Pencarian

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 10

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


Wulansari menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, gusti pangeran. Saya menerima tugas dari Sribaginda untuk menemani dan menjaga keselamatan Gusti Puteri Gavatri. Siapapun juga tidak boleh mengganggunya dan saya bertanggung jawab untuk itu. Sebaiknya paduka meninggalkan kamar ini sebelum diketahui orang lain dan terdengar oleh Sang Prabu"
Wajah pangeran itu berubah merah. "Haha, agaknya Kanjeng Rama menginginkan sendiri puteri ini" Sungguh tak tahu diri. Akupun mendengar bahwa Kanjeng Rama merayu engkau akan tetapi engkau tetap tidak mau melayaninya, bukankah begitu, Wulansari" Engkau benar. Dia sudah tua, dan biarlah aku saja yang membahagiakanmu. Engkau keluarlah dulu, biarkan aku bersama Puteri Gayatri, baru nanti datang giliranmu. Ataukah engkau minta lebih dulu?"
Bukan main marahnya hati Wulansari mendengar ucapan tidak senonoh itu. Kalau saja ia tidak ingat bahwa yang bicara itu seorang pangeran, tentu ia telah turun tangan dan dibunuhnya pria yang lancang mulut itu. Matanya mencorong ketika ia memandang wajah pangeran itu dan kesopanannya menipis.
"Ucapan paduka itu tidak pantas keluar dari mulut seorang pangeran. Cepat paduka keluar dari sini, atau terpaksa saya akan melempar paduka dan mulut kotor paduka itu keluar"
"Wulan, menghadapi seorang penjahat tidak perlu memandang kedudukannya. Biar dia pangeran, dia lebih pantas kalau kau hajar biar mampus" tiba-tiba Puteri Gayatri berkata. "Kalau saja aku memiliki kedigdayaan sepertimu, sudah tadi-tadi dia kubunuh"
Pangeran itu sudah terbiasa disanjung dan dihormati orang. Kini, dia dihina dan menelan kata-kata yang amat kasar dari seorang pengawal, tentu saja dia merasa malu sekali dan menjadi marah. Kehormatannya sebagai seorang pangeran tersinggung. Dia pernah mempelajari ulah keperajuritan dan aji kesaktian, maka kini bangkit kemarahannya untuk memperlihatkan bahwa kekuasaannya masih berlaku dan bahwa dia tidak selemah anggapan dua orang wanita itu.
"Wulansari, keparat engkau. Lupakah engkau siapa dirimu " Engkau hanyalah seorang abdi di sini. Seorang pengawal yang sepatutnya mentaati perintahku. Aku Pangeran Daha, tahu kamu" Engkau abdiku. Adi yang kurang ajar macam engkau memang pantas dihukum" Pangeran itu sudah menerjang maju dan menampar ke arah pipi Wulansari.
Tentu saja sikap pangeran ini bagaikan minyak disiramkan pada api kemarahan yang mulai membakar hati Wulansari. Kemarahan itu berkobar dan iapun menangkis pukulan itu, terus menangkap lengan si pangeran dan sekali kakinya bergerak dan tangannya memuntir, tubuh pangeran itu kembali terlempar, kini lebih keras dari pada tadi sampai tubuhnya menabrak dinding kemudian terbanting mengeluarkan bunyi keras.
Diam-diam Puteri Gayatri kagum bukan main menyaksikan ketangkasan Wulansari dan iapun bertepuk tangan memuji. Diam-diam dalam kemarahannya, Wulansari tersenyum. Puteri itu memang jenaka sekali, seperti kanak-kanak saja, begitu gembira menyaksikan pria yang hampir memperkosanya, dihajar.
"Wah, andaikata puteri itu memiliki kepandaian. tentu akan lebih payah lagi nasib Pangeran Sindumoyo. Ia hanya mengharapkan agar pangeran itu menjadi jera dan suka segera pergi karena bagaimanapun juga, ia tidak mau melibatkan diri dalam kesulitan kalau bermusuh dengan seorang pangeran.
Akan tetapi harapan Wulansari ini ternyata sebaliknya dari kenyataannya. Pangeran Sindumoyo yang terbanting keras itu hanya sebentar saja menjadi pening. Dia sudah bangkit lagi karena memang Wulansari tadi hanya membuat dia terlempar, tidak melukainya dan kini pangeran itu menjadi mata gelap. Nafsu amarah memenuhi hati dan pikirannya dan diapun lupa akan keadaan, lupa akan kewaspadaan, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang amat sakti, walaupun seorang wanita. Dia sudah mencabut kerisnya. Keris milik seorang pangeran tentu saja bukan keris sembarangan, melainkan keris yang "bedsi?" atau ampuh. Begitu keris itu dicabut dari sanjungnya, hawa keampuhannya sudah terasa oleh "Wulansari, akan tetapi gadis ini tidak merasa gentar sama sekali, bahkan ia yang memperingatkan pangeran itu.
"Pangeran Sindumoyo, simpanlah kembali keris paduka dan jangan main-main dengan senjata yang ampuh"
Akan tetapi peringatan yang sebenarnya menyayangkan pangeran itu, diterima keliru dan Pangeran Sindumoyo mengira bahwa ucapan itu keluar dari mulut Wulansari karena gadis itu merasa gentar menghadapi kerisnya yang ampuh.
"Perempuan tak tahu malu. Dari golongan rendah dan hina engkau diangkat ke dalam istana, dan setelah berada di sini engkau lupa diri dan besar kepala. Derajatmu tidak lebih tinggi dari pada seorang dayang istana, akan tetapi engkau telah berani menghina aku, seorang pangeran. Untuk dosa itu, hukumannya hanyalah kematian. Bersiaplah untuk mati di ujung keris pusakaku ini"
"Pangeran, sekali lagi kuperingatkan........., mundurlah sebelum terlambat" Wulansari masih berseru ketika pangeran itu menyerang dengan tusukan kerisnya ke arah dadanya. Wulansari mengelak dengan amat mudahnya ke kiri. Akan tetapi pangeran itu yang mengira bahwa lawannya gentar menghadapi keris pusakanya, memperoleh semangat dan dengan gerakan cepat, tubuhnya berputar ke kanan dan kerisnya terus meluncur dengan serangan maut ke arah wanita perkasa itu.
Wulansari maklum betapa sebatang keris yang ampuh tidak boleh dibuat main-main, maka sekali lagi ia mengelak, kini dengan loncatan ke belakang dan berputar ke kanan. Pada saat pangeran mengikuti gerakannya dan hendak melanjutkan serangannya, Wulansari sudah meloncat lagi ke kanan dan kakinya kini menyambar dengan dahsyatnya. Sebuah tendangan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga meluncur dan mencuat ke arah pinggang Pangeran Sindumoyo.
"Dessss......." Tubuh itu terlempar seperti daun kering tertiup angin. "Brakkkk........ Tubuh pangeran itu meluncur dan menimpa dinding kamar, lalu jatuh terbanting dan tidak berkutik lagi. Ketika Wulansari memandang, ia mengerutkan alisnya karena ada darah mengalir di bawah tubuh yang menelungkup itu. Ketika ia menghampiri dan membalikkan tubuh itu, ternyata keris pusaka itu telah menancap di lambung pangeran itu sendiri dan dia telah tewas seketika.
"Ah, celaka, dia........ dia tewas....... "
Dalam kagetnya, Wulansari berseru lirih dan cepat ia melompat dan mengunci pintu kamar itu agar jangan sampai ada orang lain mengetahui peristiwa itu.
"Bagus. Memang orang seperti dia itu lebih baik mati saja" kata Puteri Gayatri.
"Tidak semudah itu, gusti puteri. Yang tewas ini adalah Pangeran Sindumoyo, seorang diantara para putera Sribaginda. Dan dia tewas di kamar ini. Tentu akan geger seluruh istana, dan bukan hanya saya, akan tetapi kau juga tentu akan menghadapi akibat yang hebat"
"Aku tidak takut" kata dara remaja itu dengan gagah. "Dan engkaupun tidak perlu takut. Aku akan mengatakan kepada paman Prabu Jayakatwang bahwa akulah yang membunuh pangeran ini, bukan engkau. Hendak kulihat dia mau berbuat apa kalau kukatakan bahwa aku yang telah membunuh puteranya"
Mendengar ucapan ini, Wulansari merasa kagum bukan main. Puteri ini sungguh patut menjadi seorang puteri raja, begitu anggun, cantik jelita dan agung, juga berjiwa ksatria
"Tidak, puteri. Itu bukan penyelesaian yang baik. Harap paduka tenang saja di sini, saya akan membawanya pergi dan menghilangkan semua jejaknya dari kamar ini" Berkata demikian, Wulansari lalu menggulung mayat pangeran itu dengan babut yang telah kotor oleh darah. Kemudian, dipanggulnya gulungan jenazah itu dan iapun keluar dari dalam kamar dengan cepat. Ilmu kepandaiannya yang tinggi membuat ia tidak mengalami banyak kesukaran untuk membawa mayat itu keluar dari istana tanpa diketahui seorangpun pengawal. Andaikata ada yang melihatnya, tentu tidak akan ada yang berani menegurnya pula, karena ia adalah kepala seluruh pengawal dalam istana, Juga kepercayaan Sribaginda.
Puteri Gayatri menanti di dalam kamarnya, agak bingung juga memandang sebagian lantai kamar yang tidak ditutup babut atau permadani hijau. Diam-diam ia bersyukur sekali bahwa Wulansari muncul pada saat yang amat tepat. Ia masjh bergidik kalau membayangkan betapa hampir saja ia dinodai oleh pangeran itu, dan kalau hal itu sampai terjadi, sudah pasti ia akan membunuh diri.
Tentu saja Puteri Gayatri tidak dapat tidur, bahkan berbaringpun dara ini tidak mau. Masih nampak saja pangeran yang terbunuh oleh Wulansari tadi dan berkali-kali ia bergidik. Ia menanti kembalinya Wulansari dengan hati gelisah. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Bahkan ia berani untuk mengaku bahwa ia yang membunuh pangeran itu. Akan tetapi yang ia khawatirkan adalah Wulansari. Gadis perkasa itu telah membelanya dengan sesungguh hati, bahkan gadis itu untuk menyelamatkannya sampai berani membunuh seorang pangeran, padahal ia adalah seorang pengawal pribadi raja dan menjadi orang kepercayaan. Kalau sampai ketahuan bahwa Wulansari yang membunuh Pangeran Sindumoyo, tentu gadis itu akan ditangkap dan dihukum berat sekali, mungkin hukum siksa sampai mati.
Baru menjelang subuh nampak bayangan berkelebat dan Wulansari telah memasuki kamarnya sambil membawa gulungan babut yang kini digelar kembali oleh gadis perkasa itu seperti semula. Dan babut itu sudah bersih, tidak ada tanda percikan darah. Kiranya gadisi perkasa itu telah mencuci babut itu di bagian yang ternoda darah, bahkan mengeringkan bekas yang dicuci dengan api.
"Mbakayu Wulan, bagaimana..,,..?" Puteri Gayatri berbisik sambil memegang lengan gadis perkasa itu. Kini tanpa ragu dan kikuk ia menyebut mbakayu kepada Wulansari karena ia merasa seolah-olah gadis perkasa itu kakaknya sendiri yang membela dan melindunginya
---ooo0dw0ooo"
Jilid 15 WULANSARI tersenyum dan nampak betapa wajahnya amat anggun, cantik, akan tetapi berwibawa. "Sudah beres, harap paduka jangan khawatir. Dia mati di dalam hutan dan pembunuhnya tidak meninggalkan jejak. Tentu istana akan geger, akan tetapi tiada seorangpun akan menduga bahwa dia mati di sini"
Benar saja seperti yang dikatakan Wulansari, jenazah Pangeran Sindumoyo ditemukan orang dan setelah berita itu sampai ke istana, penghuni istana menjadi gempar Sang Prabu Jayakatwang marah sekali mendengar bahwa seorang diantara para puteranya tewas di dalam hutan tanpa diketahui siapa pembunuhnya.
"Tidak salah lagi. Pembunuhnya tentu pihak musuh, seorang mata-mata dari Singosari. Cari dia sampai dapat dan seret dia ke sini" perintahnya dengan muka merah. Namun, tentu saja tidak ada yang mampu menangkap pembunuh yang tidak diketahui siapa itu dan pembunuh itu sama sekali tidak meninggalkan jejak. Lebih mengherankan lagi, pangeran itu tewas dengan kerisnya sendiri menancap di lambungnya. Karena itu, para penyelidik mengira bahwa pangeran itu tentu telah membunuh diri. Ketika mereka membuat laporan kepada Sang Prabu Jayakatwang, raja itu hanya termenung dengan wajah muram. Akan tetapi, kemurungan ini hanya sebentar saja karena dia sudah disibukkan kembali dengan kemenangannya atas Singosari yang telah diduduki
pasukannya. Semenjak terjadinya peristiwa itu, Puteri Gayatri bersahabat akrab sekali dengan Wulansari. Ia tidak lagi mogok makan, tidak lagi bermuram durja. Timbul kembali kelincahan dan kejenakaannya sehingga dara remaja menjelang dewasa ini nampak lebih cantik dan anggun. Dan pada suatu hari, Sang Prabu Jayakatwang memanggil Wulansari menghadap. Gadis perkasa ini merasa heran mengapa ia dipanggil menghadap Sribaginda tanpa adanya para ponggawa yang lain dan Sribaginda mengajak ia bicara empat mata.
Melihat sikap Wulansari yang nampak heran dan bingung, Sang Prabu Jayakatwang tersenyum. "Wulansari, jangan engkau merasa heran karena. kupanggil menghadap dan bicara empat mata, Kita semua merayakan kemenangan besar yang kita capai, kita telah menguasai Singosari. Maka, biarpun engkau selama ini bertugas di sini menjaga keselamatanku dan tidak ikut menyerbu ke Singosari, namun jasamu cukup besar dan karena itu ingin aku memberi hadiah kepadamu. Terimalah hadiah ini, Wulansari. Ini sebagian dari harta pusaka yang kami rampas dari istana Singosari" Sang Prabu Jayakatwang menyerahkan sebuah peti hitam kepada gadis itu. Wulansari menerima lalu menyembah dan menghaturkan terima kasih.
"Bukalah, Wulansari dan lihat isinya. Eng?kau akan gembira melihatnya" kata Sang Prabu Jayakatwang melihat betapa wanita itu setelah menerima kotak hitam lalu menaruhnya saja di atas lantai. Wulansari tidak berani membantah dan iapun membuka tutup kotak atau peti kecil hitam itu. Ia melihat perhiasan lengkap dari emas dan batu permata, amat indahnya. Walaupun hatinya tidak begitu tertarik akan benda-benda berharga seperti itu, namun gadis yang cerdik ini sengaja membelalakkan matanya dan memandang kagum.
"Benda benda amat berharga ini bagus sekali, gusti. Sekali lagi hamba menghatur?kan banyak terima kasih" Wulansari me?nyembah setelah menutup kembali kotak hi?tam itu.
