Pencarian

Pendekar Lembah Naga 32

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 32


Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong dan Cia Giok Keng kini terus mengamuk, membantu para tokoh kang-ouw golongan bersih untuk menghadapi kaum sesat yang membantu Pangeran Ceng Han Houw. Biarpun jumlah kaum sesat lebih banyak, namun dengan bantuan mereka berempat ini mereka menjadi kocar-kacir dan banyak di antara mereka yang roboh dan tewas. Sementara itu, Lie Ciauw Si masih tetap duduk seperti patung di kursinya yang tadi, sedikitpun tidak bergerak, tidak membantu suaminya, juga tidak menentang suaminya. Dia seperti orang kehilangan semangat menyaksikan keruntuhan cita-cita pria yang dicintanya itu dan diam-diam dia merasa ikut bersedih untuk suaminya itu. Semenjak tadi dia tidak melihat yang lain kecuali menonton suaminya yang masih bertanding dengan hebat dan serunya melawan Sin Liong!
Para tokoh Cin-ling-pai itu setelah merobohkan banyak orang dari golongan hitam dan kini ikut menonton pertandingan antara Sin Liong dan pangeran itu, mulai mendekat dan melihat mereka mendekat, Sin Liong berkata, sambil tetap mendesak lawannya, "Harap cu-wi dari Cin-ling-pai membiarkan saya menghadapi musuh besar ini sendiri." Mendengar ini, tiga orang itu berhenti dan hanya menonton dengan penuh kagum. Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya, dan keduanya sudah mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka untuk saling mendesak dan kalau mungkin merobohkan lawan. Ceng Han Houw masih mempergunakan ilmunya yang aneh, dengan berjungkir balik dia berusaha untuk mendesak lawan dengan kedua tangan dari bawah dan kedua kaki dari atas. Namun, dengan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, Sin Liong selalu dapat membuyarkan semua serangannya, bahkan serangan balasan Sin Liong selalu membuat tubuh yang berjungkir balik itu tergetar dan bergoyang, bahkan kadang-kadang memaksa pangeran itu untuk berloncatan ke belakang sehingga kepala yang menyentuh lantai itu mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.
Dengan sekilas pandang saja tahulah Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia telah gagal total. Para tokoh kang-ouw golongan hitam yang membantunya telah roboh satu demi satu, para pembantunya yang dipercaya, seperti subo dan sucinya, telah tewas dan bahkan dua orang Lam-hai Sam-lo telah roboh pula. Dan dari gemuruh suara pertempuran antara pasukannya dan pasukan pemerintah, dia maklum pula bahwa pasukannya terus terdesak mundur, karena suara gemuruh itu makin lama makin dekat juga. Hatinya menjadi sedih dan kecewa, akan tetapi kemarahannya terhadap Sin Liong mengatasi semua itu. Bocah inilah yang menjadi gara-gara kegagalanku, demikian pikirnya. Kini dia telah dikurung oleh tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Dia harus dapat merobohkan Sin Liong lebih dulu, harus dapat menewaskan bocah ini. Maka, nekatlah Ceng Han Houw. Dengan mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking tinggi, tubuhnya yang berjungkir balik itu meluncur ke depan dan tiba-tiba tubuh itu meloncat tinggi kemudian dari atas tubuhnya meluncur turun dan dia menubruk ke arah Sin Liong seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor kijang! Tubrukannya ini hebat, cepat dan dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, tenaga yang dipusatkan kepada dua tangan dan kepalanya karena dia hendak menyerang lawan dengan kedua tangan dan kepala!
Menghadapi serangan seperti ini, Sin Liong juga terkejut. Inilah serangan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat, yang tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri, yang ingin mengadu nyawa kalau perlu dengan musuhnya! Sin Liong maklum bahwa kalau dia menyambut serangan itu dengan kekerasaan pula, biarpun dia akan dapat merobohkan lawan, akan tetapi dia sendiri terancam bahaya maut. Tenaga yang dipergunakan Han Houw dalam serangan itu adalah tenaga yang dipusatkan, ditambah tenaga luncurannya yang kuat, sehingga amat berbahaya kalau disambut dengan kekerasan. Oleh karena itu, diapun lalu mainkan jurus terakhir dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang memang khusus diciptakan untuk mempergunakan tenaga lemas melawan serangan dahsyat yang keras. Sin Liong berdiri tegak, mengerahkan tenaga "Im" dan mula-mula dia hendak mempergunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi segera dibatalkan niat ini karena dia maklum bahwa ilmu ini akan membahayakan dirinya kalau ada tenaga sin-kang yang demikian kuat dan kerasnya membanjir masuk dengan kekuatan sepenuhnya, bisa merusak seluruh isi perutnya. Maka dia lalu melakukan jurus terakhir itu, dan pula saat kedua tangan lawan sudah hampir mengenai dadanya, dia menangkis dari bawah dan pada saat itu, karena dia menyimpan tenaga, tidak terjadi benturan tenaga dan dia terjengkang atau sengaja melempar diri ke belakang sehingga dia terlentang dan karena lawannya meluncur dengan tenaga penuh, maka tubuh pangeran itu meluncur terus di atasnya tanpa dapat ditahan oleh pangeran itu sendiri. Saat itulah Sin Liong menggerakkan tangan kanan dari bawah, menghantam ke atas dan ujung-ujung jari tangannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang telah dengan cepat menampar perut lawan agak ke atas dekat ulu hati.
"Plaakkk!" Tubuh pangeran itu masih meluncur terus akan tetapi kehilangan keseimbangan dan akhirnya terbanting ke atas tanah, bergulingan dan tidak bergerak lagi. Dari mulutnya mengalir darah segar dan sepasang matanya mendelik, napasnya empas-empis. Ternyata dia telah menerima pukulan yang amat hebat dan tepat sehingga sebelum tubuhnya terbanting, pangeran ini telah pingsan dan dia telah menderita luka dalam yang amat hebat.
"Pangeran...!" Terdengar suara jeritan dan Lie Ciauw Si telah meloncat dan menubruk tubuh suaminya sambil menangis. Sin Liong berdiri dengan muka pucat, memandang kepada pangeran itu. Hatinya penuh dengan penyesalan dan kedukaan. Betapapun juga, dia teringat akan semua kebaikan pangeran itu dan sekarang, begitu melihat pangeran itu roboh pingsan dan dia tahu berada dalam keadaan gawat karena pukulannya tadi amat kuat dan tepat mengenai ulu hati, timbul rasa terharu dan kasihan dalam hatinya. Dia tahu bahwa sebetulnya banyak terdapat sifat-sifat baik pada diri pangeran ini, hanya sayang, karena kemanjaan dan karena ambisi yang luar biasa besarnya maka pangeran itu tidak segan-segan melakukan segala kecurangan dan kejahatan. Dia menunduk dan memandang kepada Lie Ciauw Si dengan penuh iba, lalu berkata lirih.
"Piauw-ci... dia... semua ini adalah salahnya sendiri..."
Lie Ciauw Si menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Pemuda ini sudah menduga bahwa tentu wanita yang amat mencinta pangeran itu akan membenci dan marah kepadanya. Akan tetapi dia terheran melihat betapa wanita yang pucat dan basah air mata itu memandangnya tanpa membayangkan kemarahan atau kebencian sama sekali.
"Aku tahu... dan terima kasih atas sikapmu. Engkaulah satu-satunya orang yang agaknya tidak membencinya, Sin Liong. Biarlah aku membawanya..."
"Silakan, piauw-ci..."
Ciauw Si dengan terisak lalu memondong tubuh itu, kemudian tanpa menoleh lagi kepada para tokoh Cin-ling-pai dia lalu meloncat dan membawa lari tubuh yang pingsan itu dari tempat itu.
"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang dengan halus oleh suaminya.
"Jangan ganggu dia... pangeran itu tentu akan tewas, sebaiknya biarkan dia seorang diri dalam kedukaannya..."
Cia Giok Keng lalu menjerit dan menangis di atas dada suaminya yang merangkulnya. Sementara itu, pertempuran di ruangan itu telah berhenti dan semua tokoh kang-ouw golongan hitam telah dapat dirobohkan. Di antara para tokoh kang-ouw yang gagah perkasa dan yang menentang pangeran tadi, terdapat beberapa orang yang terluka dan kini mereka sedang dirawat oleh teman-teman sendiri.
Dan benar seperti dugaan Pangeran Ceng Han Houw, perang kecil-kecilan itupun tidak lama berlangsung karena fihak pasukan Lembah Naga jauh kalah kuat dan sisanya melarikan diri meninggalkan mayat teman-teman mereka. Orang-orang kang-ouw golongan sesat yang tadi sudah membuang senjata dan menaluk, setelah menerima peringatan dari komandan-komandan pasukan yang mewakili Pangeran Hung Chih, lalu dibebaskan. Pangeran Hung Chih sendiri menghampiri tokoh-tokoh Cin-ling-pai dan dengan senyum lebar menghaturkan terima kasih, terutama sekali kepada Cia Sin Liong. Ketika dia mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Cia Bun Houw, dia cepat menjura dan berkata kagum. "Ah, seekor naga sakti tentu mempunyai turunan seekor naga pula!"
Setelah melakukan pembersihan di lembah itu, Pangeran Hung Chih menyuruh seorang komandan mengepalai pasukan kecil untuk melakukan penjagaan di Istana Lembali Naga, kemudian dia memimpin pasukannya kembali ke kota raja. Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Yap In Hong, dan Cia Bun Houw menitipkan puteranya yang masih kecil di dalam istana Pangeran Hung Chih. Tentu saja rombongan keluarga Cin-ling-pai ini juga mengajak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang telah diterima sebagai keluarga Cin-ling-pai, dan bersama-sama mereka pergi ke kota raja.
Di dalam perjalanan inilah, dalam keadaan gembira karena berhasil melaksanakan tugas membela negara, Sin Liong menceritakan semua pengalamannya semenjak dia kecil dan dipelihara oleh monyet-monyet besar di hutan-hutan sekitar Lembah Naga, didengarkan oleh semua orang dengan rasa penuh keharuan dan kekaguman. Terutama sekali hati Cia Bun Houw menjadi terharu dan juga bangga. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa peristiwa yang terjadi antara dia dan Liong Si Kwi yang mencintanya pada saat dua puluh tahun yang lalu itu (baca cerita Dewi Maut), akan menghaslikan seorang anak seperti Sin Liong ini! Tak pernah diduga-duganya bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki seperti ini, ketemu sesudah dewasa.
Hanya Cia Giok Keng seorang yang mendengarkan dengan wajah lesu dan hati diliputi kedukaan. Betapapun juga, hati nyonya ini terasa prihatin dan berduka sekali kalau dia mengingat puterinya. Baru saja hatinya tertusuk dan berduka dengan peristiwa yang terjadi atas diri puteranya, Lie Seng. Kini, sebelum perasaan dukanya itu sembuh, dia tertimpa lagi oleh peristiwa ke dua yang menimpa diri puterinya. Diam-diam dia merasa berduka sekali mengapa dua orang anaknya, putera dan puterinya, mengalami kesengsaraan dan kemalangan dalam kehidupan mereka, dalam perjodohan mereka"
Ketika pada malam hari itu terpaksa rombongan harus bermalam di tengah jalan, di luar daerah kota raja di sebelah dalam Tembok besar, Yap Kun Liong yang mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan isterinya, membiarkan isterinya menangis ketika mereka membicarakan tentang dua orang anak isterinya itu. Yap Kun Liong, sebagai seorang pendekar yang sudah mengalami gemblengan hidup yang amat mendalamg maklum sepenuhnya akan kesengsaraan hati isterinya, oleh karena itu dia tidak mencela dan tidak menegur isterinya yang membiarkan dirinya terseret oleh duka. Baru menjelang tengah malam, ketika dia berhasil menghibur isterinya dan perasaan duka tidak terlalu menghimpit hati isterinya sehingga mengaburkan kewaspadaan, dia mengajak isterinya bicara dengan hati terbuka.
