Pencarian

Sepasang Garuda Putih 10

Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


"Hemm, pasukanku telah hancur, aku telah kalah
bertanding. Apa lagi yang dapat kulakukan selain menyerah"
Aku menyerah. terhadap kekuasaan kerajaan Jenggala dan
Panjalu." "Bagus kalau begitu. Anakmas Jarot, lepaskan ikatan
tangan Sang Adipati", perintah Tejolaksono dan Jarot segera
melaksanakan perintah itu.
Tejolaksono meninggalkan para perwira pembantu dan lima
ribu pasukan Panjalu dan Jenggala untuk menjaga dan
mengatur ketenteraman di Kadipaten Blambangan, kemudian
menggiring Sang Adipati Menak Sampar berikut semua
keluarganya menuju ke Jenggala. Rombongan pasukan yang
menang perang ini singgah di Nusabarung untuk mengambil
tawanan Adipati Martimpang dari Nusabarung sekeluarganya
untuk juga dibawa sebagai tawanan ke Jenggala.
Ki Patih Tejolaksono singgah di istana Jenggala,
melaporkan tentang kemenangannya dan bahwa kedua orang
adipati yang memberontak itu telah dijadikan tawanan dan
dibawa menghadap.
Akan tetapi Sang Prabu di Jenggala menolak dan berkata,
"Kakang Patih Tejolaksono, sesungguhnya yang menggerakkan pasukan untuk menaklukkan kedua orang
adipati yang memberontak adalah Panjalu, dan kami dari
Jenggala hanya membantu belaka. Oleh karena itu, kedua
orang tawanan ini dan sekeluarganya kami pasrahkan kepada
andika untuk dibawa menghadap Paman Prabu di Panjalu dan
terserah kepada beliau untuk memutuskannya. Juga
sampaikan salam hormat dan terima kasihku kepada beliau
yang telah menenteramkan daerah Jenggala yang dilanda
pemberontakan."
Karena penolakan ini, Ki Patih Tejolaksono terpaksa
membawa dua rombongan tawanan itu terus ke Panjalu.
Kedatangan pasukan yang menang perang ini disambut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meriah oleh rakyat Panjalu. Gamelan dibunyikan dimana-mana
dan rakyat menyambut dengan sorak sorai di sepanjang jalan.
Sang Prabu di Panjalu juga menyambut kedatangan Ki
Patih Tejolaksono dan para senopati dengan gembira. Ketika
mendengar pelaporan Ki Patih Tejolaksono tentang kemenangan di kedua kadipaten itu, dan betapa Sang Prabu di
Jenggala menyerahkan pengadilan terhadap para tawanan
kepada Sang Prabu di Panjalu, beliau mengangguk-angguk
senang. "Hei, Adipati Menak Sampar, benar benarkah andika
sekarang telah menyadari kesalahan andika dan benar-benar
telah! takluk kepada Panjalu dan Jenggala?" tanya Sang Prabu
Panjalu kepada adipati itu yang menghadap sambil
menundukkan kepalanya.
Sang Adipati Menak Sampar yang sudah tidak berdaya itu
lalu menyembah dan berkata lirih, "Hamba telah menyadari
kesalahan hamba, dan hamba telah menyatakan takluk,
terserah kepada kebijaksanaan paduka untuk menjatuhkan
pidana terhadap hamba sekeluarga, Kanjeng Gusti."
Jilid 16 Tamat "Dan bagaimana dengan andika, Adipati Martimpang dari
Nusabarung?" tanya pula Sang Prabu kepada Adipati
Martimpang. "Hambapun sudah menyadari kesalahan hamba, kalau
diperkenankan hamba mohon pengampunan dan selanjutnya
terserah kepada kebijaksanaan paduka, Kanjeng Gusti."
"Bagus, kalau andika berdua sudah mengakui kesalahan,
kamipun dapat mempertimbangkan. Akan tetapi sebelum kami
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperoleh keputusan dari musyawarah yang akan kami
adakan dengan para nayaka-praja, kalian menjadi tawanan
terhormat dan akan diperlakukan dengan baik-baik. Kakang
Patih Tejolaksono terserah bagaimana andika akan mengatunya untuk menawan kedua keluarga bekas adipati ini.
Pilihkan tempat pengasingan di daerah istana dan suruh awasi
mereka." "Sendiko dawuh, Kanjeng Gusti," kata Ki Patih Tejolaksono
dan dia segera membawa pasukan pengawal untuk mengawal
dua keluarga tawanan itu menuju kebagian belakang istana
dan menahan mereka di dua bagian ruangan belakang, lalu
memerintahkan para pengawal untuk menjaga mereka, akan
tetapi juga agar mereka diperlakukan dengan hormat dan baik
sesuai dengan kehendak Sang Prabu.
Setelah memberi pujian dan hadiah kepada semua orang
yang berjasa, persidangan lalu dibubarkan. Ki Patih
Tejolaksono lalu mengundang semua orang yang telah
membantunya dalam peperangan itu untuk singgah di
gedungnya. Ki Patih Tejolaksono dan dua orang isterinya mengadakan
pesta makan bersama. Perjamuan itu selain untuk merayakan
kemenangan, juga untuk menghormati mereka yang telah
membantunya. Semua berkumpul di situ. Jarot, Ki Haryosakti, Ki
Bajramusti yang dijamu oleh Ki Patih Tejolaksono, Endang
Patibroto, Ayu Candra, Retno Wilis, dan Bagus Seto serta para
senopati Panjalu. Pada awal perjamuan itu, datanglah
beberapa orang tamu yang segera diundang untuk duduk
bersama ikut dalam perjamuan. Mereka itu adalah Saroji dan
Sarmini, putera dan puteri Ki Haryosakti yang menyusul
ayahnya ketika mendengar kemenangan di pihak Panjalu dan
Jenggala yang dibantu ayah mereka. Muncul pula Harjadenta,
pemuda Gunung Raung yang pernah membantu Bagus Seto
dan Retno Wilis, dan datang pula Adipati Kertajaya dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kadipaten Pasisiran yang datang menyusul puteranya Jarot
dan untuk memberi selamat atas kemenangan Panjalu. Lalu
yang terakhir muncul Jayawijaya seorang diri. Diapun
mendengar akan kemenangan Panjalu dan datang untuk
berkunjung dan memberi selamat. Semua tamu ini
dipersilakan masuk dan ikut dalam perjamuan karena mereka
semua pernah membantu ketika Endang Patibroto, Retno Wilis
dan Bagus Seto melakukan penyelidikan ke Nusabarung dan
Blambangan. Setelah perjamuan selesai, mereka bercakap-cakap di
ruangan depan yang luas. Sekali ini, para senopati
mengundurkan diri dan yang hadir hanyalah tamu-tamu
kehormatan. Dalam kesempatan ini, Adipati Kertajaya dari
kadipaten Pasisiran berkata sambil memandang kepada Ki
Patih Tejolaksono yang duduk diapit kedua orang isterinya,
sedangkan di sebelah kiri Endang Patibroto duduk Retno Wilis
berjajar dengan Bagus Seto.
"Kakangmas Patih Tejolaksono, kedatangan saya di sini
pertama-tama untuk menghaturkan selamat atas kemenangan
pasukan Panjalu yang kakangmas pimpin."
"Hasil kemenangan kami juga karena dukungan putera
andika, adimas Adipati Kertajaya," jawab Ki Patih Tejolaksono
merendah. "Adapun maksud kunjungan saya yang kedua kalinya,
sebelum saya matur mohon terlebih dulu kakangmas Patih
memberi maaf yang sebesar-besarnya kalau pembica raan
saya lancang dan menyinggung perasaan."
Ki Patih Tejolaksono tersenyum. "Adimas Adipati, mengapa
bicara dengan sungkan-sungkan" Kita berada di antara
golongan sendiri yang mengabdi kepada Panjalu dan
Jenggala, tidak ada yang perlu disembunyikan. Kalau ada
persoalan, kemukakanlah saja terus terang, kami berjanji tidak
akan menyalahkan andika dan andaikata ada yang perlu
dimaafkan, kami senantiasa bersedia untuk memaafkan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Begini maksud saya, kakangmas Patih. Mengenai anak
saya yang bodoh, yaitu Jarot yang sekarang telah berusia
duapuluh dua tahun dan belum memiliki calon pasangan
hidup. Kami ditangisi anak kami Jarot yang kasmaran terhadap
puteri kakangmas, anak mas ayu Retno Wilis. Oleh karena itu,
saya memberanikan diri berlancang mulut untuk mengajukan
pinangan terhadap puteri kakangmas Patih. Sekali lagi
maafkan kelancangan saya."
