Pencarian

Pendekar Guntur 4

Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Bagian 4


Dengan hati yang diliputi kedukaan, tampak Engong Tit dan Pisong Tai telah melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Mereka murka bukan main, akan tetapi mereka juga tidak berdaya, karena dari itu, hanya satu tujuan mereka,
yaitu kembali ke Cidan, guna memberikan laporan kepada Yu-ong semua yang telah mereka alami dan tempat persembunyian dari Kwang Tan, Taycu Cidan yang tengah dikejar2 oleh Kaisar Cidan itu dan hendak dibinasakan!"
Sedangkan Kwang Tan dan Suma Lin Liang bercakap2 dengan asyik didalam goa, banyak yang mereka bicarakan. Jika Suma Lin Liang membicarakan soal kebesaran Bengkauw, yang sekarang ini tengah menerima banyak gangguan dari Cu Goan Ciang, yang telah melupakan Bengkauw sama halnya dengan kacang melupakan kulit,
sedangkan Kwang Tan banyak berita mengenai ilmu pengobatan.
Namun setiap kali Kwang Tan menceritakan perihal hebatnya ilmu pengobatan gurunya maka Suma Lin Liang mendengarkan bagaikan orang bego, sampai akhirnya Kwang Tan menduga bahwa Suma Lin Liang tidak tertarik dengan ceritanya tersebut, dan tidak bercerita mengenai pengembaraan dan pengalamannya.
Tampaknya mereka cocok satu dengan yang lainnya
-ooo0dw0oooSEORANG hweshio berusia empat puluh tahun lebih, dengan jubah kependetaannya yang berwarna kuning, tengah berjalan per-lahan2 dikampung Kie-hoa-Cung, perkampungan itu merupakan perkampungan yang permai dengan berbagai pohon bunga yang tumbuh permai sekali, sama halnya seperti juga nama perkampungan itu.
Pendeta tersebut tangan kanannya mengempit sebungkah batang2 hio (dupa lidi), dan di tangan kirinya tampak membawa bok-kie yang tidak bisa diketuknya, dia menghampiri rumah makan yang cukup besar di pintu
kampung tersebut,
kemudian tanpa berkata sepatah perkataan juga, dan tanpa memperdulikan tamu-tamu yang memang ramai mengunjungi rumah makan tersebut, pendeta itu telah duduk diambang pintu rumah makan.
Dia duduk melintang sehingga selanjutnya orang sulit buat keluar atau masuk kedalam rumah makan tersebut. Sambil meletakkan sebungkah batang-batang hio itu diatas lantai, dia mulai mengetuk kayu bokkienya, dengan irama yang tenang dan disertai liamkengnya.
Pemilik rumah makan itu jadi panik dan bingung bercampur marah melihat lagak pendeta itu, inilah hebat, karena tamu2 dari luar sulit buat masuk kedalam rumah makan tersebut, demikian juga sebaliknya, tamu2 yang telah berada didalam rumah makan tersebut jadi sulit sekali buat meninggalkan rumah makan itu, karena mereka tidak bisa keluar. Tubuh pendeta yang gemuk besar itu duduk
melintang memenuhi ruang gerbang pintu rumah makan tersebut
Beberapa orang pelayan segera menghampiri sipendeta: "Siansu !" kata salah seorang pelayan dengan sikap yang sengit. "Mengapa Siansu menimbulkan kekacauan disini...
jika memang Siansu hendak meminta derma, katakanlah kami akan memberikan sekedarnya."
Pendeta itu tersenyum, sikapnya tenang sekali, dia tidak memperdulikan keributan yang terjadi didalam rumah makan tersebut, kayu bokkienya tetap diketuk.
"Apakah benar2 kalian akan memberikan derma kepadaku?" tanyanya dengan suara yang sabar dan tenang sekali.
Para pelayan itu tambah mendongkol, salah seorang diantara mereka telah menggerutu. "Huh, katakan saja sejak
tadi jika memang engkau hendak meminta derma, mengapa harus menghalangi pintu seperti itu !"
Kemudian pelayan itu menghampiri kasir, dia bisik2, kemudian dia kembali dengan membawa tiga puluh cie uang pecahan perak.
"lnilah tiga puluh cie uang perak, derma yang kukira sangat besar sekali !" kata sipelayan. Pendeta itu tersenyum mengawasi uang itu, dia berhenti mengetuk bokkienya, lalu menyambuti tiga puluh cie uang perak itu kemudian dikepalnya.
Waktu kepalan tangannya dibuka, semua mata pelayan tersebut jadi terpentang lebar2 mengawasi ketangan sipendeta itu, karena pecahan uang perak sebanyak tiga puluh cie itu telah kena diremas menjadi satu gumpalan perak.
Kemudian malah pendeta tersebut telah meletakkan gumpalan perak itu, ditekannya ke lantai! Luar biasa sekali! Perak itu melesak kedalam lantai dan menjadi rata!
Semua pelayan rumah makan bengong dan juga
mereka pun tersebut jadi berdiri tidak berani lancang menegur pendeta itu, segera mereka dapat menduganya bahwa pendeta ini tentunya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, karena pecahan uang perak itu sekali dikepal saja sudah dapat diremas menjadi satu gumpalan uang perak itu sekali ditekan dan sekarang telah melesak
didalam lantai, yang terdiri dari ubin yang sangat keras. Sipendeta dengan sikap yang tenang, telah mulai mengetuk2 lagi kayu bokkienya. Sedangkan kasir rumah makan itu jadi tambah gugup, karena banyak tamu2 didalam rumah makan yang bermaksud pulang tidak bisa keluar dari ruangan dalam
rumah makan itu, sehingga mereka telah mengomel panjang pendek.
Kasir bangun dari duduknya dan menghampiri sipendeta.
"Siansu, siapakah siansu dan berasal dari kuil mana " Mengapa siansu menimbulkan bagi kami " Jika memang Siansu mengganggu terus seperti ini, tentu usaha kami akan gulung tikar, karena tidak ada langganan lagi yang berani datang berkunjung kerumah makan ini."!"
Padahal kasir itu mendongkol dan marah sekali, namun mengetahui pendeta ini bukan pendeta sembarangan dia tidak berani bertindak lancang. Dan juga, diwaktu itu dia telah mengawasi pendeta itu beberapa saat lamanya.
Pendeta itu meletakkan kayu pengetuk bokkienya, dia telah berkata dengan suara yang tenang dan sabar: "Jika memang kau bersedia memberikan seribu tail perak kepadaku, maka pinceng tidak akan menimbulkan kesulitan apa2 lagi dirumah makan ini..!"
"Apa "!" melotot mata kasir itu, seperti juga sepasang biji matanya hendak melompat keluar dari rongga matanya, "Seribu tail perak,...! Ohhh, meminta derma atau memang hendak memeras.."!"
Pendeta itu tidak melayani sikap si kasir, dia telah mengetuk2 kayu bokkienya lagi dengan per-lahan2 diiringi suara liamkengnya.
Si Kasir telah membanting2 kakinya dengan jengkel. "Baiklah ! Baiklah ! Kami akan memberikan sepuluh tail perak, akan tetapi cepat kau angkat kaki !" Sambil berkata begitu si kasir telah mengeluarkan uang sepuluh tail perak, dan diletakkan didalam mangkuk (mangkok khusus yang dipergunakan pendeta buat meminta derma).
Pendeta itu tetap membaca liamkeng, seperti juga tidak mendengar apa yang dikatakan oleh sikasir, Matanya malah dipejamkan.
"Lihatlah, kami telah memberi derma sebanyak sepuluh tail perak, cepat kau berlalu !" kata kasir itu sudah tidak sabar lagi.
Akan tetapi sipendeta tetap saja membaca liamkengnya dan mengetuk kayu bokkie-nya, hanya kemudian mulutnya menggumam.
"Jika tidak seribu tail perak, jangan harap seorang pun manusia bisa meninggalkan tempat ini!"
"Hemm, engkau ingin memeras jika begitu!" bentak sikasir dengan suara mengandung kemarahan yang meluapluap dan tidak bisa ditahannya.
"Tukk!" tiba2 mulut sikasir telah diketuk dengan kayu pengetok bokkie sipendeta. Gerakan sipendeta begitu cepat dan tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa, sebab sipendeta kemudian telah asyik mengetuk kayu bokkienya
lagi, sedangkan kasir itu
telah berjingkrak-jingkrak kesakitan, giginya copot tiga, dan mengeluarkan darah cukup banyak dimulutnya.
"Oh, disiang hari kau hendak merampok, heh" Kau menganiaya orang heh?" menjerit2 kasir tersebut.
Namun pendeta itu tidak memperdulikan sikap sikasir, tetap saja dia membaca liamkeng dan mengetuk kayu bokkie, sedangkan tangan-kirinya telah mengambil sebatang hio, dari tumpukan batang2 hio lainnya, dia telah melemparkannya batang hio tersebut, yang meluncur dan kemudian menancap berdiri diatas lantai!
Semua orang tercengang, Hio terbikin dari bubuk gergaji dan ramuan bahan2 pengharum dengan dibuatnya diatas sebatang lidi yang tipis kecil, sekarang batang lidi yang tipis kecil itu bisa menancap dalam sekali diatas lantai, menembusi lantai itu, bahkan telah menyebabkan hio tersebut berdiri tegak, dengan demikian membuat semua
orang jadi kagum dan heran bukan main.
Sedangkan Hwesio tersebut tetap saja membaca Liamkeng dengan tangannya mengetuk bok kienya, dimana dia terus juga memejamkan matanya. Seperti juga apa yang dilakukannya itu tidak merupakan hal yang luar biasa.
Disaat itu, terlihat si kasir telah berkata lagi: "ilmu sihir apakah yang kau pergunakan buat menakut-nakuti kami?" Seorang pelayan telah menarik ujung lengan baju si kasir.
"Jangan berisik, jangan ganggu pendeta itu !" bisik si pelayan "Jika memang batang hio ditimpukkan kekepala kita, bukankah kepala kita akan ditembusi oleh batang lidi itu, berarti kematian buat kita "!"
Mendengar bisikan pelayan tersebut, semangat sikasir seperti terbang meninggalkan raganya. Dan dia bengong sejenak! sampai akhirnya menghela napas dengan menggidik.
Apa yang dikatakan oleh pelayan itu tidak salah, sebab jika saja sipendeta menimpukkan hio tersebut kearah kepalanya, niscaya batang hio itu akan menembusi batok kepalanya.
Dengan begitu, akan membuat dia menjadi binasa disaat itu juga, Dalam keadaan seperti ini telah membuat si kasir jadi ciut nyalinya segera juga dia merobah sikapnya. Dia berkata dengan suara yang tidak setinggi tadi: "Siansu, sesungguhnya apa yang kau inginkan dari kami "!"
"Aku meminta derma seribu tail uang perak !" kata si pendeta, Setelah berkata begitu, dia mengambil sebatang hio lainnya, dan melemparkannya lagi, batang hio tersebut melesat dan menancap diatas lantai, dalam sekali, berdiri tegak berjauhan dengan hio yang pertama tadi.
Begitulah, dalam keadaan
memperlihatkan, betapa dia
seperti itu sipendeta telah memiliki kekuatan tenaga
dalam yang luar biasa yang dapat menimpukkan lidi hio tersebut sampai menembusi lantai.
Si kasir telah meringis dengan marah dan takut bercampur menjadi satu, sampai akhirnya dia bilang: "Dalam hal ini.... kami.... kami adalah pedagang2 kecil yang mengusahakan rumah makan ini sekedarnya saja dengan keuntungan tidak seberapa setiap harinya ! Jika memang harus menderma Siansu sebesar seribu tail perak,
bagaimana mungkin kami besok2 bisa berusaha lagi !"
0ooo0dw0ooo0 Jilid 6 MENDENGAR menyahuti, dia perkataan itu hanya mengambil sipendeta tidak sebatang hio, ditimpukkan lagi dan batang hio tersebut telah menancap diatas lantai dalam sekali, terpisah juga dari batang hio yang kedua itu, Dengan begitu, terlihat betapa batang hio itu tersusun berdiri dengan mengambil kedudukan seperti pat-kwa.
Dalam keadaan seperti itu, tampak jelas sekali, betapapun juga sipendeta memiliki permintaan yang tidak bisa tawar-menawar lagi, dan memang si kasir rumah
makan tersebut harus memenuhi tuntutan-nya, yaitu memberi derma sebesar seribu tali perak! Sedangkan mulut sipendeta kemak-kemik perlahan membaca Liam-keng dan juga tangannya telah mengetuk2 bokkhinya. Sampai akhirnya dia telah menimpukkan lebih dari belasan batang hio itu, yang semuanya menancap
dilantai batu itu, dan juga berdiri tegak dengan tersusun baik sekali kedudukannya.
Dilihat demikian memang pendeta itu bukan pendeta sembarangan, tentunya dia memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan juga tenaga dalam yang mahir, karena dia
bisa menimpuk hio-hio
itu dengan tenaga yang diperhitungkan baik-baik. Diwaktu itu si kasir hanya berdiri bengong. Dia jadi salah tingkah, Untuk memenuhi tuntutan sipendeta, jelas tidak bisa karena permintaan sipendeta terlalu besar,
jumlahnya sampai seribu tail perak.
Akan tetapi, jika dia tidak bisa mengusir pendeta itu dari tempatnya, para tamu yang hendak meninggalkan ruangan rumah makan ini, yang tidak bisa keluar karena pintu seperti dirintangi dengan tubuh si pendeta yang duduk tepat
ditengah-tengah pintu itu, seumpama seekor lalatpun tidak bisa terbang keluar, tidak sabar dan telah panik sekali menimbulkan suara yang berisik dan kacau.
Sikasir jadi bingung bukan main, dia mengeluh sendirinya, karena saat itu terlihat betapapun juga memang sipendeta sudah tidak bisa dihadapi dengan baik2,
sedikitnya harus segera dipanggil orang-orang Tiekwan, alat-alat kerajaan untuk mengusirnya.
Hamba2 negeri tentu akan mempergunakan kekerasan menyeret pendeta itu dari rumah makan ini, namun tetap saja hal ini tak mungkin membawa akibat yang baik buat
rumah makan itu sendiri,
kelak sipendeta bisa saja membalas sakit hati dan penasarannya kepada kasir dan pemilik rumah makan ini dengan datang mengacau lagi! Berpikir sampai disitu, si kasir tadi semakin bingung, dia tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya, hatinya terasa seperti mau menangis saja.
Si pendeta masih terus membaca Liamkeng dan tangan kirinya masih terus juga melempari hionya sebatang demi sebatang. Dengan begitu membuat batang2 hio yang terjajar berdiri dalam kedudukan menurut hitungan patkwa berbaris rapi sekali.
Semua tamu yang berada didalam ruangan rumah makan tersebut tambah bingung, sampai akhirnya mereka itu telah menimbulkan suara yang berisik!
Akan tetapi dari para tamu itu tidak seorangpun yang berani maju untuk memaksa ke luar, karena mereka juga menyaksikan betapa pendeta itu adalah pendeta yang memiliki kepandaian sangat tinggi, jika memang mereka memaksakan diri, tentu akan membuat mereka bisa bercelaka.
