Pencarian

Pendekar Pemabuk 5

Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


Akan tetapi Tin Eng tidak mau melakukan hal ini, hanya menggerakkan pedang ke atas, ke arah tangan Touw Cit yang memegang pedang. Penjahat itu menjerit kesakitan dan pedangnya terlepas karena tangannya telah termakan oleh pedang Tin Eng sehingga ibu jarinya hampir putus. Tin Eng menarik kembali pedangnya pada saat itu digunakan oleh Touw Cit untuk melompat mundur dalam usahanya melarikan diri.
Akan tetapi, nampak berkelebat bayangan yang cepat sekali dan sebuah tendangan pada lututnya membuat Touw Cit terjungkal tak dapat bangun kembali. Ternyata bahwa
sambungan lutut kanannya telah terlepas akibat tendangan yang dikirim oleh kaki Gwat Kong.
Pada saat itu, para penjaga yang mengejar baru dapat menemukan mereka dan dengan girang mereka lalu menubruk dan mengikat kaki tangan Touw Cit, lalu diseretnya kembali ke kota.
Dengan jatuhnya Touw Cit, maka boleh dibilang semua penjahat yang melakukan pengacauan itu, yang semua berjumlah empat belas orang telah diringkus.
Kota Hun-lam merayakan peristiwa itu dengan gembira sekali. Touw Cit dengan kawan-kawannya dimasukkan ke dalam penjara dan mendapat hukuman berat atas dosa-dosanya.
Para penjahat di luar kota yang mendengar hal ini, menjadi ketakutan dan nama Kang-lam Ciu-hiap makin terkenal. Sementara itu penduduk Hun-lam juga memberi nama pujian bagi Tin Eng, yakni Sian-kiam Lihiap atau Pendekar Wanita Pedang Dewa.
**** Setelah tinggal di gedung Lie Kun Cwan sepekan lamanya, Gwat Kong lalu meninggalkan kota Hun-lam. Atas permintaan Tin Eng, Gwat Kong hendak berusaha mendamaikan
permusuhan yang timbul antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai.
"Betapapun juga aku merasa bersedih kalau mengingat keadaan permusuhan itu, karena ayah adalah anak murid Go-bi-pai dan tidak suka kalau ayah sampai terlibat dalam permusuhan ini.
Harap kau suka memberitahukan kepada setiap orang gagah dari Hoa-san-pai bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat belaka. Juga kalau kau bertemu dengan tokoh-tokoh Go-bi-pai harap beritahukan bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai baik dan benar.
Buktinya Touw Cit itu juga telah mengotorkan nama Go-bi-pai dan melakukan perbuatan yang jahat," kata Tin Eng kepadanya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
124 Sebetulnya Gwat Kong merasa berat untuk berpisah dari Tin Eng, gadis yang diam-diam dicintainya semenjak ia masih menjadi pelayan di gedung orang tua gadis itu. Akan tetapi tentu saja ia tidak bisa terus-terusan tinggal di rumah paman gadis itu. Lagi pula juga tidak enak bagi Tin Eng untuk ikut pergi merantau dengan dia. Karena sebagai gadis sopan, tidak selayaknya melakukan perantauan dengan seorang pemuda yang bukan menjadi keluarganya.
Ia hanya berpesan agar supaya gadis itu suka berlatih dengan giat. Karena biarpun telah mendapat petunjuk-petunjuk darinya, namun gadis ini belum lama mempelajari Sin-eng Kiam-hoat yang tulen sehingga gerakannya masih agak kaku.
Gwat Kong pergi dengan diantar oleh Lie-wangwe sampai di luar kota. Hartawan ini merasa suka dan kagum sekali kepada Gwat Kong yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian tinggi. Ia bahkan memberi hadiah sebuah guci arak terbuat dari pada perak terukir yang amat indah kepada pemuda itu, berikut isinya yakni arak Hang-ciu yang bukan main keras dan wanginya dan telah berusia tua sekali.
Gwat Kong menyimpan guci ini dengan menggantungkannya pada pinggangnya dan
berangkatlah dia, mulai dengan perantauannya. Ia cinta kepada Tin Eng, akan tetapi tidak berani ia menyatakan cintanya itu. Sungguhpun dulu pernah ia menyatakan di luar kesadarannya, yakni ketika ia mabuk di rumah gadis itu sebelum ia meninggalkan gedung Liok-taijin.
Ia tidak berani menyatakan cintanya kepada seorang gadis puteri Kepala daerah, bangsawan tinggi dan keponakan dari seorang yang demikian kaya seperti Lie-wangwe. Ia seorang pemuda yatim piatu yang miskin, maka Gwat Kong merasa lebih baik ia menjauhkan diri dari Tin Eng dan berusaha melupakannya sebelum terlambat, yakni sebelum ikatan hatinya makin erat.
Sementara itu, Tin Eng yang ditinggal pergi oleh Gwat Kong, lalu berlatih diri dengan giatnya. Ia senang tinggal di rumah pamannya yang amat baik terhadap dia dan Lie Kun Cwan juga merasa terhibur dengan adanya gadis itu yang seakan-akan ia anggap sebagai anak sendiri.
Kejenakaan dan kegembiraan watak gadis itu seolah-olah merupakan matahari yang menyinari kesuraman suasana dalam gedungnya yang kosong setelah isterinya yang tercinta meninggal dunia. Lie-wangwe telah mengirim surat kepada Liok-taijin suami isteri menceritakan bahwa Tin Eng berada di rumahnya dan membujuk agar supaya suami isteri itu tidak terlalu memaksa kepada Tin Eng yang disebutnya masih berwatak anak-anak.
Baik Gwat Kong maupun Tin Eng sama sekali tidak tahu bahwa dua orang bersaudara Touw Cit dan Touw Tek adalah anggauta-anggauta dari perkumpulan Hek-i-pang, yakni
perkumpulan baju hitam yang berpusat di Tong-kwan, sebelah selatan Hun-lam. Ketika menjalankan pemerasan pada para hartawan di Hun-lam, Touw Cit dan Touw Tek juga dapat perlindungan dari perkumpulan gelap ini dan kedua saudara itu setiap bulan memberi bagian kepada perkumpulan itu.
Yang menjadi Pangcu atau ketua Hek-i-pang adalah seorang tua bernama Song Bu Cu, berusia lima puluh tahun dan terkenal sebagai seorang ahli silat yang memiliki lweekang tinggi. Song Bu Cu ini adalah bekas perampok tunggal yang telah "mengundurkan diri" dan Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
125 untuk melewati hari tuanya ia membentuk perkumpulan baju hitam itu di mana ia menjadi ketuanya dan hidup dari hasil "pensiun" yang diterimanya dari para anak buahnya.
Perkumpulan ini mempunyai banyak anggauta dan Song Bu Cu yang cerdik itu tidak mau menggunakan tenaga para anak buahnya untuk melakukan kejahatan secara terang-terangan dan kasar seperti merampok, mencuri dan lain-lain. Ia lebih mengutamakan pekerjaan yang aman baginya, yakni pekerjaan pemerasan yang tidak terlalu menyolok mata.
Dengan pengaruhnya yang besar, ia menyebar anak buahnya untuk minta "sumbangan" dari para hartawan dengan cara halus, yakni dengan berkedok menjaga keamanan sebagaimana yang telah dijalankan dengan baiknya oleh Touw Cit dan Touw Tek di kota Hun-lam. Selain ini juga setelah mendapat banyak uang, Song Bu Cu lalu menggunakan uang itu sebagai modal dan membuka rumah-rumah gadai dengan bunga tinggi.
Bahkan di kota Tong-kwan ia memonopoli rumah-rumah makan, sehingga sebagian besar rumah makan yang berada di kota Tong-kwan adalah milik perkumpulan Hek-i-pang, kecuali rumah-rumah makan yang kecil dan bukan merupakan saingan besar. Orang-orang tidak berani membuka rumah makan besar di kota itu karena mereka sungkan dan segan untuk membukanya dan menghadapi perkumpulan gelap itu sebagai musuh.
Semua anggauta Hek-i-pang selalu mengenakan jubah hitam, sungguhpun celana mereka boleh sesukanya. Ada yang putih, hijau dan menurut kesukaan masing-masing, akan tetapi jubahnya selalu hitam. Inilah tanda pengenal anggauta perkumpulan Hek-i-pang. Oleh karena itu pula, maka Touw Cit dan Touw Tek selalu memakai jubah hitam.
Ketika Song Bu Cu mendengar tentang para anak buahnya yang diobrak-abrik oleh Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap di Hun-lam, ia menjadi marah sekali. Ia mengumpulkan semua pembantunya untuk merundingkan hal ini. Kemudian memutuskan untuk mendatangi tihu dari Hun-lam dan minta agar supaya para penjahat yang ditangkap itu dibebaskan kembali.
Song Bu Cu sendiri hendak turun tangan dan membalas dendam kepada Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap. Akan tetapi seorang pembantunya yang cukup pandai dan lihai, yakni seorang yang bernama Lui Siok berjuluk si Ular Belang, segera berkata,
"Untuk apa pangcu harus maju sendiri" Menangkap dan memukul anjing-anjing kecil seperti dua anak-anak muda itu tak perlu mempergunakan pentungan besar. Biarlah aku saja ke Hun-lam untuk membereskan urusan ini!"
Semua orang merasa girang mendengar ini karena mereka telah maklum akan kelihaian Lui Siok ini yang juga menjadi wakil ketua dari Hek-i-pang. Kepandaian Lui Siok hampir seimbang dengan kepandaian Song Bu Cu, bahkan si Ular Belang ini terkenal sekali dengan kepandaiannya Siauw-kin-na Chiu-hwat, yakni ilmu silat yang berdasarkan tangkapan dan cengkeraman tangan seperti ilmu Jujitsu dari Jepang.
Oleh karena memiliki kepandaian ini, maka Lui Siok jarang sekali mempergunakan senjata di waktu menghadapi lawan. Sekali saja lawannya terkena pegang oleh tangannya maka lawan itu takkan mudah dapat melepaskan diri tanpa mendapat luka patah tulang atau urat keseleo.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
126 "Kalau Lui-te (adik Lui) mau mewakili aku pergi, itu adalah yang baik sekali. Aku percaya penuh bahwa kalau Lui-te yang pergi turun tangan, hal ini akan beres dan sakit hati kiranya akan terbalas!" kata Song Bu Cu dengan girang. Dibandingkan dengan Song Bu Cu, Lui Siok ini lebih muda dua tahun karena usianya baru empat puluh delapan. Akan tetapi melihat rambut di kepalanya, ia nampak lebih tua karena rambutnya telah putih semua.
Demikianlah, beberapa hari kemudian, Lui Siok dengan diantar oleh dua orang kawannya datang ke kota Hun-lam. Ia langsung menuju ke rumah tihu dan berkata kepada penjaga bahwa ia datang dari Tong-kwan hendak bertemu dengan tihu karena urusan yang amat penting. Penjaga lalu melaporkan dan tihu kota Hun-lam segera keluar dan menanti di ruang tamu. Ketika tiga orang tamunya itu memasuki ruang tamu, ia melihat bahwa mereka adalah orang-orang tak dikenal, akan tetapi baju mereka yang hitam itu menimbulkan perasaan kurang enak di dalam hatinya mengingatkan tihu itu kepada Touw Cit dan Touw Tek yang juga selalu berpakaian hitam.
"Taijin, kami datang dari Tong-kwan untuk menyampaikan surat ini dari perkumpulan kami!"
kata Lui Siok setelah dipersilahkan duduk.
Dengan heran dan tanpa banyak curiga tihu menerima surat itu dan membukanya. Akan tetapi, setelah ia membaca surat itu wajahnya menjadi pucat dan ia mengerling ke arah Lui Siok. Makin pucatlah dia ketika melihat betapa Lui Siok tersenyum-senyum penuh arti. Akan tetapi ketika tihu melihat ke arah kedua tangan Lui Siok yang memegang pinggir meja, ternyata meja itu telah remuk pinggirnya karena dicengkeram oleh sepuluh jari tangan tamunya yang aneh itu. Seakan-akan orang mencengkeram keripik saja. Kedua tangan pembesar itu mulai menggigil dan ia membaca sekali lagi surat yang dipegangnya: Thio-tihu dari Hun-lam,
Kami mengutus seorang wakil perkumpulan kami bersama dua orang anak buah kami, untuk menyampaikan hormat kami kepada taijin. Tentu taijin telah mendengar tentang nama perkumpulan kami yang merupakan jaminan bagi keamanan daerah Tong-kwan, termasuk Hun-lam.
Oleh karena mengingat akan perhubungan ini, kami minta dengan sangat kepada taijin agar supaya berlaku bijaksana dan suka membebaskan kedua anggauta perkumpulan kami Touw Cit dan Touw Tek yang telah ditahan oleh Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Li-hiap! Juga kawan-kawan mereka harap diberi kelonggaran.
Terima kasih atas kebijaksanaan taijin.
Hormat kami, Ketua dari Hek-i-pang
Di Tong-kwan. Thio-tihu memang pernah mendengar tentang perkumpulan ini, akan tetapi ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa Touw Cit dan Touw Tek adalah anggauta perkumpulan yang berpengaruh itu. Baru satu kali saja ia berurusan dengan perkumpulan itu, yakni pada tahun yang lalu ketika hari tahun baru, di Hun-lam kedatangan serombongan pemain Barongsai yang minta derma tanpa memberitahukan kepada rombongan Barongsai pribumi, yakni Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
127 rombongan dari Hun-lam sendiri. Maka terjadilah pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian.
Akan tetapi ternyata bahwa rombongan Barongsai Baju Hitam ini lihai sekali sehingga rombongan dari Hun-lam banyak yang menderita luka-luka. Para penjaga tak berdaya terhadap mereka, sedangkan Touw Cit dan Touw Tek yang diminta bantuannya, hanya menyatakan bahwa lebih baik rombongan dari Tong-kwan itu jangan diganggu. Maka rombongan itu melanjutkan permainannya di depan tiap rumah dan pada para hartawan di Hun-lam mereka minta jumlah sumbangan yang telah ditetapkan.
