Pencarian

Kasih Diantara Remaja 4

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


masih mempunyai sifat ingin dipuji kepandaiannya. Maka cepat ia berjongkok di atas tanah. "Kau
lihat, bukankah bagian yang ada padamu itu seperti ini?"
Jari telunjuknya mencorat-coret di atas tanah dan mata Li Hoa membelalak kaget. Memang, persis
sekali gambar itu dengan gambar pada peta yang ia rampas! Diam-diam ia menjadi girang sekali.
Kalau begitu, asal dia bisa menawan pemuda ini, perlahan-lahan ia dapat membujuknya untuk
menggambar kembali peta yang tadi sudah diremasnya sampai hancur. Memang Li Hoa
menghendaki peta kertas, akan tetapi kalau peta kertas sudah rusak, peta di dalam otak pemuda
inipun boleh juga. Ia tersenyum manis sekali ketika berkata,
"Han Sin, kau kira aku ini orang macam apakah" Aku tadi hanyalah ingin mencoba kepandaianmu
saja. Untuk apa bagiku peta ini" Kau lihatlah baik-baik!" Ia lalu mengeluarkan peta sepotong tadi
dan dirobek-robeknya sampai hancur. Tidak dapat ia meremasnya seperti yang dilakukan Han Sin
tadi. Pemuda itu menjadi girang sekali.
"Ah, kiranya aku tadi salah sangka. Memang aku tahu kau baik sekali, Li Hoa."
"Sekarang kau ikutlah aku keluar dari neraka ini. Biar aku yang membujuk para tosu supaya kau
dibebaskan."
Han Sin mengangguk-angguk. "Memang akupun tidak percaya para tosu itu akan mengurungku
selama hidup di tempat ini." Ia memandang ke atas, lalu menggeleng-geleng kepala. "Tempat
begini tinggi, bagaimana aku bisa keluar dari sini?"
"Bukankah sudah kupasangi tambang" Monyetmu tadipun bisa turun melalui tambang."
"Monyetku tentu bisa, akan tetapi aku bukan monyet."
"Eeh, kau jadinya mau menyamakan aku dengan monyet?" Li Hoa cemberut dan hendak menampar
pipi pemuda itu, akan tetapi ia teringat bahwa tadipun ia sudah menampar dua kali, maka sebagai
gantinya, jari tangannya mencubit pundak orang.
"Aduh, cubitanmu sama sakitnya dengan tamparanmu." Han Sin tertawa dan memandang wajah
gadis yang kemerahan itu. "Aku tidak hendak memakimu, hanya terus terang saja, kau dan Siauwong
tentu bisa memanjat naik, akan tetapi aku ... ah, aku tidak bisa."
Entah mengapa, setelah bercakap-cakap dengan pemuda itu beberapa lamanya di dasar Can-tee-gak,
timbul perasaan mesra dalam hati Li Hoa. Tanpa ia sadari, rupanya ia telah jatuh cinta kepada
pemuda ini, biarpun suara hatinya sendiri itu ia bantah keras-keras terdorong oleh wataknya yang
keras. Ia berusaha bersikap kasar dan memperlihatkan kekejaman terhadap Han Sin, namun
beberapa kali ia jatuh.
"Tak usah banyak cakap, ayoh ku bantu!" Dengan cepat Li Hoa lalu menyambar lengan orang dan
tak lama kemudian dengan bantuan gadis itu, Han Sin memanjat tambang itu ke atas. Li Hoa berada
di bawahnya dan gadis inilah yang menahan tubuhnya sampai akhirnya mereka berdua tiba di atas
jurang. Siauw-ong yang mengikuti dari belakang juga melompat dengan girangnya, lalu ia meloncat
ke atas pundak Han Sin, telunjuknya menuding-nuding ke bawah gunung, agaknya hendak
mengajak pemuda itu pergi selekasnya.
"Nonamu di mana, Siauw-ong?" tanya Han Sin yang tak pernah melupakan Bi Eng. Siauw-ong
mengeluarkan suara cecowetan sambil menunjuk ke bawah puncak.
Pada saat itu, tiga orang pengemis tua nampak berlari mendatangi dengan wajah gelisah. Mereka itu
setelah menanti beberapa lamanya belum melihat kembalinya Li Hoa, menjadi gelisah dan
menyatakan perasaannya kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. Ji Cin Cu tertawa dan berkata, "Janganjangan
Thio-siocia celaka pula di tangan bocah aneh itu. Lebih baik sam-wi losicu menengoknya di
Can-tee-gak."
Maka pergilah tiga orang tokoh Coa-tung Kai-pang itu ke jurang Can-tee-gak dan kebetulan sekali
pada saat mereka tiba di situ, Li Hoa dan Han Sin serta Siauw-ong juga sudah sampai di tepi jurang
dengan selamat. Tentu saja Tok-gan Sin-kai dan kawan-kawannya menjadi lega dan girang.
Sebelum mereka sampai bicara, Li Hoa sudah mengedipkan matanya lalu berkata,
"Sam-wi suheng, saudara ini memang tidak mengerti ilmu silat dan tidak mungkin dia yang
membunuh Ban Kim Cinjin. Akan tetapi karena dia tersangkut dalam pembunuhan itu, biar, kita
melindungi dia turun gunung dan kita pancing orang yang melakukan pembunuhan."
Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk. Tentu saja mereka sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa dalam urusan dengan pemuda ini sumoi mereka telah menyimpan rahasia, yaitu rahasia surat
wasihat Lie Cu Seng. Mereka menganggap kata-kata sumoi mereka itu memang cocok dengan
keadaan, maka mereka lalu menyetujuinya bulat-bulat. Hanya Han Sin yang melongo dan tidak tahu
mengapa tiba-tiba nona itu bicara tentang kematian Ban Kim Cinjin dan sama sekali tidak
menyinggung soal peta. Pula dia tidak kenal siapa adanya tiga orang pengemis itu.
"Nona Li Hoa, setelah kau menolongku keluar dari jurang, biarlah aku tidak mengganggu kau lebih
lama. Aku hendak menyusul adikku. Aku tidak kenal dengan tiga orang lo-enghiong ini. Adapun
tentang Ban Kim Cinjin, dia seorang jahat yang banyak membunuhi tosu Cin-ling-pai. Kematiannya
entah sebab apa, mungkin ..... aku yang membunuhnya, tapi itupun amat aneh ..... ah, biarlah aku
pergi." "Cia-twako, kalau kau pergi seorang diri, apa kau kira para tosu di sini akan membiarkan kau pergi
begitu saja" Kau harus ikut dengan kami."
Pada saat itu, terdengar suara orang dan muncullah It Cin Cu, Ji Cin Cu dan ketiga Cin-ling Sameng.
Melihat pemuda she Cia sudah naik dan bercakap-cakap dengan empat orang tamunya, mereka
segera menghampiri.
"Nona Thio, bukankah keterangan kami tadi benar" Mengapa bocah ini kau bawa naik?" tegur It
Cin Cu. Diam-diam para tosu tadi seperginya tiga orang pengemis yang menyusul Li Hoa,
berunding dan mereka mengambil keputusan untuk melindungi Cia Han Sin. Setelah mempunyai
dugaan bahwa pemuda itu keturunan Cia Sun, mereka tidak bisa memeluk tangan begitu saja,
menyerahkan pemuda keturunan pahlawan yang mereka kagumi itu terjatuh ke dalam kaki tangan
pemerintah Ceng.
"Kami hendak membawanya sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin," kata Tok-gan Sin-kai dengan
suara geram. Ji Cin Cu tertawa. "Ha ha, nanti dulu, sobat. Pembunuhan atas diri Ban Kim Cinjin terjadi di tempat
kami. Kalau kami tidak bisa membereskan sendiri perkara ini, apa akan dikatakan oleh orang-orang
kang-ouw" Apakah kami orang-orang Cin-ling-pai sudah tidak becus mengurus persoalan ini"
Tidak, bocah ini tidak boleh kalian bawa turun gunung."
Serentak tiga orang pengemis tua itu mengangkat tongkat ular mereka melintang ke depan dada,
dan Tok-gan Sin-kai berseru keras, "Tosu-tosu Cin-ling-pai, apakah kalian berani memberontak?"
"Omongan busuk! Siapa memberontak" Adalah kalian ini pengemis-pengemis kelaparan hendak
mengacau Cin-ling-pai!" bentak Hap Tojin yang bermuka merah. Memang tosu tertua dari Cin-ling
Sam-eng ini sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Ikut campurnya dua orang suhengnya sudah
menimbulkan rasa tidak puas di hatinya karena biasanya semua urusan Cin-ling-pai cukup
dibereskan oleh dia bertiga yang sudah terkenal dengan julukan Cin-ling Sam-eng. Sekarang
ditambah oleh sikap para tamunya itu membuat darahnya menjadi panas.
Li Hoa menjadi khawatir sekali. Ia makin curiga dan menduga bahwa para tosu ini tentulah sudah
tahu bahwa Han Sin adalah putera Cia Sun dan karenanya hendak menahan pemuda itu dengan
maksud menyelidiki rahasia surat wasiat Lie Cu Seng. Maka ia mengejek dan berkata untuk
memanaskan hati suheng-suhengnya. "Kami utusan pemerintah dan kalian menghalangi maksud
kami membawa tawanan, bukankah itu sama halnya dengan memberontak?"
It Cin Cu cepat berpikir. Bahayanya bentrok dengan pemerintah Ceng memang besar, akan tetapi
bahaya itu hanyalah bahaya lahir yang dapat mereka lawan dan dapat mereka usahakan
penolakannya. Kalau sampai mereka mendiamkan saja putera Cia Sun ditangkap kaki tangan
pemerintah penjajah, dalam hal ini terdengar oleh para orang gagah, bahayanya lebih hebat lagi,
yaitu nama Cin-ling-pai akan diseret ke dalam lumpur. Tentu suhunya takkan mendiamkan saja hal
ini. Maka It Cin Cu lalu berkata singkat.
"Terhadap anjing-anjing penjilat kaki tangan pemerintah Ceng kami tak pernah ada urusan, juga
tidak mau kami disuruh merangkak di depan mereka. Pendeknya, bocah she Cia ini adalah tawanan
kami dan tak seorangpun boleh merampasnya!"
Sejak tadi Han Sin hanya mendengarkan dengan mulut melongo. Setelah sekarang ia tahu akan
duduknya perkara, mukanya menjadi pucat dan memandang kepada Li Hoa dengan mata terbelalak.
"Kau ..... kau kaki tangan pemerintah Ceng .... Ah .... celaka, aku tertipu! Siapa sudi kau tolong"
Lebih baik kembali ke jurang!" Han Sin lalu melarikan diri dan karena jalan turun ke bawah
dihadang oleh para pengemis, ia lalu turun dari lain jurusan menuju ke belakang gunung.
Li Hoa tak dapat menjawab atas seruan ini, akan tetapi Tok-gan Sin-kai menudingkan tongkatnya,
menggerakkannya sedikit dan berseru,
"Bocah she Cia, berhenti kau!" dan dari ujung tongkatnya itu menyambar sinar kuning ke arah Cia
Han Sin. Pemuda itu berteriak kesakitan dan roboh terguling ke dalam sebuah jurang di sebelah
kirinya. Ternyata pundaknya telah terkena paku Coa-ting (Paku Tulang Ular) yang merupakan
senjata rahasia ampuh dan berbisa dari kaum Coa-tung Kai-pang. Bersama dia, Siauw-ong juga
turut terguling masuk jurang.
"Pengemis busuk!" Hap Tojin berseru marah dan pedangnya berkelebat menyambar ke arah Tokgan
Sin-kai yang cepat ditangkis oleh tongkat pengemis mata satu ini. Di lain saat terjadilah
pertempuran hebat di atas puncak itu. Tok-gan Sin-kai dan seorang sutenya yang berhidung merah
menghadapi It Cin Cu dan Ji Cin Cu, sedangkan seorang pengemis lagi bersama Li Hoa
menghadapi keroyokan Cin-ling Sam-eng. Tak seorangpun di antara mereka dapat mengurus
keadaan Han Sin lagi karena pihak lawan merupakan lawan-lawan berat dan seorang saja di antara
kedua belah pihak itu meninggalkan gelanggang, berarti pihaknya akan terancam kekalahan.
**** Ke mana perginya Bi Eng" Kenapa Siauw-ong kembali sendiri ke Cin-ling-san mencari Han Sin"
Seperti telah diketahui, Bi Eng terpaksa dengan hati berat meninggalkan kakaknya di puncak Cinling-
san, pergi bersama Siauw-ong setelah Han Sin memerintahkannya pergi lebih dulu dan menanti
di tepi sungai Wei-ho. Tidak karuan rasa hati gadis ini ketika ia menuruni bukit Cin-ling-san
Tak terasa lagi Bi Eng mengucurkan air mata. Ingin sekali ia melompat dan lari mendaki gunung itu
kembali untuk melihat kakaknya dan kalau perlu membelanya mati-matian. Namun suara perintah
kakaknya masih bergema di telinganya dan ia tidak berani membantah lagi. Pandang mata kakaknya
demikian pasti, tak boleh dibantah lagi.
Betapapun juga, ketika ia tiba di kaki gunung hatinya tidak kuat dan tiba-tiba ia berhenti berjalan,
lalu menyandarkan diri di pohon dan menangis. "Sin-ko ..... bagaimana dengan keadaanmu .....?"
bisiknya sambil terisak-isak.
Siauw-ong mendekati nonanya dan ikut menangis cecowetan, sambil menarik-narik lengan gadis itu
diajak kembali ke atas gunung. Telunjuk tangan monyet itu menuding-nuding ke atas, kadangkadang
ia mencak-mencak dengan kaki dibanting-banting ke atas tanah menyatakan kemarahannya
dan tantangannya kepada para tosu di atas.
"Tidak bisa, Siauw-ong. Kalau aku kembali tentu koko akan marah. Dia begitu baik, tidak boleh
marah kepadaku ....." kata Bi Eng. Kemudian ia mendapat pikiran baik. Kalau dia sendiri yang
kembali, tentu kakaknya akan marah. Akan tetapi kalau Siauw-ong yang kembali, biarpun marah,
kakaknya itu takkan marah kepadanya. Dan kakaknya perlu kawan, perlu pembantu.
"Siauw-ong, kau kembalilah kesana. Kau cari Sin-ko sampai dapat dan kau ajak dia turun gunung.
Aku akan pergi lebih dulu." Mendengar ini, Siauw-ong nampak girang, melompat-lompat dan di
lain saat ia telah berloncatan ke atas gunung kembali ke puncak. Bi Eng melihat sampai bayangan
monyet itu lenyap, kemudian ia sendiripun melanjutkan perjalanannya, menuju ke sungai Wei-ho di
sebelah utara pegunungan Cin-ling-san.
Seorang diri ia melakukan perjalanan itu, cepat-cepat agar lekas sampai di tempat itu di mana ia
akan menanti kedatangan kakaknya dan Siauw-ong. Ia, seperti biasa sejak kecil, percaya penuh
akan kepandaian kakaknya dan merasa pasti bahwa ia akan ketemu lagi dengan Han Sin.
"Kakakku hebat," pikirnya, "Tidak bisa ilmu silat akan tetapi sekarang menghadapi bahaya dengan
demikian tabah dan tenang. Dia gagah luar biasa." Hatinya bangga bukan main dan dipercepatnya
perjalanan menuju ke sungai Wei-ho. Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ada
seorang pemuda yang diam-diam mengikuti perjalanannya, seorang pemuda yang gagah dan
tampan sekali, yang dapat berjalan cepat dan tidak pernah ketinggalan biarpun gadis ini
menggunakan ilmu lari cepat.
