Pencarian

Pedang Penakluk Iblis 4

Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


157 orang kang-ouw mendengar tentang ini" Kita mesti menjadi buah
tertawaan belaka"
"Siong-suheng apakah kata-katamu ini berarti bahwa kau hendak mengingkari perintah Suhu?" tanya Kong Ji dan sepasang matanya bercahaya.
"Sudah bertahun-tahun aku ikut Suhu dan selalu setia. Aku sudah membuktikan bahwa aku seorang Im-yang-bu-pai tulen, setia lahir batin dan siap sedia mengorbankan nyawa demi kebaikan
perkumpulan kita. Akan tetapi kau ini siapakah" Baru juga setahun lebih berada disini. Kepandaian apa yang kauandalkan sehingga kau berani menerima menjadi wakil ketua Im-yang-be-pai" Bagaimana
kalau ada musuh datang" Kiraku kau akan bersembunyi terlebih
dulu. Ha, ha, ha!"
Merah wajah Kong Ji. Ia melompat turun dari bangkunya,
memandang tajam kepada Siong Cin.
"Begitu anggapmu, ya" Siong-suheng, tahukah kau kepandaian apa yang paling hebat dari Suhu?"
"Tentu saja aku tahu. Baru saja Sughu mendapatkan Ilmu
Pukulan Tin-san-kang. Kiraku melihat saja kau pun belum
pernah...!"
"Hm, tua bangka bodoh. Kaulihat baik-baik, kenalkah kau ini...?""
Setelah berkata demikian, Kong Ji menggerakkan tubuhnya yang
berputar-putar sebentar di atas tumitnya. kemudian tubuhnya itu hampir berjongkok dan kedua tangannya mendorong ke depan, ke
arah Siong Cin sambil mengeluarkan seru "haaaiii...!"
Siong Cin adalah murid Giok Seng dan kepandaiannya sudah
tinggi, biarpun tidak selihai Lai Tek atau Kwa Siang, namun jarang ada orang dapat menang darinya. Kini dengan mata terbelalak
melihat gerakan sutenya yang kecil dan tahu-tahu ia merasa
dadanya terdorong hebat sekali. Ia mengerahkan tenaga dan
mencoba menerima tenaga ini, namun ia tidak kuat dan roboh
terjengkang! Inilah pukulan Tin san-kang, gerakan ke tujuh. Kong Ji memang cerdik sekali!. Setelah halal akan kauw-koat (teori) Ilmu Silat Tin-san-kang, disepanjang jalan ia melatih diri terus menerus pada bagiaan ke tujuh ini, bagian yang dianggap paling mudah.
158 Oleh karena itu, ia mendapatkan hasil dan apabila mainkan jurus ke tujuh ini, ia telah dapat mengeluarkan tenaga Tin-san-kang,
walaupun tentu saja belum hebat. Namun cukup kuat untuk
merobohkan seorang seperti Siong Cin.
Bukan main kagetnya semua orang, terutama sekali Lai Tek dan
Kwa Siang. Mereka sendiri belum pernah diberi pelajaran Tin-sankang, namun mereka sudah tahu bahwa gerakan tadi benar-benar
ilmu Tin-san-kang dari suhu mereka. Biarpun tenaga pukulan Kong Ji belum hebat, masih kalah jauh lweekangnya dengan mereka,
namun mereka harus akui bahwa mereka tidak dapat melakukan
gerakan tadi dan tidak dapat memiliki atau membangunkan tenaga Tin-san-kang.
"Itulah Tin-sang-kang...!" Lai Tek berkata kagum.
Siong Cm merangkak bangun. Baiknya tenaga dari Kong Ji masih
belum hebat, sehingga ia hanya terdorong dan roboh terjengkang saja, tidak sampai mengalami luka di dalam dadanya. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali keringat dingin mengalir dari
dahinya. "Maaf, Siauw-pangcu. Mataku seperti buta. Biarpun masih kecil, ternyata kau patut sekali menjadi ketua mewakili Suhu," katanya sambil duduk kembali, tidak berani berkutik lagi.
Kong Ji tersenyum lalu duduk kembali "Masih baik aku
mengetahui bahwa bukan maksudmu mengkhianati Suhu, kalau
tidak, aku tadi dapat mempergunakan seluruh tenagaku dan kiranya kau tak kan hidup lagi." Kata-kata ini tentu saja bohong belaka, karena tadi ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi tak seorang pun mengetahui dan semua orang memandangnya
makin kagum. Benar-benar lucu sekali, para anggauta pengurus
yang rata-rata sudah berusia empat puluh tahun ke atas itu
sekarang tunduk terhadap bocah berusia tiga belas tahun!
"Nah, sekarang harap lekas-lekas bersiap-siap. Aku tugaskan Siong Cin Suheng dan empat orang kawan lain untuk menyiarkan
berita bohong itu, kemudian kita menanti sampai sebulan barulah kita mencari kitab di Luliang-san. Untuk tugas ini, aku sendiri 159
bersama Twa-suheng dan Ji-suheng akan berangkat ke Luliang-
san." Kim tak ada yang berani membantah dan Siong Cin segera
berangkat mengajak empat orang saudaranya.
-oo0mch-dewi0oo-
Sambil menanti hasil daripada siasatnya Kong Ji tidak membuang waktu secara sia-sia. Ia melatih diri dengan Ilmu Pukulan Tin-sankang, dan tentu saja bocah yang cerdik ini melatih diri di tempat yang tersembunyi agar jangan ada lain orang dapat melihatnya.
Berkat keuletan, dan ketekunannya, dalam beberapa hari saja ia telah memperoleh kemajuan yang pesat. Ia melatih ilmu pukulan ini sejurus demi sejurus, tidak meningkat kepada yang lain jurus
sebelum yang sejurus itu baik betul gerakannya. Juga ia dengan rajin melatih lweekangnya agar dapat segera memiliki sinkang
sehingga dapat melakukan pukulan Tin-san-kang sebaiknya.
Kong Ji maklum akan kehebatan ilmu pukulan ini, buktinya baru
saja mempelajari sejurus, dan jarak setombak lebih ia telah berhasil merobohkan Siong Cin. Padahal kalau ia bertanding silat dengan suhengnya itu, belum tentu ia dapat bertahan dua puluh jurus!
Maka ia berlatih dengan amat rajin tak kenal lelah.
Berita bohong sebagai siasat yang di sebarkan oleh Siong Cin dan kawan-kawannya, ternyata berhasil baik sekali sebagaimana
diperhitungkan oleh Kong Ji. Para tokoh kang-ouw yang tadinya
masih ubek-ubekan mencari di sekitar Luliangsan, kini menujukan perhatiannya kepada Giok Seng Cu. Mereka tahu bahwa ketua Imyang-bu-pai ini tidak berada di sarangnya, maka mereka mulai
mencari tempat persembunyian kakek ini. Akan tetapi siapakah yang mengira bahwa Seng Cu bersembunyi di Lembah Maut, sebuah
tempat yang kabarnya menjadi tempat tinggal siluman dan iblis
belaka. Jarang ada orang berani masuk ke lembah karena andaikata berhasil masuk, belum tentu dapat keluar kembali dengan tubuh
masih bernyawa.
160 Tempat itu menjadi sarang dari binatang buas dan ular-ular serta binatang berbisa yang lain, belum terhitung rawa-rawa beracun dan jurang-jurang dalam yang berbahaya sekali.
Kurang lebih sebulan setelah berita itu tersiar luas, Kong Ji
dengan gembira dan bangga mendapat berita dari penyelidiknya
bahwa kini Luliang-san telah kosong ditinggalkan oleh para tokoh yang hendak mencari kitab rahasia. Ia telah bersiap-siap dengan Lai Tek dan Kwa Siang untuk segera berangkat ke bukit itu.
Akan tetapi, pagi-pagi hari sebelum ia berangkat, terjadilah
peristiwa hebat sekali. Pada pagi hari itu, seperti biasa para anggauta Im-yang-bu-pai siap sedia menjalankan tugas masing-masing. Mereka ini memang masing-masing mempunyai pekerjaan,
ada yang menjadi piaw-su (pengawal barang antaran), ada yang
menjadi pegawai, ada pula yang mengurus kelenteng dan
sebagainya. Nama Im-yang-bu-pai sudah amat terkenal, maka
untuk menjaga keselamatan harta benda dan nyawa, banyak kaum
hartawan mempekerjakan anggauta Im-yang-bu-pai, biarpun
dengan bayaran tinggi.
Matahari belum kelihatan, namun sinarnya telah mengusir embun
pagi. Keadaan di luar Im-yang-bu-pai masih sunyi. Bahkan jalanjalan di kota Lam-si masih sepi. Rumah dan toko-toko masih belum membuka pintu. Dari jauh terdengar suara anjing menggonggong
riuh-rendah, akan tetapi tiba-tiba suara anjing itu berhenti dan lenyap, seakan-akan leher anjing-anjing itu dicekik. Dan kalau kiranya ada orang yang datang di tempat anjing-anjing itu
menggonggong, yakni pintu gapura kota, orang itu tentu akan
ketakutan setengah mati melihat beberapa ekor anjing menggeletak di jalan dengan tubuh hitam seluruhnya dan sudah mati.
Pagi hari itu memang terjadi hal yang paling aneh dan
mengerikan sekali. Seorang penduduk kota yang bangun terlalu
pagi, keluar dari rumah hendak mengeluarkan kuda yang
kandangnya berada di belakang rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara menggeleparnya sayap burung yang keras sekali. Ketika ia menengok ke atas, ia menjadi pucat melihat seekor burung rajawali besar sekali melayang di atasnya. Yang membikin ia ketakutan
161 hebat adalah ketika ia melihat bahwa di atas punggung burung itu ada seorang nenek tua yang duduk!
"Ada siluman...!" la berteriak keras. Tiba-tiba burung itu menyambar turun dan sekali mengulur kuku, leher orang itu sudah kena dicengkeram oleh burung rajawali, tubuhnya dibawa terbang agak tinggi, lalu dilemparkan ke bawah. Orang itu jatuh di atas tanah dengan leher hampir putus dan kepala pecah!
Seorang lain yang pagi-pagi menunggang kudanya hendak keluar
kota setibanya di dekat pintu gapura, terkejut sekali melihat anjing-anjing kota menggeletak tak bernyawa di tengah jalan. Ia menarik kendali kudanya hendak melompati bangkai-bangkai anjing itu akan tetapi tiba-tiba kudanya berjingkrak sambil mengeluarkan ringkik ketakutan mengangkat kedua kaki depan. Tiba-tiba beberapa ekor ular meluncur cepat menggigit kuda itu yang meringkik-ringkik lalu roboh, berkelojotan lalu mati. Penunggang kuda itu terlempar dan mukanya pucat sekali. Ia melihat belasan ekor ular mengeroyok
kuda itu, seakan- akan berpesta hendak menikmati daging kuda.
Orang itu melompat bangun dan hendak lari. Pada saat itu ia
melihat seorang bocah gundul memandang kepadanya dengan
menyeringai. Bocah ini biar pun sikapnya aneh, tidak begitu
menakutkan boleh dibilang bersih dan tampan akan tetapi seorang kakek yang berdiri belakang bocah gundul itu benar-benar
membuatnya terbelalak dan tak dapat bergerak seperti patung,
hanya berdiri memandang,. Kakek ini kepalanya juga gundul seperti botak, hidungnya panjang sekali, matanya lebar dan mulutnya
besar, kulitnya kehitaman dan yang paling menakutkan adalah sinar matanya yang berwarna kebiruan!
Bocah gundul itu tertawa, "Ayah, ada santapan pagi yang baik untuk siang-coa-ong (sepasang raja ular)." Kakek itu hanya menyeringai sehingga wajahnya menjadi makin menakutkan.
Bocah gundul itu lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, dan
ternyata bahwa yang dikeluarkan adalah dua ekor ular merah yang amat kecil. Ia menggerakkan tangan, dua ekor ular itu terbang
meluncur dan tahu-tahu sudah menempel di dada penunggang kuda
tadi. Orang ini menjerit merasa dadanya sakit. Ia masih sempat melihat dua ekor ular itu masuk ke dalam dadanya, melalui lubang 162
yang entah kapan terdapat di dadanya. Orang itu merasa sakit luar biasa. Ia memegang dan membetot buntut ular akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit yang membuat semua uratnya pecah kepalanya
pening, lalu jatuh dan nyawanya melayang pada saat dua ekor ular itu memperebutkan jantungnya yang masih hidup'
Keadaan sunyi kembali. Bocah gundul itu dan kakek yang
menyeramkan tadi berjalan dengan tenang menuju ke rumah besar
perkumpulan Im-yang-bu-pai. Ketika mereka tiba di depan rumah
itu, dari atas melayang turun seekor burung rajawali merah yang ditunggangi oleh nenek tadi. Sebelum burung tiba di tanah, nenek itu sudah meloncat ke bawah dan gerakannya bahkan lebih gesit
dan ringan dan pada burung itu sendiri. Nenek ini ternyata tidak menyeramkan. Bahkan masih jelas kelihatan bahwa dahulunya tentu cantik molek. Hanya sekarang di dahi dan pipinya terdapat lekuk-lekuk dan keriput-keriput yang membuat wajah yang cantik itu
menjadi aneh dan galak. Sepasang matanya seperti kunang-kunang, kecil dan bergerak selalu.
Mereka inilah See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Negara Barat), seorang manusia iblis yang luar biasa kejamnya. Bersama isterinya yang bernama Kwan ji Nio dan puteranya yang bernama Kwan Kok
Sun yang dalam hal keganasan tidak kalah oleh See than Tok-ong sendiri.
See-thian Tok ong adalah tokoh besar dari dunia barat yang
melawat ke timur dan ketika ia tiba di Tibet, dengan cepat ia
menjagoi di daerah itu. Bahkan Ba Mau Hoatsu sendiri ketika
menyaksikan kelihaiannya, tidak berani turun tangan dan secara pengecut sekali menyembah dan mengangkatnya menjadi tokoh
pertama di Tibet! Karena Ba Mau Hoatsu memang cerdik dan pandai mengambil hati, maka begitu lama ia masih selamat, bahkan
dianggap sebagai pembantu yang baik hati oleh See-thian Tok-ong.
Dari Ba Mau Hoatsu inilah ia mengetahui keadaan Tionggoan
(pedalaman Tiongkok) serta semua hal tentang dunia kang-ouw di Tionggoan.
Adapun isterinya yang bernama Kwan ti Nio sebenarnya adalah
seorang wanita Han. Ayah dari Kwan Ji Nio adalah seorang penjahat besar yang dimusuhi oleh pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw
163 sehingga penjahat she Kwan ini melarikan diri bersama isterinya ke dunia barat. Di sana isterinya melahirkan anak perempuan, yakni Kwan Ji Nio yang akhirnya menjadi isteri dari See thian Tok-ong.
Kwan Ji Nio memiliki ilmu silat yang amat tinggi pula biarpun tidak dapat menang dari suaminya namun dalam hal ilmu ginkang
(meringankan tubuh), suaminya masih kalah olehnya! Wanita ini
sudah memiliki ilmu Tee in-ciang (Lompatan Tangga Awan)
sehingga di udara dapat menggerakkan tubuh untuk mumbul lagi
atau berganti arah lompatan. Ilmu ini hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli silat yang sudah tinggi sekali ginkangnya.
