Pendekar Lembah Naga 9
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Cia-taihiap dan Yap-taihiap entah berada di mana, akan tetapi aku tahu di mana tinggalnya Tio Sun. Akan tetapi, moi-moi, bagaimana mungkin engkau dapat melawan mereka itu, terutama Cia-taihiap dan Yap-taihiap" Mereka amat sakti! Bahkan kabarnya mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, subomu itu sendiri, tidak mampu menandingi Cia Bun Houw taihiap!"
Kim Hong Liu-nio mengangguk dengan tenang. "Akan tetapi subo telah membekali aku dengan ilmu yang khas untuk menghadapi mereka itu, ciangkun."
"Moi-moi, kenapa engkau masih menyebutku ciangkun"
Kim Hong Liu-nio yang tadinya sudah bersikap dingin ketika membicarakan musuh-musuhnya, kini tersenyum dan wajahnya menjadi hangat kembali. Dia merangkul panglima itu dan berkata manja, "Koko yang baik, kau bantulah aku. Di mana mereka tinggal" Kalau aku dapat membunuh mereka, tentu tidak ada halangan bagi kita..."
Lee Siang mencium mulut dengan dagu yang bertahi lalat manis itu. Sejenak mereka tenggelam ke dalam keasyikan gelora nafsu mereka, kemudian teringat akan sumpah itu, Lee Siang menarik napas dan melepaskan rangkulannya yang hanya akan menambah gelora gairahnya yang akhirnya toh tidak akan dapat tercurahkan dan hanya akan mendatangkan kekecewaan belaka.
"Di mana adanya Cia-taihiap tidak ada yang tahu, akan tetapi aku dapat menyebar penyelidik-penyelidik, moi-moi. Kalau Tio Sun, tadinya dia tinggal di Yen-tai, di bekas rumah mertuanya, akan tetapi sudah tiga bulan ini dia dan keluarganya pindah ke kota raja."
"Di sini" Kim Hong Liu-nio memandang wajah kekasihnya dengan berseri. "Bagus sekali, di mana" Biar aku ke sana sekarang juga."
"Jangan tergesa-gesa...!"
"Mengapa tidak" Biar berkurang satu tiga orang musuh besar subo itu, tinggal mencari yang dua lagi."
"Moi-moi, Tio Sun adalah putera dari mendiang Ban-kin-kwi, seorang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya dan kabarnya Tio Sun bahkan tidak kalah lihai oleh ayahnya itu. Juga isterinya memiliki kepandaian tinggi. Apa kau merasa yakin bahwa kau akan mampu menandinginya"
Kim Hong Liu-nio mengangguk.
"Tapi, jangan sekarang. Biar malam ini kau beristirahat di sini, besok saja kau pergi mencari dia." Lee Siang tetap menahannya. "Moi-moi, kalau kau pergi aku khawatir sekali..." Panglima yang sudah kegilaan itu merangkul lagi. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mendorongnya agak keras dan sebelum panglima itu lenyap rasa kagetnya, wanita itu telah meloncat ke pintu kamar itu dan mendorongnya terbuka. Akan tetapi tidak nampak siapa-siapa di situ, hanya nampak sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap di pintu kamar itu, masih tergetar dan di bawah pisau itu terdapat sehelai surat. Kim Hong Liu-nio mencabut pisau itu dan membawa pisau dan surat ke dalam kamar kembali.
"Dari... dari mana pisau itu" tanya Lee Siang.
"Dilemparkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, berikut suratnya," jawab Kim Hong Liu-nio dengan tenang. Lee Siang adalah seorang panglima pengawal yang juga memiliki kepandaian, maka dia menjadi marah sekali.
"Biar kukejar dia, kusiapkan pengawal-pengawal!"
"Percuma, koko. Dia sudah pergi jauh. Dia telah melemparkan pisau itu dengan tenaga sin-kang yang amat tinggi sehingga pisau itu bisa mencari sasarannya sendiri ke pintu ini, orangnya tentu berada di atas genteng dan sekarang sudah pergi jauh."
Akan tetapi Lee Siang merasa penasaran. Belum pernah rumahnya ada yang berani ganggu, maka dia lalu berlari keluar, hanya dipandang saja oleh wanita itu sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio tidak mengikuti kekasihnya, hanya membuka kertas berlipat itu yang ternyata adalah sehelai surat.
Tak lama kemudian Lee Siang sudah masuk kembali dengan alis berkerut dan wajah penasaran. "Engkau benar, moi-moi, tidak ada tanda sedikitpun juga. Eh, surat apakah itu"
Kim Hong Liu-nio sudah membaca surat itu dan dengan tenang dia menyerahkan sehelai surat itu kepada Lee Siang yang segera membacanya di bawah penerangan lampu dalam kamar itu.
Kim Hong Liu-nio,
Kalau dalam waktu tiga hari engkau belum datang ke hutan pertama di sebelah utara pintu gerbang kota raja untuk bertanding satu lawan satu dengan aku, terpaksa aku akan datang mengunjungimu di gedung Lee-ciangkun pada malam ke empat.
Hwa-i Kai-pangcu
"Ahhh...! Sungguh berani dia!" Lee Siang berseru sambil mengepal tinju dan meremas surat itu. "Akan kukerahkan pasukan untuk..."
"Jangan, koko. Lihat, dia menantangku secara gagah untuk bertanding satu lawan satu. Kalau engkau mengerahkan pasukan, bukankah sama halnya dengan aku menjadi takut dan hendak bersembunyi di balik keangkeran pasukanmu" Sungguh mencemarkan namaku kalau begitu, koko."
"Habis, bagaimana"
"Besok pagi-pagi aku akan pergi ke hutan untuk membunuhnya!"
"Kaukira siapa dia itu" Ketua kai-pang itu amat lihai!"
"Aku tidak takut."
Tiba-tiba Lee Siang memandang kekasihnya dengan wajah berseri. "Ah" Kenapa tidak" Dia akan datang ke sini pada malam ke empat. Bagus, kita adu domba mereka dan engkau akan dapat melenyapkan seorang musuh besarmu tanpa menimbulkan keributan." Dengan girang panglima itu lalu merangkul kekasihnya dan hendak menciumnya.
"Nanti dulu, koko." Kim Hong Liu-nio mengelak. "Katakan dulu apa maksudmu"
"Begini, moi-moi," panglima itu menuntun kekasihnya dan mereka kembali duduk berdampingan di tepi pembaringan. "Aku akan mengundang Tio Sun untuk membantuku. Kukatakan bahwa aku diancam oleh seorang penjahat lihai. Dan kalau pada malam ke empat itu pangcu itu datang, biarlah dia bertanding melawan Tio Sun. Nah, di situ kau turun tangan membunuh musuh subomu itu. Kemudian kita menyiarkan bahwa Tio Sun terbunuh oleh Hwa-i Kai-pang. Bukankan itu baik sekali, berarti sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat"
Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Aih, ternyata engkau hebat dan pandai bersiasat koko."
Demikianlah, semalam suntuk dua orang laki-laki dan wanita yang sudah lebih dari dewasa ini seperti pengantin baru di dalam kamar itu, hanya mereka tidak melampaui garis yang akan mengakibatkan lenyapnya tahi lalat di dagu wanita itu. Bagaikan api yang diberi umpan, nafsu yang ditahan-tahan akan menjadi makin berkobar ganas. Dan orang yang sudah dicengkeram nafsunya sendiri akan menjadi seperti buta. Lee Siang, seorang panglima pengawal istana yang selalu menjunjung kegagahan, karena cengkeraman nafsunya, kini hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyingkirkan penghalang-penghalang agar dia dapat segera memiliki wanita itu menjadi isterinya, dan dalam usaha menyingkirkan penghalang-penghalang ini tentu saja dia tidak lagi memperhitungkan baik buruknya! Orang yang mabok akan keinginan mengejar sesuatu, mana mungkin ada yang mau memperdulikan baik buruk dari caranya mengejar untuk memperoleh itu"
*** Tio Sun adalah seorang pendekar yang tidak terkenal karena memang pendekar ini tidak pernah menonjolkan dirinya dan semenjak dia menikah dengan isterinya yang tercinta, dia tidak pernah mau mencampuri urusan kang-ouw sehingga namanya tidak begitu menonjol dan tidak dikenal umum, kecuali hanya oleh orang-orang kang-ouw tertentu saja.
Padahal, Tio Sun adalah seorang pendekar yang lihai sekali. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun, melihat pakaiannya yang sederhana dan dia suka dengan warna kuning, orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, jagoan istana yang pernah menjulang tinggi namanya. Tio Sun bukan seorang pria yang tampan, akan tetapi dia memiliki sifat gagah dan jantan, pendiam, halus budi, berhati mulia, bersikap tegas dan jujur. Kedua matanya yang sipit itu seperti orang yang mengantuk selalu, akan tetapi dari balik mata sipit itu bersinar pandang mata yang tajam dan penuh kewaspadaan.
Sudah kurang lebih sebelas tahun pendekar ini menikah dengan Souw Kwi Eng, seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang memiliki kecantikan yang khas, karena Souw Kwi Eng ini seorang gadis peranakan, ibunya pribumi dan ayahnya seorang asing, yaitu seorang berbangsa Portugis yang bernama Yuan De Gama. Souw Kwi Eng ini juga mempunyai nama Portugis, yaitu Maria De Gama.
Para pembaca cerita Si Dewi Maut tentu sudah mengenal baik suami isteri Tio Sun dan Souw Kwi Eng ini, karena keduanya juga merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita Si Dewi Maut itu. Seperti telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut, Souw Kwi Eng adalah seorang anak kembar, yaitu dengan saudaranya atau kakaknya yang bernama Souw Kwi Beng alias Ricardo De Gama.
Karena ayah mertuanya adalah seorang pedagang yang kaya, sedangkan dia sendiri sudah sebatangkara, maka setelah menikah, Tio Sun tinggal di kota Yen-tai di pelabuhan Po-hai di mana ayah mertuanya tinggal dan di situ dia membantu pekerjaan ayahnya bersama iparnya, yaitu Souw Kwi Beng. Dia tinggal di Yen-tai dengan tentram dan hidup saling mencinta dengan istrinya, sampai anak tunggal mereka lahir dua tahun setelah mereka menikah. Tentu saja kelahiran Tio Pek Lian, anak perempuan mereka itu, makin membahagiakan suami isteri itu, bahkan anak ini amat disayang oleh kakek dan neneknya, juga oleh pamannya yang tinggal serumah.
Kemudian, setelah Tio Pek Lian berusia sembilan tahun, terjadilah perubahan. Yuan De Gama bersama isterinya, yaitu bekas pendekar wanita Souw Li Hwa yang menjadi murid dari panglima sakti The Hoo yang merasa sudah tua dan rindu kepada tanah airnya di Eropa, lalu mengajak isterinya itu untuk pulang ke Portugis. Semua pekerjaan ditinggalkan kepada Souw Kwi Beng yang tetap tinggal di Yen-tai. Kemudian, perdagangan itu membutuhkan perwakilan di kota raja, maka Tio Sun dan isteri serta puterinya lalu pindah ke kota raja sebagai cabang dari perusahaan iparnya di Yen-tai itu.
Demikianlah, tanpa banyak ribut dan tanpa diketahui orang, Tio Sun pendekar putera mendiang seorang jagoan istana itu kini tinggal di kota raja dengan diam-diam, bersama dengan isterinya dan puterinya yang telah berusia sembilan tahun. Di kota raja Tio Sun membuka toko dan menjual dagangan-dagangan yang didatangkan dari luar negeri oleh iparnya di Yen-tai. Hidupnya cukup tentram dan suami isteri ini mulai mendidik puteri mereka dengan ilmu silat karena selain Tio Sun sendiri adalah seorang pendekar yang pandai, juga isterinya, Souw Kwi Eng, adalah seorang pendekar wanita yang lihai pula. Tentu saja di samping pendidikan ilmu silat, Tio Sun tidak melupakan pendidikan ilmu baca tulis kepada puterinya, sedangkan Souw Kwi Eng juga tidak melupakan untuk memberi pelajaran segala macam kepandaian puteri kepada Pek Lian.
Segala sesuatu berjalan lancar dan keluarga ini sama sekali tidak mengira bahwa perpindahan mereka dari Yen-tai ke kota raja itu diam-diam diketahui oleh para tokoh di istana, termasuk pula Panglima Lee Siang. Betapapun juga, nama mendiang ayah Tio Sun, yaitu Ban-kin-kwi (Iblis Selaksa Kati) Tio Hok Gwan, terlampau terkenal untuk melewatkan putera tunggalnya begitu saja. Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan adalah pembantu yang dipercaya oleh mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu tentu saja biarpun dia sudah tidak ada, namun puteranya masih diperhatikan oleh para tokoh di istana, sungguhpun pendekar ini tidak diganggu karena dia telah menjadi seorang pedagang.
Baru tiga bulan semenjak Tio Sun pindah ke kota raja, pada suatu pagi muncullah Panglima Lee Siang yang berpakaian seperti penduduk biasa ke rumah pendekar ini. Tio Sun tidak mengenal Lee Siang, maka dia memandang heran ketika tamu itu memperkenalkan diri sebagai panglima pengawal Lee Siang!
Sebagai seorang yang sopan dan ramah, Tio Sun lalu mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu. Setelah saling memberi hormat dan duduk berhadapan, Lee Siang lalu berkata, "Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang bukan sebagai panglima pengawal istana, melainkan sebagai seorang sahabat yang amat menghormat dan mengagumi mendiang ayah taihiap."
Tio Sun merasa seperti pernah mengepal wajah itu, maka dia lalu teringat kepada Panglima Lee Cin, juga Panglima Kim-i-kwi dari istana. "Maafkan saya, akan tetapi rasanya saya belum pernah berkenalan dengan ciangkun."
"Nama saya Lee Siang..."
"Ah, apakah masih ada hubungan dengan Panglima Lee Cin"
"Lee Cin adalah kakak saya."
"Ahh...!" Tio Sun tersenyum girang. "Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa saya menerima kunjungan dari Lee-ciangkun. Tidak tahu ada urusan apakah yang membawa ciangkun datang ke tempat kami ini"
"Sekali lagi maaf, taihiap. Kedatanganku ini hanya mengganggu saja, akan tetapi karena saya sudah merasa putus asa dan gelisah sekali, maka mendengar bahwa taihiap kini tinggal di kota raja, maka saya teringat akan mendiang ayah taihiap yang berjiwa pendekar dan selalu menolong siapa saja yang sedang menghadapi kesukaran. Karena saya sedang terancam bahaya mohon pertolongan taihiap untuk menyelamatkan saya."
Tio Sun tersenyum tenang, menganggap omongan itu seperti kelakar saja. "Aih, Lee-ciangkun, harap jangan main-main. Ciangkun adalah seorang Panglima Kim-i-wi siapakah yang berani main-main dengan ciangkun" Bagaimana mungkin keselamatan ciangkun terancam bahaya sedangkan ciangkun menguasai pasukan Kim-i-wi yang terkenal kuat"
Lee Siang menarik napas panjang. "Itulah susahnya, taihiap. Karena saya seorang panglima, maka saya tidak mau membawa-bawa nama Kim-i-wi, karena kalau hal itu diketahui oleh sri baginda kaisar, tentu saya akan mendapat hukuman. Urusan ini adalah urusan pribadi, maka saya datang kepada taihiap juga dengan pakaian preman, sebagai Lee Siang yang pernah mengagumi ayah taihiap dan yang hendak minta tolong kepadamu, bukan sebagai seorang Panglima Kim-i-wi."
Karena Lee Siang menyebut-nyebut nama mendiang ayahnya, dan mengingat bahwa panglima ini adalah adik dari Panglima Lee Cin yang dikenalnya dan dihormatinya, maka Tio Sun lalu berkata, "Harap ciangkun ceritakan apakah sebenarnya urusan itu" Mungkin tanpa bantuanku juga engkau akan dapat membereskannya."
"Urusan ini adalah urusan pribadi, yang mula-mulanya timbul dari urusan seorang wanita, taihiap. Karena itulah maka saya tidak berani memberitahukan orang lain, karena malu, dan apalagi kalau harus menggunakan Kim-i-wi! Mungkin taihiap sudah mendengar tentang seorang pangeran putera dari sri baginda kaisar dari utara yang baru saja datang bersama seorang wanita pengawalnya dan yang telah menyelamatkan kaisar dari pengkhianatan, bukan"
Tio Sun tersenyum. Dia sudah mendengar akan hal itu dan dia tahu pula siapa pangeran itu. Siapa lagi kalau bukan putera Ratu Khamila di utara" Dahulu, bersama Souw Kwi Beng yang belum menjadi iparnya, dia pernah pergi ke utara dan menjadi tamu dari Sabutai, dan dia telah bertemu Ratu Khamila yang minta dia menyampaikan pesan ratu cantik itu setelah menjenguk puteranya, agar diberitakan kepada kaisar bahwa puteranya itu mempunyai tahi lalat merah di sebelah kanan pusarnya (baca cerita Si Dewi Maut). Tentu saja dia sudah menduga bahwa putera Ratu Khamila itu adalah keturunan kaisar ketika kaisar ditawan dahulu. Dan kini, putera kaisar itu sudah hampir dewasa, malah bersama pengawal wanitanya yang kabarnya lihai itu telah menyelamatkan kaisar, ayah kandungnya.
"Saya sudah mendengar tentang itu, Lee-ciangkun."
Lee Siang menarik napas panjang. Mudah bicara dengan pendekar ini yang pendiam akan tetapi penuh pengertian.
"Nah, wanita itu bernama Kim Hong Liu-nio, pengawal dari sang pangeran. Sebelum menghadap ke istana, Kim Hong Liu-nio telah salah faham dengan Hwa-i Kai-pang sehingga terjadi pertempuran dan fihak Hwa-i Kai-pang kalah. Akan tetapi, fihak Hwa-i Kai-pang tidak menerima kekalahan itu dan ketika Kim Hong Liu-nio hendak keluar kota raja, dia dikepung dan dikeroyok. Untung saya datang dan saya melerai mereka, lalu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ke rumah saya. Dan kami... eh, mungkin taihiap belum mendengar bahwa sudah beberapa lama saya hidup menduda setelah isteri saya meninggal tanpa mempunyai keturunan. Saya dan Kim Hong Liu-nio... eh, kami saling tertarik dan saya bertekad melindunginya dari ancaman Hwa-i Kai-pang."
Tio Sun mengangguk-angguk. Panglima ini biarpun usianya sudah kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi masih tampan gagah dan duda, berkedudukan baik pula, maka tidaklah mengherankan kalau panglima ini main asmara dengan seorang wanita. "Lalu apa hubungannya semua itu dengan saya, ciangkun"
"Beberapa hari yang lalu, kami menerima surat ini, dilempar dengan pisau yang menancap di pintu kamar saya." Lee Siang mengeluarkan sehelai surat itu dan menyerahkannya kepada Tio Sun.
Pendekar itu dengan tenang membacanya. Itu adalah surat tantangan yang ditulis oleh Hwa-i Kai-pangcu dan ditujukan kepada Kim Hong Liu-nio itu. Setelah membaca surat tantangan itu dan maklum bahwa malam nanti adalah malam ke empat yang dimaksudkan itu, Tio Sun mengerutkan alisnya dan memandang wajah panglima itu dengan tajam menyelidik.
"Saya masih belum mengerti apa hubungannya surat tantangan itu dengan saya, Lee-ciangkun."
"Saya gelisah sekali, taihiap. Saya tidak ingin dia... dia yang saya harapkan menjadi isteri saya... melakukan sesuatu yang menggegerkan kota raja. Dan terutama sekali saya khawatir kalau dia celaka, karena saya mendengar bahwa ketua Hwa-i Kai-pang adalah seorang yang amat lihai."
"Ciangkun, saya sudah mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio, pengawal pangeran dari utara itu berkepandaian tinggi apalagi yang perlu dikhawatirkan"
"Saya takut kalau-kalau dia celaka dalam pertemuan itu, dan andaikata dia menang dan ketua Hwa-i Kai-pang yang tewas, juga tentu hal itu menimbulkan geger. Maka saya telah mencegah dia pergi keluar kota raja, dan saya lalu teringat kepadamu dan tergesa-gesa saya mohon pertolonganmu, taihiap."
"Hemm, apakah yang dapat saya lakukan dalam urusan permusuhan pribadi ini" tanya Tio Sun. Tentu saja dia tidak dapat membantu satu fihak karena dia tidak tahu urusannya. Dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh sekali, dan belum pernah terdengar melakukan kejahatan-kejahatan di kota raja, sungguhpun di kalangan kang-ouw juga tidak mempunyai nama yang harum. Sebaliknya, dia tidak kenal sama sekali kepada wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, dan kalau hanya karena wanita itu adalah kekasih Lee Siang lalu dia membantu wanita itu, sungguh hal ini sama sekali tidak mungkin.
"Begini, taihiap. Saya hanya mohon kepada taihiap sudilah kiranya menerima kedatangan ketua Hwa-i Kai-pang itu dan mendamaikan. Mungkin melihat taihiap, apalagi kalau tahu bahwa taihiap adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, saya percaya bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu mau menyudahi saja urusan permusuhan yang tak berarti itu."
Tio Sun mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Permintaan itu sudah sepatutnya. Tiba-tiba dia tertarik dan sebagai orang penengah tentu saja dia tidak berkeberatan, akan tetapi sebagai penengah dia harus mengetahui pula apakah yang menimbulkan permusuhan itu. "Mengapa Kim Hong Liu-nio sampai bermusuhan dengan Hwa-i Kai-pang"
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini, Lee Siang agak terkejut juga. Akan tetapi urusan ini memang sebelumnya telah dia rencanakan, maka untuk itu diapun sudah menyediakan jawabannya. Dia menarik napas panjang dan kemudian berkata, "Aahh, sesungguhnya hanya urusan sepele saja, taihiap. Dan bersumber kepada pangeran dari utara itu. Terjadinya di kota Huai-lai ketika Kim Hong Liu-nio mengantarkan Pangeran Ceng Han Houw ke kota raja. Di kota itu, mereka bertemu dengan seorang pengemis kotor yang minta sedekah ketika mereka sedang makan di restoran. Pangeran Ceng Han Houw merasa jijik melihat pengemis yang kakinya luka dan dirubung lalat itu, maka Kim Hong Liunio lalu mengusirnya. Akan tetapi ternyata pengemis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian dan dia malah mengeluarkan kata-kata menghina sehingga terjadilah pertempuran antara mereka. Dan engkau tahu, taihiap, jika dua orang yang memiliki ilmu silat sudah bertanding dengan marah, maka tentu seorang di antaranya menjadi korban. Pengemis itu roboh dan tewas. Kim Hong Liu-nio lalu mengajak sang pangeran cepat-cepat ke kota raja, mengira bahwa urusan itu sudah tidak berekor lagi karena pengemis itu tidak memakai pakaian sebagai anggauta Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi ternyata ada tiga orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang mengejar dan membikin ribut, minta kepada Kim Hong Liu-nio untuk menyerahkan tangannya. Terjadilah lagi pertempuran dan tiga orang pengemis itu dapat diusir. Lalu panjanglah akibatnya sampai wanita itu dikepung di luar kota raja dan saya kebetulan lewat lalu melerai. Nah, itulah sebabnya sehingga kini ketuanya mengirim surat tantangan itu."
Tio Sun menarik napas panjang. Biasa sudah, urusan orang kang-ouw yang semua didasari keangkuhan, tidak mau saling mengalah, mengandalkan kepandaian, lalu kalau sudah ada yang menjadi korban, timbul dendam dan balas-membalas! Betapa dia sudah bosan dengan semua itu dan karena itu pulalah maka dia dan isterinya, biarpun keduanya merupakan pendekar-pendekar lihai, semenjak menikah sudah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kang-ouw.
Melihat pendekar itu termenung, Panglima Lee Siang cepat berkata, "Bagaimana, taihiap" Harap taihiap sudi menaruh kasihan kepada kami dan sudi menolong kami."
"Lee-ciangkun, sebenarnya hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan saya, akan tetapi kalau hanya menjadi orang penengah saja, tentu saya tidak keberatan. Akan tetapi, bagaimana kalau dia, ketua Hwa-i Kai-pang itu, tidak mau didamaikan"
"Kalau begitu, terserah kepada mereka berdua, hanya saya harap taihiap sudi melindungi saya karena siapa tahu ketua pengemis itu, kalau-kalau mendendam pula kepada saya yang menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ketika dikeroyok. Saya tidak mungkin dapat menggunakan pasukan untuk urusan pribadi ini, taihiap. Dan pula... saya minta dengan hormat sudilah kiranya taihiap merahasiakan urusan pribadi saya dengan Kim Hong Liu-nio! Saya tidak ingin didesas-desuskan, sesungguhnya saya mengharapkan dia menjadi calon isteri saya kelak."
Tio Sun tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, ciangkun."
Lee Siang cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam, sehingga Tio Sun juga segera membalasnya. "Terima kasih, Tio-taihiap, terima kasih. Saya harap setelah lewat senja taihiap benar-benar datang ke gedung saya, dan kepada hujin (nyonya) sekalipun, harap taihiap jangan menceritakan urusan pribadi saya itu. Saya malu..."
"Saya mengerti, ciangkun. Nanti begitu malam tiba, saya mengunjungi ciangkun."
Panglima itu lalu berpamit dengan wajah girang, dan Tio Sun lalu masuk ke dalam rumahnya. Isteri dan puterinya menyambutnya dan Tio Sun lalu memondong puterinya yang sudah berusia sembilan tahun itu. Pek Lian tertawa girang dan isterinya mengomel, "Ih, anak sudah begini besar dipondong, bikin dia tambah manja saja!"
"Ah, Pek Lian tidak manja, ya" Ayah menggendong karena sayang, bukan memanjakan!"
Pek Lian mengangguk-angguk dan mengerling kepada ibunya. "Aku tidak minta dipondong, ibu. Ayah sendiri yang memondongku, apa tidak boleh"
Dikeroyok dua begini, Souw Kwi Eng atau nyonya Tio Sun itu tersenyum saja, lalu dia bertanya, "Siapa sih orang tadi" Kulihat dia bukan seorang pedagang langganan atau kenalan kita, akan tetapi kalian bicara demikian serius!"
"Oh, dia" Dia adalah Panglima Lee Siang, adik dari Panglima Kim-i-wi Lee Cin. Masih ingatkah kau kepada Panglima Lee Cin"
"Ah, Panglima" Kenapa dia berpakaian preman, dan apa pula maksudnya mengunjungi kita" Kwi Eng bertanya dengan curiga. Selama ini mereka hanya mengurus perdagangan, kenapa ada Panglima Kim-i-wi mengunjungi suaminya dan bicara demikian serius"
Diam-diam Tio Sun memasukkan surat tantangan yang tadi lupa tidak dibawa pergi oleh Lee Siang dan masih digenggamnya itu ke dalam saku bajunya tanpa sepengetahuan isterinya, kemudian sambil duduk memangku Pek Lian dia berkata, "Dia datang minta tolong kepadaku untuk mendamaikan urusan. Dia mempunyai sedikit salah paham dengan ketua Hwa-i Kai-pang dan minta kepadaku untuk mendamaikan urusan itu."
"Ketua Hwa-i Kai-pang" Ihh, perkumpulan itu tidak berbau harum. Suamiku, urusan apakah yang perlu kaudamaikan itu"
Tio Sun sudah menduga bahwa tentu isterinya akan mendesak terus, dan tidak ada gunanya bagi dia untuk berbohong. Maka dia lalu menceritakan urusan itu, yaitu betapa ketua Hwa-i Kai-pang merasa tidak senang karena Panglima Lee Siang telah menolong seorang musuh Hwa-i Kai-pang ketika para pengemis di luar pintu gerbang. Dan kini ketua Hwa-i Kai-ipang mengancam, maka Panglima Lee Siang yang tidak ingin menimbulkan keributan lalu minta kepada dia untuk menjadi orang penengah.