Kini setelah menerima surat ini dan melihat demonstrasi kelihaian yang diperlihatkan oleh Lui Siok dengan mencengkeram hancur ujung mejanya yang tebal dan keras itu, tentu saja Thio-tihu menjadi terkejut, gelisah dan ketakutan. Dengan lemas ia duduk kembali di kursinya dan berkata dengan suara gemetar,
"Harap saja Samwi-enghiong (bertiga orang gagah) jangan marah karena sesungguhnya urusan ini tak dapat dilakukan dengan mudah begitu saja. Bagaimana aku bisa membebaskan orang-orang yang telah menjadi tahanan karena dianggap penjahat-penjahat?"
"Taijin," berkata Lui Siok yang masih tersenyum ramah, akan tetapi matanya bersinar tajam mengerikan. "Kami orang-orang dari Hek-i-pang selalu berlaku sabar, mengalah dan memandang persahabatan. Kalau kami mau, apakah sukarnya mendatangi tempat tahanan itu dan mengeluarkan kawan-kawan kami" Akan tetapi kami tidak mau melakukan kekerasan itu dan sengaja minta kebijaksanaan taijin karena bukankah taijin yang berkuasa dan berhak membebaskan mereka" Lebih baik taijin segera menulis sepucuk surat pembebasan agar dapat kami bawa ke tempat tahanan untuk membebaskan kawan-kawan kami itu!"
Thio-tihu menjadi bingung. Menolak ia tidak berani karena maklum bahwa ketiga orang ini bukanlah orang baik-baik dan tentu akan mencelakakannya apabila ia menolak, akan tetapi untuk mentaati permintaan itu, juga sukar baginya.
15. "SAM-wi, memang benar aku yang berkuasa, akan tetapi harus kalian ketahui bahwa yang menangkap mereka bukanlah aku! Semenjak dahulu hubunganku dengan saudara Touw baik sekali, sampai datang Kang-lam Ciu-hiap dan memaksaku memberi hukuman kepada mereka.
Kalau sekarang aku melepaskan mereka, bukankah aku melakukan kesalahan besar terhadap kedua pendekar muda itu" Harus diketahui bahwa mereka itu lihai sekali dan apa dayaku terhadap mereka?"
Tiba-tiba Lui Siok si Ular Belang tertawa terbahak-bahak. "Anjing-anjing kecil itu untuk apakah ditakuti sekali" Mereka hanya pandai menyalak dan tak mampu menggigit! Tentang mereka, serahkanlah kepadaku, taijin. Setelah membebaskan Touw Cit dan Touw Tek, aku akan langsung mencari mereka di gedung Lie-wangwe."
Lega juga Thio-tihu mendengar ini, karena memang maksudnya hendak mengadu orang-orang ini dengan kedua pendekar muda ini yang tentu takkan tinggal diam. Hanya sayangnya ia telah mendengar bahwa Kang-lam Ciu-hiap meninggalkan Hun-lam kemarin sehingga kini hanya tinggal Sian-kiam Lihiap seorang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
128 Terpaksa ia membuat sepucuk surat pembebasan bagi Touw Cit dan Touw Tek dan
menyerahkan kepada Lui Siok. Si Ular Belang tertawa bergelak dan sekali lagi tangan kanannya digerakkan menghantam meja di depannya yang segera menjadi pecah bagaikan kena hantaman kampak.
"Taijin, kalau lain kali terjadi penangkapan atas diri anggauta-anggauta perkumpulan kami, bukan meja ini yang kupecahkan, akan tetapi kepala orang-orang yang bertanggung jawab dalam urusan penangkapan itu!"
Setelah berkata demikian, dengan senyum dimulut, Lui Siok mengajak kedua anak buahnya pergi meninggalkan Thio-tihu yang masih berdiri menggigil sambil memandang kepada meja yang telah rusak terpukul itu.
Dengan surat perintah dari Thio-tihu, maka mudah saja Lui Siok dan dua orang anak buahnya membebaskan Touw Cit dan Touw Tek. Kedua saudara ini segera memberi hormat dan menghaturkan terima kasih banyak kepada Lui Siok yang menjawab sambil tertawa,
"Sudahlah, pengalaman ini kalian jadikan contoh agar lain kali tidak bertindak semberono dan lebih dulu memberitahukan kepada kami apabila menghadapi urusan besar! Sekarang ceritakanlah bagaimana kalian sampai kalah terhadap Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap."
Touw Cit menceritakan pengalamannya dan ketika ia menceritakan bahwa Sian-kiam Lihiap adalah seorang anak murid Go-bi-pai pula dan bahkan anak perempuan Liok Ong Gun Kepala daerah Kiang-sui, Lui Siok membuka matanya lebar-lebar dan berseru, "Ah, kalau begitu kita telah menghadapi orang sendiri!"
Touw Cit dan kawan-kawannya heran mendengar ini, akan tetapi Lui Siok tidak mau banyak bicara, hanya berkata, "Kalian lebih baik segera kembali dulu ke Tong-kwan. Biarlah aku sendiri yang membereskan segala urusan di sini. Tidak baik kalau kalian berada terlalu lama di sini."
Touw Cit, Touw Tek dan dua orang anak buah Hek-i-pang itu tidak berani membantah dan mereka pergi menuju ke Tong-kwan. Adapun Lui Siok lalu pergi mencari Sian-kiam Lihiap Liok Tin Eng.
Siapakah sebenarnya Lui Siok ini dan mengapa ia menganggap Tin Eng sebagai orang sendiri" Si Ular Belang yang lihai ini sebenarnya bukan lain ialah murid kepala dari Bong Bi Sianjin tokoh Kim-san-pai itu! Dengan demikian maka Lui Siok ini masih terhitung kakak seperguruan dari Gan Bu Gi, pemuda yang hendak dijodohkan dengan Tin Eng dan yang sekarang menjadi perwira di gedung ayah Tin Eng itu! Lui Siok telah mendengar tentang keberuntungan Gan Bu Gi yang menjadi perwira itu, karena suhunya telah menceritakannya, maka ia tahu bahwa sutenya itu hendak dipungut menantu oleh Liok-taijin.
Ia telah mengetahui bahwa Liok-taijin adalah seorang anak murid Go-bi-pai yang pandai dan mendengar pula bahwa ilmu silat gadis yang hendak dijodohkan dengan sutenya itu bahkan lebih tinggi lagi. Maka tentu saja ia terkejut sekali mendengar bahwa yang memusuhi Touw Cit dan Touw Tek adalah Liok Tin Eng atau calon isteri dari Gan Bu Gi sutenya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
129 Pada saat itu, Tin Eng sedang berada di kebun belakang yang dikelilingi tembok tinggi dan gadis ini sedang berlatih silat seorang diri untuk menyempurnakan ilmu silat tangan kosong Sin-eng Kun-hoat yang ia pelajari dari Gwat Kong. Berbeda dengan Sin-eng Kiam-hoat yang pernah ia pelajari dari kitab salinan, untuk ilmu silat tangan kosong yang belum pernah ia pelajari sama sekali ini, ia mendapatkan berbagai kesulitan.
Baiknya ia telah ingat di luar kepala tentang teori-teorinya sehingga ia dapat melatih seorang diri dengan giat dan tekunnya. Ia sedang melatih berkali-kali gerakan dari Sin-eng Kai-peng (Garuda Sakti Membuka Sayap). Gerakan ini walaupun dimulai dengan dua lengan terpentang ke kanan kiri, akan tetapi mempunyai pecahan yang banyak macamnya, yang disesuaikan dengan gerakan dan kedudukan lawan.
Ia pernah melihat Gwat Kong mendemonstrasikan gerakan ini. Akan tetapi masih saja ia mendapatkan kesulitan dan belum merasa puas dengan gerakan sendiri yang dianggapnya masih kurang sempurna. Oleh karena itu semenjak tadi ia mengulangi lagi gerakan itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara teguran. "Aneh sekali, mengapa anak murid Go-bi-pai mainkan ilmu silat yang aneh semacam itu?"
Tin Eng cepat menengok dan melihat seorang laki-laki tua berbaju hitam berambut putih berdiri di atas tembok taman itu. Ia kaget sekali karena sama sekali ia tidak mendengar atau melihat gerakan orang ini sehingga ia dapat menduga bahwa kepandaian orang ini tentu tinggi sekali. Ia memandang dan bertanya,
"Kakek yang gagah siapakah kau dan apakah maksudmu melompat ke atas tembok lain orang?"
Kakek ini yang bukan lain adalah Lui Siok si Ular Belang, tertawa bergelak.
"Apakah kau yang disebut Sian-kiam Lihiap dan bernama Liok Tin Eng?" Ia balas bertanya.
Tin Eng mendongkol sekali karena sikap kakek ini ternyata memandang rendah, belum menjawab sudah balas bertanya.
"Kalau aku benar Sian-kiam Lihiap Liok Tin Eng, habis kau mau apakah?"
"Benar galak ...!" Lui Siok kembali tertawa. "Akan tetapi cantik manis dan gagah!" Kini ia berjongkok di atas tembok itu dan sambil tersenyum ia berkata kembali,
"Nona, ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan Hoa-coa-ji Lui Siok (Si Ular Belang)!"
Tin Eng tersenyum mengejek. "Semenjak hidupku, aku belum pernah mendengar nama dan julukan itu."
Lui Siok tidak marah, hanya tertawa lagi. "Tentu saja belum kenal karena kau masih hijau dan kurang pengalaman."
Tin Eng makin mendongkol lalu berkata ketus, "Orang tua, sebetulnya apakah maksud kedatanganmu" Apakah kau datang hanya hendak memamerkan nama dan julukanmu" Kalau benar demikian, kau salah alamat. Seharusnya kau pergi ke pasar di mana terdapat banyak orang dan kau boleh menjual nama sesuka hatimu. Aku tidak butuh julukan!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
130 "Aduh aduh! Mengapa sute berani menghadapi nona yang begini galak?" kembali Lui Siok berkata. Akan tetapi ia benar-benar cantik jelita dan gagah. Ha ha, nona kecil, jangan kau berlaku galak kepadaku. Ketahuilah bahwa aku sebetulnya masih suhengmu (kakak
seperguruan) sendiri!"
Tin Eng terkejut dan heran, akan tetapi ia makin gemas. Terang bahwa orang tua ini hendak mempermainkannya. Dari mana ia mempunyai kakak seperguruan seperti ini" Melihat atau mendengar namanya belum pernah.
"Aku tidak pernah mempunyai seorang suheng yang manapun juga!" katanya mendongkol.
"Harap jangan mengobrol di sini dan pergilah!"
"Ha ha ha! Tentu sute belum menceritakan hal suhengnya ini kepadamu. Ah, kalau bertemu dengan Gan-sute, tentu ia akan kutegur! Ketahuilah nona, Gan Bu Gi, calon suamimu itu adalah suteku! Kalau aku menjadi suhengnya, bukankah kau juga harus menyebut suheng kepadaku?"
Kini mengertilah Tin Eng, akan tetapi pengertian ini bahkan menambah kemarahannya.
Dengan muka merah ia menuding,
"Jangan kau ngaco belo! Siapa yang menjadi calon isteri orang she Gan itu" Jangan kau berlancang mulut!"
Kini Lui Siok memandang heran dan ia menggeleng-gelengkan kepala lalu berdiri di atas tembok itu.
"Heran, heran! Gan-sute benar-benar gila! Mengapa ia mau mencari jodoh dengan gadis segalak ini" Nona Liok! Ku berlaku kurang ajar terhadap saudara tua, kalau calon suamimu mendengar tentang hal ini, kau tentu akan mendapat teguran keras!"
"Tutup mulutmu yang busuk!"
Marahlah Lui Siok melihat sikap Tin Eng yang dianggapnya terlalu kurang ajar ini. Mana ada calon isteri seorang sute bersikap seperti ini terhadap seorang suheng"
"Hmmm, agaknya kau sombong karena kau telah mendapat julukan Sian-kiam Lihiap!
Ketahuilah nona galak, kedatanganku ini sebenarnya untuk mencari dan membunuh Kang-lam Ciu-hiap yang telah mengganggu kawan-kawanku yaitu Touw Cit dan Touw Tek! Tadinya kaupun hendak kuhajar, akan tetapi mendengar bahwa kau adalah calon isteri suteku, tentu saja aku tidak mau turun tangan, hanya mengharapkan sikap manis darimu dan pernyataan maaf. Sekarang sikapmu begini kurang ajar, agaknya kau mau mengandalkan kepandaian Kang-lam Ciu-hiap. Suruh dia keluar agar dapat berkenalan dengan kelihaian Hoa-coa-ji Lui Siok!"
"Kang-lam Ciu-hiap tidak berada di sini!" jawab Tin Eng dengan tabah. "Tak perduli kau menjadi suheng siapapun juga, kalau kau membela Touw Cit, berarti kaupun bukan manusia baik-baik. Bukan hanya Kang-lam Ciu-hiap yang memberi hajaran kepada Touw Cit, akan tetapi akupun mempunyai saham terbesar! Kalau kau memang berani dan berkepandaian turunlah, siapa takuti omonganmu yang besar?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
131 "Bocah kurang ajar!" Lui Siok membentak dan ia segera melompat turun dengan gerakan Chong-eng-kim-touw (Burung Sambar Kelinci), langsung menubruk dari atas dengan kedua tangan diulur dan dibuka bagaikan seekor burung garuda menyambar dan menerkam tubuh Tin Eng. Akan tetapi gadis itu telah siap menanti dan ketika tubuh lawannya telah turun dekat, kaki kanannya menyambar sambil menendang dengan keras untuk memapaki dada musuhnya itu.
"Bagus!" seru Lui Siok yang segera mengulur tangan kirinya yang tadi dibuka untuk menangkap kaki kanan Tin Eng itu. Gadis itu terkejut sekali melihat gerakan tangan memutar yang hendak menangkap kakinya dari bawah, maka ia cepat menarik kembali kakinya melompat ke kiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah pelipis lawan.
Diam-diam Lui Siok memuji kegesitan gadis ini dan cepat ia miringkan kepala dan kembali tangan kanannya menyerbu cepat untuk menangkap pergelangan tangan yang memukul itu.
