Pencarian

Sepasang Pendekar Kembar 3

Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


dan menawan mereka itu" Dengan bantuan kita bertiga,
tentu mereka semua akan dapat dibekuk dan diserahkan
kepada pengadilan."
Ouwyang Bun buru-buru mencela usul adiknya dan
berkata, "Ah, apa perlunya hal itu kita lakukan" Kurang
baik dan memalukan. Apakah untuk melawan beberapa
orang saja kita harus mengerahkan barisan penjaga" Pula
mereka telah berlaku lunak terhadap kita, apakah perlunya
kita membalas dengan kekerasan. Ini akan memalukan dan
menodai nama baik kita saja."
"Bun-ko. Mengapa akhir-akhir ini hatimu begitu lemah"
Kau pikir sedang menghadapi siapa"
Ingat, kita menghadapi pemberontak jahat. Mereka itu harus dibasmi.
Sekarang kita bertemu dengan mereka dan mendapat
kesempatan baik sekali, mau tunggu apa lagi?"
Ouwyang Bun menghela napas. Otaknya membenarkan
kata-kata adiknya, tapi hatinya membantah. Ia lebih taat
kepada suara hatinya, maka katanya, "Bu-te, sebenarnya
mereka itu mempunyai kesalahan apakah terhadap kita"
Apakah mereka pernah mengganggu kau atau aku, atau
bahkan pernah mengganggu sumoi" Mengapa kita mau
menawan mereka dan kemudian mereka dihukum mati
seperti semua orang yang dianggap anggauta pemberontak"
Bukankah itu terlalu kejam?"
Lie Eng memandang wajah Ouwyang Bun dengan
tajam, lalu berkata,
"Untung sekali bahwa kau tidak mengucapkan kata-kata
ini di depan ayah. Kata-katamu ini dapat dianggap
mengkhianati negara. Ah, twa-suheng, kau tak dapat
menjadi seorang perajurit yang baik. Kau bukan berdarah
perajurit hingga kau terlalu menurutkan suara hati, dan
tidak taat kepada perintah atasan serta tidak tahu akan
tugas kewajiban sebagai seorang perajurit. Aku tidak dapat
menyalahkan-mu, suheng, karena kau belum pernah
mengalami pertempuran hebat. Kalau saja kau tahu dan
pernah mengalami betapa para pemberontak itu menyembelih tentara kita dengan kejam, betapa mereka itu
membasmi dan membinasakan seluruh keluarga para
pembesar yang jatuh ke tangan mereka, betapa anggauta-
anggauta mereka itu pada malam hari mendatangi gedung-
gedung orang hartawan dan pembesar tinggi untuk
merampok harta dan membunuh jiwa, betapa mereka
bercita-cita untuk menggulingkan pemerintah dan untuk
membunuh kaisar dan semua pembesar tinggi yang
sekarang berkuasa, tentu kau takkan bicara seperti itu."
Gadis ini bicara dengan bernapsu sekali. Dan aneh, tiba-tiba
saja kedua matanya yang bening dan bagus itu mengalirkan
air mata. Melihat keadaan gadis itu dan mendengar kata-katanya,
Ouwyang Bun duduk kebingungan, sedangkan Ouwyang
Bu merasa terharu dan jengkel, la memang telah jatuh hati
kepada sumoinya ini dan mencintainya tanpa disadarinya,
maka mendengar kata-kata gadis itu, timbullah semangatnya. Serentak ia berdiri dan mengepal tinju.
"Kalau begitu, mengapa kita membuang-buang waktu di
sini dengan mengobrol saja" Hayo kita lekas menjemput
pengawal dan membasmi mereka itu."
Tapi biarpun Ouwyang Bun telah mendengar kata-kata.
gadis itu dengan segala alasannya, namun ia tetap ragu-ragu
dan1 tidak bergerak dari tempat duduknya. Mungkinkah
seorang gadis secantik dan segagah Cui Sian itu dapat
berlaku sekejam dan sejahat itu"
Ketika Lie Eng melihat sikap Ouwyang Bu yang
bersemangat, ia berkata, "Ji-suheng, takkan ada artinya
kalau kita menyerbu ke sana. Sepanjang pengetahuanku,
mereka itu bukanlah orang-orang bodoh, dan setelah tempat
mereka kita ketahui, tentu mereka akan berpindah tempat
secepatnya dan dapat kupastikan bahwa jika kita membawa
barisan menyerbu ke sana, tentu mereka telah pergi dari
situ. Kalau hal ini terjadi, maka kita hanya akan mereka
tertawakan dan mendapat malu saja. Biarlah kali ini kita
biarkan mereka, tapi lain kali kalau kita mendapat
kesempatan] bertemu dengan anggauta pemberontak lagi,
kita sekali-kali tidak boleh berlaku lemah." sambil berkata
demikian, Lie Eng mengerling kepada Ouwyang Bun yang
hanya menundukkan kepala.
Pada keesokan harinya, setelah meninggalkan pesan
kepada tikwan agar jangan berlaku sewenang-wenang
dengan ancaman bahwa hal itu akan diadukan kepada
ayahnya, Lie Eng dan Ouwyang-hengte meninggalkan
tempat itu untuk melanjutkan perantauan mereka.
Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kampung yang
tampak sunyi sekali. Di dalam kampung itu terdapat dua
buah rumah penginapan sederhana, tapi anehnya, ketika
ketiga anak muda itu hendak bermalam dan minta kamar,
kedua rumah penginapan itu tidak mau menerima mereka
dengan alasan kamar penuh.
Ouwyang Bu yang beradat keras segera berkata,
"Kamar penuh" Eh, louwko, kami datang dari tempat
jauh dan sudah lelah sekali. Kau harus menerima kami."
Pengurus rumah penginapan itu dengan wajah muram
menjawab, "Bagaimana kami dapat menerima kalian"
Kamar sudah penuh, lebih baik sam-wi terus saja, Di
sebelah barat kira-kira limabelas li dari sini terdapat sebuah
kampung dan di situ juga ada rumah penginapan."
"Kau gila?" Ouwyang Bu membentak. "Hari sudah
malam dan kami sudah lelah, kau bilang harus melanjutkan
perjalanan" Kaukatakan bahwa rumah penginapanmu
penuh, tapi mana tamunya" Aku tidak melihat seorangpun
di sini. Jangan kau menipu kami, apa kaukira kami takkan
membayar sewa kamarnya?"
Melihat pemuda itu menjadi marah, pengurus rumah
penginapan yang sudah tua itu cepat menjura dengan
hormat. "Maaf kongcu, bukan saya menipu, tapi benar-
benar semua kamar telah diborong oleh Lai-loya untuk
digunakan malam ini dan besok hari. Saya tidak berani
melanggar perintah dan pesannya."
"Lai-loyamu itu mengapa begitu serakah" Kamar begini
banyak hendak disewanya semua" Sungguh gila." kata
Ouwyang Bun yang juga merasa jengkel.
"Lai-loya hanya menggunakan dua kamar, tapi ia tidak
mau terganggu oleh tamu-tamu lain, maka ia borong semua
kamar. Dan siapakah yang berani membantah perintah Lai-
loya?" kata pengurus itu dengan muka takut-takut dan
melihat ke sana-sini karena ia khawatir kalau-kalau ada
orang mendengar betapa Lai-loya dimaki-maki oleh
Ouwyang Bun. Mendengar jawaban ini, Ouwyang Bu marah sekali dan
ia segera mengangkat tangan hendak memukul sambil
berkata, "Kau harus memberi kamar kepada kami.
Sedikitnya kau harus melihat bahwa di antara kami ada
terdapat seorang siocia. Aku dan kakakku dapat tidur di
luar atau di lantai, tapi untuk siocia ini kau harus memberi
sebuah kamar."
Ouwyang Bun melihat betapa adiknya hendak memukul
tuan rumah, segera mencegahnya dan dengan suara halus
lalu berkata, "Saudara, berlakulah baik hati dan berilah
sebuah kamar untuk sumoiku ini. Nanti kalau Lai-loya itu
marah, kami yang akan menghadapinya."
Lie Eng juga tidak sabar lagi, lalu maju dan bertanya
kepada pengurus rumah penginapan, "Eh, sebenarnya Lai-
loya ini orang macam apakah" Apakah ia telah menjadi
raja?" "Di kampung ini ia memang sama dengan raja. Siapa
berani membantahnya" Hampir semua rumah-rumah di
kampung ini adalah miliknya dan semua sawah ladang di
sekeliling kampung inipun miliknya. Boleh dibilang
sekampung ini adalah hambanya, karena betapapun juga,
kami telah berhutang budi kepadanya."
"Berhutang budi" Bagaimana maksudmu?" tanya Lie
Eng. "Lai-loya telah begitu baik hati sudi menyewakan rumah-
rumahnya itu kepada kami dan menyerahkan tanah-
tanahnya itu untuk kami kerjakan dengan bagi hasil. Kalau
tidak ada dia, bukankah kami akan mati kelaparan?"
Lie Eng memandang heran, sedangkan Ouwyang Bun
tiba-tiba menjadi tertarik sekali. "Kau bilang bahwa dia
yang menolong semua penduduk kampung ini" Dan berapa
kau bayar untuk sewa rumah ini?"
"Murah saja, hanya seperempat bagian dari seluruh hasil
usaha kami."
"Seperempat bagian" Dan kaukatakan ini sebagai
pertolongan?" setelah berkata demikian, tiba-tiba Ouwyang
Bun tertawa bergelak-gelak. Ia merasa geli dan kasihan
melihat kebodohan orang kampung itu dan merasa marah
mengingat akan kelicinan orang she Lai yang memeras
penduduk kampung tapi masih menerima ganjaran nama
baik sebagai "penolong besar" itu. Alangkah bodohnya
orang-orang kampung ini dan alangkah pintarnya hartawan
itu. "Apalagi kalau bukan pertolongan?" pengurus rumah
penginapan itu berkata lagi. "Kalau tidak ada Lai-loya,
takkan ada rumah ini, dan kalau tidak ada rumah ini, kami
takkan dapat membuka perusahaan ini."
Kembali Ouwyang Bun tertawa geli. "Dan sawah-sawah
ladang itu" Apakah hendak kau bilang juga bahwa kalau
tidak ada Lai-loyamu itu, maka takkan ada sawah ladang
dan tanah" Apakah Lai-loya itu yang membikin tanah di
sekitar kampung ini pula?"
"Tentu, kalau tidak ada dia tentu kita tidak bisa
menyewa tanah sawah di sekitar kampung ini. Dan tentang
membikin tanah...." penjaga rumah penginapan itu berhenti
karena bingung.
"Bun-ko, sudahlah," tiba-tiba Ouwyang Bu menyela
kakaknya, "apakah anehnya dengan semua itu" Memang
sudah menjadi kebiasaan demikian, yakni penyewa rumal"
harus membayar dan penggarap tanah harus pula membagi
hasilnya kepada pemilik tanah. Apakah yang aneh dalam
hal ini maka kau menjadi heran dan menertawakannya?"
Ouwyang Bun memandang kepada adiknya dengan
heran. "Apa" Kau juga tidak dapat melihat kelucuan hal ini"
Tak dapatkah kau melihat kejahatan orang she Lai itu"
Kejahatannya lebih besar daripan da kejahatan seorang
perampok. Tidak tahukah kau.... dan kau, sumoi, kau juga
tidak tahu" Tidak mengerti.....?" Ouwyang Bun memindah-
mindahkan pandangan matanya kepada Lie Eng dan
Ouwyang Bu, tapi kedua anak muda itu hanya balas
memandang dengan penuh keheranan.
Akhirnya Ouwyang Bu segera memegang pundak
kakaknya karena ia merasa cemas kalau-kalau kakaknya itu
terlampau lelah. "Bun-ko, sudahlah. Kau perlu beristirahat.
Jangan pikirkan hal itu lagi, karena bukankah ayah juga
seorang kaya dan memiliki banyak tanah dan rumah pula"
Ingatlah, sawah-sawah dan rumah-rumah kita juga banyak
disewa orang seperti yang terjadi di kampung ini."
Tapi sungguh tak terduga sama sekali, mendengar kata-
kata adiknya ini, tiba-tiba Ouwyang Bun menggunakan
tangannya untuk memukul tiang yang berdiri di dekatnya
hingga dengan mengeluarkan suara keras tiang kayu yang
besar itu roboh karena sebagian daripadanya hancur kena
pukulan Ouwyang Bun.
"Itulah yang memualkan perutku. Itulah.." sambil
berkata demikian pemuda itu berjalan ke arah sebuah
kamar yang kosong dan tanpa melepas pakaian atau
sepatunya lagi ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan
kemudian terdengarlah dengkurnya.
Ouwyang Bu saling pandang dengan Lie Eng. Keduanya
heran sekali melihat kelakuan Ouwyang Bun seperti itu.
Sementara itu, pengurus rumah penginapan melihat betapa
galaknya mereka ini, hinggai ia tak berani, membantah, lalu
menyediakan dua kamar untuk mereka. Hanya ia berkata
berkali-kali kepada Ouwyang Bui dan Lie Eng bahwa
mereka harus berani bertanggung jawab bila nanti Lai-loya
menjadi marah. "Jangan takut, kami yang akan menghadapi loyamu itu."
Ouwyang Bu akhirnya membentak marah hingga pengurus
rumah penginapan itu menjadi takut dan pergi.
Lie Eng memasuki kamarnya dan beristirahat, sedangkan
Ouwyang Bu masuk ke dalam kamar yang ditiduri
kakaknya. Dengan khawatir dan penuh kasih sayang, ia
perlahan-lahan membuka sepatu kakaknya itu lalu
menyelimuti tubuh Ouwyang Bun. Lalu ia duduk di pinggir
pembaringan dan berkali-kali meraba jidat kakaknya,
karena ia khawatir kalau-kalau kakaknya jatuh sakit.
Ouwyang Bu sampai lupa akan diri sendiri yang sama sekali
belum mel ngaso itu. Sambil memandangi wajah kakaknya,
ia merasa bingung memikirkan mengapa kakaknya menjadi
begini. Sungguh ia tidak mengerti.
Terdengar suara panggilan perlahan dari Lie Eng di luar
pintu. Ouwyang Bu lalu keluar. Ternyata, setelah mencuci
muka dan badan, gadis itu memesan makanan dan
maksudnya mengajak kedua suhengnya itu makan malam.
"Sumoi, kau makanlah lebih dulu. Bun-ko belum
bangun." "Bagaimana dia" Apakah sakit?" Lie Eng bertanya


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan khawatir lalu ia memasuki kamar itu. Dengan
penuh perhatian dipandangnya muka pemuda yang
berbaring itu dan dengan gaya yang mesra dirabanya
jidatnya. Kemudian ia berpaling dan bersama Ouwyang Bu
keluar dari kamar.
"Kalau begitu biarlah kita menanti sampai ia bangun,"
katanya perlahan.