"Isteriku, sungguhpun aku telah menganggap Seng-ji dan Ciauw Si sebagai anak-anakku sendiri, akan tetapi selama ini aku tidak berani mencampuri urusan antara mereka dengan engkau. Sekarang, semuanya itu telah terjadi, marilah kita bicara dari hati ke hati dengan hati terbuka, dengan kewaspadaan sepenuhnya untuk melihat peristiwa-peristiwa itu tanpa dicampuri oleh pendapat dari pikiran kita yang selalu ingin memenangkan diri sendiri dan membenarkan diri sendiri saja. Marilah kita memandang dengan mata terbuka dan mempelajarinya, menyelidikinya, di mana letak kesalahannya sehingga perjodohan kedua orang anak kita itu mengalami kegagalan seperti itu."
Giok Keng mengangguk, kemudian berkata sambil menarik napas panjang. "Apalagi yang perlu kita selidiki" Sudah jelas bahwa semua kegagalan dan kesengsaran itu diakibatkan oleh karena mereka itu terburu nafsu, terdorong oleh darah muda dan mereka salah pilih."
"Isteriku yang baik, bagaimana kau dapat mengatakan bahwa mereka salah pilih. Pikirlah dengan tenang dan dengan teliti, penuh kebijaksanaan, apa sebabnya engkau mengatakan bahwa mereka salah pilih"
"Tentu saja, mereka memilih jodoh tanpa melihat bagaimana keadaan orang yang mereka pilih. Lie Seng memilih seorang wanita yang sama sekali tidak berharga menjadi isterinya sehingga mengakibatkan bencana yang demikian hebat dan mematahkan hatinya, sedangkan Ciauw Si... ahhh... perlukan kukatakan lagi betapa kelirunya pilihannya itu"
Tiba-tiba Kun Liong merangkul isterinya. Biarpun usianya sudah lima puluh lebih dan demikian pula isterinya, namun kedua orang suami isteri ini masih saling mencinta dan tidak jarang menunjukkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, suara, maupun rangkulan mesra. "Isteriku, katakanlah, apakah engkau cinta padaku"
Sepasang mata Giok Keng terbelalak, lalu dia merangkul. "Ah, jangan kau main-main. Perlukah hal itu ditanyakan lagi" Tentu saja aku mencintamu."
"Akupun percaya akan hal itu. Engkau cinta sepenuh hati kepadaku seperti juga aku cinta padamu, Giok Keng. Nah, seandainya ada orang-orang lain yang mengatakan bahwa pilihanmu terhadap diriku itu keliru, bagaimana pendapatmu"
"Aku tidak akan perduli! Aku cinta padamu dan aku tidak perduli siappun yang akan mengatakan bagaimanapun tentang dirimu, tentang hubungan kita."
"Nah, itulah! Dan dua orang anakmu itupun memiliki watak seperti engkau, setia dan penuh cinta kasih murni, dan aku kagum dan menghormat mereka seperti aku kagum dan menghormatimu, isteriku!" Kun Liong lalu mencium isterinya.
"Eh, eh, apa maksudmu" Giok Keng bertanya heran, menatap wajah suaminya melalui sinar api unggun yang merah.
"Perjodohan adalah urusan dua orang saja, urusan pria dan wanita yang bersangkutan, urusan hati dan perasaan mereka, dan orang lain, siapapun mereka itu, baik orang tua sendiri sekalipun, tidak semestinya mencampuri! Orang tua atau keluarga hanya membantu pelaksanaannya belaka, akan tetapi sedikitpun tidak boleh mencampurinya, karena sekali mencampuri, hanya akan merusak suasana! Cobalah kita pikir secara mendalam dan jujur. Andaikata... andaikata keluarga Cin-ling-pai tidak mencampuri urusan cinta kasih antara Lie Seng dan Sun Eng, kurasa cinta kasih mereka tidak akan berakhir sedemikian menyedihkan."
Cia Giok Keng diam saja, tak bergerak seperti pulas dalam pelukan suaminya. Akan tetapi sesungguhnya dia merasa terpukul, tertusuk dan ucapan suaminya itu mengena benar di hatinya dan terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dengan diri Lie Seng dan Sun Eng.
"Aku tidak mencela siapa-siapa, tidak mencela keluarga kita yang mencampuri, karena aku tahu bahwa maksud kalian semua itu baik saja. Akan tetapi baik untuk siapa" Untuk kalian sendiri tentu saja, bukan untuk Lie Seng dan Sun Eng. Itulah akibatnya kalau kita sebagai orang-orang tua mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang anak muda."
Hening sejenak. Akhirnya terdengar suara pembelaan Cia Giok Keng, lirih dan lemah, "Akan tetapi mana mungkin seorang ibu seperti aku mendiamkannya saja melihat puteranya keliru memilih calon jodoh" Aku ingin melihat puteraku bahagia..."
"Nah, di situlah letak kesalahannya, bukan" Kita ingin melihat putera kita bahagia, oleh karena itu kita hendak memilihkan jodoh yang tepat untuk putera kita! Ah, seolah-olah jodoh itu seperti sehelai baju yang dapat kita patut-patut. Bahkan bajupun tergantung daripada selera, isteriku, dan selera kita tentu belum tentu sama dengan selera putera kita! Apa yang kita anggap baik belum tentu baik bagi putera kita, oleh karena itu wajarlah kalau apa yang dianggap baik oleh putera kitapun belum tentu baik bagi pandangan kita. Kalau kita berkata bahwa kita ingin melihat putera kita bahagia, maka dia harus menurut pilihan kita, bukankah itu berarti bahwa sesungguhnya, di balik semua kata-kata kita itu, kita sebetulnya ingin melihat hati kita sendiri senang karena putera kita memilih jodoh yang kita sukai" Kita harus jujur, isteriku. Dalam perjodohan, yang terutama adalah cinta-mencinta. Itu saja, yang lain tidak masuk hitungan! Dan cinta kasih, apakah cinta itu mengenal usia, maupun kedudukan, maupun baik buruk" Cinta adalah cinta dan bagaimana mungkin kita dapat menyalahkan seseorang, apalagi putera kita sendiri kalau dia jatuh cinta kepada seseorang" Kalau engkau jatuh cinta kepadaku dan aku jatuh cinta kepadamu, siapakah yang berhak menyalahkan kita, isteriku"
Giok Keng termenung. "Jadi... kaupikir... dahulu Lie Seng dan Sun Eng sudah saling jatuh cinta, maka mereka berdua sudah berhak untuk saling berjodoh, dan kita, fihak keluarga dan orang-orang tua, sama sekali tidak boleh mencampurinya"
"Tidakkah begitu menurut kesadaranmu"
"Ah, engkau mengatakan begitu karena sekarang akibatnya buruk bagi mereka."
"Bukan, isteriku. Aku tidak mengatakan bahwa andaikata dahulu keluarganya tidak mencampuri, Lie Seng dan Sun Eng akan hidup berbahagia atau tidak sampai mendapatkan halangan. Soal halangan dan apakah hidup dapat beruntung atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini. Akan tetapi, setelah kita mencampuri urusan jodoh mereka sehingga akhirnya persoalan menjadi berlarut-larut dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan, bukankah hal itu menyadarkan kita bahwa urusan jodoh adalah urusan dua orang dan di mana ada cinta-mencinta maka perjodohan itu sudah benar, asalkan tidak melanggar suatu hal lain yang merugikan orang lain" Lie Seng masih bebas, dan Sun Eng pun wanita bebas, mereka saling mencinta, maka sudah benarlah itu, dan sudah benar pula kalau mereka itu saling berjodoh. Kita harus dapat melihat kesalahan kita yang telah mencampuri urusan mereka, lepas dari soal apakah hal itu mendatangkan kerusakan atau kebaikan."
Hening lagi sejenak dan perlahan-lahan, semua ucapan suaminya itu dapat menembus kekerasan hati Cia Giok Keng dan dapat membuka mata hatinya."Akan tetapi... bagaimana kalau apa yang terjadi dengan pilihan Ciauw Si itu"
"Apa salahnya pilihan Ciauw Si" Diapun memilih pangeran itu karena saling mencinta, dan kita harus menghormatinya bahwa dia memang benar-benar mencinta pilihan hatinya itu, sampai mati sekalipun! Demikianlah seharusnya orang memilih jodohnya, berdasarkan cinta, bukan berdasarkan sifat-sifat baik dari yang dipilih, karena memilih jodoh berdasarkan apakah yang dipilih itu tampan, cantik, pandai, kaya, berpangkat, berbudi dan sebagainya sama sekali bukan berdasarkan cinta, melainkan berdasarkan ingin menyenangkan hati sendiri. Bukankah demikian"
Akhirnya ibu yang merana ini kembali terisak dan merangkul suaminya. "Engkau benar... mengapa aku hendak mencampuri urusan cinta kasih anak-anakku" Aku tidak ingat akan pengalamanku sendiri, pengalaman kita..."
"Sudahlah, isteriku. Segala sesuatu telah terjadi, dan betapapun juga, kita harus bangga mempunyai anak-anak yang demikian tulus cinta kasihnya seperti Lie Seng dan Ciauw Si."
Memang demikianlah adanya. Betapa banyaknya orang tua yang tanpa mereka sadari sendiri telah melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali menyimpang daripada cinta kasih dan kebenaran. Kita selalu ingin menyatakan cinta kasih kita kepada anak-anak kita dengan jalan mengatur sedemikian rupa untuk anak-anak kita, bukan hanya mengatur pendidikannya, pemeliharaannya, akan tetapi juga kita ingin mengatur masa depannya, mengatur kesukaannya, bahkan mengatur jodoh mereka! Kita beranggapan bahwa kalau anak-anak kita itu menurut kepada kita, mereka pasti akan hidup berbahagia, seolah-olah kehidupan merupakan garis tertentu yang sudah mati, yang dapat diatur sedemikian rupa menuju kepada kebahagiaan! Seolah-olah apa yang kita anggap baik den menyenangkan tentu akan baik dan menyenangkan pula bagi anak-anak kita! Kita lupa bahwa kehidupan itu selalu berubah, bahwa alam-pikiran dan selera manusia itupun berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Apa yang kita sendiri senangi di waktu kita masih kanak-kanak akan menjadi membosankan di kala kita sudah dewasa, dan apa yang menyenangkan kita di waktu kita dewasa mungkin akan menjadi memuakkan di waktu kita telah tua. Oleh karena itu, benarkah itu kalau kita memakai ukuran mata kita untuk mengatur kehidupan anak-anak kita yang lebih muda dan mempunyai selera lain sama sekali dari kita" Benarkah kita mencinta anak-anak kita kalau kita hanya ingin mereka itu menurut kepada kita, yang pada hakekatnya menunjukkan bahwa sesungguhnya kita ingin senang sendiri. Ingin melihat anak-anak kita menuruti kemauan hati kita" Cinta adalah demi si anak, demi perasaan hati si anak, sekarang, bukan kelak! Bukan masa depan, melainkan saat demi saat! Maukah kita sebagai orang tua yang bijaksana memberi kebebasan seluasnya kepada anak-anak kita, dengan memberi petunjuk-petunjuk, bukan mendikte, melainkan memberi petunjuk dan menjaga, membuka mata batin mereka kalau mereka itu tanpa mereka sadari menyeleweng, dengan penuh kasih sayang dan demi kebahagiaan mereka saat demi saat" Hal ini hanya mungkin dilakukan kalau sudah tidak ada keinginan dalam hati kita untuk menikmati kesenangan diri sendiri melalui anak kita!
