Pencarian

Tusuk Kondai Pusaka 7

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 7


pahlawan wanita. Sayang seorang nona begitu, rela menjadi pemberontak."
Selagi berpikir begitu, tiba-tiba didengarnya ada suara berkeresekan pelahan sekali. Obat bius
yang dihirup Khik-sia masih belum hilang khasiatnya. Tenaganya lenyap tapi pendengarannya
masih tajam. Jika lain orang tentu sukar menangkap suara berkeresekan yang sedemikian
pelahannya itu.
"siapakah orang yang lihay gin-kangnya ini" Menilik Su Tiau-ing itu sebagai seorang kongcu
(puteri0, tentulah orang itu anak buahnya. Tapi jika benar orang sebawahannya, mengapa berani
mencuri dengar. Hm, apakah musuhnya ?" Khik-sia menimang-nimang dalam hati. Tapi ditunggu
sampai sekian jenak, tiada terdengar suara apa-apa lagi.
Rupanya Tiau-ing merasa juga. Tiba-tiba ia berkata: "Biarlah kubukakan jendela, ya?"
Cepat tangannya mendorong daun jendela, ternyata di luar tak kelihatan suatu apa. Tapi dengan
telinganya yang tajam itu, dapatlah Khik-sia menangkap bahwa suara itu hilang berbareng pada saat
Tiau-ing membuka jendela. Orang itu tentu sudah kabur.
Diam-diam Khik-sia terkejut, pikirnya: "Hebat benar gin-kang orang itu. Apakah toa-suhengku
yang datang?"
Tiau-ing berputar tubuh lagi dan menghela napas pelahan-lahan. Ujarnya: "Toan kongcu, aku
tak mau memaksa kau, tapi juga tak dapat membebaskan kau. Apakah kau membenci padaku?"
Dingin-dingin Khik-sia menjawab: "Aku adalah orang tawananmu. Hendak kau apakan,
terserah saja. Masakah aku dapat membantah."
"Toan kongcu, jika kulepaskan kau pergi bagaimana sikapmu kepadaku?" tiba-tiba nona itu
bertanya. "Sebenarnya kita ini berlainan golongan. Jika kau tak membikin susah padaku, sudah tentu aku
takkan bikin perhitungan padamu. Begitu kutinggalkan tempat ini, semua ganjelan selama inipun
takkan kutarik panjang," sahut Khik-sia.
"Kalau begitu, biarlah kulepaskan kau. Apakah kau hanya meluluskan takkan membenci aku
saja?" kata Tiau-ing.
"Kau masih menghendaki apa lagi" Apakah minta aku bertekuk lutut minta maaf padamu?"
Tiau-ing kedipkan matanya kepada anak muda itu sejenak, lalu tertawa: "Ah, mana aku berani
menerima kehormatan begitu. Sebaliknya, akulah yang hendak mohon belas kasihan padamu."
Khik-sia duga nona itu hendak mengungkat lagi pembicaraan tadi. Buru-buru ia menyahut:
"Seorang laki-laki lebih baik mati dari menyerah. Telah kukatakan tadi, baik kau lepaskan aku atau
tidak, aku tetap tak dapat membantu padamu. Nah, kiranya sudah cukup, terserah bagaimana kau
hendak memutuskan."
Tiau-ing kerutkan alisnya yang bagus, seperti ada yang dipikirkan. Lewat beberapa jenak
kemudian, tiba-tiba ia menghela napas lagi, katanya: "Toan kongcu, sebenarnya ingin sekali
kulepaskan kau, tapi sayang aku tak kuasa melakukan seluruhnya. Baiklah, kau pikirkan lagi saja
dulu, aku hendak pergi."
Pikiran Khik-sia bekerja, tetapi bukan karena memikirkan kata-kata Su Tiau-ing tadi, melainkan
pengintai yang memiliki ilmu ginkang hebat itu. Bermula ia duga kalau toa-suhengnya, Gonggong-
ji, yang datang itu. Kalau benar ia, mengapa takut" Toh tak ada orang yang mampu
menghalanginya" Dan mengapa sampai sekarang tak muncul lagi" Namun bila pengintai itu
orangnya Su Tiau-ing sendiri, pun tak masuk akal juga. Mana ada orang sebawahan berani mencuri
dengar pembicaraan 'tuan puterinya'" Memikir bolak-balik, tetap Khik-sia tak menemukan
jawabannya. Seorang budak perempuan datang dengan membawa talam yang berisi semangkuk besar bubur
dan beberapa mangkuk masakan. "Kuatir kau lapar, kongcu suruh mengantarkan hidangan ini
untukmu," kata budak itu.
Pikir Khik-sia: "Jika ia hendak mencelakai aku, toh tak perlu memberi racun dalam makanan."
Khik-sia sudah tak mengacuhkan mati hidupnya lagi. Terus ia gasak hidangan itu sampai habis.
Setelah budak itu pergi, Khik-sia duduk sendirian di dalam kamar situ. Sampai sekian lama tak
kelihatan orang datang. Timbullah ingatannya: "Daripada menunggu pertolongan orang, lebih baik
berusaha sendiri."
Ia lantas duduk bersila menyalurkan lwekangnya. Semangatnya sudah agak baik, tetapi hawa
murni (cin-gi) masih sukar dipusatkan. Lewat beberapa saat, hawa cin-gi itu mulai bergerak tapi
pun hanya terbatas sampai ke arah tangan kakinya saja. Untuk melancarkan ilmu gin-kangnya,
itulah masih sukar.
Tiba-tiba di luar terdengar suara orang berbicara. Suara orang lelaki berkata: "Apakah ia sudah
menyanggupi?"
"Aku sedang membujuknya," sahut suara seorang anak perempuan yang bukan lain ialah Su
Tiau-ing. Lelaki itu tertawa dingin: "Moay-moay, lebih baik jangan buang tenaga. Memang sudah
kuduga ia tentu menolak."
"Tidak, beri ia waktu dua hari lagilah," bantah Tiau-ing.
Kata lelaki itu: "Apa yang kau bicarakan padanya, telah kudengar semua. Kalau toh ia
menolak, kau bisa berbuat apa" Hm, apakahh kau hendak gunakan siasat 'memikat dengan
kecantikan'?"
Marahlah Tiau-ing: "Koko, jangan ngaco belo! Kau anggap aku ini orang macam apa?"
Khik-sia tahu kalau kedua orang yang bicara itu tentulah Su Tiau-ing dan engkohnya Su Tiau-gi.
Pikirnya: "Benar-benar pribadi Su Tiau-gi itu hina dina. Meskipun Su Tiau-ing itu bukan tergolong
kaum Ceng-pay (lurus), tapi ia lebih baik dari engkohnya."
Tiba-tiba ia teringat sesuatu: "Hai, bukankah tadi Tiau-ing mengatakan kalau engkohnya
menganggap aku dapat ditundukkan" Tetapi barusan Su Tiau-gi mengatakan kalau ia tak
menganggap begitu. Habis siapakah yang menangkap aku kemari dan hendak menggunakan aku
sebagai orang perantara itu?"
Baru berpikir begitu, terdengarlah Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak, serunya: "Moaymoay, kalau
begitu nyata kau tak jatuh hati kepada badak itu?"
"Aku hanya hendak memakainya sebagai pembantu kita, mengapa kau melantur begitu rupa?"
Tiau-ing bersungut-sungut.
"Badak itu berkepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Thiat-mo-lek. Asal ia mau
membantu kita, kelak kau menikah padanyapun tiada jeleknya," kata Su Tiau-gi.
Tiau-ing makin meradang: "Koko, makin lama kata-katamu itu makin rendah. Jika kau tetap
bicara begitu, aku tak mau mempedulikan kau lagi."
kembali Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak: "Baiklah, sekarang aku hendak bicara sungguhsungguh.
Dengarlah: toh budak itu menolak membantu kita, serta kaupun tak ada minat menikah
padanya, perlu apa kau menahannya" Lebih baik kutungi saja kepalanya, habis perkara, agar
jangan sampai menerbitkan bahaya di kemudian hari."
"Apa" Kau hendak membunuhnya?" seru Tiau-ing.
Su Tiau-gi tertawa mengejek: "Apa" Kau hendak melepaskannya" Tahukah kau bahwa
'menangkap harimau itu mudah, tapi melepaskannya sukar'?"
"Kasih tempo dua hari lagi, biar kunasihatinya lagi," tetap Tiau-ing meminta waktu.
"Tidak, budak itu berkepandaian tinggi, siapa yang berani menjamin ia tak dapat lolos" Apalagi
.... ha, ha, ha, ha, hm!"
"Apalagi bagaimana" Apakah tidak mempercayai aku?" Tiau-ing tak mau mundur.
"Ya, benar, memang aku tak percaya padamu. Tahu kalau ia tak mau berpihak kita, mengapa
kau tetap keberatan untuk membunuhnya," jawab Su Tiau-gi.
Gemetarlah suara Tiau-ing saking gusarnya: "Kau tak percaya padaku, mengapa tak kau bunuh
sekali aku ini!"
Su Tiau-gi tertawa mengejek: "Baik, jika kau tak mengijinkan ia kubunuh, hm, jangan kira aku
tak berani membunuhmu!"
Tiau-ing balas tertawa menghina: "Ayah saja tega kau bunuh, apalagi membunuh aku. Tapi
kukuatir kalau hendak membunuh aku, tak semudah membunuh ayah!"
Su Tiau-gi menggembor keras: "Kau hendak menjadi anak perempuan yang berbakti kepada
setan tua itu, bukan" Lihat golokku!"
Cret, dan berteriaklah Su Tiau-gi dengan sengitnya: "Pengawal, kemarilah!"
Kiranya Tiau-ing lebih cepat mencabut senjatanya dari sang engkoh. Pula ilmu silatnya lebih
tinggi dari Tiau-gi, pun ia turun tangan lebih dulu. Sekali tusuk ia dapat melukai engkohnya.
Mendengar kakak beradik itu saling bertengkar, diam-diam Khik-sia mengeluh. Tiba-tiba saat
itu jendela terbuka dan sesosok tubuh loncat masuk.
"Toan Khik-sia, selama ini kau selalu tak memandang mata pada kau ji-suhengmu. Sekarang
jangan sesalkan aku seorang kejam!" kedengaran orang itu tertawa dingin.
Orang itu bukan lain ialah Ceng-ceng-ji. Cepat ia menyingkap kelambu terus membacok Khiksia.
Kini barulah Khik-sia tersadar siapa yang mencuri dengar tadi. Tentulah Ceng-ceng-ji itu
memberitahukan semua kepada Su Tiau-gi. Tapi pengertian Khik-sia itu sudah kasip karena saat itu
pedang Ceng-ceng-ji sudah mengancam ke arah dadanya.
Tring .... Ceng-ceng-ji rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pedangnya jatuh ke lantai.
Kiranya saat itu Khik-sia sudah dapat menggerakkan lwekangnya, walaupun baru 2-3 bagian saja.
Dalam menghadapi saat-saat yang berbahaya itu, ia kerahkan seadanya tenaga ke arah ujung jari
dan dengan sekuatnya ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-sin-thong. Sekali menutuk dengan jari
tengahnya, dapatlah ia membuat tangan Ceng-ceng-ji kesemutan.
Berhasilnya tutukan Khik-sia itu, benar-benar secara kebetulan sekali. Pertama, karena Cengceng-
ji kelewat bernafsu sekali. Ia kira Khik-sia sudah takmampu berkutik, apalagi balas
menyerang. Kedua kalinya karena posisi Khik-sia itu amat menguntungkan. Sebenarnya dengan
berbaring di atas ranjang itu, posisi Khik-sia amat berbahaya. Tapi dengan kecerdikannya, ia dapat
merubah posisi yang berbahaya menjadi menguntungkan baginya.
Kepandaian Ceng-ceng-ji hanya terpaut tak banyak dengan Khik-sia. Dalam keadaan seperti
saat itu, Khik-sia pasti kalah melawan ji-suhengnya itu. Tapi ada beberapa hal yang
menguntungkan bagi Khik-sia. Kesatu; Ceng-ceng-ji datang dari tempat yang terang dan melongok
ke dalam pembaringan yang gelap. Khik-sia tahu gerakan tangannya, sebaliknya Ceng-ceng-ji tak
tahu akan gerakan Khik-sia. Inilah faktor-faktor yang menguntungkan.
Kejut Ceng-ceng-ji bukan kepalang, pikirnya: "Jangan-jangan ia sudah mendapat obat penawar,
dan sengaja memancing aku untuk dibokongnya, ha?"
Karena kepandaiannya tinggi, gerakannya pun gesit sekali. Begitu mendapat tutukan tadi,
secara otomatis ia sudah lantas loncat ke belakang untuk bersiap. Tapi hal itu justeru suatu
keuntungan bagi Khik-sia. Coba Ceng-ceng-ji menghantamnya lagi, Khik-sia tentu sudah binasa.
Celakanya Ceng-ceng-ji sudah pecah nyalinya.
Barulah ketika mundur beberapa langkah tapi tak nampak Khik-sia turun dari pembaringan,
mulailah timbullah kecurigaannya. Tiba-tiba terdengar aum senjata rahasia, melayang di udara.
Ternyata Su Tiau-ing telah menimpuk tiga batang passer sembari mendamprat: "Ceng-ceng-ji, besar
sekali nyalimu berani masuk ke dalam kamarku melakukan pembunuhan!"
Makian nona itu malah menimbulkan perubahan pada dugaan Ceng-ceng-ji, pikirnya: "Jika Su
Tiau-ing telah memberikan obat penawar padanya, masakan ia begitu gugup hendak menolongnya."
Sudah tentu ketiga batang passer Tiau-ing itu tak dapat mengenai Ceng-ceng-ji. Senjata itu
dapat dikebas jatuh olehnya semua.
"Maaf, kongcu. Suteku bersembunyi di dalam kamarmu, biar kuberi pelajaran, maka terpaksa
aku lancang masuk ke kamarmu," serunya dengan tertawa.
Mendengar suara Ceng-ceng-ji, Su Tiau-gi segera meneriakinya: "Ceng-ceng-ji, bunuh saja
budak perempuan hina dan orang itu. Aku takkan mempersalahkan kau!"
Hubungan Ceng-ceng-ji dengan keluarga Su kakak-beradik itu, hanyalah berdasarkan saling
menguntungkan saja. Sudah tentu ia tak begitu menaruh penghormatan terhadap 'kaisar' palsu dan
'tuan puteri' tiruan itu. Maka tanpa mendapat perintah Su Tiau-gi sekalipun, habis memukul jatuh
Su Tiau-ing, ia lantas menyerbu ke tempat Khik-sia lagi.
Sekalipun Su Tiau-ing tak segesit Ceng-ceng-ji, namun kepandaian nona itu cukup lihay.
Begitupun ketiga passernya itu tentu tak dapat melukai Ceng-ceng-ji, tapi sekurang-kurangnya
dapat menghalanginya untuk beberapa jenak. Dan dalam beberapa jenak itu, cukuplah sudah bagi
Su Tiau-ing untuk menerobos masuk. Baru Ceng-ceng-ji tiba di muka ranjang, punggungnya sudah
disambar angin tabasan golok kim-to. Ceng-ceng-ji balikkan tangannya, dengan jurus wan-kongsia-
tiau, ia tutuk jalan darah kiok-ti-hiat di lengan Tiau-ing. Su Tiau-ing malah merangsang maju
dan tabaskan goloknya di tangan kiri.
Serangan itu dilakukan dengan keras. Nona itu melakukan pertempuran nekad, biar dua-duanya
menderita luka. Jika Ceng-ceng-ji tak menarik pulang tangannya, paling banyak ia hanya dapat
membikin invalid sebelah tangan Tiau-ing. Tapi dengan berbuat begitu, sebelah tangannyapun pasti
kena tertabas kutung oleh golok Su Tiau-ing. Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak mau kehilangan sebuah
lengannya. Memang gerakannya pun luar biasa gesitnya. Dengan miringkan tubuh ia menggelincir
ke samping. Dengan begitu tabasan Su Tiau-ing itu menemui tempat kosong.
