Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 14

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 14


sebaliknya malah 'menjagakan ular tidur' nanti."
"Lalu aku disuruh membantu apa?"
"Cukup asal kau suka menyelidiki dan memberi tahu aku di mana tempat tinggalnya.
Meskipun siluman wanita itu tinggal bersama, tapi belum tentu tinggal sekamar. Setelah tahu
tempat tinggalnya, aku dapat berusaha menemuinya sendiri."
Thian-sian menepuk tangan: "Benar, gingkang-mu lihay, malam hari dapat secara diam-diam
menemuinya. Ini mudah saja, besok pagi aku tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya dan besok
malam, ialah malam pertama pernikahannya, kau dapat mendahului ...."
"Ngaco belo! Apa kata-kata itu pantas diucapkan seorang anak perempuan?" bentak In-nio.
"Ya, memang aku ini seorang anak perempuan liar," dengan tertawa cekikikan Thian-sian
lantas keluar untuk memberi perintah pada anak buahnya.
Keesokan harinya, Thian-sian mencari keterangan tentang tempat tinggal Se-kiat, yakni
berkemah di luar kota sebelah timur. Dengan masih menyaru sebagai serdadu wanita, In-nio naik
kuda untuk mengenal jalanan dulu. Dalam perjalanan itu ia mengambil putusan jika Se-kiat sampai
tak mau sadar, ia terpaksa akan membantu ayahnya untuk memukul kota Tho-ko-poh itu.
Tho-ko-poh didirikan di antara gunung-gunung. Anak buah Se-kiat berkemah di pinggiran kota
sebelah dalam. Untuk kesana harus melewati sebuah cekungan gunung. Ketika kuda In-nio masuk
ke selat lembah, tiba-tiba di cekung gunung itu muncul seorang hoan-ceng (paderi) yang tanpa
bicara apa-apa sudah lantas lemparkan tali lasso menjirat kaki kuda In-nio. Kejut In-nio bukan
kepalang. Tapi karena ia sudah banyak pengalaman berkelana di dunia persilatan, meskipun gugup
tapi tak sampai ia turut jatuh bersama kudanya. Begitu kuda rubuh, ia lantas gunakan ginkangnya
melayang ke arah si paderi.
"Hai, aku inginkan hidup, jangan sampai ia terluka berat!" tiba-tiba terdengar lengking suara
wanita. Ketika In-nio mendongak, diam-diam ia mengeluh. Di lereng gunung tampak berdiri seorang
wanita. Dia adalah Su Tiau-ing.
"Jangan kuatir, kongcu. Aku cukup berhati-hati. Ha, ha, gagal menangkap Sip Hong,
menangkap puterinyapun lumayan juga!" hoan-ceng itu tertawa gelak-gelak.
In-nio segera mengenali paderi itu sebagai paderi jubah merah yang pernah dijumpainya di
hotel tempo hari. Dan memang paderi itu bukan lain ialah mata-mata yang dikirim Su Tiau-gi ke
perkemahan Sip Hong, tapi dapat dipergoki. Dua orang sutenya kena dirobohkan Bik-hu, tapi ia
masih berhasil melarikan diri.
Dalam marahnya In-nio lantas menusuk dengan pedangnya. Padri itu menanggalkan jubahnya
dipakai sebagai senjata. Dimainkan si paderi, jubah itu berubah seperti segumpal awan merah. Innio
gunakan jurus toa-bok-ko-yan untuk menyerang dengan gencar. Tapi bukannya dapat
menghancurkan jubah lawan, sebaliknya pedangnya malah kena ditelungkupi jubah dan hendak
ditariknya. Tahu lwekangnya kalah, In-nio cepat menarik pulang pedangnya dan berganti mainkan ilmu
pedang Hui-ho-poh-tiap. Sret, sret, sret, ia lancarkan tiga buah tusukan dari tiga jurusan yang
berlainan. Ia hendak mencari lubang yang tak dijaga jubah si paderi.
Gagal merebut pedang sebaliknya malah diserang begitu gencar, diam-diam paderi itu terkejut
dan memuji kelihayan si nona. Ia lebih lihay dari ayahnya.
Ia putar jubahnya bagai angin lesus sehingga In-nio tak dapat mencari kesempatan. Dan karena
tak berani adu lwekang, terpaksa In-nio pun gunakan cara berkelahi dengan berputar-putar.
Dua puluh jurus kemudian, Tiau-ing tampak turun dari bukit dan tertawa: "Nona In, kemarin
aku sudah mengetahui kedatanganmu. Karena di hadapan barisan terpaksa aku tak dapat
mengundang. Sungguh kebenaran sekali kau suka datang sendiri. Seharusnya kita berhadapan
sebagai kakak beradik. Beradu tajamnya golok dan pedang, adalah kurang pantas."
Tiau-ing memang cerdik. Ia sudah memperhitungkan bahwa In-nio tentu akan menyelidiki
jalanan. Maka sebelumnya ia mengajak si paderi jubah merah untuk menunggu di cekung gunung
itu. "Seorang perempuan siluman bersilat lidah, tak punya malu. Siapakah yang sudi berakuan
kakak-adik denganmu?" damprat In-nio.
Tiau-ing tertawa mengejek: "Dari ribuan li mencari seorang pria, apakah 'tahu malu'
namanya?" In-nio sebenarnya tenang dan tak mudah marah. Tapi demi mendengar ejekan itu, marahnya
berkobar: "Dari mulut anjing tak nanti keluar gadingnya. Lihat pedang!" - Ia mengisar dan
kiblatkan pedangnya menabas Tiau-ing. Tetapi si paderi ternyata lebih gesit. Dari bertahan tibatiba
ia menyerang. Ia tebarkan jubahnya ke tengah mereka. Pedang In-nio hampir saja kena dilibat.
Tiau-ing masih tetap membongkok tangan dan tertawa seenaknya: "Apakah kata-kataku salah"
Bukankah kau hendak mencari Bo Se-kiat" Sebagai tetamu, kau sudah kuhormati dengan
membiarkan kau berlaku kurang adat padaku. Sebagai tuan rumah sebaliknya aku tak dapat berbuat
kurang ajar kepadamu. Kau mau menemui Se-kiat, itu mudah. Mari kuantarkan ke sana?"
In-nio hendak memaki lagi tapi tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi sampai
tenggorokannya terasa manis. Dan matanya agak gelap. "Celaka, aku terkena jerat mereka!" diamdiam
ia mengeluh dan buru-buru salurkan lwekang untuk menolak bau beracun itu.
Memang Tiau-ing sengaja bikin panas hati In-nio. Sekali In-nio marah, pikiran kacau dan
darah meluap. Saat itulah si paderi segera tebarkan semacam bi-hiang (dupa wangi). Hanya
digunakan bi-hiang untuk membuat orang pingsan, dan tidak menggunakan racun yang lebih keras,
adalah karena Tiau-ing menghendaki supaya In-nio dapat ditawan hidup-hidup.
"Rebahlah!" tiba-tiba si paderi berteriak sembari kebutkan jubahnya. Seketika itu In-nio
rasakan kepala berputar-putar, pedangnya terlepas dan orangnyapun rubuh. Bagaikan orang
bermimpi buruk, tiba-tiba In-nio rasakan tenggorokannya dicekik oleh tangan dingin dan
menjeritlah ia. Ketika membuka mata tahu-tahu ia mendengar suara Tiau-ing tertawa: "Kau
seorang pendekar wanita ternama, masakan punya rasa takut" Jangan takut, akulah. Mengunjukkan
kasih sayangku saja belum sempat, mengapa aku harus mencelakaimu?"
Setelah menenangkan pikirannya, barulah In-nio mengetahui dirinya berbaring di sebuah
ranjang. Dari hiasan kamar ia duga kamar itu tentu milik Tiau-ing sendiri. Dan dari jendela
dapatlah ia mengetahui bahwa saat itu sudah petang hari. Ia hendak menolak Tiau-ing tapi
tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Kini sadarlah ia kalau menjadi tawanan. Untuk
melampiaskan kemarahannya In-nio menggigit tangan Tiau-ing.
Tiau-ing menarik tangannya dan tertawa: "Hebat, sungguh hebat, benar-benar nona cantik
laksana bidadari! Kalau aku saja merasa suka, apalagi Se-kiat!"
In-nio makin gusar: "Aku sudah jatuh ke tanganmu, bunuhlah!"
"Ai, macam apa ucapanmu itu" Mengapa aku membunuhmu" Adalah karena kau tak mau
damai dengan aku maka terpaksa kugunakan cara begini. Sekarang apakah kau sudah tak marah
dan suka bercakap-cakap dengan aku?"
"Mau apa kau" Apakah kau belum cukup menghina aku?" sahut In-nio.
"Cici, aku bersungguh hati hendak bersahabat, janganlah kau mempunyai rasa bermusuhan.
Kau adalah sahabatnya Se-kiat dan biji mestika dari In tay-ciangkun, masa aku berani kurang adat?"
Tiau-ing bersikap sungguh-sungguh."
"Tak usah bermain sandiwara. Bilanglah terus terang apa maksudmu?"
Tiau-ing tersenyum: "Kabarnya ayahmu telah menerima tugas pemerintah diangkat menjadi
wakil panglima untuk menyerang daerah ini dan beberapa hari lagi akan segera tiba. Biarlah
kuberitahukan sebuah rahasia padamu. Walaupun engkohku itu namanya saja kaisar Tay Yan, tapi
pada hakekatnya dia sudah tak punya kekuasaan lagi. Setiap waktu kukehendaki ia jatuh, semudah
orang membalikkan telapak tangan. Sekarang ini dia hanya tak lebih seperti bonekanya Se-kiat.
Tetapi mungkin ia belum tahu hal itu."
"Kau sungguh pintar sekali, tepat menjadi pembantu Se-kiat. Tetapi mengapa kau
memberitahukan hal itu kepadaku?"
"Masakan kau tak ingin Se-kiat menjadi raja" Sekarang ayahmu datang hendak menumpas
pemberontak, apakah bukan serupa hendak menumpas Se-kiat?" seru In-nio.
"Akan mengundang bantuanmu," Tiau-ing tertawa.
"Bagaimana caranya?"
"Harap dengan memandang muka Se-kiat, kau sudi menulis sepucuk surat kepada ayahmu."
"Isinya?"
"Ah, cici, kau toh pintar, masakan perlu kujelaskan," kata Tiau-ing.
"Aku kepingin mendengar pendapatmu," kata In-nio.
"Paling bagus ialah datang mengundang ayahmu menggabung pada Se-kiat, bersama-sama
melaksanakan gerakan besar. Jalan kedua ialah saling membantu. Ayahmu dapat menggunakan
tentara untuk berdikari sebagai raja. Jalan lain, jika ia tak mau berkhianat pada kerajaan Tong,
baiklah gunakan siasat 'ngulur kambang' saja, jangan jual jiwa sungguh-sungguh untuk memerangi
Se-kiat. Sebagai puteri yang mengenal jelas pribadi ayahnya, cici tentu mengerti jalan mana yang
terbaik untuk menasihati ayahmu."
"Emoh semuanya!" In-nio menolak dengan tegas.
"Aku tak percaya ayahmu sungguh-sungguh setia kepada kerajaan. Sekalipun andaikata ia
benar-benar hendak menjadi menteri setia, toh ia harus memikirkan bahwa ia hanya mempunyai
seorang puteri tunggal kau ini!" kata Tiau-ing yang secara halus memberi ancaman.
"Ayah tak nanti menurut anjuran itu dan akupun takkan menulis surat semacam itu!" teriak Innio.
Wajah Tiau-ing mengerut marah: "Ha, kiranya kau yang tak mau menulis!" - Tiba-tiba ia
tertawa mengikik: "Urusan kita mudah dirunding. Bila Se-kiat menjadi kaisar, ia tentu memerlukan
dua tiga istana. Aku rela menyerahkan kedudukan Ceng-kiong-nio-nio kepadamu."
"Kau kira setiap orang tak punya malu seperti kau, temaha harta silau kedudukan?" In-nio
menyahut enggan tapi jelas bernada mendamprat.
Tiau-ing kewalahan dan tertawa mengejek: "Nona In jangan lupa, kau sekarang bukan berada
di perkemahan tentara ayahmu, tetapi di tangan Su Tiau-ing."
"Oh, kiranya yang kau katakan 'bersahabat' itu begitu maksudnya! Jika aku bukan anaknya Sip
Hong tentu sudah kau bunuh, bukan?"
"Asal sudah mengerti, sudah cukup. Sekarang tiba giliranmu, kau bersedia menulis surat itu
atau tidak?"
"Telah kukatakan tadi, tak perlu diulangi lagi. Meskipun aku benar anaknya Sip Hong tapi tak
ada gunanya bagi kepentingan kalian. Tak usah kau membuat rencana pada diriku!"
Tiau-ing marah benar. Seketika ia hendak membunuh nona itu saja tapi pada lain kilas, ia
masih mengharapkan perubahan sikap In-nio. Tiba-tiba ia tertawa dingin: "Kedatanganmu kemari,
apa bukan karena Se-kiat?"
"Kau bebas menerka dan itu urusanmu sendiri," tukas In-nio. Dalam hati ia menandaskan
bahwa sekalipun benar ia hendak menemui Se-kiat, tapi sekali-kali bukan bermaksud hendak
merebut suami. Tiau-ing yang cerdas tahu apa isi hati In-nio. Maka tertawalah ia: "Kau salah kira. Aku
bukannya kuatir kau hendak merebut Se-kiat. Tetapi karena kau kemari hendak menemui Se-kiat,
janganlah kau putuskan hubunganmu dengan dia secara begitu getas!"
"Tutup mulutmu!" bentak In-nio.
"Silahkan memaki sepuas-puasmu, aku merasa simpati padamu. Tak mudah mengharap
kedatanganmu kemari. Se-kiat tentu gembira sekali melihatmu. Jangan menuduh aku seorang
wanita berhati sempit. Tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini?"
"Siapa sudi membuang waktu menerka pikiranmu!"
"Aku tengah memikir untuk mengundang Se-kiat kemari agar kalian dapat bertemu. Aku tahu
apa yang kukatan tentu kau terima dengan purbasangka yang jelek. Sedikitpun kau tak mau
memberi kesempatan padaku. Maka biarlah Se-kiat yang mengatakan padamu. Coba lihat saja
apakah ucapannya itu sama dengan aku atau tidak! Dan hendak kupertunjukkan padamu, apakah
aku yang merayu Se-kiat atau Se-kiat yang membutuhkan aku!"
Baru Tiau-ing hendak memanggil seorang bujang, tiba-tiba di luar terdengar orang mendatangi.
Tertawalah Tiau-ing: "Ha, itu dia sudah datang, tak usah diundang lagi. Cici In, kau ingin bertemu
sekarang atau tidak?"
Memang In-nio mendengar derap kaki itu. Hatinya berdebar keras. Ia palingkan muka tak mau
menghiraukan lagi. Tiau-ing tertawa dan membisikinya: "Eh, lebih baik kau sembunyi dulu, biar
kubilang padanya agar jangan kelewat mengagetkannya." - Tiau-ing menutup kelambu dan tepat
pada saat itu Se-kiat pun masuk.
"Apa kau baru bangun" Mengapa kelihatan begitu girang?" tegur Se-kiat.
"Aku mendapat sebuah berita penting yang perlu kubicarakan dengan kau," kata Tiau-ing.
Atas pertanyaan Se-kiat, Tiau-ing menerangkan: "Kerajaan telah mengirim seorang jenderal
besar membawa lima puluh ribu tentara menggabungkan diri dengan Li Kong-pik untuk menyerang
kemari. Kira-kira dalam 10-an hari tentu datang. Coba terka siapakah jenderal itu?"
"Kalau menjadi pembantunya Li Kong-pik, terang bukan Kwe Cu-gi. Asal bukan Kwe Cu-gi,
takut apa?" kata Se-kiat.