Pada saat ayah bunda dan anak ini tiba di pintu pekarangan
rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai, beberapa ekor ayam telah
keluar dan berkokok sambil berkejar-kejaran di halaman itu. Tiba-tiba terdengar bunyi. "Keok! Keok! Keok" dan ayam-ayam itu diam tak bergerak lagi, menjadi makanan dua puluh ekor lebih ular-ular beracun yang berjalan mendahului majikan mereka.
Mendengar suara ayam yang aneh ini, lima orang anggauta Im
yang bu-pai memburu keluar. Mereka menjadi pucat sekali melihat ayam-ayam itu mati dikeroyok ular. Ketika mereka mengangkat
kepala mereka melihat tiga orang aneh memasuki pintu pekarangan.
Sebagai ahli-ahli silat tentu saja mereka tidak takut dan cepat berlari keluar untuk menegur siapa gerangan orang-orang aneh yang
membawa ular-ular jahat itu.
"Siapa kalian" Hayo usir ular-ular jahat kalian itu dan...."
Baru saja berkata sampai di sini, See-thian Tok-ong
menggerakkan kedua tangannya berulang-ulang ke depan dan lima
orang itu roboh terjungkal tak bernapas lagi!
Lima orang anggauta Im-yang-bu-pai itu telah terkena pukulan
maut dari See-thian Tok-ong yang disebut Hek-tok ciang (Pukulan Racun Hitam). Begitu mereka roboh, seluruh tubuh mereka menjadi hitam dan mereka tewas pada saat itu juga, tanpa mendapat
kesempatan berteriak sama sekali.
See -thian Tok-ong dan anak isterinya berjalan perlahan, terus maju menghampiri rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai. Burung
rajawali merah berloncat-loncatan di belakang mereka, sedangkan 164
ular-ular yang kini sudah kenyang makan bangkai-bangkai ayam,
mulai merayap menghampiri mayat lima orang anggauta Im-yang-
bu-pai itu. Mendengar suara orang jatuh di luar, beberapa orang anggauta
Im-yang-bu-pai memburu keluar dan alangkah terkejut hati mereka melihat lima orang kawan mereka telah tewas dengan muka hitam, sekali, menggeletak di pekarangan dan ular-ular yang menjijikkan merayap-rayap di sekeliling mayat-mayat itu. Mereka juga
memandang kepada tiga orang pendatang yang sikapnya tenang
itu, maka tahulah mereka bahwa yang datang adalah musuh-
musuh. Cepat mereka berlari masuk dan tak lama kemudian
gembreng tanda bahaya dipukul gencar di ruang -belakang.
Dalam sekejap mata saja, pekarangan rumah perkumpulan Im-
yang-bu-pai telah penuh orang. Ada empat puluh lebih anggauta
Im-yang-bu-pai berkumpul di situ, mengurung pekarangan dan di
tangan mereka terlihat bermacam senjata.
See-thian Tok-ong dan anak isterinya tidak bergerak, hanya
berdiri di tengah pekarangan sambil tersenyum-senyum dan
memandang ke sekeliling mereka. Makin banyak anggauta Im-yang-
bu-pai yang datang, makin bersinar-sinar mata mereka.
"Datanglah yang banyak! Datanglah semua jangan ada yang
ketinggalan!" berkali-kali Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun berkata perlahan.
Im-yang bu-pai adalah perkumpulan yang amat berpengaruh dan
besar serta memiliki anggauta yang ratusan orang jumlahnya. Akan tetapi anggauta-anggauta itu tidak semua berada di Lam-si dan
pada waktu itu yang berada di situ hanya lima puluh orang lebih.
Kemudian munculiah Lui Kong Ji bersama Lai Tek Kwa Siang dan
beberapa orang pengurus Im-yang-bu-pai atau murid-murid Giok
Seng Cu. Melihat ular-ular dan burung kim-tiauw, semua pengurus dapat menduga bahwa mereka berhadapan dengan See-thian Tok-ong sehingga mereka rata-rata menjadi jerih dan wajah mereka
pucat. Hanya Kong ji seorang yang bersikap tenang dan bocah ini bertindak maju dengan tabah sekali, bahkan berada di tempat
terdepan menghadapi See-thian Tok-ong. Hal ini tidak saja
mengagumkan para anggauta Im-yang-bu-pai, bahkan See-thian
165 Tok-ong dan isterinya juga memandang dengan kagum atas
keberanian bocah tampan itu.
"Sam-wi yang baru datang ini bukankah See-thian Tok-ong
Locianpwe bersama isteri dan putera yang terhormat" Kami dari Imyang-bu-pai tak mengetahui lebih dulu akan kunjungan ini dan
terlambat menyambut, mohon maaf sebesarnya," kata Kong Ji.
Kwan Kok Sun cemberut, lbunya memandang dengan mata
bersinar marah, akan tetapi See-thian Tok-ong tiba-tiba tertawa bergelak "Ha-ha-ha, alangkah lucunya mendengar kata-kata tadi keluar dari mulut seorang bocah. Ha-ha-ha " bocah ini lucu
sekali...!"
Akan tetapi isterinya membentak sambil mendelik kepada Kong
Ji. "Setan cilik! Mulutmu lancang sekali. Mana ketuamu" Hayo suruh dia keluar!"
Dengan tenang Kong Ji menjura. "Mohon maaf, ketua kami tidak ada di sini, dia sedang pergi...."
Tiba-tiba See-thlan Tok-ong yang tadi tertawa-tawa membentak
keras, "Tutup mulutmu! Kaukira aku tidak tahu bahwa Giok Seng Cu pergi melarian diri secara pengecut sekali" Yang kami maksudkan adalah ketua yang menjadi pemimpin di saat ini, atau wakil dari Giok Seng Cu." Suaranya mengancam dan wajahnya nampak bengis sekali jauh berbeda dengan tadi ketika ia tertawa-tawa.
Namun Kong ji memiliki ketabahan luar biasa. Ia menghadap ke
arah See-hian Tok-ong dan berkata, suaranya tegas dan sedikit pun tidak gemetar.
"Terimalah hormatku, Locianpwe. Pada saat ini, boanpwe (aku yang rendah) yang menjadi ketua lm-yang-bu-pai menggantikan
Giok Seng Cu pangcu kami yang sedang pergi."
See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun tertegun.
Mereka sudah seringkali mendengar dan melihat hal yang aneh-
aneh di dunia kang-ouw, akan tetapi melihat seorang bocah paling 166
hanya berusia dua-tiga belas tahun mengaku menjadi ketua Im-
yang-bu-pai, mereka benar-benar merasa geli, heran, aneh dan
tidak percaya. "Jangan main gila, bocah nakal. Apakah kau sudah bosan hidup berani mempermainkan See-thian Tok-ong?" bentak tokoh barat itu.
"Ayah, biar Ang-coa-ong mengambil jantung!" kata Kwan Kok Sun sambil merogoh saku hendak mengeluarkan ular merah. Akan
tetapi ayahnya mencegah.
"Nanti dulu, Kok Sun. Aku hendak mendengar apakah dia benar-benar berani membohongi kita."
Melihat keberanian Kong Ji, Lai Tek menjadi kagum sekali dan
kini ia khawaIir kalau kalau anak ini dibunuh oleh tiga orang tamu aneh itu, maka ia lalu maju menjura.
"Saya bernama Lai Tek dan menjadi murid tertua dari Suhu Giok Seng Cu. Memang benar bahwa anak ini adalah Siauw-pangcu kami, menggantikan Suhu. Dia tidak membohong. Mohon Locianpwe sudi
memaafkan kalau ia terlalu berani bicara mengingat usianya yang masih muda. Perkenankan saya mewakili Im yang-bu-pai bertanya
kepada Sam-wi apakah gerangan maksud kedatangan Sam-wi di
sini?" Dengan matanya yang bundar, See-hian Tok-ong menyapu
semua orang yang berada di situ, kemudian mulutnya menyeringai kejam ketika ia berkata,
"Pertama-tama, si jahanam Giok Seng Cu telah berani merampas pedang dari tangan anakku, maka kami harus mengambil pedang
itu kembali berikut kepalanya."
Tiba, tiba suara ketawa Kong Ji menjawab kata-kata ini.
"Locianpwe," Kata Kong Ji selagi semua orang heran
memandangnya, "Boanpwe rasa Locianpwe takkan dapat
membuktikan ancaman itu."
Kembali See-thian Tok-ong melengak "Setan cilik, apa
maksudmu" Hati-hati menjaga mulutmu, kau!"
167 "Kalau Locianpwe tahu di mana adanya Suhu pada saat ini, masa Locianpwe bertiga susah payah datang ke sini'" Di dunia, betapa pun lihai dia, tak mungkin ada orang mengetahui di mana adanya Suhu."
Sepasang mata See thian Tok-ong terputar-putar, kemudian ia
berkata lagi kepada Lai Tek, "tadi maksud kedatanganku yang pertama sudah kunyatakan, adapun yang ke dua, karena ketua Imyang-bu-pai telah berani menghina puteraku, maka hari ini Im-yang-bu-pai harus terbasmi sampai ke akar-akarnya. Kami datang untuk membinasakan kalian semua... kecuali dia ini!" Berbareng denga ucapan terakhir ini, tangan kirinya menyambar dan tahu-tahu Kong Ji telah dipegang tengkuknya oleh See-thian Tok-ong. Kong Ji
merasa tubuhnya lemas seluruhnya. Percuma saja ia mencoba
untuk mengerahkan lweekang agar terlepas dari pegangan kakek
ini. Ia tidak berdaya sama sekali bagaikan sehelai rumput kering dalam tangan See thian Tok-ong. Kakek ini melemparkan tubuh
Kong-Ji ke dekat burung rajawali sambil berseru.
"Kim-tiauw, kau jaga dia jangan boleh lari!"
Kemudian, didahului oleh bentakan-bentakan menyeramkan,
See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun mulai
mengamuk. Semenjak tadi, Lai Tek, Kwa Siang dan kawan-
kawannya sudah siap sedia mendengar omongan See-thian Tok-
ong. Lai Tek dan Kwa Siang dapat -menduga bahwa di antara tiga orang aneh ini, yang paling berbahaya tentulah See-thian Tok-ong sendiri, maka Lai Tek segera mencabut sepasang pedangya. Kwa
Siang mencabut sepasang tongkatnya. Mereka berdua lalu
menyerbu dan menghadapi See-thian Tok-ong. Adapun anggauta-
apggauta Im-yang-bu-pai lainnya yang kepandaiannya sudah tinggi mengurung Kwan Ji Nio.
See-thian rok-ong tertawa bergelak sama sekali ia tidak
mengeluarkan senjata dan menghadapi dua orang tokoh Im-yang-
bu-pai itu dengan tangan kosong saja. Lai Tek berjuluk Siang-mo-kiat (Sepasang Pedang Iblis) sedangkan Kwe-Siang berjuluk Thian-te Siang-tung (Sepasang Tongkat Langit Bumi). Ilmu kepandaian
mereka sudah amat tinggi dan ini sudah terbukti ketika mereka
berdua menyerbu ke Hoa-san-pai, Liang Gi Tojin ketua Hoa-san-pai 168
sendiri tidak kuat menghadapi mereka dan sampai tewas demikian pula Hui-liong Lie Bu Tek Naga Terbang sampai roboh terluka berat.
Kini menghadapi See-thian Tok-ong tokoh baru yang menggegerkan dunia kang-ouw, mereka mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian. Akan tetapi, See-thian Tok-ong hanya menghadapi mereka


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tangan kosong belaka. Tentu saja Lai Tek dan Kwa Siang
menjadi penasaran sekali. Mereka merasa dipandang rendah dan
dihina. Masa mereka berdua dengan senjata mereka yang sudah
terkenal itu kalah dikeroyok seorang lawan bertangan kosong"
Mereka berbesar hati karena pihak lawan hanya ada tiga orang
ditambah ular-ular kecil dan seekor burung, sedangkan mereka
berkawan sampai lima puluh orang.
Akan tetapi, ilmu silat dari See-thian Tok-ong benar-benar hebat.
Tidak saja gerakannya amat lihai dan kuat serta gesit, juga ilmu silatnya yang dimainkan untuk menghadapi desakan dua orang
tokoh Im-yang-bu-pai itu amat luar biasa, jauh berbeda dari ilmu-ilmu silat yang pernah dilihat oleh Lai Tek dan Kwa Siang. Juga dalam menggerakkan tangan kaki, tiada hentinya Raja Racun ini
mengeluarkan suara yang aneh, memekik-mekik dan menggereng
seperti seekor binatang buas. Setiap gerakan tangan dilakukan
sambil mengeluarkan pekik yang berlainan, akan tetapi dari suara ini seakan-akan timbul tenaga mujijat yang menahan gerakan senjata lawan, bahkan kadang-kadang membuat kacau gerakan ilmu silat
Lai Tek dan Kwa Siang. Akibatnya, beberapa kali dua orang tokoh Im-yang-bu-pai ini beradu senjata dengan kawan sendiri. Jari-jari tangan See-thian Tok-ong amat cekatan dan kuat, juga orang ini berani mati sekali sehingga beberapa kali ia berani menerima
sabetan pedang Lai Tek dengan tangan! Jari-jari tangannya dengan tepat dapat menyentil pedang itu sehingga terpental membalik atau menyeleweng menghantam tongkat Kwa Siang yang sudah
menyambar pula. Benar-benar hebat dan sukar untuk dapat
dipercaya. Kwan Ji Nio, isteri dari See-thian Tok-ong dikeroyok oleh lima orang. seperti juga suaminya, nyonya tua ini tidak mempergunakan senjata, akan tetapi melihat gerakannya, ia lebih mengagumkan
daripada suaminya, walaupun tentu para pengeroyok tidak selihai 169
Lai Tek dan Kwa Siang yang mengeroyok See thian Tok-ong.
Gerakan nyonya ini cepat bukan main, sebentar-sebentar melompat dan terapung di udara bagaikan seekor burung menyambar. Karena kegesitannya yang luar biasa, ia lebih cepat berhasil daripada suaminya. Baru belasan gebrakan saja ia telah berhasil menjambret kepala seorang pengeroyok dan entah dengan pukulan apa, orang
ini roboh terguling dengan tubuh tak berdaya lagi. Ternyata bahwa jalan darah dan urat terpenting di kepalanya telah kena ditotok putus oleh nyonya lihai ini! Gentarlah para pengeroyoknya, namun anggauta- anggauta Im-yang-bu-pai tidak mundur, bahkan kini ada sepuluh orang maju membantu untuk mengeroyok nyonya tua yang
lihai sekali ini.