Ki Patih Tejolaksono tersenyum dan memandang kepada
Jarot dengan penuh perhatian. "Kami telah menyaksikan
kemampuan dan kegagahan puteramu, adimas Adipati
Kertajaya. Murid siapakah puteramu ini"'
"Jarot, engkau ditanya oleh Uwa Patih, jawablah." kata
Adipati Kertajaya kepada puteranya.
Jarot menyembah lalu menjawab dengan muka tunduk
penuh hormat. "Hamba menerima petunjuk ilmu dari Bapa
Bhagawan Dewondaru, pertapa di lereng Semeru, Uwa Patih."
"Jagad Dewa Bathara ...!" Ki Tejolaksono mengucap
kagum. "Jadi gurumu adalah Kakang Bhagawan Dewondaru
yang sakti mandraguna itu" Pantas engkau memiliki
kemampuan yang tinggi, anak mas Jarot." Kemudian dia
menoleh lagi kepada Adipati Kertajaya dan berkata, "Adimas
Adipati Kertajaya, puteramu berkenan dihatiku, akan tetapi
karena urusan perjodohan bagi kami tergantung kepada anak
yang hendak menjalani, maka kami harus berunding lebih dulu
dengan segenap keluarga dan juga dengan anak kami Retno
Wilis." "Pendapat kakangmas Patih itu memang tepat sekali dan
memang seharusnya demikian. Maka saya persilakan
kakangmas untuk memperbincangkan urusan penting ini
dengan keluarga kakangmas yang kebetulan sekarang
berkumpul semua di sini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Patih T ejolaksono lalu menoleh kepada Endang Patibroto
dan tersenvum lalu bertanya "Bagaimana pendapatmu,
diajeng Endang Patibroto" Anakmu si Retno Wilis agaknya
sekarang sudah dewasa benar dan sudah dipinang orang!
Engkau sudah mendengar sendiri pinangan yang diajukan oleh
adimas Adipati Kertajaya, bagaimana pendapatmu, diajeng?"
Endang Patibroto memandang kepada suaminya dengan
alis berkerut, lalu menoleh kepada Retno Wilis. la melihat
betapa puterinya itu juga mengerutkan alis dan puterinya
melirik ke arah Jayawijaya yang duduk bersila sambil
menundukkan mukanya. Ia tahu bahwa melihat gelagatnya
suaminya condong untuk menerima pinangan Adipati
Kertajaya, menjodohkan Retno Wilis dengan Jarot. Ia sendiri
suka kepada pemuda yang gagah perkasa, tampan, dan baik
budi itu, akan tetapi pilihan, hatinya jatuh kepada Jayawijaya,
pemuda yang tidak digdaya akan tetapi memiliki daya yang
mujijat dan luar biasa.
"Bagaimana, diajeng?" desak Tejolaksono ketika melihat
Endang Patibroto diam saja. Terpaksa Endang Patbroto
menjawab. "Terus terang saja, kakangmas. Aku sendiri sangat suka
kepada anakmas Jarot. Dia seorang pemuda yang baik dan
gagah perkasa. Akan tetapi sebetulnya aku sudah mempunyai
pilihan seorang pemuda lain untuk menjadi ca lon jodoh Retno
Wilis." "Ibu ......!" Retno Wilis berseru dengan nada memrotes.
"Begitukah, diajeng" Nah, katakan siapa pilihanmu yang
kaucalonkan menjadi jodoh anak kita itu."
"Orangnya berada di sini, dialah itu, anakmas Jayawijaya,"
kata Endang Patibro to sambil menunjuk ke arah Jayawijaya.
Bagus Seto tersenyum melihat ulah ibunya. Dan aneh sekali,
Retno Wilis yang tadinya seperti hendak membantah, kini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan diam
seribu bahasa! Kini Tejolaksono yang mengerutkan alis sambil menatap ke
arah pemuda yang menunduk itu dengan pandang mata tajam
penuh selidik. "Akan tetapi, ketika terjadi perang, dia tidak
membantu. Putera siapakah andika, anakmas Jayawijaya?"
"Ayah saya adalah Pertapa Panji Kelana yang bertapa di
bukit T engger, paman Patih," jawab Jayawijaya sederhana.
"Dan siapa gurumu yang mengajarkan ilmu kanuragan dan
kadigdayaan kepadamu?"
"Tidak ada, paman Patih. Saya tidak pernah mempelajari
ilmu kadigdayaan."
"Ahh, kalau begitu....."
Pada saat itu, seorang pengawal datang menghaturkan
sembah dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang
katanya merupakan ayah dari Jayawijaya dan mohon
menghadap Sang Patih. Mendengar ini, Ki Patih Tejolaksono
tertegun. Orang yang baru saja dibicarakan muncul! Kebetulan
sekali, urusan dapat segera diselesaikan dengan orang tua
yang bersangkutan.
"Persilakan dia masuk!" katanya kepada pengawal yang
melapor, sedangkan Jayawijaya menoleh keluar dengan heran.
Tak lama kemudian pengawal mengantarkan seorang yang
usianya sekitar limapuluh tahun, bertubuh tegap sedang
dengan punggung lurus dan wajahnya masih tampak muda
dan tampan. Mulutnya dihias senyuman yang ramah dan
pandang matanya sedemikian lembutnya sehingga Tejolaksono cepat mempersilakan tamunya duduk di atas
sebuah bangku yang disodorkan oleh pengawal. Pengawal itu
atas isarat Ki Patih lalu meninggalkan ruangan itu.
"Selamat datang di kepatihan, Ki Sanak. Siapakah andika
yang memberi kehormatan dengan kunjungan ini?" tanya Ki


Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tejolaksono dengan sikap hormat karena kepribadian orang
itu sungguh mendatangkan rasa hormat dalam hatinya.
Orang itu tersenyum lebar dan memandang kepada Ki
Tejolaksono dengan sinar mata kagum. "Sudah lama
mendengar akan nama besar Ki Patih Tejolaksono sebagai
seorang yang bijaksana, dan sekarang baru saya dapat
melihat buktinya! Ki Patih, nama saya adalah Panji Kelana,
seorang pertapa di bukit Tengger dan saya adalah ayah dari
Jayawijaya yang sekarang hadir. di sini. Karena mendengar
bahwa K i Patih telah berhasil memadamkan pemberontakan di
Nusabarung dan Blambangan, juga mencegah penyebar-
luasan agama sesat, rnaka saya sengaja datang menyusul
anak saya untuk menyampaikan rasa kagum dan ucapan
selamat kepada Ki Patih."
"Kebetulan sekali andika datang berkunjung, Sang Pertapa
Panji Ke lana. Justeru kami sedang memperbincangkan tentang
putera andika, anak mas Jayawijaya. Benarkah puteramu
mempunyai niat untuk mempersunting puteri kami, Si Retno
Wilis?" Panji Kelana menoleh kepada puteranya dan tersenyum.
"Demikianlah dia pernah menyatakan kepada saya, Ki Patih,
bahwa antara dia dan anak mas ayu Retno Wilis terjalin saling
Kasih." "Tidak mungkin! Benarkah itu, Retno Wilis"'' tanya Ki Patih
Tejolaksono sambil menoleh dan memandang kepada
puterinya. Retno Wilis balas memandang kepada ayahnya,
kemudian dengan hati tabah ia mengangguk.
"Tidak mungkin ini terlaksana! Puteriku harus memperoleh
jodoh seorang satria yang sakti mandraguna, bukan seorang,
pemuda lemah!" bentak Tejolaksono dengan suara nyaring.
"Kanjeng romo ....!" seru Retno Wilis.
"Kakangmas ....!" Endang Patibroto juga memrotes.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara lantang sekali
yang datangnya dari luar gedung.
"Ki Patih Tejolaksono! Endang Patibroto Bagus Seto dan
Retno Wilis! Keluarlah kalian, kami datang untuk membuat
perhitungan!" Suara itu begitu lantang sampai menggetarkan
seisi gedung ruangan gedung itu sehingga tentu saja
membuat semua orang menjadi terkejut bukan main.
