Pencarian

Kemelut Di Cakrabuana 4

Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Bagian 4


Ki Dita menatap bergantian ke arah Aditia dan Purbajaya, sepertinya dia ingin tahu perkataan siapa yang benar. Demikian pun Ki Bagus Sura menatap mereka bergantian.
"Tapi Purbajaya guru mengaji putriku," cetus Ki Bagus Sura kemudian.
"Nah, apalagi begitu. Uh, sangat menjijikkan!" Aditia mencibir.
"Dia calon suami anakku."
"Apa?" Aditia terbelalak, seperti amat kaget dengan apa yang didengarnya.
"Benar, pemuda ini calon suami Si Yuning," Ki Bagus Sura menegaskan kembali.
"Bohong. Nyimas Yuning suudah bilang padaku kalau tak mau lagi punya suami. Betul kan, Nyimas?" Aditia menoleh kepada Nyimas Yuning. Yang ditatap hanya menunduk.
"Betul, kan?" Aditia mendesak.
"Betul. Kakang Purba calon suami saya ... " kata Nyimas Yuning akhirnya.
Purbajaya dan Aditia sama-sama melongo akan jawaban ini.
"Nyimas, betulkah itu?" tanya Aditia. Purbajaya pun sebetulnya hampir mengatakan ucapan yang sama namun keburu dibatalkan.
"Kau ... Kau bohong padaku, Nyimas ... " wajah Aditia nampak merah-padam. Sepasang tangannya bahkan terkepal.
"Aditia, mari pulang!" ajak Ki Dita sama berwajah tak senang. Namun pemuda itu masih mengepalkan tinjunya dengan berang sekali.
"Kau memalukan. Sepertinya gadis di dunia hanya dia seorang!" kata lagi Ki Dita.
"Bukan itu yang saya pikirkan. Memang masih banyak gadis yang jauh lebih cantik, lebih sempurna dan lebih utuh. Yang aku tak enak, betapa mudahnya dia membual. Ketika saya pinang, dia bilang belum saatnya. Namun belakangan, dia menikah dengan Raden Yudakara. Hanya sebentar saja sudah dicampakkan. Dan aku mau tolong dia agar jadi istri yang baik, namun pinanganku dia tolak untuk kedua kalinya dengan alasan tak mau punya suami lagi. Nah, sekarang, nyatanya dia masih ingin dipermainkan orang Carbon. Rupanya dia masih belum kapok dipermainkan begundal dari Carbon!" teriak Aditia berang.
"Sudah. Mari kita pulang saja!" Ki Dita tak sabar dan menarik tangan Aditia.
Aditia terpaksa beranjak namun dengan wajah memberengut marah.
"Anak muda, suatu waktu kita saling jajal kepandaian," kata Ki Dita kepada Purbajaya.
Tinggallah tiga orang itu. Namun rupanya Ki Bagus Sura tak mau tinggal terlalu lama. Buktinya dia segera beranjak dari tempat itu.
"Lain kali kalau mau mengobrol berlama-lama, lebih baik di dalam rumah saja," kata Ki Bagus Sura.
Purbajaya mau bicara, kalau-kalau Ki Bagus Sura salah sangka. Namun orang tua itu keburu pergi.
"Nyimas, saya heran akan sikapmu tadi ... " gumam Purbajaya menyesalkan sikap gadis itu.
Nyimas Yuning tidak menjawab, melainkan dia pun segera berlalu dari tempat itu.
*** Purbajaya menerima khabar bahwa Ki Bagus Sura akan mengemban tugas muhibah ke wilayah Karatuan Talaga. Entah apa penyebabnya orang tua itu mengajaknya pergi.
Namun tentu saja Purbajaya merasa gembira diajak serta. Pada dasarnya pemuda ini senang memiliki pengalaman. Pengalaman baik atau pun buruk baginya adalah pengetahuan yang bisa menambah wawasannya.
Karatuan Talaga sebetulnya tidak begitu jauh dari Sumedanglarang. Bila berkuda dengan santai, paling lama hanya menghabiskan waktu sekitar dua hari perjalanan atau mungkin tiga hari saja.
Namun begitu, sebetulnya Purbajaya belum tahu betul di mana persisnya letak ibu negri Talaga ini. Beberapa bulan silam memang pernah melakukan perjalanan bersama Raden Yudakara, namun hanya sampai ke lereng timur Gunung Cakrabuana lewat wilayah Rajagaluh dan terus ke Guranteng.
Sekarang dia diajak serta melakukan perjalanan ke tempat itu tentu saja hatinya berminat. Ki Bagus Sura mau mengejaknya, barangkali karena menganggap Purbajaya telah dianggap "orang sendiri".
Namun yang membuat Purbajaya merasa ada ganjalan, Aditia dan teman-temannya akan ikut serta.
Ketika ditanyakan kepada Ki Bagus Sura, dia mengatakan kalau perjalanan muhibah ini pun benar musti diikuti oleh rombongan Ki Dita.
"Banyak murid Ki Dita dipersiapkan untuk jadi calon perwira Sumedanglarang. Secara periodik para calon mendapatkan pelatihan mental dan fisik. Muhibah dalam mengunjungi negri-negri di luar Sumedanglarang adalah bagian dari kewajiban mereka dalam memenuhi persyarakatan untuk diangkat sebagai perwira," kata Ki Bagus Sura.
Purbajaya mau menegerti akan penjelasan ini.Dia pun pernah mendengar khabar kalau sasana kewiraan yang dipimpin oleh Ki Dita ini telah banyak menghasilkanlulusan dan kini banyak menjadi perwira kerajaan. Pemuda Aditia dan beberapa teman-temannya tentu
diharapkan akan menjadi perwira handal kelak. Itulah sebabnya perlu menerima bekal epengalaman agar kelak bisa mengabdi kepada negara dengan baik.
Purbajaya mengerti ini. Namun karena hal ini pula, maka kegembiraannya dalam melakukan perjalanan ini menjadi sedikit terganggu. Peristiwa tadi malam tentu susah dilupakan, terutama oleh pemuda Aditia. Dalam perkelahian singkat, dia dan teman-temannya dipecundangi oleh Purbajaya. Namun juga yang amat menyakitkan hati Aditia, bukan hanya sekadar kalah bertarung, melainkan juga kalah dalam "rebutan cinta".
Betapa akan bencinya mereka kepada Purbajaya. Sekarang Purbajaya malah akan jadi teman seperjalanan. Maukah mereka"
Namun sungguh di luar dugaan, ketika mereka tahu bahwa Purbajaya ikut serta, mereka malah nampak gembira. Mengapa gembira" Itulah misteri sebab Purbajaya menerimanya dengan penuh curiga.
"Mungkin sudah mereka lupakan peristiwa malam itu," tutur Ki Bagus Sura.
Dugaan Ki Bagus Sura ini tidak melegakan Purbajaya. Dia tetap merasa kalau mereka sebetulnya masih memendam rasa penasaran ke padanya.
Namun demikian, Purbajaya tak mau mengemukakah hal ini. Ki Bagus Sura nampaknya tak memiliki perasaan curiga apa pun. Malah malam itu, yang jadi orang bersalah sepertinya Purbajaya sendiri. Malam itu jelas-jelas Ki Bagus Sura seperti menyesalkan kepada Purbajaya perihal tudingan Aditia. Mungkin Ki Bagus Sura menganggap laporan itu benar adanya.
Hati Purbajaya mengeluh. Untuk ke sekian kalinya dia bertemu lagi dengan pemuda yang mudah emosi dan mudah merasa iri. Mereka menyatroni dirinya malam itu karena iri saja. Iri karena ada gadis di negrinya yang dipersunting pemuda negri lain.
Aditia seperti memendam dendam kepada "wong grage" sebab mereka pikir semua pemuda Carbon tukang permainkan wanita.
Ingat ini, Purbajaya jadi sedih. Hanya karena perbuatan Raden Yudakara maka semua pemuda Carbon kena getahnya.
*** Hari ini adalah hari pemberangkatan rombongan muhibah. Subuh itu Purbajaya baru turun dari surau ketika di pelataran taman dilihatnya Nyi Yuning Purnama berdiri menghadang. Gadis itu seperti sengaja mencegatnya.
"Ustad ... " gadis itu menyapa pelan.
"Nyimas, saya pergi hari ini ... " gumam Purbajaya masih ingat peristiwa malam itu.
"Ini sebungkus makanan, khusus buat bekalmu di perjalanan ...." gadis itu menyodorkan sebuah bungkusan penganan.
"Yang lainnya, bagaimana?"
"Ayahanda serta Paman Ranu sudah disediakan para dayang lain," jawab gadis itu.
"Aditia dan teman-temannya?"
Nyimas Yuning menunduk.
"Saya tak mau ada orang yang iri. Perasaan iri suka mendatangkan musibah," kata Purbajaya.
Nyimas Yuning menghela napas.
"Maafkan saya, Ustad ... " kata gadis itu akhirnya.
"Engkau berurusan dengan mereka, Nyimas?"
"Benar. Tadinya ini hanya urusan saya, tapi jadi melibatkanmu juga, Ustad."
"Soal apa, sih?" tanya Purbajaya kendati pun sudah tahu.
"Ya, karena saya menolak cinta dia ... "
"Mengapa menolak"
"Mengapa kau pertanyakan itu, sepertinya ada kewajiban setiap pria musti dilayani?" Nyimas Yuning balik bertanya.
"Engkau gadis pemberani. Namun pada akhirnya, saya nilai kau pun gadis biasa juga," kata Purbajaya sedikit menggores.
Nyimas Yuning tak tersinggung malah tersenyum tipis.
"Saya memang gadis biasa. Tapi apa sebenarnya maksud perkataanmu, Ustad?" tanya gadis itu menatap tajam.
"Ya, engkau gadis biasa dan terkadang terkesan lugu dalam membuat putusan," kata Purbajaya.
"Adakah yang keliru dalam putusan saya?"
"Bukan sesuatu hal yang keliru. Namun kau bertindak ganjil dan membuat orang lain bingung, Malam itu sebelum rombongan Aditia datang, kau menolak perjodohan. Tapi di hadapan semua orang, kau malah mengaku kalau saya ini calon suamimu. Coba, di hadapan semua orang. Bagaimana itu?" tanya Purbajaya penasaran.
"Kalau saya mengakau hal itu, mengapa?"
Mendapatkan pertanyaan balasan seperti ini, Purbajaya jadi gelagapan. Ya, apa yang harus dia jawab. Maukah dia menolak kenyataan ini" Maukah dia menyinggung perasaan gadis ini. Mungkin pada mulanya dia mau tolak kehendak ayahnya. Namun sesudah beberapa kali ditimbang, dia putuskan untuk menerima saja.
"Pengakuan saya malam itu adalah untuk menolongmu dan juga sekalian menolong saya. Saya dihina habis-habisan oleh Aditia. Jadi kalau saya tak katakan engkau calon suamiku, maka hinaannya akan semakin menjadi-jadi."
Purbajaya melongo dan tak bisa berkata apa.
"Bagaimana, apa Ustad keberatan dengan ini?" Nyimas Yuning mendesak dan Purbajaya kembali gelagapan seperti mulut kemasukan air.
"Saya memang gadis biasa bahkan sudah tak bernilai, Ustad ... Kau tentu tahu apa maksud perkataan Adsitia malam itu," keluh Nyimas Yuning parau.
"Bukan ... Bukan itu. Saya tak berpikir seperti itu," kata Purbajaya. Dia takut sekali kalau dirinya menyinggung perasaan gadis itu.
Nyimas Yuning berbalik dan Purbajaya akan mengejar. Namun dari beranda depan ada suara panggilan untuknya. Suara itu mengatakan kalau semua orang sudah siap untuk berangkat.
"Nyimas ... Saya harus berangkat!"
Sejenak gadis itu menoleh.
"Ya ... berangkatlah!" ujarnya dan kembali berbalik.
Percakapan yang terakhir ini terlalu singkat sehingga Purbajaya tidak bisa meraba apa arti jawaban gadis itu. Sebuah pengharapan agar dia lekas kembali ataukah usiran agar Purbajaya memang "harus pergi?" Ah, ini membingungkan, pikirnya.
Kini terdengar suara Ki Bagus Sura memanggil-manggil.
"Ya, saya segera datang!" jawab Purbajaya bergegas.
Benar saja, Ki Bagus Sura telah siap menantinya.
"Yang lain sudah lama menunggu. Tapi, apakah kau telah minta diri sama Si Yuning?" tanya Ki Bagus Sura membuat Purbajaya tersipu.
Ki Bagus Sura nampak berpakaian amat ringkas. Pakaiannya jenis yang biasa digunakan oleh kaum santana (golongan pertengahan) yaitu baju kampret dan celana komprang namun terbuat dari kain halus buatan Nagri Campa. Ikat kepalannya berwarna sama dengan warna bajunya.
Keluar dari pekarangan puri, rombongan Ki Dita sudah menunggu sebanyak empat orang, yaitu Ki Dita dan tiga orang muridnya.
Semuanya mengangguk seadanya kepada Ki Bagaus Sura namun tidak kepada Purbajaya. Dan hal ini hanya menandakan bahwa mereka masih memendam rasa penasaran kepadanya..
Dengan demikian, rombongan muhibah ini terdiri dari tujuh orang. Mereka naik kuda beriringan. Ki Bagus Sura, Paman Ranu dan Purbajaya berjalan sejajar dan di belakangnya Ki Dita, Aditia, dituturkan oleh dua orang teman Aditia yang belakangan diketahui sebagai Yaksa dan Wista.
Seperti sudah diketahui di bagian depan, rombongan ini akan melakukan perjalanan muhibah ke Karatuan Talaga.
Talaga sebetulnya masih berada di bawah Sumedanglarang manakala kedua negri itu ada di bawah kekuasaan Pajajaran. Namun sesudah pengaruh Carbon masuk, tahapan kekuasaan ini sudah tak begitu kentara. Sang Susuhunan Jati yang oleh Wali Sanga dinibatkan sebagaipanatagama (penata kehidupan beragama) dan Carbon ditunjuk sebagaipuser bumi agama Islam, sudah tak menempatkan negri-negri yang ada seperti hirarki pemerintahan semula. Dengan demikian, Sumedanglarang pun kini tak menganggap Talaga sebagai bawahannya lagi, sebab keduanya sama-sama menganggap, pusat kekuasaan hanya ada di Carbon saja.
Namun sudah barang tentu, kebijakan seperti ini tidak selamanya diakui. Walau pun jumlah orang yang berpikir beda tidak begitu banyak namun tetap mengganggu.
Selama manausia diberi kemampuan untuk berpikir dan berkehendak, tidak selamanya jalan pikiran dan kehendak mereka sama. Ketika Sumedanglarang dan Talaga bergabung dengan Carbon saja, sudah terlihat ada kelompok yang tak setuju dan memilih minggir dari percaturan politik. Ada juga kelompok-kelompok tertentu yang malah menginginkan baik Sumedanglarang mau pun Talaga tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran.
Baik Kangjeng Pangeran Santri di Sumedanglarang mau pun Kangjeng Sunan Parung di Talaga,ingin mencoba menghalau kelompok-kelompok ini dan tetap berusaha menjalin persatuan dan kesatuan. Maka untuk itulah kedua negara secara berkala saling mengirimkan utusan persahabatan.