"Masakan pihak kerajaan selain Kwe Cu-gi tiada lain panglima yang lihay lagi" Jangan
kelewat meremehkan kekuatan lawan!"
"Apa Cin Siang" Tetapi ia menjabat kepala Gi-lim-kun, mana raja mengijinkan dia tinggalkan
kotaraja?"
"Coba tebak lagi!" seru Tiau-ing. Tetap Se-kiat meminta nona itu lekas memberitahukan saja.
Tiau-ing tertawa: "Cari sana sini mengapa kau tak teringat akan seseorang yang hampir saja
bakal menjadi mertuamu?"
"Oh, Sip Hong?"
Tiau-ing mengiakan: "Benar, Sip Hong. Seharusnya kau bergirang, bukan?"
"Ah, kau menduga yang bukan-bukan lagi. Sip Hong membawa tentara kemari, itulah musuh.
Apanya yang kau girangkan?"
Tiau-ing mengikik, ujarnya: "Jika sebelumnya hatimu tak luka, mengapa perih" Padahal kau
merasa gembira, itulah sudah sewajarnya. Meskipun Sip Hong sekarang menjadi musuh, puterinya
dahulu adalah kawan baikmu!"
"Urusan yang lampau, mengapa dibangkitkan?" mulut Se-kiat mengatakan begitu tetapi hati
tak urung berdebar juga.
Tetapi Tiau-ing yang tajam mata, dapat meneropong isi hati Se-kiat. Kembali ia tersenyum:
"Baiklah, tak usah mengungkat hal lama, hal yang baru saja. Dalam memimpin pasukannya itu,
puteri Sip Hong ternyata ikut serta. Apakah kau tidak mengharapkan dapat berjumpa dengan kawan
baikmu itu?"
Se-kiat menatap wajah Tiau-ing dan berkata dengan berbisik: "Masih ingat apa yang kukatakan
dahulu?" "Yang mana?"
"Kita adalah dua ekor belalang yang terikat pada seutas tali, senasib dan sependeritaan, tak
boleh meninggalkan kawan. Apakah kau masih kuatir?"
"Kukuatir begitu berjumpa puteri Sip tayciang, kau lantas melupakan aku."
"Jangan memikirkan yang tidak-tidak! Dan lagi belum tentu ia ikut ayahnya seperti yang kau
kira itu."
"Kalau benar seperti yang kukira, bagaimana reaksimu berjumpa padanya?"
"Jika kukatakan akan kubunuhnya, kau tentu tak percaya," sahut Se-kiat.
"Kuingin mendengar apa yang terkandung dalam hatimu."
Se-kiat merenung sejenak dan berkata: "Karena kenal, aku pernah mempunyai perhatian
padanya. Tetapi kini, dalam keadaan sebagai musuh, akupun tak mau bergoyah hati. Dan lagi
apabila aku benar-benar meningkatkan perhatian kepadanya, toh tak perlu tunggu sampai
sekarang."
"Dalam hal paras dan perangai, ia jauh lebih baik dari aku. Dalam ilmu sastra dan ilmu
silatpun lebih tinggi dari aku. Mengapa kau tak suka padanya?"
Se-kiat tertawa gelak-gelak dan memeluknya: "Ini, mengapa kau masih pura-pura bertanya
lagi. Sekalipun ia mempunyai seratus macam kelebihan, tapi tak punya cita-cita tinggi. Mana dapat
dibandingkan dengan kau puteri cantik yang berpambek jantan?"
Tiau-ing lepaskan diri dan tertawa: "Kau suka padaku karena aku dapat membantu usahamu
menguasai negeri. Tetapi katakanlah sejujurnya. Apakah dalam hatimu kau tak
mengenangkannya?"
"Kau sudah tahu aku selalu memikirkan perjuangan, mana aku mempunyai waktu
mengenangkannya?" Se-kiat balas bertanya.
Tampaknya Tiau-ing puas dan tertawalah ia: "Kau dan aku satu hati. Sebenarnya aku tak
cemburu dan gembira kau hendak menjumpainya."
"Oh, kau merencanakan pada dirinya, merencanakan, merencanakan siasat mengundurkan
musuh. Ai, masakan ada hal yang begitu kebetulan sekali!"
"Benarkah" Maka kukatakan kalau kau sebenarnya hendak menemuinya. Se-kiat, setiap kali
kau hendak memikirkan apa aku tentu dapat menjalankan untukmu lebih dahulu. Kali ini juga tak
terkecuali. Aku telah mengundang nona Sip kemari."
Se-kiat berjingkrak kaget: "Kau mau berolok-olok?"
"Silahkan menyingkap kelambu, siapakah yang berbaring di situ" Ai, orang telah
menunggumu sekian lamanya! Agar kalian bebas mengadakan pertemuan empat mata, baiklah aku
menyingkir dari sini," dengan tertawa cekikikan Tiau-ing benar-benar berlalu.
In-nio mendongkol sekali sampai mulutnya serasa terkancing. Pun ketika mendengar papan
ranjang berbunyi keretakan, dengan penuh keheranan Se-kiat menghampiri dan menyingkap
kelambu .... Saat itu terasa tegang sekali. In-nio dan Se-kiat termangu seperti patung. Beberapa saat
kemudian baru dapat menenangkan pikiran, ujarnya: "In-nio, bagaimana kau datang kemari?"
"Tanyakan pengantinmu!" sahut In-nio dengan getas.
Pada saat itu Se-kiatpun mengetahui bahwa In-nio telah terkena obat bius pelemas tulang
sehingga tak punya tenaga. Tentu Tiau-ing yang membuatnya, maka pertanyaannya tadipun tolol
sekali. "Ah, dengan menempuh bahaya ia datang kemari ini, apakah bukan karena aku," pikirnya.
Diam-diam ia menyesal. Memang sebenarnya perhatian Se-kiat kepada In-nio bukannya sama
sekali sudah lenyap. Adalah karena ia dihadapi dengan dua pilihan, terpaksa ia memilih Tiau-ing.
Malam itu adalah malam widodari dari pernikahannya. Pada saat-saat begitu di dalam kamar
mempelai perempuan, bertemu dengan bekas kekasihnya, telah menimbulkan perasaan yang tidaktidak
di dalam kalbu Se-kiat.
Beberapa jenak kemudian, Se-kiat baru berani dongakkan muka namun tetap menghindari sorot
mata In-nio. Katanya dengan pelahan: "Terima kasih atas kunjunganmu menengok aku. Apa yang
hendak kau katakan kepadaku?"
Bahwa ia bakal bertemu dengan Se-kiat di tempat dan dalam keadaan seperti itu, kata-kata
lembut yang sedianya hendak dikatakan kepada Se-kiat, dibuang lenyap dan diganti dengan katakata
yang dingin: "Urusan sudah sampai sekian, apa yang perlu dikatakan. Sekarang aku menjadi
tawananmu, aku hanya bertanya, bagaimana kau hendak menghukum aku?"
Se-kiat telah keliru menangkap kata-kata In-nio. Ia kira nona itu masih mengandung setitik
kasih kepadanya. Ini membuatnya terkenang juga. Tiba-tiba ia tersenyum: "In-nio, aku bercita-cita
tinggi, kau tentu sudah memaklumi. Karenanya kau tentu dapat mengerti kesulitanku dan suka
mensukseskan cita-citaku itu. Kuharap kau dapat hidup rukun dengan nona Su, tak nanti aku
menelantarkan dirimu."
Kasarnya, kata-kata itu berarti suatu permintaan agar In-nio suka membagi cintanya kepada
Tiau-ing atau lebih jelas lagi, In-nio dan Tiau-ing itu akan diperisteri Se-kiat.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saking gusarnya In-nio hampir pingsan. "Se-kiat, sekarang aku baru benar-benar mengenal
kau, tutup mulutmu!" dampratnya.
Se-kiat terkejut sampai menyurut selangkah. Tetapi ia masih mengira In-nio itu cemburu, tak
mau membagi cintanya kepada Tiau-ing. Setelah tertegun beberapa saat, ia menghampiri lagi
maksudnya hendak mengangkat In-nio duduk. Tapi In-nio sudah berusaha sendiri menggeliat
duduk. Sambil bersandar pada tepi ranjang, ia mengancam: "Jika kau sampai berani menyentuh
tubuhku, aku tentu bunuh diri di hadapanmu. Aku dapat membuktikan ancamanku itu dengan cara
menggigit putus lidahku."
Se-kiat hampir tak dapat menguasai diri. Ia memang masih mencintai In-nio. Tapi pada lain
kejab, hatinya berontak: "Aku justeru membutuhkan bantuan Tiau-ing. Tak boleh karena
perasaanku terhadap In-nio, aku lantas meninggalkan Tiau-ing!"
Ia gelengkan kepala tertawa getir: 'In-nio, kita pernah bergaul dengan akrab, sayang baru
sekarang aku tahu isi hatimu. Kau, kau tak dapat menderita sedikit untuk membantu aku?"
In-nio tertawa dingin: "Aku hanya seorang anak perempuan yang tak punya cita-cita tinggi,
bagaimana dapat dibandingkan dengan seorang ratu pendekar yang perwira" Kau salah alamat
hendak mencari bantuanku!"
Kata-kata itu adalah ucapan Se-kiat untuk menyanjung Tiau-ing tadi. Sudah tentu Se-kiat
merah padam dan tundukkan kepala. Walaupun suara hatinya berontak, tetapi ia seorang pemuda
yang kuat batin tinggi cita-cita. Ia lebih mementingkan usahanya dari segala apa. Untuk merebut
Tiong-goan, ia harus berani menghadapi segala apa. Diam-diam ia ambil ketetapan. Ujarnya: "Innio,
kau adalah seorang puteri panglima yang gagah dan pandai. Akupun tak meminta
pengorbananmu lagi. Meskipun membuatmu menderita. Jangan kuatir, aku tentu akan mengambil
obat penawar. Kemudian terserah padamu, mau tinggal di sini atau mau pulang. Tetapi maukah
kau ulurkan bantuan padaku?"
In-nio tertawa mengejek: "Sekarang aku menjadi tawananmu. Menurut peraturan kaum Hek-to
(jahat), tentu harus menyerahkan tebusan. Baik, sekarang kau mau minta tebusan apa padaku?"
Kembali muka Se-kiat merah padam. Buru-buru ia berkata: "In-nio, jangan berkata begitulah!
Dalam kedudukan sebagai seorang kawan aku hendak meminta bantuanmu. Jika kau menolak juga
tak apa." "Secara membantu juga boleh, secara memberi tebusan juga boleh. Meskipun hanya soal enak
didengar atau tidak, tapi pada hakekatnya artinya sama. Baiklah, Bo bengcu, kau akan meminta
bantuan apa kepadaku, silahkan bilang!"
"Kau seorang nona yang pintar, tentu dapat menduganya. Kabarnya ayahmu memimpin tentara
kerajaan dan akan tiba di sini dalam beberapa hari lagi?"
"Oh, kiranya kau hendak menggunakan diriku untuk melakukan rencana mengundurkan
musuh?" seru In-nio.
Kembali In-nio menirukan apa yang dibicarakan Se-kiat dengan Tiau-ing tadi. Untuk kesekian
kalinya, Se-kiat harus menelan malu. Ia kuatir jangan-jangan noan itu akan menghamburkan
sindiran-sindiran yang lebih tajam lagi.
"Tentang rencana mengundurkan musuh itu, akupun sudah memikirkan lebih dulu. Aku
mempunyai tiga macam rencana yang hendak kurundingkan padamu," tiba-tiba In-nio membuka
suara. "Bagaimana ketiga macam rencana itu, harap hian-moay suka memberi petunjuk," sudah tentu
Se-kiat girang bukan kepalang. Dan malah untuk merayu hati In-nio, ia memanggilnya dengan
sebutan "hianmoay" atau dinda yang bijak.
"Pertama, ialah menasihati supaya ayahku suka menggabungkan diri menjadi pembantumu
mendirikan kerajaan baru."
"Ah, dikuatirkan ayahmu menolak," kata Se-kiat.
"Dia tak mau toh aku masih punya dua rencana lagi. Rencana kedua, ialah menganjurkan
supaya ia berdikari mengangkat diri jadi raja, mengadakan perjanjian ko-eksistensi (hidup bersama
dengan rukun) dengan kau. Setelah dapat merebut negara, siapa yang bakal menjadi kaisar, pada
saatnya baru dibicarakan lagi. Jika ayah enggan mengkhianati kerajaan Tong, masih ada rencana
yang ketiga. Ialah menasihatinya supaya netral, jangan bersungguh-sungguh membantu pihak
kerajaan memerangi kau!"
Se-kiat berteriak girang: "In-nio, kau benar-benar cemerlang. Apa yang kau katakan itu tepat
sekali dengan rencana yang kurancang! Ai, kukira kau tak mau membantu aku, kiranya siang-siang
kau sudah memikirkan kepentinganmu."
Berhenti sejenak, Se-kiat berkata pula: "Kurasa rencana kedua itu yang banyak harapannya
dapat diterima ayahmu. Harap kau gunakan rencana yang itu untuk menasihatinyalah!"
Tiba-tiba In-nio tertawa mengejek, nadanya bercampur amarah dan kedukaan. Se-kiat
tercengang, tanyanya: "Apa yang kau tertawakan?"
"Yang cerdas cemerlang itu bukan aku, melainkan pengantinmu. Ketiga rencana itu dialah
yang memikirkan. Aku hanya mengulangi mengatakan saja. Hm,k alian berdua benar-benar
sepaham dan sehati. B0 Se-kiat, sekarang baru aku dapat meneropong dirimu!" In-nio tertawa hina.
Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar orang tertawa gelak-gelak. Tiau-ing muncul lagi.
Dengan berhias senyum simpul, Tiau-ing melirik In-nio: "Benar, benar, memang akulah yang
membuat ketiga rencana itu. Dengan pikiran Se-kiat, ternyata senapas! Nona Sip, sekarang biarlah
kau mengetahui. Apa yang kukatakan kepadamu tadi, adalah serupa dengan apa yang hendak
diucapkan Se-kiat kepadamu. Kau enggan melihat paderi sebab ia memandang Buddha, apanya
yang berbeda?"
Dengan tindakan yang dilakukan itu, Tiau-ing telah membuat tiga macam perhitungan atau
sekali tepuk tiga lalat. Jika Se-kiat berhasil menasihati In-nio supaya menurut, itulah yang terbaik.
Apabila Sip Hong sudah meninggalkan pihak kerajaan, mudahlah besok dibereskan berikut In-nio
juga. Tapi Tiau-ing telah memperhitungkan, In-nio tentu membandel. Maka sengaja ia hendak
memperlihatkan kepada nona itu bahwa ia (Tiau-ing) dan Se-kiat itu sudah sehati-senyawa. Jangan
harap orang ketiga dapat menyela di tengah mereka. Di samping itu, apabila In-nio sampai marah
dan bentrok dengan Se-kiat, Se-kiat tentu putus sama sekali hubungannya dengan In-nio.
Tampaknya Tiau-ing terbuka tangan menyuruh mereka bertemu empat mata, tapi sebenarnya ia
telah mengatur segala-galanya.
Tahu gelagat tak baik, masih Se-kiat berusaha untuk menolong In-nio. Katanya dengan lemah
lembut: "Sebenarnya ketiga rencana yang dibuat Tiau-ing itu, adalah untuk kepentinganmu dan
ayahmu. Pemerintah kerajaan sudah bertindak sewenang-wenang, para panglima di daerah sama
berebut wilayah. Umur kerajaan Tong rasanya takkan panjang lagi. Misalnya seperti ayahmu
sendiri. Sudah berkali-kali ia membuat jasa, tapi toh sampai sekarang belum diangkat menjadi
Ciat-to-su. Mengapa nasib suka mati-matian mengabdi kepada kerajaan" Daripada hanya menjadi
wakil panglima, kan lebih baik berdiri menjadi raja sendiri" Apalagi dengan begitu hubungan kita
tetap terpelihara. Untuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kedua-duanya dapat
terlaksana dengan baik. Bagaimana kehendakmu?"