Prabu Jayakatwang tertawa. "Wulansari, hadiah yang kami berikan kepadamu itu masih belum seberapa dibandingkan dengan jasa-jasamu. Kami merasa girang sekali melihat perubahan pada Puteri Gayatri yang kini nampak sehat, gembira dan bertambah denok ayu. Dan sekarang kami membutuhkan bantuanmu, Wu?lansari. Kami melihat betapa hubunganmu dengan Gayatri akrab sekali"
"Sesungguhnya demikian, gusti. Semua ini hamba lakukan untuk menyenangkan hatinya dan menghibur hatinya seperti yang paduka perintahkan"
"Bagus. Engkau memang seorang hamba yang amat setia. Sayang sekali engkau tidak mau menjadi seorang selirku, Wulansari. Akan tetapi tidak mengapalah. Sekarang sudah ada penggantimu, yaitu Gayatri. Engkau bujuk ia agar suka menjadi selirku"
Wajah Wulansari berubah merah dan matanya terbelalak. Melihat ini, Sang Prabu Jayakatwang cepat menyambung. "Diantara kami tidak ada hubungan darah sama sekali, Wulan?sari. Memang benar ada puteraku yang menjadi kakak ipar dari Gayatri, namun ikatan pernikahan itu dilakukan hanya sebagai siasat Daha terhadap Singosari. Antara kami dan Gayatri, tidak terdapat hubungan darah, maka sudah sepatutnya kalau ia, seorang puteri tawanan kuangkat menjadi selirku yang paling muda. Nah, aku perintahkan kepadamu agar engkau suka membujuknya, Wulansari. Kalau engkau berhasil membuat ia suka menyerahkan diri dengan suka rela, kami akan mengingat jasamu yang besar ini dan akan memberi hadiah yang lebih besar pula"
Di dalam hatinya, Wulansari merasa marah dan khawatir bukan main. Akan tetapi, tentu saja semua perasaan itu ia simpan di dalam hatinya, dan iapun menyembah. "Hamba akan berusaha sekuat kemampuan hamba"
Setelah ia diijinkan mundur, Wulansari membawa kotak hitam itu dan ia langsung saja memasuki kamar Puteri Gayatri. Sang puteri sedang menyisiri rambutnya yang berikal dan panjang, hitam dan semerbak harum oleh air kembang. Melihat Wulansari tidak seperti biasanya, wajah yang cantik dan anggun itu nampak muram, mulutnya yang biasanya penuh senyum ramah itu ditekuk kaku, Puteri Gayatri segera bangkit dari duduknya dan merangkul Wulansari.
"Mbakayu Wulan, apa yang telah terjadi" Bukankah tadi engkau dipanggil oleh Paman Prabu?"
Wulansari melemparkan kotak hitam itu ke atas meja. Tutupnya terbuka dan nampak isinya, perhiasan lengkap dari emas permata yang amat indahnya. Melihat itu, Gayatri mengeluarkan seruan lirih dan iapun mendekati meja, lalu memegang kotak hitam itu dan mengamati isinya.
"Aihh........, ini........ ini....... perhiasan se?orang selir kanjeng rama........"
Wulansari mengangguk. "Memang itu adalah perhiasan rampasan dari istana Singosari, dan Sribaginda berkenan memberikan kepada saya sebagai hadiah" kata Wulansari, suaranya kaku dan wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegembiraan.
Puteri Gayatri menengok dan memandang heran. "Mbakayu Wulan. Perhiasan ini amat berharga, mengapa engkau tidak senang mendapat hadiah seperti ini?"
"Hemm, gusti puteri, apakah kau menganggap saya ini seorang perempuan yang tamak dan tergila-gila kepada perhiasan" Ketahuilah, Sribaginda memberi hadiah itu kepada saya bukan hanya karena jasa saya di sini, melainkan karena di balik itu, beliau memiliki pamrih"
"Eh" Pamrih" Apa pamrihnya, mbak ayu Wulan?"
"Beliau mengutus saya untuk membujuk paduka, agar paduka dengan suka rela suka menjadi selirnya termuda "
"Brakkk" Peti kecil yang tadinya dipegang di tangan Puteri Gayatri itu terlepas dan terjatuh ke atas meja kembali. Wajah puteri itu berubah merah sekali dan matanya mencorong penuh kemarahan.
"Gila. Apakah dia sudah gila" Paman Pra?bu......... hendak........ mengambil aku menjadi
selirnya" Bahkan seorang kakak tiriku menjadi mantunya. Apakah dia sudah gila?"
"Tidak, gusti puteri. Akan tetapi, begituIah perintahnya kepada saya. Untuk membu?juk paduka agar suka menjadi selirnya" Berkata demikian Wulansari menatap tajam wa?jah puteri dari Singosari itu, seperti hendak menjenguk isi hatinya.
"Tidak. Sekali lagi tidak sudi. Lebih baik aku mati dari pada menjadi selirnya. Dia telah menghancurkan kerajaan ayahku, dia telah membasmi keluargaku, sehingga kanjeng rama gugur dan entah bagaimana dengan keluarga lain. Tidak. Seribu kali aku tidak sudi" Pu?teri Gayatri lalu melempar tubuhnya ke atas pembaringan, menelungkup dan menangis sesenggukan.
Wulansari memandang khawatir, lalu ia duduk di tepi pembaringan, dan merangkul puteri juwita itu. Ia khawatir kalau kalau sang puteri kembali menjadi berduka dan putus asa maka iapun menghibur.
"Eiit, eitt......... Di manakah sang puteri yang jenaka, riang gembira, tabah dan berani menghadapi segala macam tantangan itu" Gusti puteri, tenang dan sadarlah, kembalilah men?jadi Sang Puteri Dyah Gayatri yang tabah dan berwatak satrya. Saya akan melindungimu, gus?ti, dan percayalah, sayapun sama sekali tidak setuju kalau paduka menjadi selir Sribaginda. Percayalah, saya yang akan menjaga agar jangan sampai paduka dipaksa"
Seketika tangis itu terhenti. Puteri Gayatri bangkit duduk dan dengan muka masih basah air mata, ia memandang kepada wajah Wulan?sari, penuh selidik dan suaranya masih terdengar parau bercampur isak ketika ia berkata, "Benarkah itu, mbakayu Wulansari" Benarkah engkau akan melindungi aku dan mencegah Sribaginda memaksaku menjadi selirnya?"
Wulansari mengangguk, tersenyum dan mengusap muka yang jelita itu dengan saputangan, mengeringkan air mata. Dan wajah itupun kini tersenyum kembali, mata itu bersinar-sinar kembali.
"Terima kasih, mbak ayu Wulan. Aku percaya, kalau andika yang menjaga, aku akan selamat. Percayalah bahwa selama hidupku, aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini" Puteri Gayatri lalu merangkul dan mencium kedua pipi Wulansari yang menahan air matanya karena terharu. la lalu berkata dengan lirih akan tetapi jelas dan dengan sikap bersungguh-sungguh.
"Sekarang dengarlah baik baik, gusti pu?teri. Jelas bahwa Sribaginda tergila-gila kepadamu dan ingin mengambil puteri sebagai selirnya. Akan tetapi, agaknya beliau menghendaki agar paduka menyerahkan diri de?ngan suka rela, tanpa paksaan, tentu saja mengingat bahwa paduka adalah seorang pu?teri Singosari. Oleh karena itu, masih banyak waktu bagi paduka untuk bersikap tenang saja, dan jangan memperlihatkan kedukaan atau kekhawatiran sehingga tidak mendatangkan kecurigaan kepada Sribaginda. Kalau se?kali waktu Sribaginda bicara tentang niat ha?tinya itu, paduka katakan saja bahwa paduka masih ingin sendiri, masih belum mempunyai keinginan untuk melayani pria. Pula, paduka boleh mencari alasan, dan katakan kepada Sribaginda bahwa paduka baru mau menikah kalau sudah bertemu dengan kakak paduka, yaitu Sang Puteri Dyah Tribuwana. Bukankah menurut keterangan paduka, paduka terpisah dari kakak paduka itu dan sampai kini belum diketahui di mana adanya beliau " Tidak mungkin kakak paduka tertawan, karena tentu saya akan mengetahuinya. Nah, alasan itu cukup masuk akal dan kuat. Kalau sampai terjadi Sribaginda hendak memaksakan kehendaknya, jangan khawatir, ada saya di sini yang akan melindungi paduka"
Puteri Gayatri merasa girang sekali dan kembali ia merangkul Wulansari dan sampai lama tidak melepaskan rangkulannya. "Ah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan kalau tidak ada andika di sini, mbakayu....."
*** "Kanjeng paman telah menerima saya de?ngan segala keramahan, sungguh budi paman ini teramat besar, tergores ke dalam kalbu dan sampai bagaimanapun saya tidak akan melupakannya. Saya merasa bersukur dan berterima kasih sekali kepada Kanjeng Paman dan sekeluarga" Raden Wijaya menyatakan isi hatinya ketika dia makan bersama Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja atau juga dikenal dengan nama Arya Banyak Wide. Bupati itu tertawa mendengar ucapan Raden Wijaya.
"Ah, jangan terlalu sungkan, Raden. Raden adalah seorang pangeran, dan sekarang ini hanya padukalah harapan kami semua. Raden yang kelak berkewajiban untuk membangun kembali Kerajaan Singosari. Raden adalah junjungan kami semua, maka sudah sewajarnya kalau sekarang ini kami menerima paduka dan membantu sekuat kemampuan kami"
"Paman Bupati memang amat bijaksana dan berhati mulia," kata Raden Wijaya terharu. "Biarlah saya berjanji bahwa kalau kelak berhasil perjuangan saya, dapat menjadi raja di Pulau Nusantara, saya tidak akan lupa kepada paman dan akan membagi kerajaan menjadi dua, dan yang separuh akan saya berikan ke?pada kanjeng paman sebagai balas budi"
Mendengar ucapan ini, diam diam Arya Wiraraja terkejut, akan tetapi juga girang bukan main, Makin besarlah hatinya dan keyakinannya untuk membantu pangeran ini agar berhasil apa yang dicitakannya, karena dengan demikian berarti dia akan mendapat anugerag yang amat besar pula.
"Raden, tiada hasil baik datang begitu saja dari langit. Keberuntungan harus ditebus dengan usaha dan jerih payah. Kerajaan Daha kini menjadi kuat dan kekuatan kita sendiri tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan mereka. Oleh karena itu, belum waktunya untuk membalas dendam, menyerang Kerajaan Daha. Kalau gagal, berarti kita akan hancur sama sekali. Oleh karena itu, paduka harus bersabar, menanti saatnya yang tepat sehingga kelak, sekali pukul, paduka harus berhasil"
Raden Wijaya mengangguk-angguk, menyetujui ucapan itu. "Lalu, menurut paman, apa yang sebaiknya harus saya lakukan?"
"Pertama, kita harus dapat membuat Sang Prabu di Daha tidak menaruh kecurigaan kepada paduka dan bal ini dapat dilakukan kalau paduka berbaik dengan beliau. Kedua, paduka harus dapat menyelidiki sampai dimana kekuatan pasukan Kerajaan "Daha, agar kelak dapat membuat perbandingan untuk mengimbanginya. Dan untuk mencapai hasil baik dari kedua hal ini, seyogianya kalau pa?duka kini pergi ke Daha dan menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang"
"Apa......" Ti...... tidak kelirukah usul paman ini?" Raden Wijaya terkejut bukan main mendengar usul Arya Wiraraja agar dia menghambakan diri kepada Raja Daha, ke?pada musuh yang telah menghancurkan Si?ngosari.
Melihat kekagetan pangeran itu, Arya Wi?raraja tertawa. "Memang terasa aneh bahwa paduka menghambakan diri kepada pihak mu?suh, Raden, Akan tetapi harap paduka mengerti bahwa yang dimusuhi oleh Sang Prabu Jayakatwang bukanlah Raden, melainkan mendiang Sang Prabu Kertanagara. Dalam keluarga Sang Prabu Kertanagara, Raden hanyalah calon mantu. Percayalah, karena saya sudah seringkali bercangkerama dengan Sang Prabu Jayakatwang sehingga saya mengetahui isi ha?tinya. Untuk menenangkan hati paduka, baiklah saya akan menulis surat pribadi kepada Sang Prabu Jayakatwang, menceritakan tentang niat Raden menghambakan diri ke sana, dan kita lihat saja bagaimana nanti jawabannya"
Raden Wijaya menyetujui karena dia tidak melihat jalan lain yang lebih baik. Memang dia harus dapat memasuki Daha, bukan hanya untuk menyelidiki kekuatan mereka, akan tetapi juga untuk mencari tunanganya. Yang kedua, yaitu Puteri Gayatri yang kabarnya men?jadi tawanan di Daha, Surat dibuat oleh Arya Wiraraja dan dikirimkan ke Kerajaan Daha.
Tepat seperti yang sudah diperhitungkan Arya Wiraraja, surat itu mendapat jawaban yang menyenangkan sekali. Sang Prabu Jaya?katwang yang sedang merayakan pesta kemenangannya itu berbesar hati dan memperlibatkan kebijaksanaannya untuk menerima Raden Wijaya sebagai tamu terhormat dan akan diterima kalau hendak membantu Kerajaan Daha.
Setelah menerima surat balasan ini, Raden Wijaya mengadakan pertemuan dan rapat dengan Arya Wiraraja dan sekalian pengikutnya. Lalu diambil keputusan bahwa Raden Wijaya, dan para pengikutnya akan memasuki Daha, dan Pu?teri Tribuwana ditinggalkan untuk sementara di Sumenep. Bagaimanapun juga, perjalanan menuju ke kerajaan bekas musuh itu bukan tidak berbahaya, maka demi keselamatannya, sang puteri ditinggalkan di Kabupaten Sumenep.
Rombongan itu berangkat dan diantar sendiri oleh Arya Wiraraja sampai ke dusun Terung. Di sini mereka berpisah, Raden Wijaya dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Da?ha seJangkan Arya Wiraraja kembali ke Su?menep. Setelah tiba perbatasan Daha, Raden Wijaya dan rombongannya menuju ke Jung Bitu dan dia lalu menyuruh dua orang utusannya ke Daha untuk menghadap Sribaginda dan mengabarkan tentang kedatangannya.
Seperti yang telah dijanjikan dalam surat balasannya kepada Arya Wiraraja, Sang Prabu Ja?yakatwang menerima mereka dengan gembira. Diutusnya dua orang senopatinya, yaitu Mantri Sagara Winotan dan Jangkung Angilo untuk menyambut rombongan Raden Wijaya ke kota raja.