*** PERJALANAN menuju Karatuan Talaga dilakukan santai saja. Di samping merasa tak perlu melakukan dengan cepat karena tak diburu oleh waktu, mereka pun membutuhkan banyak pengalaman di jalan, terutama untuk keperluan pelatihan tiga orang murid Ki Dita.
"Tahun lalu calon ksatria dihadang perampok," kata Ki Dita.
"Ouw! Yang namanya diserang musuh bukan latihan. Itu sungguhan!" Wista yang bertubuh ceking kurus berseru kaget.
Purbajaya ingat, pemuda ceking ini adalah pemuda yang lari duluan ketika Aditia dihajar Purbajaya. Dia heran, mengapa pemuda bernyali kecil seperti ini bisa "lulus testing" dan ikut rombongan ini.
"Dasar kau penakut, Wista!" cerca Aditia yang mencongklang di sampingnya.
"Pertarungan sesungguhnya adalah pelatihan paling baik dan paling sempurna," kata Ki Dita membuat ngeri pemuda Wista.
"Kalau saja ayahmu bukan pejabat penting, tak nanti kau bisa ikut rombongan ini," Yaksa menyela, membuat wajah Wista merah padam.
"Jangan bawa-bawa ayahandaku!" Wista memotong dengan wajah merah-padam.
"Tapi omonganku benar. Kau jangan memalukan ayahmu," desak Yaksa."Susah-payah ayahmu berjuang agar kau diterima dalam pelatihan ini. Padahal kau tahu, hanya pemuda berkualitas saja yang bisa diterima dalam pelatihan ini," kata Yaksa lagi.
Untuk ke sekian kalinya Purbajaya senyum dikulum. Di mana-mana selalu saja ada yang mengandalkan kekuasaan untuk kepentingan diri pribadi.
Cita-cita untuk menempatkan anak menjadi ksatria negara memang merupakan dambaan semua orang tua. Para pemuda pun berhal begitu. Mereka merasa keberadaan dan kebanggaannya akan tercipta bila bisa masuk menjadi jajaran perwira di Sumedanglarang. Kalau ayahnya pejabat, maka sang pejabat akan berupaya memasukkan anaknya jadi perwira. Perwira adalah batu loncatan untuk menjadi pejabat penting di istana. Jadi sang ayah musti mempersiapkan anaknya juga agar kelak menjadi pejabat di sana.
"Dengan masuknya engkau, sebetulnya ada orang lain yang peluangnya tertutup padahal dia lulus testing," kata Ki Dita ikut menyela."Tapi aku sebagai gurumu takkan putus asa. Asalkan engkau sanggup memperlihatkan kemampuan, semua orang tidak akan kecewa kepadamu," sambungnya.
Pemuda Wista mengangguk-angguk mengiyakan walau pun ada rona merah di wajahnya karena banyak diperingatkan orang.
"Ini adalah perjalanan muhibah yang cukup berat. Namun dengan demikian akan merupakan ajang pelatihan yang baik bagi Gan Wista. Saya yakin, sepulangnya dari muhibah ini, Gan Wista pasti punya pengalaman berarti," kata Paman Ranu memberikan semangat sambil melecut kudanya.
Rombongan bertujuh ini masing-masing mengendarai seekor kuda yang gagah dan tinggi besar. Mereka adalah kuda-kuda pilihan, khusus didatangkan dari Sumba melalui Pelabuhan Muhara Jati, Carbon. Tentu saja tidak semua orang mendapatkan fasilitas istimewa seperti ini, kecuali orang-orang tertentu yang dihargai pemerintah.
Kata Ki Dita dan Ki Bagus Sura, kuda-kuda ini terbaik di negerinya. Bila melakukan perjalanan cepat tanpa henti, maka kuda gagah ini bisa berlari selama dua hari penuh tanpa makan dan minum. Dan bila kuda-kuda ini dipacu, sebenarnya menuju Karatuan Talaga tidak akan menghabiskan waktu dua hari. Namun kata Ki Bagus Sura,kuda mahal perawatannya pun mahal. Kalau terjadi apa-apa pada kuda ini, negara akan banyak dirugikan. Justru karena kuda ini mahal, maka mereka menggunakannya dengan apik sekali. Mereka berpendapat, kuda mahal harus dijaga keutuhannya. Jangan sampai sakit apalagi cedera. Sebab kalau begitu, perawatan akan lebih mahal mengurus kuda ketimbang orang yang sakit.
Lagi pula semakin santai di perjalanan dan semakin lama menempuh perjalanan, maka akan semakin banyak menerima pengalaman berharga, terutama bagi calon ksatria.
Dan benar saja, karena perjalanan dilakukan berlama-lama, maka banyak pengalaman dilalui, termasuk pengalaman "penting" yang selalu "ditunggu". Di tengah jalan, di tengah hutan pohon pinus, mereka dihadang orang jahat.
Ketika itu rombongan baru saja memasuki kawasan hutan pinus di tepi Sungai Cimanuk. Di daerah ini kerap kali kaum pedagang antara dua negri selalu dihadang perampok. Perampok ini bisa saja penjahat biasa namun bisa juga karena alasan "politik"
Seperti yang pernah diketahui oleh Purbajaya kemelut berkepanjangan antara Carbon dan Pajajaran telah melahirkan berbagai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Melemahnya kekuasaan Pajajaran di wilayah timur dan utara telah menyebabkan banyak negara kecil di wilayah itu memilih memindahkan kesetiaannya kepada Carbon. Namun tentu saja tak semua orang punya pendapat seperti itu. Ada juga kelompok yang tetap mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran. Namun kelompok seperti ini kebanyakan terasing dari percaturan negri bersangkutan. Dan walau pun tidak terang-terangan dianggap musuh negara namun mereka terputus komunikasinya dari dunia ramai.
Di Karatuan Sumedanglarang pun ada yang ingin mempertahankan kesetiaannya kepada Pajajaran. Begitu pun di Karatuan Talaga. Mereka yang berbeda haluan, memilih mengasingkan diri. Namun yang sikapnya keras, memberontak, membuat kekacauan atau malah menjadi perampok. Mereka tinggal di gunung, di hutan lebat dan untuk mempertahankan hidupnya, kerjanya mencegat kaum pedagang di sepanjang jalan pedati antara Galuh (Ciamis) dan Pakuan (Bogor).
Sejak zamannya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja raja Pajajaran yang pertama (1482-1521 Masehi), telah dibangun semacam "high-way" Pajajaran yang menyambungkan wilayah Galuh dengan Pakuan. Jalan raya penghubung kehidupan politik dan ekonomi ini dari Galuh menuju Kawali, Rajagaluh, Talaga, Sumedang, terus ke utara ke wilayah Sagaraherang (Subang),ke barat menuju Cikao (wilayah Purwakarta), Tanjungpura (Karawang), agak membelok lagi ke selatan menuju Muaraberes (wilayah Bekasi), Cibarusa, Cileungsi, dan kembali munuju arah barat sampai kedayo (ibu kota) Pajajaran yaitu Pakuan. Dari Pakuan sebenarnya jalan ini terus bersambung ke wilayah Karatuan Tanjungbarat di tepian Sungai Cisadane dan akhirnya langsung menuju ke wilayah Banten.
Jalan raya ini sudah biasa dilalui pedati kaum saudagar atau perjalanan para petugas negara dalam berkomunikasi dengan negri-negri di sepanjang itu. Namun karena perobahan politik, jalan raya sepanjang ini kini tidak lagi digunakan secara sambung-menyambung sebab telah dibatasi oleh kepentingan berbeda antara Carbon dan Pajajaran.
Rombongan Ki Bagus Sura pantas diminati para penjahat sebab selain mereka menunggang kuda bagus, jenis pakaian yang mereka kenakan pun amat menandakan bahwa yang sedang berkuda beriringan ini adalah kaum bangsawan. Apalagi pada punggung kuda Paman Ranu baik di kiri mau pun di kanannya menggandul peti-peti kayu cendana berukir indah. Peti-peti ini oleh Purbajaya diketahui sebagai benda-benda cinderamata yang sedianya akan diserahkan kepada penguasa Karatuan Talaga.
"Ranu, jaga peti-peti itu ... " Ki Bagus Sura memperingatkan akan adanya bahaya.
"Ya, amankan barang-barang itu," gumam Ki Dita. Namun aneh sekali, mata Ki Dita berbinar-binar seperti bergembira. Mengapa dihadang perampok malah bergembira, pikir Purbajaya. Namun belakangan akhirnya sadar. Barangkali ini dianggapnya sebuah peristiwa baik bagi orang-orang yang tengah menjalani latihan. Bukankah pernah dikatakan bahwa pertempuran sesungguhnya merupakan pelatihan paling sempurna"
Maklum akan isi hati Ki Dita, Purbajaya tidak ikut maju. Apalagi baik Ki Bagus Sura mau pun Paman Ranu, bahkan Ki Dita sendiri, enak-enak saja duduk di atas punggung kuda.
"Turunlah kalian semua. Dan kalau ingin selamat, serahkan peti-peti berukir itu!" teriak perampok.
"Juga uang-uang kalian. Uang apa saja, apakah itu uang logam dari Portegis, Cina, Campa, Parasi atau uang jenis apa pun!" teriak yang lain.
"Kuda kalian pun harus ditambat di sini. Haha, itu kuda bagus, cocok untuk digunakan di pegunungan!"
"Jangan lupa pakaian mereka, Jaya!"
"Ya, betul, tanggalkan pula pakaian kalian. Itu buatan wilayah Hindustan. Di sini barang seperti itu susah!"
Semua anggota perampok saling mengeluarkan pendapat yang pokoknya meminta agar semua harta yang ada pada rombongan muhibah ini diserahkan pada mereka.
Bergetar hati Purbajaya. Jumlah perampok ada sekitar limabelas orang. Bukan takut pada mereka, tokh anggota muhibah tujuh orang dirasa cukup melayani mereka. Tapi masalahnya, yang "harus" melawan perampok sudah diputuskan hanya tiga orang saja, yaitu mereka yang sedang menjalani pelatihan. Ketika Purbajaya melirik, nampak tiga orang calon ksatria itu wajahnya tegang. Wista belum apa-apa malah sudah mengucurkan keringat deras di seluruh wajahnya yang ceking.
Ketika Ki Dita memerintahkan mereka, Aditia dan Yaksalah yang lebih dahulu meloncat. Sementara Wista masih terlihat duduk di atas punggung kuda dengan tubuh mendadak bongkok.
Purbajaya belum bisa menduga, mengapa murid-murid Ki Dita tidak meloloskan senjata masing-masing padahal pedang sudah siap di pinggang. Mungkin mereka tak berhati kejam dan tak mau melumpuhkan lawan hingga terluka apalagi membunuh. Namun bisa juga karena alasan lain. Dasar gerakan ilmu kewiraan mereka mengandalkan kehalusan. Bila sedang latihan pun, gerakan mereka diiringi petikan dawai kecapi dan alunan suara suling. Sementara golok dan pedang hanyalah lambang dari kekuatan kasar.
Lawan cepat menduga bahwa mereka akan mendapatkan perlawanan . Karena itu, mereka bersiap untuk mengepung.
Aditia dan Yaksa sudah bergerak ke depan. Sementara Wista masih tak beranjak dari punggung kuda, kecuali wajahnya yang pucat-pasi. Namun tingkah dua-duanya sebetulnya tak disetujui Purbajaya. Wista amat memalukan tapi Aditia dan Yaksa pun amat semberono. Mereka mendahului melakukan serangan amat tidak tepat. Dengan jumlah tenaga hanya terdiri dua orang saja lebih baik mengambil posisi bertahan ketimbang menyerang. Taktik bertahan tak selamanya punya arti tidak menyerang. Dalam bertahan paling tidak bisa mempelajari gaya serangan lawan. Menurut hemat Purbajaya kita baru bisa melakukan serangan total kalau sudah bisa mengukur seberapa jauh tingkat kepandaian lawan. Optimiskah Aditia dan Yaksa kalau kepandaian mereka sanggup mengungguli lawan"
Maka pertempuran pun terjadilah. Aditia dan Yaksa menghambur ke depan, disambut pula oleh serbuan yang sama dari pihak lawan dengan senjata terhunus.
Aditia dan Yaksa dikepung rapat. Golok dan pedang menerjang kedua orang itu dari kiri, kanan dan depan. Kalau orang biasa menerima serangan seperti itu, barangkali hanya dalam sesaat tubuhnya sudah tercincang habis. Tidak demikian dengan Aditia dan Yaksa. Dan Purbajaya boleh memuji sebab kedua orang pemuda itu bisa menghindari berbagai serangan lawan dengan cukup baik.
Untuk beberapa lama, pertempuran ini enak ditonton. Para pengepung yang beringas, ditepis oleh gerakan amat halus dan indah dilihat. Bagi orang awam, tontonan ini lebih terlihat aneh. Masa sabetan golok dan pedang hanya dikelit dengan gerak "tari".
Tapi Purbajaya bisa menikmatinya dengan baik. Betapa tarian itu memperlihatkan gerakan taktis dan amat pas. Serangan pengepung, ditepisnya dengan kelitan-kelitan yang tak memerlukan tenaga tapi pas dalam membuyarkannya.
Amat indah. Namun sampai kapan ini akan berlangsung"
Nampaknya kedua orang pemuda itu terlalu asyik memperagakan taktik bertahan, padahal dalam gebrakan pertama, justru mereka yang menyerang. Ini amat tidak efektif. Baik Aditia mau pun Yaksa telah mengabaikan prinsip bertempur. Harus diingat, bertempur itu untuk mengalahkan. Jadi kendati yang dilakukan adalah taktik bertahan, namun tujuan utama tetap harus mengalahkan lawan. Apa pun yang dilakukan, tujuan akhir adalah kemenangan.
Purbajaya pernah diajari oleh Paman Jayaratu, bahwa setiap kali lawan menyerang, makan akan terkuak kekosongan pertahanan. Itulah peluang kita untuk balik menyerang.
Purbajaya menilai, sebetulnya rombongan perampok ini hanya memiliki tenaga kasar saja dan kepandaiannya pun biasa-biasa, tak ada yang istimewa. Hanya tampang dan gerakannya serangannya saja yang ganas sebab tujuannya mungkin untuk menakut-nakuti lawan. Setiap serangan, mereka lakukan dengan membabi-buta, kurang terarah dan terkesan semberono. Lawan yang begini amat mudah dipatahkan serangannya dengan cara memanfaatkan tenaganya. Namun sungguh aneh, peluang-peluang seperti ini tak dimanfaatkan oleh Aditia dan Yaksa. Disengajakah ini"
Purbajaya teringat, ketika dia diserang pemuda ini beberapa hari lalu, Aditia malah bernafsu ingin mengalahkan dirinya. Serangannya malah tidak memperlihatkan kehalusan gerak sebab waktu itu Aditia tengah geram dan penuh emosi. Gerakannya ganas dan terkesan ingin melukai bahkan membunuhnya. Namun kenapa kepada komplotan perampok ini baik Aditia mau pun Yaksa seperti punya perasaan "welas-asih?" Barangkali dua orang murid ini ingat pesan guru bahwa perjalanan ini dianggap sebagai ajang pelatihan semata. Kalau pun musti bertarung betulan tapi jangan sampai membunuh betulan. Begitu barangkali. Sementara beberapa hari lalu kepada Purbajaya malah dianggapnya sebagai ajang "sungguhan" dan musti membabat habis dirinya. Sialan benar, pikir Purbajaya sambil terus menyaksikan jalannya pertempuran.