Waktu itu terlihat betapa si pendeta masih terus juga melemparkan batang2 hio-nya, dan akhirnya dia telah melemparkan habis semua batang2 hio itu, yang berbaris dalam bentuk yang menurut kedudukan Patkwa, dan juga dengan sikap yang tenang pendeta itu telah menyimpan kayu bokkienya, dia berhenti membaca liamkeng dan tahu2
tubuhnya yang tinggi besar
itu dengan ringan telah melompat keatas barisan hio itu. Dan luar biasa sekali ! Dengan mempergunakan kaki kanannya, tampak sipendeta telah berdiri dengan tenang dan tubuhnya tidak bergeming sedikitpun juga. sedangkan
yang mengherankan, batang hio itu sama sekali tidak bergerak dan tidak melengkung menahan berat tubuh si pendeta, bagaikan tubuh si pendeta sangat ringan, seringan sehelai daun kering.
Tamu-tamu yang semula menjadi gusar dan marah karena tidak bisa keluar dari ruangan rumah makan itu dan menimbulkan suara yang berisik, waktu melihat pertunjukan itu, berbalik jadi kagum dan telah bersorak dengan gembira.
"Bagus ! Bagus ! Hebat sekali !" berseru-seru mereka kagum dan takjub, itulah benar-benar sangat mengherankan sekali, disamping membuktikan bahwa pendeta itu memang memiliki ginkang yang terlatih dan sempurna.
Sedangkan sikasir berdiri bengong dengan mulut yang terbuka lebar2, takjub memandang kelihayan sipendeta. Pendeta itu tidak memperdulikan sikap heran dari semua orang itu, yang memandang takjub padanya, hanya saja dia menggerakkan kedua tangannya, mulai bersilat dengan gerakan-gerakan yang perlahan, namun setiap kali dia menggerakkan kedua tangannya, maka ber kesiuran angin yang sangat kuat sekali, men-deru2 dengan dahsyat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malah, sipendeta juga bukan hanya bersilat dengan berdiam diatas sebatang hio saja, tubuhnya telah melesat kesana kemari, dia telah pindah dari hio yang sebatang kebatang hio lainnya lagi, Begitulah seterusnya. Akan tetapi hio tersebut tetap tidak melengkung atau patah diinjak ujungnya oleh kaki sipendeta.
Menyaksikan kehebatan sipendeta, semua orang jadi bersorak memujinya. Setelah selesai bersilat diatas ujung batang-batang hio tersebut, si pendeta telah melesat ke ambang pintu lagi, duduk disitu dengan bersila dan mulai mengetuk kayu
bokienya dan membaca liamkeng pula.
Barulah para tamu yang tadi mengagumi akan kehebatan si pendeta jadi menyesal setengah mati, mengapa waktu sipendeta tengah bersilat diatas ujung batang-batang hio itumereka tidak mempergunakan kesempatan tersebut buat
melarikan diri keluar dari dalam rumah makan ini " sekarang sudah terlambat, karena si pendeta telah berada ditengah-tengah pintu keluar tersebut !
Sikasir tambah bimbang, karena dia menyadari sekarang kedudukannya tambah sulit. Dia hanya memiliki dua pilihan, memenuhi permintaan derma dari sipendeta sehingga pendeta itu berlalu atau sipendeta yang tampaknya memiliki kepandaian kekacauan dirumah besok rumah makannya akan sepi, karena tidak ada
pengunjung yang berani datang lagi kerumah makannya.
Karena itu, sikasir hanya berdiri bengong dengan muka meringis.
"Sebuah pertunjukan yang sangat manis dan hebat sekali !" tiba-tiba terdengar suara seseorang memuji, suara yang perlahan, akan tetapi terdengar jelas sekali.
yang tinggi itu akan menimbulkan
makannya ini dan mungkin besokBerasal dari rombongan penonton diluar rumah makan itu, disusul kemudian dari rombongan orang yang tengah menonton "pertunjukkan" tersebut, keluar seorang lelaki tua dengan tubuh yang kurus kerempeng, dengan pakaian yang penuh tambalan, berjalan agak terbungkuk sedikit, dialah seorang pengemis tua berusia lima puluh tahun lebih.
Pendeta itu berhenti mengetuk kayu bokkie nya, dia menoleh dan melihat pengemis itu dengan sorot mata yang tajam, kemudian kembali pendeta tersebut mengetuk kayu bokkie-nya dan membaca liamkengnya pula tanpa memperdulikan sipengemis.
Namun sipengemis telah melangkah menghampiri lebih dekat walaupun melihat sikap si pendeta yang acuh tak acuh, sehingga dia berada dibelakang sipendeta, hanya terpisah satu tombak lebih,
"Taysu, tampaknya Taysu bukan semacam pendeta miskin yang kerjanya hanya mengemis seperti yang menjadi pekerjaanku, maka alangkah tidak bijaksananya jika Taysu memeras pemilik rumah makan itu !" kata si pengemis lagi, suaranya tenang dan diiringi dengan sekali-sekali suara tertawanya, sama sekali dia tidak merasa gentar kepada
sipendeta, walaupun pengemis ini tadi telah melihatnya betapa pendeta itu memiliki ilmu silat yang tinggi dan ginkang yang mahir sekali.
Sipendeta tetap terpejam dan terus
membaca liamkeng, seperti juga dia perkataan sipengemis. tidak mengacuhkannya, matanya mengetuk kayu bokkienya sambil
tidak mendengar "Jika Taysu tetap duduk membaca doa di pintu itu, berarti doa Taysu tidak akan kesampaian, sebab Thian dan Sang Budha juga akan murka oleh tingkah laku Taysu yang
mempersulit orang ! Lihatlah, para tamu didalam ruangan rumah makan itu, mereka tengah bergelisah, karena tidak dapat keluar dari rumah makan itu. sedangkan mereka masing2 tentu memiliki kepentingan
mereka urus. Lebih bijaksana jika
lainnya yang perlu
Taysu menyingkir membuka jalan, buat mereka itu keluar !"
Walaupun pengemis bicara dengan biasa saja, nada suaranya sabar, tokh didalam kata2 nya itu seperti juga dia memaksa dan memerintahkan sipendeta membuka jalan dan tidak melintang didepan pintu, agar para tamu bisa meninggalkan rumah makan tersebut.
Akan tetapi pendeta itu tetap saja dengan pekerjaannya mengetuk bokkienya dan membaca liamkeng, dengan mata terpejamkan, seperti juga tidak mengacuhkan atau tidak mendengar perkataan sipengemis, dengan begitu si pengemis jadi terpancing kemendongkolannya juga, sampai dia tertawa agak keras.
"Lucu! Lucu! Jika Taysu membawa lagak seperti ini, berarti Taysu bukan hendak meminta derma, karena seseorang yang meminta derma tentu akan memintanya dengan baik2, bukan seperti yang Taysu lakukan itu!"
Sipendeta membuka per-lahan2 matanya, dia tetap duduk diambang pintu, hanya saja tubuhnya telah digeser berputar, sehingga jika sebelumnya dia duduk menghadap kedalam ruangan rumah makan, sekarang dia duduk menghadapi keluar, sehingga dia berhadapan dengan si pengemis tua itu.
"Mengapa kau demikian usil mencampuri urusanku " Jika memang engkau ingin memperoleh bagianmu, mengemis sisa makanan dari para tamu itu, tidak perlu kau panik seperti itu, karena jika aku telah berhasil memperoleh permintaan dermaku, akan kuberikan kepadamu seratus
tail, itu bukan
jumlah yang kecil, bisa engkau mempergunakannya buat bersenang2 selama beberapa bulan tanpa perlu mengemis lagi !"
Pengemis itu tertawa.
"Aku adalah pengemis tua yang melarat dan miskin, walaupun bagaimana tetap saja aku pengemis, Seekor anjing tidak bisa meninggalkan sifat2nya yang tetap sebagai seekor anjing, demikian juga halnya dengan pengemis. Walau pun Taysu seandainya bersedia memberikan kepadaku seribu tail, akan tetapi tetap saja aku akan mengemis.
Hanya saja bedanya sekarang ini aku mengemis dari jumlah yang kecil dan sedikit, namun jika memiliki uang yang banyak, tentu aku akan mengemis dengan permintaan yang besar pula. Jadi ku-pikir2, memiliki uang atau tidak, semua itu sama saja bagiku.
Karena jika aku mengemis. maka perutku tidak mungkin lapar, setiap aku meminta, tentu aku memperoleh sisa makanan, dan aku telah puas. Jika perutku kenyang. tidak perlu aku terlalu banyak pikir lagi!"
Sipendeta mengawasi pengemis itu tajam sekali, dengan bola mata yang men-cilak2 ber putar2, sampai akhirnya dia bilang: "Jika demikian, baiklah ! sekarang apa yang kau kehendaki "!"
Si pengemis tidak gentar walaupun ditatap tajam seperti itu. Dia tersenyum dan membawa sikap yang tenang dan sabar.
"Sebenarnya... sebenarnya !" kata pengemis sambit tertawa, kemudian memperlihatkan sikap bersungguh-2: "Atau memang Taysu akan gusar jika aku mengungkapkan yang sebenarnya "!"
Sipendeta menggeleng, hanya bola matanya itu mencilak semakin cepat dan bersinar semakin tajam.
Pengemis itu tersenyum.
"Baiklah, jika memang Taysu tidak marah, maka aku akan mengatakannya ! Tentu Taysu memaklumi, sebagai seorang pengemis, sudah menjadi kebiasaanku untuk meminta, Dan demikian pula sekarang ini, aku hendak meminta agar Taysu meninggalkan rumah makan ini !" kata pengemis tua itu.
Muka sipendeta berobah akan tetapi itu hanya sekejap mata saja, kemudian pulih sebagaimana biasa lagi, dia hanya mendengus dingin tanpa mengatakan suatu apapun juga.
"Jika demikian permintaanmu, baiklah !" kata sipendeta setelah berdiam bokkienya, "Aku diri mempermainkan kayu pengetok
pasti meluluskannya dan segera meninggalkan rumah makan ini asal engkau bersedia buat main-main denganku...!"
"Main2 bagaimana maksud Taysu "!" tanya pengemis itu pura2 tidak mengerti.
Pendeta itu tidak segera menyahuti, dia memperhatikan pengemis ini. Sebagai seorang yang berpengalaman, pendeta ini menyadari, bahwa didalam dunia persilatan memang banyak sekali orang2 yang memiliki kepandaian tinggi dengan menempuh cara hidupnya sebagai pengemis.
Disamping itu juga, melihat cara pengemis ini yang berani mengajukan permintaannya itu tanpa tedeng aling2, hal ini sudah membuktikan bahwa pengemis ini bukan pengemis sembarangan.
"Taysu! tentunya yang dimaksudkan Taysu bukan hanya sekedar bermain kelereng atau juga main adu sajak "!" tanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengemis itu lagi. "Atau memang Taysu hendak mengajakku buat mengadu membaca Liamkeng " Oh, oh, jika hal itu harus kulakukan, tentu saja aku kalah ! Tapi jika memang Taysu mengajak aku main2 berlomba untuk mengadu siapa yang paling banyak mengumpulkan sisa makanan dengan cara mengemis, aku jelas setuju sepenuh nya."
Pendeta itu tertawa tawar, katanya: "Kau jangan pura2 bodoh seperti itu ! Dengan berani mengajukan permintaan itu, tentu kau sudah memiliki pegangan, yaitu kau memiliki
sedikit kepandaian buat
menghadapiku..! Tentunya kau mengerti ilmu silat, bukan " Aku ingin mengajakmu buat main2 diatas batang hio itu, siapa yang rubuh lebih dulu, dialah yang kalah."
Pengemis itu memperlihatkan sikap terkejut dengan lidah dileletkan.
"Berdiri diatas hio itu " Oh, oh, benar2 mengerikan. Tentu batang hio itu akan patah hancur diinjak olehku !" Pendeta itu tidak memperdulikan sikap pengemis tersebut, dia melanjutkan perkataannya. "Dan jika memang kau bisa menang, dimana aku telah jatuh terlebih dulu dari
atas batang hio itu, berarti akan terpenuhi permintaanmu itu dan boleh nanti engkau meminta bayaran atas jasamu itu kepada pemilik rumah makan ini.
Sipengemis mengangkat bahunya, katanya: "Jika demikian juga kehendak Taysu, aku sipengemis tidak bisa
tawar menawar lagi, bukan" Sudah menjadi kebiasaanku sebagai pengemis, diberi derma sepiring nasi dan sayursayur bekas dan sisa, aku terima, diberi satu cie, akupun terima, tidak pernah bersikeras memperoleh lebih, karena jika telah diberi, itupun sudah lebih dari cukup buatku
mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada sipemberi itu."
Pendeta itu tersenyum dingin, kemudian dia menyimpan bokkienya, katanya: "Baiklah, mari kita mulai !" Dia melompat berdiri dengan ringan.
Sipengemis hanya mengangguk saja dan melangkah masuk ke ruang rumah makan itu, dengan matanya memperhatikan letak batang2 hio tersebut, segera dia mengetahui bahwa hio itu mengambil kedudukan Pat-kwa.
Pendeta itu mengambil bibit api, tahu2 dia menyalakan bibit api, setiap kali ada bibit api itu memercik, dia meniupnya, aneh sekali, dengan tiupannya itu sipendeta telah mengirim api keujung batang hio, yang segera menyala!
Itu suatu keluar biasaan, karena hio itu bisa menyala dalam waktu yang begitu singkat, juga menyalakan ditiup dari jarak yang terpisah jauh, benar2 kepandaian yang menakjubkan. Semua orang yang hadir didalam rumah makan tersebut jadi memandang terpaku dengan sikap tertegun takjub.
Akan tetapi pengemis tersebut tidak merasa heran, Dia mengetahui, itulah kepandaian tenaga lwekang yang benarbenar tangguh, rupanya pendeta ini memang bermaksud hendak memamerkan kepandaiannya itu.
Dari batang hio yang satu telah dinyalakan, pendeta itu memercikkan bibit apinya dan menyalakannya lagi hio2 yang lainnya, Begitu seterusnya dan akhirnya hio itu telah
terakhir, lidahnya: menyala semuanya.
Waktu sipendeta menyalakan hio yang pengemis tersebut
berkata dengan me-leletkan "Kita jadi berlomba berdiri dibatang hio yang menyala itu"!" Pendeta itu mengangguk "Ya !" sahutnya.
"Oho, benar2 pekerjaan yang sulit sekali! Untuk berdiri diatas sebatang hio yang tidak menyala saja sudah sulit, karena batang hio yang kecil tipis itu, sekali diinjak tentu akan patah dan hancur, memerlukan keringanan tubuh yang baik buat mengimbanginya. Sekarang harus berdiri
diatas sebatang hio yang tengah menyala- berarti api hio yang diinjak itu tidak boleh padam, bukan,"!"
Kembali pendeta itu mengangguk.
"Tepat sekali ! Siapa yang menginjak padam api dibatang hio tersebut, atau juga menginjak patah batang hio itu, berarti dialah yang kalah ! Atau juga orang yang jatuh paling dulu, diapun dihitung kalah !" menjelaskan sipendeta.
