Panji Tengkorak Darah 6
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Bagian 6
Thian-leng mendorong jendela dan loncat keluar. Dengan sebuah loncatan yang indah ia hinggap di atas penglari rumah. Rumah penginapan seolah-olah terbungkus oleh kegelapan, sunyi dan senyap.
"Apakah kau melihat sesuatu?" tanya Siau-bun ketika menyusul loncat ke atas rumah. Thian-leng hanya menggeleng.
Mungkin waktu berpakaian tadi orang sudah menyingkir pergi. Apa tujuan orang itu" Mengapa ia terus melarikan diri"
Siau-bun pun heran. Ia masih mengenakan pakaian laki-laki, wajahnya yang pucat kini tampak kemerah-merahan.
Thian-leng melirik padanya dan tertawa.
"Kau menertawakan aku?" dengus Siau-bun.
"Jangan salah paham, engkoh Cu...eh.....nona Cu....."
Siau-bun menggumam, "Bagaimanapun pandanganmu terhadap diriku, tetapi kita telah...... tidur bersama. Dengan masih memanggil nona, apakah tidak terlalu.....," ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena terisak-isak.
Terpaksa Thian-leng menghiburnya, "Adik Bun, ya..., akulah .... yang salah....."
"Ah, sudahlah. Yang sudah biarlah lampau...." sahut Siau-bun rawan.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah tertawa mengejek. Thian-leng segera mengenali suara itu seperti suara orang yang mengganggu tadi. Berbareng dengan itu tampak sesosok tubuh melesat keluar dari sudut rumah penginapan dan terus melarikan diri.
"Hai, siapa itu berani mengganggu tak berani berhadapan muka?" Thian-leng berseru seraya loncat mengejar.
"Biarkan saja, jangan kena tertipu"." Siau-bun mencegah. Tetapi Thian-leng yang sudah dirangsang kemarahan sudah terlanjur melambung ke atas wuwungan. Terpaksa Siau-bun pun mengikuti.
Orang itu hebat sekali. Betapapaun Thian-leng lari sekencang-kencangnya, tetapi tetap ketinggalan berpuluh tombak jauhnya. Bisa melihat orangnya tapi tak bisa mendekati.
Mereka sudah berada di luar kota. Orang itu berlari menyusur sepanjang pantai sungai Hongho. Air bengawan yang mengkilap gelap di malam pekat, makin menambah keseraman suasana.
"Pernahkah kau melihat orang itu?" tanya Siau-bun. Thian-leng menggeleng.
Tiba-tiba Siau-bun loncat menghadang di muka, "Sudahlah , tak usah mengejar lagi.!"
"Mengapa?" Thian-leng terkejut.
"Kita masih mempunyai urusan. Kalau kau tak tahu siapa orang itu, perlu apa mati-matian mengejarnya"
Kemungkinan besar ia hendak gunakan tipu untuk memancing kita!"
Thian-leng menghentikan langkahnya. Ia pikir alasan Siau-bun itu benar. Ya, perlu apa ia harus mengejar orang yang tak dikenal itu"
"Baiklah, mari kita balik ke pondok lagi." katanya. Tetapi pada saat keduanya memutar tubuh, tiba-tiba terdengar orang itu menggunakan ilmu menyusup suara berseru kepada Thian-leng.
"Bu-beng-jin, bukankah kau hendak mencari tahu asal-usulmu?"
Sudah tentu Thian-leng tersentak kaget dan cepat-cepat memutar tubuh lagi. Orang itu melanjutkan kata-katanya dengan ilmu menyusup suara, "Ketahuilah bahwa aku bermaksud baik. Aku tak punya dendam apa-apa kepadamu, jangan kau menguatirkan diriku. Jika ingin tahu asal-usul dirimu, bebaskanlah dirimu dari libatan kawanmu itu dan ikutlah aku ke dalam sarangku. Jika tak mau, maaf aku tak dapat menunggumu lebih lama lagi...."
Hati Thian-leng berdebar keras. Hal yang paling menjadi pemikirannya ialah tentang asal-usul dirinya. Apalagi orang itu memang tak bermusuhahn padanya. Ditilik dari caranya menyalakan lilin dari kejauhan dan ilmu lari cepatnya, jelask kalau seorang sakti. Mungkin orang itu memang sungguh-sungguh bermaksud baik hendak memberi petunjuk padanya!
Seketika tergeraklah hati Thian-leng. Ia hendak menurut seruan orang itu. tetapi pada lain saat, timbul ah suatu prasangka. Nada suara orang itu memang tak pernah didenagrnya, tetapi mengapa dia tahu tentang riwayat dirinya"
Mengapa orang itu begitu menaruh perhatian padanya" Kaki Thian-leng yang sedianya di ayun, kembali terhenti pula.
"Lekas, mengapa kau ini?" melihat Thian-leng berhenti, Siau-bun menegur heran.
Thian-leng termangu-mangu tak dapat mengambil keputusan. Tiba-tiba orang tak dikenal itu kembali menggunakan ilmu menyusup suara, "Kau mau ikut atau tidak terserah! Tetapi sekarang aku tak dapat menunggu lagi!"
Belum Thian-leng sempat menimbang, tiba-tiba Siau-bun sudah menepuk bahunya, "Hai, mengapa kau ini?"
Thian-leng gelagapan. Dalam gugupnya ia segera mengambil keputusan. Segera ia mengambil keluar peta Telaga zamrud dan diberikan kepada si nona, "Harap adik Bun pulang dulu ke pondok, aku hendak menemui seorang sahabat dulu!"
"Kau kenal dengan orang itu?" tanya Siau-bun.
"Tidak, aku tak kenal!"
"Mengapa kau hendak menemuinya" Apakah kau tak kuatir terjebak tipunya?"
Thian-leng menggeleng,"Tidak, aku harus pergi, harap adik Bun jangan kuatir!" tanpa menunggu sahutan si nona lagi, Thian-leng pun segera loncat mengejar orang aneh tadi.
Siau-bun heran atas tindakan pemuda itu. Setelah menyimpan peta ke dalam baju, iapun segera menyusul.
Bayangan hitam itu tetap berada pada jarak dua puluhan tombak. Melihat Thian-leng menyusul, ia tertawa gelak-gelak dan melanjutkan larinya lagi. Betapapun Thian-leng hendak menyusulnya tetap tak mampu.
Tiba di puncak bukit yang sunyi, tiba-tiba orang aneh itu berhenti. Sekeliling bukit itu penuh ditumbuhi huatan pohon Yang dan Siong yang rindang.
Secepat Thian-leng dan Siau-bun tiba, kejut mereka bukan kepalang ketika melihat wajah orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar, mata sebesar kelereng, dahinya menonjol, wajahnya mengerikan.
Punggungnya menyelip sebatang kipas besi. Begitu melihat Thian-leng, berserulah orang itu dengan bengis, "Hai, telah ukatkan supaya jangan membawa kawanmu, mengapa?".."
"Sebutkan namamu dulu! Asal kau menerangkan maksudmu mengi=undang dia kemari, tentu aku segera
mengundurkan diri sendiri, kalau tidak"." Siau-bun cepat-cepat menyambuti. Sejenak ia melirik ke arah Thian-leng, ia berkata pula, "Kami berdua datang bersama pergi berdua! Betapapun hendak gunakan tipu muslihat memikatnya, tak akan kubiarkan dia termakan tipumu"."
"Ya, aku belum meminta keterangan nama cianpwe?" sambung Thian-leng.
Orang aneh itu tertawa seram, "Aku mempunyai she ganda Tok-ko dan nama Sing. Atas perintah tuanku, aku disuruh mengundang Be-beng tayhiap untuk diberitahukan sebuah rahasia penting!"
Thian-leng tertegun, "O, kiranya cianpwe mempunyai majikan?"
Ia anggap orang itu mempunyai kepandaian sakti dan umurnyapun sudah enam puluhan tahun, masakah masih berhamba pada orang. Kalau orang itu saja sudah dapat digolongkan sebagai tokoh kelas satu, bagaimana dengan majikannya!
"Boleh aku bertanya siapa tuanmu itu?" seru Siau-bun.
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak," Tuanku juga mempunyai she ganda Kong-sun dan nama gnda Bu-wi."
Siau-bun mendengus, "Ah, apakah kepala dari Hek-gak (Neraka hitam)?"
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, "Hek-gak sudah melenyapkan diri dari dunia persilatan selama enam tujuh tahun.
Sungguh tak nyana nona bisa mengetahuinya dengan jelas!"
Siau-bun memandang Thian-leng, "Jangan kena jebakannya, ayo kita pergi saja!"
Kembali Thian-leng ragu. Ia tak tahu siapa yang disebut Hek-gak itu, tetapi dari ucapan Siau-bun yang begitu serius, tentu Hek-gak itu sebuah tempat yang misterius. Tetapi ia tertarik dengan undangan Tok-ko Sing tadi"..
"Eh, apakah kau masih berkeras tak mau mendengar kata-kataku?" Siau-bun banting-banting kaki.
Baru Thian-leng hendak menyahut, Tok-ko Sing sudah mendahului tertawa sinis, "Apakah nona marah karena aku mengganggu kesenangan kalian tadi sehingga nona melarang dia memenuhi undanganku?"
"Ngaco!" bentak Siau-bun. Wajahnya tersipu-sipu merah. Tak mau ia menghalanagi Thian-leng lagi.
"Karena sudah datang, maka harap cianpwe suka membawa aku ke sana!" akhirnya Thian-leng pun mengambil keputusan.
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, "Aha, ternyata kau tak mengecewakan sebagai seorang pendekar muda. Pandangan tuanku itu maha tajam dalam menilai pribadi seorang ksatria"."
Habis berkata orang aneh itupun segera ayun langkah menuju ke dalam hutan.
Thian-leng pun tak ragu-ragu lagi segera mengikutinya. Siau-bun mendengus, tetapi iapun terpaksa mengikuti juga.......
ooooo000000000oooo
Neraka Hitam Tak lama mereka sudah menyusup berpuluh-puluh tombak ke dalam hutan. Saat itu hari
makin malam. Hutan Siong dan jati makin pekat. Sedemikian gelap sehingga tak dapat melihat jari sendiri. Namun karena lwekang Thian-leng dan Siau-bun cukup tinggi, maka dapatlah mereka menembus kegelapan itu. Sejauh beberapa tombak mereka masih dapat melihat jelas. Sekalipun demikian tak urung kedua muda-mudi itu tercekat juga hatinya.
Sambil menarik tangan Thian-leng, berkatalah Siau-bun dengan ilmu menyusup suara, "Mungkin kita masuk dalam jebakan. Masih keburu jika kita balik keluar!"
"Putusanku telah bulat. Biarpun masuk ke dalam sarang harimau telaga naga, aku tetap tak gentar," sahut Thianleng, "sekiranya adik Bun kuatir, baiklah pulang lebih dahulu!"
"Apakah kau anggap aku tega membiarkan kau seorang diri menempuh bahaya?" gumam Siau-bun.
Sederhana kedengarannya ucapan itu, tetapi penuh dengan kasih sayang yang mesra. Mau tak mau tergeraklah nurani Thian-leng.
"Apa katanya kepadamu sehingga kau begitu terpikat?" Siau-bun setengah menyesali.
"Aku tak dapat melepaskan kesempatan untuk mencari tahu asal-usul diriku?".!"
"O, jadi dia hendak memberitahukan tentang asal-usulmu?" tanya SIau-bun pula. Thian-leng mengiyakan.
Siau-bun geleng-geleng kepala, "Kau termakan tipunya. Tahukah kau tempat apa Neraka Hitam ini?"
Thian-leng mengangkat bahu.
"Pemilik dari Neraka Hitam ini ialah Kongsun Bu-wi, seorang durjana besar pada enam tujuh puluh tahun yang lalu.
Dia membunuh jiwa manusia seperti membunuh lalat. Tak ada kejahatan yang tak dilakukan".."
"Tetapi mengapa ia menyembuhkan diri?" tanya Thian-leng.
"Karena waktu itu ia dikalahkan Hun-tiong Sin-mo dan sejak itu kekuasaan dunia persilatan pindah ke tangan Hun-tiong Sin-mo. Kongsun Bu-wi beruntung masih dapat melarikan diri!"
Thian-leng terkejut. Ia tak pernah mendengar tentang peristiwa itu. Sejenak kemudian ia bertanya mengapa Siau-bun tahu tentang hal itu.
Pertanyaan itu membuat Siau-bun tertegun tetapi cepat-cepat ia menyahut, " Sudah tentu aku hanya mendengar cerita ibuku saja!"
"Kalau begitu ibumu itu tentulah seorang pendekar wanita yang ternama?" tiba-tiba Thian-leng mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang membuat Siau-bun tertegun.
"Apakah kau benar-benar tak mau merobah keputusan?" cepat-cepat nona itu mengalihkan pembicaraan.
Thian-leng menghela napas, "Hal yang paling menyiksa batin orang ialah kalau tak tahu asal-usul dirinya. Itulah sebabnya maka aku menggunakan nama Bu-beng-jin. Setiap kesempatan mencari tahu hal itu sudah tentu takkan kulepaskan!"
Siau-bun menghela napas, "Soalnya, bukan saja kau tak berhasil mencapai tujuanmu pun bahkan malah terjebak dalam bahaya. Kau tak pernah mendengar betapa keganasan momok Kongsun Bu-wi! Dia lebih ganas daripada Sin-bu Te-kun!"
Thian-leng batuk-batuk, "Selama Hun-tiong Sin-mo masih menguasai dunia persilatan, mengapa Kongsun Bu-wi berani berkutik lagi?"
Siau-bun tertawa getir, "Ilmu kepandaian itu sukar diukur dalamnya. Tiada ujung tiada pangkal kecuali It Bi siangjin seorang, mungkin tiada seorang tokoh lain yang berani membanggakan diri sebagai tokoh lain yang berani membanggakan diri sebagai tokoh tanpa tandingan?"." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula, "Rupanya dalam persembunyiannya selama enam puluh tahun itu, Kongsun Bu-wi telah meyakinkan suatu ilmu kesaktian untuk menebus kekalahannya yang dahulu. Dikuatirkan tak lama lagi dunia persialtan tentu akan timbul suatu huru-hara hebat!"
Thian-leng anggap ulasan nona itu mendekati kebenaran. Ia tak memberi komentar suatu apa. Dalam pada itu, mereka sudah melintasi berpuluh tombak lagi, namun hutan itu tampaknya tiada berujung.
"Apakah Bu-beng tayhiap tetap hendak bersama dengan sahabatmu itu?" tiba-tiba Tok-ko Sing berhenti dan memutar tubuh.
Sebelum Thian-leng sempat menyahut, Siau-bun sudah mendahului lagi, "Apakah majikanmu tak mau menerima kedatanganku?"
Tok-mo Sing batuk-batuk, "Ini"sekalipun aku tak berani memastikan, tetapi biasanya perintah beliau teramat keras.
Karena beliau hanya perintahkan aku mengundang Bu-beng tayhiap, maka tak beranilah aku membawa nona!"
Siau-bun tertawa datar, "Begini sajalah. Aku tak kan menyusahkan kau. Nanti apabila berhadapan dengan majikanmu, akan kukatakan bahwa aku datang sendiri bukan karena ikut kau!"
Tok-ko Sing memandang Siau-bun dengan tajam. Tiba-tiba ia tertawa sinis, "Baiklah, harap nona jangan sesalkan aku!"
"Terserah bagaimana kau hendak mengaturnya," Siau-bun balas tertawa tak acuh. Kata-katanya juga mengandung berbagai tafsiran.
Segera Tok-ko Sing ayunkan tangannya ke atas. Terdengarlah letupan keras disertai hamburan sinar berkilat di udara. Rupanya utusan Neraka Hitam itu melepaskan api pertandaan.
Beberapa jenak kemudian, terdengarlah tiga kali genderang bertalu. Semula perlahan tetapi lama kelamaan gemanya berkumandang keras.......
Tok-ko Sing tertawa, "Pintu gerbang tengah dalam Neraka Hitam sudah dibuka, menunggu kedatangan tetamu!"
Thian-leng dan Siau-bun segera mengikuti orang itu melintasi gerombol pohon yang lebar. Tiba-tiba mata kedua muda-mudi itu tertumbuk pada selarik sinar penerangan yang melingkar-lingkar dalam warna hijau kebiru-biruan.
Ketika mengawasi dengan seksama, terkejutlah kedua anak muda itu. Kiranya lingkaran sinar hijau itu tergantung di atas puncak sebuah gedung dan berbentuk dua buah huruf " Hek Gak".
Pada kedua samping tembok pintu, tergantung berpuluh mayat manusia yang perutnya pecah, usus berhamburan keluar dan darah bercucuran!
Thian-leng memekik tertahan dan berhenti.
"Ha, ha, masakah Bu-beng tayhiap takut?" Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak.
Thian-leng mendengus geram, "Sejak lahir, aku tak kenal dengan kata-kata takut!"
"Tetapi mengapa Bu-beng tayhiap berhenti?" Tok-ko Sing tertawa mengejek.
"Kuanggap majikanmu kelewat ganas".." sahut Thian-leng. Menunjuk pada deretan mayat pada tembok, ia berkata,"
Orang-orang itu sudah dibunuh begitu kejam, mengapa masih dipaku pada tembok! Kepada manusia yang sedemikian kejamnya, aku akan pikir-pikir dulu untuk menjumpainya atau tidak!"
Kembali Tok-ko Sing tertawa keras. Sedemikian keras, hingga daun-daun di sekeliling bergoyang-goyang. Dan sampai lama sekali baru ia berhenti tertawa.
"Bu-beng tayhiap, kau salah tafsir!" serunya.
"Salah tafsir?" Thian-leng terbeliak, "Apakah mereka bukan dibunuh oleh orang Neraka Hitam" Apakah pembunuhan itu tiada sangkut pautnya dengan majikanmu?"
Tok-ko Sing tertawa,"Sayang indera penglihatanmu itu kurang tajam. Cobalah periksa yang jelas mayat-mayat itu lagi!"
Selama Thian-leng mengadakan percakapan dengan Tok-ko Sing, Siau-bun hanya diam saja. Ia hanya
memperhatikan suasana sekeliling tempat itu.
Thian-leng segera menghampiri ke tembok. Ketika dekat, ia menjerit kaget! Ah" kiranya mayat-mayat itu bukan manusia melainkan hanya orang-orangan yang terbuat dari lilin. Adalah karena pembuatannya sedemikian pandai sehingga menyerupai benar dengan manusia.
Diam-diam Thian-leng malu sendiri. Namun masih ia tak mengerti mengapa Kongsun Bu-wi membuat orang-orangan lilin seperti itu. Apakah untuk menambah keseraman nerakanya atau ada lain maksud lagi"
Rupanya Tok-ko Sing mengetahui isi hatinya, ia tertawa, "Bu-beng tayhiap tentu heran melihat orang-orangan itu bukan?"
Thian-leng mengangguk, "Ya, memang aneh!"
Tok-ko Sing tertawa, "Orang-orangan lilin itu ialah sasaran yang hendak dituju majikanku pada saat ia keluar ke dunia persilatan lagi?"" Sambil menunjuk pada mayat lilin yang tergantung di tengah-tengah, ia berkata pula. "Itulah lambang Hun-tiong Sin-mo dan itu Song-bun Kui-mo. Sebenarnya masih ada dua orang-orangan lilin lagi, tetapi karena orangnya sudah mati, maka tak dipasang lagi"."
Memang Thian-leng melihat bahwa ada dua tempat yang kosong. Diam-diam ia menduga bahwa yang diambil itu tentulah orang-orangan lilin lambang Oh-se Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo. Karena kedua tokoh itu sudah meninggal.
Kembali Tok-ko Sing menunjuk ke arah kanan, "Tahukah Bu-beng tayhiap siapa orang-orangan itu?"
Thian-leng memperhatikan bahwa yang ditunjuk oleh Tok-ko Sing itu berjumlah sembilan buah orang-orangan lilin terdiri dari lambang paderi, imam, rahib dan ada orang biasa.
"Apakah mereka bukan melambangkan tokoh sembilan partai?" Thian-leng balas menanya.
"Benar!" sahut Tok-ko Sing. Kemudian ia menunjuk ke arah kiri pada empat lima puluh mayat orang-orangan lilin.
"Dan yang sana itu lebih banyak lagi jumlahnya, tahukah Bu-beng tayhiap siapa mereka itu?"
"Aku masih hijau, tak mengerti banyak!" Thian-leng agak mengkal menyahut.
"Mereka itu juga tokoh-tokoh yang terkenal, antara lain ketua Thiat-hiat-bun Jenggot Perak Lu Liang-ong, ketua Bu-siong-hwe yang bernama Hun-bin Bu-siong, ketua perkumpulan agama Pek-tok-kau yang bernama Ha-Lui, ketua perkumpulan pengemis Kay-pang"."
Siau-bun hanya ganda tersenyum saja. Sepatahpun ia tak berkata. Tetapi lama-kelamaan
ia tak tahan lagi. Tukasnya dengan tawar, "Sudahlah, tak usah cerita terus. Memang cita-cita majikanmu besar sekali, tetapi sayang ia melalaikan sebuah hal!"
"Melalaikan hal apa?" tertariklah perhatian Tok-ko Sing.
"Dia tak kenal dirinya sendiri!" Siau-bun tertawa dingin.
Tok-ko Sing tertegun, ujarnya, "Hal ini tak dapat kukatakan. Coba saja buktikan nanti!"
Diam-diam Thian-leng merenung dalam-dalam. Dari pameran mayat-mayat lilin itu dapatlah diketahui sampai di mana ambisi Kongsun Bu-wi. Jelas orang itu hendak menimbulkan pemberontakan dalam dunia persilatan.
"Sekarang terserah pada Bu-beng tayhiap apakah tetap hendak masuk ke dalam Neraka Hitam ataukah mundur".."
kata Tok-ko Sing.
Sambil melirik kepada Siau-bun, berkatalah Thian-leng dengan gagahnya, "Dengan pameran serupa itu masakah dapat menggertak aku. Silakan membawa kami terus!"
Tok-ko Sing tertawa sinis. Segera ia memberi isyarat tangan mempersilakan kedua muda-mudi itu.
Thian-leng dan Siau-bun terkejut. Serentak dengan gerakan Tok-ko Sing itu maka terdengarlah suara berdrak-derak dari pintu gerbang besi yang terpentang. Thian-leng sejenak termangu tetapi pada lain saat ia segera melangkah masuk di kuti oleh Siau-bun.
Dua deret rombongan penjaga yang mengenakan pakaian ringkas dan senjata lengkap tampak menjaga di sepanjang jalan masuk. Deretan terakhir terdiri dari dua orang bujang perempuan dalam pakaian sederhana. Kedua bujang itu menghadang di tengah dan menyambut kedatanagn sang tetamu, "Selamat datang Bu-beng tayhiap!"
Tetapi kedua bujang itu segera tersirap kaget demi melihat Siau-bun. Heran mereka mengapa Thian-leng membawa kawan.
Tok-ko Sing segera memberi keterangan, "Walaupun berpakaian lelaki, tetapi tamu kita ini seorang nona. Sambutlah mereka berdua ke dalam ruang tamu......!" Kemudian ia menyatakan hendak menemui Kongsun Bu-wi.
Ruangan dalam gedung itu tinggi-tinggi, tetapi semuanya dicat hitam sehingga seram tampaknya. Kedua bujang itu membawa Thian-leng dan Siau-bun masuk.
Selama melalui jalan kecil dan tikungan-tikungan gang, diam-diam Thian-leng mencatat dalam hati. Kira-kira empat puluh tombak jauhnya setelah melintasi dua buah halaman, tibalah mereka di ruang tamu. Sebuah ruangan yang luas, penuh dengan kamar-kamar tetapi sepi-sepi semua. Juga kamar-kamar itu dicat warna hitam, tanpa lampu sama sekali. Tetapi ketika Thian-leng dan Siau-bun dipersilakan masuk ke dalam kamar sebelah utara, kedua bujang itupun menyulut juga sebuah pelita.
Setelah menghidangkan dua cawan the wangi, kedua bujang itupun meninggalkan ruangan. Begitu mereka pergi, Thian-leng cepat-cepat mengunci pintu. Ia periksa seluruh ruangan itu dengan teliti. Di situ terdapat tiga buah kamar.
Ruangan dihias indah, tetapi serba sederhana. Sekilas pandang seperti tak ada sesuatu alat rahasia.
"Adik Bun, jangan minum teh itu!" habis memeriksa ruangan, Thian-leng terkejut melihat Siau-bun tengah mengangkat cawan arak.
"Mengapa?" Siau-bun tertawa datar.
"Kita berada dalam tempat berbahaya. Segala tindak tanduk kita harus hati-hati. Kalau teh itu diberi obat, bukankah...."
"Teh ini tiada racunnya dan ternyata teh dari Liong-keng yang termasyhur. Ayo, kita nikmati saja!" Siau-bun tertawa.
"Bagaimana kau memastikan mereka tak menyampuri obat?"
"Sebabnya sederhana saja. Pertama, gedung ini berdinding sangat tinggi, berpintu besi dan penuh alat rahasia. Sekali kau sudah masuk tak nanti kau mampu keluar lagi. Kedua, pemilik Neraka Hitam ini sudah enam-tujuh puluh tahun menyembunyikan diri. Begitu hendak muncul lagi sudah tentu harus menjaga gengsi. Tak nanti mau merendahkan diri membunuh kita dengan racun. Masih banyak lagi alasan-alasannya, tetapi pada pokoknya untuk sementara ini tentu takkan bertindak curang...."
Thian-leng anggap analisa nona itu tepat, namun ia tetap merasa cemas. Ia masih sangsi akan keterangan Tok-ko Sing bahwa pemilik Neraka Hitam itu akan memberi keterangan tentang asal-usul dirinya. Mengapa Kongsun Bu-wi begitu menaruh perhatian besar kepadanya" Apakah maksudnya.......
"Tolol, apa yang kau pikirkan....?" tiba-tiba Siau-bun menegurnya, " bagaimana hasil penyelidikanmu tadi?"
Thian-leng mengatakan bahwa tampaknya ruang itu tiada diberi barang suatu perkakas rahasia.
"Gila kau!" Siau-bun tertawa hambar, "ruangan ini justru penuh dengan perkakas rahasia.!"
"Kalau begitu kita ini berada dalam jebakan mereka?" Thian-leng terkejut.
"Boleh dikata begitulah....." Siau-bun tersenyum, ujarnya pula, "Tetapi telah kukatakan tadi, dalam waktu singkat ini mereka takkan mencelakai kita. Maka untuk sementara ini kita aman, tak usah kuatir apa-apa!"
"Bagaimana dengan kata-kata Tok-ko Sing tadi?" tanya Thian-leng.
"Bukankah aku pernah menganjurkan kau supaya jangan ikut padanya?" sahut Siau-bun hambar.
"Jadi kau sudah mengetahui kalau dia hendak mengelabui?" Thian-leng terbeliak kaget.
Si nona hanya mengangguk lesu.
Thian-leng tersipu-sipu menundukkan kepala dengan penuh sesal. Tiba-tiba Siau-bun tertawa hambar, ia menjentik dengan sebuah jari memadamkan pelita. Seketika ruangan itupun gelap gulita.
"Ha, apakah adik Bun mendengar sesuatu?" Thian-leng bertanya kaget.
"Tidak!"
"Habis mengapa memadamkan pelita?"
Segera Siau-bun menggunakan ilmu mnyusup suara, "Kita toh dapat melihat dlam kegelapan, jadi tak perlu dengan penerangan macam kunang-kunang begitu. Siapa tahu diam-diam ada orang tengah mengawasi gerak-gerik kita.
Dalam kegelapan tentu sukarlah dia melakukan pengintaiannya!"
Beberapa kali nona itu telah mengemukakan analisa yang dapat diterima akal. Diam-diam Thian-leng kagum. Mereka segera duduk bersamadi.
Tak berapa lama tiba-tiba Siau-bun berseru dengan ilmu menyusup suara. "Ada orang datang, lekas...!" nona itu menutup kata-katanya dengan sebuah gerakan loncat ke atas tiang penglari. Tanpa banyak bicara Thian-leng pun segera mengikuti.
Benar juga, sesaat kemudian terdengar langkah kaki seorang berjalan dengan perlahan-lahan.
"Aneh, apakah di luar dugaanku?" Siau-bun menggumam heran.
"Apa yang kau duga?"
"Kuduga pemilik gedung ini tentu akan datang sendiri. Dengan menawarkan keterangan tentang asal-usulmu, dia akan minta peta Telaga zamrud. Jika kau menolak, dia akan menggunakan keerasan. Peta direbut dan kau akan dibunuh untuk menghilangkan jejak.."
"Apakah dia sudah tahu peta itu ada padaku?" Thian-leng tersirap kaget.
"Kalau tidak masakah dia begitu baik mengundangmu kemari?"
"Kalau begitu soal asal-usul diriku itu".?"
"Hal itu memang berliku-liku, sayang kau mudah tertipu!" tukas Siau-bun.
Thian-leng menghela napas penyesalan. Langkah kaki itu makin dekat tapi makin perlahan.
"Apa yang kau maksud dengan di luar dugaan tadi?" Thian-leng bertanya pula.
"Langkah kaki seperlahan itu menunjukkan bahwa orang berjalan dengan penuh hati-hati. Mungkin takut diketahui orang. Apakah di dalam Neraka hitam ini telah kemasukan orang lagi?"
Mendengar itu Thian-leng makin bingung. Saat itu langkah kaki sudah berada di luar pintu, menyusul terdengar suara ketukan pintu perlahan-lahan dan orang berseru lirih, "Bu-beng tayhiap"..!"
Thian-leng memandang Siau-bun, bagaimana adik Bun, kita bukakan pintu tidak?"
Siau-bun merenung sejenak, lalu mengatakan, "Bukalah pintu."
Dengan sebuah gerakan seperti kucing, Thian-leng loncat turun dan membukan palang pintu. Siau-bun menyiapkan senjata rahasia tui-hong-kiong. Juga Thian-leng telah siap dengan pukulan Lui-hwe-ciang.
Tetapi apa yang muncul hampir membuat si anak muda menjerit kaget. ternyata hanya seoarang dara baju hijau.
Wajahnya memancarkan seri kecemasan.
"Nona ini"..?"
"Apakah kau Bu-beng tayhiap?" tukas dara itu dengan berbisik.
Baru Thian-leng mengiyakan. Siau-bun sudah berseru supaya menyuruh dara itu masuk dan segera menutup pintu lagi. ternyata Siau-bun pun sudah loncat turun di belakang Thian-leng.
"Mungkin kau ini nona Cu yang bersama dengan Bu-beng tayhiap?" tanya si dara itu setelah masuk.
"Kau ini sebagai apa di dalam Neraka Hitam" Mengapa tengah malam datang kemari" Mengapa kau tahu kami berdua berada di sini?"
"Di Neraka Hitam ini kedudukanku cukup tinggi. Namanya saja aku ini majikan dari Hong-kiong (istana burung Hong), tetapi sebenarnya tak lebih dari seorang tawanan".kecuali pada saat berada di samping ayahku!"
Ucapan itu membuat Thian-leng dan Siau-bun bingung karena tak mengerti apa maksudnya.