Terlihat ada tiga orang yang sekaligus mencecar Aditia dengan pedangnya. Dua orang datang dari samping dan seorang lagi berada di tengah. Ketiga serangan itu diarahkan ke bagian tubuh paling lemah. Serangan dari kiri sebuah tusukan pedang mengarah perut samping bagian kiri dan serangan pedang kedua datang dari kanan akan mengarah perut bagian kanan. Sementara penyerang dari depan mengayunkan senjatanya untuk memenggal kepala.
Dengan amat cepatnya Aditia mundurkan langkah sambil doyongkan tubuh ke belakang. Kedua tusukan pedang luput tak mengarah sasaran dan ayunan dari depan yang mengarah leher pun hanya lewat sejengkal saja dari sasaran. Namun ketiga orang itu terus mencecarnya dengan serangan-serangan susulan sehingga Aditia main mundur terus padahal dari belakangnya penyerang lain mulai berdatangan pula . Dari belakangnya, ada tiga tusukan trisula yang sekaligus ingin menerobos ke punggung pemuda itu.
"Wista, bantu aku!" teriak Aditia sesudah menjetuhkan diri ke atas tanah berdebu guna menghindari tusukan tiga buah trisula.
"Purbajaya, sialan kau malah diam saja!" giliran Wista yang teriak kepada Purbajaya.
"Lho, aku kan tidak ikut latihan?" jawab Purbajaya masih menclok di atas punggung kuda.
"Bangsat! Kau ini pengecut sekali!" Wista mencoba menyabetkan ujung cameti kuda terbuat dari ekor ikan pari ke arah wajah Purbajaya. Sudah barang tentu Purbajaya tidak mau begitu saja wajahnya kena sabetan ujung cameti. Dengan miringkan wajah sedikit saja cameti berlalu tak mengarah sasaran. Wista penasaran serangannya gagal. Maka lagi-lagi dia menyerang dengan cameti, namun juga lagi-lagi dia gagal. Karena kesal, akhirnya Wista malah mengejar-ngejar ke mana kuda Purbajaya beranjak.
Melihat adegan ganjil ini, ada beberapa anggota perampok yang ketawa karena merasa lucu. Namun Ki Dita wajahnya merah padam. Mungkin marah dan malu oleh sikap Wista.
"Wista, berhenti kau!" teriak Ki Dita gemas. Namun ujung cameti pemuda itu sudah terlanjur melayang lagi. Dan kali ini Purbajaya sudah tak sempat lagi menjauhkan kudanya. Maka satu-satunya jalan ialah menarik ujung cameti keras-keras. Tak ayal tubuh Wista terjengkang ke depan. Celakanya, tubuh ceking itu malah jatuh di tengah arena pertempuran. Maka akibatnya, Wista pun jadi sasaran penyerangan para perampok.
Baru saja Wista berdiri, sudah disambut hujan serangan. Pemuda ceking ini berteriak dan matanya membelalak saking terkejut dan ngerinya. Dia jumpalitan beberapa kali ke belakang dan jatuh berdebuk di atas tanah keras berbatu. Sambil menyeringai kesakitan, Wista mencoba duduk. Namun baru saja hendak bernapas, serangan lain datang mencecarnya. Untuk kedua kalinya, tubuh Wista jumpalitan lagi.
Boleh jadi Wista penakut. Namun gerakan saltonya sebetulnya boleh juga. Walau pun lintang-pukang dan terlihat tak tenang, nyatanya dia berhasil menggagalkan semua serangan lawan.
Menurut penilaian Purbajaya, pemuda ini sebetulnya punya bakat juga. Hanya saja yang membuat gerakannya buruk karena katenangannya diganggu rasa takut.
Yang nampak mengkhawatirkan perasaan Purbajaya malah nasib pemuda Yaksa. Dia memang pemberani namun semberono, tak beda dengan Aditia. Mungkin juga karena didasarkan pada sikapnya yang agak pemberang. Beberapa hari lalu pemuda ini ikut mengeroyok Purbajaya di taman puri Ki Bagus Sura. Pemuda ini terlihat garang dan kalau bicara selalu mengejek. Hanya menandakan Yaksa ini orang tinggi hati. Menurut Purbajaya, orang boleh berani namun sikap hati-hati tetap harus dijaga. Di sepanjang jalan, Yaksa suka berkilah kalau kejahatan tak boleh dibiarkan.
"Engkau juga orang jahat karena suka menggoda wanita!" katanya pada Purbajaya. Yaksa tetap menuduh kalau Purbajaya telah berlaku cabul, atau sekurang-kurangnya telah mencoba merayu wanita sebab malam-malam mengobrol berduaan di taman dan itu melanggar etika sopan-santun.
Ingat ini Purbajaya senyum sendiri. Lelaki ngobrol dengan wanita masuk ke dalam tindak kejahatan. Begitu dalam kamus Yaksa. Makanya tak heran malam itu Yaksa amat marah, sama marahnya dengan Aditia. Yaksa amat bernafsu untuk memukul dan mencederai Purbajaya.
Sekarang dalam menghadapi perampok, alasan untuk melenyapkan kejahatan dari muka bumi semakin jelas. Makanya Yaksa bertempur penuh semangat walau ya, dilakukan dengan semberono. Bila Aditia hati-hati saking tak mau menyerang adalah Yaksa yang kebalikannya. Dia terus-terusan menggempur lawan kendati tak memikirkan akan risikonya. Banyak pukulan telak menghunjam tubuh lawan namun tak urung dia pun terkena beberapa sabetan senjata tajam.
Kini suasana sudah amat membahayakan ketiga orang itu. Kepungan semakin rapat dan serangan semakin gencar. Bila keadaan dibiarkan berlarut-larut tentu akan berakibat buruk kepada nasib para pemuda itu.
Purbajaya ingin minta izin untuk bergabung dan terjun ke arena pertempuran. Namun pada saat yang sama, Ki Dita sudah turun tangan. Hanya dalam waktu yang singkat, belasan anggota perampok itu lintang-pukang dihajar Ki Dita. Para perampok bagaikan daun kering tertiup angin. Tubuh-tubuh mereka beterbangan ke sana ke mari, sisanya jadi bulan-bulanan ketiga orang muda itu.
Tak ada yang mati memang. Tapi tubuh para perampok bergeletakan. Beberapa di antaranya berguling-guling sambil mengerang kesakitan. Yang tersisa mungkin yang agak jauh dari arena saja. Dan manakala melihat banyak teman-temannya rontok, mereka pun segera mengambil langkah seribu, membiarkan yang luka begitu saja.
Aditia dan Ki Dita menghampiri Yaksa yang terluka di beberapa bagian tubuhnya. Sementara Wista bergegas menghampiri Purbajaya.
"Selamat. Kau hebat, Wista ... " Purbajaya ingin menyalami pemuda itu. Namun Wista mengelak. Dan "plak-plak!", tangan Wista melayang dua kali menampar pipi kiri dan kanan Purbajaya.
"Huh, dasar pengecut!" teriak Wista berang.
Purbajaya menatap pemuda itu dengan senyum masam.
"Kau patut dicurigai. Barangkali engkau memikirkan kami mati di sini!" teriak Wista lagi marah sekali.
*** Yaksa banyak menerima luka berdarah. Namun demikian, Purbajaya mendapatkan kalau itu sebenarnya hanya luka biasa dan tak membahayakan nyawanya.
Untuk mengeringkan luka itu, Purbajaya sengaja mengumpulkan daun-daun sirih yang kebetulan banyak terdapat di sekitar hutan. Sesudah itu dia menghampiri Yaksa.
"Mau apa kau ke sini?" Wista yang tengah merawat luka temannya berkata ketus.
Purbajaya segera menyodorkan lembaran daun sirih.
"Tidak perlu. Pergi sana!" kata Wista menepiskan sodoran tangan Purbajaya.
Purbajaya tak banyak bicara, berjingkat menghampiri Paman Ranu.
"Paman, tolong tumbuk yang halus lembar daun sirih ini. Lantas borehkan pada luka Yaksa," kata Purbajaya menyodorkan daun sirih.
Dengan sigapnya, Paman Ranu mengerjakan apa yang diminta Purbajaya. Sesudah itu memborehkan ramuan itu ke setiap bagian tubuh Yaksa yang luka.
Melihat Yaksa mau menerima pertolongan yang bukan dari Purbajaya, pemuda ini hanya senyum masam. Aneh sekali, pikirnya. Hanya karena satu masalaha saja orang bisa punya kebencian sebesar itu. Hanya satu masalah" Hanya sebesar itu" Benarkah"
Purbajaya ingat ucapan Nyimas Yuning Purnama. Betapa Aditia sakit hati karena beberapa kali cintanya ditolak, sementara gadis itu "mandah" saja dipermainkan lelaki lain.
"Tapi Aditia merasa bermasalah dengan kita bukan melulu urusan Si Yuning saja," kata Ki Bagus Sura di saat-saat istirahat di tengah perjalanan."Sebetulnya itu juga bawaan dari masalah ayahnya juga," lanjut orang tua itu.
Aditia itu anak pejabat penting di Sumedanglarang bernama Ki Sanjadirja. Sesama pejabat ada yang bersaing ingin duduk paling dekat dengan Kangjeng Pangeran Santri. Untuk itu, mereka berupaya untuk menjadi orang terpercaya.
Bab 9 "Tahun-tahun sebelumnya, Ki Sanjadirja banyak diutus untuk melakukan kunjungan muhibah ke beberapa negara. Entah mengapa,belakangan tugas ini diserahkan Kangjeng Pangeran padaku," tutur Ki Bagus Sura.
Tugas dipindahkan seperti ini tentu amat merisaukan Ki Sanjadirja. Dia punya kesan seolah-olah kemampuan dirinya tak terpakai. Tapi belakangan, mereka pun malah menuduh Ki Bagus Sura yang punya gara-gara. Katanya Ki Bagus Sura melakukan tindakan tak terpuji.
"Aku dituding cari muka dan katanya telah menjelek-jelekkan mereka. Padahal selahannya bukan itu. Ketika berkunjung ke wilayah Tanjungpura, pernah terjadi salah paham sehingga pejabat di sana merasa tersinggung oleh perilaku Ki Sanja. Akibatnya, tugas selanjutnya aku yang jalankan. Maka ditambah lagi oleh penolakan cinta anaknya kepada Si Yuning, maka semakin runyam hubungan kami," tutur Ki Bagus Sura lagi.
"Pantas kalau begitu .... " gumam Purbajaya."Tapi, adakah cara pemecahannya agar pertikaian tidak berlarut-larut?" tanya Purbajaya.
"Ini bukan sekadar piring yang pecah, namun karena kami telah bersebrangan paham. Sanjadirja itu orangnya penuh ambisi. Dia menginginkan jadi orang kuat dan hanya dia yang dipercaya pihak penguasa. Dengan seperti itu sulit akur, kecuali kita mau berada di bawah pengaruhnya dan jangan mencoba menentang kehendaknya atau bahkan menjadi pesaingnya," kata Ki Bagus Sura.
"Mengapa Ki Bagus malah jadi pesaingnya?" tanya Purbajaya.
"Aku tak bermaksud begitu. Tujuanku hanya mengabdi. Itu saja. Kalau belakangan Kangjeng Pangeran lebih mempercayaiku, itu bukan sebuah dosa," jawab Ki Bagus Sura.
"Hubungan Ki Bagus dengan Ki Dita bagaimana?"
"Ki Dita itu menurutku orang baik. Kelihatannya dia ingin netral. Tapi urusan kewiraan Ki Sanja yang pegang. Jadi otomatis dia ada di bawah kendali Ki Sanja. Maka tak ada anjing yang tak setia tuannya," kata Ki Bagus Sura lagi.
Purbajaya pun bisa melihat, betapa di dalam perjalanan ini, hubungan antara Ki Bagus Sura dan Ki Dita seperti terhalang pagar tembok. Ki Dita lebih banyak bercakap-cakap dengan ketiga orang muridnya dan sebaliknya Ki Bagus Sura banyak mengobrol dengan Purbajaya atau Paman Ranu. Namun demikian, Purbajaya bisa merasakan, hanya Aditia dan dua orang temannya saja yang benar-benar memperlihatkan sikap permusuhan. Ki Dita tidak memperlihatkan sorot kebencian kecuali bersikap acuh tak acuh saja.
"Tidak bersahabat tapi kok mau melakukan perjalanan bersama?" tanya Purbajaya heran.
"Kami sama-sama mengemban tugas. Sungguh tak baik di hadapan Pangeran memperlihatkan kurangnya persatuan," jawab Ki Bagus Sura menghela napas.
Sesudah dirasa cukup beristirahat dan sesudah dilihatnya pemuda Yaksa bisa melanjutkan perjalanan, maka mereka pun menaiki kuda masing-masing untuk meneruskan perjalanan.
Ini adalah hari kedua, hari yang bila perjalanan lancar maka seharusnya sudah tiba di tempat tujuan. Namun berhubung perjalanan dilakukan dengan santai, ditambah oleh gangguan keamanan di tengah jalan, diperkirakan perjalanan baru menempuh sepertiganya saja. Kata Ki Bagus Sura, perjalanan dua pertiganya lagi mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dua hari perjalanan. Apalagi perjalanan jadi bertambah lamban sebab Yaksa yang masih luka tak bisa dibawa cepat.
Tadi malam tubuh Yaksa bahkan menggigil karena demam. Sementara usaha Purbajaya dalam memberikan bantuan pengobatan selalu ditolaknya.
"Kalau kau tidak acuh tak acuh, barangkali Yaksa tak bakalan terluka parah," Wista masih memendam rasa sesal yang mendalam kepada "ketololan" Purbajaya yang tak mau membantu.
"Sudah, jangan merengek seperti itu. Ini hanya akan membuat orang sombong ini jadi semakin tinggi hati," kata Yaksa mendelik kepada Purbajaya.
"Siapa yang bilang kalau kita butuh bantuan dia?" giliran Aditia yang mendelik dengan sorot mata panas.
"Diamlah kalian. Merasa tak bisa menari jangan lantai yang disalahkan," Ki Dita menengahi."Mungkin benar Yaksa terluka karena tak ada bantuan dari pihak lain. Tapi kesalahan paling mendasar adalah karena kelemahan dan ketololan kalian juga. Camkan ini, Karatuan Sumedanglarang tidak membutuhkan ksatria lemah dan dungu dan yang kerjanya hanya merengek atau menyalahkan orang. Aneh sekali, pemuda Purbajaya ini aku tak tahu entah siapa yang mengajarnya. Namun yang elas, dia berjiwa halus dan tak banyak bicara. Sementara kalian ini lahir dari keluarga terhormat malah kerjanya uring-uringan saja. Kalian harus tahu, ilmu yang kumiliki ini mengandalkan gerakan halus. Dan gerakan halus hanya bisa dilakukan oleh orang berperangai halus juga," kata Ki Dita dengan nada penuh sesal.