Tiba-tiba terdengar jerit dan pekik menyeramkan dari para
anggauta Im-yang bu-pai. Anak-anak murid yang kepandaiannya
kurang lihai, bagaikan rumput dibabat roboh menjerit-jerit dan tubuh mereka menjadi hitam. Inilah akibat yang hebat dan
perbuatan Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun. Bocah gunclul ini
setelah melihat ayah bundanya mengamuk, sambil tersenyum-
senyum menyeringai sehingga wajahnya yang tampan itu ada
persamaannya dengan ayahnya, lalu mengeluarkan suara mendesis
dengan mulutnya. Serentak ular-ular kecil yang tadinya
menggerogoti mayat lima orang anggauta Im-yang-bu-pai, bergerak dan menyerang orang-orang yang masih hidup. lebih hebat lagi. Kok Sun mengeluarkan sepasang ular merah dari sakunya dan sekali
melepas ular-ular itu terdengarlah pekik menyeramkan dari orang-orang yang terkena gigitan ular merah berbisa ini. Para angauta Imyang-bu-pai seorang demi seorang roboh dalam keadaan yang
mengerikan. Kong Ji memandang semua ini dengan hati berdebar. Ia tadi
dilempar jatuh dan sudah duduk, akan tetapi ia tidak berani
bergerak karena di dekatnya berdiri burung kim-tiauw yang besar dan kelihatan galak itu, yang memandangnya tanpa berkedip. Anak ini tadi sengaja mengeluarkan kata-kata yang terdengar kurang
ajar, akan tetapi sebetulnya melakukan semua itu dengan siasat yang rapi, Kong Ji ketika mendengar bahwa See- thian Tok-ong
hendak merampas pedang dan membunuh Giok Seng Cu, maklum
bahwa tentu Raja Racun ini belum mengetahui di mana tempat
170 sembunyi Giok Seng Cu. Kemudian ia mendengar bahwa tiga orang
luar biasa itu datang hendak membasmi Im-yang-bu-pai maka
sengaja menyindir kepada See-thian Tok-ong bahwa Raja Racun ini tak mungkin dapat merampas pedang karena tidak tau di mana Giok Seng Cu bersembunyi. Dengan kata-kata ini, sama halnya dengan
menyatakan bahwa di dunia tidak ada orang lain yang mengetahui di mana adanya Giok Seng Cu, kecuali dia sendiri! Kata-kata ini sengaja ia keluarkan untuk menolong diri sendiri, untuk melepaskan diri dari bahaya maut. Otaknya yang cerdik sudah memperhitungkan bahwa dia takkan dibunuh karena See-thian ok-ong pasti akan
membutuhkannya untuk mencari Giok Seng Cu. Ia yakin bahwa
yang menyindir tadi dapat dimengerti oleh See-thian Tok-ong,
bahwa hanya anak inilah yang tahu tempat persembunyian Giok
Seng Cu. Dan perhitungannya memang tidak meleset. Buktinya ia
mendengar sendiri bahwa See-thian Tok-ong hendak membunuh
semua orang Im-yang-bu-pai, kecuali dia sendiri.'
Kini melihat sepak terjang See-thian Tok-ong dan anak isterinya, diam-diam Kong Ji merasa kagum sekali. Inilah baru pantas disebut orang-orang berkepandaian tinggi, pikirnya. Aku harus dapat
mewarisi kepandaian See-thian Tok-ong. Maka sambil menonton
pertempuran otak anak ini bekerja dan ia sudah mempersiapkan
siasat untuk dapat mempelajari ilmu silat dari See-thian Tok-ong.
Pertempuran berjalan makin seru dan hebat. Orang-orang Im-
yang-bu-pai yang menjadi korban bertumpuk-tumpuk, mayat
bergelimpangan di sana-sini, menimbulkan pemandangan yang
amat mengerikan. Lam Tek dan Kwa Siang tahu bahwa mereka
menghadapi bencana hebat sekali, akan tetapi karena tidak ada
jaIan keluar, mereka mengamuk dengan nekad mendesak See-thian
Tok-ong dengan sekuat tenaga. Betapapun juga dua orang tokoh
lm-yang-bu-pai ini memang berkepandaian tinggi, maka tiba-tiba See thian Tok-ong yang mulai marah karena belum juga dapat
mengalahkan mereka, berseru keras sekali. Tahu-tahu ia telah
mengeluarkan dua buah senjata yang amat aneh. Senjata ini
merupakan sepasang tangan manusia yang sudah kering, dengan
kuku-kuku panjang. Kedua tangan ini dalam keadaan
mencengkeram, seperti kuku-kuku burung garuda yang sedang
menyerang. Adapun kuku pada jari-jari tangan itu berwarna macam-171
macam, ada yang hitam, putih, kuning, merah dan hijau. Inilah
sepasang senjata yang oleh pemiliknya dinamai Ngo-tok-mo-jiauw (Cakar Iblis Berbisa Lima), sepasang senjata dari See-thian Tok-ong yang amat lihai dan jarang sekali dikeluarkan.
Begitu sepasang tangan ini menyambar, Lam Tek dan Kwa Siang
mencium bau yang busuk sekali dan mereka cepat melompat ke
belakang dan kepala mereka terasa pening karena bau yang keras itu. Akan tetapi, tiba-tiba sepasang tangan itu "terbang" mengejar, terlepas dari pegangan See-thian Tok-ong! Inilah kejadian yang amat tidak mereka duga dan kedua orang tokoh lm-yang-bu-pai
saking kagetnya tidak keburu menangkis lagi. Mereka hanya
mengelak cepat namun masih saja sepasang tangan itu menyerang
mereka, Lai Tek kena tergores pundaknya, sedangkan Kwa Siang
tergores oleh kuku tangan kedua pada tangannya.
Seketika itu juga, Kwa Siang menjerit dan roboh. Tubuhnya
berubah merah sekali dan ia berkelojotan terus mati. Ia terkena Ang tok (Racun Merah) dari kuku merah, sedangkan Lai Tek tak sempat menjerit lagi karena ia sudah roboh, dengan tubuh berubah kuning, terkena guratan kuku yang mengandung Oei-tok (Racun Kuning),
See-thian Tok-ong tertawa bergelak dan sepasang cakar iblis itu tiba-tiba tersentak dan terbang kembali kepadanya, disambut oleh kedua tangan dan disimpan kembali ke dalam saku bajunya!
Pertunjukan yang diperlihatkan oleh See-thian Tok-ong ini
sebetulnya tidak aneh. Bagi orang yang melihatnya, memang tentu mengira bahwa sepasang cakar iblis itu dapat "terbang" menyerang musuh dan terbang kembali kepada pemiliknya, akan tetapi
sebetulnya bukan demikian. Sepasang tangan itu bukanlah tangan iblis, melainkan tangan manusia biasa yang secara kejam dipenggal di tengah-tengah bagian lengan oleh See-thian Tok-ong. Raja Racun ini memilih tangan yang kuat tulangnya dan sehat kulit serta urat-uratnya, memotongnya, lalu mengeringkannya. Memang sebelum
pemilik tangan itu dipotong lengannya, kuku-kukunya dibiarkan
panjang lebih dulu. Setelah kedua tangan itu kering, kuku-kukunya, juga jari-jarinya lalu direndam air racun, setiap kuku semacam racun yang amat luar biasa. Kemudian, See-thian Tok-ong
mempergunakan sehelai tali hitam yang halus sekali, besarnya
hanya serambut, akan tetapi kuat dan tak dapat putus. Dengan tali 172
ini ia dapat membuat tangan itu seakan-akan terbang. Ujung tali yang agak panjang terikat pada kancing di saku bajunya dan apabila ia melemparkan dua tangan itu lenyap. Juga dengan menggerakkan tali-tali halus itu ia dapat menarik kembali senjatanya.
Setelah Lai Tek dan Kwa Siang roboh binasa keadaan orang-
orang lm yang-bu- pai makin kacau-balau. Berturut turut mereka roboh binasa dan akhirnya sebagian kecil tak dapat menahan
ketakutan mereka lagi, terus melarikan diri tunggang-langgang.
Akan tetapi, suami isteri dan anak-anak itu memang berwatak
kejam seperti iblis.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid VII MEREKA tidak membiarkan orang-orang Im-yang-bu-pai itu
melarikan diri, cepat mengejar dan menjatuhkan serangan maut
sehingga akhirnya habislah semua orang Im-yang-bu-pai yang
jumlahnya ada lima puluh orang itu. Semua menggeletak tak
bernyawa lagi, kecuali Kong Ji yang mau tak mau terpaksa
memandang semua itu dengan kedua matanya sendiri. Akan tetapi, benar-benar aneh dan luar biasa, melihat kejadian yang bagi orang lain akan menimbulkan kengerian hebat di dalam hati ini, bagi Kong Ji sama sekali tidak demikian. Di dalam hatinya, bocah ini bahkan bersorak girang karena ia memang selalu menganggap lm-yang-bupai sebagai musuh-musuh yang membinasakan ayah bundanya. Ia
bahkan girang dan puas, serta memuji tinggi kegagahan See-thian Tok-ong dan anak isterinya. Sesungguhnya, betapapun kejamnya
ayah ibu anak itu, kalau dibandingkan dengan watak dasar di dalam dada Kong Ji mereka masih kalah jauh.
Kong Ji selalu memperlihatkan sikap baik hanya dengan satu
maksud, yakni mencari ilmu yang tinggi untuk diri sendiri. Orang lain, baik orang itu memusuhinya maupun melepas budi baik
kepadanya, ia tidak ambil perduli sama sekali. Kekejian See-thian Tok-ong dan anak isterinya hanya ditujukan kepada musuh-musuhnya atau kepada mereka yang dianggap merintangi
kehendaknya. Sebaliknya kekejian Kong Ji tidak memilih bulu, sudah 173
dibuktikan betapa ia dapat berlaku keji terhadap Lie Bu Tek, orang yang telah menolongnya!
Setelah semua orang lm-yang-bu-pai tewas, tiba-tiba Kwan Ji Nio melompat dan menyambar leher Kong Ji. "Ini yang paling jahat harus dibikin mampus!" bentaknya sambil mengangkat tangan kanan. Kong Ji terkejut sekali, akan tetapi ia tidak berdaya dan hanya memandang kepada nenek itu dengan mata tak kenal takut.
"Isteriku jangan bunuh dia!" Tiba-tiba See-thian Tok-ong berseru.
Tangan yang sudah diangkat ke atas diturunkan kembali, juga
tubuh Kong Ji dilepas ke bawah dan nyonya tua itu menoleh kepada suaminya.
"Kenapa setan cilik ini tidak boleh dibunuh?" tanyanya.
"Ibu, dia harus membawa kita ke tempat persembunyian Giok Seng Cu," kata Kok Sun dengan suara menyesal, seolah-olah ia kecewa melihat kebodohan ibunya.
See-thian Tok-ong tertawa bergelak. "Nah, kaulihat. Bukankah
Kok Sun sekarang sudah cerdik sekali! Ia telah melampaui Ibunya dalam kecerdikan. Ha, ha, ha !"
Kwan Ji Nio cemberut dan mendelik kepada puteranya, kemudian
ia menudingkan ke telunjuknya di depan hidung Kong Ji. "Setan cilik, benarkah kau dapat menunjukkan tempat persembunyian Giok Seng Cu" Hayo mengaku yang betul, kalau tidak kuhancurkan
kepalamu."
Menghadapi tiga orang aneh yang amat ganas itu, tentu saja
Kong Ji merasa berdebar hatinya. Akan tetapi ia memang seorang bocah yang memiliki kecerdikan luar biasa sekali. Dengan
tersenyum- senyum ia mengelus-elus leher kim-tiauw yang berdiri di dekatnya, lalu berkata,
"Sungguh tidak enak bicara di dekat mayat-mayat yang
bercumpukan ini. bagaimana kalau kita pergi dari sini dan mencari tempat yang enak untuk bicara. Lagi pula, aku ingin sekali naik ke punggung burung ini."
174 Kwan Ji Nio marah sekali mendengar kekurangajaran Kong Ji,
akan tetapi See- thian Tok-ong tertawa bergelak, "Bocah ini ada isinya. Kepalanya tidak kosong!"
Adapun Kok Sun juga tertarik sekali melihat keberanian Kong Ji.
Sambil tersenyum mengejek ia berkata, "Benar-benar kau berani naik ke punggung kim-tiauw bersamaku?"
"Mengapa tidak berani" Aku pun laki- laki," jawab Kong Ji.
"Ayah mari kita bicarakan saja di luar kota ini, di hutan sebelah selatan. Biar dia merasai dijungkir-balikkan oleh kim-tiauw!" kata Kok Sun sambil tertawa. Ayahnya tertawa juga dan mengangguk-anggguk. Kwan Ji Nio mengomel, "Anak ini kalau tidak dibikin mampus kelak akan menimbulkan kerewelan belaka." Diam-diam Kong Ji mencatat semua ini dan ia telah mendapat kepastian bahwa di antara tiga orang itu, yang paling bahaya baginya adalah Kwan Ji Nio, maka diam-diam ia telah berjanji kepada diri sendiri bahwa kelak ia harus melenyapkan wanita tua ini lebih dulu dari muka bumi!
"Isteriku, sabarlah. Pedang dan kitab belum terdapat, mengapa tidak bisa bersabar?" kata See-thian Tok-ong yang memberi tanda kepada Kok Sun untuk melanjutkan niatnya.
Kok Sun tersenyum dan berkata kepada Kong Ji. "Kalau kau
benar-benar bukan perempuan, hayo naiki punggung kim-tiauw dan terbang bersamaku."
Kong Ji tanpa memperlihatkan muka takut, segera melompat ke
atas pungung kim- tiauw, akan tetapi baru saja ia tiba di punggung, burung itu menggoyang badannya dan... tubuh Kong Ji terlempar
seakan-akan dilontarkan oleh tenaga kuat sekali. Baiknya Kong Ji sudah melatih diri dengan tekun sehingga ia memiliki kepandaian yang boleh juga, maka ia dapat mengatur keseimbangan badannya, mempergunakan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) dan
dapat tiba di atas tanah pada kedua kakinya.
"Berbahaya sekali...." tak terasa lagi ia berkata perlahan. Kok Sun tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
175 "Kau curang!" Kong Ji berkata marah. "Mengapa tidak menyuruh burungmu diam?"
"Naiklah lagi, tadi aku hanya ingin melihat apakah kau takkan terbanting matang biru oleh kim-tiauw," kata Kok Sun dan kali ini ia memegangi leher burung itu. Kong Ji tanpa ragu-ragu melompat lagi dan kali ini burung itu tidak bergerak. Kok Sun juga melompat
duduk di belakang Kong Ji, kemudian menepuk leher burung itu.
"Kim-tiauw, terbanglah ke selatan!"
Sebelum Kong Ji dapat bersiap-siap, tahu-tahu burung itu telah membuka sayapnya dan Kong Ji merasa seperti jantungnya ditarik-tarik ketika tiba-tiba ia mumbul ke atas cepat sekali. Hampir ia terengah-engah karena sukar bernapas ketika angin bertiup keras dari depan. Ketika ia memandang ke bawah, semua tampak kecil.
Kepalanya pening akan tetapi ia memiliki kekerasan hati. Sambil menggigit bibir ia menekan perasaannya. Masa ia harus kalah oleh bocah gundul yang duduk di belakangnya"
Tiba-tiba terdengar suara See-thian ok-ong dan bawah, "Kok Sun, jangan sampai ia jatuh terbanting mampus, kita masih
memerlukan bantuannya!"
Terdengar Kok Sun tertawa dan berdebarlah jantung Kong Ji. Kini setelah berada di punggung burung, dibawa terbang di angkasa, i merasa tak berdaya sama sekali. Akan tetapi, burung ini takkan dapat menggangguku, pikirnya. Aku berada di punggungnya dan
kalau ku mau, aku dapat memukul lehernya dengan tenaga Tin-sankang, masa ia tidak mampus" Ia menjadi lega dengan pikiran ini, dan dengan erat ia memegang leher burung kim-tiauw.
Sebentar saja mereka telah tiba di atas hutan kecil di sebelah selatan kota Lam-si. Tiba-tiba Kok Sun tertawa dan mengeluarkan suara bersuit tiga kali. Ini merupakan perintah bagi kim-tiauw karena burung itu segera menukik ke bawah kepala di bawah ekor di atas! Hampir saja Kong Ji terjungkal dari tempat duduknya. Ia memegang erat-erat leher burung dan hatinya berdebar keras.