"Katkan apa maksud kedatangnmu ini?" seru Siau-bun.
"Hendak mophon bantuan tuan berdua agar menolong kakekku!" sahut si dara.
"Asal kami dapat tentu dengan senang hati membantu nona, " sahut Thian-leng serempak.
Dara baju hijau itu tertegun, "Kakekku itu tidak dipenjarakan karena dia".. dia bukan saja Cong-hou-hwat (kepala penjaga) Neraka Hitam, juga merupakan guru dari Kongsun Bu-wi"..!"
"Astaga!" Thian-leng mengeluh kaget. Ia memperhatikan lagi wajah nona itu, tetapi nyata kalau nona itu bukan seorang gila. tetapi mengapa ucapannya begitu aneh"
Kakek nona itu menjabat kedudukan yang sedemikian tinggi, perlu apa ia minta pertolongan pada orang asing" Juga nona itu sendiri menjabat sebagai kepala Hong-kiong. Mengapa dia begitu ketakutan dan minta tolong pada lain orang" Secerdas-cerdasnya otak Siau-bun, kali ini benar-beanr ia tak mengerti.
"Maukah nona menceritakan yang jelas" " segera Siau-bun meminta.
Nona itu menyadari bahwa keterangannya tadi memang membingungkan, maka iapun segera memberi penjelasan.
"Ya, ya, memang harus kuceritakan dari awal. Lima tahun yang lalu kakekku itu datang kemari atas undangan kepala Neraka Hitam. Sebelum itu kakek tinggal di gunung Kiu-kong"."
"Kakekmu itu bernama?"?" tukas Siau-bun.
"Kami keluarga she Bok. Kakekku itu bernama Bok Sam-pi, bergelar Ang-tim Cong-khek"."
"Bok Sam-pi".!" Siau-bun berseru kaget sekali.
(bersambung jilid 13)
Jilid 13 . Bok Sam-pi walaupun tak begitu terkenal, tetapi juga seorang tokoh sakti. Ilmu kepandaiannya sukar diukur. Memang jarang orang persilatan yang tahu dia, tetapi orang yang kenal padanya tentu mengindahkan. Malah ada yang menganggap bahwa Bok Sam-pi itu tokoh kedua setelah It Bi siangjin!
Tetapi Bok Sam-pi itu juga lebih senang mengasingkan diri. Itulah sebabnya maka angkatan muda jarang yang tahu namanya. Tetapi rupanya Siau-bun yang masih muda itu tahu banyak sekali tentang seluk-beluk dunia persilatan.
"Nama nona?"." tiba-tiba Thian-leng menyeletuk.
"Bok Ceng-ceng?"" sahut si dara perlahan. Kemudian ia mengulangi lagi permintaannya tadi, "Apakah tuan berdua suka menolong kakekku?"
Siau-bun tertawa getir, "Kepandaian kakek nona ini sukar dicari tandingannya. Bukankah dia menjadi guru dari Kongsun Bu-wi" Bagaimana kami dapat menolongnya".?" ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, "Apalagi kami sendiripun terjebak kemari, bagaimana dapat memberi pertolongan pada kakek nona?"
"Jadi tuan berdua tak mau membantu kesusahanku?" kata nona itu dengan nada terisak.
"Harap nona bercerita yang jelas. Asal kami dapat melakukan, tentu akan berusaha sekuat tenaga! Apa yang telah terjadi dengan kakek nona?"
Baru Thian-leng bertanya begitu, tiba-tiba Siau-bun menukasnya, "Celaka, kali ini kepala Neraka yang datang, lekas?"!" ia suruh Bok Ceng-ceng bersembunyi. Ceng-ceng gugup sekali. Cepat ia menyusup ke bawah kolong ranjang.
Sesaat kemudian terdengar derap kaki riuh. Paling tidak tentu ada lima orang yang datang. Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara supaya Thian-leng bertindak menurut isyarat matanya. Jangan bertindak sekehendak sendiri.
"Masih begini sore mengapa kalian sudah sama tidur?" segera terdengar suara orang berkata-kata bercampur tawa.
Nadanya berat, mengiang keras di telinga.
Thian-leng pun tertawa seraya membuka palang pintu. Serombongan lima orang melangkah masuk. Pelopornya seorang lelaki bongkok, kaki pincang, tangan kutung sebelah. Jenggotnya putih mengkilap, wajahnya penuh keriput.
Umurnya ditaksir tentu sudah seratusan tahun.
Rombongan pengiringanya, kecuali Tok-ko Sing masih ada empat orang yang mengenakan pakaian seragam. Tok-ko Sing segera melangkah maju, memperkenalkan orang cacat itu kepada Thian-leng, "Inilah pemimpin kami.......!"
Thian-leng tersipu-sipu memberi hormat, "Kongsun cianpwe?""
Ketua Hek-gak itu tertawa, "Bu-beng tayhiap benar-benar tak bernama kosong. Seorang berbakat yang hebat dan berwibawa"."
Tetapi wajah ketua Hek-gak itu cepat berobah kurang senang ketika melihat Siau-bun. Sebaliknya Siau-bun acuh tak acuh.
"Sekiranya penyambutan kami kurang memuaskan, jangan Bu beng tayhiap ambil di hati," kata ketua Hek Gak pula.
Thian-leng menyatakan terima kasih atas kebaikan tuan rumah hendak memberitahukan asal-usul dirinya.
"Ah, adalah karena kebetulan bertemu dengan seorang kawan lama yang tahu jelas tentang riwayat tayhiap, maka"."
ketua Hek Gak tiba-tiba tak melanjutkan ucapannya.
"Mohon Gak-cu (kepala neraka) sudi memberitahukan. Untuk itu takkan kulupakan budi Gak-cu seumur hidup,"
Thian-leng mendesaknya.
Kongsun Bu-wi mengangguk, "Sudah tentu, hanya saja....." ia berhenti sejenak lalu menyambung pula, "Sebelum menceritakan riwayat tayhiap, bolehkah aku bertanya dulu tentang suatu hal?"
Thian-leng mempersilakan. Tiba-tiba Siau-bun membisikinya dengan ilmu menyusup suara. "Tuh, dia sudah mulai....... ingat! Betapapun ia mendesakmu, janganlah sekali-kali kau mengaku!"
"Kudengar tayhiap memiliki sebuah peta Telaga zamrut, benarkah itu?" sesuai dengan dugaan Siau-bun, ketua Hek gak itu menyatakan maksudnya.
Hampir meledak dada Thian-leng. Namun ia tetap bersabar dan pura-pura tak mengerti. "Peta Telaga zamrut" Aku tak pernah mendengarnya apalagi memiliki!"
Ketua Hek Gak tetap tertawa, "Peta itu merupakan benda pusaka yang tak ternilai harganya. Tetapi pun bisa dianggap tak berharga sepeser juga!"
"Entah bagaimanakah wujud peta itu, harap cianpwe suka menjelaskan. Kelak apabila berkelana, aku tentu berusaha untuk mencarikan !" Thian-leng tetap membodoh.
"Eh, kabarnya kau ini seorang kstria yang suka berterus terang, tak pernah bohong! Tetapi mengapa kau tak mau berlaku jujur?"
Wajah Thian-leng tampak agak berubah, ujarnya, "Taruh kata aku memiliki peta itu, tetapi cara cianpwe hendak merebut dengan siasat serendah ini, tentu tak kuserahkan! Apalagi sesungguhnya peta itu tak berada padaku!"
Wajah Kongsun Bu-wi pun berobah juga, serunya, "Jadi kau tak mau mengaku?"
Tok-ko Sing tertawa sinis dan segera menyeletuk, "Walaupun tayhiap telah mendapatkan peta itu secara rahasia sekali, tetapi beritanya sudah tersiar luas di dunia persilatan. Kalau kau tak mau menyerahkan peta itu kepada ketua kami, dikuatirkan kau tak dapat mempertahankannya lebih lama dari tiga hari, apalagi...... tempat persembunyian pusaka itu telah diketahui di gunung Thay-heng-san! Seluruh wilayah gunung itu kini berada dalam pengawasan kami.
Jangan harap kau bisa menggali tempat itu. Maka daripada melakukan pekerjaan yang sia-sia, lebih baik kau tukarkan saja dengan keterangan tentang asal-usul dirimu!"
Saking marahnya, menggigil ah tubuh Thian-leng.
"Kalian tuan dan budak adalah manusia hina semua, tak malu sama sekali".."
Tetapi secepat itu Siau-bun segera berseru, "Jangan keburu nafsu dulu?" memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Jika kau memang memiliki peta, tak beda seperti secarik kertas tak berharga saja!"
Thian-leng melongo. Tak tahu ia mengapa mendadak Siau-bun mengatakan begitu.
Tok-ko Sing tertawa sinis. "Ha, benar! Kiranya nona Cu lebih mengerti persoalan".!" tiba-tiba ia memutar tubuh dan berbisik-bisik kepada Kongsun Bu-wi. Ketua Hek Gak itu mengangguk, "Baik, kita beri waktu dua jam lagi untuk mereka pikir-pikir. Nanti tengah malam aku akan kembali kesini lagi minta jawaban....."
Sebelum pergi ketua Hek Gak itu melontarkan pandangan tajam pada Thian-leng, serunya tandas, "Ingin mati atau hidup, terserah padamu!"
Baru ketua itu memutar tubuh hendak berlalu, tiba-tiba ia memutar diri lagi. Thian-leng dan Siau-bun terkejut.
Merekapun bersiap-siap. Tetapi ternyata ketua Hek Gak itu tak mengacuhkan kedua anak muda itu. Dengan suatu gerakan yang tak terduga, tiba-tiba ia mencengkeramkan tangannya ke arah kamar.
Cengkeraman itu dilakukan dari jauh dan tampaknya lemah-lemah saja, tetapi hasilnya sungguh tak terduga, Bok Ceng-ceng yang bersembunyi di kolong ranjang telah tertarik keluar!
Kejut Thian-leng tak kepalang. Cepat ia meraih pedangnya, tetapi Siau-bun menepuk bahunya perlahan-lahan, bisiknya dengan ilmu menyusup suara, "Sebelum terpaksa jangan bertindak gegabah!"
Thian-leng menurut. Ceng-ceng yang terseret keluar itu, bagaikan seekor ikan dalam jaring. Serta merta ia memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi.
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketua Hek Gak tertawa meloroh, "O, kukira ada penjahat masuk ke sini, ternyata kepala dari Hong-kiong"." tiba-tiba ia berganti nada bengis." Mengapa kau tidur di kamar tamu" Bukankah kau tak mempunyai kebiasaan jalan-jalan di waktu tidur?"
"Hamba". hamba".." tak dapat Ceng-ceng memberi jawaban yang tepat.
"Mana Si-hwat?" teriak Kongsun Bu-wi. Si-hwat adalah algojo.
Segera Tok-ko Sing tampil.
"Kepala Hong-kiong telah melanggar peraturan, bagaiman hukumannya?" seru Kongsun Bu-wi.
"Mati!" sahut Tok-ko Sing.
Kongsun Bu-wi kerutkan dahi, ujarnya, "Tetapi dia adalah cucu tunggal dari guruku, boleh diperingan hukumannya"."
melirik pada Ceng-ceng ketua Hek Gak itu berseru pula. "Potong kedua paha saja, jiwanya tetap diampuni!"
Tok-ko Sing mengiyakan terus hendak turun tangan. Ceng-ceng gemetar tubuhnya, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa, kecuali meramkan matanya yang basah dengan air mata.
Sambil mencabut sebatang badik, Tok-ko Sing membentak, "Kau diberi ampun tak dihukum mati, mengapa tak lekas menghaturkan terima kasih kepada Gak-cu!"
Segera Ceng-ceng memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi seraya menghaturkan terima kasih . Setelah itu ia rebah di tanah. Tok-ko Sing menyeringai senyum iblis, terus mengayunkan badiknya. Petunjukan ngeri tak dapat dibiarkan saja oleh Thian-leng. Ia tak tahan melihat kebuasan orang Neraka Hitam. Sekonyong-konyong ia menggembor keras dan melepaskan pukulan Lui-hwe-sin-ciang ke arah Tokko Sing. Seketika terhambur angin keras yang panas sekali.
Tok-ko Sing tak menyangka sama sekali. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam untuk menyambut. Das.. badik mencelat lepas ke udara, tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah?". Namun Thian-leng sendiri juga tak kurang terkejutnya. Ternyata tenaga dalam Tok-ko Sing hebat sekali, sehingga ia rasakan separoh tangannya yang digunakan memukul tadi kesemutan. Darah bergolak-golak.
Setelah dapat berdiri tegak, wajah Tok-ko Sing merah padam. Ditatapnya anak muda itu, "Bu-beng tayhiap mempunyai hubungan apa dengan kepala Hong-kiong itu?" serunya bengis.
"Tidak kenal mengenal, tidak ada sangkut pautnya!" Thian-leng menjawab lantang.
Tok-ko Sing tertawa sinis. "Kalau tiada sangkut pautnya mengapa tayhiap hendak menolongnya" Mengapa tayhiap menghalangi hukuman tadi?"
Sahut Thian-leng, "Aku tak tahan melihat cara-cara yang sekeji itu. Hanya karena sedikit kesalahan saja lantas mau memotong kaki seorang gadis"."
"O, kiranya tayhiap jatuh cinta padanya".."
"Ngaco!" bentak Thian-leng, "aku bukan pemuda beriman begitu rendah?"
"Apakah Gak-cu percaya omongannya itu?" tanpa mengacuhkan Thian-leng, Tok-ko Sing tiba-tiba menghadap ke arah Kongsun Bu-wi.
Wajah Kongsun Bu-wi mengerut gelap, serunya, "Bok Ceng-ceng telah mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar, ini jelas. Bagaimana hukumannya?"
"Mati digigit lima binatang berbisa," sahut Tok-ko Sing.
"Ini bukan urusan kecil, harus memberi tahu pada guru!" seru Kongsun Bu-wi. Lalu ia menyuruh keempat pengawalnya pergi ke istana Yang-sim-kiong. " Coba jenguklah apakah Cong-hou-hwat sudah tidur atau belum. Kasih tahu aku hendak bertemu padanya!"
Salah seorang pengawal segera melakukan perintah itu. Setelah itu Kongsun Bu-wi berkata pula kepada Ceng-ceng,
"Aku tak berani gegabah menghukummu nanti. Hal itu akan kurundingkan dengan guru dulu, kau tentu tak keberatan"."
Thian-leng mendengus lega, karena ia tahu guru Kongsun Bu-wi itu ialah kakek dari Ceng-ceng. Tidak demikian dengan Ceng-ceng. Wajah dara itu pucat pasi. Tiba-tiba ia merangkak ke hadapan Kongsun Bu-wi dan meratap,
"Mohon Gak-cu memberi hukuman potong kaki saja"."
Thian-leng kaget sekali mendengar permintaan nona itu.
"Mengingat kau ini cucu tunggal dari guru, maka hendak kuserahkan hukumanmu itu kepadanya," Kong sun Bu-wi tetap menolak. Ceng-ceng pun tetap meminta dengan ratap tangis.
"Neraka Hitam ternyata sesuai dengan kenyataannya...." Thian-leng tertawa dingin.
"Hek Gak mempunyai peraturan keras. Sekalipun aku sendiri yang bersalah juga harus dihukum. Adalah karena Ceng-cengmu itu cucu guruku, maka kuadakan pengecualian. Apakah itu ganjil?"
"Mungkin persoalannya bukan begitu sederhana saja!" seru Thian-leng.
Ceng-ceng telah ditutuk kedua bahunya. tetapi ia masih dapat bicara. Segera ia berseru kepada Thian-leng dan Siaubun, "Mohon kalian berdua menyelamatkan jiwaku dan kakekku"."
Bukan main marahnya Kongsun Bu-wi. Cepat-cepat ia tutuk rubuh dara itu. Belum Thian-leng hilang herannya, tiba-tiba pengawal yang disuruh tadi muncul lagi dan memberitahukan bahwa cong-hou-hwat menunggu di istana Yang-sim-kiong.
"Bawa dia!" Kongsun Bu-wi memberi perintah, dan Ceng-ceng segera diseret oleh dua pengawal.
"Bu-beng tayhiap silakan menimbang lagi. Nanti lewat tengah malam aku akan datang minta jawaban, saat itu.........." kepala Hek Gak menutup kata-katanya dengan tertawa dan melangkah keluar.
Thian-leng mencabut pedang dan hendak mengejarnya, tetapi dicegah Siau-bun, "Kita harus menahan diri. Paling tidak sampai nanti lewat tengah malam kita aman. Baiklah kita gunakan tempo ini untuk beunding!"
"Selain menghadapi dengan kekerasan, rasanya tiada jalan lain lagi," Thian-leng menggeram.
"Ah, barangkali akan terjadi perobahan, "Siau-bun mengerutkan kening, "tetapi gerak-gerik Bok Ceng-ceng itu sungguh mencurigakan"."
"Ya, mungkin Kongsun Bu-wi tak membawa gadis itu ke tempat kakeknya melainkan ke lain tempat untuk dihukum mati?""
"Bukan itu yang kucurigai, " sahut Siu-bun, " mungkin kau tak tahu riwayat kakek nona itu. Ang Tim Gong-khek selain sakti pun cerdik sekali. Masakah tokoh seperti dia sudi berhamba pada Kongsun Bu-wi" Dan mengapa ia biarkan cucunya disiksa orang" Kemudian yang lebih aneh lagi, mengapa Ceng-ceng begitu sungguh-sungguh minta kita menolong kakeknya. Tokoh semacam Ang Tim masakah perlu ditolong orang lain".?"
Thian-leng hanya termenung tak dapat memberi pandangan.
"Hanya ada satu cara untuk menyelidiki kesemuanya itu," Siau-bun tersenyum.
"Bagaimana?"
"Kita harus mengikuti mereka!"
Thian-leng tertegun, serunya, "Ah, mungkin tak mudah!"
"Mengapa tak mudah?"
"Di dalam Hek Gak ini tentu penuh dnegan perkakas rahasia. Setiap sudut, setiap lantai merupakan bahaya. Jika kita sampai terperosok dalam jebakan, bukankah akan celaka?"
"Mungkin benar begitu, tetapi sekurang-kurangnya mereka tentu takkan bergerak mencelakai kita sampai nanti lewat tengah malam!" bantah Siau-bun.
"Tetapi mereka sudah jauh. Jalanan di sini berkelok-kelok rumit sekali. Mungkin sukar untuk mengejar mereka...."
"Jangan kuatir," Siau-bun menghibur, "aku pernah mempelajari ilmu "melihat langit mendengarkan bumi". Meskipun belum sempurna, tetapi dalam jarak seratus tombak aku masih dapat menangkap derap kaki orang. Dengan menurutkan derap kaki itu, tentulah tak sukar mengikuti mereka!"
Thian-leng tersirap kaget. Ketika dalam penjara air di istana Sin-bu-kiong, Nyo Sam-koan pernah menceritakan tentang ilmu itu. Dan kemudian ia pernah menyaksikan ketua Thia-hiat-bun menggunakan ilmu itu. Mengapa Siaubun mengerti juga ilmu sakti itu" Sejak kenal memang ia tak banyak mengetahui tentang diri nona itu. Dan memang ia tak pernah menanyakan hal itu kepada Siau-bun. Kini tiba-tiba timbul ah kecurigaannya. Apakah nona itu mempunyai hubungan juga dengan partai Thia-hiat-bun"
"Eh, kau melamun apa?" Siau-bun tertawa melihat Thian-leng terlongong-longong.
Thian-leng gelagapan. "Eh, dari manakah adik Bun mempelajari ilmu itu?"
Siau-bun tersentak kaget, tetapi cepat-cepat ia alihkan pembicaraan, "Panjang sekali untuk menceritakannya.
Sekarang baik kita putuskan dulu. Hendak mengejar jejak mereka atau tidak?"
Thian-leng tak mau mendesak. Ia menyatakan supaya mengejar saja. Demikianlah kedua anak muda itu segera meninggalkan kamar. Di luar gelap sekali. Siau-bun sebentar-sebentar berhenti untuk pasang telinga. Setelah melintasi beberapa tikungan, tak berapa lama mereka harus melalui beberapa halaman luas. Thian-leng siap sedia.
Tetapi selama itu mereka tidak menjumpai barang seorangpun. Gedung itu seolah-olah tanpa penghuni.
Tiba-tiba Siau-bun berhenti, serunya, "Setelah melintasi tembok tinggi ini kita akan tiba di istana Yan-sin-kiong!"
Kedua anak muda itu loncat ke atas tembok. Mereka agak terkesima. Di sebelah luar tembok itu terdapat sebuah halaman luas penuh ditumbuhi pohon bunga. Tiga buah paseban besar terang-benderang dengan penerangan. Di ruang paseban itu penuh sesak orang. Tampak Kongsun Bu-wi di ringai oleh para pengawalnya tengah menyeret Bok Ceng-ceng. Rupanya mereka baru tiba.
"Kita sembunyi di luar jendela dalam kebun belakang agar dapat melihat dengan jelas," Siau-bun mengajak. Anehnya tempat yang dituju kedua anak muda itu tiada penjaganya sama sekali. Daun jendela besar sekali tertutup dengan kertas lilin yang sudah penuh lubang. Untung karena di sebelah luar gelap, maka jejak kedua anak muda itu tak sampai ketahuan oleh orang di dalam ruangan. Dari lubang kertas jendela, mereka mengintai apa yang sedang terjadi di dalam.
Di tengah ruang terdapat sebuah ranjang kayu yang besar sekali dan dicat merah. Di situ rebah seorang tua yang aneh. Kepalanya gundul kelimis. Wajahnya putih bersih, tetapi yang aneh ialah hidungnya. Hidungnya besar dan merah, penuh dengan tonjolan bintil. Dia hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis, shingga perutnya yang buncit tampak menonjol jelas. Di belakang ranjang terdapat empat bujang perempuan yang masih muda.
"Dia tentu Ang Tim Gong-khek?" tanya Thian-leng dengan ilmu menyusup suara.
"Benar, apakah kau tak melihat hidungnya?" sahut Siau-bun.
Thian-leng hampir tertawa, Bok Sam-pi ( Bok si hidung tiga ) memang sesuai dengan namanya. Bukan saja besar sekali, tetapi hidungnya itu seperti terbelah jadi tiga.
Begitu tiba di hadapan ranjang, Kongsun Bu-wi segera berlutut memberi hormat. Bok Sam-pi mempersilakan dia bangun. Tetapi tiba-tiba Ang Tim Gong-khek itu loncat bangun dan berlutut di hadapan Kongsun Bu-wi juga, "Hamba menghaturkan hormat kepada Gak-cu!"
Pertama, Kongsun Bu-wi memberi hormat kepada Ang Tim Gong-khek dalam kedudukan sebagai gurunya. Tetapi Ang Tim Gong-khek pun balas memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi dalam kedudukan sebagai kepala Hek Gak. Habis memberi hormat Bok Sam-pi pun rebah lagi di atas ranjang.
Thian-leng heran mengapa Bok Sam-pi acuh tak acuh melihat cucunya dalam keadaan ditutuk jalan darahnya.
"Tengah malam menemui aku, ada urusan apa?" tegur Bok Sam-pi.
"Jika tidak penting, masakah murid berani mengganggu guru. Adalah karena?"
"Nanti dulu!" Bok Sam-pi cepat menukas, "aku tak mau menjalankan peradatan sebagai cong-hou-hwat lagi. Jangan membicarakan urusan dalam Hek Gak?"
Kembali ketua Hek Gak menjura, "Murid tak berani kurang adat, silakan suhu rebahan saja."
Bok Sam-pi tertawa dan suruh Kongsun Bu-wi mengutarakan keperluannya.
"Ada seorang murid yang mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar," kata ketua Hek Gak.
Bok Sam-pi terkejut marah, "Siapa?"
"Kepala istana Hong-kiong, cucu suhu sendiri Bok Ceng-ceng!"
"Dia?" Bok Sam-pi menuding ke arah Ceng-ceng dan Kongsun Bu-wi mengiyakan.
"Kemari kau!" serunya. tetapi karena tertutuk jalan darahnya, sudah tentu Ceng-ceng tak dapat berjalan. Kongsun Bu-wi memberi isyarat mata kepada kedua pengawal. Kedua pengawal itu segera membuka jalan darah si dara.
"Kek!" Ceng-ceng loncat menghampiri kakeknya seraya menangis.
"Saat ini kakek sebagai cong-hou-hwat, lekas haturkan hormat!" bentak Bok Sam-pi.
Ceng-ceng terpaksa berlutut. Ia tak menangis lagi. Mulutnya terkancing, sikapnya seperti sebuah patung.
"Benarkah kau mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar?" seru Bok Sam-pi.
Ceng-ceng diam saja.
"Tahukah apa hukuman yang harus dijatuhkan?" dengus Bok Sam-pi pula.
Ketua Hek Gak segera melangkah maju. "Menurut undang-undang Hek Gak, harus menerima hukuman digigit lima binatang beracun, tetapi"."
"Tetapi bagaimana?" Bok Sam-pi berseru gusar.
"Tetapi Ceng-ceng adalah ?"."
"Tak peduli apaku, sebagai cong-hou-hwat, aku harus bertindak menurut hukum. Kalau hukum tak dipegang, rusaklah peraturan!" teriak Bok Sam-pi, "Lekas jalankan hukuman!"
Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera memanggil Tok-ko Sing yang menjabat sebagai pelaksana hukum atau algojo.
Tok-ko Sing pun segera bertindak. Ia hendak mencengkeram bahu kanan dara itu dan Ceng-ceng tak mengadakan perlawanan apa-apa.
"Tunggu!" tiba-tiba Bok Sam-pi mengebutkan tangannya. Tok-ko Sing menarik pulang cengkeramannya, tetapi kebutan tangan Bok Sam-pi itu membuatnya terhuyung-huyung beberapa langkah.
"Mengapa suhu?"..?" Kongsun Bu-wi berseru kaget.
"Apakah ada buktinya Bok Ceng-ceng melakukan hubungan itu?" tegur Bok Sam-pi.
"Orang itu masih berada di ruang tamu. Apakah suhu perlu suruh mereka menghadap?"
Tiba-tiba Bok Sam-pi tertawa keras-keras. "Tak usah, lebih baik kau lihat saja kutangkap mereka!"
Kongsun Bu-wi terkejut, "Maksud suhu"."
Tiba-tiba Bok Sam-pi menampar ke jendela belakang, bingkai jendela yang hampir satu tombak besarnya itu serentak hancur berantakan. Thian-leng dan Siau-bun pun tak sempat lagi menjaga diri. Serentak mereka seperti digulung oleh tenaga tarik yang tak dapat dilawan. Bersama dengan keping jendela, kedua anak muda itupun tersedot ke dalam ruang dan jatuh tepat di muka ranjang Bok Sam-pi. Untung tak sampai terluka.
Thian-leng dan Siau-bun menginsyafi betapa hebat kesaktian orang she Bok itu. Maka merekapun tak mau bertindak sembarangan.
"Apakah kedua orang ini?" tanya Bok Sam-pi.
"Benar ," buru-buru ketua Hek Gak menjawab, "dengan baik-baik murid melayani mereka di ruang tamu, tetapi ternyata mereka telah bersekongkol dengan Bok Ceng-ceng. Dan ternyata juga diam-diam mengikuti murid kemari hendak mencelakai suhu."
"Bagaimana hukumannya?" seru Bok Sam-pi.
"Mereka bukan murid kita, sudah tentu boleh dihukum apa saja".." mata ketua Hek Gak itu berkedip-kedip, "sudah lama suhu kesepian. Baiklah kedua orang ini dijadikan hiburan saja, entah bagaimana kehendak suhu"."
Tiba-tiba Bok Sam-pi bangkit duduk serunya, "Ya, ya, aku ingin menyaksikan hukuman Toa-gi-pat-kui, lakukanlah sekarang!"
Thian-leng mengeluh putus asa. Ia melirik kepada Siau-bun yang berada di sampingnya. "Adik Bun, akulah yang bersalah mencelakaimu......aku tak menyesal mati, tapi kalau sampai membuatmu ikut menderita, aku tak dapat mati dengan meram."
Di luar dugaan Siau-bun tenang sekali. Bahkan bibirnya menyungging senyuman. Segera ia menjawab dengan ilmu menyusup suara, "Takutkah kau?"
Thian-leng tertegun, "Tidak, aku tak takut mati. Hanya yang kusesalkan ialah tindakanku yang sembrono hingga merembet dirimu".."
"Mati atau hidup masih belum ketahuan. Perlu apa kau sudah putus asa?"
Sentilan si nona membuat Thian-leng malu hati. Segera ia menjamah pedangnya dan dengan ilmu menyusup suara ia berkata tegas, "Akan kuserang tua bangka itu, adik Bun".."
"Jangan gegabah. Melawan si tua itu berarti seperti ana-anai melanda api, telur membentur tanduk. Kalau kita bertindak begitu, tentu mereka segera menjalankan hukuman Toa-gi-pat-kui itu!" cegah Siau-bun.
Pada saat kedua anak muda itu bercakap-cakap, Kongsun Bu-wi sudah perintahkan pengawalnya mengambil sebuah tiang kayu yang besar, tali dan beberapa batang golok tajam. Alat-alat itu dibawa ke tengah, sedang Bok Sam-pi tetap menunggu di ranjang kayu. Dengan tenang ia menunggu dilaksanakannya hukuman Toa-gi-pat-kui.
Sebenarnya Siau-bun pun berdebar-debar hatinya. Namun dara itu sudah biasa menghadapi ancaman bahaya. Maka sikapnyapun tenang-tenang saja. Tidak demikian halnya dengan Thian-leng yang sudah gelisah tak keruan. Sedang terhadap cucunya sendiri saja Bok Sam-pi begitu kejam, apalagi terhadap orang luar!
"Jalankan dulu hukuman Toa-gi-pat-kui pada kedua mata-mata itu, baru kemudian menghukum budak ini," seru Bok Sam-pi. Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera menyuruh orang mengikat Thian-leng dan Siau-bun pada tiang.
Empat pengawal maju menghampiri Thian-leng. Thian-leng menyiapkan pedangnya hendak menempur. Tiba-tiba Siau-bun tertawa dingin, "Tunggu!"
"Eh, apakah kau hendak meninggalkan pesan?" tanya Kongsun Bu-wi.
"Tidak?". aku tak butuh memesan apa-apa," nona itu tertawa.
"Aneh, mengapa kau masih berani tertawa?" tegur Bong Sam-pi.
Siau-bun makin perkeras tawanya, "Karena aku tak dapat mati. Tiada seorangpun di ruang ini yang mampu membunuhku!"
Wajah Bok Sam-pi berobah seketika dan bangkitlah ia serentak.
"Di antara kalian siapakah yang paling sakti?" tegur Siau-bun dengan senyum tak acuh.
"Aku!" Bok Sam-pi menggerung.
Siau-bun mendengus hina, "Apakah kau berani bertanding melawan aku?"
Bok Sam-pi tertawa gusar. Tiba-tiba ia melesat maju ke arah si nona?"