Tin Eng maklum bahwa lawan ini memiliki lweekang yang kuat dan jari-jari tangan yang dibuka dan merupakan kuku garuda itu. Ia dapat menduga lawan tentulah seorang ahli dalam ilmu silat mencengkeram seperti halnya ilmu silat Eng-jiauw-kang, maka tentu saja ia tidak membiarkan tangannya ditangkap dan segera menarik kembali tangannya cepat-cepat dan menerjang lagi dengan pukulan tangan kiri.
Serangan-serangan yang dilakukan oleh Tin Eng ini adalah pukulan-pukulan dari Sin-eng Kun-hoat dan gerakannya demikian aneh sehingga untuk jurus-jurus pertama Lui Siok merasa bingung dan terkejut. Serangan-serangannya itu dapat dirubah sedemikian cepatnya dan disusul oleh serangan-serangan berikutnya yang makin lama makin cepat. Ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menggunakan cengkeraman dan tangkapannya.
Akan tetapi sayang sekali bahwa ilmu silat tangan kosong yang dipelajari oleh Tin Eng ini belum sempurna benar sehingga setelah beberapa jurus lamanya ia belum berhasil memukul lawannya. Tin Eng segera merubah ilmu silatnya dan kini ia bersilat dengan ilmu silat Go-bi-pai yang dipelajari dari ayahnya. Dalam hal ilmu silat ini, Tin Eng sudah mempunyai kepandaian yang cukup lumayan. Akan tetapi Lui Siok tertawa bergelak menghadapi ilmu silat yang dikenalnya dengan baik ini.
"Nona manis, kalau Seng Le Locianpwe melihat kau menyerang aku, tentu dia akan menegur kau! Aku kenal baik padanya!"
"Siapa sudi banyak mengobrol dengan kau?" seru Tin Eng dengan marah dan menyerang terus dengan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan keras. Ia merasa sayang sekali bahwa pedangnya tidak dibawa dan ditinggalkan di dalam kamarnya. Karena memang tadi ia sengaja datang untuk berlatih silat tangan kosong, maka ia tidak membawa-bawa pedang.
"Bangsat tua bangka!" teriaknya memaki. "Kalau kau memang gagah, tunggulah aku mengambil pedangku!"
"Ha ha ha, bocah galak. Boleh, boleh, kau ambillah pedangmu. Memang aku ingin sekali menyaksikan bagaimana lihainya pedang dari Sian-kiam Lihiap!"
Tin Eng lalu berlari masuk dan tak lama kemudian ia telah kembali membawa pedangnya.
Benar saja, Lui Siok masih menanti di situ dengan tersenyum-senyum mengejek.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
132 "Awas pedang!" seru Tin Eng yang sama sekali tidak memperdulikan lawannya yang bertangan kosong. Seruannya ini dibarengi dengan tusukan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa. Tadinya Lui Siok mengira bahwa ia akan menghadapi ilmu pedang Go-bi, dan melihat tingkat nona itu, ia merasa cukup kuat untuk menghadapi pedang nona itu dengan tangan kosong, mengandalkan lweekangnya yang jauh lebih kuat dan ilmu silatnya Siauw-kin-na Jiu-Hoat yang lihai. Akan tetapi, setelah nona itu menyerang bertubi-tubi dengan hebat sekali membuat ia harus melompat kesana ke mari menghindarkan diri, terkejutlah dia! Ilmu pedang ini sama sekali bukan ilmu pedang Go-bi-pai dan hebatnya bukan main! Belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti ini.
Biasanya menghadapi ilmu pedang biasa, ia berani menghadapi dengan kedua tangannya mengandalkan lweekang dan ilmu silatnya. Akan tetapi melihat betapa pedang ditangan gadis itu, cara menusuk dan membacoknya berbeda dengan ilmu pedang yang lain, yakni
tusukannya digetarkan dan bacokannya dibarengi gerakan mengiris, ia tidak berani berlaku gegabah dan tidak mau coba-coba untuk menangkap dan merampas pedang itu. Menghadapi serangan-serangan ini, Lui Siok tidak berani main-main lagi, bahkan kini ia berhenti tersenyum dan tak dapat mengeluarkan kata-kata ejekan lagi, akan tetapi mengerahkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menjaga diri.
Lui Siok benar-benar lihai, karena setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, pedang di tangan Tin Eng belum juga berhasil sama sekali. Gerakan kakek ini terlampau gesit dan tangannya yang kuat itu benar-benar lihai. Tiap kali pedang Tin Eng dengan gerakan aneh hampir berhasil mengenai tubuhnya, ia lalu mempergunakan jari-jari tangannya dikepretkan ke arah pedang sehingga senjata itu terpental dan tidak mengenai sasaran. Tin Eng benar-benar merasa terkejut sekali.
Akhirnya Lui Siok mengambil keputusan untuk mempergunakan senjatanya yang jarang sekali dikeluarkannya oleh karena ia maklum bahwa dengan hanya mengandalkan sepasang tangannya saja, sukarlah baginya untuk memperoleh kemenangan terhadap gadis yang lihai sekali ilmu pedangnya itu. Ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah melepaskan sehelai sabuknya yang aneh, karena sabuknya ini ternyata adalah seekor ular belang yang telah kering akan tetapi masih lemas seperti hidup saja.
Inilah yang membuat dia diberi julukan si Ular Belang, karena senjatanya ini pernah menggemparkan dunia kang-ouw. Lui Siok adatnya sombong dan angkuh, maka apabila tidak menghadapi musuh yang benar-benar tangguh, ia jarang sekali mau mempergunakan
senjatanya ini.
Tin Eng merasa agak geli melihat ular itu, dan juga jijik sekali, akan tetapi itu bukan berarti bahwa ia takut. Dengan cepat ia menyerang lagi dan ketika senjata ular itu menangkis, Tin Eng terkejut sekali karena bukan saja ular itu ternyata keras bagaikan logam, akan tetapi tangkisan itu membuat tangannya gemetar. Demikian hebatnya tenaga lweekang dari Lui Siok ini.
Tin Eng terus menyerang dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi ternyata bahwa ilmu kepandaian Lui Siok amat lihai dan tingkatnya masih lebih tinggi dari padanya.
Perlu diketahui bahwa twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua) dari Gan Bu Gi atau murid yang paling lihai dari Bong Bi Sianjin, Lui Siok ini tentu saja mempunyai kepandaian yang Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
133 amat tinggi, ditambah pula dengan pengalamannya bertempur yang sudah puluhan tahun, maka kini Tin Eng merasa terdesak hebat.
Betapapun juga, gadis itu masih dapat mempertahankan diri sampai hampir lima puluh jurus.
Akhirnya, sebuah serangan dengan sabetan ular itu ke arah lehernya membuat Tin Eng terkejut dan memperlambat gerakan pedang karena ia harus melompat ke pinggir melindungi lehernya.
Kesempatan ini dipergunakan dengan baik oleh Lui Siok yang mempergunakan tangan kirinya menyerang dengan ilmu silat mencengkeram. Sebelum Tin Eng dapat menarik, pedangnya itu telah dapat dicengkeram dan dirampas. Gadis ini masih nekad dan hendak merampas kembali pedangnya, akan tetapi pedang itu digerakkan oleh Lui Siok ke arah dada gadis itu dengan ancaman tusukan. Tin Eng miringkan tubuh dan "brett!" robeklah baju Tin Eng di bagian pinggang.
"Ha ha ha! Kau benar-benar lihai! Lihai, cantik dan galak. Kecantikan dan kepandaianmu memang membuat kau patut menjadi nyonya Gan Bu Gi, akan tetapi sayang kau terlalu galak.
Kalau aku tak ingat bahwa kau adalah anak murid Seng Le Hosiang dan calon isteri Gan-sute, tentu kau telah menggeletak tak bernyawa di depan kakiku!"
Sambil berkata demikian, Lui Siok menggerakkan tangannya mencengkeram pedang itu dan
"kreek!" patahlah pedang Tin Eng yang telah dirampas tadi. Kemudian ia melompat ke arah tembok dan lenyap dari pandangan mata Tin Eng yang marah dan penasaran sekali.
Kemudian ia mendengar dari pamannya yakni Lie-wangwe, betapa Touw Cit dan Touw Tek telah dibebaskan dari penjara oleh tihu karena ancaman Lui Siok yang lihai itu. Tin Eng menarik napas panjang dan berkata,
"Mereka memang lihai sekali. Baru terhadap seorang lawan saja aku dapat dikalahkannya, apalagi kalau mereka itu mengeluarkan jago-jago yang lain. Pek-hu, lebih baik untuk sementara waktu kita jangan mencari permusuhan dengan mereka. Kecuali kalau mereka datang mengganggu, aku akan pertaruhkan nyawaku untuk membela diri. Kalau saja Gwat Kong berada di sini, tentu mereka itu akan disapu bersih. Tanpa adanya Kang-lam Ciu-hiap, mereka terlalu berat bagiku."
Song Bu Cu, ketua Hek-i-pang adalah seorang cerdik, maka setelah berhasil membebaskan Touw Cit dan Touw Tek, ia melarang orang-orangnya untuk mengganggu kota Hun-lam. Ia adalah seorang yang ingin bekerja dengan aman, tidak suka lagi mempergunakan kekerasan seperti dulu-dulu. Ia ingin agar supaya keadaan di Hun-lam menjadi "dingin" dulu untuk kemudian menggunakan kecerdikan untuk mengeduk uang para hartawan dan pembesar.
Apalagi setelah ia mendengar dari Lui Siok bahwa Kang-lam Ciu-hiap yang menjadi musuh mereka telah pergi dan mendengar bahwa Sian-kiam Lihiap ternyata adalah tunangan Gan Bu Gi dan anak murid Seng Le Hosiang, maka tentu saja Song Bu Cu tidak berani
mengganggunya. Melihat keadaan yang aman dan tidak adanya gangguan dari pihak penjahat, tidak saja mendatangkan rasa heran kepada Tin Eng, akan tetapi juga perasaan lega, karena tanpa ada pembantu yang pandai, ia merasa percuma untuk memusuhi gerombolan yang memiliki banyak orang pandai itu. Kini ia merasa benci kepada Gan Bu Gi karena ternyata bahwa pemuda itu mempunyai seorang suheng yang berjiwa penjahat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
134 **** Gwat Kong melakukan perjalanan dengan perlahan, tidak tergesa-gesa dan orang-orang yang melihatnya akan menyangka bahwa ia adalah seorang pemuda pelancong yang lemah. Sama sekali takkan menyangka bahwa ia adalah Kang-lam Ciu-hiap, pendekar muda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw dan dalam waktu singkat telah membuat nama besar dengan mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap dan mengobrak-abrik anggauta-anggauta Hek-i-pang di kota Hun-lam.
Ia ingin pergi lagi ke Ki-hong di mana terdapat makam ibunya dan hendak bersembahyang di depan makam ibunya. Setelah ia selesai bersembahyang dan berjalan perlahan-lahan keluar dari tanah kuburan itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang menangis sedih sekali. Hatinya menjadi tergerak dan ikut terharu.
Siapakah yang menangis di kuburan itu" Suaranya menyatakan bahwa yang menangis adalah seorang laki-laki, agaknya menangisi mendiang orang tuanya atau isterinya. Biarpun hal itu tiada sangkut pautnya dengan dia, akan tetapi oleh karena Gwat Kong mempunyai perasaan halus dan hatinya mudah tergerak, ia lalu membelokkan langkah kakinya menuju ke arah suara yang menangis itu.
Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang laki-laki tua. Seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Pakaiannya biarpun putih bersih akan tetapi penuh tambalan. Di dekatnya terdapat sebuah pikulan dan keranjang terisi daun-daun dan akar-akar obat-obatan. Kakek inilah yang mengeluarkan suara tangisan demikian sedihnya sambil memukul-mukul tanah dan menjambak-jambak rambutnya.
Akan tetapi tak mungkin dia dia menangisi orang yang sudah mati, oleh karena ia tidak duduk di depan makam tertentu. Akan tetapi duduk di bawah pohon sambil memandang ke arah gundukan-gundukan tanah kuburan itu. Ketika Gwat Kong berdiri agak jauh sambil memandang heran, ia mendengar keluh kesah kakek itu di antara tangisnya.
"Dasar aku yang bernasib buruk ..... Hidupku yang lampau terlalu banyak dosa, maka aku harus menderita entah berapa tahun lagi ... ah ... nasib ... aku sudah bosan hidup .....!" Kata-kata "bosan hidup" ini ia teriakan beberapa kali sambil mengangkat kedua tangan dan memandang ke angkasa, seakan-akan ia hendak mengajukan protesnya kepada langit biru.
Gwat Kong makin terheran-heran melihat sikap kakek ini. Mengapakah kakek ini begitu sedih" Siapakah gerangan orang aneh yang sudah bosan hidup ini dan apa pula yang menyusahkan hatinya" Terdorong oleh rasa kasihan, pemuda itu melangkah maju mendekati dan bertanya,
"Lopeh, agaknya ada sesuatu yang menyusahkan hatimu. Apakah yang mengganggumu dan dapatkah kiranya aku menolongmu?"
Kakek itu mengangkat muka dan memandang. Gwat Kong tercengang karena sepasang mata kakek itu bersinar tajam dan kuat sekali sehingga ia tak kuat menatapnya lama-lama.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
135 Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak dan hal ini kembali membuat Gwat Kong tertegun keheranan. Baru saja kakek itu menangis demikian sedihnya sehingga air matanya masih nampak mengalir di sepanjang pipinya, akan tetapi kini telah dapat tertawa bergelak.
"Kau mau menolongku" Ha ha, boleh! Cabut pedangmu itu dan seranglah aku!"
Gwat Kong terkejut sekali. Pedangnya Sin-eng-kiam ia sembunyikan di balik jubahnya.
Bagaimana kakek ini bisa tahu bahwa ia membawa pedang"
"Akan tetapi .... aku ... tidak mempunyai maksud jahat, lopeh" Sesungguhnya dengan tulus hati aku ingin menolongmu kalau aku dapat."
Tiba-tiba kakek itu berdiri dan menyambar pikulannya yang terbuat dari pada bambu kuning melengkung di bagian tengah, hampir menyerupai sebatang gendewa.
"Kau mau menolongku bukan" Nah, mari kita bertempur! Kalau kau bisa menewaskanku, berarti kau telah menolongku."
Setelah berkata demikian, ia lalu menyerang dengan pikulannya ke arah kepala Gwat Kong.