Tapi memang maksud Su Tiau-ing hanyalah hendak memaksa lawan menyingkir saja. Begitu
Ceng-ceng-ji menghindar ke samping, Su Tiau-ing cepat menduduki tempat Ceng-ceng-ji berdiri
tadi, yakni di depan ranjang Khik-sia. Di situ cepat ia merogoh keluar sebuah bungkusan. Bluk,
terus dilemparkan ke dalam ranjang, serunya: "Ini obat penawar, lekas minumlah! Sekarang
kutolong kau, nanti aku yang akan minta tolong padamu!"
Ceng-ceng-ji terkejut. Buru-buru ia hendak merebutnya, tapi Su Tiau-ing cepat lancarkan tiga
kali tabasan, tiap serangannya dilancarkan dengan nekad dan dahsyat. Sepasang goloknya berebutrebutan
maju. Belum yang kiri ditarik, yang kanan sudah menyusul maju. Tak seperti permainan
golok tunggal yang harus berganti jurus lebih dulu.
Ceng-ceng-ji gunakan ilmu merebut senjata gong-chiu-jip-peh-jim. Tapi hanya dapat
menghindar dari tertabas saja, dan tak mampu merebut senjata si nona.
Khik-sia mendapat kesempatan minum obat penawar. Seperti oran yang tersadar dari
maboknya, bermula kepalanya pening, sesaat kemudian sudah sadar sama sekali. Biarpun begitu,
lwekangnya masih belum pulih. Dicobanya untuk melakukan pernapasan agar hawa murninya
bergerak. Benar darahnya sudah mulai menyalur, tapi hawa murninya masih belum dapat
dipusatkan. Kiranya memang begitulah jalannya obat penawar itu. Kalau caranya menyalurkan
darah tepat, juga harus menungguh sampai setengah jam, baru bisa pulih tenaganya.
Rupanya tahu juga Su Tiau-ing akan maksud Khik-sia, buru-buru ia meneriaki: "Jangan turun
dari pembaringan dulu. Jika turun, kau hanya akan mengantar jiwa saja. Salurkanlah darahmu
terus!" Sudah tentu Ceng-ceng-ji tahu bagaimana berkerjanya obat penawar itu. Ia makin gugup karena
dalam setengah jam ini ia sudah harus mengalahkan Su Tiau-ing, kalau tidak Khik-sia tentu sudah
bangun. Tapi main gugup, makin celakalah ia. Sepasang golok Su Tiau-ing dimainkan dengan
rapat sekali. Betapapun Ceng-ceng-ji melancarkan serangan yang dahsyat, paling-paling ia hanya
dapat merebut, sebuah golok Tiau-ing tapi berbareng itu iapun tentu menderita luka kena golok si
nona yang satunya.
Sebenarnya jika Ceng-ceng-ji tak gugup, ia boleh gunakan siasat membikin lelah. Untuk
mengalahkan Su Tiau-ing, tak perlu memakan waktu sampai setengah jam. Justeru karena gugup
itu, hampir saja Ceng-ceng-ji kena dilukai Su Tiau-ing. Berulang kali Ceng-ceng-ji terpaksa
menghindar mundur. Dan kesemuanya itu telah menghabiskan waktu yang tidak sedikit.
Tiba-tiba mata Ceng-ceng-ji tertumbuk akan benda yang berkilau-kilauan di lantai. "Ah,
sungguh limbung sekali aku ini. Mengapa lupa akan pedang pusakaku yang jatuh di lantai itu?"
pikirnya menyesali diri sendiri.
Pedang Ceng-ceng-ji itu terpisah tak jauh dari Su Tiau-ing. Nona itu celi sekali matanya. Demi
melihat mata Ceng-ceng-ji tertuju akan pedangnya yang menggeletak di lantai itu, tahulah ia
maksudnya. Baru Ceng-ceng-ji hendak bergerak, ia sudah lantas mendahuluinya menyerang:
"Lihat golok!" Pedang ditendang Su Tiau-ing, mencelat kira-kira setengah meter di depan ranjang.
Dengan gerak kek-cit-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, Ceng-ceng-ji sudah lantas
ulurkan tangan hendak menyambarnya. Kala itu jaraknya dekat dengan pedang. Tahu bakal kalah
dulu, Su Tiau-ing timpukkan lagi tiga batang passer. Yang dua ditujukan pada Ceng-ceng-ji yang
sebatang ke arah pedang itu.
Benar Ceng-ceng-ji tak jeri, tapi sedikitnya ia pun harus gerakkan tangan untuk
menyambutinya. Layang ketiga passer itu berlainan arahnya. Dua batang yang hendak menyambar
dirinya, dapatlah ia sambuti. Tapi yang sebatang lagi telah lolos lewat di sampingnya. Yang ini ia
tak berhasil menyambarnya. Justeru passer inilah yang menuju ke arah pedang.
Passer yang melayang turun dari atas, sebenarnya sukar untuk membikin mencelat sasarannya.
Tapi Su Tiau-ing gunakan ilmu lincah. Begitu mengenai tangkai pedang, pedang itu menjadi
terbalik miring. Karena lantai amat licin, maka pedang itupun menggelincir ke muka. Meskipun
hanya meluncur setengah meter, tapi pedang itu menyusup masuk ke bawah kolong ranjang. Kini
sukarlah bagi Ceng-ceng-ji hendak mengambil pedangya itu, kecuali ia masuk ke bawah kolong.
Ceng-ceng-ji marah sekali, ia batalkan rencana menyambar pedang, kini ia berganti menyambar
orang. Dengan menggerung keras ia timpukkan dua batang passer tadi kepada Su Tiau-ing,
kemudian dengan sebat sekali ia lantas membuka kain kelambu dan mencengkeram Khik-sia.
Khik-sia kala itu sedang menyalurkan lwekang, mana ia dapat melawan. Pun ketika Su Tiauing
dapat menghindari timpukan passer tadi, tangan Ceng-ceng-ji sudah bergerak mencengkeram
Khik-sia. Nona itu mengeluh.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan. Tapi anehnya, bukan suara Khik-sia, melainkan
Ceng-ceng-ji. Kiranya sewaktu hendak dicengkeram tadi, Khik-sia dapat mengisar ke samping
hingga tangan Ceng-ceng-ji itu hanya mencengkeram kasur saja. Celakanya pedang pusaka milik
Khik-sia disembunyikan di dalam selimut dan pedang itu sudah dilolos dari sarungnya. Begitu
menyentuh benda dingin, Ceng-ceng-ji sudah kaget dan cepat-cepat tarik pulang tangannya, namun
tak urung dua buah jarinya kena tergurat pecah oleh ujung pokiam Khi-sia.
Su Tiau-ing tak tahu apa yang terjadi. Tapi demi melihat Ceng-ceng-ji yang menjerit sembari
tarik pulang tangannya, tahulah ia kalau terjadi perubahan. Cepat ia sudah lantas loncat maju
sembari babatkan sepasang goloknya. Ceng-ceng-ji tak dapat berbuat apa-apa, kecuali membiarkan
Khik-sia duduk tepekur di dalam ranjang karena ia harus menghindari babatan golok Su Tiau-ing.
Pada saat itu keadaan Khik-sia mencapai titik yang genting. Jika ia lantas loncat turun dari
ranjang, sekali peredaran darahnya tersesat, pasti celakalah ia. Bukan saja jerih payahnya tadi akan
sia-sia, pun ia bakal rusak jasmaninya atau dalam istilahnya disebut "co-hwe-jip-mo" (terbakar api
kemasukan setan). Syukur Su Tiau-ing juga seorang ahli lwekang. Tahu ia bagimana keadaan
Khik-sia nanti. Buru-buru ia meneriakinya: "Toan kongcu, meramkanlah matamu!"
Ia kuatir jika membuka mata, Khik-sia tentu melihat bagaimana ia sedang bertempur matimatian
dengan Ceng-ceng-ji. Kebanyakan pemuda itu tentu akan loncat turun membantunya. Dan
ini berbahaya sekali.
Untung karena kedua jarinya terluka, rangsangan tangan Ceng-ceng-ji tak sehebat tadi lagi.
Dengan mati-matian Su Tiau-ing mendesaknya terus, sehingga setindak demi setindak Ceng-ceng-ji
dapat dihalau mundur dari muka ranjang.
Adalah pada saat itu, tiba-tiba paderi berjubah merah itu muncul.
Di luar kedengaran Su Tiau-gi sudah lantas meneriaki: "Harap taysu jangan beri ampun lagi.
Bunuh saja budak perempuan hina itu!"
Su Tiau-ing juga berseru: "Suhu, monyet tua ini menghina padaku, lekaslah bantu padaku."
Kiranya paderi jubah merah itu bergelar Hoan Gong, kepala dari biara Oh-gik-mi-si do Cenghay.
Pada ketika Su Su-bing menduduki Ceng-hay, untuk mengambil muka pada paderi itu, ia
sudah suruh kedua putera puterinya berguru padanya. Hanya saja kala itu Su Tiau-ing masih kecil,
tak pernah belajar silat padanya, maka paling-paling ia hanya dapat disebut calon murid saja.


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh-gik-mi-si sebenarnya adalah tinggalan dari kaum agama Pek-kau dari Tibet. Adalah karena
beberapa partai agama di Tibet timbul pertentangan, maka Pek-kau tak dapat mengurusi sehingga
dapat diduduki oleh Hoan Gong. Lebih dari 10 tahun Hoan Gong menempati biara itu. Kala itu
pertentangan agama di daerah Tibet sudah sirap. Ketua Pek-kau mengirim beberapa utusan ke
Ceng-hay untuk mengambil pulang biara itu. Karena tahu tak dapat melawan, akhirnya Hoan Gong
pergi. Waktu itu Su Su-bing sudah meninggal, Su Tian-gi lalu mengundangnya dan mengangkat
menjadi kok-su atau penasehat agung.
Su Tiau-gi dan Su Tiau-ing itu berlainan ibu. Umur Tiau-gi lebih tua lima tahun dari adiknya.
Pada masa itu, Su Tiau-gi pernah belajar silat pada Hoan Gong setengah tahun lamanya.
Sebenarnya Su Tiau-ing punya guru lain. Tetapi sejak Hoan Ging datang, sedikit banyak ia juga
pernah mendapat pelajaran silat dari paderi itu. Jika menurut hubungan guru dan murid, Hoan
Gong lebih rapat dengan Su Tiau-gi daripada dengan Su Tiau-ing. Tetapi karena dalam hal bakat,
Su Tiau-ing lebih baik dari engkohnya, maka Hoan Gong lebih suka pada gadis itu.
Bermula Hoan Gong mengira kalau kedatangan musuh gelap, maka buru-buru ia datang.
Setelah mengetahui bagaimana keadaannya, ia menjadi serba salah. Akhirnya ia mendapat suatu
pemecahan, serunya: "Sama saudara sendiri mengapa bertengkar" Kongcu, haturkanlah maaf
kepada engkohmu!"
Di luar kedengaran Su Tiau-gi berteriak-teriak: "Budak hina itu telah bersekongkol mengundang
orang luar untuk melawan aku. Suhu, bunuh saja dia. Aku tak sudi mengakui adik lagi padanya."
"Suhu, kau dengar tidak! Ia tetap hendak membunuh aku. Bagaimana kau suruh aku
menghaturkan maaf padanya?" seru Su Tiau-ing.
"Ah, baginda itu sedang marah, biar nanti kunasehatinya," sahut Hoan Gong.
"Suhu, sedang terhadap ayah kandungnya sendiri ia berani membunuh, apalagi terhadap aku.
Percuma saja kau akan menasehatinya," bantah Su Tiau-ing.
Tentang Su Tiau-gi membunuh ayah kandungnya sendiri, Hoan Gong belum mengetahui.
Meskipun ia juga seorang jahat, tapi setelah mendengar hal itu, berdirilah bulu romanya juga.
"Suhu, jangan dengarkan ocehannya. Lekas bunuh saja dia!" teriak Su Tiau-gi.
"Suhu, kau dengar tidak itu" Ia begitu bernafsu untuk lekas-lekas melenyapkan aku supaya
rahasianya jangan sampai ketahuan," Su Tiau-ing tetap ngotot.
Hoan Gong lebih cenderung dengan kata-kata Su Tiau-ing. Ya, mengapa Su Tiau-gi begitu
bernafsu sekali menyuruhnya membunuh adik perempuannya itu"
"Aku tak mau mengeloni siapa-siapa, karena kalian adalah saudara kandung sendiri," akhirnya
Hoan Gong memberi pernyataan.
Ceng-ceng-ji turut berkata juga: "Akupun juga tak sengaja hendak melukai kongcu. Tetapi
bangsat itu adalah seorang pemberontak. Adalah karena dia, maka kongcu bertengkar dengan
baginda. Hoan Gong taysu, harap kau bunuh bangsat itu, kedua belah pihak tentu akan puas."
Hoan Gong menimbang kata-kata Ceng-ceng-ji itu beralasan juga. Tapi ketika ia hendak turun
tangan pada Khik-sia, Su Tiau-ing sudah lantas meneriakinya: "Suhu, jangan kena ditipu. Pemuda
she Toan ini adalah sutenya. Toa-suhengnya, Gong-gong-ji, sayang sekali kepadanya. Sebaliknya
monyet tua itu sendiri yang berkhianat kepada perguruannya. Jika kau bunuh orang she Toan itu,
berarti kau hanya bantu menghimpaskan dendam pribadi monyet tua itu. Tetapi resikonya, Gonggong-
ji tentu akan membikin perhitungan padamu."
Hoan Gong terkesiap kaget, pikirnya: "Apakah keterangan itu benar atau salah, yang terang
Gong-gong-ji itu tak boleh dimusuhi."
Akhirnya tanpa berkata ba atau bu lagi, paderi itu melesat pergi. Baru Su Tiau-ing dapat
bernafas longgar, sekonyong-konyong Uh-bun Jui muncul.
"Hai, Uh-bun Jui, hendak mengapa kau" Jangan lupa, tanganku masih mencekal golok!" teriak
Su Tiau-ing. Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak: "Uh-bun Jui, itu lihatlah siapa yang berbaring di dalam
ranjangnya itu. Burung merpatimu sudah didahului orang, lho!"
Kiranya adanya Uh-bun Jui sampai mengkhianati perguruannya dan mengadakan perebutan
pangcu Kay-pang, adalah karena bujukan Su Tiau-ing. Su Tiau-ing hendak menggunakan tenaga
partai Kay-pang untuk melawan tentara kerajaan Tong. Sementara Uh-bun Jui juga hendak pinjam
tenaga nona itu untuk merebut kedudukan pangcu Kay-pang. Tapi faktor yang terutama, ialah
karena ia tergila-gila akan kecantikan Su Tiau-ing. Memang paras cantik itu sering membikin orang
lupa daratan. Kalau tidak, masakan Uh-bun Jui berani bertindak begitu rupa.
Rupanya Ceng-ceng-ji tahu akan isi hati pemuda itu. Sekali berkata, ia dapat menusuk perasaan
Uh-bun Jui. Terdorong oleh rasa cemburu, berkobarlah mafsu membunuh dalam sanubari Uh-bun
Jui. "Kongcu, aku sekali-kali tak berani melawan kau. Tapi demi untuk menjaga nama
kehormatanmu, aku takkan membiarkan kau terpikat oleh bangsat itu," kata Uh-bun Jui.
Su Tiau-ing mendampratnya: "Jangan ngaco belo tak keruan, enyahlah!"
Kembali Ceng-ceng-ji tertawa mengejek: "Uh-bun Jui, apakah kau masih punya setitik pambek
lelaki jantan" Dengan mata kepala sendiri kau menyaksikan bangsat itu tidur di pembaringannya,
masakan kau lantas diam-diam mau ngacir?"
Uh-bun Jui menggerung keras. Dengan mengacungkan tongkatnya, ia berlarian menghampiri
ranjang. "Kongcu, maafkan aku tak mendengar perintahmu. Aku tetap harus membinasakan bangsat
ini!" teriaknya dengan keras.