Seorang perwira pengawal berlari-larian dari luar dan
menghaturkan sembah kepada Ki Patih Tejolaksono dan
langsung me lapor. "Gusti Patih, di luar gedung terdapat dua
orang kakek yang menantang-nantang. Belasan orang
pengawal yang mencoba untuk mengusirnya, dengan
lambaian tangan saja dirobohkan semua oleh dua orang kakek
itu!" "Keparat!" bentak Ki Patih Tejolaksono dan tanpa banyak
cakap lagi diapun bangkit dan melangkah keluar, diikuti oleh
Endang Patibroto, Bagus Seto, Retno Wilis, Ayu Candra, dan
semua tamu yang hadir di situ, semua lalu keluar untuk
melihat siapa orangnya yang berani menantang keluarga Ki
Patih Tejolaksono yang sakti mandraguna itu. Para tamu itu
adalah Adipati Kertajaya dan Jarot, Ki Haryosakti dan putera
puterinya Saroji dan Sarmini, Ki Bajramusti, Harjadenta,
kemudian paling akhir Jayawijaya melangkah keluar bersama
ayahnya, Ki Panji Kelana. Mereka berdua ini keluar tanpa
tergesa-gesa seperti yang lain, bahkan dengan senyum
tersungging di bibir seolah tidak ada terjadi sesuatu yang
hebat dan menegangkan.
Setelah tiba di
luar, Ki Patih Tejolaksono dan
rombongannya melihat para pengawal masih berserakan dan
mulailah mereka bangun dengan wajah ketakutan. Di sana
berdiri dua orang kakek yang seorang adalah Wasi Shiwamurti
yang berjubah kuning, jenggot dan kumisnya yang panjang
sudah putih semua, tangannya memegang tongkat kepala
naga, dan usianya yang sudah enampuluh lima tahun itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah andika berdua?" bentak Ki Patih Tejolaksono
yang memang belum pernah bertemu dengan Wasi
Shiwamurti. "Dan apa sebabnya kalian datang menantang-
nantang kami?"
Sang Wasi Shiwamurti memukul-mukulkan
ujung tongkatnya ke atas tanah sehingga terdengar suara duk-duk-
duk dan tanah di sekitar tempat itu seperti tergetar.
"Ha-ha-ha, Ki Patih Tejolaksono. Andika memang belum
mengenal aku, akan tetapi puteramu Bagus Seto sudah
mengenalku. Aku adalah Wasi Shiwamurti dan ini adalah
kakak seperguruanku yang berjuluk Wasi Shiwasakti dan yang
sedang bertugas di Bali-dwipa. Kami berdua datang untuk
membuat perhitungan dan kami menantang kalian untuk
bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang
lebih unggul di antara-kita!" Kakek ke dua yang disebut Wasi
Shiwasakti itu hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia
lebih tua dari Wasi Shiwamurti, sedikitnya enampuluh delapan
tahun, tangannya memegang sebatang tongkat bambu kuning
yang sederhana, tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah,
namun sepasang matanya mencorong seperti mata seekor
naga! "Hemm, andika berdua menantang mengadu kesaktian,
dengan dasar dan maksud apa?" tanya pula K i Patih Tejolakso
no dengan lantang.
"Ha-ha-ha, Ki Patih Tejolaksono. Kami hanya hendak
memperebutkan hak kami untuk menyebar luaskan agama
kami. Kalau kami kalah bertanding dengan pihakmu, sudahlah
kami tidak akan banyak cakap lagi dan akan kembali ke Cola
dan tidak akan menyebar luaskan agama kami di daerah Nusa
Jawa dan Bali Dwipa. Akan tetapi kalau pihakmu tidak mampu
mengalahkan kami, kami berhak menyebar luaskan agama
kami tanpa gangguan dari kalian. Bagaimana pendapatmu?"
kata Wasi Shiwamurti dengan tidak kalah lantangnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Endang Patibroto melompat ke depan dan
bertolak pinggang, telunjuk kirinya menuding ke arah dua
orang pendeta dari Cola itu. "Pendeta-pendeta cabul danpalsu!
Bagaimana kami dapat membiarkan kalian menyebar agama
yang cabul dan menyesatkan rakyat jelata kami. Hayo kalian
cepat pergi dari s ini sebelum kuhajar!"
"Ha-ha, Endang Patibroto! Sejak muda andika telah
memusuhi kami yang datang dari negeri Cola. Andika bahkan
memusuhi pula Paman Wasi Bagaspati. Sudah kami katakan.
Kami akan mundur dan pergi kalau di antara kalian ada yang
mampu mengalah kan kami dalam pertandingan satu lawan sa
tu. Engkau sendiri lebih baik mundur saja, Endang Patibroto
karena engkau tidak akan becus mengalahkan kami!"
Ucapan ini amat memanaskan hati Endang Patibroto.
Seperti telah kita kenal, Endang Patibroto adalah seorang
wanita gagah perkasa yang tidak pernah merasa gentar
melawan siapa saja. Maka mendengar tantangan yang
meremehkannya itu, wajahnya berubah merah dan kedua
matanya bersinar kilat!
Ia mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba ia
membentak, "Wasi palsu, sambutlah seranganku ini!" Dan ia
lalu mengeluarkan pekik me lengking panjang yang amat
dahsyat. Itulah pekik Aji Sardulo Bairowo dan tubuhnya
melayang ke atas lalu menerjang ke arah Wasi Shiwamurti,
dengan pukulan Gelap Musti yang hebat dengan tangan
kanan, sedangkan tangan kirinya menghantam dengan jari-jari
tangan yang diisi Aji Pethit Naga! Hebat bukan ma in serangan
Endang Patibroto ini. Udara di sekitar situ seolah tergetar
dengan dikeluarkannya kedua aji pukulan yang amat ampuh
ini. Akan tetapi, Sang Wasi Shiwamurti dengan tenangnya
menggerakkan tongkat kepala naga itu ke atas untuk
menangkis pukulan Aji Gelap Musti dan Aji Pethit Naga itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Wuuuuttt ..... bressss ....!!" Dua tenaga raksasa bertemu
di udara dan akibatnya, tubuh Endang Patibroto terpental ke
belakang. Akan tetapi wanita perkasa ini tidak roboh,
melainkan berjungkir balik menjaga keseimbangan tubuhnya
dan ia dapat hinggap di atas tanah dengan kedua kakinya.
Endang Patibroto menjadi marah dan kembali tubuhnya
mencelat ke udara. Ia menggunakan Aji Bayutantra seperti
menunggang angin me layang kembali ke arah lawan dan
sekali ini ia menyerang dengan menggunakan pukulan Aji
Wisangmolo dan mengandung hawa beracun. Serangan ini
bahkan lebih ganas dari pada tadi.
"Pergilah!" Wasi Shiwamurti membentak dan kini dia
menancapkan tongkat kepala naga di atas tanah, lalu
menggunakan kedua tangan yang terbuka untuk menerima
serangan Endang Patibroto dengan dorongan kuat.
"Wuuuuttt.....desss ....!" Kembali tubuh Endang Patibroto
terpental lebih keras daripada tadi dan kembali Endang
Patibroto harus menggunakan kelincahannya untuk membuat
salto jungkir balik sampai tiga kali sebelum ia hinggap kembali
ke atas tanah. Sekali ini wajahnya agak pucat karena hawa
pukulannya tadi membalik dan membuat pernapasannya agak
sesak. "Keparat!" Ki Patih Tejolaksono tidak dapat menahan
kemarahannya ketika me lihat isterinya dikalahkan sedemikian
mudahnya oleh Wasi Shiwamurti. Kekalahan isterinya di depan
orang banyak itupun membuatnya merasa terhina. Dalam
kemarahannya Ki Patih Tejolaksono sudah mengerahkan Aji
Triwikromo! Tubuhnya yang menjadi besar seperti raksasa itu
menerjang ke depan dan dengan suara menggereng yang
mengandung getaran kuat dia menyerang dengan pukulan Aji
Bajra Dahono yang mengandung hawa panas membakar!
Itulah serangan yang amat dahsyat dan jarang ada orang
yang akan mampu menahan serangan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi kembali Wasi Shiwamurti menyambut serangan
dahsyat ini dengan dorongan kedua tangannya. Angin
menyambar dahsyat dari kedua telapak tangannya itu,
mengandung hawa dingin sekali.
