Pencarian

Pendekar Lembah Naga 28

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 28


"Ah, kenapa sampai terkilir, Sin Liong" Hemm, aku mengerti sekarang. Tentu ketika melayang jatuh tadi engkau menggunakan tangan kirimu menyambut dahan pohon! Betul tidak" Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kegembiraan seperti anak-anak yang dapat menebak teka-teki dengan tepat.
"Aihhhh... kau ini!" Sin Liong tersenyum lebar, tak dapat ditahannya itu karena sikap Bi Cu yang demikian lincah gembira, padahal mereka berada di mulut maut! Akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri bukan main, senyumnya menjadi senyum menyeringai.
"Sakit sekalikah, Sin Liong" Bi Cu bertanya sambil memegang lengan kiri itu, akan tetapi tubuhnya bergoyang dan cepat dia menyambar dahan di atasnya lagi dan memandang ke bawah dengan ngeri. Hampir dia lupa agaknya bahwa dia duduk di atas dahan pohon berada di tempat demikian curamnya.
Gerakannya ini menarik lengan Sin Liong dan tentu saja pemuda itu berteriak saking nyerinya.
"Ah, maaf, Sin Liong. Dapatkah aku membantu"
"Bi Cu, engkau harus menarik lenganku ini sampai tulangnya kembali ke tempat yang benar. Tariklah kuat-kuat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirimu memegang dahan dan jangan lupa, kedua kakimu kauikatkan pada dahan di bawah itu. Hati-hati, tempat ini berbahaya sekali. Jangan terlalu banyak bergerak."
Bi Cu mengangguk-angguk, lalu mencari tempat berpegang yang kuat, mengkaitkan kedua kakinya pada dahan di bawah, lalu mengulurkan tangan kanan. "Mana lenganmu, kesinikan!"
Sin Liong sudah merangkul lengan kanan kepada sebatang dahan, memegangnya erat-erat lalu dia mengulurkan lengan kiri kepada gadis itu. Bi Cu menangkap pergelangan tangan Sin Liong, lalu mulai menarik.
Sin Liong menyeringai, memejamkan mata karena rasa nyeri yang amat luar biasa terasa olehnya, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk dari pundak sampai ke seluruh tubuh. "Terus... terus... tarik terus sedikit lagi...!" Dia berkata terengah-engah. Bi Cu tidak tega melihat wajah pemuda itu yang menjadi basah oleh peluh yang besar-besar, akan tetapi dia menguatkan hatinya dan membetot terus sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
"Klokkk!" Terdengar suara pada sambungan lengan dan pundak.
"Sudah...! Cukup...!" seru Sin Liong. Bi Cu melepaskan pegangannya dan melihat betapa Sin Liong menyandarkan kepalanya pada dahan di depan dan lengan kirinya yang sudah tersambung kembali itu tergantung lemas.
"Sin Liong... sakit sekalikah..." Suara itu demikian lembutnya dan mengandung isak gemetar sehingga Sin Liong melupakan rasa nyerinya seketika, membuka mata dan memandang gadis itu sambil tersenyum.
"Terima kasih, Bi Cu. Sekarang sudah baik kembali kedudukan tulangnya. Tinggal memulihkan saja. Sayang kita harus tetap tinggal di sini sampai lenganku dapat digerakkan kembali." Lalu dia bertanya heran, "Eh, engkau menangis" Engkau tentu... takut sekali, bukan"
Bi Cu menggunakan punggung tangan menghapus beberapa butir air mata di pipi dan yang tergantung di bulu mata. Dia menggeleng kepala. "Tidak takut, bukankah engkau juga di sini. Aku hanya... kasihan sekali padamu tadi. Mukamu menjadi mengerikan ketika engkau menahan nyeri tadi..."
Sin Liong tersenyum. "Sekarang telah sembuh..."
"Tapi kita tidak bisa ke mana-mana. Bagaimana kita dapat keluar dari tempat ini"
Sin Liong memandang ke arah dinding tebing. Memang tidak mudah. Akan tetapi kalau lengannya sudah sembuh, dia pasti akan menemukan jalan. Akan tetapi sekarang ini tidak mungkin. Hanya menggunakan sebelah lengan saja, mana bisa mencari jalan keluar. Dan benarkah Bi Cu yang mencari jalan keluar, dia tidak tega. Berbahaya sekali pekerjaanku itu. Dan untuk sementara waktu mereka aman di pohon itu. Pohon yang cukup besar dan kuat.
"Kita terpaksa tinggal di sini, Bi Cu."
"Sampai berapa lama"
"Sampai aku dapat menggerakkan kembali lengan kiriku."
Demikianlah, dua orang muda itu tinggal di pohon itu seperti dua ekor kera! Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan mereka, apalagi karena lengan kiri Sin Liong belum juga sembuh. Mereka terpaksa melewatkan malam gelap di dalam pohon itu!
"Hati-hati, jangan sampai engkau tertidur dan terlepas peganganmu sehingga jatuh ke bawah, Bi Cu." Sin Liong memperingatkan ketika cuaca sudah menjadi gelap. Hatinya khawatir sekali. Untung bahwa Bi Cu adalah seorang gadis yang berhati baja, dan juga berwatak riang gembira sehingga dalam keadaan seperti itupun masih suka bergurau! Sikap lincah jenaka ini membuat mereka tidak begitu merasakan penderitaan yang menekan lahir batin.
"Kalau terlepas mengapa" Malah tidak lagi menderita hidup seperti kera kelaparan begini!" jawab Bi Cu berolok-olok.
"Engkau lapar, Bi Cu"
"Kaukira perutku terbuat daripada batu" Tentu saja aku lapar. Kau tidak"
"Mungkin."
"Eh, mungkin bagaimana" Jangan berteka-teki engkau! Tinggal menjawab lapar atau tidak, mengapa mungkin" Habis rasanya bagaimana, lapar atau tidak"
"Aku bilang mungkin, karena menurut patut tentu lapar, akan tetapi tidak terasa karena kalah oleh rasa nyeri di pundakku dan rasa khawatir di hatiku."
"Apa sih yang kaukhawatirkan"
"Aku masih bertanya lagi" Tentu saja keadaan kita ini. Apakah engkau tidak khawatir"
"Tidak! Sekarang kita masih hidup, bukan" Dan aman..."
"Hanya lapar."
"Ya, hanya lapar. Sayang aku tidak bisa memburu kelinci. Ah, enaknya daging kelinci bakar dimakan panas-panas, apalagi bagian paha dan pinggul, hemmm... sedap...!"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan aneh, membayangkan gambaran itu, diapun mendadak merasa lapar! Akan tetapi hatinya masih khawatir sekali, bagaimana kalau gadis yang lincah itu menjadi lengah malam nanti, mengantuk dan terlepas lalu jatuh ke bawah sana. Dia menggigil kalau membayangkan kemungkinan ini, maka diam-diam di dalam keremangan senja, dia mulai menanggalkan bajunya dan dengan hati-hati dirobek-robeknya baju itu menjadi robekan panjang selebar tangan. Dia merobeknya dengan tangan kanan dan giginya, kemudian dia menggulung robekan-robekan itu menjadi tali yang cukup kuat dan menyambung-nyambungnya. Setelah selesai, dia lalu menyodorkan satu ujunghya kepada Bi Cu.
"Bi Cu, kauterima ujung tali ini," katanya.
Bi Cu menerima ujung tali itu, meraba-rabanya lalu berkata, "Hemm, sejak tadi engkau diam saja ternyata engkau membuat tali ini" Dari apa kaubuat"
"Dari bajuku."
"Lalu untuk apa"
"Ikatkan ujungnya pada pinggangmu, yang kuat. Kalau engkau mengantuk dan terlepas, engkau tidak akan jatuh melainkan tergantung pada tali. Setelah kubelit-belitkan cabang-cabang yang kuat, ujung yang satu lagi akan kuikatkan pada pinggangku."
Bi Cu tidak berkata apa-apa, akan tetapi dari tali yang bergerak-gerak Sin Liong tahu bahwa dara itu melaksanakan petunjuknya. Hatinya lega. Kini cuaca sudah gelap sekaii sehingga dia tidak dapat melihat Bi Cu. Bayangannyapun tidak, karena tidak ada bayangan apa-apa sama sekali. Gelap pekat malam itu, melihat tangannya sendiripun dia tidak mampu.
Lama mereka dia saja. Sin Liong selalu mengingat keadaan Bi Cu. Tadi dia sudah melihat betapa dara itu telah mendapatkan tempat yang enak, di antara dahan besar yang bercabang tiga, sehingga dara itu dapat duduk terjepit cabang dan tidak akan mudah jatuh dan dapat duduk dengan enak. Tentu saja seenak-enaknya orang metewatkan malam di atas pohon! Dia telah melibatkan tali itu pada dahan yang kuat, baru ujungnya diikatkan pada pinggangnya. Dengan demikian, andaikata salah seorang di antara mereka terlepas dan jatuh, tentu akan tertahan oleh dahan itu dan tergantung, sedangkan orang yang akan dapat menarik dan menyelamatkan yang jatuh.
Dia merasa betapa ada gerakan-gerakan dari arah tempat Bi Cu duduk. Tali yang mengikat pinggangnya itu seolah-olah menghubungkan dia dengan Bi Cu, setiap dara itu bergerak akan terasa olehnya. Hal ini menimbulkan perasaan lega pula. Akan tetapi sampai lama Bi Cu tidak bicara, dan dia tidak dapat bertahan lagi.
"Bi Cu, engkau tidak apa-apa, kan"
"Tentu saja apa-apa, berada dalam keadaan seperti ini dikatakan tidak apa-apa! Aku sedang memikirkan betapa lucunya keadaan kita ini. Tidakkah engkau merasa lucu, Sin Liong"
"Lucu" Sin Liong mengingat-ingat akan tetapi tidak menemukan apa yang lucu. "Bagiku tidak lucu melainkan menyedihkan dan sengsara, terutama lengan kiriku."
"Belum sembuhkah lengan kirimu, Sin Liong"
"Sudah agak mendingan," kata Sin Liong membohong. Pundaknya membengkak, nyerinya bukan main, akan tetapi letak tulangnya sudah benar. "Eh, Bi Cu, mengapa kau bilang lucu"
"Bayangkan saja! Kita saling berpisah, lalu saling jumpa. Dan lihat, apa yang kita alami bersama. Kita terjatuh ke dalam jurang maut, akan tetapi tidak mati dan tersangkut pada pohon ini dan kita terpaksa menjadi dua ekor monyet di sini! Lucu tidak"
"Mengapa engkau ikut meloncat ke dalam jurang" Sungguh bodoh sekali perbuatanmu itu, mempermainkan nyawa sendiri," Sin Liong menegur karena memang marah dia kalau teringat betapa dara itu hampir membuang nyawa dengan sia-sia dan mati konyol.
"Apa" Terdengar dara itu berkata marah. "Dan kau menghendaki aku berada di sana, di atas sana bersama jahanam-jahanam itu sedangkan engkau sendiri enak-enakan berada di bawah sini"
"Enak-enakan"
"Ya, enak-enakan! Seribu kali lebih enak berada di sini daripada berada di atas sana bersama iblis-iblis itu!" Bi Cu membentak.
"Bi Cu..."
"Sudahlah, aku mau tidur!"
"Tidur..." Hati-hatilah, Bi Cu, jangan terlepas dan jatuh..., biarpun sudah terikat akan tetapi ngeri aku memikirkan kau jatuh..."
"Peduli apa" Biar jatuh dan mampus!"
Jawaban ini demikian penuh kemarahan sehingga mengejutkan Sin Liong. Dia tidak berani bicara lagi, hanya mengingat-ingat mengapa dara itu menjadi marah tidak karuan. Mungkin karena lapar, mungkin karena takut, dan diapun tidak boleh terlalu cerewet. Sin Liong duduk dan mengumpulkan napas, mengerahkan hawa murni untuk mengobati lengan kirinya. Dengan pengerahan hawa dari pusar, ia mengirim hawa yang panas itu menjalar naik dan memenuhi lengannya. Dia melakukan hal ini sesuai dengan pelajaran dari kitab yang diwarisinya dari Bu Beng Hud-couw. Dan ternyata hasilnya hebat sekali. Rasa nyeri di pundaknya perlahan-lahan lenyap, terbungkus hawa panas itu sehingga pundak yang tadinya berdenyut-denyut nyeri, kini menjadi nyaman dan denyut itu makin melemah dan akhirnya tidak terasa nyeri lagi. Dia melanjutkan usahanya itu, melupakan keadaan sekelilingnya. Dia harus dapat sembuh semalam ini agar besok dia dapat mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya bersama Bi Cu.
"Sin Liong..." Entah berapa lamanya mereka berdiam sampai Bi Cu memanggilnya itu. Mungkin kini telah lewat tengah malam. Siapa tahu" Dia tadi dalam keadaan setengah bersamadhi dan lupa segala sehingga lupa pula akan waktu. Panggilan suara Bi Cu itu mengejutkan dan seperti menarik dia kembali kepada kenyataan bahwa dia dan Bi Cu berada, di dalam pohon di atas jurang yang curam, di tengah malam yang gelap pekat. Akan tetapi baru sekarang Sin Liong melihat perubahan bahwa cuaca tidaklah segelap tadi, bahkan dia dapat melihat bayangan tangannya sendiri sungguhpun dia tidak dapat melihat Bi Cu. Di langit terdapat bintang-bintang berkelap-kelip. Aneh sekali melihat bintang-bintang ini, membuat dia hampir tidak percaya bahwa dia berada di dalam pohong "tergantung" antara langit dan jurang, bukan di atas bumi seperti biasa.