*** Setelah tiba di kota raja, keluarga Cin-ling-pai mengajak Sin Liong dan Bi Cu untuk ikut ke Cin-ling-pai. "Engkau adalah puteraku, dan Bi Cu adalah calon mantuku," demikian Cia Bun Houw berkata dengan terus terang kepada mereka, "maka sebaiknya kalau kalian berdua ikut bersama kami ke Cin-ling-pai. Engkau adalah keluarga Cin-ling-pai dan berhak tinggal di sana, dan karena semenjak kecil kita saling berpisah, maka sebaiknya kalau kita sekarang berkumpul."
"Benar, Sin Liong. Ayahmu dan aku ingin membangun kembali Cin-ling-pai. Marilah ikut bersama kami di sana, ke Cin-ling-san!" Cia Giok Keng juga membujuk.
"Akan tetapi... sri baginda kaisar telah menganugerahkan Lembah Naga kepada kami..." Sin Liong menjawab agak ragu-ragu.
"Maksudku untuk sementara kalian tinggal di Cin-ling-san sampai kalian menikah. Kalau kalian sudah menikah, terserah kalau kalian ingin tinggal di Istana Lembah Naga," kata Bun Houw.
"Apakah tidak terlalu sunyi tinggal di tempat itu" Cia Giok Keng bertanya.
"Ah, kalau tinggal berdua, mana bisa merasa sunyi" Yap Kun Liong menyambung sambil tertawa dan semua orang tertawa, juga Bi Cu tersenyum malu-malu.
"Banyak terima kasih atas kebaikan ayah, ibu dan paman serta bibi berempat. Kami berdua pasti akan pergi ke Cin-ling-san, akan tetapi sekarang ini kami ingin pergi ke selatan untuk menengok adik-adik saya Kui Lan dan Kui Lin. Setelah menengok mereka, kami tentu akan menyusul ke Cin-ling-pai dan selanjutnya tentang pernikahan, terserah kepada semua orang tua di Cin-ling-pai."
Akhirnya mereka semua setuju dan berangkatlah Sin Liong dan Bi Cu ke kota Su-couw di Ho-nan. Sesungguhnya, bukanlah semata untuk menengok Lan Lan dan Lin Lin saja mereka pergi ke Su-couw, melainkan untuk melihat keadaan Kui Hok Boan. Di tengah perjalanan menuju ke kota raja, Sin Liong telah menceritakan secara terus terang kepada Bi Cu bahwa dia menduga keras bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu adalah Kui Hok Boan, ayah tirinya sendiri.
"Aku mendengar ketika dia mengigau," demikian antara lain Sin Liong menuturkan. "Dan agaknya dialah yang membunuh ayahmu."
"Keparat, sungguh jahat jahanam itu! Aku harus membalas kematian ayah!" Bi Cu berkata dengan marah.
"Nanti dulu, Bi Cu, dengarlah dulu baik-baik. Ketahuilah, bahwa ketika dia mengigau itu, dia berada dalam keadaan tidak sadar dan dia telah berubah ingatannya."
"Ah" Maksudmu, dia..." Bi Cu membuat tanda dengan melintangkan telunjuk di atas dahinya.
"Benar, dia telah mengalami tekanan batin sehingga menjadi gila." Sin Liong lalu menceritakan tentang semua riwayat Kui Hok Boan, kemudian tentang dua orang pemuda yang sebenarnya adalah anak-anaknya sendiri akan tetapi yang diakuinya sebagai keponakan dan betapa dua orang anaknya itu saling bermusuhan dan saling bunuh sendiri. Semua itu membuat Kui Hok Boan merasa menyesal dan membikin dia menjadi gila.
"Nah, dalam keadaannya seperti sekarang ini, dalam keadaan hidup menderita dan merana, sampai menjadi gila, apakah engkau masih mempunyai gairah untuk membalas dendam" Membalas kepada orang yang sudah terhukum sehebat itu karena perbuatan-perbuatannya sendiri"
Bi Cu termangu-mangu, kemudian berkata, "Memang tidak enak memusuhi orang sakit, apalagi sakit gila. Akan tetapi aku masih penasaran sebelum melihat keadaannya dengan mata sendiri, Sin Liong. Mari kita mengunjunginya dan setelah melihat keadaannya, baru aku akan memutuskan apakah aku akan membalas kematian ayah ataukah tidak."
Demikianlah, setelah mendapatkan persetujuan para tokoh Cin-ling-pai, Sin Liong dan Bi Cu lalu berangkat ke selatan. Mereka menunggang dua ekor kuda yang amat baik karena mereka mendapatkan hadiah dari Pangeran Hung Chih. Pakaian merekapun serba bersih dan indah. Bukankah mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjasa menentang dan menggagalkan pemberontakan" Mereka menerima banyak hadiah berupa pakaian dan uang emas dari pangeran itu, bahkan kaisar sendiri berkenan menyerahkan Istana Lembah Naga kepada Sin Liong setelah mendengar bahwa pendekar itu terlahir di dalam istana itu. Raja Sabutai telah dihubungi melalui utusan dan raja itupun tidak membantah ketika kaisar menentukan bahwa istana itu diserahkan dan menjadi hak milik yang dilindungi dari Cia Sin Liong!
Tentu saja perjalanan kali ini yang dilakukan oleh Sin Liong dan Bi Cu berbeda dengan perjalanan-perjalanan yang lalu sebagai orang yang dikejar-kejar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw. Kini mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai dengan hati penuh keriangan, karena hati mereka penuh dengan cinta kasih yang terpancar dari sinar mata mereka yang saling memandang penuh kelembutan, kata-kata yang penuh kemesraan dan sentuhan-sentuhan yang menggetar. Mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencinta, melakukan perjalanan bersama. Kadang-kadang mereka berlumba dengan kuda mereka dan ada kalanya mereka berjalan kaki sambil bergandengan tangan, menuntun dua ekor kuda itu di belakang mereka, dan kalau mereka beristirahat, Bi Cu menyandarkan dadanya di pundak atau dada Sin Liong.
Akan tetapi, betapapun meara hubungan antara mereka, dan betapapun besar cinta kasih mereka, keduanya selalu menjaga diri dan mereka tidak sampai melakukan pelanggaran dalam hubungan mereka itu. Sebaliknya, seorang wanita yang sejak kecil hidup sendiri dan tidak malu-malu seperti kebanyakan wanita muda, pernah dalam keadaan istirahat itu Bi Cu menyatakan terus terang kepada Sin Liong.
"Sin Liong, kita sudah bertunangan secara resmi, direstui oleh ayahmu dan keluarga Cin-ling-pai."
"Ya, kita beruntung sekali, Bi Cu," jawab Sin Liong sambil mengelus rambut yang hitam halus dan panjang itu.
"Dan kulihat engkau tidak pernah mencoba untuk membujukku, untuk mengajakku... eh, menyerahkan diri kepadamu... sungguhpun... hemm, mungkin sekali... ah, tiada bedanya bagiku, aku merasa bahwa aku telah menjadi milikmu lahir batin. Mengapa, Sin Liong"
"Ah, kita belum menikah dengan resmi, Bi Cu."
"Hemm, aku tahu, akan tetapi... andaikata engkau minta kepadaku dan aku menuruti permintaanmu, kita melakukan hubungan sebelum menikah, lalu mengapa"
"Tidak, hal itu tidak mungkin Bi Cu."
"Mengapa, Sin Liong" Apakah karena engkau tidak menginginkannya"
Sin Liong mendekap kepala itu penuh kasih sayang. "Tentu saja aku ingin sekali!"
"Kalau begitu, sama dengan aku. Lalu apa halangannya"
Bukan main, kekasihnya ini sungguh seorang gadis yang jujur dan terbuka, tidak pura-pura!
"Tidak, Bi Cu, karena aku cinta padamu!"
"Mengapa kalau engkau cinta padaku malah engkau tidak menuntut penyerahan diri dariku"
"Ah, kekasihku, dewiku, betapa polos dan jujurnya engkau. Engkau percaya sepenuhnya kepadaku, dan justeru karena kepercayaanmu itulah, justeru karena cinta kita itulah, maka aku tidak akan melakukan hal itu, betapapun besar dorongan gairah nafsuku! Aku cinta padamu, Bi Cu, dan karena aku cinta padamu, maka aku tentu menghormatimu, aku tentu menjaga namamu, aku tentu, akan menjaga dengan nyawaku untuk tidak merendahkanmu, meremehkanmu. Betapapun juga, kita hidup di dalam belenggu-belenggu peraturan, kesusilaan, dan kebudayaan. Belenggu-belengga itu telah menentukan bahwa tidak semestinya hubungan itu dilakukan sebelum menikah, dan siapa melanggarnya, apalagi wanita, tentu akan dikutuk dan dipandang rendah! Nah, karena cintaku kepadamu, betapapun besar keinginan hatiku, harus kujaga agar engkau jangan sampai dikutuk dan dipandang rendah. Aku sayang kepadamu, aku ingin engkau senang dan hidup bahagia. Kalau aku membujukmu untuk melakukan hubungan suami isteri, hal itu berarti bahwa aku hanya ingin mencari senang dan enak sendiri dan membiarkan engkau yang terancam aib. Mengertikah engkau, Bi Cu"
Bi Cu bergerak perlahan dan membalik, mengangkat muka ke atas dan merangkul leher kekasihnya. Sin Liong menunduk dan mereka berciuman sampai napas mereka terengah-engah dan terpaksa mereka melepaskan ciuman karena sukar untuk bernapas!
"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku tidak kuat dan mata gelap!" Sin Liong mendorong dara itu dengan halus dan mereka bangkit berdiri. Bi Cu tersenyum dan memandang kekasihnya dengan sinar mata menggoda.
"Kalau begitu kenapa" Kalau aku rela, siapa perduli"
"Ihh, engkau nekat!" Sin Liong tertawa. "Ingat, kebahagiaan itu adalah kita punya, maka perlu apa kita rusak sendiri" Mengapa kita tidak menahan bersama, agar kelak setelah tiba saatnya kita berdua akan lebih dapat menikmatinya"
DEMIKIANLAH, dengan dasar cinta kasih yang mendalam, dua orang muda itu mampu mempertahankan kemurnian mereka dan tidak sampai menjadi buta oleh nafsu berahi. Sesungguhnya kasih sayang itu membuat kita menjadi kuat menghadapi apapun juga, bahkan kuat pula menghadapi godaan setan berupa nafsu berahi yang biasanya tak terkalahkan oleh manusia itu!
Pada suatu hari, setelah mereka tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan. Mereka melewati sebuah hutan yang amat luas. Dari pagi sampai matahari hampir naik menjelang tengah hari, mereka masih berada di dalam hutan. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang-orang bertempur di depan dan mereka lalu membedalkan kuda mereka menuju ke arah suara hiruk-pikuk itu.
