Pencarian

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 12

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


"Benarkah itu, paman" Ah, mbakayu Wulan, mari kita menyusul ke sana, aku ingin mendengar sendiri dari mulut kakangmas Wijaya bahwa dia bukan seorang pengkhianat"
"Jangan khawatir, kita akan menyelidik" sendiri ke sana" kata Wulansari "Paman Jembros, tahukah paman di mana adanya kakangmas Nurseta sekarang ?"
"Dia pergi mencarimu, Wulan"
"Ahhh....... ?"
"Ketika kami bercakap-cakap dengan Raden Wijaya, Nurseta bercerita bahwa ayah angkatnya, juga gurunya yang pertama, yaitu Ki Baka, telah tewas pula ketika mereka berdua itu ikut terjun dalam pertempuran pada saat pasukan Daha datang menyerbu Singosari. Ki Baka dan Nurseta ketika itu sedang bertamu ke rumah ayahmu, Wulansari"
"Ehhh......?"
"Mereka datang berkunjung ke rumah Ki Medang Dangdi, ayahmu untuk meminang dirimu. Pinangan itu diterima oleh ayahmu, dan pada saat mereka bertamu itulah Singosari diserbu pasukan Daha, Nurseta dan Ki Baka ikut mengamuk, dan dalam pertempuran itu muncul pula Ki Cucut Kalasekti dan Ki Baka terkena anak panah beracun dari iblis tua itu"
"Hemm, kembali kakek iblis itu........" Wulansari bergumam marah.
"Karena lukanya, Ki Baka tewas, demikian cerita Nurseta. Sebelum tewas. Ki Baka memesan kepada Nurseta agar mencari sampai dapat tombak pusaka Ki Tejanirmala, dan agar dia mempersembahkan tombak itu kepada "Raden Wijaya. Dengan tombak pusaka itulah kiranya Raden Wijaya akan berhasil membangun kembali Kerajaan Singosari yang runtuh Nah, ketika dalam pertemuan di hutan setelah menolong rombongan Raden Wijaya itu. Nurseta menerima tugas pula dari Raden Wijaya untuk mencari dan menemukan tombak pusaka Tejanirmala itu. Dan Nurseta lalu pergi untuk mencarimu, Wulan, karena menurut dia, tombak pusaka itu berada padamu dan agaknya. telah diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang. Karena tombak pusaka itu maka Kediri menang perang melawan Singosari. Benarkah itu Wulan" Benarkah cerita Nurseta bahwa tombak. pusaka itu berada padamu dan kau berikan kepada Sang Prabu Jayakatwang?"
Wulansari menundukkan mukanya yang nampak menyesal "Memang benar, paman. Seperti paman ketahui, aku telah ditipu oleh Ki Cucut Kalasekti yang menculikku dan aku diakuinya sebagai cucunya, bahkan dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku. Karena aku menganggap dia benar kakekku yang amat sayang kepadaku. maka ketika dia menyuruh aku mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, aku melakukannya. Aku berhasil merampas pusaka itu dan kuserahkan kepadanya. Dia menghaturkan pusaka itu kepada Sang Prabu Jayakatwang dan sejak itu, tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala menjadi milik Raja Kediri itu" Wulansari nampak menyesal sekali ketika melanjutkan, "Sungguh aku sama sekali tidak mengira bahwa pusaka itu yang akhirnya menyebabkan runtuhnya Singosari karena diserbut oleh Kediri........"
"Hemm, tidak benar demikian, Wulan. Kalau sebuah kerajaan besar seperti Singosari sampai runtuh, hal itu hanya dapat terjadi karena sudah dikehendaki oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Dan runtuhnya Kerajaan Singosari merupakan peristiwa besar, tentu tidak dapat terjadi begitu saja tanpa banyak hal yang menyebabkannya. Diantara sebab-sebab itu mungkin karena Raja Kediri mendapatkan Ki Ageng Tejanirmala, juga karena kekeliruan mendiang Sang Prabu Kertanegara yang membiarkan negeri dalam keadaan kosong dan lemah dengan mengirim pasukan terbesar ke Pamalayu, Bali dan lain-lain. Jadi, sekarang tombak pusaka itu berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang" Kalau begitu, akan sukar sekali tugas yang dipikul Nurseta. Tidak mudah merampas sebuah pusaka yang telah berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang"
Wulansari mengangkat mukanya "Jangan khawatir, paman. Aku yang akan membantu kakangmas Nurseta, dan aku yang sanggup untuk mendapatkan pusaka itu dan menyerahkannya kembali kepada kakangmas Nurseta"
Ki Jembros memandang kepada gadis itu dengan wajah berseri "Aku percaya padamu, Wulan. Dan kalau engkau berhasil menyerahkan pusaka itu sehingga kelak dapat menjadi pusaka Raden Wijaya, sungguh aku merasa semakin berbahagia bahwa belasan tahun yang lalu aku telah menyelamatkan engkau dari gulungan ombak laut kidul"
Demikianlah, mereka semua saling berpisah dalam suasana yang akrab dan penuh haru. Wulansari yang sudah menyamar lagi sebagai pria pergi bersama Dyah Gayatri yang berpakaian sebagai seorang gadis dusun biasa. Mereka akan pergi ke hutan di mana kabarnya Raden Wijaya sedang mendirikan sebuah tempat pemukiman baru,
Lie Hok Yan pergi seorang diri ke utara untuk kembali ke pangkalan pasukan Mongol dan menjumpai seorang diantara panglimanya, yaitu Panglima Kau Seng yang menjadi suhengnya (kakak seperguruannya), melaporkan basil penyelidikannya kemudian minta ijin untuk keluar dari pasukan dan kembali mencari tunangannya ke dusun Klintren sebelah selatan Singosari.
Ki Lurah Sardu, isterinya dan Sumirah lari mengungsi ke dukuh Klintren di mana dia memiliki seorang adik keponakan, di mana keluarga ini akan membuka hidup baru dan bersembunyi dari jangkauan tangan pasukan Daha yang tentu akan membalas dendam karena kegagalan mereka membasmi dusun Kalasan di mana banyak anggauta pasukan mereka tewas.
Ki Jembros jaga melanjutkan perjalanannya dengan Pertiwi, gadis yang telah menjadi muridnya dan yang seperti juga Wulansari, selalu berpakaian seperti seorang pemuda untuk menghindarkan gangguan dalam perjalanan. Sebctulnya, Pertiwi yang merasa sudah cukup menerima gemblengan Ki Jembros, ingin pergi mencari sendiri musuh besarnya, yaitu Gagak Wulung. Akan tetapi, Ki Jembros melarangnya pergi mencari sendiri.
"Gagak Wulung bukanlah seorang lawan yang lemah" demikian kakek itu berkata "Biarpun engkau sudah mempelajari berbagai ilmu, aku masih belum rela membiarkan engkau menghadapinya sendiri. Akulah lawan bedebah itu"
Dan Ki Jembros selalu menemani muridnya. Mereka mulai bertanya tanya dan melakukan penyelidikan di mana kiranya musuh besar itu berada. Setelah berputar-putar tanpa hasil, akhirnya mereka memutuskan untuk menyelundup ke wilayah Kerajaan Daha, karena Ki Jembros tahu bahwa Gagak Wulung adalah seorang tokoh Daha, walaupun namanya tidak pernah terkenal sebagai seorang senopati. Orang macam dia tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dan dalam kemenangan yang dicapai oleh Daha, tentu dia ingin memetik pula buahnya.
Biarpun Raden Wijaya berikut semua senopati yang setia kepadanya kini tinggal di Kerajaan Daha, dan nampaknya saja Raden Wijaya dan para pengikutnya menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang, namun sesungguhnya semua itu hanya merupakan siasatnya yang telah diatur bersama Bupati Wiraraja di Sumenep. Bupati Wiraraja yang ahli siasat itu tahu bahwa Sang Prabu Jayakatwang hanya membenci mendiang Sang Prabu Kertanagara, akan tetapi tidak membenci Raden Wijaya,
Raden Wijaya tidak menyianyiakan waktunya. Dia menyebar para pembantunya untuk mencari dan memilih tempat yang baik yang akan dijadikan pangkalan mereka. Tak lama kemudian, para pembantu yang setia itu mengusulkan daerah Tarik sebagai tempat yang dicari oleh Raden Wijaya itu. Daerah Tarik terletak di tepi Sungai Brantas, karena itu mempunyai tanah yang loh jinawi ( subur). Apa lagi letaknya amat baik, dekat pelabuhan Canggu. Banyak sekali perahu hilir mudik di pelabuhan Canggu ini untuk berdagang. Tanahnya subur, dekat sungai sehingga perjalanan dapat dilakukan lancar, mudah berhubungan dengan daerah lain, bahkan dapat berhubungan dengan Madura melalui sungai. Tempat yang diidamkan oleh Raden Wijaya.
Maka menghadaplah Raden Wijaya kepada Sang Prabu Jayakatwang. Kesukaan Sang Prabu Jayakatwang adalah berburu binatang di hutan. Maka dengan wajah yang bersungguh-sungguh, Raden Wijaya mengusulkan kepada Sribaginda raja agar memperkenankan dia untuk membuat daerah Tarik sebagai daerah hutan perburuan bagi sang raja. Raden Wijaya sendiri setiap kali Sribaginda melakukan perburuan, tentu diajaknya. Mendengar usul yang mengenai kesukaannya itu. Sang Prabu Jayakatwang segera menerima dan menyetujui usul itu.
"Bagus sekali usulmu itu, Wijaya. Cepat laksanakan, dan jangan lupa untuk melepas beberapa pasang harimau, rusa dan banteng ke dalam hutan itu agar mereka itu berkembang biak dan menambab banyak jumlah binatang buruan di hutan itu"
Setelah menerima ijin dari Sang Prabu Jayakatwang, Raden Wijaya lalu membawa para pembantunya menuju ke daerah Tarik, dan diapun mengirim utusan ke Sumenep untuk memberitahukan hal itu kepada Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja atau yang juga dikenal dengan sebutan Banyak Wide.
Bupati Wiraraja girang sekali mendenga akan hal itu dan diapun cepat mengirim orang orang Madura, banyak sekali jumlahnya, untuk membantu Raden Wijaya membuka hutan itu. Setelah menentukan tempatnya dan memilih-milih, membuat gambar, Raden Wijaya lalu menyerahkan pelaksanaan pembukaan hutan itu kepada para senopatinya yang setia. Dia sendiri segera kembali ke Kediri untuk melaporkan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa pekerjaan itu sudah mulai dilaksanakan. Dia kembali ke Kediri agar sang prabu tidak menaruh curiga. Namun diam-diam selalu ada utusannya yang mengadakan hubungan dengan para senopati yang mengepalai pekerjaan membabat hutan itu.
Karena banyaknya tenaga pekerja dari Madura yang dikirim oleh Bupati Sumenep, maka, pekerjaan membongkar dan membabat hutan itu berjalan lancar sekali. Tak lama kemudian, dari utusan rahasia Raden Wijaya mendengar kabar bahwa daerah itu telah selesai dibabat dan bahwa para senopatinya mengharapkan Raden Wijaya untuk datang sendiri menyaksikan hasil pekerjaan mereka.
Raden Wijaya memang sudah bersiap-siap. Dia lalu minta ijin kepada Raja Jayakatwang untuk memimpin sendiri pekerjaan di daerah Tarik itu.
"Hamba akan membangun sebuah bangunan pesanggrahan untuk paduka, agar perburuan di sana dapat dilakukan siang malam tanpa gangguan dan paduka mempunyai tempat yang baik dan enak untuk melewatkan malam"
Demikian antara lain Raden Wijaya menjanjikan. Sang Prabu Jayakatwang girang sekali dan berangkatlah Raden Wijaya bersama seluruh pengikut dan pembantunya.
Dengan jantung berdebar penuh harapan, Raden Wijaya dan rombongannya melakukan perjalanan yang memakan waktu tidak kurang dari satu minggu itu.
Ternyata para senopati telah mempersiapkan pesanggrahan untuk junjungan mereka. Sebuah bangunan yang amat sederhana, terbuat dari bambu, dan pagarnya dibuat dari bambu pula. Di sekeliling pesanggrahan itu terdapat kolam, Letaknya pesanggrahan itu di tengah-tengah daerah yang dibabat hutannya, yang direncanakan akan dijadikan sebuah kota. Kota ini menghadap ke sungai besar, yaitu Sungai Brantas yang mengalir dari sebelah barat, dan sungai besar ini bertemu dengan sebuah sungai kecil yang mengalir dari sebelah selatan, yaitu Kali Kencana (Kalimas).
Begitu tiba di situ, Raden Wijaya dengan penuh semangat lalu mengadakan pemeriksaan dan berjalan mengelilingi daerah yang sudah dibabat. Dia melihat banyak pohon yang mengandung banyak buah. Dia ingin sekati melihat dan merasakan buah dari pohon itu.
"Buah pohon itu tidak enak rasanya, Raden" kata Senopati Pamandana.
"Ambilkan aku sebuah, aku ingin melihat dan merasakannya sendiri" jawab Raden Wijaya,
Segera beberapa butir buah itu diberikan kepadanya dan diapun mencicipinya. Benar saja, pahit sekali rasanya "Ihh, buah apakah ini?"
"Namanya pohon itu pohon Wilwa atau pohon Maja, Raden" para pekerja itu menerangkan.
"Wilwa tikta (Maja pahit)" kata Radent Wijaya, kemudian dia termenung seperti mengingat akan sesuatu "Majapahit...... hemm, itulah nama yang kuberikan kepada tempat ini. Para paman dan kakang senopati sekalian, harap menjadi saksi. Mulai sekarang, tempat ini kuberi nama Majapahit"
(Bersambung jilid ke 18)
Hal yang menggelitik hatiku :
1. Ki Jembros suka makan atau gembul, tetapi badannya kurus, perutnya gendut, hanya tulangnya saja yang besar. Cacingan dong".
2. Hok Yan menyebut nama Sumirah dengan Sumilah, tetapi sebelumnya dia bisa menyebut nama Gayatri, Wulansari, Singosari, Kediri dan Kertanegara.
3. Pihak Milah melamar Hok Yan".. gampang banget ya" baru satu hari ketemu" orang asing lagi". Mata-mata lagi" Kayak James Bond dong"
4. Yang melihat Milah telanjang bulat, bukan Hok Yan satu-satunya, ada satu orang lagi, yaitu : Tonggeng Cemeng si pemerkosa. hehehe
---ooo0dw0ooo---
Jilid 18 SETELAH mendengar bahwa Raden Wijaya telah berada di daerah baru yang diberi nama Majapahit, maka berdatanganlag orang-orang dari Daha, Tumapel dan Madura untuk ikut membuka hutan dan tinggal di da?erah itu. Orang-orang dari Madura berkelompok dan memilih bagian sebelah utara dari tempat ini, dan dinamakan dukuh Wirasaba. Dalam waktu sebentar saja, daerah baru yang diberi nama Majapahit itu menjadi ramai dan banyak sekali penduduknya.
