Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
berkali-kali dan pihak pemberontak selalu terdesak hingga
mundur dan dikejar terus.
"Sudah, Bu-ko. Jangan-jangan kita kena dipancing." Lie
Eng memperingatkan ketika mereka mengejar sampai di
pinggir hutan lain yang lebat dan gelap.
Ouwyang Bu berkata dengan penuh napsu,
"Eng-moi, biarlah kita bergiliran menjaga di sini dengan
tigaratus orang tentara. Kita dapat mendirikan tenda-tenda
di sini, karena kalau tempat ini dijaga, maka tak ada
pemberontak dapat mendekati benteng. Juga, pada siang
hari kita dapat mengejar ke dalam hutan dan membasmi
mereka semua."
Karena Ouwyang Bu yang memegang pucuk pimpinan,
maka Lie Eng hanya menurut saja. Tigaratus orang tentara
dikerahkannya dan di situ didirikan perkemahan besar. Lie
Eng dari Gui Li Sun diperintahkan menjaga benteng,
sedangkan tigaratus orang tentara itu dipimpin sendiri oleh
Ouwyang Bu. Keputusan inilah yang membingungkan Siauw Leng dan
kawan-kawannya yang berjumlah enampuluh orang, karena
dengan dijaganya mulut hutan itu, benar-benar mereka tak
dapat keluar. Demikianlah keadaan Ouwyang Bu, pemuda gagah
perkasa yang terpaksa berselisih jalan dengan kakaknya
karena pengaruh asmara.
O0odwoO Pada malam itu ketika Ouwyang Bu sedang mengepalai
sendiri anak buahnya melakukan penjagaan di sekitar mulut
hutan itu, maka di tengah-tengah hutan sedang diadakan
perundingan antara Cui Sian dan kawan-kawannya, bahkan
terdapat pula Ouwyang Bun di antara mereka. Seperti telah
diketahui, Cui Sian mengambil keputusan untuk memimpin
sendiri empatpuluh orang pada pagi hari itu dan menyerbu
serta memancing barisan tentara negeri yang menjaga di
luar hutan. Dengan hati-hati dan cekatan, Cui Sian yang berjalan
paling depan dapat melihat keadaan penjagaan Ouwyang
Bu yang betul-betul kuat dan rapi. Ia memberi tanda kepada
kawan-kawannya dan tiba-tiba sambil memekik nyaring, ia
perintahkan anak buahnya menyerbu di bagian sayap kiri di
mana berkumpul para penjaga terdiri dari kira-kira
limapuluh orang berpencaran di sana-sini.
Mendapat serangan tak terduga-duga yang dilancarkan
pada waktu pagi sekali itu, para perajurit menjadi panik dan
bingung. Sebentar saja di pihak mereka telah jatuh korban
beberapa belas orang. Tapi bala bantuan segera datang,
dikepalai oleh Ouwyang Bu sendiri.
Melihat bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah
Cui Sian, maka panglima muda ini tertawa keras dan
berkata, "Aah, It-to-bwee sendiri yang mengantarkan jiwa."
Ouwyang Bu lalu menyerang dengan pedangnya,
dibantu oleh beberapa orang yang berkepandaian cukup
tinggi. Biarpun ia belum tentu kalah menghadapi Cui Sian
seorang diri saja, tapi di dalam peperangan seperti itu, tidak
ada yang harus dibuat malu jika melakukan pengeroyokan,
maka Ouwyang Bu juga tidak melarang anak buahnya
mengeroyok, karena memang ia ingin segera membereskan
pemberontak-pemberontak ini, termasuk juga nona cantik
ini. Cui Sian memang franya ingin memancing mereka saja,
bukan bermaksud hendak bertempur mati-matian, maka
sambil memutar pedangnya menangkis serangan para
lawannya, ia mengeluarkan tiupan yang terbuat dari gading.
Setelah ia meniup benda itu, terdengar suara melengking
yang tinggi dan nyaring dan serentak anak buahnya
meloncat mundur dan melarikan diri ke dalam hutan. Cui
Sian sendiri lalu berkata sambil tertawa,
"Ouwyang Bu, sayang aku tidak ada waktu lebih lama
untuk melayanimu." Dan sekali loncat, melayanglah
tubuhnya cepat sekali ke atas pohon.
Ouwyang Bu kagum melihat ginkang yang hebat ini, tapi
ia tidak mau kalah. Sambil memberi aba-aba agar semua
anak buahnya mengejar, iapun meloncat mengejar dengan
cepat sekali. Akan tetapi, biarpun merasa gemas dan marah,
Ouwyang Bu masih dapat mengendalikan perasaannya dan
tidak mau meninggalkan anak buahnya karena ia khawatir
kalau-kalau ia lupa diri dan meninggalkan mereka hingga
jika terjadi penyerbuan dan pencegatan sewaktu-waktu
tidak ada yang memimpin anak buahnya lagi. Ia hanya
berteriak keras agar semua anak buahnya cepat mengejar.
Ouwyang Bu Sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa Cui Sian yang sengaja menyuruh kawan-kawannya
berteriak memaki-maki sedang memancing ia masuk ke
perangkap. Akan tetapi, biarpun Ouwyang Bu tidak sangat cerdik,
namun ia masih teringat sekali tipu muslihat. Oleh karena
pikiran inilah ia menjadi curiga.
Pada saat ia hendak memberi perintah supaya anak
buahnya berhenti dan mundur, tiba-tiba dari depan dan dari
atas pohon datang serangan anak panah yang berhamburan
bagaikan hujan. Ouwyang Bu cepat menggunakan
pedangnya diputar sedemikian rupa hingga .semua anak
panah yang menuju kepadanya dapat dipukul runtuh.
Tapi terdengar pekik-pekik kesakitan dari anak buahnya
yang menjadi korban anak panah hingga Ouwyang Bu
menjadi terkejut dan marah sekali. Ia pungut sebatang golok
dari seorang., anak buahnya yang binasa dan sekali
\angannya bergerak maka golok itu terbang ke atas pohon
dan terdengar jeritan ngeri ketika golok itu dengan tepat
sekali menancap di perut seorang anggauta pemberontak
yang bersembunyi di atas pohon sambil melepaskan a-nak
panah, hingga tubuh itu terjungkal ke bawah.
Tapi datangnya anak panah makin banyak dan korban
yang jatuh di pihak serdadu sampai belasan orang. Maka
Ouwyang Bu lalu meneriakkan aba-aba mundur kepada
anak buahnya yang sudah panik itu. Akan tetapi baru saja
bergerak mundur beberapa puluh langkah, dari sebelah
kanan kiri yang penuh dengan rumpun dan alang-alang,
menyambut pula puluhan anak panah hingga sekali lagi
barisan Ouwyang Bu menjadi kacau dan kocar-kacir.
Sementara itu, sambil berteriak-teriak, pasukan yang
dipimpin oleh Cui Sian maju menerjang lagi, kini dibantu
oleh pasukan Siauw Leng dan pasukan Lui Kok Pauw.
Bukan main marah Ouwyang Bu melihat betapa
tentaranya yang berjumlah banyak itu dapat ditipu hingga
mengakibatkan banyak sekali jatuh korban. Dalam
marahnya ia mempergunakan pedangnya mengamuk
hingga sebentar saja beberapa orang ang-gauta pemberontak
roboh di tangannya. Tapi karena ia merasa khawatir kalau-
kalau masih banyak pemberontak yang bersembunyi dan
menyangka bahwa jumlah pemberontak yang mengepung
di hutan itu jauh lebih besar daripada sangkaannya semula,
terbukti dari serangan-serangan anak panah yang dilakukan
dari mana-mana, terpaksa Ouwyang Bu memberi perintah
untuk mundur terus dan lari keluar dari hutan itu.
Ketika ia sedang lari, Ouwyang Bu mendengar suara
tertawa merdu dari atas dan ia mengenal suara itu sebagai
suara Cui Sian. Gadis itu tertawa lalu berkata,
"Ouwyang Bu, kau tersesat. Kalau tidak mentaati pesan
kakakmu, pasti hari ini kau telah menemui ajalmu di rimba
ini." Kemudian sunyi senyap.
Ouwyang Bu terkejut sekali dan menduga bahwa
Ouwyang Bun pasti berada di hutan itu, menggabungkan
diri dengan para pemberontak. la tahu pula bahwa tadi Cui
Sian tentu bicara dari atas sebuah pohon dan menggunakan
tenaga tan-tian hingga suara ketawa dan kata-katanya
terdengar sampai jauh.
Dengan menderita kekalahan besar dan kehilangan
tigapuluh orang lebih, Ouwyang Bu keluar dari hutan itu
dan terus kembali ke benteng, karena ia perlu mengatur
siasat dan merasa bahwa malam ini ia dan barisannya
bermalam di pinggir hutan, banyak sekali bahaya yang
mungkin akan mendatangkan kerugian lebih besar lagi di
pihaknya. Lie Eng menyambut kedatangannya dengan ikut merasa
dendam serta marah. Ia menyatakan penyesalannya
mengapa tidak ikut dalam pertempuran itu. Sebaliknya,
biarpun di luarnya Gui-ciangkun menyatakan menyesal dan
marah, di dalam hati ia mentertawakan kegagalan
Ouwyang Bu. Ketika berdua saja dengan Lie Eng, Ouwyang Bu lalu
menceritakan pengalaman dan pertempurannya dengan Cui
Sian. "Sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk
merobohkannya, karena ia keburu mengundurkan diri dan
lari ke dalam hutan," katanya, kemudian dengan wajah
bersungguh-sungguh ia menyambung ceritanya, "Dan aku
mendapat dugaan keras bahwa Bun-ko berada pula di
dalam hutan itu."
Bukan main terkejut hati Lie Eng mendengar warta ini.
Memang telah lama ia merindukan Ouwyang Bun dan
seringkali ia termenung dan menduga-duga bagaimana
keadaan pemuda itu dan bagaimana nasib serta di mana ia
berada. Kini mendengar bahwa pemuda kenangannya itu
mungkin berada di dalam hutan yang tampak dari atas
benteng itu, tentu saja ia merasa terkejut dan dadanya
berdebar-debar. Tapi Lie Eng dapat menekan perasaannya
hingga tidak tampak perubahan air mukanya.
Dan Ouwyang Bu sama sekali tidak pernah menyangka
betapa setelah ia pergi ke kamarnya, gadis yang
ditinggalkan seorang diri itu duduk' termenung seakan-akan
kehilangan semangat dan sampai hari berobah senja gadis
itu tidak bergerak dari tempat duduknya yang tadi.
Sementara itu, kawanan pemberontak di tengah hutan
itu bergembira-ria dan merayakan kemenangan mereka.
Tiada hentinya mereka memuji-muji Cui Sian yang berhasil
siasatnya. Walaupun di pihak mereka terdapat beberapa
orang korban, di antaranya seorang yang tertancap oleh
golok yang dilemparkan oleh Ouwyang Bu, tapi jika
dibanding dengan jumlah korban di pihak musuh, mereka
memang sudah sepatutnya bergembira. Di pihak mereka
hanya dua orang binasa dan lima orang luka, sedangkan
pihak. lawannya yang mati saja sudah tigapuluh orang
lebih, belum yang luka.
Biarpun telah memperoleh kemenangan, namun Cui
Sian tidak berlaku lalai. Ia mengatur penjagaan di sekitar
hutan itu dengan sangat rapi.
Di samping itu ia selalu memikir-mi-kirkan bagaimana
caranya agar ia dapat membawa kawan-kawannya
melewati benteng itu hingga dapat menggabungkan diri
dengan kesatuan induk yang dipimpin oleh pemimpin besar
Lie Cu Seng. Oleh karena ini, ia tidak ikut bergembira-ria
dengan kawan-kawannya, tapi bahkan menjauhkan diri dan
duduk di bawah sebatang pohon pek dengan Ouwyang Bun.
Ia merasa lebih senang dan tenteram untuk duduk dan
bercakap-cakap berdua saja dengan pemuda ini.
"Moi-moi, tadi aku sudah hampir tidak kuat menahan
diri mendengar bahwa Bu-te sendiri yang memimpin
barisan menyerbu ke sini. Aku ingin sekali keluar dan
menemuinya, tapi karena pertempuran berjalan hebat, aku
khawatir kalau-kalau kedatanganku malah akan mendatangkan salah paham di kedua pihak. Untungnya
kau tidak berlaku kejam dan tidak membinasakan adikku
itu." Cui Sian menghela napas. "Adikmu sungguh hebat,
belum tentu aku dapat mengalahkannya. Sayang sekali dia
tidak insyaf, ah, sungguh sayang. Ia akan merupakan
pasangan yang tepat sekali untuk Siauw Leng...." Nona itu
menghela napas, dan Ouwyang Butf juga ikut merasa
terharu. Alangkah baiknya kalau Ouwyang Bu dapat berada di
situ bersama dia dan dapat bertemu sebagai tunangan
dengan Siauw Leng, seperti halnya dia dengan Cui Sian.
Diam-diam ia merasa heran sekali akan kebijaksanaan
ibunya dan ibu Cui Sian. Kedua orang tua itu agaknya telah
tahu lebih dulu bahwa mereka akan menjadi pasangan yang
saling mengasihi dan saling mengagumi.
"Betul katakatamu moi-moi. Alangkah bahagianya rasa
hatiku kalau Bu-te dapat bertemu dengan adik Siauw Leng
seperti kau dan aku...."
Cui Sian diam saja dan ia tidak membantah ketika
tunangannya memegang tangannya. "Moi-moi,
kau sungguh mengagumkan. Tidak saja kau lemah lembut dan
baik budi sebagaimana terbukti ketika kau merawat aku di
waktu aku mendapat luka, tapi kau juga gagah perkasa dan
cerdik sekali. Aku heran di mana kau belajar ilmu perang
hingga bisa mengatur siasat yang begitu berhasil siang tadi.
Sungguh-sungguh aku kagum padamu."
"Ah, kau memuji saja. Apakah artinya kepandaianku
kalau dibandingkan dengan kepandaianmu yang tinggi?"
Pada saat itu bulan telah muncul hingga keadaan yang
remang-remang itu tampak romantis sekali dan sepasang
anak muda itu tenggelam dalam cahaya bulan yang
mendatangkan hikmat gaib bagi para muda yang sedang
dimabok asmara. Biarpun hanya saling berpegang tangan
sambil saling memandang, namun dalam sentuhan jari dan
pertemuan sinar mata ini mereka telah sama-sama
mengutarakan semua isi hati hingga bagi kedua pihak lebih
jelas daripada seribu macam katakata. Mereka demikian
asyik dan masyuk hingga tidak tahu bahwa ada sepasang
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata yang tajam memandang mereka dengan sinar mata
marah, tapi dengan pipi basah oleh air mata.
Pada saat itu terdengar teriakan.
"Tangkap mata-mata musuh."
Ouwyang Bun dan Cui Sian terkejut sekali dan meloncat
ke arah suara itu. Tiba-tiba mereka melihat bayangan orang
ber kelebat di belakang mereka. Keduanya lalu mengejar:
Dan terdengarlah suara senjata beradu ketika bayangan itu
diserang oleh seorang anggauta penjaga yang tadi melihat
dia mengintai Cui Sian dan Ouwyang Bun.
Ketika dua anak muda itu tiba di tempat pertempuran,
ternyata mata-mata musuh itu ialah Lie Eng sendiri yang
sedang dikeroyok tiga orang penjaga.
"Sumoi.." Ouwyang Bun berseru dan ia cepat meloncat
ke kalangan pertempuran dan berkata keras kepada tiga
orang penjaga yang mengeroyok. "Tahan dulu."
Lie Eng mengenakan pakaian serba hijau yang kelihatan
hitam ditimpa sinar bulan yang remang-remang itu dan
sepasang tangannya memegang siang-kiam. Sikapnya tegas
sekali dan ia berdiri dengan kedua kaki terpentang dengan
sikap menantang.
"Kau... kau juga menjadi pemberontak?" tegurnya
kepada Ouwyang Bun dengan sikap menghina.
"Sumoi.... kita memang berbeda paham. Kalau kau
sudah tahu akan hal itu, mengapa....... kau malam-malam
ke tempat ini..?"
Tiba-tiba mata dara itu mengeluarkan eatiaya penuh
kemarahan. Sambil menuding ke arah Ouwyang Bun
dengan pedangnya, ia memaki.
"Kau... kau pengkhianat. Kau murid murtad.. Kau tidak
kenal apa artinya bakti dan setia, tidak malu mengkhianati
guru dan susiok sendiri.. Kau..... kau...," dan tiba-tiba saja
gadis itu menangis karena merasa betapa hatinya hancur
lebur dan krcewa.
Sementara itu, Cui Sian yang mendengar betapa
tunangannya dimaki-maki orang, tentu saja tidak rela.
Apalagi karena ia tahu bahwa gadis ini anak musuh besar
semua hohan dan patriot, maka ia segera meloncat maju
dan membentak, "Perempuan kasar dan sombong, apa yang kaukchendaki
maka kau berani lancang memasuki daerah kami"
Menyerahlah kau menjadi tawanan kami."
Tiba-tiba Lie Eng tertawa dengan nyaring dan tinggi.
"Ha, It-to-bwee. Bukalah telinga dan matamu lebar-lebar.
Aku Cin Lie Eng, sengaja datang ke sini untuk mencari
engkau. Aku telah mendengar tentang kegagahan dan
kecantikanmu maka sekarang aku sengaja datang hendak
melihat sendiri kegagahan yang disohor-sohorkan orang itu.
Majulah dan mari kita bertempur sampai seorang di antara
kita mati di ujung pedang."
Ouwyang Bun terkejut sekali. Tadinya ia hanya
menyangka bahwa gadis yang tabah itu hanya datang untuk
menyelidiki para pemberontak. Tidak disangkanya sama
sekali bahwa sikap gadis itu akan senekat ini dan tiba-tiba ia
dapat. menduga apa yang menjadi sebabnya. Lie Eng tadi
telah mengintainya dan tentu mengerti bahwa ia dan Cui
Sian saling mencintai. Dan inilah agaknya yang menjadi
sebab kenekatan gadis itu dan yang membuat ia menantang
Cui Sian bertanding sampai mati.
"Sumoi......" tegurnya sambil berdiri menghadapi gadis
itu. "Kenapa kau begini nekat" Kenapa kau hendak
mengadu tenaga tanpa alasan" Sumoi.... bukankah Bu-te
menanti-nantimu dan alangkah akan hancur hatinya
kalau.... kalau kau menjadi korban kenekatanmu ini...."
"Diam. Kau perduli apa dengan tindakanku" Aku bukan
sumoimu. Kau..... kau.... pengkhianat....." kembali ia
terisak, kemudian ia berkata kepada Cui Sian,
"Eh, Cui Sian. Bagaimana" Takutkah kau kepadaku?"
Cui Sian lalu memegang lengan Ouwyang Bun dan
menarik pemuda itu untuk mundur dan Ouwyang Bun
menurut. Kemudian gadis yang tenang sikapnya ini-maju
menghadapi Lie Eng dan berkata dengan suara halus tapi
tetap, "Lie Eng, sekarang aku tahu. Kau... mencintai Bun-
ko...." "Perempuan rendah, jangan jual obrolan busuk." Lie Eng
merasa marah sekali dan cepat menusuk dengan
pedangnya, tapi Gui Sian mengelak sambil mundur.
"Nanti dulu, Lie Eng. Dengarlah dulu omonganku.
Memang kau adalah musuhku, musuh semua orang yang
berjiwa patriot dan yang kau sebut pemberontak-
pemberontak. Sudah sepatutnya kalau aku menyiapkan
semua kawan untuk membunuhmu. Tapi, terus terang saja
kukatakan bahwa aku mengagumi kau. Aku kagum karena
kau berani dan karena kau berhati... setia." Kalau tidak
demikian, tak mungkin kau berani datang seorang diri ke
sini. Aku kagum padamu, seperti juga guruku kagum
kepada ayahmu yang gagah perkasa. Tapi melihat sikapmu
ini, aku khawatir bahwa kita berdua terpaksa harus
mengadu pedang sampai penentuan terakhir. Sungguh satu
kehormatan besar, kawan. Memang sayang bahwa justeru
kau yang kukagumilah yang menjadi musuh besarku dalam
hal ini, tapi sebaliknya aku takkan dendam kalau sampai
terjatuh dalam tangan seorang wanita gagah seperti kau."
Lie Eng adalah seorang gadis yang juga memiliki otak
yang cerdik dan pandangan yang luas, maka biarpun Cui
Sian mempergunakan kata-kata kiasannya yang mengandung sindiran-sindiran, namun ia dapal menangkap
seluruh isi dan maksudnya. Untuk sesaat ia tak dapat
menjawab karena merasa terharu. Alangkah cerdiknya
gadis ini, pikirnya. Sepintas lalu saja ia telah dapat
membaca seluruh isi hatiku. Bukan main.
"Cui Sian, aku girang bahwa kau juga patut menjadi
lawanku. Kita sama-sama dapat memahami. Nah, cabutlah
pedangmu dan mari kita segera menyelesaikan urusan ini."
Pada saat itu yang paling bingung adalah Ouwyang Bun.
Ia juga seorang cerdik dan pintar maka tentu saja ia tahu
apa yang hendak dilakukan oleh kedua nona itu dan
mengapa mereka hendak mengadu tenaga. Ia segera
meloncat di tengah-tengah antara kedua nona itu sambil
mengangkat kedua tangan dengan bingung.
"Sumoi. Kau pulanglah. Aku yang akan menjamin
bahwa kau tentu keluar dari sini dengan selamat dan aman.
Pulanglah kau dan jangan bikin ribut di sini lebih lama
lagi." "Kau laki-laki tidak setia, jangan banyak cerewet. Aku
tidak berurusan dengan kau. Aku mempunyai urusan
dengan Cui Sian. Kau minggirlah." Ia menggerakkan
pedangnya hendak menusuk.
Tapi Ouwyang Bun mengangkat dada dan sama sekali
tidak mengelak.
Ketika ujung pedangnya sudah hampir menyentuh dada
pemuda itu, Lie Eng menarik kembali senjatanya.
"Kau mau membunuh aku" Boleh, hayo tusuklah aku,
sumoi. Aku juga tidak takut mati."
"Kau..... mengapa kau menghalang-halangi maksudku"
Aku hendak bertempur melawan Cui Sian, bukan dengan
kau." "Sumoi, dengarlah. Kalau misalnya besok kau dan Cui
Sian bertemu dalam peperangan dan bertempur mati-
matian, aku takkan merasa apa-apa. Tapi keadaan kalian
pada waktu ini bukan sewajarnya, kalian hanya terdorong
oleh napsu hati yang sedang bergolak. Kau pulanglah dan
jangan berlaku seperti anak kecil."
"Kau pergilah..... biarkan aku bertanding dengan Cui
Sian. Ah, Cui Sian seribu kali lebih berharga daripada
engkau." Dan pada saat itu Ouwyang Bun merasa tubuhnya lemas
dan ia roboh di atas tanah. Ternyata Cui Sian telah
menotoknya dari belakang tanpa ia duga sama sekali.
"Koko, kau memang terlalu mulia untuk membiarkan
dua orang gadis beradu tenaga karenamu. Tapi sikap Lie
Eng kuhargai, dan kalau aku menampik ajakan maka aku
akan merasa malu dan menyesal selama hidupku. Nah, kau
lihatlah saja dan maafkan bahwa aku terpaksa menotokmu
dengan diam-diam."
Kemudian Cui Sian memerintahkan orang-orangnya
membuat lingkaran besar dan semua orang yang hendak
menonton harus berada di luar lingkaran. Beberapa obor
dipasang untuk menerangi tempat itu dan semua orang
dipesan agar jangan ikut mencampuri pertempuran ini.-
"Kawan-kawan semua," Cui Sian berkata dengan suara
lantang, "kali ini aku bukan bertempur sebagai seorang
pemimpin-mu. Ingat, ini adalah urusan pribadi yang
menyangkut nama dan kehormatan. Biarpun aku sampai
kalah dan mati dalam tangan nona Cin Lie Eng ini, jangan
sekali-kali kalian berani mencampuri. Dan lagi, sebagai
seorang pemimpinmu, aku memberi pesan dan perintah,
yakni andaikata aku kalah dan roboh mati, janganlah nona
ini diganggu dan biarkan dia pergi dari sini dengan aman.
Mengerti semua?"
Tiba-tiba Siauw Leng meloncat memeluk cicinya. "Cici,
mengapa kau lakukan ini?"
