Pencarian

Panji Tengkorak Darah 2

Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Bagian 2


"Bu-beng-jin!" tiba-tiba nenek itu berseru, "Pergilah sekarang. Pedang itu kuberikan padamu!"
Thian-leng seperti orang mimpi. Serta-merta ia berlutut," Bagaimana wanpwe berani menerima budi lo-cianpwe yang demikian besarnya?"
Ternyata pedang pendek itu sebuah pedang pusaka yang luar biasa tajamnya. Dapat dipakai membelah segala macam logam. Sehabis melakukan ajaran ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, Thian-leng lupa mengembalikan pedang ini kepada si nenek.
Habis berkata nenek aneh itupun sudah lantas pergi. Ketika tak mendapat jawaban, Thian-leng mengangkat muka, ah" ternyata si nenek sudah lenyap dari hadapannya.
Jadi tadi ia hanya berlutut memberi hormat pada angin saja.
Terlongong-longong Thian-leng memikirkan kesaktian yang dimiliki nenek itu. Muncul perginya seperti angin saja.
Sampai beberapa saat barulah ia tersadar. Telah beberapa hari ini, ia selalu mengalami beberapa peristiwa yang mengherankan. Hampir tak masuk akal namun merupakan kenyataan.
Angin behembus dingin, hari menjelang fajar. Setelah menyelipkan pedang, Thian-leng segera berjalan menyusur tepi sungai. Dia telah menetapkan tujuannya, hendak menyelidiki rahasia asal usul dirinya, mencari kedua ayah bundanya dan menuju ke gunung Thay-heng-san mencari guru. Setelah dapat menguasai ilmu pukulan Lui-hwe-ciang baru membuat perhitungan dengan Song-bun-kui-mo. Dan yang terakhir ia akan melaksanakan pesan si nenek Toan-jong-jin untuk mencari pendekar Pedang bebas Thiat Beng dan tak lupa iapun hendak mencari Liok Po-bwe, wanita yang telah mengaku dan memalsu sebagai ibunya.
Eh, iapun akan mencari Cu Siau-bun!
Banyak nian tugas dan pekerjaan yang membebani benaknya. Sedemikian banyaknya, hingga tak tahu ia bagaimana harus memulainya!
Mengenai asal-usulnya yang begitu misterius, ternyata sukar untuk diusut. Langkah pertama ialah harus mencari si ibu palsu Liok Po-bwe. Tetapi kemanakah perginya wanita itu " Dan seandainya dapat menemukan wanita itu, belum berarti bahwa ia tentu berhasil mendapat keterangan siapakah ayah bundanya yang asli !
Terbayang pula akan tugas yang diminta oleh si nenek Toan-jong-jin. Ia harus melaksanakan pesan wanita yang telah banyak memberi budi kepadanya itu. Tetapi ke manakah ia harus mencari Pendekar Pedang bebas Thiat Beng"
Satu-satunya cara yang akan ditempuh ialah, dalam perjalanan ke gunung Thay-heng-san itu, ia akan mencoba untuk mencari berita mengenai tokoh itu serta Liok Po-bwe wanita yang memalsu sebagai ibunya.
Tak tahu saat itu ia berada di mana, iapun tak kenal jalan. Yang diketahuinya ialah gunung Thay-heng-san terletak di sebelah timur.
Karena baru pertama kali keluar mengembara di dunia persilatan, maka thian-leng selalu tertarik dan memperhatikan segala yang ditemuinya dalam perjalanan. Tak mau ia berjalan cepat-cepat. Ia selalu mempelajari sesuatu dan mencari berita ketiga orang yang hendak dicarinya itu, yakniThiat Beng, Liok Po-bwe dan Cu Siau-bun.
Hari itu adalah hari yang ke 12 ketika menjelang magrib ia tiba di tepi sebuah sungai Tan Ho. Sebenarnya ia hendak mencari penginapan, tetapi saat itu ia berada di tengah sebuah hutan belantara jauh dari pedesaan. Namun ia tak bingung, paling-paling tidur di udara terbuka, demikian pikirnya sambil mengayunkan langkahnya.
Tiba-tiba angin malam membawa suara gemerincing senjata beradu. Itulah jelas suatu pertempuran. Tapi pertempuran itu berlangsung singkat sekali. Pada lain saat terdengarlah jerit yang menyeramkan. Tak ayal lagi Thianleng segera mengenjot tubuhnya menerobos ke arah datangnya suara itu. Cepat sekali ia bergerak, namun masih terlambat juga. Melintasi sebuah puncak yang tandus, segera ia menyaksikan sebuah pemandangan yang mengerikan".
Tujuh sosok manusia bergelimpangan menjadi mayat di atas rumput. Dua orang paderi, lima imam. Tubuh mereka hancur lebur akibat hantaman tenaga berat atau Ciong-chiu-hwat!
Pada dahi salah seorang imam yang rebah terlentang, tertancap sebatang panji kecil Tengkorak darah, lambang keganasan Hun-tiong-sin-mo"
Thian-leng cepat menerobos ke seluruh pelosok. Pikirnya, karena peristiwa itu baru saja terjadi tentu ia dapat mengejar iblis ganas itu. Tetapi nyatanya ia tak melihat sesuatupun. Algojo ganas itu sudah lenyap! Terpaksa ia kembali. Dicabutnya panji kecil itu dan diperiksanya dengan teliti.
Teringat ia akan pembicaraan dengan Cu Siau-bun tempo hari. Pemuda Cu itu pernah mengatkan dengan yakin bahwa ada orang yang memalsu menjadi Hun-tiong-sin-mo untuk melakukan pembunuhan ganas dan memakai juga Panji tengkorak darah palsu. Tetapi Thian-leng tak dapat membedakan palsu tidaknya panji yang tengah diperiksa itu.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh derap kaki yang begemuruh. Dan pada lain saat muncul ah berpuluh-puluh orang yang mengepungnya. Mereka berjumlah 20 orang lebih, dan terdiri dari bermacam golongan; paderi, imam dan orang biasa. Melihat langkah kaki yang berat dan mata mereka yang berkilat-kilat tajam, terang mereka itu tentu jago-jago silat yang berilmu tinggi. Dan yang lebih mengejutkan lagi, mereka bersikap bengis dan bermusuhan kepada Thianleng..!
Dengan masih mencekal panji kecil, Thian-leng menyapa heran, "Apakah cuwi"."
"Benda apakah yang kau cekal itu?" bentak seorang tua yang tampil ke muka.
"Panji Tengkorak Darah?" belum habis Thian-leng menyahut, seorang berjenggot panjang sudah menukasnya,
"Omitohud! Hun-tiong-sin-mo pembunuh ganas tanpa bayangan itu ternyata tak mempunyai 3 kepala 6 lengan?"
Ia behenti sejenak mengerlingkan mata, lalu berkata pula, "Apa kedudukanmu dalam kawanan anak buah Hun-tiong-sin-mo?"
Thian-leng mengkerutkan dahi, sahutnya," Cuwi (tuan-tuan) salah paham. Aku hanya kebetulan lewat di sini?"
"Bukti sudah jelas, mengapa masih menyangkal!" bentak si orang tua tadi, "Darah para korban masih belum kering.
Kami cepat datang kemari tiada orang lain kecuali engkau. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan kau?"
Sementara beberapa paderi dan imam segera mengerumuni mayat-mayat itu untuk mengenali. Kemudian mereka membaca ayat-ayat doa dan bersembahyang. Terang beberapa korban itu kawan mereka. Mungkin mereka berjalan berpencar sehingga terlambat untuk memberi pertolongan.
Thian-leng heran melihat rombongan orang yang begini banyak. Terang mereka adalah rombongan partai besar.
Namun karena sikap mereka yang tak memberi kesempatan membantah, telah menimbulkan reaksi Thian-leng.
Katanya, "Jika cuwi tetap tidak percaya, akupun tak dapat berbuat apa-apa?" Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Buru-buru ia bergeser ke arah seorang paderi tua, serunya," Dapatkah lo-siansu memberitahu partai lo-siansu yang terhormat?"
"Lo-hu dari kuil Siau-lim-si," rupanya paderi itu agak sabar dari kawan-kawannya.
Girang Thian-leng bukan kepalang. Buru-buru ia mengeluarkan Giok-pay dan diserahkan kepada paderi tua itu," Inilah benda dari Bu Ceng taysu yang diberikan padaku agar diserahkan pada kuil Siau-lim-".."
Thian-leng yang berhati polos sedikitpun tidak menduga bahwa penyerahan giok-pay itu bahkan akan makin menimbulkan salah paham. Sejak 60 tahun lamanya, tak pernah ada orang yang keluar dari markas Hun-tiong-sin-mo dengan masih hidup. Jelas sudah bahwa Thian-leng tentu anak buah Hun-tiong-sin-mo, apalagi dia dapat membawa giok-pay yang dibawa Bu Ceng.
Dengan gemetar paderi tua itu menyambuti giok-pay , ujarnya, "Ketua dan kedelapan Tiang-lo kami?"
Thian-leng menanggapi dengan helaan napas, "Mereka tak beruntung telah binasa di tangan Hun-tiong-sin-mo!"
Paderi tua itu segera berdoa beberapa kali , lalu berkata, "Memang hal itu telah kami duga. Karena berselang 10 hari ketua dan kedelapan tiang-lo kami tak pulang, maka kami duga tentu binasa di sarang Hun-tiong-sin-mo".. terima kasih atas kebaikanmu mengantar tanda pusaka dari kuil kami ini!"
Thian-leng tertegun, ujarnya, "Secara kebetulan saja aku dapat melarikan diri dari sarang Hun-tiong-sin-mo. Aku menerima permintaan dari lo-siansu"., " ia tak dapat melanjutkan perkataannya. Ia merasa urusan itu makin dijelaskan makin tak dipercaya. Tak tahu ia bagaimana baiknya.
Paderi itu tertawa dingin, "Tak perlu sicu banyak-banyak memberi penjelasan. Kalau ketua dan ke 8 tiang-lo saja tetap kalah dengan Hun-tiong-sin-mo, apalagi sicu yang masih begitu muda?"
"Tak perlu kiranya taysu membuang waktu dengannya, " tiba-tiba imam tua yang tampil ke depan tadi menukas.
"Terang dia itu kaki tangan Sin-mo. Dapat membunuh kelima sute kami dan dua orang paderi Siau-lim-si, jelas kalau dia mempunyai kepandaian sakti. Baiklah kita tak usah menurutkan segala macam peraturan dunia persilatan untuk menghadapi manusia yang seganas ini. Marilah kita beramai-ramai meringkusnya"."
"Benar," sahut seorang paderi muda, "Andaikata kita mati ditangannya, pun tetap ada saudara kita yang akan membalasnya. Ketiga Cun-cia ( paderi yang berkedudukan tinggi) telah mengirimkan undangan ke berbagai tempat.
Tak lama lagi partai-partai persilatan akan mengerahkan orangnya untuk meluruk ke Hun-tiong-san. Betapapun saktinya Sin-mo, jangan harap dapat lolos lagi. Dan kau boleh menerima kematianmu dulu!", ucapan itu ditutup dengan sebuah serangan kepada Thian-leng. Serempak ke duapuluh orangpun segera turut menyerang.
Thian-leng benar-benar marah sekali. Sia-sia saja semua penjelasannya, toh mereka tetap menuduhnya sebagai kaki tangan Hun-tiong-sin-mo. Ia dengan lincah menghindar, namun serangan pedang dan pukulan yang segencar hujan itu benar-benar membuatnya tak berdaya. Akhirnya karena terpepet, Thian-lengpun terpaksa menyerang sampai tiga kali. Hawa panas meranggas dan terdengar jeritan kaget di sana sini. Seranganpun agak reda.
"Cek-kui-sin-ciang, itulah ilmu keistimewaan Hun-tiong-sin-mo!" teriak beberapa orang.
Thian-leng tersenyum mengkal. Sekalipun ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya itu sejenis dengan ilmu pukulan Cek-kui-sin-ciang (pukulan merah sakti ), namun kedua ilmu pukulan itu berlainan jurusnya. Tetapi celakanya, salah terka itu makin menambah salah paham mereka!.
Kemampuan Lui-hwe-ciang Thian-leng masih belum sempurna, maka tenaga pukulannyapun belum seberapa dahsyat.
Apalagi ia sibuk harus menghindari serangan mereka.
Sejenak kemudian para penyerangnya itupun mulai menyerang lagi. Rupanya mereka mengetahui tingkat kepandaian Thian-leng. Asal bersatu, tentu dapat meringkus anak muda itu.
Thian-leng makin terjepit. Keadaannya benar-benar dalam bahaya. Dia sungguh penasaran sekali. Mati dibunuh Hun-tiong-sin-mo ataupun musuh lainnya, ia akan puas. Tetapi mati karena diduga sebagai anak buah Sin-mo sungguh membuatnya penasaran sekali. Tiba-tiba bahu kirinya terasa sakit. Sebuah sambaran pukulan musuh mengenainya.
Dia terkejut dan serentak menyalalah kemarahannya. Selintas teringatlah ia akan pedang pusaka pemberian nenek Toan-jong-jin. Sekali cabut, segera ia mainkan salah satu jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang disebut Nok-hay-keng-liong atau Gelombang dahsyat mengejutkan naga.
Seketika berhamburanlah percikan cahaya perak yang menyilaukan mata"..
Sesaat kemudian terdengar jeritan ngeri dan teriakan terkejut. Para pengeroyoknyapun berhamburan menyurut mundur!
Thian-leng menghentikan pedangnya. Iapun tersirap kaget. Enam sosok mayat tampak bergelimpangan di tanah. Tiga orang imam dan dua paderi tewas, serta seorang jago biasa. Kepala mereka pecah berhamburan, perut robek dan darah menggenangi tanah. Hampir Thian-leng tak percaya, namun benar-benar ke enam mayat itu adalah korban dari pedang pusakanya. Ia tahu bahwa ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam memang sakti, tapi tidak menduga sama sekali bahwa hanya dengan sebuah jurus saja, ternyata hasilnya sedemikian dahsyatnya!.
Thian-leng menyesal sekali. Ia tegak termangu seperti patung.
"Sicu terlalu ganas sekali!" terdengar paderi tua dari Siau-lim-si tadi mendampratnya.
Thian-leng tak dapat menyahut kecuali hanya menghela napas.
Salah seorang imam berseru, "Mengapa sicu tak melanjutkan keganasan lagi" Ayo , masakah sicu mau memberi ampun kepada kami sekalian!"
Kembali Thian-leng menarik napas. Ia menyelipkan pedang ke pinggang lalu melangkah pergi. Sekalian orang terbeliak heran.
Ya, memang Thian-leng terpaksa berbuat begitu. Ia tak dapat memberi penjelasan, maka dibiarkan saja mereka menyangka begitu. Adalah karena tak tega menyaksikan korban-korban tadi, maka ia segera angkat kaki.
Tiada seorangpun yang berani menghadang. Tiba-tiba salah seorang paderi muda berseru, "Harap sicu tinggalkan nama dulu sebelum pergi!"
Thian-leng hentikan langkah, sahutnya, "Aku bernama".. Bu-beng-jin!"
"Bu".beng ". jin?" terdengar beberapa suara mengulang terputus-putus nama aneh itu.
"Baik, Bu-beng-jin! Ingatlah hutang darah hari ini.Tak lama kau harus membayarnya!" seru paderi muda itu.
Thian-leng tak menyahut. Cepat ia ayunkan langkah lagi. Tak berapa lama kembali ia berada seorang diri di tengah kepekatan kabut malam yang menyelubungi tepi sungai.
