Pencarian

Misteri Kapal Layar Pancawarna 18

Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 18


"Kapan?"
"Kalau belum tiba saatnya, gelisah juga tidak berguna."
Habis bicara Ban-lo-hu-jin lantas duduk di tanah. Meski amat gelisah tapi Po-giok tidak bisa berbuat apa-apa. Waktu ia angkat kepala terasa gumpalan mega makin tebal.
Tapi dari tengah gumpalan mega putih itu, meski lambat tapi pasti muncul segumpal cahaya tujuh warna. Gumpalan warna itu makin besar dan benderang, berbagai jenis pemandangan indah dari puncak gunung yang mempesona, permai lagi semarak.
Tapi arah yang dituding Ban-lo-hu-jin tadi masih gelap diliputi gumpalan mega putih tebal.
593 Koleksi Kang Zusi
Mendadak selarik sinar kuning emas yang terang menyobek ketebalan mega yang bergulung-gulung itu menembus dan menghancurkan pancaran cahaya tujuh warna itu.
Waktu Po-giok mengawasi tempat cahaya kuning emas itu seketika ia berjingkrak kaget.
Sebuah jalan beranak tangga batu yang tidak terhitung banyaknya, secara ajaib muncul di tengah mega di bawah penerangan cahaya kuning emas itu tampak berkilauan menyilaukan mata.
Po-giok terlongong menghadapi pemandangan yang luar biasa ini, ia berdiri bagai linglung dan menahan napas.
"Haya ... memang benar di sana," Siau-kong-cu berteriak kaget.
"Itulah puncak di tengah mega ... itulah keajaiban mega, sepanjang tahun puncak itu tersembunyi di tengah mega, setiap hari hanya muncul sekali dalam waktu sekejap saja."
"Aneh sungguh ajaib ... sungguh menakjubkan," Po-giok menarik napas panjang.
Ban-lo-hu-jin bergumam, "Sekarang kau percaya bukan, di dunia ini ada sesuatu yang mendekati dongeng, betapa besar kekuatan yang Maha Kuasa menciptakan alam semesta ini, orang-orang pintar seperti kalian juga tidak dapat membayangkannya."
Mengawasi puncak di tengah mega, anak tangga yang berkilauan ditimpa cahaya kuning, tanpa sadar Po-giok berdiri diam hingga sekian lama tanpa bergerak.
Sementara itu, cahaya kuning yang semula benderang itu sudah mulai redup dan guram.
Mendadak Ban-lo-hu-jin melompat bangun, teriaknya keras, "Kalau ingin naik lekas ke atas, dalam sekejap saja anak tangga itu tidak kelihatan lagi dan tertutup awan."
Tempat Po~giok berdiri sebetulnya sudah di pucuk gunung.
Tapi puncak di tengah mega itu ternyata lebih tinggi lagi. Mengikuti Ban-lo-hu-jin Po-giok dan Siau-kong-cu sudah berjalan hampir satu jam, melewati hutan yang menyesatkan, memasuki lembah dan melampaui puncak terjal. Lalu anak tangga yang mirip lukisan itu mendadak muncul di depan mata.
Anak tangga batu yang tidak terhitung jumlahnya.
Po-giok kerahkan segala kemampuannya, namun sukar melihat jelas puncak di atas. Puncak gunung yang dibungkus mega itu seperti mencakar langit.
Di depan anak tangga batu terdapat sebuah pintu yang terbuat dari batu hijau, pada daun pintu berukir huruf merah yang berbunyi "Tangga langit ke puncak sesat."
Setiba di sini kelakuan dan sikap Ban-lo-hu-jin tampak berubah secara drastis, berubah seperti seorang lain. Dengan menunduk kepala ia mulai menaiki anak tangga, setiap langkahnya amat berat seperti diganduli beban ribuan kati.
Anak tangga itu licin, kedua sisinya dipagari tetumbuhan aneka ragam dan belum pernah dilihat oleh Po-giok maupun Siau-kong-cu.
Puluhan undakan kemudian, di antara semak rumput tampak berserakan kutungan pedang, golok, tulang manusia dan senjata lain.
Anehnya tetumbuhan di sini tumbuh subur dengan warna yang ragam, hitam kelam, sebaliknya nama tulang-tulang manusia itu putih menyolok.
Dengan suara gemetar Ban-lo-hu-jin bergumam, "Sudah kau lihat" Mereka adalah orang-orang yang berangan-angan masuk ke Pek-cui-kiong. Ketahuilah nama besar dan kedudukan para korban itu pada masa hidupnya pasti tidak kalah dibanding Pui-Po-giok sekarang."
Po-giok mengerut kening, "Apakah di sini tidak dapat mengebumikan ... "
"Kenapa harus dikebumikan, biar berserakan untuk tontonan orang-orang yang tidak tahu diri supaya mereka mundur teratur ... padahal umpama kau tahu diri dan mau mundur dari sini juga jangan harap dapat turun dengan selamat."
594 Koleksi Kang Zusi
"Kurasa belum tentu, kalau sekarang aku putar balik, siapa yang tahu?" ucap Po-giok.
"kau kira orang macam apa Pek-cui-nio itu" Beliau adalah tokoh yang serba bisa, tiada sesuatu yang tidak bisa dilakukannya, tiada sesuatu yang tidak diketahuinya. kau kira setelah ada di sini tiada orang tahu kedatanganmu, padahal sejak timbul niatmu datang kemari beliau sudah mengikuti gerak-gerikmu,"
Mendadak Po-giok terbahak-bahak, "Agaknya omonganmu itu bukan ditujukan kepadaku saja.
kau tahu membawa orang kemari adalah suatu dosa, maka kamu berusaha menjilat pantat, dengan harapan dia mendengar omonganmu, adalah ... "
"kau kira beliau tidak mendengar?" tanya Ban-lo-hu-jin.
"Dia bukan malaikat dewata, mana mungkin mendengarnya kukira usahamu akan sia-sia belaka
... " Belum habis Po-giok bicara, mendadak didengarnya seorang berkata, "Dalam hal ini kau lah yang keliru."
Suaranya lirih, lembut lagi merdu namun jelas dan tajam. Padahal di sekeliling tiada orang lain kecuali mereka bertiga, namun suara itu seperti mengiang di samping telinga.
Kini Po-giok betul-betul terperanjat, cepat ia berhenti.
Suara itu berkata pula perlahan, "Kamu sudah takut bukan" Tidak berani naik ke atas?"
Kalau Po-giok berdiri diam di tempatnya, sebaliknya Ban-lo-hu-jin sudah berlutut dan menyembah.
Maklum, di atas tangga langit yang dibungkus mega, suara lembut itu seperti memiliki daya gaib yang membuat orang lupa daratan.
Tapi bukan rasa takut atau hormat yang menghias wajah Po-giok, ia justru bersikap haru, bergairah dan maklum, seperti sudah tahu duduk persoalannya.
Terdengar suara itu berkata pula, "Ban-Ui-eng, angkat kepalamu."
Ui-eng adalah nama Ban-lo-hu-jin waktu masih perawan.
Ban-lo-hu-jin tidak ingin angkat kepala, tapi dia tidak berani tidak angkat kepala.
"kau tahu apa dosamu?" bentak suara itu pula.
Gemetar suara Ban-lo-hu-jin, "Kutahu dosaku ... aku tidak boleh membawa orang kemari ..
mohon engkau orang tua mengampuniku ... ampuni diriku."
"Mengampunimu?" desis suara orang itu geram.
Ban-lo-hu-jin mengangguk hingga jidatnya membentur tangga batu, suaranya gemetar lagi serak, "Ampunilah aku ... aku sudah tua, tidak berguna, aku hanya seekor anjing tua yang tidak berguna lagi, tiada artinya engkau orang tua membunuhku."
Ratapan Ban-lo-hu-jin bergema cukup lama tanpa memperoleh reaksi.
Agak lama kemudian baru suara itu berkumandang pula, "Ya, enyahlah kau ! Orang macammu memang tidak setimpal kubunuh."
Ban-lo-hu-jin kegirangan, "Terima ... terima kasih atas kemurahan hatimu."
Suara itu berkumandang lagi, "Tapi setelah turun gunung kamu harus terus berjalan dan tidak boleh berhenti! Tidak boleh menoleh, menyingkir jauh keluar lautan, sebelum berlayar dilarang bicara meski hanya sepatah kata saja."
Ban-lo-hu-jin menyembah berulang-ulang sambil mengiakan.
Kini suara itu, lebih kalem, "Sepatah kata saja berani kau bicara pasti kutahu, bila masih berani 595
Koleksi Kang Zusi
tinggal di Tiong-toh, aku pun akan tahu waktu itu ingin mati pun jangan harap lagi."
Tenggorokan Ban-lo-hu-jin terasa kering lidah pun kelu, sekuat tenaga ia berusaha menjawab, tapi sepatah kata pun tidak mampu bicara, yang terdengar hanya suara mirip rintihan binatang buas yang kesakitan.
"Baiklah, enyah kau !"
Ban-lo-hu-jin lompat berdiri, tanpa menoleh bergegas ia lari turun ke bawah, melirik pun tidak berani ke arah Po-giok atau Siau-kong-cu, entah senang atau karena ketakutan, langkahnya yang gugup itu menjadi lemas, jadi turunnya itu bukan lagi lari tapi menggelinding ke bawah.
Mendadak suara itu memanggil dengan suara lebih perlahan, "Pui ... Po ... giok!"
Baru sekarang Po-giok tersentak kaget, sahutnya "kau ... kau kenal diriku?"
Suara itu tertawa, "Sudah tentu aku mengenalmu meski masih jauh ribuan li, aku sudah tahu kau pasti datang, segala persoalan tak mungkin bisa mengelabui aku apa kamu kejut?"
Suara yang misterius itu untuk pertama kali tertawa riang dan bangga.
Siau-kong-cu yang juga perempuan sampai kesengsem mendengar tawa yang merdu itu.
Po-giok menghela napas, "Agaknya engkau memang orang luar biasa."
"Kalau sekarang kau putar balik masih kuberi kesempatan," demikian kata suara itu.
"Apa benar" Kukira sudah tidak keburu lagi," sahut Po-giok tertawa.
"Coba angkat kepalamu."
Waktu Po-giok angkat kepala, dilihatnya tak jauh di depan ada sebuah pintu besar yang menggantung tinggi di atas, langit-langit yang berbentuk bundar itu tampak megah dan cemerlang, indah mempesona.
Di atas pintu itu berukir beberapa huruf yang berbunyi, "Sekali masuk pintu ini akan menjadi manusia pada penitisan yang akan datang."
"Sudah kau lihat jelas?" tanya suara itu.
"Huruf-huruf segede itu, masa tidak aku lihat jelas?" sahut Po-giok tertawa.
"kau masih berani masuk?"
"Kalau tidak berani, aku tidak akan naik kemari."
Suara itu menghela napas, "Kuharap kamu tidak menyesal nanti."
Lalu suara itu pun sirna secara aneh, tidak terdengar lagi.
Po-giok menoleh ke arah Siau-kong-cu, lalu melangkah lebar ke sana.
Po-giok maklum sekali dirinya memasuki pintu gerbang itu, umpama dapat pulang dengan hidup, nasib dirinya selama ini juga pasti akan berubah, atau mungkin akan menitis kembali jadi manusia pada penjelmaan lain.
Tapi dia melangkah lebar sambil membusungkan dada, tidak ragu, tanpa curiga.
***** Rasa takut Ban-lo-hu-jin terhadap majikan Pek-cui-kiong boleh dikatakan sudah meresap tulang sumsum.
Nenek buntak ini memang tidak berani berhenti meski hanya selangkah juga tidak berani menoleh, dia terus berjalan, sampai tidur dan istirahat juga tidak berani, rasa takut bagai pecut yang selalu menghajar tubuhnya.
596 Koleksi Kang Zusi
Kekuatan rasa takut itu terkadang memang dapat mengalahkan segala rintangan.
Setiba di kota Ki-ho, keadaannya boleh dikata sudah tidak keruan.
Ki-ho adalah satu kota di tepi sungai Kuning, di sana ada dermaga yang cukup besar, dari sini berlayar ke lautan hanya memerlukan waktu beberapa hari, maka kapal-kapal yang berlabuh di sini cukup banyak dan ramai.
Tongkat panjang Ban-lo-hu-jin sudah hilang entah di mana.
Kini tongkatnya berganti sebatang dahan pohon, dengan langkah limbung ia menuju ke dermaga. Sinar matanya pudar, wajah kuyu dan kurus pakaian dekil rombeng.
Mungkin jarang orang mengenal lagi siapa nenek yang kurus pendek dan kotor ini, padahal di kalangan Bu-lim ia terkenal sebagai Ban-lo-hu-jin yang banyak akal bulusnya.
Memang Ban-lo-hu-jin juga tidak ingin ada orang mengenalnya.
Seorang laki-laki kekar dengan telanjang dada sedang berkaok-kaok di dermaga, "Makan harus makan nasi putih, naik perahu harus pilih yang aman ... ayolah tuan-tuan yang ingin pergi ke ibu kota provinsi, Ki-yang atau Ceng-seng, lekas naik perahu 'damai' ini."
Di sampingnya seorang anak muda juga ikut berkaok-kaok, "Inilah perahu yang mendapat giliran terakhir, siapa terlambat harus tunggu tiga hari lagi."
Dengan langkah sempoyongan Ban-lo-hu-jin menghampiri. Dia tidak mau jalan kaki, sebab dia tidak kuat berjalan lagi.
Laki-laki kekar itu angkat sebelah tangan dan menahannya, "He, nenek tua, mau apa kau ?"
Ban-lo-hu-jin geleng-geleng kepala, ia tidak berani bicara, selalu merasa dirinya di awasi sepasang mata yang tajam di belakangnya.
Lelaki si empunya perahu menjengek, "Orang seperti dirimu juga ingin naik perahu" Ketahuilah ongkos perjalanan ini tidak akan mampu kau bayar, aku yang dikenal sebagai 'bunga dalam ombak' ini tidak pernah beramal terhadap siapa pun."
Ban-lo-hu-jin geleng-geleng lalu mengangguk.
Tukang perahu itu menjadi gusar, "Nenek busuk, dengar tidak omonganku" Ayo menyingkir!"
tangan kirinya yang kekar dan kasar itu terulur mendorong Ban-lo-hu-jin.
Dengan tatapan dingin Ban-lo-hu-jin mengawasi tangan orang, bila tangan ini menyentuh bajunya mungkin tangan ini takkan bisa bergerak lagi selamanya.
Pada saat itulah, naluri Ban-lo-hu-jin bicara mendadak seorang sudah berada di belakangnya.
Padahal banyak orang berkerumun di dermaga, tapi orang yang berada di belakangnya ini jelas berbeda dengan orang awam yang berada di dermaga ini.
Secara refleks Ban-lo-hu-jin pura-pura kaget dan terpeleset sehingga tubuhnya doyong ke samping. Sudah tentu tukang perahu mendorong tempat kosong, dengan kaget ia mengawasi nenek kumal ini.
Pada saat tubuh sempoyongan itulah sekilas sempat Ban-lo-hu-jin melirik ke belakang.
Tampak orang di belakangnya ini bertubuh tinggi besar, gagah lagi kereng, memakai topi rumput yang lebar dan tertekan rendah menyentuh alis, pakaiannya berwarna merah gelap dan panjang hampir menyentuh tanah.
Walau berdiri tidak bergerak, namun wibawanya membuai ciut nyali orang banyak di sekitarnya semua menunduk atau melengos ke arah lain.
Sekilas pandang Ban-lo-hu-jin lantas kenal orang ini.
Kong-sun Ang. Laki-laki gede ini adalah Thian-liong-gun Kong-sun Ang.