"Wuuuutttt ...... desssss ....!" Tubuh Wasi Shiwamurti
melangkah mundur tiga tindak, akan tetapi tubuh Ki Patih
Tejolaksono terhuyung ke belakang sampai lima langkah dan
mungkin dia akan terjengkang kalau saja tiba-tiba Retno Wilis
tidak menahan punggung ayahnya itu dari belakang. Ki Patih
Tejolaksono tidak roboh, akan tetapi wajahnya juga pucat,
tanda bahwa ia masih kalah kuat dibandingkan Wasi
Shiwamurti. "Wasi Shiwamurti jahanam, terimalah "kematianmu!" Retno
Wilis sudah mencabut pedang Sapudenta dan sekali melompat
tubuhnya sudah melayang ke atas lalu menukik ke arah di
mana Wasi Shiwamurti berdiri.
Menghadapi serangan pedang ini, Wasi Shiwamurti
mencabut tongkat yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan
diapun memutar tongkat kepala naga itu untuk menangkis
sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Trangggg ....!" Tampak bunga api berpijar-pijar dan tubuh
Retno Wilis terpental ke belakang. Akan tetapi begitu kakinya
menginjak tanah, gadis perkasa ini sudah mencelat lagi ke
atas dan kembali ia menyerang dengan pedangnya, sekali ini
lebih hebat karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya
untuk menghantamkan pedangnya ke arah kepala kakek itu.
"Retno Wilis, pergilah engkau!" Wasi Shiwamurti membentak dan tongkat kepala naga itu menangkis lagi
dengan gerakan memutar.
"Cringggg ....!" Beradunya kedua senjata sekali ini lebih
dahsyat lagi dan akibatnya tubuh Retno W ilis terpental
semakin jauh. la berjungkir balik sampai jauh dan ketika
hinggap di atas tanah ia hendak menerjang lagi dengan nekat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi sebuah tangan memegang lengannya. Ia menoleh
dan melihat Bagus Seto yang memegang lengannya.
"Diajeng Retno Wilis, dia terlampau sakti untukmu. Biarkan
aku yang maju menghadapinya." kata Bagus Seto dengan
sikap tenang. Retno Wilis mengangguk. Memang dari semula dara ini
sudah maklum bahwa Satu-satunya orang yang akan mampu
menandingi Wasi Shiwamurti hanyalah kakaknya ini.
Dengan langkah tenang Bagus Seto maju menghampiri
Wasi Shiwamurti. Dia memandang tajam wajah sang wasi dan
berkata dengan sikap berwibawa namun lembut.
"Paman Wasi Shiwamurti, mengapa andika masih saja
hendak membuat kekacauan" Apakah andika pikir bahwa
perbuatan andika ini layak dan patut dilakukan seorang wasi
seperti andika" Harap andika menyadari kesalahan dan pergi
meninggalkan Nusa Jawa, kembali ke tempat asalmu dan
menyudahi permusuhan yang tidak ada artinya ini."
Sepasang alis yang putih itu berkerut dan sepasang mata
Wasi Shiwamurti mengeluarkan sinar berapi-api. Dia pernah
dikalahkan pemuda ini dan di dasar hatinya dia masih belum
mau menerima kekalahan itu. Walaupun kini dia memiliki
orang andalan, yaitu kakak seperguruannya, namun dia masih
penasaran dan ingin mencoba lagi mengadu kesaktian
melawan pemuda berpakaian serba putih ini.
"Bagus Seto, hari ini aku datang untuk membalas
kekalahanku terdahulu! Sambutlah tongkat kepala nagaku!"
Berkata demikian, Wasi Shiwamurti lalu menyerang dengan
tongkatnya. Terdengar suara bersiutan ketika tongkat itu
menyambar ganas. Bagus Seto mempergunakan kelincahan
tubuhnya untuk mengelak dan kembali terulang pertandingan
seperti yang terjadi di bukit daerah Blambangan itu. Tongkat
itu berubah menjadi sinar me layang-layang seperti seekor
naga terbang, namun tubuh Bagus Seto seperti berubah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi bayang-bayang atau awan di mana naga itu bermain
main dan tidak pernah naga itu mampu menjamahnya. Bagus
Seto sudah melolos kain pengikat kepalanya dan kini kain
putih itu menyambar-nyambar bagaikan kilat yang keluar dari
awan mendung. "Tar-tar-tarrr ....!" Kain pengikat kepala itu meledak-ledak
dan Wasi Shiwamurti terhuyung-huyung ke belakang. Dia
melompat jauh ke belakang dan tiba-tiba melontarkan tongkat
kepala naga itu ke arah tubuh Bagus Seto yang masih
melayang di atas. Bagus Seto menangkis dengan kain ikat
kepalanya. "Darrr ....!" Tongkat itu membalik seperti anak panah
menuju ke arah dada Wasi Shiwamurti sendiri. Sang wasi
terkejut, cepat menangkap tongkatnya, akan tetapi dia
terbawa terpelanting saking kuatnya luncuran tongkat itu.
Bagus Seto sudah turun lagi ke atas tanah, berdiri dengan
tenang dan waspada memandang lawannya.
"Adi Wasi Shiwamurti, mundurlah. Bocah ini harus aku yang
menandinginya!" terdengar suara yang kecil tinggi seperti
suara wanita dan Sang Wasi Shiwasakti sudah melangkah
maju membawa tongkat bambu kuningnya. Telunjuk tangan
kirinya menuding ke arah muka Bagus Seto dan diapun
berkata. "Orang muda, semuda ini andika telah memiliki kesaktian
yang memadai. Katakan lah siapa yang menjadi gurumu?"
"Paman Wasi Shiwasakti, guruku bernama Ki Tunggaljiwo
dan Bhagawan Ekadenta," jawab Bagus Seto dengan
sejujurnya. Kakek itu tampak terkejut. "Wah, dia adalah adi
seperguruan dari Ki Satyadarma" Pantas! Pantas andika
memiliki ilmu yang tinggi dan sakti mandraguna. Akan tetapi
sekali ini andika berhadapan dengan Wasi Shiwasakti! Maka,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demi kebaikanmu sendiri, mundurlah dan jangan berani
menandingi aku, Bagus Seto!"
"Paman- Wasi Shiwasakti, bukan aku yang mencari
permusuhan. Melainkan andika yang datang mencari
keributan. Demi membela keluarga ayah bundaku, terpaksa
aku memberanikan diri untuk menandingi andika!"
"Babo-babo, Bagus Seto. Kalau begitu, waspada dan
bersiaplah untuk menerima Aji Suryo Dahono dariku!" Setelah
berkata demikian, tiba-tiba kakek itu menancapkan tongkat
bambu kuningnya di atas tanah di sebelah kirinya, kemudian
dia mengembang kan kedua tangannya dari kanan kiri,
menyembah ke atas lalu mendorongkan kedua telapak
tangannya ke arah Bagus Seto.
Terdengar suara gemuruh dan tampak api keluar dari
kedua telapak tangan itu, berkobar-kobar dan semakin
membesar menerjang ke arah Bagus Seto. Dan di dalam
kobaran api itu seperti tampak bentuk-bentuk yang
mengerikan dari binatang-binatang aneh menyeramkan dan
muka-muka raksasa berambut api! Dahsyat sekali serangan ini
sehingga Retno Wilis, Endang Patibroto dan Tejolaksono
memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang. Melihat
serangan yang luar biasa ini, Bagus Seto tidak berani berlaku
lengah. Cepat dia mengeluarkan setangkai bunga cempaka
dari rambut kepalanya dan menimpuk ke arah api berkobar-
kobar itu dengan bunga cempaka putih.
"Syuuuuttt ..... wirrrr ....!" Api yang berkobar dan
bergulung-gulung itu tertahan, tidak dapat maju dan bunga
cempaka putih terpental kembali ke tangan Bagus Seto.
"Aji Surya Candra!" terdengar kakek itu berseru lagi dengan
suara yang mengandung getaran penuh wibawa. Dia
mendorongkan kedua tangannya dan kobaran api itu maju
lagi, kini tampak dua cahaya yang menyilau kan mata, merah
dan kuning mendorong kobaran api itu, seperti cahaya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
matahari dan cahaya bulan, dua inti tenaga yang dikerahkan
oleh Wasi Shiwamukti!
Bagus Seto yang maklum akan kehebatan lawan, juga
merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya,
kemudian diapun mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan itu, menggunakan Aji Mego Gemulung
sehingga dari kedua telapak tangannya tampak awan
bergulung-gulung menyambut kobaran api itu.
