Pencarian

Pedang 3 Dimensi 13

Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Bagian 13


"Tidak, tidak baik. nona. Menjadi nikouw karena patah hati bukanlah perbuatan benar. Kalau kau masih mencintai suhengmu itu dan semata sakit hati kepadanya karena merasa dipermainkan sebaiknya masalah itu ditanyakan baik-baik, jangan begini dan aku tak dapat menerima. Tuhan tak akan mengabulkan permintaanmu itu"
"Tapi aku tak tahan, suthai. Aku merasa ingin bunuh diri"
"Ah, tak baik, nona. Perbuatanmu pun menerima cintanya Hu-kongcu (tuan muda Hu) sudah membuatmu berdosa. Kau menipu orang yang mau mati. Kau harus menebus ini dengan jalan yang benar Tidak berpura-pura!"
"Tapi...."
"Sudahlah, kau masih mencintai suheng-mu, bukan" Menjadi nikouw harus bebas dari semua masalah begini, nona. Kalau hatimu masih lekat kepada suhengmu itu maka pinni (aku) tak dapat menerima. Kau tak berbakat menjadi nikouw!"
Salima menangis. Tiba-tiba gadis itu menubruk nikouw tua ini dan tersedu sedu, gunting di tangannya diambil alih. Dia tak tahu kedatangan Kim-mou-eng karena seluruh pikirannya tercurah pada persoalan pribadi, juga barangkali tak mengira bahwa suhengnya akan menemukannya di situ.
Maka begitu percakapan ini selesai dan Kim-mou-eng tak tahan tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu berseru menangkap sumoinya. "Sumoi....!"
Salima terkejut. Kedatangan dan seruan suhengnya ini membuat gadis itu terkesiap, lengannya dipegang dan tahu tahu ia telah berhadapan dengan suhengnya itu. Suhengnya gemetar, ber-kaca-kaca. menggigil. Tapi begitu sadar dan kaget serta marah tiba-tiba Salima melengking dan mengebas lengannya.
"Jangan sentuh aku!"
Kim-mou-eng terhuyung. Nikouw tua yang terkejut serta mengerutkan kening itu terdorong. Lalu mengucap puji puji dan merangkapkan kedua tangannya.
Salima beringas, keadaan dinilai tidak baik. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluh dan Salima siap menyerang tiba-tiba nikouw ini maju menghalangi dengan sapaan lembut "Kau Kim-mou-eng, taihiap" Suheng nona ini" Ah, pinni telah mendengar tentang kalian. Tak perlu menyerang dan tekan semua kemarahan di hati. Kalau ingin bicara silahkan bicara baik baik, pinni tak suka keributan. Ini rumah pinni. Biarlah pinni siapkan minuman dingin untuk kalian dan kalian bicaralah," nikouw itu membungkuk, memberi isyarat halus dan segera mundur memberi kesempatan pada dua muda mudi itu.
Salima sadar dan menekan kemarahannya, betapapun dia bukan di rumah sendiri. Dan ketika suhengnya menggigil dan matanya sendu gadis ini membentak tak dapat menahan kemarahannya.
"Kau mau apa" Ada apa datang ke sini?"
Kim-mou-eng memegang lengan sumoinya, nekat. "Aku datang untuk menemuimu, sumoi. Kenapa kau menyembunyikan diri dan melakukan semuanya itu?"
"Apa yang kulakukan" Apa perdulimu?"
"Ah, tentu saja aku perduli. Sumoi. Aku penasaran. Aku ingin bertanya kenapa kau menerima cinta Hu-kongcu itu dan meninggalkan aku?"
"Hm!" Salima mengibaskan lengannya kembali, matanya dingin menusuk tajam "Itu bukan urusanmu, suheng. Itu urusanku pribadi!"
"Tidak, urusanmu berarti urusanku juga, sumoi. Kau mengkhianati cinta kita dan berpaling. Aku tak mengerti kenapa kau mencium pemuda itu segala dan berani berkata cinta!" Kim-mou-eng panas, lepas kendali dan dia geram memandang sumoinya ini.
Memang teringat adegan itu hatinya terbakar bukan main. Coba, sumoinya mencium mesra pemuda lain di depan hidungnya, bahkan mendekap dan peluk-peluk segala. Siapa tidak panas" Dan Kim-mou-eng yang marah menegur sumoinya itu tiba-tiba disambut ketawa aneh dan Salima geli, menjengek.
"Suheng, di antara kita barangkali apa yang kulakukan itu tidak seberapa. Lihat dirimu, tengok dirimu. Berapa kali kau melakukan adegan lebih seram dengan Cao Cun atau wanita lain" Berapa kali kau kumpul intim dengan Hu-siocia yang cantik manis itu" Hm, jangan buru buru menuduh aku berpaling, suheng. Justeru kaulah yang berkhianat dan tidak memperdulikan aku. Kau mempermainkan aku, kau menyakiti aku. Jadi kalau aku menerima cinta pemuda lain dan menciumnya segala itu adalah hakku. Kau tak usah marah!"
Kim-mou-eng menggigil. "Tapi kau menipu, sumoi. Kau berpura-pura!"
"Apa maksudmu?" Salima terkejut.
"Hm....!" Kim-mou-eng menyambar lagi lengan sumoinya, mencengkeramnya erat. tak mau melepasnya. "Kau masih mencintaiku, sumoi. Dan akupun mencintaimu. Kalau kau menyatakan semua tuduhan itu kepadaku maka kau adalah keliru. Kau salah. Aku tak pernah mempermainkanmu dan sama sekali tak ada niat mempermainkanmu. Aku telah mendengar apa yang dibicarakan nikouw tadi dan cintamu terhadap Beng An adalah pura pura. Bohong!"
Salima gemetar, terpekik, meronta dan mau melepaskan diri tapi suhengnya tak mau melepaskan gadis itu. Kim-mou-eng merah padam dan berkata lagi bahwa ikalan batin di antara mereka tak mungkin putus, hubungan cinta di antara mereka tetap terpatri dan Salima mengeluh.
Dan ketika Kim-mou-eng memberi tahu bahwa percakapan sumoinya dengan nikouw tadi telah didengar semua dan kenyataan gadis itu hendak mencukur rambut sebagai tanda patah hati maka Kim-mou-eng menyambar dan memeluk sumoinya ini, menggigil, "Sumoi. tuduhan apalagi yang hendak kau berikan kepadaku" Perkiraan apalagi yang mengotori benakmu" Kau boleh tanya asal mula hubunganku dengan Cao Cun, sumoi. Tanyalah Wang taijin itu kenapa dia mula-mula hendak menjodohkan aku dengan puterinya tapi kutolak. Kenapa aku masih terikat dengan Cao Cun karena semata tanggung jawabku yang ingin menyelamatkan gadis itu dari kekejaman Mao-taijin. Tapi semuanya gagal, Cao Cun akhirnya menjadi isteri seorang bangsa liar dan aku dituduh sana-sini, difitnah sana-sini dan Cao Cun sendiri tak kurang kurangnya menyangka aku jelek. Tak ku sangkal bahwa Cao Cun mencintaiku, tapi aku tak dapat menerimanya karena aku mencintaimu, sumoi. Dan aku berkali-kali meninggalkan gadis itu semata teringat dirimu. Sekarang kau bicara yang tidak-tidak, lalu penjelasan apalagi yang harus kuterangkan?"
Pendekar Rambut Emas menceritakan semuanya, mulai dari perkenalannya dengan Cao Cun sampai berpisahnya dia dengan puteri Wang taijin itu, diambilnya Cao Cun oleh pemimpin bangsa liar di utara sana dan betapa Cao Cun menderita. Sesungguhnya dia tak dapat menerima putri Wang taijin itu karena dia mencinta sumoinya. Salima terbelalak dan masih ragu, ada terbayang ketidakpercayaan dan Kim-mou-eng meneruskan, bahwa semua hubungannya dengan Cao Cun dulu semata hubungan biasa. Cao Cun memang mencintanya dan terpaksa dia harus bersikap luwes, berkali-kali gadis itu hendak bunuh diri dan dia menyelamatkan, satu di antaranya adalah terpaksa berbohong dengan mengaku cinta pula kepada gadis itu, hampir mirip dengan apa yang telah dilakukan sumoinya terhadap Beng An, meskipun dasar dari dua perbuatan itu berbeda. Salima melakukan itu karena dendam, sedang Kim mou-eng tidak. Dan ketika satu demi satu dia menceritakan segala keruwetannya dan betapa dia mencinta sumoinya maka Salima mengguguk namun masih menuding Swat Lian, putri Hu taihiap itu.
"Baiklah, tapi bagaimana sekarang dengan puteri Hu-taihiap itu, suheng" Bukankah kau mengaku cinta di depan kakaknya?"
"Maksudmu?"
"Kau menyatakan telah mempunyai tambatan hati, suheng. Dan yang kaumaksud tentulah puteri Hu-taihiap itu, karena gadis itu memang ada di dekatmu. Nah, apa keteranganmu untuk ini?"
"Salah, kau lagi-lagi keliru, sumoi. Dalam pengakuanku terhadap Beng An sama sekali tak kusebut nama gadis yang kucinta. Beng An sih paham kalau mengira gadis yang kumaksud adalah adiknya, karena kau pun saat itu ada di sana. Dan karena pemuda itu keburu menanyakah dirimu dan gembira mengira aku mencintai adiknya maka aku diam saja ketika dia tak mendesak."
"Jadi kau berbohong?"
"Aku tidak berbohong, sumoi. Hanya aku tidak menyatakan terus terang siapa gadis yang kucinta karena pemuda itu memang tidak mendesak. Nah, sekarang kuulangi kepadamu bahwa aku tetap mencintaimu. Hubunganku dengan Hu siocia itu biasa biasa saja karena aku sendiri memang tidak ada hati kepadanya."
"Kalau dia yang ada hati kepadamu?"
"Aku tak mungkin menerimanya, sumoi. Aku telah memilih dirimu dan ikatan kita pun cukup lama. Aku berani sumpah hanya kaulah yang kucintai, bukan Cao Cun atau Swat Lian. Apalagi Cao Cun telah menjadi isteri orang lain dan tak mungkin aku bersikap gila dengan mencintai wanita yang telah menjadi ibu!"
"Ooh....!"
Kim-mou-eng terkejut. Sumoinya mengeluarkan keluhan itu berbareng dengan sebuah keluhan lain di samping mereka. Sesosok bayangan berkelebat dan Kim-mou-eng kaget. Cepat dia melepaskan sumuinya dan menengok. Salima juga begitu dan begitu mereka melihat siapa bayangan itu, Kim-mou-eng tertegun berseru tertahan, "Lian-moi....!"
Salima tersentak. Lagi-lagi dalam kelengahan diri sendiri yang terlampau terlibat dalam urusan pribadi mereka sama-sama tak mendengar gerakan orang lain. Swat Lian, puteri Hu Beng Kui itu mengintai. Apa yang dikata Kim-mou-eng dalam ucapannya yang terakhir tadi membuat Swat Lian terhuyung, nyaris menjerit dan gadis ini limbung. Baru sekarang dia tahu bahwa "Kim siucai" yang dicintainya itu adalah Pendekar Rambut Emas, pemuda yang telah memiliki pilihan hati sendiri dan orang yang dipilih itu bukan lain adalah sumoinya sendiri, Tiat ciang Sian li Salima.
Dan karena Swat Lian tak tahan dan cerita demi cerita yang dibeberkan Kim-mou-eng itu membuat kesadarannya akan orang yang ia cintai mendadak gadis ini mengeluh dan berkelebat keluar. Tak dapat menahan kehancurannya dan kebetulan juga keluhannya berbareng dengan keluhan Salima. Dan karena keluhan Salima adalah keluhan bahagia sementara keluhan puteri Hu taihiap ini adalah keluhan hati yang hancur maka Swat Lian tak dapat menyembunyikan tangisnya dan tersedu meninggalkan kelenteng itu, mau dikejar tapi Kim-mou-eng tertegun. Dia teringat sumoinya di situ, Salima membiarkan dan seolah menguji sunengnya ini apakah kata-katanya benar atau tidak. Dan karena Kim-mou-eng tercekat hatinya dan tentu saja dia tak berani mengejar akhirnya pendekar ini menggigil menangkap sumoinya.
"Nah, kau lihat, sumoi" Lagi-lagi seorang menjadi korban!"