"Bi Cu, jangan kau sembarang bergerak, ya" Sin Liong memesan dan Bi Cu hanya mengangguk.
Dan tibalah mereka di tempat pertempuran itu. Kiranya ada banyak orang bertempur. Sedikitnya ada sebelas orang yang berpakaian sebagai piauwsu, yaitu para pengawal kiriman barang, melawan hampir dua puluh orang-orang yang berpakaian kasar dan mudah diduga bahwa mereka itu tentu perampok-perampok yang buas. Yang menarik perhatian Bi Cu adalah seorang pemuda yang memainkan sebatang pedang dengan gagahnya, melawan kepala perampok yang berambut panjang dan bermuka brewok. Biarpun pemuda yang kelihatannya seperti melakukan perlawanan mati-matian itu berusaha mati-matian dan gagah perkasa, namun jelas bahwa dia mulai terdesak hebat oleh sepasang golok kepala perampok yang amat lihai itu. Melihat wajah pemuda itu, Bi Cu tertarik dan cepat dia mengerling ke arah gerobak piauwkiok dan begitu dia melihat bendera piauwkiok yang berdasar merah dengan lukisan garuda berwarna kuning, terkejutlah dia dan dia yang sudah meloncat turun dari atas kudanya itu memegang lengan Sin Liong.
"Dia itu twako Na Tiong Pek...!"
Sekarang Sin Liong juga mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda tampan gagah itu. "Benar, dialah itu!"
"Lihat, itu bendera Ui-eng-piauwkiok! Aku harus membantunya, dia sudah terdesak!" kata Bi Cu dan dia lalu mengambil sebatang ranting kayu pohon, kemudian dengan cepat dia sudah meloncat ke depan dan menyerbu ke medan laga sambil berseru keras.
"Na-twako, jangan khawatir, minggirlah, biarkan aku menghajar babi hutan ini!"
Tongkat di tangannya berkelebat dan membentuk segulung sinar hijau yang mengejutkan kepala perampok itu sehingga dia meloncat ke belakang karena gulungan sinar hijau itu dapat menembus sinar goloknya dan hampir saja ujung ranting itu menusuk hidungnya! Sementara itu, Na Tiong Pek yang sudah terdesak itu meloncat mundur dengan napas terengah-engah dan dia terkejut dan heran melihat munculnya seorang dara cantik yang bergerak cepat bukan main seperti burung terbang saja dan tahu-tahu sudah mendesak kepala perampok itu dengan sebatang ranting di tangan! Ketika dia melihat wajah dara itu, hampir dia tidak percaya.
"Bi... Bi Cu...!" Dia tergagap, karena biarpun dara itu wajahnya persis Bi Cu, akan tetapi mana mungkin Bi Cu memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga hanya dengan sebatang ranting saja mampu menahan sepasang golok di tangan kepala perampok yang lihai dan yang tadi membuat dia kewalahan"
"Benar, twako, lekas kauhajar anak-anak babi itu dan biarkan aku merobohkan babi butan yang satu ini!" teriak Bi Cu dengan nada suara gembira sekali dapat bertemu dengan pemuda ini.
Na Tiong Pek kembali memandang dengan penuh kagum dan dia menoleh, memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri memegangi dua ekor kuda. Agaknya, pemuda itu datang bersama Bi Cu, akan tetapi dia tidak tahu siapa pemuda itu. Maka, melihat betapa anak buahnya masih dengan gigihnya melawan para perampok, dia lalu berteriak nyaring dan mengamuk, menyerang para anak buah perampok itu, mengeluarkan kegesitan dan kepandaiannya karena dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada Bi Cu, lupa bahwa dia tadi hampir kalah oleh kepala perampok yang kini ditandingi oleh Bi Cu itu. Dan ternyata bahwa dibandingkan dengan teman-temannya, yaitu para piauwsu, kepandaian pemuda she Na ini memang lebih menonjol. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran itu, maka beberapa orang perampok roboh dan mereka menjadi kacau-balau dan terdesak oleh pemuda yang mengamuk seperti seekor harimau marah itu.
Sin Liong hanya menonton, akan tetapi tentu saja setiap saat dia siap untuk melindungi kekasihnya. Dia melihat bahwa gerakan kepala perampok itu hanya dahsyat dipandang saja, namun hanya merupakan orang kasar yang mengandalkan tenaga otot, tidak memiliki dasar kepandaian berarti sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Begitu bergebrak, dia tahu bahwa kekasihnya itu tidak akan kalah. Dan memang benar, baru belasan jurus saja Bi Cu yang mempergunakan ilmu Ngo-lian Pang-hoat yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai, telah dapat melecut muka kepala perampok itu berkali-kali dan paling akhir malah dia berhasil menusuk sebelah mata kiri kepala perampok itu sehingga terobek dan berdarah. Kepala perampok itu merasa bahwa dia tidak akan menang, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan meloncat jauh ke belakang terus melarikan diri, diikuti oleh anak buahnya yang telah mendengar aba-aba lari tadi, sambil menyeret dan membawa teman-teman mereka yang terluka, memasuki hutan lebat, diikuti suara tertawa dan sorakan para piauwsu yang merasa gembira memperoleh kemenangan.
Na Tiong Pek cepat menghampiri Bi Cu dan sejenak mereka berdiri saling berhadapan dan saling pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda tampan itu ditujukan kepadanya dengan penuh kagum, kekaguman seperti yang dulu sering dia lihat dari tatapan pandang mata Tiong Pek, tiba-tiba Bi Cu merasa jantungnya berdebar dan kedua pipinya merah. Apalagi ketika Tiong Pek berkata, "Bi Cu... alangkah cantiknya engkau sekarang! Dan betapa hebat kepandaianmu, sungguh aku merasa kagum bukan main!"
Untuk mengalihkan rasa jengah dan malu, Bi Cu tersenyum. "Ah, engkau masih sama saja seperti dulu, Na-twako. Mari kautemui dia..."
"Siapa" Tiong Pek menoleh dan memandang kepada pemuda yang menuntun dua ekor kuda itu.
"Hei, lupakah engkau kepadanya" Lihat baik-baik, siapa dia" Bi Cu berkata lagi sambil menghampiri Sin Liong, diikuti oleh Tiong Pek.
Kini mereka berhadapan Sin Liong tersenyum. "Saudara Na Tiong Pek, lupakah engkau kepada Sin Liong"
"Sin Liong..." Ah, engkaukah ini" Tiong Pek berseru kaget dan girang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu adalah Sin Liong, anak yang dahulu ditolong oleh mendiang ayahnya! "Ah, bagaimana kalian dapat datang bersama" Di manakah saja engkau tingagal selama ini, Bi Cu" Dan bagaimana bisa bersama Sin Liong bertemu denganku di sini" Bertubi-tubi pertanyaan itu diajukan kepada Bi Cu.
"Kami... hanya kebetulan saja bertemu dan kami berdua mengadakan perjalanan bersama menuju ke Ho-nan, ke kota Su-couw."
"Aih, tidak pernah aku bermimpi akan dapat bertemu denganmu di sini, Bi Cu. Dan kepandaianmu demikian hebat! Dari mana engkau mempelajari ilmu tongkat yang demikian lihai" Sungguh lucu, begitu bertemu, engkau yang menyelamatkan aku malah! Haii, teman-teman, lihatlah baik-baik, nona penolong kita ini bukan lain adalah sumoiku sendiri! Kalau tidak ada dia yang lihai, mungkin barang-barang kita terampas dan kita belum tentu selamat!" Semua piauwsu memandang dengan kagum.
"Ah, sudahlah jangan banyak sungkan, twako."
"Kita bukan suheng dan sumoi lagi!"
"Terserah, akan tetapi karena aku sudah menjadi murid orang lain, maka biarlah kusebut engkau Na-twako saja. Bagaimana keadaanmu selama ini, twako" Apakah engkau sudah berumah tangga"
Tiong Pek menggeleng kepalanya, dan dia tertawa, ketawanya polos dan Sin Liong melihat bahwa biarpun pemuda ini masih mempunyai sifat sombong, akan tetapi kini sudah berubah dan lebih jujur.
"Setelah ditolak olehmu, aku jera untuk mencari jodoh, takut ditolak lagi. Pula, di mana mencari orang yang melebihimu"
"Aih, jangan bergurau, twako!" Bi Cu berkata dan mukanya berubah merah lagi.
"Siapa bergurau" Coba tanya Sin Liong ini! Betul tidak ucapanku tadi, Sin Liong" Mana ada gadis melebihi dia ini" Eh, dan kau sendiri bagaimana, Sin Liong" Apakah engkau sudah memperoleh jodoh"
Sin Liong memandang wajah Bi Cu dan melihat dara itu kelihatan malu sekali, Sin Liong menjawab lirih, "Belum."
"Ha-ha, kita masih sama seperti dulu! Kalau kuingat betapa kita bertiga melawan para penyerbu itu. Ah... sungguh malang ayah dan ibuku... eh, kau dibawa pergi wanita sakti itu, lalu apa yang terjadi, Sin Liong"
"Aku hanya merantau ke segala tempat sampai... kebetulan bertemu dengan Bi Cu dan kami lewat di sini, kebetulan bertemu denganmu."
"Kita harus rayakan pertemuan kita! Akan tetapi di hutan begini bagaimana kita bisa merayakannya" Hayo kalian mampir dulu di rumahku, aku masih tinggal di Kun-ting, di rumah yang dulu. Sumoi... eh, Bi Cu, tidak maukah engkau singgah di rumahku lagi"
"Tentu saja twako, akan tetapi, aku ada urusan penting sekali, harus pergi ke Su-couw, nanti kalau aku kembali dari selatan, tentu aku mau mampir..."
"Ke Su-couw" Kau sendiri, atau bersama Sin Liong"
"Kami berdua ke Su-couw..."
"Kalau begitu, aku akan mengantarmu. Ada urusan apa, Bi Cu" Biar kubantu engkau!" Tiong Pek memwarkan jasanya. Akan tetapi sebelum mereka melanjutkan percakapan itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah seorang tosu, yang menunggang kuda. Pakaiannya seperti tosu, rambutnya seperti tosu, akan tetapi sikapnya seperti perampok ganas! Pria itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, biarpun jenggot dan kumisnya terpelihara rapi, namun sepasang matanya melotot liar dan sikapnya kasar. Di belakang tosu ini nampak kepala perampok yang sebelah matanya masih terluka dan kini dibalut, sehingga nampak lucu sekali.
Sekali lihat saja, mengertilah Bi Cu bahwa agaknya tosu ini merupakan teman si kepala perampok, maka dia sudah bangkit dan memandang kepada kepala perampok tadi sambil mengejek. "Eh, babi hutan mata satu berani datang lagi" Apakah masih kurang merasakan gebukan dan minta lagi"
Kini tosu itu sudah meloncat turun dari atas kudanya dan melihat caranya meloncat, Sin Liong maklum bahwa tosu ini memiliki kepandaian yang lumayan. Tosu itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan berdiri tegak dia membentak, "Siapa berani melukai muridku"
Na Tiong Pek mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, maka dengan pedang di tangan dia sudah meloncat ke depan sambil memaki, "Tosu busuk, kau membela perampok" Dan pedangnya sudah menyerang dengan gencar ke arah tubuh tosu itu.
Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika tongkat itu menangkis pedang, kemudian tiba-tiba tosu itu membentak nyaring dan tongkatnya kini balas menyerang dan Na Tiong Pek menjadi sibuk sekali, harus berloncatan ke sana-sini sambil menangkis, dan akhirnya kaki kanannya kena diserampang.
"Tukk!" Dia terguling roboh karena tulang keringnya kena dipukul dan pada saat itu tongkat panjang sudah menyambar lagi ke arah kepala Tiong Pek.
"Takkk!" Tongkat panjang itu tertangkis oleh ranting di tangan Bi Cu. Kakek itu memandang dengan penuh perhatian.
"Minggirlah, twako," kata Bi Cu dan Tiong Pek menyeret pedang sambil terpincang-pincang mendekati Sin Liong.
"Tosu kerbau itu lihai juga..." dia mengomel, akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya karena dia mengkhawatirkan kekasihnya yang harus menghadapi tosu yang dia tahu memiliki kepandaian lumayan itu. Akan tetapi dia maklum akan kekerasan hati Bi Cu maka dia tidak mau membantu atau menggantikannya karena hal itu akan menyinggung hati Bi Cu. Dia hanya siap untuk melindungi kekasihnya itu kalau perlu dan diam-diam mempergunakan jari-jari tangannya meraba dan memainkan beberapa buah batu kerikil.
Setelah memandang wanita muda yang memegang ranting pohon itu, si tosu menjadi terkejut dan terheran-heran. "Inikah dia dara yang mengalahkan kamu" tanyanya kepada kepala perampok brewok itu.
"Betul, suhu, akan tetapi dia curang, dia menusuk mata!"
"Heh-heh-heh, memang cantiknya bisa menusuk mata. Eh, nona, engkau telah kesalahan tangan melukai mata muridku, maka kalau engkau mau ikut dengan pinto, menjadi murid pinto selama satu bulan, pinto mau mengampunimu. Mari pergi bersama pinto, sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu luka oleh tongkatku."
"Heh, tosu busuk, tosu cabul, mulutmu kotor! Belum tentu engkau dapat mengalahkan dia!" Na Tiong Pek sudah memaki-maki dengan marah mendengar ucapan tosu itu. Dan Bi Cu tidak mau melayani tosu itu, terus saja dia sudah menerjang dan menggunakan ranting di tangannya untuk menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang berbahaya.
"Eh, kau hebat juga!" Tosu itu berseru kaget dan cepat mengelak sambil menggerakkan tongkatnya menangkis. Akan tetapi Bi Cu tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus saja dara ini mainkan ilmu tongkatnya yang amat lincah. Semenjak dia menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong memang dia memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali kekuatan sin-kang dan kecepatan gerakan tubuhnya.
Akan tetapi, tepat seperti dugaan Sin Liong, tosu itu memang tangguh sekali. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba tosu itu menangkis dengan keras dan membuat Bi Cu terdorong ke belakang lalu tosu itu membentak. "Hei, bukankah kau mainkan Ngo-lian Pang-hoat" Masih apamukah mendiang Hwa-i Sin-kai"
"Beliau adalah guruku! Kau mau apa"
"Ha-ha-ha!" Tosu itu tertawa bergelak. "Kalau begitu, semestinya kalau aku bersikap lunak kepadamu. Bahkan andaikata dia masih hidup, tentu pinto akan mengalah. Akan tetapi dia sudah mati, dan engkau begini cantik, kau jadilah muridku selama sebulan..."
"Tosu busuk!" Bi Cu sudah menerjang lagi, akan tetapi sekali ini tosu itu memutar tongkatnya yang panjang, membentuk gulungan sinar yang lebar dan begitu Bi Cu bertemu dengan gulungan sinar ini, dia terhuyung ke belakang dan nyaris dia roboh kalau saja tidak cepat meloncat dan berjungkir balik. Akan tetapi pada saat itu, tangan yang berlengan panjang dari tosu itu menyambar lengannya dalam cengkeraman yang amat kuat. Selagi Bi Cu terkejut, tiba-tiba tosu itu berteriak kesakitan dan melepaskan lengan Bi Cu. Tiba-tiba saja, ketika dia tadi memegang lengan dara itu, sikunya dihantam oleh benda kecil, entah apa dan tiba-tiba saja, lengannya menjadi kesemutan dan lumpuh!
Melihat bahwa tidak ada apa-apa, dia mengira bahwa hal itu kebetulan saja, maka dia sudah memutar lagi tongkat panjangnya dan hendak menyerang Bi Cu. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan yang amat nyaring, "Tahan senjata! Di mana ada seorang pendeta suci menyerang seorang gadis remaja"
Dan muncullah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan demikian gagahnya sehingga mengagumkan Na Tiong Pek yang memandangnya. Bi Cu mengenal pemuda itu, sungguhpun hanya sekelebatan saja ketika pemuda ini ikut pula mengamuk di Istana Lembah Naga. Juga Sin Liong mengenalnya, karena pemuda itu bukan lain adalah Ciu Khai Sun, pemuda tinggi tegap, gagah dan tampan dari Siauw-lim-pai itu! Akan tetapi Ciu Khai Sun tidak memperhatikan dara itu, juga tidak melihat Sin Liong karena semua perhatiannya ditujukan ke arah tosu itu.
Tosu itu mengira bahwa tentu pemuda ini yang tadi berlaku usil dan membuat pegangannya terlepas, maka dia lalu membentak marah, "Manusia lancang! Berani kau mencampuri urusan pinto" Dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang pemuda itu!
Akan tetapi sekali ini tosu itu kecelik dan dia bertemu dengan batu karang! Melihat gerakan tongkat panjang itu jagoan Siauw-lim-pai ini menghadapinya dengan dua tangan kosong saja! Perlu diketahui bahwa ahli-ahli silat Siauw-lim-pai sebagian besar pandai memainkan toya, maka melihat gerakan tongkat itu Ciu Khai Sun maklum bahwa biarpun tosu ini memiliki kepandaian lumayan, namun ilmu tongkat itu belum cukup hebat untuk membuat dia terpaksa mencabut senjata! Dan memang pemuda tinggi tegap ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, maka dengan mengerahkan tenaga sin-kang, dia berani menggunakan kedua lengannya untuk menangkis tongkat lawan dan setiap tangkisannya bahkan membuat lawan itu merasa telapak tangannya panas dan nyeri!
Terkejutlah tosu itu. Tak disangkanya bahwa di tempat ini dia bertemu dengan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang begini tangguh! Bertempur belasan jurus saja sudah membuka matanya bahwa yang dilawannya adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, maka gentarlah tosu itu. Dia menyerang secara membabi-buta, akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Ciu Khai Sun mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya menangkis tongkat itu dengan keras dan tangan kanannya menghantam ke depan.
"Krakkk! Bukk...!" Tubuh tosu itu terlempar sampai dua meter dan roboh terbanting ke atas tanah dengan napas megap-megap karena dadanya terasa sesak. Melihat itu, kepala perampok brewok itu cepat menyambar tubuh gurunya dan melarikan diri dengan membalapkan kudanya. Cui Khai Sun tidak mengejar dan Na Tiong Pek sudah berlari menghampiri dan menjura dengan penuh hormat.
"Bukan main hebat kepandaian enghiong yang perkasa!" Dia memuji. "Saya akan merasa terhormat sekali berkenalan dengan enghiong. Saya Na Tiong Pek, kepala piauwsu dari Ui-eng-piauwkiok di Kun-ting."
Ciu Khai Sun membalas penghormatan itu dengan sederhana. "Aku Cui Khai Sun. Eh, Na-piauwsu, apa yang terjadi di sini" Siapakah tosu tadi dan siapa pula orang brewok tadi"
"Mereka itu perampok-perampok jahat! Mula-mula si brewok itu memimpin anak buahnya merampok kami, dan kemudian setelah para perampok itu dipukul mundur, muncullah guru si brewok, yaitu tosu tadi. Untung engkau muncul, Ciu-enghlong dan ternyata engkau adelah seorang pendekar yang jempol!"
Pada saat itu, Sin Liong dan Bi Cu datang mendekat. Ciu Khai Sun menoleh dan begitu melihat dua orang muda itu, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia menghadapi Sin Liong dan Bi Cu sambil menjura penuh hormat.
"Aih, kiranya Cia-taihiap berada di sini" Dan yang bertanding dengan tosu tadi adalah Bhe-lihiap" Ah, kalau begitu aku telah lancang sekali..."
"Engkau telah menyelamatkan aku, Ciu-enghiong..."
"Eh, jangan membuat aku merasa malu, nona. Jangan menyebut enghiong, sungguh membikin aku merasa malu di depan Cia-taihiap."
"Baiklah, diantara orang sendiri, biarlah kusebut engkau Ciu-twako saja!" kata Bi Cu yang merasa suka melihat sikap yang begitu jujur dan sederhana dari jagoan Siauw-lim-pai yang lihai ini. Mereka semua tertawa dan Na Tiong Pek merasa heran sampai bengong. Apalagi mendengar betapa pandekar yang gagah itu menyebut Sin Liong dengan "Cia-taihiap"! Tentu saja dia menjadi bingung dan tidak mengerti sama sekali.
"Ciu-twako hendak pergi ke manakah" Sin Liong bertanya ramah.
"Aku sedang menuju ke rumah pamanku di Su-couw."
"Su-couw" Ah, sungguh kebetulan, kami berduapun hendak pergi ke Su-couw," kata Sin Liong girang.
"Begitulah" Aku sudah merasa heran bertemu dengan ji-wi di sini, tidakkah semestinya ji-wi pergi ke utara, ke Lembah Naga" Bukankah aku mendengar bahwa kaisar..."
"Tidak, kami masih banyak urusan dan hendak pergi ke Su-couw." kata Sin Liong memotong ucapan itu. Melihat sikap pendekar ini agaknya tidak suka membicarakan urusan Lembah Naga, maka jagoan Siauw-lim-pai itupun tidak mau menyebutnya lagi.
"Kalau begitu, kebetulan sekali, kita dapat melakukan perjalanan bersama!" katanya dengan girang, "Kita dapat pergi bertiga..."
"Berempat, Ciu-enghiong. Akupun akan pergi ke sana! Sekarang juga aku akan mengatur semua piauwsu untuk mengantarkan barang-barang ini sampai ke tempat tujuan yang sudah tidak jauh lagi dan aku akan ikut bersama kalian ke Su-couw. Ketahuilah, Ciu-enghiceng, aku baru saja berjumpa kembali dengan dua orang... eh, sute dan sumoiku ini setelah kami berpisah selama bertahun-tahun."
"Ahh...!" Ciu Khi Sun tentu saja terkejut sekali mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah suheng dari Cia Sin Liong yang sakti dan nona Bhe Bi Cu. "Tentu saja..." katanya dengan pandang mata terheran-heran.
Sin Liong dan Bi Cu tidak berkata apa-apa dan setelah Tiong Pek membagi-bagi tugas kepada para piauwsu yang menjadi anak buahnya untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, dia lalu memberikan seekor kuda kepada Ciu Khai Sun dan mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Mereka berjalan seenaknya saja sambil menikmati keindahan pemandangan di pegunungan itu setelah keluar dari hutan, karena memang pemandangan alam di daerah perbatasan utara Propinsi Honan amatlah indahnya.