Bok Sam-pi tegak di hadapan Siau-bun. Perutnya yang gendut terkial-kial karena menahan kemarahan. Biji matanya yang sebesar kelereng menyala tajam.
"Kau hendak menantang berkelahi denganku?" serunya.
"Benar," Siau-bun tertawa, "aku ingin bermain-main beberapa jurus dengan kau."
Bok Sam-pi menggerung seperti harimau mencium mangsa. "Berpuluh-puluh tahun belum pernah ada manusia yang berani berkata begitu di hadapanku. Toa-gi-pat-kui masih terlalu ringan. Akan kutambahi hukumanmu dengan Sam-sing-ka-sim dan Ngo-tok-ya-thi!"
"Bagus, sayang kau tak mampu".." Siau-bun mengedipkan mata sejenak, "eh, bagaimana" Apakah kau mau adu kepandaian denganku?"
Bok Sam-pi memekik, "Budak perempuan, kalau mau adu kepandaian lekaslah! Kalau ayal-ayalan mungkin kau tak sempat lagi!"
Menunjuk pada perutnya yang buncit, ia berseru pula, "Boleh kau gunakan senjata tajam atau senjata rahasia, pukulan, kaki, jari ataupun apa saja. Kalau mampu merontokkan selembar buluku saja, aku menyerah kalah dan terserah hendak kau apakan".."
Siau-bun tertawa nyaring, "Cara itu tidak adil. Jika kau menghendaki cara berkelahi mati-matian macam benggolan penjahat".., maaf, aku tak sudi melayani!"
"Bagaimana kalau adu lwekang?" seru Bok Sam-pi.
"Kasar!"
Biji mata Bok Sam-pi yang besar berkilat-kilat. "Katakanlah, teresrah kau hendak memakai cara apa, aku menurut saja!"
Siau-bun mondar-mandir sejenak, tersenyum, "Begini saja ! Aku mempunyai sebutir mutiara Ban-lian-liong-cu (
mutiara naga ribuan tahun ). Jika kau mampu memijatnya hancur dengan dua buah jari tanganmu, aku mengaku kalah...."
Bok Sam-pi hendak menyahut, tetapi Kongsun Bu-wi sudah mendahului, "Suhu, budak perempuan ini banyak akal, jangan kena diakali!"
Bok Sam-pi merengut kurang senang, "Apakah aku anak kemarin sore" Kau pandang aku ini orang apa?"
"Harap suhu jangan marah. Murid hendak mengatakan tentang mustika Ban-lian-liong-cu?""
"Persetan dengan Ban-lian-liong-cu! Apakah kau kira aku tak dapat memijatnya hancur?"
Kongsun Bu-wi gelengkan kepala, "Bukan maksud murid mengatakan suhu tak dapat meremasnya. Melainkan hanya mengatakan bahwa Ban-lian-liong-cu itu adalah mustika yang jarang terdapat di dunia. Kemungkina tentu dia tak punya. Dan andaikan punya pun, bagaimana hendak suruh suhu menghancurkannya?"
"Ya, benar!" Bok Sam-pi gelagapan. "Ban-lian-liong-cu adalah sebuah pusaka ajaib, mengapa kau suruh aku menghancurkan!"
"Benda yang paling keras di dunia, apakah dapat menandingi kekerasan Ban-lian-liong-cu?" Siau-bun tertawa dingin.
"Mungkin tidak ada!" Kongsun Bu-wi menanggapi.
"JIka gurumu dapat memijat hancur Ban-lian-liong-cu, kalau kuberikan yang palsu, bukankah akan lebih cepat lagi"
Dengan begitu bukankah aku kalah dan akan menerima hukuman Toa-gi-pat-kui atau apa itu Sam-sing-ka-sim atau Ngo-tok-ya-thi" Apakah aku dapat mengingkari perjanjian lagi?"
Sahutan nona itu membuat ketua Hek Gak gelagapan dan hanya dapat menjawab sekenanya, "Siapa yang tahu permainan setan itu?"
Siau-bun tertawa dingin, "Dalam hal main setan-setanan, mungkin kau lebih ahli. Dengan menipu orang untuk diberi tahu tentang asal-usulnya, kau menjebaknya kemari. Perlunya tak lain hanya hendak merampas peta pusakanya".!"
Sambil menunjuk pada Bok Sam-pi, ia berseru pula, "dan dia seorang cianpwe persilatan yang sakti, telah kau cekoki dengan obat yang membuatnya berobah linglung tak sehat pikirannya! Bukankah perbuatanmu itu sangat keji"..!"
"Keparat!" teriak ketua Hek Gak kalap, "kalau kau berani mengoceh tak keruan tentu akan kucincang tubuhmu!"
Siau-bun acuh tak acuh menyahut, "Sayang saat ini kau tak dapat bertindak semaumu?"" ia berhenti sejenak.
"Kepintaran yang digunakan untuk menipu orang, akhirnya keblinger sendiri. Mungkin kau akan menyesal atas perbuatanmu itu!"
"Budak perempuan, dengan mengandal akal muslihatmu itu jangan harap kau mampu lolos dari sini kecuali kau dapat membujuk Bubeng tayhiap supaya menyerahkan peta padaku!"
Siau-bun tetap tertawa dingin.
"Kalau benar punya Ban-lian-liong-cu, ayo, lekas keluarkan! Coba lihat saja aku dapat memijatnya hancur atau tidak?" teriak Bok Sam-pi yang rupanya tidak sabar lagi.
Sahut Siau-bun tenang-tenang, "Jangan terburu nafsu dulu. Akan kujelaskan dulu palsu tidaknya mustika Ban-lian-liong-cu itu. Toh akhirnya nanti kau tentu akan memijatnya!"
Ia berpaling ke arah ketua Hek Gak, "Apakah kau tahu khasiat Ban-lian-liong-cu dan dapat membedakan palsu tidaknya ?"
Kongsun Bu-wi tertawa nyaring, "Ban-lian-liong-cu kira-kira sebesar biji lengkeng, warnanya merah tua. Begitu dimasukkan dalam air dingin maka hilanglah dingin air. Dimasukkan dalam api, maka hilanglah panas api. Khasiatnya untuk menolak air dan api, merupakan mustika yang tiada nilainya di dunia!"
Siau-bun tertawa tawar, "Kalau begitu harap sediakan air dan api, kita buktikan saja!"
Ia mengeluarkan sebuah kotak emas lalu mengambil sebuah bungkusan sutera merah. Dengan hati-hati Siau-bun membuka bungkusan itu dan tampaklah sebutir mutiara sebesar lengkeng. Thian-leng dan orang-orang yang berada dalam ruangan itu berteriak kaget.
Tepat seperti yang dikatakan ketua Hek Gak tadi, memang mustika itu berwarna merah tua berkilau-kilauan memancarkan sinar terang-benderang yang menyilaukan mata. Seketika berhamburan semacam hawa dingin. Begitu dingin sehingga membuat keempat pengawal Hek Gak yang berdiri pada jarak beberapa tombak sampai gemetar badannya.
Juga Bok Sam-pi ternganga, serunya dengan terbata-bata, "Mustika yang hebat, mustika yang hebat, benar-benar mustika yang tiada tandingannya".!"
Siau-bun hanya mengulum senyum. Dengan angkuh ia berkata kepada ketua Hek Gak, "Apakah seumur hidupmu kau pernah melihat mustika semacam ini?"
Mulut ketua Hek Gak tersekat, "Kalau menilik ujudnya saja, memang belum dapat dibuktikan palsu tidaknya?"?" ia berpaling kepada pengawalnya menyuruh siapkan air dan api. Empat pengawal Hek Gak segera mengiyakan.
Thian-leng segera menggunakan ilmu menyusup suara menegur Siau-bun, "Apakah itu Ban-lian-liong-cu yang tulen?"
"Sudah tentu!" sahut Siau-bun.
"Ha !" Kalau sampai dipijat hancur oleh setan tua itu, bukankah?""
"Kita ini perlu mempertahankan jiwa atau memberatkan mustika?". "
Jawaban si nona itu membuat Thian-leng kemalu-maluan. Diam-diam ia menyesal karena menyebabkan Siau-bun sampai mengorbankan mustikanya.
"Tetapi dengan mengorbankan mustika itu apakah kita pasti dapat lolos ?" ia masih penasaran.
"Ya, sekalipun Ban-lian-liong-cu itu mustika yang keras sekali, tetapi bukannya mustahil dihancurkan. Kepandaian setan tua itu memang tinggi sekali. Aku tak tahu pasti apakah ia mampu memijatnya hancur atau tidak!"
(bersambung ke jilid 14)
Jilid 14 . Thian-leng cemas, " Kalau begitu bukankah ". ?"
"Segala apa kita harus menyesuaikan dengan gelagat, tak usah kau cemas!" tukas Siau-bun.
Pada saat itu dua orang pengawal Hek Gak muncul dengan membawa baskom air dan tempat api. Siau-bun dengan tertawa-tawa segera menyerahkan Ban-lian-liong-cu kepada Kongsun Bu-wi, ujarnya, "Silakan mencobanya di hadapan hadirin!"
Kongsun Bu-wi menyambuti. Matanya tak berkedip memandang mustika itu. Wajahnya menampilkan nafsu memiliki.
"Rupanya ada rasa dalam hatimu untuk memiliki mustika itu, eh?" Siau-bun tertawa mengolok.
Kongsun BU-wi merah mukanya, "Jangan mengukur baju orang menurut ukuranmu sendiri!" serunya.
Siau-bun tertawa gelak-gelak, "Jika kau tak mendustai batinmu, saat ini kau merasa gelisah kalau mustika itu sampai teremas hancur oleh gurumu. Karena dengan begitu kau tentu tak dapat memilikinya!"
Karena malu, marahlah Kongsun Bu-wi, "Ngaco! Orang macam apakah diriku" Masakah sebutir mustika macam begitu saja dapat menggerakkan keinginanku!?"
Alis Siau-bun menjungkit, "Sudahlah , jangan coba sangkal isi hatimu, toh tiada yang tahu!"
Wajah ketua Hek Gak berobah makin gelap. Segera ia lemparkan Ban-lian-liong-cu ke dalam baskom air. Serentak terdengarlah pekik kaget dari sekalian orang. Begitu tercebur air, mustika itu seperti membelah air. Di Sekeliling mustika air sama menyiah beberapa dim jauhnya.
Wajah Kongsun Bu-wi makin gelap. Ia ambil mustika keluar. Jelas ketika memasukkan tangan ke dalam basko, ujung bajunya itu terendam air. Tetapi anehnya setetes airpun ujung bajunya tak basah dan mustika Ban-lian-liong-cu kering kerontang.
"Bagaimana?".." ujar Siau-bun seraya maju menghampiri.
Kongsun Bu-wi terpukau tak dapat menjawab. Serentak ia lemparkan mustika ke dalam anglo api. Kembali mata ketua Hek Gak terbelalak. Anglo yang penuh dengan api membara, tersiak oleh Ban-lian-liong-cu. Ujung baju Kongsun Bu-wi yang masuk ke dalam api tidak terbakar sama sekali. Bahkan tangannya yang memegang anglo itu sedikitpun tak terasa panas.
Akhirnya ketua Hek Gak menarik pulang tangannya. Sejenak ia memuaskan pandangannya ke arah mustika itu, baru diberikan lagi kepada Siau-bun, ujarnya," Mustika ini memang benar Ban-lian-liong-cu yang asli, sekarang boleh kau serahkan kepada suhu!"
Dengan tersenyum Siau-bun menyambutnya.
"Serahkan padaku, lekas. Aku tak sabar lagi menunggu!" tiba-tiba Bok Sam-pi berteriak.
Siau-bun memutar dirinya menghadapi, ujarnya, "Baik, kita bicarakan dahulu secara jelas. Barang siapa kalah tak boleh ingkar janji!"
"Kurang ajar, kau anggap aku ini orang apa" Masakah aku sudi ingkar janji padamu ! ? Bok Sam-pi marah-marah.
Namun si nonan masih tetap tersenyum simpul, ujarnya. "Pertanyaan lo-cianpwe itu sudah cukup menjadi jaminan!"
Ia segera angsurkan mustika Ban-lian-liong-cu kepada Bok Sam-pit.
Begitu menyambuti mustika, sejenak Bok Sam-pi memepermainkannya. kemudian tiba-tiba ia menjepit mustika itu dengan jari tengah dan jari telunjuk, lalu tertawa gelak-gelak, "Sebenarnya aku tak sampai hati menghancurkan mustika ini".!"
Thian-leng seperti disadarkan. Ia merasa dapat menduga rencana yang dijalankan Siau-bun. Jika Bok Sam-pi sampai tak rela meremas hancur mustika itu, berarti ia kalah dan dapatlah Siau-bun lolos dari neraka Hek Gak. Demikianlah dugaannya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset?""
"Tetapi jika tak kuremas hancur, berarti aku menyerah kalah padamu,budak perempuan! dengan begitu bukankah aku"..bukankah "." tiba-tiba Bok Sam-pi bersungut-sungut. Ia tak melanjutkan kata-katanya lebih jauh, tetapi mulai kencangkan kedua jari yang menjepit Ban-lian-liong-cu?".
Wajah thian-leng berobah seketika. Sejenak ia berpaling memandang Siau-bun tetapi nona itu tampak tenang-tenang saja. Sedikitpun tak menunjukkan rasa cemas.
Saat itu tampak wajah Bok Sam-pi agak mengeras tegang. Sepasang matanya terpentang lebar. Kedua tulang pelipisnya mulai menonjol, begitu pula dahinya. Jelas menunkukkan bahwa ia menghadapi kesukaran!
Melihat itu Kongsun Bu-wi dan sekalian anak buahnya tampak tegang. Mata mereka mengikuti lekat-lekat pada mustika yang terjepit di tengah kedua jari tangan Bok Sam-pi.
Wajah Bok Sam-pi makin tegang. Warnanya berobah merah seperti darah, giginya mengerut kencang. Inilah yang pertama kali ia menghadapi kesulitan besar dan kekalahan. Siau-bun tersenyum datar. Ia acuh tak acuh.
Dalam pada itu, sang waktupun merayap terus dengan cepat. Tak terasa sudah sejam lamanya Bok Sam-pi melakukan taruhannya. Tangan kanannya tampak gemetar, dahinya mengucurkan butir-butir keringat sebesar biji kedele. Warna wajahnya yang merah padam berobah biru gelap. Nyata dia sedang mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk meremas Ban-lian-liong-cu.
Akhirnya" ia menghela napas, "Aku tak dapat memijat hancur mustika ini. Ya, aku menyerah kalah!" ujarnya disertai helaan napas rawan.
Kongsun Bu-wi seperti mendengar halilintar berbunyi di tengah hari. Buru-buru ia maju melangkah, "Tidak, suhu belum kalah!"
Bok Sam-pi menghela napas, "Bagaimana tidak kalah?"
"Karena mustika itu memang luar biasa kerasnya...." ia lepaskan lirikan tajam kepada Siau-bun, katanya pula, "Jika dia mampu meremasnya hancur, barulah benar-benar dia menang. Tetapi jika dia tak dapat, berarti seri.
Pertandingan ini tiada yang kalah atau menang dan boleh diganti dengan cara lain."
"Benar, benar." Bok Sam-pi seperti disadarkan. Segera ia berikan Ban-lian-liong-cu kepada Siau-bun. "Sekarang kau yang meremasnya!"
Siau-bun tak ragu-ragu menyambuti mustika itu. Ia tertawa mengejek Kongsun Bu-wi. "Memang telah kuduga kau akan mengajukan usul ini!"
Sejenak Siau-bun mengepal-ngepal mustika di dalam telapak tangan, setelah itu dijepit dengan jari telunjuk dan jari tengah. Serunya kepada Bom Sam-pi, "Silakan Cianpwe melihat dengan betul!"
"Tentu, ayo pijitlah!" Bok Sam-pi mengangguk, mengira nona itu tentu tidak dapat. Kongsun Bu-wi tertawa yakin.
Tetapi pada lain kejap, suara tertawanya sirap ditelan kekagetan........ Ketua Hek Gak itu terlongong-longong melongo... lutnya ternganga!
Jelas terngiang di telinganya suatu suara letupan kecil. Mustika Ban-lian-liong-cu yang terjepit di jari Siau-bun itu pecah berhamburan......
Sekalian orang menjerit kaget! Benar-benar sukar dipercaya. Ketua Hek Gak berdenyut-denyut kepalanya, bumi yang dipijaknya serasa berputar. Ceng-ceng yang tengah belutut di depan ranjang, bangkit serentak! Wajahnya penuh diliputi seri kegirangan. Dipandangnya Siau-bun dengan lekat.
Tiba-tiba Bok Sam-pi menjerit, "Sudahlah, sudahlah, aku kalah".."
"Tidak suhu, kau tetap belum kalah!" Kongsun Bu-wi berseru.
"Mengapa tidak?" sahut Bok Sam-pi.
Ketua Hek Gak tertaw sinis." Dengan susah payah suhu memijat, tetapi gagal. Mengapa dia hanya sekali pijat saja sudah dapat menghancurkan" Bukankah kau lebih sakti dari dia" Bukankah dia tentu menggunakan tipu muslihat!"
Perut Bok Sam-pi yang gendut tampak terkial-kial karena menahan gejolak perasaan. tetapi tak tahu bagaimana hendak menumpahkan. Marahkah atau sedihkah"
Siau-bun tertawa dingin, ujarnya kepada Bok Sam-pi, "Ketika kupijit Ban-lian-liong-cu bukankah cianpwe mengawasi dengan jelas?"
"Benar".." Bok Sam-pi menyahut terpaksa.
"Apakah aku menggunakan ilmu sihir?"
"Rasanya eh". tidak?"
"Dengan begitu lo-cianpwe rela mengaku kalah?" kata Siau-bun dengan nada serius.
"Ya, aku menyrah kalah!"
"Tidak , suhu tak boleh menyerah kalah, jika....." cepat-cepat ketua Hek Gak menukas. Tetapi secepat itu pula Siaubun segera berseru keras kepada Bok Sam-pi, "Jika lo-cianpwe tak suka mengaku kalah, sayapun tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi bagi martabat lo-cianpwe dalam dunia persilatan, tidaklah layak untuk menelan ludah lagi!"
"Siapa bilang aku menelan ludah?" Bok Sam-pi murka.
"O, kalau benar cianpwe tak ingkar janji, marilah sekarang kita laksanakan perjanjian kita!" desak Siau-bun.
"Perjanjian apa ?" Bok Sam-pi mengerutkan dahi,
"Ah, apakah lo-cianpwe benar-benar pelupa sekali?"
Bok Sam-pi mendengus, "Karena kau yang menang, maka segala macam hukuman
yang hendak kujatuhkan padamu itu batal semua. Kalian boleh keluar dari istana Hek Gak sini. Apakah ini tidak cukup" Apakah masih hendak suruh aku menganar kalian?"
Cepat Siau-bun menanggapi, "Itulah! Memang ada dua buah urusan kecil yang memerlukan persetujuan lo-cianpwe!"
Bok Sam-pi mendengus lagi, "Tidak bisa, aku ini orang macam apa, masakah kau suruh mengantarkan!"
Siau-bun tertawa dingin, "Jika cianpwe menganggap dirimu sebagai ksatria sejati, haruslah berjiwa ksatria!"
Marah Bok Sam-pi tak tertahan lagi. Segera ia mengangkat tangannya hendak menghantam. Tetapi Siau-bun acuh tak acuh. Melihat itu Bok Sam-pi menghentikan tinjunya dan perlahan-lahan menurunkan lagi. Keriput kemarahannya perlahan-lahan kendor, berganti kerawanan. Akhirnya menghela napaslah ia, "Baik, akan kuantar kalian keluar dan sebutkanlah kedua tuntutanmu itu."
"Kesatu, serahkan cucumu Bok Ceng-ceng itu kubawa pergi. Kedua , minumlah sebutir pil dariku."
"Kau hendak suruh aku minum pil" Perlu apa?" Bok Sam-pi melongo.
"Supaya jiwamu lekas melayang," sahut Siau-bun tenang.
"Hm, apakah tiada jalan lain lagi?" dengus Bok Sam-pi.
"Perangaiku sama dengan perangaimu. Apa yang kukehendaki, tentu harus kulaksanakan. Atau lebih baik kau ingkar janji dan bertempur dengan aku lagikah?" Siau-bun mengejek.
Bok Sam-pi menggelengkan, "Baik, kuterima kedua syaratmu itu. Akan kuantarkan kalian keluar dari sini dan kuminum pil mautmu itu?".!"
"Tunggu !" sekonyong-konyong Kongsun Bu-wi menjerit.
Siau-bun melirik tajam kepada ketua Hek Gak itu serunya, "Telah kukatakan padamu tadi bahwa ada suatu saat kau pasti menyesali perbuatanmu selama ini, nah, bagaimana sekarang?"
"Tak mudah kaulaksanakan kemauanmu itu!" ketua Hek Gak menggeram.
"Ah, belum tentu. Segala apa yang akan terjadi semua di luar dugaanmu......"
Menjeritlah ketua Hek Gak itu dengan kalap, "Jika kau sampai mampu keluar dari istana ini akan kurayakan dengan bunuh diri!"
Tiba-tiba ketua Hek Gak itu berpaling ke arah Bok Sam-pi dan membentak, "Bok conghouhwat!"
Mendengar itu kejut Bok Sam-pi bukan kepalang. Segera ia hendak berlutut memberi hormat. Tetapi secepat itu juga Siau-bun sudah membentaknya, "Nanti dulu!"
"Jangan menjual muslihat!" bentak ketua Hek Gak murka.
Siau-bun menyambutnya dengan tertawa dingin, "Justru kebalikannya! Aku hanya hendak melucuti kedokmu selama ini, hanya sayang"." ia tertawa mengikik, ujarnya pula, "Segala tipu muslihatmu itu gagal semua!"
"Apa maksudmu!" bentak ketua Hek Gak.
"Kau hendak menggunakan pengaruhmu sebagai ketua untuk memaksa Bok Lo-cianpwe tunduk kepadamu bukan?"
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Istana Hek Gak mempunyai tata tertib yang keras. Walaupun beliau menjadi guruku, tetapi karena beliau menjabat sebagai Conghouhwat, maka wajib menurut perintahku!" sahut ketua Hek Gak dengan congkak.
"Tanpa kau sadari, dalam babak ini kau sudah mengaku kalah!" Siau-bun tertawa.
"Bagaiman kalahnya?"
"Tadi Bok-locianpwe sudah menyatakan bahwa malam ini tiada lagi garis pemisah antara ketua dan anak buah, melainkan beliau berbicara dalam kedudukan sebagai guru dengan murid. Bukankah hal itu sudah merupakan kekalahan bagimu?"
"Benar, benar! Malam ini kaulah yang seharusnya mendengar perintahku!" Bok Sam-pi seperti disadarkan.
Serentak berobahlah cahaya muka Kongsun Bu-wi. Giginya terdengar bercatrukan menahan kemarahan. Tetapi ia tak dapat membantah sepatah pun juga.
Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan si nona. Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara berseru kepadanya, "Siap-siaplah, kita segera akan angkat kaki dari sini!"
Thian-leng terkesiap. Cepat ia bersiap dengan pedang dan mengerahkan tenaga Lui-hwe-ciang. Apabila anak buah Hek Gak berani merintangi, ia hendak adu jiwa dengan mereka.
Siau-bun perlahan-lahan menghampiri kehadapan Bok Sam-pi, ujarnya, "Lo cianpwe marilah kita pergi!"
"Baik, " Bok Sam-pi tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.
Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara kepada si jago tua itu," Muridmu itu sukar diraba hatinya. Jika locianpwe tak siap sedia, dia tentu diam-diam akan memerintahkan supaya menutup jalan dan menggerakkan perkakas rahasia. Mati bagi kami anak-anak yang tak bernama ini tak mengapa. Tetapi betapa besar akibatnya bagi kebesaran nama lo-cianpwe!"
"Beralasan juga ," dengus Bok Sam-pi.
"Apa kata mereka kepada suhu?" ketua Hek Gak berseru kaget.
Bok Sam-pi deliki mata, teriaknya, "Kemarilah!"
"Suhu hendak memberi pesan apa?" Kongsun Bu-wi makin kaget.
"Aku kuatir kau nanti diam-diam menyuruh orang menjalankan perkakas rahasia, hal itu pasti akan menjatuhkan namaku!"
"Apakah suhu percaya?" ketua Hek Gak kaget bercampur marah.
Bok Sam-pi tertegun. Tetapi pada lain saat ia menjawab tanpa ragu-ragu. "Percaya saja. Kutahu apa yang dapat kaulakukan"." ia berhenti sejenak lau melanjutkan pula. "Karena itu hendak kupelintir dulu urat pergelangan tanganmu agar hatiku tenteram!"
Seketika berobahlah wajah ketua Hek Gak. Kakinya terhuyung mundur beberapa langkah. Maksudnya ia akan loncat keluar ruangan. Tetapi Siau-bun cepat menyentaknya, "Eh, jangan coba kabur, ya! Bok lo-cianpwe sepuluh kali lipat dari kepandaianmu. Dalam jarak seratus tombak, beliau masih dapat menangkapmu!"
Bok Sam-pi tokoh yang sudah limbung otaknya seperti disadarkan. Bentaknya murka, "Apa" Kau hendak lari?"
Berbareng itu ia ulurkan tangan mencengkeram.
Rencana Kongsun Bu-wi untuk melarikan diri dan mempersiapkan perkakas rahasia dalam istana itu menjadi berantakan. Selagi ia termangu, Bok Sam-pi sudah menamparnya. Sebagai murid ia tahu sampai di mana kesaktian gurunya itu. Tak berani ia menangkis melainkan mandah mengikuti gerak cengkeraman gurunya, mencelat ke hadapan Bok Sam-pi.
Gemuk sekalipun potongan tubuhnya, tetapi tangan Bok Sam-pi tangkas bukan kepalang. Secepat kilat ia sudah mendcengkeram pergelangan tangan Kongsun Bu-wi.
Ketua Hek Gak itu menumpahkan kemarahannya kepada Siau-bun, "Cu Siau-bun, ingatlah, lambat atau cepat ada suatu hari tulang belulangmu tentu akan kuremukkan!"
Cu Siau-bun hanya ganda tertawa, "Nanti saja kita bicara lagi apabila hari itu sudah tiba..."
Setelah itu ia berpaling kepada Ceng-ceng yang masih tercengang-cengang, "Nona Bok, marilah kita pergi!"
Ceng-ceng seperti orang dibangunkan dari mimpi, serta merta ia mengikuti di belakang Cu Siau-bun yang berjalan keluar. Sementara itu Bok Sam-pi tampak seperti orang yang limbung. Dengan masih mencekal lengan Kongsun Bu-wi, ia tak berkata sepatahpun juga. Ia juga tak sejenakpun melihat pada cucunya. Ia berjalan seperti orang kehilangan semangat.
Demikianlah kelima orang itu segera beriringan melintasi jalanan istana yang penuh liku-liku. Tok-ko Sing dan berpuluh-puluh pengawal baju hitam hanya mengawasi saja. Mereka tak berani bertindak apa-apa, karena tahu ketuanya sudah dalam penguasaan.
Tak lama kemudian tibalah mereka di luar pintu gerbang Hek Gak. Siau-bun berseru kepada Bok Sam-pi, "Bok Locianpwe, kini sudah berada di luar istana. Boleh suruh mereka pulang!"
"Hm, ya benar, kata-kata itu beralasan..." sahut Bok Sam-pi seperti membeo saja. Segera ia melepaskan cekalan dan menyuruh Kongsun Bu-wi pergi.
Tanpa disadari, Bok Sam-pi sudah dikuasai oleh Siau-bum. Ia menurut saja apa yang dikatakan nona itu.
Kongsun Bu-wi menghamburkan napas untuk melonggarkan dadanya yang sesak dengan kemarahan. Setelah melirik buas ke arah Thian-leng , Siaubun dan Ceng-ceng, tanpa berkata apa-apa ia segera ayunkan tubuhnya melesat pergi.
Setelah ketua Hek Gak itu lenyap, Siau-bun menghela napas lega. Ia segera keluarkan sebuah botol kecil. Ia mengambil sebutir pil berwarna putih seperti salju.
"Lo-cianpwe, silakan minum!" serunya.
Bok Sam-pi tersentak kaget, "Pil beracun?"
Dengan wajah bersungguh-sungguh, berkatalah Siau-bun, "Karena lo-cianpwe tak beruntung kalah dengan aku, janganlah menghiraukan lagi pil ini obat beracun atau bukan, tetapi makanlah saja!"
Bok Sam-pi mengangguk-angguk, "Benar, benar, kata-kata itu memang beralasan!" Menyambut pil, terus ditelannya.
Melihat itu Ceng-ceng mengucurkan air mata, ratapnya, "Apakah kau benar-benar hendak meracuni kakekku!
Sebenarnya kakek itu seorang baik. Adalah sejak menjadi Cong-houhwat dari Hek Gak, barulah ia berobah seperti orang limbung begitu!"
Siau-bun menjawab dengan ilmu menyusup suara. "Kesemuanya itu telah kuketahui. Pil itu bukan pil beracun, tetapi pil penenang urat syaraf. Mudah-mudahan ia akan mendapatkan kesadaran pikirannya lagi!"
"Silakan lo-cianpwe pulang kalau mau pulang, " kata Siau-bun sesaat kemudian.
"Pulang?" Bok Sam-pi gelagapan. Tiba-tiba ia duduk di tanah, ujarnya. "Aku hendak menunggu kematian di sini!"
Siau-bun tak dapat menahan gelinya, "Terserah kalau kau tahan menunggu di sini!"
Bok Sam-pi terbelalak, teriaknya, "Apakah bekerjanya racunmu itu perlahan-lahan?"
"Mungkin sekitar 10 hari baru terasa!"
"Sepuluh hari?" ?" Bok Sam-pi mengerutkan dahi.
"Jika kepandaianmu memang tinggi sekali, mungkin dua puluh sampai tiga puluh hari baru bisa bekerja. Atau mungkin juga seumur hidup takkan bekerja!"
Bok Sam-pi menghela napas, "Budak perempuan, kau sangat menyiksa diriku"."
Siau-bun ganda tertawa, "Menurut pendapatku, lebih baik cianpwe pulang ke dalam istana lagi tentu lebih leluasa."
Bok Sam-pi benar-benar seperti seekor ayam jago yang jinak! Dengan langkah berat dan menundukkan kepala ia melangkah kembali ke istana Hek Gak.
"Eh, mengapa adik Bun melepaskannya?" Thian-leng terheran-heran.
"Penyakit apa yang sebenarnya diderita itu dalam waktu yang singkat tak mungkin kuketahui. Yang kuberikan padanya tadi hanyalah pil biasa. Dapat tidaknya pil itu menyembuhkannya, aku atk berani memastikan. Sesudah minum pil itu memang seharusnya ia beristirahat beberapa hari barulah terasa khasiatnya. Maka kurasa lebih baik kulepaskan pulang saja!"
Selanjutnya Siau-bun menerangkan bahwa apabila pikiran jago tua itu sudah pulih kembali, tanpa harus diberi petunjuk, tentu akan menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya selama ini. "Dia tentu akan membuat perhitungan dengan Kongsun Bu-wi!" kata Siau-bun.
Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan nona itu. "Tetapi bagaimana dengan mutiara Ban-lian-liong-cu itu...?"
Siau-bun merogoh ke dalam baju mengeluarkan kotak berisi mutiara itu. "Apakah kau ingin melihat mutiara ini lagi!"
katanya. "Memang aku tak percaya kalau adik rela menyerahkan mutiara itu kepadanya. Kupercaya mutiara itu tentu masih berada dalam tempatnya, bukan?"
"Tentu, tetapi...." Siau-bun tertawa, "sungguh berbahaya sekali pertunjukan tadi. Sekali mereka mengetahui permainanku itu, kita tentu akan menjalani hkuman ngeri!"
"Tetapi memang benar-benar aku tak tahu permainan apa yang adik pertunjukkan tadi?"
Siau-bun tertawa geli, "Sebenarnya jika kuterangkan tentu tak ada hal yang patut diherankan! Selain mustika Ban-lian-liong-cu itu, aku masih mempunyai sebutir mutiara yang serupa besar dan warnanya dengan Ban-lian-liong-cu itu. Pun kudapatnya juga berbarengan waktunya, hanya saja mutiara itu tak berharga sama sekali. Hanya bedanya yang asli itu licin dan yang palsu suram. Mustika yang licin kuberi minyak dan kupasang pada rambutku. Sekalipun Bok lo-cianpwe itu sakti tetapi dia sudah dibikin limbung pikirannya oleh ketua Hek Gak, sehingga tak dapat memperhatikan palsu tidaknya mustika itu.
Pada saat kuterima Ban-lian-liong-cu dari tangan Bok lo-cianpwe, segera kutukar dengan mustika yang palsu. Maka sekali pijat saja hancurlah mutiara itu.....!"
Kini mengertilah Thian-leng mengapa Siau-bun dapat memijat hancur mutiara yang dikira Ban-lian-liong-cu. Makin dalam rasa kagum dan hormat Thian-leng terhadap si nona yang dalam saat-saat menghadapi bencana maut dapat bersikap tenang sekali.
Siau-bun lalu berkata kepada Bok Ceng-ceng, "Adik Ceng, tahukah kau mengapa kubawa kau keluar dari istana Hek Gak.?"
Ceng-ceng mengangguk, "Kini aku tahu apa sebab kakek tak menghiraukan diriku bahkan ada kala begitu membenci dan ingin membunuhku. Setelah terjadi peristiwa ini, ketua Hek Gak tentu akan benci padaku, kemungkinan besar tentu akan membereskan diriku..." habis bekata dara itu segera berlutut di depan Siau-bun dan Thian-leng, ujarnya,
"Terimalah hormat dan terima kasihku atas pertolongan tuan berdua!"
Siau-bun buru-buru menilakan bangun, "Jangan terlalu banyak peradatan, aku tak berani menerima kehormatan yang demikian besar."
Sejenak dara itu melirik pada Thian-leng lalu menanyakan apakah hubungan antara Siau-bun dengan Thian-leng.
Tiba-tiba Siau-bun mencopot kain kepalanya dan tersenyum, "Adik Ceng, lihatlah, aku juga seorang anak perempuan seperti engkau!"
Ceng-ceng memekik kaget dan terlongong-longong.
"Kita berjumpa dalam keadaan menderita kesusahan, berarti kita ini mempunyai jodoh, " Siau-bun tertawa ramah,
"sekiranya adik tak menolak, aku ingin mengangkat saudara denganmu, entah".."
"Kalau taci tak menolak diriku, sungguh besar sekali rejekiku!" Bok Ceng-ceng berteriak menukas.
Begitulah maka kedua nona itu segera melakukan upacara sederhana mengangkat saudara. Siau-bun lebih tua setahun dari Ceng-ceng. Selanjutnya kedua nona itu berbahasa taci dan adik. Thian-leng memberi selamat kepada mereka.
Perkenalan singkat yang berakhir dengan angkat saudara itu ternyata memuaskan kedua nona itu. Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Tak putus-putusnya mereka saling menuturkan tentang riwayat hidupnya selama ini. Begitu uplek mereka bercakap-cakap sehingga Thian-leng seolah-olah tak diacuhkan"
"Adik Ceng, apakah kau suka melakukan sebuah hal untukku?" tanya Siau-bun.
Ceng-ceng terbeliak, "Mengapa taci begitu sungkan terhadapku" Silakan taci mengatakan, tentu akan kulakukan sekalipun harus menerjang lautan api!"
Siau-bun tertawa, "Ah, urusan itu tak begitu menyeramkan! Aku hanya minta tolong supaya kau mengantarkan suratku kepada seorang keluarga yang sudah berpisah selama dua tahun!"
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya Ceng-ceng.
Siau-bun mendekat dan membisiki telinga adik angkatnya, Ceng-ceng mengangguk.
"Sampai berjumpa," ia mengambil selamat berpisah dan tanpa mengacuhkan Thian-leng, terus saja ia melangkah pergi.
Thian-leng tercengang, tetapi ia tak mau bertanya.
Siau-bun melirik tertawa, "Aku mempunyai rencana supaya ia pergi. Kau takkan menyalahkan aku bukan?"
"Ah, mengapa adik Bun mengatkan begitu. Aku selalu mengagumi apa yang kau lakukan, apalagi aku tak mempunyai hubungan apa-apa dengan nona itu!"
"Fui, jangan berlagak. Masakah kau dapat melupakannya?" olok Siau-bun.
Diam-diam Thian-leng menghela napas. Ah, wanita, wanita. Masakah baru saja berkenalan sudah dicemburui. Kalau seorang nona yang berpandangan luas seperti Siau-bun masih dihinggapi perasaan begitu, apalagi nona-nona lainnya.
"Ah, aku hanya berolok-olok saja, mengapa kau begitu sungguh-sungguh?" Siau-bun tertawa.
Nona itu segera mengangsurkan sebuah benda. Ketika Thian-leng menyambuti, ia mengerang tertahan.
Kiranya Giok-ti-tho atau peta Telaga Zamrud! Sebelum masuk ke dalam istana Hek Gak, peta itu diserahkan kepada Siau-bun. Maksudnya agar si nona jangan turut masuk ke dlam istana. Apabila dirinya sampai tertimpa musibah. peta itu tetap berada di tangan Siau-bun. Tetapi ternyata si nona nekat ikut.
Kini badai telah berlalu. Mereka selamat dan peta pun kembali......
ooo0000oooo Lenyap tanpa bekas
"Terserah kau, " kata Siau-bun ketika menjawab pertanyaan Thian-leng tentang tempat tujuan yang hendak mereka tempuh. Tetapi sekalipun mulut mengatakan begitu, nona itu sudah mendahului ayunkan langkah.
Agak bingung rupanya Siau-bun mengenai tempat yang hendak dituju. Ada tempat yang ia merasa tak leluasa kalau mengajak pemuda itu. Ada pula tempat yang ia sendiri tak suka pergi. Dan yang paling menjadi pemikirannya ialah tentang Lu Bu-song. Bagaimanakah ia nanti menghadapi dara itu apabila bersua kembali.....
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang merintih.
"Tidakkah adik Bun mendengar suara rintihan...?"
"Eh, kau ini bagaimana. Dengan ilmu Melihat langit-mendengar bumi, bukan saja mendengar jelas, akupun bahkan dapat melihatnya. Itu kan hanya seorang yang kebetulan lewat di sini merasa tak enak badan maka beristirahat di bawah pohon. Mengapa kita ribut-ribut?" sahut Siau-bun.
Thian-leng tersentak diam. Tetapi baru beberapa tombak jauhnya, ia melihat seorang tua bersandar pada sebatang pohon. Orang itu mendekap perutnya sambil merintih-rintih. Tanpa menghiraukan bagaimana reaksi Siau-bun lagi, terus saja Thian-leng menghampiri tempat orang itu.
"Apakah lo-cianpwe sakit" Perlukah kubantu?" tanyanya.
Orang tua itu terus merintih-rintih. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti tak kuat lagi menyandar pada pohon. Buru-buru Thian-leng memapahnya, "Lo-cianpwe, maukah kuajak ke kota terdekat mencari tabib?"
Tiba-tiba orang tua itu meronta dari pegangan si anak muda, "Tak usah., penyakitku ini memang sering kumat, sebentar tentu sembuh!"
Thian-leng mengerutkan dahi. Ia merasa kasihan melihat seorang tua berpenyakitan berjalan seorang diri di malam buta. Tetapi ia terpaksa tak dapat memikirkan diri orang tua itu lebih lanjut, karena Siau-bun tak mengacuhkan sama sekali dan tetap berjalan terus. Sebentar saja nona itu sudah belasan tombak jauhnya.
"Terima kasih.... atas?"perhatian ..tuan".. kepadaku" si orang tua ini!" kata si orang tua dengan suara lemah.
Thian-leng hanya dapat menghela napas dan segera meninggalkan orang tua itu. Ternyata Siau-bun lambat sekali jalannya, seperti sengaja hendak menunggunya. Begitu si anak muda tiba, segera ia cebikan bibir dan menertawakannya, "Uh, ternyata kau seorang manusia yang berhati mulia!"
Tak tahu Thian-leng bagaimana harus menanggapi ucapan si nona. Artinya seperti orang memuji tetapi nadanya sinis sekali.
Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Angin terasa dingin. Sesaat kemudian Thian-leng menanyakan apakah si nona tidak dingin.
"Badan memang dingin, tetapi hatiku terasa hangat," Siau-bun memberi sebuah lirikan kepada pemuda itu. Gelora darah muda telah mendorong si nona menghampiri Thian-leng dan terus menjatuhkan diri di dada. Thian-leng terpaksa menyanggapi. Mereka berjalan sambil berpelukan.
Fajar hampir tiba. Tiba-tiba Thian-leng menjerit kaget, "Celaka!"
"Mengapa?" Siau-bun tersentak kaget.
Wajah Thian-leng tampak pucat, suaranya terbata-bata, "Pe".ta?" i".itu..." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya, karena sibuk menggerayangi seluruh pakaiannya.
"Tenang," Siau-bun kerutkan dahi," katakanlah perlahan-lahan."
Masih Thian-leng banting-banting kaki, "Peta Telaga zamrut...."
"Apa" bagaimana dengan peta itu" Bukankah telah kau simpan dalam bajumu?" Siau-bun gugup.
Thian-leng menghela napas, "Benar, tetapi sekarang tak ada lagi!"
"Apa" Peta itu hilang?" Siau-bun melonjak kaget.
"Tentu jatuh, mari kita balik mencarinya," seru Thian-leng. Demikianlah keduanya segera balik menyusur sepanjang jalan yang dilaluinya tadi. Kalau thian-leng mati-matian mengamat-amati setiap benda yang tampak menggeletak di jalan, tidak demikian dengan Siau-bun. Nona itu diam-diam sudah membatin. Ia tahu bahwa pencariannya itu tentu akan sia-sia. Tak mungkin sebuah peta pusaka yang sudah disimpan sedemikian hati-hati, dapat jatuh di jalan. Dan andaikata benar-benar jatuh, tentulah juga sudah ditiup angin.
Kurang lebih dua jam lamanya mereka mencari, tetapi tetap tidak berhasil menemukan apa-apa. Saking jengkelnya Thian-leng hendak nekad mati. Siau-bun juga tak kurang gelisahnya. Kalau peta pusaka itu sampai jatuh di tangan orang Hek Gak atau Sin-bu Te-kun, hebatlah akibatnya.
Tiba-tiba Siau-bun mebanting-banting kaki, "Celaka, peta itu tidak jatuh tetapi terang dicuri orang!"
"HA" Dicuri orang?" Thian-leng tercengang. "Sejak keluar dari istana Hek Gak, kita toh belum berjumpa dengan siapa-siapa. Apalagi peta itu kusimpan hati-hati di dalam bajuku, bagaimana bisa dicuri orang..." ia berhenti seketika, seolah-olah seperti orang tersadar, "Adik Bun maksudkan si orang tua berpenyakitan itu tadi?"
"Siapa lagi kecuali dia!" kata Siau-bun dengan nada berat.
(bersambung ke jilid 15)
Jilid 15 . Thian-leng pucat. Kalau benar dicuri orang tua itu tentulah sukar mencarinya. Ia tak ingat lagi bagaimana potongan mukanya, kecuali hanya jenggot orang tua itu sudah putih, umurnya sekitar tujuh puluhan tahun, berpakaian seperti orang pertapaan. Tetapi siapa nama dan tempat tinggalnya, sama sekali tak diketahuinya. Jaraknya sudah berselang tiga jam, kemanakah harus mencarinya"
Makin terang pikiran Thian-leng menyoroti diri orang tua itu lebih jauh. Jelas orang itu seorang kaum persilatan yang sengaja berpura-pura sakit. Ia kena dipancing mentah-mentah.
Celaka! Jika orang itu kaki tangan Sin-bu Te-kun atau golongan jahat, bukankah ia berdosa terhadap It-bi siang-jin pencipta peta itu" Makin merenung makin kalaplah Thian-leng...
Siau-bun menghela napas, "Sekarang bukan saatnya mengeluh. Yang penting kita harus berdaya!"
"Bagaimana caranya?" Thian-leng menukas.
"Kalau begitu apakah kau hendak mati saja?" Siau-bun menyentil tajam, "putus asa berarti membunuh semua daya upaya!"
Kata-kata itu membuat Thian-leng tergerak. Ia membenarkan si nona. Sekalipun bunuh diri, urusan itu tetap tak tertolong. Akhirnya ia menanyakan pendapat si nona.
Kata Siau-bun, "Bahwa It-bi siangjin telah meninggal di gunung Thay-heng-san dengan menyembunyikan kitab pusakanya, telah diketahui lama oleh orang persilatan!"
Thian-leng mengiyakan, "Benar, tetapi Thay-heng-san demikian luasnya, apakah kita harus menggali tiap jengkal tanahnya! Kalau tidak sesukar itu, tentulah kitab itu tak berharga!"
"Apakah tujuan orang yang mencuri peta itu?" tiba-tiba Siau-bun menyeletuk.
"Sudah tentu hendak meyakinkan isinya!"
"Kalau begitu, dia tentu akan menuju ke gunung Thay-heng-san".."
"Oh". " Thian-leng mengerang.
"Masih ingatkah kau akan wajahnya?"
"Hanya samar-samar, tetapi kalau berjumpa muka tentu dapat mengenalnya!"
Siau-bun menghela napas, "Sekalipun tipis harapannya, tetapi tiada jalan lain!"
"Jadi adik Bun Juga....."
"Sudah tentu aku pergi, ayo berangkat sekarang juga!"
oo000oo Liu-ke-cip merupakan sebuah kota kecil di kaki gunung Thay-heng-san. Perdagangan kota itu cukup ramai karena merupakan pusat lalu lintas keluar masuk gunung Thay-heng-san.
Sepasang muda-mudi tampak berjalan perlahan-lahan memasuki Liu-ke-cip. Kecakapan si pemuda dan kecantikan si pemudi memikat orang-orang yang berada di jalan. Tetapi mereka tak menghiraukan perhatian orang-orang. Si pemuda tampak murung wajahnya, si pemudi bersikap diam. Mata si pemuda tak henti-hentinya berkeliaran memandang orang-orang yang ditemuinya. Tetapi selalu kecewa.
Tiba-tiba seorang pengemis tua lewat di samping pemuda itu dan berhenti. Ketika pengemis itu melihat thong-pay (lencana tembaga) yang terpampang pada dada si pemuda, ia terbeliak kaget. Setelah memandang ke sekeliling, barulah pengemis itu mendekati si pemuda, bisiknya, "Bolehkan aku bicara sebentar pada tuan?"
Gerak-gerik pengemis itu memang telah diperhatikan si pemuda. Si pemudipun serentak gunakan ilmu menyusup sura bertanya kepada kawannya, "Apakah orang ini?"
"Bukan," pemuda itu gelengkan kepala. Kemudian ia minta si pengemis menjelaskan semuanya.
Pengemis tua tampak gelisah, ujarnya, "Tetapi di sini kurang leluasa bicara, sebaiknya......"
Sejenak pemuda itu melirik ke arah si pemudi, lalu anggukkan kepala, "Baiklah silakan menunjukkan tempatnya."
Pengemis itu bersikap menghormat sekali. Ia segera berjalan lebih dahulu. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di luar kota dan masuk ke dalam sebuah biara tua. Karena terlantar, biara itu menjadi pusat tempat tinggal kaum pengemis.
Arca-arca dalam biara itu jungkir balik berserakan tak teratur. Sarang galagasi tampak di mana-mana, tetapi pada meja sembahyang terdapat sebuah lampu yang masih memancarkan cahaya redup.
"Katakanlah apa maksud bapak ini," kata si pemuda.
"Terlebih dahulu hamba mohon tanya nama tuan?" jawab si pengemis dengan nada menghormat.
"Aku Bu-beng-jin, " sahut si pemuda yang bukan lain ialah Thian-leng.
Pengemis itu terbeliak, "Lencana Kiu-pang tong pay yang Bu-beng siauhiap bawa itu, entah berasal dari mana?"
"Jadi bapak membawa kami kemari ini, untuk urusan itu?" tegur Thian-leng.
Lencana yang tergantung pada lehernya itu adalah pemberian Thiat-ik-sin-kay ( pengemis sakti berbulu besi ) Auyang Beng. dia tak menaruh perhatian kepada benda itu, maka tanpa disadari digantungnya lencana itu pada lehernya.
Sama sekali tak disangkanya bahwa benda itu telah menimbulkan perhatian pengemis tua itu.
Seketika wajah pengemis tua itu berobah gelap, serunya, "Ya, harap siauhiap...."
"Lencana ini pemberian seorang cianpwe. Jika bapak suka pada benda ini, ambil ah..."
"Tidak.. .tidak!" pengemis tua itu tersipu-sipu menolak. " Hamba tak berani mengambilnya".. tetapi sukalah siauhiap memberitahukan nama cianpwe itu?"
"Orang she Auyang bernama Beng, Orang persilatan memberi gelar nama Thiat-ik-sin-kay. Kenalkah bapak padanya?"
Tiba-tiba pengemis itu bercucuran air mata dan serentak jatuhkan diri berlutut seraya berseru nyaring, "Murid Kay-bun yang menjabat ketua Letong, yakni Lau Gik-siu menghaturkan hormat kepada ketua!"
"Apa".... jangan berolok-olok!" Thian-leng berseru kaget.
Pengemis tua itu tak menghiraukan jeritan si anak muda dan berseru dengan nada bengis, "Ketua telah datang, mengapa kalian tak lekas-lekas memberi hormat!"
Terdengarlah suara pekik bergemuruh dan berpuluh-puluh pengmis tampak muncul dari balik ruang, mereka serempak berlutut di hadapan Thian-leng dan berseru, "Kami sekalian menghaturkan hormat kepada ketua!"
Thian-leng bingung tak keruan. Tak tahu ia bagaimana harus menghadapi puluhan pengemis itu. Ia banting-banting kaki.
"Ah, wajiblah kuberi selamat padamu, ih, ternyata kau juga seorang ketua!"Siau-bun tertawa ringan.
"Hai, mengapa kau juga memperolok diriku?"?"." Thian-leng makin kelabakan. Tiba-tiba ia ingat akan kecerdikan si nona. Ditatapnya nona itu dengan pandangan minta bantuan, "Bagaimana nih, " ia tertawa masam.
"Kan baik?" Siau-bun tertawa
Melihat si nona tetap berolok, segera Thian-leng menarik Lau Gik-siu bangun, bentaknya, "Apa-apaan ini" Lekas terangkan yang jelas, atau aku segera tinggalkan tempat ini!"
Lau Gik-siu kembali menjura dengan hormat sekali, ujarnya."Apakah ketua tahu di mana berjumpa dengan Thiat-ik-sin-kay?"
"Tolol, aku bukan ketua kalian. Aku tak peduli siapa itu Thiat-ik sin-kay!"
"Tetapi sekarang kau adalah ketua kami!" Lau Gik-siu berkata dengan yakin.
"Mengapa?"
"Karena kau sudah menerima lencana Kiu-pang thong-pay dari kakek guru kami!"
"Kiu-pang-thong-pay Thiat-ik Sin-kay, aku tak peduli! Jika karena gara-gara lencana ini, sekarang aku kembalikan saja kepadamu!" Thian-leng terus menarik lencana dari lehernya, diberikan kepada Lau Gik-siu.
Tiba-tiba Siau-bun menepuk bahu Thian-leng,"Tak dapatkah kau menimbang lagi?"
Thian-leng menarik pulang tangannya. Dilihatnya nona itu memberinya sebuah lirikan yang memperbesar semangat.
Rupanya nona itu tak menentang atas dijadikannya Thian-leng sebagai ketua partai pengemis.
Akhirnya ia geleng-geleng kepala dan menghela napas. Gerutunya seorang diri, "Mengapa nasibku penuh dnegan peristiwa-peristiwa aneh...."
"Eh, apa kau hendak membairkan mereka berlutut terus?" tegur Siau-bun.
Memang saat itu berpuluh-puluh pengemis masih berlutut di hadapannya. Terpaksa ia menyuruh mereka bangkit.
Merekapun menurut dan berdiri di samping.
"Murid telah menerima berita rahasia yang dibawa burung. Kakek guru Thiat-ik-sin-kay menyuruh kami beramai-ramai menunggu di sini untuk menyambut kedatangan ketua baru. Ternyata hal itu benar." kata Lau Gik-siu.
"Apakah kedudukan Thiat-ik-sin-kay dalam partai kay-pang?" buru-buru Thian-leng minta keterangan.
"Ahli waris dari angkatan yang dulu, tetapi kini menjadi kakek guru kaum kami!"
"Lalu kemana ketuamu itu?"
"Beberapa hari yang lalu telah menigngal dunia di bawah lambaian Panji Tengkorak Darah!"
"Panji Tengkorak Darah?"
"Ya, atau berarti mati di tangan Hun-tiong Sin-mo!"
"Kaum jembel tersebar di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu besar, masakah tak dapat memeriksa berita yang palsu dan benar?"
Lau Gik-siu tertegun, "Maksud nona...?"
"Panji Tengkorak darah itu palsu!" Siau-bun berseru pula dengan tegas.
"Palsu?"
"Ya. Hanya bikinan dari orang Sin-bu-kiong belaka. Untuk mengelabui mata dunia persilatan. Dia memfitnah Hun-tiong Sin-mo agar dibenci oleh dunia. Kemudian dapatlah ia mengeduk keuntungan dari kekeruhan itu. Memang dia telah mainkan sebuah tipu muslihat yang luar biasa pintarnya!"
Seluruh mata pengemis ditumpahkan ke arah Thian-leng. Seolah-olah mereka hendak meminta tanggapan Thianleng.
"Ya, memang benar!" tanpa ragu-ragu Thian-leng serentak memberi pernyataan.
Terdengar gemuruh sorak para pengemis, "Mohon ketua suka memberi keputusan untuk membalaskan sakit hati mendiang pangcu!"
"Tentu". " tiba-tiba ia tertegun sejenak, "atas kepercayaan Thiat-ik-sin-kay dan dukungan saudara-saudara sekalian, aku akan mencurahkan segenap tenaga untuk membalaskan sakit hati almarhum ketua kalian!"
Terdengar tempik sorak gegap gempita. Dari pernyataan itu jelaslah bahwa Thian-leng sudah menerima pengangkatannya sebagai ketua Kaypang. Ternyata pengemis-pengemis
yang berkumpul di situ adalah ketua-ketua daerah dari berbagai tempat. Atas petunjuk Thiat-ik-sin-kay, mereka berbondong-bondong menuju ke gunung Thay-heng-san menunggu kedatangan ketua baru.
Tetapi perhitungan Thiat-ik-sin-kay itu meleset sedikit. Dia memperhitungkan di kala
Thian-leng tiba di gunung Thay-heng-san itu tentu sudah memperoleh kitab pusaka dan harta karun. Siapa tahu ternyata peta itu telah hilang dan kedatangan Thian-leng hanyalah hendak menyelidiki jejak si orang tua yang telah mencuri peta.
Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, "Anggota Kay-pang tersebar luas di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu luas sekali. Oleh karena kini kau telah menjadi ketua mereka, mengapa tak memberitahukan kehilangan peta itu kepada mereka dan memerintahkan mereka mencarinya?"
Thian-leng anggap pernyataan nona itu tepat. Segera ia menarik Lau Gik-siu ke samping dan membisikinya perlahan-lahan. Wajah Lau Gik-siu berobah membesi. Pengemis tua itu mengangguk-angguk, "Murid segera akan menyebar pengumuman ke seluruh daerah. Begitu ada berita tentu akan segera memberi laporan pada pangcu.... Tetapi saat ini pangcu hendak pergi ke.....?"
"Aku hendak menjelajahi gunung ini. Urusan partai yang penting-penting untuk sementara ini kaulah yang mengurusi." sahut Thian-leng.
Serta-meta Lau Gik-siu mengiyakan. Ia berlutut di hadapan Thian-leng di kuti oleh berpuluh-puluh pimpinan cabang kay-pang di daerah-daerah. "Memujikan pangcu selalu diberkahi keselamatan dalam perjalanan!"
Thian-leng tak tahu harus bertindak bagaimana menyambut penghormatan itu. Akhirnya ia mnyuruh mereka bangun, kemudian mengajak Siau-bun meninggalkan biara itu. Mereka hendak buru-buru mencapai puncak gunung untuk menikmati pemandangan matahari terbit.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat ke dalam hutan. Gerakannya gesit sekali, pasti seorang tokoh persilatan.
"Adik Bun, tolong gunakan ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi."
" Hanya karena seorang ya-heng-jin ( orang persilatan yang berjalan tengah malam) lantas menggunakan ilmu tersebut, sungguh keterlaluan."
Tetapi kata-katanya itu terputus oleh terdengarnya jeritan ngeri menyayat hati yang berasal dari arah hutan. Itulah jerit pembunuhan!
Cepat sekali Thian-leng segera ajak Siau-bun. Bahkan ia sudah mendahului loncat menuju ke dalam hutan. Begitu tiba, hidungnya mencium bau darah"..
"Jangan kesusu! Hati-hati terhadap perangkap orang!" Siau-bun memberi peringatan dengan ilmu menyusup suara.
Thian-leng mencabut pedang dan berjalan dengan hati-hati. Apa yang dilihatnya membuat bulu romanya berdiri".
Di tengah hutan situ tampak belasan mayat berserakan mengerikan. Hampir Thian-leng muntah karena tak tahan baunya. Mayat-mayat itu tak utuh, tangan, kaki, lengan, paha, badan dan kepala mereka hancur lebur, ada yang terpisah badan. Usus dan otak berhamburan keluar. Ya, pendeknya mayat-mayat itu seperti dicincang-cincang sehingga tak dapat dikenali lagi.
Tiba-tiba Thian-leng melihat ada seorang yang sekalipun tubuhnya sudah tak keruan tapi dadanya masih berkembang kempis tanda masih bernapas. Buru-buru dihampirinya orang itu. Seorang muda yang cakap. Keadaannya payah sekali, tetapi ia masih dapat paksakan dirinya brseru, "Di muka puncak Co-gan-hong"..!" Habis mengucapkan, orang itu pingsan tak ingat diri lagi.
Thian-leng menempelkan tangannya ke perut orang itu. Ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk menolong. Tak berapa lama orang itupun dapat menghela napas lagi.
"Apa maksudmu tadi?" tegur Thian-leng.
Dengan susah payah, orang itu berkata, "Pertempuran besar segera terjadi. Ketua kami di?" kurung oleh beberapa orang tak dikenal?""lekas".lekas bantu!"
Thian-leng tercengang. Ia berpaling kepada Siau-bun. Nona itupun tampak mengerutkan dahi. Thian-leng menyalurkan tenaga dalamnya lagi kepada orang itu. Setelah orang itu sadar lagi, buru-buru ditanyanya, "Siapakah mayat-mayat ini. Siapa yang membunuhnya?"
"Orang-orang partaiku...."
"Apa partai perguruanmu itu?" tanya Thian-leng.
Orang itu sudah tak kuat lagi, namun hatinya keras sekali. Dengan seluruh sisa tenaganya, ia membuka mata dan memandang Thian-leng.
Thian-leng tak tahu apakah orang itu dapat melihatnya jelas, tetapi yang jelas ia mendengar mulut orang itu mengucapkan beberapa patah kata lemah, " Tiam...jong....."
"Tiam-jong?" tiba-tiba Siau-bun melonjak kaget. Demikian pula Thian-lengpun tak kurang kagetnya. Teringat ia akan si Jenggot Perak ketua Thiat-hiat-bun yang mengundang sekalian orang gagah datang ke gunung Tiam-jong-san.
Teringat juga betapa ketua Sin-bu-kiong telah menyatakan bahwa dalam tiga hari nanti ia akan ngeluruk ke Tiam-jong-san.
Dan saat ini anak buah Tiam-jong-pay telah dibunuh musuh yang tak dikenal dan ketua merekapun telah dikurung oleh orang! Thian-leng meminta penjelasan lagi, tapi ternyata orang itu sudah putus nyawanya......
Wajah Siau-bun berobah pucat sekali. Jelas bahwa ia sangat dipengaruhi oleh kejadian saat itu. Buru-buru ia mengajak Thian-leng, "Ayo, cepat ke Co-gan-hong!"
"Di manakah letak puncak itu?" tanya Thian-leng.
"Masakah kau lupa akan ilmuku Melihat-langit-mendengar-bumi".." dan tanpa menunggu jawaban si anak muda lagi, Siau-bun terus lari mendahului.
Tampaknya Siau-bun paham sekali akan jalan di gunung itu. Kira-kira berlari satu li, tampak sebuah puncak gunung yang menjulang tinggi ke langit.
"Tentu puncak Co-gan-hong, " kata Siau-bun.
Thian-leng melihat puncak itu penuh dengan lereng dan tebing yang curam, tetapi tak tampak barang seorangpun di sana. Siau-bun membaringkan diri memasang telinga.
"Bagaimana?" tanya Thian-leng.
Siau-bun mengerutkan dahi, "Aneh, seluas limapuluhan tombak tak terdengar suara orang!"
Tetapi ucapannya itu terputus oleh suara tertawa nyaring bernada sinis. Siau-bun dan Thian-leng tersentak kaget.
Orang itu muncul tanpa suara sama sekali. Dan serentak dengan tertawa itu, orangnya pun terdengar berseru mengejek, "Oho, jangan-jangan ilmumu Melihat langit mendengar bumi tak mempan lagi!"
Kedua muda mudi itu cepat memutar ke arah datangnya suara. Ah, seorang lelaki bertubuh kurus pendek dalam pakaian merah yang berlapis mantel biru. Dia memelihara jenggot kambing.
Sin-bu Te-kun! Thian-leng segera meraba pedangnya. Ia siap sedia menghadapi momok itu. Namun Sin-bu Te-kun hanya ganda tertawa, "Buyung, apakah hal yang paling dihormati kaum persilatan?"
Jago Kelana 5 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Sepercik Darah 2
Thian-leng mendorong jendela dan loncat keluar. Dengan sebuah loncatan yang indah ia hinggap di atas penglari rumah. Rumah penginapan seolah-olah terbungkus oleh kegelapan, sunyi dan senyap.