Baik Aditia mau pun Wista nampak melongo demi mendengar Ki Dita menyumpahi mereka. Bahkan Yaksa pun yang tengah luka terlihat terkejut dengan kenyataan ini.
Purbajaya bisa merasakan kekecewaan ketiga orang pemuda ini. Menurut pikiran mereka, seharusnya Ki Dita membela mereka dan bukannya malah menyumpahi sambil balik memuji "lawan". Purbajaya ada sedikit senang dipuji Ki Dita. Namun rasa khawatirnya pun jadi tak kepalang. Bukankah dengan kejadian ini akan semakin menyulut kebencian ketiga orang muda itu terhadapnya"
Purbajaya jadi merasa tak enak dibuatnya.
Sesudah percakapan ini, semuanya jadi berdiam diri. Ketiga orang itu membisu seribu bahasa. Demikian sampai perjalanan memakan waktu hampir setengah hari. Hanya desah kuda mereka yang terdengar. Atau hanya kicauan burung walik di dahan-dahan kareumbi yang terdengar berceloteh.
Kini sudah memasuki kawasan hutan pinus lagi dan jalanan menaik. Perasaan Purbajaya jadi tak enak sebab perjalanan ini mengingatkannya kepada ucapan Ki Bagus Sura.
Kata orang tua itu, penghadangan oleh kaum perampok sebetulnya sudah diaggap biasa dan kebanyakan bisa ditepis karena kepandaian mereka tak seberapa. Namun yang paling mencemaskan adalah penghadangan yang dilakukan oleh orang-orang yang bermasalah dengan negara karena urusan politik.
"Mereka rata-rata punya kepandaian hebat sebab dulunya pun di negri ini termasuk orang penting juga," kata Ki Bagus Sura. Yang paling dicemaskan oleh Ki Bagus Sura adalah dikenalnya sebuah organisasi gelap yang ramai disebut-sebut sebagai Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Mereka selalu mengacaukan keamanan di sepanjang antara Sumedang dan Talaga. Mereka adalah kelompok yang sakit hati baik kepada Sumedanglarang mau pun kepada Talaga.
"Mereka sakit hati karena Karatuan Sindangkasih dibiarkan takluk kepada Carbon. Padahal keinginan mereka, baik Talaga mau pun Sumedanglarang harus bisa melindunginya sebagai negri bawahannya," kata Ki Bagus Sura.
"Begitu kuatkah pasukan itu?" tanya Purbajaya jadi merasa khawatir.
"Benar. Disebut pasukan siluman sebab tindak-tanduknya penuh misteri. Mereka menyerang secara gelap dan melarikan diri secara gelap pula. Dalam melakukan serangan, jarang menampakkan diri.Makanya setiap yang akan melakukan perjalanan di sepanjang Sumedang-Talaga, musti berhati-hati."
"Hebat sekali mereka ... " bisik Purbajaya terkesan.
"Khabarnya mereka dibantu oleh orang-orang pandai dari Pajajaran," jawab Ki Bagus Sura.
Jalanan semakin sempit dan menaik. Di kiri-kanannya kalau tak hutan belukar tentu jurang menganga. Sementara jalan yang dilewati terdiri dari debu tebal dan sepertinya akan menjadi lumpur tebal pula bila terjadi musim hujan.
Kini semua anggota rombongan semakin membisu. Tak banyak bicara bukan karena urusan cekcok tadi, melainkan karena rasa tegang. Tak ada wajah ceria lagi, baik di wajah Ki Dita mau pun wajah Ki Bagus Sura. Hanya Paman Ranu yang biasa. Mungkin begitu pembawaan orang tua setengah baya ini.
Agar tak terpengaruh oleh kekhawatiran semua orang, Purbajaya malah sedikit memajukan langkah kudanya. Yang jalan di muka sekarang adalah Ki Dita dan Wista. Dengan demikian, kini Purbajaya berjalan sejajar dengan Wista.
Namun ketika didekati Purbajaya, Wista hanya memalingkan wajah bahkan mencoba menarik kendali kuda agar maju agak ke depan. Hanya saja tindakan itu segera diurungkannya manakala di depannya ada hal-hal yang mencurigakan.
Matahari tak pernah tiba ke tanah di wilayah ini sebab dedaunan hutan ini begitu lebatnya. Yang ada waktu itu hanya kabut tebal melayang-layang di antara dedaunan.
Purbajaya merasakan, betapa dinginnya hawa di sekitarnya. Mungkin lembah yang mereka lewati begitu dalam dan tiupan angin begitu kencang di bagian dasar lembah. Kesunyian amat mencekam. Tak ada suara burung atau pun binatang hutan di sekitarnya. Demikian miskin penghunikah hutan berkabut ini"
Purbajaya menarik tali kekang kudanya sehingga binatang itu tertahan langkahnya. Rupanya yang menahan kaki kuda bukan Purbajaya seorang. Ki Dita dan Ki Bagus Sura pun sama menghentikanlangkah kudanya masing-masing. Yang lainnya serentak berhenti karena ikut yang lain.
Purbajaya menduga, baik Ki Bagus Sura mau pun Ki Dita sudah mencurigai keadaan sekelilingnya yang dirasa ganjil.
Purbajaya sejak tadi memang curiga. Mustahil di tengah hutan lebat seperti ini tidak terdengar suara binatang apa pun. Kalau sekelompok burung menjauh, binatang melata sirna dan serangga tak ada, hanya menandakan bahwa ketentraman mereka diganggu sesuatu. Apakah itu"
Purbajaya saling pandang dengan Ki Bagus Sura. Sementara Ki Dita sudah lebih dahulu mengeluarkan pedangnya.
Bila Ki Dita saja sudah mempersiapkan diri, hanya menandakan bahwa bahaya besar tengah menghadang. Dan kalau dalam menghadapi perampok saja Ki Dita nampak tenang, maka mudah diduga kalau bahaya kali ini jauh lebih bahaya ketimbang perampok.
Berdebar dada Purbajaya. Dia teringat penjelasan Ki Bagus Sura mengenai gangguan-gangguan apa saja yang terdapat di tengah perjalanan ini.
Kini semua orang sudah menghentikan langkah kudanya masing-masing. Semuanya duduk terpaku tak ada yang berani buka suara. Bahkan kuda-kuda pun sama tak bergerak, kecuali ekornya yang dikibas-kibaskan.
Ketegangan dan rasa cemas terlihat jelas diwajah Ki Bagus Sura. Bahkan di kedingan udara hutan berkabut ini, jidat Ki Bagus Sura nampak mengucurkan keringat.
"Benar ... Merekalah yang datang!" desis Ki Bagus Sura parau.
Sepasang mata Ki Bagus Sura menatap tajam ke arah pepohonan. Purbajaya jadi penasaran, apa yang dilihat orang tua itu.
Yang dilihat di pepohonan sebenarnya hanyalah kabut tebal. Namun di sela-sela kabut warna putih, terlihat pula ada kabut warna hijau, melayang tipis di sekitarnya. Kabut apakah ini"
Kabut hijau ini pada mulanya hanya melayang tipis saja. Tapi makin lama makin tebal sehingga seluruh kabut berwarna hijau.
"Tutuplah hidung dan mulut!" teriak Ki Bagus Sura.
Warna hijau semakin tebal dan menutupi seluruh pandangan. Purbajaya mencoba menahan napas. Namun sampai kapan kuat bertahan, dia tak yakin sebab kabut hijau semakin tebal saja.
Hanya selintas Purbajaya melihat teman-temannya secara beruntun melorot jatuh dari atas kudanya masing-masing. Sesudah itu, pandangan matanya pun jadi gelap dan kepalanya pusing sesudah menghisap bau wewangian yang aneh tapi yang membuat dirinya mabuk.
*** Ketika sadar, Purbajaya mendapatkan dirinya sudah terikat di batang pohon. Masih terletak di tengah hutan lebat namun bukan di tepi jalan pedati.
Melihat sekelilingnya hutan amat lebat, hanya menandakan bahwa mereka selagi pingsan diseret dari jalan pedati, entah ke daerah mana. Siapa yang menyeret mereka"
Purbajaya menoleh ke sana ke mari. Dia bersyukur. Kendati mereka sama-sama dalam keadaan terikat, namun semua anggota rombongan dalam keadaan utuh tak kurang suatu apa. Di hadapannya terlihat Ki Bagus Sura dan Ki Dita terikat di pohon berlainan.
Sementara dia sendiri berdampingan dengan Wista dan Aditia yang juga sama-sama terikat di batang pohon berbeda. Akan halnya Yaksa, pemuda itu tubuhnya tergeletak begitu saja beralaskan semak-belukar.
Purbajaya semula terkejut. Dia menduga Yaksa telah jadi mayat.
Namun sesudah dilihatnya pernapasan Yaksa turun-naik dan bahkan terdengar suara dengkur, hanya menandakan pemuda ini tengah tidur pulas. Yaksa tidak diikat karena si penyerang nampaknya melihat Yaksa orang lemah karena luka-lukanya.
Suasana masih sunyi. Purbajaya tetap berdiam diri. Dia menunggu beberapa lama kalau-kalau si penyerang ada di sekitar itu. Namun ditunggu berlama-lama, tak ada gerakan mencurigakan. Dengan demikian, Purbajaya akhirnya punya kesimpulan kalau mereka sebenarnya telah ditinggalkan begitu saja oleh si penyerang. Siapakah lawan-lawan mereka yang begitu tangguh ini"
Perampokkah mereka" Purbajaya musti menarik sangkaannya ini.
Kalau perampok musti menjarah harta. Namun peti-peti berukir berserakan begitu saja. Demikian pun pundi-pundi miliknya yang diisi uang logam Negri Cina, masih terasa utuh karena di pinggang beratnya tak berkurang.
Kepala Purbajaya masih terasa pening. Pandangan matanya pun masih berkunang-kunang. Dia ingat, sebelum tiba di tempat ini ada terpaan kabut aneh berwarna hijau dan baunya aneh memabukkan.
Sesudah menghirup kabut hijau, semuanya jatuh pingsan.
Sekarang secara tiba-tiba sudah berada di sini dengan tubuh terikat di pohon.
Purbajaya menduga, mereka bukan komplotan perampok. Barang berharga berserakan begitu saja, hanya menandakan bahwa mereka sebenarnya tak butuh harta dan bukan berniat menjarah harta.
Lantas, apa yang mereka inginkan"
Sementara hati Purbajaya bertanya-tanya seperti itu, nampak Ki Bagus Sura dan Ki Dita sudah tersadar dari pingsannya. Seperti Purbajaya, mereka pun pada mulanya meneliti sekelilingnya dan memeriksa tubuhnya masing-masing yang terikat di batang pohon.
"Perbuatan merekakah ini?" tanya Ki Dita menatap Ki Bagus Sura.
"Barangkali benar mereka..." suara Ki Bagus Sura hampir berupa bisikan.
"Siapakah yang dimaksud, Ki Bagus?" tanya Purbajaya penasaran.
Ki Bagus Sura dan Ki Dita saling pandang. Rupanya mereka baru tahu kalau Purbajaya pun sudah siuman dari pingsannya.


Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang memiliki serangan uap hijau hanya satu, yaitu anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih ... " kata Ki Bagus Sura dengan suara penuh rasa khawatir.
"Nyi Rambut Kasih?" Purbajaya bergumam.
"Engkau tak akan mengenal tokoh ini sebab Nyi Rambut Kasih hidup sekitar enampuluh tahun yang lalu," kata Ki Bagus Sura.
Sambil menunggu yang lainnya siuman, berceritalah Ki Bagus Sura.
Di wilayah dekat Karatuan Talaga terdapat sebuah karajaan kecil bernama Sindangkasih (Majalengka kini adalah perkembangan dari Kerajaan Sindangkasih), diperintah oleh seorang ratu cantik bernama Nyi Rambut Kasih. Dia amat setia kepada agamakaruhun (nenek-moyangnya). Kendati negri-negri kecil lainnya seperti Maja dan Rajagaluh bahkan Talaga sendiri sudah memeluk agama baru, namun Nyi Rambut Kasih tetap fanatik dengan agama lamanya.
Namun demikian, kendati dia tak mau berpindah agama, Ratu sendiri membebaskan rakyatnya untuk memilih apa yang diminatinya. Banyak rakyatnya yang berpindah agama namun ada pula yang mengikuti keteguhan Ratu. Sementara itu, dalam peralihan kehidupan zaman di negrinya, Nyi Rambut Kasih memilih meninggalkan keraton, entah ke mana dia pergi mengasingkan diri. Sampai dengan tahun 1490 Masehi, Cirebon telah beranggapan bahwa seluruh penduduk Sindangkasih telah memeluk agama baru, terkecuali ratunya sendiri yang menghilang entah ke mana.
"Banyak dugaan berbeda. Namun penduduk menganggap Sang Ratu telahngahiyang (menghilang secara gaib) sebab kalau mati harus ada kuburnya dan kalau hidup harus tahu di mana dia berada. Maka karena itu, orang menyebutnya sebagai ngahiyang. Hidup di dunia tidak namun mati pun tidak," kata Ki Bagus Sura menjelaskan.
"Tapi apa hubungannya dengan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih?" tanya Purbajaya semakin penasaran.
"Aku sudah katakan dulu, komplotan ini disebut siluman karena tindak-tanduknya misterius. Kalau datang dan pergi tak diketahui kapan dan di mana. Tahu-tahu lawan terkalahkan. Ya, seperti kita ini."
"Tidak perlu dibuat aneh. Mereka melumpuhkan kita dengan siasat licik," Aditia bicara dan ternyata dia sudah siuman."Mereka meracuni kita, kan?" lanjutnya.
Wista dan Yaksa pun sudah bangun. Dan karena Yaksa tidak diikat, maka walau pun dengan susah payah karena menahan sakit bila keluar tenaga, Yaksa segera membukakan semua ikatan, kecuali tali yang mengikat tubuh Purbajaya.
Paman Ranu menggeleng-gelengkan kepala, heran dan kecewa dengan sikap Yaksa ini. Lantas dia sendirilah yang bantu melepaskan tali di tubuh Purbajaya.
Sementara Purbajaya tidak banyak perasaan mengenai hal ini. Dia malah terus tanya perihal keberadaan pasukan siluman.
"Ya, belakangan aku tahu, mereka kalahkan kita dengan uap beracun. Hanya yang aku penasaran, mereka tak memberikan kita peluang untuk saling berhadapan," kata Ki Bagus Sura.
"Padahal kalau bisa saling berhadapan, kita bisa tahu apa sebetulnya mereka inginkan," sambung lagi Ki Bagus Sura.
"Mereka orang jahat. Apalagi yang mereka inginkan selain harta yang kita bawa?" Wista mulai buka suara
"Harta yang kita bawa dan bernilai tinggi, berceceran begitu saja. Hanya membuktikan, mereka tak butuh harta," kata Purbajaya sambil menunjuk ke arah belukar di mana peti-peti berserakan.
Isinya porak-poranda begitu saja "Sepertinya mereka melecehkan apa yang sebenarnya kita anggap berharga," sambung Purbajaya lagi.