"Ada apakah, Bi Cu"
"Apakah engkau tidak lapar"
Tadinya Sin Liong sudah lupa segala, juga lupa akan perutnya yang kosong, maka begitu Bi Cu berkata lapar, otomatis perutnya lalu terasa perih dan lapar sekali. Akan tetapi bersama dengan itu, juga dia merasa lengan kirinya sudah sehat kembali, tidak nyeri sama sekali! "Tentu saja aku lapar. Dan engkau"
"Aku tidak lapar, aku sudah kenyang!"
Hemm, mengajak bergurau lagi, pikir Sin Liong. "Engkau kenyang" Makan apa" Dia melayani.
"Makan paha kelinci panggang dalam khayal!" Bi Cu tertawa. "Tapi aku benar-benar kenyang, aku makan daun."
"Daun"
"Ya, kaupilih daun-daun muda, di ujung ranting. Cobalah, enak tidak pahit dan banyak airnya, lumayan, Sin Liong."
Sin Liong tertarik. Tangan kanannya meraih dan dengan meraba-raba dia dapat merasakan perbedaan antara daun tua dan daun muda yang lebih kecil dan lebih halus. Dipetiknya ujung ranting itu dan dengan hati-hati dimakannya sehelai daun muda. Tentu saja bau daun, akan tetapi tidak bau busuk dan tidak pahit, bahkan ada manis-manisnya sedikit. Maka dimakannya daun itu sampai beberapa helai.
"Bagalmana rasanya"
"Kau benar. Daun ini cukup enak dimakan!"
"Hi-hik, engkau harus berterima kasih kepadaku, Sin Liong. Penemuanku ini memungkinkan kita hidup di atas pohon ini seperti dua ekor kera, bukan hanya untuk beberapa hari, bahkan mungkin untuk selamanya!"
"Apa" Selamanya" Mana mungkin"
"Mungkin saja! Kita setiap hari makan daun muda, dan daun-daun muda itu tentu akan tumbuh lagi, demikian setiap hari. Kita tidak akan kehabisan daun muda. Daun itu mengandung air, jadi kita tidak akan kehausan pula, dan andaikata kehausan, kalau hujan turun, kita tinggal berdongak dan membuka mulut saja! Hi-hik!"
"Tapi mana mungkin kita dapat hidup dan makan daun-daun saja"
"Siapa bilang tidak mungkin" Eh, Sin Liong, mengapa engkau begitu bodoh" Ingat, binatang-binatang yang terbesar dan terkuat di dunia ini, seperti kerbau, sapi, kuda, bahkan gajah itu makan apa saja" Tidak makan daging tidak makan capjai atau mi bakso, melainkan makan daun dan rumput saja. Akan tetapi mereka itu bukan hanya hidup, bahkan hidup lebih sehat dan lebih kuat daripada manusia!"
"Tapi kita ini manusia, bukan kerbau..."
"Memang, tapi otakmu lebih bodoh daripada kerbau!" Kembali Bi Cu berkata dengan nada suara marah.
"Bi Cu... aku..."
"Sudahlah! Memang aku yang cerewet dan tolol!" Kini suara itu bukan hanya marah, bahkan mengandung isak!
Sin Liong melongo. Untung cuaca masih terlampau gelap untuk mereka dapat saling melihat, kalau tidak tentu dia akan nampak lucu sekali. Dia benar-benar bingung menghadapi Bi Cu. Mengapa Bi Cu demikian mudah tertawa gembira, bergurau, akan tetapi di lain saat sudah marah-marah dan cengeng"
Hening lagi sampai lama Sin Liong merasa menyesal sekali bahwa dia begitu bodoh tidak dapat menyelami watak Bi Cu sehingga dia selalu membuat dara itu marah-marah. Padahal Bi Cu sudah begitu baik kepadanya.
"Bi Cu, kaumaafkanlah aku kalau aku bersalah kepadamu dan membuatmu marah. Percayalah, aku sungguh mati tidak sengaja membikin engkau marah. Aku menyesal akan kebodohanku."
"Siapa bilang engkau bodoh" Engkau terlalu pintar, engkau lihai bukan main, engkau seorang pendekar sakti yang bersikap sederhana dan bodoh, saking pintarnya maka engkau tidak memperhatikan seorang gadis tolol macam aku yang cerewet sehingga aku dibikin kesal...!"
"Maafkan, aku Bi Cu..., aku tidak mengerti mengapa aku selalu membuatmu marah... tadipun engkau sudah marah-marah..."
"Tentu saja aku marah, habis engkau selalu menghendaki aku tidak berada di sini bersamamu, engkau lebih senang aku berada bersama iblis-iblis itu. Engkau sungguh tidak mati menghargai orang, aku suka bersamamu, hidup mati, dan engkau cerewet saja mengkhawatirkan diriku. Mengapa engkau tidak mengkhawatirkan dirimu sendiri"
"Ahhh...!"
"Apalagi ah-ah!"
Sin Liong kini mengerti dan diapun sadar bahwa dia terlalu mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, tidak ingat bahwa Bi Cu memang tadinya sengaja menyusulnya untuk mati bersama!
"Tidak apa-apa, hanya aku sudah merasa salah. Engkau tentu mau memaafkan aku, bukan" Ataukah tiada maaf bagiku"
"Sudahlah, perutku sudah kenyang, aku mau mengaso."
Sin Liong lalu memetik lagi daun-daun muda dan mengisi perutnya yang kosong dengan daun-daun muda itu. Seperti sayur mentah, akan tetapi bukan tidak enak, dan lumayan untuk menahan perihnya perut. Akan tetapi semalam dia tidak tidur, mana mungkin dia tidur" Dia harus menjaga Bi Cu, siap menolong kalau-kalau dara itu terjatuh dan tergantung pada tali. Timbul kekhawatirannya, jangan-jangan dara itu kurang kuat mengikat pinggangnya. Hampir saja mulutnya bertanya, akan tetapi ditahannya karena dia teringat bahwa hal itu malah akan membikin marah dara yang berwatak aneh itu. Maka diapun melanjutkan menghimpun hawa murni untuk mengobati lengannya kirinya yang biarpun kini sudah tidak terasa nyeri namun dia masih belum berani untuk mempergunakannya dengan pengerahan tenaga. Luka-luka di tempat sambungan tulang tentu belum pulih benar, pikirnya, maka berbahaya kalau dipakai untuk bekerja berat. Dan ternyata selanjutnya Bi Cu tidak lagi mengeluarkan suara, sungguhpun kadang-kadang dia masih melakukan gerakan perlahan. Dan tidak ada terdengar napasnya yang menyatakan bahwa dara itu tertidur. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu memang sengaja diam saja sungguhpun dara itu juga tidak dapat tidur dalam keadaan seperti itu.
Pada keesokan harinya, begitu sinar matahari pagi mengusir kegelapan dan mereka dapat saling melihat, Bi Cu segera berkata. "Bagaimana dengan lengan kirimu"
Sin Liong menggerak-gerakkan lengan kirinya. "Sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi luka di sekitar sambungan masih belum pulih benar, kiraku belum mungkin dapat dipakai bekerja berat. Kalau sampai luka-luka itu pecah lagi, akan sukarlah pulihnya, tanpa obat."
"Kalau begitu biar kita tinggal di sini sampai kau sembuh betul!" kata Bi Cu akan tetapi Sin Liong masih dapat menangkap nada suara yang amat kecewa, yang ditutup dengan kemauan keras dan dara itu mengatupkan bibirnya kuat-kuat setelah berkata demikian. Tentu dara itu telah menderita hebat sekali duduk semalam suntuk di atas dahan itu, pikir Sin Liong.
"Biarpun aku belum dapat bekerja berat dengan lengan kiriku, akan tetapi kiranya aku akan dapat mencarikan tempat yang lebih enak untuk kita, bukan di atas pohon ini, Bi Cu. Kau tinggallah di sini dulu, aku yang mencari tempat yang baik di tebing itu."
"Aku tidak mau di sini sendiri. Aku harus ikut!" kata Bi Cu dan Sin Liong tidak mau membantah. Dia melepaskan ikatan di pinggangnya.
"Baiklah, lepaskan ikatan di pinggangmu itu. Tali ini akan ada gunanya kelak."
Bi Cu melepaskan tali yang diikatkan di pinggangnya. Baru tahulah Sin Liong bahwa ikatan itu kuat sekali sehingga sukar bagi Bi Cu untuk membuka simpulnya. Ternyata kekhawatirannya semalam tidak ada gunanya.
"Eh, kenapa kau masih memakai bajumu" Bukankah bajumu sudah kaurobek-robek untuk dijadikan tali ini"
"Itu baju dalamku yang terbuat dari sutera, lebih lemas dan lebih kuat."
"Baju dalam sutera" Wah, tentu indah dan mahal sekali...!"
"Memang, itu baju adik angkat pangeran! Pemberian Pangeran Ceng Han Houw."
"Ihhh!" Bi Cu melepaskan ujung tali itu seperti orang merasa jijik. Sin Liong menggulung dan menyimpan di saku bajunya.
"Mari kauikuti aku, tapi hati-hatilah, Bi Cu." Mulailah keduanya merangkak di antara dahan-dahan dan daun-daun pohon, Sin Liong di depan, diikuti oleh Bi Cu, mendekati tebing ketika mereka merangkak turun dari pohon yang tumbuh miring di tebing itu. Pohon itu besar dan cukup tinggi, dan batangnya ternyata besar dan kokoh kuat, tertanam di dalam tebing di antara batu-batu. Sin Liong turun dari batang itu, matanya mencari-cari jalan dan diapun turun ke atas celah-celah batu yang besar. Dia menanti sebentar untuk memberi kesempatan Bi Cu juga turun. Ketika Bi Cu sudah menaruh kakinya ke celah-celah batu besar dan memandang ke bawah, dia menjerit dan Sin Liong cepat merangkulnya. Tubuh Bi Cu menggigil dan mengertilah Sin Liong apa yang menyebabkan dara itu ketakutan seperti itu.
"Jangan melihat ke bawah! Pula, di sini tidak berbahaya, di atas pohon itu lebih berbahaya lagi!" katanya menghibur dan akhirnya Bi Cu dapat tenang kembali akan tetapi dia tidak mau memandang ke bawah. Memang mengerikan sekali kalau memandang ke bawah yang demikian curamnya. Membayangkan tubuh melayang ke bawah saja sudah membuat jantung berdetak dan kaki menggigil.
Sin Liong mencari jalan, dengan hati-hati karena lengan kirinya tidak dapat dipakai untuk bergantung, terlalu berbahaya untuk mencoba itu. Akhirnya mereka tiba di tepian yang lebarnya ada dua meter dan panjangnya empat meter, tempat datar sempit ini ditumbuhi rumput dan merupakan jalan buntu karena dikelilingi batu-batu yang bersusun rata sehingga tentu amat licin dan tidak mungkin didaki. Jalan satu-satunya dari daratan sempit ini hanyalah jalan yang mereka lalui tadi, yang menuju ke pangkal batang pohon besar. Betapapun juga, menemukan tempat ini membuat mereka merasa lega. Bi Cu gembira sekali dan diapun lalu menjatuhkan diri rebah terlentang dengan tarikan napas lega. Tubuhnya yang terasa lelah semua itu kini dapat berbaring sesukanya di atas rumput dan sebentar saja dara itu sudah tidur pulas, miring menghadap dinding batu!
Sin Liong merasa terharu dan kasihan sekali. Sampai lama dia memandangi wajah dara yang tidur pulas itu, tidur sambil tersenyum seolah-olah tiada apapun yang mengancam mereka. Dara itu agaknya merasa beruntung sekali dan lapang hatinya setelah menemukan tempat datar ini sehingga tidurnya demikian nyenyak dan enak. Sin Liong lalu bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar dari tempat itu. Akan tetapi baru saja beberapa langkah dia meninggalkan Bi Cu, dia tetingat dan cepat dia membalikkan tubuhnya, menghampiri batu sebesar sepelukan tangan dan mengangkat. Akan tetapi baru sedikit dia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya, dia hampir berteriak kesakitan, maka cepat dia melepaskan kembali batu itu. Untung tidak dipaksanya mengangkat tadi. Jelaslah bahwa lengan kirinya belum boleh dipergunakan untuk bekerja berat dan harus beristirahat beberapa hari sampai pulih betul. Kini dia hanya menggunakan tangan kanannya, disusupkannya jari-jari tangannya ke bawah batu dan diangkatnya dengan ringan saja lalu batu itu dibawa dan diletakkan di tepi jurang. Dia memindahkan empat buah batu yang cukup berat dan cukup menjadi penjaga dan penahan tubuh Bi Cu kalau-kalau dara itu dalam tidurnya bergerak dan bergulingan sampai ke tepi jurang! Setelah yakin bahwa Bi Cu tidak akan terancam bahaya terguling ke dalam jurang, baru dia meninggalkan Bi Cu dan mencurahkan perhatiannya untuk mencari jalan keluar. Ditelitinya semua bagian dari dataran sempit itu, melihat ke kanan kiri, ke atas bawah dan depan belakang, mencari-cari jalan yang dapat mereka lalui untuk mendaki ke atas. Namun, dataran itu benar-benar merupakan jalan buntu, dan satu-satunya yang dapat dilalui hanyalah yang menuju ke pohon besar itu! Jalan naik ke atas tidak mungkin didaki karena batu-batu itu tersusun demikian rata sehingga merupakan dinding rata yang amat tinggi. Tidak mungkin mendaki tempat seperti itu. Dengan menggunakan sin-kang sekuatnya, mungkin juga dia dapat naik untuk beberapa belas tombak tingginya, akan tetapi tidak mungkin kuat bertahan sampai naik setinggi itu, puluhan, bahkan ratusan tombak tingginya. Dan itupun terkandung bahaya, yaitu sekali kakinya terpeleset, tubuhnya akan jatuh dan biarpun dengan ilmu apa juga dia tidak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi! Apalagi kalau harus menggendong Bi Cu. Dia tidak mau mengambil resiko berbahaya seperti itu!