"Kehendakku, telah kukatakan kepada pengantinmu tadi. Apakah masih suruh aku bicara
lagi?" sahut In-nio.
"Nona Sip menyayang cinta lebih daripada emas. Ia tak mau menulis surat itu. Ai, ciciku In
yang baik, kau bersikap getas kepadaku, tak apa. Tetapi mengapa kau tak punya budi dan kecintaan
kepada Se-kiat?" Tiau-ing menyeletuk.
"Tutup mulutmu!" bentak In-nio. Sepasang matanya berkilat-kilat membuat orang gentar juga.
Kemudian berkata pula: "Se-kiat, kedatanganku ini memang untuk Budi dan Kecintaan!"
Menghadapi sinar mata si nona yang begitu berwibawa gentarlah hati Se-kiat. Tetapi demi
mendengar ucapan In-nio, ia berbalik girang sekali dan buru-buru menyatakan dirinya bukan
manusia yang lupa budi lupa kecintaan.
Tiau-ing mendengarkan dengan tertawa dingin.
Dengan tenang, berkatalah In-nio sepatah demi sepatah: "Jangan kalian keliru menafsirkan.
Apa yang kukatakan Kecintaan itu adalah kecintaan sahabat. Dan yang kusebut Budi itu ialah Budi
Kebajikan yang sejati! Se-kiat, memang benar, aku dan kau pernah mengikat persahabatan. Adalah
karena itu maka aku tak mau membiarkan seorang sahabat menjurus ke jalan yang sesat! Se-kiat,
kau yang selalu membanggakan dirimu berhati perwira, mengapa sekarang gelap pikiran tak mau
mendengar nasihat sahabat-sahabatmu?"
"Dalam hal apa aku mata gelap" Hanya yang menjalankan Kebenaran yang dapat hidup di
dunia. Ketika Li Yan dan puteranya mulai bergerak di Thay-gwan, apakah juga tidak sebagai
menteri kerajaan yang merebut kekuasaan junjungannya" Apalagi aku bukan menteri kerajaan
Tong, mengapa lebih tidak boleh?" bantah Se-kiat.
"Jika kau bertujuan menolong penderitaan rakyat, itu baru benar-benar jantan perwira. Tapi
bagaimana dengan tindakanmu sekarang" Kau bersekutu dengan anak keturunan haram dari An
dan Su. Kau sepaham dan sehina martabatnya. Kau hendak meminjam tentara asing untuk
menyerang negaramu sendiri. Taruh kata kau berhasil, pun tentu akan dinista orang. Apalagi rakyat
masih mendendam kebencian terhadap pemberontak An dan Su. Bagaimana kau dapat mengambil
hati rakyat?"
Dimakin oleh In-nio, Tiau-ing spontan balas mendamprat: 'Bagus, akupun mendapat hinaanmu.
Kalau diriku ini dikata keturunan haram dari kawanan pemberontak An dan Su, apakah ayahmu itu"
Bukankah pada masa itu ia juga berhamba pada An Lok-san?"
"Tetapi siang-siang ayahku sudah insyaf dan kembali ke jalan yang benar," sahut In-nio.
"Oho, raja keturunan she Li itu, juga bukan raja yang genah!" Tiau-ing mengejek.
"Tetapi tetap jauh lebih baik dari pemberontak An Lok-san yang buas kejam itu," jawab In-nio.
"Asal aku tidak bertindak kejam sewenang-wenang, toh tak apa," Se-kiat menyeletuk.
"Tetapi langkahmu pertama sudah salah. Mana rakyat mau percaya padamu?" bantah In-nio.
"Habis kalau menurut anggapanmu, bagaimana?" tanya Se-kiat.
"Bawalah anak buahmu itu untuk segera tinggalkan tempat ini. Hendak mengadakan revolusi
tidak boleh mengandalkan orang luar!" In-nio menyatakan dengan tegas.
Se-kiat tergelak-gelak, serunya: "Ini omongan anak kecil. Kalau menurut cara itu, entah berapa
banyak rintangan yang akan kujumpai nanti."
"Ya, memang kutahu kau hendak mengambil jalan singkat. Tetapi kau lupa bahwa makin
mengambil jalan singkat, rintangannya makin banyak."
Su Tiau-ing tertawa mengejeknya: "Maksudmu tak lain tak bukan hanya akan memisahkan aku
dan Se-kiat saja. Baiklah, Se-kiat, rupanya ia lebih pintar, angkatlah dia menjadi kun-su (penasihat
militer)!"
In-nio tahan kemarahannya dan berkata lagi: "Aku hanya menunaikan kewajibanku sebagai
seorang sahabat. Kata telah kuucapkan, menerima atau tidak terserah padamu. Karena kalian
menyangka aku begitu, maka tak perlu aku bicara lebih lanjut."
"Tetapi teorimu itu juga bukan baru. Tempo hari Thiat-mo-lek juga sudah mengatakan begitu,"
kata Se-kiat. "Aku selalu mengagumi pandangan Thiat toako. Jadi ia juga pernah mengatakan begitu"
Kalau begitu, kau anggap Thiat toako itu juga seorang anak kecil?" tukas In-nio.
"Berlainan arah tujuan, tentu tak dapat seperjalanan. Aku sudah putus dengan Thiat-mo-lek.
Seorang ksatria, apabila sudah putus hubungan, tak mau memfitnah. Aku tak mau membicarakan
pendapat Thiat-mo-lek itu."
In-nio tertawa kecewa, hatinya berduka sekali. Dan berkatalah ia dengan tawar: "Karena
berlainan arah tujuan tentu tak dapat seperjalanan, maka persahabatan kita berdua inipun putus
sampai di sini. Ah, aku masih kesalahan mengomong lagi. Aku sekarang menjadi tawananmu, mau
dibunuh mau digantung, aku harus menurut. 'Putus hubungan' perkataan itu, tak perlu kukatakan
lagi." Wajah Se-kiat sebentar gelap sebentar merah. Berpaling kepada Tiau-ing, berserulah ia: "Tiauing
kau berikan ia ...."
Belum kata yang terakhir 'obat penawar' diserukan, Tiau-ing sudah menukasnya: "Lupakah kau
bahwa ia puterinya Sip Hong" Lepaskan ia pulang, karena ia sudah tahu keadaan kita, tentu akan
membantu ayahnya menghantam kota ini. Kalau pada waktu itu kau dan aku menjadi tawanan Sip
Hong, belum tentu mereka ayah dan puteri itu mau melepaskan."
Se-kiat terbeliak kaget, pikirnya: "Ya, perkataan Tiau-ing itu memang benar. Mana aku berani
memastikan In-nio tak membantu ayahnya?"
Tetapi untuk mencelakai In-nio, ia tetap tak sampai hati. Selagi ia masih bersangsi belum dapat
mengambil keputusan, tiba-tiba seorang serdadu masuk dan melaporkan bahwa ada seorang utusan
dari Im-ma-jwan datang menghadap.
Se-kiat mempunyai dua pembantu yang paling boleh diandalkan. Satu Kay Thian-hau dan
lainnya Nyo Tay-lui, pemimpin begal Im-ma-jwan. Orang itu bertubuh tinggi sekali hingga digelari
sebagai Nyo Toa-koji atau Nyo si orang besar. Kay Thian-hau dan Nyo Besar itu merupakan jago
yang dimalui di kalangan loklim. Dahulu yang mendukung pencalonan Se-kiat sebagai lok-limbeng-
cu juga kedua orang itu. Waktu Se-kiat menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi, ia telah
mengirim Lok-lim-cian (panah lokim atau tanda maklumat), supaya semua kepala-kepala
penyamun berkumpul di Yu-ciu. Anak buah Kay Thian-hau sudah datang lebih dulu sedang Nyo
Besar masih belum tiba.
Waktu mendengar pihak yang diharap-harapkan itu mengirim utusan, Se-kiat girang sekali. Ia
segera minta Tiau-ing membujuk In-nio, sedang ia lalu keluar menyambut utusan itu.
Yang datang ternyata seorang kerucuk. Umurnya baru 20-an tahun, berwajah jujur dan
sikapnya seperti pemuda desa. Hanya sepasang matanya yang bersorot tajam itu, sepintas pandang
Se-kiat mengetahui kalau orang itu cukup tinggi ilmu lwekangnya. Diam-diam Se-kiat heran
mengapa Nyo Besar mempunyai seorang bawahan semacam itu.
"Siapakah nama saudara dan sudah berapa lama ikut pada Im-ma-jwan" Apakah sebelum
masuk Im-ma-jwan pernah berguru pada orang pandai" Di dalam pesanggrahan Im-ma-jwan,
menjabat tugas apa?" demikian Se-kiat mengajukan beberapa pertanyaan.
Anak muda itu memberi hormat lalu menjawab: "Aku orang she Wan, nama Hun. Mendiang
ayahku dulu menjadi guru rumah-persilatan. Aku mendapat beberapa macam pelajaran ilmu
pedang. Masuk ke Im-ma-jwan baru satu tahun. Hanya karena kemurahan hati Nyo-cecu, aku telah
diangkat menjadi siau-thaubak (kepala regu)."
Setahun yang lalu, meskipun Se-kiat pernah datang ke Im-ma-jwan, tapi hanya tinggal selama
10-an hari saja. Diantara ratusan thaubak yang berada di Im-ma-jwan itu, sudah tentu ia tak dapat
mengenali semua. Apalagi pemuda itu baru masuk saja. Sekalipun begitu Se-kiat tetap heran,
mengapa Nyo Besar tak mengirim thaubak yang ia kenal. "Ah, mungkin karena anak muda ini
berkepandaian tinggi maka Nyo cecu mempercayakan tugas ini kepadanya. Ini tak dapat
mempersalahkannya," pikirnya.
Ketika se-kiat memandang keluar, matanya tertumbuk akan seekor kuda putih yang tengah
makan rumput. Kembali Se-kiat tersirap dan memuji: "Kuda ciau-ya-say-cu yang bagus sekali!
Apakah itu tungganganmu?"
Anak muda yang menyebut dirinya bernama Wan Hun itu mengiakan: "Kuda itu milik tentara
negeri yang dirampas Nyo cecu. Untuk sementara diberikan padaku supaya dipakai."
"Dimana Nyo cecu dan sekalian anak buahnya" Mengapa ia begitu perlu mengirim kau"
Berita penting apa yang hendak dilaporkan itu?" tanya Se-kiat.
"Nyo cecu dan saudara-saudara semua, sudah mulai berangkat. Ketika aku berpisah, mereka
baru tiba di lembah Ko-in-ko di Siam-pak. Mungkin dalam waktu 10-an hari tentu dapat tiba
kemari. Adanya Nyo cecu mengirim aku kemari, karena hendak melaporkan suatu berita yang
penting sekali."
Atas pertanyaan Se-kiat, pemuda itu menerangkan: "Pengangkatan Sip Hong menjadi wakil
panglima untuk memerangi kita ini, adalah atas usul Kwe Cu-gi. Kwe Cu-gi telah memberikan
lima puluh ribu serdadu pilihan kepadanya, suruh ia menggabung dengan Li Kong-pik.
Kemungkinan dalam setengah bulan lagi mereka tentu sudah tiba di Yu-ciu. Harap bengcu suka
bersiap-siap."
"Soal ini aku sudah tahu. Dan apa lagi?" kata Se-kiat.
Dengan terkerat-kerat kerucuk itu menyahut: "Masih ada berita rahasia entah harus dikatakan
atau tidak?"
"He, apa maksudmu" Soal apa yang tak harus dikatakan?" tegur Se-kiat.
"Karena mungkin bengcu tak senang."
"Bilanglah! Berita yang senang harus didengar, yang tidak senang lebih harus didengarkan!
Apakah Thiat-mo-lek hendak memusuhi aku?"
"Bukan," sahut si kerucuk, "berita yang kami dengar itu ialah bahwa puteri Sip Hong yang
bernama Sip In-nio ikut pada ayahnya tetapi pada suatu hari tiba-tiba lenyap. Turut laporan matamata
kami nona itu menuju ke Yu-ciu. Nyo cecu kuatir kalau nona itu menyelundup ke Tho-ko-poh
menjumpai bengcu. Nyo cecu mengatakan ...."
"Ai, sudahlah, aku sudah tahu. Memang Nyo toako itu setia padaku. Karena tahu bagaimana
hubunganku dengan nona itu tempo hari, maka ia kuatir aku kena terpikat, benar?"
"Sekarang siapa kawan siapa lawan, sudah jelas. Apalagi kabarnya bengcu hendak
melangsungkan pernikahan dengan Tay Yan kongcu. Dikuatirkan nona Sip itu akan membunuh
secara menggelap. Maka Nyo cecu meminta bengcu supaya lebih waspada. Jika mengetahui jejak
nona itu, supaya ditangkap saja, jangan dilepaskan. Tetapipun jangan buru-buru dibunuh, karena
dapat dijadikan tanggungan untuk menekan Sip Hong."
Se-kiat tertawa girang: "Ai, tak kira Nyo toako pintar juga. Ha, ha, ha apa yang dapat
dibayangkan Nyo toako, masakan aku tak dapat memikirkan" Harap kalian jangan kuatir. Tetapi
akupun merasa berterima kasih atas kesetiaan Nyo toako itu. Masih ada apa lagi?"
"Apakah bengcu sudah mengetahui jejak puteri Sip Hong itu" Apakah sudah dapat
menangkapnya?" tanya pemuda itu.
"Itu urusanku, tak perlu kau turut campur. Karena menempuh perjalanan jauh, beristirahatlah
dulu," kata Se-kiat yang dalam pada itu menganggap utusan itu terlalu usil tetapi sikapnya ketololtololan
seperti Nyo Besar.
Entah kapan keluarnya, tahu-tahu Tiau-ing menghampiri ke muka utusan tadi. Setelah
mengawasi sejenak, ia berkata: "Wajahmu seperti tak asing, entah di mana kau pernah berjumpa
dengan aku?"
"Kongcu tentu salah lihat. Aku hanya seorang kerucuk baru dari Im-ma-jwan, masakan
mempunyai kehormatan besar berjumpa dengan kongcu?" sahut si pemuda itu.
Mendengar itu serempak timbullah kecurigaan Se-kiat: "Nanti dulu, kau mengaku belum
pernah melihat ia, mengapa tahu kalau ia seorang kong-cu?"
In-nio pun mendengar pembicaraan di luar kamar tadi. Makin mendengar makin merasa tak
asing dengan nada suara utusan itu. Tiba-tiba ia teringat seseorang dan girangnya bukan kepalang.
Meskipun tenaganya masih lumpuh, tapi karena lwekangnya kuat, ia segera berusaha menyalurkan
pernapasannya. Beberapa saat kemudian, dengan paksakan diri ia dapat juga berjalan keluar. Pada
saat itu tepat Se-kiat mendesak si utusan dengan pertanyaan yang terakhir tadi. In-nio merayap
tembok dan tiba di pinggir pintu.
Utusan dari Nyo Besar tadi tengah terpukau menghadapi pertanyaan Se-kiat. Tiba-tiba ia
mendengar suara In-nio berseru: "Aku di sini, lekas bekuk perempuan siluman itu!"
Kerucuk utusan itu bukan lain adalah Pui Bik-hu. Dalam perjalanan ke Yu-ciu di tengah jalan
ia bertemu dengan regu pelopor dari kawanan Im-ma-jwan. Mereka coba merebut kuda Bik-hu,
tetapi malah dihajar Bik-hu. Bik-hu dapat menyambar seorang siau-thaubak (pemimpin regu), terus
dilarikan. Bik-hu memang masih hijau dalam pengalaman, tapi ia punya otak juga. Ia paksa siau-thaubak
memberi keterangan tentang keadaan Im-ma-jwan. Kemudian setelah menutuk si thaubak, ia lantas
melucuti pakaiannya dan dengan menyaru sebagai siau-thaubak Im-ma-jwan, dapatlah ia


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelundup ke Tho-ko-poh.