Cui Sian dengan halus mendorong adiknya keluar
lingkaran dan berkata,
"Adikku, kita adalah murid seorang gagah dan kita harus
menghadap" kegagahan orang lain. Kalau aku kalah,
kaulah yang menjadi pemimpin kawan-kawan kita."
Ouwyang Bun yang didudukkan di dekat situ sambil
menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon dengan
lemah tak ber daya, merasa hatinya seperti dipotong-po
tong. Ia menyesal sekali mengapa tadi berlaku lalai hingga
kena ditotok oleh tunang annya, karena kalau tidak
demikian, biarpun bagaimana juga, ia takkan membiarkan
dua singa betina ini saling terkam. Diam-diam ia
mengerahkan Iweekangnya untuk membebaskan diri dari
totoknn, tapi karena Cui Sian tahu akan kehebatan pemuda
itu, ia telah menotok dua kali hingga tak mungkin pemuda
itu dapat membebaskan diri dengan mudah begitu saja.
Sementara itu, Cui Sian berkata kepada Lie Eng, "Lie
Eng, marilah kita mulai."
Lie Eng sekali lagi memandang wajah Ouwyang Bun
dan ia gunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap air
mata yang tiba-tiba memenuhi pelupuk matanya, kemudian
ia menghadapi Cui Sian dengan tabah.
"Marilah, Cui Sian." jawabnya dan sepasang pedang di
tangannya telah siap sedia.
"Kau sebagai tamu, bergeraklah lebih dulu." kata Cui
Sian dengan pedang melintang di dada dengan sikapnya
tenang sekali. Lie Eng lalu mulai menyerang dengan hebat yang
ditangkis oleh Cui Sian dengan tenang, dan beberapa saat
kemudian kedua, dara remaja itu telah bertempur hebat
sekali. Bayangan kedua dara itu lenyap ditelan sinar pedang
yang bergulung-gulung dan angin pedang mereka sampai
terasa oleh para penonton di luar lingkaran.
Ouwyang Bun yang lumpuh kaki tangannya itu berkali-
kali memejamkan mata karena merasa ngeri, sedangkan
semua penonton melihat pertempuran istimewa ini dengan
hati tegang dan hampir tak berani bernapas. Lui Kok Pauw
meremas-remas tangannya, Siauw Leng membanting-
banting kakinya dan tiba-tiba gadis ini menangis perlahan.
Semua orang tak berani mengeluarkan suara sedikitpun dan
pada saat itu mereka merasa seakan-akan pertempuran ini
adalah sesuatu yang suci dan yang harus dipandang dengan
penuh penghormatan.
Sementara itu, kedua dara yang bertempur mati-matian
itu berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa lawannya
adalah seorang yang kuat. Lie Eng segera memainkan ilmu
pedangnya yang paling hebat, yakni Im-yang-siang-kiam-
hoat. Ilmu pedang berpasangan ini betul-betul hebat sekali,
karena gerakan pedang kanan dan pedang kiri sungguh jauh
bedanya dan bahkan boleh dibilang berlawanan. Oleh
karena ini, tampaknya permainannya kacau dan kalut, tapi
sebetulnya kedua pedang itu merupakan imbangan atau
kesatuan gerakan yang bukan main kuatnya. Kalau pedang
kiri digerakkan dengan tenaga halus, pedang kanan
bergerak didorong tenaga kasar dan demikian sebaliknya
hingga kalau saja yang bertanding melawan Lie Eng
bukannya Can Cui Sian si Bunga Bwee, pasti takkan
mampu bertahan lama.
Akan tetapi Cui Sian adalah murid pertama dari Sin-
liong Ciu Pek In si Naga Sakti yang telah menggemparkan
dunia kang-ouw dengan kehebatan ilmu pedangnya.
Biarpun baru belajar paling banyak lima tahun, namun
kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biarpun
ia belajar bersamaan dengan adiknya, tapi karena ia
memiliki kecerdasan otak yang luar biasa, maka tentu saja
kepandaiannya menjadi lebih tinggi daripada Siauw Leng.
Dalam hal ilmu pedang ia tak khawatir kalah oleh Lie Eng,
hanya ia kalah latihan karena Lie Eng telah belajar silat
semenjak kecil. Akan tetapi sebaliknya, Cui Sian menang
tenaga dan ketabahan serta ketenangan wataknya membuat
permainan silatnya kuat dan tetap.
Menghadapi ilmu pedang Im-yang-siang-kiam-hoat yang
luar biasa hebatnya dan serangan-serangan yang bagaikan
badai datangnya itu, terpaksa Cui Sian tidak berani berlaku
sembarangan dan iapun segera mengeluarkan ilmu pedang
tunggal yang menjadi pokok kepandaiannya yakni Sin-liong
Kiam-hoat. Ilmu pedang Naga Sakti ini adalah kepandaian
tunggal dari Ciu Pek In dan selama orang tua itu malang
melintang di dunia kang-ouw, belum pernah ilmu
pedangnya terkalahkan, maka ke-hebatannyapun luar biasa.
Pedang di tangan Cui Sian bagaikan hidup dan sinarnya
merupakan gulungan putih yang tebal dan panjang hingga
benar-benar bagaikan seekor naga sakti menyambar-
nyambar dan bermain-main di antara mega-mega yang
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbentuk dari gundukan kedua pedang Lie Eng.
Telah seratus jurus lebih mereka bertempur dengan mati-
matian dan mata para penonton di sekeliling lingkaran itu
menjadi kabur karena hebatnya pertandingan itu.
Sedangkan Ouwyang Bun menonton dengan muka pucat.
Perasaannya tertekan sekali dan kesedihan hatinya
memuncak. Bagaimana kalau Cui Sian sampai mati oleh
Lie Eng" Ah, hal ini tentu akan menghancurkan hatinya,
melenyapkan kebahagiaan hidupnya. Dan bagaimana kalau
Lie Eng yang binasa" Juga susah, karena hal itu berarti
hancurnya kebahagiaan adiknya. Ia menjadi serba salah,
tapi apa daya" Tubuhnya masih berada di bawah pengaruh
totokan, bahkan, andaikata ia tidak tertotokpun, belum
tentu ia sanggup memisah kedua pendekar wanita yang
sedang bergumul mati-matian karena kedua dara itu
kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah tingkatnya
sendiri. Karena merasa tidak berdaya, Ouwyang Bun
terpaksa menekan perasaan hatinya dan ia menyerahkan
nasib kedua gadis itu ke tangan Thian Yang Maha Kuasa
Lie Eng juga merasa kagum sekali menghadapi ilmu
pedang Cui Sian yang begitu hebat dan kuat, sedangkan Cui
Sian diam-diam memuji kelihaian Im-yang-siang-kiam-
hoat. Pada suatu saat Lie Eng menggunakan pedang kanan
menusuk ke arah mata kiri Cui Sian dengan gerakan
Bidadari Petik Teratai, sedangkan pedang kirinya pada saat
itu juga membabat kaki dengan gerakan Angin Menyapu
Daun Kering Bukan main hebat dan berbahayanya
serangan bercabang ini. Seluruh perhatian lawan ditujukan
untuk menghadapi serangan pedang yang menusuk mata,
akan tetapi sebetulnya serangan ke arah kaki itulah yang
lebih berbahaya karena mengandung perubahan tipu-tipu
berbahaya. Biarpun ia pandai, namun Cui Sian terkejut
juga, karena ketika ia menggunakan pedangnya menangkis
serangan pedang kanan yang menyambar matanya itu
dengan gerakan Naga Sakti Perlihatkan Ekor, tiba-tiba
pedang kiri Lie Eng telah melayang ke arah kakinya. Ia
cepat berseru dan menggunakan ginkang-nya untuk
meloncat menyelamatkan kedua kakinya. Tapi tidak ia
sangka pedang yang dilayangkan ke kaki itu segera berobah
dengan gerakannya yang membabat tadi diteruskan menjadi
sebuah tusukan yang berbahaya ke arah perut.
Ouwyang Bun terkejut sekali melihat kehebatan serangan
ini, apalagi ketika ia melihat betapa pedang Lie Eng di
tangan kanan menyambar pula untuk menjaga dan
digunakan sebagai serangan susulan apabila lawan itu
mengelak. Pemuda ini merasa betapa dadanya berdebar
ngeri dan terbayanglah matanya betapa tubuh kekasihnya
itu mandi darah.
Tapi, kembali kali ini ketenangan dan kecerdikan Cui
Sian menolong dirinya. Melihat datangnya pedang yang
menusuk perutnya, ia tidak mau menangkis, dan karena
tubuhnya masih berada di tengah u-dara, ia segera
menggerakkan tubuh itu miring ke kiri sambil menarik
perutnya ke dalam hingga pedang Lie Eng menyambar
angin. Cui Sian dapat menduga akan bahaya yang
mengancam dari pedang kanan Lie Eng Benar saja, ketika
ia mengelakkan pedang kiri lawannya ke kiri, tiba-tiba
terdengar Lie Eng berseru girang dan pedang kanannya
menyambar cepat membabat leher Cui Sian.
Kali ini tak mungkin Cui Sian mengelak karena selain
datangnya pedang itu sangat cepat, juga tubuhnya masih
miring biarpun kakinya telah menginjak tanah. Jalan satu-
satunya bagi dia ialah melemparkan tubuh ke belakang dan
bergulingan. Dara inipun melakukan hal itu, tapi ia tidak
menjatuhkan diri ke belakang untuk bergulingan, hanya
menggunakan ginkangnya yang tinggi untuk berjungkir
balik ke belakang.
Akan tetapi Lie Eng tidak mau memberi kesempatan
kepada Cui Sian untuk melepaskan diri dari kurungan
pedangnya sedemikian mudah.
Ia meloncat cepat menubruk dan mengirimkan tusukan maut dengan ujung
pedang digetarkan. Ketika itu, baru saja Cui Sian
menurunkan kakinya, melihat datangnya tusukan maut
yang digerakkan dalam tipu Macan Buas Sambar Hati ini,
ia segera kertak giginya dan mengerahkan seluruh tenaga
lweekangnya, lalu dengan gerakan Naga Sakti Menyabetkan Ekor ia menangkis dengan pedangnya sekuat
tenaga. "Traang.." dan bunga api biru dan merah memancar
keluar ketika dua batang pedang itu beradu dengan
kerasnya. Alangkah terkejut kedua dara itu ketika melihat
bahwa pedang mereka ternyata telah putus di tengah-
tengah. Lie Eng melempar gagang pedang itu dan kini ia
menggunakan pedang kirinya untuk menyerang lagi kepada
lawan yang telah tak bersenjata lagi itu.
Dalam keadaan seperti itu Cui Sian masih dapat berlaku
tenang. Iapun melempar gagang pedangnya yang telah
patah itu dan siap menghadapi serangan Lie Eng dengan
tangan kosong. Akan tetapi, tiba-tiba Lie Eng menahan
pedang yang telah digerakkan hendak menusuk itu. Ia
berdiri bagaikan patung karena pada saat itu ia
menggunakan pikirannya. Liang-simnya (hati nuraninya)
dan sifat gagahnya tidak mengijinkan ia menggunakan
kesempatan dan keuntungan itu untuk memperoleh
kemenangan. Ia lalu berkata,
"Kau bertangan kosong" Baik, lihatlah ini." setelah
berkata demikian, Lie Eng lalu melemparkan pedangnya
hingga menancap di atas tanah. Lalu tanpa banyak
membuang waktu ia maju menubruk dan melancarkan
serangan dengan kepalan tangan dalam gerak tipu Sian-jin-
ci-louw (Dewa Tunjukkan Jalan). Kepalan tangan ini
bergerak ke arah leher dan segera berobah menjadi tusukan
dengan dua jari tangan. Cui Sian mengelak dan balas
menyerang. Maka kembali dua dara jelita itu bertempur mati-matian.
Kali ini dengan tangan kosong, tapi kehebatannya tidak
kalah dengan pertempuran menggunakan pedang tadi. Lie
Eng yang telah berpeluh dan lelah menggunakan
kecerdikannya dan ia bersilat dengan ilmu gerakan Cian-jiu
Koan-im-hian-ko, yakni Dewi Koan Im Tangan Seribu
Persembahkan Buah. Biarpun ilmu silat ini hebat dan dapat
menghadapi serangan yang bagaimanapun, tapi cukup
dimainkan dengan tak banyak perubahan kaki hingga tidak
membuang tenaga. Tampaknya Lie Eng berdiri diam saja
dan hanya bergerak apabila diserang dan membalas dengan
serangannya. Sebaliknya, Cui Sian juga sama keadaannya dengan Lie
Eng. Gadis inipun telah lelah dan peluhnya telah
membasahi jidat. Menghadapi ilmu silat Lie Eng, gadis
yang cerdik inipun tahu bahwa jika ia menurutkan napsu
hati dan menyerang tanpa perhitungan biarpun ia takkan
dikalahkan dengan ilmu silat itu, namun ia akan kehabisan
tenaga juga, sedangkan Lie Eng dapat beristirahat sambil
mempertahankan diri. Oleh karena itu, iapun lalu berdiri
diam tidak mau menyerang, hanya memasang kudakuda di
depan Lie Eng dan menanti lawannya maju menyerang.
Melihat sikap lawannya itu, diam-diam Lie Eng
mengeluh sambil memuji, karena ternyata gadis yang amat
cerdik itu telah tahu akan maksudnya dan tahu pula rahasia
ilmu silat Cian-jiu Koan-im-hian-ko ini. Biarpun keduanya
sama-sama cerdik dan tinggi ilmu silatnya, namun Lie Eng
kalah tenang dan adat yang berangasan dan keras dari gadis
ini membuat ia kalah sabar. Ia segera berseru keras dan
menubruk maju sambil melancarkan serangan maut.
Tangan kanannya memukul dada sedangkan tangan kiri ia
gunakan untuk menusuk kedua mata lawan. Serangan ini
luar biasa hebat dan berbahayanya karena dilakukan
dengan nekat. Dengan dua tangan menyerang ini, maka
otomatis Lie Eng telah membuka lubang bagi diri sendiri
karena sama sekali tidak ada penjagaan. Ia memang telah
nekat dan biarpun ia tahu bahwa lawannya akan mudah
mengirim serangan, namun ia tahu juga bahwa kalau Cui
Sian menyerang, tak mungkin lawannya itu menghindarkan
serangan kedua tangannya.
Tapi agaknya Lie Eng terlalu memandang rendah
lawannya dan inilah kesalahannya. Otak Cui Sian yang
memang cerdas itu dalam saat sekilat saja sudah dapat
melakukan perhitungan untung rugi dalam menghadapi
serangan ini. Ia maklum bahwa kalau selalu menghindari
pukulan Lie Eng, maka pertempuran ini takkan ada
habisnya, apalagi ia telah merasa lelah sekali. Kini melihat
datangnya serangan ia maklum bahwa Lie Eng telah
berlaku nekat. Maka cepat sekali ia merendahkan tubuhnya
hingga serangan tangan kiri lawan yang menusuk matanya
itu lewat di atas kepalanya sedangkan tangan kanan Lie
Eng yang memukul dadanya, kini tepat menghantam
pundaknya. Tapi pada saat itu juga, dari bawah ia
melayangkan pukulan ke arah lambung Lie Eng.
Keduanya menjerit ngeri dan keduanya terhuyung
mundur lalu roboh pingsan. Para pemberontak segera maju
hendak menghabiskan jiwa Lie Eng, tapi terdengar
bentakan keras dari Siauw Leng.
"Mundur semua. Siapa berani menyentuh dia akan
berkenalan dengan tanganku." Maka semua kawannya yang
tadinya telah marah sekali kepada Lie Eng itu tiba-tiba
teringat akan pesan Cui Sian. Sementara itu, Siauw Leng
lalu membebaskan totokah yang mempengaruhi Ouwyang
Bun hingga pemuda itu dapat bergerak. Ia maju menubruk
Cui Sian yang rebah dengan wajah pucat seperti mayat.
Tapi hatinya menjadi lega ketika mengetahui bahwa gadis
itu hanya menderita luka yang tak berapa berat di
pundaknya dan jatuh pingsan hanya karena terlalu lemah
dan lelah. Kemudian ia teringat kepada Lie Eng dan segera
memeriksa keadaan gadis itu. Diam-diam Ouwyang Bun
terkejut sekali karena di bibir gadis ini tampak darah
mengalir. Siauw Leng yang juga mempelajari ilmu
pengobatan dari suhunya, mengerutkan jidat ketika
memeriksa lambung Lie Eng yang terpukul karena ternyata
gadis ini menderita luka dalam yang mengkhawatirkan
keadaannya. Ouwyang Bun lalu mendukung tubuh Cui Sian masuk ke
tenda, sedangkan Siauw Leng mengangkat tubuh Lie Eng
masuk ke tendanya sendiri. Tenda Siauw Leng ini
berdekatan dengan tenda Cui Sian. Lie Eng masih pingsan
ketika dibawa masuk, sedangkan Cui Sian telah sadar.
Gadis ini sadar dalam dukungan Ouwyang Bun dan ia
berbisik, "Koko, maafkan aku tadi telah menotokmu."
Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala. "Ah,
kalian gadis-gadis kepala batu. Gila sekali untuk bertempur
mati-matian hanya karena seorang tak berharga seperti
diriku." "Untuk menjaga nama dan kehormatan, koko....," Cui
Sian berbisik lemah. Ketika ia telah dibaringkan di atas
dipannya, ia bertanya,
"Koko, bagaimana dengan dia?"
"Siapa" Lie Eng" Ah, pukulanmu terlalu hebat."
Cui Sian diam saja dan memejamkan mata.
"Kasihan Lie Eng yang malang...." sambil memejamkan
mata ia berkata lirih.
Ouwyang Bun memandang wajah kekasihnya dengan
heran. Sungguh ia tak dapat mengerti sikap ini. Tadi
berkelahi mati-matian dan kini mengucapkan kata-kata
menyatakan iba hati kepada bekas lawannya itu.
Sementara itu, dengan napas terengah-engah, Lie Eng
sadar dari pingsannya. Ia membuka mata perlahan-lahan
dan melihat betapa Siauw Leng sedang merawat dia. Maka
ia menutup matanya lagi.
Rasa dendam dan gemas membuat lukanya makin terasa
sakit. Gadis ini memang mempunyai watak tidak mau
kalah, maka tentu saja kekalahan ini menyakitkan hatinya
benar. Ia mencoba untuk mengerahkan Iweekangnya
menahan rasa sakit itu dan tahulah ia bahwa lukanya
memang berat dan berbahaya. Ia diam-diam kagum akan
kehebatan Cui Sian dan diam-diam ia harus mengakui
bahwa gadis itu memang pantas menjadi isteri Ouwyang
Bun. Pada saat itu, telinganya yang tajam mendengar suara
Ouwyang Bun di tenda sebelah, dan ia mendengar pula
suara Cui Sian. Hatinya terasa perih karena ia tahu bahwa
pemuda itu tentu sedang merawat Cui Sian. Ia teringat
bahwa Cui Sian juga kena pukulannya, tapi hanya di
pundak dan tehtu saja tidak berbahaya. Kembali ia
memejamkan mata dengan hati sakit. Mengapa ia tidak
mati saja" Ah, ia malu dan apa artinya hidup menanggung
malu dan patah hati"
Melihat wajah yang cantik itu nampak sedih, Siauw
Leng merasa terharu. Iapun merasa suka kepada gadis yang
gagah dan jujur serta keras hati ini, sifat yang juga menjadi
sifatnya. Maka katanya perlahan,
"Lihiap, enciku itu telah ditunangkan dengan Ouwyang
Bun semenjak mereka masih kecil oleh orang tua kami.
Ouwyang Bun dengan enciku, dan Ouwyang Bu dengan
aku." Ucapan Siauw Leng ini sebetulnya dimaksudkan untuk
memberi penjelasan agar dapat menghibur hati gadis itu,
tapi tidak mengira bahwa penjelasan ini bahkan lebih
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyakiti hati Lie Eng. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu
dan membentak. "Pergi kau. Jangan rawat aku, pergi....."
Dengan mengangkat pundak dan muka menyatakan
kasihan, Siauw Leng keluar dari tenda itu.
Lie Eng menangis sedih tapi ia kuatkan hatinya untuk
menahan suara tangisnya agar jangan sampai terdengar
oleh o-rang lain. Hatinya makin terasa sakit. Ia malu sekali,
karena ternyata bahwa Ouwyang Bun adalah tunangan Cui
Sian yang sah hingga dialah yang sesungguhnya bersikap
rendah, hendak merampas tunangan orang. Dan lebih-lebih
lagi, dia telah menjadi sebab hingga Ouwyang Bu terpisah
dari kakaknya, bahkan kini menjadi musuh Siauw Leng,
tunangan pemuda itu sendiri. Ah, kalau saja tidak ada dia,
tentu kedua pemuda itu akan berkumpul dengan kedua
tunangan mereka dan semuanya akan beres dan lancar.
Semua akan berbahagia. Tapi sekarang dengan adanya dia,
segalanya menjadi kacau.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, semua orang di
situ mendengar jerit tangis Siauw Leng yang memilukan,
karena ketika gadis ini memasuki tendanya hendak
menjenguk Lie Eng, ternyata ia mendapatkan gadis ini telah
menjadi mayat. Lie Eng telah menggunakan sebilah pisau
yang terdapat di tenda itu untuk bunuh diri. Pisau itu
menancap di dada kirinya dan ia mati telentang di atas
dipan. Tangan kirinya memegang sehelai kertas yang
ternoda darah yang memercik keluar dari dadanya.
Melihat keadaan Lie Engr-Oywyang Bun tak dapat
menahan keharuan hatinya. Ia maju dan berlutut di dekat
tubuh itu sambil menundukkan kepala. Diam-diam m
merasa bertanggung jawab akan peristiwa ini dan tahu pula
bahwa kematian gadis ini adalah karena dia. Sementara itu,
Cui Sian yang juga sudah dapat turun dan berada pula di
situ, hanya berdiri sambil menghela napas berulang-ulang.
Ketika Ouwyang Bun mengangkat muka, ternyata wajah
pemuda ini pucat dan kedua matanya basah, sedangkan
pada wajah, itu terbayang kedukaan besar hingga membuat
ia tampak lebih tua. Ia tidak saja menyedihi kematian
sumoinya ini, tapi juga bersedih karena Ouwyang Bu. Ia
maklum bahwa kematian Lie Eng ini akan menghancurkan
kebahagiaan hidup Ouwyang Bu.
Dengan perlanan ia ambil surat di tangan gadis itu.
Ternyata surat itu ditujukan kepadanya.
Bun-ko, Sudah Sepantasnya aku tewas di tangan. Cui Sian yang
gagah, tapi sayang ia memukul kepalang tanggung hingga
terpaksa aku sendiri yang menamatkan hidupku, Tapi
agaknya arwahku takkan tenang sebelum mendapat ampun
dari engkau dan dari Bu-ko. Aku adalah seorang gadis yang
tak tahu diri dan hanya, mengacaukan kebahagiaan orang.
Dengan membabi-buta dan tak tahu malu aku telah
berani mencintaimu, Bun-ko, mencintai seorang pemuda
yang telah mempunyai tunangan secantik dan segagah Cui
Sian. Oleh karena akulah maka Bu-ko terpisah darimu. Karena
aku pula Bu-ko menjadi pembantu ayah dan karenanya tak
dapat berkumpul dengan Siauw Leng, tunangannya.
Aku tak mungkin menjadi isterimu, dan tak mungkin
pula menjadi isteri Bu-ko, hingga akibatnya aku hanya akan
hidup menderita dan merusak hati Bu-ko yang mencintaiku.
Karena inilah lebih baik aku mati.
Bun-ko, aku percaya bahwa kau tentu suka memaafkan
daku karena aku tahu betapa mulia hatimu. Tapi aku masih
ragu-ragu apakah Bu-ko dapat mengampuni dan melupakan
aku. Sukakah kau mintakan ampun padanya"
Selamat tinggal dan tolong sampaikan permohonan
ampun kepada ayah untuk anaknya yang tidak berbakti.
CIN LIE ENG Semakin keraslah sedu-sedan dari dada Ouwyang Bun
ketika ia baca isi surat ini dan tanpa berkata apa-apa ia
berikan surat itu kepada Cui Sian untuk dibaca. Gadis
itupun menjadi merah mukanya karena terharu sedangkan
Siauw Leng yang juga membaca surat itu menangis keras.