"Apakah kau melihat sesuatu?" tanya Siau-bun ketika menyusul loncat ke atas rumah. Thian-leng hanya menggeleng.
Mungkin waktu berpakaian tadi orang sudah menyingkir pergi. Apa tujuan orang itu" Mengapa ia terus melarikan diri"
Siau-bun pun heran. Ia masih mengenakan pakaian laki-laki, wajahnya yang pucat kini tampak kemerah-merahan.
Thian-leng melirik padanya dan tertawa.
"Kau menertawakan aku?" dengus Siau-bun.
"Jangan salah paham, engkoh Cu...eh.....nona Cu....."
Siau-bun menggumam, "Bagaimanapun pandanganmu terhadap diriku, tetapi kita telah...... tidur bersama. Dengan masih memanggil nona, apakah tidak terlalu.....," ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena terisak-isak.
Terpaksa Thian-leng menghiburnya, "Adik Bun, ya..., akulah .... yang salah....."
"Ah, sudahlah. Yang sudah biarlah lampau...." sahut Siau-bun rawan.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah tertawa mengejek. Thian-leng segera mengenali suara itu seperti suara orang yang mengganggu tadi. Berbareng dengan itu tampak sesosok tubuh melesat keluar dari sudut rumah penginapan dan terus melarikan diri.
"Hai, siapa itu berani mengganggu tak berani berhadapan muka?" Thian-leng berseru seraya loncat mengejar.
"Biarkan saja, jangan kena tertipu"." Siau-bun mencegah. Tetapi Thian-leng yang sudah dirangsang kemarahan sudah terlanjur melambung ke atas wuwungan. Terpaksa Siau-bun pun mengikuti.
Orang itu hebat sekali. Betapapaun Thian-leng lari sekencang-kencangnya, tetapi tetap ketinggalan berpuluh tombak jauhnya. Bisa melihat orangnya tapi tak bisa mendekati.
Mereka sudah berada di luar kota. Orang itu berlari menyusur sepanjang pantai sungai Hongho. Air bengawan yang mengkilap gelap di malam pekat, makin menambah keseraman suasana.
"Pernahkah kau melihat orang itu?" tanya Siau-bun. Thian-leng menggeleng.
Tiba-tiba Siau-bun loncat menghadang di muka, "Sudahlah , tak usah mengejar lagi.!"
"Mengapa?" Thian-leng terkejut.
"Kita masih mempunyai urusan. Kalau kau tak tahu siapa orang itu, perlu apa mati-matian mengejarnya"
Kemungkinan besar ia hendak gunakan tipu untuk memancing kita!"
Thian-leng menghentikan langkahnya. Ia pikir alasan Siau-bun itu benar. Ya, perlu apa ia harus mengejar orang yang tak dikenal itu"
"Baiklah, mari kita balik ke pondok lagi." katanya. Tetapi pada saat keduanya memutar tubuh, tiba-tiba terdengar orang itu menggunakan ilmu menyusup suara berseru kepada Thian-leng.
"Bu-beng-jin, bukankah kau hendak mencari tahu asal-usulmu?"
Sudah tentu Thian-leng tersentak kaget dan cepat-cepat memutar tubuh lagi. Orang itu melanjutkan kata-katanya dengan ilmu menyusup suara, "Ketahuilah bahwa aku bermaksud baik. Aku tak punya dendam apa-apa kepadamu, jangan kau menguatirkan diriku. Jika ingin tahu asal-usul dirimu, bebaskanlah dirimu dari libatan kawanmu itu dan ikutlah aku ke dalam sarangku. Jika tak mau, maaf aku tak dapat menunggumu lebih lama lagi...."
Hati Thian-leng berdebar keras. Hal yang paling menjadi pemikirannya ialah tentang asal-usul dirinya. Apalagi orang itu memang tak bermusuhahn padanya. Ditilik dari caranya menyalakan lilin dari kejauhan dan ilmu lari cepatnya, jelask kalau seorang sakti. Mungkin orang itu memang sungguh-sungguh bermaksud baik hendak memberi petunjuk padanya!
Seketika tergeraklah hati Thian-leng. Ia hendak menurut seruan orang itu. tetapi pada lain saat, timbul ah suatu prasangka. Nada suara orang itu memang tak pernah didenagrnya, tetapi mengapa dia tahu tentang riwayat dirinya"
Mengapa orang itu begitu menaruh perhatian padanya" Kaki Thian-leng yang sedianya di ayun, kembali terhenti pula.
"Lekas, mengapa kau ini?" melihat Thian-leng berhenti, Siau-bun menegur heran.
Thian-leng termangu-mangu tak dapat mengambil keputusan. Tiba-tiba orang tak dikenal itu kembali menggunakan ilmu menyusup suara, "Kau mau ikut atau tidak terserah! Tetapi sekarang aku tak dapat menunggu lagi!"
Belum Thian-leng sempat menimbang, tiba-tiba Siau-bun sudah menepuk bahunya, "Hai, mengapa kau ini?"
Thian-leng gelagapan. Dalam gugupnya ia segera mengambil keputusan. Segera ia mengambil keluar peta Telaga zamrud dan diberikan kepada si nona, "Harap adik Bun pulang dulu ke pondok, aku hendak menemui seorang sahabat dulu!"
"Kau kenal dengan orang itu?" tanya Siau-bun.
"Tidak, aku tak kenal!"
"Mengapa kau hendak menemuinya" Apakah kau tak kuatir terjebak tipunya?"
Thian-leng menggeleng,"Tidak, aku harus pergi, harap adik Bun jangan kuatir!" tanpa menunggu sahutan si nona lagi, Thian-leng pun segera loncat mengejar orang aneh tadi.
Siau-bun heran atas tindakan pemuda itu. Setelah menyimpan peta ke dalam baju, iapun segera menyusul.
Bayangan hitam itu tetap berada pada jarak dua puluhan tombak. Melihat Thian-leng menyusul, ia tertawa gelak-gelak dan melanjutkan larinya lagi. Betapapun Thian-leng hendak menyusulnya tetap tak mampu.
Tiba di puncak bukit yang sunyi, tiba-tiba orang aneh itu berhenti. Sekeliling bukit itu penuh ditumbuhi huatan pohon Yang dan Siong yang rindang.
Secepat Thian-leng dan Siau-bun tiba, kejut mereka bukan kepalang ketika melihat wajah orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar, mata sebesar kelereng, dahinya menonjol, wajahnya mengerikan.
Punggungnya menyelip sebatang kipas besi. Begitu melihat Thian-leng, berserulah orang itu dengan bengis, "Hai, telah ukatkan supaya jangan membawa kawanmu, mengapa?".."
"Sebutkan namamu dulu! Asal kau menerangkan maksudmu mengi=undang dia kemari, tentu aku segera
mengundurkan diri sendiri, kalau tidak"." Siau-bun cepat-cepat menyambuti. Sejenak ia melirik ke arah Thian-leng, ia berkata pula, "Kami berdua datang bersama pergi berdua! Betapapun hendak gunakan tipu muslihat memikatnya, tak akan kubiarkan dia termakan tipumu"."
"Ya, aku belum meminta keterangan nama cianpwe?" sambung Thian-leng.
Orang aneh itu tertawa seram, "Aku mempunyai she ganda Tok-ko dan nama Sing. Atas perintah tuanku, aku disuruh mengundang Be-beng tayhiap untuk diberitahukan sebuah rahasia penting!"
Thian-leng tertegun, "O, kiranya cianpwe mempunyai majikan?"
Ia anggap orang itu mempunyai kepandaian sakti dan umurnyapun sudah enam puluhan tahun, masakah masih berhamba pada orang. Kalau orang itu saja sudah dapat digolongkan sebagai tokoh kelas satu, bagaimana dengan majikannya!
"Boleh aku bertanya siapa tuanmu itu?" seru Siau-bun.
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak," Tuanku juga mempunyai she ganda Kong-sun dan nama gnda Bu-wi."
Siau-bun mendengus, "Ah, apakah kepala dari Hek-gak (Neraka hitam)?"
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, "Hek-gak sudah melenyapkan diri dari dunia persilatan selama enam tujuh tahun.
Sungguh tak nyana nona bisa mengetahuinya dengan jelas!"
Siau-bun memandang Thian-leng, "Jangan kena jebakannya, ayo kita pergi saja!"
Kembali Thian-leng ragu. Ia tak tahu siapa yang disebut Hek-gak itu, tetapi dari ucapan Siau-bun yang begitu serius, tentu Hek-gak itu sebuah tempat yang misterius. Tetapi ia tertarik dengan undangan Tok-ko Sing tadi"..
"Eh, apakah kau masih berkeras tak mau mendengar kata-kataku?" Siau-bun banting-banting kaki.
Baru Thian-leng hendak menyahut, Tok-ko Sing sudah mendahului tertawa sinis, "Apakah nona marah karena aku mengganggu kesenangan kalian tadi sehingga nona melarang dia memenuhi undanganku?"
"Ngaco!" bentak Siau-bun. Wajahnya tersipu-sipu merah. Tak mau ia menghalanagi Thian-leng lagi.
"Karena sudah datang, maka harap cianpwe suka membawa aku ke sana!" akhirnya Thian-leng pun mengambil keputusan.
Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak, "Aha, ternyata kau tak mengecewakan sebagai seorang pendekar muda. Pandangan tuanku itu maha tajam dalam menilai pribadi seorang ksatria"."
Habis berkata orang aneh itupun segera ayun langkah menuju ke dalam hutan.
Thian-leng pun tak ragu-ragu lagi segera mengikutinya. Siau-bun mendengus, tetapi iapun terpaksa mengikuti juga.......
ooooo000000000oooo
Neraka Hitam Tak lama mereka sudah menyusup berpuluh-puluh tombak ke dalam hutan. Saat itu hari
makin malam. Hutan Siong dan jati makin pekat. Sedemikian gelap sehingga tak dapat melihat jari sendiri. Namun karena lwekang Thian-leng dan Siau-bun cukup tinggi, maka dapatlah mereka menembus kegelapan itu. Sejauh beberapa tombak mereka masih dapat melihat jelas. Sekalipun demikian tak urung kedua muda-mudi itu tercekat juga hatinya.
Sambil menarik tangan Thian-leng, berkatalah Siau-bun dengan ilmu menyusup suara, "Mungkin kita masuk dalam jebakan. Masih keburu jika kita balik keluar!"
"Putusanku telah bulat. Biarpun masuk ke dalam sarang harimau telaga naga, aku tetap tak gentar," sahut Thianleng, "sekiranya adik Bun kuatir, baiklah pulang lebih dahulu!"
"Apakah kau anggap aku tega membiarkan kau seorang diri menempuh bahaya?" gumam Siau-bun.
Sederhana kedengarannya ucapan itu, tetapi penuh dengan kasih sayang yang mesra. Mau tak mau tergeraklah nurani Thian-leng.
"Apa katanya kepadamu sehingga kau begitu terpikat?" Siau-bun setengah menyesali.
"Aku tak dapat melepaskan kesempatan untuk mencari tahu asal-usul diriku?".!"
"O, jadi dia hendak memberitahukan tentang asal-usulmu?" tanya SIau-bun pula. Thian-leng mengiyakan.
Siau-bun geleng-geleng kepala, "Kau termakan tipunya. Tahukah kau tempat apa Neraka Hitam ini?"
Thian-leng mengangkat bahu.
"Pemilik dari Neraka Hitam ini ialah Kongsun Bu-wi, seorang durjana besar pada enam tujuh puluh tahun yang lalu.
Dia membunuh jiwa manusia seperti membunuh lalat. Tak ada kejahatan yang tak dilakukan".."
"Tetapi mengapa ia menyembuhkan diri?" tanya Thian-leng.
"Karena waktu itu ia dikalahkan Hun-tiong Sin-mo dan sejak itu kekuasaan dunia persilatan pindah ke tangan Hun-tiong Sin-mo. Kongsun Bu-wi beruntung masih dapat melarikan diri!"
Thian-leng terkejut. Ia tak pernah mendengar tentang peristiwa itu. Sejenak kemudian ia bertanya mengapa Siau-bun tahu tentang hal itu.
Pertanyaan itu membuat Siau-bun tertegun tetapi cepat-cepat ia menyahut, " Sudah tentu aku hanya mendengar cerita ibuku saja!"
"Kalau begitu ibumu itu tentulah seorang pendekar wanita yang ternama?" tiba-tiba Thian-leng mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang membuat Siau-bun tertegun.
"Apakah kau benar-benar tak mau merobah keputusan?" cepat-cepat nona itu mengalihkan pembicaraan.
Thian-leng menghela napas, "Hal yang paling menyiksa batin orang ialah kalau tak tahu asal-usul dirinya. Itulah sebabnya maka aku menggunakan nama Bu-beng-jin. Setiap kesempatan mencari tahu hal itu sudah tentu takkan kulepaskan!"
Siau-bun menghela napas, "Soalnya, bukan saja kau tak berhasil mencapai tujuanmu pun bahkan malah terjebak dalam bahaya. Kau tak pernah mendengar betapa keganasan momok Kongsun Bu-wi! Dia lebih ganas daripada Sin-bu Te-kun!"
Thian-leng batuk-batuk, "Selama Hun-tiong Sin-mo masih menguasai dunia persilatan, mengapa Kongsun Bu-wi berani berkutik lagi?"
Siau-bun tertawa getir, "Ilmu kepandaian itu sukar diukur dalamnya. Tiada ujung tiada pangkal kecuali It Bi siangjin seorang, mungkin tiada seorang tokoh lain yang berani membanggakan diri sebagai tokoh lain yang berani membanggakan diri sebagai tokoh tanpa tandingan?"." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula, "Rupanya dalam persembunyiannya selama enam puluh tahun itu, Kongsun Bu-wi telah meyakinkan suatu ilmu kesaktian untuk menebus kekalahannya yang dahulu. Dikuatirkan tak lama lagi dunia persialtan tentu akan timbul suatu huru-hara hebat!"
Thian-leng anggap ulasan nona itu mendekati kebenaran. Ia tak memberi komentar suatu apa. Dalam pada itu, mereka sudah melintasi berpuluh tombak lagi, namun hutan itu tampaknya tiada berujung.
"Apakah Bu-beng tayhiap tetap hendak bersama dengan sahabatmu itu?" tiba-tiba Tok-ko Sing berhenti dan memutar tubuh.
Sebelum Thian-leng sempat menyahut, Siau-bun sudah mendahului lagi, "Apakah majikanmu tak mau menerima kedatanganku?"
Tok-mo Sing batuk-batuk, "Ini"sekalipun aku tak berani memastikan, tetapi biasanya perintah beliau teramat keras.
Karena beliau hanya perintahkan aku mengundang Bu-beng tayhiap, maka tak beranilah aku membawa nona!"
Siau-bun tertawa datar, "Begini sajalah. Aku tak kan menyusahkan kau. Nanti apabila berhadapan dengan majikanmu, akan kukatakan bahwa aku datang sendiri bukan karena ikut kau!"
Tok-ko Sing memandang Siau-bun dengan tajam. Tiba-tiba ia tertawa sinis, "Baiklah, harap nona jangan sesalkan aku!"
"Terserah bagaimana kau hendak mengaturnya," Siau-bun balas tertawa tak acuh. Kata-katanya juga mengandung berbagai tafsiran.
Segera Tok-ko Sing ayunkan tangannya ke atas. Terdengarlah letupan keras disertai hamburan sinar berkilat di udara. Rupanya utusan Neraka Hitam itu melepaskan api pertandaan.
Beberapa jenak kemudian, terdengarlah tiga kali genderang bertalu. Semula perlahan tetapi lama kelamaan gemanya berkumandang keras.......
Tok-ko Sing tertawa, "Pintu gerbang tengah dalam Neraka Hitam sudah dibuka, menunggu kedatangan tetamu!"
Thian-leng dan Siau-bun segera mengikuti orang itu melintasi gerombol pohon yang lebar. Tiba-tiba mata kedua muda-mudi itu tertumbuk pada selarik sinar penerangan yang melingkar-lingkar dalam warna hijau kebiru-biruan.
Ketika mengawasi dengan seksama, terkejutlah kedua anak muda itu. Kiranya lingkaran sinar hijau itu tergantung di atas puncak sebuah gedung dan berbentuk dua buah huruf " Hek Gak".
Pada kedua samping tembok pintu, tergantung berpuluh mayat manusia yang perutnya pecah, usus berhamburan keluar dan darah bercucuran!
Thian-leng memekik tertahan dan berhenti.
"Ha, ha, masakah Bu-beng tayhiap takut?" Tok-ko Sing tertawa gelak-gelak.
Thian-leng mendengus geram, "Sejak lahir, aku tak kenal dengan kata-kata takut!"
"Tetapi mengapa Bu-beng tayhiap berhenti?" Tok-ko Sing tertawa mengejek.
"Kuanggap majikanmu kelewat ganas".." sahut Thian-leng. Menunjuk pada deretan mayat pada tembok, ia berkata,"
Orang-orang itu sudah dibunuh begitu kejam, mengapa masih dipaku pada tembok! Kepada manusia yang sedemikian kejamnya, aku akan pikir-pikir dulu untuk menjumpainya atau tidak!"
Kembali Tok-ko Sing tertawa keras. Sedemikian keras, hingga daun-daun di sekeliling bergoyang-goyang. Dan sampai lama sekali baru ia berhenti tertawa.
"Bu-beng tayhiap, kau salah tafsir!" serunya.
"Salah tafsir?" Thian-leng terbeliak, "Apakah mereka bukan dibunuh oleh orang Neraka Hitam" Apakah pembunuhan itu tiada sangkut pautnya dengan majikanmu?"
Tok-ko Sing tertawa,"Sayang indera penglihatanmu itu kurang tajam. Cobalah periksa yang jelas mayat-mayat itu lagi!"
Selama Thian-leng mengadakan percakapan dengan Tok-ko Sing, Siau-bun hanya diam saja. Ia hanya
memperhatikan suasana sekeliling tempat itu.
Thian-leng segera menghampiri ke tembok. Ketika dekat, ia menjerit kaget! Ah" kiranya mayat-mayat itu bukan manusia melainkan hanya orang-orangan yang terbuat dari lilin. Adalah karena pembuatannya sedemikian pandai sehingga menyerupai benar dengan manusia.
Diam-diam Thian-leng malu sendiri. Namun masih ia tak mengerti mengapa Kongsun Bu-wi membuat orang-orangan lilin seperti itu. Apakah untuk menambah keseraman nerakanya atau ada lain maksud lagi"
Rupanya Tok-ko Sing mengetahui isi hatinya, ia tertawa, "Bu-beng tayhiap tentu heran melihat orang-orangan itu bukan?"
Thian-leng mengangguk, "Ya, memang aneh!"
Tok-ko Sing tertawa, "Orang-orangan lilin itu ialah sasaran yang hendak dituju majikanku pada saat ia keluar ke dunia persilatan lagi?"" Sambil menunjuk pada mayat lilin yang tergantung di tengah-tengah, ia berkata pula. "Itulah lambang Hun-tiong Sin-mo dan itu Song-bun Kui-mo. Sebenarnya masih ada dua orang-orangan lilin lagi, tetapi karena orangnya sudah mati, maka tak dipasang lagi"."
Memang Thian-leng melihat bahwa ada dua tempat yang kosong. Diam-diam ia menduga bahwa yang diambil itu tentulah orang-orangan lilin lambang Oh-se Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo. Karena kedua tokoh itu sudah meninggal.
Kembali Tok-ko Sing menunjuk ke arah kanan, "Tahukah Bu-beng tayhiap siapa orang-orangan itu?"
Thian-leng memperhatikan bahwa yang ditunjuk oleh Tok-ko Sing itu berjumlah sembilan buah orang-orangan lilin terdiri dari lambang paderi, imam, rahib dan ada orang biasa.
"Apakah mereka bukan melambangkan tokoh sembilan partai?" Thian-leng balas menanya.
"Benar!" sahut Tok-ko Sing. Kemudian ia menunjuk ke arah kiri pada empat lima puluh mayat orang-orangan lilin.
"Dan yang sana itu lebih banyak lagi jumlahnya, tahukah Bu-beng tayhiap siapa mereka itu?"
"Aku masih hijau, tak mengerti banyak!" Thian-leng agak mengkal menyahut.
"Mereka itu juga tokoh-tokoh yang terkenal, antara lain ketua Thiat-hiat-bun Jenggot Perak Lu Liang-ong, ketua Bu-siong-hwe yang bernama Hun-bin Bu-siong, ketua perkumpulan agama Pek-tok-kau yang bernama Ha-Lui, ketua perkumpulan pengemis Kay-pang"."
Siau-bun hanya ganda tersenyum saja. Sepatahpun ia tak berkata. Tetapi lama-kelamaan
ia tak tahan lagi. Tukasnya dengan tawar, "Sudahlah, tak usah cerita terus. Memang cita-cita majikanmu besar sekali, tetapi sayang ia melalaikan sebuah hal!"
"Melalaikan hal apa?" tertariklah perhatian Tok-ko Sing.
"Dia tak kenal dirinya sendiri!" Siau-bun tertawa dingin.
Tok-ko Sing tertegun, ujarnya, "Hal ini tak dapat kukatakan. Coba saja buktikan nanti!"
Diam-diam Thian-leng merenung dalam-dalam. Dari pameran mayat-mayat lilin itu dapatlah diketahui sampai di mana ambisi Kongsun Bu-wi. Jelas orang itu hendak menimbulkan pemberontakan dalam dunia persilatan.
"Sekarang terserah pada Bu-beng tayhiap apakah tetap hendak masuk ke dalam Neraka Hitam ataukah mundur".."
kata Tok-ko Sing.
Sambil melirik kepada Siau-bun, berkatalah Thian-leng dengan gagahnya, "Dengan pameran serupa itu masakah dapat menggertak aku. Silakan membawa kami terus!"
Tok-ko Sing tertawa sinis. Segera ia memberi isyarat tangan mempersilakan kedua muda-mudi itu.
Thian-leng dan Siau-bun terkejut. Serentak dengan gerakan Tok-ko Sing itu maka terdengarlah suara berdrak-derak dari pintu gerbang besi yang terpentang. Thian-leng sejenak termangu tetapi pada lain saat ia segera melangkah masuk di kuti oleh Siau-bun.
Dua deret rombongan penjaga yang mengenakan pakaian ringkas dan senjata lengkap tampak menjaga di sepanjang jalan masuk. Deretan terakhir terdiri dari dua orang bujang perempuan dalam pakaian sederhana. Kedua bujang itu menghadang di tengah dan menyambut kedatanagn sang tetamu, "Selamat datang Bu-beng tayhiap!"
Tetapi kedua bujang itu segera tersirap kaget demi melihat Siau-bun. Heran mereka mengapa Thian-leng membawa kawan.
Tok-ko Sing segera memberi keterangan, "Walaupun berpakaian lelaki, tetapi tamu kita ini seorang nona. Sambutlah mereka berdua ke dalam ruang tamu......!" Kemudian ia menyatakan hendak menemui Kongsun Bu-wi.
Ruangan dalam gedung itu tinggi-tinggi, tetapi semuanya dicat hitam sehingga seram tampaknya. Kedua bujang itu membawa Thian-leng dan Siau-bun masuk.
Selama melalui jalan kecil dan tikungan-tikungan gang, diam-diam Thian-leng mencatat dalam hati. Kira-kira empat puluh tombak jauhnya setelah melintasi dua buah halaman, tibalah mereka di ruang tamu. Sebuah ruangan yang luas, penuh dengan kamar-kamar tetapi sepi-sepi semua. Juga kamar-kamar itu dicat warna hitam, tanpa lampu sama sekali. Tetapi ketika Thian-leng dan Siau-bun dipersilakan masuk ke dalam kamar sebelah utara, kedua bujang itupun menyulut juga sebuah pelita.
Setelah menghidangkan dua cawan the wangi, kedua bujang itupun meninggalkan ruangan. Begitu mereka pergi, Thian-leng cepat-cepat mengunci pintu. Ia periksa seluruh ruangan itu dengan teliti. Di situ terdapat tiga buah kamar.
Ruangan dihias indah, tetapi serba sederhana. Sekilas pandang seperti tak ada sesuatu alat rahasia.
"Adik Bun, jangan minum teh itu!" habis memeriksa ruangan, Thian-leng terkejut melihat Siau-bun tengah mengangkat cawan arak.
"Mengapa?" Siau-bun tertawa datar.
"Kita berada dalam tempat berbahaya. Segala tindak tanduk kita harus hati-hati. Kalau teh itu diberi obat, bukankah...."
"Teh ini tiada racunnya dan ternyata teh dari Liong-keng yang termasyhur. Ayo, kita nikmati saja!" Siau-bun tertawa.
"Bagaimana kau memastikan mereka tak menyampuri obat?"
"Sebabnya sederhana saja. Pertama, gedung ini berdinding sangat tinggi, berpintu besi dan penuh alat rahasia. Sekali kau sudah masuk tak nanti kau mampu keluar lagi. Kedua, pemilik Neraka Hitam ini sudah enam-tujuh puluh tahun menyembunyikan diri. Begitu hendak muncul lagi sudah tentu harus menjaga gengsi. Tak nanti mau merendahkan diri membunuh kita dengan racun. Masih banyak lagi alasan-alasannya, tetapi pada pokoknya untuk sementara ini tentu takkan bertindak curang...."
Thian-leng anggap analisa nona itu tepat, namun ia tetap merasa cemas. Ia masih sangsi akan keterangan Tok-ko Sing bahwa pemilik Neraka Hitam itu akan memberi keterangan tentang asal-usul dirinya. Mengapa Kongsun Bu-wi begitu menaruh perhatian besar kepadanya" Apakah maksudnya.......
"Tolol, apa yang kau pikirkan....?" tiba-tiba Siau-bun menegurnya, " bagaimana hasil penyelidikanmu tadi?"
Thian-leng mengatakan bahwa tampaknya ruang itu tiada diberi barang suatu perkakas rahasia.
"Gila kau!" Siau-bun tertawa hambar, "ruangan ini justru penuh dengan perkakas rahasia.!"
"Kalau begitu kita ini berada dalam jebakan mereka?" Thian-leng terkejut.
"Boleh dikata begitulah....." Siau-bun tersenyum, ujarnya pula, "Tetapi telah kukatakan tadi, dalam waktu singkat ini mereka takkan mencelakai kita. Maka untuk sementara ini kita aman, tak usah kuatir apa-apa!"
"Bagaimana dengan kata-kata Tok-ko Sing tadi?" tanya Thian-leng.
"Bukankah aku pernah menganjurkan kau supaya jangan ikut padanya?" sahut Siau-bun hambar.
"Jadi kau sudah mengetahui kalau dia hendak mengelabui?" Thian-leng terbeliak kaget.
Si nona hanya mengangguk lesu.
Thian-leng tersipu-sipu menundukkan kepala dengan penuh sesal. Tiba-tiba Siau-bun tertawa hambar, ia menjentik dengan sebuah jari memadamkan pelita. Seketika ruangan itupun gelap gulita.
"Ha, apakah adik Bun mendengar sesuatu?" Thian-leng bertanya kaget.
"Tidak!"
"Habis mengapa memadamkan pelita?"
Segera Siau-bun menggunakan ilmu mnyusup suara, "Kita toh dapat melihat dlam kegelapan, jadi tak perlu dengan penerangan macam kunang-kunang begitu. Siapa tahu diam-diam ada orang tengah mengawasi gerak-gerik kita.
Dalam kegelapan tentu sukarlah dia melakukan pengintaiannya!"
Beberapa kali nona itu telah mengemukakan analisa yang dapat diterima akal. Diam-diam Thian-leng kagum. Mereka segera duduk bersamadi.
Tak berapa lama tiba-tiba Siau-bun berseru dengan ilmu menyusup suara. "Ada orang datang, lekas...!" nona itu menutup kata-katanya dengan sebuah gerakan loncat ke atas tiang penglari. Tanpa banyak bicara Thian-leng pun segera mengikuti.
Benar juga, sesaat kemudian terdengar langkah kaki seorang berjalan dengan perlahan-lahan.
"Aneh, apakah di luar dugaanku?" Siau-bun menggumam heran.
"Apa yang kau duga?"
"Kuduga pemilik gedung ini tentu akan datang sendiri. Dengan menawarkan keterangan tentang asal-usulmu, dia akan minta peta Telaga zamrud. Jika kau menolak, dia akan menggunakan keerasan. Peta direbut dan kau akan dibunuh untuk menghilangkan jejak.."
"Apakah dia sudah tahu peta itu ada padaku?" Thian-leng tersirap kaget.
"Kalau tidak masakah dia begitu baik mengundangmu kemari?"
"Kalau begitu soal asal-usul diriku itu".?"
"Hal itu memang berliku-liku, sayang kau mudah tertipu!" tukas Siau-bun.
Thian-leng menghela napas penyesalan. Langkah kaki itu makin dekat tapi makin perlahan.
"Apa yang kau maksud dengan di luar dugaan tadi?" Thian-leng bertanya pula.
"Langkah kaki seperlahan itu menunjukkan bahwa orang berjalan dengan penuh hati-hati. Mungkin takut diketahui orang. Apakah di dalam Neraka hitam ini telah kemasukan orang lagi?"
Mendengar itu Thian-leng makin bingung. Saat itu langkah kaki sudah berada di luar pintu, menyusul terdengar suara ketukan pintu perlahan-lahan dan orang berseru lirih, "Bu-beng tayhiap"..!"
Thian-leng memandang Siau-bun, bagaimana adik Bun, kita bukakan pintu tidak?"
Siau-bun merenung sejenak, lalu mengatakan, "Bukalah pintu."
Dengan sebuah gerakan seperti kucing, Thian-leng loncat turun dan membukan palang pintu. Siau-bun menyiapkan senjata rahasia tui-hong-kiong. Juga Thian-leng telah siap dengan pukulan Lui-hwe-ciang.
Tetapi apa yang muncul hampir membuat si anak muda menjerit kaget. ternyata hanya seoarang dara baju hijau.
Wajahnya memancarkan seri kecemasan.
"Nona ini"..?"
"Apakah kau Bu-beng tayhiap?" tukas dara itu dengan berbisik.
Baru Thian-leng mengiyakan. Siau-bun sudah berseru supaya menyuruh dara itu masuk dan segera menutup pintu lagi. ternyata Siau-bun pun sudah loncat turun di belakang Thian-leng.
"Mungkin kau ini nona Cu yang bersama dengan Bu-beng tayhiap?" tanya si dara itu setelah masuk.
"Kau ini sebagai apa di dalam Neraka Hitam" Mengapa tengah malam datang kemari" Mengapa kau tahu kami berdua berada di sini?"
"Di Neraka Hitam ini kedudukanku cukup tinggi. Namanya saja aku ini majikan dari Hong-kiong (istana burung Hong), tetapi sebenarnya tak lebih dari seorang tawanan".kecuali pada saat berada di samping ayahku!"
Ucapan itu membuat Thian-leng dan Siau-bun bingung karena tak mengerti apa maksudnya.
"Katkan apa maksud kedatangnmu ini?" seru Siau-bun.
"Hendak mophon bantuan tuan berdua agar menolong kakekku!" sahut si dara.