Raden Wijaya bersikap baik sekali kepada mereka yang berbondong datang ke daerah baru itu untuk menjadi penghuni di situ. Dia bersikap ramah dan penuh kekeluargaan, bahkan. membantu mereka yang kekurangan untuk dapat membangun rumah sederhana dan dia membagi-bagikan tanah garapan sehingga kehidupan para penduduk baru itu cukup terjamin. Sikap yang baik ini tentu saja segera tersiar luas dan semakin banyaklah orang-orang terusir dari daerah Singosari berdatangan dan kemudian menetap di situ, bersumpah setia kepada Raden Wijaya. yang mereka anggap sebagai junjungan baru.
Biarpun bangunan yang menjadi tempat tinggalnya hanya merupakan pesanggrahan amat sederhana, namun melihat bahwa dia telah memiliki potensi sebagai tempat pergerakan dan penyusun kekuatan. Raden Wijaya lalu mengutus dua orang pembantunya yang setia, yaitu Banyak Kapuk dan Mahesa Wagal, pergi ke Madura dan menphadap Bupati Wiraraja di Sumenep. Dua orang utusan itu berankat.
Dan giranglah hati Bupati Wiraraja mendengar bahwa Raden Wijaya telah mendapatkan suatu daerah baru yang amat baik sebagai tempat penghimpunan tenaga dan persiapan perang untuk menyerang Kerajaan Kediri.
Diapun merasa setuju dengan permintaan Raden Wijaya agar Dyah Tribuwana yang ketika dia pergi ke Kediri dititipkan di Sumenep, agar ikut pula ke Majapahit bersama para utusannya. Diapun menitip pesan kepada para utusan itu bahwa untuk sementara ini, agar jangan sampai menyolok, dia tidak akan berkunjung dulu ke Majapahit. Akan tetapi, pasukannya dipersiapkan untuk membantu Raden Wijaya dan dia berpesan agar Raden Wijaya segera mempersiapkan diri, menghimpun te?naga pasukan. Dia sendiri akan mengirim utusan resmi kepada pimpinan pasukan Cina yang berada di sekitar pantai utara.
Kedatangan kembali kedua utusan bersama Dyah Tribuwana disambut gembira oleh Raden Wijaya. Pertemuan antara dua kekasih itu tentu saja amat membahagiakan hati dan biarpun tadinya Dyah Tribuwana sejak kecil dimanja dan dilimpahi kemuliaan, berenang dalam kemewahan di dalam istana yang indah, dan kini dia melihat betapa tempat tinggal calon suaminya hanyalah sebuah pesanggrahan dari bambu yang amat sederhana bahkan miskin, namun ia berbahagia sekali. Hidup disamping orang yang dicinta selalu mendatangkan perasaan bahagia.
Setelah menerima berita dari Bupati Wira?raja di Sumenep, makin berkobarlah semangat Raden Wijaya. Dia lalu mengumpulkan para senopatinya yang setia. Raden Wijaya mengajak para pembantunya yang setia itu untuk berbincang-bincang tentang persiapan untuk me?nyerang Kediri. Mengajak mereka menyusun dan merencanakan siasat kalau saatnya sudah tiba, dan bagaimana mereka harus bertindak untuk mengumpulkan perajurit, membentuk pa?sukan yang kuat, menerima sisa-sisa pasukan Singosari yang melarikan diri cerai berai ketika kalah perang oleh pasukan Kediri, bagaimana untuk mengumpulkan senjata, kereta dan sebagainya. Segala sesuatu mereka perbincangkan dan rencana diatur sebaiknya, bahkan sudah di rencanakan tempat-tempat yang akan mereka jadikan markas dalam gerakan mereka kalau tiba saatnya menyerbu Kediri.
"Hanya ada satu hal yang sukar untuk didapatkan" kata Raden Wijaya. "Yaitu kuda tunggangan yang baik bagi para senopati. Hal ini amatlah penting karena para senopati yang selalu harus memimpin pasukan, harus memiliki kuda tunggangan yang tangkas, kuat dan cepat. Akan tetapi, kuda yang kita miliki hanyalah kuda biasa yang kurang tepat untuk menjadi tunggangan para senopati"
"Harap paduka jangan khawatir, Raden" kata Ronggo Lawe dengan sikap gagah perkasa. "Perkenankan hamba pergi ke Madura. Disana terdapat banyak kuda yang berasal dari Bima, kuda pilihan yang baik, tinggi besar dan tangkas, bahkan sudah dilatih perang-perangan sehingga kuda-kuda itu tidak akan ketakutan apabila dibawa berperang"
Raden Wijaya memandang dengan wajah berseri. "Ah, bagus sekali, Ronggo Lawe. Kalau begitu, biar kutitipkan surat untuk Paman Bupati Wiraraja, agar dia mau membantu dengan menyerahkan kuda-kuda pilihan dari Madura"
Ronggo Lawe segera berangkat ke Madura? untuk memenuhi tugas penting itu, dan para senopati lainnya juga bubaran untuk melaksanakan tugas mereka masing-masing yang sudah mereka terima dari Raden Wijaya. Ada yang menyebar para perwira untuk mengumpulkan calon-calon perajurit dan mengumpulkan para pemuda yang kini tinggal di Majapahit untuk menjadi perajurit. Ada yang melatih mereka yang menjadi perajurit baru. Ada yang me?mimpin mereka yang ditugaskan membuat sen?jata, dan lain-Iain. Kesibukan terjadi di Maja?pahit, daerah baru yang kelak akan menjadi pusat sebuah negara yang jaya dan besar kekuasaannya itu. Mereka bekerja keras karena mereka harus cepat-cepat bersiaga karena selain khawatir kalau sampai persiapan mereka ketahuan oleh Sang Prabu Jayakatwang, juga kalau pasukan Cina dari utara sudah bergerak, mereka harus bergerak pula dengan cepat membantu pasukan dari Cina itu. Kekhawatiran mereka memang beralasan karena pada suatu hari, tiba-tiba muncullah senopati Segara Winotan, senopati yang galak dan garang dari Kediri. Karena senopati ini memang congkak dan tinggi hati, apa lagi ketika itu dia tiba di daerah baru Majapahit sebagai utusan Sang Prabu Jayakatwang. maka sikapnyapun angkuh bukan main.
Sikapnya itu masih angkuh ketika dia dibawa menghadap Raden Wijaya sehingga para senopati pembantu Raden Wijaya mengerutkan alis dengan hati tak senang. Akan tetapi Raden Wijaya menyambutnya dengan ramah. Sikap senopati itu dianggapnya wajar saja. Bukankah pada saat itu dia masih termasuk orang yang menghambakan diri kepada Kerajaan Kediri dan menjadi petugas Sang Prabu Jayakatwang untuk membuka hutan baru untuk berburu" Dan yang datang adaiah seorang senopati yang dipercaya, bahkan kini menjadi utusan.
"Selamat datang, kakang Senopati Segara Winotan" kata Raden Wijaya dengan sikap yang cukup hormat. "Angin apakah gerangan yang meniup kakang senopati berkunjung ke tengah hutan ini?"
Segara Winotan tersenyum menyeringai se?nang melihat sikap pangeran itu demikian penuh hormat. Dia membusungkan dadanya dan menjawab dengan sikap dan lagak jagoan.
"Bukan angin sembarang angin, Raden Wijaya, melainkan angin yang bertiup dari istana. Saya datang sebagai utusan resmi dari Sang Prabu Jayakatwang, junjungan kita" Dia sengaja menyebut "junjungan kita" seperti hendak mengingatkan Raden Wijaya bahwa pangeran itupun kini menjadi "kawula" Kediri.
"Ah, kiranya kakang senopati diutus oleh Paman Prabu Jayakatwang. Silakan duduk
kakang senopati. Berita apakah yang kakang bawa dari kotaraja" Perintah apakah yang diberikan oleh Paman Prabu untukku?"
"Berita dari kota raja baik-baik saja, Raden Pemerintah Gusti Prabu semakin kuat dan jaya tetelah Singosari ditaklukkan. Dan Gusti Prabu mengutus saya untuk menemui Raden, dengan perintah agar Raden cepat kembali ke kota raja karena beliau sudah ingin sekali mengajak Raden untuk berburu di hutan buruan yang baru ini"
Raden Wijaya memperlihatkan muka kaget, bukan dibuat-buat karena memang dia sungguh terkejut mendengar keinginan hati Sang Prabu Jayakatwang itu. "Bagaimana mungkin, kakang senopati" Persiapannya belum selesai seluruhnya. Penambahan binatang buruan baru terlaksana sebagian, yang ada baru kijang, harimau dan bantengnya belum dapat. Pula, perlengkapan perburuan juga belum didapatkan semua. Aku sedang menyuruh pembantuku untuk mencarikan kuda-kuda yang baik untuk berburu Paman Prabu, juga anjing-anjing pemburu yang galak dan cekatan. Dan kalau aku kem?bali ke Kediri, tentu pekerjaan di sini akan terbengkalai dan tidak segera selesai"
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki banyak kuda dan seorang pekerja melapor kepada Raden Wijaya, "Ki Ronggo Lawe telah datang membawa banyak kuda yang besar, Raden "
Raden Wijaya lalu berkata kepada Segara Winotan, "Nah, itulah kakang senopati. Utusanku untuk mencari kuda sudah pulang dan mem?bawa banyak kuda yang baik untuk berburu"
"Boleh saya melihatnya, Raden?" tanya Segara Winotan yang sebetulnya ingin melihat dan menyelidiki sendiri pekerjaan yang dilakukan Raden Wijaya agar kalau ada sesuatu yang tidak beres, dia dapat melaporkan kepa?da Sang Prabu Jayakatwang.
Ketika mereka berdua keluar, mereka melihat Ronggo Lawe dan beberapa orang Madura menggiring dua puluh empat ekor kuda yang besar dan tangkas. Bagi Segara Winotan. cara orang-orang Madura menggiring sekelompok kuda itu kasar sekali, baik teriakan mereka maupun tingkah laku mereka. Ketika ada se?orang Madura lewat dekat di depannya sambit membunyikan cambuk yang meledak seperti di dekat telinganya, dan mendengar teriakan parau panjang, debu mengebul dan mengenai pakaiannya, senopati yang congkak itu men?jadi tak senang hatinya.
"Hemm, Raden Wijaya. Kenapa kau memperbolehkan orang-orang Madura yang tak tahu aturan dan kasar ini bekerja untuk Raden" Petani-petani Madura ini sungguh menjemukan"
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara lantang sehingga terdengar oleh Ronggo Lawe dan orang-orang Madura yang meng?giring kuda itu.
Ronggo Lawe adalah seorang pemuda yang pendiam akan tetapi berhati baja dan wataknya amat keras. Melihat sikap congkak dari senopati Daha itu. hati Ronggo Lawe sudah merasa tidak senang, apa lagi ketika men?dengar ucapan yang nadanya menghina orang-orang Madura. Dia menghampiri tamu itu dan dengan mata mendelik diapun berkata.
"Hemm, kurasa para petani Madura lebih baik dari pada orang-orang Daha. Kalau perlu, boleh dicoba kemampuan orang Madura" Berkata demikian, Ronggo Lawe sudah mengikatkan ujung kainnya ke pinggang, siap untuk bertanding.
Melihat sikap ini dan mende?ngar ucapan Ronggo Lawe, terkejutlah hati Raden Wijaya. Kalau dibiarkan, sungguh berbabaya sekali, tentu akan terjadi perkelahiam dan semua rahasianya akan dapat terbuka sebelum waktunya. Dia segera melerai dan me?ngedipkan mata kepada Lembu Sora. Senopati yang lebih tua dan banyak pengalaman ini maklum, lalu dia menggandeng tangan Ronggo Lawe diajak pergi dari situ untuk cepat-cepat mengatur kuda-kuda yang baru tiba. Dengan muka merah Ronggo Lawe menurut saja dibawa pergi oleh Lembu Sora.
Andaikata tidak di depan Raden Wijaya, tentu dia akan menolak dan berkeras untuk menantang Segaia Winotan.
Semeniara itu, Segara Winotan bengong melihat lagak Ronggo Lawe. Dia tidak mengenal Ronggo Lawe yang ketika bertemu orang-orang Daha sengaja tidak menonjolkan diri seperti para senopati lain, karena maklum bahwa junjungan mereka, Raden Wijaya, sedang mengalah dan diam-diam memupuk kekuatan.
"Raden, siapakah orang kasar itu?"
Raden Wijaya tersenyum "Maafkan dia, kakang. Dia itu keponakan Lembn Sora dan sebagai seorang yang berasal dari Tunjung di bagian barat Madura. Dia adalah seorang dusun yang masih bodoh dan tidak tahu banyak tentang peraturan, masih lugu dan kasar sekali, akan tetapi dia amat jujur dan tidak mempunyai niat buruk di hatinya. Oleh karena itu, harap kakang senopati suka memaafkan dia dan memandang kepadaku. Harap kakang Segara Winotan suka melaporkan kepada Paman Prabu bahwa persiapan yang kulakukan disini sudah hampir selesai. Kuda sudah siap, tinggal menanti kelompok anjing pemburu dan juga jaring-jaring yang kuat untuk menangkap harimau dan binatang lain yang liar dan buas"
"Hemm, sampai kapan kiranya persiapan ni selesai dan kapan kiranya Raden dapat menghadap Gusti Prabu?"
"Bulan depan, dari awal sampai pertengahm bulan, kurasa sudah selesai semua dan aku akan cepat-cepat pergi menghadap Paman Prabu"
Segara Winotan lalu dijamu makan oleh Raden Wijaya dan utusan ini melihat keramahan Raden Wijaya, percaya akan semua keterangan yang diberikan pangeran itu. Diapun kembali ke Daha untuk memberi laporan seperti yang dikehendaki Raden Wijaya. Seperginya utusan itu, Raden Wijaya mengumpulkan semua pembantunya dan mereka bersepakat untuk mempercepat persiapan perang.
Nurseta menyelundup ke ibu kota Kedir, sepanjang perjalanannya, dia dengan hati sedih melihat bencana yang telah melanda rakyat sebagai akibat perang yang dilakukan Ke?diri terhadap Singosari. Bukan hanya Kerajaan Singosari yang hancur, bukan hanya keluarga Raja Kertanagara yang ditimpa malapetaka karena kalah perang. Akan tetapi, yang lebih menyedihkan lagi adalah melihat akibat pe?rang yang diderita oleh rakyat jelata. Perang mendatangkan kekacauan yang mengerikan. Hukum tidak berlaku lagi di pedusunan kare-na perang. Apa lagi setelah mendengar bah?wa Kerajaan Singosari kalah oleh Kerajaan Ke-diri. Semua pamong praja, semua pejabat pemerintah yang berkuasa di daerah dan pedu-sunan, kehilangan wibawa dan keadaan itu dipergunakan oleh gerombolan dan orang-orang jahat untuk merajalela. Pasukan keamanan ti?dak bergerak lagi karena takut kepada pasukan musuh.