"Wuuuuttt .... bressss.....!" Tubuh Bagus Seto terpental ke
belakang. Dia tidak roboh, melainkan jatuh berdiri di dekat Ki
Tejolaksono. Wajahnya agak pucat dan napasnya agak
terengah. "Bagaimana kulup?" tanya Ki Tejolaksono kepada
puteranya. Bagus Seto menghela napas
dan menggelengkan
kepalanya. "Kanjeng Romo, dia terlalu tangguh untuk dapat
saya tundukkan."
Ki Tejolaksono menjadi bingung. Kalau Bagus Seto saja
kalah, lalu siapa lagi yang dapat diajukan sebagai jago untuk
menanggulangi Wasi Shiwasakti itu"
Wasi Shiwasakti tertawa, suara tawanya juga seperti suara
tawa wanita. "Hi-hi-hik, begitu saja kesaktianmu, Bagus Seto! Hayo,
orang Panjalu, siapa lagi 'yang dapat menandingi aku Wasi
Shiwasakti" Majulah!"
Ditantang begitu, Ki Patih Tejolaksono menjadi semakin
gugup dan dia teringat sesuatu. "Siapa yang mampu
mengalahkan dia, pinangannya terhadap puteraku akan
kupertimbangkan!"
Mendengar ini, Harjadenta yang sejak tadi hanya menonton
dan mendengarkan, hendak mencari jasa dan dia sudah
mencabut keris pusakanya, yaitu Ki Mengeng dan dia berseru,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Paman Patih, perkenankan saya menandinginya!" Tanpa
menanti jawaban, pemuda itu meloncat ke depan dengan
keris di tangan. Ki Tejolaksono tidak mencegah, namun dari
sikap dan tindakan pemuda ini diapun tahu bahwa Harjadenta
ternyata juga mencinta puterinya, Retno Wilis. Hal ini tentu
saja sudah diketahui oleh Retno Wilis karena pemuda itu
pernah menyatakan cinta kepadanya walaupun tidak ia
tanggapi. Kini dara itu memandang dengan penuh
kekhawatiran, la tahu sampai di mana tingkat kepandaian
pemuda itu. Kalau ia sendiri dan kakaknya tidak mampu
menandingi Wasi Shiwasakti, apa pula pemuda dari Gunung
Raung itu. "Wasi jahat, akulah lawanmu!" Harjaden ta membentak dan
melompat ke depan kakek itu. Melihat gerakan ini, Wasi
Shiwasakti terkekeh.
"Hl-hi-hik, bocah kemarin sore berani maju" Apakah
hendak mengantar nyawa?"
"Terimalah pusakaku Ki Mengeng!" Harjadenta lalu
menerjang dan menusukkan keris Ki Mengeng ke arah dada
kakek itu. Akan tetapi Wasi Shiwasakti tidak mengelak atau
menangkis sama sekali. Dia menerima tusukan keris itu
dengan dadanya.
"Tukkk!" Keris itu seperti mengenai dinding baja, bahkan
tangan Harjadenta yang terpental dan terguncang hebat. Wasi
Shiwasakti mengebutkan lengan baju tangan kirinya dan ujung
lengan baju itu menyambar ke arah dada Harjadenta.
"Wirrr .... bukkk!" T ubuh pemuda itu terlempar sampai lima
meter jauhnya dan jatuh terbanting keras ke atas tanah.
Masih untung baginya bahwa Wasi Shiwasakti tidak ingin
membunuh, maka dia hanya terkejut saja, tidak mengalami
luka parah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani maju lagi.
Kini Jarot me lompat ke depan. Melihat Harjadenta berani
maju melawan kakek itu, Jarot yang tadi mendengar ucapan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Patih Tejolaksono, lalu menjadi nekat. Dia harus
memperlihatkan dirinya sebagai seorang satria sejati yang
tidak takut menghadapi lawan tangguh, tidak takut mati.
Karena dengan demikian barulah pantas dia menjadi pasangan
Retno Wilis, dara perkasa itu. Dengan gerakan ringan sekali
dia melompat ke depan Wasi Shiwasakti.
"Wasi Shiwasakti, akulah lawanmu!" katanya dengan sikap
gagah. Wasi Shiwasakti melihat betapa gerakan pemuda ini
berbeda dengan gerakan Harjadenta. Dia memandang penuh
perhatian, lalu bertanya, "Orang muda, siapakah andika dan
murid siapakah andika?"
"Namaku Jardt dan aku adalah murid Bapa Bhagawan
Dewondaru dari Gunung Semeru."
"Hemm, bagus! Pernah aku mendengar tentang Bhagawan
Dewondaru yang kabarnya memiliki kesaktian yang cukup
tinggi. Nah, majulah, Jarot dan perlihatkan kemampuanmu
kepadaku!"
Jarot mencabut senjata kerisnya yang bernama Nogo
Ireng. Sinar kehitaman tampak ketika keris itu dicabut. "Jaga
serangank'u, Wasi Shiwasakti!" kata Jarot yang mulai
menyerang dengan kerisnya. Serangannya cukup kuat dan
cepat dan agaknya sekali ini Wasi Shiwasakti ingin menguji
kepandaian silat pemuda itu. Diapun mengelak dan tongkat
bambu kuning ditangannya membalas, menyambar dari
samping dengan tusukan ke arah lambung Jarot. Akan tetapi
pemuda ini dengan gesitnya dapat pula mengelak lalu
menubruk maju lagi dengan kerisnya, menusuk kearah perut
lawan. Gerakannya licin bagaikan belut dan Wasi Shiwasakti
terkekeh. "Hi-hi-hik, andika boleh juga, Jarot!" katanya sambil
memutar tongkat bambu kuningnya untuk menghalau keris
Jarot yang menyerang secara bertubi-tubi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Trang-trang-cring ....!"
Jarot terkejut bukan main. Tigakali beradu senjata itu
membuat tangan kanannya seperti lumpuh karena tergetar
hebat sekali, dan sebelum dia dapat mengatur keseimbangan
tubuhnya, tiba-tiba kaki Sang Wasi Shiwasakti mencuat dan
tak dapat dihindarkannya lagi tubuhnya terkena tendangan.
"Bukkk ....!" Tubuh Jarot terlempar jauh dan terbanting ke
atas tanah. Akan tetapi seperti juga halnya Harjadenta, dia
tidak menderita luka parah karena agaknya Wasi Shiwasakti
memang sengaja tidak mau membunuhnya.
Melihat betapa semua orang telah kalah oleh Wasi
Shiwasakti, Ki Patih Tejolaksono mulai merasa gelisah. Siapa
lagi yang akan mampu menandingi wasi yang sakti
mandraguna itu" Sebetulnya sejak tadi, setelah melihat
kekalahan Bagus Seto, dia sudah putus asa.
"Adimas Jayawijaya, hanya andikalah tumpuan harapan
kami. Harap andika suka maju menghadapi Wasi Shiwasakti!"
tiba-tiba Bagus Seto mendekati Jayawijaya dan berkata
dengan suara lembut. Jayawijaya memandang kepadanya dan
sejenak dua pasang mata bertemu pandang, dua pasang mata
yang penuh pengertian dan Jayawijaya tersenyum mengangguk. "Mohon doa restu, kakangmas Bagus Seto," bisiknya.
"Majulah dan jangan ragu, adimas."
Jayawijaya lalu menghampiri ayahnya dan menyembah,
"Kanjeng Romo, hamba mohon dpa restu untuk menghadapi
Wasi Shiwasakti."
Ayahnya tersenyum, mengangguk. "Sang Hyang Widhi
melindungimu, kulup," katanya.
Jayawijaya menghampiri Ki Patih Tejolaksono dan berkata
lirih, "Kanjeng Paman, hamba mohon doa restu untuk
menghadapi Wasi Shiwasakti."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tejolaksono terbelalak heran, tak dapat berkata-kata
saking herannya dan hanya mampu mengangguk. Setelah itu,
Jayawijaya menghampiri Endang Patibroto dan berkata
hormat. "Kanjeng Bibi Endang Patibroto, hamba mohon doa restu."
Endang Patibroto yang sudah mendengar ucapan
Jayawijaya kepada suaminya tadi, tersenyum mengangguk.
"Berhati-hatilah, anakmas Jayawijaya."
Paling akhir Jayawijaya menghampiri Retno Wilis dan
berkata, "Diajeng, aku mohon doarestumu."
"Kakang Jaya, jaga dirimu baik-baik," kata Retno Wilis
sambil mencoba untuk menahan kegelisahannya. Kekasihnya
hendak menandingi Wasi Shiwasakti yang sakti madraguna
itu. Pada hal ia sendiri dan kakaknya sudah kalah! Kekasihnya
sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Biarpun
ia juga tahu bahwa kekasihnya itu mempunyai sesuatu yang
luar biasa, namun tetap saja ia merasa khawatir sekali.
