mencabut kerisnya dan langsung menghambur ke arah para prajurit itu.
Sebagai prajurit terlatih, penjaga perbatasan itu cepat sigap menentang serangan Ramya. Mereka mundur beberapa langkah dan membentuk lingkaran mengepung dara itu.
Ramya berdiri tegak sambil tersenyum dingin.
"Kalian kira akan mampu menghentikanku. Jangan harap!"
Sekali sentak, tubuh Ramya bergerak kilat menyerang segala penjuru. Jerit menyayat terdengar. Seorang prajurit Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi jatuh berdebam dengan darah mengucur. Ramya terus bergerak ke kanan dengan ujung keris berdarah. Tubuhnya berputar lincah, sedangkan kakinya menendang penuh tenaga.
Satu lagi prajurit sempoyongan ketika tameng di tangan kirinya pecah berantakan terkena tendangan kaki Ramya.
Pada saat bersamaan, satu orang prajurit meregang nyawa ketika lambungnya memuncratkan darah tertembus keris pusaka di tangan Ramya.
Para prajurit yang tersisa menyerang bersamaan dari segala penjuru. Ramya bertindak cepat dengan melentingkan tubuhnya ke atas, lalu mendarat beberapa langkah di belakang mereka.
Rupanya, Ramya benar-benar berniat mengadu nyawa.
Tak terbersit dalam benaknya untuk melarikan diri. Jumlah para prajurit yang jauh lebih banyak, tak membuatnya keder.
"Hyaaa ...!"
Teriakan Ramya disusul jeritan para prajurit yang kehilangan nyawanya. Satu per satu mereka roboh dengan tubuh bersimbah darah. Pesta kematian yang dirayakan Ramya terus berlangsung hingga dua buah bayangan bergerak kilat ke tengah pertempuran dan menghalau keris Ramya dengan sapuan tongkat.
Tranngggg! Ramya merasakan tangannya bergetar hebat. Dia segera menarik diri ke belakang. Sekarang, di hadapannya berdiri dua orang lelaki berumur empat puluhan dengan tampang yang menjemukan. Keduanya mengenakan pakaian serbahitam dan dekil.
Satu orang di antaranya memegang tongkat berlekuk seperti ular. Ujung tongkat kayu hitam itu memang berbentuk seekor ular sendok, sedangkan seorang lagi juga mengenakan pakaian serbahitam. Wajahnya kasar dengan mata menyorot Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi seram. Dia mengenakan pedang besar terhunus yang bagian belakangnya disenderkan di bahu.
"Gadis cilik! Kau cari mati mengacau di Medangkamulan!"
Ramya tak menjawab. Dia malah sibuk berhitung kemungkinan. Dia mereka-reka kekuatan musuh di depannya.
'"Jadi, kalian dua iblis dari selatan itu?"
Kedua orang itu berpandangan, lalu sama-sama tertawa keras sehingga deretan gigi berwana hitam tampak menjijikkan.
"Ternyata kau tahu kami. Lalu, kenapa kau masih jual lagak" Cepat sarungkan keris bututmu itu dan sembah kaki kami!"
Ramya tak cepat menjawab. Dia memandang ke arah kedua orang itu dengan tatapan selidik. Dia ingat kata-kata Windriya tentang kesaktian dua orang sesat ini. Tentu saja Ramya yang mentah pengalaman di dunia persilatan, belum sadar betul dengan siapa dia berhadapan. Meskipun ada juga rasa jerih, apalagi setelah merasakan sendiri getaran tenaga dalam lawan, Ramya tak lantas keder.
"Kalian terlalu berlebihan menilai diri sendiri. Apa yang harus aku takutkan dari kalian?"
Kedua iblis itu kembali ngakak. Mereka lalu saling pandang dengan tatapan mata culas.
"Kakang, apa kau pikir Ki Kesusra akan senang bila gadis ini kita serahkan padanya?"
"Kau benar, Adi. Ki Kesusra sangat suka daun muda seperti gadis galak ini."