"Gan Bagus, lihatlah, golek emas mereka cincang habis-habisan. Mereka memang mau menghina kita," kata Paman Ranu memunguti benda berharga itu.
Ki Bagus Sura terhenyak. Hatinya mungkin marah melihat barang cinderamata yang sedianya akan dikirimkan sebagai lambang persahabatan antarnegri, dicincang tak berguna seperti itu.
"Benar, mereka sengaja menghina kita, Sumedang dan Talaga ..." gumam Ki Bagus Sura.
"Mengapa begitu?" tanya Purbajaya.
"Karena Sumedang dan Talaga bersaudara ... "
"Ya, aku pun tahu," potong Ki Dita."Kangjeng Sunan Parung penguasa Talaga mempersunting salah seorang putri dari Sumedanglarang, sementara permesuri Kangjeng Pangeran Santri pun beristrikan putri Kangjeng Sunan. Dengan demikian, Sumedang dan Talaga bersaudara dekat. Hanya saja, apa hubungannya dengan pasukan siluman sehingga mereka membenci dua negri ini?" tanya Ki Dita lebih berupa menyelidik ketimbang sekadar ingin tahu. Dan ini sedikit mengherankan hati Purbajaya.
"Aku hanya bisa menduga-duga saja." gumam Ki Bagus Sura,"Tapi kukira ini erat kaitannya dengan perasaan sakit hati," lanjutnya setengah berpikir.
"Sakit hati karena apa?" desak Ki Dita.
"Hhh .... Kita semua tahu. kehadiran agama kita tidak selalu mulus diterima semua pihak. Ternyata di Sindangkasih banyak pengikut Nyi Rambut Kasih bersimpati kepada ratunya. Mereka tak menganggap Sang Ratu mundur dari percaturan kehidupan bernegara secara sukarela namun pergi sambil memendam kesedihan dan kekecewaan. Mereka yang bersimpati, sepertinya merasa ikut sedih. Dari sekadar bersedih menjadi sakit hati dan marah lantas secara spontan membalas dendam. Kepada siapa mereka balas dendam" Tentu kepada siapa saja yang mereka anggap telah menyakiti ratunya. Salah satu di antaranya adalah Sumedanglarang dan Talaga yang mereka anggap tidak membela kepentingan Sindangkasih," tutur Ki Bagus Sura mengeluarkan persangkaannya.
"Mundurnya Nyi Rambut Kasih dari keraton, dinilai para pengikutnya sebagai kekalahan dan keterdesakan oleh kehidupan zaman baru. Ini amat menyakitkan hati mereka. Makanya mereka marah dan mengganggu kita," sambung Ki Bagus Sura lagi.
"Mereka melakukan pembunuhan juga?" tanya Purbajaya.
"Sejauh yang aku ketahui, mereka tak membunuh. Namun demikian, mereka meresahkan semua orang. Kaum saudagar terganggu dalam usahanya, begitu pun perjalanan kenegaraan," ujar Ki Bagus Sura mengeluh.
"Mereka membunuh atau tidak kalau bisa kita ringkus atau mungkin harus dibunuh! Segala macam pengacau yang meresahkan masyarakat harus kita tumpas habis," kata Aditia bersemangat.
"Betul. Bunuh mereka!" teriak Wista tak kalah semangatnya.
Namun baru saja ucapannya berhenti, dari semak belukar muncul seseorang. Ini sungguh mengejutkan semua orang. Sehingga secara reflek, Wista meloncat sembunyi di balik pohon besar.
"Tangkap penjahat!" teriak Aditia sambil cepat berdiri. Selanjutnya, tanpa ragu dia menerjang orang asing itu. Yaksa yang tubuhnya dibebat karena luka-lukanya, segera memberikan bantuan dan ikut menyerang. Belakangan Wista pun keluar dari tempat sembunyi dan ikut menerjang lawan. Mungkin Wista sudah mulai hilang rasa takutnya, apalagi lawan yang diserang hanya satu orang saja.
Kejadian ini terlalu cepat sehingga yang lainnya hanya terpaku menyaksikan tiga orang murid Ki Dita mengeroyok seorang asing. Purbajaya khawatir sebab tiga orang muda semberono itu tidak mengukur dulu tingkat kepandaian lawan. Tahu-tahu ketiga orang itu menjerit kesakitan karena tubuh-tubuh mereka terlontar. Tubuh Yaksa dan Aditia terlontar dan menumbuk batang pohon. Tapi yang paling bahaya adalah nasib Wista. Terlihat dia hendak dipukul telak di bagian dadanya oleh si penyerang asing itu.
Orang yang paling berdiri dekat kepada Wista hanyalah Purbajaya.
Dengan demikian, hanya Purbajaya seorang yang memiliki peluang dalam menyelamatkan pemuda itu. Purbajaya pun sadar akan hal ini.
Maka begitu pukulan orang itu meluncur deras ke dada Wista, Purbajaya segera meloncat dengan cepat. Dan dengan tenaga sepenuhnya, tangan kanan Purbajaya menyampok serangan lawan.
Plak! Plak! Pukulan orang itu tertahan dan pergelangan tangan Purbajaya terasa ngilu dan sakit. Namun nyawa pemuda Wista menjadi selamat.
Wista gembira tapi Purbajaya meringis. Pukulan orang itu sungguh keji, dikerahkan dengan tenaga penuh dan kalau kena dengan telak orang yang dipukul pasti tewas.
Purbajaya yang menahan pukulan itu dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya masih terasa bergetar dan urat-urat di tangan serasa menegang mau putus.
Namun Purbajaya pun melihat, betapa lelaki itu pun nampak meringis dan wajahnya menampakkan perasaan terkejut. Namun demikian, orang asing yang usianya kira-kira di atas limapuluh itu seperti tak merasakan benturannya tadi karena langsung melakukan serangan susulan. Kali ini yang diserangnya adalah Purbajaya.
Ternyata gerakan lelaki setengah tua ini cepat dan mantap. Kali ini Purbajaya tak berani membiarkan tangannya saling bentur dengan tangan lawan. Dia menyadari, tenaga dalam lelaki ini setingkat di atasnya. Kalau selalu memaksakan diri mengadu tenaga dalam, tentu Purbajaya yang akan repot. Oleh sebab itu, kini Purbajaya kerjanya hanya main kelit saja dan baru melepaskan serangan kalau ada peluang untuk itu.
Ki Dita merasa tidak sabar melihat pertempuran kecil yang terlihat bertele-tele ini. Oleh sebab itu, dia segera melibatkan diri ke dalam arena pertempuran.
Dikeroyok dua oleh Ki Dita dan Purbajaya, lelaki asing itu tidak menjadikan dirinya gentar. Malah terlihat dia semakin meningkatkan kemampuannya. Dan nyatanya, lelaki setengah baya ini sungguh hebat. Kendati dikeroyok dua, tak memperlihatkan kepanikan, bahkan sanggup mengatur irama permainan dengan baik sehingga perkelahian jadi seimbang.
Hanya saja Purbajaya bisa menduga, permainan jadi seimbang lantaran antara dia dan Ki Dita tidak bekerja sama. Sekali pun main berdua tapi keduanya bekerja sendiri-sendiri tidak saling menutupi kelemahan teman. Bahkan ada kecenderungan, Ki Dita membiarkan serangan lawan yang mengarah dirinya dan lebih mementingkan serangan dirinya ke arah lawan. Akhirnya begitu pun yang dilakukan Purbajaya. Karena Ki Dita tidak berupaya menutupi kekosongan, maka dia hanya asyik melakukan serangan dan tepisan yang sekiranya menguntungkan dirinya saja.
Akibat main sendiri-sendiri, beberapa kali lawan hampir sanggup menerobos masuk baik ke arah Purbajaya mau pun ke arah Ki Dita.
"Dasar anggota pasukan siluman, gerakanmu jahat dan kejam!" teriak Ki Dita gemas.
"Kalian orang Pajajaran kerjanya licik main keroyok!" lelaki itu balas memaki.
"Aku bukan orang Pajajaran!" teriak Ki Dita hendak mengemplang ubun-ubun orang itu namun bisa dihindarkan dengan enteng.
"Aku pun bukan anggota pasukan siluman!" teriak lelaki itu balas hendak membabat betis Ki Dita dari bawah.
"Hentikan pertempuran!" teriak Ki Bagus Sura. Dan ketiga orang itu serentak berhenti.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Dita penuh selidik.
"Kalian pun siapa" Aku mengira malah kalianlah anggota pasukan siluman sebab kalian berada di tempat tersembunyi seperti ini," kata lelaki asing itu balik menduga.
"Sudahlah, hentikan pertikaian," cegah Ki Bagus Sura,"Aku tahu, di antara kita semua telah terjadi salah paham." ujarnya lagi.
Maka ketegangan pun menurun. Perhatian kini dialihkan untuk menolong Aditia dan Yaksa yang terluka karena tubuhnya menumbuk batang pohon. Ternyata mereka luka cukup parah. Yaksa apalagi karena sebelumnya pun dia sudah terluka.
"Tak ada tulang patah, kecuali memar-memar," kata Purbajaya sesudah memeriksa tubuh dua orang itu.
"Memang hanya luka memar. Tapi di tubuh pemuda satunya lagi ada luka sabetan senjata tajam aku tak tanggung jawab," kata si lelaki asing ikut memeriksa.
"Dia terluka diganggu perampok kemarin," jawab Ki Bagus Sura sama memeriksa yang luka.
"Tak diduga, kami terus-terusan diganggu orang jahat ..." kata Ki Dita jengkel.
"Hati-hati kalau bicara, aku bukan orang jahat. Lagi pula, kalianlah yang duluan menyerangku," bantah lelaki asing itu kembali berang.
"Maksud kami, selain diganggu perampok, kami pun diganggu pasukan siluman. Lantas kau datang, makanya kami cepat menduga kalau kau adalah salah seorang dari mereka... " Ki Bagus Sura memberikan penjelasan sehingga kemarahan orang pemberang itu hilang kembali.
"Hahaha ... "
"Kenapa kau ketawa?" Ki Dita heran dan bercuriga lagi.
"Kalau kalian diganggu pasukan siluman, aku bisa duga, kalian tentu orang Sumedang atau orang Talaga," kata orang itu masih tertawa.
"Kami memang datang dari Sumedang ... " jawab Ki Bagus Sura.
"Pantas ... "
"Tapi tak sepantasnya orang-orang dari pasukan siluman mengganggu kami," potong Ki Bagus Sura.
"Mungkin maksudnya mengganggu orang Talaga."
"Tapi malah kami yang diganggu. Lihatlah, barang cinderamata terbaik dari negri kami untuk dipersembahkan kepada penguasa Talaga sudah berantakan begini. Mau dike-manakan muka kami di hadapan mereka?" tanya Ki Bagus Sura putus asa.
"Itulah tujuan anggota pasukan siluman, agar hubungan dua negri kalian terganggu," kata orang asing itu.
"Kurang ajar!" teriak Aditia geram.
"Engkau sendiri ada di pihak mana?" tanya Ki Dita kembali matanya penuh selidik.
"Mengapa tanya begitu sepertinya orang harus memihak sesuatu?" si lelaki asing malah balik bertanya.
"Memang tidak harus begitu. Tapi engkau memandang kami penuh ejekan. Mengejek berarti tak menyukai. Dan tak menyukai sama dengan memusuhi. Di zaman kini, orang harus memilih keberpihakan," kata Aditia lantang dan bertolak pinggang padahal jelas bokongnya lagi sakit.
"Tidak, tidak begitu. Puluhan tahun aku memihak Talaga. Dan ketika Talaga bergabung dengan Cirebon, aku pun ikut dengan Cirebon. Namun demikian, tidak berarti aku memihak Cirebon. Aku ikut menyerang Pajajaran bukan mau membela Cirebon tapi karena benci Pajajaran. Itu saja," jawab lelaki asing itu.
"Anda menyebut-nyebut Cirebon, siapakah anda sebenarnya?" Purbajaya ikut bicara.
Sebelum menjawab, lelaki itu memandang tajam kepada Purbajaya.
"Sedikit-sedikit aku hapal gerakanmu tadi. Kau mirip orang Cirebon," lelaki itu malah bicara begitu.
"Saya memang orang Cirebon ... Nama saya Purbajaya murid Paman Jayaratu," jawab Purbajaya
Demi mendengar ucapan Purbajaya ini, nampak lelaki asing itu sedikit terkejut.
"Sebetulnya aku kenal orang tua itu walau tak akrab benar. Namaku Sudireja," jawabnya.
Purbajaya coba mengingat-ingat kalau-kalau pernah dengar nama orang ini, namun dia tak pernah ingat. Pemuda ini pun lantas meneliti Ki Sudireja.
Lelaki setengah tua ini memiliki cambang bauk yang pendek dan jarang. Barangkali tadinya habis dicukur namun dikerjakan asal-asalan saja. Bulu-bulu di cambang bauknya sudah banyak memutih karena uban, namun rambut kepalanya yang digelung ke atas dan diikat selembar kain kasar warna hitam malah bebas dari uban.
Rambut yang subur itu berwarna hitam legam.
Yang khas dari Ki Sudireja, bulu uban malah tumbuh subur di lubang hidungnya.
Sepasang matanya cekung dan dalam, menandakan bahwa lelaki setengah tua ini sudah banyak merasakan pahit-getirnya kehidupan di dunia. Kata Ki Sudireja, dia pun kenal Paman Jayaratu walau pun sedikit.
Bisa jadi begitu sebab Paman Jayaratu pada tahun 1530 pernah ikut serta menundukkan Talaga. Di pihak manakah Ki Sudireja ketika itu"
Purbajaya hendak mencoba bertanya namun Ki Sudireja nampaknya akan segera pamitan.
"Tunggu. Beri kami khabar perihal keberadaan pasukan siluman," kata Ki Bagus Sura.
"Aku pun tengah mencari keterangan perihal mereka. Mereka harus kubunuh bila berani mengusik ketenanganku!" katanya berang.
Ki Sudireja meloncat dan menghilang di balik rimbunan pohon.
Maka tinggallah rombongan muhibah yang kebingungan. Mereka bingung untuk melanjutkan perjalanan. Bukan saja karena Aditia dan Yaksa menderita luka, namun karena membingungkan barang cindera mata yang tak bisa terselamatkan. Semuanya rusak dan tak mungkin dikirimkan kepada yang berhak.
Untuk yang pertama kalinya Ki Bagus Sura dan Ki Dita berunding memecahkan persoalan.
"Mereka mencari jalan pemecahan, bagaimana tindakan selanjutnya. Apakah akan dilanjutkan menuju Talaga dengan risiko mendapat malu ataukah kembali pulang tapi juga menerima teguran keras dari Kangjeng Pangeran lantaran tak sanggup mengerjakan titah dengan baik"
"Tapi kukira kita semua harus melanjutkan ke Talaga," kata Ki Bagus Sura dan wajahnya nampak terkejut. Dengan tergopoh-gopoh dia memburu peti-peti cendana berukir indah itu untuk meneliti sesuatu.
Dan sesudah melakukan hal itu, mendadak wajahnya pucat-pasi.
"Ada apa?" tanya Ki Dita.