Walau caping bambu menutup muka, berpakaian merah gelap yang berbeda dengan 597
Koleksi Kang Zusi
dandanannya waktu pertemuan Thai-san namun wibawa dan keperkasaannya tetap tidak berubah, gerak-geriknya juga tidak bisa mengelabui orang.
Ban-lo-hu-jin juga menunduk kepala.
Kong-sun Ang hanya memandangnya sekejap, agaknya ia pun tertarik oleh gerakan Ban-lo-hujin yang pura-pura terpeleset tadi, sebagai seorang ahli dia lihat gerak-gerak nenek kumal ini tidak sembarangan.
Tapi Kong-sun Ang agaknya sedang dirunding persoalan, hati kesal dan pikiran pepat, maka ia tidak memedulikan urusan lain, dia hanya melirik dengan pandangan heran lalu tidak peduli lagi.
Tukang perahu menyambut maju, "Tuan ini apa mau naik perahu?"
"Ya," sahut Kong-sun Ang.
Mendadak seperti teringat sesuatu, kembali ia berkata, "Jangan bikin susah nenek ini, ongkos perahunya akulah yang bayar."
Perahu ini belum terlalu tua, namun dibangun secara kukuh, keadaan dalam kabin amat sederhana, kedua sisi mepet dinding dipasang dua bangku panjang untuk tempat duduk.
Bangku panjang ini hampir tidak berfungsi, penumpang lain lebih suka menggelar tikar dan tiduran di lantai. Hanya Kong-sun-Ang sendiri duduk di bangku panjang itu, tubuhnya yang besar duduk laksana menara besi.
Ban-lo-hu-jin tertatih-tatih naik ke atas perahu waktu lewat di depan Kong-sun Ang, dengan takut-takut ia membungkuk hormat kepadanya, sampai sekarang ia masih belum bicara sepatah kata pun."
Kong-sun Ang memandangnya sekali lagi, ia hanya mengangguk.
Ban-lo-hu-jin duduk dipojok dengan tubuh meringkel.
Beberapa penumpang naik lagi, tapi tukang perahu belum puas, berusaha menarik penumpang sebanyak mungkin.
Agaknya Kong-sun Ang tidak sabar lagi, mendadak ia berkata lantang, "Lekas berangkat saja, nanti aku bayar kekurangannya."
Setelah didesak akhirnya perahu itu pun berlayar.
Penumpang sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi Kong-sun Ang tetap duduk dengan gaya semula, tidak ada orang berani menegur sapa padanya, agaknya dia pun ogah bicara, yang terang alisnya bertaut, pandangannya hampa, melamun.
Ban-lo-hu-jin selalu memperhatikan gerak-geriknya, dalam hati ia heran, "Ke manakah dia ingin pergi" Ada persoalan apa yang membuatnya risau?"
Perahu itu bergerak secara lambat karena berlayar melawan arus, dari pagi hingga sore, baru belasan li ditempuhnya, tukang perahu bekerja keras untuk mengendalikan perahunya.
Ibarat gerobak yang sarat muatan berjalan tersayat-sayat, demikian pula keadaan perahu ini kadang-kadang oleng ke kanan, tiba-tiba miring ke kiri.
Waktu perahu oleng ke kiri jarak dengan darat kira-kira ada tiga tombak lebih.
Dari atas darat mendadak meluncur seutas tambang panjang, seperti bermata saja ujung tambang itu membelit tonggak di depan perahu.
Tukang perahu kaget, teriaknya dengan tegang, "Siapa" Mau apa?"
Tidak ada suara dari daratan, namun perahu itu tertarik minggir.
Kalau tidak bertenaga besar mana mampu menarik perahu itu ke pinggir.
598 Koleksi Kang Zusi
Bukan hanya tukang perahu yang gugup, para penumpang juga ikut ribut. Tapi apa yang bakal terjadi, tiada seorang pun tahu.
Diam-diam Ban-lo-hu-jin melirik pula ke arah Kong-sun Ang, dilihatnya orang masih duduk tak bergerak, tapi air mukanya mulai berubah.
Perahu akhirnya mepet daratan.
Mentari hampir terbenam, kini orang banyak dapat melihat jelas yang menarik perahu adalah belasan laki-laki bertubuh kuat. Di tengah kawanan laki-laki yang garang dan buas itu muncul dua gadis cantik laksana bunga mekar, berpakaian merah dan hijau pupus, lesung pipit menghias pipi mereka.
Anehnya kedua gadis ayu ini masing-masing membawa nampan. Kalau nampan yang satu bertaruh sebuah poci arak, sementara nampan yang lain berisi satu cangkir porselin.
Walau tukang perahu dan penumpang lain merasa gusar dan kaget, tapi rasa takut membuat mereka tidak berani banyak omong.
Perhatian semua orang tertuju kepada kedua gadis cantik itu, dengan langkah lembut mereka maju ke depan, entah cara bagaimana bergeraknya tahu-tahu sudah melompat ke atas perahu.
Gadis baju merah tertawa manis, "Tidak apa-apa, kalian tidak perlu gugup dan takut."
Gadis baju hijau juga tertawa, "Kedatangan kami hanya untuk menghaturkan secangkir arak kepada seorang tamu."
"Setelah menghaturkan arak, kalian boleh melanjutkan perjalanan," demikian gadis baju merah menambahkan.
Suara mereka begitu lembut dan merdu, senyum tawanya juga mempesona. kalau orang banyak tadi kaget dan gusar, kini mereka hanya berdiri melongo.
Ban-lo-hu-jin yang meringkuk di pojok menjadi gemetar begitu melihat kedua gadis ini, kepala segera dia benamkan ke tengah kedua lututnya.
Dia kenal kedua gadis ini bukan lain adalah murid Ong-toa-nio. Yang berbaju merah itu dulu melayani To-pit-hiong Hi-Hiong, sementara si baju hijau itu teman tidur Lu-Hun.
Agaknya kedua gadis itu tidak memperhatikan seorang nenek kumal yang meringkuk di pojokan. Kerlingan mata mereka yang genit tertuju kepada Kong-sun Ang.
Gadis baju merah berkata, "Bagus sekali Kong-sun-tai-hiap memang berada di sini."
Wajah Kong-sun-Ang kaku dan tenang, perlahan ia berdiri.
perlahan kedua gadis itu maju menghampiri.
Tamu-tamu yang ada dalam kabin bergerak menyingkir dengan gugup.
Suara Kong-sun Ang berat, "Apakah nona berdua ... "
Gadis baju merah tidak memberi kesempatan Kong-sun Ang bicara, dengan tertawa ia menukas, "Kong-sun-tai-hiap tidak usah curiga, kedatangan kami sedikit pun tidak bermaksud jahat."
Gadis baju hijau juga berkata, "Guruku berpendapat kata-kata Kong-sun-tai-hiap memang dapat dipercaya, tidak malu diagulkan sebagai ksatria sejati kaum persilatan, oleh karena itu ....
" Gadis baju merah menimbrung. "Maka kami berdua diutus kemari untuk menyampaikan secangkir arak sebagai pengantar, semoga Kong-sun-tai-hiap selamat dalam perjalanan."
Lalu ia angkat poci dan mengisi secangkir arak penuh.
Dengan tajam Kong-sun Ang mengawasi arak wangi berwarna ungu dalam cangkir, sorot matanya menampilkan rasa duka nestapa, agaknya hatinya mandek dan perasaan pun beku.
599 Koleksi Kang Zusi
"Inilah cangkir yang pertama," ucap gadis baju merah, "aku haturkan dengan ucapan semoga Kong-sun-tai-hiap selamat dalam pelajaran, juga sebagai penghargaan kepada Kong-sun-taihiap yang dapat dipercaya kata-katanya, engkau memang laki-laki sejati!"
Dengan dua tangan gadis baju hijau menghaturkan arak, "Silakan minum Kong-sun-tai-hiap."
Sesaat Kong-sun Ang tampak bimbang, namun akhirnya ia raih cangkir itu dan ditenggaknya habis.
"Sungguh menyenangkan," puji gadis baju hijau "Kong-sun-tai-hiap agaknya juga jago minum."
Gadis baju merah mengisi pula secangkir penuh, "Cangkir kedua ini untuk menghibur Kong-sun-tai-hiap supaya tidak berduka atau merana, dengan bekal dengan bekal kungfu yang hebat, kuyakin di luar lautan Kong-sun-tai-hiap dapat bekerja secara gilang gemilang."
Lalu dengan tawa genit menambahkan, "Meski dikalahkan oleh guruku, tapi aku percaya kekalahan ini tidak akan membuat Kong-sun-tai-hiap patah semangat. Betapa banyak orang gagah ternama yang pernah dikalahkan oleh guruku, kekalahan mereka malah jauh lebih mengenaskan dibanding Kong-sun-tai-hiap."
"Ya, memang begitu ... silakan Kong-sun-tai-hiap."
Berkeretukan gigi Kong-sun Ang saking menahan geram, namun terpaksa ia minum juga , cangkir kedua.
"Cangkir ketiga aku haturkan untuk memuji kecerdikan dan kepandaian Kong-sun-tai-hiap.
Kalau Kong-sun-tai-hiap tidak memenuhi janji dan menjilat ludahnya sendiri, tetap tinggal dan berkecimpung dalam Bu-lim di wilayah Tiong-toh, maka ... "
Dengan cekikik geli mendadak ia menghentikan kata-katanya. Gadis ini bicara dengan senyum dikulum, senyum yang dapat merontokan hati laki-laki, namun sindirannya juga cukup menusuk perasaan orang.
"Kurasa Kong-sun-tai-hiap amat beruntung, "demikian ujar gadis baju hijau, terus terang orang yang pernah dikalahkan guruku dan dapat
hidup tidak banyak jumlahnya, maka adalah pantas kalau aku suguh lagi secangkir."
Dengan lenggak-lenggok ia menghaturkan lagi secangkir arak.
Sejak gadis ini bicara, air muka Kong-sun Ang sudah berubah. Sorot matanya yang melotot seperti hendak menyemburkan bara, jari-jari tangan pun terkepal erat.
Tapi kedua gadis itu sedikit pun tidak takut atau gentar, dengan mengulum senyum manis, mereka mengawasinya seperti tidak tahu kalau Kong-sun Ang sedang gusar.
Akhirnya Kong-sun Ang menarik napas panjang lalu mengendurkan urat syarafnya dan menghabiskan lagi secangkir arak.
"Bagus," puji gadis baju merah, "masih ada cangkir keempat ... "
Wajah yang semula berseri mendadak sirna dan berubah menjadi kelam dan masam, lirikan matanya juga setajam pisau perlahan ia berkata dengan nada tinggi, "Cangkir keempat aku haturkan kepada Kong-sun-tai-hiap, dengan harapan semoga tidak kembali lagi be Tiong-toh."
"Sebetulnya kebaikan apa sih dalam Bu-lim-di Tiong-toh," demikian timbrung gadis baju hijau,
"tapi kalau ada orang berani pulang dengan mempertaruhkan jiwa, kukira hanya sia-sia pengorbanannya, betul tidak?"
Dada Kong-sun Ang naik turun menahan gejolak perasaannya, suaranya gemetar, "Baik ... baik, tolong kalian sampaikan kepada gurumu, katakan bahwa Kong-sun Ang malu kembali lagi ke Tiong-toh. Kalau Kong-sun Ang menjilat ludah dan ingkar janji .... "
Mendadak ia raih cangkir di atas nampan sekali tenggak habis isinya lalu membanting cangkir ke lantai hingga hancur, ia mengawasi cangkir yang hancur itu dan berkata dengan nada bergetar, "Kalau kembali lagi, diriku akan seperti cangkir ini."
600 Koleksi Kang Zusi
Gadis baju merah tertawa lebar, serunya dengan berkeplok, "Bagus, memang laki-laki sejati!"
Mendadak ia memeluk leher Kong-sun Ang, lalu mencipuk pipinya dua kali, katanya dengan tawa genit, "Inilah persembahanku pribadi untuk Kong-sun-tai-hiap, bukankah persembahanku ini lebih memabukkan dibanding arak?"
Gadis baju hijau berdiri lalu memberi hormat, "Baiklah, kami mohon diri."
Dengan menggoyang pinggul kedua gadis jelita melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Seluruh orang yang ada di dalam kabin terpesona melihat pinggul kedua gadis yang megal-megol itu.
****** Kapal itu akhirnya berlayar melanjutkan perjalanan.
Dari sana sini sayup-sayup berkumandang tawa dan senandung gadis-gadis cantik itu.
Kong-sun Ang dengan perawakannya yang gede kekar tetap duduk di tempatnya, namun mendengar senandung itu, tubuhnya tampak gemetar.
Ternyata Ban-lo-hu-jin juga bergetar tubuhnya. Baru kini ia tahu bahwa Kong-sun Ang sudah dikalahkan oleh Ong-toa-nio, dapat diduga sebelum mereka berduel tentu sama bersumpah,
"Yang kalah harus meninggalkan Tiong-toh, selamanya tidak kembali."
"Tamatlah sudah," demikian batin Ban-lo-hu-jin "betapa lihai kepandaian Kong-sun Ang ternyata juga dikalahkan Ong-toa-nio, terpaksa ia harus berlayar keluar lautan ..."
"Kungfu iblis perempuan itu ternyata makin tinggi, rase cantik anak buahnya juga tidak boleh diremehkan peranannya ... Ai, selanjutnya kaum Bu-lim tidak akan dapat hidup damai lagi."
Suasana dalam kabin yang semula ramai menjadi hening dan dingin. Tanpa banyak keributan kapal itu tiba di ibu kota provinsi Ki-lam dan langsung menuju ke Ki-yang, setiap kali berlabuh sudah tentu tidak sedikit penumpang yang naik turun.
Tapi Kong-sun Ang tetap duduk kaku, seperti petang tidak pernah bergerak.
Tengah malam, kapal itu berlabuh di Ceng-shia.
perlahan Kong-sun Ang menghela napas, sementara itu penumpang kapal yang lain sudah meringkuk di tempat masing-masing. Kong-sun Ang membuka mantel yang menutup pundaknya. Tampak oleh Ban-lo-hu-jin, ternyata Kong-sun Ang terluka di bagian pundaknya lukanya dibalut kain putih yang berlepotan darah.
Wajah Kong-sun Ang tampak kuyu dan tersiksa, perlahan ia membuka balut kain putih, mengeluarkan bubuk obat dan membubuhi lukanya. Yang sakit bukan luka-lukanya, tapi hatinya.
Malam makin larut, suasana tenang dan sepi hanya terdengar dengkur orang dan gemercik air sungai. Halimun membungkus jagat raya kapal bergoyang dihembus angin lalu.
Di tengah penerangan lampu yang guram, mendadak dalam kabin bertambah sesosok bayangan orang.
Orang ini mengenakan caping lebar dengan mantel ijuk menutup tubuh, lagaknya mirip nelayan umumnya.
Tapi dari badan nelayan yang satu ini terasa membawa hawa keangkuhan dan wibawa. Ban-lo-hu-jin dan Kong-sun Ang sama tergetar.
Cepat sekali Kong-sun Ang menutup luka-lukanya dengan mantel kulit.
Tampak caping rumput orang ini ditekan lebih rendah dari topi Kong-sun Ang, cahaya lampu yang guram itu bergoyang wajah yang terbenam di bawah caping itu tidak begitu jelas.
Hanya sepasang bola matanya yang memantulkan sinar mirip mutiara. Bola mata yang bersinar 601
Koleksi Kang Zusi
itu berputar, akhirnya menatap tubuh Kong-sun Ang.