Salima percaya. Sekarang dia pun tertegun seperti suhengnya itu, memandang kepergian Swat Lian dan terisak. Betapapun, dia dapat merasakan kehancuran hati puteri Hu Beng Kui itu dan mengangguk. Suhengnya benar, dia tetap merupakan pilihan suhengnya. Dan ketika suhengnya memeiuk dan gadis ini menangis tiba-tiba Salima menubruk suhengnya meminta maaf.
"Suheng, maafkan aku. Kiranya aku terlampau berprasangka!"
Kim-mou-eng menggigit bibir. Dalam saat seperti itu tak ada lagi kata kata yang indah selain pandang mata dan sikap yang lembut, cepat membelai sumoinya ini dan mengusap rambutnya. Dan ketika wajah itu diungkap dan Kim-mou-eng menundukkan muka tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu telah mencium sumoinya.
"Sumoi....!"
"Suheng.....!"
Dua tubuh itu lekat menjadi satu. Bayangan Swat Lian sudah mereka lupakan dengan cepat. Kebahagiaan itu telah menjadi milik mereka dan Salima mengeluh. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya dia memihta maaf pada suhengnya itu, menyambut dan segera mencium suhengnya dengan sedu-sedan yang tertahan di kerongkongan. Dan ketika mereka lupa diri dan saling melumat serta menumpahkan kasih sayang tiba-tiba seruan lembut menyadarkan mereka, "Kim-taihiap, minuman dingin telah tersedia untuk kalian....!"
Kim-mou-eng cepat melepaskan sumoinya. Bibir yang basah bekas mencium gugup dibersihkan, Kim-mou-eng merah padam dan melihat nikouw tua itu telah berada di situ. Tentu saja dia kikuk. Tapi Salima yang bahagia serta melangkah maju dengan pipi kemerah-merahan sudah menyambut nikouw ini dan memeluk penuh haru
"Suthai, aku telah menemukan kebahagiaan ku. Kau benar, maafkan semua kesesatanku dan biarlah kuturuti semua nasihatmu demi kebaikanku juga. Aku sadar," Dan menoleh memandang suhengnya Salima memperkenalkan, "suheng. Inilah Ui Sim Nikouw. Beberapa hari ini aku tinggal di sini dan dialah yang selalu menasihati aku."
Kim-mou-eng menjura. "Terima kasih, aku gembira kau telah menolong sumoiku, suthai. Semoga Tuhan membalas budimu."
"Ah, kenapa kalian ini. Justeru pinni yang merasa bahagia kalian dapat rujuk kembali. Kim taihiap. Pinni tahu bahwa sumoimu masih mencintaimu!"
"Ya, dan aku hampir putus asa, suthai. Untung Cu ciangkun yang memberitahukan kepada ku di mana sumoiku yang nakal ini. Kalau tidak tentu aku tak dapat menemukannya dan barang kali dia sudah terjadi nikouw!"
"Ah....!" dan Ui Sim Nikouw yang tertawa memandang Salima lalu memberikan minuman di tangannya itu, geli dan menyuruh mereka minum. Salima menunduk dengan muka merah, malu dia teringat perbuatannya itu. Dan ketika mereka tertawa dan Ui Sim Nikouw memberi banyak nasihat kepada mereka akhirnya nikouw ini menyudahi dengan kata-kata manis. "Sudahlah, sekarang semuanya berakhir, Kim-taihiap. Aku merasa gembira kalian dapat bersatu lagi. Hanya sebelum kalian pergi barangkali pinni perlu mengingatkan lagi agar kalian bersikap lebih terbuka satu sama lain. tetap jujur satu sama lain dan tidak gampang menuruti panasnya hati. Bukankah kalian mendambakan kebahagiaan?"
"Ya, terima kasih, suthai. Kami akan selalu menperhatikan ini"
"Dan kapan kalian meresmikan pernikahan?"
Kim-mou-eng melirik sumoinya. "Terserah dia...." katanya menggoda.
"Ih, kenapa aku, suheng" Kau laki-laki, kaulah yang menentukan!" Salima semburat.
"Sudahlah, pinni harap kalian secepatnya menikah, taihiap. Dan pinni menyertai kalian dalam doa. Sampaikan salam pinni untuk guru kalian manusia dewa Bu-beng Sian-su itu. Sekarang kalian akan segera kembali ke suku bangsa kalian?"
"Ya, tapi setelah ke rumah Hu-taihiap dulu. suthai Aku akan ke sana mengambil Sam kong-kiam"
Kening nikouw itu tiba-tiba berkerut. "Belum selesai?"
"Belum."
"Baikiah, hati-hatilah, taihiap. Aku tak mau bicara tentang ini dan selamat menemukan jalan kebahagiaan!" nikouw itu merangkapkan tangan, tahu Pendekar Rambut Emas tak akan mungkin berlama-lama lagi di situ dengan kekasihnya. Urusan mereka telah beres Dan ketika Pendekar Rambut Emas juga menjura dan Salima memeluk nikouw ini maka Salima berbisik akan mengundang nikouw itu bila saat pernikahan tiba, disambut senyum dan anggukan nikouw ini dan Salima mengusap dua titik air matanya.
Perjumpaan dengan Ui Sim Nikouw memberikan suatu kesan yang dalam, tak mungkin gadis itu melupakanny. Dan begitu mereka minta diri dan kembali mengucap terima kasih maka Kim-mou-eng berkelebat menyambar sumoinya, meninggalkan tempat itu, dipandang penuh haru dan mata berkaca-kaca oleh nikouw tua ini. Ui Sim Nikouw sendiri menitikkan dua titik air matanya yang jatuh tanpa terasa. Tapi begitu keduanya lenyap dan nikouw ini membalikkan tubuh maka dia memasuki kamarnya uan berkemak kemik membaca doa.
==abu0dwkz0sumahan==
"Taihiap, Hu Beng Kui telah menunggumu. Ah, ini sumoimu telah datang" Bagus, kami gembira sekali. Mari, taihiap, kita masuk dan temui si jago pedang itu!" Cu-ciangkun menyambut, berseru girang dan melihat Kim-mou-eng telah berhasil membawa sumoinya. Dua orang muda itu tampak bahagia, Salima tersenyum-senyum. Cu ciangkun cepat menangkap bahwa persoalan di antara suheng dan sumoi itu telah selesai, tentu saja panglima ini gembira. Dan ketika bersama dua temannya yang lain dia memasuki rumah Hu taihiap dan disambut Gwan Beng dan Hauw Kam ternyata kedatangan mereka memang telah dinanti pendekar tua itu.
"Silahkan, suhu telah menanti kalian. Harap Kim taihiap masuk dan mari kuantar."
Kim-mou-eng dan teman temannya diantar. Bersama dua murid tertua Hu Beng Kui yang masih ada mereka memasuki rumah besar itu, Kim-mou-eng berdebar dan melirik sana-sini, mencari Swat Lian namun tak ketemu. Agak tenang juga dia. Dan ketika mereka terus ke dalam dan akhirnya disuruh menunggu di sebuah ruangan yang besar dan luas maka di sini rombongan itu duduk dan Kauw Kam serta suhengnya melapor ke belakang, tak lama kemudian keluar lagi dan Hu Beng Kui muncul. Jago pedang ini muram, lengan kirinya yang buntung masih tak mengurangi kewibawaannya yang besar, matanya tajam berkilat. Dan ketika Kim-mou-eng berdiri dan semua orang memberi hormat maka jago pedang iiu bersinar-sinar memandang Kim-mou-eng, Sam-kong-kiam berada di belakang punggung dan tampak garang.
"Kalian menepati janji" Bagus, aku tak sabar menunggu kedatanganmu, Kim-mou-eng. Dan kebetulan sekali kau datang bersama sumoimu!"
Kim-mou-eng berdebar. "Maaf, aku diminta orang-orang ini untuk mengambil Sam-kong kiam, Hu taihiap. Sebenarnya alangkah baiknya apabila ini kulakukan tanpa bertempur"
"Tak mungkin, kau telah memasuki pibu. Dan aku memperoleh pedang ini juga dengan keringat. Mari, kita ke belakang, Kim-mou-eng. Aku ingin menyelesaikan urusan ini denganmu" Hu-taihiap melompat, mengajak tamunya ke belakang.
Kim-mou-eng merasa heran kepada Swat Lian masih juga tak kelihatan, biasanya gadis itu menyertai ayahnya, melirik sumoinya dan kebetulan sumoinya pun melirik dirinya. Agaknya sejak tadi Salima memperhatikan suhengnya ini secara diam-diam. jantung Kim-mou-eng berdetak dan mereka sudah ada di halaman belakang, luas dan lega. Dan ketika Hu Beng Kui tegak berdiri gagah dan menanti lawan utamanya maka semua orang mundur mempersilahkan Pendekar Rambut Emas maju, diam-diam dicekam ketegangan besar yang amat menggelisahkan.
"Hu-taihiap, aku datang sekedar memenuhi janjiku belaka. Maaf kalau kiranya aku bersikap kasar."
"Hm. tak ada permusuhan pribadi diantara kita, Kim-mou-eng. Tak perlu sungkan dan sebaiknya bersikap wajar saja. Beruntung dirimu bahwa puteriku melarang aku mempergunakan Sam kong-kiam. Mari mulai dan tak perlu bicara yang lalu-lalu lagi...."
"Sraat!"
Hu Beng Kui mencabut pedangnya, Sam kong-kiam itu, bukan untuk dipergunakan melainkan dilempar kepada muridnya, Gwat Beng, cepat menangkap dan menjatuhkan diri berlutut karena wibawa pedang begitu besar. Sinar berkilauan memancar begitu kuat dari tubuh pedang ini. Dan ketika Hu Beng Kui melepas sarungnya pula dan menyuruh muridnya menyimpan pedang itu maka pendekar ini meminta sebatang pedang biasa kepada muridnya itu, diberi dan Hu Beng Kui sudah memasang kuda-kuda di depan lawannya. Pendekar Rambut Emas tertegun melihat semuanya itu. Dan tetap tak melihat dimana Swat Lian, tiba-tiba Kim-mou-eng tak tahan bertanya, "Maaf, mana puterimu, Hu-taihiap" Kenapa tak menyertaimu?"
"Sudah kubilang tak perlu bicara yang lain, Kim-mou-eng. Majulah dan mari kita bertempur!"
Kim-mou-eng terkejut. Sinar mata yang berkilat dan mencorong menggambarkan perasaan bermacam-macam dari jago pedang itu membuat Pendekar Rambut Emas sulit menerka, apa kiranya arti dan kilatan mata itu. Tapi karena lawan telah menghentikan pertanyaannya dan bentakan itu didengar sumoinya pula akhirnya, Kim-mou-eng memerah dan cepat menenangkan guncangan hatinya, sedikit merasa heran dan lega kenapa pendekar itu tidak menggunakan Sam-kong-kiam. Sebenarnya dia bingung dan gelisah juga kalau pedang yang ampuh itu dipergunakan pendekar ini, kebetulan sekarang Hu Beng Kui malah mempergunakan pedang biasa. Dan karena ini merupakan keringanan baginya dan betapapun jago pedang itu masih belum sembuh luka lukanya maka dia membalas dengan anggukan simpatik, bertangan kosong, menyuruh pendekar maju tapi Hu Beng Kui malah marah. Jago pedang itu menyuruh dia mengeluarkan senjatanya, pit hitam yang disembunyikan di balik baju. Lawan telah melihat itu dan ini menunjukkan betapa tajamnya mata pendekar pedang itu. Dan ketika Kim-mou-eng bersikeras dan ingin bertangan kosong saja Hu-taihiap justeru semakin gusar, merasa terhina.
"Aku tak mau menyerang orang yang bertangan kosong dengan pedang di tangan, Kim-mou-eng. Kalau kau bertangan kosong maka aku juga akan melepaskan pedang ini. tapi kau tak akan merasakan lihainya ilmu pedangku. Nah, pilih. Ingin bertanding sungguh-sungguh dan melihat siapa yang unggul atau kau mungkin menang tanpa mau mengeluarkan ilmu pedangku karena kebetulan kau lebih lihai bertanding tanpa senjata"
Terpaksa, Kim-mou-eng mencabut senjatanya dia tak mau dianggap merendahkan dan dia tahu keistimewaan lawannya ini. Hu Beng Kui memang terkenal akan ilmu pedangnya, bahkan itulah dijuluki Si Pedang Maut. Dan karena lawan adalah seorang jago dan jelas menghendaki lawan bertangan kosong adalah sama saja dengan menghendaki "kemurahan" yang lebih jauh lagi Kim-mou-eng mengangguk dan menghela napas. Tentu saja sebagai seorang pendekar dia tak mau dikasihani lawan. Bahwa lawan tak mempergunakan sam-kong-kiam saja sudah termasuk sehuah kemurahan baginya, itu lebih dan cukup, apalagi lawan sebenarnya masih menderita dengan buntungnya lengan itu. Maka begitu mencabut pitnya dan menyuruh lawan menyerang tiba tiba secepat kilat tanpa gerakan pendahuluan lawannya sudah berkelebat dan lenyap dalam satu tusukan luar masa yang menuju tenggorokannya.
