Buddha Pedang Dan Penyamun 2
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Bagian 2
memilih dan menentukan korban. Empat belati panjang segera
terlempar dari kedua sosok bayangan, tetapi ketika sembari
masih berbaring kedua pedang hitamku melesak ke dalam
jantung masing-masing dari keduanya, yang menyembur
keluar adalah darah yang sebenarnya. Jadi keduanya bukanlah
bayangan ciptaan sihir. Dengan segera pula kedua pedang
hitam warisan Raja Pembantai dari Selatan itu telah
mengurung Pangeran Kelelawar dengan kedua belati
panjangnya. Jika kumasuki Jurus Dua Pedang Menulis
Kematian sekarang juga, niscaya riwayatnya segera dapat
kutamatkan. Namun kunantikan jurus-jurus pamungkasnya,
agar dapat kuserap dengan jurus-jurus yang kelak akan
terkenal sebagai Jurus Bayangan Cermin.
Seperti yang kuduga, ia menyerang dengan memanfaatkan
kedua sayapnya. Diriku bagaikan terkurung jala hitam dan
kedua pedang yang kuayun untuk merobek selaput kulit yang
menjadi sayap itu selalu luput mengenainya. Maka
kugabungkan Jurus Bayangan Cermin dan Jurus Penjerat
Naga. Dengan Jurus Bayangan Cermin terseraplah sudah
segenap jurus dalam ilmunya, dan dengan Jurus Penjerat
Naga meski aku tetap bergerak membuat ia mengira aku
dalam kelemahan terbuka. Saat kedua belatinya bermaksud
menggunting leherku, kedua pedangku malah masuk kembali
dalam tanganku, karena aku hanya perlu menyorongkan
tangan ke depan memberikan kepadanya pukulan Telapak
Darah. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia terlempar ke atas memuntahkan darah. Namun
bukannya jatuh, ia mengepakkan sayapnya, terbang ke atas.
Aku melesat ke atas dengan kedua pedang yang sudah
muncul kembali dari dalam tanganku. Setiap kali sambaran
pedangku ditangkisnya, kugunakan dorongan tenaganya
sebagai daya melenting ke atas, dengan demikian Pangeran
Kelelawar itu selalu bisa kukejar ke atas. Jadi sebetulnya
pedangku tidak menyambar untuk membunuh, melainkan
untuk ditangkis agar aku bisa melayang ke atas tanpa harus
memijak sesuatu. Meski siasatku ini sebetulnya gampang
dibaca, tetapi pukulan Telapak Darah telah membuatnya tidak
bisa berpikir. Ia seperti menghindariku, seperti ada yang
menunggunya di atas, meski dalam pertarungan tingkat tinggi
seperti ini tentu aku tidak bisa berpikir terlalu panjang. Pada
saat kedua tangannya terbuka kutusukkan pedang hitam yang
kehitamannya disebabkan ramuan racun bercampur darah
korban. Begitu kuat tusukan pedang di tangan kananku itu ke
dadanya, sampai tembus ke punggung, dan menancap pada
dinding tiang penyangga bulan. Lantas kutancapkan pula
pedang di sebelah kiriku, sehingga ia tertancap makin di
dinding itu. Masalahnya, bagaimana aku bisa melepaskan pedang itu"
Selama ini kedua pedang itu me lekat tanpa diminta, yang
membuat aku berpikir tidak akan bisa menganggap diriku
sempurna selama keduanya masih mengendon di dalam kedua
tanganku. Maka dalam sekejap kuselusuri perbendaharaan
ribuan mantra yang berada dalam diriku. Kucari mantra
semacam mantra pelepas pedang jika memang kemampuan
menyimpan pedang dalam tangan itu merupakan kemampuan
sihir. Namun rasanya tidak kutemukan mantra itu. Bagaimana
caranya Raja Pembantai dari Selatan memasukkan dan
mengeluarkannya, sebelum kemudian memindahkannya ke
dalam diriku berikut segenap mantra sihir itu" Aku nyaris
merasa putus asa dalam usaha melepaskan sepasang pedang
yang setiap kali selalu gagal. Padahal kalau pedang itu masuk
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kembali ke dalam tanganku, tubuh Pangeran Kelelawar tentu
jatuh melayang ke bawah, padahal ia belum lagi mati.
Tentu aku berada dekat sekali dengannya. Nafasnya tinggal
satu-satu, karena tenaga dalamnya untuk sementara dapat
melawan aliran racun kedua pedang itu. Matanya terus
memandangku seperti berusaha mengatakan sesuatu. Namun
aku sibuk berusaha melepaskan pedang itu dengan usaha
yang sia-sia. Kedua kakiku sampai naik ke dinding batu di
samping kiri dan kanan sepasang pedang yang masih
menancap di tubuh Pangeran Kelelawar, kutekankan kaki ke
dinding itu sambil menarik tubuhku sekuat-kuatnya, seolah-
olah dengan cara itu kedua pedang itu bisa terlepas dari
tanganku. Begitu kuatnya usahaku menarik diri, sampai
kepalaku terdongak ke belakang, begitu rupa sehingga tampak
olehku segala pemandangan di bawah.
Kami tertempel di dinding itu pada ketinggian setengah dari
keseluruhan tinggi tiang. Rembulan masih purnama, tampak
luar biasa luas bagaikan payung dari langit. Kiranya inilah
yang menjadi sebab mengapa dari bawah tiang ini bagaikan
menyangga rembulan. Namun aku tidak dapat menikmati
keindahan itu sebab dipenuhi rasa putus asa karena tidak
dapat melepaskan kedua pedang tersebut. Waktu kepalaku
tersentak-sentak dalam usaha menarik diri itu terpandang
bumi dan langit berganti-ganti. Dalam puncak keputus asaan
aku berteriak: "Aaaaaaagggggggghhhhhhhh!"
Lantas aku tenggelam dalam sunyi. Dalam kesunyian
segalanya menjadi jelas, begitu jelas, terlalu jelas, lebih jelas
dari kejelasan itu sendir
pada tingkat yang murni
tiada pengertian keesaan atau kejamakan
dari para Buddha
tiada keesaan mulanya mereka berbadan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tiada kejamakan
mirip angkasa tiada memiliki badan
Saat itulah aku terpental. Lepas! Aku melayang tanpa
bobot, jadi meskipun lepas aku tidak jatuh ke bawah. Aku
mengambang di hadapan Pangeran Kelelawar yang tertancap
oleh kedua pedang itu di dalam dinding batu. Ia masih hidup,
dan matanya masih memandangku seperti ingin mengatakan
sesuatu. Aku segera menjejak udara dan kembali menempel
ke dinding batu dengan ilmu cicak di sebelah Pangeran
Kelelawar, karena aku tahu bobot tubuhku akan segera
kembali bersama kembalinya kesadaranku.
Angin bertiup, amat sangat dingin. Setelah pertarungan
usai alam menghadirkan dirinya kembali. Kami tenggelam
dalam kabut. Meski malam bulan purnama, kabut tetap
membuat kami taksaling dapat melihat. Kudengar napas-
napas terakhirnya yang tersengal.
''Amrita di atas sana, tolonglah...''
Suaranya memang sangat lemah, dan ketika kabut itu
pergi, agaknya ia pun ikut pergi. Tubuhnya tergantung dengan
sayap kelelawar yang kuncup. Kepalanya tertunduk, darah
yang semula mengucur dari tempat kedua pedang itu
menancap telah membeku. Tempat ini memang sangat tinggi.
Udara sangat tipis. Kulihat serpihan pada bulu mata, janggut,
dan kumisnya. Saat menolong Amrita yang tak sadarkan diri
waktu itu, kulihat seseorang berkepala botak, kurus kering
seperti hanya tinggal kulit membalut tulang, dengan tubuh
bongkok yang ditutupi jubah. Kini botaknya tampak sedikit
berambut dan jubahnya terlihat berada di dalam, terbungkus
busana hitam yang sewarna dengan sayap hitam kelam
berbulu yang seperti tumbuh alam i antara pergelangan tangan
dan pinggangnya. Ia tidak bersayap dan tidak berselimutkan
kain hitam ketika muncul di pelabuhan. Bagaimanakah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
caranya pendeta Buddha ini mengubah dirinya jadi Pangeran
Kelelawar" Aku menduga ia mengubah dirinya melalui mantra,
tetapi tentu saja aku tidak dapat memastikan.
Ia menggantung di sana, tentu tidak akan terlalu kelihatan
dari bawah. Namun apabila kelak seseorang mendaki tebing
ini, dengan ilmu cicak atau peralatan untuk mendaki, mungkin
Pangeran Kelelawar ini sudah membatu bagaikan sebuah arca
yang dipahatkan langsung pada dinding bukit yang sangat
curam ini. Aku menengok ke atas, Amrita berada di atas sana
katanya. Jadi kedua elang yang kulihat mengelilingi Puncak
Tiga Rembulan tadi siang, bukanlah sepasang elang yang
sedang mengawasi anak-anaknya, melainkan seorang putri
nan indah rupawan tiada terkira. Bahkan dengan segala
ukuran, Puteri Amrita Vighnesvara masih selalu unggul
sebagai wujud kecantikan. Di atas sana, yang jaraknya masih
setengah bagian dari tempat kematian Pangeran Kelelawar,
tidak mungkinkah ia sudah mati kedinginan"
KUINGAT lagi apa yang terjadi ketika berhadapan
dengannya di pelabuhan. Titik lemahnya terbuka karena
jebakan Jurus Penjerat Naga, yang memang akan membuka
bagian terlemah, dan begitu lemahnya sehingga meski hanya
kusentuh saja, tanpa tenaga dalam sama sekali, akan
memberi akibat yang parah, yakni kematian. Namun karena
terhadap Amrita diriku tidak berniat menamatkan riwayat
hidupnya di muka bumi ini, maka sentuhanku itu
sebenarnyalah merupakan selemah-lemahnya sentuhan, meski
tetap saja telah membuat murid Naga Bawah Tanah itu
kehilangan kesadaran.
Tentu aku tidak dapat menjamin apakah ia akan tetap
hidup jika berada di atas sana, apalagi tanpa seorang pun
mengetahuinya, karena kukira mereka memang menyembunyikan diri di sana. Tempat yang tidak akan pernah
didatangi manusia, karena udaranya yang begitu tipis dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
suhu yang sungguh terlalu dingin bagaikan mampu
membekukan darah mengalir. Hmm. Bagaimanakah caranya
aku ke sana secepatnya agar dapat menolong Amrita"
(Oo-dwkz-oO) AKU tidak boleh berpikir terlalu lama. Suhu sedingin ini,
yang bahkan embun pun segera membeku bagaikan salju,
mungkin saja telah menewaskan Amrita sejak lama. Namun
aku tidak dapat mengandalkan ilmu cicak untuk me-rayapi
tiang penyangga langit ini, karena pasti masih akan lama
untuk sampai ke sana. Jika hanya mengandalkan ilmu cicak,
secepat-cepatnya merayap, besok pagi pun belum tentu aku
mencapai puncaknya. Sementara itu, jika aku dengan ilmu
meringankan tubuh berusaha melenting-lenting sampai ke
puncaknya, seperti biasanya jika me layang ke atas jika
bertemu dinding tebing yang curang, kini tiada sesuatu yang
dapat diinjak untuk me lentingkan aku terus menerus sampai
ke atas. Berarti satu-satunya jalan tinggal berlari, berlari
miring sepanjang dinding sampai ke atas, dan jika kutancap
Jurus Naga Berlari di Atas Langit, maka sebelum fajar kurasa
aku sudah akan sampai ke puncak. Masalahnya, kakiku tidak
akan berlari di atas dataran yang rata, karena sesungguhnyalah sepanjang tiang hanyalah serpihan batu
tajam, yang begitu tajamnya sehingga jika kulit manusia
menyentuhnya, meski tenaga dalam telah membuatnya
sekeras besi dan ilmu meringankan tubuh membuatnya
seringan kapas, tetap saja ketajaman serpihan itu akan
menembusnya. Maka, meskipun mampu berlari miring sepanjang dinding
ke arah langit, aku tidaklah mungkin melakukannya jika tidak
ingin telapak kakiku hancur. Angin bertiup lagi bagaikan
membawa bongkahan-bongkahan es. Aku berkutat menahan
dingin. Di sebelahku Pangeran Kelelawar itu membeku. Kulihat
sayapnya yang kuncup, dan aku segera mendapat akal.
Kusalurkan tenaga dalam ke ujung jariku agar dapat
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
memotong selaput kulit yang membentuk sayap kelelawar
tersebut. Satu lembar dari sayap kanan dan satu lembar lagi
dari sayap kiri. Kulit itu nyaris keras seperti batu, tetapi
kusalurkan hawa panas untuk mencairkan es yang telah
membekukannya. Dari selaput kulit yang bukan sembarang
kulit itulah, yakni selaput kulit sayap Pangeran Kelelawar,
kubuat alas bagi telapak kakiku, sehingga aku akan dapat
berlari tanpa terluka sama sekali.
Dengan ilmu cicak, punggungku dapat menempel erat pada
dinding curam sementara kedua tanganku mengerjakan
lembaran-lembaran kulit tersebut, membuat tali daripadanya,
dan mengenakan serta mengikatnya sebagai alas kaki yang
membungkus serta menutupi sampai ke betisku. Meski terikat
secara kasar begitu, selaput kulit tersebut enak jatuhnya di
telapak kakiku dan segera kuketahui, bahwa meskipun selaput
itu tampaknya lemas dan halus, begitu liat dan kuat sehingga
senjata setajam apapun tak akan mampu menembusnya,
seperti juga serpihan-serpihan batu setajam gelas sepanjang
dinding ini tidak akan segaris pun dapat menggoresnya.
Setelah kujejak-jejakkan sebentar, aku merasa yakin, dan
segera melejit berlari miring ke arah langit dengan perasaan
berlari di atas dataran batu. Rembulan bagaikan payung
raksasa keperakan ketika kabut akhirnya kutembus. Fajar
sebentar lagi tiba dan aku berharap cahaya matahari akan
sedikit mencairkan kebekuan Puncak Tiga Rembulan yang
bagai tidak tertahankan ini. Aku yang berlari dengan Jurus
Naga Berlari di Atas Awan ini saja, yang artinya melakukan
pengerahan tenaga dalam, masih merasa kedinginan begini
rupa, lantas bagaimana pula dengan Amrita yang hanya
tergeletak saja dalam kesendirian di atas sana"
Ternyata berlari miring ke atas pada dinding curam Puncak
Tiga Rembulan ini bukanlah hal terakhir yang bisa kulakukan
sebelum dapat mencapai Amrita.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
SETENGAH perjalanan dari tempat Pangeran Kelelawar
tertancap dua pedang pada dinding batu, artinya tiga
perempat bagian jika dihitung dari bawah, saat rembulan
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memudar dan matahari menyingsing, kedua elang gunung
abu-abu yang pernah kulihat terbang berputar-putar di
puncaknya itu muncul dan menyambarku silih berganti. Bahwa
kedua elang itu bukanlah elang sembarang elang segera bisa
kuketahui dari kecepatan sambaran, kekuatan angin
sambarannya yang mendesau, dan keras patukan, cakar, dan
kibasan sayapnya yang bahkan menghancurkan batu-batu.
Tiada pernah kuduga betapa dalam perjalananku sebagai
pencari kesempurnaan dalam dunia persilatan, harus kuhadapi
sepasang burung elang terganas dengan sayap-sayap besi,
yang memaksaku mengerahkan segenap jurus yang tidak
pernah kupakai, karena memang tidak pernah mendapat
serangan dalam bentuk seperti ini. Dalam kemiringan dinding
curam, aku bertarung melawan dua burung elang ketika
cahaya matahari melesat dengan cahayanya yang berkilauan,
membuat ketiga tiang raksasa Puncak Tiga Rembulan
berkeretap dalam cahaya keemas-emasan.
(Oo-dwkz-oO) Episode 107: [Panah-panah Asmara]
BURUNG-BURUNG elang kelabu dengan kekuatan sayap
sekeras besi. Hmm. Keduanya tentu diperintahkan Pangeran
Kelelawar yang telah tertancap kedua pedang hitam di bawah
itu untuk menyerang siapa pun yang menuju ke atas, untuk
melindungi Puteri Amrita yang belum kuketahui nasibnya.
Apakah kedua elang yang sungguh-sungguh perkasa itu harus
juga kubunuh" Namun jika tidak kubunuh, tentu bukan hanya
aku yang akan mati terbunuh, melainkan juga Puteri Amrita
akan semakin jauh dari pertolongan meski aku sendiri belum
tahu pasti pertolongan macam apa yang dibutuhkannya. Ia
bisa menjadi lemah takberdaya, dan agaknya bahkan takbisa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
disembuhkan oleh kesaktian Pangeran Kelelawar, karena
sentuhanku di tempat yang terlemah, tetapi bisa pula
terutama akibat pembelajaran dari kitab curian.
Aku belum tahu, karena itu aku menjadi semakin
penasaran, dan karena itu haruslah kuselesaikan kedua
burung elang pengawal ini. Namun membunuh kedua elang ini
bukan perkara mudah, bahkan sebaliknya adalah mereka
berdua yang berkemungkinan lebih besar untuk membunuhku,
karena ruang pertarungan ini adalah ruang mereka dan bukan
ruangku. Mereka selalu me layang-layang di Puncak Tiga
Rembulan ini, tetapi aku baru untuk kali pertama tiba di sini,
setelah semalaman bertarung melawan Ilmu Silat Kelelawar
yang ajaib itu. Namun bahwa sebelum menghadapi kedua
burung elang ini aku telah menghadapi Pangeran Kelelawar,
dan bahwa dalam pertarungan itu telah kugunakan Jurus
Bayangan Cermin untuk menyerap Ilmu Silat Kelelawar,
ternyata sangat berguna untuk membaca dan menghadapi
berbagai bentuk serangan kedua burung elang itu.
Mereka terus menyerbu bergantian dengan sambaran
cakar, paruh, dan kibasan sayap yang sangat berbahaya. Aku
hanya dapat bertahan dengan kedua kaki menempel dan tentu
tidak bisa lama-lama bertahan dengan kedudukan seperti itu.
Serangan mereka bukan jurus manusia, jadi tidak bisa
dihadapi dengan jurus-jurus silat yang dipelajari dari
pengamatan terhadap burung elang. Ilmu Silat Kelelawar
tidaklah mengamati gerak kelelawar dari luar, melainkan
menyerap segenap sifat gerakannya dengan menghayati
kehidupan kelelawar itu sendiri, sehingga jurus-jurusnya tetap
bersifat kelelawar yang mampu berkelebat dengan mata
tertutup dalam kegelapan. Namun Ilmu Silat Kelelawar itu
hanya mungkin dimainkan dengan sempurna jika pelakunya
bersayap kelelawar seperti Pangeran Kelelawar.
Maka sungguh kupertaruhkan nyawaku ketika kujejakkan
kakiku ke dinding, melepaskan diri dari ilmu cicak, meluncur
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dengan kecepatan sangat tinggi seperti gerak kelelawar
menyambut serangan elang itu, menghindari sambarannya
tetapi meminjam tubuhnya untuk kujejak agar bisa melenting
ketika sambaran elang yang satu lagi datang. Aku bisa
melayang karena gerakanku sangat cepat, yang berarti aku
dapat bergerak banyak sebelum tubuhku mestinya jatuh ke
bumi. Bukankah ini yang dilakukan anak-anak desa, jika
mereka memperagakan gerak indah ketika meloncat dari atas
tebing, sebelum jatuh ke bawah, di sebuah kolam, sungai,
atau air terjun"
Sebelum itu terjadi aku dapat menjejak punggung burung
itu agar dapat me lenting, sama seperti aku biasa melenting
meski hanya menjejak pucuk-pucuk daun, tetapi kali ini
melenting agar dapat menghindari serangan burung elang
yang datang kemudian.
BURUNG elang yang datang kemudian ini berkelebat
dengan cakarnya dan mengibaskan sayapnya sepenuh tenaga,
tetapi yang hanya menyambar udara karena seperti setiap
kelelawar aku pun kini dapat menghindarinya. Saat itulah
kujejakkan kakiku ke punggungnya sebagai tendangan maut
yang langsung mematikannya, sekaligus mendorong diriku
sendiri kembali kepada burung elang yang sebelumnya telah
menyerangku. Aku tak bersayap, tetapi kelelawar pun tidak selalu
melayang dengan cara mengepak, melainkan seperti
menjatuhkan diri dan hanya menggunakan sayapnya itu
sebagai kemudi yang akan menentukan arahnya. Itulah yang
kulakukan dengan berbagai cara meliukkan tubuhku, sehingga
dalam sekejap aku telah berada di atas burung yang masih
terdorong oleh jejakanku sebelumnya, hanya untuk kujejak
sekali lagi, tetapi kali ini sebagai tendangan maut yang juga
menamatkan riwayatnya.
Dengan daya dorong tendangan itu aku kembali meluncur
menuju dinding, untuk langsung menempel kembali seperti
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
cicak. Kulihat kedua elang perkasa yang dengan sangat
menyesal harus kutewaskan itu me layang jatuh ke bawah
tanpa nyawa lagi. Meninggalkan sejumlah bulu yang
beterbangan dan menyusul jatuh dengan lebih lamban karena
angin dingin yang membuatnya melayang-layang.
(Oo-dwkz-oO) BERAPAKAH tinggi tiang raksasa yang seolah menyangga
langit ini" Aku tidak tahu. Apabila kemudian tiang yang
menjadi bagian dari Puncak Tiga Rembulan ini menembus
mega, aku kembali berlari miring ke atas hanya dengan
mengandalkan perasaanku saja, karena dalam kenyataannya
sepanjang mata memandang aku tidak dapat melihat apa pun
lagi, kecuali cahaya demi cahaya. Lapis demi lapis cahaya
keemasan dari pagi yang sudah penuh sehingga tempat
rembulan diganti matahari membuat segalanya hanyalah
cahaya menyilaukan. Selepas mega hanya cahaya di atas
dinding keemasan sehingga hanya kakiku yang telah
terbungkus selaput kulit sayap kelelawar dapat merasakan
jalan ke atas dan hanya ke atas, tiada lain selain ke atas,
tempat kuyakini terdapatnya Amrita di atas sana dalam
keadaan siap kehilangan nyawa.
Bayangan betapa Amrita terkapar di sana dalam keadaan
lemah membuat aku mengerahkan segala daya untuk melejit
ke atas tanpa terbendung lagi. Suhu memang tetap dingin,
tetapi cahaya matahari menembus butiran-butiran udara dan
berjuang mencairkan kebekuannya. Begitulah cahaya menjadikan dirinya sendiri sebagai harapan, berkilauan, dalam
bentangan cahaya menyilaukan, ketika matahari bagaikan
suatu payung cahaya di atas sana, yang tak mungkin
kupandang berlama-lama, sehingga aku terus berlari tetapi
sambil memejamkan mata. Dalam kecepatan tinggi kutancap
ilmu pendengaran Mendengar Semut Berbisik di Dalam
Lubang, sekadar untuk memastikan pijakan berdasarkan desir
angin yang menyapu sisi tiang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Berlari miring menuju ke atas tidaklah sama dengan berlari
dalam keadaan biasa di tanah datar. Meskipun telah
kugunakan Jurus Naga Berlari di Atas Langit yang membuat
diriku sangat ringan dan mampu melesat seperti kilat, tetapi
berlari pada dinding tegak lurus dengan ketinggian seperti itu
menuntut pengerahan tenaga dalam yang lebih besar dari
pertarungan selama berhari-hari. Mengerahkan tenaga dalam
tanpa lawan seperti ini, aku berhadapan dengan segala
kelemahanku sendiri. Makin ke atas makin tertantang daya
tahanku sendiri. Hanya kesunyian kini, menembus dingin
dalam sepuhan matahari.
biasakanlah menganggap bentuk dunia
sebagai sunyata
tak terlihat bentuk badannya
demikianlah uraian
tentang bentuk yang ditangkap
dan bentuk yang menangkap
Mendadak saja kakiku lepas dari segala jejakan. Melenting
ringan ke atas bagaikan telah diluncurkan oleh pengerahan
tenaga sejak dari bawah. Aku meluncur ke atas, tapi kemudian
berhenti dan melayang turun perlahan-lahan seperti tubuhku
lebih ringan dari sesobek kapas.
Dari atas kulihat sa lah satu dari Puncak T iga Rembulan itu,
yang tengah tepatnya, sebuah dataran batu melingkar tempat
sesosok tubuh berbalut selimut kulit kambing sedang
berbaring di atasnya. Itulah Puteri Amrita yang terkapar tanpa
daya, tetapi ia masih berada jauh di bawah sana, karena aku
melayang turun dengan sangat pelahan-lahan.
Di dekatnya kulihat sisa unggun kayu yang sudah tidak
menyala lagi. Tentu yang kemudian kukenal sebagai Pangeran
Kelelawar itulah yang sangat mungkin telah membawa kayu
bakar itu ke atas. Jika perlu sete lah digandakannya diri
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
menjadi tiga, sehingga ia tidak perlu naik dan turun lagi
beberapa kali. Aku turun perlahan-lahan seolah-olah tubuhku
bergantung kepada sebuah payung, tetapi aku turun tanpa
payung dan tetap saja turun perlahan-lahan sehingga dapat
menikmati pemandangan, nun sampai ke batas cakrawala di
sekitarnya. Hutan, jurang, dan persawahan, disusul pemukiman, dan gugusan candi-candi. Kulihat semuanya dari
atas, kerbau yang digunakan untuk membajak, orang-orang
menanam bibit, iring-iringan pendeta Buddha menuju ke
tempat upacara, kerumunan atas tontonan, sejumlah orang
memasang puncak candi, mengangkut batu, dan juga harimau
yang mengejar kijang.
Kulihat sungai besar yang cokelat dengan anak-anak
sungainya. Perahu-perahu yang menyusurinya dalam kesunyian, pemukiman yang dilewatinya, dan anak kecil
berlari-lari di tepian. Kadang kulihat juga seorang perempuan
dengan rambut terandam dengan dada terbuka berjalan
sendirian dengan barang bawaan di atas kepala di jalan
setapak di atas bukit. Dari atas terlihat betapa terpencilnya
Puncak Tiga Rembulan dengan segala kesulitan untuk
mencapainya. Namun bersama dengan itu tampaklah pula
betapa Puncak Tiga Rembulan ibarat sebuah tempat yang
tidak seharusnya berada di atas bumi karena seperti turun dari
langit di bumi yang lain.
Pada tiang yang berada di tengah dari Puncak Tiga
Rembulan itulah Amrita tergolek berbalut selimut dalam
sapuan cahaya keemasan. Puncak tiang adalah dataran batu
nan hitam melingkar yang panjang jari-jarinya sekitar
limapuluh langkah, tetapi dari atas kulihat Amrita bagaikan
sedang tidur di atas ranjangnya sendiri. Ia berbalik ke sana
dan kemari, lantas meregangkan tangan, dan membuka mata.
Kukira ia langsung melihatku yang sedang melayang-layang
turun, karena meskipun jarak kami masih terlalu jauh,
bagaikan terasa olehku betapa ia tersenyum. Semakin dekat
jaraknya, semakin tampak kepadaku wajahnya sebagai wajah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang mungil. Wajah penuh kemurnian yang akan membuat
siapapun lupa betapa Amrita Vighnesvara selain berarti dewi
pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebetulnya juga berarti
dewi penghancur.
Aku melayang turun semakin dekat, dan perasaanku
memang tidak keliru jika merasa ia tersenyum kepadaku. Aku
tidak hanya merasakannya sekarang, tetapi juga melihatnya.
Matahari membuat Amrita bagaikan bongkahan emas di
tengah batu hitam. Angin nyaris membawaku kepada tiang
Puncak Tiga Rembulan yang di sebelahnya, tetapi
kukemudikan diriku dengan cara menyapu udara agar tetap
mengarah kepada Amrita. Semakin jelas bahwa ia memang
tersenyum. Perempuan pendekar yang semula kuhadapi
dengan pertaruhan nyawa itu, yakni pertarungan yang
mengizinkan pembunuhan, kini menyambutku dengan
pandangan kekanak-kanakan yang murni. Apakah itu benar
suatu kemurnian, ataukah jebakan terakhir seorang petarung
yang dengan segala cara ingin menang"
Itulah masalahnya dengan pertarungan para pendekar,
apakah pertarungan hanya sahih di dalam gelanggang,
ataukah dunia ini dianggap sebagai gelanggang pertarungan
itu sendiri, tempat siapapun yang kurang waspada dapat
tewas seketika karena serangan rahasia" Aku telah sampai
kepada jarak tempat bisa kukirimkan angin pukulanku
sekarang juga, karena sudah terlalu sering kudengar cerita
tentang perempuan di balik selimut seperti itu, yang bagaikan
menanti dengan penuh hasrat tetapi di balik selimutnya
menggenggam belati melengkung siap menikam.