Sengaja Kong-sun Ang melengos ke arah lain tidak mau memandangnya. Bila pandangan Kongsun Ang kembali ke arah orang, maka orang ini sudah duduk di hadapannya.
Cahaya lampu yang guram menyorot miring dan kebetulan menerangi separo wajahnya.
Jantung Ban-lo-hu-jin kembali berdegup keras.
Bwe-Kiam! Orang ini ternyata Thian-to Bwe-Kiam.
Sudah tentu Ban-lo-hu-jin kaget lagi heran, tidak habis mengerti. Kenapa Bwe-Kiam juga berada di kapal ini" Apa dia juga terusir keluar lautan"
Bwe-Kiam memandang tajam muka Kong-sun-Ang.
Kong-sun Ang justru menekan topinya lebih rendah hampir menutupi selebar mukanya.
Di antara sekian penumpang kapal yang tidur lelap hanya dia orang yang tetap duduk tegak hanya mereka yang memperlihatkan gaya dan wibawa yang berbeda dengan kebanyakan orang yang ada dalam kabin kapal itu.
Walau kedua orang yang berhadapan ini tidak bergerak namun secara langsung wibawa mereka seperti bentrok secara langsung.
Mengawasi kedua orang ini, diam-diam Ban-lo-hu-jin membatin, "Nah, aku akan menonton keramaian gratis, semoga keramaian ini tidak melibatkan aku si nenek tua ini."
Halimun makin tebal, cahaya lampu tambah guram.
"Kong-sun-tai-hiap." mendadak Bwe-Kiam menyapa sambil memberi hormat.
Kong-sun Ang diam saja, kepala juga tidak terangkat, sesaat kemudian baru ia angkat kedua tangannya membalas hormat sambil menyapa juga, "Bwe-tai-hiap."
"Syukurlah Kong-sun-tai-hiap masih mengenalku," demikian ucap Bwe-Kiam.
Kira-kira sepeminum teh kemudian baru Kong-sun Ang berkata dingin, "Ternyata Bwe-tai-hiap juga mengenalku."
"Thian-liong-gun tiada bandingannya di jagat raya, siapa tidak mengenalnya," demikian puji Bwe-Kiam.
Sampai lama Kong-sun Ang tetap diam, tidak memberi reaksi.
Meski cukup sabar, Bwe-Kiam tidak tahan lagi, setelah batuk-batuk tiga kali ia berkata lagi,
"Sejak berpisah di Thai-san, hingga kini sudah satu bulan."
Kong-sun Ang menarik napas dalam, suaranya perlahan, "Ya, benar."
"Setelah pertemuan di Thian-san usai, para pendekar pun bubar. Waktu itu aku menduga untuk bertemu dan menyaksikan keperwiraan Kong-sun-tai-hiap tentu sangat sulit, siapa tahu kita bertemu lagi di sini."
"Ehm," Kong-sun Ang bersuara dalam kerongkongan.
Mendadak Bwe-Kiam tertawa, "Kalau untuk bertemu saja sukar, mau-tidak-mau aku merasa amat sayang."
Setelah diam cukup lama, akhirnya Kong-sun Ang bertanya, "Apanya yang dibuat sayang?"
Kali ini Bwe-Kiam justru tutup mulut, tidak mau menjawab.
Kong-sun Ang duduk mematung, tidak tanya lagi.
Kelihatannya kedua orang ini tidak gugup, tidak buru-buru, justru Ban-lo-hu-jin yang menonton di samping merasa tidak sabar menunggu, ingin rasanya ia rengut rambut kedua orang ini dan 602


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi Kang Zusi
menyuruh mereka lekas bicara.
Makin larut malam, halimun makin tebal, hawa dingin juga merasuk tubuh, mereka yang tidur mendengkur dalam kabin juga saling merapat dan meringkal di bawah kemulnya.
Tapi Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam tetap duduk tegak dan gagah duduk berhadapan tanpa merasa dingin.
Cukup lama kemudian baru Bwe-Kiam buka suara lebih dulu, "Thian-liong-gun menggetarkan dunia persilatan, sejak lama sebetulnya aku ingin menjajalnya, sayang sekali pertemuan Thai-san tempo hari tergesa-gesa ... dan sekarang, aku lihat Kong-sun-tai-hiap sudah terluka."
Walau bicara dengan kalem, namun arti perkataannya cukup jelas dan menusuk perasaan.
"Walau besar hasratku berduel denganmu, tapi engkau sudah terluka, aku tidak mau mengambil keuntungan."
"O ...." kalem juga suara Kong-sun Ang, "sayang bukan .... "
Mendadak ia mendongak sambil bergelak tawa. Gelak tawanya membuat gantungan lampu minyak yang kontal-kantil itu bergetar keras dan bergoyang lebih cepat.
Penumpang lain yang tidur nyenyak dalam kabin juga terjaga dengan kaget dan gelagapan, ada yang duduk bingung, ada juga yang berpelukan ketakutan,"
Pemilik kapal berlari keluar dari kamar sambil mengikat kolor celananya, "Ada apa ..."
Dengan gusar ia ingin memaki, tapi begitu sinar tajam mata Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam melirik ke arahnya, nyalinya seketika kuncup, hawa memang dingin, tapi tatapan tajam kedua orang ini membikin badannya menggigil, tanpa berani bersuara lagi segera ia balik ke kamarnya.
Tapi Kong-sun Ang memanggilnya, lalu bertanya,"Sebentar lagi akan terang tanah bukan?"
Berkeretukan gigi pemilik kapal, sambil munduk-munduk ia mengiakan, "Ya, ya, hampir terang tanah."
"Kapal akan segera berlayar lagi bukan?" desak Kong-sun Ang.
"Ya, ya, segera berangkat, segera berangkat." Di bawah tatapan mata setajam itu, mana pemilik kapal berani bilang "tidak".
Tidak lama kemudian kapal itu memang melanjutkan perjalanan.
Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam tetap tidak bergerak, hingga kapal tiba di Le-li. Waktu kapal berlabuh, sementara itu fajar baru menyingsing.
Pemilik kapal berdiri di pintu kabin seraya berseru, "Perhatian para penumpang, kapal sudah berlabuh di Le-li, silakan tuan-tuan lekas turun ... tapi jangan lupa, yang belum bayar harap lekas melunasi ongkos perjalanan."
Sambil menerima uang pembayaran, dalam hati pemilik kapal menggerutu. Memangnya para penumpang juga ingin lekas turun sejak mereka terjaga oleh gelak tawa Kong-sun Ang yang menakutkan, mereka tidak bisa tidur lagi dan ingin lekas turun setiba di tempat tujuan. Hanya sekejap penumpang sudah turun seluruhnya.
Kini tinggal Kong-sun Ang, Bwe-Kiam dan Ban-lo-hu-jin yang masih meringkuk di pojokan, namun dalam keadaan dan waktu seperti itu, tiada orang memperhatikan dirinya.
"Berdiri di luar kabin, pemilik kapal memandang Kong-sun Ang, lalu memandang Bwe-Kiam akhirnya ia memberanikan diri maju beberapa langkah, dengan munduk dan unjuk tawa yang kaku ia berkata, "Tuan, tujuan terakhir sudah sampai, kalian ... "
"Kapalmu tidak berlayar lebih jauh?" tanya Kong-sun Ang dengan nada berat.
"Kapal ini ... memang akan berlayar ... berlayar lagi ke Ki-lam, apakah ... kalian ingin kembali ke ... ke Ki-lam?"
603 Koleksi Kang Zusi
"Kembali ke Ki-lam?" bentak Bwe-Kiam, "memangnya kamu sudah gila ... "
Gemetar lutut pemilik kapal, "Kalau demikian ... silakan tuan ... turun .... "
"Apakah kapalmu tidak bisa meneruskan perjalanan?" tanya Kong-sun Ang.
Berubah pucat air muka pemilik kapal, "Meneruskan perjalanan ... wah, kan berlayar keluar lautan."
"Benar, berlayar keluar lautan," kata Bwe-Kiam tegas.
Lutut pemilik kapal menjadi lemas, "bluk," ia jatuh berlutut, "Kapalku yang kecil ini tidak pernah berlayar keluar lautan."
Kong-sun Ang melirik sekejap ke arah Bwe-Kiam, mendadak Bwe-Kiam bergerak secepat kilat, tangannya mencabut golok pendek yang terselip di pinggang pemilik kapal, perlahan jari tengahnya menjentik ke ujung golok. Golok tajam yang terbuat dari baja itu seketika patah.
"Kalau begitu apakah dapat berubah hatimu?" sinis suara Bwe-Kiam.
Pucat dan gemetar saking ketakutan, pemilik kapal meratap, "Hamba ... mohon .... "
Mendadak Kong-sun Ang merogoh kantung, lain melempar sekeping barang di depan pemilik kapal yang berlutut di lantai, "klotak", seketika pemilik kapal yang pucat dan gemetar itu terbelalak kaget, yang dilempar Kong-sun Ang dan jatuh di depannya ternyata sekeping emas sebesar kapal bayi.
"Dengan itu apakah dapat mengubah keputusanmu?" tanya Kong-sun Ang.
Wajah pemilik kapal bersemu merah, namun mulutnya masih gemetar, "Hamba punya keluarga
.... mohon .... "
Kini giliran Bwe-Kiam melirik ke arah Kong-sun Ang, lain ia pun melempar sesuatu di hadapan pemilik kapal kiranya sebuah kantung kulit, isi kantung kulit ternyata dua puluh keping uang perak.
Terbelalak bola mata pemilik kapal, setelah melengong sekian lama, mendadak ia lompat berdiri, serunya keras, "Baiklah demi semua ini, biar aku jual nyawa untuk kalian."
Satu jam kemudian, kapal itu berlayar menuju ke lautan teduh.
Dalam jangka satu jam, pemilik kapal menyediakan air minum, membeli rangsum dan berbagai keperluan hidup. Tidak lupa ia mampir ke rumah seorang kenalan, minta tolong supaya kirim kabar ke rumah untuk anak istrinya, tak lupa ia kirim juga uang emas dan perak yang ia bungkus dengan rapi.
Dalam jangka satu jam itu, secara diam-diam Ban-lo-hu-jin yang meringkuk di pojokan itu sudah menumpuk tali-tali tambang, layar, papan dan peti, lalu menyembunyikan diri di sana.
Sementara Bwe-Kiam dan Kong-sun Ang masih duduk berhadapan dan adu pandang, sorot mata mereka begitu menakutkan.
Tengah hari, kapal itu laju mengikuti angin buritan, beberapa kejap lagi kapal sudah akan berada di lepas pantai dan berlayar di lautan. Pemilik kapal sudah menyiapkan makanan dan ditaruh di tengah mereka berdua.
Pemilik kapal ini bukan kaum persilatan, tidak pernah belajar silat, namun ia merasakan adanya hawa membunuh yang tebal membuatnya gemetar dan ciut nyalinya, sekejap pun ia tidak berani tinggal dalam kabin.
Mengendus bau nasi yang wangi, air liur Ban-lo-hu-jin bertetesan, perutnya keroncongan. Bila kapal sudah di tengah lautan baru ia akan bertindak menurut gelagat.
"Silakan," Bwe-Kiam mendahului meraih sumpit.
Kong-sun Ang juga mengambil sumpit, "Silakan."
604 Koleksi Kang Zusi
Seperti serigala kelaparan melahap korbannya, dengan cepat kedua orang ini menghabiskan lima mangkuk nasi. Kalau Bwe-Kiam hanya lalap daging, sebaliknya Kong-sun Ang menyikat ikan laut, kedua orang ini tidak pernah menyentuh sayur-mayur yang telah disentuh sumpit lawannya.
Ketika mangkuk-mangkuk itu sudah kosong seluruhnya, Kong-sun Ang siap menaruh sumpit, tapi waktu ia pandang tangan Bwe-Kiam, sudut matanya mendadak kedutan, sumpit batal diletakkan.
Tangan Bwe-Kiam masih memegang sumpit, dengan ujung ibu jari dan jari telunjuk menjepit sumpit pertama sedang jari manis dan jari tengah menindih sumpit kedua.
Sepasang sumpit terbuat dari bambu itu tiada keistimewaannya, tapi berada di tangan Bwe-Kiam seolah-olah berubah bagai pedang yang mengeluarkan hawa pedang.
Sumpit itu mengkilat oleh minyak dan ujungnya masih ada sisa nasi, namun ujung sumpit itu mirip ujung pedang yang tepat mengincar Thian-to-hiat di bawah tenggorokan dan Coat-bin-hiat di pinggir leher, dua hiat-to besar sekaligus terancam oleh kedua ujung sumpit bambu di tangan Bwe-Kiam.
Seperti sengaja atau tidak sengaja, tangan Kong-sun Ang yang memegang sumpit mendadak membalik keluar dengan telapak tangan ke atas, ujung sumpit menuding hiat-to Khi-sek dan To-pang yang terletak di urat nadi besar kanan kiri tangan Bwe-Kiam. Sedang ujung sumpit yang lain siap mematuk dan menjepit gerakan lawan.
Ujung mulut Bwe-Kiam bergetar, seperti tidak tertawa, ia berkata perlahan, "Nasi sudah habis dimakan, kalau Kong-sun-tai-hiap sekarang ingin turun kapal, kurasa masih keburu."
Dingin suara Kong-sun Ang, "Maksud Bwe-tai-hiap sekarang juga ingin turun kapal?"
"Aku tidak akan turun dari kapal ini," tegas suara Bwe-Kiam.
"Maksudmu kapal ini tidak boleh ditumpangi kau dan aku?"
"Ya, hanya satu di antara kita boleh naik kapal ini."
Bercahaya mata Kong-sun Ang, "Ke mana Bwe-tai-hiap akan pergi, agaknya pantang diketahui orang lain" Kalau tidak, kita kan sama-sama ingin berlayar, kenapa tidak boleh naik kapal yang sama"
"Ada dirimu di kapal ini, aku merasa kenal dan tidak betah."
"Kukira Bwe-tai-hiap harus bersabar dan tidak cari gara-gara."
"Maksudmu tidak mau turun dari kapal ini?"
"Betul!" lantang jawaban Kong-sun Ang.
"Kalau begitu .... "
Secepat kilat sumpit di tangan Bwe-Kiam menutuk lurus ke depan.
Telapak tangan Kong-sun Ang justru mengkeret mundur, ujung sepasang sumpit di tangannya, secara tepat menahan ujung sumpit Bwe-Kiam.
Ketika Bwe-Kiam membalik tangan, sepasang sumpitnya juga ikut terbalik dan tahu-tahu mencelat dari telapak tangannya sehingga pangkal sumpitnya menerjang ke depan dengan desing angin tajam, mengincar hiat-to besar yang terletak di bawah kedua mata Kong-sun Ang.
Bukan menyerang kedua biji mata Bwe-Kiam, tapi menyerang hiat-to di bawah mata, soalnya kalau Kong-sun Ang harus berkelit dengan menunduk kepala, sepasang sumpit yang bergerak secepat kilat dari bawah ke atas itu dengan sendirinya akan menusuk kedua mata lawan.
Tak nyana meski cepat laksana kilat serangan sumpit, reaksi Kong-sun Ang lebih cepat lagi, bukan menunduk kepala, Kong-sun Ang mendadak putar tubuh hingga sumpit lawan menyerempet lewat di pinggir pipinya.
605 Koleksi Kang Zusi
Dalam waktu sekejap itu, telapak tangan Kong-sun Ang juga membalik, sumpit pun meluncur ke depan dan balas menyerang hiat-to besar di tangan Bwe-Kiam.
Gerak lihai Kong-sun Ang ternyata lebih keji dibanding permainan Bwe-Kiam.