Ouwyang Bun lalu menyimpan surat itu dalam saku
bajunya. Ouwyang Bu merasa heran, khawatir, dan bingung
ketika tidak melihat Lie Eng dalam benteng. Ia mencari ke
sana-sini dan bertanya kepada anak buahnya yang berjaga
di sepanjang daerah penjagaannya, tapi tak seorangpun
melihat gadis itu.
Ketika matahari telah naik tinggi, tiba-tiba ia diberi tahu
oleh penjaga bahwa di luar benteng ada seorang pemuda
berpakaian putih datang dengan sebuah kereta hendak
bertemu dengannya. Hati Ouwyang Bu berdebar aneh dan
segera ia lari keluar.
"Bun-ko....." ia berseru keras sambil lari keluar
menyambut kakaknya itu. Tapi ia heran sekali melihat
betapa kakaknya itu berpakaian putih dan wajahnya
nampak sedih sekali.
"Bun-ko, kau dari mana dan hendak ke mana" Mari,
mari masuk, kita bicara di dalam," kata Ouwyang Bu
setelah berpelukan dengan kakaknya.
Tapi Ouwyang Bun tidak menjawab, bahkan tiba-tiba
saja matanya menjadi merah dan ia pandang wajah adiknya
yang gagah dan kini berpakaian perwira itu. Pandangan
mata Ouwyang Bun membuat Ouwyang Bu terkejut sekali.
"Bun-ko." teriaknya dengan hati tidak karuan. "Ada
kabar apa?"
Ouwyang Bun hanya menunjuk ke arah kereta yang
tertutup kain putih yang ditarik oleh seekor kuda. Ouwyang
Bu masih tidak mengerti walaupun hatinya berdebar-debar
cemas. Ia lalu menghampiri kereta itu dan membuka kain
putih yang menutupi kendaraan itu. Di dalam kereta
terdapat sebuah peti mati.
Dengan terkejut Ouwyang Bu melangkah mundur.
Mukanya menjadi pucat.
"Bun-ko, apa artinya ini" Peti mati siapa ini dan apa
maksudmu?"
"Bu-te..... sumoi..."
Tiba-tiba saja Ouwyang Bu menggigil dan mukanya
semakin pucat ketika ia berteriak,
"Lie Eng....."." dan cepat sekali ia meloncat ke arah peti
mati itu. Dengan tangannya yang kuat ia buka peti itu
hingga peti mati yang telah dipaku itu terbongkar seketika
itu juga. Ia buka kain penutup muka mayat itu.
"Lie Eng.... kau...." dan pemuda itu tak dapat
melanjutkan katakatanya karena pada saat itu juga ia roboh
pingsan. "Bu-te.... ah, Bu-te..... kasihan kau...... adikku..."
Ouwyang Bun-lalu menubruk dan memeluk tubuh adiknya.
Ia angkat kepala Ouwyang Bu dan dipangkunya serta
diciuminya dengan penuh kasih sayang.
Para penjaga yang melihat peristiwa ini berdiri bingung
dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka belum tahu
siapakah yang berada di peti mati itu dan mereka tidak
berani melakukan apa-apa karena tidak mendapat perintah.
Ketika Ouwyang Bu sadar sambil merintih memanggil-
manggil nama Lie Eng, ia dapatkan dirinya sedang dipeluk
dan dipangku oleh kakaknya. Tiba-tiba ia meloncat berdiri
dan mencabut pedangnya.
"Bun-ko.... siapa.... siapa yang membunuh dia"
Kaukah...?" ia menghampiri kakaknya dengan sikap
mengancam. "Ya, tentu kau. Siapa lagi yang dapat
membunuh dia" Dan kau sekarang sudah menjadi
pemberontak" Hayo, mengakulah kau."
Ouwyang Bun hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu
ia mengeluarkan surat Lie Eng. Ouwyang Bu menerima
surat itu dengan kedua tangan menggigil. Ketika ia
membaca isinya surat itu, mukanya menjadi sebentar pucat
sebentar merah. Ia lalu memukul-mukul kepala sendiri
dengan tangan hingga topi besi yang dipakainya berbunyi
tang-tung dengan keras. Setelah habis membaca surat itu, ia
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakaknya dan
berkata, "Bun-ko.... kaubunuhlah aku, Bun-ko.... aku hendak
menyusul Lie Eng..."
Tapi Ouwyang Bun memegang kedua pundak adiknya
dan ditariknya Ouwyang Bu berdiri. "Bu-te. Bukankah kau
seorang laki-laki dan seorang jantan pula. Janganlah
bersikap lemah."
Tiba-tiba katakata ini bagaikan cahaya kilat yang
memasuki tubuh Ouwyang Bu. Ia berdiri tegak dan kedua
matanya memandang kepada kakaknya sedemikian rupa
hingga Ouwyang Bun mundur dua langkah. Mata itu
bagaikan mata seorang buta melek.
"Baik, Bun-ko. Aku tetap seorang laki-laki dan sudah
menjadi tugasku untuk membalas dendam ini. Jangan kau
menyesal kalau kelak aku pasti membunuh Cui Sian, Siauw
Leng, dan.... engkau juga."
Biarpun hatinya merasa sakit dan pilu, tapi Ouwyang
Bun tahu bahwa inilah sikap terbaik bagi seorang perajurit
seperti Ouw yang Bu.
"Bu-te, aku tahu bahwa surat ini telah menyakiti hatimu
dan kau tentu marah kepadaku. Kalau kau sakit hati dan
hendak membunuh aku, lakukanlah itu sekarang juga,
adikku." "Tidak membunuh pemberontak ini sekarang, mau
tunggu kapan lagi?" tiba-tiba terdengar orang berseru keras
dan Gui Li Sun yang mengeluarkan katakata ini lalu
menyerbu dan menyerang Ouwyang Bun, diikuti oleh
beberapa orang perwira lain.
"Tahan." Ouwyang Bu membentak hingga semua
penyerang itu mengundurkan diri. "Jangan serang dia."
"Ciangkun, dalam menghadapi musuh, perajurit sejati
tidak kenal saudara." Gui Li Sun memperingatkan.
"Tutup mulut." Ouwyang Bu membentak marah.
"Kaukira aku tidak tahu aturan seorang perajurit sejati" Aku
larang kau serang dia bukan karena ia saudaraku, tapi
karena kedatangannya adalah sebagai seorang utusan yang
membawa jenasah Cin-lihiap. Pantaskah kalau kita serang
dia" Perbuatan ini akan dipandang rendah dan aku
melarang siapa saja menyerang dia pada waktu sekarang
ini." Semua orang terpaksa mengakui kebenaran katakata ini.
"Sekarang kau pergilah." kata Ouwyang Bu dengan
suara dingin. "Bu-te.... marilah kita pergi saja, pergi dari segala
peperangan ini..."
Untuk sesaat Ouwyang Bu ragu-ragu, tapi ia segera
menetapkan hatinya dan berkata,
"Sudahlah, jangan banyak ribut. Bujuk-anmu tidak ada
artinya bagiku..Aku seorang perajurit sejati dan harus tetap
menu naikan tugasku sebagai seorang perwira. Dan kau....
kau pergilah kembali kepada tunanganmu." Kemudian
Ouwyang Bu memerintahkan anak buahnya untuk
mendorong kereta berisi peti mati itu ke dalam benteng dan
ia sendiri lalu masuk ke dalam benteng tanpa menoleh lagi
kepada kakaknya. Ouwyang Bun menghela napas berkali-
kali dan terpaksa ia lalu kembali ke dalam hutan.
Setelah berada dalam benteng, barulah Ouwyang Bu
menangisi jenasah Lie Eng, sedangkan Gui Li Sun berkata
dengan suara gemas.
"Ciangkun, marilah kita kerahkan tenaga dan menyerbu
ke dalam hutan. Kalau belum dapat membasmi habis
pemberontak-pemberontak hinadina itu, belum puas rasa
hatiku." Ouwyang Bu tidak menjawab tapi diam-diam ia
mengatur siasat untuk membalas kematian Lie Eng kepada
para pemberontak itu.
Benar saja, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
Ouwyang Bu bersama Gui Li Sun dengan tiga ratus orang
tentara telah menyerbu ke dalam hutan. Pertempuran hebat
terjadi dan Ouwyang Bun melihat betapa Cui Sian dan
kawan-kawannya terkurung, terpaksa turun tangan hingga
di pihak tentara negeri menjadi kacau. Amukan Ouwyang
Bun dihadapi oleh beberapa orang perwira yang cukup
tinggi kepandaiannya. Karena para pemberontak itu
menggunakan taktik berpencar, maka pertempuran menjadi
berkelompok-kelompok. Yang mengherankan ialah bahwa
Ouwyang Bu tidak tampak dalam pertempuran itu.
Karena pihak tentara sangat banyak, maka banyak sekali
jatuh korban dan akhirnya pihak pemberontak terpaksa
meng undurkan diri. Tapi pada saat itu muncul tiga orang
tosu tua yang datang membantu pihak pemberontak. Tiga
orang tosu ini berkepandaian tinggi sekali hingga para
tentara kocar-kacir tidak kuat menghadapi mereka bertiga
yang bersenjata pedang.
Ke manakah perginya Ouwyang Bu" Sebetulnya tadinya
pemuda ini memang memimpin sendiri penyerbuan ke
dalam hutan, tapi setelah pertempuran terjadi, ia
memisahkan diri karena bermaksud hendak menawan
hidup, seorang di antara tiga pemimpin pemberontak itu. Ia
melihat betapa Ouwyang Bun bertempur di samping Cui
Sian merupakan sepasang anak muda gagah perkasa hingga
sukar sekali didekati. Maka ia lalu mencari ke kelompok
lain dan melihat Siauw Leng sedang mengamuk dikeroyok
beberapa orang anak buahnya. Ouwyang Bu segera
meloncat membantu karena anak buahnya yang dipimpin
Gui Li Sun ternyata sangat terdesak oleh gadis lincah itu.
"Bun-ko, bantulah aku membereskan beberapa ekor tikus
ini." Siauw Leng berkata tanpa menengok. Ouwyang Bu
heran, tapi ia segera tahu bahwa gadis itu salah sangka. Ia
memang berpakaian putih untuk menyatakan kesedihannya
atas kematian Lie Eng, dan gadis itu tentu menyangka,
bahwa ia adalah Ouwyang Bun.
Karena inilah maka ketika Ouwyang Bu meloncat di
dekatnya dan mengulurkan tangan menotok, Siauw Leng
tidak menyang ka sama sekali bahwa ia bukan Ouwyang
Bun dan mudah saja ia kena ditotok roboh. Seorang
pengeroyok mengayun senjata hendak membunuh gadis itu,
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi Gui Li Sun mendahuluinya dengan memegang dan
mendukung tubuh Siauw Leng.
Karena tidak ingin melihat gadis itu dibunuh, Ouwyang
Bu lalu mengangguk kepada Gui-ciangkun dan berkata,
"Bawa tawanan ini dan jaga baik-baik," kemudian ia
sendiri lalu pergi menghadapi tiga orang tosu yang sedang
mengamuk itu. Ternyata tiga orang tosu itu benar-benar
gagah perkasa dan kini semua pemberontak yang tadi
melarikan diri mendapat tambahan semangat dan melawan
lagi. Ouwyang Bu melihat gerakan-gerakan ketiga orang itu,
maklum bahwa pihaknya takkan menang, maka ia segera
memberi aba-aba dan menarik mundur semua orangnya,
lalu kembali ke dalam benteng.
Ouwyang Bu langsung menuju ke tempat tahanan untuk
menemui Siauw Leng yang ditawannya tadi. Tapi alangkah
herannya ketika ia tidak mendapatkan gadis itu di antara
tawanan-tawanan lain. Ia lalu bertanya kepada penjaga
yang segera dijawab bahwa tawanan wanita itu dibawa
pergi oleh Gui-ciangkun
0oooo0dw0oooo0 Jilid VII Tamat
OUWYANG BU marah sekali. Sambil berlari ia menuju
ke tempat tinggal Gui Li Sun di sebelah utara dalam
benteng itu. Ketika ia tiba di depan kamar Gui-ciangkun, ia
mendengar suara wanita memaki-maki dan suara Gui Li
Sun tertawa-tawa.
Ouwyang Bu tak dapat mengendalikan kesabarannya
lagi. Ia mendorong daun pintu dan apa yang terlihat
olehnya membuat ia mencabut pedangnya karena marah.
Gui Li Sun yang agaknya sudah mabok, berdiri dengan
sikap menantang.
"Gui-ciangkun, apakah yang sedang, kau lakukan ini?"
"Ha-ha ciangkun, apakah kau tidak melihat" Aku sedang
memeriksa seorang tawanan"
"Lepaskan dia dan kembalikan ke dalam kamar tahanan"
Ouwyang Bu memerintah dengan mata terbelalak marah.
Gui Li Sun menggeleng-gelengkan kepala. "Ouwyang-
ciangkun, kau selalu mau menang dan mau enak sendiri
saja. Kau datang-datang telah, merampas nona Lie Eng dari
tanganku merampas pula kedudukanku. Semarang aku
dapat menangkap tawanan pemberontak wanita ini, apakah
kau juga hendak merampasnya pula" Ha-ha, ia memang
cantik, lebih cantik daripa da nona Lie Eng. Tapi dia adalah
bagianku dan kau tidak boleh merampasnya."
"Gui Li Sun, tutup mulutmu yang kotor. Apakah kau
hendak membantah perintahku?"
"Perintah apakah ini" Ouwyang-ciangkun, apakah kau
lebih memberatkan dan membela tawanan seorang
pemberontak daripada seorang perwira pembantumu
sendiri?" "Selama aku masin berada di sini, kau tidak boleh
memperlakukan tawanan kita secara sewenang-wenang"
kata Ouwyang Bu tidak sabar.
"Siapa yang sewenang-wenang" Kau atau aku" Aku
takkan menyakiti atau menyiksa nona ini. Aku bahkan
hendak mengambil dia sebagai isteriku"
"Bangsat rendah" Ouwyang Bu marah sekali dan
menggerak-gerakkan pedangnya. Tiba-tiba Gui Li Sun juga
mencabut pedangnya dan menghadapi Ouwyang Bu
dengan mata merah.
"Orang she Ouwyang. Kali ini aku terpaksa tak mentaati
perintahmu yang gila. Aku hendak mengambil nona ini,
kau mau apa?"
"Kalau begitu aku akan menggunakan kekerasan" kata
Ouwyang Bu. "Bagus" dan sambil berseru keras Gui Li Sun loncat
menyerang dengan pedangnya yang dapat ditangkis dengan
mudah oleh Ouwyang Bu. Tak lama kemudian Gui Li Sun
menyerang mati-matian dan Ouwyang Bu bertahan dengan
tenang. Sementara itu, Siauw Leng yang terikat kaki tangannya
dan tidak berdaya, melihat pertempuran itu dengan mata
terbelalak. Tiba-tiba ia menitikkan air mata dari sepasang
matanya karena keadaan itu mendatangkan berbagai
perasaan kepadanya. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu adalah
tunangannya dan karena ia telah tahu pula bahwa anak
muda ini mencintai Lie Eng, maka ia tidak banyak
mengharapkan dari padanya. Pula karena Ouwyang Bu
ternyata telah menjadi kaki tangan kaisar, ia lebih benci dan
menganggap bahwa pemuda itu memang berwatak jahat
dan buruk, berbeda jauh dengan Ouwyang Bun tunangan
encinya. Tapi kini melihat betapa pemuda itu ternyata
cukup memiliki sifat ksatria dan bahkan membelanya dari
gangguan panglima kasar she Gui itu, ia tak dapat menahan
keharuan hatinya lagi.
Ia merasa girang karena ternyata bahwa betapapun juga
pemuda pilihan orang tuanya itu tidak sejahat yang ia
sangka, dan ia merasa sedih karena pemuda itu mau
menjadi kaki tangan kaisar lalim.
Karena kepandaian Gui Li Sun memang kalah jauh jika
dibandingkan dengan Ouwyang Bu dan karena perwira she
Gui ini memang hanya mengandalkan tenaganya yang
besar belaka, maka tak lama kemudian ia hanya mampu
menangkis saja dan napasnya terengah-engah menghadapi
serangan-serangan Ouwyang Bu yang hebat. Pada saat yang
tepat sekali, akhirnya Ouwyang Bu berhasil menendang
tangan lawannya itu dan Gui Li Sun menjerit kesakitan.
Pedangnya terlempar dan jatuh di atas lantai.
"Pungut pedangmu dan pergi dari sini" Ouwyang Bu
memerintah sambil memasukkan pedangnya sendiri ke
dalam sarung pedang.
Bagaikan seekor anjing kena pukul, Gui Li Sun
membungkuk dan memungut pedangnya yang terlempar ke
dekat pembaringan. Karena pergelangan tangan kanannya
patah oleh tendangan Ouwyang Bu, ia menggunakan
tangan kiri untuk memungut pedang itu, tapi tiba-tiba
bagaikan orang kemasukan iblis ia menyeringai dan cepat
sekali ia gerakkan pedang, di tangannya itu untuk menusuk
dada Siauw Leng yang rebah telentang. Dara itu memekik
lirih dan berkelojotan dalam ikatannya, lalu
menghembuskan napas terakhir. Darah merah menyembur
keluar dari dadanya, membasahi pakaiannya.
Ouwyang Bu tiba-tiba merasa kepalanya pening dan
matanya kabur. Ia tak percaya kepada pandangan matanya
dan menggunakan tangannya untuk menggosok-gosok
kedua matanya. "Kau halang-halangi maksudku dan kau hendak
merampas dia, maka lebih baik dia mati dan habis perkara"
Mendengar kata-kata Gui Li Sun, barulah Ouwyang Bu
sadar dan maklum bahwa ia bukan sedang mimpi dan
bahwa benar-benar perwira itu telah membunuh Sianw
Leng dengan kejam. Suaranya gemetar ketika ia berteriak.
"Bangsat rendah. Kau.... kau binatang kejam" Ouwyang
Bu melangkah perlahan menghampiri Gui Li Sun dengan
mata mengancam dan wajah menyeramkan.
Melihat keadaan pemimpinnya ini, Gui Li Sun terkejut
sekali. Biarpun ia seorang yang tabah, namun melihat
wajah Ouwyang Bu pada saat itu, ia menjadi ngeri dan
takut. "Ciangkun.... ciangkun,,,. maaf.... yang kubunuh
hanyalah seorang pemberontak..."
Tapi Ouwyang Bu tetap melangkah maju, perlahan-
lahan, bagaikan seekor harimau menghampiri korbannya,
bibirnya tetap bergerak-gerak dan berbisik dengan napas
mendesis-desis,
"Bangsat rendah, binatang kejam"
Gui Li Sun makin takut. Tubuhnya menggigil dan untuk
penghabisan kali ia berusaha membela diri.
"Ouwyang-ciangkun ..... ampunkan aku.... ingat.... ia...
ia hanyalah seorang perempuan pemberontak"
Ketika Ouwyang Bu telah cukup dekat Gui Li Sun lalu
menggunakan pedang di tangan kirinya untuk menyerang,
tapi satu tangkisan keras membuat pedangnya terlempar
dan ia terhuyung ke samping. Ouwyang Bu bergerak cepat
dan tangan kanannya menghantam dada sedangkan kaki
kirinya menyusul menendang lambung.
Gui Li Sun memekik ngeri dan roboh tak bernapas lagi.
Ouwyang Bu berdiri memandang kedua mayat itu
dengan tak bergerak bagaikan patung batu. Pikirannya
kacau-balau. Pada saat itu terdengar suara orang menegur di
belakangnya, "Ouwyang Bu, perbuatan apakah yang kaulakukan ini?"
Ouwyang Bu terkejut sekali karena suara itu adalah
suara Cin CUn Ong. Ia mem balikkan tubuh dan benar saja,
Cin-ciang-kun telah berdiri di depannya.
Ouwyang Bu segera menjatuhkan diri berlutut di depan
susioknya. Ia teringat akan kematian Lie Eng dan tak
tertahan pula ia menangis sambil berkata,
"Susiok.... adik Lie Eng..."
"Sudahlah,
aku telah tahu semua. Aku tidak menyalahkan kau, dan kejadian sekarang ini sungguh
kusesalkan sekali. Beginilah akibatnya kalau orang
mencampuradukkan tugas kewajiban dengan perasaan-
perasaan perseorangan."
"Susiok, Gui Li Sun bertindak di luar batas
perikemanusiaan
dan teecu sebagai seorang yang menghargai kejujuran tak kuat melihat dan...."
"Saya tahu Gui-ciangkun bersalah" Cin Cun Ong
membentak. "Tapi betapapun besar kesalahannya, kau tak
berhak membunuhnya. Untuk mengadili dia, ada pengadilan tertentu, kau tidak boleh bertindak sendiri"
Ouwyang Bu menundukkan kepala dan mengakui
kesalahannya. "Lie Eng mati karena terlalu menurutkan nafsu hatinya,
tapi sudahlah, kematian bagi orang-orang dalam peperangan seperti kita tidak berarti apa-apa." Sungguhpun
mulutnya berkata begitu, namun wajah panglima tua ini
tampak bersedih juga, tanda bahwa kematian Lie Eng
sangat mendukakannya hingga Cin Cun Ong kini nampak
lebih tua. "Kita harus memperkuat benteng di sini karena akan ada
barisan pemberontak besar dan kuat melalui daerah ini.
Karena ini pula aku membawa seribu orang tentara ke.
benteng ini dan ada pula beberapa orang kawan-kawan
yang membantu kita. Mari kuperkenalkan kau kepada
mereka." Ouwyang Bu mengikuti susioknya keluar dari kamar itu
dan memerintahkan orang-orangnya mengurus jenasah Gui
Li Sun dan Can Siauw Leng, dengan pesan bahwa jenasah
nona itu harus diurus baik-baik dan jangan dianggap
sebagai mayat musuh biasa. Setelah tiba di luar, ia
diperkenalkan kepada beberapa orang tokoh persilatan yang
terkenal di kalangan kang-ouw.
Ia melihat Hoa-gu-ji Lee Un si Kerbau Belang, Bi Kok
Hosiang si hwesio gendut yang bersenjata tasbeh, Khu Ci
Lok si Huncwe Maut yang hebat. Mereka ini adalah tiga
tokoh yang dulu pernah membantu Cin Cun Ong di
benteng tembok besar di utara. Juga tampak Kin Keng
Tojin tokoh Go-bi-san yang bongkok kurus dan di antara
seribu orang anggauta tentara yang baru datang, terdapat
sepasukan tentara istimewa sebagaimana dapat dilihat dari
topi mereka, yakni Barisan Sayap Garuda, pahlawan-
pahlawan istana kaisar yang terkenal kekejaman dan
keberaniannya. Pasukan ini terdiri dari seratus dua puluh
orang. Melihat rombongan yang kuat ini, diam-diam Ouwyang
Bu merasa kagum, dan ia merasa yakin bahwa kali ini
barisan pemberontak pasti akan dapat dihancurkan. Semua
perwira dan para ksatria itu lalu dijamu oleh Cin Cun Ong
dan semua orang, kecuali Ouwyang Bu, merasa gembira.
Pemuda ini tidak dapat bergembira karena hatinya masih
sedih mengingat kematian Lie Eng dan ditambah pula ia
menyesal sekali telah menangkap Siauw Leng hingga gadis
itu menjadi binasa. Kalau saja ia binasakan gadis itu di
dalam pertempuran, maka ia takkan demikian menyesal.
Tapi, biarpun ia tidak membunuh gadis itu, namun tetap
saja ia merasa menyesal dan merasa seakan-akan ia sendiri
yang menyebabkan kematian gadis Itu. Hanya sedikit
pikiran yang menghiburnya, yakni bahwa ia telah
membunuh Gui Li Sun,
"Cuwi," kata Cin Cun Ong, "menurut laporan para
penyelidik kita, musuh yang akan menyeberang daerah ini
jumlahnya besar sekali dan mungkin lebih besar daripada
jumlah anak buah kita. Akan tetapi, dengan adanya kawan-
kawan di sini, kurasa kita takkan kalah. Menurut
perhitunganku, malam ini tentu mereka telah tiba di sini
dan kalau tidak malam ini, tentu besok pagi-pagi mereka
melakukan serangan. Maka kuharap cuwi sukalah berjaga-
jaga menghadapi segala kemungkinan. Ketahuilah bahwa
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat ini sangat penting artinya dan penyerbuan ke kota
raja oleh para pemberontak itu tergantung kepada berhasil
atau tidaknya mereka menyeberang daerah ini."