Setelah memeriksa, meneliti dan mencari-cari sampai beberapa jam lamanya, akhirnya Sin Liong terduduk dengan pandang mata muram dan dia termenung. Tidak ada jalan keluar! Itulah kesimpulan sebagai hasil dari pemeriksaannya. Mereka sama dengan terkubur hidup-hidup di tempat itu! Tali dari baju dalamnya yang panjangnya hanya kurang lebih empat lima meter itu tidak ada artinya sama sekali untuk membantu mereka keluar dari tempat ini.
Matahari telah naik agak tinggi dan hawa udara cukup panas ketika Bi Cu terbangun dari tidurnya. "Haus...!" Demikian kiranya begitu dia membuka matanya. Tidak heran kalau dia kehausan karena tubuhnya sama sekali tidak terlindung dari panasnya sinar matahari. Peluhnya membasahi leher dan mukanya. Akan tetapi dia kini sudah sadar betul dan bangkit duduk, mengusap keringatnya dan memandang kepada Sin Liong yang menghampirinya.
"Wah, agaknya aku telah tertidur."
"Nyenyak dan enak tidurmu," kata Sin Liong tersenyum.
"Ya, segar rasanya tubuh sekarang, hilang sudah segala kelelahan semalam. Tapi, aku... aku haus bukan main...!" Dia menjilat-jilat bibirnya yang kering dan mengelus lehernya.
"Haus..." Sin Liong baru merasa betapa diapun haus bukah main, apalagi karena dia tadi bekerja mencari tempat yang dapat dijadikan jalan keluar dan baru sekarang dia merasa bahwa kerongkongannya juga kering sekali. "Ahh, ke mana kita harus mencari minum" Di sekitar sini tidak ada air, juga tidak ada jalan keluar..."
"Tidak ada jalan keluar..." Bi Cu bangkit berdiri, memandang ke sana-sini. "Engkau sudah pasti benar"
"Entahlah, akan tetapi tadi sudah kuperiksa dan sungguh tidak terdapat jalan keluar dari sini, kecuali ke pohon besar itu. Ahhh... pohon itu! biar kupetik daun-daun muda untukmu..."
"Untukmu juga...!"
"Ya, untukku juga," Sin Liong lalu merangkak dengan hati-hati melalui jalan yang tidak mudah itu, jalan yang mereka lalui pagi tadi, kembali ke batang pohon dan dia memanjat pohon besar itu, memetik daun-daun muda. Setelah cukup, dia turun dan membawa daun-daun muda itu kepada Bi Cu.
Dengan lahap Bi Cu makan daun-daun muda, mengunyahnya lama-lama untuk mencari airnya. Dia tidak lapar, hanya haus. Dan celakanya biarpun daun itu mengandung air, namun rasa air daun itu tidak dapat dan tidak cukup banyak untuk menghilangkan hausnya. Sin Liong juga makan daun itu dan tahulah dia bahwa daun-daun itu tidak berhasil mengusir haus. Maka diapun duduk di atas batu sambil termenung. Akan berapa lamakah mereka dapat bertahan dalam keadaan begini" Kasihan Bi Cu, pikirnya, akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu karena dia maklum bahwa hal itu hanya akan membikin dara itu menjadi marah.
"Ah, daun-daun keparat ini hanya mampu menahan lapar, tidak mampu menghilangkan haus! Tunggu, aku akan mencari tumbuh-tumbuhan lain!" Diapun lalu sibuk sekali meneliti setiap tumbuh-tumbuhan di sekeliling tempat itu. Setiap macam rumput dicabut dan dimakannya, diisap-isap, dan kalau dia menemukan sesuatu larilah dia kepada Sin Liong sambil membawa beberapa batang rumput yang baru saia dicobanya.
"Coba ini. Sin Liong, agaknya manis rasanya!" teriaknya girang, dan Sin Liong lalu makan rumput itu dan mengisap-isap. Memang agak manis, akan tetapi airnya sedikit sekali, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daun pohon besar itu. Dan Bi Cu juga tahu hal ini, maka diapun mencari lagi dengan kecewa. Semua tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu sudah dicobanya semua! Akhirnya dia kembali ke dekat Sin Liong dan duduk di atas rumput, kedua alisnya yang hitam kecil berbentuk indah itu berkerut.
Sin Liong merasa kaslhan sekali. "Bi Cu... tidak ada jalan lain, kita harus makan daun-daun muda ini. Biarpun tidak cukup, akan tetapi lumayan untuk membasahi kerongkongan."
"Iya..." Jawab Bi Cu sunyi dan lirih lalu dengan enggan dia makan juga daun-daun muda itu satu demi satu dan rasanya makin tidak enak saja baginya. Makin perlahan dia mengunyah, matanya termenung memandang jauh, kemudian mulutnya berhenti bergerak dan air matanyapun berderai, akan tetapi dia belum terisak, hanya berkata lirih, "Sin Liong... haruskan kita berdua mati di sini, mati kehausan..."
Sin Liong mendekatinya dan menyentuh pundaknya. "Tenanglah, Bi Cu. Daun-daun ini akan menyelamatkan kita untuk sementara waktu..."
"Dan kalau kita sudah tidak kuat bertahan lagi" Sekarangpun aku sudah hampir tidak kuat, Sin Liong, aku... haus bukan main..."
"Ke sanalah, mari... kita berlindung dari cahaya matahari yang panas..."
Dengan lembut Sin Liong lalu menarik tangan dara itu untuk diajak berdiri dan berteduh di dekat dinding batu sehingga mereka agak terlindung dari panas matahari. Bi Cu hanya menurut saja sambil mengusap air matanya. Dia menahan kesedihannya agar tidak membuat Sin Liong makin bingung. Mereka duduk berdekatan di bawah dinding batu itu.
"Bagaimana lenganmu" Bi Cu menyentuh lengan kiri Sin Liong. Sentuhan itu lembut dan penuh perhatian.
"Tidak nyeri... akan tetapi belum dapat dipergunakan. Tadi kucoba mengangkat batu, belum sanggup..."
"Kaukah yang menjajarkan batu-batu di sana itu" Bi Cu menuding. "Sudah kuduga demikian. Engkau terlalu baik kepadaku, Sin Liong, selalu menjagaku!"
Ada rasa girang menghujani perasaan Sin Liong, akan tetapi juga membuatnya malu-malu, maka dia lalu berkata, "Kita di sini hanya berdua saja, kalau tidak saling menjaga, habis bagaimana"
Setiap hari Sin Liong melakukan siulian untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati lengan kirinya dengan penuh kesungguhan hati. Akan tetapi, mereka berdua sungguh tersiksa oleh kehausan. Mereka selalu makan daun muda dari pohon itu dan biarpun tidak dapat terlalu memuaskan perut, setidaknya mereka terhindar dari kelaparan. Akan tetapi mereka dicekik kehausan, makin lama makin menghebat sehingga tubuh mereka menjadi lemah sekali, pandang mata berkunang dan kepala mereka pening. Kadang-kadang, di waktu siang hari, kalau matahari sedang panas-panasnya, Bi Cu terengah-engah kehausan, tidak dapat menangis lagi kerana air matanyapun sudah kering, mukaya pucat dan cekung.
"Ahhh... kuda dan sapipun tidak bisa... hanya makan rumput dan daun saja... harus minum, aku harus minum... ah Sin Liong, aku tidak kuat, aku haus..." Hari itu adalah hari ke tiga dan siang hari, sedang panas-panasnya.
"Bi Cu, kuatkanlah...!" kata Sin Liong, padahal dia sendiri juga tersiksa hebat oleh kehausan. Dia sudah membuka semua kancing bajunya, akan tetapi masih merasa panas dan tubuhnya terasa lemas sekali.
"Sin Liong... aku tidak tahan lagi... tapi aku tidak menyesal... aku rela mati di sini bersamamu, Sin Liong..."
"Bi Cu...!" Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia merangkul dara itu, mendekap kepala dara itu ke dadanya.
Sejenak mereka tak bergerak dalam keadaan seperti itu. Bi Cu merasa betapa nikmatnya bersandar pada dada Sin Liong, seperti lenyap rasa panas yang menyelinap ke seluruh tubuh dan kepalanya, terasa sejuk terlindung oleh tubuh Sin Liong dari sinar matahari. Dia merasa betapa tubuh Sin Liong tergetar, dan betapa dada pemuda itu menahan tangis kadang-kadang terisak.
Bi Cu mengangkat mukanya memandang. Dia melihat Sin Liong memejamkan matanya kuat-kuat, akan tetapi ada dua titik air mata di bawah pelupuk mata pemuda itu. Diusapnya dua butir air mata itu dengan telunjuknya. Melihat dua tetes air di telunjuknya, tiba-tiba Bi Cu membawa telunjuknya ke mulutnya dan mengisap dua tetes air mata itu. Hanya lenyap di lidah, tidak sampai ke tenggorokannya yang kering.
"Sin Liong, jangan menangis..." lalu ia hendak menghibur pemuda itu dan mengalihkan pikirannya. "Eh, bagaimana dengan lengan kirimu..." Biarpun dia bersikap gembira yang dibuat-buat, namun suaranya lirih dan serak dan tubuhnya lemah sekali.
"Lengan..." Ah, sudah sembuh sama sekali... kau tunggu, aku akan mencari jalan...!" Sin Liong bergerak hendak bangkit. Akan tetapi Bi Cu merangkulnya, dan menahannya.
"Tidak perlu sekarang... sedang panas-panasnya, tunggu kalau sudah tidak panas, Sin Liong. Aku... aku ngantuk sekali... biarkan aku tidur..." Rangkulannya terlepas dan tubuhnya yang lunglai itu melorot ke bawah lalu dia rebah terlentang, berbantal paha Sin Liong.
Melihat keadaan Bi Cu, Sin Liong tidak bergerak, membiarkan dara itu tidur di atas pangkuannya dan diapun memejamkan mata sambil bersandar pada dinding batu. Keduanya diam saja, tak bergerak seperti tidur, seperti pingsan, seperti telah mati! Sin Liong masih dalam keadan setengah sadar, akan tetapi dia merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika dia bersandar dan memejamkan mata, dengan sadar sepenuhnya bahwa Bi Cu tidur di atas pangkuannya, rasa nikmat dan nyaman yang belum pernah dirasakan sebelumnya, seluruh urat syaraf di tubuhnya mengendur dan lemas. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa keadaan ini amatlah berbahaya. Kelemasan seperti ini dapat membuat orang tertidur untuk tidak bangun kembali! Maka dia mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membuka mata dan terkejutiah dia. Kenapa pandang matanya menjadi gelap" Butakah dia, atau terserang penyakit buta, atau kehausan yang sangat itu membuat pandang matanya menjadi gelap" Dia mengangkat mukanya memandang ke atas. Langitpun gelap! Tidak ada lagi sinar matahari, padahal tadi amat panasnya. Apa yang terjadi" Dia mencari-cari dengan matanya den melihat awan mendung bergumpal-gumpal datang dari arah timur terbawa angin keras. Bagaimana mungkin siang yang tadinya terang benderang itu tiba-tiba tertutup mendung bergumpal-gumpal seperti itu"
"Bi Cu...! Bi Cu, bangun...!"
Hati Sin Liong penuh kekhawatiran. Bi Cu hanya bergoyang-goyang badannya yang lunglai, akan tetapi matanya tetap terpejam! Pingsankah dia" Atau... atau matikah..."
"Bi Cu! Ohhh, Bi Cu, bangunlah...! Bangunlah Bi Cu, demi Tuhan... bangunlah...!" Sin Liong berteriak-teriak hampir menangis karena mulai takut kalau-kalau Bi Cu sudah mati.
AKHIRNYA bibir yang kering itu bergerak. "Hah..." Ada apa..." Kau... mengganggu... orang tidur..."
Bukan main lega rasa hati Sin Liong. Mau rasanya dia bersorak, dan diapun berseru seperti orang bersorak, akan tetapi tetap sambil menguncang pundak Bi Cu yang masih memejamkan matanya.
"Bi Cu, lihat...! Mendung tebal...! Lihat dan bangunlah!"
"Hehhh..." Bi Cu membuka matanya akan tetapi dia sedemikian lemahnya sehingga baru dapat bangkit duduk setelah dirangkul dan ditarik oleh Sin Liong. "Mana..." Ada apa..."