Pada tengah hari itu mereka berhenti di tepi sebuah danau kecil di lereng gunung untuk makan siang dari perbekalan masing-masing sambil mengobrol ke barat dan ke timur. Setelah memberi waktu kepada kuda mereka untuk beristirahat sejenak, mereka lalu melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, menjelang senja, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan nampak ada tiga penunggang kuda mengejar mereka. Tadinya mereka tidak menaruh perhatian, akan tetapi setelah mereka mendengar teriakan-teriakan dari belakang, Na Tiong Pek mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah si perampok brewok bersama dua orang yang membalapkan kuda mereka. Jelaslah bahwa tiga orang itu mengejar mereka berempat!
"Wah, si babi hutan mata satu itu lagi!" kata Na Tiong Pek gembira, menirukan julukan yang diberikan oleh Bi Cu kepada kepala perampok yang terluka sebelah matanya. Hatinya sedikitpun tidak merasa khawatir karena di situ terdapat Ciu Khai Sun, yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, juga tokoh Siauw-lim-pai pula seperti yang didengarnya dari percakapan mereka. Selain ada Ciu Khai Sun, juga di situ ada Bi Cu yang sekarang ternyata lebih lihai daripada dia sendiri. Mengenai diri Sin Liong, dia meragukan apakah pemuda inipun memperoleh kemajuan seperti Bi Cu!
Empat orang muda itu menahan kuda lalu membalikkan kuda mereka menghadapi tiga orang yang datang dengan cepat itu. Ternyata mereka itu adalah si kepala perampok yang mata kirinya tertutup balutan kain bersama dua orang kakek, akan tetapi bukan tosu yang menjadi gurunya dan yang telah dikalahkan oleh Khai Sun tadi. Mereka ini juga dua kakek tua, dan seorang di antara mereka berpakaian seperti tosu, mukanya putih dan matanya memandang bengis, di punggungnya terdapat sebatang pedang panjang. Orang ke dua berpakaian seperti seorang pengemis, membawa sebatang tongkat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya penuh senyum.
"Hemm, mereka itu adalah Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong." Sin Liong berkata lirih akan tetapi cukup dapat didengar oleh tiga orang temannya.
"Ahh! Mereka yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat di selatan itu" Ciu Khai Sun berkata dengan nada suara kaget. Biarpun dia sendiri belum pernah jumpa dengan dua orang itu, namun nama besar mereka sudah pernah didengarnya. Kim Lok Cinjin, tosu muka putih itu adalah sute dari mendiang Kim Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw yang tewas di tangan Cia Bun Houw ketika terjadi pertempuran di Lembah Naga. Sedangkan Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) adalah seorang pengemis yang berilmu tinggi dan yang menguasai seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis) di seluruh daerah selatan.
"Bi Cu, harap engkau diam saja dan jangan ikut maju," tiba-tiba Sin Liong berkata kepada kekasihnya.
"Tapi, Sin Liong..." Bi Cu hendak membantah.
"Mereka itu lihai bukan main, dan kejam," kata pula Sin Liong memotong kata-kata kekasihnya.
"Cia-taihiap, biarlah jembel tua itu kuhadapi dan Kim Lok Cinjin yang kabarnya luar blasa lihainya itu taihiap yang menandinginya."
"Ciu-twako, kuharap twako sekali ini menonton saja, biar aku yang menghadapi mereka berdua," jawab Sin Liong yang maklum akan bahayanya dua orang lawan itu dan biarpun dia tahu akan kelihaian pemuda Siauw-lim-pai ini namun dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan celaka.
Na Tiong Pek mendengarkan percakapan itu dengan heran sampai dia melongo. Sin Liong hendak menghadapi lawan yang dikabarkan amat lihai itu seorang diri saja, menghadapi mereka berdua" Apa artinya ini" Dia merasa tidak enak melihat semua orang mengajukan diri untuk menghadapi musuh, maka diapun berkata, "Sute, aku akan membantumu!"
Sin Liong tersenyum. "Na-twako jangan main-main. Mereka itu datuk-datuk golongan sesat yang lihai, biarlah kau nonton saja dan siap membantuku kalau aku sampai terancam bahaya." Kalimat terakhir itu dimaksudkan untuk "mengangkat" orang ini, akan tetapi Tiong Pek yang belum tahu benar bahwa Sin Liong kini telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, bahkan yang kini terkenal dengan sebutan Pendekar Lembah Naga, segera menjawab dengan sungguh-sungguh. "Baik!"
Kini tiga orang itu sudah tiba di situ dan mereka sudah berloncatan turun dengan sikap mengancam. Melihat ini, Sin Liong menyerahkan kendali kudanya kepada Tiong Pek yang berada di sebelah kirinya sambil berkata, "Twako, tolong kau pegangkan kendali kudaku sebentar." Setelah berkata demikian, diapun lalu turun dari kudanya dan melangkah ke depan menyambut dua orang kakek itu dengan sikap tenang.
"Kim Lok Cinjin dan Lam-thian Kai-ong, apakah ji-wi baik-baik saja" Dan ada keperluan apakah ji-wi mengejar kami" tanya Sin Liong dengan suara tenang. Dua orang kakek itu yang tadinya memandang ke arah Ciu Khai Sun yang ditunjuk oleh si kepala rampok sebagai orang yang mengalahkan gurunya dan kepada Bi Cu sebagai gadis yang telah melukainya, kini terkejut dan memandang kepada Sin Liong dengan heran. Tak disangkanya begitu jumpa, pemuda sederhana ini telah mengenal nama mereka. Mereka kini mengamati pemuda itu dengan penuh perhatian. Kemudian merekapun mengenal pemuda ini dan Kim Lok Cinjin berseru kaget, "Kau... kau adalah... adalah bocah bernama Sin Liong itu..."
Tentu saja Kim Lok Cinjin terkejut karena dia pernah bertemu, bahkan pernah bergebrak dengan pemuda ini ketika diadakan pemilihan bengcu di selatan, bahkan Lam-thian Kai-ong juga hadir dan menyaksikan kelihaian anak itu ketika menghadapi Lam-hai Sam-lo!
"Ah, kalau begitu dia inilah yang menggagalkan gerakan di Istana Lembah Naga!" teriak pula Lam-thian Kai-ong. Kiranya dua orang inipun telah dihubungi oleh Kim Hwa Cinjin untuk membantu gerakan Pangeran Ceng Han Houw, akan tetapi mereka terlambat dan mereka mendengar bahwa gerakan itu gagal sama sekali, banyak orang kang-ouw golongan hitam tewas dan pasukan Pangeran Ceng Han Houw ditumpas oleh pasukan pemerintah. Dan kaum kang-ouw golongan hitam atau sesat yang telah dibebaskan itu mengabarkan bahwa gara-gara kegagalan itu adalah Cia Sin Liong!
"Kim Lok Cinjin, suhengmu telah tewas, demikian pula Lam-hai Sam-lo dan banyak lagi kaum sesat yang membantu pemberontakan. Pemberontakan telah ditumpas, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau pergi dan membujuk para anggauta Pek-lian-kauw agar jangan mencoba-coba untuk memberontak terhadap pemerintah. Dan engkau, Lam-thian Kai-ong, apakah engkaupun hendak membawa kaum pengemis untuk memberontak pula"
"Mengapa tidak" Kaum pengemis di kota raja dikejar-kejar, dan Hwa-i Sin-kai juga dibunuh. Bukankah pemerintah menindas kaum pengemis yang sudah sukar hidupnya" kata Lam-thian Kai-ong.
"Bohong!" tiba-tiba Bi Cu berteriak, "Hwa-i Sin-kai adalah guruku dan aku tahu bahwa dia tewas karena difitnah, karena semua itu diatur oleh Kim Hong Liu-nio yang sekarang sudah tewas pula! Pemerintah tidak pernah memusuhi rakyatnya, apalagi rakyat miskin."
"Sudahlah, sebaiknya kalian mundur saja sebelum terlambat. Masih banyak kesempatan bagi kalian untuk kembali ke jalan benar!"
"Cia Sin Liong! Pinto mendengar bahwa engkau adalah keturunan Cin-ling-pai dan bahwa ilmu kepandaianmu hebat sekali. Dahulu di dalam pemilihan bengcu kita tidak sempat mengadu ilmu secara memuaskan, sekarang pinto ingin mencoba-coba ilmumu sebelum mendengarkan bujukanmu itu!" kata Kim Lok Cinjin.
"Akupun ingin mencoba kepandaian orang yang dijuluki Pendekar Lembah Naga!" kata pula si Raja Pengemis.
Sin Liong tersenyum. "Kalian ini orang-orang tua masih saja memiliki nafsu besar untuk berkelahi. Biarlah aku mengaku kalah tanpa berkelahi, asal kalian suka mundur dan kembali ke jalan benar," kata Sin Liong sambil menjura. Melihat ini, Na Tiong Pek mengerutkan alisnya. Tadi dia merasa semakin heran sampai memandang dengan mata terbelalak mendengar percakapan itu. Tak disangkanya bahwa Sin Liong telah memperoleh kemajuan sedemikian hebatnya sehingga dikenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Pantas saja Ciu Khai Sun menyebutnya Cia-taihiap! Akan tetapi mendengar dan melihat sikap Sin Liong yang mengalah itu, sungguh dia merasa penasaran. Kalau memang benar Sin Liong memiliki kepandaian tinggi, kenapa dia tidak menyambut tantangan dua orang kakek sesat itu"
Kim Lok Cinjin masih merasa sakit hatinya mendengar akan kematian suhengnya, yaitu Kim Hwa Cinjin, yang menurut berita tewas di tangan Cia Bun Houw, tokoh Cin-ling-pai atau ayah dari pemuda yang kini berdiri di depannya itu. Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, dia tentu tidak akan mau menimpakan dendamnya kepada pemuda ini, akan tetapi karena kegagalan gerakan pangeran itu dikabarkan karena pemuda ini, maka dia ingin melampiaskan rasa kecewanya dengan menghinanya.
"Cia Sin Liong, kalau engkau mau berlutut dan minta ampun sebanyak delapan kali kepadaku, barulah pinto akan menghabiskan segala urusan dan akan pergi meninggalkanmu."
Sin Liong masih tetap tenang, akan tetapi kedua matanya mencorong tanda bahwa dia mulai marah. "Kim Lok Cinjin, bagi seorang gagah, kalau memang bersalah, aku akan suka tanpa diminta lagi untuk berlutut minta ampun kepada seorang anak kecil sekalipun, akan tetapi kalau tidak bersalah, biar menghadapi siapapun, biar setan atau iblis, aku tidak akan sudi berlutut dan mengalah!"
"Bagus! Itu artinya menantang kami!" kata Si Raja Pengemis yang sudah menggerakkan tongkatnya melakukan penyerangan yang amat cepat dan ganas. Kim Lok Cinjin yang pernah menyaksikan kelihaian Sin Liong, tidak malu-malu lagi untuk membantu temannya itu dan dia juga mencabut pedang dan menubruk, melakukan serangan kilat ke arah Sin Liong.
Sin Liong cepat mengelak sambil berloncatan ke sana-sini. "Hem, kalian memang sudah tidak dapat diperbaiki lagi," katanya dan diapun balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya.
Tongkat butut di tangan Raja Pengemis itu menyambar ganas, namun hanya dengan miringkan kepalanya, tongkat itu lewat dan luput.
"Darrr!" Batu besar di belakang Sin Liong yang terkena pukulan tongkat itu pecah!