Pengemis itu mengawasi sejenak batang hio yang menyala itu, dia melihat asap hio yang mengempul memenuhi ruangan tersebut.
Melihat sikap pengemis itu, pendeta tinggi besar tersebut tersenyum lebar.
"Bagaimana" Apakah kau membatalkan perlombaan ini merasa ragu2 dan hendak "!" Waktu berkata begitu pendeta tersebut memperlihatkan sikap yang angkuh sekali. Semua orang yang hadir ditempat itu juga memandang pengemis tua tersebut dengan mata terpentang lebar2 Mereka jadi tegang sendirinya, walaupun itu bukan suatu
"pertempuran", namun merupakan suatu "permainan" yang sangat menarik sekali dan baru pertama kali ini mereka saksikan !
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat lamanya, akhirnya pengemis tua itu mengangguk sambil katanya:
"Baiklah, dasarnya aku pengemis, maka aku tidak bisa tawar menawar selain menenerimanya saja, siapa tahu aku yang menang "!"
Dan berkata terbahak-bahak, menghadapi semua itu, bagaikan berlomba berdiri diatas batang Hio yang tengah menyala itu bukan urusan yang terlalu sudi buat dia.
sampai disitu, pengemis itu tertawa tampak dia memang tidak gentar
Pendeta itu telah mengawasi sipengemis tajam-tajam, dan didalam hatinya dia berpikir: "Dengan beraninya dia menerima tawaranku buat berlomba diatas batang hio yang tengah menyala, pengemis ini pasti memiliki pegangan yang
sangat diandalkannya. Aku harus hati2..!"
"Silahkan Taysu lebih dulu melompat ke-atas batang hio itu !" kata pengemis tersebut.
"Kita melompatnya berbareng !" kata pendeta itu.
Pengemis "Baiklah jika itu mengangkat bahunya sambil-katanya: demikian ! Mari... aku akan menghitung
sampai tiga, begitu aku menghitung sampai tiga, kita harus segera melompat ! Kau setuju, Taysu "!"
Pendeta itu hanya mengangguk dengan memperlihatkan sikap seperti juga meremehkan dan memandang rendah pada sipengemis, walaupun hatinya waktu itu tengah berpikir keras dan ragu2 memikirkan siapakah sebenarnya pengemis yang berani menerima tantangannya ini.
"Satu....dua....tiga....!" berseru si pengemis dengan suara nyaring. Bersama dengan seruan "tiga !" itu, tampak sipengemis dan pendeta itu telah menjejakkan kedua kaki mereka, tubuh mereka ringan sekali mencelat keatas batang hio yang tengah menyala itu.
Pengemis itu hinggap di sebatang hio di sebelah kanan, sedangkan pendeta itu dibatang hio sebelah kiri. Akan tetapi luar biasa pandangan yang dapat dilihat. Karena begitu kaki pengemis itu menginjak ujung hio yang tengah menyala tersebut, dia hanya menginjak perlahan sekali, tubuhnya telah melompat lagi kebatang hio lainnya, dan juga begitu halnya dengan pendeta itu.
Rupanya kedua orang ini telah mengeluarkan ginkang mereka yang mahir dan tanpa menjatuhkan bubuk abu diujung api hio itu, atau memadamkan api hio tersebut mereka telah melompat dan batang hio yang satu ke batang hio yang lainnya, dan juga gerakan mereka sangat ringan, sehingga batang2 hio yang mereka hinggapi itu tidak
bergerak sedikitpun juga, apalagi patah!
Pendeta itu terkesiap hatinya, karena melihat pengemis ini benar2 seorang yang memiliki ginkang tinggi sekali. Dengan begitu, jelas bahwa pengemis ini sengaja hendak mengganggu dan mempermainkannya. Waktu pengemis itu
tengah melompat kesana kemari, tiba2 pendeta tersebut melompat kebatang hio yang berada dekat dengan tempat beradanya pengemis itu, dia mengambil sikap seperti akan terjerembab jatuh, tubuhnya agak limbung, dan tangan kanannya mengibas.
Pengemis itu menyadari itulah
mengambil sikap
mengerutkan sepasang alisnya ia
serangan membokong, karena dengan seperti itu dan mengibaskan lengan jubahnya, sesungguhnya sipendeta menyerangnya dengan mempergunakan angin kibasan lengan jubahnya yang mengandung kekuatan tenaga dalam.
Kalau yang menghadapi pendeta ini memiliki kepandaian tanggung2, jangankan untuk diserang seperti itu disaat tengah berada diatas ujung sebatang hio yang menyala ada apinya, jika memang bisa berdiri tanpa jatuh
akan menginjak padam atau juga patah batang hio itu, tentu itupun sudah lebih dari bagus.
Pengemis itu walaupun demikian tidak menjadi gugup, karena sambil tersenyum dia mengangkat tangan kanannya, menangkis serangan bokongannya itu.
"Bukkk !" terdengar suara yang perlahan sekali karena tenaga serangan sipendeta telah saling bentrok dengan tenaga tangkisan sipengemis yang berada ditengah udara.
Akan tetapi pengemis itu menyadari tidak bisa ataupun mengandalkan kekerasan, sebab sekali saja kedua kakinya itu kurang ringan menginjak ujung batang hio itu, dan juga menginjak dengan tenaga yang berlebihan sedikit saja, api hio itu akan padam atau kemungkinan batang hio tersebut akan patah.
Karenanya begitu kedua tenaga saling bentrok, dengan meminjam tenaga tersebut mencelat pengemis tersebut tidak perlu mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Demikian pula halnya dengan pendeta itu.
Diapun menyerang bukan dengan tetap berdiam diujung hio tempat dia berada, karena sambil menyerang dengan tubuh yang bagaikan limbung kehilangan keseimbangan tubuhnya, pendeta tersebut telah mengganti
kakinya, dia telah
pindah kehio lainnya, bentrokan itu cepat sekali pengemis kebatang hio lainnya, Dengan begitu kedudukan begitulah selanjutnya dia melakukan beberapa kali penyerangan gelap, untuk mendesak pengemis itu, agar sipengemis dapat didesak rubuh, turun dari batang hio itu atau juga menginjak patah batang hio yang tengah diinjaknya.
"Oho, sungguh menarik sekali, disaat kaki menginjak api yang panas, ada orang yang mengipasi aku, sungguh nyaman ! sungguh nyaman." pengemis itu berulang kali tertawa dan melontarkan ejekan pada pendeta itu.
Muka pendeta itu berobah merah, dan timbul kemendongkolannya, dan juga diam2 dia berpikir: "Hemmm, pengemis ini jika tidak di ajar adat, tentu akan tambah bertingkah !"
Karena berpikir begitu, cepat sekali dia merobah cara mendesak pengemis tersebut. Terang-terangan sekarang ini dia menyerang kepada pengemis tersebut, dengan kedua tangannya, yang digerakkannya bergantian.
Setiap gerakannya itu mengandung kekuatan lwekang yang benar-benar tangguh sekali, yang mungkin jika dalam keadaan biasa dipukulkan kepada sebungkah batu, akan membuat batu itu hancur luluh.
Pengemis ini juga terkesiap hatinya, dia pikir: "pendeta gundul ini benar2 memiliki kepandaian lumayan. Hemmm, rupanya sekarang dia bersungguh-sungguh. serangannya juga berbahaya !"
Namun pengemis ini tidak gentar menghadapi semua serangan pendeta itu. Dengan mengandalkan ginkangnya pengemis itu bergerak lincah kesana kemari, dari batang hio yang satu melompat kebatang hio yang lainnya.
Sampai suatu ketika, disaat dirinya diserang dengan bertambah gencar, pengemis itu mendadak merandek,
dengan kedua tangan yang tiba2 menyampok: "Rubuhlah kau !"
Pendeta itu terperanjat, dorongan yang begitu tiba2 dan
kuat sekali, membuat dia tidak memiliki persiapan buat menghadapinya. Cepat dia mengempos semangatnya dan menangkisnya.
Memang pendeta serangan pengemis itu berhasil membendung tenaga tersebut, akan tetapi karena dia mengerahkan tenaga dalamnya dalam waktu yang tergesa2. sehingga pengerahan tenaga dalamnya itu
menambah berat bobot pada kuda2 kedua kakinya, maka dia telah menginjak runtuh api dibatang hio tersebut.
Bukan main kagetnya pendeta itu. dia cepat-cepat mencelat ke batang hio lainnya, Namun terlambat, hio yang tadi diinjaknya telah padam apinya, dan bubuknya meluruk jatuh...
Pengemis itu tertawa.
"Nah, sekarang engkau telah jatuh dan kalah !" kata pengemis itu. "jatuh ditanganku sebagai pecundang, karena Taysu telah menginjak mati api dibatang hio itu...."
Muka pendeta tersebut merah padam karena penasaran dan gusar, dia tertawa dingin dan meneruskan kibasan tangannya, serangannya kali ini agak telengas dan juga mengandung sifat yang agak kejam, jika memang pengemis itu terkena serangannya itu, niscaya tulang-tulang rusuk
seluruh tubuh pengemis itu akan berantakan dan hancur! Berarti juga kematian buat pengemis itu.
"Ihhh, kita tengah berlomba mengapa harus mempergunakan tangan telengas seperti ini?" ejek pengemis tersebut.
Sambil berkata begitu, pengemis tersebut pun tidak tinggal diam, sebab dia telah menangisnya lagi, berbareng tangannya yang sebelah kiri telah menghantam kearah perut si pendeta itu.
Waktu itu pendeta tersebut tengah kalap, sehingga penjagaan dirinya kurang sempurna. Dia baru kaget waktu mengetahui selain menangkis pengemis itupun membalas menyerang, Malah dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Karenanya, satu kali lagi pendeta itu melakukan suatu kesalahan, dengan mengerahkan tenaga dalamnya terburu2 buat menangkis serangan pengemis itu, dan hio yang diinjaknya itu menimbulkan suara "trakk!" hio itu jadi patah!
Dengan muka yang merah padam hweshio itu telah melompat turun ke lantai.
"Sudah ! Sudah ! pinceng memang kalah ditanganmu !" katanya dengan muka yang tetap memperlihatkan kemarahan yang sangat. "Nah, perkenalkanlah namamu, agar aku bisa menjadikan kenangan !"
Pengemis itupun melompat turun dari batang hio tempat dia berdiri, katanya: "Ya, ya, memang kita hanya berlomba dan tetap akan bersahabat, bukan "!"
Waktu bertanya begitu, hati sipengemis berpikir " Hu, hu, aku hanya mencari-cari urusan dengan mencampuri urusannya, tentu kelak pendeta ini akan mempersulit diriku
!" Hanya saja apa yang dipikirkannya itu tidak diperlihatkan diwajahnya.
Pendeta itu tersenyum, senyum paksaan dengan muka yang tetap merah padam, sampai akhirnya dia berkata dengan suara yang tawar. "Soal persahabatan itu nanti saja
kita bicarakan, karena kita berdua berlainan pekerjaan. Aku seorang pendeta sedangkan kau seorang pengemis, karena itu pinceng hanya ingin mengetahui siapakah nama kau, wahai orang gagah "!"
Pengemis itu tertawa lagi, katanya: "Baik, baik, aku tentu saja bersedia memberitahukannya, Aku biasa dipanggil
Thio Bo si-pemalas !"
"Thio Bo "!" mengulang pendeta itu, tampaknya dia heran karena belum pernah dia mendengar nama itu, dan baru pertama kali ini. sedangkan pengemis itu tampaknya
sangat liehay, "Thio Bo hemmm, apakah nama itu nama yang sebenarnya atau nama samaranmu "!"
"Aku seorang pengemis, dan tidak memiliki harga buat memiliki nama samaran, Ku kira nama Thio Bo itu adalah nama sejatiku, yang dihadiahkan oleh kedua orang tuaku !"
Mendengar sahutan tersebut memandang sipengemis seperti itu, pendeta lagi sejenak, kemudian tanpa
mengatakan suatu apapun juga dia memutar tubuhnya, dan melangkah pergi dengan gerakan yang perlahan.
Sambil melangkah, tangannya juga bergerak: "Wuttt ! Wuttt !" batang-batang hio seperti ditarik oleh suatu yang menancap dilantai itu
kekuatan yang hebat sekali, beterbangan dan disambuti oleh pendeta itu.
Dalam sekejap mata saja seluruh batang-hio itu berkumpul menjadi satu pula ditangan sipendeta dengan ujungnya yang tidak berapi pula, telah padam! itulah suatu kepandaian yang benar-benar mengagumkan dan membuat semua orang yang berada diruang makan itu jadi menyaksikan dengan takjub dan tertegun.
Pengemis itu, Thio Bo, hanya memandang dengan bibir tersenyum, sampai pendeta itu telah lenyap dari pandangan matanya.
Kasir rumah makan itu, yang sangat bersyukur sekali pada pengemis tersebut segera menghampiri sambil menjura tidak hentinya membungkukan tubuhnya dalam-dalam.
"Terima kasih atas pertolongan Injin, hadiah apakah yang Injin kehendaki " Uang ataukah lebih cocok makanan "!"
Thio Bo tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Aku tidak menginginkan hadiah apa2...!" kata Thio Bo sambil tersenyum. "Hanya saja, aku memiliki sebuah permintaan, entah kau bersedia meluluskannya atau tidak !"
"Oh, tentu ! Tentu ! Jika memang permintaan biasa saja, pasti kami akan
memberikan dan meluluskannya.... katakanlah !" kata si kasir yang menduga bahwa pengemis itu tentu akan meminta sejumlah uang. "Dengarlah, untuk semua ini aku tidak mengharapkan hadiah dan aku hanya meminta agar diwaktu-waktu mendatang, jika memang.. dirumah makan ini datang pengemis2 lainnya kalian jangan memandang rendah pada
mereka dan mengejek dengan kata2 menyakiti hati sebab tidak selamanya pengemis itu lemah dan boleh dipergunakan sekehendak hatimu, jika saja memang seperti sekarang terjadi urusan seperti ini, bukankah aku juga, yang seorang pengemis telah turun tangan menolongi kalian"
Nah, pesanku hanya sebegitu saja, dan ku harap kalian dilain waktu jangan sekali-kali meremehkan pengemis2 yang datang kemari mengharapkan sisa sayur dan makanan...!"
"Oh tentu, tentu!" kata sikasir berulang kali. "Mana berani kami memandang remeh dan rendah kepada orang2 Injin"!"
Pengemis itu tidak memperdulikan sikap sikasir yang menjilat2 padanya, dia telah memutar tubuhnya dan berlalu meninggalkan rumah makan tersebut.
Saat itu, kasir rumah makan itu berdiri tertegun terheran2, karena benar2 pengemis itu tidak mengharapkan hadiah apa2... dengan demikian, dugaannya meleset, bahwa pengemis ini sebenarnya mengharapkan hadiah darinya, dan juga kasir itu jadi malu sendirinya.
Namun yang menghibur hatinya justeru sekarang ini rumah makannya telah terhindar dari gangguan pendeta yang minta derma dengan jumlah yang terlalu kelewatan itu.