"Asal kami dapat tentu dengan senang hati membantu nona, " sahut Thian-leng serempak.
Dara baju hijau itu tertegun, "Kakekku itu tidak dipenjarakan karena dia".. dia bukan saja Cong-hou-hwat (kepala penjaga) Neraka Hitam, juga merupakan guru dari Kongsun Bu-wi"..!"
"Astaga!" Thian-leng mengeluh kaget. Ia memperhatikan lagi wajah nona itu, tetapi nyata kalau nona itu bukan seorang gila. tetapi mengapa ucapannya begitu aneh"
Kakek nona itu menjabat kedudukan yang sedemikian tinggi, perlu apa ia minta pertolongan pada orang asing" Juga nona itu sendiri menjabat sebagai kepala Hong-kiong. Mengapa dia begitu ketakutan dan minta tolong pada lain orang" Secerdas-cerdasnya otak Siau-bun, kali ini benar-beanr ia tak mengerti.
"Maukah nona menceritakan yang jelas" " segera Siau-bun meminta.
Nona itu menyadari bahwa keterangannya tadi memang membingungkan, maka iapun segera memberi penjelasan.
"Ya, ya, memang harus kuceritakan dari awal. Lima tahun yang lalu kakekku itu datang kemari atas undangan kepala Neraka Hitam. Sebelum itu kakek tinggal di gunung Kiu-kong"."
"Kakekmu itu bernama?"?" tukas Siau-bun.
"Kami keluarga she Bok. Kakekku itu bernama Bok Sam-pi, bergelar Ang-tim Cong-khek"."
"Bok Sam-pi".!" Siau-bun berseru kaget sekali.
(bersambung jilid 13)
Jilid 13 . Bok Sam-pi walaupun tak begitu terkenal, tetapi juga seorang tokoh sakti. Ilmu kepandaiannya sukar diukur. Memang jarang orang persilatan yang tahu dia, tetapi orang yang kenal padanya tentu mengindahkan. Malah ada yang menganggap bahwa Bok Sam-pi itu tokoh kedua setelah It Bi siangjin!
Tetapi Bok Sam-pi itu juga lebih senang mengasingkan diri. Itulah sebabnya maka angkatan muda jarang yang tahu namanya. Tetapi rupanya Siau-bun yang masih muda itu tahu banyak sekali tentang seluk-beluk dunia persilatan.
"Nama nona?"." tiba-tiba Thian-leng menyeletuk.
"Bok Ceng-ceng?"" sahut si dara perlahan. Kemudian ia mengulangi lagi permintaannya tadi, "Apakah tuan berdua suka menolong kakekku?"
Siau-bun tertawa getir, "Kepandaian kakek nona ini sukar dicari tandingannya. Bukankah dia menjadi guru dari Kongsun Bu-wi" Bagaimana kami dapat menolongnya".?" ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, "Apalagi kami sendiripun terjebak kemari, bagaimana dapat memberi pertolongan pada kakek nona?"
"Jadi tuan berdua tak mau membantu kesusahanku?" kata nona itu dengan nada terisak.
"Harap nona bercerita yang jelas. Asal kami dapat melakukan, tentu akan berusaha sekuat tenaga! Apa yang telah terjadi dengan kakek nona?"
Baru Thian-leng bertanya begitu, tiba-tiba Siau-bun menukasnya, "Celaka, kali ini kepala Neraka yang datang, lekas?"!" ia suruh Bok Ceng-ceng bersembunyi. Ceng-ceng gugup sekali. Cepat ia menyusup ke bawah kolong ranjang.
Sesaat kemudian terdengar derap kaki riuh. Paling tidak tentu ada lima orang yang datang. Siau-bun menggunakan ilmu menyusup suara supaya Thian-leng bertindak menurut isyarat matanya. Jangan bertindak sekehendak sendiri.
"Masih begini sore mengapa kalian sudah sama tidur?" segera terdengar suara orang berkata-kata bercampur tawa.
Nadanya berat, mengiang keras di telinga.
Thian-leng pun tertawa seraya membuka palang pintu. Serombongan lima orang melangkah masuk. Pelopornya seorang lelaki bongkok, kaki pincang, tangan kutung sebelah. Jenggotnya putih mengkilap, wajahnya penuh keriput.
Umurnya ditaksir tentu sudah seratusan tahun.
Rombongan pengiringanya, kecuali Tok-ko Sing masih ada empat orang yang mengenakan pakaian seragam. Tok-ko Sing segera melangkah maju, memperkenalkan orang cacat itu kepada Thian-leng, "Inilah pemimpin kami.......!"
Thian-leng tersipu-sipu memberi hormat, "Kongsun cianpwe?""
Ketua Hek-gak itu tertawa, "Bu-beng tayhiap benar-benar tak bernama kosong. Seorang berbakat yang hebat dan berwibawa"."
Tetapi wajah ketua Hek-gak itu cepat berobah kurang senang ketika melihat Siau-bun. Sebaliknya Siau-bun acuh tak acuh.
"Sekiranya penyambutan kami kurang memuaskan, jangan Bu beng tayhiap ambil di hati," kata ketua Hek Gak pula.
Thian-leng menyatakan terima kasih atas kebaikan tuan rumah hendak memberitahukan asal-usul dirinya.
"Ah, adalah karena kebetulan bertemu dengan seorang kawan lama yang tahu jelas tentang riwayat tayhiap, maka"."
ketua Hek Gak tiba-tiba tak melanjutkan ucapannya.
"Mohon Gak-cu (kepala neraka) sudi memberitahukan. Untuk itu takkan kulupakan budi Gak-cu seumur hidup,"
Thian-leng mendesaknya.
Kongsun Bu-wi mengangguk, "Sudah tentu, hanya saja....." ia berhenti sejenak lalu menyambung pula, "Sebelum menceritakan riwayat tayhiap, bolehkah aku bertanya dulu tentang suatu hal?"
Thian-leng mempersilakan. Tiba-tiba Siau-bun membisikinya dengan ilmu menyusup suara. "Tuh, dia sudah mulai....... ingat! Betapapun ia mendesakmu, janganlah sekali-kali kau mengaku!"
"Kudengar tayhiap memiliki sebuah peta Telaga zamrut, benarkah itu?" sesuai dengan dugaan Siau-bun, ketua Hek gak itu menyatakan maksudnya.
Hampir meledak dada Thian-leng. Namun ia tetap bersabar dan pura-pura tak mengerti. "Peta Telaga zamrut" Aku tak pernah mendengarnya apalagi memiliki!"
Ketua Hek Gak tetap tertawa, "Peta itu merupakan benda pusaka yang tak ternilai harganya. Tetapi pun bisa dianggap tak berharga sepeser juga!"
"Entah bagaimanakah wujud peta itu, harap cianpwe suka menjelaskan. Kelak apabila berkelana, aku tentu berusaha untuk mencarikan !" Thian-leng tetap membodoh.
"Eh, kabarnya kau ini seorang kstria yang suka berterus terang, tak pernah bohong! Tetapi mengapa kau tak mau berlaku jujur?"
Wajah Thian-leng tampak agak berubah, ujarnya, "Taruh kata aku memiliki peta itu, tetapi cara cianpwe hendak merebut dengan siasat serendah ini, tentu tak kuserahkan! Apalagi sesungguhnya peta itu tak berada padaku!"
Wajah Kongsun Bu-wi pun berobah juga, serunya, "Jadi kau tak mau mengaku?"
Tok-ko Sing tertawa sinis dan segera menyeletuk, "Walaupun tayhiap telah mendapatkan peta itu secara rahasia sekali, tetapi beritanya sudah tersiar luas di dunia persilatan. Kalau kau tak mau menyerahkan peta itu kepada ketua kami, dikuatirkan kau tak dapat mempertahankannya lebih lama dari tiga hari, apalagi...... tempat persembunyian pusaka itu telah diketahui di gunung Thay-heng-san! Seluruh wilayah gunung itu kini berada dalam pengawasan kami.
Jangan harap kau bisa menggali tempat itu. Maka daripada melakukan pekerjaan yang sia-sia, lebih baik kau tukarkan saja dengan keterangan tentang asal-usul dirimu!"
Saking marahnya, menggigil ah tubuh Thian-leng.
"Kalian tuan dan budak adalah manusia hina semua, tak malu sama sekali".."
Tetapi secepat itu Siau-bun segera berseru, "Jangan keburu nafsu dulu?" memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Jika kau memang memiliki peta, tak beda seperti secarik kertas tak berharga saja!"
Thian-leng melongo. Tak tahu ia mengapa mendadak Siau-bun mengatakan begitu.
Tok-ko Sing tertawa sinis. "Ha, benar! Kiranya nona Cu lebih mengerti persoalan".!" tiba-tiba ia memutar tubuh dan berbisik-bisik kepada Kongsun Bu-wi. Ketua Hek Gak itu mengangguk, "Baik, kita beri waktu dua jam lagi untuk mereka pikir-pikir. Nanti tengah malam aku akan kembali kesini lagi minta jawaban....."
Sebelum pergi ketua Hek Gak itu melontarkan pandangan tajam pada Thian-leng, serunya tandas, "Ingin mati atau hidup, terserah padamu!"
Baru ketua itu memutar tubuh hendak berlalu, tiba-tiba ia memutar diri lagi. Thian-leng dan Siau-bun terkejut.
Merekapun bersiap-siap. Tetapi ternyata ketua Hek Gak itu tak mengacuhkan kedua anak muda itu. Dengan suatu gerakan yang tak terduga, tiba-tiba ia mencengkeramkan tangannya ke arah kamar.
Cengkeraman itu dilakukan dari jauh dan tampaknya lemah-lemah saja, tetapi hasilnya sungguh tak terduga, Bok Ceng-ceng yang bersembunyi di kolong ranjang telah tertarik keluar!
Kejut Thian-leng tak kepalang. Cepat ia meraih pedangnya, tetapi Siau-bun menepuk bahunya perlahan-lahan, bisiknya dengan ilmu menyusup suara, "Sebelum terpaksa jangan bertindak gegabah!"
Thian-leng menurut. Ceng-ceng yang terseret keluar itu, bagaikan seekor ikan dalam jaring. Serta merta ia memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi.
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketua Hek Gak tertawa meloroh, "O, kukira ada penjahat masuk ke sini, ternyata kepala dari Hong-kiong"." tiba-tiba ia berganti nada bengis." Mengapa kau tidur di kamar tamu" Bukankah kau tak mempunyai kebiasaan jalan-jalan di waktu tidur?"
"Hamba". hamba".." tak dapat Ceng-ceng memberi jawaban yang tepat.
"Mana Si-hwat?" teriak Kongsun Bu-wi. Si-hwat adalah algojo.
Segera Tok-ko Sing tampil.
"Kepala Hong-kiong telah melanggar peraturan, bagaiman hukumannya?" seru Kongsun Bu-wi.
"Mati!" sahut Tok-ko Sing.
Kongsun Bu-wi kerutkan dahi, ujarnya, "Tetapi dia adalah cucu tunggal dari guruku, boleh diperingan hukumannya"."
melirik pada Ceng-ceng ketua Hek Gak itu berseru pula. "Potong kedua paha saja, jiwanya tetap diampuni!"
Tok-ko Sing mengiyakan terus hendak turun tangan. Ceng-ceng gemetar tubuhnya, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa, kecuali meramkan matanya yang basah dengan air mata.
Sambil mencabut sebatang badik, Tok-ko Sing membentak, "Kau diberi ampun tak dihukum mati, mengapa tak lekas menghaturkan terima kasih kepada Gak-cu!"
Segera Ceng-ceng memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi seraya menghaturkan terima kasih . Setelah itu ia rebah di tanah. Tok-ko Sing menyeringai senyum iblis, terus mengayunkan badiknya. Petunjukan ngeri tak dapat dibiarkan saja oleh Thian-leng. Ia tak tahan melihat kebuasan orang Neraka Hitam. Sekonyong-konyong ia menggembor keras dan melepaskan pukulan Lui-hwe-sin-ciang ke arah Tokko Sing. Seketika terhambur angin keras yang panas sekali.
Tok-ko Sing tak menyangka sama sekali. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam untuk menyambut. Das.. badik mencelat lepas ke udara, tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah?". Namun Thian-leng sendiri juga tak kurang terkejutnya. Ternyata tenaga dalam Tok-ko Sing hebat sekali, sehingga ia rasakan separoh tangannya yang digunakan memukul tadi kesemutan. Darah bergolak-golak.
Setelah dapat berdiri tegak, wajah Tok-ko Sing merah padam. Ditatapnya anak muda itu, "Bu-beng tayhiap mempunyai hubungan apa dengan kepala Hong-kiong itu?" serunya bengis.
"Tidak kenal mengenal, tidak ada sangkut pautnya!" Thian-leng menjawab lantang.
Tok-ko Sing tertawa sinis. "Kalau tiada sangkut pautnya mengapa tayhiap hendak menolongnya" Mengapa tayhiap menghalangi hukuman tadi?"
Sahut Thian-leng, "Aku tak tahan melihat cara-cara yang sekeji itu. Hanya karena sedikit kesalahan saja lantas mau memotong kaki seorang gadis"."
"O, kiranya tayhiap jatuh cinta padanya".."
"Ngaco!" bentak Thian-leng, "aku bukan pemuda beriman begitu rendah?"
"Apakah Gak-cu percaya omongannya itu?" tanpa mengacuhkan Thian-leng, Tok-ko Sing tiba-tiba menghadap ke arah Kongsun Bu-wi.
Wajah Kongsun Bu-wi mengerut gelap, serunya, "Bok Ceng-ceng telah mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar, ini jelas. Bagaimana hukumannya?"
"Mati digigit lima binatang berbisa," sahut Tok-ko Sing.
"Ini bukan urusan kecil, harus memberi tahu pada guru!" seru Kongsun Bu-wi. Lalu ia menyuruh keempat pengawalnya pergi ke istana Yang-sim-kiong. " Coba jenguklah apakah Cong-hou-hwat sudah tidur atau belum. Kasih tahu aku hendak bertemu padanya!"
Salah seorang pengawal segera melakukan perintah itu. Setelah itu Kongsun Bu-wi berkata pula kepada Ceng-ceng,
"Aku tak berani gegabah menghukummu nanti. Hal itu akan kurundingkan dengan guru dulu, kau tentu tak keberatan"."
Thian-leng mendengus lega, karena ia tahu guru Kongsun Bu-wi itu ialah kakek dari Ceng-ceng. Tidak demikian dengan Ceng-ceng. Wajah dara itu pucat pasi. Tiba-tiba ia merangkak ke hadapan Kongsun Bu-wi dan meratap,
"Mohon Gak-cu memberi hukuman potong kaki saja"."
Thian-leng kaget sekali mendengar permintaan nona itu.
"Mengingat kau ini cucu tunggal dari guru, maka hendak kuserahkan hukumanmu itu kepadanya," Kong sun Bu-wi tetap menolak. Ceng-ceng pun tetap meminta dengan ratap tangis.
"Neraka Hitam ternyata sesuai dengan kenyataannya...." Thian-leng tertawa dingin.
"Hek Gak mempunyai peraturan keras. Sekalipun aku sendiri yang bersalah juga harus dihukum. Adalah karena Ceng-cengmu itu cucu guruku, maka kuadakan pengecualian. Apakah itu ganjil?"
"Mungkin persoalannya bukan begitu sederhana saja!" seru Thian-leng.
Ceng-ceng telah ditutuk kedua bahunya. tetapi ia masih dapat bicara. Segera ia berseru kepada Thian-leng dan Siaubun, "Mohon kalian berdua menyelamatkan jiwaku dan kakekku"."
Bukan main marahnya Kongsun Bu-wi. Cepat-cepat ia tutuk rubuh dara itu. Belum Thian-leng hilang herannya, tiba-tiba pengawal yang disuruh tadi muncul lagi dan memberitahukan bahwa cong-hou-hwat menunggu di istana Yang-sim-kiong.
"Bawa dia!" Kongsun Bu-wi memberi perintah, dan Ceng-ceng segera diseret oleh dua pengawal.
"Bu-beng tayhiap silakan menimbang lagi. Nanti lewat tengah malam aku akan datang minta jawaban, saat itu.........." kepala Hek Gak menutup kata-katanya dengan tertawa dan melangkah keluar.
Thian-leng mencabut pedang dan hendak mengejarnya, tetapi dicegah Siau-bun, "Kita harus menahan diri. Paling tidak sampai nanti lewat tengah malam kita aman. Baiklah kita gunakan tempo ini untuk beunding!"
"Selain menghadapi dengan kekerasan, rasanya tiada jalan lain lagi," Thian-leng menggeram.
"Ah, barangkali akan terjadi perobahan, "Siau-bun mengerutkan kening, "tetapi gerak-gerik Bok Ceng-ceng itu sungguh mencurigakan"."
"Ya, mungkin Kongsun Bu-wi tak membawa gadis itu ke tempat kakeknya melainkan ke lain tempat untuk dihukum mati?""
"Bukan itu yang kucurigai, " sahut Siu-bun, " mungkin kau tak tahu riwayat kakek nona itu. Ang Tim Gong-khek selain sakti pun cerdik sekali. Masakah tokoh seperti dia sudi berhamba pada Kongsun Bu-wi" Dan mengapa ia biarkan cucunya disiksa orang" Kemudian yang lebih aneh lagi, mengapa Ceng-ceng begitu sungguh-sungguh minta kita menolong kakeknya. Tokoh semacam Ang Tim masakah perlu ditolong orang lain".?"
Thian-leng hanya termenung tak dapat memberi pandangan.
"Hanya ada satu cara untuk menyelidiki kesemuanya itu," Siau-bun tersenyum.
"Bagaimana?"
"Kita harus mengikuti mereka!"
Thian-leng tertegun, serunya, "Ah, mungkin tak mudah!"
"Mengapa tak mudah?"
"Di dalam Hek Gak ini tentu penuh dnegan perkakas rahasia. Setiap sudut, setiap lantai merupakan bahaya. Jika kita sampai terperosok dalam jebakan, bukankah akan celaka?"
"Mungkin benar begitu, tetapi sekurang-kurangnya mereka tentu takkan bergerak mencelakai kita sampai nanti lewat tengah malam!" bantah Siau-bun.
"Tetapi mereka sudah jauh. Jalanan di sini berkelok-kelok rumit sekali. Mungkin sukar untuk mengejar mereka...."
"Jangan kuatir," Siau-bun menghibur, "aku pernah mempelajari ilmu "melihat langit mendengarkan bumi". Meskipun belum sempurna, tetapi dalam jarak seratus tombak aku masih dapat menangkap derap kaki orang. Dengan menurutkan derap kaki itu, tentulah tak sukar mengikuti mereka!"
Thian-leng tersirap kaget. Ketika dalam penjara air di istana Sin-bu-kiong, Nyo Sam-koan pernah menceritakan tentang ilmu itu. Dan kemudian ia pernah menyaksikan ketua Thia-hiat-bun menggunakan ilmu itu. Mengapa Siaubun mengerti juga ilmu sakti itu" Sejak kenal memang ia tak banyak mengetahui tentang diri nona itu. Dan memang ia tak pernah menanyakan hal itu kepada Siau-bun. Kini tiba-tiba timbul ah kecurigaannya. Apakah nona itu mempunyai hubungan juga dengan partai Thia-hiat-bun"
"Eh, kau melamun apa?" Siau-bun tertawa melihat Thian-leng terlongong-longong.
Thian-leng gelagapan. "Eh, dari manakah adik Bun mempelajari ilmu itu?"
Siau-bun tersentak kaget, tetapi cepat-cepat ia alihkan pembicaraan, "Panjang sekali untuk menceritakannya.
Sekarang baik kita putuskan dulu. Hendak mengejar jejak mereka atau tidak?"
Thian-leng tak mau mendesak. Ia menyatakan supaya mengejar saja. Demikianlah kedua anak muda itu segera meninggalkan kamar. Di luar gelap sekali. Siau-bun sebentar-sebentar berhenti untuk pasang telinga. Setelah melintasi beberapa tikungan, tak berapa lama mereka harus melalui beberapa halaman luas. Thian-leng siap sedia.
Tetapi selama itu mereka tidak menjumpai barang seorangpun. Gedung itu seolah-olah tanpa penghuni.
Tiba-tiba Siau-bun berhenti, serunya, "Setelah melintasi tembok tinggi ini kita akan tiba di istana Yan-sin-kiong!"
Kedua anak muda itu loncat ke atas tembok. Mereka agak terkesima. Di sebelah luar tembok itu terdapat sebuah halaman luas penuh ditumbuhi pohon bunga. Tiga buah paseban besar terang-benderang dengan penerangan. Di ruang paseban itu penuh sesak orang. Tampak Kongsun Bu-wi di ringai oleh para pengawalnya tengah menyeret Bok Ceng-ceng. Rupanya mereka baru tiba.
"Kita sembunyi di luar jendela dalam kebun belakang agar dapat melihat dengan jelas," Siau-bun mengajak. Anehnya tempat yang dituju kedua anak muda itu tiada penjaganya sama sekali. Daun jendela besar sekali tertutup dengan kertas lilin yang sudah penuh lubang. Untung karena di sebelah luar gelap, maka jejak kedua anak muda itu tak sampai ketahuan oleh orang di dalam ruangan. Dari lubang kertas jendela, mereka mengintai apa yang sedang terjadi di dalam.
Di tengah ruang terdapat sebuah ranjang kayu yang besar sekali dan dicat merah. Di situ rebah seorang tua yang aneh. Kepalanya gundul kelimis. Wajahnya putih bersih, tetapi yang aneh ialah hidungnya. Hidungnya besar dan merah, penuh dengan tonjolan bintil. Dia hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis, shingga perutnya yang buncit tampak menonjol jelas. Di belakang ranjang terdapat empat bujang perempuan yang masih muda.
"Dia tentu Ang Tim Gong-khek?" tanya Thian-leng dengan ilmu menyusup suara.
"Benar, apakah kau tak melihat hidungnya?" sahut Siau-bun.
Thian-leng hampir tertawa, Bok Sam-pi ( Bok si hidung tiga ) memang sesuai dengan namanya. Bukan saja besar sekali, tetapi hidungnya itu seperti terbelah jadi tiga.
Begitu tiba di hadapan ranjang, Kongsun Bu-wi segera berlutut memberi hormat. Bok Sam-pi mempersilakan dia bangun. Tetapi tiba-tiba Ang Tim Gong-khek itu loncat bangun dan berlutut di hadapan Kongsun Bu-wi juga, "Hamba menghaturkan hormat kepada Gak-cu!"
Pertama, Kongsun Bu-wi memberi hormat kepada Ang Tim Gong-khek dalam kedudukan sebagai gurunya. Tetapi Ang Tim Gong-khek pun balas memberi hormat kepada Kongsun Bu-wi dalam kedudukan sebagai kepala Hek Gak. Habis memberi hormat Bok Sam-pi pun rebah lagi di atas ranjang.
Thian-leng heran mengapa Bok Sam-pi acuh tak acuh melihat cucunya dalam keadaan ditutuk jalan darahnya.
"Tengah malam menemui aku, ada urusan apa?" tegur Bok Sam-pi.
"Jika tidak penting, masakah murid berani mengganggu guru. Adalah karena?"
"Nanti dulu!" Bok Sam-pi cepat menukas, "aku tak mau menjalankan peradatan sebagai cong-hou-hwat lagi. Jangan membicarakan urusan dalam Hek Gak?"
Kembali ketua Hek Gak menjura, "Murid tak berani kurang adat, silakan suhu rebahan saja."
Bok Sam-pi tertawa dan suruh Kongsun Bu-wi mengutarakan keperluannya.
"Ada seorang murid yang mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar," kata ketua Hek Gak.
Bok Sam-pi terkejut marah, "Siapa?"
"Kepala istana Hong-kiong, cucu suhu sendiri Bok Ceng-ceng!"
"Dia?" Bok Sam-pi menuding ke arah Ceng-ceng dan Kongsun Bu-wi mengiyakan.
"Kemari kau!" serunya. tetapi karena tertutuk jalan darahnya, sudah tentu Ceng-ceng tak dapat berjalan. Kongsun Bu-wi memberi isyarat mata kepada kedua pengawal. Kedua pengawal itu segera membuka jalan darah si dara.
"Kek!" Ceng-ceng loncat menghampiri kakeknya seraya menangis.
"Saat ini kakek sebagai cong-hou-hwat, lekas haturkan hormat!" bentak Bok Sam-pi.
Ceng-ceng terpaksa berlutut. Ia tak menangis lagi. Mulutnya terkancing, sikapnya seperti sebuah patung.
"Benarkah kau mengadakan hubungan rahasia dengan orang luar?" seru Bok Sam-pi.
Ceng-ceng diam saja.
"Tahukah apa hukuman yang harus dijatuhkan?" dengus Bok Sam-pi pula.
Ketua Hek Gak segera melangkah maju. "Menurut undang-undang Hek Gak, harus menerima hukuman digigit lima binatang beracun, tetapi"."
"Tetapi bagaimana?" Bok Sam-pi berseru gusar.
"Tetapi Ceng-ceng adalah ?"."
"Tak peduli apaku, sebagai cong-hou-hwat, aku harus bertindak menurut hukum. Kalau hukum tak dipegang, rusaklah peraturan!" teriak Bok Sam-pi, "Lekas jalankan hukuman!"
Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera memanggil Tok-ko Sing yang menjabat sebagai pelaksana hukum atau algojo.
Tok-ko Sing pun segera bertindak. Ia hendak mencengkeram bahu kanan dara itu dan Ceng-ceng tak mengadakan perlawanan apa-apa.
"Tunggu!" tiba-tiba Bok Sam-pi mengebutkan tangannya. Tok-ko Sing menarik pulang cengkeramannya, tetapi kebutan tangan Bok Sam-pi itu membuatnya terhuyung-huyung beberapa langkah.
"Mengapa suhu?"..?" Kongsun Bu-wi berseru kaget.
"Apakah ada buktinya Bok Ceng-ceng melakukan hubungan itu?" tegur Bok Sam-pi.
"Orang itu masih berada di ruang tamu. Apakah suhu perlu suruh mereka menghadap?"
Tiba-tiba Bok Sam-pi tertawa keras-keras. "Tak usah, lebih baik kau lihat saja kutangkap mereka!"
Kongsun Bu-wi terkejut, "Maksud suhu"."
Tiba-tiba Bok Sam-pi menampar ke jendela belakang, bingkai jendela yang hampir satu tombak besarnya itu serentak hancur berantakan. Thian-leng dan Siau-bun pun tak sempat lagi menjaga diri. Serentak mereka seperti digulung oleh tenaga tarik yang tak dapat dilawan. Bersama dengan keping jendela, kedua anak muda itupun tersedot ke dalam ruang dan jatuh tepat di muka ranjang Bok Sam-pi. Untung tak sampai terluka.
Thian-leng dan Siau-bun menginsyafi betapa hebat kesaktian orang she Bok itu. Maka merekapun tak mau bertindak sembarangan.
"Apakah kedua orang ini?" tanya Bok Sam-pi.
"Benar ," buru-buru ketua Hek Gak menjawab, "dengan baik-baik murid melayani mereka di ruang tamu, tetapi ternyata mereka telah bersekongkol dengan Bok Ceng-ceng. Dan ternyata juga diam-diam mengikuti murid kemari hendak mencelakai suhu."
"Bagaimana hukumannya?" seru Bok Sam-pi.
"Mereka bukan murid kita, sudah tentu boleh dihukum apa saja".." mata ketua Hek Gak itu berkedip-kedip, "sudah lama suhu kesepian. Baiklah kedua orang ini dijadikan hiburan saja, entah bagaimana kehendak suhu"."
Tiba-tiba Bok Sam-pi bangkit duduk serunya, "Ya, ya, aku ingin menyaksikan hukuman Toa-gi-pat-kui, lakukanlah sekarang!"
Thian-leng mengeluh putus asa. Ia melirik kepada Siau-bun yang berada di sampingnya. "Adik Bun, akulah yang bersalah mencelakaimu......aku tak menyesal mati, tapi kalau sampai membuatmu ikut menderita, aku tak dapat mati dengan meram."
Di luar dugaan Siau-bun tenang sekali. Bahkan bibirnya menyungging senyuman. Segera ia menjawab dengan ilmu menyusup suara, "Takutkah kau?"
Thian-leng tertegun, "Tidak, aku tak takut mati. Hanya yang kusesalkan ialah tindakanku yang sembrono hingga merembet dirimu".."
"Mati atau hidup masih belum ketahuan. Perlu apa kau sudah putus asa?"
Sentilan si nona membuat Thian-leng malu hati. Segera ia menjamah pedangnya dan dengan ilmu menyusup suara ia berkata tegas, "Akan kuserang tua bangka itu, adik Bun".."
"Jangan gegabah. Melawan si tua itu berarti seperti ana-anai melanda api, telur membentur tanduk. Kalau kita bertindak begitu, tentu mereka segera menjalankan hukuman Toa-gi-pat-kui itu!" cegah Siau-bun.
Pada saat kedua anak muda itu bercakap-cakap, Kongsun Bu-wi sudah perintahkan pengawalnya mengambil sebuah tiang kayu yang besar, tali dan beberapa batang golok tajam. Alat-alat itu dibawa ke tengah, sedang Bok Sam-pi tetap menunggu di ranjang kayu. Dengan tenang ia menunggu dilaksanakannya hukuman Toa-gi-pat-kui.
Sebenarnya Siau-bun pun berdebar-debar hatinya. Namun dara itu sudah biasa menghadapi ancaman bahaya. Maka sikapnyapun tenang-tenang saja. Tidak demikian halnya dengan Thian-leng yang sudah gelisah tak keruan. Sedang terhadap cucunya sendiri saja Bok Sam-pi begitu kejam, apalagi terhadap orang luar!
"Jalankan dulu hukuman Toa-gi-pat-kui pada kedua mata-mata itu, baru kemudian menghukum budak ini," seru Bok Sam-pi. Kongsun Bu-wi mengiyakan dan segera menyuruh orang mengikat Thian-leng dan Siau-bun pada tiang.
Empat pengawal maju menghampiri Thian-leng. Thian-leng menyiapkan pedangnya hendak menempur. Tiba-tiba Siau-bun tertawa dingin, "Tunggu!"
"Eh, apakah kau hendak meninggalkan pesan?" tanya Kongsun Bu-wi.
"Tidak?". aku tak butuh memesan apa-apa," nona itu tertawa.
"Aneh, mengapa kau masih berani tertawa?" tegur Bong Sam-pi.
Siau-bun makin perkeras tawanya, "Karena aku tak dapat mati. Tiada seorangpun di ruang ini yang mampu membunuhku!"
Wajah Bok Sam-pi berobah seketika dan bangkitlah ia serentak.
"Di antara kalian siapakah yang paling sakti?" tegur Siau-bun dengan senyum tak acuh.
"Aku!" Bok Sam-pi menggerung.
Siau-bun mendengus hina, "Apakah kau berani bertanding melawan aku?"
Bok Sam-pi tertawa gusar. Tiba-tiba ia melesat maju ke arah si nona?"
Bok Sam-pi tegak di hadapan Siau-bun. Perutnya yang gendut terkial-kial karena menahan kemarahan. Biji matanya yang sebesar kelereng menyala tajam.