Raden Wijaya sama sekali tidak tahu bah?wa baru beberapa bari yang lalu, setelah Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari Arya Wiraraja telah terjadi suatu hal yang menimpa diri tunangannya yang kedua, yaitu Sang Dyah Gayatri. Apakah yang telah terjadi"
Ketika Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari Bupati Sumenep, Arya Wiraraja, diapun merasa senang sekali. Kalau Raden Wijaya hendak menghambakan diri kepadanya, hal ini berarti bahwa dari pihak keluarga Kerajaan Singosari sudah tidak ada lagi ancaman, tidak ada lagi usaha balas debdam. Dan memang dia tidak membenci Raden Wijaya yang biasanya amat hormat kepadanya. Yang dibencinya hanyalah Sribaginda Kertanagara. Akan tetapi ada sebuah hal yang mengganjal hatinya, yaitu Puteri Gayatri. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa puteri itu telah ditunangkan dengan Raden Wijaya. Kalau pemuda itu datang dan bekerja di Daha, sungguh tidak enak rasanya kalau dia tetap menahan Puteri Gayatri. Tentu dia terpaksa akan mengembalikan sang puteri kepada tunangannya. Dan dia sudah tergila-gila kepada dara hitam manis yang cantik jelita itu.
Satu-satunya jalan hanyalah mempersunting gadis itu, mengambilnya sebagai selir sebelum Raden Wijaya tiba. Kalau gadis itu sudah terlanjur menjadi selirnya, sudah melayaninya, tentu Raden Wijaya tidak akan mau menerima tunangannya yang sudah bukan perawan lagi itu. Dan dia sendiri dapat berpura-pura tidak tahu akan pertunangan itu.
"Panggil Wulansari" perintahnya kepada se?orang dayang.
Setelah Wulansari datang menghadap, Sri?baginda memerintah semua dayang, pengawal dan selir meninggalkan ruangan itu karena dia ingin bicara berdua saja dengan Wulansari. Se?telah semua orang pergi, Sang Prabu Jayakatwang memandang Wulansari dan bertanya de?ngan suara penuh harapan.
"Bagaimana dengan Gayatri, Wulansari" Apakah ia sekarang sudah bersedia untuk menjadi selirku?"
Wulansari menyembah. "Sudah hamba usahakan untuk membujuknya, gusti. Akan tetapi ia selalu mengatakan bahwa ia belum bersedia melayani pria, dan bahwa ia harus menanti dulu sampai bertemu kembali dengan kakaknya, yaitu Gusti Puteri Tribuwana, baru ia mau me?nerima pinangan paduka. Hamba hanya mengharap agar paduka bersabar, gusti, karena ia masih seorang remaja, belum dewasa benar"
"Seorang perawan berusia tujubelas tahun belum dewasa" Ah, Wulansari agaknya ia sengaja hendak mempersulit. Mau atau tidak, malam ini aku akan bermalam dan tidur di kamarnya dan ia harus melayaniku malam ini. Kesabaranku sudah habis, dan kau usahakan agar ia menerimaku dengan suka rela, dari pada ha?rus dipaksa" Setelah berkata demikian, de?ngan wajah muram Sribaginda memberi isarat kepada Wulansari untuk pergi.
Wulansari kembali ke kamarnya dan beberapa kali ia mengepal tinju. Ingin rasanya tadi ia turun tangan membunuh Sang Prabu Jayakatwang ketika raja itu menyatakan ke?inginan hatinya hendak memaksa Gayatri untuk melayani raja itu malam nanti. Kini saat yang dikhawatirkan telah tiba. Dan ia memang su?dah bersiap-siap untuk menghadapi ini. Maka, iapun cepat bersiap siaga dan malam itu, bagaikan bayangan setan, tanpa diketahui orang lain, ia menyelinap ke dalam kamar pribadi Sang Prabu Jayakatwang yang masih bercengkerama di luar bersama para selirnya yang menghiburnya, dan ia mengambil tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Lalu ia menyeli?nap kembali ke dalam kamar Puteri Gayatri yang siang tadi sudah ia beritahu. Puteri itu pun sudah siap. Nampak tegang, namun tetap tenang. Malam inilah saatnya untuk menentukan mati hidupnya. la akan lolos dari istana Daha bersama Wulansari. Kalau ketahuan dan dikeroyok mungkin ia akan tewas. Lebih baik ia mati dari pada harus melayani Sang Prabu Jayakatwang secara paksa.
Setelah mengikatkan buntalan kain berisi pakaian dan perhiasan dari Puteri Gayatri, Wulansari yang berpakaian ringkas itu lalu menggandeng tangan sang puteri dan merekapun meninggalkan bagian keputren. Wulansari maklum betapa besar bahayanya pelarian ini. Kalau ia sendiri yang melarikan diri, hal itu dianggapnya amat mudah. Akan tetapi kini ia harus melarikan seorang puteri yang tidak pandai bergerak cepat, seperti dirinya, dan ia harus melindungi sang puteri, maka pelarian itu harus dilakukan dengan amat berhati-hati.
Baru tiba di pintu puri bagian puteri, dua orang pengawal istana sudah memalangkan tombak menghadang mereka. Akan tetapi, dua orang pengawal itu terkejut dan heran ketika melihat bahwa dua orang yang mereka hadang itu adalah kepala pengawal atau komandan mereka sendiri, yaitu Wulansari. Dan yang se?orang lagi adalah Puteri Gayatri, puteri Singo?sari yang menjadi tawanan di istana.
"Ah, kiranya kau" kata seorang diantara dua penjaga itu sambil mengerutkan alisnya. "Kenapa kau bersama puteri ini dan hendak dibawa ke manakah ia ?"
Wulansari mengerutkan alisnya dan me?mandang marah. "Berani kalian menyelidiki dan menghalangi aku" Aku melaksanakan tugas rahasia dari Sribaginda. Kalian tidak perlu ribut dan tidak boleh tahu. Lakukan saja penjagaan baik baik sebelum aku pulang. Mengerti?"
Dibentak seperti itu, kedua orang penjaga ini menjadi terkejut dan nyali mereka menguncup. "Kami siap" mereka menjawab dengan sigap.
Wulansari tersenyum dan menggandeng ta?ngan Puteri Gayatri, diajaknya terus menyusup-nyusup keluar dan dalam iingkungan ista?na. Sementara itu Sang Prabu Jayakatwang me?rasa yakin bahwa malam itu dia akan berhasil menguasai diri Puteri Gayatri yang selama beberapa malam ini menjadi kembang impian dalam tidurnya. Dia bersuka ria di ruangan dalam, dihibur oleh para selir dan dayang, makan dan minum sambil mendengarkan me?reka bertembang, melihat mereka menari. Akhirnya, setelah kenyang, dalam keadaan setengah mabok diapun melangkah menuju ke kamar Puteri Gayatri. Biasanya, kalau dia menentukan pilihannya diantara para selir atau dayang untuk menemaninya pada malam tertentu, dia hanya menanti di dalam kamarnya dan wanita yang dipilihnya itulah yang datang ke kamarnya. Akan tetapi sekali ini dia tidak tega membiarkan Puteri Gayatri menderita malu, harus dilihat para selir dan dayang ketika memasuki kamarnya. Selain itu, diapun merasa agak sungkan dan malu kepada permaisuri dan para selir, karena bagaimanapun juga, Puteri Gayatri adalah adik dari seorang mantunya.
Dengan langkah gontai dan mulut tersenyum Sang Prabu Jayakatwang melangkah menuju ke kamar Puteri Gayatri. Kadang kadang dia menjilat bibir sendiri seperti seorang kehausan membayangkan minuman segar, dan dia me?rasa seperti seekor kumbang yang terbang menuja ke sekuntum bunga yang sedang mekar mengharum, penuh dengan madu yang sebentar lagi akan dihisapnya.
Setibanya di depan pintu kamar Puteri Gayatri, pria yang sudah dibuai nafsu berahinya sendiri itu menanti sambil mengetuk pintu, jantungnya berdebar tegang.
"Tok tok tok. Dyah Gayatri, bukalah daun pintu kamarmu. Aku datang menjengukmu, sayang...."
Akan tetapi, bcberapa kali sudah dia me?ngetuk dan memanggil, tidak ada jawaban dari dalam, apa lagi dibukakan pintunya. Dia mulai tidak sabar. Dengan mengetuk pintu dan memanggil, dia sudah merendahkan martabatnya sebagai seorang raja besar yang biasanya mengeluarkan perintah satu kali dan selalu ditaati orang. Maka, diapun lalu mendorong daun pintu itu. Ternyata mudah sekali terbuka.
"Gayatri......." Dia berseru memanggil dan jantung berdebar sambil melangkah masuk. Akan tetapi, dia segera terbelalak heran. Kamar itu kosong. Tidak nampak perawan manis yang dirindukannya. Dia merasa seperti seekor kucing memandangi sangkar burung yang kosong. Burungnya telah terbang pergi. Prabu Jayakatwang merasa adanya sesuatu yang janggal. Dia lalu berteriak me?manggil, "Wulansari...... " berulang kali dia
berteriak memanggil, akan tetapi gadis perkasa yang menjadi pengawal pribadinya dan yang pada akhir-akhir ini ditugaskan menjaga dan menemani Gayatri tidak menjawab, juga tidak muncul. Akibat teriakan-teriakannya, yang bermunculan adalah para perajurii pengawal, penjaga, para selir dan para dayang. Tidak nampak diantara mereka itu Gayatri maupun Wulansari.
"Kalian cari sampai dapat Gayatri dan Wu?lansari. Hayo cepat. Cari mereka sampai da?pat" Sang Prabu Jayakatwang berseru marah dan dengan bersungut-sungut diapun kembali ke kamarnya sendiri.
Laporan para dayang dan selir membuat dia semakin narah. Ternyata dua orang wanita itu benar-benar lenyap dari istana bagian pu?teri. Bahkan ketika para pengawal melapor, dia mendengar bahwa mereka berdua itu tidak terdapat pula di bagian lain dari istana. Me?reka telah lolos dari istana .
"Panggil kepala pengawal istana yang di luar" Teriak Sang Prabu Jayakatwang. Ketika perwira yang masih kumal karena baru bangun tidur itu datang, Sribaginda memerintahkan untuk mengerahkan seluruh pasukan dan melakukan pengejaran terhadap dua orang wanita yang lolos dari istana itu. Namun, tentu saja mereka itu gagal. Wulansari terlampau cerdik dan pandai bagi mereka. Selagi semua orang mencari-cari dengan bingung, Wulansari telah membawa Puteri Gayatri keluar dari tembok kota raja dan menggendong sang puteri berlari cepat naik turun bukit menuju ke selatan.
*** Biarpun hatinya masih merasa kecewa dan juga marah karena lolosnya Gayatri dan Wulansari dari dalam istana, namun wajah Sang Prabu Jayakatwang tidak memperlihatkan sesuatu ketika dia berada diantara para senopati dan menterinya, karena mereka semua sedang merayakan pesta Galungan. Dan tepat ketika Kerajaan Daha sedang merayakan pesta Ga?lungan inilah, utusan Raden Wijaya datang menghadap untuk memberitakan tentang kedatangan Raden Wijaya dari Sumenep.
Prabu Jayakatwang mengutus dua orang senopatinya menyambut dan tak lama kemudian, muncullah Raden Wijaya dengan sikapnya yang anggun dan tenang, disambut sendiri dengan rangkulan oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Sama sekali Raden Wijaya tidak tahu bahwa tunangannya, Dyah Gayatri, baru tiga hari yang lalu, lolos dari istana yang berarti juga lolos dari cengkeraman Sang Prabu Jayakatwang yang hendak memaksanya menyerahkan diri dan menjadi selirnya.
Sang Prabu Jayakatwang sendiri juga bermain sandiwara. Ada suatu hal yang amat membingungkan hatinya. Bukan karena larinya Ga?yatri, gadis yang dirindukan, karena dia akan mampu memperoleh puluhan, bahkan ratusan orang gadis lain sebagai pengganti Gayatri, juga bukan karena kepergian Wulansari karena dia masih mempunyai banyak jagoan yang da?pat melindungi dirinya. Akan tetapi yang mem?buat dia merasa bingung dan berduka sekali adalah hilangnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Tombak pusaka itu yang dianggap sebagai pusaka yang mendatangkan wahyu kerajaan, bahkan dia tadinya merasa yakin bahwa akibat adanya tombak pusaka itu di tangannya, maka Daha berhasil menghancurkan Singosari. Dan kini tombak itu hilang. Dia merasa yakin bahwa tentu Wulansari yang mencurinya. Hanya dia dan Wulansari yang mengetahui di mana disimpannya tombak pusaka itu. Permaisuri dan para selirnyapun tidak ada yang mengetahui. Dan diapun tahu bahwa pusaka itu memang tadinya didapatkan oleh Wulansari, yang kemudian diberikan kepada Ki Cucut Kalasekti yang menyerahkan pusaka itu kepa?danya. Siapa lagi kalau bukan Wulansari, si pengkhianat itu yang mencurinya" Namun lenyapnya pusaka itu disimpan dan dirahasiakan sandiri. Tidak baik kalau sampai ketahuan para ponggawa dan senopati, karena hal itu dapat menjatuhkan semangat mereka.
Namun, malam kemarin diam-diam dia mengirim utusan kepada Ki Cucut Kalasekti atau yang kini telah menjadi seorang adipati di Bendowinangun bernama Adipati Satyanegara. Kakek yang memiliki kesaktian seperti iblis itu menghadap dan diajak bicara empat mata oleh Sang Prabu Jayakatwang, dan kepada ka?kek inilah Sribaginda bercerita bahwa Wulan?sari telah lolos dari istana dan membawa lari Ki Ageng Tejanirmala. Sribaginda menugaskan Adipati Satyanegara untuk mencari dan merampas kembali pusaka itu, dan dia diperbolehkan memilih pembantu diantara para senopati di Daha. Tentu saja Sribaginda menjanjikan hadiah yang amat besar kalau berha?sil, dan ancaman hukuman kalau tidak ber?hasil.
"Ingat, yang memasukkan Wulansari ke istana adalah kau, paman" demikian an?caman Sribaginda kepada Adipati Satyanegara.
Raden Wijaya dan para pengikutnya men?jadi pusat perhatian para senopati dan ponggawa Daha ketika mereka memasuki tempat pesta Galungan yang diadakan di alun-alun depan istana itu. Sang Prabu Jayakatwang yang menyambut pangeran muda itu dengan rangkulan, lalu mengajaknya duduk di tempat yang paling terhormat, yaitu di samping tem?pat duduk sang raja. Hidangan berlimpah ruah dan serba mewah. Akan tetapi, Raden Wijaya hanya melihat saja dan hanya kalau ditawari oleh Sribaginda, dia mau mengambil makanan yang serba sedikit. Pemuda ini keti?ka meninggalkan Sumenep, bersumpah bahwa dia akan berprihatin, tidak mau makan enak dan minum tuak sebelum cita-citanya bertemu kembali dengan Dyah Gayatri tercapai. Dan dia tidak melihat tunangannya itu diantara para puteri dan selir Sribaginda.
Hati Raden Wijaya mulai terasa gelisah. Kemana perginya Dyah Gayatri, pikirnya. Jangan-jangan ia telah menjadi korban perang" Sudah........ sudah tewas" Hatinya semakin ge?lisah.
