Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 5

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 5


lautan api dan rintangan-rintangan yang malang melintang di jalanan. Maka saat itu barulah mereka
dapat tiba di tempat Khik-sia menunggu.
Khik-sia tersentak girang. Bergegas-gegas ia lari menyongsong.
"Bo toako, kau adalah seorang Bengcu. Urusan ini kuserahkan padamu!" serunya.
"Urusan apa?" tanya Se-kiat.
"Ada dua orang yang kami curigai sebagai cumi-cumi musuh. Yang seorang sudah melarikan
diri, yang seorang masih di sini. Ini, inilah orangnya. Apakah kau mau menanyainya?" kata Khiksia.
Se-kiat terkesiap, serunya: "Yang mana yang melarikan diri" Astaga! Jadi kau tak mengetahui
siapa dia itu" In-nio, adik Yak-bwe tentu sungkan mengatakan, mengapa kau tak mau mewakilinya
menjelaskan?"
"Sudah kuberitahukan tetapi mereka tak mau mengakui perjodohan itu, apa dayaku?" In-nio
membuat pembelaan.
Mendengar itu kini Se-kiat mendamprat Khik-sia: "Toan hiante, kiranya kaulah yang salah.
Mengapa kau tak mau mengakui dia?"
Khik-sia menjadi gelagapan, ia menjerit: "Bo toako, kau tak tahu. Dia, dia bukan orang
golongan kita. Bagaimana aku dapat menerimanya?"
Tadi sewaktu mendengar Khik-sia memanggil nama In-nio, Thiat-mo-lek merasa seperti tak
asing lagi. Tapi sama sekali ia tak teringat bahwa In-nio itu adalah puteri dari Sip Hong. Ia
menghampiri nona itu dan bertanya:
"Siapakah nama saudara" Dimanakah kita pernah berjumpa?"
"Ya, benar, bukankah kemarin kita sudah berjumpa" Ingatkah bahwa aku sudah
memberitahukan namaku?" sahut In-nio.
"Tidak! Kemarin kau memakai lain nama. Dan kemarin kau katakan dahulu kita belum pernah
bertemu muka. Rupanya jika bukan kau yang berbohong, akulah yang jelek ingatanku. Saudara,
apakah kau tak mau menganggap Thiat-mo-lek sebagai saudara"!" kata Thiat-mo-lek.
In-nio tertawa mengikik. Sret, cepat ia mencabut kain pembungkus kepalanya, dan seuntai
rambut hitam segera menjulai terurai.
"Ong toako, lupakah kau kepadaku?" serunya.
Khik-sia dan Hong-jiu terbeliak kaget. Mereka tak mengira sama sekali bahwa 'pemuda' yang
mengajaknya berbantah tadi ternyata seorang gadis. Dan lebih terperanjat lagi mereka demi
mendengar nona itu memanggil 'Ong toako' kepada Thiat-mo-lek.
Jika Khik-sia dan Hong-jiu termangu keheranan, adalah Thiat-mo-lek kedengaran tertawa
gelak-gelak. Serunya: "Oho, makanya kau masih ingat pada Ong Siau-hek. Kiranya kau si dara
kecil yang nakal itu kini sudah sedemikian besarnya. Jika kau tak memanggil Ong toako, sungguh
mati aku tentu tak kenal padamu. Apakah ayahmu sehat-sehat saja" Mengapa kau datang ke
gunung sini?"
"Akulah yang membawa mereka berdua kemari. Aku tak tahu bahwa Thiat-toako adalah
kenalan lama dengan mereka," kata Se-kiat dengan tertawa.
"Ia adalah puteri kesayangan dari Sip Hong ciangkun. Meskipun Sip-ciangkun itu menjadi
pembesar negeri, tapi dia seorang lelaki jantan. Dahulu aku pernah menerima budinya. Toan
hiante, ketika ayahmu dahulu masih hidup, ia juga bersahabat baik sekali dengan Sip ciangkun.
Ayo, kalian berdua lekas menyambutnya lagi," seru Thiat-mo-lek kepada Khik-sia.
"Ya, ketika aku mengaduk gedung Tiang Seng-su, diam-diam Sip-ciangkun juga memberi
bantuan kepadaku, untuk itu aku belum menghaturkan terima kasih. Cici In, sudilah kau sampaikan
ucapan terima kasihku kepada beliau," kata Khik-sia sambil menjura.
Dengan kerutkan air muka In-nio menyahut: "Ah, tak berani kami menerima hormatmu itu.
Cukup asal kau tak menuduh lagi aku dan adik Bwe sebagai cumi-cumi, aku sudah merasa
berterima kasih sekali!"
Kini Hong-jiulah yang meringis. Apa boleh buat terpaksa ia menghampiri In-nio dan
menghaturkan maaf: "Karena salah paham, aku telah berlaku kurang adat pada cici, harap cici suka
maafkan!" Kemarahan In-nio sudah reda. Kini ia merasa suka dengan nona itu. Ujarnya: "Karena aku
bersama adik Bwe menyaru jadi lelaki datang kemari, apalagi mengingat adik Bwe itu adalah puteri
dari seorang Ciat-to-su maka sudah selayaknya menimbulkan kecurigaan kalian tadi."
"Ho, kiranya yang kabur tadi adalah puteri dari Sik Ko! Apakah ia sudah mengetahui asal-usul
dirinya?" menyelutuk Thiat-mo-lek.
"Benar, memang siang-siang ia sudah berganti lagi dengan namanya yang asli .... Su Yak-bwe!"
sahut In-nio. "Khik-sia, ketika ayah-bundamu gugur untuk negara, itu waktu aku tak berada di situ. Tapi
kutahu mereka mempunyai pesan terakhir. Sewaktu mereka menutup mata, pesan itu telah
diberikan kepada Bibi Lam (He Leng-sian) agar supaya apabila kau sudah dewasa, supaya
disampaikan padamu. Apakah Bibi Lam belum memberitahu padamu?" tanya Thiat-mo-lek.
Khik-sia tundukkan kepala, jawabnya: "Bibi He sudah memberitahu padaku."
"Kalau begitu ceritakanlah padaku," kata Thiat-mo-lek pula.
"Aku diharap menjadi seorang lelaki yang berguna untuk nusa dan bangsa," sahut Khik-sia.
"Selain itu?" Thiat-mo-lek menegas.
Selebar wajah Khik-sia berwarna merah, kemudian baru ia berkata dengan suara rendah: "Minta
aku supaya dengan membawa tusuk kondai berukir Liong ini, mencari anak perempuan Su
pehpeh!" "Untuk apa?" desak Thiat-mo-lek.
"Dengan tusuk kondai itu sebagai barang pertandaan, mengambil nona Su sebagai isteri."
Memang sengaja Thiat-mo-lek maukan supaya Khik-sia mengatakan hal itu dengan mulutnya
sendiri. Setelah itu barulah ia berkata dengan nada keras: "Tepatlah! Kiranya kau tak lupa akan
pesan ayah-bundamu, tetapi mengapa kau tak mau mengakui nona Su sebagai bakal isterimu?"
Didesak begitu, Khik-sia memberi reaksi juga, serunya: "Dia adalah puteri dari seorang Ciattosu,
diriku tidak sepadan!"
"Jangan kau bicara keras di hadapanku. Sebaliknya, karena ia hanya puteri dari seorang Ciat-tosu
maka tak sepadan menjadi isterimu seorang hohan (jantan) yang termasyhur, bukan?" ujar Thiatmo-
lek. "Aku bukannya memandang rendah padanya, tetapi dia bukan segolongan dengan aku," bantah
Khik-sia. "Kau keliru, Sik Ko itu hanya ayah angkatnya saja. Ayah bundanya yang asli adalah manusia
utama, setia kepada negara luhur budi pekertinya. Siapa orangnya yang tak taruh perindahan pada
mereka" Jika orang tuanya manusia yang begitu macam, masakan anaknya akan menyeleweng ke
lain jurusan" Bilang saja sekarang ini tidak segolongan, tapi jika sudah menikah apakah takkan ikut
pada suaminya" Tapi celakalah, rupanya siang-siang kau sudah takut akan bayanganmu sendiri!"
Thiat-mo-lek menindas bantahan anak muda itu.
Khik-sia diam tak dapat menyahut.
"Apalagi walaupun ia menjadi puteri angkat dari Sik Ko, tapi sejak kecil dipelihara oleh ibu
kandungnya sendiri. Aku pernah tinggal di rumah keluarga Sip. Kutahu ibu kandungnya itu
menjadi inang pengasuh dalam keluarga Sik. Tiap hari ibunya itu mengajarkan ilmu sastera
padanya. Sejak kecil nona itu sudah lain perangainya dengan Sik Ko. Turut penilaianku, nona itu
seorang gadis yang mencocoki idaman seleraku. Jangan kuatirlah!" kata Thiat-mo-lek pula.
Khik-sia masih tundukkan kepala berdiam diri.
Thiat-mo-lek agak marah. Dengan kerutkan wajah ia berkata lagi: "Bukankah kau bercita-cita
hendak menjadi lelaki jantang yang termasyhur" Tidak menurut pesan orang tua, tidak memegang
janji suami isteri, tidak mengingat tali persaudaraan, itulah yang dibilang tidak berbakti, tidak
berbakti dan tidak berbudi! Pantaskah seorang hohan berbuat begitu" Ayah bundamu sudah
menutup mata, urusanmu aku tak dapat tinggal diam saja. Katakanlah, apa alasanmu hendak
merobek janji perkawinanmu itu?"
Ayah angkat dari Thiat-mo-lek adalah kakak dari ibu Khik-sia. Dengan begitu Thiat-mo-lek
masih terhitung kakak misan (piauko) dengan Khik-sia. Khik-sia sudah sebatang kara, ia tak
mempunyai sanak famili lagi kecuali kakak misannya itu. Maka kakak misannya (Thiat-mo-lek) itu
ia anggap sebagai engkoh kandungnya sendiri. Dalam hubungan itulah maka Thiat-mo-lek berani
mengata-ngatai keras kepadanya.
Karena didamprat habis-habisan oleh Thiat-mo-lek, Khik-sia menjadi bingung tak keruan.
Semestinya ia masih mempunyai rahasia yang sungkan dikatakan. Tapi kini apa boleh buat ia
terpaksa menerangkan juga. Dengan suara terkait-kait berkatalah ia: "Toako, kau tak tahu.
Sewaktu di gedung Tian Seng-su, dengan mata kepala sendiri, kulihat nona Su itu, ia, ia, ....."
"Dia mengapa?" tanya Thiat-mo-lek.
"Dia dengan anak lelaki Tian Seng-su sangat mesra ....."
Thiat-mo-lek belalakkan sepasang matanya yang bundar dan menegas: "Benarkah itu?"
"Hai, bilang yang jelas sedikit! Bagaimana yang kau anggap mesra itu?" In-nio menyela.
"Kelihatannya mereka itu bergandengan tangan!" sahut Khik-sia.
"Kelihatannya" Jadi nyata kau tak melihat jelas dan hanya kelihatannya saja, bukan" Berada
dimanakah kau pada waktu itu?" tanya In-nio.
"Aku berada di dalam kebun keluarga Tian tengah bertempur mati-matian dengan Yo Bok-lo.
Dibawah sorak-sorai dan lindungan dari kawanan bu-su, nona Su dan putera Tian Seng-su saling
bergandengan tangan berjalan keluar dari ruangan. Ya, mataku tak salah lihat lagi. Nona In,
cobalah kau pikirkan. Belum lagi keluarga Tian menyambutnya, ia sudah lari ke rumah mempelai
lelaki. Mengapa" Tentulah karena ia sudah mengetahui bahwa aku bakal mengganggu pada
keluarga Tian, maka sebelum dijemput ia sudah datang ke rumah bakal mertuanya untuk memberi
kabar. Timbanglah saja, ia begitu setia kepada keluarga Tian, apakah aku harus disuruh
mengakunya sebagai isteri lagi?" Khik-sia memberi penjelasan panjang lebar.
In-nio mendongkol tapi pun geli juga. Ujarnya: "Ho, mengapa kau menilai begitu rendah pada
nona Su" Untung waktu itu aku juga berada disitu hingga semua kejadian itu dapat kusaksikan
dengan jelas. Jika tidak, hm, nona Su tentu akan hancur hatinya karena kau bikin penasaran!"
"Terang kulihat sendiri, masakan bisa keliru?" bantak Khik-sia.
"Ya, memang tak salah, malam itu ia berjalan keluar bersama putera Tian Seng-su. Tetapi
mereka bukan bergandengan tangan, melainkan nona Su menyembunyikan sebilah pisau belati di
lengan bajunya dan belati itu dilekatkannya pada punggung anak lelaki Tian Seng-su. Nona Su
bermaksud hendak menolongmu, sebaliknya kau anggap kebaikannya itu sebagai suatu kenistaan,
cis, kurang ajar betul!"
Mendengar itu Khik-sia tertegun diam seperti terpaku.
Berkata pula In-nio: "Tahukah kau apa sebabnya malam itu ia pergi ke rumah keluarga Tian"
Kepergiannya itu tak lain tak bukan karena hendak membatalkan perkawinan itu!"
Ia lalu menuturkan tentang riwayat Yak-bwe sejak tinggalkan rumah Sik-ko lalu pergi ke
gedung Tian seng-su, mengambil kotak emas ciat-to-su itu hingga dia (Tiang Seng-su) tak berani
mengganggu daerah Lo-ciu lagi dan terpaksa membatalkan pernikahan puterinya dengan Yak-bwe.
Kesemuanya itu satu persatu diuraikan dengan jelas oleh In-nio.
Karena In-nio dapat menuturkan kejadian malam pertempuran di gedung Tian Seng-su dengan
lancar, mau tak mau Khik-sia harus percaya semuanya.
"Bagus, nona su itu ternyata seorang gadis idaman setiap pria. Ia berani dan cerdik, setia serta
berbudi! Khik-sia, apa katamu lagi sekarang?" seru Thiat-mo-lek.
Khik-sia malu dan menyesal. Sejenak kemudian barulah ia dapat membuka mulut: "Aku
merasa salah, aku berdosa terhadap nona Su."
"Cukupkah kesalahanmu itu kau tebus dengan sepatah kata pengakuan saja?" tanya Thiat-molek.
Jawab Khik-sia: "Aku akan mencarinya sampai ketemu dan menghaturkan maaf padanya.
Hanya saja ...."
Thiat-mo-lek tahu apa yang dikandung Khik-sia. Serentak ia mengerat omongan anak muda itu.
"Urusan disini tak usah kau pikirkan. Patah tumbuh hilang berganti.. Kim-ke-nia hilang, kita
masih mempunyai lain pangkalan lagi. Gi-lim-kun takkan lama tinggal disini. Ada Bo bengcu dan
sekalian saudara-saudara disini, masakan tentara negeri dapat mencelakai kita" Lekas cari nona Su
dan bawalah ia pulang kemari, nanti akulah yang meresmikan perjodohan kalian."
Selebar wajah Khik-sia merah padam. Katanya: "Usia siaute masih muda, urusan perkawinan
boleh ditunda dulu. Tetapi, perintah toako tadi tentu akan kulaksanakan. Nona Su tentu akan
kuajak pulang."
Bagaikan awan tersapu angin, kini segala kesalahan paham sudah terang. Sekalian orang
merasa girang, hanya seorang yang agak merasa masygul yakni Lu Hong-jiu.
"Kedatanganku ke pertemuan orang gagah kali ini, tiada dengan setahu engkohku. Mungkin ia
sedang sibuk mencari aku maka aku terpaksa hendak minta diri pulang. Harap bengcu suka
maafkan," akhirnya ia menemukan jalan keluar.
"Ah, harap nona jangan kelewat sungkan. Tolong sampaikan hormatku kepada engkoh nona,"
sahut Se-kiat. Karena sewaktu menundukkan lima jagoan Hong-ho-ngo-pah pernah mendapat bantuan nona
itu, maka Khik-sia pun segera tampil kemuka dan menghaturkan terima kasih kepada Hong-jiu.