Sedangkan para pelayan telah sibuk buat melayani tamu2 yang baru datang, sedangkan beberapa orang tamu yang sejak tadi ingin meninggalkan ruangan ramah makan itu, telah bergegas hendak berlalu. Mereka segera juga berlomba keluar, sebab kuatir kalau2 pendeta galak itu datang lagi, sehingga sulitlah buat mereka meninggalkan rumah makan ini.
-OOOO0)dOw(0OOOO
THIO BO sambil bernyanyi2 kecil telah melangkah perlahan menuju keluar kampung. Dia senang karena telah bisa merubuhkan pendeta itu. Dan dia tidak mengetahui entah siapa sipendeta itu, yang meminta derma dengan cara memeras seperti itu.
Akan tetapi yang membuat hati Thio Bo jadi girang, dia telah melihat ginkangnya sekarang memperoleh kemajuan,
sebab dia bisa merubuhkan pendeta itu dengan cara yang tidak terlalu sulit Walaupun mereka bukan bertempur secara biasa, namun dengan berlomba diatas ujung2 batang hio yang tengah menyala, menunjukkan bahwa ginkangnya memang telah mahir, sebab akhirnya tokh pendeta itulah sebagai pihak pecundang.


Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedang Thio Bo berjalan per-lahan2 dari kejauhan, dibawah sebatang pohon, tampak berdiri sesosok tubuh yang tinggi besar dan setelah ditegasi oleh Thio Bo, orang itu mengenakan jubah kependetaan berwarna kuning, tengah berdiri mengawasi kearahnya, seperti juga sedang menantikan kedatangannya.
"Aha..." berseru pengemis pendeta itu adalah pendeta tersebut, karena tidak lain yang telah dipecundangi didalam rumah makan dalam kampung itu. "Hemm..." pikir Thio Bo kemudian, "Rupanya dia hendak membalas dendam.... dan tentunya juga bahwa dia akan coba menguji kepandaianku lagi, untuk membuat perhitungan pula?"
Pengemis itu tanpa memperlihatkan perobahan apapun diwajahnya, sambil tetap bernyanyi kecil, telah berjalan terus menghampiri pendeta itu.
Pendeta tersebut, yang berdiri dengan mata memandang tajam sekali, tetapi mengawasi tanpa bergeming, menanti sampai Thio Bo berada dekat dengannya.
"Aha, kita bertemu lagi!" kata Thio Bo berseru - cukup nyaring, setelah berada didekat tempat si pendeta.
Pendeta itu mengangguk.
"Pinceng memang menantikan kau disini !" kata sipendeta.
"Mengapa?"
"Untuk meminta pengajaran dari kau! Pinceng telah melihat kau sebagai pengemis yang memiliki kepandaian tinggi, namun sengaja usil mencampuri urusanku, maka dari itu Pinceng kira adalah jalan terbaik jika-kita memperhitungkan semuanya disini!"
Belum lagi kata-katanya yang terakhir itu habis diucapkan, tahu2 gumpalan batang2 hio yang dikempit ditangannya telah melesat beberapa batang, menimbulkan kesiuran angin yang keras sekali menyambar kearah beberapa bagian anggota tubuh pengemis itu.
Thio Bo terkejut juga, itulah Lwekang yang memang tangguh, karena dengan hanya memusatkan tenaga dalamnya, dia dapat melontarkan batang2 hio tanpa menggerakkan tangannya, dan batang2 hio itu telah menyambar kepadanya.
Akan tetapi Thio melompat kesana Bo tidak menjadi gentar, dia telah kemari menghindarkan diri dari sambaran batang2 hio tersebut, dimana dia telah berhasil
meloloskan diri dari sambaran belasan batang hio tersebut, dalam keadaan seperti itu, pendeta itu mendengus beberapa kali dan telah berkata tawar: "Hemm, hmm, ternyata memang kau memiliki kepandaian cukup tinggi !"
Dan tubuh pendeta yang tinggi besar tersebut mencelat gesit sekali, dia menyerang dengan pukulan yang dahsyat sekali, sehingga Thio Bo bagaikan tidak diberi kesempatan.
Kepandaian pendeta itu seperti juga berasal dari aliran Timur-tenggara, dimana dia lebih mementingkan ilmu tenaga dalamnya, sehingga dia bisa melakukan beberapa hal
yang bagaikan menyerupai sihir mengandalkan kekuatan tenaga sedangkan pengemis itu memiliki kepandaian dari wilayah barat, yang mementingkan kelunakan dan kekerasan yang dikombinasikan menjadi satu.
Maka diwaktu itu juga, pengemis itu berulang kali telah menangkis dengan kekerasan memunahkan tenaga serangan belaka, karena dia dalamnya tersebut,
dan juga terkadang dari lawannya dengan kelunakan. Hal itu menyebabkan pendeta tersebut tidak mudah buat merubuhkannya.
Thio Bo juga tidak tinggal diam, sambil balas menyerang beberapa kali dia berseru: "Kau rupanya masih tidak puas hanya dirubuhkan dengan cara berlomba diatas batang2 hio itu, dan kau menghendaki agar diantara kita ada yang terluka atau terbinasa sebagai penentuannya !" Dan berkata
sampai disitu, tiba2 Thio Bo merangkapkan kedua tangannya, dia menggosokan keras2.
Pendeta itu mempergunakan kesempatan tersebut buat mendesak gentar Thio Bo dengan serangan-serangannya. Akan tetapi Thio Bo selalu berhasil mengelakkannya, tiba2 Thio Bo telah membentak, dan kedua telapak tangannya digerakkan.
Waktu tangan Thio Bo menyambar, pendeta itu terkejut, dan dia menghindarkannya dengan ter-gesa2 lagi, namun belum berkurang rasa kagetnya, waktu itu tangan kiri Thio Bo menyambar juga, inilah serangan yang sebenarnya,
karena tangan kanannya tadi hanya menyerang dengan jurus gertakan belaka.
"Dukkkk !" dada pendeta itu kena dihantam keras sekali oleh telapak tangan kiri Thio Bo. Pendeta itu sampai
mengeluarkan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung2 seperti juga akan rubuh, mukanya pucat. Didadanya telah tertapak lima jari bekas telapak tangan Thio Bo.
"Kau... kau "!" kata pendeta itu dengan suara tergagap dan mukanya pucat.
Thio Bo berkata dengan sikap yang bersungguh-sungguh sehingga wajahnya tampak angker: "Aku masih menaruh belas kasihan kepadamu, jika saja tadi aku menyerang dengan mempergunakan sebagian besar tenaga dalamku, niscaya engkau akan terbinasa ! sekarang pergilah engkau
merawat lukamu itu, jika
kau benar2 beristirahat buat mengobati lukamu itu, niscaya dalam waktu satu bulan kesehatanmu akan sembuh lagi sebagaimana biasa ! Namun, jika kau berkepala batu dan masih hendak bertempur mempergunakan tenaga dalammu, berarti detikdetik kematianmu semakin dekat juga !"
Muka pendeta itu jadi berobah semakin pucat pias, sekarang dia yakin bahwa pengemis ini memang bukan pengemis sembarangan dan kepandaiannya mungkin berada satu tingkat diatasnya. Karenanya, dalam keadaan terluka seperti itu, terlebih lagi diapun merasakan sekarang napasnya sesak, dia tidak berani bersikeras buat bertempur
terus, katanya dengan suara mengandung kemarahan dan malu:
"Baik... baik sekarang memang aku dirubuhkan olehmu, tetapi dengarlah Thio Bo, Pinceng tidak akan menyudahi urusan sampai disini, tidak pernah Yang Cing Hwesio
menyudahi urusannya begitu saja !"
Thio Bo tersenyum.
"Wahai Yang Cing Hwesio, jika memang engkau memiliki perangai yang baik, niscaya engkau tidak akan memperoleh kesulitan, Namun selama engkau meminta derma dengan cara memeras seperti itu, bukan hanya aku belaka, akan tetapi masih banyak ribuan, bahkan puluhan ribu orang Thio Bo yang akan menghajarmu ! Hanya saja, aku masih ingin memberikan kesempatan buatmu merobah kelakuanmu itu !" pedas sekali kata-katanya Thio Bo, dia
tidak memperdulikan muka si-pendeta yang merah padam dan telah memutar tubuhnya berlalu.
Thio Bo juga tidak mencegah kepergian pendeta tersebut, dia hanya tertawa bergelak2 saja, hatinya puas. Kemudian Thio Bo juga telah melanjutkan perjalanannya.
Siapakah pengemis yang tangguh dan mengaku bernama Thio Bo itu "!" Dia tidak lain dari seorang pengemis yang semula sebagai anggota Kaypang, akan tetapi akhirnya memisahkan diri dan hidup berkelana seorang diri. dengan tekun meyakinkan ilmu silatnya, sehingga dia memperoleh kemajuan yang sangat pesat sekali.
Dalam keadaan seperti itu, Thio Bo mengembara dari satu tempat ketempat lainnya, banyak sekali perbuatan mulia yang dilakukannya membela yang lemah dari tindasan yang kuat namun jahat. Dengan begitu, diapun terkenal sebagai pengemis bertangan mulia.
Tidak diduga-duganya, dikampung ini justeru dia sempat menyaksikan tingkah dari pendeta itu, yang bermaksud hendak memeras pemilik rumah makan itu seribu tail perak dengan cara paksa, maka Thio Bo turun tangan buat menolongi pemilik rumah makan tersebut, namun dia masih menurunkan tangan yang tidak begitu keras, karena
dia menyadari tidak memiliki permusuhan apapun juga dengan Yang Cing Hweshio tersebut. Akan tetapi hatinya puas telah dapat merubuhkan dan setengah mempermainkan pendeta itu.
Thio Bo melanjutkan perjalanannya sambil bernyanyi2. Memang kehidupan sebagai pengemis disukai oleh Thio Bo, kehidupan yang tidak terikat oleh norma2 peradatan yang ada, dia juga sangat bebas, jika yang malam tiba tidak perlu pusing2 mencari rumah penginapan, tidur dimana sajapun menyenangkan baginya.
Makan" Tidak perlu dikuatirkan walaupun dia tidak memiliki uang, tetap saja dia makan sayur-sayur yang enak, walaupun semua itu hasil dari pekerjaan mengemisnya dan merupakan sayur2 sisa. Satu pantangan Thio Bo, dia tidak mau mempergunakan kepandaian buat mencuri uang guna membeli makanan ataupun pakaiannya.
Dan karena itu, Thio Bo tetap menganut kehidupan pengemis dengan penuh kepolosan dan kejujuran. Hatinya selalu tergugah jika menyaksikan perbuatan2 tidak pantas dan selalu akan membuat dia turun tangan buat menolongi orang2 yang tengah dalam kesulitan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedangkan Thio Bo enak2nya berjalan, tiba-tiba dia menyaksikan sesuatu yang membuat dia merandek dan berdiri mematung beberapa saat lamanya.
"Ihhhh "!" seruan perlahan meluncur dari mulutnya dan matanya terpentang lebar2 mengawasi apa yang terjadi dihadapannya.
Terpisah belasan tombak dari tempatnya berada, tampak tujuh orang yang tengah berjalan dengan bersusah payah, dengan sekujur tubuh yang terluka.
Muka mereka pucat pias, dan buat melangkah saja tampaknya begitu sulit, sehingga tubuh mereka gemetaran dan juga pakaian mereka sudah tidak benar bentuknya, banyak yang koyak2. Ketujuh orang itu dengan keadaan mereka seperti itu, bagaikan orang2 yang telah teraniaya dan juga telah melakukan pertempuran mempertaruhkan mati hidupnya.
Setelah berdiri sekian lama memandang heran, akhirnya Thio Bo cepat2 menyusul ketujuh orang itu. Dengan beberapa kali lompatan dia berhasil berada didepan ketujuh orang itu.
"Tunggu dulu, apa yang terjadi pada diri kalian "!" tanya Thio Bo sambil memperhatikan keadaan ketujuh orang itu dengan lebih teliti. Walaupun dalam keadaan berjalan dan juga terluka parah tampaknya, ketujuh orang itu rupanya orang2 rimba persilatan, terlihat dari cara berpakaian mereka dan yang bermacam senjata tajam yang tergantung dipinggang masing2.
Ketujuh orang tersebut terkejut ketika dihadang oleh Thio Bo begitu tiba2 dan wajah2 mereka yang memang telah pucat jadi semakin pucat.
Mereka saling pandang satu dengan yang lain, baru kemudian salah seorang yang terluka dibagian lengan dan dadanya, dengan darah melumuri bagian luka itu telah membesi hormat: "siapakah . ..siapakah tuan "!"
Dia bertanya begitu dan tidak berani lancang, karena telah dilihatnya betapa pengemis-dihadapannya ini dapat bergerak begitu gesit.. dalam waktu yang singkat telah dapat melampaui jarak belasan tombak dengan hanya beberapa kali lompatan dan juga waktu tiba kedua kakinya hinggap hampir tidak bersuara sama sekali.
Thio Bo mengawasi ketujuh orang itu dan tidak segera menjawab, baru kemudian setelah menghela napas dia bilang: "Kalian bertujuh terluka cukup parah, malah jika mataku yang lamur ini tidak salah lihat, tampaknya kalianpun terluka oleh racun yang cukup hebat daya kerjanya, keracunan yang bisa mengancam keselamatan jiwa kalian....benarkah itu "!"
Orang itu mengangguk.
"Benar, nasib kami memang buruk sekali, sehingga kami harus terluka seperti ini!" katanya.
"Hemm, siapakah orang yang telah melukai kalian seperti ini ?" tanya Thio Bo.
Orang itu kawan2nya, tidak segera menyahut, dia melirik kepada yang semuanya tampak sudah tidak bersemangat buat berbicara, dan akhirnya orang itu berkata
juga menjelaskan: "Kami... kami dilukai oleh Ban Tok Kui !"
"Ban Tok Kui... "!" berseru Thio Bo agak terkejut. Mata orang itu terpentang lebar2 mengawasi Thio Bo, sikapnya agak takut2, sampai akhirnya dia bilang: "Apakah... apakah tuan sahabatnya "!"
Kawan2 orang itu juga telah mengawasi Thio Bo dengan sinar mata bimbang dan terpancar rasa takut pada Thio Bo, perasaan kuatir yang mendalam.
Thio Bo cepat2 menggelengkan kepalanya, sahutnya: "Bukan, hanya aku sering juga mendengar akhir2 ini perihal Ban Tok Kui.... jika tidak salah apa yang kudengar, Ban Tok Kui memiliki tangan yang telengas sekali dia murid dari seorang tokoh rimba persilatan di Lam-san ! Bukankah benar begitu "!"
Orang itu mengangguk.
"Ya, seperti yang terlihat pada diri kami, keadaan kami seperti ini karena tangan Ban Tok Kui yang telengas itu !" kata orang itu.