Pesta Galungan itu ramai sekali dan seperti biasa, diadakan pula perlombaan dan ketangkasan bermacam macam. Diadakan pula adu kesaktian yang disaksikan oleh Sang Prabu Jayakatwang sendiri. Diantara para jagoan yang memasuki medan laga, nampak seorang laki-laki berkulit kasar seperti kulit buaya, wajahnya persegi empat dengan sepasang mata besar melotot, yang memiliki kemampuan jauh melebihi para lawannya. Satu demi satu lawannya dilemparkan keluar panggung dan kehebatannya ini disambut sorak sorai tepuk dan tangan para penonton, sedangkan para penabuh gamelan juga memukul gamelan mereka de?ngan gencar hingga sunsana menjadi meriah dan ramai sekali. Sang Prabu Jayakatwang dan para ponggawanya tertawa tawa gembira dan mereka merasa bangga dan kagum akan kehebatan jagoan yang bernama Klabang Gunung itu.
Klabang Gunung adalah seorang yang kasar. Melihat betapa semua orang memujinya, bah-kan rajanya juga mengaguminya, timbul kecongkakannya. Dia tahu pula bahwa di tempat itu terdapat serombongan tamu dari Singosari. Dan karena baru saja Singosari jatuh dan dikalahkan oleh Daha, maka diapun memandang rendah dan dalam kesempatan itu dia ingin meninggikan Daha dan meremehkan Singosari, agar makin menyenangkan hati Sang Prabu Ja?yakatwang dan para senopatinya. Setelah tidak ada seorangpun lawan tersisa di atas panggung, diapun mengangkat tangan memberi isarat ke?pada para penabuh gamelan untuk menghentikan tabuhan itu agar suasana menjadi hening karena dia hendak bicara. Gamelan berhenti dan kini Klabang Gunung memberi hormat sembah ke arah Sang Prabu Jayakatwang, lalu dia bangkit lagi memandang ke arah para tamu dari Singosari yang duduk berkelompok di sebelah kiri panggung.
"Saudara-saudara sekalian. Kalian sekalian mengetahui bahwa di Daha terdapat banyak sekali orang orang gemblengan, sakti mandraguna dan digdaya. Saya hanyalah seorang diantara mereka dan agaknya para saudara yang memiliki kesaktian, merasa sungkan untuk menandingi saya dalam lomba kedigdayaan ini. Dahulu, yang menandingi saya adalah jagoan-jagoan dari Singosari, akan tetapi saya tidak pernah kalah oleh mereka. Sayang sekali, se?karang Singosari telah kehabisan jago. Kalau saja di sini terdapat orang Singosari yang dig?daya dan jantan, alangkah senangnya kalau sa?ya dipat bertanding dengan dia" Jelas bahwa ucapannya itu merupakan tantangan bagi orang-orang Singosari.
Para senopati, pengikut Raden Wijaya. adalah orang-orang yang gagan perkasa, Mendengar bualan Klabang Gunung itu, tentu saja wajah mereka menjadi merah. Terutarna sekali Ki Lembu Sora yang berwatak keras dan pemberani. Dia melotot, kemudian dia menoleh ke arah Ridera Wijaya yang duduk di dekat Sang Prabu Jayakatwang. Raden Wijaya sendiripun malah men?dengar kesombangan Klabang Gunung, akan tetapi diapun berhati-hati dan tidak membiar?kan perasaannya terpancing tantangan dan menjadi marah. Kalau saja senopati lain yang melontarkan pandang mata kepadanya seperti yang dilakukan Lembu Sora, tentu dia akan menggeleng kepala karena dia tidak ingin membikin ribut, juga tidak ingin melihat se?orang pengikutnya dilempar keluar gelanggang oleh Klabang Gunung yang sombong itu. Akan tetapi ketika dia melihat Lembu Sora menoleh dan memandang kepadanya, Raden Wijaya segera mengangguk lirih. Dia cukup mengenal senopatinya yang seorang ini. Selain sakti mandraguna dan digdaya, juga Lembu Sora bukan seorang yang hanya mengandalkan keberanian dan kedigdayaan saja. Dia seorang yang panjang akal dan waspada, tidak sembrono, maka kalau Lembu Sora yang maju, Raden Wijaya percaya sepenuhnya bahwa pengikutnya ini pasti sudah memiliki perhitungan dan ti?dak mau sembarangan membikin ribut pesta Galungan Kerajaan Daha itu. Maka diapun cepat menghaturkan sembah kepada Sang Prabu Jayakatwang sambil berkata dengan sikap hormat.
"Harap paduka suka memaafkan kalau hamba menyuruh seorang pengikut hamba turut meramaikan pesta ini, Kanjeng Paman Prabu. Kalau paduka memperkenankan, hamba ingin mengajukan seorang ksatria pengikut hamba untuk menandingi Klabang Gunung agar suasana pesta bertambah meriah"
Sang Prabu Jayakatwang yang sudah terlalu banyak minum arak itu tertawa. "Hahaha, tidak ada orang vang mampu menandingi ke?kuatan Klabang Gunung. Akan tetapi kalau kau hendak mengajukan seorang jagoan, silahkan. Biar suasana pesta bertambah menggembirakan"
Raden Wijaya memberi isarat kepada Lem?bu Sora untuk maju. Pria yang bertubuh tegap dan bersikap tenang ini lalu bangkit dari tem?pat duduknya, lalu dia meloncat ke atas pang-gung. Melihat bahwa yang meloncat ke atas panggung adalah seorang dari Singosari, seorang diantara para pengikut Raden Wijaya, suasana menjadi tegeng dan tiba-tiba saja semua suara terhenti sehingga keadaan amat hening. Lem?bu Sora lalu berlutut menyembah ke arah tem?pat duduk Sang Prabu Jayakatwang dan Raden Wijaya sehingga dia yang menyembah ke arah Raden Wijaya itu nampaknya seperti juga menyembah ke arah Raja Daha.
"Hamba mohon diberi ijin untuk menan?dingi kedigdayaan Klabang Gunung" kata Ki Lembu Sora.
Tentu saja ucapan dan sembahnya itu ditujukan kepada Raden Wijaya, dan pangeran ini mengangguk tanpa menjawab. Akan tetapi, Sang Prabu Jayakatwang menjawab dengan lantang. "Baiklah, engkau boleh main menandingi Klabang Gunung. Jangan khawatir, kalau kau menang, akan kami beri hadiah, kalau kalah, akan kami beri bobok param untuk mengurangi rasa nyeri" Ucapan Sribaginda ini disambut dengan tawa oleh para senopati Daha yang mengenal siapa pria yang hendak menan?dingi Klabang Gunung itu.
Sementara itu, karena pertunjukan diada?kan di alun-alun, maka rakyat jelata banyak yang menonton, walaupun dari jarak yang sudah dibatasi. Gelanggang adu kedigdayaan itu berada di atas panggung, maka cukup jelas dapat ditonton oleh rakyat yang berada di luar batas.
Lembu Sora kembali menyembah, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Klabang Gunung yang memandang kepadanya sambil menyeringai sombong. Kini mereka saling berhadapan. Biarpun Lembu Sora termasuk seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan berotot, namun sete?lah berhadapan dengan Klabang Gunung, dia nampak kecil. Klabang Gunung mirip raksasa, apa lagi karena tubuh atasnya yang telanjang itu memperlihatkan kulit yang keras dan kasar seperti bersisik, Tadi Lembu Sora sudah melihat betapa semua pukulan dan tendangan para lawan Klabang Gunung, sedikitpun tidak pernah mampu melukai kulit yang keras itu. Dan tadi dia sudah melihat betapa besarnya tenaga tubuh raksasa ini yang mampu melemparkan para lawan satu demi satu ke?luar panggung.
Klabang Gunung menyambut Lembu Sora dengan mulut tersenyum lebar, menyeringai sombong. Dia tidak mengenal Lembu Sora, maka diapun dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan seorang diantara para tamu dari Singosari.
"Apakah kau seorang dari Singosari ?" tanyanya langsung saja, Memang watak Kla?bang Gunung ini kasar dan tidak pernah memperdulikan tata sopan santun. Apa lagi dia memang amat menyombongkan kedigdayaan dirinya. "Siapa namamu?"
"Aku memang dari Singosari, namaku Lem?bu Sora" jawab Ki Lembu Sora dengan te?nang.
"Aha. Bukankah Lembu Sora itu seorang senopati Singosari" Bagus, masih ada senopati Singosari tercecer " Lembu Sora, kau se?orang tamu, maka harus disambut secara istimewa pula. Kalau tadi, para lawanku hanya kulemparkan ke bawah panggung, untuk andika akan kupatah-patahkan kedua kaki dan lenganmu, baru kulempar ke bawah panggung"
Gamelan sudah dipukul gencar sehingga ucapan Klabang Gunung itu hanya dapat terdengar oleh Lembu Sora saja. Lembu Sora ter?senyum, tidak mau dipancing kemarahannya oleh kata kata yang merendahkan itu, lalu menjawab tenang.
"Klabang Gunung, coba hendak kulihat apa?kah kau mampu membuktikan omonganmu itu, ataukah kau hanya tukang membual belaka"
"Jaga seranganku" bentak Klabang Gunung dan dia sudah mengambil sikap atau kuda-kuda yang dinamakan "Biruang Mengamuk". Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan kedua tangannya membentuk cakar, siap untuk menerkam. Matanya melotot merah, mulutnya menyeringai dan napasnya mendengus-dengus seperti seekor kuda. Baru sikapnya saja sudah dapat membuat lawan menjadi gentar. Namun Lembu Sora bersikap tenang saja. Dia berdiri dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang, lutut agak ditekuk, tangan kanan menempel di pinggang kanan dengan jari terbuka dan telapak tangan telentang, sedangkan tangan kiri berada. di depan, menempel di dada dengan jari-jari tangan lurus ke atas, sepasang matanya tajam menatap lawan, pecuh kewaspadaan.
"Grrrrr........" Dari mulut Klabang Gunung keluar gerengan seperti seekor binatang buas dan diapun sudah menubruk ke depan, kedua tangannya menerkam dari atas untuk mencengkeram kepala dan pundak lawan. Gerakannya itu selain amat kuat, juga cepat bukan main.
"Namun, Lembu Sora lebih cepat lagi mengelak sehingga terkaman itu hanya mengenai tempat kosong saja. Lembu Sora tidak segera membalas, banya tenang menanti sampai lawan membalik dan kini tangan kanan raksasa itu menyambar dari atas samping mengarah kepalanya, sedangkan tangan kirinya, pada detik berikutnya, me?nyambar dari bawah seolah-olah kedua tangan itu hendak menggencet dari atas bawah. Serangan ini berbahaya bukan main. Namun, Lembu Sora kembali memperlihatkan kelincahan gerakan tubuhnya dan dia sudah menghindarkan diri dengan melangkah mundur sehingga kedua tangan yang menyerang itu kembali mengenai tempat kosong.
"Tarrr" Kedua telapak tangan Klabang Gunung bertemu di udara dan mengeluarkan suara seperti ledakan, Diam-diam Lembu Sora terkejut, Tak disangkanya sedemikian hebatnya tenaga lawan itu.
"Heiiiitttt......." Kembali Klabang Gunung menyerang, kini tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan Lembu Sora, dan tangan anannya yang dikepal, menyusul dengan tonjokan maut ke arah dada.
"Wut....... wuuuttt" dan serangan kedua tangan itu menyambar.
"Wirrr......., luput lagi, Klabang Gunung"
Lembu Sora mempermainkan lawan dengan kelincahannya mengelak.
"Pengecut, jangan lari. Kalau memang jantan, terimalah seranganku" bentak Klabang Gunung yang semakin penasaran dan marah karena berulang kali serangannya hanya me-ngenai angin kosong belaka. Dia lalu tiba-tiba melakukan tendangan. Kaki kanan yang panjang dan berat itu menyambar ke arah dada lawan.
"Ambrol dadamul" bentaknya. Kembali Lembu Sora mengelak dengan cekatan.
"Luput, Klabang Gunung"
"Pengecut, balaslah menyerang, jangan lari saja" Klabang Gunung membentak Lawannya terlalu cekatan, dan dia merasa seperti bertanding melawan seekor burung walet saja, sukar sekali serangannya mengenai sasaran.
"Baik, kau terima seranganku ini"
Lembu Sora kini menghantamkan kepalan kanannya Ke arah dada lawan, Klabang Gunung maklum bahwa lawannya ini bukan orang lemah, maka diapun mempergunakan tangan ka?nan yang berjari panjang dan besar itu untuk menangkis dari tengah, langsung tangannya diputar dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan Lembu Sora.
Senopati Singosari ini terkejut. Tak disangkanya bahwa si raksasa Daha ini memiliki banyak macam ilmu, diantaranya ilmu tangkapan secepat itu. Begitu pergelangan tangannya ditangkap, Lembu Sora mengeluarkan teriakan nyaring, menarik ta?ngan yang dicengkeram lawan, Klabang Gu?nung mengerahkan tenaga mempertahankan dan pada saat tubuhnya condong ke depan itu. Lembu Sora tiba-tiba menarik lengan kanan. yang pergelangannya dicengkeram, kakinya maju ke depan dan tubuhnya condong ke de?pan dengan siku kanan menghantam ke arah dada lawan.
"Dukkk" Siku kanan Lembu Sora dengan kerasnya menghantam dada Klabang Gunung dan pada saat itu, Lembu Sora merenggut lengannya yang dicengkeram itu lepas melalui. ibu jari dan telunjuk tangan yang. mencengkeram. Lengannya terlepas dan hebatnya, Klabang Gunung yang terkena hantaman siku pada dadanya tadi hanya mundur dua langkah saja. Ternyata tubuhnya memang kebal sehingga hantaman siku yang keras tadi tidak membuatnya merasa nyeri. Hanya membuat dia marah bukan main dan sambil mengeluarkan gerengan seperti srigala, diapun menerjang ke depan.
Kini, kedua tangannya yang dikepal melakukan pukulan bertubi tubi dari depan, atas
dan bawah. Namun, Lembu Sora juga mengelak dan menangkis sehingga semua pukulan lawan dapat dihindarkan. Bahkan diapun mulai membalas dengan tamparan dan pukulan yang jugar dapat ditangkis dengan baik oleh Klabang Gunung. Pertandingan itu semakin lama men?jadi semakin seru. Pukul memukul, tendang menendang, tampar menampar, kadang-kadang mereka mengadu tenaga dengan kedua tangan saling tangkap, beradu dada, mengerahkan tenaga sehingga panggung itu kadang-kadang tergetar hebat.
Penonton bersorak sorai. Belum pernah mereka menyaksikan pertarungan sehebat itu.
Lembu Sora juga merasa penasaran sekali. Lawannya ternyata lebih digdaya dari pada yang dia bayangkan. Ketika lawan memukul dan dia mengelak kekiri, lalu melihat kesempatan baik selagi tubuh lawan condong membungkuk, diapun cepat mengirim tendangan dengan kaki kanan secepat kilat ke arah dada lawan.