Keduanya terbahak tanpa beban. Ramya merasakan darahnya mendidih. Tanpa perhitungan lebih rumit lagi, dia langsung menerjang ke arah dua orang itu. Gadis itu menerapkan jurus macan luwe ( harimau lapar) yang diajarkan ayahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Gerakan Ramya yang trengginas sempat mengejutkan dua lelaki iblis itu. Tapi cuma sesaat. Satu orang yang lebih muda maju ke depan sambil mengayunkan pedang besarnya. Cuma sekali ayun dan begitu bertabrakan dengan keris Ramya, benda pusaka warisan Ki Legowo itu langsung terpental ke tanah.
Berikutnya, tangan kiri lelaki itu bergerak kilat menotok jalan darah Ramya yang sontak limbung karenanya. Tiba-tiba, terdengar suara ledakan disusul asap tebal yang mengepul rata di seluruh tempat itu.
Dua iblis itu gelagapan mencari-cari tubuh Ramya yang sudah terkena totok itu. Tapi gagal. Bahkan, ketika asap itu lenyap, tubuh Ramya ikut raib.
"Setan alas! Ada yang ikut campur urusan kita, Kakang!"
"Jangan dilepas! Cepat kejar!"
Sementara itu, sesosok bayangan berlari kencang ke tengah lebatnya hutan. Dia seperti tak terbebani dengan tubuh berat yang ada di gendongannya. Beberapa saat kemudian, dia sudah sampai di sebuah daerah yang cukup lapang di pinggir hutan kecil.
"Rupanya kau!"
Ramya merasakan aliran darahnya kembali nyaman ketika Windriya melepaskan totokan yang membuatnya tak berdaya.
Ia lalu menerima keris pusakanya kembali setelah sebelumnya sempat kehilangan karena senjata itu terlepas dari tangannya saat bertempur dengan dua iblis dari selatan itu.
"Kata-katamu benar, Kakang Windriya. Dua iblis itu sangat tangguh. Aku sama sekali bukan lawan mereka."
Windriya tak langsung menjawab. Dia malah sibuk mengamati lingkungan itu seolah-olah takut ada seseorang yang datang menyergap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kita sama sekali belum aman, Nini. Kita harus segera meninggalkan tempat ini, sebelum dua iblis itu menemukan kita."
Setelah mengiyakan, Ramya pun mengikuti langkah Windriya yang tergesa-gesa. Keduanya menerobos lebatnya tetumbuhan hutan dan terus masuk ke dalam belantara. Tak peduli duri-duri pohon liar mengoyak pakaian dan kulit mereka, keduanya terus bergerak hingga beberapa lama.
"Kita istirahat di sini."
Windriya mengajak Ramya duduk di atas rumput hijau di tengah hutan. Ia lalu mengangsurkan tempat air dari tanah liat yang tadi tergantung di tali pinggangnya.
"Minumlah. Nini pasti sangat haus."
Tanpa basa-basi, Ramya langsung menerima kendi itu dan menenggak isinya.
"Kesusra benar-benar gila. Dia menjaga ketat semua jalan keluar Medangkamulan."
"Apakah tidak ada jalan lain keluar dari daerah ini kecuali melalui pintu gerbang, Kakang?"
"Ada, tapi jalannya sangat jauh dan terjal!"
"Aku jadi merepotkanmu, Kakang."
"Sudahlah. Cepat atau lambat aku juga pasti berurusan dengan mereka. Hanya saat ini, kita tidak mungkin mampu mengalahkan mereka."
Keduanya terdiam.
"Nini, ketika Nini bertempur dengan prajurit tadi, saya melihat Nini begitu ingin membunuh. Padahal saya yakin Nini bukan seorang pembunuh berdarah dingin. Mengapa?"
Ramya tak langsung menjawab. Dia menghela napas panjang, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Nini tak perlu menjawabnya jika memang tak ingin."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Tidak, Kakang. Tidak ada yang perlu dirahasiakan.
Memang aku sangat membenci prajurit Majapahit. Mereka membunuh ayahku."
Windriya lumayan terhenyak. Namun, dia tak memperlihatkannya dengan kentara. Lalu, Ramya mulai mengurai cerita panjang bagaimana ia bisa sampai di Medangkamulan. Berawal dari kunjungan rombongan bahari dari Tiongkok sampai tragedi berdarah di Simongan ia ceritakan semuanya. Windriya mengangguk-anggukan kepala.