"Lalu... apa yang hendak kalian lakukan dalam keadaan terluka parah seperti ini melakukan perjalanan "
Kemanakah tujuan kalian"
Mengapa tidak segera memanggil tabib buat mengobati luka kalian "!" tanya Thio Bo heran. Orang itu menghela napas, sedangkan kawan-kawannya juga menghela napas dalam2, mereka lesu dan tidak
memiliki semangat sedikit pun juga.
"Sesungguhnya, kami hanya memiliki kesempatan hidup buat lima belas hari lagi !" kata orang itu kemudian, "Dalam waktu lima belas hari ini, kami harus pergi menemui seseorang, yang akan mengobati luka kami ini, sehingga
kami tidak sampai terbinasa dan juga tidak menjadi cacad karenanya! Jika memang meminta pertolongan tabib2 biasa, apakah mereka bisa menyembuhkan luka kami" Bukan kami meremehkan, akan tetapi kiranya didalam dunia ini tidak ada seorang tabibpun yang akan bisa menyembuhkan dan menolong kami, hanya ada seorang tabib belaka yang sanggup untuk menyelamatkan kami..."
"Siapa tabib itu "!" tanya Thio Bo yang tertarik ingin mengetahui juga.
"Dia disebut Tabib Dewa...!" menjelaskan orang itu. "Tabib Dewa "!" berseru Thio Bo. "Tabib Dewa yang menggemparkan itu" Ohhh, dia adalah adik dari Ban Tok Kui, adik seperguruan, maksudku !"
"Ya benar, memang Tabib dewa itu adalah adik seperguruan Ban Tok Kui, akan tetapi dia memiliki hati yang mulia, berbeda dengan kakak seperguruannya itu dan hanya dialah yang bisa menyembuhkan kami, dalam waktu
lima belas hari yang masih kami miliki ini, kami harus tiba dipuncak gunung Lam-san, karena Tabib Dewa memang berada dipuncak gunung Lam-san !"
Thio Bo mengangguk-angguk beberapa kali, pikirnya: "Tampaknya Ban Tok Kui
kian hari mengganas juga dengan ketelengasan tangannya dan kekejaman hatinya.... kabarnya dia memiliki kepandaian yang tinggi sekali, sulit buat orang menandinginya, terlebih lagi ilmu racun yang dimilikinya, karena dia mengerti cara2 mempergunakan racun secara hebat !"
Setelah berpikir begitu, Thio Bo bertanya "Jadi kalian bertujuh ingin pergi kepuncak Lam-san "!"
Orang itu mengangguk. "Ya, kami harus menemui tempat kediaman Tabib Dewa itu dalam waktu lima belas hari! Untuk mencapai puncak
Lam-san hanya memakan waktu sembilan hari, jika dari tempat ini kita melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Akan tetapi justeru hari2 berikutnya yang tersisa enam hari, kami harus pergunakan sebaik2nya buat mencari tempat kediaman Tabib Dewa itu, yang kabarnya tersembunyi dan sulit ditemui !"
Thio Bo mengangguk2 beberapa kali.
"Jika begitu, biarlah kau turut serta dalam rombongan kalian!" katanya, "Dan kukira, jika dalam perjalanan nanti kalian menemui kesulitan, sedikit2 aku bisa membantu kalian menghadapi kesulitan itu !" kata Thio Bo.
Orang itu ragu2, demikian juga dengan kawan2nya. Akhirnya mereka saling pandang dan beberapa orang diantara mereka telah mengangguk, sedangkan beberapa orang lainnya memperlihatkan sikap acuh tak acuh, karena mereka tengah menderita kesakitan oleh luka yang tengah mereka derita itu.
Waktu itu Thio Bo bertanya lagi: "Bagaimana, bolehkah aku melakukan perjalanan bersama2 dengan kalian " Atau memang kalian merasa jijik melakukan perjalanan bersama denganku seorang pengemis miskin melarat dan mesum seperti ini "!"
"Bukan begitu"....bukan begitu, malah kami berterima kasih atas maksud baik dari tuan..!" kata orang tersebut, "Akan tetapi, justru yang kami kuatirkan, dengan mengganggu engkau, dirimu dalam rombongan kami nanti akan menimbulkan kesulitan buat kau sendiri, jika sampai
hal itu diketahui oleh Ban Tok Kui, tentu keselamatanmu terancam juga oleh ketelengasan tangannya !"
Mendengar perkataan orang itu, Thio Bo tertawa tergelak2, dia tampaknya menganggap lucu sekali perkataan orang itu.
"Walaupun Ban Tok Kui memiliki kepandaian tinggi dan kabarnya memang ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan namun kukira tidak mudah saja dia menggangguku. Hemm, justru aku malah ingin sekali bertemu dengannya, dimana aku ingin sekali melihat berapa
tinggi kepandaiannya sehingga dia begitu di takuti oleh orang-orang rimba persilatan "!"
Sambil berkata begitu, Thio Bo tertawa dingin beberapa kali. Bukan Thio Bo bersikap angkuh atau sombong, karena yakin dirinya memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi memang dia memang merasa muak dan benci kepada Ban
Tok Kui, yang didengarnya selalu melakukan perbuatan2 jahat dan bengis dengan tangannya yang telengas sekali, dimana telah banyak orang2 gagah dalam rimba persilatan yang dilukai dan dicelakainya.
Begitulah, Thio Bo telah ikut bersama dengan rombongan ketujuh orang itu, untuk pergi kepuncak gunung Lam-san menjadi tujuan dari Thio Bo, bahwa dia bermaksud hendak menemui Tabib Dewa itu, untuk melihatnya bagaimanakah bentuk dan keadaan orang yang sampai memperoleh julukan sebagai Tabib Dewa itu.
Hari pertama, tidak ada rintangan apapun juga. Demikian pula pada hari kedua dan ke-tiga. Tidak ada rintangan yang mereka temui. Dan selama itu Thio Bo mempergunakan persedian obat yang ada buat dibagikan kepada ketujuh orang itu, agar mengurangi rasa sakit dan penderitaan mereka.
Walaupun menganut penghidupan sebagai pengemis, namun Thio Bo memiliki pengalaman juga dalam hal racun, maka dia telah memeriksa keadaan ketujuh orang tersebut, dia mencari sebab2 racun yang menyebabkan ketujuh orang itu menderita.
Dilihatnya betapa racun yang mengendap didalam tubuh ketujuh orang tersebut merupakan racun2 yang paling langka dan sukar dipastikan sesungguhnya racun apa. Memang pengetahuan Thio Bo mengenai urusan racun2, tidaklah terlalu dalam.
Dan sekarang memperoleh kenyataan racun2 yang melukai ketujuh orang itu demikian aneh, membuat Thio Bo sendiri tidak mengetahui bagaimana meringankan penderitaan ketujuh orang tersebut, selain memberikan obat penawar racun yang dimilikinya, walaupun obat2 pemunah racun yang dimiliki Thio Bo tidak bisa menyembuhkan luka
orang2 itu, sedikitnya masih bisa mengurangi penderitaan dan kesengsaraan mereka.
Jika malam tiba, mereka selalu beristirahat diudara terbuka atau juga dikuil-kuil kosong atau rusak, di waktu mana Thio Bo melihat betapa ketujuh orang itu sangat
menderita sekali, mereka menggigil bagaikan tubuh mereka direndam dalam kolam es, dimana gigi mereka saling beradu dan tubuh mereka gemetaran keras sekali. walaupun mereka berusaha untuk menyelimuti tubuh mereka atau memakai dua tiga rangkap pakaian, tetap saja mereka
kedinginn hebat
dari hidung mengucurkan darah, mungkin
penderitaan mereka.
mereka masing-masing akibat terlalu hebatnya Hal ini membuat Thio Bo sering tidak tega menyaksikan penderitaan ketujuh orang itu, jika ketujuh orang itu tengah
menderita seperti itu, maka Thio Bo membagi2kan obat pemunah racun yang dimilikinya, akan tetapi hanya bertahan sampai sepemakanan nasi belaka, setelah itu mereka akan menggigil lagi dengan keras. Pada hari ketiga saja, persedian obat2 Thio-Bo sudah habis.
Bukan main hebatnya penderitaan ketujuh orang itu, dan sekarang Thio Bo baru menyadari mengapa ketujuh orang itu mengatakan mereka hanya memiliki kesempatan hidup selama lima belas hari saja, setelah itu mereka akan menemui kematian dengan menyedihkan.
Hal ini disebabkan setiap malam jika mereka tengah menderita menggigil hebat akibat bekerjanya racun, darah yang mengucur keluar dari hidung mereka cukup banyak. Dengan demikian, dalam belasan hari saja, kalau hal itu berlangsung terus, mereka akan menemui ajalnya !
Begitulah, sesungguhnya Thio kehabisan darah dan Bo ingin mengajak ketujuh orang tersebut untuk melakukan perjalanan yang lebih cepat. Namun ketujuh orang itu sudah terlalu lemah, dan jika tokh waktu itu mereka bisa melakukan perjalanan semua itu dilakukannya dengan memaksakan diri, karena mengingat jiwa mereka yang sebentar lagi akan direnggut oleh elmaut.
Karenanya mati2an mereka berusaha untuk dapat mencapai puncak Lam-san guna menemui si Tabib Dewa, yang akan diminta pertolongannya, agar mereka diselamatkan dari cengkeraman tangan-tangan elmaut.
Bukan main berduka dan marahnya Thio Bo menyaksikan penderitaan ketujuh orang itu, karena dia tidak menyangka bahwa Ban Tok Kui memang sangat telengas dan kejam sekali, sehingga mempergunakan racun yang begitu ganas dan menyiksa korbannya begitu hebat.
Pada hari kelima, mereka melakukan perjalanan lebih lambat lagi, ketujuh orang itu semakin lemah juga, Terlebih lagi pada hari keenam, kemudian hari ketujuh dan kedelapan, boleh dibilang satu harinya mereka hanya bisa mencapai belasan lie saja.
"Jika saja dilihat dari keadaan demikian, sampai lima belas hari melakukan perjalanan terus menerus, tidak mungkin mencapai kaki gunung Lam San saja.... jangan harap ketujuh orang ini bisa mencapai puncak gunung Lam San !" berpikir Thio Bo.
Waktu itulah Thio Bo segera teringat satu pikiran, dia mengambil keputusan buat berangkat lebih dulu ke puncak Lam San, dan memohonkan pertolongan dari Tabib Dewa, dan dengan membawa obat pemunah racun yang tengah diderita ketujuh orang itu, Thio Bo dapat segera kembali dengan segera. Hal ini buat mengejar sang waktu.
Begitulah, dalam suatu kesempatan, Thio Bo telah mengemukakan rencananya itu. Dan ketujuh orang tersebut sangat berterima kasih sekali, mereka sangat bersyukur kepada Thio Bo.
Karena sebelumnya, sudah lenyap harapan mereka buat tiba dipuncak Lam San sebelum waktu batas ajal mereka tiba, sekarang muncul pula harapan mereka untuk hidup lebih lama.
Disaat itulah, Thio Bo setelah menjelaskan segalanya, dia melakukan perjalanan dengan cepat.
Malah malam hari, Thio Bo tetap juga melakukan perjalanan dengan berlari cepat, jika sudah terlalu letih, barulah Thio Bo mengasoh, dia duduk bersemedhi satu-dua jam, ketika tenaganya pulih kembali, barulah dia melanjutkan pula perjalanannya dengan segera.
Dalam dua hari lebih, hampir tiga hari tiga malam, Thio Bo telah tiba dikaki gunung Lam-san. Dan setengah harian lagi dia harus mengerahkan seluruh kemampuannya berlari2 cepat sekali kepuncak gunung Lam-san.
Memang apa yang dikatakan ketujuh orang itu, buat mencari tempat kediaman Tabib Dewa tidak mudah, karena Thio Bo harus membuang waktunya setengah harian, sampai akhirnya dia tiba dilembah yang tertutup dan letaknya tersembunyi dibawah sebuah jurang yang dalam sekali.
Dia melihat ada goa dengan bentuknya yang luar biasa seperti tengkorak kepala manusia. Segera juga Thio Bo
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menduga, tentunya tempat inilah merupakan tempat kediaman dari Tabib Dewa itu. Dengan berani Thio Bo menghampiri goa dengan bentuknya seperti tengkorak kepala manusia tersebut, dia telah memandang sekelilingnya waktu berada didapati goa tersebut, sampai akhirnya dia berseru dengan suara nyaring,
"Aku Thio Bo datang menghadap Tabib Dewa.... maafkan kelancanganku ini..!"
Thio Bo berseru dengan suara yang disertai Lwekang, maka dari itu suara tersebut terdengar sangat nyaring dan keras sekali menggetarkan sekitar tempat itu.
Lama, setelah beberapa kali berseru, terdengar suara langkah kaki didalam goa itu, di susul kemudian dengan munculnya dua sosok tubuh, Yang satu pendek dan yang satu seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih. Sosok bayangan kecil itu tidak lain seorang anak lelaki berusia tiga
belas tahun, yang keluar sambil mengawasi Thio Bo.
Cepat2 Thio Bo merangkapkan kedua tangannya memberi hormat, katanya. "Thio Bo datang berkunjung hendak menghunjuk hormat kepada Tabib Dewa! Dapatkah Siauwko berdua memberitahukan dimana sekiranya Thio
Bo bisa menghadap pada Tabib Dewa"!"
Suma Lin Liang, pemuda yang keluar bersama dengan anak lelaki itu, yang tidak lain dari Kwang Tan telah menunjuk kepada Kwang Tan, katanya, "Dialah Tabib Dewa...!"
Thio Bo tertegun, sampai dia memandang merandek kepada Kwang Tan, kemudian memandang Suma Lin Liang, tampaknya dia terheran2 dan tidak mempercayai apa yang dikatakan Suma Lin Liang.
"Janganlah Siauwko menyelamatkan tujuh Tolonglah Siauwko berdua menunjukan dimana sekiranya aku bisa menemui Tabib Dewa itu "!" tanya Thio Bo lagi.
Suma Lin Liang tersenyum, katanya: "Syukur jika engkau mau mempercayai keteranganku, jika tidak, akupun tidak marah !"
Kwang Tan juga telah merangkapkan sepasang tangannya menjura, katanya: "Ada urusan apakah Lopeh mencariku "!"
Thio Bo mementang matanya lebar-lebar memandang takjub.
"Benar2kah engkau ini Tabib Dewa yang tengah kucari?"" tanya Thio Bo menegasi.
Kwang Tan tersenyum, katanya: "Sesungguhnya apa maksud kedatangan Lopeh mencariku " Akulah orang yang tengah Lopeh cari!"
Walaupun Kwang Tan telah menegasi seperti itu, akan tetapi tetap saja Thio Bo tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya.
Bayangkan saja, apa mengenai Tabib Dewa bergurau, aku tengah jiwa yang terancam berusaha kematian
yang didengarnya selama ini merupakan seorang tabib yang benar2 sangat hebat ilmu pengobatannya, yang dapat menyembuhkan segala macam luka bagaimana berat sekalipun, dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit atau
juga racun-racun yang bagaimana paling hebat sekali pun dapat dipunahkannya.