Su Tiau-ing hendak menyabetnya dengan golok, tapi Ceng-ceng-ji tak mau memberi
kesempatan. Ia merangsek seru, sehingga nona itu tak sempat mengurusi Uh-bun Jui lagi. Memang
kepandaiannya masih terpaut jauh dengan Ceng-ceng-ji. Karena bingung, permainan goloknyapun
menjadi rancu. Dengan beberapa rangsangan, dapatlah Ceng-ceng-ji menghalau nona itu terpisah
lebih jauh dari ranjang.
Seperti diterangkan di atas, saat itu Khik-sia sedang berada dalam keadaan yang kritis (genting).
Ia tak dapat menangkis serangan Uh-bun Jui itu. Tongkat Uh-bun Jui tepat mengenai pundaknya.
Khik-sia cepat putar tubuhnya, sehingga membelakangi Uh-bun Jui.
Uh-bun Jui menghantam untuk yang kedua kalinya. Pikirnya hendak hantam pecah kepala
Khik-sia. Dan anehnya, Khik-sia malah gunakan jurus hong-tiam-thau (burung hong mengangguk), ia
sodorkan punggungnya ke belakang. Dess .... terdengar bunyi macam rumput dipotong. Punggung
Khik-sia terpukul tongkat, tapi seketika itu Uh-bun Jui rasakan tangannya kesemutan panas, hampir
saja tongkatnya terlepas jatuh.
Kiranya saat itu sudah lewat agak lama. Meskipun jalan darah Cap-ji-ciong-lo di tubuh Khiksia
belum tertembus, tapi ia sudah mendapat kembali 6-7 bagian tenaganya. Dengan tenaga itu saja,
cukup sudah baginya untuk menyengkelit Uh-bun Jui. Tapi kuatir usahanya tadi akan gagal
seluruhnya, sehingga kemungkinan tubuhnya rusak, maka ia tak mau turun tangan. Sekalipun
begitu, dengan paksakan diri ia dapat menyalurkan lwekangnya ke arah punggung. Sudah tentu
pukulan Uh-bun Jui tadi sedikitpun tak menjadikan soal.
Sebaliknya ketika mendengar suara gebukan tongkat, hati Su Tiau-ing menjadi guncang. Ia tahu
bahwa bekerjanya obat penawarnya itu harus menunggu sampai setengah jam, atau sama dengan 2
batang dupa terbakar habis. Kini, kira-kira temponya baru dapat sebatang dupa terbakar habis. Ia
duga Khik-sia tentu belum dapat melawan, jadi keadaannya tentu berbahaya. Hal itu disebabkan
karena ia belum mengetahui sampai di mana kesempurnaan lwekang Khik-sia.
Tidak demikian dengan Ceng-ceng-ji yang sudah kawakan. Demi mendengar bunyi tongkat itu
agak lain, ia sudah menduga jelek. Kejutnya lebih hebat dari Su Tiau-ing. Buru-buru ia merangsek
Su Tiau-ing dengan jurus pay-hun-chiu. Su Tiau-ing masih belum banyak pengalamannya
bertempur. Saat itu karena memikirkan keselamatan Khik-sia, pikirannya menjadi kacau sehingga
permainannyapun rancu. Golok di tangan kirinya kena ditampar oleh Ceng-ceng-ji sampai terlepas
jatuh. Hilangnya satu golok itu, menyebabkan kendornya permainan Su Tiau-ing.
Musuh utama bagi Ceng-ceng-ji adalah Khik-sia. Selain itu memang ia tak berniat hendak
melukai Su Tiau-ing. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia menyelinap dari halangan si nona
menuju ke muka ranjang. Setelah mendorong Uh-bun Jui ke samping, ia lantas menghantam Khiksia.
Tiba-tiba seperti bola, tubuh Khik-sia melambung ke atas. Brak .... bukan tubuh Khik-sia tetapi
ranjanglah yang menjadi sasaran hantaman Ceng-ceng-ji itu hingga remuk. Po-kiam Khik-sia jatuh
ke lantai, sementara pedang Ceng-ceng-ji yang menyurup ke bawah kolong tadi, kini teruruk oleh
ranjang. Untung tidak seluruhnya karena tangkainya masih kelihatan menonjol di luar.
Su Tiau-ing memburu datang dengan sebuah tabasan. Ceng-ceng-ji memiliki ilmu thing-hongpian-
ki atau dengar anginnya mengetahui senjata. Tanpa menolek, ia tamparkan tangannya ke
belakang untuk menyampok golok Su Tiau-ing. Sedang tangannya yang lain hendak menyambar
pedangnya. Su Tiau-ing tanpa mempedulikan jiwanya lagi, terus mencecar Ceng-ceng-ji.
"Uh-bun Jui, lekas rebut pokiam!" serunya.
Pada saat Su tiau-ing mengirim tabasan yang keempat, Ceng-ceng-ji sudah berhasil memperoleh
pedangnya. Begitu berputar tubuh, ia lantas membacok Su Tiau-ing.
Setelah mendapat peringatan dari Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui cepat memungut pokiam Khik-sia.
Girangnya bukan kepalang. "Hm, sekalipun kau mempunyai ilmu kebal yang sakti, juga tubuhmu
itu tetap terdiri dari darah dan daging. Masakah tak mempan ditusuk senjata," pikirnya.
Ketika mengawasi ke muka, dilihatnya tubuh Khik-sia sudah turun di lantai dan tetap masih
duduk bersila seperti tadi. Habis menggeletarkan pedang pusaka, ia segera menusuk. Yang diarah
ialah tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia. Jika kena, Khik-sia tentu akan menjadi cacat seumur
hidup. Tapi Khik-sia cepat miringkan tubuhnya ke samping. Cret, yang kena hanyalah secarik
pakaiannya saja, sedang ujung pokiam lalu di atas pundaknya. Khik-sia gunakan lwekang untuk
menyedot. Dengan goyangkan bahu, ia telah menyedot tenaga Uh-bun Jui sampai separuh bagian
sehingga anak muda she Uh-bun itu tak dapat menguasai keseimbangan tubuhnya lagi. Hampir saja
ia menyeruduk tubuh Khik-sia.
Uh-bun Jui juga seorang ahli silat. Pada saat itu ia tahu kalau Khik-sia juga dapat menggunakan
ilmu lwekang tinggi. Kejutnya bukan main. Takut kalau dibalas, saking gugupnya, ia lantas susuli
menghantamkan tongkatnya. Memang pukulannya itu tepat mengenai bahu Khik-sia, tapi
akibatnya malah lebih runyam. Daya membal yang dipancarkan bahu Khik-sia lebih besar dari tadi.
Krek ..... tongkat Uh-bun Jui kutung menjadi dua. Sedang Uh-bun Jui sendiri terpental mundur
sampai beberapa langkah. Untung karena kencang-kencang mencekalnya, pokiam tak sampai jatuh
terlepas dari tangannya.
"Coba kulihat sampai berapa kali kau mampu menyingkir dari serangan pedang ini!" ia
berteriak keras seraya tusukkan ujung pokiam ke punggung lawan.
"Lepaskan!" tiba-tiba kedengaran Khik-sia buka suara. Dengan dua buah jarinya ia menjepit
batang pokiam itu. Jepitannya itu tepat benar, seolah-olah punggungnya itu seperti bermata saja.
Kejut Uh-bun Jui tak terperikan. Baru saja ia hendak memutarnya, tahu-tahu dengan kekuatan
dua buah jarinya saja, pokiam sudah berpindah ke tangan yang empunya (Khik-sia). Dan tiba-tiba
Khik-sia loncat bangun.
"Kau sudah keliwat kurang ajar kepadaku. Lihat pedang!" seru pemuda itu.
Uh-bun Jui gunakan separuh kutungan tongkatnya tadi sebagai senjata. Tapi dengan mudahnya,
dapatlah Khik-sia memapas lagi tongkatnya itu hingga hanya ketinggalan sedikit di bagian tangkai
yang dicekalnya. Coba Uh-bun Jui tak cepat menarik tangannya, mungkin pergelangan tangannya
juga ikut hilang.
Ternyata serangan kalap Uh-bun Jui dengan tongkatnya tadi, bukannya melukai Khik-sia
sebaliknya malah memberi bantuan besar kepadanya. Seperti diketahui, penyaluran lwekang Khiksia
pada saat itu sedang dalam tingkat yang genting. Kebetulan Uh-bun Jui menggebuknya, ini ia
pergunakan untuk mempercepat pengaliran darahnya. Setelah bagian Cap-ji-ciong-lo dapat
menyalur, tak perlu menggunakan waktu setengah jam lamanya, tenaganya dengan cepat sudah
dapat pulih kembali. Memang ilmu silat itu mempunyai inti keistimewaan yang indah.
Kembali pada penuturan setelah tongkat Uh-bun Jui terpapas kutung oleh pokiam Khik-sia,
kejut Uh-bun Jui serasa terbang semangatnya. Saat itu asal Khik-sia mau menusuk lagi, jiwa Uhbun
Jui pasti melayang. Tapi tiba-tiba terdengar suara logam jatuh berkerontangan di lantai.
Kiranya golok di tangan kanan Su Tiau-ing juga kena dipapas kutung oleh pedang Ceng-ceng-ji.
Saat itu hubungan Su tiau-ing dengan Khik-sia bukan lagi sebagai musuh melainkan sebagai
sahabat. Si nona terancam bahaya, sudah tentu Khik-sia tak mau berpeluk tangan mengawasi saja.
Dalam pada itu Khik-sia juga berpendapat bahwa Uh-bun Jui itu adalah anak murid Kay-pang.
Sebaiknya ia tak lancang melanggar hak partai Kay-pang untuk memberi hukuman.
Dengan keputusan itu, secepat kilat ia sudah meluncur ke muka Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji
cepat lancarkan jurus istimewa liu-sing-kam-gwat atau bintang jatuh mengejar rembulan. Tiga
serangan sekaligus ia balingkan ke kiri untuk menusuk jalan darah peh-hay-hiat, ke kanan menusuk
jalan darah hu-tho-hiat dan ke tengah menusuk jalan darah suan-ki-hiat. Tiga serangan dalam satu
jurus itu, adalah jurus mematikan yang paling ia andalkan. Hebatnya bukan olah-olah.
Melihat ji-suhengnya sedemikian buasnya, marahlah Khik-sia. Ia berseru nyaring: "Ceng-cengji,
karena kau begitu keras kepala hendak mengambil jiwaku, jangan sesalkan aku yang tak mau
mengakui kau sebagai saudara seperguruan lagi. Mulai saat ini, hubungan kita sebagai suheng dan
sute, putus sampai di sini!"
Ia lintangkan pokiamnya untuk menutup serangan lawan. Berulang kali terdengar bunyi
mendering yang memekakkan telinga. Keduanya sama bergerak cepat. Dalam waktu Khik-sia
mengucapkan kata-katanya tadi, kedua pedang mereka sudah beberapa kali saling beradu.
Pedang pendek dari emas murni Ceng-ceng-ji, sebenarnya tak kalah dengan pedang pusaka
peninggalan keluarga Toan. Tapi tenaganyalah yang kalah dengan bekas sutenya itu. Dalam
beberapa benturan senjata itu, kalau Khik-sia masih tak merasa apa-apa, adalah Ceng-ceng-ji yang
sudah rasakan tangannya panas kesakitan. Pedangnya hampir saja terlepas.
Kini Ceng-ceng-ji tak berani adu kekerasan. Ia ganti siasat gunakan kelincahan. Mereka adalah
seperguruan. Keduanya saling mengetahui kelemahan dan keunggulan masing-masing. Diam-diam
Khik-sia membatin: "Dapat kukalahkan dia, tapi pun harus melalui seratus jurus. Musuh berjumlah
banyak dan aku sendirian, kalau bala bantuan mereka datang, sukarlah untukku lolos lagi."
Seketika ia lantas gunakan jurus sin-liong-jip-hay atau naga sakti menyusup ke dalam laut.
Pokiam diputar naik turun ke kanan-kiri sehingga mau tak mau Ceng-ceng-ji harus mundur.
"Maafkan, aku hendak pergi dululah!" ia lontarkan pukulan biat-gong-ciang untuk
menghancurkan jendela dan terus hendak loncat keluar.
"Hai, apakah aku masih dapat tinggal di sini"!" teriak Su Tiau-ing.
Sebenarnya separuh tubuh Khik-sia sudah menyusup keluar jendela. Tapi begitu mendengar jerit
keluhan si nona tadi, ia segera hentikan tubuhnya. Dengan gaetkan sebelah kakinya ke pinggir
jendela, ia berpaling melongok ke belakang. Dilihatnya Su Tiau-ing pun ternyata mengikuti di
belakangnya. Sedang Ceng-ceng-ji sudah tusukkan pedangnya ke pinggang gadis itu.
Bermula Khik-sia kira kalau Ceng-ceng-ji tentu tak berani membunuh Su Tiau-ing. Tapi apa
yang dilihatnya itu, ternyata berlainan. Ceng-ceng-ji benar-benar tak mau kasih ampun lagi.
Terkilas dalam pikiran Khik-sia: "Ya, benarlah, seorang lelaki harus menarik garis tajam antara budi
dan dendam. Gadis ini meskipun belum tentu seorang baik, tapi ia telah melepas budi menolong
jiwaku. Masakan aku takkan mempedulikannya."
Persatuan gerak tubuh Khik-sia dengan pedangnya, telah mencapai suatu tingkat yang dapat
digerakkan menurut sekehendak hatinya. Setelah sebelah kakinya dikaitkan pada ujung jendela, ia
segera ayunkan tubuhnya ke muka. Tangan kirinya menusuk pada Ceng-ceng-ji. Pedang pusaka
Toan Khik-sia itu lebih dari setengah meter panjangnya. Sedangkan pedang Ceng-ceng-ji hanya 9
inci, jadi pokiam Khik-sia lebih panjang hampir setengah meter. Dengan keuntungan itu, meskipun
Khik-sia bergelantungan pada jendela, namun berhasil juga ia menghalangi Ceng-ceng-ji. Tapi
kerugiannya karena bergelantungan itu, tenaganya kalah dengan Ceng-ceng-ji. Begitu kedua
pedang berbenturan, tergetarlah tubuh Khik-sia hampir mau jatuh. Tapi dengan cepat ia
lengkungkan tubuhnya ke bawah untuk menyambar Su Tiau-ing terus dibawa loncat keluar.
Gerakan Khik-sia itu termasuk ilmu gin-kang yang hebat.
Sebenarnya sudah dari tadi, barisan bu-su (pengawal) Su Tiau-gi datang dalam jumlah besar.
Tapi karena mereka tak mendapat perintah Su Tiau-gi, apalagi karena di dalam sudah ada Cengceng-
ji, mereka anggap belum perlu turun tangan. Mereka tidak masuk ke dalam kamar Su Tiauing
dan hanya menunggu di luar saja.
Saat itu demi Khik-sia lolos keluar dan Su Tiau-gi pun sudah memberi perintah untuk
membunuh, maka menyerbulah mereka. Ketika Khik-sia masih melayang di udara, puluhan
tombak dan pedang serentak sudah menyambutnya. Khik-sia berseru keras sembari mainkan
pedangnya dalam jurus ya-can-pat-hong atau malam menyerang 8 penjuru. Tring, tring, terdengar
suara mendering susul menyusul. Sembari melayang turun, Khik-sia sudah memapasi kutung
senjata kawanan busu itu.
Kala itu Ceng-ceng-ji pun sudah mengejar loncat dari jendela. Melihat itu Khik-sia segera
berikan pokiamnya kepada Su Tiau-ing. "Nona Su, ambillah pedangku ini! Kau buka jalan keluar
dan biarlah aku yang menahan mereka."