Terpaksa ia meramkan matanya ketika melihat betapa pohon di
bawah seakan-akan terbang naik hendak menubruknya.
"Ha, ha, ha, kau takut?"
176 "Siapa takut" Kalau kau tidak takut masa aku harus takut?"
jawab Kong Ji sambil membuka matanya.
"Bagus, awas kali in'!" seru Kok Su yang kembali bersuit pandang dua kali Burung itu kini memukulkan sayapnya dan tahu-tahu
berjungkir balik dengan punggung di bawah! Hal ini sama sekali tidak terduga oleh Kong Ji. Ia mempererat pelukannya pada leher burung, akan tapi karena pelukannya mencekik leher burung itu
menggerakkan lehernya dan terlepaslah pegangannya. Tubuh Kong
Ji melayang ke bawah!
Ketika tubuh Kong Ji berputaran dari atas ke bawah dan hatinya tidak karuan rasanya, semangatnya sudah terbang, tiba-tiba ia
merasa kakinya dipegang orang dan terdengar suara Kok Sun,
"Sekarang masih tidak takut?"
Kong ji berada dalam keadaan berbahaya dan menakutkan sekali.
Kini burung itu telah biasa lagi terbangnya. Kok Sun duduk di atas punggungnya dan sebelah tangannya memegangi Kong Ji yang
berada dalam keadaan tergantung di bawah. Namun Kong Ji yang
cerdik masih teringat akan teriakan Tok-ong. Dirinya dibutuhkan oleh keluarga iblis ini dan takkan dibunuh, maka dengan suara keras ia menjawab.
"Seorang gagah tidak takut mati!"
Kok Sun benar-benar kagum. Dia sendiri kalau dibegitukan tentu akan merasa amat takut.
"Kau benar-benar patut dijadikan kawan. Siapa namamu?"
"Namaku Lui Kong Ji."
Burung itu telah turun dan hampir mendarat, Kok Sun
menggerakkan tangannya dan tubuh Kong Ji terdorong oleh tenaga besar, lalu tiba di tanah dengan kaki di atas. Diam-diam Kong Ji kagum sekali. Hebat sekali tenaga Kok Su dan ia masih kalah
dengan pemuda gundul ini.
Yang membuat Kong Ji lebih terheran dan kagum adalah ketika
ia melihat bahwa See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio telah berada di situ pula! Dapat berlari cepat mendahului seekor kim-tiauw yang 177
terbang, benar-benar dapat dibayangkan betapa tingginya ginkang dua orang aneh ini.
"Nah, bocah yang tabah, sekarang ceritakan di mana tempat sembunyinya Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong kepada Kong Ji.
"Nanti dulu, Locianpwe. Boanpwe Lui Kong Ji sama sekali bukan hendak membangkang terhadap perintah Locianpwe. Akan tetapi
kalau Locianpwe ada permintaan terhadap boanpwe, agaknya sudah sepatutnya pula kalau boanpwe juga mengajukan permintaan
sebagai imbalannya kepada Locianpwe."
Sepasang mata yang bundar dari See-thian Tok-ong memandang
tajam dan hatinya mulai curiga.
"Hemm, siapa bisa percaya omonganu" Kau agaknya licik dan cerdik sekali Lui Kong Ji, coba kau ceritakan dulu hubunganmu
dengan Giok Seng Cu. Kamu pernah apakah dengan dia dan
bagaimana kau bisa dipilih menjadi wakilnya di Im-yang-bu-pai?"
"Boanpwe adalah muridnya. Dan boanpwe suka menjadi
muridnya bukan sekali-kali karena boanpwe suka kepada Im-yng-
bu-pai, akan tetapi oleh karena boanpwe sengaja hendak mencari ilmu kepandaian agar kelak dapat membalas musuh besar boanpwe.
Dengan susah payah boanpwe melayani Suhu sehingga mendapat
kepercayaan dari Suhu, akan tetapi sebelum boanpwe mendapatkan ilmu kepandaian, keburu datang urusan pedang dan kitab sehingga boanpwe menjadi gagal dalam cita-cita boanpwe. Ada pun tentang pedang Pak-kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak-kek Sianseng boanpwe sudah mendengar keterangan sejelasnya dari Suhu, oleh
karena itu kalau Locianpwe menghendaki dua benda itu kiranya
boanpwe seorang yang akan dapat memberi petunjuk."
See-thian Tok-ong mengelus-elus jenggotnya. Bocah ini benar-
benar cerdik sekali dan berbahaya, pikirnya.
"Kong Ji, kau bicara berputar-putar. Katakan apa kehendakmu untuk penukaran petunjuk tempat sembunyi Giok Se Cu?"
Tiba-tiba Kong Ji menangis dan jatuhkan diri berlutut di depan See-thu Tok-ong. "Boanpwe tidak minta banyak hanya mohon
178 imbalan sedikit berupa pelajaran ilmu silat tinggi agar kelak
boanpwe dapat membalas dendam kepada musuh besar boanpwe."
"Hm, hm, jadi kau minta diterima menjadi muridku?"
"Demikianlah permohonan teecu. Kalau Locianpwe sudi
menerima teecu menjadi murid tidak saja teecu akan menunjukkan di mana tempat persembunyian Giok Seng Cu, bahkan teecu akan
membantu sampai Locianpwe mendapatkan pedang dan kitab."
"Enak saja kau bicara!" Kwan Ji Nio membentak. "Aku bahkan akan membunuhmu!"
See-thian Tok-ong memberi tanda dengan matanya kepada Kwan
Ji Nio, kemudian ia bertanya kepada Kong Ji, "Bagaimana kalau aku menolak permintaanmu?"
"Terpaksa teecu pun akan membungkam."
"Bangsat, kau harus mampus!" kembali Kwan Ji Nio membentak, akan tetapi pandang mata suaminya mencegah turun tangan.
"Kong Ji, kau mendengar sendiri. nyawamu berada di tangan kami, dan kalau kau menolak memberi tahu di mana tempat
sembunyi Giok Seng Cu, kami akan membunuhmu."
"Akan menyiksamu sampai mati," kata Kwan Ji Nio.
"Ayah, kalau ular-ular disuruh mengeroyoknya, tentu ia akan mengaku," kata Kok Sun.
Akan tetapi Kong Ji sama sekali tidak takut. "Locianpwe, sudah teecu nyatakan tadi bahwa hidup teecu hanya untuk membalas
dendam terhadap musuh besar. Kalau Locianpwe tidak mau
menerima teecu sebagai murid dan teecu tidak bisa memiliki
kepandaian tinggi untuk dapat membalas dendam terhadap musuh
besar, hidup juga percuma. Teecu lebih baik mati. Mati sekarang atau besok sama saja. Mati sekaligus atau siksa pun sama juga.
Kalau Locianpwe menolak mau membunuh teecu, mau mengubur
hidup-hidup, diberi makan ke ular atau membakar hidup-hidup
teecu akan terima. Teecu tidak takut mati."
Tertegun juga See-thian Tok-ong mendengar ini. Tiba-tiba Kok
Sun bicara dalam bahasa asing dengan ayahnya untuk beberapa
179 lama tiga orang itu bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak
dimengerti oleh Kong Ji. Mereka ini bicara dalam bahasa India dan Kok Sun menuturkan bahwa Kong Ji memang benar-benar tidak
takut mati, hal ini sudah dibuktikannya ketika mereka naik di
punggung kim-tiauw. Kemudian mereka bertiga berunding
bagaimana untuk menghadapi bocah bandel ini.
Akhirnya See-thian Tok-ong tertawa bergeIak dan berkata
kepada Kong Ji.
"Eh, Lui Kong Ji. kau ini memang bocah cerdik dan licik seperti iblis. Akan tetapi jangan kaukira bahwa kami takut kepadamu.
Sekarang begini saja. Kami menerima permintaanmu, akan tetapi
kami anggap bahwa kau menggadaikan nyawa kepada kami selama
lima tahun. Bagaimana?"
Kong Ji terkejut. Ia maklum bahwa ia pun menghadapi tiga orang yang cerdik sekali, maka ia harus berlaku amat hati-hati.
"Menggadaikan nyawa bagaimana maksud Locianpwe?"
"Begini. Kau menunjukkan tempat persembunyian Giok Seng Cu dan membantu kami mencari kitab dan pedang. Sementara itu, kami tidak membunuhmu menitipkan nyawamu kepadamu selama lima
tahun. Dalam waktu lima tahun itu kau boleh menerima pelajaran ilmu silat dariku. Akan tetapi, selewatnya lima tahun, kami tidak bertanggung jawab atas nyawamu lagi dan kau sudah bukan
muridku lagi."
Kong Ji berpikir keras. "Jadi kalau sudah lewat lima tahun, Locianpwe akan membunuh teecu?"
See-thian Tok-ong bergelak. "Hal itu tidak dapat dibicarakan sekarang. Mungkin sekali tergantung sepenuhnya kepadamu sendiri dan baru lima tahun kemudian aku dapat memastikan apakah harus dibunuh atau tidak."
"Kalau teecu menolak syarat mi?"
"Kau dibunuh sekarang juga dan kami akan mencari sendiri
tempat sembunyi Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong dengan suara dingin, hatinya sudah mendongkol sekali terhadap bocah yang selalu cerdik dan licik ini.
180 Kong Ji bukan seorang bocah luar biasa kalau ia tidak dapat
menangkap nada suara Raja Racun maka cepat-cepat ia


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Teecu terima syarat itu!"
"Kau harus bersumpah!" kata See-thian Tok-ong dan suaranya terdengar gembira.
"Bersumpah bagaimana, Suhu?" tanya Kong Ji yang menyebut
"suhu" kepada See thian Tok-ong.
"Bersumpah bahwa kau benar-benar akan membantu mencari
pedang dan kitab, bahwa kau tidak akan menipuku dan benar-benar menerima penggadaian nyawa selama lima tahun!"
Kong Ji berpikir cepat. Celaka, tua bangka ini benar-benar pintar sekali dan mengikat diriku. Kalau begini aku tigi besar, pikirnya.
"Suhu untuk bersumpah teecu tidak keberatan, akan tetapi teecu juga minta imbalannya untuk sumpah
"Anak setan! Kau berani supaya aku bersumpah pula" Kau tidak percaya bahwa aku telah menerimamu sebagai murid?" bentak See-thian Tok-ong dan kedua tangannya terkepal keras. Kalau Kong Ji membenarkan dugaan ini, tentu ia akan memukul hancur kepala
bocah ini. "Mana teecu berani tidak percaya pada Suhu" Hanya teecu minta Suhu berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepada teecu
selama lima tahun itu."
See-thian Tok-ong menghela napas panjang, "Kau memang
pintar dan cerdas. Baiklah, aku berjanji akan menurunkan
kepandaian tinggi, tentu saja kalau otakmu tidak terlalu tumpul."
Dengan girang Kong Ji lalu bersumpah. Kemudian menceritakan
semua pengalamannya dengan Giok Seng Cu, menceritakan pula
akan pertemuan Giok Se Cu dengan ketua ketua partai besar.
"Kitab rahasia itu hanya dapat dicari dengan menggunakan
pedang Pak-kek Sinkiam!" tambahnya, "dan teecu yakin pula bahwa agaknya pedang itu merupakan kunci yang dapat membawa Suhu
ke tempat tersimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu."
181 See-thian Tok-ong girang sekali. "Bagus, mari kita menyusul Giok Seng Cu di Lembah Maut!"
-oo0mch-dewi0oo-
Giok Seng Cu bersembunyi di dalam sebuah gua yang terdapat di
Lembah Maut. Ia merasa aman dan setiap hari Giok Seng Cu
berlatih ilmu silat dengan pedang Pak-kek Sin-kiam. Kepandaiannya memang tinggi sekali maka setelah memiliki pedang pusaka itu,
dengan mudah ia dapat menciptakan semacam ilmu pedang yang
lihai. Ia hendak mempertinggi kepandalannya karena ia maklum
bahwa sebelum mendapatkan kitab rahasia peninggalan Pak Kek
Siansu, keadaannya masih berbahaya. Di dalam lembah ia boleh
merasa aman. Memang keadaan lembah itu bukan main
berbahayanya. Letaknya di tepi Sungai Wei-ho, di kaki bukit Cin-leng san. jarang ada orang berani memasuki Lembah Maut, karena biarpun ia berkepandaian tinggi, sekali saja kurang hati-hati, ia dapat tewas terjerumus ke dalam jurang atau rawa tertutup rumput.
Baiknya Giok Seng Cu pernah satu kali datang ke tempat ini dengan gurunya, Pak Hong Siansu. Kalau bukan gurunya itu yang
mencarikan jalan, biar Giok Seng Cu sendiri agaknya akan ragu-ragu untuk memasuki daerah ini.
"Takkan ada musuh berani memasuki Lembah Maut." pikirnya,
"biarpun andai kata See-thian Tok-ong yang lihai sanggup
memasuki daerah ini, belum tentu ia dapat menemukan tempat
sembunyiku."
Pada suatu hari, ketika ia sedang berdiri di depan guanya, ia
mendengar suara sayup-sayup sampai, datang dari luar hutan.
"Suhuuu...!"
Giok Seng Cu tidak mengenaI suara itu, karena hanya terdengar
lapat-lapat. Hm, agaknya ada musuh datang mencariku, pikirnya.
Akan tetapi ia tidak takut, bahkan lalu menyelundup dan dengan jalan bersembunyi di balik rumpun, ia berindap indap menghampiri tempat dari suara itu datang.
182 Suhu... teecu Lin Kong Ji berada di sini...!" kembali terdengar suara itu. Giok Seng Cu girang sekali dan cepat ia melompat keluar dari tempat persembunyiannya, lalu berlari cepat menghampiri Kong Ji.
"Kong Ji, kau sudah datang?" serunya dan diam-diam kakek ini merasa kagum melihat muridnya yang kecil itu sudah berhasil tiba di tempat ini. "Baiknya kau tidak lancang masuk ke dalam lembah ini, sungguh berbahaya kalau kau masuk ke sini."
Dengan matanya yang tajam Kong Ji melihat bahwa Giok Seng
Cu tidak membawa pedang Pak-kek Sin-kiam. Anak ini dengan
siasatnya telah berunding dengan See-thian Tok-ong untuk
memancing keluar suhunya, karena daerah itu amat sukar lagi
berbahaya. "Suhu, lekas bawa teecu ke tempat yang aman, teecu ada
pembicaraan yang amat penting bagi keselamatan Suhu!"
Giok Seng Cu kaget mendengar ini. Tanpa banyak cakap lagi ia
lalu memegang tangan muridnya dan dibawa ke dalam hutan, terus menuju ke goa tempat sembunyinya.
"Ada apakah" Ceritakan lekas!" katanya setelah mengambil Pak kek Sin-kiam yang disembunyikan di dalam gua. Giok Seng Cu
memang berlaku hati-hati sekali. Tidak berani ia membawa-bawa
pedang itu keluar lembah agar jangan menimbulkan perhatian orang lain yang melihatnya.
"Celaka, Suhu. See-thian Tok-ong telah membunuh semua
saudara di Lam-si dan sekarang ia bersama anak isterinya yang lihai telah mengejar ke sini dengan napas terengah-engah dan cepat
Kong Ji menuturkan betapa Lai Kwa Siang dan semua murid Im-
yang-bu-pai yang berada di Lam-si telah dibunuh oleh keluarga See-thian Tok-ong.