"Kau hendak menantang berkelahi denganku?" serunya.
"Benar," Siau-bun tertawa, "aku ingin bermain-main beberapa jurus dengan kau."
Bok Sam-pi menggerung seperti harimau mencium mangsa. "Berpuluh-puluh tahun belum pernah ada manusia yang berani berkata begitu di hadapanku. Toa-gi-pat-kui masih terlalu ringan. Akan kutambahi hukumanmu dengan Sam-sing-ka-sim dan Ngo-tok-ya-thi!"
"Bagus, sayang kau tak mampu".." Siau-bun mengedipkan mata sejenak, "eh, bagaimana" Apakah kau mau adu kepandaian denganku?"
Bok Sam-pi memekik, "Budak perempuan, kalau mau adu kepandaian lekaslah! Kalau ayal-ayalan mungkin kau tak sempat lagi!"
Menunjuk pada perutnya yang buncit, ia berseru pula, "Boleh kau gunakan senjata tajam atau senjata rahasia, pukulan, kaki, jari ataupun apa saja. Kalau mampu merontokkan selembar buluku saja, aku menyerah kalah dan terserah hendak kau apakan".."
Siau-bun tertawa nyaring, "Cara itu tidak adil. Jika kau menghendaki cara berkelahi mati-matian macam benggolan penjahat".., maaf, aku tak sudi melayani!"
"Bagaimana kalau adu lwekang?" seru Bok Sam-pi.
"Kasar!"
Biji mata Bok Sam-pi yang besar berkilat-kilat. "Katakanlah, teresrah kau hendak memakai cara apa, aku menurut saja!"
Siau-bun mondar-mandir sejenak, tersenyum, "Begini saja ! Aku mempunyai sebutir mutiara Ban-lian-liong-cu (
mutiara naga ribuan tahun ). Jika kau mampu memijatnya hancur dengan dua buah jari tanganmu, aku mengaku kalah...."
Bok Sam-pi hendak menyahut, tetapi Kongsun Bu-wi sudah mendahului, "Suhu, budak perempuan ini banyak akal, jangan kena diakali!"
Bok Sam-pi merengut kurang senang, "Apakah aku anak kemarin sore" Kau pandang aku ini orang apa?"
"Harap suhu jangan marah. Murid hendak mengatakan tentang mustika Ban-lian-liong-cu?""
"Persetan dengan Ban-lian-liong-cu! Apakah kau kira aku tak dapat memijatnya hancur?"
Kongsun Bu-wi gelengkan kepala, "Bukan maksud murid mengatakan suhu tak dapat meremasnya. Melainkan hanya mengatakan bahwa Ban-lian-liong-cu itu adalah mustika yang jarang terdapat di dunia. Kemungkina tentu dia tak punya. Dan andaikan punya pun, bagaimana hendak suruh suhu menghancurkannya?"
"Ya, benar!" Bok Sam-pi gelagapan. "Ban-lian-liong-cu adalah sebuah pusaka ajaib, mengapa kau suruh aku menghancurkan!"
"Benda yang paling keras di dunia, apakah dapat menandingi kekerasan Ban-lian-liong-cu?" Siau-bun tertawa dingin.
"Mungkin tidak ada!" Kongsun Bu-wi menanggapi.
"JIka gurumu dapat memijat hancur Ban-lian-liong-cu, kalau kuberikan yang palsu, bukankah akan lebih cepat lagi"
Dengan begitu bukankah aku kalah dan akan menerima hukuman Toa-gi-pat-kui atau apa itu Sam-sing-ka-sim atau Ngo-tok-ya-thi" Apakah aku dapat mengingkari perjanjian lagi?"
Sahutan nona itu membuat ketua Hek Gak gelagapan dan hanya dapat menjawab sekenanya, "Siapa yang tahu permainan setan itu?"
Siau-bun tertawa dingin, "Dalam hal main setan-setanan, mungkin kau lebih ahli. Dengan menipu orang untuk diberi tahu tentang asal-usulnya, kau menjebaknya kemari. Perlunya tak lain hanya hendak merampas peta pusakanya".!"
Sambil menunjuk pada Bok Sam-pi, ia berseru pula, "dan dia seorang cianpwe persilatan yang sakti, telah kau cekoki dengan obat yang membuatnya berobah linglung tak sehat pikirannya! Bukankah perbuatanmu itu sangat keji"..!"
"Keparat!" teriak ketua Hek Gak kalap, "kalau kau berani mengoceh tak keruan tentu akan kucincang tubuhmu!"
Siau-bun acuh tak acuh menyahut, "Sayang saat ini kau tak dapat bertindak semaumu?"" ia berhenti sejenak.
"Kepintaran yang digunakan untuk menipu orang, akhirnya keblinger sendiri. Mungkin kau akan menyesal atas perbuatanmu itu!"
"Budak perempuan, dengan mengandal akal muslihatmu itu jangan harap kau mampu lolos dari sini kecuali kau dapat membujuk Bubeng tayhiap supaya menyerahkan peta padaku!"
Siau-bun tetap tertawa dingin.
"Kalau benar punya Ban-lian-liong-cu, ayo, lekas keluarkan! Coba lihat saja aku dapat memijatnya hancur atau tidak?" teriak Bok Sam-pi yang rupanya tidak sabar lagi.
Sahut Siau-bun tenang-tenang, "Jangan terburu nafsu dulu. Akan kujelaskan dulu palsu tidaknya mustika Ban-lian-liong-cu itu. Toh akhirnya nanti kau tentu akan memijatnya!"
Ia berpaling ke arah ketua Hek Gak, "Apakah kau tahu khasiat Ban-lian-liong-cu dan dapat membedakan palsu tidaknya ?"
Kongsun Bu-wi tertawa nyaring, "Ban-lian-liong-cu kira-kira sebesar biji lengkeng, warnanya merah tua. Begitu dimasukkan dalam air dingin maka hilanglah dingin air. Dimasukkan dalam api, maka hilanglah panas api. Khasiatnya untuk menolak air dan api, merupakan mustika yang tiada nilainya di dunia!"
Siau-bun tertawa tawar, "Kalau begitu harap sediakan air dan api, kita buktikan saja!"
Ia mengeluarkan sebuah kotak emas lalu mengambil sebuah bungkusan sutera merah. Dengan hati-hati Siau-bun membuka bungkusan itu dan tampaklah sebutir mutiara sebesar lengkeng. Thian-leng dan orang-orang yang berada dalam ruangan itu berteriak kaget.
Tepat seperti yang dikatakan ketua Hek Gak tadi, memang mustika itu berwarna merah tua berkilau-kilauan memancarkan sinar terang-benderang yang menyilaukan mata. Seketika berhamburan semacam hawa dingin. Begitu dingin sehingga membuat keempat pengawal Hek Gak yang berdiri pada jarak beberapa tombak sampai gemetar badannya.
Juga Bok Sam-pi ternganga, serunya dengan terbata-bata, "Mustika yang hebat, mustika yang hebat, benar-benar mustika yang tiada tandingannya".!"
Siau-bun hanya mengulum senyum. Dengan angkuh ia berkata kepada ketua Hek Gak, "Apakah seumur hidupmu kau pernah melihat mustika semacam ini?"
Mulut ketua Hek Gak tersekat, "Kalau menilik ujudnya saja, memang belum dapat dibuktikan palsu tidaknya?"?" ia berpaling kepada pengawalnya menyuruh siapkan air dan api. Empat pengawal Hek Gak segera mengiyakan.
Thian-leng segera menggunakan ilmu menyusup suara menegur Siau-bun, "Apakah itu Ban-lian-liong-cu yang tulen?"
"Sudah tentu!" sahut Siau-bun.
"Ha !" Kalau sampai dipijat hancur oleh setan tua itu, bukankah?""
"Kita ini perlu mempertahankan jiwa atau memberatkan mustika?". "
Jawaban si nona itu membuat Thian-leng kemalu-maluan. Diam-diam ia menyesal karena menyebabkan Siau-bun sampai mengorbankan mustikanya.
"Tetapi dengan mengorbankan mustika itu apakah kita pasti dapat lolos ?" ia masih penasaran.
"Ya, sekalipun Ban-lian-liong-cu itu mustika yang keras sekali, tetapi bukannya mustahil dihancurkan. Kepandaian setan tua itu memang tinggi sekali. Aku tak tahu pasti apakah ia mampu memijatnya hancur atau tidak!"
(bersambung ke jilid 14)
Jilid 14 . Thian-leng cemas, " Kalau begitu bukankah ". ?"
"Segala apa kita harus menyesuaikan dengan gelagat, tak usah kau cemas!" tukas Siau-bun.
Pada saat itu dua orang pengawal Hek Gak muncul dengan membawa baskom air dan tempat api. Siau-bun dengan tertawa-tawa segera menyerahkan Ban-lian-liong-cu kepada Kongsun Bu-wi, ujarnya, "Silakan mencobanya di hadapan hadirin!"
Kongsun Bu-wi menyambuti. Matanya tak berkedip memandang mustika itu. Wajahnya menampilkan nafsu memiliki.
"Rupanya ada rasa dalam hatimu untuk memiliki mustika itu, eh?" Siau-bun tertawa mengolok.
Kongsun BU-wi merah mukanya, "Jangan mengukur baju orang menurut ukuranmu sendiri!" serunya.
Siau-bun tertawa gelak-gelak, "Jika kau tak mendustai batinmu, saat ini kau merasa gelisah kalau mustika itu sampai teremas hancur oleh gurumu. Karena dengan begitu kau tentu tak dapat memilikinya!"
Karena malu, marahlah Kongsun Bu-wi, "Ngaco! Orang macam apakah diriku" Masakah sebutir mustika macam begitu saja dapat menggerakkan keinginanku!?"
Alis Siau-bun menjungkit, "Sudahlah , jangan coba sangkal isi hatimu, toh tiada yang tahu!"
Wajah ketua Hek Gak berobah makin gelap. Segera ia lemparkan Ban-lian-liong-cu ke dalam baskom air. Serentak terdengarlah pekik kaget dari sekalian orang. Begitu tercebur air, mustika itu seperti membelah air. Di Sekeliling mustika air sama menyiah beberapa dim jauhnya.
Wajah Kongsun Bu-wi makin gelap. Ia ambil mustika keluar. Jelas ketika memasukkan tangan ke dalam basko, ujung bajunya itu terendam air. Tetapi anehnya setetes airpun ujung bajunya tak basah dan mustika Ban-lian-liong-cu kering kerontang.
"Bagaimana?".." ujar Siau-bun seraya maju menghampiri.
Kongsun Bu-wi terpukau tak dapat menjawab. Serentak ia lemparkan mustika ke dalam anglo api. Kembali mata ketua Hek Gak terbelalak. Anglo yang penuh dengan api membara, tersiak oleh Ban-lian-liong-cu. Ujung baju Kongsun Bu-wi yang masuk ke dalam api tidak terbakar sama sekali. Bahkan tangannya yang memegang anglo itu sedikitpun tak terasa panas.
Akhirnya ketua Hek Gak menarik pulang tangannya. Sejenak ia memuaskan pandangannya ke arah mustika itu, baru diberikan lagi kepada Siau-bun, ujarnya," Mustika ini memang benar Ban-lian-liong-cu yang asli, sekarang boleh kau serahkan kepada suhu!"
Dengan tersenyum Siau-bun menyambutnya.
"Serahkan padaku, lekas. Aku tak sabar lagi menunggu!" tiba-tiba Bok Sam-pi berteriak.
Siau-bun memutar dirinya menghadapi, ujarnya, "Baik, kita bicarakan dahulu secara jelas. Barang siapa kalah tak boleh ingkar janji!"
"Kurang ajar, kau anggap aku ini orang apa" Masakah aku sudi ingkar janji padamu ! ? Bok Sam-pi marah-marah.
Namun si nonan masih tetap tersenyum simpul, ujarnya. "Pertanyaan lo-cianpwe itu sudah cukup menjadi jaminan!"
Ia segera angsurkan mustika Ban-lian-liong-cu kepada Bok Sam-pit.
Begitu menyambuti mustika, sejenak Bok Sam-pi memepermainkannya. kemudian tiba-tiba ia menjepit mustika itu dengan jari tengah dan jari telunjuk, lalu tertawa gelak-gelak, "Sebenarnya aku tak sampai hati menghancurkan mustika ini".!"
Thian-leng seperti disadarkan. Ia merasa dapat menduga rencana yang dijalankan Siau-bun. Jika Bok Sam-pi sampai tak rela meremas hancur mustika itu, berarti ia kalah dan dapatlah Siau-bun lolos dari neraka Hek Gak. Demikianlah dugaannya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset?""
"Tetapi jika tak kuremas hancur, berarti aku menyerah kalah padamu,budak perempuan! dengan begitu bukankah aku"..bukankah "." tiba-tiba Bok Sam-pi bersungut-sungut. Ia tak melanjutkan kata-katanya lebih jauh, tetapi mulai kencangkan kedua jari yang menjepit Ban-lian-liong-cu?".
Wajah thian-leng berobah seketika. Sejenak ia berpaling memandang Siau-bun tetapi nona itu tampak tenang-tenang saja. Sedikitpun tak menunjukkan rasa cemas.
Saat itu tampak wajah Bok Sam-pi agak mengeras tegang. Sepasang matanya terpentang lebar. Kedua tulang pelipisnya mulai menonjol, begitu pula dahinya. Jelas menunkukkan bahwa ia menghadapi kesukaran!
Melihat itu Kongsun Bu-wi dan sekalian anak buahnya tampak tegang. Mata mereka mengikuti lekat-lekat pada mustika yang terjepit di tengah kedua jari tangan Bok Sam-pi.
Wajah Bok Sam-pi makin tegang. Warnanya berobah merah seperti darah, giginya mengerut kencang. Inilah yang pertama kali ia menghadapi kesulitan besar dan kekalahan. Siau-bun tersenyum datar. Ia acuh tak acuh.
Dalam pada itu, sang waktupun merayap terus dengan cepat. Tak terasa sudah sejam lamanya Bok Sam-pi melakukan taruhannya. Tangan kanannya tampak gemetar, dahinya mengucurkan butir-butir keringat sebesar biji kedele. Warna wajahnya yang merah padam berobah biru gelap. Nyata dia sedang mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk meremas Ban-lian-liong-cu.
Akhirnya" ia menghela napas, "Aku tak dapat memijat hancur mustika ini. Ya, aku menyerah kalah!" ujarnya disertai helaan napas rawan.
Kongsun Bu-wi seperti mendengar halilintar berbunyi di tengah hari. Buru-buru ia maju melangkah, "Tidak, suhu belum kalah!"
Bok Sam-pi menghela napas, "Bagaimana tidak kalah?"
"Karena mustika itu memang luar biasa kerasnya...." ia lepaskan lirikan tajam kepada Siau-bun, katanya pula, "Jika dia mampu meremasnya hancur, barulah benar-benar dia menang. Tetapi jika dia tak dapat, berarti seri.
Pertandingan ini tiada yang kalah atau menang dan boleh diganti dengan cara lain."
"Benar, benar." Bok Sam-pi seperti disadarkan. Segera ia berikan Ban-lian-liong-cu kepada Siau-bun. "Sekarang kau yang meremasnya!"
Siau-bun tak ragu-ragu menyambuti mustika itu. Ia tertawa mengejek Kongsun Bu-wi. "Memang telah kuduga kau akan mengajukan usul ini!"
Sejenak Siau-bun mengepal-ngepal mustika di dalam telapak tangan, setelah itu dijepit dengan jari telunjuk dan jari tengah. Serunya kepada Bom Sam-pi, "Silakan Cianpwe melihat dengan betul!"
"Tentu, ayo pijitlah!" Bok Sam-pi mengangguk, mengira nona itu tentu tidak dapat. Kongsun Bu-wi tertawa yakin.
Tetapi pada lain kejap, suara tertawanya sirap ditelan kekagetan........ Ketua Hek Gak itu terlongong-longong melongo... lutnya ternganga!
Jelas terngiang di telinganya suatu suara letupan kecil. Mustika Ban-lian-liong-cu yang terjepit di jari Siau-bun itu pecah berhamburan......
Sekalian orang menjerit kaget! Benar-benar sukar dipercaya. Ketua Hek Gak berdenyut-denyut kepalanya, bumi yang dipijaknya serasa berputar. Ceng-ceng yang tengah belutut di depan ranjang, bangkit serentak! Wajahnya penuh diliputi seri kegirangan. Dipandangnya Siau-bun dengan lekat.
Tiba-tiba Bok Sam-pi menjerit, "Sudahlah, sudahlah, aku kalah".."
"Tidak suhu, kau tetap belum kalah!" Kongsun Bu-wi berseru.
"Mengapa tidak?" sahut Bok Sam-pi.
Ketua Hek Gak tertaw sinis." Dengan susah payah suhu memijat, tetapi gagal. Mengapa dia hanya sekali pijat saja sudah dapat menghancurkan" Bukankah kau lebih sakti dari dia" Bukankah dia tentu menggunakan tipu muslihat!"
Perut Bok Sam-pi yang gendut tampak terkial-kial karena menahan gejolak perasaan. tetapi tak tahu bagaimana hendak menumpahkan. Marahkah atau sedihkah"
Siau-bun tertawa dingin, ujarnya kepada Bok Sam-pi, "Ketika kupijit Ban-lian-liong-cu bukankah cianpwe mengawasi dengan jelas?"
"Benar".." Bok Sam-pi menyahut terpaksa.
"Apakah aku menggunakan ilmu sihir?"
"Rasanya eh". tidak?"
"Dengan begitu lo-cianpwe rela mengaku kalah?" kata Siau-bun dengan nada serius.
"Ya, aku menyrah kalah!"
"Tidak , suhu tak boleh menyerah kalah, jika....." cepat-cepat ketua Hek Gak menukas. Tetapi secepat itu pula Siaubun segera berseru keras kepada Bok Sam-pi, "Jika lo-cianpwe tak suka mengaku kalah, sayapun tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi bagi martabat lo-cianpwe dalam dunia persilatan, tidaklah layak untuk menelan ludah lagi!"
"Siapa bilang aku menelan ludah?" Bok Sam-pi murka.
"O, kalau benar cianpwe tak ingkar janji, marilah sekarang kita laksanakan perjanjian kita!" desak Siau-bun.
"Perjanjian apa ?" Bok Sam-pi mengerutkan dahi,
"Ah, apakah lo-cianpwe benar-benar pelupa sekali?"
Bok Sam-pi mendengus, "Karena kau yang menang, maka segala macam hukuman
yang hendak kujatuhkan padamu itu batal semua. Kalian boleh keluar dari istana Hek Gak sini. Apakah ini tidak cukup" Apakah masih hendak suruh aku menganar kalian?"
Cepat Siau-bun menanggapi, "Itulah! Memang ada dua buah urusan kecil yang memerlukan persetujuan lo-cianpwe!"
Bok Sam-pi mendengus lagi, "Tidak bisa, aku ini orang macam apa, masakah kau suruh mengantarkan!"
Siau-bun tertawa dingin, "Jika cianpwe menganggap dirimu sebagai ksatria sejati, haruslah berjiwa ksatria!"
Marah Bok Sam-pi tak tertahan lagi. Segera ia mengangkat tangannya hendak menghantam. Tetapi Siau-bun acuh tak acuh. Melihat itu Bok Sam-pi menghentikan tinjunya dan perlahan-lahan menurunkan lagi. Keriput kemarahannya perlahan-lahan kendor, berganti kerawanan. Akhirnya menghela napaslah ia, "Baik, akan kuantar kalian keluar dan sebutkanlah kedua tuntutanmu itu."
"Kesatu, serahkan cucumu Bok Ceng-ceng itu kubawa pergi. Kedua , minumlah sebutir pil dariku."
"Kau hendak suruh aku minum pil" Perlu apa?" Bok Sam-pi melongo.
"Supaya jiwamu lekas melayang," sahut Siau-bun tenang.
"Hm, apakah tiada jalan lain lagi?" dengus Bok Sam-pi.
"Perangaiku sama dengan perangaimu. Apa yang kukehendaki, tentu harus kulaksanakan. Atau lebih baik kau ingkar janji dan bertempur dengan aku lagikah?" Siau-bun mengejek.
Bok Sam-pi menggelengkan, "Baik, kuterima kedua syaratmu itu. Akan kuantarkan kalian keluar dari sini dan kuminum pil mautmu itu?".!"
"Tunggu !" sekonyong-konyong Kongsun Bu-wi menjerit.
Siau-bun melirik tajam kepada ketua Hek Gak itu serunya, "Telah kukatakan padamu tadi bahwa ada suatu saat kau pasti menyesali perbuatanmu selama ini, nah, bagaimana sekarang?"
"Tak mudah kaulaksanakan kemauanmu itu!" ketua Hek Gak menggeram.
"Ah, belum tentu. Segala apa yang akan terjadi semua di luar dugaanmu......"
Menjeritlah ketua Hek Gak itu dengan kalap, "Jika kau sampai mampu keluar dari istana ini akan kurayakan dengan bunuh diri!"
Tiba-tiba ketua Hek Gak itu berpaling ke arah Bok Sam-pi dan membentak, "Bok conghouhwat!"
Mendengar itu kejut Bok Sam-pi bukan kepalang. Segera ia hendak berlutut memberi hormat. Tetapi secepat itu juga Siau-bun sudah membentaknya, "Nanti dulu!"
"Jangan menjual muslihat!" bentak ketua Hek Gak murka.
Siau-bun menyambutnya dengan tertawa dingin, "Justru kebalikannya! Aku hanya hendak melucuti kedokmu selama ini, hanya sayang"." ia tertawa mengikik, ujarnya pula, "Segala tipu muslihatmu itu gagal semua!"
"Apa maksudmu!" bentak ketua Hek Gak.
"Kau hendak menggunakan pengaruhmu sebagai ketua untuk memaksa Bok Lo-cianpwe tunduk kepadamu bukan?"
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Istana Hek Gak mempunyai tata tertib yang keras. Walaupun beliau menjadi guruku, tetapi karena beliau menjabat sebagai Conghouhwat, maka wajib menurut perintahku!" sahut ketua Hek Gak dengan congkak.
"Tanpa kau sadari, dalam babak ini kau sudah mengaku kalah!" Siau-bun tertawa.
"Bagaiman kalahnya?"
"Tadi Bok-locianpwe sudah menyatakan bahwa malam ini tiada lagi garis pemisah antara ketua dan anak buah, melainkan beliau berbicara dalam kedudukan sebagai guru dengan murid. Bukankah hal itu sudah merupakan kekalahan bagimu?"
"Benar, benar! Malam ini kaulah yang seharusnya mendengar perintahku!" Bok Sam-pi seperti disadarkan.
Serentak berobahlah cahaya muka Kongsun Bu-wi. Giginya terdengar bercatrukan menahan kemarahan. Tetapi ia tak dapat membantah sepatah pun juga.
Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan si nona. Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara berseru kepadanya, "Siap-siaplah, kita segera akan angkat kaki dari sini!"
Thian-leng terkesiap. Cepat ia bersiap dengan pedang dan mengerahkan tenaga Lui-hwe-ciang. Apabila anak buah Hek Gak berani merintangi, ia hendak adu jiwa dengan mereka.
Siau-bun perlahan-lahan menghampiri kehadapan Bok Sam-pi, ujarnya, "Lo cianpwe marilah kita pergi!"
"Baik, " Bok Sam-pi tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.
Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara kepada si jago tua itu," Muridmu itu sukar diraba hatinya. Jika locianpwe tak siap sedia, dia tentu diam-diam akan memerintahkan supaya menutup jalan dan menggerakkan perkakas rahasia. Mati bagi kami anak-anak yang tak bernama ini tak mengapa. Tetapi betapa besar akibatnya bagi kebesaran nama lo-cianpwe!"
"Beralasan juga ," dengus Bok Sam-pi.
"Apa kata mereka kepada suhu?" ketua Hek Gak berseru kaget.
Bok Sam-pi deliki mata, teriaknya, "Kemarilah!"
"Suhu hendak memberi pesan apa?" Kongsun Bu-wi makin kaget.
"Aku kuatir kau nanti diam-diam menyuruh orang menjalankan perkakas rahasia, hal itu pasti akan menjatuhkan namaku!"
"Apakah suhu percaya?" ketua Hek Gak kaget bercampur marah.
Bok Sam-pi tertegun. Tetapi pada lain saat ia menjawab tanpa ragu-ragu. "Percaya saja. Kutahu apa yang dapat kaulakukan"." ia berhenti sejenak lau melanjutkan pula. "Karena itu hendak kupelintir dulu urat pergelangan tanganmu agar hatiku tenteram!"
Seketika berobahlah wajah ketua Hek Gak. Kakinya terhuyung mundur beberapa langkah. Maksudnya ia akan loncat keluar ruangan. Tetapi Siau-bun cepat menyentaknya, "Eh, jangan coba kabur, ya! Bok lo-cianpwe sepuluh kali lipat dari kepandaianmu. Dalam jarak seratus tombak, beliau masih dapat menangkapmu!"
Bok Sam-pi tokoh yang sudah limbung otaknya seperti disadarkan. Bentaknya murka, "Apa" Kau hendak lari?"
Berbareng itu ia ulurkan tangan mencengkeram.
Rencana Kongsun Bu-wi untuk melarikan diri dan mempersiapkan perkakas rahasia dalam istana itu menjadi berantakan. Selagi ia termangu, Bok Sam-pi sudah menamparnya. Sebagai murid ia tahu sampai di mana kesaktian gurunya itu. Tak berani ia menangkis melainkan mandah mengikuti gerak cengkeraman gurunya, mencelat ke hadapan Bok Sam-pi.
Gemuk sekalipun potongan tubuhnya, tetapi tangan Bok Sam-pi tangkas bukan kepalang. Secepat kilat ia sudah mendcengkeram pergelangan tangan Kongsun Bu-wi.
Ketua Hek Gak itu menumpahkan kemarahannya kepada Siau-bun, "Cu Siau-bun, ingatlah, lambat atau cepat ada suatu hari tulang belulangmu tentu akan kuremukkan!"
Cu Siau-bun hanya ganda tertawa, "Nanti saja kita bicara lagi apabila hari itu sudah tiba..."
Setelah itu ia berpaling kepada Ceng-ceng yang masih tercengang-cengang, "Nona Bok, marilah kita pergi!"
Ceng-ceng seperti orang dibangunkan dari mimpi, serta merta ia mengikuti di belakang Cu Siau-bun yang berjalan keluar. Sementara itu Bok Sam-pi tampak seperti orang yang limbung. Dengan masih mencekal lengan Kongsun Bu-wi, ia tak berkata sepatahpun juga. Ia juga tak sejenakpun melihat pada cucunya. Ia berjalan seperti orang kehilangan semangat.
Demikianlah kelima orang itu segera beriringan melintasi jalanan istana yang penuh liku-liku. Tok-ko Sing dan berpuluh-puluh pengawal baju hitam hanya mengawasi saja. Mereka tak berani bertindak apa-apa, karena tahu ketuanya sudah dalam penguasaan.
Tak lama kemudian tibalah mereka di luar pintu gerbang Hek Gak. Siau-bun berseru kepada Bok Sam-pi, "Bok Locianpwe, kini sudah berada di luar istana. Boleh suruh mereka pulang!"
"Hm, ya benar, kata-kata itu beralasan..." sahut Bok Sam-pi seperti membeo saja. Segera ia melepaskan cekalan dan menyuruh Kongsun Bu-wi pergi.
Tanpa disadari, Bok Sam-pi sudah dikuasai oleh Siau-bum. Ia menurut saja apa yang dikatakan nona itu.
Kongsun Bu-wi menghamburkan napas untuk melonggarkan dadanya yang sesak dengan kemarahan. Setelah melirik buas ke arah Thian-leng , Siaubun dan Ceng-ceng, tanpa berkata apa-apa ia segera ayunkan tubuhnya melesat pergi.
Setelah ketua Hek Gak itu lenyap, Siau-bun menghela napas lega. Ia segera keluarkan sebuah botol kecil. Ia mengambil sebutir pil berwarna putih seperti salju.
"Lo-cianpwe, silakan minum!" serunya.
Bok Sam-pi tersentak kaget, "Pil beracun?"
Dengan wajah bersungguh-sungguh, berkatalah Siau-bun, "Karena lo-cianpwe tak beruntung kalah dengan aku, janganlah menghiraukan lagi pil ini obat beracun atau bukan, tetapi makanlah saja!"
Bok Sam-pi mengangguk-angguk, "Benar, benar, kata-kata itu memang beralasan!" Menyambut pil, terus ditelannya.
Melihat itu Ceng-ceng mengucurkan air mata, ratapnya, "Apakah kau benar-benar hendak meracuni kakekku!
Sebenarnya kakek itu seorang baik. Adalah sejak menjadi Cong-houhwat dari Hek Gak, barulah ia berobah seperti orang limbung begitu!"
Siau-bun menjawab dengan ilmu menyusup suara. "Kesemuanya itu telah kuketahui. Pil itu bukan pil beracun, tetapi pil penenang urat syaraf. Mudah-mudahan ia akan mendapatkan kesadaran pikirannya lagi!"
"Silakan lo-cianpwe pulang kalau mau pulang, " kata Siau-bun sesaat kemudian.
"Pulang?" Bok Sam-pi gelagapan. Tiba-tiba ia duduk di tanah, ujarnya. "Aku hendak menunggu kematian di sini!"
Siau-bun tak dapat menahan gelinya, "Terserah kalau kau tahan menunggu di sini!"
Bok Sam-pi terbelalak, teriaknya, "Apakah bekerjanya racunmu itu perlahan-lahan?"
"Mungkin sekitar 10 hari baru terasa!"
"Sepuluh hari?" ?" Bok Sam-pi mengerutkan dahi.
"Jika kepandaianmu memang tinggi sekali, mungkin dua puluh sampai tiga puluh hari baru bisa bekerja. Atau mungkin juga seumur hidup takkan bekerja!"
Bok Sam-pi menghela napas, "Budak perempuan, kau sangat menyiksa diriku"."
Siau-bun ganda tertawa, "Menurut pendapatku, lebih baik cianpwe pulang ke dalam istana lagi tentu lebih leluasa."
Bok Sam-pi benar-benar seperti seekor ayam jago yang jinak! Dengan langkah berat dan menundukkan kepala ia melangkah kembali ke istana Hek Gak.
"Eh, mengapa adik Bun melepaskannya?" Thian-leng terheran-heran.
"Penyakit apa yang sebenarnya diderita itu dalam waktu yang singkat tak mungkin kuketahui. Yang kuberikan padanya tadi hanyalah pil biasa. Dapat tidaknya pil itu menyembuhkannya, aku atk berani memastikan. Sesudah minum pil itu memang seharusnya ia beristirahat beberapa hari barulah terasa khasiatnya. Maka kurasa lebih baik kulepaskan pulang saja!"
Selanjutnya Siau-bun menerangkan bahwa apabila pikiran jago tua itu sudah pulih kembali, tanpa harus diberi petunjuk, tentu akan menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya selama ini. "Dia tentu akan membuat perhitungan dengan Kongsun Bu-wi!" kata Siau-bun.