"Cin-eiangkun" tiba-tiba Khu Ci Lok si Huncwe Maut
berkata setelah melepaskan huncwenya dari mulut.
"Perlukah kita takuti segala pemberontak itu" Biarpun
jumlah mereka besar, tapi mereka itu terdiri dari petani-
petani dan pengemis-pengemis miskin yang kelaparan.
Kurasa biarpun jumlah mereka lima kali lebih banyak
daripada jumlah kita, dengan satu lawan limapun kita
takkan kalah. Maka kuharap Cin-ciangkun tidak berkecil
hati." Semua orang membenarkan kata-kata ini, tapi Ouwyang
Bu diam-diam khawatir melihat kesombongan mereka. Juga
Cin Cun Ong berkata,
"Betapapun juga, harap cuwi berhati-hati, karena terus
terang saja kukatakan bahwa di antara mereka ada juga
orang pandai." Akan tetapi, tentu saja panglima yang cerdik
itu tidak mau mengecilkan hati dan semangat mereka yang
membantunya ini, dan untuk menggembirakan suasana, ia
minta kepada mereka untuk mendemonstrasikan
kepandaian silat guna menyegarkan semangat.
Lok Wi Beng, seorang komandan Barisan Sayap
Garuda, yang masih muda dan bersikap galak, mulai
dengan demonstrasi kepandaiannya. Ia adalah murid dari
Him Kok Hwesio seorang tokoh dari Thai-san, maka
kepandaian silatnya cukup hebat. Dengan senjata sebatang
tombak panjang, perwira Sayap Garuda ini main silat
tombak yang mendapat sambutan dan pujian riuh rendah.
Ujung tombaknya bergetar-getar dan menjadi belasan
banyaknya, mengelilingi seluruh tubuh dengan suara angin
yang cukup kuat. Diam-diam Ouwyang Bu kagum juga dan
merasa bahwa kepandaian komandan she Lok tidak berada
di bawah kepandaiannya sendiri.
Selesai Lok Wi Beng berdemonstrasi, majulah dua
perwira lain yang dijuluki Tiat-tho-siang-houw atau
Sepasang Harimau Kepala Besi. Dua perwira ini adalah
saudara seperguruan dan mereka ini murid-murid Siauw-
lim-si yang berpihak pada pembesar seperguruan dan
mereka ini murid-murid Siauw-Iim yang berpihak pada
pembesar pemeras dan diperbantukan kepada Cin Cun
Ong. Kepandaian kedua murid Siauw-lim si inipun cukup
hebat. Mereka memperlihatkan kemahiran bersilat dengan
toya dan tentu tingkat kepandaian merekapun berimbang
dengan tingkat Lok Wi Beng hingga Ouwyang Bu makin
berbesar hati saja.
Dengan bergiliran, mereka saling memperlihatkan
kehebatan mereka. Ouwyang Bu teringat akan gurunya,
maka ia lalu mendekati susioknya dan dengan suara
perlahan bertanya mengapa suhunya tidak datang
membantu. "Gurumu orang aneh" kata Cin Cun Ong. "Aku sudah
minta bantuannya tetapi ia berkata bahwa ia tidak mau
mengotorkan tangannya dengan segala urusan perang. Ia
telah tua dan telah menjadi lemah, sayang..." Cin Cun Ong
tertawa dan Ouwyang Bu merasa heran, diam-diam ia
merasa menyesal mengapa suhunya bersikap demikian.
Suhunya telah menyuruh ia dan kakaknya turun gunung
untuk membantu Cin Cun Ong, tapi ia sendiri tidak mau
membantu. Sungguh aneh.
Pada saat itu, Khu Ci Lok si Huncwe Maut, Bi Kok
Hosiang, dan Hoa-gu-ji Lee Un sudah memperlihatkan
kemahiran mereka. Ketika tiba giliran Kin Keng Tojin
memainkan pedangnya, maka Ouwyang Bu kagum sekali
karena tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi pula.
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar berkelebat bajingan putih
dan terdengar suara orang berkata,
"Cin Cun Ong, maafkan aku mengganggu pestamu. Aku
perlu dengan pemuda she Ouwyang ini"
Semua orang terkejut ketika melihat betapa tiba-tiba saja
di tengah ruangan itu berdiri seorang tua berpakaian sebagai
petani dengan baju warna putih dengan sikap-tenang sekali.
"Sin-liong Ciu Pek In" Cin Cun Ong berkata terkejut.
Mendengar nama ini, Hoa-gu-ji Lee Un tahu bahwa
kakek yang datang ini adalah seorang tokoh pemberontak
yang terkenal sekali, maka diam-diam ia mengeluarkan tiga
batang piauw dan melemparkan senjata rahasia itu dari
jurusan belakang, mengarah tiga jalan darah yang paling
berbahaya dari kakek itu. Semua orang terkejut melihat hal
ini dan terutama Cin Cun Ong merasa tak senang karena
tindakan Lee Un itu dianggap gegabah dan sembrono
sekali. Ciu Pek In seperti tidak tahu akan datangnya tiga batang
piauw yang menyambut dan tiga buah senjata rahasia itu
tepat mengenai tubuhnya. Tapi sungguh aneh. Bagaikan
mengenai karet saja, tiga buah senjata itu mental kembali
dan jatuh di atas tanah tanpa melukai kulit kakek itu
sedikitpun. "Cin Cun Ong, tidak malukah kau menyambut tamu
dengan cara gelap?" tanyanya kepada Cin Cun Ong.
Cin-ciangkun dengan muka merah berkata, "Pemberontak tua. Apakah kehendakmu datang ke sini?"
"Ada dua macam keperluan. Pertama, aku hendak
membawa pemuda she Ouwyang ini karena ada sesuatu
urusan penting. Kedua, aku memimpin barisanku hendak
menyerang bentengmu ini dan kini mereka telah mulai
menyerbu masuk"
Dan pada saat itu terdengar sorak-sorai yang hebat dan
gegap-gempita dari luar benteng. Terkejutlah semua orang
yang berada di situ.
"Ciu Pek In, kau mencari mati" kata Cin Cun Ong
sambil mencabut pedangnya. Tapi pada saat itu, dari luar
berloncatan masuk beberapa orang, di antaranya tampak
Ouwyang Bun, Can Cui Sian si Bunga Bwee, tampak juga
tiga orang tosu ulung yang sebenarnya adalah Cun-san
Sam-lo-hiap (Tiga Pendekar Tua Dari Cun-san), tampak
pula Bhok Sun Ki si Raja Pengemis, Cin Kong Hwesio
ketua kelenteng Hok-po-tong yang gemuk pendek, dan tidak
ketinggalan Kilok Ngo-koai (Lima Setan Dari Kilok).
Ternyata para pemimpin pemberontak ini dengan gagah
berani menyerbu masuk pada saat para pemimpin barisan
negeri sedang berkumpul. Sedangkan anak buah mereka
telah bertempur di luar tembok benteng dengan hebat
melawan penjaga-penjaga benteng.
Di ruangan yang lebar itu segera terjadi pertempuran
yang. luar biasa hebatnya. Ciu Pek In yang mempunyai
gerakan bagaikan seekor naga sakti, sekali menggerakkan
tubuh sudah menyambar ke arah Ouwyang Bu dan sebelum
anak muda itu dapat melawan, ia telah kena ditotok hingga
tak dapat bergerak.
Cin Pek In lalu mengempit pemuda itu dan dibawa
meloncat keluar dari ruangan. Ia turunkan Ouwyang Bu di
atas tanah. Ia bertanya dengan suara tetap dan berat,
"Anak muda yang sesat, kauapakan muridku si Siauw
Leng?" Pada saat itu Cui Sian juga memburu kesitu dan melihat
pemuda itu ia memaki gemas,
'Manusia keji. Kau telah menculik dan menganiaya
tunanganmu sendiri, sungguh kejam dan rendah"
Biarpun Ouwyang Bu telah ditotok tai-twi-hiat yakni
jalan darah yang membuat ia lemah tak berdaya, namun ia
masih dapat berbicara dan semangatnya tidak padam.
Dengan berani dan tabah ia berkata,
"Aku sudah tertangkap, mengapa tidak lekas kau bunuh,
mau tunggu apalagi?"
"Akuilah dulu bagaimana kau membunuh muridku" kata
Ciu Pek In. Tapi Ouw yang Bu hanya memandang dengan
mata bersinar dan tidak mau menjawab. Betapapun juga, ia
telah merasa bertanggung jawab atas kematian Siauw Leng,
untuk apa ia harus menceritakan segala peristiwa itu hingga
seakan-akan ia membela diri" Ia tidak takut mati dan ia tak
perlu minta dikasihani.
Melihat kekerasan hati Ouwyang Bu, Cui Sian menjadi
tak sabar dan tak dapat menahan kemarahan hatinya, ia
mengangkat tangannya yang memegang pedang. Tapi pada
saat itu terdengar teriakan,
"Moi-moi. Ciu-locianpwe. Tahan dulu.... dengarlah
keterangan orang ini"
Ternyata yang datang adalah Ouwyang Bun yang
menyeret-nyeret seorang anggauta tentara. Anak muda ini
sengaja menangkap dan memaksa tentara ini mengaku dan
menceritakan peristiwa yang terjadi antara Gui Li Sun,
Siauw Leng, dan Oouyang Bu. Dengan paksaannya, tentara
itu terpaksa menceritakan kembali di depan Ciu Pek In dan
Can Cui Sian tentang peristiwa itu, betapa Gui-ciangkun
menawan Siauw Leng dan betapa ia membawa gadis itu ke
tendanya dengan maksud jahat. Kemudian datang
Ouwyang Bu yang menghalangi maksudnya hingga terjadi
pertempuran. Dan ia ceritakan pula bahwa yang
membunuh Siauw Leng adalah Gui Li Sun dan bahwa
karena itulah Ouwyang Bu sampai membunuh orang she
Gui itu. Mendengar keterangan ini, tiba-tiba Cui Sian menjerit
lirih dan ia pegang tangan Ouwyang Bu sambil berkata,
"Ah.... kau.... telah membalaskan sakit hati Siauw Leng....
dan... dan aku yang membunuh kekasihmu... sekarang
mendakwamu lagi..."
Tapi Ouwyang Bu tidak memperlihatkan muka girang,
dan setelah Ciu Pek In dengan wajah kagum melepaskan
totokannya, Ouwyang .Bu berdiri lalu berkata keras, "Aku
adalah seorang perajurit yang telah bersumpah setia kepada
negara. Segala urusan pribadi ini bukanlah urusanku. Nona
Siauw Leng terbunuh karena ia seorang anggauta
pemberontak yang tertawan. Ini sudah sewajarnya. Gui-
ciangkun kubunuh karena ia melanggar peraturan kami. Ini-
pun sewajarnya" Kemudian ia menghunus pedangnya dan
dengan gagah berkata,
"Dan kalian semua adalah anggauta-anggauta
pemberontak yang melanggar tempat penjagaanku, maka
sudah sewajarnya pula kalau menjadi musuh-musuhku
yang harus kubasmi" ia lalu menggerakkan pedangnya
mengamuk. "Ouwyang-hiante, kau layani dia" kata Ciu Pek In
kepada Ouwyang Bun. Pemuda ini dengan hati perih
terpaksa menurut dan dengan pedangnya ia menangkis
serangan Ouwyang Bu yang kalap.
"Bu-te, jangan kau gunakan pedangmu terhadap aku.
Mari kita berdua pergi saja jauh-jauh, Bu-te."
"Jangan banyak cerewet. Kau pemberontak dan aku
perajurit negara"
Adik yang telah kalap ini menyerang lagi lebih hebat
hingga terpaksa Ouwyang Bun menangkis dengan hati-hati.
Berkali-kali Ouwyang Bun menyebut nama adiknya dengan
hati hancur. Ia tidak mau balas menyerang, hanya
menangkis saja.
Melihat keadaan Ouwyang Bun demikian itu, Cui Sian
tahu bahwa kalau dilanjutkan, kekasihnya itu tentu akan
kena celaka di ujung pedang Ouwyang Bu, maka ia
meloncat untuk membantu. Tapi pada saat itu, datanglah
Cin Cun Ong yang sengaja mencari-cari Ouwyang Bu.
Melihat Ouwyang Bun sedang bertempur melawan
adiknya, panglima tua ini marah sekali dan membentak,
"Ouwyang Bun, kau pemuda pengkhianat"
Tapi terdengar jawaban Ciu Pek In dengan suara halus,
"Cin Cun Ong, seseorang bebas memilih pendapatnya
sendiri-sendiri tak dapat dipaksa untuk hanya ikut-ikutan
saja. Ouw yang Bun telah memilih perjuangan kami."
"Kau tua bangka yang menjadi biang keladi semua ini"
bentak Cin Cun Ong dengan marah sekali lalu menyerang
Ciu Pek In. Kedua jago tua ini lalu bertempur dengan luar
biasa hebatnya. Cui Sian tetap membantu Ouwyang Bun
dan melihat betapa Ouwyang Bun benar-benar tidak
sanggup mengangkat senjata terhadap adiknya yang
dikasihi, gadis ini lalu menyuruh ia membantu saja kawan
yang lain. Pertempuran di dalam benteng yang berjalan hampir
setengah hari itu ternyata dimenangkan oleh pihak
pemberontak, karena tidak saja jumlah mereka jauh lebih
besar, tapi juga datang barisan baru di bawah pimpinan
Thio Sian Tiong sendiri, pemimpin besar pemberontak yang
sangat terkenal itu.
Tentu saja pihak tentara negeri tak sanggup menahan
serangan gelombang besar dari barisan pemberontak ini dan
mereka segera mundur sambil meninggalkan ratusan
korban. Dan pertempuran yang berlangsung antara para
pemimpin di dalam tenda besar juga hebat sekali. Ternyata
keadaan mereka seimbang, tapi melihat bahwa anak buah
mereka telah kalah dan kabur, banyak pula di antara
mereka, termasuk Khu Ci Lok si Hun-cwe Maut dan Kin
Keng Tojin, segera meninggalkan lawan dan lari. Yang lain-
lain telah roboh menjadi korban senjata. Di pihak
pimpinan pemberontak, Kilok Ngo-koai yang berjumlah
lima orang itu tetah roboh tiga dan tinggal dua orang lagi
saja, juga Bhok Sun Ki si Raja Pengemis telah tewas. Cin
Kong Hwesio mendapat luka bacokan dan masih banyak
pula pemimpin dan pembantu lain yang menderita luka.
Setelah sisa dari mereka yang bertarung di dalam tenda
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu pada lari, kini masih bertempur ramai hanyalah Cin Ong
melawan Ciu Pek In dan Ouw-Bu melawan Cui Sian.
Sebenarnya, beberapa kali Ciu Pek In tadi berseru bahwa
kalau Cin Cun Ong hendak lari, ia takkan mengejar. Tapi
ucapan ini hanya menimbulkan kemarahan Cin Cun Ong
dan Ouwyang Bu saja. Kedua ksatria tua dan muda ini
ingin berkelahi terus sampai napas terakhir. Mereka lebih
baik mati daripada harus meninggalkan benteng itu.
Ciu Pek In adalah seorang ahli pedang yang istimewa
dan berkepandaian tinggi, namun menghadapi Cin Cun
Ong ia tidak berdaya dan bukan perkara mudah untuk
mengalahkan panglima tua itu. Dan biarpun Cui Sian hebat
juga, namun kepandaian Ouwyang Bu dapat mengimbanginya.
Kini semua kawanan pemberontak yang ditinggal lari
musuh, mengurung tenda itu dan beberapa orang pemimpin
hendak membantu Ciu Pek In dan Cui Sian tapi Ciu Pek In
berteriak, "Jangan. Jangan main keroyokan terhadap dua orang
pahlawan gagah ini. Aku dan muridku masih belum kalah"
Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya. Tiba-
tiba dari luar masuk seorang laki-laki berusia kira-kira
empat puluh lima tahun, berpakaian seperti orang tani dan
bertopi lebar. Kumis dan jenggotnya yang hitam panjang itu
terpelihara matanya yang tajam. Semua seorang segera
memberi jalan padanya dengan sikap hormat.
Ia lalu melihat empat orang yang sedang bertempur itu
dengan kagum dan akhirnya mengeluarkan sebuah
gendewa dan beberapa batang anak panah. Lalu ia berseru
dengan suara menggeledek,
"Ciu-lopeh dan Can-siocia. Kalian mundurlah"
Mendengar suara yang sangat berpengaruh dan telah
mereka kenal baik ini, Ciu Pek In dan Cui Sian segera
meloncat mundur meninggalkan lawan mereka dari pada
saat itu enam batang anak panah meluncur bagai kilat. Tiga
menuju ke arah Ouwyang Bu dan tiga lagi menuju ke arah
Cin Cun Ong. Biarpun sudah lelah sekali, namun Cin Cun Ong masih
berhasil mengelakkan dua di antara tiga anak panah itu tapi
yang ketiga tepat menancap di dada kirinya hingga ia
terhuyung mundur lalu roboh tak berkutik lagi. Anak panah
itu menembus jantungnya hingga ia binasa seketika itu juga.
Ouwyang Bu yang gagah, hanya dapat menangkis
sebatang anak panah, yang dua batang tepat menancap di
dada hingga pemuda inipun rebah dan mati seketika itu
juga tanpa mengeluarkan suara sedikitpun sama halnya
dengan Cin Cun Ong, itu mati dengan pedang masih erat
tergenggam dalam tangan.
Semua orang maju melihat kedua orang yang gagah
perkasa ini. Ouwyang Bun mau menubruk adiknya yang
telah mati sambil mengeluarkan keluhan sedih.
"Anak muda, mundur kau" petani bertopi lebar tadi
berkata lagi dengan suaranya yang menggeledek. "Ini bukan
waktunya untuk menangis. Mundurlah" Tapi pada saat
Ouwyang Bun mundur, ia melihat persamaan muka di
antara Ouwyang Bun dan pemuda yang rebah itu, maka ia
segera bertanya,
"Ah, kalian ini bersaudarakah?"
Cui Stan yang mewakili kekasihnya menjawab,
"Mereka adalah saudara kembar yang berselisih pendapat,
taihiap." Mata orang itu bersinar ganjil. "Hm, anak muda. Kau
beruntung mempunyai saudara seperti ini. Tak perlu kau
bersedih, bahkan kau boleh merasa bangga. Kalau saja kita
mempunyai orang-orang seperti Cin Cun Ong dan anak
muda ini. Lihat, semua kawan-kawan, lihatlah. Dua orang
ini barulah patut disebut orang-orang gagah, perajurit-
perajurit sejati, yang patut dicontoh oleh semua orang yang
menganggap dirinya sebagai ksatria. Mereka berdua ini
dengan pedang di tangan membela benteng ini sampai titik
darah terakhir. Biarpun kawan-kawan mereka telah lari,
namun mereka tetap membela tempat pertahanan yang
menjadi tanggung jawab mereka, tetap memenuhi tugas
kewajiban sebagaimana layaknya seorang pahlawan sejati.
Inilah orang-orang gagah perkasa, perwira-perwira yang
patut kita hormati"
Siapakah orang bertopi lebar yang mempunyai suara
menggeledek dan mempunyai ilmu memanah yang luar
biasa hebatnya ini" Tidak lain ialah Thio Sian Tiong
sendiri, pemimpin pemberontak yang terkenal itu, yang
bersama-sama seorang pemberontak lain yang lebih terkenal
lagi, yakni Lie Cu Seng, telah berhasil menggerakkan rakyat
tertindas untuk menggulingkan pemerintahan kaisar lalim.
Setelah itu, semua barisan pemberontak lalu maju
bergerak menuju ke kota raja. Kemudian mereka
menggabungkan diri dengan barisan Lie Cu Seng dan
langsung menyerbu kota raja hingga berhasil menghalau
semua pembesar. Kaisar lalim berhasil lolos dari istana, tapi
karena terus dikejar-kejar akhirnya ia menjadi putus asa dan
menggantung diri di sebuah gunung hingga binasa. Pada
saat terakhir itu, barulah kaisar insyaf akan kesalahannya,
insyaf bahwa ia sebagai seorang pemimpin telah lupa akan
kewajibannya, hanya ingat akan kesenangan diri sendiri
saja, berfoya-foya dan bersenang-senang dan sama sekali
tidak memperdulikan nasib rakyatnya hingga seakan-akan
buta terhadap segala kejahatan dan kecurangan para
pegawainya hingga rakyat kecil hidup tertindas dan
sengsara. Setelah pepterangan padam dan semua menjadi aman
kembali, Ouwyang Bun dan Cui Sian kembali ke Tung-han,
ke rumah orang tua Cui Sian. Can Lim Co. suami isteri
girang sekali melihat Cui Sian pulang dan bahkan telah
bertemu dengan tunangannya, tapi mereka berduka
mendengar tentang kematian Siauw Leng. Dengan singkat
Cui Sian menceritakan segala pengalamannya kepada ayah
ibunya. Setelah tinggal untuk tiga hari di rumah calon
mertuanya, Ouwyang Bun lalu pulang ke Nam-tin, ke
kampung orang tua nya. Alangkah sedih hati ayah ibunya
ketika mendengar tentang gugurnya Ouwyang Bu, tapi
Ouwyang Bun dapat menghibur mereka dan menceritakan
betapa Ouwyang Bu gugur sebagai seorang ksatria dan
mendapat penghormatan besar baik dari kawan maupun
dari lawan. Ketika Ouwyang Bun menceritakan betapa ia
sendiri menggabungkan diri dengan para pemberontak,
ayahnya agak kurang senang, tapi melihat kenyataan bahwa
akhirnya Lie Cu Seng yang menang, ia tidak berkata apa-
apa. Melihat sikap ayahnya, Ouwyang Bun yang sudah
mendapat pengalaman itu lalu menceritakan tentang
keadaan rakyat kecil yang penuh derita dan menceritakan
pula bahwa sudah menjadi kewajiban tiap orang yang
menyebut dirinya sebagai hohan (orang budiman) untuk
menolong mereka ini, baik dengan tenaga, harta, maupun
pikiran membantu mereka terlepas dari kesengsaraan.
Akhirnya terbukalah pikiran ayahnya dan lambat-laun
Ouwyang Heng Sun menjadi seorang hartawan yang
dermawan di kotanya.
Tiga bulan kemudian, dilangsungkanlah perkawinan
antara Ouwyang Bun dan Cui Sian yang dirayakan dengan
ramai sekali. Banyak sekali orang-orang besar yang mereka
kenal menghadiri pesta perkawinan itu, di antaranya
tampak pula. Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang, guru Ouwyang-
heng-te. Dan adalah satu hal yang sama sekali diluar
dugaan Ouwyang Bun ketika ia mendengar dari suhunya
bahwa orang tua itupun ternyata.......
membantu pergerakan pemberontak, tapi di rombongan lain yakni ia
membantu barisan di bawah pimpinan orang besar Lie Cu
Seng sendiri. Tentu saja, selain girang mendengar ini,
Ouwyang Bun juga merasa heran sekali dan mengajukan
pertanyaan kepada suhunya itu.
Sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan putih
Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang lalu menuturkan betapa
tadinya iapun anti kepada pemberontak hingga ia sendiri
menyuruh kedua muridnya membantu sutenya Cin Cun
Ong. Bahkan ia sendiri ketika mendengar bahwa barisan
pemberontak hendak lewat di daerah Hong-san, lalu turun
gunung mencegat dan hendak melawan. Tapi ia heran
sekali melihat betapa semua rakyat miskin menyambut
kedatangan pemberontak dengan suka ria. Ia lalu
menggunakan kepandaiannya untuk memasuki tenda besar
dengan maksud mengacau pemimpin barisan. Tak tahunya
ia bertemu dengan Lie Cu Seng sendiri. Di dalam tenda
itulah ia menerima keterangan-keterangan. dan petuah-
petuah hingga terbuka matanya dan ia menjadi insyaf akan
sucinya tugas barisan rakyat itu. Dengan suka rela ia lalu
menggabungkan diri.
Mendengar ini, tentu saja Ouwyang Bun suami isteri
menjadi girang sekali. Demikianlah, sepasang orang muda
ini hidup berbahagia, saling.mencintai dan menghormati
sampai di hari tua.
Ooo-d-TAMAT-w-ooO
Kisah Para Pendekar Pulau Es 10 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Sejengkal Tanah Sepercik Darah 10
berkali-kali dan pihak pemberontak selalu terdesak hingga
mundur dan dikejar terus.