"Ah, masak aku membantumu" Malah aku merasa membikin sukar kau saja, asal kau tak
menyalahkan aku, itu sudah cukup baik," sahut Hong-jiu.
"Aku sendiri yang limbung, taci tak ada sangkut pautnya. Taci, kau berdua dengan engkohmu,
mempunyai pergaulan luas di dunia persilatan. Aku hendak mohon bantuanmu untuk suatu
urusan," kata Khik-sia.
"Tak usah kau katakan, aku sudah mengerti. Begitu ada kabar tentang diri nona Su, tentu akan
segera kusuruh orang menyampaikan padamu. Kau hendak minta tolong tentang urusan itu,
bukan?" tanya Hong-jiu.
Khik-sia hanya ganda tertawa saja selaku mengiakan. Sebaliknya Hong-jiu mengalum
kepahitan. Kiranya ia hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Khik-sia. Selama dalam perjalanan
dengan anak muda itu, ia memang mulai menaruh hati. Untung ia seorang nona persilatan yang
berjiwa lapang. Setitik bayangan dalam hatinya itu, dapatlah segera ia hapus dengan tanpa
meninggalkan luka apa-apa.
"Ah, akupun hendak pulang juga karena sudah lama keluar. Bo toako, terima kasih atas
kebaikanmu membawa kami ke pertemuan besar ini. Kelak bilah toako lewat di kotaku, ijinkanlah
aku menjamumu," In-nio juga menyatakan maksudnya akan pulang.
Se-kiat tertawa: "Ah, kini aku benar-benar menjadi kepala penyamun. Jika keluargamu tak
takut kedatangan tetamu penyamun, tentu aku senang sekali datang berkunjung."
Hati In-nio terasa getar, wajahnya tampak rawan namun ia paksakan menghias senyum:
"Ayahku gemar sekali bersahabat dengan kaum enghiong. Dan beliau pun amat sayang kepadaku.
Silahkan kalian datang, kutanggung beliau takkan mencelakai kalian."
Walaupun mulut mengucap begitu, namun bukan tak tahu In-nio bahwa kini ayahnya itu sudah
menjadi punggawa kerajaan. Orang atasannya ialah Tian Seng-su, tokoh yang paling dibenci dan
membenci kawanan penyamun. Se-kiat kini menjadi kepala penyamun. Betapa ayahnya itu
mencintai dirinya, namun paling banyak ia tentu hanya akan berusaha supaya jangan sampai
bentrok dengan Se-kiat itu saja. Jika melangkah ke soal pernikahan, ayahnya itu tentu takkan
mengijinkan ia menikah dengan seorang kepala penyamun.
"Khik-sia, antarkanlah nona In dan nona Lu. Setelah itu kau harus segera mencari nona Su.
Jangan bertemu aku jika belum membawa nona Su pulang!" kata Thiat-mo-lek.
Setelah tiba di selat lembah, Hong-jiu segera minta diri menuju ke barat. Sementara Khik-sia
dan In-nio masih meneruskan lagi perjalanannya.
"Bagaimana rencanamu hendak mencari adik Bwe?" tanya In-nio.
Dengan masygul Khik-sia menyahut: "Entahlah. Dalam dunia yang begini luas, kemana hendak
kucarinya" Kupasrahkan saja pada nasib."
"Ia tiada sanak keluarga, pun belum pernah berkelana keluar. Jika sementara waktu kau tak
berhasil mendapatkannya, datanglah ke rumahku untuk menanyakan kabar. Hubunganku dengan
Yak-bwe sudah seperti saudara kandung. Jika tak pergi ke lain tempat, kebanyakan ia tentu ke
rumahku," kata In-nio pula.
Khik-sia haturkan terima kasih.
"Tetapi sayang ia tak tahu bilamana aku pulang. Apalagi ia sedang marah, mungkin ia akan
pergi mengembara menurutkan ayun kakinya. Ah, yang kukuatirkan kalau ia sampai membikin
onar di luaran. Ia belum punya pengalaman sama sekali dalam dunia persilatan. Kebanyakan ia
tentu berjalan di sepanjang jalan raya lama," kembali In-nio berkata.
Sewaktu berpisah dengan In-nio, Khik-sia membawa hati, yang gundah kalana. Ia
mencemaskan nasib calon isterinya itu. Terpaksa ia menuruti petunjuk In-nio untuk mengambil
jalan raya saja.
Dan memang apa yang diduga In-nio tepat. Setelah congklangkan kudanya keluar dari selat
lembah, Yak-bwe menimang dalam hati: "Karena mereka menuduh aku sebagai cumi-cumi (kaki
tangan musuh), maka akupun tak sudi ketemu lagi pada mereka."
Padahal ia hanya tak sudi berjumpa lagi dengan Khik-sia. Namun karena dirangsang oleh
kemarahannya, segalah yang menyangkut dengan anak muda itu, ia lempat ke samping semua.
Nama Khik-sia, sahabat-sahabatnya sampaipun orang-orang yang berhubungan dengan anak muda
itu, ia tak mau bertemu lagi. Ia tahu kawanan penyamun itu tentu tak mau kesamplokan dengan
tentara negeri. Mereka tentu mengambil jalan yang sunyi. Itulah sebabnya maka ia lantas
mengambil jalan besar saja.
Saat itu Yak-bwe masih menyaru sebagai seorang pria. Dandanannya menyerupai anak orang
hartawan. Apalagi kuda yang dinaiki itu, seekor kuda tegar yang jarang terdapat. Maka orang tentu
bakal tak menduga bahwa ia itu seorang pelarian dari sarang penyamun gunung Kim-ke-nia. Tapi
rakyat di sekitar Kim-ke-nia itu masih kolot. Dandanannya semacam itu, telah menimbulkan
perhatian di kalangan mereka.
Tetapi karena sedang dilanda kemarahan, ia tak mengacuhkan mereka. Ia keprak kudanya
kencang-kencang. Pun ia berusaha untuk menghapuskan kenangannya terhadap Khik-sia. Tapi ah,
makin keras ia coba menekan sang hati, makin jelas bayang-bayang anak muda itu dalam
pikirannya. "Sejak ini aku laksana seekor burung yang bebas di udara. Tetapi walaupun jagad ini amat luas,
kemanakah aku akan menempatkan diri?" pikirnya. Teringat akan sang nasib, ia merasa pedih
sekali. Beberapa butir air mata bercucuran membasahi sepasang pipinya.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar seseorang berseru: "Hai, alangkah eloknya kuda itu! Eh,
aneh sekali budak itu. Coba dengarkan, apakah ia bukan lagi menangis?"
Nada orang itu tak begitu keras. Tapi karena sejak kecil Yak-bwe sudah biasa berlatih ilmu
senjata rahasia, maka pendengarannya menjadi tajam sekali. Ia dapat menangkap kata-kata orang
itu dengan jelas.
Cepat-cepat Yak-bwe usap air matanya dan ketika berpaling kebelakang, dilihatnya kira-kira
pada jarak setengah li di sebelah sana, ada dua orang lelaki bermuka bengis tengah
mencongklangkan kudanya.
"Cis, sungguh memuakkan. Aku menangis sendiri, mengapa kalian ngerasani (membicarakan)
aku," ia mendamprat orang itu dalam hati. Ia cepat keprak kudanya supaya lari lebih pesat.
Sekejap saja, ia sudah tinggalkan kedua orang itu jauh di belakang.
Memang ia masih kurang pengalaman. Ia sama sekali tak memikir, kalau pada jarak setengah li
jauhnya orang dapat mendengar suara tangisnya, orang itu tentu bangsa kaum persilatan yang
berilmu tinggi. Paling tidak mereka itu, seperti dirinya sendiri, tentu pernah berlatih ilmu senjata
rahasia. Bagaimanapun juga Yak-bwe itu diasuh dalam kalangan keluarga seorang pembesar tinggi. Ia


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasa hidup sebagai seorang puteri Ciat-to-su yang manja. Benar ia memiliki ilmu silat yang tinggi
dan mahir juga dalam ilmu naik kuda. Tapi sebegitu jauh ia masih belum mempunyai pengalaman
praktek. Berselang tak berapa lama dilarikan oleh sang kuda, lebih-lebih ketika menyusur jalan di
daerah selat pegunungan yang naik turun, mau tak mau ia menjadi meringis juga karena tak tahan
digoncang-gontaikan di atas pelana. Tulang-tulangnya terasa kaku kesakitan.
Ia berpaling lagi ke belakang. Karena kedua lelaki tadi sudah tak kelihatan, barulah ia tahan les
kudanya dan mulai berkuda pelahan-lahan. Kini pikirannya mulai bekerja lagi: "Pulang ke rumah
keluarga Sik terang aku tak mau. Baiklah, mulai saat ini aku
4/20 4/29 bikin terpental oleh kipas si pelajar. Sedangkan golok satunya telah disedot melekat oleh kipas
untuk ditarik ke samping.
Memang dalam dunia Kangouw sebenarnya terdapat apa yang disebut senjata that-thiat-san atau
kipas pelengket besi melain dari bambu biasa. Hanya saja kipas itu dibuat oleh tukang pandai dan
diberi ukir-ukiran gambar yang indah sekali. Memang pada masa itu, sebagian besar kaum bun-su
(sasterawan) yang berada, suka menggunakan kipas semacam itu. Itu untuk mewujudkan daya
perbawanya. Maka kipas bambu itu sebenarnya hanya dipakai sebagai perhiasan bukan senjata.
Sepasang golok dari Hau Pheng itu terbuat daripada bahan baja murni, tajamnya bukan
kepalang. Dia yakin bahwa dengan sekali tebas tentu dapat menghancurkan kipas lawan. Siapa
tahu gerakan si pelajar itu bukan buatan lihaynya. Tahu-tahu kipas sudah melekat di punggung
golok. Waktu si pemuda memutar kipasnya, golok Hau Pheng pun ikut berputar. Hampir saja
golok itu terlepas dari tangan karena seperti dipelintir.
Walaupun tengah bertempur, tapi Cin-gi dapat melihat dengan jelas gerakan si pelajar itu. Ia
insyaf pemuda pelajar itu seorang tokoh silat yang berilmu tinggi. Ia ambil putusan harus lekaslekas
merubuhkan Yak-bwe dulu. Maka tanpa menghiraukan pantangan memilih jalan darah apa, ia
segera merangsang maju dengan jurus sian-sing-kia-hwe atau sepasang bintang kebetulan berjumpa.
Ke atas menutuk jalan darah hoa-kay di ubun kepala, ke bawah menutuk jalan darah tiang-jiang di
pantat. Hoa-kay-hiat adalah salah sebuah jalan darah utama dari tubuh manusia. Jika kena tertutuk,
kalau tidak binasa tentu akan menjadi invalid.
Yak-bwe buru-buru gunakan jurus ki-hwe-liau-thian atau angkat api membakar langit. Ia angkat
pedang ke atas, seluruh perhatiannya ditumpahkan untuk menolak poan-koan-pit yang menyerang
kepalanya. Siapa tahu, justru itulah yang dikehendaki Cin-gi. Secepat kilat, poan-koan-pit di
tangan kirinya mengincar tiang-jiang-hiat di bawah.
Meski "Tiang-jiang-hiat" bukan merupakan jalan darah maut atau pemingsan, tapi jika sampai
tertutuk, kaki orang pasti akan lumpuh atau pincang karena urat-uratnya menyurut.
"Kalau kubikin pincang sebelah kaki nona ini, rasanya takkan membikin marah Lo Hau. Ya,
aku terpaksa harus berbuat begitu karena pemuda itu lihay sekali. Lo Hau pasti takkan cari alasan
untuk membatalkan perjanjiannya tadi," demikian pikir Hong Cin-gi.
Pada saat ia berpikir begitu, ujung poan-koan-pitnya sudah menyentuh ujung baju Yak-bwe.
Tapi berbareng itu iapun merasa disambar oleh serangkum angin keras.
"Celaka!" demikian ia mengeluh seraya gelincirkan sang kaki untuk menghindar, namun sudah
terlambat sedikit. "Plak," bahunya kena ditampar oleh si pemuda pelajar.
Ternyata pemuda pelajar itu telah berhasil menolong Yak-bwe dalam saat-saat yang berbahaya.
Tapi dengan berbuat begitu, berarti si pemuda pelajar memberi kelonggaran bagi Hau Pheng. Tapi
yang tersebut belakangan ini rupanya tak tahu diri. Begitu longgar ia segera mengajak kawannya:
"Hong-toako, ayo kita beresi bocah kurang ajar ini!"
"Ha, bagus, bagus! Memang aku kepingin tahu bagaimana kalian hendak memberesi diriku
ini!" si pemuda pelajar tertawa mengejek. Ia tebarkan kipasnya sehingga sepasang golok Hau
Pheng tersiak. Setelah itu secepat kilat ia katupkan pula kipasnya untuk dipakai menutuk seperti
poan-koan-pit. "Kau, adalah seorang ahli tutuk, nah, aku hendak unjukkan sedikit permainan itu, tolong kauberi
petunjuk!" dalam pada berkata-kata itu si pemuda sudah meluncurkan tiga kali serangan yang
ditujukan ke arah jalan darah yo-kiong-hiat, thiat-cu-hiat, tiang-jiang-hiat, ih-gi-hiat dan suan-kihiat
di tubuh Hong Cin-gi.
Sudah tentu Cin-gi menjadi kelabakan setengah mati. Mati-matian ia berusaha untuk
menghalau serangan-serangan itu sehingga sampai mandi keringat. Ia terperanjat sekali. Nyata
ilmu kepandaian menutuk dari pemuda pelajar itu jauh lebih lihay dari dirinya. Sebatang kipasnya
jauh lebih berbahaya dari sepasang poan-koan-pit orang she Hong.
Yak-bwe benci setengah mati pada Hau Pheng. Setelah Hong Cin-gi dapat dicegat oleh si
pemuda pelajar, kini ia mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya. Cepat ia cabut
pedangnya dan lari menerjang Hau Pheng.
"Jika tak melukaimu, jiwaku sendiri yang terancam. Ya, apa boleh buat, seorang jelita pincang
ada lebih baik daripada tidak ada sama sekali," demikian pikir Hau Pheng sambil gigit giginya eraterat
seraya mainkan sepasang goloknya untuk menahan serangan Yak-bwe. Yang atas untuk
menangkis dan yang bawah untuk memapas lutut Yak-bwe. Jurus yang dimainkan itu adalah jurus
yang paling diandalkan kelihayannya.
Telah dikatakan di bagian muka, bahwa Yak-bwe adalah murid dari Biau Hui Sin-ni. Ia telah
mewarisi ilmu pedang dari rahib sakti itu. Jika dinilai dari mutunya, sebenarnya kepandaian Yakbwe
itu lebih tinggi dari Hau Pheng. Benar dua buah serangan golok dari orang she Hau itu cukup
berbahaya, tetapi jika Yak-bwe dapat berlaku tenang, ia pasti dapat menghadapinya. Tapi
disebabkan karena ia kurang pengalaman dan kehabisan tenaga setelah bertempur hampir setengah
harian itu, maka hampir saja ia tercelaka. Seharusnya, sewaktu lawan tengah pentang kedua
goloknya ke atas dan ke bawah itu, ia segera menusuk ke dada lawan saja karena bagian itu terbuka.