Berhari-hari Bi Eng melakukan perjalanan, hanya beristirahat untuk bermalam dan makan. Jalan
yang dilaluinya adalah jalan liar yang melalui banyak hutan dan bukit kecil. Ia merasa kesepian
sekali dan saat inilah, dalam beberapa hari ini, merupakan saat-saat yang paling menyedihkan
baginya. Merupakan pengalaman tidak menyenangkan hati yang pertama kalinya. Namun ia
seorang gadis yang tabah dan sama sekali tidak mengenal takut biarpun harus bermalam di dalam
hutan liar tak berkawan.
Akhirnya sampai juga ia ke sungai Wei-ho. Sungai Wei-ho ini adalah anak sungai besar Huang-ho
atau sungai kuning. Biarpun hanya anak sungai, namun cukup besar dan lebar, pula dalam dan
airnya mengalir deras. Saking lelahnya, ketika tiba di pinggir sungai ia lalu menjatuhkan diri duduk
di atas rumput dan bersandar pohon. Dia lelah dan lapar, tengah hari itu amat panas sehingga ia
malas untuk pergi mencari makanan. Sejuk juga duduk di bawah pohon di pinggir sungai itu. Tak
lama kemudian Bi Eng jatuh pulas.
Pemuda yang semenjak dari kaki gunung Cin-ling-san membayanginya, sekarang muncul dan
duduk di atas sebuah batu di depan Bi Eng, paling jauh lima meter. Pemuda itu duduk dan
memandang gadis itu dengan mata penuh kekaguman dan cinta kasih. Makin dipandang, gadis yang
tidur itu makin jelita menarik. Memang, di dunia ini orang-orang muda mengenal apa yang disebut
"cinta kasih pada pertemuan pertama".
Sudah jamak kalau seorang pemuda tertarik melihat seorang pemudi cantik jelita atau sebaliknya
seorang pemudi tertarik melihat seorang pemuda gagah dan tampan. Akan tetapi tertarik tidaklah
sama dengan cinta kasih. Dalam cinta kasih terkumpul semua perasaan yang bermacam sifatnya.
Menyayang, tertarik, terharu, kasihan, malu, menghormati dan lain-lain tergantung dari sifat
masing-masing. Biasanya seorang pria tertarik oleh wanita karena cantik moleknya, karena tutur
bahasanya, atau karena gerak-geriknya. Akan tetapi dalam cinta kasih, ada sesuatu yang mengatasi
semua ini, sesuatu yang mendorong orang untuk mencinta, sesuatu yang sudah mencakup semua
perasaan di atas, sedemikian rupa pengaruh perasan sesuatu ini sehingga kadang-kadang
membutakan orang karena dalam pandang matanya, si "dia" itu selalu tampak baiknya saja
sehingga banyak orang tertipu dan terjerumus.
Pemuda tampan itu adalah Phang Yan Bu, putera Ang-jiu Toanio! Juga pemuda ini begitu melihat
Bi Eng, terjadilah sesuatu yang ganjil di dalam dadanya. Yan Bu semenjak kecil seorang pemuda
pendiam, sama sekali tidak pernah perduli akan gadis-gadis cantik. Bukan karena ia tidak pernah
melihat gadis cantik. Yan Bu sudah lama melakukan perantauan dengan ibunya dan di dunia kangouw
sudah banyak ia melihat gadis-gadis yang cantik jelita, bahkan banyak sudah gadis-gadis
cantik jatuh hati kepadanya.
Akan tetapi dia sendiri belum pernah merasakan perasaan seperti yang sekarang ia rasakan begitu ia
melihat Bi Eng di kaki gunung itu. Pertemuan ini memang sudah untuk kedua kalinya. Dahulu di
kaki gunung Min-san dia sudah melihat Bi Eng, namun sebagai seorang pemuda sopan, ia hanya
melirik saja dan tidak begitu memperhatikan. Sekarang, begitu melihat kontan hatinya terikat.
Seperti kita ketahui, Phang Yan Bu bersama ibunya yang duduk dalam kereta dorong, setelah
mencari keluarga Cia di puncak Min-san, mendengar dari pelayan bahwa Cia-kongcu dan Ciasiocia
bersama seekor kera sudah turun gunung. Ang-jiu Toanio marah-marah, membunuh seorang
di antara dua pelayan itu, lalu mengajak puteranya mengejar ke bawah gunung. Akan tetapi mereka
kehilangan jejak dua orang muda itu dan karena marah-marah penyakit Ang-jiu Toanio kambuh
lagi. Nenek ini muntah-muntah darah dan menyumpah-nyumpah. Yan Bu amat berbakti kepada
ibunya, cepat ia menghentikan kereta dorong dan mengurut-urut punggung ibunya.
"Ibu, harap kau suka bersabar dan tenang ...." katanya kasihan.
"Sabar ..... sabar ...., belasan tahun aku bersabar dan kau masih hendak memberi kuliah supaya aku
bersabar lagi?" bentak ibunya melotot. Yan Bu terkejut karena belum pernah ibunya ini, biarpun
amat galak, marah-marah kepadanya seperti ini.
Ia sudah pernah mendengar dari ibunya bahwa ayahnya, Phang Kim Tek, telah tewas di tangan
seorang musuh, yaitu Cia Sun di Min-san, sedangkan guru ibunya, Koai-sin-jiu Bhok Kim telah
tewas di tangan Hoa Hoa Cinjin. Ibumya selalu mendendam kepada dua orang ini.
Membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin bukanlah hal mudah, bahkan biarpun dia sudah
mendapat gemblengan dari susiok-couwnya, Phoa Kok Tee si Raja Obat, tetap saja ibunya
melarang dia mencari Hoa Hoa Cinjin karena takut puteranya belum kuat menandingi kakek yang
sakti itu. Adapun Cia Sun pembunuh ayahnya, telah meninggal dunia.
"Ibu, ayah telah meninggal dunia, akan tetapi musuh besarnya, Cia Sun, juga sudah meninggal
dunia. Mengapa ibu masih selalu jengkel" Paling perlu anak pergi mencari Hoa Hoa Cinjin untuk
membalaskan kematian su-kong (kakek guru). Tentang anak-anak Cia Sun, kurasa mereka itu tidak
tahu menahu tentang permusuhan antara ayah dan Cia Sun ....."
"Tutup mulut!" Ibunya membentak makin marah dan "Uwaaahh!" Sekali lagi Ang-jiu Toanio
menyemburkan darah hidup. Yan Bu cepat-cepat menolong ibunya dan anak yang berbakti ini
menarik napas panjang.
"Ibu sih dulu terlalu terburu nafsu mempelajari Ang-see-chiu, inilah akibatnya." Memang, untuk
mempelajari ilmu pukulan Ang-see-chiu yang amat beracun ini, sebelumnya orang harus memiliki
dasar lweekang yang kuat. Ang-jiu Toanio memang semenjak mudanya berwatak keras dan galak,
tidak kenal takut maka tanpa memperdulikan bahaya itu siang-siang sudah mempelajari ilmu
pukulan dahsyat itu. Memang akhirnya ilmu ini dapat mengangkat namanya tinggi-tinggi, namun
kesehatannya menjadi korban pula, dalam usia tua ia menjadi sakit-sakitan saja.
"Tidak begitu hebat kalau tidak ditambah oleh kelakuanmu!" damprat ibunya. "Yan Bu, pendeknya
kau mau menurut permintaan ibumu atau tidak" Kalau tidak, lebih baik kau pergilah, biarkan aku
sendiri mencari musuh besar, tak perlu kau bantu!"
"Ibu, bagaimana ibu berkata demikian" Aku adalah anakmu, anak tunggal, tentu saja akan menurut
segala permintaan ibu."
"Nah, kalau begitu, pergilah kau kejar dua bocah she Cia itu. Kejar sampai dapat. Bunuh bocah she
Cia yang laki-laki dan tawan yang perempuan bawa kepadaku. Selain itu, yang lebih penting lagi
rampas sebuah surat wasiat Lie Cu Seng yang ada pada mereka. Kau tahu, surat wasiat itulah yang
kelak akan membantu kita dapat membalas dendam suhuku kepada Hoa Hoa Cinjin."
Yan Bu mengangguk-angguk, biarpun di dalam hatinya ia tidak dapat menyetujui kehendak ibunya.
Anak-anak Cia Sun tidak salah apa-apa, mengapa harus dibunuh" Akan tetapi mulutnya tidak berani
membantah, dia hanya bertanya karena memang heran mendengar ucapan terakhir. "Bagaimana
surat wasiat itu bisa membantu kita, ibu?"
"Kau kira aku tergila-gila akan harta dunia yang tersimpan dalam rahasia surat wasiat itu" Bodoh.
Semua orang gagah di dunia kang-ouw mengejar-ngejar surat wasiat itu, berlomba untuk
mendapatkannya. Apakah orang-orang gagah menghendaki harta" Sudah lebih dari cukup aku
hidup kaya raya dahulu. Yan Bu, dengarlah. Surat wasiat itu menunjukkan di mana adanya harta
simpanan Lie Cu Seng dan di antara harta benda itu, terdapat sebuah kitab rahasia ilmu silat ciptaan
Tat Mo Couwsu. Siapa mendapatkan dan mempelajari isi kitab, pasti akan menjadi jago silat nomor
satu di dunia ini. Nah, setelah mendapatkan pelajaran dari kitab itu, apa sih sukarnya bagi kita untuk
membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin" Karena itu, lekas kau lakukan tugas ini. Bunuh bocah
laki-laki she Cia, rampas surat wasiat dan tawan bocah perempuannya, bawa padaku. Mengerti?"
"Akan kulakukan semua perintahmu, ibu."
"Berangkatlah sekarang, aku menantimu di I-kiang, aku harus beristirahat. Akan tetapi obat satusatunya
untuk menyambung usiaku adalah bocah perempuan she Cia dan surat wasiat. Ingatlah ini!"
Demikianlah, dengan hati berat Phang Yan Bu berangkat mengejar Han Sin dan Bi Eng. Jejak dua
orang muda dan monyetnya itu tidak sukar ia cari. Memang dua orang muda yang membawa-bawa


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

monyet itu adalah rombongan yang mudah diingat, maka setelah mendapat keterangan dari orang di
jalan ke mana arah perjalanan musuh-musuhnya, ia lalu mengejar dan sampai di kaki gunung Cinling-
san. Kebetulan sekali pada waktu itu ia melihat Bi Eng berlari seorang diri turun gunung, maka diamdiam
ia mengikuti gadis ini yang sekali gus telah membetot semangatnya, membuat ia ragu-ragu
bagaimana harus bertindak terhadap gadis ini. Menangkapnya seperti yang diperintahkan ibunya"
Ah, bagaimana dia bisa berbuat demikian" Laginya yang laki-laki tidak berada di situ. Aku harus
bersabar menanti sampai keduanya berkumpul, pikirnya.
Hari telah menjadi senja ketika Bi Eng mengulet dan membuka matanya. Ia menyingkap selimut
yang menutupi tubuhnya, baru terheran hatinya ketika melihat bahwa yang menutupi tubuhnya
adalah sehelai jubah luar yang lebar dan tebal. Pemandangan pertama ini sudah mengherankannya,
akan tetapi penglihatan ke dua amat mengejutkannya. Di depannya, hanya dalam jarak dua meter,
menggeletak seekor bangkai harimau besar yang masih mengucurkan darah dari lehernya yang
terluka lebar bekas bacokan. Seketika gadis ini melompat bangun dan ..... ia berhadapan dengan
seorang pemuda tampan yang berdiri memandangnya dengan kagum.
"Apa ..... apa .... kenapa ....., siapa kau?" serunya kaget sambil melompat ke depan dan memandang
pemuda itu dengan mata terbelalak.
Untuk sejenak Yan Bu tak dapat menjawab, terlalu terpesona oleh sepasang mata yang amat indah
seperti bintang pagi dalam pandangan matanya itu. Akhirnya, dengan gagap ia menjawab juga,
"Aku ....... aku Phang Yan Bu."
Merah wajah Bi Eng. Dia seorang gadis yang lincah, jujur, dan terbuka hatinya. Akan tetapi dengan
sikapnya barusan, seolah-olah sebagai seorang gadis ia lebih dulu menanyakan nama orang, benarbenar
memalukan. "Siapa tanya namamu?" katanya cemberut.
Makin kagum Yan Bu. Gadis ini dalam segala gerak-geriknya terlalu manis menarik, ketika tidur,
kaget dan cemberut, selalu makin manis! Ditegur oleh gadis itu, ia makin bingung. "Aku ... aku
hanya menjawab, bukankah nona tadi menanyakan?" katanya sambil tersenyum.
"Jangan pringas-pringis (menyeringai)! Aku tidak tanya nama, kumaksudkan .... kenapa kau di sini,
dan ... dan selimut ini, ... bangkai harimau itu" Siapa menyelimuti aku?"
"Aku ......"
"Kenapa?""
"Nona tidur kelihatan kedinginan, angin amat .... besar ....."
"Siapa bunuh harimau ini?"
"Aku ....."
"Kenapa?"
"Dia hendak menubruk nona yang sedang tidur, aku menggunakan golokku membunuhnya."
"Hemmmm ...."
"Ya ......., begitulah ........"
Keduanya terdiam, sukar untuk mulai bicara. Entah mengapa, Bi Eng yang biasanya lincah itu,
sekarang kehilangan keterampilan lidahnya. Pandang mata pemuda itu terlalu tajam, seakan-akan
hendak menjenguk isi hatinya, membuat dia bingung.
"Kalau begitu, terima kasih," akhirnya ia berkata perlahan.
"Mengapa berterima kasih?"
"Untuk .... untuk selimut dan harimau ......." Bi Eng menarik napas lega, dia sudah berterima kasih
jadi tidak hutang budi lagi dan ini membuat ia lebih bebas rasanya. Ia lalu duduk lagi di atas akar
pohon. Juga Yan Bu yang tadinya berdiri, kini duduk lagi di atas batu, entah bagaimana, dia merasa
girang bukan main. Belum pernah selama hidupnya, ia merasai kesenangan hati yang hanya bisa
dirasa oleh dia sendiri.
Bi Eng tak sengaja menyentuh jubah yang tadi menyelimuti dirinya. Wajahnya menjadi merah dan
ia mengambil jubah itu, digulungnya lalu berkata, "Nih jubahmu, kukembalikan!"
Ia melemparkan gulungan jubah itu sambil mengerahkan tenaga ke arah pemiliknya. Ia hendak
menguji dan tidak mempunyai maksud buruk karena ia tahu bahwa orang yang telah membunuh
seekor harimau tentulah berkepandaian. Benar saja, sambil tersenyum Yan Bu menyambut
timpukan itu dan tidak merasa berat ketika menerimanya. Bi Eng menatap wajah yang tampan itu
dan keningnya berkerut. Tiba-tiba ia melompat.
"Heee! Kau ....?" Ia menuding dengan telunjuknya.
10. Bhok-kongcu Yang Tercinta
YAN BU kaget dan meloncat bangun pula. Ia merasa nona ini amat aneh dan lucu gerak-geriknya.
Dalam gugupnya, ia menjawab sambil menuding ke arah hidungnya sendiri. "Ya, ini aku, ada apa?"
"Kau .... kau pemuda yang mendorong kereta nenek sakit itu!"