Kini Jayawijaya melangkah maju dengan tenang,
langkahnya perlahan-lahan, menghampiri Wasi Shiwasakti
yang masih menanti tanding. Melihat seorang pemuda yang
berwajah terang dan bersikap lemah-lembut menghampirinya,
dia merasa heran. Akan tetapi ketika pandang matanya
bertemu dengan pandang mata pemuda itu, dia terkejut
bukan main. Dia merasa seolah olah sinar matanya yang
tajam amblas dan tenggelam ke dalam samudera ketenangan
yang terkandung dalam sepasang mata pemuda itu.
"Hati-hati, kakang Wasi. Pemuda ini memiliki kelebihan,"
dia mendengar Wasi Shiwamurti berbisik di belakangnya.
Akan tetapi Wasi Shiwasakti adalah seorang sakti
mandraguna yang jiwanya tersesat. Karena dia memiliki
kedigdayaan yang linuwih, maka timbul kesombongan dalam
hatinya. Dia merasa bahwa di dunia ini tidak ada seorangpun
yang akan mampu menandingi kesaktiannya. Apa lagi hanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang pemuda seperti ini! Maka dia tertawa cekikikan ketika
melihat Jayawijaya menghadapinya.
"Hi-hi-hi-hik, bocah yang masih berbau kencur! Mau apa
engkau datang menghadapi aku?"
Jayawijaya bersikap sabar dan dia mengangkat mukanya,


Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang kepada wajah kakek itu dengan tenang. Lalu
katanya, dengan suara yang lemah lembut pula. "Paman Wasi
Shiwasakti, masihkah andika belum juga mau menyadari
kesalahan andika sendiri" Ingat, Paman Wasi, kejahatan kalau
dilanjut-lanjutkan akhirnya akan menjerat leher sendiri.
Permusuhan dan kebencian kalau dibiarkan akan menjadi
racun bagi bathin sendiri. Hentikan lah semua ini, Paman
Wasi, dan kembalilah ke tempat asalmu, hidup dengan aman
tenteram penuh damai. Bukankah hal itu akan menjadi baik
sekali?" "Hi-hi-hi-hik! Bocah masih berbau pupuk berani berkhotbah
di depanku! Aku melihat engkau seorang pemuda yang masih
bersih, hanya itu kelebihanmu. Dengan apa engkau hendak
melawanku" Lebih baik engkau mundur, aku tidak tega untuk
mencelakai orang seperti engkau."
"Nah, hati nuranimu sudah bicara, Paman Wasi. Turutilah
suara hati nuranimu itu, larutkan kebencian dan perrrtusuhan
ini. Yang kalah atau menang akan sama saja, tidak ada artinya
memperebutkan kemenangan karena akhirnya akan kalah
juga pada saatnya. Biarkan Kekuasaan Hyang Widhi yang akan
mengatur segalanya. Andika tidak perlu mencampuri
pekerjaan Hyang Widhi."
"Heh, bocah lancang! Bagaimana mungkin aku tidak
mencampuri pekerjaan Hyang Widhi" Penyebar luasan agama
kalau tidak kubantu, bagaimana Hyang Widhi dapat bekerja
sendiri?" kata Wasi Shiwasakti yang tadinya tertunduk akan
tetapi lalu membantah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memang menjadi tugas kita setiap orang manusia untuk
membantu pekerjaan Sang Hyang Widhi. Akan tetapi
membantu bukan berarti mencampuri, karena mencam puri itu
bersifat menentang, sedangkan mem bantu bersifat
mendukung! Yang andika lakukan adalah menentang
kehendak Sang Hyang Widhi, Paman Wasi. Andika
mengajarkan agama yang sesat, yang membawa manusia
menjadi hamba nafsu yang akan me nyeret mereka ke lembah
duka. Karena itu insaflah, Paman Wasi, dan hendaknya andika
suka mundur dan tidak melanjutkan pekerjaan yang tidak
benar itu, sebelum terlambat."
"Sebelum terlambat" Bocah sombong, apa yang akan dapat
kaulakukan terhadap diriku kalau aku tidak mau mundur?"
"Aku tidak dapat berbuat apa-apa, Paman Wasi Shiwasakti,
akan tetapi aku yakin bahwa Kekuasaan Sang Hyang Widhi
yang akan bekerja untuk menghentikan tindakan yang
menyimpang dari kebenaran."
"Babo-babo, Jayawijaya! Ucapanmu semakin lancang dan
engkau menantang aku! Apa engkau kira akan mampu untuk
melindungi dirimu sendiri terhadap serangan aji kesaktianku?"
"Aku tidak mampu melindungi diriku sendiri, akan tetapi
aku bersandar kepada Kekuasaan Sang Hyang Widhi, Paman
Wasi." "Engkau tidak takut mati?"
"Mati atau hidup berada di tangan Sang Hyang Widhi. Kalau
Sang Hyang Widhi tidak menghendaki aku mati, bahkan
engkau sekalipun tidak akan mampu membunuhku, Sang
Wasi! Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki kematianku di
tanganmu, akupun akan menerimanya dengan ikhlas dan
penuh penyerahan, tidak akan menyesal seujung rambut
sekalipun!"
"Hati-hati, kakang Wasi. Bocah ini mengerikan," bisik Wasi
Shiwamurti di belakang kakak seperguruannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Biar aku membinasakannya, Adi Wasi!" Wasi Shiwasakti
berseru dan dia menancapkan tongkat bambu kuningnya di
atas tanah, kemudian 'kedua tangannya berkembang,
membentuk sembah lalu dibuka lagi, mulutnya mengeluarkan
pekik menggetarkan.
"Aji Suryo Dahono........!"
Seperti tadi ketika menyerang Bagus Seto, tampak api
keluar dari sepasang telapak tangan itu, api yang makin lama
semakin berkobar, di sebelah dalam kobaran itu terdapat
bentuk-bentuk yang menggiriskan, seperti binatang-binatang
buas dan kepala-kepala setan, semua hendak menyergap
berikut kobaran api ke arah Jayawijaya!
Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak tampak gentar.
Dengan tabah dia malah
maju menghampiri dan menyambut kobaran api itu,
kedua lengannya bersedekap, matanya dipejamkan dan dari mulutnya terdengar ucapan
yang jelas dan lembut.
"Hong, nir boyo sedyo
rahayu! Hong, nir ing sambekala sedyo rahayu!"
Kobaran api itu kini "menelan"
tubuh Jayawijaya. Semua orang
yang menyaksikan menjadi
tegang dan khawatir sekali, terutama Retno Wilis yang
khawatir kalau kekasihnya akan terbakar hangus dan
menemui kematiannya.
Ki Patih Tejolaksono juga memandang dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga. Belum pernah dia melihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
peristiwa seperti itu! Dia tahu benar betapa saktinya aji yang
dikeluarkan Wasi Shiwasakti itu, akan tetapi pemuda yang
tampak lemah lembut dan tidak memiliki kedigdayaan itu
berani memasuki kobaran api yang bernyala nyala dan di
dalamnya terkandung sosok-sosok binatang buas dan kepala-
kepala setan itu!