"Baiknya teecu sempat melarikan terlebih dulu untuk memberi tahu kepada Suhu. Kalau tidak tentu teecu akan tewas pula dan
tidak ada orang yang memberi tahu kepada Suhu."
Pucat wajah Glok Seng Cu mendengar ini. "Di mana mereka
sekarang?"
183 "Mereka kabarnya mengejar teecu, karena mereka tidak tahu tempat Suhu bersembunyi. Akan tetapi teecu rasa ada baiknya kalau Suhu lekas-lekas keluar dari tempat ini dan mencari tempat -
persembunyian lain."
"Kalau begitu, hayo kita pergi cepat-cepat, Kong Ji."
"Suhu, janganlah Suhu repot-repot karena teecu. Pergilah Suhu sendiri. Dengaan adanya teecu, Suhu hanya akan terhalang dan tak dapat bergerak cepat. Kalau sampai teecu menjadi penghalang dan Suhu dapat dikejar oleh mereka, apakah artinya teecu bersusah
payah mencari Suhu" Biarlah, tinggalkan teecu di sini. Kalau mereka mendapatkan tee-cu, mereka toh tidak mempunyai kepentingan
apa-apa terhadap diri teecu?"
Giok Seng Cu terharu. "Anak baik... murid yang berbakti! Kau melepas budi sar untuk membela Suhumu. Apakah yang dapat
kuberikan untuk membalas jasamu."
"Sudah menjadi kewajiban seorang murid untuk berbakti kepada gurunya. Teecu tidak mengharapkan sesuatu, hanya teecu minta
sedikit petunjuk tentang ilmu mempergunakan Tin-san-kang, karena telah teecu latih namun masih teecu belum dapat mainkan dengan sempurna. Mempelajari kauw-koat (teori) saja benar-benar sukar."
Giok Seng Cu tertawa. "Memang dulu aku belum
memberitahukan rahasia pukulan itu. Nah, sekarang dengar baik-
baik dan lihat!" Giok Seng Cu lalu memberi petunjuk dan bersilat di depan Kong Ji, diperhatikan baik-baik oleh anak yang cerdik ini.
Setelah Kong ji mengerti betul, Giok Seng Cu lalu meninggalkannya.
"Biar teecu tinggal di sini seorang diri untuk melatih Tin-sankang," kata Kong Ji sebelum ia berangkat.
Sambil berlari cepat, Giok Seng Cu keluar dari Lembah Maut itu.
Akan tetapi, alangkah kagetnya tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar melompat keluar tiga bayangan orang dan tahu-tahu See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun, burung rajawali emas dan puluhan ekor ular berbisa telah berjejer menghadang
perjalanannya! Inilah siasat yang dijalankan oleh Kong Ji. Dengan cerdik ia memancing Giok Seng Cu keluar dari lembah untuk
dihadapi oleh See-thian Tok-ong, sedangkan untuk
184 pengkhianatannya, ia tidak dicurigai oleh Giok Seng Cu, sebaliknya, malah mendapat tambahan pelajaran ilmu silat dan dipuji-puji!
Sampai saat itu pun, Giok Seng Cu tak pernah mengira bahwa
muridnya itu yang mengkhianatinya. Setelah Giok Seng Cu pergi
diam-diam Kong Ji juga keluar dari gua itu dan mengikuti perjalanan suhunya ini, maka kini ia yang bersembunyi di balik rumpun alang-alang dapat melihat apa yang terjadi di situ.
"Siapakah kalian yang berani menghadang perjalanan pinto?"
tanya Giok Seng Cu dengan suara dibikin tenang sedapatnya. Ia
sudah pernah melihat Kwan Kok Sun, akan tetapi belum pernah
bertemu dengan See-thian Tok-ong dan isterinya. Biarpun iz
sekarang dengan mudah dapat mengerti bahwa yang dihadapinya
adalah keluarga iblis itu, namun ia pura-pura tidak tahu.
Kwan Kok Sun tertawa menyeringai, "Giok Seng Cu, apakah kau sudah lupa lagi kepadaku atau pura-pura lupa" Kau telah merampas pedang itu dari tanganku, sekarang kami datang untuk
mengambilnya kembali berikut kepalamu!"
"Hm, agaknya pinto berhadapan dengan See-thian Tok-ong dan keluarganya," kata pula Giok Seng Cu.
See-thian Tok-ong mengeluarkan suara di hidungnya, lalu
berkata, "Giok Seng Cu pernah satu kali bertemu dengan mendiang
Suhumu, Pak Hong Siansu. Dia adalah seorang yang mengutamakan
persahabatan. Aneh sekali kau ini muridnya mengapa begitu curang dan sampai hati menipu puteraku pura-pura membantu kemudian
bahkan merampas pedang dan memukulnya. Kau sudah terang
harus dihukum, mau kata apa lagi?"
Merah muka Giok Seng Cu. Memang dalam hal berebut pedang
dengan Kok Sun ia telah berlaku licik. Kalau saja dalam perebutan dahulu itu ia berlaku secara laki-laki dan mengandalkan kepandaian, belum tentu See-thian Tok-ong hendak membunuhnya. Akan tetapi, sudah menjadi bubur, hal itu telah terjadi dan tak dapat diubah pula, maka ia tidak dapat mundur lagi.
"Sesukamulah, See-thian Tok-ong. Hanya hendaknya kauingat bahwa pedang ini adalah peninggalan Supek Pak Kek Siansu, maka 185
akulah yang berhak mewarisinya. Sekarang pedang sudah di
tanganku, kalau ada yang menghendakinya, boleh mencoba
mengambilnya dan tanganku."
Inilah sebuah tantangan. Kwan Ji Nio sudah tak sabar lagi dan
hendak menyerang, akan tetapi suaminya mengangkat tangan
mencegahnya. See-thian Tok-ong maklum bahwa sebagai murid Pak
Hong Siansu, Giok Seng Cu memiliki kepandaian tinggi, apalagi
pedang pusaka di tangan, ia merupakan lawan berbahaya bagi
isterinya. "Kim-tiauw, rampas pedangnya'" bentaknya kepada burung yang berdiri di dekat Kok Sun.
Burung itu mengeluarkan pekik yang nyaring sekali, membuka
sayap terbang ke atas lalu menyambar ke arah Giok Seng Cu. Kakek ini tidak gentar dan cepat mengerahkan tenaga, memukul dengan
tenaga Tin-san-kang.
"Bruk!" Tubuh burung itu terpental sebelum bertemu dengan tangan Giok Seng Cu. Beberapa helai bulu sayapnya rontok dan
sambil mengeluarkan bunyi cecuitan, burung itu tidak berani maju lagi hanya terbang berputaran di atas.
See-thian Tok-ong marah sekali, mengeluarkan suara mendesis
sebagai perintah kepada ular-ular yang berada dibelakang Kok Sun.
Empat puluh lebih ular merayap cepat dan menyerang Giok Seng
Cu. Kakek ini bergidik dan jijik sekali melihat sekian banyaknya ular menyerangnya. Kembali ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya
didorong ke depan, ke arah ular-ular itu.
Hebat sekali tenaga Tin-san-kang. Debu mengepul, batu-baru
kecil terlempar dan sedikitnya ada tujuh ekor ular yang hancur tubuhnya terkena hawa pukulan Tin-san-kang! Ular- ular yang lain terlempar ke belakang dan mereka juga jerih menghadapi kakek
yang berkepandaian tinggi itu.
Kong Ji yang mengintai dari balik rumpun alang-alang, kagum
bukan main dan ia merasa girang bahwa kini ia telah dapat memiliki Tin-san-kang yang sempurna, tinggal melatihnya saja. Ia
memandang terus dan kali ini Kok Sun rogoh sakunya. Agaknya
bocah gundul ini hendak mengeluarkan sepasang ular merahnya
186 yang lihai, akan tetapi See-thian Tok-ong mencegahnya. Raja Racun ini maklum, bahwa betapapun lihai Siang ang-coa, tak mungkin
dapat melawan Giok Seng Cu dan ia merasa sayang kalau sepasang ular itu akan mati.
"Biarkan aku sendiri menghadapinya!" Tiba-tiba tubuh See-thian Tok-ong bergerak dan ia telah menyerang dengan pukulan berat ke arah dada Giok Seng Cu.
Kakek rambut panjang ini tidak berani berlaku ayal karena ia
dapat menduga akan kehebatan lawannya. Cepat ia merendahkan
tubuh dan mendorongkan kedua tangan ke depan, mempergunakan
hawa pukulan Tin-san kang untuk memukul lawan. Giok Seng Cu
yang sudah berpengalaman maklum bahwa ia tidak boleh beradu
tangan dengan kakek ini, karena ia mehhat bahwa kedua tangan
See-thian Tok-ong mengeluarkan sinar menghitam yang
mencurigakan, tanda bahwa sepasang tangan itu tentu
mengandung racun jahat.
Dua hawa pukulan yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya
Giok Seng Cu terhuyung tiga tindak, akan tetapi See-thian Tok-ong juga terdorong ke belakang. Tenaga mereka seimbang! Bukan main kagetnya Kong Ji yang menonton dari tempat sembunyinya. Tenaga sin-kang dari Giok Seng Cu sudah hebat, akan tetapi kini dapat dilawan See-thian Tok-ong. Ia makin gembira karena ia telah
menjadi murid See-thian Tok-ong yang ternyata memiliki
kepandaian yang tinggi pula.
"Biar kita mengadu nyawa di sini seru Giok Seng Cu marah. Ia maklum bahwa lawannya tidak dapat dirobohkan dengan Tin-sankang dan kalau ia melayani dengan tangan kosong, ia tentu akan kalah, karena lawannya itu bertangan maut. yakni kedua tangannya mengandung hawa pukulan yang berbisa. Cepat dicabutnya pedang
Pak-kek Sin-kiam dan berkelebatlah sinar yang menyilaukan mata ketika ia melakukan serangan pertama.
See thian Tok-ong terkejut melihat hebatnya serangan ini, cepat ia membanting tubuh ke kiri dan di lain saat ia telah mencabut sepasang tangan, senjatanya yang mengerikan itu. Baru saja kedua tangan kering itu digerakkan, Giok Seng Cu sudah mencium bau
yang amat keras sehingga ia menjadi gentar. Ia teringat akan nama 187
julukan lawannya, yakni Raja Racun, maka tahulah ia bahwa
sepasang tangan kering itu tentu mengandung bisa yang amat
berbahaya. Cepat ia menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian cepatnya sehingga merupakan segulungan sinar yang menyelimuti
tubuhnya. Kong Ji makin kagum dan diam-diam timbul keinginannya untuk
memiliki pedang luar biasa itu. "Benar-benar senjata pusaka yang ampuh," pikirnya.
Namun, betapapun hebat gerakan pedang Giok Seng Cu, ia
menghadapi lawan yang amat tangguh. Ilmu silat dari See-thian
Tok-ong amat luar biasa dan aneh gerakannya, sepasang tangan
kering itu bergerak-gerak ke atas dan ke bawah, bahkan tidak takut kadang-kadang beradu dengan pedang! Hal ini adalah karena
gerakan yang amat tepat sehingga tiap kali bertemu dengan
pedang, tangan itu beradu dengan pinggiran pedang, bukan dengan mata pedang, karena kalau bertemu dengan tajamnya pedang tentu akan terbabat putus. Pertempuran berjaIan amat serunya dan Giok Seng Cu harus mengakui bahwa kalau ia tidak memegang Pak-kek
Sin-kiam, tentu ia takkan dapat bertahan demikian lamanya.
"Aku harus dapat lari dari sini...," pikirnya sambil memutar pedang makin cepat.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali
gerakannya dan tahu-tahu sebatang tongkat kecil menyambar ke
arah kepala Giok Seng Cu. Hampir saja ujung tongkat itu mengenai kepalanya. Bukan main kagetnya ketua Im-yang-bu-pai ini. Sudah terasa ujung tongkat itu menggores rambutnya ketika ia cepat
mengelak. Ketika ia melihat bahwa penyerangnya itu adalah Kwan Ji Nio, hatinya makin gentar. Dari gerakan serangan tadi ia menduga bahwa kepandaian Kwan Ji Nio ini kiranya lebih lihai daripada
kepandaian suaminya! Padahal sebenarnya tidak demikian. Kwan Ji Nio memang lebih lihai dalam hal ilmu meringankan tubuh, maka
penyerangannya cepat bukan main dan kelihatannya memang lebih
lihai dari suaminya, akan tetapi sebetulnya tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh See-thian Tok-ong.
Karena hatinya sudah gentar, permainan pedang Giok Seng Cu
agak kalut dan tiba-tiba sebuah kuku senjata tangan dari See-thian 188
Tok-ong berhasil menggoes kulit lengan kanannya. Giok Seng Cu
merasa kulit lengannya gatal-gatal bukan main sehingga hampir
saja pedangnya terlepas. Ia cepat memutar pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan Tin san-kang ke arah dua orang musuhnya.
Kwan Ji Nio telah maklum akan kehebatan Tin-san-kang dan tahu
pula bahwa ia takkan kuat menahan pukulan-pukulan ini, maka
cepat ia meloncat mundur mengandalkan ginkangnya yang luar
biasa. Adapun See-thian Tok-ong juga menggerakkan tangan kiri
untuk menolak hawa pukulan lawan.
Akan tetapi kesempatan itu tidak dilewatkan percuma oleh Giok
Seng Cu. Sekali ia melompat, ia telah berlari masuk hutan.
"Tinggalkan pedang!" teriak See-thian Tok-ong mengejar. Juga Kwan Ji Nio ikut pula mengejar.
Giok Seng Cu tadinya hendak mengandalkan keadaan di lembah
itu untuk menyelamatkan diri. Ia sudah mengenal baik keadaan di lembah yang liar itu dan kalau ia dapat masuk ke dalam hutan yang lebat, agaknya dua orang lawannya takkan berhasil mengejarnya.
Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara sayap burung dan ketika ia memandang ke atas, ia melihat kim-tiauw tadi beterbangan di atas dan mengeluarkan bunyi nyaring.
"Burung jahanam...!" makinya. Ia menahan gemas dan menyesal mengapa ia tak mempunyai gendewa dan anak panah untuk
membunuh burung itu. Dengan adanya kim-tiauw yang terus
mengikutinya, tak mungkin lagi ia bersembunyi. dan dua orang
suami isteri itu telah menyusulnya dan mengirim serangan-serangan hebat. See-thian Tok-ong menyetang dengan tangan berbisa,
sedangkan Kwan Ji Nio menggerakkan tongkat bambunya dengan
cepat sekali. "Celaka aku kali ini...." Giok Seng Cu mengeluh ketika tiba-tiba merasa tangan kanannya makin gatal-gatal, dan rasa gatal itu
menyerang sampai ke pundaknya. Ia maklum bahwa itu tentulah
akibat dari serangan tangan berbisa yang dipegang oleh See-thian Tok-ong dan kini racunnya telah masuk ke dalam lengannya. Tiba-tiba ia berseru keras dan dari tangan kanannya menyambar sinar 189
keemasan ke arah leher See-thian Tok-ong. Kakek ini terkejut sekali.
Cepat ia mengelak akan tetapi tetap saja sinar itu telah melanggar ujung baju di lengannya sehingga ujung baju itu terbabat putus.