Padahal Bwe-Kiam tetap bercokol di tempatnya, maka sepasang sumpit itu langsung menyerang dan jelas ia tidak mungkin mengegos, juga tidak sempat lompat ke atas.
Tapi reaksi yang dia perlihatkan justru amat menakjubkan, orang lain sukar menandinginya.
Dalam detik-detik yang gawat itu, mendadak tangan kirinya yang menganggur menarik meja ke atas, permukaan meja yang licin laksana perisai menahan dan melindunginya dari serangan maut lawan.
"Crat, crat", dua kali suara itu memecah kesunyian.
Sepasang sumpit Bwe-Kiam menusuk ambles di dinding papan belakang Kong-sun Ang.
Sementara sepasang sumpit Kong-sun Ang menusuk tembus permukaan meja di depan Bwe-Kiam.
Sumpit bambu itu ambles tiga dim ke dalam dinding dan permukaan meja.
Dua orang ini masing-masing menyerang satu jurus tapi juga dengan satu jurus mematahkan serangan lawan.
Serangan mereka dilancarkan secepat kilat, serangan mengejar sukma dan mencabut nyawa, namun cara dan gaya mereka berkelit atau mengegos juga begitu elok dan menakjubkan, padahal betapa genting detik-detik tadi berlangsung, sedikit lena saja sungguh berbahaya.
Serang menyerang sejurus telah berlangsung tapi kedua orang ini tetap duduk di tempatnya tanpa bergeser sedikit pun. Ban-lo-hu-jin yang mencuri lihat dari tempat sembunyinya malah kaget dan berkeringat dingin, saking tegang mata pun terbelalak.
Kapal bergetar lebih keras, terombang-ambing terbawa gelombang, jelas kapal sudah berada di tengah lautan yang berombak besar.
Mangkok cangkir yang ada di atas meja malah menari-nari, melorot ke sana meluncur balik ke sini.
Tapi Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam masih tetap duduk kaku, sorot mata mereka setajam sembilu, sepatah kata pun tidak bicara.
Mendadak mangkuk piring, cangkir dan poci di atas meja seperti di sapu angin, semuanya jatuh dan pecah berantakan dengan suara yang gaduh, namun mata kedua orang berkedip pun tidak.
Entah sedang sibuk mengendalikan kemudi atau takut berhadapan dengan kedua orang ini, meski mendengar barang pecah belah miliknya jatuh berantakan, pemilik kapal ternyata tidak kelihatan muncul membereskan perabot yang sudah hancur itu.
Sebelah mata Ban-lo-hu-jin diam-diam mengintip keluar dari celah-celah lubang di antara tumpukan tambang di depannya, mengikuti beberapa biji bakso yang bergelindingan kian kemari di lantai.
Rasa lapar tidak tertahankan lagi oleh Ban-lo-hu-jin, mulutnya hampir kering karena selalu menelan air liur. Mengawasi butiran bakso yang bergelindingan di lantai itu, bola matanya juga seperti ikut bergelindingan kian kemari.
Sekonyong-konyong kapal itu oleng secara hebat, dua butir bakso menggelinding ke pojok sana.
Berdebar jantung Ban-lo-hu-jin, diam-diam ia melirik ke atas, Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam masih tetap berhadapan dengan kaku tanpa bergerak.
Ban-lo-hu-jin benar-benar tidak tahan lagi perlahan ia ulur tangan sementara tenggorokannya dibasahi oleh air liurnya yang hampir kering jari tangannya merayap senti demi senti meraih 606
Koleksi Kang Zusi
kedua butir bakso kakap yang menggeletak di depannya.
Jelas jari tangan yang terulur sudah hampir menyentuh bakso itu. Ujung jarinya malah sudah merasakan bakso kakap itu masih panas dan licin karena minyak, rasa hangat pun merangsang sanubarinya.
Bab 28. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Mendadak didengarnya suara kesiur angin dua kali lalu terdengar "tok-tok" dua kali lagi, dua batang sumpit memaku kedua butir bakso itu di geladak kapal.
Itu sepasang sumpit bambu yang terdapat di depan Bwe-Kiam.
Tapi Bwe-Kiam tetap tidak bergerak, mengedip pun tidak namun mulutnya mendesis dingin,
"Keluarlah!"
Jari-jari Ban-lo-hu-jin gemetar, tubuh pun lemas.
"Tidak lekas keluar?" desak Bwe-Kiam.
Mendadak Ban-lo-hu-jin membentak berang, "Aku bisa mati pengap di sini."
Mendadak papan peti dan tambang beterbangan ke empat penjuru. Mendadak tubuhnya ikut menggelinding maju, dua tangannya meraup lantai, empat-lima butir bakso kakap diraihnya langsung dijejalkan ke mulut.
Tanpa dikunyah lagi, lima butir bakso yang disambernya itu langsung ditelannya bulat-bulat, Tanpa takut dan sungkan ia memburu ke sana dan meraih bakul nasi, untung masih ada sisa setengah bakul tanpa pakai sumpit atau mangkuk, dengan jari tangan yang kotor ia jejalkan nasi ke dalam mulut dan dikunyah dengan lahap.
Maklum, Ban-lo-hu-jin memang sudah beberapa hari tidak makan. Maka ia tidak peduli apakah Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam akan membunuhnya yang penting perut diisi lebih dulu.
Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam mengawasinya dengan dingin.
Sambil menelan nasi Ban-lo-hu-jin berkata dengan suara sengau, "Jejakku sudah konangan, makan kenyang lebih penting, kalau ada urusan nanti saja dibicarakan."
Dia tahu kapal itu sudah jauh di tengah lautan, maka ia berani bicara seperti biasa.
"Apakah nasi putih seenak yang kau makan?" tanya Bwe-Kiam.
"Bila kamu kelaparan tiga hari, tentu kau tahu enak tidak nasi putih yang harum ini," Ban-lo-hu-jin balas berolok.
Berubah air muka Bwe-Kiam, "Kamu mengenalku?"
Butir-butir nasi menghias selebar muka Ban-lo-hu-jin, karena sibuk mengunyah dan menelan nasi, mulutnya mengiakan samar-samar.
Sekilas tampak oleh Kong-sun Ang di atas meja masih ada sisa separo ayam bakar. Ayam bakar ini tadi jatuh dari mangkuk dan menggeletak di meja, tidak ikut jatuh ke lantai.
Dengan tertawa Kong-sun Ang ambil ayam bakar itu dan disodorkan, "Makanlah ini yang tidak kotor."
Menerima ayam bakar itu, Ban-lo-hu-jin tertawa lebar, " Agaknya Kong-sun Ang memang lebih baik, lebih bijaksana."
Kong-sun Ang melengong, "kau pun mengenalku?" tanyanya heran.
"Em ... " Ban-lo-hu-jin mengangguk.
"Bagaimana bisa kau kenal diriku?" tanya Kong-sun Ang.
"Mulutku hanya satu, pada saat sibuk mengunyah, mana bisa bicara, tunggulah setelah aku 607
Koleksi Kang Zusi
orang tua selesai makan, boleh kalian tanya apa saja."
Tanpa berkedip Bwe-Kiam mengawasinya. Sesaat kemudian mendadak ia membentak, "O, kiranya engkau ."
Akhirnya Ban-lo-hu-jin selesai makan, mengelus perut sendiri dan tertawa, "kau pun kenal aku orang tua ini?"
"kau Ban ... Ban-lo-hu-jin."
Ban-lo-hu-jin tertawa lebar, "Anggaplah matamu yang tajam."
Kong-sun Ang terkesiap kaget, "He, kau ibu Ban-tai-hiap?"
"Sungguh aneh, setiap orang yang melihatku kenapa selalu menyinggung anakku yang durhaka itu. Memangnya kebesaran namaku di kang-ouw lebih rendah dibanding anak binatang itu?"
Dingin suara Bwe-Kiam, "Walau aku tidak mengenalmu, namun sudah lama aku dengar nama besarmu. Akan tetapi Ban-lo-hu-jin yang terkenal dan disegani orang, kenapa hari ini main sembunyi dan meringkuk di pojokan seperti anjing buduk?"
"Main sembunyi apa ...." jengek Ban-lo-hu-jin dengan tertawa, "selama ini sepak terjangku ibarat malaikat muncul setan sembunyi, memangnya baru hari ini kau tahu?"
"O" ...Hm, hm!" meski mendongkol, tapi apa yang dapat dilakukan oleh Bwe-Kiam.
Dengan gaya nyonya besar Ban-lo-hu-jin duduk di samping Kong-sun Ang, setelah menggeliat dua kali ia mengoceh, "Nyaman, sungguh segar ..."
Mendadak ia tutup mata, lalu duduk mendengkur.
Kong-sun Ang mengawasi Bwe-Kiam, mendadak ia berkata dengan tertawa, "Ketambahan satu orang lagi, apakah kapal ini tidak penuh sesak?"
"Ya, memang demikian," jengek Bwe-Kiam.
Mendadak mata Ban-lo-hu-jin terbuka, katanya, "Jadi kau ingin mengusir kami berdua?"
"Hm," Bwe-Kiam bersuara geram.
Ban-lo-hu-jin terloroh-loroh, "Dengan tenagamu seorang, apa kau mampu mengusir dua orang?"
"Aku yakin Kong-sun-tai-hiap tidak akan sekongkol denganmu," jengek Bwe-Kiam.
"Hehe, tadi kamu menuntut jiwa orang, kini kau panggil dia Kong-sun-tai-hiap lagi, memangnya kamu gentar terhadapnya" Atau hanya ingin menjilat pantat?"
Nenek yang licik ini memang mirip rase tua yang banyak akal bulusnya, sekilas pandang ia pandai menilai situasi, ia tahu kalau dirinya tidak bisa merangkul Bwe-Kiam, maka dirinya harus menarik Kong-sun Ang ke pihaknya, dengan demikian ia yakin dirinya takkan mudah dirugikan.
Beringas wajah Bwe-Kiam, bentaknya, "Aku berlayar keluar lautan bukan untuk bertamasya, aku tidak suka orang lain menyertaiku, malah tidak segan aku berduel dengan Kong-sun-taihiap. Tapi dalam sanubariku aku tetap menghargainya sebagai eng-hiong sejati."
Berputar bola mata Ban-lo-hu-jin, "Bukan bertamasya" Memangnya kamu sedang mengemban sesuatu tugas?"
"Ya, memang demikian," sahut Bwe-Kiam.
Serius sikap Kong-sun Ang, tanyanya, "Mengemban tugas apa?"
"Tugas ...maaf tidak boleh aku jelaskan padamu."
Merandek sejenak mendadak suaranya berubah beringas pula, "Pendek kata, siapa pun tidak boleh seperjalanan dengan aku. Di antara aku dan kalian berdua kalau bukan aku yang gugur di 608
Koleksi Kang Zusi
sini biarlah kalian yang harus terjun ke laut. Bagaimana persoalan ini harus diselesaikan mohon Kong-sun tai-hiap memikirkannya."
"Soal ini ...aku tidak punya tujuan tertentu. Kalau benar Bwe-tai-hiap sedang mengemban tugas yang amat penting artinya, tidak jadi soal kalau aku pindah ke kapal lain."
"Banyak terima kasih," kata Bwe-Kiam.
Kong-sun Ang berkata serius, "Tapi itu bergantung tugas apa yang diemban Bwe-tai-hiap."
Berubah air muka Bwe-Kiam, "Kalau demikian Kong-sun-tai-hiap memilih duel untuk menyelesaikan urusan ini."
"Kalau demikian Bwe-tai-hiap lebih suka berduel daripada menjelaskan tugas apa yang sedang kau emban?"
"Ya, demikian."
Keadaan mendadak berubah tegang lagi, seperti panah di ujung busur yang siap dibidikkan.
Mendadak Ban-lo-hu-jin tertawa, katanya, "Bwe-tai-hiap mengemban tugas apa, meski tidak dijelaskan juga kutahu."
"kau tahu?" jengek Bwe-Kiam, lalu tertawa dingin.
Kalem suara Ban-lo-hu-jin, "Dalam pertemuan besar di Thai-san tempo hari, waktu kamu bergebrak dengan lawan sudah kurasakan adanya sesuatu yang ganjil pada dirimu, aku duga pasti ada sesuatu rencana jahat."
"Dalam hal apa dia patut dicurigai?" tanya Kong-sun Ang.
"Dalam pertemuan besar di puncak Thai-san, para pendekar berhasrat mengalahkan lawan-lawannya dan pamer kepandaian sendiri, namanya saja pertemuan besar di Thai-san itu sebagai bertanding kungfu, yang benar satu sama lain mereka sedang adu jiwa."
"Ya, memang demikian." ucap Kong-sun Ang.
"Tapi waktu keparat ini bergebrak dengan lawannya, pasti tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Paling banter hanya mengerahkan seluruh tenaganya. Paling banter hanya mengerahkan tujuh puluh persen dari kemampuan semestinya."
"O," Kong-sun Ang melongo.
"Dari sini dapat disimpulkan, adalah kalau bukan mengatur rencana jahat?"
Bwe-Kiam tertawa dingin, "Aku justru berbeda pendapat, hanya untuk merebut nama kosong buat apa harus adu jiwa dengan orang. Bagi pandangan mereka yang kemaruk harta, gila pangkat dan hormat, sudah tentu sepak terjangku waktu itu dirasakan ganjil."
"Enak juga uraianmu didengarkan, padahal ..."
"Padahal bagaimana?" tanya Kong-sun Ang."
"Baru tahun ini keparat ini pulang ke Tiong-toh dari Tang-ing, lain dengan berbagai cara yang dihalalkan dia ribut kedudukan dan meninggikan nama dan gengsi, tapi tatkala memperoleh kesempatan baik untuk pamer kepandaian dan unjuk diri dia justru tidak menggunakan sekuat tenaganya. Tak lama lagi Pek-ih-jin akan datang, kaum persilatan siapa yang tidak ingin menyaksikan duel ini, malah kaum persilatan di Tang-ing juga ikut ke sini untuk menonton dari dekat, tapi orang ini justru ingin pergi ke Tang-ing pada saat seperti ini ..."
Dengan tertawa dingin Ban-lo-hu-jin bertanya, "Apakah semua ini tidak mengherankan?"
"Ya, memang mengherankan," sahut Kong-sun Ang.
"Apa belum dapat kau tebak apa rencananya?"
Agak lama Kong-sun Ang tepekur, lalu berkata, "Mungkinkah dia ...ada hubungan dengan Pek-609
Koleksi Kang Zusi
ih-jin ...."
"Betul," seru Ban-lo-hu-jin sambil berkeplok, "Orang ini pasti mata-mata yang diutus Pek-ih-jin ke Tiong-toh, entah memperoleh berita penting apa yang perlu dilaporkan sendiri kepada Pek-ih-jin...."
Mendadak Bwe-Kiam bergelak tertawa sambil mendongak, "Lucu dan sungguh menyenangkan."
"Maksudmu tuduhanku benar dan tepat?" tanya Ban-lo-hu-jin.
Beringas muka Bwe-Kiam, "Kalau sekarang kamu enyah dan terjun ke laut, mengingat Ban-taihiap, sekali ini kuberi ampun kepadamu, kalau tidak ...."
Mendadak kedua tangannya terangkat ke atas, golok lengkung yang kemilau itu tahu-tahu sudah dipegangnya.
Ban-lo-hu-jin menyeringai, "kau kira aku takut menghadapi golok lengkungmu ini" Hehe, sebetulnya aku orang tua ingin memperlihatkan kelihaianku, hanya sayang ...."
"Kalau berani omong, kenapa harus sayang?" jengkel Bwe-Kiam.
Sayang di sini ada Kong-sun-tai-hiap, mana mungkin dia membiarkan nenek turun tangan."