Benar Tiau-ing pernah bertemu dengan Bik-hu di hotel tempo hari, tapi karena di waktu malam
jadi ia tak melihat jelas wajah anak muda itu. Apalagi saat itu Bik-hu menyaru maka Tiau-ing pun
tak berani memastikan. Waktu ia hendak menanyai lebih jauh In-nio muncul dan meneriaki Bik-hu
supaya menindak nona itu. Dan memang Bik-hu sudah siap-siap. Dengan berseru keras, secepat
kilat ia sudah maju dan menutuk jalan darahnya.
Se-kiat kaget sekali dan cepat ayunkan pukulannya tapi Bik-hu segera gunakan tubuh Tiau-ing
untuk perisai. Untung Se-kiat dapat lekas-lekas menarik pulang tangannya diganti dengan sebuah
tendangan dan rangsangan tangan kiri untuk mencengkeram lambung Bik-hu yang terbuka.
Bik-hu mundur tiga langkah. Bret, baju lambung kanannya kena dirobek jari Se-kiat. Bik-hu
tertawa dingin, dan mencabut pedangnya: "Bo Se-kiat, selangkah lagi kau berani maju, siluman
wanita ini tentu kubunuh!"
Saking marahnya mata Se-kiat sampai mendelik tapi ia tak berani maju lagi.
"Se-kiat sekarang kita dapat melakukan barter cara kaum Hek-to. Jika kau menghendaki
pengamanmu berilah obat penawar padaku," seru In-nio.
"Memangnya aku bermaksud hendak memberikan obat penawar padamu, mengapa kau perlu
gunakan akalan begitu?" sahut Se-kiat.
"Suci, kau terkena racun mereka?" Bik-hu berseru kaget.
"Tak mengapa. Obat bo-kut-san itu tak begitu ganas, hati wanita siluman itu lebih ganas dari
racunya," sahut In-nio.
Se-kiat masuk ke kamar mengambil obat. Ketika keluar dilihatnya In-nio berdiri di samping
Bik-hu. Bik-hu tampak girang sekali. Melihat itu Se-kiat dapat menduga. Meskipun ia telah
mengalihkan cintanya kepada lain nona, tapi masih ada setitik bekas kasihnya kepada In-nio. Dan
tanpa terasa ia merasa cemburu juga.
"In-nio, sungguh mengagumkan sekali sutemu mau mati-matian menyusul kau kemari!
Kudoakan kalian berbahagia," katanya dengan rawan.
"Berikan obat penawar itu dan kita lakukan barter secara adil. Siapa sudi menerima kemurahan
hatimu. Sudah, jangan banyak kata yang tiada guna lagi," sahut In-nio, waktu ia sudah menerima
obat dari Se-kiat, Se-kiatpun segera menanyakan tentang pembebasan Tiau-ing. Tetapi Bik-hu
mengatakan belum bisa.
"Bagaimana maksudmu?" Se-kiat marah.
Bik-hu tak menghiraukan. Beberapa saat kemudian baru ia menanyakan In-nio tentang obat
yang telah diminumnya itu. In-nio tertawa dan menerangkan bahwa obat itu memang mustajab. Ia
sudah dapat berangkat.
Kini tahu Se-kiat kemauan mereka: "Kurang ajar! Kau anggap aku Bo Se-kiat ini orang
macam apa" Masakan akan mengambil obat palsu untuk menipu kalian" Dan apakah sekarang kau
sudah dapat melepaskan Tiau-ing?"
"Masih belum," lagi-lagi Bik-hu menyahut.
"In-nio sutemu mungkin baru pertama kali bertemu aku, tapi kau tentulah sudah kenal
pribadiku. Apakah aku pernah menarik kembali ucapanku" Apakah kau masih belum mempercayai
aku?" Se-kiat marah-marah.
"Bo toa-bengcu, jangan naik pitam. Pengantinmu tentu akan kami kembalikan. Hanya
terpaksa kuminta ia mengantar perjalanan sebentar. Sute, begitukah maksudmu?" kata In-nio.
Bik-hu mengiakan: 'Ya, begitulah. Bo toa-bengcu, bukan aku tak percaya pdamu melainkan tak
percaya pada perempuan siluman ini!"
In-nio minta supaya Tiau-ing diberikan kepadanya saja supaya jangan menimbulkan kecurigaan
orang. Bik-hupun menurut. Saat itu tenaga In-nio sudah pulih sebagian besar. Sambil
mencengkeram jalan darah di punggung Tiau-ing, In-nio meminta Se-kiat supaya mengambilkan
kuda. Walaupun mendongkol, namun toa-bengcu (pemimpin besar) itu terpaksa menjadi tukang
kuda. In-nio dan Tiau-ing naik kuda Ngo-hoa-ma. Bik-hu pun segera mendapatkan kudanya Ciauya-
say-cu yang tengah makan rumput. Setelah memberi hormat kepada Se-kiat, berkatalah ia: "Bo
toa-bengcu, jika kau kuatir, silahkan ikut."
Sudah tentu Se-kiat kuatir dan iapun mengendarai kudanya. Kuda Se-kiat itu juga hebat, tapi
tetap kalah dengan kuda In-nio dan Bik-hu. Karenanya ia ketinggalan jauh di belakang. Terpaksa
In-nio suruh Bik-hu lambatkan kudanya agar jangan diduga Se-kiat hendak melarikan Tiau-ing.
Mereka menuju keluar kota. Di situ merupakan daerah perkemahan anak buah Se-kiat. Di
sepanjang jalan tampak tentara pribumi. Dengan sebelah tangan memegang kendali kuda dan
sebelah tangan menekan punggung Tiua-ing, In-nio mengisiki: "Nona Su, harap kau unjukkan muka
riang, jangan mengerut masam, atau nanti terpaksa aku bertindak keras."
Tiau-ing kerenyotkan gerahamnya namun mau tak mau ia terpaksa menuruti permintaan itu
juga. Anak buah Se-kiat karena melihat kedua nona itu begitu akrab sekali pun tak menaruh
kecurigaan apa-apa.
Tak lama kemudian tibalah mereka di pintu dari kota luar. Melihat Tiau-ing dan Se-kiat,
penjaga pintu buru-buru membukakan pintu dan bertanya dengan hormat sekali: "Bengcu, rupanya
hari ini kongcu tampak gembira sekali. Apakah hendak ke padang rumput mencoba kuda?"
Dengan enggan Se-kiat menyahut: "Tak usah mengurusi urusan lain. Selanjutnya siapa saja
yang datang kemari, meskipun membawa tanda keterangan, tapi harus dilaporkan dulu padaku.
Setelah kusuruh orang kemari, barulah tetamu itu diperbolehkan masuk."
Begitu keluar, In-nio dan Bik-hu segera congklangkan kudanya. Kembali Se-kiat ketinggalan
di belakang. Sudah tentu ia cemas sekali. Tetapi kecemasannya itu segera lenyap ketika setengah li
di sebelah muka sana, In-nio tampak turunkan Tiau-ing dengan hati-hati.
"Pengantin perempuan kembali padamu. Kau dapat membuka jalan darahnya. Sekarang kami
akan pergi," seru In-nio.
"In-nio, apakah tiada lain jalan bagi kita kecuali berjumpa di medan pertempuran?" tanya Sekiat.
"Apa yang hendak kukatakan, telah kukatakan. Sejak saat ini tergantung padamu. Tetapi
mudah-mudahan kau mau menimbang semasak-masaknya lagi. Memang paling baik jangan
bertemu di medan pertempuran," sahut In-nio.
Tiba-tiba Se-kiat merasa pilu. Memandang kepergian In-nio dengan Bik-hu itu, ia merasa
seperti kehilangan sesuatu. Walaupun pendiriannya bertentangan tapi mau tak mau ia merasa
kagum juga terhadap In-nio. Ya, memang begitulah perasaan manusia. Di kala ia kehilangan
seorang sahabat, barulah ia merasakan sifat-sifat yang baik dari sahabatnya itu.
Bayangan In-nio makin lama makin kecil. Tetapi dalam pandangan mata Se-kiat, bayangan itu
bukan makin kecil sebaliknya malah makin besar, ya semakin besar hingga menutupi bayangan
Tiau-ing. Se-kiat termangu-mangu, pikirannya melayang. Dan timbullah kesangsiannya: apakah ia
tak keliru menetapkan pilihannya"
Detik-detik kekosongan hati Se-kiat yang terisi dengan renungan indah, hanya berlangsung
beberapa kejab. Karena pada saat itu kedengaran Tiau-ing meneriakinya supaya datang membuka
jalan darahnya yang tertutuk. Se-kiat gelagapan dan buyarlah semua kenangannya tadi. Tiba-tiba
terngiang apa yang pernah diucapkan Tiau-ing: kau dan aku adalah seperti sepasang belalang yang
terikat seutas tali. Ya, benar. Untuk menguasai Tiong-goan, menduduki kota raja Tiang-an, tak ada
lain jalan kecuali harus semua suara hatinya. Bayangan In-nio pun buyar bagai awan tertiup angin.
Buru-buru ia menghampiri Tiau-ing.
Saat itu In-nio dan Bik-hu masih belum lari jauh. Tiba-tiba dari muka tampak seorang wanita
yang menyanggul hud-tim (kebut pertapaan) dan pedang. Larinya cepat sekali, lebih cepat dari
kuda lari. Diam-diam Bik-hu terkejut melihat ilmu gin-kang si wanita yang sedemikian ampuhnya
itu. Pun wanita itu berseru memuji kedua ekor kuda yang dinaiki In-nio dan Bik-hu. Sekonyongkonyong
Tiau-ing berteriak: "Suhu, lekas tangkap kedua orang itu. Mereka telah menghina aku!"
Ternyata wanita yang dandanannya aneh itu bukan lain ialah Shin ci-koh, suhunya Tiau-ing.
Gong-gong-ji sudah berjanji hendak menikah dengannya, tetapi karena Gong-gong-ji bersama Coh
Ping-gwan hendak mengejar Ceng-ceng-ji, ia merasa tak leluasa kalau berjalan dengan seorang
wanita. Maka ia pun suruh tunangannya itu menunggu di daerah Tho-ko-poh.
Shin Ci-koh digelari orang sebagai Bu-ceng-kiam atau Pedang tak kenal cinta. Tetapi
sebenarnya ia bukan seorang wanita yang tak kenal cinta, bahkan sebaliknya ia seorang yang
sentimentil sekali. Segala tindakannya didasarkan atas pertimbangan hatinya sendiri. Dalam
hidupnya, satu-satunya pria yang dicintai ialah Gong-gong-ji, dan yang paling disayangi ialah
muridnya Su Tiau-ing itu. Maka waktu mendengar teriakan Su Tiau-ing tadi, ia merasa kebetulan
sekali. Memang sebenarnya ia hendak merampas kuda kedua anak muda itu, tapi sayang belum
mendapat alasan.
"Jangan kuatir, Ing-ji, akan kuringkus kedua bangsat cilik itu," serunya sembari kebutkan hudtimnya.
Jarak In-nio dan Bik-hu dengan Shin ci-koh itu masih 10-an tombak jauhnya. Tapi ternyata
kuda mereka meringkik keras dan kaki depannya tekluk ke muka terus menjorok jatuh. Ternyata
kebutan hud-tim Shin Ci-koh dilakukan dengan lwekang tinggi. Beberapa lembar bulu dari kebut
itu, meluncur seperti senjata rahasia. Jauh lebih lihay dari jarum bwe-hoa-ciam. Empat lembar
bulu tepat sekali mengenai kuku kaki depan kedua kuda. Memang tak membahayakan, kelak dapat
diobati lagi. Tapi karena buku kakinya disusupi bulu, kedua kuda itupun tak dapat berlari lagi.
Walaupun kudanya jatuh, tapi In-nio dan Bik-hu tetap dapat bertahan duduknya. Dengan
gusarnya, Bik-hu loncat ke udara untuk menyerang Shin Ci-koh. Shin Ci-koh perkencang hudtimnya
hingga lurus seperti sebatang pena pit. Trang, ia tutuk pedang Bik-hu hingga tangan
pemuda itu terasa sakit sekali. Memang pedang Bik-hu terkisar ke samping tapi tak sampai jatuh.
Hal ini membuat Shin Ci-koh terkejut. Dan pada saat itu In-nio pun memburu datang dengan
mainkan ilmu pedang Hui-hoa-boh-tiap. Begitu pedang diputar segera berubah menjadi tujuh sinar
bunga yang mengarah tujuh jalan darah orang.
Shin Ci-koh pun tebarkan hud-tim menjadi ribuan sinar. Dan cukup dengan satu gerakan itu,
patahlah serangan In-nio. Malah sehabis itu, bulu dari kebud Hud-tim itu mengencang lurus ke
muka akan menutuk jalan darah In-nio. Bik-hu berseru keras dan mainkan pedangnya seperti orang
bermain golok. Itulah ilmu pedang istimewa ciptaan bersama dari Mo Kia-lojin dan Thiat-mo-lek.
Shin Ci-koh keder juga dan terpaksa alihkan hud-tim untuk menghalau Bik-hu.
Beberapa jurus kemudian, Shin Ci-koh makin terkejut. Bukan karena kepandaian kedua anak
muda itu hebat, tetapi karena makin tahu jelas akan sumber ilmu permainan mereka. Dengan
gunakan jurus hong-cong-jan-hun, Shin Ci-koh menyingkirkan pedang In-nio dan Bik-hu,
kemudian berseru: "Biau Hui sinni dan Mo Kia Lojin itu pernah apa dengan kalian?"
In-nio pun sudah mengenali Shin Ci-koh itu sebagai wanita yang bersama Gong-gong-ji telah
membikin ribut di lapangan Eng-hiong-tay-hwe. Sebagai seorang nona yang cerdik walaupun tak
tahu sampai dimana hubungan antara wanita itu dengan Gong-gong-ji, namun ia sedikit-sedikit
dapat menduganya juga.
Sebaliknya Bik-hu hanya berniat hendak menggempur saja, maka ia tak menghiraukan
pertanyaan Shin Ci-koh dan masih tetap menyerangnya. In-nio buru-buru berseru: "Biau Hui sin-ni
adalah suhuku dan juga menjadi bibinya. Dia murid kesayangan Mo Kia lojin. Thiat-mo-lek
adalah suhengnya. Apakah kau ini bukan Shin lo-cianpwe" Bukantah kita pernah bertemu di
lapangan Eng-hiong-tay-hwe?"
Seganas-ganas Shin Ci-koh namun ia masih gentar juga terhadap Biau Hui sin-ni dan Mo Kia
lojin. Selain itu, iapun tahu juga sampai di mana hubungan antara Thiat-mo-lek dengan Gonggong-
ji. Oleh karena ketika berada di tempat kediaman Cin Siang. Shin Ci-koh segera mengikut
Gong-gong-ji pergi, maka ia tak tahu tentang Cin Siang memberi kuda kepada In-nio dan Bik-hu
itu. Waktu In-nio mengingatkan tentang Eng-hiong-tay-hwe, Shin Ci-koh pun segera
mengenalinya. "Ah, kiranya budak itu sute dari Thiat-mo-lek. Jika sampai kulukai, mungkin Gong-gong-ji
tentu kurang senang," pikirnya. Sampai beberapa saat ia tak dapat mengambil keputusan.
Karena tak tahu tentang peristiwa di Eng-hiong-tay-hwe, maka Tiau-ing pun segera tertawa
mengejek: "Huh, apakah dengan mengatakan nama suhumu dan Thiat-mo-lek itu, kau kira dapat
menggertak suhuku?"
"Bah, siapa yang hendak mengambil muka" Suhumulah yang bertanya dulu, bukan aku hendak
membanggakan suhuku," teriak Bik-hu,
Shin Ci-koh berhati tinggi. Ia mau selalu minta menang. Walaupun gentar tapi kuatir orang
mengira ia takut kepada Biau Hui, Mo Kia dan Thiat-mo-lek. Justeru Tiau-ing mengerti akan sifat
perangai suhunya itu, maka ia sengaja mengatakan begitu agar suhunya jangan mundur.