Dengan berbuat begitu, berarti ia menghalau serangan dengan serangan, kemungkinan besar malah
dapat menang. Tapi ternyata ia tidak bertindak begitu. Melihat lawan menghantam dengan ganas, Yak-bwe
menjadi marah sekali. Ia pun mengimbangi untuk memapas sekuat-kuatnya. Ini suatu kesalahan
besar, karena dalam hal kekuatan ia kalah dengan lawan. "Trang", pedangnya dapat ditahan oleh
salah sebuah golok Hau Pheng, sementara golok yang satu dapat langsung menabas lutut dengan
lancarnya. Untung Yak-bwe masih dapat menyelamatkan diri. Dengan gunakan gin-kang ih-song-hoan-wi,
ia berloncatan sampai tiga kali untuk menghindari serangan berantai dari Hau Pheng. Hau Pheng
cerdik sekali. Ia biarkan saja si nona berlincahan kian kemari, namun goloknya yang sebelah atas
tetap menekan erat-erat pedang nona itu supaya jangan sempat ditarik pulang. Ia terus bolangbalingkan
goloknya membabat kaki. Untuk menghindar terpaksa Yak-bwe berloncatan terus dan
karena terus-menerus berloncatan itu, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya mandi keringat.
Jilid 5 Melihat itu, si pemuda pelajar mengerut kening, pikirnya: "Anak muda itu memiliki ilmu
pedang yang bermutu tinggi, sayang ia masih belum sempurna latihannya, jadi tak mampu
menggunakan dengan selayaknya."
Ia ambil putusan menolongnya lagi. Cepat ia lancarkan tiga kali serangan. Setelah Cin-gi dapat
didesak dengan menggelap. Lebih dulu ia berseru supaya Hau Pheng siap menerima serangannya.
Tapi hal itu cukup membuat Hau Pheng terkejut setengah mati. Buru-buru ia kebaskan goloknya
yang di bawah itu untuk membacok si pemuda. Tapi lagi-lagi pemuda pelajar itu unjukkan
kepandaian yang mengagumkan. Ia songsong golok Hau Pheng itu dengan kipasnya. "Crek,"
begitu berbentur, golok itu seperti melekat saja pada kipas. Dan begitu si pemuda pelajar memutarmutar
kipasnya, mau tak mau Hau Pheng dipaksa harus melepaskan goloknya.
"Lo Hau, aku tak mau emasmu lagi, kaupakai sendiri sajalah!" tiba-tiba kedengaran Hong Cingi
berseru. Kiranya ia dapat mengenal gelagat. Demi mengetahui pemuda pelajar itu kelewat
tangguh. Begitu ada kesempatan ia lantas angkat kaki panjang alias kabur.
Hau Pheng serasa terbang semangatnya. Karena semangatnya hilang, nyalinyapun pecah.
Sudah tentu ia tak dapat menahan pedang Yak-bwe lagi. "Trang," goloknya pun segera jatuh karena
didorong Yak-bwe.
"No, no ....," demikian sebenarnya ia hendak meratap, "Nona, ampunilah jiwaku". Tapi baru
mulutnya berseru "No ".", ujung pedang Yak-bwe sudah bersarang ke ulu hatinya hingga tembus
ke punggung. Teriakan "No" itu sudah tentu tidak terdengar jelas artinya sehingga si pemuda
pelajarpun hanya menganggapnya sebagai teriakan orang yang sudah hampir mati. Setitikpun tidak
terkilas dalam pikiran pemuda itu bahwa kata "no" itu sebenarnya potongan dari kata "nona".
Yak-bwe haturkan terima kasih kepada pemuda pelajar itu.
"Aku mempunyai she dobel "Tok-ko" dengan nama tunggal U. Dan siapakah nama saudara
yang mulia ini" Mengapa bermusuhan dengan kedua bangsat itu?" kata pelajar itu.
Sembarangan saja Yak-bwe memakai sebuah nama samaran, ujarnya: "Aku sendiripun tak
mengetahui mengapa mereka memusuhi padaku. Mungkin karena hendak merampas harta
bendaku." "Apakah Su-heng tak pernah berkelana di dunia Kangouw" Apakah Su-heng membawa sebuah
benda pusaka?" tanya Tok-ko U pula.
Orang bertanya dengan tiada maksud tertentu, sebaliknya Yak-bwe malah tertegun. Pikirnya:
"Hm, apakah pemuda ini juga hendak menyelidiki diriku?"
Tapi ia dapatkan sikap pemuda itu amat sopan, sedikitpun tak ada tanda-tanda seorang penjahat.
Karena kurang pengalaman, maka menyahutlah Yak-bwe dengan sejujurnya: "Aku hanya membawa
segenggam kim-tau saja. Ini, semua berada di sini."
Dengan ucapan itu terang Yak-bwe mengira kalau pemuda pelajar itu hendak minta upah. Tapi
karena melihat pemuda itu tampaknya bukan orang sembarangan, ia kuatir jangan-jangan
dugaannya itu meleset, salah-salah bisa ditertawai orang. Lebih berbahaya lagi jika orang sampai
menganggap perbuatannya itu (memberi persen) tak ubah seperti tingkah laku kaum wanita. Maka
akhirnya ia menemukan akal. Diambilnya keluar emasnya, tapi tak mau ia mengatakan apa-apa. Ia
hendak menunggu sampai orang membuka mulut dulu.
Sudah tentu rencana Yak-bwe itu gagal, karena si pemuda pelajar itu sama sekali bukan macam
orang seperti yang diduga Yak-bwe. Tampak pemuda itu tertawa kecil, ujarnya: "Ha, kalau begitu,
kedua penjahat tadi sudah salah mata!"
"Apa?" seru Yak-bwe dengan terkesiap.
"Mungkin Su-heng tak tahu akan asal-usul kedua penjahat itu. Kemarin waktu baru tiba di
rumah penginapan, memang aku sendiri belum mengetahui. Sekarang baru kuketahui. Apakah tadi
kau tak memperhatikan bagaimana mereka saling menyebut "Hau-toako" dan "Hong-toako?" Coba
kau pikirkan, penjahat-penjahat she Hau dan she Hong yang terkenal ganas di dunia Lok-lim, siapa
lagi kalau bukan mereka?" kata pemuda itu.
Wajah Yak-bwe bersemu merah. Sahutnya: "Ya, terus terang saja, aku baru pertama kali ini
mengembara keluar. Bagaimana seluk-beluk urusan Lok-lim sedikitpun aku tak tahu. Harap
saudara suka memberi petunjuk-petunjuk."
Kata Tok-ko U: "Kedua penjahat tadi, kupastikan sembilan puluh sembilan persen tentulah Hau
Pheng dan Hong Cin-gi!"
"Siapakah sebenarnya mereka itu?" tanya Yak-bwe.
"Hau Pheng adalah penjahat yang termasyhur tukang petik bunga, sedang Hong Cin-gi adalah
seorang benggolan perampok yang bekerja seorang diri. Di kalangan Lok-lim, kepandaian mereka
berdua itu juga termasuk golongan kelas satu. Selain gemar merampas wanita-wanita muda yang
cantik, Hau Pheng itupun juga suka merampas harta benda. Tapi ia selalu memilih, jika bukan
"dagangan besar", ia tak mau turun tangan. Hong Cin-gi lebih-lebih lagi. Ia selalu mengincar pada
kaum hartawan besar. Terhadap yang hanya punya belasan tahil emas saja, ia tak memandang
sebelah mata."
Berkata sampai di sini, pemuda pelajar itu berhenti sejenak. Kemudian, dengan tersenyum ia
melanjutkan pula berkata: "Harap Su-heng simpan lagi kim-tau itu. Memang kim-tau Su-heng itu
tidak sedikit jumlahnya, tapi paling banyak hanya berjumlah sepuluh sampai dua puluh tahil emas,
bukan" Maka tadi telah kukatakan bahwa kedua penjahat itu sudah salah mata. Sekalipun begitu,
ada baiknya juga selanjutnya Su-heng berhati-hati sedikit. Emas dan uang jangan sampai
diperlihatkan orang agar jangan menimbulkan akibat-akibat yang tak menyenangkan. Misalnya,
tindakan Su-heng yang begitu royal semalam itu, tak mengherankan kalau dapat menarik perhatian
kedua penjahat itu. Kukira mereka tentu menduga bahwa Su-heng masih mempunyai barangbarang
berharga lainnya. Ha, ha, akhirnya yang satu mati dan yang lain terluka. Sudah sepantasnya
mereka mendapat ganjaran itu."
Mengetahui bahwa Hau Pheng itu seorang penjahat tukang "petik bunga", wajah Yak-bwe makin
merah. Ditendangnya pula mayat Hau Pheng itu, serunya dengan geram: "Kiranya seorang
penjahat jahanam. Aku kepingin menusukmu lagi!"
"Dengan membunuh penjahat itu, berarti Su-heng telah melenyapkan sebuah bisul dalam dunia
kangouw, sungguh pantas diberi selamat," puji Tok-ko U. Ia masih mengira bahwa Yak-bwe itu
seorang "pemuda" yang benci akan kejahatan. Sedikitpun ia tak mimpi bahwa "pemuda" di
hadapannya itu ternyata seorang nona.
"Ah, kesemuanya tadi berkat bantuan saudara, masakan aku berhak mengangkangi pahala,"
sahut Yak-bwe merendah.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanyalah: "Semalam ada orang bersembunyi di atas pohon
halaman hotel, kemudian ada lain orang yang menghalaunya pergi dengan timpukan batu. Apakah
itu perbuatan saudara sendiri?"
Tok-ko U tertawa: "Benar, memang aku. Yang bersembunyi di atas pohon itu ialah Hau Pheng
ini." Tiba-tiba kuda Yak-bwe meringkik kesakitan. Tok-ko U melirik dan mengerut heran. "Suheng,
kudamu telah "dikerjai" orang."
"Oh, makanya ia tak mau jalan, kukira binatang ini sakit. Tapi entah bagian apanya yang
terluka?" tanya Yak-bwe.
Tok-ko U menyatakan hendak memeriksanya. Kaki depan binatang itu terangkat ke atas, tak
berani ditapakkan di tanah. Setelah melihat sebentar, berkatalah Tok-ko U: "Benarlah, dia terkena
jarum bwe-hoa-ciam."
Dikeluarkanlah sebuah batu semberani, lalu ditepuknya kuda itu pelahan-lahan: "Jangan takut,
nanti kuobati lukamu. Su-heng, tolong kau pegangi dia dan pinjamkan pedangmu."
Dengan ujung pedang Tok-ko U menyukil sedikit daging kaki binatang itu yang sudah busuk,
kemudian ditempeli dengan batu semberani tadi. Benar juga dari dua buah kuku kaki kuda itu
keluar sebatang jarum perak yang berkilat-kilat. Habis itu lalu dilumuri dengan obat.
"Selesailah. Kuda ini amat tegar, setelah beristirahat sebentar tentu sudah bisa jalan lagi.
Hanya saja belum dapat berlari cepat, mungkin besok pagi baru dapat sembuh seperti sedia kala,"
katanya. Girang Yak-bwe bukan kepalang. Kembali ia haturkan terima kasih. Diam-diam ia membatin:
"Ah, orang ini amat baik sekali. Tapi entah dari golongan apa" Usianya lebih tua sedikit dari aku,
tapi segala apa ia tahu dan membekal macam-macam obat."
"Sudah jamak bagi kaum kelana itu untuk saling tolong. Sedikit bantuanku yang tak berarti itu
mana berharga untuk menerima ucapan terima kasih Su-heng" Sebaliknya aku malah merasa
menyesal," kata Tok-ko U.
"Menyesal apa?" tanya Yak-bwe.
"Ah, tak perlu bertanya tentu juga sudah mengerti sendiri. Ya, apa lagi kalau bukan tentang
perbuatan si Hau Pheng itu. Semalam sudah kuketahui bahwa dia mengandung maksud jelek
terhadap Su-heng dan untuk itu aku hanya mengawasi gerak-geriknya saja, sama sekali tak
menduga bahwa mereka bakal mencelakai kudamu juga. Bukankah ini pantas disesalkan?"
"Ah, memang tipu muslihat orang di dunia persilatan itu sukar diduga," Yak-bwe coba
menghiburnya. Kalau Yak-bwe mempunyai rasa curiga terhadap diri Tok-ko U, pun pemuda pelajar itu juga
mempunyai rasa demikian terhadap Yak-bwe. Selesai mengobati kuda, bertanyalah pemuda itu:
"Rupanya kuda ini sejenis kuda dari luar daerah, benarkah?"
"Mungkin," sahut Yak-bwe, "Karena aku sendiri bukan seorang ahli kuda."
"Dimanakah Su-heng membelinya" Kuda sejenis ini, jarang terdapat di daerah Tiong-goan
sini," kata Tok-ko U.
"Pemberian seorang sahabat," sahut Yak-bwe dengan agak gelagapan. Karena tak biasa
berbohong, jadi kata-kata Yak-bwe itu tidak wajar.
Pikir Tok-ko U: "Ah, seorang yang rela menyerahkan seekor kuda macam begini, tentu sorang
sahabat yang karib sekali. Seharusnya orang itu menceritakan juga tentang asal-usul dan
keistimewaan binatang ini. Aneh, mengapa jenis kuda yang berasal dari luar daerah saja, ia tak
tahu." Tapi karena baru berkenalan, jadi Tok-ko U tak leluasa untuk bertanya dengan melilit. Hanya
dalam hati saja ia tetap mempunyai rasa curiga. Dia sudah banyak pengalaman dalam dunia
Kangouw, sepintas pandang tahulah bahwa Yak-bwe itu masih hijau, sekali-kali bukan pemuda
jahat. "Menilik bagaimana tadi ia serta merta mengeluarkan bekal kim-taunya, hal ini membuktikan
bahwa dia seorang pemuda jujur. Jika ia tak mau menceritakan urusannya, mengapa aku harus
mendesaknya?" akhirnya Tok-ko U tiba pada kesimpulan begitu.
"Terima kasih atas budi bantuan saudara, kelak aku tentu membalasnya," kata Yak-bwe sembari
memberi hormat perpisahan.
"Su-heng hendak menuju kemana?" tanya Tok-ko U.
"Aku, aku tak mempunyai tujuan tetap," sahut Yak-bwe.
"Apakah Su-heng mempunyai urusan penting?" tanya pemuda itu pula.
"Juga tidak," jawab Yak-bwe.
"Jika begitu, pondokku tak berapa jauh dari sini, dengan berkuda kira-kira hanya makan waktu
setengah hari saja. Entah apakah Su-heng sudi memberi muka padaku untuk menjamu Su-heng
selama beberapa hari saja?"
Yak-bwe terkesiap. Sahutnya dengan terputus-putus, "Ini, ini .... maaf aku tak dapat menerima
budi kehormatan saudara, namun aku berterima kasih sekali."
"Apakah Su-heng menganggap aku keliwat lancang?" tanya Tok-ko U dengan kurang senang.
"Bukan, bukan! Tadi aku lupa bahwa aku masih mempunyai sedikit urusan lain. Ya, meskipun
bukan urusan penting, tapi harus kulakukan juga. Budi kebaikan Tok-ko-heng tadi, lain hari tentu
kubalas. Harap sudi memaafkan, aku terpaksa tak dapat lama-lama menemani Tok-ko-heng," kata
Yak-bwe. Melihat tingkah orang yang kikuk-kikuk itu, tahulah Tok-ko U bahwa Yak-bwe menolak
undangannya. Sudah tentu ia merasa kurang puas, pikirnya: "Ah, orang ini aneh sekali
perangainya. Setempo terus terang tanpa tedeng aling-aling, setempo kemalu-maluan seperti anak
perawan." Memang renungan Tok-ko U itu tepat sekali. Sayang ia tak mengetahui bahwa "pemuda" di
hadapannya itu ternyata memang seorang gadis.
"ah, karena Su-heng ada urusan lain, akupun tak berani memaksa. Ke jurusan mana Su-heng
hendak mengambil jalan?" tanyanya.
"Dimanakah letak kediaman Tok-ko-heng itu?" Yak-bwe balas bertanya.
"Aku tinggal di Pek-ciok-kong sebelah timur dari kota Hun-tay-tin," sahut Tok-ko U.
"Kalau begitu tentu mengambil jalanan yang menjurus ke timur ini?" tanya Yak-bwe.