"Aku mulai.....!"
Bentakan itu kalah cepat dengan gerakan pedang. Hu Beng Kui sendiri sudah mencelat ke arahnya dengan tusukan lurus, hanya tampak sinar putih dan ujung pedang pun tahu tahu sudah berada di kulit leher. Bukan main hebatnya. Kim-mou-eng terkejut dan nyaris lengah, dia memang belum tahu kelihaian lawan dalam gebrak sesungguhnya, kini mendapat serangan begitu cepat dan ujung pedang tahu-tahu sudah serambut saja di tenggorokannya. Kecepatan dan kekuatan jago pedang itu melakukan jurus pertamanya sungguh maut, Kim-mou-eng terkesiap dan melempar kepalanya. Tapi ketika lawan berteriak dan kaki maju satu langkah tiba-tiba Hu Beng Kui telah membelokkan pedangnya dan kini mata pedang yang tajam siap mengiris atau menggorok dari samping, tetap membayangi!
"Trangg!"
Kim-mou-eng berkeringat dingin. Dia sudah menangkis dan berseru keras menggerakkan pitnya, dua senjata beradu dan mereka sama sama terpental. Apa yang terjadi tadi sungguh luar biasa, juga mengerikan. Lehernya nyaris disembelih Hu Beng Kui! Dan ketika jago pedang itu menggereng dan maju lagi dengan pedangnya yang berputaran cepat serta menusuk atau membacok maka jago pedang ini menghujani lawan dengan serangannya yang gencar dan Kim-mou-eng mulai berlompatan, mengelak atau menangkis dan beberapa kali bunga api berpijar, pedang maupun pit terpental dan dari adu tenaga ini kedua pihak maklum bahwa masing-masing memiliki tenaga berimbang. Hu Beng Kui kagum sementara Kim-mou-eng berhati-hati. Dan ketika pendekar itu mulai bergerak kian cepat dan tusukan atau bacokan pedangnya mulai tak kelihatan lagi karena berobah menjadi sinar yang berkelebatan menyambar-nyambar maka Kim-mou-eng dipaksa mempertahankan diri dan inisiatip serangan berada pada si jago pedang itu.
"Trang-tranggl"
Orang orang silau. Benturan senjata yang kembali beradu membuat kembang api warna-warni, meletik dan muncrat menyambar wajah mereka. Cu-ciangkun dan kawan-kawannya terpaksa mundur semakin jauh, tempat pertempuran ini agaknya kurang luas bagi dua jago yang sedang bertanding. Dan ketika Hu Beng Kui kembali membentak dan berkelebat menghilang tiba-tiba jago pedang itu sudah naik turun mengelilingi lawan dengan pedangnya yang menukik serta beterbangan.
"Ahh, hebat. Indah sekali!" Cu-ciangkun tak tahan, memuji dan menonton sambil geleng geleng kepala.
Kim-mou-eng juga mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya pun lenyap mengimbangi lawannya, kini dua orang itu bergerak gerak dalam rupa bayangan saja, mereka mulai kabur dan Cu ciangkun serta Bu-ciangkun tak dapat mengikuti lagi. Hanya Salima serta Gwan Beng atau Hauw Kam yang dapat mengikuti, itu pun tak lama karena Hauw Kam segara menjadi pusing. Gwan Beng masih bertahan dan akhirnya dengan Salima sajalah dua orang itu dapat mengikuti jalannya pertandingan. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun ternyata sudah roboh memegangi kepala, mereka serasa melihat dua kunang-kunang berkelebatan dan menari nari di depan mata, angin bertiup menderu dan mereka pun tak tahan, Bu ciangkun sudah berteriak memejamkan mata. Kilauan pedang dan letikan bunga api sudah membuat panglima tinggi besar ini pusing, jauh lebih dahulu daripada Hauw Kam. Dan ketika pertempuran terus berjalan dan tiga panglima itu tak dapat mengikutil dan mulai pekak mendengar benturan-benturan senjata akhirnya mereka bertanya pada Salima, setengah berteriak, nyaris kalah oleh gaung pedang atau benturan senjata yang kian dehsyat itu.
"Nona, mana yang menang di antara mereka itu. Siapakah yang terdesak?"
Salima tak menjawab, hanyut dalam pertandingan yang mencekam itu.
"Heei....!" Salima terkejut. Gadis ini mendesis: "Diamlah, mereka belum ada yang kalah atau menang. Bu-ciangkun. Hu-taihiap masih menyerang tapi suhengku bertahan!"
"Dan kau tidak pusing mengikuti jalannya pertandingan itu?"
"Ah. kau cerewet. Diamlah!" dan Salima yanq jengkel diganggu panglima ini akhirnya melompat dan menyingkir ke kiri, melihat dari situ dan bola matanya tak pernah berkedip. Sekarang tahulah dia bahwa Hu taihiap ini betul betul hebat. Pedangnya bergerak begitu cepat hingga nyaris tak kelihatan, berkali kali hampir mengenai suhengnya dan suhengnya sering berseri kaget Tak ada jalan lain kecuali menangkis dan akibatnya benturan demi benturan membuat keduanya terdorong, sebentar saja mereka sama-sama berkeringat dan Hu Beng Kui penasaran. Dia kagum benar akan kelihaian iawannya ini, pedangnya berkali kali terpental tapi sudah menyerang lagi, menusuk dan menyambar bagai petir di angkasa. Dan ketika pertempuran berjalan seratus jurus dan jago pedang ini melengking tinggi tiba-tiba gerak pedangnya borobah dan kini mulai lambat namun bertenaga penuh, mengaung dan menderu dan Kim-mou-eng tampak susah payah menyelamatkan diri. Ada semacam tenaga dahsyat muncul di situ, menahan gerakan pitnya dan Kim-mou-eng terperanjat. Sekarang sambaran pedang Hu Beng Kui ini diselingi hawa dingin menyeramkan, bukan main hebatnya. Kim mou eng tertekan dan terdesak.
Dan ketika dua tiga kali gerakan pedang menuju tempat berbahaya dan dia menangkis namun tenaga dahsyat itu menghambat perjalanan pitnya tiba tiba pundak Kim-mou-eng tertusuk dan robek.
"Brett!"
Gerak dan tusukan pedang ini mengejutkan semua orang. Sekarang Cu-ciangkun dapat mengikuti jalannya pertandingan lagi, berseru tertahan karena dia pun disambar hawa dingin yang menyertai gerakan pedang Hu Beng Kui, mundur tapi masih kesampok juga, terhuyung dan nyaris terpelanting. Panglima ini dan dua temannya ternganga melihat kejadian itu. Mereka mendengar angin yang menderu-deru itu, mundur lagi dan baru pada jarak sepuluh tombak merasa aman, terbelalak tapi sayangnya pertempuran tak dapat di lihat dalam jarak dekat. Salima dan Gwan Beng sendiri mundur beberapa langkah menghindari deru angin dahsyat itu, pakaian mereka berkibar. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluh dan suara memberebet itu membuat Cu-ciangkun dan lainnya tertegun tiba-tiba untuk kedua kali pangkal lengan Pendekar Rambut Emas menjadi sasaran.
"Brett!"
Tiga panglima itu merasa aneh. Mereka melihat Kim-mou-eng terhuyung, pundak dan pangkal lengannya terluka. Padahal menurut mereka, begitu perasaan mereka bicara, seharusnya Kim-mou-eng dapat menghindar dan tidak terkena pedang. Jadi sungguh dirasa aneh kenapa gerakan pedang yang begitu lambat tak mampu dikelit, atau mungkin ditangkis. Dan ketika suara brat-bret kembali terdengar dan empat luka menghias tubuh Kim-mou-eng akhirnya panglima Bu menjadi khawatir dan berteriak, "Kim taihiap, jangan lamban. Elak atau tangkis senjata lawanmu itu!"
"Hm!" sebuah dengus tiba-tiba terdengar. "Suhu mengeluarkan tenaga dalamnya, ciangkun. Mana mungkin dikelit atau ditangkis" Menggerakkan pit saja susah bagi Kim-mou-eng, apalagi menangkis. Itulah Giam-lo Kiam sut dalam gabungan tenaga sakti, suhu mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling tinggi untuk, mengalahkan lawannya!"
Bu ciangkun melotot. Yang bicara itu adalah Gwan Beng, murid tertua si jago peuang ini. Mengejek dan tampak berseri-seri melihat suhunya mendesak lawan. Hu-taihiap memang mengeluarkan gabungan tenaga saktinya untuk mendesak Kim-mou-eng, mengeluarkan silat pedang yang dinamakan Sin-khi-giam-kiam (Pedang Maut Hawa Sakti), dua gabungan tenaga sekaligus gerakan pedang, dahsyat dan mengerikan karena Kim-mou-eng susah menggerakkan pitnya. Senjatanya itu selalu tertekan dan terdorong hawa dingin yang keluar bersama gerakan pedang, kaget dan pucat muka pendekar ini, dia dihimpit dan terus ditekan Dan karena pit di tangannya seolah ditekan hawa dingin yang keluar dari badan pedang dan tentu saja ini semua menghalangi gerakan, yang akhirnya Kim-mou-eng tak tahan berseru keras.
"Hu-taihiap. ilmu pedangmu betul betul hebat. Tangguh sekali, awas..!" dan tak mau didesak dan terus menderita tiba tiba Pendekar Rambut Emas melengking, menggerakkan tangan kirinya dan apa boleh buat pukulan Tiat-lui-kang mulai menyambar. Sinar merah berkelebat dan bunyi ledakan hebat terjadi. Hawa dingin di pedang Hu Beng Kui bertemu hawa panas yang keluar dari pukulan Petir, Kim-mou-eng memang belum mengeluarkan ilmunya ini dan Hu Beng Kui terkejut. Dan ketika benturan menggelegar mengguncangkan tempat itu dan lawan terhuyung tiba tiba Kim-mou-eng berkelebat dan memindah pit di tangan kirinya ke tangan kanan, menotok.
"Crangg!"
Hu Beng Kui sekarang menangkis. Tadi dia terdorong dan terhuyung, kaget melihat lawannya lolos dari himpitan tenaga dinginnya. Tenaga panas dari pukulan Tiat lui-kang rupanya mampir dan cocok dihadapkan dengan tenaga dingin dari Sin khi-giam-kiam nya. Dan ketika pedang terpental dan pit kembali berpindah ke tangan kanan sekonyong-konyong Kim-mou-eng melejit dan berkelebatan menyerang bagian kiri dari tubuh lawannya itu, bagian kosong di mana lengan kiri Hu-taihiap buntung.
"Ah!" Hu-taihiap berseru keras, membentak dan marah melihat lawannya menyerang gencar. Kiranya ketika didesak tadi Kim-mou-eng tak tinggal diam, pikirannya bekerja keras dan mencari kelemahan tawan, ketemu dan melihat bahwa bagian kiri itulah yang kosong. Hu-taihiap selalu terhuyung bila bagian ini diserang. Maklum, lengannya yang buntung itu membuat hilangnya keseimbangan dan pit berkali-kali menyerang daerah ini. Hu-taihiap pucat karena kelemahannya diketahui, Kim-mou-eng cerdik dan mulai mengincar bagian ini. Dan ketika Tiat-lui-kang menangkis pedang sementara senjata di tangan kanan Pendekar Rambut Emas itu selalu bergerak ke arah lengan buntung Hu-taihiap akhirnya jago pedang ini menggereng memaki lawan.
"Keparat, kau cerdik, Kim-mou eng. Kau benar-benar lihai!"