Terjadilah kejahatan-kejahatan, peram?pokan, balas dendam tanpa ada yang mengadili. Terjadilah hukum rimba di mana-mana siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar. Para penjahat yang tadinya takut ka?rena adanya kekuasaan kerajaaan yang melindungi keamanan rakyat di dusun-dusun, kini menjadi raja-raja kecii. tidak ada yang ditakutinya lagi. Semua ini menambah penderitaan mereka yang dusunnya dilanda atau dilewati pasukan yang sedang berperang. Dalam keadaan perang semua orang seolah-olah menjadi, kejam dan tidak mengenal prikemanusiaan la?gi. Setan-setan merajalela menguasai hati manusia dan segala macam tindakan yang keji dan kejampun terjadilah. Dan rakyat tidak berdaya, menderita tanpa ada yang melindungi, tanpa ada yang membela karena semua orang menyelamatkan diri dan keluarganya masing-masing. Setiap hari terjadi perampokan, pembunuhan, perkosaan dan dunia bagaikan kiamat bagi mereka yang lemah. Setan berpesta pora melalui orang-orang yang diperhambanya, orang-orang yang mengandalkan kekuatan, mengandalkan pengeroyokan, merayakan pesta-pesta biadab yang tiada prikemanusiaan sama sekali.
Sebagai seorang yang berjiwa satria, Nurseta tidak tahan untuk berdiam diri. Di dalam perjalanannya itu, setiap kali bertemu dengan kejahatan, penindasan, perampokan, perkosaan atau pembunuhan, selalu dia turun tangan menentang yang jahat dan membela yang lemah tertindas. Tidak percuma dia, menjadi anak angkat mendiang Ki Baka dan menjadi murid tersayang mendiang Panembaban Sidik Danasura. Ilmu-ilmunya, aji kedigdayaannya, dapat dipergunakan untuk menentang kejahatan.
*** Nurseta berjalan menuju ke ibu kota Ke?diri sambil melamun. Terbayanglah wajah Wulansari di lubuk hatinya, Wajah yang be?lum pernah dia lupakan, siang menjadi kenangan malam menjadi impian, Akan tetapi sekarang, wajah itu lebih jelas dari pada biasanya. Dia sedang menuju ke ibu kota Kediri, di mana Wulansari berada. Keterangan yang diperolehnya adalah bahwa Wulansari menjadi seorang pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatang dan hal ini sungguh merisaukan hatinya, Alangkah akan sukarnya bertemu dengan Wu?lansari. Dan andaikata dia dapat bertemu dengannya, bagaimana mungkin dia dapat membujuknya agar Wulansari mau meninggalkan Kerajaan Kediri, mau meninggalkan pekerjaannya menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang" Dan bagaimana pula akalnya agar dia dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang kabarnya sudah terjatuh ke tangan Sang Prabu Jayakatwang itu "
Bagaimana nanti sajalah, pikirnya. Yang penting, dia harus dapat bertemu dan berbicara dengan Wulansari. Dia akan memberitahu kepada gadis itu bahwa dia telah meminang Wulansari kepada ayah dan ibu kandung gadis itu dan bahwa pinangan itu telah diterima. Tiba-tiba, ketika dia melihat dua orang pria menunggang kuda mendahuluinya, diapun menyelinap kaget karena dia mengenal seorang di antara mereka. Gagak Wulung. Tidak salah lagi. Pria yang berusia kurang lebih enampuluh empat tahun itu masih nampak gagah duduk di atas punggung kuda dengan tegak, perutnya tidak gendut seperti pria-pria seusia itu, bahkan wajahnya masih tampan dan gagah. Rambutnya yang sudah berwarna dua itu bahkan menambah daya tarik kejantanannya.
Pakaiannya masih tetap mewah dan pesolek. Tak salah lagi, pikir Nurseta, pria itu adalah Gagak Wulung dan tentu saja kini wajah Pertiwi terbayang di depan matanya. Gagak Wulung. Pria jahanam yang telah menodai Pertiwi, memaksa gadis itu menyerahkan diri de?ngan kekuatan sihirnya. Kasihan Pertiwi. Gagak Wulung harus menerima hukumannya atas perbuatannya yang biadab itu. Dia tidak mengenal pria ke dua yang juga menunggang kuda di samping Gagak Wulung itu. Seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti seorang resi, seorang pendeta.
Begitu mengenal Gagak Wulung, Nurseta cepat membayanginya dari jauh. Untung kedua orang itu membiarkan kuda mereka berjalan congklang, tidak terlalu cepat sehingga Nurseta tidak harus berlari yang tentu akan mendatangkan keheranan dan kecurigaan orang lain. Akan tetapi, dua orang penunggang kuda itu, di suatu perempatan jalan, membelok ke kiri, menuju ke sebuah bukit kecil yang pe?nuh dengan pohon-pohon, bukan terus menuju ke Kediri. Nurseta tetap membayangi dari ja?uh. Karena mereka menunggang kuda, maka tidak sukar baginya membayangi dari jauh tanpa mereka lihat.
Apa yang diduga Nurseta memang benar. Pria penunggang kuda yang tampan dan gagah biarpun usianya sudah tua itu memang benar Gagak Wulung. Dan pria lebih muda yang ber?pakaian pendeta itu bukan lain adalah murid Ki Buyut Pranamaya yang tadinya bernama Jaka Pati, akan tetapi kini telah menjadi se?orang pendeta yang menghambakan diri ke?pada Sang Prabu Jayakatwang dan memiliki julukan Resi Mahapati. Seperti kita ketahui, Ki Buyut Pranamaya, guru Resi Mahapati ini, adalah seorang datuk sesat yang berilmu ting?gi. Muridnya yang amat disayang inilah yang telah mewarisi Ilmu-ilmu dan aji-aji kesaktian kakek tua renta itu. Karena Resi Maha?pati kini telah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai seorang pendeta kerajaan di Daha, maka dia mengajak gurunya itu agar ikut meikmati kemuliaan di Kediri. Apa lagi mengingat bahwa kini Kediri telah berbasil mengalahkan dan menguasai Singosari. Dan kebetulan sekali dua orang tokoh sesat yang terkenal, yaitu Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, datang berkunjung sebagai tamu. Maka penawaran Resi Mahapati itu amat menarik hati dua orang tokoh sesat itu. Gagak Wulung sendiri biarpun belum pernah menjadi senopati Kerajaan Daha, namun dia adalah kawula Ke?diri dan dia pernah membantu para senopati Daha sebagai seorang mata-mata yang tangguh.
Karena Gagak Wulung bukan seorang ponggawa Kerajaan Daha, melainkan seorang petualang, maka ketika terjadi pemberontakan Mahesa Rangkah, murid tangguh yang tertua dari Ki Buyut Pranamaya, diapun membantu pemberontak itu. Namun pemberontakan itu gagal dan Mahesa Rangkah yang ketika itu memberontak terhadap Kerajaan Singosari, kurang lebih duabelas tahun yang lalu, tewas. Semenjak itu, Gagak Wulung menganggap Ki Buyut Pranamaya sebagai atasannya dan seringkali dia membantu kakek sakti mandraguna yang jahat seperti iblis itu. Maka, tidak mengherankan kalau sekarang dia mengajak Ni Dedeh Sawitri yang menjadi rekannya, sahabat dan juga kekasihnya menghadap kakek itu. Kemudian, mendengar bahwa Jaka Pati murid Ki Buyut Pranamaya kini telah menjadi se?orang pendeta istana Daha yang dipercaya dan berkedudukan tinggi, dan yang datang meng?ajak Ki Buyut Pranamaya untuk mengabdikan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri juga ikut untuk membonceng kemuliaan.
Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya adalah seorang yang tinggi hati. Dia merasa bahwa dirinya bukan "orang biasa" melainkan seorang tua yang sakti mandraguna dan tidak sepatutnya kalau dia merangkak-rangkak di depan Sang Prabu Jayakatwang untuk mohon diberi kedudukan.
"Tidak, aku belum tahu bagaimana Sang Prabu Jayakatwang akan menerima diriku. Sebelum ada kepastian, aku tidak akan mau menghadapnya. Karena itu, muridku Mahapati, kalian pergilah dulu menghadap Sang Prabu Jayakatwang dan minta keputusannya, apakah akan suka menerima bantuan seorang tua se?perti aku ataukah tidak. Aku harus disambut sebagai seorang calon pembantu yang dibutuhkan dan terbormat, bukan sebagai seorang yang datang minta-minta anugerah dan pekerjaan"
Demikianlah kata kakek itu yang menanti di sebuah gubuk darurat di dalam sebuah hutan di Bukit Srindil, tidak jauh dari ibu kota Ke?diri. Mendengar ini, Gagak Wulung lalu mengajukan diri untuk menemani Mahapati meng?hadap Sang Prabu Jayakatwang untuk lebih meyakinkan Sribaginda akan kesaktian Ki Bu?yut Pranamaya dan betapa kakek itu akan da?pat menjadi seorang penasibat yang amat berguna bagi kerajaan. Sebagai seorang tokoh yang seringkali membantu Kerajaan Daha, tentu dia dipercaya oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Tepat seperti yang sudah diduga oleh Resi Mahapati dan juga Gagak Wulung, Sang Prabu Jayakatwang dengan gembira menyatakan bah?wa dia mau menerima bantuan Ki Buyut Pranamaya, apa lagi ketika mendengar bahwa ka?kek sakti mandragura itu adalah guru Resi Ma?hapati, juga guru mendiang Mahesa Rangkah yang dahulu memberontak terhadap Singosari.
"Kalian tahu, bahwa mengabdi kepada seorang raja tidaklah mudah, harus lebih dulu memperlihatkan darma baktinya" kata Sang Prabu Jayakatwang kepada Resi Mahapati yang menghadap bersama Gagak Wulung. "Oleh karena itu, kalau benar Ki Buyut Pranama?ya hendak mengabdi kepada kami, diapun harus memperlihatkan darma baktinya dan membuat jasa"
Resi Mahapati memberi sembah. "Harap paduka suka memberitahu kepada hamba agar hamba sampaikan kepada Guru, tugas apa gerangan yang paduka perintahkan, tentu akan dilaksanakan, dengan sebaiknya oleh Guru"
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. "Memang ada tugas penting, tugas rahasia yang akan kami berikan kepadanya. Akan te?tapi tidak dapat kami katakan sekarang. Biarlah dia menanti di Bukit Srindil sampai datang utusan kami untuk memberitahukan apa yang harus dia lakukan untuk kami"
Demikianlah, Resi Mahapati dan Gagak Wulung merasa puas dan gembira, apa lagi ke?tika Sang Prabu Jayakatwarg mengutus nereka untuk cepat pergi mencari Ki Cucut Kalasekti atau Adipati Satyanegara di Bendowinangun. "Minta dia untuk datang menghadap kepadaku secepat mungkin"
Mereka berdua lalu membalapkan kuda me?reka mencari Adipati Satyanegara dan menyampaikan perintah Sang Prabu Jayakatwang kepada adipati tua yang sakti itu. Ketika itu, Sang Adipati Satyanegara atau yang dahulunya terkenal dengan nama Ki Cucut Kalasekti, sedang kebingungan dan marah. Dia telah menerima berita yang amat buruk dari Sang Prabu Jaya?katwang, bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah lenyap bersama perginya Wu?lansari yang mengajak minggat Sang Puteri Dyah Gayatri. Dan Sang Prabu Jayakatwang dengan berang mengutus agar dia mencari dan merampas kembali tombak pusaka itu. Dia tahu bahwa kalau dia gagal mendapatkan kembali tombak itu, tentu Raja Kediri akan marah kepadanya dan kedudukannya sebagai adipati terancam.
Akan tetapi, kemanakah dia harus mencari Wulansari" Dia tahu bahwa gadis yang pernah menjadi muridnya itu, yang pernah disayangnya sebagai cucunya, adalah.seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa, juga amat cerdik. Tidak akan mudah menemukan jejak gadis itu. Dia sudah menyebar orang-orang untuk melakukan penye?
lidikan, namun sampai sekarang belum juga ada laporan tentang hasil baik penyelidikan itu.
Ketika Resi Mahapati dan Gagak Wulung datang berkunjung sebagai utusan Sang Prabu Jayakatwang, dia sangat kaget, mengira bahwa tentu Raja Kediri itu akan menumpahkan kemarahan kepadanya. Akan tetapi, Resi Maha?pati memberitahukan tentang keinginan Ki Buyut Pranamaya mengabdikan diri ke Kediri.
"Mungkin guru akan dijadikan utusan Sang Prabu untuk menyampaikan tugas pen?ting sebagai uji coba kesetiaan yang diberi kan Sang Prabu kepada Guru" Demikian antara lain Resi Mahapati mengemukakan pendapatnya. Mendengar ini, legalah hati Ki Cucut Kalasekti, bahkan dia seperti mendapat sinar terang. Kenapa tidak mengajak Ki Buyut Pranamaya untuk membantu dia mencari Wu?lansari dan merampas kembali tombak pusaka itu" Dia sudah mendengar akan kesaktian Ki Buyut Pranamaya, seorang datuk sesat yang kedudukannya setingkat dengan dia sendiri.
Demikianlah, Resi Mahapati dan Gagak Wulung meninggalkan Bendowinangun dan kembali ke Bukit Srindil untuk menghadap Ki Buyut Pranamaya, dan dalam perjalanan ini, tanpa setahu mereka, mereka mendahului Nurseta yang segera membayangi mereka dari jauh karena Nurseta mengenal 6agak Wulung yang memang dicarinya bertalian dengan perbuatannya kepada Pertiwi.
Adapun Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti sendiri, dengan cepat segera pergi ke ibu kota Kediri untuk menghadap Sang Prabu Jayakatwang. Sang Prabu Jayakatwang membubarkan persidangan dan menerima Ki Cucut Kalasekti berdua saja karena apa yang akan dibicarakan merupakan rahasia yang raja itu tidak ingin orang lain mendengarnya. Yaitu mengenai lenyapnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Kalau hal ini diketahui oleh pa?ra senopati dan ponggawa, tentu akan melemahkan semangat mereka karena pusaka itu dianggap sebagai wahyu kerajaan. Para senopati bahkan seluruh perajurit Daha percaya penuh akan keampuhan Tejanirmala. Bukankah setelah raja mereka menguasai pusaka itu, penyerbuan ke Singosari berhasil dengan cepat dan dengan baik sekali" Maka, kalau sampai hilangnya pusaka ini ketahuan para ponggawa, tentu akan menimbulkan kegemparan dan menjatuhkan semangat mereka,
Dengan alis berkerut, Sang Prabu Jayakat?wang mendengarkan laporan Adipati Satyanegara tentang belum berhasilnya adipati itu melacak jejak Wulansari dan Puteri Gayatri. Bagi Sribaginda, kedua orang gadis itu tidak terlalu banyak artinya. Yang terpenting, tom?bak pusaka Ki Ageng Tejanirmala harus kem?bali ke tangannya.
"Harap paduka jangan khawatir. Hamba sudah menyebar banyak orang untuk menyelidiki di mana adanya Wulansari. Begitu ham?ba mengetahui di mana ia berada, biar di neraka sekalipun, tentu hamba akan mendatanginya dan kalau pusaka itu tidak dapat hamba minta dengan baik, biar ia pernah menjadi murid hamba, tentu ia akan hamba bunuh dan hamba rampas pusaka itu untuk paduka".