AKU turun semakin dekat, sedikit kuberatkan tubuhku agar
diriku tidak kabur dibawa angin. Jadi dalam ilmu meringankan
tubuh sebetulnya terdapat jurus pemberat badan, bahkan
pernah kudengar cerita tentang seorang pendekar yang
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai ilmu pemberat badan, sehingga tubuhnya
bergeming begitu rupa bagaikan seonggok batu gunung ketika
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
menghadapi barisan gajah. Namun tentang hal itu biarkanlah
kuceritakan nanti karena di bawah itu kulihat Amrita yang
tergeletak di dalam selimut tampak pucat, begitu pucat,
sangat pucat, bagaikan tiada lagi yang lebih pucat. Aku heran,
mengapa tidak ada yang bisa dilakukan Pangeran Kelelawar
itu untuk menolongnya" Tidakkah semestinya dengan
penyaluran tenaga dalam maka Amrita dapat setidaknya
terhangatkan dan bertahan di atas Puncak Tiga Rembulan
yang betapapun memang dingin tak tertahankan itu"
Manusia biasa boleh membeku, tetapi untuk apa para
pendekar memiliki tenaga dalam, jika tidak dapat menahan
dingin melalui olah pernapasan mereka yang boleh dikatakan
nyaris sempurna" Aku turun tepat di hadapan Amrita dan ia
tetap saja hanya tersenyum, tetapi kini dengan air mata
berlinang-linang... Aku mendekatinya dan memegang urat
nadi di tangannya.
"Bagaimana keadaanmu?" aku bertanya dalam bahasa
Sansekerta. Sekali lagi ia hanya tersenyum lemah dengan air mata
mengalir ke pipi. Astaga. Ia tidak dapat berbicara! Apakah
yang telah terjadi"
Maka segera kulakukan penyapuan dengan tenaga prana
ke seluruh tubuhnya. Penyapuan adalah cara pembersihan,
tetapi juga dapat digunakan untuk memberi tenaga dan
membagikan kelebihan prana. Pembersihan yang dilakukan ke
seluruh darah dan daging tubuh disebut penyapuan umum,
sedangkan yang berada di bagian tubuh tertentu disebut
penyapuan setempat. Kulakukan penyapuan umum ke seluruh
tubuh Amrita. Kubuka selimutnya, lantas kucakupkan tangan
dalam jarak sejengkal di atas kepalanya. Aku tidak
menyentuhnya, tetapi mempertahankan jarak yang lebih
rendah lagi di seluruh tubuhnya ketika tanganku bergerak
menyapu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan tangan tetap melengkung, kusapukan tanganku
perlahan-lahan ke bawah dari kepala ke kaki mengikuti suatu
garis, kemudian kembali sampai ke lutut, lantas membuang
limbah pembersihan itu ke bawah kaki. Begitulah diulang
berkali-kali dengan cakupan kedua tangan yang setiap kali
mengulang diperlebar jaraknya. Setiap kali limbah pembersihan memang harus dibuang ke bawah kaki, untuk
menghindari agar tidak masuk lagi dan menjadi racun ketika
tangan kembali naik ke tubuh bagian atas. Jika tidak
dilakukan, bahkan tubuhku sendiri akan keracunan oleh
limbah penyapuan itu, yakni bahwa jari-jariku sendiri, juga
tangan dan telapak tangan, akan menjadi sakit dan tubuh
melemah, akan mengalami kesakitan yang sama seperti
Amrita. Lantas kubalikkan tubuhnya, kusapu lagi dengan tangan
tetap berjarak dari tubuhnya pada punggung ke bawah,
dengan cara yang masih sama. Kupusatkan perhatianku dan
kuteguhkan niatku, karena hanya dengan pendekatan ini
penyapuan akan berhasil. Setelah semua limbah terbuang ke
bawah kaki, Amrita pun tertidur. Untuk itu kulakukan gerakan
untuk membangunkannya kembali, dengan menyapukan
kembali tangan ke atas, tetapi yang tidak lagi untuk
melakukan pembersihan. Jika tadi limbah belum kubuang ke
bawah kaki, limbah itu akan terbawa kembali saat tangan
bergerak kembali ke atas, dan bisa berpindah atau menetap di
daerah kepala, sehingga membuatnya bertambah sakit.
Penyapuanku itu telah menutup prana yang bocor. Agaknya
dalam usaha penyembuhan Amrita, ketika menyalurkan
tenaga dalamnya Pendekar Kelelawar tidak melakukan
penyapuan dalam tubuh Amrita lebih dahulu. Sentuhanku
pada titik terlemah yang menjadi terbuka karena Jurus
Penjerat Naga telah membuka lubang yang dilalui prana yang
bocor. Tanpa menutup lubang itu, penyembuhan sangat
lambat, meskipun Amrita diberi daya dengan prana, karena
prana hanya akan bocor keluar. Ini yang membuat kesakitan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dan kelemahan akan kembali, hanya beberapa saat sesudah
disembuhkan atau tenaganya dikembalikan.
BEGITU lemahnya Putri Amrita sehingga ia tidak dapat
berbicara. Betapapun kelak kuketahui betapa Amrita sendiri
tidak pernah mengampuni musuh-musuhnya, kurasa aku sama
sekali tidak menyesal telah menyembuhkan dia. Sebaliknya,
tidak dapat kubayangkan apa yang akan terjadi jika di Puncak
Tiga Rembulan ini nyawanya pergi tanpa sempat kutolong lagi.
Amrita membuka mata, dan segera terasakan adanya suatu
getaran dalam dadaku. Ia mengulurkan tangannya dan
kusambut tangan itu, yang ternyata ketika tersentuh begitu
lembut seperti kapas. Itulah tangan terindah yang pernah
kutemui di dunia ini, dengan jari-jari kecil yang bagaikan
begitu mudah terkulai, dengan kuku-kuku bening di atas kulit
kuning nan langsat, yang kini keemasan karena cahaya
matahari. Kuangkat tangan kiriku dalam kedudukan
Menggapai Langit dalam penyerapan prana matahari, sebagai
chakra yang menyalurkannya ke tubuh Amrita melalui tangan
kananku. Ia pun lantas memejamkan mata lagi, tetapi tidak
untuk tidur melainkan agar prana mengalir ke dalam dirinya
dengan lancar. Namun kami hanyalah dua manusia saja di Puncak Tiga
Rembulan yang sunyi dengan angin yang bertiup dingin dan
sangat menggigilkan. Apakah yang harus menjadi alasan bagi
kedua manusia itu, yang seorang lelaki dan yang lain
perempuan, untuk tidak berbagi kehangatan" Aku memegang
tangannya yang lembut halus mulus dengan maksud
memberikan penyembuhan, tetapi tidaklah kuingkari betapa
aku merasakan getaran manakala tangannya menyambutku
dengan tatapan berbinar penuh kebahagiaan. Pikiran bahwa
perempuan ini telah dan akan membunuh siapa pun yang
kiranya dia anggap lawan menguap dari kepalaku. Aku hanya
merasakan getaran, semacam kebahagiaan, yang tidak kutahu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
namanya dalam perbendaharaan bahasa, karena tentulah ada
kata lain selain asmara...
Matahari bersinar terang, tetapi apakah yang masih
diharapkan dari sebuah tempat di ketinggian yang begitu
tingginya sehingga menembus mega-mega bagaikan tempat
dewa-dewa bersemayam" Namun tidak ada dewa-dewa di
sini, hanya kami berdua yang sedang berbagi kehangatan
dengan tenaga prana, yang jika untuk pertama merupakan
penyembuhan, maka yang kedua dengan prana matahari
terang cuaca, adalah mengembalikan kekuatan. Demikianlah
wajahnya yang semula pucat kini kembali bersemu merah,
yang kemudian mengalir ke dadanya, ke perutnya, lantas
kedua kakinya. Ia masih memejamkan mata, dan kulihat wajahnya
tersenyum, tetapi ini bukanlah senyuman seperti yang kulihat
pertama kali dengan air mata membasahi pipi itu. Ini adalah
senyuman karena memikirkan sesuatu yang menggelikan,
mungkin membahagiakan, tetapi aku lebih merasakannya
sebagai rencana petualangan.
Amrita yang pucat tanpa darah dan tidak berdaya tentu
berbeda dari Amrita yang telah memiliki kembali segenap
kekuatannya. Lubang kebocoran prana kutahu sudah tertutup,
tiada lagi masalah bagi Amrita, meski matanya masih terpejam
dengan tangan tetap memegang tanganku. Sebaliknya, kini
kurasakan kehangatan tertentu merasuki seluruh tubuhku.
Apa yang harus kulakukan di puncak tertinggi tanah Khmer ini,
dengan seorang perempuan terkapar yang telah kusingkapkan
selimutnya, tertatap dadanya, dan masih mengenakan busana
seperti yang kusaksikan di pelabuhan, yakni terbuat dari cita
nan tembus pandang"
Di Puncak Tiga Rembulan ini, aku hanyalah seorang lelaki
yang sendirian saja, jauh di tanah terasing dan tiada
mengenal seorang pun dalam perjalanan dari keterasingan
yang satu ke keterasingan yang lain, tetapi kini seorang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
perempuan muda yang indah, perkasa, serta matang
tubuhnya tergolek dan terbuka di hadapanku. Amrita meremas
tanganku, kuremas pula tangannya. Tangannya menarikku
dan tidak kulawan sama sekali sehingga aku terjerembab di
atas tubuhnya. Kedua tangannya menekan punggungku dan
aku tidak bisa bergerak lagi karena kedua kakinya menjepit
dan mengunci pinggangku.
''Pendekar Tanpa Nama,'' katanya dalam bahasa Sansekerta, ''salurkanlah tenaga prana dari mulutmu melalui
mulutku....'' Maka bibirnya pun segera mengunci bibirku. Aku tidak
berdaya, tetapi sungguh aku menyukainya.
(Oo-dwkz-oO) Episode 108: [Jibvayuddha]
DALAM Kama Sutra terdapat istilah jibvayuddha yang
artinya adalah Pertarungan Lidah, tetapi yang memiliki
ketentuan bahwa pasangan lelaki dalam percintaan ini tidak
berkumis. Maka ketika percintaan yang kesekian akan dimulai
kembali, sebelumnya Amrita ingin mencukur seluruh bulu yang
berada di wajahku.
''Datanglah kemari Pendekar Tanpa Nama, tidurlah
terlentang di pangkuanku, biar kubersihkan wajahmu,''
katanya. Di tangannya telah tergenggam sebilah pisau, yang
biasanya digunakan sebagai satu dari sederetan pisau terbang
pada ikat pinggang. Aku tahu pisau seperti itu ketajamannya
luar biasa, bahkan besi pun jika tidak dilambari tenaga dalam
akan ditembusnya. Dengan pisau itu, ketika aku terlentang di
pangkuannya sementara ia mencukurku, tentunya ia bisa
menggorok leherku sampai putus, tetapi ujian bagi seorang
pecinta kukira justru datang pada saat-saat seperti ini: Apakah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
ia mencintai perempuan itu begitu rupa sehingga rela
dibunuhnya, ataukah cintanya sebatas kehangatan bara yang
menyala hanya ketika percintaan membakarnya" Masalahnya,
sebagai pendekar, seberapa besarkah nyaliku menghadapi
pisau setajam itu di bawah urat leherku"
Kini aku tahu apakah itu pertarungan dalam arti
sebenarnya, yakni kemampuan untuk menaklukkan ketakutan
dan keraguan dalam diri sendiri. Maka aku pun merebahkan
diri kepangkuannya. Udara masih dingin. Amrita membungkus
dirinya dengan selimut kulit kambung, dan aku dengan kain
sekadar penahan dingin yang kini mesti menahan dingin udara
yang sangat tidak sekadarnya.
''Masuklah kemari,'' Amrita berkata sambil membuka
selimutnya, dan kulihat segalanya di dalam sana.
Aku bergulir satu kali dan masuk ke sana. Tinggal kepalaku
di luar selimut itu, siap dibersihkan seluruh bulunya oleh
Amrita yang ingin memberlangsungkan jibvauddha sesuai
petunjuk Kama Sutra.
Ia mulai mencukur. Angin kencang dan dingin. Bunyinya
sangat berisik, seperti bunyi ribuan orang yang bersiul tetapi
tidak bersama-sama. Untuk mencukur wajahku, ia hanya
membutuhkan sekali sapuan dan tak perlu mengulang supaya
licin bagaikan batu pualam. Namun saat semuanya sudah
bersih, ternyata pisau itu tidak beranjak pergi, melainkan tetap
berada di leherku.
Aku tertegun, tetapi bersikap diam, seolah tidak sadar
bahwa pisau itu sengaja berhenti di sana. Wajah Amrita
muncul di atas kepalaku. Rambutnya begitu wangi dan jatuh
pula pada wajahku.
''Dikau pikir akan daku potongkah kepala yang wajah
seramnya telah daku ubah menjadi manis ini"''
Dilemparkannya pisau itu, lantas ia bergulir ke atas
tubuhku. Wajah kami berhadapan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Dikau sudah tak berkumis, sekarang kita mulai dari depan.
Ini tentang ciuman. Ciuman bisa dilakukan pada kening, pipi,
leher, mata, dada lelaki, ...,'' ujarnya sambil melakukan semua
itu. Aku diam saja, karena ketika melakukannya ia memang
terus berbicara seperti memberikan pelajaran.
''Vatsyayana berkata, tidaklah mungkin menghitung bagian
tubuh tempat seseorang dapat menempatkan bibirnya.''
Begitulah lagi-lagi sambil mengatakannya ia pun melakukannya, dan lenyap ke balik selimut bulu kambing yang
hangat itu. Kupandang langit yang biru di atasku, bagaikan
tiada lagi yang lebih biru dari kebiruan langit yang paling biru.
Mega-mega lewat bagaikan terlalu cepat. Aku teringat
cerita Harini tentang Kama Sutra bagian yang ini, bahwa
menurut Vatsyayana, ketika ciuman memegang peran untuk
menimbulkan rasa tertarik, lebih baik diiringi cakaran dan
gigitan. Adalah keliru jika percaya bahwa selama saat-saat
awal tidak ada aturan. Selama seseorang mempertahankan
kepekaannya, ia akan peduli kepada yang dilakukan
pasangannya. Baru kemudian segalanya akan lepas...
Itulah kata Vatsyavana, dan ketika memikirkannya aku lupa
sejenak perilaku Amrita di dalam selimutnya.
di bawah kata raga
Vatsyavana mengkaji laku percintaan
di seluruh dunia
ia menyebut raga sebagai tingkat kelima
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari kehendak yang disebut rati
pada tahap awal sekali
ketika kehendak meningkat
namanya prema seperti panas matahari melelehkan mentega
begitulah cinta melelehkan chitta
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dan membentuk sneha
meningkatnya kemesraan mengundang mana
pertimbangan menumbuhkan pranaya
pada saat kepercayaan diri mutlak
berkembanglah raga
dan pada tingkat tertinggi
tercapailah anuraga
Beratlah bagiku mengatasi Amrita. Kurasa kancutku pun
sudah tidak jelas lagi berada di mana.
"Amrita, jangan...," kataku dalam bahasa Sansekerta, tetapi
ia seperti tidak akan mengenal bahasa mana pun di dunia.
Sepanjang pagi sepanjang siang sampai sore hari, Amrita
menyusuri urutan petunjuk-petunjuk Kama Sutra yang
dikuasai di luar kepala. Aku tidak bisa diam saja, karena
keberpasangan ini menuntutku untuk mencari pada tubuh
Amrita apa yang dalam bahasa Sansekerta disebut sebagai
nabhimula, urusandhi, dan pedu.
Harus kuakui betapa kunikmati percintaan dengan Amrita,
tetapi harus kuakui dengan jujur pula betapa perasaan
bersalahku karena pengkhianatan terhadap Harini nun di desa
Balinawang di Jawadwipa sana terus memburu, sehingga
barangkali saja Amrita merasakan keraguanku. Namun ia
tampaknya tidak mau menyerah, dengan seluruh kemampuannya ia berusaha membuat aku lupa, entah siapa
berada di Jawadwipa sana yang telah mengisi hati dan
pikiranku, meski tetap tiada berdaya menyambut kehendak
tubuh untuk melayani Amrita, di atas Puncak Tiga Rembulan
yang menyediakan hawa dingin, yang diperdingin, begitu
dingin, sehingga percintaan bagaikan suatu kewajiban,
dibandingkan kematian yang tampaknya mungkin saja
mencengkeram tiba-tiba, mengingat perubahan suhu yang
memang bisa sangat amat mendadak datangnya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan perasaan bersalah kulayani Amrita, dengan pikiran
yang terus menerus melayang ke desa Balinawang. Apakah
perasaan bersalahku akan berkurang, jika kubayangkan saja
Harini" Sepuluh tahun lebih telah berlalu semenjak kami
berpisah. Dulu usiaku 15 tahun dan Harini sepuluh tahun lebih
tua daripadaku. Dari Harini untuk kali pertama kukenal
segenap isi Kama Sutra dan dari perempuan yang saat itu
bagiku sungguh sempurna tersebut kukenal apa artinya
memiliki tubuh dengan segenap kemungkinan yang bisa
diberikannya dalam permainan asmara.
Kusingkap selimut. Hari telah menjadi malam dan tanpa
Amrita di atas Puncak T iga Rembulan yang menembus mega-
mega ini tidak bisa kubayangkan nasib tubuhku dalam
kedinginan dan kesepian. Kubayangkan Harini, tetapi jiwa dan
badan seorang lelaki 25 tahun agaknya tidak terlalu sama
dengan remaja ingusan 15 tahun. Jika dari Harini ibarat
kuterima pelajaran dan percobaan, dari Amrita dapat
kunikmati seninya percintaan.
BERBARING berdampingan, aku dan Amrita memandang
rembulan yang terlalu terang, terlalu lebar, terlalu besar, dan
bagaikan sungguh-sungguh terlalu dekat karena Puncak Tiga
Rembulan ini memang bagaikan menyangga rembulan dan
untunglah bagaikan saja, sebab jika tidak tiadalah dapat
kubayangkan kekacauan semesta yang telah menyebabkannya. Namun memang rembulan tampak seolah-
olah begitu dekat, bagaikan payung jamur di atas langit dunia
kami. "Dikau lihatkah rembulan yang tampak seolah-olah begitu
dekat bagaikan payung jamur di atas langit dunia kita, wahai
Pendekar Tanpa Nama yang gagah perkasa dari Jawadwipa?"
"Ya daku lihat rembulan yang tampak seolah-olah begitu
dekat bagaikan payung jamur di atas langit dunia kita, wahai
Putri Amrita Vigneshvara yang tiada duanya yang belumlah
kuketahui asal usulnya."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pada saatnya dikau akan mengetahui juga siapa diriku,
karena di tanah Khmer semua orang terlalu tahu siapakah
daku meski belum pernah bertemu. Katakanlah dahulu
kepadaku, adakah tempat di Jawadwipa yang membuat kita
dapat memandang rembulan seperti sekarang?"
Kucoba mengingat-ingat segala tempat yang pernah
kulewati di Jawadwipa, kurasa memang tidak ada tempat yang
keajaibannya seperti Puncak Tiga Rembulan sekarang ini,
meski kutahu banyak keajaiban lainnya. Puncak Tiga
Rembulan memang bagaikan tidak berada di dalam dunia.
Namun kalau tidak berada di dalam dunia lantas sekarang ini
aku berada di mana" Tentu saja aku tidak dapat menjawab
pertanyaanku sendiri. Jika memang Puncak Tiga Rembulan
ketinggiannya menembus mega-mega, kukira semenjak masih
berada di tengah lautan di Teluk Siam, dari atas kapal pun
semestinya sudah dapat kulihat ketiga puncak yang dapat
membuat suatu gambaran menjadi tiga dalam wujud benda
nyata ini. Namun bukankah Puncak Tiga Rembulan ini
memang ada, begitu nyata seperti aku kini sedang tidur
terlentang di atas salah satu puncaknya, memandang
rembulan yang begitu luas, sangat luas, dan amat sangat
luasnya sehingga tiada dapat kulihat tepi-tepinya karena
agaknya memang sudah begitu dekatnya, sangat amat dekat,
dan tentu saja terlalu dekat, meski aku merasa terlalu tenang
dan memang tenang-tenang saja bagaikan tidak ada sesuatu
yang memang perlu membuat aku merasa tidak tenang.
"Tidak ada rembulan seperti ini di Jawadwipa, wahai
Amrita, meski rembulan yang berada di sana adalah rembulan
yang ini juga."
"Tetapi jika memang rembulan yang ini juga, dan sekarang
begitu dekat dengan kita, bagaimanakah mereka saat ini
dapat melihatnya?"
Dalam cahaya bulan yang terang keperakan, kucari tanda
adakah Putri Amrita, murid kesayangan Naga Bawah Tanah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang tidak pernah memperlihatkan dirinya, memang
bersungguh-sungguh dengan kalimatnya.
Ketika tertatap olehku kedua matanya, kulihat cahaya
cemerlang mengertap dan berkeredap penuh kebahagiaan.
Kutahu ia tidak memerlukan jawaban, karena lantas memeluk
dan menciumku kedua pipiku seperti seorang ibu menumpahkan perasaan kepada anaknya.
Putri itu lantas menggamit tanganku dan memperhatikannya.
"Tangan dikau begitu halus," katanya, "seperti bukan
tangan pendekar."
"Seperti apakah kiranya tangan pendekar itu menurut
pendapat dikau, wahai murid Naga Bawah Tanah yang sakti
mandraguna" Bukankah tanganmu sendiri selembut kapas,
bagaikan tangan bayi yang belum pernah menyentuh apa pun
selama hidupnya?"
Kami saling berpandangan, dan tersenyum penuh
pengertian, karena memang hanya mereka yang belajar silat
dengan tenaga kasar akan menjadi kasar telapak tangannya.
Mereka melatih diri dengan memukul batu, memasukkan
tangan ke pasir panas, atau memukul-mukul karung goni
berisi entah apalah yang membuat tangan kapalan begitu rupa
sehingga kulit seolah-olah bisa dikupas tanpa terasa.
Aku jadi teringat masa latihanku sendiri. Meski tidak
memukul batu dan menohok pasir panas, juga tidak bisa
dibilang ringan. Aku teringat ketika pasangan pendekar yang
mengasuhku itu melatihku dengan cara seperti ini, yakni harus
berdiri di atas gelondongan batang pohon yang licin di tengah
sungai, dan aku harus terus menerus tetap bisa berdiri
meskipun batang pohon itu bukan saja licin sekali tetapi juga
terus menerus berputar. Bisakah dibayangkan bahwa dalam
keadaan seperti ini mereka berdua masih menghamburiku
dengan pisau-pisau terbang pula"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
AKU teringat betapa bisa lama sekali diriku mesti bertahan
agar tetap dapat berada di atas batang kayu. Meski tidak lagi
melempar pisau terbang, pasangan pendekar itu menetapkan
aku tetap harus berada di atas batang kayu yang berputar-
putar itu. Mereka bahkan akan pergi meninggalkan diriku dan
tidak mau tahu, dalam keadaan apa pun aku harus tetap
mampu berdiri di atas batang kayu di tepi sungai tersebut.
Tentu saja pada mulanya, apalagi untuk kali pertama ,
jangankan untuk berdiri di atasnya dan meloncat-loncat
menghindari siraman pisau-pisau terbang pula, sedangkan
untuk mampu naik ke atasnya saja luar biasa susahnya. Sekali
aku dapat menaiki pohon itu, aku sama sekali tidak bisa
berdiri, melainkan hanya berbaring saja memeluknya, karena
setiap kali mencoba berdiri langsung jatuh ke sungai dan
harus merayap kembali.
Batang pohon itu sendiri memang sudah lama berada di
sana, bahkan pasangan pendekar yang mengasuhku itu
sendiri tidak juga tahu semenjak kapan batang pohon tersebut
berada di situ. Mereka mengatakan kepadaku bahwa sejak
mereka masih muda pun mereka berdua telah menggunakannya untuk berlatih, karena memang sudah ada
di sana ketika mereka datang untuk pertama kalinya ke Celah
Kledung. Batang itu memang besar, panjang, dan menghitam
licin karena lumut yang menahun, terletak di bagian tepi
sungai yang tidak mengalir, pada semacam ceruk tempat
orang biasa memasang bubu, tetapi yang semenjak lama tak
lagi digunakan untuk itu setelah seseorang yang tidak dikenal
mati terbunuh di tempat.
Mayatnya itulah yang melintang di atas batang yang kelak
pada hari kemudian menjadi tempatku berlatih itu. Di atas
ceruk itu terdapat pohon besar yang tinggi dan rindang,
sehingga memang nyamanlah jika aku berlatih di situ, apalagi
setelah kukuasa i ilmu meringkankan tubuh dengan sedikit
sempurna, sehingga batang pohon itu tiada lagi menjadi
siksaan bagiku. Dengan ringan aku mampu melenting-lenting
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
di atas batang pohon itu tanpa jatuh sama sekali, sembari
melemparkan kembali pisau-pisau terbang yang berhasil
kutangkap kepada ayah ibuku. Kemudian, apabila karena
jarang digunakan untuk latihan ada saja yang menggunakannya untuk berkasih-kasihan.
Ingatan ini mengembalikan aku kepada keadaan diriku sekarangO
"Pendekar Tanpa Nama, dikau sedang melamunkan apa?"
Inilah aku, seorang perantau lata dari Jawadwipa, tidur
berbaring di dalam selimut di samping seorang perempuan
yang begitu indah cantik rupawan tiada terkira. Nun jauh di
atas Puncak Tiga Rembulan, tempat aku belum tahu cara
terbaik untuk turun kembali.
"Bagaimana caranya turun, wahai Puteri, itulah yang
sedang berada di dalam pikiranku kini," jawabku. Kukira akan
terlalu panjang untuk mengisahkan kembali apa yang tadi
melintasi pikiranku. Masa lalu yang sebetulnyalah juga belum
selesai untukku. Lagipula, bukankah masa depan yang
semestinyalah menjadi jauh lebih penting bagiku" Meski dalam
hal itu pun diriku hanyalah pengembara dalam waktu, yang
tidak memiliki masa lain selain masa kini yang betapapun
memang menuju ke depan.
"Dikau berpikir tentang turun ke bumi, wahai Pendekar
Tanpa Nama, mengapa tidak tinggal di langit saja, bersama
mega-mega dan Amrita?"
Tidak kumungkiri daya pikat Amrita yang luar biasa dan
betapa diriku ingin memilikinya, tetapi meskipun bayangan
Harini makin lama makin jauh, keberadaanku di tanah asing
ini sendiri menyadarkan kepada tujuan hidupku. Memang
benar betapa kesempurnaan pencapaian manusia melalui ilmu
persilatan menjadi tujuan dalam pembelajaran di jalan
pedang, tetapi sebagai pengembara di bumi manusia, berjalan
tanpa tujuan itulah bagiku yang menjadi satu-satunya
tujuanku. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita tidak mungkin berada di sini selama-lamanya bukan,
wahai Puteri Tanah Khmer yang indah lagi rupawan, bekal
daging keringmu sudah habis, dan besok kita belum tahu akan
makan apa. Tidak ada tetumbuhan maupun hewan yang bisa
mengisi perut kita sama sekali di Puncak Tiga Rembulan ini."
Amrita bercerita bahwa selama ini Pangeran Kelelawar
itulah memang yang telah merawatnya, tetapi tanpa
menyadari sama sekali perkara kebocoran prana akibat
sentuhanku, setelah titik lemahnya dibuka oleh Jurus Penjerat
Naga. Karena tidak kunjung sembuh, Amrita tidak bisa ke
mana-mana. Semula Pangeran Kelelawar membawanya ke
sana dengan maksud hanya untuk sementara, tempatnya
berlatih sampai tumbuh selaput kulit di antara pergelangan
tangan sampai pinggangnya, sambil menghindari musuh-
musuh Amrita yang tersebar di mana-mana. Namun karena
Amrita tetap saja tiada berdaya, akhirnya Pangeran Kelelawar
setiap kali terbang untuk berburu ketika bekal makanan
menipis. Kulihat sekeliling, tiada tulang belulang sama sekali, bersih
seperti lantai istana di atas langit. Amrita seperti bisa
membaca pikiranku.
eiPaman guruku mempunyai ilmu untuk menghancurkan
tulang di daging, jadi ketika dipanggang dagingnya bisa
dimakan berikut tulang di dalamnya. Terlalu rumit bagiku
waktu itu, dan diriku masih terlalu lemah jika harus
memegang sepotong daging dengan kedua tangan. Sebelum
turun bertarung denganmu ia tinggalkan daging-daging kering
ini. Agaknya ia pun tidak yakin dirimu akan dapat
dikalahkannya."
"Kenapa?"
"Ia berlatih dan merenung berhari-hari sebelum hari
pertarungan itu, dan ia sering menghela napas panjang,"
katanya, "Daku kira tidak akan bisa daku kalahkan pendekar
dari Jawadwipa itu, sampai sekarang belum kutemukan kunci
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
untuk membongkar ilmu s ilatnya, bentuknya sama sekali tidak
dapat daku lacak."
Akulah yang kini menghela napas panjang. Pengorbanan
seseorang demi kematian dalam puncak kesempurnaan selalu
mengharukan diriku, apalagi jika dirikulah yang menjadi jalan
kematiannya itu, yang menjadi sebab kenapa seorang
pendekar sangat menghormati siapa pun lawannya dalam
pertarungan seperti itu.
HMM. Jadi seseorang telah menjadikan Puncak Tiga
Rembulan ini sebagai tempat berlatih silat. Kukira memang
tempat yang sangat cocok untuk mengembangkan Ilmu Silat
Kelelawar yang betapapun memang luar biasa itu, dan aku
tahu tentu bukan sekadar karena telah mengalami diserang
dan bertarung dengan Pangeran Kelelawar, melainkan karena
telah menyerapnya dengan Jurus Bayangan Cermin. Begitu
banyak ilmu silat yang telah kuserap, tetapi aku tidak selalu
memikirkan kembali seperti Ilmu Silat Kelelawar ini, karena
kukira inilah cara termudah turun kembali ke bumi.