Pukulan ini cepat sekali dan mendatangkan angin keras sehingga Gwat Kong merasa terkejut dan cepat-cepat melompat ke belakang. Ia merasa heran, bingung dan mendongkol sekali.
Gilakah orang ini"
Akan tetapi ia tidak sempat banyak berpikir karena kembali pikulan itu telah menyambar dan melihat gerakan yang hebat itu, ia maklum bahwa kepandaian kakek ini tak boleh dibuat permainan. Maka ia lalu mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi kakek gila ini.
"Pokiam (pedang pusaka) yang bagus!" kakek itu berseru, lalu menyerang lagi dengan cepat lebih cepat dan keras. Terpaksa Gwat Kong menangkis serangan itu dan sekali lagi ia menjadi terkejut karena tangkisannya ini membuat telapak tangannya terasa perih sekali dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangannya. Dari benturan senjata ini saja, ia maklum bahwa senjata di tangan kakek itu adalah senjata pusaka yang ampuh dan tenga lweekang orang gila ini jauh lebih tinggi dari pada lweekangnya sendiri. Maka ia tidak berani memandang ringan dan segera mainkan Sin-eng Kiam-hoat untuk menjaga diri dan balas menyerang.
"Kiam-hoat yang bagus!" seru kakek itu lagi yang memuji ilmu pedang yang dimainkan oleh Gwat Kong.
Akan tetapi kembali Gwat Kong terheran-heran karena ternyata bahwa kakek itu tidak saja bertenaga kuat dan memiliki senjata yang luar biasa, akan tetapi ilmu silatnya pun amat tinggi. Baru beberapa belas jurus saja pertempuran ini berjalan, tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar seorang yang sakti.
Tubuhnya berkelebat demikian cepat sehingga membuat pandangan matanya kabur,
sedangkan tipu gerakan kakek itu mendatangkan sambaran angin yang dahsyat.
Gwat Kong telah mengeluarkan tipu-tipu serangan yang paling ampuh dan lihai dari Sin-eng Kiam-hoat. Akan tetapi dengan amat baiknya kakek itu dapat memecahkannya, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang lebih aneh gerakannya dari pada gerakan pedangnya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi sasaran pukulan itu kalau saja ia tidak berlaku gesit.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
136 Pada suatu saat, Gwat Kong tak terasa mengeluarkan seruan kaget ketika pikulan itu dengan gerakan yang cepat sekali menusuk ke arah dadanya. Ia cepat memutar pedangnya melalui bawah lengan kirinya dan menyampok tusukan itu dari dalam dan menolak pikulan yang telah mengenai bajunya itu.
Pikulan terpental akan tetapi terus melayang lagi menghantam pinggangnya dengan kecepatan yang luar biasa sehingga tak mungkin dielakkan pula. Akan tetapi Sin-eng Kiam-hoat memang mempunyai bagian mempertahankan diri yang istimewa.
Tiba-tiba Gwat Kong ingat akan gerakan Garuda Sakti Mendekam Di Tanah. Tubuhnya lalu ditarik ke bawah dengan kaki di tekuk sehingga ia menjadi berjongkok dengan punggung direndahkan sehingga dadanya hampir menyentuh tanah, akan tetapi pedangnya terus diputar di atas kepalanya menjaga diri. Dengan gerakan yang cepat ini, ia terhindar dari pada serangan yang hebat tadi. Akan tetapi keringat dingin keluar dari jidatnya karena tadi hampir saja ia terkena celaka. Ia makin gelisah dan menjadi gentar menghadapi kakek yang benar-benar lihai ini.
Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak menunda serangannya.
"Ha ha ha! Anak muda yang baik, maukah kau menjadi muridku" Hanya memiliki Sin-eng Kiam-hoat saja, seakan-akan kau tahu barat tidak kenal timur!"
Gwat Kong adalah seorang pemuda yang cerdik dan memang sudah menjadi wataknya suka merendah. Maka tanpa sangsi-sangsi lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata,
"Kalau locianpwe sudah memberi bimbingan kepada teecu yang bodoh, teecu Bun Gwat Kong akan merasa beruntung sekali."
Melihat pemuda itu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya kepadanya, kakek itu tertawa girang, lalu mengangkat pikulan bambunya dan memukulkan pikulannya ke arah kepala Gwat Kong dengan keras.
Gwat Kong tentu saja tahu akan hal ini. Akan tetapi pemuda ini mengeraskan hatinya dan meramkan matanya. Sama sekali tidak bergerak, karena memang sesungguhnya ia memang takluk dan percaya kepada kakek yang sakti ini. Ketika pikulan itu telah dekat sekali dengan kepala Gwat Kong, tiba-tiba pikulan itu seakan-akan tertolak oleh tenaga aneh dan membalik, dibarengi suara ketawa kakek itu.
"Bagus, bagus! Kau benar percaya kepadaku. Mulai sekarang kau menjadi muridku. Namamu Bun Gwat Kong" Bagus sekali, dan aku adalah Bok Kwi Sianjin!"
Kakek itu lalu melangkah maju menghampiri gundukan-gundukan kuburan yang terdekat dan memukul-mukulkan tongkat bambunya itu kepada gundukan tanah itu sambil berkata,
"Aku tarik kembali omonganku tadi. Sekarang aku tidak ingin mati, belum bosan hidup karena aku harus menurunkan Sin-hong-tung-hoat kepada muridku ini."
Ia lalu menengok kepada Gwat Kong dan berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
137 "Gwat Kong, kau kesinilah dan bersumpah dihadapan kuburan ini bahwa kau akan
mempelajari Sin-hong-tung-hoat dengan baik kemudian mewakili suhumu membasmi
kejahatan dan memperebutkan sebutan ahli silat kelas satu di waktu mendatang!"
Gwat Kong maklum bahwa suhunya adalah seorang kakek yang beradat aneh, maka tanpa banyak bertanya ia lalu berlutut di depan beberapa gundukan tanah yang tidak diketahuinya kuburan siapa itu, lalu bersumpah.
"Teecu Bun Gwat Kong dengan disaksikan oleh gundukan kuburan-kuburan ini, bersumpah bahwa teecu akan mempelajari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bok Kwi Sianjin sebaik-baiknya. Kemudian kepandaian itu akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan, membasmi kejahatan!"
"Dan juga mewakili aku memperebutkan sebutan ahli silat kelas satu dan ilmu silat terbaik,"
kata Bok Kwi Sianjin.
"Dan juga mewakili aku memperebutkan ahli silat kelas satu dan ilmu silat terbaik," Gwat Kong mengulangi.
"Juga akan membasmi musuh-musuhku," kata pula Bok Kwi Sianjin.
16. GWAT Kong merasa terkejut dan ragu-ragu. Bagaimana ia bisa mengangkat sumpah untuk membalas musuh-musuh gurunya" Sedangkan musuh ayahnya pun ia tidak mau membalasnya karena ternyata bahwa puteri musuh ayahnya bukan orang jahat. Akan tetapi ia tidak berani membantah dan dengan cerdiknya ia mengulangi kata-kata suhunya dengan sedikit tambahan.
"Dan juga teecu akan membasmi musuh-musuh suhu yang jahat."
Ia sengaja menambah kata-katanya, "yang jahat" sehingga kalau kelak ia mendapatkan bahwa musuh suhunya bukan orang jahat, ia tidak usah membalas dendam dan berarti ia tidak melanggar sumpahnya. Kalau musuh suhunya memang jahat, jangankan menjadi musuh suhunya, biarpun tidak menjadi musuh, sudah menjadi kewajibannya untuk membasmi orang jahat! Memang Gwat Kong benar-benar cerdik dan berpikiran luas.
Bok Kwi Sianjin tertawa-tawa senang dan berkata kepada muridnya yang masih duduk di atas tanah, bersila sambil memukul-mukulkan pikulannya pada tanah keras,
"Gwat Kong kau tak kusangka-sangka adalah penemu dari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat yang kukira telah lenyap dari permukaan bumi ini. Aku tahu bahwa dulu yang mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang itu adalah Leng Po In atau Bu-eng-san, si Dewa Tanpa Bayangan.
Akan tetapi ia menjadi gila dan entah ke mana ia buang kitab itu. Tak tahunya, kau yang mendapat jodoh dan mewarisi kitab itu dan telah pula mempelajari ilmu pedangnya yang luar biasa. Ketahuilah bahwa Sin-eng Kiam-hoat ini pada seratus tahun yang lalu menjadi ilmu yang paling terkenal di barat. Akan tetapi masih belum dapat mengalahkan pengaruh ilmu tongkat Sin-hong-tung-hoat dari timur. Sucouwmu (nenek moyang guru) yang menciptakan Sin-hong-tung-hoat adalah saudara seperguruan dan keduanya selalu berusaha untuk menang sehingga entah berapa kali kedua ilmu itu diadu. Betapapun juga, dibandingkan dengan ilmu-ilmu keluaran berbagai cabang persilatan, kedua ilmu itu tidak akan kalah. Selain Go-bi, Kun-Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
138 lun, Thai-kek dan Hoa-san, yang berkembang luas dan telah terkenal, maka para ahli persilatan maklum bahwa di empat penjuru terdapat Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hong-tung-hoat dari Timur, Pat-kwa-to-hoat (Ilmu Golok Pat-kwa) dari utara dan Im-yang Siang-kiam-hoat (Ilmu Pedang Berpasangan Im-yang) dari selatan. Keempat ilmu silat ini tingkatnya sedemikian tinggi sehingga tak usah menyerah terhadap cabang-cabang persilatan yang manapun juga, oleh karena semua ini adalah ilmu silat khusus. Sin-eng Kiam-hoat khusus pelajaran pedang. Sin-hong-tung-hoat pelajaran tongkat. Pat-kwa-to-hoat permainan golok dan Im-yang Siang-kiam-hoat permainan pedang berpasangan. Tidak seperti cabang-cabang persilatan yang selain mempelajarkan banyak macam permainan sehingga tidak dapat mencapai tingkat tinggi. Juga mereka menerima murid secara serampangan saja sehingga terbukti sekarang terdapat kekacauan dan permusuhan antara Go-bi dan Hoa-san."
Mendengar ucapan suhunya yang panjang lebar itu, diam-diam Gwat Kong merasa girang karena ternyata bahwa sekali-kali suhunya bukanlah seorang gila seperti yang disangkanya semula. Memang suhunya mempunyai watak dan sikap yang aneh sekali akan tetapi setelah ia bicara, ternyata bahwa suhunya yang memiliki pengetahuan yang luas tentang keadaan di kalangan kang-ouw. Akan tetapi agaknya yang mendengar pembicaraan Bok Kwi Sianjin tadi bukan hanya Gwat Kong seorang, karena tiba-tiba terdengar suara orang mencela,
"Bok Kwi Sianjin, kau masih saja amat sombong dan tidak memandang kepada golongan lain."
Berbareng dengan habisnya perkataan ini, orang yang bicara ini muncul dan ternyata bahwa ia tadi bersembunyi di atas pohon yang besar, agak jauh dari situ sehingga Gwat Kong merasa kagum karena orang itu mempunyai pendengaran yang amat tajam serta mempunyai gerakan yang amat cepat. Ia memperhatikan dan orang ini adalah seorang tosu (pendeta penganut agama To) yang bertubuh tinggi kurus bagaikan pohon bambu, keningnya telah penuh keriput dan giginya telah ompong semua.
Akan tetapi anehnya, kedua pipinya kemerah-merahan dan sehat sekali. Sedangkan rambut dan kumis jenggotnya yang panjang semua masih hitam seperti dicat. Di punggungnya tergantung sebuah tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga.
Melihat tosu ini, Bok Kwi Sianjin tertawa terkekeh-kekeh dan bangkit dari duduknya,
"Aha! Sin Seng Cu, tidak saja kau kelihatan makin muda, akan tetapi hatimu bertambah muda saja."
Kemudian ia berkata kepada Gwat Kong yang juga sudah berdiri. "Muridku, inilah tokoh Hoa-san-pai, orang pertama yang menimbulkan kerusuhan antara Go-bi dan Hoa-san setelah ia mengalahkan Seng Le Hosiang. Agaknya ia masih saja beradat keras. Lihat saja matanya ditujukan kepadaku dengan penuh kehendak menguji kepandaian, ha ha ha!"
Mendengar nama ini, Gwat Kong menjadi terkejut dan memandang dengan penuh perhatian.
Kalau tosu itu pernah mengalahkan Seng Le Hosiang, tokoh Go-bi-pai yang pernah dijumpainya itu, dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya ilmu kepandaian tosu ini.
Sementara itu, Sin Seng Cu ketika mendengar ucapan Bok Kwi Sianjin tadi, tertawa bergelak lalu berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
139 "Bok Kwi Sianjin, agaknya kau masih mengandalkan ilmu tongkatmu Sin-hong-tung-hoat.
Mari-mari kita boleh main-main sebentar untuk saling mengukur sampai di mana kemajuan masing-masing."
Sambil berkata demikian, kedua tangan tosu itu bergerak dan tahu-tahu tongkat kepala naga itu telah berada di tangannya.
Kembali Bok Kwi Sianjin tertawa, "Sin Seng Cu! Sebelum kita tua sama tua bermain gila dengan pedang harap kau suka berlaku murah sedikit kepadaku dan menguji kebodohan pemuda yang menjadi muridku ini. Kalau dia bisa bertahan sampai dua puluh jurus menghadapi Liong-thouw-koai-tung (Tongkat Iblis Kepala Naga) di tanganmu, aku takkan menganggapmu bodoh lagi!" Kemudian kakek itu tanpa menanti jawaban Sin Seng Cu, berkata kepada Gwat Kong.
"Hayo kau cabut pedangmu dan hadapi tosu ini dengan baik sampai dua puluh jurus!"
Diam-diam Sin Seng Cu merasa mendongkol karena hendak diadu dengan murid kakek itu.
Akan tetapi iapun merasa heran sekali karena mengapa Bok Kwi Sianjin yang menjadi ahli ilmu silat tongkat, tiba-tiba mempunyai murid yang menggunakan pedang. Maka ia segera menjawab sambil tersenyum,
"Baik, baik! Kau majulah anak muda!"
"Harap totiang suka berlaku murah hati kepada teecu," kata Gwat Kong dengan hormat karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu silatnya.