Ketambahan pula kata-kata Bik-hu tadi menyakitkan telinga. Shin Ci-koh kerutkan dahi, berpikir:
"Kalau kulepaskan, dia tentu mengira aku benar-benar takut pada suhu dan suhengnya. Baiklah,
asal aku tak melukainya, tak apa. Dia memang perlu diberi sedikit hajaran."
Tetapi untuk meringkus kedua anak muda itu pun tidak mudah. Pertama, kedua anak muda itu
memang lihay. Kedua, karena ia tak mau melukai mereka dan ketiga, karena terhadap orang muda
ia tak mau gunakan pedang. Dengan adanya tiga faktor itu pertempuran berlangsung seri.
Cepat sekali 30 jurus telah berlangsung. Tiba-tiba Tiau-ing berseru meminta Se-kiat membantu
Shin Ci-koh untuk membekuk In-nio dan Bik-hu. Se-kiat merasa sulit. Terhadap In-nio ia menaruh
perindahan, terhadap Bik-hu ia mempunyai rasa cemburu terhadap Tiau-ing ia merasa agak jeri. Ia
segan mencelakai In-nio, sebaliknya malah menginginkan supaya nona itu tak pergi.
Tiau-ing yang bermata tajam segera mengetahui apa yang terkandung dalam hati Se-kiat. Ia
tertawa ewah: "Se-kiat, kau hanya teringat akan kenanganmu yang lampau tapi lupa bahwa ia
adalah puteri Sip Hong!"
Se-kiat terkesiap dan tersipu-sipu menyahut: "Benar, jangan sampai ia lepas." -- Dengan hati
berat, ia maju ke muka.
Sebenarnya permintaan Tiau-ing tadi hanya untuk membikin panas hati suhunya saja. Tetapi
demi melihat sikap Se-kiat kebimbang-bimbangan ia tak puas. Permintaan yang hanya buat alasan
saja itu, akhirnya didesakkan sungguh-sungguh kepada Se-kiat.
Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak: "Ing-ji sudah berapa tahun ikut aku mengapa kau belum
percaya pada kepandaianku" Apa kau kira aku benar-benar tak dapat meringkus kedua bocah ini?"
Berhentilah tertawa, berserulah ia dengan serius: "Begitu pedangku Bu-ceng-kiam keluar tentu
akan meminum darah. Tapi dengan memandang muka Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin, kali ini
kuadakan kecualian."
Bik-hu berteriak marah: "Apa Bu-ceng-kiam itu" Mengapa dibuat.....," belum Bik-hu
menghabiskan kata-katanya, pedang Bu-ceng-kiam sudah menyambarnya.
Melihat gerak serangan orang sedemikian saktinya, Bik-hu segera menutup diri dengan tembok
sinar pedang. Tapi ilmu pedang Shin Ci-koh itu mempunyai ciri yang khas.
"Kena!" tiba-tiba Shin Ci-koh berseru. Pedangnya berhamburan memenuhi delapan penjuru.
Bik-hu mati-matian mengadu jiwa, tetapi justeru itulah yang dikehendaki Shin Ci-koh. Hanya
pelahan sekali Bu-ceng-kiam itu dilekatkan ke batang pedang Bik-hu, dengan meminjam tenaga
Bik-hu sendiri, sekali tarik Shin Ci-koh dapat membuat tubuh Bik-hu menjorok ke muka. Dan
meminjam pula tenaga Bik-hu, sekali gelincirkan Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh dapat memaksa si
anak muda lepaskan pedangnya karena separuh tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Kiranya Shin Cikoh
telah gunakan ujung pedang untuk menutuk jalan darah anak muda itu. Caranya ia
menggunakan tenaga tepat dan luar biasa. Bik-hu hanya rasakan pergelangan tangannya sakit
seperti digigit nyamuk, sedikit bintik merah tetapi tak sampai mengeluarkan darah.
In-nio terkejut dan buru-buru gunakan jurus giok-li-tho-soh untuk menusuk jalan darah Shin
Ci-koh. In-nio berusaha mengacaukan lawan, agar sutenya tertolong. Tapi sayang, selihay-lihay
ilmu pedang In-nio, tetap masih kalah jauh dengan kepandaian Shin Ci-koh. Pada saat Shin Ci-koh
tutukkan pedang ke tangan Bik-hu, hud-tim yang dicekal di tangan kirinyapun sudah berhasil
melibat tangkai pedang In-nio.
"Lepas!" teriak Shin Ci-koh dan pedang In-nio pun terpental melayang ke udara. Dan dengan
tangkai hud-tim, Shin Ci-koh menutuk jalan darah In-nio. Dengan demikian dapatlah Shin Ci-koh
mengakhiri pertandingan itu. Tetapi walaupun menang, ia rasakan tangannya pegal juga karena
lelah menghadapi Bik-hu dan In-nio. Diam-diam ia merasa kagum juga kepada kedua anak muda
itu. Ia membatin: "Tak nyana dalam beberapa tahun ini, di dunia persilatan telah muncul tunastunas
muda yang cemerlang. Walaupun kedua anak muda itu tak dapat menyamai kelihayan Toan
Khik-sia, tetapi aku baru dapat mengalahkan mereka setelah memakai Bu-ceng-kiam, sudahlah
boleh dianggap lihay sekali mereka."
Waktu Se-kiat hendak menghampiri untuk menghaturkan terima kasih, Shin Ci-koh berpaling
pada Tiau-ing dan menanyakan: "Siapakah ini?"
"Aku yang rendah Bo Se-kiat menyampaikan hormat kepada locianpwe?" kata Se-kiat.
Tiau-ing tertawa: "Suhu, maaf karena sebelumnya aku tak memberitahukan. Tetapi rasanya
suhu tentu sudah dapat mengetahui persoalannya. Se-kiat bergaul dengan aku dan bersikap begitu
mesra kepada muridmu ini, tentulah suhu mengerti."
"Oh, kiranya dia bakal suamimu," seru Shin Ci-koh.
Wajah Tiau-ing kemerah-merahan, ujarnya: "Besok lusa kami akan langsungkan 'hari baik'.
Sebetulnya aku memang hendak mengundang suhu supaya memberi restu."
"Oh, kiranya kau ini Bo Se-kiat, pemimpin baru dari loklim yang namanya menggetarkan
seluruh dunia persilatan itu. Dengan begitu, tidak akan mengacaukan soal 'angkatan' lagi," Shin Cikoh
tertawa. Se-kiat tercengang, tak tahu apa yang diartikan Shin Ci-koh itu. Hanya Tiau-ing yang merah
padam mukanya dan diam-diam menggerutu: "Ah, suhu memang kelewatan, mengapa di hadapan
Se-kiat mengatakan begitu" Bukankah it berarti membuka borokku" Untung Se-kiat rupanya
masih belum mengerti. Tetapi dengan ucapannya itu apakah suhu sendiri sudah rujuk kembali
dengan Gong-gong-ji" Gong-gong-ji baik sekali dengan Thiat-mo-lek. Aku harus mencari akal
untuk menghadapi soal ini. Meskipun nanti tak dapat menarik tenaga suhu untuk membujuk Gonggong-
ji, tapi setidak-tidaknya harus mengusahakan supaya Gong-gong-ji jangan sampai mengacau
gerakan kami."
Kiranya Shin Ci-koh itu memang berhasrat hendak menikah dengan Gong-gong-ji. Toan Khiksia
adalah sute Gong-gong-ji. Apabila Tiau-ing sampai dapat Khik-sia, bukantah itu berarti suhu
dan murid (Shin Ci-koh dan Tiau-ing) akan menikah dengan suheng dan sute (Gong-gong-ji dan
Khik-sia)"
Ia merasa tak enak dengan 'angkatan' atau urut-urutan tingkatan hubungan tersebut. Demi tahu
Tiau-ing berganti suka pada Se-kiat, bukannya memarahi sang murid yang begitu gampang berubah
hati sebaliknya Shin Ci-koh malah gembira. Itulah sebabnya tadi ia mengungkat tentang 'angkatan'
(sebutan). Karena dipermainkan tadi, Se-kiat masih marah. Wut, ia terus mencambuk Bik-hu yang sudah
tak dapat berkutik karena tertutuk jalan darahnya itu.
"Oh, sungguh garang, sungguh gagah sekali kau lok-lim-beng-cu!" In-nio mengejeknya dengan
hina. Mendengar itu tiba-tiba Se-kiat tersadar, ia sebagai seorang bengcu yang ternama, mana boleh
ia memukul seorang anak muda yang sudah tak berdaya. Buru-buru ia hendak tarik pulang
cambuknya tapi sekonyong-konyong Ci-koh kebutkan hud-timnya hendak melibat cambuk Se-kiat.
Se-kiat terkejut, buru-buru ia menggelincir ke samping untuk menghindari libatan itu.
"Bagus, kiranya memang lihay, pantas menjadi bengcu. Daripada Toan ...."
"Suhu, kiranya kau hendak menjajal kepandaian Se-kiat" Ah, aku terkejut setengah mati," seru
Tiau-ing, padahal sebenarnya Shin Ci-koh tak mau turun tangan sungguh-sungguh karena
mengingat Thiat-mo-lek.
Tiau-ing menghampiri In-nio dan tertawa mengejek: "Nona Sip, sayang, sayang sekali.
Bagaimanapun kau tetap tak dapat lolos dari genggamanku.'
Ia hanya menyindir In-nio itu, karena masih ada rasa 'sungkan'. Tidak demikian terhadap Bikhu.
Ia mendampratnya dengan sengit: "Hm, budak busuk, kau sungguh kurang ajar sekali terhadap


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku!" -- Ia terus hendak memukul tapi Shin Ci-koh cepat memeluknya: "Ing-ji, mengapa kau
semarah itu" Ai, jangan kelewat mengumbar nafsu nanti menganggu kesehatanmu. Bilanglah
bagaimana cara mereka menghinamu tadi?"
Waktu Tiau-ing menuturkan peristiwa tadi, Shin Ci-koh bertanya: "Mengapa ia menutuk jalan
darahmu?" "Apalagi kalau bukan karena nona Sip itu?" sahut Tiau-ing.
"Nona Sip mengapa berani datang kemari?"
"Ia puterinya Sip Hong. Sip Hong memimpin tentara hendak menyerang kemari, ia diam-diam
hendak menemui Se-kiat."
Shin Ci-koh deliki mata kepada Se-kiat, serunya: "Aneh, mengapa nona itu hendak menemui
Se-kiat" Ing-ji, apakah ia (Se-kiat) bersungguh hati kepadamu?"
Tiau-ing tahu bahwa suhunya itu paling benci kepada lelaki yang tak dapat dipecaya. Kuatir
kalau Se-kiat akan mendapat kesulitan, maka ia cepat-cepat memberi alasan: "Suhu, mengapa kau
memikir begitu jauh" Nona Sip itu datang sebagai utusan ayahnya."
"Oh, kiranya begitu. Dua negeri yang berperang tak boleh membunuh utusan. Kau tak boleh
begitu." "Tetapi ia sudah menyelidiki keadaan tempat kita. Kalau dilepas pulang tentu membahayakan
pihak kita," bantah Tiau-ing.
"Kalau begitu tahan sajalah!" kata Shin Ci-koh.
"Memang akupun takkan membunuhnya. Hm, sekalipun ia sengaja memancing supaya aku
membunuhnya, namun aku tetap tak mau. Tetapi, budak lelaki liar itu ...."
"Budak itu membela mati-matian kepada suci-nya. Rupanya mereka sepasang keksaih?" tanya
Shin Ci-koh. Tiau-ing tertawa ewah: "Hati nona Sip itu sukar diraba. Budak liar itu, kebanyakan tentu
tergila-gila seorang diri!"
Tiba-tiba Shin Ci-koh tergelak-gelak: "Aku paling menghargakan seorang lelaki yang berbudi
dan berperasaan. Bahwa budak itu karena hendak membela sucinya sampai berani malandai kau,
itu dapat dimaafkan. Hukumannya ringan. Lebih baik kau masukkan mereka ke dalam tahanan
saja." Kiranya selama 20 tahun ini Shin Ci-koh telah mengandung asmara sepihak terhadap Gonggong-
ji. Maka spontan ia merasa sependeritaan dengan Bik-hu.
Tiau-ing menganggap keputusan itu kelewat murah, tapi pada lain kilas ia mengetahui bahwa
ternyata Se-kiat masih mempunyai setitik perhatian terhadap In-nio. Maka jika Bik-hu ditahan di
situ, Se-kiat tentu cemburu dan tak mau memikirkan In-nio lagi. Maka ia pun segera menurut apa
yang dikatakan suhunya itu.
Setelah dibawa balik ke dalam kota, In-nio dan Bik-hu diborgol tangannya dan dibwa Tiau-ing
sendiri ke dalam sebuah penjara air. Penjara air itu didirikan di bawah tanah, berdinding batu tebal.
Konstruksinya dibagi dua, atas dan bawah. Bagian atas merupakan waduk air. Begitu perkakas
dibuka, airpun segera menggenangi ruangan bawah.
"Kuberi waktu kalian hidup gembira sampai beberapa hari. Tetapi jangan kalian coba
melarikan diri. Sekali kupijat perkakas, kalian tentu akan menjadi kura-kura di laut," kata Tiau-ing.
Ketika pintu ditutup, In-nio dan Bik-hu berada dalam kegelapan. Ruangan itu memakai
dinding batu, tapi ada sebagian yang menggunakan batu asli. Dari celah-celah batu asli itu sinar
matahari dapat menyorot masuk. In-nio dan Bik-hu sejak kecil berlatih melepaskan senjata rahasia,
maka matanya pun lebih tajam dari orang biasa. Cepat mereka sudah biasa dengan kegelapan itu.
Hanya dengan sinar dari celah batu itu mereka sudah dapat melihat wajah masing-masing.
Tampak mata Bik-hu berkilat-kilat, wajah kemerah-merahan. Kiranya ia merasa likat sekali
ketika isi hatinya " yang ia sendiri tak berani mengutarakan " telah dibuka oleh Shin Ci-koh.
Kemudian diejek lagi oleh Tiau-ing. Meskipun Bik-hu mendongkol, tapi diam-diam ia merasa lega.
Ia malu tapi girang juga.
Sebenarnya In-nio pun sudah mengetahui sikap sutenya itu terhadap dirinya. Apalagi pada saat
itu. Dengan melihat sorot matanya, dapatlah ia mengetahui bagaimana gelora hati sutenya itu. Innio
menghela napas, ujarnya: "Pui sute, sungguh merepotkan kau saja. Perempuan siluman itu
hendak menggunakan aku untuk mempengaruhi ayah. Aku tetap tak mau. Bahwa kau menemani
aku menyongsong kematian, aku sungguh berterima kasih sekali."
"Ah, tak apalah. Kita hidup bersama hidup, mati berdua mati. Bagiku sudah puas tak
menyesal. Hanya aku merasa kecewa mengapa kepandaianku begitu cetek, sehingga tak mampu
menolongmu."
Sederhana sekali kata-kata Bik-hu itu namun penuh dengan nada jeritan kalbunya. Sedingindingin
hati In-nio, terpaksa tergerak juga mendengar pernyataan itu. Tanpa tersadar mereka makin
merapat dan saling berjabat tangan: "Sute, terima kasih atas kebaikanmu. Sayang jiwa kita berada
di ujung rambut. Mungkin aku tak sempat membalas budimu itu."
"Suci, dnegan pernyataanmu itu sekalipun wanita siluman itu membunuh aku saat ini, akupun
akan mati dengan meram," kata Bik-hu.
In-nio merah mukanya dan berbisik: "Aj, janganlah berkata begitu sute. Hatiku makin pilu."
"Ah, suci, sekarang baru aku terlepas dari tindihan batu berat," tiba-tiba Bik-hu berseru.