(Oo-dwkz-oO) Episode 109: [Perjuangan Orang Kalah]
PANGERAN Kelelawar itu, kenapa dia disebut Pangeran"
Bagiku ini agak membingungkan, karena semula, ketika
datang berkelebat menolong Amrita di pelabuhan, ia tampak
sebagai seorang biksu. Bukanlah rahasia lagi bahwa ilmu silat
merupakan bagian penting dari pembelajaran para biksu
maupun biksuni, karena biara Buddha tidaklah sepi dari
ancaman marabahaya. Sebaliknya, bersama dengan tersebarnya igama Buddha ke berbagai wilayah di sebelah
timur dan selatan Jambhudvipa, tersebar pula berbagai bentuk
ilmu silatnya, yang terutama dipelajari orang-orang persilatan
golongan putih, dengan tujuan menghadapi dan membasmi
golongan hitam yang terkenal ganas ilmu silatnya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Namun Ilmu Silat Kelelawar seperti yang diperagakan
Pangeran Kelelawar tidaklah seperti ilmu silat para biksu yang
kukenal. Seperti telah kuhadapi, Ilmu Silat Kelelawar ini bisa
membuat penggunanya terbang, yang tentu saja tidak
didapatkannya dengan mudah. Selain bahwa ilmu silat ini
hanya dapat diperagakan secara sempurna jika pelakunya
menggunakan selaput kulit yang tumbuh antara pergelangan
tangan sampai pinggang, selaput kulit tersebut hanya
mungkin tumbuh melalui tapabrata luar biasa yang mengikuti
perilaku kelelawar, yakni menggantung di mana pun, di atas
pohon, di dalam gua, atau pada tonjolan batu di tepi tebing,
dengan kaki di atas dan kepala di bawah, pun masih
dilengkapi mantra yang dibuat untuk itu.
Jadi jelas Pangeran Kelelawar bukan biksu, bahkan
menurut Amrita, igama yang dianut pun bukan Buddha.
''Ia seorang Hindu,'' kisah Amrita.
Berikut inilah kisah Amrita selanjutnya.
Mengikuti penyebutan yang diberikan oleh orang-orang
Negeri Atap Langit, terdapatlah sebuah wilayah di dataran
tengah Mekong pada poros Sungai Se Mun, dari Roi Et sampai
wilayah Bassac, yang disebut Tchen-la. Negeri itu, ketika aku
tiba di tanah Khmer, setidaknya telah berdiri sekitar 200
tahun. Prasasti-prasasti pertama dalam Khmer muncul di
wilayah itu dalam pergantian abad sekitar 100 tahun lalu, dan
belakangan, seperti juga asal-usul Fu Nan, tersebarlah suatu
dongeng yang menempatkan Tchen-la sebagai tempat
lahirnya orang-orang berdarah Kambuja, termasuk Khmer,
yang kemudian sering membingungkan diriku sebagai orang
asing, karena orang Khmer terkadang menyebut negeri
mereka ini Kambuja juga.
Tiga ratus tahun yang lalu mungkin wilayah Tchen-la
terbatas pada daerah yang dialiri Sungai Se Mun, sementara
wilayah Bassac dikuasa i orang Cham. Memang Mi-son terletak
tidak jauh dari situ, di arah timur, seberang daerah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
pegunungan yang dapat ditembus. Pada masa itu seorang raja
Champa mendirikan sebuah lingga dalam sebuah candi, yang
dipersembahkan kepada Siva, di sebuah gunung dekat Bassac,
tempat belakangan akan didirikan Vat Phu, yang merupakan
pusat pemerintahan Tchen-la.
''Dan Pangeran Kelelawar adalah keturunan raja Champa
itu"'' ''Bukan hanya keturunan, melainkan pewaris, tetapi
dengarlah dahulu lanjutannya.''
Sekitar limapuluh tahun sebelum Tchen-la itu sendiri
berdiri, jadi 250 tahun sebelum aku tiba, seorang raja
bernama Bhavavarman, keturunan wangsa yang memerintah
di Fu-nan, yang mungkin sekali cucu Rudravarman, menikah
dengan seorang puteri Tchen-la dan mempersatukan negeri
itu. Ia berusaha menaklukkan Fu-nan, mungkin untuk
mendukung hak-hak keluarganya. Ketika ia meninggal setelah
tahun 598, kedua negeri sudah tergabung dengan baik sekali.
Adiknya, Chitrasena, yang kemudian menggantikannya dengan
gelar Mahendravarman, menyelesaikan penaklukan Fu-nan
dan memperbanyak bangunan Siva di wilayahnya.
NAMUN adalah putranya, Isanavarman, berjaya antara 611
sampai 635 dengan pemerintahan gemilang, sampai sanggup
membangun ibu kota baru, yakni Isanapura.
"Ceritakanlah kepadaku yang ada hubungannya dengan
Pangeran Kelelawar sahaja, wahai Amrita yang jelita," kataku.
"Apakah yang tidak akan daku berikan kepada dikau, wahai
Pendekar Tanpa Nama yang telah membuat Amrita untuk kali
pertama jatuh cinta?"
Maka ia pun bercerita tentang raja pertama Champa,
Bhadravarman, yang memerintah sekitar 400, dan membangun tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada
Siva di daerah pegunungan Mi-son itu, yang akan menjadi
pusat pemujaan raja-raja abad selanjutnya. Ia disebutkan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
membangun sebuah ibu kota, dan di sekitar tempat itulah
akan ditemukan prasasti-prasasti dalam bahasa Sansekerta
maupun bahasa Cham. Namun yang sekarang ini pun sudah
tidak dapat ditemukan lagi, karena semuanya musnah
terbakar. "Siapa yang membakar?"
"Belum jelas apakah sengaja dibakar atau karena terbakar
begitu saja, Pangeran Kelelawar pun tidak tahu pasti, kecuali
bahwa seluruh keluarganya terlunta-lunta." 4)
Haruslah kujelaskan pula tentunya, bagaimana perubahan
kekuasaan telah berlangsung perlahan-lahan di seluruh
wilayah yang meliputi tanah Khmer dan Champa, tempat
sejarah kerajaan-kerajaan Fu-nan, Tchen-la, dan Angkor, silih
berganti meliputinya, yang ternyata juga dipengaruhi keadaan
alam maupun gelombang kebudayaan yang datang dari arah
Jambhudvipa. Perubahan berlangsung di daerah selatan,
ketika kekuasaan berpindah ke kerajaan Tchen-la, saat itu di Fu-nan
telah terdapat penduduk yang hanya terdiri dari kelompok
orang-orang Malayu di pinggir laut dan mencari nafkah hanya
di laut. Terbuka, sebagai warga kota yang didatangi segala
bangsa, penduduk tersebut menyambut segala pengaruh dan
membagi-bagikannya
lagi sedemikian rupa, sehingga wilayahnya menjadi pusat kebudayaan di kawasan selatan dari
Negeri Atap Langit. Namun dengan Tchen-la sendiri, kita
temukan bangsa yang murni Khmer, tertutup di dataran tinggi
Mekong dan sama sekali tidak mengenal laut.
Sebagai petani, tetapi juga prajurit, orang-orang Tchen-la
akan sigap menukar kemiskinan mereka dengan penaklukan
dan perampokan. Sedangkan kebudayaan mereka, yang
berasal dari Jambhudvipa, dan terlebih-lebih dari kebudayaan
Fu-nan yang telah memiliki kepribadian sendiri, memang
kemudian jadi cemerlang. Namun kebudayaan tersebut hanya
sebatas negeri itu saja, yang memang terus menerus
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
diperluas, tanpa menyebarkan pengaruh sendiri seperti
Jambhudvipa dan dalam tingkatan yang dinilai lebih rendah
dari kebudayaan Fu-nan.
"Nanti dulu, apa ukurannya kebudayaan Tchen-la dianggap
lebih rendah daripada kebudayaan Fu-nan?"
Kudengar perbincangan seperti ini di sebuah perahu ketika
memasuki pedalaman Khmer.
"Itu ukuran orang-orang Angkor sekarang, yang menganggap orang Fu-nan istimewa."
"Bagaimana kalau orang Tchen-la yang menolak untuk
menirukan yang istimewa" Itu tidak sama dengan
mengatakannya lebih rendah."
"Terserahlah apa pendapatmu, tetapi itulah yang dikatakan
banyak orang."
"Dan tentu saja itu bukan pendapat orang Tchen-la. Tidak
ada tinggi rendah dalam kebudayaan, yang ada hanyalah
diberlangsungkan dan dibermaknai oleh banyak atau sedikit
orang!" SEJALAN dengan perbedaan tajam tersebut, terlihat
perbedaan besar dalam cara pengolahan tanah, yang mungkin
menjelaskan segala perbedaan yang lain. Orang Fu-nan
terpaksa mengeringkan air delta dan lebih disibukkan dengan
urusan kelebihan daripada kekurangan air. Lagipula
kelihatannya mereka hanya bertanam padi terapung.
Perdagangannya pasti merupakan sumber penghasilan yang
sama pentingnya dengan pertanian.
Adapun orang Khmer menggarap dataran tinggi, yang tidak
menahan air berkat kemiringannya sendiri. Sebaliknya harus
menampung air sepanjang musim kering, menyiram sawah-
sawahnya tempat ia bertanam padi gunung. Perbedaan-
perbedaan tajam tersebut tentu membekas pada rakyat yang
sangat ketat dipengaruhi cara hidup masing-masing.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Tidak mengherankan jika kemudian orang-orang Khmer
turun ke dataran rendah karena kagum melihat kekayaan Fu-
nan, dan berlangsunglah perkara pertama dalam riwayat
kebudayaan wilayah itu suatu gelombang perpindahan ke
wilayah selatan, yang agaknya akan menjelaskan banyak hal
di kemudian hari. Namun Tchen-la tidak menduduki wilayah
Fu-nan, karena perubahan arus Sungai Mekong menimbulkan
banjir yang membawa bencana besar, sehingga wilayah Fu-
nan tengah yang lama, hampir tidak bisa dihuni. Kenyataan,
kelompok-kelompok orang Khmer terpencil dan miskin, tetap
bertahan di wilayah itu, terutama pada tanggul-tanggul tanah
endapan dan tanah-tanah yang tinggi. Betapapun, Fu-nan
menjadi tidak penting lagi bagi nasib Kambuja. Kemaharajaan
Khmer, pewaris Tchen-la, terus berkembang ke utara, dan
meski ibukotanya yang bernama Sambor terhubungkan
dengan lautan melalui Sungai Mekong, tetapi lautan menjadi
semakin tidak penting bagi kehidupan budaya tanah Khmer,
untuk tidak mengatakan telah meninggalkannya sama sekali.
Terihat bahwa siapa pun yang berkuasa di Khmer akan
berlindung di dataran tinggi tempat asalnya di ujung utara
Kambuja dan dataran tinggi Korat sampai Roi Et, seperti
kembali kepada asal-usulnya. Jadi orang-orang Khmer sama
sekali tidak meniru cara menggarap tanah delta seperti yang
diciptakan orang Fu-nan. Kota-kota Tchen-la merupakan lahan
luas yang dikelilingi dinding tanah dan terutama oleh parit
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sangat lebar. Letak parit tersebut selalu diatur lebih
rendah dari sebuah sungai yang terus menerus mengalir dan
langsung dihubungkan dengannya. Maka parit itu terisi air
dengan sendirinya selama musim hujan dan air pasang, dan
menjadi tempat persediaan air pada musim kering, dan
menghidupi penduduk dengan sawahnya.
Cara penampungan air yang cerdik ini cocok dengan iklim
dan keadaan tanahnya, diciptakan di Tchen-la dan kemudian
dibawa orang Khmer ke dataran rendah Kamboja. Itulah yang
menjadi dasar kekuasaan Angkor hari ini. Cara-cara ini
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
disaksikan orang Fu-nan langsung dari tempat pemukiman
bundar pada masa pra-sejarah ribuan tahun s ilam yang masih
terlihat di dekat tempat tinggal mereka, dan tampaknya
mereka memang tidak pernah membuat pengairan tanah
kering yang lebih maju dari itu. Sedangkan orang Khmer tidak
akan menggarap delta Sungai Mekong, yang sebetulnya cocok
sekali, tetapi menggunakan tanggul-tanggul yang muncul di
antara dua air pasang untuk panen tambahan.
Dari kebiasaan ini terlihat perbedaan mendasar tentang
pengaturan dan falsafah ruang, tetapi ada persamaan dari
kedua kebiasaan ini, yakni bahwa pemusatan kekuasaan
dianggap perlu oleh rakyatnya, demi penciptaan dan
pengawasan aturan-aturan dalam berbagai cara pengairan
tersebut. Dalam hal ini, Tchen-la langsung menggantikan Fu-
nan dan berhasil mencapai penguasaan pengaruh me lalui
jalan yang sama. Kedua kerajaan yang sama-sama mendapat
pengaruh Jambhudvipa, yang dihidupkan terus oleh Tchen-la
tanpa terlalu banyak perubahan, karena sebagian besar
pengaruhnya sampai di situ melalui Fu-nan, sesuai
kecenderungan jalannya nasib manusia, bahwa yang
dikalahkan mengadabkan sang pemenang dan bertahan hidup
melalui sang pemenang itu.
Aku segera mengerti bahwa jika Pangeran Kelelawar adalah
seorang keturunan bangsawan Champa pemuja Siva dari
Pegunungan Mi-son, maka dalam diri Amrita agaknya masih
mengalir darah bangsawan Tchen-la, yang mempertahankan
kebudayaan Fu-nan, tetapi kini terjajah oleh Angkor. Kelak
akan kuketahui mengapa keduanya dapat berkumpul di sekitar
Naga Bawah Tanah yang tidak pernah menampakkan diri.
Amrita, tinggal di istana karena ibunya yang keturunan Tchen-
la menjadi salah satu isteri raja Angkor yang sekarang
berkuasa, Jayavarman II. Menyadari bahwa ibunya dikawini
secara paksa, Amrita menggalang segala usaha untuk
menjatuhkan pemerintahan ayahandanya sendiri.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
UNTUK itu sejumlah pembunuhan gelap di istana telah
dilakukannya. Di istana Indrapura, yang baru saja dibangun di
sebelah timur Kompong Cham, dalam beberapa bulan terakhir
sering berlangsung kematian mencurigakan atas warga istana.
Mulai dari yang diracuni lewat makanan atau minuman, dicekik
dan dibekap di bawah bantal ketika sedang tidur, ataupun
diserang senjata rahasia dari jarak jauh. Baik lelaki maupun
perempuan, yang ditewaskan adalah orang-orang penting
yang memegang kendali laju penyatuan Angkor sebagai cita-
cita Jayavarman II.
Mendengar cerita itu keningku berkerut. Ia mengaku telah
menggunakan jaringan rahasia dari Jawadwipa untuk
menjamin kerahasiannya. Entah kenapa aku tidak merasa
terkejut. Bukankah pada hari pertama kakiku menginjak
pelabuhan bekas kerajaan Fu-nan, telah kudengar orang
menyebut kresna-naga yang berarti Naga Hitam" Aku sungguh
terkesiap dengan luasnya jaringan rahasia yang menjual jasa
pembunuhan ini, meski mengingat pengaruh kedatuan
Srivijaya dan wangsa Syailendra di tanah Khmer ini,
seharusnya aku tidak usah terlalu heran.
Tanpa Amrita harus menyebutnya, sudah semestinya aku
menduga bahwa Naga Hitam juga menggunakan tenaga
orang-orang setempat.
(Oo-dwkz-oO) ''JADI apa yang akan kita lakukan sekarang" Apakah kita
akan tetap di sini dan bertahan tanpa makanan, ataukah turun
melanjutkan pengembaraan"''
Mendengar ucapanku itu Amrita yang sejak tadi berkicau
riang mendadak jadi muram dan matanya berlinang
menatapku tajam.
Ah, siapakah yang akan tahan menghadapi tatapan seperti
itu" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Akan ke manakah kiranya Pendekar Tanpa Nama
meneruskan perjalanan, meninggalkan Amrita sendirian dalam
kesepian"''
Tentu aku sampai ke Puncak Tiga Rembulan ini pun karena
Amrita. Namun apakah masih bisa disebut cinta jika dalam
kenyataannya sekarang ini aku selalu ingin pergi saja"
Rasanya memang bagaikan bisa kuserahkan jiwa ragaku bagi
Amrita, tetapi apalah kemudian yang harus kukerjakan di
tanah yang juga disebut Kambuja ini" Sebagai pengembara di
rimba hijau dan sungai telaga persilatan, setelah mengatasi
Ilmu Silat Kelelawar seharusnya kukeluarkan tantangan
kepada Naga Bawah Tanah dan siap memberikan yang terbaik
untuk kematian pada puncak kesempurnaan. Namun bukanlah
karena aku takut dikalahkan semenjak memainkan dengan
semakin baik Jurus Bayangan Cermin maupun Jurus Penjerat,
bahkan telah kupikirkan suatu jurus yang tiada akan pernah
terlawan karena meski bukan sihir yang diserangnya adalah
pikiran, tetapi karena jika aku menang, hanyalah tangis Amrita
akan kudengar berkepanjangan.
Keberadaan Amrita tampaknya menunjukkan keberadaan
diriku yang selalu mendua, apakah aku akan hidup untuk
cinta, ataukah mengalahkan semuanya demi cita-cita"
''Pendekar T anpa Nama, janganlah pergi demi Amrita, atau
ajaklah Amrita mengembara kemana pun dikau berkelana,
meskipun keliling dunia!''
Perempuan yang sedang jatuh cinta. Hmm. Benarkah
mereka bersedia mengorbankan apa saja" Jangankan
perempuan, lelaki pun akan melakukan hal yang sama!
Apakah ini berarti cinta membuat manusia buta" Nantilah
kuperiksa ujaran-ujaran para bijak seperti Nagasena,
Nagarjuna, maupun Sang Buddha sendiri tentang cinta,
karena aku tidak percaya betapa cinta harus membuat
manusia bodoh adanya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Sekarang aku memikirkan berbagai cara untuk kembali
turun ke dunia. Betapapun keindahan Puncak Tiga Rembulan
begitu ajaib sehingga tidak selalu bisa dijelaskan, kurasa
bukanlah keindahan demi keindahan itu sendiri yang kucari
dalam pengembaraanku ini. Telah kukalahkan Pangeran
Kelelawar dalam pertarungan untuk mencapai kesempurnaan
dalam persilatan, dan Amrita yang sebelumnya terandaikan
juga akan jadi lawanku ternyata bersikap sebagai yang tidak
bisa ditinggalkan. Aku mesti turun dan pergi untuk berganti
pandangan, darahku bagaikan menggelegak dan berdenyut
memintaku untuk segera meneruskan perjalanan...
(Oo-dwkz-oO) Episode 110: [Terjun dari Langit]
AKHIRNYA kugunakan selimut bulu kambing yang kulitnya
tersamak sampai lemas itu sebagai sayap kelelawar yang tidak
kumiliki. Betapapun ilmu meringankan tubuh Puteri Amrita
Vighnesvara itu sudah sangat tinggi, masih perlu pendalaman
baginya untuk bisa membuat tubuh begitu ringan, agar dapat
berbobot kapas ketika turun me layang perlahan-lahan seperti
berpegangan kepada sebuah payung raksasa.
ITU artinya aku harus memondong tubuhnya dan dengan
begitu tubuhku tidak bisa menjadi seringan kapas lagi. Kupilih
cara turun seperti terbangnya kelelawar, yakni turun dengan
kecepatan seperti orang terjatuh tetapi sangat terkendali,
karena selaput sayapnya menjadi kemudi. Inilah cara yang
telah kugunakan tanpa sayap ketika harus menghadapi kedua
burung elang penjaga puncak itu, yang tentu saja
memanfaatkan penyerapan Jurus Bayangan Cermin atas Ilmu
Silat Kelelawar. Kini, dengan menggunakan sayap kulit
kambing, aku bahkan dapat memperlambat laju jatuh kapan
saja aku menghendakinya dan terbang naik turun berputar-
putar seperti kelelawar.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitulah dengan Puteri Amrita menempel pada punggungku aku menja-tuhkan diri dengan kepala lebih dulu
dari Puncak Tiga Rembulan. Tanganku terpentang, membuka
dan menutup seperti cara kelelawar, meluncur ke bawah
dengan cepat dan penuh kendali. Begitu tingginya Puncak
Tiga Rembulan ini sehingga me luncur turun dengan cepat ini
pun rasanya lama sekali. Itulah sebabnya ilmu cicak tidak
dapat menjadi pilihan untuk menuruninya, karena meskipun
bisa dipercepat dengan tiap sebentar melompat seperti katak
sebelum menempel kembali, itu pun akan memakan waktu
berbulan-bulan.
Tepat ketika fajar menyingsing dan tiang-tiang T iga Puncak
Rembulan berkilau keemasan, aku melayang dengan Amrita di
punggungku memasuki pemandangan terbentang dari lapisan
ke lapisan di udara tinggi, menembus mega-mega dan warna-
warni pelangi di langit yang berubah-ubah dari ungu ke biru
memasuki kuning lantas merasuk kelabu, dengan sangat
cepat, tetapi yang terasa sangat lambat, begitu lambat,
sehingga dapat kami amati dengan cermat segala sesuatu di
atas bumi dari ketinggian ini. Pegunungan Mi-son yang
bagaikan gundukan ungu tua, aliran Sungai Mekong dengan
anak-anak sungainya berkelak-kelok di atas permadani hijau
tua hutan rimba belantara pedalaman Kambuja.
Pemandangan itu akan hilang mendadak apabila aku
memutar tubuhku jungkir balik yang membuat Amrita di
punggungku tentu terpaksa mengikutinya sebelum kembali
kuluruskan tubuhku. Begitulah caranya aku mengatur
kecepatan dan kelambatan dalam perjalanan turun ke bumi.
Melayang, meluncur, melayang, sebagaimana kelelawar yang
bukan burung pun akhirnya dapat terbang. Tiada akan pernah
kukira tentunya, betapa Ilmu Silat Kelelawar yang kuserap
berkat Jurus Bayangan Cermin, hanya karena jurus ini
memang harus menyerapnya terlebih dahulu sebelum
mengembalikan jurus ini kembali kepada penyerangnya, akan
segera menjadi sangat berguna.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kami masih meluncur, melayang, dan meluncur sembari
menembusi berlapis-lapis pemandangan langit sebelum
akhirnya mencapai setengah dari tinggi tiang Puncak Tiga
Rembulan. Ketinggian luar biasa yang membuat segalanya
sangat lambat, terlalu lambat, yang membuat kami dapat
menatap dengan cermat bagaimana tubuh Pangeran
Kelelawar masih tertancap pada dinding tebing karena
tertancap dua pedang hitamku yang melesak sampai ke
pangkalnya. Bahkan sempat kukitari lingkar dinding tempat
kami mengadu jiwa itu, sehingga tampak jelas tubuhnya yang
kaku membeku bagai menyatu dengan batu. Kepalanya
tertunduk seperti ketika aku meninggalkannya di sana
bersama kedua pedang hitam warisan Raja Pembantai dari
Selatan, yang sangat dikenal orang-orang Khmer karena
didatangkan wangsa Syailendra untuk membantai siapapun
yang menghalangi jalan mereka.
Dingin udara membekukan segala-galanya. Serpihan
embun yang menjadi beku menyelimuti seluruh tubuh
Pangeran Kelelawar yang selaput kulit kedua sayapnya telah
kujadikan alas dan penutup kaki bagaikan sepatu. Kukelilingi
tiang itu perlahan-lahan sehingga Amrita bisa selama mungkin
memandang paman gurunya itu untuk terakhir kali, sebelum
meninggalkannya untuk selama-lamanya. Baru kusadari
kemudian betapa keduanya memang sempat lama bersama,
sejak Pangeran Kelelawar membawanya pergi dari pelabuhan
itu sampai tiba saatnya menyerangku, tepat saat aku tiba di
kaki Puncak Tiga Rembulan pada ma lam bulan purnama.
Setidaknya duapuluh hari dan barangkali hanya duapuluh hari
menjelang bulan purnama, paman dan keponakan perguruan
itu sempat bersama dalam usaha Pangeran Kelelawar
menyembuhkan Amrita, karena Pangeran Kelelawar itu
memang selalu mengembara.
Dalam kenyataannya Pangeran Kelelawar tidak berhasil
memecahkan kunci Jurus Penjerat Naga yang telah
membocorkan prana, sehingga Amrita takdapat TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
disembuhkannya, dan pada gilirannya
takdapat pula memecahkan kunci Jurus
Bayangan Cermin yang telah menyerap Ilmu Silat Kelelawar
miliknya, sebelum akhirnya terperangkap pula oleh Jurus
Penjerat Naga. JIKA aku sampai menggunakan Jurus Penjerat Naga itu
berarti lawan yang kuhadapi memang tangguh seperti para
naga, karena hanya diciptakan terutama untuk menghadapi
lawan dengan kesaktian pada tingkat naga. Hanya pasangan
pendekar yang mengasuhku saja memilih untuk menciptakan
Ilmu Pedang Naga Kembar daripada mempelajarinya, karena
memang mencintai permainan ilmu pedang berpasangan.
Sembari mengelilingi tiang sebesar bukit yang berada di
tengah itu, aku diliputi perasaan haru menghayati kehidupan
Pangeran Kelelawar yang terlempar dari kehidupan istana,
mengembara dalam pencarian kesempurnaan dalam dunia
persilatan, dan suatu hari tewas di tangan seorang perantau
asing dari Jawadwipa. Tidakkah terasa pedih, dikalahkan
seorang pendatang, dari bangsa yang telah menjarahrayah
dan membakar candi pemujaan sembari menyebarkan
pembunuhan, meski memperkaya kebudayaan pula" Namun
siapakah yang tidak akan kalah dan mati di ujung pedang
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam dunia persilatan, dalam perjalanan mencari kesempurnaan seperti
dikehendakinya"
Siapapun dia, betapapun saktinya, selama masih menghendaki pencapaian
kesempurnaan haruslah siap untuk mati di tangan siapapun
yang lebih unggul daripada dirinya. Jadi selalu siap membunuh
dan juga selalu siap dan rela terbunuh -memang di sanalah
seorang pendekar mempertaruhkan kehormatannya.
Kemudian kuketahui betapa Amrita pun menangis. Air
matanya meleleh pada pipinya yang membeku. Aku sangat
mengerti bagaimana ikatan dalam perguruan silat bisa lebih
erat daripada ikatan kekeluargaan. Apalagi keduanya berada
di tempat yang sama dalam keadaan yang rawan, bahwa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Amrita terancam kematian dan Pangeran Kelelawar bersiap
menghadapi kematian. Kemudian bukan hanya airmata, tetapi
juga suara sesenggukannya terdengar olehku di antara deru
dingin, yang semakin lama semakin mengencang angin, meski
bukanlah maksud Amrita yang menempel di punggungku itu
untuk memperdengarkan kedukaannya yang sangat dalam
dan memedihkan.
Kuusahakan melayang lebih dekat dan semakin dekat,
karena apalagi dengan Amrita di punggungku tiada mungkin
kami melayang naik. Dalam jarak yang dekat tetapi tentu
takbisa berhenti, wajah Pangeran Kelelawar yang betapapun
memang beku menyatu batu bagaikan masih hidup, dengan
tangan terkulai lemas, tetapi takbergoyang dalam tiupan,
sementara dua pedang menancap seperti bagian tubuh itu
sendiri. Meskipun tubuh itu jelas tiada bernyawa, tetapi
kedudukan tubuh yang bagaikan menyatu pada batu seperti
itu, wajah yang tertunduk dengan mata terpejam bagaikan
tepekur begitu, seperti menyimpan banyak sekali cerita.
Akhirnya harus ditinggalkan juga tubuh Pangeran Kelelawar
yang semakin lama semakin mengecil itu, meninggalkannya
dengan segala cerita yang ada padanya, semakin jauh dan
semakin jauh. Aku terus meluncur ke bawah, bahkan
mempercepatnya, dengan mengapitkan kedua tangan sejajar
tubuh dengan kaki yang juga terkatup rapat. Bagai terdengar
ledakan di telingaku ketika tubuhku dengan Amrita menempel
pada punggungku menembus segala lapisan udara, meluncur
dan meluncur turun langsung ke bumi. Percepatan kulakukan
karena perjalanan memang masih jauh. Perasaan telah
melayang dengan lambat hanyalah pertanda betapa Puncak
Tiga Rembulan ini sangatlah tinggi.
Betapapun setelah meninggalkan titik tempat tubuh
Pangeran Kelelawar tertancap sendirian itu perjalanan tinggal
separuh lagi. Aku ingin segera kembali ke bumi karena dingin
udara langit memang bagaikan taktertahankan. Selimut telah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kujadikan sayap untuk mengemudi, sehingga diriku hanya
dibalut kancut dan kain jubah dari kapal yang jauh dari cukup
untuk menahan dingin, serta Amrita busananya lebih parah
lagi, takmengenakan apapun di bagian atasnya dan dari
pinggang ke bawah masih saja kain tembus pandang gaya Fu-
nan, yang meskipun tidaklah set ipis tampaknya apalah artinya
pada ketinggian di antara mega-mega"
Aku meluncur turun, turun, dan turun, kini sengaja tegak
lurus ke bawah karena aku tidak ingin membuang waktu lagi.