"Mengapa justeru kau yang dimintainya tolong" Bukankah dia itu panglima dan banyak mengenal orang pandai di sini"
"Dia adalah pengagum mendiang ayah. Maklumlah sama-sama panglima pengawal. Kukira tidak ada jahatnya kalau hanya menjadi penengah saja, isteriku. Urusan kecil ini tidak perlu kaukhawatirkan." hatinya lega karena isterinya tidak tertarik tentang orang yang dikeroyok oleh para pengemis dan yang menjadi biang keladi urusan itu.
Setelah mandi, tukar pakaian dan makan malam, Tio Sun lalu berpamit kepada isterinya dan dengan tenang dia lalu pergi ke rumah gedung Panglima Lee Siang yang mudah saja ditemukannya di antara rumah-rumah para pembesar istana. Rumah itu sunyi saja dan lampu-lampu telah menyambut datangnya malam.
Panglima Lee Siang sendiri menyambut kedatangannya dan agaknya memang panglima itu telah menanti di rumah depan. Dari wajahnya nampak betapa panglima itu sedang gelisah dan begitu menyambut Tio Sun, dia lalu menggandeng tangan pendekar itu dan diajaknya masuk ke dalam, langsung memasuki sebuah ruangan yang agaknya sengaja dikosongkan, dan di situ hanya terdapat sebuah meja dengan dua bangku untuk mereka berdua. Ketika Lee Siang menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan, Tio Sun cepat mencegah dengan mengatakan bahwa dia sudah makam malam sebetum berangkat. Panglima Lee Siang lalu menyuruh pelayannya mengambilkan dua cawan dan seguci arak.
"Ah, hati saya lega bukan main, Tio-taihiap!" kata panglima itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dengan tangan gemetar.
Melihat ini, Tio Sun yang bersikap tenang itu tersenyum menghibur,"Tenanglah, ciangkun, mengapa gelisah" Bukankah kita akan menawarkan perdamaian dan bukan hendak menyambut orang dengan kekerasan" Akan tetapi sunyi benar gedungmu ini"
"Saya sengaja menyuruh para pelayan menyingkir agar percakapan kita nanti tidak sampai terdengar orang. Akan tetapi jangan khawatir, diam-diam saya sudah mempersiapkan pasukan pengawal, kalau-kalau tamu kita nanti menggunakan kekerasan. Akan tetapi talhiap berjanji akan melindungi saya, bukan"
Tio Sun mengangguk dan menerima cawan arak yang disuguhkan tuan rumah, lalu meminumnya. "Saya kira tidak perlu, karena saya yakin ketua itu tidak akan menggunakan kekerasan kepadamu, ciangkun. Akan tetapi... eh, mana dia wanita pengawal dari utara itu" Bukankah dia yang dicari"
"Ah, saya suruh dia bersembunyi dulu, taihiap. Kalau melihat dia, salah-salah urusan menjadi panas dan sukar didamaikan. Kalau sudah buntu jalan, barulah dia akan muncul. Sebaiknya tidak mempertemukan dulu dua orang yang saling marah dan mendendam, bukan"
Tio Sun mengangguk, setuju. Lee Siang yang kelihatan selalu gelisah itu lalu hendak menutupi kegelisahannya dengan membicarakan urusan dahulu, di waktu Tio Sun masih terjun di dunia kang-ouw, bersama-sama dengan pendekar-pendekar sakti seperti Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong, dan yang lain-lain. Secara cerdik dan sepintas lalu seolah-olah tidak sengaja dan hanya ingin mengisi waktu yang menegangkan itu dengan percakapan, Lee Siang mencari keterangan tentang pendekar-pendekar yang lainnya itu. Mula-mula dia menanyakan tentang pendekar tua Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Kemudian dia dengan hati-hati menanyaka di mana adanya putera ketua Cin-ling-pai itu, yaitu pendekar Cia Bun Houw dan pendekar Yap Kun Liong!
"Setahu saya, Yap Kun Liong taihiap tinggal di Leng-kok, akan tetapi tentang Cia-taihiap, entah dia berada di mana. Semenjak kembali dari utara, dia menghilang bersama Yap In Hong lihiap, entah mereka berada di mana."
Diam-diam giranglah hati Lee Siang karena dia sudah mendapat keterangan di mana adanya Yap Kun Liong, seorang di antara musuh-musuh yang harus dibasmi oleh kekasihnya! Dan pada saat itu, Tio Sun menaruh telunjuk di depan bibirnya nambil memasang telinga dan matanya yang sipit itu seperti terpejam, seluruh panca inderanya ditujukan ke atas karena pendengarannya yang terlatih dan lebih tajam daripada pendengaran tuan rumah itu menangkap suara yang tidak wajar.
Wajah Lee Siang menjadi pucat. Jelas bahwa dia kelihatan gelisah sekali! Diam-diam Tio Sun merasa heran mengapa tuan rumah ini, adik dari Panglima Lee Cin yang gagah berani, juga seorang Panglima Kim-i-wi, ternyata demikian kecil nyalinya! Dan pada saat itu, terdengarlah suara dari atas, suara yang jelas sekali akan tetapi perlahan, seolah-olah orangnya yang bicara itu berada dekat di dalam kamar itu! Seperti setan tidak kelihatan yang bicara! Akan tetapi Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa orang itu telah menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu ilmu khi-kang, dengan tenaga sakti di dalam pusar telah mendorong keluar suara menjadi getaran yang mampu menempuh jarak jauh biarpun hanya diucapkan dengan lirih!
"Kim Hong Liu-nio, keluarlah dan jangan bersembunyi di balik perlindungan seorang panglima!"
Tio Sun mengerutkan alisnya. Dari suaranya saja sudah dapat diduga bahwa orang yang mengeluarkan suara itu adalah seorang yang tinggi hati, angkuh dan merasa tidak perlu menghormati seorang panglima istana! Bahkan ada nada mengejek di dalam suara itu terhadap Lee-ciangkun tanpa menyebut nama! Akan tetapi dia diam saja, menanti perkembangan lebih lanjut, karena bukankah tugasnya hanya melerai dan menengahi, kalau mungkin mendamaikan kedua fihak yang sedang bersengketa.
TIBA-TIBA terdengar Lee Siang berkata, suaranya cukup nyaring, tidak nampak lagi sisa ketegangan dan kegelisahannya yang tadi, "Apakah yang datang itu adalah Hwa-i Kai-pangcu" Suaranya nyaring dan sudah pasti terdengar oleh orang yang berada di atas.
Kembali terdengar suara lirih tadi, namun jelas sekali, penuh kewibawaan, "Kami adalah ketua Hwa-i Kai-pang, dan kami datang hanya untuk berurusan dengan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio!"
Sebelum Tio Sun dapat memikirkan harus berkata apa, kembali Lee Siang sudah berkata nyaring. "Pangcu, harap kau turun saja. Kami sudah menanti di ruangan ini! Marilah kita bicara!" Suara panglima itu kini terdengar keras, tegas dan galak, bahkan seperti orang menantang sehingga Tio Sun kembali merasa heran dan ketika dia mengerling, dia melihat panglima itu sama sekali tidak kelihatan takut lagi! Diam-diam dia merasa geli juga. Tadi sebelum orangnya datang panglima itu kelihatan begitu ketakutan, akan tetapi sekarang setelah orangnya datang dan telah mendemonstrasikan Ilmu Coan-im-jip-bit yang membayangkan kepandaian tinggi, panglima ini malah berkaok-kaok menantang! Sungguh tak tahu diri!
Akan tetapi dia tidak memperhatikan lagi kepada panglima itu karena seluruh perhatiannya dicurahkan untuk menangkap gerakan yang kini terdengar. Angin menyambar dan bagaikan seekor burung saja, berkelebatlah sesosok bayangan orang dan tahu-tahu di dalam ruangan itu telah berdiri seorang kakek. Aneh sekali kakek ini, terutama pakaiannya karena dia memakai pakaian baru yang penuh tambal-tambalan belang-bonteng dan berkembang-kembang, menyolok sekali. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Pakaiannya yang penuh tambalan itu masih baru, dan memang sengaja ditambal-tambal, juga sepatunya baru. Tubuhnya pendek kecil, rambutnya digelung ke atas dan mukanya seperti muka tikus karena selain kecil sempit juga agak meruncing ke depan, di bagian mulutnya merupakan ujungnya, dan sepasang matanya yang kecil itu tiada hentinya bergerak-gerak. Berbeda dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang lainnya yang menandai tingkat atau kedudukan mereka dalam perkumpulan itu dengan banyaknya buntalan di punggungnya, kakek ini sama sekali tidak menggendong buntalan. Justeru inilah tanda bahwa dia adalah tokoh nomor satu atau ketua dari Hwa-i Kai-pang! Dan seperti semua ketua Hwa-i Kai-pang, setelah menjadi ketua maka dia meninggalkan nama sendiri, dan hanya menggunakan nama Hwa-i Sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang). Usia kakek ini sudah enam puluh tahun lebih.
Sepasang mata yang liar dan amat tajam sinarnya itu hanya menyapu saja dua orang laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya, karena pandang mata itu mencari-cari di sekeliling ruangan itu, dan tanpa memperdulikan dua orang pria itu, bahkan seolah-olah menganggap mereka itu tidak ada, kakek ini berseru, "Kim Hong Liu-nio, keluarlah untuk mengadu kepandaian!"
Sikap ini memang angkuh sekali, dan diam-diam Tio Sun merasa menyesal mengapa seorang ketua perkumpulan sebesar Hwa-i Kai-pang bersikap demikian congkak. Lee Siang melangkah maju dengan sikap marah.
"Lo-kai (pengemis tua), betapa kurang ajarnya engkau! Rumah ini adalah rumahku, dan kau sama sekali tidak memandang mata kepada tuan rumah!"
Mendengar itu, pengemis tua itu memandang kepada Lee Siang dan alisnya berkerut, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. "Lee-ciangkun, kami tidak akan datang ke rumah ini kalau engkau tidak menyembunyikan Kim Hong Liu-nio di sini! Kami selamanya tidak pernah ada urusan dengan seorang Panglima Kim-i-wi, maka harap lekas kau suruh wanita iblis itu keluar, dan kami akan menganggap bahwa antara kami dan ciangkun tidak pernah ada urusan apa-apa!"
Lee Siang menjadi marah mendengar ucapan yang terus terang itu. "Kalau aku melarang kalian pengemis-pengemis jahat Hwa-i Kai-pang mengganggu Kim Hong Liu-nio yang menjadi penyelamat kaisar, engkau mau apa"
Pengemis yang bertubuh pendek kecil itu membusungkan dadanya dan berkata, "Kami selamanya tidak pernah menentang kaisar dan pasukan Kim-i-wi, akan tetapi kalau ciangkun melindungi wanita itu, berarti ciangkun secara pribadi memusuhi kami dan tentu kami tidak akan memandang pangkat ciangkun lagi!"
"Jembel tua busuk, kau sungguh kurang ajar. Kaukira aku takut kepadamu" Setelah berkata demikian, Lee Siang sudah menerjang maju dengan pedangnya yang memang sudah dia persiapkan lebih dulu! Dengan dahsyat panglima yang bertubuh tinggi tegap ini menyerang dan memang tenaganya besar, sehingga pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar kilat.
"Ciangkun, jangan...!" Tio Sun berseru kaget. Semua itu terjadi demikian cepatnya sehingga dia yang memang berwatak pendiam dan tidak pandai bicara, tidak sempat untuk melerai. Akan tetapi Lee Siang tidak memperdulikan atau tidak mendengar cegahannya itu karena panglima itu sudah menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah pengemis tua itu!
"Lee-ciangkun, jangan mencampuri urusan kami!" Pengemis itu membentak dan dengan mudah saja dia menghindarkan tusukan itu dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi Lee Siang sudah menggerakkan pedangnya yang luput menusuk tadi, disabetkan ke samping mengarah leher kakek itu! Dan pada saat itu juga kakinya juga bergerak menendang ke arah pusar lawan.
"Hemm, engkau terlalu sombong dan perlu diberi hajaran!" pengemis tua itu membentak, tongkatnya bergerak menangkis dan kakinya juga diangkat memapaki tendangan itu.
"Tranggg... dukk...!" Tubuh Lee Siang terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan. Dia mengaduh dan terpincang karena kakinya yang digares oleh kaki kecil pengemis itu terasa nyeri seperti dipukul dengan linggis besi saja! Akan tetapi, Lee Siang menjadi makin marah dan dia sudah menubruk ke depan, menyerang dengan kedua tangan kosong secara nekat!
Tio Sun maklum bahwa dia harus turun tangan, karena kalau tidak, panglima itu dapat terancam bahaya. Kakek pengemis itu lihai bukan main, dan juga ganas. Ketika Panglima Lee Siang menyerbu, kakek itu sudah menggerakkan tongkatnya, maksudnya hanya akan menotok roboh panglima itu. Akan tetapi Tio Sun mengira lain, menyangka bahwa kakek itu akan menurunkan tangan kejam, maka dia sudah menerjang ke depan dan menggunakan tangan untuk mencengkeram tongkat itu!
"Aihh...!" Hwa-i Sin-kai terkejut menyaksikan gerakan Tio Sun, apalagi dari tangan pendekar ini menyambar hawa yang amat kuat. Kakek pengemis ini menyangka bahwa tentu orang ini adalah pengawal pribadi Lee-ciangkun, maka diapun makin marah. Kiranya panglima ini sudah bersiap untuk menghalanginya menantang Kim Hong Liu-nio dan menerimanya dengan serangan-serangan. Dia sudah marah kepada Lee Siang ketika dilapori anak buahnya betapa Lee Siang telah menyelamatkan Kim Hong Liu-nio di luar pintu gerbang dan kini, melihat sendiri betapa panglima itu menyerangnya, bahkan dibantu oleh seorang pengawal lihai, kemarahannya memuncak dan tanpa bertanya lagi dia sudah menggerakkan tongkat yang akan dicengkeram itu, menariknya kembali dan tidak jadi menyerang Lee Siang melainkan menotok ke arah leher Tio Sun!
"Ahhh...!" Tio Sun terkejut sekali dan juga marah. Totokan ke arah lehernya itu adalah serangan maut yang mengarah nyawa! Betapa ganas dan kejamnya kakek pengemis ini! Dan memang Hwa-i Sin-kai bermaksud membunuh "pengawal" itu sungguhpun dia masih berpikir dua kali untuk melukai Panglima Lee secara parah.
Hwa-i Sin-kai juga terkejut sekali ketika melihat betapa pengawal itu menangkis tongkatnya dengan tangan kosong dan telah membuat tongkatnya menyeleweng dan luput! Inilah hebat, pikirnya! Jarang ada orang dapat menangkis tongkatnya dengan tangan kosong saja! Di lain fihak, Tio Sun juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat dia terdorong dan lengannya terasa nyeri bukan main, tanda bahwa kakek itu memang amat lihai.
"Bagus! Pengawal busuk, kau anjing penjilat pembesar, harus mampus!" bentak kakek itu sambil menggerakkan tongkatnya.
"Nanti dulu, pangcu! Aku tidak bermaksud memusuhimu..."
Akan tetapi dari samping, Lee Siang sudah menerjang lagi dengan marah, "Hantam dia, kakek jembel ini memang jahat!"
Melihat Lee Siang kembali terjungkal oleh tendangan kaki pengemis itu, Tio Sun menjadi marah.
"Tar-tar-tar!" Bunyi ledakan ini adalah ujung senjata dari pendekar ini, yaitu sabuk yang digerakkan seperti sebatang pecut dan dimainkan seperti orang memainkan joan-pian, dan tahu-tahu ujung cambuk ini sudah menotok ke arah tengkuk kakek pengemis itu.
"Bagus!" kakek itu berseru kaget dan juga kagum. Dia memang tahu bahwa di kota raja banyak pengawal pandai, akan tetapi tidak disangkanya dia akan bertemu dengan seorang pengawal sepandai ini di gedung Panglima Lee Siang. Tongkatnya cepat diputar menyambut dan dalam belasan jurus saja Tio Sun terdesak hebat! Kiranya kakek yang menjadi ketua Hwa-i Kai-pang itu memang luar biasa lihainya. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) sudah mencapai puncaknya sehingga tongkat itu lenyap bentuknya dan berubah menjadi lima gulungan sinar yang makin lama makin lebar, dan dari sinar gulungan itu kadang-kadang mencuat ujung tongkat yang menotok ke arah jalan darah yang berbahaya!
"Hebat...!" Tio Sun berseru kaget setelah baru saja dia terbebas dari totokan amat berbahaya. "Pangcu, tahan dulu..." Dia melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. "Aku tidak bermaksud memusuhimu, aku hanya datang untuk menjadi orang penengah!"
"Pengawal busuk, keluarkan kepandaianmu kalau memang kau lihai!" kata kakek pengemis itu yang salah duga melihat Tio Sun mencabut pedang pula di samping sabuknya yang lihai padahal pendekar itu mencabut pedang hanya untuk menjaga diri setelah terdesak hebat oleh tongkat yang amat lihai itu.
Tio Sun menjadi marah juga dan menggerakkan pedang menusuk setelah sabuknya menangkis dan berusaha melibat ujung tongkat.
"Prakkkk!" Tio Sun terkejut bukan main karena kakek itu menggunakan tangan kiri yang telanjang untuk menangkis pedangnya! Memang tadi kakek itu belum mengeluarkan ilmunya yang paling hebat, yaitu Ta-houw-sin-ciang-hoat (Tangan Sakti Pemukul Harimau), dan baru sekarang kakek itu menggunakan tangan saktinya untuk menangkis pedang dan terus memukul dan dari pukulannya itu menyambar angin dingin yang dahsyat.
Tio Sun mengeluarkan suara kaget, mengeluh dan terjengkang roboh dan tidak bergerak lagi! Kakek pengemis itu terkejut bukan main. Dia tadi sudah menduga bahwa Tio Sun tentu bukan pengawal, melainkan seorang sahabat dari panglima itu, maka dia ingin mencoba kepandaiannya dan merobohkan tanpa membunuhnya. Akan tetapi mengapa orang gagah itu kini roboh terjengkang dan tidak berkutik lagi" Dia memandang wajah orang itu dan makin terkejut mendapat kenyataan bahwa benar-benar orang gagah itu telah tewas! Padahal dia tahu benar bahwa pukulannya Ta-houw-sin-ciang-hoat tadi belum mengenai tubuh lawannya, hanya menangkis pedang saja!
"Tangkap pembunuh! Tangkap penjahat!" Tiba-tiba Lee Siang berteriak-teriak dan muncullah belasan orang pengawal dari segenap penjuru dan terutama sekali, secara tiba-tiba ada sinar merah panjang menyambar dan dalam sekali serangan saja ujung sinar merah itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sampai tujuh kali ke arah jalan darah maut di sebelah depan tubuh Hwa-i Sin-kai!
Kakek itu terkejut bukan main dan dia terdesak mundur, terpaksa memutar tongkatnya dan setelah menangkis tujuh totokan bertubi-tubi yang amat hebat itu, bahkan yang membuat tangannya tergetar keras, dia memandang dan melihat seorang wanita cantik jelita telah berdiri di depannya sambil memegang sehelai sabuk sutera merah!
"Kau Kim Hong Liu-nio!" bentak kakek itu.
Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Dan engkau tua bangka tak tahu diri, datang mengantarkan nyawa!" bentaknya halus dan kembali dia menerjang, kini dengan kedua tangan kosong sambil mengalungkan sabuknya di lehernya, seperti seorang penari yang sedang beraksi melakukan tarian yang amat indah.
"Bedebah kau!" Hwa-i Sin-kai membentak dan tongkatnya menyambar.
"Cring-cring-cringgg...!" Tiga kali tongkat itu bertemu dengan lengan halus yang memakai gelang, dan kakek pengemis itu makin terkejut merasa betapa tangkisan lengan halus itu membuat kedua tangannya sampai kesemutan, tanda bahwa wanita cantik ini benar-benar lihai sekali, cocok dengan laporan para anak buahnya. Pantas semua anak buahnya tidak ada yang sanggup menandingi wanita ini!
"Menyerahlah kau, pembunuh kejam!" Lee Siang membentak. "Engkau telah membunuh Tio Sun taihiap, putera dari mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Tangkap dia!"
Bukan main kagetnya Hwa-i Sin-kai mendengar disebutnya nama itu. Terbelalak dia memandang ke arah tubuh yang rebah terlentang tak bergerak dari Tio Sun itu, dan karena terkejut ini, hampir saja lambungnya kena dicengkeram oleh tangan yang halus dari wanita itu. Dia cepat meloncat ke belakang sambil mengelebatkan tongkatnya, dan dengan jantung tegang dia berkata, "Ah, tidak...!" Dan melihat semua pengawal mulai menerjangnya, dia maklum bahwa kalau dia melawan, biarpun belum tentu dia kalah walaupun di situ terdapat wanita yang amat lihai itu, namun dia tentu akan dicap sebagai pemberontak yang berani melawan pasukan pengawal! Maka sambil mengeluh panjang kakek itu lalu meloncat keluar dari ruangan itu, seperti terbang saja melalui atas kepala para pengawal yang mengepungnya, lalu berloncatan ke atas genteng dan melarikan diri dari tempat itu.
Lee Siang memerintahkan orang-orangnya mengejar, namun sia-sia saja karena gerakan pengemis tua itu amat cepat, sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata. Dia lalu memeriksa Tio Sun yang ternyata telah tewas! Maka dia lalu menyuruh para pengawal mengantarkan mayat itu pulang ke rumah keluarga Tio, sedangkan dia sendiri mengikuti dari belakang dengan wajah muram.
Dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati Souw Kwi Eng ketika melihat sebuah kereta dikawal oleh sepasukan pengawal berhenti di depan rumahnya, apalagi ketika melihat tamunya siang tadi, yang oleh suaminya dikatakan adalah Panglima Kim-i-wi Lee Siang, tiba-tiba memasuki rumahnya dan menjura di depannya sampai dalam sekali, penuh dengan tanda duka.
"Tio-hujin..." Suara Lee Siang terhenti oleh isak tertahan. "Saya datang membawa berita duka... Tio-taihiap..."
"Ada apa" Apa yang terjadi" Mana suamiku" Tiba-tiba Souw Kwi Eng bertanya dan matanya yang agak kebiruan itu memandang terbelalak, mencari-cari.
"Dia... dia... telah mati terbunuh orang... jenazahnya kami bawa dalam kereta..."
Terdengar jerit mengerikan dan nyonya muda itu terhuyung, lalu berlari menuju ke kereta, seperti orang gila dia merenggut tirai kereta terbuka dan melihat jenazah suaminya menggeletak tak bergerak di dalam kereta. Souw Kwi Eng kembali menjerit, jerit yang melengking nyaring menyayat hati. Dia menubruk jenazah itu, memeluki suaminya dan menangis tersedu-sedu!
Para pelayan berlarian dengan bingung dan ada yang sudah ikut menangis. Dari dalam rumah keluar Tio Pek Lian berlari-lari karena anak ini mendengar jerit ibunya yang mengejutkan itu. Ketika dia melihat ibunya menangis di kereta yang berhenti di halaman rumah, dia berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dari belakang, menarik-narik bajunya dan bertanya dengan suara ketakutan.
"Ibu, ada apakah, ibu..." Kenapa ibu menangis" Dia masih belum dapat melihat jenazah ayahnya karena pintu kereta itu terhalang oleh tubuh ibunya.
Mendengar suara anaknya, Souw Kwi Eng tersentak dan tertahan tangisnya, lalu perlahan dia memutar tubuh memandang anaknya melalui genangan air mata, kemudian dia menubruk anaknya dan merangkulnya. "Pek Lian, anakku... ah, ayahmu... ayahmu...!" Dan kalau saja dia tidak merasa bahwa ada anaknya dalam pelukannya tentu nyonya muda ini sudah roboh pingsan. Semua sudah kelihatan gelap dan berputar, cepat-cepat dia memejamkan mata dan menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya sehingga semuanya menjadi terang kembali.
"Ibu, ada apakah..." Ayah mengapa..." Lapat-lapat terdengar suara anaknya.
Souw Kwi Eng membuka mata. "Ayahmu" Ah, ayahmu... telah meninggal dunia, anakku..." Dia terisak, lalu membalik, memasuki kereta, dan pada saat itu Lee Siang dan para pengawal mendekati kereta dan hendak mengangkat jenazah itu. Akan tetapi Souw Kwi Eng melarangnya. "Biarkan aku yang mengangkatnya sendiri!"
Tenang sekali wanita itu. Air matanya masih bercucuran, dia masih terisak-isak, akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tubuh suaminya yang masih hangat itu, dipondongnya, lalu dia melangkah perlahan-lahan ke dalam rumah, diikuti oleh Pek Lian yang memandang pucat dan matanya terbelalak. Anak ini belum mengerti benar, bagaimanakah kematian itu dan mengapa ayahnya mati. Semua orang memandang dengan sinar mata diliputi keharuan dan kekaguman, jantung mereka seperti ditusuk-tusuk menyaksikan nyonya muda yang cantik itu memondong jenazah suaminya, melangkah satu-satu menuju ke dalam rumah dengan sikap penuh khidmat. Semua orang menundukkan muka ketika jenazah yang dipondongnya itu lewat di depan mereka.
Kwi Eng meletakkan jenazah itu di atas pembaringan di kamar suaminya dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, memeriksa suaminya. Tidak ada luka di tubuh suaminya, akan tetapi jelas bahwa suaminya telah tewas. Maka dia lalu memeluk dan menangis lagi, tangis mengguguk dan akhirnya nyonya muda ini tidak dapat menahan dirinya lalu terguling roboh pingsan di atas lantai.
Kwi Eng siuman mendengar tangis anaknya yang memanggil-manggilnya. Dia bangkit duduk dan ternyata dia telah diangkat oleh para pelayan di atas pembaringan. Dan ketika dia duduk, dia melihat jenazah suaminya rebah di atas pembaringan yang lain, maka kembali air matanya bercucuran.
"Ibu...!"
"Pek Lian...!" Dia merangkul anaknya dan mendekap kepala anaknya.
"Tio-hujin... kami sungguh menyesal sekali..."
Kwi Eng mengangkat mukanya mcmandang melalui air matanya. Lalu dia memondong puterinya, turun dari pembaringan dan memandang kepada Panglima Lee Siang yang berdiri dengan muka menunduk. Sampai beberapa lamanya Kwi Eng memandang panglima itu, air matanya turun perlahan ke atas sepasang pipinya yang pucat dan suasana dalam kamar itu hening, kecuali suara isak tertahan dari para pelayan yang semua menangis. Kemudian terdengar suara nyonya muda itu, suaranya menggetar dan parau, kadang-kadang tertahan isak. "Sekarang katakanlah, siapa yang membunuh suamiku" Siapa..." Pertanyaan itu, terutama kata terakhir itu mengandung ancaman hebat, mengandung dendam dan kemarahan yang terasa oleh semua orang hingga semua yang mendengarnya merasa bulu tengkuk mereka maremang.
Dengan muka pucat Lee Siang yang masih menunduk itu menjawab, "Yang membunuhnya adalah ketua dari Hwa-i Kai-pang."
"Ketua Hwa-i Kai-pang" Kwi Eng seolah-olah hendak menanamkan nama ini di dalam benaknya, kemudian dia bertanya lagi, perlahan. "Apa yang terjadi" Mengapa suamiku sampai terbunuh olehnya" Lalu dia teringat akan cerita suaminya, maka dia menambahkan, "Bukankah suamiku ke sana hanya untuk menjadi orang penengah"
Lee Siang menarik napas panjang. "Sesungguhnya begitulah. Akan tetapi, ketua Hwa-i Kai-pang itu mendesaknya, mereka bertanding, kami sudah berusaha membantu dengan pasukan pengawal, akan tetapi terlambat. Tio-taihiap... sudah roboh dan tewas, dan... sungguh menyesal sekali kami tidak mampu mencegahnya..."