Su Tiau-ing menerima pokiam itu dengan rasa kejut-kejut girang. Benar juga dalam lain kejap
saja, Ceng-ceng-ji sudah menyerang dengan pedangnya. Begitu merasa belakang kepalanaya ada
angin menyambar, tiba-tiba Khik-sia balikkan tangannya dan gunakan sebuah jari untuk menutuk
telapak tangan Ceng-ceng-ji. Kejut Ceng-ceng-ji tak terkira, pikirnya: "Suhu ternyata berat sebelah.
Tutukan jari kiu-kiong-sin-ci itu, dahulu suhu tak mau mengajarkan padaku. Tetapi telah
memberikan kepada anak itu."
Di tengah telapak tangan terdapat sebuah jalan darah yang disebut lau-kiong-hiat, merupakan
salah satu bagian yang mematikan orang. Saking gugupnya, Cng-ceng-ji cepat-cepat ganti
gerakannya. Pedangnya dibabatkan kesamping tubuh Khik-sia untuk menusuk bagian bawah iga
Khik-sia. Tapi saat itu Khik-sia sudah mendapat kesempatan untuk putar tubuh menghadapi lawan.
Dalam pada itu ia berbareng hantamkan kedua tangannya. Yang satu untuk menghantam pedang
Ceng-ceng-ji, yang satunya untuk memukul lutut Ceng-ceng-ji. Pukulan yang dilancarkan secara
tiba-tiba dan pada jarak begitu dekat, membuat Ceng-ceng-ji tak sempat menghindar lagi. Ia
terpelanting jatuh pedangnyapun mencelat ke udara. Khik-sia sambar tubuh bu-su itu. Sementara
dalam detik-detik itu juga Khik-sia sudah menyingkir ke samping.
Melihat Khik-sia dan Ceng-ceng-ji bertempur begitu seru, kawanan bu-su itu berteriak-teriak
sembari berpencaran ke empat penjuru. Tak berani lagi rupanya mereka hendak mengganggu Khiksia.
Khik-sia hanya dengan tangan kosong. Ceng-ceng-ji gunakan pedang. Untuk itu Khik-sia
hanya andalkan kelincahan dan ilmu tutukan jari sakti kiu-kiong-ci-hwat. Mereka bertempur
dengan rapat. Sembari melawan, Khik-sia terus main mundur.
Su Tiau-ing yang mencekal pedang pusaka, kini mendadak garang. Kini kawanan bu-su yang
biasanya amat garang, saat itupun tak berani menghalangi Su Tiau-ing. Tengah Su Tiau-ing
kegirangan, sekonyong-konyong ada sebatang tombak meluncur ke arahnya. Ia cepat tabaskan
pokiam, tring, sinar api terpercik dan batang tombak itu tergurat melowek, tapi tidak putus.
Sebaliknya Su Tiau-ing merasa tangannya sakit kesemutan sekali hingga hampir tak kuat mencekal
pedangnya lagi.
Berpaling ke belakang ia melihat seorang bertubuh tinggi besar (tingginya sampai 2 meteran),
mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya besar rambutnya bertancap bunga. Dari dandanannya
yang aneh itu, ia benar-benar menyerupai Hek-sat-sin atau Malaikat Maut Hitam. Orang itulah
yang menghadang Su Tiau-ing sembari ketawa meringis. Su Tiau-ing terkejut dan diam-diam
mengeluh. Kiranya orang itu adalah putera dari raja pribumi suku Ki namanya Chomulun. Sejak Su Tiaugi
tiba di daerah situ, Chomulun itu mengandung maksud tak baik terhadap Su Tiau-ing. Acapkali
ia mengikuti nona itu. Su Tiau-ing benci kepadanya, tapi karena hendak menggunakan tenaga ayah


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan anak itu, terpaksa ia kekang kemarahannya.
Chomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Dengan tangan kosong ia dapat
memukul mati harimau. Tombaknya itu beratnya 72 kati. Dimainkannya kekuatannya sama dengan
puluhan orang. Tusukannya tadi hanya menggunakan 2-3 bagian tenaganya saja, coba tidak, Su
Tiau-ing tentu sudah hancur.
"Yan Khan (raja Yan), adikmu itu cantik benar, sayang kalau dibunuh, lebih baik kasih aku
saja," serunya kepada Su Tiau-gi.
"Bunuh dulu bangsat itu, baru nanti kuserahkan ia padamu," sahut Su Tiau-gi.
"Apanya yang sukar?" teriak pangeran itu.
Ia terus angkat tombaknya hendak menyerang Khik-sia, tapi kuatir Su Tiau-ing akan merat
lolos, ia lantas bersuara: "Hai, buanglah pokiammu itu dan ikut aku saja! Engkohmu sudah
meluluskan."
Tak mampu memapas kutung tombak si 'raksasa' dan tak dapat menerobos hadangannya, Su
Tiau-ing tak dapat berbuat apa-apa. Dalam keadaan berbahaya, timbul akalnya. Pura-pura ia lantas
tertawa kepada Chomulun.
Girang si raksasa bukan main, serunya: "Orang cantik, apakah kau meluluskan?"
Sahut Su Tiau-ing: "Yang kupuja adalah kaum pahlawan gagah perkasa. Asal kau dapat
menangkan dia (ia menunjuk Khik-sia), mau aku menikah padamu."
"Benarkah" Kau tak lari?" Chomulun menegas.
"Tak nanti aku melarikan diri. Tapi kau harus bertanding satu lawan satu. Jika menang, barulah
kuanggap gagah perkasa," seru Su Tiau-ing.
Si raksasa ngangakan mulutnya yang besar dan tertawa: "Sudah tentu begitu, mengapa aku
harus minta bantuan orang?"
"Dan masih ada sebuah lagi. Kau harus halau monyet tua itu. Jika monyet tua itu sampai
melukai aku, bagaimana nanti?"
Chomulun berseru keras: "Kau adalah orangku. Siapa yang berani mengganggu selembar
rambutmu saja, tentu akan kubunuhnya."
Dengan mainkan tombak besinya, benar juga Chomulun lantas menghampiri Khik-sia.
Teriaknya dengan suara menggeledek: "Hai, monyet tua, menyingkirlah. Biar kutempur budak ini."
Yang disebut-sebut 'monyet tua' itu adalah Ceng-ceng-ji. Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak terima
dihina begitu. Sahutnya dengan tertawa mengejek: "Siau-ong-ya, jangan termakan tipunya (Su
Tiau-ing). Budak itu lihay sekali."
Chomulun menganggap dirinya itu tiada yang melawan di dunia ini. Mendengar ejekan Cengceng-
ji, marahnya bukan main: "Bagaimana lihaynya" Apakah lebih lihay dari singa" Apakah
lebih buas dari harimau" Kau sendirilah yang tak berguna, tak mampu mengalahkan lalu memujimujinya
setinggi langit!"
Saking marahnya ubun-ubun kepala Ceng-ceng-ji sampai keluar asap. Sebenarnya, ia tak mau
menyingkir, tapi demi hasil pertempurannya dengan Khik-sia tadi berimbang saja jika Chomulun si
raksasa limbung itu benar-benar akan menombaknya, tentu akan berbahaya sekali. Akhirnya
terpaksa ia kendalikan kemarahannya dan tertawa dingin: "Bagus, kau benar-benar tak tahu gelagat.
Karena kau hendak maju mengantarkan jiwa, silahkan majulah!"
Chomulun membentak keras: "Monyet tua, kau berani menghina aku" Tunggulah setelah
kuselesaikan budah ini tentu kubikin perhitungan padamu!"
Ceng-ceng-ji tertawa mengejek dan mengundurkan diri. Maju dua langkah, Chomulun lantas
putar tombaknya sehingga menerbitkan lingkaran sinar. Serunya kepada Khik-sia: "Kau minta
senjata apa, biar kusuruh orang mengambilkan agar kau jangan mati penasaran."
Ia yakin tentu dapat menang. Sengaja ia pamerkan kegagahannya di hadapan Su Tiau-ing.
Menandaskan bahwa ia tak mau membunuh orang yang tak bersenjata.
Khik-sia tak ada waktu untuk meladeni orang limbung itu. Berbareng mulutnya berseru: "Aku
minta tombakmu ini, lepaslah!" -- Tangannyapun sudah secepat kilat menyambar ujung tombak
orang. "Hai, budak ini kuat sekali!" teriak Chomulun dengan kaget. Ia gunakan kedua tangannya
untuk memegang kencang-kencang tangkai tombaknya. Khik-sia menariknya, tapi tak berhasil
merebut dari tangan raksasa itu.
"Kau tak mau melepaskan" Hm, kau sendiri yang minta sakit!" teriak Khik-sia yang lantas
hantamkan tangan kirinya ke arah batang tombak. Tar, seperti bunyi halilintar menyambar
memecahkan telinga, seketika Chomulun rasakan seperti ada arus tenaga menyalur lewat batang
tombaknya terus menghantam ke dadanya. Darahnya serasa bergolak dan gedebuk .... ia jatuh
terbalik dengan kaki di atas. Sudah tentu tombaknya beralih ke tangan Khik-sia.
Kiranya Khik-sia telah gunakan pukulan lwekang kek-but-coan-kang. Ia salurkan lwekang
melalui batang tombak terus menghantam tubuh lawan. Betapapun kuatnya tenaga Chomulun itu,
tapi mana ia kuat menahan gelombang lwekang yang memancar sedemikian kuatnya"
Sekonyong-konyong terdengar dua kali deru angin menyambar dari kanan-kiri Khik-sia. Cengceng-
ji dan Ma tianglo dari partai Kay-pang telah serempak menyerang Khik-sia. Selagi Khik-sia
merebut tombak dan belum sempat menggunakannya, terus diserangnya saja. Memang tombak itu
senjata yang sukar untuk digunakan bertempur secara rapat. Tapi ilmu ginkang Khik-sia itu sudah
mencapai tingkat yang sedemikian rupa. Begitu merasa ada angin menyambar dari belakang, ia
cepat lemparkan tombaknya ke udara, kemudian ia enjot tubuhnya untuk melambung. Sambil
menyambar tombak, ia melayang turun tiga tombak jauhnya. Kini ia mempunyai jarak yang lapang
dengan Ceng-ceng-ji dan Ma tianglo. Dengan tangkasnya, mulailah ia kembangkan permainan
tombak. Trang, tangan Ma tianglo terasa kesemutan karena tongkatnya kena dihantam putus oleh tombak
Khik-sia. Tianglo itu lekas-lekas mundur. Seperti telah diterangkan di atas, tombak itu beratnya 72
kati. Pedang Ceng-ceng-ji pun tak mampu memapas kutung. Khik-sia mainkan tombaknya
sedemikian rupa hingga ibarat percikan airpun tak dapat menerobos masuk. Dalam keadaan begini,
Ceng-ceng-ji tak berdaya untuk merangseknya.
Chomulun pun membawa pengawal sejumlah 50 orang. Pengawalnya itu disebut pasukan
Thing-pay-chiu atau pasukan perisai rotan. Sebenarnya saat itu mereka sudah pecah diri berjajar
menjadi formasi kipas, untuk menghadang jangan sampai Su Tiau-ing lolos. Begitu Chomulun
terbanting ke tanah, Su Tiau-ing lantas tertawa mengejek: "Tuh, lihat, siau-ong-ya kalian sudah
menang, aku sekarang hendak pergi."
Anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu masing-masing memegang golok dan perisai rotan.
Perisai itu dapat menahan bacokan senjata tajam. Benar pokiam Su Tiau-ing dapat menghancurkan
perisai mereka itu, tapi jumlah mereka banyak. Satu hancur, dua maju. Dua hancur, empat maju,
demikian seterusnya. Lima puluh anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu seperti kumbang,
mengepung Su Tiau-ing dari delapan penjuru. Kepungan mereka itu makin lama makin rapat.
Sulitlah bagi Su Tiau-ing untuk menerobos keluar.
Khik-sia tak mau mengorbankan banyak jiwa. Tiba-tiba ia putar tombaknya dan menggembor
keras. Ditusukkannya tombak pada sebuah tiang batu. Krek, bum ..... pecahlah batu berhamburan
kemana-mana dan pilar batu itu telah kena tertusuk sampai berlubang. Setelah itu ia putar
tombaknya sampai seperti kitiran dan berseru nyaring: "Siapa yang menghadang tentu mati, yang
menyingkir akan hidup. Coba saja kalian tanya pada diri kalian sendiri. Apakah kepala kalian itu
lebih keras dari pilar batu ini?"
Kelima puluh anak buah Thing-pay-chiu itu sebenarnya bangsa jagoan yang buas dan tak takut
mati. Tapi demi melihat Khik-sia menyerbu dengan tombaknya, pecahlah nyali mereka. Dengan
berteriak-teriak keras, mereka sama lari tunggang langgang ke empat jurusan. Sebetulnya mereka
itu bukan takut mati melainkan ketakutan melihat keperkasaan Khik-sia yang mengamuk seperti
banteng ketaton itu.
Melihat tak dapat merintangi lagi, berserulah Su Tiau-gi memanggil adiknya: "Moaymoay,
apakah kau sungguh-sungguh hendak melarikan diri bersama bangsat kecil itu?"
Su Tiau-ing tertawa mengejek: "Ho, jadi kau masih menganggap aku sebagai adik" Sejak saat
ini, hubungan kita sebagai kakak-adik, putuslah."
Saat itu dengan sudah ganti toya (tongkat) baru, Uh-bun Jui menerobos maju dan berseru: "
Nona Su, jika siang-siang tahu akan kejadian begini, mengapa dulu kita berjerih payah?"
Dengan tawar Su Tiau-ing menjawab: "Kebaikanmu, tetap kuingat. Kini aku telah mengambil
ketetapan untuk tinggalkan tempat ini. Siapapun tak dapat menghalangi aku."
Habis berkata, Su Tiau-ing lantas menabas. Uh-bun Jui berteriak, lalu ngacir pergi.
Dengan bersenjata tombak panjang yang ampuh itu, dapatlah Khik-sia dalam waktu yang
singkat membuka jalan lolos. Ia terus menerjang ke pintu besar. Su Tiau-gi perintahkan pasukan
panahnya untuk mengejar dan lepaskan anak panah. Ceng-ceng-ji pun ikut memburu.
Bagaikan kawanan belalang, ribuan batang panah segera menghujani Khik-sia dan Su Tiau-ing.
Tapi Khik-sia tetap putar tombaknya sedemikian gencarnya untuk melindungi Su Tiau-ing di dalam
membuka jalan lari itu. Tiba-tiba di antara hujang anak panah itu tampak ada sekumpulan sinar
perak bergemerlapan. Pada lain kejap sekonyong-konyong Su Tiau-ing berteriak mengaduh:
"Celaka, aku terkena senjata rahasia!"
Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak. Kiranya dialah yang melepaskan jarum rahasia bwe-hoaciam
itu. Timpukannya itu dapat mencapai jarak tiga tombak lebih. Yang lebih hebat lagi, jarum
rahasia itu tak mengeluarkan suara sama sekali. Daripada panah, jarum itu jauh lebih sukar
dijaganya. Khik-sia gunakan kecekatan tangannya untuk menyambuti 19 batang anak panah. Kemudian
dengan gunakan ilmu timpukan Thian-li-sam-hoa atau bidadari menabur bunga, ia timpukkan anak
panah itu ke arah Ceng-ceng-ji. Karena lwekangnya tinggi, maka timpukannya itu tak kalah
lihaynya dengan kekuatan busur. Ana-anak panah yang ditimpukkan itu mendengung-dengung di
udara. Ceng-ceng-ji tak berani menyambutinya, buru-buru ia putar pedang untuk melindungi diri
sembari menyingkir ke samping. Luput mendapat sasaran Ceng-ceng-ji, anak-anak panah itu telah
mengganyang beberapa orang anggota pasukan pemanah. Pasukan pemanah itupun tak berani
merangsek dekat-dekat lagi.
"Di bagian mana yang terluka?" tanya Khik-sia.
"Celaka, yang terluka pada bagian ujung kaki," sahut Su Tiau-ing. Ia teringsut-ingsut, larinya
susah sekali. Sejenak Khik-sia kerutkan alis, terus memimpinnya diajak berlari.