Dalam sekejap sepertiga dari setengah bagian bawah itu
terlampaui, dan kiranya akan terus meluncur jika Amrita tidak
mengingatkan bahwa aku tidak bisa terus menerus
menjatuhkan diri tegak lurus kecuali ingin jatuh seperti karung
dan hancur lebur meleleh seperti buah kates jatuh dari atas
pohon kelapa. ''Menyamping! Menyamping!'' Amrita berteriak di telingaku.
Tentu aku tahu bahwa kini tiada lagi mega yang akan
tertembusi dan karena itu sudah waktunya kusesuaikan
kejatuhanku dengan tarikan bumi, maka akupun berputar satu
kali sebelum membelokkan arah menyerong, menjauhi ketiga
tiang Puncak Tiga Rembulan, melampau hutan, dan setelah itu
membentangkan lagi kedua kaki dan tangan.
DENGAN segera penurunanku tertahan, melambat, dan aku
melayang lagi mengitari wilayah hutan yang pernah kurambah
ketika mencari Puncak Tiga Rembulan, dan di luar hutan itulah
terlihat titik-titik seperti semut, beribu-ribu semut, yang segera
menyebar ketika melihat kami.
"Lihat!'' Amrita berteriak, "pasukan Jayavarman!''
Benarkah mereka memang menanti kedatangan kami"
Tidakkah dari bawah sana kami pun taklebih hanya sebuah
titik" Aku mencoba melayang menyamping lebih jauh dan
lebih jauh lagi dari titik-titik semut yang lari berhamburan
menyeberangi persawahan itu. Melayang menyamping
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
memang mengurangi kecepatan, menjadikanku lebih lamban,
tetapi tetap menurun dan menurun jua. Arah pendaratanku
bagaikan bisa mereka duga. Sebagian pasukan yang berkuda
dengan cepat memburuku ke tempat aku takbisa melayang
lebih jauh lagi.
Aku masih mempunyai pandangan luas di atas ini, dan
dengan sayap selimut kulit kambing ini aku masih bisa
mengemudikan diri ke tempat yang aku kehendaki. Sembari
melayang dan terpandang hutan, sawah, kampung, lapangan,
serta jurang, aku sempat berpikir. Tantangan Pangeran
Kelelawar, meski diucapkan dalam bahasa Sansekerta,
terdengar oleh setiap orang di pelabuhan Fu-nan. Pertarungan
kami mempunyai jadwal yang jelas, yakni pada ma lam bulan
purnama, dan tempatnya juga jelas, yakni Puncak Tiga
Rembulan. Meski tempat itu, seperti yang kualami, sangat sulit
dicapai, jika aku pun sampai ke sana, mengapa harus menjadi
lebih sulit bagi orang Khmer sendiri"
Amrita kurasakan semakin erat mencengkeram. Aku
berpikir kepungan beribu-ribu orang ini lebih berhubungan
kepada dirinya daripada diriku. Bukankah dirinya, seperti yang
telah diceritakannya sendiri, telah menyebarkan kematian
begitu rupa di istana untuk melumpuhkan pemerintahan
Jayavarman"
Betapapun telah dimanfaatkannya
para pembunuh gelap dari jaringan Naga Hitam, selama pengawal
rahasia istana yang terlatih berhasil mengendusnya, sangatlah
mungkin kerahasiaannya terbongkar. Telah diketahui betapa
Jayavarman II tinggal bertahun-tahun di lingkungan istana di
Jawadwipa, dan tentunya ia belajar pula bagaimana
memanfaatkan jaringan rahasia seperti Cakrawarti demi
kepentingannya.
Kami masih cukup tinggi di udara, setidaknya masih dapat
berputar sekali lagi dalam wilayah yang sangat luas ini.
Mereka tentu mendengar diriku dan Putri Amrita Vighnesvara
ini berada di atas Puncak Tiga Rembulan untuk bertarung
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
ulang, dan karena Pangeran Kelelawar berada di pihak Amrita,
maka kemungkinan besar mereka berdua itulah yang akan
turun dari atas sana. Namun karena tidak tahu pasti tempat
pendaratannya, mereka sebarkan manusia di mana-mana.
Apakah mereka perkirakan bahwa siapa pun tidak mungkin
meluncur jatuh ke bawah, sehingga di kaki tiang-tiang itu
sendiri tidak diperlukan penjagaan oleh seorang pun jua"
Kubelokkan arah me layangku kembali menuju kaki Puncak
Tiga Rembulan. Setidaknya jika ribuan manusia, yang berkuda
maupun tidak berkuda tetap akan memburuku ke kaki tiang-
tiang itu, tidaklah mudah bagi siapa pun untuk menempuh
rimba raya yang pernah kulalui itu,
Aku melayang makin rendah. Pucuk-pucuk pohon di
bawahku, bahkan sejumlah burung terbang berpapasan di
atas kami. Kadang-kadang terlirik pula olehku sarang burung
dan telur-telurnya di atas pohon itu. Kami melesat ke arah
kaki Puncak Tiga Rembulan yang berada di dataran tinggi.
Pucuk-pucuk pohon kemudian menyerempet tubuh kami
sebelum akhirnya kukerahkan ilmu meringankan tubuh untuk
mengurangi pengaruh bobotku yang ditarik perputaran bumi.
Amrita telah pula melenting lebih dulu dari punggungku,
sebelum aku seharusnya menginjak tanah, yang ternyata
kubatalkan karena kudengar suitan senjata rahasia siap
merajam tubuhku. Dengan sayap kulit kambing ini, tanpa
beban Amrita di punggungku, aku dapat bergerak seperti yang
dimaksudkan Ilmu Silat Kelelawar, yakni berkelebat terus
menerus tanpa menginjak tanah sama sekali. Ribuan jarum
beracun yang amis baunya, tanda racun yang tingkatnya
tinggi, melesat dan bersuit-suit dari segala arah.
Di atas tanah Amrita telah memegang kipas besar yang
kibasan anginnya saja telah merontokkan jarum-jarum itu ke
tanah. Namun hujan jarum yang datang dari segala arah itu
tidak juga berhenti, sehingga Amrita me lepaskan dua belas
pisau terbang ke dua belas arah yang tepat mengenai
sasarannya. Dua belas tubuh yang tertancap pisau terbang di
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
lehernya masing-masing terjatuh dari atas pohon di sekitar
tiang-tiang Puncak Tiga Rembulan itu. Berhentinya serangan
jarum itu membuatku bisa mendarat di bumi.
DARI segala arah telah muncul orang yang memegang
berbagai macam senjata, dan lengan mereka berkelat sebagai
tanda jabatan tertentu.
''Pengawal istana,'' dengus Amrita, ''apa kerja kalian di
tengah hutan ini"''
Jumlah mereka sekitar lima puluh orang. Salah satu
pemimpinnya menunjuk ke suatu arah dengan pedangnya.
Amrita memekik tertahan. Para pengawal pribadinya yang
kulihat di pelabuhan waktu itu tergantung pada lehernya dan
tubuh mereka penuh dengan luka. Tidak kurang dari dua belas
orang banyaknya.
Tubuh Amrita bergetar, wajahnya memerah, dan matanya
menyala-nyala. Di tangannya segera terpegang satu lagi kipas.
''Kalian harus membayar untuk perbuatan kalian!''
Lantas ia mengepakkan kedua kipasnya ke belakang, dan
tubuhnya melayang ringan ke arah pengawal istana yang
menunjuk dengan pedang itu. Kulihat Amrita melayang di
udara dengan dua tangan yang memegang kipas itu terlipat di
samping tubuh menuju ke arah pengawal istana itu, yang
dengan begitu mengira Amrita sebagai makanan empuk.
Namun begitu ia berusaha membacok kepala Amrita yang
seolah-olah tidak terlindung, Amrita me lejit jungkir balik
sampai dengan kepala masih di bawah berada di atas kepala
pengawal istana itu. Aku sudah tahu apa yang akan dilakukan
Amrita, dalam sekejap mata kedua kipas yang sudah
mengembang di samping tubuhnya itu tinggal ditepukkannya
ke bawah, dan lenyaplah kepala pengawal istana itu tidak
kelihatan lagi. Tinggal tubuhnya terbanting dengan darah
menyembur deras bagai air mancur dari batang lehernya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan tenaga tepukan itu Amrita melayang jungkir balik
ke atas, sehingga ketika kepalanya berada di atas kembali,
dapat segera dilihatnya berpuluh-puluh pengawal istana itu
keluar dari persembunyiannya, dan semuanya, semuanya
tanpa kecuali, melemparkan senjata rahasia jarum-jarum
beracun. Masih di udara Amrita menggerakkan kipasnya
begitu rupa sehingga tubuhnya berputar bagai baling-baling
dengan kipas tersebut sebagai sayap baling-balingnya; maka
ribuan jarum beracun itu pun terserap oleh angin pusaran
tubuh Amrita yang kini sudah berputar seperti baling-baling
itu. Tidaklah mengherankan bagiku jika di tanah Khmer ini
tiada lawan yang cukup sepadan bagi Amrita, yang membuat
putri nan cantik serta jelita ini merajalela tanpa tandingan.
Pantaslah jika ibarat kata seluruh pasukan bersenjata Angkor
dikerahkan untuk menangkapnya. Kemudian akan kuketahui,
bahwa sebetulnya adalah Amrita dan para pengawal
pribadinya yang telah bergerak ke seluruh Kambuja
membasmi golongan hitam di tempat-tempat persembunyian
mereka. Maka kedigdayaan Putri Amrita, murid Naga Bawah
Tanah yang tidak pernah memperlihatkan dirinya, memang
telah menjadi permakluman seisi negara.
Para pengawal istana melesat beterbangan ke arah Amrita
yang masih berputar, tetapi saat itulah Amrita mendadak
berhenti berputar, melenting ke luar dari lingkaran jarum yang
berpusar sambil mengibaskan kedua kipasnya mengikuti
pusaran itu, mendorong jarum-jarum itu dengan tenaga
pusarannya yang dahsyat melesat kembali ke arah para
penyerangnya! Demikianlah ribuan jarum itu berurutan keluar
dari pusaran, menyambut para pelemparnya sendiri dengan
janji perajaman. Terpaksalah para pengawal istana ini,
sembari masih meluncur di udara, menggerakkan senjatanya
untuk menangkis jarum-jarum beracun mereka sendiri. Maka
bagi Amrita yang sementara itu telah sampai ke bumi,
terdapatlah kesempatan untuk menjejakkan kakinya lagi,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
melesat dengan kedua kipas tertutup yang ketajamannya
melebihi pedang, berkelebat cepat membuat garis di bagian
tubuh setiap pengawal istana, yang ketika menangkis jarum-
jarum itu pertahanannya jadi terbuka. Membuat garis artinya
melubangi tubuh di tempat yang mematikan.
Ketika Amrita mendarat kembali hampir seluruh pengawal
istana yang menyerangnya itu sudah tewas. Dari garis yang
diguratkan Amrita di tubuhnya merembes darah, yang semula
memang hanya membentuk garis, tetapi lantas membanjir
menggenangi tanah. Sisanya yang masih hidup mengerang-
erang sebentar, tetapi segera tewas menyusul yang lain
menuju nirvana jika mereka mempercayainya. Dalam sekejap
mata putri istana yang halus mulus dengan telapak tangan
selembut kapas ini telah menewaskan limapuluh pengawal
istana. Aku yang baru saja menginjak tanah bahkan belum
sempat berbuat apa-apa. Untuk berterus terang, bahkan
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum sempat menarik nafas sama sekali!
Peristiwa yang baru saja kuceritakan secara rinci itu
sebenarnyalah berlangsung dalam sekejap mata.
HANYA karena mereka yang terlibat dalam dunia persilatan,
yang pergerakannya serbacepat, begitu cepat, melebihi
kecepatan pikiran, matanya terlatih untuk mekakukan
pengamatan. Jadi segala yang berkelebat tetap saja
berkelebat, bukan tak mungkin lebih cepat dari pikiran, tetapi
pengajian atas pengamatan tetap bisa dilakukan, atas
pandangan mata yang terlatih menanggapi percepatan
pergerakan. Kulihat Putri Amrita yang memunggungi diriku, berdiri
tegak dengan kaki terbentang, menatap tajam ke dalam hutan
yang memperdengarkan suara gemuruh datang suatu barisan.
Kupejamkan mataku dan melalui ilmu Mendengar Semut
Berbisik di Dalam Liang kuketahui betapa selaksa manusia
yang bermaksud mengepung kami sedang mendatang dengan
bergelombang. Di dalam, di atas, maupun di luar hutan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Agaknya memang tiada celah yang ingin mereka berikan.
Berlindung di antara kerimbunan hutan sudah tiada
memungkinkan, karena telah dipenuhi pasukan; jika melenting
ke atas pucuk-pucuk pepohonan, maka di sana kulihat
pasukan pengawal rahasia istana, yang paling tinggi ilmu
silatnya dari berbagai kesatuan keprajuritan, telah berteberan
dan berayun ringan di ketinggian; lantas kalaupun dengan
suatu cara kami lolos dari hadangan, di luar hutan masih
terdapat lautan pasukan kerajaan yang menyemut untuk
memastikan berhasilnya penangkapan.
Kusaksikan Putri Amrita, dan kuraba sayap kulit kambing
yang masih terikat pada kedua tanganku. Barulah kusadari
betapa Ilmu Silat Kelelawar yang terserapnya hanya secara
kebetulan dan tidak diniatkan, kini sungguh bagiku menjadi
andalan. Gelombang manusia muncul dari dalam hutan
bagaikan air pasang.
(Oo-dwkz-oO) Episode 111: [Demi Sebuah Penangkapan]
SELAKSA prajurit menyerang bagaikan gelombang pasang
dari dalam hutan dengan pekik peperangan yang menggetarkan langit dan membuyarkan awan. Kami yang
hanya berdua bagaikan menjadi sekadar noktah di lautan,
dengan segera kukepakkan sayap kulit kambing yang
membuat tubuhku mengambang ke atas, lantas kugerakkan
tubuhku naik dan turun seperti kelelawar menyambar-
nyambar buah di dalam hutan. Sayap itu membuat aku dapat
bergerak jungkir balik dan berguling-guling di udara tanpa
menyentuh sesuatupun di atas bumi, menghindari usaha
penangkapan membabi buta karena pembunuhan gelap
Amrita yang nyaris melumpuhkan pemerintahan. Kulirik Amrita
yang dengan kedua kipasnya bergerak seperti menari tetapi
yang setiap gerakannya mendatangkan kematian.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Korban-korban Amrita inilah yang menjadi penanda
gerakan takkelihatan. Ia bergerak sangat cepat, terlalu cepat,
secepat-cepatnya cepat karena gelombang pasang pasukan
kerajaan ini memberikan jumlah manusia yang seolah-olah di
luar perhitungan dalam jarak yang begitu dekatnya sehingga
tiada ruang bagi penghindaran dan penyelamatan. Dalam
sekejap ratusan nyawa telah tercerabut sepasang kipas Amrita
yang dapat kulihat telah menjadi merah sepenuhnya karena
darah para penyerang. Perempuan pendekar ini bergerak
dengan sangat tenang, terlalu tenang, sangat amat tenang,
tetapi dengan kecepatan taktertatap dan hanya korban-korban
berpentalan tanpa nyawa sajalah membuat para pengepungnya dapat menandai kedudukan.
Para pengepung ini tidak sembarang mengepung, di antara
para prajurit bersenjatakan tombak dan parang yang
menyerang dengan teriakan selalu diselipkan seorang perwira
berilmu tinggi yang diharapkan mendapat sekejap kesempatan. Dalam pertempuran beratus ribu orang juga
berlaku dalil dunia persilatan, bahwa hanya diperlukan setitik
kelemahan dalam sekejap kelengahan untuk menyentuh
bagian yang paling me lumpuhkan. Namun siapakah orangnya
yang dapat melumpuhkan Amrita Vighnesvara sang dewi
penghancur murid Naga Bawah Tanah yang kesaktiannya
bagaikan dewa, tanpa Jurus Penjerat Naga yang telah
dipelajarinya pula meski dari kitab curian yang nyaris
mencelakakannya"
Para perwira diselundupkan di antara barisan untuk
mengambil kesempatan dalam kesempitan, tetapi Amrita te lah
menyiapkan pisau-pisau terbang dalam ikat pinggangnya
hanya untuk menyambut mereka itu sahaja. Begitu cepatnya
gerakan Amrita, sangat amat cepat sampai tiada terlihat,
sehingga dapat dilihatnya segenap gerak penyerangan sebagai
sesuatu yang amat sangat lambat, bahkan terlalu lambat,
sehingga dapat dilumpuhkannya setiap penyerang dengan
terlalu mudah, bagaikan menepuk nyamuk yang sedang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kekenyangan. Namun dengan mata awam tentu saja ini
menjadi pembantaian mengerikan.
ALIH-ALIH pasukan kerajaan bermaksud merajam,
sebaliknya Amrita melapangkan jalan bagi setiap sukma yang
hari itu tiba saatnya berpulang. Untuk setiap perwira yang
menyerang dalam kesempitan dilayangkannya pisau terbang
yang bagaikan bermata untuk segera menancap pada setiap
tenggorokan tanpa perlindungan.
Pengepungan ini betapapun terlihat kacau balau sungguh
penuh perhitungan, meski perhitungan yang manapun sangat
mungkin mengalam i kesalahan. Perhitungannya sendiri
memang tampak sederhana, karena setelah menyadari
kesaktian Amrita, diduga bahwa ia bisa ditenggelamkan oleh
lautan manusia. Tidaklah terduga tentu bahwa ilmu silat
Amrita jauh lebih tinggi dari yang dapat dibayangkan manusia.
Naga Bawah Tanah tentu tidak mendapatkan namanya
dengan begitu saja, dan jika akhirnya Amrita diterima sebagai
murid satu-satunya tentu karena dapat menerima segenap
ilmu yang diturunkannya. Inilah memang yang membuatku
bertanya-tanya: Jika Naga Bawah Tanah tidak pernah
memperlihatkan diri, bagaimanakah caranya Amrita dapat
menjadi muridnya"
Namun ini tentu bukan saat untuk memikirkannya,
terutama ketika aku masih berkelebat seperti kelelawar di
udara, menghindari hujan tombak dan anak panah yang
datang bagaikan hujan, tanpa celah sama sekali untuk dapat
menghindarinya. Maka terpaksalah aku tidak sekadar
menghindar, melainkan juga menangkisnya, dan untuk itu
kusambar sebuah pedang yang melayang, lantas menggerakkannya dalam perpaduan antara Ilmu Silat
Kelelawar dan Ilmu Pedang Cahaya Naga. Dengan Ilmu Silat
Kelelawar aku dapat bergerak di udara terus menerus tanpa
menyentuh bumi, dengan Ilmu Pedang Cahaya Naga aku
dapat menangkis seberapa banyak dan seberapa cepat pun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
setiap serangan yang mendatang, bahkan bila perlu
membalasnya begitu rupa, sampai habis luluh lantak tanpa
sisa, meski terhadap pasukan yang berasal dari golongan
petani ini aku tidak tega melakukannya.
Seharusnya kugunakan sepasang belati panjang seperti
Pangeran Kelelawar, tetapi menurutinya sesuai Ilmu Silat
Kelelawar tidak akan bisa tanpa menelan korban. Jadi
kugunakan Ilmu Pedang Cahaya Naga yang kecepatannya
tidak dapat diikuti mata, begitu rupa cepatnya sehingga bukan
saja aku dapat menangkis, melainkan dapat membabat ribuan
senjata yang menyerang berbarengan pada punggung
senjata-senjata itu. Kemudian, apabila begitu cepatnya
gerakanku sehingga tak selalu sempat para penyerang itu
melempar senjata, maka kukurimkan sekadar angin pukulan
untuk melontarkan mereka ke mana-mana. Jelas aku tidak
tega menggunakan pukulan Telapak Darah yang merupakan
puncak pencapaian angin pukulan itu, terutama karena
seluruh urusan pengepungan dan penangkapan ini sungguh
tidak menyangkut diriku.
Ini sungguh berbeda dari Amrita, yang menyadari dirinya
akan dirajam, yang hanya membangkitkan kehendak untuk
merajam pula. Telah kukatakan betapa kedua kipasnya telah
menjadi merah karena darah. Setiap kali kipas di tangan kiri
maupun kanan mengembang maupun menutup, darah
memuncrat dari tubuh korban. Amrita tidak lagi tampak
sebagai putri cantik jelita dengan mata mengerjap tajam yang
dapat membuat setiap orang terkesiap, melainkan algojo
pencabut nyawa yang seluruh tubuhnya bagaikan tercelup
darah. Amrita hanya merah. Kain tembus pandangnya yang
telah membuat aku terpesona dan mengejarnya sampai ke
Puncak Tiga Rembulan telah menjadi kain yang basah kuyup
oleh darah dan diikatkannya sebagai kancut seperti busana
pria. Kakinya yang putih mulus juga merah sepenuhnya oleh
darah yang bagaikan tiada pernah mengering karena setiap
kali tersembur semprotan darah baru. Adalah juga darah yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
terus menerus bercipratan membuncah-buncah ke seluruh
tubuh bagian atasnya, yang meski tiada mengenakan apa pun
kini tak ada yang bisa dilihat lagi selain dari merahnya darah.
Amrita mungkin tidak akan sempat menyadari keadaan
dirinya, karena gelombang pasang yang kini sengaja tidak
dihindarinya. Perempuan pendekar ini mengeluarkan Jurus
Pendeta Mengipas Karena Kepanasan yang sangat kejam dan
berbahaya, karena memang akan sangat mengecoh setiap
lawannya. Jurus ini memperlihatkan gerak-gerik seorang
pendeta yang tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya, dan
asyik mengipasi dirinya sendiri sambil menikmati pemandangan alam. Jadi Amrita tidak melenting-lenting lagi,
bahkan matanya mengerling genit seperti bhiksuni berganti
pekerjaan menjadi muncikari. Maka sepintas lalu Amrita
dengan seluruh tubuh yang telah memerah oleh darah itu
bagaikan perempuan kehilangan kewarasan, karena berjalan
melenggang sambil berkipas-kipas di tengah medan
pertempuran. NAMUN akibat dari jurus ini tidak terbayangkan, karena
bukan saja penyerang terkecoh oleh keberadaan Amrita yang
melenggang penuh kelemah lembutan, tetapi sekian lapis
barisan yang berada di belakangnya pun tewas bergelimpangan sebelum menyerang. Apakah yang telah
terjadi" Aku teringat pernah membaca Kitab Pembahasan
Jurus-Jurus Kipas Berbagai Aliran dan di sana disebutkan
tentang Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan tersebut.
Seingatku memang dikatakan di situ bahwa jurus-jurus ilmu
kipas merupakan ilmu silat yang menggabungkan kelembutan
dan kekerasan, dan karena itu mensyaratkan penguasaan ilmu
meringankan tubuh maupun tenaga dalam yang tinggi. Dalam
Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan, kelembutan itu
terletak dalam gerakan lemah, ibarat pendeta yang sudah 40
hari berpuasa, tetapi yang dalam gerakan Amrita menjadi
lemah gemulai penuh kerlingan; sedangkan kekerasannya
terletak pada tenaga dalam yang disalurkan melalui kipas itu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Disebutkan bahwa dalam ilmu kipas, tenaga dalam akan
membuat kipas kertas lebih kuat dari senjata logam manapun,
bahkan angin pukulan kipas itu dapat menerbangkan siapapun
dengan kuda-kuda begitu kuatnya sampai jatuh terguling-
guling jika tidak membentur pohon dengan begitu keras
sehingga tewas saat itu juga. Namun jurus yang satu ini, Jurus
Pendeta Mengipas Karena Kepanasan, jauh lebih istimewa,
karena tenaga dalam yang dikuasai bukan hanya harus
mampu membuat kipas kertas lebih tajam dari logam,
melainkan betapa zat udara yang meneruskan garis dan sisi
bidang kipas itu pun menjadi zat padat dan tajam, setajam
mata pisau belati yang lebih dari tajam. Tenaga dalam
memadatkan udara sepanjang sisi bidang yang mengikuti
kipas sejauh-jauhnya, sejauh daya tenaga dalam yang tersalur
melalui kipasnya. Tenaga dalam yang biasa membuat kipas
kertas sekuat logam, hanya tenaga dalam luar biasa membuat
seorang pendekar mampu membelah pohon maupun batu,
dari jarak seribu langkah dari pohon atau batu itu, hanya
dengan menggerakkan kipas yang bagaikan disambung baja
tertajam di dunia tanpa kelihatan.
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah yang sedang dilakukan Amrita sekarang dengan
Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan. Di tengah medan
pertempuran di bawah Puncak Tiga Rembulan yang tinggi
menjulang ia tampak berkipas sambil me lenggang-lenggok,
tetapi kibasannya ibarat irisan logam tajam bertenaga dahsyat
yang membabat siapapun dalam garis lintasannya, dengan
pencapaian sejauh-jauhnya. Bukan saja baris terdepan yang
menyerang dengan segala pekikan jatuh bergelimpangan,
tetapi juga empat sampai lima baris di belakangnya yang baru
siap untuk menyerang terbabat bergelimpangan. Apapun yang
menghalangi jalan dipatahkannya. Jika itu tombak, maka
tombak itu akan patah; jika itu pedang, maka itu akan
terbelah; jika itu perisai, tak urung akan terpercik warna
merah karena tangan yang memegangnya terdedah parah.
Jangan ditanyakan lagi bagian tubuh manusia seperti perut,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
leher, dada, atau kepala yang berada dalam garis lintasan
kipas yang dalam jarak seribu langkah tetap menyapu ganas.
Pemandangan yang sungguh aneh,
tetapi sangat mengerikan. Kalau sebelumnya hanya yang berada dekat
Amrita seperti mengantar nyawa segera bersimbah darah, kini
semua orang di baris-baris belakangnya pun, sampai empat
dan lima lapisan ikut bergelimpangan dengan luka terparah.
Kipas itu sedang terbuka atau tertutup akibatnya berbeda,
karena meski sama tajam dalam irisan, dalam keluasan sangat
besarlah perbedaan. Bagaikan terdapat pisau jagal raksasa
dari langit yang membelah ke kiri dan ke kanan, dan di sana
Amrita berlenggang-lenggok sendiri bagaikan takpeduli,
dengan sekujur tubuh, dari wajah sampai sepasang kaki,
merah semrerah-merahnya merah karena darah.
"Amrita!"
Aku berteriak menyergah di antara serbuan membabibuta
yang sebenarnya juga tidak memberi kesempatan.
"Sudahlah Amrita! K ita tinggalkan semua ini! T inggalkan!"
Amrita mengerling dalam penghayatan jurusnya itu,
sembari menggerakkan kipasnya, dan kini para penyerangkulah yang bergelimpangan dan terlontar ke udara
dengan tubuh-tubuh terbantai mengenaskan.
Tentulah sudah kuduga betapa tidaklah akan terlalu mudah
meninggalkan gelanggang pertempuran, yang telah diperhitungkan demi berhasilnya penangkapan. Meskipun
Amrita adalah puteri Jayavarman II sendiri, pembunuhan
gelap adalah kesalahan tak berampun, yang karena itu pasti
berlangsung oleh penyebab yang lebih besar dari sekadar
kepentingan kekuasaan. Telah kusebutkan betapa selain
prajurit yang mengempas bak gelombang pasang dari dalam
hutan, di atas pucuk pepohonan telah menanti para pengawal
rahasia istana, yang tentu saja paling tinggi ilmunya di antara
segenap kesatuan dalam pasukan kerajaan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
BERBEDA dengan pengawal rahasia istana Mataram di
Jawadwipa yang busana resminya serbaputih, dengan pedang
lurus panjang yang berkilat keperakan, maka para pengawal
rahasia istana raja Jayavarman II yang masih sedang
menggalang kesatuan Angkor di seluruh Kambuja ini
berbusana jauh lebih sederhana, taklebih dan takkurang
karena mereka semua hanya berkancut abu-abu kecoklatan,
yang memberi kesan lusuh, dengan ikatan kain kepala yang
disimpulkan di depan. Hanya perhiasan seperti kalung dan
kelat bahu menunjukkan kedudukan mereka yang lebih tinggi.
Betapapun, ke sanalah aku melayang seperti kelelawar
menyambar-buahan, tetapi dengan tangan memainkan Ilmu
Pedang Cahaya Naga.
Penghargaanku atas kesetiaan mereka kepada rajanya
membuat aku tidak tega membunuh mereka. Namun apa daya
serangan para pengawal rahasia istana ini jauh lebih
berbahaya dari gelombang manusia di bawah sana. Melenting
di atas pucuk-pucuk pepohonan membuatku dapat memainkan paduan Ilmu Silat Kelalawar dan Ilmu Pedang
Cahaya Naga dengan cara yang berbeda. Jika di bawah tadi
Ilmu Silat Kelelawar membuat aku tidak perlu menapak bumi
yang memang penuh dengan manusia bertombak, di atas
pohon ini bisa kumanfaatkan pucuk-pucuk pepohonan untuk
mengubah jurus-jurus Ilmu Silat Kelelawar yang agaknya telah
mereka pelajari sebelum pengepungan. Memang tampak
serangan serempak mereka tidak menemui sasaran, bahkan
dengan kecepatan cahaya aku bergerak dengan mudah untuk
membuat senjata mereka melayang berpentalan.