Ia diberi waktu untuk melawan sampai dua puluh jurus, maka ia merasa penasaran, karena benarkah ia tidak kuat menghadapi tosu ini dalam dua puluh jurus saja" Dengan pikiran ini, ia lalu maju dan mulai menyerangnya dengan gerak tipu yang lihai dari Sin-eng Kiam-hoat.
Pertama-tama ia menyerang dengan tusukan pedang pada leher tosu itu dalam gerak tipu Sin-eng-chio-cu (Garuda Sakti Rebut Mestika) dan ketika tosu itu mengelak sambil gerakkan tongkatnya yang aneh itu untuk menyabet pedang, ia segera menarik kembali pedangnya dan membuka serangan kedua dengan gerakan Sin-eng-hian-bwe (Garuda Sakti Memperlihatkan Ekor). Gerakan kedua ini dilakukan dengan membalikkan tubuh lalu tiba-tiba pedang diluncurkan dari bawah lengan kiri dengan tidak terduga-duga dan cepat sekali.
"Bagus!" seru Sin Seng Cu memuji karena ia benar-benar tertegun melihat gerakan yang cepat dan aneh ini sehingga ia harus cepat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi dadanya yang hendak disate. Tak pernah ia menyangka bahwa pemuda ini memiliki gerakan pedang yang demikian aneh dan cepat, maka ia segera berseru keras dan sebentar saja tongkat kepala naga di tangannya menyambar-nyambar ke atas dan ke bawah, mengurung Gwat Kong dengan sinarnya. Tongkat itu kini seakan-akan berubah menjadi belasan batang dan semua mengancam jalan darah dan bagian yang berbahaya dari tubuh Gwat Kong.
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat mempergunakan ginkangnya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melakukan perlawanan. Ia mengeluarkan gerakan Sin-eng Kiam-hoat yang paling sukar dan tinggi setelah ia putar-putar pedangnya dengan gerakan Hwee-eng-Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
140 koan-jit (Garuda Terbang Menutup Matahari), barulah ia dapat pecahkan serangan tosu yang lihai itu.
Sin Seng Cu adalah seorang tosu yang terkenal mempunyai watak keras tidak mau kalah.
Ketika tadi menerima permintaan Bok Kwi Sianjin untuk menghadapi pemuda itu, ia memandang rendah dan merasa pasti bahwa ia tentu akan berhasil mengalahkan pemuda itu sebelum dua puluh jurus.
Kini melihat betapa sepuluh jurus telah berlalu tanpa ia dapat merobohkan lawannya, ia menjadi penasaran sekali berbareng kaget. Ilmu pedang pemuda ini benar-benar lihai sekali dan tingkatnya tidak berada di sebelah bawah ilmu tongkatnya. Kalau pemuda ini sudah begini lihai, tentu Bok Kwi Sianjin telah memiliki ilmu silat yang tak dapat diukur tingginya.
Ia heran sekali karena ia belum pernah mendengar kakek itu memiliki ilmu pedang dan ketika ia memperhatikan ilmu pedang dari Gwat Kong, ia makin menjadi heran.


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berseru keras karena hatinya mulai menjadi panas, Sin Seng Cu lalu menyerang makin hebat dan kini ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan pemuda itu. Biarpun untuk dapat mencapai maksudnya itu ia harus memukul hancur kepala lawannya yang muda!
Ia maklum bahwa terhadap pemuda ini ia tak bisa main-main dan berlaku murah karena tanpa penyerangan yang sungguh-sungguh dan mati-matian, agaknya tak mungkin ia akan dapat mengalahkan pemuda ini, jangankan hendak merobohkannya dalam dua puluh jurus.
Sebaliknya, sungguhpun Gwat Kong dapat mengimbangi permainan tosu itu, akan tetapi ia merasa betapa beratnya menghadapi lawan ini. Tiap kali tongkat itu menyerempet pedangnya, ia merasa seakan-akan lengannya menjadi kaku. Akan tetapi Gwat Kong memiliki ketabahan luar biasa yang membuat hatinya tenang dan matanya tajam waspada sehingga biarpun ia terdesak hebat.
Akan tetapi ia masih belum berada dalam keadaan berbahaya dan masih sanggup menangkis atau mengelak sambil melakukan serangan balasan yang tak kalah lihainya. Biarpun kedudukannya kalah kuat karena selain kalah tenaga, juga kalah pengalaman dan keuletan, akan tetapi ia dapat membalas tiap serangan sehingga boleh dibilang bahwa pertempuran itu tak terlalu berat sebelah dan cukup ramai.
Dua puluh jurus telah lewat tanpa ada yang terkena senjata. Dua puluh lima jurus, tiga puluh jurus! Tetap saja Gwat Kong dapat mempertahankan diri. Tiba-tiba Sin Seng Cu melompat mundur dan menahan tongkatnya, sedangkan Gwat Kong dengan hati lega juga berdiri dan menjura terhadap tosu itu.
"Bok Kwi Sianjin," Sin Seng Cu menegur dengan muka merah. "Jangan kau main-main.
Siapakah sebetulnya pemuda ini" Bukankah ilmu pedangnya itu Sin-eng Kiam-hoat?"
Bok Kwi Sianjin tertawa puas. "Ha ha ha! Matamu tajam juga, Sin Seng Cu. Memang dia ini ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, dan sekarang dia juga calon ahli waris Sin-hong-tung-hoat."
"Bok Kwi Sianjin, kau berlaku tolol," kata Sin Seng Cu mengejek. "Bukan aku merasa takut kepada Sin-eng Kiam-hoat digabung dengan Sin-hong-tung-hoat. Akan tetapi, dengan terpisahnya kedua ilmu itu, kalau yang satu terbawa sesat, yang lain dapat menahannya. Kalau Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
141 tergabung dalam diri seorang, lalu ia bermata gelap dan menjalani lorong kesesatan, bukankah sama dengan mencari penyakit?"
"Sin Seng Cu, kau berpandangan picik. Aku tidak sembarangan menurunkan ilmu kepada orang yang lemah iman. Tidak seperti kau dan golonganmu yang mengobral kepandaian kepada siapa saja yang mau belajar sehingga banyak anak muridmu yang memancing kekacauan dan permusuhan. Bagiku seorang murid yang baik lebih berharga dari pada seribu orang murid yang tak benar."
"Bok Kwi Sianjin, masih saja kau memperlihatkan kesombonganmu! Sebetulnya sampai di mana sih, kelihaian Sin-hong-tung-hoat" Seakan-akan di kolong langit ini tak ada ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu tongkatmu itu."
"Kepandaian dan ilmu yang tinggi memang banyak, sayangnya orang-orang yang patut memiliki kepandaian itu sedikit sekali," jawab Bok Kwi Sianjin.
Diam-diam Gwat Kong mendengarkan perdebatan yang sukar ia mengerti ini dengan penuh perhatian.
"Bok Kwi, cukup kita bermain lidah. Marilah kita main-main sebentar agar aku dapat merasai di mana kemajuan tongkatmu."
Bok Kwi Sianjin tersenyum lalu mengambil pikulannya yang tadi ditaruh di atas tanah dekat keranjang obatnya. Kedua kakek itu saling berhadapan dengan senjata masing-masing.
Tongkat di tangan Sin Seng Cu lebih besar dan panjang dan nampak mengerikan dengan ujung kepala naga itu. Ia memegang tongkatnya dengan lengan kanan di depan lurus ke bawah dengan lengan di atas tongkat, sedangkan tangan kiri di belakang kepala memegang ujung tongkat yang berkepala naga, menyangga di bawah tongkat itu. Inilah sikap pembukaan dari ilmu toya Heng-cia-kun-hoat yang terkenal.
Sebaliknya Bok Kwi Sianjin juga lalu membuka permainannya dengan Sin-hong-kai-peng (Burung Hong Sakti Buka Sayap), yakni gerakan permulaan dari Sin-hong-tung-hoat. Kedua kakek ini saling pandang dengan tajam, bersikap waspada dan hati-hati karena keduanya maklum bahwa lawan yang dihadapinya bukanlah lawan yang ringan.
Gwat Kong duduk di bawah pohon dan memandang dengan penuh perhatian. Pertempuran yang akan berlangsung antara dua orang tokoh besar dunia persilatan ini amat menarik hatinya dan oleh karena ia akan mendpatkan latihan dari Bok Kwi Sianjin yang telah menjadi gurunya, maka ia pusatkan perhatiannya kepada Sin Seng Cu untuk melihat bagaimana tokoh Hoa-san-pai ini bersilat.
"Sin Seng Cu, majulah!" seru Bok Kwi Sianjin tanpa bergerak dari pasangan kuda-kudanya yang amat teguh.
"Bok Kwi, awas serangan!" Sin Seng Cu membentak dan berbareng dengan bentakan ini, tongkat kepala naga di tangannya bergerak cepat membuka serangan menyambar kepala lawan. Bok Kwi Sianjin juga menggerakkan pikulannya dan terdengar suara keras sekali ketika dua batang senjata itu bertumbuk.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
142 Ternyata dalam gebrakan pertama ini, keduanya sengaja hendak mencoba senjata dan tenaga masing-masing dan terpentalnya kedua senjata itu membuat mereka maklum bahwa tenaga mereka seimbang. Maklumlah mereka bahwa untuk dapat memperoleh kemenangan, mereka hanya harus mengandalkan kegesitan dan kesempurnaan ilmu silat masing-masing.
"Bok Kwi, jagalah baik-baik!" Sin Seng Cu berseru keras dan ia segera melanjutkan serangannya dengan gerakan yang cepat dan berbahaya sekali datangnya.
"Bagus!" seru Bok Kwi Sianjin yang segera mengimbangi permainan lawannya dan pikulan di kedua tangannya lalu bergerak berputar-putar sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus oleh sinar senjatanya. Sin Seng Cu kagum sekali melihat ini dan iapun menyerang lebih cepat lagi.
Tongkat kepala naga ditangannya menyambar-nyambar bagaikan seekor naga tulen yang tiba-tiba menjadi hidup dan mengancam kepala dan dada Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi kakek ini dengan tenang, cepat sekali dapat menangkis semua serangan. Bahkan lalu mengembalikan serangan lawan dengan luncuran kedua ujung pikulannya yang dapat bergerak secara lihai sekali.
Sungguhpun pikulan di tangannya itu hanya berujung dua, akan tetapi gerakan-gerakannya membuat pikulan itu seakan-akan mempunyai lima bagian yang digunakan untuk menyerang dan inilah kelihaian Sin-hong-tung-hoat (Ilmu Tongkat Burung Hong Sakti). Burung Hong atau segala burung sakti apabila berkelahi selalu menggunakan lima senjatanya untuk menyerang, yakni sepasang sayapnya untuk menampar, sepasang kaki untuk mencengkeram dan sebuah paruh untuk menusuk dan mematuk.
Berdasarkan gerakan lima senjata inilah ilmu tongkat itu diciptakan sehingga pikulan itu kedua ujungnya menyambar-nyambar dengan gerakan dan perubahan yang aneh dan tak terduga oleh lawan. Kadang-kadang merupakan paruh burung menusuk mata atau menyerang kepala. Kadang-kadang merupakan sayap burung yang menyabet pundak kanan atau kiri. Dan kadang-kadang merupakan sepasang cakar burung yang menyerang dan menusuk tubuh bagian bawah dari lambung ke bawah.
Gwat Kong tidak begitu memperhatikan permainan silat gurunya oleh karena ia pikir kelak tentu akan mempelajarinya pula dan ia mencurahkan perhatiannya kepada Sin Seng Cu. Tadi ketika ia bertempur menghadapi tosu itu, keadaannya amat terdesak sehingga tak mungkin baginya untuk memperhatikan gerakan lawan. Maka kini ia memperhatikan dengan amat tertarik.
Ternyata olehnya bahwa gerakan-gerakan kaki dari tokoh Hoa-san-pai ini berdasarkan ilmu silat Sha-kak-kun-hoat (Ilmu Silat Segi Tiga). Kedua kakinya selalu membuat gerakan langkah segi tiga yang teratur sekali sehingga bagaimana tosu itu diserang oleh lawan, selalu lawannya berada tepat di depannya. Senjata lawan takkan dapat menyerangnya dari pinggir kanan maupun kiri karena setiap kali tubuh lawannya bergerak, kedua kakinya ikut pula bergerak membentuk segi tiga yang baru sehingga selalu ia menghadapi lawannya dengan hanya menggerakan sedikit kedua kakinya.
Memang dalam persilatan, menghadapi serangan dari jurusan depan yang lurus lebih mudah ditangkis atau dikelit dari pada menghadapi serangan dari samping. Perubahan serangan yang datang dari depan mudah sekali dilihat perubahannya dengan hanya memandang gerakan Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
143 pundak lawan. Akan tetapi perubahan serangan dari samping lebih sukar diketahui dan sering kali seorang ahli silat dijatuhkan oleh lawannya dengan menggunakan serangan yang menyerong dari samping kiri. Oleh karena itu, maka gerakan kaki yang berdasarkan Sha-kak-kun-hoat dan yang selalu membentuk garis-garis segi tiga dengan sepasang kaki dalam pergerakkannya itu, amat praktis dan kuat kedudukannya.
Adapun gerakan ilmu tongkat yang dimainkan Sin Seng Cu, sungguhpun cukup
mengagumkan dan mempunyai perkembangan yang amat banyak, namun bagi Gwat Kong
tidak ada bagian-bagian yang luar biasa. Kalau saja permainan ilmu tongkat dari Sin Seng Cu itu tidak digerakkan dengan lweekang dan ginkang yang sedemikian tinggi tingkatnya, pemuda ini merasa sanggup untuk menghadapinya dan mengalahkannya.
Memang betul, ilmu tongkat yang dimainkan Sin Seng Cu, ternyata masih jauh untuk dapat melawan Sin-hong-tung-hoat yang dimainkan oleh Bok Kwi Sianjin. Tadi ketika melawan Gwat Kong, ia dapat mendesak mengatasi pemuda itu oleh karena dalam hal lweekang dan ginkang, ia masih lebih unggul.