Baiknya ia cukup cepat mengelak sehingga tidak terluka. Ketika ia memandang ke depan, Giok Seng Cu telah lari jauh masuk ke dalam hutan.
See-thian Tok-ong tidak mau mengejar. "Tidak perlu mengejar dia, pokiam (pedang pusaka) telah diberikan kepadaku. Ia
menghampiri pedang Pak-kek Sin-kiam yang tadi dilontarkan
kepadanya dan kini pedang itu tertancap ambles ke dalam batang pohon. Dicabutnya pedang itu dan dipandanginya dengan penuh
kesayangan. "Kau yang akan membawaku ke tempat kitab dan akulah yang
akan dapat mewarisi Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang hoat. Ha, ha, ha...!" See-thian Tok-ong tertawa gembira.
"Suhu, teecu menghaturkan kionhi (selamat)!" Tiba-tiba Kong Ji keluar dari tempat persembunyiannya berlutut di depan See-thian Tok-ong.
"Ha, anak baik, kau telah membantu banyak." Tentu saja See-thian Tok-ong dan isterinya sudah tahu bahwa Kong Ji bersembunyi di situ. "Mari sekarang kita mencari kitab di puncak Lulilang-san,"
ajaknya. Siasat Kong Ji untuk memancing keluar Giok Seng Cu, oleh See-
thian Tok-ong dianggap sebagai bukti kebaktian anak itu
kepadanya. Oleh karena itu, ia makin merasa suka kepada Kong Ji.
Bahkan anak ini dengan sikapnya yang mengasih dan pandai
mengambil hati, akhirnya dapat juga menangkan hati Kok Sun yang menganggapnya sebagai seorang sahabat yang baik sekali. Hanya
Kwan Ji Nio seorang yang masih bersikap dingin kepadanya,
sungguhpun rasa benci dari nenek ini tidak sehebat dulu.
Rasa sayang dari See-thian Tok-ong kepadanya terasa oleh Kong
Ji karena ia dapat mengetahui hal ini dari cara Raja Racun itu memberi pelajaran silat kepadanya. Kini mulailah See-thian Tok-ong menurunkan rahasia latihan ilmu lwee kang dari barat dan di
190 sepanjang perjaianan menuju ke Luliang-san tiap kali ada
kesempatan. Kong Ji selalu melatih diri dengan pelajaran baru ini.
Setelah tiba di puncak Luliang-s See thian Tok-ong dan isterinya merasa amat kagum dan suka sekali melihat puncak yang indah itu.
"Benar-benar tempat yang amat menyenangkan," katanya,
"pantas sekali tempat seperti ini disukai oleh mendiang Pak Kek Siansu. Memang amat baik untuk menjadi tempat bertapa dan
istirahat." Ia segera mengambil keputusan untuk tinggal di puncak itu. Bahkan lalu memperbaiki bekas pondok Pak Kek Siansu yang
sudah diobrak-abrik dan dirusak oleh Kok Sun, puteranya sendiri ketika bersama Ba Mau Hoatsu mencari kitab rahasia.
-oo0mch-dewi0oo-
Agar tidak membingungkan pembaca baik diceritakan bahwa Ba
Mau Hoatsu telah kembali ke Tibet seteLah See-thian Tok-ong
menyusul puteranya ke Tiong- goan. Dengan adanya See-thian Tokong sekeluarga turun dari Tibet untuk mencari kitab, Ba Mau Hoatsu merasa ada harapan baginya lagi untuk ikut-ikut mencari kitab itu, maka ia pun lalu berpamit dan kembali ke Tibet, di mana melatih diri dengan ilmu silatnya.
See-thian Tok-ong dan anak isterinya, dengan bantuan Kong Ji
mulailah mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Akan tetapi usaha mereka sia-sia. Seluruh puncak telah mereka jelajahi dan periksa, namun tidak ada hasilnya. Kitab rahasia itu tak dapat ditemukan.
Berbulan-bulan mereka mencari dan selama itu Kong Ji mulai
menerima latihan-latihan ilmu silat dari See-thian Tok-ong. Raja Racun ini tertarik sekali melihat kecerdikan Kong Ji dan setelah melatih beberapa bulan, ia mendapat kenyataan bahwa bakat dalam diri anak ini bahkan lebih besar daripada puteranya sendiri. Setiap gerakan dan latihan lwee-kang dapat ditangkap dengan mudah oleh Kong Ji. Akan tetapi tentu saja See-thian Tok ong belum berani menurunkan kepandaiannya yang sejati dan hanya memberi
pelajaran ilmu-ilmu silat yang tidak begitu hebat. Namun Kong Ji tetap sabar. Anak ini pandai sekali menyembunyikan lepandaian-191
kepandaian yang pernah dipelajarinya, bahkan suhunya sendiri tidak tahu bahwa ia kini telah mulai dapat menjalankan Ilmu Pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu! Dalam pandangan See-thian Tok-ong, Kong Ji masih dangkal Ilmu pengetahuannya dalam ilmu silat,
padahal anak ini diam-diam telah memiliki ilmu-ilmu silat, dari Kwan-im-pai dari Hoa-san-pai, dan juga dari Giok Seng Cu.
Pelajaran lweekang yang agak dalam telah mulai diturunkan oleh See-thian Tok-ong kepada Kong Ji setelah hampir setahun mereka tinggal di puncak Jeng in-thia (Ruang Awan Hijau). Lweekang ini berbeda cara melatihnya dengan lweekang di Tiong-on karena
untuk siulian (bersamadhi), Kong Ji harus berdiri dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Mula-mula hal ini amat sukar. Baru sebentar saja kepalanya terasa pening dan darah turun ke bawah membuat
mukanya merah sekali. Juga ia tak dapat tahan lama membiarlan
kakinya lurus ke atas, sehingga ia harus mencari bantuan batu


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karang untuk menyangga kedua kakinya. Namun berkat latihan
yang amat tekun, beberapa bulan kemudian ia telah dapat berdiri berjam-jam dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kemudian ia diberi pelajaran melakukan gerakan kaki tangan dengan keadaan
tubuh berjungkir balik, yakni kepala di bawah dan kaki di atas. Ini adalah gerakan-gerakan untuk melatih tenaga dalam tubuh dan
untuk memperkuat lweekangnya.
Semenjak menerima pelajaran itu, setiap pagi, tanpa mengenaI
lelah, Kong Ji terlihat berlatih seorang diri di dekat jurang di Jeng-in-thia, dengan kepala di bawah, kedua kali di atas, kedua lengan dibentangkan kemudian ia bergerak-gerak dan berputar-putar cepat sekali! Hatinya penuh cita-cita yakni untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan. Ia tidak tahu bahwa tempat di mana ia berlatih, kadang-kadang seorang diri dan kadang-kadang berdua
dengan Kok Sun, dahulu adalah tempat berlatih Wan Sin Hong di
bawah pimpinan Luliang Sam lojin. Juga, ia tidak pernah mengimpi bahwa pada saat ia berlatih di tempat itu, tak jauh dari situ, yakni di dalam jurang, kurang lebih seratus tombak dalamnya dari tepi
jurang, seorang anak laki-laki lain tengah berlatih ilmu yang
dilatihnya, dan anak itu bukan lain adalah Wan Sin Hong yang
sedang berlatih ilmu silat menurut petunjuk kitab peninggalan Pak Kek Siansu!
192 -oo0mch-dewi0oo-
Tiga tahun telah berlalu amat cepatnya. Selama itu, See-thian
Tok-ong dan anak isterinya tinggal di puncak Luliang san dan
mereka tiada henti dan bosannya mencari kitab peninggalan Pak
Kek Siansu yang tanpa hasil. Mereka mulai putus asa dan sikap See-thian Tok-ong terhadap Kong Ji mulai berubah, kini seringkali ia mengeluarkan kata-kata kasar.
Namun kakek ini menepati janjinya. Ia melatih Kong Ji dengan
sungguh-sungguh sehingga anak ini mewarisi ilmu silat yang amat tinggi. Kong Ji tidak menyia-nyiakan waktunya, siang malam tiada bosannya ia melatih diri sehingga biar lambat akan tetapi tentu ia mulai mengejar kepandaian Kwan Kok Sun si Bocah Gundul yang
kini telah menjadi orang pemuda, namun tetap saja kepalanya
selalu digunduli. Kong Ji sendiri pun sudah menjadi seorang pemuda tanggung yang tampan dan bertubuh jangkung. Memang kalau
dilihat begitu saja agaknya Kong Ji masih kalah oleh Kok Sun, akan tetapi andaikata mereka bertempur, sudah dapat dipastikan bahwa Kok Sun akan kalah. Hal ini adalah karena di samping pelajaran ilmu silat yang ia dapat dari See-thian Tok-ong, juga Kong Ji diam-diam telah menyempurnakan ilmu-ilmunya yang lain yang didapat dari
ajaran mendiang Liang Gi Tojin dan Giok Seng Cu, terutama sekali ilmu pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu. Akan tetapi dengan amat cerdiknya, ilmu ini ia simpan rapat-rapat dan keluarga itu tidak mengetahuinya.
Pada suatu malam Kong Ji mendengar percakapan antara See-
thian Tok-ong dan isterinya, percakapan yang amat mengejutkan
hatinya. "Kita membuang waktu percuma saja, dasar kau yang mudah
ditipu oleh anak setan itu!" kata Kwan Ji Nio kepada suaminya.
"Ahh, kau tahu apa?" jawab See-thian Tok-ong sambil tertawa.
"Kalau ada dia, bagaimana kita bisa mendapatkan pedang pusaka dari Pak Kek Siansu."
"Untuk apa pedang pusaka itu" Yang penting adalah kitab itu, ternyata tidak ada di sini." Kemudian Kwan JI Nio menyambung 193
dengan suara perlahan, "bocah setan itu kulihat amat maju. Kelak kalau hatinya membalik, kitalah yang akan bertambah seorang
musuh yang membahayakan."
"Ha, ha, isteriku, kau terlalu kecil hati. Apa sih bahayanya bocah itu" Tidak bisa didapatkannya kitab sungguh-sungguh bukan
salahnya. Dan aku sudah berjanji menerimanya sebagai murid
selama lima tahun. Masih setahun lebih aku harus melatihnya,
kemudian, andaikata kau hendak membunuhnya, apa sih sukarnya.
Biar dia belajar dua atau tiga tahun lagi, menghadapi Kok Sun saja belum tentu menang. Apa yang perlu kita takuti?"
Percakapan itu terhenti dan Kong Ji menjauhkan diri. Ia duduk
termenung di pinggir jurang tempat ia berlatih silat. Celaka,
pikirnya. Apa artinya aku belajar setahun dua tahun lagi kalau akhirnya aku akan mereka bunuh juga" "Ah, kalau saja aku bisa mempelajan ilmu dari kitab peninggalan Pak Kek Siasu, aku tidak akan takut menghadapi mereka!" Sudah lama bocah yang cerdik ini sering kali memandang ke dalam jurang dan timbul pikirannya
bahwa besar sekali kemungkinan kitab rahasia itu disembunyikan di dasar jurang. Bukankah pedang itu pun menurut Kok Sun,
didapatkan oleh kim-tiauw di dasar jurang"
Ia sengaja tidak menyatakan dugaannya ini kepada See-thian
Tok-ong, karena memang ia tidak ingin keluarga iblis itu
mendapatkan kitab yang ia sendiri ingin memilikinya. Akan tetapi setelah mendengar percakapan antara suami isteri itu, ia
mendapatkan akal. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri
untuk menarik simpati dan kasih sayang mereka, adalah membantu mereka mendapatkan kitab, sehingga dengan jalan ini ia dapat
membuktikan kesetiaan dan kebaktiannya.
"Suhu," katanya pada keesokan harinya kepada See-thian Tok-ong, "bagaimana dengan hasilnya mencari kitab rahasia itu?"
Kening kakek itu berkerut dan sepasang matanya kelihatan
marah, "Perlu apa kau bertanya-tanya" Membantu pun tidak becus!"
tegurnya marah.
"Maaf, Suhu. Sudahkah dicari di dasar jurang itu?"
194 "Kau ngelindur! Jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu, bagaimana bisa periksa?"
"Teecu sanggup menuruni jurang itu!"
See-thian Tok-ong tertegun, demikian juga Kwan Ji Nio dan Kok
Sun. "Jangan kau main-main, kupatahkan batang lehermu nanti!"
bentak Kwan Ji Nio.
"Subo, mana teecu berani main-main Dulu yang mendapatkan
Pak-kek Sin kiam adalah kim-tiauw, kalau sekarang teecu naik di punggung kim-tiauw dan menyuruh burung itu terbang turun ke
jurang apakah sukarnya" Siapa tahu kalau-kalau di dalam jurang itulah tempat disimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek
Siansu." "Bagus, bagus! Kau betul sekali, muridku yang baik!" kata See-thian Tok-ong dan sepasang matanya yang lebar itu memandang
kepada isterinya seakan-akan berkata bangga. "Apa kataku"
Muridku ini bukannya seorang yang tidak ada gunanya!"
Kim-tiauw dipanggil dengan siutan keras. Burung yang sedang
beterbangan di atas itu meluncur turun dan hinggap di atas tanah, di depan See-thian Tok-ong.
"Kim tiauw, kaubawa Kong Ji ke dasar jurang, ke tempat di mana dahulu kau mendapatkan pedang ini!" kata See-thian Tok-ong
sambil memperlihatkan Pak-kek Sin-kiam kepada burung itu.
Adapun Kong Ji sudah meloncat ke atas punggung kim-tiauw dan
berkata, "Kim-tiauw yang baik, hati-hatilah kau terbang ke dalam jurang." Anak ini kelihatannya gembira sekali, memang sebenarnya dia gembira karena ia memang ingin sekali mendapatkan kitab yang dicari-cari oleh semua orang kang-ouw itu.
Burung rajawali emas itu mengeluarkan pekik nyaring, lalu
membuka sayap dan terbang tinggi. Setelah berputar beberapa kali di atas jurang, ia lalu menukik turun dengan cepatnya. Kong Ji hampir tak berani membuka matanya saking ngeri melihat betapa
burung itu membawanya meluncur turun ke dalam jurang yang
tidak kelihatan dasarnya itu.
195 Akan tetapi, ia segera berseru girang dan heran ketika burung itu tiba di atas sebuah lereng Bukit Luliang-san yang indah sekali pemandangannya. Burung itu turun dan Kong Ji juga meloncat
turun dari punggungnya sambil memandang ke kanan kiri,
mengagumi keindahan tamasya alam di sekitar itu.
"Kim-tiauw, di manakah kau dahulu mendapatkan pedang?"
tanyanya berulang ulang.
Burung itu tentu saja tidak dapat menjawab, akan tetapi agaknya ia mengerti akan maksud pertanyaan Kong Ji.
Ia meloncat-loncat dan tiba di depan gunung karang di mana
terdapat sebuah batu besar sekali tersandar pada lamping batu
karang yang menjadi gunung itu. Ia berbunyi berkali-kali dan
kelihatan bingung. Memang, dahulu ia merampas pedang dari
tangan anak kecil yang keluar dari gua, akan tetapi sekarang di situ tidak kelihatan ada gua lagi.
Kong Ji amat cerdik. Agaknya burung ini memberi tanda bahwa
pedang didapatkan di batu ini, pikirnya. Ia lalu mendorong batu besar itu akan tetapi berat batu itu ada seribu kati kiranya maka biarpun ia mendorong kuat-kuat, batu itu tidak bergeming. Kimtiauw itu mengangguk-angguk dan berbunyi terus, maka makin
curigalah Kong Ji.