"Lihat di atas itu...!" Pada saat itu terdengar suara menggelegar disertai kilat. Bi Cu terkejut, memandang ke atas dan diapun melihat mendung bergumpal-gumpal dan kilat menyambar-nyambar disertai guntur meledak-ledak. "Ada apa di sana itu" Bi Cu masih bingung dan merasa ngeri juga karena cuaca menjadi gelap.
"Ada apa" Artinya akan hujan. Air!" Sin Liong berteriak.
"Air" Mana..." Pertanyaan Bi Cu ini dijawab dari udara karena tepat pada saat itu turunlah air hujan yang deras sekali.
"Air...!" Bi Cu berteriak dan melepaskan dirinya dari Sin Liong, bangkit berdiri akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat dipeluk oleh Sin Liong.
"Air! Hujan turun!" Sin Liong juga bersorak dan mereka berangkulan, menangis, menengadah sambil membuka mulut lebar-lebar, membiarkan air memasuki mulut mereka, mata mereka, hidung mereka sampai mereka tersedak-sedak, mereka tertawa-tawa dengan air mata bercucuran, mengeluarkan teriakan-teriakan girang yang tidak ada artinya.
"Bi Cu...!"
"Sin Liong...!"
Mereka seperti memperoleh tenaga baru setelah tubuh mereka basah kuyup, setelah perut mereka terisi air hujan, mereka berangkulan dan tanpa disengaja, tahu-tahu mereka telah berciuman! Sampai lama mereka berdekapan dan berciuman, ciuman yang sesungguhnya tidak disengaja, terjadi karena kegirangan mereka yang luar biasa, mulut mereka saling bertemu dalam keadaan tertawa gembira, lalu saling kecup, seperti tak dapat dilepaskan lagi. Baru mereka saling melepaskan ciuman setelah napas mereka terengah-engah, lalu keduanya mundur selangkah, saling pandang dengan mata terbelalak di antara cucuran air hujan dan kilatan guntur di dalam cuaca yang remang-remang, dan keduanya seperti orang terkejut dan memang terkejut karena baru saja sadar betapa mereka saling cium seperti itu, dan tiba-tiba mereka merasa betapa muka mereka menjadi panas karena malu.
"Bi Cu..."
"Sin Liong..."
Mereka saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, entah mengapa mereka menangis mereka sendiri tidak mengerti. Ada rasa girang, ini sudah jelas karena jatuhnya air hujan itu seolah-olah mengembalikan nyawa mereka yang sudah hampir melayang, ada rasa girang yang lain yang mereka tidak mampu gambarkan, ada rasa haru, akan tetapi juga ada rasa sedih karena mereka menyadari bahwa mereka masih berada dalam ancaman maut, terkubur hidup-hidup dalam tempat yang tidak ada jalan keluarnya ini.
Tiba-tiba terdengar suara keras dari atas. Sin Liong menoleh dan cepat dia menarik tubuh Bi Cu, meloncat ke dekat jalan kecil menuju ke pohon besar. Untung dia bertindak cepat karena terlambat beberapa detik saja mereka berdua tentu akan tertimpa batu-batu dan lumpur yang terbawa air dari atas, dan tentu akan diseret masuk ke dalam jurang. Sin Liong memegangi lengan Bi Cu, diajaknya dara itu merangkak hati-hati meninggalkan daratan sempit itu, kembali ke pohon, berpegang pada batang pohon itu, bersandar di situ sambil mmandang ke tempat mereka selama tiga hari berlindung itu, tempat itu kini menjadi sasaran batu-batu dan lumpur yang menimpanya dengan suara gedebukan, diseret air yang tercurah dari atas dan menyapu segala yang berada di atas tempat itu. Batu-batu, lumpur dan segala apa disapu dan diseretnya turun ke dalam jurang. Bi Cu bergidik dan mengeluh, lalu dirangkul oleh Sin Liong dan selanjutnya Bi Cu menyembunyikan muka dalam dekapan dada Sin Liong.
Akhirnya hujan berhenti. Akan tetapi air yang masih mengucur menimpa dataran sempit itu, walaupun kini tidak ada lagi batu yang jatuh menimpa. Matahari yang sudah mulai condong ke barat itu nampak lagi sinarnya, dan tepat menimpa dinding batu tebing di atas dataran yang sempit itu.
"Bi Cu, lihat...!" Sin Liong mengangkat muka Bi Cu dan menuding ke arah dinding batu tebing itu. Bi Cu mengangkat muka dan memandang. Ada perubahan besar pada dinding batu itu. Banyak batu-batu yang tanggal, hanyut oleh air. Batu-batu yang tanggal ini membentuk bekas-bekas lubang dan terdapat celah-celahnya, tidak lagi rata seperti sebelumnya. Bahkan nampak akar-akar tumbuh-tumbuhan menonjol keluar karena tanah yang tadinya menutupinya terbawa oleh air.
"Hujan membuat tebing itu longsor," bisik Bi Cu.
"Itulah! Dan nampaknya kini tidak sukar untuk mendaki ke atas!" kata Sin Liong. Setelah air dari atas tebing itu berhenti mengalir, Sin Liong lalu menggandeng tangan Bi Cu, dengan hati-hati mereka kembali ke dataran sempit itu. Tempat itu menjadi bersih, bahkan rumput-rumput dan batu-batu lenyap, semua tinggal dataran batu seperti baru dicuci bersih. Sin Liong memeriksa dinding tebing. Tidak licin lagi, melainkan kasar karena disapu air semua permukaannya dan memang benar, nampak celah-celah dan tonjolan-tonjolan yang memungkinkan mereka mendaki ke atas. Memang amat tinggi hingga bagian atas sekali tidak nampak jelas, akan tetapi yang sudah pasti terdapat perubahan besar pada dinding tebing itu.
"Biar kita tunggu semalam ini, biar tebing itu kering, baru besok kita mencoba untuk naik. Jangan putus harapan, Bi Cu. Selama nyawa masih ada pada tubuh kita, kita harus perusaha dan tidak boleh putus asa."
Bi Cu mengangguk-angguk. "Memang kita harus dapat keluar dari sini..." katanya termenung, "entah kapan lagi ada hujan turun..."
Malam itu mereka kedinginan! Akan tetapi Sin Liong yang sudah sehat benar dan sudah pulih kembali lengan kirinya, mendekap tubuh Bi Cu dan mengerahkan sin-kangnya sehingga ada hawa panas dari tubuhnya menjalar ke tubuh Bi Cu. Dara itu dapat tidur dalam dekapan Sin Liong dan mereka berdua tidak ingat lagi akan sopan santun, karena mereka melakukan hal itu, tidur berdekapan sama sekali bebas daripada nafsu berahi. Yang ada hanya saling kasihan, saling menaruh kasih sayang dan iba, ingin saling melindungi dan ingin melihat masing-masing dalam keadaan selamat, tidak ada keinginan lain untuk kesenangan pribadi! Yang ada hanya cinta kasih! Walaupun tidak diucapkan dengan kata-kata, walaupun dalam batin mereka sendiri tidak pernah ada pertanyaan tentang itu, tidak ada dugaan tentang itu, tidak ada sedikitpun bayangan nafsu mengotorinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu matahari menyinari langit yang bersih, hari dimulai dengan pagi yang cerah dan bersih, seolah-olah hujan kemarin telah mencuci semua yang berada di atas bumi dan langit. Segalanya nampak bersih, baru dan dan bahkan batu-batu tebing yang baru terbongkar itu mengeluarkan bau tanah yang sedap. "Bi Cu, kita mulai mendaki, mencari jalan keluar, mencari jalan hidup. Oleh karena itu ikatkan ujung tali ini pada pinggangmu. Kita tetap bersatu, terikat oleh tali ini. Satu hidup semua hidup, satu gagal semua gagal..."
"Satu mati semua mati!" sambung Bi Cu yang segera megikatkan ujung tali itu erat-erat pada pinggangnya yang ramping. Sin Liong juga mengikatkan ujung yang lain pada pinggangnya.
"Nah, kita mulai," katanya kemudian, mendekati bagian celah terendah dari tebing itu.
"Nanti dulu, Sin Liong," kata Bi Cu dan dara ini lalu menghampirinya dan merangkul kedua pundaknya. Wajah mereka saling berdekatan dan mereka saling pandang, terlihat betapa wajah masing-masing amat kurus, cekung dan rambut mereka kusut. Wajah-wajah yang tak dapat dibilang tampan atau cantik dalam keadaan seperti itu.
"Ada apakah, Bi Cu"
"Sin Liong, malam tadi..."
"Ya..."
"Kita... telah... berciuman..."
Sin Liong merasa betapa wajahnya panas, "Aku... aku tidak sengaja... maafkan..."
Bi Cu tersenyum. "Akupun tidak sengaja... dan sekarang, sebelum kita menempuh jalan maut untuk hidup terus atau mati, aku... aku ingin... seperti malam tadi, akan tetapi sekarang kita sengaja..." Dia memandang dengan mata berkedap-kedip malu.
Sin Liong lalu mendekapnya, dan mereka berdua sama-sama mendekatkan muka dan merekapun berciuman. Ciuman yang canggung karena keduanya belum pernah melakukan hal ini selamanya, akan tetapi dorongan hati membuat mereka tahu apa yang harus dilakukan dan dua mulut yang saling mencinta itu berciuman dengan mesra dan lembut. Ciuman yang sama sekali bersih dari nafsu berahi, namun penuh getaran cinta kasih yang mendalam. Kembali mereka baru melepaskan ciuman karena perlu bernapas. Kini pandang mata mereka mengandung kemesraan aneh dan mereka berdua merasa kuat dan berani menempuh apa saja asalkan berdua.
"Mari kita berangkat!" kata Bi Cu, suaranya mengandung kesegaran dan kegembiraan, seolah-olah mereka itu hendak berangkat pesiar ke tempat indah, bukan sedang hendak melakukan perjalanan yang amat berbahaya dengan taruhan nyawa!
"Mari! Engkau tunggu sampai aku naik setingkat, baru engkau mengikuti setiap jejakku. Mengertikah, Bi Cu."
"Aku mengerti. Kalau engkau bergerak naik, aku diam menjaga. Sebaliknya kalau aku bergerak naik, engkau diam menjaga. Begitukah"
"Benar sekali. Bedanya, engkau menjaga di bawah dan aku di atas. Sebaiknya kalau selagi aku naik, engkau melibatkan sisa tali pada akar atau batu untuk membantumu kalau-kalau aku terjatuh, demikian pula akan kulakukan kalau engkau yang naik."
"Baik, aku mengerti. Marilah!"
Sin Liong mulai mendaki naik, akan tetapi baru menaruh kaki kanannya ke dalam celah di sebelah atas, dia menoleh ke bawah dan berbisik, "Bi Cu, aku cinta padamu!"
Bi Cu yang berdongak itupun berbisik mesra, "Sin Liong, akupun cinta padamu!" Kata-kata yang diucapkan sebagai salam terakhir ini menambah tenaga yang bukan main, baik bagi Sin Liong maupun bagi Bi Cu. Sin Liong naik sampai dua meter di atas Bi Cu, lalu berhenti dan menanti sampai Bi Cu mengikuti jejaknya. Setelah itu, baru dia naik lagi. Bi Cu bergerak setelah Sin Liong berhenti.
Demikianlah, mereka melakukan pendakian yang luar biaisa sukarnya. Kadang-kadang Bi Cu yang sudah melibatkan sisa tali pada akar atau batu menonjol, harus memejamkan mata melihat betapa Sin Liong melakukan pendakian yang amat sukar, bergantung pada batu dengan kedua kaki tergantung sedemikian rupa. Ketika tiba gilirannya melalui tempat sukar itu, Sin Liong membantunya dengan menarik tali yang mengikat pinggangnya sehingga baginya tidaklah sesukar Sin Liong yang naik lebih dulu. Beberapa kali Sin Liong memesan agar Bi Cu jangan sekali-kali menengok ke belakang. Hal ini karena dia melihat betapa mengerikan kalau melihat ke belakang atau ke bawah. Dia sendiri terpaksa harus melihat ke bawah karena dia berada di atas Bi Cu. Akan tetapi dia tidak merasa takut melihat bawah, betapapun mengerikan, karena dia sudah bertekad untuk membawa Bi Cu keluar dari tempat ini!
Memang aneh luar biasa! Hujan kemarin itu benar-benar seperti membuka jalan bagi mereka! Biarpun masih sukar, akan tetapi toh bukan tidak mungkin mendaki terus ke atas seperti telah dibuktikan oleh dua orang muda yang keras hati itu. Beberapa kali mereka seperti menghadapi jalan buntu. Di sebelah atas Sin Liong hanya ada batu rata menonjol yang tidak ada tempat berpegang tangan sama sekali. Untuk mmendaki batu bundar ini jelas tidak mungkin. Maka sampai lama Sin Liong berhenti dan berpikir-pikir. Peluhnya sudah membasahi seluruh tubuh. Bi Cu yang berdiri di bawah kakinya, berpegang kepada akar pohon yang tumbuh miring itu, bertanya khawatir, "Ada apakah, Sin Liong" Mengapa berhenti" Sebenarnya dia sudah dapat menduga. Tentu Sin Liong menghadapi jalan buntu!