"Sumoi, kau makanlah dulu. Kau lelah dan sejak pagi
tadi belum makan pagi. Makanlah, nanti kau sakit," kata
Ouwyang Bu dengan penuh perhatian.
Mendengar suara pemuda itu, Lie Eng menjadi terharu.
Ia maklum bahwa pemuda ini mencintainya, tapi apa daya
hatinya telah terjatuh oleh sinar mata Ouwyang Bun. la
hanya menggelengkan kepala dan menjawab,
"Biarlah, ji-suheng, aku juga belum lapar benar. Kita
makan sama-sama saja nanti kalau twa-suheng telah
bangun." Dan gadis ini lalu lari ke kamarnya.
Ketika Ouwyang Bii memasuki kamarnya lagi, ia
melihat kakaknya bergerak-gerak. Ia cepat menghampiri
dan duduk di pinggir pembaringan. Ouwyang Bun
membuka matanya perlahan dan memandang adiknya.
"Bun-ko, bagaimana" Kau merasa pening?" tanya
adiknya sambil memegang lengannya.
Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun-ko, kau kenapa" Apakah kau marah kepadaku"
Kalau aku bersalah, pukul saja aku, Bun-ko."
Tiba-tiba Ouwyang Bun bangun cepat. Ia peluk adiknya
yang dikasihinya ini.
"Adikku, adikku.... tidak. Kau tidak bersalah, Bu-te.
Akulah yang bersalah, ah.... kau juga.... kita berdua dan...
dan suhu juga....."
"Bun-ko, apa maksudmu?" Ouwyang Bu memandang
dengan mata terbelalak.
"Ya, suhu salah, bahkan.,., ayah juga salah...... Ah,
adikku, tidak tahukah kau bahwa mereka itu, orang-orang
yang kita anggap pengkhianat dan pemberontak jahat itu,
mereka adalah orang-orang yang benar cinta kepada tanah
air dan bangsa" Mereka adalah patriot-patriot sejati. Mereka
benar, memang keadaan rakyat kita sangat sengsara dan
perlu ditolong."
Ouwyang Bu memandang kakaknya dengan mata liar. Ia
takut kalau-kalau kakaknya telah menjadi gila. Kata-kata
kakaknya membuat ia marah sekali. Ia pegang kedua
pundak Ouwyang Bun sambil berkata dengan suara berbisik
tapi penuh nap-su hingga terdengar mendesis,
"Apa katamu...." Apa katamu....?"" Ia mengguncang-
guncangkan tubuh kakaknye seakan-akan hendak membuat
kakaknya sadar dari maboknya
Dengan tubuh lemas dan suara terputus-putus Ouwyang
Bun berkata, "Memang.... suhu.. susiok... ayah dan kita sendiri.... kita
semua tersesat dan menjadi.... alat. belaka......"
"Plok.."
tangan Ouwyang Bu menampar muka kakaknya. Karena Ouwyang Bun tidak mengelak atau
menangkis, maka tamparannya tepat mengenai pipi
Ouwyang Bun hingga darah merah mengalir keluar, dari
bibir pemuda ifu. .
"Ya, tamparlah.... tamparlah sekali lagi, dua kali, ya
tamparlah seratus kali, Bu-te. Memang aku pantas ditampar
untuk menebus dosa suhu, dosa ayah........ dosa kita......"
Melihat betapa muka kakaknya yang dikasihinya itu
berdarah, tiba-tiba Ouwyang Bu memeluk kakaknya dan
menangis. "Bun-ko.... Bun-ko, jangan kau bicara begitu, Bun-ko....
kau tidak sayang kepada adikmu....?"
"Bu-te, siapa bilang aku tidak sayang kepadamu" Aku
tidak gila, juga tidak ma-bok. Semua kata-kataku itu
kuucapkan dengan penuh "kesadaran. Bu-te, kalau kau
memang menurut kehendakku, marilah kita pergi dari sini.
Marilah kita tinggalkan sumoi dan tinggalkan semua ini,
kita pergi ke puncak gunung dan mengasingkan diri dari
dunia yang penuh keributan ini."
Ouwyang Bu bangun duduk dan memandang muka
kakaknya. "Bun-ko, kalau aku tidak sangat sayang kepadamu,
untuk ucapanmu terhadap ayah dan suhu tadi saja, sudah
cukup bagiku untuk membunuhmu. Tapi aku tak dapat
melakukan itu, dan kau.... janganlah kau berbuat semacam
ini, Bun-ko. Apakah kau ingin menjadi seorang pengkhianat" Ingin melawan dan memusuhi pendapat dan
cita-cita ayah dan suhu sendiri" Di mana jiwa kebaktianmu
terhadap orang tua dan guru" Apakah kau ingin menjadi
pengecut yang merasa takut terhadap para pemberontak itu
dan mengundurkan diri" Ah, Bun-ko, pikirlah baik-baik."
"Adikku, bukan sekali-kali aku pengkhianat atau
pengecut. Kau cukup tahu o-rang macam apa kakakmu ini.
Hanya saja, aku telah merasa yakin bahwa tindakan kita ini
keliru. Kita tidak boleh memusuhi para pejuang rakyat itu,
bahkan seharusnya kita membantu. Kalau kau suka
menurut kakakmu dan masih percaya akan bimbinganku,
mari kita pergi dan kau kelak akan melihat sendiri bahwa
pendapatku ini benar semata-mata."
"Tak mungkin." adiknya menjawab sambil menggelengkan kepala.
Ouwyang Bun memegang. pundaknya. "Bu-te, kau.....
cinta pada sumoi, bukan?"
Pundak yang dipegang itu sesaat menggigil sedikit.
Akhirnya Ouwyang Bu mengangguk perlahan lalu
menundukkan mukanya.
Ouwyang Bun menepuk-nepuk pundak adiknya. "Aku
tahu, adikku. Dan aku girang, karena Lie Eng memang
seorang gadis yang tepat sekali untuk menjadi isteri-mu.
Tentang tunanganmu pilihan ibu, ah, aku sendiripun
kurang begitu cocok dengan pendapat orang-orang tua yang
secara sembrono telah memilihkan calon isteri untuk anak-
anak mereka. Berbahagialah kau dengan Lie Eng, adikku."
Ouwyang Bu terkejut dan memandang muka kakaknya.
"Kau.....kau hendak pergi ke mana, Bun-ko?"
Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala. "Kau tak
perlu tahu, Bu-te."
"Bun-ko, kau tahu, kalau.... kalau di sini tidak ada
sumoi, tentu aku akan ikut padamu."
Kakak itu menepuk-nepuk pundak adiknya. "Aku
tahu..... aku tahu....."
Pada saat itu, dari luar terdengar bentakan keras,
"Orang-orang kurang ajar dari manakah berani
merintangi kehendak Lai-loya?"
Sementara itu, Lie Eng menolak daun pintu kamar
Ouwyang-hengte sambil berkata perlahan,
"Ji-wi suheng, mari kita makan dulu. Perutku sudah
lapar sekali."
Ouwyang-hengte lalu turun dari pembaringan dan
melangkah keluar. Mereka melihat seorang laki-laki tinggi
besar berdiri sambil bertolak pinggang dengan lagak
sombong sekali. Laki-laki tinggi besar itu memaki-maki
pengurus rumah penginapan dan beberapa kali melirik ke
arah Ouwyang-hengte dan Lie Eng, tapi ketiga anak muda
ini tidak memperdulikannya, bahkan dengan tenang lalu
duduk mengelilingi meja makan yang sudah disiapkan oleh
Lie Eng. Gadis ini tadi mendengar suara kedua suhengnya
bercakap-cakap di dalam kamar, ia segera menyediakan
makanan dan mengajak suheng-suhengnya makan, dan
sedikitpun tidak memperdulikari rbentakan orang kasar di
luar itu. Begitulah, dengan enak ketiganya makan. Lie Eng yang
bermata tajam maklum bahwa ada terjadj sesuatu antara
kedua suheng itu, karena sebentar-sebentar Ouwyang Bu
memandang kakaknya sedangkan Ouwyang Bun menjadi
pendiam sekali, tapi pandangan matanya tenang dan tidak
liar seperti tadi ketika marah.
Sementara itu, laki-laki tinggi besar itu setelah
mendengar keterangan pengurus penginapan, menjadi
marah sekali. Ia adalah kepala dari para tukang pukul atau
kaki tangan Lai-loya. Namanya Cu Houw dan ia terkenal
kejam serta ditakuti karena bertenaga besar dan berkepandaian tinggi. Ia hendak mengajar adat kepada
orang-orang yang kurang ajar itu, tapi melihat bahwa
mereka membawa pedang yang tergantung di pinggang ia
dapat menduga bahwa mereka ini tentu mengerti silat dan
karenanya hatinya menjadi agak ragu. Untuk menambah
semangat, ia segera menggerakkan tangan ke belakang dan
dari luar rumah penginapan, lima orang kawannya yang
tinggi besar dan bersikap angkuh segera maju. Karena kini
berenam, Cu Houw menjadi berani dan tabah.
"Mana tiga orang rendah yang berani mati dan kurang
ajar itu?" bentaknya.
Ouwyang Bu tidak setenang dan sesabar. Ouwyang Bun
atau Lie Eng. Dadanya telah terasa panas bagaikan terbakar
dan mukanya perlahan-lahan berubah merah. Ia lalu
berkata kepada kedua kawannya cukup keras untuk
didengar oleh Cu Houw,
"Sungguh menyebalkan anjing kuning itu, sejak tadi
menggonggong dan menyalak-nyalak."
Lie Eng tertawa dan berkata, "Mungkin ia lapar."
Ouwyang Bun menyambung, "Ia mencium bau tulang,
tentu saja ia menyalak-nyalak."
Kedua mata Cu Houw terputar-putar karena marahnya
mendengar sindiran-sindiran yang diucapkan oleh ketiga
anak muda itu. Lebih-lebih kepada Ouwyang Bu yang
memulai mengeluarkan sindiran itu.
Ia memandang dengan mata melotot dan seakan-akan
hendak menelan bulat-bulat pemuda itu. Dengan gerakan
mengerikan ia mencabut sebilah pisau belati yang kecil dan
tajam dari pinggangnya, lalu ber-kata,
"Kawan-kawan, biarlah aku binasakan binatang rendah
ini dulu. Kalian lihatlah." Tiba-tiba tangannya yang
memegang pisau itu diayun dan senjata tajam yang kecil itu
melayang cepat sekali ke arah tenggorokan Ouwyang Bu.
Lie Eng dan Ouwyang Bun melihat ini, tapi mereka tetap
saja makan seakan-akan tidak melihat serangan berbahaya
ini, sedangkan pada saat itu Ouwyang Bu sedang
menggunakan sumpitnya untuk mengambil sepotong
daging. Melihat berkilatnya pisau yang menyambar ke arah
lehernya, ia lepaskan daging itu dan menggerakkan
sepasang sumpitnya ke atas dan tahu-tahu pisau itu telah
terjepit oleh sepasang sumpitnya.
"Ha, kebetulan, ada yang memberi pisau untuk
memotong daging yang alot dan keras ini," katanya sambil
tertawa menyindir.
"Ah, anjing itu tidak hanya menggonggong, tapi juga
memperlihatkan giginya yang sudah ompong. Menjemukan
benar." kata Ouwyang Bun.
Biarpun Cu Houw terkejut sekali melihat demonstrasi
kepandaian Ouwyang Bu ini, namun ia merasa malu untuk
mengundurkan diri. Ia adalah kepala barisan pengawal Lai-
loya yang telah terkenal dan disegani, apakah ia harus
mundur menghadapi tiga orang anak muda saja" Pula, di
dekatnya ada lima orang kawannya yang kesemuanya
berkepandaian, dan masih berpuluh-puluh lagi anak
buahnya yang akan segera datang membantunya atas
perintahnya. Maka ia lalu memaki,
"Bangsat-bangsat kecil, hari ini yaya-mu akan mengajar
adat kamu sekalian."
Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan
memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang juga
mencabut senjata masing-masing. Enam orang ini lalu
menghampiri Ouwyang-hengte dan Lie Eng dengan sikap
mengancam. Tiba-tiba Ouwyang Bu menoleh kepada mereka dan
dengan pandangan mata tajam ia membentak,
"He, kalian mau apa?" Suaranya keras dan nyaring
hingga untuk sesaat keenam orang itu terkejut dan ragu-
ragu untuk melangkah maju.
"Kalian bertiga "berani betul memaksa untuk memakai
kamar rumah penginapan yang sudah diborong oleh Lai-
loya. Hayo kalian keluar dan bermalam di rumah
penginapan lain agar loya kami jangan sampai marah
hingga kalian akan dihukum." kata seorang di antara
pengawal-pengawal itu. Ia memang agak ragu setelah
melihat demonstrasi kepandaian Ouwyang Bu tadi dan
sedapat mungkin hendak menyuruh mereka ini pergi
dengan damai saja.
Tapi tiba-tiba Ouwyang Bu melemparkan pisau Cu
Houw tadi ke atas yang menancap ke tiang yang melintang.
Gagang pisau itu bergoyang-goyang dan Ouwyang Bu
membentak lagi,
"Diam dan jangan banyak cerewet, kami sedang makan."
Ia lalu melanjutkan makan dengan Ouwyang Bun dan Lie
Eng, sama sekali tidak memperdulikan mereka berenam,
seakan-akan di situ tidak ada orang lain. Sedangkan enam


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itupun merasa ragu-ragu untuk bertindak sembrono,
maka mereka hanya berdiri saja di situ melihat orang
makan bagaikan pelayan-pelayan sedang menjaga majikan-
majikan mereka makan. Dan ketiga anak muda itu terus
makan minum dengan tenangnya. Sungguh peristiwa dan
pemandangan yang lucu.
Setelah selesai makan, Ouwyang Bu dan kedua
kawannya berdiri lalu dengan tenang menghampiri Cu
Houw dan lima orang teman-temannya.
"Nah, kami telah selesai makan, kalian mau apa?" tanya
Ouwyang Bun sambil tersenyum.
Cu Houw melihat sikap Ouwyang Bun yang lemah
lembut serta melihat Lie Eng yang cantik jelita tiba-tiba
timbul dugaan jangan-jangan mereka ini anak-anak orang
kaya atau orang berpangkat di kota lain. Karena itu iapun
agak menjadi sabar dan berkata dengan suara ditenangkan,
"Sam-wi diharap suka pindah ke rumah penginapan lain,
karena tempat ini telah lebih dulu dipesan oleh loya kami."
"Loyamu itu orang macam apa maka begitu ditakuti oleh
semua orang" Dan mengapa penginapan ini diborongnya
semua, bukankah cukup kalau ia menyewa satu atau dua
kamar saja" Kami tak mau pergi." jawab Lie Eng.
"Cu-twako, mengapa banyak berdebat. Kalau tidak mau
pergi, seret saja keluar." kata seorang dari kawan-kawan Cu
Houw. "Bagus, kalian majulah." Ouwyang Bu menantang dan
mencabut pedangnya.