Dan terjadilah keanehan yang membuat semua orang
terbelalak kagum dan terpesona. Bentuk-bentuk mengerikan
dalam kobaran api itu begitu bertemu dengan Jayawijaya,
tampak ketakutan seperti sekawanan anjing dibawakan
cambuk! Mereka mundur-mundur dan kobaran api itu dengan
sendirinya juga mundur ke belakang dan semakin menyempit
dan mengecil. "Aji Surya Candra....!" Wasi Shiwasakti mengeluarkan pekik
mengerikan lagi dan kini kedua telapak tangannya mendorong
sehingga api mulai berkobar lagi ditambah dua cahaya
mengkilat yang menyilaukan mata. Kobaran api itu
menyambar ke arah Jayawijaya yang masih bersedakap dan
kini pemuda itu terhuyung ke belakang. Demikian kuatnya Aji
Surya Candra itu sehingga se olah-olah Jayawijaya tidak akan
kuat bertahan! Retno Wilis menahan napas, matanya terbelalak memandang kekasihnya yang terancam bahaya, tangan
kirinya menutup mulutnya seolah hendak menahan agar ia
tidak menjerit. Semua orang juga merasa gelisah sekali,
kecuali Bagus Seto dan Ki Panji Kelana yang masih menonton
dengan sikap tenang sekali. Bagus Seto bersikap tenang
karena dia maklum bahwa dia bertemu dengan seorang yang
telah dilindungi oleh Kekuasaan Sang Hyang Widhi. Kekuatan
atau kekuasaan apakah di dunia ini yang akan mampu
menandingi Kekuasaan Sang Hyang Widhi yang sudah
melindungi seseorang" Karena pengertian inilah maka dia
bersikap tenang saja, yakin bahwa tidak ada sesuatu yang
akan mampu mencelakai Jayawijaya. Adapun Ki Panji Kelana
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersikap tenang karena dia adalah seorang yang sudah
sepenuh nya menyerah kepada Kehendak Sang Hyang Widhi,
seperti yang diajarkannya kepada puteranya sejak Jayawijaya
kecil. Kepasrahan dan penyerahan ini yang membuat dia
tenang dan tidak pernah gelisah karena apapun yang akan
terjadi menimpa diri Jayawijaya sudah diikhlaskan karena
semua itu sudah dikehendaki Sang Hyang W idhi. Kalau Sang
Hyang Widhi menghendaki kematian Jayawijaya atau dirinya
sendiri, setiap saat dia ikhlas dan dia akan merelakan tanpa
rasa penyesalan sedikitpun. Dengan penyerahan yang mutlak
lahir bathin ini, bagaimana hati Ki Panji Kelana dapat menjadi
khawatir" Tubuh Jayawijaya bergoyang-goyang ke belakang dan ke
depan, seperti di dorong-dorong oleh kekuatan gaib yang
amat besar. Seolah-olah setiap saat dia akan roboh
terjengkang. Akan tetapi tiba-tiba terjadi perubahan. Kedua lengannya
yang tadinya bersedakap, bergerak lepas, kemudian kedua
tangan itu dirangkap dan dia melakukan gerakan menyembah
ke atas. Gerakan yang wajar dan sama sekali tidak dibuat-
buat karena gerakan ini memang terjadi dengan sendirinya,
gerakan yang bukan digerakkan oleh hati akal pikiran,
melainkan gerakan langsung dari jiwanya. Kemudian, kedua
tangan yang menyembah itu meluncur lurus ke depan, kedua
telapak tangan menghadap ke depan seperti orang
mendorong. Gerakan inipun wajar dan lembut, sama sekali
tidak mengandung tenaga, hanya kedua tangan itu tergetar
dan ........ kobaran api itu tertiup mundur, sosok-sosok dan
bentuk-bentuk mengerikan terjengkang ke dalam kobaran api
dan kobaran api itu terus mundur sampai mengenai tubuh
Wasi Shiwasakti sendiri.
Terdengar jerit mengerikan keluar dari mulut Wasi
Shiwasakti! "Auuugrgghh ..! Taubat .... taubat .... hamba
menyerah ....!" Dan tubuhnya bergulingan di atas tanah. Wasi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Shiwamurti cepat membantu kakak seperguruannya bangkit
berdiri lagi. Kobaran api telah lenyap dan kini tampak betapa
semua rambut, kumis dan jenggot Wasi Shiwasakti terbakar
habis dan mukanya masih terbungkus hangus sehingga
kelihatan lucu dan juga mengerikan. Wasi Shiwamurti
memondong tubuh yang lunglai itu, yang kini hanya dapat
mendesis-desis seperti kepanasan, dan Wasi Shiwamurti
menyeret i tongkat kepala naganya, lalu pergi dari tempat itu
sambil memondong tubuh kakak seperguruannya yang sudah
tidak berdaya sama sekali.
Semua orang yang menonton pertunjukan luar biasa
hebatnya itu bersorak sorai atas kemenangan Jayawijaya.
Pemuda itu bersikap biasa saja dan ketika Ki Tejolaksono
menghampirinya dan memegang kedua pundaknya sambil
memuji, dia berkata li-rih.
"Sang Hyang Widhi yang menalukkannya, bukan saya...."
Semua orang mendekat dan merubung Jayawijaya dan
saking girang hatinya, Ki Tejolaksono memandang Adipati
Kertajaya sambil berkata, "Maafkan kami, adimas Adipati,
terpaksa sekali kami tidak dapat menerima pinangan andika
kepada puteri kami untuk puteramu itu, karena Retno Wilis
telah memiliki seorang calon jodohnya, yaitu anak mas
Jayawijaya."
Adipati Kertajaya menghela napas dan menoleh kepada
Jarot yang mengangguk sambil tersenyum, rela menerima
"kekalahan" itu.
"Kami mengerti, Kakangmas Patih. Kami menjadi saksi
bahwa yang mampu menandingi Wasi Shiwasakti tadi adalah
anak mas Jayawijaya, maka sudah sepantasnya kalau dia yang
berhak mempersunting puterimu."
Ki Patih Tejolaksono lalu menghadapi Ki Panji Kelana dan
berkata dengan sikap ramah. "Marilah, adimas Panji Kelana,
kita semua bicara di dalam karena pinanganmu kepada Retno
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wilis untuk putera andika Dayawijaya kami terima dengan
senang hati."
Semua orang dipersilakan masuk dan kembali mereka
disuguhi perjamuan kecil untuk merayakan kemenangan atas
kedua orang wasi dari Cola itu. Suasana meriah dan biarpun
Jarot ditolak pinangannya namun dia tidak menjadi kecil hati.
Dia maklum benar bahwa memang Jayawijaya lebih berhak,
bukan saja pemuda itu telah menandingi dan mengusir Wasi
Shiwasakti, akan tetapi lebih-lebih lagi karena dia merupakan
pilihan hati Retno Wilis. Juga Harjadenta tidak merasa
penasaran walaupun cintanya bertepuk tangan sebelah. Retno
Wilis memang terlalu tinggi baginya untuk dijangkau.
Jarot segera mengalihkan perhatiannya, yaitu kepada puteri
Adipati Blambangan yang bernama Dyah Ayu Kerti. Jarot
membisikkan kehendak hatinya kepada ayahnya dan orang
tua itu tidak merasa ragu untuk mengajukan pinangan kepada
keluarga yang menjadi tawanan terhormat itu. Ayah Jarot
adalah seorang adipati pula, dan dia sendiri sedang menjadi
tawanan, maka melihat uluran tangan yang meminang
puterinya itu, Adipati Menak Sampar dari Blambangan tidak
melihat jalan lain yang lebih terhormat kecuali menerimanya.
Apa lagi dia melihat bahwa Jarot adalah seorang pemuda yang
tampan dan gagah perkasa, dan kelak menggantikan
kedudukan ayahnya menjadi Adipati di Pasisiran. Juga Dyah
Ayu Kerti tidakmenolak ketika ditanya ayahnya karena puteri
inipun sudah meiihat kegagahan dan ke tampanan Jarot.
Saroji, putera Ki Haryosakti pemimpin perkumpulan
Jambuko Cemeng, memiliki, pilihan lain. Dia segera tertarik
sekali kepada Dyah Candramanik, puteri Adipati Martimpang
dari Nusabarung. Maka dia memberanikan diri, dengan
perantaraan ayahnya dan didukung oleh keluarga Ki Patih
Tejolaksono yang telah hutang budi atas bantuan Jambuko
Cemeng,

Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia meminang Dyah Candramanik. Adipati
Martimpang juga menerima pinangan ini dengan senang hati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengingat bahwa ayah pemuda itu, Ki Haryosakti merupakan
ketua dari perkumpulan Jambuko Cemeng yang cukup
terkenal kesaktiannya.
Harjadenta tidak mau kalah. Dia telah melihat Sarmini,
puteri Ki Haryosakti yang cantik manis dan lembut, maka
dengan-bantuan Bagus Seto dan Retno Wilis, dia minta
pertolongan kepada Ki Patih Tejolaksono untuk sudi menjadi
walinya karena dia sudah yatim piatu dan gurunya berada
jauh. di Gunung Raung, untuk meminangkan puteri Ki
Haryosakti itu. Pinangan inipun diterima dengan senang hati.
Maka lengkaplah sudah orang-orang muda itu mendapatkan jodoh masing-masing, Hanya Bagus Seto
seorang yang belum mendapatkan jodoh. Ayu Chandra,
ibunya menoleh kepada puteranya dan memberi isyarat
kepadanya untuk mengikutinya masuk ke dalam gedung.