Tok-ko U mengiakan. Baru ia hendak menanyakan apakah orang juga akan mengambil jalan
yang sama, Yak-bwe sudah mendahului: "Sungguh sayang, aku hendak menuju ke jurusan barat.
Lain hari bila ada jodoh untuk bertemu lagi, tentu akan kuperlukan berkunjung ke tempat Tok-koheng."


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tergesa-gesa seolah-olah kuatir kalau Tok-ko U sampai menahannya lagi, ia segera
memberi hormat perpisahan. Tok-ko U makin kurang senang, batinnya: "Ah, orang ini benar-benar
tak punya rasa persahabatan. Benar ia tak kenal padaku, tapi aku telah menolongnya dari
kesukaran. Hm, rupanya ia tidak seperti orang kangouw, tapi anehnya kata-katanya begitu
cemerlang, ilmu pedangnya bukan olah-olah dan memiliki kuda bagus dari benua barat. Ah, orang
apakah ia itu, sungguh membuat orang tak mengerti!"
Makin merenung, makin besar kecurigaannya. Setelah berjalan beberapa saat, diam-diam ia
memotong jalan singkat berganti arah ke sebelah barat ....
Sekarang mari kita ikuti Yak-bwe yang berjalan seorang diri menuju ke sebelah barat itu.
Memangnya ia tak mempunyai arah tujuan yang tertentu. Kemanapun ia bebas lepas. Hanya
karena tadi Tok-ko U mengatakan hendak mengambil jalan sebelah timur, ia lantas sengaja
mengambil arah barat. Jalanan yang menjurus ke barat itu ternyata adalah sebuah jalan kecil yang
menjurus ke jalan raya kota Ping-lu. Dari kota Ping-lu terus menuju ke barat, dapat tiba di kota
Tiang-an. Baru mencongklang kudanya tak berapa lama, dari belakang tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
yang riuh. Malah berbareng itu terdengar ada seseorang berteriak: "Hai, bangsat kecil, hendak
kemana kau?"
Yak-bwe marah. Ia kira tentu konco-konco Hau Pheng yang mengejarnya. Tapi alangkah
kejutnya ketika ia berpaling ke belakang. Ternyata yang mengejar itu serombongan tentara Gi-limkun
yang berjumlah tak kurang dari lima belas orang. Mereka adalah rombongan depan atau
semacam perintis dari suatu pasukan Gi-lim-kun yang besar. Setiap tiba di daerah atau kabupaten,
mereka minta diadakan penyambutan. Maka lebih dahulu dikirimlah sebuah regu anak buah Gilim-
kun untuk memberi warta pada pembesar setempat agar mereka mempersiapkan penyambutan.
Adanya Yak-bwe mengambil jalan besar, adalah karena hendak menyingkir dari gangguan
bangsa penyamun. Siapa tahu kini ia berpapasan dengan rombongan tentara negeri. Ini berarti
lebih besar bahayanya.
Sebenarnya pakaian yang dikenakan Yak-bwe itu cukup mewah, memadai bangsa putera
pembesar negeri. Hal itu takkan menimbulkan kecurigaan tentara Gi-lim-kun itu. Tetapi kuda yang
dinaikinya itu adalah kuda tegar yang dipersembahkan oleh raja daerah Ceng-hay kepada kerajaan
Tong. Jika bersua dengan tentara negeri biasa, tentu takkan ketahuan. Tapi celakanya Yak-bwe
telah kesamplokan dengan pasukan Gi-lim-kun. Pasukan istimewa yang bertugas khusus untuk
menjaga keselamatan istana, mempunyai perlengkapan yang paling sempurna dan kuda-kuda
ternama dari luar daerah. Walaupun dari jauh, tapi sepintas pandang saja regu Gi-lim-kun itu sudah
dapat mengenali kuda Yak-bwe.
Pemimpin regu Gi-lim-kun itu seorang opsir yang bernama An Ting-wan. Pangkatnya sebagai
Hou-ya-to-wi. Di dalam hirarki (urut-urutan pangkat) tentara Gi-lim-kun, yang tertinggi adalah
opsir yang berpangkat Liong-ki-to-wi, nomor dua barulah Hou-ya-to-wi. An Ting-wan adalah kochiu
(jago kosen) nomor lima dalam Gi-lim-kun. Yang nomor satu adalah Cin Siang, lalu Ut-ti Pak
(berpangkat Liong-ki-to-wi), Ut-ti Lam (berpangkat Hou-ya-wi) dan seorang Hou-ya-to-wi lain
yang bernama Gong Pan. An Ting-wan adalah seorang opsir yang gagah dan mahir berperang.
Kaget sekali ketika An Ting-wan melihat kuda yang dinaiki Yak-bwe itu, serunya: "Itu dia
penjahat Kim-ke-nia yang lolos!" - Dengan acungkan tombak, ia segera pimpin anak buahnya
mengejar. Kuda An Ting-wan pesat sekali, ialah yang lebih dulu tiba. Bentaknya dengan keras: "Bangsat
bernyali besar, berani naik kuda rampasan di jalan besar" Ha, sungguh hebat! Ayo, lekas turun
serahkan diri atau tidak?"
Seruan itu ditutup dengan sebuah tusukan ke ulu panggung dalam jurus 'tok-liong-jut-tong'
(naga keluar dari gua). Yak-bwe balikkan pedangnya untuk menangkis. Tetapi ia tak biasa
bertempur di atas kuda, tenaganyapun kalah dengan lawan. Begitu berbenturan, tubuh Yak-bwe
tergetar, hampir saja ia terjungkal dari kudanya. Dan berbareng itu terdengarlah suara menderu.
Seorang anak buah Gi-lim-kun yang mahir dalam ilmu laso, setelah sejenak memutar-mutar tali
terus dilontarkan ke arah Yak-bwe. Yak-bwe terjepit, ia harus pilih menyelamatkan diri atau
menolong kudanya. Cret, kepala kuda itu tepat kena terlaso, keempat kakinya segera menjulai ke
bawah. Berbareng itupun An Ting-wan menusuk pula.
"Jika menghendaki kuda ini, ambillah! Mengapa berlaku begini kurang ajar!" teriak Yak-bwe
dengan gusar. Ujung kakinya sekali menginjak pelan, tubuhnya Yak-bwe segera melayang ke
udara. An Ting-wan memburu maju dengan sebuah tusukan. Yak-bwe berteriak dengan marahnya:
"Ayo, kaupun harus turun juga!"
Tapi belum lagi sebelah kaki Yak-bwe menginjk tanah, An Ting-wan sudah menusuk ke arah
dadanya. Yak-bwe tak mau menangkis, melainkan lengkungkan pinggangnya. Begitu terhindar
dari tusukan, ia membabat sebuah kaki kuda An Ting-wan. Opsir itu menggerung keras dan
terpaksa loncat turun.
"Hai, mengapa kau berkeras menuduh aku seorang penjahat?" bentak Yak-bwe.
An Ting-wan tertawa dingin: "Kalau bukan penjahat, dari mana kau peroleh kuda bagus itu?"
"Sahabatku yang memberi, aku tak tahu kalau kuda ini milik pemerintah," sahut Yak-bwe.
"Siapa yang memberimu itu?" tanya An Ting-wan pula.
Yak-bwe gelagapan, ia hanya dapat menyahut: "Pendek kata, aku ini bukan penjahat atau
penyamun, percaya tidak terserahlah!"
"Kalau bukan bangsa penyamun, habis siapakah kau ini?" An Ting-wan menegas.
Sudah tentu Yak-bwe tak mau menerangkan dirinya itu 'puteri Ciat-to-su dari Luciu'. Ia tak
dapat menyahut melainkan deliki mata saja.
Kembali An Ting-wan tertawa dingin: "Kukira kawanan penjahat Kim-ke-nia itu semuanya
jantan-jantan yang kepala batu, kiranya juga ada orang punya 'tulang lemas' seperti kau. Sudah
berani menjadi penyamun tapi tak berani mengaku. Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong sungguh
harus malu mempunyai anak buah semacam kau!"
Sebenarnya An Ting-wan itu tak punya hubungan baik dengan Thiat-mo-lek dan Shin Thianhiong.
Tetapi terhadap kedua orang gagah itu, ia menaruh perindahan juga. Itulah sebabnya ia
mengeluarkan kata-kata tadi.
Memang Yak-bwe itu tak ingin bertempur dengan tentara negeri. Tetapi karena selama dalam
gedung Ciat-to-su, ia selalu disanjung hormat orang, jadi sifat-sifatnya sebagai Siocia (puteri
pembesar) masih tebal. Sudah tentu ia tak kuat menerima hinaan si opsir semacam itu.
Pada saat An Ting-wan mengacungkan tombaknya ke arah Yak-bwe sebagai isyarat agar anak
buahnya segera meringkus nona itu, tiba-tiba terdengar suara berdering. Yak-bwe sudah mencabut
pedangnya dan berkata dengan dingin: "Jika pembesar negeri menindas, tentu rakyat memberontak.
Baik, karena kau berkeras mengatakan aku seorang penyamun, aku sekarang benar-benar menjadi
penyamun. Nah, lihat pedangku!"
Giok-li-tho-soh atau bidadari lemparkan tali adalah jurus yang segera digunakan Yak-bwe untuk
menusuk si opsir.
An Ting-wan mendengus pelahan, pikirnya: "Kukira seorang penjahat keroco yang takut mati,
ternyata ilmu pedangnya boleh juga."
Tapi ia bukannya jeri, melainkan hanya terkejut saja. Sembari berseru 'bagus', ia segera
getarkan ujung tombaknya. Begitu ujung tombak itu berkembang menjadi lingkaran sinar, terus
ditusukkan ke dada Yak-bwe dalam gaya 'tiong-ping-jiang'.
Yak-bwe tahu kalau lawan bertenaga besar. Ia ambil putusan tak mau adu senjata. Pedangnya
segera memutar, tubuhnya pun ikut maju dengan sang pedang. Dengan begitu ia menghindari muka
berhadapan muka. Sekonyong-konyong ujung pedangnya disusupkan, menyusul tubuhnya pun ikut
menyelinap masuk ke dalam lingkaran sinar tombak. Setelah itu ia gunakan gerak "hong-hong-canki"
(burung hong pentang sayap), begitu ujung pedang melekat pada batang tombak, ia segera
membentak: "Lepas!" -- Pedang itu digelincirkan untuk memapas jari An Ting-wan.
An Ting-wan adalah seorang perwira yang sudah kenyang pengalaman perang. Dalam keadaan
yang bagaimana bahayanyapun ia tak menjadi gugup. Begitu ujung pedang hampir tiba di tangan
tiba-tiba tombak diputarnya sehingga pedang Yak-bwe terpental ke samping.
Berbareng ia pun membentak: "Lepas!" Tombak digunakan sebagai toya, terus disapukan ke
pinggang Yak-bwe. Dengan gerak wan-yau-ja-liu atau lengkungkan pinggang menancap pohon liu.
Hanya terpisah seujung rambut saja, dapatlah ia menghindar dari serangan maut itu. Kemudian
dengan gerakan Hong-hong-tim-thau atau burung hong mengangguk kepala, ia menghindar dari
ujung tombak lawan yang masih mengubernya. Dengan begitu kedua pihak sama-sama tak terluka
dan sama-sama tak lepas senjatanya.
"Siapa kau" Lekas kasih tahu namamu!" bentak An Ting-wan.
"Aku hanya seorang keroco yang tak bernama, lihat pedang!"
An Ting-wan diam-diam merasa heran, pikirnya: "Kepandaiannya lihay, terang dia bukan
keroco. Tetapi Cin to-wi tak pernah mengatakan bahwa di kalangan penyamun Kim-ke-nia terdapat
tokoh semacam dia."
Memang Cin Siang itu kenal baik dengan pemimpin-pemimpin gunung Kim-ke-nia, seperti
Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, To Peh-ing dan lain-lain. Sebelum menyerbu, orang she Cin itu
sudah menerangkan jelas kepada An Ting-wan, suruh yang tersebut belakangan itu berhati-hati
terhadap mereka. Jika dapat bertahan boleh bertahan. Jika sekiranya kewalahan, harus lekas-lekas
mundur. Dengan berbuat begitu, Cin Siang berbuat dua macam kebaikan. Melindungi anak
buahnya (An Ting-wan), dan sekaligus juga membantu pada Thiat-mo-lek.
Waktu Yak-bwe tak mau mengatakan namanya itu, diam-diam An Ting-wan menduga kalau
Yak-bwe itu tentu seorang thaubak baru yang menduduki tempat penting dalam kalangan Kim-kenia.
Dengan anggapan itu, An Ting-wan ambil putusan tak mau memberi ampun lagi. Begitulah ia
segera mainkan tombaknya dengan gencar. Pertempuran telah berjalan dengan seru.
Melihat bahwa An Ting-wan sebagai jenderal hanya bertempur melawan seorang penyamun
kecil, anak buah Gi-lim-kun itu tak mau membantu. Mereka hanya berjajar-jajar melingkari
gelanggang. An Ting-wan menggunakan senjata tombak yang panjangnya hampir satu tombak (lebih kurang
3 meter). Di atas kuda memang amat dahsyat sekali perbawanya. Tapi serta bertempur di tanah,
pedang Yak-bwe lebih tangkas geraknya. Dengan mengandalkan kelincahannya, Yak-bwe
kembangkan permainan pedang dengan penuh semangat hingga akhirnya ia sedikit lebih menang
angin. Berulang-ulang An Ting-wan menyerang dengan hebat, namun ujung baju lawan saja ia tak
mampu menyentuhnya. Akhirnya ia berganti siasat, dari menyerang menjadi bertahan. Karena
tombaknya itu merupakan senjata berat, maka waktu dimainkan senjata itu menerbitkan angin yang
menderu-deru, gencarnya sampai airpun tak dapat menetes masuk.
Yak-bwe tak berani adu kekerasan. Ia gunakan siasat berlincahan kian kemari, sewaktu-waktu
mencuri kesempatan untuk menusuk. Tapi bagaimanapun ia kalah tenaga dengan lawan. Apalagi ia
baru saja habis bertempur.
Bermula memang menang angin, tapi setelah lewat 30-an jurus, pelahan-lahan tenaganya mulai
berkurang, keringatnya mengucur deras.
Tetapi untungnya pasukan Gi-lim-kun itu tak mengetahui tentang perubahan situasi itu.
Sebaliknya mereka malah merasa kagum heran. An Ting-wan adalah ko-chiu nomor lima dari
pasukan Gi-lim-kun. Bermula anak buah Gi-lim-kun itu menduga, dalam 2-3 jurus saja An Tingwan
tentu sudah dapat membekuk lawan itu. Maka betapalah heran dan kaget mereka demi sampai
puluhan jurus keroco itu masih tetap dapat balas menyerang.
"An to-wi, kita masih harus lekas-lekas mencari penginapan. Tak usah harus menangkapnya
hidup-hidup," teriak seorang opsir.
An Ting-wan mendongak. Dilihatnya hari sudah tengah hari. Diam-diam ia berpikir: "Sebentar
lagi ia tentu sudah kehabisan tenaga dan mudah untuk menawannya hidup-hidupan. Tapi paling
sedikit masih harus menggunakan waktu setengah jam ini, tentu membikin kapiran lain-lain
urusan." Opsir yang berteriak tadi adalah seorang sin-cian-chiu atau ahli panah dalam pasukan Gi-limkun.
Dengan seruannya tadi sebenarnya ia secara diam-diam hendak bertanya, apakah An Ting-wan
memerlukan tenaganya untuk melepas panah atau tidak"
An Ting-wan mengerti juga isyarat itu. Cepat ia putar tombaknya untuk mengurung Yak-bwe,
lalu berseru: "Baiklah, tapi sedapat mungkin bidik saja bagian tubuhnya yang tak berbahaya. Tapi
kalau sampai terpanah mati, ya biarlah."