"Wuuuuttt......." Tendangan dahsyat itu menyambar. Akan tetapi ternyata Klabang Gunung bukan seorang yang bodoh. Dia cepat menarik tubuhnya ke belakang dan begitu kaki lawan menyambar, tangan kirinya sudah ber?hasil menangkap belakang kaki dekat tumit dan dengan pengerahan tenaga, dia mendorong kaki itu ke atas dan membuat gerakan tenaga melemparl. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh Lembu Sora terlempar ke atas ka-rena tenaga tendangannya tadi ditambah tenaga dorongan Klabang Gunung. Akan tetapi, dia mengerahkan tenaga dan keseimbangan tubuh?nya, dapat berjungkir balik beberapa kali di udara sehingga dia dapat turun lagi ke atas panggung dengan baik.
Penonton menyambut dengan tepuk dan sorak untuk keduanya. Me?reka saling serang lagi dan Lembu Sora tidak mau kalah. Ketika dia melihat kesempatan selagi lawannya menendang, diapun mengelak dan cepat dia menangkap tumit kaki kiri lawan yang menendangnya itu dan diapun meminjam tenaga tendangan ditambah temganya sendiri untuk mendorong. Akan tetapi tidak seperti Klabang Gunung tadi yang mendorong ke atas sehingga tubuhnya terlempar ke atas, kini Lembu Sora mendorong ke depan sehingga tubuh lawan yang tinggi besar itu melayang ke belakang. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuhnya keluar dari panggung dan jatuh berdebak ke atas tanah dibawah panggung.
Akan tetapi dia tidak mengaku kalah. Me?mang sedikitpun dia tidak terluka, dan begitu terjatuh, dia sudah meloncat lagi ke atas pang?gung dan menghantamkan kepalan tangan kananya ke arah dada Lembu Sora. Lembu Sora mengukur kekuatan itu, dan dia menerima pu?kulan pada dadanya itu sambil mengerahkan tenaga dalam yang membuat dadanya kebal.
"Bukkk" Kepalan itu mengenai dada, dan membalik seolah-olah memukul sebuah benda dari karet yang keras saja.
Klabang Gunung menjadi penasaran. "Babo babo, kau pamer kekebalan" Hayo boleh kau pukul tubuhku, kita mengadu kekebalan, siapa lebih kuat" bentaknya sambil membusungkan perut dan dadanya yang amat kokoh.
Lembu Sora mengerahkan tenaganya dan me?mukul ke arah dada. Lawannya tidak mengelak.
"Desss......." Pukulannya juga membalik.
Tepuk tangan dan sorak sorai mengiringi kedua orang jagoan yang saling pukul dan memperlihatkan kekebalan mereka itu. Dalam hal kekebalan, keduanya memang setanding. Akan tetapi, Klabang Gunung berlaku curang dan dalam gilirannya, dia memukul ke arah muka. Lembu Sora kembali mengelak dan membalas dengan tusukan jari-jari tangan yang diluruskan ke arah leher lawan yang juga ditangkis oleh Klabang Gunung.
Mereka sudah berkelahi lagi, saling serang dan karena mereka mengarahkan seiangan pada daerah atau bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, kedua?nya tidak berani mengandalkan kekebalan un?tuk melindungi bagian yang diserang.
Para penonton menjadi semakin gembira dan banyak terjadi pertaruhan diantara mereka, seperti orang-orang menonton adu ayam saja. Para puteri yang juga berada di situ, banyak yang sudah menutupi muka karena me?rasa tegang dan ngeri. Raden Wijaya tenang saja karena dia percaya sepenuhnya kepada Lembu Sora. Sementara itu. Sang Prabu Jaya?katwang juga menjadi gembira bukan main menyaksikan dua jagoan yang setanding itu.
"Hebat jagomu, anak mas Wijaya. Kalau jagomu menang, kami akan menghadiahi dia dan juga kau berhak mendapatkan hadiah. Akan tetapi, belum tentu dia akan menang, heh-heh"
"Saya merasa yakin bahwa Paman Lembu Sora akan mampu mengalahkan Klabang Gunung, Kanjeng Paman Prabu" jawab Raden Wijaya dengan sikap tenang dan suara penuh keyakinan.
Agaknya memang Lembu Sora kalah tenaga sedikit dibandingkan musuhnya. Beberapa kali nampak dia terhuyung dan hampir terpelanting kalau mereka mengadu tenaga dan Klabang Gunung sudah mentertawakannya karena raksasa ini yakin bahwa akhirnya dia yang akan keluar sebagai pemenang.
Pada suatu saat, keduanya saling berpegang lengan. Keringat sudah membuat seluruh tubuh mereka basah dan licin, pernapasan mereka sudah agak terengah dan keduanya sudah lelah sekali. Tiba-tiba Klabang Gunung membuat gerakan menyelinap dari bawah lengan lawan dan tahu tahu dia sudah tiba di belakang tu?buh Lembu Sora dan kedua lengannya yang panjang dan besar itu menyusup ke bawah ke?dua lengan lawan, lalu jari jari tangannya sa?ling bertemu di tengkuk Lembu Sora. Dia su?dah berhasil memiting lawan dengan kunci pitingan yang amat kuat. Sepuluh jari dari ke?dua tangan itu sudah saling melekat di bela?kang tengkuk Lembu Sora dan agaknya sudah tidak ada jalan bagi Lembu Sora untuk melepaskan diri dari kuncian yang amat kuat ini.
"Hahaha, engkau berlututlah dan menyatakan diri kalah. Kalau tidak, akan kupatahkan tulang punggungmu" kata Klabang Gunung. Gamelan dipukul bertalu-talu dan mereka yang berpihak kepada Lembu Sora dalam taruban sudah merasa cemas. Bahkan Raden Wijaya sendiri memandang tajam, dan para pengikut?nya sudah nampak gelisah pula.
Lemba Sora juga terkejut. Tak disangkanya bahwa lawannya memiliki ilmu gulat yang membuat tubuhnya licin bagaikan belut dan tadi diapun terkecoh sehingga lawan kini dapat menguasainya dengan kunci pitingan yang demikian kuat. Namun, Lembu Sora adalah seorang senopati yang sudah banyak pengalaman dan diapun seorang ydng tabah dan tenang, tak pernah kehilangan akal.
Jari-jari tangan lawan yang besar itu menekan tengkuknya dengan amat kuat, membuat tubuhnya membungkuk dan agaknya dia sudah tidak berdaya lagi. Dia semakin membungkukkan tubuhnya, membuat perhitungan dengan sikap tenang. Perhitungannya harus tepat, kalau tidak, dia gagal dan akan kalah, bukan saja dia yang akan mengalami derita kesakitan dan malu, bahkan junjungannya, Raden Wijaya, juga akan menderita malu dan terhina.
"Hahaha, anak mas Wijaya, jagomu kini kalah. Lihat, dia sudah tidak mampu berkutik lagi" Sang Prabu Jayakatwang berseru gembira sambil tertawa.
"Harap paduka bersabar, Kanjeng Paman. Pertandingan itu saya kira belum berakhir" kata Raden Wijaya, masih tenang karena dia melihat sinar mata Lembu Sura mencorong penuh ketajaman, tanda bahwa jagonya itu be?lum putus asa dan sedang mencari akal.
"Kalau aku belum mengaku kalah, apa yang akan kau lakukan?" Lembu Sora bertanya, mem?buat napasnya terengah-engah. Mendengar suara yang napasnya sudah memburu itu, Klabang Gunung tertawa.
"Hahaha, punggungmu akan kupatahkan kupatahkan"
Tiba-tiba saja dia menghentikan kata-katanya kare?na pada saat itu, Lembu Sora menghantamkan kepalanya ke belakang.
"Dessss.." Bagian belakang kepala Lem?bu Sora yang keras itu menghantam mulut dan hidung Klabang Gunung, Serangan kepala ini demikian tiba-tiba datangnya sehingga Klabang Gunung tidak sempat menghindar dan bukit hidungnya remuk, darah mengucur keluar, Pada saat itu, dengan perhitungan yang amat tepat, kedua tangan Lembu Sora sudah bergerak naik ke tengkuknya dan dia berhasil memegang ke?dua ibu jari lawan yang mengunci tengkuknya. Di lain saat, kaki kirinya menyepak ke bela?kang seperti gerakan kaki kuda, dan tepat mengarah selakangan lawan.
"Desss........ Aughhhhh....... " Hanya me?reka yang pernah ditendang atau disepak anggauta rahasianya di bawah pusar saja yang akan mampu membayangkan betapa nyeri rasanya. ketika tumit kaki Lembu Sora memasuki selangkangan dan menghantam alat kelamin lawan. Kiut miut rasanya, nyeri menusuk-nusuk ke jantung dan perut seketika mulas, mata berkunang. Pada saat itu, Lembu Sora menarik ibu jari kedua tangan lawan, mengerahkan seluruh tenaga menekuk kedua ibu jari itu ke belakang. Pada saat itu, Klabang Gunung se-dang mengalami siksaan yang amat hebat. Bu?kan saja hidungnya remuk berdarah, akan tetapi alat kelaminnya kena disepak tumit se?hingga tentu saja dia kurang dapat memusatkan tenaganya melindungi kedua ibu jari yang ditekuk ke belakang.
"Krekk. Krekkl" Kedua ibu jari yang ditekuk itu akhirnya patah, atau lebih tepat lagi, terlepas sambungan buku-buku jarinya dan rasa nyeri yang amat hebat menusuk sampai ke seluruh isi dada. Pada saat itu, kedua tangan Lembu Sora melepaskan ibu jari, mencengkeram rambut kepala lawan dan tubuhnya mem?buat gerakan membungkuk dengan tiba tiba, pinggulnya diangkat ke atas dan kedua ta?ngannya menarik rambut sekuatnya lalu mem?buat gerakan melempar.
"Wuuuuttttt........I" Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh tinggi besar yang sedang menderita seribu satu macam perasaan nyeri dan tidak mampu lagi mengerahkan tenaga itu, terlempar jauh ke luar panggung dan terbanting keras ke atas tanah. Di situ dia tidak mampu bangkit lagi, melainkan merintih dan mengaduh, kedua tangannya membuat gerakangerakan aneh, kadang-kadang ke hidung, lalu ke bawah pusar, lalu ke ibu jari masing-masing, dan raksasa itu menangis saking nyerinya.
Suasana hening sejenak karena peristiwa itu sungguh di luar dugaan semua orang. Akan tetapi kemudian mereka yang dalam taruhan berpihak kepada Lembu Sora, bersorak sorai.
Sorakan itu terhenti ketika di atas pang?gung sudah muncul seorang senopati yang wajahnya bengis. Dia mengangkat tangan memberi isarat kepada mereka yang bersorak ajar te?nang. Semua orang mengenai Senopati Segara Winotan yang galak, maka kini tidak ada seorangpun berani bersorak walaupun mereka menang, apa lagi kini mereka teringat bahwa yang menang adalah orang Singosari.
Senopati Daha itu memandang tajam ke?pada Lembu Sora, sinar matanya seperti hen?dak membakar. Dia marah bukan main karena Klabang Gunung adalah anak buahnya. Kekalahan Klabang Gunung dirasakannya seperti menampar mukanya. Kalau Klabang Gunung kalah oleh seorang jagoan lain dari Daha, hal itu tentu saja tidak mengapa, Akan tetapi se?kali ini lain. Klabang Gunung dikalahkan oleh seorang jago dari Singosari yang dia tahu ada?lah seorang senopati Singosari, kerajaan yang telah kalah perang melawan Daha.
''Lembu Sora, aku tahu engkau seorang se?nopati Singosari. Tidak mengherankan kalau engkau mampu mengalahkan Klabang Gunung dengan akal curang. Hayo, cabutlah kerismu, lawanmu adalah aku" berkata demikian, Senopati Segara Wirotan sudah mencabut sebatang kerisnya dan berdiri dengan sikap menantang.
Lembu Sora mengerutkan alisnya. Semua orang tahu bahwa bukan dia yang tadi berbuat curang, melainkan Klabang Gunung sendiri Kalau saja dia bukan pengikut Raden Wiiaya" yang kini hendak menghambakan diri ke Daha tentu sudah disambutnya tantangan itu. Namun dia ragu-ragu dan bingung, tidak menjawab melainkan dia menoleh kearah Raden Wi?jaya seperti hendak minta keputusan dan junjungannya itu.
Raden Wijaya mengenai watak Lembu Sora Kalau dibiarkan, tentu senopati itu akan menerima tantangan siapapun juga dan kalau sam?pai terjadi keributan, berarti gagallah semua usahanya untuk membangun kembali Kerajaan Singosari yang sudah runtuh dengan jalan menghambakan diri ke Kerajaan Daha. Maka diapun cepat bangkit, memberi hormat kepada Prabu Jayakatwang. "Hamba melerai pertikaian itu" Tanpa menjawab, Raden Wijaya sudah melangkah lalu meloncat naik ke atas punggung.
"Kakang Lembu Sora, turunlah" katanya halus.
Lembu Sora menyembah, lalu tanpa menoleh kepada Segara Winotan dia meloncat turun dari panggung, kembali ke tempat du duknya semula, disambut dengan gembira oleh teman-temannya.
Sementara itu, ketika melihat bahwa yang menghadapinya adalah Raden Wijaya yang dia kenal sebagai seorang pangeran di Singosari, Segara Winotan menjadi bingung dan kikuk. Akan tetapi, dia teringat bahwa bagaimanapun juga pangeran di depannya ini hanyalah se-orang pangeran dari kerajaan yang dikalahkan, maka dengan sikap hormat pura pura, yang menyembunyikan kecongkakannya, dia mem?beri hormat lalu berkata.
"Hamba ingin mengadu kepandaian melawan Senopati Lembu Sora, mengapa paduka melerai " Apakah paduka ingin maju sendiri untuk mencoba kemampuan saya?" Senopati itu tersenyum, menyura mengejek.
"Paman Segara Winotan, kiranya kau ju?ga mengetahui bahwa dua orang senopati hanya saling bertanding di dalam suatu peperangan kakang Lembu Sora naik ke panggung ini, bukan sebagai senopati, melainkan sebagai pengiringku dan kini menjadi tamu di Daha, bukan musuh. Kalau kau menantangnya, berarti sama dengan menantang aku" Berkata demikian Raden Wijaya memandang tajam dan sinar ma?tanya mencorong, membuat Segara Winotan menjadi gentar juga. Dia menyarungkan kerisnya dan berkata sambil menunduk.
"Hamba tidak ingin melawan seorang bangsawan tinggi seperti paduka yang menjadi tamu junjungan hamba. Maafkan hamba........"