Pertempuran sekarang berobah. Tadi Kim-mou-eng selalu memperhatikan gerakan pedang, tidak ke lengan kiri lawannya. Sekarang menangkis pedang dengan tangan kiri sementara tangan kanan menyerang bagian kosong lawannya. Tiat lui kang mampu menahan pukulan dingin yang datang bersama pedang, memang harus sedikit berkorban dan beberapa guratan menggores lengan Kim-mou-eng Tapi karena Kim-mou-eng membalas dan sekarang semua totokan atau pun tutukan pitnya selalu mengarah ke lengan buntung Hu-taihiap yang kosong maka satu saat pedang bertemu Tiat lui kang sementara pit di tangan kanan Kim-mou-eng menyambar bagian kosong lawan.
"Bret!"
Untuk pertama kait Hu Beng Kui mengeluh. Ledakan Tiat lui kang yang mengenai pedangnya membuat senjata di tangan jago pedang itu memental, dan menyambar pundak kirinya dan Hu-taihiap tak dapat mengelak. Sebuah totokan dirasa kerap menyengat, hampir lumpuh pundaknya itu. Dan ketika lawan kembali mennyerang dan Kim-mou-eng tak menghiraukan gerakan pedang mengenai dirinya dan jago pedang ini terhuyung, dia telah mengerahkan sin kangnya namun totokan di tangan lawan karena ditangkis dengan pukulan Petirnya maka kembali untuk kedua kali Hu-tai hiap terkena sambaran pit hitam itu.
"Tuk!"
Hu-taihiap menggigit bibit. Dua serangan senjata kecil di tangan Kim-mou-eng ini tak kalah berbahayanya dengan senjata pedang atau senjata tajam. Bahkan pit itu menghentikan aliran darahnya di bagian yang tertotok. Hu-taihiap mulai terganggu dan kesakitan. Dia terpecah konsentrasinya dan mulai gugup. Dan ketika totokan demi totokan mengenai daerah ini dan tentu saja dia tak dapat menahan tiba-tiba Hu Beng Kui berteriak keras melakukan jurus yang disebut Thian Kong pok-iui (Naga Angkasa Menerkam Petir), melepas pedangnya dalam satu timpukan cepat yang bukan main hebatnya. Kim-mou-eng terkejut melihat pedang menyambar, menuju ulu hatinya dan timpukan seorang jago pedang macam Hu Beng Kui jelas bukan timpukan main-main. Timpukan itu berbahaya sekali karena sifatnya hendak mengadu jiwa. Gwan Beng dan Salima terpekik, Cu ciangkun dan lain-lain juga berseru tertahan. Dan ketika mereka terkesiap sementara Kim-mou-eng sendiri sudah disambar pedang dengan kecepatan yang luar biasa tiba-tiba pendekar ini melempar tubuh bergulingan dan pit di tangan kanannya pun disambitkan ke pundak lawannya, bagian kiri itu.
"Singgg-crep!"
Dua sinar hitam dan putih itu nyaris bertemu di tengah udara. Orang mendengar ledakan dan keluhan, Hu Beng Kui terbanting sementara Kim-mou-eng juga berseru tertahan. Pedang mengenai dada kirinya, Salima menjerit dan menghambur ke arah suhengnya itu. Kim-mou-eng tak dapat bangun. Dan ketika Gwan Beng dan Hauw Kam ikut terpekik menubruk guru mereka, ternyata pit yang melesat dari tangan Kim-mou-eng telah menancap setengahnya di pundak kiri jago pedang ini, darah mengucur dan Hu Beng Kui roboh, tak dapat berdiri dan segera dua muridnya sibuk. Sebuah jeritan kecil terdengar, dan Swat Lian muncul, berkelebat dan berlutut di samping ayahnya. Dan ketika semua orang terkejut dan pertempuran otomatis berhenti maka Salima menguguk sementara Swat Lian juga menangis memanggil-manggil ayahnya.
"Ayah...!"
"Suheng.....!"
Keadaan tiba-tiba menjadi gempar. Cu ciangkun dan Bu ciangkun sudah melompat ke arah Kim-mou-eng, melihat keadaan pendekar itu dan Kim-mou-eng menyeringai. Tiga panglima ini tertegun karena tak ada darah yang keluar, heran mereka. Dan ketika Salima mengguguk dan, mengira suhengnya luka maka di sana Hu Beng Kui bertanya bagaimana keadaan lawannya itu.
"Angkat aku, berdirikan aku....!"
Jago pedang itu diberdirikan, melihat ke arah Kim-mou-eng, menggigil tapi matanya bersinar-sinar. "Bagaimana keadaan dia" Aku menang?"
"Ah!" Swat Lian mengguguk. "Kau kejam, yah. Sudah kubilang agar kau tidak bersikap telengas dan kejam terhadap lawanmu. Kim-mou-eng rupanya tewas, kau jahat....!"
"Tidak!" jago pedang ini tiba-tiba terbelalak, tersentak, melihat Kim-mou-eng berdiri. "Dia tidak apa-apa, Lian-ji. Lihat, ah....!" dan Hu beng Kui yang tertegun melihat lawannya tiba-tiba terkesima dan bengong melihat keadaan Kim-mou-eng, tidak ada luka atau apa pun yang menghias dada Pendekar Rambut Emas ilu. Kim-mou-eng tersenyum dan Salima tiba-tiba menghentikan tangisnya, terbelalak melihat pedang yang disangka "menancap" di dada. Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan membungkuk menggerakkan tangan maka pedang itu dicabut dan.... semua orang melongo, melihat bahwa pedang sebenarnya dikempit di ketiak Pendekar Rambut Emas itu, dari jauh tampaknya seolah menancap tapi sebenarnya bukan.
"Oohh...!" Salima sadar, tersedu dan menubruk subengnya itu. "Kau terlalu, suheng. Kau menipu kami!" Salima memukul mukul dada suhengnya, gemas dan marah tapi tentu saja girang bukan main.
Tadi semua orang menyangka suheng nya ini terkena pedang, tentu tewas dan tak mungkin selamat. Tapi begitu mengetahui bahwa pedang menyelinap di bawah ketiak dan sesungguhnya dalam gerak yang luar biasa cepat dan amat berani Pendekar Rambut Emas ini mengempit pedang Hu Beng Kui mendadak Cu-ciangkun dan teman temannya melenggong sementara Hu Beng Kui sendiri juga mendusin, sadar bahwa serangannya tadi gagal dan dia kalah. Kim-mou-eng tak apa apa sementara dia luka. Dan ketika Kim mou-eng mendorong sumoinya dan maju merjura di depannya maka bekas lawan ini memberi hormat.
"Hu-taihiap, nyaris aku terkapar. Ilmu pedangmu sungguh-sungguh hebat, aku menyatakan kagum dengan setulus hati. Kalau kedua lengan mu masih utuh barangkali aku tak dapat berdiri lagi di sini dengan selamat. Aku menyerah, kepandaianmu betul betul luar biasa!"
"Tidak, kau yang menang, Kim-mou eng. Betapapun kau segar-bugar dan aku terluka. Tiat lui kangmu betul2 hebat. Akulah yang kagum dan kaupun cerdas, mampu mencari kelemahanku dan aku kalah. Sekarang aku menepati janji dan Sam kong-kiam kuserahkan padamu!"
Jago pedang itu tertatih, meminta Sam-kong-kiam dari tangan muridnya dan Gwan Beng menyerahkan pedang itu. Pemuda ini pun terbelalak melihat kehebatan Kim mou-eng, jarang ada yang dapat selamat dari timpukan gurunya tadi. Kim-mou-eng memang luar biasa.
Dan ketika secara merendah Pendekar Rambut Emas itu mengakui kepandaian gurunya dan menyatakan menyerah padhal sesungguhnya gurunya yang kalah maka pemuda ini menjadi kagum dan menaruh hormat setingginya, melihat muka gurunya muram dan gurunya menyerahkan pedang itu pada lawannya, diterima dan Kim-mou-eng kembali membungkukkan menyerahkan pedang pada Bu ciangkun dan panglima itu gembira, berlutut dan menerima pedang seolah menerima sabda dari kaisar sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng mengucap terima kasih dan Hu Beng Kui murung tiba-tiba pendekar ini terhuyung membalikkan tubuh.
"Kim-mou-eng, betapapun aku penasaran. Biarlah dua tiga tahun lagi kita mengadakan pertandingan ulang dan kau akan menghadapi salah seorang muridku. Terima kasih atas pelajaranmu!" dan pergi meninggalkan lawan dengan muka murung jago pedang ini dituntun putrinya memasuki gedung, tak menghiraukan yang lain-lain lagi dan Kim-mou-eng tersenyum pahit. Isak dan lirikan Swat Lian masih sempat menyambarnya tadi, berkilat dan berapi api.
Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan mematung di situ sekonyong konyong Bu ciangkun menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya.
"Taihiap, terima kasih. Kami akan pulang dan melapor pada sri baginda. Sungguh untuk kedua kalinya kau menyelamatkan pamor junjungan kami!"
"Ah," pendekar ini membangunkan tiga panglima itu. "Jangan begitu, ciangkun Semua berkat kemurahan Tuhan juga. Bangunlah, tak perlu sungkan"
Lalu membersihkan baju dan memandang sumoinya Pendekar Rambut Emas bertanya, "Bagaimana, kita pulang, sumoi?"
"Tentu, aku rindu suku bangsaku, suheng. Memangnya kita akan berkeliaran lagi?"
"Nanti dulu!" Bu-cimgkun berkata serak. "Kalian ke istana dulu, taihiap. Kami ingin sri baginda menyambut dan mengucapkan terima kasih secara pribadi"
"Benar, kalian ke istana dulu, taihiap. Sri baginda tentu ingin bertemu denganmu," Cu-ciangkun menyambung.
"Hm." Pendekar Rambut Emas menggeleng. "Kami terlalu lama meninggalkan kampung ha laman, ciangkun. Biar lain kali saja kami ke sana. Kami tak butuh balas jasa, kami tak memberikan budi. Kalau ini semua dapat terlaksana maka sesungguhnya itu berkat nasib baik belaka. Sudahlah, sampaikan pada sri baginda salam hormat kami dan biar beberapa bulan lagi kami mengirim undangan untuk beliau, juga kalian."
"Undangan pernikahan?"
"Ya."
"Baiklah, hormat setinggi-tingginya kepadamu, taihiap. Semoga kalian bahagia dan sekali lagi terima Kasih atas semua pertolonganmu!" Cu-ciangkun melipat punggung menjadi dua, disusul yang lain dan Kim-mou-eng tersenyum.
Pada saat tiga panglima itu membungkuk tiba-tiba dia sudah menyambar sumoinya, berkelebat lenyap. Dan ketika tiga panglima itu mengangkat tubuhnya kembali dan terkejut melihat Kim-mou-eng tak ada di situ lagi mendadak mereka tertegun dan berseru memuji, "hebat, Kim-mou-eng dan sumoinya itu sungguh orang-orang luar biasa. Kita benar2 bukan tandingannya dan seperti semut menghadapi gajah!"
Lalu memutar tubuh bergegas meninggalkan tempat itu segera tiga panglima itu ke kota raja, menyampaikan semua yang terjadi dan menyerahkan Sam-kong-kiam pada kaisar, di sambut gembua namun kaisar kecewa kim-mou-eng tak ikut serta, tapi ketika tiga panglima itu berkata bahwa beberapa bulan lagi Kim-mou-eng akan memberikan undangan untuk perkawinannya maka kaisar bertepuk tangan berkata girang, "Bagus, aku akan ke sana. Kita semua ke sana dan ikut meramaikan pesta! Kapan tepatnya hari perkawinan itu, Ciangkun?"
"Hamba belum tahu, sri baginda. Kim-taihiap tidak memberi tahu dan agaknya sengaja mennyembunyikan itu. Kita nantikah saja dan biar kita tunggu undangannya."
Begitulah, kaisar telah menerima Sam-kong-kiam Ingin menyatakan rasa terima kasihnya dengan menghadiri perkawinan Kim-mou-eng, satu kehormatan besar yang tak mungkin orang lain menerimanya. Dan ketika hari itu kaisar bergembira dan Sam-kong kiam disembunyikan ditempat lain maka urusan pedang telah selesai dan Cu-ciangkun serta Bu-ciangkun pun lega. Tak ada masalah bagi mereka dan hati pun terasa ringan. Istana kelihatan riang dan suka cita. Tapi sementara di tempat ini terjadi kegembiraan dan kesukaan hati maka di Ce-bu, di tempat Hu Beng Kui terjadi hal sebaliknya di mana berminggu-minggu pendekar pedang itu kelihatan murung.