Yak-bwe tetap berlincahan kian kemari dengan tangkasnya, jadi tak mungkin orang akan dapat
memanahnya dengan memilih bagian-bagian yang tak berbahaya. Tapi karena sang jenderal sudah
menghendaki supaya dapat menangkap hidup-hidupan, maka opsir itupun sengaja hendak
mempamerkan kepandaiannya di hadapan sang atasan. Akhirnya ia mendapat akal bagus. Wut, ia
lepaskan sebatang anak panah di sisi kanan Yak-bwe. Menyusul ia lepaskan lagi sebatang di sisi
kirinya. Kedua batang itu sengaja dilayangkan hanya beberapa dim dari sisi tubuh Yak-bwe.
Kemudian ia lepaskan lagi anak panah yang ketiga, tapi hanya pura-pura saja karena tali busur saja
yang ditarik tapi tak ada anak panahnya.
Yak-bwe mahir juga dalam ilmu melepas senjata rahasia lian-cu-cian-hwat. Biasanya ilmu liancu-
cian-hwat itu dilepaskan tiga kali beruntun-runtun, yakni diarahkan di sisi kanan, kiri dan
tengah. Tadi karena ia bergeliatan menghindari anak panah yang pertama dan kedua, posisi
tubuhnya berada di tempat yang sudah diduga oleh musuh. Waktu didengarnya lawan
menggetarkan tali busur, ia yakin tentu akan mengarah bagian tengah. Dan untuk itu, ia harus
menghindari dengan meloncat ke udara.
Tapi dengan cerdiknya si opsir sudah mendahului lepaskan panahnya setinggi satu meter ke
udara. Dengan begitu gerak loncatan dari Yak-bwe tadi berarti 'anjing cari gebuk'. Cret, lengannya
termakan panah, darah mengucur deras.
"Menilik kau juga seorang jantan, aku tak mau mengambil jiwamu. Lekas buang senjatamu dan
menyerah saja!" buru-buru An Ting-wan menyerukan.
Yak-bwe kertek gigi dan menyahut getas: "Jantan dari Kim-ke-nia tak kenal kata-kata
menyerah!"
Karena gusar mendapat hinaan tadi, Yak-bwe nekad hendak mengadu jiwa. Ia kuatkan diri
menangkis tombak An Ting-wan. Tapi setelah terluka itu, tenaganya makin lemah, sudah tentu ia
tak dapat menangkis dengan jitu. Segera ia rasakan lengannya linu, mata berkunang-kunang dan
kakinya lemas. Hampir saja ia tak mampu menahan lepasnya sang pedang. Dalam keadaan begitu,
asal An Ting-wan memberi tekanan lagi, pedang Yak-bwe pasti terlepas jatuh.
Dalam saat-saat yang berbahaya itu, sekonyong-konyong terdengar suara benda mendesing.
Sebatang passer melayang, bukan ke arah Yak-bwe melainkan menuju ke An Ting-wan. An Tingwan
terbeliak kaget, pikirnya: "Ha, mengapa anak panah dari Hwe poh-hu bisa nyasar?"
Baru ia menghindar, panah yang kedua dan ketiga susul menyusul menyambarnya. Apa boleh
buat, terpaksa An Ting-wan lepaskan Yak-bwe. Ia putar tombaknya untuk menangkis passer liancu-
cian itu. Setelah itu barulah ia mengetahui bahwa yang melepas lian-cu-cian itu ternyata bukan
si opsir tadi melainkan lain orang lagi.
Tiba-tiba dari hutan pohon siong yang terletak di tepi jalan, menerobos keluar seekor kuda tegar.
Penunggangnya mengenakan kerudung muka. Begitu keluar ia timpukkan dua buah lian-cu-cian.
Walaupun hanya dengan tangan, tapi panah itu tak kalah dahsyatnya daripada dilepaskan dari busur.
Pun selain keras timpukannya, juga arahnya amat jitu. Untuk melindungi diri, An Ting-wan putar
tombaknya gencar sekali. Namun sekalipun begitu, tak urung ia tetap terkena sebatang panah.
Kebetulan sekali mengenai lengannya juga, darahnya mengucur deras, Yak-bwe mempunyai kawan
sependeritaan. Setelah mengetahui An Ting-wan terluka, orang berkerudung itu tak mau mencecernya lagi.
Kini ia beralih sasaran. Tujuh delapan batang anak panah ditimpukkan ke arah pasukan berkuda
Gi-lim-kun. Setiap batang tentu membawa korban seekor kuda. Karena terluka, kuda pasukan Ginlim-
kun itu menjadi binal dan mencongklang lari. Yak-bwe menjadi terlepas dari kepungan anak
buah Gi-lim-kun.
Pemimpin regu panah dari Gi-lim-kun menjadi murka, serunya: "Bangsat, jangan kurang ajar!
Terimalah panahku!"
Tapi baru ia bidikkan sebuah anak panah, lawan pun melepaskan sebuah passer untuk
membenturnya. Ternyata orang berkerudung muka itu lebih tangkas dari opsir pemimpin regu
panah. Si opsir coba akan mengembangkan ilmu bidikan yang disebut lian-cu-cian-hwat. Tapi baru
ia menarik busurnya, terdengarlah bunyi berkertakan. Sebuah passer dari seorang berkerudung
dengan tepat sekali telah menghantam bagian tengah dari busur sampai patah. Dan lebih celaka
lagi, si orang berkerudung sudah susuli passernya yang kedua yang dengan jitu telah mengenai paha
si opsir. Kontan si opsir itu terjungkal.
"Su-heng, lekas lari!" teriak orang berkerudung itu.
Melihat kejadian itu, marah An Ting-wan bukan kepalang. Begitu tombak dipindah ke tangan
kiri, ia lantas menerjang. Tapi dengan tahan rasa sakit, Yak-bwe sudah loncat ke punggung kuda si
opsir. Karena anak buah Gi-lim-kun yang masih belum terluka hanya 6-7 orang saja, sudah tentu
tak mampu menahan Yak-bwe. Sekejap saja Yak-bwe sudah larikan kudanya ikut si orang
berkerudung masuk ke dalam hutan.
Karena jeri akan kesaktian ilmu permainan passer dari si muka berkerudung dan kuatir kalau di
dalam hutan bersembunyi barisan musuh, terpaksa An Ting-wan menggigit jari saja. Setelah
mengumpulkan sisa anak buahnya, iapun lantas meneruskan perjalanan lagi.
Selama membawa Yak-bwe menyusup hutan dan kemudian berjalan di sebuah jalan terpencil,
orang berkerudung itu tak mengatakan sepatahpun jua. Waktu menengok ke belakang legalah
perasaan Yak-bwe karena musuh tak mengejar. Tapi berbareng saat itu, luka di lengannya terasa
sakit sekali sampai ia mengucurkan keringat dingin. Hampir-hampir saja ia tak kuat bertahan diri
duduk di atas pelana kuda.
Ia tahan sakit dan hendak mencabut panah yang tertancap di lengannya itu, tapi keburu dicegah
oleh si muka berkerudung: "Jangan, jangan!"
Mereka hentikan kudanya dan tiba-tiba orang itu tertawa gelak-gelak: "Su-heng, sungguh tak
nyana kita bakal berjumpa lagi." -- Bret, terus dicabutnya kain kerudung yang menutupi mukanya
itu. "Hai, kiranya kau!" teriak Yak-bwe dengan kaget.
Kiranya si orang berkerudung itu bukan lain ialah pemuda pelajar yang belum lama berpisah
dengan Yak-bwe, yaitu Tok-ko U.
"Aku tak tahu sama sekali kalau Su-heng ini juga salah seorang ksatria Kim-ke-nia. Maaf, tadi
aku telah berlaku tak menghormat," kata Tok-ko U.
Dengan gunakan bahasa kangouw yang baru dipelajari bertanyalah Yak-bwe: "Dari golongan
manakah saudara ini?"
Tok-ko U tertawa gelak-gelak, sahutnya: "Aku sebenarnya bukan orang loklim, tetapi aku
gemar bersahabat dengan kaum enghiong ho-kiat. Siapakah orangnya yang tak kenal akan Thiatmo-
lek, pemimpin Kim-ke-nia itu" Sungguh sayang sekali, sampai sekarang aku belum
mempunyai rejeki untuk berjumpa. Kabarnya tentara negeri telah mengadakan serbuan besarbesaran
ke gunung Kim-ke-nia, bagaimanakah dengan Thiat-mo-lek?"
Karena dirinya dianggap sebagai hohan (orang gagah) dari Kim-ke-nia, Yak-bwe
membiarkannya saja. Ia menyahut: "Thiat cecu siang-siang sudah dapat meloloskan diri. Karena
kepandaianku rendah maka aku tak mampu mengikuti jejak Thiat cecu sehingga aku tercecer dari
barisan." "Jangan kuatir, Su-heng. Jika sekiranya tak menampik, sukalah kiranya Su-heng untuk
sementara menetap di pondokku," kata Tok-ko U.
"Terima kasih, tapi nanti merembet saudara," sahut Yak-bwe.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dulu, kita belum kenal satu sama lain. Tapi sekarang jika Su-heng tetap menolak, berarti
menghina diriku," ujar Tok-ko U.
Yak-bwe bimbang hatinya. Sesaat ia tak dapat mengambil putusan. Pikirnya: "Rupanya orang
ini seorang gagah budiman. Tetapi aku seorang gadis, bagaimana bisa tinggal di tempat seorang
pemuda yang belum kukenal?"
Maka dengan ragu-ragu ia menjawab: "Kurasa, lukaku ini tak apa-apa." Baru ia berkata begitu,
lukanya itu sudah mengucur darah pula.
Tok-ko U cepat turun dari kudanya. "Nih, aku membawa obat kim-jong-yok. Obatilah dulu
lukamu itu, baru kita nanti sambung bicara lagi," katanya sembari menghampiri terus hendak
memondong Yak-bwe turun dari kuda.
Sudah tentu Yak-bwe terperanjat sekali. Dengan menahan sakit, ia mendahului loncat sendiri.
Hampir saja ia terjerembab jatuh. Tok-ko U hendak ulurkan tangan menahannya, tapi Yak-bwe
cepat-cepat menghindar, serunya: "Tak apa, tak apa. Tolong berikan obatmu itu padaku, aku dapat
mengobati sendiri."
Diam-diam Tok-ko U heran melihat sikap Yak-bwe. Masakan seorang hohan dari loklim begitu
pemaluan sikapnya. Tapi ia segera dikejutkan dengan gerak-gerik Yak-bwe. Karena sudah hampir
setengah jam lengannya tertancap panah, kucuran darah telah membasahi bajunya. Dengan tahan
sakit Yak-bwe merobek bajunya itu dan terus hendak mencabut anak panah.
"Jangan, Su-heng! Harus dicuci bersih dengan air dulu, dilumuri obat dan dibungkus kain
pembalut. Paling sedikit lewat satu malam, setelah nanti darahnya berhenti mengucur baru boleh
panah itu dicabut. Jika sekarang dicabut, darah tentu mengalir tak berhenti. Dikuatirkan darah itu
mengandung racun. Obatku kim-jong-yok ini pasti tak dapat menolong apa-apa. Di rumah aku
mempunyai persediaan obat-obatan yang lengkap. Besok pagi dicabut, rasanyapun masih belum
terlambat," buru-buru Tok-ko U mencegah.
Yak-bwe menghaturkan terima kasih lalu melumurkan kim-jong-yok pada lukanya. Tapi ia tak
mempunyai pengalaman sama sekali. Jari-jarinya bergemetaran. Ketika melumurkan obat dan
kena pada tulang, saking sakitnya hampir saja ia menjerit. Keringat dingin mengucur deras.
Tok-ko U makin heran. Pikirnya: "Pekerjaannya selalu berhubungan dengan golok dan darah,
tetapi mengapa mengobati luka saja ia tak mengerti. Sudah diperingatkan satu kali supaya jangan
mencabut panah, ia masih bermaksud mencabut. Dan sampai pun cara untuk melumuri obat juga
tak tahu. Sungguh mengherankan bahwa di dunia loklim terdapat seorang hohan seperti dia."
Tetapi ketika melihat Yak-bwe menahan kesakitan hebat, Tok-ko U tak tega melihat saja. Dan
lagi-lagi ia bermaksud hendak membantunya melumuri obat.
Yak-bwe tengah asyik melumurkan obat sambil tundukkan kepala.
Ia tak mengetahui kalau Tok-ko U sudah menghampiri ke sampingnya. Pun terdorong oleh rasa
kasihan, tanpa bilang lebih dulu, Tok-ko U terus ulurkan tangan untuk memapahnya. Waktu
tubuhnya serasa dijamah tangan orang, kejut Yak-bwe bukan kepalang. Serentak timbul juga
reaksinya sebagai seorang gadis. Cepat ia mendorong dan berteriak: "Mau apa kau?" -- Karena
gerakan itu, bungkusan obat yang dipegangnya pun turut jatuh ke tanah.
Tok-ko U terbeliak kaget: "Su-heng, aku mau membantumu, kau ini bagaimana sih?"
Waktu tampak yang datang itu Tok-ko U, tahulah Yak-bwe akan maksudnya. Wajahnya segera
berubah kemerah-merahan. Ia paksakan tertawa: "Aku sudah melumurinya, terima kasih."
"Mana, biar kubantu balutkan," kata Tok-ko U.
"Tak usah, tak usah, aku sendiri bisa," Yak-bwe goyangkan tangannya.
Keheranan Tok-ko U makin bertambah besar, batinnya: "Aneh benar orang ini. Dia lebih
pemaluan dari seorang toa-siocia."
Yak-bwe merobek secarik kain bajunya lalu membalut lengan kirinya yang terluka itu. Tapi ia
tak mengerti caranya membalut luka. Ia malang melintangkan balutnya, hingga tak keruan
bentuknya. Tok-ko U kerutkan alis. Beberapa kali ia bermaksud hendak ulurkan bantuan, tapi
selalu 'mundur teratur' karena sikap Yak-bwe yang janggal itu.
Pada jaman kerajaan Tong masa itu, masyarakat tak terlalu terkekang dengan adat istiadat
pergaulan. Pergaulan antara wanita dan pria agak bebas. Adalah karena Yak-bwe itu dibesarkan
sebagai siocia (nona) keluarga pembesar, ibu kandungnya sendiripun berasal dari keluarga
terhormat, maka watak perangainyapun berbeda dengan gadis kebanyakan. Terhadap pria yang
belum dikenalnya, ia tak berani bergaul terlalu rapat. Justru karena sifat-sifatnya yang berbeda
dengan kaum gadis umumnya, Tok-ko U tak bercuriga kalau ia itu seorang gadis. Pada umumnya
kaum wanita, terutama wanita kangouw, sewaktu mendapat luka tentu tak menolak mendapat
bantuan kaum pria. Tok-ko U anggap Yak-bwe itu seorang pemuda yang berwatak aneh saja.
Diam-diam ia kurang senang tapi sungkan untuk mengatakannya.
Setelah dibalut dan beristirahat beberapa saat, tenaga Yak-bwe mulai timbul sedikit. Ia
paksakan diri untuk naik ke atas pelana kudanya.
"Su-heng, kau perlu beristirahat baik-baik. Harap jangan sungkan lagi, beristirahatlah untuk
sementara hari di rumahku," kata Tok-ko U pula. Sudah tiga kali ini, ia menawarkan jasa baiknya.
Waktu Yak-bwe masih meragu, Tok-ko sudah berkata lagi: "Sejak dari perjalanan di sini,
seterusnya di mana-mana tentu terdapat tentara negeri. Taruh kata kau mempunyai urusan penting
yang harus dikerjakan, namun kiranya tak leluasa untuk melanjutkan perjalanan. Kau seorang diri
dan dalam keadaan terluka pula. Jangankan anak tentara negeri, sedangkan setiap orangpun tentu
akan mencurigai dirimu."