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. "Aku percaya kepadamu, akan tetapi ingat, Kau yang dahulu menjadi gurunya, maka, kau pula yang bertanggung jawab. Sekarang, kau kuutus untuk menemui Ki Buyut Pranamaya di Bukit Srindil. Ajaklah dia untuk mendapatkan kembali pusaka itu. Selain itu, ajak dia untuk melakukan penyelidikkan terhadap Raden Wijaya yang kini membuka hutan baru di daerah Tarik. Ada kabar angin yang menyatakan bahwa banyak orang Madura berdatangan di tempat itu yang dinamakan Majapahit. Biarpun belum ada tanda-tanda mencurigakan, namun kami ingin se?kali merasa yakin bahwa Raden Wijaya tetap setia kepada kami. Kalau dia dapat melaksanakan dua tugas itu dengan baik, barulah kami menerimanya dan akan memberi kedudukan yang sepadan dengan jasanya"
Bukan main girang rasa hati Ki Cucut Ka?lasekti. Memang itulah yang dia kehendaki. Dengan bantuan seorang datuk seperti Ki Bu?yut Pranamaya, akan lebih mudahlah baginya untuk mendapatkan kembali pusaka itu. Dia tidak khawatir menghadapi Wulansari, bekas muridnya itu. Akan tetapi dia tahu bahwa Wu?lansari mencinta seorang pemuda yang amat tangguh, yaitu Nurseta dan di belakang Nur?seta terdapat banyak tokoh yang pandai. Ka?lau dia dan Ki Buyut Pranamaya maju bersa?ma, dia merasa yakin bahwa mereka berdua akan mampu menandingi siapapun juga. Biar mendiang Panembahan Sidik Danasura hidup lagi, dia tidak akan takut menandinginya ka?lau dibantu Ki Buyut Pranamaya.
*** Hari telah mulai gelap dan Nurseta terpaksa turun dari Bukit Srindil karena setelah menanti sejak tadi, yang ditunggu-tunggu, yaitu Gagak Wulung, tidak juga turun. Ketika dia membayangi Gagak Wulung dan Resi Ma?hapati yang tidak dikenalnya itu, dia melihat mereka mendaki Bukit Srindil. Karena bukit itu penuh dengan hutan, mudah baginya untuk membayangi mereka tanpa diketahui dan akhir?nya, dari jauh dia melihat betapa mereka berdua itu berhenti di depan sebuah gubuk besar darurat. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang wanita cantik berada di depan gubuk itu. Ni Dedeh Sawitri.
Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar tegang, dan kedua lututnya mendadak menjadi lemas. Wanita itu, yang dikenalnya sebagai se?orang iblis betina, adalah ibu kandungnya. Seorang wanita yang cantik dan anggun me?mang, biarpun usianya sudah limapuluh tahun lebih. Dia akan merasa bangga mempunyai se?orang ibu yang demikian anggunnya. Akan te?tapi wataknya. Sungguh mengerikan dan memalukan. Terkenal sebagai iblis betina yang amat kejam dan penuh racun. Dan wanita itu adalah lbunya, ibu kandung yang pernah mengandung dan melahirkan dirinya.
Pukulan batin ini lebih dikejutkan lagi ketika dari dalam gubuk itu muncul storang kakek tua renta yang. berpakaian hitam, pakaian petani. Ki Buyut Pranamaya atau yang pernah menyamar sebagai Wiku Bayunirada datuk sesat pertama yang merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan gara gara perbuatan datuk inilah maka tombak pusaka itu sampai terampas dari tangan mendiang Ki Baka, ayah angkatnya sehingga kini pusaka itu hilang dan kemungkinan besar berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Bahkan mungkin sekali lenyapnya tombak pusaka itu yang mendatangkan keruntuhan dan kejatuhan bagi Si?ngosari. Dia mengenal kakek itu dan tahu akan kesaktiannya. Menghadapi kakek itu dia tidak takut, akan tetapi di sana ada Gagak Wulung, ada pula Ni Dedeh Sawitri yang belum tahu bahwa dia adalah anak kandungnya, dan ada pula penunggang kuda berpakaian pendeta itu. Selain itu masih nampak pula tiga orang pria dan tiga wanita. Kalau dia menyerang Gagak Wulung, tentu mereka semua akan membantu Gagak Wulung dan berbahayalah bagi dirinya kalau harus menghadapi pengeroyokan mereka. Maka, dia lalu bersembunyi dan menanti sam?pai Gagak Wulung meninggalkan tempat itu dan turun dari bukit. Akan tetapi, sampai sore dan cuaca mulai gelap, Gagak Wulung tidak nam?pak turun. Tahulah dia bahwa Gagak Wulung agaknya tinggal pula di sana. Dia harus bersabar dan menanti sampai besok.
Ketika dia menuruni bukit hendak mencari dusun di kaki bukit agar dia dapat mondok melewatkan malam itu, tiba-tiba dari kaki bu?kit itu nampak bayangan orang mendaki naik dengan cepat sekali. Dia menyelinap ke balik batang pohon besar dan ketika bayangan itu lewat, dia kaget bukan main mengenal orang itu sebagai Ki Cucut Kalasekti. Kakek iblis ini berkunjung kepada Ki Buyut Pranamaya. Ada hubungan apakah antara kedua orang datuk be?sar golongan hitam itu" Kalau|mereka berdua itu bersekutu, alangkah berbahayanya dan kuatnya. Untung dia tadi mengambil keputusan untuk turun dari bukit. Kalau dia nekat menyerang Gagak Wulung di sana, kemudian dikeroyok dan datang pula Ki Cucut Kalasekti yang membantu mereka, sukar diharapkan dia akan dapat menyelamatkan diri.
Di kaki Bukit Srindil sebelah selatan terdapat sebuah dusun yang nampak dari atas. Nurseta segera menuju ke dusun itu. Di dusun itu dia tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka yang tinggal di puncak bukit. Dusun itu kecil saja, hanya ditinggali tigapuluh keluarga lebih. Mereka adalah petani-petani yang hidup sederhana. Melihat sebuah rumah yang agak besar dan memiliki pekarangan yang luas, rumah yang kelihatan bersih dan terawat, juga dari dalam rumah itu nampak sinar pelita yang jauh lebih terang dari pada rumah-rumah lain, Narseta lalu menghampiri rumah itu. Dia percaya akan keramahan para petam dusun yang tentu akan menerimanya de?ngan baik untuk melewatkan malam itu di da?lam rumah.
Akan tetapi, ketika dia sudah mendekati rumah itu, dia mendengar suara ribut ribut. Pertengkaran mulut antara suami isteri terdengar dari dalam rumah itu. Perang mulut antara suami dan isteri, atau lebih tepat lagi serangan bertubi-tubi lewat suara mulut dari seorang isteri yang marah-marah.
"Dasar kau memang seorang isteri yang cemburuan dan cerewet" suara pria yang diserang bertubi-tubi itu mencoba untuk membalas. Akan tetapi balasan yang sekalimat ini segera disambut oleh serangan yang semakin ganas.
"Apa kau bilang" Seorang isteri yang cem?buruan dan cerewet" Huh, kaulah laki-laki yang mata keranjang, hidung belang. Kau bermuka-muka dan menjilat-jilat secara tak ta?hu malu kalau sudah melihat wanita lain tidak ingat bahwa wanita itu biarpun cantik sudah tua. Engkau laki-laki muka tebal, lupa bahwa keadaan sendiri tidak mampu, berlagak kaya dan royal kalau sudah bertemu wanita cantik.
Engkau sungguh memuakkan........ ahhhh........ benci aku.......benci.........benci" Wanita
itupun menangis.
"Cukup. Kalau engkau tidak menutup mulutmu, terpaksa akan kuhajar"
Ucapan laki-laki ini agaknya bagaikan minyak bakar yang disiramkan pada api. Kemarahan wanita itu semakin berkobar. "Apa kau? biiang tadi" Kau mau menghajarku" Cobalah. Lakukanlah. Kaukira aku takut" Hayo hajar aku, lekas hajar. Kau mau apa, huh, laki-laki pengecut"
"Cukup, mbokne, sekali lagi kau bicara, akan kupukul mulutmu" suara laki laki itu membentak dan dari suaranya, dapat dirasakan betapa dia sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Nurseta sudah mengintai da?ri balik pintu yang masih terbuka dan dia me?lihat seorang laki-laki dan seorang wanita yang sedang perang mulut itu berdiri seperti dua ekor ayam aduan yang berlagak, siap akan bertarung. Usia mereka antara empatpuluh sampai empatpuluh lima tahun.
"Apa " Mau pukul " Pukullah, hayo, Pukullah. Pukul aku sampai mati. Lebih baik mati dari pada mempunyai suami seperti kau.."
Pria itu melangkah maju dan tangannya menampar. "Plakkk........I" Wanita itu terpelanting dan menjerit, lalu menangis menjerit-jerit. Bibirnya pecah dan berdarah. Pria itu berdiri terbelalak, seolah tidak percaya akan apa yang telah terjadi. Belum pernah dia memukul isterinya semenjak mereka men?jadi suami isteri.
Pada saat itu, Nurseta batuk batuk dan bwseru. "Kulonuwun......."
Suami itu membalikkan tubuh menghadap ke pintu, sedangkan sang isteri menghentikan tangisnya, menengok dan melihat munculnya seorang tamu, iapun masuk ke dalam sambil terisak ditahan.
Pria itu menghampiri Nurseta yang berdiri di ambang pintu. "Mari silakan masuk, kisanak" kata tuan rumah dan suaranya tidak marah lagi, melainkan ramah. "Mari silakan dudik"
"Terima kasih, dan maafKan kalau aku mengganggu"
"Ah, tidak sama sekali. Silakan duduk" Setelah tamunya duduk berhadapan dengannya terhalang meja, tuan rumah itu mengamati wajah yang tampan dari tamunya, lalu bertanya "Siapakah kisanak, dan ada keperluan apakah datang berkunjung ke gubuk yang buruk kami ini ?"
"Maafkan aku, kisanak. Namaku Nurseta dan aku sedang melakukan perjalanan jauh, lalu kemalaman di sini. Oleh karena itu, apa bila sekiranya kalian tidak berkeberatan, aku ingin mondok satu malam saja di sini. Besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan. Akan tetapi kalau kalian merasa keberatan, tentu saja aku tidak berani memaksa dan.."
"Ah, tidak sama sekali, kisanak. Kami ha?nya tinggal berdua saja di rumah ini. Anak tunggal kami baru sudah setengah tahun ini tinggal bersama suammya ke dusun lain. Silakan tinggal di sini semalam. Ada sebuah bilik bekas tempat anak kami. Perkenalkan, namaku Ki Puter dan para penduduk di dusun kecil ini memilih aku sebagai kepala dusun" Ki Puter menoleh kearah dalam. "Mbokne....... Ada tamu, cepat sediakan makan dan minum"
"Ah, aku tidak ingin merepotkan, hanya ingin melewatkan malam. Harap kalian jangan repot-repot..."
"Tidak mengapa, kisanak. Memang kami belum makan malam dan makanan sudah sedia. Mbokneee......".
"Tungguuuu......., sedang kupersiapkan ......." terdengar jawaban dari dalam rumah.
Suara wanita tadi, pikir Nurseta, sudah tidak menangis lagi akan tetapi suaranya masih parau bekas tangis.
Sambil menanti dihidangkannya makan ma?lam, Nurseta mulai memancing keterangan tuan rumah. "Tadi aku sudah mendaki bukit ini dan sampai diatas, akan tetapi di sana tidak terdapat dusun, hanya hutan dan di puncak aku melihat sebuah gubuk besar dengan orang-orang yang aneh. Aku lalu turun kem?bali dan menuju ke dusun ini, melihat rumah kalian dan aku merasa tertarik"
Ki Puter mengangguk-angguk. "Aku girang sekali bahwa kau telah memilih rumah kami, kisanak. Kulihat andika masih muda, lebih muda dariku, biarlah aku menyebutmu adi. Adi Nurseta, kukatakan tadi, aku girang kau datang karena kau telah menghentikan pertengkaran kami yang tentu telah kau dengar dari luar rumah tadi"
Nurseta tersenyum dan di dalam hatinya, dia mulai merasa kagum dan suka kepada orang ini. "Bolehkah aku menyebutmu kakang", akupun girang sekali tidak salah memilih tempat bermalam karena kau ternyata ramah sekali. Maafkan kalau aku mengganggu. Terus terang saja, ketika memasuki rumah ini, aku mendengar pertengkaran kalian, maka aku sengaja berseru agar pertengkaran itu berhenti"
Ki Puter tersenyum lebar, "Ha ha, terima kasih. Kau baik sekali" Dia menoleh ke dalam lalu berkata lirih. "Ia memalukan saja, memang cerewetnya bukan main"
Nurseta tidak mau membicarakan keburukan isteri tuan rumah maka dia mengalihkan percakapan. "Kakang Puter, siapakah orang-orang aneh di puncak bukit itu" Kulihat gubuk itu masih baru. Orang-orangnya kelihatan aneh"
Karena pertanyaan itu sambil lalu saja, Ki Puter tidak mencurigai sesuatu dan diapun mengangguk. "Memang aneh. Mereka adalah orang-orang kota, berpakaian indah dan me-nunggang kuda yang tinggi besar, Anehnya, mengapa para prlyayi (bangsawan) itu membuat gubug di puncak itu dan tinggal di sana?"
"Siapakah mereka itu, kakang" Dan mau apa mereka tinggai di tempat sunyi penuh hutan itu?"
Ki lurah dusun kecil itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Mereka datang sembilan orang. Beberapa hari yang lalu mereka datang dan berhenti di dusun ini. Seorang ka?kek tua renta yang menyeramkan, seorang wanita cantik pesolek dan seorang pria, mung?kin suami isteri, dan enam orang yang agaknya menjadi pengikut, tiga pria tiga wanita yang nampak taat terhadap kakek tua renta. Mereka lalu naik ke bukit dan membuat gubuk di sana, Karena mereka tidak mengganggu kami sedusun, kamipun tidak melakukan sesuatu, bahkan tidak berani naik karena kakek tua renta itu menyeramkan. Dan wanita cantik itu ........ ialah yang tadi membuat kami bertengkar" Wajah Ki Puter nampak kemerahan dan dia agak tersipu.
"Kalau boleh aku bertanya, kakang. Meng?apa ia menjadi bahan pertengkaran " Apakah yang telah dilakukan wanita itu?" Nurseta membayangkan wajah cantik Ni Dsdeh Sawitri, wajah ibu kandungnya.
Ki Puter menahan ketawanya. "Ah, dasar isteriku yang cerewet bukan main. Kemarin
dulu wanita itu datang ke sini dan ia ingin membeli dua ekor ayam dan beberapa butir. telur. Karena kulihat ia seorang priyayi dan sikapnya manis sekali, maka aku yang bukan pedagang merasa sungkan, lalu kuberikan saja kepadanya dua ekor ayam dan sepuluh butir telur. Nah, itulah yang membuat isteriku marah-marah sejak saat itu, penuh cemburu dan cerewet sekali"
Pada saat itu, isteri Ki Puter keluar membawa baki berisi makanan dan minuman. Wa?nita itu tidak menangis lagi walaupun matanya masih merah dan bibirnya agak menjendol, akan tetapi ia masih sempat tersenyum kepada Nurseta.
"Hanya hidangan sederhana saja" katanya lembut. "Nasi dan sayur gori dan sambal. Minumnya juga hanya air teh. Silakan"
"Terima kasih, mbakayu, aku hanya merepotkan saja" kata Nurseta,
"Ah, sama sekali tidak, hanya hidangan se?perti ini. Silakan" katanya pula dan iapun mundur lagi masuk ke dalam.