Sepuluh hari kemudian tibalah ia di lembah Sing-sim-kiap di wilayah gunung Thay-heng-san. Sebuah lembah yang mamat berbahaya. Karang dan tebing curam menjulang ke langit. Dengan menurutkan peta pemberian Oh-se-gong-mo, ia menyusup ke dalam lembah itu.
Teringat ia akan kata-kata paderi muda yang turut dalam pengeroyokan tempo hari, bahwa para Cun-cia dari kuil Siau-lim-si telah mengirimkan undangan kepada seluruh partai persilatan agar datang dalam pertemuan di gunung Thay-heng-san. Kalau tujuan pertama itu ialah diperuntukkan menyatukan langkah menghadapi Hun-tiong-sin-mo, itu sih tak mengapa. Tapi anehnya mengapa tempat pertemuan di pilih di gunung Thay-heng-san" Dan di daerah pegunungan Thay-heng-san yang beratus-ratus li luasnya itu, tak tahu ia dimana pertemuan kaum persilatan itu diadakan".
Ada sebuah hal yang menggelorakan perasaannya. Yakni selama dalam perjalanan itu, ia tak menemui rintangan apa-apa. Namun hatinya tetap memikirkan pada dirinya yang belum ketahuan asal-usulnya serta bermacam-macam peristiwa aneh yang dialami selama ini.
Setelah menyusur tikunan dan kelokan yang berliku-liku, akhirnya tibalah ia di muka sebuah sungai yang deras airnya. Menurut peta, sungai itu disebut Pek-long-ho (sungai arus putih ). Terjadi dari kumpulan aliran-aliran air yang terdapat di atas gunung. Karena saat itu sedang musim hujan, maka arus sungaipun kencang sekali.
Setelah melintasi sungai itu dan menikung di sebuah barisan karang curam, hatinyapun berdebar keras. Ya, menurut keterangan peta, tempat yang ditandai dengan lingkaran merah itu merupakan tempat tinggal dari si orang sakti Sip-Uh-jong, tokoh yang hendak dicarinya itu. Apakah tokoh itu masih berada di situ" Demikian pertanyaan yang timbul di hati Thian-leng.
Oh-se-gong-mo mengadakan perjanjian dengan tokoh itu pada 30 tahun berselang. Ya, 30 tahun bukanlah waktu yang singkat. Apakah dalam waktu yang sedemikian lama tokoh itu masih hidup"
Masih ada sebuah pertanyaan lagi. Apakah tokoh itu mau menerimanya sebagai wakil dari Oh-se-gong-mo, kemudian mau memberikan pil Kong-yang-sin-tan kepadanya" Thian-leng berjalan dengan seribu satu kegelisahan.
Tak berapa lama tampaklah sebuah goa dari batu karang yang menjulang tinggi. Timbul ah kegirangan pada Thianleng karena goa itu mungkin goa kediaman Sip-Uh-jong. Tetapi dalam sekejap api kegirangan itupun padam kembali.
Karena di muka goa itu penuh ditumbuhi rumput liar setinggi dada orang. Suatu tanda bahwa goa itu tentu sudah lama tak dihuni orang.
Melangkah ke dalam goa, didapatinya goa itu penuh dengan sarang laba-laba. Suatu hal yang membuatnya kecewa.
Ia menghibur hatinya sendiri, sekalipun tak berhasil memperdalam ilmu Lui-hwe-ciang, namun ia masih mempunyai ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang sakti. Kiranya ilmu pedang itu cukup untuk menghadapi Song-bun-kui-mo nanti.
Ketika ia memutar tubuh hendak meninggalkan goa itu, tiba-tiba matanya tertumbuk akan segunduk benda yang mirip dengan tubuh manusia melingkar di sudut ruang. Ia tertegun, pikirnya,"Hm, Sip lo-cianpwe itu memang seorang manusia luar biasa yang berwatak aneh. Mungkin dia masih tinggal di goa yang tak pernah dibersihkan ini!"
Makin diperhatikan, makin jelaslah bahwa benda itu memang seorang manusia yang tengah melingkar tidur di sebuah bale-bale batu. Karena mukanya ditutupi dengan kedua lengan baju, maka tak jelaslah bagaimana wajahnya.
Ya, siapa lagi kalau bukan Sip-Uh-jong. Dengan pemikiran itu, segera Thian-leng melangkah maju kemudian berlutut di depan bale-bale batu, ujarnya, "Sip lo-cianpwe"..."
Orang itu menggeliat balikkan tubuh dan?"?"Thian-leng melonjak kaget seperti dipagut ular demi melihat siapa yang tidur di tempat yang sejorok itu, "Cu-heng?" kau".!"
Ya, memang yang tidur melingkar itu bukan tokoh sakti Sip Uh-jong, tetapi Cu Siau-bun si pemuda berwajah pucat.
Cu Siau-bun tertawa hambar, "Menantikan kau"."
"Menantikan aku ?" kembali Thian-leng tercengang, "Bagaimana kau tahu aku akan datang ke sini?"
Cu Siau-bun hendak membuka mulut tetapi tiba-tiba ia mengerutkan dahi dan batuk-batuk. Napasnya memburu keras, tangan dan kakinya dingin, keringat dinginpun mengucur membasahi mukanya. Diam-diam Thian-leng kasihan padanya. Masih semuda itu, mengapa Cu Siau-bun sudah menderita penyakit paru-paru yang berat.
Masih Cu Siau-bun batuk-batuk dan beberapa kali mengeluarkan darah, tubuhnyapun menggigil. Buru-buru Thianleng mencekalnya, "Cu-heng, sakitmu cukup berat, tak seharusnya kau tinggal di goa sekotor ini" ! "
Cu Siau-bun menyandarkan kepalanya ke bahu Thian-leng, sahutnya "Penyakitku ini boleh dikata suatu penyakit, boleh dikata bukan!"
Thian-leng terharu sehingga hidungnya mulai lembab menahan air mata. "Apa yang kau derita Cu-heng?" katanya dengan terharu.
Cu Siau-bun menghela napas: "Sudah setengah bulan aku tinggal di goa ini. Bermula kurasakan badanku kurang enak, kemudian baru kuketahui kalau aku terkena kabut beracun ?"
"Kalau begitu seharusnya Cu-heng lekas-lekas tinggalkan goa ini mencari obat!"
Cu Siau-bun makin rapatkan kepalanya ke dada Thian-leng. Ia tertawa tawar: "Karena kuperhitungkan kau segera akan datang, maka kutangguhkan sehari lagi di sini ?"
Sejenak dipandangnya redup-redup Thian-leng, ujarnya: "Tak usah heran. Sewaktu berada di lembah Pek-hun-koh, kulihat kau menyembunyikan sebuah peta. Tetapi malang, aku kena dipancing keluar oleh musuh sehingga kau kena diculik ?"
Diam-diam Thian-leng mengagumi kecerdasan pemuda itu. Hanya dalam waktu yang singkat saja Cu Siau-bun sudah dapat mengingat di luar kepala isi peta itu.
Setelah sesaat menghela napas, kembali Cu Siau-bun berkata: "Karena kemana-mana tak dapat kutemukan kau, maka kuduga kau tentu datang kemari. Lalu aku bergegas2 menunggumu di sini!"
Ketika baru berjumpa, Thian-leng mengira Cu Siau-bun itu seorang penjahat, maka ia tak mau berkawan dengannya.
Ternyata dia seorang sahabat yang setia. Adalah karena hendak menunggu kedatangannya, Cu Siau-bun tinggal di goa itu sampai setengah bulan sehingga akibatnya terkena hawa beracun.
Dijabatnya kedua tangan pemuda itu dengan rasa syukur yang tak terhingga: "Cuheng, entah bagaimana aku harus menghaturkan terima kasih kepadamu ?"
Cu Siau-bun menarik tangannya dari dekapan Thian-leng. Tapi pada lain saat tiba-tiba ia merangkul leher Thian-leng, ujarnya: "Apakah kau mau meluluskan sebuah permintaanku?"
"Silahkan, aku tentu melaksanakan perintahmu!"
"Kelak apabila segala urusan sudah selesai, kita mencari tempat yang sepi dan jauh dari masyarakat ramai. Kita dirikan gubuk, menanam ladang. Tiap sore kita duduk minum arak, malam kita ngobrol di dekat perapian. Kita nikmati kehidupan yang tenteram bahagia, jangan campur urusan dunia persilatan yang kotor lagi. Maukah kau?"
Thian-leng terpesona, ujarnya: "Itulah kehidupan yang kuidam-idamkan, tetapi entah bilakah hari itu akan tiba?"
Cu Siau-bun tertawa sedap: "Asal kau mau, hari itu pasti akan tiba. Harap kau jangan ingkar janji!"
"Asal Cu-heng tak menampik, tentu aku takkan berkhianat."
Cu Siau-bun tertawa riang: "Baik, tempat ini tiada orang saktinya, pun peta itu tak ada gunanya. Mari kita tinggalkan tempat ini. Makin lekas kita menyingkap tabir rahasia riwayatmu dan menuntaskan dendam sakit hati, makin lekas kita melaksanakan cita-cita kehidupan bahagia yang kita ikrarkan tadi!"
"Benar, lebih dulu kita pergi ke kota yang terdekat dari sini untuk mengobati lukamu!" sahut Thian-leng.
"Itu tak penting," sahut Cu Siau-bun, "asal aku nanti beristirahat dua hari saja, penyakitku itu tentu sembuh sendiri."
Thian-leng segera memapahnya keluar dari goa. Tetapi ia terkejut karena Cu Siau-bun berjalan dengan sempoyongan seperti mau jatuh. Ah, tak kira hawa dalam goa itu sedemikian jahatnya. Terpaksa ia panggul pemuda itu. Cu Siaubun tak menolak, bahkan semesra anak domba, ia susupkan kepalanya ke dada Thian-leng. Tak lama tibalah mereka di tepi sungai Pek-long-ho. Sekonyong-konyong Thian-leng tersirap kaget dan menghentikan langkah. Dari balik jajaran batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai, bermunculan belasan orang. Paderi, imam dan orang-orang biasa.
"Bu-beng-jin, apa katamu sekarang?" seru salah seorang paderi muda.
Thian-leng gelisah. Tak mau ia bentrok lebih lanjut dengan partai-partai persilatan dan memperdalam jurang kesalah pahaman. Apalagi Cu Siau-bun sedang sakit. Kalau sampai terjadi pertempuran dan mengakibatkan Cu Siau-bun menderita lebih parah, Thian-leng benar-benar penasaran sekali.
Rombongan penghadang yang muncul itu bukan saja terdiri dari orang-orang yang pernah bertempur dengannya di hutan tempo hari, bahkan bertambah lagi dengan belasan paderi dan imam. Terang mereka itu masih penasaran dengan kekalahannya dulu dan mengundang bala-bantuan untuk mencari Thian-leng.
Situasi itu menyadarkan Thian-leng bahwa suatu kesulitan sukar dihindarkan lagi. Segera ia letakkan Cu Siau-bun di atas tanah: "Biar kuhadapi mereka dulu!" katanya dengan tenang sekalipun hatinya berdebar keras.
Cu-Siau-bun hendak bicara tetapi tiba-tiba ia muntah darah lagi. Ia sandarkan kepalanya ke batu. Dengan geram Thian-leng bangkit menghadapi rombongan penghadangnya itu.
Yang melangkah maju lebih dulu ialah 3 orang paderi tubuh kurus. Mata mereka berkilat-kilat tajam, langkah berat dan kuat.
"Tentulah cuwi bertiga ini ko-jin dari partai persilatan ternama. Apakah cuwi ijinkan aku berbicara?" seru Thian-leng.
Salah seorang paderi itu menyahut dengan suara nyaring: "Lohu tak ingin mendengar bantahan dari orang yang tangannya berlumuran darah manusia!"
"Lalu maksudmu?" seru Thian-leng.
"Menyempurnakan dirimu?" sahut paderi itu dalam nada berat.
"Simpan golok pembantai dan segera bersujud di hadapan Buddha" Andaikata aku benar seperti yang kau tuduh menjadi anak buah Hun-tiong Sin-mo, bukankah pintu sudah tertutup bagi aku untuk kembali ke jalan terang?" seru Thian-leng dengan sinis.
"Lain orang diperbolehkan, kecuali kau!" bentak paderi itu, "keputusan dari rapat para kaum persilatan memutuskan untuk melenyapkan Hun-tiong Sin-mo dan antek-anteknya. Di dunia tak boleh terdapat kutu busuk yang merusak ketenteraman rakyat!"
Ucapan itu ditutup dengan sebuah pukulan. Thian-leng terpaksa menangkis. Benturan itu membuat keduanya sama-sama tersurut mundur selangkah.
Pada lain saat kedua paderi dan keempat imam bertubuh kurus itu berseru dan serempak menyerang berbareng.
Thian-leng cukup menyadari kesaktian ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Maka ia enggan untuk mengeluarkan permainan itu, apalagi ia tak mempunyai kesempatan mencabut pedangnya. Serangan ketiga paderi dan empat imam itu segencar badai, sehingga dalam 10 jurus kemudian Thian-leng rubuh ke tanah muntah darah!
Melihat itu Cu Siau-bun, paksakan diri berseru: "Mohon kalian "ja " ngan " membunuhnya ?"
Tetapi tak seorangpun yang menghiraukannya. Seorang paderi tua tampil dengan sebuah hantaman, Thian-leng mencelat sampai dua tombak jauhnya, tubuhnya mandi darah! Seorang imam menyusuli lagi dengan sebuah hantaman sehingga untuk yang kedua kalinya tubuh Thian-leng mencelat ke udara dan blung " ia tercebur ke dalam sungai. Pada lain kejap, tubuhnyapun hilang ditelan arus yang deras "
Cu Siau-bun pingsan seketika!
Entah berapa lamanya, ketika ia tersadar di hadapannja tampak seorang paderi tua. Kata paderi tua: "Kaupun tentu anak buah Hun-tiong Sin-mo. Sekali-kali bukan karena kau sedang menderita sakit lantas dibebaskan dari kematian.
Tetapi karena kami hendak menyuruhmu menyampaikan berita pada Hun-tiong Sin-mo. Katakan padanya bahwa sembilan partai besar mengundangnya supaya datang ke puncak Sin-li-hong gunung Bu-san pada bulan satu tanggal 15. Diminta dia datang memenuhi undangan kami itu. Kalau tidak ia akan dihina oleh kaum persilatan sebagai manusia pengecut!"
Hati Cu Siau-bun seperti disayat sembilu, namun ia masih paksakan diri berseru keras: "Tak perlu tunggu sampai bulan satu tanggal 15, sekarang juga aku hendak membalas dendam pada kalian. Semua orang dari sembilan partai besar itu akan kuhancurkan " aku hendak " membalaskan dendam " untuknya ?"
Lengking jeritan itu penuh dengan bara dendam yang merintih-rintih. Namun hanya gemuruh arus sungai yang menyambutnya, karena sekalian jago-jago itupun sudah angkat kaki. Mereka tak mempedulikan lagi kepada pemuda yang tengah memaki-maki dengan suara yang makin lemah "
Suasana di tepi sungai Pek-long-ho tenang kembali. Arusnyapun kembali bersuka-ria berkejar-kejaran di tengah sungai.
Cu Siau-bun tersadar dari pingsannya. Dengan langkah terhuyung-huyung ia menyusur tepi sungai menuju ke hulu.
Ternyata hawa beracun dalam goha, telah meracuni tubuhnya sedemikian rupa hingga tenaganya hampir lenyap.
Peristiwa pengeroyokan terhadap Thian-leng yang begitu ngeri sehingga anak muda itu tercebur ke dalam sungai, makin menggoncangkan batinnya. Andaikata bukan seorang yang keras hati, tentu seketika itu juga Cu Siau-bun sudah buang diri mencebur ke sungai!