Tiba-tiba di muka kembali ada sepasukan berkuda menyerbu datang.
"Ong ciangkun, apakah kau hendak membikin susah aku?" Su Tiau-ing menegur opsir
pemimpin barisan itu.
"Ah, aku tak berani mengganggu kongcu. Harap kongcu menyingkir, aku hanya akan
membunuh maling kecil itu," sahut opsir itu. Dan pada waktu ia berkata itu, dengan menunggang
kuda yang tegar, ia sudah menerjang Khik-sia dengan tombaknya.
Ciangkun atau jenderal orang she Ong itu, mahir dalam ilmu permainan pat-coa-un (tombak
delapan ular). Di antara orang sebawahan Su Tiau-gi, ia termasuk opsir yang gagah perkasa. Tapi
apa lacur, berhadapan dengan Khik-sia, benar-benar ia ketemu dengan batunya.
"Bagus!" seru Khik-sia sembari tusukkan tombaknya. Tusukan itu berhasil dapat menyengkelit
jatuh opsir itu. Kuda opsir itu sudah banyak kali dipakai dalam pertempuran. Tuannya jatuh,
binatang itu tetap menyerbu ke muka untuk meloloskan diri. Tapi dengan tangkas, Khik-sia cepat
menguasainya. Karena Su Tiau-ing terluka dan waktunya sudah kelewat mendesak, apa boleh buat,
Khik-sia segera boncengkan nona itu di atas kuda.
Pasukan berkuda itu datangnya seperti air bah. Khik-sia menghadapi mereka dengan sebuah
taktik. Ia tak mau mengarah penunggang, tetapi mengincar kuda tunggangannya. Dalam beberapa
kejap saja, ia sudah berhasil melukai belasan ekor kuda. Karena terluka, kuda itu menjadi binal dan
lari mencongklang keras. Kepanikan mereka itu telah menyebabkan pasukan kawannya yang
berada di belakang, menjadi terhalang. Su Tiau-ing dengan sebelah tangannya lagi memutar
pokiam untuk melindungi anak muda itu dari serangan anak panah dari kedua jurusan (kanan
kirinya). Tiba-tiba dari kalangan anak buah pasukan berkuda itu timbul hiruk pikuk yang
menggemparkan. Ketika Khik-sia berpaling, dilihatnya ada asap api mengepul ke atas. Khik-sia
girang-girang terkejut, pikirnya: "Cepat sekali datangnya api itu bagiku. Tapi entah siapakah yang
diam-diam membantu aku itu?"
Pertama, karena pasukan berkuda pasukan pemanah itu sudah gentar melihat kegagahan Khiksia.
Kedua kalinya, mereka kaget menampak di markas besarnya timbul bahaya kebakaran. Tanpa
banyak pikir lagi, mereka tinggalkan pengejarannya kepada Khik-sia, terus memburu ke arah
kebakaran. Kini lepaslah Khik-sia dari kepungan. Ia congklangkan kudanya pesat-pesat. Ada belasan anak
buah Su Tiau-gi yang masih berusaha untuk mengejarnya, tapi mereka itu dapat dihalau taburan
anak panah Khik-sia. Yang masih mengejar, kini tinggal Ceng-ceng-ji seorang. Sebenarnya dengan
gingkang yang dipunyai itu dalam batas jarak 10 li, dapatlah Ceng-ceng-ji menyandak larinya kuda.
Tapi karena ia hanya sendirian saja, nyalinya menjadi kecil juga. Setelah kejar beberapa saat, waktu
mengetahui belakang tiada seorang kawan lagi timbullah kekuatiran Ceng-cneg-ji, kalau-kalau
Khik-sia akan balik dan menyerangnya. Terpaksa iapun putar langkahnya dan lari balik.
Selolosnya Khik-sia dari bahaya itu, diam-diam ia malah mengeluh dalam hati: "Kalau nona ini
tak terluka, itulah mudah. Aku bisa berpisah dengannya. Tak memperdulikan lagi, sebenarnya juga
tak mengapa. Tapi sekarang ia terluka. Karena membela diriku, ia sampai putuskan hubungannya
dengan engkohnya. Bagaimana aku tega tak menghiraukannya lagi?"
Waktu masih bertempur tadi, Su Tiau-ing tak merasa kesakitan. Tapi kini setelah lolos dari
bahaya, ia mulai mengerang kesakitan. Dan untuk melonggarkan nyeri sakitnya itu, ia peluk
pinggang si anak muda erat-erat.
Khik-sia kerutkan alis dan menanyainya: "Bagaimana, apakah kau merasa sakit sekali?"
"Kumerasa jarum itu seperti bergerak-gerak ke atas, makin lama makin menyusup lebih dalam,"
jawab Su Tiau-ing.
Khik-sia terkesiap kaget. Memang ia tahu bagaimana kepandaian bekas ji-suhengnya itu.
Pikirnya: "Jika tak dicabut, dalam tujuh hari jarum itu tentu dapat menyerang ke jantung. Pada
waktu itu, tiada obatnya lagi. Sekalipun tidak kena jantung dan hanya menyusup ke dalam jalan
darah saja, juga akan menyebabkan invalid. "Ah, tak nyana Ceng-ceng-ji itu sedemikian ganasnya.
Terhadap nona Su, ia juga gunakan jarum rahasia."
Penderitaan Su Tiau-ing makin menyebabkan Khik-sia tak dapat meninggalkannya. Katanya:
"Kau tahan dulu sebentar, biar kucari tempat untuk mengobati lukamu itu."
Ia lari sampai 20-an li, mendaki sebuah gunung. Di situ ia berhenti dan bantu Su Tiau-ing turun
dari kuda. Mereka masuk ke dalam sebuah hutan.
"Maaf, aku telah membikin capek kau," kata Su Tiau-ing.
"Kau telah menolong aku, seharusnya aku membalas menolongmu. Aku tak berterima kasih
kepadamu dan kaupun tak usah berterima kasih kepadaku," jawab Khik-sia.
Su Tiau-ing tertawa: "Kiranya kau berniat hendak tinggalkan aku, maka sekarang kau berusaha
untuk mengobati lukaku. Jangan takut, sekalipun nanti aku tak punya sandaran siapa-siapa lagi,
tapi tak nanti aku membayangi kau. Apalagi kau punya ginkang yang hebat. Setiap waktu kau
tinggalkan aku, masakan aku dapat mengejarmu lagi."
Khik-sia termekmek dengan kata-kata si nona yang membuka isi hatinya itu. Merahlah
wajahnya. Sampai sekian lama baru dapat berkata lagi: "Aku bukan bermaksud begitu. Seorang
lelaki harus dapat membedakan budi dan dendam. Aku tak suka menerima budi kebaikan orang."
Su Tiau-ing menjawab dengan sungguh-sungguh: "Mana aku telah melepas budi padamu"
Adalah karena kau tidak baik, maka sampai hampir mencelakai dirimu. Kuberimu obat penawar,
itu sudah selayaknya. Cukup asal kau tak membenci aku lagi, aku sudah merasa berterima kasih tak
terhingga."
Khik-sia putuskan pembicaraan: "Perkara lama, janganlah diungkat lagi. Sekarang, harap kau
duduk bersandar pada pohon ini. Kau merasa jarum itu menyusup ke bagian mana?"
Su Tiau-ing julurkan kaki kanannya: "Sepertinya menyusup sampai di betis, di sebelah jalan
darah sam-kwat-hiat."
Khik-sia bersangsi sebentar lalu berkata: "Nona, maafkan kekurangajaranku." -- Tiba-tiba ia
pegang ujung kaki Su Tiau-ing, terus melepaskan sepatunya.
"Akan kuambil jarum di kakimu itu," sahut Khik-sia.
Su Tiau-ing menghela napas lalu tertawa cekikikan: "Ai, kau ini memang ... Omong saja tak
jelas. Kalau tadi-tadi mengatakan begitu kan aku tak sampai kaget dan tak perlu kau menyebutnyebut
soal kurang ajar atau tidak."
"Kau tahankan, ya, sakitnya! Hendak kucabut keluar jarum itu." kata Khik-sia.
Ia menutuk jalan darah sam-kwat-hiat di betis si nona, kemudian mencekal kencang ujung
kakinya. Diam-diam ia kerahkan lwekangnya. Serangkum arus lwekang menyalur dan mendorong
jarum itu keluar. Begitu ujung jarum menonjol, terus dipijat Khik-sia. Saking sakitnya Su Tiau-ing
sampai mandi keringat dan tubuhnyapun gemetar. Tanpa terasa, karena menahan kesakitan itu, Su
Tiau-ing menyandar pada tubuh Khik-sia. Ketika melirik, didapatinya kedua belah pipi Khik-sia
merah padam, napasnya memburu.
Memang sebesar itu, belum pernah Khik-sia berjajar rapat dengan seorang gadis. Meskipun
saat itu untuk keperluan pengobatan, namun karena menyentuh kaki seorang gadis yang harum
baunya, mau tak mau jantung Khik-sia berdebur keras. Sebaliknya Su Tiau-ing diam-diam merasa
geli: "Kiranya anak muda ini lebih pemaluan dari aku."
Dalam derita kesakitannya itu, Su Tiau-ing merasa bahagia. Bahkan ia malah mengharap
kesakitannya itu bisa panjang waktunya. Dengan lwekang yang lihay, dalam sekejap saja dapatlah
Khik-sia menekan jarum itu turun ke telapak kaki Su Tiau-ing. Begitu ujungnya menonjol keluar,
Khik-sia gunakan dua buah jari untuk menariknya.
"Aduh!" Su Tiau-ing menjerit kesakitan. Tapi jarum itu sudah dapat dikeluarkan Khik-sia.
Setelah itu Khik-sia lalu melumuri obat. Su Tiau-ing bersandar pada pohon dengan napas tersengalsengal,
sedangkan Khik-sia juga mandi keringat. Kala itu hari sudah gelap. Di celah gunung sang
dewi malam sudah mulai mengintip.
"Aduh, mengapa tenagaku tak ada sama sekali. Kau bagaimana, apa sekarang mau pergi?" seru
Su Tiau-ing. "Beristirahatlah dulu di sini sebentar. Aku hendak mencari makanan. Lukamu sudah sembuh.
Tenagamu lemas, karena kau tentu lapar," kata Khik-sia. Ia sendiri hanya makan semangkuk bubur
pagi tadi. Dalam pertempuran tadi ia sudah gunakan tenaga tak sedikit. Kemudian mencabut jarum
di kaki Su Tiau-ing, ini membuatnya merasa lapar juga.
Benar di hutan situ banyak binatangnya, tapi di waktu malam hari sukarlah untuk mencarinya.
Apalagi Khik-sia tak punya pengalaman berburu. Dengan susah payah, akhirnya ia hanya dapat
menangkap dua ekor kelinci hutan saja.
Jilid 8 Dilihatnya Su Tiau-ing sudah membuat api dan menyambutnya dengan senyum tertawa:
"Kukira kau tak balik lagi!"
"Hm, jika bukan karena tenagamu masih belum pulih, aku tentu sudah pergi," demikian Khiksia
membatin. Tapi Su Tiau-ing rupanya tahu apa yang dibatin anak muda itu, serunya tawar: "Di dunia tiada
perjamuan yang tiada berakhir. Baiklah, kurangkai bunga untuk kupesembahkan Hud. Biarlah
kusiapkan hidangan selaku perjamuan perpisahan kita."
Ia menyambut kedua ekor kelinci itu, menambahi pula unggun api lalu mulai membakar kelinci
itu. Ditingkah oleh cahaya api, wajah nona itu tampak kemerah-merahan, suatu warna yang makin
menambah kecantikan wajahnya. Hati Khik-sia berdebar-debar, pikirnya: "Jika sehabis makan
lantas kutinggalkan, apakah tidak kelewat menyolok. Seorang gadis yang lukanya masih belum
sembuh, berada seorang diri di tengah hutan belantara, apakah tidak berbahaya" Jangan kata


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkohnya akan mengirim orang untuk mencarinya, sedang kalau-kalau sampai berjumpa dengan
binatang buas saja, apakah jiwanya tak terancam nanti" Ai, tetapi .... tetapi .... apakah malam ini
aku harus menemaninya di sini?"
Rembulan makin naik tinggi. Sinarnya menerobos di sela-sela daun pohon yang rindang
membawakan suatu suasana yang rawan. Angin malam berhembus mengantar bau bunga hutan
yang wangi. Keindahan suasana malam kala itu diperkaya dengan hadirnya seorang gadis jelita.
Pikiran Khik-sia melayang-layang .... Tiba-tiba ia teringat akan diri Yak-bwe. Pada malam yang
sedemikian indah inilah ia bertemu dengan nona itu. Di taman bunga gedung Sik Ko, untuk
pertama kali ia berjumpa dengan calon isterinya itu.
"Ai, wktu itu perjumpaan kita diramaikan dengan pertengkaran. Dan ia malah memaki aku
sebagai pencuri. Tapi aku sendiri juga tidak baik, karena sikapku kepadanya juga getas-getas
mengejek."
Lain adegan terbayang lagi dalam lamunan Khik-sia. Adegan yang terjadi pada lain malam di
lain taman bunga pula yaitu di taman bunga Tok-ko U. --- "Seorang diri ia mondar-mandir di taman
bunga, menunggu kedatangan Tok-ko U..." Teringat sampai di sini, hati Khik-sia merasa pilu.
Buru-buru ia putuskan lamunannya itu dan tak mau lagi ia melamun yang tidak-tidak.
Di dahului dengan pecahnya sang mulut karena tertawa, berserulah Su Tiau-ing: "Apa yang kau
pikirkan" Kau tampak asyik sekali. Ini sate kelinci sudah matang."
Khik-sia gelagapan. Tiba-tiba teringat olehnya:
"Pada malam dua bulan yang lalu, aku juga berjumpa empat mata dengan Su Yak-bwe. Tak
nyana kalau malam ini juga menghadapi keadaan seperti itu. Sayangnya meskipun ia juga she Su
tapi bukan Su Yak-bwe. Ah, janganlah mengingat dia lagi. Ia (Yak-bwe) kan sudah mendapat
orang yang dipenujuinya."
Tersipu-sipu Khik-sia menyambuti kelinci bakar itu. Karena tak hati-hati, tangannya terbentur
dengan ranting yang dimasukkan ke dalam api oleh Su Tiau-ing tadi. Buru-buru ia tarik pulang
tangannya. "Ai, bagaimana kau ini" Apa yang kau pikirkan?" Su Tiau-ing tertawa.
Cepat Khik-sia bersikap sungguh-sungguh dan bertanya: "Aku hendak menanya suatu hal
padamu." "Apa itu hingga kau harus merenungkan sekian lama?" tanya Su Tiau-ing. Ia menatap pemuda
itu tajam-tajam.
Khik-sia batuk sebentar baru berkata: "Kau sudah tinggalkan sarang kaum pemberontak.
Sebenarnya aku takkan mengungkat peristiwa lama lagi. Tetapi urusan ini tak dapat terlepas dari
itu." Su Tiau-ing tersirat hatinya, pikirnya: "Ia memandang kerajaan Tay Yan sebagai sarang
pemberontak. Ia sendiri juga bangsa penyamun, mengapa begitu memandang rendah kepada kaum
pemberontak" Apalagi keluargaku itu bukan bangsa pemberontak biasa. Kalau berhasil tentu
menjadi raja, kalau gagal menjadi perampok. Masakah hal itu saja ia tak mengerti."
Ia paksakan tersenyum dan bertanya: "Bilanglah, tentang hal apa?"
"Ciu Ko, pangcu dari Kay-pang apakah masih kalian tawan?" tanya Khik-sia.
"Oh, kiranya tentang hal itu. Jangan kuatir, bukankah tadi kau melihat di markas engkohku itu
terbit kebakaran?" Su Tiau-ing balas bertanya.
"Ha" Jadi kau tahu siapa yang melepas api itu" Apakah hubungan api itu dengan Ciu pangcu?"
seru Khik-sia. Su Tiau-ing tertawa: "Kau begini pintarnya, masakan tak dapat menerka" Api itu aku yang
melepaskannya. Tempat yang terbakar itu adalah kamar tahanan Ciu pangcu."
