Pencarian

Pendekar Lembah Naga 7

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


Siapakah sesungguhnya kakek gagah yang menculik dua orang anak perempuan itu" Dia adalah seorang guru silat yang bernama Ciam Lok yang tinggal di kota Ceng-tek sebelah utara kota raja. Nama Ciam Lok sebagai guru silat telah terkenal juga di daerah itu dan Ciam-kauwsu ini dipercaya para pembesar untuk mendidik anak mereka dengan ilmu silat. Sebagai seorang tokoh di dunia persilatan, tentu saja Ciam-kauwsu terkenal pula di antara orang-orang kang-ouw, bahkan pergaulannya luas sekali, baik dengan fihak orang kang-ouw maupun liok-lim, kaum golongan sesat maupun golongan bersih.
Tidaklah aneh Ciam-kauwsu menjadi kenalan baik dari Kui Hok Boan ketika Hok Boan merantau dan sampai di kota Ceng-tek. Ciam-kauwsu suka kepada orang muda yang selain lihai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal kesusasteraan itu. Memang Hok Boan merupakan seorang pemuda yang pandai bergaul dan pandai pula mengambil hati. Karena dia memang memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu silat, maka Ciam-kauwsu amat suka bercakap-cakap dengan dia sehingga lambat laun pemuda itu menjadi sahabat baiknya. Sering kali Hok Boan bermalam di rumah guru silat itu dan tidak asing pula dengan keluarga Ciam-kauwsu.
Ciam-kauwsu mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ciam Sui Nio, seorang gadis yang cukup manis dan tentu saja kemanisan wajah gadis ini tidak terlepas begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang mata keranjang itu. Dan Hok Boan dengan amat mudah menundukkan hati gadis itu seperti dia telah menundukkan hati ayah dan ibu gadis itu. Tidak aneh lagi kalau akhirnya terjadi hubungan cinta antara dia dan Sui Nio dan hal ini tidak ditentang oleh keluarga Ciam karena memang Ciam-kauwsu menaruh harapan menarik Hok Boan sebagai mantunya.
Akan tetapi, keluarga ini tidak tahu bahwa pemuda yang menarik hati mereka itu adalah seorang pemuda bengal, seorang pria yang memandang semua wanita sebagai bahan menyenangkan hatinya belaka. Bujuk rayu dan pikatan Hok Boan mengena, akhirnya gadis itu lupa diri dan jatuh ke dalam pelukannya, mau saja diperbuat apapun oleh pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Dan hasilnya sungguh hebat bagi keluarga Ciam. Beberapa bulan kemudian, Sui Nio mengandung dan Hok Boan pergi tanpa diketahui lagi jejaknya! Tentu saja keluarga Ciam menjadi geger. Ciam-kauwsu cepat mencari Hok Boan, tidak ada seorangpun yang mengetahui ke mana perginya pemuda petualang asmara itu. Sampai tiga hari lamanya Ciam-kauwsu pergi mencari pemuda itu tanpa hasil dan ketika dia pulang, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat betapa puterinya itu telah tewas karena menggantung diri! Puterinya telah menebus aib yang menimpa keluarga Ciam itu dengan nyawanya!
Ciam-kauwsu berduka sekali dan di dalam hatinya tumbuh dendam yang hebat terhadap Hok Boan. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, biarpun belum tentu dia kalah oleh pemuda she Kui itu, namun juga tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya. Akan tetapi, dia tetap selalu melakukan penyelidikan untuk dapat menemukan tempat persembunyian pemuda itu dan akan ditantangnya untuk mengadu nyawa. Namun, pemuda itu lenyap seperti ditelan bumi dan tidak meninggalkan jejak sama sekali.
Setelah dia hampir lupa akan dendamnya karena sudah belasan tahun tidak pernah mendengar berita tentang Hok Boan, dia menganggap pemuda itu tentu telah mati, tiba-tiba saja dia mendengar berita bahwa musuh besarnya itu kini telah hidup makmur di Lembah Naga, di luar Tembok Besar, sebagai seorang yang kaya raya, memiliki istana kuno, mempunyai isteri cantik dan mempunyai pula anak. Dendam yang hampir padam itu bernyala kembali, luka di hati yang sudah mulai sembuh oleh waktu itu berdarah kembali dan akhirnya Ciam Lok berangkat meninggalkan rumahnya, menuju ke utara, ke Lembah Naga.
Demikianlah, ketika dia melihat anak-anak di taman, kemudian mendengar bahwa dua orang gadis cilik kembar itu adalah anak-anak dari musuh besarnya, timbul akalnya untuk membalas dengan cara yang sama, yaitu dia hendak menculik anak-anak dari Hok Boan itu agar musuhnya itu dapat merasakan penderitaan hati seorang ayah yang kehilangan anaknya. Diculiknya dua orang anak itu dan dibawanya lari memasuki hutan.
Ciam-kauwsu mendengar akan pengejaran terhadap dirinya. Dia berada di daerah kekuasaan musuh. Dia adalah seorang yang cerdik. Dia tahu kalau dia melawan dengan kekerasan, kalau hanya menghadapi Hok Boan seorang, belum tentu dia kalah. Akan tetapi kalau dia dikeroyok, belum tentu dia menang, bahkan mungkin sukar untuk meloloskan diri dan dia tidak akan berhasil membalas dendam. Oleh karena itu, dia segera menyelinap dan tidak melanjutkan larinya ke selatan, melainkan membelok ke timur memasuki hutan yang lebih besar untuk menghindarkan diri dari musuh-musuhnya yang mengejar ke selatan. Dia ingin membalas dendam kepada musuh-musuhnya dengan cara yang sama, yaitu memisahkan orang itu dari anak-anaknya!
Semalam itu, Ciam-kauwsu menghentikan larinya, bersembunyi di dalam hutan. Dia melihat dari jauh betapa banyak sekali orang membawa obor mencari-cari. Dia menyumbat mulut dua orang anak itu dengan saputangan dan menotok tubuh mereka sehingga mereka berdua tidak mampu bergerak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah melanjutkan larinya, mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu, terus ke timur.
Tubuhnya sudah terasa lelah akan tetapi hatinya lega karena dia tidak lagi melihat ada orang yang mengejarnya. Akan tetapi, ketika dia melewati daerah yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dari atas pohon dan ketika dia menoleh, pada saat itu ada bayangan menyambar dari atas pohon, bayangan seorang anak laki-laki kecil yang pakaiannya compang-camping, rambutnya panjang dikelabang secara kasar. Anak ini meloncat seperti seekor kera saja cepat dan sigapnya, dari atas dahan pohon dan langsung menerkam punggung Ciam-kauwsu!
"Ehhh...!" Ciam-kauwsu yang sedang lari mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu, tidak sempat mengelak dan tahu-tahu anak laki-laki itu telah menerkam punggungnya dan memiting leher guru silat itu dengan lengan kanan, kemudian dia menggigit tengkuk Ciam-kauwsu! Siapakah anak laki-laki yang liar itu" Dia bukan lain adalah Sin Liong!
Seperti telah kita ketahui, anak ini terhindar dari bahaya maut, tertolong oleh induk monyet besar yang menjadi pengasuhnya sejak dia masih bayi bersama gerombolan monyet-monyet itu. Pakaiannya sudah compang-camping, bahkan pembungkus kepalanya telah robek-robek sehingga dia membiarkan rambutnya terurai dan kadang-kadang dia menguncir rambutnya agar gerakannya menjadi leluasa. Dia hidup seperti binatang liar, seperti kera-kera itu, namun karena pikirannya menjadi bebas dan hening, dia bahkan mengalami hidup yang amat berbahagia.
Pada pagi hari itu, Sin Liong masih tidur ketika ada seekor monyet muda yang mengguncang-guncangnya. Dia terbangun, menggeliat dan menguap. Monyet itu mengeluarkan suara mencicit dan menuding-nuding ke bawah. Sin Liong maklum bahwa tentu ada sesuatu yang aneh dan tidak beres, maka dia lalu mengikuti monyet itu yang membawanya berloncatan dari dahan ke dahan. Akhirnya, Sin Liong melihat laki-laki brewok yang mengempit dua orang anak perempuan itu. Hampir saja dia berteriak karena dia mengenal dua orang anak perempuan itu yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin!
Melihat dua orang anak perempuan itu, seolah-olah Sin Liong terseret ke dalam dunia lain, dunia lama yang sudah hampir dilupakannya dan dia tertegun sejenak. Hampir saja dia lari pergi karena hatinya merasa enggan untuk kembali ke dunia lama itu. Akan tetapi dia tidak mampu mengusir bayangan Lan Lan dan Lin Lin, dua orang anak perempuan yang selalu bersikap manis kepadanya! Akhirnya, rasa kasihan kepada dua orang anak perempuan itulah yang menang dan dia lalu mengikuti laki-laki itu dari atas. Kemudian, setelah memperhitungkannya dengan tepat, melihat bahwa laki-laki itu tentu tidak mempunyai niat yang baik terhadap Lan Lan dan Lin Lin yang kelihatan tidak mampu bergerak itu, dia lalu meloncat, menerkam punggung kakek itu, dan langsung menggigit tengkuknya!
"IHHH...!" Kakek itu terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh dua orang anak perempuan itu untuk melawan anak kecil yang liar dan ganas ini. Tengkuknya terasa sakit juga digigit oleh anak itu. Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terlempar ke kanan kiri sampai bergulingan akan tetapi karena terbanting itu, sumbatan mulut mereka terlepas dan tubuh mereka dapat bergerak lagi karena ternyata pengaruh totokan itu telah habis.
Lin Lin lalu merangkak mendekati kakaknya. Mereka menangis dan mengurut-urut kaki dan tangan sendiri yang terasa kaku, sambil memandang ke arah Sin Liong yang masih menggigit tengkuk kakek itu. Tadinya, mereka tidak mengenal anak yang menolong mereka itu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru, "Sin Liong...!" maka keduanya lupa akan keadaan diri sendiri yang masih belum dapat bergerak dengan leluasa. Melihat Sin Liong masih merangkul kakek itu dari belakang dan menggigit tengkuk, Lan Lin dan Lin Lin lalu meloncat bangun, terhuyung akan tetapi mereka berdua dengan marah sudah menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka yang kecil untuk membantu Sin Liong.
"Duk! Dukkk!" Dua orang anak perempuan itu terlempar oleh tendangan-tendangan Ciam-kauwau yang tidak bermaksud membunuh, kemudian dia menggoyang-goyangkan tubuhnya. Akan tetapi anak laki-laki yang menggigit tengkuknya itu tidak terlepas, bahkan dari kerongkongannya keluar suara gerengan monyet marah! Diam-diam Ciam-kauwsu bergidik juga. Bagaimana tiba-tiba muncul anak liar ini, pikirnya dan tangannya merenggut ke belakang, berhasil menjambak rambut Sin Liong dam memegang lengan anak itu, lalu dia mengerahkan tenaganya. Tentu saja Sin Liong kalah tenaga dan dia dapat diangkat lalu dibanting oleh kakek itu.
"Bresss!" Tubuh Sin Liong bergulingan dan kepalanya menjadi pening. Akan tetapi dia cepat bangun kembali, menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, lalu sambil mengeluarkan pekik dahsyat dia sudah menerjang lagi, kini dengan pukulan-pukulan aneh seperti gerakan seekor monyet lincah!
"Anak liar, pergilah!" Ciam-kauwsu menghantam dari samping, menampar ke arah pundak anak itu dengan maksud merobohkannya dan menakutkannya.
"Wuuut!" Pukulan itu luput karena dengan mudahnya dielakkan oleh anak itu! Ciam-kauwsu terkejut dan penasaran, cepat dia maju lagi menyerang dengan tendangan kakinya. Kembali anak itu mengelak dan tendangan itu luput, bahkan Sin Liong kini mulai mainkan limu silat aneh yang dilatihnya selama ini dengan mengambil inti sari dari gerakan monyet-monyet itu. Gerakan monyet tentu saja tidak teratur, hanya menurutkan naluri, perasaan dan ketajaman atau kepekaan tubuh sehingga membuat monyet-monyet itu dapat bergerak dengan amat cekatan. Akan tetapi Sin Liong telah mengambil inti dari gerakan-gerakan itu untuk dijadikan dasar dari gerakan silat, seperti yang pernah dia pelajari dari ibunya, maka gerakan Sin Liong bukan liar dan tidak teratur seperti gerakan monyet. Dia meloncat, mengelak sambil menyerang, dan membalas dengan pukulan seperti pukulan manusia, mencakar seperti monyet, dan juga menendang.
Ketika beberapa kali tamparan dan tendangannya luput, bahkan anak itu dapat membalas dengan serangan yang aneh, kakek itu menjadi makin heran dan terkejut. "Kau anak liar, pergilah jangan mencampuri urusanku!" bentaknya berkali-kali. Kakek Ciam ini bukan seorang yang berhati kejam. Dia tidak ingin membunuh anak liar yang tidak dikenalnya itu. Dan kalau dia berhati kejam, tentu sudah dibunuhnya dua orang anak perempuan kembar yang menjadi anak musuh besarnya itu. Tidak, dia tidak tega membunuh orang apalagi membunuh anak-anak. Dia hanya ingin memisahkan dua orang anak itu dari Kui Hok Boan, membalas dengan mendatangkan kedukaan dan kehilangan kepada musuh besarnya itu. Kalau bertemu Hok Boan, mungkin saja dendamnya membuat dia akan sampai hati membunuh musuh itu, kalau dia dapat tentu saja. Akan tetapi membunuh anak-anak yang tidak bersalah apa-apa, sungguh tak dapat dia lakukan.
Kini menghadapi serangan anak kecil yang gerakannya aneh, liar namun cekatan sekali itu, Ciam-kauwsu menjadi marah akan tetapi dia membujuk anak ini agar tidak mencampuri urusannya. Namun Sin Liong tentu saja sama sekali tidak ada niat untuk mundur. Dia harus membela dan melindungi Lan Lan dan Lin Lin dengan nyawanya! Dua orang anak perempuan itu amat baik kepadanya, merupakan sahabat-sahabatnya yang manis budi, bahkan tidak begitu saja sekarang. Dua orang anak perempuan itu adalah adik-adiknya sendiri! Adik seibu berlainan ayah!