"Kong-sun Ang," seru Bwe-Kiam naik pitam "bagaimana pendapatmu?"
"Apa yang dia katakan tadi, betul atau tidak?" tanya Kong-sun Ang.
"kau percaya dan terhasut olehnya, buat apa aku menjelaskan," jengek Bwe-Kiam.
"Soal ini ..." Kong-sun Ang masih ragu.
Mendadak Ban-lo-hu-jin menarik mantel merah yang menutup badannya, "Apa yang aku ucapkan tadi semuanya ada bukti nyata. Bicara dengan orang seperti ini kenapa bimbang. Ayo, rengut saja nyawanya, pasti tidak salah."
"Tapi ..." Kong-sun Ang masih bingung.
Berputar bola mata Ban-lo-hu-jin, "Mungkin lukamu teramat berat seperti yang dia katakan, dan kamu takkan mampu mengalahkan dia, kalau begitu biar aku si nenek tua...."
Kong-sun Ang bergelak tertawa, "Luka seringan ini, tidak menjadi soal."
Di tengah gelak tawanya, Thian-liong-gun yang terselip miring di pinggangnya tahu-tahu sudah berada di tangannya.
Kapal dimainkan ombak, oleng sana miring sini bergetar lagi dengan hebat, meja yang semula ada di depan kedua orang ini kini sudah bergeser ke pojok sana.
Cuaca di luar juga terasa guram, senja telah datang.
Dalam kabin kapal itu diliputi hawa membunuh dari golok melengkung dan Thian-liong-gun, hawa membunuh kedua gaman ampuh ini berbeda lagi dengan hawa membunuh pertarungan sumpit tadi.
Golok melengkung milik Bwe-Kiam bisa dimainkan secara keras atau lunak, dalam jarak tiga tombak masih mampu mencabut nyawa musuh, dalam jarak dekat dapat bertarung secara sengit. Gaman yang satu ini termasuk senjata yang mempunyai gaya dan perubahan paling rumit.
Sementara Thian-liong-gun mantap dan sederhana, serba guna untuk menghadapi berbagai perubahan serangan musuh, mengutamakan keselarasan gerak dan kelincahan. Boleh dikata senjata ini merupakan gaman yang paling sedikit gerak perubahannya, dimainkan secara mudah dan sederhana.
Kedua senjata ini memiliki sifat, watak dan nilai yang berbeda, malah berlawanan.
Akan tetapi dalam menghadapi saat genting pertarungan yang menentukan mati hidup, cara 610
Koleksi Kang Zusi
yang digunakan kedua gaman berbeda jenis ini, ternyata keduanya sama diam mengatasi aksi, bergerak belakang tapi menundukkan lawan.
Mereka sama tahu lawan yang dihadapi ini mungkin adalah lawan terkosen yang pernah dihadapi selama hidup, maka kedua jago kosen yang berhadapan siap bertarung ini tidak berani gegabah.
Saking kencang tangan Kong-sun Ang memegang Thian-liong-gun, jari-jarinya sampai memutih.
Bwe-Kiam menggenggam gagang golok dengan dua tangan, tampak sekali betapa tegang dan seriusnya. Antara golok dan pentung hanya berjarak lima kaki, saling berhadapan dan saling tuding.
perlahan tapi pasti kedua gaman itu bergerak-gerak, kedua orang ini hampir bersamaan waktunya. Entah golok bergerak mengikuti pentung atau pentung bergerak mengikuti golok. Ke mana pun bergerak, yang terang golok dan pentung sudah berhadapan dan siap tempur.
Bola mata kedua orang juga seperti memancarkan bara cahaya yang aneh, bukan ingin menemukan lubang kelemahan dari gaya dan gerak lawan lebih tepat dikatakan ingin menyelami makna dari intisari kungfu lawan yang dihadapinya.
Kapal masih terus berlayar entah ke mana tujuannya, yang terang kapal ini terombang-ambing dibawa gelombang pasang, terasa getarannya makin keras.
Tapi telapak kaki kedua orang seperti terpaku di papan geladak, betapapun oleng dan keras getarannya, badan kedua orang tetap berdiri tegak tidak bergerak.
Tapi "tidak bergerak" justru sedang bergerak. 'Tidak bergerak' ini justru lebih hebat dari bergerak.
Ban-lo-hu-jin tidak sabar menunggu.
"Kenapa Kong-sun Ang tidak segera turun tangan?"
Diam-diam ia memperhatikan gaya pentung yang dipegang Bwe-Kiam, selintas pentung terasa biasa saja, tapi setelah dia perhatikan dengan seksama, lama kelamaan badannya berkeringat dingin malah.
Terasa oleh Ban-lo-hu-jin, Bwe-Kiam yang berdiri di sana, antara orang dan goloknya seperti sudah manunggal. Terpikir seratus jurus serangan dalam benaknya, tapi tiada satu pun yang berguna untuk memecahkan pertahanannya.
Walau cukup jauh ia berdiri, namun hawa membunuh dari golok melengkung itu seperti mengancam dirinya. Lebih lama ia memperhatikan, makin terasa sekujur badannya terbungkus dalam hawa membunuh yang makin tebal.
Diam-diam hati Ban-lo-hu-jin terkesiap.
"Kalau aku menjadi Kong-sun Ang, mungkin saat ini sudah menggeletak mandi darah."
Ingin dia menoleh melihat gaya dan posisi Kong-sun Ang. Tapi entah mengapa pandangannya seperti sudah tersedot oleh hawa membunuh dari golok melengkung itu.
Ternyata ia tidak mampu mengalihkan pandangannya. Maka Ban-lo-hu-jin berpikir pula, "Kalau Pui-Po-giok ada di sini, entah dapatkah dia menemukan titik kelemahannya."
Ban-lo-hu-jin berpikir lagi, "Kukira Pui-Po-giok dapat menemukan ...tapi sama-sama sepasang mata manusia, kenapa justru ada perbedaan begini menyolok" Kalau dia bisa menemukan kelemahan lawan, kenapa aku tidak bisa?"
Akhirnya Ban-lo-hu-jin merasakan otaknya tidak dapat berpikir lagi. Ternyata pikirannya juga tersedot oleh hawa membunuh dari cahaya kemilau golok itu.
Sebatang golok mana mungkin memiliki kekuatan gaib sehebat itu"
Golok melengkung ini walau dibuat dari bahan baja murni, dibuat secara khusus oleh seorang 611
Koleksi Kang Zusi
empu yang sakti, namun bagaimana juga golok itu adalah benda mati tidak bernyawa. Benda mati mana mungkin memiliki kekuatan gaib"
Walau terasa pengertian ini amat ruwet, padahal justru amat sederhana, mudah dimengerti.
Ratu dunia mungkin dapat membuat orang tergila-gila, menjadi linglung, membuat lupa makan dan tidak nyenyak tidur. Demikian pula lukisan atau kaligrafi para ahli juga dapat membuat orang kesengsem.
Demikian juga dengan golok.
Golok itu sendiri memang benda mati, tapi setelah berada di tangan seorang ahli, golok itu menjadi bernyawa. Bernyawa dari dukungan semangat dan kekuatan pemegang golok.
Ilmu golok Bwe-Kiam mungkin belum mencapai taraf yang tiada taranya, tapi bagi Ban-lo-hujin, tingkat kemampuannya sudah jauh melampauinya. Demikian pula daya penglihatan Ban-lo-hu-jin jelas takkan bisa menyelami makna yang mendalam dari arti sebenarnya.
Dalam pandangan Ban-lo-hu-jin, ilmu golok Bwe-Kiam sudah sempurna. Benda apa pun yang sempurna di dunia ini pasti mempunyai daya gaib yang menyedot perhatian orang.
Tanpa sadar tiba-tiba Ban-lo-hu-jin beranjak ke depan menghampiri golok itu.
Sorot mata Kong-sun Ang sudah mulai menampilkan perubahan ganjil.
Walau semangat dan pandangannya masih terpusatkan di ujung pentungnya, sedikit pun tidak lena atau mengendur, tapi tidak lagi terpusat di ujung pentungnya, lambat laun semangat dan kekuatannya seperti merembes keluar dan terbaur di golok lawan malah.
Semangat dan wibawanya ternyata juga mulai tersedot oleh lawan.
Hal ini mungkin terjadi lantaran luka di pundak Kong-sun Ang belum sembuh, demikian pula kondisi Ban-lo-hu-jin, fisiknya masih lemah, kurang makan dan tidur, selama beberapa hari ini dikejar rasa ketakutan, tidak berani bicara, boleh dikata semangat dan ketahanannya amat lemah.
Hakikatnya duel ini tidak perlu berlangsung juga sudah menentukan kalah dan menang. Bwe-Kiam memang belum memainkan ilmu goloknya, tapi hawa membunuh goloknya ternyata mampu menghancur-leburkan ketahanan Kong-sun Ang dan Ban-lo-hu-jin.
Pancaran cahaya golok melengkung kelihatan bertambah benderang, di tengah cahaya benderang itu seperti terlihat adanya sinar merah darah yang menyolok.
Sekonyong-konyong kapal dan seluruh isi yang ada di dalamnya seperti dilemparkan ke udara.
Betapapun tinggi lwe-kang Bwe-Kiam dan Kong-sun Ang juga tidak tahan melawan kekuatan alam yang dahsyat ini, badan mereka juga terlempar sungsang sumbel.
Dengan sendirinya, hawa membunuh itu seketika sirna tanpa bekas.
Semangat dan perhatian kedua orang ini sebetulnya sudah dikonsentrasikan ke badan lawannya, namun dalam keadaan seperti itu, keadaan berubah secara drastis, secara langsung keduanya sama-sama menerima serangan hebat yang tak mungkin dilawan.
Dengan sendirinya, perhatian mereka pun beralih. Mendadak mereka mendengar amukan ombak yang bergulung-gulung dengan suaranya yang ribut, sayup-sayup terdengar pula suara pemilik kapal yang menjerit kaget dan bentakan memberi perintah kepada anak buahnya.
Sebetulnya suara ribut di luar sudah berlangsung cukup lama, namun tadi mereka tidak mendengar, karena konsentrasi ditujukan kepada lawan kini setelah konsentrasi buyar, baru mereka mendengar, secara nyata apa yang terjadi di sekitarnya.
Badai mengamuk, gelombang pasang mempermainkan ombak. Angin ribut menjerit-jerit.


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah badai yang mengamuk itu, kapal kecil itu mirip seekor semut yang berada di telapak tangan raksasa, jiwa raga sewaktu-waktu bisa hancur lebur dalam sekejap. Sementara Bwe-Kiam dan Kong-sun Ang yang berada dalam kabin semula masih merasa memiliki kekuatan dan 612
Koleksi Kang Zusi
kekuasaan, namun sekarang, menghadapi kekuatan alam, baru mereka sadar tidak lebih hanya si kecil yang tidak berarti sama sekali.
"Turunkan layar ..." pekik pemilik kapal yang memerintahkan anak buahnya, "pegang kencang kendali ..."
Kong-sun Ang, Bwe-Kiam dan Ban-lo-hu-jin yang berada dalam kabin sibuk memeluk tiang, jendela atau apa saja yang dapat dipegang supaya badan tidak terlempar. Air muka mereka jelas berubah.
Ombak besar menggulung masuk, laksana gugur gunung menindih turun.
Badan mereka bertiga sudah basah kuyup.
Bwe-Kiam berpegangan jendela, teriaknya, "Kong-sun Ang, kamu harus berterima kasih pada badai ini, dia yang menolongmu.
"Jangan temberang," Kong-sun Ang juga memekik, "kukira tidak demikian."
"Tidak demikian" ...Hm!" jengek Bwe-Kiam sengit, "Tadi setiap saat aku bisa merengut jiwamu.
Bila badai ini berhenti, lekas kalian terjun saja ke laut, kalau tidak, terpaksa orang she Bwe ...."
"Bwe-Kiam," teriak Ban-lo-hu-jin dengan suara parau, "Kalau benar lihai, suruhlah badai itu berhenti! Mampukah kau suruh badai berhenti" Mampukah" ...Haha, kamu tidak lebih seperti juga aku dan Kong-sun Ang, manusia kecil yang tidak mampu berbuat apa-apa di tengah amukan badai ini."
Kelihatannya Bwe-Kiam juga melengong tapi mendadak ia membentak" "walau aku tidak mampu menghentikan angin, tapi dapat membungkam mulutmu."
Ban-lo-hu-jin tertawa lebar, "kau ...."
"To ...long ..." mendadak pekik serak berkumandang di tengah angin ribut, waktu pertama suara itu terdengar masih berada di luar kapal akhirnya seperti melayang makin jauh hingga puluhan tombak. Jelas orang itu sudah ditelan gelombang dan tak tertolong lagi.
Menyusul terdengar lagi beberapa kali jeritan ngeri, lalu lenyap dan berhenti ...
Tiga orang yang ada dalam kabin mendadak berdiam diri, tiada yang bersuara karena perasaan tertekan menghadapi keadaan yang serba tegang dan bahaya begitu berat tekanan perasaan itu hingga mereka hampir susah bernapas.
Meja kursi dan perabot apa saja yang ada dalam kabin, satu per satu hancur diterjang ombak, satu per satu pula hanyut terbawa arus.
Mendadak Kong-sun Ang berteriak, "Bwe-Kiam, hati-hati kau , jendela peganganmu hampir copot."
Gelombang besar menerpa tiba, seluruhnya ditelan bulat-bulat.
Masih terdengar suara Bwe-Kiam yang juga berteriak, "Terima kasih!"
Mendadak badan Ban-lo-hu-jin seperti terlempar ke udara. Untung pada saat genting itu seutas rantai menyamber dan membelit kakinya dan menariknya kembali, rantai itu terikat di ujung gagang golok melengkung Bwe-Kiam.
"Pegang erat rantai itu, jangan dilepaskan!" demikian teriak Bwe-Kiam.
"Ken ...kenapa kau menolongku?" tanya Ban-lo-hu-jin dengan serak.
"Kalau badai ini berhenti dan belum juga kau terjun ke laut, segera akan aku tamatkan jiwamu, tapi sekarang aku masih mau menolongmu ... karena Kong-sun Ang tadi menolongku."
"kau ...terima kasih!" terharu suara Ban-lo-hu-jin.
Terasa oleh Kong-sun Ang matanya basah berkaca-kaca, entah basah oleh air mata, atau 613
Koleksi Kang Zusi
karena air laut"
Itulah manusia, begitulah watak sejati manusia.
Dendam antara manusia dengan manusia lenyap dan sinar di bawah tekanan, kekuatan alam yang tak mungkin dibendung manusia, di bawah ancaman kekuatan alam yang bakal merengut jiwa raga mereka tanpa peduli kawan atau musuh, semua sama.
Gelombang demi gelombang badai yang besar silih berganti menindih dan menerpa.
Dalam keadaan terombang-ambing itu, lama kelamaan kesadaran ketiga orang ini makin pudar tergantung ketahanan fisik mereka saja masih bertahan hidup sampai sekarang, Tapi manusia mempunyai akal budi untuk berjuang mempertahankan hidup maka benda apa pun yang terpegang di tangan mereka sampai mati juga tidak akan dilepaskan.
Dalam keadaan setengah sadar, mendadak Kong-sun Ang berteriak pula, "Bwe-Kiam, ingin aku mengajukan pertanyaan terakhir,"
"Kamu boleh tanya!" seru Bwe-Kiam.
"Sebetulnya pernah hubungan apa dirimu dengan Pek-ih-jin?" tanya Kong-sun Ang.
Diam sebentar, akhirnya Bwe-Kiam menjawab dengan teriakannya, "Pek-ih-jin adalah ..."