"Dan ketua Hwa-i Kai-pang itu" Ke mana dia..."
"Dia melarikan diri, kami tidak mampu melawannya, tidak mampu menangkapnya."
Souw Kwi Eng menghampiri pembaringan suaminya, berlutut, dan menyentuh lengan suaminya. "Tenanglah, aku bersumpah untuk membalas kematianmu!" Lalu dia merangkul dan menangis lagi. Pek Lian juga menghampiri, dengan agak takut-takut memandang jenazah ayahnya, kemudian setelah memandang wajah ayahnya yang biasanya amat mencintanya itu, diapun menubruk ayahnya dan berteriak-teriak, "Ayahhh... ayaaaah..." Dan menangislah anak itu bersamanya.
Setelah mengucapkan keprihatinannya, maafnya dan hiburannya yang sama mekali tidak ada artinya, Panglima Lee Siang lalu berpamit dan meninggalkan rumah itu bersama para pengawalnya, naik kereta yang tadi dipakai untuk mengangkut jenazah Tio Sun.
Semalam itu Souw Kwi Eng dan anaknya menangisi jenazah suaminya, dan para pelayan dan pegawal sibuk mengurus keperluan sembahyang, peti mati dan sebagainya. Juga ada yang cepat-cepat malam itu juga pergi ke kota Yen-tai untuk memberi kabar kepada Souw Kwi Beng, kakak kembar dari nyonya Tio.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Souw Kwi Beng sudah berangkat meninggalkan rumahnya dengan hati penuh kedukaan ketika dia mendengar berita kematian iparnya itu. Dia membalapkan kudanya dan lewat tengah hari tibalah dia di kota raja dan langsung menuju ke rumah adiknya. Kakak beradik kembar ini berangkulan sambil menangis. Kwi Beng sedapat mungkin menghibur adiknya dan keduanya lalu berlutut di depan peti mati Tio Sun. Dia mendengarkan cerita adik kembarnya tentang kematian Tio Sun, sambil memangku keponakannya, Pek Lian yang sudah tidak menangis lagi. Memang hanya anak-anak saja yang mempunyai watak yang wajar, tidak terus menerus dicengkeram oleh suka maupun duka. Suka dan duka bagi anak-anak hanya merupakan peristiwa selewat saja, tidak seperti kita orang-orang dewasa yang paling suka menyimpan suka dan duka di dalam batin sampai berlarut-larut. Pek Lian hanya mulai menangis lagi kalau melihat ibunya, begitu berduka, melihat ibunya menangis. Akan tetapi dia belum begitu merasa kehilangan atas kematian ayahnya, dan memang batin anak-anak lebih bebas daripada batin orang dewasa yang sudah terikat oleh berbagai hal dan benda sehingga kalau sewaktu-waktu ikatan itu dicabut lepas, mendatangkan luka parah di dalam batin.
"Aku akan membantumu, Eng-moi. Aku akan membantumu menghadapi jambel-jembel busuk yang kejam itu!" berkali-kali Kwi Beng menghibur adiknya di depan peti mati adik iparnya.
*** Perkumpulan Hwa-i Kai-pang sebenarnya tidak mempunyai sarang tertentu karena para anggautanya berkeliaran dan tersebar di seluruh daerah kota raja dan seluruh Propinsi Ho-pak. Akan tetapi karena ketuanya yang sekarang, yaitu Hwa-i Sin-kai, memilih sebuah kuil tua di dalam hutan kecil di dekat pintu gerbang sebelah utara kota raja, maka tempat itu boleh dibilang menjadi sarang dari Hwa-i Kai-pang. Hal ini adalah karena para tokoh biasanya berkumpul di tempat tinggal ketuanya, maka hampir setiap hari di kuil tua yang dijadikan tempat tinggal Hwa-i Sin-kai itu ramai dikunjungi tokoh-tokoh dari perkumpulan itu, selain untuk melayani ketua mereka juga untuk membawa laporan-laporan mengenai perkumpulan mereka yang memiliki banyak anggauta yang tersebar luas itu. Tentu saja yang berdatangan ke tempat tinggal ketuanya hanyalah tokoh-tokoh kai-pang yang bertingkat yaitu yang bertingkat lima ke atas.
Setelah terjadi peristiwa permusuhan antara mereka dengan Kim Hong Liu-nio yang berkepanjangan, bahkan yang merambat kepada seorang tokoh Panglima Kim-i-wi, maka para tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi khawatir akan serbuan-serbuan, maka mereka mulai melakukan panjagaan dan mempergunakan kuil tua di dalam hutan itu sebagai tempat berkumpul dan bertahan.
Hwa-i Sin-kai merasa menyesal dan juga terkejut bukan main setelah terjadinya peristiwa kematian Tio Sun di dalam gedung Panglima Lee Siang itu. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa Tio Sun yang lihai itu adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan seorang panglima jagoan istana yang juga merupakan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw. Kalau dia tahu, sudah pasti dia tidak akan melawan orang muda itu sebagai musuh. Dia menyesal mengapa dia tidak lebih dahulu bicara dengan orang muda itu, dan sudah menuruti kemarahan yang ditimbulkan oleh Panglima Lee Siang. Den dia juga merasa heran mangapa orang muda yang segagah itu demiklan mudah tewas, hanya setelah dia mengeluarkan pukulan Ta-houw-sin-ciang, padahal menurut perasaannya, pukulannya itu belum mengenai tubuh lawan! Betapapun juga, ketua Hwa-i Kai-pang ini tidak merasa bersalah! Kalau putera Ban-kin-kwi itu sampai tewas dalam pertandingan melawan dia, maka hal itu adalah karena salahnya sendiri. Mengapa pula pendekar muda itu melindungi Lee Siang, panglima yang telah mencampuri urusan pribadi antara Hwa-i Kai-pang dan iblis betina Kim Hong Liu-nio" Dia sebagai ketua Hwa-i Kai-pang hanya mempunyal permusuhan pribadi dengan Kim Hong Liu-nio yang selain telah membunuh seorang anggauta pengemis juga telah menghina dan melukai beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang. Maka dia tidak merasa salah kalau sampai dia bentrok dengan orang-orang yang membela atau melindungi iblis betina itu, seperti halnya Lee Siang dan Tio Sun!
Akan tetapi beberapa hari semenjak terjadi peristiwa di rumah gedung Panglima Kim-i-wi itu, tidak terjadi apa-apa. Tidak ada pasukan Kim-i-wi yang menyerbu ke dalam hutan itu seperti yang dikhawatirkan oleh Hwa-i Sin-kai. Yang dikhawatirkan hanyalah campur tangan pemerintah, karena tentu saja kalau harus melawan pasukan pemerintah, Hwa-i Kai-pang tidak akan berdaya banyak, dan adalah berbahaya kalau sampai Hwa-i Kai-pang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah. Juga mata-mata yang disebar di dalam kota raja oleh Hwa-i Kai-pang memberi laporan bahwa tidak terjadi gerakan apa-apa di fihak pasukan Kim-i-wi. Hal ini melegakan hati ketua Hwa-i Kai-pang.
Akan tetapi suatu pagi, dua orang laki-laki dan wanita muda, yang mengenakan pakaian serba putih, pakaian orang yang sedang berkabung, berjalan dengan tenang dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara, memasuki hutan itu. Beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang diam-diam melakukan penjagaan, mengikuti gerak-gerik dua orang ini dengan penuh perhatian.
Keadaan dua orang laki-laki dan wanita itu memang amat menarik hati dan juga mencurigakan. Hanya pakaian dan gerak-gerik mereka saja yang membedakan satu sama lain, yang membuat orang dapat membedakan bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi selain perbedaan kelamin ini, wajah kedua orang itu benar-benar mirip satu sama lain, bahkan serupa! Wajah yang amat tampan dan amat cantik. Dan rambut mereka yang agak kekuning-kuningan, mata mereka yang agak kebiruan! Dua orang ini bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Ricardo de Gama dan adik kembarnya, Souw Kwi Eng atau Maria de Gama. Setelah mengurus pemakaman jenazah Tio Sun sampai beres, Kwi Eng lalu menitipkan puterinya pada para pelayan, kemudian dia mengajak kakak kembarnya untuk mencari sarang Hwa-i Kai-pang! Tidaklah sukar bagi mereka untuk menemukan sarang itu di dalam hutan di luar pintu gerbang utara dari kota raja, dan pada pagi hari itu, dengan hati penuh geram kakak beradik kembar ini menuju ke hutan itu dengan hati bulat untuk membalas dendam atas kematian Tio Sun kepada ketua Hwa-i Kai-pang!
Dengan cepat para tokoh pengemis itu memberi laporan kepada ketua mereka akan kedatangan dua orang muda itu, sedangkan Lo-thian Sin-kai, kakek pengemis kurus tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, cepat menghadang di tengah jalan sebelum kedua orang muda ini tiba di kuil tua. Kakek ini melintangkan tongkatnya di depan tubuhnya, memandang tajam dan segera berkata.
"Maafkan, dua orang muda yang gagah perkasa. Kami dari Hwa-i Kai-pang minta dengan hormat agar ji-wi sudi mengambil jalan lain kalau hendak melewati hutan ini."
Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng saling pandang, lalu Kwi Beng yang berkata kepada kakek pengemis yang dia tahu adalah tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat dua itu, melihat dari buntalan di atas punggungnya. Lalu Kwi Beng yang mewakili adiknya menjawab, "Memang kami berdua hendak memasuki sarang Hwa-i Kai-pang, mengapa harus mengambil jalan lain"
Mendengar jawaban ini, Lo-thian Sin-kai mengerutkan alisnya dan tiba-tiba saja tempat itu penuh dengan pengemis-pengemis dari tingkat lima sampai tingkat tiga, ada sepuluh orang banyaknya! Namun, dua orang muda itu tetap tenang saja, biarpun setiap urat syaraf di tubuh mereka sudah menegang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ahh, begitukah" Tiba-tiba suara kakek kurus itu berubah dan sinar matanya memandang penuh selidik. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita seperti kembar itu memang telah menunjukkan sikap mencurigakan, apalagi melihat betapa keduanya telah siap dengan senjata pedang di punggung, dan kantong hui-to, yaitu pisau-pisau kecil yang dipergunakan sebagai senjata rahasia, tergantung di pinggangnya masing-masing. Pendeknya, dua orang muda itu jelas memperlihatkan kesiapan orang yang hendak bertarung! Dan pakaian mereka adalah pakaian orang berkabung!
"Siapakah kalian berdua" Dan ada keperluan apakah kalian memasuki sarang Hwa-i Kai-pang"
Souw Kwi Beng memandang kepada kakek pengemis kurus itu. "Kami melihat bahwa engkau adalah seorang tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang. Ketahuilah bahwa kami datang bukan untuk berurusan dengan Hwa-i Kai-pang, melainkan dengan pancu dari perkumpulan kalian. Maka bawalah kami bertemu dengan dia, karena urusan kami adalah urusan pribadi dengan Hwa-i Kai-pangcu!"
Lo-thian Sin-kai memandang tajam dan menduga-duga siapa gerangan adanya kedua orang kembar ini! "Siapakah kalian berdua" Dan apa keperluan kalian mencari pangcu kami"
"Tidak akan kuberitahukan kepada siapapun, kecuali ketua Hwa-i Kai-pang si jahanam keparat!" Tiba-tiba Kwi Eng yang sudah tidak sabar lagi itu membentak dengan marah sekali.
"Ahh...!" Lo-thian Sin-kai memandang kepada nyonya muda itu dan kecurigaannya timbul. "Apakah toanio mempunyai hubungan dengan orang she Tio..."
"Jembel busuk! Orang she Tio yang dibunuh ketua kalian itu adalah suamiku, mengerti" Nah, ketuamu hutang nyawa kepadaku, harus membayarnya sekarang juga!" Sambil berkata demikian, Kwi Eng sudah mencabut pedangnya dengan gerakan cepat sehingga pedang itu mengeluarken sinar berkilauan. "Dan kalau pangcu kalian terlalu pengecut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, aku akan mencarinya sampai dapat!"
"Dan harap kalian para tokoh Hwa-i Kai-pang tidak mencampuri karena urusan ini adalah urusan pribadi!" sambung Kwi Beng yang sudah mencabut pedangnya.
"Orang-orang muda yang tinggi hati! Aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan dari jauh muncullah seorang kakek pendek kurus yang mukanya seperti tikus, memegang sebatang tongkat dan kakek ini berjalan seenaknya ke tempat itu. Ternyata sebelum orangnya tiba, suaranya sudah terdengar dengan halus dan jelas. Itulah dia Hwa-i Sin-kai, pangcu dari Hwa-i Kai-pang sendiri.
Kwi Eng dan Kwi Beng memandang kepada kakek yang baru datang ini dan melihat betapa semua tokoh Hwa-i Kai-pang membungkuk dengan hormat lalu mundur, memberi ruang kepada kakek kecil pendek yang baru datang. Maka tahulah Kwi Eng bahwa kakek ini adalah Hwa-i Kai-pangcu, musuh besarnya yang telah membunuh suaminya. Tak terasa lagi dua titik air mata berlinang keluar dari sepasang matanya yang memandang dengan penuh dendam dan kebencian.
"Engkaukah orangnya yang telah membunuh suamiku yang bernama Tio Sun" Kwi Eng bertanya, suara menggetar dan sepasang matanya berlinang air mata.
Kakek itu menarik napas panjang. Dia menyesal bukan main bahwa urusan kai-pang dengan iblis betina itu ternyata telah merembet sampai jauh. Dari sikap kedua orang ini saja dia sudah tahu bahwa kedua orang ini adalah pendekar-pendekar yang gagah, dan tentu datang terdorong oleh api dendam yang hebat dan hendak mengadu nyawa dengan dia!
"Apakah kami berhadapan dengan Tio-hujin" tanyanya dengan suara halus.
"Benar, aku adalah isteri dari Tio Sun yang telah kaubunuh tanpa dosa itu. Sekarang kau datang hendak menebus kematian suamiku, kau bersiaplah!"
"Dan orang muda ini siapa"
"Aku adalah kakak kembar dari adikku ini, dan akupun menyediakan selembar nyawaku untuk membalas dendam ini!"
"Ahh, sungguh aku orang tua merasa menyesal sekali. Akan tetapi tahukah kalian berdua mengapa Tio-taihiap itu sampai tewas" Karena dia membantu Panglima Lee Siang yang di lain fihak membantu iblis betina Kim Hong Liu-nio, musuh pribadi kami. Dan sesungguhnya, aku sendiri tidak mengerti bagaimana Tio-taihiap dapat tewas, padahal pukulan sakti yang kupergunakan belum juga menyentuh tubuhnya!"
Ucapan itu keluar dari hati yang sungguh-sungguh, akan tetapi bagi Kwi Eng dan Kwi Beng terdengar seperti ejekan atas kelemahan mendiang Tio Sun! Memang hati kalau sudah diracuni dendam, adanya hanya benci dan kalau sudah benci, apapun yang diucapkan atau dibuatnya oleh orang yang dibencinya tentu saja selalu salah!
"Keparat keji, tua bangka sombong!" Kwi Eng sudah menerjang ke depan dan pedangnya menyerang dengan cepat dan kuat, disusul oleh kakak kembarnya yang juga sudah menyerang dengan pedangnya.
"Ah, terpaksa aku melayani kalian orang-orang muda yang tidak mau berpikir panjang!" ketua Hwa-i Kai-pang itu berkata penuh sesal sambil menggerakkan tongkatnya menangkis dan balas menyerang. Dia sudah kesalahan tangan membunuh Tio Sun dalam suatu pertandingan yang jujur, dan kalau sekarang dia sekalian membunuh isteri pendekar itu dan kakak kembarnya dalam pertandingan yang jujur, bahkan dia membiarkan dirinya dikeroyok maka dia tidak khawatir akan mendapat teguran dan penyesalan dari tokoh-tokoh kang-ouw. Dia dipaksa oleh mereka ini, bukan dia yang mencari permusuhan! Apa boleh buat!
Dua orang kakak beradik kembar itu adalah putera-puteri dari pendekar wanita sakti Souw Li Hwa, akan tetapi mereka berdua itu tidak memiliki bakat yang terlalu baik sehingga kepandaian silatnya tidak menonjol. Sedangkan mendiang Tio Sun saja yang lebih lihai dari isterinya dan adik iparnya masih belum mampu menandingi kakek yang amat lihai ini, apalagi kakak beradik kembar itu! Maka dalam dua puluh jurus lebih saja, pedang mereka telah dibikin terpental oleh kakek sakti itu yang masih merasa segan dan tidak tega untuk membunuh mereka!
Melihat kelihaian kakek itu dan karena pedangnya sudah terpental, dua orang kakak beradik ini maklum bahwa lawan mereka terlalu tangguh, maka sambil berteriak nyaring Kwi Eng lalu mengeluarkan hui-to (pisau terbang) yang menjadi kepandaiannya yang istimewa, dan berkelebatanlah hui-to yang dilepasnya, beterbangan cepat menyambar ke arah tubuh ketua Hwa-i Kai-pang. Melihat ini, Kwi Beng tidak mau tinggal diam dan diapun latu melepaskan pisau-pisau terbangnya.
"Hemmm...!" Hwa-i Sin-kai berseru keras dan tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga tongkat itu berbentuk sinar yang bergulung-gulung sehingga merupakan benteng sinar yang melindungi tubuhnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau terbang itu terlempar ke kanan kiri dan kesemuanya runtuh oleh tangkisan sinar tongkat itu. Sampai habis seluruh pisau-pisau di kantung kedua orang kakak beradik itu, namun tidak ada sebatang pisaupun yang mengenai sasaran.
"Kakek iblis, kalau begitu biar aku mengadu nyawa denganmu!" Kwi Eng berseru dengan putus asa dan dia lalu menyerang dengan kedua tangan kosong! Sebetulnya, kakak beradik ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, warisan dari Panglima The Hoo melalui ibu mereka, yaitu ilmu It-ci-san, semacam ilmu totok menggunakan sebuah jari tangan yang amat lihai, dan selain itu, juga mereka telah mewarisi ilmu silat tangan kosong Jit-goat Sin-ciang dan telah mengusai penggabungan tenaga Im dan Yang. Akan tetapi, karena bakat mereka tidak terlalu besar, maka mereka hanya mampu menguasai sebagian saja dari ilmu-ilmu ini, maka biarpun kini keduanya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk mengeroyok Hwa-i Sin-kai, mereka ini tidak dapat banyak berdaya. Bahkan dalam waktu belasan jurus saja ujung tongkat di tangan kakek itu telah menghajar pinggul Kwi Beng sehingga pemuda ini bergulingan dan menotok pundak kiri Kwi Eng sehingga nyonya muda itupun terguling roboh.
"Iblis tua kejam, kau mampuslah!" Kwi Beng membentak dan tiba-tiba tangan kanannya telah mencabut sebuah pistol peninggalan ayahnya. Memang dia sudah mempersiapkan senjata api ini karena Kwi Beng bukanlah seorang yang bodoh, dan dia sudah menduga bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu tentu seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga seorang pendekar seperti kakak iparnya itupun sampai tewas bertanding melawan kakek itu. Maka ketika berangkat, dia sudah mempersiapkan senjata api ini, biarpun ayahnya meninggalkan pesan agar dia jangan sembarangan mempergunakan senjata maut itu kalau tidak terpaksa dan terancam keselamatannya. Sekarang, dia memang agaknya tidak terancam keselamatannya, karena kakek itu agaknya tidak hendak membunuh dia dan adiknya, akan tetapi dia maklum bahwa adiknya tentu akan melawan terus sampai mati. Daripada adiknya yang mati, lebih baik kakek itu!
"Dar-darrr...!" Pistol itu meledak dua kali dan robohlah seorang kakek pengemis tingkat tiga dengan pundak dan lengan terluka. Ternyata ketika tadi pemuda itu mencabut pistol, seorang kakek tingkat tiga segera menubruk ke depan pemuda itu sehingga pada saat pistol meledak, yang roboh adalah kakek ini dan bukan Hwa-i Sin-kai. Kakek itu terkejut dan marah, tubuhnya menyambar ke depan dan begitu tongkatnya bergerak pistol di tangan Kwi Beng sudah terlempar jauh dan tangan pemuda itu berdarah! Akan tetapi, Kwi Eng sudah datang menerjang dan Kwi Beng juga bangkit dan terus menerjang lagi dengan nekat. Kakek itu mendengus dan kembali tongkatnya membuat keduanya roboh terguling.
"Orang-orang muda yang tak tahu diri! Kepandaian kalian terlalu rendah untuk berani kurang ajar terhadap kami!" kata Lo-thian Sin-kai. "Lebih baik kalian pergi dan jangan membikin marah pangcu kami!" Para pengemis kelihatan marah melihat betapa kakek pengemis yang kena tembakan tadi terluka parah, namun tidak membahayakan nyawanya.
"Biarlah, mereka ini perlu dihajar sampai tobat!" bentak Hwa-i Sin-kai sambil berdiri menanti dengan muka marah. Dua orang muda itu bangkit lagi, menerjang lagi dan roboh lagi! Sampai tiga empat kali mereka roboh dan kini para tokoh Hwa-i Kai-pang menertawakan mereka. Mereka itu hanya seperti anak kecil yang nakal melawan ketua Hwa-i Kai-pang yang sakti. Kalau ketua itu mau, tentu saja dengan amat mudahnya dia dapat membunuh kedua orang muda itu.
Muka Kwi Eng sudah bengkak terkena tamparan dan mulut Kwi Beng bahkan mengeluarkan darah karena bibirnya pecah, akan tetapi untuk ke sekian kalinya, kedua orang muda yang sudah nekat dan mata gelap itu menyerang lagi.
"Plakk! Dukk!" Kini dua orang kakak beradik itu terjungkal karena tamparan dan hantaman tongkat dari kakek itu ditambah tenaga. Kwi Eng terbanting keras dan kepalanya pening, sedangkan Kwi Beng terpukul tongkat kakinya sehingga ketika dia hangkit berdiri, dia terpincang. Namun mereka berdua masih belum mau sudah. Tekat mereka adalah untuk melawan sampai mati!
Pada saat itu, terdengar suara merdu dan nyaring, suara seorang wanita muda, "Sungguh tidak tahu malu, kakek-kakek tua bangka menghina orang-orang muda mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa!"
Semua orang terkejut dan menengok. Yang bicara itu adalah seorang gadis yang berwajah cantik manis, berpakaian ringkas sederhana, namun wajahnya cerah dan sinar matanya lincah, mulutnya yang manis tersenyum mengejek ketika dia memandang kepada para kakek pengemis tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang tubuhnya tinggi tegap, wajahnya serius dan agaknya pemuda ini adalah adik dari dara itu. Dara itu tidak remaja lagi, tentu usianya sudah kurang lebih dua puluh lima tahun, sedangkan pemuda itu berusia antara dua puluh tiga tahun. Seperti juga si gadis, pemuda ini berpakaian ringkas sederhana tidak membawa senjata, dan kelihatannya seperti seorang pemuda petani biasa saja, hanya sepasang matanya yang tenang itu mengeluarkan sinar tajam mengejutkan.
Mendengar ucapan gadis itu, seorang tokoh pengemis tingkat tiga menjadi marah. Kakek pengemis tingkat tiga ini tadi secara diam-diam sudah memperhatikan gerakan dua orang yang bertempur melawan ketuanya itu dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian kedua orang itu belum begitu tinggi, bahkan dia sendiripun berani menghadapi seorang di antara mereka. Dia merasa penasaran mengapa ketuanya maju sendiri melayani segala macam lawan selemah itu, tidak mewakilkan kepada para tokoh yang lebih rendah tingkatnya. Kini, melihat gadis yang berani mengatakan bahwa mereka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa, dia menjadi marah sekali, menganggap kata-kata itu menghina. Kini dia memperoleh kesempatan untuk mewakili ketuanyan, mendahului ketuanya itu dia menegur, "Bocah bermulut lancang, mau apa kau buka mulut mencampuri urusan kami"
Gadis itu tersenyum dan melirik kepada pengemis tingkat tiga ini. "Aku telah mendengar dalam perjalanan bahwa kakek jembel dari Hwa-i Kai-pang ditandai tingkatnya dengan tumpukan buntalan di punggungnya. Agaknya yang lebih banyak tumpukan buntalannya berarti lebih pandai mengemis, dan kau ini mempunyai buntalan tiga. Lumayan juga kepandaianmu mengemis, akan tetapi kalau engkau mengemis kepadaku, aku tidak akan sudi memberi apa-apa karena wajahmu tidak menimbulkan iba seperti pengemis tulen!"
Pengemis tingkat tiga itu marah bukan main. Dia adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, yaitu bukan lain adalah Hek-bin Mo-kai, tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang berangasan itu. Dia dihina terang-terangan oleh gadis ini, maka dia menjadi marah sekali. Kulit tubuhnya yang lain, yang biasanya berwarna putih itu menjadi merah, sedangkan mukanya yang hitam menjadi makin hitam ketika dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Semua orang memandang tegang, bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng yang masih nanar itu juga memandang, tidak tahu siapa adanya wanita dan pria yang datang ini.
"Bocah lancang mulut! Kalau tidak ingat bahwa engkau seorang wanita muda yang lemah tentu kelancangan mulutmu itu akan kautebus mahal sekali!"
Gadis itu ternyata lincah den jenaka sekali. Dia tersenyum manis dan memandang kepada si muka hitam dengan sinar mata berseri-seri. "Ah, kaum pengemis agaknya mengenal harga juga, ya" Berapa mahalkah tebusan kelancanganku" Sebungkus sayuran sisa" Ataukah beberapa keping uang tembaga"
Bukan hanya Hek-bin Mo-kai yang marah, akan tetapi semua tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi marah sekali. Mereka telah berkali-kali mengalami penghinaan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, bahkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tiga itu, juga Lo-thian Sin-kai tokoh tingkat dua, telah tidak berhasil mengalahkan seorang wanita muda cantik. Kini muncul seorang wanita muda cantik lain yang datang-datang telah mengejek dan memandang rendah, tentu saja hati mereka menjadi panas sekali. Lebih-lebih Hek-bin Mo-kai yang memang berwatak berangasan. Dia pernah dikalahkan oleh Kim Hong Liu-nio. Kekalahan pahit sekali karena dia sebagai tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang tersohor, sampai kalah oleh seorang wanita muda! Sungguh merupakan suatu hal yang membikin merosot kebesaran namanya, bahkan mencemarkan namanya sebagai seorang tokoh. Maka kini, menghadapi seorang wanita muda lagi yang berani bersikap lancang dan memandang rendah, tentu saja dia menjadi marah bukan main.
"Perempuan kurang ajar dan lancang! Apakah kau bosan hidup" Siapakah engkau" bentaknya.
Akan tetapi gadis cantik itu tersenyum dan melirik ke arah Hwa-i Sin-kai yang sejak tadi hanya berdiri memandang, lalu dia, berkata, "Aku tidak ada waktu untuk bicara dengan segala macam jembel rendahan. Eh, engkau kakek pengemis yang tidak menggendong buntalan, agaknya engkau yang menjadi kepala di sini. Benarkah"
Melihat sikap gadis itu bicara seperti itu kepada ketua mereka, semua pengemis menjadi makin marah, akan tetapi Hwa-i Sin-kai mengangkat tangan kirinya ke atas dan semua suara bising dari para pengemispun terhenti sama sekali. Suasana menjadi hening dan menegangkan, sedangkan Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng hanya memandang dengan heran.
"Nona, benar dugaanmu bahwa aku adalah pangcu dari Hwa-i Kai-pang. Nona siapakah dan..."