"Grrrr...!" Sin Liong menggereng dan menerjang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang memberi isyarat memanggil kawan-kawannya!
Ciam-kauwsu marah, dia membiarkan pundaknya dicengkeram oleh anak itu, lalu membarengi dengan tamparan dari samping.
"Brettt... plakkk!" Baju Ciam-kauwsu di pundak robek oleh cengkeraman tangan Sin Liong, akan tetapi anak itu kena ditampar pipinya sehingga terpelanting! Kembali Sin Liong kepalanya pening, akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan pada saat itu terdengar gerengan-gerengan menyeramkan dan belasan ekor monyet berloncatan turun dari atas pohon, dipimpin oleh seekor biang monyet yang besar, yaitu monyet betina tua yang memandang Sin Liong sebagai anaknya! Monyet betina inilah yang mendahului teman-temannya menubruk kakek Ciam dengan ganasnya ketika melihat betapa "anaknya" itu ditampar sampai terpelanting tadi.
"Ehhh...!" Kakek Ciam terkejut bukan main melihat datangnya banyak monyet besar, apalagi ketika seekor induk monyet telah menyerangnya. Dia maklum bahwa terdapat keanehan pada diri anak liar itu, yang ternyata kini dibantu oleh monyet-monyet besar dan dia melihat adanya bahaya. Maka cepat kakek itu mencabut pedangnya, mengelak dari terkaman induk monyet sambil menusukkan pedang dari samping.
"Crotttt...!" Pedang itu mengenai lambung induk monyet sampai tembus, ketika dicabut, darah muncrat dan induk monyet itu terguling roboh sambil mengeluarkan suara yang memilukan.
Melihat monyet betina yang disayangnya itu roboh tertusuk pedang, Sin Liong menggereng dan menyerang lagi, dibantu oleh monyet-monyet lain, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin menjadi ngeri melihat datangnya banyak monyet. Mereka menjadi ngeri dan ketakutan, tidak berani ikut membantu melainkan mundur dan saling peluk dengan tubuh menggigil di bawah pohon.
"Lan Lan...!" Lin Lin...!"
Dua orang anak perempuan itu terkejut dan wajah mereka berseri, air mata mereka seketika mengalir turun. Itulah suara ayah mereka! Dan memang benar. Tak jauh dari situ, Kui Hok Boan bersama belasan orang anak buahnya datang mencari anak-anaknya itu, setelah semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil. Suara Hok Boan sampai menjadi parau karena semalam suntuk dia terus-menerus memanggil.
"Ayahhhh...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit-jerit. "Ayah, cepat ke sinilah...!"
Kakek Ciam terkejut bukan main. Tadinya timbul hati tidak tega untuk membunuhi semua monyet itu, dan mendengar suara dua orang anak itu yang memanggil ayah mereka, hatinya menjadi gelisah. Kalau Kui Hok Boan datang bersama orang-orangnya dan di sini masih ada monyet-monyet ini yang mengeroyoknya dengan nekat dan buas, dia dapat celaka! Dia mengeluh, karena usahanya untuk membalas dendam dengan menculik dan memisahkan dua orang anak perempuan itu dari samping Hok Boan ternyata gagal. Dia lalu mengeluh dan meloncat ke belakang, cepat dia melarikan diri sambil membawa pedangnya, menyusup di antara semak-semak belukar!
Sin Liong dan monyet-monyet lain mengejar, meninggalkan Lan Lan dan Lin Lin. Monyet betina tua itu merintih dan melihat ini, Lan Lan dan Lin Lin cepat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh monyet betina itu dengan perasaan kasihan. Mereka tadi melihat betapa monyet ini membantu Sin Liong dan terkena tusukan pedang. Monyet itu bergerak perlahan dan merintih sambil memegangi lambungnya yang tertembus pedang dan mengucurkan darah.
"Lan-ji! Lin-ji!" Hok Boan berteriak dan meloncat ke tempat itu dengan pedang di tangan. Melihat kedua orang anaknya berlutut dekat seekor monyet besar, dia cepat menendang.
"Desss...!" Tubuh monyet betina yang sudah terluka parah itu terlempar, terbanting dan nyawanyapun melayang.
"Ayahh...! Kenapa kau menendang dia..." Lan Lan menjerit.
"Ayah, monyet itu tewas karena menolong kami...!" Lin Lin juga berteriak.
Hok Boan yang masih marah karena kegelisahan yang hampir membuatnya gila selama semalam itu terbelalak. "Apa..." Apa maksudmu..."
Akan tetapi saking girangnya melihat ayah mereka telah datang, dua orang anak itu menubruk ayah mereka sambil menangis. Hok Boan memeluk kedua orang anaknya, hatinya juga penuh rasa gembira yang amat besar.
"Lan-ji, Lin-ji, ceritakan, apa yang terjadi..." tanyanya dan pada saat itu muncul pula Siong Bu, Beng Sin, dan para anak buah Kui Hok Boan yang ikut mencari sampai semalam suntuk dan dilanjutkan pagi ini. Siong Bu dan Beng Sin juga merasa girang sekali melihat betapa dua orang sumoi mereka itu telah ditemukan dalam keadaan selamat.
"Ayah, kami diculik kakek brewok... sampai di sini... muncul... Liong-ko (kakak Liong) yang menyerang penculik itu..." kata Lan Lan yang semenjak kematian ibunya dan tahu bahwa Sin Liong adalah putera ibunya, tidak ragu-ragu lagi menyebut Sin Liong dengan sebutan koko (kakak).
"Liong-koko kalah dan dibantu oleh monyet-monyet, akan tetapi monyet tua itu... dia terkena tusukan pedang si penculik..." sambung Lin Lin.
"Sin Liong..." Hok Boan terkejut bukan main dan juga merasa girang mendengar bahwa Sin Liong yang tadinya diculik oleh wanita iblis itu ternyata masih hidup, bahkan telah menolong kedua orang anaknya. Dan lebih terkejut lagi hatinya mendengar bahwa monyet itu yang ditendangnya tadi, ternyata adalah seekor monyet yang telah membantu Sin Liong pula melawan penculik itu.
"Sekarang di mana Sin Liong" tanya Hok Boan berusaha menutupi rasa tidak enak hatinya karena dia telah menendang monyet tua yang telah terluka tadi, monyet yang telah menolong anak-anaknya.
"Tadi dia mengejar si penculik brewok, agaknya bersama monyet-monyet itu," kata Lan Lan.
"Itu dia...!" tiba-tiba Beng Sin berseru sambil menuding. Semua orang menengok dan benar saja, tanpa ada yang melihat kedatangannya, kini tahu-tahu Sin Liong sudah berada di situ, berlutut dan memeluki tubuh monyet betina yang telah tewas itu.
"Sin Liong...!" Siong Bu berseru.
"Sin Liong...!" Hok Boan juga memanggil.
"Liong-koko...!" Lan Lan dan Lin Lin berseru dan mereka semua menghampiri anak itu.
Kui Hok Boan memandang penuh perhatian dan diam-diam dia merasa kasihan juga kepada anak ini. Pakaiannya compang-camping, mukanya matang biru bekas pukulan penculik, dan kini biarpun anak itu tidak menangis sesenggukan, akan tetapi dia memeluk tubuh monyet itu, jari-jari tangannya mengusap dan membelai kepala dan muka yang penuh bulu, matanya basah dengan air mata.
Siong Bu, Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin berlutut di sekeliling Sin Liong. Lan Lan menyentuh lengan Sin Liong dan berkata lirih, "Liong-ko, dia suda mati..."
Tangan yang mengusap-usap kepala monyet itu berhenti, dua titik air mata menggelinding turun disusul oleh dua titik lagi dan terdengar berkata lirih, seperti bisikan kepada diri sendiri, "Dia... dia ibuku..."
Kui Hok Boan yang sudah menghampiri tempat itu, terkejut mendengar kata-kata ini. "Sin Liong, ibumu telah..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena dia teringat akan isterinya yang tercinta itu, maka lehernya seperti dicekik rasanya.
Sin Liong menggangguk. "Saya mengerti, ibu kandung saya telah tewas oleh iblis betina itu, akan tetapi dia ini... dialah yang menyusui dan merawat saya ketika saya masih kecil..." Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap dua titik air matanya tadi.
"Ke mana larinya penculik itu, Sin Liong" Biar aku mengejar dan menghajarnya!" Hok Boan teringat kepada penculik itu.
"Dia telah pergi jauh tidak dapat dikejar lagi..., sekarang saya hendak mengubur dia..." Sin Liong lalu menggunakan tangannya untuk membongkar batu-batu dan tanah, agaknya dengan kedua tangannya, tanpa minta bantuan siapapun, anak ini hendak menggali sebuah lubang di tanah untuk mengubur bangkai monyet itu!
Melihat ini, Hok Boan cepat menyuruh anak buahnya untuk membantu Sin Liong, menggali sebuah lubang dan dikuburkanlah bangkai monyet itu oleh Sin Liong. Sebelum menurunkan bangkai monyet itu ke dalam lubang, Sin Liong mencium muka monyet betina itu dan dengan menggigit bibir menahan tangis, anak ini talu mengubur bangkai itu dan dibantu oleh empat orang anak lain, lubang itu lalu diuruk.
Hok Boan lalu mengajak Sin Liong pulang ke istana tua di Lembah Naga. Sin Liong menurut tanpa banyak cakap. Di sepanjang jalan, Hok Boan hanya mendengarkan dua orang anaknya menceritakan pengalaman mereka ketika diculik, kemudian mendengarkan Lan Lan dan Lin Lin, dibantu pula oleh dua orang anak laki-laki itu, mendesak dan bertanya kepada Sin Liong bagaimana dia dapat lolos dari tangan iblis betina itu. Hok Boan sendiri tidak banyak bertanya karena hati orang ini masih diliputi rasa menyesal dan duka atas terjadinya peristiwa yang susul menyusul ini, yang menimpa dirinya dan keluarganya. Sama sekali dia tidak ingat lagi betapa tadi dia telah menendang monyet betina yang sudah terluka itu! Memang begitulah watak seorang yang selalu mementingkan diri sendiri belaka. Yang diperhatikan selalu hanyalah kepahitan-kepahitan yang menimpa dirinya, yang diprihatinkan hanyalah kesusahan yang diderita oleh diri sendiri dan keluarganya. Orang seperti ini sama sekali tidak pernah mau melihat penderitaan orang lain, sehingga hatinya menjadi kejam. Yang dicari hanya hal-hal yang dapat menyenangkan diri sendiri dan keluarganya, maka dalam mengusahakan kesenangan dan keselamatan bagi diri sendiri dan keluarganya, dia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, kalau perlu menyusahkan orang lain dengan perbuatan-perbuatannya yang kejam. Akan tetapi, jelaslah bahwa orang yang selalu mengejar kesenangan untuk diri sendiri itu adalah orang yang hidupnya selalu kecewa dan sengsara. Karena orang demikian itu selalu merasa kasihan kepada diri sendiri, selalu mengeluh, selalu menganggap bahwa di dunia ini dia seoranglah yang paling celaka, paling sengsara, paling patut dikasihani. Dengan demikian, menghadapi halangan sedikit saja dalam hidup, dia akan merasa sengsara sekali! Patut dikasihani orang seperti itu, karena dia belum mengerti, belum sadar bahwa sesungguhnya dia telah dicengkeram oleh batinnya sendiri, oleh pikirannya sendiri, dikuasai dan dipermainkan oleh nafsu-nafsunya sendiri yang timbul dari permainan pikiran.
Sin Liong tidak mau banyak bercerita. Ketika didesak-desak oleh empat orang anak itu, dia hanya mengatakan, bahwa ketika dia dibawa pergi oleh Kim Hong Liu-nio, di tengah jalan wanita itu dihadang oleh orang-orang Jeng-hwa-pang.
Mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang, muka Kui Hok Boan berubah dan jantungnya berdebar tegang dan takut. "Jeng-hwa-pang..." katanya mengulang nama itu dengan suara agak gemetar. "Benarkah Jeng-hwa-pang yang menghadangnya, Sin Liong" Dia mendekat dan pertanyaannya itu terdengar lirih, seolah-olah dia merasa takut untuk membicarakan perkumpulan itu dengan suara keras, dan beberapa kali menengok ke kanan dan kiri dengan sikap jerih. Melihat ini, empat orang anak itupun menjadi gelisah.
"Saya tidak tahu pasti, paman..."
"Sin Liong, engkau adalah anak kandung istriku, maka berarti engkau anakku pula, sungguhpun anak tiri. Aku adalah ayahmu, tidak semestinya kau menyebut paman." kata Hok Boan.
Sin Liong menunduk dan tidak menjawab.
"Ayah, siapakah perkumpulan Jeng-hwa-pang itu" tiba-tiba Lan Lan bertanya kepada ayahnya. Kembali sasterawan itu kelihatan gelisah.
"Sudahlah, nanti saja di rumah kuceritakan. Hayo kita cepat pulang!" Dia lalu mengajak anak-anak itu dan para anak buahnya untuk mempercepat perjalanan pulang ke Istana Lembah Naga.
Setelah tiba di rumah, barulah Hok Boan kembali bertanya kepada Sin Liong tentang Jeng-hwa-pang. Sebagai scorang yang sudah banyak merantau sebelum dia menetap di Istana Lembah Naga, tentu saja dia sudah mendengar tentang Jeng-hwa-pang, sebuah perkumpulan yang amat ditakuti orang karena perkumpulan itu merupakan perkumpulan orang-orang yang amat kejam dan pandai menggunakan segala macam racun yang mengerikan.
Sin Liong masih pendiam dan tidak banyak bercerita. Dia hanya menceritakan betapa wanita iblis yang menculiknya itu di tengah jalan dikeroyok oleh orang-orang Jeng-hwa-pang, dan betapa dia lalu dilarikan oleh ketua Jeng-hwa-pang, meninggalkan anggauta-anggautanya yang dihajar oleh iblis betina itu.
"Jeng-hwa-pang juga tidak mampu mengalahkan dia" Hok Boan berkata dengan muka berubah pucat dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main lihainya wanita itu...!"