In-nio terkesiap: "Apa yang menyiksa .... itu?"
"Ah, apakah aku harus mengatakan?"
"Kita hanya hidup beberapa hari saja. Kalau hendak menyatakan apa-apa, silahkan bilang,"
kata In-nio dengan lapang dada, tetapi sebenarnya hatinyapun berdebar keras juga. Ia mengeluh
dalam batin: "Aku tak mau membohong mengatakan cinta padanya. Tapi akupun tak mau
membuatnya kecewa. Ai, bagaimana ini?"
"Kutahu kau denganBo Se-kiat itu bersahabat baik, baik sekali. Terus terang, suci, ketika
kutahu hal itu, hatiku merasa sedih sekali. Bo Se-kiat, dia seorang bengcu, kepandaiannya tinggi
orangnya cakap. Ya, dalam segala apa saja, aku memang kalah dengan dia. Dalam kedudukanku
itu, kumengharap agar kau berbahagia. Maka walaupun sedih, tetapi aku bergirang untuk
keberuntunganmu. Kuanggap kau dan Se-kiat betul-betul merupakan sejoli pasangan yang tepat
sekali. Aku tak berhak cemburu atau iri hati lagi!"
"Kemudian setelah tiba di Tiang-an,b aru aku mengetahui lebih banyak tentang pribadi Se-kiat.
Dia pisahkan diri dengan Thiat suheng. Karena hendak mendapatkan perempuan siluman itu ia tak
sayang meninggalkan sahabat, bahkan tak sayang sebagaimana dulunya kukira. Dia tak setimpal
menjadi pasanganmu."
"kemudian ketika kau tinggalkan perkemahan, cepat dapat kuduga kau tentu menuju ke Thoko-
poh mencarinya. Tetapi aku tak tahu tujuanmu yang sebenarnya. Maka aku selalu gelisah saja,
kuatir kau akan jatuh ke dalam pikatannya lagi. Takut kau akan, akan ... maaf atas dugaanku yang
bukan-bukan ini. Ya, aku sungguh kuatir kau akan terbakar lagi hatimu kepadanya."
"Setelah kudengar nasihatmu kepada Se-kiat, barulah kutahu tindakanmu itu sangat utama.
Aku terkejut, girang dan kagum kepadamu! Suci, kau benar-benar seorang gadis perwira, berani
dan pandai. Begitu lama aku bergaul padamu, baru sekarang kutahu jelas pribadimu. Bahwa
tadinya kau menguatirkan dirimu, nyata-nyata pikiran seorang siaujin!"
In-nio tenang-tenang saja mendengar pernyataan Bik-hu. Diam-diam iapun tergerak hatinya
dan gembira. Dalam pernyataan yang begitu panjang lebar, sepatahpun Bik-hu tak menyatakan
kata-kata 'cinta'. Namun setiap patah katanya, merupakan luapan suara hatinya. Dan yang paling
mengagumkan, Bik-hu dapat memahami maksud kunjungan In-nio kepada Se-kait. Tanpa tersadar,
In-nio mengepal tangan Bik-hu erat-erat, ujarnya: "Su-te, kau terlalu menyanjung aku. Sebenarnya
tidak sebaik seperti yang kau kira itu. Kau berhati jujur, setia dan perwira. Ternyata lebih hebat
dari persangkaanku semula. Tetapi kau mempunyai sebuah cacad ...."
Bik-hu tersirap kaget dan meminta keterangan.
"Kekuranganmu itu ialah kau terlalu tak mengerti sifat-sifatnya yang baik sendiri. Kau
memandang rendah dirimu sendiri, selalu menganggap dirimu tak menang dengan lain orang.
Sebenarnya, kecuali untuk sementara ini kepandaian silat kalah dengan Se-kiat, lain-lainnya kau
lebih menang dari dia. Manusia hidup yang terutama ialah nilai pribadinya. Se-kiat tak dapat
menyamai kau," kata In-nio.
Demikian setelah melalui pernyataan-pernyataan itu, keduanya makin intim. Walaupun Bik-hu
tak berani mengucapkan namun hati mereka sudah saling mengisi. Dan setelah mengetahui isi hati
masing-masing, mereka pun segan untuk membicarakan diri Se-kiat lagi.
Dalam penjara tanah yang segelap itu, mereka merundingkan tentang ilmu pedang dan
pengalaman di dunia persilatan. Mereka tak merasa kesepian. Pada waktu-waktu tertentu, tentu
ada orang mengantarkan makanan. In-nio memperhitungkan karena masih membutuhkan
tenaganya, Tiau-ing tentu tak mau memberi racun dalam makanan itu. Dari jumlah antaran
makanan, diperkirakan sudah dua hari mereka berada dalam penjara tanah itu. Pada saat itu mereka
tengah bercakap-cakap. Lapat-lapat In-nio mendengar suara genderang.
Setelah menempelkan telinganya ke tembok, Bik-hu tertawa getir: "Itu bunyi musik
menyambut temanten!"
"Benar, memang kita sudah dua hari berada di sini. Hari pernikahan mereka berlangsung hari
ini," kata In-nio.
"Karena sama-sama berselera busuk biarkan mereka bergabung. Lihat saja mereka dapat
mengecap kebahagiaan sampai berapa lama?"
"Memang telah kuduga mereka akan menikah, namun hatiku tetap bersedih juga," kata In-nio.
"Suci, mengapa ...."
"Tiada lain maksud kecuali mengingat persahabatan kita, aku tetap tak sampai hati melihat dia
terjerumus semakin dalam. Dengan pernikahan itu, dia taakn terangkat lagi selama-lamanya.
Dapatkan kau memaafkan kesedihanku ini?"
Bik-hu menyatakan penyesalannya karena khilaf. Tetapi In-nio pun membenarkan apayang
diucapkan Bik-hu tadi.
"Ai, suci, dengarlah! Seperti terjadi sesuatu yang tak beres!" tiba-tiba Bik-hu berseru. Dan
memang tak berselang berapa lama terdengar kuda meringkik, orang berteriak dan senjata beradu.
Di luar seperti terjadi pertempuran.
"Apakah tentara negeri menerjang kemari?" tanya Bik-hu.
"Ayah paling cepat enam tujuh hari lagi baru datang. Li Kong-pik meskipun lebih dekat, tapi
karena sudah berjanji ia tentu menunggu kedatangan ayah dulu baru bergerak. Kurasa
kemungkinan besar mereka tentu gasak-gasakan sendiri," kata In-nio.
Bik-hu mengatakan bahwa saat itu adalah kesempatan untuk meloloskan diri. Tepat pada saat
itu terdengar derap kaki mendatangi. Setelah merenung sejenak, In-nio mengambil ketetapan untuk
meloloskan diri. Ia suruh Bik-hu gunakan lwekang memutuskan rantai borgolannya. Bik-hu
menurut, tapi sampai sekian saat belum berhasil. Ia menghampiri ke dinding batu. Setelah mencari
bagian yang tajam, ia hantamkan borgolannya sekuat-kuatnya. Eh, berhasillah ia sekarang. Setelah
itu iapun membantu memutuskan borgolan In-nio.
"Wanita siluman itu mengatakan penjara ini ada perkakasnya entah perkakas apa," kata In-nio.
Tiba-tiba terdengar suara air bergemuruh seperti hujan lebat. Cepat sekali ruang tahanan itu
digenangi air. Karena gugupnya, In-nio tergelincir. Ia tak pandai berenang dan airpun cepat sekali
naiknya. Baru hendak membuka mulut berteriak, mulutnya terminum beberapa teguk air. Dalam
saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba ia rasakan tubuhnya terangkat naik. Kiranya Bik-hulah yang
mengangkatnya. Sebagai anak yang dilahirkan di tepi sungai, Bik-hu pandai sekali berenang. Bukannya takut
sebaliknya ia malah girang dengan terjangan air itu. Ia merasa mendapat jalan untuk lolos. Asal ia
dapat mencapai ruangan atas.
"Suci, peganglah lenganku erat-erat tapi jangan terlalu keras. Tutuplah dulu napasmu,"
serunya. Karena saat itu air sudah setinggi tiga tombak. Ketika berenang, Bik-hu hanya terpisah
dua meter dari lantai ruang atas.
"Kongcu menghendaki masih hidup, jangan sampai mereka terendam mati, tiba-tiba di sebelah
atas terdengar suara orang. Ia mengajak kawannya turun. Tapi sang kawan mengusulkan lebih baik
kait saja. Mendengar itu Bik-hu diam-diam girang. Ia duga orng itu tentu hanya bangsa kerucuk
saja. Beberapa kait dijulurkan turun. Kait itu dibuat secara istimewa, ada yang panjangnya sampai
satu tombak. Bik-hu diam saja, begitu ia mendapat kesempatan, cepat disambarnya sebatang kait
terus ditariknya. Blung, seorang penjaga kecemplung. Secepat itu juga dengan menekan kepala si
penjaga, Bik-hu apungkan tubuhnya ke atas. Ia sambar kait orang tadi terus dikaitkan ke pintu air.
Beberapa penjaga tengah sibuk menolongi kawannya yang jatuh tadi. Demi melihat tubuh Bik-hu
sudah menonjol keluar, kejut mereka bukang kepalang: "Celaka, bangsat itu hendak menerobos
keluar!" Segera ada juga yang meneriaki supaya lekas-lekas menutup lubang air. Tetapi sudah
terlambat. Sembari sebelah tangan menarik In-nio, sebelah tangan mencekal kait, Bik-hu melesat
keluar. Seorang penjaga membacok kait Bik-hu tadi dan seorang penjaga sibuk menutup pintu air.
Tapi Bik-hu yang sudah berhasil naik, dengan kaitnya yang sudah kutung itu menangkis sserangan
orang. Ia terus mainkan kutungan kait itu dan cepat dapat merubuhkan beberpa penjaga itu.
In-nio yang terminum air, masih agak pusing dan lemas kakinya. Seorang lelaki bersenjata
thong-jin menghantamnya tapi dengan sebuah gerakan, dapatlah In-nio membuatnya jatuh jungkir
balik. Baru In-nio heran mengapa Tiau-ing hanya menempatkan penjaga-penjaga yang
berkepandaian rendah, tiba-tiba dua batang golok menyambarnya dengan dahsyat. In-nio terhuyung
mundur, brat, bajunya kena terpapas ujung golok. Ketika mengawasi, ternyata penyerangnya itu
adalah dua orang wanita. Rupanya mereka itu orang kepercayaan Tiau-ing. Ilmu goloknya dari
ajaran Tiau-ing. Mereka lebih lihay dari kawanan atau thaubak Se-kiat. Karena masih limbung
minum air, hampir saja tadi In-nio termakan golok mereka. Tapi karena terkejut itu, semangat Innio
timbul lagi. Kedua orang kepercayaan Tiau-ing itu sudah tentu bukan tandingan In-nio. Dalam
beberapa gebrak saja, mereka terampas goloknya dan tertutuk jalan darahnya.
Pun Bik-hu bersua dengan dua orang lelaki yang lumayan kepandaiannya. Tapi bagaimanapun
mereka bukan lawan Bik-hu. Tepat pada saat In-nio merubuhkan kedua wanita tadi, Bik-hupun
dapat mencengkeram tengkuk mereka terus dibenturkan dengan kawannya. Kedua orang itupun tak
ingat diri lagi.
Mengapa Tiau-ing tak memberi penjagaan kuat" Itulah karena ia yakin akan kelihayan penjara
air itu dan kedua kalinya karena pada saat ia melangsungkan pernikahan, ia hendak bergerak
menggempur engkohnya. Itulah maka ia hanya menaruh beberapa penjaga karena semua orangorangnya
yang berkepandaian tinggi dibawa keluar.
Masih Bik-hu mengamuk kawanan penjaga yang berusaha hendak melarikan diri, tetapi
dicegah In-nio. Maka Bik-hu hanya menutuk jalan darah mereka saja. Karena melihat sucinya
basah kuyub, maka Bik-hu suruh In-nio berganti dengan pakaian wanita tadi. Dengan mengancam,
dapatlah Bik-hu paksa bujang wanita itu tadi membuka alat perkakas.
Begitu keluar dari penjara air itu, ternyata In-nio dan Bik-hu berada di lereng gunung. Dan
ketika mereka melintasi gunung, didengarnya suara senjata beradu. Kiranya di tengah hutan situ
terdapat sepuluh orang paderi tengah mengerubuti seorang wanita. Wanita itu memegang hud-tim
dan pedang. Dan dia adalah Shin Ci-koh. Dalam beberapa kejab saja, Shin Ci-koh sudah dapat
merubuhkan beberapa paderi. Dua orang yang tersabet hud-timnya berguling-guling di tanah
menjerit-jerit.
Tetapi paderi-paderi pantang mundur. Kiranya mereka adalah anak murid Leng-ciu-pay, yang
dipimpin oleh Ceng-beng-cu. Sebagai pemimpin yang berkuasa menjatuhkan hukuman dalam
partai Leng-ciu-pay, Ceng-beng-cu dapat mengancam mereka supaya bertempur mati-matian. Dan
Ceng-beng-cu sendiri walaupun kalah dengan Shin Ci-koh tapi juga lihay. Menghadapi orang yang
nekad itu, diam-diam Shin Ci-kohpun mengeluh dalam hati.
Munculnya In-nio dan Bik-hu itu makin membuat keder hati Shin Ci-koh. Ia tahu In-nio dan
Bik-hu itu tak di bawah Ceng-bing-cu, kalau kedua anak muda itu sampai membantu pihak LengKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ciu-pay, celakalah ia.
Sebaliknya pihak Leng-ciu-pay juga mempunyai kekuatiran begitu. Mereka tak kenal In-nio
dan Bik-hu. Jika kedua anak muda itu ternyata di pihak Shin Ci-koh, celakalah mereka.
Tetapi terhadap kedua pihak yang bertempur itu, In-nio dan Bik-hu pernah bermusuhan juga.
In-nio dan Bik-hu heran mengapa mereka bertempur. "Tak usah hiraukan mereka, kita jalan terus.
Di sebelah muka lebih ramai lagi," kata In-nio.
Karena tahu hubungan Shin Ci-koh dengan Gong-gong-ji, maka In-nio mempunyai kesan lebih
baik daripada terhadap pihak Leng-ciu-pay. Tapi sekalipun begitu ia tak mau membantu wanita
yang menjadi suhu Tiau-ing itu. Dan Bik-hu hanya menurut apa yang dikatakan suci-nya saja.
Karena kuatir mereka turut campur, orang-orang Leng-ciu-pay itupun tak mau merintangi kedua
anak muda itu. Melintasi gunung di bawah gunung terbentang sebidang padang rumput. Disitu tampak orang
bertempur dengan naik kuda. Dari kejauhan, tampak Se-kiat dan Tiau-ing naik kuda, memberi
komando anak buahnya untuk menyerang.
Kepala Tiau-ing bersunting bunga warna merah dan masih mengenakan pakaian pengantin
baru. Apa yang diduga In-nio ternyata tak meleset. Pertempuran itu terjadi antara suami-isteri Sekiat
lawan Su Tiau-gi. Su Tiau-gi telah merencanakan suatu gerakan razia. Pada waktu Se-kiat
menyambut pengantinnya, akan ditangkap kemudian Tiau-ing akan dipaksa untuk menikah dengan
putera raja Ki (sebenarnya Tiau-ing tinggal bersama dengan Se-kiat. Tapi pada hari pernikahan itu
ia terpaksa pulang ke tempat engkohnya agar Se-kiat datang menyongsong).
Memang tepat sekali perhitungan Su Tiau-gi itu. Tapi ternyata Tiau-ing pun sudah siap
menghadapi. Malah lebih lihay dari engkohnya. Ia mempunyai tiga ribu tentara wanita, disamping
berkomplot dengan beberapa opsir sebawahan Tiau-gi. Iapun merencakan, begitu Se-kiat datang
terus hendak diajak untuk menangkap Su Tiau-gi. Setelah Tiau-gi terbunuh, Tiau-ing segera akan
memegang kekuasaan tentara engkohnya itu.