Mungkin kalau tidak seperti saat itu, tentu ia dapat melompati sungai yang lebarnya hanya setombak lebih. Tetapi dalam keadaan separah itu, ia hanja dapat menghela napas saja.
Duduklah ia bersandar pada sebuah batu besar. Sambil beristirahat, ia merenungkan apa yang telah dialami selama beberapa hari ini. Sebenarnya ia seorang yang berhati tinggi. Biasanya ia suka tak memandang mata pada orang lain.
Tapi kali ini benar-benar ia mendapat pelajaran yang pahit!
Suatu perasaan aneh mengetuk hatinya. Mengapa, ya mengapa ia begitu mudah mencurahkan kasihnya kepada seorang pemuda macam Kang Thian-leng" Di manakah letak kelebihan Thian-leng" Ah, tak tahulah ia. Ia hanya merasa, Kang Thian-leng ialah Kang Thian-leng. Kasihnya terhadap pemuda itu adalah suatu perasaan kasih yang timbul dari nuraninya "
Dipandangnya arus air yang berkecamuk di tengah sungai. Tak terasa mengalirlah air matanja " Ah, Thian-leng sudah mati, mati tanpa meninggalkan bekas. Bahkan mayat pemuda itupun tak tertinggal lagi untuk dikenangkan!
Serentak timbul ah suatu pertanyaan dalam sanubarinya. Dapatkah ia melupakan pemuda Thian-leng itu" Dapatkah kelak ia mencurahkan kasihnya kepada pemuda lain"
Sang batin menyahut serentak: tidak!
Thian-leng telah mencuri segenap isi hatinya. Pemuda itu mati dengan membawa kasih hatinya juga. Tidak, ia tak dapat hidup lagi. Seluruh impiannya, cita-citanya dan kebahagiaan hidupnya telah terbawa hanyut oleh Thian-leng.
Lalu-lalang kenangan itu bertemu dalam suatu titik, kemudian meletus menjadi suatu tekad yang bulat: "Balaslah! Ya, ia harus membalaskan sakit hati Kang Thian-leng!"
Diam-diam ia bersumpah dalam hati. Selama hayat masih dikandung badan, ia bersumpah hendak membunuh semua jago-jago dari sembilan partai. Setelah hal itu terlaksana, ia lalu hendak bunuh diri menyusul arwah Thian-leng!
Sekonyong-konyong sesosok tubuh melesat tiba di hadapannya. Seorang wanita tua yang berambut putih mengenakan pakaian warna biru tiba-tiba muncul tanpa mengeluarkan suara sedikitpun jua.
"Mah "!" serentak menjeritlah Cu Siau-bun dengan girang-girang rawan. Ia merangkak lalu menubruk ke dada wanita itu.
Wanita tua perlahan-lahan membelai kepala Cu Siau-bun, sepasang alisnya mengerut: "Nak, mengapa kau berobah begini rupa?"
Cu Siau-bun paksakan diri mengangkat kepala. Air matanya membasahi muka. "Berobah" Berobah bagaimana, mah?"
Wanita itu tertawa mesra: "Nak, sering kukatakan bahwa kau ini adalah orang yang paling keras kepala dan tinggi hati. Tetapi apa sebab sekarang kau menangis begitu sedih ?""
Cu Siau-bun terkesiap. Mengusap air mata, ia menjerit: "Mah, dia " dia sudah mati!"
Si wanita tuapun terkejut, serunya: "Dia mati?"
Cu Siau-bun mengerutkan gigi, sahutnya: "Mah, kau harus membantu aku untuk membalaskan sakit hatinya!"
Sejenak wanita tua itu mengerutkan kening, kemudian tertawa hambar: "Ceritakan dulu bagaimana ia sampai mati itu!"
"Rombongan sembilan partai telah membunuhnya. Mayatnya terlempar ke dalam sungai. Yang paling menjengkelkan adalah ketiga Cuncia dari Siau-lim-si ?"
"Mengapa sembilan partai membunuhnya?" tanya si wanita.
"Mereka salah duga, menyangka dia itu anak buah Hun-tiong Sin-mo!"
Wanita tua itu mengeluh ujarnya: "O, akulah yang mencelakainya "!"
Kemudian ia menggumam seakan-akan bicara pada dirinya sendiri: "Ah, kalau anak itu sampai meninggal, persoalan yang menjadi kecurigaanku itu tentu tak dapat kuselidiki lagi " Mengapa ditengkuk anak itu terdapat sebuah tahi lalat" Mengapa hatiku tak sampai hati membunuhnya ?""
Dikala ia terbenam dalam renungan itu tiba-tiba angin berhembus dan leher bajunyapun tersikap sedikit. Ah, walaupun wajahnya tampak seperti seorang nenek yang sudah berumur 80-an tahun tapi kulit lehernya putih segar seperti yang dimiliki oleh wanita di antara 30 tahun lebih umurnya. Dan yang paling mengesankan adalah terdapatnya sebuah tahi lalat merah pada lehernya itu.
"Mah, apa yang kau katakan?" tiba-tiba Cu Siau-bun menyela.
Wanita itu tersirap, tertawa: "Tidak apa-apa, mari kita pergi!" " ia mengeluarkan sebutir pil diberikan pada Cu Siaubun: "Makanlah, hawa racun dalam tubuhmu tentu hilang ?"
Setelah menelan pil itu, Cu Siau-bun tetap enggan pergi: "Aku tak ikut!"
"Mengapa?" wanita tua terbeliak heran.
"Selesaikan dulu pembicaraan baru kita pergi."
"Anak itu sudah mati, apa boleh buat. Apalagi yang harus dibicarakan?"
"Tidak! Aku tetap hendak membalaskan sakit hatinya!" seru Cu Siau-bun.
Wanita itu tersirap kaget: "Eh, apakah kau " jatuh cinta padanya" " Bukan begitu maksudku menyuruhmu rnengikuti jejaknya!"
Wajah Cu Siau-bun yang kepucat-pucatan tampak merah, bibirnya mencibir: "Mah, kaulah yang bertanggung-jawab!
Jika kau tak suruh aku mengikutinya tentu takkan terjadi peristiwa ini. Sekarang sesal tiada gunanya ?"
"Kau " apakah sudah "!" makin getas suara wanita itu.
"Tidak! Sampai matinya dia belum mengetahui aku ini seorang perempuan!" Cu Siau-bun tersipu merah.
Wanita itu menghembus napas longgar, ujarnya: "Jangan kau resahkan hal itu. Lewat beberapa waktu, kau tentu melupakannya."
Cu Siau-bun membelalakkan matanya: "Tidak mungkin! Seumur hidup tak nanti aku dapat melupakannya. Dalam hidupku aku hanya dapat mencintai dia seorang. Kematiannya telah membuatku sengsara. Aku hendak melakukan pembalasan, baru nanti menyusulnya ke alam baka!"
Mata wanita itu berkaca-kacaa. "Ah, Siau-bun," ia menghela napas. "Mengapa kau begitu tolol. Sedangkan dia belum tahu kau ini seorang gadis, mengapa kau hendak bela-mati untuknya?"
"Kuminta kau membantuku menghancurkan orang-orang dari 9 partai itu!" Cu Siau-bun tetap kukuh. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, serunya: "Mereka minta aku menyampaikan undangan padamu, supaya hadir menerima tantangan mereka di gunung Bu-san pada nanti bulan 1 tanggal 15!"
Wanita itu menggeleng: "Aku masih mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Tak usah hiraukan ocehan mereka!"
"Aku telah bersumpah dalam hati, sebelum tanggal itu akan menghancurkan mereka."
Wanita itu mengerutkan dahi, ujarnya: "Dewasa ini di dunia persilatan timbul kekacauan. Tiap hari terjadi pembunuhan keji. Dan setiap pembunuhan tentu meninggalkan tanda Panji Tengkorak Darah palsu. Sedangkan peristiwa ini belum dibikin terang, lalu sekarang akan membasmi 9 partai lagi. Bukankah hal itu akan menambah berat beban penderitaanku" Selama yang tulen dan yang palsu itu belum dibikin terang, bukankah mamahmu ini tetap akan dihina oleh kaum persilatan sebagai manusia berdosa?"
"Telah kuselidiki hal itu," buru-buru Cu Siau-bun berkata, "hasilnya telah kuketemukan. Yang memalsukan Panji Tengkorak Darah bukan lain ialah orang Sin-bu-kiong ?"
"Sin-bu-kiong ?"" wanita itu merenung beberapa jenak, katanya heran, "tetapi aku merasa tak mengikat permusuhan dengan pihak Sin-bu-kiong!"
"Bukan sadja telah kuperoleh bukti bahwa pembunuh ganas dan pemalsu Panji Tengkorak Darah itu orang Sin-bu-kiong, pun telah kuketahui juga bahwa yang memalsu jadi ibunya Kang Thian-leng itu ialah Te-it Ong-hui dari Sin-bu-kiong "!"
"Ai "!"
"Ibu dari Thian-leng itu bukan saja tidak meninggal, pun ternyata bukan ibunya yang sejati!" Cu Siau-bun lanjutkan keterangannya.
"Bukan ibunya?" si wanita menegas.
"Benar!"
Makin dalam kerut dahi ibu Cu Siau-bun, sengaunya: "Ini makin aneh "!" tiba-tiba ia tertegun lalu gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jip-bi membisiki Cu Siau-bun: "Jangan bicara, ada orang!"
"Berapa jauhnya dari sini?" Cu Siau-bun gunakan Coan-im jip-bi.
"Paling tidak 3 li jauhnya. Jumlahnya lebih dari 20 orang, di antaranya ?" " ia tak melanjutkan kata-katanya.
"Bagaimana?" desak Cu Siau-bun.
"Di antaranya terdapat seorang yang berilmu tinggi," kata ibunya.
"Masakan dia mampu menandingimu, mah!"
Ibunya menggeleng. "Sekalipun begitu, tetapi kita harus ingat bahwa di atas langit masih ada langit. Orang yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi. Mamahmu ini bukanlah tokoh nomor satu di dunia!" cepat ia tarik puterinya dibawa melesat pergi. Mereka lenyap di antara gundukan batu yang menyela di semak pepohonan.
Tak lama rombongan yang dikatakan wanita itupun tiba. Mereka bukan lain ialah rombongan 9 partai tadi. Entah apa sebabnya mereka kembali lagi. Malah sekarang ditambah dengan seorang tua berjenggot putih, berjubah ungu.
Tubuhnya tinggi besar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Sikapnya congkak. Ia berjalan dengan langkah lebar, mengikuti ketiga Cuncia dari Siau-lim-si yang menjadi penunjuk jalan.
Tampaknya biasa saja ia berjalan dengan rombongan jago-jago 9 partai. Tetapi apabila orang memperhatikan, tentu akan terbelalak kaget. Rumput-rumput yang bekas dilaluinya, tak ada sebatangpun yang rebah terpijak. Jadi orang itu seolah-olah berjalan melayang di atas tanah rumput.
Tiba di tepi sungai rombonganpun berhenti. Salah seorang cuncia yang bergelar Hang Liong cuncia berseru nyaring:
"Melintasi sungai itu kita mencapai ujung terakhir dari lembah ini. Tetapi tak menemukan apa-apa. Kemungkinan si orangtua Sip Lojin itu tentu sudah meninggal dunia ?"
Tertawalah orang tua bertubuh tinggi besar. Nadanya gemerontang macam lonceng bertalu: "Aku si orang tua ini telah memahami ilmu pengobatan dan menguasai ilmu meramal. Aneh, mengapa dia sudah mati lebih dulu" Tentulah karena memperhitungkan kita sekalian bakal datang kemari maka diam-diam ia tentu lari bersembunyi ?"
Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula: "Tetapi hal itu tak berapa penting. Memang aku telah mendapat tugas dari Tekun untuk mencari jejak Sip Lojin itu. Tetapi yang lebih penting lagi ialah untuk mengajak saudara-saudara sekalian merundingkan rencana menghancurkan Hun-tiong Sin-mo!"
Hang Liong bukan saja menjadi tetua dari ketiga Cuncia kuil Siau-lim-si, pun dia juga merupakan pemimpin dari rombongan jago-jago 9 partai. Ia memberi sambutan atas pernyataan orang tua gagah itu: "Sungguh suatu rejeki besar bisa memperoleh bantuan dari pihak Sin-bu-kiong. Harap Ni Cong-hou-hoat suka bantu membicarakan perserikatan ini di hadapan Te-kun."
Kiranya orang tua bertubuh tinggi besar itu menjabat sebagai cong-hou-hoat (kepala pengawal) dari istana Sin-bu-kiong. Namanya Ni Jin-hiong bergelar Ci-chiu-hoan-thian (tangan mengaduk langit).
Ni Jin-hiong tertawa sinis: "Hun-tiong Sin-mo sudah 60 tahun merajai duna persilatan. Dia mempunyai banyak anak buah yang sakti. Tak dapat diremehkan. Dengan memberi bantuan pada ke 9 partai ini, sudah tentu pihak kami akan memberi pengorbanan yang tak sedikit. Bahkan mungkin juga pihak Sin-bu-kiong akan mengalami kekalahan dan kehancuran. Tetapi andaikata bisa berhasil, entah bagaimanakah saudara-saudara sekalian hendak menghaturkan terima kasih kepada pihak Sin-bu-kiong?"
Sejenak mata Hang Liong Cuncia menyapu ke arah rombongannya, katanya kemudian: "Jika Hun-tiong Sin-mo dapat dihancurkan dan dunia persilatan terbebas dari cengkeraman momok ganas, 9 partai akan menggerakkan seluruh orang gagah di kolong dunia untuk menobatkan Sin-bu-kiong sebagai partai pemimpin dunia persilatan dan Sin-bu Te-kun sebagai kepala tokoh persilatan!"
Sekalian orang tak ada yang menyanggah dan mengangguk setuju, Ni Jin-hiong tertawa puas, serunya: "Kalau demikian dapatlah kulaporkan pada Te-kun, hanya saja ?"
"Lohu telah menurutkan rencana Ni Cong-hou-hoat, mengundang Hun-tiong Sin-mo supaya datang kepuncak Sin-li-hong besok pertengahan bulan satu tahun depan!" tukas Hang Liong Cuncia.
Ni Jin-hiong mengelus-elus jenggot tertawa: "Bagus, selekas aku pulang tentu akan segera kukirim orang, untuk mengadakan persiapan. Kalau Hun-tiong Sin-mo berani datang dapat dipastikan dia bakal hancur ?" sejenak ia kerlingkan mata, katanya pula: "Tetapi ingat, kecuali tokoh-tokoh penting di kalangan kalian 9 partai, jangan sampai rahasia Sin-bu-kiong akan ikut hadir dalam pertemuan di Bu-san itu bocor keluar! Atau " kemungkinan Hun-tioug Sin-mo takkan datang!"
Hang Liong Cuncia mengiyakan. Kembali orang she Ni utusan Sin-bu-kiong itu tertawa congkak kemudian ia minta diri.
"Bagaimana pendapat saudara-saudara tentang tindakanku tadi?" tanya Hang Liong Cuncia kepada rombongan 9
partai. Tak seorangpun yang menyahut kecuali seorang setengah tua yang mengenakan dandanan sebagai pelajar.
Ia menyelinap ke muka, serunya: "Menurut hematku, tindakan siansu tadi kurang bijaksana!"
Hang Liong Cuncia terkesiap. Ketika mengetahui bahwa yang bicara itu Poh-ih-siu-su (pelajar baju katun) Li Cu-liong, ketua partai Tiam-jong-pay, Hang Liong Cuncia mengerutkan alis.
"Bagaimana menurut pendapat Li Ciangbun?" tanyanya.