Sin Liong tidak mau menceritakan betapa sute dari wanita itu, yang masih kecil, hanya selisih satu dua tahun saja dengan dia, telah mengalahkan pembantu-pembantu utama dari ketua Jeng-hwa-pang! Kalau diceritakannya, tentu orang ini akan makin terheran-heran lagi, pikirnya. Kini nampaklah olehnya betapa kepandaian suami dari ibu kandungnya itu, juga kepandaian dari mendiang ibunya, yang tadinya dianggap amat hebat dan lihai, kiranya tidak ada artinya sama sekali kalau dibandingkan dengan kepandaian ketua Jeng-hwa-pang, apalagi kalau dibandingkan dengan kepandaian Kim Hong Liu-nio dan sutenya. Ternyata di luar Istana Lembah Naga ini terdapat banyak sekali orang pandai! Hal ini membuat dia makin ingin untuk keluar, untuk mencari ayahnya, untuk menyaksikan sendiri betapa lihai ayahnya yang oleh ibunya dianggap sebagai pendekar nomor satu di dunia ini! Ingin dia melihat ayahnya mengalahkan orang seperti iblis betina Kim Hong Liu-nio itu.
"Lalu apa yang terjadi denganmu ketika kau dilarikan ketua Jeng-hwa-pang, Liong-ko" tanya Lin Lin yang seperti anak-anak lain, tertarik bukan main mendengar pengalaman Sin Liong yang amat menyeramkan itu.
"Aku dilempar ke dalam lubang penuh ular..."
"Ihh...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit ngeri.
"Kau dilempar ke dalam lubang ular dan kau tidak apa-apa" tanya Beng Sin, matanya yang lebar itu makin membesar, mulutnya melongo.
"Aku digigit ular-ular itu, akan tetapi aku diselamatkan oleh..." Sampai di sini, Sin Liong menunduk dan kembali dia harus menggunakan ujung lengan bajunya yang robek-robek dan kotor untuk menghapus dua titik air matanya.
Lin Lin dapat menduga. "Monyet betina itu yang menolongmu, Liong-ko"
Sin Liong mengangguk. "Dia dan teman-teman lain..., aku penuh luka dan dirawat sampai sembuh. Lalu tadi aku melihat kalian dilarikan penculik itu..."
Sejak tadi Siong Bu hanya mendengarkan saja, kini dia berkata, "Ah, engkau hebat sekali, Sin Liong!" katanya penuh kagum dan juga mengandung iri karena kini dalam pandang mata Lan Lan dan Lin Lin, tentu Sin Liong merupakan seorang yang amat gagah perkasa dan hebat.
Betapapun hatinya tetap saja mengandung rasa tidak suka kepada anak itu, akan tetapi karena anak itu telah menyelamatkan Lan Lan dan Lin Lin, karena andaikata tidak ada Sin Liong dan monyet-monyet itu yang menyerang si penculik, kiranya dia dan anak buahnya tidak akan mampu menyusul penculik itu, Hok Boan lalu cepat memberi pakaian dan sepatu baru kepada Sin Liong dan bersikap manis kepada anak ini.
Akan tetapi, Sin Liong sudah tidak mempunyai semangat dan minat sama sekali untuk tinggal lebih lama di istana itu. Setelah ibunya tidak ada, apalagi setelah kini induk monyet yang disayangnya itupun tewas pula, tidak ada apa-apa lagi yang menahannya di tempat itu. Benar bahwa dia akan merasa kehilangan kalau berpisah dari Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi ikatan ini tidak cukup kuat untuk menahannya. Demikianlah, pada suatu hari, pagi-pagi sekali, tanpa diketahui siapapun juga, dan tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang menempel di tubuhnya, Sin Liong meninggalkan Istana Lembah Naga. Dia tidak tahu betapa Siong Bu menaruh perhatian kepadanya semenjak Sin Liong kembali, dan anak ini melihat akan kepergian Sin Liong maka dia cepat-cepat memberi tahu kepada pamannya!
Sin Liong berjalan seorang diri melalui padang rumput, menuju ke dalam hutan di sebelah selatan Lembah Naga. Belum pernah dia memasuki hutan sebelah selatan itu, karena selama tinggal di situ, dia selalu hanya bermain-main di dalam hutan-hutan yang dihuni oleh monyet-monyet yang menjadi teman-temannya, yaitu hutan di timur dan utara. Dan biasanya, dia bermain-main ke selatan hanya sampai Padang Bangkai yang kini telah menjadi pedusunan. Akan tetapi karena kini dia mengambil keputusan untuk merantau jauh ke selatan, untuk menyeberangi Tembok Besar dan mencari ayahnya yang kabarnya berada di selatan sebagai seorang pendekar besar, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menuju ke selatan.
Akan tetapi baru saja dia tiba di tepi hutan, mendadak terdengar suara orang memanggil namanya. Dia menoleh dan dilihatnya Kui Hok Boan dan Siong Bu berlari cepat mengejarnya. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri tegak dengan sikap tenang. Siapapun juga tidak boleh melarang dia pergi, pikirnya dan pikiran ini membuat anak itu memandang dengan sinar mata penuh membayangkan kekerasan hatinya.
Tentu Siong Bu, anak yang selalu jahat kepadanya itu yang memberi tahu pamannya, pikir Sin Liong, maka ketika mereka berdua sudah tiba di depannya, langsung saja dia menegur, "Siong Bu, perlu apa engkau memberitahukan paman tentang kepergianku"
Mendengar teguran ini, Siong Bu bertolak pinggang dan berkata, "Sin Liong, engkau sungguh menyangka yang bukan-bukan. Aku memberi tahu paman demi kebaikanmu, karena aku khawatir engkau akan mengalami bencana lagi kalau engkau pergi!" Wajah Siong Bu memperlihatkan penasaran karena "maksud baiknya" dianggap keliru oleh Sin Liong.
Sementara itu, Kui Hok Boan mengerutkan alisnya dan berkata kepada Sin Liong, "Anak baik, mengapa engkau hendak pergi, lagi" Hendak kemanakah engkau" Ketahuilah bahwa setelah ibumu tidak ada, akulah yang bertanggungjawab terhadap dirimu, dan aku akan merasa menyesal sekali kalau terjadi sesuatu terhadap dirimu."
Sin Liong masih teringat akan semua perlakuan orang tua ini terhadap dirinya, maka kini dengan sinar mata tajam penuh penasaran dia berkata kepada orang tua itu, "Paman, apakah paman melarangku pergi untuk diajak kembali dan dihajar seperti tempo hari"
Mendengar itu, wajah sasterawan itu berubah dan dia kelihatan berduka dan menyesal sekali. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Agaknya benar kata-kata Siong Bu bahwa engkau terlalu keras hati dan terlalu penuh prasangka kepada orang lain, Sin Liong. Memang aku pernah bersikap keras kepadamu, akan tetapi hal itu ditujukan untuk kebaikanmu. Engkau terlalu liar, maka aku hanya ingin menjinakkanmu agar engkau tidak sampai menyeleweng. Akan tetapi, yahh... katakanlah bahwa kami semua telah banyak bersalah kepadamu, banyak menduga secara keliru. Biarlah di sini aku minta maaf akan segala kesalahan yang sudah-sudah kepadamu, Sin Liong." Orang tua itu berkata dengan sungguh-sungguh karena dia teringat kepada isterinya, teringat akan penderitaan isterinya dan dan betapa dia merasa kehilangan benar-benar setelah isterinya meninggal dunia. Setidaknya, Sin Liong adalah anak kandung isterinya yang tercinta itu, maka dia ingin berbaik dengan anak ini, demi kenangan terhadap isterinya.
"Liong-ji, anakku... marilah kita pulang, nak. Percayalah, aku sendiri yang akan menjagamu agar jangan ada lagi orang atau siapa saja yang akan menghinamu. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu seperti juga kepada semua saudaramu."
Sin Liong adalah seorang anak yang mempunyai watak aneh sekali, berbeda dengan anak-anak lain. Semenjak kecil dia tidak merasakan kasih sayang orang tua, bahkan mendiang ibunya juga karena tidak ingin rahasianya diketahui orang, tidak memperlihatkan kasih sayangnya kepadanya. Oleh karena haus akan kasih sayang orang tua dan orang lain itulah maka dia dapat bergaul dengan mesra bersama monyet-monyet itu. Dan keadaan sekelilingnya membentuk wataknya menjadi aneh. Semua kepahitan hidup yang dideritanya semenjak kecil, maka wataknya kadang-kadang dapat menjadi keras, dan kadang-kadang menjadi amat perasa dan mudah terharu. Kalau dia ditekan, dia akan melawan dan memberontak tanpa mengenal takut. Akan tetapi kalau orang bersikap manis dan halus kepadanya, dia menjadi terharu sekali dan kini menghadapi Kui Hok Boan yang bersikap manis kepadanya, lupalah dia akan segala perbuatan orang tua itu yang sudah-sudah kepada dirinya dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan sasterawan itu dan memejamkan mata untuk menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja Sin Liong menangis! Kalau dia ditekan, betapapun hebatnya derita yang dirasakannya, biarpun dia diancam oleh siksa dan kematian, dia tidak sudi mengeluh atau bersambat. Akan tetapi begitu hatinya terharu, dia tidak dapat mencegah tangisnya dan kini air matanya yang sudah lama ditahan-tahannya itu bercucuran dan dia menangis terisak!
"Sudahlah, Sin Liong, jangan menangis," kata Kui Hok Boan dengan sikap terharu, sedangkan Siong Bu juga berdiri dengan bengong. Belum pernah dia melihat Sin Liong menangis, bahkan ketika dihajarpun anak ini tidak pernah menangis! Dia masih bertolak pinggang, akan tetapi lenyap semua penasaran dan dia kini terheran-heran.
"Paman... selama ini sayalah yang selalu menyusahkan hati paman saja. Harap paman sudi memaafkan semua kesalahan saya. Kalau saya tinggal di istana, tidak lain saya pasti akan mendatangkan lebih banyak onar dan penyesalan hati paman saja. Oleh karena itu, saya sudah mengambil keputusan pasti untuk pergi mencari ayah kandung saya, paman."
"Akan tetapi, mana mungkin kau dapat mencarinya sampai jumpa, Sin Liong" Ke manakah engkau hendak mencarinya"
"Menurut penuturan ibu dahulu, ayah berada di selatan, di sebelah sana Tembok Besar, saya akan menyusul ke sana, paman."
Diam-diam Hok Boan kagum juga akan keberanian anak ini, dan akan kekerasan hatinya yang luar biasa sehingga biarpun sudah ditegurnya, tetap saja sampai kini menyebutnya dengan panggilan paman. Dia sendiri setelah diusir oleh Raja Sabutai, merasa ngeri untuk pergi ke selatan, akan tetapi anak ini hendak mencari ayahnya ke selatan biarpun dia belum tahu di mana adanya ayahnya itu. Seolah-olah "selatan" itu hanya dekat saja, asal sudah melampaui Tembok Besar sudah sampai dan akan bertemu dengan orang yang dicarinya.
"Sin Liong, kaukira daerah selatan itu kecil saja dan mudah kaujelajahi" Ketahuilah, bahwa daerah selatan, di sebelah dalam Tembok Besar itu amat luasnya, biar engkau menjelajahi sampai selama hidupmu belum akan dapat kaudatangi semua! Dan kau tidak tahu di mana kau hendak mencari" Marilah kau ikut bersama kami pulang ke rumah, dan kelak aku akan membantumu mencari-cari keterangan perihal ayah kandungmu itu."
"Tidak, paman. Saya akan pergi sekarang juga mencari ayah sampai jumpa. Biar sampai mati sekalipun, sebelum dapat jumpa saya tidak akan berhenti mencarinya!"
Kui Hok Boan sudah tahu bahwa anak ini memiliki watak yang luar biasa kerasnya, tidak mungkin ditentang karena andaikata dapat dibujuknya pulang juga, tentu pada suatu hari akan pergi juga tanpa pamit. Tidak mungkin baginya untuk terus-menerus menjaga anak ini dan mencegahnya pergi. Dia sendiri menghadapi kesibukan harus pindah dari Istana Lembah Naga sebelum enam bulan. "Kalau kau tidak dapat kutahan, Sin Liong, akupun tidak dapat menahan dan mencegahmu. Siong Bu, cepat ambil pakaian yang baik-baik, buntal dan ambilkan uang di dalam kamarku. Di laci meja terdapat sekantung uang perak, bawa ke sini. Cepat!"
Siong Bu cepat berlari kembali ke istana, sedangkan Kui Hok Boan lalu memberi nasihat kepada Sin Liong agar berhati-hati melakukan perjalanan ke selatan. "Di sana banyak terdapat orang jahat yang amat pandai, Sin Liong. Lebih baik engkau tidak secara terang-terangan mengaku sebagai putera pendekar Cia Bun Houw, karena pengakuanmu itu hanya akan mendatangkan bencana dan bahaya. Dan juga sebaiknya kau tidak menyebut namaku. Ketahuilah, seperti juga pendekar Cia Bun Houw, akupun mempunyai banyak musuh di selatan, maka menyebut namanya atau namaku akan memancing bahaya kalau sampai terdengar oleh mereka yang memusuhi ayah kandungmu atau aku."
Sin Liong mendengarkan penuh perhatian tanpa bantahan di dalam hatinya karena sekali ini dia merasa betapa orang tua itu memberi nasihat dengan setulusnya hati. Dan diapun dapat merasakan kebenaran ucapan itu, karena baru sekali saja dia mengaku sebagai putera Cia Bun Houw, nyawanya hampir melayang dalam tangan Kim Hong Liu-nio!
Tak lama kemudian datanglah Siong Bu berlari-lari dan anak ini membawa sebuntalan pakaian dan sekantung uang. Kui Hok Boan lalu menyerahkan buntalan pakaian dan kantung uang itu kepada Sin Liong, sedangkan Siong Bu sendiri tadi membawa pisaunya yang amat disayang, yaitu pisau belati berbentuk golok kecil yang amat tajam dan selama ini dibanggakan.
"Aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali pisauku ini, Sin Liong."
Sin Liong menerima buntalan, kantung uang dan pisau itu dengan terharu sekali.
"Akan tetapi... engkau suka sekali kepada pisaumu ini, Siong Bu..."