"Pangcu, anggap saja aku dan adikku ini adalah orang-orang yang kebetulan lewat di sini dan menyaksikan perbuatan yang tidak bagus dari Hwa-i Kai-pang! Engkau adalah ketua kai-pang dari perkumpulan pengemis yang sudah tersohor di daerah ini, yang menurut kabar adalah sebuah perkumpulan pengemis terbesar. Akan tetapi melihat betapa seorang pangcu yang besar menghina dua orang muda yang tidak berdaya, sungguh merupakan kenyataan yang sebaliknya, bahwa Hwa-i Kai-pang hanyalah merupakan sekumpulan jembel yang suka meghina orang di belakang layar, akan tetapi di atas panggung pura-pura mohon belas kasihan orang dengan mengemis!"
Kembali terdengar suara berisik ketika para pengemis itu menjadi marah mendengar ucapan ini, akan tetapi pangcu itu mengangkat tangan dan semua pengemis itu menjadi diam. Pangcu ini bukan orang sembarangan dan berbeda dengan para pembantu dan anak buahnya, dia yang berpemandangan tajam dapat mengenal bahwa pemuda dan gadis yang datang ini bukan orang-orang muda sembarangan maka berani bersikap seperti itu. Jangan-jangan mereka ini, seperti juga Kim Hong Liu-nio, adalah orang-orang muda sakti yang diutus oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengacau, pikirnya.
"Nona muda, mengambil kesimpulan dan mengeluarkan pendapat atas sesuatu hal yang belum diselidiki lebih dulu keadaannya merupakan tindakan yang amat ceroboh. Ketahuilah bahwa dua orang muda ini datang sendiri ke sini untuk menantang dan mengacau. Setelah mereka manantang kami dan aku maju memenuhi permintaan mereka sehingga terjadi pertandingan ini, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kami menghina mereka" Kaulihat sendiri tadi, bukankah mereka berdua yang mengeroyok aku seorang tua"
Gadis itu agaknya tidak dapat membantah hal ini. Memang tadi dia melihat betapa kakek ini dikeroyok dua, hanya saja tingkat kepandaian dua orang muda itu jauh sekali di bawah tingkat kakek ini sehingga jangankan baru dikeroyok oleh mereka berdua, biar ditambah lagi sepuluh orang yang tingkat kepandaiannya seperti kedua orang muda itupun tak mungkin akan dapat menandingi kakek itu. Maka dia lalu menoleh dan memandang kepada Kwi Eng sambil tersenyum.
"Enci yang baik, mengapa kalian berdua yang belum memiliki kepandaian berani menandingi ketua jembel ini dan mencari celaka sendiri" Pertanyaan itu lebih menyerupai teguran dan Kwi Beng yang sejak tadi sudah melihat dan mendengarkan dengan hati panas, menjadi makin penasaran. Dalam percakapan itu dia merasa betapa dia dan adiknya amat direndahkan orang, dan diapun memiliki keangkuhan, dia tidak mengharapkan bantuan siapapun juga dalam urusan pribadi ini, apalagi karena dia sama sekali tidak mengenal dara yang cantik dan pemuda yang pendiam itu.
"Kami tidak membutuhkan bantuan siapapun! Hayo, tua bangka kejam, lanjutkan pertempuran kita tadi, kami tidak akan berhenti sebelum nyawa kami putus!" Dan Kwi Beng sudah menyerang lagi dengan nekat, mengirim pukulan dari jurus It-goat Sin-ciang yang cukup dahsyat.
"Wuuuuuttt... plak!" Betapapun dahsyatnya pukulan itu, akan tetapi karena tenaga sin-kangnya jauh di bawah tingkat kakek itu, maka sekali tangkis saja, ketua yang lihai itu kembali membuat tubuh Kwi Beng terguling!
Pemuda yang nekat ini sudah bergerak lagi, kini melakukan penyerangan dengan Ilmu Totok It-ci-san, yaitu kedua tangannya mengeluarkan jari telunjuk untuk menotok jalan darah lawan. Akan tetapi, kembali kakek itu meggerakkan tangan kirinya, menangkis den mendorong dan tubuh Kwi Beng terjungkal, kini terbanting agak keras sehingga ketika bangkit kembali terhuyung-huyung! Melihat ini, Kwi Eng bergerak hendak menerjang, akan tetapi gadis cantik itu sudah memegang lengannya.
"Enci, tidak ada perlunya membunuh diri! Dan orang muda ini benar-benar amat gagah, akan tetapi keberanian yang hanya nekat den membabi-buta, dipakai tanpa perhitungan sudah bukan merupakan kegagahan lagi melainkan merupakan suatu ketololan! Mundurlah kau, orang muda yang berhati baja!"
"Nona, suamiku telah dibunuh mati tanpa kesalahan oleh ketua para jembel ini. Apakah kau menganggapnya tidak benar kalau aku dan kakakku ini mengadu nyawa untuk membalas dendam" Kwi Eng berusaha melepaskan tangannya yang dipegang, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa betapa lengannya yang dipegang oleh gadis cantik itu sama sekali tidak dapat dia gerakkan, apalagi hendak melepaskan diri dari pegangan itu.
Mendengar ini, sepasang mata gadis cantik itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dia memandang kepada Hwa-i Sin-kai, sedangkan pemuda pendiam yang diakuinya sebagai adiknya tadi kinipun memandang kepada kakek pengemis itu dengan alis berkerut.
"Ah, kiranya begitukah" Pangcu, kau tadi mengatakan bahwa dua orang saudara ini datang untuk menantang dan mengacau, akan tetapi engkau sama sekali tidak mengatakan mengapa mereka berbuat demikian. Kalau engkau telah membunuh suami enci ini secara sewenang-wenang, tidak mengherankan kalau mereka kini datang untuk membelas dendam. Dan engkau mengandalkan kepandaian silatmu yang tidak seberapa itu, apakah kau juga ingin membunuh mereka ini"
Mendengar ucapan yang memandang rendah kepada ketuanya itu, Hek-bin Mo-kai tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Bocah lancang dan kurang ajar, engkau benar-benar bosan hidup! Pangcu, ijinkan aku menghajarnya!" Dan tanpa menanti ijin dari ketuanya, Hek-bin Mo-kai sudah menggerakkan tongkatnya menotok ke arah leher gadis cantik itu dengan kecepatan yang luar biasa sekali sehingga tongkatnya mengeluarkan bunyi mengiuk.
Kwi Beng adalah seorang pemuda yang berwatak gagah. Biarpun keadaan dirinya sudah babak-belur dan luka-luka, namun melihat gadis yang datang untuk membela dia dan adiknya itu diserang secara demikian hebatnya dan dia lihat berada dalam bahaya, maka dia lalu meloncat dan memapaki serangan kakek pengemis bermuka hitam itu untuk melindungi gadis yang diserangnya.
"Wuuuuttt... plakkk... desss!" Kakek bermuka hitam ini terhuyung ke belakang dan hampir saja Kwi Beng terbanting kalau saja lengannya tidak cepat disambar oleh gadis cantik itu. Tadi ketika dia menerjang dan memapaki tongkat yang menyerang gadis itu, dia memang berhasil menangkisnya, akan tetapi tangkisan tangannya itu membuat lengannya terasa nyeri bukan main dan tongkat yang tadinya menyerang gadis itu dan tertangkis, kini membalik dan dengan kemarahan meluap, pengemis bermuka hitam itu meluncurkan ujung tongkatnya menusuk ke arah dada Kwi Beng. Akan tetapi pada saat itu, gadis yang ditolong oleh Kwi Beng menggerakkan tangannya mendorong dan kakek bermuka hitam itu terhuyung ke belakang sedangkan Kwi Beng yang juga terhuyung dan hampir terbanting itu diselamatkan oleh tangan kecil halus yang telah menangkap lengannya.
"Saudara Souw Kwi Beng, tenanglah, dan serahkan jembel-jembel ini kepadaku." Tiba-tiba gadis itu berkata halus.
Kwi Beng terkejut bukan main dan membelalakkan mata, memandang tajam. Memang tadi dia merasa seperti mengenal gadis ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana dan dalam keadaan marah dan sedang berhadapan dengan ketua kai-pang itu, dia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan gadis ini. Sekarang, setelah dia memandang dengan penuh perhatian, barulah dia teringat.
"Adik Mei Lan...!" katanya meragu, seperti bertanya apakah benar gadis ini adalah Mei Lan, gadis cilik yang pernah dijumpainya sebelas tahun yang lalu, ketika gadis itu berusia empat belas tahun dan ketika itupun gadis ini pernah menolongnya, yaitu ketika dia, Tio Sun dan yang lain-lain sedang berada di Lembah Naga dan tertawan oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li beserta anak buah mereka (baca cerita Dewi Maut).
Gadis cantik itu memandang kepadanya, tersenyum dan mengangguk membenarkan. Memang gadis itu adalah Yap Mei Lan, puteri tunggal dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Dewi Maut telah dituturkan bagaimana Mei Lan sampai berpisah dari ayahnya. Yap Mei Lan adalah puteri tunggal dari Yap Kun Liong bersama isterinya yang bernama Pek Hong Ing. Akan tetapi, sesungguhnya ibu kandung Mei Lan bukanlah Pek Hong Ing, melainkan seorang wanita bernama Liem Hui Sian. Rahasia ini tidak diketahui oleh Mei Lan yang menganggap Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya. Pada suatu hari, dalam percekcokan mulut antara Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai, dan Pek Hong Ing, Mei Lan mendengar akan rahasia itu dan larilah dia meninggalkan rumah ibunya itu. Dalam pelariannya karena kecewa dan berduka ini, bertemulah dia dengan kakek sakti Bun Hoat Tosu dan menjadi murid kakek sakti yang sudah tua renta itu. Kemudian, ketika kakek Bun Hoat Tosu meninggal dunia, dia "dioperkan" oleh kakek itu kepada seorang kakek lain yang sakti dan aneh, yaitu Kok Beng Lama sehingga dia menjadi murid Kok Beng Lama yang telah ditinggali ilmu-ilmu oleh Bun Hoat Tosu untuk disampaikan kepada Mei Lan sesuai dengan "taruhan" antara dua orang kakek sakti ini ketika mereka berdua bertanding catur! Demikianlah, Mei Lan lalu menjadi murid Kok Beng Lama bersama pemuda pendiam itu yang bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai. Semua ini telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut.
Selama sebelas tahun lebih, Mei Lan dan Lie Seng pergi meninggalkan keluarga dan dunia ramai, dibawa oleh Kok Beng Lama ke Pegunungan Himalaya di dunia barat, di mana kedua orang anak ini digembleng oleh kakek sakti itu. Karena mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, maka kedua orang muda itu kini menjadi orang-orang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali, hampir semua kepandaian Kok Beng Lama diwarisi oleh mereka, demikian pula ilmu-ilmu yang paling hebat dari Bun Hoat Tosu telah mereka warisi melalui Kok Beng Lama. Mereka berdua baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya karena guru mereka menyatakan bahwa tiba saatnya bagi mereka untuk turun gunung dan mencari keluarga mereka. Dan secara kebetulan, mereka melihat ribut-ribut di dalam hutan itu lalu cepat menghampiri. Tentu saja begitu melihat Kwi Beng, Mei Lan segera teringat kepada pemuda ini. Tidak sukar untuk mengenal Kwi Beng, pemuda yang tampan, gagah dan juga memiliki ciri-ciri khas pada mata dan rambutnya. Maka, tentu saja tanpa diminta, Mei Lan lalu turun tangan membantu Kwi Beng dan Kwi Eng yang belum dikenalnya, akan tetapi melihat persamaan antara wanita ini dengan Kwi Beng, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah saudara kembar dari Kwi Beng, seperti yang pernah didengarnya dahulu.
Setelah Kwi Beng kini mendapat kenyataan bahwa gadis cantik itu adalah Yap Mei Lan, puteri dari pendekar sakti Yap Kun Liong, tentu saja dia menjadi girang sekali dan tentu saja dia tidak lagi merasa enggan dibantu, karena Yap Mei Lan bukanlah "orang luar", maka cepat dia berkata, "Adik Mei Lan, jembel tua bangka itu telah membunuh iparku, suami dari adikku yang bernam Tio Sun!"
"Apa..." Mei Lan terkejut bukan main. Tentu saja dia masih ingat kepada Tio Sun, pendekar yang gagah perkasa, yang dahulu pernah menyerbu di Lembah Naga bersama Kwi Beng dan juga telah tertawan di Lembah Naga. Jadi, Tio Sun telah menjadi suami adik kembar dari Kwi Beng dan Tio Sun telah terbunuh oleh ketua Hwa-i Kai-pang" Tentu saja berita ini membuatnya terkejut bukan main.
"Pangcu, benarkan apa yang dikatakan oleh sahabatku itu" Bahwa engkau telah membunuh seorang pendekar seperti Tio Sun" Mei Lan bertanya sambil melangkah maju mendekati ketua Hwa-i Kai-pang itu.
Ketua Hwa-i Kai-pang menegakkan kepalanya dan sambil memandang tajam dia menjewab, "Mendiang Tio-taihiap mencari kematiannya sendiri. Kami bermusuhan dengan seorang iblis betina di rumah Panglima Lee Siang, akan tetapi dia membela iblis betina itu sehingga bentrok dengan kami. Dalam pertempuran antara dia dan kami, dia kalah dan tewas, sama sekali kami tidak bermaksud membunuhnya karena antara dia dan kami tidak ada permusuhan apa-apa."
Mei Lan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar berita tentang pengaruh Hwa-i Kai-pang yang tentu saja menjadi agak sewenang-wenang, seperti dimiliki oleh semua golongan yang berpengaruh dan ditakuti. Akan tetapi kalau memang Tio Sun tewas dalam pertandingan yang adil, maka tewas dalam pertandingan merupakan hal yang lumrah bagi seorang pendekar. Betapapun juga, dia sudah mengenal siapa Tio Sun, seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, maka andaikata terdapat perselisihan faham antara pendekar itu dengan para pengemis ini, sudah dapat dipastikan bahwa para pengemis inilah yang bersalah. Betapapun juga, dia harus membela Kwi Beng!
Tiba-tiba Lie Seng, pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang sejak tadi diam saja, menyentuh lengan Mei Lan sambil berkatap "Lan-ci, biarkan aku bicara sebentar dengan dia." Mei Lan memandang heran karena adik seperguruannya ini jarang sekali mau bicara kalau tidak penting, maka kini tentu mempunyai alasan kuat untuk bicara. Dia mengangguk.
LIE SENG yang bersikap tenang sekali itu melangkah maju, memandang kepada kakek yang bertubuh pendek kurus itu, lalu berkata, "Pangcu, aku pernah mendengar banwa pangcu adalah seorang kenalan baik dari ketua Cin-ling-pai. Benarkah itu"
Sepasang mata pangcu itu terbelalak. "Tentu saja! Bahkan kami telah berbutang budi kepada Cia-locianpwe, pangcu dari Cin-ling-pai. Orang muda, mengapa engkau bertanya demikian"
"Ketahuilah bahwa aku adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai."
"Ahh...!"
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan itu saja, akan tetapi mendiang Tio Sun yang kaubunuh itupun merupakan sahabat baik dari kakekku. Mendiang Tio Sun terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah dan budiman, oleh karena itu, sungguh amat mengherankan mengapa engkau, yang mengaku kenal dengan kakekku sampai membunuhnya!"
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku sendiri masih bingung memikirkan. Ketika aku menantang wanita iblis itu, yang kutantang tidak muncul, sebaliknya yang muncul adalah Tio-taihiap, dan kami memang bertanding, akan tetapi sebelum aku menyentuhnya, dia telah roboh dan tewas..."
"Jembel sombong! Engkau terlalu menghina suamiku! Suamiku tidak selemah itu!" Kwi Eng berteriak. "Mari kita mengadu nyawa, aku tidak akan berhenti sebelum dapat membalas kematian suamiku!"
Hwa-i Sin-kai adalah seorang pangcu, maka karena sejak tadi orang-orang muda itu menghinanya, dia menjadi marah juga. "Aku sudah bicara, dan bagaimanapun juga, tidak kusangkal bahwa aku telah bertanding melawan Tio Sun dan dia roboh dan tewas dalam pertandingan itu. Sekarang, aku siap mempertanggungjawabkan perbuatanku dan kalau ada yang hendak menuntut balas, tentu saja akan kulayani dengan baik!"
"Bagus!" Mei lan berseru. "Kalau begitu, dengarlah baik-baik, pangcu dari Hwa-i Kai-pang. Aku datang mewakili keluarga Tio untuk menuntut balas. Majulah dan mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di mana kelihaian orang yang suka mengandalkan kepandaian untuk menghina dan membunuh orang lain yang tidak berdosa."
"Kalian bocah-bocah yang sombong dan tidak tahu diri!" Hek-bin Mo-kai yang sejak tadi sudah menahan kemarahannya itu kini membentak dan meloncat ke depan. "Siapa sih yang takut kepada kalian" Jelas bahwa orang she Tio itu bersalah kepada ketua kami dan kalau dia mampus, hal itu adalah kesalahannya sendiri. Kalau kalian mau menuntut balas, atau mau mengikutinya pergi ke neraka, majulah!"
Dengan sikapnya yang galak, pengemis bermuka hitam tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang itu telah berdiri di depan Mei Lan, dengan tongkatnya melintang di depan dadanya, matanya kemerahan dan mukanya makin hitam karena marah. Mei Lan sudah ingin menandinginya, akan tetapi Lie Seng melangkah maju dan berkata, "Suci, biarlah aku menghadapinya."
Mei Lan mengangguk dan melangkah mundur. Lie Seng lalu mendekati pengemis muka hitam itu dan dengan kedua tangan kosong pemuda ini berdiri seenaknya, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding. "Mulailah, lo-kai!"
Hek-bin Mo-kai yang sudah marah itu ingin sekali membersihkan mukanya dan menebus kekalahan-kekalahan yang pernah dideritanya, maka kini dia tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menggerakkan tongkatnya dan menerjang dengan dahsyatnya, menghantamkan ujung tongkatnya itu ke arah kepala pemuda yang tenang itu. Gerakannya demikian dahsyat sehingga tongkat itu mengeluarkan suara dan angin menyambar ke arah Lie Seng sebelum tongkatnya tiba.
Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng kini sudah berdiri di pinggir sambil menonton dengan hati tegang. Mereka berdua melihat betapa tongkat itu menyambar dahsyat dan kelihatan pemuda itu masih enak-enak saja sampai tongkat sudah menyambar dekat sekali dengan kepalanya.
"Wuuuttt...!" Sedikit saja Lie Seng miringkan kepalanya dan tongkat itu menyambar luput. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai terkejut. Pemuda ini tenang bukan main dan gerakannya yang hanya sedikit sekali itu, namun cukup berhasil, membuktikan bahwa pemuda itu benar-benar seorang ahli silat tingkat tinggi.
Makin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, makin tenanglah gerakannya karena dia tidak lagi mempergunakan kembangan-kembangan gerakan yang tidak ada gunanya, dan setiap gerakannya telah diperhitungkan dengan masak-masak sehingga setiap gerakan selalu mendatangkan hasil.
"Sambutlah ini!" Hek-bin Mo-kai membentak dan kini tongkatnya diputar cepat sehingga lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan bagaikan ombak samudra, sinar bergulung-gulung ini menyerbu ke arah Lie Seng.
Namun pemuda ini tidak menjadi bingung menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia tidak terpengaruh oleh sinar yang bergulung-gulung itu, melainkan memandang tajam dan dia dapat melihat di mana tongkat bersembunyi di dalam serangan itu. Dia tidak memperdulikan bayangan tongkat yang banyak dan membentuk gulungan sinar, melainkan memandang ke arah tongkat yang dapat dia ikuti gerakannya, maka ketika tongkat itu menusuk ke arah lambungnya, dia menggeser kaki dan miringkan tubuh sehingga tongkat lewat di dekat lambungnya, kemudian secepat kilat menyambar, tangan kirinya yang dibuka membacok dari atas ke arah tongkat lawan itu.
"Krakkkk!" Tongkat itu patah menjadi dua potong! Wajah hitam dari Hek-bin Mo-kai menjadi agak pucat, matanya terbelalak memandang tongkat di tangannya yang tinggal sepotong, sedangkan telapak tangannya berdarah! Tak pernah dia dapat membayangkan betapa tongkatnya yang dianggapnya sebagai senjata pusaka itu dapat dipatahkan lawan hanya dengan hantaman telapak tangan miring! Padahal, senjata tajampun tidak akan mampu mematahkannya. Kekagetan dan keheranannya berubah menjadi kemarahan dan sambil mengeluarkan suara gerengan, dia menubruk lagi dengan tongkat sepotong. Tongkat yang menjadi pendek itu menghantam kepala, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Serangan maut!
"Plak! Desss... bruuukkk!" Cepat sekali terjadinya hal itu. Serangan kakek muka hitam itu disambut dengan elakan dan tangkisan yang dilanjutkan dengan cengkeraman pada tengkuk kakek itu dan sekali dia membuat gerakan melemparkan, tubuh Hek-bin Mo-kai terlempar sampai jauh, tidak kurang dari sepuluh meter dan terbanting di atas tanah! Semua orang memandang bengong, karena tidak mengira bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Hek-bin Mo-kai sedemikian mudahnya. Akan tetapi, Hek-bin Mo-kai yang terbanting itu tidak mengalami luka berat, hanya agak nanar saja dan pinggulnya terasa nyeri. Dia cepat meloncat berdiri dengan muka yang makin hitam, dan pada saat temannya, Tiat-ciang Sin-kai, juga tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang, menerjang maju dengan tongkatnya menyerang Lie Seng, dia sendiripun sudah lari menghampiri dan membantu temannya ini mengeroyok Lie Seng!
"Jembel-jembel busuk! Pengecut yang main keroyok!" Kwi Beng memaki-maki melihat betapa Lie Seng yang bertangan kosong itu dikeroyok dua, dan dia sudah maju hendak membantu. Akan tetapi, Mei Lan mencegahnya.
"Biarkan saja, saudara Souw. Sute tidak akan kalah."
Dan memang apa yang dikatakan oleh Mei Lan ini merupakan kenyataan. Lie Seng masih tetap tenang saja, berdiri tanpa bergerak, bahkan tidak memasang kuda-kuda karena dia berdiri tegak dengan kedua tangan tergantung di kanan kirinya, hanya matanya saja dengan tajam memandang kepada dua orang pengemis tua yang sudah datang menyerangnya dari kanan kiri itu. Tiat-ciang Sin-kai maklum akan kelihaian pemuda yang dengan mudah mengalahkan temannya itu, maka kini dia menyerang dengan tongkatnya di tangan kanan, ditusukkan ke arah dada lawan sedangkan tangan kirinya yang ampuh dan keras seperti besi sehingga dia mendapat julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi), telah menyambar pula dengan pukulan dahsyat ke arah pelipis kanan lawan. Dan pada saat itu pula, Hek-bin Mo-kai yang sudah menyambar sebatang tongkat dari seorang pengemis yang berada di dekatnya, telah menyerang pula sambil menggerakkan tongkatnya dengan jurus dari Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat. Tongkatnya membentuk lingkaran-lingkaran.
Seperti tadi, Lie Seng hanya bergerak sedikit saja dan serangan Tiat-ciang Sin-kai telah dapat dielakkan, sedangkan serangan si muka hitam itu dibiarkannya saja, hanya setelah dekat, sekali pemuda itu menggerakkan kakinya, dia telah meloncat dan tubuhnya lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya itu! Dua orang kakek pengemis itu terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar saja, pemuda itu telah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang. Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka sudah menjadi marah sekali. Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak, melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting seperti disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan tendangan yang amat cepat itu!
Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, menjadi marah sekali. "Bocah sombong, sambut ini!" bentaknya dan dia menyerang dengan tangan kirinya yang menampar keras. Tamparan ini bukanlah tamparan biasa, melainkan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang sehingga mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya amat ampuh. Melihat ini, Lie Seng tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis.
"Dukkk!" Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dia hampir terpelanting kalau saja dia tidak cepat menggunakan tongkatnya ditekan di atas tanah sehingga dia dapat memulihkan keseimbangan tubuhnya. Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek tingkat tiga itu sudah bangkit kembali. Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat, sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju. Kini Lie Seng dikeroyok tiga! Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja dan Mei Lan juga masih menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kai-pang, akan tetapi ternyata kini pangcu itu diam saja dan membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Oleh karena itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa itu.
"Seorang gagah selalu mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya, akan tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti Hwa-i Kai-pang ternyata berlindung kepada anak buahnya!"
Merahlah wajah ketua Hwa-i Kai-pang mendengar ucapan ini. Memang sejak tadi dia sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena diapun ingin melihat sampai di mana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang saudara kembar yang nekat itu. Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie Seng dan selagi dia melihat tiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu, kini gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia lalu melangkah maju.
"Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu"
Mei Lan tersenyum. "Bagus, sudah kutunggu-tunggu ini, pangcu. Nah, aku sudah siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!"
"Sambutlah, gadis sombong!" Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei Lan terkejut juga dan cepat mengelak.
"Trakk!" Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran hawa pukulan tongkat itu!
Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka diapun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada. Memang Hwa-i Sin-kai, ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya kalah, maka begitu menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan sin-kangnya sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin pukulan yang amat ganas. Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan dahsyat. Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng melongo penuh kekaguman. Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap tubuhnya dan berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw-sin-ciang yang mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh, untuk membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Namun, gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang yang dingin sekali, nampak uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap pertemuan tangan.
Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang merupakan seorang datuk ilmu silat di dunia kang-ouw. Namanya dikenal luas oleh semua jago-jago silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) amat terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang. Lebih lagi ilmu pukulannya yang disebut Ta-houw-sin-ciang itu, diberi nama demikian karena kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor harimau yang menjadi pecah kepalanya! Ta-houw-sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti Pemukul Harimau) digerakkan dengan sin-kang yang mengandung hawa dingin menusuk tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan, Hwa-i Sin-kai merasa marah sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya.
Pendekar Pengejar Nyawa 5 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Bayangan Setan 2
"Cia-taihiap dan Yap-taihiap entah berada di mana, akan tetapi aku tahu di mana tinggalnya Tio Sun. Akan tetapi, moi-moi, bagaimana mungkin engkau dapat melawan mereka itu, terutama Cia-taihiap dan Yap-taihiap" Mereka amat sakti! Bahkan kabarnya mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, subomu itu sendiri, tidak mampu menandingi Cia Bun Houw taihiap!"
Kim Hong Liu-nio mengangguk dengan tenang. "Akan tetapi subo telah membekali aku dengan ilmu yang khas untuk menghadapi mereka itu, ciangkun."
"Moi-moi, kenapa engkau masih menyebutku ciangkun"
Kim Hong Liu-nio yang tadinya sudah bersikap dingin ketika membicarakan musuh-musuhnya, kini tersenyum dan wajahnya menjadi hangat kembali. Dia merangkul panglima itu dan berkata manja, "Koko yang baik, kau bantulah aku. Di mana mereka tinggal" Kalau aku dapat membunuh mereka, tentu tidak ada halangan bagi kita..."
Lee Siang mencium mulut dengan dagu yang bertahi lalat manis itu. Sejenak mereka tenggelam ke dalam keasyikan gelora nafsu mereka, kemudian teringat akan sumpah itu, Lee Siang menarik napas dan melepaskan rangkulannya yang hanya akan menambah gelora gairahnya yang akhirnya toh tidak akan dapat tercurahkan dan hanya akan mendatangkan kekecewaan belaka.
"Di mana adanya Cia-taihiap tidak ada yang tahu, akan tetapi aku dapat menyebar penyelidik-penyelidik, moi-moi. Kalau Tio Sun, tadinya dia tinggal di Yen-tai, di bekas rumah mertuanya, akan tetapi sudah tiga bulan ini dia dan keluarganya pindah ke kota raja."
"Di sini" Kim Hong Liu-nio memandang wajah kekasihnya dengan berseri. "Bagus sekali, di mana" Biar aku ke sana sekarang juga."
"Jangan tergesa-gesa...!"