"Apa" Kau yang membakar" Apakah kau mempunyai ilmu Hun-sin-hwat (membagi diri)?"
Khik-sia berseru kaget.
Su Tiau-ing menertawakannya: "Apakah masih belum jelas" Benar aku tak punya ilmu hun-sinhwat,
tapi toh aku punya budak kepercayaan?"
Si nona masih tetap tertawa: "Lama sudah kuduga, bahwa lambat atau lekas, engkohku itu tentu
bentrok dengan aku. Karena itu siang-siang telah kupesan orang-orang bila terjadi apa-apa harus
lekas menyulut api. Pertama, agar Ciu pangcu jangan sampai jatuh ke tangan engkohku. Kedua,
juga menguntungkan kita untuk lolos. Masihkah kau tak mengerti?"
"Kalau begitu, Ciu pangcu juga sudah lolos?"
"Sudah tentu. Memang sebenarnya aku tak berniat membunuhnya. Dengan susah payah
kutawannya, masakan lantas gampang-gampang mau membakarnya mati?" sahut Su Tiau-ing.
Khik-sia seperti terlepas dari tindihan batu. Namun ia masih belum yakin, pikirnya: "Agaknya
nona Su ini menjadi otak dari engkohnya di dalam merencanakan sesuatu. Merancang tipu siasat,
rupanya ia pandai sekali. Menawan Ciu pangcu itu, tentu juga ia yang mengatur. Tak terluput
diriku yang ditawan dan dijadikan orang perantara untuk menyampaikan maksudnya kepada Thiat
toako tentu juga buah pikirannya. Tapi mengapa mendadak sontak ia merubah haluan, melepaskan
Ciu pangcu dan putuskan hubungan dengan engkohnya" Apakah kesemuanya itu untuk diriku
semata-mata?"
Su Tiau-ing tertawa: "Pertanyaanmu telah kujawab. Ciu pangcu tidak binasa. Seharusnya kau
tak usah gelisah, tapi mengapa kau masih memikirkan apa-apa lagi?"
"Apakah kau tak menyesal putuskan hubungan dengan engkohmu?" tanya Khik-sia.
Su Tiau-ing tertawa menyahut: "Aku sebenarnya berlainan ibu dengan dia. Ia telah berbuat
khianat membunuh ayah kami dan telah menyebabkan ibuku meninggal karena marah. Coba kau
pikirkan, apakah aku masih dapat menganggapnya sebagai engkoh lagi?"
"Kalau begitu, sebenarnya kau sudah lama benci kepadanya" Tetapi, mengapa, mengapa ...."
"Kau hendak menanyakan mengapa sebelum aku melarikan diri aku mau membantu engkohku
itu, bukan?" Tiau-ing menegas.
"Sebenarnya tak suka aku mengungkat urusanmu yang lama. Jika kau tak suka menceritakan,
ya, sudahlah."
Su Tiau-ing tertawa: "Kutahu kau ini seorang anak lelaki yang kasar. Siapa nyana agaknya kau
juga mengerti soal etiket (tata susila). Padahal sekalipun tak kau tanyakan, aku tentu akan
memberitahukan padamu juga. Apa kau kira aku tulus ikhlas membantu engkohku" Hanya karena
belum tiba saatnya, aku belum dapat melakukan pembalasan padanya. Kekuasaan engkohku lebih
besar, anak buahnya lebih banyak dari anak buahku. Dari itu aku tak dapat sembarangan
bergerak"!"
Kini teranglah Khik-sia, katanya: "Kiranya kau memperalat Uh-bun-jui karena hendak memakai
tenaga kaum Kay-pang untuk menghadapi engkohmu?"
Sebenarnya Khik-sia masih menahan sebuah pertanyaan lagi, yakni: "Kau bersikap begitu juga
kepadaku, apakah bukan serupa maksud tindakanmu terhadap Uh-bun Jui?"
Dengan tegas Su Tiau-ing menjawab: "Benar, jika tak bermaksud menggunakan tenaga kaum
Kay-pang, masakan aku sudi berkenalan dengan Uh-bun Jui. Sayang meskipun telah kugunakan
bermacam jalan, namun ia tetap gagal menjadi pangcu."
Dingin-dingin Khik-sia berkata: "Akulah yang merusak usahamu itu. Kala itu jika aku tak
muncul melawan kalian, kemungkinan besar Uh-bun Jui tentu sudah menjadi pangcu."
Su Tiau-ing tertawa lebar: "Memang kala itu aku benci benar-benar padamu. Tapi kemudian
tidak lagi. Telah kunilai, meskipun Uh-bun Jui itu memiliki sedikit kepandaian, tapi ia tak dapat
digembleng menjadi "bahan" yang bagus. Untuk mengangkatnya, juga sukar. Ada apa" Apa kau
masih tak mau mengampuni dia?"
"Aku tak punya sangkut paut dengan dia. Diberi ampun atau tidak itu urusan partai Kay-pang,"
sahut Khik-sia.
Mata Su Tiau-ing berkeliaran. Dengan tertawa ia menatap Khik-sia, lalu berkata pelahan-lahan:
"Kukira kau masih mengandung permusuhan padanya."
"Tidak, sebaliknya aku malah agak merasa kasihan padanya," kata Khik-sia.
Sampai beberapa saat, Su Tiau-ing berdiam saja. Lewat beberapa saat lagi, barulah ia berkata
lagi: "Tentang bentrokanku dengan engkoh itu, memang suatu hal yang sukar dihindari. Hanya aku
tak menyangka kalau secepat ini terjadinya. Aku belum siap betul-betul, sudah didesak harus
mengadakan pilihan."
Diam-diam tergetar hati Khik-sia, pikirnya: "Kiranya kakak beradik itu diam-diam sudah
mendendam permusuhan. Nona ini masih muda sekali umurnya, tapi ternyata hatinya amat besar."
Pikirnya pula: "Su Su-bing mati memang sudah selayaknya. Tapi tak seharusnya ia mati di
tangan puteranya sendiri. Rupanya nona itu hendak membalas pada engkohnya, bukan semata-mata
karena hendak menuntutkan balas kematian ayahnya."
Katanya kepada Su Tiau-ing: "Kalau begitu, lagi-lagi akulah yang merusakkan rencanamu itu,
bukan?" "Tapi dengan begitu malah lebih baik. Hm, apakah kau suka membantu aku?" tanya Su Tiauing.
"Telah kukatakan dari tadi, kau sudah menolong aku dan akupun juga sudah menolongmu. Kita
tak usah merasa saling menerima budi. Besok apabila fajar sudah tiba, kita bakal sudah berpisah.
Aku tak dapat membantumu," jawab Khik-sia. Dalam pada itu ia membatin: "Kamu saling bunuh
dengan keluargamu sendiri dalam hal itu aku tak boleh ikut campur."
Su Tiau-ing tertawa: "Aku belum bicara selesai. Bukan saja hanya membantu urusanku, pun
bagimu juga ada kebaikannya."
"Kebaikan apa saja pun aku tak memikirkan," Khik-sia tetap menolak.
"Apakah setitik saja kau tak mempunyai cita-cita untuk melakukan suatu pekerjaan besar?"
tanya Su Tiau-ing.
"Kulihat dulu, pekerjaan apa?" kata Khik-sia.
"Meskipun engkohku itu menderita kekalahan, tapi ia masih punya berpuluh ribu anak buah.
Selain itu aku sendiri juga punya tiga ribu pasukan wanita. Mereka hanya mendengar perintahku
saja. Engkohku tak punya kekuasaan untuk memerintah mereka. Tapi jika engkohku itu
meninggal, sebaliknya aku dapat menguasai anak buahnya."
"Jadi kau mau hilangkan dia dan menggantinya" Tetapi hal itu tak ada sangkut pautnya dengan
diriku. Telah kukatakan berulang-ulang, bahwa aku tak dapat membantu urusanmu," kata Khik-sia.
"Tidak, hal itu justeru ada sangkut pautnya padamu. Coba dengarlah. Aku juga tak
menghendaki kau mewakili aku membalas sakit hati karena toh sekarang ini kau sudah 'putus arang'
(hubungan yang tak mungkin balik lagi) dengan Ceng-ceng-ji. Kita pulang secara diam-diam.
Pasukanku itu dapat menghadapi anak buah engkohku. Engkohku itu juga bukan tandinganku.
Aku hendak melakukan pemberontakan secara tiba-tiba. Urusan itu tanggung berhasil. Yang
kukuatiri ialah beberapa ko-chiu (jago lihay) yang diundangnya itu. Tapi diantara mereka itu, Hoan
Gong siang jin terang berdiri netral. Dalam kalangan orang Kay-pang ada Ma-tianglo dan Uh-bun
Jui, tapi Uh-bun Jui tak berani berbuat apa-apa terhadap aku. Yang masih perlu dikuatirkan hanya
Ceng-ceng-ji seorang. Aku hanya minta padamu, jika Ceng-ceng-ji itu sampai merintangi, harap
kau bunuh saja dia itu. Jika urusanku itu selesai, kuangkat kau menjadi raja! Seluruh anak buah
engkohku akan kuserahkan padamu."
Mendengar itu Khik-sia tertawa gelak-gelak.
"Mengapa kau tertawa?" tanya Su Tiau-ing.
Sahut Khik-sia: "Kau salah memilih orang. Aku bukan manusia yang setimpal menjadi raja."
"Sejak dulu sampai sekarang, kerajaan mana yang tidak terdiri dari orang yang mempertaruhkan
jiwanya, menang jadi raja, kalah jadi perampok" Apa kau kira seorang raja itu memang sudah
ditakdirkan?"
Jawab Khik-sia: "Setiap orang mempunyai cita-citanya sendiri. Karena kau bercita-citakan
menjadi raja, nah, jadilah!"
Su Tiau-ing tertawa mengikik: "Sayang, aku ini seorang anak perempuan."
Khik-sia bersikap sungguh, katanya: "Apakah seorang perempuan tak boleh menjadi raja"
Apakah Bu Cek-thian itu bukan seorang kaisar wanita" Ia telah mengganti kerajaan Tong menjadi
kerajaan Ciu dan bukankah ia berhasil menikmati tahta kerajaan selama 19 tahun lamanya?"
Su Tiau-ing kerutkan sepasang alisnya. Biji matanya berseri-seri dan tertawalah ia: "Kaisar
Cek-thian itu seorang wanita yang pandai lagi berani. Kaisar Thay Cong saja tak lebih pintar
daripadanya, mana aku dapat dipersamakan dengannya" Dan lagi jangan dilupakan bahwa kaisar
Cek-thian itu juga mempunyai pembantu-pembantu yang jempol seperti Tek Jin-kiat."
Khik-sia tertawa: "Sayang aku tak mampu menjadi Tek Jin-kiat. Jika kau mau jadi raja, pilihlah
lain Tek Jin-kiat yang dapat membantumu."
Su Tiau-ing menunduk dengan rasa kecewa, tapi pada lain saat tiba-tiba ia tertawa lagi.
"Ha, kau tertawa lagi?" seru Khik-sia.
"Aku hanya omong guyon kau lantas anggap sesungguhnya. Kau adalah seorang gagah,
seorang pendekar, tapi takut berangan-angankan menjadi raja. Coba pikirkan, aku seorang anak
perempuan mana berani tak tahu diri" Tadi hanya sekedar guyonan saja jangan kau anggap
sungguh-sungguh."
Pada hal ia mengatakan hal itu dengan tertawa untuk memulas maksudnya yang sesungguhnya.
Benar-benar nona itu licin sekali.
Katanya pula: "Engkohku rasanya juga takkan lama menjadi raja. Tapi ia masih mempunyai
puluhan ribu anak buah. Apabila orang yang pegang kekuasaan itu tidak bijaksana, akibatnya hanya
akan membahayakan rakyat saja. Jika kau sendiri tak mau menindaknya, toh bukan suatu hal jelek
jika kau suka membantu aku merobohkannya" Dengan begitu berarti bisa basmi perbuatannya yang
merugikan kepentingan rakyat, bukan?"
Tergerak juga hati Khik-sia mendengar ucapan nona itu. Tapi segera ia berkata: "Ini masalah
kerajaan, tak perlu aku yang mengurusi."
Rupanya Khik-sia sungkan untuk mengutarakan selanjutnya, bahwa "Urusanmu aku tak mau
turut campur".
Su Tiau-ing putus asa, tapi tak mengentarakan. Tak mau ia unjukkan kepada Khik-sia. Lewat
beberapa jenak, ia menatap Khik-sia dan tertawa: "Ai, kau ini tidak itupun tidak. Habis kau mau
jadi apa?"
"Aku hanya bercita-cita menjadi orang seperti ayahku," jawab Khik-sia.
"Oh, kau ingin menjadi pendekar kelana" Yang menjadikan dunia ini rumah tinggalmu, yang
akan menuntut keadilan bagi rakyat dunia yang tertindas?"
Atas pertanyaan itu, Khik-sia hanya ganda tertawa saja. Sikap itu dapat diartikan, secara diamdiam
ia mengakuinya.
Su Tiau-ing diam-diam menghela napas, katanya: "Telah kukoreksi diriku sendiri, hati ingin
memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Aku ingin juga menjadi tokoh semacam itu, tapi
kepandaianku tak mencapai. Tapi mungkin aku tetap tak dapat membiarkan engkoh berbuat
kejahatan. Aku tentu harus membereskan urusan keluargaku dulu, baru dapat menurutkan citacitaku,
bebas berkelana seperti burung yang bebas terbang di udara."
"Setiap orang mempunyai cita-cita sendiri, tak dapat dipaksa. Kau senang menjadi apa, tak
usah kiranya berunding padaku," kata Khik-sia.
Su Tiau-ing tertawa: "Sedikitpun kau tak menaruh perhatian pada urusanku."
"Bukan, aku justeru hendak bertanya padamu. Apakah semangatmu sudah pulih" Apakah luka
di kakimu itu sudah sembuh" Apa besok sudah dapat lari" Baiklah sekarang kau beristirahat saja,"
kata Khik-sia. Su Tiau-ing bersungut-sungut: "Inikah yang disebut 'perhatian'" Kau kuatir aku merepotimu
saja. Baiklah, biar aku mati atau hidup tak perlu kau hiraukan. Bisa berjalan atau tidak, tak perlu
kau pedulikan. Aku hendak tidur sekarang! - Ia lantas meramkan mata, tak mengacuhkan Khik-sia
lagi. Meskipun Khik-sia tak punya kesan baik terhadap nona itu, namun tak tega juga hatinya untuk
meninggalkannya seorang diri di dalam hutan dalam keadaan seperti saat itu. Diam-diam ia
menghela napas, pikirnya: "Perangai anak perempuan itu, memang sukar diraba. Jika menyalahi,
tentu runyam. Untung kerunyaman itu hanya untuk satu malam ini saja. Besok pagi-pagi, kita
sudah akan berpisah. Kelak belum tentu kita akan berjumpa lagi. Bencilah sepuas-puasmu,
biarlah." Karena kuatir kalau ada binatang buas datang, bukan saja Khik-sia tak menyingkir, malah iapun
tak dapat tidur. Ia tak mau dekat, tapipun tak terpisah jauh dari nona itu. Ia mondar-mandir di
bawah pohon, menjadi penjaga malamnya Su Tiau-ing. Berulang kali ia berpaling mengawasi nona
itu. Beberapa saat kemudian rembulan makin tinggi, bintang-bintang bergemerlapan dan malam pun
makin dingin. Su Tiau-ing pun rupanya sudah tidur pulas. Khik-sia berindap-indap
menghampirinya. Lapat-lapat ia mendengar suara napas nona itu, bagaikan sekuntum bunga teratai
yang tidur di bawah sinar rembulan, menyebarkan hawa nan harum.