"Ada yang hilang ..." gumam Ki Bagus Sura masih pucat pasi.
"Kukira lengkap. Tak ada peti yang hilang."
"Ya, tapi isinya ada yang hilang," kata lagi Ki Bagus Sura.
"Semua benda berharga jumlahnya ada enam, sesuai dengan jumlah peti enam buah. Jadi, benda apa yang hilang?" Ki Dita jengkel dengan penjelasan Ki Bagus Sura yang dianggapnya membingungkan ini.
"Ya, peti seluruhnya berjumlah enam buah dan masing-masing diisi sebuah benda cinderamata, kecuali satu peti ditambah oleh sebuah surat daun lontar yang disusun rapi dalam sebuah ikatan benang berwarna. Itu adalah surat penting dari Kangjeng Pangeran dari Sumedang buat Kangjeng Sunan di Talaga," Ki Bagus Sura menerangkan.
"Tidak pernah kudengar sebelumnya. Kau merahasiakan satu hal kepada kami, Bagus," kata Ki Dita tersinggung.
"Itu yang diinginkan Kangjeng Pangeran. Surat itu bersifat penting dan rahasia. Supaya bisa sampai ke tujuan, maka harus dirahasiakan pula. Makanya hanya aku yang tahu. Belakangan, ternyata pasukan siluman pun tahu ... " kata Ki Bagus Sura bingung dan panik.
"Kalau begitu, pasukan siluman mencegat kita karena mau merebut surat itu, Ki Bagus," kata Purbajaya.
"Kukira benar begitu," gumam Ki Bagus Sura.
"Artinya musti ada yang beri tahu kalau rombongan ini sebetulnya tengah membawa surat penting untuk Talaga," kata lagi Purbajaya.
"Ya, siapa yang memberi tahu?"Wista meneliti semua orang tapi matanya malah paling lama hinggap di mata Purbajaya.
"Ada anggota pasukan siluman di antara kita. Paling tidak, salah seorang pasti berlaku khianat," kata Wista kembali meneliti wajah semua orang dan lagi-lagi hinggap paling lama di wajah Purbajaya sehingga amat menyebalkan perasaan Purbajaya sendiri.
"Kita harus mengejar pasukan siluman," kata Ki Bagus Sura mengepalkan tinju.
"Apa" Kau katakan kita, Ki Bagus?" tanya Ki Dita.
"Aku tak mau ikut," bantah Aditia.
"Kita harus mengejar mereka. Di perjalanan kita sehidup-semati. Lagi pula kita ini satu kesatuan dalam mengemban misi," Purbajaya ikut menyela.
"Misi pelatihan bolehlah. Dan kau lihat, betapa tubuh kami tambal sulam begini, ini hanya menandakan bahwa kami sudah selesaikan tugas dengan baik. Tapi urusan tugas yang dirahasiakan, hanya yang tahu saja yang musti bertanggung jawab!" kata Aditia. Semua teman-temannya mengangguk setuju kepada ucapan Aditia.
**** Mendengar perkataan Aditia, Ki Bagus Sura mengangguk dengan wajah kecut.
"Tak apa kalian tidak ikut sebab memang hanya aku yang tahu akan tugas rahasia ini," Ki Bagus Sura memutuskan.
"Kita semua harus ikut," kata Purbajaya berpendapat.
"Ayo ikutlah engkau agar lekas mati dibantai pasukan siluman," kata Aditia sinis,"Tapi aku sama sekali tak berminat. Mengapa semua orang harus bertanggungjawab sementara jauh sebelumnya kami tak diberitahu akan adanya tugas amat penting ini" Kalau jauh hari kami diberi amanat barangkali akan sama-sama menjaganya sampai titik darah penghabisan," kata lagi Aditia.
"Engkau mungkin benar,. Maka tinggallah di sini," kata Ki Bagus Sura.
"Saya ikut ..." kata Purbajaya menyela.
"Kita semua memang harus ikut. Apa pun jadinya, pada akhirnya kita semua harus bertanggungjawab," Ki Dita memutuskan.
Aditia bimbang. Dia menatap bergantian kepada dua orang sahabatnya. Tapi baik Yaksa mau pun Wista melangkah mendekati Ki Dita. Barangkali sebagai isyarat kalau mereka berdua terpaksa setuju pendapat gurunya.
"Baik. Paling tidak kita harus tahu, benda apa yang oleh kita musti dipertaruhkan dengan darah dan nyawa ini," Aditia memberi "kelonggaran" kepada pendapatnya sendiri.
Namun ucapan Aditia ini seperti ada benarnya. Buktinya semua orang terpengaruh ucapannya dan sama-sama menatap tajam kepada Ki Bagus Sura. Rupanya semua orang sama merasa penasaran, surat penting apakah itu sehingga pasukan siluman pun tertarik untuk menjegalnya di tengah jalan.
Ki Bagus Sura mungkin sadar kalau tatapan mata semua orang menekannya.
"Bagaimana mungkin sesuatu yang bernama rahasia musti diketahui banyak orang" Tapi percayalah, isinya adalah untuk kepentingan kita bersama: Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Namun bila surat daun lontar itu jatuh ke tangan orang yang tak berhak, akibatnya akan berbahaya. Itulah sebabnya kita musti berupaya merebut surat itu," kata Ki Bagus Sura menghindari tekanan.
Purbajaya menundukkan wajah. Dia sadar kalau dia pun sebenarnya ikut mendesak agar Ki Bagus Sura membeberkan isi surat rahasia. Sungguh tak pantas memaksa orang yang karena misinya dipercayai atasan untuk memendam sebuah rahasia.
Aditia dan teman-temannya memberengut sebagai tanda tak puas. Namun Ki Dita sendiri tidak menampakkan wajah kecewa. Malah sebaliknya, wajah orang tua ini cerah. Sesuatu yang tak dimengerti oleh Purbajaya.
"Kita harus berpacu melawan waktu. Semakin cepat kita mengejar, akan semakin besar peluang kita untuk bisa menyusul mereka," Ki Bagus Sura mengajak semua orang untuk berangkat.
Namun perjalanan kali ini mungkin semakin sulit, mengingat kuda mereka semuanya lenyap entah ke mana. Mungkin kabur mungkin juga dirampas pasukan siluman.
"Sebaiknya kita kuntit Ki Sudireja. Sebab bukankah orang itu pun tengah mengikuti jejak pasukan siluman?" kata Purbajaya berpendapat. Dan pendapatnya ini diiyakan oleh Ki Bagus Sura.
Semua pun akhirnya sepakat untuk mengikuti jejak Ki Sudireja. Hanya saja Wista dan Yaksa di sepanjang jalan mengomel panjang-pendek lantaran hilangnya kuda-kuda mereka. Dengan lenyapnya tunggangan itu, mereka akan berjalan kaki. Dan bagi mereka ini amat menyebalkannya.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Mula-mula mereka harus berusaha menemukan kembali jalan pedati. Dan Purbajaya harus ememuji kebolehan pasukan siluman. Mereka sanggup membawa tawanan dalam keadaan pingsan ke sebuah tempat yang jauh dari jalan dan sulit untuk dirambah. Mereka harus membawa tawanan menuruni ngarai dan menyebrangi sungai berbatu dengan airnya yang jernih dan deras. Berapa orangkah jumlah mereka sehingga sanggup mengangkut tujuh orang pingsan" Untuk apa pula mereka mengangkut tawanan sejauh ini" Barangkali tak ada maksud tertentu kecuali sengaja memperlihatkan bahwa mereka orang-orang hebat.
Sungguh misterius pasukan itu. Namanya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Pasukan Siluman" Sungguh menakutkan. Apakah Nyi Rambut Kasih pun sama menakutkan"
Mendengar nama pasukan yang menyertakan istilah siluman, bahwa masih ada dendam dan ketidakrelaan "Nyi Rambut Kasih" akan kehadiran kekuatan baru di muka bumi ini. Namun, betulkah demikian" Bukankah Nyi Rambut Kasih telah mengundurkan diri dari percaturan dunia" Bukankah sudah dikatakan oleh semua orang bahwa Nyi Rambut Kasih secara baik-baik mundur dari kehidupan guna memberikan kesempatan kepada sebuah zaman yang baru"
Peristiwa ini sudah lama berlalu, sudah lebih dari enampuluh tahun lamanya. Kalau pun Nyi Rambut Kasih ada, barangkali hari ini usianya sudah sedemikian lanjut. Mungkinkah seorang nenek renta bisa memimpin sebuah pasukan yang demikian hebat" Mungkinkah seorang tua masih memendam dendam dan emosi sehingga bisa menggerakkan sebuah pasukan"
Pengalaman membuktikan, banyak ratu (pemimpin) dituding bersalah padahal belum tentu dia sendiri yang melakukannya. Rastu puny abdi dalem (aparat). Kalau perintah ratu bisa dijalankan dengan benar oleh abdi dalem, maka nama baik sang ratu akan terpelihara. Namun sebaliknya bila aparat tak bisa menjalankan amanat dengan benar, maka sang ratu pun akan terkena getahnya.
Bukan sesuatu hal yang mustahil ada abdi dalem yang bekerja sendiri dengan selera sendiri dan diabdikan buat kepentingan sendiri tapi akibat dari perbuatannya, ratulah yang musti bertanggungjawab.
Penguasa Pajajaran bernama Sang Prabu Ratu Sakti yang tengah memerintah kini (1543-1551 Masehi) banyak dipersalahkan rakyatnya karena gaya kepemimpinannya keras dan menekan rakyat. Rakyat menderita karena khabarnya selalu ditekan oleh penarikanseba (pajak) yang berat. Namun selentingan juga mengatakan bahwa tindakan-tindakan keras ini dilakukan secara sendiri oleh para abdi dalemnya. Mereka inginkan, tugas yang diamanatkan oleh ratu bisa berjalan dengan baik dan hasilnya besar. Semakin besar kesuksesan pekerjaan seorang abdi dalem maka akan semakin besar pula kepercayaan dan penghargaan sang ratu ke padanya. Maka untuk mengejar "upah" seperti ini, abdi dalem bersikap menekan kepada yang di bawah.
Mungkin demikian halnya dengan Nyi Rambut Kasih. Barangkali benar sang ratu di Sindangkasih ini secara sukarela telah memberikan kesempatan bagi penguasa hidup untuk mengisi zaman baru. Namun tak demikian dengan aparatnya. Hilangnya sebuah negri bagi bagi sang aparat berarti hilangnya sebuah kesempatan bagi keberadaannya. Tergantikannya sebuah suksesi kepemerintahan sepertinya tergantikannya pula kekuasaan aparat di bawahnya. Jadi agar kekuasaan tidak hilang, maka dicari akal untuk mempertahankannya atau merebutnya, atau menyabotnya kalau ternyata dia terhempas oleh perubahan kekuasaan itu.
Bab 10 Maka kendati sudah diumumkan bahwa seluruh penduduk Sindangkasih ikut agama baru belum tentu istilah "seluruh" itu berarti semua. Yang tak setuju dengan keadaan ini memilih memberontak. Dan agar mendapatkan dukungan masa maka mereka mengatasnamakan tokoh mereka sendiri yang populer di masa itu namun hidupnya "teraniaya". Begitu kira-kira yang tengah dipikirkan dan yang jadi dugaan hati Purbajaya.
Namun benar atau tidak dugaannya ini, yang jelas, Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih memang ada dan terasa mengganggu ketenangan masyarakat. Keutuhan persahabatan antara Sumedanglarang dan Talaga pun terganggu oleh kehadiran pasukan misterius ini.
Purbajaya amat bergairah dalam mengikuti upaya pengejaran ini. Mungkin dia ingin ikut menyelesaikan masalah keberadaan kelompok ini, namun bisa juga hanya karena rasa penasaran semata-mata. Siapa orangnya yang tak tertarik kepada masalah yang bersifat misteri" Ya, Purbajaya ingin sekali menguaknya. Kalau urusan ini bisa dia ikut selesaikan dan dilaporkan kepada penguasa di Carbon, mungkin dia akan dapat acungan jempol. Atau setidaknya orang tahu bahwa kehadiran dirinya di Carbon tidak percuma.
Sesudah cukup lama keluar-masuk belantara, akhirnya rombongan pun bisa menemukan kembali jalan pedati.
Rombongan tujuh orang dengan dua orang luka ini mulai menempuh perjalanan kembali dengan jalan kaki berhubung kuda mereka hilang.
Namun Wista tetap rewel dan menyayangkan alau kuda mereka yang bagus-bagus hilang tak tentu rimbanya.
"Sudahlah. Mengapa kau kerjanya mengeluh saja?" Yaksa mengomel.
"Bukannya aku mengeluh karena aku tak bisa naik kuda tapi itu kan kuda mahal. Kau sendiri tak mungkin mampu beli," bantah Wista sambil berjalan tertatih-tatih padahal Purbajaya tahu pemuda ini tak menderita luka apa pun.
"Tidak apa. Kuda hilang dan kita jalan kaki, ini adalah bagian dari pelatihan," kata Ki Dita menengahi.
"Tapi apakah lukanya Aditia dan Yaksa pun bagian dari pelatihan, Ki Guru?" Wista penasaran.
Aditia memang luka memar di punggung karena bantingan Ki Sudireja ke batang pohon. Yaksa malah lebih parah lagi. Sebelum dia dibanting ke batang pohon seperti Aditia, dia telah banyak luka bacokan ketika melawan komplotan perampok.
Menerima pertanyaan yang lebih terasa sebagai rasa penasaran dari Wista, Ki Dita hanya menghela napas.
"Aku anggap itu sebagai pelatihan juga, sebab kehidupan penuh bahaya bagi seorang ksatria di masa-masa mendatang pasti lebih besar lagi dari hanya ketimbang diganggu perampok," jawab Ki Dita akhirnya.
"Kehilangan kuda malah tak berarti apa-apa ketimbang kehilangan nyawa," Ki Bagus Sura ikut menimpali.
"Dan kau harus membiasakan diri bisa berjalan kaki sebab perjalanan di masa-masa mendatang pun tak selamanya menggunakan kuda," kata Ki Dita lagi.
"Saya tak cemaskan saya pribadi. Tapi lihatlah dua orang sahabat saya, mereka kepayahan," Wista memberi alasan. Dan alasan ini memang tepat. Dibawa berjalan jauh seperti ini, Aditia dan Yaksa nampak kepayahan.
Namun demikian, Ki Dita perlu meneliti."Bagaimana, apa kalian kuat melanjutkan perjalanan?" tanyanya kepada Aditia dan Yaksa.
"Sebetulnya saya kuat tapi ... ya, cukup menderita," awab Yaksa.
"Saya pun kuat tapi amat payah ..." Aditia ikut mengeluh.
"Kalau begitu, kalian berdua tidak perlu ikut," kata Ki Dita.
"Kalau kami tak perlu ikut, musti tunggu di mana?" tanya Aditia. Rupanya dia pun tak senang kalau kemampuannya dilecehkan.
"Kita ini tengah mengikuti jejak orang yang berjalan di muka. Kalau kita berjalan lamban seperti kalian, orang yang kita buru akan semakin jauh jaraknya dari kita yang di belakang ini," kata lagi Ki Dita.
"Saya mungkin bisa berjalan cepat," jawab Yaksa.