Kiranya di dalam persekutuan 9 partai itu, partai Tiam-jong-pay termasuk partai yang paling lemah sendiri. Sekalipun namanya sejajar dengan 8 partai besar, namun pada hakekatnya kekuatan partai Tiam-jong-pay itu kalah dengan sebuah Pang (cabang) saja. Bahkan dengan Kau (perkumpulan agama) saja tak menang.
Ketiga cuncia itu adalah golongan paderi yang paling tinggi kedudukannya dalam partai Siau-lim-si, maka di dunia persilatan mereka mendapat penghormatan yang tinggi. Sudah tentu mereka tak memandang mata kepada Li Cu-liong. Itulah sebabnya maka Hang Liong Cuncia mengunjuk sikap kurang senang kepada ketua Tiam-jong-pay.
Poh-ih-siu-su Li Cu-liong tertawa tawar: "Meskipun Hun-tiong Sin-mo itu seorang algojo buas, tetapi kaum Sin-bu-kiong itu juga bukan golongan baik. Tindakan losiansu tadi berarti "lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya".
Sekali Sin-bun Te-kun menjadi kepala dunia persilatan ?" ia menghela napas tak melanjutkan kata-katanya pula.
Semula memang Hang Liong Cuncia tak senang, tetapi dia seorang paderi yang telah berpuluh-puluh tahun menghisap sari pelajaran agama. Peribadinya kuat, toleransinya penuh. Ia mengangguk perlahan. "Lohu-pun sudah tahu. Adalah karena tak tega mendengar tiap hari Hun-tiong Sin-mo melakukan pembunuhan ganas, maka kecuali dengan jalan itu rasanya tiada lain daya lagi ?" ia berhenti sejenak, katanya pula: "Supaya cuwi sekalian mengetahui bahwa tindakan lohu sekali-kali bukan karena hendak menuntut balas atas kematian ketua dan kedelapan tianglo kami. Tetapi yang penting ialah demi memikirkan keselamatan dunia persilatan!"
Li Cu-liong menjura, serunya:"Sungguh mulia cita-cita losiansu itu, tetapi ?" ia berganti nada setengah berbisik:
"Maafkan, Tiam-jong-pay hendak mengundurkan diri dari persekutuan ini!"
Sekalian tokoh terkejut mendengar keputusan ketua Tiam-jong-pay itu. Hang Liong Cuncia menatap tajam-tajam pada diri ketua Tiam-jong-pay itu, kemudian tertawa hina: "Silahkan kalau Li Ciangbun mau mengundurkan diri.
Tetapi kaum persilatan di Tionggoan takkan merobah haluannya karena penarikan diri dari Tiam-jong-pay!"
Li Cu-liong tak mau banyak bicara. Setelah memberi hormat segera ia angkat kaki di kuti oleh kedua pengawalnya.
Pada lain kejap mereka sudah lenyap dari pandangan.
Sekalian tokoh terlongong-longong mengantar kepergian ketua Tiam-jong-pay itu. Baru setahun yang lalu Li Cu-liong mendjabat ketua Tiam-jong-pay. Sebagai sebuah partai lemah, mengapa dia berani menarik diri dari persekutuan 9
partai" Dan berani menentang kehendak golongan Siau-lim-pay" Apakah dia mempunyai rencana sendiri. Demikian pertanyaan yang timbul di hati setiap orang.
Akhirnya Hang Liong Cuncia-lah yang membuka pembicaraan: "Keputusan telah ditetapkan, harap cuwi sekalian pulang ke tempat cuwi masing-masing. Sebelum akhir tahun ini harap sudah mengirim wakil ke puntjak Sin-li-hong di gunung Bu-san ?"
Sekalian tokoh mengiyakan. Demikianlah mereka segera bubar dan pulang ke daerahnya masing-masing.
Keheningan kembali menyelubungi tepi Pek-long-ho. Beberapa waktu kemudian terdengar suara bicara bisik-bisik dari balik sebuah batu besar. Itulah Cu Siau-bun dan ibunya, yang sejak tadi ternyata masih bersembunyi mendengarkan pembicaraan rombongan 9 partai.
"Mah, jika tadi tak kau halangi, di sini tentu sudah timbul tumpukan bangkai " mereka toh hendak merencanakan mencelakai kau, mengapa kau diam saja?" Cu Siau-bun menggeram.
Setelah menelan pil dari ibunya, maka racun dalam tubuh Cu Siau-bun pun sudah lenyap. Kini tenaganya sudah pulih.
Wanita tua itu tertawa hambar: "Jika tak tahan menderita soal kecil, tentu akan membikin terlantar urusan besar.
Apalagi ke 9 partai itu sebenarnya tak berdosa. Mereka telah masuk dalam perangkap orang. Si kepala gedung Sinbu-kiong yang menamakan dirinya sebagai Te-kun (raja) itulah biang-keladi yang sebenarnya ?"
Cu Siau-bun tertegun sejenak. Katanya: "Mah, mengapa mendadak kau berobah begini welas-asih?"
Wanita itupun terkesiap juga: "Apakah mamahmu ini seorang ganas?"
Cu Siau-bun tertawa:"Sekaligus membunuh ketua Siau-lim-si dan 8 tianglo ?"
"Kau tak tahu "!" kata wanita itu. Setelah merenung sesaat, ia berkata pula: "Pertama, aku hendak menjaga peraturan mendiang guruku. Yakni tak membiarkan orang yang menantang, keluar dari Mo-hu (sarang hantu) dengan masih hidup! Kedua, ke 9 paderi itu memang cari mati sendiri ?"
Cu Siau-bun melengking: "Masakan mereka ?"
Tiba-tiba wajah wanita itu berobah bengis: "Jangan banyak bicara, ayo lekas berangkat!"
"Mah, apakah kita langsung menggempur Sin-bu-kiong?" seru si nona dengan bersemangat.
"Tidak! Akan kuajak kau ke gunung Tiam-jong-san dulu!"
Cu Siau-bun terbeliak heran: "Tiam-jong-san" Perlu apa kita ke gunung yang tandus itu?"
"Ketua Tiam-jong-pay, Poh-ih-siu-su Li Cu-liong seorang yang aneh wataknya. Aku hendak menjumpainya!" sahut sang ibu.
Cu Siau-bun tak berani membantah. Segera mengikuti sang ibu melintasi sungai terus keluar dari lembah. Namun mulut nona itu masih menyumpah-nyumpah: "9 partai adalah musuh besarku, termasuk Tiam-jong-pay pun hendak kubasmi!"
Wanita itu entah dengar entah memang tak mau menghiraukan gerutu puterinya, tetap berjalan terus "
oo00oo Bagaimana dengan Kang Thian-leng yang kecebur di dalam sungai" Apakah dia binasa" Tidak, ternyata dia memang belum ditakdirkan mati, masih harus melanjutkan perdjalanan hidupnya yang penuh cerita petualangan.
Begitu kecemplung ke dalam sungai, iapun sudah pingsan sehingga dibawa hanyut oleh arus. Pukulan yang dilancarkan oleh paderi dan imam dari 9 partai itu hebatnya bukan kepalang. Tapi untunglah sebelumnya Thian-leng sudah mendapat saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo sehingga tenaga dalamnya kuat sekali. Benar ia terluka parah tetapi tak sampai binasa.


Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malah ketika terendam dalam air, iapun agak tersadar dari pingsannya. Lapat-lapat ia merasa seperti membentur sebuah benda dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke tepi pesisir. Lemparan itu kuat sekali sehingga tulang persendiannya serasa remuk, kepala pening, mata berkunang-kunang. Sedemikian nyerinya sakit yang diderita saat itu sampai-sampai ia hampir pingsan lagi! Untung tempat jatuhnya itu di atas pasir, andaikata di atas batu karang tentulah tubuhnya sudah hancur.
Sesaat ia berusaha untuk menyalurkan darah dan membuka matanya pelahan-lahan. Apa yang dilihatnya saat itu, membuat semangatnya serasa terbang.
Seorang manusia aneh yang menyerupai mayat hidup tengah memandangnya dengan tertawa mengikik " Kedua matanya sebesar kelinting, pipinya kempot dan mukanya berwarna pucat kebiru-biruan. Sekalipun panca-inderanya lengkap tapi tak mirip dengan seorang manusia!
Dia mencekal sebatang kail, batang kail terbuat dari bambu sebesar lengan bayi. Kini orang aneh itu tengah melepaskan kait yang menyantol di baju Thian-leng.
Astaga " serentak tersiraplah darah Thian-leng ketika mengetahui apa yang terjadi. Ternyata tadi dia dipancing orang aneh itu! Ia hendak membuka mulut, tetapi napasnya terengah sehingga terpaksa tak bisa bicara.
Orang aneh itu tertawa mengikik dan berkata seorang diri: "Besar nian rejeki hari ini, dapat memancing seekor manusia-ikan ?" " ia menjilat-jilat lidah, katanja: "Eh, mana lebih lezat, dimasak atau dibakar ?""
Sudah tentu Thian-leng berjingkat kaget. Terhindar dari mati tenggelam, jatuh ke tangan seorang manusia aneh.
Bukan mustahil orang aneh itu suka makan daging orang!
Ia paksakan diri berteriak: "Aku bukan ikan tetapi bangsa manusia seperti kau. Jangan kau ?" karena lukanya parah sekali, sekalipun sudah menggunakan sekuat tenaga tetapi teriakannya itu lemah sekali dan akhirnya malah tak kedengaran lagi.
"Kau bukan ikan" Mengapa kau berada dalam air?" orang aneh itu tetap cekikikan.
Setelah memulangkan napas, Thian-leng menyahut dalam suara lemah: "Aku dianiaya orang dan dipukul jatuh ke dalam sungai!"
"O, jadi kalau tidak kupancing, kau tentu sudah mati, bukan?" orang aneh itu mengikik.
"Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe. Kelak wanpwe tentu akan membalasnya."
"Selama hidup aku tak pernah berminat menolong orang. Ransumku sudah habis 3 hari yang lalu, terpaksa kujadikan kau sebagai ikan. Anggap saja kau tadi sudah mati tenggelam dalam sungai itu!" sambil masih tertawa mengikik sekonyong-konyong orang aneh itu menampar.
"Mati aku!" keluh Thian-leng yang tak berdaya menyingkir karena tenaganya lumpuh. Terpaksa ia meramkan mata menunggu kematian.
Plak, keajaiban terjadi! Berat kedengaran tangan orang aneh itu. menampar tubuh Thian-leng tetapi ternyata jatuhnya lunak sekali dan yang ditampar ialah bagian bawah perut. Seketika itu Thian-leng rasakan tubuhnya dialiri arus hawa yang hangat. Thian-leng memberi reaksi spontan (serentak). Ia segera pusatkan seluruh lwekangnya untuk menyambut hawa hangat itu "
Kira-kira sepeminum teh lamanya, orang aneh itupun perlahan-lahan melepaskan tangannya. Girang Thian-leng tak terkata. Ternyata orang aneh itu memberinya saluran lwekang sehingga saat itu lukanya sudah hampir sembuh. Buru-buru ia merangkak dan berlutut di hadapan si orang aneh.
Tetapi orang aneh itu menolak dan menyingkir, serunya: "Aku paling benci dengan segala macam peradatan. Tak usahlah!"
Thian-leng bangkit, ujarnya: "Oh, kiranya locianpwe seorang sakti terpendam, wanpwe tadi ?"
"Apa itu orang sakti terpendam! Adanya aku mengasingkan diri di tempat ini karena aku masih senang hidup dan takut mati. Aku tak keluar ke dunia persilatan karena kepandaianku tak memadai ?"
Tampak wajah orang aneh itu tegang. Rupanya ada sesuatu perasaan dalam hatinya yang tersinggung oleh kata-kata Thian-leng tadi sehingga meledak.
Thian-leng terbeliak. Orang yang mampu menyalurkan 1wekang untuk mengobati luka dalam, terang tentu seorang sakti. Sekalipun bukan hal yang jarang terdapat di dunia persilatan, tetapi tokoh semacam itu dapat digolongkan sebagai jago kelas satu. Heran Thian-leng mendengar kata-kata orang aneh itu.
"Kalau begitu, apakah locianpwe juga seorang yang menderita kekecewaan ?" " ia tak mau lanjutkan kata-katanya karena kuatir menyinggung perasaan orang lagi dan mengalihkan dengan pertanyaan: "Sukalah locianpwe memberitahukan nama locianpwe yang mulia?"
Orang aneh itu tertegun, tiba-tiba ia tertawa: "Buyung, mungkin karena sudah berpuluh-puluh tahun tak ketemu orang maka aku senang bicara padamu. Ya, terus terang saja aku ini ialah salah seorang dari Su-mo (4 momok) yang dahulu mengangkangi dunia persilatan "!" " ia tertawa mengikik: "Pernahkah kau mendengar nama keempat momok itu?"
Thian-leng terbeliak. Teringat ia akan pesan Oh-se Gong-mo untuk menumpas si Song-bun Kui-mo yang jahat.
Adakah orang aneh yang dihadapinya saat itu Song-bun Kui-mo"!
Untuk menghadapi segala kemungkinan diam-diam Thian-leng kerahkan tenaga dalam. Ah, ia menghela napas longgar karena lwekangnya sebagian besar sudah pulih.
"Apakah cianpwe Song-bun Kui-mo?" serunya.
Tiba-tiba orang aneh itu menggeram: "Song-bun Kui-mo" Uh, aku membencinya setengah mati. Ingin benar kumakan dagingnya ?"
Thian-leng menghela napas longgar: "Kalau begitu tentulah Tui-hun Hui-mo!"
"Hm, benarlah!" sahut orang aneh itu.
Tanpa diberi keterangan, Thian-leng telah mengetahui apa sebab tokoh Tui-hun Hui-mo (Iblis pengejar maut) sampai sedemikian mengenaskan keadaannya. Di dalam apa yang disebut Su-mo (4 iblis), Hun-tiong Sin-molah yang paling tinggi kepandaiannya. Kemudian setelah Song-bun Kui-mo berhasil merebut kitab pusaka Im-hu-po-kip, kesaktiannyapun bertambah hebat. Dengan begitu hanja Oh-se Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo yang terbelakang sehingga mereka lari menyembunjikan diri.
"Dan kau, siapa namamu?" tegur Tui-hun Hui-mo.
Thian-leng tertegun, sahutnya: "Wanpwe " bernama Bu-beng-jin!"
"Bu-beng-jin?" Tui-hun Hui-mo terkejut. "Kau tak mau mengatakan namamu yang sebenarnya?"
"Sekalipun semula wanpwe mempunyai nama, tetapi ternyata nama itu palsu, karena ?" dengan terus terang Thianleng segera tuturkan riwayatnya. Tetapi peristiwa masuk ke sarang Hun-tiong-san tidak diceritakannya.
Terpikat perhatian Tui-hun Hui-mo. Ketika mendengar tentang kematian Oh-se Gong-mo, tokoh aneh itupun mengucurkan air mata dan menghela napas berulang-ulang. Sampai beberapa saat Tui-hun Hui-mo termenung. Tiba-tiba ia bertepuk tangan tertawa: "Buyung, kita harus kerja sama. Sip-loji itu ?"
"Apakah locianpwe mengetahui jejaknya" Apakah beliau masih hidup?" tukas Thian-leng.
Tui-hun Huimo tertawa aneh: "Ketahuilah, sudah hampir 3 tahun aku mengejar jejaknya, tetapi setiap kali ia tentu dapat lolos. Dia benar-benar seorang manusia aneh, dapat meramal ?"
"Mengapa locianpwe hendak mengejarnya?"
"Aku " juga untuk pil Kong-yang-sin-tan itu. Pil itu bukan saja akan membuatmu mencapai kesempurnaan ilmu Lui-hwe-ciang, pun setiap orang yang minum tentu akan bertambah dahsyat lwekang-nya."