Pada saat itu, Sang Prabu Jayakatwang sudah berteriak, "Sudah cukup. Tidak perlu ada pertandingan lagi. Ke sinilah, anak mas Wijaya. kita bercakap cakap"
Raden Wijaya meninggalkan panggung dan menghaturkan sembah kepada Sang Prabu Jayakatwang. "Harap paduka sudi mengampuni kakang Lembu Sora dan kami semua kalau kami dianggap membikin ribut di sini"
Raja itu tertawa. "Ah, sama sekali tidak. Kalian bahkan sudah ikut meramaikan suasana. Lembu Sora memang hebat, dan ternyata jago?mu yang menang, anak mas Wijaya. Katakan hadiah apa yang kau inginkan?"
Entah apa yang menyebabkannnya, pada saa itu Raden Wijaya teringat kepada tunangannya yang belum ditemukan, yaitu Sang Dyah Gayatri, maka dengan penuh harap dia lalu mempergunakan kesempatan itu dengan jawaban yang halus, "Kanjeng Paman Prabu, kalau sekiranya paduka mengijinkan, hamba mohon agar diajeng Gayatri dapat diberikan kepada hamba. Ia ada?lah tunangan hamba......"
Mendengar disebutnya nama puteri ini, seketika wajah Sribaginda menjadi keruh dan alisnya berkerut. Baru beberapa hari Gayatri lenyap bersama Wulansari dan hal itu masih membuat dia marah dan penasaran, sekarang disebutnya nama itu seperti mengingatkan dia kembali bahwa bersama mereka berdua, lolos pula tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Karena hatinya tidak senang, dengan alls masih berkerut diapun menjawab kaku.
"Ah, kalau yang itu tidak bisa. la adalah seorang tawanan, dan belum waktunya dibebaskan dari tawanan"
Raden Wijaya bungkam dan tidak berani lagi mengulang nama itu. Namun, maklum akan kedudukannya, dia tidak berani memperlihatkan penyesalan walaupun di sudut hatinya, dia merasa gelisah sekali. Melihat sikap Sang Pra?bu Jayakatwang, agaknya Sribaginda ini hen?dak menahan Gayatri dan hal itu hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Sribaginda sendi?ri agaknya ingin memiliki puteri yang jelita itu. Namun, Raden Wijaya tidak merasa putus harapan dan diapun mulai memperlihatkan sikap yang amat baik sehingga Sang Prabu Ja?yakatwang maka percaya kepadanya dan tidak pernah meragukannya niat hatinya untuk meng?hambakan diri kepadanya. Para pengikut Raden Wijaya yang amat setiapun menahan hati mereka dan bersikap sebagai orang-orang yang beriar benar takluk sehingga timbullah kesan pada seluruh ponggawa Kerajaan Doha bahwa Kerajaan Singosari telah musnah, dan tidak ada lagi keturunan Ken Arok yang akan bangkit lagi.
*** Pantai Laut Selatan mempunyai banyak tebing yang curam. Bukit Seribu di sepanjang pantai selatan memiliki banyak sekali bukit yang mencapai pantai, bukit bukit karang yang tandus, seolah-olah menjadi semacam tanggul untuk membendung air laut yang bergelombang dahsyat dan Laut Selatan agar jangan sampai menelan Pulau Jawa.
Banyak terdapat goa-goa di perbukitan selatan itu, goa-goa di bukit karang dan kapur. Di lereng sebuah bukit terdapat sebuah goa yang aneh bentuknya. Sebuah goa yang menghadap ke arah lautan dan bentuknya se?perti tengkorak manusia. Tidak mudah mencapai goa ini karena berada di lereng bukit yang penuh dengan semak berduri dan batu-batu karang malang melintang. Tempat ini tak pernah dikunjungi orang.
Namun ternyata goa yang aneh itu dihuni orang. Itulah Goa Siluman yang berada di bukit Garing dan yang menjadi penghuni tetapnva adalah seorang kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih. Dia dilayani enam orang anak remaja, tiga pria dan tiga wanita, yang melayani segala keperluan hidup sang kakek.
Memang luar biasa sekali. Di tempat sesunyi dan segersang itu, tinggal seorang iakek dengan enam orang pelayan. Apa lagi kalau orang dapat tiba di goa itu dan memasukinya, dia akan terheran-heran. Goa yang bentuk?nya seperti tengkorak manusia itu besar se?kali. Ruangan depan saja lebarnya ada dua puluh meter dan dalamnya tidak kurang dari sepuluh meter dan karena lebarnya maka ru?angan goa itu memperoleh sinar matahari yang cukup, dan di sebelah dalamnya terdapat lorong-lorong bahkan ada ruangan ruangan yang dipakai sebagai kamar-kamar tidur. Ada tiga kamar di sebelah dalam, sebuah kamar untuk sang kakek dan yang dua kamar lagi masing-masing dipakai oleh tiga orang pela?yan perempuan dan tiga orang pelayan laki-laki.
Kakek tua renta itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh sesat yang namanya sudah amat terkenal, apa lagi ketika dua belas tahun yang lalu dia menbantu pemberontakan muridnya. Dia adalah Ki Buyut Pranamaya yang dulu tingga| sebagai pertapa di Bukit Gandamayit di hutan Cempiring. Ketika muridnya Mahesa Rangkah memberontak, dia mambantu sepenuhnya. Akan tetapi pemberontakan Mahesa Rangkah itu gagal, bahkan Mahesa Rangkah sendiri tewas dalam pertempuran, Ki Buyut Pranamaya sendiri juga melarikan diri, apa lagi setelah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirnala yang tadinya berada di tangannya itu telah terampas oleh Wulan?sari.
Semenjak itu, Ki Buyut Pranamaya lalu bertapa di dalam Goa Siluman itu. Dia men?dengar bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kini terjatuh ke dalam tangan Kerajaan Daha. Dia merasa menyesal sekali. Ka?lau saja pusaka itu tidak terampas dari ta?ngannya, tentu pemberontakan Mahesa Rang?kah dahulu itu berhasil dan muridnya itu telah menjadi raja, dan dia menjadi penasihat raja. Dia tidak merasa heran mendengar betapa Doha mampu mengalahkan Singosari. Tentu berkat tompak pusaka itu, pikirnya.
Manusia pada umumnya, kalau usianya su?dah mulai tua, teringat akan keadaan dirinya lalu berpaling kepada Tuhan, ingat akan dosa yang telah banyak ditumpuknya di waktu muda, dan selagi masih ada kesempatan, berusaha membersihkan diri lahir batin, mendekatkan diri dengan Tuhan dan menjauhi bujukan iblis dan setan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Ki Buyut Pranamaya. Dalam usianya yang sudah amat tua itu, ia masib menjadi hamba nafsu nafsunya. Tiga orang pemuda remaja dan tiga orang gadis remaja itu, selalu menjadi para pembantunya, juga dilatih ilmu kedigdayaan dan juga mereka itu dia jadikan alat nafsu berahinya. Dia menculik anak-anak itu sejak mereka berusia lima enam tahun, dan mendidik mereka sehingga mereka menjadi anak-anak patuh kepadanya.
Selain enam orang anak yang menjadi pelayannya, muridnya, dan juga kekasihnya itu, Ki Buyut Pranamaya juga nempunyai seorang murid yang dianggapnya amat baik. Sejak
muridnya, Mahesa Rangkah, tewas dalam pemberontakannya, dia lalu bertemu dengan seorang pemuda gemblengan bernama Jaka Pati yang berusia tigapuluh tahun lebih Pemuda ini tekun bertapa dan menumpuk ilmu dengan cita-cita mencari wahyu kraton, atau setidak-tidaknya agar dia dapat menduduki pangkat yang tinggi dan mendapatkan kemuliaan. Ilmu-ilmu dari Agama Syiwa dipelajarinya dengan tekun.
Bertemu dengan Jaka Pati, Ki Buyut Prana?maya merasa suka sekali, maka dia yang telah kehilangan murid lalu mengambil Jaka Pati sebaga muridnya, mengajarkan banyak macam ilmu kesaktian, bahkan lalu memberi petunjuk kepada murid itu untuk bertapa di tempat-tempat yang angker.
Pada waktu itu, Ki Buyut menyuruh Jaka Pati yang usianya kini sudah empat puluh tahun lebih untuk bertapa di se?buah goa kecil tak jauh dari Goa Siluman.
Pagi hari itu, Ki Buyut Pranamaya telah keluar dari kamarnya dan berada di ruangan depan Matahari telah menyorotkan sinarnya sampai ke dalam ruangan goa, dan lautan di depan goa nampak tenang, putih keperakan tertimpa sinar matahari pagi.
Seorang pelayan wanita menuruni batu karang curam di sebelah kiri goa, lalu menghadap Ki Buyut Pranamaya sambil berkata, "Aki Buyut, Paman Gagak Wulung dan Bibi Ni Dedeh Sawitri datang berkunjung"
Wajah kakek tua renta itu tersenyum dan dia mengangguk-angguk. Bagus, memang sudah lama mereka kunanti-nanti"
Tak lama kemudian, dua orang menuruni batu karang dengan cekatan dan mereka itu ternyata adalah dua orang tokoh yang telah erkenal sekali, yaitu Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri.
Gagak Wulung adalah seorang datuk dari Kediri, berusia hampir enampuluh tahun, namun masih nampak muda. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap, pakaiannya juga mewah dan pesolek, seperti seorang bangsawan saja.
Dahulu pernah dia membantu Kerajaan Daha secara diam-diam, bukan sebagai ponggawa karena dia seorang petualang yang hanya membutuhkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Ketika Mahesa Rangkah memberontak terhadap Singosari, diapun ikut membantu. Setelah pemberontakan itu gagal, dia melarikan diri, kemudian berhubungan dengan Ki Buyut Pra?namaya dan sering berkunjung untuk minta petunjuk karena dia menganggap kakek itu se?bagai orang yang jauh lebih sakti dan patut dihormati. Bahkan dia siap membantu kalau kakek itu mempunyai suatu rencana yang menguntungkan.
Adapun wanita itu adalah Ni Dedeh Sawitri, juga seorang datuk dari Pasundan, namun di waktu mudanya, ia sudah banyak dijumpai orang di daerah Daha dan Singosari. Wanita ini usianya hampir limapuluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik, menggairahkan, dan genit. Iapun pesolek dan berpakaiau indah, sungguh merupakan pasangan yang cocok dengan Gagak Wulung. Dan seperti juga Gagak Wulung, ia memiliki kedig?dayaan, bahkan ia terkenal dengan pukulan-pukulan beracun yang amat berbahaya.
Memang, sudah lama sekali, sejak belasan tahun yang lalu, Ni Dedeh Sawitri menjadi sababat baik Gagak Wulung, bahkan iapun dahulu membaw?tu pemberontakan Mahesa Rangkah yang kemu?dian gagal.
Setelah gagal, Ni Dedeh juga melari?kan diri dan untuk beberapa waktu lamanya, kembali ke Pasundan. Baru kurang lebih setahun ia kembali ke timur dan bertemu dengan dagak Wulung yang membawanya menghadap Ki Buyut Pranamaya, kemudiau mereka berdua. oleh kakek itu diberi tugas untuk melakukan penyelidikan ke Singosari dan Daha yang kabarnya sedang berperang.
Demikianlah keadaan dua orang pasangan yang serasi itu. Sama-sama tampan dan cantik. Sama-sama pesolek dan cabul, dan sa?ma-sama berbahaya dan pandai. Karena kecocokan ini maka mereka melakukan perjalanan sebagai dua orang kekasih saja, kecocokan membuat mereka saling menyukai. Akan tetapi, walaupun mereka saling mencinta, masing-masing tidak mengekang. Dalam melakukan perjalanan bersama, masing-masing bebas untuk mencari pasangan masing-masing, bahkan kalau perlu mereka saling membantu untuk mendapatkan pasangan masing-masing, apa bila menemui halangan. Memang pasangan ini istimewa sekali, dan bagi mereka tidak ada hal yang dipantang untuk mencapai kepuasan hati dan kesenangan. Keduanya merupakan hamba-hamba nafsu yang sudah tidak ketulungan lagi.
Melihat dua orang itu menghadap padanya, duduk di atas lantai bertilam jerami kering, Ki Buyut Pranamaya tertawa senang, memper?lihatkan mulut yang sudah tidak ada giginya lagi.
"He he he he, bagus........ bagus........ Kalian sudah datang" Memang amat kunanti-nanti. Wah, Dedeh, setelah pergi selama tiga bulan kau nampak semakin cantik manis saja, he he he"
Gagak Wulung tertawa. "Paman Buyut Prana?maya, tentu saja ia nampak segar karena selama tiga bulan ini ia telah mendapatkan jamu dari belasan orang perjaka muda belia, hahaha" kata-kata Ga:ak Wulung yang disertai tawa ini membuat Ni Dedeh Sawitri cemberut, namun cemberut buatan agar nampak lebih mamis dan manja.
"Hemm, dan engkau sendiri" Sedikitnya duapuluh orang perawan kau hisap"
Mendengar ini, Ki Buyut Pranamaya tertawa. Dia sudah tahu betapa dua orang pembantunya ini memang mempunyai watak yang sama kerasnya dan hampir setiap kaii mereka bercekcok. Akan tetapi percekcokan itu akan berakhir dengan kemesraan di dalam kamar karena sesungguhnya mereka itu saling mencinta. Sungguh merupakan dua orang pembantu yang amat baik baginya.
"Sudahlah, kalian memang sama saja. Seka?rang ceritakan bagaimana keadaan di Daha. bukankah Daha telah berhasil menaklukkan Singosari?"
"Benar sekali, paman" kata Ni Dedeh Sa?witri. "Habislah sudah keluarga Kerajaan Singosari. Bahkan pangeran yang diharapkan akan dapat mempertahankan Singosari, yaitu Raden Wijaya, telah melarikan diri ke Madura"
"Kabar terakhir ini katanya bahwa Raden Wijaya bahkan telah menghambakan diri ke Ke-rajaan Daha" sambung Gagak Wulung.
"Jagad Dewa Batara........" kata Ki Buyut Pranamaya. "Kalau begitu, habis sudah harapan bagi Singosari untuk bangkit lagi. Agaknya hanva sampai di sini saja riwayat keturunan Ken Arok. Semua ini gara gara tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Hemm, keparat gadis baju hijau bernama Wulansari itu, dan si keparat Nurseta. Mereka berdualah yang telah merampas ki Ageng Tejanirmala dan akhirnya pusaka itu terjatuh ke tangan Ki Cucut Kalasekti dan jahanam itu menukarkan pusaka dengan kedudukan sebagai Adipati Bendowmangun. Demikianlah, pusaka terjatuh ke tangan Raja Kediri, maka tidak mengherankan kalau sekarang Kediri telah menjatuhkan Singosari" Kakek itu menarik napas panjang penuh penyesalan.
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan, paman?" tanya Gigak Wulung.
"Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpa pusaka itu. Setelah pusaka itu kembali ke tanganku, barulah kita bicara apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Dan untuk mendapatkan kembali pusaka itu, kita harus mendekati Daha. Kita semua pindah dan sini mencari tempat tinggal yang baik dan cocok di Daha"
Mendengar ini, dua orang datuk sesat itu menjadi girang sekali. Merekapun tidak suka tinggal terlalu lama di goa ini. tempat yang amat sunyi. Memang di situ terdapat tiga orang pemuda remaja yang tampan dan tiga orang gadis remaja yang manis, akan tetapi enam orang anak itu adalah milik Ki Buyut Prana?maya dan mereka berdua sama sekali tidak boleh mengganggu mereka.