==abukeisel-0-dw_kz-0-sumahan==
Tiga bulan kemudian. Hu-taihiap tetap tak gembira. sehari-hari hanya tepekur dan termenung. Itulah pekerjaannya sehari-hari. Dan ketika pagi itu jago pedang ini duduk di taman dan sebagai mana biasa bersunyi diri tenggelam dalam sepi tiba-tiba seakan tersentak dia melihat ukiran di dinding yang ditulis Bu-beng Sian su itu. Matanya melebar, tiba-tiba bangkit berdiri dan sudah mendekati kalimat-kalimat itu, tajam bersinar-sinar dan tangan pun tiba tiba bergerak, menyentuh tulisan tulisan halus ini dan hati pun tiba2 tergerak. Ada semacam dorongan menggugah perasaannya, Hu Beng Kui mengerutkan kening dan berpikir keras. Bayangan manusia dewa itu muncul. Teringatlah dia akan perjumpaannya semula, ketika manusia dewa itu datang dan menyalaminya, diserang tapi menghilang. Dipukul tapi tak ada apa-apa di sekitarnya, bukti kesaktian luar biasa yang membuat dia bergidik. Manusia dewa itu sungguh tidak lumrah manusia. Dan ketika dia teringat ucapan kakek dewa itu bahwa dia akan kehilangan seorang anaknya kalau Sam-kong-kiam tetap di tangannya tiba tiba pendekar ini menutupi muka dan menangis. Dan sedu sedan ditahan di tenggorokannya, sakit sekali rasa hati pendekar ini dan nyaris dia mengguguk. Kata kata manusia dewa itu terbukti, bahkan, bukan anaknya saja yang hilang melainkan sebuah lengannya pun menjadi korban. Dia buntung! Tapi menyadari sesal kemudian tiada guna maka jago pedang ini kembali tepekur dan merenung.
Tiga bait syair di depan matanya itu dibacanya dan turun lagi untuk akhirnya kembali ke atas. Bait pertama itu melulu bicara Pedang tiga Dimensi, tak ada yang aneh rupanya. Dan ketika dia membaca bait kedua dan ketiga tiba tiba pendekar ini berpikir keras, mengotak-atik dan tiba-tiba teringat bahwa manusia dewa itu pernah bilang bahwa jawaban syair ini isinya berada di bait kedua, berhenti di situ dan pikirannya bekerja cepat, coba menelusur namun gagal. Dia tak mengerti apa yang dimaksud. Dan ketika seharian itu pendekar pedang ini mencoba membuka tabir namun tetap gagal juga maka hari kedua dan hari-hari berikut mulai menyeret pendekar ini untuk menemukan jawabannya.
Ajaib, tiba tiba renungannya terpusat di sini. Ada semacam daya tarik pada bait-bait itu. Hu Beng Kui coba menganalisa dan pikiran pun mulai membayangkan manusia dewa itu. Tanpa terasa dia mengadakan kontak batin. Dan ketika tujuh hari berturut-turut dia merasa gagal dan pucat serta lemah mendadak pada hari ke delapan, persis seperti dulu di pagi hari yang masih segar Bu-beng Sian-su muncul.
"Selamat pagi, Hu-taihiap. Kau memanggilku?"
Hu Beng Kui kaget. "Ah, kau, Sian-su" Selamat pagi, silahkan duduk. Benar, aku menggetarkan batinku untuk menghubungimu. Aku..." jago pedang ini melongo, tertegun dan menghentikan kata-katanya karena manusia dewa itu dilihatnya tak menginjak tanah, mengambang dan seolah melayang di atas permukaan tanah. Wajah yang berkabut itu pun tiba-tiba mengeluarkan sinar, dua sorot berkelebat dan Hu-taihiap mengeluh, terhuyung dan jatuh terduduk.
Dan ketika dia bengong dan sorot mata itu kembali lenyap tiba-tiba kakek dewa ini tertawa dan.... menempel di dinding, mengusap tiga bait syair yang dulu dibuatnya itu.
"Kau tak mempersalahkan muridku?"
Jago pedang ini terkesiap. Di belakang kakek dewa itu tiba-tiba muncul Kim-mou-eng, menjura dan memberi hormat padanya. Hu Beng Kui seperti melihat hantu saja karena Kim-mou-eng tadi tak dilihatnya, barangkali Pendekar Rambut Emas itu bersembunyi atau "disembunyikan" Bu-beng Sian-su, mencelos dia. Dan ketika dia bangkit berdiri dan terhuyung mengibas lengan bajunya pendekar ini mendengar Kim-mou-eng menyapa lembut. "Hu-taihiap. maafkan aku. Suhu membawa aku ke mari, katanya disuruh mendengar apa yang hendak dibicarakan. Selamat pagi."
"Ah, kalian.... eh, di mana kau tadi, Kim-mou-eng" Kenapa baru sekarang kulihat?"
"Suhu menggulungku dalam lengan bajunya, taihiap. Baru sekarang aku dikeluarkan agar tak mengganggu keasyikanmu membaca syair itu."
"Digulung dalam lengan baju" Seperti siluman saja" Ah, kau nenar-benar luar biasa, Sian-su. Sungguh tinggi kesaktianmu ini hingga kedatanganmu tak kudengar. Pantas, kalau Kim-mou-eng, saja tentu kutangkap langkahnya. Kau benar-benar hebat dan sakti. Benar, aku penasaran oleh isi syair ini dan teringat janjimu untuk menerangkan. Aku gagal dan mohon petunjuk, harap Sian-su memberi tahu!"
Hu Beng Kui terbelalak, tak habis pikir bagaimana seorang manusia bisa "digulung" dalam lengan baju, disembunyikan dan tampaknya seperti kisah tak masuk akal sija. Mirip dongeng! Tapi Bu beng Sian-su sendiri yang tersenyum tak menghiraukan pujian iiu sudah bersinar sinar memandang jago pedang ini, menepuk-nepuk dinding tembok itu.
"Kau tak berhasil?" pertanyaan ini lembut diajukan, dijawab gelengan dan Bu-beng Sian-su melepaskan tangannya. Ukiran halus di dinding itu tiba-tiba mencorong, aneh sekali, mengeluarkan cahaya dan Hu Beng Kui mendelong. Ajaib bin aneh tiba-tiba bait teratas "copot", tanggal dan kini menempel di telapak kakek dewa itu. Dan ketika manusia dewa ini tersenyum dan membuka telapaknya maka sebait syair itu melekat dan berkeredep mengeluarkan cahaya warna-warni.
"Apa ini, taihiap?"
"Bait pertama dari syair yang kaubuat, Sian-su."
"Bagus, kau dapat mengerti maksudnya?"
"Ya, tentang Sam-kong-kiam itu. Kukira tentang Pedang Tiga Dimensi itu."
"Hm, kau dapat menjelaskan lebih jauh?"
Hu Beng Kui bingung. "tidak, kukira tak ada penjelasan lebih jauh, Sian-su. Syair itu kukira jelas dan cukup dimengerti bahwa Sam kong-kiam hendak kaumaksudkan sebagai benda yang mati dan dingin!"
"Bagus, dan ini?" kakek itu mengusap bait kedua, tiba-tiba "copot" dan tanggal melekat di telapaknya, lagi-lagi perbuatan aneh yang tidak dimengerti Hu Beng Kui. Dan karena bait kedua ini yang justeru membingungkan Hu Beng Kui maka jago pedang itu menggeleng, tak mengerti.
"Maaf, aku dapat membaca namun tak dapat menangkap isinya, Sian-su. Justeru ini yang ingin kutanyakan kepadamu"
"Ha-ha, dan ini?" Bu-beng Sian-su menunjuk bait ketiga, kini berturut turut menempelkannya dan menyusunnya rapi di talapak tangannya. Tiga bait itu berkeredep berwarna-warni. Hu Beng Kui menggeleng. Dan ketka pendekar itu menyatakan sebaiknya kakek itu menerangkannya kepadanya maka Bu beng Sian su tersenyum dan tertawa lembut.
"Baiklah, aku datang memang untuk memenuhi keinginan tahumu. taihiap Semoga pikiranmu dapat hidup seperti bait ini!"
Bu-beng Sian-su mendorong bait2 itu tiba-tiba lepas dari telapaknya dan kembali menempel di dinding, rapi dan tak ada yang bergeser dari kedudakannya semula. Hu Beng Kui berdebar. Dan ketika manusia dewa itu menghela napas dan duduk bersila tiba tiba seperti tadi kakek ini tak menyentuhkan tubuhnya sedikit pun di atas tanah, duduk dalam keadaan mengambang.
"Hu-taihiap, mari kita bicarakan ini dalam dialog terbuka lihatlah!"
Hu Beng Kui terganga. Dia terkejut melihat manusia dewa itu duduk dengan caranya yang aneh. teringat sebuah ilmu yang disebut Mengapung Tanpa Bobot. sebuah ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, beru merupakan cerita dari mulut ke mulut dan belum ada tang mampu memiliki ilmu itu. Mengapung Tanpa Bobot adalah semacam ilmu ginkang yang luar biasa tingginya, orang yang memiliki ilmu ini akan sama dengan udara. Tulang dan otot serta dagingnya bukan merupakan tulang dan otot serta daging manusia biasa. Sepenuhny ilmu itu memang hanya dimiliki dewa-dewi berkepandaian tinggi, yang hidup di alam halus dan konon katanya ilmu itu tak memiliki gaya berat. Bu-beng Sian-su telah menunjukkan ini dan Hu taihiap kagum. Bukan main takjubnya dia. Dan ketika Bu-beng Sian su mengulapkan dengan dan menepuk pundaknya tiba tiba pendekar ini gelagapan dan sadar.
"Oh, oh.... Apa.... apa, Sian su?"
Kakek dewa itu tertawa. "Aku bilang mari pusatkan perhatianmu pada syair ini, taihiap. Jangan melihat yang lain dan mari kita mulai!"
"Baik," jago pedang ini menelan ludah, mukanya segera menjadi merah,. "Aku akan memusatkan perhatianku pada kata-katamu, Sian-su. Mulailah dan beri petunjuk kepadaku apa yang harus kulakukan." Hu Beng Kui menenangkan guncangan jantungnya, duduk dan sudah bersila berhadapan dengan kakek dewa itu. Betapapun dia tak dapat tenang dan selalu takjub akan kesaktian kakek ini. Tadi caranya datang dan sekarang caranya duduk. Seumur hidup baru kali itu dia melihat manusia begini hebati Mampu mengambang, seperti roh atau makhluk-mahluk halus lainnya saja. Dan ketika dia menggigil berkeringat dingin maka kakek dewa ilu mulai bicara, sungguh-sungguh dan serius.
"Taihiap, ingatan apakah yang dapat kau ingat ketika perjumpaan kita dulu?"
"Hm, yang kuingat adalah ramalanmu tentang kematian seorang anakku, Sian su. Dan itu ternyata benar!"
"Maaf. agaknya itu melukai hatimu. Bukan, bukan itu. Yang lain lagi. Adakah sesuatu yang kauingat" Dulu pernah kukatakan bahwa inti jawaban syair ini berada pada bait kedua. Benar, bukan?"
"Ya."
"Nah, kau belum sedikit pun dapat menangkap inti sarinya?"
"Kalau sudah tentu sudah kukatakan, Sian su. Dan aku menyesal kenapa diriku demikian bodoh!"
"Jangan menyesali diri sendiri, mari kutuntun. Dan sebaiknya kita mulai dari bait pertama. Bacalah!"
Hu-taihiap membaca. Bait pertama itu terdiri dari lima baris. Bu beng Sian-su mengangguk angguk dan tersenyum, mendengarkan dan sedikit pun tak mengganggu. Dan ketika pendekar itu selesai dan kakek ini tertawa maka dia pun berseru memandang bait pertama itu
"Bagus, benar, taihiap. Mari kuulangi" dan Bu neng Sian-su yang menunjuk dan membaca bait itu lalu berseru, penuh semangat:
Mengguncang langit menggetarkan bumi
Terhujam pongah sepotong besi
Tiada perduli kanan dan kiri
Itulah Pedang Tiga Dimensi
Kaku, dingin dan mati
Kemudian berhenti di sini kakek ini bertanya, "Apa yang dapat kautangkap, taihiap?"
"Tak ada apa-apa, Sian-su. Kecuali bicara tentang Pedang Tiga Dimensi itu."
"Betul, tapi tentu tidak sedangkal itu. Ada hal lain lagi yang perlu diketahui. Sebuah perbandingan!"