Thian-leng termenung sejenak, ujarnya: "Karena locianpwe sudah lebih dulu 3 tahun, maka pil itu locianpwe saja yang minum, wanpwe ?"
"Tidak!" bentak Tui-hun Hui-mo, "kalau Oh-se Gong-mo rela memberikan lwekang peryakinannya selama 80 tahun kepadamu, masakan aku sudi mengangkangi pil itu" Minumlah pil itu, buyung, agar kau dapat membasmi Hun-tiong Sin-mo dan Song-bun Kui-mo kedua keparat itu!"
Thian-leng terlongong. Memang Song-bun Kui-mo harus ia basmi. Tetapi Hun-tiong Sin-mo" Bukankah Hun-tiong Sin-mo itu jelas bukan musuhnya" Bukankah momok itu telah melepas budi kepadanya" Ah "
"Hai, buyung, tahukah kau siapa Song-bun Kui-mo itu?" tiba-tiba Tui-hun Hui-mo berseru.
"Justru wanpwe bingung mencari tempat tinggalnya ?"
Tui-hun Hui-mo tertawa: "Tempat tinggal" Saat ini dia ibarat matahari yang muncul di langit, sinarnya memenuhi jagad. Dia hendak menguasai dunia persilatan, menundukkan tokoh-tokoh silat. Masakan kau tak tahu tempat tinggalnya ?"
"Dia " "!"
"Dia ialah manusia yang mengangkat diri sebagai raja Sin-bu Te-kun dalam sarang istananya Sin-bu-kiong!"
"Sin-bu Te-kun?" Thian-leng tergagap. Sungguh tak diduganya sama sekali. Segera ia teringat akan dua taci-adik Ki, si orang tua baju biru. Dan Cu Siau-bun yang entah berada di mana sekarang!
Tui-hun Hui-mo heran memandang anak muda yang tampak termenung itu, tegurnya: "Hai, apa-apaan kau ini?"
"Tak apa-apa," Thian-leng gelagapan, "kita ?"
"Ya, kita cari tempat persembunyian Sip-loji ?" tukas Tui-hun Hui-mo. Ia menerangkan bahwa tokoh aneh itu memang suka berpindah-pindah tempat. Tetapi untungnya hanya di sekitar gunung Thay-heng-san saja. "Tiga hari yang lalu dia pindah di lembah Hong-lim-koh " berapa kali setiap aku hampir berhasil menyergapnya, apabila terpisah 10 li, ia tentu sudah mengetahui dan lari!"
"Kalau begitu selamanya tentu tak dapat dipergoki!" seru Thian-leng.
"Tidak! Dengan bantuanmu, tentu lain halnya," Tui-hun Hui-mo tertawa. Segera ia mencari sebatang dahan kayu kering dan menggambar di tanah: "Ia di lembah Hong lim-koh. Di tengah lembah terdapat sebuah jalanan, satu di sebelah timur dan satu di selatan. Kau mengambil jalan yang timur dan aku dari selatan. Kali ini masakan dia mau lari ke langit!"
Setelah selesai memberi petunjuk, Tui-hun Hu-mo segera ajak Thian-leng berangkat. Dengan menurutkan peta guratan Tui-hun Hui-mo tadi, tak lama kemudian tibalah ia di muka mulut jalanan lembah Hong-lim-koh yang sebelah timur. Lembah itu merupakan sebuah tempat yang terpencil sekali. Penuh batu-batu yang curam dan hutan lebat.
Setelah beberapa saat memandang keadaan lembah itu, barulah Thian-leng mulai memasukinya. Tiba-tiba ia berhenti terlongong-longong "
*** Berhasilkah Thian-leng mencari si orang sakti Sip U-jong yang misterius ?"
(Bersambung jilid 3)
Jilid 3 . Tertangkap basah.
Di kaki puncak gunung, terdapat sebuah gubuk. Tak jauh di belakang gubuk itu, sebuah air terjun tengah mencurah, dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang. Sekilas alam pemandangan di situ mirip dengan sebuah lukisan.
"Ah, tentulah itu tempat kediaman Sip-locianpwe," Thian-leng menduga-duga. Dan segera ia menghampiri. Karena hiruk-pikuknya gemuruh air terjun maka kedatangannya tak menimbulkan kecurigaan orang. Begitu tiba di gubuk segera ia melongok ke dalam jendela.
Sebuah gubuk yang reyot. Di sana-sini tampak celah-celah lubang. Di dalam ruangan hanya terdapat sebuah meja dan sebuah bale-bale terbuat dari papan. Di atas rumput kering diperuntukkan alas bale-bale itu, duduklah seorang tua yang sudah putih rambutnya. Paling tidak dia tentu sudah berumur 80 tahun. Tubuhnya kurus tetapi seri wajahnya masih segar kemerah-merahan.
Agak curiga Thian-leng dibuatnya. Tui-hun Hui-mo mengatakan bahwa pendengaran Sip U-jong itu luar biasa tajamnya. Setiap orang berada pada jarak 10 li jauhnya, tentu sudah diketahuinya. Tetapi mengapa sampai ia menghampiri jendela, tetap tak diketahui"
Tiba-tiba penghuni gubuk tersenyum. Ia menarik meja di hadapannya dan dari tumpukan rumput ia mengambil beberapa benda mirip potongan kulit dan tulang kura-kura. Benda-benda itu diletakkan di atas meja.
Itulah mirip dengan barang permainan kanak-kanak dan Thian-leng pun mengerutkan kening keheranan.
Orang tua itu sibuk menjalankan benda-bendanya, sebentar ke timur sebentar dipindah ke barat. Tiba-tiba ia mengerutkan alis dan berkata seorang diri: "Satu ke timur satu ke selatan. Dua setan menghadang jalan " ah, habislah permainan kali ini ?"
Thian-leng terbeliak kaget.
"Swan (tenggara) putus, Khian (barat laut) kering. Li (selatan) berair, Khun (timur laut) banjir. Mengejutkan tetapi tak berbahaya ?" kata orang tua itu pula. Kemudian berhenti diam lagi. Tiba-tiba ia berseru kaget: "Macan putih muncul di Te-hu (gedung residen). Naga sembunyi di ujung langit. Di dalam bahaya melahirkan gajah jahat, ah, mungkin urusan besar kapiran!"
Thian-leng mendengarkan ocehan orang tua aneh itu setengah mengerti setengah tidak. Ketika hampir menemukan pemecahan artinya, tiba-tiba orang tua berambut putih itu melambaikan tangannya berseru: "Masuklah, anak muda!"
Bukan main kejutnya Thian-leng. Karena jelas bahwa orang tua itu melambai kepadanya. Akhirnya dengan berdebar-debar ia melangkah masuk.
"Nak, telah lama kutunggu engkau!" orang tua itu
Thian-leng tersipu-sipu memberi homat: "Apakah locianpwe Sip ?"
"Benar, aku memang Sip U-jong. Telah kuketahui maksud kedatanganmu .."
"Locianpwe seorang penjelmaan dewa?"
"Bukan, aku hanya mengerti ilmu perbintangan (falak) saja, bukan dewa ?" ia mengeluarkan sebuah holou (buli-buli) warna kuning emas. Dengan hati-hati sekali dituangnya sebutir pil sebesar ujung jempol tangan, warnanya merah. Pil itu diberikan kepada Thian-leng.
"Inilah pil Kong-yan-sin-tan yang dibuat rebutan orang persilatan. Lekas telanlah!"
"Tidak, tidak! Wanpwe ?" Thian-leng menolak. Ia terkejut dengan peruntungan yang diperolehnya begitu mudah. Dan diapun tak mau merebut Tui-hun Hui-mo yang sudah 3 tahun mengejar pil itu.
Sip U-jong tertawa tergelak-gelak: "Tiga puluh tahun yang lalu aku mengadakan perjanjian dengan Oh-se Gong-mo.
Kuperhitungkan waktu perjanjian itu ialah hari ini ?"
"Apakah 30 tahun yang lalu locianpwe sudah mengetahui kedatangan wanpwe hari ini?"
"Bukan begitu. Hanya kala itu sudah kuketahui aku tak berjodoh dengan Oh-se Gong-mo tetapi berjodoh dengan pewarisnya ?"
"O, memang aku datang kemari untuk pil ini, tetapi ?"
"Tadi biji Kwa-jio (papan untuk meramal) mengunjukkan bahwa banyak bahaya segera akan muncul, setiap saat akan terjadi perobahan. Lekas minumlah pil itu!"
"Wanpwe ?" masih Thian-leng bersangsi. Tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang. Ia hendak berputar diri tetapi sudah terlambat. Punggungnya sudah ditutuk orang. Seketika tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Di luar dugaan Sip U-jong tetap tenang-tenang saja.
"Mengejar aku 3 tahun, maksudmu hanya untuk pil itu!" serunya tawar.
Pendatang itu tertawa tergelak-gelak: "Benar, tetapi aku bukan manusia yang temaha. Saat ini aku sudah merobah pikiran ?" ia berhenti sejenak. "Kau dan aku sepaham, lekas berikan pil itu kepadanya!"
Kiranya pendatang itu ialah Tui-hun Hui-mo!
Sip U-jong tertegun, ujarnya: "Sekalipun ramalanku tepat, tetapi hati orang sukar diduga. Sungguh tak kusangka-sangka ?" " ia gelengkan kepala menghela napas: "Buyung ini lapang dada, dia hendak menyerahkan pil itu kepadamu dan tetap menolak tak mau menelannya. Aku tak berdaya memaksanya ?"
"Mudah!" sahut Tui-hun Hui-mo seraya menutuk tenggorokan Thian-leng sehingga mulut anak muda itu menganga.
Sip U-jong cepat memasukkan pil ke mulut Thian-leng. Setelah itu Tui-hun Hui-mo baru membuka lagi jalan darah Thian-leng yang tertutuk.
Thian-leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali berlutut menghaturkan terima kasih kepada kedua orang aneh itu. Tiba-tiba ia menjerit, loncat beberapa meter ke udara dan jatuh berguling-guling mendekap perutnya. Kiranya pil itu mulai bekerda. Perut Thian-leng serasa terbakar api, organ dalam tubuhnya serasa disayati sehingga ia menjerit- jerit seperti babi disembelih!
"Pil itu telah kubuat selama 50 tahun. Untuk menjaga pil itu aku sampai menelantarkan ilmu silat. Montang-manting lari ke mana-mana sehingga hampir kehilangan jiwa! Ah, tak kira pil itu sedemikian mencelakakan orang ?"
Tui-hun Hui-mo tertawa: "Tetapi kuharap kau membuat 2 butir, biar aku turut merasakan bagaimana sakitnya!"
Sip U-jong tertawa perlahan: "Kau dan aku sudah ibarat senja hari, biarlah kita titipkan harapan kita di atas bahunya saja "!" " ia berhenti untuk menghitung-hitung dengan jarinya. Tiba-tiba ia terkejut: "Celaka, musuh mendesak, jalanan lembah sudah tertutup! Bagaimana ini!"
"Apakah mereka orang Sin-bu-kiong?" Tui-hun Hui-mo terkejut juga.
"Ini sukar diperkirakan, hanya dalam ramalanku mengunjuk bahaya keludasan ?" menunjuk pada Thian-leng, ia berkata pula: "Sekalipun dia sudah minum pil itu, tetapi dalam waktu sejam belum dapat menghadapi musuh. Jika tak beruntung, mungkin kita sukar lolos dari kehancuran. Jerih-payahku selama berpuluh-puluh tahun akan ludas dalam sehari saja ?"
"Kau mengerti ramalan, mengapa tak mengetahui keadaan mereka?" kata Tui-hun Hui-mo.
"Hai, benar, mengapa aku begini limbung ?" Sip U-jong seperti orang disadarkan. Segera ia memeriksa wajah Thianleng. Saat itu Thian-leng sudah tak menggeliat-geliat, hanja keningnya masih bercucuran keringat panas. Sebenarnya jalan darah utama Seng-si-hian-kwan dalam tubuh Thian-leng sudah tertembus. Jalan darah ini merupakan "pintu"
terakhir dari suksesnya suatu peryakinan lwekang. Selama jalan darah itu tak dapat terbuka, orang tetap tak mampu mencapai kesempurnaan lwekang. Tidak banyak tokoh-tokoh persilatan yang telah tertembus bagian jalan darah Seng-si-hian-kwan.
"Ah, mungkin pilihanku salah. Seumur hidup aku menderita kekecewaan!" sesaat kemudian Sip U-jong berseru sambil membanting-banting kaki.
"Apakah usianya tak panjang?" Tui-hun Hui-mo terkejut.
Sip U-jong gelengkan kepala: "Ini sukar dikatakan. Hanya perjalanan hidupnya memang penuh kesulitan, selalu tertimpa bahaya maut. Jika tak ketemu bintang penolong mungkin dia takkan hidup panjang ?" ia berhenti sejenak, katanya: "tetapi yang kukuatrkan bukan hal itu. Dia seorang anak
keras kepala, mungkin tak dapat memenuhi harapanku dengan lancar ?"
"Aku tak tahu apa isi harapanmu itu, tetapi tentulah ada hubungannya dengan Hun-tiong Sin-mo dan Song-bun Kui-mo!" seru Tui-hun Hui-mo.
Sip U-jong menggeram: "Isteri dan puteriku telah dibunuh Song-bun Kui-mo, masakan kau tak mendengar hal itu!"
Tui-hun Kui-mo tertawa: "Asal anak itu masih bisa hidup saja, jangan kau kuatirkan hal itu ?"
Tiba-tiba ia bertanya: "Kelinci yang licin masih punya 3 liang. Selain timur, selatan, apakah tak ada lain jalan lagi?"
"Kau takut mati?" Sip U-jong tertawa.
Tui-hun Hui-mo mendengus: "Yang mengerti gelagat dan bertindak tepat barulah seorang gagah. Berani mati atau takut mati, bukanlah halangan."
Sip U-jong gelengkan kepala: "Tetapi sekarang sudah terlambat ?" baru ia mengucap, tiba-tiba terdengar lengking suara seperti denging nyamuk menyusup telinga: "Benar, memang sekarang sudah terlambat!"
Kejut Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo tak kepalang. Melihat ke arah datangnya suara, tampak seorang wanita mengenakan kerudung muka sudah memasuki pintu gubuk. Di belakangnya di ring oleh 4 bujang wanita berbaju biru.
Mereka datang tanpa menimbulkan suara apa-apa. Bahwa seorang tokoh sakti macam Tui-hun Hui-mo sampai tak mengetahui sama sekali kedatangan rombongan wanita itu, memang mengherankan sekali!
Cepat Tui-hun Hui-mo menghadang di muka Thian-leng, tegurnya dengan nada bengis: "Siapa kalian ini" Perlu apa kemari?"
Wanita berkerudung itu tertawa dingin: "Matamu buta, sampai tak kenal siapa aku ?"
"Persetan kau ini siapa, lekas keluar dari pondok ini, atau ?"
"Atau bagaimana?" tantang wanta itu.
"Mayatmu jadi bubur daging!"
"Mengapa kau tak lekas turun tangan?" wanita itu mengikik.
Peta Telaga Zamrud.
Memang Tui-hun Hui-mo sudah memutuskan. Rombongan wanita itu terang bukan manusia baik. Lebih cepat ia turun tangan, lebih baik. Tak usah mengalami pertempuran yang lama. Ia menggerung keras dan mendorong ke muka.
Wanita berkerudung itu tetap berdiri. Kedua tangan disembunyikan dalam lengan baju. Sikapnya tenang-tenang saja.