Tapi tiba-tiba Ouwyang Bun mencegah adiknya. "Bu-te,
membasmi kaki tangan segala hartawan kejam dan
pembesar jahat bukanlah tugasmu, tapi tugasku. Kau
lihatlah saja," dan tiba-tiba tubuh Ouwyang Bun meloncat
maju. Terdengar teriakan ngeri dan orang yang baru saja
bicara tadi tahu-tahu telah kena tendang dadanya hingga
terlempar keluar dan tak dapat bangun lagi. Maka ramailah
lima orang yang lain menyerbu Ouwyang Bun yang
menggunakan tangan kosong menghadapi mereka. Ouwyang Bu heran sekali melihat sepak terjang kakaknya
berobah dari biasanya. Kini kakaknya menjadi telengas dan
menurunkan tangan besi kepada, lawannya hingga sebentar
saja dengan mudah empat orang telah dirobohkan dengan
pukulan dan tendangan berat hingga mereka mendapat luka
parah di dalam dan tak dapat, bangun lagi.
Melihat kehebatan pemuda ini, Cu Houw dan seorang
kawannya yang belum roboh lalu lari keluar. Ouwyang Bun
tertawa ber-gelak-gelak.
"Ha-ha, segala anjing hina pengganggu rakyat. Baru tahu
rasa kalian sekarang."
Tapi pada saat itu, dari luar menyusul banyak orang
yang tidak lain adalah Cu Houw dengan kawan-kawannya
pengawal lain. Jumlah mereka tidak kurang dari tigapuluh
orang dan mereka mengiringkan seorang tua yang
berpakaian mewah dan memegang sebuah kipas. Pakaiannya berwarna merah dan serba indah. Tubuhnya
tinggi kurus dan kumisnya panjang, sedangkan sepasang
matanya yang kecil sipit itu memandang liar seperti yang
biasa dimiliki orang-orang mata keranjang.
"Mana mereka?" tanyanya dengan suara marah.
"Ha-ha, inikah manusia kaya yang banyak lagak itu?"
Ouwyang Bun menyambut dengan makian. "Mari, mari,
majulah kau biar kutamatkan riwayat hidupmu yang kotor
dan penuh najis itu."
Sebetulnya orang tua ini memang seorang hartawan
besar dari Lok-yang. Dengan pengaruhnya ia berhasil
membeli hampir semua tanah di kampung itu hingga ia
menjadi raja kecil di situ karena semua orang di kampung
itu mendewa-de-wakannya. Ia adalah seorang bandot tua
yang tiada jemunya mencari daun muda hingga beberapa
kali ia menggunakan pengaruh hartanya untuk mengawini
seorang gadis dari kampung di mana ia berkuasa. Orang tua
mana yang berani menolak pinangannya" Biarpun di
rumahnya telah ada isteri dengan selir-selir lebih dari
sepuluh orang, namun masih saja ia mencari korban baru
dari kampung. Kedatangannya kali ini juga untuk
melangsungkan "perkawinannya"
yang entah sudah keberapa puluh kalinya itu. Tapi sungguh malang baginya,
hari ini ia bertemu dengan orang-orang asing yang berani
mengganggu dan merintanginya. Maka bukan main
marahnya mendengar berita tentang hal itu dan cepat-cepat
ia membawa semua-pengawalnya untuk memberi "hajaran"
kepada orang-orang "kurang ajar" itu.
Kini mendengar. makian Ouwyang Bun, ia marah sekali
dan siap hendak memerintahkan kaki tangannya maju
mengeroyok, tapi tiba-tiba matanya yang tajam itu dapat
melihat Lie Eng. Tiba-tiba saja segala kemarahan yang
terbayang pada mukanya lenyap seketika dan mulut yang
tadinya cemberut itu berubah tersenyum, sedangkan mata
yang tadinya merah dan mengeluarkan cahaya marah itu
kini berseri-seri.
"He, kalian ini mengapa berani-berani mengganggu nona
dan dua kawannya itu?" tiba-tiba ia menegur ke arah
belakang kepada Cu Houw hingga kepala pengawal ini
melongo, tapi ia memang telah tahu akan adat kelakuan
majikannya dan dapat menduga bahwa si tua ini tentu
tertarik oleh kecantikan gadis asing itu. Dasar seorang
berjiwa penjilat, tukang pukul inipun tiba-tiba dapat
merobah sikapnya. Kalau tadinya ia garang dan galak, kini
ia membongkok-bongkok dan menjura kepada majikannya
sambil berkata.
"Loya, maafkan hamba dan kawan-kawan yang tidak
mengenal tamu-tamu agung." Ia sengaja menyebut
Ouwyang-heng-te "tamu agung" untuk mengimbangi mak-
sud dari niat majikannya.
Maka giranglah hati hartawan tua itu melihat kecerdikan
orangnya, ia lalu maju dan menjura kepada Ouwyang-
hengte dan Lie Eng sambil berkata,
"Sam-wi, mohon maaf sebesar-besarnya bahwa orang-
orangku yang bodoh dan kasar ini mengganggu sam-wi.
Kalau hendak memakai kamar di sini, silakan saja dan kami
akan menganggap sam-wi sebagai tamu agung kami, karena
kebetulan sekali hari ini aku sedang merayakan pesta
perkawinan."
"Eh, mengapa sikap orang ini beda benar dengan sikap
orang-orangnya?" Lie Eng berkata perlahan, lalu ia maju
menjura dan berkata,
"Tuan yang harus memaafkan kami karena telah terjadi,
salah mengerti ini. Apakah tuan hendak mengawinkan
putra tuan?"
Ditanya oleh gadis itu sendiri, muka hartawan she Lai
menjadi merah bagaikan kepiting direbus.
"Eh, bukan.... yang kawin..... eh, saya sendiri, siocia."
Kini muka Lie Eng yang berobah merah karena muak,
sedangkan Ouwyang Bun tertawa gelak-gelak.
"Ha-ha-ha. Dengar, sumoi, Bu-te. Dia mau kawin. Sudah
kuduga bahwa orang yang disebut Lai-loya tentu seorang
hartawan tua pemeras rakyat yang berhati binatang dan
pantas diberi hajaran."
"Bun-koko, jangan bicara begitu." Lie Eng menegur, dan
dalam kebingungannya gadis itu terlanjur menyebut "Bun-
koko" atau kanda Bun, tidak menyebut twasu-heng seperti
biasa, hingga suaranya ini seakan-akan mewakili suara
hatinya. Tapi karena keadaan yang tegang itu, baik
Ouwyang Bun maupun Ouwyang Bu kurang memperhatikan perubahan ini.
Ouwyang Bun berkata lagi, suaranya seram, "Kalau
orang macam ini tidak dibasmi hanya akan membikin kotor
dunia saja." Sehabis berkata demikian, ia mer loncat dan
tahu-tahu ia telah memegang leher baju hartawan she Lai
itu dan dibawanya meloncat ke atas genteng.
Cu Houw dan kawan-kawannya yang memiliki
kepandaian lalu mengejar dan meloncat ke atas sambil
berteriak-teriak. Juga Lie Eng dan Ouwyang Bu mengejar
ke atas genteng sambil berkata,
"Bun-ko, lepaskan dia."
Tapi Ouwyang Bun yang sangat marah dan gemas
kepada hartawan tua itu lalu membentak,
"Kau mau minta bangsat ini, marilah." ia lalu
melemparkan tubuh itu sekuat tenaganya ke arah para
pengejarnya. Tentu saja Cu Houw dan kawan-kawannya
terkejut sekali dan mengelak karena tidak berani
menyambut tubuh yang menyambar cepat ke arah mereka
itu. Hartawan Lai menjerit-jerit ketika merasa tubuhnya
melayang ke bawah dan jantungnya berhenti berdetak
karena ia telah merasa pasti bahwa kali ini tentu akan mati
konyol. Tapi tiba-tiba hartawan tua itu merasa betapa lengan
tangannya disambar orang dan ia dibawa melayang turun
ke atas tanah dengan selamat. Ternyata pada saat yang
sangat berbahaya itu, Ouwyang Bu berhasil menolong Lai-
wangwe dari bahaya
Melihat betapa adiknya menolong Lai-wangwe dari atas
genteng Ouwyang Bun berkata, "Ah, Bu-te, sekarang
ternyata bahwa kaulah yang lemah. Karena anjing rendah
macam itupun cukup berharga untuk kau tolong." Suara
pemuda itu mengandung penyesalan besar.
"Bun-ko, kau mau ke mana?" tanya Ouwyang Bu yang
segera meloncat lagi ke atas genteng.
"Sudahlah, Bu-te, selamat tinggal, mudah-mudahan kita
akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik. Aku
tetap tak dapat mengekor dan melakukan pekerjaan yang
berlawanan dengan suara batinku ini." Setelah berkata
begitu, Ouwyang Bun lalu meloncat pergi.
"Twa-suheng.. Tunggu.." Lie Eng memanggil.
Ouwyang Bun menoleh. "Sumoi, jangan menahan aku.
Baik-baiklah kau menjaga diri dan berlaku baiklah kepada
Bu-te." Setelah berkata begitu, ia cepat lari pergi-
"Bun-ko......" Terdengar Ouwyang Bu memanggil, tapi
Ouwyang Bun tidak memperdulikan dan lari terus.
Ouwyang Bu menutup mukanya dan air mata mengalir
membasahi pipinya.
"Sudahlah, suheng. Dia tidak mau bersama-sama kita.
Biarlah. Mungkin ia akan menyusul ayah dengan jalan
lain." Ouwyang Bu mengangkat mukanya lalu menghela
napas. "Sumoi, kau tidak tahu... Bun-ko telah mengambil
keputusan lain, ia..... tidak mau membantu susiok, tidak
mau memusuhi para pemberontak, bahkan agaknya ia.....
ia.... menganggap para pemberontak itu betul?"
"Apa.....?" gadis itu menjadi pucat karena terkejut.
"Kaumaksudkan bahwa ia ....... ia hendak menyeberang
dan membantu pemberontak?"
"Entahlah, tadinya ia mengajak aku pergi bersama-sama
ke gunung untuk mengasingkan diri, tapi aku.... aku
menolaknya." suaranya terdengar penuh penyesalan.
"Mengapa kau tidak ikut dengan kakakmu, suheng?"
Ouwyang Bu memandang gadis itu dengan mata tajam
dan mesra. "Sumoi... bagiku.... pekerjaan ini dan semua urusan
ini..... tidak ada artinya. Aku tidak perduli mana yang benar
dan mana yang salah, tapi.... tapi karena ada kau di sini....
bagaimanakah aku sanggup meninggalkanmu..... ?"
0o-dw-o0 Jilid V WAJAH Lie Eng yang sudah pucat kini berobah merah
mendengar betapa pemuda jujur ini dengan terus terang
menyatakan rahasia hatinya. Ia merasa terharu sekali. Tapi,
ia teringat akan Ouwyang Bun, kesedihan besar membuat ia
tak kuat menahan air matanya mengalir karena pemuda
idaman hatinya itu telah pergi. Tapi ini, belum seberapa bila
dibandingkan dengan kehancuran hatinya bila mengingat
bahwa Ouwyang Bun hendak menyeberang dan membantu
pemberontak. Inilah yang meremukkan hatinya benar.
Ia menutup mukanya dan menangis terisak-isak.
Ouwyang Bu menyangka bahwa gadis itu menangis karena
terharu dan menyangka pula bahwa Lie Eng diam-diam
membalas perasaan hatinya, maka ia lalu memegang
tangan, gadis itu dan berkata dengan suara mesra,
"Sumoi, jangan bersedih. Bun-ko tersesat, biarlah karena
aku yakin ia akan kembali ke jalan benar. Aku tahu bahwa
sebenarnya Bun-ko adalah seorang perwira yang berhati
mulia. Memang harus disesalkan bahwa ia meninggalkan
kita, tapi bukankah masih ada aku di sampingmu"
Percayalah, sumoi, selama aku masih ada di dunia ini aku
pasti akan membelamu samr pai napasku terakhir. Aku
akan membantu perjuangan ayahmu dengan setia."
Kemudian, dengan kata-kata keras mereka menegur dan
menasihati Lai-wangwe supaya tidak berlaku sewenang-
wenang mengandalkan kekayaannya dan memeras rakyat
kampung yang miskin.
Setelah itu, keduanya melanjutkan perjalanan, kini
langsung menuju ke kota raja.
0o-dw-o0 Ouwyang Bun meninggalkan adik dan sumoinya dengan
perasaan campur aduk. Sebenarnya pada dasar hatinya ia


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa bahagia dan girang sekali karena tindakannya itu
membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang
terlepas dari kurungan, seakan-akan kini ia terbang ke
angkasa dengan bebas lepas dan dengan tujuan yang lebih
luas. Ia merasa seakan-akan terlepas dari sebuah tugas yang
sangat menyiksa hatinya, tugas pekerjaan yang dipaksakan
padanya dan yang berlawanan dengan kehendak hatinya. Ia
kini boleh pergi ke mana saja yang ia sukai, boleh berbuat
menurutkan suara hatin.
Tapi bila ia teringat akan adiknya, ia merasa sedih sekali.
Ia tahu bahwa Ouwyang Bu beradat keras dan tidak mudah
dirobah pikirannya. Juga ia maklum betapa adiknya itu
sangat mencintai Lie Eng hingga andaikata adiknya akan
sadar juga bahwa pihak pemberontak tak seharusnya
dimusuhi, masih akan sukar juga bagi Ouwyang Bu untuk
meninggalkan Lie Eng, apalagi untuk menjadi lawan atau
musuh gadis itu.
Dalam perjalanannya seorang diri kali ini, Ouwyang Bun
mencurahkan perhatiannya kepada keadaan orang-orang
kampung umumnya.
Dan apa yang ia saksikan mempertebal keyakinannya bahwa memang raja yang
memegang tampuk pemerintahan saat itu perlu diganti.
Hampir di tiap kota atau kampung, tak pernah ia melihat
seorang pembesar yang benar-benar patut disebut pemimpin
rakyat. Para pembesar itu menjalankan pemerasan,
penggelapan, kecurangan-kecurangan yang kesemuanya
dibebankan kepada rakyat jelata. Hanya orang-orang kaya
saja yang hidup senang bahkan berlebih-lebihan, karena
dengan mengandalkan pengaruh uang sogokan kepada para
pejabat pemerintah, mereka ini hidup terlindung. Jelas
tampak di mana-mana bahwa pada hakekat-nya yang
berkuasa adalah harta kekayaan. Seorang yang ada uang tak
usah takut sesuatu. Ingin mengawini belasan atau puluhan ,
gadis cantik" Ingin menang dalam perkara biarpun berada
di pihak salah" Ingin naik pangkat secara mudah" Ingin
menjadi raja kecil yang mempunyai kekuasaan sendiri,
mempunyai "posisi"
sendiri" Mudah, asal orang mempunyai banyak emas dan perak.