Setelah berada berdua saja, ibu ini bertanya dengan suara
terharu. "Dan engkau sendiri bagaimana, angger" Kapan engkau
akan menentukan pilihan hatimu dan menikah" Ibumu sudah
rindu menimang cucu darimu."
Bagus Seto tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Belum
tiba saatnya, ibu. Saya masih suka menyendiri, mengarungi
Bumi Nusantara yang luas ini."
Pada saat itu, Ki Patih Tejolaksono memasuki ruangan
tengah itu. Ketika melihat isterinya menggapai Bagus Seto
masuki ke dalam, hati Ki Patih ini sudah dapat menduga maka
diapun menyusul ke dalam.
"Bagus Seto, bagaimana dengan engkau" Siapa yang akan
menjadi jodohmu?"
"Baru saja kami membicarakannya kakangmas." kata Ayu
Candra dengan suara kecewa. "Akan tetapi dia masih belum
menentukan pilihannya, masih suka menyendiri dan ingin
berkelana mengarungi Bumi Nusantara."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hemm, bagaimanakah engkau ini, kulup" Us iamu sudah
tigapuluh tahun. Akan menanti kapan lagi" Tunjukan puteri
mana yang kaukehendaki dan aku tentu akan meminangkan
untukmu," kata Ki Patih Tejolaksono.
"Terima kasih, kanjeng romo. Akan tetapi jodoh berada di
Tangan Sang Hyang Widhi. Kalau belum jodohnya tentu tidak
akan bertemu. Pula, hati saya belum tertarik untuk urusan
perjodohan, kanjeng romo. Harap kanjeng romo dan kanjeng
ibu tidak menjadi kecewa dan suka memaafkan puteranda."
"Akan tetapi, kulup Bagus Seto. Adimu Retno Wilis sudah
memperoleh jodoh, kenapa engkau malah belum" Apakah
adimu harus menikah lebih dulu?" tanya K i Patih Tejolaksono.
Bagus Seto tersenyum. "Saya merasa berbahagia sekali
bahwa diajeng Retno W ilis telah memperoleh jodoh seorang
pemu da yang bijaksana dan budiman. Saya merasa yakin
bahwa diajeng Retno Wilis akan memperoleh kebahagiaan
hidup dibawah .bimbingan adimas Jayawijaya. Tidak mengapa
kalau ia menikah lebih dulu, kanjeng romo. Jodoh masing-
masing tidaklah dapat di tentukan."
"Aku hanya khawatir kalau-kalau engkau tidak mau
menikah dan akan hidup sebagai seorang pertapa. Ingat,
hanya engkau yang menjadi tumpuan harapanku untuk
memperoleh keturunan dari ayah, anakku."
Bagus Seto kembali tersenyum. "Kalau Sang Hyang Widhi
menghendaki, apapun yang akan terjadi kepada saya tentu
akan saya terima dengan rela, kanjeng romo. Untuk
penyerahan seperti ini kita harus banyak belajar dari adimas
Jayawijaya."
Para tamu mulai berpamitan meninggalkan kepatihan dan
kembali ke tempat masing-masing. Ki Patih Tejolaksono lalu
mengawal para tawanan menuju ke istana Sang Prabu di
Panjalu di persidangan dan di situ Sang Prabu memutuskan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tindakan apa yang akan dijatuhkan kepada kedua orang
adipati itu. Sang Prabu Panjalu adalah seorang yang bijaksana. Beliau
mengerti bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh dua
orang adipati terutama sekali karena ada dorongan, dan dari
para utusan Cola dan persekutuan mereka dengan Bali-dwipa.
Maka Sang Prabu memaafkan mereka, mengangkat Adipati
Martimpang kembali menjadi adipati di Nusabarung. Juga
beliau mengangkat Adipati Menak Sampar kembali menjadi
adipati di Blambangan dengan disertai janji dan sumpah
bahwa mereka tidak lagi akan mengulang perbuatan mereka
yang memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala.
Tentu saja kedua orang adipati itu sekeluarga merasa
bersukur sekali dan setelah menghaturkan sembah dan terima
kasih, mereka semua lalu kembali ke kadipaten masing-
masing, siap untuk mengadakan, pesta pernikahan bagi anak-
anak mereka. Jayawijaya melangsungkan pernikahannya dengan Retno
Wilis. Pernikahan ini dilangsungkan secara meriah sekali dan
mengingat akan jasa Ki Patih Tejolaksono, Sang Prabu di
Panjalu dan Jenggala berkenan menghadiri pesta pernikahan
itu. Setelah menikah, di dalam kamar mereka, Jayawijaya
berkata kepada isterinya. "Diajeng, setelah sebulan tinggal di
sini, aku akan mengajakmu ke Tengger dan kita tinggal di
sana, Tentu engkau suka tinggal bersamaku di sana, bukan?"
Retno Wilis melirik manja. "Tentu saja. Di mana engkau
tinggal, di sanalah tempatku berada, kakangmas."
"Akan tetapi, diajeng. Engkau terbiasa hidup di kepatihan
yang serba mewah dan hidup senang. Apakah engkau akan
betah tinggal di pegunungan yang sunyi, sebagai seorang
petani yang hidup bersahaja?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Retno Wilis tersenyum. "Hidup di manapun sama saja
kakangmas. Aku sudah pernah hidup di dalam hutan, pernah
hidup di kota raja, dan pernah menjadi pengembara.
Kebahagiaan bukan ditentukan oleh keadaan lahir, melainkan
keadaan batin. Di mana saja aku hidup, kalau berada di
sampingmu, aku akan selalu merasa bahagia, kakangmas!"
Jayawijaya merangkul isterinya dengan hati bahagia.
"Berbahagia sekali aku mendapatkan seorang isteri seperti
engkau, diajeng."
"Aku hanya isteri mu yang bodoh dan membutuhkan
bimbinganmu dalam hidup ini, kakangmas. Aku akan merasa
berbahagia kalau engkau bahagia."
Sepekan kemudian, keluarga Ki Patih Tejolaksono
mengantarkan Bagus Seto yang berpamit untuk pergi
mengembara. Mereka mengantar pemuda itu sampai keluar
kota raja dan baru berhenti setelah tiba di luar batas kota,
melihat pemuda itu berjalan perlahan mendaki sebuah bukit di
timur. Makin ke atas, gerakan pemuda itu semakin cepat
sehingga akhirnya yang tampak hanya titik putih seperti
seekor garuda putih yang melayang menjauh.
Ayu Candra mengusap matanya yang menjadi basah. Ki
Patih Tejolaksono merangkulnya. "Relakanlah, diajeng. Dia
menuju kepada kebahagiaannya dan kalau memang Sang
Hyang Widhi menghendaki, kita tentu akan bertemu lagi
dengan dia, putera kita."
Mereka lalu kembali ke kepatihan dan sebulan kemudian
Retno Wilis diajak pergi Jayawijaya, suaminya, menuju ke
Tengger untuk menemui ayahnya, Ki Panji Kelana.
Sementara itu, Jarot melaksanakan pernikahannya dengan
Dyah Ayu Kerti yang diboyongnya ke kadipaten Pasisiran.
Saroji, putera Ki Haryosakti, menikah dengan Dyah
Candramanik dan oleh Adipati Martimpang di Nusabarung,
mantunya itu disuruh tinggal di Nusabarung dan diberi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kedudukan senopati. Adapun Harjadenta memboyong Sarmini
puteri Ki Haryosakti ke Gunung Raung di mana dia tinggal
bersama Empu Gandawijaya, gurunya. Harjadenta ini
kemudian kelak menjadi seorang empu pembuat keris yang
pandai. Sementara itu, Kerajaan Jenggala tampak semakin mundur.
Kejayaannya kalah oleh Kerajaan Panjalu dan akhirnya,
melihat betapa daerah-daerah di timur, terutama Bali-dwipa
masih selalu merupakan daerah-rawan, Kerajaan Jenggala
bersatu dengan Kerajaan Panjalu dan berubah kembali
menjadi Kerajaan Kediri yang semakin besar, kuat dan jaya.
Sampai di sini, selesailah sudah kisah Sepasang Garuda
Putih ini dengan harapan pengarang bahwa selain sebagai
bacaan hiburan, kisah ini mengandung manfaat semua.
Sampai Jumpa di lain cerita!
TAMAT Lereng Lawu, medio Oktober 1988.
Pendekar Aneh Dari Kanglam 5 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Harpa Iblis Jari Sakti 10
^