Begitu Tui-hun Hui-mo bergerak, iapun segera ulurkan jarinya menutuk.
Sebagai tokoh kedua dari Su-mo dahulu, ia malang-melintang tanpa tanding. Setiap pukulan Tui-hun-sin-ciang (pukulan sakti pengejar nyawa) meluncur tentu ada orang yang terluka. Yang rubuh di tangannya entah sudah berapa banyak.
Tahu bahwa wanita yang dihadapinya itu bukan tokoh sembarangan, maka sekali gebrak Tui-hun Hui-mo pun gunakan ilmu simpanan Tui-hun-sinciang dalam jurus yang paling dahsyat, yakni Ngo-gak-kie-pheng (5 gunung berbareng meletus). Pukulan dahsyat dilambari dengan tenaga penuh. Dahsyatnya bagaikan gunung Thay-san rubuh
" Menurut perkiraannya, pukulan itu tentu akan menghancurkan si wanita, sekurang-kurangnya tentu dapat melukainya, paling tidak pasti membuatnya terpental mundur beberapa langkah. Kemudian ia akan menyusuli dengan Lian-hoan-sam-ciang (3 pukulan berantai). Tanggung tentu menang!
Tetapi apa yang disaksikan, benar-benar tak diduganya sama sekali. Wanita berkerudung itu gunakan jarinya untuk menyambut. Gilakah barang kali wanita itu. Memang tenaga tutukan jari itu tajam sekali tetapi mana dapat diadu dengan tenaga pukulan. Kecuali memang wanita itu bermaksud hendak berjibaku atau sama-sama remuk. Tetapi anehnya wanita itu tak mengunjuk sikap hendak mengadu jiwa.
Di saat Tui-hun Hui-mo tercengang, angin tutukan jari dan angin pukulannya telah beradu! Aneh, aneh " angin keras yang menghambur dari pukulannya itu ketika beradu dengan tutukan jari, berobahlah seperti api disiram air. Hilang lenyap segala daya tenaga pukulan itu. Bahkan tak berhenti sampai di situ saja. Tui-hun Hui-mo merasa tersembur oleh aliran hawa dingin yang keras sekali sehingga darahnya serasa bergolak. Pemusatan tenaganya seolah-olah buyar ambyar "
"Hian-im-ci!" serentak berteriaklah Tui-hun Hui-mo dengan wajah pucat.
Wanita itu menarik jarinya, tertawa: "Setan tua, sekarang kau sudah tahu siapa aku?"
Tui-hun Hui-mo mengerut gigi kencang-kencang, geramnya: "Sin-bu-kiong! Kau Song-bun Kui-mo punya ?"
"Kau berani menyebut nama Te-kun yang dulu" Dosamu sudah tak dapat diberi ampun!" seru wanita berkerudung itu.
Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo tertawa keras: "Tekun" Ha, ha, kau tentulah permaisuri Ong-hui-nya?"
"Te-it Ong-hui!" sahut wanita itu dengan nada angkuh, bangga.
Tui-hun Hui-mo berhenti tertawa, serunya: "Bilang apa maksudmu kemari?"
"Kesatu, untuk mengambil jiwa kalian berdua setan tua!" jawab Te-it Ong-hui atau isteri pertama dari Song-bun Kui-mo yang berganti gelar menjadi Sin-bu Te-kun atau raja dari istana Sin-bu-kiong. "Kedua, membawa anak itu!"
Tiba-tiba Sip U-jong yang sedjak tadi masih tetap duduk di atas bale-bale, berseru: "Ah, tak semudah itu!"
Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: "Sebelum Te-kun mendapat kitab Im-hu-po-kip saja kau sudah dipukulnya terkencing-kencing sehingga kepandaianmu lenyap. Apa yang hendak kau andalkan berani menolak perintah Te-kun sekarang?"
Habis berkata Te-it Ong-hui segera menghampiri bale-bale. Seketika itu timbul ah kenekadan Tui-hun Hui-mo. Pada saat wanita itu bergerak ke tempat Sip U-jong, iapun segera lepaskan hantaman dari samping.
Tetapi Te-it Ong-hui acuh tak acuh.
"Setan bernyali besar, kau berani kurang ajar kepada Ong-hui?" dua orang bujang wanita segera membentak seraya kebutkan Hud-tim.
Sekalipun mengetahui gerakan kedua bujang wanita itu luar biasa cepat dan aneh, tetapi karena mereka hanya bujang, Tui-hun Hui-mo tak memandang mata. Dia tetap menyerang Te-it Ong-hui.
Tetapi untuk itu ia harus membayar mahal. Kebutan kedua bujang itu ternyata seperti ribuan anak panah menyambar. Bukan saja tenaga pukulan Tui-hun Hui-mo buyar, pun dia malah tersambar hawa dingin yang menyerang masuk ke tulang-tulang sehingga tak dapat menguasai diri lagi terhuyung-huyung tiga - empat langkah!
Dalam pada itu Sip U-jong pun berbareng timpukkan sebuah benda bersinar merah kepada muka si wanita berkerudung. Meski tenaganya sudah punah, tetapi ia masih mahir menimpuk.
Te-it Ong-hui tertawa mengikik seraya ulurkan jarinya menjepit. Enak dan mudah sekali ia menyambut timpukan itu.
Benda merah terjepit dengan tepat. Tetapi seketika itu Te-it Ong-hui menjerit kesakitan "
Kiranya benda merah itu bukan senjata rahasia apa-apa, melainkan seekor " ular kecil yang berwarna merah.
Panjangnya hanya 3 dim. Begitu dijepit dengan jari, ular itu melingkar lalu mematuk telapak jari Te-it Ong-hui!
Te-it Ong-hui kebaskan ular yang mematuknya dan menutuk hingga mati. Dan cepat-cepat ia tutuk jarinya sendiri karena tahu bahwa ular itu berbisa.
"Setan tua, kau mempunyai nyali!" bentaknja dengan gusar.
Sip U-jong tertawa nyaring: "Itu adalah ratu ular. Betapa hebat kepandaianmu jangan harap kau bisa hidup!"
Te-it Ong-hui menggeram: "Kalau mati aku akan mati dengan meram. Di dalam kitab Im-hu-po-kip, terdapat pelajaran tentang ilmu racun. Betapa hebatnya ilmu racun dari Hwat-hun-nio, namun tak nanti mampu membunuh aku ?"
Hwat-hun-nio artinya Dewi Awan Merah, sejenis ular kecil yang luar biasa berbisanya. Sekali gigit tentu matilah korbannya!
"Sip U-jong," seru Te-it Ong-hui pula, "tahukah kau selain kedua benda itu, apalagi yang hendak kuganjar padamu?"
Sip U-jong terkejut namun ia berlaku tenang. Toh paling banyak hanya mati. "Entah, aku tak tahu apa rencana keganasanmu itu?"
Te-it Ong-hui tertawa dingin: "Sebelum mati kau harus menyerahkan sebuah benda padaku!"
"Benda apa, aku seorang jembel, apa yang dapat kuberikan kepadamu!" dengus Sip U-jong.
"Berikan peta Giok ti tho (Telaga Zamrud )?" Te-it Ong-hui berseru bengis
"Giok ......ti ........tho?"?" bagaimana kau tahu ?"".." Sip U-jong menyahut.
Te-it Ong-hui tertawa: "Soal sepenting itu mana mungkin mengelabui Sin-bu-kiong ?" lalu ia melanjutkan pula: "Baik Sin-bu-kiong maupun Hun-tiong Sin-mo atau tokoh-tokoh persilatan lain, mengetahui bahwa engkau mendapat peta mustika itu dari seorang cianpwe yang aneh, sekarang peta harus menjadi milik Sin-bu-kiong!"
Sip U-jong mendengus: "Memang peta itu pernah jatuh di tanganku, tetapi " karena seumur hidup aku tak mempunyai harapan meyakinkan ilmu silat lagi, maka untuk menghindarkan tangan orang jahat kubakar saja peta itu!"
Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: "Dibakar ?" Jika kau mau menyerahkan dengan baik-baik, akan kuberi kemurahan agar mayatmu tetap utuh, jika tidak ?"
"Kalau begitu, tunggulah sebentar ?" seru Sip U-jong seraya merogoh sebuah bungkusan kain dari kantongnya.
Setelah dibuka, di antaranya terdapat sehelai kertas putih yang kumal. Mungkin karena tuanya maka kertas itu berobah kuning.
Te-it Ong-hui puas. Baru ia hendak ulurkan tangan, tiba-tiba secepat kilat Sip U-jong merobek-robek kertas itu menjadi berkeping-keping. Tetapi Te-it Ong-hui pun dapat bergerak sebat. Cepat luar biasa, ia merebut sisa peta itu dari Sip U-jong.
"Setan tua licik," bentaknya dengan geram sembari menampar, "Bum" " Sip U-jong terpental serta bale-balenya hancur berantakan!
Hati-hati sekali Te-it Ong-hui mengumpulkan robekan kertas tadi. Setelah diperiksa sejenak lalu dibungkus dan disimpan dalam bajunya. Tetapi di saat ia hendak memasukkan robekan peta ke baju, kedua bahunya gemetar.
Kejutnya bukan kepalang. Ketika memeriksa ternyata jari yang digigit ular Hwat-hun-nio itu sudah melepuh (bengkak) dan berwarna ungu gelap. Ia mengerut geram. Cepat ia menelan sebutir pil lalu meramkan mata menjalankan peredaran darahnya.
Di lain pihak, Tui-hun Hui-mo telah didesak ke pojok oleh kedua bujang perempuan. Tui-hun Hui-mo keluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya, tetapi tiap kali tentu dihapus oleh kebutan hud-tim kedua bujang itu. Makin Tui-hun Hui-mo kalap dan menggerung-gerung seperti macan mencium darah, makin dia kelabakan tak keruan!
Untung juga karena agaknya kedua bujang itu belum menerima perintah Te-it Ong-hui, maka sampai sekian lama mereka belum mau melukai lawan.
Kedua bujang yang lain, melihat Te-it Ong-hui terluka, segera menghampiri dan menjaga di sampingnya.
Sementara Sip U-jong saat itu menggeletak berlumuran darah. Mati tidak hidup pun tidak. Ia keraskan hati mengerahkan seluruh sisa tenaganja untuk menggelinding ke dekat Thian-leng. Sejenak ia mengembalikan napasnya yang terengah-engah dan sekalian melihat suasana. Tampaknya Te-it Ong-hui sedang bersemedhi dan keempat bujangnya sedang sibuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Jadi tak ada orang yang memperhatikannya. Tiba-tiba ia merogoh sehelai bungkusan kain. Ia mengusap darah di mulut dengan kain itu lalu menulisnja dengan beberapa kata. Setelah itu cepat-cepat ia masukkan kain itu ke dalam baju Thian-leng.
Rupanya pekerjaan-pekerjaan itu telah memakan tenaganya yang terakhir. Karena setelah selesai iapun lantas terkulai rubuh di tanah "
Kira-kira sepeminum teh lamanya, Te-it Ong-hui pun bangkit. Serunya: "Jun-hong, He-liok, bawalah anak itu!"
Kedua bujangpun segera mengangkat Thian-leng lalu diseretnya keluar. Tiba-tiba Thian-leng meronta. Keringatnya sudah berkurang dan layap-layap ia sudah mendapat kesadaran pikirannya kembali. Kedua bujang itu tak menyangka-nyangka bahwa pemuda yang tampaknja tak berkutik itu akan berontak sehebat itu. Meskipun kedua bujang itu anak buah Te-it Ong-hui yang paling terpercaya, tetapi toh tak kuat menahan tenaga si anak muda.
Mereka melengking kaget dan terlempar di tanah.Cepat mereka merangkak bangun tetapi tenaganya sudah lemah.
Menandakan bahwa mereka menderita luka dalam yang tak ringan.
Penghamburan tenaga itu, sebaliknya malah membuat Thian-leng makin sadar. Ia celingukan memandang ke sekeliling. "Ini " ini bagaimana?" katanya penuh keheranan.
Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo yang terpojok di sudut ruangan, berteriak keras: "Bu-beng-jin, bunuh ?"
Ia tak dapat melanjutkan ucapannya karena saat itu Te-it Ong-hui sudah mendahului menutuk dada Thian-leng.
Pemuda itu baru saja mulai tersadar tetapi belum pulih ingatannya. Tahu-tahu ia rasakan dadanya ampek dan bluk "
jatuhlah pula ia ke tanah!
"Lekas bawa dia pergi!" seru Te-it Ong-hui. Kedua bujang segera menyeret lagi pemuda itu. Setelah mereka pergi barulah Te-it Ong-hui loncat ke muka Tui-hun Hui-mo.
"Jui-kiok, Tong Jing, mundurlah!" serunya.
Kedua bujang itupun segera mundur.
Kini berhadapan Tui-hun Hui-mo dengan Te-it Ong-hui. Menghadapi bahaya yang lebih besar, sebaliknya Tui-hun Huimo malah lebih tenang. Tertawalah ia nyaring-nyaring: "Siluman perempuan, mungkin hari ini kau dapat bersuka-ria, tetapi lambat atau cepat kau tentu takkan terlepas dari kehancuran?"
Murka benar Te-it Ong-hui, dampratnya: "Sebenarnya mengingat hubunganmu dengan Sin-bu Te-kun pada masa dahulu hendak kuberimu ampun. Tetapi ternyata kau cari mati sendiri. Baiklah, akan kusempurnakan engkau!"
Tui-hun Hui-mo menyahut dengan menggerung keras, menghantam sekuat-kuatnya dengan kedua tangannya. Tetapi Te-it Ong-hui ulurkan jarinya seraya membentak: "Hai, setan tua, mengapa tak kenal gelagat!"
Tidak terdengar suara letupan apa-apa, tidak pula benturan pukulan. Tetapi tahu-tahu tenaga pukulan Tui-hun Huimo buyar dan tubuh tokoh itupun terkulai. Hanya sebuah erang tertahan yang terdengar, kemudian putuslah jiwa Tui-hun Hui-mo.
Ternyata Te-it Ong-hui telah melancarkan jurus Ngo-hian-ki-poh atau lima utas sutera berhamburan. Salah sebuah jurus yang paling maut dari ilmu Hian-im-ci.
Jangankan tubuh manusia, batupun tentu hancur menjadi tepung "
Te-it Ong-hui menyongsong kematian Tui-hun Hui-mo dengan tertawa dingin. Setelah itu ia menutuk Sip U-jong.
Tubuh tokoh itupun terguling-guling seperti bola. Diapun menerima kematian yang mengenaskan!
Begitu melangkah keluar, Te-it Ong-hui melihat keempat bujang kepercayaan sudah berjajar-jajar sambil mencekal Thian-leng. Sebelum pergi Te-it Ong-hui membakar gubuk itu. Ia tersenyum menyaksikan kedua sosok mayat yang menggeletak dalam gubuk itu. Setelah puas barulah ia ajak keempat bujangnya pulang.
Tetapi ketika tiba di mulut lembah, tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam hutan: "Ong-hui berhentilah!"
Sesosok bayangan laksana burung elang, melayang keluar "
Te-it Ong-hui tertegun kaget. Pendatang itu seorang bertubuh tinggi besar, jubah warna ungu, menyanggul mantel warna kuning. Jenggotnya menjulai sampai ke dada, romannya gagah-perkasa.
"Cong-hou-hwat Ni Jin-hiong menghaturkan hormat kepada Ong-hui," seru orang itu.
"Mengapa " kau kemari?" tegur Te-it Ong-hui.
Ni Jin-hiong tertawa sinis: "Te-kun memerintahkan begitu!"
Te-it Ong-hui agak tergetar. Ia terkejut namun ia berlaku setenang mungkin: "Mengapa dia tahu aku kemari?"