Melihat keadaan ini semua, diam-diam Ouwyang Bun
merasa heran sekali mengapa suhunya dapat berdiri di
pihak raja dan tidak suka kepada perjuangan para patriot
bangsa yang dicap "pemberontak" itu. Ia kini dapat
menangkap arti. dari kata-kata Ciu Pek In, orang tua
perwira yang aneh itu. Baru terbuka matanya dan diam-
diam ia mengagumi orang tua yang dianggap seorang
locianpwe yang berpemandangan luas sekali. Ia merasa
kagum betapa dalam keadaan bertentangan dan bermusuhan, Ciu Pek In masih memuji-muji sikap Cin Cun
Ong. Ternyata bahwa orang tua she Ciu, guru dari nona
Cui Sian yang. cantik dan perwira itu, telah dapat
menundukkan perasaan perseorangan hingga pertimbangannya adil dan tepat, sama sekali bebas dari rasa
sentimen. Rasa kagumnya membuat ia ingin sekali dapat
bertemu lagi dengan orang tua itu. Dan diam-diam iapun
merasa rindu kepada Cui Sian, gadis yang tampaknya
pendiam tapi yang kalau sudah berkata-kata ternyata
menyatakan pikirannya yang luas dan cerdik.
Beberapa hari kemudian, ia tiba di sebuah kota, yakni
kota Lee-sarr yang cukup ramai. Toko-toko dan rumah-
rumah makan berderet-deret di sepanjang jalan hingga
menambah kemegahan kota itu. Ia memilih sebuah kamar
di penginapan yang berada di jalan sebelah barat.
Sebetulnya hari masih belum gelap benar dan iapun belum
lelah, tapi melihat bahwa udara gelap dan agaknya akan
turun hujan, ia tunda perjalanannya dan bermaksud
menginap semalam di kota ini.
Ketika membuka bungkusan pakaian, baru ia ingat
bahwa bekal uangnya telah habis sama sekali. Ouwyang
Bun lalu mengambil keputusan untuk meniru pekerjaan
suhunya ketika masih muda dulu, yakni menjadi maling.
Gurunya, Si Iblis Tua Tangan Delapan, pernah berkata
bahwa mengambil sedikit harta seorang kaya untuk sekedar
bekal perjalanan, bukanlah hal yang patut dibuat malu bagi
seorang kang-ouw, asal saja uang yang diambil itu bukan
digunakan untuk hidup royal dan bersenang-senang.
Apalagi kalau telah diketahui bahwa hartawan yang
dimalingi itu adalah seorang yang bertabiat kikir dan yang
menjadi kaya karena menghisap tenaga rakyat kecil.
Dengan hati tetap, ketika malam telah gelap benar,
Ouwyang Bun keluar dari kamarnya melalui jendela dan
langsung naik ke atas genteng. Keadaan benar-benar gelap
karena udara diliputi mendung hitam hingga langit tak
berbintang sama sekali. Biarpun matanya telah terlatih
untuk dapat menangkap bayang-bayang benda di tempat
gelap, namun untuk berloncat-loncatan di atas genteng pada
saat segelap itu, bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh
karena itu, ia sangat berhati-hati dan tidak berani lari terlalu
kencang. Ketika ia telah berada jauh dari penginapannya, tiba-tiba
ia melihat lima bayangan hitam bergerak turun dari atas
wuwungan rumah. Ia cepat meloncat ke arah tempat itu
dan memandang ke bawah. Dengan bantuan sinar lampu
yang menyorot keluar dari lubang rumah, ia melihat lima
orang tua berpakaian sebagai petani sedang berjalan di atas
tanah dengan langkah cepat sekali. Ia lalu meloncat turun
mengejar pula, karena ia merasa curiga dan tertarik sekali
hatinya hendak melihat siapakah mereka itu dan apa yang
hendak mereka lakukan pada waktu segelap ini.
Ternyata lima orang itu menuju ke gedung besar yang
dapat diduga rumah tinggal seorang pembesar. Memang,
yang tinggal di situ adalah seorang tihu kota itu. Seperti
biasanya rumah pembesar, keadaan di luar dan sekitar
gedung terang sekali, karena di seluruh sudut dipasang teng.
Ouwyang Bun makin tertarik karena kelima orang itu
ternyata bersikap sangat mencurigakan. Mereka menghampiri gedung itu dari belakang dan berkumpul di
suatu sudut sambil berbisik-bisik seakan-akan merundingkan sesuatu. Dan pada saat itu teringatlah
Ouwyang Bun bahwa ia pernah bertemu dengan lima orang
tua berpakaian petani yang seragam ini. Ia mengingat-ingat
dan akhirnya ia tahu bahwa kelima orang itu adalah Kilok
Ngo-koai atau Lima Setan Dari Kilok, yang dulu juga
datang menghadiri pesta perjamuan di rumah Gak Liong
Ek di Liok-hui.
Hatinya menjadi girang dan tiba-tiba Ouwyang Bun
muncul dari tempat pengintaiannya dan menegur,
"Eh, ngo-wi (tuan berlima) bukankah kelima enghiong
(orang gagah) dari Kilok?"
Bukan main terkejutnya kelima orang itu. Mereka segera
memutar tubuh dan ketika melihat bahwa yang datang
adalah Ouwyang Bun segera berkata perlahan, "Ouwyang-
hengte." Serentak mereka berlima mencabut pedang dan
menyerang dengan gerakan hebat. Ouwyang Bun terkejut
sekali dan mengelak sambil meloncat jauh.
"Eh, tahan dulu. Kenapa ngo-wi menyerang aku?"
tanyanya. Tapi, tanpa menjawab, kelima orang tua itu maju lagi
menyerang makin hebat hingga terpaksa Ouwyang Bun
mencabut pedangnya untuk mempertahankan dan menjaga
diri, karena ilmu pedang kelima kakek itu tak boleh
dipandang remeh.
"Ngo-wi, mengapa kalian memusuhiku?" lagi-lagi ia
bertanya, tapi Kilok Ngo-koai itu sama sekali tidak mau
menjawab, hanya menyerang makin keras dan nekat hingga
sekarang Ouwyang Bun juga merasa marah dan gemas. Ia
putar pedangnya sedemikian rupa hingga dapat mengimbangi serangan kelima orang lawannya. Mereka
bertempur ramai sekali.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan dari dalam
gedung tihu itu keluarlah beberapa orang penjaga yang
bersenjata tombak dan golok.
"Bangsat pengacau dari mana berani datang membikin
ribut," mereka berteriak dan hendak mengurung. Melihat
datangnya para penjaga ini, kelima petani dari Kilok itu
segera meloncat dan melarikan diri. Ouwyang Bun
sebenarnya merasa gemas dan ingin sekali bertanya kepada
mereka mengapa mereka memusuhinya, tapi menghadapi
para penjaga tihu yang banyak itu iapun tidak ada napsu
untuk melayaninya, lalu meloncat terus ke dalam taman
gedung tihu yang gelap. Dari taman itu ia langsung masuk
ke dalam gedung dari belakang. Seorang pelayan yang
bangun dan kaget karena ribut-ribut di luar kebetulan keluar
dari kamarnya dan melihat Ouwyang Bun yang lari masuk
sambil membawa pedang terhunus, merasa kaget sekali.
Tapi sebelum ia sempat berteriak, Ouwyang Bun telah
mendahuluinya dan menotok jalan darahnya yang
membuat pelayan itu menjadi gagu.
"Jangan banyak ribut kalau kau menyayangi jiwamu,"
Ouwyang Bun mengancam. "Tunjukkan aku ke kamar
majikanmu." Biarpun Ouwyang Bun bicara bisik-bisik dan
ia tenang-tenangkan hatinya, namun tidak urung suaranya
terdengar gemetar karena sesungguhnya selama hidupnya
belum pernah ia mencuri harta orang lain seperti kelakuan
seorang perampok.
Karena ketakutan, pelayan itu lalu menunjuk ke arah
sebuah kamar besar di tengah ruang gedung. Ouwyang Bun
lalu me-notok roboh pelayan itu dan cepat menghampiri
pintu kamar. Sekali dorong saja terbukalah daun pintu.
Ternyata tihu telah bangun karena iapun mendengar suara
ribut-ribut di luar gedung. Tihu ini, she Lie, pernah pula
mempelajari silat. Melihat seorang pemuda asing memasuki
kamarnya, cepat ia menyambar pedangnya yang tergantung
di tembok dan meloncat menyerang. Tapi sekali tangkis saja
pedang ditangan tihu itu jadi terpental. Ouwyang Bun lalu
menendang lutut lawan itu hingga jatuh berlutut.
"Jangan banyak tingkah, aku tak hendak membunuhmu," kata Ouwyang Bun. "Aku hanya
membutuhkan sedikit uang bekal."
Besar dan girang hati tihu itu yang tadinya menyangka
bahwa yang datang ini adalah seorang anggauta
pemberontak yang mengingini jiwanya. Berulang-ulang ia
mengangkat tangan memberi hormat dan berkata,
"Tai-ong (raja = sebutan kepala rampok), jangan
khawatir, saya akan memberi bekal secukupnya."
"Diam. Tak usah banyak mulut dan jangan sebut kepala
rampok," Ouwyang Bun membentak marah. "Keluarkan
peti uangmu."
Dengan tubuh masih menggigil tihu itu membuka
lemarinya dan Ouwyang Bun melihat uang emas dan perak
berkantung-kantung dan berjajar di dalam lemari itu.
Timbul pula gemasnya karena ia dapat menduga bahwa
uang itu adalah hasil perasan dan sogokan, karena kalau
tidak, dari mana tihu ini dapat mengumpulkan uang
sebanyak itu" Ia lalu mengambil tiga kantung uang emas,
kemudian menghadapi tihu itu ia mengancam.
"Kau tentu seorang pembesar busuk juga. Ingat, kali ini
aku kebetulan lewat di sini dan hanya mengambil uang
sebagai peringatan. Lain kali kalau aku masih mendengar
bahwa kau adalah seorang pembesar yang menindas rakyat,
jangan kaget kalau aku bukan mengambil uang, tapi
mengambil kepalamu, mengerti?" Pedang di tangan
kanannya bergerak cepat dan tihu itu hilang semangatnya
karena melihat sinar pedang menyambar kepalanya. Ia
segera berlutut dengan kaki lemas dan mulutnya tiada
hentinya meminta ampun.
Tapi ketika ia mengangkat muka, ternyata pemuda itu
telah lenyap dari situ dan ia melihat rambutnya yang
dikucir panjang dan tebal telah menggeletak di dekatnya,
kena sabetan pedang tadi. Ia kaget sekali dan dengan tubuh
gemetar dan panas dingin ia memekik memanggil penjaga.
Ketika beberapa orang penjaga menyerbu masuk, tihu itu
jatuh pingsan karena takutnya. Para penjaga, segera
menolongnya dan mengangkatnya ke pembaringan.


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam itu Ouwyang Bun mengelilingi kota itu dari atas
genteng dan menjelang fajar baru ia kembali ke kamar
hotelnya lewat jendela. Dan pada keesokan harinya, pagi-
pagi sekali, banyak orang-orang miskin yang berumah
gubuk, tiba-tiba menemukan segumpal emas di dalam
rumahnya, hingga mereka merasa sangat kaget dan senang,
lalu diam-diam memasang hio untuk menyatakan terima
kasihnya kepada penolong yang tak dikenal itu. Ternyata
ketika mengelilingi kota, Ouwyang Bun diam-diam
membagi-bagi emas kepada penduduk miskin hingga habis
dua kantung lebih. Sisanya ia simpan untuk bekal sendiri.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi,
barulah Ouwyang Bun bangun dari tidur. Ia segera
membersihkan tubuh dan setelah makan pagi, meninggalkan hotel untuk melanjutkan perjalanannya.
Karena ketika meninggalkan adik dan su-moinya ia juga
meninggalkan kudanya, maka sebelum meninggalkan kota
itu ia membeli seekor kuda yang cukup baik.
Tukang kuda adalah seorang she Tan yang doyan sekali
mengobrol. Ia sedang gembira karena. dari penjualan kuda
kepada Ouwyang Bun, ia memperoleh keuntungan yang
lumayan besarnya dan melihat bahwa pemuda itu adalah
seorang asing ia lalu berkata,
"Kongcu tentu seorang yang pandai ilmu silat," katanya
sambil tersenyum memuji.
Ouwyang Bun kaget. Ia memandang tajam ketika
bertanya, "Bagaimana sebabnya maka kau menduga
demikian?"
Pedagang kuda itu tertawa. "Mudah saja, kongcu. Kau
seorang diri berani melakukan perjalanan jauh, membawa-
bawa banyak emas dan juga menyandang pedang. Kalau
tidak pandai menjaga diri, mana kau bisa melakukan
perjalanan dengan selamat" Pada waktu ini keadaan tidak
aman, pemberontak dan perampok berkeliaran di mana-
mana. Untungnya barisan Cin-ciangkun yang gagah
perkasa telah mulai bertindak. Kemarin banyak sekali
anggauta pemberontak tertawan oleh Cin-ciangkun."
Ouwyang Bun merasa terkejut dan heran mendengar ini,
ia tenangkan hatinya dan bertanya secara sambil lalu, "Di
manakah ada pemberontak tertangkap?"
"Di sebelah timur kota ini, kongcu. Kudengar jumlahnya
banyak, karena hampir penduduk seluruh kampung Beng-
lok-chun menjadi anggauta pemberontak."
"Aku pernah mendengar tentang Cin-ciangkun yang kau
sebut tadi. Apakah dia sendiri yang melakukan penangkapan?" Ouwyang Bun tahu bahwa paman gurunya
itu tak mungkin di sini, maka ia sengaja bertanya demikian
untuk memancing dan mengetahui apakah orang she Tan
ini membohong atau tidak.
"Ha, kau tampaknya takut-takut, kongcu. Jangan takut
pemberontak, selama masih ada barisan-barisan Cin-
ciangkun, mereka tidak akan mampu bergerak. Tentu saja
bukan Cin-ciangkun sendiri yang memimpin, tapi barisan
Cin-ciangkun telah tersebar di mana-mana."
"Mereka apakan anggauta-anggauta pemberontak yang
tertawan itu?" Ouwyang Bun bertanya.
"Ha-ha, diapakan" Tentu saja digiring ke kota raja untuk
menanti hukuman gantung. Digiring seperti babi-babi
dibawa ke pejagalan." orang she Tan itu tertawa girang
sekali. Ouwyang Bun memandang tajam. "Kau agaknya
membenci sekali kepada pemberontak, mengapakah?"
Orang she Tan itu memperlihatkan luka yang telah
mengering di lehernya sebelah belakang. "Kau lihat ini,
kongcu" Nah, inilah yang mereka lakukan padaku. Hampir
saja aku mereka bunuh."
"Mengapa?"