"sebuah perbandingan?"
"Ya, sekarang teruskan dulu bait kedua, taihiap. Coba baca!"
Hu Beng Kui membaca, mulai lantang dan penuh semangat, terpengaruh kakek itu:
Sekarang apa artinya ini
Kenapa dikejar dan dicari
Bukankah yang amat berarti
Masih bukan milik sendiri!
"Nah," Bu-beng Sian-su lagi-lagi bertanya, setelah pendekar itu selesai. "Apa yang dapat kau tangkap, taihiap" Apa kira-kira yang paling berarti pada bait kedua itu?"
"Hm, justeru ini yang kubingungkan. Sian-su. Aku tak mengerti apa sebenarnya yang ingin kaumaksudkan itu?"
"Ha-ha. kalau begitu mari berhenti sebentar. Kita kupas ini!" dan Bu-beng Sian-su yang bangkit semangatnya memberi tahu tiba-tiba mengacungkan tangannya tinggi tinggi. "Taihiap lihat. Apakah yang paling berarti dalam hidup ini" Apakah yang kaurasa yang paling berharga dari hidup ini?"
Hu Beng Kui bingung. "Tak tahu, Sian su, tapi barangkali kehormatan....."
"Ha-ha, adakah kehormatan itu berharga" Paling berharga?"
"Atau kepandaian?"
"Ha, kau boleh sebut satu persatu. taihiap. Coba ulangi dan sebut apa saja kiranya yang pa ling berharga menurut jalan pikiranmu!"
Hu-taihiap berkeringat. Dia mulai menyebut bahwa yang paling berharga adalah kehormatan, lalu kepandaian dan akhirnya harta benda atau apa saja yang ternyata disambut tawa kakek dewa itu. Hu Beng Kui penasaran bahwa agaknya kakek dewa itu tak membenarkan, dia mulai ber tubi tubi menyebut benda-benda yang bersifat lahiriah: Uang, Kedudukan dan Kesenangan. Dan ketika teringat bahwa hidup hanya berisi tiga hal itu.... Kekuasaan, Kekayaan dan Kenikmatan maka pendekar itu gemetar, mengusap peluh, bertanya, "Adakah yang lebih berharga dan tiga sumber pokok itu, Sian-su" Bukankah Pedang Tiga Dimensi sendiri menjanjikan tiga hal itu?"
"Jadi kau tahu" Ha ha, kalau begitu jelas alasanmu menginginkan pedang pusaka itu, tai-hiap. Ternyata kau pun tak berbeda banyak dengan peminat lain yang menginginkan Sam-kong-kiam. Baiklah, aku tak akan menjawab penanyaan ini secara langsung, nanti kau akan mengerti sendiri. Sekarang coba kita ulas, kita renungkan. Kalau benar Kekuasaan dan Kekayaan serta Kenikmatan itu adalah hal yang paling berharga, terbukti banyak manusia mengejar-ngejar ini, lalu apakah mereka mau mengalami seperti yang kau alami" Maukah mereka menukar semuanya itu seperti yang terjadi pada dirimu?"
"Maksud Sian-su?"
"Jelas, kau meletakkan tiga hal ini paling atas, Hu-taihiap. Bahwa "Kekanik" (Kekuasaan Kekayaan dan Kenikmatan) kauanggap hal yang paling berharga, bahwa ini adalah segala-galanya. Dan kalau ini adalah segala-galanya lalu maukah mereka mengalami seperti yang kuualami" Taruh kata Kehormatan adalah sesuatu yang paling unggul lalu maukah kehormatan ini ditukar dengan nyawa seorang anak kita" Taruh kata Kekayaan adalah hal yang paling unggul lainnya, maukah ditukar dengan sebagian atau setengah tubuh kita" Atau...."
"Nanti, nanti dulu!" Hu-taihiap pucat, tergesa memotong. "Apakah jawabanku tadi salah, Sian-su" Apakah semua kata-kataku tadi tidak benar?"
"Benar atau tidak justeru sedang kita selidiki, taihiap. Aku hendak mengajakmu untuk membuka tabir rahasia ini."
"Tapi kau bicara tentang anak, tentang nyawa dan tubuh! Apakah aku, ah....!" Jago pedang ini menggigil. "Apakah aku salah, Sian-su" Kenapa kau menarik-narikku dalam persoalan berdarah ini" Aku menyesal akan kematian putraku, Sian-su. Jangan kau robek-robek hatiku dengan kenangan yang tak dapat kulupakan itu!"
"Bagus, berarti kesadaran mulai tumbuh di hatimu. Tapi jangan menolak pembicaraan ini, taihiap. Apa yang kukatakan tidak semata mengorek luka lamamu, justeru akan menenangkan batinmu yang beberapa waktu lalu gelap"
"Tapi...."
"Kau tak takut menghadapi kebenaran, bukan" Kalau kau takut berarti pembicaraan kita berhenti, taihiap. Dan aku akan pergi memutuskan percakapan ini"
"Tidak. Ah....! teruskan. Aku mulai menangkap maksudmu, tapi terus terang aku ngeri!"
"Hm, melihat sesuatu sebagaimana adanya tak akan menimbulkan ngeri atau takut, Hu-taihiap justeru akan mendewasakan dan mematangkan batinmu"
"Baiklah, kaulanjutkan kata-katamu, Sian-su. Aku mendengar..." Hu Beng Kui setengah rnemejamkan mata, menggigit bibir dan tiba-tiba dia menangkap apa yang hendak dimaksudkan kakek dewa ini, mulai menerima dan mengerti getaran-getaran gaib itu, sesuatu yang mulai samar samar nampak, gemetar namun dia berusaha menenangkan dirinya.
Dan ketika Bu beng Sian-su tersenyum dan mengusap wajahnya lembut tiba-tiba kakek ini mulai menyambung, "Nah, kembali kuulang pembicaraan tadi. Kalau sebuah kehormatan umpamanya, dinilai paling tinggi dan dianggap segala-galanya maka mau kah manusia yang sadar dan waras, menukarkan itu dengan buah hatinya. Kalau kekayaan umpamanya, dianggap segala-galanya dan perlu dikejar maukah manusia yang sadar dan waras menukarkan itu dengan sebagian anggota tubuhnya" Lihat dirimu, taihiap, ambil contoh yang dekat ini. Kalau seandainya Pedang Tiga Dimensi ditukar dengan nyawa puteramu agar kau dapat berkumpul lagi dengannya maukah kau" Kalau Pedang Tiga Dimensi ditukar dengan lenganmu yang buntung agar kau utuh kembali maukah kau menerimanya" Maaf, aku tidak bermaksud menyakiti perasaaanmu, taihiap. Tapi semata berbicara demi memperlihatkan sebuah kebenaran. Coba kau jawab pertanyaanku tadi. maukah kau menukarkan Pedang Tiga Dimensi asal puteramu hidup" Maukah kau menukarkan Pedang Tiga Dimensi asal lenganmu yang buntung dapat kembali lagi?"
Hu Beng Kui mengeluh, menggigil hebat. "Mau.... mau, Sian-su....!"
"Lalu apa artinya ini?"
"Artinya bahwa jawabanku salah, bahwa masih ada yang lebih berharga lagi ketimbang itu."
"Cocok! Tapi coba sebutkan, apakah yang lebih berharga itu" Apakah yang dapat kau mengert ini?"
"Artinya ah.... anakku masih jauh lebih berharga dibanding Sam-kong-kiam, Sian-su. Bahwa buah hatiku masih jauh lebih berharga ketimbang kehormatan atau pedang pusaka itu!"
"Ya, dan kemudian?"
"Bahwa aku tolol. Bahwa sesungguhnya lenganku yang buntung im juga lebih berharga di banding Sam-kong-kiam yang membawa celaka"
"Ha-ha, yang membawa celaka bukanlah Sam-kong-kiam atau benda-benda lain, Hu-taihiap. Melainkan cara berpikirmu yang tidak sehat dan tak sempurna. Kalau dulu kau sudah menyadari ini dan mengikuti petunjukku tentu kau tak perlu kehilangan seorang anak atau pun lengan. Sam-kong kiam adalah sebuah benda mati, kau tak perlu menyalahkannya atau pun mengutuk. Yang salah adalah kau, kau mabok kehormatan dan gengsi. Inilah!"
"Augh....!" Hu Beng Kui mengerang. "Lalu kesalahan apalagi yang kubuat, sian-su" Bagai mana setelah ini?"
"Kau harus mengerti baik-baik dulu tentang ini, baru kesalahan tak akan terjadi."
"Ya, ya. Aku sekarang mengerti. Bahwa Kehormatan. Kekayaan atau pun Kenikmatan atau Kesenangan itu bukanlah sesuatu yang paling berharga. Bahwa masih ada yang lebih berharga lagi ketimbang itu, ialah keluarga atau diri sendiri bukankah begitu, Sian-su?"
"Belum tepat benar. Kau masih belum menuju intinya."
"Lalu bagaimana?"
"Begini, sekarang mulai kausadari bahwa Kehormatan, atau yang lain-lainnya tadi adalah sesuatu yang bukan 'paling' berharga. Bahwa masih ada yang jauh lebih berharga lagi daripada itu. Terbukti kau mau menukarkan anakmu dengan Pedang Tiga Dimensi, padahal pedang ini adalah pedang yang dipercaya dapat memberikan 3-K kepada manusia. Dan kau pun mau menukarkan, lenganmu dengan pedang keramat, ini, meskipun hal itu tak mungkin lagi karena semuanya terlambat. Dan melihat semuanya ini, kenyataan ini, apa yang kaulihat dalam bait-bait itu, taihiap" Bukankah Kehormatan, Kekayaan atau pun Kenikmatan yang dikejar kejar manusia hanyalah sekedar 'baju' belaka. Bukankah semuanya itu hanyalah sesuatu yang menempel di luar" Apa yang ada di luar jelas kalah berharga dibanding dengan yang di dalam, taihiap. Maka untuk yang didalam inilah kita harus tahu!"
Hu Beng Kui bingung.
"Kau tak mengerti, bukan" Nah, lihat ini. Dulu, sewaktu kau berambisi memiliki Sam-kong kiam maka kehormatanlah yang kaukejar. Sebagai seorang jago pedang kau ingin mendapat kehormatan 'lebih'. Ditambah godaan bahwa Sam-kong kiam dapat memberikan ini dan itu maka kau mati2 an merebutnya. Itu bagimu, bagi, seorang jago silat. Sedang bagi seorang tabib, apa yang dikata paling berharga dalam hidupnya, taihiap" Tentu kesehatannya. Itu yang akan dikatakan tabib ini. Dan bagi seorang miskin, apa yagg akan dikatakan paling berharga bagi hidupnya" Tentu kekayaan, itu jawabnya. Dan karena semua yang di anggap berharga ini adalah sesuatu yang 'di luar' dan kebetulan semuanya itu belum dimiliki maka orang ramai-ramai memperebutkan ini. mengejar ini, hingga yang ada di dalam, yang amat hakiki orang lupa dan lengah untuk memperhatikannya. Kau paham?"
"Belum"
"Hm, baik. Sekarang aku menuju sasaran pokok. Jangan tersinggung kalau aku banyak menuju dirimu. Sekarang perhatikan ini. Kalau seandainya dulu kau tahu bahwa puteramu akan tewas kalau kau bersikeras mempertahankan Sam-kong-kiam apakah tindakan yang akan kauambil, taihiap" Salahkah bila kukatakan bahwa kau akan melepaskan pedang itu dan lebih mementingkan puteramu?"
"Tidak"
"Bagus, lagi pertanyaan ini. Kalau seandainya kau tahu pula bahwa lenganmu akan buntung salahkah bila kukatakan bahwa kau akan melepas pedang itu dan lebih menghargai lenganmu sendiri?"
"Tidak."
"Cocok, pembicaraan mulai lancar. Sekarang kau menangkap bahwa Sam-kong-kiam, betapapun hebatnya dia, betapapun berharganya dia tetap tak lebih berharga daripada lenganmu sendiri, atau puteramu itu, darah dagingmu itu. Dan kerena kau telah mengakui ini maka kau tentu sepakat jika kukatakan bahwa yang di luar, benda-benda yang di luar masih kalah berharga di banding dengan yang di dalam. Seperti Pedang Tiga Dimensi itu dengan lenganmu atau seperti Pedang Tiga Dimensi dengan anggauta tubuhmu yang lain. Dan karena kau telah melihat ini tentunya sekarang kau mengerti bahwa dibanding dengan apapun juga tetap saja diri sendiri atau tubuh sendiri lebih berharga dibanding yang lain-lain. begitu, bukan?"