Telah kukatakan aku sama sekali tidak ingin membunuh,
tetapi ini pun tidak dapat dilakukan tanpa kesulitan, terutama
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 13 Sarang Perjudian Karya Gu Long Pedang Pusaka Buntung 3
memilih dan menentukan korban. Empat belati panjang segera
terlempar dari kedua sosok bayangan, tetapi ketika sembari
masih berbaring kedua pedang hitamku melesak ke dalam
jantung masing-masing dari keduanya, yang menyembur
keluar adalah darah yang sebenarnya. Jadi keduanya bukanlah
bayangan ciptaan sihir. Dengan segera pula kedua pedang
hitam warisan Raja Pembantai dari Selatan itu telah
mengurung Pangeran Kelelawar dengan kedua belati
panjangnya. Jika kumasuki Jurus Dua Pedang Menulis
Kematian sekarang juga, niscaya riwayatnya segera dapat
kutamatkan. Namun kunantikan jurus-jurus pamungkasnya,
agar dapat kuserap dengan jurus-jurus yang kelak akan
terkenal sebagai Jurus Bayangan Cermin.
Seperti yang kuduga, ia menyerang dengan memanfaatkan
kedua sayapnya. Diriku bagaikan terkurung jala hitam dan
kedua pedang yang kuayun untuk merobek selaput kulit yang
menjadi sayap itu selalu luput mengenainya. Maka
kugabungkan Jurus Bayangan Cermin dan Jurus Penjerat
Naga. Dengan Jurus Bayangan Cermin terseraplah sudah
segenap jurus dalam ilmunya, dan dengan Jurus Penjerat
Naga meski aku tetap bergerak membuat ia mengira aku
dalam kelemahan terbuka. Saat kedua belatinya bermaksud
menggunting leherku, kedua pedangku malah masuk kembali
dalam tanganku, karena aku hanya perlu menyorongkan
tangan ke depan memberikan kepadanya pukulan Telapak
Darah. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia terlempar ke atas memuntahkan darah. Namun
bukannya jatuh, ia mengepakkan sayapnya, terbang ke atas.
Aku melesat ke atas dengan kedua pedang yang sudah
muncul kembali dari dalam tanganku. Setiap kali sambaran
pedangku ditangkisnya, kugunakan dorongan tenaganya
sebagai daya melenting ke atas, dengan demikian Pangeran
Kelelawar itu selalu bisa kukejar ke atas. Jadi sebetulnya
pedangku tidak menyambar untuk membunuh, melainkan
untuk ditangkis agar aku bisa melayang ke atas tanpa harus
memijak sesuatu. Meski siasatku ini sebetulnya gampang
dibaca, tetapi pukulan Telapak Darah telah membuatnya tidak
bisa berpikir. Ia seperti menghindariku, seperti ada yang
menunggunya di atas, meski dalam pertarungan tingkat tinggi
seperti ini tentu aku tidak bisa berpikir terlalu panjang. Pada
saat kedua tangannya terbuka kutusukkan pedang hitam yang
kehitamannya disebabkan ramuan racun bercampur darah
korban. Begitu kuat tusukan pedang di tangan kananku itu ke
dadanya, sampai tembus ke punggung, dan menancap pada
dinding tiang penyangga bulan. Lantas kutancapkan pula
pedang di sebelah kiriku, sehingga ia tertancap makin di
dinding itu. Masalahnya, bagaimana aku bisa melepaskan pedang itu"
Selama ini kedua pedang itu me lekat tanpa diminta, yang
membuat aku berpikir tidak akan bisa menganggap diriku
sempurna selama keduanya masih mengendon di dalam kedua
tanganku. Maka dalam sekejap kuselusuri perbendaharaan
ribuan mantra yang berada dalam diriku. Kucari mantra
semacam mantra pelepas pedang jika memang kemampuan
menyimpan pedang dalam tangan itu merupakan kemampuan
sihir. Namun rasanya tidak kutemukan mantra itu. Bagaimana
caranya Raja Pembantai dari Selatan memasukkan dan
mengeluarkannya, sebelum kemudian memindahkannya ke
dalam diriku berikut segenap mantra sihir itu" Aku nyaris
merasa putus asa dalam usaha melepaskan sepasang pedang
yang setiap kali selalu gagal. Padahal kalau pedang itu masuk
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kembali ke dalam tanganku, tubuh Pangeran Kelelawar tentu
jatuh melayang ke bawah, padahal ia belum lagi mati.
Tentu aku berada dekat sekali dengannya. Nafasnya tinggal
satu-satu, karena tenaga dalamnya untuk sementara dapat
melawan aliran racun kedua pedang itu. Matanya terus
memandangku seperti berusaha mengatakan sesuatu. Namun
aku sibuk berusaha melepaskan pedang itu dengan usaha
yang sia-sia. Kedua kakiku sampai naik ke dinding batu di
samping kiri dan kanan sepasang pedang yang masih
menancap di tubuh Pangeran Kelelawar, kutekankan kaki ke
dinding itu sambil menarik tubuhku sekuat-kuatnya, seolah-
olah dengan cara itu kedua pedang itu bisa terlepas dari
tanganku. Begitu kuatnya usahaku menarik diri, sampai
kepalaku terdongak ke belakang, begitu rupa sehingga tampak
olehku segala pemandangan di bawah.
Kami tertempel di dinding itu pada ketinggian setengah dari
keseluruhan tinggi tiang. Rembulan masih purnama, tampak
luar biasa luas bagaikan payung dari langit. Kiranya inilah
yang menjadi sebab mengapa dari bawah tiang ini bagaikan
menyangga rembulan. Namun aku tidak dapat menikmati
keindahan itu sebab dipenuhi rasa putus asa karena tidak
dapat melepaskan kedua pedang tersebut. Waktu kepalaku
tersentak-sentak dalam usaha menarik diri itu terpandang
bumi dan langit berganti-ganti. Dalam puncak keputus asaan
aku berteriak: "Aaaaaaagggggggghhhhhhhh!"
Lantas aku tenggelam dalam sunyi. Dalam kesunyian
segalanya menjadi jelas, begitu jelas, terlalu jelas, lebih jelas
dari kejelasan itu sendir
pada tingkat yang murni
tiada pengertian keesaan atau kejamakan
dari para Buddha
tiada keesaan mulanya mereka berbadan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tiada kejamakan
mirip angkasa tiada memiliki badan
Saat itulah aku terpental. Lepas! Aku melayang tanpa
bobot, jadi meskipun lepas aku tidak jatuh ke bawah. Aku
mengambang di hadapan Pangeran Kelelawar yang tertancap
oleh kedua pedang itu di dalam dinding batu. Ia masih hidup,
dan matanya masih memandangku seperti ingin mengatakan
sesuatu. Aku segera menjejak udara dan kembali menempel
ke dinding batu dengan ilmu cicak di sebelah Pangeran
Kelelawar, karena aku tahu bobot tubuhku akan segera
kembali bersama kembalinya kesadaranku.
Angin bertiup, amat sangat dingin. Setelah pertarungan
usai alam menghadirkan dirinya kembali. Kami tenggelam
dalam kabut. Meski malam bulan purnama, kabut tetap
membuat kami taksaling dapat melihat. Kudengar napas-
napas terakhirnya yang tersengal.
''Amrita di atas sana, tolonglah...''
Suaranya memang sangat lemah, dan ketika kabut itu
pergi, agaknya ia pun ikut pergi. Tubuhnya tergantung dengan
sayap kelelawar yang kuncup. Kepalanya tertunduk, darah
yang semula mengucur dari tempat kedua pedang itu
menancap telah membeku. Tempat ini memang sangat tinggi.
Udara sangat tipis. Kulihat serpihan pada bulu mata, janggut,
dan kumisnya. Saat menolong Amrita yang tak sadarkan diri
waktu itu, kulihat seseorang berkepala botak, kurus kering
seperti hanya tinggal kulit membalut tulang, dengan tubuh
bongkok yang ditutupi jubah. Kini botaknya tampak sedikit
berambut dan jubahnya terlihat berada di dalam, terbungkus
busana hitam yang sewarna dengan sayap hitam kelam
berbulu yang seperti tumbuh alam i antara pergelangan tangan
dan pinggangnya. Ia tidak bersayap dan tidak berselimutkan
kain hitam ketika muncul di pelabuhan. Bagaimanakah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
caranya pendeta Buddha ini mengubah dirinya jadi Pangeran
Kelelawar" Aku menduga ia mengubah dirinya melalui mantra,
tetapi tentu saja aku tidak dapat memastikan.
Ia menggantung di sana, tentu tidak akan terlalu kelihatan
dari bawah. Namun apabila kelak seseorang mendaki tebing
ini, dengan ilmu cicak atau peralatan untuk mendaki, mungkin
Pangeran Kelelawar ini sudah membatu bagaikan sebuah arca
yang dipahatkan langsung pada dinding bukit yang sangat
curam ini. Aku menengok ke atas, Amrita berada di atas sana
katanya. Jadi kedua elang yang kulihat mengelilingi Puncak
Tiga Rembulan tadi siang, bukanlah sepasang elang yang
sedang mengawasi anak-anaknya, melainkan seorang putri
nan indah rupawan tiada terkira. Bahkan dengan segala
ukuran, Puteri Amrita Vighnesvara masih selalu unggul
sebagai wujud kecantikan. Di atas sana, yang jaraknya masih
setengah bagian dari tempat kematian Pangeran Kelelawar,
tidak mungkinkah ia sudah mati kedinginan"
KUINGAT lagi apa yang terjadi ketika berhadapan
dengannya di pelabuhan. Titik lemahnya terbuka karena
jebakan Jurus Penjerat Naga, yang memang akan membuka
bagian terlemah, dan begitu lemahnya sehingga meski hanya
kusentuh saja, tanpa tenaga dalam sama sekali, akan
memberi akibat yang parah, yakni kematian. Namun karena
terhadap Amrita diriku tidak berniat menamatkan riwayat
hidupnya di muka bumi ini, maka sentuhanku itu
sebenarnyalah merupakan selemah-lemahnya sentuhan, meski
tetap saja telah membuat murid Naga Bawah Tanah itu
kehilangan kesadaran.
Tentu aku tidak dapat menjamin apakah ia akan tetap
hidup jika berada di atas sana, apalagi tanpa seorang pun
mengetahuinya, karena kukira mereka memang menyembunyikan diri di sana. Tempat yang tidak akan pernah
didatangi manusia, karena udaranya yang begitu tipis dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
suhu yang sungguh terlalu dingin bagaikan mampu
membekukan darah mengalir. Hmm. Bagaimanakah caranya
aku ke sana secepatnya agar dapat menolong Amrita"
(Oo-dwkz-oO) AKU tidak boleh berpikir terlalu lama. Suhu sedingin ini,
yang bahkan embun pun segera membeku bagaikan salju,
mungkin saja telah menewaskan Amrita sejak lama. Namun
aku tidak dapat mengandalkan ilmu cicak untuk me-rayapi
tiang penyangga langit ini, karena pasti masih akan lama
untuk sampai ke sana. Jika hanya mengandalkan ilmu cicak,
secepat-cepatnya merayap, besok pagi pun belum tentu aku
mencapai puncaknya. Sementara itu, jika aku dengan ilmu
meringankan tubuh berusaha melenting-lenting sampai ke
puncaknya, seperti biasanya jika me layang ke atas jika
bertemu dinding tebing yang curang, kini tiada sesuatu yang
dapat diinjak untuk me lentingkan aku terus menerus sampai
ke atas. Berarti satu-satunya jalan tinggal berlari, berlari
miring sepanjang dinding sampai ke atas, dan jika kutancap
Jurus Naga Berlari di Atas Langit, maka sebelum fajar kurasa
aku sudah akan sampai ke puncak. Masalahnya, kakiku tidak
akan berlari di atas dataran yang rata, karena sesungguhnyalah sepanjang tiang hanyalah serpihan batu
tajam, yang begitu tajamnya sehingga jika kulit manusia
menyentuhnya, meski tenaga dalam telah membuatnya
sekeras besi dan ilmu meringankan tubuh membuatnya
seringan kapas, tetap saja ketajaman serpihan itu akan
menembusnya. Maka, meskipun mampu berlari miring sepanjang dinding
ke arah langit, aku tidaklah mungkin melakukannya jika tidak
ingin telapak kakiku hancur. Angin bertiup lagi bagaikan
membawa bongkahan-bongkahan es. Aku berkutat menahan
dingin. Di sebelahku Pangeran Kelelawar itu membeku. Kulihat
sayapnya yang kuncup, dan aku segera mendapat akal.
Kusalurkan tenaga dalam ke ujung jariku agar dapat
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
memotong selaput kulit yang membentuk sayap kelelawar
tersebut. Satu lembar dari sayap kanan dan satu lembar lagi
dari sayap kiri. Kulit itu nyaris keras seperti batu, tetapi
kusalurkan hawa panas untuk mencairkan es yang telah
membekukannya. Dari selaput kulit yang bukan sembarang
kulit itulah, yakni selaput kulit sayap Pangeran Kelelawar,
kubuat alas bagi telapak kakiku, sehingga aku akan dapat
berlari tanpa terluka sama sekali.
Dengan ilmu cicak, punggungku dapat menempel erat pada
dinding curam sementara kedua tanganku mengerjakan
lembaran-lembaran kulit tersebut, membuat tali daripadanya,
dan mengenakan serta mengikatnya sebagai alas kaki yang
membungkus serta menutupi sampai ke betisku. Meski terikat
secara kasar begitu, selaput kulit tersebut enak jatuhnya di
telapak kakiku dan segera kuketahui, bahwa meskipun selaput
itu tampaknya lemas dan halus, begitu liat dan kuat sehingga
senjata setajam apapun tak akan mampu menembusnya,
seperti juga serpihan-serpihan batu setajam gelas sepanjang
dinding ini tidak akan segaris pun dapat menggoresnya.
Setelah kujejak-jejakkan sebentar, aku merasa yakin, dan
segera melejit berlari miring ke arah langit dengan perasaan
berlari di atas dataran batu. Rembulan bagaikan payung
raksasa keperakan ketika kabut akhirnya kutembus. Fajar
sebentar lagi tiba dan aku berharap cahaya matahari akan
sedikit mencairkan kebekuan Puncak Tiga Rembulan yang
bagai tidak tertahankan ini. Aku yang berlari dengan Jurus
Naga Berlari di Atas Awan ini saja, yang artinya melakukan
pengerahan tenaga dalam, masih merasa kedinginan begini
rupa, lantas bagaimana pula dengan Amrita yang hanya
tergeletak saja dalam kesendirian di atas sana"
Ternyata berlari miring ke atas pada dinding curam Puncak
Tiga Rembulan ini bukanlah hal terakhir yang bisa kulakukan
sebelum dapat mencapai Amrita.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
SETENGAH perjalanan dari tempat Pangeran Kelelawar
tertancap dua pedang pada dinding batu, artinya tiga
perempat bagian jika dihitung dari bawah, saat rembulan
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memudar dan matahari menyingsing, kedua elang gunung
abu-abu yang pernah kulihat terbang berputar-putar di
puncaknya itu muncul dan menyambarku silih berganti. Bahwa
kedua elang itu bukanlah elang sembarang elang segera bisa
kuketahui dari kecepatan sambaran, kekuatan angin
sambarannya yang mendesau, dan keras patukan, cakar, dan
kibasan sayapnya yang bahkan menghancurkan batu-batu.
Tiada pernah kuduga betapa dalam perjalananku sebagai
pencari kesempurnaan dalam dunia persilatan, harus kuhadapi
sepasang burung elang terganas dengan sayap-sayap besi,
yang memaksaku mengerahkan segenap jurus yang tidak
pernah kupakai, karena memang tidak pernah mendapat
serangan dalam bentuk seperti ini. Dalam kemiringan dinding
curam, aku bertarung melawan dua burung elang ketika
cahaya matahari melesat dengan cahayanya yang berkilauan,
membuat ketiga tiang raksasa Puncak Tiga Rembulan
berkeretap dalam cahaya keemas-emasan.
(Oo-dwkz-oO) Episode 107: [Panah-panah Asmara]
BURUNG-BURUNG elang kelabu dengan kekuatan sayap
sekeras besi. Hmm. Keduanya tentu diperintahkan Pangeran
Kelelawar yang telah tertancap kedua pedang hitam di bawah
itu untuk menyerang siapa pun yang menuju ke atas, untuk
melindungi Puteri Amrita yang belum kuketahui nasibnya.
Apakah kedua elang yang sungguh-sungguh perkasa itu harus
juga kubunuh" Namun jika tidak kubunuh, tentu bukan hanya
aku yang akan mati terbunuh, melainkan juga Puteri Amrita
akan semakin jauh dari pertolongan meski aku sendiri belum
tahu pasti pertolongan macam apa yang dibutuhkannya. Ia
bisa menjadi lemah takberdaya, dan agaknya bahkan takbisa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
disembuhkan oleh kesaktian Pangeran Kelelawar, karena
sentuhanku di tempat yang terlemah, tetapi bisa pula
terutama akibat pembelajaran dari kitab curian.
Aku belum tahu, karena itu aku menjadi semakin
penasaran, dan karena itu haruslah kuselesaikan kedua
burung elang pengawal ini. Namun membunuh kedua elang ini
bukan perkara mudah, bahkan sebaliknya adalah mereka
berdua yang berkemungkinan lebih besar untuk membunuhku,
karena ruang pertarungan ini adalah ruang mereka dan bukan
ruangku. Mereka selalu me layang-layang di Puncak Tiga
Rembulan ini, tetapi aku baru untuk kali pertama tiba di sini,
setelah semalaman bertarung melawan Ilmu Silat Kelelawar
yang ajaib itu. Namun bahwa sebelum menghadapi kedua
burung elang ini aku telah menghadapi Pangeran Kelelawar,
dan bahwa dalam pertarungan itu telah kugunakan Jurus
Bayangan Cermin untuk menyerap Ilmu Silat Kelelawar,
ternyata sangat berguna untuk membaca dan menghadapi
berbagai bentuk serangan kedua burung elang itu.
Mereka terus menyerbu bergantian dengan sambaran
cakar, paruh, dan kibasan sayap yang sangat berbahaya. Aku
hanya dapat bertahan dengan kedua kaki menempel dan tentu
tidak bisa lama-lama bertahan dengan kedudukan seperti itu.
Serangan mereka bukan jurus manusia, jadi tidak bisa
dihadapi dengan jurus-jurus silat yang dipelajari dari
pengamatan terhadap burung elang. Ilmu Silat Kelelawar
tidaklah mengamati gerak kelelawar dari luar, melainkan
menyerap segenap sifat gerakannya dengan menghayati
kehidupan kelelawar itu sendiri, sehingga jurus-jurusnya tetap
bersifat kelelawar yang mampu berkelebat dengan mata
tertutup dalam kegelapan. Namun Ilmu Silat Kelelawar itu
hanya mungkin dimainkan dengan sempurna jika pelakunya
bersayap kelelawar seperti Pangeran Kelelawar.
Maka sungguh kupertaruhkan nyawaku ketika kujejakkan
kakiku ke dinding, melepaskan diri dari ilmu cicak, meluncur
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dengan kecepatan sangat tinggi seperti gerak kelelawar
menyambut serangan elang itu, menghindari sambarannya
tetapi meminjam tubuhnya untuk kujejak agar bisa melenting
ketika sambaran elang yang satu lagi datang. Aku bisa
melayang karena gerakanku sangat cepat, yang berarti aku
dapat bergerak banyak sebelum tubuhku mestinya jatuh ke
bumi. Bukankah ini yang dilakukan anak-anak desa, jika
mereka memperagakan gerak indah ketika meloncat dari atas
tebing, sebelum jatuh ke bawah, di sebuah kolam, sungai,
atau air terjun"
Sebelum itu terjadi aku dapat menjejak punggung burung
itu agar dapat me lenting, sama seperti aku biasa melenting
meski hanya menjejak pucuk-pucuk daun, tetapi kali ini
melenting agar dapat menghindari serangan burung elang
yang datang kemudian.
BURUNG elang yang datang kemudian ini berkelebat
dengan cakarnya dan mengibaskan sayapnya sepenuh tenaga,
tetapi yang hanya menyambar udara karena seperti setiap
kelelawar aku pun kini dapat menghindarinya. Saat itulah
kujejakkan kakiku ke punggungnya sebagai tendangan maut
yang langsung mematikannya, sekaligus mendorong diriku
sendiri kembali kepada burung elang yang sebelumnya telah
menyerangku. Aku tak bersayap, tetapi kelelawar pun tidak selalu
melayang dengan cara mengepak, melainkan seperti
menjatuhkan diri dan hanya menggunakan sayapnya itu
sebagai kemudi yang akan menentukan arahnya. Itulah yang
kulakukan dengan berbagai cara meliukkan tubuhku, sehingga
dalam sekejap aku telah berada di atas burung yang masih
terdorong oleh jejakanku sebelumnya, hanya untuk kujejak
sekali lagi, tetapi kali ini sebagai tendangan maut yang juga
menamatkan riwayatnya.
Dengan daya dorong tendangan itu aku kembali meluncur
menuju dinding, untuk langsung menempel kembali seperti
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
cicak. Kulihat kedua elang perkasa yang dengan sangat
menyesal harus kutewaskan itu me layang jatuh ke bawah
tanpa nyawa lagi. Meninggalkan sejumlah bulu yang
beterbangan dan menyusul jatuh dengan lebih lamban karena
angin dingin yang membuatnya melayang-layang.
(Oo-dwkz-oO) BERAPAKAH tinggi tiang raksasa yang seolah menyangga
langit ini" Aku tidak tahu. Apabila kemudian tiang yang
menjadi bagian dari Puncak Tiga Rembulan ini menembus
mega, aku kembali berlari miring ke atas hanya dengan
mengandalkan perasaanku saja, karena dalam kenyataannya
sepanjang mata memandang aku tidak dapat melihat apa pun
lagi, kecuali cahaya demi cahaya. Lapis demi lapis cahaya
keemasan dari pagi yang sudah penuh sehingga tempat
rembulan diganti matahari membuat segalanya hanyalah
cahaya menyilaukan. Selepas mega hanya cahaya di atas
dinding keemasan sehingga hanya kakiku yang telah
terbungkus selaput kulit sayap kelelawar dapat merasakan
jalan ke atas dan hanya ke atas, tiada lain selain ke atas,
tempat kuyakini terdapatnya Amrita di atas sana dalam
keadaan siap kehilangan nyawa.
Bayangan betapa Amrita terkapar di sana dalam keadaan
lemah membuat aku mengerahkan segala daya untuk melejit
ke atas tanpa terbendung lagi. Suhu memang tetap dingin,
tetapi cahaya matahari menembus butiran-butiran udara dan
berjuang mencairkan kebekuannya. Begitulah cahaya menjadikan dirinya sendiri sebagai harapan, berkilauan, dalam
bentangan cahaya menyilaukan, ketika matahari bagaikan
suatu payung cahaya di atas sana, yang tak mungkin
kupandang berlama-lama, sehingga aku terus berlari tetapi
sambil memejamkan mata. Dalam kecepatan tinggi kutancap
ilmu pendengaran Mendengar Semut Berbisik di Dalam
Lubang, sekadar untuk memastikan pijakan berdasarkan desir
angin yang menyapu sisi tiang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Berlari miring menuju ke atas tidaklah sama dengan berlari
dalam keadaan biasa di tanah datar. Meskipun telah
kugunakan Jurus Naga Berlari di Atas Langit yang membuat
diriku sangat ringan dan mampu melesat seperti kilat, tetapi
berlari pada dinding tegak lurus dengan ketinggian seperti itu
menuntut pengerahan tenaga dalam yang lebih besar dari
pertarungan selama berhari-hari. Mengerahkan tenaga dalam
tanpa lawan seperti ini, aku berhadapan dengan segala
kelemahanku sendiri. Makin ke atas makin tertantang daya
tahanku sendiri. Hanya kesunyian kini, menembus dingin
dalam sepuhan matahari.
biasakanlah menganggap bentuk dunia
sebagai sunyata
tak terlihat bentuk badannya
demikianlah uraian
tentang bentuk yang ditangkap
dan bentuk yang menangkap
Mendadak saja kakiku lepas dari segala jejakan. Melenting
ringan ke atas bagaikan telah diluncurkan oleh pengerahan
tenaga sejak dari bawah. Aku meluncur ke atas, tapi kemudian
berhenti dan melayang turun perlahan-lahan seperti tubuhku
lebih ringan dari sesobek kapas.
Dari atas kulihat sa lah satu dari Puncak T iga Rembulan itu,
yang tengah tepatnya, sebuah dataran batu melingkar tempat
sesosok tubuh berbalut selimut kulit kambing sedang
berbaring di atasnya. Itulah Puteri Amrita yang terkapar tanpa
daya, tetapi ia masih berada jauh di bawah sana, karena aku
melayang turun dengan sangat pelahan-lahan.
Di dekatnya kulihat sisa unggun kayu yang sudah tidak
menyala lagi. Tentu yang kemudian kukenal sebagai Pangeran
Kelelawar itulah yang sangat mungkin telah membawa kayu
bakar itu ke atas. Jika perlu sete lah digandakannya diri
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
menjadi tiga, sehingga ia tidak perlu naik dan turun lagi
beberapa kali. Aku turun perlahan-lahan seolah-olah tubuhku
bergantung kepada sebuah payung, tetapi aku turun tanpa
payung dan tetap saja turun perlahan-lahan sehingga dapat
menikmati pemandangan, nun sampai ke batas cakrawala di
sekitarnya. Hutan, jurang, dan persawahan, disusul pemukiman, dan gugusan candi-candi. Kulihat semuanya dari
atas, kerbau yang digunakan untuk membajak, orang-orang
menanam bibit, iring-iringan pendeta Buddha menuju ke
tempat upacara, kerumunan atas tontonan, sejumlah orang
memasang puncak candi, mengangkut batu, dan juga harimau
yang mengejar kijang.
Kulihat sungai besar yang cokelat dengan anak-anak
sungainya. Perahu-perahu yang menyusurinya dalam kesunyian, pemukiman yang dilewatinya, dan anak kecil
berlari-lari di tepian. Kadang kulihat juga seorang perempuan
dengan rambut terandam dengan dada terbuka berjalan
sendirian dengan barang bawaan di atas kepala di jalan
setapak di atas bukit. Dari atas terlihat betapa terpencilnya
Puncak Tiga Rembulan dengan segala kesulitan untuk
mencapainya. Namun bersama dengan itu tampaklah pula
betapa Puncak Tiga Rembulan ibarat sebuah tempat yang
tidak seharusnya berada di atas bumi karena seperti turun dari
langit di bumi yang lain.
Pada tiang yang berada di tengah dari Puncak Tiga
Rembulan itulah Amrita tergolek berbalut selimut dalam
sapuan cahaya keemasan. Puncak tiang adalah dataran batu
nan hitam melingkar yang panjang jari-jarinya sekitar
limapuluh langkah, tetapi dari atas kulihat Amrita bagaikan
sedang tidur di atas ranjangnya sendiri. Ia berbalik ke sana
dan kemari, lantas meregangkan tangan, dan membuka mata.
Kukira ia langsung melihatku yang sedang melayang-layang
turun, karena meskipun jarak kami masih terlalu jauh,
bagaikan terasa olehku betapa ia tersenyum. Semakin dekat
jaraknya, semakin tampak kepadaku wajahnya sebagai wajah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang mungil. Wajah penuh kemurnian yang akan membuat
siapapun lupa betapa Amrita Vighnesvara selain berarti dewi
pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebetulnya juga berarti
dewi penghancur.
Aku melayang turun semakin dekat, dan perasaanku
memang tidak keliru jika merasa ia tersenyum kepadaku. Aku
tidak hanya merasakannya sekarang, tetapi juga melihatnya.
Matahari membuat Amrita bagaikan bongkahan emas di
tengah batu hitam. Angin nyaris membawaku kepada tiang
Puncak Tiga Rembulan yang di sebelahnya, tetapi
kukemudikan diriku dengan cara menyapu udara agar tetap
mengarah kepada Amrita. Semakin jelas bahwa ia memang
tersenyum. Perempuan pendekar yang semula kuhadapi
dengan pertaruhan nyawa itu, yakni pertarungan yang
mengizinkan pembunuhan, kini menyambutku dengan
pandangan kekanak-kanakan yang murni. Apakah itu benar
suatu kemurnian, ataukah jebakan terakhir seorang petarung
yang dengan segala cara ingin menang"
Itulah masalahnya dengan pertarungan para pendekar,
apakah pertarungan hanya sahih di dalam gelanggang,
ataukah dunia ini dianggap sebagai gelanggang pertarungan
itu sendiri, tempat siapapun yang kurang waspada dapat
tewas seketika karena serangan rahasia" Aku telah sampai
kepada jarak tempat bisa kukirimkan angin pukulanku
sekarang juga, karena sudah terlalu sering kudengar cerita
tentang perempuan di balik selimut seperti itu, yang bagaikan
menanti dengan penuh hasrat tetapi di balik selimutnya
menggenggam belati melengkung siap menikam.