"Mengapa" Entah, karena..... karena aku pedagang
kuda." "Tak mungkin orang akan membunuh tanpa alasan,"
"Alasannya hanya karena aku didakwa membeli kuda
curian." Tiba-tiba Ouwyang Bun teringat bahwa di daerah itu
memang sering terjadi pencurian kuda, maka diam-diam ia
lirik kuda yang baru saja dibelinya. Jangan-jangan inipun
kuda curian. Para pemberontak itu tentu mempunyai alasan
kuat hingga menuduh orang ini pencuri kuda.
"Barangkali kau memang tukang membeli kuda curian,"
katanya sambil naiki kuda itu dan pergi, meninggalkan si
pedagang kuda yang memandangnya dengan heran.
Ouwyang Bun melarikan kudanya menuju ke timur
karena ia hendak melihat sendiri keadaan para pemberontak
yang tertawan itu. Siapakah yang menawan mereka"
Apakah barangkali ia mengenal pemimpin barisan Cin-
ciangkun ini"
Ketika ia tiba di luar kota, tiba-tiba ia melihat debu
mengepul dari timur tanda bahwa di atas jalan yang
berdebu itu sedang berjalan banyak kuda dan rombongan
orang. Ia segera menghampiri, dan benar saja, seregu
tentara terdiri dari kira-kira tigapuluh orang sedang
menyeret-nyeret dan menggiring tawanan kurang lebih
tigapuluh orang. Tawanan itu terdiri dari orang-orang yang
berpakaian sebagai petani miskin, bahkan di antara mereka
terdapat pula beberapa orang wanita. Tawanan-tawanan itu
memperlihatkan sikap macam-macam, ada yang berjalan
tunduk dan bersedih, ada yang mengangkat dada dan
kepala dengan gagah, ada pula yang menangis sepanjang
jalan. Kedua tangan mereka semuanya terbelenggu.
Ouwyang Bun mencari-cari dengan pandangan matanya
dan melihat bahwa tiga orang perwira yang berkuda dan
memimpin barisan itu tak dikenalnya. Sebaliknya tiga orang
perwira itu memandang kepada Ouwyang Bun dengan
pandangan curiga dan mereka berbisik-bisik.
Melihat keadaan para tawanan itu Ouwyang Bun merasa
kasihan dan sedih. Ia maklum bahwa tak mungkin
anggauta-ang-gauta pemberontak selemah itu, membiarkan
dirinya begitu saja ditawan sedangkan jumlah mereka lebih
besar. Mungkin mereka adalah orang-orang kampung yang
kena fitnah oleh hartawan-hartawan yang menghendaki
tanah mereka. Memikir demikian, timbullah marahnya. Ia
majukan kudanya dan menghadang di depan barisan itu.
Tiga orang perwira itu segera mencabut pedang masing-
masing. Ouwyang Bun sengaja mengangkat tangan kanannya
memberi tanda berhenti kepada barisan itu. Ia menghadapi
tiga orang perwira tadi dan menegur,
"Sam-wi ciangkun, orang-orang kampung ini hendak
kalian bawa ke mana?"
"Orang tidak tahu diri." seorang di antara ketiga perwira
itu menegur. "Siapa kau maka berani-berani mencegat
kami" Apakah kau sudah bosan hidup?"
Ouwyang Bun tersenyum. "Hm, kalau Cin-ciangkun
melihat lagakmu yang sombong ini, tentu akan turun
pangkat." sindirnya.
Melihat sikap pemuda itu, perwira yang tertua berlaku
hati-hati, dan bertanya sambil mengangkat kedua tangan,
"Siapa dan dari mana enghiong yang telah kenal dengan
Cin-ciangkun kami, dan ada keperluan apa maka mencegat
barisan kami?"
Ouwyang Bun balas memberi hormat dari atas kudanya.
"Siauwte Ouwyang Bun dan tentu saja kenal dengan Cin-
ciangkun karena beliau adalah susiok dan siauwte pernah
menjadi pembantunya."
Terkejutlah ketiga perwira itu dan buru-buru perwira
yang tadi berlaku kasar segera memberi hormat, biarpun ia
masih meragukan kebenaran kata-kata anak muda ini.
"Maaf kalau kami tidak mengenal kepada taihiap. Orang-
orang ini adalah tawanan kami, mereka adalah anggauta-
anggauta pemberontak dan kini sedang kami giring ke
markas besar Cin-ciangkun."
"Kalian salah tangkap, kawan-kawan. Mereka itu
bukanlah pemberontak. Kurasa kalian takkan semudah ini
menangkap mereka kalau mereka benar-benar pemberontak. Orang-orang kampung ini hanya menjadi
korban fitnahan belaka. Lepaskan mereka."
Ketiga perwira itu terkejut. "Taihiap mengapa berkata
begitu" Bukanlah hak kami untuk memutuskan apakah
mereka itu pemberontak atau bukan. Kewajiban kami
hanya menangkap orang-orang yang dicurigai dan
membawanya ke markas besar. Dan selain Cin-ciangkun
sendiri atau atasan lain, tidak ada orang yang berhak
melepaskan orang-orang tawanan kami ini."
?"Begitukah" Tapi aku tetap minta kalian melepaskan
mereka." Marahlah perwira termuda yang tadi mengeluarkan kata-
kata kasar. "Ji-wi twako, kukira orang ini mengaku-aku saja menjadi
keponakan Cin-ciangkun. Jangan-jangan ia ini juga
anggauta pemberontak."
Ouwyang Bun tertawa bergelak-gelak. "Baik, kau
percaya atau tidak, aku tetap hendak membela orang-orang
kampung ini yang menderita karena kekejaman kalian."
"Bagus, kawan-kawan, tangkap orang ini." teriak ketiga
perwira itu dan anak buah mereka lalu mengurung dengan
senjata di tangan.
Ouwyang Bun tertawa keras dan sambil mengangkat
kepala ia berkata,
"Cin-susiok, maafkan kalau teecu terpaksa menghajar
anak buahmu yang kurang ajar ini." tiba-tiba saja tubuhnya
lepas dari punggung kuda dan menyambar ke sana ke mari
di antara keroyokan para tentara itu. Dan di mana saja ia
sampai, tentu terdengar pekik kesakitan dan seorang
pengeroyok roboh. Sebentar saja beberapa orang anak buah
rombongan itu jatuh terguling terpukul atau tertendang
hingga keadaan menjadi kacau. Tapi kepungan makin tebal,
bahkan ketiga perwira itupun mulai mengambil bagian.
Ternyata kepandaian mereka cukup baik.
Menghadapi serangan dan kepungan yang dilakukan
oleh lebih dari duapuluh orang bersenjata tajam itu,
Ouwyang Bun terpaksa menggunakan pedangnya untuk
melawan. Ia tidak berlaku setengah-setengah lagi dan
memainkan pedangnya dengan hebat hingga banyaklah
korban luka oleh u-jung pedangnya.
Tiba-tiba dari jurusan timur datang barisan yang lebih
besar lagi, dan barisan i-ni dipimpin oleh dua orang perwira
yang telah lanjut usianya. Barisan ini adalah barisan
pengawal istimewa dari kota raja dan dipimpin oleh dua
orang perwira yang berkepandaian tinggi karena ini adalah
anggauta Pengawal Sayap Garuda, terlihat dari topi mereka
yang berbentuk sayap burung garuda.
Melihat kedatangan barisan baru itu, terkejutlah
Ouwyang Bun, karena hanya seorang diri saja tak mungkin
ia melawan orang sebanyak itu. Ia lalu memutar pedangnya
lebih cepat dan melukai beberapa orang lagi, lalu ia cepat
meloncat keluar dari kalangan pertempuran. Ia bingung
bagaimana harus menolong tawanan-tawanan sebanyak itu,
sedangkan untuk melawan para anggauta barisan itu saja
sudah payah baginya. Tiba-tiba dari barisan yang baru
datang itu berkilat bayangan hijau dan seorang perwira
Sayap Garuda melintangkan golok besarnya dan membentak, "Pemberontak hina, hendak lari ke mana kau?" suara
orang itu parau dan biarpun tubuhnya tinggi besar, tapi
gerakannya ketika meloncat menghadang Ouwyang Bun
tadi sangat gesit hingga Ouwyang Bun maklum bahwa ia
berhadapan dengan seorang lawan yang "berisi".
Maka tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Bun
menggerakkan pedangnya mengirim serangan kilat, tapi
perwira itu menangkis dengan golok besarnya. Tangkisan
itu saja cukup memperingatkan kepada Ouwyang Bun
supaya berlaku hati-hati, karena ternyata perwira itu
bertenaga kuat dan gerakan goloknyapun gesit. Mereka
berdua bertempur dengan seru, dan tak lama kemudian
kembali Ouwyang Bun kena terkurung, kini lebih rapat dan
hebat daripada tadi karena gerakan golok perwira itu betul-
betul hebat. Diam-diam Ouwyang Bun mengeluh karena
kini keadaannya berbahaya sekali. Jangan kata hendak
menolong puluhan tawanan itu, sedangkan untuk menolong
diri sendiripun ia harus mengeluarkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya, dan inipun masih belum tentu berhasil. Ia
lalu berseru nyaring dan mengeluarkan ilmu pedang Sin-eng
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti) yang dilakukan
dengan cepat dan hebat sekali. Melihat permainan pedang
ini, terkejutlah perwira ini, yang meloncat mundur sambil
berseru, "Tahan. Dari mana kau peroleh Sin-eng Kiam-hoat ini"
Apa hubunganmu dengan Cin-ciangkun?"
Ouwyang Bun memandang tajam dan ia tertawa
menyindir ketika menjawab,

Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cin-ciangkun
adalah susiokku. Kau mau apa?"
Perwira itu makin terkejut. "Kalau begitu, mengapa kau
memusuhi kami" Kenapa kau bertempur dengan anak buah
Cin-ciangkun sendiri?" tanyanya heran.
"Kami berselisih paham,"-jawab Ouwyang Bun dengan
suara dingin, "kalau kalian bertempur melawan pemberontak, Itu bukan urusanku, tapi kalau kalian
menangkapi orang-orang kampung yang tidak berdaya, aku
tak dapat membiarkannya."
"Habis, apa kehendakmu?" perwira Sayap Garuda itu
bertanya. "Lepaskan mereka ini."
"Aah, tak mungkin. Sungguh-sungguh
a-neh permintaanmu ini, apalagi kalau diingat bahwa kau adalah
murid keponakan Cin-ciangkun sendiri. Seharusnya kau
tahu akan peraturan ini."
"Betapapun juga, kalian harus melepaskan orang-orang
kampung yang tidak berdosa dan tidak berdaya itu."
Ouwyang Bun berkata sengit dan menggerak-gerakkan
pedangnya dengan sikap menantang.
"Kalau begitu, kau termasuk pengkhianat yang harus
dibinasakan." perwira itu berseru marah dan kembali
mereka bertarung sengit, dan kali ini perwira yang seorang
lagi dan yang bersenjata sebatang tombak ikut menyerbu.
Maka repot juga Ouwyang Bun menahan serangan mereka
yang ternyata berkepandaian tinggi hingga ia terpaksa harus
mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri.
Dalam saat ia berada dalam keadaan terdesak itu, tiba-
tiba para pengepungnya menjadi panik dan kepungannya
mengendur. Ketika Ouwyang Bun meloncat keluar dari
kepungan yang sudah menipis itu, ia melihat keadaan yang
mendebarkan jantungnya. Ia melihat Kilok Ngo-koai atau
Lima Setan Dari Kilok yang malam tadi bertempur
dengannya, telah datang menyerang pihak tentara dengan
pedang mereka, sedangkan selain kelima setan dari Kilok
ini, tampak juga..... Cui Sian, nona yang dirindukannya itu,
juga Siauw Leng gadis lincah yang pernah menguji
kepandaian dengan Ouwyang Bu dulu, serta tidak
ketinggalan Lui Kok Pauw, penyelidik kaum pemberontak
yang telah dikenalnya dulu.
Dan kini terjadilah
pertempuran hebat antara -kurang lebih empatbelas orang
pemberontak yang berkepandaian tinggi dengan puluhan
tentara negeri yang mengeroyok mereka.
Ouwyang Bun berada dalam keadaan serba salah
Apakah ia harus membantu tentara" Ah, hal itu tak
mungkin ia lakukan, karena berlawanan dengan keyakinannya. Pula, pemberontak-pemberontak
itu menyerbu tentu untuk menolong orang-orang kampung
yang menjadi tawanan itu, jadi berarti cocok dengan
maksud hatinya sendiri. Kalau begitu, apakah ia harus
membantu pihak pemberontak" Ini juga tak mungkin ia
lakukan, karena ia masih merasa ragu-ragu dan malu untuk
mengkhianati paman gurunya sendiri.
Karena merasa bingung, Ouwyang Bun lalu teringat
akan para tawanan itu. Ah, kewajibannya hanyalah
membebaskan para tawanan itu. Cepat ia lari ke tempat di
mana para tawanan itu berada. Tapi ia dicegat oleh lima
orang anggauta tentara yang menjaga para tawanan itu.
Terpaksa Ouwyang Bun lalu menggunakan pedangnya
untuk memutuskan semua tali belenggu yang mengikat
tangan para tawanan itu. Dan aneh, begitu terlepas dari
belenggu, sebagian besar para tawanan laki-laki, yakni yang
tadi mengangkat tegak kepala mereka, lalu ikut menyerbu
dan melawan tentara setelah memungut senjata-senjata para
korban yang terlempar ke atas tanah. Mereka ikut
mengamuk seakan-akan hendak membalas sakit hati kepada
para anggauta tentara yang tadi telah menghina dan
menyakiti mereka.
Setelah melepaskan belenggu semua tawanan, Ouwyang
Bun lalu berdiri menganggur dan hanya menjaga para bekas
tawanan yang tidak ikut bertempur.
Ternyata amukan para pemberontak dan para bekas
tawanan itu membuat anggauta-anggauta tentara itu
kewalahan dan tak lama kemudian mereka terdesak
mundur. Terutama pedang di tangan Cui Sian yang sangat
hebat itu membuat kedua perwira Sayap Garuda merasa
bahwa pihak mereka takkan menang, maka segera mereka
memberi isyarat mundur.
Setelah semua anggauta tentara lari, Cui Sian memberi
perintah kepada Kilok Ngo-koai yang ternyata juga
pemimpin-pemimpin pemberontak, untuk membawa orang-
orang kampung itu lekas pergi bersembunyi, karena tak
lama lagi tentu akan datang bala bantuan tentara yang lebih
besar jumlahnya Untuk mengadakan "pembersihan"
Kemudian, Cui Sian dan Siauw Leng menghampiri
Ouwyang Bun dan menjura,
"Ouwyang-taihiap, pertemuan kali ini sungguh-sungguh
membuat kami merasa girang sekali," kata Cui Sian sambil
memperlihatkan senyumnya yang mempercepat jalan darah
dalam tubuh Ouwyang Bun.