Merekapun makan. Karena jelas bahwa tuan rumah tidak tahu apa-apa tentang mereka yang tinggal di puncak Bukit Srindil, Nurseta juga tidak bertanya lagi. "Kulihat isterimu ramah dan baik sekali, juga masakannya ini, walaupun hanya sayur gori dan sambal, enak sekali" Nurseta memuji.
Tuan rumah itu tersenyum senang "Me?mang, ia pandai masak, rajin mengurus rumah
dan pada umumnya baik. Hanya itu Iho....... cerewetnya tidak ketulungan lagi. Minta ampun aku sama cerewetnya. Kalau dia sedang marah, dia mengomel terus menerus panjang pendek dan bukan main kuatnya. Dia dapat bertahan mengomel dari pagi_sampai malam. Hanya satu itu saja yang kupinta darinya, yaitu jangan cerewet. Apa sih sukarnya menutup mulut dan menelan kembali semua kata-kata yang hendak menerocos keluar itu"
"Itulah sebabnya, kakang. Keinginanmu agar ia tidak cerewet itulah yang menyebabkan ia cerewet" kata Nurseta.
"Wah " Apa maksudmu?"
Nurseta tidak menjawab karena pada saat itu, isteri Ki Puter keluar untuk menyingkirkan bekas makan dan membersihkan tikar. Setelah wanita ita masuk lagi, Ki Puter mendesak.
"Adi Nurseta, aku masih penasaran. Kau tadi mengatakan bahwa justeru keinginanku agar ia tidak cerewet itulah yang menyebabkan ia cerewet. Bagaimana ini " Aku tidak mengerti"
"Kakang Puter, bukankah kau ingin merobah keadaan isterimu itu, ingin melihat ia yang kakang anggap cerewet menjadi tidak cerewet?"
"Tentu saja. Dan bukankah keinginan itu baik" Aku ingin melihat ia dari keadaan yang tidak baik menjadi baik "
Nurseta tersenyum. Teringat dia akan percakapan tentang keinginan merubah ini antara dia dan mendiang Panembahan Sidik Danasura dan mata hatinya terbuka oleh penjelasan mendiang gurunya itu, Keadaan Ki Puter sama seperti dia sebelum dia mendapatkan penjelas?an dan menyadari akan kebenaran yang terbuka sihingga dia dapat dan mampu melihatnya.
"Baik untuk siapa, kakang " Bukankah yang kakang inginkan itu adalah satu keadaan dari isteri kakang yang baik untukmu" Menyenangkan untukmu " Kita selalu condong untuk me?ngatakan baik kalau seseorang menguntungkan kita, dan buruk kalau sebaliknya merugikan kita lahir batin. Keinginan melihat suatu ke?adaan seperti yang dikehendakinya, yang berlawanan dengan kenyataannya, nah, keingin?an inilah yang menimbulkan sengketa dan pertentangan yang dimulai dari pertentangan jalan batin kita sendiri. Kita selalu menghendaki yang kita anggap baik dan menyenangkan kita, dan kita menuntut ini dari apa sa?ja, dari benda sampai dari manusia lain. Kita ingin seluruh alam dan isinya ini semua menyenangkan kita belaka. Karena itu, timbullah pertentangan batin yang tiada hentinya. Kita tidak mampu menerima kenyataan apa adanya. Padahal, di sinilah letak rahasia apa yang dinamakan kebahagiaan hidup, yaitu dalam sikap dapat menerima kenyataan seperti apa adanya tanpa menilainya sebagai yang baik ataupun yang buruk, Kalau penerimaan akan kenyataan ini bebas dari penilaian, bebas dari kehendak siaku yang selalu ingin senang, ten?tu tidak akan timbul pertentangan"
Biarpun dia diangkat menjadi lurah dusun kecil itu, apa yang dikatakan Nurseta terlalu sukar bagi Ki Puter untuk dapat menerimanya dan mengerti.
"Nanti dulu, adi Nurseta. Aku sungguh ti?dak mengerti dan menjadi bingung. Apa yang kau maksudkan dengan semua kata-katamu itu?"
Nurseta tersenyum. Dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang petani yang po?los dan sederhana. Kata-kata hanya merupakan suatu keindahan yang muluk-muluk, tentu tidak dapat dimengerti oleh Ki Puter. Dia mencoba yang lain, dengan contoh yang sederhana.
"Kakang Puter, kalau kakang hendak mulai menanam padi lalu turun hujan, bagaimana perasaan kakang ?"
"Tentu saja girang"
"Kalau padi mulai menua lalu turun hujan lebat " Bagaimana perasaanmu?"
"Wah, tentu susah karena padi itu terancam kerusakan"
"Akan tetapi, mungkinkah kau merubah turunnya hujan " Damikianlah, kakang Puter. Hujan itu suatu keadaan, tidak baik maupun buruk. Akan tetapi kita manusia ini selalu menghendaki agar hujan, seperti juga segala keadaan di dunia ini. terjadi sesuai dengan ke?inginan kita, yang menguntungkan kita. Kalau terjadi sebaliknya, maka kita merasa tidak se?nang dan menentangnya. Kita tidak mampu menerima segala sesuatu seperti apa adanya saat itu. Kalau kita memiliki seni menerima kenyataan, maka, kita tidak akan menentang dan akan timbul kebijaksanaan bagaimana kita dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan itu. Mengertikah kakang?"
Ki Puter mengerutkan alisnya, akan tetapi mengangguk. "Sedikit, adi. Mengerti sedikit. Kita menerima kenyataan tentang hujan, tanpa menentang dan kita menyesuaikan diri, menja?di bijaksana sehingga kita menanam padi menurut perhitungan agar mendapat air cukup dan tidak tertimpa hujan lebat. Kita atur musimnya menanam padi......"
"Benar kakang Pater"
"Tapi, apa hubungannya antara hujan de?ngan....... isteri cerewet?"
Nurseta tersenyum. Alangkah sederhana jalan pikiran Ki Puter, pikirnya, kagum karena sesungguhnya, pikiran sederhana itu tidak menimbulkan banyak persoalan hidup.
"Satu contoh lagi, kakang. Ada seekor an?jing menggonggong dan menggereng-gereng seperti marah kalau kita lewat. Kita menjadi marah dan memakinya sebagai anjing yang kurang ajar dan sebagainya, kita mengambil batu dan menyambitnya. Anjing itu bahkan semakin marah dan gonggongannya semakin keras. Tidak benarkah begitu?"
Ki Puter mengangguk-angguk, makin tidak mengerti mengapa contohnya seekor anjing.
"Nah, pertentangan batin timbul karena ki?ta ingin agar anjing itu tidak bersikap seperti itu. Kita ingin melihat anjing itu duduk diam baik-baik. Kita lalu menyebutnya anjing jahat, kurang ajar dan sebagainya. Kita ingin anjing itu berubah. Inilah yang tidak mungkin. Kita tidak mungkin merobah anjing itu, seperti juga tidak mungkin merobah turunnya hujan. Apa yang seyogianya kita lakukan" Kitalah yang harus berobah. Kitalah yang harus me-nyesuaikan diri. Kalau hujan turun, kita buatkan belokan dan saluran agar tanaman kita tidak kebanjiran, kita pergunakan payung agar tidak kehujanan dan sebagainya. Bagaimana kalau kita menghadapi anjing yang menyalak dan menggonggong marah" Kalau kita tidak menentangnya, tidak menganggapnya jahat, lalu timbul kebijaksanaan dan kita dapat mempergunakan akal budi. Kita bersikap ramah, kita beri sesuatu, tanpa ingin merobah anjing itu. Dan apa yang terjadi" Bukan mustahil bahwa kalau kita sudah merobah diri kita sendiri, anjing yang tadinya menyalak-nyalak itu berubah menjadi jinak dan lunak, mengikuti kita dengan ekornya bergoyang-goyang manja"
Sejenak Ki Puter melongo, kemudian meledaklah suara ketawanya. Dia merasa baru tergugah dari tidur nyenyak. Kini matanya terbuka dan dia dapat melihat kenyataan itu. Dia tertawa bergelak gelak dan melihat ini, Nurseta juga tertawa, dalam hatinya merasa girang karena melihat tuan rumah telah ter?buka hatinya dan dapat melihat kenyataan itu.
Isteri Ki Puter keluar dari dalam, memandang kepada suaminya dengan heran. "Eh, eh, apa yang terjadi" Kenapa engkau tertawatawa seperti itu, pakne" Apanya yang lucu?"
"Hahahaha........ engkau benar, mbokne. Baru sekarang aku tahu bahwa perbuatanku
yang kemaren dulu itu tidak benar. Aku ingin ramah kepada seorang tamu, akan tetapi tamu itu wanita dan cantik pula. Tentu saja engkau menjadi cemburu dan marah. Bukan salahmu, akulah yang bodoh tidak melihat kenyataan. Biarlah, kalau ia datang lagi, aku akan beri harga kepada barang yang dibutuhkannya, de?ngan harga dua kali lipat"
Jelas nampak oleh Ki Puter dan Nurseta betapa wajah yang tadinya mengeras itu kini melunak, pandang mata yang keras itu kini melembut dan bibir yang masih menyendol bekas tamparan itu merekah dalam senyum.
"Akupun tahu engkau tidak mata keranjang, pakne. Hanya aku merasa panas. Biar?lah, kalau ia datang lagi, aku yang akan urus. Akan kuberi dengan harga murah. Engkau be?nar, memang kita harus ramah dan murah hati terhadap tamu. Akan tetapi kalau tamunya wanita, biar aku yang menghadapi, kalau pria, bagianmulah itu. Engkau tidak bersalah, aku yang pencemburu......." Wanita itu terse?nyum lebar dan masuk kembali. Ki Puter dan Nurseta saling pandang dan Ki Puter tertawa lagi, tertawa dengan penuh kegembiraan.
Dia kini menemukan kunci rahasia yang amat se?derhana namun yang merupakan kunci penghalau semua pertentangan batin. Segala sesuatu itu wajar, yang begitu sudah begitu, yang be?gini biarlah begini. Kita tidak berhak merobah yang berada di luar diri, akan tetapi wajib merobah diri sendiri. Dengan merobah diri sendiri, segalanya akan berjalan lancar. An?jing galak itu menjadi jinak.
"Hahahaha, harimau galak dapat menjadi jinak. Haha, terima kasih, adi Nurseta"
Malam itu Nurseta tidur di atas dipan bambu di kamarnya. Dia tersenyum senyum kalau ingat akan peristiwa tadi. Sikap suami isteri itu tadi nampak begitu mesra, saling mengalah. Dan pada keesokan harinya, ketika pagi pagi sekali dia bangun, suami isteri itu telah bangun dan mereka nampak rukun bukan main, rukun dan mesra sehingga diam diam Nurseta merasa geli akan tetapi juga girang.
"Terima kasih, kakang Puter dan mbakayu. Kalian baik sekali kepadaku. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali"
"Sepagi ini sudah hendak melanjutkan per?jalanan, adi Nurseta " Wah, tahukah kau bahwa kau yang banya datang semalam ini, bagaikan karunia dewata saja bagiku" Akulah yang berterima kasih kepadamu, adi Nurseta"
Nurseta pergi dan tanpa dilihat siapapun, dia menyelinap di antara pohon pohon, lalu mendaki Bukit Srirdil karena dia hendak me?lanjutkan penyelidikannya. Kini tidak hanya
untuk menemui Gigak Wulung dan menghukumnya, akan tetapi kalau mungkin dia ingin pula berjumpa berdua saja dengan Ni Dedeh Sawitri, ibu kandungnya.
*** Tadinya Nurseta bermaksud untuk bersembunyi dan mengintai, mencari kesempatan baik menemui sendiri Gagak Wulung atau Ni Dedeh Sawitri karena dia tahu bahwa kalau dia langsung menjumpai mereka, tentu dua orang datuk sakti Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya tidak akan membiarkan dia lolos. Akan tetapi. ketika dia menyusup di antara pohon-pohon besar dan semak semak belukar dan tiba di dekat gubuk itu, dia men?dengar teriakan-teriakan nyaring dan kasar dari seorang laki-laki.
"Gagak Wulung jahanam busuk, manusia berhati binatang dan pengecut besar, keluarlah engkau dan jangan bersembunyi"
Berulangkali suara ini menantang, Suara yang tidak asing bagi Nurseta. Dia cepat mendekat dan mengintai. Tak salah dugaannya. Suara Ki Jembros, kakek yang gagah perkasa itu. Dan di samping kakek ini berdiri seorang pemuda yang tampan dan bersikap tenang ga?gah. Celaka, pikir Nurseta. Ki Jembros adalah seorang pendekar yang besar dan gagah per?kasa, namun terlalu berani sehingga sembrono sekali. Tempat itu merupakan sarang yang amat berbahaya. Dia hendak menegur dan memperingatkan Ki Jembros, namun terlambat karena pada saat itu, nampak beberapa orang telah keluar dari gubuk besar itu.
Ketika me?lihat orang-orang yang muncul itu, Ki Jembros terbelalak. Matanya yang lebar itu menjadi besar sekali karena dia melihat dua orang kakek tua renta yang sama sekali tak disangkanya berada di tempat itu.
"Ki Cucut Kalasekti dan........dan Ki Buyut Pranamaya.......?" katanya seperti tidak percaya.
Sementara itu, pemuda tampan yang berdiri di samping Ki Jembros, yang bukan lain adalah Pertiwi, begitu melihat bahwa seorang di antara mereka yang muncul itu adalah Gagak Wulung, tidak memperdulikan apapun lagi dan ia sudah mencabut kerisnya, langsung saja ia menyerang Gigak Wulung dengan ganas dan nekat.
Serangan itu cukup berbahaya, cepat dan kuat, maka Gagak Wulung yang tidak mengenal gadis yang menyamar pria itu terkejut, lalu melompat ke samping.
"Eh........, ohh......... Siapa kau dan mengapa menyerangku ?" serunya, akan tetapi Pertiwi tidak mengeluarkan kata-kata, melainkan terus saja menyerang dengan dahsyat, dengan niat membunuh karena serangannya itu terdorong oleh hati yang amat sakit dan penuh dendam. Kembali Gagak Wulung mengelak dan meloncat ke belakang.
"Hem, bocah setan, agaknya engkau sudah bosan hidup" bentak Gagak Wulung sambil mencabut pedangnya. Dia tadi melihat betapa serangan pemuda tampan itu ganas sekali, maka dia mencabut pedang untuk membela diri dan membalas serangan. Terjadilah perkelahian yang seru antara mereka. Ternyata Pertiwi telah mewarisi ilmu kepandaian dari Ki Jembros, sehingga gadis itu kini mampu menandingi Gagak Wulung. Betapapun juga, ia masih kalah pengalaman, maka pedang di tangan Gagak Wulung mulai mendesaknya.
Melihat ini, tiba-tiba Ni Dedeh Sawitri yang sejak tadi memperhatikan Pertiwi dan kagum melihat pemuda yang demikian tampan dan manisnya, melompat ke depan.
"Gagak Wulung, jangan bunuh dulu pemuda ini" katanya dan iapun menyerang dengan cakaran tangannya. Tentu saja Pertiwi terkejut dan makin terdesak oleh dua orang yang selain tinggi ilmunya, juga memiliki pengalaman berkelahi yang luas itu, tidak seperti ia yang bagaikan burung baru belajar terbang.