"Sudah, Bu-ko. Jangan-jangan kita kena dipancing." Lie
Eng memperingatkan ketika mereka mengejar sampai di
pinggir hutan lain yang lebat dan gelap.
Ouwyang Bu berkata dengan penuh napsu,
"Eng-moi, biarlah kita bergiliran menjaga di sini dengan
tigaratus orang tentara. Kita dapat mendirikan tenda-tenda
di sini, karena kalau tempat ini dijaga, maka tak ada
pemberontak dapat mendekati benteng. Juga, pada siang
hari kita dapat mengejar ke dalam hutan dan membasmi
mereka semua."
Karena Ouwyang Bu yang memegang pucuk pimpinan,
maka Lie Eng hanya menurut saja. Tigaratus orang tentara
dikerahkannya dan di situ didirikan perkemahan besar. Lie
Eng dari Gui Li Sun diperintahkan menjaga benteng,
sedangkan tigaratus orang tentara itu dipimpin sendiri oleh
Ouwyang Bu. Keputusan inilah yang membingungkan Siauw Leng dan
kawan-kawannya yang berjumlah enampuluh orang, karena
dengan dijaganya mulut hutan itu, benar-benar mereka tak
dapat keluar. Demikianlah keadaan Ouwyang Bu, pemuda gagah
perkasa yang terpaksa berselisih jalan dengan kakaknya
karena pengaruh asmara.
O0odwoO Pada malam itu ketika Ouwyang Bu sedang mengepalai
sendiri anak buahnya melakukan penjagaan di sekitar mulut
hutan itu, maka di tengah-tengah hutan sedang diadakan
perundingan antara Cui Sian dan kawan-kawannya, bahkan
terdapat pula Ouwyang Bun di antara mereka. Seperti telah
diketahui, Cui Sian mengambil keputusan untuk memimpin
sendiri empatpuluh orang pada pagi hari itu dan menyerbu
serta memancing barisan tentara negeri yang menjaga di
luar hutan. Dengan hati-hati dan cekatan, Cui Sian yang berjalan
paling depan dapat melihat keadaan penjagaan Ouwyang
Bu yang betul-betul kuat dan rapi. Ia memberi tanda kepada
kawan-kawannya dan tiba-tiba sambil memekik nyaring, ia
perintahkan anak buahnya menyerbu di bagian sayap kiri di
mana berkumpul para penjaga terdiri dari kira-kira
limapuluh orang berpencaran di sana-sini.
Mendapat serangan tak terduga-duga yang dilancarkan
pada waktu pagi sekali itu, para perajurit menjadi panik dan
bingung. Sebentar saja di pihak mereka telah jatuh korban
beberapa belas orang. Tapi bala bantuan segera datang,
dikepalai oleh Ouwyang Bu sendiri.
Melihat bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah
Cui Sian, maka panglima muda ini tertawa keras dan
berkata, "Aah, It-to-bwee sendiri yang mengantarkan jiwa."
Ouwyang Bu lalu menyerang dengan pedangnya,
dibantu oleh beberapa orang yang berkepandaian cukup
tinggi. Biarpun ia belum tentu kalah menghadapi Cui Sian
seorang diri saja, tapi di dalam peperangan seperti itu, tidak
ada yang harus dibuat malu jika melakukan pengeroyokan,
maka Ouwyang Bu juga tidak melarang anak buahnya
mengeroyok, karena memang ia ingin segera membereskan
pemberontak-pemberontak ini, termasuk juga nona cantik
ini. Cui Sian memang franya ingin memancing mereka saja,
bukan bermaksud hendak bertempur mati-matian, maka
sambil memutar pedangnya menangkis serangan para
lawannya, ia mengeluarkan tiupan yang terbuat dari gading.
Setelah ia meniup benda itu, terdengar suara melengking
yang tinggi dan nyaring dan serentak anak buahnya
meloncat mundur dan melarikan diri ke dalam hutan. Cui
Sian sendiri lalu berkata sambil tertawa,
"Ouwyang Bu, sayang aku tidak ada waktu lebih lama
untuk melayanimu." Dan sekali loncat, melayanglah
tubuhnya cepat sekali ke atas pohon.
Ouwyang Bu kagum melihat ginkang yang hebat ini, tapi
ia tidak mau kalah. Sambil memberi aba-aba agar semua
anak buahnya mengejar, iapun meloncat mengejar dengan
cepat sekali. Akan tetapi, biarpun merasa gemas dan marah,
Ouwyang Bu masih dapat mengendalikan perasaannya dan
tidak mau meninggalkan anak buahnya karena ia khawatir
kalau-kalau ia lupa diri dan meninggalkan mereka hingga
jika terjadi penyerbuan dan pencegatan sewaktu-waktu
tidak ada yang memimpin anak buahnya lagi. Ia hanya
berteriak keras agar semua anak buahnya cepat mengejar.
Ouwyang Bu Sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa Cui Sian yang sengaja menyuruh kawan-kawannya
berteriak memaki-maki sedang memancing ia masuk ke
perangkap. Akan tetapi, biarpun Ouwyang Bu tidak sangat cerdik,
namun ia masih teringat sekali tipu muslihat. Oleh karena
pikiran inilah ia menjadi curiga.
Pada saat ia hendak memberi perintah supaya anak
buahnya berhenti dan mundur, tiba-tiba dari depan dan dari
atas pohon datang serangan anak panah yang berhamburan
bagaikan hujan. Ouwyang Bu cepat menggunakan
pedangnya diputar sedemikian rupa hingga .semua anak
panah yang menuju kepadanya dapat dipukul runtuh.
Tapi terdengar pekik-pekik kesakitan dari anak buahnya
yang menjadi korban anak panah hingga Ouwyang Bu
menjadi terkejut dan marah sekali. Ia pungut sebatang golok
dari seorang., anak buahnya yang binasa dan sekali
\angannya bergerak maka golok itu terbang ke atas pohon
dan terdengar jeritan ngeri ketika golok itu dengan tepat
sekali menancap di perut seorang anggauta pemberontak
yang bersembunyi di atas pohon sambil melepaskan a-nak
panah, hingga tubuh itu terjungkal ke bawah.
Tapi datangnya anak panah makin banyak dan korban
yang jatuh di pihak serdadu sampai belasan orang. Maka
Ouwyang Bu lalu meneriakkan aba-aba mundur kepada
anak buahnya yang sudah panik itu. Akan tetapi baru saja
bergerak mundur beberapa puluh langkah, dari sebelah
kanan kiri yang penuh dengan rumpun dan alang-alang,
menyambut pula puluhan anak panah hingga sekali lagi
barisan Ouwyang Bu menjadi kacau dan kocar-kacir.
Sementara itu, sambil berteriak-teriak, pasukan yang
dipimpin oleh Cui Sian maju menerjang lagi, kini dibantu
oleh pasukan Siauw Leng dan pasukan Lui Kok Pauw.
Bukan main marah Ouwyang Bu melihat betapa
tentaranya yang berjumlah banyak itu dapat ditipu hingga
mengakibatkan banyak sekali jatuh korban. Dalam
marahnya ia mempergunakan pedangnya mengamuk
hingga sebentar saja beberapa orang ang-gauta pemberontak
roboh di tangannya. Tapi karena ia merasa khawatir kalau-
kalau masih banyak pemberontak yang bersembunyi dan
menyangka bahwa jumlah pemberontak yang mengepung
di hutan itu jauh lebih besar daripada sangkaannya semula,
terbukti dari serangan-serangan anak panah yang dilakukan
dari mana-mana, terpaksa Ouwyang Bu memberi perintah
untuk mundur terus dan lari keluar dari hutan itu.
Ketika ia sedang lari, Ouwyang Bu mendengar suara
tertawa merdu dari atas dan ia mengenal suara itu sebagai
suara Cui Sian. Gadis itu tertawa lalu berkata,
"Ouwyang Bu, kau tersesat. Kalau tidak mentaati pesan
kakakmu, pasti hari ini kau telah menemui ajalmu di rimba
ini." Kemudian sunyi senyap.
Ouwyang Bu terkejut sekali dan menduga bahwa
Ouwyang Bun pasti berada di hutan itu, menggabungkan
diri dengan para pemberontak. la tahu pula bahwa tadi Cui
Sian tentu bicara dari atas sebuah pohon dan menggunakan
tenaga tan-tian hingga suara ketawa dan kata-katanya
terdengar sampai jauh.
Dengan menderita kekalahan besar dan kehilangan
tigapuluh orang lebih, Ouwyang Bu keluar dari hutan itu
dan terus kembali ke benteng, karena ia perlu mengatur
siasat dan merasa bahwa malam ini ia dan barisannya
bermalam di pinggir hutan, banyak sekali bahaya yang
mungkin akan mendatangkan kerugian lebih besar lagi di
pihaknya. Lie Eng menyambut kedatangannya dengan ikut merasa
dendam serta marah. Ia menyatakan penyesalannya
mengapa tidak ikut dalam pertempuran itu. Sebaliknya,
biarpun di luarnya Gui-ciangkun menyatakan menyesal dan
marah, di dalam hati ia mentertawakan kegagalan
Ouwyang Bu. Ketika berdua saja dengan Lie Eng, Ouwyang Bu lalu
menceritakan pengalaman dan pertempurannya dengan Cui
Sian. "Sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk
merobohkannya, karena ia keburu mengundurkan diri dan
lari ke dalam hutan," katanya, kemudian dengan wajah
bersungguh-sungguh ia menyambung ceritanya, "Dan aku
mendapat dugaan keras bahwa Bun-ko berada pula di
dalam hutan itu."
Bukan main terkejut hati Lie Eng mendengar warta ini.
Memang telah lama ia merindukan Ouwyang Bun dan
seringkali ia termenung dan menduga-duga bagaimana
keadaan pemuda itu dan bagaimana nasib serta di mana ia
berada. Kini mendengar bahwa pemuda kenangannya itu
mungkin berada di dalam hutan yang tampak dari atas
benteng itu, tentu saja ia merasa terkejut dan dadanya
berdebar-debar. Tapi Lie Eng dapat menekan perasaannya
hingga tidak tampak perubahan air mukanya.
Dan Ouwyang Bu sama sekali tidak pernah menyangka
betapa setelah ia pergi ke kamarnya, gadis yang
ditinggalkan seorang diri itu duduk' termenung seakan-akan
kehilangan semangat dan sampai hari berobah senja gadis
itu tidak bergerak dari tempat duduknya yang tadi.
Sementara itu, kawanan pemberontak di tengah hutan
itu bergembira-ria dan merayakan kemenangan mereka.
Tiada hentinya mereka memuji-muji Cui Sian yang berhasil
siasatnya. Walaupun di pihak mereka terdapat beberapa
orang korban, di antaranya seorang yang tertancap oleh
golok yang dilemparkan oleh Ouwyang Bu, tapi jika
dibanding dengan jumlah korban di pihak musuh, mereka
memang sudah sepatutnya bergembira. Di pihak mereka
hanya dua orang binasa dan lima orang luka, sedangkan
pihak. lawannya yang mati saja sudah tigapuluh orang
lebih, belum yang luka.
Biarpun telah memperoleh kemenangan, namun Cui
Sian tidak berlaku lalai. Ia mengatur penjagaan di sekitar
hutan itu dengan sangat rapi.
Di samping itu ia selalu memikir-mi-kirkan bagaimana
caranya agar ia dapat membawa kawan-kawannya
melewati benteng itu hingga dapat menggabungkan diri
dengan kesatuan induk yang dipimpin oleh pemimpin besar
Lie Cu Seng. Oleh karena ini, ia tidak ikut bergembira-ria
dengan kawan-kawannya, tapi bahkan menjauhkan diri dan
duduk di bawah sebatang pohon pek dengan Ouwyang Bun.
Ia merasa lebih senang dan tenteram untuk duduk dan
bercakap-cakap berdua saja dengan pemuda ini.
"Moi-moi, tadi aku sudah hampir tidak kuat menahan
diri mendengar bahwa Bu-te sendiri yang memimpin
barisan menyerbu ke sini. Aku ingin sekali keluar dan
menemuinya, tapi karena pertempuran berjalan hebat, aku
khawatir kalau-kalau kedatanganku malah akan mendatangkan salah paham di kedua pihak. Untungnya
kau tidak berlaku kejam dan tidak membinasakan adikku
itu." Cui Sian menghela napas. "Adikmu sungguh hebat,
belum tentu aku dapat mengalahkannya. Sayang sekali dia
tidak insyaf, ah, sungguh sayang. Ia akan merupakan
pasangan yang tepat sekali untuk Siauw Leng...." Nona itu
menghela napas, dan Ouwyang Butf juga ikut merasa
terharu. Alangkah baiknya kalau Ouwyang Bu dapat berada di
situ bersama dia dan dapat bertemu sebagai tunangan
dengan Siauw Leng, seperti halnya dia dengan Cui Sian.
Diam-diam ia merasa heran sekali akan kebijaksanaan
ibunya dan ibu Cui Sian. Kedua orang tua itu agaknya telah
tahu lebih dulu bahwa mereka akan menjadi pasangan yang
saling mengasihi dan saling mengagumi.
"Betul katakatamu moi-moi. Alangkah bahagianya rasa
hatiku kalau Bu-te dapat bertemu dengan adik Siauw Leng
seperti kau dan aku...."
Cui Sian diam saja dan ia tidak membantah ketika
tunangannya memegang tangannya. "Moi-moi,
kau sungguh mengagumkan. Tidak saja kau lemah lembut dan
baik budi sebagaimana terbukti ketika kau merawat aku di
waktu aku mendapat luka, tapi kau juga gagah perkasa dan
cerdik sekali. Aku heran di mana kau belajar ilmu perang
hingga bisa mengatur siasat yang begitu berhasil siang tadi.
Sungguh-sungguh aku kagum padamu."
"Ah, kau memuji saja. Apakah artinya kepandaianku
kalau dibandingkan dengan kepandaianmu yang tinggi?"
Pada saat itu bulan telah muncul hingga keadaan yang
remang-remang itu tampak romantis sekali dan sepasang
anak muda itu tenggelam dalam cahaya bulan yang
mendatangkan hikmat gaib bagi para muda yang sedang
dimabok asmara. Biarpun hanya saling berpegang tangan
sambil saling memandang, namun dalam sentuhan jari dan
pertemuan sinar mata ini mereka telah sama-sama
mengutarakan semua isi hati hingga bagi kedua pihak lebih
jelas daripada seribu macam katakata. Mereka demikian
asyik dan masyuk hingga tidak tahu bahwa ada sepasang
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata yang tajam memandang mereka dengan sinar mata
marah, tapi dengan pipi basah oleh air mata.
Pada saat itu terdengar teriakan.
"Tangkap mata-mata musuh."
Ouwyang Bun dan Cui Sian terkejut sekali dan meloncat
ke arah suara itu. Tiba-tiba mereka melihat bayangan orang
ber kelebat di belakang mereka. Keduanya lalu mengejar:
Dan terdengarlah suara senjata beradu ketika bayangan itu
diserang oleh seorang anggauta penjaga yang tadi melihat
dia mengintai Cui Sian dan Ouwyang Bun.
Ketika dua anak muda itu tiba di tempat pertempuran,
ternyata mata-mata musuh itu ialah Lie Eng sendiri yang
sedang dikeroyok tiga orang penjaga.
"Sumoi.." Ouwyang Bun berseru dan ia cepat meloncat
ke kalangan pertempuran dan berkata keras kepada tiga
orang penjaga yang mengeroyok. "Tahan dulu."
Lie Eng mengenakan pakaian serba hijau yang kelihatan
hitam ditimpa sinar bulan yang remang-remang itu dan
sepasang tangannya memegang siang-kiam. Sikapnya tegas
sekali dan ia berdiri dengan kedua kaki terpentang dengan
sikap menantang.
"Kau... kau juga menjadi pemberontak?" tegurnya
kepada Ouwyang Bun dengan sikap menghina.
"Sumoi.... kita memang berbeda paham. Kalau kau
sudah tahu akan hal itu, mengapa....... kau malam-malam
ke tempat ini..?"
Tiba-tiba mata dara itu mengeluarkan eatiaya penuh
kemarahan. Sambil menuding ke arah Ouwyang Bun
dengan pedangnya, ia memaki.
"Kau... kau pengkhianat. Kau murid murtad.. Kau tidak
kenal apa artinya bakti dan setia, tidak malu mengkhianati
guru dan susiok sendiri.. Kau..... kau...," dan tiba-tiba saja
gadis itu menangis karena merasa betapa hatinya hancur
lebur dan krcewa.
Sementara itu, Cui Sian yang mendengar betapa
tunangannya dimaki-maki orang, tentu saja tidak rela.
Apalagi karena ia tahu bahwa gadis ini anak musuh besar
semua hohan dan patriot, maka ia segera meloncat maju
dan membentak, "Perempuan kasar dan sombong, apa yang kaukchendaki
maka kau berani lancang memasuki daerah kami"
Menyerahlah kau menjadi tawanan kami."
Tiba-tiba Lie Eng tertawa dengan nyaring dan tinggi.
"Ha, It-to-bwee. Bukalah telinga dan matamu lebar-lebar.
Aku Cin Lie Eng, sengaja datang ke sini untuk mencari
engkau. Aku telah mendengar tentang kegagahan dan
kecantikanmu maka sekarang aku sengaja datang hendak
melihat sendiri kegagahan yang disohor-sohorkan orang itu.
Majulah dan mari kita bertempur sampai seorang di antara
kita mati di ujung pedang."
Ouwyang Bun terkejut sekali. Tadinya ia hanya
menyangka bahwa gadis yang tabah itu hanya datang untuk
menyelidiki para pemberontak. Tidak disangkanya sama
sekali bahwa sikap gadis itu akan senekat ini dan tiba-tiba ia
dapat. menduga apa yang menjadi sebabnya. Lie Eng tadi
telah mengintainya dan tentu mengerti bahwa ia dan Cui
Sian saling mencintai. Dan inilah agaknya yang menjadi
sebab kenekatan gadis itu dan yang membuat ia menantang
Cui Sian bertanding sampai mati.
"Sumoi......" tegurnya sambil berdiri menghadapi gadis
itu. "Kenapa kau begini nekat" Kenapa kau hendak
mengadu tenaga tanpa alasan" Sumoi.... bukankah Bu-te
menanti-nantimu dan alangkah akan hancur hatinya
kalau.... kalau kau menjadi korban kenekatanmu ini...."
"Diam. Kau perduli apa dengan tindakanku" Aku bukan
sumoimu. Kau..... kau.... pengkhianat....." kembali ia
terisak, kemudian ia berkata kepada Cui Sian,
"Eh, Cui Sian. Bagaimana" Takutkah kau kepadaku?"
Cui Sian lalu memegang lengan Ouwyang Bun dan
menarik pemuda itu untuk mundur dan Ouwyang Bun
menurut. Kemudian gadis yang tenang sikapnya ini-maju
menghadapi Lie Eng dan berkata dengan suara halus tapi
tetap, "Lie Eng, sekarang aku tahu. Kau... mencintai Bun-
ko...." "Perempuan rendah, jangan jual obrolan busuk." Lie Eng
merasa marah sekali dan cepat menusuk dengan
pedangnya, tapi Gui Sian mengelak sambil mundur.
"Nanti dulu, Lie Eng. Dengarlah dulu omonganku.
Memang kau adalah musuhku, musuh semua orang yang
berjiwa patriot dan yang kau sebut pemberontak-
pemberontak. Sudah sepatutnya kalau aku menyiapkan
semua kawan untuk membunuhmu. Tapi, terus terang saja
kukatakan bahwa aku mengagumi kau. Aku kagum karena
kau berani dan karena kau berhati... setia." Kalau tidak
demikian, tak mungkin kau berani datang seorang diri ke
sini. Aku kagum padamu, seperti juga guruku kagum
kepada ayahmu yang gagah perkasa. Tapi melihat sikapmu
ini, aku khawatir bahwa kita berdua terpaksa harus
mengadu pedang sampai penentuan terakhir. Sungguh satu
kehormatan besar, kawan. Memang sayang bahwa justeru
kau yang kukagumilah yang menjadi musuh besarku dalam
hal ini, tapi sebaliknya aku takkan dendam kalau sampai
terjatuh dalam tangan seorang wanita gagah seperti kau."
Lie Eng adalah seorang gadis yang juga memiliki otak
yang cerdik dan pandangan yang luas, maka biarpun Cui
Sian mempergunakan kata-kata kiasannya yang mengandung sindiran-sindiran, namun ia dapal menangkap
seluruh isi dan maksudnya. Untuk sesaat ia tak dapat
menjawab karena merasa terharu. Alangkah cerdiknya
gadis ini, pikirnya. Sepintas lalu saja ia telah dapat
membaca seluruh isi hatiku. Bukan main.
"Cui Sian, aku girang bahwa kau juga patut menjadi
lawanku. Kita sama-sama dapat memahami. Nah, cabutlah
pedangmu dan mari kita segera menyelesaikan urusan ini."
Pada saat itu yang paling bingung adalah Ouwyang Bun.
Ia juga seorang cerdik dan pintar maka tentu saja ia tahu
apa yang hendak dilakukan oleh kedua nona itu dan
mengapa mereka hendak mengadu tenaga. Ia segera
meloncat di tengah-tengah antara kedua nona itu sambil
mengangkat kedua tangan dengan bingung.
"Sumoi. Kau pulanglah. Aku yang akan menjamin
bahwa kau tentu keluar dari sini dengan selamat dan aman.
Pulanglah kau dan jangan bikin ribut di sini lebih lama
lagi." "Kau laki-laki tidak setia, jangan banyak cerewet. Aku
tidak berurusan dengan kau. Aku mempunyai urusan
dengan Cui Sian. Kau minggirlah." Ia menggerakkan
pedangnya hendak menusuk.
Tapi Ouwyang Bun mengangkat dada dan sama sekali
tidak mengelak.
Ketika ujung pedangnya sudah hampir menyentuh dada
pemuda itu, Lie Eng menarik kembali senjatanya.
"Kau mau membunuh aku" Boleh, hayo tusuklah aku,
sumoi. Aku juga tidak takut mati."
"Kau..... mengapa kau menghalang-halangi maksudku"
Aku hendak bertempur melawan Cui Sian, bukan dengan
kau." "Sumoi, dengarlah. Kalau misalnya besok kau dan Cui
Sian bertemu dalam peperangan dan bertempur mati-
matian, aku takkan merasa apa-apa. Tapi keadaan kalian
pada waktu ini bukan sewajarnya, kalian hanya terdorong
oleh napsu hati yang sedang bergolak. Kau pulanglah dan
jangan berlaku seperti anak kecil."
"Kau pergilah..... biarkan aku bertanding dengan Cui
Sian. Ah, Cui Sian seribu kali lebih berharga daripada
engkau." Dan pada saat itu Ouwyang Bun merasa tubuhnya lemas
dan ia roboh di atas tanah. Ternyata Cui Sian telah
menotoknya dari belakang tanpa ia duga sama sekali.
"Koko, kau memang terlalu mulia untuk membiarkan
dua orang gadis beradu tenaga karenamu. Tapi sikap Lie
Eng kuhargai, dan kalau aku menampik ajakan maka aku
akan merasa malu dan menyesal selama hidupku. Nah, kau
lihatlah saja dan maafkan bahwa aku terpaksa menotokmu
dengan diam-diam."
Kemudian Cui Sian memerintahkan orang-orangnya
membuat lingkaran besar dan semua orang yang hendak
menonton harus berada di luar lingkaran. Beberapa obor
dipasang untuk menerangi tempat itu dan semua orang
dipesan agar jangan ikut mencampuri pertempuran ini.-
"Kawan-kawan semua," Cui Sian berkata dengan suara
lantang, "kali ini aku bukan bertempur sebagai seorang
pemimpin-mu. Ingat, ini adalah urusan pribadi yang
menyangkut nama dan kehormatan. Biarpun aku sampai
kalah dan mati dalam tangan nona Cin Lie Eng ini, jangan
sekali-kali kalian berani mencampuri. Dan lagi, sebagai
seorang pemimpinmu, aku memberi pesan dan perintah,
yakni andaikata aku kalah dan roboh mati, janganlah nona
ini diganggu dan biarkan dia pergi dari sini dengan aman.
Mengerti semua?"
Tiba-tiba Siauw Leng meloncat memeluk cicinya. "Cici,
mengapa kau lakukan ini?"