Dengan begitu jelas membuat Thio Bo tidak mempercayai Tabib Dewa itu adalah seorang anak lelaki kecil seperti yang sekarang berdiri dihadapannya, jika memang dikatakannya anak itu cebol, dengan usia yang tinggi dan hanya pertumbuhan tubuhnya belaka yang pendek kecil, juga tidak mungkin, sebab muka anak itu memang masih merupakan muka seorang anak kecil berusia belasan tahun.
Thio Bo saking herannya telah berdiri tertegun dengan menelan ludah beberapa kali, sampai akhirnya dengan suara ragu2 dia berkata.
"Sebenarnya, .. sebenarnya kedatanganku ini untuk meminta pertolongan Tabib Dewa, guna membagikan obat pemunah racun yang jahat sekali, yang tengah diderita oleh tujuh orang kawanku !"
Kwang Tan tersenyum. "Bagaimana aku bisa menolong dan memberikan obat yang kau minta itu, jika melihat saja orang yang terluka itu belum " Dan juga tidak mengetahui racun apa yang sekiranya telah melukai mereka " Bukankah jika aku memberikan obat dengan sembarangan, itu hanya
akan cuma2 belaka, sehingga kemungkinan besar akan mencelakai ketujuh orang kawanmu itu, kalau saja obat yang kuberikan itu tidak cocok dengan racun yang mengendap didalam tubuh mereka?" kata Kwang Tan.
Thio Bo jadi tertegun memandang bingung kepada Kwang Tan. Sebab apa yang dikatakan oleh Tabib Dewa yang menurut pandangannya demikian luar biasa, ada benarnya juga. Bagaimana mungkin Tabib Dewa ini bisa memberikan obat yang cocok, sedangkan orang2 yang terluka itu tidak dilihatnya, sehingga Tabib Dewa ini tidak
mengetahui racun apa yang telah mengendap didalam tubuh dari ke tujuh orang tersebut.
Dengan tergagap segera juga Thio Bo menceritakan jalan persoalan yang sebenarnya, dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan ketujuh orang itu dalam perjalanan dan
juga mereka mengatakan telah dilukai oleh Ban Tok Kiu.
Mendengar cerita Thio Bo itu, Kwang Tan mengerutkan alisnya. Segera juga dia berkata: "Jika memang Ban Tok Kui melukai mereka, hal ini masih dapat kuatasi, karena aku bisa menerka racun apa yang dipergunakannya! Selama ini dia melukai lawan dan
korbannya dengan mempergunakan racun yang berbedabeda dengan demikian, dari racun yang satu mempergunakan racun yang lainnya, Aku telah bisa mengikuti dan menerka racun apa berikutnya yang akan dipergunakannya.
Dan untuk kali ini, korban2nya sebanyak tujuh orang itu telah dapat kuduga racun apa yang dipergunakannya, pasti dia mempergunakan racun Tiok tok-hun. Hemm, baiklah! Mendengar cerita berhati tulus dan payah bermaksud Lopeh, betapa Lopeh seorang yang baik sekali, dimana dengan bersusah hendak menyelamatkan ketujuh orang
korban Ban Tok Kui itu... dengan memandang muka terang Lopeh, biarlah aku memberikan obat yang dibutuhkan ketujuh orang itu....!"
Setelah berkata begitu, Kwang Tan merogoh sakunya, dia mengeluarkan obat yang berwarna kuning, kemudian diberikannya empat belas butir.
"Seorangnya boleh memakan dua butir, dan jiwa mereka akan selamat.." kata Kwang Tan. "Dan memang racun Tiok-tok-hun memiliki daya kerja yang sangat keras sekali, orang yang terkena racun itu akan menderita sekali, dimana
mereka akan menggigil dan
mengeluarkan darah dari hidung. Mendengar gejala-gejala yang diperlihatkan ketujuh orang itu dari cerita Lopeh, aku yakin tentunya Ban Tok Kui kali ini mempergunakan racun Tiok tok-hun itu...!"
Bukan main girangnya Thio Bo, karena dia berhasil memperoleh obat yang diinginkannya, dimana dia tentu bisa menyelamatkan jiwa ke tujuh orang itu. Segera juga Thio Bo maju sambil mengulurkan kedua tangannya buat menyambuti obat tersebut.
Waktu itulah terjadi getaran yang cukup keras ditempat tersebut, Hampir saja Kwang Tan terpelanting, Beruntung obat di tangannya tidak sampai jatuh.
Thio Bo mengerutkan alisnya dan tampaknya dia terkejut sekali.
"Gempa..!" katanya dengan suara mendesis.
"Ya, memang telah sering kali terjadi seperti ini, Lopeh !" menjelaskan Kwang Tan.
"Sering " Sudah berapa kali "!" tanya Thio Bo memperlihatkan sikap kuatir.
Belum lagi Kwang Tan menyahuti, waktu itu terjadi getaran yang lebih keras.
"Boleh dibilang akhir-akhir ini lebih sering seharinya bisa beberapa kali !" menjelaskan Kwang Tan. "Oh, celaka ! Jika kalian mau mempercayai aku, cepat kita menyingkir dari tempat ini ! Dalam waktu yang dekat,
satu atau dua hari pasti akan terjadi gempa yang lebih hebat lagi, yang akan menyebabkan tanah merekah dan juga tebing2 berguguran longsor, kita akan terkubur hidup2...!"
Kwang Tan menoleh kepada Suma Lin Liang sambil menatap.
"Percayalah, telah peristiwa seperti ini, menyatakan bahwa diriku berpengalaman, akan tetapi memang aku mengetahui pasti dan telah mengenal keadaan gempa dan daerah yang tengah dilanda gempa seperti
beberapa kali aku mengetahui
dan bukan berarti aku ingin ini...dari getaran yang kurasakan, tidak lama lagi pasti akan terjadi gempa yang lebih hebat !"
Waktu menjelaskan seperti itu, tampaknya Thio Bo gugup sekali, Dan diapun telah memandang dengan sikap yang seperti memohon agar kedua orang itu mempercayai keterangannya.
"Bagaimana "!" tanya Kwang Tan pada Suma Lin Liang, "Memang gempa ini sering terjadi, namun dulu2 tidak sesering sekarang... satu harinya saja sekarang bisa terjadi sampai tiga atau empat kali...!"
"Mungkin juga Lopeh lebih mengetahui keadaan daerah yang tengah dilanda gempa seperti ini... memang ada baiknya kita menyingkir dulu !" kata Suma Lin Lian sambil mengawasi sekelilingnya.
Tengah Kwang Tan ragu2, waktu itu terjadi getaran lagi. Kali ini benar2 keras dan getaran yang terjadi menyebabkan banyak batu-batu gunung yang berguguran menimbulkan suara yang berisik sekali.
Sedangkan waktu itu tengkorak kepala manusia yang terdiri dari batu gunung itu bergerak2 keras sekali.
"Lihatlah...tidak lama lagi tentu akan terjadi gempa yang lebih hebat !" berseru Thio Bo, "Jika kita tidak cepat2
menyingkir, kemungkinan besar kita akan terkubur hidup2
disini." Kwang Tan masih ragu2, namun dia melihat gempa yang terakhir terjadi menimbulkan getaran yang benar2 hebat, sebelumnya tidak pernah goa dengan bentuk tengkorak kepala manusia tergetar keras seperti itu.
"Baiklah ! Aku akan menyingkir dulu..!" kata Kwang Tan. "Akan tetapi...aku ingin mengambil dulu barang2ku didalam goa itu!"
"Apa " Kau mau masuk kedalam goa itu" tanya Thio Bo terkejut "jangan... ohhh, jika kau tengah berada didalam goa itu dan terjadi gempa yang hebat, engkau akan terkubur hidup2, karena batu2 gunung itu akan runtuh atau longsor !"
"Tetapi ada barang2 yang sangat penting harus kuambil...!" kata Kwang Tan, waktu mana dirasakan terjadi getaran lagi yang lebih hebat, Thio Bo juga melompat cepat sekali mengelakkan sebungkah batu besar yang meluncur turun kearahnya, karena batu itu gugur dari tempatnya berada.
Tanpa memperdulikan segala apapun lagi, Kwang Tan telah berlari cepat menuju keruangan barang2nya, dia sekali kedalam goa, dia segera juga
dalam di tempat dia menyimpan mengumpulkan beberapa perangkat pakaian dan sedikit barang2 lainnya.
Kemudian mengambil sebuah kotak kayu yang berukuran tidak kecil, dibukanya sejenak tutup kotak itu didalamnya terdapat sejilid kitab dengan judul 8 jurus Pukulan Guntur.
Cepat2 Kwang Tan menutup tutup kotak itu dan memasukkan kotak kayu itu kedalam sakunya, Memang itulah kitab warisan gurunya, yang didalam kitab tersebut memuat semacam ilmu pukulan yang hebat sekali, menurut keterangan
merupakan memang telah dilatih dengan sempurna. ilmu pukulan itu hanya memiliki delapan jurus belaka.
Setelah membungkus menjadi satu semua barang2nya, Kwang Tan bermaksud akan berlari keluar.
gurunya, ilmu ilmu pukulan
Pukulan Guntur tersebut yang terhebat didunia, jika Namun waktu Kwang Tan memutar tubuhnya, waktu itu terjadi getaran yang lebih hebat lagi, sampai menimbulkan suara yang sangat keras sekali.
Malah, dinding batu disamping kanan tiba2 meluruk berhamburan dengan batu2 yang menggelinding kearah Kwang Tan.
Beruntung Kwang Tan telah memutar tubuhnya, sehingga waktu terjadi getaran yang hebat seperti itu, dia telah bisa berlari buat keluar dari goa tersebut, waktu itulah Kwang Tan mengakuinya, kalau saja dia terlambat dan terjadi getaran lebih keras lagi, mungkin dia bisa terkubur
hidup2 didalam goa tersebut seperti yang dikatakan Thio Bo.
Dengan cepat, karena dia bisa melihat didalam gelap, Kwang Tan bisa keluar juga dari dalam goa itu, sedangkan getaran yang berikutnya gencar sekali, terjadi getaran demi getaran saling sambung.
Thio Bo waktu itu tengah menantikan dengan gelisah dan berkuatir berdua Suma Lim Liang, ketika melihat Kwang Tan telah keluar dari dalam goa itu, mereka berdua berseru2
"Cepat ! cepat.... mari kita menyingkir."
Kwang Tan melompat dari mulut goa itu, terdengar suara gemuruh karena getaran yang sangat hebat, kemudian disusul dengan suara gemuruh yang lebih keras dan hebat lagi, karena goa dengan bentuk tengkorak kepala manusia itu telah ambruk, dan hancur...!"
Semangat Kwang Tan seperti terbang meninggalkan raganya, kaget bukan main, jika saja tadi dia terlambat beberapa detik, berarti dia telah terkubur hidup2 oleh
timbunan batu batu gunung itu.
"Cepat !" Suma Lin Liang menarik tangan Kwang Tan tanpa memperdulikan si Tabib Dewa itu tengah berdiri dengan muka yang pucat dan mengeluarkan keringat dingin disekujur tubuhnya, dengan tarikannya itu, Suma Lin Liang membuat tubuh Kwang Tan bagaikan melayang ditengah udara, dimana Suma Lin Liang mengajak Kwang Tan
berlari buat turun dari puncak gunung Lam-san tersebut.
Thio Bo juga telah menyusulnya dengan segera, tanpa berayal mereka berlari2 terus tidak berani berhenti buat beristirahat Waktu itu getaran yang terjadi ditempat tersebut bertambah keras.
Suma Lin Liang menarik tangan Kwan Tan kuat2, tubuhnya berlari seperti terbang sehingga tubuh Kwang Tan sering melayang dengan kedua kaki tidak menginjak tanah, bagaikan dia tengah terbang saja.
Thio Bo juga berlari cepat sekali, berulang kali ia berseru: "Percayalah, gempa yang hebat akan segera terjadi, walaupun bagaimana kita harus segera meninggalkan gunung Lam-san.
Setelah berlari2 setengah harian, mereka tiba dikaki gunung tersebut, Akan tetapi Thio Bo tidak berani berhenti dan menganjurkan Suma Lin liang dan Kwang Tan agar berlari terus menjauhi gunung.
Daerah disekitar kaki gunung itupun tergetar hebat sekali. Dan gempa yang hebat memang terjadi. Tubuh Suma Lin Liang yang tengah berlari sambil menarik tangan
Kwang Tan sering terhuyung akan terbanting, karena getaran yang hebat.
Namun Suma Lin Liang pun membantu dengan kekuatan tenaga dalamnya, dia telah mempergunakan
Iwekangnya itu pada kedua kakinya, menyebabkan walaupun getaran yang begitu keras, tokh dia masih bisa berlari dengan cepat.
Thio Bo juga terganggu dengan getaran yang terjadi itu, tokh dia- nekat berlari terus.
Setelah menjauhi kaki gunung Lam-san sampai puluhan lie, diwaktu menjelang sore hari, mereka telah melewati tiga buah perkampungan didekat gunung Lam-san, yang penduduknya juga tengah
tempat itu, menyingkir
panik berusaha meninggalkan mencari tempat yang bisa
dipergunakan menyelamatkan diri mereka...
Jilid 7 SETELAH ber-lari2 lagi sekian lamanya, barulah Thio Bo bertiga berani beristirahat masih terasa getaran tersebut,
Ditempat mereka berada walaupun tidak sehebat seperti yang telah mereka rasakan tadi.
Kwang Tan menghapus keringat dikeningnya, dia mengeluh. Kemudian katanya: "Apa yang dikatakan Lopeh memang tidak salah ! Beruntung Lopeh datang berkunjung ketempatku, sehingga dengan demikian telah menyelamatkan kami... jika tidak, kami berdua tentu sekarang telah terkubur hidup2 dipuncak Lam-san !"
Thio Bo menghela napas kemudian tersenyum. "Itu hanya kebetulan saja bahwa aku memang mengetahui ada ancaman bahaya yang bisa ditimbulkan oleh gempa semacam itu !" katanya, "Setelah kita beristirahat sejenak disini, kita harus melakukan perjalanan lagi, menjauhi Lam-san sejauh mungkin !"
Kwang Tan mengangguk, demikian pula halnya dengan Suma Lin Liang yang mengiyakan. Getaran-getaran yang dapat dirasakan masih juga terjadi, namun tidak sehebat tadi lagi, lalu kemudian lenyap dan tidak terjadi getaran pula, Namun mereka dapat menduga, tentunya dipuncak gunung Lam-san telah terjadi longsor
atau batu2 yang berguguran, sedangkan goa tengkorak kepala manusia tempat kediaman Kwang Tan saja telah hancur sebelum mereka meninggalkan tempat itu.
Karena menyadari juga sudah tidak memiliki tempat kediaman pula, maka Kwang Tan memutuskan untuk ikut serta dengan Thio Bo pergi menolongi ketujuh orang korban Ban Tok Kui, Suma Lin Liang juga memutuskan untuk ikut serta.
Begitulah, ketiga orang tersebut telah melanjutkan perjalanan mereka setelah rasa letih mereka berkurang dan semangat mereka telah pulih sebagian.