"Ya."
"Nah. apa kelanjutannya" Kenapa orang masih mengejar-ngejar itu?"
"Karena mereka tak tahu, Sian-su. Karena mereka mabok dan ingin memiliki itu."
"Cocok, tepat sekali. Itulah sumber kecelakaan manusia. Nafsu memiliki! Ha ha. kau mulai menyentuh. Hu-taihiap. Sekarang pembicaraan akan beres dan semakin lancar!"
Hu Beng Kui tertegun. Kakek dewa itu tiba-tiba tertawa bergelak dengan suara nyaring, mengejutkan namun lembut. Dia tadi sebetulnya kebetulan saja menyebut itu, rasa kemilikan, rasa yang membuat manusia mabok untuk memiliki sesuatu. Hal yang rasanya manusiawi dan lumrah, Hu Beng Ku tercekat kenapa Bu-beng Sian-su tiba-tiba tertawa begitu gembira, terbelalak dia.
Dan ketika kakek dewa itu menghentikan tawanya dan berseri seri memandangnya maka kakek ini mengangkat lengannya. "Nah. sekarang pembicaraan semakin jelas, Hu taihiap. Bahwa sumber dari semua kejadian ini adalah karena hak milik, hak ingin memiliki dan rasa kemilikan itu. Dan karena semua peristiwa yang menimpamu itu bersumber pada rasa ingin memiliki ini maka enak tidak enaknya telah kaurasakan, termasuk peristiwa pahit dari rasa yang tidak benar itu!"
"Tidak benar?" Hu Beng Kui penasaran. "Apakah tidak benar rasa kemilikan itu, Sian su" Apakah salah kalau setiap manusia dihinggapi perasaan ingin memiliki akan sesuatu?"
"Hm, dalam batas-batas tertentu rasa itu tidak salah, taihiap. Tapi begitu perasaan itu melejit dan melangkah terlalu jauh, maka rasa ingin memiliki itu salah!"
"Sian-su dapat membuktikannya?"
"Tentu, lihat ini. Dengarkan!" kakek itu membetulkan letak duduknya, masih berseri seri dan bersinar-sinar memandang lawan bicaranya.
Hu taihiap berdebar dan ingin tahu, tiba-tiba pembicaraan ini telah menyeretnya dalam satu daya tarik yang besar. Dia ingin tahu dan mendapat jawaban kakek dewa itu. Dan ketika Bu beng Sian su tertawa dan menggosok gosok telapaknya segera kakek ini menuding, "Hu-taihiap. pengertian apa yang sekarang kautangkap dalam pembicaraan sampai di sini?"
"Bahwa diriku lebih berharga daripada Sam kong-kiam?"
"Bagus jadi kau tak mau ditukar pedang itu bila kau harus kehilangan sebuah kaki atau lengan, umpamanya?"
"Tidak."


Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?"
"Karena diriku lebih berharga dibanding pedang itu, betapapun hebatnya Sam kong-kiam!"
"Meskipun dengan janji pedang iiu dapat memberimu Kekuasaan, Kekayaan dan Kesenangan?"
"Ya. aku tak mau, Sian-su. Karena ternyata apa yang diberikan itu hanya merupakan "baju" belaka, sesuatu yang bersifat lahiriah!"
"Mengagumkan, kau benar-benar sehat dan waras. Dan sekarang, bagaimana pengertianmu tentang diri sendiri" Bagaimana kau memperhatikan dirimu itu?"
"Aku akan menjaganya lebih dari apa pun, karena itulah milikku yang paling berharga!"
"Ha-ha, cocok tapi salah! Kau boleh menjaganya lebih dari apa pun, Hu-taihiap. Tapi sesungguhnya kau tak memiliki "hak milik" atas dirimu itu!"
"Eh!" Hu Beng Kui melengak. "Apa kata-katamu ini, Sian-su" Bagaimana ini?"
"Dengar," kakek dewa itu berseri-seri. "Kau mulai benar tapi juga salah, taihiap. Dan untuk itu perhatikan baik-baik. Sekarang kau mulai mengerti bahwa yang paling berharga, yang paling pentirg adalah diri kita sendiri ini, tubuh kita sendiri ini. Jadi bait kedua itu mulai kita sentuh.
Lihat kata-kata itu, ......yang amat berarti. Itulah yang kumaksud. Bahwa di antara semua yang di luar sesungguhnya yang kita miliki ialah yang amat berharga. Sam-kong-kiam dan benda benda lain boleh berharga, boleh penting. Tapi apa gunanya kalau kita harus kehilangan sebagian atau bahkan seluruh tubuh kita" Apa gunanya memiliki pedang kalau lengan atau kaki haruslah buntung" Nah, ini menunjukkan diri kita lebih penting dari segala-galanya, taihiap. Karena biar pun segala kemewahan atau pun kesenangan mengelilingi kita namun tak ada gunanya kalau kita harus kehilangan sebagian anggauta tubuh kita, lengan atau kaki misalnya. Dan karena kita menyadari bahwa diri kita adalah sesuatu yang paling berharga dan jelas di atas yang lain-lain itu maka kita akan menjaganya dan tentu merawatnya sebaik mungkin, luar dalam, lahir batin. Kau setuju, bukan?"
"Ya."
"Nah, sampai di sini sekarang kau harus berhati-hati. Coba kuulang pertanyaan tadi, kenapa kau menjaga dirimu lebih dari apa pun?"
"Karena inilah milikku, Sian-su. Milik satu-satunya dan amat penting."
"Bagus, tapi kuberitahukan padamu, taihiap. Bahwa sesungguhnya kau TAK MEMILIKI apa pun atas dirimu itu. Bahwa hak milik, dalam hubungannya dengan pembicaraan ini sama sekali tak kau punyai. Bahwa manusia tak memiliki apa apa atas hidupnya. Bahwa kau dan orang-orang lainnya itu sama sekali tak memiliki "hak milik" atas dirinya itu apalagi terhadap yang lain!"
Hu Beng Kui terkejut. "Bagaimana itu, Sian su?"
"Tidakkah kau lihat jelas" Hmm, coba sebutkan padaku apa yang penting dalam dirimu, taihiap. Coba kutuntun lebih jauh lagi"
"Aku merasa penting atas diriku, tubuhku"
"Hanya itu saja?"
"Ya, adakah yang lainnya lagi?"
"Baik, kutanya kau, Tanpa Nyawa bisakah kau hidup?"
"Ah!" Hu Beng Kui terkejut, sadar. "Tentu saja tidak, Sian-su. Jadi inikah yang kaumaksud?"
"Jangan bertanya, kau hanya menjawab. ulangi sekarang jawabanmu itu. Apakah yang kau rasa penting dan amat penting dalam dirimu itu?"
"Kehidupanku, rohku. Nyawaku!"
"Kenapa begitu?"
"Karena tanpa itu wadahku adalah mayat!"
"Bagus, jadi bagaimana?"
"Bahwa kehidupanku, rohku, nyawaku adalah sesuatu yang paling penting itu, yang paling berharga itu. Karena tanpa itu aku bukanlah manusia hidup!"
"Benar, dan sekarang dapatkah kaukatakan bahwa kehidupanmu itu, roh-mu, nyawamu, adalah milikmu?"
"Tentu saja! Ini milikku, Sian-su. Dia menempel dan melekat di tubuhku!"
"Kalau begitu dapatkah kaukatakan kepada Malaikat Elmaut jika kelak dia menghampirimu bahwa milikmu itu tak boleh diganggu gugat?"
Hu Beng Kui tertegun, terkesiap.
"Ayo, kenapa diam, taihiap" Bisakah kau katakan kepada Malaikat Elmaut bahwa dia tak boleh mengambil nyawamu" Bahwa itu milikmu dan seharusnya kau hidup abadi" Ayo jawab, Hu-taihiap. Ini persoalan penting yang akan kita kupas bersama!"
Hu Beng Kui tiba-tiba menggigil hebat, terkejut. "Tidak.... tidak, Sian-su. tapi.... tapi.... ah, aku bingung...."
"Biarkan kebingungan ini, nantikan akan mengerti sendiri. Sekarang kau tahu. meskipun belum mengerti bahwa milikmu yang paling berharga itu, kehidupanmu, nyawamu, bukanlah milik dalam arti yang sesungguhnya. Kau tak dapat berkata apabila ajal menjemput tiba misalnya dengan kata-kata seperti ini Hei. Malaikat Muat, ini milikku. Jangan ambil, pergilah! Dan karena kau tak dapat berkata begitu maka jelaslah bahwa sesungguhnya terhadap milikmu yang satu itu kan tak menguasai dan memilikinya. Bahwa kita sesungguhnya memang tak memiliki apa-apa karena pemiliknya yang asli, yang tunggal, semata adalah Sang Pencipta adanya. Itulah yang hendak kumaksud! Paham?"
Hu Beng Kui bengong, tertegun
"Kau mengerti, bukan?"
"Ya." Hu Beng Kui masih setengah mengerti, menggigil. "Kalau begitu kita ini tak memiliki hak milik, Sian-su" Jadi kita ini mamsia kosong yang tidak memiliki hak akan sesuatu?"
"Tidak, kita memiliki hak, tapi bukan hak milik. Dan karena kita sudah akan melanjutkan ke sana maka tentu saja aku akan menerangkan bahwa kita, manusia tak perlu berkecil hati. Semua kata kataku tadi bukanlah hendak mengecilkan akan keberadaan kita, kehidupan kita. Kerena meskipun kita tidak mempunyai hak milik atas diri kita sendiri namun kita memiliki hak lain yang tak kalah agungny!"
"Hak apakah itu?"
"Mestikah kujawab cepat" Tidak, coba kau dulu, taihiap. Barangkali kau dapat menangkap dan mergerti ini."
"Aku bingung. kepalaku pening. Lebih baik kau saja yarg bicara dan biar kudengar!"
"Baiklah, dengarkan ini, Hu-taihiap. Bahwa meskipun kita tidak memiliki "hak milik" atas diri dan kehidupan kita sesungguhnya kita mendapat penukar hak lain yang patut disyukuri. Dan hak itu adalah HAK MANFAAT. Ya, inilah yang patut disyukuri manusia. Karena biarpun kita tak memiliki hak milik atas hidup atau kehidupan kita maka hak manfaat ini sesungguhnya merupakan karunia besar yang amat agung dan sepatutnya diiterima dengan penuh kebahagiaan murni. Karena meskipun kita tak memiliki hak milik namun hak manfaat itu akan membuat kila seolah memiliki hak milik, serupa tapi tak sama, tampaknya mirip tapi dasar keduanya itu berbeda. Kau mengerti"
"Ooh....!" Hu Beng Kui mengangguk-angguk, mulai mengerti. "Ya, ya, aku mulai paham, Sian-su. Tapi coba teruskan wejanganmu ini Kurasa masih ada sesuatu yang penting yang harus kuketahui."
"Tentu, dan yang penting itu adalah kesadaran akan ini, taihiap. Bahwa kalau terhadap diri sendiri kita tak mempunyai "hak milik" lalu bagaimana kita akan serakah dan memiliki yang lain-lain yang ada di luar kita" Jangankan yang di luar, yang di dalam saja, yang melekat sehari-hari masih bukan milik kita. Apalagi Sam-kong-kiam atau pun kedudukan dan kekayaan, bukankah kita ini hanya memiliki hak manfaat" Nah, sadar akan ini berarti mengerem loba dan tamak kita, taihiap. Karena sekali kita terperangkap dan masuk dalam kubangan itu maka kita pun menjadi bulan-bulanan pikiran keliru dan tak ada kebahagiaan dalam diri sendiri. Sederhana, bukan" Kau dapat mengerti?"
"Ah-ah....!" Hu Beng Kui kagum, berseri2. "Aku mengerti, Sian-su. Sekarang aku benar-benar mengertil"
"Apa yang kau mengerti?"
"Bahwa kita, manusia, tak memiliki hak milik. Yang kita miliki adalah hak manfaat, itu sja"
"Dan mengertikah kau bahwa kemilikan adalah sesuatu yang semu" Bahwa kemilikan itu mengikat kita dan memperbodoh kita?"
Hu Beng Kui melengak.