"Mundurlah, Kim-tiauw!" bentaknya. Burung itu sudah pandai mendengar perintah dan suara Kong Ji sudah dikenal olehnya, maka ia cepat meloncat dan terbang menjauhi tempat itu,
Kong Ji berjumpalitan, berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, berlatih sebentar mengumpulkan lweekangnya.
Sekarang, setelah jauh dari See-thian Tok-ong dan anak isterinya barulah ia mendapatkan kesempatan untuk mencoba kepandaian,
yakni Tin sa kang yang ia pelajari dari Giok Seng Cu.
Setelah tulang-tulang berbunyi berkerotokan. Kong Ji meloncat
berdiri seperti biasa, merendahkan tubuh, mengerahkan seluruh
tenaga lweekang yang ada di tubuhnya, lalu mendorong batu yang bersandar pada gunung karang itu sambil mengeluarkan Ilmu Tin-san-kang.
196 Dan dia berhasil! Batu itu bergoyang- goyang, namun tidak dapat menggelinding pergi. Kong Ji merasa yakin bahwa di balik itu atau bawahnya terdapat rahasia yang akan membawariya ke tempat
penyimpanan kitab peninggaian Pak Kek Siansu. Ia berhenti untuk bernapas dan beristirahat.
"Masa aku kalah oleh batu ini?" pikirnya. Dengan sekuat tenaga, kembali ia mendorong batu itu, melakukan gerakan mendorong
Ilmu Tin-san-kang jurus terakhir yang paling besar tenaganya yakni dengan kedua kaki menjejak tanah dan kedua tangannya
mendorong ke depan, kepala tunduk dan tubuh hampir jongkok.
Kini ia berhasil! Batu itu bergeser sedikit dan alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa di belakang batu itu terdapat sebuah gua yang gelap! Biarpun batu penutup gua itu hanya tergeser sedikit, akan tetapi cukup lebar untuk dia menyelinap masuk.
Tanpa ragu-ragu dan tidak kenal takut, Kong Ji masuk ke dalam
gua. Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, dan
alangkah girangnya ketika ia melihat di dalam ruangan itu ada batu-batu licin seperti tempat duduk, dan sudut ruangan terdapat sebuah peti! Berdebarlah hatinya. Tak salah lagi, inilah tempat rahasia itu, pikirnya. Ia memandang sekeliling dengan siap sedia, kalau-kalau ada orang di dalam gua itu, akan tetapi keadaannya sunyi sekali.
Kong Ji sudah memiliki kepandaian yang tinggi sehingga kalau di dekat situ terdapat orang tentu ia akan dapat mendengar jalan
pernapasan orang itu.
Dengan hati kebat-kebit ia menghampiri peti dan membuka
tutupnya. Tutup peti itu berat sekali, akan tetapi dengan
lweekangnya yang sudah tinggi, ia berhasil membukanya tanpa
banyak sukar. Hampir saja ia berteriak girang ketika ia melihat sebuah kitab tebal di dalam peti' itu. Kegirangannya meluap-luap karena ia dapat membaca huruf-huruf sampul buku yang ditulis
besar-besar dengan jelas dan berbunyi : PAK KEK SIN CLANG HOAT
PIT KIP (Kitab Pelajaran Ilmu Silat Pak-kek-sin-ciang).
Akan tetapi ia merasa menyesal sekali ketika membuka kitab itu, karena ia tidak dapat membacanya. Hanya beberapa buah huruf
saja dapat dibacanya karena sesungguhnya Kong Ji sudah banyak
197 lupa akan huruf-huruf yang belum lama dipelajari dan tidak pernah ia pergunakan.
Ia termenung sebentar, kemudian mengembalikan kitab di dalam
peti, menutupnya kembali, kemudian ia memeriksa keadaan di
dalam gua. Setelah merasa yakin bahwa ia tidak mendapatkan apa-apa lagi, ia lalu keluar dari dalam gua. Dari luar gua ia
mempergunakan kepandaian dan tenaganya untuk menggeser
kembali batu itu menutupi gua dan sama kali tidak kelihatan dari luar. Dipandang dari luar batu itu tidak menimbulkan kecurigaan, seperti batu besar biasa yang terletak di dekat batu karang seperti gunung itu.
Dengan kakinya Kong Ji meratakan tanah di mana jejak kakinya
nampak, kemudian ia memanggil kim-tiauw dan melompat ke atas
punggungnya. "Kim-tiauw, mari kita naik lagi ke tempat Suhu,"
katanya. Kim-tiauw terbang ke atas dan di -sepanjang penerbangan naik
Kong Ji memperhatikan pinggiran jurang, karena sudah mengambil keputusan untuk kelak kembali seorang diri di dalam jurang ini dan mempelajari isi kitab itu setelah ia pandai membaca.
Setelah tiba di depan See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang menanti sampai kehilangan sabar, Kong Ji berkata.
"Tidak ada apa-apa, Suhu. Hanya lereng bukit kosong, penuh batu karang besar-besar. Kim-tiauw juga kelihatan bingung,
agaknya pedang Pak-kek Sin-kiam itu ia pungut begitu saja dari dasar jurang yang ternyata merupakan lereng juga itu. Kitabnya kalau memang ada tentu tidak disimpan di tempat seperti itu."
See-thian Tok-ong nampak kecewa sekali. Kwan Ji Nio
menyumpah-nyumpah lalu berkata kepada suaminya,
"Kalau kitab itu memang tidak ada mengapa susah-susah
dipikirkan" Dengan kepandaian yang ada pada kita, siapakah yang mampu mengalahkan kita?"
Tiba-tiba Kok Sun berkata, "Ayah siapa tahu kalau Kong Ji kurang teliti mencarinya. Biar aku sendiri yang melihat keadaan di bawah sana bersama kim-tiauw."
198 Kong Ji terkejut sekali akan tetapi dengan cerdiknya ia dapat
menekan perasaan hatinya sehingga mukanya tidak menunjukkan
sesuatu, bahkan ia berkata dengan lagak mendongkol, "Kalau Kok Sun Twako tidak percaya kepadaku, baiklah kaulihat sendiri!"
Kok Sun hanya tertawa dan cepat melompat ke punggung kim-
tiauw dan menyuruh burung itu terbang masuk kedalam jurang.
Hati Kong Ji berdebar. Celaka, pikirnya, kalau sampai setan gundul ini mendapatkan kitab, tidak saja kitab itu akan terjatuh ke tangan See-thian Tok-ong, bahkan dia sendiri tentu akan dibunuh oleh Raja Racun.
"Kau bilang tidak menemukan apa-apa di bawah sana" Betulkah itu" Hm, kau akan melihat sendiri akibatnya kalau kau membohongi kami." Kwan Ji Nio berkata sambil tersenyum dan memandang kepada Kong Ji. Nyonya ini merasa benci kepada Kong Ji, benci
yang ditimbulkan oleh iri hati, karena bocah ini lebih tampan
daripada puteranya sendiri.
"Subo, memang teecu tidak mendapatkan sesuatu. Kalau teecu mendapat sesuatu di bawah sana, tentu sudah teecu bawa naik.
Andaikata Kok Sun Twako mendapat kitab itu di bawah sana, itulah karena Twako memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada
teecu," jawab Kong Ji merendah. Ia pikir bahwa jawaban ini mungkin akan menolongnya terbebas daripada kecurigaan
andaikata benar-benar Kok Sun mendapatkan kitab rahasia itu.
Di dalam hati Kong Ji timbul ketegangan luar biasa selama
menanti munculnya kim-tiauw dan Kok Sun. Ia gelisah sekali, akan tetapi diam-diam ia berpikir, takkan mungkin Kok Sun kuat
mendorong batu besar itu. Ia tahu bahwa tenaga lweekang dari Si Gundul itu sudah kuat sekali, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan tenaganya sendiri. Tadi pun kalau tidak mengerahkan Tin-san-kang takkan mungkin ia dapat menggeser batu. Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lega.
Tak lama kemudian terdengar suara kim tiauw dan muncullah
burung besar itu. Kok Sun duduk di atas pungungnya dan dari muka Si Gundul ini dapat diduga bahwa ia pun gagal dalam usahanya
mencari kitab. 199 "Benar, Kong Ji, di sana tidak apa-apa melainkan batu-batu besar dan batu karang," kata Kok Sun setelah melompat turun.
Kong Ji tanpa disadarinya tersenyum mengejek dan merasa
girang sekali, hanya dia masih khawatir kalau-kalau See-thian Tok-ong sendirilah yang mencoba karena Raja Racun itu pasti dapat
meggeser batu yang menutupi gua di mana tersimpan kitab itu.
Tiba-tiba Kwan Ji Nio menyambar memegang pundaknya dengan
kuat sekali. Kong Ji terkejut dan memandang.
"Bocah setan, mengapa kau tersenyum sindir melihat kegagalan anakku" Kau senyembunyikan rahasia apakah" Hayo mengaku!"
Kong Ji terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nenek ini
demikian cerdik dan demikian tajam pandangan matanya. Kalau ia tidak dapat memberikan alasan, tentu mereka akan menjadi curiga dan akan memaksanya mengaku akan rahasia hatinya.
"Maaf...," ia sengaja berkata gagap, "teecu... teecu tadi merasa penasaran karena Kok Sun Twako tidak percaya kepada teecu dan
pergi memeriksa sendiri. Sekarang melihat Twako tidak
mendapatkan apa-apa, tanpa disengaja teecu tersenyum, mohon
Subo sudi memaafkan."
"Kau anak setan, kau sekarang saja sudah berani menghina
anakku, apalagi kelak kalau sudah pandai. Kok Sun, hayo beri
hajaran kepadanya yang sudah berani mentertawakanmu!" kata nyonya tua itu dengan marah.
See-thian Tok-ong diam saja, bahkan membuang muka ketika
Kong Ji memandang kepadanya untuk minta bantuan. Hati Kong Ji
mulai gelisah. Setan tua ini karena sekarang melihat aku tak dapat membantunya mendapatkan kitab, tak mau perduli lagi kepadaku.
Ia memandang kepada Kok Sun. Si Gundul ini hanya tersenyum saja dan memandang juga kepadanya dengan mata menyelidik.
"Kong Ji kau memang kurang ajar kepadaku. Akan tetapi aku sebenarnya takkan melakukan sesuatu. Hanya karena Ibu yang
minta maka terpaksa aku harus mentaatinya. Bangunlah, dan mari kita berlatih sebentar!"
200 Kong Ji tidak mengerti akan maksud Kok Sun. Biasanya Si Gundul ini amat baik terhadapnya dan ia pun sudah merasa yakin bahwa ia telah berhasil menarik hati Kok Sun dan mendapatkan kasih
sayangnya sebagai saudara. Tiba-tiba mata Kok Sun berkejap. Kong Ji memang cerdik, maka tahulah ia akan maksud Kok Sun. Si Gundul ini mengajak ia mengadu kepandaian untuk menghilangkan
kemarahan hati ibunya dan kalau Kong Ji sudah terkalahkan
olehnya, agaknya kemarahan ibunya akan berkurang terhadap Kong Ji. Memang hal ini perlu sekali karena kalau kemarahan ibunya tidak dipadamkan, ada kemungkinan Kong Ji akan dibunuh pada saat itu juga.
"Baiklah, Twako, kalau kau hendak memberi hukuman padaku, silakan," kata Kong Ji sambil melompat berdiri.
"Kong Ji kaulawan dia. Tidak boleh puteraku memukul lawan tanpa lawannya itu membalas," tiba-tiba See-thian Tok-ong berkata.
Kakek ini biarpun tentu saja membela putera sendiri, namun ia
merasa tersinggung kehormatannya kalau melihat Kong Ji dipukul tanpa memperlihatkan perlawanan. Setidaknya anak ini pernah
belajar kepadanya dan sekaranglah waktunya untuk menguji sampai di mana hasil pelajaran itu. Memang aneh watak orang seperti See-thian Tok-ong. Ia tidak akan peduli andaikata isterinya membunuh Kong Ji, ia tidak ingat sama sekali tentang nasib anak ini. Akan tetapi ia ingin melihat hasil daripada ajarannya dan dapat bangga karena hasil yang baik.
"Nah, Kong Ji, Ayah sudah mengijinkan kita mengadu
kepandaian, hitung-hitung latihan!" kata Kok Sun gembira, memang Si Gundul ini tidak mempunyai maksud buruk terhadap Kong Ji,
hanya ingin mengalahkan dalam pertempuran agar ibunya puas.
Terpaksa Kong Ji bersiap sedia menanti serangan Kok Sun.
Serangan tiba ketika Kok Sun berseru keras dan memukul dengan
tangannya yang kecil tetapi kuat. Kong Ji cepat mengelak dan
membalas serangan lawan. Bertempurlah dua orang pemuda
tanggung ini dengan seru dan hebatnya. Masing-masing
mengeluarkan tipu-tipu dan gerak silat yang mereka pelajari dari See-thian Tok-ong. Kakek ini berdiri tegak menonton dan mulutnya tersenyum, kepalanya beberapa kali mengangguk-angguk. Dan
201 sambaran angin pukulan-pukulan kedua orang pemuda itu, tahulah ia bahwa kepandaian mereka sudah amat maju dan mengagumkan.
Setiap gerakan tidak ada yang salah. Akan tetapi diam-diam ia
terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa Kong Ji yang
secara terpaksa menjadi muridnya itu, benar-benar hebat sekali.
Gerakannya tenang, tetap, dan penuh tenaga. Tipu-tipunya amat
licin dan cerdik sehingga kalau saja Kok Sun tidak mewarisi
kepandaian ginkang (ilmu meringankan tubuh) dari ibunya, tentu sudah terkena tipu dalam pertempuran itu.
Memang Kong Ji dalam pertempuran ini tidak mau mengalah.
Inilah penyakitnya. Kalau saja ia mengalah dan mandah dipukul dan dikalahkan dalam pertempuran ini, agaknya kemarahan Kwan Ji Nio akan padam dan ia akan selamat. Akan tetapi, selain cerdik sekali, Kong Ji mempunyai kelemahan, yakni tak mau menyerah kalah
terhadap siapapun juga. Biasanya, di dalam menyerah ia
menyembunyikan siasat yang membuat ia menarik keuntungan
besar, yakni yang disebut siasat mengalah untuk menang. Akan
tetapi menghadapi Kok Sun ia lupa akan siasat ini. Darah mudanya membuat ia tidak mau kalah begitu saja terhadap Kok Sun.
Nafsunya untuk menjadi jagoan dan menangkan semua orang,
menguasai seluruh tubuhnya. Ia bertempur dengan hati-hati dan
penuh semangat. Hanya kecerdikan otaknya saja yang menahannya
sehingga ia tidak mempergunakan Tin-san-kang terhadap Kok Sun
melainkan mainkan ilmu silat yang ia pelajari dari See-thian Tok-ong.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid VIII KWAN Kok Sun merasa penasaran sekali. Kong Ji baru paling
lama, empat tahun belajar silat dari ayahnya, sedangkan ia
digembleng sejak kecil. Bagaimana sampai lima puluh jurus belum juga ia dapat mengalahkan Kong Ji" Tentu saja ia tidak tahu bahwa sebelum belajar kepada See-thian Tok-ong, Kong Ji sudah menerima latihan sejak kecil dari ayah bundanva, kemudian menerima latihan Liang Gi Tojin dan yang terakhir dari Giok Seng Cu.