Thian-leng kagum sekali atas kecerdikan nona itu. "Tetapi bagaimana dengan mutiara Ban-lian-liong-cu itu...?"
Siau-bun merogoh ke dalam baju mengeluarkan kotak berisi mutiara itu. "Apakah kau ingin melihat mutiara ini lagi!"
katanya. "Memang aku tak percaya kalau adik rela menyerahkan mutiara itu kepadanya. Kupercaya mutiara itu tentu masih berada dalam tempatnya, bukan?"
"Tentu, tetapi...." Siau-bun tertawa, "sungguh berbahaya sekali pertunjukan tadi. Sekali mereka mengetahui permainanku itu, kita tentu akan menjalani hkuman ngeri!"
"Tetapi memang benar-benar aku tak tahu permainan apa yang adik pertunjukkan tadi?"
Siau-bun tertawa geli, "Sebenarnya jika kuterangkan tentu tak ada hal yang patut diherankan! Selain mustika Ban-lian-liong-cu itu, aku masih mempunyai sebutir mutiara yang serupa besar dan warnanya dengan Ban-lian-liong-cu itu. Pun kudapatnya juga berbarengan waktunya, hanya saja mutiara itu tak berharga sama sekali. Hanya bedanya yang asli itu licin dan yang palsu suram. Mustika yang licin kuberi minyak dan kupasang pada rambutku. Sekalipun Bok lo-cianpwe itu sakti tetapi dia sudah dibikin limbung pikirannya oleh ketua Hek Gak, sehingga tak dapat memperhatikan palsu tidaknya mustika itu.
Pada saat kuterima Ban-lian-liong-cu dari tangan Bok lo-cianpwe, segera kutukar dengan mustika yang palsu. Maka sekali pijat saja hancurlah mutiara itu.....!"
Kini mengertilah Thian-leng mengapa Siau-bun dapat memijat hancur mutiara yang dikira Ban-lian-liong-cu. Makin dalam rasa kagum dan hormat Thian-leng terhadap si nona yang dalam saat-saat menghadapi bencana maut dapat bersikap tenang sekali.
Siau-bun lalu berkata kepada Bok Ceng-ceng, "Adik Ceng, tahukah kau mengapa kubawa kau keluar dari istana Hek Gak.?"
Ceng-ceng mengangguk, "Kini aku tahu apa sebab kakek tak menghiraukan diriku bahkan ada kala begitu membenci dan ingin membunuhku. Setelah terjadi peristiwa ini, ketua Hek Gak tentu akan benci padaku, kemungkinan besar tentu akan membereskan diriku..." habis bekata dara itu segera berlutut di depan Siau-bun dan Thian-leng, ujarnya,
"Terimalah hormat dan terima kasihku atas pertolongan tuan berdua!"
Siau-bun buru-buru menilakan bangun, "Jangan terlalu banyak peradatan, aku tak berani menerima kehormatan yang demikian besar."
Sejenak dara itu melirik pada Thian-leng lalu menanyakan apakah hubungan antara Siau-bun dengan Thian-leng.
Tiba-tiba Siau-bun mencopot kain kepalanya dan tersenyum, "Adik Ceng, lihatlah, aku juga seorang anak perempuan seperti engkau!"
Ceng-ceng memekik kaget dan terlongong-longong.
"Kita berjumpa dalam keadaan menderita kesusahan, berarti kita ini mempunyai jodoh, " Siau-bun tertawa ramah,
"sekiranya adik tak menolak, aku ingin mengangkat saudara denganmu, entah".."
"Kalau taci tak menolak diriku, sungguh besar sekali rejekiku!" Bok Ceng-ceng berteriak menukas.
Begitulah maka kedua nona itu segera melakukan upacara sederhana mengangkat saudara. Siau-bun lebih tua setahun dari Ceng-ceng. Selanjutnya kedua nona itu berbahasa taci dan adik. Thian-leng memberi selamat kepada mereka.
Perkenalan singkat yang berakhir dengan angkat saudara itu ternyata memuaskan kedua nona itu. Mereka merasa cocok satu sama lainnya. Tak putus-putusnya mereka saling menuturkan tentang riwayat hidupnya selama ini. Begitu uplek mereka bercakap-cakap sehingga Thian-leng seolah-olah tak diacuhkan"
"Adik Ceng, apakah kau suka melakukan sebuah hal untukku?" tanya Siau-bun.
Ceng-ceng terbeliak, "Mengapa taci begitu sungkan terhadapku" Silakan taci mengatakan, tentu akan kulakukan sekalipun harus menerjang lautan api!"
Siau-bun tertawa, "Ah, urusan itu tak begitu menyeramkan! Aku hanya minta tolong supaya kau mengantarkan suratku kepada seorang keluarga yang sudah berpisah selama dua tahun!"
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya Ceng-ceng.
Siau-bun mendekat dan membisiki telinga adik angkatnya, Ceng-ceng mengangguk.
"Sampai berjumpa," ia mengambil selamat berpisah dan tanpa mengacuhkan Thian-leng, terus saja ia melangkah pergi.
Thian-leng tercengang, tetapi ia tak mau bertanya.
Siau-bun melirik tertawa, "Aku mempunyai rencana supaya ia pergi. Kau takkan menyalahkan aku bukan?"
"Ah, mengapa adik Bun mengatkan begitu. Aku selalu mengagumi apa yang kau lakukan, apalagi aku tak mempunyai hubungan apa-apa dengan nona itu!"
"Fui, jangan berlagak. Masakah kau dapat melupakannya?" olok Siau-bun.
Diam-diam Thian-leng menghela napas. Ah, wanita, wanita. Masakah baru saja berkenalan sudah dicemburui. Kalau seorang nona yang berpandangan luas seperti Siau-bun masih dihinggapi perasaan begitu, apalagi nona-nona lainnya.
"Ah, aku hanya berolok-olok saja, mengapa kau begitu sungguh-sungguh?" Siau-bun tertawa.
Nona itu segera mengangsurkan sebuah benda. Ketika Thian-leng menyambuti, ia mengerang tertahan.
Kiranya Giok-ti-tho atau peta Telaga Zamrud! Sebelum masuk ke dalam istana Hek Gak, peta itu diserahkan kepada Siau-bun. Maksudnya agar si nona jangan turut masuk ke dlam istana. Apabila dirinya sampai tertimpa musibah. peta itu tetap berada di tangan Siau-bun. Tetapi ternyata si nona nekat ikut.
Kini badai telah berlalu. Mereka selamat dan peta pun kembali......
ooo0000oooo Lenyap tanpa bekas
"Terserah kau, " kata Siau-bun ketika menjawab pertanyaan Thian-leng tentang tempat tujuan yang hendak mereka tempuh. Tetapi sekalipun mulut mengatakan begitu, nona itu sudah mendahului ayunkan langkah.
Agak bingung rupanya Siau-bun mengenai tempat yang hendak dituju. Ada tempat yang ia merasa tak leluasa kalau mengajak pemuda itu. Ada pula tempat yang ia sendiri tak suka pergi. Dan yang paling menjadi pemikirannya ialah tentang Lu Bu-song. Bagaimanakah ia nanti menghadapi dara itu apabila bersua kembali.....
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang merintih.
"Tidakkah adik Bun mendengar suara rintihan...?"
"Eh, kau ini bagaimana. Dengan ilmu Melihat langit-mendengar bumi, bukan saja mendengar jelas, akupun bahkan dapat melihatnya. Itu kan hanya seorang yang kebetulan lewat di sini merasa tak enak badan maka beristirahat di bawah pohon. Mengapa kita ribut-ribut?" sahut Siau-bun.
Thian-leng tersentak diam. Tetapi baru beberapa tombak jauhnya, ia melihat seorang tua bersandar pada sebatang pohon. Orang itu mendekap perutnya sambil merintih-rintih. Tanpa menghiraukan bagaimana reaksi Siau-bun lagi, terus saja Thian-leng menghampiri tempat orang itu.
"Apakah lo-cianpwe sakit" Perlukah kubantu?" tanyanya.
Orang tua itu terus merintih-rintih. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti tak kuat lagi menyandar pada pohon. Buru-buru Thian-leng memapahnya, "Lo-cianpwe, maukah kuajak ke kota terdekat mencari tabib?"
Tiba-tiba orang tua itu meronta dari pegangan si anak muda, "Tak usah., penyakitku ini memang sering kumat, sebentar tentu sembuh!"
Thian-leng mengerutkan dahi. Ia merasa kasihan melihat seorang tua berpenyakitan berjalan seorang diri di malam buta. Tetapi ia terpaksa tak dapat memikirkan diri orang tua itu lebih lanjut, karena Siau-bun tak mengacuhkan sama sekali dan tetap berjalan terus. Sebentar saja nona itu sudah belasan tombak jauhnya.
"Terima kasih.... atas?"perhatian ..tuan".. kepadaku" si orang tua ini!" kata si orang tua dengan suara lemah.
Thian-leng hanya dapat menghela napas dan segera meninggalkan orang tua itu. Ternyata Siau-bun lambat sekali jalannya, seperti sengaja hendak menunggunya. Begitu si anak muda tiba, segera ia cebikan bibir dan menertawakannya, "Uh, ternyata kau seorang manusia yang berhati mulia!"
Tak tahu Thian-leng bagaimana harus menanggapi ucapan si nona. Artinya seperti orang memuji tetapi nadanya sinis sekali.
Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Angin terasa dingin. Sesaat kemudian Thian-leng menanyakan apakah si nona tidak dingin.
"Badan memang dingin, tetapi hatiku terasa hangat," Siau-bun memberi sebuah lirikan kepada pemuda itu. Gelora darah muda telah mendorong si nona menghampiri Thian-leng dan terus menjatuhkan diri di dada. Thian-leng terpaksa menyanggapi. Mereka berjalan sambil berpelukan.
Fajar hampir tiba. Tiba-tiba Thian-leng menjerit kaget, "Celaka!"
"Mengapa?" Siau-bun tersentak kaget.
Wajah Thian-leng tampak pucat, suaranya terbata-bata, "Pe".ta?" i".itu..." ia tak dapat melanjutkan kata-katanya, karena sibuk menggerayangi seluruh pakaiannya.
"Tenang," Siau-bun kerutkan dahi," katakanlah perlahan-lahan."
Masih Thian-leng banting-banting kaki, "Peta Telaga zamrut...."
"Apa" bagaimana dengan peta itu" Bukankah telah kau simpan dalam bajumu?" Siau-bun gugup.
Thian-leng menghela napas, "Benar, tetapi sekarang tak ada lagi!"
"Apa" Peta itu hilang?" Siau-bun melonjak kaget.
"Tentu jatuh, mari kita balik mencarinya," seru Thian-leng. Demikianlah keduanya segera balik menyusur sepanjang jalan yang dilaluinya tadi. Kalau thian-leng mati-matian mengamat-amati setiap benda yang tampak menggeletak di jalan, tidak demikian dengan Siau-bun. Nona itu diam-diam sudah membatin. Ia tahu bahwa pencariannya itu tentu akan sia-sia. Tak mungkin sebuah peta pusaka yang sudah disimpan sedemikian hati-hati, dapat jatuh di jalan. Dan andaikata benar-benar jatuh, tentulah juga sudah ditiup angin.
Kurang lebih dua jam lamanya mereka mencari, tetapi tetap tidak berhasil menemukan apa-apa. Saking jengkelnya Thian-leng hendak nekad mati. Siau-bun juga tak kurang gelisahnya. Kalau peta pusaka itu sampai jatuh di tangan orang Hek Gak atau Sin-bu Te-kun, hebatlah akibatnya.
Tiba-tiba Siau-bun mebanting-banting kaki, "Celaka, peta itu tidak jatuh tetapi terang dicuri orang!"
"HA" Dicuri orang?" Thian-leng tercengang. "Sejak keluar dari istana Hek Gak, kita toh belum berjumpa dengan siapa-siapa. Apalagi peta itu kusimpan hati-hati di dalam bajuku, bagaimana bisa dicuri orang..." ia berhenti seketika, seolah-olah seperti orang tersadar, "Adik Bun maksudkan si orang tua berpenyakitan itu tadi?"
"Siapa lagi kecuali dia!" kata Siau-bun dengan nada berat.
(bersambung ke jilid 15)
Jilid 15 . Thian-leng pucat. Kalau benar dicuri orang tua itu tentulah sukar mencarinya. Ia tak ingat lagi bagaimana potongan mukanya, kecuali hanya jenggot orang tua itu sudah putih, umurnya sekitar tujuh puluhan tahun, berpakaian seperti orang pertapaan. Tetapi siapa nama dan tempat tinggalnya, sama sekali tak diketahuinya. Jaraknya sudah berselang tiga jam, kemanakah harus mencarinya"
Makin terang pikiran Thian-leng menyoroti diri orang tua itu lebih jauh. Jelas orang itu seorang kaum persilatan yang sengaja berpura-pura sakit. Ia kena dipancing mentah-mentah.
Celaka! Jika orang itu kaki tangan Sin-bu Te-kun atau golongan jahat, bukankah ia berdosa terhadap It-bi siang-jin pencipta peta itu" Makin merenung makin kalaplah Thian-leng...
Siau-bun menghela napas, "Sekarang bukan saatnya mengeluh. Yang penting kita harus berdaya!"
"Bagaimana caranya?" Thian-leng menukas.
"Kalau begitu apakah kau hendak mati saja?" Siau-bun menyentil tajam, "putus asa berarti membunuh semua daya upaya!"
Kata-kata itu membuat Thian-leng tergerak. Ia membenarkan si nona. Sekalipun bunuh diri, urusan itu tetap tak tertolong. Akhirnya ia menanyakan pendapat si nona.
Kata Siau-bun, "Bahwa It-bi siangjin telah meninggal di gunung Thay-heng-san dengan menyembunyikan kitab pusakanya, telah diketahui lama oleh orang persilatan!"
Thian-leng mengiyakan, "Benar, tetapi Thay-heng-san demikian luasnya, apakah kita harus menggali tiap jengkal tanahnya! Kalau tidak sesukar itu, tentulah kitab itu tak berharga!"
"Apakah tujuan orang yang mencuri peta itu?" tiba-tiba Siau-bun menyeletuk.
"Sudah tentu hendak meyakinkan isinya!"
"Kalau begitu, dia tentu akan menuju ke gunung Thay-heng-san".."
"Oh". " Thian-leng mengerang.
"Masih ingatkah kau akan wajahnya?"
"Hanya samar-samar, tetapi kalau berjumpa muka tentu dapat mengenalnya!"
Siau-bun menghela napas, "Sekalipun tipis harapannya, tetapi tiada jalan lain!"
"Jadi adik Bun Juga....."
"Sudah tentu aku pergi, ayo berangkat sekarang juga!"
oo000oo Liu-ke-cip merupakan sebuah kota kecil di kaki gunung Thay-heng-san. Perdagangan kota itu cukup ramai karena merupakan pusat lalu lintas keluar masuk gunung Thay-heng-san.
Sepasang muda-mudi tampak berjalan perlahan-lahan memasuki Liu-ke-cip. Kecakapan si pemuda dan kecantikan si pemudi memikat orang-orang yang berada di jalan. Tetapi mereka tak menghiraukan perhatian orang-orang. Si pemuda tampak murung wajahnya, si pemudi bersikap diam. Mata si pemuda tak henti-hentinya berkeliaran memandang orang-orang yang ditemuinya. Tetapi selalu kecewa.
Tiba-tiba seorang pengemis tua lewat di samping pemuda itu dan berhenti. Ketika pengemis itu melihat thong-pay (lencana tembaga) yang terpampang pada dada si pemuda, ia terbeliak kaget. Setelah memandang ke sekeliling, barulah pengemis itu mendekati si pemuda, bisiknya, "Bolehkan aku bicara sebentar pada tuan?"
Gerak-gerik pengemis itu memang telah diperhatikan si pemuda. Si pemudipun serentak gunakan ilmu menyusup sura bertanya kepada kawannya, "Apakah orang ini?"
"Bukan," pemuda itu gelengkan kepala. Kemudian ia minta si pengemis menjelaskan semuanya.
Pengemis tua tampak gelisah, ujarnya, "Tetapi di sini kurang leluasa bicara, sebaiknya......"
Sejenak pemuda itu melirik ke arah si pemudi, lalu anggukkan kepala, "Baiklah silakan menunjukkan tempatnya."
Pengemis itu bersikap menghormat sekali. Ia segera berjalan lebih dahulu. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di luar kota dan masuk ke dalam sebuah biara tua. Karena terlantar, biara itu menjadi pusat tempat tinggal kaum pengemis.
Arca-arca dalam biara itu jungkir balik berserakan tak teratur. Sarang galagasi tampak di mana-mana, tetapi pada meja sembahyang terdapat sebuah lampu yang masih memancarkan cahaya redup.
"Katakanlah apa maksud bapak ini," kata si pemuda.
"Terlebih dahulu hamba mohon tanya nama tuan?" jawab si pengemis dengan nada menghormat.
"Aku Bu-beng-jin, " sahut si pemuda yang bukan lain ialah Thian-leng.
Pengemis itu terbeliak, "Lencana Kiu-pang tong pay yang Bu-beng siauhiap bawa itu, entah berasal dari mana?"
"Jadi bapak membawa kami kemari ini, untuk urusan itu?" tegur Thian-leng.
Lencana yang tergantung pada lehernya itu adalah pemberian Thiat-ik-sin-kay ( pengemis sakti berbulu besi ) Auyang Beng. dia tak menaruh perhatian kepada benda itu, maka tanpa disadari digantungnya lencana itu pada lehernya.
Sama sekali tak disangkanya bahwa benda itu telah menimbulkan perhatian pengemis tua itu.
Seketika wajah pengemis tua itu berobah gelap, serunya, "Ya, harap siauhiap...."
"Lencana ini pemberian seorang cianpwe. Jika bapak suka pada benda ini, ambil ah..."
"Tidak.. .tidak!" pengemis tua itu tersipu-sipu menolak. " Hamba tak berani mengambilnya".. tetapi sukalah siauhiap memberitahukan nama cianpwe itu?"
"Orang she Auyang bernama Beng, Orang persilatan memberi gelar nama Thiat-ik-sin-kay. Kenalkah bapak padanya?"
Tiba-tiba pengemis itu bercucuran air mata dan serentak jatuhkan diri berlutut seraya berseru nyaring, "Murid Kay-bun yang menjabat ketua Letong, yakni Lau Gik-siu menghaturkan hormat kepada ketua!"
"Apa".... jangan berolok-olok!" Thian-leng berseru kaget.
Pengemis tua itu tak menghiraukan jeritan si anak muda dan berseru dengan nada bengis, "Ketua telah datang, mengapa kalian tak lekas-lekas memberi hormat!"
Terdengarlah suara pekik bergemuruh dan berpuluh-puluh pengmis tampak muncul dari balik ruang, mereka serempak berlutut di hadapan Thian-leng dan berseru, "Kami sekalian menghaturkan hormat kepada ketua!"
Thian-leng bingung tak keruan. Tak tahu ia bagaimana harus menghadapi puluhan pengemis itu. Ia banting-banting kaki.
"Ah, wajiblah kuberi selamat padamu, ih, ternyata kau juga seorang ketua!"Siau-bun tertawa ringan.
"Hai, mengapa kau juga memperolok diriku?"?"." Thian-leng makin kelabakan. Tiba-tiba ia ingat akan kecerdikan si nona. Ditatapnya nona itu dengan pandangan minta bantuan, "Bagaimana nih, " ia tertawa masam.
"Kan baik?" Siau-bun tertawa
Melihat si nona tetap berolok, segera Thian-leng menarik Lau Gik-siu bangun, bentaknya, "Apa-apaan ini" Lekas terangkan yang jelas, atau aku segera tinggalkan tempat ini!"
Lau Gik-siu kembali menjura dengan hormat sekali, ujarnya."Apakah ketua tahu di mana berjumpa dengan Thiat-ik-sin-kay?"
"Tolol, aku bukan ketua kalian. Aku tak peduli siapa itu Thiat-ik sin-kay!"
"Tetapi sekarang kau adalah ketua kami!" Lau Gik-siu berkata dengan yakin.
"Mengapa?"
"Karena kau sudah menerima lencana Kiu-pang thong-pay dari kakek guru kami!"
"Kiu-pang-thong-pay Thiat-ik Sin-kay, aku tak peduli! Jika karena gara-gara lencana ini, sekarang aku kembalikan saja kepadamu!" Thian-leng terus menarik lencana dari lehernya, diberikan kepada Lau Gik-siu.
Tiba-tiba Siau-bun menepuk bahu Thian-leng,"Tak dapatkah kau menimbang lagi?"
Thian-leng menarik pulang tangannya. Dilihatnya nona itu memberinya sebuah lirikan yang memperbesar semangat.
Rupanya nona itu tak menentang atas dijadikannya Thian-leng sebagai ketua partai pengemis.
Akhirnya ia geleng-geleng kepala dan menghela napas. Gerutunya seorang diri, "Mengapa nasibku penuh dnegan peristiwa-peristiwa aneh...."
"Eh, apa kau hendak membairkan mereka berlutut terus?" tegur Siau-bun.
Memang saat itu berpuluh-puluh pengemis masih berlutut di hadapannya. Terpaksa ia menyuruh mereka bangkit.
Merekapun menurut dan berdiri di samping.
"Murid telah menerima berita rahasia yang dibawa burung. Kakek guru Thiat-ik-sin-kay menyuruh kami beramai-ramai menunggu di sini untuk menyambut kedatangan ketua baru. Ternyata hal itu benar." kata Lau Gik-siu.
"Apakah kedudukan Thiat-ik-sin-kay dalam partai kay-pang?" buru-buru Thian-leng minta keterangan.
"Ahli waris dari angkatan yang dulu, tetapi kini menjadi kakek guru kaum kami!"
"Lalu kemana ketuamu itu?"
"Beberapa hari yang lalu telah menigngal dunia di bawah lambaian Panji Tengkorak Darah!"
"Panji Tengkorak Darah?"
"Ya, atau berarti mati di tangan Hun-tiong Sin-mo!"
"Kaum jembel tersebar di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu besar, masakah tak dapat memeriksa berita yang palsu dan benar?"
Lau Gik-siu tertegun, "Maksud nona...?"
"Panji Tengkorak darah itu palsu!" Siau-bun berseru pula dengan tegas.
"Palsu?"
"Ya. Hanya bikinan dari orang Sin-bu-kiong belaka. Untuk mengelabui mata dunia persilatan. Dia memfitnah Hun-tiong Sin-mo agar dibenci oleh dunia. Kemudian dapatlah ia mengeduk keuntungan dari kekeruhan itu. Memang dia telah mainkan sebuah tipu muslihat yang luar biasa pintarnya!"
Seluruh mata pengemis ditumpahkan ke arah Thian-leng. Seolah-olah mereka hendak meminta tanggapan Thianleng.
"Ya, memang benar!" tanpa ragu-ragu Thian-leng serentak memberi pernyataan.
Terdengar gemuruh sorak para pengemis, "Mohon ketua suka memberi keputusan untuk membalaskan sakit hati mendiang pangcu!"
"Tentu". " tiba-tiba ia tertegun sejenak, "atas kepercayaan Thiat-ik-sin-kay dan dukungan saudara-saudara sekalian, aku akan mencurahkan segenap tenaga untuk membalaskan sakit hati almarhum ketua kalian!"
Terdengar tempik sorak gegap gempita. Dari pernyataan itu jelaslah bahwa Thian-leng sudah menerima pengangkatannya sebagai ketua Kaypang. Ternyata pengemis-pengemis
yang berkumpul di situ adalah ketua-ketua daerah dari berbagai tempat. Atas petunjuk Thiat-ik-sin-kay, mereka berbondong-bondong menuju ke gunung Thay-heng-san menunggu kedatangan ketua baru.
Tetapi perhitungan Thiat-ik-sin-kay itu meleset sedikit. Dia memperhitungkan di kala
Thian-leng tiba di gunung Thay-heng-san itu tentu sudah memperoleh kitab pusaka dan harta karun. Siapa tahu ternyata peta itu telah hilang dan kedatangan Thian-leng hanyalah hendak menyelidiki jejak si orang tua yang telah mencuri peta.
Tiba-tiba Siau-bun gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, "Anggota Kay-pang tersebar luas di seluruh negeri. Pengaruhnya tentu luas sekali. Oleh karena kini kau telah menjadi ketua mereka, mengapa tak memberitahukan kehilangan peta itu kepada mereka dan memerintahkan mereka mencarinya?"
Thian-leng anggap pernyataan nona itu tepat. Segera ia menarik Lau Gik-siu ke samping dan membisikinya perlahan-lahan. Wajah Lau Gik-siu berobah membesi. Pengemis tua itu mengangguk-angguk, "Murid segera akan menyebar pengumuman ke seluruh daerah. Begitu ada berita tentu akan segera memberi laporan pada pangcu.... Tetapi saat ini pangcu hendak pergi ke.....?"
"Aku hendak menjelajahi gunung ini. Urusan partai yang penting-penting untuk sementara ini kaulah yang mengurusi." sahut Thian-leng.
Serta-meta Lau Gik-siu mengiyakan. Ia berlutut di hadapan Thian-leng di kuti oleh berpuluh-puluh pimpinan cabang kay-pang di daerah-daerah. "Memujikan pangcu selalu diberkahi keselamatan dalam perjalanan!"
Thian-leng tak tahu harus bertindak bagaimana menyambut penghormatan itu. Akhirnya ia mnyuruh mereka bangun, kemudian mengajak Siau-bun meninggalkan biara itu. Mereka hendak buru-buru mencapai puncak gunung untuk menikmati pemandangan matahari terbit.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat ke dalam hutan. Gerakannya gesit sekali, pasti seorang tokoh persilatan.
"Adik Bun, tolong gunakan ilmu Melihat-langit-mendengar-bumi."
" Hanya karena seorang ya-heng-jin ( orang persilatan yang berjalan tengah malam) lantas menggunakan ilmu tersebut, sungguh keterlaluan."
Tetapi kata-katanya itu terputus oleh terdengarnya jeritan ngeri menyayat hati yang berasal dari arah hutan. Itulah jerit pembunuhan!
Cepat sekali Thian-leng segera ajak Siau-bun. Bahkan ia sudah mendahului loncat menuju ke dalam hutan. Begitu tiba, hidungnya mencium bau darah"..
"Jangan kesusu! Hati-hati terhadap perangkap orang!" Siau-bun memberi peringatan dengan ilmu menyusup suara.
Thian-leng mencabut pedang dan berjalan dengan hati-hati. Apa yang dilihatnya membuat bulu romanya berdiri".
Di tengah hutan situ tampak belasan mayat berserakan mengerikan. Hampir Thian-leng muntah karena tak tahan baunya. Mayat-mayat itu tak utuh, tangan, kaki, lengan, paha, badan dan kepala mereka hancur lebur, ada yang terpisah badan. Usus dan otak berhamburan keluar. Ya, pendeknya mayat-mayat itu seperti dicincang-cincang sehingga tak dapat dikenali lagi.
Tiba-tiba Thian-leng melihat ada seorang yang sekalipun tubuhnya sudah tak keruan tapi dadanya masih berkembang kempis tanda masih bernapas. Buru-buru dihampirinya orang itu. Seorang muda yang cakap. Keadaannya payah sekali, tetapi ia masih dapat paksakan dirinya brseru, "Di muka puncak Co-gan-hong"..!" Habis mengucapkan, orang itu pingsan tak ingat diri lagi.
Thian-leng menempelkan tangannya ke perut orang itu. Ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk menolong. Tak berapa lama orang itupun dapat menghela napas lagi.
"Apa maksudmu tadi?" tegur Thian-leng.
Dengan susah payah, orang itu berkata, "Pertempuran besar segera terjadi. Ketua kami di?" kurung oleh beberapa orang tak dikenal?""lekas".lekas bantu!"
Thian-leng tercengang. Ia berpaling kepada Siau-bun. Nona itupun tampak mengerutkan dahi. Thian-leng menyalurkan tenaga dalamnya lagi kepada orang itu. Setelah orang itu sadar lagi, buru-buru ditanyanya, "Siapakah mayat-mayat ini. Siapa yang membunuhnya?"
"Orang-orang partaiku...."
"Apa partai perguruanmu itu?" tanya Thian-leng.
Orang itu sudah tak kuat lagi, namun hatinya keras sekali. Dengan seluruh sisa tenaganya, ia membuka mata dan memandang Thian-leng.
Thian-leng tak tahu apakah orang itu dapat melihatnya jelas, tetapi yang jelas ia mendengar mulut orang itu mengucapkan beberapa patah kata lemah, " Tiam...jong....."
"Tiam-jong?" tiba-tiba Siau-bun melonjak kaget. Demikian pula Thian-lengpun tak kurang kagetnya. Teringat ia akan si Jenggot Perak ketua Thiat-hiat-bun yang mengundang sekalian orang gagah datang ke gunung Tiam-jong-san.
Teringat juga betapa ketua Sin-bu-kiong telah menyatakan bahwa dalam tiga hari nanti ia akan ngeluruk ke Tiam-jong-san.
Dan saat ini anak buah Tiam-jong-pay telah dibunuh musuh yang tak dikenal dan ketua merekapun telah dikurung oleh orang! Thian-leng meminta penjelasan lagi, tapi ternyata orang itu sudah putus nyawanya......
Wajah Siau-bun berobah pucat sekali. Jelas bahwa ia sangat dipengaruhi oleh kejadian saat itu. Buru-buru ia mengajak Thian-leng, "Ayo, cepat ke Co-gan-hong!"
"Di manakah letak puncak itu?" tanya Thian-leng.
"Masakah kau lupa akan ilmuku Melihat-langit-mendengar-bumi".." dan tanpa menunggu jawaban si anak muda lagi, Siau-bun terus lari mendahului.
Tampaknya Siau-bun paham sekali akan jalan di gunung itu. Kira-kira berlari satu li, tampak sebuah puncak gunung yang menjulang tinggi ke langit.
"Tentu puncak Co-gan-hong, " kata Siau-bun.
Thian-leng melihat puncak itu penuh dengan lereng dan tebing yang curam, tetapi tak tampak barang seorangpun di sana. Siau-bun membaringkan diri memasang telinga.
"Bagaimana?" tanya Thian-leng.
Siau-bun mengerutkan dahi, "Aneh, seluas limapuluhan tombak tak terdengar suara orang!"
Tetapi ucapannya itu terputus oleh suara tertawa nyaring bernada sinis. Siau-bun dan Thian-leng tersentak kaget.
Orang itu muncul tanpa suara sama sekali. Dan serentak dengan tertawa itu, orangnya pun terdengar berseru mengejek, "Oho, jangan-jangan ilmumu Melihat langit mendengar bumi tak mempan lagi!"
Kedua muda mudi itu cepat memutar ke arah datangnya suara. Ah, seorang lelaki bertubuh kurus pendek dalam pakaian merah yang berlapis mantel biru. Dia memelihara jenggot kambing.
Sin-bu Te-kun! Thian-leng segera meraba pedangnya. Ia siap sedia menghadapi momok itu. Namun Sin-bu Te-kun hanya ganda tertawa, "Buyung, apakah hal yang paling dihormati kaum persilatan?"
Jago Kelana 5 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Sepercik Darah 2