"Mengapa tidak" Biar berkurang satu tiga orang musuh besar subo itu, tinggal mencari yang dua lagi."
"Moi-moi, Tio Sun adalah putera dari mendiang Ban-kin-kwi, seorang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya dan kabarnya Tio Sun bahkan tidak kalah lihai oleh ayahnya itu. Juga isterinya memiliki kepandaian tinggi. Apa kau merasa yakin bahwa kau akan mampu menandinginya"
Kim Hong Liu-nio mengangguk.
"Tapi, jangan sekarang. Biar malam ini kau beristirahat di sini, besok saja kau pergi mencari dia." Lee Siang tetap menahannya. "Moi-moi, kalau kau pergi aku khawatir sekali..." Panglima yang sudah kegilaan itu merangkul lagi. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mendorongnya agak keras dan sebelum panglima itu lenyap rasa kagetnya, wanita itu telah meloncat ke pintu kamar itu dan mendorongnya terbuka. Akan tetapi tidak nampak siapa-siapa di situ, hanya nampak sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap di pintu kamar itu, masih tergetar dan di bawah pisau itu terdapat sehelai surat. Kim Hong Liu-nio mencabut pisau itu dan membawa pisau dan surat ke dalam kamar kembali.
"Dari... dari mana pisau itu" tanya Lee Siang.
"Dilemparkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, berikut suratnya," jawab Kim Hong Liu-nio dengan tenang. Lee Siang adalah seorang panglima pengawal yang juga memiliki kepandaian, maka dia menjadi marah sekali.
"Biar kukejar dia, kusiapkan pengawal-pengawal!"
"Percuma, koko. Dia sudah pergi jauh. Dia telah melemparkan pisau itu dengan tenaga sin-kang yang amat tinggi sehingga pisau itu bisa mencari sasarannya sendiri ke pintu ini, orangnya tentu berada di atas genteng dan sekarang sudah pergi jauh."
Akan tetapi Lee Siang merasa penasaran. Belum pernah rumahnya ada yang berani ganggu, maka dia lalu berlari keluar, hanya dipandang saja oleh wanita itu sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio tidak mengikuti kekasihnya, hanya membuka kertas berlipat itu yang ternyata adalah sehelai surat.
Tak lama kemudian Lee Siang sudah masuk kembali dengan alis berkerut dan wajah penasaran. "Engkau benar, moi-moi, tidak ada tanda sedikitpun juga. Eh, surat apakah itu"
Kim Hong Liu-nio sudah membaca surat itu dan dengan tenang dia menyerahkan sehelai surat itu kepada Lee Siang yang segera membacanya di bawah penerangan lampu dalam kamar itu.
Kim Hong Liu-nio,
Kalau dalam waktu tiga hari engkau belum datang ke hutan pertama di sebelah utara pintu gerbang kota raja untuk bertanding satu lawan satu dengan aku, terpaksa aku akan datang mengunjungimu di gedung Lee-ciangkun pada malam ke empat.
Hwa-i Kai-pangcu
"Ahhh...! Sungguh berani dia!" Lee Siang berseru sambil mengepal tinju dan meremas surat itu. "Akan kukerahkan pasukan untuk..."
"Jangan, koko. Lihat, dia menantangku secara gagah untuk bertanding satu lawan satu. Kalau engkau mengerahkan pasukan, bukankah sama halnya dengan aku menjadi takut dan hendak bersembunyi di balik keangkeran pasukanmu" Sungguh mencemarkan namaku kalau begitu, koko."
"Habis, bagaimana"
"Besok pagi-pagi aku akan pergi ke hutan untuk membunuhnya!"
"Kaukira siapa dia itu" Ketua kai-pang itu amat lihai!"
"Aku tidak takut."
Tiba-tiba Lee Siang memandang kekasihnya dengan wajah berseri. "Ah" Kenapa tidak" Dia akan datang ke sini pada malam ke empat. Bagus, kita adu domba mereka dan engkau akan dapat melenyapkan seorang musuh besarmu tanpa menimbulkan keributan." Dengan girang panglima itu lalu merangkul kekasihnya dan hendak menciumnya.
"Nanti dulu, koko." Kim Hong Liu-nio mengelak. "Katakan dulu apa maksudmu"
"Begini, moi-moi," panglima itu menuntun kekasihnya dan mereka kembali duduk berdampingan di tepi pembaringan. "Aku akan mengundang Tio Sun untuk membantuku. Kukatakan bahwa aku diancam oleh seorang penjahat lihai. Dan kalau pada malam ke empat itu pangcu itu datang, biarlah dia bertanding melawan Tio Sun. Nah, di situ kau turun tangan membunuh musuh subomu itu. Kemudian kita menyiarkan bahwa Tio Sun terbunuh oleh Hwa-i Kai-pang. Bukankan itu baik sekali, berarti sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat"
Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Aih, ternyata engkau hebat dan pandai bersiasat koko."
Demikianlah, semalam suntuk dua orang laki-laki dan wanita yang sudah lebih dari dewasa ini seperti pengantin baru di dalam kamar itu, hanya mereka tidak melampaui garis yang akan mengakibatkan lenyapnya tahi lalat di dagu wanita itu. Bagaikan api yang diberi umpan, nafsu yang ditahan-tahan akan menjadi makin berkobar ganas. Dan orang yang sudah dicengkeram nafsunya sendiri akan menjadi seperti buta. Lee Siang, seorang panglima pengawal istana yang selalu menjunjung kegagahan, karena cengkeraman nafsunya, kini hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyingkirkan penghalang-penghalang agar dia dapat segera memiliki wanita itu menjadi isterinya, dan dalam usaha menyingkirkan penghalang-penghalang ini tentu saja dia tidak lagi memperhitungkan baik buruknya! Orang yang mabok akan keinginan mengejar sesuatu, mana mungkin ada yang mau memperdulikan baik buruk dari caranya mengejar untuk memperoleh itu"
*** Tio Sun adalah seorang pendekar yang tidak terkenal karena memang pendekar ini tidak pernah menonjolkan dirinya dan semenjak dia menikah dengan isterinya yang tercinta, dia tidak pernah mau mencampuri urusan kang-ouw sehingga namanya tidak begitu menonjol dan tidak dikenal umum, kecuali hanya oleh orang-orang kang-ouw tertentu saja.
Padahal, Tio Sun adalah seorang pendekar yang lihai sekali. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun, melihat pakaiannya yang sederhana dan dia suka dengan warna kuning, orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, jagoan istana yang pernah menjulang tinggi namanya. Tio Sun bukan seorang pria yang tampan, akan tetapi dia memiliki sifat gagah dan jantan, pendiam, halus budi, berhati mulia, bersikap tegas dan jujur. Kedua matanya yang sipit itu seperti orang yang mengantuk selalu, akan tetapi dari balik mata sipit itu bersinar pandang mata yang tajam dan penuh kewaspadaan.
Sudah kurang lebih sebelas tahun pendekar ini menikah dengan Souw Kwi Eng, seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang memiliki kecantikan yang khas, karena Souw Kwi Eng ini seorang gadis peranakan, ibunya pribumi dan ayahnya seorang asing, yaitu seorang berbangsa Portugis yang bernama Yuan De Gama. Souw Kwi Eng ini juga mempunyai nama Portugis, yaitu Maria De Gama.
Para pembaca cerita Si Dewi Maut tentu sudah mengenal baik suami isteri Tio Sun dan Souw Kwi Eng ini, karena keduanya juga merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita Si Dewi Maut itu. Seperti telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut, Souw Kwi Eng adalah seorang anak kembar, yaitu dengan saudaranya atau kakaknya yang bernama Souw Kwi Beng alias Ricardo De Gama.
Karena ayah mertuanya adalah seorang pedagang yang kaya, sedangkan dia sendiri sudah sebatangkara, maka setelah menikah, Tio Sun tinggal di kota Yen-tai di pelabuhan Po-hai di mana ayah mertuanya tinggal dan di situ dia membantu pekerjaan ayahnya bersama iparnya, yaitu Souw Kwi Beng. Dia tinggal di Yen-tai dengan tentram dan hidup saling mencinta dengan istrinya, sampai anak tunggal mereka lahir dua tahun setelah mereka menikah. Tentu saja kelahiran Tio Pek Lian, anak perempuan mereka itu, makin membahagiakan suami isteri itu, bahkan anak ini amat disayang oleh kakek dan neneknya, juga oleh pamannya yang tinggal serumah.
Kemudian, setelah Tio Pek Lian berusia sembilan tahun, terjadilah perubahan. Yuan De Gama bersama isterinya, yaitu bekas pendekar wanita Souw Li Hwa yang menjadi murid dari panglima sakti The Hoo yang merasa sudah tua dan rindu kepada tanah airnya di Eropa, lalu mengajak isterinya itu untuk pulang ke Portugis. Semua pekerjaan ditinggalkan kepada Souw Kwi Beng yang tetap tinggal di Yen-tai. Kemudian, perdagangan itu membutuhkan perwakilan di kota raja, maka Tio Sun dan isteri serta puterinya lalu pindah ke kota raja sebagai cabang dari perusahaan iparnya di Yen-tai itu.
Demikianlah, tanpa banyak ribut dan tanpa diketahui orang, Tio Sun pendekar putera mendiang seorang jagoan istana itu kini tinggal di kota raja dengan diam-diam, bersama dengan isterinya dan puterinya yang telah berusia sembilan tahun. Di kota raja Tio Sun membuka toko dan menjual dagangan-dagangan yang didatangkan dari luar negeri oleh iparnya di Yen-tai. Hidupnya cukup tentram dan suami isteri ini mulai mendidik puteri mereka dengan ilmu silat karena selain Tio Sun sendiri adalah seorang pendekar yang pandai, juga isterinya, Souw Kwi Eng, adalah seorang pendekar wanita yang lihai pula. Tentu saja di samping pendidikan ilmu silat, Tio Sun tidak melupakan pendidikan ilmu baca tulis kepada puterinya, sedangkan Souw Kwi Eng juga tidak melupakan untuk memberi pelajaran segala macam kepandaian puteri kepada Pek Lian.
Segala sesuatu berjalan lancar dan keluarga ini sama sekali tidak mengira bahwa perpindahan mereka dari Yen-tai ke kota raja itu diam-diam diketahui oleh para tokoh di istana, termasuk pula Panglima Lee Siang. Betapapun juga, nama mendiang ayah Tio Sun, yaitu Ban-kin-kwi (Iblis Selaksa Kati) Tio Hok Gwan, terlampau terkenal untuk melewatkan putera tunggalnya begitu saja. Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan adalah pembantu yang dipercaya oleh mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu tentu saja biarpun dia sudah tidak ada, namun puteranya masih diperhatikan oleh para tokoh di istana, sungguhpun pendekar ini tidak diganggu karena dia telah menjadi seorang pedagang.
Baru tiga bulan semenjak Tio Sun pindah ke kota raja, pada suatu pagi muncullah Panglima Lee Siang yang berpakaian seperti penduduk biasa ke rumah pendekar ini. Tio Sun tidak mengenal Lee Siang, maka dia memandang heran ketika tamu itu memperkenalkan diri sebagai panglima pengawal Lee Siang!
Sebagai seorang yang sopan dan ramah, Tio Sun lalu mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu. Setelah saling memberi hormat dan duduk berhadapan, Lee Siang lalu berkata, "Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang bukan sebagai panglima pengawal istana, melainkan sebagai seorang sahabat yang amat menghormat dan mengagumi mendiang ayah taihiap."
Tio Sun merasa seperti pernah mengepal wajah itu, maka dia lalu teringat kepada Panglima Lee Cin, juga Panglima Kim-i-kwi dari istana. "Maafkan saya, akan tetapi rasanya saya belum pernah berkenalan dengan ciangkun."
"Nama saya Lee Siang..."
"Ah, apakah masih ada hubungan dengan Panglima Lee Cin"
"Lee Cin adalah kakak saya."
"Ahh...!" Tio Sun tersenyum girang. "Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa saya menerima kunjungan dari Lee-ciangkun. Tidak tahu ada urusan apakah yang membawa ciangkun datang ke tempat kami ini"
"Sekali lagi maaf, taihiap. Kedatanganku ini hanya mengganggu saja, akan tetapi karena saya sudah merasa putus asa dan gelisah sekali, maka mendengar bahwa taihiap kini tinggal di kota raja, maka saya teringat akan mendiang ayah taihiap yang berjiwa pendekar dan selalu menolong siapa saja yang sedang menghadapi kesukaran. Karena saya sedang terancam bahaya mohon pertolongan taihiap untuk menyelamatkan saya."
Tio Sun tersenyum tenang, menganggap omongan itu seperti kelakar saja. "Aih, Lee-ciangkun, harap jangan main-main. Ciangkun adalah seorang Panglima Kim-i-wi siapakah yang berani main-main dengan ciangkun" Bagaimana mungkin keselamatan ciangkun terancam bahaya sedangkan ciangkun menguasai pasukan Kim-i-wi yang terkenal kuat"
Lee Siang menarik napas panjang. "Itulah susahnya, taihiap. Karena saya seorang panglima, maka saya tidak mau membawa-bawa nama Kim-i-wi, karena kalau hal itu diketahui oleh sri baginda kaisar, tentu saya akan mendapat hukuman. Urusan ini adalah urusan pribadi, maka saya datang kepada taihiap juga dengan pakaian preman, sebagai Lee Siang yang pernah mengagumi ayah taihiap dan yang hendak minta tolong kepadamu, bukan sebagai seorang Panglima Kim-i-wi."
Karena Lee Siang menyebut-nyebut nama mendiang ayahnya, dan mengingat bahwa panglima ini adalah adik dari Panglima Lee Cin yang dikenalnya dan dihormatinya, maka Tio Sun lalu berkata, "Harap ciangkun ceritakan apakah sebenarnya urusan itu" Mungkin tanpa bantuanku juga engkau akan dapat membereskannya."
"Urusan ini adalah urusan pribadi, yang mula-mulanya timbul dari urusan seorang wanita, taihiap. Karena itulah maka saya tidak berani memberitahukan orang lain, karena malu, dan apalagi kalau harus menggunakan Kim-i-wi! Mungkin taihiap sudah mendengar tentang seorang pangeran putera dari sri baginda kaisar dari utara yang baru saja datang bersama seorang wanita pengawalnya dan yang telah menyelamatkan kaisar dari pengkhianatan, bukan"
Tio Sun tersenyum. Dia sudah mendengar akan hal itu dan dia tahu pula siapa pangeran itu. Siapa lagi kalau bukan putera Ratu Khamila di utara" Dahulu, bersama Souw Kwi Beng yang belum menjadi iparnya, dia pernah pergi ke utara dan menjadi tamu dari Sabutai, dan dia telah bertemu Ratu Khamila yang minta dia menyampaikan pesan ratu cantik itu setelah menjenguk puteranya, agar diberitakan kepada kaisar bahwa puteranya itu mempunyai tahi lalat merah di sebelah kanan pusarnya (baca cerita Si Dewi Maut). Tentu saja dia sudah menduga bahwa putera Ratu Khamila itu adalah keturunan kaisar ketika kaisar ditawan dahulu. Dan kini, putera kaisar itu sudah hampir dewasa, malah bersama pengawal wanitanya yang kabarnya lihai itu telah menyelamatkan kaisar, ayah kandungnya.
"Saya sudah mendengar tentang itu, Lee-ciangkun."
Lee Siang menarik napas panjang. Mudah bicara dengan pendekar ini yang pendiam akan tetapi penuh pengertian.
"Nah, wanita itu bernama Kim Hong Liu-nio, pengawal dari sang pangeran. Sebelum menghadap ke istana, Kim Hong Liu-nio telah salah faham dengan Hwa-i Kai-pang sehingga terjadi pertempuran dan fihak Hwa-i Kai-pang kalah. Akan tetapi, fihak Hwa-i Kai-pang tidak menerima kekalahan itu dan ketika Kim Hong Liu-nio hendak keluar kota raja, dia dikepung dan dikeroyok. Untung saya datang dan saya melerai mereka, lalu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ke rumah saya. Dan kami... eh, mungkin taihiap belum mendengar bahwa sudah beberapa lama saya hidup menduda setelah isteri saya meninggal tanpa mempunyai keturunan. Saya dan Kim Hong Liu-nio... eh, kami saling tertarik dan saya bertekad melindunginya dari ancaman Hwa-i Kai-pang."
Tio Sun mengangguk-angguk. Panglima ini biarpun usianya sudah kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi masih tampan gagah dan duda, berkedudukan baik pula, maka tidaklah mengherankan kalau panglima ini main asmara dengan seorang wanita. "Lalu apa hubungannya semua itu dengan saya, ciangkun"
"Beberapa hari yang lalu, kami menerima surat ini, dilempar dengan pisau yang menancap di pintu kamar saya." Lee Siang mengeluarkan sehelai surat itu dan menyerahkannya kepada Tio Sun.
Pendekar itu dengan tenang membacanya. Itu adalah surat tantangan yang ditulis oleh Hwa-i Kai-pangcu dan ditujukan kepada Kim Hong Liu-nio itu. Setelah membaca surat tantangan itu dan maklum bahwa malam nanti adalah malam ke empat yang dimaksudkan itu, Tio Sun mengerutkan alisnya dan memandang wajah panglima itu dengan tajam menyelidik.
"Saya masih belum mengerti apa hubungannya surat tantangan itu dengan saya, Lee-ciangkun."
"Saya gelisah sekali, taihiap. Saya tidak ingin dia... dia yang saya harapkan menjadi isteri saya... melakukan sesuatu yang menggegerkan kota raja. Dan terutama sekali saya khawatir kalau dia celaka, karena saya mendengar bahwa ketua Hwa-i Kai-pang adalah seorang yang amat lihai."
"Ciangkun, saya sudah mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio, pengawal pangeran dari utara itu berkepandaian tinggi apalagi yang perlu dikhawatirkan"
"Saya takut kalau-kalau dia celaka dalam pertemuan itu, dan andaikata dia menang dan ketua Hwa-i Kai-pang yang tewas, juga tentu hal itu menimbulkan geger. Maka saya telah mencegah dia pergi keluar kota raja, dan saya lalu teringat kepadamu dan tergesa-gesa saya mohon pertolonganmu, taihiap."
"Hemm, apakah yang dapat saya lakukan dalam urusan permusuhan pribadi ini" tanya Tio Sun. Tentu saja dia tidak dapat membantu satu fihak karena dia tidak tahu urusannya. Dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh sekali, dan belum pernah terdengar melakukan kejahatan-kejahatan di kota raja, sungguhpun di kalangan kang-ouw juga tidak mempunyai nama yang harum. Sebaliknya, dia tidak kenal sama sekali kepada wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, dan kalau hanya karena wanita itu adalah kekasih Lee Siang lalu dia membantu wanita itu, sungguh hal ini sama sekali tidak mungkin.
"Begini, taihiap. Saya hanya mohon kepada taihiap sudilah kiranya menerima kedatangan ketua Hwa-i Kai-pang itu dan mendamaikan. Mungkin melihat taihiap, apalagi kalau tahu bahwa taihiap adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, saya percaya bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu mau menyudahi saja urusan permusuhan yang tak berarti itu."
Tio Sun mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Permintaan itu sudah sepatutnya. Tiba-tiba dia tertarik dan sebagai orang penengah tentu saja dia tidak berkeberatan, akan tetapi sebagai penengah dia harus mengetahui pula apakah yang menimbulkan permusuhan itu. "Mengapa Kim Hong Liu-nio sampai bermusuhan dengan Hwa-i Kai-pang"
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini, Lee Siang agak terkejut juga. Akan tetapi urusan ini memang sebelumnya telah dia rencanakan, maka untuk itu diapun sudah menyediakan jawabannya. Dia menarik napas panjang dan kemudian berkata, "Aahh, sesungguhnya hanya urusan sepele saja, taihiap. Dan bersumber kepada pangeran dari utara itu. Terjadinya di kota Huai-lai ketika Kim Hong Liu-nio mengantarkan Pangeran Ceng Han Houw ke kota raja. Di kota itu, mereka bertemu dengan seorang pengemis kotor yang minta sedekah ketika mereka sedang makan di restoran. Pangeran Ceng Han Houw merasa jijik melihat pengemis yang kakinya luka dan dirubung lalat itu, maka Kim Hong Liunio lalu mengusirnya. Akan tetapi ternyata pengemis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian dan dia malah mengeluarkan kata-kata menghina sehingga terjadilah pertempuran antara mereka. Dan engkau tahu, taihiap, jika dua orang yang memiliki ilmu silat sudah bertanding dengan marah, maka tentu seorang di antaranya menjadi korban. Pengemis itu roboh dan tewas. Kim Hong Liu-nio lalu mengajak sang pangeran cepat-cepat ke kota raja, mengira bahwa urusan itu sudah tidak berekor lagi karena pengemis itu tidak memakai pakaian sebagai anggauta Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi ternyata ada tiga orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang mengejar dan membikin ribut, minta kepada Kim Hong Liu-nio untuk menyerahkan tangannya. Terjadilah lagi pertempuran dan tiga orang pengemis itu dapat diusir. Lalu panjanglah akibatnya sampai wanita itu dikepung di luar kota raja dan saya kebetulan lewat lalu melerai. Nah, itulah sebabnya sehingga kini ketuanya mengirim surat tantangan itu."
Tio Sun menarik napas panjang. Biasa sudah, urusan orang kang-ouw yang semua didasari keangkuhan, tidak mau saling mengalah, mengandalkan kepandaian, lalu kalau sudah ada yang menjadi korban, timbul dendam dan balas-membalas! Betapa dia sudah bosan dengan semua itu dan karena itu pulalah maka dia dan isterinya, biarpun keduanya merupakan pendekar-pendekar lihai, semenjak menikah sudah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kang-ouw.
Melihat pendekar itu termenung, Panglima Lee Siang cepat berkata, "Bagaimana, taihiap" Harap taihiap sudi menaruh kasihan kepada kami dan sudi menolong kami."
"Lee-ciangkun, sebenarnya hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan saya, akan tetapi kalau hanya menjadi orang penengah saja, tentu saya tidak keberatan. Akan tetapi, bagaimana kalau dia, ketua Hwa-i Kai-pang itu, tidak mau didamaikan"
"Kalau begitu, terserah kepada mereka berdua, hanya saya harap taihiap sudi melindungi saya karena siapa tahu ketua pengemis itu, kalau-kalau mendendam pula kepada saya yang menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ketika dikeroyok. Saya tidak mungkin dapat menggunakan pasukan untuk urusan pribadi ini, taihiap. Dan pula... saya minta dengan hormat sudilah kiranya taihiap merahasiakan urusan pribadi saya dengan Kim Hong Liu-nio! Saya tidak ingin didesas-desuskan, sesungguhnya saya mengharapkan dia menjadi calon isteri saya kelak."
Tio Sun tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, ciangkun."
Lee Siang cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam, sehingga Tio Sun juga segera membalasnya. "Terima kasih, Tio-taihiap, terima kasih. Saya harap setelah lewat senja taihiap benar-benar datang ke gedung saya, dan kepada hujin (nyonya) sekalipun, harap taihiap jangan menceritakan urusan pribadi saya itu. Saya malu..."
"Saya mengerti, ciangkun. Nanti begitu malam tiba, saya mengunjungi ciangkun."
Panglima itu lalu berpamit dengan wajah girang, dan Tio Sun lalu masuk ke dalam rumahnya. Isteri dan puterinya menyambutnya dan Tio Sun lalu memondong puterinya yang sudah berusia sembilan tahun itu. Pek Lian tertawa girang dan isterinya mengomel, "Ih, anak sudah begini besar dipondong, bikin dia tambah manja saja!"
"Ah, Pek Lian tidak manja, ya" Ayah menggendong karena sayang, bukan memanjakan!"
Pek Lian mengangguk-angguk dan mengerling kepada ibunya. "Aku tidak minta dipondong, ibu. Ayah sendiri yang memondongku, apa tidak boleh"
Dikeroyok dua begini, Souw Kwi Eng atau nyonya Tio Sun itu tersenyum saja, lalu dia bertanya, "Siapa sih orang tadi" Kulihat dia bukan seorang pedagang langganan atau kenalan kita, akan tetapi kalian bicara demikian serius!"
"Oh, dia" Dia adalah Panglima Lee Siang, adik dari Panglima Kim-i-wi Lee Cin. Masih ingatkah kau kepada Panglima Lee Cin"
"Ah, Panglima" Kenapa dia berpakaian preman, dan apa pula maksudnya mengunjungi kita" Kwi Eng bertanya dengan curiga. Selama ini mereka hanya mengurus perdagangan, kenapa ada Panglima Kim-i-wi mengunjungi suaminya dan bicara demikian serius"
Diam-diam Tio Sun memasukkan surat tantangan yang tadi lupa tidak dibawa pergi oleh Lee Siang dan masih digenggamnya itu ke dalam saku bajunya tanpa sepengetahuan isterinya, kemudian sambil duduk memangku Pek Lian dia berkata, "Dia datang minta tolong kepadaku untuk mendamaikan urusan. Dia mempunyai sedikit salah paham dengan ketua Hwa-i Kai-pang dan minta kepadaku untuk mendamaikan urusan itu."
"Ketua Hwa-i Kai-pang" Ihh, perkumpulan itu tidak berbau harum. Suamiku, urusan apakah yang perlu kaudamaikan itu"
Tio Sun sudah menduga bahwa tentu isterinya akan mendesak terus, dan tidak ada gunanya bagi dia untuk berbohong. Maka dia lalu menceritakan urusan itu, yaitu betapa ketua Hwa-i Kai-pang merasa tidak senang karena Panglima Lee Siang telah menolong seorang musuh Hwa-i Kai-pang ketika para pengemis di luar pintu gerbang. Dan kini ketua Hwa-i Kai-ipang mengancam, maka Panglima Lee Siang yang tidak ingin menimbulkan keributan lalu minta kepada dia untuk menjadi orang penengah.
"Mengapa justeru kau yang dimintainya tolong" Bukankah dia itu panglima dan banyak mengenal orang pandai di sini"
"Dia adalah pengagum mendiang ayah. Maklumlah sama-sama panglima pengawal. Kukira tidak ada jahatnya kalau hanya menjadi penengah saja, isteriku. Urusan kecil ini tidak perlu kaukhawatirkan." hatinya lega karena isterinya tidak tertarik tentang orang yang dikeroyok oleh para pengemis dan yang menjadi biang keladi urusan itu.
Setelah mandi, tukar pakaian dan makan malam, Tio Sun lalu berpamit kepada isterinya dan dengan tenang dia lalu pergi ke rumah gedung Panglima Lee Siang yang mudah saja ditemukannya di antara rumah-rumah para pembesar istana. Rumah itu sunyi saja dan lampu-lampu telah menyambut datangnya malam.
Panglima Lee Siang sendiri menyambut kedatangannya dan agaknya memang panglima itu telah menanti di rumah depan. Dari wajahnya nampak betapa panglima itu sedang gelisah dan begitu menyambut Tio Sun, dia lalu menggandeng tangan pendekar itu dan diajaknya masuk ke dalam, langsung memasuki sebuah ruangan yang agaknya sengaja dikosongkan, dan di situ hanya terdapat sebuah meja dengan dua bangku untuk mereka berdua. Ketika Lee Siang menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan, Tio Sun cepat mencegah dengan mengatakan bahwa dia sudah makam malam sebetum berangkat. Panglima Lee Siang lalu menyuruh pelayannya mengambilkan dua cawan dan seguci arak.
"Ah, hati saya lega bukan main, Tio-taihiap!" kata panglima itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dengan tangan gemetar.