Pada saat itu, seorang pemuda remaja da?tang menghadap gurunya dan berkata lantang "Aki Buyut, Paman Pati datang hendak merghadap"
Wajah kakek itu berseri dan tak lama ke?mudian muncullah seorang laki laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya cukup ganteng dengan kumis dan jenggot terpelihara rapi. Ketika melihat Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, dia tersenyum, terutama sekali kepada Ni Dedeh, dia tersenyum ramah sekali.
"Kiranya kalian berdua sudah berada disini, Selamat bertemu, Kakang Gakak Wulung dan mbakayu Dedeh Sawitri " Katanya, ke?mudian dia menghadap gurunya dan memberi hormat.
"Bagus, memang kau kuharapkan datang dan kalau tidak datang tentu akan kusuruh panggil, Pati" kata kakek itu sambil terkekeh girang, "Akan tetapi....... aku melihat perubahan padamu. Nanti dulu....... apa gerangan yang berubah" Ah, benar. Pakaianmu kau mengenakan jubah, pakaianmu seperti pakaian seorang resi (pendeta)"
Pria itu kembali menghormat "Memang benar sekali ucapan Guru. Para resi yang memiliki kuil di Daha bertemu dengan saya. Setelah menjadi kenalan dan seringkali kami bertukar pikiran tentang Agarna Syiwa, juga setelah mereka mengenai kemampuan saya, mereka lalu mengusulkan agar saya suka mengikuti mereka dan menjadi seorang resi. Meli?hat betapa baiknya kedudukan mereka, juga mereka mempunyai pengaruh yang cukup besar di kalangan rakyat, maka saya mengambil keputusan untuk mengikuti mereka dan saya datang untuk mohon diri dari guru dan mohon doa restu"
Ki Buyut Pranamaya mengangguk-angguk. "Baik sekali, muridku Memang orang mengejar kemuliaan dapat melalui jalan apa saja Dan kau memang berbakat menjadi seorang resi. Aku hanya ikut memuji semoga akan tercapai apa yang kau citakan dan kalau sudah mendapatkan kedudukan yang mulia, jangan kau lupakan gurumu yang sudah tua ini"
"Saya akan selalu mengingat semua petuah dari guru. Dan para resi juga sudah memberi sebuah nama kepada saya, yaitu Resi Mahapati"
---ooo0dw0ooo---
Jilid 16 "RESI MAHAPATI?" Ki Buyut Pranamaya berkata sambil tersenyum. "Wah, bagus sekali nama itu. Dan Jaka Pati menjadi Resi Mahapati. Baiklah Resi Mahapati, doa restuku menyertaimu. Ketahuilah bahwa kamipun akan pindah ke Daha, mencari suatu tempat yang tepat di sana. Kita akan saling bertemu di sana dan mudah-mudahan kita akan dapat saling bantu"
Resi Mahapati girang mendengar bahwa gurunya juga akan pindah ke Daha, akan tetapi, karena para resi sudah menantinya di dataran pantai, diapun berpamit dan meninggalkan goa itu, diikuti pandang mata Ki Buyut Pranamaya.
Setelah Resi Mahapati pergi, kakek itu. mengangguk-angguk dun berkata kepada dua orang datuk itu.
"Kalian lihat saja, muridku itu kelak akan dapat melangkah jauh dan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dia amat cerdik, dan ilma kepandaiannya juga mendalam"
Beberapa hari kemudian, Ki Buyut Pranamaya dengan enam orang pelayannya, diikuti oleh Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, juga meninggalkan Goa Siluman, menuju ke Daha. Mereka itu bagaikan bayangan siluman-siluman yang berangkat untuk menyebar malapetaka di antara manusia. Goa Siluman itu menjadi semakin sunyi dan semakin angker setelah kini tidak lagi berpenghuni.
*** Pemuda itu tampan bukan main. Usianya sekitar tiga puluh tahun atau bahkan jauh lebih muda. Kulitnya kuning bersih dan sepasang matanya bersinar seperti bintang kejora, kadang-kadang sepasang mata itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap. Tubuhnya tidak berapa besar, bahkan tergolong kecil ramping, namun dalam langkahnya terkandung kegagahan. Pakaiannya sederhana, seperti pakaian seorang pemuda dusun, namun melihat wajah dan sikapnya, orang akan menduga bahwa tentu dia bukan seorang pemuda sembarangan. Juga sepasang mata itu bukanlah mata seorang pemuda dusun yang sederhana.
Akan tetapi, gadis remaja yang berjalan di sisinya juga luar biasa cantiknya. Kulitnya Agak gelap, akan tetapi hitam manis, dengan dagu meruncing dan matanya jeli bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulut yang bibirnya merah basah itu selalu tersenyum, la seorang gadis yang lincah, jenaka dan penuh gairah, Pakaiannya juga seperti seorang gadis petani, akan tetapi, gadis berusia tujuhbelas tahun ini juga tidak patut menjadi seorang gadis dusun. Seolah-olah tingkah dan wibawanya tidak seperti seorang gadis yang bodoh dan sederhana.
Mereka berdua berjalan perlahan di dalam hutan itu. Tiba-tiba pemuda itu memegang legan si gadis, mulutnya diruncingkan. "Sshhhh........" Dia memberi isarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara. Gadis itupun menutup mulutnya dengan tangan, lalu ikut melirik ke kanan karena ia melihat pemuda itu menoleh ke kanan. Benar saja, ada seekor kijang muda berjalan tak jauh dari situ, di antara semak-semak.
Saking gembiranya, gadis itu menunjuk dengan jari tangannya dan berbisik........ "itu di sana ......."
Sedikit suara ini sudah cukup bagi sang kijang yang memiliki pendengaran amat peka. Tadi binatang itu tidak mengetahui kedatangan mereka karena arah angin datang dari depan, akan tetapi begitu gadis remaja itu berbisik, binatang itu mendengarnya dan sekali bergerak, tubuhnya yang ramping itu telah meloncat dengan cepat bukan main.
Akan tetapi, pemuda tampan itu menggerakkan tangannya dan nampak sinar terang menyambar. Kijang itu yang sedang melompat dan masih berada di udara, lalu terpelanting dan terbanting roboh, berkelojotan sebentar lalu diam Pemuda itu menggandeng tangan sang gadis remaja. Mereka berlari mengbampiri dan ternyata kijang itu telah mati dengan dada ditembusi sebatang bambu runcing yang tadi dia lontarkan. Akan tetapi ketika pemuda itu menjulurkan tangan hendak meraba, dia berseru, "Ihh" dan menarikkembali tangannya.


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat pemuda itu terkejut, gadis yang lincah tadi memandang heran dan bertanya "Ada apakah, mbakayu Wulan?"
"Pemuda itu sebenarnya adalab Wulansari yang menyamar sebagai pria, sedangkan gadis lincah itu adalah Puteri Gayatri. Seperti kita ketahui, Wulansari terpaksa mengajak Gayatri minggat dari istana Daha ketika Sang Prabu Jayakatwang memaksa agar Gayatri malam itu melayaninya, baik dengan sukarela maupun dipaksa. Karena tidak melihat lain jalan untuk menyelamatkan sang puteri, terpaksa Wulansari mengajaknya minggat. Ia juga merasa tidak suka kepada raja yang kini seolah mabuk kemenangan dan mengandalkan kekuasaan itu, maka sambil mengajak Dyah Gayatri melarikan diri, iapun membawa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala bersamanya.
Wulansari mengajak Gayatri melarikan diri ke utara, menyusuri sepanjang Sungai Brantas, lalu mempergunakan perahu terus mengikuti aliran sungai yang makin ke utara semakin membesar itu. Setelah melakukan perjalanan dengan perahu berhari-hari lamanya, ketika perahu membelok ke timur, Wulansari mengajak Gayatri melanjutkan perjalanan dengan kaki, terus ke utara sampai jauh meninggalkan tapal batas Kediri dan memasuki tapal batas Tuban. Dengan menyamar sebagai seorang pria dengan nama Bambang Wulandoro dan adiknya perempuan yang diberi nama Pusparasmi. Mereka tinggal mondok di rumah seorang janda tua di dusun Kalasan.
Dengan simpanan barang perhiasan mereka, kedua orang ini mampu hidup serba cukup di dusun itu. Janda tua itu sama sekali tidak tahu bahwa Bambang Wulandoro sesungguhnya seorang wanita cantik. Juga sama sekali tidak pernah menduga bahwa Pusparasmi adalah Sang Puteri Dyah Gayatri.
Merasa aman dalam persembunyian mereka, Wulansari kadang-kadang mengajak Puteri Gayatri untuk berburu binatang di hutan seperti yang mereka lakukan pada hari itu. Tentu saja tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah disembunyikan oleh Wulansari. Tidak mau ia menyimpan pusaka itu sembarangan. Ia menyembunyikan pusaka itu di dalam pohon. beringin, di puncaknya, diikatkan pada batang pohon itu dengan erat. Takkan ada seorangpun menduga pusaka itu disimpan di sana, dan tidak kelihatan dari bawah. Juga tidak ada babaya ketahuan orang karena tidak ada penduduk dusun berani memanjat pohon beringin yang tua dan besar itu. Bukan takut karena tingginya melainkan takut karena sudah menjadi kebiasaan dan kepercayaan umum mereka menganggap pohon beringin, apa lagi yang besar dan tua, sebagai pohon keramat.
Demikianlah, pada hari itu Wulansari dan Gayatri memburu binatang. Wulansari yang memiliki kesaktian itu hanya mempergunakan senjata sebatang bambu runcing, bambu kuning yang kecil dan kuat. Dan dengan lontaran bambu runcing ini ia sudah berhasil merobohkan seekor kijang muda. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak menjamah kijang itu, melihat sesuatu pada leher binatang itu sehingga ia menarik kembali tangannya dan mengeluarkan seruan kaget. Teguran Gayatri, yang menyebutnya "mbakayu Wulan" membuat ia semakin kaget dan cepat ia menangkap lengan puteri itu dan berbisik.
"Awas, jangan sebut aku mbakayu, ada orang di sini........" Ketika puteri itu memandang semakin heran, Wulansari atau Bambang Wulandoro menudingkan telunjuknya ke arah leher kijang. Puteri Gayatri atau Pusparasmi memandang dan iapun terbelalak. Pada leher kijang itu nampak menancap sebatang besi yang bentuknya segi tiga runcing, dan benda itu menancap di leher kijang sampai masuk semua, yang nampak hanya sedikit gagangnya dan ronce benang merah terjurai di leher binatang itu.
"Adikku Puspa, engkau berdiamlah di sini dan jangan bergerak. Ada orang lain di sini dan biarkan aku menghadapinya" kata Bambang Wulandoro kepada adiknya.
Pusparasmi maklum bahwa sekali ini ia harus bersandiwara, maka iapun menjawab, "Baklah, kakang Wulandoro"
Bambang Wulandoro siap menghadapi segala kemungkinan. Dia berdiri dengan kaki terpentang lebar, kepalanya bergerak ke kanan kiri, matanya melirik ke sekeliling dan sikapnya waspada. Tak lama kemudian, terdengar suara orang, suara yang agaknya terkejut dan terheran.
Dengan gerakan cepat, Bambang Wulandoro membalikkan tubuhnya, siap menghadapi segala kemungkinan, sedangkan Pusparasmi juga memutar tubuhnya. Kedua orang gadis ini terkejut dan memandang terheran-heran kepada pemuda yang berdiri di depan mereka. Seorang pemuda yang aneh bentuk pakaiannya. Baju lengan panjang dan celana itu berwarna biru tua, kakinya dari lutut ke bawah dibelit kain tebal kuning dan kakinya bersepatu. Rambutnya panjang digelung dan diikat ke atas. Wajah pemuda itu tampan, hanya sepasang matanya sipit dan kulit mukanya kekuningan walaupun gelap karena banyak tertimpa sinar matahari. Tubuhnya tinggi tegap. Mata yang sipit itu bersinar tajam, nampak tabah, apa lagi karena dilindungi sepasang alis yang hitam tebal. Akan tetapi mulut itu tersenyum ramah dan aneh.
Sebagai seorang puteri raja, Pusparasmi pernah melihat utusan dari Negara Cina, maka begitu melihat pemuda di depannya ini, iapun dapat menduga bahwa pemuda itu seorang Cina. Akan tetapi, Bambang Wulandoro belum pernah melihat bangsa itu, maka diapun memandang heran.
Sejenak, tiga orang itu saling pandang dan pemuda Cina itu lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Dia tersenyum dan ketika dia mengeluarkan suara, ternyata dia dapat berbahasa daerah, walaupun logatnya aneh dan pelo, namun cukup dapat dimengerti.
"Maafkan saya. Ini....." kijang ini punya saya karena saya menjatuhkannya dengan senjata piauw ( senjata rahasia ). Nah, itu masih nampak piauw saya di lehernya"
Pemuda itu memang seorang pemuda Cina dan dia bukan lain adalah Lie Hok Yan, pendekar yang menjadi sute dari Kau Seng, seorang di antara tiga orang panglima yang memimpin dua ratus ribu orang perajurit dari Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Kubilai Khan untuk berlayar ke Jawa dan untuk menyerang Raja Kertanagara yang telah berani menghina utusan kaisar, yaitu Panglima Meng Ki.
Kaisar Kubilai Khan mengutus tiga orang panglimanya, yaitu She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu, memimpin duaratus ribu orang perajurit berlayar ke selatan menuju Kerajaan Singosari. Di antara para perwira muda terdapat banyak pula orang Han, dan satu di antaranya adalah Lie Hok Yan. seorang pendekar yang masih terhitung sute (adik seperguruan) dari Panglima Kau Seng.
Ketika kapal-kapal dalam suatu armada besar itu berlayar ke selatan, mereka diserang angin ribut. Namun mereka telah siap menghadapi itu dan mereka membawa banyak ahli pelayaran sehingga pelayaran itu dapat lancar menuju selatan walaupun sebagian besar para perajurit yang biasanya hanya bergerak di darat, menjadi mabuk. Berhari-harian mereka itu bertiduran saja, tidak mau makan.
Akhirnya, setelah armada sampai di Pulau Biliton, armada itu dipecah. Ji Kauw Mosu berangkat lebih dulu dengan limaratus orang perajurit dalam sepuluh buah kapal, sedangkan yang lainnya melalui Karimun Jawa menuju ke Tuban. Setelah tiba di Tuban, separuh dari balatentara mereka mendarat, sedangkan yang separuh lagi melanjutkan pelayaran mereka ke arah timur di bawah pimpinan Panglima She Pei, menuju ke Sungai Sedayu menyusul pasukan yang berangkat lebih dulu dipimpin Ji Kauw Mosu. Mereka mendarat di muara Sungai Sedayu.