Yak-bwe mengakui kebenaran ucapan itu, namun ia tak dapat mengambil keputusan dengan
segera. Pikirnya: "Pemuda ini rupanya seorang bangsa hiapgi (orang gagah budiman). Dalam
keadaan seperti sekarang, apa boleh buat aku terpaksa harus memenuhi ajakannya. Rasanya orang
ini tentu takkan berbuat jahat terhadap diriku.
"Karena Tok-ko-heng begitu sungguh hati mengundang, biarlah kutebalkan muka untuk
menerimanya. Ah, sungguh bikin repot kau saja dan kemungkinan juga akan merepotkan dirimu,"
akhirnya Yak-bwe menerima juga.
Jawab Tok-ko U: "Harap Su-heng jangan cemas. Desa kediamanku itu terpencil di tempat
pegunungan sunyi. Orang luar pasti tak menaruh perhatian. Hanya saja aku sedikit menguatirkan
...." "Apa yang kau kuatirkan?" tukas Yak-bwe.
"Karena menderita luka, mungkin Su-heng akan susah naik kuda. Lebih baik kita boncengan
saja, naiklah di kuda sini," kata Tok-ko U.
Jantung Yak-bwe mendebur lagi, pikirnya: "Mungkinkah ia sudah mengetahui diriku lalu
mengandung maksud buruk?"
Tapi demi menilik sikap pemuda itu amat sopan dan bersungguh-sungguh, ia membantah
dugaannya yang tidak-tidak itu sendiri. Ia merenung sejenak lalu menyahut: "Walaupun lenganku
terluka, tapi kalau kau bukan kesatria dari Kim-ke-nia, tak nanti aku mau gubris padamu."
Sekalipun ia coba membikin gagah ucapannya, namun sikapnya tetap tak wajar. Tok-ko u
menggerutu dalam hatinya: "Coba kalau kau bukan ksatria Kim-ke-nia tak nanti aku mau gubris
padamu." Kuatir kalau kesamplokan dengan tentara negeri. Tok-ko U mengambil sebuah jalanan kecil di
tepi gunung. Jalan disitu berlekuk-lekuk, orang naik kuda sekalipun juga akan peringisan. Dengan
tahan rasa sakit. Yak-bwe tetap mempertahankan diri naik kuda sendiri. Untung kediaman Tok-ko
U itu hanya terpisah jarak 40-an li. Tak berapa lama, tibalah sudah mereka di desa kediaman TokKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ko U. Kediaman Tok-ko U itu terletak di bawah puncak Pek-ho-nia, depan rumah ada sebuah empang
teratai dan keduanya tepinya dikelilingi oleh pohon-pohon liu. Atap rumah merah yang menonjol di
antara hutan berwarna hijau itu, sungguh seperti pemandangan dalam sebuah lukisan.
"Alangkah indahnya tempat ini, seperti sebuah taman firdaus di luar dunia," Yak-bwe memuji.
"Ah, Su-heng itu tak mirip seorang loklim tapi lebih mendekati seorang seniman, " Tok-ko U
tertawa. "Pujian Su-heng itu lebih menggirangkan hatiku sebagai tuan rumah. Aku tentu akan
minta Su-heng untuk tinggal lebih lama di sini."
Tengah mereka bicara itu, muncullah seorang dara berlari-lari keluar. Masih jauh dara itu sudah
berteriak: "Koko, kau sudah pulanglah!"
Tapi serta melihat Tok-ko U membawa seorang pemuda yang terluka lengannya, dara itu
terkesiap. Tok-ko U tertawa menerangkan bahwa ia membawa seorang sahabat. Kemudian ia
memperkenalkan: "Ini adalah Su Ceng-to (nama samaran yang dipakai Yak-bwe). Dan ini adalah
adik perempuanku Tok-ko Ing. Su-toako ini sunggguh seorang tetamu yang jarang kita jumpai.
Ing-moay, tolong kau melayaninya baik-baik."
"Hai, Su-toako, mengapa kau terluka itu?" tanya Tok-ko Ing.
Tiba-tiba Tok-ko U berkata: "Moaymoay, tentu kau akan gembira ...."
"Huh, mengapa kau malah senang melihat orang lain terluka?" Tok-ko Ing mengomelinya.
"Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan aku hendak menuturkan tentang riwayat Su toako.
Harap kau jangan mencampur-adukkan. Ing-moay, bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau
hanya kagum kepada tiga tokoh dalam jaman ini?" kata Tok-ko U.
"Ya, benar. Yang satu Thiat-mo-lek, yang kedua Bo Se-kiat dan yang ketiga Toan Khik-sia,"
kata Tok-ko Ing.
"Nah, begitulah, Su toako ini adalah sahabat baik dari ketiga tokoh itu. Ia adalah salah seorang
hohan dari Kim-ke-nia," ujar Tok-ko U.
Memang hubungan Se-kiat dan Khik-sia dengan Thiat-mo-lek itu sudah diketahui oleh kaum
Bu-lim. Oleh karena itu walaupun Yak-bwe tak mengatakan kalau ia kenal dengan kedua pemuda
itu, namun dengan spontan (serentak)Tok-ko U yakin Yak-bwe tentu mengenalnya. Dan ini terang
mengangkat diri yak-bwe di mata Tok-ko Ing.
Tertawalah Yak-bwe menyahut: "Aku hanya seorang keroco dari Kim-ke-nia, mana dapat
digolongkan sebagai sahabat dari ketiga tokoh itu?"
"Oh, mengertilah aku. Kabarnya beberapa hari yang lalu tentara negeri telah mengadakan
sergapan ke Kim-ke-nia. Bukankah kau terluka kena panah mereka?" tanya Tok-ko Ing.
"Ah, ia barusan saja terluka itu," sahut Tok-ko U. Ia lantas menceritakan tentang pertemuannya
dengan Yak-bwe sewaktu sedang bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun.
"Hai, koko, kau ini memang keterlaluan juga. Orang menderita luka sebaliknya kau hanya
enak-enak mengobrol saja. Ayo, lekas sediakan tempat untuk Su toako," tiba-tiba Tok-ko Ing
menyeletuk. Memang kala itu Yak-bwe amat lelah sekali. Kedua kakinya serasa mati rasa, seolah-olah
seperti bukan kakinya sendiri. Ternyata gedung kediaman keluarga Tok-ko itu agak terletak di atas,
jadi mereka harus melalui sebuah lamping gunung yang menanjak. Ketika melihat Yak-bwe turun
dari kuda dan berjalan dengan susah payah yaitu setiap berjalan selangkah tentu harus berhenti
sejenak, Tok-ko Ing serentak menghampiri hendak menolong memapahnya. Sedang mulut dara itu
tetap mengomel sang engkoh: "Kau sendiri tadi yang minta supaya aku melayani tetamu baik-baik,
masakan kau sendiri tak mengerti bagaimana harus melayani orang?"
Walaupun dalam hati Yak-bwe benci kepada Khik-sia, tapi entah bagaimana, kepada orang yang
memuji sang tunangan itu, ia merasa senang sekali. Apalagi Tok-ko Ing itu seorang dara. Seketika
lupalah yak-bwe bahwa dirinya pada saat itu sedang menjadi seorang 'pria'. Bukan hanya
membiarkan saja Tok-ko Ing menggandeng tangannya, pun karena letihnya ia lantas menggelondoti
tubuh sang dara.
Tersentuh dengan hangatnya tubuh Yak-bwe dan membaui harum dari napas dan rambut Yakbwe,
seketika mendeburlah darah Tok-ko Ing. Tapi ia seorang dara yang lapang dada.
Didiamkannya perbuatan 'pemuda' itu, dengan wajah tenang ia tetap menggandeng tangan Yak-bwe
untuk diajak masuk ke dalam rumah.
Semula Tok-ko U kuatir kalau-kalau adiknya bakal mendapat 'kopi pahit' (sikap getas) dari Yakbwe.
Siapa tahu ternyata pemuda gadungan itu telah mengunjukkan sikap yang di luar dugaannya.
Pikirnya: "Kukira ia itu seorang yang amat pemaluan. Siapa tahu ia begitu mesra kepada Ing-moay.
Aneh benar ini. Aku yang sekaum dengannya tapi ia sudah begitu enggan berdekatan. Sebaliknya
dengan seorang yang berlainan jenis ia malah begitu mesranya. Hm, jika semalam aku belum
mengetahui jelas bagaimana peribadinya tentu kusangka ia seorang pemuda hidung belang."
Ketika mendengar napas Yak-bwe tersengal-sengal, Tok-ko Ing merasa kasihan, ujarnya: "Su
toako, kau benar-benar seorang pemuda gagah. Meskipun terluka parah, tapi masih dapat naik kuda
mendaki gunung. Koko, mari kita rawat luka Su toako ini lebih dulu, kemudian biar ia mengaso di
kamarmu, ya?"
Yak-bwe terkejut, buru-buru ia berkata: "Ah, jangan sampai merepot! Tok-ko-heng, aku
memang mempunyai adat aneh, yakni tak suka tidur sekamar dengan orang, melainkan senang tidur
seorang diri di sebuah kamar yang sunyi."
"Ah, benar-benar ia seorang yang terus terang. Biasanya seorang tetamu itu tentu menurut
peraturan tuan rumah, sebaliknya ia tak sungkan mengajukan permintaan. Ah, rupanya ia tak mau
membikin repot tuan rumah," pikir Tok-ko Ing.
"Aku mempunyai sebuah kamar buku yang lumayan bersihnya. Entah mencocoki tidak selera
Su toako?" katanya sembari memapah Yak-bwe menuju ke sebuah kamar buku.
Ternyata kamar buku itu indah dan rajin. Di atas dinding dari rak buku digantungi lukisan.
Sementara pada tepi jendela di mana sebuah meja tulis, pun dijajar vaas-vaas bunga. Dupa wangi di
perapian masih mengepulkan hawa yang harum. Berhadapan dengan lemari buku, terdapat sebuah
dipan yang tak berkasur, melainkan sebuah bantal saja. Rupanya dipan itu dibuat tempat Tok-ko
Ing berbaring di kala ia membaca.
"Su toako, jika kau senang dengan kamar ini, biarlah kusiapkan kasur," kata dara itu.
"Ya, ya, bagus benar! Sungguh tak kira nona ini juga seorang penggemar buku. Di kamar sini
terdapat sekian banyak buku. Huruf pada lukisan itu, sungguh kuat sekali ekspresinya. Aha,
kiranya syair gubahan Tu Fu!" demikian Yak-bwe memuji.
Tu Fu dan Li Pai adalah dua dewa penyair yang disanjung pada jaman itu. Setiap buah karya
mereka keluar, tentu segera menjadi buah deklamasi pada setiap mulut orang. Tetapi buah sajak
yang ditulis oleh tangan kedua penyair termasyhur itu, jarang sekali dapat diperoleh.
Syair yang tergantung di dinding kamar buku Tok-ko Ing itu ternyata buah tulisan dari penyair
Tu Fu. Yak-bwe pernah melihatnya dan seketika timbullah gelora hatinya untuk mendeklamasikan
sajak itu. Kiranya sajak itu digubah oleh Tu Fu ketika ia di kota Lim-pin melihat anak murid dari
Kong-sun toa-nio yang bernama Li Sip-ji-nio memainkan pedang. Tertarik oleh permainan pedang
si nona yang sedemikian indahnya, penyair itu telah menarikan pit, mempersembahkan sebuah
sajak pujian.....
"Syair indah, syair indah! Datangnya bagaikan halilintar mengumbar kemarahan, gemuruh
laksana ombak laut memancar sinar mengkilap. Ah, ilmu pedang yang telah mencapai tingkatan
semacam itu, sungguh tak dapat dibayangkan oleh pikiran," Yak-bwe memuji. Tapi dalam pada itu
ia merasa heran juga dan bertanya: "Syair ini digubah oleh Tu Fu untuk dipersembahkan kepada Li
Sip-ji Nio. Mengapa bisa berada di tempat nona sini?"
Tok-ko U tertawa menyahut: "Adikku itu adalah sumoay dari Li Sip-ji Nio. Kami kakak
beradik berlainan suhu."
Yak-bwe terbeliak kaget, tegasnya: "Apakah Kong-sun toanio masih hidup" Bukankah beliau
sudah hampir berusia ratusan tahun?"
"Beberapa tahun yang lalu suhuku sudah menutup mata. Benar Li Sip-ji Nio itu toa-suciku, tapi
kepandaianku itu adalah toa-suci yang mengajarkannya. Toa-suci amat memanjakan sekali
kepadaku. Ketika tahun yang lalu toa-suci lewat di sini, karena tahu aku gemar akan syair Tu Fu,
maka serangkai syair gubahan Tu Fu itu diberikan kepadaku," kata Tok-ko Ing.
Sebaliknya kini Tok-ko U yang balas bertanya dengan heran: "Menilik Su-heng begitu gemar
akan syair, rasanya tentu seorang keturunan sasterawan. Tetapi mengapa ceburkan diri dalam
kalangan loklim?"
Sahut Yak-bwe: "Ya, begitulah kalau mau dikata, memang aku pernah membaca sedikit sajak.
Tok-ko-heng tanya kepadaku mengapa terjerumus dalam kalangan loklim, ah, hal itu lebih baik tak
kukatakan saja."
Sebenarnya Yak-bwe hendak merangkai suatu cerita, tapi dikarenakan ia tak biasa berbohong,
dalam saat-saat yang mendesak ia sudah tak dapat mengatur ceritanya. Sebaliknya Tok-ko U
mengira kalau tetamu itu mempunyai hal-hal yang sukar dikatakan. Ia pun tak mau mendesak lebih
jauh. Buru-buru ia alihkan pembicaraan:
"Su-heng seorang yang pandai ilmu sastera dan mahir ilmu silat, sungguh patut dikagumi. Di
dalam negeri yang kacau ini, pahlawan-pahlawan bermunculan dari kalangan loklim. Mengapa Suheng
mengatakan terjerumus?"
Habis berkata kembali Tok-ko U membatin: "Ah, kiranya ia seorang pendatang baru di dunia
loklim, makanya ia begitu hijau sekali. Sedikitpun tak menyerupai seorang penjahat, tetapi lebih
mirip dengan seorang sasterawan."
Dalam pada itu, datanglah seorang pelayan membawa kasur.
Setelah mengatur tempat tidur bagi sang tamu, lalu berkatalah Tok-ko Ing: "Sudahlah, jangan
tarik lidah lebih lanjut. Ayo, kira rawat luka Su toako." -- Setelah itu ia minta Yak-bwe supaya
berbaring di atas pembaringan darurat itu.
"Dalam hal kerjaan, seorang anak perempuan itu tentu lebih teliti. Ing-moay, untuk mengobati
luka Su-toako, aku terpaksa harus minta bantuanmu," kata Tok-ko U.
Hati Tok-ko Ing tergetar. Ia tundukkan kepala tapi tiba-tiba mulutnya pecah tertawa: "Huh,
koko, rupanya kau cerdik juga karena tahu diri. Akupun tak mau mempersalahkanmu. Tuh,
lihatlah, apa-apaan caramu membalut luka orang begitu macam" Malang melintang tak keruan,
sampai lengan Su toako menjadi seperti buah semangka saja!"
Merahlah wajah Yak-bwe mendengar itu, katanya: "Aku sendirilah yang membalutnya."
Tok-ko Ing sudah terlanjur mengata-ngatai, walaupun likat tapi terpaksa ia tertawa juga.
"Memang anak lelaki itu kebanyakan tak dapat mengurus diri sendiri. Su toako, tidurlah, biar
kulumuri obat pada lukamu."
Darah dari luka Yak-bwe itu sudah mengental dan melekat pada pakaiannya. Tok-ko Ing
menanyakan kalau-kalau Yak-bwe membawa ganti pakaian.
"Dalam buntalanku itu terdapat dua stel pakaian yang baru kemarin kubeli, entah cocok tidak
ukurannya," kata Yak-bwe.