Cui Sian dengan halus mendorong adiknya keluar
lingkaran dan berkata,
"Adikku, kita adalah murid seorang gagah dan kita harus
menghadap" kegagahan orang lain. Kalau aku kalah,
kaulah yang menjadi pemimpin kawan-kawan kita."
Ouwyang Bun yang didudukkan di dekat situ sambil
menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon dengan
lemah tak ber daya, merasa hatinya seperti dipotong-po
tong. Ia menyesal sekali mengapa tadi berlaku lalai hingga
kena ditotok oleh tunang annya, karena kalau tidak
demikian, biarpun bagaimana juga, ia takkan membiarkan
dua singa betina ini saling terkam. Diam-diam ia
mengerahkan Iweekangnya untuk membebaskan diri dari
totoknn, tapi karena Cui Sian tahu akan kehebatan pemuda
itu, ia telah menotok dua kali hingga tak mungkin pemuda
itu dapat membebaskan diri dengan mudah begitu saja.
Sementara itu, Cui Sian berkata kepada Lie Eng, "Lie
Eng, marilah kita mulai."
Lie Eng sekali lagi memandang wajah Ouwyang Bun
dan ia gunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap air
mata yang tiba-tiba memenuhi pelupuk matanya, kemudian
ia menghadapi Cui Sian dengan tabah.
"Marilah, Cui Sian." jawabnya dan sepasang pedang di
tangannya telah siap sedia.
"Kau sebagai tamu, bergeraklah lebih dulu." kata Cui
Sian dengan pedang melintang di dada dengan sikapnya
tenang sekali. Lie Eng lalu mulai menyerang dengan hebat yang
ditangkis oleh Cui Sian dengan tenang, dan beberapa saat
kemudian kedua, dara remaja itu telah bertempur hebat
sekali. Bayangan kedua dara itu lenyap ditelan sinar pedang
yang bergulung-gulung dan angin pedang mereka sampai
terasa oleh para penonton di luar lingkaran.
Ouwyang Bun yang lumpuh kaki tangannya itu berkali-
kali memejamkan mata karena merasa ngeri, sedangkan
semua penonton melihat pertempuran istimewa ini dengan
hati tegang dan hampir tak berani bernapas. Lui Kok Pauw
meremas-remas tangannya, Siauw Leng membanting-
banting kakinya dan tiba-tiba gadis ini menangis perlahan.
Semua orang tak berani mengeluarkan suara sedikitpun dan
pada saat itu mereka merasa seakan-akan pertempuran ini
adalah sesuatu yang suci dan yang harus dipandang dengan
penuh penghormatan.
Sementara itu, kedua dara yang bertempur mati-matian
itu berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa lawannya
adalah seorang yang kuat. Lie Eng segera memainkan ilmu
pedangnya yang paling hebat, yakni Im-yang-siang-kiam-
hoat. Ilmu pedang berpasangan ini betul-betul hebat sekali,
karena gerakan pedang kanan dan pedang kiri sungguh jauh
bedanya dan bahkan boleh dibilang berlawanan. Oleh
karena ini, tampaknya permainannya kacau dan kalut, tapi
sebetulnya kedua pedang itu merupakan imbangan atau
kesatuan gerakan yang bukan main kuatnya. Kalau pedang
kiri digerakkan dengan tenaga halus, pedang kanan
bergerak didorong tenaga kasar dan demikian sebaliknya
hingga kalau saja yang bertanding melawan Lie Eng
bukannya Can Cui Sian si Bunga Bwee, pasti takkan
mampu bertahan lama.
Akan tetapi Cui Sian adalah murid pertama dari Sin-
liong Ciu Pek In si Naga Sakti yang telah menggemparkan
dunia kang-ouw dengan kehebatan ilmu pedangnya.
Biarpun baru belajar paling banyak lima tahun, namun
kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biarpun
ia belajar bersamaan dengan adiknya, tapi karena ia
memiliki kecerdasan otak yang luar biasa, maka tentu saja
kepandaiannya menjadi lebih tinggi daripada Siauw Leng.
Dalam hal ilmu pedang ia tak khawatir kalah oleh Lie Eng,
hanya ia kalah latihan karena Lie Eng telah belajar silat
semenjak kecil. Akan tetapi sebaliknya, Cui Sian menang
tenaga dan ketabahan serta ketenangan wataknya membuat
permainan silatnya kuat dan tetap.
Menghadapi ilmu pedang Im-yang-siang-kiam-hoat yang
luar biasa hebatnya dan serangan-serangan yang bagaikan
badai datangnya itu, terpaksa Cui Sian tidak berani berlaku
sembarangan dan iapun segera mengeluarkan ilmu pedang
tunggal yang menjadi pokok kepandaiannya yakni Sin-liong
Kiam-hoat. Ilmu pedang Naga Sakti ini adalah kepandaian
tunggal dari Ciu Pek In dan selama orang tua itu malang
melintang di dunia kang-ouw, belum pernah ilmu
pedangnya terkalahkan, maka ke-hebatannyapun luar biasa.
Pedang di tangan Cui Sian bagaikan hidup dan sinarnya
merupakan gulungan putih yang tebal dan panjang hingga
benar-benar bagaikan seekor naga sakti menyambar-
nyambar dan bermain-main di antara mega-mega yang
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbentuk dari gundukan kedua pedang Lie Eng.
Telah seratus jurus lebih mereka bertempur dengan mati-
matian dan mata para penonton di sekeliling lingkaran itu
menjadi kabur karena hebatnya pertandingan itu.
Sedangkan Ouwyang Bun menonton dengan muka pucat.
Perasaannya tertekan sekali dan kesedihan hatinya
memuncak. Bagaimana kalau Cui Sian sampai mati oleh
Lie Eng" Ah, hal ini tentu akan menghancurkan hatinya,
melenyapkan kebahagiaan hidupnya. Dan bagaimana kalau
Lie Eng yang binasa" Juga susah, karena hal itu berarti
hancurnya kebahagiaan adiknya. Ia menjadi serba salah,
tapi apa daya" Tubuhnya masih berada di bawah pengaruh
totokan, bahkan, andaikata ia tidak tertotokpun, belum
tentu ia sanggup memisah kedua pendekar wanita yang
sedang bergumul mati-matian karena kedua dara itu
kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah tingkatnya
sendiri. Karena merasa tidak berdaya, Ouwyang Bun
terpaksa menekan perasaan hatinya dan ia menyerahkan
nasib kedua gadis itu ke tangan Thian Yang Maha Kuasa
Lie Eng juga merasa kagum sekali menghadapi ilmu
pedang Cui Sian yang begitu hebat dan kuat, sedangkan Cui
Sian diam-diam memuji kelihaian Im-yang-siang-kiam-
hoat. Pada suatu saat Lie Eng menggunakan pedang kanan
menusuk ke arah mata kiri Cui Sian dengan gerakan
Bidadari Petik Teratai, sedangkan pedang kirinya pada saat
itu juga membabat kaki dengan gerakan Angin Menyapu
Daun Kering Bukan main hebat dan berbahayanya
serangan bercabang ini. Seluruh perhatian lawan ditujukan
untuk menghadapi serangan pedang yang menusuk mata,
akan tetapi sebetulnya serangan ke arah kaki itulah yang
lebih berbahaya karena mengandung perubahan tipu-tipu
berbahaya. Biarpun ia pandai, namun Cui Sian terkejut
juga, karena ketika ia menggunakan pedangnya menangkis
serangan pedang kanan yang menyambar matanya itu
dengan gerakan Naga Sakti Perlihatkan Ekor, tiba-tiba
pedang kiri Lie Eng telah melayang ke arah kakinya. Ia
cepat berseru dan menggunakan ginkang-nya untuk
meloncat menyelamatkan kedua kakinya. Tapi tidak ia
sangka pedang yang dilayangkan ke kaki itu segera berobah
dengan gerakannya yang membabat tadi diteruskan menjadi
sebuah tusukan yang berbahaya ke arah perut.
Ouwyang Bun terkejut sekali melihat kehebatan serangan
ini, apalagi ketika ia melihat betapa pedang Lie Eng di
tangan kanan menyambar pula untuk menjaga dan
digunakan sebagai serangan susulan apabila lawan itu
mengelak. Pemuda ini merasa betapa dadanya berdebar
ngeri dan terbayanglah matanya betapa tubuh kekasihnya
itu mandi darah.
Tapi, kembali kali ini ketenangan dan kecerdikan Cui
Sian menolong dirinya. Melihat datangnya pedang yang
menusuk perutnya, ia tidak mau menangkis, dan karena
tubuhnya masih berada di tengah u-dara, ia segera
menggerakkan tubuh itu miring ke kiri sambil menarik
perutnya ke dalam hingga pedang Lie Eng menyambar
angin. Cui Sian dapat menduga akan bahaya yang
mengancam dari pedang kanan Lie Eng Benar saja, ketika
ia mengelakkan pedang kiri lawannya ke kiri, tiba-tiba
terdengar Lie Eng berseru girang dan pedang kanannya
menyambar cepat membabat leher Cui Sian.
Kali ini tak mungkin Cui Sian mengelak karena selain
datangnya pedang itu sangat cepat, juga tubuhnya masih
miring biarpun kakinya telah menginjak tanah. Jalan satu-
satunya bagi dia ialah melemparkan tubuh ke belakang dan
bergulingan. Dara inipun melakukan hal itu, tapi ia tidak
menjatuhkan diri ke belakang untuk bergulingan, hanya
menggunakan ginkangnya yang tinggi untuk berjungkir
balik ke belakang.
Akan tetapi Lie Eng tidak mau memberi kesempatan
kepada Cui Sian untuk melepaskan diri dari kurungan
pedangnya sedemikian mudah.
Ia meloncat cepat menubruk dan mengirimkan tusukan maut dengan ujung
pedang digetarkan. Ketika itu, baru saja Cui Sian
menurunkan kakinya, melihat datangnya tusukan maut
yang digerakkan dalam tipu Macan Buas Sambar Hati ini,
ia segera kertak giginya dan mengerahkan seluruh tenaga
lweekangnya, lalu dengan gerakan Naga Sakti Menyabetkan Ekor ia menangkis dengan pedangnya sekuat
tenaga. "Traang.." dan bunga api biru dan merah memancar
keluar ketika dua batang pedang itu beradu dengan
kerasnya. Alangkah terkejut kedua dara itu ketika melihat
bahwa pedang mereka ternyata telah putus di tengah-
tengah. Lie Eng melempar gagang pedang itu dan kini ia
menggunakan pedang kirinya untuk menyerang lagi kepada
lawan yang telah tak bersenjata lagi itu.
Dalam keadaan seperti itu Cui Sian masih dapat berlaku
tenang. Iapun melempar gagang pedangnya yang telah
patah itu dan siap menghadapi serangan Lie Eng dengan
tangan kosong. Akan tetapi, tiba-tiba Lie Eng menahan
pedang yang telah digerakkan hendak menusuk itu. Ia
berdiri bagaikan patung karena pada saat itu ia
menggunakan pikirannya. Liang-simnya (hati nuraninya)
dan sifat gagahnya tidak mengijinkan ia menggunakan
kesempatan dan keuntungan itu untuk memperoleh
kemenangan. Ia lalu berkata,
"Kau bertangan kosong" Baik, lihatlah ini." setelah
berkata demikian, Lie Eng lalu melemparkan pedangnya
hingga menancap di atas tanah. Lalu tanpa banyak
membuang waktu ia maju menubruk dan melancarkan
serangan dengan kepalan tangan dalam gerak tipu Sian-jin-
ci-louw (Dewa Tunjukkan Jalan). Kepalan tangan ini
bergerak ke arah leher dan segera berobah menjadi tusukan
dengan dua jari tangan. Cui Sian mengelak dan balas
menyerang. Maka kembali dua dara jelita itu bertempur mati-matian.
Kali ini dengan tangan kosong, tapi kehebatannya tidak
kalah dengan pertempuran menggunakan pedang tadi. Lie
Eng yang telah berpeluh dan lelah menggunakan
kecerdikannya dan ia bersilat dengan ilmu gerakan Cian-jiu
Koan-im-hian-ko, yakni Dewi Koan Im Tangan Seribu
Persembahkan Buah. Biarpun ilmu silat ini hebat dan dapat
menghadapi serangan yang bagaimanapun, tapi cukup
dimainkan dengan tak banyak perubahan kaki hingga tidak
membuang tenaga. Tampaknya Lie Eng berdiri diam saja
dan hanya bergerak apabila diserang dan membalas dengan
serangannya. Sebaliknya, Cui Sian juga sama keadaannya dengan Lie
Eng. Gadis inipun telah lelah dan peluhnya telah
membasahi jidat. Menghadapi ilmu silat Lie Eng, gadis
yang cerdik inipun tahu bahwa jika ia menurutkan napsu
hati dan menyerang tanpa perhitungan biarpun ia takkan
dikalahkan dengan ilmu silat itu, namun ia akan kehabisan
tenaga juga, sedangkan Lie Eng dapat beristirahat sambil
mempertahankan diri. Oleh karena itu, iapun lalu berdiri
diam tidak mau menyerang, hanya memasang kudakuda di
depan Lie Eng dan menanti lawannya maju menyerang.
Melihat sikap lawannya itu, diam-diam Lie Eng
mengeluh sambil memuji, karena ternyata gadis yang amat
cerdik itu telah tahu akan maksudnya dan tahu pula rahasia
ilmu silat Cian-jiu Koan-im-hian-ko ini. Biarpun keduanya
sama-sama cerdik dan tinggi ilmu silatnya, namun Lie Eng
kalah tenang dan adat yang berangasan dan keras dari gadis
ini membuat ia kalah sabar. Ia segera berseru keras dan
menubruk maju sambil melancarkan serangan maut.
Tangan kanannya memukul dada sedangkan tangan kiri ia
gunakan untuk menusuk kedua mata lawan. Serangan ini
luar biasa hebat dan berbahayanya karena dilakukan
dengan nekat. Dengan dua tangan menyerang ini, maka
otomatis Lie Eng telah membuka lubang bagi diri sendiri
karena sama sekali tidak ada penjagaan. Ia memang telah
nekat dan biarpun ia tahu bahwa lawannya akan mudah
mengirim serangan, namun ia tahu juga bahwa kalau Cui
Sian menyerang, tak mungkin lawannya itu menghindarkan
serangan kedua tangannya.
Tapi agaknya Lie Eng terlalu memandang rendah
lawannya dan inilah kesalahannya. Otak Cui Sian yang
memang cerdas itu dalam saat sekilat saja sudah dapat
melakukan perhitungan untung rugi dalam menghadapi
serangan ini. Ia maklum bahwa kalau selalu menghindari
pukulan Lie Eng, maka pertempuran ini takkan ada
habisnya, apalagi ia telah merasa lelah sekali. Kini melihat
datangnya serangan ia maklum bahwa Lie Eng telah
berlaku nekat. Maka cepat sekali ia merendahkan tubuhnya
hingga serangan tangan kiri lawan yang menusuk matanya
itu lewat di atas kepalanya sedangkan tangan kanan Lie
Eng yang memukul dadanya, kini tepat menghantam
pundaknya. Tapi pada saat itu juga, dari bawah ia
melayangkan pukulan ke arah lambung Lie Eng.
Keduanya menjerit ngeri dan keduanya terhuyung
mundur lalu roboh pingsan. Para pemberontak segera maju
hendak menghabiskan jiwa Lie Eng, tapi terdengar
bentakan keras dari Siauw Leng.
"Mundur semua. Siapa berani menyentuh dia akan
berkenalan dengan tanganku." Maka semua kawannya yang
tadinya telah marah sekali kepada Lie Eng itu tiba-tiba
teringat akan pesan Cui Sian. Sementara itu, Siauw Leng
lalu membebaskan totokah yang mempengaruhi Ouwyang
Bun hingga pemuda itu dapat bergerak. Ia maju menubruk
Cui Sian yang rebah dengan wajah pucat seperti mayat.
Tapi hatinya menjadi lega ketika mengetahui bahwa gadis
itu hanya menderita luka yang tak berapa berat di
pundaknya dan jatuh pingsan hanya karena terlalu lemah
dan lelah. Kemudian ia teringat kepada Lie Eng dan segera
memeriksa keadaan gadis itu. Diam-diam Ouwyang Bun
terkejut sekali karena di bibir gadis ini tampak darah
mengalir. Siauw Leng yang juga mempelajari ilmu
pengobatan dari suhunya, mengerutkan jidat ketika
memeriksa lambung Lie Eng yang terpukul karena ternyata
gadis ini menderita luka dalam yang mengkhawatirkan
keadaannya. Ouwyang Bun lalu mendukung tubuh Cui Sian masuk ke
tenda, sedangkan Siauw Leng mengangkat tubuh Lie Eng
masuk ke tendanya sendiri. Tenda Siauw Leng ini
berdekatan dengan tenda Cui Sian. Lie Eng masih pingsan
ketika dibawa masuk, sedangkan Cui Sian telah sadar.
Gadis ini sadar dalam dukungan Ouwyang Bun dan ia
berbisik, "Koko, maafkan aku tadi telah menotokmu."
Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala. "Ah,
kalian gadis-gadis kepala batu. Gila sekali untuk bertempur
mati-matian hanya karena seorang tak berharga seperti
diriku." "Untuk menjaga nama dan kehormatan, koko....," Cui
Sian berbisik lemah. Ketika ia telah dibaringkan di atas
dipannya, ia bertanya,
"Koko, bagaimana dengan dia?"
"Siapa" Lie Eng" Ah, pukulanmu terlalu hebat."
Cui Sian diam saja dan memejamkan mata.
"Kasihan Lie Eng yang malang...." sambil memejamkan
mata ia berkata lirih.
Ouwyang Bun memandang wajah kekasihnya dengan
heran. Sungguh ia tak dapat mengerti sikap ini. Tadi
berkelahi mati-matian dan kini mengucapkan kata-kata
menyatakan iba hati kepada bekas lawannya itu.
Sementara itu, dengan napas terengah-engah, Lie Eng
sadar dari pingsannya. Ia membuka mata perlahan-lahan
dan melihat betapa Siauw Leng sedang merawat dia. Maka
ia menutup matanya lagi.
Rasa dendam dan gemas membuat lukanya makin terasa
sakit. Gadis ini memang mempunyai watak tidak mau
kalah, maka tentu saja kekalahan ini menyakitkan hatinya
benar. Ia mencoba untuk mengerahkan Iweekangnya
menahan rasa sakit itu dan tahulah ia bahwa lukanya
memang berat dan berbahaya. Ia diam-diam kagum akan
kehebatan Cui Sian dan diam-diam ia harus mengakui
bahwa gadis itu memang pantas menjadi isteri Ouwyang
Bun. Pada saat itu, telinganya yang tajam mendengar suara
Ouwyang Bun di tenda sebelah, dan ia mendengar pula
suara Cui Sian. Hatinya terasa perih karena ia tahu bahwa
pemuda itu tentu sedang merawat Cui Sian. Ia teringat
bahwa Cui Sian juga kena pukulannya, tapi hanya di
pundak dan tehtu saja tidak berbahaya. Kembali ia
memejamkan mata dengan hati sakit. Mengapa ia tidak
mati saja" Ah, ia malu dan apa artinya hidup menanggung
malu dan patah hati"
Melihat wajah yang cantik itu nampak sedih, Siauw
Leng merasa terharu. Iapun merasa suka kepada gadis yang
gagah dan jujur serta keras hati ini, sifat yang juga menjadi
sifatnya. Maka katanya perlahan,
"Lihiap, enciku itu telah ditunangkan dengan Ouwyang
Bun semenjak mereka masih kecil oleh orang tua kami.
Ouwyang Bun dengan enciku, dan Ouwyang Bu dengan
aku." Ucapan Siauw Leng ini sebetulnya dimaksudkan untuk
memberi penjelasan agar dapat menghibur hati gadis itu,
tapi tidak mengira bahwa penjelasan ini bahkan lebih
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyakiti hati Lie Eng. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu
dan membentak. "Pergi kau. Jangan rawat aku, pergi....."
Dengan mengangkat pundak dan muka menyatakan
kasihan, Siauw Leng keluar dari tenda itu.
Lie Eng menangis sedih tapi ia kuatkan hatinya untuk
menahan suara tangisnya agar jangan sampai terdengar
oleh o-rang lain. Hatinya makin terasa sakit. Ia malu sekali,
karena ternyata bahwa Ouwyang Bun adalah tunangan Cui
Sian yang sah hingga dialah yang sesungguhnya bersikap
rendah, hendak merampas tunangan orang. Dan lebih-lebih
lagi, dia telah menjadi sebab hingga Ouwyang Bu terpisah
dari kakaknya, bahkan kini menjadi musuh Siauw Leng,
tunangan pemuda itu sendiri. Ah, kalau saja tidak ada dia,
tentu kedua pemuda itu akan berkumpul dengan kedua
tunangan mereka dan semuanya akan beres dan lancar.
Semua akan berbahagia. Tapi sekarang dengan adanya dia,
segalanya menjadi kacau.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, semua orang di
situ mendengar jerit tangis Siauw Leng yang memilukan,
karena ketika gadis ini memasuki tendanya hendak
menjenguk Lie Eng, ternyata ia mendapatkan gadis ini telah
menjadi mayat. Lie Eng telah menggunakan sebilah pisau
yang terdapat di tenda itu untuk bunuh diri. Pisau itu
menancap di dada kirinya dan ia mati telentang di atas
dipan. Tangan kirinya memegang sehelai kertas yang
ternoda darah yang memercik keluar dari dadanya.
Melihat keadaan Lie Engr-Oywyang Bun tak dapat
menahan keharuan hatinya. Ia maju dan berlutut di dekat
tubuh itu sambil menundukkan kepala. Diam-diam m
merasa bertanggung jawab akan peristiwa ini dan tahu pula
bahwa kematian gadis ini adalah karena dia. Sementara itu,
Cui Sian yang juga sudah dapat turun dan berada pula di
situ, hanya berdiri sambil menghela napas berulang-ulang.
Ketika Ouwyang Bun mengangkat muka, ternyata wajah
pemuda ini pucat dan kedua matanya basah, sedangkan
pada wajah, itu terbayang kedukaan besar hingga membuat
ia tampak lebih tua. Ia tidak saja menyedihi kematian
sumoinya ini, tapi juga bersedih karena Ouwyang Bu. Ia
maklum bahwa kematian Lie Eng ini akan menghancurkan
kebahagiaan hidup Ouwyang Bu.
Dengan perlanan ia ambil surat di tangan gadis itu.
Ternyata surat itu ditujukan kepadanya.
Bun-ko, Sudah Sepantasnya aku tewas di tangan. Cui Sian yang
gagah, tapi sayang ia memukul kepalang tanggung hingga
terpaksa aku sendiri yang menamatkan hidupku, Tapi
agaknya arwahku takkan tenang sebelum mendapat ampun
dari engkau dan dari Bu-ko. Aku adalah seorang gadis yang
tak tahu diri dan hanya, mengacaukan kebahagiaan orang.
Dengan membabi-buta dan tak tahu malu aku telah
berani mencintaimu, Bun-ko, mencintai seorang pemuda
yang telah mempunyai tunangan secantik dan segagah Cui
Sian. Oleh karena akulah maka Bu-ko terpisah darimu. Karena
aku pula Bu-ko menjadi pembantu ayah dan karenanya tak
dapat berkumpul dengan Siauw Leng, tunangannya.
Aku tak mungkin menjadi isterimu, dan tak mungkin
pula menjadi isteri Bu-ko, hingga akibatnya aku hanya akan
hidup menderita dan merusak hati Bu-ko yang mencintaiku.
Karena inilah lebih baik aku mati.
Bun-ko, aku percaya bahwa kau tentu suka memaafkan
daku karena aku tahu betapa mulia hatimu. Tapi aku masih
ragu-ragu apakah Bu-ko dapat mengampuni dan melupakan
aku. Sukakah kau mintakan ampun padanya"
Selamat tinggal dan tolong sampaikan permohonan
ampun kepada ayah untuk anaknya yang tidak berbakti.
CIN LIE ENG Semakin keraslah sedu-sedan dari dada Ouwyang Bun
ketika ia baca isi surat ini dan tanpa berkata apa-apa ia
berikan surat itu kepada Cui Sian untuk dibaca. Gadis
itupun menjadi merah mukanya karena terharu sedangkan
Siauw Leng yang juga membaca surat itu menangis keras.