-oo0dw0oo KE TUJUH orang korban Ban Tok Kui dapat ditemukan Thio Bo bertiga dengan Kwang Tan dan Suma Lin Liang dipermukaan sebuah hutan, disore hari itu. Tampaknya ketujuh orang tersebut telah lemah sekali bahkan ada dua orang yang mengatakan bahwa mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan pula.
Kwang Tan segera memeriksa keadaan mereka. Apa yang diduganya memang tidak salah ketujuh orang tersebut memang dilukai dengan racun Tiok-tok-hun. Segera juga Kwang Tan memberikan mereka obat yang diperlukan.
Setelah memakan obat yang diberikan Kwang Tan, ketujuh orang korban keganasan Ban Tok Kui itu tertidur nyenyak, rupanya penderitaan mereka berkurang banyak.
"Besok mereka harus makan obat lagi, setelah itu jiwa mereka tidak perlu dikuatirkan pula !" kata Kwang Tan. Thio Bo mengangguk mengiyakan, dan senang sekali hatinya, karena telah berhasil memperoleh bantuan Tabib Dewa, yang berarti dia akan dapat menyelamatkan ketujuh orang korban Ban Tok Kui,
Disaat ketujuh orang itu tengah tertidur seperti itu, Thio Bo bertiga dengan suma Lin Liang telah bercakap2. Sampai suatu kali,Thio Bo berkata sesungguhnya... ada yang kepadamu...."
Setelah berkata sampai disitu, Thio Bo tidak meneruskan perkataannya, dia mengawasi Kwang Tan bertambah bimbang.
Kwang Tan memandang heran kepada Thio Bo.
ragu2: "Sesungguhnya... hendak kutanyakan "Apa yang ingin ditanyakan Lopeh kemudian dengan perasaan heran. "Apakah Siauwko tidak marah jika menanyakan sesuatu urusan pribadimu "!" tanya Thio Bo lagi.
Kwang Tan menggeleng perlahan "Tidak, jika memang keterangan itu di kemudian.
"Sesungguhnya, "!" tanyanya
aku lancang perlukan oleh Lopeh....!" katanya disebut penting, itupun tidak tepat. Hanya aku merasa heran dan ingin tahu saja....!" kata Thio Bo sambil tetap mengawasi Kwang Tan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah yang ingin ditanyakan Lopeh"!" Suma Lin Liang ikut bertanya. "Mengenai Ban Tok Kui itu !" menjelaskan Thio Bo. "Ya"!" menegasi Kwang Tan.
"Menurut apa yang kudengar, Ban Tok Kui adalah Suhengmu, benarkah itu, Siauwko?" tanya Thio Bo pada akhirnya dengan sikap tetap ragu-ragu.
Kwang Tan menghela napas waktu mendengar pertanyaan Thio Bo seperti itu, sampai akhirnya anak itu tersenyum getir, Dia pun mengangguk.
"Benar, memang Ban Tok Kui suhengku, akan tetapi dia mengganas dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji... sesungguhnya, dengan melukai orang2 yang sebenarnya tidak bersalah itu, dia hanya ingin memperalat orang2 itu membuat mengganggu ketenanganku, karena
sengaja dia bermaksud untuk merepotkan aku, agar aku mengobati luka orang2 itu dengan ilmu pengobatan yang kuterima dari guruku!
Dengan cara seperti itu, Ban Tok Kui ingin mengorek seluruh pelajaran tersebut lewat dari cara pengobatanku,
karena pelajaran pengobatan dia tidak menerimanya dari guru kami!"
Setelah berkata begitu, Kwang Tan menghela napas lagi. "Memang cukup memalukan memiliki kakak seperguruan seperti itu. Guruku sendiri telah berpesan agar berusaha
mengatasi sepak terjangnya, Dan disamping itu, guruku telah mewariskan sejilid kitab ilmu silat. Memang sejak kecil sebenarnya aku tidak berhasrat buat mempelajari ilmu silat namun guruku mengatakan bagaimana aku akan dapat mengatasi sepak terjang suhengku itu jika aku tidak memiliki ilmu silat !
Tetapi waktunya sangat mendesak sekali, karena jika sejak saat itu aku mempelajari ilmu silat, tentu juga tidak bisa menandingi suhengku, dimana dia jauh lebih berpengalaman dan juga tentunya jauh lebih terlatih, sebab belasan tahun dia lebih dulu mempelajari ilmu silat. Karena itu, guruku telah memutar otak dengan keras menciptakan
semacam ilmu, yang
waktu yang singkat,
sekiranya dapat dipelajari dalam


Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bisa dipergunakan untuk mengatasi sepak terjang Suhengku itu..!" Thio Bo dan Suma Lin Liang yang mendengar cerita Kwang Tan itu, telah menggangguk beberapa kali, mereka sangat tertarik sekali.
"Namun, waktu guruku itu merampungkan ilmu ciptaannya itu, yaitu semacam ilmu yang hanya memiliki menghembuskan napasnya yang dunia, sebab terlalu letih telah delapan jurus saja dia
terakhir dan meninggal memeras pikiran dan otak setiap harinya dalam rangka
menciptakan ilmunya yang baru itu. Akan jadi segan mempelajari ilmu itu, dan kitab itu selalu kusimpan saja...!" "Sayang !" kata Thio Bo kemudian, "Gurumu telah bersusah payah memeras keringat seperti itu, akan tetapi kau tidak memanfaatkan apa yang telah diperolehnya dengan berjerih payah, bahkan sampai membawanya ke liang kubur tersebut, dengan begitu engkau tentu mengecewakan gurumu! Jika memang engkau mempelajarinya, tentu akan mempunyai manfaat yang
tidak kecil sedikitnya berarti engkau akan dapat menandingi suhengmu!
Sebagai murid nya, gurumu tentu saja mengetahui sampai di mana kehebatan muridnya itu dan dimana kelemahannya, itulah sebabnya sengaja dia telah
menciptakan semacam ilmu silat baru, buat menindih suhengmu.!"
Kwang Tan bengong sejenak, dia seperti tengah berpikir sampai akhirnya dia melanjutkan ceritanya, "Yah, hal itu memang pernah kupikirkan juga, akan tetapi aku jadi membenci ilmu pukulan delapan jurus yang diciptakan suhu, karena disebabkan menciptakan ilmu itu, suhu akhirnya meninggalkan aku selama-lamanya."
Thio Bo tersenyum, sedangkan Suma Lin Liang bertanya: "Apa nama dari ilmu pukulan itu "!"
"Ilmu pukulan Guntur !" menyahuti Kwang Tan.
"Guntur " Tentu hebat sekali ilmu itu !" kata Suma Lin Liang. "Aku sendiri tidak mengetahui sampai di mana kehebatannya, karena memang aku tidak pernah mempelajarinya dan selama itu aku hanya menyimpan saja kitab warisan suhu," menjelaskan Kwang Tan.
"Sayang! Sayang !" kata Thio Bo. "Jika memang kau hendak menolong orang2 yang terancam keselamatannya oleh suhengmu, berarti engkau harus berlatih diri sehingga engkau memiliki kepandaian yang bisa diandalkan buat menghadapi kakak seperguruanmu itu berarti engkau juga bisa menyelamatkan beratus2 bahkan ber ribu2 jiwa yang
akan menjadi korban keganasannya itu ?"
"Akan tetapi, tanpa memiliki kepandaian ilmu silat, akupun memiliki cara buat menundukan suhengku itu, yaitu dengan mempergunakan uap obat warisan suhu, yang bisa membuatnya lemas tidak bertenaga dan aku bisa
memusnahkan seluruh kepandaiannya !"
"Jika cara itu bisa berhasil, memang cukup baik !" Akan tetapi suhengmu itu bukannya benda, sehingga sebelum sempat kau mempergunakan obat pelemas itu, yang seperti
obat bius, kemungkinan besar engkau sendiri telah ditawan olehnya."
Mendengar perkataan Thio Bo itu, Kwang Tan seperti terkejut dia sampai tertegun. Thio Bo tersenyum. "Nah, sekarang coba kau pikirkan masak2, bukankah jika engkau memiliki ilmu silat yang
tinggi, muka suheng mu itu tidak bisa berbuat banyak padamu, dan dengan begitu engkau telah menolongi dan menyelamatkan ratusan calon korban dari suhengmu itu..."
Kwang Tan menghela napas dalam2, dia murung sekali menghadapi semua kenyataan.
"Benar apa yang dikatakan Lopeh, selama ini aku seperti juga melupakan jerih payah Suhu yang telah menciptakan ilmu pukulan Guntur itu....dengan tidak menuruti pesan Suhu agar mempelajari ilmu warisannya tersebut sama saja halnya seperti aku membangkang dan tidak menghargai
suhu ! Hai! Hai! Baiklah, kelak aku akan mempelajari ilmu pukulan Guntur itu!"
Setelah berkata begitu, tampak Kwang Tan menghela napas lagi berulang kali.
"Jika memang engkau menemui kesulitan, maka kamipun akan bersedia membantumu sekuat tenaga, agar engkau berhasil mempelajari kedelapan jurus ilmu Pukulan Guntur itu !" kata Suma Lin Liang.
Kwang Tan menoleh kepada Suma Lin Liang tanpa mengatakan suatu apapun juga, dia berdiam saja, hanya matanya memandang tajam.
Suma Lin Liang jadi merasa kurang enak hati ditatap seperti itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Engkau tidak perlu kuatir, aku tidak akan ikut serta melihatnya,.".kau boleh jika engkau menemui mempelajarinya sendiri, namun
kesulitan dalam latihanmu itu, engkau boleh mengemukakan kesulitanmu itu kepada aku atau Lopeh ini, yang juga tampaknya memiliki kepandaian yang tinggi, kami tentu bisa bantu memecahkan kesulitan
itu. Dengan demikian, jelas engkau lebih mudah mempelajari ilmu warisan gurumu itu."
Setelah mendengar keterangan Suma Lin Liang seperti itu, Kwang Tan lantas tersenyum.
"Terima kasih koko, aku bukan mencurigai dirimu, akan tetapi Suhuku telah berpesan, siapapun tidak boleh diperlihatkan buku warisannya itu !" menjelaskan Kwang Tan sambil memperlihatkan sikap memohon maaf kepada Suma Lin Liang.
"Kami mengerti, aku sendiri mengetahui itu merupakan suatu larangan, yang dimiliki oleh setiap pintu perguruan silat mana saja." Thio Bo juga tersenyum sambil katanya:
"Ya, memang benar, itu tidak bisa kita langgar. Dan jika memang engkau sendiri rela memperlihatkan kitab warisan dari gurumu, kamipun tidak berani menerimanya , kami
harus menghargai akan jerih payahnya itu!"
Kwang Tan tersenyum, dan merasa malu juga, dia mengucapkan terima kasihnya berulang kali.
"Jika begitu baiklah, aku akan pergi ke ujung jalan itu, aku akan mempelajarinya disitu." kata Kwang Tan.
Suma Lin Liang dan Thio Bo mengiyakan. "Jika engkau menemui kesulitan, tidak perlu ragu2, kau tanyakan saja kepada kami." kata Thio Bo dan Suma Lin Liang hampir berbareng.
Kwang Tan mengiyakan. Dia telah pergi kebawah sebatang pohon, kemudian mengeluarkan kotak kayu kecil itu, dia juga mengeluarkan kitab yang terdapat didalam kitab tersebut yang mulai dibalik2nya halaman demi halaman.
Pada halaman pertama tertulis: "Untuk muridku yang bungsu, guna dapat mengatasi kebatilan diatas permukaan dunia. Semoga dapat mempelajari ilmu PUKULAN GUNTUR ini dengan sempurna, sehingga banyak yang bisa dilakukan !"
Pada halaman berikutnya, pelajaran mengenai ilmu pukulan Guntur telah dimulai, dimana telah dijelaskan mengenai gerakan2 dari jurus pertama tersebut, pada jurus pertama ini Kwang Tan tidak memperoleh kesulitan.
Malah dia dengan segera dapat menangkap maksud dan gurunya, dengan gerakannya yang aneh, dimana Kwang Tang akhirnya meniru setiap gerakan yang dipaparkan didalam buku itu, dan dia dapat melatihnya dengan baik. Hal ini memang disebabkan Kwang Tan memiliki otak yang sangat cerdas sekali.
Kemudian pada jurus kedua, dia menemui sedikit kesukaran, yaitu dalam setiap perobahan gerak, dimana dia mengalami kekakuan, dari gerak yang satu beralih kegerakan yang lainnya. Dia telah menanyakannya kepada Thio Bo dan Suma Lin Liang, sehingga memperoleh
keterangan jika ingin mengadakan perobahan gerak dari gerakan yang pertama kegerakan kedua atau berikutnya, Kwang Tan selalu harus menarik napas dalam2, dia harus dapat menguasai tenaga Tan-tiannya dengan baik, sehingga gerakan tangannya dapat berjalan dengan lancar dan tidak patah atau kaku.
Dengan adanya penjelasan seperti itu, Kwang Tan seterusnya tidak menemui kesukaran karena dia telah menuruti petunjuk yang diberikan Thio Bo dan Suma Lin Liang.
Pada jurus ketiga, semakin banyak kesukaran yang dihadapi Kwang Tan.
Akan tetapi dia memang mempercayai Suma Lin Liang dan Thio Bo bukan sebangsa manusia tidak baik, dia mempercayai kedua orang itu memiliki hati dan jiwa yang jujur, maka Kwang Tan tidak segan2 menanyakannya kepada mereka.
Dengan bantuan Suma Lin Liang dan Thio Bo, maka dalam satu malaman itu saja Kwang Tan dapat mempelajari sampai jurus kelima, jurus keenam, banyak kesukaran yang tidak bisa ditembusnya, juga dia tidak bisa mengartikan beberapa kelima dari bunyi keterangan jurus tersebut.
Waktu ditanyakan kepada Suma Lin Liang dan Thio Bo, kedua orang itu, yang sesungguhnya memiliki pengalaman yang luas masih tidak mengerti juga dan tidak bisa bantu memecahkan kesulitan tersebut, segera Kwang Tan menunda latihannya.
Walaupun demikian, Kwang Tan telah berhasil menguasai lima jurus pukulan guntur itu dan hanya tinggal tiga jurus saja yang tidak dimengertinya, Pada keesokan paginya, Kwang Tan dengan rajin telah berlatih diri.
Ketujuh orang korban keganasan Ban Tok Kui telah
dibagikan obat lagi, sehingga kesegaran mereka pulih. Setelah satu hari satu malam mereka berada dengan Kwang Tan bertiga, dibawah perawatan Tabib Dewa itu, keesokan harinya, mereka telah diperbolehkan pergi meninggalkan tempat tersebut, sebab tidak ada yang perlu dikuatirkan lagi mengenai keselamatan jiwa mereka
Waktu itu terlihat betapa Kwang Tan telah membagikan beberapa macam obat kepada mereka sambil menjelaskan khasiatnya masing2.
Bukan main girangnya hati ke tujuh orang korban keganasan Ban Tok Kui, sekarang kesegaran mereka telah pulih kembali, dan mereka dapat memperoleh kesegaran
diri mereka, dengan racun yang mengendap didalam tubuh mereka telah dipunahkan.