Melihat muridnya dikeroyok dua dan ter?desak, Ki Jembros tidak mungkin tinggal diam saja. "Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, kalian memang manusia-manusia iblis" bentaknya dan diapun meloncat.ke depan, tangan?nya bergerak menyambar mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah Gagak Wulung. Itulah aji pukulan Hastobairowo yang ampuhnya bu?kan kepalang.
"Dukkk" Pukulan dahsyat itu tertahan di udara oleh tangkisan sebuah tangan Iain. Tangan Ki Buyut Pranamaya dan tangkisan itu membuat tubuh Ki Jembros terhuyung ke belakang.
"Bagus, Ki Buyut Pranamaya melidungi iblis-iblis ini. Sudah sepatutnya, iblis tua membela iblis-iblis yang muda. Biarlah aku mengadu nyawa dengan kalian iblis-iblisj jahat"
Setelah berkata demikian, dengan nekat, untuk membe?la muridnya, Ki Jembros menerjang lagi, sekali ini dia menyerang Ki Buyut Pranamaya yang disambut oleh kakek tua renta yang amat tangguh itu.
Melihat betapa Ki Jembros dan pemuda itu terdesak hebat, tentu saja Nurseta tidak mung-kin berdiam diri saja. Dia tahu betapa lawan berjumlah banyak dan amat sakti, namun dia-pun tidak dapat membiarkan Ki Jembros terancam bahaya maut tanpa membantu. Dia lalu meloncat dan sekali meloncat dia sudah tiba di tempat pertempuran.
"Paman Jembros, jangan khawatir, saya mem?bantu paman" serunya dan pada saat itu, Ki Jembros sedang terdesak hebat karena diancam tendangan Cakrabairawa yang bertubi-tubi datangnya. Kalau Nurseta tidak datang agaknya Ki Jembros akhirnya akan roboh tertendang.
"Desss" Tangkisan lengan Nurseta mengenai kaki Ki Buyut Pranamaya dan kakek ini mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya sampai terputar. Memang Nurseta telah menerima gemblengan paling akhir dari Panembahan Sidik Danasura sehingga ilmu kepandaiannya kini mencapai tingkat yang tinggi, dengan tenaga sakti yang amat kuat. Ki Buyut Pranamaya sam?pai terkejut bukan main ketika tendangan kakinya yang tadi mengancam Ki Jembros tertangkis tangan pemuda itu sehingga tubuhnya sampai berputar.
"Haha, kiranya Nurseta yang datang mengantarkan nyawa" Ki Cucut Kalasekti tertawa dan diapun maju menyerang Nurseta, dari mulutnya keluar suara mendesis seperti ular dan tangannya sudah menyambar-nyambar dahsyat karena kakek ini, yang sudah tahu akan ketangguhan Nurseta, begitu menyerang telah mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan satu di antara aji-aji kesaktiannya yang ampuh, yaitu aji pukulan Gelap Sewu,
Nurseta mengenal aji pukulan yang ampuh ini maka diapun mengerahkan tenaganya, menangkis dan membalas dengan pukulan yang tidak kalah ampuhnya, yaitu aji pukulan Jagad Pralaya yang kalau mengenai lawan tak mung?kin dapat bertahan lagi. Ki Cucut Kalasekti terkejut dan cepat dia meloncat ke belakang untuk mengelak, kemudian membalas lagi de?ngan pukulan jarak jauh yang disertai tenaga sakti.
"Wuuuttt........ " Angin pukulan dahsyat menyambar, ganas ke arah Nurseta dan terdengar suaranya seperti air mendidih, itulah aji pukulan Segoro Umub, pukulan yang mengandung tenaga panas. Nurseta mengelak dan dua orang itu mulai serang-menyerang dengan aji-aji pukulan dahsyat yang mendatangkan angin menyambar nyambar.
Ki Jembros boleh jadi digdaya, memiliki kekebalan dan juga memiliki kegagahan, Na?mun, berhadapan dengan Ki Buyut Pranamaya dia kalah jauh. Lawannya adalah seorang da?tuk besar yang memiliki aji kesaktian seperti iblis. Biarpun Ki Jembros mengamuk seperti Werkudara, tetap saja dia terdesak. Pada saat itu, Pertiwi juga didesak hebat oleh pengeroyokan Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Pertiwi juga berkelahi dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya lagi. Tujuannya hanya satu, yaitu membunuh Gagak Wulung yang amat dibencinya.
Namun arena ia selalu menyerang dan memperhatikan Gagak Wulung, akhirnya, tamparan tangan Ni Dcdeh Sawitri tak dapat dihindarkan, mengenai tengkuknya dan Pertiwi roboh dengan tubuh lemas terkulai.
"Hihik, dia tidak boleh mati dulu, Gagak Wulung. Sayang begini muda dan tampan kalau dibunuh begitu saja" Setelah berkata demikian, wanita iblis ini menjulurkan tangannya hendak mencengkeram baju Pertiwi dan akan dibawanya pergi. Akan tetapj begitu tangannya menyentuh dada yang padat, menyentuh payudara yang ranum, ia menjerit dan menarik tangannya. Lalu jari tangannya bergerak kearah baju di dada itu.
"Brettt...... " Direnggutnya baju itu sehingga terobek dan nampaklah sepasang payudara Pertiwi.
"Hahaha, dia merupakan hadiah untukku, Ni Dedeh, bukan untukmu " kata Gagak Wu?lung dan sekali sambar, dia telah memondong tubuh Peitiwi dan dibawanya pergi dari tempat itu.
Melihat ini, Ki Jembros marah dan merasa khawatir bukan main. "Jahanam Gagak Wulung, lepaskan muridku" Dia meloncat dan meninggalkan Ki Buyut Pranamaya. Saat itu, Ki Buyut Pranamaya mengejar dan menyusulkan tendangan sakti Cakrabairawa.
"Dess. DssssI" Ki Jembros tidak mampu menghindarkan diri lagi karena pada saat itu tubuhnya sedang meloncat untuk mengejar Gaguk Wulung. Kekebalan tubuhnya tidak cukup kuat untuk menahan tendangan sakti itu dan kakek yang gagab perkasa ini roboh pingsan.
Atas isarat Ki Buyut Pranamaya, enam orang muridnya, tiga pria dan tiga wa?nita, sudah cepat menubruk dan membelenggu kaki tangan Ki Jembros. Ki Buyut Pranamaya sendiri sudah terjun ke dalam. pertempuran, membantu Ki Cucur Kalasekti, mengeroyok Nurseta.
Tentu saja Nurseta menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang kakek tua renta yang sakti mandraguna itu. Baru melawan seorang diantara mereka saja, satu lawan satu, dia tidak akan dapat mengalahkahnya dengan mudah. Apa lagi dikeroyok dua. Memang, dasar ilmu kepandaiannya lebih murni dari pada kedua orang lawannya, akan tetapi jelas dia kalah pengalaman dan kalah matang. Masih untung bahwa kedua orang lawannya sudah tua renta sehingga tenaga mereka tidaklah sekuat dahulu, Akan tetapi, pada saat itu Ni Dedeh Sawitri juga meloncat dan ikut pula mengeroyoknya dengan sambaran kaku kuku jari tangan yang mengandung racun. Pedih perih rasa hati Nurseta melihat kenyataan ini.
Ibunya sendiri, ibu yang dahulu mengandung dan melahirkannya, kini berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Untuk meneriakkan kenyataan itu tentu saja dia merasa malu, maka diapun diam saja dan melawan mati-matian. Betapapun juga, karena dia sudah tahu bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya, be?tapapun sakit rasa hatinya, betapapun tidak ada sedikit juga terasa kasih sayang dalam hatinya terhadap wanita itu, tetap saja dia tidak tega untuk membalas dengan serangan maut terhadap wanita itu. Serangan balasannya hanya ditujukan kepada dua orang kakek tua renta. Dan semua serangan itu gagal, dan dia bahkan terdesak hebat, hanya mampu menangkis atau berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari sambaran dan hujan serangan tiga orang pengeroyok yang tangguh.
Ketika Nurseta melihat robohnya Ki Jembrds, dia terkejut dan khawatir sekali. Keadaan ini tentu saja mengurangi kewaspadaannya dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh kedua orang lawannya yang selain tangguh juga berpengalaman luas. Sebuah tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya menyambar dan paha kiri Nurseta terkena sambaran ujung kaki yang amat kuat itu. Nurseta terhuyung dan kesem?patan ini dipergunakan oleh Ki Cucut Kalasekti untuk menggerakkan tangannya dengan aji pu?kulan Gelap Sewu.
Tubuh Nurseta terjungkal. Dia hanya mampu mengeluh lirih dan |atuh pingsan. Ketika Ki Cucut Kalasekti hendak menyusulkan pukulan maut untuk membunuh pemuda itu, Ni Dedeh Sawitri cepat menghalangi dan berkata, "Jangan dibunuh dulu" Dan ia lalu mengangkat tubuh Nurseta, kemudian minta bantuan para murid Ki Buyut Pranamaya untuk membelenggu kaki tangan pemuda itu.
"Hemm, tidak dibunuh untuk apa" Dia berbahaya sekali " kata Ki Cucut Kalasekti.
Ki Buyut Pranamaya tertawa. "Hahaha, seperti tidak mengenal kesukaan Ni Dedeh Sawitri saja, Ki Cucut. Biarkan ia bersenang-senang sejenak. Pula, kalau kita membunuh. Ki Jembros dan Nurseta, tidak ada gunanya bagi kita. Kalau membiarkan me?reka ini hidup, mungkin besar manfaatnya"
"Eh" Apa maksudmu, Ki Buyut?"
"Semalam kau telah menerangkan tentang tugas yang diberikan oleh Sang Prabu Jayakatwang untuk kita berdua. Untuk tugas menyelidiki ke Majapahit memang dua orang mi tidak ada gunanya. Akan tetapi untuk mencari Wulansari yang melarikan tombak pusaka, kurasa mereka ini merupakan umpan yang baik sekali"
Ki Cucut Kalasekti mengerutkan alisnya dan mulutnya yang meruncing seperti mulut ikan itu nampak semakin meruncing ketika dia mencurahkan pikirannya. Hemm, umpan" Apa maksudmu, Ki Buyut?"
"Dahulu, aku pernah menguasai tombak pu?saka itu. Ketika Wulansari merampasnya dariku, kukejar ia dan tentu pusaka itu sudah da?pat kurampas kalau saja tidak muncul Nurseta yang membantu Wulansari sehingga akhirnya pusaka itu terjatuh ke tangan gadis itu. Nah, dengan bukti itu jelas bahwa ada hubungan dekat antara Wulansari dan Nurseta. Maka, kalau kita menahan Nurseta dan Ki Jembros ini tentu saja dengan menjaga ketat, besar kemungkinan Wulansari akan muncul di sini. De?ngan demikian, maka tidak perlu lagi kita bersusah payah mencarinya. Bagaimana pendapatmu ?"
Tiba-tiba Ki Cucut Kalasekti tertawa dan suara ketawanya aneh, bercampur desis seperti desis ular. "Kau sungguh cerdik. Dan me?mang benar, bekas muridku itu memang jatuh cinta kepada Nurseta. Kalau ia mengetahui bahwa Nurseta menjadi tawanan kita, pasti ia akan datang untuk berusaba menolongnya"
"Bagus kalau begitu" Ki Buyut Pranamaya lalu memerintahkan enam orang muridnya untuk membawa Nurseta dan Ki Jembros yang sudah dlbelenggu kaki tangannya ilu ke dalam rumah dan memasukkan mereka berdua ke sebuah kamar dengan dirantai dan dijaga ketat.
"Ki Dedeh Sawitri, kau dan Gagak Wu?lung harus memperkuat penjagaan. Kalian ber?dua yang bertanggung jawab kalau sampai pen?jagaan kurang ketat sehingga mereka berdua dapat lolos"
"Jangan khawatir, aku akan menjaga Nur?seta dengan ketat, demikian ketat kalau perlu aku akan memeluknya dan tidak akan melepaskannya lagi" jawab Ni Dedeh Sawitri genit dan tanpa malu-malu biarpun di situ terdapat enam orang murid Ki Buyut Pranamaya.
Kakek ini terkekeh dan Ni Dedeh Sawitri memondong tubuh Nurseta yang masih pingsan, dibawa masuk, diikuti enam orang mund Ki Buyut Pranamaya yang membawa Ki Jembros yang juga masih pingsan.
Ketika Gagak Wulung mengetahui bahwa pemuda tampan itu ternyata seorang gadis muda yang melihat ketampanannya dalam penyamaran tentulah cantik, melihat payudaranya ketika bajunya dirobek Ni Dedeh Sawitri, seketika diapun terpesona dan bangkitlah berahinya. Maka, tanpa memperdulikan yang lain, dia lalu memondong tubuh Pertiwi dan dibawanya gadis yang menyamar pria itu ke dalam hutan, ke sebuah tempat yang ditumbuhi rumput subur.
(Bersambung jilid ke 19)
Hal-hal yang menggelitik di hatiku :
1. Text diatas : "Keterangan yang diperolehnya adalah bahwa Wulansari menjadi seorang pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatang" text ini menyatakan bahwa Nurseta tidak tahu bahwa Wulansari menjadi pengawal pribadi Prabu Jayakatwang. Padalah pada Jilid.2, Nurseta pernah datang menemui Wulansari di istana Daha dan bertemu dengannya. Kok di jilid ini Nurseta tidak tahu?""
2. Ki Jembros punya GPS kali ya" tau aja dimana Gagak Wulung berada.
---ooo0dw0ooo---
Jilid 19 DENGAN lembut dia merebahkan Pertiwi di atas rumput tebal yang lunak, tersenyum senyum penuh kegembiraan karena kini dia mendapat kenyataan bahwa gadis yang menyamar pria itu sungguh seorang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis sekali. Dia tertawa-tawa teringat kepada Ni Dedeh Sawitri yang tadinya mengira gadis ini seorang pemuda tampan. Kegembiraannya memuncak ketika dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki kecantikan yang menawan dan bentuk tubuh yang padat indah sekali. Lalu dia memijit tengkuk gadis itu, berusaha menyadarkannya dari pingsan. Bagi Gagak Wulung, yang paling menyenangkan adalah kalau seorang wanita menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, yang jatuh oleh rayuannya, bukan karena pengaruh sihir, apa lagi bukan karena diperkosa. Maka, diapun menginginkan agar gadis ini menyerahkan diri dengan suka rela tanpa pengaruh sihir atau paksaan.
Pertiwi mengeluh lirih dan ia membuka matanya. Begitu ia membuka mata, ia melihat Gagak Wulung yang duduk di dekatnya. la cepat bangkit dan pada saat itu ia melihat bahwa ia sudah tidak berpakaian lagi, bahkan rambutnya yang hitam dan panjang sudah teturai lepas. Ia menahan jeritnya.
"Ahhh....... kau........'" Tangannya memukul, akan tetapi lengannya ditangkap oleh Gagak Wulung, juga lengan kirinya ditangkap dan ia tidak mampu berkutik lagi. Kini Gagak Wulung memandangnya dengan mata terbelalak heran. Setelah gadis itu siuman dan membuka matanya yang lebar dan bening jeli, baruluh dia teringat.