AKU turun semakin dekat, sedikit kuberatkan tubuhku agar
diriku tidak kabur dibawa angin. Jadi dalam ilmu meringankan
tubuh sebetulnya terdapat jurus pemberat badan, bahkan
pernah kudengar cerita tentang seorang pendekar yang
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai ilmu pemberat badan, sehingga tubuhnya
bergeming begitu rupa bagaikan seonggok batu gunung ketika
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
menghadapi barisan gajah. Namun tentang hal itu biarkanlah
kuceritakan nanti karena di bawah itu kulihat Amrita yang
tergeletak di dalam selimut tampak pucat, begitu pucat,
sangat pucat, bagaikan tiada lagi yang lebih pucat. Aku heran,
mengapa tidak ada yang bisa dilakukan Pangeran Kelelawar
itu untuk menolongnya" Tidakkah semestinya dengan
penyaluran tenaga dalam maka Amrita dapat setidaknya
terhangatkan dan bertahan di atas Puncak Tiga Rembulan
yang betapapun memang dingin tak tertahankan itu"
Manusia biasa boleh membeku, tetapi untuk apa para
pendekar memiliki tenaga dalam, jika tidak dapat menahan
dingin melalui olah pernapasan mereka yang boleh dikatakan
nyaris sempurna" Aku turun tepat di hadapan Amrita dan ia
tetap saja hanya tersenyum, tetapi kini dengan air mata
berlinang-linang... Aku mendekatinya dan memegang urat
nadi di tangannya.
"Bagaimana keadaanmu?" aku bertanya dalam bahasa
Sansekerta. Sekali lagi ia hanya tersenyum lemah dengan air mata
mengalir ke pipi. Astaga. Ia tidak dapat berbicara! Apakah
yang telah terjadi"
Maka segera kulakukan penyapuan dengan tenaga prana
ke seluruh tubuhnya. Penyapuan adalah cara pembersihan,
tetapi juga dapat digunakan untuk memberi tenaga dan
membagikan kelebihan prana. Pembersihan yang dilakukan ke
seluruh darah dan daging tubuh disebut penyapuan umum,
sedangkan yang berada di bagian tubuh tertentu disebut
penyapuan setempat. Kulakukan penyapuan umum ke seluruh
tubuh Amrita. Kubuka selimutnya, lantas kucakupkan tangan
dalam jarak sejengkal di atas kepalanya. Aku tidak
menyentuhnya, tetapi mempertahankan jarak yang lebih
rendah lagi di seluruh tubuhnya ketika tanganku bergerak
menyapu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan tangan tetap melengkung, kusapukan tanganku
perlahan-lahan ke bawah dari kepala ke kaki mengikuti suatu
garis, kemudian kembali sampai ke lutut, lantas membuang
limbah pembersihan itu ke bawah kaki. Begitulah diulang
berkali-kali dengan cakupan kedua tangan yang setiap kali
mengulang diperlebar jaraknya. Setiap kali limbah pembersihan memang harus dibuang ke bawah kaki, untuk
menghindari agar tidak masuk lagi dan menjadi racun ketika
tangan kembali naik ke tubuh bagian atas. Jika tidak
dilakukan, bahkan tubuhku sendiri akan keracunan oleh
limbah penyapuan itu, yakni bahwa jari-jariku sendiri, juga
tangan dan telapak tangan, akan menjadi sakit dan tubuh
melemah, akan mengalami kesakitan yang sama seperti
Amrita. Lantas kubalikkan tubuhnya, kusapu lagi dengan tangan
tetap berjarak dari tubuhnya pada punggung ke bawah,
dengan cara yang masih sama. Kupusatkan perhatianku dan
kuteguhkan niatku, karena hanya dengan pendekatan ini
penyapuan akan berhasil. Setelah semua limbah terbuang ke
bawah kaki, Amrita pun tertidur. Untuk itu kulakukan gerakan
untuk membangunkannya kembali, dengan menyapukan
kembali tangan ke atas, tetapi yang tidak lagi untuk
melakukan pembersihan. Jika tadi limbah belum kubuang ke
bawah kaki, limbah itu akan terbawa kembali saat tangan
bergerak kembali ke atas, dan bisa berpindah atau menetap di
daerah kepala, sehingga membuatnya bertambah sakit.
Penyapuanku itu telah menutup prana yang bocor. Agaknya
dalam usaha penyembuhan Amrita, ketika menyalurkan
tenaga dalamnya Pendekar Kelelawar tidak melakukan
penyapuan dalam tubuh Amrita lebih dahulu. Sentuhanku
pada titik terlemah yang menjadi terbuka karena Jurus
Penjerat Naga telah membuka lubang yang dilalui prana yang
bocor. Tanpa menutup lubang itu, penyembuhan sangat
lambat, meskipun Amrita diberi daya dengan prana, karena
prana hanya akan bocor keluar. Ini yang membuat kesakitan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dan kelemahan akan kembali, hanya beberapa saat sesudah
disembuhkan atau tenaganya dikembalikan.
BEGITU lemahnya Putri Amrita sehingga ia tidak dapat
berbicara. Betapapun kelak kuketahui betapa Amrita sendiri
tidak pernah mengampuni musuh-musuhnya, kurasa aku sama
sekali tidak menyesal telah menyembuhkan dia. Sebaliknya,
tidak dapat kubayangkan apa yang akan terjadi jika di Puncak
Tiga Rembulan ini nyawanya pergi tanpa sempat kutolong lagi.
Amrita membuka mata, dan segera terasakan adanya suatu
getaran dalam dadaku. Ia mengulurkan tangannya dan
kusambut tangan itu, yang ternyata ketika tersentuh begitu
lembut seperti kapas. Itulah tangan terindah yang pernah
kutemui di dunia ini, dengan jari-jari kecil yang bagaikan
begitu mudah terkulai, dengan kuku-kuku bening di atas kulit
kuning nan langsat, yang kini keemasan karena cahaya
matahari. Kuangkat tangan kiriku dalam kedudukan
Menggapai Langit dalam penyerapan prana matahari, sebagai
chakra yang menyalurkannya ke tubuh Amrita melalui tangan
kananku. Ia pun lantas memejamkan mata lagi, tetapi tidak
untuk tidur melainkan agar prana mengalir ke dalam dirinya
dengan lancar. Namun kami hanyalah dua manusia saja di Puncak Tiga
Rembulan yang sunyi dengan angin yang bertiup dingin dan
sangat menggigilkan. Apakah yang harus menjadi alasan bagi
kedua manusia itu, yang seorang lelaki dan yang lain
perempuan, untuk tidak berbagi kehangatan" Aku memegang
tangannya yang lembut halus mulus dengan maksud
memberikan penyembuhan, tetapi tidaklah kuingkari betapa
aku merasakan getaran manakala tangannya menyambutku
dengan tatapan berbinar penuh kebahagiaan. Pikiran bahwa
perempuan ini telah dan akan membunuh siapa pun yang
kiranya dia anggap lawan menguap dari kepalaku. Aku hanya
merasakan getaran, semacam kebahagiaan, yang tidak kutahu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
namanya dalam perbendaharaan bahasa, karena tentulah ada
kata lain selain asmara...
Matahari bersinar terang, tetapi apakah yang masih
diharapkan dari sebuah tempat di ketinggian yang begitu
tingginya sehingga menembus mega-mega bagaikan tempat
dewa-dewa bersemayam" Namun tidak ada dewa-dewa di
sini, hanya kami berdua yang sedang berbagi kehangatan
dengan tenaga prana, yang jika untuk pertama merupakan
penyembuhan, maka yang kedua dengan prana matahari
terang cuaca, adalah mengembalikan kekuatan. Demikianlah
wajahnya yang semula pucat kini kembali bersemu merah,
yang kemudian mengalir ke dadanya, ke perutnya, lantas
kedua kakinya. Ia masih memejamkan mata, dan kulihat wajahnya
tersenyum, tetapi ini bukanlah senyuman seperti yang kulihat
pertama kali dengan air mata membasahi pipi itu. Ini adalah
senyuman karena memikirkan sesuatu yang menggelikan,
mungkin membahagiakan, tetapi aku lebih merasakannya
sebagai rencana petualangan.
Amrita yang pucat tanpa darah dan tidak berdaya tentu
berbeda dari Amrita yang telah memiliki kembali segenap
kekuatannya. Lubang kebocoran prana kutahu sudah tertutup,
tiada lagi masalah bagi Amrita, meski matanya masih terpejam
dengan tangan tetap memegang tanganku. Sebaliknya, kini
kurasakan kehangatan tertentu merasuki seluruh tubuhku.
Apa yang harus kulakukan di puncak tertinggi tanah Khmer ini,
dengan seorang perempuan terkapar yang telah kusingkapkan
selimutnya, tertatap dadanya, dan masih mengenakan busana
seperti yang kusaksikan di pelabuhan, yakni terbuat dari cita
nan tembus pandang"
Di Puncak Tiga Rembulan ini, aku hanyalah seorang lelaki
yang sendirian saja, jauh di tanah terasing dan tiada
mengenal seorang pun dalam perjalanan dari keterasingan
yang satu ke keterasingan yang lain, tetapi kini seorang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
perempuan muda yang indah, perkasa, serta matang
tubuhnya tergolek dan terbuka di hadapanku. Amrita meremas
tanganku, kuremas pula tangannya. Tangannya menarikku
dan tidak kulawan sama sekali sehingga aku terjerembab di
atas tubuhnya. Kedua tangannya menekan punggungku dan
aku tidak bisa bergerak lagi karena kedua kakinya menjepit
dan mengunci pinggangku.
''Pendekar Tanpa Nama,'' katanya dalam bahasa Sansekerta, ''salurkanlah tenaga prana dari mulutmu melalui
mulutku....'' Maka bibirnya pun segera mengunci bibirku. Aku tidak
berdaya, tetapi sungguh aku menyukainya.
(Oo-dwkz-oO) Episode 108: [Jibvayuddha]
DALAM Kama Sutra terdapat istilah jibvayuddha yang
artinya adalah Pertarungan Lidah, tetapi yang memiliki
ketentuan bahwa pasangan lelaki dalam percintaan ini tidak
berkumis. Maka ketika percintaan yang kesekian akan dimulai
kembali, sebelumnya Amrita ingin mencukur seluruh bulu yang
berada di wajahku.
''Datanglah kemari Pendekar Tanpa Nama, tidurlah
terlentang di pangkuanku, biar kubersihkan wajahmu,''
katanya. Di tangannya telah tergenggam sebilah pisau, yang
biasanya digunakan sebagai satu dari sederetan pisau terbang
pada ikat pinggang. Aku tahu pisau seperti itu ketajamannya
luar biasa, bahkan besi pun jika tidak dilambari tenaga dalam
akan ditembusnya. Dengan pisau itu, ketika aku terlentang di
pangkuannya sementara ia mencukurku, tentunya ia bisa
menggorok leherku sampai putus, tetapi ujian bagi seorang
pecinta kukira justru datang pada saat-saat seperti ini: Apakah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
ia mencintai perempuan itu begitu rupa sehingga rela
dibunuhnya, ataukah cintanya sebatas kehangatan bara yang
menyala hanya ketika percintaan membakarnya" Masalahnya,
sebagai pendekar, seberapa besarkah nyaliku menghadapi
pisau setajam itu di bawah urat leherku"
Kini aku tahu apakah itu pertarungan dalam arti
sebenarnya, yakni kemampuan untuk menaklukkan ketakutan
dan keraguan dalam diri sendiri. Maka aku pun merebahkan
diri kepangkuannya. Udara masih dingin. Amrita membungkus
dirinya dengan selimut kulit kambung, dan aku dengan kain
sekadar penahan dingin yang kini mesti menahan dingin udara
yang sangat tidak sekadarnya.
''Masuklah kemari,'' Amrita berkata sambil membuka
selimutnya, dan kulihat segalanya di dalam sana.
Aku bergulir satu kali dan masuk ke sana. Tinggal kepalaku
di luar selimut itu, siap dibersihkan seluruh bulunya oleh
Amrita yang ingin memberlangsungkan jibvauddha sesuai
petunjuk Kama Sutra.
Ia mulai mencukur. Angin kencang dan dingin. Bunyinya
sangat berisik, seperti bunyi ribuan orang yang bersiul tetapi
tidak bersama-sama. Untuk mencukur wajahku, ia hanya
membutuhkan sekali sapuan dan tak perlu mengulang supaya
licin bagaikan batu pualam. Namun saat semuanya sudah
bersih, ternyata pisau itu tidak beranjak pergi, melainkan tetap
berada di leherku.
Aku tertegun, tetapi bersikap diam, seolah tidak sadar
bahwa pisau itu sengaja berhenti di sana. Wajah Amrita
muncul di atas kepalaku. Rambutnya begitu wangi dan jatuh
pula pada wajahku.
''Dikau pikir akan daku potongkah kepala yang wajah
seramnya telah daku ubah menjadi manis ini"''
Dilemparkannya pisau itu, lantas ia bergulir ke atas
tubuhku. Wajah kami berhadapan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Dikau sudah tak berkumis, sekarang kita mulai dari depan.
Ini tentang ciuman. Ciuman bisa dilakukan pada kening, pipi,
leher, mata, dada lelaki, ...,'' ujarnya sambil melakukan semua
itu. Aku diam saja, karena ketika melakukannya ia memang
terus berbicara seperti memberikan pelajaran.
''Vatsyayana berkata, tidaklah mungkin menghitung bagian
tubuh tempat seseorang dapat menempatkan bibirnya.''
Begitulah lagi-lagi sambil mengatakannya ia pun melakukannya, dan lenyap ke balik selimut bulu kambing yang
hangat itu. Kupandang langit yang biru di atasku, bagaikan
tiada lagi yang lebih biru dari kebiruan langit yang paling biru.
Mega-mega lewat bagaikan terlalu cepat. Aku teringat
cerita Harini tentang Kama Sutra bagian yang ini, bahwa
menurut Vatsyayana, ketika ciuman memegang peran untuk
menimbulkan rasa tertarik, lebih baik diiringi cakaran dan
gigitan. Adalah keliru jika percaya bahwa selama saat-saat
awal tidak ada aturan. Selama seseorang mempertahankan
kepekaannya, ia akan peduli kepada yang dilakukan
pasangannya. Baru kemudian segalanya akan lepas...
Itulah kata Vatsyavana, dan ketika memikirkannya aku lupa
sejenak perilaku Amrita di dalam selimutnya.
di bawah kata raga
Vatsyavana mengkaji laku percintaan
di seluruh dunia
ia menyebut raga sebagai tingkat kelima
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari kehendak yang disebut rati
pada tahap awal sekali
ketika kehendak meningkat
namanya prema seperti panas matahari melelehkan mentega
begitulah cinta melelehkan chitta
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dan membentuk sneha
meningkatnya kemesraan mengundang mana
pertimbangan menumbuhkan pranaya
pada saat kepercayaan diri mutlak
berkembanglah raga
dan pada tingkat tertinggi
tercapailah anuraga
Beratlah bagiku mengatasi Amrita. Kurasa kancutku pun
sudah tidak jelas lagi berada di mana.
"Amrita, jangan...," kataku dalam bahasa Sansekerta, tetapi
ia seperti tidak akan mengenal bahasa mana pun di dunia.
Sepanjang pagi sepanjang siang sampai sore hari, Amrita
menyusuri urutan petunjuk-petunjuk Kama Sutra yang
dikuasai di luar kepala. Aku tidak bisa diam saja, karena
keberpasangan ini menuntutku untuk mencari pada tubuh
Amrita apa yang dalam bahasa Sansekerta disebut sebagai
nabhimula, urusandhi, dan pedu.
Harus kuakui betapa kunikmati percintaan dengan Amrita,
tetapi harus kuakui dengan jujur pula betapa perasaan
bersalahku karena pengkhianatan terhadap Harini nun di desa
Balinawang di Jawadwipa sana terus memburu, sehingga
barangkali saja Amrita merasakan keraguanku. Namun ia
tampaknya tidak mau menyerah, dengan seluruh kemampuannya ia berusaha membuat aku lupa, entah siapa
berada di Jawadwipa sana yang telah mengisi hati dan
pikiranku, meski tetap tiada berdaya menyambut kehendak
tubuh untuk melayani Amrita, di atas Puncak Tiga Rembulan
yang menyediakan hawa dingin, yang diperdingin, begitu
dingin, sehingga percintaan bagaikan suatu kewajiban,
dibandingkan kematian yang tampaknya mungkin saja
mencengkeram tiba-tiba, mengingat perubahan suhu yang
memang bisa sangat amat mendadak datangnya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan perasaan bersalah kulayani Amrita, dengan pikiran
yang terus menerus melayang ke desa Balinawang. Apakah
perasaan bersalahku akan berkurang, jika kubayangkan saja
Harini" Sepuluh tahun lebih telah berlalu semenjak kami
berpisah. Dulu usiaku 15 tahun dan Harini sepuluh tahun lebih
tua daripadaku. Dari Harini untuk kali pertama kukenal
segenap isi Kama Sutra dan dari perempuan yang saat itu
bagiku sungguh sempurna tersebut kukenal apa artinya
memiliki tubuh dengan segenap kemungkinan yang bisa
diberikannya dalam permainan asmara.
Kusingkap selimut. Hari telah menjadi malam dan tanpa
Amrita di atas Puncak T iga Rembulan yang menembus mega-
mega ini tidak bisa kubayangkan nasib tubuhku dalam
kedinginan dan kesepian. Kubayangkan Harini, tetapi jiwa dan
badan seorang lelaki 25 tahun agaknya tidak terlalu sama
dengan remaja ingusan 15 tahun. Jika dari Harini ibarat
kuterima pelajaran dan percobaan, dari Amrita dapat
kunikmati seninya percintaan.
BERBARING berdampingan, aku dan Amrita memandang
rembulan yang terlalu terang, terlalu lebar, terlalu besar, dan
bagaikan sungguh-sungguh terlalu dekat karena Puncak Tiga
Rembulan ini memang bagaikan menyangga rembulan dan
untunglah bagaikan saja, sebab jika tidak tiadalah dapat
kubayangkan kekacauan semesta yang telah menyebabkannya. Namun memang rembulan tampak seolah-
olah begitu dekat, bagaikan payung jamur di atas langit dunia
kami. "Dikau lihatkah rembulan yang tampak seolah-olah begitu
dekat bagaikan payung jamur di atas langit dunia kita, wahai
Pendekar Tanpa Nama yang gagah perkasa dari Jawadwipa?"
"Ya daku lihat rembulan yang tampak seolah-olah begitu
dekat bagaikan payung jamur di atas langit dunia kita, wahai
Putri Amrita Vigneshvara yang tiada duanya yang belumlah
kuketahui asal usulnya."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pada saatnya dikau akan mengetahui juga siapa diriku,
karena di tanah Khmer semua orang terlalu tahu siapakah
daku meski belum pernah bertemu. Katakanlah dahulu
kepadaku, adakah tempat di Jawadwipa yang membuat kita
dapat memandang rembulan seperti sekarang?"
Kucoba mengingat-ingat segala tempat yang pernah
kulewati di Jawadwipa, kurasa memang tidak ada tempat yang
keajaibannya seperti Puncak Tiga Rembulan sekarang ini,
meski kutahu banyak keajaiban lainnya. Puncak Tiga
Rembulan memang bagaikan tidak berada di dalam dunia.
Namun kalau tidak berada di dalam dunia lantas sekarang ini
aku berada di mana" Tentu saja aku tidak dapat menjawab
pertanyaanku sendiri. Jika memang Puncak Tiga Rembulan
ketinggiannya menembus mega-mega, kukira semenjak masih
berada di tengah lautan di Teluk Siam, dari atas kapal pun
semestinya sudah dapat kulihat ketiga puncak yang dapat
membuat suatu gambaran menjadi tiga dalam wujud benda
nyata ini. Namun bukankah Puncak Tiga Rembulan ini
memang ada, begitu nyata seperti aku kini sedang tidur
terlentang di atas salah satu puncaknya, memandang
rembulan yang begitu luas, sangat luas, dan amat sangat
luasnya sehingga tiada dapat kulihat tepi-tepinya karena
agaknya memang sudah begitu dekatnya, sangat amat dekat,
dan tentu saja terlalu dekat, meski aku merasa terlalu tenang
dan memang tenang-tenang saja bagaikan tidak ada sesuatu
yang memang perlu membuat aku merasa tidak tenang.
"Tidak ada rembulan seperti ini di Jawadwipa, wahai
Amrita, meski rembulan yang berada di sana adalah rembulan
yang ini juga."
"Tetapi jika memang rembulan yang ini juga, dan sekarang
begitu dekat dengan kita, bagaimanakah mereka saat ini
dapat melihatnya?"
Dalam cahaya bulan yang terang keperakan, kucari tanda
adakah Putri Amrita, murid kesayangan Naga Bawah Tanah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang tidak pernah memperlihatkan dirinya, memang
bersungguh-sungguh dengan kalimatnya.
Ketika tertatap olehku kedua matanya, kulihat cahaya
cemerlang mengertap dan berkeredap penuh kebahagiaan.
Kutahu ia tidak memerlukan jawaban, karena lantas memeluk
dan menciumku kedua pipiku seperti seorang ibu menumpahkan perasaan kepada anaknya.
Putri itu lantas menggamit tanganku dan memperhatikannya.
"Tangan dikau begitu halus," katanya, "seperti bukan
tangan pendekar."
"Seperti apakah kiranya tangan pendekar itu menurut
pendapat dikau, wahai murid Naga Bawah Tanah yang sakti
mandraguna" Bukankah tanganmu sendiri selembut kapas,
bagaikan tangan bayi yang belum pernah menyentuh apa pun
selama hidupnya?"
Kami saling berpandangan, dan tersenyum penuh
pengertian, karena memang hanya mereka yang belajar silat
dengan tenaga kasar akan menjadi kasar telapak tangannya.
Mereka melatih diri dengan memukul batu, memasukkan
tangan ke pasir panas, atau memukul-mukul karung goni
berisi entah apalah yang membuat tangan kapalan begitu rupa
sehingga kulit seolah-olah bisa dikupas tanpa terasa.
Aku jadi teringat masa latihanku sendiri. Meski tidak
memukul batu dan menohok pasir panas, juga tidak bisa
dibilang ringan. Aku teringat ketika pasangan pendekar yang
mengasuhku itu melatihku dengan cara seperti ini, yakni harus
berdiri di atas gelondongan batang pohon yang licin di tengah
sungai, dan aku harus terus menerus tetap bisa berdiri
meskipun batang pohon itu bukan saja licin sekali tetapi juga
terus menerus berputar. Bisakah dibayangkan bahwa dalam
keadaan seperti ini mereka berdua masih menghamburiku
dengan pisau-pisau terbang pula"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
AKU teringat betapa bisa lama sekali diriku mesti bertahan
agar tetap dapat berada di atas batang kayu. Meski tidak lagi
melempar pisau terbang, pasangan pendekar itu menetapkan
aku tetap harus berada di atas batang kayu yang berputar-
putar itu. Mereka bahkan akan pergi meninggalkan diriku dan
tidak mau tahu, dalam keadaan apa pun aku harus tetap
mampu berdiri di atas batang kayu di tepi sungai tersebut.
Tentu saja pada mulanya, apalagi untuk kali pertama ,
jangankan untuk berdiri di atasnya dan meloncat-loncat
menghindari siraman pisau-pisau terbang pula, sedangkan
untuk mampu naik ke atasnya saja luar biasa susahnya. Sekali
aku dapat menaiki pohon itu, aku sama sekali tidak bisa
berdiri, melainkan hanya berbaring saja memeluknya, karena
setiap kali mencoba berdiri langsung jatuh ke sungai dan
harus merayap kembali.
Batang pohon itu sendiri memang sudah lama berada di
sana, bahkan pasangan pendekar yang mengasuhku itu
sendiri tidak juga tahu semenjak kapan batang pohon tersebut
berada di situ. Mereka mengatakan kepadaku bahwa sejak
mereka masih muda pun mereka berdua telah menggunakannya untuk berlatih, karena memang sudah ada
di sana ketika mereka datang untuk pertama kalinya ke Celah
Kledung. Batang itu memang besar, panjang, dan menghitam
licin karena lumut yang menahun, terletak di bagian tepi
sungai yang tidak mengalir, pada semacam ceruk tempat
orang biasa memasang bubu, tetapi yang semenjak lama tak
lagi digunakan untuk itu setelah seseorang yang tidak dikenal
mati terbunuh di tempat.
Mayatnya itulah yang melintang di atas batang yang kelak
pada hari kemudian menjadi tempatku berlatih itu. Di atas
ceruk itu terdapat pohon besar yang tinggi dan rindang,
sehingga memang nyamanlah jika aku berlatih di situ, apalagi
setelah kukuasa i ilmu meringkankan tubuh dengan sedikit
sempurna, sehingga batang pohon itu tiada lagi menjadi
siksaan bagiku. Dengan ringan aku mampu melenting-lenting
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
di atas batang pohon itu tanpa jatuh sama sekali, sembari
melemparkan kembali pisau-pisau terbang yang berhasil
kutangkap kepada ayah ibuku. Kemudian, apabila karena
jarang digunakan untuk latihan ada saja yang menggunakannya untuk berkasih-kasihan.
Ingatan ini mengembalikan aku kepada keadaan diriku sekarangO
"Pendekar Tanpa Nama, dikau sedang melamunkan apa?"
Inilah aku, seorang perantau lata dari Jawadwipa, tidur
berbaring di dalam selimut di samping seorang perempuan
yang begitu indah cantik rupawan tiada terkira. Nun jauh di
atas Puncak Tiga Rembulan, tempat aku belum tahu cara
terbaik untuk turun kembali.
"Bagaimana caranya turun, wahai Puteri, itulah yang
sedang berada di dalam pikiranku kini," jawabku. Kukira akan
terlalu panjang untuk mengisahkan kembali apa yang tadi
melintasi pikiranku. Masa lalu yang sebetulnyalah juga belum
selesai untukku. Lagipula, bukankah masa depan yang
semestinyalah menjadi jauh lebih penting bagiku" Meski dalam
hal itu pun diriku hanyalah pengembara dalam waktu, yang
tidak memiliki masa lain selain masa kini yang betapapun
memang menuju ke depan.
"Dikau berpikir tentang turun ke bumi, wahai Pendekar
Tanpa Nama, mengapa tidak tinggal di langit saja, bersama
mega-mega dan Amrita?"
Tidak kumungkiri daya pikat Amrita yang luar biasa dan
betapa diriku ingin memilikinya, tetapi meskipun bayangan
Harini makin lama makin jauh, keberadaanku di tanah asing
ini sendiri menyadarkan kepada tujuan hidupku. Memang
benar betapa kesempurnaan pencapaian manusia melalui ilmu
persilatan menjadi tujuan dalam pembelajaran di jalan
pedang, tetapi sebagai pengembara di bumi manusia, berjalan
tanpa tujuan itulah bagiku yang menjadi satu-satunya
tujuanku. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita tidak mungkin berada di sini selama-lamanya bukan,
wahai Puteri Tanah Khmer yang indah lagi rupawan, bekal
daging keringmu sudah habis, dan besok kita belum tahu akan
makan apa. Tidak ada tetumbuhan maupun hewan yang bisa
mengisi perut kita sama sekali di Puncak Tiga Rembulan ini."
Amrita bercerita bahwa selama ini Pangeran Kelelawar
itulah memang yang telah merawatnya, tetapi tanpa
menyadari sama sekali perkara kebocoran prana akibat
sentuhanku, setelah titik lemahnya dibuka oleh Jurus Penjerat
Naga. Karena tidak kunjung sembuh, Amrita tidak bisa ke
mana-mana. Semula Pangeran Kelelawar membawanya ke
sana dengan maksud hanya untuk sementara, tempatnya
berlatih sampai tumbuh selaput kulit di antara pergelangan
tangan sampai pinggangnya, sambil menghindari musuh-
musuh Amrita yang tersebar di mana-mana. Namun karena
Amrita tetap saja tiada berdaya, akhirnya Pangeran Kelelawar
setiap kali terbang untuk berburu ketika bekal makanan
menipis. Kulihat sekeliling, tiada tulang belulang sama sekali, bersih
seperti lantai istana di atas langit. Amrita seperti bisa
membaca pikiranku.
eiPaman guruku mempunyai ilmu untuk menghancurkan
tulang di daging, jadi ketika dipanggang dagingnya bisa
dimakan berikut tulang di dalamnya. Terlalu rumit bagiku
waktu itu, dan diriku masih terlalu lemah jika harus
memegang sepotong daging dengan kedua tangan. Sebelum
turun bertarung denganmu ia tinggalkan daging-daging kering
ini. Agaknya ia pun tidak yakin dirimu akan dapat
dikalahkannya."
"Kenapa?"
"Ia berlatih dan merenung berhari-hari sebelum hari
pertarungan itu, dan ia sering menghela napas panjang,"
katanya, "Daku kira tidak akan bisa daku kalahkan pendekar
dari Jawadwipa itu, sampai sekarang belum kutemukan kunci
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
untuk membongkar ilmu s ilatnya, bentuknya sama sekali tidak
dapat daku lacak."
Akulah yang kini menghela napas panjang. Pengorbanan
seseorang demi kematian dalam puncak kesempurnaan selalu
mengharukan diriku, apalagi jika dirikulah yang menjadi jalan
kematiannya itu, yang menjadi sebab kenapa seorang
pendekar sangat menghormati siapa pun lawannya dalam
pertarungan seperti itu.
HMM. Jadi seseorang telah menjadikan Puncak Tiga
Rembulan ini sebagai tempat berlatih silat. Kukira memang
tempat yang sangat cocok untuk mengembangkan Ilmu Silat
Kelelawar yang betapapun memang luar biasa itu, dan aku
tahu tentu bukan sekadar karena telah mengalami diserang
dan bertarung dengan Pangeran Kelelawar, melainkan karena
telah menyerapnya dengan Jurus Bayangan Cermin. Begitu
banyak ilmu silat yang telah kuserap, tetapi aku tidak selalu
memikirkan kembali seperti Ilmu Silat Kelelawar ini, karena
kukira inilah cara termudah turun kembali ke bumi.