Serangkum angin berembus, tubuh si nona agak gemetar. Hati Khik-sia terkesiap, pikirnya:
"Dalam angin malam yang dingin, ia hanya memakai pakaian tipis, apakah tidak masuk angin
nanti." - Tanpa terasa ia melolos bajunya lalu ditutupkan ke tubuh nona itu.
Su Tiau-ing agak menggeliat, buru-buru Khik-sia menyingkir. Tiba-tiba terdengar suara ketawa
yang halus tapi cukup jelas dalam telinga Khik-sia. Berbareng itu, tanpa ada angin sebuah biji
siong jatuh mengenai jidatnya. Kejut Khik-sia bukan kepalang. Cepat ia melolos pokiamnya dan
gunakan ginkang it-ho-jong-thian (burung bangau menerobos langit), ia loncat ke atas pohon dan
menusuknya. Memang ternyata di atas pohon itu bersembunyi seseorang. Hanya saja ketika Khik-sia
menusuk, orang itu sudah menyelinap loncat ke lain pohon. Gerakannya luar biasa tangkasnya.
Khik-sia hanya melihat sesosok bayangan saja, tapi siapa orangnya ia tak tahu sama sekali.
Kejutnya makin menjadi-jadi. Pikirnya: "Ginkangnya jauh lebih hebat dari aku. Jika orang itu
suruhan engkohnya, sukarlah untuk menghadapinya."
Setelah mengejar sampai tiga batang pohon, barulah orang itu melayang turun ke bumi dan
melambaikan tangannya kepada Khik-sia. Serunya sambil tertawa: "Turunlah, kita boleh omongomong
di sini." Khik-sia terkesiap, keluhnya dalam hati: "Ah, tolol benar aku ini. Seharusnya siang-siang aku
ingat kepada suheng. Selain ia, siapa orangnya lagi yang memiliki ginkang sedemikian hebatnya
itu?" Kiranya orang yang muncul itu bukan lain adalah suheng dari Khik-sia sendiri, yakni Gonggong-
ji. Walaupun sudah mengerti, namun pada saat itu Khik-sia tak enak hatinya. Mengapa
suhengnya membawa ia jauh dari tempat Su Tiau-ing seolah-olah takut pembicaraannya nanti
didengar nona itu" - "Apa yang akan dikatakan sehingga tak mau didengar orang lain itu?" pikirnya.
Sudah beberapa tahun lamanya Khik-sia tak berjumpa dengan suhengnya itu. Sejak ayah
bundanya meninggal, kecuali dengan Thiat-mo-lek, hanya dengan suhengnya itulah ia paling baik
hubungannya. Sudah tentu pertemuan yang tak terduga-duga itu, ia merasa girang-girang terkejut.
Walaupun mempunyai perasaan tak enak hati, namun ia tak mau mengurangkan kegirangannya itu.
"Suheng, mengapa tiba-tiba kau kemari?" serunya dengan girang.
"Apalagi kalau bukan karena hendak menengok kalian. Sute, peruntunganmu sungguh besar!"
Gong-gong-ji tertawa.
Selebar muka Khik-sia merah padam. Baru ia hendak membantah, Gong-gong-ji segera berkata
dengan nada tegas: "Memang paras cantik itu mudah memikat hati. Dalam hal ini tak dapat
mempersalahkan kau. Hanya saja di kolong dunia itu banyak sekali gadis-gadis molek, tetapi
mengapa pilihanmu jatuh kepada nona itu" Sute, dengar nasehatku, lebih baik jangan berhubungan
dengan nona itu!"
Khik-sia gelagapan dan goyang-goyangkan tangannya, tapi mulutnya sukar untuk mencari
permulaan pembelaannya. Akhirnya, ia hanya berteriak seperti orang kepedasan: "Tidak! Tidak!
Suheng, kau, kau salah paham!"
Gong-gong-ji gelengkan kepala: "Ketika Ceng-ceng-ji mengatakan, bermula memang aku tak
percaya. Tapi tadi aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Apakah aku tak


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempercayai mataku sendiri?"
Khik-sia kaget dan berseru: "Ceng-ceng-ji membual apa di hadapanmu?"
Seketika wajah Gong-gong-ji tampak kurang senang, katanya: "Ceng-ceng-ji tinggalkan
perguruan dan galang-gulung dengan kaum penjahat, memang tidak senonoh perbuatannya itu.
Tetapi bagaimanapun dia adalah suhengmu, mengapa kau tak mengindahkan lagi padanya" Sampai
panggilan 'ji-suheng' saja, kau sudah tak sudi menyebutkannya" Dan begitu bertanya kau lantas
menuduh ia membual?"
"Ceng-ceng-ji mau membunuh aku. Mengapa aku harus mengakuinya sebagai suheng lagi?"
bantah Khik-sia.
"Dia mau membunuhmu" Oh, kumengertilah. Tentulah karena kau tak mau mendengar
nasihatnya maka ia lantas menggertakmu."
Dada Khik-sia seperti mau meledak bahna marahnya, serunya: "Suheng, tahukah kau tentang
perbuatannya yang belakangan ini" Apa yang dia katakan padamu?"
"Karena mendengar bahwa ia berada dengan Su Tiau-gi, maka baru aku datang menyelidiki. Ia
sudah berjumpa padaku, tetapi ia mengatakan ia berbuat begitu karena terpaksa untuk kepentingan
dirimu." Geli-geli jengkel Khik-sia dibuatnya, segera katanya: "Mengapa karena diriku?"
"Karena ia tahu kalau kau kena terpikat oleh nona siluman itu, setelah berulang kali gagal
menasihati kau, barulah ia terpaksa menerima undangan Su Tiau-gi. Maksudnya tak lain karena
hendak mengawas-awasi kau saja, agar jangan sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang tak
senonoh. Siapa tahu ternyata kau benar-benar melakukan hal itu. Kabarnya nona Su itu telah
melarikan diri dengan kau, dicegah engkohnya tapi malah engkohnya itu ditusuk sampai terluka.
Benarkah itu?"
"Segala obrolan Ceng-ceng-ji itu bohong belaka. Suheng, mengapa kau percaya padanya?"
bantah Khik-sia.
Gong-gong-ji kerutkan alisnya: "Jadi kau katakan dia membohong" Tapi diam-diam aku telah
menyelundup ke kamar Su Tiau-gi dan melihat dia memang betul-betul terluka."
"Benar, memang Su Tiau-gi dilukai adiknya itu, tapi sekali-kali bukan karena hendak melarikan
diri dengan aku. Suheng, sayang siang-siang kau tak datang. Kalau tidak, tentu kau menyaksikan
bagaimana aku bertempur dengan Ceng-ceng-ji."
Kata Gong-gong-ji: "Tidak melarikan diri" Mengapa kalian berdua bisa berada di sini pada
malam begini" Hm, sebenarnya kau ini seorang anak baik, tapi karena persoalan seorang nona
siluman kau lantas berubah begini jelek. Kau tak mau mendengar nasihat ji-suhengmu itulah sudah,
tapi mengapa kau berkelahi padanya?"
"Suheng, maukah kau juga mendengarkan keteranganku?" saking bingungnya Khik-sia
berteriak keras.
"Baik, bilanglah. Sejak kecil kau belum pernah berbohong kepadaku. Kini kau sudah dewasa,
kuharap kau tetap seperti masa kecilmu itu," kata Gong-gong-ji yang dengan kata-kata itu seolaholah
ia sudah tak begitu menaruh kepercayaan pada Khik-sia lagi.
Tak enak sekali hati Khik-sia. Tapi teringat bagaimana pada saat itu ia berduaan dengan
seorang nona dan pada saat ia menutupkan bajunya ke tubuh si nona, suhengnya itu kebenaran
sekali telah melihatnya. Kalau Gong-gong-ji menganggapnya berbuat serong, itulah mudah
dimengerti. "Apakah aku atau Ceng-ceng-ji yang bohong, silahkan nanti suheng menilainya. Dan asal
suheng suka menyelidiki tentu tak sukar untuk mendapat jawaban. Karena urusan Ciu pangcu,
maka beberapa hari yang lalu partai itu mengadakan rapat besar. Entah apakah suheng sudah
mendengar tentang hal itu," kata Khik-sia.
"Di tengah perjalanan, banyak aku berjumpa dengan kaum pengemis. Tentang rapat besar kaum
Kay-pang, sudah lama kudengarnya. Tapi aku tak berminat mengurusi mereka. Tentang peristiwa
apa yang menimpa Ciu pangcu mereka, apa hubungannya denganmu?"
"Dengan mengandalkan pengaruh keluarga Su kakak-beradik, Uh-bun Jui melakukan
pengkhianatan terhadap partainya. Ceng-ceng-ji menulang-punggungi Uh-bun Jui. Kala itu mereka
telah melakukan sandiwara yang bagus. Pada saat itu kebetulan aku juga hadir. Aku tak setuju
akan tindakan Ceng-ceng-ji sehingga terpaksa turun tangan membantu pihak Wi locianpwe."
Demikian Khik-sia segera menuturkan semua kejadian, mulai dari peristiwa di Kay-pang,
kemudian sampai ia ditawan oleh Ceng-ceng-ji dengan obat bius, bagaimana Su Tiau-ing bentrok
dengan Su Tiau-gi lalu lolos dari kepungan.
Akhirnya ia berkata: "Bukankah Ceng-ceng-ji mengatakan pada suheng bahwa ia terpaksa mau
menerima undangan Su Tiau-gi karena hendak memata-matai perbuatanku dengan nona Su" Pada
waktu Kay-pang mengadakan rapat besar, aku sama sekali tak kenal dengan Su Tiau-ing. Tapi
Ceng-ceng-ji pada waktu itu sudah membantu pada Su Tiau-gi kakak-beradik. Peristiwa dalam
rapat Kay-pang pada saat itu, disaksikan oleh ribuan anggotanya. Adakah aku yang bohong atau
Ceng-ceng-ji yang dusta, mudahlah diketahui."
"Jadi kalau menurut keteranganmu, dalam rapat itu anak murid Kay-pang belum mengetahui
bahwa Ciu pangcu mereka ditawan oleh kakak-beradik Su?" kata Gong-gong-ji.
"Benar, mungkin begitulah, maka Ceng-ceng-ji baru berani berbohong padamu. Tetapi pada
kala itu selain bertempur dengan Ceng-ceng-ji akupun berkelahi juga dengan nona Su itu. Jika
siang-siang aku sudah ada hubungan baik dengan nona itu, mengapa aku merusakkan rencananya?"
bantah Khik-sia.
Kini mulailah Gong-gong-ji tergerak kepercayaannya.
"Ah, tak kira kalau Ceng-ceng-ji sedemikian kurang ajarnya. Jika siang-siang sudah kutahu,
tentu sudah kutangkapnya dan kuhukum dia suruh menghadap tembok sampai tiga tahun!" akhirnya
meluncurlah pengakuan Gong-gong-ji.
"Apakah ia sudah melarikan diri?" tanya Khik-sia.
"Sebenarnya kuajaknya ia datang kemari untuk mencari kau. Tapi ia menolak dengan alasan tak
enak meninggalkan Su Tiau-gi yang sedang terluka, karena ia sudah menerima penghormatan besar
dari Su Tiau-gi itu. Nanti setelah Su Tiau-gi sembuh, barulah ia dapat pergi. Sekalipun begitu,
karena ia merasa telah berdusta padaku dan takut kalau kutangkapnya, maka ia tentu sudah
meloloskan diri," menerangkan Gong-gong-ji.
Sebenarnya Gong-gong-ji itu masih ada setitik kecurigaan terhadap Khik-sia. Ia percaya bahwa
Ceng-ceng-ji yang berbohong, tapi ia tetap belum percaya penuh kalau Khik-sia sama sekali tak ada
hubungan apa-apa dengan Su Tiau-ing. Pikirnya: "Kau benar pernah bertempur dengan dia (Su
Tiau-ing) dalam rapat Kay-pang, tapi itu bukan suatu jaminan bahwa selanjutnya kau tak kena
terpikat olehnya. Jika kau tak sayang padanya, mengapa kau begitu tekun menjadi penjaga malam
dan menutupi tubuhnya dengan bajumu?"
Maka katanya kemudian: "Kau tak terjerumus ke jalan sesat, itulah baik sekali. Bagaimanapun
halnya, dara she Su itu jangan rapat-rapat didekat. Lebih baik kau lekas menyingkir dari dia, makin
jauh makin baik."
Khik-sia merasa agak jengkel tapipun agak geli juga. Pikirnya: "Nona itukan bukan seekor ular
berbisa, asal aku tak dekat toh sudah cukup. Mengapa harus begitu ditakuti?"
Namun sekalipun hatinya membantah, tapi Khik-sia tak mau adu bicara dengan suhengnya lagi.
Katanya: "Harap suheng jangan kuatir. Besok pagi-pagi aku tentu berpisah dengan dia. Akupun tak
mau memperdulikan urusannya lagi."
Gong-gong-ji mengangguk, tetapi ia bertanya pula: "Kau hendak pergi kemana nanti?"
"Lebih dulu aku hendak kembali melapor pada Kay-pang, setelah itu baru menuju ke Tiang-an,"
kata Khik-sia. Khik-sia mengiakan: "Benar, yang melepas api ialah anak buah dari nona Su itu. Api berkobar
besar sekali, apakah di tengah jalan kau tak melihat cahayanya?"
"Ketika tiba, api baru mulai merangsang. Cahaya api sudah tentu kulihatnya tapi, huh, tapi
sedikit aneh," kata Gong-gong-ji.
"Apanya yang aneh?" tanya Khik-sia.
Kata Gong-gong-ji: "Ciu pangcu, Ma tianglo, Uh-bun Jui dan lain-lain orang Kay-pang, aku
kenal semua. Tapi ....." -- Sampai disitu Gong-gong-ji hentikan kata-katanya.
Baru Khik-sia hendak menanyakan mengapa suhengnya itu mendadak berhenti bicara, begitu ia
mendongak, dilihatnya Su Tiau-ing tengah berjalan menghampiri mereka.
Dingin-dingin nona itu menegurnya: "Gong-gong-ji, bilakah kau datang" Mengapa tak
memberi tahu padaku" Apa yang kalian suheng dan sute berdua omongkan secara bersembunyi di
belakangku itu" Bolehkan aku mendengarinya?"
Pikir Khik-sia bahwa suhengnya tentu akan marah, ternyata meleset. Dengan ramahnya Gonggong-
ji menyahut: "Jangan curiga, nona Su. Karena kau tidur, maka aku tak berani
mengganggumu. Karena sudah beberapa tahun tak berjumpa dengan suteku ini, maka kami saling
menuturkan pengalaman masing-masing, sekali-sekali tidak ngerasani kau di belakangmu."
Dengan tawar Su Tiau-ing berkata: "Benarkah" Tapi, Gong-gong-ji, aku tak terlalu percaya
padamu. Khik-sia bilanglah, bukankah suhengmu mengatakan sesuatu tentang diriku?"
Khik-sia tak biasa berbohong. Tapi karena Su Tiau-ing bertanya begitu, iapun tak mau
menjawabnya. Pikirnya: "Suheng mengatakan kau ini seorang perempuan siluman, tapi tak mau
kuberitahukan padamu."
Maka sahutnya: "Kau sudah tahu dia adalah suhengku, sudah tentu kami suheng dan sute
banyak sekali yang dibicarakan. Tentang apa yang kita bicarakan, itu bukan urusanmu."
"Baik, rupanya kamu berdua suheng dan sute itu sudah saling bersepakat. Aku orang luar, tak
boleh ikut campur. Tetapi, Gong-gong-ji, akan ada seseorang yang hendak mengurus dirimu. Dan
orang itu segera akan tiba kemari. Memang kebetulan sekali kita berjumpa di sini, jangan kau
ngacir dulu, lho!" demikian Su Tiau-ing mencerocos.
"Nona Su, jangan membikin susah padaku. Aku masih ada lain urusan, ai, benar-benar ada
urusan. Maaf, terpaksa harus pergi." -- Habis berkata, Gong-gong-ji pun segera melesat pergi,
tanpa meninggalkan sepatah kata kepada Khik-sia. Pada lain kejap ia sudah lenyap dari
pemandangan. Su Tiau-ing cibirkan bibirnya dan ketawa riang.