"Naik terus tidak mungkin," Akhirnya Sin Liong menjawab, "Satu-satunya jalan hanya ke kanan itu dan kita harus melanjutkan pendakian dari situ!" Dia menunjuk ke kanan di mana terdapat sebuah batu besar menonjol. Memang agaknya air kemarin mengambil jalan dari situ, karena ada bekasnya dan jalan mendaki dari atas batu menonjol itu tidak begitu sukar. Akan tetapi untuk mencapai batu menonjol itulah yang sukar, apalagi batu itu menjulur ke depan sehingga setengah tergantung di udara! Jarak antara Sin Liong dan batu menonjol di kanan itu ada tiga meter dan yang memisahkan mereka adalah celah seperti gua yang tidak mungkin dapat dilalui. Meloncat" Mungkin saja dapat dilakukan dengan mudah oleh Sin Liong di tempat biasa, bukan di tempat seperti ini!
"Sin Liong, jangan meloncat ke situ!" Bi Cu berseru ketika dia membayangkan kemungkinan yang mengerikan ini.
Sin Liong menggeleng kepala. "Tidak, terlalu berbahaya untuk meloncat. Bi Cu, kau lepaskan ikat pinggang itu, maksudku, tali yang mengikat pinggangmu."
"Tidak, aku tidak mau berpisah darimu lagi!" jawab Bi Cu cepat-cepat.
"Jangan salah mengerti, Bi Cu. Aku hanya ingin menggunakan tali itu untuk mencapai batu di sebelah kanan itu, setelah aku tiba di situ, baru aku dapat menarikmu ke sana. Hanya itulah jalan satu-satunya agar kita dapat melanjutkan pendakian kita ke atas."
Bi Cu mengerutkan alisnya dan mulutnya cemberut, tanda bahwa hatinya tidak senang, akan tetapi dia tidak membantah lagi dan melepaskan ikatan ujung tali itu dari pinggangnya. Sin Liong lalu menarik tali itu ke atas, kemudian menggulung ujung yang tadi mengikat pinggang Bi Cu menjadi laso dan dia mengayunkan ujung tali itu ke arah batu yang menonjol. Ayunannya tepat sekali, ujung tali itu dengan tepat menjerat batu dan ketika ditariknya, jeratnya mengencang dan ujung batu menonjol itu terikat sudah. Kemudian ia mencoba kekuatan tali itu dengan tarikan keras dan kuat, tidak kurang dari tiga ratus kati kuatnya dan ternyata tali maupun batu dapat bertahan.
Sin Liong memandang ke bawah dan Bi Cu juga sejak tadi mengikuti gerak-geriknya. Gadis itu tahu apa yang dilakukan Sin Liong, maka tak dapat ditahannya lagi, biarpun hatinya sedang tidak senang, dia berseru, "Sin Liong, hati-hatilah...!"
Sin Liong tersenyum. "Jangan khawatir, batu dan tali ini kuat sekali. Kau lihat bagaimana caranya agar nanti engkau mudah mengikuti jejakku." Setelah berkata demikian, dengan hati-hati dan perlahan-lahan dia mengayun dirinya ke kanan, perlahan saja agar tidak memberatkan tali itu. Tubuhnya terayun dan tergantung kepada tali yang bukan hanya mengikat pinggangnya, akan tetapi juga dipegangnya dengan kedua tangan itu. Dari bawah batu menonjol itu, mudah saja bagi Sin Liong untuk memanjat naik melalui tali dan menangkap tonjolan batu, terus mengangkat tubuhnya naik ke atas batu. Dia berhasil! Dan dengan mudah! Cepat Sin Liong melepaskan tali yang mengikat pinggangnya, juga ujung lain yang mengikat batu, lalu ujung ini diikatkan kepada lengan kanannya. Dengan demikian dia merasa lebih yakin. Kemudian dilemparkan ujung tali itu kepada Bi Cu sambil berkata, "Tangkaplah!"
Bi Cu menangkap ujung tali dan mengikatnya ke pinggangnya. Melihat dara itu nampak ragu dan takut-takut, Sin Liong berkata, "Bi Cu, jangan takut. Mudah saja, dan kaulihatlah, ujung ini sudah mengikat lenganku, berarti kalau engkau jatuh ke bawah, aku akan ikut jatuh pula. Kita sudah bersama-sama lagi bukan"
Ucapan itu menolong banyak, karena, kini Bi Cu mendaki naik ke tempat Sin Liong berayun tadi, kemudian dengan perlahan dia lalu mengayun diri ke kanan, memejamkan matanya karena dia sesungguhnya merasa ngeri bukan main. Dengan memegangi tali di atasnya dengan kedua tangan, Bi Cu merasa betapa tubuhnya terayun-ayun di udara!
"Nah, memanjatlah naik, perlahan-lahan saja, Bi Cu," terdengar suara Sin Liong di atasnya dan tanpa membuka mata, Bi Cu memanjat hati-hati melalui tali itu dan akhirnya dia ditarik naik oleh Sin Liong yang sudah dapat menangkap pergelangan tangannya. Setelah tiba di atas batu itu, Bi Cu merangkul Sin Liong dengan tubuh menggigil!
Sin Liong membiarkan Bi Cu dalam dekapannya sampai beberapa lamanya, sampai Bi Cu menjadi tenang kembali, tiada hentinya berbisik membesarkan hati, "Kita berhasil! Engkau berhasil dengan baik sekali. Dan kita pasti akan sampai di atas!"
Setelah Bi Cu tenang kembali, mereka melanjutkan perjalanan mereka, mendaki seperti tadi, dengan kedua ujung tali mengikat pinggang masing-masing. Pendakian yang sama sekali tidak mudah dan setelah siang, akhirnya, dengan kedua telapak tangan lecet-lecet berdarah, napas terengah-engah, keduanya dapat tiba di atas, di daratan yang aman, di "dunia" yang lama. Keduanya menggulingkan diri di atas tanah di tepi jurang, terengah-engah dengan mulut terbuka tertawa, akan tetapi dengan mata basah air mata.
"Kita selamat!" Sin Liong berkata.
"Terima kasih kepada hujan!" Bi Cu berseru lalu dara itu berlutut dan menyembah-nyembah, ditujukan ke atas, ke udara karena dari sanalah datangnya hujan kemarin!
"Kepada hujan" Kepada Thian (Tuhan) maksudmu..."
"Tidak, kepada hujan!" Bi Cu membantah. "Bukankah hujan yang menyelamatkan kita" Kalau tidak ada hujan kemarin, kita sudah mati kehausan, dan kalau tidak ada huian yang membuka jalan mana mungkin kita naik ke sini"
"Tapi Tuhan yang membuat hujan! Tuhan yang mengatur itu semua sehingga kita tertolong."
"Aku tidak tahu, akan tetapi yang jelas, air hujan itu menolong kita. Aku tidak tahu siapa yang mengaturnya, akan tetapi aku tahu benar, air hujan itu memungkinkan kita masih dapat hidup sekarang ini, maka aku berterima kasih kepada hujan kemarin!"
Sin Liong tidak mau membantah. Apa artinya berbantah tentang hal siapa yang mengatur air hujan" Ada dongeng yang mengatakan bahwa hujan diatur oleh Dewa Naga Pengatur Hujan, ada dongeng lain yang mengatakan bahwa dewa ini, malaikat itu, yang mengatur hujan, dan Tuhan hanya memerintahkan para dewa atau para malaikat untuk menunaikan segala macam tugas di alam ini. Jadi siapa yang berjasa menyelamatkan mereka" Tidak ada artinya untuk bercekcok tentang teori itu karena bagaimanapun juga, tidak ada seorangpun manusia yang mengetahui dengan sesungguhnya tentang siapa yang mengatur hujan itu. Yang jelas seperti Bi Cu, air hujan kemarin itulah yang menyelamatkan mereka. Dan hal itu tidak dapat dibantah lagi, karena merupakan kenyataan sesungguhnya. Apa yang terjadi di balik kenyataan itu adalah rahasia, dan memperbantahkan sesuatu yang rahasia, yang tidak diketahui, hanya merupakan perbuatan bodoh dan menimbulkan pertentangan saja. Dan dia jelas tidak ingin bertentangan dengan Bi Cu.
Akan tetapi, tiba-tiba Bi Cu mengeluh dan terguling roboh! Sin Liong terkejut sekali, menubruk dan merangkulnya. Ternyata tubuh dara itu panas sekali, akan tetapi ketika Sin Liong merangkulnya, dia menggigil seperti orang kedinginan. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu tersereg demam! Inilah akibat perut kosong, tekanan batin yang amat hebat penuh ketegangan dan ketakutan, kemudian kehujanan dan kedinginan semalam dilanjutkan dengan keletihan dan ketegangan yang amat luar biasa ketika mereka mendaki selama setengah hari tadi.
"Bi Cu...! Bi Cu...!" Sin Liong memanggil ketika melihat dara itu pingsan, memondongnya dan membawanya ke dalam hutan tak jauh dari tepi jurang itu. Dia harus mencari air, harus mencari makanan, harus mencari obat untuk Bi Cu. Sin Liong tidak merasakan betapa tubuhnya sendiri amat lelah dan lapar, yang diperhatikan hanyalah keadaan Bi Cu seorang.
*** Kita tinggalkan dulu dengan dada lapang Sin Liong dan Bi Cu yang sudah berhasil lolos dari bahaya maut itu dan mari kita mengikuti kembali keadaan Pangeran Ceng Han Houw di istananya di kota raja. Biarpun pangeran ini melihat kegiatan-kegiatan dilakukan oleh istana, bahkan dia mendengar pula bahwa istana mengumumkan pengampunan dan kebebasan kepada keluarga Cin-ling-pai, namun tidak ada tindakan atau perintah sesuatu dari istana, yang ditujukan kepada dirinya. Oleh karena itu dia merasa agak lega, sungguhpun semenjak peristiwa kehilangan surat Raja Sabutai itu dia tidak lagi berani mengadakan hubungan dengan utara maupun dengan sekutu-sekutunya yang lain. Dia harus bersikap hati-hati. Ada dua kemungkinan, pikirnya. Pertama, kaisar belum pernah menerima surat rahasia itu. Atau, sudah menerima akan tetapi tidak percaya sepenuhnya atau juga tidak mau menimbulkan keributan antara keluarga istana sendiri, maka kaisar memerintahkan tindakan-tindakan yang berhati-hati. Dan dia tahu siapa yang ditunjuk oleh kaisar untuk menanggulanginya. Tentu Pangeran Hung Chih!
Malam itu sunyi sekali di istana Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran yang cerdik ini sudah lama menyuruh orang Mongol pergi dari istananya, bahkan diapun sudah menyuruh Hai-liong-ong Phang Tek kembali ke selatan. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan istana dan hidup tenang di istananya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Akan tetapi para pengawalnya, yang merupakan orang-orang kepercayaannya, telah dipesan agar berjaga dengan hati-hati sekali jangan sampai kebobolan seperti ketika Sun Eng lenyap dilarikan orang malam itu. Dia mengganti para pengawalnya dengan orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian cukup boleh diandalkan.
Dan pada malam yang sunyi itu para pengawal dikejutkan oleh munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita dan gagah, yang muncul secara terang-terangan di pintu gerbang dan minta kepada para pengawal agar disampaikan kepada Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia hendak bertemu dengan sang pangeran pada waktu itu juga. Ketika menyatakan ini, wanita cantik itu mengeluarkan sebuah cincin yang dikenal oleh para pengawal sebagai cincin sang pangeran, cincin tanda bahwa wanita ini adalah kepercayaan sang pangeran! Tentu saja para pengawal bersikap hormat, lalu mempersilakan wanita itu menanti di dalam ruangan tamu sedangkan kepala pengawal tergopoh-gopoh melaporkan ke dalam istana.
Ketika Ceng Han Houw menerima laporan ini, ada dua macam perasaan mengaduk hatinya. Pertama tentu saja perasaan girang karena dia sudah dapat menduga siapa adanya wanita itu. Hanya ada satu wanita di dunia ini yang pernah diberinya cincin kekuasaan dan wanita itu adalah Lie Ciauw Si! Dan kedua dia merasa curiga dan juga tegang. Dara perkasa itu adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan biarpun saling mencinta dengan dia, akan tetapi kalau dara itu maklum bahwa dia dimusuhi pula oleh keluarga Cin-ling-pai, apakah dara itu akan tetap mencintanya dan apakah tidak akan memusuhinya pula" Diam-diam dia lalu mengatur sikap dan secara kilat dia mencari siasat bagaimana untuk menghadapi dara cantik yang telah menarik hatinya dan yang membuatnya benar-benar jatuh cinta itu. Setelah merapikan pakaiannya, Pangeran Ceng Han Houw lalu keluar menuju ke ruangan tamu untuk menyambut.
Ketika dia membuka pintu, tamunya itu bangkit berdiri. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling berpandangan. Tak salah dugaannya, dara itu memang Lie Ciauw Si. Nampak makin cantik dan makin gagah saja. Sebaliknya, Ciauw Si juga memandang kepada pangeran itu. Alangkah tampannya pangeran itu, dalam pakaian yang gemerlapan dan indah!
"Nona Lie Ciauw Si...! Moi-moi, ternyata engkau datang mengunjungiku...!"
Akhirnya Han Houw berseru girang dan menghampiri, lalu memegang kedua tangan dara itu. Ciauw Si membiarkan tangannya dipegang karena dia sendiri juga merasa rindu kepada pria yang menjatuhkan hatinya ini dan merasa girang dengan pertemuan ini.