Yan Bu tersenyum melebar, lalu membungkuk. "Betul, nona. Terima kasih bahwa sekali bertemu,
ternyata nona masih ingat kepadaku."
"Cih, siapa yang mengingat-ingat kau" Siapa kau dan kenapa kau berada di sini?"
"Aku Phang Yan Bu, nona dan ......"
"Aku sudah tahu! Sekali aku mendengar namamu Phang Yan Bu, kau kira aku sudah lupa dan harus
diulang-ulang?"
Yan Bu membungkuk lagi. "Terima kasih banyak, nona. Sekali mendengar namaku, ternyata kau
tidak bisa lupa lagi ......"
"Gila! Jangan main-main kau. Aku tidak bermaksud berkenalan denganmu, biar seratus kali kau
memperkenalkan nama, aku tidak akan memperkenalkan diri padamu. Aku hanya akan bertanya
......" "Tidak perlu memperkenalkan diri, karena aku sudah tahu siapa nona. Namamu Cia Bi Eng, bukan"
Nama yang amat indah ....."
Bi Eng tertegun. Untuk sejenak ia menjadi bingung oleh serangan ini, akan tetapi ia bisa
menenangkan hatinya. "Kenapa kau mengikuti aku ke sini" Apa maumu" Kau mendorong kereta
nenek sakit, kenapa kau pergi meninggalkan nenek mau mampus itu?"
"Dia ibuku, nona ....." kata Yan Bu dengan suara berduka.
Bi Eng terharu. Seorang pemuda mendorong-dorong ibunya dalam kereta, benar berbakti. Akan
tetapi mengapa ditinggalkan" Dalam keharuannya ia kecewa.
"Lebih-lebih dia ibumu! Tak boleh ditinggalkan."
"Justru ibu yang menyuruh aku datang ke sini, nona Cia."
"Ibumu sakit dan lemah , malah minta ditinggalkan" Benar aneh ....."
"Ibuku biar sakit, tapi dia bukan orang biasa, nona. Di dunia kang-ouw, ibuku dijuluki orang Angjiu
Toanio dan .... "
"Setan ......!!" Bi Eng melompat dan mencabut pedangnya. "Kiranya kau anak dia?"
Yan Bu bingung dan menengok ke kanan kiri. "Mana setan ...." Siapa yang kau maki tadi?"
"Maki siapa lagi kalau bukan kau! Jadi, kau anak Ang-jiu Toanio " Bagus, bagus. Sudah dapat
dipastikan kau tidak bermaksud baik datang ke sini!"
"Bagaimana nona bisa tahu?" Yan Bu khawatir sekali melihat sikap gadis yang membetot
semangatnya ini sekarang memusuhinya.
"Ibumu adalah pembunuh ayah bundaku!"
Yan Bu melengak, memandang bodoh dan sampai lama tidak bisa menjawab. Bi Eng menjadi tidak
sabar dan menggerak-gerakan pedangnya di depan dadanya.
"Hei, jangan melongo seperti kerbau! Ang-jiu Toanio itu adalah seorang di antara para pembunuh
ayah bundaku di Min-san, kau tahu" Aku harus membalas dendam, dan karena kau anaknya,
kedatanganmu tentu bukan bermaksud baik, maka aku akan membunuhmu lebih dulu!"
"Sabarlah, nona. Kurasa keadaannya terbalik. Bukan ibu yang membunuh ayah bundamu,
sebaliknya ayahmu yang bernama Cia Sun adalah pembunuh ayahku, Phang Kim Tek di I-kiang.
Kenapa nona bolak-balikkan perkara?"
"Heh, siapa tidak tahu bahwa ayahmu, Phang Kim Tek tuan tanah di I-kiang yang kejam dan busuk
itu terbunuh oleh mendiang ayahku" Andaikata ayahmu bernyawa dua, sekarang akupun tentu akan
membunuh nyawanya yang satu lagi itu karena kekejamannya."
Yan Bu menarik napas panjang. Ia bukan tidak tahu akan keadaan ayah bundanya di waktu dahulu,
karena dia cerdik dan sering kali menyelidiki keadaan orang tuanya sendiri. Diam-diam ia menyesal
akan kesesatan ayahnya dahulu. "Nona Cia, sesungguhnya, ibu menyuruh aku menuntut balas atas
kematian ayahku. Akan tetapi, bagiku sendiri, kematian ayahmu sudah menutup dan menghabiskan
semua permusuhan. Aku tidak bermaksud memusuhi anak-anaknya. Cuma saja ...... menuruti
perintah ibu ....., kau harap suka ikut aku menemui ibu dan membawa surat wasiat Lie Cu Seng ...."
"Jangan banyak cakap! Siapa percaya omonganmu" Lihat pedang!"
Bi Eng menyerang dengan sebuah tusukan kilat. Melihat datangnya serangan yang hebat ini, Yan
Bu cepat melompat ke belakang. "Nona, percayalah, aku tidak .... tidak suka bertempur denganmu
....." "Pengecut, keluarkan senjatamu!" Lagi-lagi Bi Eng menyerang, pedangnya menyambar secepat
kilat. Kembali Yan Bu mengelak sampai tiga kali sambil berkata sedih.
"Nona Bi Eng, sungguh-sungguh aku tidak suka bermusuhan dengan engkau ....."
"Orang she Phang! Di mana kejantananmu" Aku tidak sudi membunuh seorang pengecut yang tidak
melawan. Apa benar-benar kau takut melihat pedang ini?"
Betapapun berat rasa hati Yan Bu harus bertanding senjata dengan nona yang diam-diam telah
meruntuhkan hatinya itu, mendengar sindiran ini ia tidak kuat menahan. Dia berjiwa gagah dan
tidak takut mati, maka ia segera meloloskan goloknya dan berkata sambil menjura.
"Biarlah, aku yang bodoh minta petunjuk nona Cia yang perkasa."
"Cih, banyak dongeng!" seru Bi Eng sambil memutar pedangnya dan di lain saat, dua orang itu
sudah bertempur seru sekali. Bi Eng adalah murid Ciu-ong Mo-kai yang sudah mewarisi ilmu silat
Liap-hong Sin-hoat yang amat lihai, tentu saja ilmu silatnya ini adalah ilmu silat tinggi yang sukar
dilawan. Namun di lain pihak, Yan Bu adalah murid tunggal dari Yok-ong Phoa Kok Tee. Ilmu
silatnya lihai sekali dan tenaga lweekangnya juga sudah sempurna. Bi Eng yang terlambat belajar
silat, kurang latihan dan kurang pengalaman, selain ini tentu saja kalah tenaga.
Tadinya Yan Bu terkesiap dan kaget serta kagum melihat gerakan pedang nona itu yang mainkan
jurus-jurus Liap-hong Sin-hoat yang tidak dikenal oleh Yan Bu. Belum pernah pemuda ini melihat
ilmu pedang sedemikian indah dan hebatnya. Akan tetapi setelah dilawannya selama lima puluh
jurus lebih, ia mendapat kenyataan bahwa betapapun lihai ilmu pedang gadis itu, ternyata Bi Eng
kurang latihan dan kurang tenaga. Maka kalau dia mau, dengan mudah saja ia dapat merobohkan
gadis itu. Justru Yan Bu tidak mau merobohkan Bi Eng, tidak sampai hati ia mengalahkan gadis itu. Tidak
tega ia melihat gadis itu kalah olehnya dan menjadi malu karenanya, apalagi sampai melukainya.
Lebih baik dia sendiri yang terluka dan kalah! Memang, cinta bisa memutar balik jalannya keadaan.
Setelah pertempuran itu berlangsung hampir seratus jurus, biarpun Bi Eng masih kurang
pengalaman dan kurang latihan, gadis itu dapat maklum bahwa pemuda ini tidak berkelahi secara
sungguh-sungguh. Hal ini menambah kemarahan dan penasaran hatinya tanpa mengenal lelah ia
mempercepat serangan-serangannya. Keringat sudah membasahi leher dan jidatnya dan napasnya
mulai terengah-engah. Yan Bu tidak tega melihat ini dan pada suatu saat, ia sengaja membiarkan
pedang gadis itu "memakan" ujung pundaknya. Ia memekik kesakitan, goloknya menangkis dan
pedang gadis itu patah!
Sambil mendekap pundak kirinya yang terluka berdarah, Yan Bu melompat mundur dan berkata,
"Nona Cia, hebat ilmu pedangmu, aku Phang Yan Bu mengaku kalah!"
Akan tetapi, gadis itu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis! "Kau bunuhlah aku! Tak usah
banyak cerita, angkat golokmu dan bunuhlah aku, siapa takut mampus?"
Yan Bu melongo. Ia anggap sikap gadis ini lucu dan aneh. Ia melangkah maju dan berkata halus.
"Cia-siocia, kau telah melukai pundakku, kau lebih menang dariku, mengapa kau bersikap begini"
Aku sudah kalah olehmu dan aku mengakui kekalahanku ini ..."
"Siapa sudi kau permainkan" Kau sengaja mengalah, apa kau kira mataku buta" Hemmm, manusia
sombong, kalau kakakku berada di sini dan memberi petunjuk padaku, jangan kira dengan ilmu
golok cakar ayammu itu kau akan mampu mengalahkan aku!"
Yan Bu menarik napas panjang, berduka sekali. "Memang, memang aku mengalah, akan tetapi
terus terang saja, kau kurang latihan dan kurang tenaga. Agaknya kau belum lama mempelajari ilmu
silat. Kalau kau cukup terlatih dan cukup tenaga terus terang saja ilmu pedangmu tadi tak sanggup
aku melawannya. Nona, memang aku hendak mencari kakakmu, hendak kurundingkan dengan dia
supaya kita, biarpun orang tua kita saling bermusuhan, kita sebagai anak-anaknya jangan
melanjutkan permusuhan yang berlarut-larut ini. Aku ...... aku tak sanggup bermusuh dengan kau
....." "Kau ..... ayahmu dibunuh ayahku ..... apa kau tidak akan membunuhku?" tanya Bi Eng terheranheran.
Yan Bu menggeleng kepala, lalu menyimpan goloknya. "Tidak."
"Kenapa?"
Merah wajah Yan Bu. "Karena ..... karena .... tak mungkin aku mengganggumu, jangankan
membunuh. Lebih baik aku mati dari pada membunuhmu!"
Inilah pernyataan isi hati yang sejujurnya, pernyataan cinta kasih yang diucapkan dengan lain katakata.
Tiba-tiba hati Bi Eng berdebar dan mukanya juga menjadi merah. Gadis ini belum tahu
menahu tentang cinta namun sikap dan kata-kata pemuda ini membuat ia merasa jengah. Tiba-tiba
ia mendapat pikiran baik. Pemuda ini lihai sekali, tinggi kepandaiannya. Kalau pemuda ini mau
membantu, tentu kakaknya dapat ditolong keluar dari Cin-ling-pai.
"Betul-betul kau tidak memusuhi aku dan kakak Han Sin?"
"Tuhan menjadi saksi. Aku tidak memusuhi kau dan kakakmu," jawab Yan Bu dengan suara tetap.
"Biar ibu akan marah karenanya, aku bertanggung jawab karena sadar bahwa sikapku ini benar."
"Kalau begitu kau .... kau hendak bertemu dengan kakakku?"
"Tentu saja. Di mana dia" Bukankah kakakmu bernama Cia Han Sin dan turun dari Min-san
bersamamu dan membawa seekor kera" Di Mana kakakmu itu?"
Bi Eng mengerutkan kening, gelisah sekali nampaknya. "Itulah celakanya. Sin-ko telah ditawan
oleh tosu-tosu bau dari Cin-ling-pai di Cin-ling-san."
"Kenapa bisa terjadi hal itu?"
Dengan singkat Bi Eng lalu menceritakan pengalamannya ketika dihadang oleh para tosu Cin-lingpai
sehingga kakaknya ditawan. Mendengar ini, Yan Bu menjadi marah.
"Terlalu sekali tosu-tosu itu! Selama ini aku mendengar nama besar Cin-ling-pai, mengapa
sekarang menghina orang-orang muda" Nona Cia, harap jangan kau kuatir. Kau tunggulah di sini,
biar aku sekarang juga menyusul ke Cin-ling-pai dan agaknya para tosu itu akan suka memandang
muka ibuku untuk membebaskan kakakmu. Kalau sudah dibebaskan, kakakmu akan kuajak
menyusul kau ke sini."
Bi Eng memandang dengan matanya yang lebar dan bagus. "Kau .... ayahmu sudah dibunuh
ayahku, pundakmu sudah kulukai karena kau mengalah .... dan kau sekarang mau menolong Sin-ko
.....?" Yan Bu tersenyum dan mengangguk. "Dengan persahabatan anak-anaknya, sakit hati orang-orang
tua bisa ditebus, bukan?" Setelah berkata demikian, ia menjura lalu membalikkan tubuh, hendak
pergi ke Cin-ling-san.
Untuk sejenak Bi Eng tertegun memandang bayangan pemuda itu. Ia melihat betapa pakaian di
pundak robek dan penuh darah yang masih mengucur keluar. Tiba-tiba ia melangkah maju dan
memanggil, "Saudara Phang Yan Bu .....!"
Pemuda itu berhenti, memutar tubuh lalu melangkah maju. "Kau memanggil aku, nona Cia?"
"Kau tidak bisa pergi dengan luka dibiarkan begitu saja."
Yan Bu tertawa senang, "Terima kasih atas perhatianmu. Luka ini ringan saja. Tidak apa-apa."
"Kesinilah. Biar kubalut. Aku yang melukaimu, tidak enak hatiku kalau membiarkan saja."
Yan Bu hampir tak percaya akan pendengarannya dan hampir ia bersorak girang. Cepat ia maju dan
merobek baju di pundaknya. Sementara itu, Bi Eng sudah mengambil saputangannya lalu dengan
cekatan jari-jari tangan yang halus itu membalut luka di pundak. Yan Bu sebagai murid Yok-ong,
diam-diam geli dan tahu bahwa luka itu kalau tidak diobati, dibalut begitu saja amat tidak baik,
namun ia diam saja. Ketika ia begitu dekat dengan Bi Eng dan mencium bau yang amat harum dari
rambut dan saputangan gadis itu, ia meramkan matanya dan malah tidak tahu bahwa pembalutan itu
sudah selesai. "Eh, kenapa kau meram" Sakitkah?" Bi Eng bertanya heran dan dengan nada kasihan.
Yan Bu menggeleng kepala, masih meram. "Aku tidak berani membuka mata ....."
"Kenapa ....?"
"Kau begini dekat ......, begini cantik ...... aku takut menjadi gila ....."
Karena sudah selesai, Bi Eng melangkah mundur dan tiba-tiba gadis ini tertawa geli. "Kau manusia
lucu sekali!"
Yan Bu membuka matanya. "Terima kasih, nona Cia. Perbuatanmu membalut lukaku ini selama
hidupku takkan pernah kulupakan, akan menjadi kembang mimpi setiap malam."
"Kau ..... kau aneh sekali!" kata Bi Eng, benar-benar terheran dan merasa lucu, namun di dalam hati
harus mengakui bahwa pemuda ini menyenangkan hatinya dengan sikapnya yang aneh itu.