Melihat ini, Tio Sun yang bersikap tenang itu tersenyum menghibur,"Tenanglah, ciangkun, mengapa gelisah" Bukankah kita akan menawarkan perdamaian dan bukan hendak menyambut orang dengan kekerasan" Akan tetapi sunyi benar gedungmu ini"
"Saya sengaja menyuruh para pelayan menyingkir agar percakapan kita nanti tidak sampai terdengar orang. Akan tetapi jangan khawatir, diam-diam saya sudah mempersiapkan pasukan pengawal, kalau-kalau tamu kita nanti menggunakan kekerasan. Akan tetapi talhiap berjanji akan melindungi saya, bukan"
Tio Sun mengangguk dan menerima cawan arak yang disuguhkan tuan rumah, lalu meminumnya. "Saya kira tidak perlu, karena saya yakin ketua itu tidak akan menggunakan kekerasan kepadamu, ciangkun. Akan tetapi... eh, mana dia wanita pengawal dari utara itu" Bukankah dia yang dicari"
"Ah, saya suruh dia bersembunyi dulu, taihiap. Kalau melihat dia, salah-salah urusan menjadi panas dan sukar didamaikan. Kalau sudah buntu jalan, barulah dia akan muncul. Sebaiknya tidak mempertemukan dulu dua orang yang saling marah dan mendendam, bukan"
Tio Sun mengangguk, setuju. Lee Siang yang kelihatan selalu gelisah itu lalu hendak menutupi kegelisahannya dengan membicarakan urusan dahulu, di waktu Tio Sun masih terjun di dunia kang-ouw, bersama-sama dengan pendekar-pendekar sakti seperti Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong, dan yang lain-lain. Secara cerdik dan sepintas lalu seolah-olah tidak sengaja dan hanya ingin mengisi waktu yang menegangkan itu dengan percakapan, Lee Siang mencari keterangan tentang pendekar-pendekar yang lainnya itu. Mula-mula dia menanyakan tentang pendekar tua Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Kemudian dia dengan hati-hati menanyaka di mana adanya putera ketua Cin-ling-pai itu, yaitu pendekar Cia Bun Houw dan pendekar Yap Kun Liong!
"Setahu saya, Yap Kun Liong taihiap tinggal di Leng-kok, akan tetapi tentang Cia-taihiap, entah dia berada di mana. Semenjak kembali dari utara, dia menghilang bersama Yap In Hong lihiap, entah mereka berada di mana."
Diam-diam giranglah hati Lee Siang karena dia sudah mendapat keterangan di mana adanya Yap Kun Liong, seorang di antara musuh-musuh yang harus dibasmi oleh kekasihnya! Dan pada saat itu, Tio Sun menaruh telunjuk di depan bibirnya nambil memasang telinga dan matanya yang sipit itu seperti terpejam, seluruh panca inderanya ditujukan ke atas karena pendengarannya yang terlatih dan lebih tajam daripada pendengaran tuan rumah itu menangkap suara yang tidak wajar.
Wajah Lee Siang menjadi pucat. Jelas bahwa dia kelihatan gelisah sekali! Diam-diam Tio Sun merasa heran mengapa tuan rumah ini, adik dari Panglima Lee Cin yang gagah berani, juga seorang Panglima Kim-i-wi, ternyata demikian kecil nyalinya! Dan pada saat itu, terdengarlah suara dari atas, suara yang jelas sekali akan tetapi perlahan, seolah-olah orangnya yang bicara itu berada dekat di dalam kamar itu! Seperti setan tidak kelihatan yang bicara! Akan tetapi Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa orang itu telah menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu ilmu khi-kang, dengan tenaga sakti di dalam pusar telah mendorong keluar suara menjadi getaran yang mampu menempuh jarak jauh biarpun hanya diucapkan dengan lirih!
"Kim Hong Liu-nio, keluarlah dan jangan bersembunyi di balik perlindungan seorang panglima!"
Tio Sun mengerutkan alisnya. Dari suaranya saja sudah dapat diduga bahwa orang yang mengeluarkan suara itu adalah seorang yang tinggi hati, angkuh dan merasa tidak perlu menghormati seorang panglima istana! Bahkan ada nada mengejek di dalam suara itu terhadap Lee-ciangkun tanpa menyebut nama! Akan tetapi dia diam saja, menanti perkembangan lebih lanjut, karena bukankah tugasnya hanya melerai dan menengahi, kalau mungkin mendamaikan kedua fihak yang sedang bersengketa.
TIBA-TIBA terdengar Lee Siang berkata, suaranya cukup nyaring, tidak nampak lagi sisa ketegangan dan kegelisahannya yang tadi, "Apakah yang datang itu adalah Hwa-i Kai-pangcu" Suaranya nyaring dan sudah pasti terdengar oleh orang yang berada di atas.
Kembali terdengar suara lirih tadi, namun jelas sekali, penuh kewibawaan, "Kami adalah ketua Hwa-i Kai-pang, dan kami datang hanya untuk berurusan dengan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio!"
Sebelum Tio Sun dapat memikirkan harus berkata apa, kembali Lee Siang sudah berkata nyaring. "Pangcu, harap kau turun saja. Kami sudah menanti di ruangan ini! Marilah kita bicara!" Suara panglima itu kini terdengar keras, tegas dan galak, bahkan seperti orang menantang sehingga Tio Sun kembali merasa heran dan ketika dia mengerling, dia melihat panglima itu sama sekali tidak kelihatan takut lagi! Diam-diam dia merasa geli juga. Tadi sebelum orangnya datang panglima itu kelihatan begitu ketakutan, akan tetapi sekarang setelah orangnya datang dan telah mendemonstrasikan Ilmu Coan-im-jip-bit yang membayangkan kepandaian tinggi, panglima ini malah berkaok-kaok menantang! Sungguh tak tahu diri!
Akan tetapi dia tidak memperhatikan lagi kepada panglima itu karena seluruh perhatiannya dicurahkan untuk menangkap gerakan yang kini terdengar. Angin menyambar dan bagaikan seekor burung saja, berkelebatlah sesosok bayangan orang dan tahu-tahu di dalam ruangan itu telah berdiri seorang kakek. Aneh sekali kakek ini, terutama pakaiannya karena dia memakai pakaian baru yang penuh tambal-tambalan belang-bonteng dan berkembang-kembang, menyolok sekali. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Pakaiannya yang penuh tambalan itu masih baru, dan memang sengaja ditambal-tambal, juga sepatunya baru. Tubuhnya pendek kecil, rambutnya digelung ke atas dan mukanya seperti muka tikus karena selain kecil sempit juga agak meruncing ke depan, di bagian mulutnya merupakan ujungnya, dan sepasang matanya yang kecil itu tiada hentinya bergerak-gerak. Berbeda dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang lainnya yang menandai tingkat atau kedudukan mereka dalam perkumpulan itu dengan banyaknya buntalan di punggungnya, kakek ini sama sekali tidak menggendong buntalan. Justeru inilah tanda bahwa dia adalah tokoh nomor satu atau ketua dari Hwa-i Kai-pang! Dan seperti semua ketua Hwa-i Kai-pang, setelah menjadi ketua maka dia meninggalkan nama sendiri, dan hanya menggunakan nama Hwa-i Sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang). Usia kakek ini sudah enam puluh tahun lebih.
Sepasang mata yang liar dan amat tajam sinarnya itu hanya menyapu saja dua orang laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya, karena pandang mata itu mencari-cari di sekeliling ruangan itu, dan tanpa memperdulikan dua orang pria itu, bahkan seolah-olah menganggap mereka itu tidak ada, kakek ini berseru, "Kim Hong Liu-nio, keluarlah untuk mengadu kepandaian!"
Sikap ini memang angkuh sekali, dan diam-diam Tio Sun merasa menyesal mengapa seorang ketua perkumpulan sebesar Hwa-i Kai-pang bersikap demikian congkak. Lee Siang melangkah maju dengan sikap marah.
"Lo-kai (pengemis tua), betapa kurang ajarnya engkau! Rumah ini adalah rumahku, dan kau sama sekali tidak memandang mata kepada tuan rumah!"
Mendengar itu, pengemis tua itu memandang kepada Lee Siang dan alisnya berkerut, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. "Lee-ciangkun, kami tidak akan datang ke rumah ini kalau engkau tidak menyembunyikan Kim Hong Liu-nio di sini! Kami selamanya tidak pernah ada urusan dengan seorang Panglima Kim-i-wi, maka harap lekas kau suruh wanita iblis itu keluar, dan kami akan menganggap bahwa antara kami dan ciangkun tidak pernah ada urusan apa-apa!"
Lee Siang menjadi marah mendengar ucapan yang terus terang itu. "Kalau aku melarang kalian pengemis-pengemis jahat Hwa-i Kai-pang mengganggu Kim Hong Liu-nio yang menjadi penyelamat kaisar, engkau mau apa"
Pengemis yang bertubuh pendek kecil itu membusungkan dadanya dan berkata, "Kami selamanya tidak pernah menentang kaisar dan pasukan Kim-i-wi, akan tetapi kalau ciangkun melindungi wanita itu, berarti ciangkun secara pribadi memusuhi kami dan tentu kami tidak akan memandang pangkat ciangkun lagi!"
"Jembel tua busuk, kau sungguh kurang ajar. Kaukira aku takut kepadamu" Setelah berkata demikian, Lee Siang sudah menerjang maju dengan pedangnya yang memang sudah dia persiapkan lebih dulu! Dengan dahsyat panglima yang bertubuh tinggi tegap ini menyerang dan memang tenaganya besar, sehingga pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar kilat.
"Ciangkun, jangan...!" Tio Sun berseru kaget. Semua itu terjadi demikian cepatnya sehingga dia yang memang berwatak pendiam dan tidak pandai bicara, tidak sempat untuk melerai. Akan tetapi Lee Siang tidak memperdulikan atau tidak mendengar cegahannya itu karena panglima itu sudah menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah pengemis tua itu!
"Lee-ciangkun, jangan mencampuri urusan kami!" Pengemis itu membentak dan dengan mudah saja dia menghindarkan tusukan itu dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi Lee Siang sudah menggerakkan pedangnya yang luput menusuk tadi, disabetkan ke samping mengarah leher kakek itu! Dan pada saat itu juga kakinya juga bergerak menendang ke arah pusar lawan.
"Hemm, engkau terlalu sombong dan perlu diberi hajaran!" pengemis tua itu membentak, tongkatnya bergerak menangkis dan kakinya juga diangkat memapaki tendangan itu.
"Tranggg... dukk...!" Tubuh Lee Siang terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan. Dia mengaduh dan terpincang karena kakinya yang digares oleh kaki kecil pengemis itu terasa nyeri seperti dipukul dengan linggis besi saja! Akan tetapi, Lee Siang menjadi makin marah dan dia sudah menubruk ke depan, menyerang dengan kedua tangan kosong secara nekat!
Tio Sun maklum bahwa dia harus turun tangan, karena kalau tidak, panglima itu dapat terancam bahaya. Kakek pengemis itu lihai bukan main, dan juga ganas. Ketika Panglima Lee Siang menyerbu, kakek itu sudah menggerakkan tongkatnya, maksudnya hanya akan menotok roboh panglima itu. Akan tetapi Tio Sun mengira lain, menyangka bahwa kakek itu akan menurunkan tangan kejam, maka dia sudah menerjang ke depan dan menggunakan tangan untuk mencengkeram tongkat itu!
"Aihh...!" Hwa-i Sin-kai terkejut menyaksikan gerakan Tio Sun, apalagi dari tangan pendekar ini menyambar hawa yang amat kuat. Kakek pengemis ini menyangka bahwa tentu orang ini adalah pengawal pribadi Lee-ciangkun, maka diapun makin marah. Kiranya panglima ini sudah bersiap untuk menghalanginya menantang Kim Hong Liu-nio dan menerimanya dengan serangan-serangan. Dia sudah marah kepada Lee Siang ketika dilapori anak buahnya betapa Lee Siang telah menyelamatkan Kim Hong Liu-nio di luar pintu gerbang dan kini, melihat sendiri betapa panglima itu menyerangnya, bahkan dibantu oleh seorang pengawal lihai, kemarahannya memuncak dan tanpa bertanya lagi dia sudah menggerakkan tongkat yang akan dicengkeram itu, menariknya kembali dan tidak jadi menyerang Lee Siang melainkan menotok ke arah leher Tio Sun!
"Ahhh...!" Tio Sun terkejut sekali dan juga marah. Totokan ke arah lehernya itu adalah serangan maut yang mengarah nyawa! Betapa ganas dan kejamnya kakek pengemis ini! Dan memang Hwa-i Sin-kai bermaksud membunuh "pengawal" itu sungguhpun dia masih berpikir dua kali untuk melukai Panglima Lee secara parah.
Hwa-i Sin-kai juga terkejut sekali ketika melihat betapa pengawal itu menangkis tongkatnya dengan tangan kosong dan telah membuat tongkatnya menyeleweng dan luput! Inilah hebat, pikirnya! Jarang ada orang dapat menangkis tongkatnya dengan tangan kosong saja! Di lain fihak, Tio Sun juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat dia terdorong dan lengannya terasa nyeri bukan main, tanda bahwa kakek itu memang amat lihai.
"Bagus! Pengawal busuk, kau anjing penjilat pembesar, harus mampus!" bentak kakek itu sambil menggerakkan tongkatnya.
"Nanti dulu, pangcu! Aku tidak bermaksud memusuhimu..."
Akan tetapi dari samping, Lee Siang sudah menerjang lagi dengan marah, "Hantam dia, kakek jembel ini memang jahat!"
Melihat Lee Siang kembali terjungkal oleh tendangan kaki pengemis itu, Tio Sun menjadi marah.
"Tar-tar-tar!" Bunyi ledakan ini adalah ujung senjata dari pendekar ini, yaitu sabuk yang digerakkan seperti sebatang pecut dan dimainkan seperti orang memainkan joan-pian, dan tahu-tahu ujung cambuk ini sudah menotok ke arah tengkuk kakek pengemis itu.
"Bagus!" kakek itu berseru kaget dan juga kagum. Dia memang tahu bahwa di kota raja banyak pengawal pandai, akan tetapi tidak disangkanya dia akan bertemu dengan seorang pengawal sepandai ini di gedung Panglima Lee Siang. Tongkatnya cepat diputar menyambut dan dalam belasan jurus saja Tio Sun terdesak hebat! Kiranya kakek yang menjadi ketua Hwa-i Kai-pang itu memang luar biasa lihainya. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) sudah mencapai puncaknya sehingga tongkat itu lenyap bentuknya dan berubah menjadi lima gulungan sinar yang makin lama makin lebar, dan dari sinar gulungan itu kadang-kadang mencuat ujung tongkat yang menotok ke arah jalan darah yang berbahaya!
"Hebat...!" Tio Sun berseru kaget setelah baru saja dia terbebas dari totokan amat berbahaya. "Pangcu, tahan dulu..." Dia melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. "Aku tidak bermaksud memusuhimu, aku hanya datang untuk menjadi orang penengah!"
"Pengawal busuk, keluarkan kepandaianmu kalau memang kau lihai!" kata kakek pengemis itu yang salah duga melihat Tio Sun mencabut pedang pula di samping sabuknya yang lihai padahal pendekar itu mencabut pedang hanya untuk menjaga diri setelah terdesak hebat oleh tongkat yang amat lihai itu.
Tio Sun menjadi marah juga dan menggerakkan pedang menusuk setelah sabuknya menangkis dan berusaha melibat ujung tongkat.
"Prakkkk!" Tio Sun terkejut bukan main karena kakek itu menggunakan tangan kiri yang telanjang untuk menangkis pedangnya! Memang tadi kakek itu belum mengeluarkan ilmunya yang paling hebat, yaitu Ta-houw-sin-ciang-hoat (Tangan Sakti Pemukul Harimau), dan baru sekarang kakek itu menggunakan tangan saktinya untuk menangkis pedang dan terus memukul dan dari pukulannya itu menyambar angin dingin yang dahsyat.
Tio Sun mengeluarkan suara kaget, mengeluh dan terjengkang roboh dan tidak bergerak lagi! Kakek pengemis itu terkejut bukan main. Dia tadi sudah menduga bahwa Tio Sun tentu bukan pengawal, melainkan seorang sahabat dari panglima itu, maka dia ingin mencoba kepandaiannya dan merobohkan tanpa membunuhnya. Akan tetapi mengapa orang gagah itu kini roboh terjengkang dan tidak berkutik lagi" Dia memandang wajah orang itu dan makin terkejut mendapat kenyataan bahwa benar-benar orang gagah itu telah tewas! Padahal dia tahu benar bahwa pukulannya Ta-houw-sin-ciang-hoat tadi belum mengenai tubuh lawannya, hanya menangkis pedang saja!
"Tangkap pembunuh! Tangkap penjahat!" Tiba-tiba Lee Siang berteriak-teriak dan muncullah belasan orang pengawal dari segenap penjuru dan terutama sekali, secara tiba-tiba ada sinar merah panjang menyambar dan dalam sekali serangan saja ujung sinar merah itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sampai tujuh kali ke arah jalan darah maut di sebelah depan tubuh Hwa-i Sin-kai!
Kakek itu terkejut bukan main dan dia terdesak mundur, terpaksa memutar tongkatnya dan setelah menangkis tujuh totokan bertubi-tubi yang amat hebat itu, bahkan yang membuat tangannya tergetar keras, dia memandang dan melihat seorang wanita cantik jelita telah berdiri di depannya sambil memegang sehelai sabuk sutera merah!
"Kau Kim Hong Liu-nio!" bentak kakek itu.
Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Dan engkau tua bangka tak tahu diri, datang mengantarkan nyawa!" bentaknya halus dan kembali dia menerjang, kini dengan kedua tangan kosong sambil mengalungkan sabuknya di lehernya, seperti seorang penari yang sedang beraksi melakukan tarian yang amat indah.
"Bedebah kau!" Hwa-i Sin-kai membentak dan tongkatnya menyambar.
"Cring-cring-cringgg...!" Tiga kali tongkat itu bertemu dengan lengan halus yang memakai gelang, dan kakek pengemis itu makin terkejut merasa betapa tangkisan lengan halus itu membuat kedua tangannya sampai kesemutan, tanda bahwa wanita cantik ini benar-benar lihai sekali, cocok dengan laporan para anak buahnya. Pantas semua anak buahnya tidak ada yang sanggup menandingi wanita ini!
"Menyerahlah kau, pembunuh kejam!" Lee Siang membentak. "Engkau telah membunuh Tio Sun taihiap, putera dari mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Tangkap dia!"
Bukan main kagetnya Hwa-i Sin-kai mendengar disebutnya nama itu. Terbelalak dia memandang ke arah tubuh yang rebah terlentang tak bergerak dari Tio Sun itu, dan karena terkejut ini, hampir saja lambungnya kena dicengkeram oleh tangan yang halus dari wanita itu. Dia cepat meloncat ke belakang sambil mengelebatkan tongkatnya, dan dengan jantung tegang dia berkata, "Ah, tidak...!" Dan melihat semua pengawal mulai menerjangnya, dia maklum bahwa kalau dia melawan, biarpun belum tentu dia kalah walaupun di situ terdapat wanita yang amat lihai itu, namun dia tentu akan dicap sebagai pemberontak yang berani melawan pasukan pengawal! Maka sambil mengeluh panjang kakek itu lalu meloncat keluar dari ruangan itu, seperti terbang saja melalui atas kepala para pengawal yang mengepungnya, lalu berloncatan ke atas genteng dan melarikan diri dari tempat itu.
Lee Siang memerintahkan orang-orangnya mengejar, namun sia-sia saja karena gerakan pengemis tua itu amat cepat, sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata. Dia lalu memeriksa Tio Sun yang ternyata telah tewas! Maka dia lalu menyuruh para pengawal mengantarkan mayat itu pulang ke rumah keluarga Tio, sedangkan dia sendiri mengikuti dari belakang dengan wajah muram.
Dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati Souw Kwi Eng ketika melihat sebuah kereta dikawal oleh sepasukan pengawal berhenti di depan rumahnya, apalagi ketika melihat tamunya siang tadi, yang oleh suaminya dikatakan adalah Panglima Kim-i-wi Lee Siang, tiba-tiba memasuki rumahnya dan menjura di depannya sampai dalam sekali, penuh dengan tanda duka.
"Tio-hujin..." Suara Lee Siang terhenti oleh isak tertahan. "Saya datang membawa berita duka... Tio-taihiap..."
"Ada apa" Apa yang terjadi" Mana suamiku" Tiba-tiba Souw Kwi Eng bertanya dan matanya yang agak kebiruan itu memandang terbelalak, mencari-cari.
"Dia... dia... telah mati terbunuh orang... jenazahnya kami bawa dalam kereta..."
Terdengar jerit mengerikan dan nyonya muda itu terhuyung, lalu berlari menuju ke kereta, seperti orang gila dia merenggut tirai kereta terbuka dan melihat jenazah suaminya menggeletak tak bergerak di dalam kereta. Souw Kwi Eng kembali menjerit, jerit yang melengking nyaring menyayat hati. Dia menubruk jenazah itu, memeluki suaminya dan menangis tersedu-sedu!
Para pelayan berlarian dengan bingung dan ada yang sudah ikut menangis. Dari dalam rumah keluar Tio Pek Lian berlari-lari karena anak ini mendengar jerit ibunya yang mengejutkan itu. Ketika dia melihat ibunya menangis di kereta yang berhenti di halaman rumah, dia berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dari belakang, menarik-narik bajunya dan bertanya dengan suara ketakutan.
"Ibu, ada apakah, ibu..." Kenapa ibu menangis" Dia masih belum dapat melihat jenazah ayahnya karena pintu kereta itu terhalang oleh tubuh ibunya.
Mendengar suara anaknya, Souw Kwi Eng tersentak dan tertahan tangisnya, lalu perlahan dia memutar tubuh memandang anaknya melalui genangan air mata, kemudian dia menubruk anaknya dan merangkulnya. "Pek Lian, anakku... ah, ayahmu... ayahmu...!" Dan kalau saja dia tidak merasa bahwa ada anaknya dalam pelukannya tentu nyonya muda ini sudah roboh pingsan. Semua sudah kelihatan gelap dan berputar, cepat-cepat dia memejamkan mata dan menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya sehingga semuanya menjadi terang kembali.
"Ibu, ada apakah..." Ayah mengapa..." Lapat-lapat terdengar suara anaknya.
Souw Kwi Eng membuka mata. "Ayahmu" Ah, ayahmu... telah meninggal dunia, anakku..." Dia terisak, lalu membalik, memasuki kereta, dan pada saat itu Lee Siang dan para pengawal mendekati kereta dan hendak mengangkat jenazah itu. Akan tetapi Souw Kwi Eng melarangnya. "Biarkan aku yang mengangkatnya sendiri!"
Tenang sekali wanita itu. Air matanya masih bercucuran, dia masih terisak-isak, akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tubuh suaminya yang masih hangat itu, dipondongnya, lalu dia melangkah perlahan-lahan ke dalam rumah, diikuti oleh Pek Lian yang memandang pucat dan matanya terbelalak. Anak ini belum mengerti benar, bagaimanakah kematian itu dan mengapa ayahnya mati. Semua orang memandang dengan sinar mata diliputi keharuan dan kekaguman, jantung mereka seperti ditusuk-tusuk menyaksikan nyonya muda yang cantik itu memondong jenazah suaminya, melangkah satu-satu menuju ke dalam rumah dengan sikap penuh khidmat. Semua orang menundukkan muka ketika jenazah yang dipondongnya itu lewat di depan mereka.
Kwi Eng meletakkan jenazah itu di atas pembaringan di kamar suaminya dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, memeriksa suaminya. Tidak ada luka di tubuh suaminya, akan tetapi jelas bahwa suaminya telah tewas. Maka dia lalu memeluk dan menangis lagi, tangis mengguguk dan akhirnya nyonya muda ini tidak dapat menahan dirinya lalu terguling roboh pingsan di atas lantai.
Kwi Eng siuman mendengar tangis anaknya yang memanggil-manggilnya. Dia bangkit duduk dan ternyata dia telah diangkat oleh para pelayan di atas pembaringan. Dan ketika dia duduk, dia melihat jenazah suaminya rebah di atas pembaringan yang lain, maka kembali air matanya bercucuran.
"Ibu...!"
"Pek Lian...!" Dia merangkul anaknya dan mendekap kepala anaknya.
"Tio-hujin... kami sungguh menyesal sekali..."
Kwi Eng mengangkat mukanya mcmandang melalui air matanya. Lalu dia memondong puterinya, turun dari pembaringan dan memandang kepada Panglima Lee Siang yang berdiri dengan muka menunduk. Sampai beberapa lamanya Kwi Eng memandang panglima itu, air matanya turun perlahan ke atas sepasang pipinya yang pucat dan suasana dalam kamar itu hening, kecuali suara isak tertahan dari para pelayan yang semua menangis. Kemudian terdengar suara nyonya muda itu, suaranya menggetar dan parau, kadang-kadang tertahan isak. "Sekarang katakanlah, siapa yang membunuh suamiku" Siapa..." Pertanyaan itu, terutama kata terakhir itu mengandung ancaman hebat, mengandung dendam dan kemarahan yang terasa oleh semua orang hingga semua yang mendengarnya merasa bulu tengkuk mereka maremang.
Dengan muka pucat Lee Siang yang masih menunduk itu menjawab, "Yang membunuhnya adalah ketua dari Hwa-i Kai-pang."
"Ketua Hwa-i Kai-pang" Kwi Eng seolah-olah hendak menanamkan nama ini di dalam benaknya, kemudian dia bertanya lagi, perlahan. "Apa yang terjadi" Mengapa suamiku sampai terbunuh olehnya" Lalu dia teringat akan cerita suaminya, maka dia menambahkan, "Bukankah suamiku ke sana hanya untuk menjadi orang penengah"
Lee Siang menarik napas panjang. "Sesungguhnya begitulah. Akan tetapi, ketua Hwa-i Kai-pang itu mendesaknya, mereka bertanding, kami sudah berusaha membantu dengan pasukan pengawal, akan tetapi terlambat. Tio-taihiap... sudah roboh dan tewas, dan... sungguh menyesal sekali kami tidak mampu mencegahnya..."
"Dan ketua Hwa-i Kai-pang itu" Ke mana dia..."
"Dia melarikan diri, kami tidak mampu melawannya, tidak mampu menangkapnya."
Souw Kwi Eng menghampiri pembaringan suaminya, berlutut, dan menyentuh lengan suaminya. "Tenanglah, aku bersumpah untuk membalas kematianmu!" Lalu dia merangkul dan menangis lagi. Pek Lian juga menghampiri, dengan agak takut-takut memandang jenazah ayahnya, kemudian setelah memandang wajah ayahnya yang biasanya amat mencintanya itu, diapun menubruk ayahnya dan berteriak-teriak, "Ayahhh... ayaaaah..." Dan menangislah anak itu bersamanya.
Setelah mengucapkan keprihatinannya, maafnya dan hiburannya yang sama mekali tidak ada artinya, Panglima Lee Siang lalu berpamit dan meninggalkan rumah itu bersama para pengawalnya, naik kereta yang tadi dipakai untuk mengangkut jenazah Tio Sun.
Semalam itu Souw Kwi Eng dan anaknya menangisi jenazah suaminya, dan para pelayan dan pegawal sibuk mengurus keperluan sembahyang, peti mati dan sebagainya. Juga ada yang cepat-cepat malam itu juga pergi ke kota Yen-tai untuk memberi kabar kepada Souw Kwi Beng, kakak kembar dari nyonya Tio.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Souw Kwi Beng sudah berangkat meninggalkan rumahnya dengan hati penuh kedukaan ketika dia mendengar berita kematian iparnya itu. Dia membalapkan kudanya dan lewat tengah hari tibalah dia di kota raja dan langsung menuju ke rumah adiknya. Kakak beradik kembar ini berangkulan sambil menangis. Kwi Beng sedapat mungkin menghibur adiknya dan keduanya lalu berlutut di depan peti mati Tio Sun. Dia mendengarkan cerita adik kembarnya tentang kematian Tio Sun, sambil memangku keponakannya, Pek Lian yang sudah tidak menangis lagi. Memang hanya anak-anak saja yang mempunyai watak yang wajar, tidak terus menerus dicengkeram oleh suka maupun duka. Suka dan duka bagi anak-anak hanya merupakan peristiwa selewat saja, tidak seperti kita orang-orang dewasa yang paling suka menyimpan suka dan duka di dalam batin sampai berlarut-larut. Pek Lian hanya mulai menangis lagi kalau melihat ibunya, begitu berduka, melihat ibunya menangis. Akan tetapi dia belum begitu merasa kehilangan atas kematian ayahnya, dan memang batin anak-anak lebih bebas daripada batin orang dewasa yang sudah terikat oleh berbagai hal dan benda sehingga kalau sewaktu-waktu ikatan itu dicabut lepas, mendatangkan luka parah di dalam batin.