Akan tetapi kini, menghadapi Bok Kwi Sianjin yang tingkat tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh tidak berada di sebelah bawahnya. Bahkan lebih menang sedikit, tentu saja ia menjadi sibuk dan sebentar saja, setelah mereka bertempur selama lima puluh jurus, Sin Seng Cu mulai merasa kewalahan! Beberapa kali ia kena dibingungkan oleh gerak tipu silat dari Sin-hong-tung-hoat dan sama sekali tidak dapat menduga bagaimana perubahan dari serangan selanjutnya. Dengan demikian, maka ia tidak berani membalas dengan serangan, hanya menanti datangnya serangan lawan yang membuatnya terdesak dan mulai main mundur.
Bok Kwi Sianjin tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan pukulan-pukulan terlihai dari ilmu tongkatnya. Akan tetapi kakek ini tidak bermaksud kejam dan tiap kali ujung tongkatnya telah berhasil "memasuki" lowongan pertahanan Sin Seng Cu, senjata itu tidak diteruskan, melainkan ditariknya kembali secepatnya tanpa melukai Sin Seng Cu.
Tosu dari Hoa-san-pai itu adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya. Maka tentu saja iapun tahu akan hal ini dan maklum pula bahwa apabila dikehendaki, Bok Kwi Sianjin pasti telah berhasil merobohkannya. Sin Seng Cu terkenal sebagai seorang tosu yang belum berhasil menundukkan "tujuh musuh di dalam tubuh" yakni perasaan-perasaan senang-susah, marah, malu dan sebagainya. Maka ia terkenal sebagai seorang yang tidak mau kalah oleh orang lain. Nafsunya masih besar dan kuat menguasai hati dan pikirannya. Oleh karena itu, ia tidak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga, terutama dalam hal mengadu kepandaian silat.
Akan tetapi, ia bukanlah seorang bermuka tebal yang tak tahu diri. Maka menghadapi Bok Kwi Sianjin, ia tahu bahwa kepandaiannya masih belum dapat menandingi kesaktian Bok Kwi Sianjin. Kalau ia teruskan dan sampai ia kena dirobohkan atau terluka, ia mendapat malu yang lebih besar lagi, maka cepat ia meloncat jauh ke belakang dan berkata,
"Bok Kwi, kau benar-benar lihai! Biarlah lain kali aku minta berkenalan lagi dengan tongkatmu!" Setelah berkata demikian tosu itu berkelebat cepat dan pergi dari tempat itu.
Bok Kwi Sianjin tertawa dan berkata kepada Gwat Kong, "Muridku, lain kali kau lah yang wajib menghadapinya!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
144 Gwat Kong buru-buru berlutut dan berkata, "Akan tetapi tosu itu lihai sekali suhu."
"Memang dia lihai, namun bukan tak dapat terkalahkan! Ingatlah Gwat Kong, makin tinggi seseorang mengangkat diri sendiri, makin banyak bahaya ia akan jatuh ke bawah secepatnya.
Sin Seng Cu terlalu mengagulkan kepandaian. Menilai kepandaian sendiri terlampau tinggi dan memandang rendah kepada orang-orang lain. Oleh karena itulah maka di antara saudara-saudaranya, yakni tokoh-tokoh besar dari Hoa-san-pai, hanya dia seorang yang mempunyai banyak musuh. Kalau hari ini ia tidak mengangkat diri sendiri terlalu tinggi, tak mungkin dia mengadu tongkat dengan aku dan ia takkan menerima kekalahan pula. Ha ha ha! Percuma saja dia menjadi seorang tosu yang sudah bertapa puluhan tahun. Ternyata ia belum dapat melihat bahwa tidak ada perbedaan antara atas dan bawah maupun antara tinggi dan rendah. Jangan kira bahwa siapa yang berada di atas itu lebih tinggi dari pada yang berada di bawah! Yang berpikir demikian, ia akhirnya akan kecele dan kecewa! Gwat Kong, kau tak usah takut terhadap seorang seperti Sin Seng Cu. Lebih berhati-hatilah terhadap seorang yang nampaknya bodoh tak berkepandaian karena biasanya mereka inilah yang benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Tepat sekali kata-kata tua yang menyatakan bahwa gentong penuh air takkan berbunyi."
Gwat Kong menghaturkan terima kasih dan berjanji akan memperhatikan semua petunjuk dan petuah suhunya. Kemudian atas permintaan Bok Kwi Sianjin, Gwat Kong menuturkan asal mulanya ia belajar silat, yakni dari penemuan kitab ilmu silat Garuda Sakti.
Mendengar penuturan ini Bok Kwi Sianjin menjadi kagum sekali dan menarik napas panjang lalu berkata, "Aaah, kalau demikian, benar kata suhu dulu bahwa di antara empat ilmu yang terdapat di empat penjuru, Sin-eng Kiam-hoat boleh dibilang menduduki tempat tertinggi.
Kau yang tadinya tidak pernah belajar silat, dengan hanya belajar sendiri tanpa pimpinan guru yang pandai, hanya membaca kitab pelajaran itu, telah mempunyai kepandaian lumayan dan dapat bertahan menghadapi Sin Seng Cu sampai tiga puluh jurus. Benar-benar hebat sekali!
Kalau saja kau mempelajari Sin-eng Kiam-hoat lebih lama dan dipimpin oleh guru pandai, sekarang juga aku takkan dapat mengalahkan kau!"
Bok Kwi Sianjin lalu mengajak Gwat Kong pergi ke tempat pertapaannya, yakni di sebuah gua di tepi sungai Huang-ho. Karena gua ini berada di dalam hutan yang amat liar, maka tak ada orang lain yang mengetahui tempat ini, kecuali tokoh-tokoh persilatan kalangan atas yang telah kenal kepada Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi, oleh karena merekapun tahu bahwa Bok Kwi Sianjin jarang berada di tempat pertapaannya dan seringkali pergi merantau, maka jarang ada kenalan yang datang ke tempat itu.
Gwat Kong mendapat latihan Sin-hong-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Burung Hong Sakti yang amat lihai. Juga selain ilmu silat ini, ia mendapat tambahan latihan lweekang dan ginkang dan ilmu pedangnya juga mendapat kemajuan karena diberi petunjuk-petunjuk oleh Bok Kwi Sianjin yang memiliki dasar ilmu silat yang amat tinggi dan pengalaman yang luas sekali.
Setelah tinggal bersama kakek itu, Gwat Kong mendapat tahu bahwa selain tinggi ilmu silatnya, suhunya itu juga seorang ahli ilmu pengobatan maka ia menjadi kagum sekali dan sedikit-sedikit ia mempelajari pula ilmu pengobatan yang ada hubungannya dengan persilatan, misalnya cara menyambung tulang patah, mengobati luka-luka karena senjata tajam atau luka-luka dalam karena pukulan, serta obat-obat pemunah racun-racun yang banyak dipergunakan oleh ahli-ahli silat golongan hitam, yakni para penjahat yang berilmu tinggi.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
145 Dengan amat rajin dan penuh ketekunan, Gwat Kong mempelajari ilmu kepandaian di tepi Huang-ho di bawah pimpinan dan gemblengan Bok Kwi Sianjin. Kakek ini merasa girang sekali melihat kerajinan muridnya dan merasa kagum karena pemuda itu ternyata amat cerdik dan cepat memperoleh kemajuan.
**** Kita tinggalkan dulu Gwat Kong yang sedang mengejar ilmu di tepi Sungai Huang-ho, di dalam hutan yang liar itu, dan marilah kita menengok keadaan Tin Eng yang tinggal di rumah pamannya, yakni Lie Kun Cwan atau Lie-wangwe (Hartawan Lie).
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tin Eng telah didatangi oleh Lui Siok yang menjadi suheng dari Gan Bu Gi dan gadis itu telah dikalahkan dalam sebuah pertempuran, bahkan pedangnya telah dipatahkan oleh Hoa-coa-ji Lui Siok si Ular Belang yang lihai itu.
Karena kekalahan ini dan karena maklum akan kelihaian para pemimpin Hek-i-pang, maka Tin Eng makin giat mematangkan ilmu pedangnya di rumah pamannya.
Ia merasa lega karena ternyata bahwa Hek-i-pang selanjutnya tidak mengganggu kota Hun-lam lagi. Ia tidak tahu bahwa hal ini adalah karena kelicinan Song Bu Cu ketua dari Hek-ipang yang tidak mau berlaku kasar, dan pula orang-orang Hek-i-pang itu masih merasa sungkan-sungkan untuk bermusuhan dengan Tin Eng, mengingat bahwa gadis ini adalah
"calon isteri" Gan Bu Gi dan puteri dari Liok Ong Gun, Kepala daerah Kiang-sui dan anak murid Go-bi-pai.
Di dekat kota Hun-lam terdapat sebuah danau yang cukup indah dan setiap datang musim semi, banyak sekali pelancong dari dalam dan luar kota menghibur diri di danau itu sambil berperahu atau duduk di tepi danau memancing ikan atau bercakap-cakap dengan sahabat-sahabat sambil minum arak.
Pada suatu hari, karena merasa kesepian berada di rumah seorang diri sedangkan pamannya mengurus perdagangan di luar kota, Tin Eng keluar dari rumah dan berpesiar seorang diri di danau itu. Telah dua kali Tin Eng mengunjungi danau Oei-hu itu dan ia senang sekali menyewa perahu kecil, mendayung seorang diri dan bermain-main di atas telaga yang indah.
Hari itu udara cerah dan di danau itu terdapat banyak sekali pelancong. Perahu-perahu kecil besar bergerak ke sana ke mari di atas danau yang airnya bergerak-gerak perlahan sehingga bunga-bunga teratai yang bertumbuh di pinggir telaga ikut pula bergoyang-goyang seakan-akan menari-nari gembira. Dari perahu-perahu itu terdengar suara orang bercakap-cakap dengan senang dan diselingi suara ketawa. Juga terdengar suara orang bernyanyi diiringi oleh yang-kim yang amat merdu.
Tin Eng menyewa sebuah perahu kecil yang pada saat seperti itu jumlah sewanya dinaikkan semuanya oleh tukang perahu. Saat-saat seperti itu merupakan saat yang baik dan menguntungkan bagi para tukang perahu oleh karena para pelancong itu, terutama yang datang dari luar kota, amat berani membayar mahal untuk perahu-perahu yang mereka sewa.
Perahu yang disewa oleh Tin Eng biarpun kecil, akan tetapi cukup indah dengan kepala perahu diukir seperti seekor ular besar menjulurkan lidahnya. Tin Eng mendayung perahunya ke tengah dengan gembira sekali. Banyak mata pemuda-pemuda pelancong memandang Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
146 kagum kepada gadis yang mengenakan pakaian biru dengan lengan baju agak pendek itu sehingga nampak sampai di atas pergelangan tangan.
Sungguhpun mereka merasa kagum akan kecantikan Tin Eng dan merasa heran karena melihat seorang gadis muda yang cantik jelita berpesiar seorang diri bahkan mendayung perahu seorang diri pula. Akan tetapi melihat sikap dan gerak-gerik Tin Eng, mereka dapat menduga bahwa gadis itu tentulah seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat dan bukan seorang gadis biasa. Oleh karena itu, mereka tidak berani berlaku kurang ajar hanya memandang dengan kagum.
Tentu saja mereka ini terdiri dari laki-laki yang datang dari luar kota Hun-lam. Oleh karena orang-orang dari Hun-lam sendiri sebagian besar telah tahu dan kenal gadis ini, yang bukan lain ialah Sian-kiam Lihiap si pendekar Wanita Pedang Dewa yang telah mengobrak-abrik penjahat-penjahat yang mengganggu Hun-lam. Ketika Tin Eng tiba di tempat itu, mereka ini lalu memberi hormat dengan menjura atau menganggukkan kepala yang dibalas oleh Tin Eng dengan anggukan kepala dan senyuman manis.
Melihat betapa banyak orang agaknya kenal dan menghormati gadis muda itu, orang-orang dari luar kota segera mengajukan pertanyaan kepada orang-orang Hun-lam, dan yang ditanya dengan senang hati dan bangga menceritakan keadaan dan kelihaian Tin Eng. Tentu saja dengan bumbu dan tambahan betapa dara jelita itu seorang diri telah menghalau pergi ratusan perampok.
Bahkan di antara mereka itu ada yang secara berani mati menuturkan bahwa Tin Eng adalah sebangsa Kiam-hiap, pendekar pedang yang memiliki Hui-kiam (pedang terbang) dan yang dapat mengambil kepala penjahat dari jarak puluhan tombak dengan hanya melontarkan pedangnya yang dapat terbang, memenggal kepala lawan dan membawa kepala itu kembali kepada si gadis. Biarpun penuturan ini simpang siur dan dilebih-lebihkan, akan tetapi cukup untuk membuat para pendengarnya meleletkan lidah dan kini mereka memandang ke arah Tin Eng dengan lebih kagum lagi.
17 " TIN ENG tidak memperdulikan itu semua dan ia pura-pura tidak melihat pandang mata orang-orang yang ditujukan kepadanya dengan kagum, akan tetapi segera mendayung pergi perahunya menuju ke tengah danau. Ia tidak tahu bahwa di antara sekian banyak pendengar yang menjadi kagum mendengar dongeng dan obrolan orang-orang Hun-lam itu terdapat dua orang muda yang cukup menarik perhatian.
Mereka ini adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia mereka paling banyak delapan belas tahun akan tetapi sikap mereka menyatakan bahwa mereka itu selain agung dan tampan, juga bersikap gagah seperti orang-orang yang pandai ilmu silat. Gadis ini berbaju hijau, bercelana hitam dan wajahnya cantik manis dengan rambut dikuncir yang melambai ke belakang punggung. Di atas rambutnya sebelah kanan terdapat sebuah hiasan rambut bunga emas.
Pemudanya tampan dan gagah, tidak memakai topi dan rambutnya yang panjang dan hitam juga dikuncir ke belakang seperti biasa pemuda-pemuda bangsawan-bangsawan pada waktu itu. Bajunya putih dan celana Hitam, terbuat dari pada bahan-bahan yang mahal.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
147 Setelah mendengar penuturan orang-orang Hun-lam itu, mereka berdua memandang ke arah Tin Eng dengan penuh perhatian. Kemudian mereka menjauhkan diri dari orang banyak dan bicara bisik-bisik, lalu menyewa perahu dan mendayungnya ke tengah danau.