Yan Bu menjura lalu berangkat ke Cin-ling-pai. Bi Eng duduk lagi bersandar pohon dan baru
sekarang terasa olehnya betapa lapar perutnya. Ia pegi ke pinggir kali, mencari air yang jernih untuk
diminumnya. Kemudian ia pergi ke dalam hutan di lembah sungai Wei-ho untuk mencari buah yang
dapat dimakannya. Untung baginya baru setengah li ia berjalan, ia mendapatkan sebatang pohon
buah-buahan yang penuh mengandung buah sejenis apel yang sudah matang-matang. Segera ia
memetik beberapa buah dan memakannya sampai kenyang.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang ketawa dan dari balik pohon besar muncul seorang laki-laki
setengah tua yang bertubuh tegak dan berkepala gundul. Dia itu jelas seorang pendeta hwesio, akan
tetapi sikapnya kasar dan kedua lengannya penuh bulu, matanya memandang kurang ajar kepada Bi
Eng. Gadis ini kurang pengalaman tentang kekurangajaran pria, maka ia tersenyum dan menegur,
"Twa-hwesio, di tempat sunyi ini bertemu dengan seorang pendeta, sungguh aneh dan
menyenangkan."
Hwesio itu tertawa bergelak. "Ha ha ha ha, nona manis. Kau tadi bilang menyenangkan" Ha ha ha!"
Kening Bi Eng mulai berkerut. Ia adalah seorang wanita, perasaannya halus maka ia dapat merasai
sesuatu yang tidak beres dalam sikap hwesio ini. "Betul, aku bilang menyenangkan. Apa salahnya
itu" Kakakku sering berkata bahwa bertemu dengan orang lain di tempat sunyi adalah amat
menyenangkan. Salahkah itu?"
Hwesio itu membuka matanya lebar-lebar dan tertawa makin keras. Ha ha ha ha, kau betul.
Memang menyenangkan sekali. Betapa tidak" Kau begini molek, begini manis, begini muda, begini
... begini harum. Aduh, kau tadi bilang tempat sunyi" Ha ha ha, setelah ada aku dan engkau, mana
bisa sunyi lagi" Mari, mari, manis sayang, mari kita jalan-jalan menikmati pemandangan indah di
lembah Wei-ho. Jangan takut, aku Goan Si Hwesio dari Siauw-lim-pai biasanya berlaku halus pada
seorang gadis manis seperti kau ..... ha ha ha!" Biarpun kata-katanya lambat, namun gerakan tangan
hwesio itu cepat sekali dan tahu-tahu pergelangan tangan kiri Bi Eng sudah ditangkapnya.
Bi Eng menggigil ngeri dan jijik ketika merasa betapa tangannya dipegang oleh telapak tangan yang
kasar dan dingin. Cepat ia mengibaskan tangannya sambil berseru, "Jahanam, lepaskan tanganku!"
Lalu disusul dengan gerakan Po-in-gan-jit (Sapu Awan Melihat Matahari), sebuah jurus yang lihai
dari ilmu silat Liap-hong Sin-hoat.
"Dukk!" tak dapat dicegah lagi hwesio bernama Goan Si itu sudah kena dipukul perutnya sampai ia
mengeluarkan suara "ngekk!" dan terlempar ke belakang lalu jatuh terduduk. Baiknya Bi Eng
belum memiliki tenaga lweekang yang besar, kalau demikian halnya tentu isi perut gendut itu sudah
acak-acakan (cerai berai). Ia hanya merasa mulas saja sebentar. Dengan kedua matanya yang lebar
hwesio itu memandang Bi Eng. Heran dan kaget karena tidak mengira gadis manis itu ternyata


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian lihai. Kemudian ia menjadi marah dan melompat berdiri.
"Bagus, kiranya kau ini seekor serigala betina" Kalau begini harus dihajar dulu sebelum jinak!" Ia
lalu menubruk maju dan Bi Eng cepat mengelak dan membalas dengan jurus-jurus Liap-hong Sinhoat.
Hwesio itu ternyata kosen dan pandai, juga bertubuh kuat. Dengan ilmu silatnya lihai
beberapa kali Bi Eng dapat menghantam tubuh lawan, namun agaknya lawannya memiliki tubuh
yang kebal, sehingga pukulan-pukulannya hanya membuat hwesio itu jatuh terduduk saja. Makin
lama gadis ini makin menjadi lelah. Akan tetapi si hwesio makin buas dan menyeringai, tertawatawa
dan napasnya berbau sekali membuat Bi Eng menjadi muak.
"Ha ha ha, nona manis lebih baik kau menyerah dan bilang twa-suhu yang tercinta tiga kali baru
aku ampunkan kekurangajaranmu tadi!"
"Hwesio bau! Hwesio bau! Hwesio bau!" Bi Eng memaki tiga kali.
Goan Si Hwesio menjadi marah, ia mendesak makin hebat dan Bi Eng sudah lelah sekali karena
tadi sebelum menghadapi hwesio ini sudah bertempur melawan Yan Bu, tak dapat mengelak lagi
ketika kedua tangan hwesio yang kasar itu tahu-tahu telah menggunakan tipu Eng-jiauw-kang
menangkap kedua pergelangan tangannya! Gadis itu meronta-ronta, namun ia tak dapat melepaskan
cekalan hwesio itu, malah pergelangan tangannya terasa sakit sekali. Hwesio itu tertawa terkekehkekeh,
dari mulutnya keluar bau busuk seperti bangkai.
"Hah hah hah, nona manis. Sekarang kau harus cium aku satu kali, baru kulepaskan kedua
tanganmu! Hah hah hah!"
Bi Eng menjadi muak dan marah sekali, namun ia tidak berdaya. Ia tak dapat berbuat lain kecuali
meludahi muka hwesio itu sambil memaki-maki, "Hwesio bau! Hwesio tengik! Kau boleh bunuh
aku!" Pada saat itu terdengar suara suling yang merdu, terdengar amat jauh akan tetapi secara
mengherankan sekali, dengan cepat suling itu terdengar makin dekat, makin dekat seakan-akan
dibawa terbang ke tempat itu. Tiba-tiba suara suling itu terhenti, disusul suara seorang laki-laki
yang terdengar halus dan merdu, suara orang yang jenaka. "Ha ha ha, memang dia itu hwesio kopet
(belum mencuci tubuhnya), maka berbau tengik dan busuk!"
Tiba-tiba, entah dari mana munculnya, di situ sudah kelihatan seorang pemuda yang berpakaian
indah dan mewah sekali, pakaian seorang sasterawan kaya, tangan kanan memegang sebatang
suling berukir, tangan kiri memegang kipas indah yang dipakai mengebuti mukanya. Pemuda ini
berusia kira-kira dua puluh lima tahun, tubuhnya sedang wajahnya tampan sekali. Aneh dan
sayangnya wajahnya yang tampan itu amat putih seperti dibedaki hingga nampak pucat.
Pemuda itu tersenyum-senyum dengan gerakan seenaknya kipasnya dikebutkan ke arah muka
hwesio itu. Jarak antara dia dan Goan Si Hwesio ada tiga empat meter. Akan tetapi angin kebutan
itu membuat Goan Si Hwesio merasa mukanya dingin dan napasnya sesak. Saking kagetnya ia
terpaksa melepaskan cekalannya pada tangan Bi Eng dan melompat mundur.
"Setan cilik, siapakah kau berani kurang ajar padaku" Ayoh, kau menggelinding pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan tangan kanannya dan tiga batang senjata
rahasia piauw menyambar ke arah tubuh pemuda tampan pesolek itu. Goan Si yang tadinya sudah
girang mendapatkan seorang gadis calon korban, menjadi marah sekali diganggu orang maka begitu
bergerak ia menurunkan tangan maut. Tiga batang piauw itu disambitkan secara hebat sekali
sehingga lebih dari cukup untuk mengantar nyawa orang menghadap Giam-kun di neraka.
"Hemmm, segala macam hwesio kopet!" dengan kipasnya pemuda itu masih mengebut-ngebut
badannya dan ... tiga batang piauw itu ketika menyambar tubuhnya tahu-tahu runtuh terkena angin
kebutan kipas, malah ketika pemuda itu mendadak menutup kipasnya dua batang piauw kena
di"bungkus" oleh kipas itu. Sambil tersenyum-senyum pemuda itu lalu membuka kipasnya secara
mendadak dan ..... dua batang piauw yang tadi ditangkap oleh kipas itu menyambar dan tanpa dapat
dielakkan lagi telah mengenai jalan darah di lutut Goan Si Hwesio. Hwesio itu mengeluarkan
seruan kaget, namun sudah terlambat ketika ia hendak meloncat karena tiba-tiba kedua kakinya itu
dari lutut ke bawah tak dapat digerakkan lagi, membuat ia berdiri seperti patung dengan kedua kaki
mati! Hwesio itu membelalakkan kedua matanya, takut setengah mati melihat pemuda aneh yang luar
biasa ini. "Kau ..... kau siapakah .....?"
Pemuda itu kembali mengeluarkan dengus mengejek, lalu membuka kipasnya dan mengebut-ngebut
badannya perlahan. Bau yang amat wangi keluar dari pakaiannya dan kini hwesio itu dapat melihat
lukisan sebuah gunung putih tertutup salju di atas kipas. Seketika wajahnya pucat seperti mayat dan
tubuhnya bagian atas menggigil.
"Kau .... kau .... Bhok .... Bhok-kongcu ... dari Pak ....."
"Hemm, kiranya matamu yang berminyak itu belum buta." Pemuda itu menegur, suaranya tetap
halus merdu akan tetapi mengandung ancaman yang membuat Goan Si Hwesio makin takut. Ia
ingin menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi kedua kakinya sudah mati tak dapat digerakkan. Maka
ia lalu menjura dan memberi hormat dengan merendah sekali, mulutnya berkata.
"Mohon maaf sebesarnya ..... mohon kongcu yang mulia mengampunkan hamba yang rendah.
Siauwceng telah berani kurang ajar, biarlah Siauw-lim-si memberi hukuman kepada siauwceng dan
kelak minta maaf kepada kongcu ...."
"Ha, kau hendak bertopeng Siauw-lim-si untuk menakut-nakuti aku" Eh, hwesio kopet, kau tahu
aku orang macam apa?"
"Siauwceng tidak berani .... tidak berani ...."
Pemuda itu tidak memperdulikan lagi, lalu meniup sulingnya dan matanya yang jenaka itu
mengerling ke arah Bi Eng. Gadis ini semenjak tadi memandang kepada pemuda itu dan merasa
lucu sekali melihat seorang pemuda begitu pesolek seperti wanita, juga diam-diam heran melihat
kelihaian pemuda yang ternyata amat ditakuti hwesio itu.
Kini ia melihat pemuda itu meniup sulingnya, tidak merdu dan indah seperti tadi, melainkan
bersuara aneh dan menyeramkan, melengking tinggi rendah kadang-kadang menusuk anak telinga.
Anehnya, hwesio itu menjadi makin ketakutan dan menggigil keras sedangkan kepala dan mukanya
penuh keringat.
Tak lama kemudian terdengar suara "kresek-kresek" dari jauh, makin lama makin keras dan suling
itupun ditiup makin hebat. Sebentar lagi suara berkresek makin dekat dan ...." Ular ....! Ular .....!"
Bi Eng berteriak sambil melompat ke atas. Siapa takkan takut melihat banyak sekali ular besar
kecil, dari berbagai macam dan warna, merayap-rayap datang ke tempat itu dari segenap penjuru"
"Jangan takut!" kata pemuda itu dengan suara merdu dan halus kepada Bi Eng. Akan tetapi mana
bisa gadis itu tidak takut" Sebenarnya bukan takut, melainkan jijik dan geli. Otomatis gadis ini
melompat ke dekat pemuda itu untuk mencari perlindungan karena ia tahu bahwa agaknya pemuda
ini yang memanggil ular-ular itu.
Makin lama makin banyaklah ular berkumpul di situ, ada ular sendok, ular belang, ular hijau, ular
hitam, ular sungai dan pendeknya, agaknya segala macam ular yang berada di daerah ini telah
berkumpul di situ, tertarik oleh suara suling! Sekejap mata saja tempat mereka bertiga sudah
dikurung oleh ratusan ekor ular beracun.
"Bhok-kongcu, ampun ...... ampunkan siauwceng ...." hwesio itu masih mengeluh, ngeri
menyaksikan ular begitu banyak.
"Nona, hwesio kopet ini tadi kurang ajar padamu, bukan?" tanya si pemuda muka putih kepada Bi
Eng, mulutnya tersenyum dan matanya jenaka.
Bi Eng merasa geli mendengar pemuda itu memaki Goan Si sebagai hwesio kopet. Benar-benar
makian yang aneh, lucu dan menjijikkan. Kini melihat muka yang tampan sekali ini tersenyum dan
matanya bergerak-gerak lucu, mau tak mau Bi Eng yang memangnya berwatak jenaka, timbul
kegembiraannya dan iapun tersenyum.
"Dia kurang ajar, akan tetapi kau sudah menghajarnya," jawabnya. Jawaban ini sama saja dengan
pujian kepada pemuda itu, dan si pemuda agaknya merasa juga bahwa nona jelita itu memujinya,
maka senyumnya melebar, matanya yang bagus itu makin bersinar-sinar.
"Nona, namaku Bhok Kian Teng."
Melihat sikap orang yang sewajarnya tanpa ada sifat-sifat kurang ajar, Bi Eng merasa senang dan
iapun memperkenalkan diri, "Dan aku Cia Bi Eng."
"Aku dari Al-tai-san di Pak-thian (daerah utara)." Kata pula Bhok Kian Teng.
"Dan aku dari .... dari Min-san," kata Bi Eng sejujurnya. Orang bersikap jujur kepadanya, mengapa
dia tidak" Mendengar kata-kata ini, pemuda she Bhok itu tiba-tiba tertawa, lalu menoleh kepada
Goan Si Hwesio dan berkata,
"Bukankah kau hwesio kopet dan bau tidak takut mampus" Berani kurang ajar kepada nona Cia Bi
Eng, puteri pahlawan she Cia di Min-san" Hmm, benar-benar sudah bosan hidup!"
Hwesio itu makin pucat dan mengangguk-anggukkan kepala minta ampun. Sedangkan Bi Eng juga
terheran mendengar ini. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya.
Bhok Kian Teng tersenyum. "Kau she Cia dari Min-san, di dunia ini mana ada orang she Cia dari
Min-san lain lagi kecuali keturunan orang-orang gagah Cia Hui Gan dan Cia Sun?"
Girang hati Bi Eng mendengar orang tuanya dipuji-puji sebagai orang gagah. "Cia Hui Gan
kakekku, Cia Sun ayahku!" katanya girang. Bhok Kian Teng mengangguk-angguk.
"Pantas saja kau begini gagah, nona. Kiranya puteri Cia Sun lo-enghiong. Terimalah hormatku."
Pemuda itu menjura dan ketika ia bergerak, dari tubuhnya kembali tersiar bau yang harum wangi.
"Bhok-kongcu sudah menolongku terlepas dari tangan hwesio ko .... eh, hwesio bau tengik ini.
Akulah yang harus menghormatmu." Bi Eng tidak sampai hati mengucapkan kata-kata "kopet",
karena kata-kata ini biasanya ditujukan kepada orang yang tidak mencuci tubuh sehabis buang air!
"Nona, kadal ini tadi berlaku kurang ajar. Menurut pendapatmu, dia harus dihukum secara
bagaimanakah?"