Muncul dan perginya Gong-gong-ji itu sungguh di luar dugaan Khik-sia. Tapi cara ia pergi
secara begitu mendadak, lebih mengherankan Khik-sia daripada ketika ia muncul tadi. Gong-gongji
itu seorang manusia yang tak takut segala apa. Seumur hidupnya, kecuali terhadap suhu dan
subonya, ia tak pernah tunduk kepada siapapun jua. Dahulu karena peristiwa diri Ceng-ceng-ji, ia
pernah bertempur dengan Hong-kay Wi Wat, itu tokoh dari Kay-pang. Tapi heran, manusia yang
tak punya takut itu kini ternyata lari terbirit-birit oleh beberapa patah kata Su Tiau-ing saja.
Sungguh mengherankan sekali!
Dengan penuh tanda tanya, diam-diam Khik-sia menimang dalam hati: "Siapakah yang
dikatakan oleh Su Tiau-ing itu" Pada masa ini tokoh-tokoh yang dapat mengalahkan suheng, hanya
dapat dihitung dengan jari saja. Selain Bok Jong-long dari pulau Ho-siang-to di laut Tang-hay yang
begitu jauhnya, mungkin hanya Kim Lun hwat-ong yang dapat menundukkan suheng. Lainlainnya,
seperti Wi Wat, Mo Keng lojin dan Biau Hui sin-ni dan lain-lain, paling banyak hanya
berimbang dengan dia. Sedangkan terhadap Kim Lun hwat-ong, suheng tak takut, masakan orang
yang disebut Su Tiau-ing itu jauh lebih sakti dari Kim Lun hwat-ong itu?"
Su Tiau-ing tertawa: "Suhengmu sudah lari jauh. Kukira ia tentu tak berani datang lagi.
Mengapa kau masih mengawasi terlongong-longong saja" Bahwa tadi aku telah mengganggu
pembicaraan kalian berdua suheng dan sute, sungguh aku merasa menyesal. Ha, aku sendiripun tak
menyangka sama sekali bahwa Biau-chiu Gong-gong-ji begitu berjumpa padaku lantas lari terbiritbirit
begitu rupa."
Khik-sia tak dapat tiada berpikir: "Sudah lama sekali suhengku termasyhur namanya, maka
pambeknyapun tinggi. Ia muncul pergi tanpa terduga. Terhadap kaum rendahan, bagaimana ia mau
meladeni" Nona Su ini masih muda umurnya, pun puteri dari Su Su-bing yang paling dibenci oleh
suheng. Tapi mengapa ia kenal pada suheng?"
Dan keheranan hatiya itu segera disalurkan dalam sebuah pertanyaan: "Nona Su, bilakah kau
kenal pada suhengku itu" Mengapa suheng tak pernah mengatakan padaku?"
"Amboi, belum pernah mengatakan?" sahut Su Tiau-ing, "Bukankah tadi di belakangku ia
mengomongkan tentang diriku?"
Tergerak hati Khik-sia. Teringat tadi sikap suhengnya kala menasehatinya supaya jangan
bergaul rapat dengan Su Tiau-ing. Ditilik naga-naganya, agaknya Gong-gong-ji itu memang sudah
kenal dengan nona itu. Hanya saja mengapa ia begitu ketakutan terhadap nona itu"
Kata Su Tiau-ing pula: "Aku tak peduli apa yang kalian berdua bicarakan tadi. Kaupun tak usah
menghiraukan bagaimana aku kenal padanya. Pokoknya, kau takut pada suhengmu, tetapi aku tak
takut sama sekali kepadanya."
Sejak dulu Khik-sia selalu mengindahkan kepada suhengnya. Mendengar kata-kata Su Tiau-ing
begitu, ia tak enak hatinya.
"Bagus, memang sebenarnya kita bukan sekaum maka tak perlu menghiraukan urusan masingmasing.
Aku cukup akan bertanya padamu, apakah sekarang kau sudah sembuh sama sekali"
Dapatkan kau berjalan seperti biasa lagi?"
Su Tiau-ing kerutkan alis dan menyahut: "Ya, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Aku sudah
sembuh." Kala itu rembulan sudah remang di ufuk barat. Fajar segera akan menerangi bumi. Kata Khiksia:
"Baik, sekarang kita akan berpisah." -- Ia terus ayunkan langkah pergi.
"Hai, mau kemana kau" Apakah bukan hendak melapor pada kaum Kay-pang?" tiba-tiba Su
Tiau-ing meneriakinya.
"Hm, bukankah telah kita katakan, kita tak boleh mengurusi urusan masing-masing" Aku
hendak pergi kemana, perlu apa kau ingin tahu?" sahut Khik-sia yang tanpa berpaling kepala lagi
terus melangkah maju.
Dari belakang kedengaran Su Tiau-ing tertawa: "Sebenarnya aku malas untuk bertanya
urusanmu itu. Aku hanya kuatirkan apabila orang Kay-pang bertanya tentang diri Ciu pangcu,
bagaimana jawabmu?"
Dari ucapan Su Tiau-ing yang mencurigakan itu, teringatlah Khik-sia akan sesuatu. Tadi ketika
ia menceritakan kepada suhengnya bahwa Ciu pangcu sudah lolos, sikap suhengnya agak aneh,
malah mengatakan 'aneh' juga. Sayang suhengnya belum sempat menerangkan hal itu karena
keburu Su Tiau-ing datang.
Bahwa sekarang Su Tiau-ing mengungkat lagi hal itu, kecurigaan Khik-sia makin besar. Tanpa
terasa ia hentikan langkah dan berpaling bertanya: "Nona Su, bagaimana maksudmu" Bukankah
tadi kau mengatakan Ciu pangcu sudah lolos?"
"Tentang hal itu" Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan tidak," sahut Su Tiau-ing dengan nada
yang tawar. "Ya bilang ya, tidak bilang tidak, mengapa tak tegas begitu" Permainan apa yang kau lakukan
ini, ha?" tegur Khik-sia yang sudah mulai sengit.
"Tempat tahanan Ciu pangcu sudah musnah terbakar api. Engkohku tak mengetahui di mana
Ciu pangcu itu sekarang berada. Dengan begitu ia tak dapat mencelakainya lagi," kata Su Tiau-ing.
"Tidakkah hal itu berarti ia sudah lolos?"
"Benar," jawab Su Tiau-ing sambil tertawa, "memang kau tak usah menguatirkan keselamatan
jiwanya lagi. Tapi ..... ia masih berada dalam cengkeramanku! Bahaya sih sudah tidak, namun
'lolos' tetap belum. Maka untuk pertanyaanmu tentang lolosnya atau tidak, aku hanya dapat
menjawab secara dualistis (dua-duanya). Jadi sekali lagi kuulangi, boleh dikata ya boleh dikata
tidak." "Bukankah kau sudah mengatakan kalau sudah melepaskannya" Jadi kalau begitu kau hendak
menipu aku?" teriak Khik-sia dengan marahnya.
Tapi dingin-dingin saja Su Tiau-ing menjawab: "Pikirlah yang terang sedikit. Bilakah kuberkata
aku sudah melepaskannya" Aku kan hanya mengatakan padamu tentang kusuruh budakku melepas
api" Menuduh aku sudah melepaskan dia, itulah anggapanmu sendiri."
Khik-sia ingat-ingat kembali dan benar juga ia tak mendengar kalau Su Tiau-ing itu mengatakan
sudah melepas Ciu pangcu. Kejut Khik-sia bukan kepalang. Buru-buru ia bertanya: "Bagaimana
kejadian ini yang sebenarnya" Tapi aku ingat, kau mengatakan kalau tak membakar Ciu pangcu!"
"Memang tidak membinasakannya. Dan mengapa aku harus membinasakan" Membiarkan ia
hidup, gunanya jauh lebih besar. Dengarlah, aku hanya memindahkan tempat tahanannya saja ke
lain tempat. Tempat itu, kecuali aku dan dua orang budak kepercayaanku, siapapun tak tahu."
Khik-sia menghela napas, serunya: "Oh, kiranya begitu. Tapi meskipun ia tak berbahaya,
mengapa masih ditahan lagi" Untuk itu aku tetap kuatir. Kay-pang mempunyai hubungan dengan
aku, harap kau suka memberitahukan tempat tahanannya itu dan tolong berikan obat penyembuh
untuknya agar segera dapat menolongnya."
Su Tiau-ing tertawa dingin: "Bukankah kau sudah mengatakan kalau kita masing-masing tak
usah saling minta pertolongan" Sejak saat ini, kau ke timur aku ke barat, kau tak pedulikan aku,
aku juga tak menghiraukan kau?"
Khik-sia terlongong-longong, serunya: "Ini ... ini ... janganlah kau begitu kelewatan sekali."
"Kay-pang mempunyai hubungan padamu, tapi tak punya hubungan apa-apa dengan aku.
Karena kau menganggap diriku orang asing, mengapa sekarang kau hendak minta pertolonganku
supaya bebaskan Ciu pangcu" Bukankah ini juga kelewatan sekali?" dengan lidahnya yang tajam,
Tiau-ing dapat membalas serangan Khik-sia.
Debatan itu membuat Khik-sia tersipu-sipu merah mukanya. Sampai sekian lama ia tak dapat
bicara. "Sudahlah, bicaraku sudah habis. Bukankah kau hendak pergi" Mengapa tak jadi?" Su Tiauing
menertawakannya.
Khik-sia tegak seperti patung. Ia tak dapat berkutik sama sekali.
"Baik, demi memandang dirimu, jika mau menjenguk Ciu pangcu, mari ikut aku ke Tiang-an,"
kembali Su Tiau-ing berkata dengan tenang.
Khik-sia terkesiap, serunya: "Menemui Ciu pangcu ke Tiang-an?"
"Benar, telah kupesan kepada budak kepercayaanku, kalau terjadi sesuatu perubahan harus
lekas-lekas bawa Ciu pangcu ke Tiang-an," sahut nona itu.
Teringat bahwa hari pembukaan dari Eng-hiong-tay-hwe di Tiang-an itu sudah dekat, karena toh
ia juga memang hendak kesana, akhirnya ia menerima baik tawaran nona itu.
Demikian mereka berdua lalu menuju ke Tiang-an. Belum lama berjalan, tiba-tiba dari sebelah
muka tampak ada dua ekor kuda mencongklang datang. Ketika dekat, ternyata penunggangnya
seorang laki dan seorang wanita. Khik-sia terkesiap kaget. Kiranya kedua penunggang kuda itu
bukan lain adalah Tok-ko U dan Tok-ko Ing.
Memandang dengan terlongong-longong ke arah kedua pemuda itu, hati Khik-sia serasa seperti
diinjak-injak oleh kuda mereka. Namun ia tak dapat menahan keheranannya juga: "Ai, mana Yakbwe"
Mengapa ia tak kelihatan bersama kedua kakak adik itu?"
Timbul pikiran semacam itu pada Khik-sia karena ia menuduh Yak-bwe itu sudah jatuh hati
pada Tok-ko U. Kalau begitu tentulah kemana-mana selalu ikut. Siapa tahu, karena Yak-bwe
lenyap, maka kedua kakak beradik itu menjadi sibuk tak keruan. Kepergian mereka kali ini
tujuannya ialah hendak mecncari jejak Yak-bwe.
Kepergian Yak-bwe malam itu meskipun sudah meninggalkan surat, tapi suratnya itu tak jelas
maksudnya alias samar-samar. Yak-bwe hanya menulis 'urusan ini kelak tentu jelas sendiri,
sekarang masih sukar untuk memberitahukan'. Kata-kata dalam surat Yak-bwe itu, makin
menambah kebingungan hati kedua kakak adik tersebut. Sebagaimana diketahui, Tok-ko Ing tetap
belum tahu bahwa Yak-bwe itu sebenarnya seorang gadis. Untuh jangan membuat sedih hati sang
adik, dan karena ia sendiri juga kepingin mengetahui persoalannya, maka Tok-ko U mau menemani
adiknya pergi ke Tiang-an. Mereka duga Yak-bwe tentu hadir dalam pertemuan besar para


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

enghiong yang sudah makin dekat waktunya itu. Jika Yak-bwe tak datang, pun mereka akan dapat
bertanya kepada orang-orang gagah yang hadir dalam pertemuan besar itu. Dengan begitu, mereka
yakin tentu akan berhasil menemukan jejak Yak-bwe.
Saat itu kedua kakab adik she Tok-ko itupun juga melihat Khik-sia. Merekapun terkesiap dan
serempak sama meraba pedangnya. Pikirnya: "Ah, sungguh sial, mungkin akan bertempur dengan
dia!" Jarak kedua pihak makin lama makin dekat. Rupanya Tok-ko U lebih berpengalaman. Ia
melihat Khik-sia tak bersikap bermusuhan. Tapi Tok-ko Ing yang melihat Khik-sia tetap berjalan di
tengah jalan seperti tak mau menyingkir ke pinggir, diam-diam merasa kuatir juga. Pikirnya:
"Entah siapakah bangsat itu. Hm, ditilik ia berjalan dengan seorang nona cantik, rupanya ia bukan
kaki tangan pemerintah. Kebanyakan tentulah bangsa pengganggu wanita."
Sebaliknya Su Tiau-ing tak kenal dengan kedua kakak beradik itu. Kala melihat mata Khik-sia
tak terkesiap memandang ke arah nona itu (padahal sebenarnya Khik-sia hanya curahkan
perhatiannya ke arah Tok-ko U saja) dan nona itupun terus menerus memandang pada Khik-sia juga
(sudah tentu ini hanya menurut anggapan Su Tiau-ing sendiri), diam-diam marahlah Su Tiau-ing.
"Siapakah budak perempuan yang berani jual lagak di tengah jalan itu" Baik, biarkan kuolokoloknya,
suruh ia menelan pil pahit," demikian pikirnya.
Dalam pada Su Tiau-ing berpikir itu, kedua penunggang kuda itupun sudah tiba di sebelahnya.
Rupanya ilmu menunggang kuda dari Tok-ko U masih belum mahir, hingga tak dapat menguasai
congklang kudanya yang menerjang maju. Begitupun Tok-ko Ing yang sudah tak dapat menguasai
kudanya menjadi gelisah. Buru-buru ia meneriaki Khik-sia: "Hai, minggirlah! Kau hendak
mengapa itu?"
Khik-sia gelagapan dan buru-buru berseru: "Maaf, aku sampai lupa memberi jalan." -- Ia segera
menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan pada kuda Tok-ko Ing.
Tapi tidak demikian dengan Su Tiau-ing. Tiba-tiba ia tamparkan tangannya. Dua batang jarum
bwe-hwa-ciam telah menyusup ke dalam paha kuda Tok-ko Ing. Sekali meringkik keras, kaki
depan kuda itu segera menekuk ke bawah. Hampir saja Tok-ko Ing dilemparkan ke bumi. Memang
sebenarnya Tok-ko Ing sudah berjaga-jaga kalau diserang senjata rahasia. Tapi tak menyangka
sama sekali bahwa serangan itu datangnya dari Su Tiau-ing.
Adalah karena sudah siap sedia sebelumnya, maka dengan cepatnya Tok-ko Ing sudah lantas
mencelat ke udara. Dalam melayang turun, ia sudah gunakan jurus kim-eng-tian-ki atau burung
garuda pentang sayap. Pedangnya dikembangkan di udara kemudian meluncur turun menusuk Su
Tiau-ing. Tok-ko Ing adalah anak murid dari Kong-sun toanio. Ilmu pedang Kong-sun toanio itu tiada
lawannya di dunia persilatan. Meskipun sucinya, ialah Li Sip-ji-nio yang memberi pelajaran
padanya, tapi Tok-ko Ing sudah dapat menyakinkan dengan sempurna.
Keruan Su Tiau-ing kaget. Nona yang tak dipandang mata itu ternyata memiliki ilmu pedang
Rahasia Mo-kau Kaucu 3 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang 6
^