"Singgg...!" Sinar kilat pedang di tangan Kim Lok Cinjin menyambar, namun kembali serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Sin Liong dengan mudah. Dua orang kakek itu menjadi semakin marah dan penasaran, mereka lalu memutar senjata mereka dengan cepat sehingga lenyap bentuk pedang dan tongkat itu, berubah menjadi dua gulungan sinar hitam dan sinar keemasan yang amat cepat menyambar-nyambar. Tubuh kedua orang kakek itu sampai lenyap tertutup gulungan sinar senjata mereka, hanya nampak kaki mereka saja kadang-kadang menginjak tanah dan berloncatan ke sana-sini. Namun dengan tenangnya Sin Liong menghadapi pengeroyokan itu dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dia dapat menghindarkan setiap serangan, dan kedua lengan yang dipenuhi tenaga sin-kang dari Thian-te Sin-ciang itu, seperti juga kedua lengan Kok Beng Lama dahulu, dapat dipergunakannya untuk menangkis tongkat dan bahkan menangkis pedang tanpa terluka!
Melihat betapa pemuda itu yang bergerak tenang dikeroyok oleh dua orang kakek yang demikian lihainya, Na Tiong Pek menjadi gelisah sekali. "Ciu-enghiong, kenapa engkau tidak membantunya" Sumoi... lebih baik engkau membantu Sin Liong... dua orang lawannya demikian ganas...!"
"Na-twako, jangan khawatir, Sin Liong tidak akan kalah."
"Saudara Na, apakah engkau tidak dapat melihat betapa Cia-taihiap sudah mulai mendesak mereka"
Mendengar ucapan kedua orang itu, Tiong Pek membelalakkan mata dan memandang dengan penuh perhatian ke arah pertempuran, akan tetapi gerakan dua orang kakek itu terlalu cepat sehingga dia tidak dapat mengikuti dan sama sekali tidak dapat melihat bagaimana keadaan Sin Liong yang kini juga mulai bergerak dengan cepat bukan main. Maka, tentu saja ucapan dua orang tadi tidak dapat melenyapkan kekhawatirannya. Dia lalu mencabut pedangnya. Melihat ini, Bi Cu terkejut.
"Eh, twako, kau mau apa"
"Mau... ini... mau meminjamkan pedangku kepada Sin Liong. Dua orang lawannya menggunakan senjata, dia harus menggunakan pedang ini... agar tidak kalah..."
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan keras dan nampak olehnya betapa tubuh Lam-thian Kai-ong terlempar dan terbanting ke atas tanah, tongkatnya patah menjadi dua, dan selagi Na Tiong Pek memandang dengan mata terbelalak, terdengar teriakan lain dan tubuh Kim Lok Cinjin juga terlempar dan terbanting roboh! Dua orang kakek itu mengeluh, lalu merangkak bangun dan dengan saling bantu mereka berdua lalu bangkit berdiri memandang kepada Sin Liong.
"Cia-taihiap, pinto mengaku kalah..." kata tosu itu.
"Taihiap sungguh hebat, pantas menjadi Pendekar Lembah Naga... uhh... saya mengaku kalah..." Si Raja Pengemis juga mengeluh dan keduanya lalu dibantu oleh kepala perampok brewok menaiki kuda masing-masing dan mereka bertiga lalu pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
Tiong Pek menyimpan kembali pedangnya dan dia berlari menghampiri Sin Liong, memegang tangan pendekar itu dan berkata, "Ah, sungguh tak pernah kusangka! Engkau telah menjadi seorang pendekar yang demikian lihai... ah, sute... hemm, tak pantas lagi aku menyebutmu sute... kau... Cia-taihiap..."
Sin Liong tertawa dan memegang pundak Tiong Pek. "Twako, kenapa engkau begini sungkan" Aku masih tetap Sin Liong yang biasa. Kepandaian apapun tidak merubah seorang manusia."
Na Tiong Pek makin gembira dan diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri yang biasanya suka mengagulkan diri sendiri. "Ah, Sin Liong... sungguh tak pernah kubayangkan engkau menjadi sehebat ini!"
Ciu Khai Sun juga menghampiri dan menyerahkan kendali kuda Sin Liong dan Tiong Pek yang tadi dipegangnya ketika Tiong Pek menghampiri Sin Liong dengan girang sehingga melepaskan tali kendali dua ekor kuda itu.
"Mari kita lanjutkin perjalanan, sebentar lagi malam akan tiba dan kita sebaiknya kalau sudah tiba di dusun depan untuk bermalam," kata Ciu Khai Sun.
Mereka melanjutkan perjalanan dan membalapkan kuda masing-masing. Malam itu mereka bermalam di sebuah dusun di mana mereka mengobrol dan makan malam di rumah seorang penghuni dusun yang mereka tumpangi dan mereka sewa kamarnya. Dalam percakapan ini, tanpa disengaja Ciu Khai Sun bertanya kepada Sin Liong, "Maaf, taihiap dan nona Bhe, kalau boleh aku mengetahui, setelah kita menjadi sahabat baik, ehh... kapan kiranya aku menerima surat undangan untuk pernikahan ji-wi"
Wajah Bi Cu menjadi merah dan dia menundukkan mukanya. Sin Liong tersenyum dan menjawab singkat. "Kalau sudah tiba saatnya kami takkan melupakanmu, Ciu-twako."
Mendengar ini, Na Tiong Pek meloncat bangun dan wajahnya berseri gembira. "Wah, kalian akan menikah" Ahaiii.... betapa bodohnya aku! Seperti buta saja! Kiranya kalian sudah saling berjodoh dan bertunangan"
Melihat sikap ini, sejenak Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mula-mula mereka merasa khawatir, akan tetapi melihat betapa Tiong Pek benar-benar bergembira, keduanya lalu tersenyum lega.
"Na-twako, kami... berdua saling mencinta..." pengakuan Bi Cu ini untuk menyatakan bahwa pertunangannya dengan Sin Liong adalah berdasarkan cinta dan minta agar bekas suhengnya itu suka memakluminya.
"Tentu saja! Aku memang setuju sekali bahwa setiap perjodohan harus berdasarkan cinta kedua fihak, baru dapat diharapkan pernikahan itu akan berbahagia. Kionghi (selemat), Sin Liong dan Bi Cu. Kionghi dan jangan lupa kelak untuk mengirim undangan untuk aku ikut minum arak pengantin!"
Melihat betapa kegembiraan pemuda itu tulus, Sin Liong lalu memegang tangan bekas suheng itu. "Aku senang sekali melihat sikapmu, twako. Tidak percuma engkau menjadi putera tunggal mendiang paman Na Ceng Han yang budiman."
Tiong Pek teringat sikapnya ketika mereka bertiga masih bersama-sama dahulu dan dia menarik napas panjang. "Aku bukan kanak-kanak lagi dan sudah menjadi dewasa sekarang, Liong-te dan sumoi! Aku sungguh girang bahwa kalian dapat berjodoh, dan memang kalian sudah cocok sekali untuk menjadi suami isteri."
Demikianlah, perjalanan pada keesokan harinya dilakukan dengan lebih menyenangkan dan lebih leluasa bagi Sin Liong dan Bi Cu yang kini sudah tahu akan isi hati Tiong Pek. Sebelum percakapan malam tadi, baik Sin Liong maupun Bi Cu merasa agak tidak enak terhadap Tiong Pek dengan adanya kenyataan bahwa pemuda itu pernah jatuh cinta kepada Bi Cu dan mengingat pula akan segala peristiwa yang pernah terjadi di waktu dahulu. Oleh karena itulah pula maka di depan Tiong Pek, keduanya tidak pernah memperlihatkan kemesraan, bahkah mereka tidak pernah menyinggung soal pertunangan mereka. Akan tetapi sekarang mereka merasa lega dan karena itu mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan lebih gembira.
*** Setelah mereka tiba di Su-couw, sebelum pergi mengunjungi pamannya, Ciu Khai Sun pergi dan ikut bersama Sin Liong dan Bi Cu mengunjungi rumah Kui Hok Boan yang oleh Sin Liong diakui sebagai rumah pamannya. Dia tidak perlu memberitahukan orang lain bahwa Kui Hok Boan yang hendak dikunjungi itu adalah ayah tirinya, karena hal ini akan menimbulkan kenang-kenangan yang amat tidak enak.
Kedatangan mereka disambut oleh Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira bukan main.
"Liong-koko...!" Dua orang dara kembar yang cantik jelita itu berteriak dan berlari-larian menyambut, kemudian mereka berdua memegangi kedua tangan Sin Liong dengan wajah gembira. Sin Liong juga merangkul pundak kedua orang adik tirinya yang disayangnya ini.
"Kalian baik-baik saja, bukan" tegurnya.
Setelah pertemuan tiga orang yang gembira dan mengharukan ini, barulah Sin Liong menyalam Tee Beng Sin atau yang lebih tepat lagi bernama Kui Beng Sin, dan memperkenalkan adik-adik tirinya itu kepada Bi Cu yang sudah mereka ketahui, kemudian kepada Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek. Dalam perkenalan ini, terjadi hal yang amat menarik, yaitu pertukaran pandang mata antara dua orang dara kembar itu dengan Ciu Khai Sun dan Na Tiong Pek! Seketika, dua orang pemuda itu tertarik sekali kepada dua dara kembar itu dan jantung mereka berdebar tidak karuan karena di dalam hati, mereka berdua harus mengakui bahwa selamanya belum pernah mereka bertemu dan berkenalan dengan dua orang dara yang demikian cantik manis dan lincah! Mereka lalu dipersilakan masuk oleh Beng Sin dan dua orang adik kembarnya. Sambil menggandeng tangan Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong, Bi Cu dan dua orang pemuda itu memasuki ruangan dan diajak duduk di kamar tamu. Tujuh orang muda-mudi ini riang gembira sekali dan macam-macam yang mereka bicarakan.
Tiba-tiba Sin Liong berkata kepada Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin, "Di manakah ayah kalian" Aku... aku dan Bi Cu ingin sekali jumpa. Bolehkah kami masuk untuk menemuinya"
Lin Lin dan Lan Lan saling pandang dengan alis berkerut, sedang Beng Sin segera bangkit berdiri sambil berkata, "Dia beristirahat di dalam. Marilah kalau kalian hendak bertemu, kuantarkan. Lan-moi dan Lin-moi, kau temani dulu dua orang tamu kita ini."
Sin Liong dan Bi Cu bangkit berdiri dan mengikuti Beng Sin masuk. Setelah tiba di dalam Beng Sin lalu berkata, sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, "Sin Liong, dan nona... aku tahu bahwa... ayahku telah melakukan banyak sekali kesalahan di masa lalu terhadap kalian, terutama terhadapmu, Sin Liong. Akan tetapi, melihat keadaannya sekarang, yang menderita dan tidak sadar, dan melihat muka kami, yaitu aku, Lan-moi dan Lin-moi, tidak maukah kalian memaafkannya"
Ketika tadi bertemu dengan tiga orang muda yang menjadi putera dan puteri musuh besar pembunuh ayah kandungnya, sudah banyak kebencian di dalam hati Bi Cu menurun, bahkan ada rasa tidak enak kalau sampai dia harus turun tangan membunuh Kui Hok Boan, tidak enak terhadap tiga orang muda yang baik-baik dan yang kelihatannya amat menyayang Sin Liong itu. Betapapun juga, dua orang dara kembar yang cantik manis itu adalah saudara seibu dari Sin Liong, maka kalau sampai dia menyusahkan hati mereka dengan membunuh ayahnya, sungguh merupakan hal yang amat tidak enak baginya. Mulailah timbul keraguan apakah dia akan sampai hati membunuh ayah dua orang dara kembar itu yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali tidak berdosa, bahkan yang dahulu berani menentang ayah sendiri demi menolong dia dan Sin Liong! Sekarang, mendengar ucapan Beng Sin, dia makin merasa canggung dan tidak enak, dan dia tidak berkata apa-apa dan memblarkan Sin Liong yang menjawab.