"Pangeran, engkau baik-baik selama ini, bukan"
"Tentu saja! Ah, Si-moi, betapa rinduku kepadamu...!" Dan pangeran itu merangkul, terus menciumnya. Akan tetapi hanya sebentar saja Ciauw Si membiarkan dirinya dicium, lalu dia mendorong dada pangeran itu perlahan.
"Cukup pangeran..." katanya sambil melangkah mundur.
"Tapi, Si-moi..."
"Pangeran, akupun rindu kepadamu. Akan tetapi ingat, kita masih belum menjadi suami isteri, oleh karena itu kita harus dapat membatasi diri..."
Pangeran itu maklum bahwa terhadap seorang dara seperti Ciauw Si, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Pula, dia memang sungguh mencinta dara ini dan tidak ingin memperlakukan seperti wanita lain yang disenanginya hanya karena dorongan nafsu berahi semata. Terhadap Ciauw Si dia mempunyai perasaan lain. Bukan semata-mata nafsu berahi, melailnkan dia memang kagum dan suka sekali kepada wanita ini, dan kalau sekali waktu dia ingin mempunyai isteri, bukan selir, agaknya inilah pilihannya.
"Si-moi, mari masuk. Ahh, engkau malam-malam begini datang" Tentu belum makan malam." Pangeran itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan agar cepat disediakan hidangan malam. Kemudian dengan sikap mesra dan ramah dia mempersilakan Ciauw Si untuk masuk ke bagian dalam istananya.
"Saya tidak akan lama, pangeran, hanya akan membicarakan sesuatu yang penting, yaitu hendak mohon bantuanmu..."
"Aih, Si-moi! Kita baru saja berjumpa setelah berbulan-bulan kita saling berpisah. Masa engkau begitu datang lalu hendak pergi lagi" Itu namanya menyiksa perasaanku! Tidak, engkau harus menjadi tamu agungku, setidaknya untuk semalam dua malam, kita bicara nanti sambil makan malam. Nah, mari kuantar engkau ke kamar tamu, setelah mengaso dan mungkin hendak mandi dulu, kita makan dan bicara. Sungguh engkau tidak boleh menolak permintaanku ini, Si-moi."
Ciauw Si memang tidak dapat menolak, juga tidak ingin menolak. Pangeran itu demikian ramah dan diapun sesungguhnya rindu kepada pria yang dikasihinya ini. Pula, apa salahnya tidur di istana yang mewah itu asal saja dia mendapatkan kamar sendiri" Tidur di rumah penginapanpun sama saja, tidur bersanding kamar dengan orang lain, malah orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya malah. Bagi seorang gadis kang-ouw, tidur di manapun tidak ada halangannya. Apalagi tidur di dalam sebuah kamar tersendiri dalam istana pangeran ini! Dia mengagumi keindahan istana itu yang dengan perabot-perabot indah dan mewah, lukisan-lukisan yang amat indah.
"Silakan, inilah kamarmu, Si-moi. Engkau perlu pelayan"
"Tidak, tidak... aku tidak biasa dilayani, pangeran. Cukup asal disediakan air hangat saja... dan..."
Seorang pelayan wanita yang muda dan cantik menghampiri, "Perintahkan segalanya kepada saya, nona, dan saya akan mempersiapkan segala keperluan nona."
Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Nah, dia itulah pelayanmu. Sampai nanti, Si-moi." Pangeran itu lalu membungkuk dan mengundurkan diri. Diam-diam Ciauw Si girang sekali. Kekasihnya itu selain tampan dan memiliki kepandaian tinggi, juga amat sopan dan lemah lembut, pikirnya penuh kebanggaan.
Ciauw Si mandi air hangat dan berganti pakaian yang dibawanya dalam buntalan. Tak lama kemudian, Pangeran Ceng Han Houw sendiri menjemputnya untuk diajak makan malam di kamar makan. Pangeran itu juga sudah berganti pakaian serba baru yang indah, sehingga diam-diam Ciauw Si merasa malu juga dengan pakaiannya sendiri yang biasa saja, pakaian seorang wanita perantau yang ringkas. Akan tetapi pangeran itu memandangnya penuh kagum. "Engkau nampak makin cantik dan gagah saja dalam pakaian itu, Si-moi!" Memang dia seorang pria yang pandai merayu, maka tentu saja diam-diam Ciauw Si merasa girang sekali. Wanita mana yang tidak akan merasa girang kalau dipuji" Apalagi yang memuji adalah pria yang dicintanya. Pedang Pek-kong-kiam yang memang tidak pernah berpisah dari tubuhnya, terselip di punggungnya.
Ketika mereka tiba di ruangan makan yang indah dan segar karena di mana-mana terdapat pot-pot bunga, di situ telah menanti enam orang wanita muda yang berpakaian mewah dan cantik-cantik sekali dengan sikap yang agak genit menyambut pangeran dan Ciauw. Si. Hidangan telah diatur di atas meja, masih mengepulkan uap karena masih panas. Para wanita itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan pangeran dan Ciauw Si duduk. Sementara itu, di luar ruangan itu terdengar suara musik dan nyanyian yang dilakukan oleh beberapa orang wanita muda yang cantik pula. Seluruh ruangan itu penuh dengan bau semerbak harum yang keluar dari pakaian para wanita itu.
Ciauw Si tidak segera duduk, memandang ke sekelilingnya dengan alis berkerut, kemudian dia bertanya kepada Han Houw, "Pangeran, siapakah mereka ini" Pelayan-pelayan" tanyanya meragu karena tidak mungkin pelayan berpakaian begini indah, apalagi sikap mereka terhadap sang pangeran bukan seperti pelayan yang menghormat, melainkan sikap yang merayu!
Pangeran Ceng Han Houw tersenyum bangga. "Mereka ini" Ah, mereka ini adalah selir-selirku, Si-moi. Dia itu adalah Hong Kiauw, yang itu Bwee Sian, dan itu..."
"Pangeran, suruh mereka pergi!" Tiba-tiba Ciauw Si berkata dengan suara dingin dan sepasang matanya memandang marah. Para selirnya itu terkejut dan cemberut, juga Han Houw terkejut dan bingung.
"Eh... ini..." Dia tergagap.
"Cukup, suruh mereka pergi atau aku yang akan pergi dari sini!"
Melihat sikap yang tegas dan keras ini, Ceng Han Houw lalu melambaikan tangan menyuruh para selir itu meninggalkan ruangan makan. Para selir itu cemberut dan mengerling marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah.
"Yang main musik dan bernyanyi itu juga! Dan aku tidak mau dilayani, aku ingin bicara denganmu, pangeran!" kata Ciauw Si tegas.
"Baiklah... baiklah...!" Pangeran Ceng Han Houw lalu memberi isyarat kepada para pemain musik, para pelayan dan pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Sebentar saja mereka sudah pergi semua dan mereka kini hanya berdua saja, Ciauw Si masih berdiri, belum mau duduk.
"Nah, mereka telah pergi, silakan duduk dan mari kita makan dulu sebelum bicara, Si-moi."
Ciauw Si duduk, akan tetapi belum mau menyentuh makanan. Wajahnya muram dan pandang matanya masih marah. Tiba-tiba dia menatap wajah pangeran itu dengan tajam dan pertanyaannya mengejutkan pangeran itu, "Pangeran, aku minta ketegasan. Apakah engkau cinta sungguh-sungguh kepadaku"
Pangeran Ceng Han Houw mengerti bahwa wanita ini bersungguh-sungguh, bahkan cara bicaranya juga kasar terhadapnya, tanda bahwa perasaan wanita itu terganggu sekali. Dia tidak boleh main-main dan harus bersikap tegas pula.
"Tentu saja, Si-moi. Aku cinta padamu dengan sepenuh hatiku."
"Pangeran, aku tidak menyalahkan engkau yang mempunyai banyak selir. Aku tahu bahwa memang itu sudah menjadi kebiasaan para bangsawan yang memelihara banyak selir, baik sebelum maupun sesudah menikah. Akan tetapi aku adalah seorang wanita yang membela kebenaran dan keadilan, oleh karena itu, terus terang saja, aku tidak mau menjadi kekasih seorang pria yang mempunyai banyak selir! Aku hanya mau satu sama satu atau... tidak sama sekali! Nah, sebelum hubungan kita makin akrab, aku harap engkau suka memilih, pangeran. Pilihlah, aku ataukah selir-selirmu!"
"Tapi... tapi... apa artinya ini..." Pangeran berkata tergagap karena kata-kata yang dikeluarkan Ciauw Si itu sungguh-sungguh tak pernah diduganya.
"Artinya sudah jelas, pangeran. Kalau engkau mencintaku, itu berarti bahwa aku akan menjadi isterimu, dan kalau aku menjadi isterimu, aku tidak ingin melihat engkau mempunyai selir seorangpun. Inilah syaratku, tinggal terserah kepadamu sekarang, pangeran."
Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw sudah dapat menenangkan dirinya kembali. Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Baiklah, Si-moi. Tentu saja permintaanmu itu amat pantas dan aku setuju sekali. Sekarang juga aku akan perintahkan agar mereka itu dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing!"
Ciauw Si sendiri kaget mendengar keputusan mendadak itu, akan tetapi sebelum dia sempat berkata-kata, pangeran itu telah memberi tanda tepukan tangan den muncullah seorang pengawal dari pintu belakang. Biarpun seorang pengawal tadi sudah disuruh pergi meninggalkan ruangan itu, namun mereka itu siap siaga di luar ruangan, menjaga kalau-kalau sang pangeran memanggil mereka.


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Laporkan kepada kepala pengawal bahwa malam ini juga semua selirku harus disuruh pergi dari istana, dan boleh antarkan mereka pulang ke rumah orang tua masing-masing. Hadiah dan kerugian untuk mereka semua akan kukirim kemudian. Laksanakan perintah ini sekarang juga. Mengerti"
Pengawal itu membelalakkan mata seolah-olah tidak mendengar dengan baik atau merasa ragu akan perintah yang dianggapnya aneh itu. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kekeliruan salah dengar yang mengakibatkan dirinya celaka, dia berdiri tegak dan mengulang, "Paduka memerintahkan agar semua selir paduka malam ini juga dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing, dan bahwa hadiah untuk mereka akan paduka kirimkan kemudian"
"Benar. Lekas laksanakan sekarang juga!"
"Baik, pangeran!" Pengawal itu lalu pergi meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat dan Ceng Hen Houw menoleh dengan senyum kepada kekasihnya, lalu memegang tangan kekasihnya dan digandengnya ke meja makan dan dipersilakannya dengan halus nona itu duduk.
"Sudah puaskah engkau sekarang"
Ciauw Si tersenyum manis dan wajahnya berseri. "Sungguh tak kuduga bahwa pangeran akan memenuhi permintaanku seketika. Aku girang dan berterima kasih sekali, pangeran. Kini aku tidak ragu-ragu lagi akan cinta kasihmu kepadaku."
Mereka lalu makan minum sambil kadang-kadang saling berpandangan mesra. Ceng Han Houw berani mengambil keputusan demikian cepat tentang selir-selirnya bukan karena dia tidak sayang kepada selir-selirnya itu, sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa keadaannya pada waktu itu terancam, rahasianya mungkin sudah diketahui oleh kaisar. Dalam keadaan terjepit ini dia membutuhkan bantuan orang-orang pandai, kalau sewaktu-waktu dia akan turun tangan atau harus membela diri. Dan Ciauw Si dalam hal ini jauh lebih berharga daripada para selirnya itu. Apalagi kalau diingat bahwa di belakang Ciauw Si ini berdiri keluarga Cin-ling-pai yang memiliki banyak orang sakti. Kalau dia dapat memperisteri Ciauw Si dan menarik keluarga Cin-ling-pai menjadi pembantu-pembantunya atau setidaknya menjadi sahabat-sahabat atau keluarga, tentu kedudukannya akan menjadi lebih kuat. Dibandingkan dengan kemungkinan yang amat baik ini, apa artinya beberapa orang selir itu" Tentu saja dia merelakan selir-selirnya untuk kemungkinan yang jauh lebih menguntungkan itu.
Setelah mereka selesai makan dan sang pangeran memanggil pelayan membersihkan meja, dia mengajak Ciauw Si duduk di dalam taman yang penuh bunga dan diterangi lampu merah, di dekat kolam ikan. Hawanya sejuk sekali di situ, dan sunyi.
"Nah, sekarang katakanlah, keperluan apakah yang hendak kausampaikan kepadaku, Si-moi"
"Pangeran, kedatanganku ini selain hendak mengunjungimu seperti yang pernah kita janjikan ketika kita saling jumpa dahulu, juga untuk minta pertolonganmu. Engkau tentu telah mengetahui, pangeran, bahwa ibu kandungku, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan juga bibi Yap In Hong, pendeknya semua keluarga Cin-ling-pai, oleh pemerintah dianggap sehagai pemberontak dan buruan."
Pangeran Ceng Han Houw memang sudah menduga akan hal ini, maka dia tidak terkejut dan menganggijk sambil tersenyum, matanya penuh kagum memandang bibir yang sedang bicara tadi.
"Maka, aku mohon bantuanmu agar fitnah yang dijatuhkan atas diri keluarga kami itu dapat dicabut, agar keluarga kami yang semenjak dahulu tidak pernah memberontak itu dibebaskan dari tuduhan. Harap engkau suka membujuk kepada sri baginda kaisar agar bersikap dan bertindak bijaksana..." Ciauw Si menghentikan kata-katanya karena dia melihat pangeran itu menarik napas dan menggeleng-geleng kepala. Jantungnya berdebar dan timbul kekhawatiran di dalam hatinya. "Bagaimana, pangeran" Dia mendesak.