Bi Eng melirik-lirik memandang hwesio itu. Dia memang marah sekali kepada kepala gundul itu,
dan amat benci. Apalagi kalau ingat betapa tadi dia disuruh menciumnya segala. Hemm, mau
rasanya ia memenggal leher orang itu agar kepalanya yang gundul menggelundung di antara ratusan
ular. Alangkah senangnya kalau melihat hwesio ini dikeroyok ular! Hampir saja ia mengucapkan
keinginan hatinya ini kalau saja ia tidak ingat akan kakaknya. Terbayang wajah kakaknya yang
halus budi, yang penuh kasih kepada sesamanya, yang mudah mengampunkan orang. Bergidik ia
kalau teringat betapa kakaknya itu akan marah kepadanya kalau saja tahu bahwa ia menghukum
hwesio supaya dikeroyok ular! Maka ia lalu berkata,
"Kalau ia sudah bertobat, biar dia menampari muka sendiri sampai bengap!"
Bhok Kian Teng tertawa. "Enak amat baginya! Eh, hwesio kadal kopet, ayoh kau maki dirimu
sendiri hwesio kopet seratus kali sambil menampari mukamu sampai bengkak-bengkak!"
Inilah hinaan hebat. Akan tetapi Goan Si Hwesio agaknya takut dan ngeri menghadapi pemuda aneh
itu. Begitu mendengar perintah ini, ia lalu menggunakan kedua tangannya menampari muka sendiri
dari kanan kiri sambil mulutnya memaki, "Hwesio kopet .... hwesio kopet .....hwesio kopet ....!"
berulang-ulang sampai mukanya menjadi bengkak-bengkak, bibirnya juga bengkak tebal sehingga
makiannya makin lama makin tak terdengar jelas lagi.
Bhok Kian Teng merogoh saku jubahnya yang lebar dan mengeluarkan sebuah pisau kecil
berbentuk golok. Hwesio itu nampak kaget sekali melihat ini. Ia mengenal "huito" atau golok
terbang ini, yang belum pernah dilihatnya akan tetapi sudah sering kali didengarnya.
"Kongcu .... am ... ampun ...." katanya.
Bhok Kian Teng tertawa. "Kedua tanganmu kotor sekali, berani kau tadi mencekal kedua tangan
nona Cia yang putih bersih dan suci murni. Ayoh, kau buntungi kedua tanganmu!"
Ia melemparkan golok kecil itu ke arah Goan Si Hwesio yang menyambut dengan tangan kanan.
Kemudian, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membacok putus tangan kirinya, kemudian ia menggigit
gagang golok kecil itu dan membacok putus pula tangan kanannya! Golok itu jatuh ke bawah
mengeluarkan bunyi berdencing dan hwesio itu roboh pingsan. Darah mengalir keluar dari kedua
lengannya yang sudah buntung. Bi Eng mengeluarkan teriakan perlahan karena ngeri sungguhpun
diam-diam di lubuk hatinya terdapat perasaan puas melihat penderitaan hwesio yang dibencinya itu.
Bhok Kian Teng tertawa. "Muak dan menjemukan sekali melihat hwesio ini, bukan" Mari kita
tinggalkan dia, nona!"
Bi Eng mengangguk. Memang tidak menyenangkan tinggal di tempat itu, selain ngeri juga takut
melihat banyaknya ular-ular beracun. Kian Teng lalu meniup sulingnya, pendek dan cepat,
kemudian ia membungkuk kepada Bi Eng mempersilahkan Bi Eng berjalan dengan sikap yang amat
hormat. Bi Eng senang, tersenyum dan di lain saat dan dua orang muda ini sudah berjalan,
berendeng dan beromong-omong. Belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba terdengar pekik
mengerikan. Bhok Kian Teng nampak tenang-tenang saja, akan tetapi Bi Eng dengan kaget
memutar tubuh memandang.
Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat dan bulu tengkuknya berdiri. Apa yang ia lihat" Ternyata bahwa
sepergi mereka, tubuh Goan Si Hwesio dikeroyok ular-ular itu yang menggigitnya, beratus
banyaknya. Celakanya hwesio itu sudah siuman dari pingsannya sehingga dapat dibayangkan
betapa takutnya sampai ia mengeluarkan pekik tadi. Tapi hanya sebentar karena dalam sekejap saja
kulit dan daging hwesio itu sudah habis dimakan ular, tinggal tulang-tulangnya saja yang masih
dijilat-jilat oleh ratusan ekor ular, yang masih merasa belum kenyang.
Bi Eng memutar lagi tubuhnya dan menutupi muka dengan ke dua tangannya. "Ah, alangkah
ngerinya. Kenapa dia dibunuh?" katanya perlahan, agak gemetar karena merasa ngeri.
Terdengar suara Bhok Kian Teng bersungguh-sungguh. "Nona Cia, hatimu memang terlalu baik,
karena itu banyak orang jahat suka mengganggumu. Manusia macam itu mampus dimakan ular,
memang sudah sepatutnya. Apa kau dapat membayangkan betapa nasibmu akan lebih mengerikan
dari pada nasibnya kalau tadi kau sampai terjatuh ke dalam tangannya" Nona, terus terang saja
kukatakan, dia lebih jahat dari pada ular-ular tadi!"
Bi Eng menurunkan tangannya, memandang kepada pemuda itu dengan pucat. Ia hanya dapat
setengah menduga apa yang akan terjadi padanya kalau tadi pemuda ini tidak muncul menolongnya.
Hebat! Kenapa di dunia ini banyak sekali orang jahat" Ia memandang wajah pemuda ini dengan
tajam penuh selidik. Wajah yang tampan dan gagah, pikirnya. Selalu tersenyum mulutnya, selalu
berseri wajahnya, selalu bersinar matanya, halus kata-kata dan gerakan-gerakannya.
Akan tetapi dibalik itu semua, Bi Eng merasa sesuatu yang aneh, seakan-akan ada sesuatu yang
mengancamnya dengan hebat, ada sesuatu yang lebih mengerikan dari pada hwesio tadi, dari pada
ular-ular tadi. Dia tidak tahu apakah itu. Hanya di dasar hatinya ia merasa tidak senang dan takut
kepada pemuda yang berwajah terlalu putih ini, yang bersikap terlalu baik, sungguhpun di luarnya
ia merasa kagum dan suka mendengar omongan-omongannya yang halus merdu dan penuh pujian.
Dua orang muda-mudi ini berjalan perlahan, kembali ke pinggir sungai Wei-ho. Ketika tiba di
tempat di mana tadi ia bertemu dengan Yan Bu, Bi Eng melihat sebuah perahu besar yang amat
indah dengan cat merah berada di pinggir sungai dan ia melihat belasan orang wanita cantik di atas
perahu itu. Wanita-wanita itu masih muda-muda, rata-rata berusia dua puluh tahun, dan tak seorangpun di
antara mereka yang berwajah buruk. Pakaian mereka dari sutera warna warni, amat indah dengan
potongan yang ketat sehingga dari jauh nampak bentuk tubuh mereka yang penuh dan
menggairahkan. Akan tetapi pada wajah-wajah cantik itu bersinar sesuatu yang memuakkan hati Bi Eng, sinar dari
wajah-wajah yang genit dan cabul yang hanya dapat ia rasai dalam hati akan tetapi yang tidak
dimengertinya. Sebelum ia bertanya kepada Bhok Kian Teng siapa adanya wanita-wanita di atas
perahu indah itu, ketika melihat pemuda ini serentak wanita-wanita itu mengeluarkan suara yang
merdu dan girang.
"Kongcu-ya telah pulang ....!" Suara itu merupakan sorakan dari hati yang amat girang.
Dari atas perahu melayang seorang wanita dengan gerakan yang amat ringan dan wanita ini
meloncat ke depan Bhok Kian Teng. Ternyata dia seorang wanita yang cantik sekali, usianya lebih
tua dari pada yang lain, kira-kira dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun, akan tetapi
mempunyai kecantikan yang menonjol dengan bentuk tubuh yang amat bagus. Di punggungnya
nampak gagang sepasang pedang dan dari gerakannya melompat tadi dapat diketahui bahwa
kepandaiannya juga luar biasa.
"Kepergian kongcu meninggalkan perahu menggelisahkan kami," kata wanita ini dengan suara
berlagu dan merayu. "Akan tetapi suara seruling kongcu tadi memberitahukan bahwa kongcu
sedang menghajar seorang jahat." Ia mengerling ke arah Bi Eng dan pada mata yang tadinya berseri
itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin. "Tidak tahu siapakah yang membikin kongcu tidak senang"
Siauw-moi sekalian akan menghajar manusia itu!"
Bhok Kian Teng tersenyum, lalu menggerakkan kipasnya. "Tidak apa-apa, Leng-moi. Hanya
seorang hwesio kopet yang mengganggu nona ini. Baiknya aku keburu datang merintangi
maksudnya yang buruk."
Wanita itu tertawa genit. "Dan bagaimana dengan hwesio ...... kopet itu?"
"Ha ha, dia sudah dimakan habis oleh ratusan ular."
"Bagus. Bagus!" Wanita itu bertepuk tangan. "Memang kongcu luar biasa dan berhati mulia.
Dimana-mana melepas budi dan tak pernah ular-ular setempat tidak diberi makan. Makin lama
kongcu akan makin terkenal dan dikagumi di antara para ular di dunia ini."
Para wanita di atas perahu tiba-tiba menyanyi dengan irama bersemangat dan merdu merayu:
"Lebih tampan dari pada Tan Po An
Lebih gagah dari pada Ciu Goan Ciang!
Dengan suling dan kipas menjagoi dunia
Melintasi gurun dan mengarungi lautan.
Siapa dia"
Bhok-kongcu kami yang tercinta!"
Nyanyian ini diulang sampai tiga kali. Diam-diam Bi Eng terheran. Bagaimanakah ada orang
sampai dipuji setinggi langit seperti itu" Memang, dia sendiri tidak menyangkal bahwa Bhok Kian
Teng memang tampan akan tetapi kalau lebih tampan dari Tan Po An, ini dia tidak dapat menerima.
Pernah kakaknya, Han Sin yang suka membaca dongeng kuno, menceritakan bahwa ketampanan
Tan Po An di jaman dahulu mengguncangkan dunia bahkan menggegerkan langit sehingga para
bidadari menjadi keedanan dan turun ke dunia, bikin ribut untuk memperebutkan Tan Po An!
Dan biarpun ia sudah melihat bahwa Bhok-kongcu lihai, akan tetapi lebih gagah dari Ciu Goan
Ciang pemimpin barisan rakyat yang berhasil mengusir penjajah Mongol" Ah, inipun obrolan
besar! Diam-diam Bi Eng memandang wanita-wanita itu dengan hati tak senang. Ia menganggap
mereka itu penjilat-penjilat besar.
"Kau lihat, nona Cia. Aku amat dimanja-manjakan mereka. Ah, lama-lama membosankan juga."
Kata Bhok Kian Teng ketika melihat kening gadis itu mengerut. Ia lalu memberi tanda dengan
tangannya dan para wanita itu berhenti menyanyi.
"Nona, ini adalah pembantuku nomor satu, namanya Yo Leng Nio. Leng-moi, nona ini adalah nona
Cia Bi Eng, tamu kita yang terhormat. Mari, nona Cia, mari naik ke perahuku, kita bicara di sana."
11. Lepas dari Srigala Masuk ke Sarang Buaya
BI ENG ragu-ragu, sebetulnya enggan kalau harus naik ke perahu orang.
"Aku .... aku menanti datangnya kakakku di sini ...." katanya perlahan.
Kian Teng tertawa. "Perahuku memang berlabuh di sini. Apa bedanya menanti di darat ataupun di
atas perahu" Kalau kakakmu datang, kan bisa kelihatan dari perahu" Nona, kami mengundangmu
sebagai tamu, apakah kau tidak suka?"
Tentu saja Bi Eng tidak dapat menolak lagi. Orang sudah menolongnya dari malapetaka yang besar.
Bagaimana dia bersikap kurang terima. Ia tersenyum. "Kau terlalu menghormat, Bhok-kongcu. Kau
penolongku, tentu saja aku mau menerima undanganmu. Hanya aku khawatir membuat kalian repot
saja." "Tidak repot ".. tidak repot ?"." Kata Bhok Kian Teng sambil mengajak Bi Eng naik ke perahu.
Para wanita cantik itu sejak tadi sudah sibuk memasang papan tangga sehingga pemuda itu bersama
Bi Eng dengan mudah dapat naik ke perahu, tak usah meloncat. Di belakang mereka berjalan Yo
Leng Nio yang masih agak muram mukanya kalau melihat Bi Eng. Di sudut kerling matanya


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak jelas perasaan cemburunya. Melihat ini, Bi Eng hanya tersenyum mengejek. Kau tak usah
takut, pikirnya, siapa sudi merampas kongcumu yang kalian dewa-dewakan"
Setelah naik ke atas perahu dan menghitung, Bi Eng mendapat kenyataan bahwa wanita-wanita itu
bersama Yo Leng Nio berjumlah lima belas orang. Dan di pinggir-pinggir perahu, mungkin bekerja
sebagai pengemudi dan anak buah perahu, kelihatan sepuluh orang laki-laki tinggi besar yang
berpakaian tidak seperti orang Han, juga sikap mereka ini aneh, diam saja seperti patung. Malah
pandangan mata mereka tidak langsung seakan-akan kosong. Orang-orang lelaki yang berada
perahu itu sama sekali tidak memperdulikan segala keributan wanita-wanita yang menyambut
Bhok-kongcu. Hanya mereka ini berdiri tegak seperti barisan untuk menghormat pemuda itu.
Bi Eng diajak ke sebuah ruangan dalam perahu dan di situ ia dipersilahkan duduk. Sementara itu,
Bhok-kongcu sudah "dikeroyok" empat belas orang gadis cantik kecuali Yo Leng Nio yang berdiri
dan bersikap sebagai penjaga. Bhok-kongcu duduk di atas kursi dan mulailah empat belas pasang
lengan melayaninya. Wanita-wanita ini tersenyum dan melirik, menarik muka semanis-manisnya,
tertawa kecil amat genit. Ada yang melepas sepatu dan kaus kaki Bhok-kongcu lalu mencuci kaki
itu, ada yang menggantikan jubah luar, ada yang membuka topi lalu menyisir rambutnya.
Pendeknya keadaan Bhok-kongcu seperti seorang calon mempelai yang didandani! Hebatnya.
Wanita-wanita itu dengan sikap menarik hati melakukan perbuatan yang membuat Bi Eng melongo
lalu tak berani memandang lagi. Bayangkan saja, yang mencuci kaki ".. mencium kaki itu, yang
menyisir rambut mencium rambut dan sebagainya. Benar-benar penglihatan yang amat aneh dan
membikin Bi Eng tidak kuat memandang lebih lama, lalu gadis itu berdiri dan pura-pura melihatlihat
air di pinggir perahu.
Setelah selesai "mendadani" pemuda itu, seorang demi seorang para wanita itu menjual lagak. Ada
yang berkata dengan suara halus merdu, "Kongcu, hidangan sudah siap siauw-moi bikin selezatlezatnya."
Ada yang merayu, "Apakah kongcu ingin melihat siauw-moi menari lebih dulu?" Ada
pula yang berkata manja, "Tentu kongcu ingin mendengar siauw-moi bernyanyi?"
Akan tetapi Bhok Kian Teng menggerakkan tangan dan berkata, "Pergilah kalian mengaso.
Keluarkan hidangan, aku hendak mengundang nona Cia makan minum. Jangan kalian mengganggu.
Boleh keluarkan hiburan tarian dan nyanyian untuk nona Cia, akan tetapi agak jauh, jangan dekatdekat."
"Ah, kongcu "..?" masih ada suara-suara halus merdu membantah.
Tiba-tiba Yo Leng Nio membentak, "Kongcu sudah keluarkan titah, kalian masih berani cerewet?"