Dan juga sekarang mereka memperoleh hadiah berbagai macam obat2an, dengan begitu jika kelak mereka keracunan lagi, mereka segera dapat menyembuhkan diri mereka sendiri.
Tidak hentinya ketujuh orang tersebut mengucapkan syukur dan terima kasih mereka kepada Kwang Tan, Thio Bo dan Suma Lin Liang, setelah itu mereka pun berlalu meninggalkan tempat itu.
Kwan Tan bertiga dengan Suma Lin Liang dan Thio Bo tetap berada ditepi permukaan hutan itu, karena tempat itu cukup sesuai dipergunakan buat tempat latihan Kwan Tan.
Begitulah, bertiga dengan Suma Lin Liang dan Thio Bo, Kwang Tan selama setengah bulan telah berdiam
dipermukaan hutan tersebut, Mereka tidak kesulitan makanan, karena didalam hutan itu terdapat banyak sekali binatang hutan, seperti kelinci, burung dan binatang lainnya, yang bisa mereka tangkap, kemudian dipanggang, Buah-buahpun banyak sekali terdapat didalam hutan itu.
Selama setengah bulan itu, Kwang Tan telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali, karena memang sejak berguru pada gurunya, dia telah mewarisi lwekang yang sesuai untuk dipergunakan melatih ilmu Pukulan Guntur itu. Dan sekarang walaupun dia baru berlatih
setengah bulan, namun dia bisa melatihnya dengan baik.
Dan juga, yang baru dikuasainya itu lima jurus saja, sedangkan yang tiga jurus lagi, bagian belakang dari ilmu Pukulan Guntur tersebut tidak bisa dipecahkan dan dimengerti olehnya, karenanya Kwang Tan belum melatihnya.
Dia pikir, kelak jika dia telah tambah pengalaman dan juga lebih menguasai kelima jurus pertama itu, berarti dia bisa memecahkan kembali jurus keenam, ketujuh dan kedelapan tersebut.
Seperti juga nama ilmu pukulan
pukulan Guntur, maka
dari setiap tersebut, yaitu ilmu jurus ilmu pukulan tersebut sangat hebat sekali. Jurus pertama diberi nama "Guntur Membelah Langit", memiliki mengejutkan sekali, walaupun baru kehebatan yang setengah bulan
mempelajari jurus tersebut, hasil yang diperoleh Kwang Tan membuat Thio Bo dan Suma Lin Liang benar2 kagum
dan takjub sekali, sebab dengan mempergunakan jurus pertama itu, yaitu "Guntur Membelah Langit", Kwang Tan dapat memukul terbelah batang pohon yang besar.
Dan batang pohon itu akan hancur berkeping2 waktu tumbang itulah menunjukkan
betapa hebatnya ilmu pukulan Guntur pada jurus pertama itu, Bisa dibayangkan jika memang manusia yang dihantam oleh jurus tersebut, niscaya tubuhnya akan hancur remuk tanpa ampun lagi.
Jurus yang kedua bernama "Guntur Menyambar Bumi", dan memiliki suatu kehebatan yang tersendiri lagi. Jika
memang Kwang Tan menghantam sebatang pohon dengan mempergunakan jurus ke dua ilmu pukulan itu, maka batang pohon itu seperti juga disambar petir, batang pohon itu akan hangus dan kemudian meluruk menjadi bubuk! itulah ilmu pukulan yang benar2 menakjubkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thio Bo sampai menggeleng2kan kepalanya dan memberikan komentar: "Tidak kusangka gurumu itu bisa menciptakan ilmu sehebat ini..!"
Jurus yang ketiga bernama "Guntur Menghancurkan Gunung", memiliki kehebatan yang sama hebatnya dengan jurus pertama dan kedua. Hanya saja jurus ketiga ini jika saja dipergunakan Kwang Tan menghantam sebungkah batu gunung yang besar, pukulannya itu tampak perlahan dan juga tidak menerbitkan suara batu itu akan hancur menjadi puing2 yang halus sekali seperti juga ada petir yang telah menyambar batu itu, yang menjadi hitam legam seperti besi !
Jurus keempat adalah jurus yang sama hebatnya juga, bernama "Guntur Melayang Di-udara", merupakan ilmu pukulan tanpa suara waktu mempergunakan jurus tersebut, Kwang Tan seperti tidak mengeluarkan tenaga dan juga
angin serangannya tak terdengar hanya saja jika telah tiba disebatang pohon, pohon itu diam tidak bergerak, namun mati sampai ke-akar2nya, dimana seluruh daunnya kontan kering dan seketika rontok berguguran sedangkan batang pohon itu telah hangus ! Didalam batang pohon itu
kayunya telah menjadi bubuk yang halus2 ! Bukan main hebatnya pukulan itu.
Demikian juga halnya dengan jurus kelima, memiliki kehebatan tersendiri lagi, karena waktu Kwang Tan mempergunakan jurus kelima itu, angin berkesiuran sangat
kuat sekali, seperti juga ditempat itu terjadi gempa atau juga topan, dan suara men-deru2nya itu mengandung kekerasan, waktu Kwang Tan menghantamkan kepalan tangannya kepada sebongkah batu, seketika batu itu terpukul mental ketengah udara, kemudian meluncur turun dengan pesat, amblas kedalam bumi ! Batu itu sendiri telah menjadi
hitam, dan juga tanah disekitar yang dimasuki batu itu menjadi hitam ! Bukan main hebatnya tenaga pukulan dari jurus ke lima ini, yang diberi nama "Guntur Menelani Matahari."
Thio Bo dan Suma Lin Liang tidak hentinya memuji Kwang Tan. Thio Bo berkata jika sebelumnya untuk menghadapi aku sepuluh jurus saja, belum tentu engkau
bisa menghadapi dengan baik! Aku yakin engkau tak mungkin bisa menerima! Akan tetapi sekarang, aku sendiri tidak yakin akan dapat menandingi dirimu!"
"Akh Lopeh hanya merendah saja dan terlalu memuji diriku." kata Kwang Tan segera. Thio Bo memperlihatkan sikap bersungguh2. "Aku telah mengatakan dari hal yang sebenarnya, kau baru berlatih setengah bulan, akan tetapi ilmu pukulan guntur yang baru kau pelajari sampai jurus kelima itu sudah demikian hebat, mungkin aku memang masih memiliki keberanian buat
main2 dengan kau! Namun setelah kau pelajari satu tahun, jangan harap aku bisa menandingi lagi dirimu! Belum lagi jika engkau bisa mempelajari jurus keenam atau ketujuh dan kedelapan itu tentu dalam satu atau dua jurus saja aku akan dapat kau rubuhkan !"
Thio Bo berkata itu buat membuktikan betapa hebatnya ilmu Pukulan Guntur tersebut. Suma Lin Liang pun ikut berkata: "Benar adikku, sekarang engkau telah menemui dan memiliki ilmu yang hebat luar biasa! Memang lawanmu itu tetap seorang
manusia yang bisa bergerak jadi bukan menghadapi benda yang diam tidak bergerak, dimana lawanmu akan dapat memberikan perlawanan. Namun dengan ilmumu yang sehebat itu, kukira sulit sekali mencari orang yang bisa menandingi dirimu. Memang jika kami mengatakan diri
kami bukan lawanmu lagi, itu terlalu berlebihan, jika kita bertempur kemungkinan kita akan berimbang, akan tetapi jika kelak setelah kau mempelajarinya satu atau dua tahun, dan juga telah menguasai ketiga jurus penutup dari pelajaran itu, niscaya engkau dengan mudah dapat merubuhkan kami ! Memang nasibmu sangat baik sekali, sehingga engkau bisa memiliki ilmu silat sehebat itu !"
Senang juga hati Kwang Tan mendengar pujian Suma Lin Liang dan Thio Bo yang diucapkan setulusnya itu. Dia juga mengucapkan terima kasihnya berulang kali dan berjanji: "Aku bersumpah akan berlatih dengan sungguh2, sampai dapat menguasai semua kedelapan jurus ilmu
Pukulan Guntur ini, yang kelak akan kupergunakan buat menghadapi Suhengku yang murtad dan gurunya dan juga selalu menghamburkan ingkar kepada
keganasannya buat mencelakai orang. Jika memang aku bisa menundukkannya, berarti aku akan dapat menyelamatkan
ratusan bahkan ribuan jiwa
calon korban keganasan Suhengku itu, dan ini merupakan hal yang membahagiakan, karena aku bisa melakukan pekerjaan untuk kepentingan orang banyak."
"Benar!" kata Thio Bo, "Dan karena itu engkau harus berlatih diri dengan giat agar tidak mengecewakan harapan gurumu!"
Kwang Tan mengangguk mengiyakan.
Begitulah, selama beberapa hari lagi, Kwang Tan telah melatih diri terus. Walaupun hanya lima jurus, akan tetapi setiap jurusnya memiliki lima perobahan gerak sehingga ditotal keseluruhannya jadi dua-puluh lima gerakan.
Walaupun sedikit sekali jumlah gerakan yang dimiliki ilmu Pukulan Guntur itu dibandingkan dengan jurus2 yang dimiliki ilmu silat lainnya, namun yang luar biasa justru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setiap gerakan dari ilmu Pukulan Guntur itu merupakan gerakan yang paling hebat dan sulit dihadapi lawan. Setelah puas berdiam di tempat itu dan merasa telah menguasai dengan baik kelima jurus ilmu Pukulan Guntur itu, Kwang Tan bertiga dengan Suma Lin liang dan Thio Bo meninggalkan permukaan hutan itu, mereka mengembara.
Dan Kwang Tan menyatakan kepada kedua orang itu, bahwa dia sangat mengharapkan petunjuk2 berharga dari kedua orang tersebut.
Begitulah, karena memang didampingi Thio Bo yang telah berpengalaman didalam rimba persilatan dan Suma
Lin Liang yang memiliki ilmu silat dari tokoh sakti Bengkauw yaitu Wie It Siauw dengan demikian Kwang Tan memperoleh bimbingan serta petunjuk yang berguna baginya dan dia memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Setelah melakukan perjalanan satu minggu lebih, waktu itu mereka bertiga tiba dikota Lu-hian-kwan. Kota yang tidak begitu besar dan penduduknyapun tidak begitu banyak Mereka menginap disebuah rumah penginapan dalam sebuah kamar untuk mereka bertiga.
Selama itu memang banyak yang diceritakan Thio Bo mengenai keadaan dalam rimba persilatan, bagaimana kebiasaan dari mereka orang2 rimba persilatan itu, dan bagaimana tingkah laku mereka dari kalangan hitam atau putih.
Dan dengan mendengarkan cerita Thio Bo dan Suma Lin Liang, Kwang Tan telah memiliki pengetahuan yang lumayan mengenai rimba rimba persilatan, dan dia juga memperoleh gambaran yang lebih nyata mengenai keadaan didalam kalangan Kangouw.
Banyak kelicikan2 dari orang2 rimba persilatan yang diceritakan oleh Thio Bo. Bahkan Thio Bo pun menceritakan banyak tokoh2 rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi sekali, namun mereka memiliki hati yang beracun dan kejam.
Karena Thio Bo juga memperingatkan kepada Kwang Tan jika suatu saat kelak dia berkelana seorang diri
janganlah dia jatuh oleh kata2 manis, sebab dengan lemahnya Kwang Tan oleh bujuk rayu, bisa mencelakai dirinya sendiri, biar tinggi, namun akan pun dia memiliki kepandaian yang dapat ditipu oleh manusia-manusia
seperti itu. Suma Lin Liang sendiri banyak bercerita mengenai kegiatan Bengkauw, dimana Thio Bu Kie tengah dalam kesulitan sebab Cu Goan Ciang tetap saja menyebarkan para pahlawannya buat memberantas Bengkauw, disamping itu juga Cu Goan Ciang telah mencap Beng-kauw sebagai perkumpulan yang membahayakan kerajaan dan dianggap
sebagai perkumpulan terlarang yang tidak boleh melakukan pergerakan apapun juga.
Banyak juga anggota meninggalkan perkumpulan
boleh dibilang hanya tinggal tenaga intinya saja, tokoh tokoh yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Memang menjadi tujuan dari Bengkauw juga buat membubarkan anggota biasanya, karena Thio Bu Kie kuatir, jika mereka masih terhitung sebagai anggota Bengkauw, keselamatan mereka dan keluarganya terancam oleh keganasan Cu Goan Ciang.
Bengkauw yang telah tersebut sehingga Bengkauw Mendengar cerita Suma Lin Liang itu, Kwang Tan marah bukan main, katanya: "Cu Goan Ciang ternyata manusia tidak berbudi,setelah menjadi raja, dia seperti juga kacang yang lupa pada kulitnya !"
Suma Lin Liang menghela napas, kemudian katanya dengan wajah yang muram: "Ya, Thio Kauwcu juga selalu berkata begitu, akan tetapi Thio Kauwcu juga selalu memberikan hiburan kepada kami, bahwa kami tidak perlu berputus asa. sebab kelak kami akan dapat bangkit kembali dengan segala kemeriahan yang ada.
Ada satu lagi gangguan yang benar2 membuat kedudukan Thio Kauwcu dalam kesulitan tidak kecil ! Cu Goan Ciang ternyata telah mengadakan kontak kerja sama dengan pihak Beng kauw pusat di Persia, dimana Bengkauw Persia telah mengutus beberapa orang-orangnya
buat mencari Thio Kauwcu, guna menangkapnya dan akan dibawa ke Persia. Karena itu, Thio Kauwcu sementara ini mengajak semua anggota-anggota Bengkauw yang merupakan orang2 yang tetap bersetia padanya, sisa dari anggota Bengkauw dari berbagai kalangan, buat menetap dipuncak gunung Himalaya, dengan demikian, Thio
Kauwcu bermaksud menghindarkan bentrokan dengan Bengkauw Persia !"
"Jika begitu, memang menjadi tujuan dari Cu Goan Ciang buat mengadu domba antara Bengkauw didaratan Tionggoan dengan Bengkau Persia itu, bukan "!" tanya Thio Bo kemudian
"Ya!" menggangguk Suma Lin Liang, "Dan karena dari itu pula, Thio Kauwcu berusaha untuk mengatasi semua
persoalan itu dengan
sebaik mungkin, jangan sampai menimbulkan bentrokan dan kelak membawa korban jiwa dan urusan berdarah !" Bercerita sampai disitu, Suma Lin Liang terdiam diri sejenak, sampai akhirnya dia bilang lagi: "Hanya saja, kami semua sisa anggota Bengkauw, merasa kasihan terhadap
Thio Kauwcu, yang akhir-akhir ini menerima banyak sekali godaan dan gangguan dari berbagai golongan dan pihak,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena sekarang ini Thio Kauwcu pun tengah bingung mencari-cari Thio Sam Hong Sucouw, Guru besar dari Bu tong-pay, yang telah dianggap sebagai kakek angkatnya itu ! Belum lama yang lalu, Thio Sam Hong Sucouw bermaksud menyelesaikan suatu urusan, yang menyangkut keselamatan Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay maupun
Jodoh Rajawali 19 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Kisah Para Pendekar Pulau Es 17
^