"Beng Sin, antar sajalah kami melihatnya. Kami ingin melihat bagaimana keadaannya sekarang."
Beng Sin mengangguk lalu menarik napas panjang. "Menyedihkan sekali... dan kalau keadaannya seperti itu terus, mana mungkin aku dapat melangsungkan pernikahanku"
Mereka tiba di depan sebuah kamar. Sunyi sekali di situ dan Beng Sin menuding ke kamar itu. "Dia selalu berdiam di kamarnya." Kemudian dia membuka daun pintu lebar-lebar agar ada cahaya memasuki kamar yang gelap itu.
Kui Hok Boan duduk di atas kursi, diam seperti patung. "Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang untuk menengokmu, ayah," kata Beng Sin kepada pria tinggi kurus pucat yang duduk di atas kursi itu.
Sin Liong dan Bi Cu terkejut melihat pria itu yang dulunya merupakan seorang pria setengah tua yang tampan dan gagah, kini telah menjadi tengkorak terbungkus kulit dan mukanya pucat, matanya cekung itu. Dan tiba-tiba pria itu bangkit berdiri, memandang kepada Sin Liong dan Bi Cu dengan sinar mata yang membuat Bi Cu merasa ngeri karena sinar mata itu liar dan penuh kedukaan. Dan tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh penyesalan, "Ampunkan aku... ampunkan aku..."
Sin Liong dan Bi Cu terkejut sekali dan melangkah mundur. Akan tetapi pada saat itu, Kui Hok Boan sudah meloncat berdiri dan ternyata gerakannya masih gesit, dan dia berkata, suaranya masih penuh kedukaan, "Atau, kalau tidak mau mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!" Dan dia sudah memasang kuda-kuda.
"Ayah, Sin Liong dan nona Bhe datang hanya untuk menjenguk," Beng Sin berkata dan kakek itu sudah duduk kembali di atas kursinya seperti tadi, seperti patung hidup!
"Mari... mari kita pergi..." kata Bi Cu sambil menggandeng tangan Sin Liong dan pemuda ini merasa lega bukan main. Kata-kata itu saja sudah menunjukkan bahwa Bi Cu sama sekali tidak berniat untuk membunuh musuhnya ini. Akan tetapi dia masih belum puas. Dia menarik tangan Bi Cu mendekati Kui Hok Boan dan dia lalu berkata dengan suara halus.
"Paman Kui Hok Boan, lihat baik-baik. Inilah Bhe Bi Cu, puteri mendiang Bhe Coan yang telah kaubunuh itu!"
Bibir Kui Hok Boan bergerak-gerak dan berbisik-bisik, "Bhe Coan... Bhe Coan..." Lalu kembali dia menjatuhkan diri dan berlutut. "Ampunkan aku... ampunkan aku...!" Sejenak kemudian dia sudah meloncat bangun dan seperti tadi dia memasang kuda-kuda dan berkata, "Atau, kalau tidak mau mengampuniku, mari kita bertanding sampai aku menggeletak mati!"
"Mari kita pergi!" Bi Cu berkata lagi dan kini dia menarik tangan kekasihnya diajak ke luar dari kamar itu. Beng Sin menutupkan lagi daun pintu dan dia sudah menyusul mereka berdua. Dia menjura ke arah Bi Cu.
"Kiranya ayahku telah berdosa pula kepada nona, maka biarlah aku yang mintakan ampun dan menghaturkan terima kasih kepada nona yang telah berbesar hati untuk memaafkannya," Berkata demikian, Beng Sin sudah menjatuhkan diri berlutut! Cepat-cepat Sin Liong dan Bi Cu memegang pundaknya dan membangunkannya. Sin Liong merangkulnya.
"Beng Sin, engkau sungguh seorang putera yang amat berbakti dan baik. Bi Cu tidak mendendam, bahkan kami kasihan sekali melihat penderitaan ayahmu. Dia jauh lebih menderita daripada kalau sampai terbunuh oleh orang yang membalas dendam."
Beng Sin menghela napas. "Yaah, memang dia sengsara sekali. Setiap kali dia hanya minta ampun dan menantang seperti itu. Agaknya ada dua hal yang menggores hatinya, yaitu penyesalan dan juga sifat angkuhnya yang tidak mau tunduk."
"Apakah setiap saat dia hanya duduk di dalam kamarnya itu"
"Kadang-kadang dia keluar, akan tetapi hanya untuk berjalan-jalan di dalam taman di belakang rumah, tak pernah pergi ke lain tempat kecuali dua tempat itu, kamarnya dan taman bunga."
"Sudahlah," kata Bi Cu. "Mari kita kembali ke ruangan tamu dan kita bicara dengan gembira. Yang sudah biarlah berlalu, itu adalah urusan orang-orang tua."
Mereka lalu kembali ke ruangan tamu di mana dua orang dara kembar itu nampak bicara dengan asyik bersama Tiong Pek dan Khai Sun. Biarpun baru saja berkenalan, agaknya nampak ada semacam keakraban antara Khai Sun dan Kui Lan, dan antara Tiong Pek dan Kui Lin!
Lan Lan dan Lin Lin menjadi girang sekali ketika mereka melihat Sin Liong dan Bi Cu kembali tanpa terjadi apa-apa, bahkan Beng Sin kelihatan gembira. Mereka lalu memanggil pelayan dan dua orang dara kembar itu sibuk untuk menjamu para tamu mereka dan tujuh orang muda-mudi itu makan minum sambil bercakap-cakap dan bersendau-gurau seperti lajimnya orang-orang muda yang merasa cocok satu sama lain bertemu dan bercengkerama.
Akan tetapi, selagi mereka bergembira, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari belakang rumah. Sin Liong yang tercepat di antara mereka sudah meloncat dan lari masuk, terus menuju ke belakang, diikuti oleh yang lain-lain. Dan di tengah-tengah taman bunga di belakang rumah itu kelihatanlah pemandangan yang mengerikan. Kui Hok Boan menggeletak mandi darah, dan di dekatnya menggeletak pula seorang kakek yang tinggi besar dan brewok yang agaknya juga menderita luka hebat akibat pukulan yang mengenai tenggorokannya dan membuatnya muntah darah. Ketika Sin Liong dan orang-orang muda itu tiba di situ, keadaan dua orang itu tidak tertolong lagi.
Pedang kakek brewok itu menembus dada Kui Hok Boan dan agaknya pukulan maut Kui Hok Boan membuat kakek itu tidak mampu bangkit kembali.
Lan Lan dan Lin Lin berseru kaget ketika mereka mengenal kakek brewok itu. "Dia ini yang dulu menculik kami!" teriak Kui Lin.
Sin Liong juga ingat akan pengalamannya sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu terdapat seoranq kakek brewok yang melarikan Lan Lan dan Lin Lin dan kebetulan dia melihat hal itu, maka diapun menyerang kakek itu, menolong Kui Lan dan Kui Lin, dibantu oleh monyet-monyet besar yang menjadi kawan-kawannya. Bahkan monyet betina yang menjadi induknya, yang merawatnya ketika dia masih bayi, tewas oleh kakek brewok ini. Maka dia cepat mendekati, monotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaannya, lalu bertanya, "Mengapa kau membunuh paman Kui Hok Boan" tanyanya.
Orang itu terengah-engah, napasnya tinggal satu-satu. "Aku... Ciam Lok... puas sudah dapat membalaskan kematian puteriku Ciam Sui Noi... yang dinodai dan ditinggalkannya..." dan kepalanya terkulai. Matilah orang she Ciam ini, nyawanya menyusul nyawa Kui Hok Boan yang telah mati lebih dulu. Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin hanya dapat menangisi kematian ayah mereka dan mereka lalu mengurus jenazah Kui Hok Boan, dibantu oleh Sin Liong, Tiong Pek dan Khai Sun.
Sin Liong dan Bi Cu tinggal di Su-couw, ikut membantu keluarga Kui yang mengurus pemakaman jenazah Kui Hok Boan. Bahkan Na Tiong Pek dan Ciu Khai Sun yang kini telah menjadi sahabat-sahabat baik keluarga itu, juga membantu sampai selesainya pemakaman.
Kemudian, Sin Liong dan Bi Cu berpamit, meninggalkan Su-couw untuk pergi ke Cin-ling-san. Di tempat ini, mereka disambut keluarga Cin-ling-pai dengan gembira sekali. Sampai beberapa hari lamanya mereka bercakap-cakap dan saling menceritakan pengalaman masing-masing, terutama sekali Sin Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan dan anak ini harus menceritakan lagi semua riwayatnya dari kecil sampai dewasa.
Beberapa bulan kemudian, atas persetujuan seluruh keluarga Cin-ling-pai, dilangsungkan pernikahan antara Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu. Pernikahan itu dirayakan dengan amat meriah karena dihadiri oleh hampir seluruh tokoh kang-ouw di empat penjuru, dan juga dihadiri pula oleh banyak tokoh-tokoh besar dari pemerintah di kota raja! Bahkan Pangeran Hung Chih sendiri berkenan hadir! Semua tamu memandang dengan gembira dan harus mengakui bahwa pasangan pengantin itu memang tepat dan cocok sekali, apalagi melihat betapa dari dua pasang mata pengantin itu memancarkan cahaya penuh cinta kasih kalau mereka saling pandang.
Tidak semua cerita berakhir dengan kebahagiaan. Namun, Sin Liong dan Bi Cu, akhirnya menemui kebahagiaan dalam rumah tangga yang mereka bina bersama dan setiap pasangan sudah pasti akan mengecap kebahagiaan hidup apabila rumah tangga mereka didasari dengan cinta kasih. Apapun di dunia ini, baik yang oleh umum dipandang sebagai hal yang paling buruk, akan dapat dihadapi dengan tabah dan mudah diatasi apabila suami isteri hidup dalam sinar cinta kasih. Yang umum menganggap kesenangan akan terasa lebih nikmat, dan yang umum menganggap sebagai kesengsaraan akan terasa ringan apabila dihadapi oleh sepasang suami isteri yang saling mencinta.
Beberapa bulan kemudian, pengantin muda dan masih baru ini menghadiri pernikahan yang diadakan di Su-couw, yaitu sekaligus tiga pasang pengantin dirayakan pernikahannya, antara Kui Beng Sin dengan Ciok Siu Lan, Cui Khai Sun dengan Kui Lan, dan Na Tiong Pek dengan Kui Lin!


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianiah, cerita ini berakhir dengan catatan bahwa suami isteri Cia Sin Liong dan isterinya, Bhe Bi Cu, kemudian menjadi penghuni dari Istana Lembah Naga, hidup berbahagia di tempat sunyi itu. Harapan pengarang, semoga cerita Pendekar Lembah Naga ini dapat menghibur hati para pembatanya di waktu senggang dan mengandung manfaat bagi pembukaan kesadaran dan kewaspadaan kita bersama. Sampai jumpa di dalam cerita "Pendekar Sadis" yang merupakan cerita sambungan dari cerita ini.
T A M A T Lereng Lawu, Agustus 1976
Kasih Diantara Remaja 2 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Pedang Ular Merah 9
^