"Saya pun mungkin bisa," Aditia tak mau kalah.
"Bagus kalau begitu," jawab Ki Dita sambil mengajak yang lain untuk berjalan cepat.
Semua orang mempercepat langkahnya. Baru beberapa ratus depa saja, Aditia dan Yaksa sudah kepayahan. Begitu pun Wista yang tak menderita luka, keringatnya sudah banyak membanjir di sekujur tubuhnya. Napasnya pun terdengar ngosngosan dan dari mulut serta hidungnya keluar uap putih seperti ular naga dalam dongeng.
Karena jarak ketiga orang itu semakin lama semakin terpisah jauh dari kelompok yang berjalan cepat di depannya, Purbajaya memilih berjalan paling belakang saja. Dia tak percaya kalau Aditia atau Yaksa bisa bisa mengimbangi langkah orang yang berjalan cepat di depan. Baik Ki Bagus Sura atau pun Ki Dita adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, begitu pun Paman Ranu. Dengan demikian, kemampuan berjalan kaki ketiga orang itu pasti bagus. Aditia dan Yaksa walau pun diberi kesehatan, belum tentu bisa mengimbanginyaa.
Dalam waktu yang singkat, ketiga orang tua itu sudah jauh dan tak terlihat ketika jalan mulai berkelok-kelok.
"Kalau salah satu dari kalian ada yang capek, saya sanggup menggendong," kata Purbajaya yang jalan di belakang.
"Cih, memangnya aku anak kecil?" Yaksa mendelik dengan suara ketus. Ketika mendengus, ada uap putih keluar dari hidungnya, lucu sekali kelihatannya.
"Saya tak mempersoalkan anak kecil atau bukan. Orang dewasa kan bisa capek?" jawab Purbajaya.
Yaksa tak mau menimpali.
"Barangkali engkau yang sudah capek, Aditia?" Giliran Aditia yang ditawari. Namun Aditia menjawab pun tidak. Dia hanya palingkan wajah dengan cepat.
"Kau ke sana ke mari mau jual jasa, bagaimana bisa gendong semua orang?" tanya Wista tiba-tiba.
"Tentu tak sekaligus semua. Kan aku bisa gendong satu-satu. Sampai ke satu tempat di depan, orang pertama saya turunkan, lantas lari lagiu ke belakang untuk menggendong ke dua dan seterusnya."
"Kau katakan, orang kedua dan seterusnya" Maksudmu, aku pun mau kau gendong, Purba?" tanya Wista bergairah.
"Mengapa tidak" Kan aku tadi hanya menawari, kalau ada yang capek dan bukan kalau ada ayang luka," jawab Purbajaya.
Mata Wista berbinar tapi Aditia dan Yaksa malah kian cemberut juga.
"Apa aku kelihatannya capek, Purba?" tanya Wista ragu-ragu.
Purbajaya meneliti. Ada keringat deras di wajah Wista, ada uap putih semakin tebal di hidung Wista, karena oleh dirinya sengaja dikembang-kempiskan napasnya. Lantas Purbajaya berkata."Menurut hasil pemeriksaanku, kau memang seperti capek. Tapi mungkin aku salah duga. Kalau aku salah menuding nanti aku disemprot kemarahan lagi," kata Purbajaya gurau.
"Tidak, aku memang capek, Purba ... " Wista merengek, membuat sebal kedua temannya.
"Wista, jangan banyak bicara dengan pemuda pembual dan pemogoran ini," teriak Aditia tak bisa menahan rasa kesalnya.
"Aku hanya menguji si dungu ini saja. Dia kan menyangka kalau aku tak punya kemampuan apa-apa. Lihatlah, aku punya ilmu lari cepat dan bisa mengejar guruku!" teriak Wista. Dan mulutnya menghitung sampai tiga. Pada hitungan yang ketiga, Wista pun melesat lari.
Purbajaya pun ikut lari di belakang Wista. Namun baru saja beberapa saat, napas pemuda itu ngosngosan dan uap putih keluar lebih banyak dari hidung dan mulutnya. Sebentar saja dia pun sudah berhenti berlari dan duduk meloso bersandarkan sebuah batu terjal.
"Aku sebenarnya tak bisa ilmu lari cepar, Purba ... "
"Mungkin gurumu tidak sungguh-sungguh memberimu ilmu lari cepat," hibur Purbajaya.
"Memang belum diajarkan, sih ..."
"Sepulang dari muhibah ini, pasti dia memberikannya."
"Mengapa kau begitu yakin?"
"Loh, semua guru akan memberikan apa yang terbaik buat muridnya," jawab Wista.
"Ah, Ki Guru hanya lebih mementingkan pembayaran yang tinggi saja, sementara aku tak dilatih dengan benar," keluh Wista.
"Ah, masa iya?"
"Kau tak tahu, dari ayahku dia dapatkan rumah kediaman yang pantas. Dia pun diberi kuda yang baik, bahan makanan berlimpah, pakaian dari negri lain, bahkan saban bulan ada kiriman uang logam Negri Parasi. Coba, kurang apa ayahku" Sementara aku, begini-begini saja," Wista memberengut.
Purbajaya tersenyum. Mungkin benar omongan Wista mungkin tidak. Biasanya orang yang ingin menutupi kelemahan dirinya suka menjelekkan orang lain, sehingga terkesan kelemahan dirinya itu karena kesalahan orang lain.
"Mari kita berangkat lagi. Coba liahat, dua sahabatmu sudah bisa menyusulmu" ajak Purbajaya menarik tubuh Wista supaya berdiri.
"Aduh ... kakiku terkilir, Purba!"
"Wah, celaka!"
"Aku pasti tak bisa jalan, Purba ... "
"Wah ... wah!"
"Jangan wahwah-wihwih saja! Cepat gendong aku!" desak Wista dan kedua tangannya sudah merangkul punggung Purbajaya. Terpaksa Purbajaya menggendong pemuda cengeng ini.
"Kau tak biasa jalan jauh rupanya," kata Purbajaya sambil menggendong Wista.
"Itu lantaran kesalahan kedua orangtuaku. Sejak kecil aku disuruh diam di rumah melulu. Jauh sedikit aku dicari ke mana-mana," jawab Wista.
"Kasihan ..."
"Lho, apa aku ini orang papa sehingga musti kau kasihani?" Wista tersinggung.
"Maksudku, kau musti dikasihani sebab hidup hanya menerima rasa manja orang tua."
"Diberi kemanjaan tandanya disayangi orangtua. Itulah hidup beruntung. Kau kuat berjalan jauh, apa kau tidak pernah menerima kasih-sayang orangtua Purba?"
Selintas ucapan Wista ini lucu. Namun bagi Purbajaya terasa amat pahit. Benar ucapan Wista, Purbajaya tak pernah menerima kasih sayang orang tua. Jangankan kasih-sayang, diberi kesempatan bertemu muka pun tidak.Purbajaya sedih. Dan untuk menekan rasa sedihnya, dia berlari cepat, cepat sekali. Sampai-sampai Aditia dan Yaksa pun tertinggal semakin jauh. Sampai-sampai tubuh Wista pun seperti menggigil tanda dia memang kedinginan karena adanya angin kencang menerpa tubuhnya.
"Tenagamu hebat, Purba," Wista memuji sejujurnya sambil kedua tangannya berpegang erat pada bahu Purbajaya.
"Gurumu pasti sakti sekali," kata Wista lagi.
"Tapi gurumu pun hebat," jawab Purbajaya.
"Aku malu, masa guruku hebat aku sendiriletoy begini," keluh Wista.
"Aku dilatih Ki Guru sudah lama. Kau pun lama kelamaan akan memiliki kepandaian hebat. Mungkin kelak bisa melebihiku. Dan itu bergantung kepada keteguhan usahamu, Wista," kata lagi Purbajaya.
Wista ingin terus mengajaknya bicara namun Purbajaya malah memberikan tanda agar pemuda itu menutup mulutnya. Berbarenngan dengan itu, Purbajaya menghentikan lari cepatnya.
"Ada apa?" tanya Wista heran.
"Ada pertempuran ... "
"Di mana?" Wista celingukan ke kiri dan ke kanan.
"Saya baru dengar suaranya saja," jawab Purbajaya miringkan kepalanya dan matanya terpejam.
"Aku tak dengar suara apa-apa ... " potong Wista ikut miringkan kepala.
"Ada ... Ada kudengar dan tidak tidak begitu jauh," kata Purbajaya lagi sambil menurunkan tubuhWista dari gendongannya.
"Wista, kau tunggu di sini," kata lagi Purbajaya.
"Ah, aku pilih ikut saja!"
"Kau akan terlibat pertempuran, padahal hari-hari belakangan ini kau terus-terusan bertempur," kata Purbajaya."Itu tak baik bagi kesehatanmu," sambung Purbajaya tapi bicaranya cukup serius.
Namun Wista memberengut sepertinya tak suka Purbajaya berkata begitu.
"Saya harus cepat-cepat membantu mereka. Saya rasa gurumu dan Ki Bagus Sura dikeroyok orang," tutur Purbajaya.
"Apalagi begitu, aku harus bela guruku!"desak Wista.
Purbajaya tersenyum. Mungkin baru kali ini Wista merasakan, bahwa keberanian itu suatu kebanggaan.
Oleh sebab itu, Purbajaya tak menahannya. Dia mengangguk mengiyakan dan setelah itu dia melesat pergi menuju suara yang didengarnya. Dia inginkan, semakin cepat meninggalkan Wista bakal semakin cepat pula tak memberikan peluang bagi pemuda itu untuk melibatkan diri dalam pertempuran. Purbajaya yakin Ki Bagus Sura, Ki Dita dan Paman Ranu tengah menghadapi lawan-lawan berat. Kalau Wista yang kepandaiannya belum seberapa ikut terjun, khawatir akan jadi gangguan saja.
Tempat di mana pertempuran terjadi memang tak begitu jauh.Kalau tadi tidak terlihat, karena jalan pedati banyak kelokan.
Dan ketika tiba di tempat pertempuran, memang benar Ki Bagus Sura, Ki Dita dan Paman Ranu tengah dikeroyok belasan orang. Yang amat aneh, Ki Bagus Sura dan Paman Ranu mendapatkan tekanan berat sebab dikeroyok lawan dengan jumlah lebih besar ketimbang pengeroyokan terhadap Ki Dita. Purbajaya agak sedikit lega ketika Ki Sudireja pun ada di sana dan sama menghadapi para pengeroyok.
Siapakah yang tengah dihadapi Ki Bagus Sura" Tidakkah mereka anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih"
Purbajaya lebih mendekatkan dugaannya ke arah itu. Belasan orang yang dilawan Ki Bagus Sura kepandaiannya rata-rata tinggi dan memiliki gerakan aneh yang tak biasa dilakukan oleh akhli-akhli yang telah dikenal di Negri Carbon, misalnya.
Gerakan mereka aneh dan sedikit ganas dan sepertinya tak memberikan peluang bagi lawan untuk balas menyerang. Mereka melakukan pengereyokan dengan membentuk kerja sama yang amat baik, saling menutup dan saling memberi peluang agar teman bisa melakukan serangan dengan baik. Mereka bahkan bisa membentuk sebuah formasi tempur yang baik sehingga kepungan rapat yang mereka lakukan sulit ditembus baik oleh Ki Bagus Sura mau pun oleh Paman Ranu. Hanya Ki Sudireja seorang yang sanggup mengimbangi gempuran para pengeroyok. Kendati dia tak bisa balas menyerang namun serangan lawan bisa dihambat.
Ki Dita pun sama dikepung. Namun jumlah pengepungnya tak begitu banyak dan mereka tidak membentuk formasi tempur khusus.
Ini adalah pertempuran "tak adil". Masa Ki Bagus Sura dan Paman Ranu begitu ketat menghadapi perlawanan, sementara Ki Dita santai-santai saja. Sepertinya kelompok penghadang ini hanya akan menitikberatkan perhatiannya untuk menyerang Ki Bagus Sura dan Paman Ranu saja.
Purbajaya tidak bisa banyak berpikir sebab dia harus segera menerjunkan diri ka kancah pertempuran untuk membantu Ki Bagus Sura. Orang tua ini sudah nampak kepayahan. Di sana-sini sudah terlihat luka berdarah karena goresan senjata tajam. Paman Ranu bahkan lebih parah lagi. Bahu kanannya banyak mengucurkan darah karena tertusuk pedang.
Purbajaya harus berhati-hati sebab baik gerakannya mau pun tenaga dalamnya, para pengeroyok terlihat hebat. Dalam satu gebrakan saja Purbajaya hampir terluka oleh tusukan pedang dua orang lawannya yang melakukan serangan hampir berbareng. Mereka melakukan serangan dari dua jurusan, masing-masing mengarah kepada bagian tubuh yang lemah.
Purbajaya agak sulit untuk memastikan serangan lawan sebab dia baru saja meloncat ke dalam arena. Menerima serangan secepat itu, seharusnya tubuh Purbajaya mundur dengan jalan menotolkan ujung kaki menjauh ke belakang. Namun usaha seperti itu akan percuma saja. Selain ketika tadi meloncat ke tengah arena tubuhnya doyong ke depan juga karena serangan lawan dari depan demikian cepatnya.
Satu-satunya cara dalam memecahkan serangan ini bukan dengan menghindarinya, melainkan dengan menyampoknya. Oleh sebab itu Purbajaya segera melakukan tindakan cepat. Ketika serangan pedang meluncur mengarah mata, Purbajaya mengangkat tangan kanannya. Bukan untuk merebutnya, melainkan untuk menyampok punggung pedang keras-keras dari atas mengarah ke bawah.
Si Penyerang seperti terkejut menerima perlawanan seperti ini. Dan kesempatan ini digunakan oleh Purbajaya untuk kian menekan lawan. Tenaga tangkisan dan sampokan dilakukannya sepenuh tenaga.
Menerima sampokan amat keras ini, batang pedang meluncur ke depan, tersampok ke bawah dan membentur pedang temannya yang juga tengah meluncur mengarah perut Purbajaya. Akibat benturan dua logam keras, bunga api berpijar ke sana ke mari.
Purbajaya lolos dari serangan dua lawannya. Namun demikian dia tak bisa bernapas lega sebab serangan baru mulai muncul kembali. Maka pertempuran semakin seru sebab Purbajaya mendapatkan keroyokan yang ketat pula.
Namun kehadiran Purbajaya agak mengubah keadaan. Pihaknya sudah terlihat tidak terlalu tertekan lagi. Namun demikian, Ki Bagus Sura dan Paman Ranu yang dibantu Purbajaya sudah terlihat semakin payah. Paman Ranu yang selama di perjalanan tidak terlalu banyak bicara dan kerjanya hanya mematuhi majikan, kini bahkan sudah tergolek lemah di atas tanah dan darah di bahu kanannya terus-terusan mengucur deras. Di mulutnya pun terlihat lelehan darah segar. Mungkin dia pun terluka dalam cukup hebat.
Nasib yang tak lebih baik dari itu pun melanda Ki Bagus Sura. Dia terluka parah di bahu bagian kirinya sehingga dalam gerakannya nampak kaku dan mulutnya selalu meringis menahan sakit.