(Oo-dwkz-oO) Episode 109: [Perjuangan Orang Kalah]
PANGERAN Kelelawar itu, kenapa dia disebut Pangeran"
Bagiku ini agak membingungkan, karena semula, ketika
datang berkelebat menolong Amrita di pelabuhan, ia tampak
sebagai seorang biksu. Bukanlah rahasia lagi bahwa ilmu silat
merupakan bagian penting dari pembelajaran para biksu
maupun biksuni, karena biara Buddha tidaklah sepi dari
ancaman marabahaya. Sebaliknya, bersama dengan tersebarnya igama Buddha ke berbagai wilayah di sebelah
timur dan selatan Jambhudvipa, tersebar pula berbagai bentuk
ilmu silatnya, yang terutama dipelajari orang-orang persilatan
golongan putih, dengan tujuan menghadapi dan membasmi
golongan hitam yang terkenal ganas ilmu silatnya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Namun Ilmu Silat Kelelawar seperti yang diperagakan
Pangeran Kelelawar tidaklah seperti ilmu silat para biksu yang
kukenal. Seperti telah kuhadapi, Ilmu Silat Kelelawar ini bisa
membuat penggunanya terbang, yang tentu saja tidak
didapatkannya dengan mudah. Selain bahwa ilmu silat ini
hanya dapat diperagakan secara sempurna jika pelakunya
menggunakan selaput kulit yang tumbuh antara pergelangan
tangan sampai pinggang, selaput kulit tersebut hanya
mungkin tumbuh melalui tapabrata luar biasa yang mengikuti
perilaku kelelawar, yakni menggantung di mana pun, di atas
pohon, di dalam gua, atau pada tonjolan batu di tepi tebing,
dengan kaki di atas dan kepala di bawah, pun masih
dilengkapi mantra yang dibuat untuk itu.
Jadi jelas Pangeran Kelelawar bukan biksu, bahkan
menurut Amrita, igama yang dianut pun bukan Buddha.
''Ia seorang Hindu,'' kisah Amrita.
Berikut inilah kisah Amrita selanjutnya.
Mengikuti penyebutan yang diberikan oleh orang-orang
Negeri Atap Langit, terdapatlah sebuah wilayah di dataran
tengah Mekong pada poros Sungai Se Mun, dari Roi Et sampai
wilayah Bassac, yang disebut Tchen-la. Negeri itu, ketika aku
tiba di tanah Khmer, setidaknya telah berdiri sekitar 200
tahun. Prasasti-prasasti pertama dalam Khmer muncul di
wilayah itu dalam pergantian abad sekitar 100 tahun lalu, dan
belakangan, seperti juga asal-usul Fu Nan, tersebarlah suatu
dongeng yang menempatkan Tchen-la sebagai tempat
lahirnya orang-orang berdarah Kambuja, termasuk Khmer,
yang kemudian sering membingungkan diriku sebagai orang
asing, karena orang Khmer terkadang menyebut negeri
mereka ini Kambuja juga.
Tiga ratus tahun yang lalu mungkin wilayah Tchen-la
terbatas pada daerah yang dialiri Sungai Se Mun, sementara
wilayah Bassac dikuasa i orang Cham. Memang Mi-son terletak
tidak jauh dari situ, di arah timur, seberang daerah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
pegunungan yang dapat ditembus. Pada masa itu seorang raja
Champa mendirikan sebuah lingga dalam sebuah candi, yang
dipersembahkan kepada Siva, di sebuah gunung dekat Bassac,
tempat belakangan akan didirikan Vat Phu, yang merupakan
pusat pemerintahan Tchen-la.
''Dan Pangeran Kelelawar adalah keturunan raja Champa
itu"'' ''Bukan hanya keturunan, melainkan pewaris, tetapi
dengarlah dahulu lanjutannya.''
Sekitar limapuluh tahun sebelum Tchen-la itu sendiri
berdiri, jadi 250 tahun sebelum aku tiba, seorang raja
bernama Bhavavarman, keturunan wangsa yang memerintah
di Fu-nan, yang mungkin sekali cucu Rudravarman, menikah
dengan seorang puteri Tchen-la dan mempersatukan negeri
itu. Ia berusaha menaklukkan Fu-nan, mungkin untuk
mendukung hak-hak keluarganya. Ketika ia meninggal setelah
tahun 598, kedua negeri sudah tergabung dengan baik sekali.
Adiknya, Chitrasena, yang kemudian menggantikannya dengan
gelar Mahendravarman, menyelesaikan penaklukan Fu-nan
dan memperbanyak bangunan Siva di wilayahnya.
NAMUN adalah putranya, Isanavarman, berjaya antara 611
sampai 635 dengan pemerintahan gemilang, sampai sanggup
membangun ibu kota baru, yakni Isanapura.
"Ceritakanlah kepadaku yang ada hubungannya dengan
Pangeran Kelelawar sahaja, wahai Amrita yang jelita," kataku.
"Apakah yang tidak akan daku berikan kepada dikau, wahai
Pendekar Tanpa Nama yang telah membuat Amrita untuk kali
pertama jatuh cinta?"
Maka ia pun bercerita tentang raja pertama Champa,
Bhadravarman, yang memerintah sekitar 400, dan membangun tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada
Siva di daerah pegunungan Mi-son itu, yang akan menjadi
pusat pemujaan raja-raja abad selanjutnya. Ia disebutkan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
membangun sebuah ibu kota, dan di sekitar tempat itulah
akan ditemukan prasasti-prasasti dalam bahasa Sansekerta
maupun bahasa Cham. Namun yang sekarang ini pun sudah
tidak dapat ditemukan lagi, karena semuanya musnah
terbakar. "Siapa yang membakar?"
"Belum jelas apakah sengaja dibakar atau karena terbakar
begitu saja, Pangeran Kelelawar pun tidak tahu pasti, kecuali
bahwa seluruh keluarganya terlunta-lunta." 4)
Haruslah kujelaskan pula tentunya, bagaimana perubahan
kekuasaan telah berlangsung perlahan-lahan di seluruh
wilayah yang meliputi tanah Khmer dan Champa, tempat
sejarah kerajaan-kerajaan Fu-nan, Tchen-la, dan Angkor, silih
berganti meliputinya, yang ternyata juga dipengaruhi keadaan
alam maupun gelombang kebudayaan yang datang dari arah
Jambhudvipa. Perubahan berlangsung di daerah selatan,
ketika kekuasaan berpindah ke kerajaan Tchen-la, saat itu di Fu-nan
telah terdapat penduduk yang hanya terdiri dari kelompok
orang-orang Malayu di pinggir laut dan mencari nafkah hanya
di laut. Terbuka, sebagai warga kota yang didatangi segala
bangsa, penduduk tersebut menyambut segala pengaruh dan
membagi-bagikannya
lagi sedemikian rupa, sehingga wilayahnya menjadi pusat kebudayaan di kawasan selatan dari
Negeri Atap Langit. Namun dengan Tchen-la sendiri, kita
temukan bangsa yang murni Khmer, tertutup di dataran tinggi
Mekong dan sama sekali tidak mengenal laut.
Sebagai petani, tetapi juga prajurit, orang-orang Tchen-la
akan sigap menukar kemiskinan mereka dengan penaklukan
dan perampokan. Sedangkan kebudayaan mereka, yang
berasal dari Jambhudvipa, dan terlebih-lebih dari kebudayaan
Fu-nan yang telah memiliki kepribadian sendiri, memang
kemudian jadi cemerlang. Namun kebudayaan tersebut hanya
sebatas negeri itu saja, yang memang terus menerus
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
diperluas, tanpa menyebarkan pengaruh sendiri seperti
Jambhudvipa dan dalam tingkatan yang dinilai lebih rendah
dari kebudayaan Fu-nan.
"Nanti dulu, apa ukurannya kebudayaan Tchen-la dianggap
lebih rendah daripada kebudayaan Fu-nan?"
Kudengar perbincangan seperti ini di sebuah perahu ketika
memasuki pedalaman Khmer.
"Itu ukuran orang-orang Angkor sekarang, yang menganggap orang Fu-nan istimewa."
"Bagaimana kalau orang Tchen-la yang menolak untuk
menirukan yang istimewa" Itu tidak sama dengan
mengatakannya lebih rendah."
"Terserahlah apa pendapatmu, tetapi itulah yang dikatakan
banyak orang."
"Dan tentu saja itu bukan pendapat orang Tchen-la. Tidak
ada tinggi rendah dalam kebudayaan, yang ada hanyalah
diberlangsungkan dan dibermaknai oleh banyak atau sedikit
orang!" SEJALAN dengan perbedaan tajam tersebut, terlihat
perbedaan besar dalam cara pengolahan tanah, yang mungkin
menjelaskan segala perbedaan yang lain. Orang Fu-nan
terpaksa mengeringkan air delta dan lebih disibukkan dengan
urusan kelebihan daripada kekurangan air. Lagipula
kelihatannya mereka hanya bertanam padi terapung.
Perdagangannya pasti merupakan sumber penghasilan yang
sama pentingnya dengan pertanian.
Adapun orang Khmer menggarap dataran tinggi, yang tidak
menahan air berkat kemiringannya sendiri. Sebaliknya harus
menampung air sepanjang musim kering, menyiram sawah-
sawahnya tempat ia bertanam padi gunung. Perbedaan-
perbedaan tajam tersebut tentu membekas pada rakyat yang
sangat ketat dipengaruhi cara hidup masing-masing.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Tidak mengherankan jika kemudian orang-orang Khmer
turun ke dataran rendah karena kagum melihat kekayaan Fu-
nan, dan berlangsunglah perkara pertama dalam riwayat
kebudayaan wilayah itu suatu gelombang perpindahan ke
wilayah selatan, yang agaknya akan menjelaskan banyak hal
di kemudian hari. Namun Tchen-la tidak menduduki wilayah
Fu-nan, karena perubahan arus Sungai Mekong menimbulkan
banjir yang membawa bencana besar, sehingga wilayah Fu-
nan tengah yang lama, hampir tidak bisa dihuni. Kenyataan,
kelompok-kelompok orang Khmer terpencil dan miskin, tetap
bertahan di wilayah itu, terutama pada tanggul-tanggul tanah
endapan dan tanah-tanah yang tinggi. Betapapun, Fu-nan
menjadi tidak penting lagi bagi nasib Kambuja. Kemaharajaan
Khmer, pewaris Tchen-la, terus berkembang ke utara, dan
meski ibukotanya yang bernama Sambor terhubungkan
dengan lautan melalui Sungai Mekong, tetapi lautan menjadi
semakin tidak penting bagi kehidupan budaya tanah Khmer,
untuk tidak mengatakan telah meninggalkannya sama sekali.
Terihat bahwa siapa pun yang berkuasa di Khmer akan
berlindung di dataran tinggi tempat asalnya di ujung utara
Kambuja dan dataran tinggi Korat sampai Roi Et, seperti
kembali kepada asal-usulnya. Jadi orang-orang Khmer sama
sekali tidak meniru cara menggarap tanah delta seperti yang
diciptakan orang Fu-nan. Kota-kota Tchen-la merupakan lahan
luas yang dikelilingi dinding tanah dan terutama oleh parit
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sangat lebar. Letak parit tersebut selalu diatur lebih
rendah dari sebuah sungai yang terus menerus mengalir dan
langsung dihubungkan dengannya. Maka parit itu terisi air
dengan sendirinya selama musim hujan dan air pasang, dan
menjadi tempat persediaan air pada musim kering, dan
menghidupi penduduk dengan sawahnya.
Cara penampungan air yang cerdik ini cocok dengan iklim
dan keadaan tanahnya, diciptakan di Tchen-la dan kemudian
dibawa orang Khmer ke dataran rendah Kamboja. Itulah yang
menjadi dasar kekuasaan Angkor hari ini. Cara-cara ini
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
disaksikan orang Fu-nan langsung dari tempat pemukiman
bundar pada masa pra-sejarah ribuan tahun s ilam yang masih
terlihat di dekat tempat tinggal mereka, dan tampaknya
mereka memang tidak pernah membuat pengairan tanah
kering yang lebih maju dari itu. Sedangkan orang Khmer tidak
akan menggarap delta Sungai Mekong, yang sebetulnya cocok
sekali, tetapi menggunakan tanggul-tanggul yang muncul di
antara dua air pasang untuk panen tambahan.
Dari kebiasaan ini terlihat perbedaan mendasar tentang
pengaturan dan falsafah ruang, tetapi ada persamaan dari
kedua kebiasaan ini, yakni bahwa pemusatan kekuasaan
dianggap perlu oleh rakyatnya, demi penciptaan dan
pengawasan aturan-aturan dalam berbagai cara pengairan
tersebut. Dalam hal ini, Tchen-la langsung menggantikan Fu-
nan dan berhasil mencapai penguasaan pengaruh me lalui
jalan yang sama. Kedua kerajaan yang sama-sama mendapat
pengaruh Jambhudvipa, yang dihidupkan terus oleh Tchen-la
tanpa terlalu banyak perubahan, karena sebagian besar
pengaruhnya sampai di situ melalui Fu-nan, sesuai
kecenderungan jalannya nasib manusia, bahwa yang
dikalahkan mengadabkan sang pemenang dan bertahan hidup
melalui sang pemenang itu.
Aku segera mengerti bahwa jika Pangeran Kelelawar adalah
seorang keturunan bangsawan Champa pemuja Siva dari
Pegunungan Mi-son, maka dalam diri Amrita agaknya masih
mengalir darah bangsawan Tchen-la, yang mempertahankan
kebudayaan Fu-nan, tetapi kini terjajah oleh Angkor. Kelak
akan kuketahui mengapa keduanya dapat berkumpul di sekitar
Naga Bawah Tanah yang tidak pernah menampakkan diri.
Amrita, tinggal di istana karena ibunya yang keturunan Tchen-
la menjadi salah satu isteri raja Angkor yang sekarang
berkuasa, Jayavarman II. Menyadari bahwa ibunya dikawini
secara paksa, Amrita menggalang segala usaha untuk
menjatuhkan pemerintahan ayahandanya sendiri.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
UNTUK itu sejumlah pembunuhan gelap di istana telah
dilakukannya. Di istana Indrapura, yang baru saja dibangun di
sebelah timur Kompong Cham, dalam beberapa bulan terakhir
sering berlangsung kematian mencurigakan atas warga istana.
Mulai dari yang diracuni lewat makanan atau minuman, dicekik
dan dibekap di bawah bantal ketika sedang tidur, ataupun
diserang senjata rahasia dari jarak jauh. Baik lelaki maupun
perempuan, yang ditewaskan adalah orang-orang penting
yang memegang kendali laju penyatuan Angkor sebagai cita-
cita Jayavarman II.
Mendengar cerita itu keningku berkerut. Ia mengaku telah
menggunakan jaringan rahasia dari Jawadwipa untuk
menjamin kerahasiannya. Entah kenapa aku tidak merasa
terkejut. Bukankah pada hari pertama kakiku menginjak
pelabuhan bekas kerajaan Fu-nan, telah kudengar orang
menyebut kresna-naga yang berarti Naga Hitam" Aku sungguh
terkesiap dengan luasnya jaringan rahasia yang menjual jasa
pembunuhan ini, meski mengingat pengaruh kedatuan
Srivijaya dan wangsa Syailendra di tanah Khmer ini,
seharusnya aku tidak usah terlalu heran.
Tanpa Amrita harus menyebutnya, sudah semestinya aku
menduga bahwa Naga Hitam juga menggunakan tenaga
orang-orang setempat.
(Oo-dwkz-oO) ''JADI apa yang akan kita lakukan sekarang" Apakah kita
akan tetap di sini dan bertahan tanpa makanan, ataukah turun
melanjutkan pengembaraan"''
Mendengar ucapanku itu Amrita yang sejak tadi berkicau
riang mendadak jadi muram dan matanya berlinang
menatapku tajam.
Ah, siapakah yang akan tahan menghadapi tatapan seperti
itu" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Akan ke manakah kiranya Pendekar Tanpa Nama
meneruskan perjalanan, meninggalkan Amrita sendirian dalam
kesepian"''
Tentu aku sampai ke Puncak Tiga Rembulan ini pun karena
Amrita. Namun apakah masih bisa disebut cinta jika dalam
kenyataannya sekarang ini aku selalu ingin pergi saja"
Rasanya memang bagaikan bisa kuserahkan jiwa ragaku bagi
Amrita, tetapi apalah kemudian yang harus kukerjakan di
tanah yang juga disebut Kambuja ini" Sebagai pengembara di
rimba hijau dan sungai telaga persilatan, setelah mengatasi
Ilmu Silat Kelelawar seharusnya kukeluarkan tantangan
kepada Naga Bawah Tanah dan siap memberikan yang terbaik
untuk kematian pada puncak kesempurnaan. Namun bukanlah
karena aku takut dikalahkan semenjak memainkan dengan
semakin baik Jurus Bayangan Cermin maupun Jurus Penjerat,
bahkan telah kupikirkan suatu jurus yang tiada akan pernah
terlawan karena meski bukan sihir yang diserangnya adalah
pikiran, tetapi karena jika aku menang, hanyalah tangis Amrita
akan kudengar berkepanjangan.
Keberadaan Amrita tampaknya menunjukkan keberadaan
diriku yang selalu mendua, apakah aku akan hidup untuk
cinta, ataukah mengalahkan semuanya demi cita-cita"
''Pendekar T anpa Nama, janganlah pergi demi Amrita, atau
ajaklah Amrita mengembara kemana pun dikau berkelana,
meskipun keliling dunia!''
Perempuan yang sedang jatuh cinta. Hmm. Benarkah
mereka bersedia mengorbankan apa saja" Jangankan
perempuan, lelaki pun akan melakukan hal yang sama!
Apakah ini berarti cinta membuat manusia buta" Nantilah
kuperiksa ujaran-ujaran para bijak seperti Nagasena,
Nagarjuna, maupun Sang Buddha sendiri tentang cinta,
karena aku tidak percaya betapa cinta harus membuat
manusia bodoh adanya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Sekarang aku memikirkan berbagai cara untuk kembali
turun ke dunia. Betapapun keindahan Puncak Tiga Rembulan
begitu ajaib sehingga tidak selalu bisa dijelaskan, kurasa
bukanlah keindahan demi keindahan itu sendiri yang kucari
dalam pengembaraanku ini. Telah kukalahkan Pangeran
Kelelawar dalam pertarungan untuk mencapai kesempurnaan
dalam persilatan, dan Amrita yang sebelumnya terandaikan
juga akan jadi lawanku ternyata bersikap sebagai yang tidak
bisa ditinggalkan. Aku mesti turun dan pergi untuk berganti
pandangan, darahku bagaikan menggelegak dan berdenyut
memintaku untuk segera meneruskan perjalanan...
(Oo-dwkz-oO) Episode 110: [Terjun dari Langit]
AKHIRNYA kugunakan selimut bulu kambing yang kulitnya
tersamak sampai lemas itu sebagai sayap kelelawar yang tidak
kumiliki. Betapapun ilmu meringankan tubuh Puteri Amrita
Vighnesvara itu sudah sangat tinggi, masih perlu pendalaman
baginya untuk bisa membuat tubuh begitu ringan, agar dapat
berbobot kapas ketika turun me layang perlahan-lahan seperti
berpegangan kepada sebuah payung raksasa.
ITU artinya aku harus memondong tubuhnya dan dengan
begitu tubuhku tidak bisa menjadi seringan kapas lagi. Kupilih
cara turun seperti terbangnya kelelawar, yakni turun dengan
kecepatan seperti orang terjatuh tetapi sangat terkendali,
karena selaput sayapnya menjadi kemudi. Inilah cara yang
telah kugunakan tanpa sayap ketika harus menghadapi kedua
burung elang penjaga puncak itu, yang tentu saja
memanfaatkan penyerapan Jurus Bayangan Cermin atas Ilmu
Silat Kelelawar. Kini, dengan menggunakan sayap kulit
kambing, aku bahkan dapat memperlambat laju jatuh kapan
saja aku menghendakinya dan terbang naik turun berputar-
putar seperti kelelawar.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitulah dengan Puteri Amrita menempel pada punggungku aku menja-tuhkan diri dengan kepala lebih dulu
dari Puncak Tiga Rembulan. Tanganku terpentang, membuka
dan menutup seperti cara kelelawar, meluncur ke bawah
dengan cepat dan penuh kendali. Begitu tingginya Puncak
Tiga Rembulan ini sehingga me luncur turun dengan cepat ini
pun rasanya lama sekali. Itulah sebabnya ilmu cicak tidak
dapat menjadi pilihan untuk menuruninya, karena meskipun
bisa dipercepat dengan tiap sebentar melompat seperti katak
sebelum menempel kembali, itu pun akan memakan waktu
berbulan-bulan.
Tepat ketika fajar menyingsing dan tiang-tiang T iga Puncak
Rembulan berkilau keemasan, aku melayang dengan Amrita di
punggungku memasuki pemandangan terbentang dari lapisan
ke lapisan di udara tinggi, menembus mega-mega dan warna-
warni pelangi di langit yang berubah-ubah dari ungu ke biru
memasuki kuning lantas merasuk kelabu, dengan sangat
cepat, tetapi yang terasa sangat lambat, begitu lambat,
sehingga dapat kami amati dengan cermat segala sesuatu di
atas bumi dari ketinggian ini. Pegunungan Mi-son yang
bagaikan gundukan ungu tua, aliran Sungai Mekong dengan
anak-anak sungainya berkelak-kelok di atas permadani hijau
tua hutan rimba belantara pedalaman Kambuja.
Pemandangan itu akan hilang mendadak apabila aku
memutar tubuhku jungkir balik yang membuat Amrita di
punggungku tentu terpaksa mengikutinya sebelum kembali
kuluruskan tubuhku. Begitulah caranya aku mengatur
kecepatan dan kelambatan dalam perjalanan turun ke bumi.
Melayang, meluncur, melayang, sebagaimana kelelawar yang
bukan burung pun akhirnya dapat terbang. Tiada akan pernah
kukira tentunya, betapa Ilmu Silat Kelelawar yang kuserap
berkat Jurus Bayangan Cermin, hanya karena jurus ini
memang harus menyerapnya terlebih dahulu sebelum
mengembalikan jurus ini kembali kepada penyerangnya, akan
segera menjadi sangat berguna.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kami masih meluncur, melayang, dan meluncur sembari
menembusi berlapis-lapis pemandangan langit sebelum
akhirnya mencapai setengah dari tinggi tiang Puncak Tiga
Rembulan. Ketinggian luar biasa yang membuat segalanya
sangat lambat, terlalu lambat, yang membuat kami dapat
menatap dengan cermat bagaimana tubuh Pangeran
Kelelawar masih tertancap pada dinding tebing karena
tertancap dua pedang hitamku yang melesak sampai ke
pangkalnya. Bahkan sempat kukitari lingkar dinding tempat
kami mengadu jiwa itu, sehingga tampak jelas tubuhnya yang
kaku membeku bagai menyatu dengan batu. Kepalanya
tertunduk seperti ketika aku meninggalkannya di sana
bersama kedua pedang hitam warisan Raja Pembantai dari
Selatan, yang sangat dikenal orang-orang Khmer karena
didatangkan wangsa Syailendra untuk membantai siapapun
yang menghalangi jalan mereka.
Dingin udara membekukan segala-galanya. Serpihan
embun yang menjadi beku menyelimuti seluruh tubuh
Pangeran Kelelawar yang selaput kulit kedua sayapnya telah
kujadikan alas dan penutup kaki bagaikan sepatu. Kukelilingi
tiang itu perlahan-lahan sehingga Amrita bisa selama mungkin
memandang paman gurunya itu untuk terakhir kali, sebelum
meninggalkannya untuk selama-lamanya. Baru kusadari
kemudian betapa keduanya memang sempat lama bersama,
sejak Pangeran Kelelawar membawanya pergi dari pelabuhan
itu sampai tiba saatnya menyerangku, tepat saat aku tiba di
kaki Puncak Tiga Rembulan pada ma lam bulan purnama.
Setidaknya duapuluh hari dan barangkali hanya duapuluh hari
menjelang bulan purnama, paman dan keponakan perguruan
itu sempat bersama dalam usaha Pangeran Kelelawar
menyembuhkan Amrita, karena Pangeran Kelelawar itu
memang selalu mengembara.
Dalam kenyataannya Pangeran Kelelawar tidak berhasil
memecahkan kunci Jurus Penjerat Naga yang telah
membocorkan prana, sehingga Amrita takdapat TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
disembuhkannya, dan pada gilirannya
takdapat pula memecahkan kunci Jurus
Bayangan Cermin yang telah menyerap Ilmu Silat Kelelawar
miliknya, sebelum akhirnya terperangkap pula oleh Jurus
Penjerat Naga. JIKA aku sampai menggunakan Jurus Penjerat Naga itu
berarti lawan yang kuhadapi memang tangguh seperti para
naga, karena hanya diciptakan terutama untuk menghadapi
lawan dengan kesaktian pada tingkat naga. Hanya pasangan
pendekar yang mengasuhku saja memilih untuk menciptakan
Ilmu Pedang Naga Kembar daripada mempelajarinya, karena
memang mencintai permainan ilmu pedang berpasangan.
Sembari mengelilingi tiang sebesar bukit yang berada di
tengah itu, aku diliputi perasaan haru menghayati kehidupan
Pangeran Kelelawar yang terlempar dari kehidupan istana,
mengembara dalam pencarian kesempurnaan dalam dunia
persilatan, dan suatu hari tewas di tangan seorang perantau
asing dari Jawadwipa. Tidakkah terasa pedih, dikalahkan
seorang pendatang, dari bangsa yang telah menjarahrayah
dan membakar candi pemujaan sembari menyebarkan
pembunuhan, meski memperkaya kebudayaan pula" Namun
siapakah yang tidak akan kalah dan mati di ujung pedang
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam dunia persilatan, dalam perjalanan mencari kesempurnaan seperti
dikehendakinya"
Siapapun dia, betapapun saktinya, selama masih menghendaki pencapaian
kesempurnaan haruslah siap untuk mati di tangan siapapun
yang lebih unggul daripada dirinya. Jadi selalu siap membunuh
dan juga selalu siap dan rela terbunuh -memang di sanalah
seorang pendekar mempertaruhkan kehormatannya.
Kemudian kuketahui betapa Amrita pun menangis. Air
matanya meleleh pada pipinya yang membeku. Aku sangat
mengerti bagaimana ikatan dalam perguruan silat bisa lebih
erat daripada ikatan kekeluargaan. Apalagi keduanya berada
di tempat yang sama dalam keadaan yang rawan, bahwa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Amrita terancam kematian dan Pangeran Kelelawar bersiap
menghadapi kematian. Kemudian bukan hanya airmata, tetapi
juga suara sesenggukannya terdengar olehku di antara deru
dingin, yang semakin lama semakin mengencang angin, meski
bukanlah maksud Amrita yang menempel di punggungku itu
untuk memperdengarkan kedukaannya yang sangat dalam
dan memedihkan.
Kuusahakan melayang lebih dekat dan semakin dekat,
karena apalagi dengan Amrita di punggungku tiada mungkin
kami melayang naik. Dalam jarak yang dekat tetapi tentu
takbisa berhenti, wajah Pangeran Kelelawar yang betapapun
memang beku menyatu batu bagaikan masih hidup, dengan
tangan terkulai lemas, tetapi takbergoyang dalam tiupan,
sementara dua pedang menancap seperti bagian tubuh itu
sendiri. Meskipun tubuh itu jelas tiada bernyawa, tetapi
kedudukan tubuh yang bagaikan menyatu pada batu seperti
itu, wajah yang tertunduk dengan mata terpejam bagaikan
tepekur begitu, seperti menyimpan banyak sekali cerita.
Akhirnya harus ditinggalkan juga tubuh Pangeran Kelelawar
yang semakin lama semakin mengecil itu, meninggalkannya
dengan segala cerita yang ada padanya, semakin jauh dan
semakin jauh. Aku terus meluncur ke bawah, bahkan
mempercepatnya, dengan mengapitkan kedua tangan sejajar
tubuh dengan kaki yang juga terkatup rapat. Bagai terdengar
ledakan di telingaku ketika tubuhku dengan Amrita menempel
pada punggungku menembus segala lapisan udara, meluncur
dan meluncur turun langsung ke bumi. Percepatan kulakukan
karena perjalanan memang masih jauh. Perasaan telah
melayang dengan lambat hanyalah pertanda betapa Puncak
Tiga Rembulan ini sangatlah tinggi.
Betapapun setelah meninggalkan titik tempat tubuh
Pangeran Kelelawar tertancap sendirian itu perjalanan tinggal
separuh lagi. Aku ingin segera kembali ke bumi karena dingin
udara langit memang bagaikan taktertahankan. Selimut telah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kujadikan sayap untuk mengemudi, sehingga diriku hanya
dibalut kancut dan kain jubah dari kapal yang jauh dari cukup
untuk menahan dingin, serta Amrita busananya lebih parah
lagi, takmengenakan apapun di bagian atasnya dan dari
pinggang ke bawah masih saja kain tembus pandang gaya Fu-
nan, yang meskipun tidaklah set ipis tampaknya apalah artinya
pada ketinggian di antara mega-mega"
Aku meluncur turun, turun, dan turun, kini sengaja tegak
lurus ke bawah karena aku tidak ingin membuang waktu lagi.