Sebelum melakukan gerakan penyerbuan ke arah selatan, Panglima She Pai lebih dulu menyebar para mata-mata untuk menyelundup dan mengamati keadaan. Dan mereka yang diselundupkan menjadi mata-mata adalah orang-orang muda yang selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, juga yang sudah dipersiapkan untuk pekerjaan ini maka mereka itu rata-rata sudah mahir berbahasa daerah. Di antara mereka itu terdapat Lie Hok Yan. Dan pada hari itu tibalah dia di daerah Kalasan, sebuah dusun di tapal batas Tuban, dan karena perutnya terasa lapar dan dia berada di hutan, maka ketika melihat berkelebatya seekor kijang yang lari tak jauh dari situ, dia cepat menyerangnya dengan senjata rahasia piauw.
Sambitannya tepat mengenai leher kijang dan dia melihat betapa kijang itu roboh dalam semak belukar. Maka, diapun cepat mencari kijang itu dan bertemu dengan seorang pemuda tampan bersama seorang gadis vang amat cantiknya. Maka, setelah memberi hormat, Lie Hok Yan lalu mengatakan bahwa kijang itu miliknya karena dia telah membunuhnya dengan senjata piauw yang masih menancap di leher binatang itu.
Akan tetapi pemuda tampan itu mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar ketus ketika dia berkata, "Apa kau bilang" Bukan engkau yang merobohkan kijang ini, melainkan aku. Lihat bambu runcing itu. Aku yang melontarkan bambu runcing dan kijang ini mati karena adanya ditembusi bambu runcingku Engkau enak saja mengaku-aku. Ini adalah hasil buruanku"
Lie Hok Yan memandang ke arah bangkai kijang itu dan matanya yang sipit agak dilebarkan. Sama sekali tidak disangkanya bahwa memang ada bambu kuning yang runcing menembus dada kijang itu dan tidak perlu diperdebatkan senjata mana yang lebih ampuh dan lebih pantas membunuh binatang itu. Piauwnya hanya kecil saja, terbenam di leher kijang itu tidak lebih dari sejengkal. Akan tetapi bambu runcing itu menembus dari dada sampai ke punggung. Tadi, pandang matanya terpesona oleh gadis cantik jelita yang berdiri sambil tersenyum di situ maka dia kurang memperhatikan kijang yang menggeletak mati di antara semak-semak.
"Ah, binatang ini sungguh sial, mati di bawah serangan dua senjata. Tak dapat kusangkal, sobat. Tombak bambumu lebih mutlak membunuh binatang ini. Akan tetapi kalau diteliti, jelas bahwa senjataku yang lebih dulu mengenai tubuh kijang ini, setelah itu barulah senjatamu yang mengenainya"
"Wah, enak saja kau bicara" tiba-tiba Pusparasmi berseru dengan sikap galak. Ia maju dan bertolak pinggang, memandang kepada pemuda itu dengan mata bersinar-sinar. "Apa buktinya bahwa senjatamu yang lebih dulu mengenainya" Yang jelas, senjata kakakku yang telah merobohkannya"
Hok Yan memandang dan dia terpesona sampai lama tidak mampu dia menjawabnya Sudah banyak dia melihat wanita cantik, akan tetapi selama hidupnya baru ini dia bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik jelita dan manisnya. Kulit wajah sampai leher, pundak dan kedua lengannya begitu putih mulus tanpa cacat sedikitpun. Wajah itu demikian manis dan cantik, rambutnya panjang terurai ke belakang dan anak rambut yang halus melingkar-lingkar di dahi. Sepasang mata yang seperti bintang dan biarpun ia sedang marah, namun kalau bicara matanya menari-nari dan bibirnya bergerak-gerak penuh tantangan untuk dicumbu. Wajah yang seperti dalam dongeng saja. Semenjak kapalnya berlabuh di pantai Tuban dan dia mendarat bersama pasukan, kemudian dia ditugaskan sebagai mata-mata mencari berita, banyak sudah dia melihat wanita Jawa, akan tetapi belum permah yang seperti ini. Seketika jantung dalam dada Hok Yan seperti berhenti berdenyut dan dia terpesona, hanya memandang tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Hei, kenapa kau bengong saja" Hayo jawab pertanyaan adikku" Bambang Wulandoro membentak, juga diam-diam geli melihat tingkah pemuda asing itu. Sebagai seorang wanita, tentu saja ia dapat menduga bahwa pemuda asing ini terpesona oleh kecantikan Dyah Gayatri dan iapun tidak merasa heran. Pemuda mana yang tidak akan terpesona melihat kecantikan sang puteri itu"
Dibentak seperti itu, Hok Yan tersipu dan mukanya yang berkulit putih kekuningan itu berubah kemerahan. "Eh....... ahh........ begini... Bukan maksud saya hendak mencari keributan. Kalau memang kalian menghendaki kijang ini, silakan. Akan tetapi saya merasa lapar sekali, kalau boleh saya mendapatkan sebuah kakinya saja, kaki belakang berikut pahanya, atau boleh juga kaki depan, sudah cukuplah......"
"Sudah, tidak perlu banyak cakap. Jawab pertanyaanku tadi. Apa buktinya bahwa senjatamu yang lebih, dulu mengenainya?" Pusparasmi mendesak.
"Begini....... ah, mudah saja. Lihat, bambu runcing itu menusuk dari dada tembus ke punggung. Hal ini tidak mungkin terjadi kalau kijang itu sedang berlari, tentu yang terkena tombak bambu itu bagian sisi, menembus ke sisi yang lain atau kalau tombak itu meluncur dengan lengkungan, maka yang tertusuk adalah punggungnya yang menembus ke dada bukan dari dada menembus ke punggung. Maka, jelas bahwa tentu kijang itu terlebih dahulu terkena senjata piauwku dan saking kaget dan nyeri, mungkin juga sekarat, dia melompat ke atas dan tubuhnya miring sehingga tepat dadanya disambar tombak bambu itu. Dengan demikian, maka senjata rahasiaku yang lebih dulu mengenai tubuhnya"
Bambang Wulandoro mengerutkan alisnya dan dia memandang bangkai kijang itu penuh perhatian. Diam-diam dia harus mengakui kebenaran alasan yang dikemukakan pemuda asing itu, dan dia menjadi penasaran sekali.
"Hemm, sobat. Apakah dengan demikian engkau hendak mengatakan bahwa lontaran bambu runcingku masih kalah hebat dibandingkan sambitan senjata rahasiamu itu?"
Pemuda itu menggeleng kepala dan tersenyum. "Ah, tidak....... maksudku bukan begitu ......."
Akan tetapi Bambang Wulandoro sudah mencabut bambu rucingnya dari tubuh kijang. "Ambil senjata rahasiamu itu dan kita boleh buktikan, sambitan siapa yang lebih jitu" tantang Bambang Wulandoro.
Lie Hok Yan teringat akan tugasnya. Dia tahu betapa tidak baiknya kalau mencari permusuhan selagi dia menjalankan tugas penting itu. Apa lagi dengan pemuda tampan itu adalah kakak dari gadis yang seperti bidadari itu" Tidak, dia sama sekali tidak ingin mencari permusuhan. Akan tetapi, sebagai seorang pemdekar, dia sudah merasa amat tertarik melihat betapa bambu runcing itu tepat mengenai dada kijang dan menembus ke punggung. Juga ketika pemuda tampan itu tadi mencabut bambunya, pemuda itu tidak mempergunakan tenaga kasar dan diam-diam diapun terkejut, menduga bahwa orang ini tentu bukan orang sembarangan Dia merasa tertarik dan ingin sekali melihat sendiri betapa hebatnya orang itu melontarkan tombak bambunya. Maka, diapun mencabut piauw yang masih menancap di leher kijang.
"Biar kubuatkan sasarannya" tiba-tiba Pusparasmi berseru dan ia sudah berlari kecil menuju ke sebuah pohon besar.
Di batang pohon besar itu ia menempelkan sebatang daun sirih, lalu ia menghampiri lagi mereka.
Bambang Wulandoro mengangguk. "Dari sini, jaraknya cukup dan daun itupun cukup kecil. Hendak kulihat sampai di mana kejituan sambitanmu dengan senjata rahasia itu. Nah, sambitlah daun yang menempel di batang pohon itu"
Sebetulnya, dalam keadaan biasa, Hok Yan bukan seorang pemuda yang suka menyombongkan kepandaianya. Dia sudah mempelajari penggunaan piauw secara mahir sekali dan belum pernah dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya ini di depan orang lain. Akan tetapi sekali ini, selain untuk menyambut tantangan pemuda tampan itu, juga dia secara tiba-tiba saja ingin memamerkan kepandaiannya di depan gadis jelita seperti bidadari itu.
"Baiklah, lihat piauwku" Dengan gerakan tiba-tiba dan sangat cepat, tangannya bergerak dan nampak sinar merah meluncur cepat ke arah pohon, dan tahu-tahu senjata piauw itu telah menancap di pohon tepat di tengah daun sirih, menembus daun dan menancap dalam. Tinggal sisa sedikit gagang piauw yang berada, di luar kulit batang pohon.
"Hebat......" Pusparasmi berseru dan bertepuk tangan memuji. Gadis ini memang memiliki watak yang terbuka dan langsung saja ia memuji karena ia merasa kagum sekali. Melihat gadis seperti bidadari itu bertepuk tangan memuji, Hok Yan merasa seolah-olah, kepala dan dadanya menggelembung besar seperti balon karet ditiup.
Bambang Wulandoro mengangguk-angguk, Diam-diam diapun kagum, bukan hanya oleh ketepatan bidikan pemuda itu, melainkan terutama sekali oleh kecepatannya menggerakkan senjata rahasia itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau kalah.
"Basus, sekarang lihat kejituan bambu rancingku" kata Bambang Wulandoro dan diapun membidikkan bambu runcing di tangannya, dipegangnya seperti memegang tombak dengan tangan di atas pundak, kemudian tiba-tiba dia melontarkan tombak itu dari belakang pundak ke depan. Sinar kuning berkelebat ketika bambu kuning yang ujungnya runcing itu meluncur bagaikan kilat ke arah pohon.
"Cappp......." Gagang tombak bambu itu bergoyang-goyang dan tergetar dan bambu menancap pada batang pohon, persis di tengah daun sirih dan kini senjata rahasia piauw tadi lenyap tertekan oleh ujung bambu ke dalam batang pohon, lenyap berikut ronce merahnya.
Kembali Pusparasmi bertepuk tangan memuji. "Engkau hebat, kakang Wulandoro" soraknya.
Lie Hok Yan juga mengangguk-angguk dengan penuh kagum. Pemuda Jawa yang amat tampan ini sungguh memiiiki ilmu kepandaian vang hebat.
Bambang Wulaudoro yang merasa menang karema bambu runcing itu tepat mengenai senjata lawan sehingga senjata rahasia yang Kecil itu lenyap ke dalam batang pohon, sogera ia menghadapi Hok Yan dan bertanya, "Nah, bukankah bambu runcingku lebih menang dibadingkan senjatamu itu ?"
Tadinya Lie Hok Yan tidak ingin bersitegang, akan tetapi nada suara yang mengandung ketinggian hati dan kemenangnn itu sempat membuat hati mudanya penasaran. Ia memberi hormat dan berkata dengan lembut, "Sobat. Memang ilmu melontarkan tombak bambu itu sungguh hebat. Akan tetapi terlalu lambat. Dibandingkan dengan piauwku, maka tombakmu itu jauh kalah cepat penggunaannya. Kalau engkau sedang menarik tombak itu ke belakang pundak, piauwku sudah meluncur mengenai sasaran. Itulah kelebihan senjataku"
Bambang Wulandoro menjadi marah mendengar pemuda asing ini belum juga mau mengakui keunggulannya. "Begitukah " Engkau masih merasa lebih hebat dariku " Kalau begitu, sobat asing, majulah dan mari kita coba-coba mengadu kepandaian" Berkata demikian, Bambang Wulandoro memasang kuda-kuda dan siap berdiri di depan pemuda asing itu.
Hok Yan cepat menggerak-gerakan tangan Kanan menolak "Sobat, aku datang ke sini bukan untuk mencari permusuhan tanpa sebab. Kalau engkau hendak mengambil kijang itu, silakan, dan kalau engkau tidak mau memberi bagian sedikit kepadaku juga tidak mengapalah. Akan tetapi aku tidak ingin bermusuhan, tidak ingin berkelahi"
Bambang Wulandoro menurunkan kedua angannya dan berdiri tegak.
"Hemm, siapa yang mengajak bermusuhan dan siapa yang mengajak berkelahi" Aku hanya ingin menguji kepandaianmu. Kalau engkau memang memiliki kepandaian tinggi dan lantas menjadi sahabat, aku akan memberi bagian daging kijang. Sebaliknya kalau engkau hanya seorang pembual dan pengganggu saja, engkau boleh pergi tanpa bagian daging kijang. Nah, sekali lagi aku tantang kau untuk mengadu ilmu kepandaian" Majulah, kecuali kalau kau takut. Aku tidak akan. memaksa orang yang takut"
Sepasang mata yang sipit itu berkilat. Kelemahan seorang pendekar tersentuh, dan hal ini memang disengaja oleh Bambang Wulandoro yang cerdik. Pendekar manapun di dunia ini akan bangkit kalau disebut pengecut atau penakut. Demikian pula Hok Yan. Alisnya yang tebal berkerut dan diapun memandang kepada Bambang Wulandoro dengan pandang mata tajam,
"Takut" Aku .......takut" Sobat, apakah kau hanya akan menguji kepandaian " Tidak ada dendam kebencian sebagai musuh " Yakinkah hatimu " Kalau benar demikian, dengan senang hati aku akan melayanimu bertanding. Akan tetapi kalau dalam hatimu ada dendam kebencian, aku akan mundur karena aku tidak ingin berkelahi, tidak ingin mencari musuh"
Bambang Wulandoro mulai merasa suka kepada pemuda asing ini. Seorang pemuda yang pandai menyembunyikan kepandaian dibalik sikap yang rendah hati.
"Aku yakin, sobat, Marilah, aku ingin sekali mengenai ilmu silatmu" katanya dan kembali ia memasang kuda-kuda.
Lie Hok Yan merangkap kedua tangan depan dada, kepalan kanan digenggam menempel pada telapak tangan kiri yang dibuka, lalu. tiba-tiba kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk, tangan kanan diacungkan keatas, yang kiri ke bawah, lalu kedua lengan itu perlahan-lahan bergerak ke kanan kiri, terentang seperti sikap seekor burung hendak terbang.
Sepasang mata yang indah dari Bambang Wulandoro bersinar, wajahnya berseri dan diapun sudah menerjang ke depan sambil berseru, "Lihat seranganku. Aiiittt ........ " Tangan kanannya menyambar, dengan jari tangan terbuka menempiling ke arah pelipis kiri kepala lawan.
Kuda Binal Kasmaran 1 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 25
^