Kembali Ni Jin-hiong tertawa sinis: "Terus terang saja, hambalah yang melaporkan!"
"Manusia bosan hidup!" damprat Te-it Ong-hui marah sekali, "mengapa kau memberitahu padanya?"
"Ong-hui tinggalkan istana, bukan hal yang biasa. Karena tugas, hamba tak berani ?"
"Rubah yang licin!" tukas Te-it Ong-hui, "lekas katakan apa maksudmu?"
Sejenak Ni Jin-hiong sapukan mata ke arah empat bujang, ujarnya: "Bolehkah " aku mendapat kebebasan bicara?"
"Mereka adalah orang kepercayaanku. Segala urusanku, mereka tahu. Masakan kau tak tahu?"
Kali ini Ni Jin-hiong tertawa keras: "Baiklah. Terlebih dahulu aku hendak menghaturkan selamat kepadamu!"
"Dalam hal apa?" Te-it Ong-hui kerutkan alis.
"Kau sudah mendapatkah peta Telaga Zamrud, apakah itu tak layak mendapat pemberian selamat?"
"Ah, kau ?"
"Dapatkah kau mengelabui aku?" ejek Ni Jin-hiong. Di luar dugaan tiba-tiba ia menyambar siku lengan kiri Te-it Onghui, kemudian tangan kirinya menarik kain kerudung yang menutupi wajah Te-it Ong-hui.
Sebuah wajah tersembul. Sebuah wajah yang cantik sekali. Sayang sudah agak setengah tua. Kira-kira berumur 35-an tahun lebih.
Keempat bujang terbeliak kaget. Cepat mereka mengepung Ni Jin-hiong. Ni Jin-hiong tersenyum dingin dan perkeras cengkeramannya. Karena menahan kesakitan, Te-it Ong-hui pucat wajahnya. Segera ia memberi perintah supaya keempat bujangnya mundur. Terpaksa keempat bujang itupun mundur.
"Ma Hong-ing, sekarang kau tentu mau mengatakan!"
Te-it Ong-hui merandek sejenak, sahutnya: "Benar, memang peta itu telah berada dalam tanganku!"
Ni Jin-hiong kendorkan cengkeramannya, tertawa: "Sejak saat ini, dunia persilatan bakal menjadi milikmu dan milikku
?" "Tetapi Te-kun ?"
"Asal sudah menyimpan kitab pusaka dari It Bi Sianjin itu, masakan kau takut dimakan Te-kun?" Ni Jin-hiong mendengus.
"Tetapi ?" masih Te-it Ong-hui atau Ma Hong-ing bersangsi.
Ni Jin-hiong deliki mata: "Tetapi apa" Apakah kau masih sayang dengan kedudukanmu sebagai Ong-hui?"
"Mengapa kau menuduh begitu" Kita ?"
Ni Jin-hiong tertawa meloroh: "Adik Ing, jangan kuatir. Aku Ni Jin-hiong bukan Song-bun Kui-mo yang memelihara tiga sampai empat orang isteri ?"
"Masakan kau berani!" dengus Ma Hong-ing.
Masih Ni Jin-hiong lanjutkan rayuannya: "Adik Ing, sebenarnya aku hanya mencintaimu seorang. Apabila aku sampai berhasil merajai dunia persilatan, hanya kau seorang yang kujadikan isteriku!"
Merah selebar wajah Ma Hong-ing. Sambil menunjuk ujung hidungnya ia melengking: "Kutu busuk, mulutmu selalu berbalut gula ?"
"Berikan!" Ni Jin-hiong angsurkan tangan.
"Apa?" Ma Hong-ing terkesiap.
"Apa lagi kalau bukan peta Telaga Zamrud!"
"Apakah kau menyuruh kuserahkan padamu?"
Ni Jin-hiong tertawa berat: "Paling tidak kita harus memeriksanya dan mempelajari letak tempat itu!"
Ma Hong-ing merenung sejenak kemudian mengeluarkan bungkusan kain yang berisi robekan peta Giok-ti-tho.
Mereka berdua segera asyik memeriksa peta itu. Tiba-tiba wajah Ni Jin-hiong berobah.
"Palsu!" serunya dengan putus asa.
Juga Ma Hong-ing mengerut gigi, menggeram sengit: "Bangsat tua itu sungguh menjengkelkan sekali, aku termakan tipunya " Celaka, kitab pusaka It Bi Sianjin takkan muncul di dunia lagi!" " Ma Hong-ing membanting-banting kaki.
"Mengapa?" tanya Ni Jin-hiong.
"Bangsat tua Sip U-jong telah menipu aku dengan menyerahkan peta yang palsu. Yang tulen tentu masih berada padanya!"
"Ya, benar. Lekas tangkap si tua celaka itu, peta tentu masih berada di tangannya!"
"Dia telah kubunuh!" Ma Hong-ing gelengkan kepala.
"Kalau begitu carilah mayatnya!"
Sahut Ma Hong-ing dengan nada lemah: "Mayatnya sudah hangus jadi abu!"
"Kau bakar?"
Hampir pingsan Ma Hong-ing mengalami kegoncangan batin yang sedemikian hebatnya.
Plak " Sekonyong-konyong Ni Jin-hiong menampar pipi Ma Hong-ing. Lima buah telapak jari darah segera menghias pipi wanita itu. Namun ia tak mau berusaha membalas melainkan terhuyung-huyung jatuh ke tanah. Untung dua bujangnya cepat menyanggapi.
"Wanita busuk bagus sekali kerjaanmu ?" Ni Jin-hiong masih marah.
Ma Hong-ing agak meramkan mata tak mau menyahut. Ni Jin-hiong menghela napas panjang, ujarnya pula: "Kau dan aku rupanya memang sudah ditakdirkan menjadi budak. Dengan hilangnya kesempatan kali ini, seumur hidup jangan harap kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman Song-bun Kui-mo ?"


Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berhenti sejenak, ia membentak pula: "Mengapa tak lekas kembali ke istana" Jika dia mengetahui hubungan kita, mungkin kedudukan jadi hamba sajapun kita tak dapat menikmati!"
Ma Hong-ing menghela napas kecewa, serunya lemah kepada bujang yang berada di belakangnya: "Bawa budak itu lekas!"
Dua bujang segera menyeret Thian-leng. Tetapi baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Ni Jin-hiong membentak marah: "Berhenti "!"
Tanyanya kepada Ma Hong-ing: "Apakah itu budak Kang Thian-leng yang kau pelihara selama 17 tahun?"
Ma Hong-ing mengangguk.
"Budak itu sudah tak berharga lagi, perlu apa kau bawa pulang?"
"Hun-tiong Sin-mo pernah membebaskan dan menolongnya, mungkin ?" tiba-tiba Ma Hong-ing berhenti sejenak, gelengkan kepala, "ah, tetapi terserah padamulah. Aku tak peduli!"
"Lepaskan saja!" tiba-tiba Ni Jin-hiong membentak keras kepada kedua bujang. Kedua bujang yang mencekal Thianleng itupun segera lepaskan tawanannya dan loncat menyingkir.
Karena jalan darahnya masih tertutuk, ketika dilepaskan, Thian-leng hendak rubuh lagi. Tetapi pada saat tubuhnya melorot jatuh, Ni Jin-hiong telah membarengi dengan sebuah hantaman dahsyat " Hantaman itu disertai dendam kebencian!
Bum " karena tak dapat berkutik, maka Thian-leng terlempar seperti layang-layang putus. Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali lalu jatuh dua puluhan tombak jauhnya!
Ni Jin-hiong yakin anak muda itu tentu sudah mati, maka iapun tak mau memeriksanya lagi.
Ma Hong-ing atau isteri dari Sin-bu Te-kun yang ternyata main gila dengan Ni Jin-hiong, mengawasi kesemua itu dengan menghela napas perlahan. Ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap kepala penjaga Sin-bu-kiong itu.
Demikian dengan diantar oleh keempat bujang kepercayaannya, Ma Hong-ing atau Te-it Ong-hui segera tinggalkan tempat itu.
Sejenak Ni Jin-hiong kerutkan alis. Kemudian iapun turun gunung juga "
*** Pengorbanan. Keesokan hari menj elang magrib, tampak dua buah tandu melintas di muka lembah Hong-lim-koh. Tandu yang dipikul oleh berpuluh orang tua baju biru, berjalan perlahan-lahan menyusur lamping gunung.
Tiba-tiba dari tandu yang di sebelah muka terdengar perintah berhenti. Seorang gadis berpakaian hijau keluar dari tandu itu. Ia menghampiri sebuah semak pohon.
Tandu yang di belakangpun berhenti. Yang keluarpun seorang dara yang lebih muda dari gadis tadi. Bajunya warna ungu.
"Ci, kau melihat apa?" serunya.
"Lihatlah kemari!" seru gadis baju hijau yang dipanggil taci itu.
Ketika menghampiri, dara itu melihat seorang pemuda baju biru menggeletak di tengah semak dengan tubuh berlumuran darah. Tampaknya pemuda itu sudah mati beberapa waktu yang lalu.
"Perlu apa kita nonton sebuah mayat?" kembali dara itu menggerutu.
Gadis baju hijau tersenyum: "Sudahkah kau melihat jelas wajahnya?"
Rupanya dara itu muak melihat mayat. Serunya: "Perlu apa melihat mayat yang begitu ngeri?"
"Eh, kita pernah kenal, cobalah periksa!" seru si gadis.
Adiknya terkejut. Ketika ia memandang dengan seksama, menjeritlah ia: "Hai " dia "!" " ia terus lari menghampiri.
Dara itu ialah puteri kedua dari Sin-bu Te-kun yakni Ki Seng-wan. Dan si gadis ialah tacinya Ki Gwat-wan. Dan pemuda yang terkapar mati itu bukan lain Kang Thian-leng.
Beberapa kali Ki Seng-wan berjumpa dengan pemuda itu. Walaupun dalam kedudukan bermusuhan tetapi dalam sanubari dara itu telah bersemi suatu bibit perasaan cinta. Maka betapalah kejut dan sedih hatinya ketika menyaksikan pemuda idam-idamannya itu mati.
"Oh, mengapa kau mati begini mengenaskan ?" dara itu berjongkok menangis di samping mayat Thian-leng.
"Budak tolol, apa-apaan kau ini" " Apakah kau benar-benar mencintainya?" Ki Gwat-wan kerutkan dahi.
Namun dara itu diam mematung. Matanya tak berkedip memandang tubuh Thian-leng yang berlumuran darah itu. Ia tak menghiraukan ucapan kakaknya.
"Hm, ternyata budak ini sungguh-sungguh telah ?" gerutu Ki Gwat-wan. Ia gelengkan kepala menghela napas kemudian menarik lengan baju Ki Seng-wan. "Ajo, kita pergi ?"
Ki Seng-wan gelagapan: "Tidak, aku tak pergi."
Ki Gwat-wan kaget: "Tidak berangkat" Lalu hendak mengapa kau ?" Eh, apakah kau hendak turut bela pati?"
"Sekurang-kurangnya aku harus menguburnya dengan baik," sahut Ki Seng-wan. Dipandangnya sang kakak. "Ci, maukah kau berjalan lebih dulu ?"
"Dulu ketika terjadi peristiwa di Hong-ho, jika bukan berhasil merampas panji tengkorak dari tangannya (Thian-leng), kita berdua tentu sudah diganyang Hun-tiong Sin-mo. Sekarang kalau kita melanggar peraturan lagi, ayah tentu marah pada kita ?"
Tiba-tiba Ki Seng-wan menangis: "Aku tak peduli. Biarlah segala apa aku sendiri yang menanggung, takkan merembet taci!"
Ki Gwat-wan mendengus: "Budak tolol, bukan karena aku takut terembet, tetapi ?" " ia berhenti sebentar: "Ong-hui dan cong-hou-hwat tidak berada dalam istana. Kemungkinan besar mereka memergoki kita di sini, tentu hebat akbatnya. Lebih baik kita segera berangkat saja!"
Ki Seng-wan tetap dengan kemauannya sendiri. Dengan sebilah dahan kayu segera ia menggali liang. Ki Gwat-wan jengkel sekali, tetapi terhadap adiknya yang begitu keras kepala, ia tak dapat berbuat apa-apa.
Ki Gwat-wan memandang wajah pemuda itu. Ah, memang seorang pemuda yang cakap. Sebenarnya sayang kalau mati. Pun Hun-tiong Sin-mo pernah menolongnya" Mengapa sekarang mati di sini" Siapa pembunuhnya" Apa hubungannya dengan Hun-tiong Sin-mo"
Tiba-tiba ia terbeliak kaget. Bahu Thian-leng tampak bergerak-gerak. Bukankah pemuda itu sudah mati" Ia tak percaya pada matanya dan memandang dengan tak berkedip. Tiba-tiba ia berteriak kaget: "Hai, dia " hidup!"
"Apa?" Ki Seng-wan tertegun.
"Dia " agaknya bisa bergerak!"
Berdebar keras hati Ki Seng-wan mendengar keterangan itu. Segera ia menghampiri dan mengamat-amati dengan penuh perhatian. Ah, benar, benar. Thian-leng tampak menggeliat-geliat, hidungnya kedengaran bernapas. Bukan kepalang girang dara itu.
"Kang "Kang Siangkong, Kang Siangkong ?" cepat ia berjongkok membisiki telinga pemuda itu. Namun Thian-leng diam saja.
"Benar dia belum mati tetapipun tak dapat hidup lebih lama lagi " lebih baik lekas menguburnya saja!" seru Ki Gwat-wan.
Tiba-tiba Ki Seng-wan berlutut di hadapan tacinya, menangis: "Cici, tolonglah dia!"
"Mana bisa?"
"Di dalam Sin-bu-kiong, selain ayah, hanya kaulah yang mengerti ilmu pengobatan ?"
Ki Gwat-wan menyurut mundur, bentaknya: "Budak gila, cukup sudah kau merecoki aku. Dalam urusan ini aku tak dapat meluluskanmu!"
"Walaupun bagaimana aku meminta, kau tetap tak mau meluluskan?" Ki Seng-wan mengusap air mata.
"Tidak ada kompromi lagi!" sahut Ki Gwat-wan dengan tegas.
"Baik, toh aku juga sudah bosan hidup ?" sejenak Ki Seng-wan menarik napas lalu berseru pula: "Cici, harap kau "
menjaga diri baik-baik "!"
"Budak tolol, hendak mengapa kau?" teriak Ki Gwat-wan terkejut.
Ki Seng-wan tak menyahut melainkan ayunkan tangannya ke batok kepalanya sendiri. Cepat Ki Gwat-wan mencekal tangan adiknya: "Seng-wan, kau memang terlalu!"
"Ci, apakah kau meluluskan?" Ki Seng-wan berlinang air mata.
Ki Gwat-wan menghela napas. Ia berpaling kepada pengawalnya: "Dua puluh li ke selatan ialah desa Liu-ke-ci.
Tunggulah kalian di sana!"
Sebelum pengawal itu berlalu, ia memberi pesan supaya jangan menguwarkan kepada siapapun apa yang terjadi saat itu.
"Adikku, kita makin mendalam di lingkungan bahaya!" katanya kepada Ki Seng-wan.
"Semua kemarahan dan hukuman ayah, biarlah aku yang menanggung!" sahut Ki Seng-wan.
"Sudahlah," kata Ki Gwat-wan, "tetapi menolong pemuda itu bukan hal yang mudah ?"
"Tetapi aku sanggup melakukan apa saja," seru si dara.
"Begitu mati-matian kau mencintainya. Tetapi setelah dia hidup kembali, apakah dia akan membalas cintamu" Hm, mungkin dia akan membalikkan muka padamu!"