Ouwyang Bun lalu menyimpan surat itu dalam saku
bajunya. Ouwyang Bu merasa heran, khawatir, dan bingung
ketika tidak melihat Lie Eng dalam benteng. Ia mencari ke
sana-sini dan bertanya kepada anak buahnya yang berjaga
di sepanjang daerah penjagaannya, tapi tak seorangpun
melihat gadis itu.
Ketika matahari telah naik tinggi, tiba-tiba ia diberi tahu
oleh penjaga bahwa di luar benteng ada seorang pemuda
berpakaian putih datang dengan sebuah kereta hendak
bertemu dengannya. Hati Ouwyang Bu berdebar aneh dan
segera ia lari keluar.
"Bun-ko....." ia berseru keras sambil lari keluar
menyambut kakaknya itu. Tapi ia heran sekali melihat
betapa kakaknya itu berpakaian putih dan wajahnya
nampak sedih sekali.
"Bun-ko, kau dari mana dan hendak ke mana" Mari,
mari masuk, kita bicara di dalam," kata Ouwyang Bu
setelah berpelukan dengan kakaknya.
Tapi Ouwyang Bun tidak menjawab, bahkan tiba-tiba
saja matanya menjadi merah dan ia pandang wajah adiknya
yang gagah dan kini berpakaian perwira itu. Pandangan
mata Ouwyang Bun membuat Ouwyang Bu terkejut sekali.
"Bun-ko." teriaknya dengan hati tidak karuan. "Ada
kabar apa?"
Ouwyang Bun hanya menunjuk ke arah kereta yang
tertutup kain putih yang ditarik oleh seekor kuda. Ouwyang
Bu masih tidak mengerti walaupun hatinya berdebar-debar
cemas. Ia lalu menghampiri kereta itu dan membuka kain
putih yang menutupi kendaraan itu. Di dalam kereta
terdapat sebuah peti mati.
Dengan terkejut Ouwyang Bu melangkah mundur.
Mukanya menjadi pucat.
"Bun-ko, apa artinya ini" Peti mati siapa ini dan apa
maksudmu?"
"Bu-te..... sumoi..."
Tiba-tiba saja Ouwyang Bu menggigil dan mukanya
semakin pucat ketika ia berteriak,
"Lie Eng....."." dan cepat sekali ia meloncat ke arah peti
mati itu. Dengan tangannya yang kuat ia buka peti itu
hingga peti mati yang telah dipaku itu terbongkar seketika
itu juga. Ia buka kain penutup muka mayat itu.
"Lie Eng.... kau...." dan pemuda itu tak dapat
melanjutkan katakatanya karena pada saat itu juga ia roboh
pingsan. "Bu-te.... ah, Bu-te..... kasihan kau...... adikku..."
Ouwyang Bun-lalu menubruk dan memeluk tubuh adiknya.
Ia angkat kepala Ouwyang Bu dan dipangkunya serta
diciuminya dengan penuh kasih sayang.
Para penjaga yang melihat peristiwa ini berdiri bingung
dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka belum tahu
siapakah yang berada di peti mati itu dan mereka tidak
berani melakukan apa-apa karena tidak mendapat perintah.
Ketika Ouwyang Bu sadar sambil merintih memanggil-
manggil nama Lie Eng, ia dapatkan dirinya sedang dipeluk
dan dipangku oleh kakaknya. Tiba-tiba ia meloncat berdiri
dan mencabut pedangnya.
"Bun-ko.... siapa.... siapa yang membunuh dia"
Kaukah...?" ia menghampiri kakaknya dengan sikap
mengancam. "Ya, tentu kau. Siapa lagi yang dapat
membunuh dia" Dan kau sekarang sudah menjadi
pemberontak" Hayo, mengakulah kau."
Ouwyang Bun hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu
ia mengeluarkan surat Lie Eng. Ouwyang Bu menerima
surat itu dengan kedua tangan menggigil. Ketika ia
membaca isinya surat itu, mukanya menjadi sebentar pucat
sebentar merah. Ia lalu memukul-mukul kepala sendiri
dengan tangan hingga topi besi yang dipakainya berbunyi
tang-tung dengan keras. Setelah habis membaca surat itu, ia
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakaknya dan
berkata, "Bun-ko.... kaubunuhlah aku, Bun-ko.... aku hendak
menyusul Lie Eng..."
Tapi Ouwyang Bun memegang kedua pundak adiknya
dan ditariknya Ouwyang Bu berdiri. "Bu-te. Bukankah kau
seorang laki-laki dan seorang jantan pula. Janganlah
bersikap lemah."
Tiba-tiba katakata ini bagaikan cahaya kilat yang
memasuki tubuh Ouwyang Bu. Ia berdiri tegak dan kedua
matanya memandang kepada kakaknya sedemikian rupa
hingga Ouwyang Bun mundur dua langkah. Mata itu
bagaikan mata seorang buta melek.
"Baik, Bun-ko. Aku tetap seorang laki-laki dan sudah
menjadi tugasku untuk membalas dendam ini. Jangan kau
menyesal kalau kelak aku pasti membunuh Cui Sian, Siauw
Leng, dan.... engkau juga."
Biarpun hatinya merasa sakit dan pilu, tapi Ouwyang
Bun tahu bahwa inilah sikap terbaik bagi seorang perajurit
seperti Ouw yang Bu.
"Bu-te, aku tahu bahwa surat ini telah menyakiti hatimu
dan kau tentu marah kepadaku. Kalau kau sakit hati dan
hendak membunuh aku, lakukanlah itu sekarang juga,
adikku." "Tidak membunuh pemberontak ini sekarang, mau
tunggu kapan lagi?" tiba-tiba terdengar orang berseru keras
dan Gui Li Sun yang mengeluarkan katakata ini lalu
menyerbu dan menyerang Ouwyang Bun, diikuti oleh
beberapa orang perwira lain.
"Tahan." Ouwyang Bu membentak hingga semua
penyerang itu mengundurkan diri. "Jangan serang dia."
"Ciangkun, dalam menghadapi musuh, perajurit sejati
tidak kenal saudara." Gui Li Sun memperingatkan.
"Tutup mulut." Ouwyang Bu membentak marah.
"Kaukira aku tidak tahu aturan seorang perajurit sejati" Aku
larang kau serang dia bukan karena ia saudaraku, tapi
karena kedatangannya adalah sebagai seorang utusan yang
membawa jenasah Cin-lihiap. Pantaskah kalau kita serang
dia" Perbuatan ini akan dipandang rendah dan aku
melarang siapa saja menyerang dia pada waktu sekarang
ini." Semua orang terpaksa mengakui kebenaran katakata ini.
"Sekarang kau pergilah." kata Ouwyang Bu dengan
suara dingin. "Bu-te.... marilah kita pergi saja, pergi dari segala
peperangan ini..."
Untuk sesaat Ouwyang Bu ragu-ragu, tapi ia segera
menetapkan hatinya dan berkata,
"Sudahlah, jangan banyak ribut. Bujuk-anmu tidak ada
artinya bagiku..Aku seorang perajurit sejati dan harus tetap
menu naikan tugasku sebagai seorang perwira. Dan kau....
kau pergilah kembali kepada tunanganmu." Kemudian
Ouwyang Bu memerintahkan anak buahnya untuk
mendorong kereta berisi peti mati itu ke dalam benteng dan
ia sendiri lalu masuk ke dalam benteng tanpa menoleh lagi
kepada kakaknya. Ouwyang Bun menghela napas berkali-
kali dan terpaksa ia lalu kembali ke dalam hutan.
Setelah berada dalam benteng, barulah Ouwyang Bu
menangisi jenasah Lie Eng, sedangkan Gui Li Sun berkata
dengan suara gemas.
"Ciangkun, marilah kita kerahkan tenaga dan menyerbu
ke dalam hutan. Kalau belum dapat membasmi habis
pemberontak-pemberontak hinadina itu, belum puas rasa
hatiku." Ouwyang Bu tidak menjawab tapi diam-diam ia
mengatur siasat untuk membalas kematian Lie Eng kepada
para pemberontak itu.
Benar saja, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
Ouwyang Bu bersama Gui Li Sun dengan tiga ratus orang
tentara telah menyerbu ke dalam hutan. Pertempuran hebat
terjadi dan Ouwyang Bun melihat betapa Cui Sian dan
kawan-kawannya terkurung, terpaksa turun tangan hingga
di pihak tentara negeri menjadi kacau. Amukan Ouwyang
Bun dihadapi oleh beberapa orang perwira yang cukup
tinggi kepandaiannya. Karena para pemberontak itu
menggunakan taktik berpencar, maka pertempuran menjadi
berkelompok-kelompok. Yang mengherankan ialah bahwa
Ouwyang Bu tidak tampak dalam pertempuran itu.
Karena pihak tentara sangat banyak, maka banyak sekali
jatuh korban dan akhirnya pihak pemberontak terpaksa
meng undurkan diri. Tapi pada saat itu muncul tiga orang
tosu tua yang datang membantu pihak pemberontak. Tiga
orang tosu ini berkepandaian tinggi sekali hingga para
tentara kocar-kacir tidak kuat menghadapi mereka bertiga
yang bersenjata pedang.
Ke manakah perginya Ouwyang Bu" Sebetulnya tadinya
pemuda ini memang memimpin sendiri penyerbuan ke
dalam hutan, tapi setelah pertempuran terjadi, ia
memisahkan diri karena bermaksud hendak menawan
hidup, seorang di antara tiga pemimpin pemberontak itu. Ia
melihat betapa Ouwyang Bun bertempur di samping Cui
Sian merupakan sepasang anak muda gagah perkasa hingga
sukar sekali didekati. Maka ia lalu mencari ke kelompok
lain dan melihat Siauw Leng sedang mengamuk dikeroyok
beberapa orang anak buahnya. Ouwyang Bu segera
meloncat membantu karena anak buahnya yang dipimpin
Gui Li Sun ternyata sangat terdesak oleh gadis lincah itu.
"Bun-ko, bantulah aku membereskan beberapa ekor tikus
ini." Siauw Leng berkata tanpa menengok. Ouwyang Bu
heran, tapi ia segera tahu bahwa gadis itu salah sangka. Ia
memang berpakaian putih untuk menyatakan kesedihannya
atas kematian Lie Eng, dan gadis itu tentu menyangka,
bahwa ia adalah Ouwyang Bun.
Karena inilah maka ketika Ouwyang Bu meloncat di
dekatnya dan mengulurkan tangan menotok, Siauw Leng
tidak menyang ka sama sekali bahwa ia bukan Ouwyang
Bun dan mudah saja ia kena ditotok roboh. Seorang
pengeroyok mengayun senjata hendak membunuh gadis itu,
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi Gui Li Sun mendahuluinya dengan memegang dan
mendukung tubuh Siauw Leng.
Karena tidak ingin melihat gadis itu dibunuh, Ouwyang
Bu lalu mengangguk kepada Gui-ciangkun dan berkata,
"Bawa tawanan ini dan jaga baik-baik," kemudian ia
sendiri lalu pergi menghadapi tiga orang tosu yang sedang
mengamuk itu. Ternyata tiga orang tosu itu benar-benar
gagah perkasa dan kini semua pemberontak yang tadi
melarikan diri mendapat tambahan semangat dan melawan
lagi. Ouwyang Bu melihat gerakan-gerakan ketiga orang itu,
maklum bahwa pihaknya takkan menang, maka ia segera
memberi aba-aba dan menarik mundur semua orangnya,
lalu kembali ke dalam benteng.
Ouwyang Bu langsung menuju ke tempat tahanan untuk
menemui Siauw Leng yang ditawannya tadi. Tapi alangkah
herannya ketika ia tidak mendapatkan gadis itu di antara
tawanan-tawanan lain. Ia lalu bertanya kepada penjaga
yang segera dijawab bahwa tawanan wanita itu dibawa
pergi oleh Gui-ciangkun
0oooo0dw0oooo0 Jilid VII Tamat
OUWYANG BU marah sekali. Sambil berlari ia menuju
ke tempat tinggal Gui Li Sun di sebelah utara dalam
benteng itu. Ketika ia tiba di depan kamar Gui-ciangkun, ia
mendengar suara wanita memaki-maki dan suara Gui Li
Sun tertawa-tawa.
Ouwyang Bu tak dapat mengendalikan kesabarannya
lagi. Ia mendorong daun pintu dan apa yang terlihat
olehnya membuat ia mencabut pedangnya karena marah.
Gui Li Sun yang agaknya sudah mabok, berdiri dengan
sikap menantang.
"Gui-ciangkun, apakah yang sedang, kau lakukan ini?"
"Ha-ha ciangkun, apakah kau tidak melihat" Aku sedang
memeriksa seorang tawanan"
"Lepaskan dia dan kembalikan ke dalam kamar tahanan"
Ouwyang Bu memerintah dengan mata terbelalak marah.
Gui Li Sun menggeleng-gelengkan kepala. "Ouwyang-
ciangkun, kau selalu mau menang dan mau enak sendiri
saja. Kau datang-datang telah, merampas nona Lie Eng dari
tanganku merampas pula kedudukanku. Semarang aku
dapat menangkap tawanan pemberontak wanita ini, apakah
kau juga hendak merampasnya pula" Ha-ha, ia memang
cantik, lebih cantik daripa da nona Lie Eng. Tapi dia adalah
bagianku dan kau tidak boleh merampasnya."
"Gui Li Sun, tutup mulutmu yang kotor. Apakah kau
hendak membantah perintahku?"
"Perintah apakah ini" Ouwyang-ciangkun, apakah kau
lebih memberatkan dan membela tawanan seorang
pemberontak daripada seorang perwira pembantumu
sendiri?" "Selama aku masin berada di sini, kau tidak boleh
memperlakukan tawanan kita secara sewenang-wenang"
kata Ouwyang Bu tidak sabar.
"Siapa yang sewenang-wenang" Kau atau aku" Aku
takkan menyakiti atau menyiksa nona ini. Aku bahkan
hendak mengambil dia sebagai isteriku"
"Bangsat rendah" Ouwyang Bu marah sekali dan
menggerak-gerakkan pedangnya. Tiba-tiba Gui Li Sun juga
mencabut pedangnya dan menghadapi Ouwyang Bu
dengan mata merah.
"Orang she Ouwyang. Kali ini aku terpaksa tak mentaati
perintahmu yang gila. Aku hendak mengambil nona ini,
kau mau apa?"
"Kalau begitu aku akan menggunakan kekerasan" kata
Ouwyang Bu. "Bagus" dan sambil berseru keras Gui Li Sun loncat
menyerang dengan pedangnya yang dapat ditangkis dengan
mudah oleh Ouwyang Bu. Tak lama kemudian Gui Li Sun
menyerang mati-matian dan Ouwyang Bu bertahan dengan
tenang. Sementara itu, Siauw Leng yang terikat kaki tangannya
dan tidak berdaya, melihat pertempuran itu dengan mata
terbelalak. Tiba-tiba ia menitikkan air mata dari sepasang
matanya karena keadaan itu mendatangkan berbagai
perasaan kepadanya. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu adalah
tunangannya dan karena ia telah tahu pula bahwa anak
muda ini mencintai Lie Eng, maka ia tidak banyak
mengharapkan dari padanya. Pula karena Ouwyang Bu
ternyata telah menjadi kaki tangan kaisar, ia lebih benci dan
menganggap bahwa pemuda itu memang berwatak jahat
dan buruk, berbeda jauh dengan Ouwyang Bun tunangan
encinya. Tapi kini melihat betapa pemuda itu ternyata
cukup memiliki sifat ksatria dan bahkan membelanya dari
gangguan panglima kasar she Gui itu, ia tak dapat menahan
keharuan hatinya lagi.
Ia merasa girang karena ternyata bahwa betapapun juga
pemuda pilihan orang tuanya itu tidak sejahat yang ia
sangka, dan ia merasa sedih karena pemuda itu mau
menjadi kaki tangan kaisar lalim.
Karena kepandaian Gui Li Sun memang kalah jauh jika
dibandingkan dengan Ouwyang Bu dan karena perwira she
Gui ini memang hanya mengandalkan tenaganya yang
besar belaka, maka tak lama kemudian ia hanya mampu
menangkis saja dan napasnya terengah-engah menghadapi
serangan-serangan Ouwyang Bu yang hebat. Pada saat yang
tepat sekali, akhirnya Ouwyang Bu berhasil menendang
tangan lawannya itu dan Gui Li Sun menjerit kesakitan.
Pedangnya terlempar dan jatuh di atas lantai.
"Pungut pedangmu dan pergi dari sini" Ouwyang Bu
memerintah sambil memasukkan pedangnya sendiri ke
dalam sarung pedang.
Bagaikan seekor anjing kena pukul, Gui Li Sun
membungkuk dan memungut pedangnya yang terlempar ke
dekat pembaringan. Karena pergelangan tangan kanannya
patah oleh tendangan Ouwyang Bu, ia menggunakan
tangan kiri untuk memungut pedang itu, tapi tiba-tiba
bagaikan orang kemasukan iblis ia menyeringai dan cepat
sekali ia gerakkan pedang, di tangannya itu untuk menusuk
dada Siauw Leng yang rebah telentang. Dara itu memekik
lirih dan berkelojotan dalam ikatannya, lalu
menghembuskan napas terakhir. Darah merah menyembur
keluar dari dadanya, membasahi pakaiannya.
Ouwyang Bu tiba-tiba merasa kepalanya pening dan
matanya kabur. Ia tak percaya kepada pandangan matanya
dan menggunakan tangannya untuk menggosok-gosok
kedua matanya. "Kau halang-halangi maksudku dan kau hendak
merampas dia, maka lebih baik dia mati dan habis perkara"
Mendengar kata-kata Gui Li Sun, barulah Ouwyang Bu
sadar dan maklum bahwa ia bukan sedang mimpi dan
bahwa benar-benar perwira itu telah membunuh Sianw
Leng dengan kejam. Suaranya gemetar ketika ia berteriak.
"Bangsat rendah. Kau.... kau binatang kejam" Ouwyang
Bu melangkah perlahan menghampiri Gui Li Sun dengan
mata mengancam dan wajah menyeramkan.
Melihat keadaan pemimpinnya ini, Gui Li Sun terkejut
sekali. Biarpun ia seorang yang tabah, namun melihat
wajah Ouwyang Bu pada saat itu, ia menjadi ngeri dan
takut. "Ciangkun.... ciangkun,,,. maaf.... yang kubunuh
hanyalah seorang pemberontak..."
Tapi Ouwyang Bu tetap melangkah maju, perlahan-
lahan, bagaikan seekor harimau menghampiri korbannya,
bibirnya tetap bergerak-gerak dan berbisik dengan napas
mendesis-desis,
"Bangsat rendah, binatang kejam"
Gui Li Sun makin takut. Tubuhnya menggigil dan untuk
penghabisan kali ia berusaha membela diri.
"Ouwyang-ciangkun ..... ampunkan aku.... ingat.... ia...
ia hanyalah seorang perempuan pemberontak"
Ketika Ouwyang Bu telah cukup dekat Gui Li Sun lalu
menggunakan pedang di tangan kirinya untuk menyerang,
tapi satu tangkisan keras membuat pedangnya terlempar
dan ia terhuyung ke samping. Ouwyang Bu bergerak cepat
dan tangan kanannya menghantam dada sedangkan kaki
kirinya menyusul menendang lambung.
Gui Li Sun memekik ngeri dan roboh tak bernapas lagi.
Ouwyang Bu berdiri memandang kedua mayat itu
dengan tak bergerak bagaikan patung batu. Pikirannya
kacau-balau. Pada saat itu terdengar suara orang menegur di
belakangnya, "Ouwyang Bu, perbuatan apakah yang kaulakukan ini?"
Ouwyang Bu terkejut sekali karena suara itu adalah
suara Cin CUn Ong. Ia mem balikkan tubuh dan benar saja,
Cin-ciang-kun telah berdiri di depannya.
Ouwyang Bu segera menjatuhkan diri berlutut di depan
susioknya. Ia teringat akan kematian Lie Eng dan tak
tertahan pula ia menangis sambil berkata,
"Susiok.... adik Lie Eng..."
"Sudahlah,
aku telah tahu semua. Aku tidak menyalahkan kau, dan kejadian sekarang ini sungguh
kusesalkan sekali. Beginilah akibatnya kalau orang
mencampuradukkan tugas kewajiban dengan perasaan-
perasaan perseorangan."
"Susiok, Gui Li Sun bertindak di luar batas
perikemanusiaan
dan teecu sebagai seorang yang menghargai kejujuran tak kuat melihat dan...."
"Saya tahu Gui-ciangkun bersalah" Cin Cun Ong
membentak. "Tapi betapapun besar kesalahannya, kau tak
berhak membunuhnya. Untuk mengadili dia, ada pengadilan tertentu, kau tidak boleh bertindak sendiri"
Ouwyang Bu menundukkan kepala dan mengakui
kesalahannya. "Lie Eng mati karena terlalu menurutkan nafsu hatinya,
tapi sudahlah, kematian bagi orang-orang dalam peperangan seperti kita tidak berarti apa-apa." Sungguhpun
mulutnya berkata begitu, namun wajah panglima tua ini
tampak bersedih juga, tanda bahwa kematian Lie Eng
sangat mendukakannya hingga Cin Cun Ong kini nampak
lebih tua. "Kita harus memperkuat benteng di sini karena akan ada
barisan pemberontak besar dan kuat melalui daerah ini.
Karena ini pula aku membawa seribu orang tentara ke.
benteng ini dan ada pula beberapa orang kawan-kawan
yang membantu kita. Mari kuperkenalkan kau kepada
mereka." Ouwyang Bu mengikuti susioknya keluar dari kamar itu
dan memerintahkan orang-orangnya mengurus jenasah Gui
Li Sun dan Can Siauw Leng, dengan pesan bahwa jenasah
nona itu harus diurus baik-baik dan jangan dianggap
sebagai mayat musuh biasa. Setelah tiba di luar, ia
diperkenalkan kepada beberapa orang tokoh persilatan yang
terkenal di kalangan kang-ouw.
Ia melihat Hoa-gu-ji Lee Un si Kerbau Belang, Bi Kok
Hosiang si hwesio gendut yang bersenjata tasbeh, Khu Ci
Lok si Huncwe Maut yang hebat. Mereka ini adalah tiga
tokoh yang dulu pernah membantu Cin Cun Ong di
benteng tembok besar di utara. Juga tampak Kin Keng
Tojin tokoh Go-bi-san yang bongkok kurus dan di antara
seribu orang anggauta tentara yang baru datang, terdapat
sepasukan tentara istimewa sebagaimana dapat dilihat dari
topi mereka, yakni Barisan Sayap Garuda, pahlawan-
pahlawan istana kaisar yang terkenal kekejaman dan
keberaniannya. Pasukan ini terdiri dari seratus dua puluh
orang. Melihat rombongan yang kuat ini, diam-diam Ouwyang
Bu merasa kagum, dan ia merasa yakin bahwa kali ini
barisan pemberontak pasti akan dapat dihancurkan. Semua
perwira dan para ksatria itu lalu dijamu oleh Cin Cun Ong
dan semua orang, kecuali Ouwyang Bu, merasa gembira.
Pemuda ini tidak dapat bergembira karena hatinya masih
sedih mengingat kematian Lie Eng dan ditambah pula ia
menyesal sekali telah menangkap Siauw Leng hingga gadis
itu menjadi binasa. Kalau saja ia binasakan gadis itu di
dalam pertempuran, maka ia takkan demikian menyesal.
Tapi, biarpun ia tidak membunuh gadis itu, namun tetap
saja ia merasa menyesal dan merasa seakan-akan ia sendiri
yang menyebabkan kematian gadis Itu. Hanya sedikit
pikiran yang menghiburnya, yakni bahwa ia telah
membunuh Gui Li Sun,
"Cuwi," kata Cin Cun Ong, "menurut laporan para
penyelidik kita, musuh yang akan menyeberang daerah ini
jumlahnya besar sekali dan mungkin lebih besar daripada
jumlah anak buah kita. Akan tetapi, dengan adanya kawan-
kawan di sini, kurasa kita takkan kalah. Menurut
perhitunganku, malam ini tentu mereka telah tiba di sini
dan kalau tidak malam ini, tentu besok pagi-pagi mereka
melakukan serangan. Maka kuharap cuwi sukalah berjaga-
jaga menghadapi segala kemungkinan. Ketahuilah bahwa
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat ini sangat penting artinya dan penyerbuan ke kota
raja oleh para pemberontak itu tergantung kepada berhasil
atau tidaknya mereka menyeberang daerah ini."