Sementara Ki Dita pun ada terlihat berdarah. Namun dia hanya luka ringan, yaitu goresan ujung pedang di tangan. Gerakannya masih cepat sehingga lawan tak punya kesempatan melakukan serangan berbahaya.
Pada akhirnya, Purbajaya hanya bahu-membahu dengan Ki Sudireja saja. Dua orang itu bisa bekerja-sama saling menutup dan saling membantu melakukan serangan sehingga lawan nampak tertekan dan kepayahan juga.
Purbajaya menyukai gaya permainan Ki Sudireja. Tak dinyana, dalam menghadapi pengeroyokan lawan, Ki Sudireja bisa memadukan gerakannya dengan gerakan Purbajaya. Dan Ki Sudireja pun nampak puas dengan penampilan Purbajaya. Kendati ada sedikit tetesan darah, namun mulut Ki Sudireja tersenyum. Sedikit demi sedikit dua orang itu bisa menekan para pengeroyoknya.
"Mundur!" terdengar aba-aba dari salah seorang pengeroyok.


Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan lari, serahkan dulu anak itu!" teriak Ki Sudireja.
"Anak itu dari keluarga Pajajaran. Jangan racuni dia!" jawab dari angggota pasukan itu.
"Dungu!" dengus Ki Sudireja kesal.
"Kalian pun harus mengembalikan surat daun lontar ... " kata Ki Bagus Sura dengan suara kepayahan.
"Surat ada di tangan kami tapi tak boleh tiba di Talaga!" seru salah seorang dari mereka sambil kembali memberikan aba-aba dan akhirnya semua berloncatan menuju hutan yang gelap. Mereka hanya meninggalkan satu orang yang tergeletak lemah dan tengah ditodong dengan ujung pedang oleh Ki Sudireja.
Purbajaya bersyukur ada salah seorang dari anggota pasukan siluman yang bisa ditangkap. Dengan demikian dia bisa mengorek keterangan yang diperlukan. Namun demikian, ada tersembul rasa aneh. Mengapa pasukan misterius yang serba tersembunyi meninggalkan begitu saja temannya yang luka, bukankah ini sama artinya memberi peluang agar komplotan itu terbuka kedoknya"
Bertepatan dengan menghilangnya pasukan siluman ke hutan lebat, tiba pula tiga orang murid Ki Dita. Mereka serta-merta mencabut senjata masing-masing dan dilayangkannya ke arah tubuh anggota pasukan siluman yang tengah ditodong senjata oleh Ki Sudireja.
Purbajaya terkejut dengan peristiwa mendadak ini. Namun Ki Sudireja dengan entengnya menepis ketiga hujan serangan itu.Pedang dan golok beterbangan ke udara disertai pekikan kesakitan dari para pemegangnya. Namun sambil meringis memegangi pergelangan tangan masing-masing, ketiga orang pemuda itu lantas menghambur hendak menyerang Ki Sudireja.
"Kau menahan kami membunuh penjahat ini, berarti kau pun komplotan mereka juga," kata Aditia berang dan menyerang Ki Sudireja. Namun hanya dengan menggerakkan tangan kirinya saja, Aditia terlempar ke belakang. Beruntung kali ini di sana tidak terdapat batang pohon yang dekat dengan jatuhnya tubuh Aditia.
Yaksa dan Wista akan segera bergerak tapi giliran Purbajaya yang menahan mereka.
"Tak perlu melakukan pembunuhan," kata Purbajaya.
"Purbajaya musti dibunuh!" teriak Aditia yang sudah bangun kembali.
"Kurasa mereka bukan penjahat ..." gumam Purbajaya.
"Mereka adalah kelompok yang berbeda pendapat dengan kita, dengan penguasa di negri kita" ujar Aditia lagi.
"Tapi berbeda pendapat bukan berarti jahat, bukan?" tanya Purbajaya.
"Pendapatmu aneh dan kacau, Purba. Aku hanya mau bilang kalau pasukan siluman ini pengacau dan pengganggu ketertiban. Mereka pun amat meresahkan masyarakat. Kalau kita katakan mereka itu berbeda pendapat dengan kita, maka itulah kejahatan sebab karena mereka beda pendapat dengan kita maka kita menjadi resah," tutur Aditia lagi.
"Keresahan karena beda pendapat bisa kita redam dengan cara memberikan penjelasan sebaik mungkin sehingga mereka akhirnya mengerti bahwa tujuan kita baik. Bila mereka sudah tahu makna perjuangan kita, rasanya mereka tak akan terus-terusan mengganggu kita," kata Purbajaya.
Pertikaian pendapat tak berlanjut sebab secara tiba-tiba tawanan segera bangkit dan menghambur ke depan menubrukkan tubuhnya ke mata pedang yang ditodongkan Ki Sudireja. Semua orang tercengang dan tak bisa menggagalkan peristiwa ini. Maka tak ayal tubuh tawanan itu terpanggang batang pedang. Dia pun tewas seketika.
Purbajaya baru mengerti, mengapa teman-temannya membiarkan dia tertinggal seorang diri. Rupanya semua anggota pasukan siluman sudah sepakat, kalau peluang untuk kabur sudah tak ada, maka mereka akan bunuh diri, sehingga kerahasiaan pasukan tetap terjamin.
"Purba ... " tiba-tiba terdengar Ki Bagus Sura memanggil lemah. Dia terlihat telentang di tanah dengan darah bersimbah di beberapa bagian tubuhnya.
Purbajaya memeriksa. Sebetulnya tidak ada luka yang membahayakan. Namun darah yang keluar cukup banyak sehingga Ki Bagus Sura begitu lemah.
"Purba ... Aku gagal mengemban tugas ... " katanya lemah.
"Perihal surat daun lontar itukah?"
"Benar. Itu surat amat penting dan harus sampai ke Talaga. Isinya, perihal keberadaan Raden Yudakara. Ah ... aku tak bisa menyampaikannya ..." keluh Ki Bagus Sura. Nampak ada lelehan air mata di pipinya.
"Saya bersedia menyelamatkan surat itu," kata Purbajaya. Dia amat tertarik sebab isi surat dikhabarkan memperbincangkan perihal keberadaan Raden Yudakara. Purbajaya pun mengatakan kesanggupannya karena ingin menenangkan hati Ki Bagus Sura. Namun demikian, wajah Ki Bagus Sura tetap kelabu. Dan Purbajaya sadar, sebenarnya Ki Bagus Sura tidak percaya kalau Purbajaya bisa melaksanakan tugas ini dengan baik. Bukankah sudah terbukti, dengan orang sebanyak ini pun upaya merebut surat dari tangan perampasnya sungguh sulit dilakukan" Apakah dayanya Purbajaya seorang sehingga berkata sanggup untuk melakukan tugas seberat itu"
"Aditia, kau ke sini ... " kata Ki Dita sesudah mendengar percakapan ini.
Aditia memang sempat terluka karena benturan di punggungnya. Tapi bila dibandingkan dengan yang lain, dia termasuk utuh.
"Ada apa, Ki Guru?" jawabnya sesudah menghampiri.
"Kau, Yaksa dan kemudian Wista harus temani Purbajaya mengejar surat daun lontar yang kini dikuasai pasukan siluman. Camkan, barang berharga itu harus bisa diselamatkan," kata Ki Dita bernada perintah.
"Tanpa Purbajaya, saya pun bisa bergerak sendiri!" jawab Aditia angkuh.
"Diam kau, dan hilangkan sikap sombongmu itu!" teriak Ki Dita jengkel."Hanya karena keangkuhanmu dan tak bisa tahan emosi maka kita jadi begini," kata Ki Dita lagi dengan nada kecewa
"Mengapa saya yang disalahkan?" Aditia memberengut.
"Kau serta-merta menyerang Ki Sudireja dan kemudian kau luka. Akibat lukamu, kau tak bisa bantu kami dengan baik. Untuk berjalan cepat menuju ke sini saja kau kedodoran." cerca Ki Dita lagi.
"Saya beberapa kali melakukan pertempuran sudah barang tentu banyak luka. Tapi coba Ki Guru lihat Si Purbajaya ini, kapan dia berupaya mempertahankan keberadaan pasukan kita" Sedangkan musuh sudah dikuasai kita pun dia malah halang-halangi kita untuk menumpasnya. Tak masuk akal. Saya cenderung curiga kalau orang ini bersekongkol dengan musuh atau bisa juga pembelot," jawab Aditia belok menekan Purbajaya.
"Huh, malu aku memberikan ilmu tempur yang mengandalkan kehalusan budi. Perangaimu kasar dan tak mungkin lulus dalam menjalankan pelatihan ini. Aneh sekali, mengapa perangai halus hanya terlihat pada diri Si Purba dan dia kebetulan bukan muridku?" keluh Ki Dita pada akhirnya. Terlihat dia menjambak rambutnya sendiri saking kesalnya.
"Guru, jangan marah begitu. Kami akan taati apa kehendakmu. Sekarang pun kami berempat siap berangkat," Wista memotong ketika dilihatnya Ki Dita demikian jengkel terhadap Aditia.
"Purba ... Cepatlah berangkat," kata Ki Bagus Sura dan suaranya semakin lemah saja.
"Tapi saya harus merawat luka kalian dulu," pinta Purbajaya.
"Sudah tak ada waktu lagi. Biarlah kami bisa merawat sendiri. Yang penting, surat harus bisa diselamatkan ... " desak Ki Bagus Sura. Batuk-batuk sebentar dan keluar darah segar walau sedikit.
"Bagaimana bila surat tak terselamatkan?" Purbajaya mengajukan pertanyaan yang sebetulnya dia pun tak suka.
"Hanya satu akibatnya, tugasmu bakal semakin berat ... " desah Ki Bagus Sura payah. Lalu dia melambaikan tangannya agar Purbajaya mendekatkan kapalanya.
"Kalau surat tak terselamatkan, kau sendirian harus selidiki keberadaan Raden Yudakara. Tugasmu ini bukan untuk kepentinganku semata ... Bukan pula untuk Sumedang dan Talaga, melainkan juga kepentingan Carbon dan ketentraman di wilayah Jawa Kulon ini secara keseluruhan ... " kata-kata Ki Bagus Sura semakin pelan juga. Namun kalimat-kalimat terakhir ini sungguh amat memukau hati Purbajaya. Siapakah Raden Yudakara sehingga begitu dicurigai dan begitu dirisaukan sebesar ini oleh orang Sumedanglarang"
"Mari semua kita berangkat!" ajak Yaksa tak sabar melihat Ki Bagus Sura dan Purbajaya saling bisik seperti layaknya dua kekasih hendak berpisah.
"Dan ingat ... Rawatlah anakku Si Yuning. Tentramlah sudah hatiku bila anak itu bisa tinggal bersamamu ... " bisik lagi Ki Bagus Sura. Kini sepasang matanya terpejam. Hanya air matanya saja yang terus meleleh di pipinya yang terkena debu jalanan.
"Berangkatlah Purba ... " kata Ki Dita.
Purbajaya menatap sejenak kepada orang tua ini. Dia tak bisa pastikan perangai dan isi hati Ki Dita. Kadang-kadang keras kadang-kaang lemah. Tadi dia curiga mengapa orang tua ini tidak diserang habis-habisan oleh pasukan siluman. Tapi melihat pembelaannya kepada Ki Bagus Sura dalam urusan penyelamatan surat penting, rasa curiga terhapus pula. Apalagi ketika Ki Dita memuji dia, semakin luluh pula kesan buruk pada orang tua ini.
"Saya tak bisa merawat lukamu, Ki Dita ... " kata Purbajaya pelan.
"Aku bisa merawat lukaku ... " jawab Ki Dita pendek.
*** Maka pergilah Purbajaya mengemban tugas, ditemani Aditia, Yaksa dan Wista. Ada seorang lagi yang ikut menyertai mereka yaitu ki Sudireja.
Aditia dan Yaksa berjalan di depan sepertinya sengaja menghindar dari Purbajaya. Sementara Wista melangkah sendirian saja. Dia mungkin bimbang. Untuk berjalan bersama dua orang temannya, mereka seperti tengah tak menyenanginya. Tapi bila bergabung kepada Purbajaya, malah dia jadi tak enak kepada kedua orang temannya.
Sementara itu Purbajaya berjalan paling belakang, berdua dengan Ki Sudireja.
"Anda pernah ke Carbon ... ?" tanya Purbajaya sekadar memecah kesunyian belaka.
"Untuk melawan Pajajaran, aku bisa pergi dan gabung ke mana saja," jawab Ki Sudireja pendek.
"Jangan gabung ke mana saja. Bagaimana kalau ternyata diketahui gabung dengan kelompok yang ingin mementingkan kepentingan pribadi saja?" tanya Purbajaya jadi mulai berdebat.
"Sepanjang memiliki persamaan tujuan, kadang-kadang dengan yang tak sehaluan pun bisa bersatu. Nanti kalau tujuan yang sama sudah tercapai, otomatis memisahkan diri," jawab Ki Sudireja enteng saja.
Tak demikian dengan hati Purbajaya. Dia malah jadi melantur ke sana ke mari. Dan secara tak sengaja hatinya jadi curiga kepada Ki Sudireja ini. Jangan-jangan orang seperti Ki Sudireja bakal masuk kelompok yang sekiranya bisa mengacaukan keadaan. Dia mungkin bisa bergabung dengan Carbon dalam upaya melawan Pajajaran. Tapi siapa kelak yang akan dia ikuti" Bukankah di Carbon sendiri banyak kelompok yang berbeda paham dalam melihat keberadaan Pajajaran ini"
Hati Purbajaya tersenyum kecut. Urusan mengenai Pajajaran telah menjadikannya kemelut tersendiri. Sementara para pemegang keputusan di Carbon sendiri berpendapat bahwa Carbon sudah tak berniat melawan Pajajaran dengan kekuatan militer. Namun demikian, di antara mereka masih ada yang berambisi untuk mempertaruhkan kekuatan militer guna menghancurkan Pajajaran.
"Pajajaran itu negara besar dan akan lebih besar lagi kalau dilandasi oleh tatanan agama baru," kata Pangeran Suwarga manggala (panglima perang) Negri Carbon tempo hari. Ucapan ini sangat mengisyaratkan bahwa Carbon tidak punya keinginan kalau Pajajaran harus hancur. Tapi tak begitu pendapat sekelompok orang. Bahkan Purbajaya sendiri pun kini tengah "mengemban tugas" dari Pangeran Arya Damar yang amat menginginkan agar Pajajaran segera lenyap.
Baik Pangeran Suwarga mau pun Pangeran Arya Damar sepertinya tengah bersaing untuk memberikan hal yang terbaik bagi negrinya namun dengan sudut pandang yang berbeda. Pangeran Suwarga berpendapat, Carbon akan semakin besar bila memperlakukan lawan dengan arif, sementara Panageran Arya Damar berpendapat kebesaran Negri Carbon akan mencuat bila semua negri yang ada di Jawa Kulon berada di bawah pengaruhnya. Pangeran Arya Damar punya garis keras. Musuh yang membangkang harus dihancurkan sebab hanya akan mengganggu kelancaran usaha dalam mempertahankan kebesaran Carbon.
Kisah Pendekar Bongkok 8 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Giring Giring Perak 2
^