Keduanya sama merancang rencana busuk, sehingga suasana pernikahan yang gembira itu
berubah menjadi pertempuran darah yang ganas. Benar juga, persiapan Tiau-ing ternyata lebih
unggul. Namun Su Tiau-gi untuk masih mempunyai pengikut-pengikut yang setia. Rencana Su
Tiau-ing untuk membunuh engkohnya itu, sukar terlaksana. Paling-paling hanya dapat mengurung
Tiau-gi dan tentaranya.
Sedang pihak Leng-ciu-pay itu memang mempunyai rencana sendiri. Selagi kedua saudara itu
bertempur, orang Leng-ciu-pay segera mengurung Shin Ci-koh. Karena sedang sibuk, Se-kiat tak
dapat mencegah perbuatan mereka.
Dari lima puluh ribu pasukan berkuda kepunyaan Tiau-gi, sudah ada dua pertiga bagian yang
memberontak ikut pada Tiau-ing. Keadaan Tiau-gi memang berbahaya, tampaknya ia tak dapat
lolos lagi. Tapi selagi Se-kiat bersemangat memberi komando kepada anak buahnya, tiba-tiba
kedengaran genderang bertalu riuh dan sebuah pasukan berkuda di bawah pimpinan Tomulun
menerjang ke medan pertempuran.
Tomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Ia mengamuk dengan sebatang
tombak yang beratnya tak kurang dari 70-an kati sehingga anak buah Se-kiat kocar-kacir. Se-kiat
marah dan larikan kudanya untuk menangkap putera raja itu. Tiau-ing buru-buru memperingatkan
Se-kiat supaya jangan membunuh Tomulun.
"Ya, kau sudah mengerti. Dia adalah putera tunggal dari raja Ki. Jika dapat ditawan,
ayahnyapun tentu menurut perintahku," sahut Se-kiat.
Pada saat itu Timulunpun menyerang tiba. Tiau-ing meneriakinya: "Pangeran Tomulun, ini
adalah urusan kami berdua saudara. Hubungan kita sudah baik, harap kau jangan turut campur.
Mengapa kau hendak membantu engkohku?"


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh, sekarang kau baru mengambil hatiku" Sudah kasip. Sekalipun sekarang kau suka
menikah dengan aku, aku tak sudi lagi memperisterikan seorang wanita siluman seperti kau!"
damprat Tomulun.
Sudah tentu Se-kiat marah sekali. Larikan kudanya menerjang kemuka, ia berseru: "Tutup
mulutmu, pantat kuali! Di hadapanku, jangan jual lagak seperti anak raja!"
"Aku tidak merebut binimu, mengapa kau marah-marah" Lihat serangan tombakku!" teriak
Tomulun. Waktu Se-kiat hendak menangkis tiba-tiba sebatang passer telah melayang mengenai kuda
tunggangan Se-kiat. Kuda itu rubuh.
"Aku tak mau mendapat kemurahan, ayo kita turun bertempur!" seru Tomulun sembari loncat
turun dari kudanya dan menyerang dengan tombaknya. Se-kiat girang. Ia anggap dengan
bertempur tanpa kuda itu, mudah sekali untuk menawan putera raja itu. Dan ia menertawakan
Tomulun yang dianggapnya hanya mengandal kekuatan saja tetapi ilmu silatnya kurang lihay. Ia
lingkarkan pedangnya menyerang ke tengah.
"Bagus!" seru Tomulun sembari benturkan tombaknya ke pedang lawan. Dalam soal
kepandaian silat, sudah tentu Tomulun itu bukan tandingan Se-kiat. Maka sembari tertawa gelakgelak
Se-kiat rubah greakan pedangnya lurus-lurus untuk menempel tombak dan terus dipapakan ke
muka. Jika tak mau lepaskan tombak, jari Tomulun tentu hilang. Jika lain orang, tentu sudah
menyerah. Tapi tidak demikian dengan Tomulun.
"Aku tak sudi lepaskan senjataku!" teriak putera raja itu yang dengan nekad telah sapukan
tombaknya. Memang Se-kiat akan dapat memapas kutung jari lawan, tapi ia nanti juga akan
termakan tombak. Buru-buru ia tarik pulang pedang dan sambil berputar tubuh ia membentak lagi:
"Apa kau benar-benar tak mau lepaskan tombakmu"!"
Dengan kecepatan seperti kilat Se-kiat gunakan jurus Pek-hong-koan-jit atau bianglala
menyongsong matahari, ia menusuk perut lawan. Dengan bersenjata tombak panjang itu, memang
Tomulun dapat bertempur dari jarah jauh dengan bagus. Tapi kalau jaraknya dekat, gerakannya
terpancang. Tampaknya Tomulun terancam bahaya tapi justeru karena tak tahu keindahan gerakan musuh,
dengan gunakan cara berkelahi orang Ki ia balas menusukkan tombaknya. Sudah tentu Se-kiat
kerupyukan sekali. Se-kiat sudah berjanji takkan melukai pangeran itu. Gerakan memapas jari tadi
hanya sekedar untuk menggerak supaya Timlun lepaskan tombaknya saja. Apalagi gerakannya
menusuk perut orang itu, sudah tentu lebih tidak berani melanjutkan sungguh-sungguh. Karena
pancangan itu, betapa lihay ilmu permainannya pedang tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.
Tomulun memang tak kenal ilmu pedang yang sakti. Melihat Se-kiat tiap kali berganti
permainan dan menghindar, ia mengira Se-kiat itu takut kepadanya, maka tertawalah putera raja itu
terbahak-bahak.
Se-kiat mendongkol sekali ditertawai begitu rupa. Namun ia terpaksa menindas kemarahannya
juga. Sembari bertempur ia terus putar otak memikirkan cara untuk menangkap hidup-hidup putera
raja itu. Tiau-ing memberi komando kepada pasukan wanitanya untuk memutus pasukan berkuda dari
Tomulun. Tiba-tiba muncul lagi sebuah juada (bendera pertandaan) baru. Kay Thian-sian si nona
buruk muka memimpin pasukan wanitanya menerjang datang.
Buru-buru Tiau-ing keprak kudanya untuk menyambut: "Cici Kay, kebetulan sekali kau
datang!" Kay Thian-sian berludah dan berseru: "Siapakah cici-mu itu" Kau pengapakan ciciku In-nio
itu" Tak peduli kau ini seorang kongcu atau isteri bengcu, kalau berani mengganggu selembar
rambut cici In, aku tentu akan mengadu jiwa padamu."
Engkoh Thian-sian, yakni Kay Thian-hau, saat itupun berada di medan pertempuran.
Mendengar kata-kata adiknya itu, ia kaget dan marah. Ia larikan kuda menghampiri dan
membentaknya: "Budak liar, mengapa kau berani ngaco belo" Apa kau hendak berkhianat"
Apakah di matamu tiada lagi Bo bengcu dan engkohmu ini?"
"Bo Se-kiat berbudi rendah tidak konsekwen. Dia bukan orang baik. Kalau dia dapat
membuang cici In-nio, apakah aku tak dapat berkhianat?" sahut Thian-sian.
Waktu mendongak kepala, Thian-sian melihat Tomulun tengah bertempur seru dengan Se-kiat.
Sekali berbuat, tak mau ia kepalang tanggung. Terus saja ia menerjang ke sana: "Tomulun jangan
takut, aku membantumu! Hm, Se-kiat, mengapa kau menghina suamiku?"
Kiranya karena saling mencocoki hati, kedua insan buruk muka itu telah mengikat jodoh.
"Budak tak tahu malu, lihat golokku!" dengan marah sekali Thian-hau menyerang adiknya.
Jilid 14 Sebaliknya Se-kiat tak marah malah tertawa geli: "Oh, kiranya nona Kay sudah menjadi
permaisuri" Kiong-hi, kiong-hi! Kay toako, jangan sampai melukai adikmu, ya!"
"Baiklah, bengcu, aku hanya akan meringkus budak yang tak tahu adat ini," sahut Thian-hau.
Memang kepandaian Thian-hau lebih tinggi daripada adiknya. Tapi jika hendak meringkusnya,
bukanlah semudah seperti apa yang diucapkan.
"Aku tak takut padanya! Dinda Thian-sian, jangan kuatir. Setelah kuberesi bengcu ini, aku
tentu membantumu!" teriak Tomulun.
"Kau mau memberesi aku" Ah, tak mudah, kawan!" Se-kiat tertawa gelak-gelak. Pada saat itu
ia sudah menemukan siasat untuk menawan Tomulun. Ketika Tomulun menusuk sekuat-kuatnya,
Se-kiat lekatkan ujung pedangnya ke tombak, terus menariknya pelahan-lahan. Seperti disedot
magnit, Tomulun menjorok ke muka dan hampir saja terjerembab. Buru-buru ia perbaiki kuda-kuda
kakinya. "Kau gunakan ilmu apa itu" Aku tak pernah melihat ilmu semacam itu!"
"Justeru aku hendak mempertunjukkan ilmu itu supaya matamu terbuka," sahut Se-kiat.
Dengan siasat menindas kekuatan lawan, walaupun Tomulun menusuk kalang-kabut, tetapi tetap tak
mengenai. Dan karena mengobral tenaga, putera raja Ki itu kehabisan tenaga dan mandi keringat.
Itulah saat yang dinanti-nantikan Se-kiat. Beberapa jenak kemudian, napas Tomulun pun
tersengal-sengal hampir putus dan tampaknya ia tak dapat bertahan lagi. Sekonyong-konyong
muncul seorang pemuda dan seorang pemudi terus menyerang maju. Mereka bukan lain In-nio dan
Bik-hu. Karena Bik-hu mengenakan pakaian thaubak dan In-nio memakai pakaian anak buah Tiauing,
maka anak buah Se-kiat mengira kedua pemuda itu sebagai kawannya sendiri dan dibiarkan
saja. Mendengar belakangnya disambar angin senjata, Se-kiat mengisar tubuh dan terhindar dari
serangan Bik-hu. Namun pedang Se-kiat itu tetap melekat pada batang tombak Tomulun.
Kehabisan napas dan ditindas dengan lwekang Se-kiat, Tomulun rasakan tombaknya itu berat
sekali. Hampir saja ia tak kuat mengikuti dibawa berputar dua kali oleh Se-kiat.
Melihat putera raja Ki itu sudah tak kuat mempertahankan tombaknya lagi, In-nio cepat
gunakan jurus kim-ciam-to-kiap. Trang, ia berhasil mencongkel pedang Se-kiat terlepas dari
tombak. Timulun seperti terlepas dari beban berat. Namun walaupun napas tersengal-sengal ia tak mau
mundur. In-nio segera membentaknya: "Ai, cici Kay kewalahan melawan engkohnya, mengapa kau
tak membantunya."
"Orang she Bo, hari ini pertempuran kita belum selesai, lain hari kita sambung lagi!" seru anak
raja itu. Memang ia mengerti bahwa kepandaian Se-kiat lebih unggul tetapi tak tahu ia dimana
letak keistimewaan dari kepandaian lawannya. Oleh karena itu walaupun terdesak, ia tetap pantang
menyerah. Sambil lintangkan pedang di dada, Se-kiat menghela napas: "In-nio, apakah kita tak dapat
menghindari pertempuran?"
"Terserah padamu. Pui sute, mari kita pergi," In-nio mengajak Bik-hu. Sikap In-nio itu
menandaskan, jika tak diserang, iapun tak mau menyerang orang. Asal Se-kiat tak mengganggu,
iapun akan pergi tanpak banyak rewel.
"Se-kiat, jangan lupa ia anak perempuan Sip Hong!" teriak Tiau-ing.
Timbul pikiran Se-kiat: "Jika saat ini In-nio bebas, lain hari Sip Hong tentu menyerbu kemari
dan aku terpaksa harus angkat senjata. Ai, kalau sampai bertempur dengan tentara negeri tentu
kesulitan makin besar."
Dengan pemikiran itu, Se-kiat lari mengejar lagi.
Walaupun pasukan Tomulun sudah bergabung dengan pasukan wanita dari Kay Thian-sian,
tetapi tetap masih kalah banyak dengan anak buah Se-kiat. Memang tak sedikit rintangan yang
diberikan oleh pasukan wanita, tetapi dalam waktu singkat Se-kiat berhasil juga mengejar In-nio
dan Bik-hu. Dengan jurus pek-hong-koan-jit (bianglala menutup matahari) tampaknya Se-kiat
menusuk In-nio, tapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan arahnya untuk menyerang Bik-hu. Tring,
Bik-hu berusaha menangkis, tapi begitu berbentur, pedangnya kena dilekat oleh pedang Se-kiat.
Dan begitu Se-kiat menyingkirkan pedang Bik-hu ke samping, tangan kirinya segera menyambar
tulang pundak anak muda itu.
In-nio cepat-cepat kiblatkan pedang. Sekaligus ia lancarkan beberapa jurus serangan yang
indah: giok-li-tho-soh, biau-ciat-lian-hoan, toa-bok-ko-yan dan tiang-ho-lok-jit. Se-kiat terpaksa
lepaskan Bik-hu untuk menghalau serangan In-nio. Diam-diam Se-kiat iri hati dan cemburu
melihat In-nio bertempur bahu membahu dengan Bik-hu. Pikirnya dengan gemas: "Huh, karena
kau melindungi budak itu, terpaksa kaupun takkan kulepaskan."
Dengan lwekang istimewa, ia menabas pedang In-nio dan Bik-hu. Setelah pedang mereka
tersisih, ia gentakkan ujung pedang untuk menusuk pundak si nona.
Bik-hu menggembor keras. Dengan jurus tok-biat-hoa-san (membelah gunung Hoa-san), ia
gunakan pedang seperti orang menggunakan golok untuk membacok kepala Se-kiat. Ilmu
permainan ini, adalah ciptaan dari suhengnya, Thiat-mo-lek. Dahsyatnya bukan kepalang.
Benar kepandaian Se-kiat lebih tinggi dari lawan, tetapi tetap ia tak berani menyepelekan.
Terpaksa ia lepaskan In-nio untuk menyambut pedang Bik-hu. Se-kiat salurkan lwekang ke ujung
pedangnya, dengan gerak ya-ja-tham-hay, ia lilit-balikkan pedang lawan supaya hilang
kedahsyatannya. Dengan cara itu, berhasillah dia memecahkan permainan tok-biat-hoa-san.
Se-kiat tak mau kepalang tanggung. Selagi tubuh lawan masih groggy (sempoyongan), ia
hendak menusuk ke jalan darahnya. Tetapi lagi-lagi In-nio sudah menyerangnya. Melihat In-nio
dan Bik-hu saling tolong, cemburu Se-kiat makin besar. Cemburu itu berubah menjadi kebencian.
Ia kepingin sekali tabas dapat membinasakan Bik-hu, kemudian menawan In-nio hidup-hidup.
Maka permainan pedangnyapun makin gencar.
Karena Bik-hu dan In-nio tunggal seperguruan maka walaupun tak berjanji lebih dulu, mereka
dapat juga isi mengisi, saling menolong pihak yang terancam bahaya. Mereka dapat bermain
dengan serasi sekali. Bik-hu dengan ilmu pedang gaya keras, menangkis serangan Se-kiat dari
sebelah muka. Sedang In-nio dengan ilmu pedang tangkas dan gemulai, menyerang lawan dari
samping. Betapa Se-kiat hendak bermain keras, namun tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka.
Saat itu Tiau-ing pun datang dengan berkuda: "Sip toasiocia, apakah aku lambat melayanimu"
Mengapa kau begini buru-buru pergi" Aku hendak mengundang kau minum arak perkawinan!"
"Wut," ia lontarkan sebuah jaring yang disebut Kim-hun-to (kantong awan emas). Terbuat
daripada kawat baja halus dan dipasangi dengan kait yang banyak sekali. Jaring itu mempunyai
daya guna istimewa untuk menangkap orang.