Sepasang mata wanita ini melotot dan undurlah wanita itu. Yo Leng Nio sendiri juga pergi untuk
memenuhi perintah tuannya.
"Nona Cia, harap kau maafkan melihat mereka itu," kata Kian Teng setelah mengundang Bi Eng
duduk kembali. "Sebetulnya akupun jemu dilayani oleh begitu banyak tangan. Ahh ".." Ia menarik
napas panjang sambil menatap ke arah kedua tangan Bi Eng yang runcing halus. "Alangkah akan
bahagianya kalau aku hanya dilayani oleh sepasang tangan yang penuh kasih sayang ".."
Entah mengapa, mungkin karena mata pemuda itu memandang ke arah tangannya, wajah Bi Eng
menjadi merah dan ia otomatis menyembunyikan kedua tangannya di bawah meja! Untuk
menghilangkan dan menyembunyikan rasa bingung dan jengahnya, Bi Eng berkata sambil tertawa
dan memandang wajah tuan rumah, "Bhok-kongcu, kau benar-benar seorang aneh. Belum pernah
aku melihat orang dengan keadaan seaneh kau!"
Bhok Kian Teng tertawa terbahak dan ketika tertawa ini, lenyaplah keanehan yang menyeramkan
yang menyelubungi dirinya, dia berubah menjadi seorang pemuda tampan yang gembira sehingga
Bi Eng juga ikut gembira. "Apanya yang aneh" Nona, itu adalah karena kau belum mengenal aku.
Bhok Kian Teng bukan orang aneh, orang biasa saja "." Kemudian suaranya berubah bersungguhsungguh.
"Tentu saja aku pun bukan gentong nasi yang tak mempunyai cita-cita! Aku seorang lakilaki
dari darah dan daging, aku bercita-cita tinggi sekali. Nona Cia, mari minum!" Ia menuangkan
arak ke dalam cawan ketika dua orang gadis datang mengeluarkan arak wangi.
Bi Eng tidak biasa minum arak, akan tetapi karena tidak sudi disangka "perawan dusun", terutama
sekali oleh para gadis itu, ia menerima cawannya, menghaturkan terima kasih dan meneguknya
habis. Arak itu wangi dan manis, enak sekali, akan tetapi hampir ia tersedak karena tidak biasa akan
minuman keras. Diam-diam ia teringat akan suhunya. Kalau suhu mendapat suguhan arak seenak
ini, tentunya akan dihabiskan segentong! Demikian pikirnya gembira.
Sementara itu, hidangan dikeluarkan di atas meja, hidangan-hidangan yang masih panas mengebul
dan mewah. Gadis-gadis tadi keluar lagi membawa alat musik dan dalam jarak yang agak
jauhmereka mulai menari dan bernyanyi sementara Bhok Kian Teng mengajak Bi Eng makan
minum. Hidangan amat enak, arakpun wangi, ditambah tari-tarian yang lemah gemulai indah dan
nyanyian dengan suara merdu merayu, bagaimana Bi Eng takkan senang" Apalagi ia memang sudah
lapar, maka sebagai seorang gadis lincah dan terbuka, ia tidak malu-malu lagi dan menyikat
makanan sampai kenyang
Melihat sikap gadis yang terbuka ini, timbul kegembiraan Bhok Kian Teng dan sambil menggerakgerakan
kipasnya ia lalu membaca sajak dengan lagak seorang sasterawan dan dengan suara yang
lantang, sementara para gadis menabuh khim perlahan-lahan.
"Air We-ho mengalir gelisah di bawah perahu
kacau tak menentu, kemanakah kau hendak pergi"
Lebih senang duduk diperahu minum arak
menjamu tamu agung jelita gagah!
Menyaksikan tarian mendengar nyanyian
senyum madu mata bintang
Aku berhasil menyenangkan tamu agung!
Bawa arak! Biarkan aku minum sepuasnya!"
Tanpa banyak berpikir dapat membuat sajak bukanlah hal yang mudah. Bi Eng sudah pernah
mempelajari ilmu surat bersama kakaknya, akan tetapi dalam hal kepandaian ini dia kalah jauh oleh
kakaknya. Maka ia merasa kagum sekali melihat Bhok-kongcu dapat membuat syair yang
merupakan sindiran dan pujian bagi dirinya. Tak terasa lagi mukanya menjadi merah jengah dan
juga diam-diam girang karena ia disebut-sebut sebagai tamu agung jelita gagah bersenyum madu
bermata bintang.
Setelah mengucapkan syairnya, sambil tertawa Kian Teng kembali mengisi cawan arak Bi Eng lalu
berkata, "Sekarang kuharap Cia-siocia sudi membuatkan sebait-dua bait sajak untukku."
"Ah, aku tidak bisa, Bhok-kongcu," kata Bi Eng sambil tertawa.
"Siapa percaya" Nona seorang Bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat), tentu lebih pandai dari pada
aku. Kalau nona tidak sudi memperlihatkan sedikit kepandaian untuk membuka mataku, terpaksa
aku mendenda nona dengan tiga cawan arak!" Berkata demikian, pemuda itu tertawa-tawa gembira
dan sewajarnya.
Bi Eng juga tertawa, lalu menarik napas panjang. "Ah, kalau saja Sin-ko berada di sini, tentu dia
gembira sekali dan kau tak akan kecewa, karena dalam membuat sajak, kiranya di dunia ini tidak
ada yang dapat mengalahkan Sin-ko."
Perhatian Bhok-kongcu segera tertarik. "Sin-ko" Siapakah dia?"
Bi Eng tidak tahu bahwa dalam pertanyaan ini terkandung cemburu yang amat besar. Dia sudah
agak dipengaruhi arak, maka sedikit keadaan ini tidak terlihat olehnya.
"Sin-ko adalah kakakku ?". Dan tiba-tiba Bi Eng menjadi berduka. Kakaknya masih tertahan di
Cin-ling-san, usaha pertolongan dari Yan Bu juga belum ada ketentuan hasil tidaknya, dan dia enakenak
dan senang-senang di atas perahu ini bersama Bhok-kongcu. Wajahnya menjadi muram,
senyumnya menghilang, bahkan di matanya terdapat dua titik air mata!
"Eh, nona Cia, kau kenapakah?" tanya Bhok Kian Teng, suaranya terdengar demikian menaruh
perhatian dan berkhawatir sehingga dilain saat Bi Eng menjadi begitu sedih dan menangis benarbenar.
Di luar tahu Bi Eng, Kian Teng memberi isyarat dengan matanya dan semua wanita di situ
mengundurkan diri, meninggalkan pemuda itu berdua saja dengan Bi Eng. Bahkan anak buah
perahu juga tidak menampakkan diri. Senja telah terganti malam dan bulan muda sudah muncul di
angkasa raya, memuntahkan cahaya gemilang di permukaan air sungai, menimbulkan pemandangan
indah dan suasana yang romantis.
Bi Eng yang sedang menangis dan menutupi mukanya di atas meja tidak melihat bahwa dia
sekarang hanya berdua saja dengan pemuda itu. Ketika merasa betapa sebuah tangan dengan mesra
dan halus menepuk-nepuk pundaknya, ia kaget dan mengangkat kepala. Dilihatnya kongcu itu
sudah berdiri dari kursinya, berdiri dekat dengan dia dan menepuk-nepuk pundak dengan sikap
menghibur. Ia menjadi jengah dan melihat ke kanan kiri, akan tetapi tidak ada seorang pun di situ,
bahkan Yo Leng Nio juga tidak ada lagi di situ.
"Nona Cia, tenanglah dan sabarlah. Kau agaknya berduka sekali, bolehkah aku mengetahui
persoalannya" Percayalah, selama masih ada Bhok Kian Teng hidup di dunia ini, tidak seorang pun
boleh menyusahkan hatimu. Aku menyediakan selembar nyawaku untuk membela dan
melindungimu, nona." Suara ini demikian mesra, demikian halus mengharukan sehingga biarpun
tak senang disentuh pundaknya, namun Bi Eng tidak tega bersikap kasar.
"Bhok-kongcu, duduklah baik-baik. Aku sangat berterima kasih padamu dan akan kuceritakan
kesukaranku, biarpun agaknya kaupun takkan dapat menolongku."
Bhok Kian Teng melangkah mundur, membungkuk lalu duduk di kursinya, senyumnya masih
membayang di mulut, wajahnya tampak tenang dan sabar, kelihatan amat halus budi dan baik hati.
"Kau berceritalah, nona, aku siap mendengarkan."
Bukan maksud hati Bi Eng untuk menceritakan semua riwayatnya, ia hanya merasa tidak enak
kalau menyimpan rahasia hatinya, dan pula, melihat kelihaian kongcu ini, iapun mengharapkan
petunjuk-petunjuknya. Maka dengan singkat ia bercerita, "Bhok-kongcu, maafkan kalau tadi aku
tidak dapat menahan perasaan dan menangis, membikin kau jemu saja. Aku bersama kakakku, Cia
Han Sin, dan seekor monyet peliharaan kami, turun dari Min-san untuk " untuk lihat dunia ramai."
Ia mulai menutur. Kian Teng yang cerdik tentu saja tahu akan keraguan nona ini ketika hendak
bicara tentang maksudnya turun gunung, namun ia tidak bertanya, tidak mencela dan mendengarkan
dengan sabar. "Kami sudah yatim piatu, dan hidup kami hanya bertiga dengan monyet kami itu. Kami kira dunia
ini indah dan manusia-manusianya baik-baik. Tidak tahunya, baru tiba di Cin-ling-san kami
menemui malapetaka. Tosu-tosu bau dari Cin-ling-pai, entah mengapa, marah-marah kepada kami
dan tidak mau membiarkan kami lewat dengan aman. Mereka malah hendak menyerang dan
menangkap kami. Tentu saja aku melawan mereka dan kakak ". Sin-ko yang tidak bisa ilmu silat
sudah bersikap gagah melindungi aku. Lalu datanglah seorang kakek bernama Ban Kim Cinjin,
katanya utusan pemerintah dan antara kakek ini dan orang-orang Cin-ling-pai timbul perkelahian
hebat sehingga banyak tosu Cin-ling-pai tewas di tangan Ban Kim Cinjin."
Bhok Kian Teng mengangguk-angguk." Sudah kudengar nama Ban Kim Cinjin. Dia memang
lihai." "Melihat orang itu melakukan banyak pembunuhan, Sin-ko tidak tega dan mencegah. Akan tetapi
dia malah beberapa kali dipukul oleh Ban Kim Cinjin. Kemudian "..
"Kemudian bagaimana, nona?" Kian Teng bertanya penuh perhatian, agaknya ia tertarik sekali.
"Ban Kim Cinjin memukul Sin-ko dan " tahu-tahu kakek itu roboh binasa ".."
"Aahhh ".!" Bhok Kian Teng melongo saking herannya.
"Siapa yang membunuhnya?"
"Akupun tidak tahu. Dia mati mendadak. Para tosu Cin-ling-pai lalu menyalahkan kami. Kakakku
bertanggung jawab untuk semua itu, menyuruh aku pergi lebih dulu menanti di sini dan dia hendak
memikul semua pertanggungan jawab. Padahal, kakakku yang tidak bisa silat mana bisa membunuh
seorang seperti Ban Kim Cinjin?"
"Memang tak bisa ".. tak bisa "." Kongcu itu menggeleng-geleng kepala lalu merenung,
nampaknya berpikir keras.
"Begitulah, Sin-ko ditawan. Aku tadinya hendak membelanya, akan tetapi Sin-ko tidak mau dan
memaksa aku harus pergi dulu. Aku tidak berani membantah, lalu pergi dan hanya suruh Siauw-ong
monyetku itu mengawaninya. Sin-ko masih ditawan orang, entah bagaimana nasibnya dan aku ".
Aku bersenang-senang di sini, siapa yang tak sedih "..?"
Tiba-tiba Bhok Kian Teng memukulkan tangannya kepada ujung meja, perlahan saja, akan tetapi
alangkah kagetnya hati Bi Eng melihat betapa ujung meja yang tebal dan keras itu menjadi hancur!
"Nona Cia, kenapa tidak tadi-tadi kau ceritakan hal ini kepadaku" Jangan kau kuatir, orang-orang
Cin-ling-pai mana berani mengganggu kakakmu kalau ada aku" Hee! Leng-moi "..! Kesinilah!"
Yo Leng Nio cepat muncul, wajahnya tetap muram dan ia melirik satu kali ke arah Bi Eng.
"Kongcu memanggil siauw-moi?" tanyanya sambil menghadap Bhok Kian Teng.
"Leng-moi, sekarang juga kau berangkatlah ke Cin-ling-san, kau temui tosu-tosu pengurus Cinling-
pai, atau kalau perlu boleh kau minta bertemu sendiri dengan Giok Thian Cin Cu ketuanya,
tunjukkan kartu namaku dan kau minta atas namaku agar Cin-ling-pai suka membebaskan seorang
bernama Cia Han Sin. Setelah bebas, kau ajak pemuda itu ke sini, katakan bahwa adiknya, nona Cia
Bi Eng, menantinya di sini dalam keadaan selamat."
Yo Leng Nio mendengar penuh perhatian. Kemudian berkata, "Siauw-moi telah menerima perintah.
Hanya sebuah pertanyaan, kongcu, bagaimana kalau ".."
"Kalau mereka menolak, jangan bikin malu aku! Kalau kau tidak sanggup mengalahkan mereka,
katakan aku akan datang sendiri!" Bhok-kongcu memotong tak sabar lagi sambil menggerakkan
tangannya menyuruh gadis itu pergi. Yo Leng Nio mengangguk, lalu sekali meloncat gadis ini
sudah berada di darat!
Diam-diam Bi Eng kagum sekali.
"Jangan kau gelisah, nona Cia. Kakakmu pasti akan selamat dan segera datang ke sini."
"Bhok-kongcu, kau baik sekali. Banyak terima kasih atas segala jerih payahmu."
"Ah, setelah kita menjadi sahabat, mana perlu segala ucapan sungkan" Nona, sekarang mengasolah,
dan jangan berduka." Kongcu itu menepuk tangan tiga kali dan lima orang gadis cantik muncul.
"Antarkan nona Cia ke dalam kamar biar dia beristirahat."
Melihat kebaikan orang, Bi Eng terharu dan tidak sampai hati menolak. Memang lebih baik
bermalam di dalam perahu dari pada di pinggir sungai. Ia lalu diantar oleh gadis-gadis itu dan
ternyata di dalam perahu besar itu disediakan kamar-kamar yang indah dan bersih. Ia mendapat
sebuah kamar dan setelah sampai di kamarnya, dia dilayani oleh seorang gadis cantik berbaju
merah. "Nona, kongcu telah berlaku baik sekali padamu, kau beruntung," kata nona baju merah itu sambil
menarik napas panjang, di dalam suaranya terkandung iri hati besar. Namun Bi Eng tidak merasa ini
dan dia tersenyum.
"Kalian semua orang-orang baik," katanya. "Enci, siapakah namamu?"
"Aku hanya pelayan, kau tamu agung. Panggil saja aku Ang-hwa (Bunga Merah)," katanya.
Bi Eng dapat menduga bahwa nama ini hanya nama samaran, sesuai dengan bajunya yang merah.
Namun ia tidak perdulikan lagi karena matanya sudah mengantuk, kepalanya agak pening karena
banyak minum arak. Begitu ia merebahkan diri di atas kasur yang empuk, segera ia tidur pulas.