Dalam sekejap sepertiga dari setengah bagian bawah itu
terlampaui, dan kiranya akan terus meluncur jika Amrita tidak
mengingatkan bahwa aku tidak bisa terus menerus
menjatuhkan diri tegak lurus kecuali ingin jatuh seperti karung
dan hancur lebur meleleh seperti buah kates jatuh dari atas
pohon kelapa. ''Menyamping! Menyamping!'' Amrita berteriak di telingaku.
Tentu aku tahu bahwa kini tiada lagi mega yang akan
tertembusi dan karena itu sudah waktunya kusesuaikan
kejatuhanku dengan tarikan bumi, maka akupun berputar satu
kali sebelum membelokkan arah menyerong, menjauhi ketiga
tiang Puncak Tiga Rembulan, melampau hutan, dan setelah itu
membentangkan lagi kedua kaki dan tangan.
DENGAN segera penurunanku tertahan, melambat, dan aku
melayang lagi mengitari wilayah hutan yang pernah kurambah
ketika mencari Puncak Tiga Rembulan, dan di luar hutan itulah
terlihat titik-titik seperti semut, beribu-ribu semut, yang segera
menyebar ketika melihat kami.
"Lihat!'' Amrita berteriak, "pasukan Jayavarman!''
Benarkah mereka memang menanti kedatangan kami"
Tidakkah dari bawah sana kami pun taklebih hanya sebuah
titik" Aku mencoba melayang menyamping lebih jauh dan
lebih jauh lagi dari titik-titik semut yang lari berhamburan
menyeberangi persawahan itu. Melayang menyamping
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
memang mengurangi kecepatan, menjadikanku lebih lamban,
tetapi tetap menurun dan menurun jua. Arah pendaratanku
bagaikan bisa mereka duga. Sebagian pasukan yang berkuda
dengan cepat memburuku ke tempat aku takbisa melayang
lebih jauh lagi.
Aku masih mempunyai pandangan luas di atas ini, dan
dengan sayap selimut kulit kambing ini aku masih bisa
mengemudikan diri ke tempat yang aku kehendaki. Sembari
melayang dan terpandang hutan, sawah, kampung, lapangan,
serta jurang, aku sempat berpikir. Tantangan Pangeran
Kelelawar, meski diucapkan dalam bahasa Sansekerta,
terdengar oleh setiap orang di pelabuhan Fu-nan. Pertarungan
kami mempunyai jadwal yang jelas, yakni pada ma lam bulan
purnama, dan tempatnya juga jelas, yakni Puncak Tiga
Rembulan. Meski tempat itu, seperti yang kualami, sangat sulit
dicapai, jika aku pun sampai ke sana, mengapa harus menjadi
lebih sulit bagi orang Khmer sendiri"
Amrita kurasakan semakin erat mencengkeram. Aku
berpikir kepungan beribu-ribu orang ini lebih berhubungan
kepada dirinya daripada diriku. Bukankah dirinya, seperti yang
telah diceritakannya sendiri, telah menyebarkan kematian
begitu rupa di istana untuk melumpuhkan pemerintahan
Jayavarman"
Betapapun telah dimanfaatkannya
para pembunuh gelap dari jaringan Naga Hitam, selama pengawal
rahasia istana yang terlatih berhasil mengendusnya, sangatlah
mungkin kerahasiaannya terbongkar. Telah diketahui betapa
Jayavarman II tinggal bertahun-tahun di lingkungan istana di
Jawadwipa, dan tentunya ia belajar pula bagaimana
memanfaatkan jaringan rahasia seperti Cakrawarti demi
kepentingannya.
Kami masih cukup tinggi di udara, setidaknya masih dapat
berputar sekali lagi dalam wilayah yang sangat luas ini.
Mereka tentu mendengar diriku dan Putri Amrita Vighnesvara
ini berada di atas Puncak Tiga Rembulan untuk bertarung
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
ulang, dan karena Pangeran Kelelawar berada di pihak Amrita,
maka kemungkinan besar mereka berdua itulah yang akan
turun dari atas sana. Namun karena tidak tahu pasti tempat
pendaratannya, mereka sebarkan manusia di mana-mana.
Apakah mereka perkirakan bahwa siapa pun tidak mungkin
meluncur jatuh ke bawah, sehingga di kaki tiang-tiang itu
sendiri tidak diperlukan penjagaan oleh seorang pun jua"
Kubelokkan arah me layangku kembali menuju kaki Puncak
Tiga Rembulan. Setidaknya jika ribuan manusia, yang berkuda
maupun tidak berkuda tetap akan memburuku ke kaki tiang-
tiang itu, tidaklah mudah bagi siapa pun untuk menempuh
rimba raya yang pernah kulalui itu,
Aku melayang makin rendah. Pucuk-pucuk pohon di
bawahku, bahkan sejumlah burung terbang berpapasan di
atas kami. Kadang-kadang terlirik pula olehku sarang burung
dan telur-telurnya di atas pohon itu. Kami melesat ke arah
kaki Puncak Tiga Rembulan yang berada di dataran tinggi.
Pucuk-pucuk pohon kemudian menyerempet tubuh kami
sebelum akhirnya kukerahkan ilmu meringankan tubuh untuk
mengurangi pengaruh bobotku yang ditarik perputaran bumi.
Amrita telah pula melenting lebih dulu dari punggungku,
sebelum aku seharusnya menginjak tanah, yang ternyata
kubatalkan karena kudengar suitan senjata rahasia siap
merajam tubuhku. Dengan sayap kulit kambing ini, tanpa
beban Amrita di punggungku, aku dapat bergerak seperti yang
dimaksudkan Ilmu Silat Kelelawar, yakni berkelebat terus
menerus tanpa menginjak tanah sama sekali. Ribuan jarum
beracun yang amis baunya, tanda racun yang tingkatnya
tinggi, melesat dan bersuit-suit dari segala arah.
Di atas tanah Amrita telah memegang kipas besar yang
kibasan anginnya saja telah merontokkan jarum-jarum itu ke
tanah. Namun hujan jarum yang datang dari segala arah itu
tidak juga berhenti, sehingga Amrita me lepaskan dua belas
pisau terbang ke dua belas arah yang tepat mengenai
sasarannya. Dua belas tubuh yang tertancap pisau terbang di
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
lehernya masing-masing terjatuh dari atas pohon di sekitar
tiang-tiang Puncak Tiga Rembulan itu. Berhentinya serangan
jarum itu membuatku bisa mendarat di bumi.
DARI segala arah telah muncul orang yang memegang
berbagai macam senjata, dan lengan mereka berkelat sebagai
tanda jabatan tertentu.
''Pengawal istana,'' dengus Amrita, ''apa kerja kalian di
tengah hutan ini"''
Jumlah mereka sekitar lima puluh orang. Salah satu
pemimpinnya menunjuk ke suatu arah dengan pedangnya.
Amrita memekik tertahan. Para pengawal pribadinya yang
kulihat di pelabuhan waktu itu tergantung pada lehernya dan
tubuh mereka penuh dengan luka. Tidak kurang dari dua belas
orang banyaknya.
Tubuh Amrita bergetar, wajahnya memerah, dan matanya
menyala-nyala. Di tangannya segera terpegang satu lagi kipas.
''Kalian harus membayar untuk perbuatan kalian!''
Lantas ia mengepakkan kedua kipasnya ke belakang, dan
tubuhnya melayang ringan ke arah pengawal istana yang
menunjuk dengan pedang itu. Kulihat Amrita melayang di
udara dengan dua tangan yang memegang kipas itu terlipat di
samping tubuh menuju ke arah pengawal istana itu, yang
dengan begitu mengira Amrita sebagai makanan empuk.
Namun begitu ia berusaha membacok kepala Amrita yang
seolah-olah tidak terlindung, Amrita me lejit jungkir balik
sampai dengan kepala masih di bawah berada di atas kepala
pengawal istana itu. Aku sudah tahu apa yang akan dilakukan
Amrita, dalam sekejap mata kedua kipas yang sudah
mengembang di samping tubuhnya itu tinggal ditepukkannya
ke bawah, dan lenyaplah kepala pengawal istana itu tidak
kelihatan lagi. Tinggal tubuhnya terbanting dengan darah
menyembur deras bagai air mancur dari batang lehernya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan tenaga tepukan itu Amrita melayang jungkir balik
ke atas, sehingga ketika kepalanya berada di atas kembali,
dapat segera dilihatnya berpuluh-puluh pengawal istana itu
keluar dari persembunyiannya, dan semuanya, semuanya
tanpa kecuali, melemparkan senjata rahasia jarum-jarum
beracun. Masih di udara Amrita menggerakkan kipasnya
begitu rupa sehingga tubuhnya berputar bagai baling-baling
dengan kipas tersebut sebagai sayap baling-balingnya; maka
ribuan jarum beracun itu pun terserap oleh angin pusaran
tubuh Amrita yang kini sudah berputar seperti baling-baling
itu. Tidaklah mengherankan bagiku jika di tanah Khmer ini
tiada lawan yang cukup sepadan bagi Amrita, yang membuat
putri nan cantik serta jelita ini merajalela tanpa tandingan.
Pantaslah jika ibarat kata seluruh pasukan bersenjata Angkor
dikerahkan untuk menangkapnya. Kemudian akan kuketahui,
bahwa sebetulnya adalah Amrita dan para pengawal
pribadinya yang telah bergerak ke seluruh Kambuja
membasmi golongan hitam di tempat-tempat persembunyian
mereka. Maka kedigdayaan Putri Amrita, murid Naga Bawah
Tanah yang tidak pernah memperlihatkan dirinya, memang
telah menjadi permakluman seisi negara.
Para pengawal istana melesat beterbangan ke arah Amrita
yang masih berputar, tetapi saat itulah Amrita mendadak
berhenti berputar, melenting ke luar dari lingkaran jarum yang
berpusar sambil mengibaskan kedua kipasnya mengikuti
pusaran itu, mendorong jarum-jarum itu dengan tenaga
pusarannya yang dahsyat melesat kembali ke arah para
penyerangnya! Demikianlah ribuan jarum itu berurutan keluar
dari pusaran, menyambut para pelemparnya sendiri dengan
janji perajaman. Terpaksalah para pengawal istana ini,
sembari masih meluncur di udara, menggerakkan senjatanya
untuk menangkis jarum-jarum beracun mereka sendiri. Maka
bagi Amrita yang sementara itu telah sampai ke bumi,
terdapatlah kesempatan untuk menjejakkan kakinya lagi,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
melesat dengan kedua kipas tertutup yang ketajamannya
melebihi pedang, berkelebat cepat membuat garis di bagian
tubuh setiap pengawal istana, yang ketika menangkis jarum-
jarum itu pertahanannya jadi terbuka. Membuat garis artinya
melubangi tubuh di tempat yang mematikan.
Ketika Amrita mendarat kembali hampir seluruh pengawal
istana yang menyerangnya itu sudah tewas. Dari garis yang
diguratkan Amrita di tubuhnya merembes darah, yang semula
memang hanya membentuk garis, tetapi lantas membanjir
menggenangi tanah. Sisanya yang masih hidup mengerang-
erang sebentar, tetapi segera tewas menyusul yang lain
menuju nirvana jika mereka mempercayainya. Dalam sekejap
mata putri istana yang halus mulus dengan telapak tangan
selembut kapas ini telah menewaskan limapuluh pengawal
istana. Aku yang baru saja menginjak tanah bahkan belum
sempat berbuat apa-apa. Untuk berterus terang, bahkan
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum sempat menarik nafas sama sekali!
Peristiwa yang baru saja kuceritakan secara rinci itu
sebenarnyalah berlangsung dalam sekejap mata.
HANYA karena mereka yang terlibat dalam dunia persilatan,
yang pergerakannya serbacepat, begitu cepat, melebihi
kecepatan pikiran, matanya terlatih untuk mekakukan
pengamatan. Jadi segala yang berkelebat tetap saja
berkelebat, bukan tak mungkin lebih cepat dari pikiran, tetapi
pengajian atas pengamatan tetap bisa dilakukan, atas
pandangan mata yang terlatih menanggapi percepatan
pergerakan. Kulihat Putri Amrita yang memunggungi diriku, berdiri
tegak dengan kaki terbentang, menatap tajam ke dalam hutan
yang memperdengarkan suara gemuruh datang suatu barisan.
Kupejamkan mataku dan melalui ilmu Mendengar Semut
Berbisik di Dalam Liang kuketahui betapa selaksa manusia
yang bermaksud mengepung kami sedang mendatang dengan
bergelombang. Di dalam, di atas, maupun di luar hutan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Agaknya memang tiada celah yang ingin mereka berikan.
Berlindung di antara kerimbunan hutan sudah tiada
memungkinkan, karena telah dipenuhi pasukan; jika melenting
ke atas pucuk-pucuk pepohonan, maka di sana kulihat
pasukan pengawal rahasia istana, yang paling tinggi ilmu
silatnya dari berbagai kesatuan keprajuritan, telah berteberan
dan berayun ringan di ketinggian; lantas kalaupun dengan
suatu cara kami lolos dari hadangan, di luar hutan masih
terdapat lautan pasukan kerajaan yang menyemut untuk
memastikan berhasilnya penangkapan.
Kusaksikan Putri Amrita, dan kuraba sayap kulit kambing
yang masih terikat pada kedua tanganku. Barulah kusadari
betapa Ilmu Silat Kelelawar yang terserapnya hanya secara
kebetulan dan tidak diniatkan, kini sungguh bagiku menjadi
andalan. Gelombang manusia muncul dari dalam hutan
bagaikan air pasang.
(Oo-dwkz-oO) Episode 111: [Demi Sebuah Penangkapan]
SELAKSA prajurit menyerang bagaikan gelombang pasang
dari dalam hutan dengan pekik peperangan yang menggetarkan langit dan membuyarkan awan. Kami yang
hanya berdua bagaikan menjadi sekadar noktah di lautan,
dengan segera kukepakkan sayap kulit kambing yang
membuat tubuhku mengambang ke atas, lantas kugerakkan
tubuhku naik dan turun seperti kelelawar menyambar-
nyambar buah di dalam hutan. Sayap itu membuat aku dapat
bergerak jungkir balik dan berguling-guling di udara tanpa
menyentuh sesuatupun di atas bumi, menghindari usaha
penangkapan membabi buta karena pembunuhan gelap
Amrita yang nyaris melumpuhkan pemerintahan. Kulirik Amrita
yang dengan kedua kipasnya bergerak seperti menari tetapi
yang setiap gerakannya mendatangkan kematian.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Korban-korban Amrita inilah yang menjadi penanda
gerakan takkelihatan. Ia bergerak sangat cepat, terlalu cepat,
secepat-cepatnya cepat karena gelombang pasang pasukan
kerajaan ini memberikan jumlah manusia yang seolah-olah di
luar perhitungan dalam jarak yang begitu dekatnya sehingga
tiada ruang bagi penghindaran dan penyelamatan. Dalam
sekejap ratusan nyawa telah tercerabut sepasang kipas Amrita
yang dapat kulihat telah menjadi merah sepenuhnya karena
darah para penyerang. Perempuan pendekar ini bergerak
dengan sangat tenang, terlalu tenang, sangat amat tenang,
tetapi dengan kecepatan taktertatap dan hanya korban-korban
berpentalan tanpa nyawa sajalah membuat para pengepungnya dapat menandai kedudukan.
Para pengepung ini tidak sembarang mengepung, di antara
para prajurit bersenjatakan tombak dan parang yang
menyerang dengan teriakan selalu diselipkan seorang perwira
berilmu tinggi yang diharapkan mendapat sekejap kesempatan. Dalam pertempuran beratus ribu orang juga
berlaku dalil dunia persilatan, bahwa hanya diperlukan setitik
kelemahan dalam sekejap kelengahan untuk menyentuh
bagian yang paling me lumpuhkan. Namun siapakah orangnya
yang dapat melumpuhkan Amrita Vighnesvara sang dewi
penghancur murid Naga Bawah Tanah yang kesaktiannya
bagaikan dewa, tanpa Jurus Penjerat Naga yang telah
dipelajarinya pula meski dari kitab curian yang nyaris
mencelakakannya"
Para perwira diselundupkan di antara barisan untuk
mengambil kesempatan dalam kesempitan, tetapi Amrita te lah
menyiapkan pisau-pisau terbang dalam ikat pinggangnya
hanya untuk menyambut mereka itu sahaja. Begitu cepatnya
gerakan Amrita, sangat amat cepat sampai tiada terlihat,
sehingga dapat dilihatnya segenap gerak penyerangan sebagai
sesuatu yang amat sangat lambat, bahkan terlalu lambat,
sehingga dapat dilumpuhkannya setiap penyerang dengan
terlalu mudah, bagaikan menepuk nyamuk yang sedang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kekenyangan. Namun dengan mata awam tentu saja ini
menjadi pembantaian mengerikan.
ALIH-ALIH pasukan kerajaan bermaksud merajam,
sebaliknya Amrita melapangkan jalan bagi setiap sukma yang
hari itu tiba saatnya berpulang. Untuk setiap perwira yang
menyerang dalam kesempitan dilayangkannya pisau terbang
yang bagaikan bermata untuk segera menancap pada setiap
tenggorokan tanpa perlindungan.
Pengepungan ini betapapun terlihat kacau balau sungguh
penuh perhitungan, meski perhitungan yang manapun sangat
mungkin mengalam i kesalahan. Perhitungannya sendiri
memang tampak sederhana, karena setelah menyadari
kesaktian Amrita, diduga bahwa ia bisa ditenggelamkan oleh
lautan manusia. Tidaklah terduga tentu bahwa ilmu silat
Amrita jauh lebih tinggi dari yang dapat dibayangkan manusia.
Naga Bawah Tanah tentu tidak mendapatkan namanya
dengan begitu saja, dan jika akhirnya Amrita diterima sebagai
murid satu-satunya tentu karena dapat menerima segenap
ilmu yang diturunkannya. Inilah memang yang membuatku
bertanya-tanya: Jika Naga Bawah Tanah tidak pernah
memperlihatkan diri, bagaimanakah caranya Amrita dapat
menjadi muridnya"
Namun ini tentu bukan saat untuk memikirkannya,
terutama ketika aku masih berkelebat seperti kelelawar di
udara, menghindari hujan tombak dan anak panah yang
datang bagaikan hujan, tanpa celah sama sekali untuk dapat
menghindarinya. Maka terpaksalah aku tidak sekadar
menghindar, melainkan juga menangkisnya, dan untuk itu
kusambar sebuah pedang yang melayang, lantas menggerakkannya dalam perpaduan antara Ilmu Silat
Kelelawar dan Ilmu Pedang Cahaya Naga. Dengan Ilmu Silat
Kelelawar aku dapat bergerak di udara terus menerus tanpa
menyentuh bumi, dengan Ilmu Pedang Cahaya Naga aku
dapat menangkis seberapa banyak dan seberapa cepat pun
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
setiap serangan yang mendatang, bahkan bila perlu
membalasnya begitu rupa, sampai habis luluh lantak tanpa
sisa, meski terhadap pasukan yang berasal dari golongan
petani ini aku tidak tega melakukannya.
Seharusnya kugunakan sepasang belati panjang seperti
Pangeran Kelelawar, tetapi menurutinya sesuai Ilmu Silat
Kelelawar tidak akan bisa tanpa menelan korban. Jadi
kugunakan Ilmu Pedang Cahaya Naga yang kecepatannya
tidak dapat diikuti mata, begitu rupa cepatnya sehingga bukan
saja aku dapat menangkis, melainkan dapat membabat ribuan
senjata yang menyerang berbarengan pada punggung
senjata-senjata itu. Kemudian, apabila begitu cepatnya
gerakanku sehingga tak selalu sempat para penyerang itu
melempar senjata, maka kukurimkan sekadar angin pukulan
untuk melontarkan mereka ke mana-mana. Jelas aku tidak
tega menggunakan pukulan Telapak Darah yang merupakan
puncak pencapaian angin pukulan itu, terutama karena
seluruh urusan pengepungan dan penangkapan ini sungguh
tidak menyangkut diriku.
Ini sungguh berbeda dari Amrita, yang menyadari dirinya
akan dirajam, yang hanya membangkitkan kehendak untuk
merajam pula. Telah kukatakan betapa kedua kipasnya telah
menjadi merah karena darah. Setiap kali kipas di tangan kiri
maupun kanan mengembang maupun menutup, darah
memuncrat dari tubuh korban. Amrita tidak lagi tampak
sebagai putri cantik jelita dengan mata mengerjap tajam yang
dapat membuat setiap orang terkesiap, melainkan algojo
pencabut nyawa yang seluruh tubuhnya bagaikan tercelup
darah. Amrita hanya merah. Kain tembus pandangnya yang
telah membuat aku terpesona dan mengejarnya sampai ke
Puncak Tiga Rembulan telah menjadi kain yang basah kuyup
oleh darah dan diikatkannya sebagai kancut seperti busana
pria. Kakinya yang putih mulus juga merah sepenuhnya oleh
darah yang bagaikan tiada pernah mengering karena setiap
kali tersembur semprotan darah baru. Adalah juga darah yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
terus menerus bercipratan membuncah-buncah ke seluruh
tubuh bagian atasnya, yang meski tiada mengenakan apa pun
kini tak ada yang bisa dilihat lagi selain dari merahnya darah.
Amrita mungkin tidak akan sempat menyadari keadaan
dirinya, karena gelombang pasang yang kini sengaja tidak
dihindarinya. Perempuan pendekar ini mengeluarkan Jurus
Pendeta Mengipas Karena Kepanasan yang sangat kejam dan
berbahaya, karena memang akan sangat mengecoh setiap
lawannya. Jurus ini memperlihatkan gerak-gerik seorang
pendeta yang tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya, dan
asyik mengipasi dirinya sendiri sambil menikmati pemandangan alam. Jadi Amrita tidak melenting-lenting lagi,
bahkan matanya mengerling genit seperti bhiksuni berganti
pekerjaan menjadi muncikari. Maka sepintas lalu Amrita
dengan seluruh tubuh yang telah memerah oleh darah itu
bagaikan perempuan kehilangan kewarasan, karena berjalan
melenggang sambil berkipas-kipas di tengah medan
pertempuran. NAMUN akibat dari jurus ini tidak terbayangkan, karena
bukan saja penyerang terkecoh oleh keberadaan Amrita yang
melenggang penuh kelemah lembutan, tetapi sekian lapis
barisan yang berada di belakangnya pun tewas bergelimpangan sebelum menyerang. Apakah yang telah
terjadi" Aku teringat pernah membaca Kitab Pembahasan
Jurus-Jurus Kipas Berbagai Aliran dan di sana disebutkan
tentang Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan tersebut.
Seingatku memang dikatakan di situ bahwa jurus-jurus ilmu
kipas merupakan ilmu silat yang menggabungkan kelembutan
dan kekerasan, dan karena itu mensyaratkan penguasaan ilmu
meringankan tubuh maupun tenaga dalam yang tinggi. Dalam
Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan, kelembutan itu
terletak dalam gerakan lemah, ibarat pendeta yang sudah 40
hari berpuasa, tetapi yang dalam gerakan Amrita menjadi
lemah gemulai penuh kerlingan; sedangkan kekerasannya
terletak pada tenaga dalam yang disalurkan melalui kipas itu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Disebutkan bahwa dalam ilmu kipas, tenaga dalam akan
membuat kipas kertas lebih kuat dari senjata logam manapun,
bahkan angin pukulan kipas itu dapat menerbangkan siapapun
dengan kuda-kuda begitu kuatnya sampai jatuh terguling-
guling jika tidak membentur pohon dengan begitu keras
sehingga tewas saat itu juga. Namun jurus yang satu ini, Jurus
Pendeta Mengipas Karena Kepanasan, jauh lebih istimewa,
karena tenaga dalam yang dikuasai bukan hanya harus
mampu membuat kipas kertas lebih tajam dari logam,
melainkan betapa zat udara yang meneruskan garis dan sisi
bidang kipas itu pun menjadi zat padat dan tajam, setajam
mata pisau belati yang lebih dari tajam. Tenaga dalam
memadatkan udara sepanjang sisi bidang yang mengikuti
kipas sejauh-jauhnya, sejauh daya tenaga dalam yang tersalur
melalui kipasnya. Tenaga dalam yang biasa membuat kipas
kertas sekuat logam, hanya tenaga dalam luar biasa membuat
seorang pendekar mampu membelah pohon maupun batu,
dari jarak seribu langkah dari pohon atau batu itu, hanya
dengan menggerakkan kipas yang bagaikan disambung baja
tertajam di dunia tanpa kelihatan.
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah yang sedang dilakukan Amrita sekarang dengan
Jurus Pendeta Mengipas Karena Kepanasan. Di tengah medan
pertempuran di bawah Puncak Tiga Rembulan yang tinggi
menjulang ia tampak berkipas sambil me lenggang-lenggok,
tetapi kibasannya ibarat irisan logam tajam bertenaga dahsyat
yang membabat siapapun dalam garis lintasannya, dengan
pencapaian sejauh-jauhnya. Bukan saja baris terdepan yang
menyerang dengan segala pekikan jatuh bergelimpangan,
tetapi juga empat sampai lima baris di belakangnya yang baru
siap untuk menyerang terbabat bergelimpangan. Apapun yang
menghalangi jalan dipatahkannya. Jika itu tombak, maka
tombak itu akan patah; jika itu pedang, maka itu akan
terbelah; jika itu perisai, tak urung akan terpercik warna
merah karena tangan yang memegangnya terdedah parah.
Jangan ditanyakan lagi bagian tubuh manusia seperti perut,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
leher, dada, atau kepala yang berada dalam garis lintasan
kipas yang dalam jarak seribu langkah tetap menyapu ganas.
Pemandangan yang sungguh aneh,
tetapi sangat mengerikan. Kalau sebelumnya hanya yang berada dekat
Amrita seperti mengantar nyawa segera bersimbah darah, kini
semua orang di baris-baris belakangnya pun, sampai empat
dan lima lapisan ikut bergelimpangan dengan luka terparah.
Kipas itu sedang terbuka atau tertutup akibatnya berbeda,
karena meski sama tajam dalam irisan, dalam keluasan sangat
besarlah perbedaan. Bagaikan terdapat pisau jagal raksasa
dari langit yang membelah ke kiri dan ke kanan, dan di sana
Amrita berlenggang-lenggok sendiri bagaikan takpeduli,
dengan sekujur tubuh, dari wajah sampai sepasang kaki,
merah semrerah-merahnya merah karena darah.
"Amrita!"
Aku berteriak menyergah di antara serbuan membabibuta
yang sebenarnya juga tidak memberi kesempatan.
"Sudahlah Amrita! K ita tinggalkan semua ini! T inggalkan!"
Amrita mengerling dalam penghayatan jurusnya itu,
sembari menggerakkan kipasnya, dan kini para penyerangkulah yang bergelimpangan dan terlontar ke udara
dengan tubuh-tubuh terbantai mengenaskan.
Tentulah sudah kuduga betapa tidaklah akan terlalu mudah
meninggalkan gelanggang pertempuran, yang telah diperhitungkan demi berhasilnya penangkapan. Meskipun
Amrita adalah puteri Jayavarman II sendiri, pembunuhan
gelap adalah kesalahan tak berampun, yang karena itu pasti
berlangsung oleh penyebab yang lebih besar dari sekadar
kepentingan kekuasaan. Telah kusebutkan betapa selain
prajurit yang mengempas bak gelombang pasang dari dalam
hutan, di atas pucuk pepohonan telah menanti para pengawal
rahasia istana, yang tentu saja paling tinggi ilmunya di antara
segenap kesatuan dalam pasukan kerajaan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
BERBEDA dengan pengawal rahasia istana Mataram di
Jawadwipa yang busana resminya serbaputih, dengan pedang
lurus panjang yang berkilat keperakan, maka para pengawal
rahasia istana raja Jayavarman II yang masih sedang
menggalang kesatuan Angkor di seluruh Kambuja ini
berbusana jauh lebih sederhana, taklebih dan takkurang
karena mereka semua hanya berkancut abu-abu kecoklatan,
yang memberi kesan lusuh, dengan ikatan kain kepala yang
disimpulkan di depan. Hanya perhiasan seperti kalung dan
kelat bahu menunjukkan kedudukan mereka yang lebih tinggi.
Betapapun, ke sanalah aku melayang seperti kelelawar
menyambar-buahan, tetapi dengan tangan memainkan Ilmu
Pedang Cahaya Naga.
Penghargaanku atas kesetiaan mereka kepada rajanya
membuat aku tidak tega membunuh mereka. Namun apa daya
serangan para pengawal rahasia istana ini jauh lebih
berbahaya dari gelombang manusia di bawah sana. Melenting
di atas pucuk-pucuk pepohonan membuatku dapat memainkan paduan Ilmu Silat Kelalawar dan Ilmu Pedang
Cahaya Naga dengan cara yang berbeda. Jika di bawah tadi
Ilmu Silat Kelelawar membuat aku tidak perlu menapak bumi
yang memang penuh dengan manusia bertombak, di atas
pohon ini bisa kumanfaatkan pucuk-pucuk pepohonan untuk
mengubah jurus-jurus Ilmu Silat Kelelawar yang agaknya telah
mereka pelajari sebelum pengepungan. Memang tampak
serangan serempak mereka tidak menemui sasaran, bahkan
dengan kecepatan cahaya aku bergerak dengan mudah untuk
membuat senjata mereka melayang berpentalan.
Telah kukatakan aku sama sekali tidak ingin membunuh,
tetapi ini pun tidak dapat dilakukan tanpa kesulitan, terutama
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 13 Sarang Perjudian Karya Gu Long Pedang Pusaka Buntung 3