Bik-hu dan In-nio terperanjat. Mereka tengah terlibat dalam serangan pedang Se-kiat. Kalau
menangkis senjata jaring tentu akan termakan pedang Se-kiat. Tetapi kalau melayani Se-kiat tentu
akan terjaring. Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba In-nio mendapat akal. Ia bersuit
keras. Sekonyong-konyong kuda yang dinaiki Tiau-ing itu melonjak ke atas terus mencongklang ke
muka. Karena tak keburu memegang kendali, Tiau-ing terlempat jatuh.
Ternyata kuda itu adalah kuda In-nio pemberian dari Cin Siang. Waktu Se-kiat merampas kedua
kuda Bik-hu dan In-nio, yang satu diberikan pada Tiau-ing, dan yang satu diberikan pada Shin Cikoh.
Tetapi karena kuda yang dipakai Shin Ci-koh terluka, maka ditinggal di kandang kuda. Dan
celakanya, baru pertama kali itulah Tiau-ing menaiki kuda tersebut. Kuda yang sudah terlatih baik
itu, begitu mendengar suitan In-nio segera lemparkan Tiau-ing dan lari menghampiri In-nio.
"Sute, lekas naik kuda!" teriak In-nio dengan girang. Waktu Bik-hu menangkis serangan Sekiat,
In-nio pun sudah mencemplak kuda dan menerjang Se-kiat. Pada saat Se-kiat menghindar ke
samping, Bik-hu cepat-cepat loncat ke atas kuda.
Kopiah dan pakaian temantennya rusak kumal, membuat Tiau-ing marah sekali. Ia ganti kuda
dan lari mengejar. In-nio duduk beradu punggung dengan Bik-hu. In-nio yang menghadap ke
muka memegang kendali. Bik-hu yang menghadap ke belakang menolak serangan musuh. Tetapi
meski kuda sakti, karena dinaiki dua orang dan dikepung musuh, maka jalannya pun lambat.
Dalam waktu singkat dapat dikejar Tiau-ing. Segera nona itu menusuk Bik-hu dengan tombak.
Bertempur di atas kuda, memang lebih leluasa menggunakan senjata panjang. Pedang Bik-hu
hanya kurang lebih satu meter panjangnya hingga sukar untuk menusuk Tiau-ing. Kebalikannya
tombak Tiau-ing panjangnya dua tombak, dapat dibuat menusuk orang maupun kuda Bik-hu.
Setelah beberapa gebrak, Bik-hu tak mampu menjaga kudanya. Untung yang tertusuk bagian
kendalinya. "Kurang ajar, biar kutangkap wanita siluman itu. Suci, tunggulah aku di muka!" Bik-hu gusar
sekali. Dan menggunakan kesempatan selagi Tiau-ing belum sempat mencabut tombaknya, Bik-hu
sudah enjot tubuhnya melayang ke kuda Tiau-ing. Sudah tentu Tiau-ing terkejut sekali dan cepatcepat
sapukan tombaknya.
"Turun!" bentak Bik-hu yang setelah berhasil mencengkeram tombak Tiau-ing terus didorong
ke muka. Krak, tombak patah menjadi dua dan Tiau-ing terpelanting jatuh. Tetapi ia pandai sekali
naik kuda. Dalam jatuhnya ia masih dapat kaitkan ujung sepatunya pada kendali. Ketika tubuhnya
menggelantung ke bawah ia sudah mencabut pedang pendek. Begitu ia geliatkan tubuhnya ke atas,
ia memegang kendali dan membabat jari Bik-hu.
Kalau saat itu Bik-hu mau timpukkan pedangnya, Tiau-ing pasti amblas jiwanya. Tapi ia
bermaksud hendak menawan Tiau-ing untuk dijadikan barang tanggungan. Maka ia gunakan ilmu
gong-chiu-jip-peh-jiu (merebut senjata) untuk merampas pedang Tiau-ing. Karena tubuh Tiau-ing
masih belum sempat duduk, dalam beberapa gerakan saja, pedangnya kena dibikin jatuh Bik-hu.
Bik-hu meneruskan gerakannya untuk menangkap lawan, tapi tiba-tiba ia merasa ada pedang
menyambar, kalau tak lekas menarik pulang tangannya, tentu akan terpapas kutung. Cepat ia
lengkungkan tubuh untuk menghindar.
Kiranya yang menyerang itu adalah Se-kiat. Ia pun juga sudah tukar kuda dan tepat pada
saatnya dapat menolong Tiau-ing. Ketika Bik-hu menghindar, Se-kiat sudah meraih Tiau-ing untuk
dipindahkan ke atas kudanya. Satu-satunya keuntungan yang diperoleh Bik-hu ialah dapat
menggondol pergi kuda Tiau-ing.
Beberapa kali menderita kekalahan, membuat Tiau-ing marah besar: "Jika kedua orang itu tak
ditawan, aku belum puas!" ia uring-uringan dan mendesak Se-kiat supaya mengejar.
Sekonyong-konyong seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan mencongklang tiba dan melapor:
"Raja Yan-ong sudah menerobos keluar lembah!"
Yan-ong adalah Su Tiau-gi. Menggunakan kesempatan dimana pasukan Tomulun dan Kay
Thian-sian mengamuk tentara musuh (Se-kiat), Tiau-gi pimpin pasukan berkuda yang setia
kepadanya untukmembuka jalan darah dan berhasil keluar dari kepungan.
"Tiau-ing, lekas pimpin pasukanmu wanita menggabung dengan barisan depan. Tangkap
engkohmu. Kedua orang itu, serahkan saja padaku!" Se-kiat terkejut.
Sebenarnya Tiau-ing kesal sekali kepada In-nio dan Bik-hu. Tetapi karena hubungannya dengan
Tiau-gi sudah putus, ia lebih memberatkan engkohnya daripada In-nio. Memang, jika dibandingkan
dengan In-nio dan Bik-hu, Tiau-gi itu lebih merupakan musuh besar bagi Tiau-ing. Melepas In-nio
dan Bik-hu, paling-paling akibatnya hanya akan berhadapan dengan tentara negeri. Tetapi jika
Tiau-gi sampai lepas, bahayanya di kemudian hari lebih besar.
Terpaksa Tiau-ing tahan kemengkalan hatinya dan menurut perintah Se-kiat. Setelah berganti
dengan lain kuda, ia segera mengejar engkohnya.
Saat itu In-nio tengah dikepung oleh sepasukan berkuda. Bik-hu pun sedang mati-matian
menerobos keluar. Keduanya belum dapat bergabung. Se-kiat menimang tindakannya: "Walaupun
anak she Pui itu menjemukan, tapi In-nio lebih penting," pikirnya. Sekalipun begitu, ia sulit
melaksanakan. Ia tak mau melukai In-nio tapipun tak dapat melepaskan nona itu. Namun tetap ia
congklangkan kudanya ke tempat In-nio.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang. Datangnya dari gunung di sebelah
belakang. Begitu nyaring suitan itu. Genderang dan gemerincing senjata di medan pertempuran tak
dapat menyirap kumandang suitan itu. Anehnya walaupun nadanya keras tapi agak getar.
Se-kiat kerutkan dahi. Ia tahu suitan itu dari Shin Ci-koh. Dan sebagai seorang ahli lwekang,
cepat ia mengetahui bahwa Shin Ci-koh menderita luka dalam. Untung tak berapa berat. Memang
Se-kiat sudah mengetahui tentang gerakan anak murid Leng-ciu-pay (di bawah pimpinan Cengbing-
cu) mencari balas pada Shin Ci-koh. Bahkan dengan Ceng-cing-cu, Se-kiat ada perjanjian
juga. Selama Ceng-bing-cu tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat, Se-kiat pun tak
mengganggu usik pada gerakan Se-kiat. Kini Shin Ci-koh memberi tanda suitan untuk meminta
bantuan muridnya (Tiau-ing). Tetapi Tiau-ing sudah pergi mengejar engkohnya jadi tak mendengar
tanda suitan itu.
"Shin Ci-koh sombong sekali. Jika masih dapat bertahan, mana ia mau minta bantuan.
Bagaimanapun ia adalah suhu Tiau-ing. Jika tak kukirim orang menolongnya, kalau sampai
kejadian apa-apa, bukankah aku tak enak pada Tiau-ing" Apalagi Shin Ci-koh itu pernah membantu
padaku," pikir Se-kiat.
"Urusan di sini menyangkut ketentuan berhasil atau gagalnya gerakanku. Aku tak boleh
tinggalkan tempat ini. Satu-satunya orang yang dapat kukirim kesana adalah Kay Thian-hau.
Tetapi jika kukirim ia kesana, tentu dapat mempengaruhi jalannya pertempuran di sini. Ah,
sudahlah, sudah. Memang sedianya aku sudah tak mau ikut campur. Biarkan ia (Shin Ci-koh) mati
atau hidup, aku tak peduli. Pun aku tak usah bentrok dengan kaum Leng-ciu-pay. Tentang Tiauing,
karena ia sudah sehati dengan aku, masakan ia dapat mempersalahkan aku?" pada lain saat ia
bantah sendiri pikirannya tadi.
Setelah mengambil keputusan, ia pun lantas keprak kudanya mengejar In-nio. "In-nio, percuma
kau melawan. Lebih baik kau kembali lagi. Asal kau lepaskan pedangmu, akupun tak nanti
menyusahkan kau," teriaknya.
Sebagai jawaban In-nio membabat dua orang liaulo (anak buah) Se-kiat. Ia tertawa mengejek:
"Bo Se-kiat, aku lebih suka mati di bawah pedangmu daripada menyerah!"
Se-kiat menghela napas:" In-nio, tak nyana kita akan saling berhadapan sebagai musuh!"
Habis berkata Se-kiat lantas putar pedangnya. Selagi In-nio hendak menangkis, tiba-tiba datang
dua penunggang kuda yang memegat Se-kiat. Ai, kedua orang itu bukan lain adalah Tomulun dan
kekasihnya si nona 'manis' Kay Thian-sian. Setelah mengalahkan Thian-hau, mereka buru-buru
menolong In-nio. Tomulun luar biasa tenaganya. Sekali putar tombaknya, pengepung-pengepung
In-nio itu menjadi kocar-kacir.
"Bagus, aku memang justeru hendak menangkap kau!" teriak Se-kiat.
"Elok, elok, aku memang hendak mengadu kejantanan dengan kau!" Tomulun balas berteriak
dan malah sudah mendahului menusuk dengan jurus kiau-liong-no-hay (naga mengaduk lautan).
Se-kiat menangkis dengan jurus in-hou-kui-san atau memancing harimau tinggalkan gunung.
Walaupun dapat menghapus tenaga kedasyhatan lawan, namun tak urung tangannya sakit juga.
Bertempur naik kuda, jauh bedanya dengan di atas tanah. Banyak sekali ilmu pukulan yang
indah-indah tak dapat digunakan. Sebaliknya Tomulun mendapat keuntungan dari tenaganya yang
besar. Meskipun ia tetap tak dapat mengalahkan lawan, tetapi Se-kiatpun tak mudah
mengalahkannya.
"Cici Sip, lekas pergi. Bo Se-kiat seorang yang tak kenal kasih tak punya budi, jangan hiraukan
lagi padanya!" teriak Kay Thian-sian.
Waktu melihat Tomulun masih dapat bertahan, legalah hati In-nio. Tapi ia cemas ketika melihat


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bik-hu senin-kemis napasnya menerjang kepungan musuh. Setelah mempertimbangkan bahwa
Thian-sian dan Tomulun dapat menghadapi Se-kiat, ia segera berseru: "Terima kasih, cici Kay.
Sampai berjumpa lagi lain hari." -- Ia segera keprak kudanya menerjang ke arah Bik-hu.
Benar juga Se-kiat dapat lepaskan diri dari libatan Tomulun. Ia hanya melongo saja melihat Innio
menuju ke tempat Bik-hu. Marahlah ia, serunya: "Kay toako, suruh Yau-kau-chiu (pasukan
kait) menangkap nona itu, tetapi jangan sampai melukai."
Ia gunakan lwekang Coan-im-jip-bi memberi perintah. Tiada seorang pun yang mendengar
kecuali Kay Thian-hau seorang.
Ketika In-nio menerjang, kebetulan ia berpapasan dengan pasukan kait. Untung kudanya itu
sudah terlatih baik, sehingga dapat menghindarkan diri dari serangan pasukan itu. Dengan susah
payah ia dapat meloloskan diri.
"Koko, apa kau tak kenal pada nona Sip" Bo Se-kiat itu manusia tanpa budi buta kasih. Dia
mensia-siakan nona Sip. Mengapa kau membelanya mati-matian. Jika kau tak melepaskan nona
Sip, jangan salahkan aku sebagai adik berbalik muka padamu?" teriak Thian-sian. Pasukan
wanitanya, walaupun jumlahnya kecil, tetapi persenjataannya lengkap, masing-masing membawa
golok bian-to yang tipis. Mereka merupakan bujang-bujang kepercayaan Thian-sian.
Begitu menyerang, pertempuran dengan pasukan kait segera pecah. Pasukan wanita itu
berlindung dengan perisai rotan dan membabat kait musuh dengan goloknya yang tajam. Engkoh
dan adik kembali bertempur.
Pasukan Tomulun digabung dengan pasukan Thian-sian paling banyak hanya lima enam ribu
jumlahnya. Sedang anak buah Se-kiat ditambah dengan taklukan pasukan Su Tiau-gi jumlahnya
lebih dari lima enam puluh ribu orang. Jadi sepuluh kali lipat dari anak buah Tomulun " Thian-sian.
Se-kiat segera memecah barisannya menjadi empat pasukan. Sayap kiri mengacip, sayap kanan
menerjang. Dalam beberapa kejap saja, pasukan Tomulun dan pasukan wanita Thian-sian menjadi
tercerai. Satu sama lain tak dapat memberi bantuan.
Pada saat Tomulun sudah tak sanggup melawan lagi, sekonyong-konyong terdengar suara
genderang berbunyi dan serangan musuh. Debu mengepul tinggi, panji-panji berkibaran. Ribuan
pasukan, menerjang ke dalam medan pertempuran. Kiranya raja suku Ki telah memimpin
pasukannya menyerang. Memang raja pribumi itu sebenarnya tak puas dengan tindakan Se-kiat
yang sebagai tetamu berani menghina tuan rumah. Demi mendengar puteranya (Tomulun)
dikepung, marahlah raja itu. Segera ia kerahkan pasukan untuk menolong puteranya dan sekalian
untuk mengenyahkan Se-kiat dari negeri situ.
Anak pasukan Raja Ki itu memang garang, apalagi mereka kenal baik dengan keadaan
setempat. Begitu menerjang, mereka segerap pecah diri menyerang kemana-mana. Setiap tempat
yang didatangi, pasukan Se-kiat tentu kocar-kacir. Tentara taklukan dari Su Tiau-gi, sebenarnya
tiada punya nafsu berperang. Kesempatan itu digunakan mereka untuk lempar senjata dan
berebutan melarikan diri.
Melihat ayahnya datang, hati Tomulun besar lagi. Diapun lantas memutar tombaknya membuka
jalan darah untuk menggabung diri dengan pasukan ayahnya.
Sebenarnya Se-kiat ingin menghindari jangan sampai bentrok dengan raja Ki. Tetapi dalam
keadaan seperti itu, ia tak sempat lagi memberi penjelasan secara damai. Pada lain kejab, pasukan
raja Ki yang menyerang dari luar, dapat menggabung diri dengan Tomulun yang menerjang dari
dalam. Rencana Se-kiat untuk menawan Tomulun hidup-hidup, menjadi buyar.
Marahlah Se-kiat. Direbutnya bendera dari tangan seorang anak buah. Ia sendiri yang
memegang pucuk komando. Anak buahnya menjadi inti pasukan, dan tentara taklukan Su Tiau-gi
Pukulan Si Kuda Binal 1 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Pedang Golok Yang Menggetarkan 19
^