202 Kok Sun mulai marah. Beberapa kali ia mengejapkan mata
kepada Kong Ji akan tetapi Kong Ji agaknya tidak mengerti dan
selalu menghadapi serangannya dengan sungguh-sungguh. Padahal
Kok Sun hanya main-main saja dan ingin mengalahkan Kong Ji
dengan menolongnya. Melihat bahwa sudah terang Kong Ji tidak
mau mengalah, timbul kemarahan di dalam hati pemuda gundul ini.
Ia mengeluarkan seruan keras dan kini ia menyerang dengan
sungguh-sungguh. Kagetlah Kong Ji karena kini sambaran angin
pukulan Kok Sun amat berbahaya ditujukan kepada anggauta
tubuhnya yang lemah dalam pukulan-pukulan maut. Tadinya,
biarpun ia juga bersungguh-sungguh tentu saja tidak bermaksud
bertempur sampai dapat membinasakan lawan, cukup kalau ada
yang kalah saja. Akan tapi sekarang Kok Sun bertempur untuk
membunuhnya. Perubahan gerakan Kok Sun int tentu saja membuat
ia terdesak. Kok Sun mendesak terus dan pada suatu saat, pemuda gundul ini
melakukan pukulan dengan kedua tangan, setelah tendangan
berantai yang ia lakukan dapat ditangkis oleh Kong Ji. Pukulan kedua tangan ini amat cepat, kuat dan ganas sehingga tidak
mungkin dapat ditangkis lagi oleh Kong Ji. Pukulan ini mengarah dada dan kalau ia sampai terkena pukulan ini, ia tentu akan tewas atau sedikitnya akan menderita luka di dalam tubuh yang amat
berbahaya. Dalam keadaan yang amat terdesak itu, Kong Ji tidak mempunyai


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daya lain kecuali mempergunakan Tin-san-kang dan menangkis
pukulan tadi. Dua pasang telapak tangan bertemu amat kerasnya
dan tubuh Kok Sun terjengkang ke belakang. Begitu ia melompat
bangun, darah segar keluar dari mulut Kwan Kok Sun!
"Jahanam, kau telah melukai anakku!" bentak Kwan Ji Nio dan cepat ia menyerang dengan sebuah totokan ke arah kepala Kong Ji.
Kali ini Kong Ji tidak dapat berpura-pura lagi, untuk melinclungi tubuhnya, kembali ia mempergunakan Tin-san-kang memukul ke
arah nyonya tua itu. Baiknya kepandaian Kwan Ji Nio sudah amat tinggi sehingga cepat sekali ia dapat menghindarkan diri, akan tetapi diam-diam ia terkejut sekali karena pukulan Kong Ji tadi 203
benar-benar berbahaya sehingga ia masih dapat merasai sambaran angin yang luar biasa ketika mengelak.
"Dari mana kau mempelajari pukulan itu?" See-thian Tok-ong berseru dan sekali ia bergerak, ia telah berhasil menotok pundak Kong Ji sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia roboh duduk tanpa berdaya lagi.
"Teecu mendapatkan pelajaran dari Suhu Giok Seng Cu," katanya perlahan.
"Celaka dia memperdayai!" kata Kwat Ji Nio. "Dengan kepandaian yang ia dapat dan sana-sini, ia kelak merupakan orang yang berbahaya bagi kita. Baik bikin mampus saja bocah ini!"
See-thian Tok-ong merasa setuju dengan maksud isterinya. ia
pun tadi terkejut sekali. Ternyata bahwa kepandaian Kong Ji sudah demikian tangguhnya sehingga bocah ini dapat menghadapi
isterinya dengan Tin-san-kang sehingga hampir saja istennya roboh pula. Ia tidak berkata apa-apa hanya menghampin puteranya dan
menotok dada puteranya di bagian tai-kong-hiat untuk
menyembuhkan luka bekas akibat benturan tangan Kong Ji yang
mengandung tenaga Tin-san-kang.
"Tahan dulu, Ibu!" Kok Sun tiba-tiba berseru ketika melihat ibunya mengangkat tangan hendak membinasakan Kong Ji. "Aku yang ia hina, aku pula yang berhak membunuhnya. Biar ia dijadikan makanan untuk ang--coa (ular merah)." Sambil berkata demikian, Kok Sun merogoh saku baju mengeluarkan sepasang ular merah
yang membelit-belit di antara jari tangannya.
Kong Ji maklum bahwa nyawanya takkan tertolong lagi, akan
tetapi ia memandang dengan berani kepada Kok Sun. Hampir saja ia membuka mulut dan membuka rahasia tentang kitab yang berada di dalam gua di dasar jurang, Akan tetapi ia menahan mulutnya. Apa gunanya" Ia telah yakin bahwa biarpun ia memberi kitab itu kepada See-thian Tok-ong, harapannya sedikit sekali baginya untuk dapat membebaskan diri dari mereka itu. Akhirnya ia pun akan dibunuh juga dan kalau sampai terjadi demikian dia yang rugi besar.
"Kwan Kok Sun, kau sudah kalah olehku, sekarang hendak
membunuh secara curang. Baik, lepaskan ang-coa itu, aku tidak
204 takut mati. Aku mati sebagai seorang gagah, akan tetapi kau,
kecuranganmu ini akan membikin busuk namamu selama kau
hidup!" Kok Sun menjadi merah mukanya. Dengan gemas ia lalu
melepaskan ular-ularnya ke arah Kong Ji yang memandang
datangnya dua ekor ular merah terbang itu dengan mata terbuka
lebar. Nasib Kong Ji sudah tak dapat diulur lagi agaknya'
Akan tetapi, pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba
berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu seorang anak
perempuan kecil dengan sebatang ranting bambu di tangan telah
berdiri di dekat Kong Ji. Dengan dua kali menggerakkan ranting bambu, ia dapat memukul sepasang ular merah itu. Dua ekor ular itu terpelanting dan tak bergerak lag' karena kepala mereka telah remuk Hanya ekor mereka yang bergerak-gerak lemah dan
menggeliat-geliat sebelum nyawa mereka meninggalkan tubuh.
Semua orang, termasuk Kong Ji terbelalak memandang ke arah
anak perempuan itu. Dia adalah seorang anak perempuan berusia
paling banyak sepuluh tahun, rambutnya diikat dengan pita dan
dibagi dua sehingga rambut yang panjang itu tergantung di atas pundak, yang satu di belakang yang satu di depan. Mukanya mungil dan lucu, mulutnya selalu tersenyum akan tetapi sepasang matanya amat tajam. Bajunya berwarna merah dan pakaiannya longgar
sekali dengan baju lebar, akan tetapi tidak mengganggu gerakannya yang amat lincah. Gadis cilik itu memandang kepada dua bangkai ular, lalu dengan muka memperlihatkan kejijikan, ia membuang
ranting itu jauh-jauh.
"Siauw Suhu, kau benar-benar curang dan betul kata Saudara ini bahwa namamu akan membusuk sepanjang masa kalau tadi kau
jadi membunuhnya!" katanya kepada Kok Sun. Dan sebutannya terhadap Kok Sun, ia mengira bahwa Kok Sun yang berkepala
gundul adalah seorang hwesio cilik.
"Kau siluman cilik dari manakah berani mencampuri urusanku?"
bentak Kok Sun dengan marah sekali melihat sepasang ular yang
disayanginya telah mampus. Sikapnya seperti hendak menerjang
gadis cilik itu.
205 "Hm, kau kok galak amat" Tentu kau hwesio jahat!" kata anak perempuan itu sambil tersenyum mengejek. "Kalah menang dalam pertempuran bukan hal aneh akan tetapi membunuh lawan dengan
cara keji seperti yang akan kaulakukan tadi siapakah yang tidak penasaran hatinya" Ular-ular itu busuk dan jahat akan tetapi yang melepasnya lebih busuk dan jahat lagi."
"Siluman bermulut kotor, kau minta dihancurkan kepalamu!" Kok Sun membentak sambil memukul.
Akan tetapi, sekali kedua kakinya digerakkan, anak perempuan
itu telah lompat ke belakang jauh sekali, gerakannya gesit seperti seekor burung walet saja sehingga Kok Sun menjadi melongo,
bahkan Kwan Ji Nio yang memiliki gin-kang tinggi tak terasa
mengeluarkan suara pujian.
"Kaukira aku takut padamu"
Aku hanya merasa jijik beradu
tangan dengan kau manusia
busuk dan jahat!" gadis cilik itu
melakukan gerakan seperti
orang menari, akan tetapi
dalam pandangan mata See-
thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio,
gadis itu bukannya menari,
melainkan melakukan ilmu silat
yang luar biasa sekali dan telah
siap menghadapi lawannya.
"Kok Sun tahan dulu...!" kata
See thian Tok-ong kepada
puteranya. Puteranya itu telah
terluka oleh Tin-san-kang dari
Kong Ji, dan anak perempuan
agaknya bukan bocah
sembarangan, maka ia khawatir kalau Kok Sun akan kalah. Juga ia tertarik sekalI kepada bocah ini.
"Anak, siapakah kau" Dan dengan siapa kau datang?" tanyanya.
Sebelum anak itu menjawab, dari jauh terdengar suara keras.
206 "Hui Lian, kautunggu kami...!`
Baru saja suara itu lenyap gemanya tiba-tiba berkelebat
bayangan dua orang dan di situ telah berdiri sepasang suami isteri setengah tua yang amat gagah. Yang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan wajahnya tampan sikapnya gagah sekali, biarpun nampak kehalusan budi dari gerak-geriknya yang halus.
Pakaiannya sederhana, ditutup oleh baju luar yang lebar, yang aneh sekali sedikit baju dalamnya yang kelihatan di dekat leher, berwarna dan berkembang-kembang seperti baju wanita! Adapun yang wanita juga amat gagah sikapnya, wajahnya cantik manis dan lemah
lembut, akan tetapi bibirnya yang bentuknya indah itu
membayangkan kekerasan hati. Di punggungnya kelihatan gagang
pedang dengan ronce-ronce berwarna merah.
Sepasang suami isteri ini, begitu tiba di tempat itu, lalu mcnyapu keadaan di situ dengan pandang mata mereka. Laki-laki gagah
berbaju kembang itu memandang tajam kepada See-thian Tok-ong.
Kwan Ji Nio, dan Kwan Kok Sun, kemudian matanya bercahaya
seperti berapi. Ia melangkah malu menghampiri See-thian Tok-ong dan berkata, suaranya lemah lembut akan tetapi matanya berkilat.
"See-thian Tok-ong, kiranya kau dan anak isterimu berada di puncak Luliang san. Tentu kau dapat menceritakan kepadaku siapa orangnya yang telah menewaskan ketiga Luliang Sam-lojin?"
See-thian Tok-ong terkejut. Bagaimana orang ini dapat
mengenalnya begitu bertemu muka" Ia selamanya belum pernah
melihat suami isteri ini, akan tetapi melihat sikap mereka, ia hampir dapat menduga. Untuk melenyapkan keraguannya ia balas
bertanya, "Kau telah tahu bahwa aku adala See-thian Tok-ong, sebaliknya kau ini siapakah" Ada hubungan apa kau dengan Luliang Samlojin?"
Laki-laki itu menjawab, "Aku bernama Go Ciang Le, dia ini isteriku dan Hui Lian itu adalah puteri kami, Lulian Sam-lojin adalah suheng-suhengku...."
"Ah, jadi kau yang disebut Hwa Enghlong (Pendekar Baju
Kembang) dan isterimu ini Sianli Engcu (Bayangan Bidadari)?"
207 Tanya See-thian Tok-ong dengan terheran-heran dan sikap
mengejek. Ia sudah mendengar nama besar Hwa I Enghiong atau
Go Ciang Le sebagai seorang pendekar besar dan jarang
tandingannya pada masa itu, akan tetapi ia tidak mengira sama
sekali bahwa pendekar besar ini ternyata hanyalah seorang yang masih muda dan kelihatannya tidak mengesankan sama sekali.
"See-thian Tok-ong, kau tentu sudah mendengar bahwa aku
adalah murid Pak Kek Siansu dan sute dari Luliang Sam-lojin, oleh karena itu aku berhak untuk bertanya mengapa kau berada di sini dan apakah kau yang telah menewaskan ketiga orang suhengku?"
kata pula Ciang Le.
Sebelum See-thian Tok-ong menjawab, Kwan Ji Nio
mendahuluinya. Nenek ini melangkah maju, menudingkan telunjuk
tangan kirinya ke muka Ciang Le sambil nemaki, "Macam inikah yang disebut Hwa I Enghiong" Kiraku orangnya hebat seperti
namanya, tidak tahunya hanya seorang yang sombong dan tak tahu aturan. Kalau kami tanggal di sini kau mau apa" Andaikata benar Luliang Sam-lojin kami yang menewaskannya, kau mau apa"'"
Baru saja nyonya tua ini habis mengucapkan kata-kata itu,
terdengar bentakan nyaring dan Liang Bi Lan, isteri dari Go Ciang Le, melompat maju dan menampar dengan tangannya ke arah
muka Kwan Ji Nio!
Kwan Ji Nio merasa ada sambar angin ke arah mukanya, cepat ia
menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Plak!" Dua tangan beradu, disusul suara "plak" yang lain dan tubuh Kwan Ji Nio terhuyung ke belakang. Ternyata bahwa biarpun tamparan tangan kanan dapat ditangkis, tangan kiri Liang Bi Lan dapat menyusul cepat dan tanpa dapat dicegah lagi, pipi kanan
Kwan Ji Nio telah kena ditampar'
"Kau ini siluman wanita tua sungguh tak tahu malu!" Bi Lan memaki sambil tersenyum sindir. "Dengarlah jawabanku. Kalau memaksa hendak merampas tempat tinggal orang, kami akan
mengusir kalian dari Puncak Luliang-san. Adapun andaikata benar-benar kalian telah membunuh Luliang Sam-lojin, kami akan
menghancurkan kepala kalian sebagai pembalasan dendam!"
208 Berbeda dengan suaminya yang tenang dan sabar sekali, Bi Lan
memang berwatak keras, mudah gembira dan mudah marah.
Kwan Ji Nio marah dan juga terkejut sekali. Ia merasa heran
bagaimana lawannya itu berhasil menamparnya, gerakan tangan
lawannya benar-benar amat aneh dan tidak terduga. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah murid Hoa-san-pai yang paling lihai, selain itu ia pun menjadi murid dan Coa-ong Sin-kai dan telah mempelajari pula ilmu silat dan ilmu pedang dari Thian-te Siang-mo.
Kepandaiannya amat tinggi dan gerakannya tadi adalah jurus dari ilmu Silat Ouw-wan ciang yang lihai.
"Bangsat, kau hendak bertempur" Baik, bersiaplah untuk
mampus" Kwan Ji Nio sudah mengeluarkan tongkatnya yang kecil dan berbahaya, akan tetapi pada saat itu, See-thian Tok-ong
memegang lengannya, mencegahnya memulai perketahian. See-
thian Tok-ong adalah seorang yang cerdik. Ia dapat melihat
kelihaian Bi Lan dan melihat sikap yang tenang dari Ciang Le, ia pun agak keder juga. Dengan tersenyum ia menjura kepada Ciang Le
dan berkata, "Hwa I Enghiong, memang pihakku yang tak tahu diri. Tempat ini adalah bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu kau sebagai murid
Kilas Balik Merah Salju 1 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Istana Yang Suram 7
^