Siong Bu tersenyum. "Karena itulah maka kuberikan kepadamu, Sin Liong. Sebagai tanda... persahabatan, maukah kau menerimanya"
"Terima kasih... terima kasih...!" Dan sejak saat dia menerima buntalan dan pisau itu, maka lenyaplah seluruh rasa tak senang di dalam hatinya terhadap Kui Hok Boan dan Siong Bu, lenyaplah seluruh anggapan bahwa mereka itu jahat kepadanya, bahkan kini berganti dengan anggapan bahwa mereka itu baik sekali kepadanya!
Tidak anehlah apa yang dirasakan oleh hati Sin Liong itu. Demikianlah adanya kita semua ini! Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk terombang-ambing di antara pendapat yang menjadi hasil dari PENILAIAN. Kita memandang segala sesuatu dengan penilaian, maka muncullah pendapat baik dan buruk, baik dan jahat, dan sebagainya. Segala macam kebalikan-kebalikan di dunia ini mempermainkan kita, membentuk pendapat-pendapat yang tidak lain hanya akan mendatangkan konflik saja dalam batin. Penilailan ini selalu tentu didasari oleh pengukuran atau pertimbangan yang merupakan kesibukan yang bersumber kepada kepentingan diri pribadi. Kita mengukur sesuatu, atau seseorang, dengan dasar menguntungkan atau merugikan diri kita sendiri. Kalau menguntungkan lahir atau batin, kalau menyenangkan hati, maka keluarlah pendapat kita bahwa orang itu adalah baik! Sebaliknya kalau merugikan lahir atau batin, kalau tidak menyenangkan hati, maka pendapat kita terhadap orang itu tentu buruk! Jadi jelaslah bahwa baik ataupun buruk itu hanya merupakan pendapat yang didasari oleh kepentingan si aku yang ingin memperoleh kesenangan selalu! Dan sudah jelas pula bahwa pendapat demikian ini adalah palsu dan tidak benar! Pendapat ini hanya merupakan penilaian yang bertiraikan kepentingan pribadi kita, dan tentu hanya akan mendatangkan pertentangan batin belaka. Betapapun jahat seseorang menurut pendapat umum, kalau dia itu baik kepada kita, menyenangkan kita, maka kita akan menganggap dia itu baik! Sebaliknya, dunia boleh menganggap seseorang itu amat baik, akan tetapi kalau dia tidak baik kepada kita, kalau dia tidak menyenangkan kita, maka tak mungkin kita menganggapnya baik, dan kita pasti akan menganggap dia jahat! Begitulah kenyataannya! Maka dapatkah kita memandang segala sesuatu tanpa penilaian" Memandang segala sesuatu, memandang orang lain, seperti apa adanya, seperti keadaannya yang sesungguhnya tanpa menilai yang didasarkan menyenangkan kita atau tidak"
Karena hanya dengan memandang sesuatu seperti itu sajalah yang membebaskan kita dari penilaian, dan setelah kita terbebas dari penilaian, maka kita bebas pula dari rasa suka atau tidak suka. Seni memandang seperti ini merupakan seni tersendiri yang hanya nampaknya saja sukar akan tetapi tidaklah sukar apabila kita memiliki perhatian sepenuhnya dan kalau kita sadar benar-benar bahwa sudah semestinya terjadi perubahan dalam kehidupan kita yang banyak sengsaranya daripada bahagianya ini.
Sin Liong lalu berpamit meninggalkan Kui Hok Boan dan Kwan Siong Bu yang masih memandang kepada anak yang berjalan pergi itu dengan penuh kagum dan khawatir. Anak itu masih terlalu kecil untuk menempuh hidup yang penuh bahaya di sebelah dalam Tembok Besar.
*** Ketika Sin Liong memasuki hutan di luar Tembok Besar, tiba-tiba dari jauh dia mendengar suara pertempuran. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi itu diseling dengan suara berdencingnya senjata yang beradu. Sin Liong merasa tertarik, akan tetapi dia cukup berhati-hati mengingat akan nasihat pamannya agar dia tidak suka mencampuri urusan orang orang lain, apalagi urusan orang-orang kang-ouw. Betapapun juga, karena hatinya tertarik sekali, dia tidak mungkin pergi begitu saja tanpa menonton! Memang pada dasarnya, anak ini suka sekali menyaksikan kegagahan, dan paling suka melihat orang mengadu kepandaian dengan ilmu silat. Maka dia lalu mengikatkan buntalannya di pundak dan cepat dia meloncat ke atas, menyambar cabang pohon paling rendah kemudian bagaikan seekor monyet saja dia memanjat dan berloncatan naik dari cabang ke cabang, berayun-ayun dari pohon ke pohon menuju ke tempat terjadinya perkelahian itu. Biarpun dia bersepatu, namun dia tidak kehilangan kegesitannya, sungguhpun tentu saja kakinya yang terbungkus sepatu itu dirasakannya amat mengganggu gerakannya di atas pohon-pohon di antara cabang-cabang dan daun-daun.
Akhirnya, tibalah dia di tempat pertempuran itu dan dia duduk di atas cabang pohon. Karena tepat seperti dugaannya, pertempuran itu dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan golok dan pedang, dan dilakukan dengan gerakan silat yang amat cepat dan indah, maka hatinya tertarik sekali dan duduklah dia di cabang pohon yang dekat agar dia dapat menonton dengan enak. Saking tertariknya, Sin Liong tidak tahu bahwa ada bayangan-bayangan lain di atas pohon-pohon yang berayun-ayun dan mendekati tempat itu. Dia tidak tahu bahwa ada beberapa ekor monyet besar yang mengenalnya dan monyet-monyet ini lalu bersama kawan-kawan mereka datang mendekati anak itu.
Sin Liong amat tertarik menonton pertempuran itu. Seorang laki-laki berusia kira-kira lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak kurus namun kelihatan gagah sekali, wajah tampan membayangkan kegagahan dan keramahan, sedang mainkan pedangnya dengan cepat untuk menahan pengeroyokan tiga orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan yang mengeroyoknya dengan menggunakan golok besar.
Tiga orang tinggi besar itu memiliki gerakan yang liar dan ganas, golok mereka menyerang dengan dahsyat dari tiga jurusan dan kedudukan mereka selalu segi tiga ketika mengepung kakek berpedang itu. Tadinya Sin Liong masih mengingat akan nasihat pamannya dan tidak hendak mencampuri, hanya ingin menonton saja. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa tiga orang itu adalah anggauta-anggauta Jeng-hwa-pang! Hal ini dapat dikenalinya bukan hanya karena pakaian mereka yang tak berlengan itu, akan tetapi juga dia mengenal seorang di antara mereka yang berkumis pendek kaku tanpa jenggot. Maka begitu dia mengenal tiga orang itu sebagai orang-orang Jeng-hwa-pang, teringatlah dia akan ketua Jeng-hwa-pang yang jahat bukan main, yang pernah menyiksannya dan melemparkannya ke dalam lubang yang penuh ular. Maka seketika hatinya sudah berfihak kepada kakek berpedang itu yang tidak dikenalnya akan tetapi yang memiliki wajah yang gagah dan menyenangkan hatinya.
Apalagi ketika dia melihat betapa kakek itu makin lama makin terdesak hebat, dia makin berfihak kepada kakek itu. Dan penglihatannya memang tidak keliru. Seorang yang berkumis pendek kaku itu memang seorang anggauta Jeng-hwa-pang tingkat atas yang pernah dilihatnya. Ternyata bahwa ada pula anggauta Jeng-hwa-pang yang dapat lolos dari tangan maut Kim Hong Liu-nio dan dua orang yang lain itu adalah tokoh-tokoh Jeng-hwa-pang yang baru datang. Mereka tidak ikut dalam rombongan Gak Song Kam, yaitu pangcu (ketua) dari Jeng-hwa-pang, dan mereka itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi karena mereka bertiga ini menerima latihan langsung dari pangcu mereka sehingga tingkat mereka tidaklah lebih rendah daripada tingkat Heng-san Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu pangcu dari Jeng-hwa-pang itu. Ketika Sin Liong melihat dengan lebih teliti, maka tahulah dia bahwa kakek berpedang itu telah terluka di betis kirinya. Pantas saja gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa. Biarpun demikian, tetap saja pedangnya dapat menangkis tiga batang pedang yang menyerangnya seperti hujan itu.
Sin Liong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Kalau tidak dibantu, kakek gagah itu akhirnya pasti akan roboh, pikirnya. Dia lupa akan keadaan dirinya sebagai seorang anak-anak yang belum memiliki kepandaian berarti. Terdorong oleh rasa penasaran dan kasihan kepada kakek itu, tiba-tiba Sin Liong meloncat turun dan membentak nyaring.
"Tiga orang mengeroyok satu orang, sungguh pengecut!" Dan diapun sudah menerjang maju dan menyerang ke arah dada dan perut seorang di antara para pengeroyok itu seperti seekor kera marah! Orang itu terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang menerjangnya hanyalah seorang anak kecil, dia tertawa mengejek, melompat ke kiri dan pedangnya menyambar ke arah leher Sin Liong.
"Singgg...!" Dan orang itu terkejut karena sambaran pedangnya luput! Boleh jadi Sin Liong belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi jelas bahwa dia telah memiliki ketangkasan yang luar biasa, kegesitan seekor monyet, kecepatan yang wajar dan yang hanya dapat dikuasai karena kebiasaan, bukan karena latihan. Juga dia memiliki naluri perasaan yang tajam sekali, maka hal inilah yang menjadikan kelebihan dari Sin Liong daripada orang-orang lain, dan membuat dia dengan mudah mengelak dari sambaran golok itu. Dan pada saat itu, tidak kurang dari sepuluh ekor monyet-monyet besar sudah berloncatan turun dan dengan mengeluarkan gerengan dan suara riuh rendah, mereka ikut menyerbu dan mengeroyok secara membabi buta dan ngawur. Mereka itu menyerang empat orang itu, termasuk kakek berpedang. Hanya Sin Liong saja yang tidak mereka keroyok! Tentu saja monyet-monyet itu tidak tahu siapa musuh Sin Liong yang sebenarnya!
Melihat munculnya bocah aneh itu dan sekawanan monyet, tiga orang yang sejak tadi belum juga mampu mengalahkan kakek yang gagah perkasa itu menjadi jerih, mereka lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi, terus melarikan diri secepatnya dari tempat itu.
Melihat betapa kini monyet-monyet itu hendak mengeroyok si kakek gagah, Sin Liong cepat mengeluarkan bunyi pekik monyet yang nyaring dan monyet-monyet itu segera mundur, hanya masih memandang ke arah kakek berpedang dengah mata marah dan memperlihatkan taring. Kakek itu yang juga terkejut, kini dengan pedang di tangan memandang kepada Sin Liong penuh keheranan.
Sin Liong segera berkata, "Paman, setelah mereka pergi, harap paman cepat meninggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang kembali."
Kakek itu memandang dengan bengong. "Jadi kau... dan monyet-monyet itu... kalian telah menolongku tadi..." tanyanya, masih bingung karena heran bagaimana di dalam hutan dapat muncul seorang bocah tampan yang berani mati membantunya bersama sekawanan monyet liar itu.
"Maafkan, mereka itu tadi tidak tahu aturan, tidak mengenal mana kawan mana lawan. Melihat paman dikeroyok, aku melupakan kebodohan sendiri dan membantu."
Laki-laki itu makin heran. Anak hutan yang berkawan dengan monyet-monyet ini pandai membawa diri, sikapnya halus dan sopan pula! Sungguh ajaib!
"Anak baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Engkau siapakah" Apakah tinggal di sini"
Sin Liong menggeleng kepalanya. "Saya tidak mempunyai tempat tinggat, paman, tempat tinggal saya di dalam hutan, di atas pohon-pohon bersama monyet-monyet itu."
"Ah..." Dan engkau membawa buntalan pakaian, agaknya hendak pergi"
"Benar, paman. Saya hendak pergi menyeberang Tembok Besar..."
"Kau" Seorang diri pula" Anak baik, siapa namamu"
"Nama saya Sin Liong..." dia tidak mau menyebutken shenya.
"Nama keluargamu" Kakek itu mendesak.
Sin Liong menggeleng kepala. "Saya tidak tahu."
"Ayah ibumu"
"Tidak ada..."
"Luar biasa sekali! Sin Liong, ketahuilah bahwa aku adalah seorang piauwsu, bernama Na Ceng Han, tinggal di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Aku datang ke tempat ini dalam perjalananku menuju ke kaki Pegunungan Khing-an-san mencari seorang sahabatku bernama Bhe Coan, seorang pandai besi. Akan tetapi ternyata sahabatku itu telah tewas dibunuh orang! Maka aku hendak kembali dan setibanya di hutan ini bertemu dengan tiga orang jahat yang tanpa sebab lalu menyerangku tadi. Untung ada engkau yang menolongku. Sin Liong, anak baik yang aneh sekali. Jangan kau takut kepadaku, ceritakanlah saja terus terang, siapakah orang tuamu dan ke mana engkau hendak pergi"
Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek itu. Na-piauwsu atau Na Ceng Han terkejut bukan main. Anak itu memiliki sinar mata yang tajam luar biasa, menyambar seperti kilat ketika memandang kepadanya! Memang Sin Liong merasa tidak senang ketika didesak seperti itu.
"Paman Na, di antara kita tidak ada urusan apa-apa. Setelah tiga orang itu pergi, harap paman suka pergi saja."
"Jangan marah, Sin Liong. Aku bertanya karena merasa heran sekali di tempat seperti ini bertemu dengan seorang anak seperti engkau. Engkau mengaku tidak ada ayah bunda, sebatangkara dan tidak ada tempat tinggal, akan tetapi pakaianmu baik dan engkau membawa buntalan pakaian..."
"Saya dapatkan dari orang-orang dusun yang memberi kepada saya," jawab Sin Liong secara, singkat.
"Benarkah kau sebatangkara dan hendak ke selatan"
"Paman, saya tidak biasa membohong!"
"Bagus! Kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku ke selatan, anak baik."
"Akan tetapi, saya tidak mau terikat kepada paman..."
Tiba-tiba Na Ceng Han tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau seorang anak berjiwa gagah, akan tetapi agaknya belum tahu siapa orang yang boleh dipercaya dan siapa tidak. Aku selamanya tidak mau mengikat orang, anakku. Marilah!" Dia membalik dan hendak berjalan, akan tetapi mengeluh dan hampir saja jatuh terguling kalau Sin Liong tidak cepat menangkap tangan kakek itu.