Menjelang tengah malam, ia terbangun dan mendengar suara orang menarik napas panjang. Suara
itu seperti di dalam kamarnya, maka Bi Eng segera memandang ke sana ke mari tanpa bergerak. Ia
melihat lampu masih menerangi kamarnya dan ketika melirik ke arah jendela, lapat-lapat ia melihat
sepasang mata yang tajam mengintai ke dalam kamarnya.
Ia mengenal mata ini, seperti mata Bhok-kongcu. Dan kembali terdengar tarikan napas panjang,
juga dari balik jendela itu. Kemudian menyusul bisikan-bisikan perlahan, "Bhok Kian Teng " kau
sudah gila. Mengapa tiba-tiba hatimu lemah" Gila ". Gila "." Dan suara itu makin menjauh
sedangkan sepasang mata itupun lenyap.
Bi Eng terkejut dan heran, juga takut. Belum pernah ia merasa takut, akan tetapi berada dalam
tempat asing di antara orang-orang asing yang aneh, ia merasa ngeri juga. Kau bodoh, pikirnya.
Mereka itu orang-orang baik, mengapa takut" Tiba-tiba ia mendengar suara bisik-bisik dari balik
dinding kamarnya. Ia mengulet dan mendekatkan telinga mepet di dinding kamarnya karena
kebetulan tempat tidurnya mepet di dinding itu. Kini ia dapat mendengar suara dua orang wanita
berbicara berbisik-bisik. Yang satu ia kenal sebagai suara Ang Hwa.
"Aneh," kata suara kedua. "Kongcu sama sekali tidak mengganggu bocah dusun itu. Memasuki
kamarnyapun tidak! Malah mengintai. Apa artinya ini" Belum pernah terjadi hal seperti ini. Apa dia
takut?" "Goblok!" terdengar suara Ang-hwa mencela. "Kongcu takuti siapa" Tentu dia ". Dia telah jatuh
cinta "." Suaranya menjadi sedih.
Orang kedua menghela napas. "Hemmm, untung orang tak dapat diduga. Tadinya kami kira kau
yang akan menjadi kekasihnya, Ang-hwa. Tidak tahunya kau juga sama dengan kami, hanya
barang-barang permainan belaka. Tadinya kami kira dia tidak mempunyai hati untuk menyintai
orang, menyinta dengan sungguh-sungguh seperti seorang pria menyinta wanita, kami kira dia
memang hanya menganggap wanita sebagai barang mainannya. Tidak tahunya, dia menyinta gadis
dusun "! Ah, Ang Hwa, belum pernah dia memandang kau seperti ketika memandang perempuan
itu ?" Haiii ".. nasib!"
Terdengar Ang Hwa mendengus, lalu suara itu sirep, Bi Eng terheran dan tidak mengerti sama
sekali bahwa yang dimaksudkan dengan "gadis dusun" adalah dia sendiri! Karena itu dia tidak
menaruh perhatian lagi dan mulai layap-layap hendak pulas.
Tiba-tiba ia mendengar pintu dibuka orang. Ketika ia membuka mata, ia melihat sinar kuning
melayang ke arahnya dan di lain saat ia merasa lengan kirinya sakit sekali. Ia melihat dan ".. Bi
Eng menjerit kaget. "Ular ". menggigit ".. celaka ".!"
Ia melihat seekor ular belang kuning sudah menggigit lengannya dan melingkar di situ.
Tiba-tiba daun jendela terpentang dan sesosok bayangan melayang masuk. Bhok Kian Teng telah
berada di situ. "Celaka "..!" Pemuda itu berseru. Sekali tangannya diulur, kepala ular itu dipencet
remuk. Tubuhnya lalu berkelebat ke arah pintu, terdengar suara gedebukan dan di lain saat ia telah
kembali ke dalam kamar, menyeret ". Ang Hwa yang dilemparkannya ke atas lantai. Kemudian
tanpa banyak cakap ia lalu menarik lengan Bi Eng yang tergigit ular dan memeriksa.
"Tenang, nona Cia. Aku akan menolongmu." Tanpa sangsi-sangsi lagi Bhok Kian Teng lalu
merobek baju bagian lengan ini sehingga nampak kulit lengan kiri Bi Eng yang putih, di mana kini
terdapat bintik-bintik merah bekas gigitan ular. "Duduklah baik-baik, aku akan mengeluarkan racun
dari lenganmu." Setelah berkata demikian, Bhok-kongcu lalu menempelkan bibirnya pada lengan
itu dan menghisapnya!
Bi Eng yang masih belum hilang kagetnya, kini terkesima dan tak dapat bergerak. Ia merasa ngeri,
kaget, dan juga malu bukan main. Ketika merasa mulut pemuda itu yang hangat basah menempel di
kulit lengannya dan menghisap, ia meramkan mata, mukanya merah dan hampir ia merenggutkan
lengannya saking malu. Akan tetapi ia ingat bahwa pemuda ini sedang berusaha mengeluarkan
racun, maka ia pertahankan dirinya.
Sehabis menghisap, pemuda itu lalu meludahkan darah yang berwarna hitam, lalu menghisapkan
lagi, meludah lagi sampai lima kali, baru darah yang diludahkan berwarna merah. Lalu Bhokkongcu
mengeluarkan sebutir pil warna merah. "Telanlah ini," katanya kepada Bi Eng sambil
menyodorkan secawan air bersih.
Bi Eng tidak membantah. Ditelannya pil itu dengan air dan ia merasa dadanya hangat-hangat
nyaman. Rasa sakit pada lengannya masih ada, akan tetapi tidak ada lagi rasa gatal-gatal. Bhokkongcu
lalu menempelkan sehelai koyo (obat tempel) pada bekas luka, lalu menarik napas panjang
karena lega sambil menyusuti peluhnya di jidat.
"Sudah selamat ?".syukurlah ".." Kemudian pemuda itu menoleh ke arah Ang-hwa yang masih
berlutut di atas lantai dengan muka pucat. "Keluar kau, ikut aku!" Tanpa menoleh lagi pemuda itu
keluar dari kamar Bi Eng. Ang-hwa berdiri dan dengan kepala tunduk dan isak tertahan iapun ikut
keluar. Berdebar hati Bi Eng menyaksikan ini, hatinya merasa tidak enak sekali. Biarpun tubuhnya masih
terasa lemah gemetar dan kepalanya pening, ia lalu membetulkan pakaiannya, mengeluarkan
saputangan dan mengikat lengan bajunya yang robek tadi. Kemudian ia turun dari pembaringan dan


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari dalam kamarnya.
Ia melihat mereka semua sudah berkumpul di atas dek, diterangi bulan, nampaknya menyeramkan.
Bhok Kian Teng duduk di tengah-tengah, di atas sebuah kursi. Ang-hwa yang menundukkan
kepalanya berdiri tak jauh di depannya dan disekeliling mereka berdiri belasan orang wanita. Para
anak buah perahu masih di tempat masing-masing, tak bergerak seperti patung, menambah
keseraman pemandangan itu.
"Ang Hwa, sudah tahukah kau akan dosa-dosamu dan hukumannya?" terdengar suara Bhok Kian
Teng, terdengar tidak bernada, akan tetapi masih halus sekali.
Ang Hwa mengangguk. "Siauw-moi berusaha mencelakakan wanita pilihan baru kongcu dan
hukumannya seperti biasa, siauw-moi akan menjadi pelayan wanita itu untuk setahun dan selama itu
".. selama itu ". kongcu tidak akan mendekati siauw-moi ".." Ucapan terakhir ini dikeluarkan
dengan isak tertahan dan sedih sekali kedengarannya.
"Kau telah berani mati mencoba untuk membunuh nona Cia!" terdengar lagi suara Bhok Kian Teng,
masih halus akan tetapi sekarang mengandung kemarahan besar sehingga di sekelilingnya tidak ada
orang berani mengeluarkan suara, bahkan bernapaspun ditahan-tahan. "Karena itu, kau harus mati!
Nih, hui-to (golok terbang), tublas dadamu dan keluarkan hatimu yang hitam hendak kulihat!"
Ucapan ini seperti petir menyambar bagi semua wanita di situ. Biarpun mereka tahu bahwa Bhok
Kian Teng dapat membunuh orang tanpa berkedip, namun belum pernah ia memberi hukuman mati
kepada para selirnya yang ia sayang. Lebih-lebih lagi terhadap Ang Hwa yang selama ini dianggap
seorang di antara selir-selirnya yang paling disayang, dan sebabnya hanya karena hendak
membunuh seorang gadis dusun!
"Kongcu ?"..!" Seorang wanita baju kuning, Oey Hoa, berkata dengan suara memohon. Dia juga
seorang di antara mereka yang disayang.
"Siapakah yang hendak membelanya, boleh mengantarnya ke neraka!" kata Bhok Kian Teng dan
Oey Hoa menjadi pucat, lain-lain wanita tidak ada yang berani mengeluarkan suara lagi. Dengan
isak tertahan Ang-hwa lalu melangkah maju dan menerima golok kecil dari tangan Bhok Kian
Teng. "Bhok-kongcu-ya ?" demi cinta kasihku yang suci kepadamu ?", aku rela mati ?", hanya
aku kuatir " dia " dia " takkan dapat membahagiakanmu ?""
Sampai di situ, Bi Eng tak dapat menahan lagi gelora hatinya. Ia melompat maju dan berseru,
"Tahan hukuman ini!"
Semua orang terkejut. Bhok Kian Teng cepat menengok dan melihat gadis itu berdiri dengan muka
pucat akan tetapi dengan sikap gagah dan dalam pandang matanya makin cantik jelita, ia berkata
lirih, penuh kasih sayang. "Nona Cia ".. kau jangan keluar dari kamar. Lukamu belum sembuh
benar, jangan kau terkena angin malam ".."
Alangkah mesra penuh kasih sayang kata-kata ini, membuat semua wanita di situ saling pandang
dan melongo. Belum pernah mereka mendengar kongcu mereka memperlihatkan kasih sayang
demikian besarnya, kasih sayang sewajarnya, bukan hanya karena dorongan nafsu.
"Bhok-kongcu, kuanggap kau seorang yang baik budi, siapa kira kau bisa berlaku sekejam ini,
menghukum mati begitu saja seorang wanita!" Bi Eng menegurnya dengan suara keras dan marah.
Semua wanita sekali lagi terheran-heran, masa ada gadis yang begitu berani mencela kongcu
mereka, padahal begitu disayang. Mereka yang mencari muka, mengambil-ambil hati minta dicinta,
masih belum mendapat cintanya. Gadis ini begitu kasar dan berani mencela, malah dicinta.
Anehnya cinta "Dia ".. dia hendak membunuhmu!" kata Bhok Kian Teng sambil memandang ke arah Ang-hwa
dengan marah. "Aku yang hendak dibunuh, bukan kau. Mengapa kau yang hendak menghukumnya" Sepatutnya
akulah yang bersakit hati." Setelah berkata demikian Bi Eng melompat maju ke depan Ang-hwa dan
sekali ia menggerakkan tangan, hui-to itu telah dirampasnya dan dikembalikannya kepada Bhokkongcu.
Kemudian Bi Eng menghadapi Ang-hwa dan bertanya.
"Enci Ang-hwa, tadi sikapmu baik sekali kepadaku. Kenapa kau melepas ular beracun hendak
membunuhku" Apa salahku kepadamu?"
Ang-hwa dengan muka pucat memandang Bi Eng penuh selidik, seakan-akan hendak mencari tahu
rahasia apakah yang membuat gadis ini demikian mudah merebut hati kongcunya. Kemudian ia
menarik napas panjang dan dengan suara terisak-isak ia berkata,
"Aku tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan engkau. Akan tetapi kenapa kau datang-datang
merampas hati kongcu" Aku yang sudah dua tahun melayaninya, mengurbankan nama, kehormatan,
orang tua dan merendahkan diri sendiri dari puteri seorang hartawan menjadi pelayannya, mencuci
kakinya, melakukan segala perintahnya dengan segala senang hati, aku tidak dapat mengambil
hatinya. Akan tetapi, kau ".. ah, bagaimana aku takkan iri hati dan cemburu" Aku sudah gagal
membunuhmu, sekarang kau hendak berbuat apa, sesukamulah. Boleh bunuh, boleh siksa ?".!"
Wajah Bi Eng sebentar merah sebentar pucat. Tak disangkanya sama sekali bahwa keadaan menjadi
begitu macam. Tak disangkanya sama sekali bahwa kehadirannya di situ menimbulkan kekacauan
yang amat hebat, menimbulkan kebencian yang hampir merenggut jiwanya. Padahal ia tidak merasa
berdosa. "Goblok! Siapa yang berebut denganmu" Aku hanya seorang tamu, seorang sahabat baru yang baik
dari Bhok-kongcu. Kau bicara ngaco-belo, apakah otakmu sudah gila?" Ia lalu menghadapi Bhokkongcu
dan berkata tegas, "Bhok-kongcu, aku minta dengan sangat supaya wanita ini diampuni.
Jangan kau bunuh padanya!"
Bhok Kian Teng bangun berdiri dan menjura di depannya. "Nona Cia adalah seorang tamuku yang
terhormat. Namanya sudah dihina perempuan rendah ini, malah hendak dibunuhnya. Akan tetapi
sekarang nona mengampuni dia, itu menandakan budi nona yang mulia dan hati nona yang bersih.
Baiklah, aku memenuhi permintaan nona. Ang-hwa, kau telah diampuni oleh nona Cia, akan tetapi
aku tetap tidak bisa melihat mukamu. Kau kira kau ini terlalu cantik maka hendak menjual lagak di
sini" Hendak kulihat kalau kau tidak mempunyai hidung, bagaimana macamnya!"
Baru saja Bi Eng hendak mencegah, tangan Bhok-kongcu bergerak, sinar terang meluncur bagaikan
api terbang, terdengar jerit mengerikan dan sinar terang dari hui-to itu setelah membabat hidung
Ang-hwa, ternyata dapat terbang kembali ke tangan Bhok-kongcu!
Ang-hwa memegangi mukanya di bagian hidung yang berdarah, hidungnya yang kecil mancung
sudah lenyap dibabat golok terbang, dia menangis tersedu-sedu.
"Pergilah, aku tidak sudi lagi melihat mukamu!" kata Bhok-kongcu.
Sambil mengeluarkan jerit menyayat hati, Ang-hwa melompat dan tubuhnya merupakan bayangan
merah melesat ke arah daratan. Sebentar saja ia lenyap di antara pohon-pohon, hanya jeritnya yang
melengking saja berkali-kali masih terdengar dari jauh.
"Bhok-kongcu, kau terlalu sekali menyakiti dia. Kenapa tidak diampuni dan diusir saja?" Bi Eng
menegur. Bhok Kian Teng tertawa. "Mana ada kesalahan yang tidak dihukum" Kalau semua menuruti
engkau, dunia ini makin penuh kejahatan, nona."
Semenjak terjadi peristiwa itu, hati Bi Eng makin tidak enak tinggal di perahu Bhok-kongcu. Akan
tetapi karena ia harus menanti kakaknya dan Yo Leng Nio belum juga datang, terpaksa ia menahan
hatinya dan selalu bersikap hati-hati sekali. Terhadap wanita-wanita lain ia bersikap manis dan
terhadap Bhok-kongcu ia bersikap dingin dan sombong.
Diam-diam ia sering memikirkan, siapakah gerangan Bhok-kongcu ini. Begitu kaya raya
nampaknya, begitu agung dan aneh, beberapa kali ia berusaha memancing, bertanya kepada wanitawanita
itu, akan tetapi tak seorangpun berani membuka mulut. Ketika Bi Eng mencoba bertanya
kepada para anak buah perahu, alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa mereka ini
tidak berlidah dan telinga mereka rusak! Tidak dapat bicara dan tidak mendengar!