"Hal itu tak kuhiraukan. Yang penting, dia harus ditolong!" sahut Ki Seng-wan dengan mantep.
"Baik, angkatlah!"
Ki Seng-wan segera mengangkat tubuh Thian-leng mengikuti Ki Gwat-wan. Ternyata Ki Gwat-wan menuju ke sebuah kuil rusak yang terletak di kaki puncak. Ia menyuruh adiknya meletakkan si pemuda dalam sebuah ruangan gelap.
Kemudian ia sendiri duduk di ambang pintu dengan membelakangi tubuh.
"Apakah cici merobah keputusan?" tegur Ki Seng-wan.
Ki Gwat-wan tertawa getir: "Kalau mau menolong, hanya kau sendiri yang harus turun tangan. Aku tak dapat ?" ia mengeluarkan sebuah bungkusan kain dan mengangsurkan kepada Ki Seng-wan. "Pakailah ketiga jarum ini!"
"Cici ?"
"Lepaskan pakaiannya!"
"Apa" Melepaskan pakaiannya?" Ki Seng-wan kaget.
"Ya! Kau harus menusuk ke 72 jalan darahnya. Kalau tidak, walaupun sembuh, dia bakal jadi seorang invalid!"
"Aku " tidak bisa!"
"Kalau begitu, mari tinggalkan saja!" terus Ki Gwat-wan hendak bangkit pergi.
"Ci " ci " apakah tak ada lain jalan lagi?" Ki Seng-wan berseru kebingungan.
"Tidak ada ?" katanya dengan serius: "Telah kukatakan tadi bahwa memang tak mudah untuk menolongnya. Karena nantinya akan meminta pengorbanan dirimu. Lebih baik jangan ?"
Ki Seng-wan tak menyahut tetapi terdengar suara pakaian dibuka.
"Ci " ci ?" seru dara itu dengan gemetar.
"Apakah sudah kau lepaskan semua?"
"Su " dah "!"
"Baik, rebahkan dengan terlentang. Siapkan tusukan jarum pertama " Tusuk jalan darah Kian-li-hiat di dadanya, kemudian jalan darah Gi-tay-hiat di perutnya. Setelah keluar darah baru berhenti " Yang ketiga, tusuk jalan darah than-tiong-hiat. Cabut jarum kesatu dan tusuk 3 kali jalan darah Ciang-tay-hat. Jika mengalirkan darah hitam, barulah kau berhenti ?"
Dengan gemetar Ki Seng-wan melaksanakan petunjuk-petunjuk tacinya. Untung karena ia mengerti letak jalan darah pada tubuh manusia, dengan menahan rasa malu dan jengah, terpaksa ia kerjakan.
Kira-kira setengah jam selesailah ke 72 buah jalan darah Thian-leng ditusuki jarum. Kalau semula tubuhnya pucat lesi seperti mayat, kini sudah tampak kemerah-merahan.
"Coba periksa apakah mulutnja berbusa!" kembali Ki Gwat-wan berseru.
"Ada " keningnya berkeringat juga!" sahut Ki Seng-wan. "Tetapi mengapa ia masih belum tersadar?"
"Tadi hanya membuka jalan darahnya yang tertutuk, agar darahnya mengalir. Dia menderita luka dalam yang parah, mana bisa sembuh begitu cepat!" djawab Ki Gwat-wan.
"Lalu ?""
"Buka pakaianmu juga!" tiba-tiba Ki Gwat-wan memberi perintah.
"Ai " pakaianku?" Ki Seng-wan menjerit kaget.
"Kecuali menggunakan cara Tay-hwe-yang-sut dalam ilmu Hian-im-kiu-coan, tak ada lain cara lagi. Sudah terlanjur begini, apakah kau hendak membatalkan?"
"Tetapi aku ?"
"Untuk menolongnya, tak ada lain jalan kecuali harus mengorbankan diri!" tukas Ki Gwat-wan.
Akhirnya terpaksa Ki Seng-wan menurut. Yang disebut pengobatan menurut Hian-im-kiu-coan itu ialah menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh si sakit melalui anggauta kelamin. Memang ilmu pengobatan cara kuno, aneh tetapi mustajab. Dan Ki Seng-wan seorang dara yang masih suci terpaksa harus mengorbankan kesuciannya demi menolong pemuda yang dikasihinya.
Setengah jam kemudian, berserulah Ki Gwat-wan: "Cukup, biarkan dia beristirahat!"
Memang saat itu wajah Thian-leng tampak berobah agak segar dan hidungnya mulai bernapas. Ki Seng-wan buru-buru mengenakan pakaian dan memakaikan pakaian si anak muda lagi. Setelah itu dipapahnya pemuda itu duduk.
Memang dahi Thian-leng mulai mengucurkan keringat. Dia sudah dapat melakukan pernapasan sendiri, tetapi matanya masih meram.
Sebenarnya pukulan Ni Jin-hiong tadi pasti menghancur-luluhkan tubuh Thian-leng. Untunglah karena sudah mendapat saluran lwekang dari mendiang Oh-se Gong-mo dan menelan pil Kong-yan-sin-tan, dia dapat terlindung dari bahaya kematian.
Tusuk jarum dan pengobatan Hian-im-kiu-coan makin melancarkan darahnya. Sekalipun pikirannya masih belum sadar tetapi ia sudah dapat bernapas dengan baik.
"Kang Thian-leng, telah kuserahkan kehormatanku kepadamu. Seluruh kebahagiaan hdupku tergantung padamu ?"
diam-diam Ki Seng-wan berdoa. Ia menghampiri tacinya dan menanyakan keadaan pemuda itu: "Bukankah dia sudah tak berbahaya?"
"Dia telah memperoleh rejeki yang luar biasa. Mungkin orang yang seumur hidup meyakinkan ilmu silat, belum tentu bisa mencapai kesempurnaan lwekang seperti dia. Masakan begitu cepatnya ia sembuh "!" sahut Ki Gwat-wan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa paling banyak dalam waktu sejam lagi Thian-leng tentu sudah dapat bergerak seperti biasa.
"Ci, mari kita pergi!" tiba-tiba Ki Seng-wan berkata.
"Pergi?" Ki Gwat-wan heran. "Setelah kau korbankan kesucianmu, lalu begitu saja meninggalkannya" Kalau kau memang mencintainya, mengapa tak kau nyatakan kepadanya agar memperisteri kau?"
"Memperisteri aku ?"" Ki Seng-wan tersenyum redup, "dia adalah musuh dari Ong-hui. Meskipun kita ini anak angkat dari ayah tetapi tak lain tak bukan hanya sebagai budak saja. Coba pikirkan, layakkah itu?"
"Hm, baru sekarang kau sadar tetapi sudah terlambat," Ki Gwat-wan mengeluh.
Ki Seng-wan tundukkan kepala berbisik: "Telah lama kuketahui hal itu, tetapi aku tak dapat tak menolongnya. Ci, kau tak mungkin dapat mengerti hal itu!"
"Tak mungkin mengerti" Hm, kau benar-benar budak yang paling tolol di dunia!"
"Sudahlah, mari kita pergi!" Ki Seng-wan menahan air mata.
Apa boleh buat, terpaksa Ki Gwat-wan bangkit dan mengikuti sang adik melangkah keluar. Sekonjong-konyong ia tertegun. Cepat ia menarik tangan adiknya: "Sst, lekas sembunyi di belakang arca itu!"
Ki Seng-wan juga kaget. Cepat ia mengikuti tacinya loncat ke belakang patung besar yang menempel pada meja sembahyang di ruang tengah. Arca malaekat itu tinggi dan besar, cukup melindungi kedua gadis itu dari penglihatan orang.
Sesaat kedua gadis itu bersembunyi, beberapa sosok bayangan melesat masuk. Empat orang yang masuk lebih dulu, ialah kawanan bujang perempuan baju biru. Cepat-cepat mereka menyapu ruang tengah lalu berjajar di kedua samping sambil mencekal kebut hudtim.
Tak lama masuklah seorang wanita memakai kerudung muka. Ah, itulah Te-it-ong-hui atau Ma Hong-ing. Kedua taci-adik Ki melihat jelas. Mereka gelisah sekali. Apalagi kalau memikirkan keadaan Thian-leng yang tengah menjalankan pernapasan itu. Sekali diketahui Ma Hong-ing, pasti akan dibunuh.
Kedua gadis itu tak dapat berbuat-apa-apa kecuali menantikan perkembangan dengan hati berdebar-debar "
*** Rahasia di balik rahasia.
Rupanya Te-it Ong-hui Ma Hong-ing sedang gelisah menunggu kedatangan seseorang. Kegelisahan itu menyebabkan perhatiannya tak sampai pada tindakan memeriksa ruang situ. Sehingga dengan demikian, ia tak mengetahui bahwa di dalam ruang itu terdapat tiga insan lainnya.
Tak berapa lama tiba-tiba di luar terdengar suitan panjang berasal dari jarak beberapa li jauhnya. Tetapi ketika suitan kedua terdengar lagi, ternyata sudah berada di depan kuil. Kecepatan gerak orang itu sungguh hebat sekali!
Seorang tua berjenggot putih dengan jubah warna ungu, melangkah masuk.
"Bagaimana kabarnya?" Te-it Ong-hui serentak menyambutnya dengan pertanyaan.
Orang tua itu ternyata Ni Jin-hiong, kepala pegawal Sin-bu-kiong. Ia tertawa sinis, ujarnya: "Coba katakan dulu, bagaimana kau akan berterima kasih padaku?"
"Gila, masakan hal itu perlu meminta pernyataanku lagi" Apa yang harus kuterima kasihi" Tubuhku dan hatiku seluruhnya telah kuserahkan padamu, mengapa masih meminta aku berterima kasih lagi ?"
Berhenti sejenak, Te-it Ong-hui berkata pula: "Jika orang-orang Thiat-hiat-bun (partai Darah Besi) benar-benar masuk ke daerah Tionggoan, tentu dapat menjumpai Sin-bu Te-kun. Kita berdua jangan harap dapat lolos dari tangan maut Te-kun!"
Tersirap darah kedua taci-beradik Ki mendengar pembicaraan itu. Sungguh tak terlintas dalam pemikiran mereka bahwa ternyata Te-it Ong-hui dan cong-hou-hwat Ni Jin-hiong mempunyai hubungan rahasia. Tetapi siapakah yang disebut partai Thiat-hiat-bun itu" Apa hubungannya dengan Ong-hui"
"Eh, apa-apaan kau begini gelisah?" terdengar Ni Jin-hiong berkata.
"Apakah kabar itu tidak benar dan Thiat-hiat-bun belum masuk ke Tionggoan?" seru Ong-hui.
"Thiat-hiat-bun benar memang masuk ke Tionggoan tetapi tak terdengar bahwa orang she Pok itu juga ikut serta.
Mungkin hendak menyelidiki tentang keadaan dunia persilatan di Tionggoan ?"
"Bukan begitu! Meskipun Siau-yau-kiam-khek (pendekar pedang bebas) Pok Thiat-bing belum pergi ke markas Thiat-hiat-bun dan Thiat-hiat-bun sendiripun juga bukan datang kemari karena urusan itu, tetapi toh kedatangannya ke Tionggoan itu akan membangkitkan lagi kejadian pada 17 tahun yang lalu ?"
"Adik Ing," Ni Jin-hiong tertawa, "kau terlalu meremehkan diriku. Jika kuminta kau jangan kuatir, sudah tentu aku telah menyiapkan rencana yang tepat ?"
"Coba katakanlah rencanamu itu!"
"Sebaiknyalah kalau Thiat-hiat-bun tidak masuk ke Tionggoan. Tetapi kalau mereka datang, tentu akan mengalami kehancuran total sehingga partai itu pasti akan lenyap selamanya ?"
"Apakah kau mempunyai rencana sedemikian hebatnya?" tanya Ong-hui.
Ni Jin-hiong tertawa bangga: "Kau sudah tak percaya lagi kepadaku?"
Te-it Ong-hui Ma Hong-ing menghela napas: "Bukan tak percaya lagi melainkan urusan ini maha penting, sekali salah tindak, akibatnya ?"
"jika peta Telaga Zamrud belum terbakar, tak sampai kita begini resah ?" ia menghela napas lalu membisiki ke dekat telinga Ma Hong-ing. Wanita itu mengangguk dan mengulum seri kegirangan.
"Teserah padamu, sudah beberapa hari aku pergi, harus lekas-lekas pulang," katanya. Ia bangkit tetapi tiba-tiba hentikan langkah lagi. Matanya berkeliaran menyapu ke sekeliling ruang lalu membentak kepada keempat pelayannya. "Apakah kalian sudah memeriksa seluruh sudut kuil ini?"
Salah seorang dayang yang bernama Jun Hong tampil ke muka dan menjatakan bahwa karena sudah terlalu rusak, merekapun menduga tentu tak terdapat penghuninya.
Kiranya Ma Hong-ing telah melihat bekas-bekas gurat lukisan pada lantai di ambang pintu. Itulah perbuatan Ki Gwat-wan yang pada waktu keisengan menunggu Ki Seng-wan mengobati Thian-leng dengan ilmu Hian-im-kiu-coan, telah mencorat-coret lantai.
"Kelengahan kecil berarti malapetaka besar! Jika di dalam ruang ini terdapat orang. Te-kun tentu bakal mendengar.
Kita sekalian tentu akan hancur-lebur!"
Sesaat Ni Jin-hiong terkejut tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: "Kau memang terlalu berhati-hati, tetapi peristiwa di sini tak nanti sampai bocor keluar!"
Ni Jin-hiong tertawa sinis lalu melangkah ke ruang dalam. Sekonyong-konyong dua bayangan melesat keluar dari balik arca.
"Aha, kiranya kalian berdua," Ni Jin-hiong menyurut kaget. Seketika dahinya mengerut kebuasan tetapi pada lain saat ia segera memberi hormat kepada kedua nona yang menjadi puteri dari majikannya itu.
Te-it Ong-hui Ma Hong-ing merah-padam selebar wajahnya. Dan kedua taci-beradik Ki pucat lesi.
"Menghaturkan hormat kepada Ong-hui," mereka berdua segera maju dan berlutut di hadapan Ma Hong-ing. Kepala menunduk tak berani memandang.
Ke 10 jari tangan Ma Hong-ing bergetaran gemetar. Sampai beberapa saat baru ia berkata: "Kalian berani mati, berani mencuri dengar aku ?" " tetapi karena ia merasa bertindak serong, maka terpaksa ia tahan kemarahannya.
"Anak memang bersalah," sahut kedua taci-beradik Ki. "Karena kebetulan lewat di sini kami hendak melepaskan lelah.
Tak tahu Ong-hui ?"
Ki Gwat-wan mengangkat kepala memandang Ma Hong-ing, serunya dengan lemah: "Ong-hui senantiasa menyayang pada anak berdua. Kami berdua adalah buah hati Ong-hui ?" " Ucapan itu mengandung maksud bahwa mereka berjanji takkan memberitahukan kepada Te-kun.
Ma Hong-ing agak bersangsi. Sebenarnya ia tak menyayang sungguh-sungguh kepada kedua puterinya itu, maka iapun tak percaya kedua gadis itu akan menyimpan rahasia. Tetapi jika membunuh mereka, Te-kun tentu akan marah sekali.
Ni Jin-hiong juga gelisah. Tiba-tiba ia memberi kedipan mata kepada Ma Hong-ing kemudian gunakan ilmu menyusup suara: "Adik Ing, kita harus bertindak cepat dan tepat. Perlukah mereka dibiarkan hidup?"
"Tetapi kalau dibunuh, Te-kun tentu bisa menyelidiki. Sekali ketahuan ?" sahut Ma Hong-ing.
Kampung Setan 4 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Pedang Pembunuh Naga 8
^