Setelah berada di tengah-tengah danau itu, Tin Eng melepaskan dayungnya ke dalam perahu dan membiarkan perahunya bergerak perlahan. Ia menikmati pemandangan di sekitarnya sambil duduk termenung. Pikirannya makin melayang jauh ketika sayup-sayup ia mendengar suara penyanyi wanita dari sebuah perahu besar menyanyikan lagu asmara yang mengelus hati.
Ia lalu mendayung perahunya mendekat, karena suara itu merdu benar dan ia ingin mendengar kata-katanya lebih jelas. Setelah berada dekat, lagu asmara itu diulangi lagi dengan suara merdu dari penyanyi di dalam perahu besar dan kini ia dapat mendengar dengan jelas.
Danau Oei dengan airnya yang seperti kaca,
Bagaikan hati seorang teruna yang setia!
Biarpun musim bunga datang dan pergi pula.
Biarpun teratai jelita akan lenyap sebelum lama
Danau Oei tetap menanti ......... menanti setia!
Ah, betapa inginku menjadi teratai jelita.
Mempunyai kekasih yang demikian setia .......!
Betapa inginku ......... menjadi teratai jelita ......!
Lagu asmara yang dinyanyikan dengan suara merdu merayu ini membawa Tin Eng ke alam lamunan yang lebih tinggi. Ia menatap permukaan air yang penuh bayang-bayang indah dari luar dan tiba-tiba ia melihat wajah orang di dalam bayangan air yang ketika diperhatikannya betul-betul ternyata adalah bayangan wajah Gwat Kong! Tin Eng terkejut dan sadar dari lamunannya, dan ketika ia memandang kembali ke dalam air, ternyata bayangan itu telah lenyap. Mengapa tanpa terasa wajah pemuda itu terbayang" Ia suka dan kagum sekali kepada pemuda itu, akan tetapi cinta ....."
Ah, ia tidak mengerti. Ketika Gwat Kong masih menjadi pelayan, ia telah suka kepada pemuda itu tanpa disertai kekaguman. Dan tentang kekaguman ini dulu iapun kagum kepada Gan Bu Gi. Dan ternyata bahwa kini jangankan mencinta, bahkan ia merasa benci kepada pemuda she Gan itu!
Kata-kata dalam lagu tadi membuat ia berpikir-pikir tentang cinta dan sampai saat itupun ia tidak tahu apakah ia mencinta Gwat Kong. Memang mendalam sekali isi kata-kata lagu itu dan iapun suka menjadi seperti teratai jelita kalau mempunyai kekasih yang demikian setia air danau Oei-hu. Ia tahu bahwa Gwat Kong mencintainya. Hal ini telah diutarakan oleh pemuda itu ketika mabok di rumahnya dan pengutaraan itu dulu telah membuatnya menjadi marah sehingga hampir saja ia membunuh pemuda itu!
Akan tetapi, sesungguhnya kemarahan itu bukanlah sekali-kali karena Gwat Kong karena mencurahkan cintanya dengan ucapan-ucapan penuh sindiran itu. Akan tetapi adalah karena tuduhan-tuduhan Gwat Kong yang mengatakan bahwa ia tidak berjantung tidak kenal budi dan menyindir pula menyatakan bahwa setelah bertemu dengan Gan Bu Gi, lalu lupa kepada pemuda itu yang hanya seorang pelayan. Bahwa ia tergila-gila oleh harta dan kedudukan!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
148 Akan tetapi, ia maklum bahwa tentu Gwat Kong menduga bahwa ia marah karena tidak sudi mendengar pengakuan cinta pemuda itu yang dianggapnya rendah! Dengan demikian, dalam anggapan Gwat Kong, ketika pemuda itu masih menjadi pelayan, ia tidak menyukainya, dan sekarang setelah diketahuinya bahwa Gwat Kong ternyata pandai ilmu silat bahkan putera pembesar pula, apakah ia akan menyatakan cintanya kepada pemuda itu"
Memikirkan hal ini, tiba-tiba wajah Tin Eng menjadi merah. Tentu, tentu Gwat Kong akan berpikir demikian dan tentu pemuda itu akan memandangnya sebagai seorang gadis yang rendah budi, yang hanya memandang keadaan dan tergila-gila oleh pangkat dan kedudukan.
Seorang gadis yang dulu membenci pemuda pelayan, akan tetapi berbalik pikir karena melihat bahwa pelayan itu ternyata seorang putera pembesar yang pandai! Ah, tidak! Aku tak boleh merendahkan diri semacam itu!
Demikian Tin Eng berpikir dengan marah kepada diri sendiri. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa berduka karena semenjak Gwat Kong lari dari rumah, semenjak ia menusuk dada pemuda itu, telah timbul perasaan yang aneh dalam hatinya terhadap Gwat Kong. Perasaan itulah yang membuat ia mengeluarkan air mata apabila teringat akan luka di lengan pemuda itu akibat ujung pedangnya. Dan perasaan itu pulalah yang memperkuat hatinya sehingga terpaksa ia melarikan diri dari rumah ketika ayahnya hendak memaksa dia kawin dengan Gan Bu Gi.
Dalam keadaan masih dimabok lamunan, Tin Eng tidak melihat atau mendengar ketika sebuah perahu lain dengan cepat meluncur ke arah perahunya, seakan-akan hendak menubruk perahunya!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari sebuah perahu yang juga meluncur cepat menuju ke tempat itu, "Adik Tin Eng! Awas perahu di sebelah kanan!"
Terkejutlah Tin Eng yang sadar dari lamunannya. Ia cepat menoleh dan melihat sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang pemuda dan seorang gadis, sedang meluncur cepat ke arah perahunya sendiri, hanya terpisah setombak saja lagi! Dua orang penumpangnya itu kini memegang dayung mereka untuk mendorong perahu Tin Eng yang menghadang di jalan.
Tin Eng terkejut karena maklum bahwa dorongan itu akan berbahaya sekali bagi perahunya karena kalau terlalu keras bisa membuat perahunya terguling. Maka ia lalu cepat menyambar dayungnya dan menggerakkan dayungnya itu cepat-cepat ke kanan sambil membentak,
"Minggir!" Tin Eng menggunakan tenaga lweekangnya dan dengan cepat dayungnya
digerakkan menyapu dua dayung pemuda dan gadis itu yang segera tertangkis dan terpental hampir terlepas dari pegangan! Tin Eng tidak berhenti dengan tangkisan itu saja oleh karena kepala perahu itu hampir menumbuk perahunya, sehingga keadaan masih tetap berbahaya. Ia lalu membungkukkan tubuhnya dan dayungnya cepat sekali didorongkan ke arah kepala perahu itu yang segera meluncur lewat di dekat kepala perahunya dan tubrukan hebat dapat digagalkan.
Akan tetapi, dorongannya yang keras itu membuat perahu yang ditumpangi oleh kedua anak muda itu miring dan hampir terguling. Tiba-tiba kedua anak muda itu berseru keras dan tubuh mereka telah melompat ke atas dengan gerakan yang amat ringan! Perahu yang kosong itu menjadi balik kembali kedudukannya dan barulah kedua orang muda itu melompat turun di dalam perahunya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
149 Tin Eng merasa kagum melihat pertunjukan ginkang dan ketabahan ini. Akan tetapi ia merasa mendongkol juga mengapa mereka seakan-akan sengaja hendak menggulingkan perahunya.
Selagi ia hendak menegur, mereka telah menoleh dan tersenyum kepadanya sambil berkata,
"Lihiap, maafkan kami!" lalu mereka mendayung perahu mereka dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Tin Eng teringat akan seruan orang yang memperingatkannya tadi, maka ia lalu menengok ke arah belakang dan kedua matanya terbelalak girang ketika ternyata olehnya bahwa yang tadi memanggilnya adalah seorang gadis cantik dan gagah yang sedang mendayung perahunya dengan kecepatan luar biasa menuju ke arahnya. Gadis itu bukan lain adalah Dewi Tangan Maut Tan Kui Hwa, dara perkasa anak murid Hoa-san-pai yang dulu pernah bertemu dengan dia dan menolongnya ketika ia hampir menjadi korban para bajak.
"Enci Kui Hwa ....! serunya gembira dan mendayung perahu menyambut kedatangan si Dewi Tangan Maut.
Kui Hwa tersenyum manis. Gadis ini nampak cantik dan gagah sekali dengan baju hijau, ikat kepala merah, ikat leher dan sabuk hitam. Gagang pedangnya nampak tersembul dari balik punggungnya.
Pertemuan yang tak tersangka-sangka dengan Tan Kui Hwa si Dewi Tangan Maut di atas danau Oei-hu itu benar-benar mendatangkan kegembiraan luar biasa kepada Tin Eng. Setelah perahu mereka berendeng, Tin Eng lalu melompat ke dalam perahu Kui Hwa dan memeluk gadis itu dengan gembira sekali.
"Enci Kui Hwa, sekali lagi kaulah orangnya yang menolongku dari bahaya, kini bahaya terguling dari perahu."
"Tin Eng, mengapa kau tidak mengejar mereka" Dua orang kurang ajar itu terang-terangan sengaja hendak menubruk perahumu dan membuat kau terlempar ke dalam air! Mereka perlu diberi hajaran!"
Tin Eng memandang dengan senyum simpul. "Wah, enci Kui Hwa, kau benar-benar masih galak sekali, membikin aku takut saja!"
Kui Hwa balas memandang dan melihat sinar mata kawannya. Ia tertawa geli dan lenyaplah kekerasan yang tadi membayang pada wajahnya yang cantik, ketika ia marah terhadap dua orang di dalam perahu yang menubruk perahu Tin Eng tadi. "Ah, jangan kau menggoda adik Tin Eng. Kujiwir nanti bibirmu yang merah itu!"
Memang semenjak pertemuannya yang pertama dengan Kui Hwa, Tin Eng merasa tertarik dan suka sekali kepada pendekar wanita ini. Karena dari sikap gadis ini terbayang kekerasan hati, dan kejujuran, dan sifat-sifat yang amat baik, yakni bencinya terhadap segala macam kejahatan. Hanya harus diakui bahwa gadis ini memiliki watak yang amat ganas dan tak kenal ampun. Sebaliknya Kui Hwa yang belum pernah mempunyai kawan wanita yang amat baik kepadanya, merasa suka pula kepada Tin Eng.
"Adik Tin Eng, bukankah kau yang disebut orang Sian-kiam Lihiap di kota Hun-lam?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
150 "Eh, eh bagaimana kau bisa tahu akan hal itu, enci Kui Hwa?"
Kui Hwa tersenyum. "Namamu cukup terkenal, siapa yang tidak mengetahuinya?"
Kini Tin Eng merasa gemas. "Sekarang akulah yang ingin menjiwir bibirmu, enci!"
Kui Hwa tertawa, lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
"Adikku yang manis, terus terang saja sudah dua hari aku berada di Hun-lam! Aku telah mendengar tentang nama Sian-kiam Lihiap dan Kang-lam Ciu-hiap yang menggemparkan kota Hun-lam, yang namanya dipuji-puji setinggi langit. Akan tetapi sungguh mati aku tidak pernah mengira bahwa Sian-kiam Lihiap adalah kau sendiri. Kau agaknya jarang keluar, maka aku tak dapat bertemu dengan kau, dan karena tadi melihat kau berada di dalam perahu seorang diri maka mudahlah bagiku untuk menduga bahwa Sian-kiam Lihiap tentulah kau!
Siapa lagi ahli pedang yang patut disebut Pendekar Wanita Pedang Dewa selain kau?"
"Cici, kau terlalu memuji, padahal orang yang dipuji-puji ini baru beberapa hari yang lalu telah dikalahkan oleh orang lain secara memalukan sekali. Sebutan itu sebenarnya tak patut bagiku dan hanya membuat aku malu saja."
Tan Kui Hwa memandang tajam lalu berkata. "Apakah yang mengalahkan kau itu Song Bu Cu dan Lui Siok, kedua pangcu (ketua) dari Hek-i-pang?"
Tin Eng memandang kagum. "Enci, matamu benar-benar awas. Agaknya tidak ada sesuatu yang tak kau ketahui! Kau benar-benar hebat dan luas pengetahuanmu. Memang benar, aku telah dikalahkan oleh Lui Siok si Ular Belang! Bagaimana kau bisa tahu?"
"Adikku yang baik, aku tidak tahu apa-apa, hanya dugaan saja. Kalau kau tidak terlalu banyak bersembunyi di dalam kamar dan suka keluar pintu melakukan perantauan seperti aku maka bagimu juga akan mudah saja menduga-duga hal-hal itu. Aku tahu bahwa kau dan Kang-lam Ciu-hiap telah mengobarak-abrik anggauta Hek-i-pang di kota Hun-lam, sedangkan aku telah tahu pula bahwa sarang Hek-i-pang berpusat di Tong-kwan dengan diketuai oleh Song Bu Cu dan Lui Siok yang lihai! Kepandaian mereka berdua itu memang tinggi sekali, sehingga aku sendiripun tidak akan dapat melawan mereka. Maka, setelah kau mengobarak-abrik anggauta Hek-i-pang, lalu siapa lagi kalau bukan mereka berdua yang datang membalas dendam dan mengalahkan kau?"
"Ah, hal ini hanya menunjukkan kecerdikanmu, enci Kui Hwa."
"Siapa bilang aku cerdik! Saat ini ada dua hal yang membuat aku merasa menjadi sebodoh-bodohnya orang!"
Sambil tertawa Tin Eng bertanya, "Apakah gerangan dua hal itu?"
"Pertama melihat kau masih segar bugar dan bahkan bertambah cantik setelah kau tadi bilang pernah dikalahkan oleh Lui Siok. Aku kenal Lui Siok sebagai seorang kejam dan aneh sekali kalau dia atau Song Bu Cu mau mengampunkan kau yang telah merusak pekerjaan anak buah mereka! Nah, hal itulah yang membikin aku menjadi bingung dan tak dapat menjawab. Kedua kalinya, aku heran sekali melihat mengapa kau tidak mengejar dua orang muda yang tadi Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
151 sengaja menubruk perahumu. Apakah benar-benar kau telah menjadi seorang yang demikian sabarnya?"