"Lihat, kalau kau tak diperbodoh rasa kemilikan itu tentu puteramu masih hidup, Hu taihiap. Dan kalau kau tak diperbodoh rasa kemilikan itu tentu hidupmu akan tenang-tenang saja di Ce-bu. Kau masih seorang laki-laki gagah, utuh, tidak cacad"
"Ya. aku sadar. Aku salah ...!" Hu Beng Kui menunduk, merah mukanya. "Aku sekarang mengerti akan semua kata-katamu, Sian-su. Bahwa sesungguhnya terhadap diri sendiri pun kita sebenarnya tak mempunyai hak milik itu, apalagi terhadap benda-benda atau manusia. Bahwa kemilikan itu bersifat semu. Bahwa, hm.... anak atau isteri pun sebenarnya juga bukan milik kita. Mereka itu milik Sang Pencipta. Aku sadar, aku mengerti!"
"Dan kau dapat membaca tiga bait syair itu dengan lebih baik?"
"Kukira dapat, Sian-su. Sekarang aku benar benar paham. Kemilikan memang harus diletakkan dalam proporsinya yang wajar, tidak melambung dan keluar dari rel nya Dan karena aku sudah mengerti tentunya sepak terjang atau tindak tandukku nanti tak akan keliru dari garisnya ini."
"Cobalah, kuharap begitu," Bu beng Sian-su, bangkit berdiri. "Kau tak ada pertanyaan lagi bukan?"
"Ah. Sian-su mau ke mana?" Hu Beng Kui terkejut. "Bukankah kau sendiri belum menjelaskan bait ketiga" Tidak, nanti dulu, sian-su. Aku ingin mendengar suaramu lagi dan jangan buru buru pergi!"
"Ha-ha. semuanya sudah gamblang, taihiap. Untuk apa, ditanya" Baiklah, kuulang pendek. Bait pertama itu sesungguhnya tak ada apa apa yang istimewa. Kalimat itu hanya hendak menunjukkan bahwa Sam-kong-kiam adalah sebuah benda mati yang dingin dan kaku, tak ada ulasan lebih jauh. Benda itu meskipun hebat tetaplah benda mati, kalah berharga dengan kita ini, yang masih hidup. Dan bait kedua, hmm. bukankah sudah kuberi tahu" Yang amat berarti itu adalah hidup kita ini, dirimu, hidupmu, nyawamu. Dan karena sudah jelas kutulis disitu bahwa hidup ini bukanlah "milik" kita maka meskipun yang paling berarti itu ada di dalam kita tapi kita tak mempunyai hak milik. Kita hanya mempunyai hak manfaat. itu saja. Sedangkan bait ketiga, ah..... bukankah jelas sekali, taihiap" Itu pun juga tak ada rahasianya. Semuanya gamblang kusebut. Kemilikan adalah sesuatu yang semu, tak langgeng. Dan orang yang terikat kemilikan ini berarti telah diperbodoh oleh jalan pikirannya sendiri, pengertiannya sendiri. Dan semakin dia terkidung dan tersesat menumpuk dosa maka celakalah bagiannya tak ada apa apa, semua orang bisa membuktikan ini. Kau mengerti, bukan?"
"Ya" "Nah. selesailah sudah. Kau sudah jelas dan cukup mengerti. Ingat bahwa kita tak mempunyai hak milik. Kita hanya memiliki hak manfaat. Sedang hak milik yang terjadi antar manusia adalah hak yang timbul dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan. Tentunya kau mengerti ini dan tak perlu kuterangkan. Begitu, bukan?"
Hu Beng Kui mengangguk. Bu Beng Sian-su tiba-tiba mundur tersenyum dan menjauh. Bagai kapas tertiup angin mendadak kakek dewa itu terdorong. Dan ketika dia mengebutkan lengannya dan tertawa mendadak kakek im lenyap. Hilang begitu saja!
"Sian su....!"
Tak ada jawaban. Hu Beng Kui mengejar tapi Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat, tertegunlah pendekar ini. Dan ketika Hu Beng Kui terhenyak dan teringat sesuatu mendadak pendekar ini bertanya. "Kim-mou-eng! kemana gurumu" Dan bagaimana sebenarnya dengan orang yang kubunuh itu?"
"Hm. suhu kemana aku sendiri juga tak tahu, taihiap. Tapi kalau tentang orang yang kau bunuh itu aku tahu. Dia adalah Bu-hiong, nama sebenarnya Yu Bing. anak angkat atau murid dari mendiang pamanku yang sesat Cheng bin Yu-lo."
"Cheng-bin Yu-lo" Tokoh yang tewas dan seorang dari Jit-mo Kang-ouw (Tujuh iblis Dunia)?"
"Ya, dialah muridnya, Hu taihiap. Dan Bu-hiong atau Yu Bing inilah yang mencemarkan namaku. Kau telah membunuhnya, mengira itulah diriku. Maaf tak ada lain lain lagi yang perlu kita bicarakan. Ijinkan aku pergi!" Kim-mou-eng menjura, melihat berkelebatnya bayangan Swat Lian dan tentu saja dia tak enak. Dia harus segera pergi. Dan begitu Hu Beng Kui tertegun dan terbelalak memandangnya tiba-tiba Pendekar Rambut Emas memutar tubuhnya dan berkelebat lenyap.
"Kim-mou-eng...!"
Kim-mou-eng tak menjawab. Dia hanya melambaikan tangan dan tubuhnya pun telah menghilang di luar tembok. Hu Beng Kui melesat dan mengejar. Dan ketika jago pedang itu melihat bayangm Kim-mou-eng di luar sana tiba-tiba pendekar ini berseru, "Kim-mou-eng, tiga tahun lagi kita bertemu. Aku ingin mengalahkanmu, membalas penasaranku...."
"Baik, kuterima, taihiap. Dan maaf atas semua perbuatanku yang mengecewakan hatimu!" Kim-mou-eng lenyap, Hu taihiap tak mengejar lagi dan Swat Lian muncul. Puterinya ini heran kenapa ayahnya di belakang saja, tak tahu bahwa ayahnya baru kedatangan tamu. Tapi ketika ia mendengar seruan ayahnya dan tertegun melihat bayangan Pendekar Rambut Emas tiba tiba gadis itu terisak dan menggigit bibir.
"Ada apa dia kemari, yah" Mau apa?"
"Hm, dia mengantar Bu beng Sian-su, Lian ji. Kakek dewa itu baru saja membuka kesadaranku!"
"Ah, Bu-beng Sian su?"
"Ya."
"Apa yang dikatakannya?"
"Banyak, mari kuperlihatkan," dan Hu Beng Kui yang memasuki rumahnya lagi dan menunjuk bait-bait di tembok lalu ganti menerangkan pada putrinya apa yang diwejangkan kakek dewa tadi. Bahwa kemilikan sering menyeleweng dari porsinya yang benar. Bahwa kemilikan membuat orang mabok dan tenggelam dalam nafsu pribadi. Dan ketika jago pedang itu berkata bahwa kemilikan yang sudah tidak terkontrol ini hanya akan menjerumuskan manusia pada kesengsaraan-kesengsaraan lahir batin akhirnya pendekar itu menutup, "Aku sekarang sadar akan apa yang dimaksudkan kakek dewa itu. Lian-ji. Kemilikan memang mengikat dan memperbodoh kita. Aku menyesal. Kalau dulu kuturut nasihat kakek itu dan tidak ingin memiliki Sam-kong-kiam yang sebenarnya juga bukan milikku tentu hidupku tak diguncang gempa kedukaan seperti ini. Sekarang kakakmu menjadi korban, lenganku juga buntung. Sudahlah, kita harus meletakkan rasa kemilikan itu pada batas-batas yang benar. Selama kita tak ingat akan ini dan lupa daratan serta mabok akan kemilikan tentu kita celaka. Mari bersamadhi, besok kau dan dua suhengmu harus mempelajari semua ilmu pedangku guna dipakai mengalahkan Kim-mou-eng. Tiga tahun lagi aku berjanji menemuinya. Kalian semua harus belajar baik-baik dan ilmu pedang kita tak seharusnya kalah dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Kim-mou-eng itu!"
Swat Lian termangu.
"Apa yang kau pikir?"
Swat Lian terisak. "Pendekar Rambut Emas itu, yah. Aku, ah.... aku tak dapat melupakannya. Dia hebat. Kepandaiannya benar-benar tinggi"
"Tentu saja, dia murid Bu-beng Sian-su. Tapi kekalahanku tidak memuaskan, dia hanya menghadapi sebelah lenganku dan itu pun aku masih belum sembuh benar. Kalau aku memiliki kedua lengan dan dia tidak mengincar kelemahan ku pada lengan yang buntung ini belum tentu dia sanggup merobohkan aku!"
"Benar, tapi..... hm, dia juga belum mengeluarkan semua ilmunya, yah. Ada satu ilmu yang tidak dikeluarkan!"
"Apa itu?" Hu Beng Kui terkejut.
"Pek-sian-ciang!"
"Ah!" jago pedang ini terbelalak, kaget. "Kau benar, Lian ji. Jadi kalau begitu....."
"Dia pun masih menyimpan ilmunya. Jadi kalau ayah bertempur dengan sebelah lengan dan belum sembuh maka dia pun masih memiliki Pek Sian-ciang dan mungkin kalian berimbang Atau...." putrinya memotong. "Dia menang seusap dan ayah harus mengakui itu karena Kim-mou-eng telah mengetahui ilmu pedang kita!"
"Tidak." Hu Beng Kui pucat "Aku tak mau kalah, Lian-ji. Betapapun aku penasaran dan ingin menebus kekalahanku itu. Aku akan menggembleng kalian, kalau perlu kuciptakan sebuah ilmu baru yang lawanku itu tidak tahu!"
"Tentu, aku juga penasaran akan kekalahanmu itu, yah. Aku akan memperdalam ilmuku dan menebus kekalahanmu!"
"Mari, kalau begitu bersiaplah. Kita bersamadhi dan besok kumpulkan dua suhengmu itu!" dan begitu Hu Beng Kui berkelebat masuk maka puterinya mengangguk dan Swat Lian pun mengikuti, tak banyak bicara dan hari itu Hu Beng Kui bersemangat. Dia ingin mendidik dan menggembleng murid-muridnya ini, tak mau kalah dengan Kim-mou-eng. Putrinya juga bersemangat dan barangkali lebih bersemangat dari sang ayah. Swat Lian menyimpan kekecewaan dan patah hati yang besar. gadis ini sering menangis. Tapi begitu mengepal tinju dan menggigit bibir maka semua kekecewaan ditekan dan sinar yang aneh pun mencorong di matanya. Tak tahu apa yang bergolak namun mudah kita duga. Semacam sakit hati mengguncang perasaan gadis ini.
Swat Lian ingin suatu ketika berhadapan dengan Salima, di tempat yang sepi, di tempat yang sunyi. Dan karena pengakuan Kim-mou-eng terhadap sumoinya dirasa terlalu menyakitkan dan memukul perasaannya maka gadis ini belajar lebih tekun daripada yang lain. Hari demi hari mulai dilalap dengan pelajaran ilmu-ilmu silat. Di bawah gemblengan ayahnya gadis ini belajar tak henti-hentinya. Bulan demi bulan dilalui cepat dan akhirnya setahun pun lewat tanpa terasa. Tapi karena kisah ini hendak ditutup dan "Pedang Tiga Dimensi" selesai sampai di sini biarlah kita tunda perjumpaan kita dalam kisah berikut: SEPASANG CERMIN NAGA. Di situ, kita-akan kembali berjumpa dengan tokoh-tokoh cerita ini, termasuk tentu saja Kim-mou-eng dan sumoinya, yang kini telah menjadi suami istri dan hidup di luar tembok besar, di tengah-tengah perkampungan besar bangsa Tar-tar. Dan karena kisah ini sudah selesai sampai di sini penulis hendak mohon diri untuk jumpa dalam kisah berikutnya.
Bu-beng Sian-su kembali muncul untuk persoalan yang lain. Bicara tentang Keadilan. Hal yang sering menjadi "topik" dalam kehidupan manusia. Apakah keadilan itu" Bagaimana manusia menghadapi yang satu ini" Mengecewakan. Memprihatinkan! Dan untuk mengetahui itu biarlah kita lihat apa yang hendak "ditodongkan" manusia dewa ini. Satu pembicaraan yang menarik!
(Oo-dwkz-smhn-abu-oO)
TAMAT Solo. 17 Juli 1986
Pedang Ular Mas 5 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Perjodohan Busur Kumala 25
^