"Kau........ kau......... Pertiwi?"" Serunya kaget dan heran. "Benar, kau Pertiwi, gadis dusun Sintren itu, gadis di lereng Ciunung Kelud, bukan?"
Pada saat itu, Pertiwi sudah menyadari keadaannya. Kembali ia terjatuh ke tangan Gagak Wulung. Tak berdaya. Akan sia sia saja kalau ia melawan. Ilmunya belum mampu menandingi Gagak Wulung, Ingin ia menjerit. Ingin ia meronta. Ingin ia mengutuk dan memaki. Namun, Pertiwi sekarang adalah seorang gadis yang penuh perhitungan, yang menjadi cerdik karena sakit hati. Ia tabu bahwa mempergunakan kekerasan, ia takkan berhasil, bahkan ia tentu akan diperkosa oleh pria iblis ini.
"Benar, aku........aku Pertiwi........ dan engkau....... engkau seorang pria yang kejam, yang


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak tahu akan kasih sayang wanita. Engkau bukan bertanggung jawab, bahkan meninggalkan aku begitu saja, meninggalkan aku merana dan merindukanmu. Ah, kakangmas Gagak Wulung, betapa kejam hatimu......"
Gagak Wulung terbelalak memandang gadis yang menangis itu. Dia melepaskan kedua tangan Pertiwi, tetap waspada kalau-kalau gadis itu akan menyerangnya. Akan tetapi Pertiwi menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih.
"Pertiwi, kau merindukan aku" Kau cinta kepadaku" Tapi, baru saja engkau berdaya upaya sekuatmu untuk membunuhku Engkau mempelajari ilmu dan hendak membunuhku"
"Tentu saja" kata Pertiwi dengan suara bercampur isak. "Hati siapa yang takkan benci" Bertahun-tahun aku mencarimu, merindukanmu, rela menyamar sebagai pria dan mempelajari ilmu agar lebih mudah mencarimu. Setelah bertemu, engkau bergaul akrab dengan wanita lain, wanita cantik yang tadi membelamu mati-matian. Kakangmas Gagak Wulung, benarkah engkau tidak ingat betapa aku telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu ketika itu ?"
"Ah, Pertiwi, benarkah itu" Benarkah engkau cinta padaku dan merindukan aku?" Gagak Wulung tetap waspada, lalu menangkap lengan gadis itu, ditariknya dekat lain didekapnya. "Coba, aku ingin membuktikan apakah engkau benar merindukan aku"
Gagak Wulung yang penuh pengalaman itu lalu membelai, menciumi gadis itu. Pertiwi menahan gejolak hatinya yang hendak meronta. Kebencian dan dendamnya terlampau besar sehingga membuat ia mampu melakukan apa saja. Ia membiarkan dirinya hanyut dibuai nafsu berahi dan kemesraan, ia membalas rangkulan dan ciuman pria itu dengan semangat menggebu-gebu, dengan penuh gairah yang panas seolah-olah ia benar seorang wanita yang kehausan, yang lama merindukan dekapan pria yang dicintanya. Ia bahkan menggumuli Gagak Wulung bagaikan mabuk, penuh nafsu membakar sehingga Gagak Wulung yang kini terseret dan pria inipun kehilangan kewaspadaannya.
Bagaimana dia dapat meragukan lagi kalau Pertiwi dapat mendekap seperti itu, menciuminya seperti itu" Diapun membiarkan dirinya tenggelam.
Dengan penuh perhitungan Pertiwi menanti kesempatan itu, Setelah tiba saatnya yang tepat, ia menggigit lidah Gagak Wulung yang bermain di dalam mulutnya, berbareng kedua tangannya mencengkeram ke bawah.
Gagak Wulung tersentak, kerongkongannya mengeluarkan gerengan aneh, tangannya menghantam dengan pengerahan tenaga seorang yang sekarat.
"Prakkk" Tangan itu menghantam kepala Pertiwi, gadis itu terkulai, tewas seketika karena kepalanya pecah terkena hantaman Gagak Wulung. Sebaliknya, Gagak Wulung berkelojotan dalam sekarat. Mulutnya menyemburkan darah dari lidah yang putus, dan selangkangannya juga penuh darah dari alat kelaminnya yang remuk karena cengkeraman tangan Pertiwi yang dilakukan dengan sepenuh tenaga didorong kebencian yang amat mendalam
*** Ki Buyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti bercakap-cakap di luar, mengatur siasat bagaimana agar mereka dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala seperti diperintahkan oleh Sang Prabu Jayakatwang, juga tentang tugas mereka menyelidiki keadaan di Majapahit. Mereka tidak memperdulikan lagi keadaan Nurseta, Ki Jembros atau gadis yang menyamar pemuda itu. Mereka maklum bahwa di tangan Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, tiga orang tawanau itu tidak akan mampu meloloskan diri, apa lagi dua orang pembantu yang boleh. diandalkan itu dibantu oleh enam orang murid atau pelayan Ki Buyut Pranamaya yang bukan merupakan orang-orang lemah lembut.
Sementara itu, Ni Dedeh Sawitri membawa Nurseia ke dalam kamarnya di belakang. "Lempar kerbau itu ke sudut kamar, biar aku yang mengawasinya. Dia sudah dibelenggu dan pingsan. Kalau banyak tingkah, akan kuhabisi sekali kerbau tua itu" kata Ni Dedeh Sawitri kepada enam orang yang menggotong ubuk Ki Jembros yang masih pingsan,
"Setelah itu, kalian keluarlah dari kamar ini, biar aku yang menjaga mereka berdua"
Enam orang murid Ki Buyut Pranamaya itu tiga pria dan iiga wanita, saling pandang sambil tersenyum maklum, kemudian sambil tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintunya. Terangsang oleh sikap Ni Dedeh Sawitri yang jelas mempunyai niat cabul terhadap tawanan yang tampan itu, mereka bertiga lalu menggandeng pasangan inasing-masing dan meninggalkan tempat itu, tiga pasang orang muda yang menjadi murid-murid dan juga pelayan pelayan Ki Buyut Pranamaya ini setiap hari menyaksikan terjadinya kecabulan yang dilakukan guru mereka, juga tamu-tamu guru mereka. Juga mereka diharuskan melayani guru mereka dan para tamunya, maka dengan sendirinya merekapun bergelimang nafsu rendah.
*** Ki Jembros menggerakkan pelupuk matanya. Dia mulai siuman dari pingsannya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kenyerian yang menusuk pada dadanya. Rasa nyeri ini seketika menyadarkannya dan mengingatkannya akan apa yang terjadi. Dia berkelahi dan terkena tendangan ampuh yang dilakukan kaki Ki Buyut Pranamaya. Dia sudah pernah mendengar akan aji kesaktian kakek itu, dan pernah mendengar akan ilmu tendangan yang disebut Cakrabairawa. Din kini dia merasakannya. Tendangan maut yang amat hebat sehingga biarpun dia sudah mengerahkan kekebalannya, tetap saja ketika dadanya tertendang, dia merasa seperti disambar petir dan segalanya menjadi gelap. Dia pingsan. Dia hendak menggerakkan tangan untuk meraba dadanya, namun tangan itu tak dapat digerakkan. Ki Jembros maklum bahwa dia tertawan musuh, kaki tangannya dibelenggu. Dia tidak sudi memperlihatkan kelemahan, maka iapun sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia membuka matanya. Kiranya dia rebah terlentang di atas lantai sebuah kamar, karena kepalanya terasa agak pening ketika dia membuka mata, maka dipejamkannya kembali. Dia meraba-raba dada dengan perasaannya dan merasa lega bahwa dada itu hanya nyeri saja di bagian luarnya. Ternyata ilmu kekebalannya telah menyelamatkan nyawanya, menahan tendangan itu sehingga hanya kulit dadanya saja yang menderita nyeri, tidak menembus ke dalam.
"Ahhh, Nurseta, bocah bagus. Sejak dahulu aku sudah tergila-gila kepadamu. Betapa jantannya engkau, betapa tampan. Aku cinta padamu Nurseta"
Mendengar suara lembut ini yang disusul suara terkekeh genit, Ki Jembros membuka matanya kembali dan menggerakkan leher menoleh ke kiri. Dia melihat betapa Ni Dedeh Sawitri duduk di tepi sebuah pembaringan dan Nurseta rebah di atas pembaringan dengan tangan dan kaki terbelenggu pula. Wanita itu dengan tak tahu malu sedang merayu dan membelai Nurseta. Kedua tangan wanita itu membelai mesra, kadang kadang membungkuk untuk menciumi muka pemuda yang telentang dalam keadaan pingsan itu.
Ki Jembros melotot. Kalau saja kedua pasang kaki tangannya tidak dibelenggu, tentu dia sudah meloncat dan menerkam wanita jahat itu. Akan tetapi dia sendiri tidak berdaya.
"Nurseta, sekali ini engkau harus memenuhi hasratku, engkau harus melayaniku, mau tidak mau........, harus....... hihihi......... engkau pasti akan tunduk, sayangku. Akan tetapi engkau harus siuman dulu untuk dapat kuminumkan jamu ini......."
Wanita itu mengeluarkan bungkusan dan agaknya memang ia sudah mempersiapkan segalanya. Dimasukkan isi bungkusan yang merupakan rumuan jamu , bubuk itu ke dalam sebuah cangkir, ducampurnya dengan air teh yang berada di poci lalu diaduknya sampai rata. Setelah itu, ia meletakkan jamu dalam cangkir itu di atas meja dan kembali ia menciumi seluruh muka Nurseta sabelum berusaha membuat pemuda itu siuman.
Ki Jembros tak dapat menahan dan kemarahannya lagi. "Ni Dedeh Sawitri, perempuan cabul, perempuan hina tak tahu malu"
Mendengar suara iri, Ni Dedeh Sawitri yang sedang merangkul dan menciumi Nurseta, menoleh dan tersenyum manis. "Hik hik Ki Jembros, engkau kepingin " Ah, kalau ada Nurseta disini, aku tidak sudi berdekatan dengan laki-laki macam kau"
"Perempuan rendah, engkau melebihi binatang. Ketahuilah, siapa pemuda yang kau pangku itu " Siapakah Nurseta " Dia adalah anakmu. Dia anak kandungmu sendiri dan sekarang engkau hendak memaksa puteramu sendiri berzina denganmu" Huh, perempuan macam apa engkau ini. Seorang ibu hendak memaksa puteranya sendiri menggaulinya" Cuhh..! Ki Jembros meludah dan Ni Dedeh Sawtri terbelalak, mukanya pucat dan ia memandang kepada Ki Jembros, lalu kepada Nurseta.
"Bohong. kau bohong, kau iri dan kau hanya menggertak. Aku tidak percaya !" bentak Ni Dedeh Sawitri, akan tetapi tetap saja ia menurunkan kepala Nurseta yang tadi dipangku dan dibelainya.
"Ki Jembros, engkau pembohong besar. Engkau sengaja hendak menggertakku, agar aku kehilangan gairahku. Keparat jahanam kubunuh kau" Wanita itu meloncat turun dari atas pembaringan dan menghampiri Ki Jembros dengan sikap mengancam, kini wajahnya yang tadi pucat berubah merah sekali karena amarah dan ia sudah mengerahkan Aji Sarpakenaka sehingga kuku-kuku jari tangannya yang panjang runcing itu kini dipenuhi hawa beracun dan sekali guratan kuku jari itu sudah cukup untuk membunuh orang.
"Ha ha ha, kau bunuhlah aku, Ni Dedeh Sawitri. Lebih baik aku mati dari pada hidup menyaksikan seorang ibu kandung memperkosa puteranya sendiri. Ibu kandung meniduri dan menggauli puteranya sendiri. Ih, iblis nerakapun tidak akan sekeji itu, Dedeh"
''Bohong. Kau bohong. Mana buktinya?"
"Buktinya " Engkau sungguh tidak tahu diri, Dedeh. Bercerminlah dan Iihat betapa mata dan mulutmu sama benar dengan mala dan mulut anakmu itu. Dan engkau tidak melihat bentuk tubuhnya" Tidak melihat dahinya dan hidungnya" Tidakkah serupa benar dengan bentuk tubuh, dahi dan hidung mendiang Pangeran Panji Hardoko ?"
Kini wajah yang memerah itu pucat kembali, lebih pucat dari tadi. Ia menoleh dan mengamati wajah yang berada di atas pembaringan itu. Ia menjerit lirih, "Tidak. Tidaaaakk.,....... Engkau bohong........"
"Hemm, engkau memang iblis betina yang tidak pernah mau bertaubat, tidak pernah mau menyadari kekotoran diri sendiri. Engkau tentu tahu siapa Nurseta" Murid dan putera angkat Ki Baka. Putera angkat. bukan anak kandung. Dari mana Ki Baka mendapatkan Nurseta" Dari kakaknya, mendiang Ki Bayaraja. Sebelum memberontak, Ki Bayaraja menyerahkan puteranya kepada Ki Baka agar dirawat.
Puteranya, putera angkat, bukan anak sendiri. Dan kau tahu dari siapa Ki Bayaraja menerima anak yang bernarna Nurseta itu" Dari Pangeran Panji Hardoko"
"Tidak........, tidaaaakk........." Kini Ni Dedeh Sawitri menutupi muka dengan kedua tangannya, akan tetapi segera diturunkannya dua tangan, itu dan ia kembali mengamati wajah Nurseta.
"Hemm, engkau meninggalkan anakmu itu kepada Pangeran Panji Hardoko ketika Nurseta masih bayi. Dan Pangeran Panji Hardoko sudah meninggal dunia karena duka, karena ulahmu. Dan engkau kini bahkan hendak berbuat cabul dengan puteramu sendiri" Cuhh!" Kembali Ki Jembros meludah.
"Tidak....... ah, tidak....ya Tuhan, tidak...." Ni Dedeh Sawitri hendak menjerit, akan tetapi suaranya lemah dan lirih.
. Pada saat itu, Nurseta membuka matanya Dia siuman dan seperti juga Ki Jembros, dia segera teringat akan keadaaanya dan tahulah dia bahwa dia terbelenggu dan berada di atas pembaringan, Ketika dia membuka mata, dia melihat Ni Dedeh Sawitri berdiri disitu, memandang kepadanya dengan mata terbelalak muka pucat sekali.
"Hahaha, Dedeh, perempuan hina. Lihat Nurseta sudah siuman, boleh kau tanya sendiri
kepadanya" terdengar Ki Jembros berkata dengan nada suara mengejek.
Setelah mendengar suara itu, baru Nurseta menoleh dan melihat bahwa kakek itu menggeletak di atas lantai, di sudut kamar itu.
Kini Ni Dedeh Sawitri meloncat, mendekati pembaringan, lalu dengan kedua tangan menggigil dan dingin ia memegang pundak Nurseta, mengguncangnya dan suaranya gemetar ketika ia berkata, "Nurseta, katakanlah, demi para dewata. katakan siapa ayah kandungmu dan siapa pula ibu kandungmu ?"
Nurseta yang merasa betapa bajunya bagian masih terbuka dan hidungnya mencium bau harum, dapat menduga apa yang tadi terjadi dan dilakukan Ni Dedeh Sawitri terhadap dirinya. Dia dapat pula menduga bahwa tentu Ki Jembros yang mencegah terjadinya keributan itu lebih lanjut dengan membuka rahasia mengenai hubungan antara dia dan wanita ini. Dia tahu bahwa jawabannya akan merupakan tikaman yang lebih hebat dari pada serangan keris pusaka. maka dengan penuh geram diapun menjawab dengan mata yang tajam mencorong menatap wajah wanita itu.