Mendengar kata-kata ini, bukan main girang hati
pemuda itu, hanya ia merasa kecewa mengapa gadis ini
menyatakan bahwa yang bergirang bukan gadis itu seorang
diri tapi menggunakan sebutan "kami", maka ia segera
menjawab, "Bolehkah aku bertanya. Dari mana li-hiap ketahui she-
ku yang tak ternama, dan mengapa pula lihiap merasa
girang dengan pertemuan kali ini?" Ia sengaja bertanya
mengapa mereka merasa girang. Cui Sian adalah seorang
gadis yang cerdas otaknya, maka mendengar kata-kata ini
saja sudah cukup untuk membuat wajahnya yang jelita itu
menjadi merah karena merasa malu.
"Kami tahu bahwa taihiap bernama Ouw yang Bun dan
murid dari Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang dari Hc-ng-san.
Jangan taihiap menjadi kaget karena nama suhumu sudah
cukup terkenal dan kami ketahui semua itu dari suhu kami.
Adapun tentang kegirangan kami karena pertemuan kali ini
ialah karena kau telah membantu kami menghadapi
gerombolan kaki tangan kaisar itu."
"Ouwyang-taihiap sungguh gagah perkasa, dengan
seorang diri saja berani menghadapi puluhan tentara kaisar,
sungguh-sungguh satu perbuatan gagah berani yang pantas
dikagumi." Siauw Leng ikut memuji dengan suara yang
nyaring dan kerling mata yang tajam.
"Eh, dengarlah, ji-wi. Jangan menganggap bahwa aku
telah membantu kalian. Aku bertempur dengan mereka
adalah karena persoalanku sendiri. Aku adalah tetap murid
keponakan dari Cin-ciangkun dan tentang pemberontakan
yang kalian dan kawan-kawanmu lakukan, tiada sangkut-
pautnya dengan diriku. Juga aku takkan membela mereka
yang mencoba menumpas pemberontakan."
Cui Sian kembali tersenyum manis. "Ucapanmu inipun
tidak aneh bagi kami, taihiap. Kami telah tahu benar
persoalanmu. Aku tahu juga bahwa kau telah meninggalkan
adikmu dan sumoimu."
Hampir saja pemuda itu meloncat kaget. "Apa" Dari
mana kauketahui semua itu?"
"Ouwyang-taihiap, kau dan adikmu adalah orang-orang
hebat yang kalau menjadi lawan akan merupakan musuh
yang kuat. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk
menyelidiki keadaanmu dan hal ini mudah saja karena di
setiap kota, di setiap rumah penginapan, di setiap rumah
makan, pasti ada rakyat yang membela dan membantu
kami." Ouwyang Bun memandang kagum dan heran kepada
nona yang luar biasa cerdiknya itu, lalu ia menggelengkan
kepala. "Kalau melihat keadaan ini, hampir aku menyangka
bahwa kau juga telah mengetahui segala isi hati dan jalan
pikiranku, lihiap."
Cui Sian tersenyum lagi dan suaranya menjadi perlahan
sekali ketika ia berkata,
"Mungkin aku dapat menduga isi hati dan jalan
pikiranmu itu, taihiap."
"Benarkah" Coba kaukatakan." Ouwyang Bun merasa
gembira sekali, di samping heran dan ragu.
"Di dalam hatimu kau bersimpati kepada gerakan kami
dan pikiranmu juga membenarkan tindakan para patriot
yang hendak membebaskan rakyat dari kekuasaan raja
lalim, tapi karena susiokmu kebetulan menjadi panglima
perang raja yang justeru berkewajiban membasmi kami,
maka liangsim-mu (hati nurani) tidak meng-ijinkan kau
untuk mengkhianati paman gurumu itu. Bukankah
demikian?"
Sekarang benar-benar Ouwyang Bun merasa heran. Ia
pandang wajah yang cantik berseri-seri itu dengan mata tak
berkedip dan mulut ternganga.
"Nona.....," katanya setengah tak sadar. "kau ini....
manusia atau.... dewi kahyangan yang sakti?"
Terdengar suara tertawa cekikikan dari Siauw Leng
hingga sadarlah Ouwyang Bun akan kata-katanya yang lucu
dan bodoh itu, maka buru-buru ia menjura dengan wajah
merah. "Lihiap, kau sungguh luar biasa. Sukakah kau
menerangkan dari mana pula kauketahui semua itu"
Apakah juga dari suhumu yang sakti?"
Kini Cui Sian menggeleng-gelengkan kepala. "Bukan dari
siapa-siapa. Apakah sukarnya mengetahui atau menerka hal
itu" Setiap orang yang berjiwa patriot akan berpendirian
seperti itu. Setiap laki-laki yang gagah perkasa, yang
berbudi mulia, yang bijaksana, yang berpemandangan luas,
akan berpendirian seperti itu. Dapat melihat kebenaran
dalam perjuangan para patriot bangsa, tapi juga tidak lupa
akart kebaktian terhadap guru."
Kembali terdengar Siauw Leng tertawa cekikikan, kini
bahkan dengan menepuk-nepuk bahu Cui Sian.
"Eh, eh, kau kenapa?" tanya Cui Sian sambil
memandang gadis lincah itu.
"Ah, ciciku yang baik, betapa kau telah memuji-muji
Ouwyang-taihiap. Bagus, bagus, ya?""
Maka sebentar saja otak yang tajam dari Cui Sian dapat
menangkap maksud adiknya dan seluruh mukanya berobah
merah. Benar saja, tanpa disadarinya ia telah mengatakan
bahwa pemuda itu adalah seorang laki-laki yang gagah
perkasa, berbudi mulia, bijaksana dan berpemandangan
luas. Sementara itu, Ouwyang Bun tersenyum saja dengan
hati berdebar girang dan hidungnya berkembang menahan
geli hatinya mendengar dan melihat betapa Siauw Leng
yang nakal telah menggoda Cui Sian.
Cui Sian merasa malu sekali dan untuk menghilangkan
rasa malunya ia cubit lengan adiknya, yang segera lari
sambil tertawa. Ouwyang Bun dan Cui Sian yang ditinggal
berdua saja hanya berdiri saling berhadapan tanpa
mengeluarkan ucapan apa-apa, bahkan mereka tak berani
saling memandang, hanya tunduk dan hanya kadang-
kadang mencuri pandangan dengan kerling tajam.
Akhirnya Ouwyang Bun memecahkan kesunyian dan
kebingungan mereka dengan berkata, "Lihiap, kau telah
mengetahui she dan namaku, tapi bolehkah aku ketahui
she-mu dan apa pula hubungan nona Siauw Leng dengan
kau?" Cui Sian mengangkat muka dan memandang wajah
Ouwyang Bun dengan tenang ketika ia menjawab,
"Aku she Can bernama Cui Sian, dan Siauw Leng
adalah adikku sendiri bernama Can Siauw Leng."
Tiba-tiba Ouwyang Bun menjadi pucat dan ia merasa
kepalanya pening ketika teringat akan sesuatu. Hampir saja
ia tak dapat mengendalikan diri lagi dan hendak memegang
lengan gadis itu yang segera mundur.
"Kau..... kau dan adikmu... dari manakah asalmu....?"
Cui Sian tidak tampak heran melihat sikap Ouwyang
Bun yang aneh ini, bahkan dengan tenang sekali ia berkata,
"Aku sudah tahu apakah yang timbul dalam dugaanmu,
taihiap. Memang dugaanmu itu benar. Ayahku adalah Can
Lim Co yang tinggal di Tung-han."
"Kau.. kau....," Ouwyang Bun tak dapat melanjutkan
kata-katanya hanya menggunakan jari telunjuknya untuk
menuding dada gadis itu lalu menuding dadanya sendiri.
Cui Sian mengangguk-angguk. "Ya, memang ibumu dan
ibuku telah menjodohkan kita...," gadis itu lalu menundukkan muka dengan malu.
Ouwyang Bun teringat akan adiknya dan ia meloncat-


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

loncat ke atas bagaikan menginjak pasir panas. "Kalau
begitu, adikmu itu.... nona Siauw Leng dan Bu-te....."
"Ya, memang menurut orang tua kita, adikmu itupun
telah dijodohkan dengan Siauw- Leng."
Tiba-tiba Ouwyang Bun tertawa gelak-gelak sambil
mengangkat kepalanya ke atas. Ia merasa geli sekali ketika
teringat betapa Ouwyang Bu telah mengadu kepandaian
melawan tunangannya sendiri. Alangkah cocoknya jodoh
itu. Adiknya yang kasar dan jujur dan Siauw Leng yang
lincah dan Jenaka. Tapi, tiba-tiba ia teringat akan keadaan
Ouwyang Bu dan tiba-tiba saja suara ketawanya berobah
menjadi isak dan pemuda gagah itu lalu menjatuhkan diri di
atas rumput lalu menangis.
Cui Sian yang belum mengetahui duduknya persoalan,
menjadi heran sekali dan salah sangka. Terdengar kata-
katanya yang diucapkan dengan tenang tapi tetap,
"Ouwyang-taihiap, tak perlu, hal ini dibingungkan dan
disusahkan. Kita adalah orang-orang yang mengutamakan
kejujuran dan tidak terikat oleh segala yang tak kita setujui.
Kalau kita tak menyetujui tindakan orang tua kita, mudah
saja. Batalkan dan habis perkara, tak perlu dibingungkan."
Mendengar ini, sekali itu juga hati Ouwyang Bun
memberontak dan ingin sekali ia meloncat dan memegang
tangan gadis itu dan mengakui bahwa ia setuju sekali
dengan ikatan jodoh itu, tapi karena ia sedang merasa
hancur hatinya teringat kepada adiknya yang mengambil
jalan lain, ia tak kuasa menjawab kata-kata Cui Sian, hanya
berkata lirih berkali-kali,
"Bu-te.... Bu-te....."
Ketika Ouwyang Bun mengangkat mukanya, ternyata
Cui Sian telah lenyap dari situ. Ia cepat berdiri memandang
ke sekitarnya, tapi keadaan di situ sunyi senyap. Sementara
itu, hari telah berobah senja dan keadaan telah mulai gelap.
Tiba-tiba dari timur tampak beberapa orang berlari cepat
sekali ke arahnya dan empat orang telah berada di
hadapannya. Mereka ini adalah perwira-perwira Sayap
Garuda dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang
Ouwyang Bun yang masih merasa setengah sadar karena
pukulan kesedihan tadi, cepat menggunakan pedangnya
melakukan perlawanan. Ternyata empat orang pahlawan
keraton ini sangat hebat dan segera ia terkurung rapat.
Sementara itu, musuh datang lebih banyak. Ouwyang Bun
maklum bahwa ia takkan tertolong lagi, karena terlalu
banyak musuh pandai mengurung dan menyerangnya,
bahkan di antara mereka ini tampak Kin Keng Tojin, tokoh
Go-bi-san yang bertubuh bongkok dan rambutnya yang
panjang diikal ke atas. Inilah tosu yang pernah ia jumpai di
medan pesta Gak Liong Ek dulu, dan ternyata pendeta
inipun telah menjadi kaki tangan kaisar pula.
Karena terkurung rapat-rapat sedangkan ia hanya
seorang diri, Ouwyang Bun menjadi nekat. Ia mainkan
pedangnya sedemikian rupa dan ia kerahkan seluruh tenaga
dan kepandaian hingga sampai dua-ratus jurus ia masih
tetap dapat mempertahankan diri, biarpun tubuhnyalah
merasa lemas dan lelah sekali.
Ia telah menerima hantaman tiga kali, yakni sekali
bacokan golok yang meleset dan melukai kulit pundaknya,
sedangkan dua kali lagi pukulan toya di lengan kiri dan
pinggang. Tapi berkat semangatnya yang menyala-nyala
dan kenekatannya yang luar biasa, ia belum juga dapat
dirobohkan. Akhirnya kedua matanya menjadi gelap, pandangan
matanya kabur dan kepalanya pening, sepasang lengannya
terasa lemah tak bertenaga dan kedua kakinya terhuyung-
huyung ke belakang. Ia hanya mendengar suara ketawa dan
bentakan-bentakan lawannya di sekelilingnya yang tiba-tiba
terhenti dan akhirnya semuanya tampak hitam karena ia
telah pingsan. 0odwo0 Ketika sadar kembali, Ouwyang Bun mendapatkan
dirinya terbaring di atas sebuah dipan bambu yang
bertilamkan kain putih bersih dan pinggirnya berenda.
Bantal yang mengganjal kepalanya terbungkus sutera merah
bersulam kembang-kembang mawar indah sekali. Bantal itu
mengeluarkan bau harum dan sedap menyegarkan.
Ouwyang Bun merasa seakan-akan dalam mimpi. Tanpa
menggerakkan kepala, kedua matanya bergerak ke
sekelilingnya. Ternyata ia berada di dalam sebuah kamar
segi empat yang terbuat dari bilik bambu sederhana. Di
sebelah kirinya terdapat lubang jendela yang tak berapa
besar dan dari jendela itu masuklah angin berhembus
perlahan menggerak-gerakkan sutera hijau yang tergantung
di belakang jendela. Dari atas sutera hijau itu, ia hanya
dapat melihat langit yang biru muda terhias awan-awan
putih berkelompok-kelompok.
Tiba-tiba teringatlah ia akan pertempuran hebat dan
teringatlah ia betapa ia terluka karena dikeroyok oleh
jagoan-jagoan keraton. Maka ia segera menggerakkan
kedua lengannya. Lengan kanannya dapat digerakkan
seperti biasa, tapi lengan kirinya terasa sakit sekali ketika ia
gerakkan, terutama di bagian pundak. Ketika ia raba
pundaknya, ternyata bahwa bagian tubuh itu telah dibalut.
Di manakah dia" Demikianlah otaknya mulai berpikir
dan ia bangkit dengan perlahan lalu duduk di atas dipan itu.
Pada saat itu, daun pintu di sebelah kanannya terbuka
perlahan dan seorang gadis masuk dengan langkah kaki
perlahan dan halus. Gadis itu membawa sebuah nampan
berisi cawan kosong dan poci air teh, dan sebuah mangkuk
berisi obat. Ketika pandang mata mereka bertemu, hampir
saja Ouwyang Bun berseru karena herannya. Ia merasa
seakan-akan berhadapan dengan seorang bidadari yang baru
saja turun dari kahyangan. Demikian cantik, demikian
manis dengan pakaiannya yang sederhana. Senyumnya
menghias mulut yang indah bentuknya itu, sepasang
matanya berseri-seri dan bercahaya bagaikan bintang pagi,
dan begitu lemah gemulai. Ouwyang Bun hampir tak
percaya kepada mata sendiri, tapi tak terasa pula bibirnya
bergerak memanggil,
"Cui Sian......"