"Aku akan membantumu, Eng-moi. Aku akan membantumu menghadapi jambel-jembel busuk yang kejam itu!" berkali-kali Kwi Beng menghibur adiknya di depan peti mati adik iparnya.
*** Perkumpulan Hwa-i Kai-pang sebenarnya tidak mempunyai sarang tertentu karena para anggautanya berkeliaran dan tersebar di seluruh daerah kota raja dan seluruh Propinsi Ho-pak. Akan tetapi karena ketuanya yang sekarang, yaitu Hwa-i Sin-kai, memilih sebuah kuil tua di dalam hutan kecil di dekat pintu gerbang sebelah utara kota raja, maka tempat itu boleh dibilang menjadi sarang dari Hwa-i Kai-pang. Hal ini adalah karena para tokoh biasanya berkumpul di tempat tinggal ketuanya, maka hampir setiap hari di kuil tua yang dijadikan tempat tinggal Hwa-i Sin-kai itu ramai dikunjungi tokoh-tokoh dari perkumpulan itu, selain untuk melayani ketua mereka juga untuk membawa laporan-laporan mengenai perkumpulan mereka yang memiliki banyak anggauta yang tersebar luas itu. Tentu saja yang berdatangan ke tempat tinggal ketuanya hanyalah tokoh-tokoh kai-pang yang bertingkat yaitu yang bertingkat lima ke atas.
Setelah terjadi peristiwa permusuhan antara mereka dengan Kim Hong Liu-nio yang berkepanjangan, bahkan yang merambat kepada seorang tokoh Panglima Kim-i-wi, maka para tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi khawatir akan serbuan-serbuan, maka mereka mulai melakukan panjagaan dan mempergunakan kuil tua di dalam hutan itu sebagai tempat berkumpul dan bertahan.
Hwa-i Sin-kai merasa menyesal dan juga terkejut bukan main setelah terjadinya peristiwa kematian Tio Sun di dalam gedung Panglima Lee Siang itu. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa Tio Sun yang lihai itu adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan seorang panglima jagoan istana yang juga merupakan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw. Kalau dia tahu, sudah pasti dia tidak akan melawan orang muda itu sebagai musuh. Dia menyesal mengapa dia tidak lebih dahulu bicara dengan orang muda itu, dan sudah menuruti kemarahan yang ditimbulkan oleh Panglima Lee Siang. Den dia juga merasa heran mangapa orang muda yang segagah itu demiklan mudah tewas, hanya setelah dia mengeluarkan pukulan Ta-houw-sin-ciang, padahal menurut perasaannya, pukulannya itu belum mengenai tubuh lawan! Betapapun juga, ketua Hwa-i Kai-pang ini tidak merasa bersalah! Kalau putera Ban-kin-kwi itu sampai tewas dalam pertandingan melawan dia, maka hal itu adalah karena salahnya sendiri. Mengapa pula pendekar muda itu melindungi Lee Siang, panglima yang telah mencampuri urusan pribadi antara Hwa-i Kai-pang dan iblis betina Kim Hong Liu-nio" Dia sebagai ketua Hwa-i Kai-pang hanya mempunyal permusuhan pribadi dengan Kim Hong Liu-nio yang selain telah membunuh seorang anggauta pengemis juga telah menghina dan melukai beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang. Maka dia tidak merasa salah kalau sampai dia bentrok dengan orang-orang yang membela atau melindungi iblis betina itu, seperti halnya Lee Siang dan Tio Sun!
Akan tetapi beberapa hari semenjak terjadi peristiwa di rumah gedung Panglima Kim-i-wi itu, tidak terjadi apa-apa. Tidak ada pasukan Kim-i-wi yang menyerbu ke dalam hutan itu seperti yang dikhawatirkan oleh Hwa-i Sin-kai. Yang dikhawatirkan hanyalah campur tangan pemerintah, karena tentu saja kalau harus melawan pasukan pemerintah, Hwa-i Kai-pang tidak akan berdaya banyak, dan adalah berbahaya kalau sampai Hwa-i Kai-pang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah. Juga mata-mata yang disebar di dalam kota raja oleh Hwa-i Kai-pang memberi laporan bahwa tidak terjadi gerakan apa-apa di fihak pasukan Kim-i-wi. Hal ini melegakan hati ketua Hwa-i Kai-pang.
Akan tetapi suatu pagi, dua orang laki-laki dan wanita muda, yang mengenakan pakaian serba putih, pakaian orang yang sedang berkabung, berjalan dengan tenang dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara, memasuki hutan itu. Beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang diam-diam melakukan penjagaan, mengikuti gerak-gerik dua orang ini dengan penuh perhatian.
Keadaan dua orang laki-laki dan wanita itu memang amat menarik hati dan juga mencurigakan. Hanya pakaian dan gerak-gerik mereka saja yang membedakan satu sama lain, yang membuat orang dapat membedakan bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi selain perbedaan kelamin ini, wajah kedua orang itu benar-benar mirip satu sama lain, bahkan serupa! Wajah yang amat tampan dan amat cantik. Dan rambut mereka yang agak kekuning-kuningan, mata mereka yang agak kebiruan! Dua orang ini bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Ricardo de Gama dan adik kembarnya, Souw Kwi Eng atau Maria de Gama. Setelah mengurus pemakaman jenazah Tio Sun sampai beres, Kwi Eng lalu menitipkan puterinya pada para pelayan, kemudian dia mengajak kakak kembarnya untuk mencari sarang Hwa-i Kai-pang! Tidaklah sukar bagi mereka untuk menemukan sarang itu di dalam hutan di luar pintu gerbang utara dari kota raja, dan pada pagi hari itu, dengan hati penuh geram kakak beradik kembar ini menuju ke hutan itu dengan hati bulat untuk membalas dendam atas kematian Tio Sun kepada ketua Hwa-i Kai-pang!
Dengan cepat para tokoh pengemis itu memberi laporan kepada ketua mereka akan kedatangan dua orang muda itu, sedangkan Lo-thian Sin-kai, kakek pengemis kurus tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, cepat menghadang di tengah jalan sebelum kedua orang muda ini tiba di kuil tua. Kakek ini melintangkan tongkatnya di depan tubuhnya, memandang tajam dan segera berkata.
"Maafkan, dua orang muda yang gagah perkasa. Kami dari Hwa-i Kai-pang minta dengan hormat agar ji-wi sudi mengambil jalan lain kalau hendak melewati hutan ini."
Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng saling pandang, lalu Kwi Beng yang berkata kepada kakek pengemis yang dia tahu adalah tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat dua itu, melihat dari buntalan di atas punggungnya. Lalu Kwi Beng yang mewakili adiknya menjawab, "Memang kami berdua hendak memasuki sarang Hwa-i Kai-pang, mengapa harus mengambil jalan lain"
Mendengar jawaban ini, Lo-thian Sin-kai mengerutkan alisnya dan tiba-tiba saja tempat itu penuh dengan pengemis-pengemis dari tingkat lima sampai tingkat tiga, ada sepuluh orang banyaknya! Namun, dua orang muda itu tetap tenang saja, biarpun setiap urat syaraf di tubuh mereka sudah menegang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ahh, begitukah" Tiba-tiba suara kakek kurus itu berubah dan sinar matanya memandang penuh selidik. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita seperti kembar itu memang telah menunjukkan sikap mencurigakan, apalagi melihat betapa keduanya telah siap dengan senjata pedang di punggung, dan kantong hui-to, yaitu pisau-pisau kecil yang dipergunakan sebagai senjata rahasia, tergantung di pinggangnya masing-masing. Pendeknya, dua orang muda itu jelas memperlihatkan kesiapan orang yang hendak bertarung! Dan pakaian mereka adalah pakaian orang berkabung!
"Siapakah kalian berdua" Dan ada keperluan apakah kalian memasuki sarang Hwa-i Kai-pang"
Souw Kwi Beng memandang kepada kakek pengemis kurus itu. "Kami melihat bahwa engkau adalah seorang tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang. Ketahuilah bahwa kami datang bukan untuk berurusan dengan Hwa-i Kai-pang, melainkan dengan pancu dari perkumpulan kalian. Maka bawalah kami bertemu dengan dia, karena urusan kami adalah urusan pribadi dengan Hwa-i Kai-pangcu!"
Lo-thian Sin-kai memandang tajam dan menduga-duga siapa gerangan adanya kedua orang kembar ini! "Siapakah kalian berdua" Dan apa keperluan kalian mencari pangcu kami"
"Tidak akan kuberitahukan kepada siapapun, kecuali ketua Hwa-i Kai-pang si jahanam keparat!" Tiba-tiba Kwi Eng yang sudah tidak sabar lagi itu membentak dengan marah sekali.
"Ahh...!" Lo-thian Sin-kai memandang kepada nyonya muda itu dan kecurigaannya timbul. "Apakah toanio mempunyai hubungan dengan orang she Tio..."
"Jembel busuk! Orang she Tio yang dibunuh ketua kalian itu adalah suamiku, mengerti" Nah, ketuamu hutang nyawa kepadaku, harus membayarnya sekarang juga!" Sambil berkata demikian, Kwi Eng sudah mencabut pedangnya dengan gerakan cepat sehingga pedang itu mengeluarken sinar berkilauan. "Dan kalau pangcu kalian terlalu pengecut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, aku akan mencarinya sampai dapat!"
"Dan harap kalian para tokoh Hwa-i Kai-pang tidak mencampuri karena urusan ini adalah urusan pribadi!" sambung Kwi Beng yang sudah mencabut pedangnya.
"Orang-orang muda yang tinggi hati! Aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan dari jauh muncullah seorang kakek pendek kurus yang mukanya seperti tikus, memegang sebatang tongkat dan kakek ini berjalan seenaknya ke tempat itu. Ternyata sebelum orangnya tiba, suaranya sudah terdengar dengan halus dan jelas. Itulah dia Hwa-i Sin-kai, pangcu dari Hwa-i Kai-pang sendiri.
Kwi Eng dan Kwi Beng memandang kepada kakek yang baru datang ini dan melihat betapa semua tokoh Hwa-i Kai-pang membungkuk dengan hormat lalu mundur, memberi ruang kepada kakek kecil pendek yang baru datang. Maka tahulah Kwi Eng bahwa kakek ini adalah Hwa-i Kai-pangcu, musuh besarnya yang telah membunuh suaminya. Tak terasa lagi dua titik air mata berlinang keluar dari sepasang matanya yang memandang dengan penuh dendam dan kebencian.
"Engkaukah orangnya yang telah membunuh suamiku yang bernama Tio Sun" Kwi Eng bertanya, suara menggetar dan sepasang matanya berlinang air mata.
Kakek itu menarik napas panjang. Dia menyesal bukan main bahwa urusan kai-pang dengan iblis betina itu ternyata telah merembet sampai jauh. Dari sikap kedua orang ini saja dia sudah tahu bahwa kedua orang ini adalah pendekar-pendekar yang gagah, dan tentu datang terdorong oleh api dendam yang hebat dan hendak mengadu nyawa dengan dia!
"Apakah kami berhadapan dengan Tio-hujin" tanyanya dengan suara halus.
"Benar, aku adalah isteri dari Tio Sun yang telah kaubunuh tanpa dosa itu. Sekarang kau datang hendak menebus kematian suamiku, kau bersiaplah!"
"Dan orang muda ini siapa"
"Aku adalah kakak kembar dari adikku ini, dan akupun menyediakan selembar nyawaku untuk membalas dendam ini!"
"Ahh, sungguh aku orang tua merasa menyesal sekali. Akan tetapi tahukah kalian berdua mengapa Tio-taihiap itu sampai tewas" Karena dia membantu Panglima Lee Siang yang di lain fihak membantu iblis betina Kim Hong Liu-nio, musuh pribadi kami. Dan sesungguhnya, aku sendiri tidak mengerti bagaimana Tio-taihiap dapat tewas, padahal pukulan sakti yang kupergunakan belum juga menyentuh tubuhnya!"
Ucapan itu keluar dari hati yang sungguh-sungguh, akan tetapi bagi Kwi Eng dan Kwi Beng terdengar seperti ejekan atas kelemahan mendiang Tio Sun! Memang hati kalau sudah diracuni dendam, adanya hanya benci dan kalau sudah benci, apapun yang diucapkan atau dibuatnya oleh orang yang dibencinya tentu saja selalu salah!
"Keparat keji, tua bangka sombong!" Kwi Eng sudah menerjang ke depan dan pedangnya menyerang dengan cepat dan kuat, disusul oleh kakak kembarnya yang juga sudah menyerang dengan pedangnya.
"Ah, terpaksa aku melayani kalian orang-orang muda yang tidak mau berpikir panjang!" ketua Hwa-i Kai-pang itu berkata penuh sesal sambil menggerakkan tongkatnya menangkis dan balas menyerang. Dia sudah kesalahan tangan membunuh Tio Sun dalam suatu pertandingan yang jujur, dan kalau sekarang dia sekalian membunuh isteri pendekar itu dan kakak kembarnya dalam pertandingan yang jujur, bahkan dia membiarkan dirinya dikeroyok maka dia tidak khawatir akan mendapat teguran dan penyesalan dari tokoh-tokoh kang-ouw. Dia dipaksa oleh mereka ini, bukan dia yang mencari permusuhan! Apa boleh buat!
Dua orang kakak beradik kembar itu adalah putera-puteri dari pendekar wanita sakti Souw Li Hwa, akan tetapi mereka berdua itu tidak memiliki bakat yang terlalu baik sehingga kepandaian silatnya tidak menonjol. Sedangkan mendiang Tio Sun saja yang lebih lihai dari isterinya dan adik iparnya masih belum mampu menandingi kakek yang amat lihai ini, apalagi kakak beradik kembar itu! Maka dalam dua puluh jurus lebih saja, pedang mereka telah dibikin terpental oleh kakek sakti itu yang masih merasa segan dan tidak tega untuk membunuh mereka!
Melihat kelihaian kakek itu dan karena pedangnya sudah terpental, dua orang kakak beradik ini maklum bahwa lawan mereka terlalu tangguh, maka sambil berteriak nyaring Kwi Eng lalu mengeluarkan hui-to (pisau terbang) yang menjadi kepandaiannya yang istimewa, dan berkelebatanlah hui-to yang dilepasnya, beterbangan cepat menyambar ke arah tubuh ketua Hwa-i Kai-pang. Melihat ini, Kwi Beng tidak mau tinggal diam dan diapun latu melepaskan pisau-pisau terbangnya.
"Hemmm...!" Hwa-i Sin-kai berseru keras dan tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga tongkat itu berbentuk sinar yang bergulung-gulung sehingga merupakan benteng sinar yang melindungi tubuhnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau terbang itu terlempar ke kanan kiri dan kesemuanya runtuh oleh tangkisan sinar tongkat itu. Sampai habis seluruh pisau-pisau di kantung kedua orang kakak beradik itu, namun tidak ada sebatang pisaupun yang mengenai sasaran.
"Kakek iblis, kalau begitu biar aku mengadu nyawa denganmu!" Kwi Eng berseru dengan putus asa dan dia lalu menyerang dengan kedua tangan kosong! Sebetulnya, kakak beradik ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, warisan dari Panglima The Hoo melalui ibu mereka, yaitu ilmu It-ci-san, semacam ilmu totok menggunakan sebuah jari tangan yang amat lihai, dan selain itu, juga mereka telah mewarisi ilmu silat tangan kosong Jit-goat Sin-ciang dan telah mengusai penggabungan tenaga Im dan Yang. Akan tetapi, karena bakat mereka tidak terlalu besar, maka mereka hanya mampu menguasai sebagian saja dari ilmu-ilmu ini, maka biarpun kini keduanya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk mengeroyok Hwa-i Sin-kai, mereka ini tidak dapat banyak berdaya. Bahkan dalam waktu belasan jurus saja ujung tongkat di tangan kakek itu telah menghajar pinggul Kwi Beng sehingga pemuda ini bergulingan dan menotok pundak kiri Kwi Eng sehingga nyonya muda itupun terguling roboh.
"Iblis tua kejam, kau mampuslah!" Kwi Beng membentak dan tiba-tiba tangan kanannya telah mencabut sebuah pistol peninggalan ayahnya. Memang dia sudah mempersiapkan senjata api ini karena Kwi Beng bukanlah seorang yang bodoh, dan dia sudah menduga bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu tentu seorang yang berilmu tinggi sekali sehingga seorang pendekar seperti kakak iparnya itupun sampai tewas bertanding melawan kakek itu. Maka ketika berangkat, dia sudah mempersiapkan senjata api ini, biarpun ayahnya meninggalkan pesan agar dia jangan sembarangan mempergunakan senjata maut itu kalau tidak terpaksa dan terancam keselamatannya. Sekarang, dia memang agaknya tidak terancam keselamatannya, karena kakek itu agaknya tidak hendak membunuh dia dan adiknya, akan tetapi dia maklum bahwa adiknya tentu akan melawan terus sampai mati. Daripada adiknya yang mati, lebih baik kakek itu!
"Dar-darrr...!" Pistol itu meledak dua kali dan robohlah seorang kakek pengemis tingkat tiga dengan pundak dan lengan terluka. Ternyata ketika tadi pemuda itu mencabut pistol, seorang kakek tingkat tiga segera menubruk ke depan pemuda itu sehingga pada saat pistol meledak, yang roboh adalah kakek ini dan bukan Hwa-i Sin-kai. Kakek itu terkejut dan marah, tubuhnya menyambar ke depan dan begitu tongkatnya bergerak pistol di tangan Kwi Beng sudah terlempar jauh dan tangan pemuda itu berdarah! Akan tetapi, Kwi Eng sudah datang menerjang dan Kwi Beng juga bangkit dan terus menerjang lagi dengan nekat. Kakek itu mendengus dan kembali tongkatnya membuat keduanya roboh terguling.
"Orang-orang muda yang tak tahu diri! Kepandaian kalian terlalu rendah untuk berani kurang ajar terhadap kami!" kata Lo-thian Sin-kai. "Lebih baik kalian pergi dan jangan membikin marah pangcu kami!" Para pengemis kelihatan marah melihat betapa kakek pengemis yang kena tembakan tadi terluka parah, namun tidak membahayakan nyawanya.
"Biarlah, mereka ini perlu dihajar sampai tobat!" bentak Hwa-i Sin-kai sambil berdiri menanti dengan muka marah. Dua orang muda itu bangkit lagi, menerjang lagi dan roboh lagi! Sampai tiga empat kali mereka roboh dan kini para tokoh Hwa-i Kai-pang menertawakan mereka. Mereka itu hanya seperti anak kecil yang nakal melawan ketua Hwa-i Kai-pang yang sakti. Kalau ketua itu mau, tentu saja dengan amat mudahnya dia dapat membunuh kedua orang muda itu.
Muka Kwi Eng sudah bengkak terkena tamparan dan mulut Kwi Beng bahkan mengeluarkan darah karena bibirnya pecah, akan tetapi untuk ke sekian kalinya, kedua orang muda yang sudah nekat dan mata gelap itu menyerang lagi.
"Plakk! Dukk!" Kini dua orang kakak beradik itu terjungkal karena tamparan dan hantaman tongkat dari kakek itu ditambah tenaga. Kwi Eng terbanting keras dan kepalanya pening, sedangkan Kwi Beng terpukul tongkat kakinya sehingga ketika dia hangkit berdiri, dia terpincang. Namun mereka berdua masih belum mau sudah. Tekat mereka adalah untuk melawan sampai mati!
Pada saat itu, terdengar suara merdu dan nyaring, suara seorang wanita muda, "Sungguh tidak tahu malu, kakek-kakek tua bangka menghina orang-orang muda mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa!"
Semua orang terkejut dan menengok. Yang bicara itu adalah seorang gadis yang berwajah cantik manis, berpakaian ringkas sederhana, namun wajahnya cerah dan sinar matanya lincah, mulutnya yang manis tersenyum mengejek ketika dia memandang kepada para kakek pengemis tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang tubuhnya tinggi tegap, wajahnya serius dan agaknya pemuda ini adalah adik dari dara itu. Dara itu tidak remaja lagi, tentu usianya sudah kurang lebih dua puluh lima tahun, sedangkan pemuda itu berusia antara dua puluh tiga tahun. Seperti juga si gadis, pemuda ini berpakaian ringkas sederhana tidak membawa senjata, dan kelihatannya seperti seorang pemuda petani biasa saja, hanya sepasang matanya yang tenang itu mengeluarkan sinar tajam mengejutkan.
Mendengar ucapan gadis itu, seorang tokoh pengemis tingkat tiga menjadi marah. Kakek pengemis tingkat tiga ini tadi secara diam-diam sudah memperhatikan gerakan dua orang yang bertempur melawan ketuanya itu dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian kedua orang itu belum begitu tinggi, bahkan dia sendiripun berani menghadapi seorang di antara mereka. Dia merasa penasaran mengapa ketuanya maju sendiri melayani segala macam lawan selemah itu, tidak mewakilkan kepada para tokoh yang lebih rendah tingkatnya. Kini, melihat gadis yang berani mengatakan bahwa mereka mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa, dia menjadi marah sekali, menganggap kata-kata itu menghina. Kini dia memperoleh kesempatan untuk mewakili ketuanyan, mendahului ketuanya itu dia menegur, "Bocah bermulut lancang, mau apa kau buka mulut mencampuri urusan kami"
Gadis itu tersenyum dan melirik kepada pengemis tingkat tiga ini. "Aku telah mendengar dalam perjalanan bahwa kakek jembel dari Hwa-i Kai-pang ditandai tingkatnya dengan tumpukan buntalan di punggungnya. Agaknya yang lebih banyak tumpukan buntalannya berarti lebih pandai mengemis, dan kau ini mempunyai buntalan tiga. Lumayan juga kepandaianmu mengemis, akan tetapi kalau engkau mengemis kepadaku, aku tidak akan sudi memberi apa-apa karena wajahmu tidak menimbulkan iba seperti pengemis tulen!"
Pengemis tingkat tiga itu marah bukan main. Dia adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, yaitu bukan lain adalah Hek-bin Mo-kai, tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang berangasan itu. Dia dihina terang-terangan oleh gadis ini, maka dia menjadi marah sekali. Kulit tubuhnya yang lain, yang biasanya berwarna putih itu menjadi merah, sedangkan mukanya yang hitam menjadi makin hitam ketika dia mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Semua orang memandang tegang, bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng yang masih nanar itu juga memandang, tidak tahu siapa adanya wanita dan pria yang datang ini.
"Bocah lancang mulut! Kalau tidak ingat bahwa engkau seorang wanita muda yang lemah tentu kelancangan mulutmu itu akan kautebus mahal sekali!"
Gadis itu ternyata lincah den jenaka sekali. Dia tersenyum manis dan memandang kepada si muka hitam dengan sinar mata berseri-seri. "Ah, kaum pengemis agaknya mengenal harga juga, ya" Berapa mahalkah tebusan kelancanganku" Sebungkus sayuran sisa" Ataukah beberapa keping uang tembaga"
Bukan hanya Hek-bin Mo-kai yang marah, akan tetapi semua tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi marah sekali. Mereka telah berkali-kali mengalami penghinaan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, bahkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tiga itu, juga Lo-thian Sin-kai tokoh tingkat dua, telah tidak berhasil mengalahkan seorang wanita muda cantik. Kini muncul seorang wanita muda cantik lain yang datang-datang telah mengejek dan memandang rendah, tentu saja hati mereka menjadi panas sekali. Lebih-lebih Hek-bin Mo-kai yang memang berwatak berangasan. Dia pernah dikalahkan oleh Kim Hong Liu-nio. Kekalahan pahit sekali karena dia sebagai tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang tersohor, sampai kalah oleh seorang wanita muda! Sungguh merupakan suatu hal yang membikin merosot kebesaran namanya, bahkan mencemarkan namanya sebagai seorang tokoh. Maka kini, menghadapi seorang wanita muda lagi yang berani bersikap lancang dan memandang rendah, tentu saja dia menjadi marah bukan main.
"Perempuan kurang ajar dan lancang! Apakah kau bosan hidup" Siapakah engkau" bentaknya.
Akan tetapi gadis cantik itu tersenyum dan melirik ke arah Hwa-i Sin-kai yang sejak tadi hanya berdiri memandang, lalu dia, berkata, "Aku tidak ada waktu untuk bicara dengan segala macam jembel rendahan. Eh, engkau kakek pengemis yang tidak menggendong buntalan, agaknya engkau yang menjadi kepala di sini. Benarkah"
Melihat sikap gadis itu bicara seperti itu kepada ketua mereka, semua pengemis menjadi makin marah, akan tetapi Hwa-i Sin-kai mengangkat tangan kirinya ke atas dan semua suara bising dari para pengemispun terhenti sama sekali. Suasana menjadi hening dan menegangkan, sedangkan Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng hanya memandang dengan heran.
"Nona, benar dugaanmu bahwa aku adalah pangcu dari Hwa-i Kai-pang. Nona siapakah dan..."
"Pangcu, anggap saja aku dan adikku ini adalah orang-orang yang kebetulan lewat di sini dan menyaksikan perbuatan yang tidak bagus dari Hwa-i Kai-pang! Engkau adalah ketua kai-pang dari perkumpulan pengemis yang sudah tersohor di daerah ini, yang menurut kabar adalah sebuah perkumpulan pengemis terbesar. Akan tetapi melihat betapa seorang pangcu yang besar menghina dua orang muda yang tidak berdaya, sungguh merupakan kenyataan yang sebaliknya, bahwa Hwa-i Kai-pang hanyalah merupakan sekumpulan jembel yang suka meghina orang di belakang layar, akan tetapi di atas panggung pura-pura mohon belas kasihan orang dengan mengemis!"
Kembali terdengar suara berisik ketika para pengemis itu menjadi marah mendengar ucapan ini, akan tetapi pangcu itu mengangkat tangan dan semua pengemis itu menjadi diam. Pangcu ini bukan orang sembarangan dan berbeda dengan para pembantu dan anak buahnya, dia yang berpemandangan tajam dapat mengenal bahwa pemuda dan gadis yang datang ini bukan orang-orang muda sembarangan maka berani bersikap seperti itu. Jangan-jangan mereka ini, seperti juga Kim Hong Liu-nio, adalah orang-orang muda sakti yang diutus oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengacau, pikirnya.
"Nona muda, mengambil kesimpulan dan mengeluarkan pendapat atas sesuatu hal yang belum diselidiki lebih dulu keadaannya merupakan tindakan yang amat ceroboh. Ketahuilah bahwa dua orang muda ini datang sendiri ke sini untuk menantang dan mengacau. Setelah mereka manantang kami dan aku maju memenuhi permintaan mereka sehingga terjadi pertandingan ini, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kami menghina mereka" Kaulihat sendiri tadi, bukankah mereka berdua yang mengeroyok aku seorang tua"
Gadis itu agaknya tidak dapat membantah hal ini. Memang tadi dia melihat betapa kakek ini dikeroyok dua, hanya saja tingkat kepandaian dua orang muda itu jauh sekali di bawah tingkat kakek ini sehingga jangankan baru dikeroyok oleh mereka berdua, biar ditambah lagi sepuluh orang yang tingkat kepandaiannya seperti kedua orang muda itupun tak mungkin akan dapat menandingi kakek itu. Maka dia lalu menoleh dan memandang kepada Kwi Eng sambil tersenyum.