"Paman, engkau terluka!"
"Ah, keparat itu...!" Na Ceng Han memaki dan cepat dia duduk di atas tanah dan merobek celananya di bagian betis kiri. Di situ nampak tanda membiru dan lapat-lapat masih nampak ujung sebatang jarum yang menancap sampai dalam.
"Celaka! Engkau telah terkena jarum rahasia yang beracun, paman!"
Sekali pandang saja Na Ceng Han memang sudah menduga bahwa jarum yang mengenai betisnya itu beracun, akan tetapi dia heran bagaimana anak itu bisa tahu. Tanpa berkata apa-apa dia lalu mencabut pedangnya yang tadi telah disarungkan dan hendak membuka kulit betis yang terluka itu dengan pedang.
"Paman, pergunakanlah ini saja!" Sin Liong segera mengeluarkan pisaunya, pemberian Siong Bu karena menggunakan pedang yang panjang itu untuk membedah betis tentu saja amat canggung.
"Terima kasih, kau baik sekali!" kata Na Ceng Han dan dia menerima pisau yang baru dan mengkilap tajam tanpa karat sedikitpun itu, lalu tanpa ragu-ragu lagi kakek ini merobek kulit betis yang terluka dengan pisau itu. Sin Liong memandang dan diam-diam anak ini juga kagum sekali akan kegagahan kakek itu yang berkejappun tidak ketika pisau itu ditusukkan ke dalam dagingnya dan merobeknya, membukanya sampai darah menguncur keluar. Dan memang benar dugaan Sin Liong, darah yang keluar itu berwarna agak kehijauan!
"Darahnya harus disedot keluar, paman," kata pula Sin Liong dan karena agaknya tidak mungkin bagi orang itu untuk menyedot sendiri betisnya, maka dia melanjutkan dengan cepat, "Biar kulakukan itu, paman!"
Na Ceng Han terkejut bukan main dan hendak mencegah, akan tetapi anak itu telah memegang betisnya dan tanpa ragu-ragu telah menempelkan mulutnya pada betis yang terluka lalu menyedotnya kuat-kuat. Sin Liong meludahkan darah yang disedotnya, lalu menyedot lagi sampai berulang lima kali dan baru setelah yang keluar berwarna merah, dia berhenti menyedot. Na Ceng Han lalu memegang pundak anak itu yang membersihkan mulutnya dengan ujung lengan bajunya. Dia terharu bukan main. Anak ini tidak dikenalnya sama sekali, baru saja bertemu telah menyelamatkan nyawanya dan dengan nekat membantu dia mengundurkan para perampok lihai tadi, dan kini, dengan suka rela anak ini telah menyedot racun dari luka di betisnya! Bukan main anak ini! Kedua mata orang tua itu menjadi basah karena hampir dia tidak percaya bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini.
"Sin Liong, apa yang kaulakukan ini takkan dapat kulupakan selama hidupku!" katanya.
Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera menghampiri monyet-monyet besar dan dengan suara memekik-mekik dia minta kepada para monyet itu untuk mencarikan daun obat luka untuk Na Ceng Han. Kembali Na Ceng Han terbelalak memandang dan melihat para monyet itu berloncatan pergi dan tak lama kemudian datang membawa semacam daun berwarna kecoklatan. Sin Liong lalu mencuci daun-daun itu dengan air jernih yang mengalir tidak jauh dari situ, lalu dia meremas-remas daun-daun itu perlahan sampai daun-daun itu menjadi lunak dan mengeluarkan lendir. Dengan hati-hati dia lalu menutupkan daun-daun itu sampai lima enam tumpuk di atas luka di betis Na Ceng Han, kemudian membalut luka yang ditutupi daun-daun obat itu dengan sehelai saputangan. Na Ceng Han merasa betapa luka yang tadinya panas itu kini menjadi dingin sekali.
"Sin Liong, sungguh engkau seorang anak ajaib sekali! Bagaimana kau dapat berhubungan dengan monyet-monyet itu dan dapat memerintahkan mereka" tanya Na Ceng Han dengan pandang mata penuh kagum.
"Tidak ada yang aneh, paman. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan mereka dan tahu akan cara hidup mereka, bahkan aku pernah luka-luka akibat cakaran dan gigitan harimau, dan mereka itulah yang mengobatiku, menjilati luka-lukaku dan menaruhkan daun obat ini."
"Bukan main! Dan bagaimana kau tahu bahwa aku terkena jarum beracun" Memang tadi ketika tiga orang lihai itu muncul, mereka menyerangku dengan jarum-jarum dan agaknya ada sebatang yang mengenai betisku. Aku hanya merasa agak kaku di kaki ini akan tetapi tidak sempat memeriksanya karena mereka sudah mengepung dan menyerangku."
Sin Liong tidak ingin menceritakan keadaan dirinya secara selengkapnya karena dengan demikian dia harus mengaku siapa orang tuanya dan mengaku pula tentang Istana Lembah Naga, maka dia hanya berkata, "Saya dapat menduganya setelah melihat luka itu, karena saya mengenal tiga orang tadi, paman. Mereka itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang dan sudah tentu saja mereka menggunakan racun dalam senjata rahasia mereka." Akan tetapi ucapannya itu bahkan amat mengejutkan Na Ceng Han sampai dia terlonjak dan bangkit berdiri, tidak merasakan kenyerian betisnya ketika dia berdiri saking kagetnya. Bahkan, wajahnyapun berubah, persis seperti keadaan Kui Hok Boan ketika untuk pertama kali mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang.
"Jeng-hwa-pang..." Kakek ini bertanya, suara agak menggetar karena ngeri dan jerih. "Mereka... mereka orang-orang Jeng-hwa-pang" Ah, Sin Liong, bagaimana kau bisa tahu"
"Saya... saya pernah melihat dan mendengar mereka dari atas pohon ketika mereka lewat dan bercakap-cakap, paman."
"Kalau benar demikian, mari kita cepat pergi dari sini, Sin Liong!"
Sin Liong mengangguk dan pergilah dua orang itu menuju ke selatan. Biarpun agak terpincang, akan tetapi Na Ceng Han tidak lagi merasakan kakinya kaku seperti tadi, maka mereka dapat melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa ke selatan. Sebetulnya kita tidak perlu khawatir dan tergesa-gesa, pikir Sin Liong, karena Jeng-hwa-pang sudah dibasmi oleh Kim Hong Liu-nio, dan mungkin tiga orang tadi hanya sisanya saja. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia dapat bertemu dengan kakek ini karena kalau dia harus melakukan perjalanan seorang diri, mungkin dia akan sesat jalan dan akan makan waktu lebih lama untuk melewati Tembok Besar. Sebaliknya Na Ceng Han melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa dan dengan hati diliputi kekhawatiran besar.
Seperti juga lain orang yang sudah banyak merantau dan banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, tentu saja Na Ceng Han pernah mendengar nama perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu, maka ketika mendengar tiga orang penyerangnya tadi adalah orang-orang Jeng-hwa-pang, dia terkejut sekali dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu karena takut kalau-kalau orang-orang Jeng-hwa-pang akan mengejarnya. Dia masih merasa heran dan tidak mengerti mengapa secara tiba-tiba orang-orang Jeng-hwa-pang memusuhinya tanpa bertanya-tanya, padahal tiga orang itu tadinya disangkanya hanya perampok-perampok biasa saja. Pantas kepandaian mereka begitu hebat! Dan diam-diam diapun dapat menduga bahwa di dalam diri anak yang berjalan dengan gagahnya di sampingnya itu tentu tersembunyi rahasia yang amat hebat. Tak mungkin ada anak biasa saja seperti Sin Liong ini. Mengakunya hidup sebatangkara di dalam hutan, akan tetapi memiliki pakaian yang cukup baik, mengenal tata susila dan sopan santun seperti anak kota yang terpelajar, dan jelas memiliki kepandaian silat yang aneh, keberanian luar biasa dan pandai memerintah monyet-monyet, mengenal orang-orang Jeng-hwa-pang dan tahu tentang jarum-jarum beracun!
Diam-diam hatinya girang juga bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini, apalagi ketika mendapat kenyataan betapa selama melakukan perjalanan dari pagi sampai sore ini anak itu tidak pernah mengeluh, sungguhpun keringatnya telah membasahi seluruh badan dan napasnya agak memburu. Tidak minta minum, tidak mengeluh sama sekali. Benar-benar anak ajaib!
Na Ceng Han adalah seorang piauwsu yang cukup terkenal di kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia bukan saja terkenal sebagai seorang yang pandai ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali terkenal sebagai seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) yang amat jujur, setia dan boleh dipercaya. Sudah puluhan tahun Na-piauwsu ini bekerja sebagai piauwsu dan belum pernah barang yang dikawalnya itu tidak sampai di tempatnya dengan selamat. Dia melindungi barang kiriman yang dipercayakan kepadanya dengan taruhan nyawanya. Akan tetapi yang membuatnya selalu berhasil dalam melaksanakan tugasnya adalah karena hubungannya yang amat luas, baik dengan golongan para pendekar, maupun dengan golongan hitam. Dia tidak segan-segan untuk membagi hasil jerih payahnya mengawal barang itu dengan fihak-fihak kaum sesat yang berkuasa di sepanjang jalan sehingga fihak kaum sesat juga merasa segan karena Na-piauwsu ini lihai dan banyak sekali sahabatnya di antara pendekar-pendekar ternama, juga karena Na-piauwsu bersahabat baik dengan banyak tokoh kaum sesat.
Seperti pernah diceriterakan di bagian depan, pandai besi ahli pembuat pedang Bhe Coan yang tinggal di dusun di kaki Pegunungan Khing-an-san, juga termasuk seorang sahabat baik Na Ceng Han. Sebelum Bhe Coan menikah dengan janda Leng Ci yang genit, dia telah kematian isterinya yang melahirkan seorang anak perempuan. Setelah menikah dengan janda genit dan cantik itu, si janda membujuknya untuk menyingkirkan anaknya, maka dia teringat kepada sahabatnya itu dan dia lalu memberikan anaknya perempuan itu kepada Na Ceng Han. Na-piauwsu menerimanya dengan senang, bukan hanya karena Bhe Coan adalah seorang sahabat baiknya, akan tetapi juga karena dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja dan mereka berdua memang ingin sekali mempunyai seorang anak perempuan.
Pada hari itu, ketika pekerjaannya agak sepi, yang ada hanya barang-barang kiriman yang tidak begitu penting sehingga cukup diantar dan dikawal oleh para pembantunya saja, Na-piauwsu teringat akan sahabat baiknya itu. Dia ingin mengunjunginya, bukan hanya karena sudah merasa rindu dan ingin tahu bagaimana keadaan sahabatnya yang dia tahu amat jujur dan agak bodoh, akan tetapi amat ahli dalam pembuatan pedang itu, akan tetapi juga untuk mengabarkan tentang keadaan Bi Cu, yaitu puteri dari sahabatnya itu, dan untuk minta dibuatkan sebatang pedang yang baik untuk Bi Cu! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan dukanya ketika dia mendengar bahwa Bhe Coan sahabatnya itu telah tewas bersama isteri barunya, tewas dibunuh orang tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya! Bahkan dia mendengar dari para tetangga betapa banyak orang gagah yang datang untuk memesan pedang, juga terkejut dan marah, ingin tahu siapa pembunuhnya. Akan tetapi sampai sekian lamanya tidak ada yang pernah mengetahuinya karena memang tidak ada orang yang menyaksikan pembunuhan atas diri suami isteri itu.
Demikianlah, dalam perjalanannya pulang dari tempat tinggal sahabatnya, tanpa disangka-sangkanya Na Ceng Han bertemu dengan Sin Liong dan kini dia melakukan perjalanan pulang bersama Sin Liong. Di tengah perjalanan, beberapa kali Na Ceng Han memancing kepada anak itu untuk menceritakan riwayatnya. Akan tetapi Sin Liong lebih banyak tutup mulut daripada bicara dan bagaimanapun didesak, tetap saja Sin Liong mengatakan bahwa namanya Sin Liong dan dia tidak tahu siapa nama ayahnya dan siapa ibunya. Dia mengatakan bahwa sejak kecil dia hidup di antara monyet-monyet yang merawatnya.
"Akan tetapi engkau memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya. Dari siapakah engkau mempelajari itu, Sin Liong" tanya Na Ceng Han ketika pada suatu malam mereka berhenti melewatkan malam di Tembok Besar.
"Saya hanya ikut-ikut latihan dengan anak-anak dusun, paman dan saya meniru-niru gerakan monyet-monyet kalau berkelahi," jawab Sin Liong secara singkat. Melihat anak itu memang pendiam sifatnya dan kelihatannya amat keras hati, Na Ceng Han tidak mau mendesak lagi, sungguhpun keterangan itu tidak dipercaya sepenuhnya.
"Maafkan aku kalau aku cerewet, Sin Liong. Akan tetapi aku amat tertarik kepadamu, dan sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan lagi harap kau suka jawab sejujurnya. Engkau yang hidup di dalam hutan, tanpa sanak kadang tanpa keluarga, mengapa engkau secara tiba-tiba saja hendak pergi ke selatan" Engkau tahu akan sopan santun, agaknya engkau tahu pula baca tulis, siapakah yang mengajarkan itu semua dan dari siapa kau tahu bahwa di sebelah sana Tembok Besar terdapat dunia yang amat luas"
"Ah, paman. Di dusun banyak juga orang yang pandai baca tulis dan saya ikut-ikut belajar. Tentang maksudku berkunjung ke selatan Tembok Besar... ah, saya ingin meluaskan pengetahuan, paman..." Setelah berkata demikian, Sin Liong menunduk dan jelas nampak dari wajahnya bahwa dia tidak ingin banyak bicara tentang dirinya sendiri lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah melanjutkan perjalanan mereka, menyeberangi Tembok Besar menuju ke selatan. Jantung Sin Liong berdebar penuh ketegangan ketika dia memasuki dusun pertama dari daerah selatan ini. Betapa jauh bedanya keadaan di selatan dengan di utara. Di sini mulai nampak padat dengan penduduk, dar ingatan bahwa dia makin dekat dengan ayah kandungnya, membuat dia merasa tegang dan gembira. Dia tidak tahu atau belum dapat membayangkan bahwa dunia selatan ini amat luasnya, lebih luas daripada langit yang dapat nampak olehnya, dan betapa mencari satu orang di antara ratusan juta orang bukan merupakan hal yang mudah! Akan tetapi dia mempunyai satu keuntungan, yaitu bahwa yang dicarinya itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang pendekar yang namanya pernah menjulang tinggi sekali di dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu. Bahkan pada waktu itu juga, tidak ada seorangpun kang-ouw yang tidak mengenal nama Cin-ling-pai di mana kakeknya, yaitu ayah dari Cia Bun Houw, menjadi ketuanya!