"Kau tak tahu bahwa Su-toako itu royal sekali. Kedua stel pakaiannya itu dibelinya dengan
memakai biji emas." Tok-ko U tertawa. Ia menuturkan peristiwa semalam yang terjadi di rumah
penginapan. "Su toako, kau balikkan tubuhmulah, biar kulepas bajumu. Koko, tolong ambilkan semangkuk
air hangat," kata Tok-ko Ing. Nyata dara itu hendak mencuci luka Yak-bwe dengan air hangat, baru
kemudian dilumur obat dan dibalut.
Sebaliknya wajah Yak-bwe menjadi merah. Katanya dengan berbisik: "Ah, tak usah begitu
repot-repot. Apakah kau punya gunting?"
"Gunting" Mau buat apa?" sudah tentu Tok-ko Ing menjadi heran.
"Cukup gunting saja lengan baju di dekat luka itu, kan dengan begitu boleh lantas dicuci dan
dilumuri obat," jawab Yak-bwe.
Diam-diam Tok-ko Ing menggerutu dalam hati: "Katanya seorang hohan dari loklim, tapi
ternyata lebih pemaluan dari seorang gadis pingitan. Aku bersikap bebas, sebaliknya ia sungkan
akan pergaulan wanita dan pria."
Tapi ia pun terpaksa mengambilkan gunting dan melakukan permintaan Yak-bwe tadi. Setelah
mencuci bersih, barulah ia melumuri luka itu dengan obat lagi.
Tok-ko U datang dengan membawa poci teh-som, katanya: "Kau sudah terlalu banyak
mengeluarkan darah, tentu merasa haus. Poci yang berisi teh-som ini, akan dapat menghentikan
hausmu. Besok pagi jika lapar, barulah kau makan hidangan ini."


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yak-bwe tergerak hatinya dengan kebaikan tuan rumah. Ia menghaturkan terima kasih dan
mempersilahkan supaya kedua saudara Tok-ko itu juga beristirahat.
"Aku tidur di sebelah depan sana. Jika tengah malam memerlukan apa-apa, panggil saja, jangan
sungkan-sungkan," kata Tok-ko U.
Kembali Yak-bwe menghaturkan terima kasihnya. Setelah kedua saudara itu tinggalkan kamar
situ, timbullah kekuatiran pada hati Yak-bwe jangan-jangan nanti tengah malam Tok-ko U benarbenar
berkunjung ke situ lagi. Ia menggeliat bangun untuk menutup jendela. Setelah itu barulah ia
leluasa ganti pakaian lalu masuk tidur.
Bermula hatinya memang masih kebat-kebit, tapi karena letihnya, tak lama kemudian ia sudah
jatuh pulas. Entah sudah berapa lama ia kelelap dalam impiannya di pulau kapuk itu, hanya ketika
ia sadar segera ia dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Buru-buru ia bangun.
"Tok-ko-heng, aku tak memerlukan apa-apa, silakan tidur kembali," buru-buru ia berseru.
Di luar kamar terdengar suara ketawa mengikik: "Akulah, Su toako. Hari sudah terang, ini
kubawakan santapan pagi untukmu."
Kiranya yang mengetuk pintu itu ialah Tok-ko Ing. Waktu Yak-bwe membukakan pintu, dara
itu tertawa: "Mengapa jendelanya juga kau tutup rapat-rapat" Apakah tidak kepanasan hawanya?" -
- Dara itu segera buka jendela agar dapat hawa dan sinar matahari pagi.
"Di waktu kecil aku takut pada setan, maka sudah menjadi kebiasaanku untuk menutup jendela
kamar rapat-rapat. Harap kau jangan menertawakannya," dengan pintarnya Yak-bwe mencari
jawaban. Sebetulnya Tok-ko Ing tak tertawa, tapi demi mendengar penjelasan itu ia menjadi geli juga,
ujarnya: "Kurasa hanya anak perempuan yang takut pada setan, siapa tahu kalian kaum gagah dari
loklim juga jeri. Baiklah, sekarang sudah terang hari, tak usah takut setan lagi dan lekaslah makan
santapan pagi."
Tok-ko Ing menghidangkan makanan yang dibawanya itu di atas meja. Isinya terdiri dari empat
macam masakan lezat dan semangkuk besar bubur.
Nikmat sekali tampaknya Yak-bwe makan.
"Masakan ini kumasak sendiri, kukuatir jangan-jangan kau tidak doyan," kata Tok-ko Ing.
Yak-bwe tertawa dan berkata: "Nona Tok-ko benar-benar serba pandai. Pandai sastera, mahir
ilmu silat dan ahli masak. Entah siapakah di kemudian hari yang beruntung ...."
Wajah Tok-ko Ing merah jengah lalu cepat-cepat menyelanya: "Su toako, apa katamu"!"
Kini barulah Yak-bwe gelagapan dan sadar bahwa dirinya sedang menjalankan rol sebagai
seorang pemuda. Buru-buru ia telan kembali separuh ucapannya yang sedianya berbunyi
menyunting dara jelita yang cerdik cendekia itu. Cepat ia tertawa meringis dan mengalihkan
haluannya. "Mungkin usiamu tak terpaut banyak dari aku, tapi segala apa kau dapat mengerjakan,
sebaliknya aku tak mengerti apa-apa. Terus terang kukatakan, aku sungguh ingin seperti dirimu!"
katanya. Yak-bwe katakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sebagai seorang gadis. Sebaliknya
Tok-ko Ing telah menerimanya lain. Wajah dara itu menjadi lebih merah lagi.
"Celaka! Aku salah omong lagi," Yak-bwe mengeluh dalam hati, "menyaru jadi anak lelaki,
kiranya bukan hal yang mudah."
Buru-buru ia tundukkan kepala dan menghirupi bubur untuk menutupi perubahan kerut
wajahnya. Selama beberapa saat kemudian, barulah ia mendongak lagi. Demi melihat sorot mata
Tok-ko Ing yang ditujukan kepadanya itu tak mengandung kemarahan, legalah perasaan Yak-bwe.
"Su toako, kau masih terlalu merendah diri. Kaulah yang pantas disebut seorang bun-bu-coancay
(pandai sastera dan ilmu silat)," tiba-tiba Tok-ko Ing berkata dengan tersenyum.
Kesempatan itu telah digunakan Yak-bwe untuk mengalihkan persoalan, katanya: "Dulu
hanyalah Li Pai itu saja yang kuketahui suka bergaul dengan kaum hiap-su (orang gagah) dan
mengerti ilmu pedang. Kini setelah melihat Tu Fu mempersembahkan syairnya kepada suci-mu,
barulah terbuka mataku bahwa beliau (Tu Fu) itu seorang ahli pedang juga yang jempol."
"Bagaimana kau ketahui ia seorang ahli?" tanya Tok-ko Ing.
"Kalau tidak masakan ia dapat melukiskan permainan pedang suci-mu itu sedemikian
indahnya?" balas Yak-bwe.
Tok-ko Ing tertawa: "Menurut pendapatku, Tu Fu tak mengerti ilmu pedang tapi tahu
menikmatinya. Ya, memang begitulah."
"Tahu menikmati, itulah juga seorang ahli," sahut Yak-bwe.
"Su-toako, kenal baik aku dengan Toan Khik-sia?" tiba-tiba Tok-ko Ing mengajukan pertanyaan.
Jantung Yak-bwe berdetak keras dan tanpa terasa wajahnya bersemu merah. Sahutnya: "Tak
begitu akrab. Mengapa kau tanyakan hal itu?"
"Tadi ketika kau katakan bahwa Li Pai itu gemar bergaul dengan kaum hiap-su, teringatlah aku.
Li Pai dengan Toan Kui-ciang tayhiap itu mempunyai hubungan yang karib sekali. Rasanya kau
tentu sudah mengetahui hal itu. Sayang Toan tayhiap itu siang-siang sudah menutup mata hingga
kita dari angkatan muda ini tak sempat lagi untuk menjumpainya. Entah sampai dimanakah
kesaktian ilmu pedang dari tokoh yang pernah disanjung oleh penyair Li Pai itu?"
Belum Yak-bwe menyahut, Tok-ko Ing sudah melanjutkan kata-katanya pula: "Kabarnya ilmu
pedang dari Toan Khik-sia itu lebih lihay lagi dari ayahnya. Pernahkah kau menyaksikannya?"
Mendengar Toan Khik-sia dipuji-puji, diam-diam Yak-bwe girang dalam hatinya. Tapi purapura
ia bersikap dingin dalam memberi jawaban. "Mungkin begitulah, tapi aku belum pernah
menyaksikannya."
Diam-diam heran Tok-ko Ing dibuatnya, pikirnya: "Menilik gelagatnya, mungkin pergaulannya
dengan Toan Khik-sia itu hanya biasa saja. Ini aneh juga, biasanya peribahasa mengatakan 'warna
itu tentu mencari warna'. Tapi rupanya hal itu tak berlaku baginya. Ia tinggal di satu markas
dengan Toan Khik-sia, tapi mengapa tak mau mencari kesempatan untuk bergaul rapat?"
Dalam menimang begitu, dilihatnya pintu kamar dari engkohnya (Tok-ko U) yang berada di
sebelah muka sudah terbuka. Dan masuklah Tok-ko U dengan tertawa-tawa: "Moaymoay, kiranya
kau sudah lebih pagi datang kemari."
"Siapa yang mau meniru kemalasanmu" Hari sudah begini siang kau masih dekam di
pembaringan. Sikap begitu berarti tak mempedulikan tetamu," Tok-ko Ing jebikan bibirnya.
"Mempunyai seorang adik rajin seperti kau, masakan aku masih perlu membanting tulang?"
Tok-ko U membantah disertai tertawa.
Mendengar dalam nada ketawa engkohnya itu mengandung sesuatu yang dalam artinya, tanpa
terasa berdebarlah hati Tok-ko Ing.
"Bagaimana Su toako, apa sudah baikan?" tanya Tok-ko U.
Yak-bwe mengiakan: "Ya, sudah banyak baik. Lihat, aku sudah makan begini banyak."
"Ya, sekarang bolehlah anak panah itu dicabut. Ing-moay, kau cermat dan tangkas. Mencabut
panah di lengan Su toako nanti lagi-lagi mesti minta tolong padamu," kata Tok-ko U.
Tok-ko Ing tahu bahwa sang engkoh memang sengaja supaya ia bergaul rapat dengan 'pemuda
cakap' itu. Iapun sungkan menolaknya: "Koko, kau memang cari enak saja, segala apa suruh aku
yang mengerjakan. Baiklah, tapi kaupun harus bekerja sedikit. Harap kau sediakan obat-obat yang
akan dipakai."
"Siang-siang aku sudah menyediakannya," sahut Tok-ko U.
Yak-bwe merasa tak enak hatinya: "Nona Tok-ko, aku sungguh banyak merepoti kau saja."
Tok-ko Ing tertawa: "Su toako, aku hanya bergurau dengan koko, harap kau jangan menaruh di
hati. Kau adalah sahabat baik dari koko, kau terluka dan sudah seharusnya aku merawati."
"Ing-moay, kau seharusnya berterima kasih juga kepadaku," Tok-ko U menggoda.
"Terima kasih" Jangan ngaco!" teriak Tok-ko Ing.
"Ya, terima kasih karena kubawa Su toako kemari. Kau belajar pedang pada suci-mu, tetapi
selama ini tak ada lain orang yang mengujimu. Su-toako adalah seorang ahli pedang yang jempol,
nanti kau boleh banyak belajar padanya," kata Tok-ko U.
Bermula Tok-ko Ing kuatir kalau sang koko akan menggodanya lebih lanjut, tapi mendengar
keterangan itu, ia bergirang hati. Dengan hal itu dapatlah ia lebih banyak mendekati Yak-bwe.
"Ya, benar, memang akupun mempunyai hasrat begitu. Mudah-mudahan Su-toako lekas
sembuh," sahut Tok-ko Ing.
"Kau adalah murid kesayangan Kong-sun toanio, akulah yang selayaknya mengangkat guru
padamu. Mengapa kau begitu sungkan padaku?" kata Yak-bwe.
"Ai, janganlah kalian berdua saling sungkan. Begitu nanti Su-toako sudah sembuh, kalian boleh
saling uji kepandaian, agar aku pun dapat menikmati," Tok-ko U menengahi.
Walaupun kurang pengalaman, namun Yak-bwe tahu juga akan gelagat, sikap dan ucapan orang.
Diam-diam ia geli dalam hati: "Agaknya nona ini ada maksud kepadaku. Engkohnyapun setuju,
malah mendorong. Tapi sayang, mereka salah alamat."
Yak-bwe kuatir kalau sampai rahasianya ketahuan oleh kedua kakak beradik itu. Tapi setelah
mendengar pembicaraan kedua saudara itu, ia merasa lega. Walaupun geli, tapi ia merasa terhibur
juga. Begitulah dengan hati-hati sekali Tok-ko Ing mulai mencabut panah yang mengeram di lengan
Yak-bwe. Karena kepalanya menunduk, rambut si dara pun terurai jatuh ke muka Yak-bwe. Begitu
dekat sehingga keduanya sama mendengarkan denyut napas masing-masing. Pipi si dara makin
merah dan berbisiklah ia: "Sakitkah, Su-toako?"
"Tidak, terima kasih," sahut Yak-bwe.
Tok-ko Ing merasa bahagia. Ia mempunyai perasaan yang sukar dilukiskan. Padahal pujian
Yak-bwe itu bukan karena sungkan, melainkan benar-benar Tok-ko Ing itu seorang dara yang
cekatan. Setelah mencabut panah lantas melumuri obat. Yak-bwe tak merasa sakit dan amat
berterima kasih kepada dara itu.
Sejak itu, berhari-hari boleh dikata Tok-ko Ing tak pernah berpisah dengan Yak-bwe.
Sebaliknya Tok-ko U jarang kelihatan. Hubungan Yak-bwe dengan Tok-ko Ing makin akrab. Luka
Yak-bwe itu sebenarnya memang tak berat. Mendapat perawatan istimewa dari Tok-ko Ing,
sembuhnya amat cepat.
Pada suatu hari ketika bangun, Yak-bwe coba gerak-gerakan lengannya. Ternyata sudah pulih
seperti sediakala. Tok-ko Ing merasa girang, serunya: "Su toako, dalam beberapa hari ini tentu kau
merasa kegerahan. Mari, kuantar jalan-jalan ke kebun bunga. Ya, Su-toako, nanti kau boleh
memberi petunjuk tentang ilmu pedang padaku."
Kala itu adalah pada permulaan musim semi. Ketika Yak-bwe ikut Tok-ko Ing ke dalam kebun
bunga, dilihatnya bunga-bunga sama mekar. Taman di situ tak seberapa besar, tapi diatur indah
sekali. Di sana sini tampak batu-batu berjajar, pagoda tempat peristirahatan dan jalanan-jalanan
yang melingkar-lingkar. Setiap kuntum bunga, setiap batang pohon dan setiap gunduk baru diatur
dengan sangat serasi. Pabila orang berjalan-jalan di dalam taman tampaknya mirip dengan orang di
dalam lukisan. Sudah beberapa hari Yak-bwe terkurung di dalam kamar. Berada di dalam taman yang seindah
itu, seketika longgarlah perasaannya, semangatnya nyaman segar. Dasar Yak-bwe itu seorang nona
rupawan, dalam keadaan riang gembira, ia kelihatan makin cantik lagi. Ketika keduanya lewat di
empang teratai, permukaan empang itu muncul sepasang muda mudi yang cakap. Tok-ko Ing
mengawasi 'lukisan' yang terpantul dalam permukaan air itu, lalu berpaling memandang 'pemuda'
cakap yang berada di dampingnya itu. Pikirannya melayang-layang: "Ia benar-benar seorang
pemuda yang serba cakap. Tak nyana bahwa dalam dunia loklim terdapat seorang tokoh semacam
dia. Poa An yang disanjung orang sebagai tokoh Arjuna, rasanya belum tentu lebih tampan seperti
dia." "Nona Tok-ko, apakah yang sedang kaupikirkan?" tiba-tiba Yak-bwe menegur sambil tertawa.