"Dengailah baik-baik. Ayah Eandungku adalah Pangeran Panji Hardoko dari Kediri, dan ibu kandungku adalafh seorang wanita gagah perkasa dari Pasundan yang bernama. Ni Dedeh Sawitri"
"Nurseta....... Aku ....... aku........ kalau begitu, akulah ibumu.........." Wanita itu menatap.
"Tidak. Bagaimana kau berani mengaku demikian" Ibuku adalah seorang wanita gagah perkasa yang berbudi luhur. Sedangkan kau. Kau ini seorang perempuan hina dan rendah, iblis betina yang kejam dan keji, tak tahu malu........ Aku akan malu sekali menjadi
anakmu. Tidak sudi aku mempunyai seorang ibu macam kau"
Ni Dedeh Sawitri mengeluarkan keluhan lirih dan iapun terkulai ke bawah pembaringan. Ia berlutut diatas lantai dan merataplah ia dengan suara merintih. "Nurseta.......aku ibumu, nak. Kau anakku........, aduh dewa....., ampuni hamba........ kau anakku......., wajahmu itu....... ah, sama benar dengan wajahnya, ayahmu. Nurseta anakku. tahukah engkau betapa rinduku kepadamu " Setelah aku meninggalkan engkau dan ayahmu....... ah, aku
lelah dikutuk untuk perbuatan itu, aku rindu kepada kalian. Aku kembali ke Kediri, akan
tetapi ayahmu telah meninggal dan kau.......kau lenyap. Tak seorangpun tahu dt mana kau berada, bahkan tidak ada yang tahu tahwa Pangeran Panji Hardoko mempunyai seorang putera. Aku menjadi seperti gila" aduh, anakku........ anakku....... aku menjadi gila dan makin tersesat......"
"Hemm, kau perempuan keji, iblis betina, jangan mencoba merayuku. Kalau kau ibuku, mengapa kau berusahu membunuhku" Kau........ perempuan tak bermalu....... muak aku melihatmu........"
Seluruh perasaan dendam dan bencinya kepada wanita. yang menjadi ibu kandungnya itu tercurah keluar dari dalam hati Nurseta. Lenyaplah semua kebijaksanaannya, terbakar oleh apa dendam dan sakit hati.
Ni Dedeh Sawitri menjerit. Bagaikan di tikam keris berkarat rasa jantungnya dan ia pun terkulai, lalu menangis tersedu-sedu, sesenggukan sampai sesak napasnya.
"Ampunkan aku........duhh dewa...... anakku....... ampunkan ibumu........ Panperan Panji Hardoko...... ampunkan aku....... duh Nurseta, ampunkan ibumu ini, anakku....... ia
Merintih-rintih dan membentur-benturkan dahinya di atas lantai. Nurseta diam saja terlentang dan tidak menoleh, akan tetapi kedua matanya basah, berlinang air mata mengingat betapa yang merintih-rintih itu adalah rintihan ibu kandungnya. Terbayang di dalam benaknya betapa wanita ini dahulu merintih rintih seperti itu ketika melahirkan dia di dalam dunia ini. Ingin dia merangkul, ingin dia menyembah dan minta ampun. Akan tetapi, diberatkannya hatinya. Wanita ini memang ibu kandungnya, akan tetapi terlalu jahat, terlalu kejam.
Melihat keadaan ibu dan anak itu, Ki Jembros merasa kasihan pula. Dia yang mewakili Nurseta menjawab. "Ni Dedeh Sawitri, mintalah ampun kepada Sang Hyang Widhi, kepada Yang Maha Kuasa. Bertauhatlah dan mohon ampun kepadaNya"
Ni Dedeh Sawitri bangkit berlutut, merangkap kedua tangan, menyembah-nyembah dari membentur-benturkan dahinya ke lantai. "Duh para dewa......., duh Hyang Widhi...... ampunilah hamba....... ya Tuhan, ampuni hambaMu ini uhhuhuuuu, ampun.... ampun......
ampun....." la meratap-ratap dan air matanya bercucuran, rambutnya terlepas dari sanggul dan awut-awutan, wajahnya pucat dan layu, tubuhnya mengigil.
"Ni Dedeh Sawitri, apa gunanya semua itu" Kau telah membantu sehingga puteramu. anak kandungmu tertawan dan setiap saatnya" nyawanya terancam maut......." kata Ki Jembros mengingatkan.
Tiba tiba Ni Dedeh Sawitri meloncat berseru. "Tidak " Tidak ada yang boleh roembunuh
anakku. Dia tidak boleb diganggu" Dan bagai orang gila, ia lalu melepaskan belenggu dari kaki dan tangan Nurseta. Pemuda ini begitu terbebas, lalu membereskan pakaiannya yang hampir ditelanjangi wanita itu tadi, dan dia meloncat ke dekat Ki Jembros dan membebaskannya dari ikatan kaki tangannya.
Pada saat itu, daun pintu terbuka dari luar dan enam orang murid Ki Buyut Pranamaya berloncatan masuk. Mereka tadi di luar mendengar suara ribut-ribut dalam kamar itu. Tadinya mereka sambil menahan tawa hendak menglntai, hendak melihat apa yang sedang dilakukan Ni Dedeh Sawitri terhadap tawanannya, dan mereka mengharapkan penglihatan yang menggairahkan dan mengobarkan nafsu berahi mereka. Akan tetapi, ternyata yang mereka dengar adalah tangis Ni Dedeh Sawitri, maka mereka segera mendorong daun pintu dan berloncatan masuk. Akan tetapi, mereka hanya mengantar nyawa, karena begitu mereka masuk, Ni Dedeh Sawitri sudah menyambut mereka dengan serangan kuku-kuku jari tangannya yang ampuh dan mengandung bisa itu. Empat orang roboh dan tewas seketika dengan muka menghitam, dan dua orang lainnya yang hendak melarikan diri, roboh oleh tendangan Ki Jembros yang sudah bebas. Nurseta sendiri hanya bengong saja melihat sepak terjang wanita yang sebetulnya ibu kandungnya akan tetapi selama ini menjadi musuhnya itu.
"Ni Dedeh, bawa kami kepada Gagak Wulung. Kami harus menolong Pertiwi yang tadi dibawanya lari" kata Ki Jembros yang teringat akan muridnya.
Ni Dedeh Sawitri memandang kepada Nurseta yang juga sedang menatapnya, dan dua pusang mata bertemu dan bertaut untuk beberapa detik lamanya. Melihat betapa pandang mata pemuda itu kepadanya kini mulai bebas duri kebencian yang mendalam, Ni Dedeh Sawitri merasa demikian berbahagia sehingga iapun meloncat ke pintu kamar sambil berseru dengan suara ringan dan gembira, Mari kalian ikuti aku"
Tanpa banyak cakap Ki Jembros dan Nurseta mengikuti wanita itu yang keluar dari rumah melalui pintu belakang. Karena pada saat itu, dua orang kakek gakti Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya sedang bercakap-cakap di ruangan depan, mereka tidak tahu bahwa dua orang tawanan telah lolos dan enam orang murid Ki Buyut Pranamaya telah tewas.
Ni Dedeh Sawitri dapat menduga ke mana Gagak Wulung membawa pergi gadis tadi. Tentu ke dalam hutan dan iapun tahu di mana terdapat lapangan rumpu yang tebal
dan mengasyikkan. Kesanalah ia berlari, diikuti oleh Nurseta dan Ki Jembros.
Setelah mereka tiba di tengah hutan, di tempat yang ditumbuhi rumput tebal, tiba-tiba Ni Dedeh Sawitri berhenti berlari dan ia tidak bicara, hanya menudingkan telunjuk kanannya ke depan.
Ki Jembros dan Nurseta memandang dan mereka terbelalak, Gagak Wulung dan Pertiwi, keduanya dalam keadaan terlanjang bulat, rebah dalam keadaan mandi darah dan tak bernyawa lagi.
"Pertiwi........" Ki Jembros meraung dan diapun meloncat ke depan, dan di lain saat dia menubruk mayat Pertiwi sambil menangis menggerung gerung. Nurseta terbelalak, termangu dan terharu. Sebagai seorang pria, dia dapat merasakan apa yang dirasakan kakek itu. Ki Jembros bukan sekedar kehilangan seorang murid, melainkan lebih dari pada itu. jauh lebih dari pada itu. Dia kehilangan seorang yang amat dikasihi, seorang yang amat dicintanya.
"Pertiwi...... aduh, jagad dewa bathara....... Pertiwi........" Ki Jembros merangkul dan memangku mayat yang kepalanya pecah itu. Tiba-tiba dia menurunkan kembali mayat itu dan seperti orang yang mendadak menjadi gila, dia berteriak kepada mayat Gagak Wulung.
"Gagak Wulung, jahanam keparat kau. Terkutuk kau, semoga nyawamu disiksa di neraka yang paling rendah. Dan diapun mengayun tangannya dua kali. Terdengar bunyi keras dan kepala mayat Gagak Wulung menjadi remuk. Setelah melampiaskan kedukaan dan kearahannya dengan menghancurkan kepala mayat Gagak Wulung, kembali Ki Jembros merangkul mayat Pertiwi dan sambil menangis dia mengenakan pakaian laki-laki yang tadi ditinggalkan dari tubuh Pertiwi kepada mayat gadis itu lagi.
Nurseta berdiri seperti berubah menjadi arca. Dia teringat akan nasib Pertiwi dan diamddiam dia merasa terharu dan iba. Buruk sekali nasib gadis manis itu. Gadis itu jatuh cinta kepadanya, namun dia tidak dapat membalas cinta Pertiwi karena dia telah lebih dulu jatuh cinta kepada Wulansari. Kemudian, Pertiwi dalam keadaan putus harapan dan patah hati, bertemu dengan Gagak Wulung dan gadis itu menyerahkan diri di bawah pengaruh sihir Gagak Wulung. Gadis itu menjadi sakit hati dan setelah bertemu Ki Jembros, ia mempelajari ilmu dan berusaha membalas dendan. Akan tetapi, kembali ia dikalahkan, bahkan diperkosa kembali. Dan dia dapat membayangkan apa yang telah terjadi, melihat keadaan mayat Gagak Wulung yang amat mengerikan tadi.
Mulutnya penuh darah dengan lidah putus, dan alat kelaminnya remuk. Melihat betapa tangan kanan Pertiwi penuh darah, diapun dapat membayangkan betapa gadis itu tentu telah bersiasat, berpura-pura menyerah dan melayani jahanam itu, kemudian membunuhnya dengan meremas alat kelaminnya. Dan pada saat sekarat itu, Gagak Wulung sempat memukul pecah kepala Pertiwi. Gadis yang malang sekali. Padahal, Ki Jembros jelas amat mencinta gadis itu.
Tiba-tiba Nurseta yang melamun itu dikejutkan oleh teriakan Ni Dedeh Sawitri, "Nurseta. Ki Jembros. Cepat kalian lari, biar aku yang menahan dua ekor monyet tua itu"
Ki Jembros dan Nurseta cepat memutar tubuh dan mereka masih sempat melihat Ni Dedeh Sawitri meloncat dan menyerang dua orang kakek sakti yang datang ke tempat itu. Bagaikan seekor singa betina melindungi anaknya, Ni Dedeh Sawitri menggunakan pukulan mautnya, yaitu dengan Aji Sarpakenaka mencakar ke arah muka Ki Cucut Kalasekti yang berada di depan, Namun, tentu saja kakek sakti itu dengan mudah dapat mengelak bahkan rnembalas dengan tamparan tangan Gelap Sewu yang ampuh Dengan kelincahan tubuhnya, Ni Dedeh Sawitri mengelak, meloncat ke kanan dan karena Ki Buyut Pranamaya kini berada dekat dengannya, iapun membalik dan kedua tangannya mencengkeram, yang kiri ke arah perut kakek itu, yang kanan ke arah lehernya. Sementara itu, kakinya masih menyambar ke kiri untuk menjaga kalau Ki Cucut Kalasekti menyerangnya dari samping. Juga Ki Buyut Pranamaya dengan mudah mengelak dengan melangkah mundur, dan pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti sudah menangkis tendangan kaki wanita itu. Tangkisan yang kuat membuat tubuh Ni Dedeh Sawitri terputar dan terhuyung. Saat itu, tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya yang terkenal hebat itu, dengan Aji Cakrabairawa, telah menyambar.
"Desss......" Tubuh wanita itu terpelanting keras dan iapun roboh tak bergerak lagi.
Biasanya, sejak dia tahu bahwa Ni Dedeh Sawitri adalah ibu kandungnya, Nurseta merasa berduka dan bahkan amat membenci wanita itu, lebih benci dari pada sebelum dia tahu bahwa ia ibunya. Akan tetapi, kini, melihat wanita itu roboh dan tak berkutik lagi, agaknya tewas, tiba-tiba dia menjadi beringas. Dari dalam perutnya keluar suara melengking nyaring yang mengejutkan dua orang kakek sakti, dan tubuh Nurseta sudah menerjang ke depan dengan hebatnya, Dahsyat sekali serangan Nurseta yang dia tujukan kepada Ki Buyut Pranamaya yang telah membunuh ibu kandungnya. Dia telah menggunakan Aji Pukulan Jagad Pralaya yang amat dahsyat itu, pemberian gurunya, Panembahan Sidik Danasura. Melihat datangnya pukulan yang seperti halilintar itu, Ki Buyut Pranamaya terkejut dan cepat menangkis.
"Desss......." Biarpun Ki Buyut Pranamaya telah mempergunakan seluruh tenaganya, namun pertemuan antara kedua tangan yang sama-sama mengandung tenaga ampuh itu membuat kakek itu terpental ke belakang dan terhuyung-huyung. Gentarlah Ki Buyut Pranamaya. Dia meloncat jauh ke belakang.
"Ki Cucut, mari kita pergi" katanya, menyembunyikan perasaan nyeri di dadanya akibat gempuran tenaga ampuh dari lawannya yang muda tadi.
Ki Cucut Kalasekti juga agak gentar menghadapi Nurseta. Walaupun dia sama sekali tidak takut karena di situ ada Ki Buyut Pranamaya, akan tetapi kalau rekannya itu pergi dan dia harus seorang diri saja menghadapi Nurseta, berbahaya juga. Pula, tugasnya adalah merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan menyelidiki Majapahit. Biarpun dia membenci Nurseta, akan tetapi pemuda itu tidak cukup penting. Maka, mendengar ajakan Ki Buyut Pranamaya, diapun cepat meloncat jauh dan melarikan diri bersama rekannya itu.
Nurseta dan Ki Jembros juga tidak melakukan pengejaran karena mereka segera menghampiri dua orang wanita yang telah roboh itu. Ki Jembros kembali berlutut dekat mayat Pertiwi, sedangkon Nurseta kini berlutut dekat tubuh ibu kandungnya yang sudah tidak mampu bergerak lagi. Dia memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa biarpun Ni Dedeh Sawitri masih bernapas, namun napasnya sesak dan dari ujung bibirnya mengalir darah segar. Ia telah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya.
Pendekar Panji Sakti 21 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Kisah Para Pendekar Pulau Es 8
^