MELIHAT kegembiraan anak itu, diam-diam Na Ceng Han merasa terharu sekali. Anak ini patut dikasihani, pikirnya. Melakukan perjalanan selama beberapa hari ini bersama Sin Liong, dia makin terkesan dan tertarik oleh anak ini yang benar-benar amat luar biasa. Pendiam, keras hati, tabah, sopan, dan amat cerdik. Apalagi anak ini telah menolongnya, bahkan kini luka di betisnya telah sembuh berkat perawatan Sin Liong yang membawa banyak daun obat untuk mengganti obat di luka itu setiap hari. Na Ceng Han merasa berbutang budi kepada anak ini maka dia mengambil keputusan untuk melakukan apa saja bagi anak ini. Dia lalu mengajak Sin Liong singgah di kota raja, tak lain hanya untuk menyenangkan hati anak ini.
Dan Sin Liong memang senang bukan main. Dia merasa takjub melihat gedung-gedung indah, jembatan-jembatan besar yang indah, taman-taman yang seperti dalam dongeng saja di kota raja! Tiada habisnya dia mengagumi segala apa yang dilihatnya dan dia amat berterima kasih kepada Na Ceng Han.
Akhirnya tibalah mereka di kota Kun-ting. Ternyata rumah Na-piauwau cukup besar, merupakan sebuah gedung yang biarpun tidak amat mewah, akan tetapi cukup bagus karena selama bekerja puluhan tahun sebagai piawsu, Na Ceng Han dapat mengumpulkan kekayaan sekedarnya. Kantor piauw-kiok (perusahaan ekspedisi) yang diberi nania Ui-eng-piauw-kiok. Nama Ui-eng (Garuda Kuning) berasal dari nama julukan ayah dari Na Ceng Han yang kini telah meninggal dunia. Ayah dari Na Ceng Han juga seorang piauwsu dan karena ayahnya itu suka sekali memakai pakaian kuning dan sepak terjangnya seperti seekor garuda, maka dia mendapatkan julukan Garuda Kuning. Maka ketika ayahnya itu membuka piauw-kiok, julukan ini lalu dipakai. Maka terkenallah Ui-eng-piauw-kiok sampai menurun kepada Na Ceng Han. Bendera berlatar belakang merah dengan gambaran seekor garuda kuning amat dikenal oleh seluruh kaum liok-lim dan kang-ouw sehingga baru benderanya itu saja yang berkibar di atas gerobak pengangkut barang yang dikawal oleh Ui-eng-piauw-kiok, sudah merupakan jaminan keamanan gerobak itu.
Kedatangan Na Ceng Han disambut oleh isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh lima tahun, bersikap lemah lembut dan ramah, lalu nampak seorang anak laki-laki sebaya dengan Sin Liong. Anak ini adalah Na Tiong Pek, putera tunggal dari keluarga Na. Dan di belakang Tiong Pek ini muncul seorang perempuan yung manis sekali, yang mengingatkan Sin Liong kepada Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi anak perempuan ini sifatnya lemah lembut dan pendiam, bahkan agak malu-malu tidak seperti Lan Lan dan Lin Lin. Anak perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, memandang kepada Sin Liong dengan mata terbuka lebar keheranan. Anak ini adalah Bi Cu, puteri dari Bhe Coan yang sejak bayi dititipkan kepada Na Ceng Han. Bhe Bi Cu tidak diaku anak oleh Na Ceng Han, maka masih memakai she Bhe, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, anak ini tidak dianggap orang lain oleh suami isteri Na, dianggap anak sendiri, bahkan amat disayang oleh mereka. Betapapun juga, Bhe Bi Cu selalu "tahu diri", merasa dia bukanlah anak mereka dan hanya seorang yang menumpang hidup! Inilah agaknya yang membuat Bi Cu selalu bersikap pendiam dan malu-malu.
Keluarga Na menyambut Na Ceng Han dengan penuh kegembiraan. Apalagi setelah piauwsu itu mengeluarkan oleh-olehnya. Kain sutera halus untuk isterinya, hiasan rambut dari emas untuk Bi Cu, dan gendewa beserta anak panahnya yang terukir dan dicat indah untuk Tiong Pek. Semua benda ini dibelinya di kota raja dan hanya di kota raja sajalah ada yang menjual benda-benda seindah itu. Tentu saja anak-anak dan isterinya itu gembira sekali dan barulah isterinya bertanya siapa adanya anak laki-laki yang ikut bersama suaminya.
Sejak tadi Sin Liong memandang pertemuan itu dengan hati perih dan pula rasa iri di dalam hatinya. Belum pernah dia mengalami pertemuan seperti itu, begitu asyik dan mesra! Belum pernah dia merasakan betapa akan gembira hatinya kalau menyambut pulangnya seorang ayah yang membawa oleh-oleh! Akan tetapi dia hanya menunduk dan membiarkan ayah dan keluarganya itu bertemu melepaskan rindu tanpa berani mengganggu, bahkan dia mundur di sudut.
"Siapakah anak itu" tanya nyonya Na dan kini dua orang anak itupun yang tadinya bergembira dengan barang-barang mereka menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Karena semua mata kini memandang kepadanya, Sin Liong yang tadinya menunduk kini malah mengangkat mukanya membalas pandang mata mereka dengan tenang. Dia melihat betapa wajah nyonya itu peramah sekali, betapa sepasang mata anak laki-laki itu memandangnya penuh curiga dan anak perempuan yang manis itu memandang kepadanya dengan sepasang mata terbuka lebar, agaknya terheran-heran.
Na Ceng Han tertawa, lalu menghampiri Sin Liong dan menaruh tangannya di atas pundak anak itu dan berkatalah dia kepada keluarganya. "Anak ini bernama Sin Liong dan ketahuilah, kalau tidak ada anak ini, aku sudah tidak akan bertemu lagi dengan kalian, aku tentu telah tewas di utara sana tanpa ada yang mengetahui."
"Ihh..." Nyonya Na berseru dengan muka berubah pucat.
"Ahh...!" Bi Cu juga berseru dan matanya makin terbelalak memandang kepada Sin Liong.
"Ayah, apakah yang telah terjadi" Tiong Pek juga berseru kaget.
Na Ceng Han menarik napas panjang, lalu dengan halus mendorong Sin Liong maju menghampiri keluarganya. "Marilah kuperkenalkan dulu. Sin Liong, dia ini adalah bibimu, dan ini adalah anakku, Na Tiong Pek dan ini adalah keponakanku, Bhe Bi Cu."
Sin Liong yang sejak kecil sudah diajar sopan santun oleh ibunya, cepat memberi hormat kepada nyonya itu sambil menyebut. "Bibi..."
Nyonya Na cepat mengulurkan tangan memegang pundak anak itu dan berkata, "Anak baik, duduklah."
Mereka semua duduk mengelilingi meja dan mulailah Na Ceng Han menceritakan pengalamannya ketika dia dihadang oleh tiga orang perampok lihai dan dia sudah terluka kakinya, kemudian betapa Sin Liong muncul bersama rombongan monyet dan menyelamatkannya dari bahaya maut.
"Dia tidak hanya membantuku mengusir tiga orang itu, akan tetapi bersama teman-temannya, rombongan kera itu, dia telah mengobati luka di kakiku sampai sembuh!" Na-piauwsu mengakhiri ceritanya tanpa menyebut-nyebut tentang kematian Bhe Coan.
Nyonya dan dua orang anak itu mendengarkan dengan mata terbuka lebar, penuh perhatian dan penuh keheranan.
"Luar biasa sekali...!" seru nyonya itu sambil memandang kepada Sin Liong. "Seolah-olah Thian sendiri yang mengutus dia turun dari kahyangan untuk menolongmu, suamiku!"
Na Ceng Han tertawa. "Ha-ha, memang tadinya aku sendiripun terheran-heran dan mengira dia seorang dewa sebangsa Lo-cia! Akan tetapi dia seorang manusia biasa yang ingin ke selatan, maka aku membawanya sampai ke sini."
"Muncul bersama rombongan monyet" Tiong Pek berseru heran sambil memandang kepada Sin Liong. "Apakah... apakah dia mengenal monyet-monyet itu..."
"Ha-ha-ha, mengenal mereka" Tiong Pek, sayang kau tidak melihat sendiri betapa dia ini telah memerintahkan monyet-monyet untuk mundur ketika mereka itu salah duga dan hendak mengeroyokku, kemudian betapa dia menyuruh monyet-monyet itu mencarikan daun obat untuk mengobati luka di betisku!"
"Ah...! Benarkah itu" Kalau begitu engkau bisa bercakap-cakap dengan monyet!" Tiong Pek bertanya kepada Sin Liong, sinar matanya penuh kagum dan Sin Liong melihat betapa anak ini memiliki watak yang jujur. Maka dia mengangguk tanpa menjawab.
"Bagus, kau harus ajari aku bicara monyet!" Tiong Pek berseru sambil memegang tangan Sin Liong. "Dan kau boleh memilih benda-benda mainanku, mana yang kausuka boleh kauambil!" Tiong Pek lalu menarik tangan Sin Liong. "Marilah. Sin Liong, mari kita bermain di belakang!"
Sin Liong hanyut oleh kegembiraan anak itu. Anak ini berbeda dengan Siong Bu, dan biarpun tidak selucu Beng Sin, akan tetapi anak ini jujur dan terbuka, tidak seperti Beng Sin yang tidak berani terang-terangan bersikap manis kepadanya. Akan tetapi dia tidak mau bersikap kurang hormat dan dia memandang kepada Na Ceng Han.
Na-piauwsu tersenyum dan mengangguk. "Kau bermainlah bersama Tiong Pek dulu, Sin Liong, aku hendak bicara dengan bibimu dan dengan Bi Cu."
Maka pergilah Sin Liong, setengah ditarik oleh Tiong Pek, menuju ke ruangan belakang dari rumah yang besar itu. Bi Cu mengikuti mereka dengan pandang matanya. Agaknya diapun ingin bicara dengan Sin Liong, ingin bertanya tentang kehidupan anak itu yang aneh, yang pandai memerintah monyet-monyet, dan terutama sekali, yang datang dari utara, dari mana diapun datang ketika masih bayi. Akan tetapi sebagai seorang anak perempuan, dia tidak mau menyatakan keinginannya itu, apalagi dia tadi mendengar bahwa pamannya hendak bicara dengan dia. Dia tahu betapa pamannya pergi ke utara untuk mengunjungi ayahnya, yang kabarnya menjadi pandai besi, ahli pembuat pedang di utara sana, maka kini dia ingin mendengar tentang ayahnya itu dari Na-piauwsu.
"Lalu sudahkah kau berjumpa dengan Saudara Bhe Coan" Na-hujin bertanya. Hatinya sudah merasa tidak enak karena kepergian suaminya ke utara itu adalah untuk mengunjungi sahabat suaminya itu, akan tetapi sejak tadi suaminya tidak pernah bicara tentang orang she Bhe yang menjadi ayah kandung Bi Cu itu. Kini Bi Cu memandang kepada paman dan bibinya, lalu menatap wajah pamannya untuk mendengar tentang orang yang menjadi keluarga terdekat baginya akan tetapi yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu karena dia masih bayi ketika berpisah dari ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika melahirkan dia.
Na-piauwsu menarik napas panjang dan memandang kepada Bi Cu dengan penuh perasaan kasihan. Dia mencinta anak ini seperti anaknya sendiri, demikian isterinya mencinta Bi Cu seperti anak sendiri. Biarpun Bi Cu tidak pernah berdekatan dengan ayah kandungnya sehingga tentu saja tidak ada pertalian rasa kasih sayang, akan tetapi menceritakan tentang kematian ayah kandung anak itu dia merasa ragu-ragu dan tidak enak juga. Betapapun, dia tidak boleh merahasiakan hal itu dan harus dia ceritakan kepada Bi Cu.
"Ah, berita tentang saudara Bhe Coan yang kubawa amatlah buruknya..." kembali dia menarik napas panjang "...sudah lama terjadinya, sudah bertahun-tahun, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu... bahkan belum lama setelah Bi Cu berada di sini..."
"Apa yang terjadi dengan dia" tanya Na-hujin dengan wajah berubah dan dia memandang kepada Bi Cu yang hanya mendengarkan dengan alis berkerut.
"Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, saudara Bhe Coan telah dibunuh orang..."
"Ahhh...!" Nyonya Na menjerit dan melihat Bi Cu memandang suaminya dengan wajah yang tiba-tiba menjadi pucat sekali, nyonya ini lalu merangkul Bi Cu dan menangislah nyonya Na karena dia merasa kasihan sekali kepada Bi Cu. Akan tetapi, Bi Cu sendiri tidak menangis, hanya memandang dengan muka pucat kepada Na Ceng Han! Anak ini sama sekali tidak merasa berduka! Hal ini tidaklah aneh. Dia tidak pernah melihat wajah ayah kandungnya, hanya tahu bahwa dia mempunyai seorang ayah kandung. Karena tidak pernah bertemu, tentu saja tidak ada ikatan dalam hatinya, tidak ada dia merasa kehilangan ketika mendengar bahwa ayah kandungnya itu meninggal dunia. Memang ada perasaan nyeri mendengar ayah kandungnya dibunuh orang, akan tetapi duka sama sekali tidak dirasakannya.
"Paman, siapakah yang membunuh ayahku" tanyanya dengan suara lirih.
Na Ceng Han menarik napas panjang. "Dia tewas bersama isterinya, yaitu ibu tirimu, di dalam kamar. Begitulah menurut cerita para tetangganya. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang melihat pembunuhnya, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh Bhe Coan dan isterinya. Bahkan sebelum aku datang ke sana, selama beberapa tahun ini para pendekar yang datang ke sana untuk memesan pedang, yang telah mengenal baik ayahmu, merasa penasaran dan juga menyelidiki, akan tetapi sampai sekarang agaknya tidak ada orang yang dapat menemukan siapa pembunuh Bhe Coan dan isterinya itu."