Dia lalu tersenyum tulus.
"Nini sungguh berhati baja. Sulit menemukan perempuan yang memiliki tekad dan keberanian seperti Nini."
Belum sempat Ramya menjawab sanjungan Windriya, gendang telinga keduanya dihentak oleh suara tawa yang dilambari tenaga dalam tinggi. Ramya dan Windriya menutup telinganya dengan kedua lengan mereka.
"Mau lari ke mana tikus-tikus kecil?"
Tiba-tiba dua sosok Dua Iblis Laut Kidul sudah berdiri congkak di hadapan mereka, entah dari mana datangnya.
"Kakang Windriya, cepat pergi dari tempat ini! Mereka mencariku. Kakang tak ada urusannya dengan ini."
Windriya menoleh ke arah Ramya. Menatap mata gadis itu dengan senyum yang tak sekilas pun memperlihatkan rasa takut.
"Aku tak akan ke mana-mana. Kalau kita harus mati, kita mati bersama."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Windriya mencabut pedang di pinggangnya dan memasang kuda-kuda.
"Oh, Kakang Kolo Ireng, aku jadi ingat masa muda dulu.
Alangkah manisnya cinta muda-mudi."
Wajah Ramya memanas mendengar sindiran salah satu iblis itu. Dia pun sudah bersiap dengan keris di tangannya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi untuk mengadu nyawa. Sementara kedua iblis edan itu kembali terbahak seperti orang gila.
"Sekarang!"
Ramya melompat dengan keris terhunus. Begitu juga dengan Windriya yang menyerbu dengan pedang siap menebas. Meskipun tahu mereka bukan tandingan dua iblis itu, namun jati diri pendekar membuat keduanya tak lantas menyerah begitu saja. Ramya dan Windriya sudah bertekad mengadu nyawa.
Ternyata, seperti pertempuran perdana antara Ramya dan Kolo Ireng, mudah saja bagi dua iblis itu untuk menang.
Namun, kali ini rupanya mereka ingin bermain-main sejenak.
Mereka sengaja memberi ruang bagi Ramya dan Windriya untuk melawan. Pertarungan menjadi agak panjang. Meskipun belum juga mampu menyentuh seujung kuku lawan, Ramya tak patah arang. Dia terus menyerang musuh dengan sergapan-sergapan berbahaya.
Beberapa kali dia menyerang pergelangan kaki Kolo Ireng dengan sepakan kakinya, namun gagal. Keris mautnya pun tak berhenti menderu ke arah ulu hati lawan, namun tak kunjung menemui sasaran. Sebaliknya, Kolo Ireng tak sekali pun membalas serangan Ramya. Dia seperti asyik bermain-main melompat ke kanan dan ke kiri menguras tenaga Ramya yang terbuang percuma.
Hal yang sama dialami Windriya. Meskipun pemuda itu lebih berpengalaman dibandingkan Ramya, tetap saja hal itu tak cukup untuk dijadikan modal melawan Lowo Ijo, iblis yang lebih muda.
Windriya mencoba mengulur waktu dan memastikan Ramya tidak dalam keadaan terdesak. Sementara waktu dia bisa berlega hati. Namun, pemuda itu tahu benar, dia dan Ramya masih bisa bertahan karena kedua iblis itu memang belum ingin turun tangan. Dia berpikir keras mencari peluang meloloskan diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Sudah cukup bermain-main!"
Teriakan Kolo Ireng disambung jeritan Ramya yang terhuyung dan roboh ke tanah. Gadis itu tak lagi mampu bergerak sedikit pun. Keris di tangannya sudah terpental jatuh.
Kolo Ireng hanya butuh satu gebrakan dengan tangan kirinya untuk mengunci pergelangan tangan Ramya dan memaksa gadis itu melepaskan kerisnya.
Sesudah itu, iblis berilmu tinggi itu meyodokkan tapak kirinya untuk menotok jalan darah Ramya. Windriya yang begitu mengkhawatirkan keadaan Ramya tak lagi memikirkan pertarungannya. Ia hendak meninggalkan Lowo Ijo dan menolong Ramya. Namun, baru saja ia hendak mencelat, sebuah angin serangan ke arah bahu membuatnya tersentak.