Gadis yang sedang berdiri dan memandang padanya itu
tiba-tiba menundukkan mukanya yang berobah menjadi
kemerah-merahan dan tangan berkulit putih halus itu
menggigil hingga cawan kosong di atas nampan berbunyi
berkerotekan. Benarkah ini Cui Sian, gadis yang biasanya
berpakaian laki-laki, gadis yang gagah perkasa, yang telah
mendapat kekuasaan memimpin barisan pemberontak, yang
biasa menghadapi musuh banyak dengan tenang dan
sepasang pedang di tangan. Benarkah tangan yang biasanya
pandai mengayun dan mempermainkan pedang itu kini
gemetar menggigil untuk membawa sebuah nampan kosong
saja" Ternyata bahwa dara ini memang benar Cui Sian
adanya. "Ouwyang-taihiap, kau sudah sadar?" tanyanya. Aneh
sekali pendengaran telinga Ouwyang Bun, suara gadis
inipun berobah, merdu halus dan bagaikan kicau murai di
waktu pagi. "Cui Sian..... moi-moi, masih perlukah kau panggil aku
dengan segala taihiap-taihiapan?" Ouwyang Bun berkata
perlahan. Muka gadis itu makin merah dan ia mengerling kepada
pemuda itu dengan sudut matanya.
"Baiklah, Bun-ko," jawabnya perlahan hampir tak
terdengar, kemudian setelah menghela napas untuk
menenteramkan hatinya yang berdebar-debar tadi, ia
berkata lagi, kini dengan suara biasa, "Bun-ko, minumlah
dulu obat ini."
Semenjak kecil Ouwyang Bun memang paling benci
minum obat-obat yang tak sedap rasanya, apalagi kalau
yang pahit. Mendengar bahwa ia harus minum obat
semangkuk penuh itu, ia kenyitkan hidungnya dan belum
apa-apa ia telah merasa mau muntah.
"Haruskah kuminum obat itu, moi-moi?" tanyanya.
Melihat wajah pemuda itu, Cui Sian tertawa geli. "Tentu
saja harus kau minum, apa kaukira aku bersusah payah
masak obat ini hanya untuk main-main saja?"
"Eh, kau memasak obat untukku, adikku yang baik" Dan
kau.... kau rawat aku dengan baik pula, ah.... sungguh kau
baik sekali, moi-moi...."
"Hush..... sudahlah, minum dulu obat ini dan jangan
membantah." setelah gadis itu meletakkan nampan di atas
meja kecil, lalu mengambil mangkuk obat itu dan
menghampiri Ouwyang Bun. Dari pakaian gadis itu keluar
bau harum'yang sama dengan bau harum bantalnya, maka
Ouwyang Bun memejamkan mata sebentar dan menarik
napas dalam, lalu dengan menurut sekali ia terima
mangkuk itu, menutup matanya rapat-rapat lalu sekali
tuang habislah obat semangkuk itu.
"Nah, begitu baru baik," gadis itu memuji dan cepat
mengambil mangkuk kosong itu menuangkan teh di dalam
cawan kecil yang kemudian disodorkan kepada pemuda itu,
"dan ini obat penawar pahit," katanya sambil tersenyum
dan memandang penuh mesra. Ouwyang Bun juga tak
membantah dan meminum habis teh itu.
"Sekarang, kau ceritakan semuanya kepadaku, moi-moi,"
ia lalu menuntut, tapi cepat disambungnya, "eh, jangan kau
berdiri saja, duduklah....." Pemuda itu merasa bingung
karena ia merasa tidak sepantasnya kalau mereka duduk
berdua di atas pembaringan, sedangkan di situ tidak ada
bangku atau kursi. Maka ia lalu cepat turun dari
pembaringan. Pinggangnya terasa agak sakit, tapi ditahannya, lalu ia berdiri dan berkata lagi,
"Nah, kau duduklah di situ biar aku berdiri saja."
Cui Sian tersenyum geli. "Kau berbaring saja, Bun-ko.
Lukamu belum sembuh benar, tidak boleh turun dari
pembaringan. Biar aku duduk di pinggir pembaringan."
Karena memang pinggangnya terasa sakit dan kepalanya
masih pusing, Ouwyang Bun lalu merebahkan diri lagi, dan
tanpa malu-malu lagi Sui Cian duduk di pinggir
pembaringan. "Moi-moi... bukannya aku tak suka, tapi.... tapi kalau
terlihat orang lain... bolehkah kau duduk di pinggir
pembaringanku?" sambil berkata demikian pemuda itu
menjauhkah diri sedapat mungkin dan mukanya menjadi
merah sekali. Cui Sian menggunakan ujung lengan bajunya untuk
menutup mulutnya dan menahan geli hatinya.
"Koko, sungguh kau... menggemaskan. Tiga hari aku
terus-menerus menjagamu di sini dan sekarang kau hendak
melarang aku duduk di sini?"
"Apa" Tiga liari kau menjagaku di sini" Seorang diri"
Dan di mana kawan-kawan yang lain?"
"Sabar, koko. Ketahuilah, ketika kau dengan mati-
matian dan gagah berani menghadapi keroyokan beberapa
perwira Sayap Garuda dan berada dalam keadaan yang
berbahaya sekali, kebetulan aku dan kawan-kawan datang.
Untung pada waktu itu suhuku juga ada di antara kami
hingga beliaulah yang menolongmu dari bahaya maut.
Kalau tidak ada suhu, kiraku sukar menolongmu, karena
pengeroyok-pengeroyokmu adalah jago-jago keraton yang
berkepandaian tinggi."
"Aduh, kalau begitu aku berhutang budi kepada
suhumu." "Stt, siapa bicara perkara budi" Dengarlah baik-baik
ceritaku," gadis itu menyela. "Setelah kami berhasil
memukul mun dur mereka semua, kami lalu membawamu
ke sini yang terpisah hampir limapuluh li dari tempat kau
bertempur. Suhu lalu memeriksamu dan ternyata kau
mendapat beberapa luka yang berat juga. Kata suhu, kau
akan pingsan sampai dua atau tiga hari karena selain
mendapat luka dan terlampau lelah, kau juga menderita
tekanan hatin hebat hingga jantungmu terganggu."
"Aah, suhumu sungguh pandai luar biasa seperti seorang
dewa," kata Ouwyang Bun dengan kagum.
"Suhu lalu memberi obat dan beliau segera pergi karena
mempunyai tugas penting di kota raja, sedangkan semua
kawan-kawan juga harus segera menggabungkan diri
dengan kawan-kawan lain untuk bersiap sedia menanti
perintah penyerbuan besar-besaran ke kota raja. Karena kau
harus dirawat baik-baik seperti perintah suhu, maka aku
lalu memberikan tugasku kepada Siauw Leng dan aku
sendiri tinggal merawatmu."
"Ah, moi-moi, adikku yang manis," Ouwyang Bun
berbisik terharu sambil memegang tangan gadis itu dan
tanpa disadarinya ia mencium tangan yang halus dan
hangat itu. Untuk beberapa lama Cui Sian membiarkan saja
tangannya dipegang tapi kemudian ia menarik tangannya
sambil berkata lagi.
"Koko, menurut kata suhu, setelah empat hari barulah
kau boleh melakukan.perjalanan. Aku mempunyai tugas
penting, yakni memimpin kawan-kawan mencari dan
menggabungkan diri dengan induk kesatuan. Maka,
terpaksa besok pagi-pagi aku pergi dari sini."
Ouwyang Bun terkejut. "Pergi ke mana, moi-moi?"
"Menyusul kawan-kawan. Ke mana lagi?"
"Aku juga ikut pergi," katanya dengan suara tetap.
Cui Sian mengangkat telunjuknya. "Ingat, koko, aku
menunaikan tugasku untuk menyerbu ke kota raja."
"Akupun hendak ikut menyerbu dan bertempur di
sampingmu."
"Ingat, koko. Tidak ada yang memaksa kau untuk ikut
menggabungkan diri menjadi pemberontak."
"Tidak ada yang memaksa, dan kau bukanlah
pemberontak. Kau adalah seorang patriot wanita, semua
kawan adalah patriot-patriot gagah sejati. Aku sekarang


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerti dan tahu akan isi perjuanganmu, moi-moi."
"Tapi, koko, janganlah kau berobah pikiran hanya
karena ada aku. Ingatlah bahwa kau akan berhadapan
dengan susiokmu, bahkan mungkin dengan ..... adikmu
sendiri." Mendengar adiknya disebut-sebut, Ouwyang Bun
menghela napas dan berkata perlahan, "Sayang.... sayang
sekali Bu-te tidak berada di sampingku...."
"Memang, aku juga sangat menyayangkan, koko.
Ketahuilah, dari berita para pe nyelidik kita, aku mendapat
kabar bahwa adikmu kini telah diangkat menjadi tangan
kanan Cin-ciangkun."
Ouwyang Bun makin sedih mendengar ini.
"Dan diberi tugas mengepalai barisan yang menjaga
benteng Kwi-ciok-bun di sebelah selatan kota raja.
Kabarnya benteng nya besar dan kuat sekali dan merupakan
perintang besar sekali bagi kawan-kawan kita."
"Dan kau serta kawan-kawanmu hendak menyerbu ke
sana?" tanya Ouwyang Bun.
"Memang tugas kita harus melalui benteng itu."
"Kalau begitu, aku ikut. Biarlah, kalau perlu aku
berhadapan dengan adikku sendiri. Mungkin aku dapat
menyadarkannya sebelum terlambat."
Sehari itu mereka bercakap-cakap dan pada kesempatan
ini Can Cui Sian menceritakan riwayatnya secara singkat.
Ternyata bahwa Can Lim Co, ayah Cui Sian dan Siauw
Leng, setelah harta bendanya habis dan menjadi miskin,
pindah ke Tung-han dan mendiami rumah sederhana. Pada
suatu hari, ketika hujan turun dengan lebatnya, di depan
rumah keluarga Can itu tampak meneduh seorang kakek
yang memikul keranjang obat. Kakek itu menggunakan
ujung lengan bajunya untuk menghapus air hujan yang
menimpa kepala dan mukanya, lalu mengucapkan syair
dengan suara riang sambil memandang air yang mengucur
dari atas. Kata orang purbakala
mendung timbul dari samudera
mendung jadi hujan
dan air mengalir masuk sungai
sungai bergerak maju
dan akhirnya masuk ke samudera kembali
Alangkah adilnya kekuasaan alam
segala sesuatu pasti kembali ke asal semula.
Kebetulan pada waktu itu Can Lim Co sedang duduk di
dekat jendela sambil memandang air hujan juga. Can Lim
Co adalah seorang sastrawan yang tentu saja pandai akan
sastra dan syair. Mendengar syair yang diucapkan orang
dari luar ini, ia merasa kagum dan tertarik sekali. Segera ia
keluar dan dengan ramah-tamah mempersilakan kakek
tukang obat itu masuk.
Kakek itu ternyata adalah Sin-liong Ciu Pek In si Naga
Sakti yang tidak hanya hebat sekali ilmu pedangnya. juga
seorang ahli ilmu pengobatan yang pintar dan sakti. Ciu
Pek In segera menjadi sahabat baik Can Lim Co karena
keduanya suka akan syair-syair kuno, maka semenjak saat
itu, seringkali Ciu Pek In mengunjungi sahabatnya itu.
Kemudian, karena Can Lim Co juga berjiwa patriot,
melihat keadaan negara dalam kacau dan tahu bahwa Ciu
Pek In adalah seorang pendekar gagah perkasa, orang she
Can ini minta kepada sahabatnya untuk menerima kedua
anak perempuannya sebagai murid.
Ternyata kedua anak perempuannya, Cui Sian dan
Siauw Leng, memang mempunyai bakat baik hingga
mereka mudah ?apat menerima pelajaran silat tinggi dari si
Naga Sakti. Ketika pemberontakan pecah di mana-mana,
sebagai seorang pen cinta bangsa Ciu Pek In juga ikut
membantu pergerakan untuk meruntuhkan kekuasaan raja
lalim dan para pemimpin jahat, sedangkan dua orang
muridnya itu-pun mendapat izin dari orang tuanya untuk
membantu pula. Mendengar cerita Cui Sian, Ouwyang Bun merasa
kagum sekali dan tiada habisnya memuji ayah. gadis itu
sebagai seorang yang berjiwa patriot.
"Sayang sekali ayahku tidak berpemandangan demikian,
dan lebih sayang lagi bahwa Bu-te juga tidak menginsyafi
hal ini," katanya sambil menghela napas.
Pada keesokan harinya, ternyata kesehatan Ouwyang
Bun telah pulih kembali dan luka-lukanya sudah hampir
sembuh. Keduanya lalu berangkat meninggalkan tempat itu
dengan naik dua ekor kuda yang memang sengaja
disediakan dan ditinggalkan di situ untuk mereka berdua.
Mereka memacu kudanya cepat-cepat untuk dapat
menyusul kawan-kawan yang telah mendahului mereka
empat hari yang lalu. Karena kawan-kawannya telah
berangkat lebih dulu, maka di mana-mana Cui Sian
mendapat bantuan orang kampung dan mudah saja baginya
mencari tahu dari mereka ini ten-r tang perjalanan kawan-
kawannya dan tentang pergerakan tentara negeri yang
beraksi mengadakan pembersihan.
Melihat sikap gadis itu kepada orang-orang kampung,
makin kagumlah hati Ouwyang Bun dan ia makin yakin
para pemberontak memang berada di pihak yang benar dan
mulia. Tiga hari kemudian, ketika mereka sedang melarikan
kuda dengan cepat menyeberangi sebuah hutan, tiba-tiba
dari depan terdengar suara kaki kuda dilarikan dengan
cepat dan sebentar saja tampak penunggang kuda itu dari
depan. "Siong-lopeh, kau hendak ke mana?" tiba-tiba Cui Sian
menegur dengan suara nyaring dan ramah.
"Twa-lihiap, aku sengaja hendak menyusul dan
menyambut engkau." kata orang tua itu. Memang di antara
kawan-kawannya itu, Cui Sian dipanggil twa-lihiap dan
Siauw Leng dipanggil ji-lihiap, bahkan kadang-kadang Cui
Sian mendapat julukan It-to-bwee.
"Apakah ada kejadian-kejadian yang penting, Siong-
lopeh?" tanya gadis itu dengan sikap tenang-tenang saja.
"Perjalanan kita terhalang oleh barisan besar yang kuat.
Telah dua kali terjadi pertempuran, tapi pihak musuh
terlampau kuat dan jumlahnya jauh lebih besar. Ji-lihiap
memerintahkan kami supaya mundur dan bersembunyi di
dalam hutan-hutan dan tidak boleh menyerang sebelum kau
datang. Karena kami merasa gelisah menghadapi musuh
yang kuat dan banyak, kami lalu mengambil keputusan
untuk menyusulmu dan aku yang mendapat tugas ini.
Kebetulan sekali kita bertemu di sini, twa-li-hiap."
Suara gadis itu tetap tenang ketika ia - bertanya,
"Bagaimana perbandingan jumlah tenaga dan siapa yang
memimpin pihak musuh?"
"Jumlah musuh menurut para penyelidik kita adalah
lebih dari tigaratus orang sedangkan kita hanya berjumlah
enampuluh. Pemimpin pihak lawan adalah seorang perwira
baru yang masih muda dan memiliki kepandaian silat
tinggi. Kabarnya ji-lihiap kenal padanya dan kalau tidak
salah perwira itu adalah keponakan Cin-ciangkun sendiri."