"Ciauw Si moi-moi, agaknya engkau belum tahu akan kedudukanku. Dengarlah, aku hanyalah adik tiri dari kaisar, dan sejak kecil aku ikut ibu kandungku yang menjadi permaisuri Raja Sabutai. Biarpun aku diterima oleh mendiang ayah kandungku dan sampai sekarang aku dianggap pangeran di sini, namun diam-diam kaisar membenciku. Oleh karena itu, kalau aku menghadap kaisar dan mengusulkan agar keluarga Cin-ling-pai dibebaskan, bukan saja hal itu akan sia-sia, bahkan tentu kaisar akan memperoleh alasan untuk menangkap aku yang akan dituduhnya bersekongkol dengan pemberontak dan buruan. Kalau engkau menghadap, tentu engkau akan ditangkap pula. Tidak mungkinlah untuk mengharapkan aku dapat membujuk kaisar sampai berhasil."
Mendengar penuturan ini, tentu saja Ciauw Si menjadi terkejut dan kecewa sekali. Seketika lenyap harapannya untuk dapat menyelamatkan keluarganya dengan perantaraan pangeran ini.
"Ah, lalu bagaimana baiknya..." Dia berkata lirih.
Ceng Han Houw memegang kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya.
"Si-moi, jangan khawatir. Aku masih mempunyai pengaruh besar di antara para pembesar di seluruh daerah. Akan dapat kuusahakan agar para pembesar daerah tidak lagi mengejar-ngejar keluargamu sebagai keluarga pemberontak. Akan tetapi, kita tidak mungkin dapat mengharapkan pengampunan dari kaisar lalim!"
"Pangeran...!" Ciauw Si terkejut mendengar kekasihnya itu menyebut kaisar lalim.
"Apalagi dia kalau bukan kaisar lalim" Ingat, selamanya keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah perkasa yang tidak pernah memberontak, bukan" Akan tetapi, kaisar lalim ini menuduh mereka sebagai pemberontak! Oleh karena itu, kita harus menentang dia, Si-moi! Jalan satu-satunya untuk menolong keluargamu, juga untuk menolong rakyat dari kelalimannya hanyalah dengan jalan menentangnya!"
"Tapi... tapi, pangeran... maaf, bukankah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai justeru adalah sucimu yang bernama Kim Hong Liu-nio dan gurumu yang bernama Hek-hiat Mo-li"
Pangeran Ceng Han Houw menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Engkau salah mengerti, Si-moi. Memang tentu saja bekas guruku itu, aku telah menjadi murid orang sakti lain sekarang. Hek-hiat Mo-li merupakan musuh dari keluarga Cin-ling-pai akan tetapi ia merupakan urusan pribadi antara Hek-hiat Mo-li dan keluarga Cin-ling-pai. Dan kurasa suci Kim Hong Liu-nio hanyalah menjalankan tugas sebagai murid saja. Akan tetapi, kaisar lalim mempergunakan kesempatan itu untuk membonceng dan dengan pengerahan pasukan menyuruh suci dan subo itu untuk menyerang keluargamu! Tentu saja suci tidak berani membantah kehendak kaisar yang merupakan perintah. Jadi, yang menjadi biang keladi adalah kaisar lalim. Oleh karena itu harus kita tumpas dia!"
Dengan pandainya Ceng Han Houw memutarbalikkan kenyataan sehingga Ciauw Si yang merupakan seorang gadis kang-ouw yang jujur itu terpikat juga akhirnya. Hatinya mulai menjadi panas kepada kaisar yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai, yang menurut pangeran kekasihnya, merupakan golongan yang berbahaya bagi kerajaan!
"Bagi kaisar lalim, golongan-golongan yang tinggi ilmunya merupakan ancaman bahaya bagi keselamatan kerajaan, oleh karena itu dilakukan pembasmian besar-besaran. Dan semua ini adalah siasat yang diatur oleh Pangeran Hung Chih yang menjilat-jilat kepada kaisar. Bahkan aku mendengar kabar bahwa Pangeran Hung Chih sedang mengumpulkan orang-orang pandai yang dapat dibelinya untuk menghadapi aku."
"Ahh..."
"Akan tetapi jangan khawatir, Si-moi. Aku bukanlah Ceng Han Houw seperti yang kaujumpai beberapa bulan yang lalu. Aku telah mewarisi ilmu yang amat tinggi dan aku tidak akan mudah dikalahkan oleh siapapun juga di dunia ini. Maka, aku hendak mengadakan pertemuan besar dengan seluruh jagoan di dunia kang-ouw, untuk memilih jago nomor satu di dunia ini. Kalau aku bisa memenangkan kedudukan itu, tentu semua tokoh kang-ouw di dunia ini akan berpihak kepadaku dan kekuatanku menjadi makin besar. Setelah itu, barulah kita akan menghadapi kaisar lalim. Engkau tentu akan berpihak kepadaku, bukan"
"Tentu saja, pangeran." Lalu gadis itu mendesak. "Tentang keluargaku, bagaimana caramu untuk dapat menolong mereka"
"Jangan khawatir, untuk sementara ini tidak akan ada pembesar yang berani mengusik mereka. Akan kutulis surat perintah kepada seluruh pembesar agar jangan ada yang mengganggu keluargamu. Surat itu boleh kauberikan kepada ibu kandungmu, dan memperlihatkan kepada setiap pembesar yang hendak mengganggu. Akan kubuat beberapa buah agar dapat kaubagi-bagi kepada mereka, dan percayalah, suratku itu akan merupakan jimat penyelamat yang ampuh. Ingat bahwa saat ini aku masih memegang kekuasaan tinggi sebagai orang kepercayaan kaisar!"
Bukan main lega dan girangnya rasa hati Ciauw Si mendengar ini. Juga ada rasa bangga bahwa pangeran itu, pria yang dikasihinya itu, ternyata mampu untuk menolong keluarganya, "Ah, terima kasih, pangeran. Engkau sungguh baik hati sekali..."
Ceng Han Houw bangkit berdiri, pindah duduk di dekat gadis itu dan merangkulnya mesra, "Si-moi, tentu saja aku baik kepadamu karena aku cinta padamu, Si-moi. Aku sudah membuktikan cinta kasihku kepadamu, akan tetapi apakah buktinya bahwa engkau cinta padaku"
"Pangeran, bukti apakah yang kaukehendaki lagi" Aku sekarang berada dalam pelukanmu, maukah aku kalau aku tidak cinta padamu"
Ceng Han Houw menciumnya dan untuk beberapa lama mereka berpelukan dan berciuman dengan curahan hati penuh kasih sayang. "Si-moi..." Han Houw berbisik dengan napas agak memburu di dekat telinga kiri gadis itu. "Kalau engkau benar mencintaku... marilah engkau bermalam di dalam kamarku malam ini, sayang..."
Tiba-tiba tubuh yang tadinya lemas menyerah itu menegang dan Ciauw Si melepaskan pelukan pangeran itu, menatap tajam di bawah sinar lampu merah. Sejenak mereka berpandangan dan terdengar pangeran itu berbisik, "Maaf Si-moi, bukan maksudku untuk merendahkanmu, akan tetapi sungguh... aku cinta padamu, aku membutuhkanmu, dan dalam keadaan aku dimusuhi oleh kaisar seperti sekarang ini, kalau engkau pergi besok... entah kapan kita bertemu kembali, Si-moi... maka sebelum berpisah, aku ingin memiliki dirimu dulu... aku ingin engkau menjadi isteriku..."
"Pangeran, engkau tahu bahwa hal itu tidak boleh kita lakukan sebelum kita menikah. Aku harus memberitahukan ibuku, dan engkau harus mengajukan pinangan dulu. Baru kalau kita sudah menikah, aku akan menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, pangeran. Engkau tahu bahwa aku mencintamu dan akan berbahagia sekali menjadi isterimu..."
"Akan tetapi, moi-moi, mana mungkin kita dapat melaksanakan pernikahan dalam waktu dekat-dekat ini, setelah engkau mengetahui keadaanku" Pernikahan antara kita tentu akan membuat kaisar menjadi semakin curiga dan tidak senang, karena engkau adalah puteri dari keluarga yang memusuhinya. Dan menghadapi perjuangan ini, belum tentu kalau aku akan keluar dengan selamat. Maka... tidak kasihankah engkau kepadaku" Tegakah engkau membiarkan aku setiap hari merindukanmu, Si"moi" Ceng Han Houw merayu dan kembali dia sudah memeluk gadis itu.
Belaian, pelukan dan ciuman-ciuman pangeran itu memang sudah membuat Ciauw Si seperti mabuk, maka kini rayuan-rayuan pangeran itu membuat dia semakin bimbang. Dia hampir tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali menciuminya, karena dia sendiri merasa seperti dibuai oleh keadaan yang amat membahagiakan perasaannya. Akan tetapi ketika pangeran itu semakin berani dalam belaiannya, dia tersentak dan berbisik. "Kita harus menikah dulu... harus menikah dulu..." dan Ciauw Si pun menangis!
Pangeran Ceng Han Houw tidak berani memaksa. Dia mendekap kepala yang menangis di atas dadanya itu, mengelus rambut yang halus itu dan berbisik, "Moi-moi, engkau tahu betapa besar cintaku kepadamu. Aku menghormati pendirianmu. Akan tetapi karena aku tidak ingin menderita sengsara dalam kerinduan, maka kuharap engkau akan setuju kalau kita lebih dulu melakukan upacara pernikahan sekarang juga..."
Ciauw Si mengangkat muka dan memandang heran melalui matanya yang basah. "Apa..." Bagaimana..."
"Dengar, sayang. Kita dapat menikah sekarang juga di dalam kuil. Kalau kita sudah bersumpah di depan Tuhan, disaksikan Langit dan Bumi, upacaranya dilakukan oleh hwesio dalam kuil, bukankah pernikahan itu sudah sah pula namanya" Hanya belum dirayakan dan disaksikan keluarga dan manusia lain" Akan tetapi setelah disaksikan Tuhan, bukankah itu sudah lebih dari sah"
Ciauw Si yang sudah bimbang itu dan sudah siap melakukan apa saja dengan kekasihnya, dan hanya melihat pernikahan sebagai hal satu-satunya yang menjadi penghalang, kini melihat jalan keluar ini, menjadi girang sekali. "Tapi... tapi... dapatkah hal itu dilakukan, pangeran"
"Tentu saja. Ketua Kuil Hok-te Seng-kun di kota raja adalah seorang sahabatku, dan kita malam ini juga dapat melakukan upacara pernikahan dan sembahyang itu di dalam kuilnya. Dengan demikian kita akan sah menjadi suami isteri."
"Ohhh..."
"Dan engkau akan menjadi isteriku, calon permaisuriku..." Pangeran itu mencium dan Ciauw Si lalu pasrah. Pergilah mereka keluar dari taman dan tak lama kemudian, mereka sudah mengendarai sebuah kereta pergi ke Kuil Hok-te Seng-kun di sebelah barat dalam kota raja itu.
Para hwesio itu tentu saja sibuk menyambut kedatangan pangeran dengan hormat sekali. Liang Sim Hwesio, ketua kuil itu menerima dua orang tamu agungnya di dalam kamar tamu dan ketika sang pangeran menjelaskan maksud kedatangannya dengan gadis cantik itu, sejenak sang hwesio tertegun. Sungguh permintaan yang aneh sekali dari pangeran itu untuk menikah saat itu juga, tanpa perayaan tanpa saksi, hanya cukup dengan sembahyang saja.
"Dapatkan losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah secara resmi di kuil ini" tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan mendesak.
"Tentu, tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati dan pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!" serunya sambil tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Siapakah tidak akan merasa girang kalau diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang terhormat dan mulia"
Tiba-tiba Ciauw Si yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya, suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya ketika menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi seorang gadis ini, "Losuhu... apakah... pernikahan seperti ini sudah sah..."
Hwesio tua itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya memandang wajah Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan sinar mata sang pangeran, diapun cepat merangkap kedua tangannya depan dada. "Omitohud...! Tidak ada yang lebih sah daripada peneguhan dan pemberkatan di dalam kuil, disaksikan oleh para dewa dan malaikat, dengan sumpah di meja sembahyang kepada Thian sendiri, siocia!"
Lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata, "Terima kasih, losuhu."
Mereka tidak usah menanti lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu dipersiapkan dan tak lama kemudian dua orang muda itu telah berlutut di depan meja sembahyang dengan penuh khidmat. Ketika mereka bersembahyang itu, Ciauw Si teringat akan keluarganya dan tak dapat ditahannya lagi menangislah "pengantin wanita" ini! Betapapun juga, ia merasa sedih sekali karena menikah tanpa dikelilingi sanak keluarganya, bahkan tidak memakai pakaian pengantin dan tidak disaksikan oleh seorangpun kerabat. Dia memang sudah mengambil keputusan nekat. Biarpun bangkitnya gairah nafsu karena dirayu dan dibelai oleh kekasihnya itu merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping itu juga ada kenyataan-kenyataan lain yang mendorong Ciauw Si menyerah kepada kekasihnya dengan sekedar upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu. Dia teringat akan peristiwa yang menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu saling mencinta dengan Sun Eng, akan tetapi ibu kandungnya dan keluarga Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi peristiwa yang amat menyedihkan. Sejak semula dia membela kakaknya dan diam-diam dia tidak setuju dengan sikap orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si menganggap bahwa kehadiran keluarganya dalam pernikahannya sekarang inipun hanya merupakan soal ke dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran! Dan dia tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjina, melainkan bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil, di depan para dewa, di depan Thian! Maka, halangan bahwa dia belum memberitahukan ibunya dan para keluarganya merupakan halangan yang tipis sekali, ditipiskan oleh peristiwa kakak kandungnya itu! Apalagi karena diapun merasa sangsi apakah keluarganya akan menyetujui perjodohan antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw yang dikenal oleh keluarganya sebagai murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong kenekatannya. Andaikata keluarganya tidak setuju, seperti juga tidak menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah menikah dengan sah di dalam kuil itu!