Entah badai menelan suaranya atau karena Kong-sun Ang yang mendadak jatuh kelenger, yang terang apa yang dikatakan Bwe-Kiam selanjutnya tidak terdengar lagi oleh Kong-sun Ang.
****** Bila hujan badai itu berhenti, cuaca sudah gelap, tabir malam menyelimuti jagat.
Bwe-Kiam lebih dulu terjaga dan sadar, sinar bintang berkelap-kelip di angkasa, sejenak ia celingukan, lalu kucek-kucek mata, mendadak ia berteriak, "Kong-sun Ang ...Kong-sun Ang ..."
Sinar bintang amat guram, namun keadaan dalam kabin dapat dilihatnya dengan jelas.
Di luar ada deru angin, debur ombak, tapi mayapada seakan-akan beku, dicekam keheningan.
Sesaat kemudian baru Bwe-Kiam mendengar penyahutan, "Aku ada di sini ... "
"Bagus ....Kong-sun Ang, agaknya kamu belum mampus!" seru Bwe-Kiam, Suaranya ternyata agak sumbang dan gemetar entah apa sebabnya.
Bayangan tampak bergerak-gerak, seorang merangkak berdiri, terpeleset jatuh lalu merayap bangun lagi, akhirnya menghampiri dengan sempoyongan, namun hanya beberapa langkah ambruk lagi.
"Kong-sun Ang?" tanya Bwe-Kiam.
"Ya, aku ...mana Ban-lo-hu-jin?" tanya Kong-sun Ang.
"Dia di ...hah!" suara Bwe-Kiam berubah menjadi pekik kaget. Waktu ia angkat ujung rantainya ternyata kosong.
"Dia ...dia ...apakah dia sudah ..." Kong-sun Ang tergegap kuatir.
"Kusuruh dia pegang rantai erat-erat," demikian kata Bwe-Kiam, "Siapa tahu ....ai!"
"Sungguh kasihan ...siapa kira dia bakal ..." Kong-sun Ang menghela napas rawan.
Bwe-Kiam juga amat menyesal, "Perempuan itu memang bukan orang baik, tapi dengan usia setua itu dia berkecimpung di kang-ouw, hidupnya sebatang kara, dalam masalah tertentu, orang harus memberi maaf kepadanya.
"Lahirnya dia kelihatan jahat dan keji, namun batinnya tentu juga amat menderita sehingga sepak terjangnya tidak normal, hal ini memang harus dimaafkan," demikian ucap Kong-sun-Ang.
614 Koleksi Kang Zusi
Setelah lolos dari rengutan maut, kedua orang yang tadi bermusuhan dan ingin saling bunuh menjadi lunak dan insaf. Terbayang kehidupan manusia memang serba-serbi, mati hidup berada di tangan Tuhan. Mereka terlongong sekian lama.
Mendadak seorang berkata, "Terima kasih atas pujian kalian kepadaku."
"He, Ban-lo-hu-jin?" tanpa janji Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam berteriak girang.
"Ya, memang aku si nenek tua," itulah suara Ban-lo-hu-jin, "aku belum mampus."
Tampak bayangan seorang merangkak masuk dari pintu kabin, sambil tertawa ia berkata pula,
"Sungguh tak nyana kematian nenek tua seperti diriku juga mengundang rasa sedih orang lain.
Kalau tahu begini, lebih baik aku mati saja di perut ikan."
Walau ia bicara dengan tertawa, tawanya kelihatan tidak wajar, suaranya gemetar, entah senang atau duka lara"
Kapal itu terus berlayar di tengah samudra.
Tiga orang dalam kabin itu merasa banyak omong malah berlebihan. Maka mereka berbareng dengan gayanya masing-masing, melepas lelah menghilangkan dahaga, tiada orang mengajak bicara lagi.
Pada saat rasa hening mencekam perasaan itulah, mendadak terdengar suara "klotak" yang keras. Kejap lain kapal yang laju dihempas angin laut itu mendadak bergerak keras oleh tarikan suatu tenaga besar, lurus dan melaju dengan pesat, tapi arahnya terbalik, jadi bukan maju ke depan melainkan mundur ke belakang malah.
Tengah malam di tengah laut lagi, mana mungkin terjadi perubahan yang tidak terduga"
Rasa was-was dan kuatir Ban-lo-hu-jin, Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam masih mencekam hati mereka, ketahanan fisik mereka yang masih lemah mana kuat menghadapi perubahan yang luar biasa ini.
Walau ketiga orang ini lemas lunglai setelah kehabisan tenaga, secara serempak mendadak mereka berdiri lalu menerjang keluar. Tapi setelah sekilas pandang ke arah sana, ketiga orang ini berdiri terlongong saking kaget, berdiri kaku tak bergerak lagi.
Hujan badai baru saja berhenti, tabir malam juga akan berakhir dalam waktu pendek, secercah cahaya remang sudah mulai tampak di ufuk timur.
Di tengah amukan gelombang samudra yang tidak kenal kasihan, tabir malam masih cukup gelap dan menciutkan nyali orang, tapi dengan ketajaman pandangan mereka bertiga dalam jarak tertentu, lama-lama mereka sudah melihat bentuk sesuatu benda di sekitarnya.
Kini mereka melihat daratan, bayangan bukit karang yang tidak begitu tinggi.
Di bawah bukit karang itu bayangan orang yang samar- samar kelihatan sedang bergerak-gerak bekerja keras sekuat tenaga sehingga kapal layar yang mereka naiki mundur ke belakang.
Ternyata seutas tambang panjang membelit ujung kapal sehingga kapal ini tertarik mundur ke arah daratan.
Dengan tenaga seorang diri ternyata mampu menarik sebuah kapal yang sedang terombang-ambing di tengah amukan gelombang.
Dengan tenaga sebelah tangan, dia mampu melempar tambang panjang itu melawan deru angin kencang, apalagi dalam malam yang gelap gulita, ujung tambang dengan tepat membelit buritan kapal dan menariknya sekuat tenaga.
Mungkinkah kejadian seperti ini dilakukan manusia" Mungkinkah manusia menciptakan keadaan yang aneh dan menakjubkan ini"
Lalu apa bukan setan iblis atau dedemit yang berkuasa di lautan"
Ban-lo-hu-jin, Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam mengawasi dengan terbelalak, memandang dengan 615
Koleksi Kang Zusi
napas tertahan, Ban-lo-hu-jin malah menggigil dan "bluk", lutut lemas tubuh pun ambruk di geladak.
Gelombang besar lautan tidak kenal kasihan kekuatan alam memang sukar diukur, dalam keadaan seperti itu, manusia mana yang tidak mudah berubah pikiran dan gampang berubah pendirian, nyali menjadi kecil penakut dan berpikir cupet. Apalagi Ban-lo-hu-jin adalah perempuan tua, perempuan yang juga percaya adanya setan dan iblis.
"Blang", di tengah suara benturan keras, kapal itu akhirnya berhenti setelah ujung buritan membentur batu karang. Kapal sudah merapat ke pantai.
Bayangan orang di daratan itu mendadak tertawa terloroh-loroh. Suara tawanya juga tidak mirip suara manusia biasa. Suara tertawanya mirip kokok beluk yang kelaparan di malam hari, mirip pekik orang hutan yang sedih karena kematian pendampingnya, seperti lolong serigala yang memburu mangsanya ... Pendek kata loroh tawa makhluk ini jelas lebih jelek dan paduan berbagai macam jenis suara yang paling jelek, paling tidak enak didengar di dunia ini, suara yang mengejutkan, suara yang menjijikkan dan menyeramkan.
Di tengah loroh tawa yang mengiriskan itu. Bwe-Kiam bertanya, "Bagaimana?"
Kong-sun Ang mengertak gigi, "Peduli dia manusia atau setan, bila perlu kita adu jiwa."
"Betul!" Bwe-Kiam mendukung usul Kong-sun Ang, "Turun tangan dulu lebih menguntungkan."
Kedua orang ini memang tidak malu diagulkan sebagai gembong silat ternama dan sudah puluhan tahun malang melintang di kang-ouw, namun kejadian yang dihadapinya sekarang merupakan peristiwa yang serba misteri dan menakutkan.
Walau kondisi fisik mereka dalam keadaan payah, semangat dan pikiran sedang kacau, tapi nyali mereka tidak menjadi ciut, mereka tidak pernah kenal artinya takut. Mereka tahu umpama menghadapi makhluk macam apa pun, mereka berani dan harus adu jiwa serta menumpasnya.
Gugur di medan laga jauh lebih berarti daripada mampus konyol tanpa memberi perlawanan.
Begitu Bwe-Kiam mengakhiri kata-katanya, dua bayangan orang mendadak menerjang ke atas, dua orang menyergap dari kiri-kanan ke arah makhluk aneh yang sedang terloroh-loroh itu.
Hujan badai masih deras dan kencang, ombak mengamuk menerpa pantai, ditambah deru angin sergapan kedua jago kosen yang tiada taranya, betapa hebat kedahsyatan pukulan mereka, sungguh sukar dilukiskan.
Jantung Ban-lo-hu-jin berdegup keras, sukar dia percaya sergapan kedua orang ini dapat berhasil, namun hati kecilnya berharap sergapan itu berhasil dengan baik.
Makhluk di daratan itu masih terus terloroh-loroh. Angin pukulan Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam sudah mengurung sekujur badannya. Tapi makhluk di tepi laut ini masih terus tertawa besar.
Deru angin pukulan, badai dan ombak bergulung menjadi satu menimbulkan bukit ombak yang membumbung tinggi ke angkasa.
Bunga ombak yang berbuih putih menggulung ke arah makhluk itu terbawa oleh kekuatan pukulan Bwe-Kiam dan Kong-sun Ang, sekaligus menambah kedahsyatan serangan mereka.
Ban-lo-hu-jin berjingkrak kegirangan, dalam hati ia bersorak bahwa sergapan kedua orang itu berhasil dengan memuaskan.
Gelombang ombak sekaligus menerpa dan menggulung ketiga orang. Pada detik yang menentukan itu, mendadak tubuh Bwe-Kiam dan Kong-sun Ang kelihatan mencelat keluar dari gulungan ombak dahsyat itu, daya luncurnya malah lebih cepat dan kencang dari sergapan semula.
Sebelum teriakan girang Ban-lo-hu-jin terlontar dari mulutnya, "blang, bluk", tubuh Kong-sun Ang dan Bwe-Kiam terbanting keras di geladak.
Cepat sekali ombak menyurut. Bayangan orang itu muncul dari tengah ombak. Dia tetap berdiri di sana, hakikatnya tidak bergerak atau bergeser sedikit pun, tapi dua jago silat kosen dari Tiong-goan dikalahkan dengan mudah, menggeletak tanpa mampu bergerak lagi.
616 Koleksi Kang Zusi
Bagaimana makhluk ini bertindak" Dengan cara dan serangan apa dia menyerang"
Nyali Ban-lo-hu-jin benar-benar pecah, rasa takut seperti elmaut akan merengut sukmanya, tubuhnya meringkal dan gigi gemeretuk.
Makhluk itu menghampiri dengan langkah mantap dan tegap.
Sebetulnya Ban-lo-hu-jin tidak berani melihat wajahnya, namun tak tahan ingin mengintipnya.
Maka dari celah-celah jari ia lihat jelas tampang makhluk aneh ini.
Kalau dia tidak mengintip, mungkin hatinya masih menganggap makhluk aneh ini adalah manusia, namun sekilas lihat segera ia yakin bahwa makhluk aneh ini sembilan puluh persen bukan manusia.
Dari kepala sampai ujung kaki makhluk ini tidak mengenakan penutup apa pun, hanya di bagian pinggang saja mengenakan penutup pendek yang mirip gaun perempuan jadi sebagian besar tubuhnya yang hitam legam lagi mengkilap kelihatan seluruhnya.
Kepalanya memang tumbuh mata dan hidung namun raut wajahnya tertutup oleh rambutnya yang panjang awut-awutan mirip rumput liar. Angin mengembus rambutnya, bola matanya tampak berkilauan.
Tatapan mata yang bersinar itu lebih terang dari mata kokok beluk, lebih tajam dari ujung pisau. Terasa oleh Ban-lo-hu-jin tatapan mata orang ini mirip serigala kelaparan, seolah-olah ingin menelannya bulat-bulat.
Dedemit" Atau siluman laut" Mungkin juga sukma gentayangan yang cari mangsa di malam hari"
Semula makhluk ini berjalan dengan santai tapi setelah dekat gerakannya mirip angin lesus menggulung, melirik pun tidak ke arah Ban-lo-hu-jin langsung ia masuk ke dalam kabin.
Kejap lain terdengarlah suara gaduh disertai pecahan papan yang berhamburan, kapal yang sudah tidak keruan dihajar gelombang ombak ini, keadaannya menjadi lebih rusak dan payah, untung tidak sampai berantakan.
Ban-lo-hu-jin tetap mengkeret di tempatnya, ada niat melarikan diri, apa daya kedua kaki tidak mau diperintah, tenaga untuk meronta bangun dan berdiri pun tidak ada.
Terpaksa dengan cemas ia mengawasi makhluk aneh itu menggeledah dan membongkar semua isi kapal. Mendadak ia memukul selembar papan geladak lalu menariknya sekali, kejap lain ia terloroh-loroh.
Di tengah gelak tawa itulah makhluk aneh itu melangkah turun ke bawah, menyusul kantung demi kantung barang dilempar keluar dari bawah, isi kantung-kantung itu ternyata sejenis ikan asin, dendeng sapi, sayur asin, beras dan kacang ....
Ternyata pemilik kapal menyimpan persediaan rangsumnya di bawah geladak yang dirahasiakan.
Setelah membongkar keluar seluruh rangsum yang ada baru makhluk aneh itu melompat keluar pula, sambil tertawa ia berjongkok, longok kanan intip kiri sambil meraba raba penuh rasa iri dan rakus.
Mendadak ia comot sekerat daging dendeng yang masih mentah dan digigitnya sekali.
Melihat betapa rakus orang menggigit dendeng, lebih rakus dibanding serigala kelaparan makin makan makin lahap, ikan asin juga dicomotnya terus dijejalkan ke dalam mulut, tulang dan duri juga dikunyahnya dengan enak, kecap, mulutnya seperti babi menyemput komboran.
"Agaknya makhluk ini menjadi gila karena kelaparan, untung masih banyak tersimpan rangsum dalam kapal ini, kalau tidak mungkin nenek kurus kering seperti aku ini bakal dimakannya dengan lahap tanpa sisa sedikitpun,"
Di luar dugaan, setelah dua kali menelan dendeng, dan ikan asin, mendadak ia menghela napas panjang dan menaruh sisa dendeng dari ikan asin ke tempatnya, padahal sorot matanya 617
Koleksi Kang Zusi
kelihatan masih ingin makan lagi, namun kejap lain sikapnya seperti takut-takut mirip tikus yang takut konangan waktu mencuri makanan.
Timbul rasa heran dalam benak Ban-lo-hu-jin "Kenapa dia seperti tidak berani memakannya lagi. Apa yang dia takuti?"
Mendadak makhluk aneh itu berjingkrak berdiri lalu mencak-mencak, memukul dada, menggentak kaki seperti gegetun juga jengkel, karena ingin makan tapi tidak berani makan, mendadak pikirannya tidak normal dan mencak-mencak gila.
Ban-lo-hu-jin mengawasinya dengan heran, rasa heran dan ingin tahunya ternyata menyingkirkan rasa takut, tak tertahan ia coba tanya, "Ken ....kenapa engkau tidak berani makan lagi?"
Dengan bertolak pinggang makhluk itu menjawab dengan suara serak, "Kenapa aku tidak berani makan" Karena semua makanan ini harus kuberikan pada keparat itu ...keparat yang hampir mampus itu."