"Apa?" Ouwyang Bun tak tahan lagi berseru dengan
kaget. Tentu adiknyalah perwira itu.
Tapi Cui Sian lebih tenang dan berkata, "Kalau begitu,
mari kita menemui kawan-kawan secepatnya, lopeh," dan
kepada Ouwyang Bun ia berkata,
"Koko, mari kau ikut."
Biarpun anggauta pemberontak she Siong itu merasa
heran mendengar panggilan Cui Sian kepada pemuda itu
namun ia tidak berani membuka mulut, dan ketiganya lalu
memacu kuda secepatnya. Orang she Siong itu berjalan
paling depan sebagai penunjuk jalan, Cui Sian di
belakangnya dan Ouwyang Bun di belakang sekali.
Setelah membalapkan kuda hampir setengah hari dan
hari telah menjadi gelap, barulah mereka sampai di tempat
tujuan yakni sebuah hutan pohon pek yang lebat sekali. Di
tengah-tengah hutan itulah para anggauta pemberontak
menyembunyikan diri. Ketika Cui Sian datang, semua
orang merasa gembira sekali dan lega, karena dengan
adanya pendekar wanita ini di antara mereka, maka hati
mereka menjadi lebih tabah.
Siauw Leng menyambut encinya dengan girang
kemudian memeluknya. Gadis lincah itu lalu menjura
kepada Ouwyang Bun dan berkata dengan wajah sungguh-
sungguh dan lenyaplah untuk saat itu sifatnya yang nakal,
"Ouwyang-taihiap, sungguh-sungguh aku merasa girang
dan lega sekali melihat kau suka datang di tempat ini
bersama cici."
Kemudian, enci dan adik itu serta beberapa orang yang
dianggap sebagai pembantu, mengadakan rapat di dekat api
unggun. Di sekeliling api itu ditutup dengan kain tebal
hitam hingga dari jauh api itu takkan tampak oleh musuh.
Ouwyang Bun ikut duduk di situ, tapi ia hanya
mendengarkan saja segala percakapan mereka.
Setelah mendengar laporan-laporan para pembantunya,
Cui Sian memeras otaknya yang cerdas lalu mengatur
siasat. "Kawan-kawan kita yang berjumlah e-nampuluh ini kita
bagi menjadi tiga kelompok. Empatpuluh orang besok pagi-
pagi sekali ikut dengan aku sendiri menyerbu musuh di luar
hutan. Kalau jumlah mereka bertambah, aku pimpin
empatpuluh orang kawan ini mundur dan melarikan diri ke
dalam hutan untuk memancing mereka mengejar sampai di
tempat yang banyak terdapat pohon siong besar yang
kulihat di sana tadi. Di belakang pohon-pohon itu, Siauw
Leng harus memimpin sepuluh orang yang pandai
menggunakan anak panah dan menunggu sampai musuh
yang mengejarku tiba di situ lalu menghujani anak panah
tanpa memperlihatkan diri. Tentu keadaan mereka menjadi
kacau dan banyak korban jatuh. Kalau mereka melarikan
diri dan kembali hendak ke luar hutan, maka Lui-twako
yang memimpin sepuluh orang kawan lain harus
menyergap mereka dengan anak panah pula dari depan
hingga mereka seakan-akan terkurung tanpa mengetahui
jumlah kita yang sesungguhnya. Aku sendiri akan
memimpin kawan-kawanku untuk menyerbu kembali
hingga mereka betul-betul menjadi kacau-balau."
Semua orang mendengarkan perintah i-ni dengan penuh
perhatian, sedangkan Ouwyang Bun merasa kagum sekali.
Pada keesokan harinya semua orang telah bersiap
melakukan tugas masing-masing. Ouwyang Bun menemui
Cui Sian dan bertanya,
"Moi-moi, aku tentu boleh ikut denganmu, bukan?"
"Lebih baik jangan, koko. Siapa tahu, jangan-jangan
adikmu sendiri yang akan maju memimpin pengejaran
nanti, dan jika ia melihat kau, ia akan menjadi curiga dan
siasatku mungkin akan gagal. Biarlah kau mengamat-amati
saja dan membantu bila di antara kawan kita ada yang
terkurung atau terancam bahaya."
"Tapi kau harus berlaku hati-hati, moi-moi, jangan kau
pandang ringan adikku itu dan.... dan.,,, sedapat mungkin
janganlah kau.... celakakan dia."
Cui Sian memandang pemuda itu dengan mata sayu.
"Apa dayaku, koko" Dalam keadaan seperti ini apakah
masih perlu perasaan perseorangan diutamakan?" Ouwyang
Bun menghela napas dan tak men jawab karena ia maklum
sepenuhnya akan maksud kata-kata gadis itu.
Setelah memberi pesan terakhir kepada kawan-kawannya
dan mengatur persiapan-persiapan untuk menjalankan
siasat itu, Cui Sian lalu memimpin kawan-kawannya untuk
menyerbu perkemahan serdadu negeri yang menjaga di luar
hutan dalam tenda-tenda berwarna hijau. Kurang lebih
tigaratus orang serdadu itu memang dipimpin sendiri oleh
Ouwyang Bu. Bagaimanakah nasib pemuda gagah ini yang
ditinggal pergi oleh kakaknya yang ia kasihi"
Setelah Ouwyang Bun pergi, Ouwyang Bu merasa sangat
sedih, akan tetapi karena kasih dan cintanya kepada Lie
Eng jauh lebih besar daripada kasih sayangnya kepada
kakaknya itu, maka kenyataan bahwa ia dapat selalu
berdampingan dengan gadis itu yang banyak menghibur
hatinya. -00oodwoo00- Jilid VI SEMENTARA itu, semenjak kepergian Ouwyang Bun,
Lie Eng menjadi pendiam. Wajahnya yang cantik itu
tampak muram saja dan ia jarang tersenyum, kecuali kalau
sedang bicara dengan Ouwyang Bu, karena diam-diam ia
merasa sangat kasihan kepada pemuda ini. Ia tahu bahwa
pemuda ini sekarang menaruh seluruh pengharapannya
kepada dia seorang, maka tidak sampai hatinya untuk
menolak cinta Ouwyang Bu, biarpun ia juga tidak
menyatakan bahwa ia menerima atau membalas cinta itu.
Diam-diam gadis ini masih mengingat dengan hati penuh
rindu Kepada Ouwyang Bun, pemuda idaman hatinya itu.
Setelah Ouwyang Bun pergi, Lie Eng dan Ouwyang Bu
tiada bernapsu lagi untuk melanjutkan perantauan mereka,
maka langsung mereka menyusul pasukan yang dipimpin
oleh Cin Cun Ong. Beberapa hari kemudian mereka dapat
menyusul pasukan itu karena Cln-ciangkun menggerakkan
pasukannya sambil melakukan pembersihan di sana-sini.
Sambil berlutut Ouwyang Bu memintakan ampun untuk
kakaknya yang telah pergi tanpa pamit itu. Cin Cun Ong
menghela napas dan diam-diam ia merasa menyesal karena
ia sungguh mengharapkan tenaga anak muda itu, tapi
mulutnya berkata,
"Tidak apalah, memang segala sesuatu tidak dapat
dipaksakan. Mungkin dia mempunyai pendapat lain.
Mudah-mudahan saja dia tidak mengambil jalan berlawanan dengan jalan kita. Dan kau sendiri bagaimana?"
"Teecu sudah berjanji hendak membantu pekerjaan


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

susiok sampai titik darah peng habisan." sambil berkata
demikian pemuda itu melirik ke arah Lie Eng yang berdiri
di dekat ayahnya bagaikan patung, seakan-akan pikirannya
melayang-layang pergi jauh dari tubuhnya.
Cin Cun Ong adalah seorang kang-ouw yang sudah
ulung dan banyak punya pengalaman. Ia maklum bahwa
saudara kembar she Ouwyang itu mempunyai hubungan
persaudaraan yang luar biasa. Dan kalau ada sesuatu yang
mampu memisahkan mereka berdua, maka sesuatu itu
tentulah seorang wanita. Dan dalam hal ini, siapakah lagi
kalau bukan Lie Eng anak gadisnya sendiri"
"Ouwyang Bu, baik sekali kalau pendirianmu demikian.
Aku percaya penuh kepadamu. Ketahuilah, sekarang ini
dari sekeliling jurusan yang menuju ke kota raja, telah
penuh dengan barisan pemberontak yang bergerak dengan
sembunyi-sembunyi.
Menurut perhitunganku, yang berbahaya adalah barisan-barisan pemberontak yang
bergerak dari timur dan utara. Maka kebetulan sekali
kedatanganmu ini. Aku akan menjaga di sebelah timur dan
kau menjaga di sebelah utara. Karena kau belum
berpengalaman, maka biarlah Lie Eng membantumu."
Bukan main girang hati Ouwyang Bu, bukan terlalu
girang karena diberi tugas besar yang berbahaya itu, tapi
gembira karena gadis yang dicintainya itu dijadikan
pembantunya. Cin Cun Ong dapat melihat sinar bahagia
memancar dari muka pemuda itu, maka dugaannya makin
tebal. Tapi ketika ia menengok dan memandang muka Lie
Eng, gadis itu menyambut perintah ini dengan dingin saja,
walaupun ia berkata,
"Aku akan girang sekali kalau dapat membantu Bu-ko."
"Kalian harus memimpin barisan yang kini sudah berada
di benteng Liok-kwa-shia. Di situ terdapat seribu orang
tentara di bawah pimpinan Gui-ciangkun. Kau bawalah
suratku untuknya dan boleh ambil alih pimpinan dan
angkatlah ia menjadi pembantumu. Biarpun kepandaian
Gui-ciangkun tidak berapa tinggi, namun ia dapat
memimpin anak buahnya dan ia cukup setia. Ingat,
kewajiban kalian hanya untuk menjaga daerah itu yang
panjangnya lima li dan jangan bergerak terlalu jauh.
Ingatlah baik-baik akan gerak-gerik barisan pemberontak
yang menggunakan taktik perang secara sembunyi-
sembunyi dan jangan percaya kepada segala petani dan
pengemis. Mereka ini mungkin sekali adalah anggauta-
anggauta pemberontak atau mata-mata. Pendeknya,
tanggung jawab benteng itu kuserahkan kepadamu dan hati-
hatilah jangan sampai pemberontak dapat menerobos dan
melewati benteng itu."
Setelah menerima nasihat-nasihat banyak sekali dari
panglima tua yang ulung itu, Ouwyang Bu dan Lie Eng
berangkat dengan diiringkan oleh satu regu tentara pilihan.
Ouwyang Bu mengenakan pakaian perwira kelas satu yang
terbuat dari kain berwarna hijau dengan sulaman-sulaman
kuning. Topinya dihias benang emas hingga berkilauan
kena cahaya matahari sedangkan pedangnya digantungkan
di pinggang. Ia tampak gagah sekali dan untuk sesaat Lie
Eng memandang padanya dengan mata mesra karena
Ouwyang Bu memang dalam hal rupa dan bentuk badan
serupa benar dengan Ouwyang Bun. Juga Lie Eng
berpakaian sebagai seorang panglima wanita, tapi ia tidak
menggantungkan sepasang pedangnya di pinggang. Ia lebih
suka mengikatkan pedangnya itu di punggungnya hingga
dilihat dari depan, hanya gagang pedang saja yang nampak
mengintai dari balik bahunya.
Kedatangan mereka disambut oleh Gui Li Sun atau Gui-
ciangkun, panglima yang tinggi besar itu. Gui-ciangkun
tentu saja merasa tidak puas dan kecewa sekali ketika ia
harus menyerahkan pimpinan benteng itu kepada Ouwyang
Bu. Anak muda yang baru saja masuk lingkungan
ketentaraan itu dan belum mempunyai pengalaman perang
sama sekali, telah diserahi tugas ini" Sungguh gemas sekali
hati Gui Li Sun dan kalau ia tidak ingat bahwa Ouwyang
Bu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padanya,
pula kedatangan anak muda itu membawa surat perintah
dari Cin-ciang-kun, bahkan Cin Lie Eng juga ikut
membantu, tentu ia akan memperlihatkan rasa menyesal
dan marahnya. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa
selain memberi hormat secara militer kepada Ouwyang Bu
yang semenjak saat itu menjadi pemimpinnya.
Dengan bantuan Lie Eng dan Gui Li Sun, Ouwyang Bu
mengadakan peraturan baru yang keras pada seluruh anak
buahnya dan penjagaan dilakukan lebih kuat lagi.
Semenjak Ouwyang Bu menjabat pimpinan di situ, benar
saja para pemberontak yang hendak menerobos daerah itu
selalu dapat digagalkan. Telah lebih dari lima kali
rombongan-rombongan kecil pemberontak yang lewat di
situ dapat digagalkan bahkan dihancurkan. Beberapa orang
pemberontak yang berkepandaian tinggi tidak kuat
menghadapi Ouwyang Bu yang dibantu oleh Lie Eng, pula
tidak dapat melawan barisan yang besar jumlahnya dan
dapat menerobos penjagaan yang sangat kuat itu.
Di waktu tidak ada serbuan pemberontak, tiap hari
Ouwyang Bu melatih semua anak buahnya dengan latihan-
latihan main senjata. Ia sengaja menurunkan kepandaian
silat yang praktis dan yang mudah dipelajari serta dapat
digunakan pada saat terjadi pertempuran.
Dan pada suatu hari sampailah pasukan pemberontak
yang dipimpin oleh Siauw Leng ke benteng itu. Berbeda
dengan serbuan-serbuan pemberontak yang sudah-sudah,
pasukan Siauw Leng ini ternyata cukup kuat hingga ketika
terjadi pertempuran pertama di antara mereka, banyak juga
serdadu penjaga jatuh menjadi korban. Keadaan penjagaan
menjadi kacau dan mendengar akan kehebatan para
pemberontak yang kali ini menyerbu bentengnya, Ouwyang
Bu menjadi marah dan ia sendiri ikut bertindak. Alangkah
marahnya ketika ia melihat bahwa yang menyerang adalah
pemberontak-pemberontak yang dipimpin oleh gadis yang
pernah mengadu kepandaian dengan dia dulu itu. Ia
menjadi terkejut dan berlaku hati-hati sekali. Diam-diam ia
atur barisannya untuk mengepung, dan ia sendiri bersama
Lie Eng lalu menyerbu hingga rombongan pemberontak itu
terpukul mundur dan melarikan diri ke dalam hutan.
Karena tahu bahwa rombongan itu terdiri dari banyak
orang-orang pandai yang perlu sekali dibasmi agar tidak
membahayakan pertahanan bentengnya, Ouwyang Bu lalu
mengejar mereka ke dalam hutan. Per tempuran seru terjadi
Jaka Lola 9 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Pedang Ular Mas 15
^