Bi Cu melepaskan rangkulan bibinya. "Aku... aku mau mengaso ke kamarku..." katanya. Paman dan bibinya mengangguk dan memandang kepada anak yang pergi dengan kepala tunduk itu dengan hati kasihan. Mereka merasa kasihan sekali dan merasa makin sayang kepada Bi Cu.
"Kasihan dia..." nyonya itu terisak.
"Baiknya dia tidak sampai terpukul oleh berita ini," kata Na Ceng Han.
"Sebaiknya dia kita jadikan anak kita saja..."
Isterinya menggeleng dan berkata lirih, "Lebih baik begini. Bukankah kita juga sudah memperlakukan dia tiada bedanya dengan anak sendiri" Biarlah dia menyebut kita paman dan bibi, karena aku... aku mempunyai niat... dia dan Tiong Pek..."
Wajah Na Ceng Han berseri. "Ah, begitukah" Baik sekali pikiran itu, dan aku setuju sepenuhnya!" Suami isteri itu membayangkan betapa akan bahagia mereka kalau Bi Cu kelak menjadi isteri Tiong Pek. Tidak akan keliru lagi pilihan ini karena merekalah yang mendidik Bi Cu sejak kecil! Dan mereka berdua membayangkan betapa mereka akan sayang sekali kepada cucu yang terlahir dari Bi Cu dan Tiong Pek!
Sementara itu, Sin Liong mengagumi main-mainan yang dimiliki oleh Tiong Pek. Anak ini memang amat ramah setelah berkenalan, bahkan Tiong Pek lalu memamerkan ilmu silatnya yang dia latih bersama Bi Cu di bawah pimpinan ayahnya sendiri.
"Kau tahu, Sin Liong. Kepandaian kami adalah kepandaian warisan. Ilmu silat keluarga Na amat terkenal di daerah ini dan ayah sudah turun-temurun menjadi piauwsu. Kelak akupun ingin menjadi seorang piauwsu yang baik. Nama Ui-eng-piauw-kiok telah terkenal semenjak kakek masih hidup!"
Sin Liong memandang kagum ketika melihat Tiong Pek bersilat dengan cekatan sekali. Dia melihat betapa Tiong Pek sungguh tidak kalah dibandingkan dengan Siong Bu atau Beng Sin. Bahkan Tiong Pek yang hendak memamerkan kepandaiannya kepada sahabat barunya ini dapat pula mainkan bermacam-macam senjata! Terutama pedang dapat dia mainkan dengan indah karena memang senjata utama dari keluarga Na adalah sebatang pedang.
"Sin Liong, kau tinggallah saja di sini! Kau menjadi murid ayah dan kita dapat berlatih bersama-sama!"
Sin Liong hanya tersenyum.
"Eh, mana sumoi"
"Siapakah sumoimu"
"Tadi engkau sudah melihatnya. Bi Cu adalah sumoiku. Murid ayah hanya dua orang aku sendiri dan Bi Cu."
"Akan tetapi bukankah dia itu keponakan ayahmu"
"Hanya keponakan luar belaka, bukan keluarga Na. Dia adalah puteri dari paman Bhe Coan. Ibu kandungnya, adik ayahku, meninggal ketika melahirkan dia. Ayahnya kawin lagi maka dia dirawat oleh ayah dan ibuku sejak bayi. Mari, kita cari dia. Dia harus memperlihatkan ilmu silatnya kepadamu. Wah, dia juga lihai sekali. Dalam hal kecepatan, aku tidak pernah dapat menandinginya!"
Tiong Pek lalu mengajak Sin Liong mencari Bi Cu. Akan tetapi anak itu tidak berada di dalam kamarnya. Ketika mereka mencari ke dalam taman, ternyata Bi Cu menangis di atas bangku yang terpencil di dekat empang ikan. Melihat ini, Tiong Pek terkejut bukan main.
"Sumoi tidak pernah kulihat menangis! Ada apakah" Dia lalu berlari-lari menghampiri sumoinya, diikuti oleh Sin Liong dari belakang. Di dalam hatinya, Sin Liong merasa kasihan sekali. Dia sudah mendengar dari Na-piauwsu bahwa ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu telah dibunuh orang. Agaknya tentu anak yang sudah tidak beribu lagi itu telah mendengar akan kematian ayahnya. Kini Bi Cu sudah tidak lagi mempunyai ayah dan ibu!
Ketika tiba di depan Bi Cu yang menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya, Tiong Pek cepat duduk di samping sumoinya, memegang lengan sumoinya dan berkata dengan sikap cemas, "Sumoi, ada apakah" Kenapa kau menangis" Melihat sikap ini Sin Liong berdiri agak jauh dan memandang saja. Dia kini tahu bahwa Tiong Pek adalah seorang anak yang baik dan jelas nampak bahwa Tiong Pek amat sayang kepada sumoinya itu. Hal ini memang tidaklah aneh. Semenjak mereka berdua masih anak-anak yang kecil, keduanya telah bermain bersama-sama dan tentu saja timbul rasa sayang di dalam hati masing-masing.
Bi Cu mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Tiong Pek yang memandang kepadanya penuh kegelisahan itu, tangisnya makin mengguguk!
"Sumoi, katakanlah, apa yang terjadi" Kenapa kau menangis" tanya Tiong Pek makin gugup dan gelisah.
"Suheng... ibu... ibuku telah mati sejak melahirkan aku... dan sekarang... sekarang ayahku..."
"Ayahmu kenapa"
"Ayahku telah mati pula dibunuh orang sepuluh tahun yang lalu..." Dan anak perempuan itu menangis makin sedih.
"Ahhh!" Tiong Pek bangkit berdiri, mengepal tinju, matanya berapi-api, akan tetapi dia lalu duduk kembali. "Siapa bilang" Ayah"
Dara cilik itu mengangguk.
"Siapa yang membunuhnya"
"Paman... paman juga tidak tahu, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayahku sepuluh tahun yang lalu..."
"Sudahlah, sumoi, jangan berduka. Hal itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi percayalah, kelak aku yang akan membantumu mencari siapa pembunuh ayahmu itu!" Tiong Pek bicara penuh semangat sehingga terhibur juga hati Bi Cu. Ketika dilihatnya bahwa Sin Liong juga berada di situ, tangisnya segera terhenti karena dia merasa malu untuk menangis di depan anak yang baru datang ini.
Ketika dibujuk oleh keluarga Na, dan melihat betapa keluarga itu amat baik kepadanya, akhirnya Sin Liong menerima juga untuk tinggal di situ dan mempelajari ilmu silat dari Na Ceng Han.
Na-piauwsu maklum bahwa di dalam diri Sin Liong terdapat rahasia yang luar biasa, dan bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, maka dia tidak berani menjadi guru anak itu. Dalam bujukannya yang meyakinkan hati Sin Liong sehingga anak itu mau menerima tawarannya, dia berkata, "Sin Liong, ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekaii orang-orang yang amat pandai akan tetapi juga amat jahat. Oleh karena itu, mengandalkan perantauan seorang diri di dunia ramai ini haruslah membawa bekal sedikit ilmu untuk melindungi diri sendiri dari marabahaya. Aku tidak berani menjadi gurumu, akan tetapi berilah kesempatan kepadaku untuk membalas budimu dengan menurunkan sedikit ilmu pembelaan diri kepadamu. Kau mempelajari ilmu dan mengenal keadaan dunia kang-ouw, sehingga satu dua tahun kemudian engkau boleh melanjutkan perantauanmu tanpa meninggalkan rasa khawatir di dalam hati kami."
Demikianlah, mulai hari itu, Sin Liong tinggal di rumah Na-piauwsu dan setiap hari anak ini dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han, Diam-diam Na Ceng Han terkejut karena ternyata olehnya bahwa anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang aneh. Tentu saja dia tidak tahu bahwa memang ibu kandung anak ini telah mengajarkan dasar ilmu silat tinggi dan ibu anak ini adalah murid terkasih mendiang Hek I Siankouw, maka tidak mengherankan kalau Sin Liong telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi!
Karena tidak memperoleh banyak kesempatan untuk mempelajari ilmu silat ketika dia tinggal di Istana Lembah Naga, maka ketika dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han, gerakan-gerakannya amat kaku sehingga Tiong Pek dan Bi Cu yang menonton kadang-kadang tertawa. Akan tetapi mereka bukan mentertawakan untuk mengejek, hanya karena geli hati mereka melihat gerakan yang kaku itu. Betapapun, ketika mereka mengadakan latihan bersama, segera nampak jelas oleh Na Ceng Han betapa dalam hal kecepatan, Sin Liong memiliki kecepatan yang wajar dan luar biasa sekali, kecepatan yang didapatkan dari kehidupannya bersama para monyet sehingga Bi Cu yang memiliki bakat baik sekali untuk ilmu gin-kang sehingga tidak dapat ditandingi oleh suhengnya itupun masih kalah cepat dibandingkan dengan Sin Liong yang sudah sejak kecil mengandalkan tenaga untuk melindungi diri di hutan, dengan berayun-ayun, bahkan masih mengatasi Tiong Pek. Dengan demikian, kalau anak ini sudah dilatih ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, sudah pasti bahwa dia akan lebih cepat dari Bi Cu dan lebih kuat dari Tiong Pek, berarti lebih lihai daripada mereka!
Pergaulannya dengan Tiong Pek dan Bi Cu akrab sekali karena dalam pergaulan itu tidak ada sesuatu yang menghalangi, seperti pergaulannya dengan anak-anak di Istana Lembah Naga. Dan ternyata bahwa Na Ceng Han dan isterinya benar-benar merupakan suami isteri yang berbudi dan ramah sehingga Sin Liong merasa suka sekali kepada keluarga ini dan betah tinggal di rumah mereka. Dia bahkan kadang-kadang ikut rombongan piauwsu mengawal barang, dan hal ini memang atas anjuran Na Ceng Han yang ingin agar anak ini dapat memiliki pandangan luas dan pengalaman sebagal bekal niatnya untuk merantau. Dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang mendorong anak ini untuk merantau, akan tetapi dia tahu bahwa membujuk anak itu untuk mengaku akan percuma belaka, maka diapun tidak pernah bertanya.
Sin Liong berlatih rajin. Dia tidak memanggil suheng atau sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, dan juga sebaliknya dua orang anak itu tidak menyebutnya saudara seperguruan. Hal ini memang kehendak dari Na-piauwsu yang tidak berani menerima anak ajaib itu sebagai muridnya. Dia tidak mau mengikat Sin Liong, dan tentu saja kalau anak itu sendiri yang mengangkat dia sebagai guru, maka dia tentu akan menerimanya. Akan tetapi karena dia tidak tahu benar siapa adanya anak itu, maka dia tidak berani mengambil anak itu menjadi muridnya. Dan ternyata agaknya Sin Liong juga tidak mau terikat, maka anak itupun diam saja, tetap memanggil "paman Na" kepada piauwsu itu, walaupun dia berlatih silat dengan amat tekun sehingga dua orang anak itupun terseret dan ikut pula menjadi tekun. Hal ini amat menggirangkan hati Na-piauwsu.
*** Istana kaisar sedang dalam keadaan prihatin karena Kaisar Ceng Tung sedang menderita sakit keras. Tidak nampak senyum di wajah semua orang yang berada di istana, dari penjaga sampai pelayan dalam istana, dari pengawal sampai para panglima yang keluar masuk untuk menjenguk keadaan kaisar. Semua ahli pengobatan istana dikerahkan, bahkan juga didatangkan ahli-ahli pengobatan dari luar, tidak ketinggalan pula para ahli "mengusir setan" untuk membuat persembahan dan memasang benda-benda yang dinamakan "hu" yang dianggap sebagai tumbal atau jimat penolak bahaya! Namun, penyakit yang diderita oleh kaisar tidak menjadi makin ringan, bahkan makin hari makin berat saja.
Pada suatu hari, ketika kota raja mulai sibuk dengan arus manusia yang berlalu-lalang dan kesibukan para pedagang yang mulai dengan perlombaan mereka mencari untung hari itu, nampak dua orang yang mau tidak mau menarik perhatian banyak orang dari pintu gerbang sebelah utara kota raja. Di antara banyak pintu gerbang kota raja, pintu gerbang sebelah utara merupakan pintu yang terbesar dan dijaga paling kuat. Dua orang ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Ceng Han How, putera dari Raja Sabutai yang memasuki kota raja bersama dengan Kim Hong Liu-nio. Tentu saja banyak orang tertarik melihat seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian mewah, tata rambutnya seperti seorang puteri, akan tetapi langkahnya begitu tegap dan tenang seperti langkah seorang ahli silat yang biasa melakukan perantauan. Dan keadaan Ceng Han Houw juga menarik perhatian orang karena pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tampan dan halus gerak-geriknya sedangkan sepasang matanya memiliki sinar yang tajam penuh wibawa. Akan tetapi karena banyaknya bermacam-macam orang memasuki kota raja, keadaaan mereka itu tidak menimbulkan kecurigaan, apalagi karena Kim Hong Liu-nio bersikap hati-hati sekali setelah memasuki daerah kota raja yang diketahuinya terdapat banyak orang pandai itu. Dia tidak lagi menonjolkan papan kayu salib yang bertuliskan nama-nama marga musuh besar gurunya seperti biasa, bahkan diapun lebih banyak berdiam dan tidak melayani pandang mata banyak pria yang memandangnya dengan penuh kagum.
Ceng Han Houw tiada hentinya mengagumi keadaan kota raja. Wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar ketika dia menyaksikan jalan-jalan raya yang rata dan bersih, rumah-rumah besar dan istana-istana yang indah dan megah. Diapun merasa sekali betapa sucinya tiba-tiba menjadi "alim" dan pendiam semenjak memasuki wilayah kota raja, padahal sebelum itu, semenjak di penyeberangan Tembok Besar, ketika melalui dusun dan kota, sudah belasan orang menjadi korban sucinya itu yang tidak mau mengampuni setiap orang yang kebetulan memiliki nama keturunan atau marga Cia, Yap dan Tio. Tentu saja perbuatannya itu amat menggemparkan dan sebentar saja nama Kim Hong Liu-nio dikenal orang sebagai nama yang amat ditakuti seperti iblis. Akan tetapi, setelah tiba di perbatasan kota raja, Ceng Han Houw melihat betapa sucinya itu tidak pernah lagi bertanya-tanya orang apakah ada di situ orang-orang yang memiliki tiga macam nama marga itu.