Meski suaranya sumbang lagi ganjil, tapi jelas dia bicara seperti manusia biasa.
Ban-lo-hu-jin terdiam lagi, ia tidak menyangka dirinya bakal dilayani dan dijawab. Sungguh mimpi pun tidak terbayang dalam benaknya bahwa makhluk ini dapat bicara seperti manusia umumnya.
Tidak terduga pula olehnya bahwa makhluk aneh ini ternyata jeri terhadap orang lain. Padahal makhluk ini sangat menakutkan, lalu makhluk apa pula yang dapat membuat makhluk yang satu ini takut padanya. Dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya.
Di pulau terpencil dan tidak dihuni manusia ini ternyata ada dua makhluk aneh, mungkinkah dirinya bisa hidup di tengah mereka" Air asam dalam perut Ban-lo-hu-jin rasanya ingin tumpah keluar.
Bwe-Kiam dan Kong-sun Ang tetap rebah tidak bergerak, entah mati atau masih hidup"
Umpama masih bernapas juga takkan bertahan lama.
Mendadak makhluk itu memburu ke luar dengan menjinjing dua orang ini, tapi mereka dibantingnya di geladak, lalu memburu ke depan Ban-lo-hu-jin, bentaknya bengis, "Berdiri!"
Berkeretukan gigi Ban-lo-hu-jin, "Apa ...apa yang ...kau inginkan ..."
"Kubilang berdiri!" bentak makhluk itu.
Sambil meronta terpaksa Ban-lo-hu-jin merangkak berdiri, suaranya masih gemetar, "Dagingku sudah tua dan kasar, kan masih ada dua yang lebih muda, kalau mau ...makan daging, seharusnya makan mereka saja."
Makhluk itu menyeringai lebar hingga dua baris giginya yang putih kelihatan, katanya dengan tertawa seram, "Walau usiamu sudah tua, tapi kondisimu masih segar, masih sehat."
Melihat giginya yang putih mengkilat, suara tawanya memekak telinga, rasa takut Ban-lo-hu-jin membuat tulang-belulangnya menjadi lemas, dengan mewek ia berkata, "Apa ...apa benar tidak tidak dapat ...."
Mendadak makhluk itu berkata, "Kusuruh kau bawa semua rangsum yang ada itu, antarkan kepada siluman keparat itu. Kalau nasibmu baik, bila ada sisa sedikit, mungkin kau bisa mendapat bagian."
Walau tampang dan bentuknya amat menakutkan, untung makhluk ini tidak doyan daging manusia.
Kondisi Ban-lo-hu-jin sebetulnya masih lemah namun rasa takutnya ternyata dapat membangkitkan tenaga yang luar biasa juga, meski punggungnya hampir patah karena tubuhnya ditindih kantung-kantung dendeng, beras, ikan asin, sayur asin dan lain-lain. Biar keberatan harus membawa rangsum kering sebanyak itu, namun hatinya merasa lega dan rasa was-was pun hilang.
Tapi rasa lega itu juga hanya sementara saja. Sebab kalau makhluk ini jelas tidak makan 618
Koleksi Kang Zusi
manusia, lalu bagaimana dengan siluman keparat itu".
Bahwa siluman keparat itu dapat menundukkan makhluk aneh ini dan takluk lahir batin, memangnya kemampuan apa yang dimilikinya" Bagaimana bentuk dan tampangnya" Dapat dibayangkan rupanya tentu lebih menakutkan.
Meski takut, namun juga heran dan ingin tahu. Terasa oleh Ban-lo-hu-jin pengalaman bahaya aneh dan misteri yang dialaminya ini jauh lebih besar dari setengah hidupnya berkecimpung di kang-ouw.
Pulau kosong ini rasanya jauh lebih hangat dibanding daratan.
Sepanjang pantai tumbuh pohon kelapa yang tinggi lurus tegak mirip tombak yang ditancapkan di bumi.
Lebih maju lagi ke pedalaman, Ban-lo-hu-jin mendapatkan sebidang hutan yang cukup rimbun.
Mengikuti langkah makhluk aneh yang beranjak di pasir yang berkilauan ditimpa cahaya matahari, saking lelah kedua kakinya seperti kebal tapi juga kesemutan melangkah di pasir yang halus seperti menginjak tumpukan kapas yang empuk.
Pepohonan di sekelilingnya dengan panorama indah mengandung bau pantai yang basah dan asin bagi Ban-lo-hu-jin, hal ini terasa serba baru dan aneh, asing juga menakjubkan.
Namun pada saat dirinya dijadikan kuli dengan muatan seberat ini di punggung, mana sempat ia menikmati panorama nan mempesona itu.
Kalau bisa ia harap samberan kilat dan gelegar guntur menamatkan jiwa makhluk kurang-ajar yang membekuk dirinya sebagai budak, atau mendadak bumi merekah dan menelan makhluk keparat ini ke perut bumi.
Tanpa sesuatu kejadian gaib, dirinya jelas akan menjadi tawanan dan diperbudak selama hidup oleh makhluk aneh ini.
Kalau menunduk Ban-lo-hu-jin dapat mengawasi sepasang kaki hitam yang kurus panjang, kaki yang kotor dan dekil dengan kuku jari kaki yang panjang-panjang melengkung mirip kuku kera.
Tapi sepasang kaki yang buruk, kotor dan menjijikan ini, langkahnya ternyata begitu enteng lembut, gemulai, beranjak di pasir yang empuk ternyata tidak meninggalkan bekas telapak kaki sedikit pun.
Selama hidup Ban-lo-hu-jin belum pernah melihat atau membayangkan ada manusia memiliki gin-kang setinggi mengejutkan ini.
Diam-diam ia membatin dalam hati, umpama Pui-Po-giok atau Pek-cui-kiong-cu termasuk juga Jik-ih-hou masa jayanya dulu, gin-kang nya juga belum tentu dapat menandingi orang ini.
Adalah logis kalau Ban-lo-hu-jin harus membuang jauh keinginan untuk melarikan diri. Dengan gin-kang setinggi ini, orang akan mudah membekuknya ke mana pun ia lari.
Makhluk itu mulai memasuki hutan. Sambil berjalan ia pun menggerutu dan mencaci-maki
"Siluman keparat ...akan datang suatu hari akan aku iris kulit dagingmu yang putih halus itu."
Agak lama setelah berjalan lagi, mendadak makhluk itu berhenti dan berkata, "Sudah sampai di sini saja."
Ban-lo-hu-jin kucek-kucek mata, lalu kucek kucek mata lagi, kalau tidak sepuluh kali mungkin dua puluh kali ia mengucek-ngucek matanya, karena ia mengira pandangannya kabur, karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di tengah pulau kosong ini, di tengah hutan lebat yang rimbun, ia lihat sebuah kapal. Walau kapal ini kelihatan bobrok, kropos, namun secara nyata memang sebuah kapal, kapal yang biasanya berlayar di tengah samudra.
Dibilang sebuah kapal juga kurang tepat, karena kapal yang satu ini kini tinggal separo saja namun besar, luas dan bobot separo kapal yang tersisa ini jauh lebih besar dibanding kapal yang dinaiki Ban-lo-hu-jin itu.
619 Koleksi Kang Zusi
Kapal yang bobrok dan pecah ini berada di sebuah tanah kosong di tengah hutan, membelakangi dinding gunung sebuah air terjun kecil menumpahkan airnya di sebelah sana.
Sepuluh kaki dari kapal, di pinggir sungai di bawah kaki bukit, didirikan sebuah gubuk kecil, gubuk yang dibangun dengan kayu dan atap daun kepala, walau dibangun secara sederhana, namun jelas hasil dari buah tangan seorang yang ahli.
Sementara itu, sang surya baru saja memancarkan cahayanya, air embun di atas daun dan rumput belum kering, sorot sinar surya menimbulkan beraneka warna kemilau laksana mutiara.
Di tengah panorama nan indah menakjubkan, di atas pulau belukar yang kosong ini, mendadak mendapatkan sebuah kapal sebesar ini, meski hanya tinggal separo, dan gubuk kecil yang artistik, sesaat lamanya Ban-lo-hu-jin berdiri melengong heran, kagum dan tidak habis mengerti.
Mendadak dari belakang kapal besar yang bobrok itu berkumandang nyanyian orang yang merdu.
Lagu daerah yang lembut, riang dan menggambarkan suasana damai, merdu dan mengasyikan sekali.
Walau tidak tahu makna lagu itu, tapi Ban-lo-hu-jin, merasakan lagu itu melambangkan kehangatan hidup, riang dan bahagia serta harapan mendatang.
Siluman keparat" Mungkinkah siluman keparat mendendangkan lagu semerdu ini"
Di tengah alunan lagu yang merdu itu, mendadak sehelai layar, dari bawah tiang layar kapal yang masih tersisa, terkerek naik perlahan.
Sang surya seperti riang menyambut berkembangnya layar itu sehingga menimbulkan pancaran warna yang semarak.
Kembali Ban-lo-hu-jin terbelalak dan melongo.
Layar itu jelas berwarna-warni, terbuat dari sutera halus, meski sudah agak dekil dan luntur warnanya, tapi Ban-lo-hu-jin masih mengenalnya, itulah layar pancawarna ...
****** Sementara itu dengan langkah lebar Pui-Po-giok mendaki tangga batu.
Satu langkah maju satu langkah makin naik ke atas, berarti selangkah lebar dekat dengan Pek-cui-kiong, mungkin jaraknya lebih dekat dari kematian, namun sekarang tak mungkin bertolak balik, tidak mungkin kembali atau berhenti di sini. Puncak terjal, kabut makin tebal dan menyesatkan.
Di tengah kabut tebal yang menyesatkan itulah, tersembunyi berbagai dongeng yang serba misteri.
Dan kini Pui-Po-giok sudah melangkah masuk ke tengah kabut yang menyesatkan itu.
****** Bahwa kapal layar pancawarna yang dahulu malang melintang dan disegani kaum Bu-lim, kini muncul di pulau belukar yang kosong ini, hampir saja Ban-lo-hu-jin menjerit kaget.
Dalam pandangan dan perasaannya, dirinya seperti berada di alam khayal.
Kini layar pancawarna sudah berkembang penuh ditiup angin.
Layar pancawarna yang dahulu melambangkan kekuasaan dan kejayaan yang tiada taranya, kapal besar yang mengalami musibah dan penuh kepedihan, tapi di bawah pancaran sinar surya di pagi nan cerah ini, sedikitpun tidak luntur, wibawa maupun kekuatannya.
Dalam sekejap ini Ban-lo-hu-jin lupa takut, kaget dan lupa segalanya, terpatung mengawasi kapal layar yang tinggal separo itu, tanpa sadar selangkah demi selangkah ia maju 620
Koleksi Kang Zusi
menghampiri. Nyanyian itu mendadak berhenti, di bawah layar pancawarna mendadak muncul bayangan orang yang cantik rupawan.
Tampak rambut orang ini terurai, berserakan di pundak, dada dan punggungnya, sepasang bola matanya bening bagai kaca, cemerlang laksana mutiara. Betapa cemerlang kebesaran kapal layar pancawarna, ternyata tidak lebih unggul dibanding perempuan cantik ini.
Akhirnya tercetus jeritan perlahan dari mulut Ban-lo-hu-jin, "Cui-Thian-ki!"
Sungguh mimpi pun tidak pernah terbayang olehnya, bahwa siluman keparat yang dimaksud oleh makhluk aneh itu bukan lain adalah Cui-Thian-ki.
Melihat kehadiran Ban-lo-hu-jin, Cui-Thian-ki juga mengawasinya dengan pandangan aneh, takjub dan hambar, namun bibirnya yang mungil mengunjuk secercah senyum yang menawan hati.
Setelah tujuh tahun hidup dalam pengasingan penderitaan dan kesengsaraan telah diresapnya, namun kemontokan dan kecantikan tubuhnya ternyata tidak pernah berkurang, senyum tawanya masih mempesona, masih menggiurkan, senyum yang merontokkan sukma setiap laki-laki mata keranjang.
Cui-Thian-ki mengenakan jubah pendek yang terbuat dari anyaman bulu burung dengan dedaunan yang lembut, meski sederhana model dan coraknya, tapi berwarna warni dan tampak semarak.
Dengan mengenakan jubah bulu burung yang pendek dan semarak ini, lebih tampak betapa jelita nona ayu ini, sepasang kakinya yang jenjang putih tampak mulus, halus tanpa cacat sedikit pun.
Di dunia ini mungkin tiada potongan tubuh seindah dan semulus seperti yang dimiliki perempuan ini, tiada sesuatu benda di dunia ini yang dapat menggairahkan berahi laki-laki daripada sepasang paha yang jenjang mulus itu.
Ban-lo-hu-jin juga seorang perempuan, berhadapan dengan gadis cantik bak bidadari, menghadapi senyumnya yang menawan hati, paha yang dapat membuat mata laki-laki berkunang-kunang, ia pun melengong seperti kehilangan sukma.
Dengan tawa paksa suara Cui-Thian-ki tetap terdengar merdu bak keliningan, "Sungguh tak nyana ...sungguh tak nyana, di pulau kosong belukar ini masih dapat bertemu dengan teman lama ...Ban-lo-hu-jin, kukira belakangan ini engkau banyak mendapat rejeki nomplok, selama beberapa tahun ini tentu hidup senang."
"Aku ...aku ..." Ban-lo-hu-jin gelagapan.
"Mungkin tidak kau kira hari ini bakal bertemu dengan aku di sini," ucap Cui-Thian-ki tertawa.
"Aku ...aku ..." " Ban-lo-hu-jin tetap tidak kuasa bicara.
Dengan langkah gemulai Cui-Thian-ki turun dari kapal, katanya dengan tertawa genit, "Berapa tahun tidak ketemu, kecuali 'aku' memangnya engkau tidak dapat bicara lagi?"
Ban-lo-hu-jin menghela napas panjang, "Apakah aku sedang bermimpi?"
Seiring dengan menghela napas panjang, kantung-kantung makanan yang ia gendong satu persatu jatuh ke tanah.
Kerlingan mata Cui-Thian-ki beralih dari wajah Ban-lo-hu-jin ke arah kantung-kantung makanan itu, dari kantung makanan itu beralih pula ke arah makhluk aneh itu, katanya perlahan, "Bagus sekali, ternyata engkau memang patuh dan dengar nasihatku, tidak lagi rakus makan ..."
"Hm," makhluk aneh itu menggerung geram.
Cui-Thian-ki tertawa riang, "Mencuri makan banyak memang tidak, tapi menggeragot dua kali tentu benar."
621 Koleksi Kang Zusi
Lalu dengan senyum lebar ia berpaling ke arah Ban-lo-hu-jin, "Tentu kamu tidak tahu, betapa sengsara hidup di pulau kosong ini, syukur kalau ada sejenis unggas terbang lewat di sini, atau bila dapat mengail udang, ikan atau kepiting juga mending, berarti hidangan sehari tidak sampai kapiran maka ...."
Sekilas ia melirik pula ke arah makhluk itu, lalu melanjutkan dengan tertawa, "Sampai pun padri agung Ka-sing Tai-su yang terkenal dan di segani, kalau melihat makanan enak juga tidak tahan untuk mencicipinya secara diam-diam."
Ban-lo-hu-jin berjingkrak kaget, "Ka-sing Tai-su! Jadi dia ini Ka-sing Tai-su?" teriaknya dengan terbelalak.
"Betul sesuai aslinya, tulen dan tanggung tidak palsu," demikian ucap Cui-Thian-ki tertawa.
Ban-lo-hu-jin menoleh, dengan melotot ia mengawasi makhluk aneh itu.