Memang Bhok Kian Teng bukanlah orang biasa. Dia itu sebetulnya memiliki kedudukan tinggi
sekali baik di kalangan pemerintah Ceng maupun di dunia kang-ouw. Di kalangan pemerintah,
siapakah yang tidak mengenal pangeran Bhok, atau pangeran muda, putera dari pangeran tua Bhok
Hong" Di dunia kang-ouw, siapakah yang tak pernah mendengar nama besar Bhok-kongcu, seorang
bun-bu-coan-jai yang lihai ilmu silatnya dan tinggi pengertiannya tentang kesusasteraan" Siapa pula
tidak pernah mendengar nama yang menggemparkan dunia kang-ouw dari tokoh besar dari utara
yang berjuluk Pak-thian-tok (Si Racun dari Utara), yaitu julukan dari pangeran Bhok Hong"
Pada saat itu, seluruh daratan Tiongkok sampai ke Korea telah diduduki oleh orang-orang Mancu
yang mendirikan kerajaan Ceng dengan kaisar Kang Shi. Dalam penyerbuannya ke Tiongkok ini
bala tentara Mancu dapat bantuan besar dari bangsa Mongol, terutama para pangeran yang masih
penasaran karena bangsa mereka terusir dari Tiongkok yang pernah mereka jajah.
Kaisar Kang Shi naik tahta pada tahun 1663 dan semenjak kekuasaan Mancu makin besar dan
kedudukan para patriot yang masih berusaha mempertahankan wilayah masing-masing makin
terdesak dan ambruk, mulailah pemerintah penjajah yang baru ini mengadakan peraturan-peraturan
yang amat menghina bangsa Tiongkok.
Penduduk dibagi dalam empat lapisan atau empat tingkat. Tingkat paling tinggi tentu saja diduduki
oleh bangsa Mancu sendiri sebagai penjajah. Tingkat kedua terdiri dari bangsa Mongol yang sudah
banyak membantu bangsa Mancu dalam penyerbuan ke Tiongkok, dan hal ini menunjukkan betapa
cerdiknya bangsa Mancu yang hendak mengambil hati orang-orang Mongol agar tetap setia kepada
mereka. Selain bangsa Mongol juga suku bangsa lain yang telah membantu pemerintah Mancu, seperti suku
bangsa Hui dan lain-lain. Tingkat ketiga diberikan kepada penduduk Tiongkok utara. Hal ini bukan
saja karena penduduk Tiongkok utara lebih dulu ditaklukkan, juga karena di daerah ini telah
terdapat percampuran darah karena antara penduduk Tiongkok asli dengan orang-orang Mongol dan
Mancu sendiri. Setelah ini, barulah pada lapisan keempat atau tingkat paling rendah duduk orangorang
Tiongkok selatan yang masih saja ada yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah
Mancu di sana sini.
Banyak sekali orang-orang gagah, pahlawan-pahlawan rakyat di daerah selatan merasa sedih sekali
dan memberontak terhadap pemerintah penjajah. Para patriot ini makin berduka dan mendongkol
kalau ingat akan kerajaan Beng yang telah jatuh dan memeberikan tampuk kekuasaan kepada
penjajah. Semua ini dapat terjadi karena kaisar dan pembesar-pembesar Beng tidak becus mengurus negara.
Korupsi dan penyuapan merajalela, tidak ada seorangpun pembesar yang jujur, semuanya ahli
korupsi dan pemakan sogokan. Kalau ada pembesar yang jujur dan setia, tentu pembesar ini akan
dimakan oleh rekan-rekan sendiri yang mengkhianati dan mencelakakannya dengan pelbagai jalan
rendah. Itulah yang menyebabkan lemahnya pemerintah Beng, pemerintah yang dipegang oleh bangsa
sendiri. Karena kaisarnya lalim dan para petugasnya menyeleweng dari kebajikan. Negara yang
dipimpin oleh kaisar yang kurang tegas, yang membiarkan petugas-petugas menyeleweng tanpa
bertindak keras karena dia sendiri mabok kesenangan dunia, sudah tentu menjadi lemah dan mudah
diserbu oleh bangsa lain. Demikianlah keadaan kerajaan Beng di Tiongkok dan setelah negara
dijajah oleh bangsa Mancu, barulah rakyat yang merasakan pahit-getirnya dan para pendekar matimatian
melakukan perlawanan.
Namun semua perlawanan sia-sia belaka karena keadaan pemerintah Mancu sudah amat kuat. Tidak
saja mempunyai bala tentara yang kuat dan mendapat bantuan suku-suku bangsa di utara, juga
sebentar saja muncul pengkhianat-pengkhianat bangsa. Mereka ini tidak lain adalah bangsawanbangsawan
Beng dan tuan-tuan tanah yang pada waktu kerajaan Beng sudah hidup enak-enak,
sekarang mempergunakan siasat bunglon. Mengandalkan harta mereka, dengan muka menjilat-jilat
dan ekor dilipat seperti anjing-anjing rendah, mereka datangi "tuan-tuan baru" mereka ini sambil
membawa hadiah-hadiah. Akhirnya mereka diterima oleh pemerintah baru, bahkan dijadikan kaki
tangan dan pembantu pemerintah Mancu.
Memang orang-orang Mancu itu cerdik sekali. Mereka tahu bahwa rakyat kecil tidak suka melihat
tanah air dijajah dan tentu mereka akan menjumpai tentangan dan perlawanan rakyat. Akan tetapi
mereka cukup maklum pula akan kehidupan rakyat yang melarat, akibatnya dari pada ketidak
becusan pemerintah Beng yang lalu. Jika rakyat ini tidak mendapat sokongan orang-orang kaya,
tuan-tuan tanah dan bangsawan-bangsawan Beng, sudah dapat dipastikan perlawanan rakyat itu
takkan ada artinya. Apa sih tenaga perlawanan rakyat yang sudah hampir kelaparan" Karena ini
maka pemerintah penjajah ini dengan sengaja membaiki orang-orang bangsawan, hartawan dan tuan
tanah, mengumumkan takkan mengganggu harta milik mereka asal saja mereka ini mau tunduk
kepada kerajaan Ceng.
Yang paling hebat di antara praturan yang menghina bangsa Tiongkok adalah kewajiban bagi
orang-orang Tiongkok untuk memelihara rambut dan mengelabangnya ke belakang seperti ekor!
Biarpun lambat laun hal ini bahkan merupakan semacam "mode baru", namun pertama kalinya
benar-benar dirasakan sebagai penghinaan hebat dan entah berapa puluh ribu orang yang tewas
karena memberontak dan sengaja tidak mau memenuhi perintah menghina ini!
Demikianlah sedikit tentang keadaan orang-orang Tiongkok setelah pemerintah penjajah Mancu
berkuasa di sana. Tentu saja banyak sekali hal-hal terjadi, banyak cerita-cerita tentang keadaan ini
yang kalau ditulis semua mungkin akan menghabiskan beberapa jilid buku. Pendeknya, kaum
penjajah selalu berusaha melemahkan penduduk tanah jajahannya dengan berbagai jalan, menindas
lahir batin. Akan tetapi ada hal aneh terjadi di Tiongkok, yang menjadi kebalikan dari pada keadaan tanahtanah
terjajah lain di dunia ini, dan sekali gus menunjukkan betapa tebal kepribadian bangsa
Tiongkok serta betapa hebat pengaruh kebudayaan mereka. Sejarah menunjukkan betapa kaum
penjajah itu selain menghisap kekayaan tanah jajahan, juga memasukkan kebudayaan, agama dan
lain-lain ke tanah jajahan untuk dijejalkan kepada penduduk tanah jajahan. Akan tetapi keadaan di
Tiongkok malah sebaliknya.
Kepribadian asli penduduk Tiongkok demikian tebal sehingga tidak dapat ditembus oleh cara-cara
penjajah. Kebudayaan Tiongkok demikian kuatnya sehingga tidak goyah oleh kebudayaan baru
yang dibawa penjajah. Malah sedemikian kuatnya lambat laun para penjajah itu sendiri yang
terbawa hanyut oleh kebudayaan Tiongkok.
12. Peminum Darah Pek-hiat-sin-coa
HAL ini agaknya sukar dipercaya akan tetapi kembali sejarah yang mencatatkan betapa bangsa
Mancu itu setelah menjajah Tiongkok, melihat kebudayaan dan kepribadian Tiongkok lalu terpicuk.
Mereka mulai berbahasa Tiongkok, tidak hanya dengan penduduk asli, malah membawa bahasa
tanah jajahan ini ke dalam rumah tangga.
Hidup mereka juga seperti orang Tiongkok, berpakaian seperti orang Han, bahkan mereka
mengundang guru-guru bangsa Han untuk mengajar mereka dalam hal membaca dan menulis,
mempelajari kesusasteraan dan filsafat Tiongkok. Dengan cara ini, dalam satu dan dua generasi saja
orang-orang Mancu ini boleh dibilang sudah melebur diri dengan menjadi orang Han, hidup,
berpakaian dan bicara seperti orang Han dan sebagian besar di antara mereka sudah tidak dapat
bicara dalam bahasa Mancu lagi! Ini aneh tapi kenyataan!
Baiklah kita kembali kepada cerita kita. Dalam penyerbuan ke Tiongkok seperti sudah dituturkan
tadi, bangsa Mancu banyak mendapat bantuan orang-orang Mongol. Orang yang banyak sekali
jasanya dalam bantuan ini kiranya adalah pangeran Bhok Hong. Menurut kata orang-orang Mongol.
Pangeran Bhok Hong ini masih keturunan kaisar Jenghis Khan yang amat termasyhur di Mongol,
kaisar yang menaklukkan hampir separuh dunia itu.
Dan di dunia kang-ouw, pangeran Bhok Hong ini dijuluki Pak-thian-tok, nama julukan yang
membuat setiap orang gagah menggigil karena nama ini terkenal sakti, aneh dan kejam. Tentu saja
pemerintah Mancu amat menghargai pangeran ini dan segera pangeran ini diberi kedudukan sebagai
Raja Muda, diberi gedung indah besar di Peking dan mendapat penghormatan besar. Karena itu
kekuasaan pangeran Bhok Hong juga besar sekali, dan otomatis putera tunggalnya, Bhok-kongcu,
juga amat terkenal dan berpengaruh.
Bhok-kongcu atau Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang memiliki otak luar biasa
tajamnya, mempelajari ilmu kesusasteraan. Ia pandai sekali dan bakatnya untuk ilmu silat juga
jarang bandingannya. Sudah banyak ia mewarisi ilmu silat ayahnya, dan semua guru-guru sastera
yang pandai di ibu kota rata-rata memuji ketajaman otaknya. Maka tidak berlebihan kalau Bhokkongcu
segera mendapat sebutan bun-bu-coan-jai di kota raja.
Dia tampan dan halus tutur sapanya, siapa melihatnya tentu menjadi suka, apalagi gadis-gadis yang
melihat pemuda tampan dan halus serta amat pandai ini, siapa yang takkan jatuh hati" Sayang
seribu sayang, di balik semua kebaikan ini pada dasar hatinya Bhok Kian Teng adalah seorang
pemuda yang sudah dikuasai oleh nafsu-nafsunya.
Ia mengumbar nafsu, mengambil setiap gadis yang menarik hatinya sebagai selir dan pelayan, dan
dalam cara mendapatkan gadis-gadis ini ia menggunakan jalan apa saja. Dengan cara membeli,
membujuk, atau kalau perlu dengan kekerasan! Dan disamping amat pesolek dan cabul, juga
pemuda ini agaknya mewarisi watak ayahnya yang amat aneh dan kejam sekali. Inilah Bhokkongcu
yang dalam pesiarnya telah bertemu dengan Bi Eng!
Tentu saja gadis ini tidak pernah mimpi orang macam apa adanya pemuda yang ia anggap baik budi
itu! Kalau ia tahu siapa adanya Bhok-kongcu, tentu ia akan menjadi ngeri. Akan tetapi, sejahat-jahat
dan sepandai-pandai manusia, ia tentu lemah tak berarti kalau menghadapi kekuasaan alam.
Demikianpun dengan Bhok-kongcu. Keanehan terjadi pada dirinya. Biasanya, kalau melihat gadis
cantik yang menarik hatinya, tanpa banyak cincong lagi tentu akan mendapatkan gadis ini sebagai
kekasih dan selirnya dan di antara seratus orang gadis, kiranya belum tentu satu yang dapat lolos
dari jari-jari tangannya. Akan tetapi aneh bin ajaib, begitu berhadapan dengan Bi Eng, hati Bhok
Kian Teng tiba-tiba menjadi lunak! Ia tidak sampai hati mengganggu Bi Eng, tidak tega
menggunakan cara-caranya yang sudah biasa, yaitu dengan kekerasan mengandalkan
kepandaiannya, dengan bujukan disertai minuman-minuman beracun yang memabukkan, dan caracara
keji lainnya. Tidak, ia tidak mau menggunakan cara ini menghadapi Bi Eng. Malah anehnya, ia mengharapkan
cinta kasih yang suci dan sewajarnya dari gadis ini! Memang, aneh sekali cinta kalau sudah
menempati hati manusia. Yang lemah menjadi kuat, yang halus menjadi kasar, yang kuat menjadi
lemah, yang kasar menjadi halus, yang baik menjadi jahat, yang jahat menjadi baik dan sebagainya!
Bi Eng sama sekali tidak tahu bahwa Bhok Kian Teng sebetulnya merupakan orang yang jauh lebih
berbahaya dari pada orang-orang jahat yang pernah ia jumpai, lebih jahat dari pada hwesio Goan Si
malah. Juga ia tidak tahu bahwa dibalik semua penghormatan, selain pemuda ini betul-betul telah
jatuh cinta kepadanya, juga di dalam otak yang cerdik dari Bhok-kongcu telah diatur rencana yang
hebat. Tentu saja sebagai seorang muda yang luas pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, Bhok Kian
Teng sudah mendengar pula tentang adanya surat wasiat Lie Cu Seng dan ia dapat mengetahui pula
bahwa surat wasiat itu tentu berada di tangan Cia Han Sin. Inilah sebabnya ia tidak ragu-ragu lagi
menitah Yo Leng Nio untuk pergi menolong Han Sin! Jika ia bisa mendapatkan surat wasiat itu, ah,
itulah sesuai dengan cita-citanya yang maha besar, cita-cita yang dahulu pernah dimiliki dan
dilakukan dengan berhasil oleh nenek moyangnya, Jengis Khan! Cita-cita untuk menguasai
Tiongkok kembali, menguasai Asia, menguasai dunia!
**** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Han Sin, marilah kita menengoknya. Seperti telah kita
ketahui, pemuda ini ketika hendak melarikan diri pundaknya terkena paku Coa-kut-teng (Paku
Tulang Ular) yang dilepas oleh Tok-gan Sin-kai si pengemis mata satu dari Coa-tung Kai-pang
sehingga Han Sin terguling dan bersama Siauw-ong terjerumus ke dalam sebuah jurang! Sungguh
masih untung baginya, atau lebih tepat lagi, nyawanya masih dilindungi Tuhan.
Jurang itu biarpun amat dalam, namun di lerengnya tumbuh pohon-pohon kecil sehingga ketika
tubuh pemuda itu menggelundung ke bawah, ia tertahan-tahan oleh tetumbuhan itu. Memang
Kisah Bangsa Petualang 13 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Misteri Bayangan Setan 7
^