Tok-ko Ing tersentak kaget dan buru-buru menyahut: "Aku menimbang-nimbang akan minta
kau mengajarkan ilmu pedang, entah maukah kau?"
"Mana aku berani unjuk kepandaian jelek. Lebih baik nona yang bermain dulu," kata Yak-bwe.
"Baiklah, karena kau baru sembuh, bolehlah beristirahat dulu, biar aku yang memulai," Tok-ko
Ing mengiakan. Setelah mencabut pedang, nona itu memutar tubuh. Sinar pedangnya tampak mengembang
seperti untaian tali. Selanjutnya waktu pedang tergentak, mirip dengan gerak burung kuntul yang
tersentak kaget, lincahnya seperti naga bermain. Gerakannya menimbulkan angin dingin yang
menderu-deru hingga bunga-bunga sama bertaburan jatuh terbawanya. Benar-benar hebat, indah
dan mempesonakan.
Yak-bwe bertepuk tangan memujinya dan mulutnya segera mendeklamasikan syair Tu Fu yang
menyanjung puji keindahan ilmu pedang Li Sip-ji Nio itu ....
Tok-ko Ing menghentikan permainannya. Dengan setengah girang setengah aleman, ia berseru:
"Ilmu pedang suci-ku mungkin dapat disejajarkan dengan syair pujian itu. Tetapi aku, mana bisa
memadai!" "Aku belum pernah melihat permainan pedang suci-mu. Tapi menyaksikan permainanmu tadi
saja, mataku sudah berkunang-kunang dan semangatku serasa terbang!" Yak-bwe tertawa.
"Mulutmu itu hanya pandai merangkai kata-kata untuk menyenangkan hati orang saja. Koko
mengatakan, permainan pedangmu itulah baru tepat disebut sakti. Aku sudah mengunjuk
permainan jelek, masakah kau masih tak mau memberi pelajaran?" Tok-ko Ing mengomel.
Yak-bwe juga terpikat semangatnya. Sebenarnya iapun ingin mengunjukkan kepandaiannya.
Katanya: "Sebenarnya tak ingin aku mengunjukkan diri, tapi kuatir mulutmu yang lancip itu akan
berhamburan, maka terpaksa aku akan menuruti juga. Nona Tok-ko, biar kuberi jurus umpan
padamu, tapi harap kau menaruh kasihan."
"Aku mempunyai cara bermain yang baru. Kita masing-masing berdiri tiga tombak jauhnya,
kemudian saling melontarkan serangan. Dengan begitu kita dapat menghindari salah melukai. Kita
boleh keluarkan seluruh kepandaian masing-masing. Nah, bagaimana?" kata Tok-ko Ing.
Yak-bwe tahu kalau nona itu masih menguatirkan dirinya yang baru saja sembuh. Diam-diam
Yak-bwe berterima kasih akan nona yang bijaksana itu.
"Ya, silahkan memulai lebih dulu," katanya.
Sebagai tuan rumah, Tok-ko Ing tak mau sungkan lagi. Segera ia lancarkan jurus giok-li-thosoh
atau bidadari lemparkan tali. Untuk itu Yak-bwe menyambut dengan jurus tho-thau-po-li atau
lemparkan buah tho membalas buah peer.
"Ah, Su-toako, kau terlalu banyak peradatan. Jangan sungkan-sungkanlah," seru Tok-ko Ing
tertawa. Memang jurus tho-thau-po-li itu, mengandung maksud menghaturkan terima kasih atas
kebaikan tuan rumah dan menyatakan hendak membalas budi.
Kini Tok-ko Ing kisarkan langkah dan menderu-derulah pedangnya. Sikapnya itu mirip seperti
orang yang bertempur secara merapat dan jurus yang dilancarkan itu adalah jurus serangan yang
lihay untuk melukai musuh.
"Ganas betul!" seru Yak-bwe dengan tertawa. Ia pun mengisar ke samping dan bolangbalingkan
pedangnya. Sekali sang ujung kaki berputar, ia kembali ke tempatnya yang semula.
"Bagus, indah benar tangkisanmu itu!" Tok-ko Ing berteriak memuji.
Keduanya dengan tetap terpisah pada jarak tiga tombak, saling menyerang. Keduanya sama
mengeluarkan jurus-jurus permainan pedang yang istimewa. Sekalipun terpisah jauh, tapi mereka
sama bermain dengan sungguh-sungguh, seperti orang yang bertempur mati-matian. Dan justeru
karena terpisah itu, keindahan gerak permainan mereka dapat kelihatan dengan jelas.
Dalam sekejap saja mereka sudah bertempur sampai 30-an jurus. Yak-bwe merasa heran demi
melihat wajah Tok-ko Ing seperti orang melamun. Pikirnya: "Saat ini sudah menginjak detik-detik
yang meruncing. Mengapa ia tak pusatkan perhatian dan seperti orang melamun?"
"Awas serangan ini!" cepat ia membentak. Pedang ceng-kong-kiam diguratkan ke udara.
Begitu ujungnya tergetar, sinar pedang segera berubah menjadi berkuntum-kuntum rangkaian
bunga. Jurus itu disebut hud-kong-boh-ciau (sinar Budha memancar luas). Jurus ini merupakan
jurus yang paling lihay dari ajaran ilmu pedang Bian Hui sin-ni.
Tok-ko Ing tersentak kaget. Ia mundur sampai tiga langkah. Tiba-tiba ia berseru: "Hati-hati,
serangan ini!"
Tubuhnya melambung ke udara, pedangnya berkembang menjadi sebuah lingkaran untuk
mengurung tubuh Yak-bwe.
"Ilmu pedang yang indah!" mulut Yak-bwe meluncur pujian, tubuhnya pun berdiri tegak. Ia
ganti permainannya dengan jurus ciau-thian-it-cut-hiang atau menghadap ke langit dengan sebatang
dupa. Untuk itu tubuhnyapun turut berputar-putar.
Tok-ko Ing melayang ke tanah lagi. Kini keduanya tegak berhadapan. Pedang masing-masing
saling ditudingkan tapi tidak melanjutkan serangannya lagi. Kiranya sampai pada babak itu, apabila
dalam pertempuran sesungguhnya, pedang mereka tentu saling menempel dan di situlah
pertandingan adu lwekang dimulai. Barang siapa yang lwekangnya lebih unggul, dialah yang
menang. Sebaliknya barang siapa yang coba berusaha merubah gerakannya, ia tentu akan
menderita. "Ilmu pedang Kong-sun toanio, benar-benar tak bernama kosong. Aku sungguh kagum dan rela
menyerah kalah," kata Yak-bwe.
"Mana bisa. Kau seorang lelaki, dalam hal tenaga tentu lebih kuat dari aku. Jika dalam
pertempuran sesungguhnya, kalau sudah mencapai babak seperti ini, akulah yang seharusnya
kalah," sahut Tok-ko Ing.
Keduanya segera sama menyimpan pedangnya. Tiba-tiba Tok-ko Ing bertanya: "Su toako,
siapakah suhumu itu?"
Yak-bwe terkesiap, sahutnya: "Pelajaranku tak becus, malu aku untuk mengatakan nama
suhuku." "Su toako, ada sesuatu hal yang menjadi keherananku," kata Tok-ko Ing.
"Dalam hal apa?" tanya Yak-bwe.
"Konon kabarnya Biau Hui sin-ni itu tak mau menerima murid lelaki, mengapa beliau mau
melanggar pantangan itu?" kata Tok-ko Ing.
Diam-diam Yak-bwe terperanjat sekali. Kini baru ia insyaf bahwa Tok-ko Ing telah mengetahui
aliran sumber perguruannya. Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri: "Ah, benera-benar limbung
aku ini. Ia adalah anak murid Kong-sun toanio, sudah tentu ahli dalam ilmu pedang. Mengapa tadi
aku sampai terlepas menggunakan permainan pedang sehingga ia dapat mengetahui?"
Setelah memutar otak sebentar, dengan tertawa meringis, ia berkata: "Nona Tok-ko, matamu itu
sungguh jeli sekali. Kalau begitu, mungkin sekali permainan pedangku tadi adalah berasal dari
ajaran Biau Hui sin-ni."
Keheranan Tok-ko Ing makin menjadi-jadi. Tanyanya: "Aneh sekali ucapanmu itu. Masakan
kau tak tahu sendiri ilmu pedang apa yang kau mainkan tadi?"
Yak-bwe tetap tertawa: "Ya, terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa ilmu pedangku itu
kuperoleh dari seorang wanita, tetapi bukan Biau Hui sin-ni."
"Siapakah wanita itu?" desak si dara.
"Taci misanku yang bernama Sip In-nio," jawab Yak-bwe. Dalam hal ini ia memang tak
berdusta seratus persen. In-nio lebih tua dua tahun darinya dan lebih dahulu yang belajar pada Biau
Hui sin-ni. Ilmu pedang Yak-bwe sebagian besar memang In-nio yang mengajarkan.
Karena In-nio sering berkelana di dunia kangouw maka meskipun belum pernah berjumpa tapi
Tok-ko Ing mendengar juga akan namanya. Tahu ia pula bahwa In-nio itu adalah anak murid Biau
Hui sin-ni. "Oh, kiranya kau ini adik misan dari Sip In-nio. Ah, tak heran kiranya," kata dara itu dengan
tiba-tiba nadanya berubah rawan, hatinya kecewa dan sikapnya berubah tak wajar.
"Aku adik misannya yang jauh urut-urutannya. Sejak masih kecil ayah bundaku meninggal,
maka aku lantas tinggal pada keluarganya belajar ilmu surat. Setempo piau-ci (taci misan) itu
mengajak aku berlatih ilmu pedang. Aku menyaksikan dari samping saja, tapi lama kelamaan


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akupun bisa juga. Pernah piauci mengatakan bahwa pelajarannya ilmu pedang itu didapatnya dari
seorang rahib tua. Tetapi aku tak tahu kalau rahib tua itu ternyata Biau Hui sin-ni adanya," Yakbwe
memberi penjelasan.
Dingin-dingin si dara berkata: "Baik benar piauci-mu itu kepadamu. Ia sampai berani
mengajarkan ilmu pedang padamu di luar tahu suhunya. Kabarnya piauci-mu itu adalah puteri dari
seorang ciangkun. Tentunya kau enak tinggal di tempat kediamannya, mengapa tega
meninggalkannya?"
"Aku tak ingin selama hidupku menjadi benalu (mengandalkan orang). Itulah makanya aku
pergi dari rumah keluarga Sip dan berkelana. Tak berapa lama aku berkenalan dengan thaubak dari
Kim-ke-nia. Kutahu bahwa pemimpin Kim-ke-nia ialah Thiat-mo-lek itu bukan penyamun biasa.
Lalu aku masuk ke dalam perserikatan mereka," kata Yak-bwe.
Masih dengan nada tawar, Tok-ko Ing mengoloknya: "Kau mempunyai cita-cita tinggi, tapi
tidakkah dengan berbuat begitu berarti kau telah mengabaikan kebaikan piauci-mu?"
Sebenarnya Yak-bwe hendak menggodanya lebih lanjut yaitu akan mengatakan sekali bahwa ia
sudah bertunangan dengan In-nio tapi demi melihat mata si dara mulai mengembeng air mata, ya,
tinggal tunggu saatnya saja tentu akan "hujan" (menangis), ia merasa tak sampai hati. Pikirnya:
"Biarlah nanti kalau diam-diam kupergi dari sini, kutinggalkan surat untuk menjelaskan diriku yang
asli. Tapi kalau sekarang keuberitahukan siapa diriku ini, rasanya tak leluasa bagiku."
"Ah, harap nona jangan memperolok diriku. Aku dengan piauci adalah ibarat loyang dengan
mas. Aku hanya seorang kacung, ia seorang puteri ciangkun. Mana aku layak dituduh
'mengabaikan kebaikannya'?" katanya.
Dengan bantahan itu, hati si dara agak longgar, katanya: "Sewaktu masih hidup, suhuku itu baik
sekali hubungannya dengan Biau Hui sin-ni. Dua jurus paling akhir yang kau mainkan tadi, adalah
jurus-jurus yang dikeluarkan ketika mereka berdua saling menguji kepandaian. Hal itu kudengar
dari cerita suci-ku. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Biau Hui sin-ni."
"Oh, makanya tadi ia tampak melamun, kiranya aku dengan suhunya masih ada sedikit ikatan,"
demikian pikir Yak-bwe.
Tok-ko Ing berkata pula: "Su toako, jika kelak ada kesempatan, ingin benar aku berkenalan
dengan piauci-mu itu. Ah, betapakah senangnya melihat seorang jelita yang memiliki ilmu pedang
sakti!" Dalam berkata-kata itu nada si dara terdengar risau, beberapa butir air mata menetes turun. Yakbwe
tahu bahwa dara itu mengandung hati cemburu. Diam-diam ia merasa geli sendiri.
Tiba-tiba seorang bujang perempuan datang. Setelah memberi hormat kepada Tok-ko Ing dan
Yak-bwe, lalu melapor: "Ada seorang tetamu datang. Kongcu minta siocia dan Su siangkong suka
keluar menyambutnya."
Diam-diam Yak-bwe merasa heran. Dan Tok-ko Ing lantas menanyakan siapakah tetamu itu.
"Seorang lelaki yang bertubuh tegar. Kongcu memanggilnya Lu tayhiap," sahut si bujang.
"Ai, tak peduli siapa, asal orang Kangouw tentu disebut tayhiap atau siauhiap," Tok-ko Ing
tertawa, "Su-toako, mari kita melihat-lihat 'tayhiap' itu bagaimana orangnya."
"Kalau ia (Tok-ko U) suruh adiknya turut menyambut tetamunya, itu sih tak mengapa. Tapi
mengapa juga minta aku ikut menyambutnya. Rasanya aku tak kenal dengan orang she Lu itu,"
pikir Yak-bwe. Rupanya Tok-ko Ing tahu apa yang dipikirkan Yak-bwe. Ujarnya: "Koko itu seorang yang
cermat. Kalau ia minta kau keluar menemui tetamu itu, rasanya tentu tak apa-apa."
Bermula Yak-bwe enggan pergi, tapi mendengar penjelasan si dara itu, ia merasa kalau tak ikut
tentu bisa menimbulkan kecurigaan tuan rumah. Apa boleh buat terpaksa diapun segera ikut.
Di ruangan tetamu tampak Tok-ko U sedang menemani seorang lelaki pertengahan umur.
Begitu tampak Tok-ko Ing dan Yak-bwe datang, buru-buru ia berbangkit.
"Ini adalah tokoh termasyhur di dunia kangouw, Sin-cian-chiu Lu Hong-jan tayhiap. Dan ini
adalah Su Ceng-to toako dan adikku Tok-ko Ing," kata Tok-ko U memperkenalkan mereka satu
sama lain. "Ing-moay, pendekar wanita Lu Hong-chiu yang kau kagumi itu, ialah adik perempuan dari Lu
tayhiap ini," kata Tok-ko U lebih lanjut.
"Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian setinggi itu. Kalau berdua kakak beradik barulah
pantas disebut sepasang pendekar yang dikagumi orang," buru-buru Lu Hong-jun merendah.
"Oh, kiranya Sin-cian-chiu Lu Hong-jun, pantaslah kalau mendapat kehormatan disebut "hiap"
(pendekar). Hanya saja sorot matanya itu sungguh memuakkan orang," diam-diam Tok-ko Ing
membatin. Ya, memang tak salah si dara mengatakan sang tetamu tidak sopan. Tapi siapakah orangnya
yang tak terkesiap melihat kecantikan dara itu" Pun tak terkecuali dengan Sin-cian-chiu Lu Hongjun.
Sampai dua kali ia memandang lekat-lekat pada Tok-ko Ing. Waktu si dara melirik kepadanya,
Anak Harimau 19 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Pendekar Bodoh 15
^