Padri agung yang sakit dan aneh, padri yang pernah menggetarkan dunia persilatan dulu sekarang berubah sedemikian rupa.
Dahulu dia kelihatan agung, alim, berwibawa tapi juga tampak keji dan culas. Namun semua sifat dan tanda-tanda itu kini sudah tidak kentara lagi, tiada satu pun yang ketinggalan.
Segala miliknya telah sirna dan lenyap tak berbekas dibawa masa yang tidak kenal kasihan kelaparan itu sendiri juga secara kejam menyiksa badannya, merusak kondisi tubuhnya, padri agung yang luar biasa dulu, kini,berubah menjadi tamak rakus dan liar seperti binatang buas.
Perubahan ini teramat nyata dan besar bedanya, orang yang melihat perubahan ini tentu akan akan merasa sangsi, heran dan kaget, demikian perasaan yang menggelitik sanubari Ban-lo-hujin, namun kecuali itu ia pun merasa iba, kasihan dan simpati.
Ka-sing Tai-su tetap berdiri di tempatnya, wajahnya tetap kaku tidak berubah, kecuali beberapa reaksi secara refleks yang ditimbulkan oleh kejutan di sekelilingnya, seolah-olah manusia ini sudah menjadi beku, beku perasaan juga beku badaniah. Sambil mendongak Ban-lo-hu-jin bergumam, "Oo, Tuhan, benarkah yang aku lihat?"
Cui-Thian-ki menghela napas perlahan, "Aku juga selalu berdoa semoga hal ini bukan kenyataan."
"Ka-sing Tai-su ...benarkah dia Ka-sing Tai-su ...." Ban-lo-hu-jin masih bergumam.
"Syukur ada Ka-sing Tai-su di sini ..." demikian ujar Cui-Thian-ki, "selama beberapa tahun ini, kalau bukan dia yang berusaha dengan susah payah mencari makanan, kami bertiga mungkin sudah lama mampus kelaparan."
"Hah, bertiga"!" pekik Ban-lo-hu-jin kaget.
"Benar, kami bertiga orang di sini," sahut Cui-Thian-ki tertawa.
Ban-lo-hu-jin celingukan, layar berkembang, dahan pohon menari-nari di tiup angin, kecuali Cui-Thian-ki dan Ka-sing Tai-su tidak terlihat bayangan orang lain kecuali dirinya yang baru datang.
"Lalu siapakah orang ketiga?" tanyanya kemudian.
"Bila kau lihat dia pasti mengenalnya," sahut Cui-Thian-ki.
"Dia ...ada di mana?"
"Ya, di sini ...sayang tidak dapat melihatnya," ujar Cui-Thian-ki, mendadak ia menghela napas,
"Aku pun tidak bisa melihatnya."
Ban-lo-hu-jin melengong, "kau ...kau pun tidak dapat melihatnya."
"Ehm," Cui-Thian-ki mengangguk.
"Mungkinkah dia ...dia adalah ..." Ban-lo-hu-jin terbelalak takut.
"Yang pasti dia bukan makhluk aneh, juga tidak bisa menghilang," Cui-Thian-ki menjelaskan 622
Koleksi Kang Zusi
dengan tertawa geli.
"Lalu....lalu kenapa ..." tanya Ban-lo-hu-jin gagap.
"Dia ada di dalam sini, apa kau bisa melihatnya?" ucap Cui-Thian-ki.
Ban-lo-hu-jin menoleh ke arah yang ditunjuk Cui-Thian-ki, baru sekarang ia dapatkan kapal bobrok yang sudah kropos ini ternyata masih ada sebagian kabin yang terhitung utuh, rapi dan terawat baik.
Namun jelas bahwa kabin kapal layar pancawarna ini ternyata terbuat dari besi.
"Kalau bukan karena dia ada di dalam sana, buat apa kami bersusah payah mengeluarkan banyak tenaga menggusur kapal ini ke sini ....Tahukah berapa lama untuk menggusur separo kapal bobrok ini ke tempat ini?"


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sepuluh hari" ...Dua puluh hari" ...." Ban-lo-hu-jin menerka-nerka.
Cui-Thian-ki cekikikan, "Setahun!"
Walau tawanya tetap kelihatan menawan, namun terasakan mengandung perasaan hambar dan kecut.
Mendadak Cui-Thian-ki mengulap tangan, "kau boleh pergi, tiba saatnya makan boleh datang ke sini."
Ka-sing Tai-su mengertak gigi sekilas ia pandang kantung-kantung makanan ini, lalu bergerak perlahan, mendadak melangkah lebar ke sana tanpa menoleh lagi.
Dengan terlongong Ban-lo-hu-jin mengawasi Cui-Thian-ki, mengawasi gadis cantik yang diliputi misteri, akhirnya ia menghela napas panjang, katanya "Sampai hari ini aku baru benar-benar kagum padamu."
"O" Apa benar?" tanya Cui-Thian-ki.
"Tak habis kupikir, dengan cara apa kau dapat mengendalikan Ka-sing Tai-su, tokoh yang garang dan lihai itu, kenyataan ia patuh dan tunduk padamu."
Cui-Thian-ki tertawa, "Belum pernah ada laki-laki di dunia ini yang tidak dapat aku tundukkan."
Mendadak ia membalik tubuh lalu melompat ke atas kapal, ia menghampiri sebuah lubang bundar dan berkata, "Aku sampaikan sebuah berita baik, berita menggembirakan, hari ini kamu bakal makan enak."
Dari lubang bundar itu terdengar jawaban orang, Apakah ada ...."
"Sekarang tidak perlu tanya," demikian tukas Cui-Thian-ki dengan lembut, "Setelah selesai latihan pagi, nanti akan aku jelaskan seluruhnya padamu tahu tidak?"
"Baiklah, aku dengar saranmu," suara dalam lubang itu menjawab.
"Nah, begitu, sekarang akan aku siapkan makanan enak untukmu," demikian ucap Cui-Thian-ki sebelum menutup lubang bundar itu.
****** Apa yang terdapat di pulau kosong yang liar dan belum pernah dihuni manusia ini, ternyata serba aneh, serba baru dan menakjubkan, dari berbagai macam dan bentuk kerang, dibuatlah cangkir, poci dan segala perabot yang dibutuhkan untuk sebuah keluarga. Sebuah meja besar yang dibuat dari batok kura-kura, kursi dari kayu dan bambu. Di dunia peradaban justru takkan pernah dijumpai hal-hal lucu dan menyenangkan seperti ini.
Di pojok gubuk mungil yang artistik itu terdapat sebuah ranjang gantung yang dibuat dari sisa layar pancawarna.
Begitu berada dalam gubuk mungil itu, tak urung Ban-lo-hu-jin geleng-geleng kepala sambil menghela napas, "Sungguh tak nyana, di pulau kosong dan liar ini kamu masih hidup senang 623
Koleksi Kang Zusi
dan nyaman."
"Nyaman" ..." Cui-Thian-ki menegas.
Senyuman sirna, dengan serius ia berkata perlahan, "Umpama benar di sini terdapat segala macam benda yang terbaik di dunia, tapi juga ada benda yang paling menyebalkan, paling menjengkelkan. Segala benda paling baik di dunia ini takkan dapat mengatasi, menyingkirkan sesuatu yang paling buruk ini. Tahukah apa yang paling jelek di sini?"
"Apakah ...lapar?" tebak Ban-lo-hu-jin.
"Lebih buruk dari lapar," sahut Cui-Thian-ki.
Berkerut alis Ban-lo-hu-jin, "Kalau begitu mungkin penyakit" Kedinginan" Atau ketakutan" ...."
"Semua itu kurasa bukan yang terburuk di dunia," bantah Cui-Thian-ki.
"Kalau benar masih ada sesuatu yang lebih buruk di dunia ini, sulit aku pikirkan sesuatu lain yang paling buruk dibandingkan semua itu."
Rawan suara Cui-Thian-ki, "Biarlah aku jelaskan, yang paling buruk di dunia ini adalah kesepian!"
Lama Ban-lo-hu-jin tepekur, mulutnya bergumam, "Kesepian ...ya benar!"
Nenek ini menelaah kata "kesepian" ini dengan perasaan masgul, pahit dan getir.
Betul memang hanya kesepian di dunia ini yang dapat membuat orang rapuh, apalagi kesepian yang berkepanjangan, terutama bagi manusia yang meningkat ke dewasa, kesepian itu sendiri akan bermakna secara keseluruhan dalam hidupnya.
Tujuh tahun, bagi siapa pun, tua maupun muda, adalah masa yang bukan pendek, apalagi perempuan cantik seperti Cui-Thian-ki, perempuan genit yang butuh belaian kasih sayang dan cinta, tujuh tahun adalah masa yang menyiksa, kesepian adalah momok dalam lembaran hidupnya di pulau kosong itu selama tujuh tahun.
Sorot mata Cui-Thian-ki memandang keluar pintu.
Layar sutera pancawarna sedang berkibar dengan semarak di bawah cahaya matahari.
"Selama beberapa tahun ini, setiap pagi aku mengerek layar pancawarna itu, bila mentari terbenam aku menurunkannya pula. Tujuannya jelas untuk mencari kesibukan di tengah kesepian hidup ini, tapi ...tapi ...."
"Tapi tanpa terasa, sehari demi sehari, timbul kenangan abadi perasaan dekat terhadap layar pancawarna itu."
"Betul, dari mana kau dapat tahu ..." tanya Cui-Thian-ki.
"Jangan lupa, meski nenek macamku ini barang tua yang tidak berguna, tapi setelah hidup setua ini, terhadap kejadian dan serba-serbi dunia, sedikit banyak lebih berpengalaman dibandingkan orang lain."
Cui-Thian-ki tertawa riang, "Di tengah kesepian ini dapat berbincang-bincang dan mengobrol tentang seluk-beluk kehidupan manusia dengan sahabat lama, sungguh merupakan hadiah yang tak ternilai bagiku."
Ban-lo-hu-jin melanjutkan komentarnya, "Karena merasa dekat dan timbul perasaan mendalam terhadap layar pancawarna itu, maka kau pertahankan, melindunginya secara rapi dan sempurna seperti keadaannya semula. Lembaran sejarah masa lalu waktu kapal layar pancawarna ini disegani dulu, secara langsung memang tidak pernah ada sangkut-pautnya denganmu, tapi kau harapkan datangnya suatu hari kapal layar pancawarna ini akan berkembang dan berlayar di tengah samudra lagi ....betul tidak?"
perlahan Cui-Thian-ki memejamkan mata, diam sejenak, mendadak berkata dengan nada rendah, "kau keliru!"
624 Koleksi Kang Zusi
"Keliru?" Ban-lo-hu-jin menegas.
"Aku hanya berharap datang suatu hari aku akan berlayar dan pulang dengan kapal layar pancawarna ini, kecuali pulang ke rumah, apa pun tidak pernah kupikir, tiada sesuatu yang aku perhatikan."
"Ah, apa benar?" tanya Ban-lo-hu-jin.
"Sudah tentu benar," sahut Cui-Thian-ki.
"Kalau sekarang juga kau bisa pulang, kau ..."
"Segera aku berangkat pulang!"
"Apa tega kau tinggalkan orang dalam kabin kapal itu?"
Terbelalak mata Cui-Thian-ki, "Aku ...kenapa aku tidak tega meninggalkan dia" Pada hakikatnya aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Apalagi, orang seperti diriku, memangnya kamu tidak tahu?"
"Dahulu Cui-Thian-ki memang manusia yang tidak kenal kasihan, tidak berperikemanusiaan, perasaannya lebih kaku dan dingin daripada besi. Tapi setelah tujuh tahun hidup kesepian di tempat ini sekarang sudah banyak perubahan."
"Sudah berubah" Aku tidak akan berubah," jengek Cui-Thian-ki.
"Ya, engkau sudah berubah, bahwa terhadap kapal layar pancawarna yang tak bernyawa itu pun timbul perasaanmu yang mendalam, apalagi terhadap manusia yang hidup segar bugar,"
"Aku ..." badan Cui-Thian-ki seperti gemetar.
"Tak usah kau bohongi aku, dan jangan menipu diri sendiri, kalau dalam hatimu tidak mendambakan harapan nan indah, kuatkah kau hidup kesepian selama tujuh tahun?"
"Aku ...harapanku ....."
"Harapanmu berada pada orang yang berada dalam kabin kapal itu," perlahan suara Ban-lo-hujin, dengan tajam ia menatap Cui-Thian-ki, seperti ingin menyelidiki sanubarinya.
Badan Cui-Thian-ki, seperti gemetar pula, ."Aku ...aku ...."
Mendadak ia menubruk dan memeluk Ban-lo-hu-jin, lalu pecahlah tangisnya.
Setelah mengalami kesepian tujuh tahun, kesepian yang tak kenal kasihan, namun secara nyata dapat membuat jiwa raga manusia menjadi rapuh, mendadak seorang mengetuk sanubarinya, mengorek isi hatinya, gejolak perasaan yang terpendam selama ini, yakin siapa pun takkan kuasa menahannya, dan gejolak itu biasanya hanya terlampias dengan tangis yang memilukan.
Seperti seorang ibu yang kasih sayang terhadap putrinya, Ban-lo-hu-jin mengelus pundaknya, menghibur dengan kata-kata manis. Tapi ujung mulutnya mengulum senyum penuh arti, sorot matanya mengandung senyum licik dan licin.
Hatinya lega, terhibur dan yakin bahwa selanjutnya dirinya akan hidup aman di sini.
Soalnya ia sudah berhasil menaklukkan hati Cui-Thian-ki. Ban-lo-hu-jin yakin tiada orang di dunia ini tega mencelakai seorang yang mendalami perasaannya.
Angin mengembus sepoi-sepoi, perlahan namun hangat.
"Anak baik, apa isi hatimu, boleh kau bicarakan denganku," demikian bujuk Ban-lo-hu-jin sambil mengelus kepala orang.
"Aku ...tak tahu dari mana harus mulai," kata Cui-Thian-ki sambil terisak.
"Jelaskan dulu padaku, siapa yang berada dalam kabin itu?"
"Siapa lagi, yaitu ...si kepala besar itu ..."
625 Koleksi Kang Zusi
"Oh, Put-jiu?" teriak Ban-lo-hu-jin.
"Ehm," Cui-Thian-ki mengangguk.
Agak heran Ban-lo-hu-jin, tapi juga merasa geli, "Perempuan secantik ini, bagaimana mungkin mencintai laki-laki berkepala besar itu?"
Namun mulutnya berkata, "O, kiranya dia...Ehm, orang ini cerdas, terbuka dan tabah, tutur katanya juga menyenangkan, laki-laki ideal yang patut dicintai setiap gadis "
"Aku juga tidak tahu kenapa," malu Cui-Thian-ki menjelaskan.
Ban-lo-hu-jin tertawa, "Sudah tentu kau takkan tahu kenapa bersikap baik terhadapnya, perasaan setiap orang akan tumbuh dan menjadi subur di luar tahunya, dan kalau perasaan itu sudah tumbuh, siapa pun takkan bisa mencegah atau mengendalikannya."
"Apakah aku salah?" tanya Cui-Thian-ki.
"kau tidak salah, bila cintamu murni selamanya tidak akan salah ....Tapi aku tidak habis mengerti, kenapa dia menyekap diri dalam kabin itu, tidak mau keluar "
"Kalau dia keluar jiwanya takkan selamat."
Bab 29. Misteri Kapal Layar Pancawarna
"Oo" Kenapa?" tanya Ban-lo-hu-jin ingin tahu.
"Karena kabin yang terbuat dari papan besi itu adalah gudang koleksi buku masa hidup Ci-ih-hou."
Renjana Pendekar 8 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Seruling Perak Sepasang Walet 14
^