"Suci, benarkah banyak orang lihai di sini" bisiknya kepada sucinya ketika mereka berjalan di sepanjang jalan raya di kota raja. Pertanyaan itu dia ajukan dengan menggunakan bahasa Mongol.
"Ssttt, jangan bicara yang bukan-bukan, sute," wanita itu menjawab dalam bahasa Han. "Bicaralah dengan bahasa Han agar tidak menarik perhatian orang, dan mari kita langsung saja pergi ke istana."
Semenjak dia berusia sepuluh tahun, Han Houw telah mendengar dari ibunya bahwa kaisar yang maha besar di selatan adalah ayah kandungnya! Rahasia ini dibuka oleh ibunya karena dia dianggap sudah cukup besar untuk dapat menyimpan rahasia dan diam-diam Han Houw mempunyai rasa bangga yang amat besar. Ayahnya sendiri di utara adalah seorang raja, akan tetapi kalau dibandingkan dengan kaisar, maka kedudukan ayahnya itu sama sekali tidak ada artinya. Ayahnya hanya menguasai tanah-tanah yang masih liar, dan mempunyai pasukan yang hanya ribuan orang banyaknya, sedangkan menurut buku-buku yang dibacanya, kaisar di selatan adalah seorang yang amat berkuasa, menguasai daerah yang tak terukur luasnya dan orang-orang serta pasukan yang tidak terhitung banyaknya. Bahkan raja-raja kecil yang banyak sekali tunduk kepada kekuasaan kaisar. Dan orang ini adalah ayah kandungnya!
Maka mendengar ucapan sucinya, dia mengerutkan alisnya dan memandang kepada pakaiannya. Pakaiannya memang cukup baik, akan tetapi sudah agak kotor berdebu karena perjalanan terakhir memasuki kota raja. Dan dia tidak ingin menghadap ayahnya yang amat berkuasa itu dalam pakaian kotor!


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku harus berganti pakaian lebih dulu, suci." Ketika dia hendak berangkat, ibunya sendiri yang memesan kepadanya agar kalau menghadap kaisar dia mengenakan pakaian terbaik yang sengaja dipersiapkan oleh ibunya, dan bahkan ibunya mengajarkannya bagaimana dia harus bersopan santun di dalam istana sebagai seorang pangeran putera kaisar!
Kim Hong Liu-nio menoleh dan memandang wajah sutenya. Tidak biasa sutenya ini membantah kata-katanya, karena sutenya menganggap dia seperti guru juga. Biarpun sutenya ini murid dari Hek-hiat Mo-li juga, akan tetapi dialah yang lebih banyak membimbing sutenya ini dalam berlatih ilmu silat.
Han Houw tahu bahwa sucinya memandang kepadanya, maka dia berkata, "Untuk pergi menghadap kaisar, aku harus mengenakan pakaian bersih, demikian pesan ibu kepadaku."
Kim Hong Liu-nio mengangguk. Dan tahu bahwa betapapun juga, sutenya ini adalah seorang junjungannya yang harus ditaatinya, maka dalam hal-hal tertentu, dia sama sekali tidak boleh dan tidak berani membantah. "Kalau begitu, kita mencari sebuah rumah penginapan lebih dulu," katanya singkat. Mereka lalu pergi mencari rumah penginapan dan tentu saja amat mudah mencari rumah penginapan di kota raja yang besar dan ramai itu.
Setelah tiba di rumah penginapan dan memesan dua buah kamar besar, Kim Hong Liu-nio mempersilakan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw untuk mandi dan bertukar pakaian sedangkan dia sendiri juga membersihkan diri dan menukar pakaian yang bersih. Setelah selesai, Han Houw mengajak wanita itu untuk makan dulu.
"Siapa tahu, di istana kita harus menanti sampai lama," kata Han Houw. "Menurut cerita ibu, di istana kita harus sopan dan sama sekali tidak boleh bergerak, berkata atau berbuat apa saja sebelum diperintah. Kalau di sana kita harus menunggu lama dan perutku lapar tanpa berani minta makan atau pergi mencari makan, wah, bisa kelaparan aku! Mari kita makan dulu sekenyangnya, baru kita pergi menghadap ke istana, suci. Dan menurut ibu, kabarnya di kota raja ini kita bisa makan apapun juga! Bahkan segala macam dagingpun bisa pesan. Kata ayah di sini orang-orangnya pandai sekali masak seperti dewa, bisa menyulap daging-daging ular, buaya, harimau, biruang, dan lain-lain menjadi masakan-masakan sedap. Bahkan kalau mau memesan daging paha burung hong, atau lidah naga laut, kabarnya bisa juga."
Kim Hong Liu-nio tersenyum mendengar omongan sutenya itu, dan begitu dia tersenyum, lenyaplah sifat dingin menyeramkan dari wanita ini. Sesungguhnya Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan manis sekali, apalagi kalau tersenyum seperti itu, karena selain dia memiliki bentuk bibir yang indah, juga giginya putih dan rapi.
"Sute, di jaman sekarang ini, mana ada segala macam burung hong, naga ataupun kilin" Itu hanya pandainya para pemilik restoran saja. Yang dimaksudkan dengan paha burung hong bukan lain adalah paha burung dara, dan lidah naga adalah lidah ular tertentu yang memang lezat dimasak, kalau yang masaknya pandai. Harimau itu paling-paling daging kucing, dan biruang itu tak salah lagi tentu daging anjing. Tidak salah bahwa memang di sini banyak terdapat ahli masak yang pandai dan memang segala macam daging itu yang enak apanya sih" Tanpa bumbu, mana bisa enak" Yang enak adalah bumbunya!"
Mereka lalu pergi ke sebuah restoran yang besar dan banyak tamunya. Karena Han Houw ingin melihat keadaan di luar restoran di mana terdapat arus lalu lintas yang cukup ramai, maka dia memilih tempat duduk paling pinggir, di sebelah luar menghadapi pintu dan jendela terbuka. Selain di sini, tidak begitu panas karena jauh dari api dapur dan memperoleh hawa langsung dari luar yang terbuka, juga dia dapat melihat-lihat keadaan di luar restoran.
Benar saja, ketika mereka membaca menu masakan, terdapat istilah-istilah masakan yang amat hebat dan muluk-muluk seperti sop jantung harimau, jari kaki biruang masak kecap, goreng otak kilin, masak ca jamur dewa, dan sebagainya sehingga Han Houw tertawa geli membacanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja dia berwatak royal dan dia memesan hampir semua masakan yang namanya aneh-aneh itu sehingga lebih dari dua belas macam masakan! Tentu saja pelayan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa hanya dua orang saja memesan masakan sedemikian banyaknya, yang cukup banyak untuk dimakan oleh enam orang!
"Ramai sekali di sini!" kata Han Houw ketika sucinya menuliskan pesanan di atas kertas.
Pelayan yang melayani mereka itu membungkuk-bungkuk. Dari pakaian dua orang tamu ini saja dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah keluarga bangsawan atau hartawan dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja, maka dia bersikap menghormat.
"Biasanya jauh lebih ramai lagi, kongcu. Sebetulnya, biasanya pada bulan seperti ini tentu ada pesta di lapangan belakang pasar, di kuil besar dan di jembatan kuning. Akan tetapi semenjak sri baginda kaisar yang mulia menderita sakit, semua pesta untuk sementara dibatalkan..."
"Sri baginda kaisar sakit..." Han Houw bertanya, terkejut.
"Eh, kongcu belum tahu" Seluruh penduduk kota raja berprihatin karena sakit beliau itu agak berat..." Pelayan lalu menerima catatan pesanan dan tidak berani lagi banyak membicarakan kaisar yang pada waktu itu dianggap sebagai seorang manusia yang setingkat dengan utusan atau wakil Tuhan sehingga tidak boleh banyak disebut-sebut!
Han Houw saling berpandangan dengan sucinya. Kaisar sakit"
"Ah, kalau begitu kita terpaksa menunda sampai beberapa hari,sampai beliau sembuh, sute. Kalau beliau sakit, mana mungkin kita diperbolehkan menghadap" bisik Kim Hong Liu-nio kepada sutenya.
Han Houw hanya mengangguk, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Memang ibunya sudah mendengar berita bahwa kaisar sakit, akan tetapi tidak disangkanya bahwa penyakitnya berat sehingga sampai sekarangpun masih sakit sehingga semua penghuni kota rajapun sampai berprihatin dan segala macam pesta ditiadakan!
Berita itu mengurangi kegembiraan Han Houw, sungguhpun dia masih dapat menikmati hidangan masakan yang memang benar-benar lezat dan yang belum pernah dirasakannya itu. Ketika mereka sedang asyik makan minum, tiba-tiba pandang mata Han Houw tertarik oleh tiga orang kakek pengemis yang berpakaian menyolok sekali. Tiga orang kakek itu usianya tentu kurang lebih lima puluh tahun, namun tubuh mereka masih tegap dan sehat kuat. Yang menyolok adalah pakaian mereka, karena tiga orang kakek pengemis itu memakai pakaian tambal-tambalan yang terbuat dari kain-kain berkembang yang beraneka warna! Sehingga dari jauh nampak mereka itu seperti tiga orang yang aneh sekali, pakaian mereka dari baju sampai celana semua berkembang-kembang dan bertotol-totol dengan warna-warna menyolok. Mereka itu dapat dikenal sebagai pengemis-pengemis karena mereka itu memegang tongkat dan tempat makanan dari kayu, sedangkan sepatu mereka berlubang-lubang, juga pakaian yang aneh itu biarpun warnanya menyolok sekali akan tetapi tambal-tambalan! Di punggung mereka nampak tumpukan buntalan, entah buntalan apa, warnanya kuning.
"Suci, orang-orang apakah mereka itu" tanya Han Houw sambil menunjuk dengan gerakan dagunya.
Kim Hong Liu-nio yang duduknya berhadapan dengan Han Houw, kini menoleh dan sejenak matanya menyambar dan memandang kepada tiga orang kakek yang berjalan mendatangi itu dengan tajam dan penuh perhatian. Diam-diam dia terkejut juga melihat cara tiga orang kakek itu melangkahkan kaki mereka. Begitu ringan dan penuh tenaga! Jelaslah bahwa mereka itu bukan orang-orang sembarangan dan pakaian mereka itu jelas pula merupakan tanda golongan mereka! Dia mengingat-ingat. Mereka itukah yang disebut-sebut sebagai orang-orang Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang kabarnya amat berkuasa di daerah kota raja" Agaknya tidak salah lagi. Akan tetapi melihat lima tumpuk buntalan kuning di punggung tiga orang kakek itu, Kim Hong Liu-nio memandang tak acuh karena dia tahu bahwa mereka itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat rendahan saja, tingkat lima!
"Sute, jangan perdulikan mereka. Agaknya mereka adalah tokoh-tokoh kai-pang," bisiknya kepada sutenya.
"Haii, Sam-wi Lo-sin-kai (Tiga Orang Pengemis Tua Sakti)! Sam-wi hendak ke manakah" tiba-tiba terdengar teriakan orang yang duduk di dalam restoran itu, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh tegap yang sedang menghadapi meja penuh masakan bersama tiga orang lain yang juga memandang gembira melihat tiga orang pengemis itu.
"Ah, kiranya Yu-kamsu (guru silat Yu) dari Cin-an dan tiga orang saudara dari Sin-houw-piauw-kiok!" kata seorang di antara tiga kakek pengemis itu sambil berhenti melangkah di depan restoran, di luar jendela di mana empat orang itu duduk.
"Mari silakan duduk makan minum bersama kami!" kata pula guru silat she Yu itu dengan sikap ramah dan gembira, menandakan bahwa mereka itu adalah kenalan-kenalan baiknya.
"Terima kasih, Yu-kauwsu, kami masih harus menyelesaikan urusan penting. Nanti saja kalau sudah selesai urusan kami, kami tergesa-gesa!"
"Ha-ha-ha, kalau begitu biarlah dari sini saja aku menyuguhkan masakan dan arak!" Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa Yu-kauwsu bersama tiga orang piauwsu yang menjadi temannya itu melempar-lemparkan mangkok yang penuh masakan dan juga seguci arak ke luar jendela, ke arah tiga orang pengemis tua itu!
Han Houw memandang penuh perhatian dan diam-diam juga kagum. Tiga orang kakek itu, benar seperti yang diduga sucinya, adalah tokoh-tokoh yang berkepandalan tinggi. Masing-masing telah menangkap dua buah mangkok masakan yang terbang ke arah mereka, dan kakek pertama malah dapat menerima guci arak dengan sundulan kepalanya sehingga guci itu berdiri tegak di atas kepalanya. Semua ini mereka lakukan dengan cekatan dan tidak ada arak atau kuah masakan yang tumpah. Sambil tertawa-tawa mereka makan masakan itu dari mangkok begitu saja tanpa sumpit, kemudian mereka melempar-lemparkan mangkok kosong ke dalam jendela. Mangkok-mangkok itu berputaran dan kemudian hinggap di atas meja depan kauwsu itu tanpa menimbulkan banyak suara bising, dan tidak pecah! Demikian pula guci arak setelah araknya mereka teguk bergantian sampai habis.
Tiga orang kakek pengemis itu kelihatan girang sekali karena banyak orang menonton demonstrasi mereka dengan penuh kagum. Nama Hwa-i Kai-pang memang sudah amat terkenal dan di manapun mereka berada, tentu akan terjadi sesuatu yang menarik karena mereka itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi.
"Wah, terima kasih, Yu-kauwsu dan sam-wi piauwsu. Dengan suguhan itu, kami tidak perlu lagi minta sumbangan dari para tamu restoran ini, kecuali terhadap seorang tamu yang datang dari tempat jauh." Mereka mengusap-usap perut mereka, kemudian melangkah maju menghampiri meja Han Houw!
Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 7 Istana Kumala Putih Karya O P A Rahasia Mo-kau Kaucu 8
^