"Cin-eiangkun" tiba-tiba Khu Ci Lok si Huncwe Maut
berkata setelah melepaskan huncwenya dari mulut.
"Perlukah kita takuti segala pemberontak itu" Biarpun
jumlah mereka besar, tapi mereka itu terdiri dari petani-
petani dan pengemis-pengemis miskin yang kelaparan.
Kurasa biarpun jumlah mereka lima kali lebih banyak
daripada jumlah kita, dengan satu lawan limapun kita
takkan kalah. Maka kuharap Cin-ciangkun tidak berkecil
hati." Semua orang membenarkan kata-kata ini, tapi Ouwyang
Bu diam-diam khawatir melihat kesombongan mereka. Juga
Cin Cun Ong berkata,
"Betapapun juga, harap cuwi berhati-hati, karena terus
terang saja kukatakan bahwa di antara mereka ada juga
orang pandai." Akan tetapi, tentu saja panglima yang cerdik
itu tidak mau mengecilkan hati dan semangat mereka yang
membantunya ini, dan untuk menggembirakan suasana, ia
minta kepada mereka untuk mendemonstrasikan
kepandaian silat guna menyegarkan semangat.
Lok Wi Beng, seorang komandan Barisan Sayap
Garuda, yang masih muda dan bersikap galak, mulai
dengan demonstrasi kepandaiannya. Ia adalah murid dari
Him Kok Hwesio seorang tokoh dari Thai-san, maka
kepandaian silatnya cukup hebat. Dengan senjata sebatang
tombak panjang, perwira Sayap Garuda ini main silat
tombak yang mendapat sambutan dan pujian riuh rendah.
Ujung tombaknya bergetar-getar dan menjadi belasan
banyaknya, mengelilingi seluruh tubuh dengan suara angin
yang cukup kuat. Diam-diam Ouwyang Bu kagum juga dan
merasa bahwa kepandaian komandan she Lok tidak berada
di bawah kepandaiannya sendiri.
Selesai Lok Wi Beng berdemonstrasi, majulah dua
perwira lain yang dijuluki Tiat-tho-siang-houw atau
Sepasang Harimau Kepala Besi. Dua perwira ini adalah
saudara seperguruan dan mereka ini murid-murid Siauw-
lim-si yang berpihak pada pembesar seperguruan dan
mereka ini murid-murid Siauw-Iim yang berpihak pada
pembesar pemeras dan diperbantukan kepada Cin Cun
Ong. Kepandaian kedua murid Siauw-lim si inipun cukup
hebat. Mereka memperlihatkan kemahiran bersilat dengan
toya dan tentu tingkat kepandaian merekapun berimbang
dengan tingkat Lok Wi Beng hingga Ouwyang Bu makin
berbesar hati saja.
Dengan bergiliran, mereka saling memperlihatkan
kehebatan mereka. Ouwyang Bu teringat akan gurunya,
maka ia lalu mendekati susioknya dan dengan suara
perlahan bertanya mengapa suhunya tidak datang
membantu. "Gurumu orang aneh" kata Cin Cun Ong. "Aku sudah
minta bantuannya tetapi ia berkata bahwa ia tidak mau
mengotorkan tangannya dengan segala urusan perang. Ia
telah tua dan telah menjadi lemah, sayang..." Cin Cun Ong
tertawa dan Ouwyang Bu merasa heran, diam-diam ia
merasa menyesal mengapa suhunya bersikap demikian.
Suhunya telah menyuruh ia dan kakaknya turun gunung
untuk membantu Cin Cun Ong, tapi ia sendiri tidak mau
membantu. Sungguh aneh.
Pada saat itu, Khu Ci Lok si Huncwe Maut, Bi Kok
Hosiang, dan Hoa-gu-ji Lee Un sudah memperlihatkan
kemahiran mereka. Ketika tiba giliran Kin Keng Tojin
memainkan pedangnya, maka Ouwyang Bu kagum sekali
karena tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi pula.
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar berkelebat bajingan putih
dan terdengar suara orang berkata,
"Cin Cun Ong, maafkan aku mengganggu pestamu. Aku
perlu dengan pemuda she Ouwyang ini"
Semua orang terkejut ketika melihat betapa tiba-tiba saja
di tengah ruangan itu berdiri seorang tua berpakaian sebagai
petani dengan baju warna putih dengan sikap-tenang sekali.
"Sin-liong Ciu Pek In" Cin Cun Ong berkata terkejut.
Mendengar nama ini, Hoa-gu-ji Lee Un tahu bahwa
kakek yang datang ini adalah seorang tokoh pemberontak
yang terkenal sekali, maka diam-diam ia mengeluarkan tiga
batang piauw dan melemparkan senjata rahasia itu dari
jurusan belakang, mengarah tiga jalan darah yang paling
berbahaya dari kakek itu. Semua orang terkejut melihat hal
ini dan terutama Cin Cun Ong merasa tak senang karena
tindakan Lee Un itu dianggap gegabah dan sembrono
sekali. Ciu Pek In seperti tidak tahu akan datangnya tiga batang
piauw yang menyambut dan tiga buah senjata rahasia itu
tepat mengenai tubuhnya. Tapi sungguh aneh. Bagaikan
mengenai karet saja, tiga buah senjata itu mental kembali
dan jatuh di atas tanah tanpa melukai kulit kakek itu
sedikitpun. "Cin Cun Ong, tidak malukah kau menyambut tamu
dengan cara gelap?" tanyanya kepada Cin Cun Ong.
Cin-ciangkun dengan muka merah berkata, "Pemberontak tua. Apakah kehendakmu datang ke sini?"
"Ada dua macam keperluan. Pertama, aku hendak
membawa pemuda she Ouwyang ini karena ada sesuatu
urusan penting. Kedua, aku memimpin barisanku hendak
menyerang bentengmu ini dan kini mereka telah mulai
menyerbu masuk"
Dan pada saat itu terdengar sorak-sorai yang hebat dan
gegap-gempita dari luar benteng. Terkejutlah semua orang
yang berada di situ.
"Ciu Pek In, kau mencari mati" kata Cin Cun Ong
sambil mencabut pedangnya. Tapi pada saat itu, dari luar
berloncatan masuk beberapa orang, di antaranya tampak
Ouwyang Bun, Can Cui Sian si Bunga Bwee, tampak juga
tiga orang tosu ulung yang sebenarnya adalah Cun-san
Sam-lo-hiap (Tiga Pendekar Tua Dari Cun-san), tampak
pula Bhok Sun Ki si Raja Pengemis, Cin Kong Hwesio
ketua kelenteng Hok-po-tong yang gemuk pendek, dan tidak
ketinggalan Kilok Ngo-koai (Lima Setan Dari Kilok).
Ternyata para pemimpin pemberontak ini dengan gagah
berani menyerbu masuk pada saat para pemimpin barisan
negeri sedang berkumpul. Sedangkan anak buah mereka
telah bertempur di luar tembok benteng dengan hebat
melawan penjaga-penjaga benteng.
Di ruangan yang lebar itu segera terjadi pertempuran
yang. luar biasa hebatnya. Ciu Pek In yang mempunyai
gerakan bagaikan seekor naga sakti, sekali menggerakkan
tubuh sudah menyambar ke arah Ouwyang Bu dan sebelum
anak muda itu dapat melawan, ia telah kena ditotok hingga
tak dapat bergerak.
Cin Pek In lalu mengempit pemuda itu dan dibawa
meloncat keluar dari ruangan. Ia turunkan Ouwyang Bu di
atas tanah. Ia bertanya dengan suara tetap dan berat,
"Anak muda yang sesat, kauapakan muridku si Siauw
Leng?" Pada saat itu Cui Sian juga memburu kesitu dan melihat
pemuda itu ia memaki gemas,
'Manusia keji. Kau telah menculik dan menganiaya
tunanganmu sendiri, sungguh kejam dan rendah"
Biarpun Ouwyang Bu telah ditotok tai-twi-hiat yakni
jalan darah yang membuat ia lemah tak berdaya, namun ia
masih dapat berbicara dan semangatnya tidak padam.
Dengan berani dan tabah ia berkata,
"Aku sudah tertangkap, mengapa tidak lekas kau bunuh,
mau tunggu apalagi?"
"Akuilah dulu bagaimana kau membunuh muridku" kata
Ciu Pek In. Tapi Ouw yang Bu hanya memandang dengan
mata bersinar dan tidak mau menjawab. Betapapun juga, ia
telah merasa bertanggung jawab atas kematian Siauw Leng,
untuk apa ia harus menceritakan segala peristiwa itu hingga
seakan-akan ia membela diri" Ia tidak takut mati dan ia tak
perlu minta dikasihani.
Melihat kekerasan hati Ouwyang Bu, Cui Sian menjadi
tak sabar dan tak dapat menahan kemarahan hatinya, ia
mengangkat tangannya yang memegang pedang. Tapi pada
saat itu terdengar teriakan,
"Moi-moi. Ciu-locianpwe. Tahan dulu.... dengarlah
keterangan orang ini"
Ternyata yang datang adalah Ouwyang Bun yang
menyeret-nyeret seorang anggauta tentara. Anak muda ini
sengaja menangkap dan memaksa tentara ini mengaku dan
menceritakan peristiwa yang terjadi antara Gui Li Sun,
Siauw Leng, dan Oouyang Bu. Dengan paksaannya, tentara
itu terpaksa menceritakan kembali di depan Ciu Pek In dan
Can Cui Sian tentang peristiwa itu, betapa Gui-ciangkun
menawan Siauw Leng dan betapa ia membawa gadis itu ke
tendanya dengan maksud jahat. Kemudian datang
Ouwyang Bu yang menghalangi maksudnya hingga terjadi
pertempuran. Dan ia ceritakan pula bahwa yang
membunuh Siauw Leng adalah Gui Li Sun dan bahwa
karena itulah Ouwyang Bu sampai membunuh orang she
Gui itu. Mendengar keterangan ini, tiba-tiba Cui Sian menjerit
lirih dan ia pegang tangan Ouwyang Bu sambil berkata,
"Ah.... kau.... telah membalaskan sakit hati Siauw Leng....
dan... dan aku yang membunuh kekasihmu... sekarang
mendakwamu lagi..."
Tapi Ouwyang Bu tidak memperlihatkan muka girang,
dan setelah Ciu Pek In dengan wajah kagum melepaskan
totokannya, Ouwyang .Bu berdiri lalu berkata keras, "Aku
adalah seorang perajurit yang telah bersumpah setia kepada
negara. Segala urusan pribadi ini bukanlah urusanku. Nona
Siauw Leng terbunuh karena ia seorang anggauta
pemberontak yang tertawan. Ini sudah sewajarnya. Gui-
ciangkun kubunuh karena ia melanggar peraturan kami. Ini-
pun sewajarnya" Kemudian ia menghunus pedangnya dan
dengan gagah berkata,
"Dan kalian semua adalah anggauta-anggauta
pemberontak yang melanggar tempat penjagaanku, maka
sudah sewajarnya pula kalau menjadi musuh-musuhku
yang harus kubasmi" ia lalu menggerakkan pedangnya
mengamuk. "Ouwyang-hiante, kau layani dia" kata Ciu Pek In
kepada Ouwyang Bun. Pemuda ini dengan hati perih
terpaksa menurut dan dengan pedangnya ia menangkis
serangan Ouwyang Bu yang kalap.
"Bu-te, jangan kau gunakan pedangmu terhadap aku.
Mari kita berdua pergi saja jauh-jauh, Bu-te."
"Jangan banyak cerewet. Kau pemberontak dan aku
perajurit negara"
Adik yang telah kalap ini menyerang lagi lebih hebat
hingga terpaksa Ouwyang Bun menangkis dengan hati-hati.
Berkali-kali Ouwyang Bun menyebut nama adiknya dengan
hati hancur. Ia tidak mau balas menyerang, hanya
menangkis saja.
Melihat keadaan Ouwyang Bun demikian itu, Cui Sian
tahu bahwa kalau dilanjutkan, kekasihnya itu tentu akan
kena celaka di ujung pedang Ouwyang Bu, maka ia
meloncat untuk membantu. Tapi pada saat itu, datanglah
Cin Cun Ong yang sengaja mencari-cari Ouwyang Bu.
Melihat Ouwyang Bun sedang bertempur melawan
adiknya, panglima tua ini marah sekali dan membentak,
"Ouwyang Bun, kau pemuda pengkhianat"
Tapi terdengar jawaban Ciu Pek In dengan suara halus,
"Cin Cun Ong, seseorang bebas memilih pendapatnya
sendiri-sendiri tak dapat dipaksa untuk hanya ikut-ikutan
saja. Ouw yang Bun telah memilih perjuangan kami."
"Kau tua bangka yang menjadi biang keladi semua ini"
bentak Cin Cun Ong dengan marah sekali lalu menyerang
Ciu Pek In. Kedua jago tua ini lalu bertempur dengan luar
biasa hebatnya. Cui Sian tetap membantu Ouwyang Bun
dan melihat betapa Ouwyang Bun benar-benar tidak
sanggup mengangkat senjata terhadap adiknya yang
dikasihi, gadis ini lalu menyuruh ia membantu saja kawan
yang lain. Pertempuran di dalam benteng yang berjalan hampir
setengah hari itu ternyata dimenangkan oleh pihak
pemberontak, karena tidak saja jumlah mereka jauh lebih
besar, tapi juga datang barisan baru di bawah pimpinan
Thio Sian Tiong sendiri, pemimpin besar pemberontak yang
sangat terkenal itu.
Tentu saja pihak tentara negeri tak sanggup menahan
serangan gelombang besar dari barisan pemberontak ini dan
mereka segera mundur sambil meninggalkan ratusan
korban. Dan pertempuran yang berlangsung antara para
pemimpin di dalam tenda besar juga hebat sekali. Ternyata
keadaan mereka seimbang, tapi melihat bahwa anak buah
mereka telah kalah dan kabur, banyak pula di antara
mereka, termasuk Khu Ci Lok si Hun-cwe Maut dan Kin
Keng Tojin, segera meninggalkan lawan dan lari. Yang lain-
lain telah roboh menjadi korban senjata. Di pihak
pimpinan pemberontak, Kilok Ngo-koai yang berjumlah
lima orang itu tetah roboh tiga dan tinggal dua orang lagi
saja, juga Bhok Sun Ki si Raja Pengemis telah tewas. Cin
Kong Hwesio mendapat luka bacokan dan masih banyak
pula pemimpin dan pembantu lain yang menderita luka.
Setelah sisa dari mereka yang bertarung di dalam tenda
Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu pada lari, kini masih bertempur ramai hanyalah Cin Ong
melawan Ciu Pek In dan Ouw-Bu melawan Cui Sian.
Sebenarnya, beberapa kali Ciu Pek In tadi berseru bahwa
kalau Cin Cun Ong hendak lari, ia takkan mengejar. Tapi
ucapan ini hanya menimbulkan kemarahan Cin Cun Ong
dan Ouwyang Bu saja. Kedua ksatria tua dan muda ini
ingin berkelahi terus sampai napas terakhir. Mereka lebih
baik mati daripada harus meninggalkan benteng itu.
Ciu Pek In adalah seorang ahli pedang yang istimewa
dan berkepandaian tinggi, namun menghadapi Cin Cun
Ong ia tidak berdaya dan bukan perkara mudah untuk
mengalahkan panglima tua itu. Dan biarpun Cui Sian hebat
juga, namun kepandaian Ouwyang Bu dapat mengimbanginya.
Kini semua kawanan pemberontak yang ditinggal lari
musuh, mengurung tenda itu dan beberapa orang pemimpin
hendak membantu Ciu Pek In dan Cui Sian tapi Ciu Pek In
berteriak, "Jangan. Jangan main keroyokan terhadap dua orang
pahlawan gagah ini. Aku dan muridku masih belum kalah"
Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya. Tiba-
tiba dari luar masuk seorang laki-laki berusia kira-kira
empat puluh lima tahun, berpakaian seperti orang tani dan
bertopi lebar. Kumis dan jenggotnya yang hitam panjang itu
terpelihara matanya yang tajam. Semua seorang segera
memberi jalan padanya dengan sikap hormat.
Ia lalu melihat empat orang yang sedang bertempur itu
dengan kagum dan akhirnya mengeluarkan sebuah
gendewa dan beberapa batang anak panah. Lalu ia berseru
dengan suara menggeledek,
"Ciu-lopeh dan Can-siocia. Kalian mundurlah"
Mendengar suara yang sangat berpengaruh dan telah
mereka kenal baik ini, Ciu Pek In dan Cui Sian segera
meloncat mundur meninggalkan lawan mereka dari pada
saat itu enam batang anak panah meluncur bagai kilat. Tiga
menuju ke arah Ouwyang Bu dan tiga lagi menuju ke arah
Cin Cun Ong. Biarpun sudah lelah sekali, namun Cin Cun Ong masih
berhasil mengelakkan dua di antara tiga anak panah itu tapi
yang ketiga tepat menancap di dada kirinya hingga ia
terhuyung mundur lalu roboh tak berkutik lagi. Anak panah
itu menembus jantungnya hingga ia binasa seketika itu juga.
Ouwyang Bu yang gagah, hanya dapat menangkis
sebatang anak panah, yang dua batang tepat menancap di
dada hingga pemuda inipun rebah dan mati seketika itu
juga tanpa mengeluarkan suara sedikitpun sama halnya
dengan Cin Cun Ong, itu mati dengan pedang masih erat
tergenggam dalam tangan.
Semua orang maju melihat kedua orang yang gagah
perkasa ini. Ouwyang Bun mau menubruk adiknya yang
telah mati sambil mengeluarkan keluhan sedih.
"Anak muda, mundur kau" petani bertopi lebar tadi
berkata lagi dengan suaranya yang menggeledek. "Ini bukan
waktunya untuk menangis. Mundurlah" Tapi pada saat
Ouwyang Bun mundur, ia melihat persamaan muka di
antara Ouwyang Bun dan pemuda yang rebah itu, maka ia
segera bertanya,
"Ah, kalian ini bersaudarakah?"
Cui Stan yang mewakili kekasihnya menjawab,
"Mereka adalah saudara kembar yang berselisih pendapat,
taihiap." Mata orang itu bersinar ganjil. "Hm, anak muda. Kau
beruntung mempunyai saudara seperti ini. Tak perlu kau
bersedih, bahkan kau boleh merasa bangga. Kalau saja kita
mempunyai orang-orang seperti Cin Cun Ong dan anak
muda ini. Lihat, semua kawan-kawan, lihatlah. Dua orang
ini barulah patut disebut orang-orang gagah, perajurit-
perajurit sejati, yang patut dicontoh oleh semua orang yang
menganggap dirinya sebagai ksatria. Mereka berdua ini
dengan pedang di tangan membela benteng ini sampai titik
darah terakhir. Biarpun kawan-kawan mereka telah lari,
namun mereka tetap membela tempat pertahanan yang
menjadi tanggung jawab mereka, tetap memenuhi tugas
kewajiban sebagaimana layaknya seorang pahlawan sejati.
Inilah orang-orang gagah perkasa, perwira-perwira yang
patut kita hormati"
Siapakah orang bertopi lebar yang mempunyai suara
menggeledek dan mempunyai ilmu memanah yang luar
biasa hebatnya ini" Tidak lain ialah Thio Sian Tiong
sendiri, pemimpin pemberontak yang terkenal itu, yang
bersama-sama seorang pemberontak lain yang lebih terkenal
lagi, yakni Lie Cu Seng, telah berhasil menggerakkan rakyat
tertindas untuk menggulingkan pemerintahan kaisar lalim.
Setelah itu, semua barisan pemberontak lalu maju
bergerak menuju ke kota raja. Kemudian mereka
menggabungkan diri dengan barisan Lie Cu Seng dan
langsung menyerbu kota raja hingga berhasil menghalau
semua pembesar. Kaisar lalim berhasil lolos dari istana, tapi
karena terus dikejar-kejar akhirnya ia menjadi putus asa dan
menggantung diri di sebuah gunung hingga binasa. Pada
saat terakhir itu, barulah kaisar insyaf akan kesalahannya,
insyaf bahwa ia sebagai seorang pemimpin telah lupa akan
kewajibannya, hanya ingat akan kesenangan diri sendiri
saja, berfoya-foya dan bersenang-senang dan sama sekali
tidak memperdulikan nasib rakyatnya hingga seakan-akan
buta terhadap segala kejahatan dan kecurangan para
pegawainya hingga rakyat kecil hidup tertindas dan
sengsara. Setelah pepterangan padam dan semua menjadi aman
kembali, Ouwyang Bun dan Cui Sian kembali ke Tung-han,
ke rumah orang tua Cui Sian. Can Lim Co. suami isteri
girang sekali melihat Cui Sian pulang dan bahkan telah
bertemu dengan tunangannya, tapi mereka berduka
mendengar tentang kematian Siauw Leng. Dengan singkat
Cui Sian menceritakan segala pengalamannya kepada ayah
ibunya. Setelah tinggal untuk tiga hari di rumah calon
mertuanya, Ouwyang Bun lalu pulang ke Nam-tin, ke
kampung orang tua nya. Alangkah sedih hati ayah ibunya
ketika mendengar tentang gugurnya Ouwyang Bu, tapi
Ouwyang Bun dapat menghibur mereka dan menceritakan
betapa Ouwyang Bu gugur sebagai seorang ksatria dan
mendapat penghormatan besar baik dari kawan maupun
dari lawan. Ketika Ouwyang Bun menceritakan betapa ia
sendiri menggabungkan diri dengan para pemberontak,
ayahnya agak kurang senang, tapi melihat kenyataan bahwa
akhirnya Lie Cu Seng yang menang, ia tidak berkata apa-
apa. Melihat sikap ayahnya, Ouwyang Bun yang sudah
mendapat pengalaman itu lalu menceritakan tentang
keadaan rakyat kecil yang penuh derita dan menceritakan
pula bahwa sudah menjadi kewajiban tiap orang yang
menyebut dirinya sebagai hohan (orang budiman) untuk
menolong mereka ini, baik dengan tenaga, harta, maupun
pikiran membantu mereka terlepas dari kesengsaraan.
Akhirnya terbukalah pikiran ayahnya dan lambat-laun
Ouwyang Heng Sun menjadi seorang hartawan yang
dermawan di kotanya.
Tiga bulan kemudian, dilangsungkanlah perkawinan
antara Ouwyang Bun dan Cui Sian yang dirayakan dengan
ramai sekali. Banyak sekali orang-orang besar yang mereka
kenal menghadiri pesta perkawinan itu, di antaranya
tampak pula. Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang, guru Ouwyang-
heng-te. Dan adalah satu hal yang sama sekali diluar
dugaan Ouwyang Bun ketika ia mendengar dari suhunya
bahwa orang tua itupun ternyata.......
membantu pergerakan pemberontak, tapi di rombongan lain yakni ia
membantu barisan di bawah pimpinan orang besar Lie Cu
Seng sendiri. Tentu saja, selain girang mendengar ini,
Ouwyang Bun juga merasa heran sekali dan mengajukan
pertanyaan kepada suhunya itu.
Sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan putih
Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang lalu menuturkan betapa
tadinya iapun anti kepada pemberontak hingga ia sendiri
menyuruh kedua muridnya membantu sutenya Cin Cun
Ong. Bahkan ia sendiri ketika mendengar bahwa barisan
pemberontak hendak lewat di daerah Hong-san, lalu turun
gunung mencegat dan hendak melawan. Tapi ia heran
sekali melihat betapa semua rakyat miskin menyambut
kedatangan pemberontak dengan suka ria. Ia lalu
menggunakan kepandaiannya untuk memasuki tenda besar
dengan maksud mengacau pemimpin barisan. Tak tahunya
ia bertemu dengan Lie Cu Seng sendiri. Di dalam tenda
itulah ia menerima keterangan-keterangan. dan petuah-
petuah hingga terbuka matanya dan ia menjadi insyaf akan
sucinya tugas barisan rakyat itu. Dengan suka rela ia lalu
menggabungkan diri.
Mendengar ini, tentu saja Ouwyang Bun suami isteri
menjadi girang sekali. Demikianlah, sepasang orang muda
ini hidup berbahagia, saling.mencintai dan menghormati
sampai di hari tua.
Ooo-d-TAMAT-w-ooO
Kisah Para Pendekar Pulau Es 10 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Sejengkal Tanah Sepercik Darah 10