Karena semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu, maka setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya kembali ke istana. Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang pasrah. Sepasang pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan mereka dan membuat mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam saja itu menjadi berlarut-larut dan, sampai tiga hari tiga malam mereka tidak pernah meninggalkan kamar!
Barulah pada hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan keluarganya, dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya. Perpisahan yang berat dan mesra. Seolah-olah pangeran itu tidak mau melepaskan isterinya dari dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya. Akan tetapi akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan seekor kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal dan pada pagi hari itu, diantar oleh pandangan mata mencinta dari Pangeran Ceng Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari kota raja.
Sedikitpun Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di istana pangeran itu, di mana dia menikmati "bulan madu" selama tiga hari tiga malam itu, terjadi peristiwa yang amat mengerikan atas diri Sun Eng! Dia tidak tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan Yap In Hong, telah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang istana.
Dan setelah Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya bimbang. Dia merasa girang bahwa dia telah berhasil menjalankan siasatnya, menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga Cin-ling-pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya. Akan tetapi, disamping kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia betul-betul jatuh cinta! Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan bahwa dia sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggapnya sebagai isteri, bukan sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka. Maka timbullah kekhawatiran di dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia telah bermain dengan api yang amat berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri. Di satu fihak dia sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak memperalat gadis itu demi keuntungan diri sendiri.
*** "Bi Cu...! Bi Cu, apamu yang sakit..." Berkali-kali Sin Liong bertanya ketika dara itu siuman dan mengeluh lirih. Dia meraba dahi yang panas sekali itu dan Bi Cu berbisik-bisik, mengigau tidak karuan, gelisah dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang hendak meronta.
"Bi Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!" Sin Liong membasahi kepala dara itu dengan air. Bukan main gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang mengigau dan tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun sampai sehari semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir. Hutan itu kecil akan tetapi liar, tidak ada gua atau tempat berlindung yang baik untuk Bi Cu. Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong membunuh beberapa ekor ayam hutan dan kelinci dan dia memanggang dagingnya, diberikan kepada Bi Cu. Akan tetapi selama sehari semalam itu, jangankan makan, diajak bicarapun Bi Cu tidak dapat menjawab, keadaannya setengah sadar. Dia sendiripun sama sekali tidak dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap matapun, terus-menerus menjaga Bi Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang panas itu dengan air.
Pada keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sungguhpun tubuhnya masih panas sekali.
"Sin Liong...!" rintihnya. Sin Liong girang bukan main. Diusapnya pipi yang basah air mata itu, disingkapnya rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah yang pucat itu.
"Bi Cu, engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau akan sembuh kembali."
Bi Cu agak terengah, bibirnya yang pucat mengering itu berkata lemah, "Aku... aku haus..."
Sin Liong cepat mengambil air yang sudah disediakannya dan memberi minum dara itu dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuk seperti cawan. Setelah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk.
"Berapa lama aku sakit..." bisiknya.
"Engkau dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tapi engkau akan sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena kita berada di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya akan makan panggang daging kelinci, Bi Cu."
Bi Cu mengangguk. Pikirannya sudah terang sekarang dan diam-diam dia merasa terharu melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas nampak betapa pemuda itu lelah sekali.
Biarpun Bi Cu sudah sadar kini, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit, kepalanya terasa pening sekali den pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah beristirahat! Jadi sampai lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur, dan makan sedikit, sama sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau Bi Cu juga makan. Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah di tempat sunyi itu. Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam menjelang pagi, kembali turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong berusaha melindungi badan Bi Cu dari siraman hujan.
Dengan hati penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu kedinginan. Bi Cu bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Sin Liong. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun seperti dituangkan dari atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah kuyup! Tidak ada tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api unggun yang dibuat Sin Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk mengumpulkan kayu kering yang ditutupinya dengan daun-daun sedapat mungkin.
Tubuh Bi Cu menggigil dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sin-kangnya sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Ini banyak menolong walaupun pakaian mereka basah semua. Melihat kedua sepatu Bi Cu yang sudah pecah-pecah dan rusak-rusak ketika dipakai mendaki tebing tempo hari, kini basah kuyup dan malah menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar biasa dinginnya, Sin Liong berkata, "Sebaiknya sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan saja."
Bi Cu yang menyembunyikan mukanya dia dada Sin Liong hanya mengangguk dan Sin Liong lalu melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia merasa betapa tubuh yang dirangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah. Makin erat dia mendekap, dengan hati penuh kasih sayang.
Hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong cepat membuat api menggunakan kayu-kayu kering yang tadi ditutupinya dengan daun-daunan. Untung masih terdapat kayu yang kering di tumpukan bawah. Maka dapat juga dia berhasil menyalakan api unggun yang mengepulkan asap. Akan tetapi makin lama, api unggun itu makin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk di dekat api unggun sambil memeluk tubuh Bi Cu.
"Engkau tentu dingin sekali, Bi Cu..." katanya penuh iba sambil merangkul dara itu.
Bi Cu menyandarkan kepalanya di pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah pundak dan lengan pemuda itu, lalu berkata lemah, dengan suara gemetar kedinginan, "Engkaupun basah kuyup dan kedinginan..."
"Tidak, aku sehat, engkaulah yang sedang sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh sakit lagi. Ah, baru saja engkau hampir sembuh, disiram hujan lebat..." Sin Liong berkata khawatir.
MELIHAT kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu, apalagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali peristiwa yang terjadi di bawah tebing ketika mereka menyambut hujan dengan bahagia sekali dan mereka telah berpelukan dan berciuman dalam keadaan hampir tidak sadar!
"Sin Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu sudah mati dalam keadaan terlantar..." Suaranya mengandung isak.
Sin Liong menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara air hujan yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes di atas wajah yang pucat itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih erat.
"Tentu saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini..."
"Dan aku... akupun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi selamanya, Sin Liong..."
Sin Liong memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi kedua matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya, lalu berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu. "Tahukah engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang katakatakan itulah yang kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku selalu membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi Cu..."
Mereka tidak berkata-kata lagi. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan memang. Dengan berdiam diri, terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan kehadiran masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, melainkan di dalam batin masing-masing. Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan, merasa seolah-olah mereka berdua itu telah bersatu dalam batin, seperti orang yang memiliki dan membutuhkan anggauta tubuhnya sendiri. Takkan terpisahkan lagi, senasib sependeritaan. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan dan berdekapan dalam keadaan kedinginan itu.
Akhirnya terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada dekat leher Sin Liong, "Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati..."
"Ya, ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ah, khawatir sekali aku."
"Aku tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong. Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta padamu Sin Liong."
Tanpa diucapkan sekalipun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong. Dia mencium mata kiri dara itu. "Akupun cinta padamu, Bi Cu."
Mereka tidak bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah kata-kata terakhir di dunia ini dan setelah itu, tidak ada apa-apa lagi yang lebih patut dibicarakan! Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan keburukan, sudah melampaui segala yang dapat diperbandingkan, sudah melampaui penilaian dan perbandingan itu sendiri! Cinta-mencinta membawa kita ke dalam suatu keadaan di mana tidak ada lagi baik buruk, susah senang, dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa saja nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah, di sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka cinta, yang berbeda dengan kesenangan. Kesenangan mempunyai sebab, mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita adalah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa sebab tertentu. Keadaan ini membuat kita penuh dengan sinar cinta kasih, penuh dengan kebajikan, dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan prikemanusiaan. Cinta adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sesungguhnya manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu.
Sayang, biarpun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti itu, namun nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu. Bahkan celakanya, nafsu-nafsu menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta kasih yang suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sesungguhnya hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan kita sekarang ini. Cinta yang kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanyalah semacam pemalsuan untuk menutupi keinginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk mendapatkan kepuasan melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita sendiri. Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah kita pakai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja. Cinta seperti ini tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan benci yang dianggap sebagai kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang.
Hari itu cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah kehujanan seperti itu, keadaan Bi Cu bukan menjadi semakin buruk, bahkan dia menjadi sembuh sama sekali! Hanya masih agak lemah tubuhnya, akan tetapi dia sembuh. Tidak panas lagi, tidak pusing lagi. Hujankah yang menyembuhkannya" Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata dari mulut mereka, dalam pengakuan cinta mereka" Entahlah. Akan tetapi yang jelas, Sin Liong merasa girang bukan main.
"Bi Cu, engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup..."
"Hari ini agaknya akan panas, Sin Liong. Aku dapat melepaskan pakaian dan menjemurnya. Tapi..." Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar, "engkau harus menjauh, tidak boleh mendekat!"
Sin Liong tertawa. Benar-benar sudah sembuh Bi Cu sekarang. Sudah mulai lagi dia bertingkah bengal! Sudah bersinar-sinar kembali kedua mata yang indah itu, kini penuh dengan kelincahan dan kejenakaan.
"Ha-ha, kaukira aku ini tukang intip" Akupun akan pergi memeriksa keadaan sekeliling hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun."
"Kalau ada dusun kau mau apa"
"Mencarikan pakaian untukmu, dan sepasang sepatu."
"Kau ada uang"
Sin Liong menggeleng kepala.
"Habis bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu"
Muka Sin Liong menjadi merah. Dara ini baru saja sembuh sudah pandai mendesaknya dengan omongan dan membuatnya tersudut! "Aku... aku akan minta!"
"Uhhh, seperti aku tidak tahu saja. Minta kepada orang dusun yang miskin dan yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka"
"Barangkali ada yang kaya di dusun, ada tuan tanahnya..."
"Dan kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan mau memberimu" Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau akan mencuri pakaian dan sepatu untukku!"
Sin Liong tersenyum dan terpaksa mengangguk. "Atau kita pakai saja istilah pinjam dari orang kaya di dusun"
"Tidak, kau beli saja, atau... tukar dengan ini!" Bi Cu melepaskan seuntai kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong.
Sin Liong memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet bermata emas itu. "Ah, bukankah ini lambang dari julukanmu dahulu" Dahulu julukanmu adalah Kim-gan Yan-cu (Burung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!"
Bi Cu tersenyum. "Justeru karena kalung itulah maka para pengemis di kota raja menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai."
"Ah, kukira julukan itu karena, matamu..."
"Mataku bagaimana"
"Matamu indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas..." Sin Liong mendekat dan merangkul, mencium mata itu.
"Ihh, engkau perayu!" Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pemuda itu lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan tangannya. Bi Cu berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang sekali. Kemudian pergilah dara ini ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk membersihkan diri, dan mencuci pakaian dan menjemur pakaian.
Ternyata dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh sekali dari hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang sepatu untuk Bi Cu, akan tetapi semua itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung saja, sedangkan mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya. Rantai kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-barang itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru itu.
Matahari telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata Bi Cu telah memakai pakaiannya yang telah dicuci dan sudah kering, dan dara itu ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan.
"Ah, engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan untuk kita" Biar aku yang..."
"Hemm, biarpun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku berhasil juga mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin Liong!"
Bi Cu girang sekali dan mematut-matut diri dengan pakaian itu setelah kaus kaki dan sepatunya dia pakai dan ternyata pas besarnya.
"Semua itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku merasa sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaianpun aku tidak rela!"
Sin Liong mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan kembali kepada pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak. "Kausimpan sajalah, Sin Liong."
Wajah pemuda itu berseri. "Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak mengajukan permintaan kepadamu!" Melihat dara itu sudah sehat benar bukan main lega rasa hati Sin Liong.
"Aku akan mencoba pakaian ini!" kata Bi Cu sambil berlari kecil menghilang ke balik semak-semak.
Sin Liong tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak, lalu mencium benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian memasukkannya ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering ketika dibawanya berlari cepat tadi.
"Wah, engkau memang hebat! Pas sekali pakaian ini, seperti juga sepatunya!" Bi Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok. Muka itu masih agak pucat, rambut yang agak basah itu masih kusut karena di situ tidak ada sisir, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis sekali dan kelihatan segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi hari.
"Kau... kau cantik sekali dengan pakaian itu, Bi Cu!" kata Sin Liong sambil bangkit berdiri.
Bi Cu meruncingkan mulutnya. "Ih, engkau sekarang menjadi perayu benar! Jangan-jangan engkau akan ketularan penyakit kakak angkatmu itu, Sin Liong!"
Sin Liong menyambar lengannya dan di lain saat mereka sudah saling berangkulan.
"Bi Cu, engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang akan selalu kurayu dan kupuji."
Pedang 3 Dimensi 8 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Pedang Tanpa Perasaan 5
^