Tin Eng menarik napas panjang dan menjawab, "Cici, jawaban kedua pertanyaan itu memang ada hubungannya. Pertama-tama kujawab pertanyaan kedua. Aku memang tidak mau
mengejar kedua orang tadi yang menubruk perahuku. Oleh karena mungkin sekali mereka itu adalah orang-orang dari Hek-i-pang yang sengaja mencari perkara dan pula akupun merasa ragu-ragu karena melihat keadaan mereka itu seperti bukan orang jahat, sehingga mungkin sekali mereka tidak sengaja hendak menubrukku. Mengapa aku harus mencari-cari
permusuhan baru sedangkan baru beberapa hari saja aku telah dikalahkan orang dan masih terasa mendongkol" Dan tentang pertanyaan pertama itu agak panjanglah penjelasannya."
Tin Eng lalu menuturkan tentang pertempurannya melawan Lui Siok, dan menuturkan pula bahwa Lui Siok adalah suheng dari Gan Bu Gi, perwira muda yang telah dipilih oleh ayahnya untuk dikawinkan dengan dia, dan bahwa Lui Siok memandang muka Seng Le Hosiang maka tidak berani mengganggunya atau melukainya.
Kui Hwa mengangguk-angguk lalu berkata, "Masih baik bahwa dia tidak berani
mengganggumu, kalau tidak, sukarlah bagimu untuk melepaskan diri dari bencana. Memang Lui Siok itu memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih Song Bu Cu yang menjadi ketua dari Hek-i-pang. Aku pernah bertemu dengan Song Bu Cu dan kalau tidak keburu datang kedua suhengku, tentu aku tewas dalam tangannya. Kau dan aku tak dapat menandingi mereka, adik Tin Eng!"
Si Dewi Tangan Maut menarik napas panjang dan nampak menyesal dan kecewa sekali. Lalu katanya gagah, "Akan tetapi, kalau kau tak dapat menahan sakit hatimu dan hendak membalas dendam sekarang juga, jangan takut, aku tentu akan membantumu menghadapi mereka!"
Tin Eng terharu dan memegang lengan Kui Hwa, "Enci Kui Hwa, mereka memang jahat dan perlu dibasmi, akan tetapi setelah tahu bahwa tenaga sendiri tak kuat menghadapi mereka namun terus maju menyerbu bukankah itu amat bodoh namanya dan sama halnya dengan membunuh diri" Takut sih tidak, akan tetapi lebih baik kita menanti saat yang lebih sempurna dan mencari kawan-kawan yang sehaluan untuk menyingkirkan serigala-serigala buas itu."
Kui Hwa mengangguk-angguk. "Kau sekarang telah banyak maju, adikku! Dari ucapanmu tadi saja sudah menyatakan bahwa kau kini telah dewasa!"
"Aah, bisa saja kau memuji! Aku malah khawatir kalau-kalau kau menganggap aku pengecut dengan ucapan tadi."
Kui Hwa memandang dengan sikap sungguh-sungguh. "Tidak Tin Eng. Biarpun terus terang kuakui bahwa adatku keras dan mudah marah, akan tetapi akupun sependapat dengan kau.
Keberanian dan ketabahan harus disertai kesadaran dan perhitungan yang masak sebagaimana layak dilakukan oleh orang berakal. Keberanian yang dilakukan dengan serampangan dan serudukan bagaikan kerbau gila secara hantam kromo tanpa perhitungan sama sekali, tidak termasuk kegagahan, akan tetapi adalah kebodohan orang yang kurang pikir. Kita tidak menyerbu dan menghalau penjahat-penjahat itu pada waktu ini bukan karena kita takut. Akan tetapi karena kita menggunakan siasat, menanti saat baik di mana kekuatan kita melebihi mereka sehingga gerakan kita akan berhasil."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
152 "Terima kasih, cici. Sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?"
"Aku hanya merantau saja tanpa tujuan tertentu, dan ketika aku mendengar nama besar Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap, aku menjadi tertarik dan menuju ke kota ini. Tidak tahu siapakah sebetulnya Kang-lam Ciu-hiap yang baru saja muncul telah membuat nama besar itu" Di mana dia dan anak murid mana?"
Tin Eng tersenyum dan menjawab, "Kang-lam Ciu-hiap telah pergi meninggalkan Hun-lam.
Kalau ia masih berada di sini, tak mungkin ada orang berani menggangguku dan Hek-i-pang pasti telah rusak olehnya. Sayang ia telah pergi. Namanya adalah Bun Gwat Kong dan kalau kau ingin mengetahui dari cabang persilatan mana ia datang, aku sendiripun tidak tahu. Hanya satu hal yang boleh kau ketahui bahwa dia itu boleh juga disebut .... guruku!"
"Apa?"?" Kui Hwa memandang dengan mata terbelalak. "Menurut berita yang kudengar, Kang-lam Ciu-hiap masih amat muda. Bagaimana bisa menjadi gurumu" Jangan kau main-main Tin Eng!"
"Aku tidak main-main, memang ilmu pedangku kudapatkan dari dia! Cici, hayo kau ikut aku ke rumah pamanku. Jangan pergi dulu sebelum ada sesuatu yang memaksamu. Dari pada seorang diri saja bukankah lebih senang kita berdua?"
"Ah, aku hanya akan mengganggu kau dan pamanmu saja."
"Siapa bilang mengganggu" Paman jarang berada di rumah, selalu mengurus
perdagangannya. Sedangkan aku selalu menganggur dan duduk termenung seorang diri di rumah."
Sambil tertawa-tawa mereka lalu mendayung perahu ke pinggir. Kemudian setelah membayar sewa perahu, mereka lalu berjalan sambil bergandengan tangan menuju ke rumah Lie-wangwe. Kebetulan sekali Lie-wangwe berada di rumah, maka Tin Eng lalu memperkenalkan kawannya itu yang diterima dengan ramah tamah oleh Lie Kun Cwan. Kemudian Tin Eng mengajak kawannya menuju ke taman bunga yang indah di mana mereka bercakap-cakap dengan gembira sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan oleh pelayan.
Belum lama kedua orang gadis itu bercakap-cakap, seorang pelayan memberitahukan bahwa di luar ada dua orang muda datang minta bertemu dengan Sian-kiam Lihiap.
"Bagaimana macamnya orang-orang itu?" tanya Tin Eng.
"Mereka adalah seorang pemuda yang cakap dan seorang gadis yang cantik, siocia," jawab si pelayan. "Katanya mereka minta bertemu untuk menyampaikan hormatnya dan katanya tadi mereka telah bertemu dengan siocia di danau Oei-hu."
Tin Eng dan Kui Hwa saling pandang. Tak salah lagi, kedua orang itu tentulah dua orang penumpang perahu yang menubruk perahu Tin Eng tadi. Apakah kehendak mereka datang"
"Suruh mereka datang ke taman ini, Tin Eng," kata Kui Hwa.
"Persilahkan mereka masuk dan antarkan mereka datang ke sini, kemudian kau ambil tambahan hidangan untuk mereka!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
153 Pelayan itu mundur dan melakukan tugas yang diperintahkan itu. Tak lama kemudian, benar-benar saja kedua orang yang tadi menubruk perahu Tin Eng, muncul dari pintu taman dengan wajah nampak bersungguh-sungguh. Setelah bertemu dengan Tin Eng, mereka berdua lalu menjura dan pemuda itu berkata, "Maafkan kami sebanyak-banyaknya kalau kami
mengganggu kepada lihiap!"
Tin Eng tersenyum dan menjawab, "Ah, sama sekali tidak. Silahkan ji-wi (kalian berdua) duduk."
"Terima kasih, lihiap. Kami tak berani mengganggu terlalu lama. Terus terang saja kedatangan kami ini tak lain mohon pengajaran sedikit dari lihiap tentang ilmu pedang untuk meluaskan pengetahuan kami yang amat dangkal!"
"Hmm, bagus!" tiba-tiba Tan Kui Hwa berkata menyindir. "Dengan dayung tidak berhasil sekarang hendak menggunakan pedang!"
Pemuda dan gadis muda itu mengerling ke arah Kui Hwa, akan tetapi mereka tidak menjawab, bahkan tidak memperdulikan sama sekali, dan kini gadis cilik itu yang bertanya kepada Tin Eng.
"Bagaimana, lihiap" Sudikah kau bermurah hati dan memberi sedikit petunjuk kepada kami?"
Sambil berkata demikian, gadis itu meraba-raba gagang pedangnya.
Tin Eng di atas perahu telah mengukur tenaga dan kegesitan mereka menangkis dengan dayungnya, maka ia maklum bahwa kepandaian kedua anak muda ini tidak seberapa. Hanya ia merasa heran sekali mengapa dua orang ini mengejar-ngejarnya! Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di balik kelakuan mereka itu.
Tiba-tiba Kui Hwa yang juga mempunyai pikiran yang sama dan mempunyai sifat yang suka akan kejujuran dan terus terang, berkata, "Kalian berdua anak kecil ini mengapa mengejar-ngejar Sian-kiam Lihiap" Apakah yang tersembunyi di balik sikap kalian yang mencurigakan ini" Awas, jangan kalian berani main gila!"
Kedua orang itu merasa terhina, akan tetapi tidak marah, sedangkan Tin Eng juga menyambung. "Benar juga kata-kata kawanku itu. Sebetulnya mengapakah kalian hendak mengajak pibu (adu kepandaian) dengan aku?"
"Terus terang saja lihiap. Kami berdua kakak beradik pernah mempelajari sedikit permainan pedang dan ketika kami tiba di kota ini, kami mendengar tentang namamu sebagai Pendekar Wanita Pedang Dewa. Maka kami merasa amat tertarik karena kami yakin bahwa lihiap tentu memiliki ilmu pedang yang amat tinggi. Pertemuan kita yang amat kebetulan di danau tadi membuat kami kakak beradik mengambil keputusan untuk mencoba lihiap dan ternyata dugaan kami tak meleset. Lihiap memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai. Hanya kami belum merasa puas kalau belum melihat ilmu silat lihiap. Maka, mohon sedikit pengajaran dari lihiap!"
Alasan ini masih meragukan hati Kui Hwa. Akan tetapi Tin Eng telah merasa puas dan ia segera melompat ke atas jalan taman yang sengaja dibuat dengan lantai tembok dan biasanya Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
154 ia berlatih silat di tempat ini. Sambil berdiri di tengah-tengah lorong tembok itu, ia tersenyum dan berkata,
"Baiklah, cabut pedang kalian dan mari kita main-main sebentar!"
Kedua anak muda itu saling pandang, lalu mencabut pedangnya. Akan tetapi melihat Tin Eng berdiri dengan tangan kosong, pemuda itu berkata sangsi,
"Lihiap, kuharap lihiap segera mengeluarkan pedang untuk menghadapi kami kakak beradik."
Tin Eng tersenyum. "Ini hanya main-main saja, mengapa mesti berpedang" Hayo, jangan sangsi-sangsi, gerakkanlah pedang kalian, hendak kulihat sampai di mana tingkat pelajaranmu."
Sementara itu, Kui Hwa berdiri tak jauh dari situ sambil memandang dengan khawatir. Ia menganggap perbuatan Tin Eng ini terlalu gegabah maka diam-diam ia bersiap sedia menjaga kalau-kalau kawannya itu akan dicelakakan oleh kedua orang muda yang mencurigakan itu.
Sementara itu, pemuda dan adik perempuannya itu telah bersiap pula dengan pedang masing-masing di tangan. Pemuda itu di sebelah kanan Tin Eng dan gadis cilik itu di sebelah kirinya.
Tin Eng tersenyum lagi dan berkata,
"Hayo, jangan ragu-ragu. Kalian maju dan seranglah baik-baik!"
Bukan watak Tin Eng untuk menyombongkan kepandaiannya dan memandang rendah
kepandaian lawan. Akan tetapi karena ia telah mengukur tenaga dan kegesitan kedua orang muda itu di atas perahu dan maklum bahwa kepandaian mereka tak perlu ditakuti, pula karena seperginya Gwat Kong, ia telah melatih ilmu silat tangan kosong Garuda Sakti dan kini ia ingin mencoba kepandaiannya ini.
"Maaf, lihiap!" Pemuda itu berseru dan mulai menyerang dengan tusukan pedangnya, juga adiknya menyerang dari samping kiri dengan gerakan indah.
Tin Eng segera mengelak dan mempergunakan ginkangnya yang telah memperoleh banyak kemajuan. Gerakannya gesit dan tubuh seakan-akan burung garuda beterbangan di antara sambaran pedang. Kedua tangannya dipentang ke kanan kiri atau ke depan belakang, menghadapi keroyokan kedua orang lawannya.
Benar saja sebagai dugaan semula, biarpun kedua orang muda itu agaknya telah mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai yang indah gerakannya, akan tetapi tingkat kepandaian mereka masih rendah, sehingga mudahlah bagi Tin Eng untuk menghadapi mereka ini.
Tin Eng bersilat memperlihatkan gaya silat Garuda Sakti sambil tersenyum manis dan diam-diam Dewi Tangan Maut Tan Kui Hwa memuji kelincahan kawannya itu. Ia dapat melihat betapa dalam waktu yang tak berapa lama, Tin Eng telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
Setelah mereka bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, Tin Eng merasa sudah cukup dan tiba-tiba ia berseru keras. Dengan gerakan Garuda Sakti Hinggap Di Cabang, ia berdiri menghadapi pemuda itu dengan kaki kanan berdiri berjingkat dan kaki kiri diangkat tinggi ke Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
155 kiri lengan kanan dengan jari-jari tangan terbuka menghadapi gadis yang berada di belakangnya.
Pemuda itu menyerang dengan menyabetkan pedangnya ke arah kaki kanan Tin Eng yang berdiri itu. Tin Eng berseru nyaring dan kaki kanannya tiba-tiba melompat ke atas. Pada saat itu, ia mendengar sambaran angin pedang gadis yang berada di belakangnya membacok kepalanya. Maka dalam keadaan melompat tadi dan tubuhnya masih di tengah udara, ia cepat mengayun diri ke depan menghindarkan kepalanya dari bacokan sambil tangannya bergerak cepat ke arah pergelangan tangan pemuda yang tak berhasil menyerampang kakinya tadi.
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 4 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Pendekar Pedang Kail Emas 2
^