"Enci yang baik, mengapa kalian berdua yang belum memiliki kepandaian berani menandingi ketua jembel ini dan mencari celaka sendiri" Pertanyaan itu lebih menyerupai teguran dan Kwi Beng yang sejak tadi sudah melihat dan mendengarkan dengan hati panas, menjadi makin penasaran. Dalam percakapan itu dia merasa betapa dia dan adiknya amat direndahkan orang, dan diapun memiliki keangkuhan, dia tidak mengharapkan bantuan siapapun juga dalam urusan pribadi ini, apalagi karena dia sama sekali tidak mengenal dara yang cantik dan pemuda yang pendiam itu.
"Kami tidak membutuhkan bantuan siapapun! Hayo, tua bangka kejam, lanjutkan pertempuran kita tadi, kami tidak akan berhenti sebelum nyawa kami putus!" Dan Kwi Beng sudah menyerang lagi dengan nekat, mengirim pukulan dari jurus It-goat Sin-ciang yang cukup dahsyat.
"Wuuuuuttt... plak!" Betapapun dahsyatnya pukulan itu, akan tetapi karena tenaga sin-kangnya jauh di bawah tingkat kakek itu, maka sekali tangkis saja, ketua yang lihai itu kembali membuat tubuh Kwi Beng terguling!
Pemuda yang nekat ini sudah bergerak lagi, kini melakukan penyerangan dengan Ilmu Totok It-ci-san, yaitu kedua tangannya mengeluarkan jari telunjuk untuk menotok jalan darah lawan. Akan tetapi, kembali kakek itu meggerakkan tangan kirinya, menangkis den mendorong dan tubuh Kwi Beng terjungkal, kini terbanting agak keras sehingga ketika bangkit kembali terhuyung-huyung! Melihat ini, Kwi Eng bergerak hendak menerjang, akan tetapi gadis cantik itu sudah memegang lengannya.
"Enci, tidak ada perlunya membunuh diri! Dan orang muda ini benar-benar amat gagah, akan tetapi keberanian yang hanya nekat den membabi-buta, dipakai tanpa perhitungan sudah bukan merupakan kegagahan lagi melainkan merupakan suatu ketololan! Mundurlah kau, orang muda yang berhati baja!"
"Nona, suamiku telah dibunuh mati tanpa kesalahan oleh ketua para jembel ini. Apakah kau menganggapnya tidak benar kalau aku dan kakakku ini mengadu nyawa untuk membalas dendam" Kwi Eng berusaha melepaskan tangannya yang dipegang, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa betapa lengannya yang dipegang oleh gadis cantik itu sama sekali tidak dapat dia gerakkan, apalagi hendak melepaskan diri dari pegangan itu.
Mendengar ini, sepasang mata gadis cantik itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dia memandang kepada Hwa-i Sin-kai, sedangkan pemuda pendiam yang diakuinya sebagai adiknya tadi kinipun memandang kepada kakek pengemis itu dengan alis berkerut.
"Ah, kiranya begitukah" Pangcu, kau tadi mengatakan bahwa dua orang saudara ini datang untuk menantang dan mengacau, akan tetapi engkau sama sekali tidak mengatakan mengapa mereka berbuat demikian. Kalau engkau telah membunuh suami enci ini secara sewenang-wenang, tidak mengherankan kalau mereka kini datang untuk membelas dendam. Dan engkau mengandalkan kepandaian silatmu yang tidak seberapa itu, apakah kau juga ingin membunuh mereka ini"
Mendengar ucapan yang memandang rendah kepada ketuanya itu, Hek-bin Mo-kai tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Bocah lancang dan kurang ajar, engkau benar-benar bosan hidup! Pangcu, ijinkan aku menghajarnya!" Dan tanpa menanti ijin dari ketuanya, Hek-bin Mo-kai sudah menggerakkan tongkatnya menotok ke arah leher gadis cantik itu dengan kecepatan yang luar biasa sekali sehingga tongkatnya mengeluarkan bunyi mengiuk.
Kwi Beng adalah seorang pemuda yang berwatak gagah. Biarpun keadaan dirinya sudah babak-belur dan luka-luka, namun melihat gadis yang datang untuk membela dia dan adiknya itu diserang secara demikian hebatnya dan dia lihat berada dalam bahaya, maka dia lalu meloncat dan memapaki serangan kakek pengemis bermuka hitam itu untuk melindungi gadis yang diserangnya.
"Wuuuuttt... plakkk... desss!" Kakek bermuka hitam ini terhuyung ke belakang dan hampir saja Kwi Beng terbanting kalau saja lengannya tidak cepat disambar oleh gadis cantik itu. Tadi ketika dia menerjang dan memapaki tongkat yang menyerang gadis itu, dia memang berhasil menangkisnya, akan tetapi tangkisan tangannya itu membuat lengannya terasa nyeri bukan main dan tongkat yang tadinya menyerang gadis itu dan tertangkis, kini membalik dan dengan kemarahan meluap, pengemis bermuka hitam itu meluncurkan ujung tongkatnya menusuk ke arah dada Kwi Beng. Akan tetapi pada saat itu, gadis yang ditolong oleh Kwi Beng menggerakkan tangannya mendorong dan kakek bermuka hitam itu terhuyung ke belakang sedangkan Kwi Beng yang juga terhuyung dan hampir terbanting itu diselamatkan oleh tangan kecil halus yang telah menangkap lengannya.
"Saudara Souw Kwi Beng, tenanglah, dan serahkan jembel-jembel ini kepadaku." Tiba-tiba gadis itu berkata halus.
Kwi Beng terkejut bukan main dan membelalakkan mata, memandang tajam. Memang tadi dia merasa seperti mengenal gadis ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana dan dalam keadaan marah dan sedang berhadapan dengan ketua kai-pang itu, dia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan gadis ini. Sekarang, setelah dia memandang dengan penuh perhatian, barulah dia teringat.
"Adik Mei Lan...!" katanya meragu, seperti bertanya apakah benar gadis ini adalah Mei Lan, gadis cilik yang pernah dijumpainya sebelas tahun yang lalu, ketika gadis itu berusia empat belas tahun dan ketika itupun gadis ini pernah menolongnya, yaitu ketika dia, Tio Sun dan yang lain-lain sedang berada di Lembah Naga dan tertawan oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li beserta anak buah mereka (baca cerita Dewi Maut).
Gadis cantik itu memandang kepadanya, tersenyum dan mengangguk membenarkan. Memang gadis itu adalah Yap Mei Lan, puteri tunggal dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Dewi Maut telah dituturkan bagaimana Mei Lan sampai berpisah dari ayahnya. Yap Mei Lan adalah puteri tunggal dari Yap Kun Liong bersama isterinya yang bernama Pek Hong Ing. Akan tetapi, sesungguhnya ibu kandung Mei Lan bukanlah Pek Hong Ing, melainkan seorang wanita bernama Liem Hui Sian. Rahasia ini tidak diketahui oleh Mei Lan yang menganggap Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya. Pada suatu hari, dalam percekcokan mulut antara Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai, dan Pek Hong Ing, Mei Lan mendengar akan rahasia itu dan larilah dia meninggalkan rumah ibunya itu. Dalam pelariannya karena kecewa dan berduka ini, bertemulah dia dengan kakek sakti Bun Hoat Tosu dan menjadi murid kakek sakti yang sudah tua renta itu. Kemudian, ketika kakek Bun Hoat Tosu meninggal dunia, dia "dioperkan" oleh kakek itu kepada seorang kakek lain yang sakti dan aneh, yaitu Kok Beng Lama sehingga dia menjadi murid Kok Beng Lama yang telah ditinggali ilmu-ilmu oleh Bun Hoat Tosu untuk disampaikan kepada Mei Lan sesuai dengan "taruhan" antara dua orang kakek sakti ini ketika mereka berdua bertanding catur! Demikianlah, Mei Lan lalu menjadi murid Kok Beng Lama bersama pemuda pendiam itu yang bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai. Semua ini telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut.
Selama sebelas tahun lebih, Mei Lan dan Lie Seng pergi meninggalkan keluarga dan dunia ramai, dibawa oleh Kok Beng Lama ke Pegunungan Himalaya di dunia barat, di mana kedua orang anak ini digembleng oleh kakek sakti itu. Karena mewarisi ilmu-ilmu dari mendiang Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, maka kedua orang muda itu kini menjadi orang-orang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali, hampir semua kepandaian Kok Beng Lama diwarisi oleh mereka, demikian pula ilmu-ilmu yang paling hebat dari Bun Hoat Tosu telah mereka warisi melalui Kok Beng Lama. Mereka berdua baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya karena guru mereka menyatakan bahwa tiba saatnya bagi mereka untuk turun gunung dan mencari keluarga mereka. Dan secara kebetulan, mereka melihat ribut-ribut di dalam hutan itu lalu cepat menghampiri. Tentu saja begitu melihat Kwi Beng, Mei Lan segera teringat kepada pemuda ini. Tidak sukar untuk mengenal Kwi Beng, pemuda yang tampan, gagah dan juga memiliki ciri-ciri khas pada mata dan rambutnya. Maka, tentu saja tanpa diminta, Mei Lan lalu turun tangan membantu Kwi Beng dan Kwi Eng yang belum dikenalnya, akan tetapi melihat persamaan antara wanita ini dengan Kwi Beng, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah saudara kembar dari Kwi Beng, seperti yang pernah didengarnya dahulu.
Setelah Kwi Beng kini mendapat kenyataan bahwa gadis cantik itu adalah Yap Mei Lan, puteri dari pendekar sakti Yap Kun Liong, tentu saja dia menjadi girang sekali dan tentu saja dia tidak lagi merasa enggan dibantu, karena Yap Mei Lan bukanlah "orang luar", maka cepat dia berkata, "Adik Mei Lan, jembel tua bangka itu telah membunuh iparku, suami dari adikku yang bernam Tio Sun!"
"Apa..." Mei Lan terkejut bukan main. Tentu saja dia masih ingat kepada Tio Sun, pendekar yang gagah perkasa, yang dahulu pernah menyerbu di Lembah Naga bersama Kwi Beng dan juga telah tertawan di Lembah Naga. Jadi, Tio Sun telah menjadi suami adik kembar dari Kwi Beng dan Tio Sun telah terbunuh oleh ketua Hwa-i Kai-pang" Tentu saja berita ini membuatnya terkejut bukan main.
"Pangcu, benarkan apa yang dikatakan oleh sahabatku itu" Bahwa engkau telah membunuh seorang pendekar seperti Tio Sun" Mei Lan bertanya sambil melangkah maju mendekati ketua Hwa-i Kai-pang itu.
Ketua Hwa-i Kai-pang menegakkan kepalanya dan sambil memandang tajam dia menjewab, "Mendiang Tio-taihiap mencari kematiannya sendiri. Kami bermusuhan dengan seorang iblis betina di rumah Panglima Lee Siang, akan tetapi dia membela iblis betina itu sehingga bentrok dengan kami. Dalam pertempuran antara dia dan kami, dia kalah dan tewas, sama sekali kami tidak bermaksud membunuhnya karena antara dia dan kami tidak ada permusuhan apa-apa."
Mei Lan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar berita tentang pengaruh Hwa-i Kai-pang yang tentu saja menjadi agak sewenang-wenang, seperti dimiliki oleh semua golongan yang berpengaruh dan ditakuti. Akan tetapi kalau memang Tio Sun tewas dalam pertandingan yang adil, maka tewas dalam pertandingan merupakan hal yang lumrah bagi seorang pendekar. Betapapun juga, dia sudah mengenal siapa Tio Sun, seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, maka andaikata terdapat perselisihan faham antara pendekar itu dengan para pengemis ini, sudah dapat dipastikan bahwa para pengemis inilah yang bersalah. Betapapun juga, dia harus membela Kwi Beng!
Tiba-tiba Lie Seng, pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang sejak tadi diam saja, menyentuh lengan Mei Lan sambil berkatap "Lan-ci, biarkan aku bicara sebentar dengan dia." Mei Lan memandang heran karena adik seperguruannya ini jarang sekali mau bicara kalau tidak penting, maka kini tentu mempunyai alasan kuat untuk bicara. Dia mengangguk.
LIE SENG yang bersikap tenang sekali itu melangkah maju, memandang kepada kakek yang bertubuh pendek kurus itu, lalu berkata, "Pangcu, aku pernah mendengar banwa pangcu adalah seorang kenalan baik dari ketua Cin-ling-pai. Benarkah itu"
Sepasang mata pangcu itu terbelalak. "Tentu saja! Bahkan kami telah berbutang budi kepada Cia-locianpwe, pangcu dari Cin-ling-pai. Orang muda, mengapa engkau bertanya demikian"
"Ketahuilah bahwa aku adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai."
"Ahh...!"
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan itu saja, akan tetapi mendiang Tio Sun yang kaubunuh itupun merupakan sahabat baik dari kakekku. Mendiang Tio Sun terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah dan budiman, oleh karena itu, sungguh amat mengherankan mengapa engkau, yang mengaku kenal dengan kakekku sampai membunuhnya!"
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku sendiri masih bingung memikirkan. Ketika aku menantang wanita iblis itu, yang kutantang tidak muncul, sebaliknya yang muncul adalah Tio-taihiap, dan kami memang bertanding, akan tetapi sebelum aku menyentuhnya, dia telah roboh dan tewas..."
"Jembel sombong! Engkau terlalu menghina suamiku! Suamiku tidak selemah itu!" Kwi Eng berteriak. "Mari kita mengadu nyawa, aku tidak akan berhenti sebelum dapat membalas kematian suamiku!"
Hwa-i Sin-kai adalah seorang pangcu, maka karena sejak tadi orang-orang muda itu menghinanya, dia menjadi marah juga. "Aku sudah bicara, dan bagaimanapun juga, tidak kusangkal bahwa aku telah bertanding melawan Tio Sun dan dia roboh dan tewas dalam pertandingan itu. Sekarang, aku siap mempertanggungjawabkan perbuatanku dan kalau ada yang hendak menuntut balas, tentu saja akan kulayani dengan baik!"
"Bagus!" Mei lan berseru. "Kalau begitu, dengarlah baik-baik, pangcu dari Hwa-i Kai-pang. Aku datang mewakili keluarga Tio untuk menuntut balas. Majulah dan mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di mana kelihaian orang yang suka mengandalkan kepandaian untuk menghina dan membunuh orang lain yang tidak berdosa."
"Kalian bocah-bocah yang sombong dan tidak tahu diri!" Hek-bin Mo-kai yang sejak tadi sudah menahan kemarahannya itu kini membentak dan meloncat ke depan. "Siapa sih yang takut kepada kalian" Jelas bahwa orang she Tio itu bersalah kepada ketua kami dan kalau dia mampus, hal itu adalah kesalahannya sendiri. Kalau kalian mau menuntut balas, atau mau mengikutinya pergi ke neraka, majulah!"
Dengan sikapnya yang galak, pengemis bermuka hitam tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang itu telah berdiri di depan Mei Lan, dengan tongkatnya melintang di depan dadanya, matanya kemerahan dan mukanya makin hitam karena marah. Mei Lan sudah ingin menandinginya, akan tetapi Lie Seng melangkah maju dan berkata, "Suci, biarlah aku menghadapinya."
Mei Lan mengangguk dan melangkah mundur. Lie Seng lalu mendekati pengemis muka hitam itu dan dengan kedua tangan kosong pemuda ini berdiri seenaknya, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding. "Mulailah, lo-kai!"
Hek-bin Mo-kai yang sudah marah itu ingin sekali membersihkan mukanya dan menebus kekalahan-kekalahan yang pernah dideritanya, maka kini dia tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menggerakkan tongkatnya dan menerjang dengan dahsyatnya, menghantamkan ujung tongkatnya itu ke arah kepala pemuda yang tenang itu. Gerakannya demikian dahsyat sehingga tongkat itu mengeluarkan suara dan angin menyambar ke arah Lie Seng sebelum tongkatnya tiba.
Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng kini sudah berdiri di pinggir sambil menonton dengan hati tegang. Mereka berdua melihat betapa tongkat itu menyambar dahsyat dan kelihatan pemuda itu masih enak-enak saja sampai tongkat sudah menyambar dekat sekali dengan kepalanya.
"Wuuuttt...!" Sedikit saja Lie Seng miringkan kepalanya dan tongkat itu menyambar luput. Melihat ini, Hek-bin Mo-kai terkejut. Pemuda ini tenang bukan main dan gerakannya yang hanya sedikit sekali itu, namun cukup berhasil, membuktikan bahwa pemuda itu benar-benar seorang ahli silat tingkat tinggi.
Makin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, makin tenanglah gerakannya karena dia tidak lagi mempergunakan kembangan-kembangan gerakan yang tidak ada gunanya, dan setiap gerakannya telah diperhitungkan dengan masak-masak sehingga setiap gerakan selalu mendatangkan hasil.
"Sambutlah ini!" Hek-bin Mo-kai membentak dan kini tongkatnya diputar cepat sehingga lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan bagaikan ombak samudra, sinar bergulung-gulung ini menyerbu ke arah Lie Seng.
Namun pemuda ini tidak menjadi bingung menghadapi serbuan yang hebat itu. Dia tidak terpengaruh oleh sinar yang bergulung-gulung itu, melainkan memandang tajam dan dia dapat melihat di mana tongkat bersembunyi di dalam serangan itu. Dia tidak memperdulikan bayangan tongkat yang banyak dan membentuk gulungan sinar, melainkan memandang ke arah tongkat yang dapat dia ikuti gerakannya, maka ketika tongkat itu menusuk ke arah lambungnya, dia menggeser kaki dan miringkan tubuh sehingga tongkat lewat di dekat lambungnya, kemudian secepat kilat menyambar, tangan kirinya yang dibuka membacok dari atas ke arah tongkat lawan itu.
"Krakkkk!" Tongkat itu patah menjadi dua potong! Wajah hitam dari Hek-bin Mo-kai menjadi agak pucat, matanya terbelalak memandang tongkat di tangannya yang tinggal sepotong, sedangkan telapak tangannya berdarah! Tak pernah dia dapat membayangkan betapa tongkatnya yang dianggapnya sebagai senjata pusaka itu dapat dipatahkan lawan hanya dengan hantaman telapak tangan miring! Padahal, senjata tajampun tidak akan mampu mematahkannya. Kekagetan dan keheranannya berubah menjadi kemarahan dan sambil mengeluarkan suara gerengan, dia menubruk lagi dengan tongkat sepotong. Tongkat yang menjadi pendek itu menghantam kepala, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Serangan maut!
"Plak! Desss... bruuukkk!" Cepat sekali terjadinya hal itu. Serangan kakek muka hitam itu disambut dengan elakan dan tangkisan yang dilanjutkan dengan cengkeraman pada tengkuk kakek itu dan sekali dia membuat gerakan melemparkan, tubuh Hek-bin Mo-kai terlempar sampai jauh, tidak kurang dari sepuluh meter dan terbanting di atas tanah! Semua orang memandang bengong, karena tidak mengira bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Hek-bin Mo-kai sedemikian mudahnya. Akan tetapi, Hek-bin Mo-kai yang terbanting itu tidak mengalami luka berat, hanya agak nanar saja dan pinggulnya terasa nyeri. Dia cepat meloncat berdiri dengan muka yang makin hitam, dan pada saat temannya, Tiat-ciang Sin-kai, juga tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang, menerjang maju dengan tongkatnya menyerang Lie Seng, dia sendiripun sudah lari menghampiri dan membantu temannya ini mengeroyok Lie Seng!
"Jembel-jembel busuk! Pengecut yang main keroyok!" Kwi Beng memaki-maki melihat betapa Lie Seng yang bertangan kosong itu dikeroyok dua, dan dia sudah maju hendak membantu. Akan tetapi, Mei Lan mencegahnya.
"Biarkan saja, saudara Souw. Sute tidak akan kalah."
Dan memang apa yang dikatakan oleh Mei Lan ini merupakan kenyataan. Lie Seng masih tetap tenang saja, berdiri tanpa bergerak, bahkan tidak memasang kuda-kuda karena dia berdiri tegak dengan kedua tangan tergantung di kanan kirinya, hanya matanya saja dengan tajam memandang kepada dua orang pengemis tua yang sudah datang menyerangnya dari kanan kiri itu. Tiat-ciang Sin-kai maklum akan kelihaian pemuda yang dengan mudah mengalahkan temannya itu, maka kini dia menyerang dengan tongkatnya di tangan kanan, ditusukkan ke arah dada lawan sedangkan tangan kirinya yang ampuh dan keras seperti besi sehingga dia mendapat julukan Tiat-ciang (Si Tangan Besi), telah menyambar pula dengan pukulan dahsyat ke arah pelipis kanan lawan. Dan pada saat itu pula, Hek-bin Mo-kai yang sudah menyambar sebatang tongkat dari seorang pengemis yang berada di dekatnya, telah menyerang pula sambil menggerakkan tongkatnya dengan jurus dari Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat. Tongkatnya membentuk lingkaran-lingkaran.
Seperti tadi, Lie Seng hanya bergerak sedikit saja dan serangan Tiat-ciang Sin-kai telah dapat dielakkan, sedangkan serangan si muka hitam itu dibiarkannya saja, hanya setelah dekat, sekali pemuda itu menggerakkan kakinya, dia telah meloncat dan tubuhnya lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya itu! Dua orang kakek pengemis itu terkejut dan karena merasa betapa angin loncatan pemuda tadi menyambar ke arah belakang mereka, keduanya cepat membalikkan tubuh dan benar saja, pemuda itu telah berada di belakang mereka, berdiri tegak dan tenang. Kembali mereka menyerbu dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi karena mereka sudah menjadi marah sekali. Akan tetapi sekali ini, Lie Seng tidak mengelak, melainkan dia malah maju memapaki! Dua pasang kaki dan tangannya bergerak secara aneh dan semua orang melihat betapa dua orang kakek pengemis itu terpelanting seperti disambar petir, roboh ke kanan kiri terdorong oleh hawa pukulan dan tendangan yang amat cepat itu!
Melihat ini, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, menjadi marah sekali. "Bocah sombong, sambut ini!" bentaknya dan dia menyerang dengan tangan kirinya yang menampar keras. Tamparan ini bukanlah tamparan biasa, melainkan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang sehingga mengeluarkan angin keras dan tenaga pukulannya amat ampuh. Melihat ini, Lie Seng tidak mengelak melainkan mengangkat tangan menangkis.
"Dukkk!" Dua lengan bertemu dan Lo-thian Sin-kai mengeluarkan seruan kaget karena kuda-kuda kakinya tergempur, membuat dia hampir terpelanting kalau saja dia tidak cepat menggunakan tongkatnya ditekan di atas tanah sehingga dia dapat memulihkan keseimbangan tubuhnya. Marahlah kakek ini, juga dua orang kakek tingkat tiga itu sudah bangkit kembali. Tanpa banyak cakap lagi, Lo-thian Sin-kai menggerakkan tongkatnya menyerang dengan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat, sedangkan Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai juga sudah maju. Kini Lie Seng dikeroyok tiga! Akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja dan Mei Lan juga masih menonton sambil tersenyum. Gadis ini berpikir bahwa yang menjadi musuh-musuh dari dua orang saudara kembar she Souw ini adalah Hwa-i Sin-kai pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perkumpulan Hwa-i Kai-pang, akan tetapi ternyata kini pangcu itu diam saja dan membiarkan anak buahnya yang turun tangan. Oleh karena itu, dia mengerling ke arah ketua itu yang memandang dengan alis berkerut melihat betapa pembantu-pembantu utamanya jelas bukan tandingan pemuda perkasa itu.
"Seorang gagah selalu mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya, akan tetapi sungguh aneh, seorang pangcu dari perkumpulan besar dan terkenal seperti Hwa-i Kai-pang ternyata berlindung kepada anak buahnya!"
Merahlah wajah ketua Hwa-i Kai-pang mendengar ucapan ini. Memang sejak tadi dia sudah hendak turun tangan sendiri, akan tetapi melihat para pembantunya sudah turun tangan untuk membelanya, dia mendiamkannya saja karena diapun ingin melihat sampai di mana kelihaian dua orang muda yang datang membantu dua orang saudara kembar yang nekat itu. Terkejutlah dia tadi melihat gerakan-gerakan Lie Seng dan selagi dia melihat tiga orang pembantu utamanya mengeroyok pemuda itu, kini gadis cantik yang menjadi suci dari pemuda itu telah menyindirnya. Maka dia lalu melangkah maju.
"Nona, kalau kau hendak mewakili keluarga Tio, majulah. Siapa takut kepadamu"
Mei Lan tersenyum. "Bagus, sudah kutunggu-tunggu ini, pangcu. Nah, aku sudah siap menghadapi tongkat bututmu. Mulailah!"
"Sambutlah, gadis sombong!" Kakek itu menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara mencicit nyaring keluar dari sinar tongkat yang menyambar gadis itu. Mei Lan terkejut juga dan cepat mengelak.
"Trakk!" Batang pohon yang berada di belakang gadis itu patah terkena sambaran hawa pukulan tongkat itu!
Maklumlah Mei Lan bahwa ketua ini benar-benar seorang jagoan yang lihai, maka diapun dengan tenang lalu menghadapinya dengan waspada. Memang Hwa-i Sin-kai, ketua dari perkumpulan pengemis itu sudah marah sekali melihat para pembantunya kalah, maka begitu menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan sin-kangnya sehingga sambaran tongkatnya mendatangkan angin pukulan yang amat ganas. Akan tetapi, serangan pertama tadi dapat dihindarkan oleh gadis itu secara mudah saja, maka dia menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa, dia sudah menerjang lagi dengan dahsyat. Dan terjadilah pertandingan yang membuat Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng melongo penuh kekaguman. Gadis cantik itu tiba-tiba saja lenyap tubuhnya dan berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandang mata, bayangan yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat kakek itu yang sudah menyerang dengan hebatnya, karena kakek itu mengeluarkan ilmunya Ta-houw-sin-ciang yang mengeluarkan hawa dingin, pukulan-pukulan tangan kiri yang amat ampuh, untuk membantu Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Namun, gadis itu seperti bertubuh kapas saja, begitu ringan dan setiap kali disambar tongkat, seolah-olah angin sambaran itu sudah mendorongnya sehingga selalu tongkat itu sendiri tidak dapat mengenai tubuhnya. Dan hebatnya, setiap kali tangan yang kecil dan halus itu menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang yang dingin sekali, nampak uap putih keluar dari pertemuan kedua tangan mereka, dan kakek itu merasa betapa tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar! Bukan itu saja, malah kakek itu selalu merasa lengannya tergetar hebat pada setiap pertemuan tangan.
Hwa-i Sin-kai sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sudah amat tinggi tingkatnya, sehingga dia boleh dibilang merupakan seorang datuk ilmu silat di dunia kang-ouw. Namanya dikenal luas oleh semua jago-jago silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) amat terkenal dan sukar dilawan, karena kalau dia mainkan ilmu tongkat ini, sama saja dengan lima batang tongkat yang dimainkan oleh lima orang. Lebih lagi ilmu pukulannya yang disebut Ta-houw-sin-ciang itu, diberi nama demikian karena kabarnya dengan sekali pukul saja kakek ini dulu pernah menewaskan seekor harimau yang menjadi pecah kepalanya! Ta-houw-sin-ciang (Ilmu Tangan Sakti Pemukul Harimau) digerakkan dengan sin-kang yang mengandung hawa dingin menusuk tulang, maka lihainya bukan kepalang. Inilah sebabnya, karena merasa bahwa dia adalah seorang cabang atas, seorang datuk persilatan, Hwa-i Sin-kai merasa marah sekali dengan adanya gangguan dari Kim Hong Liu-nio yang berani memusuhi perkumpulannya, seolah-olah berani menentang dirinya.
Pendekar Pengejar Nyawa 5 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Bayangan Setan 2