Serta merta dia mengayunkan pedang untuk mematahkan serangan itu. Suara logam bertemu mengeluarkan suara nyaring. Pedang di tangan Windriya patah jadi dua. Sekejap kemudian, bahunya kena hajar tangan kiri Lowo Ijo.
Windriya terpelanting sambil memegangi tulang bahunya yang jelas patah. Sebelumnya, terdengar bunyi tulang berderak, bergeser dari tempatnya semula. Pemuda itu bergulingan di tanah sambil mengerang.
"Kau tahu, aku masih berbelas kasihan kepadamu, pemuda tengik! Bukan pedangku yang membabat bahumu.
Membunuh pemuda sepertimu hanya akan mengotori tangan Lowo Ijo."
Windriya tak lagi mendengarkan kata-kata itu. Dia hanya berpikir bagaimana menghentikan rasa sakit karena tulangnya yang patah. Namun, begitu mengingat Ramya, rasa sakit itu bagai lenyap. Windriya segera sadar dan hendak kembali menyerang dua iblis itu.
Tapi, begitu ia membalikkan tubuh, hanya ia sendiri di tempat itu. Dua iblis itu sudah tak ada. Begitu juga Ramya.
Windriya bangkit, namun langsung roboh lagi karena sakit di bahunya menjadi-jadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Ramyaaa ...!"
Dengan sekuat tenaga, Windriya meneriakkan nama Ramya. Meskipun yakin gadis yang ia panggil tak bisa mendengar, tetap saja ia melepas tenaga untuk meneriakkannya. Hanya gaung yang kemudian menjawab teriakan Windriya. Pemuda itu lalu roboh terdiam. Pingsan.
0oo0 Ramya merasakan seluruh tubuhnya lungkrah. Dia perlahan membuka kelopak matanya. Dia kaget bukan kepalang ketika sadar, dirinya tidak berada di hutan lembap di tempat terakhir dia terlibat pertempuran dengan dua iblis itu.
Namun, dia terbaring di pembaringan empuk dalam sebuah ruangan wangi dan tertata sangat rapi.
Kulit tubuhnya terasa nyaman bersentuhan dengan kain sutra yang menjadi alas tempat tidur. Namun, Ramya segera tahu kenyamanan itu tak berarti apa-apa ketika dia menyadari kedua tangannya terikat kuat oleh tali yang dihubungkan kedua tiang di samping pembaringan.
Mata gadis itu mencari-cari. Dia menggerakkan lehernya ke kiri dan ke kanan untuk memahami suasana di sekelilingnya. Tapi tetap saja dia tak mengerti penuh, kecuali menduga-duga. Ramya lalu ingat dua iblis yang melumpuhkannya, mereka-reka apakah kedua orang itu yang membawanya kemari.
Suara daun pintu berderit. Ramya berusaha siaga, meskipun tentu saja tak bisa sempurna karena kedua pergelangan tangannya terikat kuat.
"Oh, ternyata nini cantik ini sudah siuman. Selamat datang di tempat tinggal Kesusra, Nini!"
Mata Ramya memicing ketika seorang lelaki berumur tiga puluhan muncul dari balik pintu kamar. Dia mengenakan pakaian mewah dari penghias rambut sampai alas kaki.
Wajahnya sungguh menyiratkan kelicikan. Matanya culas dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi genit. Kumis tebal di atas bibirnya tak membangun wibawa.
Justru mengundang kekesalan yang sangat.
"Apa maumu"!"
"Oh, benar rupanya kata-kata kedua penga-walku bahwa Nini ini sungguh galak dan tegas. Aku sangat suka perempuan yang tegas dan galak."
Kesusra terkekeh dengan nada suara yang dipaksakan.
"Nini, puluhan gadis di Medangkamulan ini berharap menjadi pemuas hati Kesusra, namun tak satu pun menarik hatiku. Kau tiba-tiba saja datang ke sini dan begitu menarik hatiku. Bagaimana" Apakah kau bersedia menjadi istriku?"
Pedang Ular Mas 6 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Pendekar Jembel 8
^